text
stringlengths
478
2.18M
Title: Wanita Bertubuh Puisi Category: Puisi Text: Wanita Bertubuh Puisi #1 DI ANTARA MATA Di antara mata kita bertemu melahirkan cinta dan cita yang mendekat kepada mimpi yang kutahu semu. Jangan sampai kita mengenal nama bila akhirnya, kita tahu restu tak akan menyapa kita hingga berpisah adalah jalan dan kesakitan adalah perasaan. Cukup berhenti di antara sapa saja karena bahagia belum tentu memeluk kita. Nanti, ia hanya melintas saja menggoda kita untuk menghambanya. Di ujung sana, kutak tahu apa yang sedang menunggu kita mungkinkah pilu ataukah rindu kita tak mungkin ke sana meniti harapan yang tak ada kutak mau menjadi batu yang mematung karena obsesi yang luhung. (2021) BUNGA CEMARA Apakah kau tahu, apa yang menguncup di puncak cemara itu? : kita, bukan jawabannya. Bila kulihat dengan hati, di sana terdapat bunga persis seperti bungaku, pemberianmu di hari ulang tahunku. Kau bilang waktu itu: ini adalah bunga yang sudah kurawat sejak pertama aku bertemu denganmu sejak keyakinan datang padaku dan berkata kau adalah pilihanku. Tapi bunga itu menguncup berbeda dengan bungaku yang terakhir kulihat: mekar. Ya, pada saat itu ketika kau masih sering menyambangiku. Sejak saat itu, ketika jejakmu meninggalkanku kutak lagi menyapa dan tersenyum kepada bunga itu hingga kulupa, aku memilikinya. Mungkin, ketika kini kupulang aku akan menemuinya dan bersama-sama menunggu kehadiranmu membawa mekar untuknya dan untukku. (2021) BISIKAN MERPATI Kan kau temui nanti merpati yang menghampirimu melalui celah jendela tempat persendirianmu. Ia akan menyapamu dengan panggilan yang biasa kau dengar dariku mungkin saat itu juga, kau akan tahu bahwa ia adalah utusanku. Bila sudah sampai padamu ambillah suratan yang ada di kakinya kau tahu, itu dariku. Di sana ada aku yang sedang bercerita tentang kita masa itu tentang semua yang mungkin tak kau tahu tentang aku yang bersembunyi di balik sendu. Maaf akan sampai padamu menyusul sesal yang telah lebih dulu aku utus untuk menemuimu yang mungkin akan mengundang tangismu. Di baris terakhir suratan itu, kusampaikan doa-doa yang akan menemanimu bertemu dengan harapan yang selalu kau dambakan. Bila suratan itu telah habis kau baca, kau akan temui aku yang sedang merindu di kalbumu. (2021) LILIN ULTAHKU Di dalam lilin ulang tahunku kau bersemayam menggantikan api yang hendak kutiup saat tiba waktunya, aku merayakan detik usiaku. Di sana aku melihatmu sedang menatapku dengan tatapan yang biasa kau beri padaku sebuah harapan yang terbungkus kotak kado kemarin. Aku melihatmu. Dan tak akan melupakanmu meski jarak mematahkan harapan kita yang telah terpupuk sejak ucapanmu yang pertama. Meski nanti kau terikat dengan bunga yang kau petik aku di sini akan menyimpan sisamu dalam kotak kadomu. (2021) LUKISAN RANTING Aku melukis di bawah ranting yang menyisakan sehelai daun saja. Ia terlihat renta menopang daun yang telah membersamainya melewati musim dan menyelamatkannya. Sepertimu yang telah menopangku dari kekurangan-kekurangan yang memantik rasa insecure-ku sedangkan kau: tak apa, katamu. Sungguh karena itu aku memilih di sini. Setidaknya, aku merasa kau ada memberiku semangat dengan cita rasa yang tak biasa. Yang sebelumnya tak pernah kudapat sebelum mengenalmu. Bila usai aku melukis, aku ingin kau yang pertama kali lihat romantika kita dalam lukisan kata. (2021) Description: Romansa adalah cinta Cinta adalah kita Di dalam puisi terdapat Cinta Kita
Title: What I am Thingking about You Category: Novel Text: Hukuman karena membencimu Membencimu adalah awal dari semua kesalahanku yang membuatku dihukum dengan rasa rindu yang kian bertumpuk di dalam kalbu __________________________ Dirimu memanglah bukan seseorang yang aku sukai dari awal hingga akhir. Adakalanya aku membenci sikapmu, gerak gerikmu bahkan senyum tipismu itu. Masih kuingat dengan jelas awal aku melihatmu dari kejauhan kala itu. Kau terlihat berbeda dibandingkan teman-temanmu terlebih dengan pakaianmu yang teramat lengkap dan rapi. Kala itu aku masih belum membencimu. Saat itu yang kurasa hanya mulai suka dengan caramu berpakaian. Butuh beberapa waktu untuk akhirnya aku bisa mulai mengenalmu dan bisa sedikit tahu lebih banyak tentang sikapmu. Ada banyak hal yang ternyata kala itu tak aku suka setelah mengenalmu dan mulai membencimu. Sikapmu yang terkadang songong dan menyebalkan membuatku enggan untuk lebih mendekat. Gerak-gerikmu yang terkadang berlebih juga semakin membuatku membencimu. Terlebih ketika kamu dekat dengan yang lain dan bersikap berlebihan itu juga membuatku benci. Perasaan benci itu semakin menumpuk ketika kudengar kamu terlalu perhatian pada pasanganmu kala itu. Bagi orang lain mungkin menganggapku juga berlebihan karena aku kala itu tak seharusnya memiliki hak untuk membenci setiap yang kau lakukan hingga akhirnya akupun dihukum atas kebencianku terhadapmu. Waktu terus berlalu hingga akhirnya kamu kala itu sedang sendiri dan entah apa yang membuat kita mulai dekat. Aku mulai mengenalmu lebih dalam dan tahu sifat aslimu. Sifat yang sebenarnya tak pernah kau tunjukkan kepada orang lain. Entah mulai kapan aku dan kamu mulai berbagi cerita. Perlahan tapi pasti kebencianku yang dulu pernah bertumpuk dalam hati ini seakan tergerus oleh deburan ombak yang tercipta ketika aku dan kamu semakin dekat. Rasa itu mulai tergantikan dengan rasa asing yang belum pernah kurasa sebelumnya. Rasa itu ialah rasa rindu yang tak tahu kapan mulai bertumpuk di dalam kalbu ini. Rindu itu kian bertumpuk menyesakkan nafasku ketika aku tak bisa menjangkaumu, aku tak bisa mendengarkan ceritamu bahkan ketika kita tak lagi bisa bertemu. Hingga aku menyadari kala itu aku sedang dihukum atas kebencianku terhadapmu dengan rasa rindu. Aku iri padanya Rasa iriku bukan tanpa sebab merasuk hingga begitu dalam ketika ia bisa bersanding denganmu sedangkan aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan __________________________ Rasa iri yang pernah merasuk ke dalam hatiku ternyata bukan karena tanpa sebab. Rasa iri memanglah tak baik untuk kesehatan terlebih kesehatan hati ini. Semua rasa itu semakin menyiksaku ketika penyebabnya semakin sering kulihat. Mungkin kamu yang disana tak pernah tahu akan apa yang aku rasa ketika melihatmu bersanding dengannya. Logikaku sebenarnya berkata “belum tentu kamu dan dia akan bersanding di masa yang akan datang ketika saat ini kamu dan dia bersanding”. Namun semua itu tak juga mengusir rasa iri yang merasuk ke dalam hati ini. Logikaku dikalahkan dengan rasa yang ada dalam hati kala itu. Siang di kala itu aku lihat dengan jelas bagaimana sikapmu terhadap dia yang kala itu menjadi seseorang yang kuanggap beruntung bisa bersamamu. Tatapan kedua matamu yang kala itu menunjukkan betapa engkau mengaguminya sebagai seorang yang mengisi hatimu. Senyum tipismu setiap kali kau diam-diam memandanginya dari kejauhan. Semua itu semakin menyakitiku dengan semakin bertumpuknya rasa iri di dalam hati ini kala itu. Terlebih ketika kamu dan dia berjalan beriringan ataupun kala kamu dan dia bersanding dengan penuh kebahagiaan. Aku selalu penasaran apa yang sebenarnya kamu dan dia bicarakan hingga senyummu tipismu tergantikan dengan senyuman lebar kala itu. Diri ini dari kejauhan kala itu yang hanya mampu memandang dan berusaha menarik nafas berulang kali. Berusaha sekuat hati untuk mengusir rasa iri yang berusaha merasuk ke dalam hati. Namun nyatanya aku tak mampu mengusirnya karena ternyata hatiku memang tak mampu melawannya. Setelah bertahun-tahun kini aku menyadari bahwa kala itu ternyata aku terserang penyakit hati yang kerap disebut dengan “cemburu” (itu menurutku entah orang lain menganggapnya apa). Ketika aku menuliskan semua ini aku merasa konyol dengan apa yang pernah aku rasakan kala itu. Ketika aku bukan siapa-siapa bagimu yang tak berhak untuk cemburu namun aku malah cemburu. Hingga akhirnya aku tahu sesuatu yang berhubungan dengan hati terkadang sulit dikendalikan. Semua Tentang Kita Petikan senar gitar itu menenangkanku meskipun ku sadar semua akan segera hilang membawa cerita tentang kita __________________________ Saat kumulai memainkan jemari diatas papan ketik ini ditemani dengan suara air hujan yang perlahan kudengar dari luar seiring ku mencoba membuka kembali kenangan saat-saat itu. Saat dimana petikan suara gitar mengalun pelan memecah keheningan kala itu. Saat itu aku merasakan ketenangan yang teramat nyaman meski ku tahu semua itu takkan bertahan untuk waktu yang lama. Kulihat dengan jelas saat itu kamu berada tepat di depanku dengan gitar coklatmu kala itu dan sesaat kau mulai memainkannya. Aku masih ingat saat itu kita tak sedang berdua saja namun ada yang lain. Entah aku yang memang tak sadarkan diri atau bagaimana tapi ku rasa saat itu hanya ada aku dan dirimu. Aku masih ingat dengan jelas saat itu kau memakai kaos hitam polos dengan memasang tampang songong yang terkadang berubah menjadi serius bahkan sesekali senyum tipismu kau pamerkan. Suaramu yang kala itu terdengar lembut meski kadang kau berusaha sekuat tenaga untuk bisa mencapai nada-nada tinggi. Semua itu selalu membuatku tersenyum bahkan saat ini ketika aku mengingat kembali semua tentang kita. Aku selalu bersyukur ketika kumasih bisa mengingat semua tentang kita meski ku tahu semua itu mungkin bukanlah yang akan kau kenang. Namun akupun tak pernah menyesali setiap cerita yang pernah ada diantara kita bahkan cerita tentang perpisahan kita. Semua cerita itu seakan seperti video yang tengah diputar dengan latar musik yang kau mainkan saat itu ketika ku mulai mengingatnya. Derasnya air hujan yang ada diluar sana saat ini menambah suasana tenang dan membuatku semakin teringat semua tentang kita. Tentang aku dan kamu dari sudut pandangku. Mengenalmu Mengenalmu adalah awal dari semua cerita ini cerita dimana selalu memiliki akhir namun sayang akhir dari cerita kita sepertinya hanya menyisakan kenangan dan kerinduan saat ini __________________________ Aku tak pernah menyangka akan ada kesempatan untuk mengenalmu lebih dari teman kita yang lain. Aku juga tak pernah menyangka seperti apa sikapmu yang sesungguhnya karena aku sempat tak menyukai sikapmu dan segala tentangmu. Mungkin saat itu memang aku terbawa perasaan ketika melihatmu dengan dia. Perlahan berjalannya waktu memberiku kesempatan mengenalmu lebih jauh dan hubungan diantara kita berubah lebih dari sebelumnya. Semakin aku mengenalmu semakin kutahu dirimu seseorang yang sebenarnya romantis meski lewat tindakan-tindakan kecilmu. Kamu juga seseorang yang dewasa dan selalu berusaha menjaga orang-orang yang berada disekitarmu dengan penuah kehangatan dan kehati-hatian. Semakin jauh aku mengenalmu semakin membuatku sulit untuk tidak mengulik tentangmu. Hal itu yang membuatku hingga saat ini terjebak dengan sisa-sisa kenangan dan kerinduan kepada kamu yang saat ini tak bisa kutemui. Jarak yang ada kini hanya menambah perih ketika waktu terus berputar namun tak memperpendek jarak diantara kamu dan aku. Hingga akhirnya kini aku sendiri disini berteman dengan kenangan dan kerinduan. Saling Percaya Kepercayaan akan adanya orang lain sebelum aku di hidupmu dan kamu di hidupku membuat kita saling percaya bahwa kita bisa saling menjaga diri meski jarak kita yang tak pernah sedekat nadi __________________________ “Aku gak bisa hidup tanpamu” banyak kudengar ketika seseorang berusaha mencegah kepergian orang yang mereka sayangi dari kehidupannya. Menurutku semua itu hanya pemanis bibir saja untuk mencegah kepergiannya. Aku dan kamu, kita yang (seingatku) tak pernah mengatakan hal seperti itu karena kita menyadari “Sebelum aku di hidupmu dan kamu di hidupku, kita sama-sama sudah mengenal orang lain dan kita nyatanya bisa saling hidup bahkan sebelum saling bertemu dan begitu pula ketika kita berpisah seperti saat ini”. Kepercayaan kita akan adanya orang lain selain aku dan kamu menjadikan kita saling percaya meski tak pernah mencoba untuk saling mengintrogasi seperti yang mereka lakukan dengan segala pertanyaan konyolnya ( Kamu keluar sama siapa ?, Aku boleh gak baca pesan-pesanmu ? ). Aku tahu kamu selalu berusaha menjaga apa yang kamu sayang dengan penuh kehati-hatian dan aku pun percaya bahwa tanpa aku bertindak konyol (seperti pada umumnya yang lain) kamu akan menjaga apa yang aku percayakan kepadamu. Dari sudut pandangku ketika aku dan kamu, kita sepakat untuk memulai sebuah hubungan berarti kita juga berarti percaya satu sama lain. Hal itu pun seharusnya kita wujudkan dalam tindakan “dimanapun aku dan kamu berada terpisahkan jarak maka kita akan saling menjaga hati dan perasaan kita karena kita sepakat untuk memulai hubungan itu dengan kepercayaan satu sama lain”. Maafkanku bila menyakitimu Mungkin memang tak seharusnya ku begitu ketika aku sudah bersamamu __________________________ Aku yang terbiasa dengan kesendirian tanpa harus memperhatikan perasaan orang lain, saat itu berubah harus memperhatikan perasaan yang lain. Aku yang terkadang dengan seenaknya kesana kemari dengan siapapun, saat itu harus berusaha memilih dengan siapa aku harus kesana kemari. Semua yang awalnya mudah, kini berubah menjadi sedikit sulit. Semua itu hanya perlu waktu untuk beradaptasi karena saat itu diriku bukan lagi ber-satu tapi sudah ber-dua dengan kamu. Walau terkadang ada kalanya aku lupa atau mungkin ingin sesaat melupakan kenyataan saat itu. Atau mungkin aku ingin menguji perasaanmu terhadapku. Dengan santainya aku jalan bersama teman-temanku tanpa ada kehadiranmu disampingku saat itu. Seperti biasa ketika aku berkumpul dengan temanku, kami asik berfoto dan tak lupa memposting di akun sosmed masing-masing. Namun tak kusangka hal kecil seperti itu bisa mengusik perasaanmu. Kala itu aku tak tahu apa yang kau rasakan, karena semua itu bagiku hanyalah hal biasa yang kulakukan. Aku lupa saat itu ada hati yang seharusnya aku jaga, ada seseorang disana yang kini memberikan hatinya padaku, ada seseorang disana yang memperhatikanku dan ada seseorang disana juga yang tersakiti dengan apa yang aku lakukan. Maafkan aku bila yang kulakukan pernah menyakitimu, namun kuharap kamu tahu aku tak berniat begitu. Romantis Sebelum kamu berharap seseorang akan bersikap romantis, cari tahu dulu apakah kamu juga sudah bersikap romantis terhadapnya. __________________________ Aku, saat itu berharap kamu memperlakukanku seperti yang lain. Seperti pada umumnya pasangan lain yang bersikap romantis entah dalam wujud seperti apa. Namun ternyata aku lupa, aku sendiri tak pernah berusaha memperlakukanmu seperti yang aku harapkan darimu. Kita seperti dua orang yang enggan untuk bersikap seperti pada umumnya pasangan lain. Yang kita tahu kita saling suka, saling percaya dan itu cukup untuk kita. Tanpa pernah menambahkan bumbu romantis lainnya untuk menyuburkan rasa diantara kita. Setelah beberapa saat baru aku sadari kini, romantis bisa menjadi bumbu diantara hubungan dua manusia. Ia menjadikan hubungan itu menjadi lebih indah, berwarna dan berbunga. Setelah semua itu, aku sadar kenapa kita berakhir seperti saat ini. Semua karena kita tak pernah mencoba untuk saling menambahkan bumbu itu dalam hubungan kita dan menyebabkan hubungan itu terasa hambar dan begitu saja. Dari itu aku belajar, bersikap romantis bukan kewajiban satu pihak saja dalam suatu hubungan melainkan ke dua pihak. Karena hubungan itu harusnya timbal balik bukan satu arah saja. Ber-dua tapi serasa ber-satu Hal yang menyedihkan itu ketika kamu sudah ber-dua tapi masih merasa ber-satu __________________________ Katanya sih saat itu aku dan kamu sudah ber-dua tak lagi ber-satu. Tapi nyatanya semua itu tak seperti yang aku rasakan saa itu. Segala tentang aku dan kamu tak ada bedanya. Aku saat itu masih kemanapun sendiri, kamu juga begitu. Kamu jalan bersama temanmu, aku juga jalan bersama temanku. Kamu malam minggu bersama temanmu, akupun begitu. Kamu asik dengan temanmu, aku juga asik dengan temanku. Tak pernah sekalipun aku dan kamu menghabiskan waktu ber-dua seperti umumnya pasangan yang lain. Hingga saatnya tiba, aku merasa tak ada bedanya ketika aku ber-satu ataupun ber-dua denganmu karena memang tak ada hal yang kita lakukan bersama. Hingga saat inipun aku tak tahu kenapa itu terjadi diantara kita. Hal itupun yang mungkin membuat kita biasa saja. Teruntuk kalian yang saat ini sedang dalam status ber-dua. Berusahalah untuk saling melakukan sesuatu ber-dua. Tak perlu sesuatu yang besar cukup hal-hal kecil seperti temani dia melakukan hobinnya, temani dia untuk duduk manis di kafe kesukaannya ataupun temani dia mengerjakan tugasnya. Tak perlu kalian lakukan setiap hari tapi luangkanlah sedikit waktumu untuk ber-dua. Cukup lakukan hal-hal kecil berdua mungkin bisa membuatnya ingat bahwa saat ini status kalian tak lagi ber-satu tetapi ber-dua. Berganti Musim T Hangatnya mulai terganti dengan hembusan angin segar di setiap waktu. Sinarnya kini tak begitu terang kala sang mendung menghalanginya. __________________________ Ia pun mulai berbeda dan semakin dingin angin sore itu. Masih kuingat kala itu, jemariku masih memainkan kuas di dinding kosong kamarku. Lama sudah ponselku tak berdering karena ulahnya. Mungkin sudah seminggu lebih, yang ku tahu hanya aku yang berkirim pesan tanpa ada balasan. Nyatanya masih saja kukirimkan ia setidaknya satu pesan menanyakan kabar. Aku hanya berpikiran, mungkin dia sibuk. Jemariku terhenti memainkan kuas ketika kudengar dering dari ponselku. Terpampang nyata nama kontak yang sudah lama tak muncul, Ya, akhirnya dia muncul di saat hujan turun disertai angin dingin. "Sepertinya kita udahan aja" Pesan itu begitu dingin Sama seperti angin di sore itu Berhembus pelan namun pasti Membekukan raga ini Bahkan air matakupun tak mau menetes Mungkin karena semesta saat itu sudah mewakili tangisku lewat rintik hujan sore itu. Description: Barisan huruf yang kurangkai menjadi kata hingga membentuk kalimat. Berbaris rapi menjadikannya rangkaian cerita ketika aku berpikir tentangmu. Tentang kamu yang pernah singgah di kehidupanku.
Title: With All My Heart Category: Novel Text: Satu Laju motor itu lebih cepat dari biasanya. Seorang pengendara bersama seorang gadis tertawa dengan riang di bawah rintikan hujan sambil terus menikmati pemandangan yang mereka lewati. Entah akan kemana kedua pasang kekasih itu akan pergi hingga mereka terlihat begitu riang. Si gadis remaja berumur belasan tahun itu melambai-lambaikan sapu tangannya keudara menandakan betapa bahagianya dia, dan si pria tertawa senang melihat pasangannya yang bersemangat. Motor itu melaju semakin cepat menuruni tikungan-tikungan kawasan yang sepi di daerah perbukitan. Mereka terlihat begitu senang menikmati liburan akhir pekan mereka dan tanpa sadar si pengendara melajukan motornya terlalu cepat hingga tidak melihat sebuah mobil yang melintas. TRIT ... mobil di depannya berusaha menghentikan mobilnya agar tidak berakhir jatuh kedalam jurang di sampingnya. Kecelakaan pun tidak bisa terhindarkan. Si pengendara motor jatuh dari motornya dan si gadis pun tergeletak jauh darinya. Mobil yang tertabrak olehnya berhenti di tikungan yang hampir jatuh ke dalam jurang di samping kanannya. Laki-laki itu berusaha bangun dan melihat gadisnya yang kini tergeletak tidak sadarkan diri. Dia berusaha mendekat namun kesadarannya perlahan memudar hingga dia terjatuh dan tidak sadarkan diri. *** “TIDAK!" teriakku seketika saat aku terbangun dari tidurku. Astaga apa ini? Kenapa aku terus memimpikan hal itu? Aku terbangun dari keterkejutanku seperti malam-malam biasanya. Entah kenapa beberapa hari terakhir aku selalu memimpikan hal-hal itu. Aku rasa aku tidak mengenal keduanya. Apa ini kejadian masa depan? Tapi aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah keduanya. Siapa mereka? Apakah aku mengenal mereka? Aku bangun dari tempat tidurku dan berlari menuju kamar mandi untuk menyegarkan pikiranku. Pagi ini aku mulai masuk kuliah. Hari pertama yang selalu kutunggu-tunggu. Aku ingin segera bertemu seseorang yang kusuka. Aku jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia senior di kampusku. Dia laki-laki hebat yang cerdas dan punya banyak bakat. Jujur saja aku sudah menyukainya sejak pertama kali melihatnya pada masa orientasi mahasiswa. Dia terlihat berbeda, dan ternyata pendapatku ini disetujui oleh orang-orang yang mengaku sebagai fansnya. Pada awalnya aku tidak tahu siapa dia. Tapi hari berganti hari, tanpa terasa hingga perlahan-lahan aku mulai mengenal sosok pria yang kusukai. Pria itu bernama Aditya Rahmadi. Dia salah satu ketua organisasi kampusku, anggota Badan Eksekutif Mahasiswa, dan salah satu mahasiswa terbaik di kampusku. Aku tidak terkejut akan hal ini, sejak awal bisa kulihat bahwa dia pria yang hebat! Karena itu tidak salah jika aku jatuh hati padanya. Aku pergi ke kampusku dengan segera dan menemui teman-temanku. Tapi tidak kutemukan mereka. Kurasa aku terlalu rajin untuk datang hari ini. Mungkin benar yang dikatakan Dina hari ini kami belum mulai belajar. Aku pikir lebih baik aku pulang sekarang. Aku berjalan pelan dari gedung fakultasku menuju gedung fakultas teknik yang cukup jauh di depanku. Aku mau pulang namun tiba-tiba rintikan hujan menghalangiku. Rintikan hujan yang turun kini perlahan menjadi semakin deras. Aku berlari menuju tempat berteduh di sekitar kampusku. Kulihat banyak sekali mahasiswi yang berdiri disana. Aku mulai masuk di antara mereka. Tempat ini cukup sempit karena ini hanyalah pos satpam dari gedung fakultas teknik yang tidak jauh dari gedung fakultasku. Tempat ini sebenarnya cukup besar hanya saja saat ini paling tidak ada sepuluh mahasiswi dan tiga mahasiswa yang baru saja berdiri disini. Tentu saja mereka membuat pos ini terlihat lebih kecil dari ukuran aslinya. Aku berdiri di depan pos. Sedikit menggigil karena pelan-pelan angin mulai bertiup ke arahku. Kupandangi rintikan hujan yang jatuh di depanku. Indah … pikirku. Semakin lama aku semakin terfokus pada rintikan hujan itu hingga kusadari seseorang yang tidak pernah kubayangkan berdiri di sampingku. Adit! Astaga! Jantungku seakan tidak bisa menahan detak yang jauh lebih kuat dari ini! Aku melangkah sedikit menjauh darinya agar dia tidak menyadarinya. Tapi bagaimana pun usahaku melangkah tetap saja dia akan terus bergeser mendekat ke arahku. Karena sudah semakin banyak orang yang berteduh sehingga membuat jarak kami semakin dekat. Wajahku mulai memerah. Kurasa dia bisa mendengar bunyi jantungku saat ini. Aku terus berlagak seolah-olah tidak mengenalnya, hanya saja aku tidak bisa! Aku tidak bisa menutupi kekalutanku. Aku mulai gelisah dan tidak bisa menyeimbangkan diriku hingga saat seseorang menerobos masuk di antara kami berdua aku hampir tejatuh begitu saja. Dengan sigap Adit menahanku. Lagi-lagi jantungku berdebar. Ketika aku mengangkat wajahku kami bertemu muka. Mataku melihat matanya dan kurasakan panas menjalari seluruh wajahku. Oh Tuhan, apa maksudnya ini?! Aku masih tertegun hingga dia tersenyum dan membantuku berdiri. Situasi ini membuatku benar-benar salah tingkah. Aku tidak tahu harus bersikap apa padanya. Kupalingkan wajahku agar dia tidak melihat ekspresiku. “Terima kasih.” Kataku malu. Dia hanya tersenyum lagi pada jalanan yang kini mulai digenangi air hujan. Cukup lama kami berdiam diri hingga detik berikutnya hujan mulai berhenti. Aku meloncat keluar dan air memercik kemana-mana saat orang-orang mulai berlari meninggalkan pos satpam. Kulihat sisi sebelahku dan tidak kudapati Adit disana. “Mungkin sudah pergi.” Aku pun pergi meninggalkan kampusku menuju halte bus. Sepanjang jalan aku hanya bisa tersenyum dan berulang kali membayangkan kejadian itu. Tidak kusangka aku akan bertemu dengannya dalam situasi itu. Tuhan memang hebat! Dia bisa melakukan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin untukku. Tanpa terasa bus sudah berhenti di halte yang tidak jauh dari rumahku. Lagi-lagi hujan turun dan terpaksa aku harus berlari menuju rumahku. Untung saja lingkungan rumahku cukup sepi hingga aku bisa berlari sambil tertawa membayangkan kejadian itu. Air menetes jatuh dari tubuh dan pakaianku. Ah, kalau saja aku pulang lebih awal, aku tidak harus berhujan-hujan ria seperti ini. Aku masuk ke rumah lewat pintu dapur dan segera berlari menuju kamar mandi sambil menarik handuk yang disusun rapi. *** Esoknya aku pergi ke kampus dengan semangat. Bahkan kini aku merasa jauh lebih bersemangat. Dalam hati terbesit harapan bertemu dengannya. Andai saja kejadian kemarin terjadi lagi hari ini. Tapi sayang, jarum jam tidak akan kembali berputar. Sosok Adit terus hadir dalam pikiranku. Menghantui pikiranku hingga aku hanya bisa memikirkan dia! Aku jadi ingat film yang paling kusuka. Pangeran yang tampan. Huh, andai saja dia adalah pangeranku. Membayangkannya saja sudah membuatku senang. Tapi itu hanya impian! Ya! Hanya impian dan itu tidak akan terjadi padaku! Itu hanya dongeng! Aku mulai mengitari kampusku, mencari-cari sosoknya. Kurasa aku akan bertemu dengannya hari ini. Sedetik berlalu dan bola mataku mulai menangkap sosoknya dari kejauhan. Itu dia! Segera saja aku melangkah mendekat tapi seseorang menarikku menjauh. “Sedang apa kau?” gadis ini menarikku ke balik pohon yang ada di dekatku. Sejenak aku tidak bisa mengenalinya hingga akhirnya kusadari bahwa dia temanku. Dina! Gadis ini temanku. Kami berteman sudah lebih dari empat tahun karena itulah aku sangat mengenalnya. Hanya saja hari ini dia nampak sangat berbeda dari biasanya. “Kau mengganti gaya rambutmu?!” “Tentu saja. Nuansa baru dong. Ngomong-ngomong apa yang kau lakukan disini?! Kita ada kelas lima menit lagi!" "Aku sedang ...." "Apa pun yang akan kau lakukan aku harap kau bisa menunggu untuk melakukannya nanti karena saat ini kita harus cepat-cepat. Aku tidak mau terlambat dihari pertama kita!” Dina segera menarikku. Mataku masih saja mencari-cari sosok Adit yang tiba-tiba menghilang. Dia sudah pergi! Aku tidak bisa menemukannya sekarang Kami berdua melewati koridor-koridor sempit sambil berlari. Suasana kampus hari ini terasa lebih ramai dari pada hari-hari biasanya dan ini membuatku sedikit kesulitan untuk berlari. “Yuri! Dina!” teriak Zita pada kami. Kami melambaikan tangan ke arahnya. Zita ini temanku, dan gadis yang berdiri di sampingnya bernama Anka. Kami berempat adalah teman baik. Bahkan banyak yang mengatakan kalau kami seperti F4. Kurasa mereka benar. Kami memiliki karakter yang sama dengan karakter empat cowok tampan itu. Yah, hanya saja kami perempuan. Aku yang keras kepala dan kekanak-kanakan, Dina yang rajin dan lembut, dan Zita dan Anka yang atraktif membuat kami nampak seperti F4 sungguhan. Kami berempat selalu bersama karena itulah kami bisa saling menutupi kekurangan yang lainnya. Aku berdiri di samping mereka dan kulihat Zita mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Apa itu?” tanyaku tertarik. “Ini daftar nama pembimbing akademik kita. Hanya Anka dan Dina yang satu pembimbing dan kita berdua berbeda. Kurasa akan sedikit sulit menemui pembimbingmu.” Kata Zita padaku “Iya iya, aku tahu. Bapak Rozi Zakaria. Yah, dia memang salah satu dosen yang paling sulit ditemui setahuku.” “Permisi,” seseorang menegurku. Aku kaget dan spontan menepi. Aku baru sadar kalau sejak tadi aku berdiri di tengah-tengah koridor yang kini ramai. Tentu saja itu membuat orang lain kesulitan untuk lewat. Aku berusaha berdiri ke sisi lain dan saat aku menengadah, kulihat Adit yang menegurku. Jantungku seakan-akan mendapat perintah untuk memompah darahku agar lebih cepat dan seketika saja kurasakan detak jantung yang dua kali lebih cepat. Ini membuatku sesak. Anka segera menarikku agar aku lebih menepi. Ekspresiku terlihat aneh. Kaget bercampur senang itulah yang kini kurasakan. Adit sempat melihat ke arahku tapi dia hanya tersenyum simpul dan segera saja pergi meninggalkanku dan kekagetanku. “Astaga! Oh Tuhan! Dia melihatku lagi!” teriakku histeris. “Kau gila! Jangan berteriak disini!” Anka memukul pelan kepalaku. Tapi aku tidak peduli. Benar-benar tidak mau peduli! Aku senang! “Kau benar-benar sudah gila!” kata Dina sambil terus menertawakanku. Huh! Biar saja! Yang penting aku senang! “Apa kau serius menyukainya?” tuntut Zita padaku. “Tentu saja. Kenapa tidak? Dia tampan, baik, sopan, pintar, dia cemerlang!” “Bukankah Nadya juga menyukainya?” kata Anka sambil membuka lembar-lembar kertas ditangannya. “Nadya?” “Ya, Nadya anak kelas kita. Aku sering mendengarnya membicarakan tentang Adit pada Luna dan aku juga sering melihat wajahnya yang bersemu merah setiap kali Adit melewatinya. Jadi kurasa, lupakan saja! Kau punya banyak sekali saingan.” Anka kembali menjelaskan semuanya padaku. Hatiku mulai ciut tapi aku tidak mau menyerah. Tidak! Tentu saja tidak! “Aku akan berusaha!” Aku berteriak bersemangat dan ketiganya spontan menatapku kaget dan tertawa melihat ekspresiku. *** Dua “Tugas ini saya tunggu paling lambat minggu depan sudah ada di meja saya. Tidak ada alasan dan tidak ada keluhan apa pun. Mengerti!” kata-kata dosenku kali ini menandai bahwa jam kuliah telah selesai. Aku menutup buku-bukuku dan memasukkan semuanya ke dalam tas. “Kau mau pulang?” tanyaku pada Dina yang beranjak dari kursinya. “Andika menungguku di depan.” Katanya senang. Huh! Lagi-lagi aku ditinggal. Inilah susahnya jadi jomblowati! Tapi mau bilang apa lagi. “Bye.” katanya dan berlalu pergi. Aku melihat ke sisi lain dan ternyata Zita dan Anka sudah pergi dari tadi. Itu artinya aku harus ke kantin sendirian! Huh! Aku menyandangkan tasku lalu meninggalkan ruang kelas yang mulai sepi. Sudah kuduga, kantin pasti dipenuhi mahasiswa-mahasiswa yang sedang makan siang. Aku berjalan menuju salah satu warung kecil yang ada di sudut dan segera memesan teh hangat. Aku duduk di pojok kantin dan bola mataku menangkap sosok Adit yang tidak jauh dariku. Dia bersama seseorang. Aku mengawasi mereka berdua yang kini duduk makan bersama di salah satu sisi kantin. Aku memang cukup dekat dengan mereka hanya saja aku tetap tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Siapa sih gadis itu? Aku jadi penasaran. Mereka terlihat sangat akrab dan sesekali kulihat Adit tertawa dibuatnya. Kalau kulihat gadis itu terlihat biasa saja. Yah dia cukup manis memang, rambutnya lurus dan panjang dan kulitnya putih bersih. Senyumnya indah dan matanya juga cukup indah. Gadis ini terlihat sangat antusias dengan obrolan mereka dan ini semakin membuatku kesal dan penasaran! Berkali-kali kucoba mendengarkan pembicaraan mereka tapi tetap saja sia-sia. Situasi kantin yang ramai membuatku makin kesal karena tak tahu apa-apa sekarang. Aku masih terus menerus menatap keduanya dengan tatapan ingin tahu. Dudukku mulai gelisah setiap kali kulihat Adit tertawa bersama gadis itu. Rasanya aku mau berteriak pada gadis itu dan menyuruhnya pergi! Tapi aku tidak bisa! Apa lagi yang harus kulakukan agar aku bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan?! “Adit sangat menyukai Erika.” Meri tiba-tiba duduk disampingku. Dia menatap lurus pada sosok Adit dan gadis yang bernama Erika itu. “Mereka berteman sejak kecil jadi mereka sudah sangat dekat. Kau tahu mereka adalah pasangan yang serasi. Aku sih setuju saja mereka bersama. “Maksudmu apa?! Apa mereka sekarang pacaran?” kataku panik. “Tidak. Tentu saja tidak. Mereka hanya berteman. Tapi aku tidak menjamin ini akan berlangsung lama. Kurasa tidak lama lagi mereka akan bersama.” Aku menatap Meri kesal dan segera saja aku meninggalkannya. Aku tidak tahu apa maksudnya Meri mengatakan hal itu! Apa itu benar? Lagi pula bagaimana Meri tahu kalau aku sedang memperhatikan Adit? Meri memang teman sekelasku hanya saja kami tidak begitu akrab. Jadi bagaimana mungkin dia bisa tahu kalau aku menyukai Adit? Ini keterlaluan! *** Lagi-lagi kampusku mulai diguyur hujan lebat. Aku berlari-lari kecil sambil terus mencari-cari tempat berteduh terdekat. Kulihat box telepon di depanku dan segera saja kumasuki box itu. Box ini tidak begitu besar, setidaknya hanya cukup untuk dua orang. Tapi ini cukup baik jika dibandingkan aku harus hujan-hujanan lagi di luar sana. Aku berusaha membersihkan sedikit percikan lumpur di kakiku sambil terus mengeringkan pakaianku dengan handuk kecil yang sengaja ku masukkan ke ranselku. Hari ini sudah kuduga hujan akan turun lagi tapi bodohnya aku lupa memasukkan payungku. “Uh! Kotor semua!” aku masih mengomel sendiri hingga kulihat seseorang berlari-lari dalam hujan. Adit! Aku benar-benar kaget melihatnya. Kulihat dia mencari-cari tempat berteduh. Aku mencari-cari tempat berteduh lain di sekitarku tapi tidak ada! Hanya box kecil ini! Astaga apa yang harus aku lakukan? “Kemari!” teriakku spontan. Adit mendekat tapi hanya berdiri diluar box. Dia masih terus mencari-cari tempat lain untuk berteduh. Dasar bodoh! Tidak ada tempat lain! “Masuk saja!” teriakku berusaha menenggelamkan suara hujan yang semakin deras. “Tidak apa!” teriaknya, “Aku akan mencari tempat lain!” “Masuk saja! Tidak ada tempat lain!” teriakku lagi. Adit terlihat berpikir, “Tapi disana sempit sekali.” Teriaknya. “Tidak apa, ayo masuk!” kataku. Adit membuka pintu box dan mata kami bertemu. Astaga! Dia melihat ke mataku! Aku sedikit bergeser agar dia bisa masuk. Jantungku berdetak lebih cepat untuk kesekian kalinya. Oh Tuhan! Kenapa ini? Aku berusaha tidak melihatnya. Kualihkan tatapanku keluar. Wajahku mulai merah! Itu sudah jelas. Kurasakan Adit sedikit bergerak dari posisinya berdiri. Ternyata dia mengeringkan pakaian dan jaket kulitnya. Kami hanya berdiri bersebelahan. Sama-sama diam dan hanya memperhatikan rintikan hujan di luar. Suasana yang menegangkan untukku. Suasana terus hening hingga hal memalukan itu terjadi. “Hachiiim!” Upz ... bodoh! Kenapa aku malah bersin di saat-saat ini! Adit melihat ke arahku dan tertawa. “Kau kedinginan!” dia melepas jaket kulitnya lalu memakaikannya padaku tapi aku menghindar dan BRUK! Aku terpeleset dan menabrak kakinya. Kami berdua terjatuh bersamaan. “Aduh!” kata kami bersamaan. Tanpa sengaja mata kami bertemu. Jantungku berdetak lebih cepat lagi. “Maaf,” Adit segera saja berdiri dan membantuku untuk berdiri. Dia kembali memakaikan jaket itu padaku tapi kini aku hanya diam saja. Kejadian ini benar-benar memalukan! Apa katanya ya! Dia pasti berpikir macam-macam! Haduh malunya! “Kau baik-baik saja?” katanya sedikit canggung padaku. Aku hanya tersenyum dan pura-pura tidak melihat ke arahnya. “Ngomong-ngomong, beberapa hari ini hujan terus turun yah.” katanya berusaha mencairkan suasana yang kini benar-benar semakin dingin. “Ya, kau benar.” Kataku malu. “Dan kita selalu bertemu saat hujan turun.” Katanya lagi. Oh no! ternyata dia mengingatku! “Jadi kau mengingat kejadian itu?” kataku malu. Astaga dia ingat saat aku hampir jatuh di sampingnya. “Harusnya kau melupakan hal itu. Itu benar-benar memalukan!” Dia hanya tertawa kecil melihatku sedikit malu dengan kejadian itu. Mata kami lagi-lagi bertemu dan segera kualihkan perhatianku pada rintikan hujan yang mulai mereda. “Syukurlah, akhirnya hujan mulai reda. Aku harus pergi sekarang. Kami akan rapat dan semua file yang dibutuhkan ada di tanganku. Aku harus pergi sekarang, atau kalau tidak mereka akan menghajarku.” Dia berbicara sambil bergurau dan itu membuatku sedikit tertawa. Saat kakinya melangkah keluar aku menarik tangannya. “Jaketmu.” “Kau pakai saja.” “Akan kukembalikan nanti.” kataku sambil tersenyum padanya. Adit mulai melangkah menjauhi box ini dan baru saja aku beranjak pergi Adit berteriak memanggilku. “Hei, siapa namamu?” teriaknya. Aku tertawa dan karena jarak kami cukup jauh aku harus berteriak padanya. “Yuri! Aku Yuri!” teriakku sambil melambaikan tangan padanya. Dan segera saja dia melambaikan tangannya padaku. Pelan-pelan kami semakin jauh hingga tidak kulihat lagi dirinya. Rasanya aku ingin berteriak. Aku melompat seenaknya dan “Aw!” teriakkku. Hak sepatuku patah. Hahaha ini karena aku terlalu senang. Apa yang harus kulakukan sekarang? Kulihat sekitarku dan mau tidak mau aku harus berjalan tanpa sepatu. Kulewati jalanan yang sepi ini dan menghentikan taksi di depanku. *** Tiga Pemakaman itu gelap, dan banyak pelayat yang mengitari sebuah pusara. Terdengar banyak isak tangis pelayat yang mulai meninggalkan pusara itu. Kurasakan hawa dingin di sekitarku. Pemakaman ini semakin lama semakin gelap. Bisa kulihat bahwa matahari menghilang seakan-akan di makan oleh langit yang kini gelap. Akhirnya perlahan-lahan pelayat mulai pergi hingga akhirnya kulihat seseorang yang bersandar pada nisan yang ada di sampingnya. Dia terus menangis disana. Aku bisa mendengar isakannya dan aku bisa merasakan rasa sedihnya. Entahlah, aku tidak tahu siapa dia, hanya saja seakan-akan aku mengenalnya. Aku berusaha mendekat hanya saja aku tidak bisa bergerak. Sedikit demi sedikit penglihatanku mengabur dan akhirnya semua gelap. Aku tidak bisa lagi mendengar isak tangisnya. Yang kudengar hanya suara-suara yang memanggilku. “Yuri! Kau kenapa!” teriak Zita padaku. Aku membuka mataku dan kudapati ketiga sahabatku yang duduk mengelilingiku. Pandangan mereka terlihat aneh. Ada raut cemas di wajah mereka tapi aku hanya bisa diam. Kepalaku sedikit pusing dan mataku masih berkunang-kunang. “Ada apa? Tanyaku bingung. “Harusnya kami yang bilang begitu! Kau kenapa?” Tanya Anka. “Aku? Aku tidak apa-apa, dimana dosen kita? Tanyaku sambil mencari-cari sosok dosenku. “Kau gila! Kelas sudah selesai lima belas menit yang lalu. Semua orang sudah pergi. Kami berusaha membangunkanmu tapi kau diam saja.” Zita nampak kesal. “Aku ...” aku masih tidak menjawab. Aku bingung. Apa yang terjadi padaku? “Kau mimpi buruk?” Tanya Anka. “Entahlah sepertinya aku melihat makam seseorang.” Kataku sambil terus mengusap-usap mataku. “Oh sudahlah! Apa yang sedang kau pikirkan! Bagaimana pula kau bisa tidur di kelas!” kata Dina marah. “Tapi aku benar-benar melihat makam seseorang, dan aku melihat seseorang disana!” kataku meyakinkan mereka. Mereka bertiga menatapku bingung. “Kau sudah gila!” kata Dina mulai kesal. “Itu hanya mimpi jadi lupakan!” kata Anka tenang. Mimpi? Apa itu benar-benar hanya mimpi? Aku tidak yakin itu hanya mimpi. Aku melihatnya. Dan itu benar-benar nampak nyata! Aku masih terus berpikir hingga kusadari ketiga sahabatku itu sudah meninggalkanku sendiri di kelas. Aku berjalan lunglai meninggalkan kelasku. Rasa kantuk masih sedikit menyelimutiku. Apa lagi rasa penasaranku atas mimpi yang baru saja kulihat. Sebenarnya siapa sih dia? Aku heran kenapa aku bisa melihat seseorang yang tidak jelas siapa orangnya. Sambil terus mengomel dalam hati aku melangkah ke ruang BEM untuk mengembalikan jaket milik Adit. Aku mendapati Adit saat dia baru saja akan memasuki ruangan itu namun dia menghentikan langkahnya saat melihatku. “Hai,” kataku. “Hai.” “Terima kasih atas jaketnya,” kataku sambil memberikan jaket itu padanya. Adit mengambilnya dan tersenyum padaku. “Kau tidak terkena flu bukan?” tanyanya. “Tidak, aku baik-baik saja. Itu karena jaketmu, terima kasih ya. Kau sendiri? Kau terlihat pucat?” “Benarkah? Aku hanya sedikit lelah,” katanya sambil terus memperhatikanku. Aku jadi salah tingkah sendiri. Kulihat anak-anak di ruang BEM ini terus memperhatikan kami berdua. Ini membuatku semakin tidak nyaman. “Mmm, baiklah kalau gitu aku, aku pergi dulu ya. Sekali lagi terima kasih jaketnya.” “Sampai ketemu lagi kalau begitu,” katanya sambil tersenyum. Aku membalasnya dan melangkah pergi meninggalkan ruang BEM yang kini ramai. Banyak mata yang menatapku galak. Sudah kutebak ini akan terjadi. Aku melangkah menuju kelasku. Aku merasa hari ini benar-benar bahagia. Aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku. Senyumku terus merekah dan aku tidak bisa menghentikan alunan musik cinta yang berkelebat di benakku. Tidak terasa aku sudah duduk di kelasku dengan buku-buku yang bertumpuk di depanku. Ketiga sahabatku terus menatapku karena lagi-lagi aku melamun sendiri sambil tersenyum-senyum. Mereka beranggapan kalau kini aku benar-benar gila! Aku tidak peduli yang penting hari ini aku senang! “Kau masih memikirkannya?” tanya Zita tidak kuasa menahan kesal melihat tingkahku. Aku diam saja dan terus tersenyum dan terkadang aku menyanyi dengan pelan. Oh indahnya dunia! “Dia benar-benar sudah dibuat gila!” kata Anka jengkel. “Hey! Kalian harusnya senang!” kataku protes. “Sudahlah kita tinggalkan saja dia,” Dina beranjak dari kursinya dan keduanya ikut-ikutan lagi! “Hey! Mau kemana kalian!” teriakku saat mereka bertiga meninggalkanku. Aku berlari mengejar mereka. “Ku kira kau akan menghabiskan harimu dengan tersenyum seperti orang gila seharian,” kata Zita yang berjalan paling depan. “Jangan bodoh! Kau kira aku benar-benar gila! Ngomong-ngomong bukankah kita ada kelas siang ini?” “Dosennya tidak akan datang. Ketua mengirimiku sms kalau mata kuliah siang ini di tiadakan,” kata Zita lagi. “Yah, padahal aku benar-benar ingin belajar hari ini,” bohongku. Ketiga sahabatku langsung memukulku sambil tertawa. “Sejak kapan kau perduli dengan pelajaran?!” kata Dina sambil tertawa. Aku hanya cemberut dan tertawa lagi. Kami menuju parkiran mobil yang tidak jauh dari gedung fakultasku. Saat Dina membukakan mobilnya untuk kami kulihat Adit berjalan ke arahku. “Hai,” katanya. “Hai,” sapaku malu. Ketiga sahabatku terkejut dan kulihat ekspresi mereka yang menahan tawa. “Ada apa?” tanyaku bodoh. “Tidak, aku hanya ingin menyapamu.” “Oh, ya.” Wajahku pasti benar-benar merah sekarang. “Okelah, kalau begitu aku pergi dulu. Selamat tinggal Yuri.” dia tersenyum dan pergi. Jantungku terus berdetak lebih cepat dan aku benar-benar mau pingsan sekarang. Zita tertawa keras sekali. Dan aku memaksa mereka segera masuk ke mobil. Aku malu! Benar-benar malu! Tapi aku senang. Mobil pun melaju pergi meninggalkan kawasan kampusku, menuju jalan raya yang pastinya padat oleh kendaraan bermotor lainnya. Sepanjang jalan aku hanya tersenyum simpul tiap kali kuingat kejadian belakangan ini. Aku tidak menyangka ini benar-benar terjadi padaku. Oh Tuhan kau baik sekali. Bermenit-menit berlalu tanpa terasa hingga kami berhenti di tempat tujuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah mini market yang ada di daerah perumahan elit yang tidak begitu jauh dari kampusku. Mini market ini sebenarnya tidak bisa dikatakan mini karena ukurannya yang cukup besar dan semua yang kau butuhkan tersedia disini. Setelah memarkirkan mobil kami berlari menuju mini market sambil mengambil troli yang ada di depan kasir. Aku mengambil satu troli dan yang lain hanya membuntuti. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan tapi aku tidak peduli. Belum sempat aku menyuruh mereka menjauh dariku ketiganya sudah pergi dan aku tidak bisa menemukan mereka di sekitarku. Kulupakan saja mereka toh mereka tidak akan hilang. Lalu aku menyusuri stan-stan yang menawarkan beberapa produk kecantikan tapi tujuanku bukan ini. Segera saja kutinggalkan lorong ini dan berjalan cepat menuju bagian makanan ringan yang berada di sisi kanan koridor. Aku mengambil beberapa keripik favoritku dan beberapa bungkus permen untuk adik-adikku dan saat aku mengambil sekotak coklat Zita dan Anka memasukkan semua belanjaan mereka di troliku! Astaga apa yang mereka lakukan! Mereka mengambil berbungkus-bungkus biskuit, snack, coklat, kue-kue dan banyak lagi. Aku hanya bisa menatap mereka takjub saat keduanya menyeringai padaku. Kurasa semua yang kubutuhkan sudah kumasukkan dan saat aku bergegas menuju kasir Dina memasukkan paling tidak tujuh botol minuman di troliku. Astaga apa maksud mereka menitipkan semua belanjaan mereka padaku! Si penjaga kasir tertawa melihat aksi teman-temanku ini. Seakan-akan dia benar-benar senang karena ini artinya kami membeli banyak barang hari ini. Tentu saja si penjaga kasir bersikap sangat ramah pada kami. Dan saat aku memisahkan belanjaan kami masing-masing Dina menyatukannya kembali. Aku menoleh padanya dan dia hanya tersenyum padaku. “Apa maksudnya ini?” kataku kaget. “Kau yang harus bayar!” kata Dina padaku. Dan yang lain hanya mengangguk. “Yang benar saja! Kalian mengambil seenaknya aku yang bayar?!” kataku protes. “Kau kan lagi senang! Apa salahnya sekali-sekali berbuat baik pada teman-temanmu yang cantik ini,” kata Zita genit. “Astaga, kalian ya!” dengan berat hati kubayar semua belanjaan mereka dan si penjaga kasir tertawa. “Lho mbak kenapa tertawa!” kataku kesal. “Hahaha tidak mbak, saya cuma geli melihat tingkah teman-teman mbak.” Katanya sambil terus berusaha berhenti tertawa. Aku hanya cemberut melihat mereka semua. Huh lama-lama bangkrut juga nih! Setelah membayar semuanya aku dan ketiga temanku yang benar-benar membuatku kesal ini kembali ke mobil yang terparkir. Dina membuka mobilnya dan kami memasukan belanjaan kami di bagasi belakang setelah itu masuk ke tempat duduk penumpang lalu melesat pergi. Lagi-lagi kami terjebak macet dan ini benar-benar membuatku bosan! Saking bosannya aku tertidur di kursi belakang. Dalam tidurku lagi-lagi kulihat bayangan itu. Tempat ini terlihat semakin tidak asing. Pemakaman ini pernah ada dalam mimpiku dan entahlah hanya saja aku tak lagi terkejut melihat ini. Kudapati lagi laki-laki yang duduk di depan pusara itu. Kulihat dia laki-laki yang sama, hanya saja pandanganku tidak sejelas sebelumnya. Pemakaman ini masih gelap karena matahari tak nampak menyinari pusara. Ini membuatku kesulitan melihat wajah laki-laki itu hanya saja aku bisa mendengar isakannya. Kucoba untuk semakin dekat tapi sesuatu membuatku tidak bisa mendekat. Aku terus berusaha mendekat agar aku bisa melihat pusara siapa yang ada di depanku tapi tetap tak bisa dan kini aku seperti tertarik ke suatu tempat yang gelap dan aku tak bisa melihat apa pun. Dan kudengar banyak teriakan yang mengahantui kemanapun kaki ku melangkah hingga akhirnya aku tersentak dan bangun dari tidurku. “Kau kenapa?” tanya Zita kaget. Dia duduk di sampingku dan dia membantuku menyeka keringat yang mengalir di wajahku. Ekspresiku ketakutan dan aku hampir menangis. Spontan aku memeluk Zita dan mencoba menenangkan diri di pelukannya. “Aku melihatnya lagi,” kataku panik. “Tenang kau harus tenang,” kata Dina menenangkan. “Tapi ini nyata! Aku bisa melihatnya! Dia ... orang yang itu lagi! Aku takut!” “Sepertinya kau lelah, kami akan mengantarmu pulang lebih dulu,” kata Dina. “Aku ... aku bukannya lelah! Ini benar!” kataku jengkel. Dina kembali ke kursinya dan segera memacu mobil kearah rumahku. Aku kesal pada mereka! Mereka tidak percaya dengan semua yang kulihat! Setibanya dirumah aku membanting pintu kamarku dan terbaring lemas di kasurku. Kenapa! Apa ini! Apa maksud mimpi ini! Dan siapa orang itu! *** With All My Heart Semalam mimpi itu lagi-lagi menghantuiku. Aku kesal dan kuceritakan semuanya pada mereka bertiga sekarang. Ketiganya mulai kesal dengan semua ceritaku. Mereka tidak percaya dan aku benar-benar kesal! “Bagaimana mungkin kau mengira mimpi-mimpimu itu benar-benar nyata! Jangan bodoh! Itu hanya mimpi! Bagaimana bisa kau menyangka itu sungguhan!” kata Anka mengambil alih kata-kata yang harusnya di katakan Dina yang semakin kesal dengan sikapku. Aku hanya diam dan memikirkan cara agar ketiga sahabatku ini percaya padaku! Aku kesal dan kutinggalkan ketiganya begitu saja. Aku berlari meninggalkan taman yang tidak jauh dari kampusku menuju koridor-koridor yang kini dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi yang sibuk dengan kesibukannya. Aku terus berlari hingga aku akhirnya masuk ke kelas yang kutuju. Hari ini akan ada kelasnya Ms. Fikha dan sudah seharusnya aku datang lebih awal. Aku mengambil kursi bagian depan. Aku mengantuk! Entahlah sejak mimpi-mimpi itu datang aku benar-benar tidak bisa tidur dengan tenang. Kesehatanku menurun dan tubuhku mulai lemah. Aku sering merasa pusing dan hampir pingsan. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku tapi aku benar-benar kesal karena mimpi itu menghantuiku setiap hari! “Matamu sudah seperti panda!” kata Roman padaku. Aku kaget saat dia tiba-tiba duduk di hadapanku. Dia salah satu laki-laki yang cukup dekat denganku. Kami berteman akrab dan dia sangat baik padaku. Dia humoris dan selalu saja membuatku tertawa. Kami juga sering bertukar cerita tentang banyak hal, karena itu tidak heran kalau dia merasa ada hal aneh yang terjadi padaku beberapa hari terakhir. “Dan kenapa kau makin kurus!” dia terus memandangiku dari atas ke bawah dan terus tertawa tiap kali menyadari hal-hal yang terjadi padaku. “Dasar bodoh!” kataku padanya sambil memukulkan penaku ke kepalanya. “Aduh! Kau ini kenapa!?!” Roman memandangku kesal dan lagi-lagi tertawa. “Jadi benar kau memikirkan mimpi-mimpimu itu?!” katanya lagi. “Bagaimana kau tahu?!” kataku kesal! Bukankah aku belum menceritakan hal ini padanya. “Ketiga temanmu itu yang cerita. Kenapa kau tidak bicara padaku?! Dasar bodoh! Kau tahu itu hanya mimpi! Jadi jangan kau pikirkan!” katanya tegas. “Kalian semua bisa bilang begitu karena kalian tidak melihatnya! Ini nyata! Aku yakin!” kataku benar-benar kesal. Aku menyandangkan tasku dan kutinggalkan dia. Aku kesal! Bagaimana mungkin tidak ada satu pun yang percaya padaku. Aku pergi begitu saja tanpa tahu kemana aku akan pergi. Kedua kakiku terus berjalan menyusuri koridor-koridor hingga keduanya membawaku menuju kantin yang cukup sepi sekarang. Aku duduk di samping kantin dan tiba-tiba dia mengejutkanku. “Sendirian nih?” Adit duduk di sebelahku dan tersenyum padaku. Jantungku mulai bergetar hanya saja kali ini aku tidak begitu terkejut melihatnya. Mungkin karena sudah mulai terbiasa. “Kau sedang apa?” kataku santai. “Aku lapar. Kurasa aku akan menemanimu makan.” Katanya lagi. Aku hanya tertawa dan kami memesan dua nasi goreng dan dua jus jeruk. Kedua pesanan kami segera datang dan tidak lama jus jeruk pun datang. Kuminum jus itu banyak-banyak agar aku bisa sedikit lebih tenang. Adit terus menerus menatapku dan itu benar-benar membuatku salah tingkah. “Kau lucu,” katanya saat melihat ekspresiku. “Maksudnya? Memangnya aku badut apa?” kataku sambil tertawa. “Tentu tidak. Maksudku, yah aku merasa kau lucu. Aku terus tertawa setiap kali bertemu dengamu.” Dia masih melihat ke arahku dan aku makin salah tingkah. “Kurasa dia beruntung karena bisa mendapatkanmu.” Kata-katanya membuatku bingung. Apa maksudnya? Melihat ekspresiku dia mulai mengalihkan pandangannya dariku. “Maksudmu?” “Ya pacarmu, dia laki-laki yang beruntung. Ngomong-ngomong soal itu, siapa laki-laki yang beruntung itu?” “Ha? Tidak, maksudku tidak ada,” kataku kaget. “Oh ya?” katanya kaget. “Tapi kau kan?” “Sudahlah,” kataku malu, “Kau sendiri siapa gadis itu?” kataku pelan. Adit tertawa dan kini dia kembali fokus pada makanannya. “Entahlah, belum kutemukan.” Dia kembali menyuapkan makanannya dan aku hampir tidak bisa menahan senyumku! Aku senang! Akhirnya suapan terakhir kami habiskan dalam diam. Saat aku akan pergi dia menahanku. Kulihat dia merogoh tasnya dan memberikan sesuatu padaku. “Ini tiket pertandingan basket hari minggu ini. Aku akan main, kuharap kau datang.” “Tentu, aku pasti datang” kataku senang. Dia tersenyum dan menyandangkan kembali tasnya. “Aku harus pergi, ada kelas lima menit lagi. Sampai jumpa nanti kalau begitu.” “Sampai jumpa,” kataku sambil terus menatap punggungnya yang kini menjauh dariku. Aku ingin berteriak namun itu tidak mungkin! Aku benar-benar senang! Dia mengundangku! Dia ingin aku hadir! Aku meninggalkan kantin dan berlari menuju kelas untuk masuk pelajarannya Ms.Fikha. Aku tahu aku sudah terlambat tapi aku tetap harus hadir. Kulihat Ms. Fikha sedang menjelaskan topik yang dibahas hari ini dan mau tidak mau aku harus masuk diam-diam. Kulihat Zita melihat ke arahku. “Masuk saja,” katanya pelan. Aku memberikan kode padanya bahwa aku tidak berani. “Dasar bodoh!” kata Roman tiba-tiba. Ms. Fikha menoleh padanya dan aku tahu ini benar-benar masalah buatku. “Siapa yang bodoh, Roman?” kata Ms.Fikha tersinggung. “Maaf, Miss. Maksudku ada mahasiswi yang kini berdiri di luar dan tidak berani masuk ke kelas.” Roman melihatku dan Miss. Fikha mengalihkan pandangannya dari Roman padaku. Aku hanya tersenyum malu padanya. Aku masuk perlahan dan mau tidak mau harus minta izin untuk bergabung dengan yang lainnya. “Maaf miss, tadi saya ... " “Sudahlah, sekarang duduk di tempatmu.” Aku tersenyum manis padanya dan duduk di kursi yang tidak jauh dari dosen favoritku ini. Aku mengeluarkan bukuku dan sejenak kupandangi Roman yang melihat ke arahku. “Awas kau yah!” kataku kesal. Dia terlihat tak peduli dan kami kembali fokus pada topik yang kini sedang dibahas. *** “Kau pasti akan datang ke pertandingan itu.” Kata Anka saat kuceritakan semua yang terjadi siang ini. Alasan itulah yang membuatku terlambat masuk kelas hari ini. “Tentu saja. Kau tahu dia benar-benar mengundangku untuk datang! Dia pasti ingin aku mendukungnya di lapangan! Ah ... rasanya aku ingin berteriak saat itu!” “Di depannya maksudmu? Dasar gila! Kau benar-benar dibuat gila olehnya!” Zita tertawa sambil terus melihat ekspresiku yang berbinar-binar. “Mau kutemani?” kata Dina menawarkan diri. “Tentu saja! Kalian semua harus ikut aku! Aku tidak mau pergi sendiri!” kataku sambil menatap ketiganya. “Aku tidak bisa,” Zita mengalihkan pandangannya dariku. “Aku ingin menyelesaikan masalahku dengan Erwin besok. Kami sudah membuat janji.” “Erwin?” tanyaku tak percaya. “Kau masih berhubungan dengannya?” “Ya, dia datang ke rumahku semalam. Masalah kami harus segera diselesaikan.” Zita masih terus menerawang jauh keluar jendela. Ah~ Ya! Aku baru ingat, Erwin tiba-tiba menghilang berbulan-bulan lalu dan sekarang dia kembali! Apa sih mau nya! Aku benar-benar kesal tiap kali mengingat wajah laki-laki itu! “Jadi kau tidak bisa ikut denganku?” tanyaku kecewa. “Maaf.” “Tidak apa, kau harus menyelesaikan masalahmu secepatnya atau aku akan menghajar Erwin untukmu!” kataku kesal. Pukul dua belas tepat kami meninggalkan ruang kelas dan berjalan menuju taman kampusku. Taman ini tidak seramai biasanya. Matahari pun tidak terlihat. Kurasa tidak lama lagi akan turun hujan. Dina duduk di salah satu kursi kosong dan kami menyusulnya. Aku mengeluarkan novel favoritku dan mulai membaca isi novel itu. Dina mengambil handphonenya dan Zita memaksanya untuk memfoto diriku yang kini asyik dengan novelku. Mereka berteriak-teriak memaksaku dan itu membuatku kesal. “Tolong berhenti seperti anak kecil!” kataku kesal. “Yuri! Aku hanya ingin mengambil fotomu untuk seseorang.” Kata Zita. “Sudah kubilang aku tidak mau! Kalian ini kenapa sih! Lagi pula mau kau berikan ke siapa fotoku?!” kataku kesal. “Sudah pasti kami berikan ke ...” belum sempat Zita menjawabnya Dina berusaha mendekapnya hingga keduanya kini diam. “Sudahlah, tolong jangan lakukan itu lagi. Aku tidak suka.” Aku berusaha kembali fokus pada bacaanku dan keduanya kembali berfoto-foto ria. Anka terlihat tidak peduli dengan kami. Dia asyik memainkan tabletnya. Angin sepoi-sepoi mengalun lembut. Rileks, itulah yang kini mulai kurasakan. “Kau sedang apa?” kata Adit tiba-tiba duduk di sampingku. Aku kaget setengah mati, bahkan aku hampir memukulnya. Dia tertawa melihat ekspresiku dan menatap novel yang kini kubaca. “Kau juga suka baca ini?” katanya sambil tertawa. “Tentu saja, ini buku yang paling kusuka.” Kataku riang. Dia tertawa dan kini menatapku lembut. “Besok jangan lupa datang! Aku akan tahu kalau kau tidak datang! Ok!” “Aku pasti datang.” Kataku sambil tersenyum. “Oke, kalau begitu aku tunggu. Sampai jumpa besok.” katanya sambil beranjak meninggalkanku. “Hahahaha ...” ketiga sahabatku tertawa melihat ekspresiku. “Apa sih?” kataku malu. “Ternyata, Yuri kita berhasil!” Dina tertawa keras. Aku hanya diam saja mendengar ledekan mereka dan aku mulai tersenyum saat membayangkan kejadian besok. Rasanya aku sudah benar-benar tidak sabar. *** Peluit mulai ditiup oleh wasit. Pertandingan pun dimulai dengan lemparan bola basket yang kini melambung tinggi. Rombongan suporter mulai berteriak histeris dan terus menyerukan nama-nama pemain andalan mereka. Bisa kudengar banyak yang meneriakkan nama Adit. Dan mataku tertuju pada Nadya yang berdiri di barisan paling depan. “Astaga Nadya?!” Kataku kaget! “Aku dengar dia memaksa Luna untuk ikut dengannya.” Kata Anka melihat Luna yang sama sekali tidak ambil pusing dengan pertandingan yang berlangsung. Jantungku berdebar keras saat kusadari betapa banyak orang yang menyukainya. Oh Tuhan kuharap aku bisa tidak memperdulikan hal ini! Adit yang bernomor punggung 03 berlari kesana kemari berusaha mengatasi serangan lawan. Poin pertama akhirnya dicetak oleh Adit dengan tembakan three point. Sontak saja para supporter berteriak histeris. “Adit! Semangat!” teriakku. Entah ini hanya perasaanku atau ini nyata, hanya saja aku merasa Adit melihat ke arahku. “Ayo! Bawa terus bolanya!” seru Anka sambil menirukan gaya Arga yang kini mendrible bola ke arah ring lawan. Suasana semakin tegang saat Arga berusaha mencetak angka. Dan ... Yak! Tembakan bagus itu membuat suasana stadion semakin panas. Teriakan dimana-mana membuat semua semakin bersemangat. Tidak lama dari tembakan bagus dari Arga membuat para pemain semakin gesit dan point-ponit pun dengan mudah didapatkan. Tidak terasa permainan untuk babak pertama telah berakhir dengan skor 23-10. Semua pemain menepi dan kulihat Adit berlari menuju Erika yang berdiri menunggunya. Kulihat dia memberikan sebotol minuman dan handuk padanya. Jantungku lagi-lagi terasa sesak. Apa ini?! Kenapa dia?! Belum sempat aku bicara pada Dina yang ternyata juga memperhatikan hal itu wasit kembali meniupkan peluitnya. Permainan pada babak kedua dimulai sepertinya ada penggantian pemain di tim lawan. Lemparan bola terlihat lebih sempurna sekarang. Bastian mendrible bola ke arah ring dan Yak! Tembakan itu membuat skor menjadi semakin jauh dengan tim lawan. Kulihat tim lawan sudah mulai gerah dengan semua ini dan saat Adit berusaha mencetak angka seseorang dengan sengaja menabraknya hingga jatuh. Tubuhnya terhempas saat akan melakukan slam dunk! Adit terlihat meringis tapi dia berusaha bangun dan si pembuat masalah dikenai hukuman pelanggaran. Para supporter tim lawan berteriak memprotes. Kami pun tidak kalah memprotes sambil menunjuk-nunjuk pemain itu. Dalam dengungan suara-suara itu aku mulai cemas. “Apa dia akan baik-baik saja?” tanyaku pada Dina. “Kurasa tidak.” Dina terlihat cukup khawatir. Aku kembali memperhatikan Adit yang kembali bermain tapi ada yang berbeda. Dia tidak segesit sebelumnya. Sesekali kulihat dia meringis sambil memegang tubuhnya. Kurasa dia benar-benar kesakitan. Cukup lama pertanding berlangsung dan selama itu pula mataku tidak berhenti mencari-cari sosoknya. Pertandingan ini lama-lama membuatklu semakin kesal karena banyak orang tidak bisa berhenti meneriakkan nama Adit di depanku! Peluit akhirnya terdengar lagi, dan ini artinya pertandingan babak kedua telah berakhir. Hasil akhir 31-20 yang artinya tim kami menang dengan skor sedikit lebih unggul dari tim lawan. Para supporter berteriak histeris merayakan kemenangan ini. Aku juga ingin berteriak tapi pikiranku masih terus mengkhawatirkan Adit yang kini sudah kembali ke ruang ganti. Aku menarik Anka dan Dina keluar dari rombongan supporter dan berlari menuju ruang ganti. Kulihat banyak anggota pers mahasiswa yang berdiri disana dan berusaha mendapatkan informasi berdasarkan pertandingan yang baru saja berlangsung. Aku menarik Anka lebih dulu di depanku dan Dina menahanku. “Kenapa kita tidak tunggu mereka di luar?” “Aku harus ketemu dia. Aku khawatir! Aku harus melihatnya sekarang juga!” Aku menarik tangannya untuk terus mengikutiku. Dan saat kami berdiri tidak jauh dari ruang ganti itu kulihat beberapa pemain keluar dari ruang ganti. Mereka masih mengenakan seragam basket mereka dan semua terlihat senang. Mana Adit? Pikirku. Aku melewati beberapa pemain dan tanpa sengaja kudengar mereka berbisik-bisik. “Jadi manager benar-benar akan mengatakannya?” tanya salah satu di antara mereka. “Kurasa begitulah. Kalau tidak bagaimana mungkin kita semua diusir dari ruangan! Mereka pasti ..." Belum sempat aku mendengar semuanya jantungku sudah berdetak cepat lagi. Kini aku berdiri di depan ruang ganti yang kini terbuka. Kulihat Adit berdiri di hadapan Erika yang memandangnya serius. Sesuatu membuatku tidak berani melangkah. Aku mulai mendengar percakapan mereka dan Dina berdiri disampingku sambil memegang erat tanganku. “Aku menyukaimu ...” kata-kata itu meluncur dari Erika yang terus menatap Adit. Jantungku seakan berhenti. Mataku terbelalak. Aku terpaku mendengar kata-kata itu. Kulihat Adit sama sepertiku. Aku ingin masuk dan menghalangi apa pun yang akan terjadi setelah ini tapi hatiku kelu. Tubuhku seakan-akan membeku. Kulihat Adit mulai bergerak dari posisinya dan dia memeluk Erika dengan lembut. Adegan itu membuat tubuhku terasa terhempas kedalam jurang yang tidak bertepi. Air mataku mengalir dan aku tidak akan kuat untuk mendengar semuanya. “Aku juga menyukaimu,” kata-kata Adit membuat nafasku tercekat. Semua ini ...,apa ini? Apa maksudnya? Dina berusaha menguatkanku dengan terus menggenggam erat tanganku. Aku melepaskan pegangannya dan berlari meninggalkan tempat itu dengan cepat Anka dan Dina menyusul di belakangku. Mereka berteriak memanggilku tapi aku tidak peduli! Aku tidak mau mereka melihatku seperti ini! Kakiku terus membawaku menjauhi stadion dan baru kusadari air hujan yang kini mengguyurku. Aku tidak sadar kalau sejak tadi aku berlari di bawah hantaman hujan. Kakiku terus membawaku berlari hingga kulihat tepi danau yang ada di depanku. Aku terduduk disana. Sakit! Benar-benar sakit! Semua kenanganku dengannya berkelebat dalam pikiranku. Aku benci! Aku benci semua itu! Semua sikapnya padaku. Senyumnya! Semua itu bohong! Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh! Aku terus menangis hingga Anka dan Dina memelukku. Mereka berusaha menenangkanku dan terus memelukku di bawah hantaman hujan yang membuat hatiku semakin sakit! Aku tidak mau mendengar apa pun! Aku tidak mau mengingat apa pun tentangnya! Aku benci dia! Air mataku menyatu dengan rintikan hujan yang membasahi wajahku. Guyuran hujan ini seakan-akan menghujamku. Melunturkan semua harapanku. Semua ini berakhir begitu saja. *** With All My Heart bab 5 “Mika,” pria ini langsung memelukku dengan erat. Aku terkejut, dan berusaha meronta namun dia memelukku terlalu erat hingga aku hampir tidak bisa bernafas. Aku berteriak namun tidak ada yang membantuku. Orang-orang yang melintas hanya melihat ke arah kami berdua. Kenapa tidak ada yang mau menolongku!“Yuri!” teriak Roman yang pertama kali melihatku. Dia menarikku dari pria gila yang tiba-tiba memelukku. Roman menghajarnya dan pria itu tumbang hanya dalam sekali pukulan. Aku menutup mataku! Aku takut melihat apa yang terjadi. Roman terus memukulnya hingga aku berteriak menghentikannya.“Roman! Hentikan!” kataku.Roman masih terus memukulnya dengan keras dan kulihat pria itu sama sekali tidak mengelak dan tidak membalas serangan itu. Aku melerai mereka tapi tetap tidak berhasil. Sampai Anka menarik Roman.”Apa yang kau lakukan?” kata Anka marah.“Dia! Kau tanya sendiri saja!” kata Roman marah. Dia melepaskan pegangan Anka di lengannya dan pergi meninggalkanku yang masih ketakutan. “Kau siapa?” kataku pada pria yang kini berdiri lemas di depanku. “Mika ..." dia terus memanggilku Mika dengan tatapan kerinduan. Aku bingung siapa yang maksudkannya?“Maaf, anda salah orang. Aku bukan Mika,” kataku meyakinkannya. Pria itu terlihat tidak peduli dengan kata-kataku dan dia mendekat ke arahku. Aku menjauh dan Dina memegangiku.“Apa maumu?” Dina menatap galak ke arahnya namun pria itu tidak menggubrisnya. Dia terus melangkah ke arahku dan terus menerus memanggilku dengan nama Mika. “Mika, aku tahu itu kau. Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku. Berhentilah bermain-main. Aku mengaku kalah.” Kata-kata pria ini semakin membuatku bingung.“Maaf, aku bukan Mika,” kataku benar-benar takut. Anka menatap laki-laki itu curiga tapi Zita malah menolongnya. Laki-laki itu hampir pingsan tapi Zita menahannya agar dia tidak terjatuh. Orang-orang semakin tertarik dengan kejadian ini dan mulai mengerumuni kami. Aku bingung apa yang harus kami lakukan?“Panggil ambulan! Cepat! Atau panggil taksi!” teriak Zita. Aku yang dari tadi kebingungan spontan berlari menuju jalan besar untuk memanggil taksi. Segera saja aku, Anka, Dina, dan Zita membawanya menuju rumah sakit terdekat. Kami sendiri bingung dengan apa yang terjadi. Kami hanya mengantarnya lalu meninggalkannya di rumah sakit saat kami yakin bahwa pihak rumah sakit telah menghubungi keluarganya. Ternyata laki-laki itu salah satu pasien rumah sakit ini. Dan dia kabur saat perawat meningalkannya. Aku merinding tiap kali kuingat saat dia memelukku. Aku takut. Benar-benar takut. Apa yang terjadi aku sama sekali tidak mengerti. Kasihan dia, sebenarnya siapa Mika?Aku bingung sendiri setiap kali memutar otak tentang kejadian-kejadian ini. Aku meminta yang lain untuk mengantarku pulang. Untung saja bunga aster ini terus kupegang. Aku hampir saja menghilangkannya. Oh Tuhan, kenapa ini? Kenapa hal ini menimpaku!Setibanya di rumah kuletakkan pot bunga itu di pekarangan rumahku. Lalu naik ke kamarku. Aku menutup pintu di belakangku dengan keras. Bayangan itu masih mendekatiku. Aku takut! Kenapa ada orang yang menyangka diriku orang lain. Mika? Kenapa aku terus memikirkan nama itu?Aku membersihkan diriku dan mengganti pakaianku dengan piyama. Kubaringkan tubuhku sambil menerawang jauh ke langit-langit rumahku. Kenapa kejadian ini benar-benar mengusikku? Harusnya aku melupakan semuanya! Ini hanya salah paham! Dia salah mengenali orang! Hanya itu! Tapi kenapa denganku!“Yuri! Kau mau makan malam tidak?!’ teriak kakakku.“Tidak, kalian makanlah! Aku tidak lapar!” bagaimana mungkin aku bisa makan kalau pikiranku tidak tenang. Kudengar derap kaki ketiga saudaraku yang berlarian menuju ruang makan. Ah ... kenapa aku begitu bodoh! Kenapa aku terlalu peduli pada pria itu? Perutku berbunyi dan aku tahu kalau aku benar-benar lapar hanya saja aku tidak punya selera untuk makan. Aku kesal sendiri setiap kali membayangkan betapa bodohnya aku yang begitu panik saat laki-laki itu pingsan di depanku. Ini juga gara-gara Roman yang memukulinya! Pria itu punya luka di kepalanya! Perbannya saja masih baru! Tapi Roman memukulnya dengan keras terus menerus, pantas saja dia pingsan! Huh! Aku merasa bersalah. Aku mencoba untuk melupakan hal itu dan menutup mataku. Aku butuh tidur dan aku yakin dengan tidur bisa membuatku lebih rileks dan berhenti memikirkan orang itu.Dalam sekejap aku tertidur dan lagi-lagi aku memimpikan hal yang sama. Pusara itu, laki-laki yang menangis itu bahkan kecelakaan yang pernah kulihat beberapa hari yang lalu. Kenapa? Aku melihatnya! Aku bisa mendengar isak tangis laki-laki itu lebih jelas dan pusara yang biasanya gelap kini sedikit lebih terang. Matahari sedikit memberikan cahayanya agar aku bisa melihat sosok laki-laki yang menangis disana. Aku mendekatinya berusaha melihat siapa dia. Namun tidak bisa. Aku tidak bisa melihatnya. Aku seperti ditarik kesuatu tempat lainnya. Kuperjapkan mataku yang tiba-tiba tidak bisa melihat apapun. Semuanya kabur sampai akhirnya pelan-pelan cahaya dan suara mobil yang membuatku berani membuka mataku. Jalan ini? Jalan ini jalan yang sama dengan jalan yang kulewati saat itu dan astaga apa itu? Aku berlari mendekati orang-orang yang berkumpul di tengah jalan itu. Kulihat seseorang tergeletak disana. Tapi aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku mencari-cari tempat untuk melihatnya agr lebih jelas tapi yang kutemui adalah diriku yang berada di seberang jalan. Aku melihat diriku disana! Astaga apa ini?Apa ini kejadian itu? Apa ini kecelakaan waktu itu? Lalu kenapa aku melihatnya sekarang? Aku bingung sendiri saat aku mendekati diriku sendiri yang berdiri diseberang sana sesuatu lagi-lagi menarikku dan membuatku terbangun.“Yuri kau kenapa?!” tanya kakakku. Aku terkejut dan tak menyangka melihat semua ini. Aku berteriak-teriak histeris dan akhirnya kusadari bahwa kini aku sudah terbangun. Kupandangi isi ruangan ini dan akhirnya kau sadar kalau aku sedang berbaring di kamarku sendiri. Kakakku melihatku dan dia nampak sama paniknya denganku.“Kau kenapa?” “Aku ... aku tidak apa-apa. Aku hanya mimpi buruk,” kataku menenangkannya. Ekspresinya sedikit lega namun jantungku masih berdetak cepat bahkan keringatku mengalir deras. Aku takut. Apa ini? Kenapa ini terjadi? Apa maksudnya?“Kakak, aku ingin tidur. Tinggalkan aku sendiri.”“Tapi ...” ujarnya berusaha menolak permintaanku.“Aku tidak apa-apa. Aku hanya bermimpi,” kataku meyakinkan. “Kalau ada apa-apa kau panggil kakak.” Dia membantuku berbaring dengan benar dan akhirnya meninggalkanku sendiri. Kali ini aku tidak bisa menutupi rasa takutku. Aku takut sampai hampir menangis. Kenapa ini? Bisakah ini berhenti! Aku tidak mau melihatnya lagi! Sejak mimpi itu aku memutuskan untuk tidak tidur dan akhirnya terjaga hingga pagi hari.*** Esoknya....“Roman!” teriakku sambil berusaha mengejarnya. Dia masih terus berjalan lebih cepat dari pada biasanya. “Tolong tunggu aku, aku mau bicara!” teriakku tapi dia tidak peduli dan terus berjalan meninggalkanku.Aku masih terus mengejarnya hingga langkahku terhenti saat Adit menghadang jalanku.“Kemana saja kau?” tanyanya. Aku berusaha tidak melihat matanya tapi dia terus melihatku!“Maaf, permisi aku harus ....” “Aku tanya kemana saja kau?” Dia meraih lenganku lalu aku menepisnya. Aku kesal padanya.“Sudahlah, aku harus pergi.” Kutinggalkan dia dan mencoba mengejar Roman yang sudah berjalan jauh dariku.“Kau kenapa?” saat akhirnya aku berhasil mengejarnya.“Kau yang kenapa?!” teriaknya padaku. Kulihat ekspresi Roman yang terkesan tidak biasa. Dan ini membuatku semakin bingung harus bersikap seperti apa.“Terima kasih, kemarin kau membantuku. Tapi kenapa kau harus memukulnya!”“Kau! sudahlah!” Roman terkesan semakin menghindariku. Aku tahu dia marah tapi kenapa? Aku hanya mengatakan apa yang harusnya kukatakan.“Dengar, aku tahu kau marah padaku! Tapi kenapa?” Roman menatapku tajam tapi aku berusaha santai, dia memperhatikan setiap gerak gerikku. “Kau tidak kan mengerti!” kata-katanya pelan namun menusuk hatiku. Apa ini? Apa maksudnya?“Oke, mungkin aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu. Tapi tolong jangan bersikap begitu! Aku tidak suka,” kataku kesal. Belum sempat aku mengatakan semua yang kini kupikirkan Roman sudah beranjak pergi meninggalkanku sendiri. Aku semakin bingung dengan semua yang kini terjadi. Kutinggalkan juga tempat itu dan pergi ke danau tempat kejadian itu terjadi. Aku duduk di salah satu kursi yang paling dekat dengan danau. Tempat ini lebih sunyi karena semua acara itu telah berakhir. Kurasakan angin meniupku perlahan-lahan aku merasa tubuhku menggigil karena udara yang kini terasa lebih dingin dari biasanya.Aku masih memperhatikan genangan air danau yang tenang hingga kudengar seseorang mendekatiku.“Kau?” kagetku.“Mika.”“Maaf anda salah orang, aku bukan Mika.” Kataku perlahan suaraku sedikit bergetar. Ada sesuatu yang membuatku takut padanya. Dia terlihat lebih pucat dan perban pada kepalanya membuatku semakin khawatir padanya. Aku berjalan ke belakang berusaha menjauhinya dan saat aku hampir terjatuh ke danau dia menarikku.“Au!” kataku kaget. “Kau baik-baik saja?” tanyanya khawatir.“Iya, terima kasih.”“Jangan takut. Aku hanya, aku kira kau Mika,” kata-katanya pelan dan kulihat ekspresi yang tidak biasa tersirat. Aku memperhatikannya dan mataku membesar saat sesuatu mengingatkanku. Wajah ini, mata ini, dan suara ini ... dia?“Aku mengenalmu.” kata-kataku sedikit tercekat. Pria ini memperhatikanku dan saat itulah aku yakin kalau dialah! Dia yang selalu hadir di mimpiku! Dia juga orang yang tertabrak saat itu!“Kau?”“Kau mengenalku?” pria itu mengambil perhatian penuh padaku dan kurasakan sesuatu melanda pikiranku.“Apa kita pernah bertemu?” tanyanya.“Kau ... kau pria yang tertabrak beberapa hari lalu kan? Kau juga yang menangis di pusara itu!” kataku panik.“Aku? Bagaimana kau tahu?” tanyanya.“Aku ... sudahlah lupakan. Apa Mika yang ada di pusara itu?” tanyaku penasaran.“Kau, bagaimana kau tahu!” teriaknya. Tiba-tiba kulihat ekspresi marah dari dalam dirinya. Aku takut untuk bicara. Dia pun hanya memandangiku. Astaga apa yang harus kulakukan? “Aku hanya menebak,” kataku seketika.“Menebak?” dia masih tidak percaya dengan semua alasanku. Aku berusaha terus mengelak tapi percuma.“Sudahlah, lupakan” katanya. Aku masih mengawasi setiap ekspresinya hingga kusadari satu hal yang pasti. Pria inilah yang benar-benar selalu hadir dalam mimpiku.“Jadi siapa namamu?” tanyanya.“Aku? Oh iya aku Yurika,” kataku malu.“Ika?” kata-katanya pelan namun ada yang berbeda dari setiap alunan katanya.“Bukan Ika. Orang-orang memanggilku Yuri.” Kataku. Laki-laki ini diam dan itu membuatku sedikit lebih tenang. Kupandangi dia, dan benar saja aku tidak kan salah orang. Tubuhnya yang cukup tinggi dan bentuk wajahnya, serta mata hitamnya yang indah. Lalu kulit putihnya yang membuatku makin yakin bahwa dialah laki-laki itu. Di dalam mimpiku kulitnyalah yang bisa kukenali. Matanya dan suaranya pun tidak luput dari perhatianku. Yah, walaupun aku tidak bisa melihatnya dengan jelas dalam mimpiku tapi aku yakin kali ini tidak akan salah. Kalau kuperhatikan dia cukup tampan hanya saja wajahnya terlihat pucat dan ada perban yang mengelilingi kepalanya. Aku tahu ini pasti karena kecelakaan saat itu. Masih terus kupandangi dia sembunyi-sembunyi hingga aku tidak sadar bahwa dia memanggilku sejak tadi.“Ika ...” katanya pelan.“Oh maaf, aku, hey jangan panggil aku Ika. Aku tidak terbiasa” Protesku.“Tapi aku ingin memanggilmu dengan nama Rika. Itu hakku!” katanya tegas. Kulihat sinar mata yang berbeda. Astaga apa dia gila! Kenapa begitu ngotot dan tidak perduli pendapat orang!“Terserah kau saja.” Akhirnya aku lah yang harus mengalah padanya. Oh Tuhan siapa orang ini?!“Aku Ezi, kau bisa panggil aku dengan nama itu.” Dia masih menerawang ke danau saat menyebutkan namanya. “Memangnya aku perduli,” kataku perlahan.“Apa?” dia seperti mendengar apa yang kukatakan lalu aku pura-pura menggeleng agar dia percaya bahwa aku tidak mengatakan apa pun.“Ngomong-ngomong, apa kau kabur dari rumah sakit lagi?” kataku. “Tentu saja. Kau kira aku suka disana! Aku ingin pergi dari sana! Aku baik-baik saja. Di dalam sana hanya membuatku merasa seperti seorang pesakitan. Aku bosan di rumah sakit.” “Tapi, kau kan terluka,” kataku menasehati.“Aku lebih tahu keadaan fisikku dari pada suster-suster yang memaksaku untuk tinggal.” Suaranya sedikit bergetar dan aku tahu bahwa dia benar-benar merasa kesal sekarang. Aku tidak berani bicara apa pun sekarang dan saat aku diam saja dia kembali bicara dengan nada suara yang tak bisa kumengerti.“Maaf, kemarin aku berbuat kurang ajar padamu. Aku hanya merasa kalau kau itu Mika. Maafkan aku.”“Ha? Oh ya tidak apa. Lupakanlah.” Aku jadi teringat pertengkaranku dengan Roman pagi ini gara-gara kejadian kemarin. “Aku benar-benar mengira kalau kau itu dia. Kalian benar-benar mirip. Hanya saja matamu berbeda dengannya. Dia punya mata hitam cemerlang dan matamu berwarna cokelat. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku hanya merasa kalau kau adalah Mika.”Kata-katanya membuatku tersentak. Bagaimana mungkin dia begitu memperhatikanku bahkan warna bola mataku.“Lalu siapa itu Mika? Apa dia pacarmu?” kataku berusaha berani. Aku benar-benar penasaran sekarang.“Dia lebih dari sekedar pacar untukku. Dia segalanya bagiku. Dia hidupku.” kata-katanya begitu dalam hingga membuatku terdiam. “Kami berteman sejak kecil. Dan kami berhubungan selama empat tahun lebih. Kau tahu, dia selalu bersamaku. Dia selalu ada untuk menemaniku. Dia selalu di sampingku. Aku mencintainya lebih dari apa pun. Dan bulan lalu tuhan mengambilnya dariku. Sejak saat itu aku kehilangan hidupku.” Kata-katanya membuatku menangis. Entahlah aku tidak tahu apa yang membuatku menangis tapi air mataku mengalir. “Apa yang membuatnya pergi?” kataku tiba-tiba.Ezi menatapku tajam lalu membuang tatapannya. “Kau tidak perlu tahu.” Kata-katanya tajam dan membuatku merasa tersinggung.“Oke. Maaf aku ikut campur, tapi kenapa kau disini? Harusnya kau di rumah sakit sekarang. Keluargamu akan mencarimu!” kataku meyakinkannya.“Aku ingin bertemu denganmu.” “Aku?”“Ya, sejak kemarin aku tidak bisa membuang bayanganmu dari pikiranku.” Kini pandangannya terarah padaku. Kulihat sorot matanya yang tajam dan ini membuatku sedikit tidak nyaman.“Maksudmu?”“Aku yakin kau Mika! Aku yakin kau orang yang Mika maksud.” “Apa? Apa maksudmu. Aku tidak mengerti. Apa ini?” kataku benar-benar bingung.“Sebelum meninggal dia mengatakan padaku kalau suatu hari nanti aku akan bertemu seseorang yang menggantikan posisinya di hatiku. Aku benar-benar marah padanya saat itu. Tapi sekarang aku yakin. Aku yakin kau lah orang yang dia maksud! Aku yakin itu kau.”Ha? Jantungku seakan-akan berhenti berdetak saat kulihat ekspresinya yang berusaha meyakinkanku. Astaga apa ini? “Tidak! kau salah. Bukan aku, pasti bukan aku. Kau salah!” kataku meyakinkannya.“Ika kumohon! Aku yakin itu kau! Tolong dengarkan aku.”“Tidak! Aku bukan Mika! Jangan kau kira dengan semua yang kau ceritakan ini kau bisa menipuku! Tidak! Aku tidak percaya! Aku tidak percaya semuanya! Semua ini bohong!” teriakku.“Tapi itu kau!” teriaknya. Aku semakin tidak mengerti!" Berhenti Ezi kumohon! Kurasa sudah cukup percakapan kita tentang ini. Aku akan pergi dan melupakan semua ini."Ezi nampak ingin mencegahku namun aku membentaknya. "Jangan cegah aku! Aku tidak mau mendegarnya lagi,” marahku. Aku beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Aku berlari meninggalkannya di belakangku. Air mataku mengalir dan aku tidak tahu kenapa aku bisa menangis. Astaga kenapa aku begitu bodoh!Cukup jauh aku berlari dan saat aku membalikan tubuhku untuk melihatnya yang sudah cukup jauh dariku aku sadar. Dia tidak mungkin berbohong! Karena aku benar-benar pernah melihatnya! Tapi aku tidak bisa menerima semua ini. Kulihat dirinya kini duduk di kursi dekat danau. Dan kusadari bahwa hatikulah yang tidak bisa menerima semua yang dikatakannya.*** Bab 6 Aku masuk ke kamarku mengunci pintu di belakangku dan duduk bersandar pada dinding kamarku. Oh Tuhan apa ini? Aku bingung. Perasaanku tidak menentu. Aku tidak bisa berpikir jernih. Kenapa denganku? Kenapa memikirkannya? Kenapa hatiku sakit saat dia mengatakan bahwa aku lah pengganti Mika? Pengganti? Apa maksudnya? Kenapa hatiku benar-benar sakit?Aku mencoba menutup mataku sambil memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Kurasakan air mataku menetes pada punggung telapak tanganku. Hangat. Aku mencoba menghentikan tangisanku tapi tidak bisa. Pikiranku tidak bisa di kontrol. Semua bayangan mimpi itu terlintas dalam benakku dan ini membuatku sakit. Benar-benar sakit! Aku tidak mengerti apa ini? Apa maksud semua ini? Kenapa aku merasa sakit hati? Kenapa aku merasa kecewa? Apa ini?Kubuka mataku dan bayangan itu menghilang seiring cahaya yang masuk melalui kornea mataku. Aku bangun dari dudukku dan berjalan menuju meja belajar yang terletak tidak jauh dari jendela. Aku duduk di sana sambil menerawang jauh pada langit yang membentang luas di sana. Oh Tuhan kenapa aku terus memikirkan kata-katanya? Apa aku benar-benar sudah gila? Aku tidak mengerti dengan keadaan ini. Tolong bantu aku.“Yuri!” teriak kakakku dari bawah. “Ya kak!” balasku.“Ada seseorang mencarimu!” katanya keras.Aku tidak tahu siapa yang datang menggangguku tapi aku harus turun, kalau tidak kak Rafa akan memarahiku. Aku membuka pintu kamarku lalu berlari menuruni tangga. Aku masih sedikit berlari saat menuju ruang tamu dan kutemui seseorang yang kini duduk bersandar di sofa sambil bicara dengan Kak Rafa.“Roman?” kagetku. Aku mendekat ke arahnya dan dia hanya tersenyum. Kak Rafa memilih meninggalkan kami lalu aku duduk di hadapannya. Roman terlihat tidak nyaman lalu aku mengajaknya menuju taman belakang rumahku. Disini lebih enak. Selain luas dan nyaman, tidak akan ada orang yang bisa mendengar percakapan kami. “Kukira kau marah padaku,” kataku meledeknya. “Memang! Aku benar-benar marah padamu!” katanya kesal.Aku mengerucutkan bibirku sambil duduk di sampingnya. “Lalu kenapa kau datang?” kataku masih meledeknya.“Aku khawatir.”“Ha? Kau khawatir padaku?” “Apa yang dia katakan padamu?” kata Roman menyelidik.“Apa maksudmu?” kataku pura-pura tidak mengerti.“Aku melihatmu bicara dengannya di danau. Apa yang dikatakannya?”“Ezi maksudmu?” kataku kaget.“Oh jadi sekarang kau bahkan sudah tahu namanya.”“Roman! Kau kenapa? Nada bicaramu benar-benar tidak enak di dengar,” kataku kesal.“Kalau tidak suka yang tidak usah dengar!” katanya marah. “Kau ini kenapa?! Kau marah-marah padaku! Kau bersikap dingin padaku?! Terus tiba-tiba kau datang ke rumahku! Apa maksudnya!” Aku benar-benar kesal sekarang. Aku tidak bisa mengerti jalan pikirannya.“Oh jadi kau tidak suka aku datang! Oke aku pulang!” katanya sambil berlalu pergi.“Kau ini!” kataku. Roman tidak perduli, dia berjalan meninggalkanku yang kini duduk lemas di bangku taman. Astaga apa ini?! Kenapa dia marah-marah padaku! Apa maksudnya! Kenapa dia datang dan tiba-tiba marah padaku!Aku duduk lemas tidak berdaya dengan kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Kenapa mereka semua? Kenapa mereka bersikap begitu? Kenapa aku begitu peduli dengan semua ini! *** Bab 7 “Apa? Jadi kau bertemu dengannya lagi?” kata Anka khawatir.“Ya, bahkan kami membicarakan banyak hal. Kau tahu, semua mimpiku selama ini, semuanya benar dan kini ku temukan jawabannya,” kataku tenang.“Jadi? Dia pria yang kau lihat itu?” kata Zita tertarik. Aku hanya mengangguk lalu diam sambil memikirkan setiap perkataan Ezi. “Lalu apa kau tahu kenapa kau selalu memimpikan hal-hal itu?” tanya Dina masih khawatir.“Aku tidak tahu, Dina apa kau tahu pusara itu milik siapa?” kataku.“Siapa?”“Mika ... pusara itu pusaranya Mika.”“Mika? Siapa dia?” Zita terlihat semakin tertarik. Dia yang tadinya duduk di bangku belakang memilih pindah di sampingku.“Seseorang yang mirip denganku,” kataku tetap tenang.“Ha? Apa katamu? Seseorang yang mirip? Maksudnya?” Anka semakin tidak sabar mendengar penjelasanku. Lalu kuceritakan semuanya pada mereka, dan ketiganya benar-benar tidak menyangka dengan semua yang kuceritakan. Mereka tampak khawatir dan tidak percaya dengan semua ceritaku. “Itu benar!” kataku kesal saat Dina mulai tidak percaya.“Tapi bagaimana mungkin kau langsung percaya hal itu? Apa ada buktinya kalau kau mirip dengannya?” tanya Dina yang akhirnya menyadarkanku.“Aku ... aku memang belum melihat buktinya, tapi aku yakin ini benar. Aku yakin dia tidak akan berbohong padaku.” “Bagaimana mungkin kau percaya begitu saja?” tanya Zita.Mereka benar. Bagaimana mungkin aku percaya begitu saja. Tapi, hatiku percaya. Aku bisa merasakan perasaan saat dia mengatakan tentang Mika, saat dia memandangku. Aku tahu dia tidak akan berbohong.“Jadi? Apa yang akan kau lakukan?” tanya Anka mulai bingung.“Entahlah, aku tidak yakin dengan apa yang harus kulakukan. Kurasa aku akan tetap seperti biasa. Lagi pula memangnya kenapa kalau seseorang mirip denganku? Itu sama sekali tidak berarti apa-apa bukan?” tanyaku mencoba meyakinkan mereka.“Kau yakin?” kata Dina sangsi.“Tentu saja! Lagipula aku hanya tahu hal-hal itu saja. Aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Dan aku juga tidak akan perduli lagi,” kataku sedikit berbohong. Aku tahu aku mungkin akan bertemu lagi dengannya. Dan aku akan terus memikirkan hal ini.“Baiklah, kurasa semua masalah kita hentikan sampai sini. Aku tidak mau mendegar hal-hal aneh lagi. Kau tahu beberapa hari ini otakku selalu memikirkan mimpi-mimpi mu itu. Aku tidak tahu apa yang mmebuatku begitu tertarik,” kata Zita lega. Aku tersenyum lemah. Aku tidak menyangka kalau mereka juga memikirkan mimpi-mimpiku.Zita tiba-tiba pergi meninggalkan kami bertiga di kelas yang kini cukup ramai oleh teman-teman kelasku. Lima menit setelah itu dia kembali ke kelas bersama Ms. Fikha yang berjalan cepat menuju mejanya. Aku mengambil bukuku dan membukannya. Pelajaran pun di mulai tapi sejak awal hingga akhir pelajaran aku hanya diam dan tidak memperdulikan apa pun yang dikatakannya. Aku terus memikirkan semua kata-kata Ezi yang selalu membuatku tidak tenang.Mata kuliah tidak terasa berakhir begitu saja tanpa ada satu kata pun yang aku mengerti. Kututup bukuku dan ku kembalikan ke dalam tasku. Dina mengomel tentang pelajaran hari ini. Aku tahu dia sama bosannya denganku tapi setidaknya dia masih mendengarkan pelajarannya. Aku beranjak dari kursiku meninggalkan kelas. Aku tidak bicara apa pun pada mereka bertiga. Entahlah aku masih belum bisa diganggu. Aku benar-benar ingin sendiri. Aku butuh waktu untuk berpikir.Kulewati koridor-koridor yang sepi berjalan menuju taman kampusku. Aku berharap bisa duduk tenang disana sambil menikmati angin yang bertiup lembut. Ini akan bisa membuatku lebih tenang. Kakiku dengan cepat membawaku menuju kursi taman. Aku duduk disana dan kurasakan angin bertiup pelan. Rileks pun bisa kurasakan. Pikiranku mulai tenang. Semua kepenatan perlahan-lahan luntur seiring tiupan angin yang mengalun lembut. Membuat dahan-dahan bergoyang. Benar-benar tenang. Kupejamkan mataku dan kurasakan kehangatan melanda jiwaku. Lama sudah tidak kurasakan perasaan ini. Aku merasa benar-benar nyaman sekarang. Kubuka mataku perlahan dan sesuatu membuatku benar-benar terkejut.“Kau ...,” kagetku. Dia tersenyum lalu duduk di sampingku.“Lama tidak bertemu, kau kemana saja?” tanya Adit kesal.“Bukankah kemarin kita bertemu?” kataku teringat kejadian kemarin.“Tapi kau meninggalkanku begitu saja. Ada apa denganmu? Kau seolah-olah menjauhiku,” katanya menyelidik.“Tidak, aku hanya sedang sibuk,” bohongku.“Benarkah?”“Ya, tentu saja. Lagipula kenapa aku harus menghindarimu?” kataku takut. Jantungku masih berdebar setiap kali melihatnya namun debaran itu masih bisa kuatasi. Aku tahu dia hanya menganggapku teman. “Kukira kau sengaja menjauh,” katanya curiga. Aku tersenyum hambar berusah menutupi perasaanku padanya. Akan sangat memalukan kalau dia tahu bahwa aku benar-benar menjauhinya karena kejadian itu.“Oh, ya ... maaf, aku harus pergi,” kataku mencoba mencari alasan.“Ada apa? Kau mau kemana?” “Aku ada kelas sebentar lagi. Aku hampir terlambat. Aku pergi dulu ... selamat tinggal.” Aku meninggalkannya begitu saja dan aku yakin hal ini sia-sia. Adit pasti tahu kalau aku berusaha menjauhinya tapi aku tidak peduli. Biarkan saja dia tahu. Lagipula apa yang kulakukan ini benar! Aku tidak ingin cintaku padanya semakin dalam, itu benar-benar hanya akan membuatku semakin menderita. Aku harus melupakannya. *** Aku berjalan cepat menuju ruang sepuluh. Beberapa menit lagi mata kuliah selanjutnya dimulai. Jantungku masih berdebar sekarang. Bayangan Adit lagi-lagi memenuhi pikiranku. Astaga bisakah aku tidak memikirkan apa pun selama mata kuliah berlangsung? Aku ingin fokus!Kunaiki tangga menuju ruang kelasku yang berada di lantai dua, lalu kulewati beberapa kelas kosong hingga kakiku berhenti tepat di depan ruang kelas sepuluh. Masih sepi, dimana yang lainnya?“Kau tidak membaca smsku?” kata Roman yang tiba-tiba muncul di belakangku. Spontan aku mengambil ponselku yang kuletakkan di dalam dompet di tasku. Astaga lima belas panggilan tidak terjawab dan tiga pesan masuk. Aku hanya menggetarkan ponselku hingga aku tidak tahu kalau mereka menghubungiku.“Dosen kita tidak masuk. Yang lain sudah pulang. Mereka kira kau menerima pesannya.”“Lalu kenapa kau belum pulang?” kataku masih kesal.“Aku ... sudahlah,” katanya malas. Aku beranjak pergi dari tempat itu tepat saat dia menarikku.“Lepasin! Kau kenapa?!”“Kau ... kenapa kau begitu baik terhadap mereka! kau tahu Adit tidak menyukaimu! Dan Ezi, kau bahkan tidak mengenalnya! Untuk apa kau begitu peduli padanya!” PLAAAK! Pukulanku mendarat di wajahnya. Aku kesal benar-benar kesal. Roman terkejut. Tampaknya dia benar-benar marah. “Kau! Apa pedulimu! Jangan sembarangan! Kau tidak tahu apa-apa! Kau tidak tahu apa yang kini kupikirkan! Kau! Kukira kau teman baikku! Ku kira kau bisa mengerti aku! Tapi ... kau! Benar-benar mengecewakan!” Aku meninggalkannya begitu saja. Aku benar-benar kesal. Rasanya ingin kupukuli dia. Tapi beberapa saat kemudian aku sadar dengan apa yang baru saja kulakukan! Astaga! Kenapa aku memukulnya! Ada apa denganku? Kenapa aku tidak bisa menahan emosiku!Aku berlari meninggalkan tempat itu dan secepatnya kakiku membawaku ke ujung jalan yang tidak jauh dari kampusku. Aku naik ke dalam bus yang kini mengantarku ke suatu tempat. Langkah kakiku berjalan lebih cepat saat bus sudah menurunkanku di tempat tujuanku. Aku masuk ke sebuah pekarangan yang cukup luas. Dengan bunga-bunga cantik yang tumbuh subur disekitarnya. Wangi bunga tercium dimana-mana dan kehangatan rumah ini membuatku merasa nyaman. Kulewati pekarangan itu dengan hati riang dan kulihat seseorang melambai padaku. Aku membalas lambaiannya lalu berlari ke arahnya. Segera saja kupeluk sosok itu dengan senang. Aku merindukan pelukan ini.“Sudah lama kau tidak kemari,” kata suster Lucia padaku. “Aku sibuk,” kataku malu. Dia mengusap lembut rambutku. Aku merindukan tempat ini. Panti asuhan yang begitu kusayangi. Aku memang bukan anak di panti asuhan ini tapi dulu aku pernah tinggal di dekat panti ini. Panti ini masih sama seperti dulu, bersih, indah, dan suasana hangat yang selalu kurindukan. “Suster, aku ingin bertemu anak-anak.” “Masuk saja, mereka sedang makan siang. Mereka pasti senang melihatmu.” Suster Lucia segera mengantarku menuju ruang makan. Kami melewati aula depan yang masih rapi dan bersih, menuju bagian belakang dimana ada ruang makan dan dapur disana. Kulihat pintu ruang makan tertutup namun bisa kudengar teriakan-teriakan anak kecil dari balik ruangan. Aku tidak sabar membuka pintu ini dan mengahambur di antara mereka. Rasanya aku sudah benar-benar merindukan mereka. Kubuka pintu itu perlahan dan saat mereka melihatku semuanya berlari ke arahku dan memelukku. Aku membalas pelukan mereka dengan riang dan hatiku menjadi tenang. Seakan-akan masalah berlalu ketika melihat senyum mereka padaku. “Kak Yuri! Aku rindu sekali padamu!” kata Zeva padaku. Dia gadis kecil yang paling dekat denganku. Dia lucu, tubuhnya begitu mungil. Dia seperti aku saat umurku lima tahun. Aku senang melihatnya ceria. “Kakak juga rindu padamu, Zeva kecilku,” kataku membelai kepalanya.“Kami juga rindu kakak,” kata yang lain bersamaan. Aku tertawa lagi dan kurasakan kehangatan keluarga menyelimuti hatiku.“Kakak juga rindu adik-adik. Kalian baik-baik?” kataku sambil mengusap sayang mereka satu persatu.“Kami semua baik, kak,” kata Olla senang.“Hei Olla, kau lupa pada kak Ryan!” kata Bisma marah.“Oh iya! Kecuali kak Ryan.” Kata Olla menambahi.“Lho? Kenapa dengan Ryan?” kataku.“Kak Ryan sedang sakit kak. Dia demam lagi,” kata Bisma sambil mendekat ke arahku. Benar juga pantas saja aku merasa ada yang kurang. Kuperhatikan lagi anak-anak yang kini bersamaku. “Apa Ryan sudah lama sakitnya?” kataku khawatir.“Sudah satu minggu,” kata Olla cemas.“Kami takut kak Ryan kenapa-napa,” kata Zeva ikut cemas.Aku memeluk semuanya dengan senang berusaha menyenangkan mereka. “Kalian tenang saja, Ryan kalian akan baik-baik saja. Ok! Sekarang ayo semua makan dulu. Kataku sambil membawa mereka kembali ke meja makan mereka.Mereka kembali bersemangat dan langsung memakan makanan mereka yang sudah terhidang. Aku duduk di salah satu kursi diantara mereka berusaha menikmati suasana dan berhenti memikirkan masalah-masalahku.Kupandangi semuanya satu persatu dan senyumku kembali merekah. Tidak kusangka mereka tumbuh lebih cepat dari yang kubayangkan. Semuanya terlihat sehat kecuali Ryan. Aku jadi khawatir. Aku mencoba membantu Zeva yang kini berada di sampingku. Aku menyuapinya pelan-pelan tapi dia menyuruhku untuk lebih cepat.“Kak buruan dong! Zeva mau makan yang banyak,” katanya riang.“Pelan-pelan ya sayang, nanti kau tersedak lagi.”“Tapi Zeva mau cepat besar agar bisa seperti kak Yuri. Bisa sekolah, bisa pergi jalan-jalan, bisa pacaran,” katanya polos. Kata-kata terakhirnya membuatku tertawa. “Zeva, Zeva ada-ada saja ya. Memangnya kalau sudah besar seperti kakak kau bisa pacaran?” kataku menggodanya.“Bisa kak aku pasti bisa,” katanya sambil terus melahap makan yang kuberikan padanya.“Nanti Zeva pacarannya sama kak Bisma kalau Zeva sudah besar,” katanya polos dan itu membuatku semakin tertawa.“Kalian ini, benar-benar lucu,” kataku senang.“Kak Yuri kapan pacar kak Yuri akan datang?” kata Olla riang. Kata-katanya membuatku terdiam. Kurasakan sesuatu membuat hatiku sakit tapi aku harus tetap ceria di depan mereka.“Nanti, ya. Kakak pasti ajak dia kesini,” kataku menghiburnya.“Aku lah pacarnya kak Yuri! Nanti kalau aku sudah besar aku mau jadi pacarnya kak Yuri,” kata Yoga sambil mengacung-acungkan sendoknya. Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka yang lucu.“Kalian makan dulu ya, suster mau bawa makanan ini ke kamarnya Ryan,” kata suster Lucia yang tiba-tiba muncul dengan senampan bubur di tangannya.“Biar Yuri yang antar,” kataku sambil mengambil nampan itu darinya. “Hati-hati,” kata suster Lucia.“Aku tidak akan menumpahkannya,” kataku sambil bercanda. Suster Lucia hanya tertawa lalu aku meninggalkan ruangan itu. Aku melangkah menuju kamar tidur anak-anak. Kulihat kamar Ryan yang berada di sudut koridor ini. Kuketuk pintunya dan kubuka pintu itu. Kulihat Ryan yang tergeletak di lantai kamar. Tanpa sengaja aku menjatuhkan bubur itu dengan bunyi dentangan mangkuk membuat beberapa suster berlarian menuju tempat ini. “Ryan!” teriakku keras. Aku segera memapahnya untuk duduk di pangkuanku. Suhu tubuhnya tinggi, badannya benar-benar panas dan wajahnya pucat pasi. Aku takut! Apa yang terjadi! Suster Elena masuk paling awal dia terkejut lalu menyuruhku untuk tinggal.“Kau jaga dia, suster akan panggil ambulans,” katanya panik. Aku berusaha menyandarkan kepalanya pada tubuhku, tapi tubuhnya begitu lemah hingga dia hanya terkulai lemah di pangkuanku. Suster Lucia dan suster Susan melihatku yang kini panik lalu mengangkat Ryan ke tempat tidurnya. Semua panik, bahkan anak-anak yang mendengar teriakanku berlarian meninggalkan meja makan mereka menuju suaraku. *** Dengan cepat ambulan membawa kami ke rumah sakit. Suasana terlihat kacau. Suster-suster nampak sangat panik dan aku pun ikut panik. Ryan dibawa keruang UGD untuk segera diperiksa. Aku tidak bisa diam saja! Apa yang harus kulakukan?“Lindungi dia Tuhan ...,” pintaku. Suster Lucia terduduk lemas, dan suster Elena terus menenangkannya. Aku berdiri di hadapan keduanya meresa panik seperti mereka. Banyak orang yang berlalu lalang disekitar kami dan hal itu membuatku semakin panik. Kenapa mereka semua terlihat begitu menyebalkan!Beberapa menit kemudian perasaanku mulai tenang saat dokter memberitahukan keadaan Ryan pada kami.“Dia baik-baik saja. Kurasa dia terlalu lemah sekarang. Tubuhnya masih demam, aku baru saja memberi obat padanya dan pasien diharapkan untuk tidur sementara waktu agar kondisinya bisa membaik. Kalian tenang saja, kami akan menjaganya,” kata dokter itu. Akhirnya kedua suster pun mulai tenang. Aku menyuruh mereka pulang tapi akulah yang malah disuruh pulang oleh keduanya.“Kau harus kuliah besok. Ayo pulanglah. Biar suster yang jaga disini,” kata suster Lucia. Aku menurut saja. Hari ini tepat pukul sepuluh malam, aku yakin setengah jam lagi aku belum sampai dirumah orang rumah akan mencariku kemana-mana. “Kau juga pulanglah, suster Elena. Suster Susan membutuhkanmu disana. Anak-anak pasti cemas kalau tidak melihamu besok pagi. Kau jelaskanlah keadaan Ryan kepada mereka agar mereka tenang.” “Baik, suster. Kalau begitu kami pulang dulu,” kataku dan suster Elena bersamaan. Kami berdua bergegas meninggalkan tempat itu menuju pintu depan rumah sakit. Kuhentikan taksi yang baru saja akan melesat pergi.“Suster bisa naik ini. Aku akan tunggu taksi yang lain,” kataku menawarkan.“Sudah malam, kita pergi bersama saja. Biar suster mengantarmu dulu.” Aku mengangguk saja dan segera naik di kursi penumpang. Mobil ini membawa kami melewati jalanan yang masih ramai. Kulihat banyak sekali lampu yang menyala di pinggir jalan. Terlihat indah. Hatiku mulai tenang melihat hal ini. Aku yakin Ryan akan baik-baik saja. Dia anak yang kuat. “Bagaimana kuliahmu?” tanya suster Elena tiba-tiba. Aku terkejut saat beliau mengajakku bicara. “Ha? Baik-baik saja,” kataku spontan.“Kau tahu, suster mengerti perasaan suster Lucia. Beberapa bulan terakhir Ryan sering sekali masuk rumah sakit. Suster Lucia sangat khawatir dengan keadaanya. Kami pun begitu, hanya saja suster Lucia sering tidak memikirkan kesehatannya sendiri.” Aku diam saja mendengar semua kata-kata suster Elena. Aku tahu beliau sangat mengkhawatirkan kondisi suster Lucia yang mulai lemah. “Suster tenang saja. Besok Yuri akan menggantikan suster Lucia untuk menjaganya.”Kataku menawarkan. Suster Elena tersenyum dan membelai kepalaku.“Kau benar-benar anak yang diberikan Tuhan untuk kami,” kata Suster Elena senang. Sejenak kurasakan belaian kasih sayang suster Elena yang membuatku ingin menangis. Semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini berkelebat di benakku. Kuharap suatu saat aku bisa menceritakan hal-hal yang telah terjadi selama ini pada beliau, tapi ini bukan waktunya. Aku hanya ingin mendengar pendapat beliau. Taksi tiba-tiba sudah berhenti di depan rumahku. Aku pamit pada suster Elena dan segera turun dari mobil itu.“Suster hati-hati,” kataku sambil menutup pintunya. Mobil itu segera menjejak pergi. Kulihat lampu rumahku belum dimatikan. Mama belum tidur. Aku harus bilang apa? Aku masuk lewat pintu depan. Mengendap-endap melewati ruang tamu dan tepat saat itu mama sudah berdiri di depanku sambil bertolak pinggang.“Kemana saja? Jam berapa sekarang?” katanya marah.“Maaf aku pulang terlambat. Tadi sore aku pergi ke panti asuhan, dan tiba-tiba Ryan pingsan. Lalu aku menemani suster Lucia pergi ke rumah sakit bersamanya,” kataku menjelaskan.“Kenapa tidak menelpon ke rumah? Kau tahu kami khawatir!” kata mama kesal.“Maaf, aku lupa. Tidak akan kuulangi,” kataku pelan.“Sudahlah, sekarang cepat mandi dan tidur. Sudah jam berapa ini! Kau sudah makan malam?” katanya saat aku sudah bergerak untuk kembali ke kamarku.“Aku tidak lapar. Aku tidur dulu. Malam,” kataku. Kunaiki tangga menuju kamarku. Menutup pintu kamar dibelakangku dan segera merebahkan diriku diatas termpat tidur.“Ryan, semoga kau baik-baik saja. Kenapa anak sekecil itu harus masuk rumah sakit? Harus disuntik dan minum obat?! Kasihan dia,” kataku pelan. Pelan-pelan kupikirkan kejadian yang terjadi hari ini. Astaga aku lupa. Siang ini aku memukul Roman! Dia pasti marah padaku! Apa yang harus kulakukan besok? Lagi-lagi aku menghela nafas lalu kucoba memejamkan mataku. Seketika saja aku terlelap dalam tidurku. *** Bab 8 Paginya aku bangun lebih dari awal dari biasanya. Jam tujuh tepat aku sudah bersiap menuju rumah sakit tempat Ryan dirawat. Aku sudah berjanji pada suster Elena untuk menggantikan suster Lucia disana. Kulahap habis semua sarapan yang disiapkan bibi untukku. Roti, telur, dan segelas susu serta beberapa potong apel kulahap dengan cepat. Setelah sarapan kusandangkan tasku lalu pergi meninggalkan rumah.Aku naik bus menuju rumah sakit sambil berharap agar keadaan Ryan lebih baik pagi ini. Jantungku masih terus berdetak cepat tiap kuingat tubuh Ryan yang tergeletak di depan mataku. Aku takut dan benar-benar khawatir dengan keadaannya. Ryan memang anak yang berbeda dari anak-anak panti lainnya. Sejak kecil dia yang paling sering masuk rumah sakit. Fisiknya memang lemah dan penyakitnya membuatnya semakin lemah. Aku takut sesuatu terjadi padanya. Anak berumur sepuluh tahun itu sudah lama mengidap penyakit leukimia. Hal ini lah yang membuat kondisinya rentan jatuh pingsan bahkan harus dibawa kerumah sakit. Aku tahu, Ryan bukanlah anak yang dekat denganku. Karena dia satu-satunya anak panti asuhan yang tidak menyukaiku. Entahlah, aku tidak tahu kenapa? Dia begitu tidak menyukaiku. Bahkan kalau aku dan anak-anak lainnya berkumpul dia lebih memilih untuk pergi dibandingkan harus bersama denganku. Dan aku tahu jika dia melihatku di rumah sakit dia pasti akan menyuruhku pulang. Tapi, aku khawatir. Aku ingin menjaganya. Aku menyayanginya sama seperti anak-anak lainnya.Aku menutup mataku setiap kali kuingat dia membuang mainan yang pernah kuberikan untukknya. Aku tidak marah, hanya saja aku merasa bersalah, apa yang membuatnya begitu tidak menyukaiku? Pikiranku terus melayang hingga kusadari bus telah berhenti di halte yang kutuju. Aku turun dari bus itu dan segera berlari menuju rumah sakit yang hanya berjarak 100 meter dari halte. Kumasuki pintu rumah sakit yang terbuka lebar di depanku. Saat itu kulihat rumah sakit lebih ramai dibandingkan semalam. Aku berjalan menuju resepsionis dan bertanya dibangsal dan kamar mana Ryan dirawat. Dan saat kutahu tempatnya aku berlari secepatnya.Kulihat suster Lucia baru saja keluar dari ruangan yang berada di ujung koridor. Aku berlari lebih cepat dan suster Lucia tersenyum padaku.“Kau masih sama seperti dulu, selalu saja tergesa-gesa,” katanya sambil mengusap rambutku. “Maaf suster, tapi aku memang begini,” kataku asal dan ini membuat suster Lucia tertawa.“Kau ingin menggantikanku kata suster Elena?”“Ya, suster istirahatlah di panti, biar Yuri yang menjaga Ryan. Oh ya, apa Ryan baik-baik saja?” kataku khawatir.“Iya, dia baik-baik saja. Anak yang kuat,” kata suster Lucia sambil mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh dipipinya.“Suster tenang ya. Yuri yakin Ryan pasti akan segera sembuh.”“Ya, kau benar nak. Baiklah kalau begitu suster pulang untuk mandi dan ganti pakaian. Kamu tolong jaga dia ya. Sekarang Ryan sedang tidur, dia baru saja sarapan. Dokter bilang dia butuh istirahat.” Aku mengangguk seraya menunjukkan bahwa aku mengerti apa yang harus kulakukan. Aku memeluk erat suster Lucia lalu segera masuk ke kamar itu.Kamar ini cukup besar dan ada sofa kecil di depan tempat tidur pasien. Aku duduk disana seraya melihat Ryan yang tertidur dari kejauhan. Aku tidak berani untuk terlalu dekat dengannya. Aku takut kalau-kalau dia terbangun dia akan marah padaku. Kuambil sebuah novel dari dalam tasku lalu kubaca novel itu untuk menghilangkan rasa bosanku. Aku benar-benar bosan hingga dalam sekejap mataku tertutup. Aku mengantuk, benar-benar tidak bisa menahan kantukku. Dalam tidur kulihat Ryan yang bermain dengan riang bersama anak-anak panti lainnya. Kulihat tawanya yang hampir tidak pernah kulihat sebelumnya dan aku hampir menangis karena senang.Suasana ini begitu tenang dan aku ingin terus berada dalam mimpi ini hanya saja sesuatu membuatku tebangun saat kudengar suara Ryan yang menjerit.“Sakit!” teriak Ryan.Aku terbangun dan spontan berlari ke arahnya. Kulihat tubuhnya menggigil dan terus berkeringat. Wajahnya pucat pasi dan kulihat ekspresi kesakitan di wajahnya. Aku panik apa yang harus kulakukan?“Ryan, tenang ya kakak panggil suster!” kataku. Kutekan bel yang ada di samping tempat tidurnya. Namun suster belum juga datang. Aku takut! Apa yang harus kulakukan?Aku berlari dari ruangan itu dan mencari suster terdekat yang dapat kutemukan. Kulihat seorang suster yang berjalan menuju ke arahku lalu kutarik dia.“Suster! Adikku! Periksa dia sekarang! Dia kesakitan!” kataku panik. Sang suster langsung bergegas berlari menuju kamar Ryan. Aku lemas. Kakiku tidak bisa bergerak. Aku takut. Tidak lama kemudian dokter dan beberapa suster datang keruangan itu dan aku hanya bisa duduk di sofa sambil menangis melihat ekspresi Ryan yang kesakitan. Aku takut! Apa yang akan terjadi padanya? *** Belum lama aku duduk di sofa itu para suster sudah memaksaku untuk pergi dari ruangan. Mereka memintaku untuk menunggu di luar dan mau tidak mau aku harus pergi. Tapi aku takut, aku takut terjadi apa-apa. Suster-suster itu terus memintaku untuk pergi hingga pertahananku hancur mau tidak mau aku harus menunggu. Aku keluar dari ruangan itu. Berusaha berpikir tindakan apa yang harus kulakukan dan kusadari kalau aku belum menyampaikan berita ini pada suster Lucia. Kuambil ponsel dalam sakuku dan rasanya aku ingin membanting ponselku yang kini mati! Astaga aku lupa mengisi baterainya! Aku harus kemana? Aku benar-benar bingung, aku berlari menuju ruang administrasi dan bertanya apa aku bisa menggunakan telpon rumah sakit untuk menghubungi suster-suster yang ada di panti asuhan. Untung saja aku bisa menggunakannya dan segera saja kuceritakan semuanya.“Suster ....” kataku tergesa-gesa. Kudengar suara suster Elena yang mengangkat telponku.“Suster, Ryan ... Ryan ....” Air mataku mengalir dan kata-kataku tidak bisa kukendalikan. Aku bingung harus bicara apa. “Ryan, dia berteriak kesakitan, aku takut ....” kataku semakin kacau.“Yuri, tenang. Bicara pelan-pelan suster Elena bingung kalau kau begitu.”“Ryan ... suster Ryan tiba-tiba teriak kesakitan,” kataku panik.“Oke, dengar kau panggil dokter sekarang dan kami akan segera kesana.” “Sudah suster, sekarang dokter sedang memeriksannya. Aku takut suster, Yuri takut ...” kataku makin panik.“Yuri harus tenang. Suster akan kesana sekarang. Kamu duduk tenang disana, mengerti?”“Iya suster,” kataku pasrah.Kututup telpon itu dan berlari menuju kamar rawat Ryan. Aku tidak bisa masuk karena pintu itu terkunci. Aku hanya bisa duduk di luar dan berdoa. Jantungku masih berdetak cepat nafasku tercekat. Bayangan-bayangan aneh mengelilingiku. Astaga kenapa diriku? Aku harusnya percaya kalau Ryan tidak akan kenapa-kenapa. Dia anak yang kuat!Kututup mataku dan kucoba untuk menenangkan hatiku. Beberapa detik kurasakan sesuatu memenuhi pikiranku. Semua kenanganku bersama anak itu, walaupun hanya kenangan kecil namun itu berarti banyak bagiku.Kubuka mataku dan kudapati seseorang berdiri di depanku. Aku spontan berdiri dan kulihat Ezi yang memakai seragam rumah sakit.“Kau?” kataku kaget. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi. Dan baru kusadari kalau ini rumah sakit yang sama dengan rumah sakit yang dulu kudatangi saat pertama kali melihatnya.“Apa yang kau lakukan disini?” kata Ezi bingung. “Kau sakit? Atau ada saudaramu yang sakit?” tanyanya khawatir.“Adikku sakit,” kataku spontan.“Adikmu? Lalu dimana keluargamu yang lain?” katanya bingung.“Mereka akan segera datang. Aku ... aku hanya sendiri,” kataku lemah. Airmata ku jatuh lagi dan aku menangis.“Kau kenapa?” katanya panik.“Ryan ... dia... dia ada di dalam sekarang. Dokter sedang memeriksanya. Aku takut ... aku takut terjadi sesuatu,” kataku cemas.“Kau harus tenang. Dokter sudah menanganinya. Kita harus percaya kalau adikmu akan baik-baik saja,” katanya mencoba menenangkanku. “Tapi, aku takut ... aku benar-benar takut, dia tiba-tiba berteriak kesakitan dan aku hanya bisa melihatnya! Aku tidak bisa menolongnya! Aku tidak bisa mengurangi rasa sakitnya,” kataku lagi.Tiba-tiba dia menarikku yang sudah semakin lemah. Disandarkannya diriku di tubuhnya dan aku hanya menurut. Entahlah aku begitu nyaman saat dia tiba-tiba merangkulku. Kutuangkan semua rasa takutku dan perlahan ketenangan merasukiku. Aku masih menangis dan Ezi masih terus menenangkanku. Dia hanya diam namun kurasakan pelukannya secara tidak langsung mentransfer kekuatan untukku. “Yurika ...” kata suster Lucia yang tiba-tiba berada tidak jauh dari tempatku. Aku segera melepaskan pelukan itu dan berlari ke arah suster Lucia dan suster Elena.“Apa yang terjadi?” kata suster Lucia panik.“Ryan tiba-tiba bangun dan berteriak kesakitan. Aku tidak tahu kenapa. Aku bingung.”“Lalu bagaimana keadaannya sekarang?” kata suster Elena khawatir.“Yuri juga belum tahu. Dokter masih belum keluar dari ruangan. Yuri takut suster, Yuri takut,” kataku mulai panik lagi.“Kita harus tenang. Yang dibutuhkan Ryan adalah doa dari kita. Kalian mengerti. Jangan ada yang menangis! Ryan tidak akan suka,” kata suster Lucia yang kini berjalan menuju kursi yang tadi sempat kududuki.Suster Elena dan aku mengikutinya. Kulihat Ezi masih berdiri disana. Wajahnya pucat dan ada sirat keingintahuan di wajahnya. Aku tersenyum padanya dan berjalan ke arahnya.“Akan kujelaskan nanti,” kataku. Dia hanya tersenyum dan membelai rambutku.“Kau jangan panik. Kau harus tenang menghadapi masalah-masalah seperti ini. Mengerti?” Aku hanya mengangguk dan kulihat dia tersenyum. Aku jadi salah tingkah dan tidak tahu harus melakukan apa hingga kusadari satu hal yang harus kulakukan.“Kau pucat. Aku akan mengantarmu ke kamarmu,” kataku saat mengajaknya pergi.“Aku baik-baik saja,” bohongnya. “Jangan bohong. Aku bisa melihatmu. Wajah sudah sepucat itu masih juga bilang baik-baik saja. Jangan keras kepala, ayo biar kuantar,” paksaku. Dia akhirnya menurut dan aku meminta izin pada kedua suster untuk pergi sebentar. Keduanya mengizinkanku dan kami pun pergi.“Apa yang sedang kau lakukan diluar? Kau kan sedang sakit!” kataku.“Aku bosan terus-terusan berbaring di kamar. Tidak ada yang mengunjungiku! Mereka semua sibuk dan itu membuatku bosan. Kau tahu tinggal di rumah sakit itu membosankan!” katanya sambil bercanda. Tentu saja membosankan mana ada rumah sakit yang menyenangkan.“Tapi tidak seharusnya kau pergi,” kataku lagi.“Kalau aku tidak pergi, aku tidak akan bersamamu saat kau menangis,” kata-katanya membuatku salah tingkah. Astaga aku baru sadar dengan apa yang kulakukan tadi.“Terimakasih,” kataku malu.“Sama-sama,” katanya. Aku masih terus tidak berani menatapnya. Kami terus diam saat melewati beberapa koridor bangsal rumah sakit hingga kini langkah kaki kami membawa kami menuju bangsal orang-orang dewasa. “Sudah lama kau disini?” kataku membuka pembicaraan. Jujur saja aku bosan kalau harus tegang dalam diam.“Ya, cukup lama. Kau tahu aku sudah menganggap rumah sakit ini sebagai rumah keduaku.”“Ha? Bagaimana kau bisa berpikir begitu?” kataku bingung. Dia tertawa dan menatapku.“Kau tahu hampir tiap bulan aku akan menginap disini. Ya walaupun hanya satu atau dua hari,” katanya santai.“Lho? Kenapa?”Ezi tidak menjawabnya dia hanya tersenyum padaku dan kini berbelok ditikungan koridor. Aku mengikutinya dan akhirnya kami berhenti di depan sebuah kamar. “Ini kamarku. Baiklah sekarang tugasmu sudah selesai. Ngomong-ngomong apa kau ingat bangsal dan nomor kamarku? Aku ingin kau sering-sering mengunjungiku.”“Tentu saja aku ingat,” kataku.“Kalau begitu kau harus sering datang. Akan kutunggu. Kau tahu aku selalu menghabiskan waktuku sendirian dikamar ini. Jadi, kau harus datang menemaniku. Ok!”“Hahahaha, akan kupikirkan,” candaku.“Kau harus! karena kita teman.” Kata-katanya membuatku kaget. Astaga kenapa aku jadi begitu akrab dengannya. Tapi tidak apa. Benar katanya sekarang aku dan dia adalah teman. Jadi wajar saja kalau nanti aku datang untuk menjenguknya.“Lagipula kau harus cerita tentang anak yang dirawat dan suster-suster itu,” katanya lagi.“Oke. Aku akan datang nanti. Kalau begitu aku pulang dulu.”Dia tersenyum manis dan segera masuk kekamarnya. Kutinggalkan tempat itu dengan segera dan kembali ke kamarnya Ryan. *** “Suster Lucia bagaimana dengan Ryan?” tanyaku khawatir.“Dokter sudah memberinya obat penenang. Dia akan baik-baik saja. Sekarang tertidur. Kemana saja kau?” tanya suser Lucia.“Aku mengantar temanku ke kamarnya. Dia pasien rumah sakit ini juga. Lalu kenapa Ryan bisa kesakitan?”“Pengaruh penyakitnya. Ryan akan sering merasa kesakitan karena penyakitnya. Lain kali kalau kau melihatnya begitu bantu dia menelan obat-obatnya dengan cepat. Itu akan membuatnya sedikit lebih baik.” “Baik suster, Yuri mengerti. Yuri benar-benar panik saat melihatnya berteriak kesakitan. Yuri takut terjadi sesuatu.”“Suster mengerti. Kau memang belum pernah melihatnya kesakitan. Karena itulah kita semua harus tenang. Kini kita hanya bisa berdoa dan berharap agar Ryan bisa lebih baik.” Kata suster Lucia tenang. Aku mengangguk dan kini duduk disamping suster Elena yang menghapus air matanya.“Aku panik sekali saat kau menelponku,” katanya pelan.“Maafkan aku suster, aku ...”“Tidak, kami harusnya berterima kasih. Kalau kau tidak menelpon kami tidak kan tahu.” Katanya lagi. Aku memeluknya dan dia membelai kepalaku lembut.“Kau benar-benar anak yang diberikan Tuhan untuk kami.” Aku hampir menangis mendengar kata-kata suster Elena. Kuhapus airmatanya yang mengalir lagi dan klulihat suster Lucia yang kini menghampiri Ryan. “Kau harus cepat sembuh nak, Tuhan memberkatimu,” katanya pelan.Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata suster Lucia yang terdengar lemah. Aku berjalan kearahnya.“Maaf suster, Yuri ada mata kuliah sebentar lagi. Tapi nanti malam Yuri akan datang lagi,” kataku buru-buru. Suster Lucia tersenyum.“Kau boleh pergi nak. Dan malam ini lebih baik kau istirahat di rumah. Biar suster yang menjaga.” Katanya pelan. Aku hanya mengangguk seraya menuruti kata-kata suster Lucia. Kuambil tasku dan berpamitan kepada kedua suster lalu pergi meninggalkan rumah sakit menuju kampusku. Dengan cepat taksi membawaku memasuki gerbang kampus dan aku harus berhenti disini. Kuturuni mobil itu dan aku berjalan cepat menuju gedung fakultasku.“Yurika!” teriak Zita dibelakangku.” Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku dan kulihat Zita yang berlari dengan tergesa-gesa menghampiriku.“Kemana saja kau! Kami mencarimu! Kenapa kau bolos kuliah pagi ini?! Ponselmu mati dan aku terpaksa menghubungi rumahmu! Kudengar sesuatu terjadi di panti asuhan. Apa yang terjadi?” “Bisakah kau menanyakan semuanya pelan-pelan. Aku bingung harus menjawab yang mana dulu,” kataku kesal.“Ok, maaf aku terlalu bersemangat,” katanya malu. “Jadi bagaimana kejadiannya? Kudengar dari Mamamu Ryan masuk rumah sakit. Apa anak nakal itu yang sakit?” tanya Zita penasaran.“Dia bukan anak nakal!” kataku kesal.“Apa nya yang bukan anak nakal! Kau lihat sendiri dulu saat kami pergi bersamamu untuk menjenguk mereka, dia memasukkan katak ke dalam tasku! Apa itu bukan anak nakal?!” katanya protes.“Dia hanya bercanda! Harusnya kau tahu dia kesepian.”“Tentu saja, mana ada orang yang mau bermain dengan anak nakal macam dia,” kata Zita tidak acuh. Aku benar-benar kesal sekarang. Kuhentikan langkahku dan menghadapi Zita yang berjalan di belakangku. “Sekali lagi kau bilang dia nakal di hadapanku." “Hey kau kenapa?! Bukankah aku sudah biasa megejeknya. Kenapa kali kau marah?” katanya kesal.“Ryan sakit! Sekarang dia di rumah sakit! Anak nakal yang kau sebut itu sedang bertarung dengan nasib! Kau tahu! Penyakitnya membuatnya kini terbaring lemah! Aku bahkan tidak tahu apa masih bisa bertemu dengannya besok! Dan kau seenaknya mengatakan hal-hal buruk tentang dia di depanku!” kataku marah. Aku benar-benar kesal. Zita terkejut bukan main saat kemarahanku memuncak. Dan dia lemas saat menyadari tiap kata yang baru saja kuucapkan.“Jadi?”“Karena itulah aku bolos kuliah! Aku menjaganya pagi ini! Dan kau tahu! Dia berteriak-teriak kesakitan di hadapanku sedangkan aku tidak bisa berbuat apa pun! Lalu mana, mana anak yang kau sebut-sebut itu! Mana anak nakal itu! Aku tidak melihatnya! Yang kulihat anak kecil yang lemah yang kini mencoba bertahan untuk hidup!” air mataku tiba-tiba mengalir. Aku tahu sebenarnya air mata ini sudah tidak bisa lagi kubendung. Aku tahu ini salah! Tidak seharusnya aku menangis. Zita mendekatiku dan memelukku berusaha menenangkanku. Aku memeluknya dan menyampaikan semua perasaanku kini padanya. Dia hanya diam dan mendengarkan setiap kata yang kuucapkan.“Aku takut terjadi apa-apa dengannya,” kataku pelan.“Kau harus tenang. Kita bisa membantunya dengan berdoa. Aku akan mengajak anak-anak untuk datang ke rumah sakit. Kita bisa menyemangatinya.”Aku hanya mengangguk dan mengusap air mataku. “Sudah waktunya kita masuk kelas atau anak-anak akan bingung mencari kita. Kau tahu Roman sudah berteriak-teriak pada kami pagi karena tidak bisa menemukanmu.”“Kenapa lagi dengan dia?” kataku kesal.“Entahlah. Aku tidak tahu, kurasa dia sedang tidak senang. Sebenarnya ada apa di antara kalian? Kulihat dia benar-benar kesal setiap kali kami membicarakanmu dengan Adit dan laki-laki di taman itu.”“Ezi maksudmu?” tanyaku.“Iya dialah. Entah kenapa aku selalu lupa namanya,” kata Zita bingung. “Sudahlah jangan kau bahas masalah ini. Aku sedang tidak ingin membicarakannya. Kau tahu aku juga tidak akan mengatakan apa pun pada Roman. Aku bahkan malas bertemu dengannya. Kami melangkah lebih cepat lagi dan segera masuk ke sebuah kelas yang sudah ramai. Semua mahasiswa duduk di tempat mereka dan kulihat Dina dan Anka mengambil dua kursi di samping mereka untuk kami berdua.“Kenapa kalian lama sekali?” kata Dina.“Akan kuceritakan nanti,” kata Zita tenang. Kulihat Roman duduk tidak jauh dariku dan matanya terlihat berbeda. Sorot matanya membuatku teringat kejadian kemarin. Astaga aku telah memukulnya! *** “Kau akan ke rumah sakit sekarang?” tanya Zita saat Ms. Christine meninggalkan ruang kelas.“Kurasa tidak, aku harus pulang. Kau tahu mamaku akan mengomel sepanjang hari kalau aku pulang malam lagi hari ini.”“Bagaimana kalau besok kita pergi kesana menjenguknya,” kata Zita semangat.“Menjenguk siapa?” kata Anka bingung.“Oh iya aku lupa. Nanti akan kuceritakan pada kalian kata Zita.“Maaf aku harus pergi sekarang. Selamat tinggal,” kataku pada yang lain. Mereka hanya melambai dan membiarkanku pergi. Aku berlari seketika kakiku melewati ruang kelasku. Aku tahu ini terkesan aneh tapi aku benar-benar berusaha menghindari Roman. Aku menyusuri koridor panjang menuju gedung fakultas pertanian yang kini ramai. Namun tidak kuhentikan langkahku setiap kali kudengar seseorang menyapaku. Bukan saatnya untuk berbasa-basi sekarang. Aku harus pulang! Ada banyak hal yang belum kukerjakan. Tugas kuliahku yang menumpuk dan ujian yang sudah di depan mata. Aku harus pintar memanfaatkan waktuku untuk belajar! Dengan cepat kakiku membawaku menuju halte bis dan dengan segera bis itu membawaku pulang. Hanya dalam tiga puluh menit kini aku sudah duduk di depan meja belajarku sambil menatapi foto yang kupajang di atasnya. Aku tersenyum simpul melihat fotoku bersama anak-anak panti asuhan yang terlihat riang. Semua kecuali Ryan yang terlihat pucat. Dia sedang memegangi kataknya sambil menatap anak-anak lain yang tertawa senang. Aku tahu Ryan anak terlemah di pantia suhan ini. Tubuhnya yang lemah membuatnya tidak bisa bermain seperti anak-anak seumurnya. Dia pun sering tidak masuk sekolah karena sakit dan sikapnya yang dingin pada teman-teman nya membuatnya dijauhi oleh anak-anak sebayanya.Air mataku mengalir seketika saat kusadari anak yang sejak tadi kuperhatikan di figuran itu sedang terbaring lemah menantang maut di Rumah Sakit. Lalu apa yang bisa kulakukan? Aku tidak bisa membantunya! Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.Kucoba untuk berpikir jernih dan menenangkan diriku. Tidak ada gunanya aku seperti ini. Lagi pula banyak hal yang mungkin bisa kulakukan nanti. Sekarang aku harus mulai mengerjakan tugas kuliahku!Kuambil laptopku dan mulai mengetik sebuah makalah dengan tema sistem pengajaran bahasa inggris yang dapat menarik anak-anak. Mulai kubuat tulisanku dalam bentuk karya ilmiah seperti yang di minta Ms. Christine untuk kami kumpulkan besok. Kukerjakan semua tugasku dengan cepat. Hingga tidak terasa hari telah berganti malam. Kututup jendela kamarku dan beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi rasanya pikiranku lebih tenang. Air dingin telah mengguyur kepalaku dan membuatku lebih rileks. Pukul sepuluh malam dan aku sadar kalau aku belum makan malam. Tidak ada yang memanggilku untuk makan bersama, aku yakin tanpa kusadari kakakku pasti melihatku sedang sibuk sehingga tidak berani menggangguku untuk turun makan malam. Perutku sama sekali tidak merasa lapar lalu untuk apa aku turun sekarang? Kurasa semua orang sudah tidur sekarang dan sebaiknya aku ikut tidur karena besok aku harus pergi ke kampus pagi-pagi sekali untuk mengumpulkan tugas itu.Kubaringkan tubuhku dan kutatapi langit-langit kamarku. Bayangan Roman memenuhi otakku. Caranya melihatku terkesan berbeda. Kenapa dengannya? Kenapa sejak aku dekat dengan Adit dan Ezi sikapnya berubah padaku? Dia bukan lagi Roman yang kukenal. Sebenarnya apa yang terjadi? *** Bab 9 “Apa kau benar-benar tidak peduli pada sikap Roman padamu?” kata Anka sambil terus mengikuti langkah kakiku. Dia berlari-lari kecil untuk mengimbangi langkahku yang cepat. Aku kesal kenapa sekarang Anka membicarakan hal yang tidak ingin kubicarakan.“Kau seperti buka Yurika yang kukenal!” kata Anka marah. Langkah kakinya berhenti di belakangku. Aku pun akhirnya berhenti. Kuperhatikan koridor yang kini sepi. Aku tahu percuma berdebat tapi ini harus diluruskan. Dan akan sangat berbahaya jika banyak orang yang mendengarkan percakapan kami sekarang.“Kenapa dengannya? Aku tidak ada masalah apa pun dengannya?” kataku mencoba berbohong. Kulihat tatapan Anka berbeda dia menatap mataku dan tersenyum lemah.“Jangan bohong! Kalian berdua itu sama saja! Kau tahu aku beberapa hari ini Roman terlihat berbeda dari biasanya. Dia tidak pernah bicara apa pun padaku. Dan aku tahu kini kau dan dia sedang ada masalah! Katakan padaku apa masalah kalian!” katanya kesal.“Aku tidak ada masalah apa-apa dengannya! Kau dengar! Aku tidak ada masalah apa-apa dengannya!” kataku kesal. “Kenapa sih kalian! Kenapa tidak percaya padaku! Aku bisa membantu menyelesaikan masalah kalian! Yurika! Kau tahu Roman itu sahabat baikku!” katanya.“Dan kau juga sahabat baikku! Tapi kau tidak bisa mengerti kenapa kami seperti ini sekarang kan! Tanya kan saja pada sahabatmu itu!” kataku benar-benar kesal dan meninggalkan Anka yang terbelalak mendengar kata-kataku.Aku kesal kenapa tidak ada yang mengerti keadaanku! Aku tidak mau mendengar apa pun tentang Roman sekarang! Aku marah padanya! Aku tidak mau peduli padanya! Kenapa Anka terus menyudutkanku! Kulangkahkan kakiku secepatnya menuju ruang kelasku. Langkah kakiku segera membawaku dan kini aku duduk di sudut kelasku. Semua melihat ke arahku. Entahlah apa yang mereka lihat tapi ekspresi mereka terkesan bingung. “Kenapa?” galakku pada Luna yang baru saja berjalan ke arahku.“Tidak,” katanya kaget lalu memutar balik arahnya. Nisa dan Heni pun memandangiku dari jauh. Aku tidak tahu kenapa tapi semua mata tertuju padaku! Kenapa mereka?“Kau kenapa?” tanya Nisa memberanikan diri. Dia kini duduk di sampingku namun aku tidak mempedulikannya. “Ada masalah? Kenapa dengan kalian? Apa kalian bertengkar?” tanya Nisa lagi. Kupandangi dia namun aku tidak bisa marah. Kulihat Dina, Anka, Zita, dan Roman duduk jauh dariku dan ini membuatku makin kesal! “Lupakan saja,” kataku pada Nisa lalu berdiri meninggalkannya. Kubawa tas dan tugasku menuju Bhen sang ketua tingkat.“Kak Bhen, tolong berikan tugasku pada Ms. Christine. Aku tidak akan masuk kelas,” kataku sambil memberikan tugasku. Bhen melihatku sepintas lalu kembali mengobrol dengan Haris dan lain-lain. Aku benar-benar tidak bisa kuliah dengan pikiran sekacau ini dan lebih baik aku pulang. Kuambil semua barang-barangku dari mejaku dan pergi. Kulihat Dina dan Zita menatapku seraya ingin minta penjelasan namun aku tidak mau melihat mereka sekarang!Kuhentikan taksi yang berhenti tidak jauh dari gerbang kampusku, dan kuminta sang sopir untuk membawaku menuju Rumah Sakit. Dengan sigap taksi ini melaju cepat di antara rentetan taksi yang berjalan perlahan. Pikiranku benar-benar membuatku sesak! Kepalaku sakit memikirkan masalah yang ada sekarang! Kenapa hal kecil jadi begitu pelik? Ini semua karena kau Roman!Belum lama aku duduk dikursi penumpang tapi mobil ini sudah menghentikanku di depan sebuah Rumah Sakit besar yang berdiri kokoh di pusat kota. Aku turun dan segera memasuki pintu yang dijaga oleh dua satpam yang kini berdiri di sisi kanan dan kirinya. Kulangkahkan kaki menuju kamar Ryan yang terletak di lantai dua. Dan segera saja kakiku melangkah memasuki kamar tempat Ryan dirawat. Kulihat seseorang tertidur di sofa yang kini di letakkan di sudut ruangan. Kudekati dia dan kubenarkan letak selimut yang menutupi tubuhnya. Kasihan suster Lucia. Dia harus menjaga Ryan seharian disini. Dan suster-suster lainnya harus menjaga anak-anak lainnya di panti. Apa yang bisa kulakukan untuk membantunya?Kulangkahkan kakiku menuju Ryan yang kini terlelap. “Kau semakin kurus. Dan begitu pucat. Kenapa anak sekecil dia harus menderita Tuhan? Kenapa?” hatiku terasa sakit melihatnya yang begitu pucat dan aku tidak kuasa untuk menangis. Kutinggalkan ruangan ini dan duduk di kursi yang di letakkan di depan kamar pasien yang berada di samping kamar Ryan. Aku tidak bisa untuk tidak menangis! Sejenak kurasakan sesuatu membuat dadaku sesak. Kenapa semua masalah terjadi begitu cepat? Kenapa semuanya datang bersamaan? Aku tidak akan kuat! Saat aku berperang dengan pikiranku, tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentug kepalaku dan menyadarkanku. Seseorang berdiri di sampingku sambil memberikan sekaleng minuman dingin padaku. Aku tersenyum hambar dan kini dia duduk di sampingku.“Kau kenapa bisa disini?” kataku kaget.“Aku bosan di kamar. Aku melihatmu berjalan kemari saat diluar, tapi kau tidak melihatku. Kenapa kau tidak main ke kamarku kemarin? Aku menunggumu.” Aku diam saja dan tersenyum pada Ezi yang kini meminum minumannya.“Hey! Kau tidak boleh minum itu!” kataku kaget lalu merebut minuman kalengnya.“Aku tidak apa-apa!” katanya mencoba merebutnya lagi.“Kau ini! Kau kan pasien! Kenapa kau suka sekali berkeliaran! Kau harusnya istirahat di kamarmu! Dan kau harusnya tidak minum ini!” Dia tertawa dan membelai lembut kepalaku. “Kau benar-benar mirip dia!” katanya sambil tertawa. Aku cemberut karena seakan-akan dia membandingkanku dengan Mika. “Kau kenapa?” tanyanya serius. Ekspresiku kini berubah. Tawaku hilang dan kulihat tatapannya yang lembut menatapku. Aku membuka minuman kalengku dan meminumnya banyak-banyak.“Kau kenapa?” katanya sambil merebut minumanku. Aku masih terus minum tapi dia terus mencoba mengambilnya dariku. “Sudah cukup kau minum ini!” katanya sambil mengambil minuman bersoda itu dariku.Air mataku mengalir lagi dan aku benar-benar menyerah untuk memendam semua perasaanku. “Kenapa? Kenapa mereka tidak bisa mengerti aku? Kenapa mereka semua bersikap begitu padaku?” kataku kesal. Ezi terlihat mencoba mencerna kata-kataku dan kini dia merangkulkan tangannya padaku. Aku masih terus mengatakan semua yang ingin kukatakan dan dia menjadi sandaranku. “Mereka marah padaku! Menuntut semua penjelasanku tentang masalahku dengan Roman! Kenapa harus aku! Kenapa mereka seakan-akan menyalahkanku akan semua ini!”Ezi masih merangkulku dia tahu aku butuh dia saat ini. Aku terus menangis dan dia tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuatku kesal.“Apa Roman itu pria yang menghajarku di danau?” katanya bingung. Aku kaget saat dia tiba-tiba mengingatkanku pada Roman. Tapi aku hanya mengangguk mengiyakan. Dia tersenyum padaku dan melepaskan rangkulannya. Dia menghapus air mataku dan tersenyum. “Kau tahu aku benar-benar kagum padanya,” katanya pelan.“Maksudmu?”“Dia bisa melindungimu. Aku bisa mengerti saat dia menghajarku. Dia hanya ingin melundungimu. Dan harusnya kau senang.” Kata-katanya benar tapi ada hal-hal yang tidak bisa kujelaskan.“Apa kau punya hubungan khusus denganya?” kata Ezi pelan. Aku memandangnya dan tersenyum pilu."Tidak, kami hanya berteman. Tapi dia teman baikku. Ya, setidaknya itu dulu. Karena dia Anka marah padaku. Dina dan Zita pun bingung harus bersikap apa padaku,” kataku kesal.“Aku tidak tahu pasti apa yang bisa membuat hubungan persahabatan kalian jadi seperti ini, tapi aku hanya ingin mengatakan pendapatku. Kurasa sebaiknya kau jelaskan pada mereka. Terutama pada Roman. Kau harus menanyakan apa yang membuatnya bersikap begitu padamu. Lalu kau bisa jelaskan semuanya pada teman-temanmu. Kau tahu aku senang kalau kalian bisa berteman seperti dulu,” katanya pelan.Kupandangi dia dan dia tersenyum lalu lagi-lagi membelai kepalaku dengan lembut. “Kau akan lebih riang jika bersama mereka. Jadi bebaskanlah pikiranmu dari perasaan-perasaan yang mengganggumu. Jelaskan pada mereka dan kau akan mendapatkan sahabat-sahabatmu lagi,” katanya sambil tersenyum.“Kenapa? Kenapa kau begitu baik padaku?” kataku pelan. Mataku masih terus tertuju padanya. Sesuatu yang berbeda muncul dari dalam dirinya dan membuatku terpana. Entahlah apa yang kurasakan tapi setiap kata-katanya dapat menyadarkanku.“Bukankah sudah kukatakan kalau aku menyukaimu!” katanya sambil tertawa. Aku memukulnya perlahan tapi dia hanya tertawa. Aku pun ikut tertawa.“Jangan katakan itu lagi, aku senang kau jadi temanku,” kataku sambil terus memukulnya dengan pelan. Dia tertawa dan berlari meningalkanku. Aku mengejarnya dan kami berlari menuju taman belakang rumah sakit aku senang dan merasa lebih ringan sekarang. Kulihat dia terus berlari dariku dan aku terus mencoba mengejarnya hingga aku menabraknya dan kami terjatuh. “AUUUWWW!” kata kami bersamaan. Sesaat jantungku berdetak keras sekali. kini dia berada di bawahku. Aku jatuh tepat di atasnya. Wajahnya dan wajahku begitu dekat hingga bisa kurasakan debar jantungnya yang sama kuatnya denganku. Sejenak aku masih terpaku disana sampai kudengar dia tertawa. Spontan aku langsung berdiri. Aku malu, mukaku pasti sudah semerah tomat. Tidak sedikit orang melihat ke arah kami sekarang dan semua tertawa melihat kami berdua. Aku malu, benar-benar malu tapi Ezi masih tertawa. Kini dia berusaha berdiri dan kulihat dia masih terus tertawa dan membuat semakin banyak orang memperhatikan kami. “Maaf,” kataku malu kepada semua orang yang menertawakan kami.“Lain kali kalian harus hati-hati,” kata seorang nenek yang duduk di kursi roda yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku benar-benar malu dan terus menunduk sambil mengatakan maaf. Ezi bukannya minta maaf tapi terus tertawa dan meledekku.“Ternyata kau berat juga” katanya berbisik padaku. Aku kaget dan memukulnya pelan. Ezi berlari menghindari pukulanku dan aku mengejarnya meninggalkan orang-orang yang masih menertawakan kami. “Hey! Kau tunggu! Sini aku pukul kau! Enak saja kau bilang aku gemuk!” Ezi masih terus berlari dan aku mengejarnya sambil mengacungkan tinjuku padanya. “Ezi tunggu! Hey! Jangan lari!” kataku kesal. Aku masih terus mengejarnya sampai suster Lucia tiba-tiba memanggilku dari kantin rumah sakit yang tidak jauh dari tempat kami sekarang.“Yuri, sedang apa kau?” Aku kaget. Dan berhenti mengejar Ezi. Ezi pun berhenti dan kini dia berjalan ke arahku.“Suster sedang apa?” kataku kaget. Bukankah tadi beliau ada di kamar?“Suster sedang membeli minuman. Kau mau, nak?” katanya. Aku menggeleng dan suster Lucia tersenyum lalu setelah membayar minumannya beliau pergi meninggalkan kami berdua menuju kamar Ryan.Aku mengambil kesempatan ini untuk membalas Ezi. Kupukul dia perlahan lalu dia tertawa keras. “Rasakan!” kataku sambil tertawa.“Tidak sakit!” katanya. “Dasar kau! Sudahlah aku lelah. Dan tidak seharusnya pasien seperti kau berlari-lari seperti tadi! Bisa-bisa aku harus bertanggung jawab kalau kau tiba-tiba pingsan,” keluhku sambil tertawa.Ezi tersenyum lembut dan menurut. Aku mengantarnya ke kamarnya dan memastikan dia tidur di depanku baru bisa kutinggalkan dia di kamarnya. Ezi berbaring di tempat tidurnya dan tidur dengan lelap. Kupandangi wajahnya yang kini pucat. Aku tahu tidak seharusnya kami bermain seperti tadi. Dia pasti lelah. Kulihat wajahnya yang pucat dan kuperhatikan lagi wajahnya dengan teliti. Dia tampan. Tiap lekuk wajahnya sangat sempurna, dan kusadari kalau Ezi bahkan jauh lebih tampan dari Adit. Aku tersenyum malu saat tiba-tiba teringat kejadian tadi. Dan aku sadar tidak seharusnya aku lama-lama disini. Aku mulai beranjak pergi dan ketika itu dia menahan tanganku. *** bab 10 Aku mencoba melepaskan tanganku darinya tapi dia memegang erat tanganku kulihat Ezi yang masih terbaring ditempat tidurnya. Matanya tertutup tapi ekspresi ketakutan kulihat tersirat di wajahnya. Dia terus berteriak agar aku jangan pergi. Aku takut hingga air mataku mengalir. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Keringatnya bercucuran dan kulihat wajahnya pucat pasi. Aku berusaha membangunkannya tapi matanya terus tertutup.Kucoba untuk melepaskan pegangannya pada tanganku agar aku bisa memanggil dokter untuknya tapi genggamannya terlalu kuat untuk bisa kulepaskanAku terduduk lemah di sampingnya aku mencoba untuk terus membangunkannya tapi tetap tidak ada hasilnya dia masih berteriak histeris. Aku menangis sekeras-kerasnya agar dia bangun tapi tetap saja dia berteriak. Beberapa saat terus seperti itu hingga perlahan genggamannya melemah, teriakannya berhenti dan raut wajahnya berubah. Dia terlihat sedih dan keringat membanjiri tubuhnya. Aku berhenti menangis dan berusaha tenang. Kulepaskan tanganku darinya dan saat aku akan memanggil dokter kudengar dia mengatakan sesuatu yang membuatku menangis.“Mika ... jangan pergi Mika ... kumohon jangan pergi ...” katanya pelan. Aku terbelalak saat kudengar Mikalah orang yang terus disebutnya. Apa jangan-jangan? Apa tadi dia menyuruh Mika agar tidak pergi? apa karena itu dia berteriak?Kurasakan sesuatu yang sesak menyumbat tenggorokanku hingga sulit sekali bagiku untuk bernafas. Hatiku sakit dan air mataku yang hangat mengalir lagi. Kenapa denganku? Apa yang sedang kulakukan?Aku berlari meninggalkan kamarnya kususuri koridor-koridor rumah sakit yang cukup ramai hingga akhirnya berhenti di depan sebuah kamar. Aku mengetuk pintu lalu masuk ke kamar itu. Sebelumnya kuhapus dulu airmataku agar suster Lucia tidak cemas melihatku dengan kondisi seperti saat ini. Kulangkahkan kakiku dan kulihat suster Lucia sedang menyuapi Ryan di sampingnya. Aku tersenyum hambar padanya dan suster Lucia mengajakku untuk bicara pada Ryan.“Yuri, kemari nak.” Aku mendekati suster Lucia dan kulihat Ryan membuang muka dariku. Aku tahu dia pasti tidak senang tapi aku tetap mendekat. “Kau kemana saja nak? Suster mencarimu dari tadi.”“Maaf suster, Yuri mengantar teman ke kamarnya.”“Oh, temanmu yang pasien itu? Kenapa dia sering keluar dari kamar. Harusnya kau ingatkan dia untuk istirahat. Kalian mana boleh berlari-lari di taman seperti itu. Itu akan mempengaruhi kondisinya,” kata suster Lucia sambil terus menyuapi Ryan. Aku hanya mengangguk dan tiba-tiba suster Lucia memberikan mangkuk bubur itu padaku.“Tolong suster ya, suster mau ke toilet dulu. Kamu suapi dia pelan-pelan. Masih sulit baginya untuk menelan makanan.” Aku mengangguk dan kini duduk di kursi yang baru saja di duduki suster Lucia. Ryan tidak melihatku, tapi aku berinisiatif untuk mengajaknya bicara.“Kau sudah lebih baik sekarang. Ayo makan, agar dia cepat keluar dari rumah sakit. Ayo kakak suapin.” Ryan diam saja, bahkan dia membuang muka dariku. Aku bingung harus bebuat apa tapi terus kubujuk dia.“Ryan, ayo makan, kakak akan senang kalau kau mau makan,” kataku lagi. Saat kudekatkan sendok itu padanya dia menepisnya hingga sesendok bubur tumpah ditempat tidurnya. Aku kaget lalu kutarik beberapa lembar tissue untuk membersihkannya. Aku berusaha tenang dan sabar aku tahu tidak akan mudah bagiku untuk mendekatinya.Kucoba memberinya satu sendok bubur lagi tapi dia berteriak.“Aku tidak mau kalau kau yang menyuapiku! Pergi sana! Aku tidak mau melihatmu!” teriaknya. Aku kaget. Sudah kuduga dia akan marah tapi aku tidak menyangka kalau dia begitu membenciku.“Tapi, Kau harus makan. Kakak cuma mau membantumu.”“Aku bilang aku tidak mau kalau kau yang membantuku makan! Aku benci kau! Pergi!”Aku tidak banyak bicara lagi dan saat kuberikan satu sendok lagi dia mengambil mangkuk bubur itu dari tanganku dan melemparkannya. Mangkuk itu jatuh dan pecah di depan pintu kamar tepat saat suster Lucia masuk. Aku kaget. Ekspresi suster Lucia terlihat kaget. Aku tahu apa tandanya ini.“Apa yang kau lakukan?” kata suster Lucia marah. Dia mendekati Ryan yang langsung menutupi wajahnya dengan selimut. Aku berusaha membantunya untuk menjelaskan pada suster Lucia kalau akulah yang salah tapi suster Lucia tetap murka.“Apa yang kau lakukan anakku?! Kau tahu kau harus makan! Kenapa kau bersikap begitu pada kakakmu!”“Dia bukan kakakku!” teriaknya.“Bukan kakakmu! Lalu siapa kakakmu! Kenapa kau begitu susah diatur! Kau tahu Yuri selalu menjagamu selama kau sakit! Kau tidak tahu itu karena dia selalu pergi saat kau bangun! Kakakmu tahu kalau kau tidak mau dijenguk tapi dia tetap datang hanya untuk tahu keadaanmu! Adik macam apa yang bersikap begitu tidak sopan?!” kata suster Lucia benar-benar kesal. “Suster cukup suster. Yuri yang salah karena Yuri yang maksa Ryan untuk makan. Suster jangan salahkan dia,” kataku takut. Aku hampir menangis tapi kucoba untuk tidak terlihat begitu lemah. Aku tidak mau membuat suster Lucia semakin marah padanya. “Suster, biar Yuri pulang dulu. Mungkin dia butuh istirahat. Yuri akan datang lagi nanti,” kataku menenangkannya. Suster Lucia mencoba untuk tenang dan memelukku.“Maafkan dia, nak.” “Yuri mengerti,” kataku pelan lalu kutinggalkan kamar itu. Kututup pintunya lalu terduduk lemas disana. Aku bingung, kenapa dia begitu membenciku. Apa salahku? Aku hanya ingin membantunya. Air mataku mengalir lagi dan kutahu semua yang kulakukan selama ini mungkin sia-sia. *** Berhari-hari berlalu tanpa ada kata yang bisa kuucapkan pada Anka, Dina, Zita, dan Roman. Aku bingung aku harus mengatakan apa agar mereka tahu posisiku sekarang. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa sejak saat itu Roman bersikap begitu padaku dan kenapa ketiga sahabatku yang lainnya bersikap bungkam. Kenapa dengan mereka? apa salahku?Beberapa hari terakhir aku seperti menghilang di antara bayangan orang-orang yang kukenal. Aku mencoba mengintrospeksi diriku tapi sampai saat ini belum kutemukan jawaban yang kuinginkan. Aku bingung kenapa Ryan begitu membenciku dan aku juga bingung kenapa Roman bersikap dingin padaku? Kenapa dengan mereka berdua? Apa salahku? Sudah kulakukan apa yang seharusnya kulakukan selama ini tapi mereka tetap saja bersikap begitu padaku. Aku berjalan menyusuri halaman kampusku dan kulihat banyak orang yang kini menonton pertandingan tenis di lapangan tenis yang berada tidak jauh dariku. Aku berharap semua keramaian ini dapat menutupi kesedihanku. Aku kesepian, aku kehilangan orang-orang yang kusayang. Kalau memang aku berbuat kesalahan tolong katakan apa yang telah kuperbuat! Aku benar-benar bingung. Batinku terus berteriak meneriakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Aku kesal dan kurasakan air mata hampir menetes di pipiku. Kuseka air mataku sebelum aku benar-benar menangis dan kutinggalkan kampusku. Entah kemana kakiku melangkah tujuanku hanya satu yaitu pergi dari tempat dimana orang-orang bersikap begitu tidak acuh padaku. Aku tahu ini salah, harusnya aku menyelesaikan masalahku bukannya berlari dari masalahku hanya saja untuk saat ini aku masih tidak bisa berbuat apa-apa karena aku pun tidak tahu apa salahku.Kakiku dengan cepat membawaku ke sebuah tempat yang selalu bisa membuatku tenang. Danau yang terbentang di hadapanku membuatku bisa lebih rileks dan air yang tenang pun dapat membuatku lebih tenang.Aku duduk dikursi yang terletak di dekat danau. Kupandangi air yang terlihat tenang sesekali kurasakan angin sepoi-sepoi bertiup di sekitarku. Damai itulah perasaan yang perlahan-lahan menyelimutiku. Kusadari hampir saja aku menangis tapi kucoba untuk tidak menangis. Aku tidak ingin menangis lagi. Kenapa aku begitu mudah menangis? Aku akan terlihat semakin bodoh.“Sedang apa kau?” seseorang mengejutkanku dan aku terbelalak melihatnya duduk di sampingku. Aku bergeser dan berusaha sedikit menjauh darinya. Jantungku berdetak kuat dan aku tidak berani menatapnya. Aku diam saja saat dia menatapku. Aku berusaha tidak memikirkan apapun agar ekspresiku bisa terlihat lebih santai tapi masalah yang terjadi beberapa hari terakhir membuat usahaku sia-sia. “Kau baik-baik saja?” tanyanya khawatir. “Aku baik,” kataku parau.“Aku tidak mengganggumukan?” katanya sambil bergurau dan lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Perlahan-lahan kurasakan bahwa hatiku mulai lebih tenang sejak dia duduk di sampingku. Kuperhatikan wajahnya dari dekat dan saat dia berpaling padaku hampir saja kami berciuman. Wajah kami berada sangat dekat tapi dengan cepat kami sama-sama berpaling. Astaga mukaku benar-benar merah! Aku tahu kalau perasaanku padanya masih sama seperti dulu dan kejadian tadi benar-benar membuat jantungku semakin tidak karuan.“Apa kabarmu?” kataku mengalihkan suasana yang kini tegang. Adit tersenyum padaku dan menatapku lembut.“Aku baik-baik saja. Aku yang harusnya bertanya padamu. Kulihat beberapa terakhir ini sesuatu terjadi padamu. Ada apa? Aku sudah jarang melihatmu di kampus. Aku juga jarang melihatmu bersama teman-temanmu lagi. Apa kau benar-benar baik-baik saja?”Aku diam. Sejujurnya aku tidak mampu berbohong lagi. Tapi apa mungkin aku harus menceritakan semua ini padanya? “Aku ... aku baik-baik saja.”“Jangan bohong. Katakan saja, bukankah kita berteman?”Tiba-tiba sesuatu yang besar menyumbat tenggorokanku hingga aku seakan-akan tidak bisa bernafas. Sesak. Hatiku pun merasa sakit, teman? Jadi selama ini dia menganggapku teman? Oh Tuhan kenapa aku bodoh sekali! bukankah aku pun tahu kalau Adit dan Erika ....“Yah, kita teman,” kataku lemah.“Jadi, ceritakanlah,” katanya semangat. Perlahan aku sadar hingga kusadari mungkin aku benar-benar harus menceritakan apa yang sedang menimpaku saat ini. Kuceritakan semua kejadian yang terjadi antara aku dan Ryan, setelah itu kuceritakan tentang masalahku dan sahabat-sahabatku. Kulihat Adit mengambil perhatian penuh ditiap kata-kataku dan kusadari perlahan bebanku terasa lebih ringan dan akhirnya kuselesaikan semua ceritaku padanya dengan tenang.“Lalu sampai saat ini kau masih belum menjelaskan semua yang terjadi pada mereka?” tanyanya.Aku hanya mengangguk dan berusaha mencerna apa saja yang baru saja kuceritakan padanya. Seingatku aku tidak menceritakan tentang Ezi sama sekali. untunglah, kurasa aku tidak harus menceritakan hal itu padanya.“Bukannya aku ingin ikut campur, hanya saja kurasa kau harus menjelaskan semuanya pada mereka. Kurasa mereka benar-benar sedang menunggu penjelasan darimu. Kalau kau sudah menceritakan semuanya mereka pasti akan mengerti. Aku yakin mereka akan memaafkan semua kesalah pahaman yang terjadi diantara kalian. Dan soal pria yang bernama Roman, apa dia pria tinggi yang ada di kelasmu itu?” “Ya, itu dia,” kataku tiba-tiba kesal saat mendengar kata-katanya.Adit tiba-tiba tertawa dan tawanya membuatku semakin bingung. Aku tidak tahu kenapa hanya saja kenapa dia tertawa?“Kau kenapa?” kataku kesal.“Tidak, aku hanya merasa kalau ... kurasa kau harus tanya langsung padanya. Aku punya dua dugaan, tapi lebih baik kau tanya padanya.” Adit berusaha berhenti tertawa dan kini membelai lembut kepalaku.“Sudah lama kita tidak ngobrol. Kau tahu aku merindukanmu! Kau terkesan selalu menghindariku beberapa hari terakhir. Tepatnya sejak pertandingan basket hari itu. Kenapa denganmu? Aku terus mencarimu,” katanya bingung. Aku pun bingung harus menjawab apa, sejak kejadian itu banyak sekali kejadian-kejadian lain yang membuat hari-hariku begitu melelahkan. “Aku tidak menghindarimu, kau saja yang merasa begitu,” kataku malu. Dia menatapku lagi dan tertawa.“Yah, sudahlah. Lagipula aku sudah bertemu denganmu sekarang. Dan satu hal lagi, ingat jangan menghindariku lagi! Dan aku ingin segera melihatmu bersama teman-temanmu lagi.” Katanya lembut. Aku tersenyum padanya dan saat dia akan beranjak pergi sesuatu meluncur begitu saja dari pikiranku.“Kau temanku bukan?” kataku tiba-tiba.“Tentu saja,” katanya berpaling padaku sambil tersenyum.“Lalu kenapa kau tidak cerita tentang Erika padaku?“Apa?” dia terlihat bingung dan terkejut. Aku berusaha tenang dan menatap tajam matanya.“Apa kau bersamanya sekarang?” kataku tegas. “Apa maksudnya?” tanyanya yang terlihat makin bingung. Aku menarik nafas panjang dan menatap nya dengan tegas. “Bukankah kau bersamanya sekarang?”Dia tertawa cukup keras hingga aku malu sendiri dengan kata-kata yang baru saja kukatakan. “Aku dan dia berteman baik sejak kami kecil, hanya itu tidak lebih,” katanya tertawa.“Tapi kau dan dia? Bukankah kalian saling menyukai?” kataku kaget.“Dari mana kau tahu hal itu?” dia mendekatiku aku terpaksa berdidi dari tempatku duduk dan menghindarinya.“Aku ...”“Terserah kau mau dengar gosip itu dari mana, aku dan Erika hanya teman. Dan dia adalah manajer klubku.”“Tapi aku mendengarnya sendiri,” kataku tiba-tiba.Adit semakin bingung dan mendekat ke arahku. Aku menghindarinya tapi dia menarikku.“Jadi kau mendengarnya saat pertandingan?” tanyanya. Aku berusaha tidak menatap matanya saat dia bertanya padaku. Aku takut, apa dia akan marah padaku.“Kau salah paham. Dia berkata begitu padaku karena ada sesuatu yang terjadinya padanya. Aku tidak bisa menjelaskan hal itu padamu, tapi kau harus tahu kalau aku dan dia hanya berteman,” katanya lagi. Dia melepaskan pegangan tangannya dariku. Aku benar-benar malu tapi tidak bisa mengatakan apapun. Dia beranjak pergi dan setelah cukup jauh dariku dia melambaikan tangannya dan dengan malu kubalas lambaiannya. *** “Aku ingin bicara dengan kalian,” kataku pelan saat akhirnya kucoba untuk beranikan diriku bicara kepada ketiga sahabatku. “Ada apa?” tanya Anka dingin.“Kenapa dengan kalian?” kataku kesal.“Apa? Bukannya kami yang harus mengatakan hal itu! Kenapa kau?!” teriak Anka padaku.“Aku? Apa yang kubuat? Aku benar-benar tidak mengerti? Apa yang kalian tidak suka dariku? Jelaskan!” kataku benar-benar kesal. Apa maksudnya mereka?“Kau tidak tahu?! Astaga Yurika! Kau tahu kenapa kami begitu padamu?! Kau berubah! Kau bukan Yurika yang kami kenal!”“Apa? Apa yang berubah! Kalian lah yang berubah! Kalian tidak bisa mengerti situasiku! Teman macam apa itu!” teriakku makin kesal. Anka terlihat benar-benar marah dan meninggalkanku.Zita berlari menyusulnya, dan Dina berdiri dihadapanku.“Dina, apa kau juga akan memarahiku?!” kataku kesal. Dina menatapku tajam dan tersenyum.“Bukan saatnya untuk marah padaku. Yuri aku orang yang paling mengenalmu. Kita berteman sudah sangat lama, tapi aku masih tidak bisa mengerti jalan pikiranmu.” “Apa? Maksud kamu apa?” kataku makin bingung.“Kau tahu Anka sebenarnya, dia marah padamu karena kau bersikap begitu tidak acuh pada Roman! Kau tahu sendiri, Roman adalah orang yang dicintainya. Dan satu hal lagi, kau memukul Roman di hadapannya!” Aku diam dan mencoba mencerna tiap kata yang dikatakannya. Anka melihatku memukul Roman? Astaga aku tidak pernah tahu.“Memangnya apa masalahmu dengan Roman sampai kau bersikap begitu padanya?” tanya Dina lagi. Aku tidak tahu harus bilang apa, aku terduduk di kursiku. Kelas yang kini sepi membuatku berani untuk menangis. Astaga kenapa air mata ini terus mengalir. “Aku ... Dina kau tahu sendiri aku tidak akan berbuat seperti itu kalau saja Roman tidak berbuat salah padaku. Kau tahu aku kan?” kataku meyakinkan.“Entahlah, kurasa satu-satunya cara yaitu kau harus bicara dengan Roman. Setelah itu baru temui kami. Aku akan melihat situasi dulu. Akan kukabari kau nanti.” Dina mengambil tasnya dan pergi meninggalkanku di kelas yang kini kosong. Aku masih duduk disana saat kusadari seseorang masuk dan menatapku dari depan pintu. Kulihat dia dan aku benar-benar ingin marah. Aku benci orang yang kini berdiri disana.“Sedang apa kau disini? Menertawakanku! Iya!” teriakku pada Roman yang berdiri cukup jauh dariku. “Kenapa lagi denganmu?” tanyanya kesal.“Kenapa?! Kau tanya kenapa?! Kau yang kenapa! Mereka menjauhiku karena kau! Kau senang sekarang! Puas!” emosiku benar-benar tidak bisa kukontrol. Aku kesal benar-benar kesal. Roman masih memandangiku dia mencoba mendekat tapi kulempar dia dengan bukuku. Dia mengelak dan aku mencoba menjauhinya. Matanya yang tajam menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kumengerti dia terus mendekat hingga aku tidak bisa bergerak lagi. Aku tersudut di sudut ruangan itu. Dia kini berdiri di depanku dan matanya melihatku seakan-akan ada sesuatu di mataku. Aku membuang muka dan saat aku mendorongnya menjauh dia menarik lenganku dengan kuat.“Auw! Sakit!” kataku. Dia masih menggenggam erat tanganku aku berusaha mengelak tapi tidak bisa. “Apa mau mu!” teriakku padanya.“Aku ingin masalah kita selesai! Apa kau tudak lelah bersikap begitu padaku!” teriaknya. Aku menatapnya tajam dan kulihat perlahan Roman melemahkan genggamannya dan berpaling dariku. Kulepaskan tanganku dan kulihat lingkar merah yang kini bercap pada pergelangan tanganku. Kusadari betapa kuatnya dia menggenggamku. Dia masih tidak melihat ke arahku. Aku bingung aku benar-benar ingin semua masalah ini selesai tapi ... aku masih tidak bisa terima dengan caranya waktu itu!Aku lelah dan kini duduk di salah satu kursi yang berada di tengah-tengah ruangan dan dia berdiri tidak jauh dariku. Sejenak kami hanya saling memandang hingga dia membuat suasana semakin tidak nyaman.“Maaf atas kejadian waktu itu. Aku ... aku benar-benar tidak sengaja melakukannya,” katanya pelan. Aku terbelalak mendengar kata-katanya dan teringat olehku terakhir kali kami bertengkar saat dia memarahiku. Aku ingat dia menyuruhku melupakan Adit dan mengatakan Ezi adalah orang asing yang tidak pantas untuk dekat denganku. Aku jadi kesal, namun terbesit rasa bersalah di hatiku saat kuingat aku memukulnya saat itu.“Maaf telah memukulmu,” kataku tiba-tiba, “Tapi kau pantas mendapatkannya,” tambahku.“Yuri ...” kata Roman pelan. Dia mendekatiku dan aku menatap matanya lagi.“Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Aku tidak bermaksud untuk bersikap seperti itu. Hanya saja saat itu aku benar-benar kesal. Aku tidak bisa mengontrol emosiku.” Kata-katanya membuatku sedikit terkejut tapi aku tahu ini bukan saatnya untuk bertengkar.“Kenapa kau bersikap begitu saat itu?”“Aku ... aku tidak tahu, aku hanya bingung. Aku tidak suka melihat kau menangis karena Adit. Dan aku tidak mau melihatmu dekat dengan Ezi. Aku takut kau akan dibuatnya sedih sama seperti Adit yang membuatmu menangis.”“Kau tahu, Aku menangis itu adalah masalahku. Adit bukan orang yang membuatku menangis. Dan Ezi, dia sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Selama ini aku menangis itu karena kebodohanku. Aku salah mengira kalau Adit menyukai orang itu. Tapi sekarang aku sudah tahu kenyataannya. Aku tahu dia hanya berteman, aku tahu tidak ada gunanya aku menangis. Dan Ezi dia ... dia hanya temanku. Ada banyak hal yang membuatku bersimpati padanya. Tapi hanya itu, tidak akan lebih dari itu,” kataku tegas. Raut wajah Roman mulai menegang saat kukatakan segala yang membuatku kesal selama ini.“Dan tolong jelaskan padaku, kenapa kau begitu peduli denganku?” kataku tiba-tiba. Dia terlihat kaget tapi dia dia berusaha mengatasi kekagetannya dengan tersenyum padaku.“Karena aku menyukaimu.” Kata-katanya membuat mataku membesar. Aku kaget mendengarnya. Roman menatapku tajam dan aku diam saja.“Aku menyukaimu. Sudah lama aku menyukaimu. Dan aku juga tidak ingin terjadi sesuatu padamu. Kau teman baikku. Dan bagiku kau bukan hanya temanku, tapi kau orang yang kusuka.””Aku sama sekali tidak mengerti dengan semua yang kau katakan. Tapi maafkan aku, aku tahu ini tidak benar. Kau tidak boleh menyukaiku! Karena Anka menyukaimu!”“Aku tidak peduli, aku dan dia hanya teman dan tidak akan pernah lebih dari itu!”“Tidak! Cukup, ini semua sudah keterlaluan. Kumohon, jangan katakan ini lagi. Aku tidak mau Anka berpikir macam-macam. Kumohon, jangan lakukan itu padaku.”“Tapi aku hanya ingin yang terbaik untukmu,” kata Roman kesal.“Terima kasih. Kau peduli padaku. Tapi kau harus tahu kalau aku bisa memilih apa-apa yang baik untukku. Aku sudah dewasa, aku bisa menentukan mana yang terbaik untukku.” Kataku tenang. Roman nampak tidak percaya dan tidak bisa terima begitu saja. Sejenak dia diam dan aku hampir menangis saat kusadari semua terjadi begitu cepat. Hening sesaat hingga dia tersenyum dan mau tidak mau aku juga tersenyum aku berdiri dan dia semakin dekat denganku. Dia memelukku erat aku kaget tapi kubiarkan saja. Aku balas memeluknya dan kudengar sesuatu yang dia bisikkan padaku.“Aku ingin kau bahagia,” katanya pelan.“Aku tahu itu,” balasku.“Dan setelah kuselidiki beberapa hari terakhir aku tahu satu hal.” Dia melepaskan pelukannya padaku dan menatapku tajam.“Adit benar-benar menyukaimu.” Kata-katanya pelan namun aku masih bisa mendengarnya. Wajahku bersemu merah dan dia tersenyum melihat ekspresi bingungku.“Bagaimana kau tahu?” tanyaku.“Pria akan bisa menebak hal itu lebih pintar dari pada gadis bodoh sepertimu!” katanya sambil mengusap kepalaku.“Ih! Kau ayo katakan padaku!” kataku menuntut. “Tidak akan!” katanya sambil berlari meninggalkanku. Aku terkejut, benar-benar terkejut mendengarnya. Apa benar yang dikatakannya? Apa benar Adit menyukaiku? Astaga kenapa tiba-tiba aku jadi begitu senang? “Terima kasih,” kataku pelan tepat saat Roman sudah meninggalkanku.Kuambil tasku yang tergeletak di kursi itu dan pergi meninggalkan kelas yang kini kosong. Kurasakan beban yang selama ini menggangguku hilang entah kemana. Aku memang benar-benar tidak percaya dengan apa yang sudah kudengar tapi aku lega semuanya berjalan lancar. Semoga besok aku bisa berbaikan dengan Anka. Aku tidak ingin semua ini berlarut-larut. Aku ingin teman-temanku kembali seperti dulu. *** Malam ini sulit sekali bagiku untuk bisa tidur. Aku sudah berbaring di atas tempat tidurku selama hampir satu jam tapi mataku tetap saja terbuka dan menerawang langit-langit kamarku. Ah! Kata-kata Roman selalu terngiang di kepalaku. Apa iya? Masa sih? Apa Adit benar-benar menyukaiku? Tapi kalau iya?Hua aku bingung! Kututupi kepalaku dengan bantal dan mencoba untuk memejamkan mataku. Astaga sulit sekali! kenapa sih denganku! Besok aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk bertemu dengan Anka dan lainnya. Masih ada satu masalah lagi yang harus kuselesaikan. Kucoba untuk membenamkan diriku dengan khayalan-khayalan yang akan terjadi esok hari dan perlahan mataku merasa sedikit berat dan akhirnya terpejam. Aku tertidur sambil terus memikirkan apa-apa yang akan terjadi besok. Dalam mimpiku lagi-lagi kulihat pemakaman itu. Tapi ada yang berbeda sekarang. Aku tidak begitu takut lagi, dan aku tidak begitu tertarik lagi pada pria yang duduk di hadapan pusara itu. Aku tahu dia Ezi dan pusara itu milik Mika tapi hatiku terasa sakit saat kudengar isak tangis yang memenuhi pikiranku. Air mataku mengalir tiba-tiba dan entah kenapa sesuatu seperti menyedotku dari tempat itu dan beralih pada sebuah rumah sakit. Rumah sakit ini terlihat begitu besar dan kulihat banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya. Aku melihat orang-orang di sekelilingku terlihat begitu antusias melihat mobil ambulan yang baru saja tiba di rumah sakit. Kulihat banyak suster yang segera datang dan membantu mengeluarkan sesuatu dari mobil itu. Perlahan tapi pasti aku berlari menuju mobil itu dan melihat apa yang sedang mereka lihat. Astaga! Aku mendekap wajahku saat kulihat seseorang yang mirip sekali denganku terbaring dengan darah yang mengucur ditubuhnya. Aku terbelalak melihatnya dan kulihat gadis itu pingsan, aku tidak tahu apa dia masih hidup atau tidak. Hanya saja aku merasakan sesuatu yang aneh padaku terjadi. Gadis itu segera dibawa oleh para suster menuju ruang UGD dan tidak lama dari itu aku melihat satu sosok orang yang juga di bawa ke ruangan lainnya. Aku mengenal sosok itu dan air mataku mengalir lebih deras saat kusadari Ezi terbaring lemah dengan darah yang mengalir di kepalanya. Oh Tuhan apa ini? Aku berlari menuju ruangan itu dan melihat banyak dokter yang memeriksa Ezi dengan hati-hati. Dan aku bingung dengan semua yang kini kulihat? Apa ini? Kenapa aku melihat semua ini?Aku mencoba untuk membangunkan diriku yang kini terbaring di atas tempat tidurku tapi sesuatu membawaku tiba-tiba menghilang dari rumah sakit itu menuju suatu ruangan yang aku kenal. Sosok yang sama terlihat berbaring di sebuah tempat tidur dihadapanku tapi tidak ada darah yang mengalir. Dia hanya tertidur pulas, dan aku melihat seseorang yang duduk di sampingnya. Kusadari kalau orang itu adalah diriku sendiri. Aku ingat kejadian ini, dan belum sempat aku pergi dari tempat itu aku melihat diriku berdiri dan mendengar teriakan Ezi yang memanggil manggil Mika. Kenangan itu terulang lagi sekarang dan ini membuatku benar-benar gila. Kulihat ekspresi diriku disana dan kusadari bahwa saat itu aku menangis. Aku tidak mengeri kenapa aku menangis bahkan sampai saat ini aku tidak mengerti kenapa aku menangis. Sesuatu tiba-tiba mengguncangku dan akhirnya menyadarkanku. “Ezi!” teriakku keras. Aku terbangun dan kulihat pantulanku pada cermin yang berada tidak jauh dariku. Pucat, itulah yang bisa kugambarkan dan ada kengerian yang tersirat di wajahku. Air mataku benar-benar mengalir dan keringat membasahi tubuhku. Aku gemetar, takut, aku benar-benar takut. Kupandangi setiap sudut kamarku dan berusaha meyakinkan kalau aku benar-benar sudah bangun dari mimpi burukku itu. Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku? Kenapa aku melihat semua itu? Kenapa? Aku takut! Aku tak ingin melihat itu! Aku takut! Kucoba menenangkan diriku yang masih ketakutan. Aku berbaring lagi dan membetulkan letak selimutku diatas tubuhku. Kucoba mengerjapkan mataku beberapa kali sehingga aku yakin kalau aku sudah benar-benar tidak bermimpi. Aku jadi takut untuk tidur, hingga kuhabiskan sisa malamku dengan membaringkan diri sambil memikirkan mimpiku.Beberapa jam tanpa terasa berlalu dan kini aku sudah bersiap untuk pergi ke kampus pagi ini, ada banyak hal yang harus kulakukan. Aku menyandangkan tasku di punddakku dan turun menuju ruang makan. “Pagi, ma,” kataku lalu duduk dikursi disamping adikku.“Kakak ada kuliah pagi ini?” tanya adikku.“Ya, kenapa?” tanyanya.“Tidak, aku hanya bertanya,” kataku sambil menyeruput minumanku. Aku mengambil beberapa potong roti dan menaruh selai kacang banyak-banyak diatasnya. Kulahap roti itu dengan cepat dan sesekali kseruput minumanku dengan pelan.“Papa, dan kakak kemana, ma?” tanyaku. Mama yang kini sedang membawakan beberapa helai roti panggang kearahku kaget melihatku.“Yuri baik-baik saja? Yuri sakit?” tanya Mama tiba-tiba. Aku menggelengkan kepalaku. Sedikit pusing memang tapi aku tidak sakit!“Aku baik-baik saja,” kataku.“Kau lihat mukamu? Apa tidak tidur semalam?” Aku hanya mengangguk pelan dan meminum minumanku banyak-banyak. “Papa dan kakak mana?” tanyaku.“Keluar kota. Papa ada tugas mendadak dan kakak ikut dengannya.”“Owh, ma Yuri pergi dulu ya,” kataku sambil menaruh kembali setengah bagian roti yang belum sempat kuhabiskan. Lalu mengecup pipi Mamaku. “Aku pergi dulu,” kataku dan mengacak rambut adikku lalu pergi.“Hati-hati!” kata Mama mengingatkanku. Aku mengiyakan lalu pergi meninggalkan rumah menuju jalanan yang ramai. Aku berlari menuju hatle yang tidak jauh lalu segera naik ke bis yang membawaku dengan cepat menuju kampusku. Jalanan tidak begitu padat sehingga dengan cepat aku sudah berjalan memasuki gerbang kampusku. Sesekali aku menghela nafas tiap teringat mimpiku semalam tapi kuyakinkan diriku untuk tidak memikirkan hal itu sekarang. Ada hal lain yang harus kulakukan. Aku melewati fakultas pertanian yang masih sepi lalu masuk ke fakultasku. Kawasan fakultaskulah yang paling ramai sejauh ini karena banyak mahasiswa yang datang lebih pagi darki. Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi dan aku tahu masih ada waktu satu jam bagiku untuk menyelesaikan masalahku sebelum mata kuliah pertama dimulai.“Roman!” teriakku saat kulihat dia sedang berjalan di depanku. Dia berbalik dan tersenyum. Ada sedikit rasa yang berbeda hari ini tapi kucoba untuk tidak memikirkannya.Aku berlari menyusulnya dan dia mengacak rambutku saat aku sudah berdiri di sampingnya. “Kau ini masih suka berteriak!” katanya.Aku diam saja tapi dia menarikku. “Ayo masih ada masalah yang harus kau selesaikan. Aku akan membantumu.” Aku senang karena dia membantuku lalu kami pergi menemui Zita dan lainnya. Roman membawaku menuju ruang kelas dan kini ada beberapa orang lain selain Zita, Dina dan Anka. diam saja saat Roman membawaku lebih dekat kearah mereka. Aku takut Zita berteriak lagi padaku. Roman tersenyum lalu membawa ketiga sahabatku itu mendekat ke arahku.“Sudah cukup kalian bertengkar karena aku,” kata Roman. Aku diam saja dan terus memandang Zita yang juga memandangku. Dina dan Anka memperhatikan kami berdua tanpa bicara dan akhirnya aku kesal juga. Mau tidak mau aku yang harus bicara duluan.“Maaf," kataku pelan. Zita tak menjawab tapi terus memandangku. Aku tahu dia mungkin masih marah padaku tapi kenapa diam saja.“Maaf atas sikapku,” kataku lagi dan tiba-tiba dia memelukku.“Dasar bodoh! Kenapa kau tidak bilang dari dulu! Aku hanya ingin kau merasa bersalah.” Aku hampir menangis saking senangnya. Dina dan Zita tertawa dan kulihat Roman tertawa. “Semua ini karena masalahku dan Roman,” kataku lagi, “Maafkan aku,” sambungku.“Sudahlah, aku tidak ingin membahasnya lagi. Sekarang kita semua sudah berbaikan. Aku ingin kau tahu Yuri, kami peduli padamu. Kami melakukan semua ini juga demi kau. Semua yang dilakukan Roman itu karena dia adalah sahabatmu.” Sejenak aku terdiam dan aku tahu kejadian kemarin hanya aku dan Roman yang tahu. Tapi aku tidak ingin membahas semuanya lagi. Aku mengerti maksud Zita lalu memeluknya lagi. Suasana kelas jadi terlihat begitu aneh karena banyak mata melihat ke arah kami.“Kami tidak terbiasa melihat kalian bertengkar jadi tolong jangan bertengkar lagi.” Ucap Bhen sang kapten kelas. Dina dan Anka ikut memelukku dan suasana semakin menggelikan saat semua orang mengatakan kalau kami berlima cocok menjadi artis sinetron. Aku tertawa keras begitu pula yang lainnya hingga Ms. Christine datang dan mata kuliah pertama hari itu dimulai. *** Bab 11 “Mau kemana?” tanya Dina dan Anka padaku. Mereka masih memegangi buku mereka dan Zita kini sudah berada di depan kelas untuk mengambil kartu kuliah kami.“Aku mau ke tempat latihan balet, sudah lama aku tidak datang. Hanya ingin melihat anak-anak kecil menari,” kataku.“Kami ingin menjenguk Ryan di Rumah Sakit hari ini. Bisa bawa kami kesana? Yah walaupun anak nakal itu sering menggangguku, tapi kurasa kali ini dia tidak akan bisa memasukkan katak ke dalam tasku lagi.” Sewot Anka yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Aku tertawa keras tapi Dina malah memukul Anka. "Kau ini apa-apaan. Orang anak itu udah sakit, masih juga iseng.”“Biarin,” kata Anka kesal.“Kalau begitu aku temani kalian saja sekarang. Lagi pula sudah lama aku tidak ke rumah sakit menjenguknya. Kurasa Ryan sudah baikan sekarang. Terakhir aku kesana dia ....” Kata-kataku terhenti saat kuingat kejadian itu. Saat dia mengusirku. Sedikit sedih memang tapi sudahlah, aku harus mengerti situasi saat itu.“Kita pergi sekarang,” kata Zita.“Tentu.” Kataku. Segera saja kami meninggalkan kampus menuju rumah sakit dengan mobil Dina yang melesat lebih cepat dari biasanya. Aku duduk di kursi depan bersama Dina yang memutar musik-musik korea di mobilnya alunan musik dari negeri ginseng ini membuatku bersemangat. Kami berempat memang salah satu pecinta musik korea. Mulai dari boyband hingga lagu-lagu soundtrack film lengkap di mobilnya. Tidak terasa mobil ini berhenti di parkiran rumah sakit yang dituju. Segera saja ketiganya mengikutiku masuk kedalam koridor-koridor yang menghubungkan deretan ruangan yang satu ke deretan ruangan yang lain. Sejenak rasa takut menggelayutiku. Sejujurnya aku khawatir kalau-kalau bertemu Ezi lagi hari ini. Entahlah bayangan akan mimpiku semalam masih menghantui pikiranku. Apa mimpiku itu benar? Atau hanya karena pikiranku yang begitu penat hingga mimpi itu muncul? Aku tetap tidak bisa percaya dengan semua yang kumimpikan semalam. Dan jujur saja aku tidak berani menceritakan semuanya pada ketiga sahabatku ini. Aku takut mereka akan berpikiran yang tidak-tidak. Mereka pasti akan menganggapku orang gila karena selalu melihat kejadian-kejadian masa lalu dalam mimpiku. Yah, tapi sudahlah kurasa mimpi itu hanya intermezo yang membuat beban pikiranku jadi semakin bertumpuk.Dengan cepat langkah kaki kami membawa kami menuju lantai dua dan tidak jauh dari tempat Ryan dirawat. Aku sedikit grogi saat kuingat terakhir kali aku menjenguknya. Apa dia akan berbuat hal yang sama lagi padaku? Semoga saja tidak. Aku tidak ingin teman-temanku terutama Anka semakin tidak menyukainya. Ryan memang anak yang berbeda di bandingkan anak-anak panti lainnya tapi aku bisa memaklumi hal itu.Tiap langkahku terasa semakin berat tiap kali kusadari jarak kami sudah sangat dekat hingga aku tidak berani menatap ke depan. Ketiganya berjalan di belakangku tanpa banyak bicara. Aku masih terus tidak melihat ke depan saat seseorang menabrakku.“Kau disini?” kagetnya. Aku terbelalak melihat sosok seseorang yang berdiri dihadapanku. “Kau?” “Sedang apa disini?” tanya Adit bingung. “Kau sakit?” sambungnya.“Tidak, tentu saja bukan aku. Kau lihat sendiri aku baik-baik saja. Kebetulan ada adikku yang masuk rumah sakit. Dan mereka ingin menjenguknya.” Kataku sambil menatap ketiga sahabatku. Ketiganya tersenyum penuh arti. Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Mereka pasti senang melihatku bertemu dengan Adit disini. Entahlah ini benar atau tidak, hanya saja aku merasa mereka jauh lebih menyukai kedekatanku dengan Adit dari pada dengan Ezi. “Adikmu?” bingungnya.“Ya, mmm maksudku sebenarnya ...” aku bingung sendiri harus bagaimana menjawabnya tapi aku tahu apa yang harus kulakukan. “Kurasa nanti saja aku cerita.” Kataku.“Boleh aku ikut menjenguknya?” tanyanya. Aku kaget benar-benar kaget saat Adit terlihat begitu ingin menjenguk Ryan. Aku hanya tersenyum menjawabnya dan segera saja kami melangkah dengan cepat menuju ruang rawat yang berada di ujung koridor.Setibanya disana kuketuk pintu kamar itu perlahan dan kudengar seseorang yang mempersilahkan kami untuk masuk. Aku tahu suster Lucia lah yang menjawab. Kami masuk. Aku dan Anka yang masuk lebih awal lalu diikuti Adit, Dina dan Zita. Suasana kamar ini sedikit berbeda dan baru kusadari perbedaan itu karena tidak ada tirai yang menutupi kamarnya. Dan ada banyak bunga yang diletakkan di atas meja di ujung ruangan. Aku tersenyum memandang suster Lucia dan memeluknya.“Kau sehat, nak?” tanyanya. “Iya suster, Yuri sehat. Maaf beberapa hari ini Yuri jarang datang,” kataku. Dina, Anka, Zita, dan Adit pun menyapa suster Lucia dan dibalasnya dengan senyumannya. Sejenak aku takut menatap Ryan namun kucoba untuk memberanikan diriku. “Sudah baikan, Ryan?” tanyaku mencoba mendekatinya. Dia tidak menjawab. Dia hanya duduk bersandar sambil menikmati acara tv yang kini ditontonnya. Anka yang kesal melihat sikapnya berusaha untuk tenang karena Dina menahan tangannya untuk bergerak. Adit bingung dengan situasi ini tapi dia mencoba untuk mencairkan suasana yang sedikit tegang.“Namamu, Ryan?” tanya Adit ceria. “Iya,” jawabnya. “Kenapa tidak menjawab pertanyaan kak Yuri?” tanya Adit lagi.“Karena aku tidak mau menjawabnya!” kata Ryan tidak acuh. Anka terlihat semakin kesal tapi aku memberinya isyarat agar tidak berbuat macam-macam.“Ngomong-ngomong kami bawa sesuatu untukmu, Ryan,” kata Dina tiba-tiba mengeluarkan sekotak cokelat dari tasnya. Ryan terlihat senang lalu mengambil cokelat yang diberikan Dina padanya.“Terima kasih,” katanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak, ada yang berbeda rasanya. Entahlah tapi aku yakin Ryan tidak pernah tersenyum seperti itu padaku. Tapi kenapa dengan Dina dia? Aku mencoba tenang dan duduk di sampingnya.“Ngomong-ngomong kak Yuri juga bawa permen buatmu,” kataku. “Aku tidak mau!” kata Ryan dan membuang permen yang kuberikan untuknya. “Ryan!” suster Lucia kaget melihat sikapnya lalu menegurnya. Aku menyuruh suster Lucia untuk tenang dan tidak memarahi Ryan di hadapan kami. Karena dia akan semakin membenciku kalau sampai itu terjadi. “Kenapa kau begitu pada kakakmu?” tanya Anka kesal“Karena aku tidak suka dia!” kata Ryan galak. Dia masih menonton televisi dan kini membuka cokelat yang diberikan Dina untuknya. “Tapi kenapa?! Dia Kakakmu!” kata Anka kesal dan tidak bisa membendung amarahnya.“Anka sudahlah,” kataku menenangkan.Adit dan yang lainnya bingung harus bersikap seperti apa. Aku pun bingung bagaimana caranya agar Ryan bersikap sedikit sopan padaku. Setidaknya di depan teman-temanku. Jujur saja aku tidak pernah tahu kenapa dia begitu membenciku!“Ryan main game sama Kak Adit saja yuk, Kak Adit bawa mainan nih. Mau?” Adit kini duduk di sampingnya, dan kulihat Ryan tertarik dengan apa yang ditawarkan kepadanya. Jelas saja keduanya hanyut dalam permainan game yang mengasyikkan bagi mereka. Zita dan Anka akhirnya tenang dan duduk di samping suster Lucia sambil mengobrol dan Dina kini berdiri bersamaku disudut ruangan. “Kenapa Ryan masih saja bersikap begitu padamu?” tanyanya.“Entahlah, Dina. Tapi dia selalu bersikap begitu selama bertahun-tahun. Aku juga bingung, apa yang membuatnya begitu benci padaku,” kataku pasrah. “Sudahlah lebih baik kau lupakan saja. Anggap saja Ryan sedang tidak mood untuk bersikap baik padamu.”“Ya, kau benar. Tapi aku senang. Setidaknya dia bersikap baik pada Adit.“ kataku.Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di pintu dan seorang suster masuk membawakan makanan dengan trolinya. Semangkuk bubur dan beberapa obat di letakkannya di atas meja lalu pergi. Aku meninggalkan Dina dan mendekati meja untuk mengambil mangkuk itu. Aku ingin membantu menyuapinya. Kudekati dia dan Adit sedikit bergeser saat aku akan duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur.“Makan dulu ya,” ajakku. “Aku tidak mau!” kata Ryan tak peduli.“Tapi sudah waktunya makan,” kataku. Kucoba memberikan sesendok kecil bubur itu kedalam mulutnya tetapi dengan sigap dia menepisnya.“Aku bilang tidak, ya tidak!” teriaknya. “Tapi, Ryan,” saat kucoba untuk menyuapinya lagi dia mengambil mangkuk itu dan lagi-lagi melemparkannya. Mangkuk itu jatuh di sudut ruangan. Dina kaget bahkan semua orang yang berada disana sama kagetnya denganku. “Ryan!” teriak Suster Lucia marah.“Sudah kubilang aku tidak mau melihatmu lagi disini! Pergi!” teriaknya padaku. “Ryan kau tidak boleh bersikap begitu.” kata Adit menegurnya.“Pergi!” teriaknya lagi. Aku tahu sudah seharusnya aku pergi. Aku mengambil tasku dan pergi meninggalkan ruangan itu. Kubanting pintu itu di belakangku sebelum terdengar teriakan Anka yang marah padanya. “Kau ini! Kau tahu betapa sakitnya hati kakakmu! Dasar anak nakal!” teriaknya. aku masih berdiri dan bersandar di luar ruangan saat tiba-tiba Adit datang dan memelukku. Aku tahu dia ingin menenangkanku tapi aku malah semakin menangis dalam pelukannya.“Kau tenang ya,” bisiknya. Aku malah semakin emosi. Air mataku mengalir begitu saja dan pelukan Adit semakin erat padaku. “Apa salahku? Aku hanya ingin dia cepat sembuh,” kataku pelan.“Aku tahu, aku tahu kamu pasti ingin dia cepat sembuh. Kamu tenang ya,” bisiknya lagi.“Tapi kenapa Ryan selalu bersikap begitu padaku. Aku tidak tahu kenapa! Apa salahku!” isakku lagi. Adit masih terus memelukku perlahan hatiku mulai merasakan ketenangan dan jantungku berdebar sama kuatnya dengan debaran jantungnya yang kini dapat kurasakan. “Adit, kenapa? Kenapa dia tidak bisa menyayangiku seperti aku menyayanginya?” kata-kataku membuatnya semakin mengeratkan pelukannya.“Suatu saat nanti dia akan sayang padamu. Karena kami semua menyayangimu, dia pun akan bersikap seperti itu. Kau harus sabar ya,” katanya pelan. Aku mengangguk dalam pelukannya. Perlahan dilepaskannya pelukannya dan aku mulai sedikit tenang. Dia mencoba menghapus air mataku dengan saputangannya dan tersenyum.“Aku tidak suka melihatmu menangis,” katanya. Aku mulai tersenyum tapi senyuman itu memudar saat seseorang berdiri tidak jauh dari kami berdua. “Ezi?” kataku kaget. Aku benar-benar kaget melihatnya. Adit berdiri sedikit menjauh dariku dan menatap sosok orang yang sejak tadi melihat kami berdua. Ezi menatapku tajam dan membuatku merasakan sesuatu yang aneh di antara kami bertiga. Adit terlihat bingung karena Ezi hanya diam di tempatnya berdiri tapi pandangannya lurus ke arahku. Apa yang harus kulakukan? Keterkejutan kami tidak hanya sampai disitu saat Dina, Anka, dan Zita keluar dari ruangan Ryan ketiganya pun terkejut melihat Ezi yang menggenakan seragam pasiennya berdiri dengan tatapan yang tidak bisa diartikan oleh siapapun. ***“Ika ...” kata Ezi padaku. Aku jadi serba salah. Bingung apa yang harus kulakukan. Adit melihat ke arahku seolah-olah bertanya siapa dia? Dina terlihat sama terkejutnya denganku. Tapi dengan cepat Anka mengambil tindakan.“Ezi? Kau disini?” tanyanya sok akrab. Zita berlari ke arah Ezi dan menariknya ke arahku dan Adit.“Yuri, kau tidak bilang kalau Ezi masih di rumah sakit ini! Ngomong-ngomong apa kau sudah baikan? Kami khawatir saat terakhir kali mengantarmu kemari,” kata Zita lagi. Ezi nampak bingung tapi berusaha mengatasi kebingungannya dengan menatapku khawatir.“Kau baik-baik saja Ika? Aku kaget saat kau dan dia ...” kata-kata Ezi terputus saat Adit menarik tanganku dan bersandar di dirinya.“Dia baik-baik saja,” kata Adit tegas. Ezi terlihat kesal dengan hal ini tapi dia berusaha setenang mungkin.“Aku tidak bertanya padamu,” katanya tajam. Aku tahu masalah ini akan besar kalau diteruskan. Lalu aku mengambil langkah yang semestinya kulakukan sejak awal. “Ezi kemari,” kataku sambil membawanya sedikit menjauh dari yang lainnya. Dia menunggu penjelasanku tapi aku malah mencoba untuk tidak menjelaskannya.“Kemana saja, kau? Sudah beberapa hari ini aku tidak melihatmu kemari? Kenapa? Ada apa?” tanyanya.“Aku hanya sibuk. Dan aku memang tidak bisa kemari setiap hari. Kau tahu sendiri aku harus kuliah dan banyak hal yang harus kukerjakan,” kataku.“Apa kau sengaja menghindariku.” Kata-katanya meluncur bagai es dalam pikiranku. Aku masih tak berani menatap matanya. “Apa? Tentu saja tidak, kenapa aku harus ...,”“Tatap mataku!” kata Ezi kesal.Seketika saja kutatap matanya dan ada sesuatu yang hampir membuatku takut. Semua mimpiku semalam tiba-tiba menggelayutiku seakan-akan semua akan terjadi lagi tapi itu tidak mungkin! Itu hanya mimpi!“Sudahlah, Ezi aku mohon. Bukan saatnya untuk menjelaskannya. Kami harus pergi sekarang,” kataku mengelak. Saat aku beranjak dia menarik tanganku dan kulihat Adit di sisi lain tiba-tiba melepaskan tanganku dari genggaman Ezi.“Kau kira kau bisa berbuat hal seperti itu pada Yuri?” katanya dingin.“Bukan urusanmu! Lagi pula siapa kau?!” kata Ezi kesal.“Itu juga bukan urusanmu! Ayo Yuri, kita pergi.” Aku mengikuti langkah Adit dan ketiga sahabatku untuk beranjak dari tempat itu dan jujur saja ada rasa sedikit bersalah terbesit di hatiku saat kulihat Ezi yang berdiri lemah dengan ekspresi marah pada wajahnya.“Kau sudah bisa melepaskan aku,” kataku pada Adit saat kami sudah berada di parkiran. Dia terlihat malu saat dia melepaskan tanganku. “Maaf, aku lupa,” katanya. Aku hanya tersenyum melihatnya yang kini salah tingkah tapi aku berterimakasih sekali padanya untuk hari ini.“Terima kasih, dan maaf kau jadi melihat kejadian-kejadian itu tadi,” kataku malu.“Tidak apa, lain kali kalau kau mau menjenguk Ryan ajak saja aku, aku akan membuat dia jadi menyukaimu. Sebenarnya aku masih bingung, Ryan itu adikmu kan?” tanyanya.“Akan kujelaskan nanti,” kataku.“Oh, baiklah.”“Oh ya, ini PSP mu,” kata Dina tiba-tiba memberikan PSP itu padanya.“Oh ya terima kasih. Mmm kalau begitu aku pergi dulu. Sampai ketemu besok di kampus,” katanya pada yang lain lalu mendekat kearahku dan membisikkan sesuatu.“Aku tunggu kau besok di danau jam 10 pagi, oke?” katanya dan kubalas dengan anggukan pelan. Adit tersenyum lalu pergi menuju motornya yang terparkir cukup jauh dari kami.“Mengejutkan ya,” kata Zita tiba-tiba. “Memang,” kataku. “Yah, lebih baik pulang sekarang,” kata Zita kualahan. “Aku kaget saat kau berlari ke arah Ezi tadi. Wow kau bisa juga akting macam itu!” kata Dina memuji. “Pastinya, kalau tidak begitu pasti Ezi akan marah besar. Sedikit meredam amarahnya saja. Kau lihat sendiri tadi matanya.” Aku teringat lagi sorotan mata Ezi yang begitu marah beberapa waktu yang lalu dan merasa bingung, apa aku harus merasa bersalah? “Sudahlah, ayo pulang. Aku lelah,” kataku.Kami berempat memasuki mobil itu dan melesat pergi. Perjalanan terasa lebih lama dari biasanya karena kini jalan macet dimana-mana. Aku hampir terlelap saat tiba-tiba Anka berteriak keras.“Hua! Aku kesal sekali pada anak nakal itu!” katanya.“Kenapa membahas hal ini lagi?” kataku terbangun.“Kau ini! Apa kau tidak marah! Dia bersikap begitu tidak sopan!” kata Anka kesal.“Aku tahu,” kataku pelan.“Sudah cukup membahas hal ini. Kemacetan ini sudah membuat kita gila ditambah kau mau mendiskusikan masalah tadi lagi! Sudahlah lupakan saja,” kata Zita kesal. Semua terdiam dan akhirnya kami hanya menunggu jalanan lancar kembali beberapa menit kemudian. *** Bab 12 Aku duduk di bawah pohon yang rindang di sisi lain danau dan masih terus menerawang jauh kedalam danau yang masih juga tidak bisa kulihat ujungnya. Ah ... andai hatiku bisa setenang danau ini. Tapi tidak bisa jantungku kini berdebar cepat seiringan dengan hembusan nafasku yang tercekat. Kenapa aku begitu grogi bertemu dengan Adit disini? Bukankah kami sudah terbiasa bertemu sebelumnya tapi., kali ini Adit yang memintaku untuk menunggunya disini. Sebenarnya apa yang ingin dikatakannya?Beberapa menit berlalu dan kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat. Adit belum juga datang dan tanda-tanda kehadirannya pun belum terlihat olehku. Danau kali ini lebih sepi dari biasanya. Tidak ada satu pun orang yang duduk di sekitar danau bahkan tidak ada satu mobil pun yang melintas. Aku semakin grogi dengan suasana yang begitu sepi ini. Aku harap semua berjalan lancar. Aku berdiri dari tempatku dan memandang di sekitarku, tidak ada. Benar-benar tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Apa Adit terlambat? Atau jangan-jangan dia tidak benar-benar ingin menemuiku? Pikiran-pikiran gila mulai merasukiku. Membuatku semakin tidak bisa tenang. Oh Tuhan ada apa denganku?“Kau sedang apa?” kata seseorang yang tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang.“Adit!” kataku kaget. Adit tersenyum dan senyumnya membuatku salah tingkah.“Maaf lama, tadi aku baru keluar dari kelas. Tahu sendiri bagaimana dosenku. Oh ya ngomong-ngomong tidak masalahkan aku mengajakmu bertemu?” “Maksudmu?” “Yah, maksudku tidak akan ada yang marah kan jika aku ingin mengobrol denganmu.” Katanya santai. Aku sedikit bingung tapi peduli apa. Toh yang penting sekarang kami duduk berdua di sini. Aku hanya tersenyum dan dia mulai bersikap berbeda lagi.“Ngomong-ngomong, aku ingin kau menjelaskan kejadian kemarin padaku. Aku bingung dengan kejadian itu? Bukankah Ryan itu adikmu? Dan siapa pria itu?” Aku bingung harus menjawab apa, tapi mau tidak mau aku harus menjelaskan semuanya. Mulai dari Ryan sampai Ezi sekalipun. Adit mendengarkan semua ceritaku dengan serius dan sesekali dia menyela perkataanku dengan pertanyaan lainnya. Aku terus menjawab semua pertanyaannya hingga satu pertanyaan yang membuatku diam.“Apa semua yang diceritakan Ezi itu benar? Maksudku apa kau benar-benar mirip Mika? dan bagaimana mungkin ada dua orang yang punya kemiripan begitu banyak?” “Aku belum tahu soal itu. Jujur saja aku tidak pernah melihat foto Mika sekalipun dan aku juga tidak bisa membuktikan apa itu benar atau tidak. Hanya saja aku percaya padanya.” Aku cuma bisa menjawab seadanya dan aku tidak mau kalau harus menceritakan tentang mimpi-mimpi yang sering kulihat. “Benar-benar dramatis. Aku tidak menyangka kalau kau bisa percaya dengan cerita itu.” Adit tertawa getir dan aku tak suka tawanya, tapi aku tak bisa menyuruhnya berhenti tertawa. “Kenapa tertawa?”“Aku rasa kau benar-benar lugu. Kau begitu mudah percaya padanya. Kau tahu mungkin saja itu cuma akal-akalan dia untuk dekat denganmu. Aku jamin kalau dia menyukaimu.” Kata-katanya bagai petir yang mengejutkanku. Tidak! Itu tidak mungkin, Ezi tidak mungkin melakukan hal itu. Lagipula aku yakin kalau dia tidak berbohong padaku. Aku tahu dia tidak mungkin benar-benar menyukaiku. Ezi hanya melihatku sebagai sosok Mika. hanya itu!“Kau salah. Dia tidak menyukaiku,” kataku. Adit terlihat kaget dengan kata-kata yang baru saja kuucapkan tapi dia menepis kekagetannya dengan mengalihkan pembicaraan.“Sudahlah, aku tidak ingin kita membicarakan dia. Ngomong-ngomong apa kau mau pergi bersamaku?” “Pergi? kemana?”“Aku ingin mengajakmu bermain sepeda. Apa kau bisa?” “Sepeda?” “Kau bisa?”“Aku ... entahlah aku tidak pernah mencobanya.” Adit tertawa keras lagi dan itu benar-benar membuatku malu. “Aku akan mengajarimu. Ayo berangkat.” Dia menarik tanganku dan kami pergi meninggalkan danau itu secepatnya. Adit mengemudikan mobilnya dan segera membawaku menuju suatu tempat. Aku tidak pernah ke tempat itu sebelumnya dan mataku terbelalak saat kulihat ratusan pohon terbentang rapi di hadapanku. Pohon itu berbaris dengan rapi disisi-sisi jalanan yang kosong. Hembusan angin terasa lebih menyejukkan di sini dan udara segar akhirnya bisa kurasakan. Tempat ini cukup jauh dari pemukiman dan cukup jauh dari jalan besar yang dipenuhi polusi udara karena itu aku merasa benar-benar nyaman. Panas matahari yang biasanya begitu terikpun tidak kurasakan disini. Jalanan ini rindang karena pepohonan yang menutupinya. Adit menurunkan sepeda dari atas mobilnya dan kini aku terkejut saat kudapati diriku yang kini sudah duduk disalah satu sepeda yang disewa Adit untuk kami berdua. “Aku harus bagaimana?” tanyaku bingung. “Lihat aku,” Adit dengan segera mencontohkan bagaimana cara bersepeda padaku. Dia duduk di atas sepedanya dan mulai mengayuh sepeda itu perlahan. Dia terlihat begitu menikmati hingga saat berbelok ke arahku aku benar-benar jadi terpesona melihat ekspresinya yang begitu gembira. Dia membelokkan sedikit kemudi sepedanya dan mendekat ke arahku. “Ayo, sekarang kau harus coba. Ikuti saja caraku.”Aku mencoba menaikkan salah satu kakiku keatas kayuhan sepada itu dan baru saja mengayuh aku hampir saja terjatuh. Adit segera menahanku yang oleng ke sebelah kanan dan dia tertawa lagi.“Ternyata kau benar-benar tidak bisa,” katanya. Aku jadi malu sendiri tapi kulihat Adit begit bersemangat. Dia mencoba membantuku. Diparkirkannya sepedanya jauh dariku dan kini dia berdiri dibelakang sepedaku sambil memegangiku dari belakang.“Coba kayuh.” Aku mencoba mengayuh sepedanya. Dan walaupun sedikit takut aku menuruti aba-abanya. Dia masih memegangi sepedaku dan perlahan aku masih terus mencoba untuk belajar dengan cepat. Aku mengayuhnya perlahjan dan bruuuk!!! Sepeda itu terjatuh tepat saat aku meloncat di sebelahnya.“Hua!” teriakku kaget.“Kau baik-baik saja?” tanya Adit khawatir.Aku malah tertawa dan kami berdua tertawa. Bodohnya diriku! Kenapa aku tidak bisa melakukan hal kecil seperti ini???Aku mencoba lagi dan kurasakan sedikit demi sedikit aku mulai bisa menyeimbangkan tubuhku. Hingga perlahan aku mulai bisa. Cukup lama dia mengajarkanku hingga akhirnya dia mengajakku untuk duduk di sepedanya. Aku duduk di belakangnya dan dia mulai mengayuh sepeda itu dengan perlahan. Semakin lama semakin cepat dan aku semakin menikmati angin yang bertiup disekitarku. Adit berteriak senang dan aku semakin takut karena sepeda ini melaju semakin cepat. Adit meraih kedua tanganku dan menyuruhku untuk merangkulkan tanganku di pinggangnya.“Aku tidak ingin kau jatuh,” teriaknya. aku hanya menurut dan kami terus melaju dengan cepat hingga matahari mulai terbenam. ***Malam ini aku benar-benar tidak bisa tidur. Kepalaku dipenuhi kenanganku dengan Adit yang terjadi siang ini. Oh Tuhan! Apa aku salah kalau aku mulai menaruh harapan? Aku sudah lama menyukainya. Apa mungkin dia bisa menyukaiku?Aku menutup gorden jendela kamarku dan kini berjalan menuju meja belajarku. Kuhidupkan mp3 playerku dan lantunan musik-musik korea membawaku terhanyut pada suasana perasaanku. Alunan musik hiyaya dari TVXQ yang ceria membuatku merasakan nuansa musim panas yang ceria. Segar! Aku merasa benar-benar segar! Aku ingin pergi bersamanya lagi. Tapi kapan? Kemana? Apa dia mau mengajakku lagi?Saat pikiranku melayang sesuatu menyadarkanku. Bunyi dering ponselku mengagetkanku dan mau tidak mau kuambil ponselku yang sejak tadi berdering. “Halo,” sapaku.“Kemana saja kau?” kata seseorang yang kukenal dari kejauhan.“Aku pergi jalan-jalan. Memangnya kenapa?” tanyaku.“Kau ini, aku menghubungimu lebih dari 20 kali hari ini. Kami butuh kau! Tugas kelompok kita masih belum juga selesai dan besok pagi-pagi sekali sudah harus dikumpulkan. Kau ini! Apa kau lupa kalau tugas kita sudah menumpuk!” teriak Zita lagi.“Oh iya! Aku lupa hehehe, ya kalau begitu kau kerumahku saja sekarang. Dan jangan lupa bawa semua bahannya. Kita kerjakan malam ini,” kataku santai.“Kau kira akan selesai dalam satu malam! Dasar kau ini! Aku sudah mengerjakannya berhari-hari tapi tetap saja tidak mengerti.”“Ya sudah, sekarang kau kemari. Pasti selesai kok,” ucapku lagi. Zita masih terdengar kesal dan menutup telponnya. Aku segera merapikan kamarku yang berantakan dengan foto-foto TVXQ yang kuletakkan diatas tempat tidurku. Jangan sampai Zita melihatnya, karena kalau dia melihatnya dia akan mengambil semuanya lagi dariku.Segera saja kumasukkan foto-foto itu dalam lemariku dan kuputar musik playerku lebih besar. Aku mengumpulkan beberapa buku yang bisa membantuku mengerjakan tugas dan menyimpan majalah-majalah yang berserakan di atas meja belajarku. Tidak lama waktu berlalu hingga kudengar seseorang mengetuk pintu kamarku.“Masuk,” kataku. Zita masuk dengan piyamanya dan membawa laptop ditangannya. Aku tertawa melihat wajahnya yang kini persis seperti boneka pandaku dan mengambil laptopnya. Dia segera berbaring di kasurku dan aku duduk di meja belajarku. Alunan musik itu masih terus berputar dan kulihat Zita yang nampak begitu lelah terkulai disana. Aku tertawa kecil melihatnya dan mulai membuka isi file yang harus kuselesaikan. “Dasar Zita, masa yang begini aja nyerah.” Aku tersenyum melihat soal-soal yang berada di depanku dan mulai mengerjakan soal-soal itu. Sesekali aku berhenti untuk mengganti lagu yang kini masih mengalun hingga satu jam kemudian kumatikan laptopnya dan kumasukkan ke dalam lemariku. Aku berpindah menuju kasurku dan kulihat Zita benar-benar sudah tertidur disana. “Hey, kau! Apa kau mau menginap! Sudah jam berapa ini?” kataku mencoba membangunkannya.“Hoam! Apa sudah selesai?” katanya sambil terus mengusap matanya.“Tentu saja. Aku kan bukan kau! Lagi pula kenapa soal semudah itu tidak bisa kau kerjakan? Dasar kau ini!” “Yah, baguslah kalau sudah selesai. Kau tahu aku benar-benar tidak suka soal-soal itu. Aku tidak bisa mengerti kenapa kau bisa mengerjakannya sedangkan aku tidak.”“Alah kau ini. Ya sudahlah, sekarang kau mau menginap atau pulang?”“Aku malas pulang. Oh ya ngomong-ngomong pergi kemana saja kau?”“Adit mengajakku bersepeda.”“Apa?” “Memangnya kenapa?” tanyaku kesal melihat ekspresinya yang berlebihan.“Bukankah kau tidak pernah bermain sepeda?”“Dia mengajariku seharian. Kau tahu begitu menyenangkan. Aku beruntung karena dia mau menghabiskan waktu denganku hari ini.”“Apa kau tidak takut?”“Takut apa?” kataku.“Kau tidak takut kalau Ezi tahu?” katanya.“Kenapa harus takut? Lagi pula tidak ada hubungannya dengan dia? Memangnya siapa dia? Dia bukan siapa-siapaku kok,” kataku kesal saat tiba-tiba teringat ekspresi Ezi sat dirumah sakit kemarin.“Kau ini, dia menyukaimu?!” kata Zita kesal.“Apa? Kau gila! Dia tidak menyukaiku! Dia hanya menganggap aku ini mirip Mika. Hanya itu! Di matanya aku ini Mika! Jadi dia tidak benar-benar menyukaiku. Lagi pula apa peduliku. Toh aku benar-benar menyukai Adit sejak dulu,” kataku.“Kau ini, aku tahu kau mencoba pura-pura tidak peduli. Tapi aku juga bisa melihat dari matamu kalau kau menyukai Ezi,” kata Zita lagi.Aku diam saja, sedikit kesal sih tapi aku tidak mau bertengkar malam ini. “Ini ambil bantal mu. Aku mau tidur,” kataku sambil melemparkan sebuah bantal padanya. Aku tidur di kasurku dan menyelimutkan selimut itu ke tubuhku. Zita masih terduduk mengantuk disampingku hingga akhirnya dia juga tertidur. ***“Ambil ini.” Kata Roman saat melemparkan sesuatu padaku.“Apa ini?” sesuatu yang terbungkus dalam amplop coklat dilemparkannya padaku. Roman diam saja dan dia menghilang meninggalkan ruang kelas yang masih ramai. “Apaan tuh?” tanya Dina.“Entahlah, dia menyuruhku menangkapnya.”“Bukalah,” kata Zita tiba-tiba berdiri di antara kami berdua.Aku membuka benda itu. Kurobek kertas itu dan mataku benar-benar terbelalak saking terkejutnya. Ada beberapa foto di tanganku dan bukan cuma aku yang terbelalak Dina dan Zita yang melihatnya pun sama kagetnya denganku.“Ini?” aku hampir tidak bisa mempercayai apa yang kulihat sampai Anka mengambil foto-foto itu dariku.“Bagaimana mungkin ...” kata-katanya menyadarkan kami bertiga, aku mengambil foto-foto itu dan aku segera berlari meninggalkan kelas. Dimana? Dimana Roman?! Bagaimana bisa dia mendapatkan ini?! Aku berlari menuju kantin dan tidak kutemukan dia di sana. Aku pun berlari menuju perpustakaan dan aku pun tidak bisa menemukannya di sana. Aku terus mencarinya hingga kembali ke kelasku. Kulihat Roman sedang duduk di pojok kelas. Dan segera saja kuhampiri dia.“Ini! Apa ini? Bagaimana bisa kau mendapatkan ini?!” tanyaku bingung. Kusodorkan semua foto itu di hapannya dan Roman sama terkejutnya denganku.“Apa ini?” kata Roman bingung.“Harusnya aku yang bertanya! Bagaimana kau bisa mendapatkan foto-foto ini?”Roman masih terus melihat semua foto itu dan dia sama sekali tidak menjelaskan apa pun. Aku benar-benar terkejut. Semua itu foto-foto Ezi dengan seseorang yang begitu mirip denganku. Ya Tuhan apa itu Mika? apa dialah Mika? bagaimana mungkin itu benar! Jadi aku dan Mika benar-benar mirip?!“Aku hanya menemukannya. Aku melihat foto-foto itu jatuh dari dalam tasmu. Aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya mengambilnya dan mengembalikan itu padamu. Karena ada namamu di amplop itu,” kata Roman menjelaskan. Aku semakin bingung dan bena-benar tidak percaya dengan semua yang kulihat. “Aku harus menemuinya. Apa maksudnya mengirimkan ini padaku!” kataku kesal. Kutinggalkan semua foto itu di tangan Roman dan aku mengambil tasku lalu pergi. aku memilih untuk bolos mata kuliah berikutnya dan mencari Ezi. Dimana dia! Apa maunya?!Aku segera menuju rumah sakit tempat Ezi dirawat dan saat kumasuki kamar rawatnya dia sudah tidak ada disana. Aku segera berlari menuju ruang administrasi dan ternyata Ezi sudah keluar rumah sakit itu kemarin. Oh Tuhan kemana aku harus mencarinya! Apa maunya? Kenapa dia mengirimiku foto-foto itu?!Sia-sia sudah, aku kembali ke kampusku dengan sia-sia. Tidak ada artinya aku mencarinya karena aku tidak tahu dimana dia tinggal. Aku berjalan lunglai menuju gedung fakultasku saat tiba-tiba dia berdiri di depanku.“Ezi?!”“Kudengar kau mencariku. Ada apa?”“Kau! kenapa kau mengirimiku foto-foto itu?!” Emosiku mulai mencuat dan membuatku benar-benar geram.“Apa? Foto? Maksudmu apa?” “Jangan pura-pura! Aku tahu kau kan yang mengirim foto-foto Mika! Buat apa! Buat apa kau mengirimiku!” teriakku kesal.“Aku mengirimimu apa? Aku tidak tahu apa maksudmu?”“Bohong! Kau mau menerorku iya! Kau ini!” kataku lalu kutinggalkan dia.“Ika tunggu. Aku tidak mengirimimu apa-apa! Foto? Apa maksudnya aku tidak mengerti?”Aku tidak memperdulikannya sampai tiba-tiba dia memelukku dan membuatku tertegun.“Aku tidak mungkin melakukan semua itu. Kau tahu aku menyayangimu. Mana mungkin aku menerormu. Aku bersumpah bukan aku pelakunya.” Bisikkannya membuatku diam dan emosiku mulai mereda. Aku tidak tahu apa yang sedang kupikirkan hanya saja lagi-lagi aku mempercayainya.“Lalu siapa yang melakukannya? Aku takut, aku benar-benar takut saat melihat foto-foto itu,” kataku sadar kalau aku merasa ketakutan melandaku. “Maafkan aku,” katanya sambil melepaskan pelukannya. “Aku akan cari tahu siapa orang yang melakuikan hal itu. Tolong kau percaya padaku. Aku tidak mungkin melakukannya.” Banyak mata memandang ke arah kami berdua dan aku berusaha menghindari tatapan mereka dengan mengajak Ezi pergi dari tempat itu.Aku mengajaknya menjauh dari keramaian sehingga kakiku membawaku menuju taman kampus yang kini sepi. Siang hari begini mana ada orang yang duduk di taman ini. Kami mengobrol disana dan dia banyak bercerita tentang dirinya. Sesekali aku tertawa mendengar gurauannya dan terkadang aku hampir menangis mendengar kisah hidupnya. Dari obrolan singkat itu aku jadi lebih mengenalnya. Aku tahu betapa berat hidupnya kini. Dan membuatku merasa ingin sekali melindunginya.Ternyata Ezi dibesarkan dalam keluarga kecilnya. Dia punya dua saudara laki-laki bernama Eza dan Azi. Mereka bertiga anak-anak yang populer saat masih di bangku sekolah. Ibunya meninggal saat dia masih duduk di sekolah dasar dan ayahnya yang seorang hakim sibuk dengan pekerjaannya. Eza kakaknya adalah sosok yang tegas dan keras sedangkan Azi adalah sosok yang manja yang kekanak-kanakan. Dan Ezi ternyata dia punya fisik terlemah dibanding kedua saudaranya. Hampir tiap bulan dia akan masuk ke rumah sakit itu karena kelelahan. Aku jadi prihatin dengannya. Tapi Ezi terlihat ceria bahkan aku tidak akan bisa menebak kalau dia anak yang kesepian. Ezi punya seorang sahabat bernama Hendra dan dia benar-benar sahabat terdekatnya. Aku senang walau kesepian setidaknya dia pernah mengalami masa kecil yang bahagia bersama sahabatnya. Aku jadi teringat pada Dina. Kami berteman cukup lama dan ada banyak hal yang sudah kami jalani bersama. Suasana semakin nyaman setiap kali kudengar Ezi tertawa kecil saat menceritakan masa kanak-kanaknya dan sesuatu mulai melanda hatiku. Ada detak yang tidak biasa kurasakan dan aku mulai takut untuk bersikap seperti biasa. Ada apa denganku?Ezi lagi-lagi tertawa dan akhirnya menatapku, “Kau tahu sejak bertemu denganmu aku merasa lebih semangat untuk hidup. Dan aku juga merasa kau orang yang dibawakan Mika untukku.” Saat nama Mika muncul sesuatu membuat nafasku tercekat. Ada rasa kesal di hatiku namun aku tidak bisa melukiskan perasaan itu. Aku hanya bisa menahan semua itu sekarang sampai akhirnya tetesan hujan menyadarkan kami berdua. Hujan perlahan turun dan kami bingung sendiri mau berteduh dimana. Ezi segera menarik tanganku dan mencari perlindungan. Kami berlari menuju pos satpam dan berteduh di sana. Bukan hanya kami ada beberapa orang di sana. Pos itu ramai sekali dan aku bisa rasakan kalau Ezi sedang menjagaku dari himpitan orang-orang itu. Aku senang namun gelisah. Entah apa yang sedang kupikirkan namun aku benar-benar tidak bisa tenang. ***Hujan mulai berhenti dan gemercik air yang dipercikkan oleh orang-orang yang mulai berlarian di bawah rintikan kecil hujan membuat bajuku kotor. Ezi tertawa melihat ekspresiku yang kesal dan dia menarikku pergi. Kami berlari menuju jalanan yang menghubungkan fakultas pertanian dan fakultas teknik dan saat kami tertawa bersama sesuatu membuat tawaku menghilang. Adit! Mataku terbelalak melihat ekspresinya yang tidak bisa kumengerti. Adit menatapku tajam dan segera pergi meninggalkanku. Aku bingung. Apa yang harus kulakukan? Pikiranku seakan-akan melarangku untuk bergerak tapi hatiku berkata lain, aku meninggalkan Ezi yang sama terkejutnya denganku dan menyusul Adit yang sudah jauh di depanku. Aku berlari secepat yang kubisa dan tepat saat itu Adit berhenti melangkahkan kakinya dan berbalik ke arahku. Aku berhenti tepat di depannya dan dia menatap tajam mataku. Aku jadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Perlahan kuberanikan diriku menatapnya dan merasakan getaran aneh dihatiku. “Adi ....” “Apa?” tanyanya berusaha tidak peduli.“Ini tidak seperti yang kau lihat. Aku bisa jelaskan semuanya,” ucapku.“Apalagi? Apa yang mau kau jelaskan? Aku lihat dengan mataku sendiri kau dan da ... sudah kubilang kan, dia menyukaimu! Aku bisa lihat itu!” kata Adit keras.“Memangnya kenapa kalau dia benar-benar menyukaiku?! Toh tidak ada bedanya! Aku tidak menyukainya! Dia hanya temanku!” “Sudahlah,” katanya lalu berusaha meninggalkanku. Kutarik lengannya dan kupaksa dirinya untuk melihatku. Kutatap matanya dan ada sesuatu yang memaksaku untuk mengatakan apa yang selama ini kurasakan.“Aku menyukaimu. Apa kau tahu? Sejak dulu yang aku suka itu kau.”Adit terlihat terkejut dan melembutkan tatapannya yang keras padaku. Aku menatapnya berani tapi senyum tiba-tiba merekah dibibirnya.“Kenapa tersenyum? Apa yang lucu?” galakku.“Tidak ada. Aku hanya tidak bisa percaya.” Kata-katanya mengejutkanku dan saat dia benar-benar akan pergi aku merangkulkan tubuhku di belakangnya.“Aku benar-benar menyukaimu. Sungguh. Kau ingat saat pertama kali aku bertemu langsung denganmu. Saat kau menyelamatkanku saat aku hampir terjatuh di pos itu, dan saat kau memberikan jaketmu padaku di box telepon, dan banyak lagi. Aku tahu kalau dari awal aku sungguh-sungguh menyukaimu. Aku ...” belum sempat kucurahkan semuanya dia telah berbalik padaku dan memelukku erat. “Aku tidak pernah tahu itu, maaf telah membuatmu mengatakan hal ini. Aku ... harusnya aku yang mengatakannya.” Adit memelukku erat dan kurasakan desiran aneh yang membuatku bahagia. Aku ingin menangis tapi ini benar-benar tangisan kelegaan dariku. Aku menyukainya, yah dan rasa sukaku terbalas. “Kenapa selama ini kau tidak bilang?” kata Adit sambil tertawa.“Kau ini bodoh sekali. Apa kau tidak sadar betapa aku suka padamu?” ucapku asal.“Aku tahu, tapi aku tidak yakin.”“Lalu kenapa kau tidak bertanya padaku?” tuntutku. Adit tertawa kecil dan kembali memelukku.Dia masih terus memelukku saat kusadari Ezi masih berdiri jauh di belakang kami dan mungkin melihat semuanya. Lalu apa yang harus kulakukan? Aku bingung, aku bersenang-senang di bawah kesedihan orang lain. Aku ... aku sudah menyakitinya. Padahal dia begitu baik padaku. Aku memberanikan diriku menatap Ezi yang mungkin masih berdiri disana tapi tidak kutemukan sosok itu di sana. Dia menghilang. Benar-benar hilang. Kurasa dia sudah pergi saat aku mengejar Adit dan kuharap dia tidak melihat apa yang baru saja terjadi. Aku tidak ingin menyakitinya tapi aku ....Adit merangkul lenganku dan mengajakku pergi meninggalkan tempat itu. Ada rasa khawatir di hatiku. Aku hanya takut kalau benar Ezi melihatku dan Adit dia pasti akan sedih dan aku sungguh khawatir.Adit membawaku menuju mobilnya dan kami pergi begitu saja. Aku duduk di sampingnya dengan rasa lebih tenang dari biasanya. Aku lega karena semua yang selama ini kusembunyikan sudah terungkap tapi aku masih belum bisa benar-benar lega sekarang. Adit mengemudikan mobilnya secara perlahan dan terkadang dia melirik dan tersenyum padaku. Aku pun memberikan senyumanku padanya tiap kali kutangkap basah dirinya yang memperhatikanku. Jalanan mulai padat karena matahari sudah benar-benar di atas kepala. Semua orang berlomba-lomba untuk keluar dari kantornya dan mencari makan siang di beberapa restoran, rumah makan, cafe, maupun tempat makan lainnya. Aku belum tahu Adit akan mengajakku kemana tapi aku akan senang kemana pun dia membawaku. Beberapa lampu merah sudah kami lewati hingga akhirnya Adit menghentikan mobilnya disalah satu restauran yang ada di pusat kota. Lagi-lagi dia memandangku lembut dan aku mulai salah tingkah lagi untuk kesekian kalinya.“Kita makan dulu ya.” Aku hanya mengangguk dan kami berdua turun. Dia membawaku masuk ke salah satu restauran jepang yang terkenal akan makanannya yang berasal dari negeri sakura itu. Hua! Tahu aja Adit kalau itu makanan favoritku. Aku senang saat dua pelayan membawa kami menuju tempat duduk ternyaman di sana. Kami duduk di bagian belakang ruangan itu dan di depan kami terpampang luas taman bunga yang bermekaran. Ada bermacam-macam bunga di sana. Mulai dari anggrek, lily, aster, mawar dan banyak lagi. Di sudut-sudut ruangan juga ada banyak lilin yang menghiasinya. Aku jamin kalau malam hari tempat ini akan jauh lebih indah. Aku juga bisa melihat kolam kecil dari tempatku sekarang. Ada jembatan kecil di atasnya. Sungguh indah dan menarik. Aku juga bisa melihat hiasan ruangan yang sederhana di sini. Tirai yang dibuka membuat matahari bisa terlihat dari sini. Aku terpesona melihatnya dan Adit tersenyum melihat ekspresiku. Dia membelai lembut kepalaku dan lagi-lagi menatapku. Aku tahu dia menyukaiku. Karena sekarang aku benar-benar bisa merasakannya. Kami segera memesan Salmon Roll dan Cheese Unagi yang pastinya mengundang selera. Sejenak kami masih saling pandang sampai si pelayan membawa pesanan kami kemeja. Aku sadar kalau pelayan itu hampir tertawa melihat kami berdua tapi aku tidak perduli. Yang penting aku benar-benar bahagia hari ini.Setelah semua makanan disajikan kami makan perlahan. Sesekali aku menyuapkan Cheese unagi yang gurih padanya dan dia akan membalas menyuapkan makanan lain untukku. Sesekali dia membersihkan makanan yang menempel di pipiku dan kami tertawa bersama saat kami sadar kalau makanan ini benar-benar sudah membuat kami berdua gemuk sekarang. Akhirnya setelah menghabiskan jus berry kami meninggalkan restauran itu dengan perut kenyang. Aku tahu mungkin ini adalah hari terindah dalam hidupku dan aku jamin tak akan pernah kulupakan semua kejadian yang terjadi hari ini. Adit segera membawaku pulang dan sepanjang perjalanan kami banyak bercerita satu sama lain. Aku menceritakan masa kecilku yang kuhabiskan di panti asuhan dan aku juga menceritakan tentang hobiku menari balet dan cita-citaku yang ingin menjadi balerina. Adit mendengarkan semua ceritaku dan dia terlihat senang menanggapinya. Aku pun mendengarkan ceritanya tentang keluarga dan teman-temannya. Aku baru tahu kalau Adit hanya tinggal sendiri disini. Orangtuanya bekerja jauh di Kanada dan ada kemungkinan suatu hari nanti Adit akan pergi bersama orangtuanya. Aku takut saat aku tahu itu akan terjadi, tapi Adit meyakinkan kalau dia akan berusaha untuk tetap tinggal disini bersamaku. Adit masi terus menceritakan tentang masa-masa kecilnya yang berada jauh dari orangtuanya dan perlahan entah kenapa aku merasa mengantuk dan tertidur. Aku terlelap sepanjang perjalanan menuju rumahku hingga aku tidak tahu apa saja yang sudah diceritakan Adit padaku. Saat mataku terbuka aku sadar kalau aku sudah berada di depan rumahku. Adit terus memperhatikanku tanpa membangunkanku dan dia tersenyum saat tahu aku sudah bangun.“Kau terlihat lelah.”“Yah, sangat,” kataku.“Istirahatlah.”Aku mengangguk dan saat aku akan pergi dia menahanku dan aku gugup sekali sekarang. Dia menatapku lembut dan perlahan wajahnya mendekat ke arahku. Aku bingung harus berbuat apa tapi dia semakin dekat dan saat kupejamkan mataku kurasakan ciumannya yang melekat di dahiku. Aku membuka mataku dan dia tersenyum. “Pulanglah,” katanya. Aku tersenyum dan segera keluar dari mobil itu. Aku berjalan menuju pagar rumahku dan saat itu dia masih tersenyum dan melambaikan tanganya padaku. Aku membalas lambaiannya dan segera masuk. Kulihat rumah begitu sepi dan kurasa tidak akan ada yang marah jika aku berteriak sekarang.“HORE!!!” teriakku gembira. Aku benar-benar senang. Aku berlari menuju kamarku dan menutup pintu di belakangnya. Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur dan menatap langit-langit kamarku yang berwarna. Ah, senang sekali hatiku. ***Aku buka mataku pagi ini dan langsung beranjak dari tempat tidurku. Aku segera mandi dan bersiap untuk ke kampus pagi ini. Hari ini ada yan berbeda, aku tidak akan naik taksi, bus atau apapun lagi karena Adit akan menjemputku. Aku segera turun setelah merapikan poniku dan mengambil sepotong roti dari meja makan. Mama berteriak memintaku untuk makan dengan sopan tapi sudah tidak ada waktu, Adit mungkin sudah menungguku di luar. Kulahap roti itu hingga habis dan segera memakai sepatuku. “Aku pergi, ma!” teriakku sambil menutup pintu depan di belakangku. Kulihat mobil Adit yang terparkir di depan rumah dan segera masuk kedalamnya.“Pagi,” sapa Adit padaku. Wow dia tampan sekali pagi ini. Kemeja hitamnya membuatnya nampak dewasa dan senyum andalannya lagi-lagi tertoreh di wajahnya. Aku memperhatikan penampilannya yang lebih rapi dari pada biasanya. Dan wajahnya yang cemerlang terlihat tanpa beban. Aku mulai memakaikan sabuk pengamanku dan dia membantuku. Aku tersenyum lagi dan dia membelai lembut kepalaku. “Bagaimana tidurmu?” tanyanya.“Aku tidur pulas malam ini,” jawabku.“Baguslah. Kalau begitu kita berangkat sekarang.” Katanya sambil menyalakan mobilnya. Mobil itu pun dengan cepat melesat menuju jalanan yang mulai padat sekarang. Aku menikmati kebersamaan kami dan jujur saja senyumku tidak berhenti tertoreh di wajahku.“Kau kenapa?” tanya Adit saat memergokiku yang tersenyum sendiri.“Tidak,” kataku malu. Mobil itu akhirnya berhenti dengan cepat di parkiran kampusku. aku turun dari sana dan Adit memintaku menunggunya menunggunya dan kutunggu dia hingga keluar dari mobilnya.“Hari ini kita akan kemana?” tanyanya.“Kemana saja,” kataku.“Aku akan membawamu jalan-jalan. Jadi tunggu aku di taman kampus siang ini. Oke?” “Oke,” kataku. Dia segera menggandengku dan kami pergi menuju gedung fakultas kami yang tidak jauh dari tempat kami berdiri saat ini. Kulihat Zita berjalan di depan kami dan aku tidak tahu harus memanggilnya atau tidak. Saat aku masih bergelut dengan pikiranku Zita sudah menoleh ke arahku.“Pagi,” kataku salah tingkah. Zita mengerutkan dahinya dan terlihat ekspresi yang menuntut penjelasan darinya.“Aku pergi dulu,” kataku pada Adit yang masih memegang tanganku. Dia tersenyum dan melepaskan tanganku. Aku segera menarik Zita menjauh dan mencoba menghentikan ocehannya yang mulai membuat Adit tertarik akan apa yang dikatakannya.“Kau ini? Jadi selama ini kau menyembunyikannya dari kami!” kata Zita kesal. Kami masih terus berjalan menuju ruang kelas dan perlahan aku mencoba menjelaskan semuanya tapi Zita masih tidak bisa percaya dengan semua yang kukatakan.“Zita, dengar aku benar-benar baru bersamanya kemarin. Sungguh,” ucapku lagi.“Yah, kau selalu tidak mau berbagi cerita pada kami.”“Ada apa sih?” tanya Anka yang tiba-tiba muncul di belakangku.Seketika Zita menghentikan langkahnya dan berpaling ke arah Anka.“Seperti biasa, teman kita yang satu ini menyembunyikan sesuatu dari kita lagi. Apa salahnya sih memberitahu kami?” kata Zita sewot.“Zita bukankah sudah kukatakan aku baru."“Apa sih?” tanya Anka makin bingung.“Teman kita ini sudah punya pacar sekarang? Dan kau tahu siapa pria itu?”“Siapa?” kata Anka tertarik.“Adit!” kata Zita kesal.Ekspresi Anka dan Dina berubah rasa penasarannya berubah menjadi suatu ekspresi yang tak bisa kutebak. Dia tidak terlihat senang.“Lalu bagaimana dengan Ezi?” tanyanya. Aku segera berpaling pada Zita saat dia mengatakan hal itu. Aku baru ingat Ezi sekarang sejak malam itu aku tidak lagi memikirkannya.“Kenapa dengannya?” tanyaku.“Yuri, apa kau tidak tahu? Sudah kukatakan Ezi menyukaimu!” kata Zita keras. Tidak sedikit orang yang berada di koridor itu menoleh ke arah kami. Mereka mulai tertarik dengan apa yang kami bicarakan dan mau tidak mau aku harus membawa keduanya menjauh dari tempat itu sekarang.Kami segera menelusuri koridor terakhir dan berhenti di ruang kelas. Aku masuk dan teman-teman kelasku lainnya masih asyik dengan kesibukan mereka masing-masing. Aku mengajak keduanya duduk di pojokan dan tidak lama dari itu Dina datang dan duduk bersama kami. “Oke, dari pada kalian berprasangka buruk padaku akan kujelaskan semuanya.” Aku pun mulai menjelaskan semua kejadian yang terjadi setelah aku berlari mencari Ezi untuk menuntut penjelasan tentang foto-foto yang tiba-tiba dikirimkan padaku hingga kejadian Adit. Mereka bertiga terkejut mendengar penjelasanku dan Anka mulai mengerti. Anka dan Dina tidak memberi komentar karena mereka menerima apa pun keputusanku. Tapi Zita tidak, dia terlihat tidak senang dan mulai memberikan pendapatnya tentang masalah ini.“Jujur saja aku merasa kau begitu jahat,” ujar Zita spontan.“Maksudmu apa?”“Aku yakin, suatu saat kau akan sadar kalau Ezi orang yang paling menyukaimu. Dan kau akan tahu kalau kau juga menyukainya,” kata Zita meyakinkanku. Aku bingung, kenapa Zita mengatakan hal segamblang itu saat aku benar-benar senang bersama Adit. Ada apa ini? Aku berusaha tidak ambil pusing dengan apa yang sudah dikatakannya lalu kami berempat kembali ketempat duduk yang biasa kami duduki dan mata kuliah segara dimulai saat dosen masuk kekelas.***Aku berjalan cepat menuju tempat parkir saat Adit menelponku dan mengajakku segera pergi. Matahari sudah hampir terbenam saat itu dan aku bingung kemana Adit akan membawaku jam segini.Adit mengendarai mobilnya dalam diam dan itu membuatku semakin penasaran. Kemana dia akan membawaku? Aku masih asyik bertanya dalam hatiku saat Adit berhenti di suatu tempat yang membuatku terbelalak. Kini kami berada dikawasan pantai ancol dan aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa saat kusadari sudah berapa lama aku tidak kemari. Pemandangan laut yang terbentang luas nan indah di hadapanku, ditambah sinar matahari yang begitu berkilauan. Sebentar lagi sunset, dan aku tidak sabar menunggunya. Adit segera menyusulku yang sejak tadi tanpa sadar berlari menuju jembatan itu. Banyak orang berdiri di sini dan mereka pun sama terpesonanya denganku. Hembusan angin laut yang bertiup membuatku merasa sedikit kedinginan tapi Adit tiba-tiba memakaikan jaketnya padaku. Aku kaget saat dia merangkulku. Rambutku terurai panjang dan melambai-lambai saat angin bertiup cukup kencang.“Terima kasih,” kataku senang. Adit menatapku lembut dan kembali menikmati indahnya senja bersamaku. Tidak lama kami menunggu sunset di sana dan perlahan bisa kulihat matahari yang terbenam secara perlahan. Aku ingin menangis karena senang dan Adit masih di sini merangkulkan kedua lengannya pada pinggangku. Banyak pasangan kekasih ikut menikmati sunset di sini dan semuanya terlihat begitu senang. Ombak pun bersahabat. Sehingga enggan sekali rasanya kalau harus meninggalkan tempat ini.Sejenak masih kunikmati hembusan angin yang perlahan membuatku menggigil dan tiba saat aku ingin pulang ponselku berbunyi.“Aku angkat dulu ya,” kataku saat Adit melepaskan rangkulannya dari tubuhku. “Halo,” sapaku dan terdengar isak tangis diujung suara seseorang yang menelponku.“Nak, kamu segera ke rumah sakit sekarang ya,” kata suster Lucia sambil terus terisak.“Suster? Ada apa?” kataku panik.“Ryan ... Ryan nak ... dia sedang dioperasi sekarang.” “Apa?” Aku berusaha meredakan kepanikanku. “Baik suster, Yuri segera kesana,” kataku panik. Aku memutuskan panggilan itu dan berlari menuju Adit.“Kita harus ke rumah sakit sekarang,” kataku panik.“Ada apa?” “Ryan! Dia sedang dioperasi. Aku juga tidak tahu kenapa, tapi kita harus segera kesana.” Adit seakan mengerti kondisi yang kini terjadi segera mengajakku pergi. Mobil melesat lebih cepat dari biasanya dan sialnya kami berdua terjebak macet sekarang. Aktifitas kota ini memang tidak pernah berhenti dan saat ini adalah jam padat kendaraan yang berada dijalan-jalan raya. Adit mencari jalan keluar dari kemacetan itu dan segera membuat kami menjauh dari kerumunan kendaraan bermotor yang masih berhimpitan. Kami memutar arah dan dengan cepat mobil itu sudah berhenti di rumah sakit tempat Ryan dirawat.Aku dan Adit segera berlari menuju kamar operasi dan saat kami temukan tempat itu kulihat banyak sekali orang yang berdiri dengan ekspresi kecemasan mereka. Aku berlari dan segera memeluk suster Lucia yang berdiri menangis. Kulihat banyak anak panti asuhan yang datang dan semua suster berusaha menenangkan mereka. “Ada apa suster? Ryan kenapa?” tanyaku khawatir. Suster Lucia tidak menjawab dia hanya menangis dan terus memelukku. Aku berusaha melepaskan pelukannya dan mencari jawaban atas semua pertanyaanku. Lalu mataku menangkap sosok orangtuaku yang duduk lemas disana.“Papa? Mama? Kalian sedang apa di ...” kata-kataku terhenti saat kulihat papa menangis di sana. Mama terlihat marah tapi turut menangis disisi papa yang benar-benar nampak terpukul sekali. Ada apa ini? Kenapa papa disini? Dan mama juga kenapa mereka begitu khawatir? Bukankah selama ini aku selalu dilarang bertemu Ryan? Kenapa sekarang mereka begitu memperhatikan Ryan?Tidak ada yang mau menjelaskan semua ini padaku. Aku benar-benar hampir gila dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi otakku dan aku hampir tidak bisa menahan air mataku. Adit mencoba menenangkanku tapi aku tidak bisa tenang. Hatiku kalut! Perasaanku kacau balau! Aku tidak tahu dengan apa yang terjadi? Aku tidak tahu apa Ryan akan selamat atau tidak! Aku tidak tahu apa-apa!Beberapa menit berlalu dalam isak tangis semua orang bahkan anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa pun menangis. Lalu aku? Aku tidak tahu harus menangis atau apa? Aku bingung dengan semua yang terjadi? Seakan-akan air mataku telah kering. Aku hampir tidak bisa menangis lagi.Dokter dan suster-suster akhirnya keluar dari ruang operasi dan ada sesuatu yang membuatku menangis sekarang. Ekspresi kekecewaan terpancar dari sang dokter dan aku terkejut saat Papa lah orang pertama yang meminta dokter bicara.“Dokter, bagaimana anak saya?” kata papa sambil menangis.“Maaf, pak tapi kami sudah berusaha semaksimal mungkin,” kata dokter lalu pergi meninggalkan papa yang hampir pingsan. Aku menangis dalam kebingungan yang semakin menyelimutiku. Kulihat mama yang segera membantu papa untuk berdiri dan suster-suster panti asuhan mulai menangis dan anak-anak lainnya berteriak sedih. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Air mataku mengalir dan spontan kupeluk Adit yang berdiri di sampingku. Dia mencoba menenangkanku tapi tangisanku semakin dalam saat kusadari semua telah selesai. Ryan si kecil yang kusayang sudah pergi dan bagaimana mungkin aku bisa tenang. Semua menangis menumpahkan rasa kesedihan mereka dan aku semakin memeluk Adit dengan erat. Bisa kudengar bisikan Adit dalam setiap isakkanku. “Kita harus tegar,” katanya.Aku masih tidak tahu harus bersikap apa. Kulihat suster rumah sakit mengeluarkan Ryan dari ruang operasi dan air mataku makin menjadi-jadi saat kulihat Ryan yang terkulai lemah di tempat tidurnya. Wajahnya pucat dan sangat kurus. Papa seakan-akan tidak bisa menerima kematian Ryan dan terus menerus memanggil namanya dan bisa kulihat ekspresi penyesalan di wajah kedua orangtuaku.“Bangun, nak ... bangun.... maafkan papa nak. Ayo bangun sayang!” teriak papa. Mama mencoba menenangkannya dan aku benar-benar tidak kuat melihatnya. Semua begitu kehilangan sosok kecil yang terkulai itu. Dan nuansa berkabung menyelimuti kami semua. *** Bab 13 Pemakaman terasa begitu cepat dan kulihat semuanya masih sangat terpukul sekarang. Tapi walau bagaimana pun mereka tetap harus segera menjelaskan semua ini padaku. Karena itu setelah pemakaman saat semua orang berkumpul di ruang tengah panti asuhan aku memberanikan diri untuk menuntut penjelasan dari semuanya. Orangtuaku, kak Rafa dan adikku, para suster, Adit, dan bahkan keempat sahabatku masih duduk lemas di tempat mereka. Aku tahu ini adalah waktunya untuk menjelaskan padaku.“Pa, ma, tolong jelaskan apa yang kalian sembunyikan dariku?” kataku sambil menatap kedua orangtuaku yang masih terduduk lemas di tempatnya. Airmata papa perlahan bergulir dan bisa kulihat kesedihan yang begitu terpancar di matanya.“Nak, jangan tanyakan hal itu dulu pada orangtuamu,” kata suster Lucia.“Tapi suster, aku harus tahu! Suster dan kedua orangtuaku sudah menyembunyikan sesuatu dariku dan kini waktunya untuk aku tahu semuanya,” teriakku.“Sudahlah, kau tenang ya,” kata Adit.“Tidak. Aku mana bisa tenang Dit! Mereka menyembunyikan hal ini dariku!” Aku berteriak makin keras dan keempat sahabatku mulai mencoba menenangkanku tapi keempatnya kuacuhkan. Aku menatap lurus memandang kak Rafa yang duduk di sebelah papa. Aku tahu mungkin papa belum siap, tapi kak Rafa pasti tahu hal ini. Kak Rafa pasti tahu!“Kak, tolong kasih tahu Yuri kak, apa yang kalian sembunyikan selama ini?”Kak Rafa masih diam dan aku makin kesal. “Kenapa tidak ada yang mengerti perasaanku! Aku ingin tahu! Aku ingin tahu kenapa papa bilang kalau Ryan itu anak papa! Kenapa papa dan mama menyuruhku untuk tidak menjenguk Ryan! Kenapa papa begitu kehilangan seorang anak dari panti asuhan yang bahkan tidak mengenal papa!” teriakku.“Karena Ryan itu adikmu, Yuri,” kata papa pelan.“Apa? Apa maksud papa?” Aku benar-benar bingung dan tidak bisa percaya dengan apa yang kudengar.“Dia adik tirimu,” kata papa lagi.“Adik tiri?” “Kau ingat dulu papa pernah menikah lagi di Semarang?” kata kak Rafa tiba-tiba.“Iya aku ingat kak, lalu? Apa hubungannya dengan Ryan? Bukankah istri papa itu sudah meninggal?”“Benar, Ratna sudah lama meninggal. Kau tahu kenapa? Dia meninggal karena penyakit yang sama dengan Ryan.”“Apa? Jadi maksud papa, Ryan itu anak papa dan tante Ratna? Lalu kenapa papa tidak pernah mengatakannya padaku?!”“Karena ... karena papa takut kau akan membencinya nak. Papa tahu kaulah satu-satunya anak papa yang tidak bisa terima saat papa menikahi ibunya Ryan. Karena itu papa menitipkan Ryan di panti asuhan yang ada di sekitar rumah kita. Papa tahu ini salah. Dan saat papa tahu kau mulai menyukai anak-anak di panti asuhan papa takut kau tahu masalah ini, karena itu mamamu ingin kita pindah,” kata papa pelan.“Jadi selama ini papa sengaja! Papa sengaja agar aku jauh dari anak-anak! Pa, kenapa papa sejahat ini! Papa jahat! Papa sudah membuang Ryan! Aku benar-benar kecewa!”Aku pergi meninggalkan tempat itu dan kudengar langkah kaki orang yang mengikuti langkahku. Aku berhenti di taman panti asuhan dan duduk di ayunan yang biasa kumainkan bersama Ryan saat dia masih sangat kecil. Aku menangis di sana dan membayangkan betapa sedihnya Ryan. Aku tahu sekarang kenapa Ryan begitu membenciku. Dia pasti tahu kalau aku adalah kakak yang menyebabkan dia harus di buang dari kehidupan papa. Aku ... aku jahat!“Kenapa semuanya terjadi? Kenapa Ryan? Kenapa harus dia! Ryan anak yang baik, dia harus menderita selama ini karena keegoisanku dan kebodohan papa! Kenapa papa membuangnya!” teriakku.Adit memelukku dan berusaha menenangkanku. “Sudah cukup Yuri, aku tahu papamu pasti punya alasannya. Kau harus tenang.” “Aku? Bagaimana aku bisa tenang, Dit! Ada seorang anak yang di buang orangtuanya karena aku! Dan aku baru tahu saat anak itu sudah tidak ada!” kataku.“Dengarkan aku! Semua sudah takdir. Ryan pasti tidak ingin melihatmu seperti ini! Walau bagaimanapun kau kakaknya! Dia tidak akan suka melihatmu seperti sekarang ini.” “Tapi, Dit aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Bagaimana mungkin Ryan akan memaafkanku!”“Dia akan mengerti, Ryan anak yang hebat. Dia pasti akan mengerti.” Kata Adit lalu memelukku lagi. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa sekarang tapi satu hal aku benar-benar marah pada orang-orang yang membohongiku selama ini! Aku tidak akan memaafkan mereka! Air mataku bergulir tanpa henti dan aku tahu semua sudah tidak mungkin lagi. Ryan, maafkan kakak.*** “Nak,” suster Lucia tiba-tiba menyadarkanku dari lamunanku. Tanpa sadar aku sudah duduk di kamar Ryan selama berjam-jam. Aku hanya duduk termenung dan memikirkan semua yang telah terjadi selama ini. Sekarang aku mengerti kenapa Ryan begitu membenciku.“Kau sedang apa sayang? Suster mencarimu sejak tadi. Ada yang ingin suster berikan.” Kata suster Lucia.Suster Lucia memberiku sebuah sapu tangan yang kulihat bertuliskan nama semua anggota keluartaku. Aku bingung apa ini?“Apa ini suster?”“Ini sapu tangan yang dibuat Ryan saat di rumah sakit.”“Apa?”“Nak, Ryan tidak pernah membencimu. Dia bahkan sangat menyayangimu, hanya saja situasinya sangat sulit,” kata suster Lucia mulai menangis lagi.“Suster, tolong jelaska padaku apa yang sebenarnya terjadi? Apa Ryan tahu kalau dia adalah adikku?”“Nak, adikmu sudah lama tahu kalau dia adalah saudaramu. Kau ingat kejadiaan saat pertama kali dia merubah sikapnya padamu? Saat itulah dia menemukan foto ayahnya di berkas-berkas pendataan anak-anak panti asuhan ini. Kau tahu, dia menangis saat itu. Suster belum pernah melihatnya menangis.”Mendengar kata-kata suster Lucia hatiku tersentak. Oh Tuhan kenapa selama ini semua disembunyikan dariku Tuhan?!“Lalu kenapa dia bersikap begitu suster, harusnya saat itu dia katakan semuanya padaku. Agar aku tahu semuanya.”“Adikmu tahu, kalau kau tidak menyukai hubungan ayahmu dan ibunya. Dan dia tahu alasan kenapa dia dititipkan di panti ini. Kau harus mengeri, nak. Ryan anak berumur sepuluh thau. Mana mungkin dia mengerti alasan kenapa kau tidak akan menyukai keberadaannya. Satu yang dia tahu adalah ...”“Karena aku, dia jadi anak yang dibuang ayahku,” kataku sadar.“Ya, begitulah nak.”“Dan karena itu Ryan begitu membenciku.” Air mataku mengalir lagi dan suster Lucia memelukku.“Ryan tidak membencimu, nak. Dia bahkan sangat menyayangimu. Suster tahu perasaannya karena Ryan sudah seperti anak suster sendiri. Kau lihat sapu tangan ini dibuatnya saat dirumah sakit. Dan ada namamu disana. Itu menunjukkan kalau dia menganggapmu sebagai keluarganya.”“Tapi suster, aku ... aku benar-benar bersalah padanya suster,” kataku pelan.“Sudahlah, kau harus kuat. Ryan tidak akan suka melihat saudaranya menangis. Lagi pula temanmu sudah lama menunggumu diluar, nak. Orangtuamu ingin kau pulang. Ayo, suster antar.” Aku tidak ingin pulang tapi mau bagaimana lagi. Suster Lucia mengantarkanku ke ruang tamu dan kulihat Adit duduk di sana dengan wajah yang pucat. Aku ingin sekali memeluknya dan menangis disana tapi itu tidak mungkin karena suster Lucia akan melarangku menangis.Setelah berpamitan Adit membawaku menuju mobilnya dan mengantarkanku pulang. Sepanjang perjalanan aku hanya diam dan memikirkan kata-kata suster Lucia yang terus terngiang di kepalaku. Kugenggam erat-erat sapu tangan milik Ryan hingga mobil berhenti tepat di depan rumahku.Aku masih diam saja hingga Adit tidak tahan melihatku. Dia berusaha mengajakku bicara tapi aku tidak mau.“Yuri, sudahlah. Orangtuamu menunggu di dalam. Ayo masuk.”Aku diam saja tapi Adit terus memaksaku hingga aku masuk. Aku melangkah lunglai menuju pintu rumahku bersama Adit yang masih berada di sampingku. Dan mataku tertuju pada papa yang duduk lemas saat aku memasuki ruang tamu.“Ya Tuhan akhirnya kau pulang nak,” kata mama langsung memelukku. Aku tidak membalas pelukannya melainkan melepaskan pelukan itu dari tubuhku. Kulihat papa ingin bicara namun sebelum kata-kata itu meluncur kukatakan semua yang ingin kukatakan dihadapan semuanya.“Tolong, aku tidak mau dengar apa pun lagi sekarang. Aku capek. Aku ingin istirahat. Aku harap tidak ada yang mengangguku. Mengerti!” kataku tegas. Lalu kutinggal semua orang menuju kamarku.Aku tahu ini tidak seharusnya kulakukan tapi aku benar-benar butuh waktu untuk sendiri. Aku segera berbaring di atas tempat tidurku dan menangis untuk kesekian kalinya hingga mataku tertutup rapat dan masuk kedunia mimpi yang indah. *** Bab 14 Aku masih saja duduk di bangku taman kampusku walau hujan sudah mengguyur seluruh tubuhku. Aku duduk tidak bergeming dan merasakan setiap tetesan hujan begitu berarti untukku. Aku ingin menghanyutkan semua yang ada di pikiranku tapi tetap saja tidak bisa, sudah bermenit-menit berlalu saat hujan deras mengguyurku. Tidak ada yang berani mendekat ke arahku, bahkan Dina sekalipun. Aku tidak ingin mereka menggangguku, dan aku tidak ingin mereka memikirkan keadaanku. Aku hanya ingin sendiri, aku ingin menghukum diriku!Hujan masih terus mengguyurku hingga kurasakan tiba-tiba tetesan air itu berhenti. Aku mendontak melihat siapa orang yang datang memayungiku dan kulihat Ezi berdiri di depanku. Wajahnya menampakkan ekspresi yang tidak bisa kuartikan tapi kini dia duduk di depanku dan berusaha menatap mataku. Aku tidak ingin dia melihatku seperti ini, aku tidak ingin dia mengajakku bicara.“Apa yang sedang kau lakukan?” kata Ezi datar. Aku menatap tajam matanya dan aku hampir menangis. “Aku ... aku hanya sedang menghukum diriku! Dan kumohon tolong pergilah! Aku tidak ingin kau melihatku!”“Aku sudah dengar semuanya, jangan salahkan dirimu.”“Cukup, Ezi ... cukup! Kalian tidak perlu bersikap seakan-akan aku tidak bersalah! Karena kau tahu akulah yang menyebabkan semua ini terjadi! Aku membuat Ryan kesepian selama sisa hidupnya! Aku bahkan membuatnya menghadapi maut sendirian tanpa papa di sampingnya!”“Sudahlah.” Ezi memelukku. Payung itu terjatuh dan Ezi pun tidak luput dari guyuran hujan yang semakin deras.“Aku tahu, aku mengerti. Sungguh, karena aku pun pernah mengalami hal yang sama dengan yang kau alami. Tapi jangan siksa dirimu seperti ini.”“Tapi Zi aku ...”“Kau tahu aku yakin Ryan tidak akan suka melihatmu seperti ini.”Aku masih bisa mendengar sayup-sayup suaranya yang hampir hilang dimakan petir yang tiba-tiba menyambar di langit. “Ayo ikut aku.” “Pergilah Zi, aku ingin sendiri.” “Jangan bodoh! Kubilang ikut aku!” Ezi terlihat benar-benar marah dan dia menarikku ketepi tempat orang-orang yang berteduh. Anka, Dina dan Zita segera berlari ke arahku dan memberiku jaket mereka. aku melepaskan jaket-jaket itu dan membuat mereka semakin khawatir.“Yuri!” “Jangan perdulikan aku, Din. Tolong ...”“Kalian tenang saja, aku akan menjaganya,” kata Ezi yang tiba-tiba berdiri di sampingku.Aku menatapnya tidak percaya tapi dia terlihat begitu meyakinkan yang lainnya.“Ayo ikut aku.” Dia segera menarikku menuju mobilnya dan mobil itu melaju pergi ketempat yang tidak kuketahui. Aku benar-benar tidak tahu kemana Ezi akan membawaku. Aku diam saja hingga mobil itu berhenti di sebuah rumah mewah yang punya halaman yang benar-benar luas.“Ini dimana?” tanyaku.“Rumahku, ayo masuk.” Ezi berjalan jauh di depanku dan dengan sedikit berlari aku mengejarnya. Kami berdua masih basah kuyup hingga dua orang pembantu menyambut kami di depan rumah.“Aduh, den Ezi kenapa basah semua atuh den?” kata salah satu di antaranya.“Tidak kenapa-napa bi, tolong ajak temanku ke kamar tamu.” Pembantu yang satunya menyuruhku mengikutinya, awalnya aku bingung dan mencoba meminta penjelasan dari Ezi tapi dia hanya menyuruhku melakukan apa yang dikatakannya.“Ayo, non.” Bibi itu berjalan lebih cepat dari yang kukira. Beliau mengantarkanku menuju sebuah kamar yang tidak jauh dari ruang keluarga dan saat membuka kamar itu aku hampir berdecak kagum.Desain interior kamar itu benar-benar mengagumkan dan aku tidak bisa berhenti menatap lukisan di depanku. Aku tidak tahu siapa wanita dalam lukisan itu, hanya saja dia begitu cantik. Setelah sadar dari lamunanku aku menatap sekitar kamar itu. Kamar yang berpenerangan cukup terang itu dihiasi pernak-pernik wanita seperti tirai boneka, gorden merah muda, dan ada banyak boneka yang tersusun rapi di dalam lemari. “Non,” kata bibi mengagetkanku.“Ah, iya bi.”“Ayo non mandi dulu, nanti kena flu.” Aku mengangguk lalu bibi itu meninggalkanku. Aku masih terus mengawasi lukisan itu dan tiba-tiba seseorang mengagetkanku.“Cantik bukan?” Ezi sudah berdiri tidak jauh dariku dan aku jadi salah tingkah.“Dia mamaku, almarhumah mama.”“Cantik, wanita yang cantik.”“Ya, tapi sudahlah. Ayo kau mandi dulu, ini pakai bajuku.” Ezi melemparkan celana jeans dan kemeja yang tentunya jauh lebih besar dari yang biasa kupakai. “Itu jeans punya mama, dan baju itu punyaku. Kurasa tidak akan terlalu kebesaran.” Ezi sejenak menatapku lalu segera pergi meninggalkanku.Apa-apaan sih dia? Sudah mengajakku ke rumahnya sekarang bersikap begitu dingin! Maunya apa sih dia?Aku segera masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar itu. Cukup luas dan aku segera membersihkan diriku dengan cepat. Setelah mengeringkan rambutku kulihat pantulan wajahku di cermin. Kantung mataku menebal dan mataku sudah persis seperti panda.Kulihat baju itu nampak cukup besar untukku hingga lengannya lebih panjang dari tanganku.Aku kembali ke kamar dan terkejut melihat Ezi yang berdiri disana.“Kau lama sekali.”“Aku ...”“Istirahatlah dulu, aku akan mengajakmu pergi sore ini. Masih ada beberapa jam, lebih baik kau tidur.”Aku hanya mengangguk dan Ezi pergi begitu saja. Aku menutup pintu itu dan mulai berbaring di tempat tidur yang tidak pernah kutempati. Ada rasa janggal di hatiku tapi benar yang dikatakan Ezi, aku butuh tidur. *** Aku bangun setelah seseorang mengetuk pintu kamar itu. Aku mengusap-usap mataku dan merapikan rambutku sebelum membukakan pintu. Saat kubuka kulihat Ezi sudah siap dan akan segera membawaku pergi. Aku menurut saja saat dia menyuruhku mengikutinya.Mobil itu ternyata sudah bersih saat kami akan pergi dan segera saja Ezi melajukan mobilnya. Aku tidak tahu dia akan membawaku kemana. Aku sadar saat kulihat aku masih memakai kemejanya yang sangat kebesaran dan kulihat ada senyum tipis terpampang di wajahnya saat melirikku.“Kenapa?!” sewotku.Ezi diam saja dan memilih tidak membalas jutekanku. Mobil masih melaju dengan cepat hingga memasuki kawasan yang tidak pernah kudatangi sebelumnya.Kulihat tulisan terpampang di sebuah gapura yang mengantarkan kami menuju sebuah pemakaman. Aku tidak tahu harus bilang apa sekarang karena keterkejutan masih menguasai pikiranku. Aku menatap Ezi dengan bingung tapi dia diam saja dan membawaku menuju pusara yang berada di bagian tengah pemakaman itu. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit. Benar-benar sakit hingga aku tidak bisa berhenti meringis. Entah kenapa tiba-tiba bayangan mimpi itu datang lagi. Pemakaman ini tidak asing bagiku tapi entah kenapa kepalaku benar-benar sakir saat berada di sini.“Kau baik-baik saja?” tanya Ezi saat melihat wajahku yang pucat.“Aku ... kenapa kita disini?” “Kau harus ikut aku agar kau tahu.” Ezi berjalan lebih cepat di antara makam-makam yang berjejer di hadapan kami. Lalu tiba-tiba Ezi menghentikan langkahnya dan duduk di sebelah makam seseorang.“Mika,” katanya pelan.Aku menyusulnya dengan duduk di sampingnya. Kulihat wajah Ezi yang terlihat begitu berusaha menutupi kesedihannya lalu kugenggam tanganya.Ezi terkejut saat kugenggam tanganya yang kedinginan. “Aku ingin kau mengenalnya. Dan aku ingin kau berhenti bersedih dan menyalahkan dirimu,” kata Ezi lagi.“Apa maksud kamu?”“Ika ... aku tahu kau masih terus beranggapan kalau kaulah yang membuat hari-hari terakhir Ryan menjadi lebih buruk. Dan kau selalu beranggapan kaulah yang selalu salah atas semua kejadian ini. Tapi aku ingin kau buka matamu. Kau tahu apa alasan Mika meninggal dunia? Saat itu Mika memberitahuku kalau dia akan pergi dari Jakarta karena orangtuanya, saat itu kami berdua tidak ingin berpisah lalu aku membawanya pergi menuju daerah puncak. Dan kau tahu saat itu sedang terjadi badai besar hingga tanpa kusadari mobil kami tergelincir dan terjadilah kecelakaan yang membuat Mika benar-benar pergi dari hidupku selamanya. Dan kau tahu sejak itu aku benar-benar tidak bisa berhenti menyalahkan diriku. Aku ... aku membuatnya pergi.” Ezi berhenti menceritakan semuanya saat air matanya tiba-tiba menetes ditanganku. “Aku tidak bisa terima semua itu, tapi perlahan aku mengerti kalau semua itu sudah jalannya. Aku memang salah. Tapi aku tidak bisa terus menerus menyalahkan diriku. Aku tahu dengan bersikap begitu Mika tidak akan bisa tenang di sana. Karena itulah, aku ingin kau berhenti menyalahkan dirimu. Walau bagaimana pun kau dan Ryan adalah saudara, mana mungkin Ryan akan suka melihatmu seperti ini.” Ezi berusaha menguatkanku. Aku tahu semua yang dikatakannya benar lalu tanpa sengaja air mataku menetes perlahan. Ezi menatap tajam diriku dan menenangkanku.“Aku ...”“Kau harus tegar,” kata Ezi.“Kau benar, aku ... tidak seharusnya aku seperti ini,” kataku. Dan air mataku semakin mengalir. Ezi memelukku dan berusaha menenangkanku. Kupeluk dia dan menangis di bahunya untuk menghilangkan rasa sakit yang mendera hatiku akhir-akhir ini."Terima kasih," kataku parau. Aku tahu semua yang dikatakannya benar dan aku tidak ingin seperti ini lagi. Aku harus melanjutkan hidupku dengan baik dan aku harus tunjukkan pada Ryan kalau aku akan jadi kakak yang bisa dibanggakannya. Angin di sekitar pemakaman bertiup ke arah kami tapi aku masih tetap hangat saat Ezi terus memelukku dan merasakan semua yang kurasakan saat ini hingga waktu berlalu begitu saja. *** Aku masuk ke kamarku dengan hati sedikit lebih lega dari biasanya. Aku sadar semua yang dilakukan Ezi semata-mata karena dia ingin aku kembali seperti dulu. Jujur saja aku juga lelah terus menerus menyalahkan diriku sendiri. Tapi, entahlah hatiku selalu dihantui rasa bersalah pada Ryan. Aku menutup mataku saat kubaringkan diriku di atas tempat tidur. Sedikit kenangan tiba-tiba terlintas. Aku ingat pertama kali aku melihat Ryan di panti asuhan. Saat itu aku merasa kalau dia akan jadi anak yang luar biasa. Dia terlihat berbeda dari anak-anak seumurnya. Dan semakin hari semakin kusadari kalau Ryan memang selalu menghindari kontak mata denganku. Aku sadar ini semua karena keegoisanku. Maafkan kakak Ryan. Aku bangkit dari tempat tidurku dan memandang pantulan wajahku dari kaca yang di letakkan mama di depan tempat tidurku. Ya, wajahku lebih pucat dari biasanya. Dan tubuhku benar-benar nampak sangat kurus dibalut kemeja besar yang dipinjamkan Ezi padaku.Aku beranjak dari tempatku dan berjalan menuju kamar mandi lalu mengganti pakaianku. Aku ingin tidur. Kepalaku sedikit pusing dan aku benar-benar butuh istirahat.Aku segera tidur saat piyama sudah kukenakan dan dalam tidur sesuatu menggangguku. Entahlah aku hanya merasa sejak bertemu Ezi aku sering bermimpi hal-hal yang tidak pernah kulihat sebelumnya dan kali ini lagi-lagi mimpi itu menghantuiku.Kulihat suasana rumah sakit yang begitu ramai dan bisa kulihat ada beberapa orang yang mirip dengan wajah Ezi berdiri di luar sebuah ruangan. Jujur saja aku tidak mengenal mereka. Tapi wajah kedua laki-laki yang berdiri disana mirip sekali dengan Ezi. Aku mencoba mendekat agar aku bisa sedikit lebih jelas melihat apa yang terjadi di depanku. “Siapa mereka?” aku semakin bingung saat kulihat keduanya benar-benar mirip dengan Ezi! Dan ada lagi pria yang berpakaian sama seperti kedua pria yang mirip dengan Ezi. Dia duduk terpaku di sudut lorong dan kulihat ruang operasilah yang berada di depanku. “Siapa yang dirawat disini?” pikirku. Aku tahu aku harus melihat siapa yang berada disana tapi sesuatu menghadangku. Aku melihat Ezi yang tiba-tiba datang tapi … astaga apa yang terjadi? Ezi duduk di atas kursi roda dan satu suster membantunya mendorong kursi itu ke arahku. Aku tahu ini gila! Tapi apakah ini nyata? Aku mencoba menyadarkan Ezi akan keberadaanku disana tapi sepertinya dia benar-benar tidak bisa melihatku.“Ezi … hei ... ini aku!” teriakku. Tapi benar saja tidak ada satu pun yang menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka mendengarku. “Sedang apa kau disini,” kata salah satu pria yang begitu mirip dengan Ezi pada Ezi yang terlihat begitu pucat. “Bukankah kau dilarang untuk keluar? Suster, kenapa suster malah membantunya?” katanya kesal. “Aku ingin melihatnya! Kenapa kalian melarangku!” teriak Ezi kesal. Aku kaget saat Ezi berteriak begitu keras. Belum pernah aku melihat dia begitu marah. Ekspresi kesal bercampur cemas tersirat di wajahnya dan itu membuatku semakin penasaran. Apa mungkin Mika yang ada di dalam?“Apa yang sedang kau pikirkan, Ezi! Kau membuatnya jadi seperti ini! Apa kau tidak pernah berpikir kalo semua ini salahmu!” tiba-tiba teriakan terdengar lagi, dan suara ini berasal dari pria yang sejak tadi duduk terpaku di sudut ruangan. Aku bisa melihat wajahnya kini. Dia sedikit berbeda dari Ezi lalu siapa mereka sebenarnya?“Hendra cukup, tolong jangan bahas masalah ini lagi. Ezi sudah cukup tertekan dengan keadaan Mika yang terus menerus melemah. Jangan kau tambah bebannya dengan rasa bersalah seperti itu.” Kata laki-laki yang mirip Ezi. Kuperhatikan laki-laki itu dan kusadari, mungkinkah ini kakaknya Ezi? Dia terlihat lebih dewasa beberapa tahun dari Ezi tapi wajah mereka sangat mirip.“Kakak jangan terus menerus membelanya!” kata seseorang yang bernama Hendra. “Kak Hendra tolong jaga emosimu.” Kata pria yg juga mirip dengan Ezi. Aku semakin bingung mendengar perdebatan mereka dan tepat saat pikiranku melayang jauh seseorang keluar dari ruang operasi.“Bagaimana dok? Kata seseorang yang kuyakini kalau dia adalah ibunya Mika. Sejak tadi aku melihatnya menangis di samping suaminya. Aku bisa rasakan ketakutan melanda semuanya hingga dokter hanya menggelengkan kepalanya. Aku tahu betul apa yang sudah terjadi. Mika sudah meninggal… *** Bab 15 Malam terasa sedikit lebih senyap dari pada biasanya hingga aku yakin benar-benar tidak akan ada yang datang ke kamarku dan mengganngu ketenanganku. Aku duduk diam di atas tempat tidurku dan sebuah bingkai foto tergeletak di sampingku. Aku tidak menangis malam ini aku sudah berjanji pada diriku bahwa aku tidak akan pernah menangis lagi. Ezi benar Ryan tidak akan suka melihatku seperti itu. Aku sedikit lega dan rasanya aku bisa bernafas lebih ringan dari pada beberapa hari terakhir. Aku beranjak mendekati jendela kamarku dan menatap langit malam yang begitu gelap. Sungguh gelap, sama seperti perasaanku beberapa hari terakhir. Aku menyungingkan senyum kecil di wajahku dan tiba-tiba kulihat sesuatu meluncur di langit. Bintang jatuh itu nampak indah tapi terasa begitu cepat. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Jujur saja aku tidak pernah begitu tertarik dengan bintang jatuh dan aku juga tidak begitu percaya dengan mitos yang mengatakan kalau bintang jatuh akan mengabulkan permintaanku. Karena itu aku tidak bereaksi apapun saat aku melihat kilasan cahaya yang jatuh itu.Kini aku teringat akan Adit. Ngomong-ngomomg dimana dia? Hari ini aku tidak melihatnya. Apa perlu aku menghubunginya malam ini? Tapi ini sudah sangat malam. Aku mengambil ponsel di atas tempat tidurku dan kulihat tidak ada satu pesan pun. Aku meletakkan kembali ponselku dan berbaring di sampingnya. Perlahan kurasakan rasa kantuk yang tiba-tiba menghinggapiku dan dengan perlahan mataku tertutup. ***Aku terbangun begitu kudengar teriakan yang membahana dalam mimpiku. Aku tahu ini gila dan aku pun tidak mau melihat semuanya lagi. Ini terlalu menyakitkan! Tapi kenapa mimpi-mimpi itu terus menerus menghantuiku?Aku bangun dari tempat tidurku dan memandang pantulan wajahku di cermin. kulihat wajahku semakin pucat dan keringat membasahi wajahku. Aku takut ... aku benar-benar takut melihat hal itu lagi dalam mimpiku! Oh Tuhan apa maksudnya ini? Kenapa aku selalu melihat kejadian-kejadian itu dalam mimpiku?Aku menutup mataku perlahan dan berusaha menjernihkan pikiranku. Ah ... kurasa ini benar-benar membuatku gila! Aku sudah tidak bisa hidup normal sejak mengenal Ezi, sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan padaku Tuhan? Aku tidak mengerti? Apa yang ingin kau sampaikan padaku dari mimpi-mimpi itu? Aku masih terus bergelut dengan pikiran-pikiranku hingga seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku kaget dan mau tidak mau harus beranjak membukakan pintu."Kenapa belum siap-siap? Bukankah kau ada kuliah pagi ini?" kata kak Rafa. Aku masih sedikit linglung saat kak Rafa menatapku tajam lalu aku tiba-tiba sadar kalau aku ada kuis pagi ini. "Kenapa baru membangunkanku sekarang!" kagetku. "Lho? Aku mana tahu kalau kau ada kuis pagi ini." Aku segera membanting pintu kamarku hingga tertutup dan berlari menuju kamar mandi. Kubuka keran showerku dan air mulai membasahi tubuhku. Segar, tapi aku tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama sekarang. Aku harus ke kampus! Setelah mandi aku segera turun dan meninggalkan rumah tanpa sarapan dan pamit pada mama seperti biasanya. Aku masih tidak ingin bicara pada mereka. Entahlah aku masih tidak bisa memaafkan mereka. Aku segera menaiki taksi yang berhenti tidak jauh dari rumahku dan taksi itu dengan cepat membawaku menuju kampus. Sepanjang perjalanan aku berusaha untuk membaca apapun yang kira-kira akan masuk dalam kuisku hingga tanpa kusadari taksi sudah mengantarku tepat di depan gerbang kampusku. Aku turun dan segera berlari menuju gedung fakultasku. Kulihat suasana sudah cukup sepi saat kusadari jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Aku terlambat setengah jam.Aku berlari menaiki tangga-tangga yang akhirnya membawaku menuju ruang kelasku. Aku masuk dan segera duduk di kursi paling depan. Ms.Vita tidak memarahiku melainkan langsung memberiku lembar ujian. Aku menatap sepintas soal-soal itu dan untunglah soal ini tidak sesulit yang kubayangkan. Aku segera menulis jawaban yang kuanggap benar tanpa menoleh ke siapa pun. Sesekali aku berpikir dan memastikan bahwa jawabanku benar hingga tidak lama kemudian bel tanda ujian telah berakhir terdengar tepas saat aku memastikan semua jawabanku telah terisi rapi.Ms. Vita menyuruh kami meninggalkan lembar jawaban kami di atas meja dan meminta kami untuk keluar dari ruangan.Segera saja kutarik tasku dan pergi meninggalkan ruang kelas dan diikuti oleh sahabat-sahabatku."Kukira kau tidak akan datang," kata Anka kesal. "Kami benar-benar khawatir padamu," kata Zita. "Aku mana mungkin meninggalkan ujian," kataku menenangkan mereka. "Lalu kemana saja kau? Kenapa baru datang?" kata Dina meminta penjelasan. "Aku kesiangan. hanya itu," jawabku. "Oh ya? Apa kau sudah makan? wajahmu pucat sekali," kata Zita lagi. "Aku mana sempat untuk sarapan. Lagi pula sejak dulu aku memang pucat. Jadi tolong untuk berhenti mengkhawatirkanku. Ngomong-ngomong dimana Adit? Apa kalian melihatnya?" kataku tiba-tiba sadar bahwa Adit tidak menghubungiku sejak kemarin. "Adit? kami juga tidak tahu. Oh ya, kemana Ezi membawamu kemarin?" kata Anka tertarik. "Dia ...." pikiranku tiba-tiba teringat akan kejadian kemarin. Kurasa aku tidak harus memberi tahu mereka kemana Ezi membawaku."Dia hanya mengantarku pulang. itu saja," bohongku."Benarkah? Ya baguslah kalau begitu," kata Anka lagi. "Hei kemana saja kalian?" teriak Roman tiba-tiba menghampiri. "Aku mencari kalian di kelas tapi kalian sudah tidak ada." "Memangnya kau di ruang mana?" kata Zita. "Aku di atas. Oh ya Yuri ini, Adit menitipkan ini padaku." Roman memberiku sebuah amplop. Aku segera mengambilnya dan membuka amplop itu. Sepucuk surat terselip disana dan cepat-cepat kubaca surat itu. Dear Yuri ... Maaf aku tidak menghubungimu. Aku hanya ingin kau tahu, aku harus pergi. Orangtuaku memintaku ke Kanada. Aku tidak bisa menjelaskannya padamu sekarang. Tapi aku berjanji saat aku pulang akan kujelaskan semuanya padamu. Maaf aku tidak berani datang langsung padamu. Aku takut aku tidak bisa meninggalkanmu. Besok aku akan segera pergi. Penerbangan pertama, jadi kuharap kau bisa mengerti situasiku. Aku mencintaimu, sungguh. Tapi situasi ini membuat aku tidak bisa memilih. Orangtuaku membutuhkanku sekarang, aku tahu kau akan baik-baik saja tanpaku. Ada banyak orang yang akan menjagamu untukku disana. Kuharap kau mau memaafkan keputusanku ini, sekali lagi maafkan aku. Aku benar-benar menyayangimu ........ Airmataku tiba-tiba menetes saat kubaca surat itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Tapi jujur saja rasanya sesuatu membuat tubuhku tidak bisa berdiri. Aku hampir pingsan tapi Zita segera menahanku saat aku benar-benar hampir terjatuh. "Aku harus menemuinya! Apa maksudnya? Kenapa Adit?" Aku mengambil ponsel dari dalam sakuku dan kutelpon Adit. Tapi tidak bisa. Nomornya sudah tidak aktif. Aku tahu dimana dia sekarang! Apa mungkin masih sempat? "Kalian dengar, aku akan ke bandara sekarang dan kalian kumohon masuklah ke kelas sekarang. Aku akan mengejarnya." "Tidak, saat ini kita sedang ujian! Kau harus masuk kelas!" kata Dina tegas."Dina, tolong mengerti! Aku tidak bisa membiarkan dia pergi begitu saja!" "Kalo begitu biar aku ikut denganmu." kata Roman tiba-tiba. "Roman apa kau gila!" teriak Anka. "Aku mana mungkin membiarkan Yuri pergi sendiri! Kalian masuklah dan mintakan izin untuk kami berdua. Katakan saja alasan yang kira-kira tepat untuk kami berdua. Kami akan segera kembali," kata Roman tegas. Kulihat Zita masih tidak setuju dengan rencana ini tapi Roman sudah menarikku pergi. Dia membawaku menuju tempat parkir dan menyuruhku memasang helm dengan cepat. Aku segera menaiki motor itu dan kami menjejak pergi. Roman melajukan motornya dengan cepat. sepanjang perjalanan menuju bandara membuatku tidak bisa berhenti menangis. Aku tidak habis pikir kenapa Adit meninggalkanku tanpa penjelasan apapun. Aku tidak bisa membiarkan dia pergi! Roman dengan cepat membawa kami menuju bandara dan saat dia memarkirkan motornya aku sudah berlari menuju ruang pemberangkatan. Aku berlari menuju resepsionis. "Apa keberangkatan menuju Kanada sudah berangkat?" kataku."Lima menit lagi pesawat akan lepas landas nona, ada apa?" tanyanya. Aku tidak punya waktu untuk menjawab hal itu sekarang, aku segera berlari menuju tempat pemberangkatan. Tapi aku tidak melihat Adit disana? Kemana dia? Dimana dia? Aku terus berlari mencoba menemukannya tapi tidak bisa! Aku tidak melihatnya dimana pun. Saat aku berlari menuju luar bandara saat itu kudengar sebuah pesawat telah lepas landas. Aku berpaling pada pesawat yang baru saja berangkat dan tepat saat aku hampir terjatuh Roman memelukku."Tenang, Yuri." "Adi!!" teriakku lemah. "Kumohon jangan seperti ini." kata Roman. "Aku terlambat! Aku terlambat! Kenapa dia begitu padaku! Kenapa?!" Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Roman hingga kusadari tidak sedikit orang yang menoleh padaku. Aku tidak peduli yang kupikirkan hanya satu, kenapa ... kenapa Adit meninggalkanku? *** Bab 16 Hari berganti hari dan tanpa terasa sebulan berlalu begitu saja di hadapanku sejak kepergian Adit yang begitu tiba-tiba. Sejak saat itu aku seperti kehilangan sesuatu dalam hidupku. Tanpa senyuman, tanpa air mata dan tanpa keluh kesah yang biasanya kulantarkan di hari-hariku. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, semua kejadian yang terjadi terasa begitu berat namun rasanya aku benar-benar sudah tidak mungkin untuk menangis. Ryan telah pergi untuk selamanya sedangkan Adit sampai detik ini aku tidak tahu dimana dia tepatnya. Aku tidak tahu bagaimana kabarnya dan aku juga tidak tahu apa dia masih memikirkanku atau tidak. Semua orang mulai lebih memperhatikanku sekarang, yah tidak seperti biasanya memang. Aku bisa merasakan kepedulian mereka akan diriku. Aku tahu mereka tidak ingin melihatku terus berlarut-larut dalam masalahku. Mereka ingin aku kembali seperti dulu. Menjadi wanita yang ceria dan menjadi wanita yang disukai banyak orang. Aku mencobanya memang, aku mencoba mengembalikan kegairahan hidup dalam hidupku apalagi sekarang ada Ezi di sampingku. Dia seperti malaikat penolongku. Dialah yang membuatku bisa keluar dari kesedihanku, dia jugalah orang yang selalu tahu apa pun yang ada di benakku. Aku tahu banyak orang menyangka kalau aku sedang memanfaatkan kebaikan Ezi padaku, tapi jujur aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Semua berjalan begitu saja dan aku sudah mencoba untuk menghilangkan ketergantunganku akan kebaikannya. Aku tahu tidak akan mudah bagiku menjalani hari-hariku jika tanpa Ezi di sampingku. Dia sudah seperti nafas untukku dan perlahan aku merasakan ada sesuatu yang berbeda setiap kali aku bertemu dengannya. Aku merasa nyaman dan ada rasa ingin memilikinya setiap kali dia di sampingku. Aku tidak yakin dengan apa yang telah terjadi sekarang hingga Ezi menyadarkanku saat aku duduk terpaku di danau kampusku seperti biasanya.“Kau sedang apa?” kata Ezi tiba-tiba.“Aku menunggumu. Ada yang harus kukatakan padamu.”“Sebelum kau mengatakan apapun itu padaku, aku ingin kau tahu aku menyukaimu. Mika sudah ...”“Mika lagi?! Kenapa kau terus menerus mengatakan soal Mika di depanku! Sekarang aku tahu! Aku yakin kalau kau menyukaiku hanya karena aku mirip dengannya! Jadi benar dugaanku selama ini!” teriakku kesal.“Ika aku tidak ...”“Apa lagi?! Sudahlah, sudah cukup semua ini, aku memang menyukaimu! Tapi aku tidak mau kau menyukaiku karena dia!” teriakku.“Aku tidak ...”“Jangan datang padaku sebelum kau benar-benar bisa melupakan dia!” teriaknya lalu kesal.Aku kesal, dan air mataku jatuh lagi. Aku tahu tidak seharusnya aku bersikap sekeras itu padanya. Tapi aku tidak mau terus menerus dianggap seorang pengganti.***Aku berlari menuju kamarku dan kubanting pintu di belakangku. Aku berjalan lunglai menuju tempat tidurku dan akhirnya duduk di atasnya. Tubuhku lemas, aku lelah. Selalu seperti ini sejak aku sadar kalau aku menyukainya.“Yuri! Ada yang mencarimu!” teriak kak Rafa tiba-tiba. Aku kaget dan segera saja kuhapus air mataku. Aku sedikit merapikan diriku dan segera menuruni tangga menuju ruang tamu. “Siapa yang mencariku kak?” tanyaku pada kak Rafa.“Entahlah, dia hanya memberikan ini untukmu.” Kak Rafa memberikan sepucuk surat padaku. aku mengambilnya dan segera membaca isi surat itu. Aku tunggu kau di taman sekarang. Akan kutunjukkan bahwa kau satu-satunya. EZI “Apa?” kagetku saat kubaca surat itu. Apa sih maunya dia?! Aku bergegas menuju taman lagi dan melihat apa yang akan dilakukan Ezi disana. Aku tidak habis pikir apa yang telah dia siapkan! *** Kulihat Ezi berdiri tidak jauh dari danau dengan banyak benda di hadapannya. Aku kaget saat kulihat semua benda yang ada di depannya adalah semua benda yang berkaitan dengan Mika. Mulai dari lukisan, foto-foto hingga banyak pernak pernik disana. Apa maksudnya melakukan semua ini.“Apa sih maumu?!” teriakku.“Kau ingin buktikan! Akan kutunjukkan bahwa aku benar-benar sudah melupakannya.” Ezi menyiramkan banyak minyak tanah pada benda-benda itu dan menyulut sebatang korek api di sana. Dalam sekejap api membakar semua yang ada di sana. Foto-foto dan lukisanlah yang paling cepat terbakar. Mataku terbelalak melihat apa yang telah dilakukan Ezi padaku.“Apa-apaan ini!” “Sudah kubuktikan aku menyukaimu. Aku sudah melupakannya,” teriak Ezi berusaha meyakinkanku.“Tapi bukan begini caranya!” teriakku kesal. Aku tidak mau mendengar apapun lagi dan berlari begitu saja meninggalkan Ezi dan semua benda yang hangus terbakar di belakangku. *** Bab 17 Hari ini hujan lebat lagi-lagi mengguyur kotaku. Aku duduk di sudut kelas sambil terus memandang keluar jendela tempat Ezi berdiri. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Kenapa dia melakukan hal bodoh seperti itu. Aku tahu dia berusaha meyakinkanku tapi entah kenapa hatiku masih ragu. Dina, dan Zita terus memandangiku. Ms. Vita masih terus mengajar di depan kelas. Aku berusaha tidak mengindahkan Ezi yang berdiri di bawah sana tapi aku tidak tahan melihatnya yang pucat dan kedinginan. Hujan semakin deras tapi Ezi tidak bergeming. Aku sakit melihatnya seperti itu tapi aku tidak bisa menerimanya sekarang.“Baiklah, Ms harap tugas kalian selesai dalam satu minggu. Saya ingin semua mengerjakan dengan baik,” ujar Ms. Vita menutup mata kuliah siang itu lalu segera meninggalkan ruang kelas.Dina, Zita, dan Anka segera mendekatiku dan memandang keluar jendela tempat Ezi masih berdiri.“Kenapa kau tega sekali padanya?” ujar Zita protes.“Yuri, aku rasa semua ini sudah cukup,” ujar Anka.“Apa ini tidak terlalu berlebihan? Yuri berhentilah bersikap begitu. Aku tahu pasti Ezi benar-benar menyukaimu,” ujar Dina meyakinkanku.“Kalian tidak mengerti apa yang kurasakan,” protesku.“Aku bingung, kau ini buta atau apa! Kau tidak bisa melihat ketulusannya!” teriak Zita kesal. Aku tahu semua yang dikatakan mereka benar. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang.“Ambil ini,” ujar Anka memberikan sebuah payung padaku.“Untuk apa ini?” “Jemput dia, sudah cukup kau bersikap begitu,” ujar Anka pelan.Aku mengerti mereka benar. Aku mengambil payung itu dari Anka dan segera berlari meninggalkan kelas. Aku berlari menuruni tangga yang dipadati mahasiswa dan berlari menuju Ezi yang hampir jatuh pingsan disana. Aku buka payung itu dan berlari cepat ke arahnya. Aku berdiri di depannya dan melihat senyum kecilnya dan tiba-tiba Ezi terduduk lemah di depanku. Aku masih tidak bisa menatap matanya. Air hujan yang perlahan membuatku basah menyadarkanku dan kulihat Ezi yang menatapku lemah. Hatiku sakit melihatnya seperti ini. Entah apa yang kulakukan sekarang aku tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang beralih pada kami berdua.Aku duduk dihadapannya. Ezi tersenyum dan aku memeluknya. “Aku ... aku menyukaimu.” Kata-kataku membuatnya terkejut namun Ezi mempererat pelukannya.“Apa yang baru saja kau katakan itu benar? Kau benar-benar menyukaiku?” katanya sambil terus memelukku erat.Aku hanya mengangguk dalam pelukannya. Aku merasa nyaman dan lega saat mengatakan semua yang ada di hatiku. Ezi tersenyum dan perlahan dia mendekatkan wajahnya padaku. Aku tahu apa yang akan dilakukannya. Namun aku tidak bisa bergerak, ada sesuatu yang aneh dalam hatiku. Aku tidak bisa menolak saat dia mengecup pelan bibirku. Aku diam dan sadar betapa aku menyukainya. Bibir kami berpaut beberapa saat di bawah guyuran hujan yang membasahi kami berdua. Aku senang hingga hampir meneteskan airmata tapi Ezi melarangku untuk menangis. “Kau dengar, mulai saat ini aku tidak mau satu tetes air mata pun jatuh di pipimu. Kau mengerti?”Aku menggangguk pelan dan kembali menenggelamkan tubuhku dalam pelukannya. ***Ezi mengantarku pulang seperti biasa sore itu namun kali ini ada yang berbeda. Mulai saat ini kami sudah resmi bersama. Saat aku hendak turun dari mobilnya dia menarik tanganku perlahan membuatku kembali duduk dan melihat ke arahnya. “Apa?” kataku lembut. Dia tertawa dan membelai lembut rambutku.“Tunggu sebentar.” Ezi terlihat mencari sesuatu. “Tutup matamu,” katanya. Aku bingung apa yang akan dilakukannya namun aku menurut.Tidak lama aku merasa Ezi mengalungkan sesuatu dan saat aku membuka mataku kulihat sebuah kalung dengan liontin bintang telah tergantung di leherku.“Cantik sekali,” kataku kagum.“Kau suka? Aku ingin kau memakainya sampai kapan pun. Kau mengerti?” Aku menangguk. Dan Ezi membelai lembut kepalaku lagi.“Tidur yang nyenyak ya sayang.” Dia tertawa dan mengecup pelan pipiku.“Malam,” kataku. Aku turun dari mobilnya dan segera masuk kerumahku. Kulihat mama berdiri di depan pintu menungguku.“Ma ...,” kataku terkejut.“Cepat masuk terus istirahat. Mama siapin makanan untukmu.” Saat mama akan pergi kupeluk beliau.“Ma, maafin Yuri ... maafin Yuri ... maaf selama ini Yuri bersikap seperti ini. Yuri tahu Yuri salah. Maafin Yuri ma.”Mama berbalik ke arahku dan membelai kepalaku lembut. “Mama tidak pernah marah sama Yuri. Yang penting sekarang Yuri sudah berubah karena mama tidak mau melihatmu sedih lagi.” Aku memeluk mama lagi dan kusadari betapa rindunya aku dengan pelukan ini.“Mama siapin makanan dulu.”“Aku sudah makan ma, aku mau istirahat aja. Mama istirahat juga ya.” Aku mengecup pipi kanannya lalu berlari menuju kamarku. Kututup pintu kamarku dengan perlahan dan saat pintu itu tertutup aku berlari menuju tempat tidurku dan membaringkan diri di sana.Aku tidak bisa berhenti tersenyum, saat kupejamkan mataku aku teringat kejadian sore ini. Ezi dia … ah! Aku malu! Ini pertama kalinya bagiku. It`s my first kiss! Spontan aku meraba bibir mungilku aku tersenyum dan sesuatu mengejutkanku.Ponselku berdering keras sekali segera kuambil ponselku dan ternyata Ezi disana.“Halo,” kataku lembut.“Malam sayang,”“Ih ... Ezi apa-apaan sih. Sudah malam nih.”“Coba lihat keluar.”Aku menurut dan segera melangkahkan kakiku ke arah jendela. Kubuka gorden kamarku dan kulihat Ezi berdiri di sana.“Kau sedang apa di sana?” kataku bingung.“Aku ingin melihat bintang bersamatmu.” Ezi tersenyum dan bisa kulihat dia tersenyum sambil melambai ke arahku. Aku melihat banyak sekali bintang di langit dan ini pertama kalinya aku melihat bintang bersamanya.“Sudahlah, lebih baik kau pulang sekarang. Sudah malam,” kataku mengejutkannya.“Oke. Aku pulang tapi kau juga harus segera tidur. Karena besok pagi kau harus menemuiku.”“Lho? Memangnya ada apa?” kataku.“Seseorang akan menjemputmu besok kita akan bertemu di sana jam 10 tepat. Jadi jangan terlambat ya.”“Iya aku mengerti. Selamat malam,” kataku lalu menutup telponnya. *** Aku bangun lebih cepat dari pada biasanya. Ada rasa penasaran yang jujur saja tidak bisa kututupi. Apa yang akan dilakukannya? Aku segera mandi dan berdandan seperti biasa hanya saja saat aku akan pergi seseorang yang Ezi maksud datang membawa sesuatu untukku.“Apa ini?” kataku.“Tuan ingin nona memakainya.” Aku bingung melihat sebuah kotak cukup besar diletakkan di depan rumahku. Aku mengambilnya dan kembali ke kamarku. Kubuka kotak itu dan kudapati sebuah gaun cantik berwarna putih membuatku tertarik. Kuambil gaun itu dan ada amplop kecil dis ana. Aku ingin kau memakainya. Hanya ada tulisan itu di sana. Aku tertawa membayangkan apa yang sedang dipikirkannya. Aku segera mengganti pakaianku dengan gaun yang dibawakan untukku dan segera saja aku turun menuju mobil yang kini menungguku. Aku segera masuk dan mobil melesat dengan cepat.Dalam perjalanan aku tidak bisa berhenti tersenyum. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Aku terus memegangi kalung yang diberikannya untukku. Aku tahu hari ini pasti akan jadi sesuatu yang paling membahagiakan dalam hidupku. Aku tidak sabar ingin melihat apa yang telah disiapkannya untukku.Perjalanan terasa cukup jauh. Aku sudah tidak mengenal tempat ini hingga akhirnya mobil ini berhenti di sebuah gereja di pinggiran kota. Gereja ini tidak begitu besar hanya saja bentuk bangunannya benar-benar indah. Aku turun dari mobil itu dan melihat di sekelilingku. Banyak sekali bunga disini aku tersenyum sendiri saat kusadari betapa Romantisnya Ezi sekarang.“Ezi nya dimana?” kataku pada seseorang yang membawaku.“Tuan muda akan segera sampai. Nona silahkan tunggu di dalam.” Aku mengangguk dan berjalan perlahan memasuki gereja di depanku. Baru saja kulangkahkan kakiku dan mataku sudah dimanjakan dengan relif bangunan yang istimewa. Gereja ini memang cukup tua namun bentuk designnya sangat menakjubkan. Ada pelataran di depan ruagan dan ada berbaris-bari kursi panjang yang mengkilap di sana. Ada juga lilin-lilin yang beraromakan lavender di sudut-sudut ruangan sehingga membuatku semakin menyukai tempat ini. Aku berjalan menuju altar dan berdoa.“Tuhan, terima kasih karena kau begitu baik padaku. Aku mohon semoga hari ini menjadi hari terbaik dalam hidupku. Amin.”Aku membuka mataku saat kudengar seseorang masuk ke dalam ruangan.“Ezi?” kataku. Dan sosok itu ternyata bukanlah Ezi namun seseorang yang begitu mirip dengannya. Dia mendekat ke arahku dan aku bingung sendiri siapa dia.“Kau Yurika?” katanya pelan."Iya. Kau siapa?" Ujarku bingung.“Oh Tuhan. Bagaimana bisa? Kau benar- benar mirip dengan Mika.” Kata-katanya membuat senyumku memudar. Kenapa Mika lagi sih?“Aku Eza. Senang bertemu denganmu. Kau tahu aku bukan? Aku kakak nya Ezi.”Aku baru sadar saat dia mengatakan bahwa dialah kakaknya Ezi yang selama ini ingin kulihat. Aku tersenyum padanya. “Lalu kenapa kakak disini?”“Entahlah Ezi menyuruhku kemari. Dan aku juga bingung dimana yang lainnya?”“Yang lainnya? Maksud kakak?”“Kudengar Azi dan Hendra juga akan datang. Tapi dimana mereka?”“Azi dan Hendra?” Aku bingung sendiri. Apa kedua orang itu adalah sahabat dan adiknya Ezi? Lalu untuk apa mereka kemari? Sebenarnya apa yang sedang direncanakannya.Kulirik jam tanganku dan kulihat sudah 30 menit dari waktu yang ditentukan dimana dia? Tidak lama terdengar hentakan kaki dari luar aku segera melihat siapa yang datang dan lagi-lagi aku harus kecewa saat kulihat dua orang asing disana. Yang satu cukup mirip dengan Ezi dan yang satunya pria tinggi dengan rambut yang dikuncir.“Kemana saja kalian.” Kata Eza yang segera berdiri dari tempatnya duduk.“Memangnya kenapa sih kak Ezi menyuruh kita kemari?” kata seseorang yang kuanggap itu Azi. Dia terlihat seperti anak ABG . Jelas saja setahuku dia masih SMA.“Kau! Yurika kan! Aku Azi. Kau ingat? Aku orang yang mengirimimu foto-foto Mika.”“Apa?”“Azi apa maksudmu?” kata Hendra bingung.“Hei ... hei jangan marah dulu. Aku waktu itu iseng ingin melihat gadis mana yang bisa membuat Kak Ezi kelimpungan. Jadi aku diam-diam memperhatikanmu. Jujur saja dari awal aku sudah tidak percaya dengan apa yang kulihat. Lalu sense of humorku kambuh. Aku sengaja mempermainkanmu kak Yuri dengan mengirimkan foto itu. Aku cuma mau melihat reaksinya dan jujur saja aku puas.”“Apa?” jujur aku kesal sekali dengannya apa sih maunya anak kecil ini. Hendra ternyata sama kesalnya denganku. Kak Eza memukul pelan kepalanya tanda bahwa dia juga kesal dengan perbuatan Azi yang memang sudah kelewatan.Aku berusaha tenang dan tidak memikirkan masalah itu lagi. Entah kenapa sekarang aku tidak henti-hentinya melirik arlojiku. Sudah satu jam lebih dimana dia?“Ezi kemana sih? Anak itu benar-benar kelewatan. Biar aku menghubunginya dulu.”Eza berjalan menjauh dari kami bertiga. Aku mulai tidak nyaman terutama karena Hendra terus menerus menatapku.“Ada apa?” kataku mencoba memberanikan diri untuk bicara dengannya.“Tidak, aku hanya berpikir kalau Ezi masih sama seperti dulu.”“Maksudmu?” belum sempat dia menjawab Eza telah kembali dengan wajah muram.”“Ada apa kak?”“Entahlah apa yang terjadi, tapi aku yakin sesuatu telah terjadi.”“Maksudnya?” Azi terlihat mulai serius dan jantungku makin berdetak keras.“Ezi, aku sudah menghubunginya tapi tidak ada jawaban. Aku juga sudah menelpon kerumah tapi bibi bilang dia sudah berangkat sejak pagi. Dan celakanya dia lupa meminum obatnya.”“Apa?” Hendra terlihat semakin khawatir. Ketiganya segera berlari namun aku masih berdiri di tempatku. Jujur saja aku bingung. Sebenarya apa yang terjadi?“Yurika, ikut aku.” Eza menarikku tapi aku tetap diam.“Tolong jelaskan apa yang terjadi.”Hendra dan Azi sudah meninggalkan kami. Aku masih tidak mau pergi hingga Eza berpaling padaku.“Ezi sudah lama menderita penyakit jantung. Selama ini mungkin dia tidak pernah mengatakan hal ini padamu. Dan sekarang kau harus dengarkan aku, sesuatu mungkin telah terjadi padanya. Saat ini aku akan coba mencarinya. Aku mohon, kau pulang bersama sopir. Dia akan membawamu pulang.”“Aku ikut. Aku ikut,” kataku memaksa.“Kau harus pulang, mengerti.”Eza berlari meninggalkanku. Aku terduduk lemas. Apa yang terjadi? Aku mencoba menghubungi ponselnya tapi tidak ada jawaban. Oh Tuhan apa yang terjadi?Aku berlari ke altar dan berdoa. “Ya tuhan kumohon beritahu aku dimana dia. Aku mohon. Aku ingin tahu dimana dia? Aku takut terjadi apa-apa padanya.”Aku terus berdoa dan berharap hingga malam pun tiba. Tidak ada tanda-tanda Ezi. Aku masih duduk di depan altar hingga sopir memaksaku untuk pulang. *** Bab 18 Berhari-hari berlalu tanpa kabar. Aku kesal, sedih, marah, khawatir, semuanya bercampur di hatiku. Aku tidak tahu harus berbuat apa! Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan agar aku bisa menemukan dia. Aku mencoba menemui Eza di rumahnya namun mereka selalu bilang mereka belum menemukan Ezi dimana pun. Aku tahu mungkin mereka berbohong. Bagaimana mungkin dia tidak tahu keberadaan saudaranya sendiri. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang mau menjelaskan semuanya padaku?Aku duduk bersandar di kamarku berusaha mencari-cari alasan mengapa Ezi bisa meninggalkanku begitu saja. Rasanya tidak mungkin dia bersikap begitu padaku. Setelah semua yang dilakukannya selama ini padaku. Air mataku bergulir lagi jujur saja, aku sudah tidak kuat menahan semua beban ini. Kutopang kepalaku yang terasa semakin berat dan aku teringat sesuatu.“Aku tunggu kamu di sana, jadi tunggu aku,” kata-kata Ezi ini tiba-tiba mengingatkanku. Aku sadar dan mengambil sweaterku lalu pergi meninggalkan rumah. Kak Rafa berteriak memanggilku untuk menghentikanku tapi aku tidak perduli. Saat ini yang kuinginkan hanya pergi ke tempat itu. Aku yakin dia disana. Mungkin dia menungguku di sana. Aku berlari menuju jalan besar dan kuhentikan taksi di depanku. Taksi itu melaju cepat membawaku ketempat itu lagi. Aku yakin dia di sana. Aku terkejut saat tiba-tiba ponselku berdering. Ku angkat telpon itu dan suara Zita terdengar di sana.“Kau dimana? Kami mencarimu kemana-mana?”“Dengarkan aku, aku tahu aku yakin Ezi sekarang ada di gereja. Aku yakin dia menungguku di sana. Aku yakin Zita, aku yakin dia di sana. Aku sudah dalam perjalanan. Saat ini yang kuinginkan hanya pergi ke tempat itu. Aku yakin dia di sana. Mungkin dia menungguku di sana." Sebelum Zita memintaku untuk berhenti taksi ini sudah berhenti tepat dimana gereja itu berada. Aku segera turun dan berlari menuju pintu gereja yang terbuka. Aku tersenyum karena aku yakin Ezilah yang ada disana. Aku segera masuk dan sesuatu membuat harapanku lenyap. Tidak ada siapa pun di sana. Aku terduduk di tempatku berdiri. Oh Tuhan, sebenarnya dimana dia?Aku menangis lagi. Entah sudah berapa kali aku menangis sejak Ezi menghilang. Aku tidak tahu apa semua ini kesalahanku atau bukan. Aku tidak tahu! Aku masih disana saat pintu gereja tertutup tiba-tiba dan lilin-lilin yang menyinari ruangan itu padam. Ada sesuatu yang membuatku takut, entah kenapa aku mendengar seseorang mendekat ke arahku. Aku bangun untuk melihat siapa orang itu dan betapa terkejutnya aku saat kulihat sosok perempuan yang begitu mirip denganku berdiri di hadapanku.“Mika …” kata-kataku terputus saat dia semakin mendekat ke arahku.“Yurika, aku ingin kau tahu. Dia membutuhkanmu sekarang. Dia sangat membutuhkanmu sekarang.”“Apa maksudmu? Dia? Apa yang terjadi padanya?” kataku panik.“Dia membutuhkanmu .” kata-kata itu terputus saat sosoknya tiba-tiba menghilang dan beberapa langkah kaki mendekat. Aku terjatuh dan pingsan. *** Kepalaku terasa sakit dan aku hampir tidak bisa membuka mataku. Aku berusaha membuka mataku dan kulihat semuanya duduk di sekitarku.“Ma ...,” kataku. Mamaku yang duduk paling dekat denganku terbangun dari tidurnya dan sekarang semuanya bangun dan mendekat ke arahku.“Kau baik-baik saja sayang? Mama khawatir sekali.” Mama membantuku duduk dan kulihat semuanya terlihat cemas.“Aku kenapa?” kataku bingung.“Kami menemukanmu pingsan di gereja. Ada apa denganmu, Yuri? Kami terkejut saat kau sudah jatuh pingsan disana. Apa yang terjadi?” kata Dina.“Aku …,” kata-kataku terputus saat teringat olehku kejadian itu. Mika datang padaku. Dan dia mengatakan sesuatu padaku. Astaga aku baru ingat! Mika ... dia mengatakan sesuatu tentang Ezi. Ezi membutuhkanku sekarang. Aku mencoba berdiri namun semuanya melarangku. Mereka terkejut saat aku tiba-tiba turun dari tempat tidur itu.“Kau mau kemana?” kata seseorang yang sama sekali tidak kuhiraukan.“Ezi ... dia ... dimana dia? Dia membutuhkanku. Dia membutuhkanku sekarang. Dimana dia? Dimana? Aku harus pergi! Aku harus mencarinya.” Seseorang tiba-tiba menggendongku dan memaksaku untuk berbaring. Aku meronta sehingga tabung infusku terjatuh. “Lepaskan! Aku mau cari Ezi … lepaskan aku!” pintaku. Aku meronta lagi hingga dia berteriak padaku.“Sudah cukup, Yurika!” teriaknya. Suara ini. Aku tahu suara ini. Aku mencoba tenang dan melihat sosok yang berteriak padaku. Dan benar saja, orang itu Adit. Dia kembali.“Adit …,” kataku lemah.“Yuri, kau harus tenang. Kau sedang sakit!” “Adit, kau, kenapa kau disini? Kau …” “Sudah cukup, aku mohon kau tenang. Jangan berpikir apa-apa. Kau harus istirahat sekarang.”“Lepaskan aku, Dit.”“Yuri!”“Apa pedulimu! Jangan sok peduli padaku!”“Tapi kau …”“Kau sudah meninggalkanku dulu! Jadi apa lagi pedulimu!” teriakku kesal.“Sebaiknya kita keluar, om, tante, kita biarkan mereka berdua dulu,” kata Roman mengajak semua orang untuk pergi. Dina, Anka, Zita dan kedua orangtuaku berjalan meninggalkan kami berdua. Kini aku menatap tajam dirinya yang berdiri di hadapanku. Semua kejadian itu kembali berkelebat di pikiranku. Saat dia meninggalkanku begitu saja. Saat dia memilih pergi dari pada bersamaku. Aku marah! Aku benar-benar marah padanya.“Yuri, kumohon dengarkan aku. Aku sudah tahu apa saja yang telah terjadi selama aku pergi.”“Apalagi, dit? Apa? Kau tahu apa?! Kau tidak tahu apa-apa dit! Semua ini tidak ada hubungannya denganmu!”“Yuri tolong dengar penjelasanku. Saat itu aku pergi, semuanya terjadi begitu saja. Orangtuaku memintaku untuk ke Kanada karena sesuatu terjadi pada adikku. Kau ingat! Dulu aku pernah mengatakan padamu. Aku punya seorang adik yang punya keterbelakangan mental. Malam itu orangtuaku memintaku ke Kanada karena adikku terluka. Dia mencoba bunuh diri. Dan saat itu aku tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan semua ini padamu. Aku tahu bebanmu sudah sangat banyak dengan kepergian Ryan. Aku tidak ingin menambah bebanmu. Karena itu aku pergi. Aku yakin kau pasti akan mengerti.”“Tidak Dit! Aku tidak ngerti! Aku tidak bisa mengerti! Saat itu kau tahu betapa sakitnya aku! Aku merasa dibuang! Aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli padaku. Hanya Ezi, hanya dia yang selalu ada saat aku butuh dia! Dan sekarang dia tidak ada! Aku tidak tahu dimana dia! Aku tidak tahu Dit! Aku yakin dia butuh aku sekarang! Dia butuh aku!” teriakku. Aku benar-benar kesal hingga Adit memelukku. Dia berusaha menenangkanku. Aku marah, aku sungguh marah pada diriku!“Aku mengerti, aku mengerti,” katanya lemah. Dia terus memelukku erat membuatku semakin merasa lemah. Air mataku mengalir deras dan membuatku semakin lemah.“Aku akan membantumu. Aku berjanji akan kutemukan dia. Akan kutemukan dia untuk menebus kesalahanku padamu.” Kata-katanya membuatku semakin terisak. Dia memelukku erat dan terus meyakinkanku hingga aku tenang dan kembali tertidur dalam dekapannya. *** “Kau harus makan, nak.” Mama menyuapkan bubur padaku. Aku menolak tapi beliau terus memintaku. Mana bisa aku makan disaat seperti ini. Aku tidak tahu dimana dia. Aku tidak tahu apa dia baik-baik saja atau tidak? bagaimana mungkin aku bisa dan dengan santainya makan disaat begini.“Yuri kau harus makan, saat ini Adit dan Roman sedang mencarinya. Kalau kau ingin membantu mereka kau harus cepat sembuh.” Dina duduk di sampingku dan memaksaku untuk melahap suapan yang diberikan mama padaku. Dina benar. Aku harus segera sembuh. Kumakan bubur itu. Terasa berat rasanya untukku setiap kali aku memikirkan dimana Ezi. Aku merindukannya. Sungguh.Pikiranku tentang dia tidak berhenti sampai disitu. Jantungku terus berdegub kencang setiap kali teringat akan kata-kata Mika. Dia memperingatiku. Sesuatu benar-benar terjadi pada Ezi. Dan ini membuatku semakin tidak tenang.“Dina, tolong hubungi Roman apa ada perkembangan?” kataku. Dina mengangguk dan baru saja saat dia akan mengambil ponselnya, ponsel itu berdering Dina segera mengangkatnya dan ternyata Romanlah yang bicara.“Dina, ada kabar baik soal Ezi.” “Ezi? Apa?” jawab Dina. Jantungku berdetak cepat saat nama Ezi disebut-sebut oleh mereka.“Ada apa Din?” kataku cemas.“Mereka dapat kabar tentang Ezi.” Dina tersenyum padaku dan kembali melanjutkan pembicaraannya pada Roman.“Lalu dimana dia?” Dina terlihat sama cemasnya denganku. “Rumah sakit? Jadi dia disana. Ok, kalau begitu kami segera kesana.” Dina menutup telponnya dan memandang ke arahku.“Rumah sakit? Apa maksudnya Dina? Siapa di rumah sakit? Ezi? Apa dia disana?” “Roman bilang dugaan mereka selama ini benar. Ezi kini berada di rumah sakit milik keluarga mereka. Selama ini keluarga mereka sengaja menyembunyikan hal ini darimu.”“Apa? Jadi kak Eza dan yang lain tahu dimana dia? Oh Tuhan. Ayo bawa aku kesana. Dina kumohon.” Dina mengangguk dan atas izin mamaku dia membawaku pergi meninggalkan rumah sakit. Dokter jelas melarangku untuk pergi tapi mama meminta dokter untuk mengizinkanku. Akhirnya Dina berhasil membawaku ke mobilnya dan kami melesat menuju rumah sakit tempat Ezi dirawat. Perjalanan terasa lama sekali hingga aku terus memaksa Dina untuk lebih cepat.“Dina kumohon lebih cepat.” “Aku mengerti. Kau tenang dong!” kata Dina protes. Aku benar-benar panik sekarang. Ezi di rumah sakit? Apa yang terjadi padanya?Mobil itu berhenti. Aku dan Dina dengan cepat berlari menuju ruang resepsionis.“Maaf suster, apa ada pasien yang bernama Ezi Panggalila disini?” tanya Dina.“Tunggu sebentar ya, saya cek dulu.” Suster itu melihat daftar pasiennya.“Tuan Ezi Panggalila ada di kamar no 27 bangsal melati, mbak.”“Terima kasih suster.” Dina mengajakku segera pergi menuju kamar yang dimaksud. Kami sempat tersesat hingga aku melihat Roman yang berlari ke arah kami.“Dia ada disini.” Roman menunjukkan arah pada kami, dan kulihat Adit duduk di salah satu kursi di luar sebuah ruangan. Aku mencoba berlari lebih cepat tapi aku hampir jatuh. Untung saja Roman berhasil memegangiku.“Kau harus pelan-pelan. Tenang, kau sudah menemukannya. Jangan berlari lagi.”“Aku tidak apa-apa. Aku harus segera bertemu dia." Kakiku melangkah lebih cepat lagi dan akhirnya aku berhenti di sebuah kamar bernomor dua puluh tujuh. Aku tahu dia di sini. Aku bisa merasakannya.Pintu kamar itu terkunci. Belum sempat aku menarik pintu itu Adit menahanku.“Aku harap kau tenang di dalam. Jangan mengagetkannya. Dia tidak tahu kalau kau akan datang. Aku sudah bicara pada keluarganya dan mereka mengizinkanmu bertemu dengannya. Kuharap kau bisa tenang di dalam. Aku melepaskan tanganku dari Adit dengan keras. “Aku lebih tahu apa yang harus aku lakukan. Jadi jangan mengaturku!”Adit nampak terkejut melihat sikapku. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin masuk sekarang. Aku melihat pintu tertutup itu dan membukanya. *** Bab 19 Pintu itu terbuka perlahan dan sesuatu membuatku terkejut. Seseorang sedang duduk di kursi roda yang menghadap ke jendela. Orang itu tidak menyadari kedatanganku. Dia masih nampak memandang keluar jendela. Aku masuk dan berjalan perlahan ke arahnya. Air mataku tumpah begitu saja saat kulihat punggungnya. Ezi sedang duduk di kursi itu. Sejenak aku hanya berdiri melihatnya. Dan menyadari betapa aku merindukannya. Hingga dia menyadari keberadaanku.Belum sempat dia bicara aku berlari ke arahnya dan memeluknya. Ezi terkejut dan dia mencoba melepaskan pelukanku padanya.“Kenapa kau bisa tahu aku disini?” katanya dingin.“Kenapa? Kenapa denganmu? Kenapa kau bersikap begini padaku? Kenapa kau meninggalkanku?” Aku berteriak padanya tapi dia tidak melihatku. Dia masih terus memandang keluar jendela.“Apa aku benar-benar tidak ada artinya untukmu? Kenapa? Kenapa kau begitu?” kataku lagi.“Sudah cukup Ika. Aku minta kau keluar dari kamarku sekarang!” teriaknya lagi.“Ezi kau ini!” Dina terlihat marah tapi aku menghalanginya.“Kenapa? Kenapa denganmu? Kenapa kau meninggalkanku”“Karena aku tidak ingin melihatmu lagi.” “Apa? Kau bilang kau menyayangiku. Kau bilang kau menyukaiku,” kataku lemah.“Tidak. Aku tidak menyukaimu.”“Bohong!” teriakku. “Ini apa! Kalung ini apa! Ini tanda kalau kau menyayangiku! Kau ingat kalung ini!” teriakku lagi.“Yurika dengar, aku tidak ingin melihatmu! Lupakan soal kalung itu. Aku bukan apa-apa lagi untukmu.” Kali ini dia berpaling padaku dan akhirnya dia melihat ke arahku.“Jadi selama ini ... kau!”“Aku hanya mempermainkanmu! Kau mengerti.”“Jangan bohong! Kumohon ada apa denganmu? Kenapa kau?”“Aku bilang lupakan aku! Aku tidak pernah menyukaimu! Buang saja kalung itu! Itu hanya sampah! Kau dengar!” teriaknya.“Bohong! Kau bohong padaku. Kau bohong. Aku tahu kau bohong.” Kataku semakin lemah. Tangisanku membuat suaraku semakin lemah. Ezi mendorong kursi rodanya ke arahku dan kini dia ada di hadapanku.Dia mengambil kalung itu dariku dan melemparkannya. “Sudah kukatakan buang saja ini.” Aku terkejut dan spontan aku menamparnya.“Kau!” Aku benar-benar marah lalu pergi meninggalkan tempat itu dan meninggalkan yang lainnya. Sumpah aku tidak mengerti apa yang dikatakannya padaku. Kenapa Ezi berubah?Aku berlari dengan cepat hingga tidak sengaja menabrak seseorang di depanku. Orang itu segera menahanku agar aku tidak terjatuh dan aku mengenali orang itu.“Hendra, kau …”“Yurika, apa yang terjadi?” dia segera memelukku dan aku menangis dalam pelukannya entahlah saat ini aku sangat butuh seseorang untukku bersandar. Dia membawaku menjauh dari kerumunan orang-orang yang melihat ke arah kami dan berhenti di taman rumah sakit. Dia duduk di sampingku dan memintaku menjelaskan semua hal yang terjadi.“Ada apa?” katanya.Aku menceritakan semua yang terjadi padanya dan bisa kulihat ekspresi ketidak percayaan Hendra di matanya. Aku tahu mungkin dia sama terkejutnya denganku. “Aku tidak percaya Ezi bisa melakukan itu padamu.”“Dia tidak mencintaiku, dia tidak …”“Itu bohong, aku bisa melihat itu. Dia mencintaimu. Bahkan dia mencintaimu lebih dari Mika. Aku bisa melihat itu. Sungguh.” Kata-kata Hendra membuatku sedikit tenang. Setidaknya dia tahu apa yang telah terjadi pada Ezi sekarang. Aku masih terus menangis di depannya hingga ponselnya berdering dan mengagetkan kami berdua.“Iya, Zi? Apa? Ezi masuk UGD lagi? Jantungnya lagi? Aku segera kesana.” Kata-kata Hendra menyadarkanku. Ezi? Sesuatu terjadi padanya?“Yurika kau ikut aku sekarang. Ezi membutuhkanmu.”Aku mengangguk dan aku tahu Hendra panik. Ada sesuatu yang terjadi. Kami berlari menuju ruang gawat darurat dan kulihat semua orang sudah di sana. Ada Dina, Zita, Anka, Roman, Adit, dan semua keluarga Ezi di sana. “Ada apa?” kataku menuntut penjelasan.“Sesuatu terjadi padanya saat kau pergi. Ezi tiba-tiba pingsan,” kata Dina cemas.“Ini semua salah aku. Aku yang membuat dia jadi seperti ini. Ini semua salahku!” Aku menyalahkan diriku lagi tapi Adit tidak tinggal diam. Dia memelukku dan membuatku sadar bahwa ini bukan semata-mata kesalahanku. Dalam pelukannya aku bisa melihat Kak Eza, Azi, dan seseorang yang kuyakini adalah ayahnya Ezi. Aku melepas pelukanku pada Adit dan berjalan ke arah laki-laki itu.“Om,” kataku pelan. Air mataku masih tidak bisa berhenti mengalir. “Nak, om tahu. Kau pasti bisa menyelamatkan putra om.” Dia terlihat begitu berharap padaku tapi aku menggeleng keras.“Tidak om, aku cuma bisa bikin masalah. Ezi jadi seperti ini karena kesalahanku.” Aku terus menyalahkan diriku dan kali ini tidak ada satu pun yang menentangku. Mereka cemas dan berdoa. Lama sudah dokter memeriksanya di dalam hingga akhirnya salah satu suster keluar dari ruangan.“Bagaimana keadaan anak saya dokter?”“Anak bapak masih berada dalam kondisi kritis. Untuk saat ini sudah tidak mungkin bagi kita untuk melakukan transplantasi jantung untuk putra bapak. Keadaanya sangat lemah. Saat ini kita hanya bisa berharap keajaiban Tuhan akan datang.” Kata-kata dokter itu membuatku terjatuh semakin dalam. Aku merasa bersalah. Semua ini salahku. Benar-benar salahku.Dokter itu pergi meninggalkan kami semua. Adit mendekat ke arahku dan memelukku erat. Aku tahu dia ingin aku melimpahkan sedikit kesedihanku padanya. Tapi ini membuatku semakin merasa sakit.Kak Eza dan Azi masuk ke ruangan itu bersama ayah mereka. Aku ingin masuk tapi aku tidak berani. Aku malu. Aku sadar semua ini salahku. Roman dan yang lain duduk terpaku dan merasakan kecemasan yang kini kurasakan. Tidak lama kemudian seluruh keluarga Ezi keluar dari ruangan itu. Kulihat ayahnya sangat terpukul begitu juga kak Eza dan Azi. “Masuklah, nak. Dia membutuhkanmu.” Aku menggangguk dan masuk ditemani Adit dan teman-temanku. Baru saja masuk aku hampir menjerit saat melihat Ezi terbaring lemah di sana. Wajahnya pucat dan tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan menyadari kehadiranku. Aku mendekat dan Adit berdiri di sampingku. Aku duduk di samping Ezi dan meraih tangannya yang hangat.“Kenapa kau begini padaku? Aku tahu aku salah. Aku tahu aku yang menyebabkan semua ini padamu. Kumohon bangun, Ezi kumohon kau bangun. Aku ingin melihat kau marah padaku. Aku ingin kau mengomeliku. Aku ingin kau menungguku di bawah hantaman hujan. Aku ingin melihat kau tersenyum untukku. Aku ingin kau selalu disampingku. Aku tahu aku egois. Selama ini kau selalu menuruti apa yang kumau. Tapi kumohon. Kali ini tolong kabulkan keinginanku. Aku ingin kau bangun. Aku mohon.”Aku memegang erat tanganya hingga kusadari air mataku membasahi tangannya. Kulihat Dina dan yang lainnya menangis disana, aku tahu mereka sedih melihatku seperti ini.“Ezi kumohon, bangun untukku. Bangun untuk kami semua. Kau lihat begitu banyak orang yang menyayangimu. Kami semua ingin kau bangun!” kataku mulai histeris. Aku tidak bisa mengontrol emosiku. Adit berusaha menenangkanku. Tapi aku tetap tidak bisa. Ezi yang berbaring tidak berdaya di hadapanku membuat pikiranku kacau.Air mataku terus mengalir dan kata-kataku semakin membuat semua orang prihatin padaku. “Ezi kau lihat, semua orang menangis seakan-akan sesuatu terjadi padamu. Ayo bangun dan tunjukkan pada mereka bahwa kau baik-baik saja. Ayo bangun!” Aku terus mengguncang tangannya hingga sesuatu mengagetkanku. Jari-jarinya bergerak. Aku terkejut saat Ezi perlahan membuka matanya. Dia melihat ke arahku dan Adit lalu tersenyum.“Aku … akan … baik-baik … saja. Maaf... kan.. aku… Ika... aku mencintaimu.” Kata-katanya sangat pelan hingga aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Aku diam saja dan terus mendengarkan kata-katanya. Perlahan Ezi berusaha menghapus air mataku. Aku tersenyum kecil padanya dan dia manarik pelan tanganku dan Adit. “Aku … mohon … jaga dia .. untukku. Aku mohon …” kata-kata Ezi membuatku menangis hebat. Adit mengangguk saat Ezi memintanya untuk menjagaku.“Aku lelah … aku ingin … tidur,” kata Ezi pelan.“Tidak! kau tidak boleh tidur! Kau harus tetap bangun Ezi! Kau harus bangun! Lihat aku!” teriakku. Ezi hanya tersenyum hambar dan perlahan dia menutup matanya dan tiba-tiba tangannya terlepas dari peganganku.“Ezi!!!” teriakku. “Bangun Zi! Bangun! Kau tidak boleh tidur seperti ini! Kau lihat semua mengira kau sudah … bangun Ezi!” Aku mengguncang tubuhnya tapi dia tetap tidak bergerak. Adit segera menekan tombol alarm dan dokter segera datang. Aku melihat dokter berusaha menyelamatkannya namun Tuhan berkehendak lain. Dia sudah pergi…. *** Bab 20 “Tidak!!” Aku berteriak dan terbangun dari tidurku. Aku melihat ke sekelilingku dan aku sadar kini aku terbaring di rumah sakit. Aku berdiri dan kulihat mama menangis di sampingku.“Ma, mana Ezi ma? Mana Ezi?” Mama tidak menjawab namun menangis dan memelukku.“Kau harus tabah sayang. Dia sudah pergi.”“Tidak ma! Tidak terjadi apa-apa pada Ezi! Ezi masih hidup! Dia cuma tidur ma! Cuma tidur”! Aku melepas paksa pelukan mamaku dan berlari meninggalkan ruangan itu aku berlari keluar dan melihat Roman menemani Anka yang kini menangis di pelukannya.“Kenapa kalian di sini? Mana yang lain? Dimana Ezi?” kataku keras.“Yuri …” Anka memelukku dan dia menangis. Aku tidak mengerti kenapa dia menangis di depanku. Apa yang mereka tangiskan? Ezi? Ada apa dengan Ezi? Dia hanya tidur! Kenapa kalian menangis seperti ini!“Adit!” teriakku pada Adit yang berjalan lunglai ke arahku. Aku menariknya mendekat ke arah Anka dan Roman. “Adit tolong kau katakan pada mereka kalau Ezi itu cuma tidur! Dia kecapekan terus dia tidur! Kenapa kalian harus menangis!” kataku kesal.Adit memelukku erat dan tiba-tiba aku menangis dalam pelukannya. Aku tahu semua ini sia-sia dan kini aku sadar kalau Ezi benar-benar sudah pergi. dlDia pergi meninggalkanku. Aku tahu itu … tapi aku tidak bisa terima. Kenapa? Kenapa dia jahat! Kenapa dia meninggalkanku!Aku menangis dalam pelukan Adit hingga seseorang menyentuh punggungku.“Hendra …” Hendra berdiri di belakangku dengan sesuatu di tangganya.“Apa itu?” “Ezi meninggalkan ini untukmu.”Aku mengambil bungkusan itu darinya. Ada kalung bintangku disana. Kalung yang sempat dibuangnya di hadapanku dan ada sepucuk surat di sana. Aku membuka surat itu dan membacanya. Saat pertama kali melihatmu ada sesuatu di hatiku. Semua rasa sakit yang pernah ada di dalam hatiku seketika menghilang. Seiring kebersamaanku denganmu. Begitu cepat, begitu cepat, hanya sekejap saja.Aku merindukanmu, Pikiranku hanyalah dirimu ... dari lubuk hatiku yang paling dalam.Sekali lagi, aku ingin memberikan hatiku untukmuJika kau memanggilku, aku akan datang padamuAku ingin tersenyum di sisimuSaat hatimu mungkin terlukaAku ingin menghibur sakit yang kau rasakan yang tidak dapat disembuhkan sendirianJika aku tidak dapat berada di sisimu, Aku hanya akan memegang bayanganmu di hatiku, terus dalam hatiku, dan ... Setiap hari, pikiranku dipenuhi denganmu ... dari lubuk hatiku yang paling dalamAku tidak akan membiarkan hatimu pergi lagiJika kau menangis, aku akan datang padamuAku ingin selalu berada di sisimuAku merindukanmu, Pikiranku hanyalah dirimu ... dari lubuk hatiku yang paling dalam.Untuk waktu yang tidak terhitung. Untuk hati, aku tersenyum untukmuSedih maupun bahagiaAku ingin tersenyum di sisimuDengan segenap hatiku untuk waktu yang tidak terhitung ... aku akan mencintaimu. Aku terduduk setelah membaca semua ini. Ezi … dia mencintaiku … dia mencintaiku …Aku menangis keras saat kusadari betapa aku mencintainya. *** Bertahun-tahun telah berlalu setelah Ezi meninggalkanku dengan cinta yang mengunci hatiku. Aku menjalani hari-hariku seperti semula. Semua kembali seperti awal aku belum mengenalnya. Kujalani hari-hari kuliahku dengan baik. Adit dan teman-temanku lah yang menjadi kekuatanku menjalani hidup. Mereka selalu bersamaku hingga hari wisudaku tiba. Sebelum pergi ke tempat dimana acara wisudaku diadakan aku meminta izin pada orangtuaku untuk pergi ke gereja dan berdoa disana. Meski berat kedua orangtuaku membiarkanku pergi dengan sopir yang mengantarku. Kini aku duduk di depan altar untuk berdoa sebelum acara wisudaku dimulai. Gereja ini sepi tidak ada seorang pun yang akan datang sepagi ini. Aku duduk dan memejamkan mataku. “Tuhan aku tahu, saat kau mengambilnya dariku kau tidak benar-benar sedang membuatnya meninggalkanku. Aku sadar selama ini Ezi selalu ada di sampingku. Karena itulah aku tetap menjalani kehidupanku dengan baik. Terima kasih Than, hari ini adalah hari wisudaku. Akhirnya aku bisa menjadi orang yang lebih berguna nantinya. Aku harap kau bisa menyampaikan salamku untuknya.” Aku tersenyum lalu membuka mataku. “Sudah kuduga kau pasti ada disini.” Adit berjalan ke arahku dan aku tersenyum padanya.“Selamat ya. Akhirnya kau lulus juga.” Aku tertawa dan dia membelai lembut kepalaku.“Terima kasih sudah datang,” kataku. Adit memberikan sebuket bunga dandelion padaku dan aku tersenyum lembut padanya.“Kau tau dia pasti senang disana.” Adit tersenyum padaku.“Kau benar. Dia pasti senang.”“Ngomong-ngomong aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”“Apa?””Menikahlah denganku ...” Adit berlutut di depanku dan menunjukkan sepasang cincin padaku. “Adit …” “Aku tahu, gereja inilah yang dipilih Ezi saat dia ingin melamarmu. Karena itulah hari ini aku akan mewujudkan keinginan terakhirnya. Maukah kau menikah denganku.”Aku diam dan tiba-tiba kulihat Ezi dan Mika berdiri di depanku. Aku tahu aku hanya berhalusinasi dan membayangkan mereka tersenyum padaku. Aku tahu apa yang harusnya kulakukan.Aku duduk berhadapan dengan Adit dan memeluknya. “Aku mau, Dit. Aku mau menikah denganmu.” Adit segera memelukku erat dan kali ini aku sadar, tidak ada pria lain yang bisa menggantikan posisi Ezi di hatiku. Namun disisi lain Aditlah yang kini mengisi hatiku dan untuk selamanya. *** -Selesai- Description: Mencintai dengan sepenuh hati memang sangat sulit. Bahkan mencintai seseorang yang telah pergi selamanya. Namun tidak bagi Ezi Pangalila. Cintanya yang begitu besar pada Mika membuatnya hidup dalam keterpurukan. Rasa bersalah yang tak henti-hentinya melanda dirinya membuatnya semakin tak bisa melihat gadis lain selain cintanya. Namun semua berubah ketika seorang gadis periang yang tiba-tiba memimpikan banyak hal yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Mimpi-mimpi menyeramkan tentang kejadian-kejadian yang tak pernah dilihatnya, dan rasa penasaran yang begitu besar membuatnya semakin ingin tahu apa arti dari mimpinya. Yurika yang memulai hari-harinya di kampus barunya berusaha menemukan cinta sejatinya. Namun dua cinta menghampirinya secara bersamaan. Adit seorang laki-laki tampan dan terkenal dikampusnya, dan seseorang lagi yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Bukan hanya itu saja, masalah-masalah mulai menghampiri hidupnya. Dimana keluarga dan persahabatannya diuji.
Title: Werewolf Village Category: Fantasi Text: Prolog Desa yang indah, tentram, dan sejuk di suatu negara berubah menjadi sangat mencekam saat Dumb seorang penduduk desa mati mengenaskan di dalam hutan belantara. Seluruh warga menjadi heboh, banyak yang mengaitkan hal ini dengan ramalan kuno yang pada masa ini sudah jarang orang memercayainya. Ramalan yang mengatakan bahwa akan ada penuntut balas atas terbunuhnya sekte sesat dahulu kala, sekte yang memuja serigala kuno nan agung. Penuntut balas menurut ramalan itu adalah manusia yang dapat berubah menjadi serigala besar nan menakutkan, "Werewolf". Kepala desa mengumpulkan seluruh warga desa di balai desa. Desa tersebut merupakan desa terpencil sangat jauh dari perkotaan dan peradaban modern dengan populasi hanya 60 orang. Balai desa mulai dipadati warga, seluruh warga berebut ingin mengeluarkan pendapat mengenai tragedi tadi siang. "Jelas ini merupakan perbuatan werewolf. Tidak ada binatang buas di desa ini !!!" Pendapat salah seorang warga yang terlihat sudah berumur. "Werewolf, makhluk dongeng itu gk mungkin ada. Ini pasti pembunuhan." Sanggah pemuda desa. "Kau buta? Liat lukanya itu luka cakar, sudah pasti itu ulah hewan buas." Pendapat warga terpecah setidaknya menjadi tiga kubu. Kubu pertama yang kebanyakkan terdiri dari warga yang sudah berumur dan lansia, percaya bahwa ini merupakan ulah werewolf, sebagian memang sering di ceritakan mengenai werewolf semenjak kecil, sehingga mereka masih sangat percaya mengenai ramalan itu, terlebih mayat mengenaskan di hutan terlihat seperti dicabik-cabik cakar yang sangat besar, yang kubu ini percaya merupakan cakar werewolf. Kubu kedua berpendapat bahwa ini ulah seorang pembunuh. Mereka di dominasi oleh pemuda-pemudi, pendapat mereka sangat dipengaruhi oleh cerita-cerita urban perkotaan yang diceritakan oleh penduduk baru yang berasal dari kota, cerita itu dipenuhi oleh cerita pembunuhan. Mereka merendahkan kubu pertama sebagai orang tua kolot dan bodoh yang masih percaya mitos werewolf. Kubu ketiga, kepala desa termasuk dalam kubu ini, percaya bahwa ini hanya ulah binatang buas, hal ini dianggap wajar karena hutan perdalam sudah semakin gundul disebabkan banyaknya penebangan liar oleh orang kota, sehingga para binatang buas keluar dari hutan pendalaman. . . . . . . . Update seminggu sekali jika tidak ada halangan. Baca juga : Mr Detective -> bagi yang suka riddle detektif by Sayrichi1. Link -> https://my.w.tt/S0uFdhtlA3. DarsKing -> kisah persahabatan tiga orang yang penuh petualangan menarik (Genre Fantasi). Link -> https://storial.co/book/DarsKing/ Avenger "Werewolf, pembunuhan, orang-orang desa itu terlalu fanatik dengan mitos dan cerita urban. Sudah jelas ini ulah binatang buas" Namaku Tony, dulu aku merupakan seorang pemburu binatang liar terhebat di desa kelahiran ku, yah setidaknya menurut ku begitu. Berburu merupakan salah satu mata pencarian utama di desa kelahiran ku, apalagi bayarannya yang cukup besar membuat banyak orang berebut untuk menjadi pemburu terhebat. Aku berasal dari keluarga terpandang di desa tersebut, tidak lain karena mitos yang tersebar yang mengatakan kalau keluarga ku memiliki kekuatan supernatural yang berkaitan dengan dendam. Menurut kisah turun-temurun keluarga ku, jika kami mati maka kami bisa 'mengajak' orang lain untuk mati bersama. Seperti saat kematian ayah ku, rival utamanya dalam pemburuan yang sekaligus sahabatnya mati bersamaan dengannya, benar-benar bersamaan, tidak ada selisih sedetik pun. Sebelumnya, saat ayah ku sedang sekarat, ia berkata "Jika ku mati, maka Ronald -- Nama sahabat ayahku -- juga harus ikut, hahahaha.". Aku memang tidak percaya hal-hal tidak masuk akal seperti itu, jadi ku pikir memang sudah takdir, toh umurnya juga sudah sangat tua dan sakit-sakitan. Desa kelahiran ku sekarang dilanda bencana kelaparan setelah banyaknya penebangan liar, hewan-hewan sangat sulit ditemukan, untuk mencari makan saja harus menempuh berkilo-kilo meter dengan jalan yang sangat sulit ditempuh. Hal itulah yang menyebabkan ku pindah ke desa ini. Desa Radika, menurutku desa ini sangat nyaman ditinggali, tidak ada ancaman dari hewan buas, dari bencana alam, maupun dari korporat-korporat biadab yang membabat seluruh hutan. Untuk mencari makan juga sangat mudah di hutan ini, rusa menjadi menu kesukaan ku. Selama tinggal di desa ini, hidupku terasa tenang dan damai. Alam yang berlimpah membuat ku mudah menjalani hidup, warga desa nya juga menyenangkan. Hanya satu yang selalu dan sangat kurindukan dari desa kelahiran ku yaitu berburu. Jadi, untuk menghilangkan rasa rindu yang sangat besar itu dan untuk membuktikan ke penduduk desa bahwa hewan buas lah yang menyebabkan tragedi siang tadi, aku berniat untuk memburu hewan itu. Setelah sekian lama, ku buka kembali tempat dimana ku menyimpan senjata perburuan ku. Pedang dan busur, serta beberapa anak panah yang begitu indah terletak dihadapan ku. Sejujurnya aku sedikit takut, sudah sangat lama aku tidak berburu, kemampuan ku pasti sudah menurun. Aku ingin sekali mengajak beberapa orang, tapi mereka yang tidak berpengalaman justru akan menyulitkan ku dan sangat berbahaya bagi nyawa mereka. Setelah bersiap-siap dan meneguhkan hati untuk berburu , aku segera keluar rumah. Sinar yang begitu terang nan indah dari bulan purnama, membuatku terpesona beberapa saat. Tengah malam merupakan waktu terbaik untuk berburu, karena sebagian binatang buas sudah tertidur lelap, membuat ku tidak perlu bersusah payah memanahnya. Ku berjalan pelan menuju hutan, diriku sempat melihat satu orang bertubuh besar berdiri dengan tombaknya di depan rumah seorang warga. Di dalam hutan, ku mulai menghunuskan pedang, waspada jika ada yang tiba-tiba menerkam ku. Sepertinya insting pemburu ku mulai muncul kembali setelah sekian lama. Kurasa karena suasana mencekam hutan lah yang membangkitkan insting itu. Sepertinya hampir 2 jam aku berjalan memasuki hutan semakin lama, semakin dalam, dan semakin gelap, menakutkan. Dari kejauhan ku dengar suara seperti beberapa orang yang sedang mengobrol atau mendiskusikan sesuatu. Dengan hati-hati dan cepat ku berusaha menuju sumber suatu itu, semakin lama semakin jelas terdengar suara mereka. Detak jantung ku berubah persekian detik saat mendengar lolongan serigala yang sangat keras. Sumber lolongan itu berasal dari tempat yang sama dengan suara orang yang berdiskusi yang tadi ku dengar. Sumber lolongan itu bukan hanya berasal dari satu serigala, namun banyak serigala besar. Saat ini tatapan ku bertemu dengan tatapan serigala yang sangat besar dengan kaki kecil yang seperti kaki manusia. Dengan cepat, kaki manusia itu berubah menjadi kaki kekar bercakar. "Oh, tidak.... Ternyata mitos itu bener. Itu werewolf" kata ku dalam hati sembari menelan ludah. Tatapan serigala itu, mudah sekali mengenalinya, tidak salah lagi itu adalah Jacob. Saat di desa Radika, diriku dekat sekali dengannya, karena ia juga mengaku pernah menjadi pemburu, membuat mengobrol dengannya tentang pemburuan semakin asyik dan sedikit mengobati rindu untuk berburu. Dengan tubuh yang pucat, gemetar, dan berkeringat deras ku lari secepat kilat kembali ke desa. Kawanan werewolf itu masih mengejar ku, lari mereka begitu cepat. "Jika ku mati, Jacob kau juga harus mati." Minta ku dalam hati. Mengingat akan bukti nyata werewolf, maka kurasa tidak masalah percaya dengan kemampuan supernatural keluarga ku. "Arrgghhhh...." Cakar tajam mereka berhasil mengenai kakiku, membuatku terjatuh. Kaki ku terasa sakit sekali, mustahil untuk berdiri, aku pasrah. Ku membalikkan tubuh, wajah serigala yang sangat mengerikan, taringnya yang besar dan menakutkan, tepat berada di wajah ku. . . . . . . . . Next chapter "Red Lady" Terima kasih telah membaca. Sayrichi' Red Lady Ku pikir tragedi kematian Dumb kemarin sudah sangat buruk, tapi peristiwa pagi ini jauh lebih buruk dari kemarin. Pagi ini, aku kembali dikejutkan dengan ditemukannya tiga mayat, ya kau tidak salah dengar, TIGA MAYAT. Mayat pertama berada di dalam rumah seorang warga, aku kurang begitu mengenalnya tapi ku tahu namanya, Cycill. Semua organ dalamnya berceceran kemana-mana, termasuk bola matanya yang tidak sengaja ku injak saat memasuki rumahnya. Merasa mual dan ingin pingsan, ku lari keluar dari rumah itu. Mayat kedua dan ketiga dari dalam hutan. Lelaki tampan dan suka bermain 'Bondage' itu mati mengenaskan dengan tubuh yang tercabik-cabik, tetapi tidak separah Cycill, nama lelaki ini kalau tidak salah Tony. Yang ketiga yang membuat diriku merinding, seketika suasana seperti berubah mencekam dan menakutkan, hal yang selama ini kuanggap hanya mitos belaka, mayat Werewolf tepat di hadapan ku. Memang bentuknya menyerupai serigala besar menakutkan, selintas orang mungkin menganggapnya hanya serigala besar. Namun aku tahu bahwa itu werewolf, tato yang kulihat di paha serigala itu sama persis seperti tato lelaki yang kutiduri 4 hari lalu, Jacob. "Ja...cob..." tanpa sadar aku mengeluarkan suara pelan. =========== Masih tidak percaya akan kejadian tadi pagi, ku berjalan pelan tanpa tahu menuju kemana, hanya mengikuti arus warga yang berjalan. Ketika akhirnya diriku sadar, balai desa sudah berada di depan mata. Setiap warga mendapat giliran untuk mengeluarkan pendapat, begitu giliran ku, aku masih diam seribu bahasa. Dalam hati ingin sekali kuberitahu ke warga, kalau mayat serigala itu adalah werewolf bukan serigala biasa, buktinya adalah tato di paha serigala itu yang sama seperti tato di paha Jacob. Namun di satu sisi, aku takut jika ku beritahu, perempuan desa ini akan mengeroyok ku. "Amanda, apa kau ingin berpendapat?" Tanya kepala desa. "..............." "Sebagian besar warga telah percaya bahwa itu adalah werewolf, Pak Eiichiro. Jadi saya rasa pembicaraan ini sudah cukup dan sekarang yang paling penting, bagaimana cara membunuh werewolf itu, apakah dengan suatu benda atau air suci?" Dari suaranya yang tenang aku bisa mengetahui ini adalah suara Trevor. "Persoalannya bukan benda apa untuk membunuh werewolf, dia sama seperti makhluk lainnya, kau bisa gunakan pedang, panah, bahkan pisau yang biasa kau gunakan masak sekalipun bisa. Tapi apakah ada yang berani berhadapan dengannya? Nenek ku pernah memberitahu jika werewolf sangat cepat, gesit, dan lincah. Dia juga sangat kuat, cakarnya tajam setajam pedang. Matanya mampu melihat dalam kegelapan dan dari jarak yang sangat jauh..." "Werewolf juga punya penciuman yang sensitif, dia bisa tahu musuhnya ketakutkan atau tidak." Mendengar itu, diriku semakin terpuruk akan ketakutan. "Bagaimana jika kita membunuhnya saat dirinya masih menjadi manusia?" "Kau psikopat yah? Saat menjadi manusia mereka sama seperti manusia biasa, gimana kita bisa tahu bedanya?" "Dibakar." "Apa? apanya yang dibakar?" "Menurut legenda, jika manusia yang dibakar hidup-hidup dan berubah menjadi serigala, maka ia adalah werewolf." "Saran yang bagus, tapi sangat berisiko, bagaimana jika yang dibakar adalah manusia bukan werewolf?" Kepala Desa Eiichiro akhirnya bersuara kembali. "Kita harus mengambil risiko, lebih baik kita voting siapa yang mau dibakar.........." "Aaahhhhh........" Teriak seorang warga dari sebelah kiri ku, "Were....wolf...." Teriakkan itu membuat balai desa seketika kosong, semua warga melarikan diri keluar balai. Werewolf tiba-tiba mati di balai desa? Siapa yang membunuhnya? "Di...aaa...Tay....lor...." Kata pemuda berwajah biasa saja namun luka di bawah mata kirinya mudah dikenali, ia adalah Luffy. Aku belum pernah 'bermain' dengannya, selain masih kecil bagi ku, ia juga tidak menarik. "Taylor? apa maksudnya werewolf tadi adalah Taylor?" Pikir ku. ================================= Kepanikan mereda, warga sudah memutuskan untuk mengikuti saran dari pria separuh baya dengan jubah ungu muda yang menyuruh untuk membakar seseorang hidup-hidup untuk membuktikan apakah mereka werewolf atau bukan, sungguh saran yang gila dan kejam. Hasil voting hari ini menunjukkan Merc untuk dibakar hidup-hidup. Voting kali ini sia-sia saja karena Merc hanya penduduk desa biasa. ================================ Sendirian di tengah teror werewolf. Lebih baik ku pergi 'bermain', namun malam ini sama siapa? Hampir semua lelaki di desa pernah ku ajak 'bermain'. Ku pikir-pikir lagi, siapa lelaki yang tampan, bertubuh besar atletis, dan tinggi. Ku putuskan untuk bersama Eron saja, ia dulunya kalau tidak salah seorang atlit beladiri, jadi kalau ada werewolf mungkin ia bisa melindungi ku. Rumah Eron terletak tidak jauh dari rumah ku. Ku berjalan berhati-hati untuk tidak menimbulkan bunyi dan waspada jika ada werewolf. Sinar rembulan merupakan satu-satunya penerangan jalan di desa Radika ini, tidak ada lampu yang menerangi jalan sama sekali. Mendekati rumah Eron, ku lihat lampu rumahnya sudah padam, mungkin ia sudah tidur. Ku mencoba mendorong pintunya pelan-pelan, berhasil. "Mungkin dia lupa menutup pintu" pikir ku. Saat di dalam rumahnya, ku mendengar seperti suara orang berbisik. "Siapa di sana?" Tanya seseorang dari kegelapan. "E..ron?" Walaupun ku tahu Eron tinggal seorang diri, tidak ada salahnya ku pastikan lagi. Lampu tiba-tiba menyala, "Oh... kau Amanda, ada apa?" Eron tampak tidak terkejut sama sekali melihat kedatangan ku. ================== Puas hati ini mengalami malam yang luar biasa, ku sedikit menyesal kenapa baru sekarang, kenapa tidak dari dulu ku 'bermain' bersamanya. Saat diriku masih melamun, membayangkan indahnya 'permainan' tadi, tiba-tiba suara seperti pintu yang dibuka paksa terdengar. Kamar ini memang gelap untuk menyembunyikan 'permainan' kami, tapi kamar ini seharusnya tidak bau binatang busuk. Kucoba mengingat bau ini, bau yang baru-baru ini ku kenali. Tadi pagi ku mencium bau ini saat di hutan, tempat Tony dan Jacob mati. Tadi siang ku mencium bau ini di balai desa, setelah Taylor berubah menjadi werewolf dan mati. "Oh... sialnya diriku...." kata ku dalam hati ketika mengetahui bau apa ini. Dan saat ini bau ini telah memenuhi kamar. Selamat tinggal dunia. . . . . . . . . Next chapter "Cannibal" Terimakasih telah membaca. Sayrichi' Cannibal "Melarikan diri, kabur, menghilang dari orang-orang. Tidak ada yang mengetahui jika kau masih hidup, tidak ada yang dapat menganggu acara makan-makan yang memuaskan." Lebih dari sepuluh tahun hidup di kedalaman hutan, mengamati daging-daging berjalan dari kejauhan. Jika kau makan induk, mereka akan musnah. Jika kau makan anak, mereka akan menghasilkannya lagi. Saat ini daging-daging kota lah yang mendominasi. Penduduk desa Radika semakin hari semakin sedikit, keturunan mereka bahkan tidak ada. Daging kota terlalu berlemak, tidak baik untuk kesehatan, apalagi makanan mereka sangat tidak menyehatkan. Beda dengan daging lokal, walaupun sedikit keras, namun dengan pengolahan yang tepat bakal lebih empuk dan bergizi. ========= "Dasar werewolf sialan." Gerutu ku dalam hati. Akibat ulahnya aku terpaksa harus bersembunyi di desa. Hutan kediaman ku sudah beralih menjadi markas makhluk itu. Bersembunyi di desa jauh lebih sulit dari yang kukira, seorang memergoki sedang mengendap-endap. "Siapa disana?" Tanya orang itu sembari lari mengejarku. "Woi, tunggu, siapa lo...." Teriaknya, masih berusaha mengejar ku. Tanpa sengaja, karena jalanan desa yang gelap, kaki ku tersangkut sesuatu. "Sumanto? lo beneran Sumanto, kan?" Tanya lagi setelah berhasil mengejarku dan melihat wajah ku. "Carl? lo, Carl kan? gila udah lama kita gak ketemu, apa kabar?" Jawab ku berusaha tidak membuatnya curiga. "Ternyata benaran lo Sumanto. Baik-baik, lo sendiri gimana, to?" "Baik, lo ngapain pake ngejar segala sih, gw takut tau." "Lah, kok gw disalahin? Lo lagian ditanya siapa, bukannya jawab, malah lari." "Gw pikir lo pembunuh tau. Soalnya tadi pagi gw liat ada yang mati di hutan, mengenaskan." Berusaha untuk tidak menimbulkan keributan, ku terpaksa harus meladeni perbincangan dengan Carl, sambil berjalan menuju rumah lama ku. Untung saja, rumah yang ku tinggalkan masih ada dan utuh. Memang sebelum tinggal di hutan, aku meninggalkan pesan. "Saya Sumanto, karena ada urusan mendadak di kota, saya pergi dini hari. Mohon rumah ini jangan diganggu, saya pasti akan kembali. Terima kasih." "Carl, besok malam, makan dirumah gw, gimana? Yah, sambil ngobrol-ngobrol, udah lama gak ketemu soalnya." "Boleh, tapi mungkin rada malaman kali yah, ada urusan dulu." "Oke." Beradaptasi hingga werewolf pergi, ku pikir itu satu-satunya cara untuk tetap bertahan. Namun, apakah bisa? hidup bersama dengan penduduk desa seperti vampir yang hidup ditengah masyarakat, apakah ia bisa menahan nafsu untuk mengisap darah? Melihat Carl saja, sudah sangat sulit menahan nafsu ini. ========= Pagi hari setelah terbunuhnya Dumb, waktunya berakting. Warga mulai memadati rumah seseorang, katanya ada korban lagi. "Hei, Sumanto, sudah kembali?" Sapa seseorang yang mudah dikenali dari pakaiannya yang dominan hijau, memakai topi hijau mirip topi Peter Pan, busur yang terbuat dari kayu beserta beberapa anak panah di pundaknya, si ahli perangkap Newt. "Gw kira siapa. Ini lagi ada apa rame-rame, Newt?" "Kemarin ada yang mati, si Dumb. Katanya karena ww -- werewolf -- trus ini ada yang mati juga, Cycill, pendatang." Mengobrol dengan Newt sembari menuju rumah Cycill ternyata cukup berguna untuk menghindari kecurigaan warga. Sesampainya di dalam rumah, seperti memasuki peti harta karun. Jantung, usus, hati, daging, dan darah, serta organ dalam lainnya, semuanya berserakan di dalam rumah. Siapa yang tega membuang bahan masakan lezat itu pasti orang itu sudah gila. Seorang wanita paruh baya membuat gaduh karena menginjak bola mata Cycill. Karena tidak kuat melihat organ tubuh yang berantakan atau tidak kuat menahan malu, wanita itu langsung pergi melarikan diri. ======== Sedikit demi sedikit, ku mulai memahami apa yang sedang terjadi di desa. Warga mengira kematian itu akibat ulah werewolf dan mereka akan memvoting seseorang setiap hari untuk dibakar hidup-hidup berharap yang mereka bakar adalah werewolf. Sore hari, waktu yang tepat untuk mempersiapkan makan malam. Satu mungkin kurang, jadi ku ingin ajak orang lain untuk disantap. Pemuda berbaju biru muda di sebelah ku sepertinya bakal sedap. "Bapak warga baru yah? Saya Samuel" Tanya nya terlebih dulu. "Eh, enggak, mas. Saya warga lama kok, tapi baru kembali dari kota." "Oh... btw, siapa namanya?" "Sumanto. Oh yah, mas, saya boleh minta tolong?" "Minta tolong apa, pak?" "Ini kan saya baru sampai, masih gak begitu ngerti kondisi desa saat ini, boleh minta jelasin? Nanti saya ganti ama makan malam, gimana? "Wah... boleh tuh, kalo makan gratis enggak mungkin ditolak, pak. Hahahaha" Satu hidangan pembuka, satu hidangan utama. Samuel pembuka, Carl utama. ========== Dalam perjalanan pulang, ku merasa ada sesuatu yang menepuk pundak ku. Tengok kanan, tengok kiri, berbalik, tidak ada satu orang pun disekitar ini. Mungkin setan lagi iseng. ========== Waktunya memasak dimulai. Pertama-tama panaskan darah merah sampai mendidih. Potong-potong usus menjadi kecil-kecil, campurkan bumbu, lalu ditumis hingga harum. Setelah harum dan kecoklatan, angkat dan sajikan dipiring, jangan lupa siram dengan saus darah. Tok!! Tok!! Tok!! "To, ini gw Carl." "Tunggu, Carl. Gw matiin dulu kompornya." Setelah mematikan kompor dan membukakan pintu untuk Carl, kulanjutkan kembali acara masak masaknya. "Lo katanya mau datang malaman? Udah selesai urusannya?" "Belom, gw pengin ngobrol dulu. Gw juga cuma bentar disini, paling sejam, abis itu gw cabut dulu." "Oh... emang urusan apa sih?" "Ada lah. Ngomong-ngomong lo masak apa? Harum banget." Pisau terasah sudah mantap di kedua tangan. Rencana ku berubah, masak makanan utama dulu, baru hidangan pembuka. Carl sedang berdiri di depan sebuah jendela, memandang jauh ke hutan. Entah apa yang ia lihat, tapi ini merupakan kesempatan emas. Pelan-pelan mendekatinya tanpa menimbulkan suara, tangan kanan menjulur pelan ke lehernya, pelan... pelan.... dan menggorok lehernya. Carl sontak kaget, dan mundur kearah ku, "Langkah yang salah, Carl." kata ku dalam hati. Ku tusuk punggungnya dengan pisau di tangan kiri, dan berusaha keras untuk memotong lehernya. Darah muncrat dan mengalir di kedua tangan ku, Carl mati dalam pelukkan. Kubersihkan bekas noda darah Carl di ruang tamu. Setelah itu, lanjut masak kembali dengan bahan segar. Lidahnya ku potong, di rendam dalam air lemon. Ku robek perutnya, organ dalamnya terlihat bagus, kecuali jantungnya yang sudah robek akibat tusukkan ku. Organ yang masih bagus, serta daging yang sudah dibersihkan dari kulitnya, kusimpan di lemari yang penuh dengan batu es, supaya awet untuk beberapa hari. Jantung harus diolah dengan tepat, potong menjadi dua bagian, oles kedua potong jantung dengan minyak, lalu goreng bentar. Sembari menunggu ku siapkan tepung untuk adonan jantung, setelah dua menit, angkat jantung, tiriskan, dan balurkan dengan tepung. Tok!! Tok!! Tok!! Pintu kembali berbunyi. Ku intip di jendela rupanya, Samuel. Ku bukakan pintu dengan tangan kiri, dan langsung menusuk tepat di lehernya. Kaget ia berusaha melarikan diri, kaki ku langsung refleks menyandung kaki nya. Samuel jatuh tersungkur, dan langsung ku tikam ia berkali-kali. Ia bakal menjadi makanan pembuka, makanya harus lunak. Selain memasak mengemil adalah kesukaan ku, jadi jemari Carl dan Samuel ku balurkan dengan tepung dan ku goreng krispi, selain itu bola mata mereka yang sudah direbus juga tidak kalah enaknya, apalagi jika direbus setengah matang, jadi pas digigit masih keluar cairan nikmat dari matanya, mungkin air mata. Menyemil jari dan mata sangatlah cocok pada malam hari, hahaha. ======== Pagi hari yang indah, 5 orang dilaporkan hilang, satu terbunuh di dalam rumah dengan organ berceceran seperti Cycill. Dua orang terbunuh di dalam rumah dengan tubuh yang telanjang bulat dan penuh luka cakar, anehnya baju mereka tidak ada yang robek. Dan dua orang menghilang. Hari ini, jadwal voting di majukan, penduduk desa ingin segera mengakhiri teror mengerikan ini. Namun dalam perjalanan ke balai, ada sesuatu yang aneh kurasakan di dada, seperti ada yang terbakar di dada. Dan................. . . . . . . . Next Chapter "Alpha" Terimakasih telah membaca. Sayrichi' Alpha Penyerangan pertama terjadi tengah malam, dan membuat warga heboh esok harinya. ===== "Jacob, kumpulin anak-anak, gw ama master bakal nunggu di markas." "Siap, Carl." Jawab Jacob. ===== "Lama sekali kalian, bodoh." Teriak ku, "Jika telat, lo semua bakal berubah di desa, Bodoh!!!". Kuluapkan emosi melihat keleletan mereka, sebagai pemimpin para werewolf junior yang disebut sebagai Alpha Werewolf, aku harus bisa melatih mereka menjadi lebih baik. "Sabar, Carl. Kita fokus pada target dulu, mengenai telat kita bahas nanti." Kata salah seorang tetua kelompok yang dihormati untuk menenangkan ku. "Mohon izin bicara, saya mendengar sesuatu." "Orang? Atau binatang? Apa tadi kalian sudah pastikan warga pada tidur?" Tanya ku. "Tidak seperti biasanya, beberapa orang masih terjaga, bahkan ada yang berkeliling." Jawab Jacob. "Tadi saya juga sempat melihat ada yang membawa busur, sedang mengarah ke hutan ini." Waktu hampir tengah malam, waktunya berubah bentuk. Saat kepala ku sudah berubah sepenuhnya menjadi serigala, terdengar suara ranting pohon terinjak dari arah selatan. "Diam semuanya!" Perintah ku. Bunyi itu semakin mendekat. Mata serigala ku terfokus pada satu titik. Awalnya hanya melihat sebuah bayangan, lama kelamaan bayangan itu semakin jelas, tidak salah lagi itu pendatang. Baru saja ingin kukejar dia, tapi Jacob terlebih dulu menyerang orang itu. Lari Jacob memang jauh lebih cepat dari kami semua, oleh sebab itu ia kutugaskan untuk memata-matai penduduk desa dan memangil para werewolf lain. Namun, Jacob tidak sendirian, kami semua bersamanya di belakangnya. "Lari orang itu cepat juga." Pikir ku. Kami sempat dibuat berlari jauh hingga akhirnya berhasil dicakar Jacob, tanpa tunggu lama Jacob menghampirinya yang sudah tidak berdaya lagi, kepala werewolf Jacob saat ini sudah berhadapan dengan tatapan pasrah namun seperti penuh harap. Entah kekuatan atau kutukan, Jacob tiba-tiba menjerit kesakitan, setelah itu langsung tidak sadarkan diri. Satu-satunya werewolf wanita segera kembali berubah menjadi manusia dan memeriksa keadaan Jacob. Beberapa werewolf lainnya, termasuk diriku mengawasi sekeliling, mata ku menangkap sebuah bayangan di kejauhan dekat dengan desa. "Kalian semua tunggu sini, sepertinya masih ada orang lain, jaga Jacob." Perintah ku di susul dengan larian cepat menuju ke bayangan mencurigakan tersebut. ===== Bayangan itu sudah kembali ke desa, ku berubah kembali menjadi manusia. Ku ikuti dengan senyap, sepertinya ia sedang mengendap-endap. "Siapa disana?" Tanya ku, ingin tahu bagaimana reaksinya. "Woi, tunggu, siapa lo...." Teriak ku kembali setelah melihat reaksinya yang langsung lari, otomatis ku ikut berlari mengejarnya. Entah karena apa, ia terjatuh. "Sumanto? lo beneran Sumanto, kan?" Kaget sekaligus tidak percaya, Sumanto dulunya merupakan penduduk desa, namun tiba-tiba ia pergi ke kota. Ia salah satu teman baik ku, dulu. Kami pun berbincang-bincang mengenai masa lalu dan saling menanyakan kabar sembari mengantarnya ke rumahnya dulu. "Carl, besok malam, makan dirumah gw, gimana? Yah, sambil ngobrol-ngobrol, udah lama gak ketemu soalnya." Sumanto mengajakku untuk makan malam bersama di rumah. Menimbang sesaat dengan kondisi saat ini dan rasa rindu berbincang dengannya, kuputuskan untuk... "Boleh, tapi mungkin rada malaman kali yah, ada urusan dulu." Jawab ku. "Oke" ===== Pertemuan di balai desa kali ini sudah sangat berbahaya bagi kami, namun dengan taktik tertentu itu bisa jadi sangat menguntungkan. Ada saran dari salah seorang warga desa untuk membakar seseorang setiap hari berharap yang terbakar adalah werewolf. "Saran yang bagus, tapi sangat berisiko, bagaimana jika yang dibakar adalah manusia bukan werewolf?" Kata Eiichiro sang kepala desa. "Kita harus mengambil risiko, lebih baik kita voting siapa yang dibakar....." Ujar ku yang terpotong dengan sebuah teriakan. Seorang werewolf mati di siang hari dengan wujud yang berubah, ada apa ini. Ku sempat memperhatikan wajah serigala itu, dia adalah Taylor. ===== "Shaman, gw ada urusan dulu, lo nanti kasih tau juga ke master." Kata ku kepada Shaman. "Tapi siapa yang ingin kau bunuh, malam ini?" Ku lihat ke sekeliling, ada seorang wanita berjalan menuju sebuah rumah. "Rumah siapa itu?" Telunjuk ku menunjuk ke rumah tujuan wanita itu. "Sepertinya Eron, kenapa?" Jawab Shaman. "Jika 'WS' belum dapat orang penting, gw pilih Eron. Sampaikan itu." "Baik" ===== Tok!! Tok!! Tok!! "To, ini gw Carl." Panggil ku. "Tunggu, Carl. Gw matiin dulu kompornya" Ku menunggu beberapa saat, ia akhirnya membukakan pintu, lalu mempersilahkan masuk. "Lo katanya mau datang malaman? Udah selesai urusannya?" Dari dapur, Sumanto bertanya. "Belom, gw pengin ngobrol dulu. Gw juga cuma bentar disini, paling sejam, abis itu gw cabut dulu." "Oh... emang ada urusan apa sih?" Lanjut tanya Sumanto. "Ada lah. Ngomong-ngomong lo masak apa? Harum banget." Berusaha mengalihkan topik. Beranjak berdiri, ku menatap hutan. "Apakah mereka sudah memutuskan sesuatu, atau 'WS' berhasil menemukan orang penting?" pikir ku fokus hingga tidak menyadari keadaan sekitar, sebuah pisau tajam sudah berada di leher ku. . . . . . . . . . . Next Chapter "Lycan" Terimakasih telah membaca. Sayrichi' Description: Pada zaman dulu, terdapat sekelompok orang yang menamai diri mereka sebagai "Penjaga Serigala Agung". Kelompok ini di anggap sesat dan mengganggu masyarakat sekitar. Maka, warga sekitar yang membenci kelompok tersebut melakukan penyerangan dan pembantai terhadap seluruh anggota "Penjaga Serigala Agung". Berabad-abad kemudian, di tempat yang sama saat terjadinya pembantai, yang saat ini menjadi sebuah desa bernama Desa Radika, teror penuntut balas dendam yang terkubur dalam-dalam bangkit kembali. Dendam para pemuja Serigala Agung akan terbalaskan, para werewolf yang menurut legenda adalah pasukan Serigala Agung akan membunuh semua warga Desa Radika. Satu masalah belum teratasi, teror semakin banyak. Warga desa bukan hanya dihadapi oleh werewolf namun juga teror lain seperti pembunuh berantai dan kanibalisme. Apakah seluruh warga desa bisa selamat dari teror tersebut? Atau apakah para werewolf yang menang? Atau pihak lain yang menang? . . . . . . . . . . Selamat membaca dan semoga menghibur. - Sayrichi' Baca juga DarsKing kisah persahabatan yang penuh petualangan fantasi yang menakjubkan. https://www.storial.co/book/darsking
Title: Wajah Sebuah Kerinduan Category: Cerita Pendek Text: Wajah Sebuah Kerinduan Kubuka album biru Penuh debu dan usang Kupadangi semua gambar diri Kecil bersih belum ternoda Pikirku pun melayang Dahulu penuh kasih Teringat semua cerita orang Tentang riwayatku Kata mereka diriku selalu ditimang Kata mereka diriku selalu dimanja Selamat pagi, Ibuku sayang. Seharusnya pagi ini aku melihat wajahmu. Seperti halnya dulu. Kau selalu membangunkanku dengan masuk kamarku yang berantakan itu. Tak lupa mengoyak bahuku sembari bilang, “bangun. Waktunya shalat.” Semua kau lakukan agar putrimu yang badung ini tak lalai menunaikan kewajiban. Namun, seringkali ku menutup rapat telingaku seolah tidak mendengarnya. Bisikan surga itu kuhiraukan begitu saja. Pun, aku justru bersembunyi di balik hangatnya selimut yang membalut tubuhku. Ibu, Segarusnya hari ini aku bisa mendekap erat tubuhmu. Mencium tangan dan keningmu. Tangan dan jemarimu yang halus itu telah membelaiku dengan penuh cinta mulai daridalam kandungan hingga aku tumbuh dewasa ini, menginjak 17 tahun tepatnya. Masih lekat dalam ingatanku, Ibu. Kau tak memedulikan berapa kali jarimu teriris pisau hanya untuk menyiapkan sarapan untukku. Kau tak pernah menampakkan keleleahanmu. kau tidak pernah kesal menggerutu. kau tidak pernah mengeluh. meskipun terkadang tersimpan kesedihan mendalam di hatimu. Kau tak ingin semua putri-putrimu mengetahui kesedihanmu. Ibu, Kini aku tidak bisa melihat senyum manismu. Hanya lewat potret fotomu lah aku mengobati kerinduanku. Tak bisa lagi mendengar nasihatmu. Sekarang aku berkesempatan untuk melanjutkan studi sesuai anganmu. Meski kesempatan untuk lebih dekat dengan tempat peristirahatanmu, kini aku semakin merasakan bahwa hadirmu kian berarti. Kesendirian yang kulalui di tanah perantauan ini, kerinduanku padamu semakin menggebu. Seringkali kumembuka ingatan perihal istimewanya dirimu di hatiku. Pun, sebaliknya. Maafkan diriku yang manja. Dan sesekali membohongimu. Ibu, Kerabat dan kawan terdekatmu seringkali mengingatkan bagaimana Ibu semasa muda. Ibu cerdas dan berrestasi. Ibu selalu ramah dengan banyak orang. Ibu sangat baik. Cerita-cerita itu yang membuatku semakin menyayangimu. Mereka banyak sekali meyimpan kenangan manis denganmu. Sesekali mereka buka kembali ingatan dan menceritakan kepadaku. Nada-nada yang indah Selalu terurai darimu Tangisan nakal bibirku Tak akan jadi deritamu 17 tahun lalu, aku sering membanggakan dirimu. Ibu yang baik. Setiap hari menyiapkan seragam sekolahku. Menggandeng tanganku menuju sekolah ketika kecil dengan menenteng tasku. Dan melatihku untuk bersikap mandiri ketika teman-temanku masih dimanja orang tuanya. Tiap malam, ibu selalu membuka tirai kamarku. Memastikan sesuatu yang sedang kukerjakan. Jika sudah waktunya menjelang tidur, ibu selalu berujar, “ayo cepat tidur. Besok bangun pagi, sekolah.” Dengan nada khasnya, senyum mengembang, dan tak lupa mencium keningku. Ibu selalu terlihat bahagia meski kelelahan. Bahkan setelah menginjak remaja, tiap pagi kau selalu menungguiku sarapan sebelum pergi ke sekolah. Menyiapkan sepedaku, dan tak lupa mengucapkan “hati-hati”. Sederhana namun sangat berarti. Kala itu, sekolahku menerapkan jadwal hingga sore. Belum lagi kumengikuti kegiatan ekstra hingga menjelang magrib. Aku ingat betul bagaimana kau harap-harap cemas emnanti kepulanganku. Aku selalu mendapatimu duduk manis di teras rumah. Ketika aku sampai di jalan raya seberang rumahku, ibu melepaskan senyum. Terlihat sekali jika ibu sebelumnya risau denganku. Ah, aku sangat rindu masa-masa itu. Ibu, Kau selalu ada untukku. Namun aku tak selalu ada untukmu. Sungguhpun, tak sedikitpun rasa sayang itu berkurang pada diriku. Namun aku selalu mengurangi rasa sayangku terhadapku manakala kau tak memenuhi permintaanku, keinginanku. Tangan halus dan suci Telah menangkap tubih ini Jiwa raga dan seluruh hidup Rela dia berikan Ibu, kini usiaku telah menginjak kepala dua. Kuliah mengajariku tentang arti sebuah kemandirian seutuhnya. Mengajariku bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan bijak dan bajik. Itu semua karena kala itu kau pernah mengajariku. Ibu tidak pernah menuntutku pintar akademik. Namun karena tidak ada tuntutan tersebut, justru yang memantik semangatku untuk berusaha menjadi putri yang baik, berprestasi sehingga bia membahagiakan orang tua dan orang sekitarku. Kasih sayang ibu baik tersurat maupun tersiat itu, sungguh sangat berarti. Ibu yang menyayangi putra dan putrinya dengan caranya sendiri. Otentik. Ibu, tepat 19 Desember 2018, tiga tahun sudah kau meninggalkanku. Meninggalkan keluarga. Aku teringat betul, hari itu juga aku kau beri sejumlah uang untuk membeli buku, dan uang saku studi kampusku. Namun, Tuhan mengganti kesenanganku itu dengan kedukaan mendalam. Ibu meninggalkanku. Selamanya. Namun sekalipun aku tak pernah lalai denganmu, Ibu. Justru jarakku dengan ibu yang tak terkira ini semakin mempertebal rasa sayangku padamu yang sebelumnya berlum pernah kurasakan, meski terkadang mengingatmu hingga sedih tak berperi dan bercucuran air mata. Ibu, aku akan mempersembahkan puisi yang pernah kubuat, untukmu. Inilah sebentuk usahaku mencintaimu kini. Sama Kau akan menemukan Ibu dengan sayurannya Dengan sekarung beras, telur ayam, kecap manis, ikan asin Dan hal-hal yang bisa mengenyangkan perutmu Juga memenuhi hatimu, tepatnya. Sebab ia punya sehari penuh cinta Untuk setiap harinya. Sedang aku, betapapun rindunya Ku hanya bisa menjelmkannya sebentuk doa Dan merapalkannya penuh cinta. Selamat hari Ibu. Semoga sepucuk surat ini bisa membuat Ibu tersenyum. Salam hangat dan senyum termanis untukmu, Ibu. Dari putrimu yang rindu teramat dalam, Zakiyatur Rosidah Description: Kasih sayangmu tak berperi untukku
Title: Wahai Puan Category: Puisi Text: Derita Sahaya Pukul 02.00 dini hari Terdengar tawa getir nan satir Dari balik pintu kamarku, aku terjaga, takut melanda Suara itu semakin memekakan telinga, kudengar gedoran pintu secara paksa, peluh dingin membanjiri tubuhku Pintu itu terbuka, dia menarikku secara paksa Jangan lagi, Tuhan.. Tak cukupkah dia merampas segalanya dariku? Tapi dia tak perduli, lalu dia meninggalkanku, yang kini lemas tak berdaya, dalam tangis dan doa. Tentang Luka [Hati] Lihat, Tuan! Goresan yang kau tinggalkan hampir disekujur badan, Tak sesakit luka yang kini bermuara. Dalam bayang trauma Ia hidup, tapi tak merasa hidup Raganya utuh, namun batinnya berkelana, tatapannya kosong Hidup dalam trauma, dalam bayang-bayang ketakutan Pagi, siang, malam ia terjaga Wajahnya yang ayu kini meredup, tubuhnya kurus mengering Dukanya tergambar jelas, duka yang bertahun-tahun ia dapati, membekas hingga hari ini Description: Kumpulan pikiran yang tetiba datang..
Title: Wife Wannabe Category: Novel Text: Cream Pasta Nila memuntir gulungan panjang mie di atas piring. Napas panjang terhela dari hidungnya yang bangir. Matanya menatap ke depan, memandangi wajah pemuda yang kini masih tampak sibuk dengan makanan di piringnya. Rasanya kesal saat melihatnya begitu santai, seharusnya pemuda itu melakukan sesuatu. “Jadi bagaimana?” katanya akhirnya. Pemuda yang kini masih sibuk memotong daging itu mendongak, memandang gadis di hadapannya. Kacamata minusnya melorot seperti biasa. Bibirnya yang tipis tampak mengilap karena bekas makanan yang baru saja masuk ke mulutnya. “Apanya?” Gadis itu mengesah, ingin rasanya melontarkan semua beban di dadanya. Apanya katanya? Sungguh tidak peka. Bagaimana ada manusia yang benar-benar tidak pengertian seperti ini? Pertanyaan terbesarnya adalah kenapa dia masih memcari jenis manusia yang sungguh menyebalkan seperti pemuda itu. Hidungnya kembali mengais udara, mencoba untuk melonggarkan sesak di dada sementara pelipisnya mulai berdenyut. Dia benar-benar kesal sekarang. Bukan hanya sekali, berkali-kali pria ini berlaku sama. Menyebalkan, akan tetapi sayang untuk dibuang. Nanti tidak ada yang memungut, siapa yang mau bersama lelaki kaku itu selain gadis sepertinya. Ingatannya melayang pada setahun belakangan. Betapa pria di depannya yang kini sibuk mencacah daging sempat menebas kesunyian di hatinya. Pria yang kini masih tersenyum itu pernah mengisi hari-harinya. Membuatnya merasakan adegan ala drama hingga membuatnya tak lagi iri saat menatap pelakon di layar kaca. Berkejaran di bandara saat ketinggalan pesawat. Itu hanya adegan drama yang membuat para wanita berdecak kesal akan kemustahilan yang terjadi. Ya, itu untuk sebagian wanita. Tidak untuknya, dia pernah melakoni adegan ini. Semua ini karena pria berkaca mata dengan pipi imut di depannya ini. .Pria itu membuat drama romantis seperti di film-film yang menjadi benar-benar hidup dalam hubungan mereka. “Nila.” Gadis itu kembali mendesah, tangannya mengepal di ujung garpu. Selalu seperti ini. Selalu saja pura-pura tidak tahu. Seolah topeng kedunguan itu bisa menutupi semua hal yang telah diperbuat olehnya. Seakan semua bakalan baik-baik saja kalau berpura-pura tidak tahu. “Ya.” “Kenapa cemberut melulu, sih?” Nila kembali menekuni wajah pemuda itu lalu menunduk berpura-pura cuek. “Wanita itu butuh kepastian, Gi!” “Oh.” Oh? Ya, Tuhan. Nila memuntir pasta semakin cepat dengan garpunya, mengabaikan keinginannya untuk memukul dadanya atau menonjok Gie sekalian. Semua gemuruh dan kelontang sendok sungguh kontras dengan alunan lagu romantis yang bergema memenuhi ruangan. Jadi Nila sendiri bingung harus memakai mood yang mana. “Apa aku kurang pasti?” Gie tersenyum. Bibirnya tertarik ke atas dengan maksimal dan matanya sungguh berbinar. Tolong dicatat, BERBINAR. Maksudnya benar-benar gemerlap seolah ada bintang-bintang di sana. “Gak lucu!” “Aku bukan pelawak, bagaimana lagi?” kekehnya. “Serius sedikit bisa?” “Bisa, aku pasti serius kalau denganmu, Nil.” “Gombal!” Gie kali ini menatap lebih tajam dan menaruh sendoknya di atas piring. Matanya tidak berkedip. “Nila!” “Ya.” “Bisakah kita berjalan pelan-pelan?” “Maksudmu?” “Oh, well. Begini perumpaannya, seperti aku menyesuaikan langkah denganmu.Aku rela memangkas langkah kakiku yang panjang agar kita bisa berjalan beriringan,” suara Gie semanis biasa. “Aku lelah, Gie.” “Apa yang membuatmu lelah? Aku atau hubungan kita?” “Semuanya.” “Aku bahkan membuatmu lelah?” Gie nyaris terdengar putus asa. “Tidak, maksudku bukan begitu.” Nila mulai panik. Tangannya mendadak mulai bergetar. “Lalu?” “Hubungan kita yang membuatku lelah, aku tidak ingin bermain-main lagi, Gie. Bermain dengan perasaan itu menyebalkan.” “Apa aku terlihat main-main?” “Mungkin bagimu tidak, tapi bagiku iya.” “Oke, lalu yang menurutmu tidak bermain-main bagaimana caranya? Beri tahu aku!” “Aku ingin kejelasan, ingin komitmen yang pasti. Aku ingin kau menjelaskan posisiku di hatimu, lalu bicara tentang hubungan kita ke depannya,” Nila menghela napas di penghujung kalimat. “Oke. Kalau menurutku posisimu di hatiku sudah jelas. Komitmen kita sudah ada. Aku hanya ingin kita berjalan pelan, menundukan kepala dengan jemari bertaut maka kita tidak akan menyadari jarak yang kita lewati. Aku ingin melewatkan waktu yang panjang ini bersamamu, mungkin sambil menikmati pemandangan selama kita berjalan,” Gie tersenyum lagi, kali ini senyumannya lebih manis dari biasanya. “Aku paham. Hanya saja sampai kapan?” “Kenapa kau terburu-buru sekali sih? Kau tidak akan menjadi perawan tua dalam waktu setahun hingga dua tahun ke depan, Nil.” Gie terlihat mencoba menahan suaranya agar tidak melambung naik. “Karena kau tidak akan menjadi perjaka tua makanya kau dengan mudahnya bilang begitu. Kau tidak bisa lihat betapa tidak adilnya ini untukku?” “Maaf, aku keterlaluan. Lalu apa yang kau mau?” Nila mendongak, menatap wajah pria di depannya. “Lamar aku!” “Apa?” “Iya, pinang aku secepatnya!” “Apa kau sudah gila? Bagaimana bisa?” “Apanya yang tidak bisa. Kau sudah mengunjungi orang tuaku. Bukan hanya sekali, dua kali, Gie. Apalagi yang perlu kau tunggu?” “Aku menunggu kesiapan, Nil. Pernikahan itu bukan hanya masalah kau dan aku tapi kesiapan mental.” “Aku curiga selama ini cintaku bertepuk sebelah tangan.” Nila menyahut sinis. “Nil, kalau aku tidak mencintaimu maka aku tidak akan pernah memberikan perhatian untukmu, mencintaimu dan menyayangimu. Aku melakukannya sepenuh hati.” Nila terdiam, banyak perhatian memang diberikan oleh pria itu. Satu hal yang paling berkesan untuknya adalah kejutan ulang tahun. Pikirannya kembali berkelana ke kejadian dua tahun lalu kala Gie mengirimkan kue ulang tahun. Dia mengantarkan kue itu sendiri. Hanya saja memakai nama orang lain. Kurang sinetron apa coba? Sayangnya, kenapa pula drama permintaan kepastian ini juga penuh adegan aksi dengan gelinciran twist di sana-sini? Hanya sebuah kepastian, kenapa sesulit ini kalau memang mereka saling cinta? Kepastian itu bahkan tidak mahal berlian yang dicari Bang Toyib. “Aku tahu.” Nila menunduk. Matanya kini menatap ujung garpunya yang mulai kotor. “Nah, apa yang membuatmu berpikir kalau aku tidak serius dengan perasaanku?” “Tidak ada.” “Kalau begitu bisakah kita hentikan drama pernikahan ini? Hmm..hmmm?” Gie menaikkan alisnya ke atas dengan manja. Dia menyentuh tangan Nila lalu meremasnya. “Begitukah?” Tawa merekah di bibir Gie. “Iya. Dengan berjalan pelan-pelan. Kita akan menemukan timing yang tepat. Kalau memang benang takdir menautkan kita maka kita pasti akan bersama.” “Berapa lama?” “Aku tidak tahu.” Gie mengangkat bahu, senyuman masih terulas di bibirnya. “Tidak tahu?” “Iya.” Nila mengedikkan bahu lalu mengalihkan pandangan. “Baik, aku paham.” “Nila!” “Gie, steak di piringmu masih sisa,” ucapnya sambil menunjuk piring pemuda itu. “Ah, iya. Nanti keburu dingin.” Gie melepaskan genggaman tangannya. “Kau suka daging, aku suka pasta.” Nila menyuapkan gulungan pasta ke dalam mulutnya. “Huh? Apa maksudmu?” “Pasta ini lunak dan daging keras. Pasta tidak butuh lama untuk bisa dinikmati sedangkan daging memerlukan waktu lebih lama untuk matang sepenuhnya.” “Lalu?” “Dari situlah perbedaan kita berasal. Sama seperti tidak ada istilah perjaka tua, namun selalu ada perawan tua. Stigma masyarakat terhadap pria dan wanita itu berbeda. Itu juga sama dengan kondisi mental kita, mentalmu mirip daging yang perlu waktu lama untuk matang sedangkan aku mirip pasta yang akan hancur kalau menunggumu matang.” “Nila.” “Kau tahu apa maksudku, kan?” “Kita berjuang bersama, kita tertawa bersama, aku tidak memungkiri itu. Hanya saja, kau tidak bisa seperti ini. Aku tanya padamu untuk terakhir kalinya, apa kau tidak ingin memperjuangkanku?” Gie tampak menelan ludah. “Dengan menikah secepatnya?” “Ya,” sahut Nila tegas. “Kau ini berlebihan! Coba pikirkan dari sudut pandang lain, terbukalah sedikit, jangan terlalu konservatif!” “Apa kamu enggak pengen buat aku jadi milikmu?” “Nila!” Suara Gie naik satu oktaf. “Jangan paksa aku!” “Aku anggap itu artinya tidak.” Nila mengangkat jemarinya di meja, memamerkan cincin yang kini bertengger di jari manisnya. Manik mata cokelat pemuda itu menatap ke arah jemari Nila. Pandangannya beralih ke wajah gadis itu. “Apa maksudnya ini?” “Aku tahu ini jawabanmu. Enam bulan aku menunggumu, Gie—“ “Kau selingkuh?” potongnya cepat. Nila menggeleng. “Dia pria baik yang rela melepaskanku jika kau memang mau bersamaku.” “Nila…aku…” Gie tergagap memikirkan kalimat yang akan dilontarkan. “Kamukan enggak pengen milikin. Jadi apa aku salah kalau pilih bersama orang yang ingin memiliki hatiku?” “Tapi, hatimu adalah milikku.” Gie masih belum menyerah. “Kamu yakin?” “Apa?” “Kau yakin kalau hatiku masih milikmu?” Gie terdiam. Ekspresi kebingungan terpampang di wajahnya. “Wanita lebih memilih dicintai daripada mencintai. Dia menawarkan cinta dan kau hanya menawarkan ketidakpastian, kau tentu tahu mana harus kupilih.” “Nila, bisakah kau menunggu?” “Tidak. Maaf, Gie.” Nila beranjak berdiri. Meremas tepian meja sebelum tersenyum ke arah pria itu. “Padahal aku sudah memberikan hatiku, sayang kau tidak ingin memilikinya. Selamat tinggal, Gie!” Posesif Suara debum pintu yang terbanting menutup bergema. Nila membanting tasnya di lantai. Menimbulkan suara berisik yang memenuhi ruangan. Tidak peduli tentu saja. Jika dia sedih maka seluruh dunia harus berduka. Dia harus menangis sekarang, meraung-raung kalau perlu. Dia hanya perlu melampiaskan perasaannya semata. Dia melemparkan tasnya dengan serampangan. Melempar benda itu ke atas meja rias. Selanjutnya, dia berguling di kasur. Memulai posisi menangis sedih ala adegan sinetron. Jemarinya menarik bantal hingga mendekat, menopangkan dagunya di permukaan benda itu. Air mata yang ditahannya sejak tadi mulai membuat garis di pipi. Membawa sisa maskara yang terbawa turun dan membuat matanya kini nyaris mirip mata panda. Air yang jatuh itu tidak menimbulkan luka fisik hanya perih di hati. Bisa-bisanya Gie melakukan itu padanya. Berani-beraninya pemuda itu membuatnya menangis seperti ini! Dia yang seharusnya membuat Gie menangis bukan sebaliknya. Aturannya begitu dan Gie melanggar itu. Suara tangisannya terdengar sumbang terjebak kapuk di dalam bantal. Semua kenangan itu berputar di dalam benaknya. Gie yang selalu menjadi tempatnya mencurahkan perasaan. Bergantung itulah posisinya selama ini. Dia selalu berperan menjadi dahan yang menopang kelopak bunga yang rapuh. Gie pernah menjadi pemuda yang paling perhatian dan mungkin sekarang masih begitu. Dia ingat saat acara ospek ketika masa mereka masuk sebagai mahasiswa baru. Waktu itu, semua orang naik ke bak truk. Berdiri dan berdesakan. Gie yang ada di bagian belakang truk berteriak keras, kalau Nila tidak boleh menyandarkan punggung di penutup bak itu. “Pindah, pindah! Kamu akan jatuh! Nila!” Saat dia tidak bergeming, Gie mulai berteriak untuk meminta anak lain menariknya menjauh. Saat itu anak lelaki yang dia ingat bernama Alan, menarik dan menguncinya di pinggiran bak truk.Pemuda itu tersenyum, sepertinya bermaksud menjaga agar Nila tidak terjatuh, tetapi Gie tidak terima. “Alan pindah! Pindah! Jangan sentuh Nila!” Semua orang hanya terdiam, Nila mulai malu dengan tingkah Gie. Akan tetapi, diam-diam tersenyum dengan perhatian yang diberikan oleh pemuda itu. Dengan sengaja, dia mencondongkan badan ke depan dan berpura-pura mengajak Alan berbicara. Tersenyum geli saat mendengar Gie berteriak di belakang dengan gusar. Pemuda aneh itu benar-benar terdengar marah. Alan juga tampak tidak peduli dan terus mengajaknya berbicara dalam jarak dekat. Tidak menganggap hal besar saat Nila muntah hingga membasahi kaos depannya. Alan bahkan menyeka bekas muntahan di bibirnya. Justru Gie yang menganggap semua itu hal besar. Pemuda itu menariknya turun dengan kasar segera setelah truk sampai di lokasi tujuan. Tidak peduli pada kakak senior yang sudah memelotot marah kepadanya. “Lain kali muntah saja di pelukanku jangan di kaos orang lain!” “Kenapa?” Nila pasrah saja saat Gie membersihkan bekas muntahan di tangan dengan tisu. “Kasihan Alan!” katanya dengan kepala menunduk. Tampak tekun membersihkan sela-sela jemari Nila, seakan-akan tidak ingin sedikit pun bau Alan menempel. Tidak lama setelah itu, Gie menyatakan cinta. Memintanya menjadi milik pemuda itu seutuhnya. “Aku tidak suka kau bicara dengan orang lain. Kau milikku, segalanya tentang dirimu hanya aku yang berhak,” katanya waktu itu. “Kamu nembak aku?” “Tidak. Aku hanya bilang kalau kau milikku.” Nila cukup puas dengan kata-kata itu, meski tidak ada sebutan cinta di dalamnya. Ingin memiliki bukankah sama artinya dengan mencintai? Meski kalau dipikir ulang kata-katanya agak ambigu dan Gie jadi semakin tidak jelas seiring waktu berlalu. Mereka memang menjadi role model dalam hal percintaan dan cinta lokasi di kala ospek. Banyak yang mendoakan agar hubungan mereka langgeng. Ada yang mendoakan dirinya dan Gie segera naik ke pelaminan. Doa itu terkabul sebagian dan sebagian lagi tidak. Hubungan mereka memang langgeng, awet dalam hal berhubungan dan berteman, namun tidak pernah naik ke tahap berikutnya. Mereka tidak pernah berkencan seperti dugaan sebagian orang. Hanya berteman tanpa sedikit pun harapan romantis. Gie masih tetap sepengecut biasa. Tetap sahabat yang baik, dengan ribuan tanda cinta, akan tetapi tidak pernah menasbihkan kalau dia ingin memilikinya. Mungkin hubungannya dengan Gie perlu doa lanjutan. Doa yang lebih mustajab untuk menggagalkan awetnya status mereka selama ini. Nila mulai lelah dengan hubungan yang terkatung-katung tanpa kejelasan. Dia menginginkan lebih. Permintaan yang wajar dari seorang wanita. Mau sampai kapan terus menerus berhubungan tanpa komitmen yang jelas. Sampai muncul istilah perjaka tua, kalau hal itu yang diharapkannya maka tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Semuanya gara-gara Gie yang terlalu banyak pertimbangan aneh. Pikirannya kembali berputar pada awal mula masalah ini. Di taman kota waktu itu, enam bulan yang lalu. Nila meremas kaleng kopi kemasan yang tidak lagi dingin. Terpapar udara malam seharusnya kaleng itu mendingin. Tapi, kondisinya sama seperti hatinya. Memanas seiring malam yang semakin beranjak larut. “Aku sudah dua puluh empat,” kata Nila tiba-tiba. “Lalu?” “Aku sudah ingin menikah.” “Aku belum siap.” “Aku enggak menyuruhmu nikahin aku,” ketusnya. Remasan di permukaan kaleng kopi semakin erat. “Lalu mau nikah sama siapa? ENggak mungkin menikah dengan rumput, kan?” Gie masih terdengar berkelakar. “Serius dikit, bisa?” “Nil—” Gie terdengar putus asa. “Kita hanya teman seperti katamu. Benar,kan?” Pemuda itu terdiam cukup lama. “Jangan menikah dengan siapa pun pokoknya!” ucapnya dengan penekanan seolah-olah dia benar-benar tidak suka. “Kita hanya sahabat, sahabat tidak seposesif itu, Gie!” “Benar. Kita hanya teman, kamu juga enggak punya hak buat maksa aku nikahin kamu secepatnya.” Kata-kata itu kembali bergema. Memantul di dalam permukaan tempurung kepala. Mengirimkan suara-suara menyakitkan. Meremas otaknya berpikir keras sejak beberapa hari belakangan. Mungkin kerutan di dalam otaknya telah bertambah beberapa lusin. “Kalau diajak nikah kamu selalu bilang kita hanya teman, tapi kalau aku dekat dengan orang lain mendadak kamu jadi pacarku.” Nila bergumam sendiri menjawab ilusi di dalam batinnya. Ilusi suara Gie yang menganggu. Gie mendambanya, menginginkannya. Dia tahu itu. Hanya saja, kenapa keinginannya itu terselubung dalam topeng kepengecutan yang selalu saja ditampilkan pemuda itu. Apakah sekali saja Gie tidak berani melangkah? Apakah dia mendadak jadi pesimis saat Nila memberikan kesempatan atau dia hanya melihat kesulitan? Jika cinta tidak harus dinyatakan dan tahu-tahu pacaran maka apa susahnya menikah? Bukankah pernikahan itu demi sebuah kenyamanan, kenapa tidak langsung menikah saja? Toh, sudah sama-sama nyaman satu sama lain. Pernikahan akan membuat semuanya jadi lebih jelas. Nila mencintainya, ingin memilikinya seutuhnya. Gie yang angkuh juga tidak ingin melepaskannya dan bersama orang lain. Win-win solution. Dia mendapatkan apa yang dia mau, begitu pula dengan pemuda itu. Itu adalah solusi yang tepat. Nila hanya menginginkan Gie. Dia tidak mendua, tidak pernah ada dalam kamusnya kata mendua. Hati akan patah kalau diisi lebih dari satu orang. Ruang hatinya cukup sempit untuk menerima kehadiran orang lain. Inilah yang membuatnya marah. Marah pada Gie yang tidak memiliki komitmen. Kesal pada dirinya yang terlalu berharap. Benci pada ketidakmampuan hatinya membagi cinta. “Waktu itu pun kamu bilang kita hanya teman, apa sekarang kita kembali jadi teman lagi?” Sekarang matanya nanar menatap cincin di tangannya. Cincin itu berkelip mengejek. Emas imitasi memang selalu begitu. Tampak berkilau tapi dalamnya bohong. Sama seperti Gie, memberikan janji palsu tapi hanya dusta. “Cincin ini palsu, tahu enggak!” Nila melepaskan cincin itu dan melemparkannya ke kolong tempat tidur. Dia hanya ingin menggertak. Mengatakan kalau dia akan segera menikah. Mengatakan kalau ada yang lebih baik. Dia berharap Gie cemburu. Pria itu seperti serigala yang akan mempertahankan wanitanya. Pemuda itu seharusnya mendekapnya sebelum orang lain merebut kesempatan itu. Wanita patut diperjuangkan, setidaknya itu yang ada dalam pikirannya, meskipun di sudut hatinya yang paling ujung dia tahu mungkin menuntut perjuangan Gie itu mustahil. Mereka tidak ada di dalam hubungan romantis. Hanya teman tapi mesra. Teman tapi hanya Nila yang mendamba. Nila menginginkan sebuah reaksi, kecemburuan atau kemarahan akan diterimanya dengan senang hati. Jika ada reaksi maka pertanda Gie masih memiliki hati. Parahnya, Gie tidak bereaksi seperti yang dia inginkan. Gie tetap saja Gie. Lelaki mental steak yang tidak memiliki komitmen. Kalau memperjuangkannya saja tidak bisa, mau ditaruh di mana harga diri Nila sebagai wanita. Lagi pula kenapa tadi dia bersikap seolah-olah mereka berdua ada dalam hubungan super serius yang harus menikah sesegara mungkin. Mereka hanya berteman, sejak bertahun lalu pun begitu. Keadaaan itu berubah saat akhirnya Gie menyatakan cinta padanya. Mereka berpacaran. Namun, tidak ada yang berubah. Hanya selalu bersama hingga bekerja yang sama. Melewatkan hari demi hari seolah Kehadiran Gie adalah oksigen untuknya. Meski sekarang, dia tahu mungkin dia hanya karbon dioksida untuk Gie. Kehadirannya tidak pernah diharapkan dan cenderung mengganggu. Nila terkesiap. Dering ponselnya menghentikan keluh kesah monolog dalam hatinya sejak beberapa menit lalu. Nama Gie tertera di layar. Nila enggan mengangkatnya. Panggilan itu berulang empat kali sebelum akhirnya sebuah pesan masuk. Jemarinya membuka menu dan pesan itu langsung tampil di layar. “Bilang sama orang tuamu, tanggal 17 Februari aku mau ke rumahmu.” Martabak Telur Nila mengetukkan jemari dengan tidak sabar. Mata cokelatnya mengamati sosok berkemeja biru dengan motif kotak-kotak yang kini duduk di depannya. Dia berdeham pelan. Menarik kardigan hitam berumbainya lebih rapat. Berharap ujungnya yang berumbai itu memanjang secara ajaib untuk menebas leher pemuda yang sepertinya mulai berkonsenstrasi menjadi patung dalam ketenangan. Pemuda itu sesekali membenarkan letak kacamata yang terus melorot dari posisinya. Membuatnya curiga, mungkin hidungnya terlalu licin terpoles keringat hingga kacamatanya memulai hobi baru. Perosotan menuruni tulang hidungnya yang panjang. Atau dia berharap kacamata itu bergerak lebih cepat menghantam bibir pemuda itu hingga mungkin dia akan kelepasan untuk berkata-kata. Nila mendesah, mana mungkin Gie yang tenang dan penuh perhitungan itu akan kehilangan kontrol terhadap bibirnya. “Jadi, Nak Gie—” Ayah Nila membuka suara. Tampak sengaja memutus kalimatnya di tengah-tengah hingga menimbulkan suasana seram ala film horor di bioskop. Tentu saja, hanya hati Nila yang bergemuruh saat ini. “Iya, Pak.” Gie yang sedari tadi menunduk membuka suara. Dia mendongak sesaat lalu memasang senyuman. Nice! Ayo lanjutkan, Gie! Nila berdecak dalam hati lalu beringsut pelan. Mendekati pojok sofa agar bisa mendengarkan lebih jelas apa yang akan pemuda ini katakan. Sudut sofa mungkin memberikan resonansi yang tepat untuk menangkap setiap detail kalimat. Selain itu, telapak tangannya yang mulai basah bisa lebih leluasa meremas permukaannya yang lembut. Berharap debaran jantungnya bisa diselipkan di setiap sudutnya tanpa terdengar. “Ada keperluan apa Nak Gie datang kemari malam-malam begini?” Pria paruh baya itu tersenyum lembut. Reaksi Ayah lumayan, ini pertanda positif. Nila meremas permukaan sofa semakin erat. Remasan tangannya mungkin sekarang bisa menghancurkan potongan tahu putih hingga hancur menjadi serpihan mikroskopis. Gie mungkin sedang menelan ludah dan mengatur napas. Tangannya tampak gemetar. Ayolah! Jangan pengecut begitu! Nila menahan napas kala pemuda itu berdeham pelan sebelum mendongakkan kepala. Melirik Nila sebentar yang disambut gadis itu dengan anggukan kaku. Berharap kekakuannya dapat memberikan dorongan semangat. Akan tetapi, mata Gie kini beralih pada kotak martabak telur yang terhidang di meja. “Saya hanya ingin silaturahmi, Pak,” katanya akhirnya. “Sekalian mengantarkan martabak telur ini?” potong Ayah Nila cepat. “I—iya.” Pemuda itu melirik Nila. Dia kembali menunduk saat menemukan kobaran api dalam manik cokelat gadis itu. Entah kobaran api neraka nomor berapa yang meletup dari kedua rongga mata itu. “Membahas soal pekerjaan?” “Iya, ada laporan para siswa yang belum diselesaikan tadi.” Nila memelotot, punggungnya melorot. Remasannya mulai longgar. Bibirnya membuka sedikit dan mulai menganga. Laporan keuangan katanya? Yang benar saja!!! “Kalau begitu Nak Gie bisa berbincang-bincang dengan Nila. Bukankah kalian rekan kerja?” “Tapi, Pak—” Nila mengangkat alis dan langsung menatap Gie sekarang, berharap kalau bola matanya akan menembakan laser hingga memangkas rambut pemuda itu sampai botak. Kau takut huh, Gie sayang? Gie berdeham pelan dan membuang pandangan, sementara Nila menekan buku-buku jari tangannya hingga berbunyi. Tangannya sudah siap untuk memukul pemuda itu kapan saja. Sedetik kemudian, Gie meliriknya dengan sorot ketakutan. “Tidak apa-apa. Bapak ada keperluan sebentar di dalam. Mau menonton pertandingan sepakbola, sepertinya sudah mulai dari beberapa menit lalu,” tukas Ayah Nila santai. Gie tersenyum tipis, mengangguk pelan saat pria itu beranjak berdiri. Matanya mengikuti sosoknya yang menghilang di balik pintu. “Ehem.” Nila kembali berdeham pelan. “Nil—” “Kamu mau silaturahmi?” Kedua alis gadis itu bertaut. “Iya.” “Pakai martabak? Kamu nyogok?” “Bukan begitu Nil, tapi—" “Tapi apa? Sejauh ini hanya untuk silaturahmi?” Suara Nila nyaris meninggi, namun gadis itu menahannya. Hanya dadanya yang bergerak naik turun. “Bukannya benar bersilaturahmi?” “Membahas laporan para siswa?” Memangnya ada yang salah?” Gie memiringkan kepala. “Hari ini Minggu Gie, tidak ada laporan siswa yang dikerjakan tadi, kita tidak berangkat bekerja, sekolah libur.” Gie mengusap kepala lalu tersenyum malu-malu. “Alasannya konyol ya, Nil?” “Terserah kau saja!” “Jangan marah, Nil. Toh aku datang kan kayak yang kamu mau.” “Tapi kamu datang buat silaturahmi.” Nila nyaris memekik. “Aku pikir, kamu datang untuk—” Nila menarik napas berat, menahan air mata yang mulai menusuk di pelupuk mata. “Lupakan!” dia menelan lagi kata-kata yang hendak terlontar dari bibirnya. “Memangnya kau pikir apa tujuanku datang kemari?” “Gie.” Nila memilin gamis hitam menjuntai yang menutupi paha. Berupaya keras menahan tangis. “Melamarmu?” Nila mendongak, memelototkan matanya. Dia berani bersumpah kalau jantungnya sekarang melewati satu dua kali degupan dan dia masih baik-baik saja. . Itu yang dia inginkan. Akan tetapi, melihat wajah menyeringai Gie membuatnya mendengus sebal. Lamaran itu hanya gurauan untuk Gie? Semudah dan seringan itu pemuda ini mengatakan kalimat itu. Melamarmu? Apa dia pikir wanita tidak malu kalau langsung ditusuk pertanyaan seperti itu? Dia heran, perasaan Gie terselip di mana? Apa Gie tidak tahu betapa sakralnya sebuah prosesi pernikahan? Lamaran? Datang ke rumah orang tua seorang gadis untuk meminang. Apakah dia tidak tahu kalau dirinya begitu menghargai acara yang menjadi impian kaum hawa itu? Namun, bukan itu masalahnya. Janji Gie kosong, dia memberikannya harapan kosong pada janjinya. Dia memang datang malam ini sesuai kata-katanya, tetapi kedatangannya bukan untuk meminangnya. Dia datang dengan alasan luar biasa konyol. “Apa lagi alasan kamu datang ke sini buat bertemu ayahku?” Nila mendesis. “Aku enggak pernah bilang akan melamarmu, Nil. Aku hanya bilang mau datang buat bertemu ayahmu. Kalau aku mengunjungi anak perempuan maka sewajarnya aku minta izin ke ayahnya, kan?” Gie tidak terdengar merasa bersalah sama sekali. Nila menepuk tulang selangkanya berusaha menahan letupan di dada sementara bibirnya sekarang benar-benar gemetar. Memang, Gie tidak mengatakan kalau dia ingin melamar. Kesimpulan konyol dari mana itu? Hanya dia yang terjebak dan terpilin dalam kalimat konyol hasil rekaannya sendiri, memikirkan Gie tahu semua yang ada di pikirannya sekarang membuatnya benar-benar ingin mengakhiri hidup sekarang juga. Ini memalukan. “Semudah itu?” Nila nyaris menangis. “Kau mengatakannya seringan itu.” “Aku tahu apa yang ada di dalam pikiranmu, Nila. Aku mengenalmu.” “Dan kamu melakukan semua ini padaku?” Suaranya memelan. “Ya.” Gie mengangkat bahu. Jemarinya mendorong kotak martabak mendekat ke arah Nila. “Lalu kenapa?” Suara Nila terdengar berbisik, nyaris dramatis. “Kamu jahat! Kamu mempermalukanku, Gie!” “Mempermalukan apa sih?” tanyanya. Nila enggan menjawab pertanyaan itu. “Dengar ya, Nil. Maafkan aku kalau aku salah. Aku enggak bermaksud begitu, lagi pula untuk apa kamu malu sama aku?” katanya lagi. “Cobalah berpikir realistis. Kita belum siap dengan komitmen apa pun saat ini. Aku masih muda dan kamu juga, bukankah lebih baik kita begini dulu dibanding mikirin nikah—” “Jadi menurutmu aku enggak pantas diperjuangkan?” Suara Nila meninggi memotong kalimat Gie sebelum pemuda itu menjelaskan poin penting dari dialog bagiannya. “Bukan masalah pantas atau tidak pantas diperjuangkan. Ini masalah komitmen. Perjuangan dan komitmen adalah dua hal yang berbeda.” Gie tampak mencoba menjelaskan. “Bedanya di mana? Aku tidak melihat ada perbedaan pemahaman di sini.” Nila menyahut ketus. “Komitmen diperlukan untuk menetapkan hati untuk menikah denganmu. Mengarungi hidup bersamamu tanpa keraguan dan membuat pernikahan kita langgeng, semacam itu.” Gie memotong kalimatnya seperti kehabisan topik untuk menjelaskan. “Kau bisa mengusahakan, kita bisa berjuang bersama. Menikah itu hal sakral dan Tuhan akan membantu kita,” tukas Nila masih bersikeras. Nila makin gemas kala Gie menghela napas. Mengusap peluh yang tiba-tiba menempel di kening. Matanya menatap seolah dia adalah gadis berperangai singa yang perlu ditenangkan sesegera mungkin. “Kalau begitu, bisakah kita pelan-pelan. Melangkah bersama, aku akan memperjuangkanmu dan kau membantuku menemukan komitmen itu?” Gie tersenyum penuh bujukan. Nila mendengus lalu menggeleng. Air matanya hampir jatuh. “Komitmen saja harus dibantu buat kamu dapatkan. Aku enggak pernah terpikir kalau nilaiku serendah ini di matamu, Gie!” “Maksudmu?” Kening Gie berkerut sekarang, benar-benar tampak bingung. Matanya juga menyipit di balik lensa kacamata. “Kau bahkan harus menemukan komitmen itu untuk bersamaku.” Gie terdiam, dia membenarkan letak kacamata. Sepertinya dia masih mencoba menerka arah kalimat yang baru saja diucapkan Nila. “Bukan begitu, Nil.” “Kalau sampai harus dicari maka artinya komitmen itu sebenarnya tidak ada,” tudingnya. “Engg—enggak. Ada kok. Aku tahu apa pun itu ada.” “Tapi, entah di mana?” Nila memotong. “Bukan begitu—” “Kalau begitu kenapa kau harus menemukannya? Apa komitmen itu hilang?” “Nila, bukan begitu.” “Atau sejak awal komitmen itu tidak pernah ada?” Mata Nila kali ini melotot tajam. “Apa kau tidak bisa melihat masalah dari sudut pandangku sebagai pria?” “Aku tidak bisa melihat dari sudut pandangmu, aku wanita.” “Nila, please!” Pemuda itu terdengar nyaris putus asa. “Jadi menikah denganku itu masalah?” Nila bergumam sendiri, dia sama sekali tidak ingin mendengar kata-kata pemuda itu. Gie memijat pelipis. Tampak gusar dan kebingungan. “Entahlah, aku pusing.” “Kau tahu Gie, martabak telur itu bahan dasarnya telur untuk merekatkan semua bahan. Tanpa telur semua bahan akan tercecer. Kau bisa menganalogikan telur sebagai perjuangan. Perjuangan untuk mendapatkanku. Bukan begitu?” Nila mengangkat satu alisnya. Mencoba meyakinkan. “Aku tidak sekeras cangkang telur untuk bisa melindungimu dan menjagamu, Nila. Tidak untuk saat ini, aku belum siap.” “Kalau begitu lepaskan aku!” “Apa?” Gie terperangah menatap gadis di depannya. “Kenapa? Kau tidak bisa berkomitmen dan tidak bisa melepaskanku? Lalu kau ini apa?” “Kita sepasang manusia yang saling memiliki satu sama lain, kita tidak membutuhkan orang lain.” “Omong kosong! Jadi karena saling memiliki satu sama lain maka tidak perlu ada komitmen untuk mengikat hubungan kita. Manis sekali kata-katamu. Aku lelah dengan teori absurd-mu itu!” Nila benar-benar menjerit sekarang. “Nila, aku—” Gie tampak gelagapan seolah tengah mencari kata-kata yang tepat. “Aku-” “Pria macam apa sih kamu ini!” Nila langsung menghunus kalimat tajam. Gie langsung terdiam. Nila benar-benar menangis. Samar-samar dia mendengar kunyahan renyah kulit martabak di ruang sebelah sebelum suara itu berganti sorakan tanda salah satu gawang telah kebobolan. Sama seperti harga dirinya yang jebol dan berdarah malam ini. White Lies Gie masih terdiam menatap layar ponselnya. Rasa rindu kini menusuk dada, mencabik hingga rasanya dia ingin mati saat ini. Bukan deras hujan yang mengguyur tubuhnya ala film atau sinetron. Bukan pula perlakuan kasar Nila. Sekasar apa pun gadis itu, dia tetap Nila. Satu-satunya gadis dalam hidupnya yang belum bisa disebut sebagai gadisnya sejak sekian lama. Tidak ada yang lain. Hanya saja, hatinya menangis sekarang. Gie menatap potret gadis itu. Tersenyum ceria di dalam layar mungil itu. Keceriaan yang terenggut oleh sebuah kata perjuangan dan sebuah kata lain bernama komitmen. Bukan sebuah kata baru, namun menghadirkan arti baru yang tidak pernah terpikirkan selama ini. Kata-kata itu hanya sekian banyak kata yang menyusun kalimat. Memiliki arti yang kian berat saat kata itu mewakili kehidupan dan masa depan. Lalu, sebuah pemaksaan. Senyuman tipis terbentuk di wajahnya. Nila akan marah kalau dibilang memaksa. Bibir tipisnya terpoles lipstick tipis akan bergerak. “Pemaksaan? Kau salah persepsi, itu namanya perjuangan.” Ya, gadis itu pasti akan mengatakan hal itu. Membuat suatu kalimat baru yang benar-benar terasa seperti kalimat yang tidak pernah beredar di bumi. Dia punya talenta ajaib semacam itu. Entah dia makhluk jelmaan dari dimensi mana. “Melamun terus, kesurupan kau nanti.” Gie tersentak, mengucek mata lalu menunduk. Tangannya masih memegang ponsel. Layarnya tidak menyala sejak tadi. Setelah itu, dia mengarahkan matanya pada sahabatnya yang kini sibuk meremas remote televisi. “Menurutmu gimana?” Gie beringsut memutar tubuhnya. “Apanya?” “Komitmen.” “Nila lagi.” Danu mengalihkan matanya dari layar televisi lalu menatap Gie yang kini mengangguk. “Tidak adakah makhluk lain di dunia ini!?” “Yeee! Aku serius!” Gie menegaskan. “Aku gelap soal komitmen, Gi. Kalau bisa aku memilih untuk kumpul kebo, sayang itu zina.” Gie mendengus lalu meraih buku novel yang tergeletak di ranjang. Memakainya untuk memukul belakang kepala Danu dengan sepenuh hati. Danu memelotot, akan tetapi Gie langsung mendesis. Sahabatnya ini sama saja dengan dirinya, miskin solusi. “Aku ini pria jujur, komitmen itu menyusahkan. Kenapa wanita selalu ingin komitmen, komitmen, dan komitmen?! Tidak ada kata lain apa?” Danu mengusap kepalanya yang baru saja terhantam buku. “Kissing misalnya, kan itu lebih asik.” “Memangnya ada yang bisa kau cium selain bibir tembok?” Gie mengangkat ujung bibirnya. “Sembarangan!” “Itu masalahku dan Nila—” “Komitmen lagi?” “Ya,” sahut Gie pendek. “Terkadang aku berharap wanita akan bilang padaku, Dan, pacari aku, peluk aku, sentuh tubuhku, aku akan melahirkan anakmu, kamu gak perlu tanggung jawab. Sayang yang muncul selalu kalimat kapan kau nikahi aku. Itu sebabnya aku mengalami sejenis fobia pada jenis kaum hawa tertentu gara-gara permintaan mereka soal perkara nikah-menikah ini.” Danu menatap langit-langit, matanya menerawang. “Maumu!” “Ya, itu mauku, Dude. Kadang fakta memang setajam silet.” “Silet? Tsktsktsk. Aku curiga kau suka menyaksikan acara gosip.” Gie kembali membuka kunci ponselnya lalu menatap lagi layar kosong itu. “Aku hanya prihatin.” “Soal?” Gie masih menunduk menatap layar. “Jangan bilang kamu prihatin pada acara gosip?” “Bukan.” Danu mendesah pelan sepertinya penuh pernghayatan hingga membuat Gie mendengus. “Aku prihatin pada angka perceraian yang semakin tinggi di kalangan para selebritas yang sering disebut pesohor negeri ini.” Danu kini menampilkan mimik memelas. “Peduli kok sama artis! Itu sama sekali enggak ada hubungannya sama hidup kita.” “Bukan begitu. Melihat angka perceraian yang meninggi itu aku heran, kenapa wanita masih juga berkomitmen untuk menikah, itu hubungannya.” “Itu juga pertanyaanku sejak tadi.” Gie menghela napas kasar. “Menurutmu aku harus bagaimana? Ini serius.” Gie mengalihkan matanya dari layar ponsel. Menatap wajah kotak sahabatnya yang kini tengah menekuni layar datar televisi. “Komitmen, huh?” katanya dengan nada malas. “Ya.” “Ini soal kau mau atau tidak dan tetap bertahan meski banyak hal buruk menanti di depanmu.” “Oke, lalu?” Danu menyandarkan tubuhnya di tembok. Matanya kali ini menatap layar televisi yang tengah menampilkan acara pencarian bakat yang penuh derai air mata. “Komitmen itu seperti keinginan kuat untuk melakukan sesuatu tanpa goyah. Andaikan saja kau ingin makan rujak dengan lima puluh dua cabai sekaligus nanti sore. Tapi, sekarang kamu tiba-tiba diare sekarang. Apa yang akan kamu lakukan?” “Aku akan menunda makan rujak.” “Itu artinya kau masih kurang komitmen, Gie!” “Ini beda. Diare itu kondisi darurat. Bagaimana kalau habis makan rujak, aku sakit lambung, terjangkit tifus, ususku terburai?” Nada suara Gie semakin dramatis. “Kasusnya sama saja. Rujak tidak akan membuat ususmu terburai, kecuali kau tertabrak truk material setelah membeli rujak, bisalah kau beri judul rujak maut.” “Dan. Aku serius.” “Kau pikir sejak tadi aku ngelawak. Aku berpikir keras ini, meski dengan kondisi otak cacat setelah terkena benturan beberapa menit lalu.” Danu tampak tak terima dan mengelus bagian belakang kepalanya. “Baiklah. Lanjutkan!” Gie menarik napas, memilih mengalah. Danu akan melayangkan protes dalam waktu lama kalau dibantah. “Itulah komitmen, Gie. Kamu tahu ada kalau mungkin diare yang kau derita akan bertambah parah, atau mungkin kau kena sakit lambung dan tifus. Saat kau berkomitmen maka kau akan tetap memakannya, entah kau sadar atau tidak dengan resiko yang akan kau tanggung di kemudian hari.” “Nila menginginkan itu?” “Ya. Sebuah kepastian. Mungkin karena wanita itu berhati lembut, mereka selalu mengharapkan ketegasan dari kaum kita. Berharap kita berinisiatif lebih, mengerti lebih dulu, berjuang lebih banyak.” “Kau benar. Nila juga bilang begitu.” “Nila ingin kau berjuang untuknya, apa pun resikonya. Komitmen itu pasti beresiko, itu kataku.” Danu meraih botol air mineral di nakas dan meneguknya. “Maksudmu?” “Komitmen itu selalu bergandengan dengan tanggung jawab. Saat kau berkomitmen dengan Nila maka secara otomatis kau bertanggung jawab untuknya. Menanggung biaya hidupnya, anak-anak kalian, membimbingnya sebagai suami yang baik, menyediakan ladang amal yang akan dipanen Nila untuk bekalnya di akherat, kelak.” “Aku tahu itu.” Gie menyahut pelan, membenarkan dalam hati semua kata-kata Danu. “Apa kau sanggup?” Gie menelan ludah. Itulah tanggung jawab yang selama menghantuinya. Dia belum siap. Entah kenapa semua terlihat gelap dan abu-abu. “Pasti belum, kan?” lanjut Danu tanpa menunggu jawaban Gie. Gie mengangguk, kali ini dia membuka salah satu program berkirim pesan di ponselnya. Membuka profil Nila yang masih tersenyum bersama teman-temannya. Dia ingin senyuman itu ada di sana. Melihat raut wajahnya tadi membuat hatinya benar-benar sakit. “Wanita itu perlu kepastian meski hati mereka kadang tak pasti. Bicarakan baik-baik dengan Nila!” Danu menepuk punggung Gie sebelum meraih remote dan memindah saluran televisi sebelum mungkin mereka terendam banjir akibat air mata berlebih para peserta. “Menurutmu begitu?” tanya Gie ragu. “Kalau aku sih, aku akan menyisir wanita cantik yang bisa kupacari tanpa mantra komitmen.” “Itu kau! Bukan aku.” “Kalau begitu lamar dia dan nikahi itukan yang dia minta. Apa susahnya?” “Aku hanya enggak bisa.” “Haaaa?” “Lalu apa maumu?” “Entahlah. Ada banyak hal yang kuinginkan, akan tetapi semua itu tidak sejalan dengan segala hal yang terjadi.” “Buat kejadian itu seperti yang kau inginkan kalau begitu!” “Itu mustahil.” Danu kali ini benar-benar duduk dan menatap Gie. “Aku baca di salah satu artikel, Stephen Hawking diramalkan hanya akan memiliki waktu hidup dua tahun setelah terkena ALS, akan tetapi beliau bisa hidup sampai usia 76 tahun.” “Dan!” Gie memotong cepat-cepat. “Kenapa harus Hawking sih? Ini kan soal aku dan Nila.” “Kau bisa menyebutnya contoh atau analogi.” “Oke. Aku hanya belum paham.” “Kau tahu Ibu Thomas Alva Edison menerima catatan dari gurunya tapi mengatakan kalau Edison sangat jenius hingga tidak perlu sekolah lagi. Edison kecil belajar semuanya dari ibunya. Setelah ibunya meninggal ternyata bukan tulisan soal dia jenius yang ada di kertas dari sekolah, tapi tulisan itu menyebutkan kalau dia dikeluarkan dari sekolah karena dianggap cacat mental. Ibunya berhasil membuat Edison yang cacat mental berubah menjadi salah satu ilmuwan paling berpengaruh hingga saat ini—” “Enggak usah sok intelek! Jelaskan saja maksudmu!” Gie memotong sebelum Danu kembali melanjutkan ceramahnya. “Gini Gie, si makhluk kurang komitmen dan kurang intelek—” “Mau kupukul lagi biar otak belakangnya pindah ke depan?” Gie memelotot dan bersiap dengan ancamannya. Akan tetapi, Danu malah terbahak. “Ketawa lagi!” “Mau tahu solusinya tidak?” Gie mengangguk ragu, pikirannya sekarang benar-benar campur aduk. Banyak hal yang tidak bisa jelaskan sekarang. “Menurutku bukan hanya Edison yang mengubah dunia, akan tetapi ibunya juga. Pertama, coba kalau Ibu jujur terus memarahi putranya saat itu maka mungkin Edison akan takut dan tidak mau belajar. Kedua, ketelatenan Sang Ibu mengajari semua hal, itu juga. Ibu itu mengubah dunia dengan kebohongan terbesarnya, artinya dia membentuk peristiwa menjadi yang dia inginkan, membentuk Edison menjadi seperti yang dia mau.” “Bisa saja kan Ibu itu sakit hati anaknya disebut cacat mental makanya dia melakukan segala hal untuk membuktikan bahwa vonis soal anaknya itu salah.” “Bisa juga. Tapi, kalau itu disebut balas dendam maka itu pembalasan paling epic sepanjang sejarah.” “Benar juga. Lalu Hawking, apa hubungan antara Hawking dan Edison?” “Dua-duanya manusia yang hidupnya diestimasi oleh penilaian orang lain, akan tetapi baik Edison maupun Hawking bisa melampau perkiraan orang terhadap mereka. Mereka membentuk hal seperti yang dia inginkan meskipun banyak orang merendahkan. Nah, kau bisa menerapkannya juga, Gi. Membentuk suatu kejadian sesuai dengan apa yang kau inginkan.” “Maksudmu?” “Ah, kamu bego. Kamu membuatku lelah.” Gie benar-benar menimpuk kepala Danu dengan buku sekarang. Danu hanya mengaduh sambil mengerutu pelan. Pemuda itu menarik napas lalu menghelanya lagi. Benarkah sebuah peristiwa bisa dibentuk? Sebuah kejadian bisa dikonsep layaknya postingan di media sosial? Diam-diam kata-kata Danu yang super panjang bertele-tele itu mulai membayang di benaknya. “Tapi, aku mendoakan yang terbaik untukmu, Gi. Meski aku yakin itu sulit.” Danu tersenyum kali ini, benar-benar tulus. Gie hanya tersenyum tipis. Ludah besar-besar meluncur turun di tenggorokan. Jemarinya mulai mengetik pesan. Mengajak Nila berbaikan, tentu saja. Dia memencet tombol dan mengirimnya. Dengan sabar menunggu centang abu-abu itu berubah menjadi biru. Dia menarik napas pelan. Menatap kolom last seen di bagian atas. Tidak ada last seen terlihat. Sedetik kemudian Nila tampak online, namun centang abu-abu tidak kunjung menjadi biru. Nila tidak mengacuhkannya. Napasnya berubah sesak kala sebuah pesan masuk. Bukan dari Nila, akan tetapi dari orang lain. Orang lain yang menghalangi komitmennya selama ini. Orang lain yang tidak bisa dia sebutkan sebagai alasan atau Nila akan mengutuknya. Patient Nila menekan tombol remote untuk menyalakan audio speaker di ruangannya. Matanya masih pedih. Hari ini, Minggu pagi yang patut digunakan untuk bermalasan. Tidak lama setelahnya, suara penyanyi pria berputar dan menampilkan suara merdunya di udara. Nila berguling dan memeluk guling, tersenyum getir saat mengingat kejadian semalam. Nila mendesah, mungkinkah memang dia dan Gie akan berpisah tanpa emosi apa pun. Mungkinkah semua kenangan itu pudar begitu saja? “Ah, tidak, tidak, Gie enggak akan ninggalin aku. Kami tidak akan putus, hubungan kami tidak sedangkal itu. Gie cinta sama aku.” Nila meremas remote-nya dan memindah saluran radio. Kali ini suara wanita yang terdengar di sana. Nila terdiam. Mendengarkan bait demi bait yang didendangkan oleh penyanyi itu. Mungkinkah Gie tidak mencintainya. Apakah hati Gie tidak sakit saat melihatnya menangis? Apakah Gie sekejam itu? Rasanya tidak. Gadis itu berguling lagi dan memindah saluran. Heran, kenapa pagi hari ini lagu-lagu yang diputar tidak ada yang menarik. Semuanya menyebalkan. Lalu saat saluran yang baru menampilkan lagu-lagu barat, Nila mulai mendengarkan. Mencoba untuk tidak menggerutu saat radio DJ memberikan pengantar untuk lagu berikutnya. “Ya kan, kamu enggak ada di sisiku saat aku membutuhkanmu, Gie. Ah, Mas Charlie kamu tahu perasaanku,” gumamnya. Akhirnya dia menemukan lagu yang tepat, mungkin ini ibaratnya soundtrack of the day. Salty day, mungkin istilah itu lebih tepat. Namun, lirik selanjutnya membuat Nila gemas sendiri. “Your man apanya?” Nila kembali menggerutu, melirik belasan pesan yang dikirimkan Gie. Semua tidak ada yang dibuka, biarlah Gie tenggelam dalam arena chatting. Siapa suruh dia berkelakuan semacam itu semalam? Nila mendesah lagi kala suara Charlie Puth seolah menyambut dari ujung sana. “Ya, kamu buang-buang waktuku, Gie. Kesempatan mengubah pikiran apanya?” Nila meremas tepian bantal lebih erat kali ini. “Kalian para pria mengesalkan! Kebanyakan PHP lalu mengumbar alasan! Janji kosong! Janji palsu!” katanya sambil menekan tombol power di remote kuat-kuat. Untun suara itu segera menghilang sebelum Nila menghadiahkan tendangan. Gadis itu dengan uring-uringan berjalan keluar dan mengabaikan selimut yang tergeletak sembarangan di atas tempat tidur. Ia benar-benar kesal sekarang. Nila bergerak turun ke lantai bawah dan berjalan langsung menuju dapur. Hari Minggu begini memang lebih enak untuk bermalasan. Tidak ada harum masakan yang memenuhi ruangan, Nila mengerutkan kening. Mamanya tampak sibuk mencuci perkakas di wastafel. “Mama, enggak masak?” tanyanya sambil menarik gelas dari tatakan untuk mengisinya dengan air putih. Wanita paruh baya itu menoleh lalu menunjuk tudung saji di atas meja. “Masakan semalam masih ada, Mama tadi hanya memanaskan saja.” Masakan semalam? Nila membuka tudung saji, gadis itu mendesah kala menemukan makanan di sana. Semua makanan yang susah payah dimasak oleh mamanya kemarin saat dia dengan penuh semangat mengatakan kalau Gie akan datang malam itu. Sedikit memberikan petunjuk kalau pemuda itu mungkin akan datang bersama keluarganya. Mamanya dengan penuh semangat belanja ke pasar dan memasak untuk serombongan tamu istimewa. Namun, siapa sangka yang datang hanya Gie bersama satu kotak martabak telur. Tanpa rombongan bahkan tanpa satu pun kabar gembira. Iya, dia tahu Gie bukan Nabi yang bisa mengabarkan kabar gembira pada umatnya. Jemari Nila yang semula memegang tepian tudung saji melepasnya hingga benda itu terjatuh ke permukaan meja. Gadis itu lalu menatap wahah mamanya yang masih sibuk dengan cucian perkakas. Mendadak, dia menyesali keegoisan serta kebodohannya. Mamanya masih sibuk dengan segala urusan yang bisa dihindari kalau saja dia kemarin tidak banyak omong besar. Bodohnya lagi, dia malah sibuk marah-marah di kamar sementara orang lain kini menanggung akibatnya. Nila bergerak mendekati mamanya, merangkul wanita itu dari belakang. “Lho, kamu ngapain?” Nila mengeratkan pelukan di tubuhnya lalu menyapukan pipi di punggung wanita itu. “Maafkan, Nila, Ma,” gumamnya pelan. “Minta maaf kenapa? Kamu tidak ada salah sama Mama,” kekehnya pelan. “Besok lagi Nila enggak akan sembarangan mengabarkan apa pun jadi Mama enggak perlu repot.” “Bukan salah, Nila. Kita jadinya enggak perlu masak buat sarapan kan.” “Tapikan harusnya tidak serepot ini kalau saja Nila tahu bakalan begini.” Wanita itu menepuk lengan Nila lalu terdengar menarik napas. “Kadang manusia memang lebih banyak berprasangka tanpa mau mencerna dulu kebenarannya. Tapi, anak Mama tidak sedih, kan?” Nila menggeleng lalu menarik napas pelan. Bahkan di saat seperti ini, mamanya masih bisa bersikap bijak. Kalau dibandingkan dengan dirinya, rasanya sungguh memalukan. Memang terkadang realita mengkianati ekspektasi, akan tetapi dalam kasusnya tidak ada realita yang khianat, hanya dia yang terlalu banyak berharap. Berharap banyak pada laki-laki seperti Gie. “Katanya mau nikah, mau punya suami, kalau manja begitu gimana nikahnya? Emangnya ada yang mau?” Wanita itu kembali tertawa pelan. “Ah, Mama!” Nila melepaskan pelukan saat wajahnya mulai memanas. Kali ini gadis itu bergerak ke samping mamanya dan mulai membantu menata piring bersih yang telah dicuci ke tatakan. “Nah, gitu dong. Ketimbang ngerangkul Mama kayak anak bayi, mendingan bantu nyuci piring.” “Iya, Ma.” Nila tersenyum sekarang saat mamanya dengan sengaja menyenggolkan bahu padanya. “Gimana Gie, Nil?” Nila menunduk dan terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Memangnya apalagi yang akan dikatakannya sekarang. “Masih belum ada kabar?” “Ada tadi, dia kirim chat,” sahut Nila. “Terus?” “Entahlah, Ma. Nila enggak tahu lagi,” tukasnya jujur. “Jangan begitu, kamu boleh meminta kepastian pada Gie, boleh marah kalau dia membuatmu kesal. Tapi, memaksakan kehendak sama orang lain itu enggak baik. Mungkin ada banyak alasan kenapa Gie bersikap begitu. Cobalah berpikir lebih terbuka!” “Apalagi alasan selain memang dia pengecut?” “Nah, jawaban kamu seperti ini juga artinya kamu belum berpikiran terbuka dan menerima pendapat orang lain, Sayang.” “Tapi, Gie membuang terlalu banyak waktu, mau sampai kapan?” “Kalau begitu, kenapa kau tidak mencari lelaki lain yang mau menuruti kemauanmu agar waktumu tidak banyak terbuang?” “Nila maunya Gie, Ma.” “Maka Nila bisa menunggu.” “Apa susahnya sih melamar Nila, dia kan sudah kerja, kami juga sudah dekat begitu lama. nunggu apalagi sih?” “Dalamnya laut bisa diukur dalam hati siapa yang tahu. Gie mungkin memiliki banyak masalah, banyak alasan untuk semua itu—” “Alasan apa?” Nila memotong cepat sebelum mamanya selesai berbicara. “Banyak. Contohnya saja, menikahi orang lain tidak mudah, Nil. Dia harus mengurus seorang wanita yang semula bukan siapa-siapa, memberi nafkah dan tentu saja harus mengayomi wanita itu. Jelas itu bukan hal mudah, apalagi untuk lelaki yang memang pada dasarnya tidak terlalu suka terikat pada suatu hubungan.” “Nila juga sebagai wanita juga susah harus mengurusi banyak hal. Istilahnya dibeli dengan satu uang mahar terus jadi budak seumur hidup.” “Kalau begitu Gie bukan budak?” “Apa?” “Kalau konsep menikah itu siapa memperbudak siapa maka selamanya tidak akan titik temu. Gie juga budak kalau konsepnya memenuhi kewajiban di rumah itu budak. Pria akan bekerja keras, membanting tulang untuk wanita yang awalnya bukan siapa-siapa, semata-mata karena merasa bahwa wanita itu adalah tulang rusuknya yang hilang. Dia lebih memilih untuk mengurus istrinya, menyandingnya di lengan kala malam tiba melebihi ibunya. Bukankah itu sama saja dengan memperbudak dirinya untuk wanita yang bukan siapa-siapa? Kenapa dia mau repot-repot, bukankah lebih baik mengurus ibunya?” “Tapikan, wanita rela mengandung anak-anak pria yang dicintainya, itu sama beratnya, Ma. Masih harus mengurus urusan rumah tangga juga. Itu sebanding dengan mencari nafkah.” “Mama tanya sama kamu,” katanya sambil menatap putrinya. “Apa kamu menganggap kalau melahirkan anak Gie kelak itu beban?” Nila menggeleng cepat. Tentu dia akan senang hati kalau memang harus melahirkan anak dari seseorang yang dicintainya. “Jadi itu bukan budak kalau setara? Kan Nila mau melahirkan anak-anak Gie kelak.” Nila terdiam. Sekak mat. Mamanya memang pintar membungkam mulut bawelnya. “Kalau aku mau kenapa Gie masih saja menolak?” kilahnya masih mencoba membangun argumen, enggak mengaku kalah. “Bersabarlah sedikit, Sayang. Pria pasti akan menunggu saat paling baik untuk melamar seorang gadis.” “Sampai kapan? Masa Nila harus selalu menunggu.” “Sampai waktunya. Wanita memang tidak lazim melamar terlebih dahulu, tapi wanita bisa memilih untuk tetap tinggal atau pergi. Pria dibekali hal untuk menentukan waktu, sedangkan wanita berhak untuk menentukan pilihan, bukankah itu adil?” Nila mengangguk, mulai memahami makna kata-kata mamanya. Wanita memang kodratnya hanya bisa menunggu. Sialnya menunggu tanpa bisa memaksakan. “Iya, Ma,” katanya akhirnya. “Bagaimana kalau kamu minta maaf pada Gie.” “Ma!” Nila nyaris memekik. “Kalau itu berat, bersikaplah biasa saja, tetapi jangan diulangi!” “Iya, Ma.” Bibir Nila mengembang membentuk senyuman. Dia akan minta maaf pada Gie besok soal sikap-sikapnya yang keterlaluan. Nila berjanji pada diri sendiri kalau dia tidak akan memaksa Gie lagi dan menunggu waktu yang tepat dengan lebih sabar. Incident Nila mendesah lagi, kenapa tidak ada yang pas di tubuhnya? Padahal hampir seluruh isi lemarinya telah tercerabut keluar dan baju-baju itu sekarang menumpuk tidak beraturan di atas ranjang. Dunia benar-benar kiamat, dia tidak punya satu pun baju yang layak pakai. Rasanya Nila ingin menjerit sekeras-kerasnya kalau saja single baru Martin Garrix yang baru dirilis dua hari lalu tidak menderu dari radio. Atau mungkin tindakannya akan membuatnya dicap sebagai orang gila. Dia nyaris memekik lagi saat melihat jarum jam sekarang sudah bergerak menuju angka enam, artinya dia sudah menghabiskan waktu satu setengah jam untuk memilih baju dan semuanya tidak ada yang cocok. Nila dengan kesal mematikan nyala radionya kala don’t leave alone-nya David Guetta featuring Anne Marie diputar sekarang. Liriknya yang terlalu mengena itu membuatnya sebal. Gadis itu mendesah lalu pilihannya jatuh pada kemeja putih polos dipadukan dengan rok chiffon panjang polos warna salem. Warna yang pas untuk memberikan kesan lebih terang pada kulitnya. Selain itu, dia ingin menampilkan kesan segar dan bersih untuk memulai hari senin. Jemarinya dengan cepat mengikat tali di seputaran pinggang membentuk pola pita. Setelah selesai mnegikat rambutnya membentuk sanggul kecil di atas leher, dia memoles bibirnya dengan warna peach untuk memberikan kesan natural dan segar di pagi hari. “Mata on! Bibir on!” katanya sambil memonyongkan bibirnya ke depan. “Outfit on!” Nila berputar di depan kaca sekarang. Putaran ini terhenti kala ada suara deheman pelan dari arah pintu. Mamanya muncul di sana dengan raut wajah lelah ditambahi ekspresi tidak habis pikir. Ekspresi itu semakin kental saat beliau menggeleng beberapa kali tampak menahan pening. “Kamu bakalan telat kalau main-main terus, Nil!” “Iya, Ma. Nila bentar lagi turun.” “Buruan!” “Iya.” “Ini sempurna, Nila. Cantik!” pujinya sambil memandangi wajahnya di balik cermin sepeninggal mamanya. “You can pull of any style, Nil!” Tidak lupa dia menambahkan satu kedipan mematikan di ujung kalimat. Setelah merasa bahwa penampilannya telah sempurna, dia memelesat keluar dari kamarnya. Mamanya tidak banyak bicara dan protes saat Nila meraih sepotong roti tanpa lebih dulu sarapan. Dia juga tidak membahas putaran menjijikkan yang tadi dilakukan oleh Nila. Hanya berdehem pelan dan memberikan seulas senyum terpaksa sembari mengangsurkan tangan untuk dicium oleh anak gadisnya. Mungkin mereka tidak berani bertanya soal Gie atau pun persoalan yang ada selama ini. Mesin sepeda motor matic warna magenta miliknya juga menyala halus pagi ini. Luar biasa, dia sangat sempurna hari ini. Seharusnya Gie akan terpesona dan langsung melamar tanpa menunggu waktu yang lama. Dengan kesempurnaan seperti ini maka seharusnya pemuda itu bergerak cepat karena dia mungkin akan kehilangan satu calon istri yang sangat potensial dan di atas rata-rata. Ya, dia memang di atas rata-rata. Elegan dan cantik. Namun, Tuhan mungkin sangat tidak suka pada hambanya yang terlalu memuja kesempurnaan hingga memberikan setitik noda atau kesialan untuknya. Mungkin Tuhan hanya tidak ingin makhluknya mulai takabur. Kesialan itu menimpa Nila pagi ini. Ban sepeda motornya tiba-tiba saja pecah tepat di perempatan lampu merah di samping hutan buatan yang dihuni banyak burung cangak. Selama menunggu lampu berubah menjadi hijau, Nila mematikan mesin motornya demi menghemat bensin. Suatu asas pelit yang terus melekat dan berkembang sejak dia harus menghemat uang jajan demi membeli bensin untuk motor pertamanya saat duduk di bangku SMA. Sialnya lagi, selain ban pecah ternyata mesin motor magenta itu tidak bisa menyala saat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau hingga tidak mungkin baginya untuk menaiki motor dengan kaki menapak jalan dan memaksa mesin menyala agar dia tidak perlu mendorong. Beberapa kendaraan menyalakan klakson karena motornya memang berada di tengah-tengah jalan. Gadis itu membuka kaca penutup helm-nya dan beberapa kali mengangguk ke kiri dan ke kanan. Pipinya memanas terbakar rasa malu. Dia memilih menunggu sampai semua kendaraan lewat sebelum turun dan berniat mendorong motornya menjauh dari jalanan menuju ke dekat trotoar. Nila meringis karena dia memakai rok dan pilihan bajunya itu membuat kondisinya sekarang semakin ribet. Dia mendengus sebal saat mengingat kalau bengkel terdekat dari tempat ini mungkin sekitar satu kilometer dan berjalan ke sana dengan motor sangat bisa membuat kakinya berteriak minta dipijit nanti malam. Parahnya lagi, bengkel itu ada di area yang tadi dilewatinya jadi mau tidak mau dia harus menyeberang. Intuisinya tidak memberikan sinyal apa pun tadi pagi. Dia juga bukan orang yang percaya kalau kesialan bisa saja datang beruntun dalam sehari tanpa henti sampai matahari terbenam. Namun, saat sebuah kendaraan melintas di dekatnya tepat ketika Nila hendak menyeberang memberikan pengalaman buruk lain pagi ini. Embusan angin yang dihasilkan dari kendaraan yang lewat itu sukses membuat roknya menjadi pemberontak. Nila bahkan tidak sempat memekik saat roknya itu naik ke atas. Merasakan angin dingin menerpa pantatnya—artinya rok di bagian belakang itu benar-benar melayang. Gerakan melayang ini sepertinya tidak akan langsung berhenti begitu saja mengingat angin masih juga bertiup kencang dan roknya masih tetap dalam posisi berkibar. Lokasi ini memang lebih berangin dari tempat lain, mungkin karena banyak pepohonan. Nila berdiri mematung, kakinya terpaku di tempat. Kalau dia membenahi roknya maka dia harus melepaskan pegangannya pada kemudi motor dan benda itu akan jatuh entah menimpa kendaraan lain atau menimpa dirinya atau mungkin hanya terguling begitu saja di aspal. Hanya saja, kalau dia membiarkan angin nakal ini memainkan roknya lebih lama lagi, maka harga dirinya yang sudah jatuh akan tercabik menjadi serpihan sekarang. Penyesalan mulai muncul sekarang, kenapa harus ada angin menyebalkan ini? Kenapa motornya harus mogok? Kenapa dia harus memakai rok pagi ini hanya untuk bertemu Gie dalam dandanan super cetar? kenapa Gie tidak muncul sekarang di sini seperti pria dalam drama-drama untuk menyelamatkan gadisnya? Hal yang paling membuatnya menyesal adalah kenapa dia harus membuka kaca depan helm-nya dan membuat wajahnya terpapar. Pipinya pasti sudah semerah cabai panjang yang gemuk-gemuk itu sekarang ini. Nila tidak tahu apa yang terjadi dan tidak sempat menoleh kala ada benda yang jatuh di belakang pantatnya. Ada orang yang akan merabanya dan melakukan pelecehan di tempat umum begini? Yang benar saja! Dia ingin memekik, namun mulutnya terkunci sekarang. Pekikan Nila tidak pernah mewujud, kejadian itu begitu cepat terjadi. Napasnya tertahan kala sepasang tangan itu bergerak melewati pinggang. Gadis itu menunjuk dan menemukan dua tangan besar sedang mengaitkan lengan panjang di perutnya. “Biar enggak terbang-terbang roknya!” Suara itu begitu halus terdengar. Nila menoleh dengan leher yang terasa kaku, matanya tidak berkedip sama sekali saat menemukan seorang pemuda yang tengah tersenyum di sampingnya sembari menunjukkan giginya yang berbaris rapi. Matanya bergerak ke atas, rambut pemuda itu tertutupi helm. Namun, ada satu atau dua helai rambutnya yang berwarna pink. What the hell! PINK! “Mogok, ya?” tanyanya lagi yang membuat Nila terkesiap seketika dan buru-buru membuang muka. Gadis itu lalu menunduk saat pipinya kembali memanas, rasa malu memenuhi benaknya. Bagaimana bisa ada seseorang yang menyentuhnya begitu dekat dan sekarang dia sedang bertanya dengan santai. Nila belum banyak berpikir dan tersentak seketika kala tangan pemuda itu kembali bergerak menarik kaca helm untuk menutupi wajahnya. “Kalau malu ditutupi wajahnya biar enggak kelihatan!” katanya ramah dan lagi-lagi Nila hanya bisa terdiam. “Sini kubantuin!” Nila ingin sekali menolak, akan tetapi pemuda itu menarik motornya dan membantunya untuk mendorong kuda besi itu menyeberang jalan. Sementara Nila hanya bisa mengikuti dengan pasrah. Semua peristiwa ini terlalu cepat terjadi dan sukses membuatnya kaget. Sekarang dia sudah bergerak ke dekat trotoar di seberang jalan dengan pemuda aneh itu yang membimbing. “Mau bengkel Pak Totok yang di jalan sana, kan?” tanyanya lagi sambil memutar motor milik Nila. “Iya, saya—saya bisa se—sendiri!” Suara Nila gemetar di balik helm. Matanya melirik ke arah pemuda yang kini berjalan di depannya. “Santai saja! Aku masih ada waktu untuk mengantarkanmu ke bengkel,” katanya sambil memarkir motor Nila di pinggir jalan. “Itu motorku di depan!” Nila menatap motor matic berwarna hitam yang terparkir juga di pinggir jalan tidak jauh dari tempatnya sekarang. Pemuda itu dari arah sebaliknya dan berhenti hanya untuk menolongnya, Ya Tuhan! “Kamu bisa naik motorku ke bengkel sementara aku membawa ini!” Tangan Nila terangkat ke atas saat dia mendengus. “Tapi—” “Ini kuncinya!” katanya sambil menaruh kunci tepat di tangan Nila sekaligus menutup argumen gadis itu. Hackles Motor matic magenta masih dikendarai pemuda itu, sementara Nila sudah lebih dulu memelesat untuk memeriksa apakah bengkel terdekat yang dimaksud sudah beroperasi. Benar saja, bengkelnya belum buka di jam sepagi itu. Nila mengetuk beberapa kali, namun tidak ada sambutan. Dia berjalan ke belakang, namun tidak menemukan apa pun. Pemilik bengkel itu pasti tidak menginap di kiosnya. Dia berusaha mencari selebaran atau apa pun yang menunjukkan nomor ponsel pemiliknya, akan tetapi yang ditemukan hanya selebaran layanan sedot wc beserta tarifnya lalu pamflet pertunjukan dangdut spektakuler di alun-alun dengan nama penyanyi Ria Digoyang bersama jenis goyangan gelinding bergetar. “Belum buka?” Suara yang sejak beberapa menit lalu akrab di telinga kembali terdengar. Nila menoleh ke arah datangnya suara, pemuda itu membuka kaca depan helm-nya. Ada titik-titik keringat menempel di wajahnya. Pemuda itu juga masih sibuk mendorong motor milik gadis itu mendekat. “Belum.” “Gimana ya enaknya? Udah jam segini,” tanya pemuda itu sambil mengangkat tangan kiri dan melirik arlojinya. “Tinggalin aja motornya di sini, aku akan tunggu sampai bengkelnya buka.” Nila bergerak mendekat untuk menyerahkan kunci motor dan bermaksud untuk meminta kendaraannya kembali. “Ngomong-ngomong, terima kasih banyak.” “Kamu buru-buru? Pukul berapa masuk kerja?” tanya pemuda itu tiba-tiba. Nila mengangkat ujung bibirnya sedikit, tidak terlalu menyukai pertanyaan secara personal. Akan tetapi, rasa-rasanya juga tidak pantas kalau dia menjawab ketus atau bilang ‘pukul berapa ya’ dengan nada dipanjang-panjangkan pada orang yang menolongnya. Itu kekanak-kanakan dan terdengar old fashioned. “Pukul delapan paling lambat, aku ada kelas di jam pertama,” ucap Nila jujur. “Begini saja. Kamu bawa motorku ke tempat kerjamu, aku yang nungguin motormu di sini sampai bengkelnya buka. Nah, nanti motormu kuantar ke sana lalu kita tukeran.” “Eh? Tapi—” “Aku mau pulang kok ini dan sampai rumah juga mau tidur jadi enggak masalah.” Yakali kamu kasih tahu informasi kegiatanmu! “Enggak usah Mas, nanti merepotkan.” “Enggak apa-apa. Santai aja, aku juga ngantuk mau istirahat sebentar jadi nunggu motormu bukan masalah juga.” Nila memiringkan kepala memikirkan berbagai kemungkinan. Pukul delapan hanya tinggal dua puluh menit lagi. Dia memang akan terlambat kalau berlama-lama. Matanya menatap pemuda yang masih memakai helm itu. Kalau pun dia menyerahkan motornya, maka ada jaminan dengan motor pemuda itu ada di tangannya. Tetapi, motornya bukan motor curian atau sejenisnya, kan? Kalau dia benar seperti itu maka nanti akan jadi masalah. Dia akan dikira sebagai penadah barang curian, oh tidak! “Kalau kamu tidak percaya kamu bisa lihat STNK punyaku, ini bukan motor curian.” Pemuda itu menarik dompetnya. Nila terperangah, kenapa pemuda itu bisa membaca pikirannya? Matanya menelisik sekali lagi, mencari sedikit saja hal mencurigakan. Hanya saja, wajah pemuda itu memang benar-benar polos seolah-olah tidak menyembunyikan apa pun di baliknya. Seakan dia mengatakan semua itu sejujur-jujurnya dan tidak ada niat jahat lain yang dia sembunyikan. Tetapi bukankah dia bilang baru pulang? Mungkinkah dia habis clubbing ataukah dia oknum penjual wanita yang sekarang sedang mencari mangsa. Atau dia mungkin mencari korban untuk bom pengantin. Ough! Nila kenapa sih kamu terlibat dengan orang aneh semacam ini pagi-pagi. Nila menarik ponselnya, hendak menelepon Gie. Tapi, rasanya bukan keputusan bijak kalau dia menelepon orang di tengah pembicaraan lagi pula Gie mungkin sedang dalam perjalanan jadi tidak akan bisa menerima telepon. Nila memutuskan untuk mengirim beberapa pesan pendek. “Kalau kau pikir aku akan menipumu, kau bisa membawaku ke kantor polisi terdekat. Aku bisa jamin tidak ada catatan kriminal atas namaku,” katanya lagi seakan bisa menebak hal konyol apa pun yang melintas dalam pikiran Nila. Gadis itu menggigit bibirnya, pemuda ini terlalu ahli untuk ditangani. Dia sendiri tidak tahu apakah hanya kejujuran yang terlepas dari mulut pemuda itu ataukah ada trik lain. Dia melirik layar ponselnya, pesannya bahkan belum terbaca. Jemarinya meremas tepian ponsel lebih erat sebelum dia menjejalkan benda itu kembali ke dalam tas. “Ke—kenapa Mas bersikeras nolongin?” katanya akhirnya. Dia hanya perlu jawaban, meskipun mungkin dia juga tidak akan puas dengan jawaban yang nanti didapat. Bukankah kalau bersikeras menolong, sedangkan yang mau ditolong terus menolak malah mencurigakan. Pemuda itu mengangkat bahu lalu bibirnya mengembang terdorong senyuman. “Well, enggak ada alasan khusus, cuma ingin saja.” “Ta—tapi aku enggak bisa terima ini. Terima kasih atas pertolongannya, tapi aku akan nunggu bengkel buka saja.” Alis pemuda itu terangkat dan bibirnya tersenyum lagi. “Kalau kamu enggak mau ya tidak masalah.” “Maaf ya, Mas.” “Tidak apa-apa.” Pemuda itu turun dari motor Nila setelah memarkir benda itu hingga nyaris menempel di tepi trotoar. Dia lalu berjalan untuk mendekati gadis itu. “Kamu mau nunggu di sini? Sendirian?” Nila menerima kunci motor yang serahkan padanya lalu mengangguk. Pagi-pagi juga tidak masalah juga menunggu sendirian. “Terima kasih ya, Mas.” “Santai aja!” katanya. “Sampai jumpa lagi juga.” “I-iya, Mas.” Pemuda itu beranjak pergi setelah mengirim lagi satu senyuman terakhir. Rasanya tidak enak telah menolak kebaikan orang lain, akan tetapi dia tidak punya pilihan, bukan? Bagaimana mungkin dia langsung percaya pada orang yang baru saja dikenalnya, meskipun orang itu memang menolongnya. Dunia ini cukup keras untuk menawarkan kebaikan secara cuma-cuma. Nila menatap punggungnya yang menjauh dengan motor matic yang dikendarainya. Mata gadis itu masih mengikuti pemuda itu sampai dia menghilang di tikungan depan. Dia lalu bergerak ke bangku panjang depan bengkel lalu membanting pantat di sana. Saat itu dia baru menyadari kalau jaket pemuda itu masih ada padanya. “Biar enggak terbang-terbang roknya!” Bisikan pemuda itu kembali terngiang di telinganya dan mau tidak mau membuat pipinya memanas. Kalau diingat lagi, kejadian itu lumayan manis. Nila mendesah menyesali diri, kenapa dia tidak sempat berkenalan dengan pemuda itu atau setidaknya bertanya namanya. Sekarang bagaimana dia akan mengembalikan jaket milik pemuda itu? “Nila bodoh! Bodoh!” Gadis menghentikan niatnya hendak memukulkan kepalanya ke dinding terdekat saat tasnya bergetar—ponsel di dalam tasnya yang bergetar. Dia buru-buru menarik benda itu dari dalam sana, mendesah kecewa saat menemukan bukan nama Gie yang mengambang di layar. Ke mana sih dia? Masa tidak ada kabar sama sekali saat pacarnya menderita dan terasing di depan bengkel bersama pamflet sedot wc dan goyang dangdut, menyebalkan! Dia menoleh ke kiri dan ke kanan lalu menatap kendaraan yang lewat. Rasanya benar-benar terasing. Anehnya dia merasa semua orang menatapnya, seorang gadis duduk sendirian di bengkel tua. Tetapi, setidaknya dia cukup yakin kalau tidak ada yang peduli padanya. Kenyataannnya tidak ada satu pun orang yang berhenti dan bertanya apakah dia bidadari yang kesasar lalu jatuh ke depan bengkel atau gimana. Nila mendesah lagi. Desahan itu berubah menjadi kepanikan saat pesan lain masuk. Dari namanya sudah cukup membuat Nila ingin menjerit sekarang. Nama Handoko seperti menari riang di layar dan rajin mengintimidasi. Mampus! Dia lupa memberitahu soal keterlambatannya kali ini. Nila buru-buru mengangkat telepon dari kepala sekolah itu dengan tangan gemetar dan beberapa kali berusaha menelan ludah. “Kamu di mana, Nil? Ini sudah hampir jam pertama pelajaran!” “Maaf Pak, motor saya macet di jalan terus saya lupa memberitahu Bapak. Bolehkah saya minta tolong untuk memberitahukan sama anak-anak?” Nila menggigit bibir, rasa-rasanya ini tidak sopan, akan tetapi tidak ada pilihan lain. “Ya sudah. Nanti Bapak kasih tugas. Kamu buruan datang begitu motormu sudah direparasi.” Bibir Nila mulai menyunggingnya senyuman, rasa lega menjalari di dada. Setidaknya satu masalah terselesaikan sekarang. “Iya, terima kasih ya, Pak. Maturtengkyu!” “Maturtengkyu! Tsk! Buruan!” Nila menjauhkan ponselnya dari telinga dan buru-buru meniupkan napas ke permukaan ponselnya. Pria di seberang mulai mengomel soal tata krama dan tindak-tanduk seorang wanita yang benar. Terkadang dia heran pada pria ini, kok ya sempat berbicara panjang lebar dan menasehati orang lain. Bukannya bicara juga membakar energi? “Halo Pak—ini kok enggak ada suaranya—Pak—Pak—” Gadis itu menutup telepon dengan riang dan membiarkan saja pria itu mengomel di seberang sana. “Aku baru tahu kalau di sini tidak ada sinyal.” Nila tersentak lalu menatap ke arah datangnya suara. Matanya membola seketika saat menemukan sebuah motor matic berhenti tepat di depannya. Orang itu membuka kaca depan helm-nya lalu menampakkan senyuman di wajahnya. Jantung Nila berpacu, orang itu adalah pemuda yang menolongnya tadi. Orang yang ingin diajaknya berkenalan. Tubuhnya membeku seketika, apalagi saat pemuda itu turun membawa kantong plastik hitam di tangan dan berjalan mendekat. Ergys and Tigris Dia berjalan mendekat dengan menenteng plastik kresek di tangan. Nila menatapnya tanpa berkedip, matanya tertuju pada celana jeans hitam yang membalut kaki jenjang pemuda itu. Sepatu kumal warna senada juga membungkus kakinya. Tidak ada kesan berbahaya, selain mungkin pemuda itu tidak mandi selama beberapa hari. “Mau ambil jaket ya?” tanya Nila berinisitiaf untuk bertanya saat pemuda itu kini melempar senyuman padanya. Jemarinya sekarang menarik jaket yang membalut pantat dan beranjak berdiri meski matanya sekarang tertuju pada kantong kresek yang ditenteng pemuda itu dengan sejuta pertanyaan berjejal di kepala. “Enggak. Mau ajak kamu sarapan,” katanya enteng. “Hah?” Nila memiringkan kepala dan otaknya sulit mencerna apa pun yang baru saja dikatakan pemuda itu. “Sarapan?” “Aku tadi beli nasi uduk dan gorengan di ujung jalan sana!” katanya sambil menunjuk jalanan menikung—tempatnya menghilang beberapa saat lalu. Mendengar itu membuat Nila yang semula menyesali kepergian pemuda itu jadi ingin menarik penyesalan itu. Nila mengikuti pemuda yang sekarang menaruh tas kresek itu di atas bangku lalu dia juga duduk di sampingnya. Saat dia menarik helm-nya hingga lepas, matanya enggan berkedip menatap surai di atas kepalanya. Nila ingin sekali mengucek mata, namun rasa-rasanya dia juga tidak sedang bermimpi. Warna rambutnya benar-benar pink, bukan soft-pink atau hot-pink, tetapi bubblegum pink. Benar-benar mirip warna permen karet rasa stroberi. Warna yang unik dan parahnya lagi serasi dengan kulit putih pemuda itu. “Duduk sini, kamu pasti belum sarapan!” katanya. Nila yang masih berdiri di tempatnya tersentak mendengar kata-kata pemuda itu. Matanya membelalak sedikit sebelum akhirnya dia menggeleng. “Kenapa? Ini enak lho!” katanya lagi sambil melambaikan tangan. “Aku sudah sarapan tadi di rumah, masih kenyang,” kilahnya berbohong. Ya, dia memang sarapan di rumah, kebohongannya ada pada perutnya yang kenyang sementara sekarang bau wangi nasi uduk yang dibawa pemuda berambut merah muda itu mampu membuat cacing di perutnya menggeliat dan berubah brutal. “Ini enggak beracun, aku juga enggak naruh apa-apa di nasimu!” katanya lagi, tampak mencoba meyakinkan Nila yang masih berdiri dan menatap ragu pemuda itu. Nila bergerak mendekat, rasa bersalah mengganjal saat pemuda itu sekarang mengatakan semua hal yang mungkin membuatnya dicurigai. Apalagi saat melihat senyumannya sambil mengacungkan gorengan di tangan, gadis itu menelan keraguannya dan bergerak mendekat. “Kamu pakai saja jaketnya, sepertinya kain rokmu mudah sekali terbang,” katanya lagi sambil menolak jaket yang Nila sodorkan. “Aku pinjam dulu kalau begitu,” katanya sambil membanting pantat di samping pemuda itu. “Santai saja!” Pemuda itu sekarang mendorong satu bungkus nasi ke arah Nila. Melihat dua buah isi staples yang menempel di atas kertas minyak dan bungkusan nasi itu masih rapi maka kecil kemungkinan pemuda itu membubuhkan sesuatu di dalam makanannya. Kalau pun itu terjadi, dia akan melakukannya maka dia hanya bisa pasrah. Keraguan Nila mulai berangsur menghilang dan memutuskan untuk makan saja, lagi pula dia lapar. “Terima kasih,” ucap Nila nyaris tanpa suara. “Ini pakai gorengannya!” Pemuda itu tersenyum lagi. Nila hanya mengangguk lalu mulai menyendok nasi dengan sendok bebek dari plastik bening yang tadi ada di dalam bungkusan. Bumbu yang bercampur nasi langsung pecah di mulutnya. Tidak ada rasa pahit atau rasa aneh lain, yang ada hanya rasa gurih yang normal. Gadis itu kali ini membenamkan sendoknya lebih dalam untuk menarik nasi lebih banyak. Dia mengurungkan niat saat menyadari ada hal yang belum dilakukannya sejak tadi. Dia lupa berterima kasih. Benar-benar bodoh, bagaimana dia bisa menerima kebaikan orang lain dengan entengnya dan tidak mengucapkan terima kasih pula. “Maaf Mas, tadi sampai kelupaan. Terima kasih untuk pertolongannya.” Nila buru-buru menaruh sendoknya dan berusaha menatap wajah pemuda berambut merah muda itu. “Yaelah, santai aja kali!” Pemuda itu sekarang mengibaskan gorengan di tangannya. Bibirnya terangkat membentuk senyum. Senyuman yang tampak benar-benar tulus. “Ngomong-ngomong siapa namamu?” “Nila. Kalau Mas?” “Ergys.” “Mas Ergys?” ulang Nila. “Kenapa? Ada yang aneh?” “Enggak.” Nila menggeleng. “Mas Ergys namanya mirip sungai Tigris di Mesopotamia,” ucap Nila mencoba ice breaking untuk meredakan kecanggungan. Nama pemuda itu cukup aneh dan jarang sekali dia menjumpai nama itu. “Aku kurang tahu juga sih apa namaku ada hubungannya atau tidak dengan sungai Tigris, setahuku Ergys diambil dari bahasa Albania.” “Wah, Mas keturunan Albania? Saudaraan sama Dua lipa?” Ergys terkekeh pelan lalu mengibaskan tangannya lagi. “Bukanlah! Kamu ada-ada saja! Aku manusia lokal, bukan blasteran.” “Masa?” Nila mengangkat satu alis dan diam-diam meneliti wajah pemuda itu. Tidak ada kesan kalau pemuda itu keturunan asing selain hidungnya yang mancung dan kulitnya yang memang bersih. Kulit yang membuatnya tampak tidak terlalu dekil meski dia mungkin tidak mandi sejak kemarin. “Beneran. Ibuku sepertinya hanya senang nama-nama asing jadi menamaiku begitu bukan karena aku bule. Kamu juga namamu Nila—bisa dari sungai Nil, kan? Coba tanya ibumu, mungkin kamu ada kaitan sama Cleopatra!” Nila tertawa pelan. “Ngaco! Tapi, serius beneran. Mas mirip bule.” “Baiklah kuterima, kuanggap aku ganteng.” Nila mendengus, meski dalam hati mengiyakan. Pemuda di sampingnya ini memang tampan. Ergys semakin memperkeras volume tawanya, mungkin karena melihat reaksi Nila. “Kurasa saat hamil aku, ibuku banyak menatap poster pemain bola makanya aku sedikit mirip bule. Katanya kan kalau wanita hamil harus liat yang cakep-cakep agar anaknya ganteng,” kata-kata itu dilanjutkan dengan tawa hingga Nila tahu kalau Ergys hanya bercanda. “Sambil bilang ‘jabang bayi’ lalu nepuk perut, begitu?” “Nah iya, semacam itu kalau orang Jawa bilangnya.” “Ibumu pintar memilih bias saat hamil.” Nila yang ikut tertawa sekarang menimpali. “Kalau kamu tahu jabang bayi maka kamu orang Jawa?” “Ibuku orang Jawa.” Nila menimpali dengan mengucapkan ‘oh’ pelan lalu melanjutkan untuk mengaduk nasinya dan kembali menyuap. Dia tahu soal jabang bayi itu dari neneknya. Dulu sekali neneknya sering bercerita soal itu padanya, sejenis pamali yang katanya bisa ditolak dengan kata jabang bayi. “Tapi, aku sedikit senang karena namaku mirip dengan Ergys Kace,” lanjutnya di sela kunyahan. “Ergys Kace?” Nila mengerutkan kening. “Ah! Lupa, kamu cewek ya jadi pasti tidak tahu. Ergys Kace itu pemain bola dari Albania. Jadi kurasa nama itu memang diambil dari sana.” “Iya, aku percaya kok.” Nila sekarang meluruskan kakinya, dia lebih santai sekarang. Pemuda bernama Ergys itu tidak terlihat jahat. “Jangan mudah percaya pada orang, terutama cowok!” katanya dengan nada serius. Nila mengerutkan kening. “Lho dari tadi siapa yang berupaya keras membuatku percaya?” “Ah! Aku lupa nambahin, cowok selain aku.” Kali ini dia benar-benar tertawa hingga bola matanya menghilang. “Idih!” ucapnya sebelum ikut tertawa. Tawa pemuda itu benar-benar menular. “Habiskan gorengannya!” katanya sambil mendorong plastik berisi gorengan itu ke arah Nila. “Terima kasih, Mas. Tapi, aku sudah kenyang,” ucapnya sambil menepuk perut. “Oh ya, sudah.” Pemuda kali ini menatap Nila lekat-lekat. “Jangan panggil pakai Mas, bikin canggung. Ergys saja!” pintanya. “Ergys. Baiklah,” ulangnya sambil mengedikkan bahu. “Lagi pula tampaknya kau lebih tua, Mbak! Enggak pas manggil Mas.” Nila mendengus lalu mengerucutkan bibir ke depan. Kena serangan telak hingga dia tidak bisa membalas, pemuda itu memang tampaknya masih muda. Untung saja Ergys tidak membahas lebih lanjut soal usia ini. Diam-diam dia menikmati obrolan dengan Ergys yang tidak jelas ke mana arahnya. Soal nama saja bisa berbuntut panjang, tetapi pemuda itu memang menyenangkan untuk diajak berbicara. Suaranya juga terdengar renyah dan ceria. Pemuda itu sekarang diam. Dia terlihat sibuk memasukkan sampah-sampah kertas pembungkus nasi dan plastik-plastik ke dalam kantong hitam besar yang tadi dibawanya. Nila membantu untuk memasukkan sampah bekasnya. Pemuda itu membuang sampah di tong di bawah tiang listrik. Dia mendongak sebentar untuk menatap tiang, mungkin untuk membaca pamflet sedot wc dan pertunjukan dangdut di alun-alun. “Kamu enggak berangkat kerja?” tanya Nila saat Ergys kembali memposisikan diri di sampingnya. Pemuda itu menggeleng. “Ini pulang kerja,” katanya sambil menarik sisa gorengan dari plastik lalu mengunyahnya. “Kamu jaga malam?” “Bisa disebut begitu. Makanya tadi kubilang kamu bisa pakai motorku, nanti kita tukeran setelah kamu pulang kerja.” “Aku hanya—hanya—” “Tidak percaya?” potong Ergys cepat. Nila mulai menunduk, kepalanya mengangguk pelan untuk membenarkan. “Rasanya aneh kalau ketemu orang asing yang mau membantu sampai seperti itu.” “Aku paham kok.” Nila diam-diam melirik pemuda itu untuk mencari kilas kebohongan di sana. Akan tetapi, dia gagal menemukan kilasan ketidakjujuran di wajah itu. “Maaf.” “Enggak apa-apa. Apa yang kamu lakuin itu udah benar kok. Wajar kalau cewek curigaan karena memang dunia ini kadang berbahaya.” “Ka—kamu benar.” Nila menunduk lagi, pipinya memanas saat Ergys menyebut namanya. Rasanya begitu akrab seolah mereka memang sudah kenal sangat lama. “Atau kamu takut kalau aku datang ke tempat kerjamu makanya kamu pikir aku hanya cari-cari alasan buat kenalan sama kamu?” “Apa?” Nila seketika tersentak. Bagaimana bisa pemuda membaca pikirannya sejak tadi. Dia memang berpikir kalau dia menerima tawaran itu maka akan digunakan Ergys untuk berkenalan dengannya. Dia tahu kalau dirinya cantik dan menarik hingga membuat banyak cowok memakai berbagai cara untuk berkenalan dengannya. Sialnya, Ergys bisa melihat itu. Nila ingin meninju tiang dengan pamflet sedot wc di sebelah itu. “Nah, itu bapaknya datang!” seru Ergys tiba-tiba sambil menunjuk ke ujung jalan. Pemuda itu langsung beranjak berdiri sambil menjejalkan potongan tempe goreng terakhir ke dalam mulutnya dan membuang plastiknya ke tong sampah. “Jaketmu!” Gadis itu juga ikut berdiri dan mengangkat jaket yang kini ada di pangkuan. Ergys yang telah duduk di atas motor dan hendak memakai helm-nya menoleh ke arah Nila. “Kamu boleh pinjam, kalau aku mau pakai aku akan mencarimu!” “Apa? Cari ke mana?” Namun, Nila tidak menemukan jawaban apa pun atas pertanyaannya karena pemuda itu sudah menghidupkan mesin motornya dan memacu benda itu menjauh setelah melemparkan senyuman terakhir. Mata Nila masih mengikuti pemuda yang kini bergerak menjauh lalu dia menunduk menatap jaket di tangannya. Mencarinya, katanya? Tapi, mencari ke mana? Ada-ada saja! Resign Jalanan sudah mulai lengang saat Nila memacu motornya. Murid-murid sekolah sudah masuk ke dalam kelas dan orang-orang yang berangkat bekerja juga sudah berkurang. Beberapa kali dia melirik arloji saat sampai di lampu merah. Sialnya, jarum jam berdetak sangat cepat kalau terburu begini, padahal saat menunggu mereka ini bergeraknya sangat lambat. Tidak ada kabar dari Gie, pemuda itu juga tidak membuka pesannya. Jadi dia memilih untuk pasrah. Nila mengangguk pada satpam penjaga setelah meminta untuk dibukakan gerbang depan yang telah tertutup dari satu setengah jam lalu. Dia langsung memarkir motornya di area parkir dan memelesat keluar dari sana. Dia setengah berlari menuju kantor guru. “Telat, Nil!” sapa Vita, rekan kerjanya yang mengajar matematika melirik ke arahnya sambil menyesap teh dari gelas di tangannya. Dia mungkin mengisi jam ketiga atau keempat makanya jam segini masih santai di kantor. “Iya nih, motorku mogok,” sahut Nila sambil membuka tas. Tidak sempat lagi untuk menyesap teh atau makan cemilan yang disediakan sebelum masuk kelas. Dia harus mengisi pelajaran jam kedua, tadi anak-anak di kelasnya sudah terlebih dahulu diberikan tugas sambil menunggunya datang. “Aku masuk dulu ya, Vit.” “Oke.” Nila langsung bergerak cepat menuju kelasnya yang akan diampunya hari ini. Ruangan itu berada di ujung barat gedung. Tungkainya terus melangkah melewati koridor yang sudah sepi karena semua murid sudah masuk ke kelas. Sebelum mendorong pintu kelas, gadis itu menarik napas pelan. “Selamat pagi anak-anak!” katanya sambil berjalan menuju meja guru. “Ini siang Bu, bukan pagi!” celetuk salah satu murid. “Ah, iya. Ini siang. Maaf ya tadi motor Ibu mogok di jalan.” Nila langsung menaruh buku di atas meja. Sekarang dia mengedarkan mata ke seluruh ruangan. Beberapa muridnya menatapnya. “Bagaimana tugas yang tadi diberikan Pak Handoko?” “Baru dikerjakan, Bu!” Nila tersenyum. “Baiklah, kalian lanjutkan essay-nya sampai satu jam ke depan. Baru nanti kita pilih tiga orang untuk presentasi ke depan.” “Yaaaah! Kok presentasi sih, Bu!” Jodi salah satu murid paling nakal di kelas mulai mengeluh. “Kalau begitu kita sudah dapat satu orang untuk presentasi, Jodi. Kurang dua orang lagi ya!” Kata-kata Nila disambut dengusan oleh murid-muridnya. Beberapa anak yang lain tampak mulai sibuk mencorat-coret bukunya—jelas sekali tidak ingin jadi salah satu yang terpilih untuk maju ke depan. “Kalau ada kesulitan bilang ya, anak-anak!” “Ya, Bu!” sahut beberapa anak serempak, sementara yang lain hanya mengangguk, seperempat yang lain tampak tidak peduli. Nila mulai berputar untuk melihat-lihat hasil pekerjaan siswanya. Beberapa ada yang bagus sekali menulis essay-nya, beberapa yang lain tampak yang penting jadi dan dapat nilai. Gadis itu beberapa menghampiri bangku siswanya untuk menjawab pertanyaan atau sekedar memberi pengarahan. Kelas usai satu setengah kemudian dengan tumpukan tugas menggunung di tangan. Nila belum memberi nilai dan menumpuk kertas itu di mejanya. Masih ada satu jam kosong untuknya beristirahat sebelum pindah ke kelas lain. Dia membanting pantat lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Gie tidak tampak di mana pun, bahkan mejanya juga kosong. Nila menarik ponselnya dari tas dan membuka aplikasi pesan. Centang abu-abu itu belum juga berubah jadi biru. Gie belum membaca pesannya—mungkin. Lambatnya perubahan warna centang ini mencurigakan, bisa jadi tanda centang ini dihilangkan jadi dia sekarang tidak bisa tahu pasti apakah pesannya dibaca atau belum? Sialnya pilihan last seen di aplikasi cowok itu dimatikan, jadi Nila tidak tahu kapan terakhir Gie membuka ponselnya. Dia sendiri tidak sadar sejak kapan pilihan last seen itu dihilangkan? Sepertinya belum lama ini. Memikirkan kemungkinan ini membuat Nila pusing. Kalau cowok sudah mulai menghilangkan warna pesan dibaca dan last seen juga dimatikan artinya dia tidak mau dilacak keberadaannya. Tidak mau diteror untuk membalas pesan, tidak mau diketahui apakah dia memegang ponsel atau tidak. Memang kalau kalau last seen ini akan memicu pertengkaran. Kalau Gie belum membalas pesannya padahal pemuda itu baru saja online atau kalau pesannya sudah membiru tetapi belum dibalas, dia juga akan berpikir mungkin ada yang salah. Salah bisa berarti Gie tidak lagi menganggap pesan darinya itu penting atau cowok itu tidak menunggu kabar darinya. Yang paling parah dia bisa berpikir kalau Gie punya gebetan lain dan tidak ingin ketahuan sedang chat dengan mereka. Meski dia tahu Gie tidak sebodoh itu karena dia harusnya tahu kalau Nila bisa mencium bau perselingkuhan dalam radius yang cukup jauh. Padahal untuk Nila sendiri, last seen dan centang biru itu bisa digunakan untuk memastikan kalau pemuda itu baik-baik saja. Kalau Gie bisa memegang ponsel artinya kecil kemungkinan dia sedang dalam masalah. Sialnya, Gie sepertinya tidak menyadari betapa Nila sangat peduli dan perhatian terhadapnya. Sungguh tidak sadar diri. “Istirahat, Nil?” Sebuah suara maskulin menyapanya dari belakang. Gadis itu tersentak dan buru-buru menoleh. Rafa, guru olahraga di sekolah tampak tersenyum ke arahnya. “Iya nih. Kamu juga sudah selesai ngajar?” Pemuda itu duduk di samping Nila dan mencomot dadar gulung dari meja gadis itu. Saat Nila mendengus, dia hanya tertawa. Sungguh menyebalkan. “Ngomong-ngomong kamu liat Gie tidak?” tanyanya akhirnya sambil meraih kue lapis dari piringnya sebelum Rafa menandaskan semuanya. “Lho kok tanya aku, pacarnya siapa?” “Ya iya sih,” katanya akhirnya. “Aku belum lihat dia dari aku datang tadi. Padahal katanya kangen banget gitu,” kilahnya berbohong. Dia tidak akan mau mengakui kalau Gie mengabaikannya. Harga dirinya tidak akan bisa menoleransi pengabaian jenis apa pun apalagi mengakuinya, dia tidak akan pernah melakukannya. “Jangan bilang kamu belum tahu?” bisiknya misterius. “Tapi masa sih belum tahu, kamu kan ‘yang tersayang’!” Rafa sekarang menggerakkan dua jarinya membentuk tanda mirip kuping kelinci, mungkin untuk mengisyaratkan tanda petik demi menegaskan ‘yang tersayang’ itu tadi. Nila menaikkan satu alis. Rafa ini menyebalkan dan biang gosip. Dia hanya perlu informasi yang dia sembunyikan tanpa menunjukkan kalau dia tidak tahu apa-apa. Lagi pula apa kata dunia kalau sampai ketahuan dia bahkan tidak tahu kabar pacar tersayangnya. Kabar buruknya, semua ini juga tidak mudah. “Memangnya apa sih?” “Kamu belum tahu? Masa sih?” Mata Rafa memelotot sementara bibirnya mengerucut sekarang. Nah kan? Menyebalkan! Nila berdeham pelan. “Ya aku sudah tahu sih, tapi kan kalau mendengar dari perspektif yang berbeda itu lebih baik. Jadi aku lebih obyektif gitu. Dalam hal ini pendapatmu gitu, Dan. Kamu kan jago gitu menganalisa sesuatu!” pujinya mencoba menutupi fakta kalau dia benar-benar tidak tahu hal apa pun yang disembunyikan Rafa. Rafa terkekeh pelan, bibirnya tertarik ke atas dan ekspresi senang tampil di wajahnya. Dia tampaknya benar-benar terkesan dengan pujian yang dilayangkan Nila. “Katanya Gie resign.” “Apa?” Nila yang masih mengunyah dadar gulung nyaris tersedak isian kelapanya. Dia buru-buru menelan isian itu dan meneguk air putih banyak-banyak untuk meredakan batuk. “Iya, Gie resign. Katanya mulai hari ini dan suratnya ada di meja kepala sekolah.” “Serius? Gie resign?” Rafa mengerjap sesaat. “Jangan bilang kamu belum tahu soal ini?” Nila tertawa pelan lalu mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Tahulah. Kan kami mau nikah, enggak lucu kalau suami istri kerja barengan.” “Nah iya, aku mau nanya itu ke kamu, Nil. Masa gara-gara kalian mau nikah dia resign. Okelah Gie masih honorer, tapikan aneh!” “Dia mau ikut CPNS tahun ini.” Nila berusaha sebisa mungkin untuk memalsukan tawa, padahal dia nyaris pingsan mendengar kabar kalau Gie mendadak resign. Sialnya, Gie sama sekali tidak memberitahunya soal pengunduran diri ini. “Terus harus resign gitu kalau ikut tes?” Rafa terus saja mengorek. “Biar dia lebih fokus belajar dan mengurusi pernikahan kami.” “Masa mau nikah terus resign? Memangnya kamu mau nikah sama penggangguran?” Pemuda itu masih belum menyerah, jiwa gosipnya itu memang melebihi rata-rata bahkan melebihi kadar para wanita. “Coba nanti kamu tanya Gie sendiri deh!” “Tanya gimana, kan dia resign. Ya aku tanya kamu lah sebagai calon istrinya, pasti kamu lebih tahu dan beritanya lebih akurat.” Rafa mengedipkan mata sekarang. “Enggak tahulah!” Nila buru-buru bangkit berdiri “Kamu mau ke mana, Nil? Belum kelar ini gosipnya!” “Mau ke toilet. Mules,” katanya sambil menepuk perut. Nila buru-buru berjalan keluar dengan ponsel di tangan. Tidak peduli lagi pada Rafa yang mungkin akan menghabiskan semua cemilan di meja. Tangannya gemetar memegang ponsel saat beberapa kali dia mengetik pesan untuk Gie. Dia juga menekan tombol panggil untuk menelepon pemuda itu. Namun, ponselnya tidak aktif. Gie mengundurkan diri? Yang benar saja! Kenapa dia tidak bilang? Kenapa mendadak? Apa ini ada kaitannya dengan pesan yang tidak kunjung dibaca? Ataukah ada sebab yang lain? Lalu sebab yang lain itu apa? Ada wanita lain dan wanita itu lebih menarik darinya? Itu tidak mungkin, wanita lain tidak akan mengalahkannya. Lagi pula tidak ada satu pun pria yang boleh mencampakannya, Gie bukan perkecualian. “Duh, Gie ada apa sebenarnya denganmu? Kenapa tiba-tiba menghilang seperti ini?” Where Are You? Rasanya tidak sabar menunggu jam sekolah berakhir. Pikiran Nila terus tertuju pada Gie, berayun dari satu spekulasi ke spekulasi lain. Otaknya juga sibuk membentuk hipotesis dan kemungkinan baru. Kalau terus seperti ini mungkin dia akan membentuk teori revolusi belalang sembah yang mungkin terjadi selama ratusan tahun. Ditambah lagi, Gie belum sekali pun merespon pesannya. Rasanya menyebalkan. Diabaikan membuat amarahnya terus meletup. Dia belum pernah diabaikan jadi memang belum bisa adaptasi dengan jenis pengabaian tipe apa pun—dia memang tidak mau diabaikan titik. Dia maunya mengabaikan, tetapi tidak mau diperlakukan sebaliknya. Begitu bel jam pulang berbunyi, Nila memelesat keluar. Dia juga sudah menyiapkan tasnya sejak tadi Mendengus sebentar saat menyadari jaket milik Ergys tertinggal di kursi. Dia buru-buru memakai jaket pemuda itu. Bukan karena ingin, tapi dia pernah menjatuhkan jaket barunya saat berkendara. Waktu itu, dia tidak memakai jaket itu dan hanya menyampirkan di pundak. Jadi dia tidak ingin kejadian itu terulang dan menghilangkan jaket pinjaman dari Ergys. Bukan tidak mau mengganti kalau hal buruk terjadi, akan tetapi kesannya jadi tidak tahu terima kasih. Nila hanya melambaikan tangan dan tidak lagi peduli pada rekan sejawatnya yang masih sibuk diskusi untuk makan soto sapi di gang sebelah. Teman-temannya bisa diurus besok pagi, sementara Gie tidak. Ralat, pengabaian Gie ini tidak bisa dibiarkan. Jadi dia hanya perlu ke kontrakan Gie untuk tahu apa yang terjadi sebenarnya. Gadis itu langsung memacu motornya di jalanan. Setelah dengusan tidak terhitung karena terjebak macet, motornya berbelok ke dalam gang. Gadis itu memarkir kuda besinya di depan salah satu rumah satu lantai berpagar besi kusam itu. Gie memang mengontrak satu rumah untuk dirinya sendiri, agar Nila leluasa kalau mau mampir atau main sampai malam—katanya. Meskipun Nila jarang sekali datang ke kontrakan pemuda itu. Selama ini bisa dihitung jari jumlah dia datang ke rumah itu. Jemarinya dengan cepat menarik kait pengunci dan mendorongnya ke samping. Gerbang bercat kuning—nyaris cokelat—itu terbuka dengan satu kali sentakan. Langkahnya dengan cepat memangkas jarak, namun dia berhenti di tengah halaman. Terburu-buru itu tidak anggun. Lebih baik berjalan pelan dan memberikan kesan kasual. Matanya melirik ke segala arah. Jujur, dia takut kalau Gie ada di dalam dan sekarang mengintip. Atau tetangga sekitar yang menyadari kecepatan kakinya. Menjadi cewek yang tampak ‘gatal’ bukan salah satu pilihan Nila. Dia memang kadangkala terlalu konservatif. “Pelan Nila, Pelan!” bisiknya sambil melangkahkan satu tungkai maju ke depan. Jantungnya yang semula berdebar kini mulai tenang. Rasanya lega sekali saat akhirnya dia sampai di teras. Gadis itu menarik napas pelan sebelum menengok lagi ke segala arah. Rumah ini benar-benar sepi. Sekarang dia mengangkat satu tangan dan berhenti sedetik kemudian. Keraguan mulai memasuki pikirannya. Beberapa hal membuatnya sedikit menyesal. Datang ke tempat ini jadi salah satu penyesalannya. “Nila, ini enggak memalukan. Pacarmu menghilang lalu tiba-tiba resign wajar kalau kamu mencarinya,” bisiknya lagi nyaris menghipnotis dirinya sendiri. Nila menarik napas lagi hingga tiga atau empat kali sebelum mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Dia terus mengetuk sambil memanggil nama pemuda itu, tetapi tidak ada sahutan dari dalam. Nila menarik ponsel dari dalam tasnya lalu membuka aplikasi perpesanan, masih tidak ada respon dari Gie. Centang itu masih tetap setia dengan warna abu-abu. Sekarang dia berjalan mendekati jendela, mencoba untuk mengintip bagian dalam rumah itu. Akan tetapi, ada tirai warna hitam yang menutupi bagian dalam jendela. Tidak mungkin kalau Gie pergi, kan? Atau pemuda itu sakit di dalam sana? Kalau dia sakit maka ini super gawat. Bukankah banyak kasus seseorang meninggal di kos-kos-an sendiri tanpa ketahuan? Ah! Tidak-tidak! Semua ini hanya perkiraannya. Bibirnya tergigit sekarang bersamaan dengan jantung yang berdebar di dalam dada. Dia kembali menarik ponselnya dan menghujani nomor Gie dengan panggilan. Nila benar-benar panik sekarang. Dia mendesis saat tidak satu pun panggilan tersambung ke nomor Gie. Sialnya dia tidak kenal satu pun teman Gie selain rekan-rekan di sekolah tempat mereka mengajar. “Kenapa mendadak aku jadi kuper gini sih!” keluhnya sambil mendengus. Nila sekarang meraih handle pintu dan mulai menariknya. Kalau perlu dia akan menendang pintu itu hingga terbuka—tentunya kalau tidak ada yang melihat. “Cari siapa, Mbak?” Sebuah suara terdengar dari halaman depan, tepat di belakangnya. Nila buru-buru menoleh. Seorang ibu paruh baya sekarang berada di gerbang depan dan berjalan masuk. “Bu! Saya rekan Gie di tempat kerja, saya diminta buat antar kerjaan dia karena tadi dia tidak masuk kerja.” Nila mengangkat ujung bibir untuk membentuk senyuman demi memulas kebohongannya. Bohong itu dosa, tapi harga dirinya bisa jatuh kalau dia sampai ketahuan mendatangi rumah pria sore-sore begini. “Oh teman Gie. Setahu saya Gie sudah tidak ada di sini, Mbak.” “Kok Ibu tahu?” Nila gagal menenangkan jantungnya sekarang. “Ibu tinggal di sekitar sini?” Wanita itu tersenyum. “Saya ibu pemilik rumah ini. Ibu kos.” Eh? Ibu kos? Yang punya rumah ini? Nila buru-buru menyalami wanita itu. Rasanya tidak sopan kalau dia tidak beramah-tamah dengan pemilik rumah. “Maafkan saya, Bu.” “Enggak apa-apa, Mbak.” Nila sekarang menggaruk kepala, meski sama sekali tidak gatal. “Jadi bagaimana tadi soal Gie, Bu?” “Ah! Iya, Ibu lupa. Mas Gie sudah pindah, Mbak.” Bibirnya berkedut pelan, Nila benar-benar merasa kecolongan. Gie pindah? Kenapa pemuda itu tidak mengatakan padanya? “Pin—pindah?” Gadis itu menarik napas pelan, mencoba menenangkan diri. Mungkin saja Gie buru-buru pindah karena masa kontrakan sudah habis dan dia belum bisa menghubungi. “Padahal kontrakannya masih sisa beberapa bulan lagi, Ibu jadi tidak enak.” Hah? Kontrakannya masih sisa beberapa bulan lagi, tetapi Gie sudah pergi? Lututnya terasa lemas sekarang. Bagaimana bisa Gie tidak mengatakan apa pun padanya? “Apa Ibu tahu ke mana Gie pindah?” tanyanya penuh harap. Wanita itu sekarang duduk di salah satu kursi setelah mempersilahkan Nila duduk juga. “Nah, itu Ibu enggak tahu. Mungkin pulang kampung atau entah ke mana?” katanya melanjutkan setelah Nila duduk. “Pulang Kampung?” Nila memiringkan kepala. Dia tidak tahu kalau Gie ada rencana pulang kampung. Lagi pula rumah orang tuanya memang ada di Sumatera sana dan Gie jarang sekali mudik ke rumah. “Mungkin ya, Mbak. Kalau sebabnya Ibu sendiri tidak tahu.” “Tidak apa-apa, Bu.” “Tapi, Ibu lihat sebelum pergi Mas Gie sempat mengirim surat, katanya untuk pacarnya begitu, Mbak.” Mata Nila membola sekarang. Mengirim surat untuk pacarnya. Pacar Gie itu mungkinkah dirinya? Kalau iya, untuk apa mengirim surat kalau dia bisa dengan mudah mengirim pesan atau datang ke rumahnya? Atau Gie punya pacar yang lain? Pacar yang selama disembunyikan makanya dia tidak pernah bisa komitmen dengannya? Gadis itu menggeleng lagi, mencoba untuk menghapus pikiran buruknya. Gie bukan cowok semacam itu. “Mbak, ada masalah?” Nila tersentak lalu buru-buru menatap wanita itu. “Tidak ada, Bu. Oh, kalau begitu saya permisi dulu, Bu.” “Sudah mau pulang, Mbak?” “Iya. Terima kasih ya, Bu,” katanya sambil menebar senyuman. “Eh, sebentar, Mbak!” “Saya mau nitip barang Mas Gie. Ada yang ketinggalan dan berhubung rumah ini sudah ada yang menyewa rasanya tidak bisa disimpan di sini. Katanya Mbak Nila temannya jadi Ibu bisa titip, kan?” “Boleh.” “Sebentar ya, Mbak.” Wanita itu sekarang masuk ke dalam rumahs setelah memasukan kunci sementara Nila memilih berdiri saja. Suara motor terdengar mendekat dan masuk ke halaman. Setengah berharap kalau Gie yang datang. Nila memicingkan mata untuk melihat tamu yang datang lalu mendengus saat motor itu bukan motor yang diharapkannya. Si pemilik motor sekarang membuka helm dan Nila menahan napas saat surai pink itu tampil di sana. Wajah tidak asing yang dilihatnya tadi pagi. Ergys. Cowok yang menolongnya saat roknya terbang di perempatan. Dia juga orang yang mendorong motornya saat mogok. Bagaimana bisa dia ada di sini? Seolah tahu kalau dia sedang ditatap, Ergys sekarang mengarahkan manik matanya pada Nila. Kepalanya miring sedikit, keningnya mulai berkerut. Pemuda itu mengucek mata sebelum mengerjap beberapa kali. Tidak lama setelahnya bibirnya membentuk senyuman. Jantung Nila sekarang berdetak dua kali lebih cepat saat pemuda itu berjalan mendekat dengan langkah panjang. “Bagaimana kamu tahu kalau aku ada di sini?” tanyanya. Lesung pipitnya timbul di saat dia mengakhiri pertanyaan dengan senyuman saat itu Nila benar-benar lupa cara untuk bernapas. Bagaimana mungkin kebetulan terjadi dua kali dalam sehari? Es Campur Naga Langkah kaki pemuda itu bergerak semakin cepat sementara Nila masih membeku di tempat. Matanya juga terpaku hingga rasanya sudah memalingkan pandangan pada tubuh jenjang Ergys yang sekarang hanya berbalut kaos oblong warna putih dengan kemeja motif kotak-kotak merah tanpa lengan di bagian luar. “Nila, kan? Yang tadi pagi?” katanya tanpa basa-basi. “I-iya. Ergys, kan?” Nila juga berpura-pura perlu usaha untuk mengingat nama pemuda itu. Dia tidak ingin tampak kalau dia mengingat namanya hanya dengan sekali lihat. “Eh, kamu ingat. Padahal namaku susah diingat lho! Sering ketukar jadi Linggis atau Inggris!” kekehnya seakan orang yang salah mengeja namanya itu sangat lucu. Nila hanya ikut tertawa juga karena dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dikatakannya sekarang. Dia benar-benar merasa terjebak salam situasi yang tidak membingungkan. Apalagi surai pink pemuda itu terus-menerus menariknya untuk terus melirik. “Mbak, ini barangnya Mas Gie!” Suara wanita itu mengagetkan Nila sekaligus membuatnya lega untuk tidak mengarang alasan. Wanita itu sekarang bergerak keluar dengan satu buah kotak ukuran sedang di tangannya. Dia lalu menatap Ergys yang berdiri tidak jauh dari Nila. “Lho Mas Ergys sudah datang?” Kelopak mata wanita itu melebar sekarang. “Eh?” Nila jadi makin kebingungan sekarang. Dia menoleh ke arah Ibu pemilik kontrakan lalu berpindah kepada Ergys. Mereka saling kenal? “Oh, Ibu lupa. Mas Ergys ini yang menyewa kontrakan Ibu setelah ditinggal Mas Gie.” Wanita itu tertawa sekarang lalu menepuk lengan atas Ergys. Sepertinya dia sangat menikmati peran sebagai penengah dan mengenalkan dua orang asing ala-ala karyawan biro jodoh. Ergys mengangguk dan tersenyum. Dia benar-benar sukses menampilkan diri sebagai cowok sopan yang menghargai lawan bicara. “Jadi ini barang-barangnya Mas Gie, Mbak Nila. Ibu sampai kelupaan!” Wanita itu menyerahkan kotak itu ke tangan Nila sekarang. “Terima kasih, Bu.” Nila mengangguk cepat sambil menerima barang-barang milik Gie itu. “Jadi bagaimana Mas Ergys, mau langsung masuk? Atau mau mampir ke rumah Ibu dulu?” “Sebentar lagi Bu, nanti saya bawa masuk barang-barangnya, tapi saya mau keluar sebentar dulu ke depan gang. Mau beli es campur,” katanya sambil menarik bagian bawah kaosnya. Sekedar ingin menunjukan kalau dia kepanasan. “Oh, kalau begitu Ibu berikan saja kuncinya, nanti Mas bisa bawa masuk sendiri barang-barangnya ya!” “Boleh.” Dia menyerahkan kunci yang sejak tadi ada di genggaman kepada pemuda itu. “Mbak Nila mau langsung pulang?” “Iya, Bu. Saya permisi ya!” katanya. “Terima kasih banyak.” “Sama-sama, Mbak.” Nila belum beranjak saat ibu itu bergerak menjauh. Matanya menatap wanita yang tampak ceria itu. Dia baru berhenti memandang saat wanita itu masuk ke rumah tepat di samping rumah yang sekarang mereka singgahi. “Jadi bagaimana mau ikut beli es campur?” tanya Egys tiba-tiba hingga membuat Nila terkesiap. “Kupikir tadi kamu cuma cari alasan saja!” katanya jujur. “Aku memang cari alasan untuk mengajakmu minum es bareng!” katanya sambil mengumbar tawa. “Kamu mau ikut?” Nila sempat ragu sejenak lalu akhirnya mengangguk. Tidak ada salahnya dia mengikuti Ergys. Apalagi tadi pagi dia sempat menolongnya, rasanya tidak sopan kalau menolak ajakannya untuk sekedar minum es campur di depan gang. “Bentar. Aku bawa masuk barang lalu nutup pintu.” “Ya.” Ergys kemudian melangkah cepat ke halaman, dia mengambil satu ransel ukuran besar yang tampak penuh dan gemuk lalu menyampirkannya ke punggung. Di tangannya sekarang membawa satu buah gitar bolong berwarna cokelat. Dari penampilannya sepertinya Ergys seorang musisi atau setidaknya anak band. Pemuda itu tersenyum sekilas lalu masuk ke dalam rumah. Tidak lama setelahnya dia keluar lagi. “Jadi?” katanya. “Ayo!” sahut Nila sambil mengedikkan bahu. “Kita bawa motor sendiri-sendiri saja, jadi nanti sekalian aku langsung pulang!” “Oke.” Ergys langsung menyetujui usul Nila. Nila menaruh kotak yang tadi diberikan Ibu pemilik kontrakan di atas pijakan motornya. Dia lalu menyematkan helm di atas kepalanya. Setelahnya dia langsung membanting pantat di atas jok. Saat dia menjulurkan lengan untuk memasukkan kunci motor, dia baru ingat kalau sejak tadi dia memakai jaket milik Ergys. Nila menggigit bibir, bagaimana kalau Ergys sadar dia memakai barangnya dan berpikir yang bukan-bukan? Apa yang akan dikatakannya nanti? Dia akan benar-benar malu kalau tidak bisa menjelaskan atau tergagap saat menjelaskan. Namun, Nila tidak sempat berpikir lebih banyak karena motor Ergys sudah menyala. Dia juga memilih untuk menyalakan mesin motornya. Pemuda itu menoleh sekali lalu tersenyum sebelum membawa kuda besinya keluar dari gerbang. Nila mengikuti Ergys yang berkendara di depannya dan memang cowok itu membawanya keluar gang. Tidak lama setelahnya Ergys memarkir motornya di samping gerobak es campur yang ternyata mangkal tidak jauh dari kontrakannya. “Di sini?” tanya Nila sambil membuka helm yang membungkus kepalanya. “Iya.” “By the way, aku mau balikin ini!” Nila langsung melepas jaketnya. “Tadi kupakai karena takut jatuh kalau disampirkan ke tas atau lecek kalau kujejalkan bagasi.” “Oh, terima kasih ya.” “Buat?” “Kan kamu jaga jaketku sebaik ini, padahal pasti bau banget ini!” Ergys tertawa pelan sambil menerima jaket pemberian Nila. “Aku yang terima kasih,” ucapnya pelan sambil berusaha menyembunyikan pipinya yang memanas. Jaket milik Ergys sama sekali tidak bau, hanya bau musk bercampur pewangi pakaian yang tercium dari kainnya. “Es campur dua ya, Bang!” seru Ergys langsung dari posisinya berdiri. “Iya, Mas.” “Mau duduk di mana?” tanyanya sambil menatap sekeliling. Semua kursi dan bangku telah terisi. Mungkin es campurnya super enak makanya sampai seramai ini atau karena cuaca yang memang sangat panas hari ini. “Di mana saja, mau gimana lagi!” kata Nila akhirnya. Sekarang gadis itu mendekat ke trotoar jalan, mungkin memang mereka harus duduk di emperan tanpa alas. “Sebentar!” ucap Ergys saat Nila hendak duduk. Gadis itu mundur selangkah membiarkan Ergys membentangkan jaketnya di atas trotoar. “Kamu bisa duduk di situ!” katanya. “Tapi, nanti jaketmu kotor!” tolak Nila. Dia benar-benar merasa tidak enak karena membuat Ergys mengotori jaketnya. “Nanti bisa dicuci, santai saja!” Pemuda itu tersenyum lagi lalu menaruh pantat di atas trotoar tanpa alas. “Terima kasih lagi kalau begitu.” Nila langsung duduk di atas jaket pemuda itu. Saat dua mangkuk es campur itu datang, pemuda memberikan satu mangkuk lebih dulu pada Nila baru menerima miliknya. Lagi-lagi gadis itu mengangguk kaku lalu tersenyum tipis saat menerima perlakuan manis pemuda yang baru dikenalnya tadi pagi itu. Jemarinya dengan cepat mengaduk es serut dan mencampurkannya dengan kuah. Nila menyendok sedikit isinya dan butiran mutiara berwarna merah serta sepotong kecil nangka ikut terbawa. Rasa manis yang aneh pecah di mulut Nila. “Ini tidak pakai sirup, sirupnya diganti jus buah naga!” Ergys menjelaskan. Mungkin pemuda itu melihat kening Nila mulai berkerut saat mengidentifikasi rasa asing di lidahnya. “Oh, pantas. Rasanya manis tapi tidak sekuat sirup coco pandan yang biasanya dipakai untuk campuran. Tapi ini enak.” “Nah iya itu, asik ya diganti-ganti begini!” Pemuda itu sekarang menyendok lagi es di mangkoknya hingga isian buah itu sekarang masuk ke dalam mulutnya. Nila hanya mengangguk. Menghadapi Gie yang tidak terlalu banyak bicara, dia lebih talkatif dan lebih banya mengambil inisiatif. Tetapi, Ergys berbeda. Pemuda itu banyak bicara dan tampak apa adanya. Dia juga kelihatan sangat jujur. “Ngomong-ngomong kamu enggak suka makan di emperan begini?” tanyanya langsung. “Su—suka kok, kenapa memangnya? Menurutmu kelihatan enggak suka?” Nila merasa tertangkap basah. Dia bukan tidak suka, tetapi belum terbiasa. Gie tidak pernah mengajaknya makan di pinggir jalan seperti ini. Pemuda itu tidak suka makan ditemani asap kendaraan—begitu katanya. “Soalnya kamu lebih banyak diam. Maaf ya kalau aku salah kira.” “Kenapa minta maaf. Biasa aja!” Nila mengibaskan tangannya sekarang, mencoba untuk mencairkan suasana. “Aku cuma takut kamu tidak suka makan di pinggir jalan seperti ini. Tapi, kayaknya aku yang kebanyakan mikir” Nila menunduk lalu mengaduk lagi es campurnya. “Ngomong-ngomong aku belum berterima kasih.” “Untuk?” “Hari ini dan semuanya.” Nila mengirimkan tatapan untuk menelusuri wajah pemuda itu. Wajahnya benar-benar ramah dan manis. Jenis wajah yang enak ditatap berlama-lama tanpa bosan. “Santai saja!” “Tadi kupikir kamu mencariku sampai ke kontrakan baru!” “Mana mungkin. Tahu dari mana, kan?” “Ah, iya juga sih. Makanya kupikir juga aneh, Tidak mungkin kan intuisimu segitu kuatnya atau bauku menuntunmu kemari!” Ergys terbahak sekarang dan diam-diam Nila menikmati suara renyah pemuda itu. Suara yang nyaring dan menyenangkan seperti lonceng. “Kamu mau nambah?” Pemuda itu sekarang menyendok sisa terakhir es di mangkuknya lalu menoleh ke arah Nila. “Enggak. Aku sudah kenyang,” tolaknya sambil menyerahkan mangkuk ke tangan Ergys. Dia buru-buru berdiri dan meraih dompetnya. “Aku yang bayar!” katanya. “Tapi—” “Masa cowok ditraktir cewek,” ucapnya dengan nada bergurau. “Es campurnya dua, Bang!” “Dua puluh ribu, Mas!” Ergys menarik dompetnya dari saku celana dan menyerahkan satu lembar pecahan berwarna hijau yang langsung diterima abangnya. Nila sekarang bingung menambatkan pandangan, dia benar-benar malu dan salah tingkah sekarang. Dia harus membalas dengan apa? Dia berhutang terlalu banyak pada Ergys. Pemuda itu juga berdeham pelan lalu menggaruk kepalanya, dia juga tampak sama bingungnya. Nila buru-buru memalingkan wajah. Tatapannya sekarang terjatuh pada jaket pemuda itu yang masih terkulai di atas trotoar. Nila langsung meraih dan membekap benda itu. “Sebagai gantinya, aku akan cuci jaketmu,” katanya tiba-tiba. Ergys memelotot sekarang. “Enggak perlu. Aku bisa cuci sendiri.” “Aku akan cuci jaketmu dan kukembalikan nanti.” “Yakin tidak apa-apa?” “Iya.” “Baiklah. Jangan dicuci terlalu bersih ya, Nila!” wajah Ergys benar-benar memerah sekarang saat senyuman di bibirnya merekah. Nila hanya mengangguk menanggapi candaan pemuda itu, meski dia tahu kalau Ergys mungkin sama canggungnya seperti dia sekarang ini. Evanescet Malam sudah turun saat Nila sampai di rumah. Dia masuk ke kamar dan mengabaikan ibunya yang mengajaknya makan malam. Sedikit lapar, akan tetapi masih belum ingin makan kalau belum mandi. Makan sebelum mandi akan membuatnya masuk angin. Katanya ini berkaitan dengan peningkatan siklus metabolisme setelah makan yang meningkatkan suhu tubuh, jadi tersiram air saat tubuh masih panas akan menyebabkan masuk angin. Dia sendiri tidak tahu kebenaran dari teori ini. Hanya teori tanpa pembuktian setidaknya untuk saat ini. Gadis itu melemparkan tas lalu jaket milih Ergys ke atas kasur setelah menaruh kotak seukuran kardus mie instan milik Gie di atas meja. Dia juga langsung melepas baju kerjanya untuk berganti dengan baju rumahan yang lebih nyaman. Jemarinya dengan cepat meraih ponsel, membuka aplikasi pesan untuk kesekian kali. Akan tetapi, tidak satu pun pesan masuk selain dari grup chat sekolah, alumni dan grup-grup lain. Pesan yang dikirimnya tadi pagi masih tercentang abu-abu sementara last seen pemuda itu juga tidak tampak sama sekali. Nila mendesah sambil meremas permukaan ponsel. Semua ini terasa menyebalkan. Sekarang dia menekan dial up, mencoba menghubungi Gie. Dia sungguh ingin tahu kenapa pemuda itu mendadak menghilang. Namun, untuk kesekian kalinya dia berhadapan dengan kotak suara. “Fine! Terserah kamu saja!” desisnya sambil melempar ponselnya ke atas ranjang. Nila lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Gadis itu lalu turun untuk makan dan mengabaikan ponselnya di kamar. Ibunya memasak capcay dengan suwiran daging sapi sisa kemarin. Sisa-sisa makanan yang membuat Nila sebal karena hal itu mengingatkannya ada Gie. “Kok cuma diaduk saja, ayo dimakan!” Suara ibunya membuyarkan lamunan Nila. “Iya, Ma,” katanya sambil mengambil satu sendok capcay bercampur nasi lalu menjejalkannya ke dalam mulut. “Ayah lembur?” tanyanya di sela kunyahan. “Kayaknya sih. Katanya pulang agak malam.” “Oh, Mama jangan lupa sisakan makanan buat Ayah!” “Jangan khawatir.” Wanita itu tersenyum. “Gimana soal Gie? Ada perkembangan?” Nila mendesah. Rasanya dia sudah bersiap untuk pertanyaan ini, akan tetapi saat ditanya secara langsung tetap saja dia bingung untuk menjawab. Apa yang dia katakan pada orang tuanya saat Gie benar-benar hilang seperti sekarang ini. Nila lebih memilih mati daripada mengakui kalau dia telah dicampakkan—Ah! Dia dicampakkan. Kata-kata ini mengesalkan. Mulai hari ini dia benci kata dasar campak, entah mencampakkan atau penyakit campak, semuanya sama saja. Oke dia mulai ngaco, tapi ya sudahlah. “Entahlah, Ma,” katanya akhirnya. Sejujurnya dia memang tidak tahu apa yang terjadi pada Gie. Termasuk sama sekali tidak bisa menilai saat ini mereka masuk dalam fase hubungan seperti apa. Hanya saja, dia masih malas untuk menjelaskan pada siapa pun soal ini. Harga dirinya bisa terluka kalau sampai Mama tahu jika Gie mendadak tidak membalas pesan dan telepon-telepon darinya. “Kamu baik-baik saja, kan?” “Apa?” Nila mendongak sekarang. Sendok yang setengah terangkat dari piring sekarang melayang di udara. “Mama tanya apa kamu baik-baik saja, Nil. Mama tidak peduli soal Gie atau siapa pun, yang terpenting kamu baik-baik saja.” “Aku baik, Ma.” Wanita itu tersenyum lalu menambahkan nasi ke dalam piring Nila. “Makan yang banyak, kamu tidak tampak baik-baik saja, Nil.” Nila menunduk lalu memegang sendoknya lebih erat. Gadis itu menggigit bibir saat bulatan sendok itu meraup nasi lebih banyak. Dia lalu memasukkan makanan itu dengan paksa ke dalam mulutnya. Mengunyah setiap butir nasi bersama dengan daging berbumbu itu sambil menarik ingus. Dia benar-benar ingin menangis. Ya, mungkin dia memang tidak baik-baik saja seperti perkiraannya sejak tadi pagi. “Mama menaruh merica terlalu banyak,” katanya saat satu butir air mata terlepas keluar dari matanya. Ini sama sekali bukan dia, bukan dirinya yang biasa. “Mama sengaja biar kamu kepedasan terus nangis.” Nila terkekeh pelan lalu kembali mengudap makanan di piringnya. Berpindah mengunyah dari satu sendok ke sendok lain hingga makanan di piringnya habis. Mamanya juga tidak banyak bertanya atau sok bijak untuk menasehati, setidaknya dia bersyukur untuk itu. “Aku sudah selesai makan, Ma. Terima kasih untuk makanannya,” katanya sambil beranjak berdiri. “Kamu taruh di bak cuci saja, nanti Mama cuci piringnya.” “Aku akan cuci sendiri,” tukas Nila cepat. Gadis itu langsung beranjak berdiri lalu menekan keran air. Membiarkan aliran air itu menyapa permukaan piring bekas makan. Dadanya terasa benar-benar sesak sekarang. Dia belum pernah patah hati sejauh ini, jadi mungkin begini rasanya. Dia sendiri tidak tahu. Nila buru-buru mengusap matanya, dia tidak benar-benar menangis. Hanya satu butir air mata tidak tahu diri yang berlari keluar dari matanya setelah itu tidak ada lagi. Jadi mungkin dia tidak sesakit yang dibayangkan. Dia memang takut sakit, takut patah hati. “Aku naik ya, Ma.” “Ya.” Tungkainya melangkah cepat melewati ubin lalu menaiki anak tangga. Jarang yang terbentang langsung terpangkas tanpa perlu waktu lama. Gadis itu langsung membanting pintu di belakangnya. Nila ingin sekali mengabaikan ponselnya, akan tetapi kerlip lampu di bagian atasnya mau tidak mau membuatnya penasaran juga. Dia membuka kunci ponselnya dan saat layarnya menyala, ada satu chat masuk. Bukan dari Gie, tapi dari Vita. Pesannya pada Gie masih belum terbaca sampai sekarang. Dia membuka pesan dari rekan kerjanya itu. ‘Nil, coba buka grup chat deh!’ Nila mengerutkan kening, masih bingung dengan kalimat yang ada di pesan singkat dari Vita. Namun, dia bergerak membuka pesan dari grup chat sekolahnya. Menyisir dari pesan paling bawah. Dadanya berdebar sekarang, mereka membahas soal Gie, tetapi pemuda itu tidak muncul di kolom chat. Ludah besar-besar menuruni tenggorokan saat dia mulai membaca topik yang mereka bicarakan. Ada satu potret yang mengambang di layar. Nila bisa mengenali potret ini dan setuju dengan pendapat mereka, itu motor milik Gie. Dia memperbesar tampilan untuk foto itu hingga latar belakangnya terlihat. Jantungnya berdebar sekarang saat mengenali motor itu benar-benar motor pemuda yang selama ini berpacaran dengannya. Motor itu berdiri di depan salah satu kafe yang Nila kenal sebagai salah tempat yang sering dikunjunginya bersama pemuda itu. Nila menekan anak panah di bagian kanan ruang chat hingga tulisan demi tulisan yang dikirimkan member group chat bergerak berlahan-lahan. Napasnya memburu saat mulai membaca, semuanya ini jauh dari perkiraannya. Vita: Ini motor Gie? Kok bisa ada di kantor polisi begitu? Apa dia ditangkap? Berkasus? Dani: Enggak tahu juga, katanya motornya ditemukan di salah satu kafe. Sudah dua hari ada di sana. Yuni: Eh, seriusan. 2 hari, pas weekend dong? Dani: Katanya sih begitu. Pemilik kafe menemukan motor itu dua hari tidak diambil makanya dia lapor polisi. Kebetulan ada satu pegawai kafe yang mengenali ciri-ciri pemilk motor dan memberikan keterangan soal identitas Gie. Vita: Jadi Gie hilang? Dani: Katanya sih begitu. Gie tidak menjawab ketika dihubungi. Dan saat didatangi ke kontrakannya, pemuda itu sudah pindah. Cuma bener enggaknya, enggak tahu juga. Vita: Lalu surat resign itu? Bagaimana bisa ada di kantor saat Gie sudah menghilang dua hari? Menunggu jawaban itu membuat bulu kuduk Nila mendadak berdiri. Gadis itu mengangkat jemari untuk meremas tengkuknya. Dari percakapan ini rasanya ada yang aneh, namun sekarang ada satu hal yang pasti. Terjadi sesuatu pada Gie, entah itu baik atau buruk. Yuni: Bisa saja kan Gie menaruh surat itu di meja tadi pagi terus dia menghilang lagi. Joko: Tapi, enggak ada yang lihat lho Mbak. Saya sudah jaga dan buka gerbang dari pagi. Vita: Tuh kan, jadinya serem. Dani: Nil, kamu online, kan? Ada jawaban? Gimana nih kok jadinya kisah serem begini. Yuni: Iya nih, Nil. Pacarmu kenapa, kok mendadak hilang? Joko: Mbak Nila jawab dong! Vita: Nil, ini serem tahu. Gimana Gie? Kamu tahu kan soal dia? Nila mengigit bibir lalu menekan keypad ponselnya. Dia hendak mengetik ‘tidak tahu’, tetapi apa kata mereka kalau dia yang notabene dikira sebagai pacarnya tidak tahu ke mana Gie pergi dan menghilang. Kalau dia mengaku tahu, lalu mereka akan menuntut penjelasan atau menghakimi posisinya sekarang sebagai pacar yang tidak tahu apa-apa. Sekarang tangan kirinya berpindah ke pelipis yang berdenyut, memijatnya beberapa kali sementara pikirannya berkecamuk. Dia memutuskan keluar dari chat room lalu menekan nomor Gie. Mendekatkan ponsel ke dekat daun telinga sementara kakinya terus-menerus mengetuk lantai. Desisan langsung meletup dari mulutnya saat lagi-lagi dia berhadapan dengan voice mail. “Oh, Gie. Ke mana kamu sebenarnya? Apa yang terjadi padamu?” Pencuri Meja Nila tersentak, matanya mengerjap beberapa kali. Saat dia mengangkat kepala, air liur membasahi sudut bibirnya. Entah sejak pukul berapa dia tertidur semalam. Nama Gie kembali menusuk pikirannya hingga dia buru-buru meraih ponsel untuk melihat apakah pemuda itu sudah mengaktifkan ponselnya. Gadis itu menarik napas sebal kala menemukan layar ponselnya mati, mungkin benda itu kehabisan daya setelah beberapa jam terakhir digunakan secara berlebihan. Nila buru-buru meraih charger ponselnya dan memasukkan ujungnya ke dalam lubang roll meter meski kepalanya masih terasa berat. Saat ujung colokan tertancap di ponsel, layar ponselnya menyala lalu berlahan-lahan gambar pengisian batere terlihat. Nila bangkit dari tempat tidur lalu berjalan ke kamar mandi. Dia harus bersiap-siap untuk berangkat bekerja sekarang. Meski sungguh dia ingin sekali membolos hari ini, akan tetapi dia malas menanggapi rekan-rekan kerjanya nanti. Apalagi mereka sudah heboh demikian rupa di grup chat semalam. Toh, kalaupun terus menunda tidak ada alasan yang mendadak muncul. Gadis itu memutar keran air lalu mulai menyikat gigi. Saat mendongak untuk menatap bayangan wajahnya di dalam cermin, Nila nyaris saja memekik dan mengira dirinya kesurupan kalau saja dia tidak mengenali tahi lalat kecil di ujung hidungnya. Gadis di dalam cermin itu sungguh-sungguh kumal dengan riasan belum terhapus sepenuhnya. Maskaranya belepotan belum lagi eyeliner yang harusnya membentuk mata kucing sekarang berubah jadi mata panda. “Ya, Tuhan, jelek banget wajah ini!” katanya sambil menekan kantong mata dengan tangannya yang bebas. Gadis itu melanjutkan menggosok gigi sambil terus memegangi wajahnya. Rasanya tidak percaya saat bangun tidur dan menemukan wajahnya sudah siap untuk perayaan Hallowen seperti ini. Nila masih juga memikirkan hal itu sampai ritual mandi paginya selesai. Dia juga membasuh mukanya berulang kali dan berharap kalau cara itu akan menghapus semua sisa kekacauan semalam. Cukup semalam saja, dia tidak akan menangis lagi. Bukan karena dia tidak punya hati atau tidak bingung dengan raibnya Gie, akan tetapi menangis berarti kalah. Dia tidak akan menangisi orang yang terang-terangan meninggalkannya tanpa kabar. Dia hanya perlu mencari Gie dan memberinya pelajaran karena menangis juga tidak akan menyelesaikan apa pun. Gadis itu mendesah lagi sebelum bersiap untuk mengajar—lebih tepatnya bersiap untuk menghadapi pertanyaan rekan kerjanya. Satu jam setelahnya Nila sudah memelesat di jalanan dengan motornya. Tidak ada lagi insiden atau perut kelaparan hingga dia bisa berkendara dengan tenang. Namun, ketenangannya itu mulai sirna kala memasuki gerbang sekolahnya. Jantungnya memukul-mukul dada seiring langkahnya menuju kantor guru. Telapak tangannya juga mulai basah hingga Nila harus mengusapkannya beberapa kali di permukaan roknya. “Se—selamat pagi!” katanya sambil memasuki ruangan itu setelah menarik napas berulang-ulang untuk menenangkan diri. “Pagi, Nil!” Vita yang menyapa. Nila mendongak dan menemukan beberapa mata pasang kini menatap ke arahhnya. Dia menghela napas kala tidak ada tataan menghakimi. Mereka juga tampak menyunggingkan senyuman. Setelah itu ruangan kembali hening, ini benar-benar aneh. “Kalian tidak penasaran sama insiden kemarin lagi?” tanyanya sambil duduk di kursinya. “Kami juga ingin tahu sih, Nil. Cuma kayaknya kamu juga sama enggak tahunya seperti kami.” Dani sekarang yang menjawab. “Kok kamu enggak kepo atau gimana gitu?” “Soalnya kami juga tidak paham, Nil. Lebih aneh lagi, mendadak meja Gie hilang.” Vita sekarang menggeleng ke samping. Nila yang melirik Vita mau tidak mau mengikuti arah gelengan wanita itu. “Hilang gimana? Bukannya kemarin mejanya masih ada dan barang Gie juga belum diambil?” “Hilang meja dan isi-isinya, bukan hanya barang-barang milik Gie.” Dani sekarang menggeser tubuhnya hingga Nila bisa melihat dengan jelas sudut kosong yang semula berisi meja Gie. “Kok bisa sih?” Nila masih menatap bagian itu dan belum ingin beranjak untuk mengalihkan pandangan. Sekarang dia benar-benar berdiri lalu berjalan mendekati sudut kosong itu. “Ini bukan film bangku kosong, kan?” “Bukanlah, kalau sudut kosong iya. Hantunya ngambil meja kali Nil,” celetuk Yuni sambil membuka kemasan keripik di tangannya dengan suara berisik. Gadis itu terus berjalan hingga berdiri di sudut kosong itu. Menggerakkan tangan beberapa kali di udara tepat di depan perutnya untuk merasakan sosok meja yang semula ada di tempat itu. Sekarang dia berjongkok lalu mengerjap. Akan tetapi, tidak ada apa pun di depannya. Lututnya benar-benar lemas sekarang, rasanya dia ingin menjatuhkan pantatnya di lantai saja. Akan tetapi, dia tidak bisa melakukan itu. Melakukan semua itu maka dia harus mengakui pada dunia kalau dia benar-benar kaget saat ini. “Mungkin Gie enggak suka pada meja itu!” katanya akhirnya sebelum berdiri dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi lalu berjalan kembali ke kursinya. “Ya, kamu benar, Nil. Tapi, aku lebih percaya kalau Gie enggak mampu beli meja di tempat barunya jadi nyolong deh.” Nila langsung menatap ke arah pemilik suara dan memelototkan matanya, tanda dia tidak setuju dengan pernyataan rendahan semacam itu. Dani si pemilik celetukan asal itu langsung memalingkan wajah, seolah-olah memahami bahaya bisa datang kapan saja. Rasa-rasanya sekarang Gie berubah dari guru honorer yang gugupan jadi pencuri meja nan pemberani. Dia tidak akan membiarkan semua ini mencemari nama baik pacarnya karena semua itu akan berimbas pada citranya. Bisa-bisa dia akan dicap sebagai pacar cowok yang mencuri meja kantor guru atau lebih parahnya lagi kalau ada spekulasi soal penyakit nilep mendadak menular maka dia bisa kena imbasnya. Semudah pepatah feather of bird flock together katanya orang yang mirip akan sering bersama. Itu masih untung, bagaimana kalau orang bilang seperti pepatah Jawa tumbu pethuk tutup artinya kalau jodoh makanya kelakuannya mirip setidaknya itu kata neneknya kalau memberi nasehat. Maka kalau Gie pencuri meja maka pacarnya bisa jadi pencuri kursi biar pas karena mereka pacaran. Bisa juga kalau ada satu saja kaki meja menghilang maka dirinya bisa tertuduh sebagai pelakunya. Analoginya semacam itu. Huft! Sekarang saja ejekan Dani di masa depan sudah berputar dalam benaknya. Sudah jadi semacam preview masa depan suram. Memikirkannya saja sudah membuatnya kesal. Dia akan mencari Gie nanti sore dan menuntut penjelasan pada pemuda itu tentang semua hal. Tidak ada satu pun orang yang bicara saat Nila membuka tasnya dengan bibir mengerucut ke depan. Dia lalu memelesat keluar dari ruangan itu mengajar kelas paginya. Semoga hari ini berjalan lebih cepat jadi dia bisa datang ke kafe itu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya waktu benar-benar berjalan lambat. Nila menunggu seharian ini dan dia ingat betapa dia memacu motornya dengan kecepatan tinggi untuk mencapai kafe ini secepat yang dia bisa. Nila menarik napas sekali lagi saat memandangi papan nama tempat itu. Jemarinya mengepal di kedua sisi tubuhnya sedetik sebelum tungkainya melangkah. Dia juga membenarkan letak kacamata hitamnya yang sengaja dipakai untuk kamuflase saat menaiki anak tangga pendek di depan kedai. Mungkin memang penyamaran ini agak berlebihan, akan tetapi dia tidak punya pilihan lain. Saat hendak mendorong pintu, tiba-tiba benda itu berayun terbuka dan seseorang muncul dari dalam. Nila mundur ke belakang untuk mempersilahkan orang keluar lebih dulu. “Nila?” Nila buru-buru mendongak saat menemukan suara yang tidak asing tengah menyebut namanya. Bibir pemuda itu menyunggingkan senyuman. Lebih manis dari warna rambut bubble-pink-nya. “Ergys?” “Kamu ngapain di sini?” “Kamu juga ngapain di sini?” katanya balik bertanya. “Aku kan yang nanya duluan. Lagian ngapain pakai kacamata hitam begitu?” Ergys sepertinya cukup keras kepala untuk terus bertanya. Dia bahkan sekarang bergerak menuruni satu anak tangga dan berada tepat di dekat Nila. Mungkin dia tidak ingin menghalangi orang yang keluar masuk kafe. Nila berdehem pelan. “Silau?” “Kamu kan pakai helm, kok bisa silau?” “Kan pakai helm bisa juga silau!” ketus Nila. “Lagian ngapain sih kamu nanya melulu!” “Memangnya enggak boleh nanya sama kamu?” “Bukan begitu.” “Kalau enggak mau ditanyai ya kamu pasang plakat pakai tulisan jangan tanya, cewek galak!” Ergys terkekeh pelan. Nila mendengus sebal. Pemuda ini seperti lintah yang sulit sekali dilepaskan saat menempel di kulit. Gadis itu melirik Ergys yang sekarang berdiri di sampingnya. Ada strap gitar yang bergerak melingkari tubuh depannya. Strap warna ungu dimulai dari bahu hingga terselip di pinggangnya. Selain itu, headstock gitar juga sekarang bertengger di belakang tengkuknya. “Kamu pengamen?” tanya Nila langsung. Meskipun dia sempat ragu, penampilan Ergys cukup rapi. Dia memakai jeans gelap yang pas di kaki dengan atasan kaos putih. Kemeja kotak-kotak biru yang tidak dikancing membalut bagian luar tubuhnya. Meski memang tidak aturan resmi pengamen harus berantakan, akan tetapi image itu yang melekat di dalam pikirannya. “Kalau iya kenapa? Jika bukan kenapa?” Pemuda itu mengangkat satu alisnya. Nila mendengus sekali lagi. “Susah ngomong sama kamu!” katanya sambil berbalik. Langkahnya terhenti saat Ergys menggapai tangannya dan meremas pergelangan tangannya. “Kalau susah artinya kita perlu bicara lebih banyak!” ucapnya dengan tawa lebar. Vannila Spice Latte Melihat tawa lebar pemuda itu membuat Nila yang semula hanya kesal kini bertambah sebal. Sialnya tawa Ergys yang penuh totalitas untuk memperlihatkan gigi gingsulnya diam-diam membuat Nila ingin melirik lebih lama. Gadis itu lalu berdehem pelan setelah menaruh telapak tangannya yang mengepal di depan bibir. “Modusmu basi!” katanya sambil berbalik. Sekarang matanya tertuju pada kamera CCTV yang terpancang di tepian atap teras. Nila menoleh lagi untuk melihat area parkir, seharusnya Gie terekam di dalam kamera kalau memang dia ada di sini dua hari lalu. “Kan modus enggak harus fresh, Nil,” katanya sambil tertawa kecil. “Salah satu yang harus fresh itu ikan dan modusku kurasa tidak se-fishy itu.” Nila memutar bola mata. Sumpah ya! Orang ini pintar sekali memutar kata-kata. Gadis itu mendengus lalu membuang muka. “Urus saja urusanmu, jangan ganggu aku!” ketus Nila sambil berbalik, dia sama sekali tidak ingin diusik oleh pemuda itu. Apalagi sekarang dia menemukan fakta baru, tetapi pemuda berisik ini mengganggu saja sejak tadi. Saat dia hendak mendorong pintu, Ergys sudah melangkah lebih dulu dan membukakan pintu untuknya. Suara lonceng bergema nyaring saat pintu itu mengayun terbuka saat Ergys mendorong permukaannya. “Lepas dulu kacamata hitammu nanti kamu dikira anak alay,” bisiknya nakal. Nila menarik napas lagi lalu menarik kacamata hitamnya. Dia masih ingin menggerutu saat Ergys mengekor di belakangnya. “Memangnya kamu mau ngapain sih pakai dandan aneh begitu? Pacarmu selingkuh di kafe ini?” “Sembarangan!” bentak Nila sebal. Gie tidak akan pernah berpaling darinya, pemuda itu terlalu memujanya dan dirinya memang pantas didamba oleh pria mana pun. “Lalu? Kasih penjelasan yang logis dong!” tuntutnya sambil menjajari langkah Nila. Untung saja kafe itu sepi jadi dia tidak terlalu malu saat ditempeli Ergys seperti sekarang ini. Nila menghentikan langkah lalu menatap pemuda itu lekat-lekat. “Pertama, buat apa aku kasih penjelasan sama kamu. Kedua, aku ke sini buat minum kopi jadi bisa enggak kalau kamu pergi saja, kan enggak ada keperluan!” Ergys mengerjap, keningnya berkerut. Dia sepertinya benar-benar berpikir sekarang. “Oke.” “Good!” katanya sambil melanjutkan langkahnya. Dia bergerak menuju meja terdekat dan duduk di sana. Ergys sendiri sekarang berjalan ke arah kasir, entah apa yang akan dilakukan pemuda itu. Nila masih membolak-balik buku menu yang tersedia di meja, meski dia sudah sering berkunjung ke tempat ini. Rasanya dia belum ingin memesan dan semakin lama mengulur waktu maka dia akan bisa ada di sini lebih lama untuk mengamati. Sekarang matanya menatap sekeliling. Gie meninggalkan motornya di tempat ini sebelum dia menghilang. Bukankah ini aneh? Kenapa dia tiba-tiba saja menghilang? Lebih ganjil lagi kenapa dia meninggalkan motornya di tempat ini, kenapa tidak di kontrakan atau di sekolah atau di rumah pacarnya sekalian? Seolah-olah Gie menghilang sambil meninggalkan petunjuk dan teka-teki untuk dipecahkan, hanya saja Nila sendiri tidak tahu apa. Semua pikiran itu buyar kala seseorang terdengar bergerak mendekat. Nila mendongak saat seseorang menaruh satu gelas kopi di depannya. Matanya memelotot saat Ergys tersenyum. Tatapan berpindah pada gelas latte lalu wajah pemuda itu. “Kamu ngapain ke sini lagi?” ketusnya begitu melihat Ergys kini berdiri tidak jauh dari mejanya dengan nampan di tangan. “Aku ingat-ingat lagi kayaknya aku ada keperluan.” “Hah?” Ergys hanya tersenyum lalu menaruh gelas tinggi di depan Nila. “Vanilla spice latte untuk gadis yang sibuk dan tidak mau diganggu!” “Huh?” Nila menunduk sekarang untuk memandangi bubuk cardamom di atas permukaan whipped cream di tengah permukaan kopi. “Vanilla latte for enjoying the small things in life, Nila!” Ergys kembali tersenyum. Sementara itu pandangan Nila teralih pada sosok pramusaji yang datang mendekat dengan membawa buku di tangan. “Yo, Ergys jangan bilang dia inspirasimu!” Pemuda berseragam cokelat itu menepuk bahu Ergys. “Kamu tahu saja!” “Jadi aku ke meja ini tidak ada gunanya dong kalau cewekmu sudah memesan.” Mendengar kata cewek membuat mata Nila memelotot sekarang. Bagaimana bisa dia menyebutnya sembarangan dengan kata cewek, enak saja! Cewek siapa memangnya? Dia sudah ada yang memiliki, dia milik Gie. “Cewekku pasti butuh kudapan untuk menemani kopinya, coba tanya saja!” Ergys sekarang menekan lengan pemuda itu. “Kutinggal ya, Nil!” Ergys berjalan menjauh sebelum Nila sempat menjawab. Pemuda itu sekarang sudah bergerak ke pintu depan dan memelesat keluar. Nila masih mengikutinya sampai daun pintu bergerak menutup dan hanya meninggalkan suara denting lonceng di atas pintu. “Kak!” Suara pramusaji itu membuat Nila tersentak hingga dia langsung mengarahkan matanya pada pemuda berseragam itu. “Maaf. “Jadi pesan apa jadinya?” “Sebentar,” katanya sambil membalik buku menu lagi, sekarang pikirannya benar-benar kosong. Dia sendiri tidak tahu mau memesan apa untuk menemani kopinya. Nila sekarang mendongak dan matanya menelusuri wajah pemuda itu. “Kamu kenal Ergys? Apa dia sering datang ke kafe ini?” “Ergys?” Sejak kapan Ergys bekerja di kafe ini? Atau apa dia saja yang tidak tahu kalau ada penyanyi berkepala merah jambu yang manggung di sini. “Ya.” “Oh, dia penyanyi di kafe ini. Dia manggung setiap malam, tapi enggak tahu kenapa mendadak siang tadi dia datang.” “Penyanyi?” “Iya, suaranya bagus lho, Kak. Petikan gitarnya juga asik.” “Sejak kapan Ergys mulai kerja di sini?” tanya Nila cepat. Dia benar-benar penasaran dengan sosok Ergys. Rasa-rasanya ada yang salah dan ganjil, tetapi dia sendiri tidak tahu apa. “Sekitar seminggu lalu, Kak.” “Jadi penyanyi baru?” “Iya, dia menggantikan penyanyi lama yang berhenti karena hamil muda.” “Kalau begitu Ergys manggung di sini dua hari lalu?” “Sejak seminggu lalu, setiap tiap hari dia manggung, Kak.” “Jadi dia tahu soal motor yang ditinggal pemiliknya di depan kafe dua hari lalu?” “Kakak jadinya mau pesan apa?” Sepertinya pemuda itu tidak ingin membahas insiden motor jadi dia langsung mengalihkan pembicaraan. Ini benar-benar mencurigakan. Sebenarnya apa yang terjadi dan kenapa? “Oh!” Nila mengerutkan kening dan jemarinya menekuk menahan sebal saat pertanyaannya diabaikan. “Croissant saja!” “Ini saja, Kak?” “Iya.” “Baiklah, tunggu sebentar ya, Kak. Pesanannya akan segera saya antar.” “Iya.” Beberapa menit setelahnya pramusaji itu kembali datang dengan piring berisi dua buah croissant. Senyuman tidak pernah lepas dari bibirnya, meski Nila bisa melihat kalau sorot matanya mulai menyiratkan kewaspadaan. Sorot mata hati-hati setelah seseorang keceplosan dan tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Sorot mata semacam itu. “Ngomong-ngomong apa pelanggan boleh melihat rekaman CCTV di kafe ini?” tanyanya saat pemuda itu menaruh piring kue itu di meja tepat di depan Nila. “Kalau itu saya kurang tahu Kak, lebih baik tanya ke pemiliknya saja!” “Kalau pemiliknya apa ada di sini sekarang.” “Enggak ada, Kak. Lagi ke Singapura.” “Kalau aku minta tolong kamu tidak bisa?” “Tidak bisa, Kak,” sahutnya pendek dna dia benar-benar terlihat enggan menjawab. “Kan bosmu lagi di Singapura, gimana kalau kamu tunjukan rekaman dua hari lalu sama aku, bentar saja!” “Saya permisi ya, Kak. Kalau ada pesanan lain silahkan kembali memesan.” “Baik, terima kasih.” “Sama-sama, Kak.” Nila memandangi sekeliling. Ada CCTV kalau begitu kenapa rekaman itu tidak diserahkan ke kantor polisi. Atau sudah diserahkan, tetapi belum ada tindak lanjut. Dia hanya ingin melihat rekaman itu saja, tetapi kenapa rasanya seperti dipersulit. Dia bisa paham kalau pramusaji itu tidak mau ambil resiko, hanya fakta soal bosnya mendadak ke Singapura, seperti alasan yang dibuat-buat. Nila memiringkan kepala sambil menusuk punggung croissant itu dengan ujung garpu. Kalau dipikirkan kembali rasanya juga aneh. Ergys mendadak jadi penghuni baru di kontrakan Gie, tepat sehari setelah Gie menghilang. Dia juga bertemu pemuda itu secara tidak sengaja seolah-olah dia memang membuntutinya. Lalu, lokasi terakhir menghilangnya Gie juga di kafe ini dan Ergys bekerja sejak seminggu belakangan. Saat dia datang sore ini, Ergys juga seperti tahu. Kata karyawan tadi Ergys mendadak datang entah untuk urusan apa. Nila menusuk roti itu semakin dalam, entah bagaimana sepertinya Ergys ini berkaitan dengan Gie. Sama seperti namanya, Nila dan Ergys yang mirip sungai Tigris dan Sungai Nil. Kemungkinan bisa jadi seperti itu. Hubungan Ergys dengan semua ini tampak samar seperti sungai Tigris dan sungai Nil yang dipisahkan oleh padang pasir Syiria. Padahal dua sungai ini sebenarnya ada di dataran yang sama. Jadi kalau mau ditarik analogi maka dia hanya harus menghilangkan padang pasir ini untuk mengamati aliran sungai Tigris. Nila meremas gagang garpu lalu mengangkatnya hingga kue kecokelatan itu juga ikut terangkat. Ya, dia hanya perlu menghilangkan penghalang agar bisa melihat lebih jelas. Untuk mencari perihal menghilangnya Gie maka dia harus mendekati Ergys. Bisa jadi pemuda itu menyimpan semua jawaban yang dicarinya selama ini. Vanilla latte for enjoying the small things in life katanya. Mungkin ada jawaban di dalam kata-kata itu, dia yakin. Ergys dan Gelas Kaca Sepeninggal Ergys, Nila jadi memikirkan banyak hal. Hal yang dia tahu dan tidak dia tahu. Ada satu dari sekian banyak hal yang Nila tahu—dia memang banyak tahu—yaitu dia cantik. Selain itu, dia juga menarik dan tahu cara mendandani dirinya sendiri. Nila juga merasa kalau dia pintar. Wanita dengan raga cantik butuh spare part yang sama cakepnya agar cantik luar dalam. Dalam hal ini, dia yakin ribuan persen kalau otaknya juga seksi makanya banyak orang tergila-gila padanya. Narsis? Bukanlah, dia bukan salah satu pengikut Narcissus yang mati lalu berubah jadi bunga karena jatuh cinta pada pantulan wajahnya sendiri di permukaan danau. Nila hanya tahu kalau dirinya menarik dan tidak ada salahnya bangga dengan kelebihan itu. Lagi pula dia tidak memakai kelebihannya untuk menjerat orang lain. Dia hanya puas memandangi dirinya sendiri dan senang karena Tuhan memberikan begitu banyak. Tuhan jelas sayang sekali padanya. Nila menatap pantulan wajahnya di dalam cermin kecil yang dibawanya. Tadi dia memulas bibir dengan lipstick warna peach untuk memberikan kesan natural. Memakai blush on di atas foundation lalu melapisinya dengan bedak di atasnya agar pipinya tidak terkesan habis ditonjok. Tidak lupa memulaskan maskara agar bulu matanya yang tebal semakin jelas terlihat. Dia memang tidak pernah memakai bulu mata palsu karena takut bulu mata aslinya rontok kalau terlalu sering pakai atau kalau sedang sial mungkin ikut terlepas saat yang palsu dilepaskan. Nila memang senang memakai make up, akan tetapi tidak suka yang terlalu tebal. Gadis itu berdeham pelan lalu memasukkan cerminnya kembali ke dalam tas. Matanya menatap sekeliling sambil menyesap kopi di dalam gelasnya. Kafe ini makin ramai saat malam mulai turun. Namun, Ergys belum muncul. Dia sengaja datang malam Minggu begini untuk menemui pemuda itu setelah memutuskan kalau untuk mencari Gie maka Ergys adalah langkah awal. Mungkin semua itu hanya pikiran liar, tetapi setidaknya dia punya satu hal yang jadi titik awal. Sialnya, panggung di depan sana masih kosong, pemuda itu bahkan belum menampakkan batang hidungnya. Gadis itu terkesiap saat pintu depan terbuka. Jantungnya berdebar keras saat pemuda yang ditunggunya sejak tadi berjalan masuk. Rambut pink-nya tampak lebih gelap tertimpa cahaya lampu. Gitar besar menggantung di punggungnya dan dia melangkah lurus menuju panggung. Nila memerhatikan kakinya yang jenjang kini terbalut celana jeans hitam yang sobek di beberapa bagian. Bagian atas tubuhnya terbalut jaket kulit warna ebony yang membuatnya tampak menawan. Nila berdeham, nyaris tersedak kopi karena ujung sedotan masih ada di dalam mulutnya. Dia buru-buru menaruh sedotan dan meraih satu lembar tisu. Mengusapkan tisu itu dengan cepat ke permukaan bibir. Untung saja, pasti tidak akan lucu kalau dia tersedak kopi saat sedang menyamar. Tuhan masih sayang padanya karena check sound berlangsung tidak lama setelahnya. Itu artinya Ergys atau siapa pun tidak akan ada yang menaruh perhatian padanya dan suara aneh yang ditimbulkannya barusan. Dia tidak bisa membayangkan kalau sampai image-nya yang sempurna ini mendadak hancur. Lampu di dalam kafe mulai meredup hingga sekarang perhatian terfokus sepenuhnya pada panggung kecil di tengah ruangan. Ergys bergerak ke atas dan membanting pantat di atas kursi panjang. Nila meneguk ludah kala melihat kaki jenjangnya yang menjuntai ke bawah. Ergys menunduk dan menaruh tangannya pada permukaan gitar. Kepalanya menunduk, entah sedang memanjatkan doa atau mengingat lirik. Namun, Nila akui kalau Ergys benar-benar seksi. Matanya tidak bisa lepas dari sosok pemuda yang kini sedang memetik dawai gitarnya dengan lincah itu. Suaranya juga terdengar merdu, Nila bahkan sampai menahan napas kala dia mencapai nada-nada tinggi. Hal yang sulit dipercaya kalau dia bisa menyanyi sebaik itu mengingat pemuda itu membeli gorengan beberapa hari lalu. Bukankah penyanyi harus menjaga tenggorokannya tetap prima? Lamunan Nila buyar kala tepukan meriah terdengar memenuhi kafe. Rupanya Ergys sudah menyelesaikan satu lagu. Pemuda itu sedang berbicara sekarang, apakah ada pengunjung yang akan meminta lagu secara khusus dan dia akan senang hati menyanyikannya. Boleh juga katanya kalau mau berduet. “Sok ganteng!” dengusnya. Siapa pula pengunjung yang mau berduet? Namun, suara teriakan dari meja sebelah membuatnya berpaling. Beberapa gadis duduk di sana dan benar-benar berisik. Salah satu di antaranya berdiri dengan sok malu-malu dan berjalan ke depan kala Ergys menyambut. Nila bisa mengatakan kalau gadis itu sok malu-malu adalah dia terlihat jelas sangat ingin naik ke atas panggung, hanya saja saat teman-temannya menggoda hingga dia mungkin harus banget mulai berakting. Padahal matanya jelas-jelas sering melirik Ergys. Kalau memang tidak mau maka dia akan duduk saja, marah atau pergi dari tempat itu. Kalau melihat kelakuan semacam ini dari sesama jenisnya, Nila hanya bisa menggeleng beberapa kali. Kalau mau kok pakai malu-malu segala? Gadis itu maju ke depan, memperkenalkan diri. Nila memandangi mereka kala gadis itu menjelaskan lagu yang ingin dinyanyikannya bersama Ergys. Pemuda itu tersenyum. “A whole new world?” tanya Ergys. “Iya,” katanya menimpali. Matanya tidak lepas dari wajah pemuda itu. Dari jarak sekian meter, dia bersumpah bisa melihat binar di wajah gadis itu. “Baiklah, lagu selanjutnya A whole new world!” Suara Ergys disambut dengan seruan dan tepukan tangan. Sementara Nila kembali mendengus. Akan ada original soundtrack Aladdin tapi bukan dengan suara Zayn Malik dan Zhavia Ward, akan tetapi suara Ergys dan gadis random entah siapa. Kalau bukan tujuannya datang untuk menyelidiki pemuda itu maka dia sudah pergi dari tadi, sayangnya dia harus mendapatkan sesuatu sebelum pergi. Sesuatu yang mungkin akan menjawab teka-teki soal menghilangnya Gie. Nila menikmati pertunjukan dengan setengah hati. Meski suara Ergys dan penampilannya memang enak untuk dinikmati, hanya saja Nila menganggapnya sebagai godaan. Dia harus fokus pada tujuannya, untuk itu dia beranjak berdiri dan menuju kasir ketika Ergys menegaskan kalau dia hanya tinggal menyanyikan beberapa lagu lagi sebelum pertunjukan berakhir. “Meja nomor tujuh, Mbak,” katanya sambil mengeluarkan dompet. “Sebentar ya!” Wanita itu terlihat sedang mencari data pesanan. “Seratus lima belas ribu, Mbak.” Nila merogoh dompetnya dan mengulurkan uang pas pada wanita itu. “Ini, Mbak.” “Uangnya pas ya!” ucap wanita itu sambil mengetik di komputernya. Tidak lama setelahnya dia mengulurkan kertas berisi bukti pembayaran pada Nila. “Makanan saya belum habis dan saya masih ingin menonton pertunjukan, tidak apa-apa?” “Iya, silahkan!” sahutnya sambil memasang senyuman. “Terima kasih.” Nila mengangguk lalu tersenyum sebelum kembali ke mejanya. Mencoba untuk menikmati lagi pertunjukan yang tersaji di atas panggung. Ergys menutup pertunjukannya kala jarum jam menunjuk angka sembilan. Sekarang penyanyi lain bergerak ke atas panggung untuk menggantikannya. Tidak lama setelah itu, Ergys merapikan gitarnya dan memasukkannya ke dalam tas. Pemuda itu lalu bergerak ke menuju pintu samping. Nila buru-buru berdiri, dia harus mengikuti pemuda itu dan tidak boleh kehilangan jejak. Setahunya pintu samping itu juga berujung di luar kafe. Lebih tepatnya berada di area samping kafe, jaraknya tidak begitu jauh dari teras depan. Tangannya mendorong pintu dan dia langsung memelesat ke teras. Setidaknya dia bersyukur sudah membayar tagihan sejak tadi, jadi sekarang dia bisa keluar secepatnya dan memangkas kemungkinan kehilangan jejak pemuda itu. Dadanya bergerak naik turun saat tungkainya memelesat cepat. Ia bisa menarik napas lega kala menemukan sosok Ergys berjalan ke samping gedung. Nila terus mengikuti dan mencoba untuk tidak kehilangan jejaknya. Ergys sekarang menuju rumah kecil yang ada di belakang gedung. Saat dia menghilang ke balik pintu, Nila mengendap mendekat. Mungkinkah dia menculik Gie dan menyekapnya di sana? Ataukah Gie sudah dibunuh dan mayatnya ada di sana tanpa seorang pun tahu? Ludah besar-besar menuruni tenggorokan kala Nila memikirkan kemungkinan ini. Entah apa yang akan dilakukannya kalau sampai teorinya itu benar. “Tenang, Nila, tenang! Semua itu hanya asumsimu saja!” gumamnya sambil mencoba menenangkan debaran jantungnya. Nila membasahi bibirnya dengan ujung lidah kala mendekati jendela besar yang ada di bagian depan rumah itu. Jendela itu tidak tertutup korden dan terlihat terang dari luar. Dia melongokkan kepala ke atas bagian kaca dan mencoba mengamati bagian dalam. Awalnya dia menyapu ruangan itu dan menemukan rak-rak kayu berisi barang-barang yang tertata rapi. Ada setoples-setoples berisi bubuk hitam—mungkin kopi di salah satu rak kayu yang menempel di tembok. Sedangkan di lantai, beberapa karung tepung berdiri bercampur dengan karung gula. Beberapa biji kopi juga berjatuhan di lantai. Nila langsung menunduk kala suara langkah kaki terdengar mendekat. bersiap berlari kalau pintu di sampingnya terbuka sewaktu-waktu. Namun, semua ketakutannya tidak berubah jadi nyata. Ketika suasana kembali tenang dan pintu di dekatnya masih menutup rapat, Nila kembali mengangkat kepala dan mencoba mengintip lagi. Dia nyaris saja berteriak kala sekarang melihat sosok Ergys di dalam ruangan. Nila buru-buru menutup mulutnya. Sepertinya Ergys tidak menyadari kehadirannya karena pemuda itu kini mengamati deretan gelas yang ada di salah satu rak. Pemuda itu menurunkan tas gitarnya dari punggung dan menaruhnya di lantai. Setelahnya, dia berjongkok sambil membuka tas itu. Kening Nila berkerut kala mengamati Ergys yang kini mengeluarkan gitar dari dalam tasnya. Ergys kembali berdiri dan menatap deretan gelas yang berjajar rapi di rak itu. Ergys lalu menoleh ke sekeliling lalu mengulurkan tangan. Nila menutup mulut kala melihat Ergys meraih dua buah gelas kosong ukuran sedang dan memasukkan benda itu ke dalam tas gitar miliknya. Aghast   Mencuri atau apa? Nila memiringkan kepala mencoba mencerna hal yang dilihatnya sekarang. Sepertinya Ergys bukan pegawai yang akan masuk gudang kafe ini, dia mungkin seniman yang mereka sewa. Kalau pun dia karyawan yang punya akses masuk gudang tetap saja aneh kalau memasukkan gelas ke dalam tas gitar. Kalau memang perlu gelas untuk dibawa keluar, kenapa dimasukkan ke dalam tas? Bukankah tindakannya itu meningkatkan resiko kerusakan pada gelas? Kalau gelas itu rusak maka tidak akan ada gunanya lagi. Jika tidak ada gunanya lagi maka untuk apa diambil? Namun, Nila belum sempat mendapatkan jawaban. Suara orang-orang yang bercakap-cakap terdengar dari kejauhan. Dia buru-buru mengendap menjauh—dalam posisi berjongkok agar tidak ketahuan Ergys. Baru setelah merasa aman dia berdiri dan berjalan menjauh. Dia menoleh sekali lagi dan melihat pintu gudang terbuka. Ergys keluar dengan menenteng gitar, sementara tasnya tergantung di punggung. Pemuda itu tampak tenang setelah melakukan perbuatan ganjil seperti itu. Benar-benar aneh.... Veiddur Af Vörnum Nila bangun dengan mata perih dan wajah sayu. Lingkaran hitam di bawah mata semakin gelap saja, mungkin hanya perasaannya atau entahlah. Gadis itu mendesah lagi. Kalau saja pagi ini adalah hari biasa maka dia akan berteriak di depan cermin. Namun, kejadian kemarin sudah cukup menyita energinya. Bicara saja dia malas apalagi harus berteriak-teriak histeris. Nila mendesah. Dia bahkan tidak bisa memejamkan mata satu detik pun semalam. Semua asumsi yang dia pikirkan benar-benar menghantuinya. Kalau saja hari ini dia bisa bolos kerja maka dia akan melakukannya dan menghabiskan satu hari di bawah selimut tanpa melakukan apa pun. Sayangnya dia harus bekerja hari ini. Sebelum pergi dia juga harus menghadapi orang tuanya di meja makan. “Gie enggak jemput, Nil?” Nila yang baru saja menyuapkan satu sendok nasi nyaris tersedak. Hal yang paling dihindarinya akhirnya ditanyakan juga setelah beberapa menit kebisuan di meja makan. “Bi—biasanya juga Nila sendiri, Ma,” katanya setelah berhasil menelan... Dickering   Nila meneguk ludah. Mungkin dia harus berkata jujur sekarang. Kejujuran bisa jadi akan menolongnya sekarang. Meski dia tidak sepenuhnya yakin dengan hasil yang akan didapatkannya kalau mengatakan yang sebenarnya. Lagi pula, kalau dia memilih untuk berbohong maka hanya akan membuka pintu kebohongan berikutnya. “Ergys!” ucap Nila setelah menelan keraguannya dalam-dalam. “Ya?” “Kamu tahu kan kalau kontrakan ini awalnya ditinggali oleh temanku, jadi aku datang bukan karena mengikutimu atau apa. Jadi—” “Aku tahu,” potong Ergys cepat. Tidak ada keraguan dalam suaranya. “Oh—iya—oh.” Nila menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena kebingungan mencari tempat untuk menyalurkan kekagetannya sekarang.  â€œJangan melongo begitu, kan kamu cerita terakhir kali juga kunci ini!” Ergys menggoyangkan kunci di tangannya. Nila benar-benar ingin memukul kepalanya saat ini juga. Kenapa dia sebodoh ini sih? Jelas saja Ergys tahu kalau dia sendiri berulang kali menyebutkannya. Bisa juga pemuda ini mendapatkan informasi dari Ibu kos juga. “Temanku itu menghilang.” “Maksudnya menghilang?”... Theory Kesepakatan yang diajukannya kemarin serta tawaran Ergys untuk membantu mungkin tidak sepenuhnya konyol. Setidaknya dengan begitu dia mendapatkan akses untuk masuk ke kontrakan itu tanpa kecurigaan sama sekali. Dia bisa melihat-lihat, mencari petunjuk dan mengamati pemuda itu dalam jarak dekat. Meski kalau dipikir lagi, bisa jadi Ergys yang kini mengamatinya dan berada dalam jarak dekat. Semacam plot twist terselubung dalam novel. “Kamu sudah mencoba memasang iklan orang hilang di sosial media. Twitter misalnya, please do your magic or something?” Nila tersentak kala suara Ergys memecah keheningan. Pikirannya ke mana-mana sejak tadi. Gadis itu menggeleng. “Belum, aku bukan keluarganya jadi rasanya aneh kalau harus memasang iklan orang hilang.” “Nah, kalau temanmu itu sudah menghilang selama satu minggu bukankah harusnya keluarganya sudah mulai mencari? Atau seenggaknya mereka menghubungi kamu, kan?” sambung pemuda itu cepat.  â€œAku enggak kenal orang tuanya, setahuku mereka tidak tinggal di kota ini,” sahut Nila cepat. “Kamu enggak... Alat Cukur Wanita   Sudah lima hari Gie menghilang. Pencariannya bersama Ergys tidak membuahkan hasil apa pun. Nila tidak terlalu kaget karena dia sudah memperkirakan semua ini sejak awal. Ergys tidak mungkin tulus membantunya. Kalau pemuda itu tulus membantu dan pada akhirnya mereka menghasilkan sesuatu maka hasilnya agak aneh. Tidak mungkin pelaku akan membuka sendiri kejahatan yang pernah dilakukannya. Pelaku menjebak dirinya sendiri adalah suatu hal yang mustahil. Kerjasama ini bisa jadi pisau bermata dua, selain bisa menjerat Ergis, dia pun jatuhnya memperjelas posisinya yang kini sedang diam-diam mengamati serta menyelidiki Ergys. Namun, Nila bukannya bodoh dengan tetap memilih kerjasama meski dengan resiko sebesar itu.  Sebanyak kemungkinan dia membocorkan soal tujuannya maka sebesar itu pula resiko yang ditanggung Ergys. Dalam pengamatan jarak dekat sesempurna apa pun seseorang pasti akan meninggalkan jejak. Alibi berlapis yang disusun pun akan jadi hal mencurigakan kalau dia tidak konsisten menjelaskan soal dirinya dalam suatu kejadian. Jadi meski Ergys... Achterdocht Belum terlalu terlambat untuk mengejar Ergys—seharusnya—karena Nila langsung ke kasir dan membayar barang belanjaannya. Tidak ada antrean di depannya dan petugas kasir juga cekatan dalam bekerja jadi dia tidak perlu menunggu lama. Namun, Ergys sudah menghilang saat dia sampai di luar minimarket. Dia mencoba mencari sudut terdekat, mungkin saja motornya masih terlihat. Akan tetapi, pemuda sudah benar-benar hilang entah ke mana. Nila hanya bisa mengetatkan pegangan pada kantong tas belanjaannya sambil menahan sebal. Dia kehilangan salah satu jejak penting yang mungkin bisa jadi bukti krusial. Gadis itu memilih untuk langsung pulang dan melanjutkan pencariannya sebelum memutuskan untuk keluar dan membeli yogurt tadi. Sesampainya di rumah, Nila langsung membanting pantat di atas kursi—depan meja belajarnya—sambil menaruh botol minuman yang tadi dibelinya. Sekarang dia mulai menekan tombol power hingga layar komputernya pelan-pelan menyala. Sambil menunggu komputernya siap dioperasikan, Nila melirik kartu mahasiswa milik Ergys yang terbawa di kantong jaketnya. Di dalam... Neočekávané Nila pernah menonton drama dan dalam salah satu adegannya dijelaskan soal kegiatan ilegal yang dilakukan pemakai obat terlarang dan kurirnya. Awalnya dia tidak paham, alasan salah satu tokoh menaruh uang di dalam bak sampah lalu kembali setelahnya. Akan tetapi, dia pernah membaca di salah satu website yang membahas soal berita salah satu penyanyi yang memakai narkoba, salah satu user di situs itu meninggalkan komentar menggelitik yang menjelaskan kalau pembelian obat terlarang tidak dilakukan secara terang-terangan. Katanya pembeli akan menaruh bundelan uang di dalam tempat sampah sesuai perjanjian. Kurir akan mengambil uang itu dan menukarnya dengan barang terlarang yang dipesan. Dengan kata lain tidak pernah ada interaksi antara pengedar, kurir juga pemakai. Katanya juga hal ini yang menyebabkan polisi kesulitan melacak transaksi obat terlarang. Skenario perdagangan gelap ini pasti juga berlaku untuk transaksi serupa, seperti perdagangan tubuh manusia. Awalnya dia tidak berpikir sampai sejauh ini. Akan tetapi, jika Ergys memang menculik... Fainted Apabila ada adegan drama di mana pemerannya sigap untuk menangkap tokoh lain yang roboh mendadak maka yakinlah semua itu hanya ada di layar kaca. Pada kenyataannya ketika Ergys roboh, jangankan menangkap kepala pemuda itu agar tidak membentur tanah dan meminimalisir kemungkinan gegar otak, Nila hanya mampu mengeluarkan pekikan tidak jelas selama kejadian. Belum lagi saat melihat Ergys terkapar yang terbayang adalah soal kasus keracunan kopi sianida yang dulu sempat ramai diperbincangkan. Sialnya hal itu yang terjadi sekarang karena Ergys roboh di hadapannya dengan mulut penuh muntahan. Jadi sekarang pikiran Nila mulai dipenuhi dengan prediksi kejadian buruk bertambah dengan spekulasi dan teori yang memungkinkan. “Ergys, kamu enggak apa-apa?” ulangnya sambil berjongkok di samping Ergys. Nila  menarik napas karena sedang berusaha setengah mati untuk menghilangkan bayangan soal kopi sianida yang sejak tadi bermain di dalam kepalanya. Dia juga memikirkan banyak sebakb lain karena tidak mungkin pemuda yang tidak apa-apa akan roboh begitu... Menjaga Orang Asing Tidak ada denting jarum jam yang berbunyi untuk memastikan waktu sedang berjalan dan malam bergerak semakin larut. Sayangnya tidak ada suara apa pun di ruangan itu, selain tetesan cairan infus yang bergerak turun satu demi satu. Suara yang membuat Nila lebih gelisah dari sebelumnya. Baik Ardi ataupun Edwin yang berjanji akan datang tidak menampakkan batang hidungnya sampai tengah malam, jadi Nila menyimpulkan kalau mereka tidak akan datang malam ini. Gadis itu menggeser posisi duduknya dan mencoba mengabaikan suara tetesan itu. Dia benar-benar gelisah. Kegelisahannya muncul dan membesar bukan karena janji yang gagal terpenuhi, akan tetapi kesendirian bercampur kekhawatiran menggumpal jadi satu sekarang. Nila tentu saja tidak berharap Ergys akan terbangun dan menemaninya sepanjang malam. Pemuda itu sedang sakit jadi perlu istirahat. Gadis itu mendesah lalu menatap lagi layar ponselnya. Sekarang bahkan sudah lewat tengah malam. Dia memutuskan untuk tidak pulang sejak menunggu Edwin dan Ardi yang tidak kunjung datang. Lagi... Mood Swing   “Lalu?” Ergys memiringkan kepala lalu bergerak mendekat. Suara derit tiang infus yang digeser membuat Nila mendadak merinding. Gadis itu terus bergerak mundur dengan pikiran mendadak kosong. Dia baru berhenti kala punggungnya membentur tembok dan Ergys kini berdiri di depannya. Mata pemuda itu menatapnya tanpa berkedip. Perubahan sikap Ergys membuatnya benar-benar bingung sekarang. Sejujurnya Nila tidak tahu harus mengatakan apa atau bersikap seperti bagaimana untuk menghadapi perubahan sikap dadakan itu. Pemuda itu awalnya terlihat kaget dan kebingungan mencari alasan mendadak berubah jadi sok lugu beberapa detik setelahnya. Sekian menit berikutnya pemuda itu menyerang balik. Mood swing-nya luar biasa cepat hingga sulit dipahami. Jadi satu hal yang membuatnya curiga akan perubahan sikap itu adalah kemungkinan kalau Ergys sudah tahu soal barangnya yang dipungut olehnya kemarin. Teori ini memiliki presentase lebih besar karena pemuda itu tertangkap basah sedang membuka tasnya.  â€œAku enggak suka kamu pegang-pegang barangku,” kata Nila akhirnya. “Oh, oke,”... Bekal Kata dokter tadi, Ergys harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit karena keracunan makanan dan kelelahan. Nila sendiri kebingungan menjelaskan saat dia pulang setelah menginap semalam di rumah sakit. Meski orang tuanya tidak marah, akan tetapi dia merasa harus menjelaskan semuanya. Ya, tidak semuanya sih. Dia hanya mengatakan teman yang hidup sendirian masuk rumah sakit karena keracunan makanan jadi mamanya malah kasihan dan memberikan banyak masakan untuk dimakan. “Ini mamamu ya masak, Nil?” tanya Ergys saat Nila membuka wadah bekal makanan yang tadi dibawakan oleh mamanya. “Iya.” “Buatku?” tanyanya lagi. “Kalau kamu mau,” sahut Nila sambil mengulurkan sendok pada Ergys. “Beneran?” “Kalau mau dihitung hutang juga boleh sih,” tukas Nila sambil menusukkan sedotan ke dalam teh kemasan yang tadi dibelinya di warung depan rumah sakit. “Boleh kok,” sahut pemuda itu sambil membenamkan sendok ke dalam telur orak-arik. “Bercanda kali, masa pemberian dihitung hutang sih!” sahut Nila setelah menyesap teh... Box Full of Letters Nila menarik napas lalu menatap kunci di tangannya. Masih tidak percaya kalau akhirnya dia dengan mudah mendapatkan kunci ini dan tentu saja dia sudah berjaga-jaga dengan membuat salinannya di perjalanan tadi. Padahal beberapa waktu lalu dia sempat tidak yakin mendapatkan akses ke rumah ini setelah Gie menghilang dan barang-barangnya diambil. Namun, tadi Ergys menyerahkan kunci kontrakan padanya setelah Nila mengatakan kalau pemuda itu membutuhkan beberapa lembar pakaian ganti jika harus ada di rumah sakit. Pemuda itu hanya berpesan untuk mengambilkan pakaian luar saja, untuk pakaian dalam dia bisa meminta tolong untuk dibelikan dulu oleh karyawan di kafe. Hal yang membuat Nila meragukan keputusan ini karena saat Ergys sakit saja mereka langsung pulang dan tidak kembali lagi jadi mana mungkin karyawan-karyawan itu akan datang untuk sekedar membawakan pakaian dalam. Bisa jadi Ergys hanya malu dan berencana tidak akan berganti pakaian dalam selama menginap di rumah sakit, tentu saja teori ini membuat... Rasa Bersalah Jantungnya masih berdebar-debar kala amplop terakhir kini meluncur turun dan jatuh di tangan Nila. Amplop warna cokelat berukuran sedang yang biasanya digunakan untuk mengirim surat kini ada di tangannya. Dia menatap permukaan amplop, tidak ada nama pengirim atau penerimanya. Mungkin ini surat yang belum jadi dikirimkan. Nila langsung berjongkok dan memungut puluhan amplop yang kini berserakan di lantai. Walaupun niat awalnya adalah menggeledah tempat ini saat penghuninya tidak ada, akan tetapi tetap saja muncul rasa bersalah kala dia membuat barang pribadi milik pemuda itu rusak. Ya, meski dia tidak sengaja melakukannya. Setelah semua amplop itu masuk ke dalam kotak, dia menaruh tutupnya. Nila kemudian menarik kursi di dekat meja belajar mendekat dan menggunakannya sebagai pijakan agar bisa mengembalikan kotak itu di tempatnya semula. Setelahnya, dia menaruh koper kembali ke depan kotak. Nila kemudian terduduk di kursi, jantungnya masih berdebar-debar meski tidak ada siapa pun yang memergoki tindakannya sekarang. Untung saja... Warning   Nila ingat pernah membaca soal Leonarda Cianciulli ini saat mereka membahas kasus menghilangnya Gie. Namun, dia sendiri tidak pernah terpikirkan kalau kasus ini berhubungan dengan menghilangnya pemuda itu. Dia menonton channel video yang menjelaskan soal ini di ponsel Ergys sampai habis. Dia juga mencari video lain yang mengulik hal serupa baik. Belum cukup sampai di situ, Nila lalu membuka kembali artikel yang menceritakan soal pembunuh berantai yang dilakukan oleh ibu rumah tangga ini. Ada beberapa poin yang bisa digarisbawahi dari kasus pembunuhan Cianciulli ini. Hal pertama, wanita itu mempercayai takhayul kalau dengan mengorbankan nyawa seseorang maka dia bisa menyelamatkan anaknya. Nila melirik Ergys yang kini tertidur lelap. Sepertinya soal takhayul ini tidak masuk akal untuk terjadi di era sekarang. Meski begitu, Nila masih menandainya sebagai kemungkinan. Bagian kedua, wanita itu sangat pintar menyembunyikan aksinya. Wanita itu tidak segan mengubah jasad korbannya jadi kue dan sabun lalu dibagikan pada tetangga.... Caught Red-Handed Ergys mendekam di rumah sakit sampai hari ini dan genap dua hari menikmati cairan infus secara intens. Rencananya pemuda itu akan pulang nanti sore. Ergys mengatakan kalau Nila tidak perlu repot-repot menjemput, akan tetapi pemuda itu menegaskan kalau biaya rumah sakit tetap ditanggung oleh Nila dulu. Obrolan antara dirinya dirinya dan Ergys entah langsung bertatap muka, via pesan pendek atau telepon membuat hubungan mereka berubah banyak. Dari orang asing yang cukup saking kenal, menjadi pengutang dan terhutang. Bukan jenis hubungan normal yang dilakukan oleh mahasiswa yang masih aktif dan guru SMA. Hanya saja, Nila juga sama sekali tidak bisa memikirkan opsi hubungan lain yang lebih baik dari itu. Ngomong-ngomong soal Ergys yang pulang sore nanti, Nila akhirnya memutuskan sesuatu yang besar. Hari ini dia akan memeriksa kontrakan pemuda itu lagi. Meski sama sekali tidak bisa memperkirakan nasib Gie, akan tetapi membuang lebih banyak waktu pasti tidak akan baik juga apalagi... Undangan Nila melirik jam dinding, sudah lewat sekitar tiga menit dari jam seharusnya dia masuk ke kelas. Rekan-rekannya yang mengisi kelas sudah pergi dari tadi. Namun, pikirannya masih melayang pada kejadian di rumah Ergys kemarin. Semua ini memang salahnya jadi wajar saja kalau Ergys marah padanya. Hanya saja, dia masih menimbang soal permintaan maaf pada pemuda itu. Sejujurnya dia masih belum merasa kalau dirinya benar-benar bersalah meski telah menerobos ke rumah pemuda itu. Mungkin orang lain akan mengatainya tidak tahu malu, akan tetapi masuk ke rumah Ergys adalah bentuk usaha untuk mengungkap kejahatan. Bukankah aparat hukum juga diberikan kekebasan saat menyelidiki kejahatannya? Oke, pembelaan ini terdengar sangat memaksa. Hanya saja, Nila tidak punya hal lain bisa digunakan untuk membela tindakannya di hadapan hati nuraninya sendiri. Bisikan di lubuk hatinya yang terdalam memintanya untuk meminta maaf. Pertentangan pengambilan keputusan ini membuatnya sulit memejamkan mata semalam. Namun, kalau dipikir ulang meminta maaf ini... Shock Undangan itu masih ada di tangan Nila. Plastiknya bahkan belum dibuka sejak diserahkan Vita beberapa menit lalu. Namun, dia tahu kalaupun dia berdoa panjang-panjang tetap tidak akan mampu mengubah pengirim undangan itu. Menambahkan namanya di samping Gie atau menghapus wanita yang bersama pemuda itu. Tidak pula menuliskan namanya sendiri agar muncul di kertas undangan. Tidak mungkin juga semua doanya akan memutar waktu atau sejenisnya hingga undangan di tangannya jadi enggak pernah ada. Nila tahu semua itu, hanya saja dia benar-benar masih berharap kalau Tuhan akan mengabulkan satu saja doanya, yang manapun itu. “Kamu enggak apa-apa kan, Nil?” Saat mendengar pertanyaan Vita yang dibarengi dengan tepukan di bahunya, Nila langsung mendongak. Nila mengganggguk lalu mengulum senyuman. “Aku enggak apa-apa.” “Serius?” Nila mengangguk lagi. Lidahnya terasa kelu hingga dia tidak bisa mengatakan apa pun sebagai jawaban. “Apa kamu mau kutemenin ke mana gitu?” tawar Vita lagi. Dari nada suaranya, dia terdengar bersalah.... Kecerobohan Nila menarik napas lalu menatap langit yang mulai gelap. Kakinya masih terjulur di trotoar. Entah sudah berapa lama dia duduk di pinggir jalan tanpa melakukan apa pun. Dia melirik pemuda yang kini berbicara dengan beberapa orang. Orang-orang itu terdengar marah sementara pemuda itu terlihat mencoba menenangkan. Namun, Nila memilih untuk tidak mendengarkan lebih lanjut dan memilih untuk menatap kendaraan yang melintas di depannya. Meski ingin segera pulang, akan tetapi dia tidak melakukannya karena dia harus bertanggung jawab pada kecerobohannya. Entah bagaimana kejadiannya, motornya menabrak mobil di depannya. Tentu saja pemilik mobil tidak terima dan menuntut ganti rugi. Nila sendiri tidak dalam kondisi yang bisa bernegosiasi atau membicarakan apa pun sekarang. Pikirannya penuh dan dia hanya ingin hari ini cepat-cepat berakhir.  Hari ini memang hari buruk. Setelah tadi menuangkan es teh ke dalam mangkok bakso, salah masuk kelas saat hendak mengajar, salah menaiki motor orang lain sampai menabrak mobil ketika di jalan.... Hutang Pagi datang terlalu awal, rasanya Nila masih ingin bergulung di bawah selimut. Akan tetapi, dia harus bangun dan berangkat bekerja. Dia melirik ponselnya dan menariknya dari atas nakas. Hanya ada belasan pesan dari grup sekolah dan grup alumni, selebihnya tidak ada pesan pribadi. Nila mendesah, pesannya yang dikirim pada Gie bahkan tidak terkirim jadi mustahil akan ada pesan balasan yang menjelaskan segalanya. Semuanya masih terasa seperti mimpi. Jangankan diperjuangkan untuk membangun masa depan bersama, dia malah ditinggal nikah pacar dan undangannya dikirim ke tempat kerja masih jadi hal yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi padanya. Dia yang cantik dan sempurna ternyata akhirnya harus mengalami hal memalukan begini. Nila mendesah, dia bahkan tidak yakin lagi kalau wajahnya cantik dan dirinya patut diperjuangkan. Matanya masih bengkak karena menangis semalaman dan untuk pertama kalinya dia merasakan ada yang kosong di rongga dadanya. Dia juga tidak bernafsu untuk menyentuh makanan padahal biasanya dia paling... Overreacting Titik-titik air di permukaan luar gelas sudah mulai mengalir turun, akan tetapi Nila belum mengatakan apa pun sejak lima belas menit lalu. Ergys sendiri sibuk menyantap makanan di depannya, sepertinya tidak ambil pusing dengan kebingungan yang melanda Nila. Kebingungannya memang sudah dimulai sejak tadi pagi kala Ergys menjemputnya lalu pemuda itu juga sudah datang duluan kala jam sekolah selesai. Dia memang mengajak Ergys makan dulu sebelum pulang karena selain lapar dan tidak ingin membiarkan pemuda itu pulang dengan perut kosong, dia juga ingin mengatakan banyak hal. Namun, dia belum bisa membuka mulutnya dengan benar padahal belasan menit sudah berlalu. “Jadi—” Nila menelan ludah. Jantungnya mulai menggila bahkan saat dia mengucapkan satu kata saja. “Jadi?” sahut Ergys pendek. Dia masih sibuk menyendok nasi dan menyuapkannya ke mulut. Nila menunduk, jemarinya saling memilin di atas pangkuan sementara ludah-ludah besar-besar menuruni tenggorokan. “A—aku minta maaf.” “Buat?” “Aku sudah masuk ke kontrakanmu tanpa izin... Sepersekian Menit Ergys ternyata yang menarik lengan Nila. Pemuda itu kini menatapnya lekat-lekat sementara ekspresi wajahnya tidak terbaca. Padahal Nila benar-benar sebal sekaligus malu karena fakta soal dirinya yang ditinggal nikah oleh pacarnya telah sampai di telinga Ergys. Apalagi pemuda itu juga membantunya untuk mencari Gie saat dia mengira pemuda itu hilang. Sialnya lagi, Ergys juga tahu kalau selama ini dirinya dituduh jadi pembunuh seseorang padahal mungkin pemuda itu tidak tahu apa-apa. Ah, semua alasan ini semakin membuatnya ingin pergi sekarang juga. “Lepasin deh!” kata Nila sambil menggoyangkan lengan. “Kamu mau ke mana?” “Pulang, memangnya ke mana lagi?” “Kan kita belum selesai makan.” Nila menoleh dan menatap meja yang baru saja ditinggalkannya. Memang benar kalau makanan yang mereka pesan belum sepenuhnya habis. Ergys mungkin hampir selesai makan, akan tetapi makanan di piringnya bahkan berkurang setengahnya. “Kamu bisa habiskan makanannya, aku pulang duluan!” Ergys menoleh ke meja lalu tatapannya beralih ke Nila. Pemuda itu... Tawaran Gila Perkataan Ergys yang diucapkan tadi sore masih terngiang di telinga Nila. Matanya tertuju pada kertas undangan yang ada di meja. Kertas yang dia pikir tidak akan tertera nama lain selain Gie dan dirinya yang bersanding bersama. Beberapa hari lagi, Gie akan resmi jadi suami orang. Padahal dulu dia pikir dirinya akan hancur kalau semua ini terjadi, akan tetapi ternyata dia baik-baik saja. Benar kata Ergys, dia bahkan sempat melupakan Gie selama pemuda itu menciumnya. Eh, ciuman. Nila menyentuh bibirnya dengan ujung jari. Dia ciuman dengan Ergys, si bocah itu. Ini benar-benar tidak bisa dipercaya. Dirinya benar-benar sudah gila. Nila yang tengah mengacak-acak rambutnya langsung menghentikan tindakannya kala melihat ponselnya bergetar pelan dan layarnya menyala. Keningnya berkerut kala meraih benda itu dari atas nakas dan membukanya. Napasnya tertahan dan dia berani bersumpah kalau jantungnya mungkin melewatkan satu atau dua kali degupan karena nama Gie kini tertera di layar. Nila menelan ludah... Dalih “Kamu ngajak aku kawin lari?” tanya Nila mencoba menegaskan pertanyaan yang dilontarkan Gie beberapa saat lalu. Pemuda itu tidak terlihat kaget. Keningnya memang berkerut, akan tetapi matanya menatap wajah Nila tanpa berkedip. “Iya.” Jawaban singkat Gie dan tatapannya yang tidak terlihat goyah ataupun ragu malah membuat Nila kaget. Bagaimana bisa pemuda yang sekian lama mengenalnya mengajaknya menikah tanpa restu orang tua? Kalau Ergys yang mengatakan semua itu padanya maka dia tidak akan kaget mengingat pemuda itu bahkan menciumnya di pinggir jalan tanpa alasan yang jelas. Tapi, ini Gie. Orang yang seharusnya tidak akan pernah mengatakan hal semacam itu padanya. Nila mengembuskan napas lalu melipat tangan di depan dada. “Sekarang aku tanya sama kamu, apa alasanmu ngajak kawin lari? Dijodohkan atau apa?” “Memangnya alasan itu penting?” Gie langsung mengulurkan tangan dan mencoba meraih Nila. “Yang penting kan bisa bersama.” “Klise ih!” ketus Nila sambil menepis pegangan tangan Gie. “Nil!” “Dengar ya,... Jungkir Balik Setelah dia meninggalkan Gie semalam, pemuda itu sempat menelepon beberapa kali. Namun, Nila mengabaikan semua panggilan itu. Dia tidak menangis semalam. Rasanya juga dia tidak bisa menangis meski memeras matanya agar keluar airnya. Rasa yang lebih dominan justru sebal, marah dan tidak habis pikir. Rasanya menyebalkan kalau memikirkan tingkah mantan pacarnya itu. Bisa-bisanya dia datang buat ngajakin kawin lari. Padahal Gie seharusnya yang paling tahu kalau dirinya paling benci jika harus melanggar aturan semacam itu dan membuat dirinya terlihat jadi tidak berharga. Kalau dipikir-pikir, Gie juga aneh. Tahu-tahu menghilang tanpa alasan dan tidak berusaha menjelaskan. Oke, kalau mungkin dalam keadaan stres hingga ingin menghilang dari dunia, akan tetapi bukankah setidaknya Gie harus memberitahunya? Bukankah setidaknya dia berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Bukannya malah mendadak menghilang, kontak tidak bisa dihubungi dan mengirim undangan pernikahan. Lalu Gie berharap mendapatkan hasil semacam, dirinya terlalu cinta mati hingga mau diajak kawin lari. Cih,... Treun Awalnya Nila berpikir kalau dia hanya perlu menanggapi tingkah Ergys yang memaksa mengantar di saat berangkat kerja dan menjemput saat dia hendak pulang. Pemuda itu hanya perlu ditemui di depan rumah dan langsung pergi jadi tidak akan ketahuan orang tua serta tetangga-tetangga yang demen bergunjing. Hanya cukup seperti itu sampai motornya selesai direparasi. Namun, seperti dia tidak pernah bisa menebak ulah Ergys selanjutnya, Nila sama sekali tidak pernah memperkirakan kalau Ergys akan akan di rumahnya siang ini. Sialnya dia merasa kecolongan karena semalam pemuda itu menanyakan kegiatannya di akhir pekan dan Nila mengatakan kalau dia akan menemani mamanya belanja. Ternyata pemuda itu ada di sini sekarang, bermain catur bersama ayahnya sambil minum kopi. Mamanya sudah masuk duluan, akan tetapi Nila masih berdiri di gerbang. Bagaimana bisa Ergys kepikiran untuk datang ke rumahnya saat dirinya tidak ada? Ditambah lagi pemuda itu dengan santainya mengobrol bersama ayahnya seakan-akan mereka sudah kenal sangat... Tjetërsuar  â€œKamu harusnya enggak perlu nganter aku pulang,” kata Ergys sambil menyerahkan kunci motor pada gadis itu. “Kalau enggak dianter, kamu naik apa?” tanya Nila. “Kan bisa naik ojek online.” “Ya, udah terlanjur. Gimana dong?” Nila mengangkat bahu dengan menyebalkan. “Ya, enggak gimana-gimana.” “Ini makanannya mau ditaruh di mana? Teras saja!” tanya Nila sambil menunjuk totebag berisi wadah makanan yang tadi dibawakan mamanya saat Ergys hendak pulang. “Aku bawa sendiri saja,” sahut Ergys sambil menarik napas. Dan menarik totebag dari gantungan motor Nila. “Titip terima kasih lagi buat Tante nanti ya, Nil!” Nila mengangguk lalu berdeham pelan. Dia menunduk dan memainkan kakinya sementara jemarinya saling memilin. “Soal yang tadi, kami minta maaf ya, Ergys.” “Tadi apa?” Nila memutar manik matanya. “Tadi saat makan, kami enggak sensitif jadi nanya yang macam-macam sama kamu. Padahal mungkin kamu sedih kalau ditanyai soal begituan.” “Begituan apa?” tanya Ergys dengan nada menyebalkan. “Soal orang tuamu... Unexpected Confession Tubuh Ergys hangat dalam pelukan dan jemarinya masih menepuk punggung pemuda itu. Dia hanya ingin Ergys tahu kalau dirinya juga berharga dan pantas untuk mendapatkan kasih sayang. Nila berharap perasaannya sampai ke dalam hati pemuda itu. Nila juga masih berupaya mendengungkan doa-doa baik agar pemuda malang itu bahagia. Namun, saat Ergys berbisik pelan di dekat telinganya, semua doa baik itu buyar dan dia mendorong tubuh pemuda itu sekuat-kuatnya. Kelopak matanya melebar, sementara senyuman samar merambati bibir Ergys. Seolah-olah dia memang sengaja membisikkan kata-kata itu. “Kamu sudah gila?” tanya Nila sambil menatap pemuda itu lekat-lekat. “Apanya yang gila?” “I—i—tu tadi.” Dada Nial bergerak naik turun sementara pipinya mulai memanas. Dia juga tidak sanggup mengatakan kata-kata yang dibisikkan Ergys dengan mulutnya sendiri. “Oh, soal kita pacaran.” “Iya itu.” Nila mendengus dan langsung melipat bibir. Bagaimana bisa Ergys mengatakan hal semacam itu, ditambah lagi pakai berbisik di telinganya segala? Kening pemuda itu mengernyit.... Hadiah Dia akan memikirkannya. Itu jawabannya kemarin kala Ergys menanyakan soal keputusannya untuk menerima pemuda itu jadi pacarnya. Namun, sepertinya Ergys tidak memberinya kesempatan untuk berpikir lebih lama lagi karena pemuda itu mendadak datang lagi ke rumahnya. Ergys juga tidak datang tanpa membawa apa pun. Pemuda itu membawa sekeranjang buah, kopi dan seikat bunga. Hal yang membuat Nila mengernyitkan kening kala pemuda itu muncul di ambang pintu. Saat dia hendak menariknya pergi menjauh dari rumah, ternyata Mama memergoki aksinya. Setelah itu, Nila baru tahu kalau ternyata Ergys ternyata sudah janjian dengan mamanya untuk datang. Sekarang pemuda itu sedang menikmati kukis dengan taburan chocochips yang baru diangkat dari oven, sementara itu Nila hanya bisa mengirimkan tatapan sebal. Dia tidak bisa mengatakan apa pun karena ternyata orang tuanya menyambut pemuda ini dengan baik. Melihat perlakuan mereka sekarang mungkin tetangga yang melihat akan berpikir kalau Ergys adalah anak yang sempat hilang dari keluarga ini... Penolakan Saat semua pertanyaan dan gemuruh di dalam kepala Nila dipaksa berhenti kala ayahnya berdeham cukup keras. Pria itu sekarang menaruh cangkir di tangannya dan menggeser tubuhnya sedikit agar bisa menatap Ergys. “Kalau boleh Om tahu, apa pekerjaan Nak Ergys?” Nila langsung mengarahkan matanya pada ayahnya kala pertanyaan itu dilontarkan. Sudah pasti ayahnya akan menolak kalau Ergys masih kerja serabutan dan bahkan belum lulus kuliah. “Saya masih kuliah, Om. Sambil kerja sambilan jadi penyanyi di kafe.” “Kalau begitu, apa alasanmu melamar Nila sekarang, padahal kamu masih kuliah?” Nice! Seharusnya dia begini juga tadi.  Sialnya hal semacam ini tidak sempat terpikirkan karena terlalu panik. Ternyata ayahnya lebih pintar untuk menghentikan ulah pemuda gila ini. “Karena Nila cantik dan terlalu baik buat saya, Om. Makanya saya cepat-cepat melamar,” sahut Ergys lancar tanpa keraguan. “Alasan macam apa itu!” gerutu Nila. Gerutuannya berbuah cubitan karena Mama yang duduk di sampingnya langsung melayangkan jari ke lengannya.... Offer Awalnya Nila berpikir kalau omongan Ergys itu hanya omong kosong semata. Tidak mungkin akan ada orang yang akan datang melamar lagi beberapa hari berselang setelah ditolak. Setiap orang pasti punya malu jadi kemungkinan tidak dilakukan adalah sembilan puluh delapan persen dan dua persen lainnya jika Ergys terlalu nekat. Namun, dia juga selalu lupa kalau Ergys adalah pemuda yang menepati kata-katanya. Saat akhirnya pemuda itu muncul di balik pintu dengan barang bawaan yang lebih banyak dari sebelumnya, Nila menyesal karena mengabaikan dua persen kemungkinan dan membiarkan pemuda itu benar-benar datang tanpa bisa mencegahnya sebelumnya. Nila berdeham pelan lalu melipat tangan di depan dada. “Kamu ngapain ke sini?” “Buat melamar kamu. Tante sama Om ada, kan?” Dengusan keluar dari mulut Nila sementara giginya bertaut. Dia melirik barang-barang yang dibawa Ergys. Kali ini bukan bunga, buah atau kopi, akan tetapi beberapa parcel dengan berbagai macam isian dari kosmetik, pakaian sampai makanan basah. Sepertinya... Syarat Calon Suami              Ergys masih menepuk permukaan celananya yang terkena tumpahan minuman. Meski begitu, pemuda itu tidak mengalihkan pandangn dari Nila dan terus saja bertanya apakah Nila benar-benar serius dengan ucapannya. “Ini yang terakhir, sudah sepuluh kali. Aku serius,” kata Nila diakhiri dengan dengusan. “Oke, aku paham.” “Sudah puas sekarang?” Ergya mengangguk beberapa kali dengan bibir yang melengkung. Benar-benar imut dan menggemaskan dalam satu waktu. Namun, kepalanya mendadak pusing kalau mengingat jika cowok imut dan menggemaskan ini terus-terusan mengajaknya menikah. “Tapi, kamu ingat syaratnya, kan?” tanya Nila sambil menyesap minuman dari gelasnya. “Tentu saja. Aku harus lulus secepatnya dan bekerja agar bisa menghidupimu.” “Tepat.” “Hanya itu?” “Tentu saja enggak.” Nila langsung menggoyangkan jari telunjuknya. “Ada lagi?” “Akukan baru mempertimbangkan, semua tingkah lakumu akan dinilai selama menunggu kamu lulus dan kerja.” Ergys memutar bola mata lalu mengangguk lagi. “Jadi kamu akan menilai kelakuanku?” “Tepat.” “Ah!” Pemuda itu langsung memukulkan tangannya satu sama lain... Brave Hari pernikahan Gie pun tiba. Teman-teman kantor akan berangkat serombongan dan Nila juga berniat itu bergabung.  Malas juga kalau harus berangkat kondangan ke acara mantan pacar sendirian. Mereka janjian buat ketemuan di sekolah saja lalu berangkat bareng dari sana. Rekan-rekan kerjanya termasuk kepala sekolah serta staf bagian tata usaha ternyata sudah tiba terlebih dahulu kala motor yang ditumpangi Nila sampai di tempat itu. “Lho kamu jadi datang?” Vita langsung menyambutnya dengan pertanyaan begitu Nila membuka helmnya dan bergerak turun dari motor. “Iya, memangnya ada alasan aku enggak datang?” “Hooo, Nila sudah move on, teman-teman!” Rafa menimpali dengan suara nyaring. Perkataan yang disambut dengan cuitan lain dan ejekan-ejekan menyebalkan soal statusnya sekarang. Yuni bahkkan menyenggol bahunya berulang kaki. Dani juga tidak ketinggalan mengerjapkan matanya berulang-ulang sambil mengangkat kedua alisnya sementara bibirnya terus menyunggingkan senyum. Ejekan itu masih membuatnya sebal, meski begitu dia tidak marah karena hal sepele semacam itu. Nila... Kondangan “Wah, kalian datang?” ucap Gie kala mereka masuk ke gedung pesta. Suara itu membuat jantung Nila seperti kehilangan detaknya hingga membuatnya menunduk dalam-dalam. Sementara itu, Ergys mengenggam tangannya lebih erat dari sebelumnya. Mungkin pemuda itu tahu kalau jantungnya mulai abnormal sekarang.  â€œTerima kasih sudah datang, Pak!” ucap Gie sambil menyalami bapak kepala sekolah yang ada di barisan paling depan. Gie menyalami setiap orang satu persatu sambil mengucapkan terima kasih. Mungkin sejenis formalitas untuk mengobrol dengan teman yang sengaja datang ke acara pernikahan. Gie tersenyum sambil terus bersalaman dengan bapak-bapak guru senior di sekolah serta kepala sekolah. Senyuman yang tidak lepas dari bibir lelaki itu sangat kontras dengan sikap frustasinya beberapa kali lalu kala menemui Nila untuk mengajak kawin lari. Ah, kalau melihat ekspresi Gie sekarang rasanya kejadian beberapa malam lalu hanyalah mimpi. Nila menyelipkan anak rambut ke balik telinga dengan jemari sedikit gemetar, dia tidak tahu harus kesal atau justru... Thieves Kejadian di kondangan pernikahan Gie tidak bisa lepas dari pikiran Nila. Bukan soal Gie yang ternyata terlihat biasa saja saat menikah, akan tetapi tingkah Ergys yang mengantongi gelas itu masih membuatnya gagal paham. Saat pertama mengenal pemuda itu, dia ingat kalau Ergys juga memasukkan gelas milik kafe—tempat kerjanya—ke dalam tas gitar. Selanjutnya, pemuda itu juga mengambil alat cukur warna pink di minimarket dan membuangnya begitu saja di tempat sampah di dekat tempat kerjanya. Ergys juga pernah ketahuan hendak membuka tas miliknya saat di rumah sakit beberapa waktu lalu. Namun, Nila tidak ingin bertanya pada Ergys soal ini. Pemuda itu bisa tersinggung. Memangnya ada orang yang tidak akan marah saat dituduh sebagai pencuri.  Di sisi lain, dia juga tidak ingin terus-terusan menyimpan rasa curiga dan merangkai semua teori liar. Sudah cukup semua prasangka buruk yang sebelumnya dia tujukan pada Ergys secara membabi buta. Hanya saja, Nila benar-benar tidak menemukan cara untuk... Keraguan   Ergys bilang kalau dirinya tidak pernah mencuri. Tentu saja, Nila tidak bisa percaya begitu saja. Terlalu banyak hal yang janggal dan menyisakan banyak pertanyaan di kepalanya. Hanya saja, Nila tidak pernah berani mengatakanya pada pemuda itu. Tidak baik juga kalau sembarangan menuduh orang. Namun, semua pertanyaan itu membuat Nila meragukan kelakuan Ergys. Dia mulai takut memakan makanan atau memakai benda yang dibelikan pemuda itu karena takut benda itu barang curian. Dirinya was-was jika berjalan-jalan bersama lalu pemuda itu kedapatan mencuri dan dia akan ikut kena dikeroyok massa. “Sebenarnya apa sih yang kamu takutkan, Nil?” gumam Nila sambil menggeleng dan mencoba menggapus semua hal buruk di kepalanya. Dia harus fokus mengoreksi tugas yang dikumpulkan murid-muridnya dan memasukkan skor ke dalam papan nilai. Tugas itu juga harus dikembalikan besok saat kelas dimulai jadi dia memang melepaskan sosok Ergys dari pikirannya. Namun, saat sudah berniat melakukan semuanya, mendadak ponselnya bergetar pelan. Satu... Putus Selama ini Nila hanya membayangkan akan melihat Ergys mencuri sesuatu dan dia akan menangkap basah lalu akan menegurnya. Semua itu hanya khayalannya saja dan Nila tidak pernah berharap hal semacam itu akan terjadi di dunia nyata. Dia takut. Memangnya siapa yang tidak takut ketika memikirkan pacarnya sendiri memiliki potensi melakukan hal buruk. Sialnya, ketakutan itu mewujud jadi nyata ketika akhirnya dia memergoki pemuda itu nyaris mencuri sikat gigi di pasar swalayan. Sikat gigi, demi Tuhan. Sejak kapan sikat gigi jadi sedemikian berharga hingga patut dicuri? Lalu, gelas bekas di kafe, alat cukur itu dan gelas minuman di acara kondangan Gie? Nila mendesah pelan. Bagian ini juga membuatnya benar-benar berharap kalau persoalan gelas di gudang kafe yang dimasukkan Ergys ke dalam tas gitar serta alat cukur wanita yang ditemukannya di tempat sampah itu hanya prasangka buruknya saja. Penjelasan Ergys juga berhasil meyakinkannya saat itu jadi Nila sama sekali tidak ingin memikirkan... Flaw Semenjak malam itu, Ergys tidak lagi datang baik ke rumah atau ke sekolah. Pemuda itu seperti hilang ditelan bumi. Nila melirik ponselnya yang mendadak sepi, biasanya Ergys yang rajin mengiriminya pesan dan meneleponnya. Desahan panjang keluar dari mulutnya, oke dia akui kalau kehilangan Ergys ternyata membuatnya gelisah juga. Namun, dia tidak ingin menuruti kegelisahan hatinya dengan mencoba mencari pemuda itu atau semacamnya karena sejujurnya dia masih kesal setelah mereka bertengkar malam itu. Tentu saja dia tidak berusaha untuk memperbaiki situasi karena sejujurnya dia sendiri tidak paham alasan Ergys yang menolak untuk berhenti mencuri padahal jelas-jelas tahu kalau hal yang dilakukannya itu buruk dan merugikan orang lain. “Kok Ergys lama enggak main?” Pertanyaan Mama membuyarkan lamunan Nila. Dia menoleh untuk menatap mamanya yang kini sibuk mengupas bawang. “Katanya banyak tugas,” kilahnya berbohong. Dia tidak ingin menjelaskan perkara pertengkaran malam itu karena artinya harus menjelaskan duduk perkaranya. Persoalan aslinya karena Ergys itu... Another Reason   Alasan lain katanya. Nila mengetukkan ujung jarinya ke atas permukaan meja. Alasan Ergys melakukan pencurian dan tidak bisa berhenti meski tahu kalau tindakannya salah. Yang jelas Ergys bukan jenis Robinhood zaman modern yang akan mencuri demi rakyat miskin atau segala macamnya. Nila membuka laman pencarian dan memasukkan kata kunci. Beberapa website terbuka ketika dia mencari soal pencurian tanpa alasan. “Kleptomania?” gumamnya sambil memiringkan kepala saat beberapa teori muncul soal pencurian tanpa alasan seperti yang dilakukan Ergys. “Tapi, bukankah kalau kleptomania normalnya membuat penderita tidak sadar soal tindakan pencuriannya sama sekali? Atau selama ini aku yang salah pengertian?” Nila memiringkan kepala saat banyak pertanyaan berjejal di dalam pikirannya. Dia kembali membaca artikel yang ditemukannya. Ada perbedaan mendasar antara pencuri dan penderita kleptomania meski sama-sama mengambil barang milik orang tanpa izin. Pada pencuri, mereka mengambil barang atau apa pun yang bukan miliknya. Tindakan yang mereka lakukan memiliki tujuan tertentu misalnya karena... Pencarian   Nila menghentikan motornya di depan rumah kontrakan Ergys setelah memacunya dengan kecepatan tinggi. Dia memilih langsung ke tempat itu karena pacarnya itu tidak kunjung membalas pesannya. Nila sampai berulang kali memeriksa ponselnya ketika harus berhenti ketika lampu merah, tetapi balasan pemuda itu tidak pernah ada. Tungkainya melangkah cepat menuju teras rumah kontrakan itu. Jantungnya berdebar kencang saat tangannya terangkat untuk mengetuk pintu. “Gys! Ergys!” ucap Nila sambil mengetuk pintu berulang kali. Dia terus memanggil, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Nila belum menyerah, dia masih memanggil nama Ergys berulang kali sambil mencoab mengintip bagian dalam rumah kontrakan itu lewat celah jendela. Dia benar-benar khawatir kalau Ergys mengunci dirinya sendiri di dalam rumah kontrakan itu. Namun, celah kecil itu tidak memberikan banyak informasi mengenai situasi di dalam rumah. “Mas Ergys-nya enggak ada di rumah, Mbak,” kata seseorang saat Nila mulai menggedor kaca jendela sambil terus menyebutkan nama pemuda itu. Nila... Kehilangan Kedua Napas Nila tersentak keluar ketika Ergys meraih pergelangan tangannya hingga tubuhnya kini jatuh dalam pelukan pemuda itu. Tangisannya semakin menjadi ketika merasakan usapan di kepalanya. Untuk pertama kalinya Nila ingin jadi anak kecil di depan Ergys. Dirinya dimanjakan, dihibur saat menangis dan tidak dipersalahkan atas semua kesalahan yang pernah dilakukan. Dia merangkulkan lengannya dan memeluk pemuda itu. Tidak peduli lagi pada teman-teman Ergys yang mungkin sekarang memberikan tatapan aneh atau semacamnya. “Kamu takut banget, ya?” tanya Ergys dengan suara lirih. Nila hanya mengangguk untuk membenarkan. “Enggak perlu takut, aku sudah di sini. Enggak ada hantu atau orang jahat.” Kali ini Nila tidak menjawab. Dia bukan takut karena ada hantu, orang jahat atau semacamnya. Dia baru menyadari hal yang paling dia takutkan sekarang. Takut tidak bertemu Ergys malam ini, tidak melihatnya lagi dan hal yang paling mengerikan yang terpikirkan adalah kalau sampai dia kehilangan pemuda itu. “Sudah puas nangisnya atau masih... Promises   Rintik hujan masih turun dari langit, bahkan lebih deras dari satu jam sebelumnya. Nila sendiri sibuk menyedit ingus sementara Ergys duduk di sampingnya dan memegangi kotak tisu. Pemuda itu juga sigap menarik tisu dari wadahnya kalau Nila meminta. “Masih malu?” tanya Ergys sambil menaruh selembar tisu ke tangan Nila. Nila mengangguk kaku. Gimana enggak malu saat Ergys menciumnya tadi ternyata ingusnya bergerak turun hingga mencapai bibir mereka berdua. Untung saja, Nila cepat tanggap dan menarik dirinya menjauh. Apa jadinya kalau sampai ingus yang berlendir itu ikut bergulung saat bibir mereka masih berpagut. Ah, memikirkannya saja sudah membuatnya jijik dan pipinya kembali memanas. Dirinya yang biasanya sempurna dan nyaris tanpa cela sekarang terlihat dalam wujud seperti ini. “Masih mau nangis?” Nila menggeleng sambil mengusap hidungnya. “Enggak.” “Hidungmu masih mampet, enggak disedot ingusnya?” tanya Ergys lagi. “Iya, aku bersihin,” katanya sambil beranjak berdiri. “Kamu mau ke mana?” Pemuda itu kini meraih... Calon Istri Nila menarik napas ketika menatap pantulan wajahnya di cermin. Matanya bergerak ke tubuh rampingnya yang kini berbalut kebaya. Akhirnya setelah empat tahun menunggu, hari itu akan tiba juga. NIla menarik napas ketika mengingat semua perjalanannya hingga sampai di sini sekarang. Setelah malam itu, dirinya memang berbaikan dengan Ergys. Akan tetapi, semua tidak semulus di kisah cinta di negeri dongeng yang akan bahagia selamanya tanpa hambatan dan rintangan. Hubungan yang terjalin bertahun-tahun juga tidak selalu manis, ada rasa asam dan pahit di sela-selanya. Dia ataupun Ergys lebih sering bertingkah hingga memicu pertengkaran, tidak jarang saling membenci lalu berkata tidak akan bertemu lagi. Namun, baik dirinya maupun Ergys tidak membiarkan kebencian dan ujaran-ujaran kesal bertahan terlalu lama. Mereka selalu mencoba mencari cara untuk berbaikan dan memperbaiki diri. Nila pun mulai menyadari kalau dirinya tidaklah sempurna dan tidak menuntut hal yang sama pada Ergys. Oke, untuk bagian hubungan mereka sebagai sepasang kekasih mungkin... Description: Nila ingin menikah, akan tetapi Gie mendadak menghilang. Hilangnya Gie menuntun Nila pada Ergys pemuda bersurai bubblegum pink yang super baik. Kebaikan Ergys malah membuat Nila curiga, dia merasa kalau Ergys berkaitan dengan hilangnya Gie. Apalagi ditambah dengan kecurigaannya kalau Ergys menderita kleptomania. Nila mulai yakin kalau Ergys mulai mencuri nyawa manusia. Nila mungkin delusional, tapi siapa yang bisa berpikir jernih kala pacar mendadak menghilang dan muncul orang lain yang terlalu mencurigakan.
Title: Warung Internet Mbah War Category: Cerita Pendek Text: 1: Buka Sampai Jam Enam Sore Aku merenggangkan badan setelah mengirimkan lamaran kerja melalui surel. Semoga saja, lamaran kerjaku ini diterima. Ini sudah lamaran kerja kesekian yang kukirimkan—aku sudah tidak menghitung lagi berapa banyak lamaran kerja yang kukirim tanpa hasil berarti. Rasanya sedih juga jika melihat status lamaran itu. Sebagian besar tidak memberi kabar, dan sedikit yang mengabari menolakku. Aku beranjak, hendak mengambil minum di dapur. Dari tempatku mendekam sedari pagi, aku bisa melihat enam komputer berjejeran dekat sekali, masing-masing sedang digunakan. Sebenarnya, pengaturan itu tidak sesuai aturan yang ditetapkan dari organisasi kesehatan dunia itu—setiap orang harus menjaga jarak sejauh dua meter—tetapi apa daya. Warung internet (warnet) Mbah War memang hanya sebesar ini. Iya, warnet ini milik Mbah War. Mbah War adalah nenekku. Aku tidak tahu nama panjangnya. Sejak aku kecil, beliau hanya mau dipanggil Mbah War, bukan Mbah Uti atau sebutan lain. Aku tinggal di Yogyakarta bersama Mbah War sejak diterima di salah satu kampus di sini, sementara Bapak dan Ibu menetap di Semarang. Karena pandemi, aku jadi terpaksa tinggal di sini lebih lama, selagi mencari kerja dan membantu Mbah War menjaga warnet. Dulunya, Mbah War dan Mbah Kung, kakekku, punya warung telekomunikasi (wartel) hingga akhir masa jayanya di awal 2000-an. Saat internet mulai digunakan oleh masyarakat, Mbah Kung punya ide untuk mengubah wartel menjadi warnet. Dengan modal tabungan yang mereka punya, mereka membeli beberapa komputer tua dan menyewa sebuah bangunan kecil di pinggir jalan besar. Demikianlah usaha ini dimulai. Pada puncak kejayaannya, Mbah Kung dan Mbah War memiliki 30 komputer. Lokasinya yang dekat dengan dua kampus besar di Yogyakarta menjadikannya laris manis. Namun, mereka hanyalah sepasang orang tua. Pesaing mereka mulai meningkatkan fasilitas dan kecepatan internet, membuat para pelanggan berbondong-bondong pindah ke warnet lain. Pemasukan warnet semakin menurun, dan akhirnya, hanya enam komputer tersisa. Sisanya harus dijual untuk membayar sewa dan biaya rumah sakit Mbah Kung. Enam pelanggan warnet tampak sedang asyik dengan kegiatan masing-masing dan belum ada yang hendak beranjak pergi. Aku meninggalkan ruangan dan berjalan menuju dapur. Sambil melepas masker, aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air. “Maskere aja dicopot, Nduk[1],” tegur Mbah War, yang sedang mencuci piring. “Mboten[2], Mbah. Aku lepas cuma di sini untuk minum, kok,” balasku. “Si Imam belum juga dateng, Mbah.” Imam adalah satu-satunya pegawai Mbah War. Dia masih tergolong pegawai baru karena dia baru bekerja dua tahun lalu, saat warnet pindah ke rumah Mbah War. Imam bertugas menjaga warnet dan mengurusi komputer-komputer bermasalah—dia jago sekali urusan beginian. Seingatku, sudah dua hari ini Imam tidak datang bekerja, padahal dia tidak pernah absen. Pesanku juga tidak dibaca. “Iya. Kayak e lagi sakit.” Mbah War mengambil masker dan mengenakannya. “Uwis, balik ke depan. Ndak ada yang jagain warung.” Aku menghela napas. Mbah War masih saja bersikeras membuka warnet, padahal kondisi sedang begini. Kami memang tidak tinggal di zona merah, tetapi, kalau tidak salah, sudah berwarna kuning. Jika ada yang sakit, Mbah War pasti akan terpapar. Beliau sudah berusia 60 lebih. Sistem imun tubuhnya pasti sudah tidak sebaik aku. Akan berbahaya bagi Mbah War jika warnet tetap dibiarkan buka. “Mbah, warnet ditutup saja, ya?” usulku lagi—aku sudah pernah menyebutkannya Maret lalu setelah melihat berita kasus pertama di Indonesia. “Nanti kalau Mbah War sakit, gimana? Aku ndak mau Mbah War sakit.” “Ora isa[3],” jawab Mbah War seraya menggeleng—respons yang sama yang kuterima Maret lalu. “Biarpun besok kiamat, warnet harus tetap buka!” “Gunanya apa buka kalau besok sudah kiamat? Kan lebih baik Mbah War menikmati hari libur.” Mbah War mengabaikanku dan berjalan ke depan. Sambil memakai lagi maskerku, aku mengikutinya. Mbah War memang keras kepala seperti itu. Jika beliau sudah berkehendak, tidak akan ada yang bisa menghalanginya dari melakukan kehendaknya—bahkan pandemi mematikan pun tidak. Aku sudah tinggal dengannya bertahun-tahun, dan sampai sekarang, aku belum tahu cara membujuknya. Segala alasan sudah kulontarkan. Setiap kali aku bilang Mbah War bisa sakit dan—amit-amit—mati, Mbah War menepisnya dengan bilang bahwa beliau belum kangen Mbah Kung. Beberapa saat lalu aku bisa beralasan kalau tidak ada yang butuh internet karena sudah dikasih kuota 50 GB oleh pemerintah (pelanggan kami memang kebanyakan siswa SMA dan mahasiswa). Alasan itu pun terpatahkan. Ada pelanggan yang datang karena tidak punya komputer. “Aku ndak seneng leyeh-leyeh[4],” kata Mbah War enteng. Telepon berbunyi. Mbah War bergegas menerimanya sementara aku kembali ke dapur untuk mencuci gelasku. Kenapa juga aku berani mengusulkannya? Mbah War tidak akan mengubah keputusannya. Sepertinya, jika kampung ini ada di dekat gunung yang akan meletus dan kami harus segera keluar dari zona erupsi, Mbah War akan membawa serta komputer dan modem, lalu membuka warnet dadakan di tempat pengungsian. Aku tidak tahu Mbah War itu senang bekerja atau sudah hilang akal. Saat aku kembali ke depan, Mbah War sudah selesai menelepon. Aku bisa melihat ekspresi khawatir Mbah War meski sebagian mukanya tertutup masker. Beliau menghampiriku dan menarikku ke arah dapur. Sepertinya ada sebuah berita buruk yang tidak boleh didengar para pelanggan. “Ada apa, Mbah?” Mbah War melirik ke arah pintu, seolah-olah memastikan tidak ada yang menguping. “Jebule Imam positif. Sesuk isuk kita ke rumah sakit, yo, Nduk. Mengko kowe ngabari pelanggan sing teka pas ana Imam.[5]” Jantungku berdetak kencang sekali saat aku mendengarnya. Apa yang aku takutkan terjadi—salah satu orang yang berinteraksi dengan kami positif. Imam memang taat menggunakan masker dan face shield setiap kali bekerja, tetapi tidak ada yang tahu apakah Mbah War, aku, dan pelanggan lain terpapar atau tidak. Belum masuk ke Indonesia saja, virus itu sudah terdengar mengerikan. Lututku tiba-tiba lemas. “Ya sudah, dua minggu ke depan kita terpaksa tutup, Mbah,” kataku. “Buat jaga-jaga. Kita harus isolasi mandiri. Nanti aku bilang ke Pak RT juga.” Ini kali pertama Mbah War tidak menolak saat aku mengusulkan untuk menutup warnet. “Yowis,” balas Mbah War sambil mengangguk. “Tapi internet e tetap dinyalakan. Siapa tahu ada yang butuh internetan.” “Mbah—” “Biar internetan dari luar!” tegas Mbah War. Lihat, kan? Bahkan setelah menghadapi kemungkinan bahwa kami positif pun, Mbah War masih ingin menyalakan internet. Terpaksa aku menyanggupinya. Tidak ada gunanya berdebat dengan Mbah War setelah beliau mengumumkan keputusannya dengan nada setegas itu. Aku menyusul Mbah War, mengambil buku catatan pengunjung. Aku harus mengabari para pelanggan mengenai kabar buruk ini. Semoga saja kami semua sehat selalu. * [1] Maskernya jangan dilepas, Nak [2] Tidak [3] Tidak bisa [4] Aku tidak suka bersantai-santai [5] Ternyata Imam positif. Besok pagi kita ke rumah sakit ya, Nak. Nanti kamu kabarin ke pelanggan yang datang pas ada Imam. 2: Tutup Dua Minggu (Internet Tetap Nyala) Untungnya, aku dan Mbah War tidak positif. Beberapa pelanggan yang datang saat Imam bekerja pun mengabari kalau hasil tes mereka negatif. Pak Tanto, sebagai ketua RT, juga sudah diberi tahu, dan beliau sudah mewanti-wanti para warga untuk berhati-hati saat berkegiatan di luar rumah. Tingkat keamanan di kampung jadi sedikit bertambah. Beberapa pemuda kampung mulai berpatroli setiap pagi dan sore untuk mengawasi kami—sebuah kegiatan yang, sejujurnya, sia-sia dan malah melanggar peraturan untuk tidak berkumpul. Selama melakukan isolasi, Mbah War tetap tidak pernah tinggal diam. Ada saja yang beliau lakukan, juga yang harus kulakukan. Selama seminggu pertama, kami sudah menata meja-meja di halaman rumah bagi para warga yang membutuhkan internet. Aku sengaja mengaturnya sehingga berjauhan. Aku sudah yakin tidak ada yang akan datang, tetapi rupanya, tetap ada setidaknya dua orang yang datang untuk menumpang internet. “Nduk, ada Pak RT. Gaweke teh panas, yo[1].” Aku melirik ke arah jendela. Pak Tanto sedang berbincang dengan dua pemuda yang menumpang internet kami. “Itu, ada pelanggan dua orang, perlu dibuatin teh panas juga?” Mbah War sepertinya menangkap nada tidak enak yang kugunakan. “Nek kowe gelem yo rapopo[2].” Aku mendengkus, lalu berjalan ke dapur. “Apa bedanya kita tutup atau buka, Mbah? Tetep aja ada orang yang berkumpul di depan rumah. Belum lagi kalau pemuda karang taruna yang patroli itu mampir dan ngobrol sama mereka. Nggak ada bedanya dengan waktu buka.” Mbah War mengabaikanku dan bergegas menyambut Pak Tanto, lengkap dengan maskernya. Aku bersyukur Mbah War patuh mengikuti seluruh protokol kesehatan, mulai dari kewajiban memakai masker hingga cuci tangan dengan sabun selama 20 detik. Pelanggaran Mbah War hanyalah berinteraksi rutin dengan para tetangga dan pelanggan. Memang, sih, jumlahnya tidak pernah lebih dari 30 orang—jauh di bawahnya, bahkan—tetapi aku tetap saja khawatir. Apakah aku terlalu paranoid? Tidak, tidak mungkin. Aku hanya melaksanakan perintah Bapak dan Ibu untuk menjaga diri dan Mbah War, menggantikan mereka. Sebagai gantinya, aku meminta mereka menjaga diri masing-masing, selagi kami hanya bisa bertemu lewat layar laptop. Bapak sudah tidak pernah berangkat ke kantor lagi sejak bulan Maret. Ibu, sebagai kepala apoteker di salah satu rumah sakit, tidak bisa cuti atau kerja dari rumah. Untungnya, beliau bisa membatasi pekerjaannya dari ruangan sehingga tidak terlalu sering bertemu dengan pasien. Sejauh ini, mereka memenuhi permintaanku. Tugasku kini adalah memenuhi permintaan mereka, dan itu artinya aku menjaga Mbah War sebaik mungkin. Setelah memakai masker, aku membawakan secangkir teh panas untuk Pak Tanto. Aku sengaja tidak membawakan satu untuk Mbah War supaya beliau tidak melepas maskernya untuk minum. Mbah War dan Pak Tanto tampaknya sedang mendiskusikan sesuatu yang penting. “Betul sekali, Bu War, memang sekarang ini semuanya harus dengan internet. Sekolah saja bisa lewat laptop saja, tho? Nah, itulah.” Pak Tanto menoleh saat aku datang. “Wah, terima kasih, Mbak Saras. Malah jadi merepotkan.” Pak Tanto tertawa sopan. “Bagaimana kuliahnya, Mbak?” “Saya sudah lulus, Pak,” jawabku, meletakkan cangkir di meja. “Wah, begitu ya? Kemarin ujian skripsinya juga lewat laptop, Mbak?” Aku mengangguk sembari mundur beberapa langkah. “Betul, Pak. Saya ujian online. Kayaknya tidak ada wisuda juga. Ijazahnya langsung diberikan tanpa wisuda.” “Nah, begitulah. Sekarang ini, internet penting sekali.” Pak Tanto menurunkan maskernya dan menyeruput teh. “Apa yang dilakukan Bu War ini penting sekali bagi siswa kampung kita yang tidak punya akses internet. Saya senang sekali, lho, saat tahu kalau internet Bu War tetap dinyalakan. Sampai disediakan meja juga di luar supaya bisa belajar. Wah, saya berterima kasih sekali.” Mbah War melirikku sambil tertawa penuh kemenangan. “Iyo, Pak. Ndak masalah.” Sialan. Jadi Pak Tanto dan Mbah War sudah bersekongkol untuk melawan keinginanku. Aku hanya bisa berdiri kikuk di sana, berhubung aku tidak bisa membalas ucapan mereka. Aku tidak akan menolak fakta bahwa apa yang dilakukan Mbah War memang berguna bagi para warga desa, terutama mereka yang tidak bisa mengakses internet dari rumah mereka dan yang tidak punya peralatan memadai. Aku hanya ingin menjaga nenekku. Posisiku serbasalah sekali. “Oh ya, Bu, bagaimana kalau warnetnya dibuka di balai desa saja?” tanya Pak Tanto tiba-tiba. “Tempat Bu War kan, sempit sekali. Lebih baik jika dipindah ke balai desa yang lebih luas dan terbuka. Sepertinya lebih aman. Tentu saja kalau Bu War berkenan. Nanti biaya operasional bisa diambil dari dana RT juga, jadi tidak akan membebani Bu War dan Mbak Saras. Bagaimana?” Tanpa pikir panjang, Mbah War langsung mengangguk. “Nggih, ndak masalah, Pak.” Aku ingin menolak, tetapi tidak enak dengan Pak Tanto, yang mengucapkan beribu terima kasih. Oke, aku paham sekarang kenapa Mbah War ingin tetap menyalakan internet—supaya para pemuda desa tetap bisa belajar tanpa masalah. Namun, tidak begini juga caranya. Memindahkan sebuah warnet tidak mungkin semudah itu. Seandainya bisa pun, Mbah War akan bertemu dengan lebih banyak orang. Jika tidak hati-hati, Mbah War bisa terpapar. Setelah Pak Tanto pergi, Mbah War membawa cangkirnya ke dalam. Aku melipat tangan di depan dada, menatap Mbah War lekat. Mbah War pura-pura tidak memedulikanku. “Kenapa usul Pak Tanto diterima begitu aja, Mbah?” tanyaku. “Harusnya Mbah War tanya aku dulu. Aku, kan, juga bantu nguruin warnet.” “Ini warnet punya siapa?” balas Mbah War singkat. “Tapi Mbah, aku sudah janji sama Bapak dan Ibu buat jagain Mbah. Om Banyu dan Tante Tatik juga nitipin Mbah ke aku. Aku nggak mau Mbah War ketemu banyak orang dan jadi sakit. Sudah bagus aku biarin Mbah buka setengah hari.” “Nduk, jangan pedulikan Mbah. Aku iki uwis tuwa. Ora usah diurus. Nek uwis wayahe aku lunga nang omahe Gusti, kowe ndak bakal bisa menahan.[3]” Mbah War meletakkan cangkir, lalu menepuk lenganku. “Justru selagi Gusti Allah masih memberi umur panjang, Mbah harus membantu orang lain. Dulu Mbah ndak bisa sekolah, makanya sekarang mau bantuin anak-anak sekolah.” Aku memeluk Mbah War. Mataku tiba-tiba saja basah. Jika Mbah War sudah bilang begitu, aku bisa apa? Aku tidak mungkin menghalangi Mbah War melakukan apa yang dikehendakinya. Apalagi jika tujuannya semulia itu. “Maskernya jangan dilepas, ya,” bisikku. “Pakai face shield juga. Besok aku carikan.” Mbah War mengiakan sambil menepuk punggungku. Setelahnya, beliau menyuruhku mencuci tangan sebelum menghapus air mataku. Semoga saja keputusanku untuk mengizinkan Mbah War tetap membuka warnetnya adalah keputusan yang benar. * [1] Buatkan teh panas, ya [2] Kalau kamu mau ya tidak apa-apa. [3] Aku ini sudah tua. Tidak usah diurusi. Jika sudah waktunya pergi ke rumah Tuhan, kamu tidak akan bisa menahan. 3: Warnet Pindah ke Balai Desa Ternyata modem internet yang terpasang di rumah Mbah War tidak bisa dipindah ke balai desa. Setelah berdiskusi dengan para warga, Pak Tanto setuju untuk membeli modem internet baru. Yang perlu Mbah War lakukan hanyalah memindahkan komputernya. Akan ada beberapa warga desa yang membantu memindahkan dan menata komputer di sana. Aku sudah mewanti-wanti Mbah War untuk tidak menemui para pemuda yang keluar-masuk rumah. Mereka memang memakai masker, tetapi tidak dengan baik. Ada yang tidak menutupi hidungnya, ada yang melepas saat berbicara dengan orang, dan ada yang menyimpannya di kantong begitu harus menggotong meja dan komputer. Tidak enak bekerja dan berbicara pakai masker, katanya. Padahal masker harus dipakai setiap saat. Mbah War mengabaikan laranganku dan malah menyibukkan diri. Beliau malah menyuruhku membeli jajanan pasar (aku benci sekali pergi ke pasar karena ramai sekali dan banyak yang tidak pakai masker). Selagi para pemuda itu mencopot kabel-kabel dan memindahkan berbagai peralatan, Mbah War menyapu balai desa. Dijamunya para pemuda itu begitu semua komputer sudah tertata. Selain enam komputer milik Mbah War, beberapa orang turut menyumbang komputer mereka yang tidak terpakai. Kini, ada sembilan komputer yang bisa digunakan oleh para warga untuk belajar atau bekerja. Jarak antar komputer jauh-jauh dan sirkulasi udara sangat baik. Tempat ini memang jauh lebih baik daripada ruangan sempit di rumah Mbah War itu. Fakta itu cukup untuk menenangkan hatiku. Mbah War senang sekali saat warnet sudah bisa dibuka lagi. Sejujurnya, aku senang melihatnya. Pada dasarnya, Mbah War memang senang bersosialisasi. Warnet adalah satu-satunya cara Mbah War untuk tetap berbicara dan berinteraksi dengan orang lain sejak ditinggal Mbah Kung tahun lalu. Ah, sekarang aku jadi merasa bersalah sudah menyuruh Mbah War menutup warnetnya. Sudahlah. Toh sekarang warnet sudah buka lagi. Sejak dipindah ke balai desa, warnet menjadi semakin ramai. Banyak pemuda berkumpul untuk mengerjakan tugas dan bermain gim daring. Mbah War menjaga warnet dengan senang hati, sesekali bergosip dengan ibu-ibu dan bapak-bapak yang mampir untuk melihat progres belajar anaknya. Aku tidak bisa menemani Mbah War setiap saat—aku harus mengikuti wawancara pekerjaan di sebuah perusahaan—tetapi kudengar Imam turut berjaga. Imam, yang untungnya bisa sembuh, sudah kembali bekerja—dia memaksa datang, padahal semua orang bisa melihat kalau dia belum pulih benar. Dia memakai masker dua lapis dan face shield setiap kali datang, juga membawa sebotol hand sanitizer yang disemprotnya setiap setengah jam. Alih-alih takut Imam akan menulari yang lain, aku lebih takut kalau dia justru semakin sakit. “Saya sudah ndak apa-apa, Mbak,” kata Imam. “Kemarin kayaknya saya kecapekan aja. Wong sekeluarga baik-baik aja, kok, ndak ada yang positif.” “Lha kamu itu bisa ketularan gimana ceritanya?” tanyaku penasaran. “Saya juga ndak tahu, Mbak. Saya juga cuma kerja aja.” Pengakuan Imam membuatku kebingungan. Kalau keluarganya negatif, siapa yang menulari Imam? Dari tempat kerjanya, alias warnet Mbah War? Namun, kemarin aku dan Mbah War sudah terbukti negatif. Beberapa pelanggan juga. Apa mungkin sebagian pelanggan yang tidak mengabariku lagi tentang hasil tes mereka? Biaya untuk melakukan tes tidak murah, jadi mungkin mereka tidak melakukan tes. Tiba-tiba aku jadi khawatir lagi. Aku melirik pada Mbah War, yang sedang berbicara dengan Bu Tanto, istri Pak RT. “Mbah War sehat-sehat aja, Mbak, ndak usah khawatir,” kata Imam, sepertinya menyadari apa yang sedang aku pikirkan. “Kalau kena, pasti ndak akan bisa semangat kayak sekarang. Soalnya bakal langsung lemes. Saya yang masih muda aja lemes, apalagi Mbah War.” “Hush, jangan ngomong begitu,” ujarku. “Semoga saja Mbah War ndak sakit, ya. Aku sudah janji untuk menjaga Mbah War.” Imam pergi untuk membantu salah satu pelanggan. Aku tetap memperhatikan Mbah War. Aku ingin yakin Mbah War tidak akan sakit. Sistem imunnya memang kuat—tidak pernah sekali pun aku melihat beliau sakit biarpun hanya flu atau demam. Namun, yang tengah kami hadapi sekarang bukanlah flu atau demam biasa. Ini sebuah pandemi mematikan. Sekuat apa pun sistem imun Mbah War, beliau tetap bisa kena. Ponselku bergetar. Telepon dari Ibu. Aku menyingkir sejenak, lalu mengangkatnya. “Saras, kondisi Mbah War gimana?” tanya Ibu setelah kami berbasa-basi sejenak. Aku menggunakan kesempatan ini untuk mengadu, “Masih keras kepala, Bu. Aku suruh tutup warnet saja Mbah War menolak. Sekarang malah buka warnet di balai desa.” Ibu tertawa. “Walah. Mbahmu itu memang keras kepala sekali sejak dulu. Kalian semua aman, tho?” “Puji Tuhan aman. Mbah War selalu pakai masker, begitu juga dengan para pelanggan.” “Syukurlah. Lamaranmu kemarin gimana?” Aku menceritakan seluruh kegiatanku selama ini. Aku jadi kangen Ibu. Dulu, rencananya, aku akan kembali ke Semarang setelah lulus kuliah. Kenyataannya, aku malah terjebak di Yogyakarta selama enam bulan lebih, tidak punya kepastian akan pekerjaan dan kehidupanku selanjutnya. Kadang-kadang aku bertanya kenapa pandemi ini harus terjadi, dan kenapa terjadi sekarang. “Yah, zaman sekarang memang—” Aku tidak lagi memperhatikan apa yang dikatakan Ibu karena mendengar suara keras dari balai desa. Saat aku menoleh, kulihat Mbah War sudah tergeletak di lantai, dikelilingi oleh Bu Tanto, Imam, dan beberapa pemuda desa. Aku buru-buru berlari masuk, mengabaikan pertanyaan Ibu. Jantungku berdebar kencang sekali. “Mbah War kenapa?” tanyaku sambil mencari detak jantung di leher Mbah War—untungnya, aku masih bisa merasakannya. “Ndak tahu, Mbak, tadi tiba-tiba jatuh,” jawab Bu Tanto. “Imam, telepon rumah sakit.” Segala kemungkinan muncul di kepalaku. Mbah War mungkin terlalu lelah mengurusi proses pemindahan warnet, dan sekarang pingsan karenanya. Atau, entahlah, mungkin Mbah War belum sarapan, jadi sekarang merasa lemas. Yang jelas, tidak mungkin Mbah War positif, kan? Mbah War tidak tertular virus mematikan itu, kan? Suara Ibu kembali terdengar, “Saras, ada apa?” Dengan tangan gemetar aku mengambil ponsel. “Bu, Mbah War pingsan. Aku bawa ke rumah sakit dulu, ya. Nanti aku telepon lagi.” Tanpa menunggu balasan Ibu, aku mematikan ponsel. Tangan kiriku menggenggam tangan Mbah War, selagi tangan kananku tetap menekan lembut lehernya, merasakan detak jantung Mbah War. Aku harap, Mbah War baik-baik saja. 4: Warnet Sudah Jadi Milik Warga Aku memperhatikan tulisan di pintu balai desa. WARNET MBAH WAR, begitu tertulis di kertas itu. BUKA SAMPAI JAM ENAM SORE. Ini kali terakhir aku ada di desa ini. Besok, aku akan pulang ke Semarang. Rasanya, aku belum ingin pergi, tetapi sudah tidak ada yang mengharuskanku tinggal. Oke, aku harus mulai dari mana? Biar kumulai dari berita buruk terlebih dahulu. Berita buruknya, Mbah War positif. Salah satu pemuda desa yang menggotong komputer dari rumah hingga balai desa positif, tetapi tidak menunjukkan gejala apa-apa. Setelah dilakukan tes, sebanyak enam warga RT kami positif, termasuk Mbah War. Aku tetap negatif, begitu pula dengan Imam. Hari-hari saat Mbah War dirawat di rumah sakit adalah hari terburuk yang pernah aku jalani. Aku sendirian di rumah, tidak bisa menjenguk Mbah War, dan tidak mungkin kembali ke Semarang. Hampir setiap malam aku menangis. Aku gagal melindungi Mbah War. Dan konsekuensi dari kegagalanku adalah kemungkinan Mbah War pergi meninggalkanku selamanya. Ibu, Tante Tatik, dan Om Banyu bergantian menanyakan kabar Mbah War dan menghiburku. Aku sudah berbuat sebisaku, kata mereka. Sekarang, yang bisa kami lakukan hanyalah mendoakan Mbah War, berharap beliau bisa sembuh. Aku jadi teringat ucapan Mbah War dulu. Jika sudah waktunya pergi ke rumah Tuhan, kamu tidak akan bisa menahan. Aku merasa tidak berdaya sekali. Lanjut ke berita baik. Berita baiknya, Mbah War berhasil sembuh. Aku tidak tahu bagaimana. Mungkin Tuhan belum selesai menyiapkan tempat bagi Mbah War di rumah-Nya dan masih ingin beliau tetap ada di dunia. Atau mungkin, Mbah Kung belum ingin ditemani Mbah War di Surga. Sepertinya merupakan sebuah keajaiban bagi Mbah War untuk bisa sembuh dan diperbolehkan pulang dari rumah sakit, berhubung usianya sudah lebih dari 60 tahun. Warnet Mbah War sudah tutup—tepatnya, sudah tidak diurus oleh Mbah War. Warnetnya sendiri masih buka, tetapi diurus oleh Pak Tanto dan Imam. Biar bagaimanapun, warnet itu tetap diperlukan bagi para siswa, mahasiswa, dan pegawai kantoran yang terpaksa mengerjakan tugas dan tanggung jawab masing-masing dari rumah. Warnet itu kini jadi milik warga. Aku langsung menyetujui usulan itu saat Pak Tanto mengemukakannya. Awalnya, Mbah War mengomel. Katanya, aku mengambil satu-satunya yang bisa beliau kerjakan selama pandemi. Mbah War tetap keras kepala meski baru saja sembuh melawan virus mematikan. Walaupun begitu, Mbah War terpaksa menyetujui karena badannya jadi lemah sekali. Tenaganya pasti habis dipakai melawan virus. Sejak pulang, Mbah War lebih sering tidur. Ada televisi kecil di kamarnya yang selalu menyala—Mbah War suka menonton sinetron supaya bisa mengomeli para pemerannya. Aku membiarkannya. Selagi sinetron itu bisa menjaga semangat Mbah War, aku tidak keberatan. Meski begitu, semangat itu tidak membara terlalu lama. Tiga hari setelah pulang dari rumah sakit, Mbah War terbangun di rumah barunya di atas sana. Pak Tanto menamai warnet dadakan di balai desa itu Warung Internet Mbah War. Foto Mbah War terpajang di sana sebagai pengingat akan seorang malaikat tua yang mengabaikan permintaan cucunya untuk menutup warnet, yang secara langsung membantu para warga desa menjalankan aktivitas mereka masing-masing tanpa kendala. Melihat beberapa pemuda yang sibuk menggunakan komputer itu membuat senyumku mengembang. Mbah War, aku sudah kangen. Description: Warung internet Mbah War tetap buka meski virus mematikan itu sudah mewabah di kampung kami. Aku tidak ingin warnet tetap buka. Bagaimana kalau Mbah War terpapar? Namun, Mbah War bersikeras. Katanya, "Biar pun besok kiamat, warnet harus buka!" Kalau sudah begitu, aku harus bagaimana? Cerpen "Warung Internet Mbah War" ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #GardaTerdepan Nama: Shania Kurniawan Media sosial: shadriella (Twitter)
Title: Who Is The King Category: Hobi Text: #1 Pagi hari, dirumah Dina. Setiap orang pasti punya sesuatu yang mereka suka, sesuatu yang membuat mereka bahagia saat melihatnya, sesuatu yang keberadaannya sangat berharga baginya, tidak terkecuali dengan Dina. Wanita berumur 24 tahun ini memiliki sesuatu yang sangat dia suka, sesuatu yang yaa.... banyak orang yang juga suka,tapi sepertinya Dina ini...lebih maniak. Hari ini Dina berniat berangkat lebih pagi ke kantor, banyak kerjaan yang belum selesai katanya. Dia mengatur alarm lebih pagi dari biasanya , tapi tetep aja... *kringggggggggggg* Jam beker baru yang nyaringnya masih terdengar sampai keluar kamar itu sukses membuat Dina terbangun. “hmmm baru juga jam 6” Tak sampai memejamkan mata lagi, Dina langsung ingat niatnya hari ini. “oiya kerjaan kantor ya” “hoaaaammmd” Saat sedang “ngulet”, Dina merasakan tangannya menyentuh sesuatu, “ehh?” ”kok kamu disini jo?” “ooo pasti kamu kangen ya sama aku? ehehe” Dina meraih tangan Jo dan mulai membelainya lembut, “tapi....sejak kapan kamu tidur disini? Nanti kalo mamah tau dia bakal marah lho” “aku tau kamu sayang aku,tapi jangan nekat begini dong Jo” “mmm gapapa deh jo, aku seneng kamu disini” Lalu saat Dina hendak mendaratkan bibirnya kepada Jo, Tiba-tiba terdengar suara yang keras dari luar kamar Dina. “DINNN SI JOHAN GA ADA DIKANDANG NIHH, KAMU MASUKIN KE KAMAR LAGI YA?” Suara itu sontak membuat mata Dina yang sebelumnya masih sayu karna bangun tidur jadi terbelalak karna kaget. Di ruang makan, Mama Dina sudah lama ditinggal suaminya, kira-kira saat Dina baru lulus SMA. Ayah Dina tidak bisa melawan penyakit asma nya yang kian memburuk. Hari ini Mama Dina memang menyiapkan sarapan lebih awal dari biasanya , itu karena semalam Dina,anak satu-satunya itu sudah bilang akan kekantor lebih pagi. “mama udah cari ke taman belakang, kehalaman luar juga ngga ada, pasti kamu bawa kekamar lagi kan? Dinn??” Dina yang pusing mendengar ocehan mamanya itu lalu keluar kamarnya sambil menggendong Johan dan mengelus-elus kepala kucing kesayangannya itu. “apaan sih mah, orang dia sendiri yang masuk ke kamar Dina, yakan jo? Uuutuutu gemesh” “kamu gaboleh lho terlalu deket-deket sama si Johan, nanti ketularan penyakit gimana?” “yeuu mama emangnya Johan ini penyakitan apa? Lagian kan Johan terawat mah, buktinya udah lama Dina pelihara dia , Dina gapapa kan? Yakan Jo? Utututu gemeshhh” “kamu ini kalo dibilangin ya, yaudah sana mandi dulu udah jam berapa ini, Katanya mau pagi-pagi?” “oiya, yaudah Dina mandi dulu ya mah, nih titip Jo dulu, Jo sama mamah dulu ya sayang utututu gemeshhh” “ih apaan gamau ah, taro kandangnya aja sana” ”ihh mama mah..,” Dina pun mengantarkan Johan ke kandangnya di taman belakang. 5 menit.... 10 menit... 15 menit... “ni anak lama banget naro ke kandang doang” Sementara itu ditaman belakang.... “utututu gemeshhh” “DINAAAAAAA!!”. Description: Dina sangat menyukai Johan, dia selalu menghabiskan waktu bersama Johan separuh hidupnya adalah Johan. Johan...Johan...Johan. Sampai akhirnya kesukaannya itu membuat orang-orang sekitarnya jengkel, termasuk Aldi, atasannya dikantor. Niatnya untuk dekat dengan Dina terhalang oleh kehadiran Johan, bagaimanakah kelanjutan hubungan mereka? Apakah Aldi akan menyingkirkan Johan, kucing peliharaan Dina?.
Title: Who Should I Believe Category: Young Adult Text: Prolog Sudah berhari-hari sejak kejadian itu terjadi. Mataku masih terasa buram setiap saat. Air mata seperti memberontak untuk keluar. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kecil tempat aku duduk. Hanya ada meja dan kursi kosong di depanku. Lalu ada kaca besar yang menampakkan bayanganku. Ruang interogasi. Seseorang masuk dan duduk di depanku. Aku mengenalinya sebagai detektif yang menangani kasus ini. "Jingga?" aku menatapnya saat dia menyebutkan namaku. "Aku tahu ini pasti hal yang berat untukmu. Aku akan membantumu mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Tolong ceritakan semua yang kau ketahui tentang kejadian itu." Aku menunduk menatap jari-jariku yang kuletakkan di atas meja. Berusaha mengingat setiap kejadian yang telah berlalu. Lalu aku mulai menceritakannya. Chapter 1 Dua minggu sebelumnya... Aku berdiam di depan halte bis sambil memperhatikan sesuatu di seberang jalan. Aku mendecih pelan saat melihat dua orang seumuran dengannya tengah tertawa bersama. Seorang siswa laki-laki yang tengah memakaikan helm pada seorang siswa perempuan. Aku terus memperhatikan kedua orang tadi hingga mereka menghilang dari pandangannya. "Jingga!" sebuah motor berhenti tepat di depanku. Si pengendara tersenyum menunjukkan giginya. "Udah lama ya?" dia menyerahkan helm padaku yang langsung kuterima dengan kesal. Aku menunggunya lebih dari satu jam di halte ini. Dia Senja. Saudara kembarku. Kami lahir berjarak tiga menit dengan Senja yang lahir terlebih dahulu. "Kemana aja sih?" sesungguhnya ini pertanyaan retoris. Tanpa bertanya aku tahu darimana saja dia. "Biasa, cewek aku minta dianterin tadi. Terus kita makan dulu di-" "Berisik!" Aku jengah dengan jawaban yang sama setiap harinya. Pasalnya "cewek" yang dimaksud Senja selalu berbeda setiap harinya. Aku memakai helm dan duduk di bangku belakang motor. Lalu memekik tertahan saat tiba-tiba Senja melajukan motor dengan sangat cepat. ✨✨✨ Aku memandang aneh pada Senja yang tengah menatap ponselnya gelisah. "Kenapa?" tanyaku. "Aku diputusin." aku tertawa mendengarnya. Ini kali kedua dia diputuskan dalam minggu ini. "Syukurlah, itu artinya dia tahu kamu playboy." "Ah sudahlah, aku masih punya cadangan." Senja tertawa dan aku melihatnya menghubungi seorang gadis lain. Terkadang aku bingung bagaimana bisa dia diidolakan banyak perempuan. Banyak yang mengatakan dia keren namun menurutku itu tidak benar. Sama sekali tidak benar. Aku bahkan jengah melihatnya terus di rumah. Sudahlah, lebih baik aku memikirkan hal yang lebih berguna daripada memikirkan Senja. Memikirkan makanan contohnya. ✨✨✨ Mama memintaku membeli susu dan sereal di mini market yang ada di dekat rumah. Senja sudah hilang entah kemana. Jadi aku berjalan sendiri menuju mini market. Mini market tidak ramai saat itu. Hanya ada beberapa orang. Aku berjalan mencari susu putih dan mengambil beberapa bungkus sereal. Membayarnya pada kasir dan keluar pulang ke rumah. Yah, monoton sekali hidupku. Di saat orang seusiaku sibuk menjalin hubungan, aku tidak tertarik di usiaku yang ke tujuh belas ini. Dulu aku pernah berhubungan dekat dengan seseorang. Tapi dia pergi dan berkencan dengan sahabat baikku. Sudahlah, lagipula aku sudah melupakannya. Yang aku ingat saat itu adalah Senja yang mengamuk marah saat tahu aku dihianati. Terkadang dia menjalankan peran yang cukup baik sebagai kakak. Aku berlari kecil saat melihat seseorang kesulitan membawa beberapa kardus. "Aku akan membantu." aku ikut mengambil kardus yang ada di dalam mobil dan meletakkannya pada pinggir jalan itu. Dia seorang pria yang tampak beberapa tahun lebih tua dariku. "Terima kasih." dia tersenyum kepadaku. "Tak apa, aku hanya membantu sedikit. Aku pergi dulu." aku melanjutkan berjalan. "Aku tersentak saat seseorang menyentuh pergelangan tanganku. Aku berbalik untuk melihat siapa orangnya. Pria tadi. "Boleh aku tahu siapa namamu?" Description: "Siapa yang harus kupercaya?" Aku tak bisa percaya pada siapapun akan hal ini. Semua orang terlihat palsu. Siapa di antara mereka yang benar? Aku tidak mengetahuinya. Satu yang aku tahu, salah satunya pelaku yang membunuh saudara kembarku.
Title: Wartawan Juga Manusia Category: Non Fiksi Text: Tingkat ‘Ngorok’ Seorang Wartawan Jadi wartawan memang melelahkan. Bayangkan, nyari-nyari berita sungguh menguras tenaga. Belum lagi, dikejar deadline. Belum lagi disemprot redaktur. Maka kalau sudah lewat deadline, dan sudah memasuki babak untuk lelap, jemput mimpi terasa begitu tergesa. Lelah, cape, dan penat, membuat tidur full pulas. Tapi kadang karena terlalu full pulas, membuat repot kawan tidur. Saya mengalami itu. Mengalami betapa repotnya menghadapi wartawan yang tingkat ngoroknya begitu akut. Ceritanya begini. Ketika itu, saya mendapat undangan meliput kongres Partai Demokrat yang dilaksanakan di Bandung. Tepatnya di Kota Parahiyangan, yang ada di Kabupaten Bandung Utara. Nah, kebetulan, saya mendapat penginapan di Hotel Golden Flower, yang ada di sekitaran alun-alun Bandung. Ikut bersama saya, beberapa wartawan. Salah satunya adalah Bakti, wartawan portal berita online nasional. Sampai hotel, ya apalagi kalau langsung menikmati empuknya tempat tidur hotel yang lumayan masuk kategori hotel berbintang. Setelah itu menikmati, air anget. Apalagi sebelum nyampe hotel, sempat meliput dulu acara jumpa pers, dari salah seorang kandidat yang mencalonkan diri sebagai ketua umum partai pemenang pemilu 2009 itu. Badan terasa penat dan lelah. Karena tiba waktu rehat, salah seorang teman ngajak nongkrong dulu. Saya pun pamit ke kawan sekamar saya, si Bakti itu. Sambil bawa kunci kamar berbentuk kartu. Sekitaran pukul dua malam, saya pulang ke kamar. Tapi kartu tak berfungsi. Diketuk – ketuklah pintu, tapi tak ada sahutan. Ketukan pun berubah jadi gedoran, tetap tak ada respon, pintu tak juga kunjung di buka. Kesal, karena berkali-kali di ketuk dan digedor, saya balik menuju kamar kawan wartawan lain. Di sana coba tiduran sebentar karena sudah memasuki pukul tiga pagi. Pukul setengah lima bangun, saya coba kembali, pakai kartu dan gedor pintu. Tetap tak ada perubahan. Saya kembali balik badan ke kamar kawan saya. Kawan saya pun berinisiatif nelpon nomor line kamar, tapi tetap tak ada sahutan. Handphone si Bakti, dikontak berkali-kali, tak ada jawaban. Sampai kemudian, kawan saya itu ambil keputusan. “ Karena saya yang dianggap koordinator wartawan yang ngajak kalian di sini, saya harus bertanggung jawab. Jangan-jangan dia sakit, terus parah, bisa gawat kalau begitu,” katanya. Maka diambillah keputusan memanggil petugas hotel. Akhirnya setelah petugas hotel turun, kita menuju kamar tempat saya menginap. Tapi tetap tak bisa dibuka. Di gedor-gedor pun sama saja. Setelah masuk pukul tujuh kurang, baru pintu dibuka. Bakti dengan polosnya bertanya, “ada apa ya?” tanyanya. Ternyata dia bukan terserang penyakit jantung, hingga tak mendengar gedoran pintu. Tapi karena tingkat ‘ngoroknya’ yang terlalu akut, alias, tukang tidur yang seperti setengah mati. Dimuat di Kompasiana.com Akibat Chating, Centong Pun Nyaris Melayang Hati-hati kalau chating. Tak hati-hati, bisa-bisa dilempar centong. Loh, apa hubungannya chating dengan centong. Ternyata ada hubungannya, seperti yang akan di kisahkan di bawah ini. Ceritanya begini, chating bagi wartawan adalah metode komunikasi yang efektif. Tak perlu bertatap muka langsung, tapi bisa ngobrol panjang lebar. Yang pasti, kalau mau chating syaratnya harus ada jalur internet. Hubungi dan ngomong sama redaktur, tak perlu buang pulsa telepon, tinggal pake yahoo messenger, jadilah kita ngobrol ria. Nah, soal chating menchating inilah yang berbuntut tragedi centong melayang. Kala itu menjelang pemilu 2009. Sore tengah merembang menuju senja. Sore menjelang senja di ruang media center gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Bagi wartawan saat yang paling enak dan nyaman adalah saat berita sudah dibuat, dan dianggap lengkap oleh redaktur. Kalau begitu kan tinggal nyantai. Pilihannya, bisa ngobrol, ngopi atau chating itu. Ketika itu, karena berita sudah dibuat dan dikirim via email, saya pun pilih chating saja, mengisi waktu luang. Kebetulan bawa laptop dan wifi di ruang media center yang ada di KPU, tempat saya sehari-hari ngepos liputan, lagi kenceng-kencengnya. Ngobrollah saya dengan salah seorang teman lama, yang saat itu sudah bekerja di Medan. Yang di ajak ngobrol memang berjenis kelamin perempuan. Obrolan standar saja, hanya tanya kabar, keadaan dan keluarga. Apa sudah menikah, berapa anak dan dapat jodoh orang mana. Di samping saya, ikut nongkrong memperhatikan saya chating adalah salah seorang wartawan dari Harian Jurnal Nasional, Mas Arjuna. Lumayan lama chating. Sampai terasa, keinginan untuk buang air kecil mendesak-desak. Saya pun berjingkat, meninggalkan laptop menuju ke kamar mandi, tujuan tak lain kencing.... Setelah selesai buang hajat kecil sayab kembali ke laptop. Ternyata sudah ada wartawan lain dari harian Koran Tempo, Pramono, yang sudah melanjutkan acara chating-chatingan. Walah kadala, ternyata obrolan yang dilakukan Pramono, tak lagi standar. Sudah ada kata sayang-sayangan. Dan ragam rayuan. Saya kaget dan segera mengambil alih chating-menchating dari tangan Pramono. Sementara Mas Arjuna masih anteng memperhatikan sambil ketawa-ketawa. Saya pun mendudukan perkara sebenarnya pada teman saya yang di ajak chating itu. Waktu kian malam. Karena sudah selesai nulis berita, saya pun berkeputusan pulang. Begitu pun dengan yang lain. Sampai rumah, setelah bercengkrama dengan istri, akhirnya lelap pun menjemput. Pagi menjelang, mungkin waktu belum sampai pada pukul enam pagi. Tiba-tiba telepon genggam berdering, tanda ada yang nelpon. Saya lihat di layar telepon, ternyata Mas Arjuna, yang menghubungi pagi-pagi. Tumben, dalam pikir saya, si Mas yang satu ini nelpon pagi-pagi. Saya angkat, langsung terdengar kata-kata dari Mas Arjuna, yang sepertinya agak panik dan ruwet. “ Wah gus, gara-gara chating istriku marah. Malah sampai mau di lempar centong,” begitu kira-kira kata-kata Mas Arjuna yang saya ingat. Mendengarnya saya tak mengerti kenapa chating, dan kenapa ia lalu mau dilempar centong oleh istrinya. Tapi kata Mas Arjuna lagi, “ Nanti ku terangin deh di KPU,” Singkat kata sampailah saya di KPU. Sudah ada Mas Arjuna. Ia pun lalu bercerita. Katanya sehabis memperhatikan chating, ia pulang. Karena kecapaian sampai di rumah, ia langsung pulas tertidur. Nah, kata dia, berdasarkan kesaksian Istrinya, saat tertidur, ia mengigau. Bunyi igauannya begini,” Sayang kapan ke Jakarta, aku kangen ni,” Ha...ha.... itu kan kata-kata yang diketik Pramono saat mengambil alih chatingan saya. Ternyata itu kebawa tidur. Dan jadi bunga mimpi sampai jadi igauan. Ya, pantesan saja istrinya marah. Apalagi, kata Mas Arjuna, dia jarang bilang sayang-sayangan sama istrinya. Ya, pantesan saja, istrinya dengar itu, marah besar. Maka nyaris saja, centong nasi melayang pagi itu. Dimuat di Kompasiana.com Ibu Bukan Bapak Andi Nurpati Di pindah pos liputan, kadang kalau tanpa persiapan, apalagi dadakan, bikin ribet. Harus sedikit banyak paham dan kuasai dinamika berita. Dan yang paling penting, hapal siapa narasumber yang kerap dipakai di pos liputan tersebut. Kalau tak hapal, ya keder nanti bisa salah orang. Kalau yang dipindah itu wartawan ekonomi ke politik, mungkin agak-agak nyambung. Tapi bagaimana kalau yang dipindah itu adalah wartawan hiburan ke politik, ekstra kerja keraslah dia. Nah, teman saya dari media lain, pernah merasa ribet, pindah dari 'lapak' hiburan ke politik. Siapa dia, enggak enak dipaparkan nama lengkapnya. Tapi, setelah dapat ijinnya, saya pun tak jadi mencantumkan hanya inisial. Dia adalah Mas Hakim. Bagi wartawan yang sering liputan di Kementerian Dalam Negeri, periode 2009-2010, pasti tahu ‘beliau’ dan dari media mana dia berasal. Mas Hakim, saat awal-awal mulai liputan di pos barunya, kerjaannya tanya ini itu. Tanya yang hangat di politik apa? Tanya siapa saja narasumber yang dipakai? Tanya Undang-Undang apa yang biasa sering diributkan? Tapi kadang penjelasan hanya garis besarnya saja. Selebihnya si wartawan yang menggali. Memang begitu seharusnya, biar kelihatan kerja he..he... Kawan 'baru' saya mungkin sudah mulai merasa cun in. Ia tak lagi banyak nanya. Ia pun sudah bisa buat berita, tanpa ada cela. Sudah bisa dikatakan lulus ujian. Mungkin layaklah dapat sertifikasi wartawan politik he..he.. Pos-pos yang jadi pantauannya adalah Kementerian Dalam Negeri, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU, dan Mahkamah Konstitusi atau biasa disingkat MK. Banyak juga, maka banyak juga dia harus hapal narasumber dilembaga-lembaga itu. Belum lagi harus hapal pengamat-pengamat yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan lembaga itu. Suatu waktu Mas Hakim ini ditugaskan redakturnya, hubungi salah seorang komisioner KPU. Pokoknya, redakturnya minta, harus dapat komentar dari Andi Nurpati, komisioner yang diinginkan sang redaktur. Mulailah ia kasak-kusuk, minta nomor Andi Nurpati. Didapatlah nomor Andi Nurpati. Karena ia lagi meliput di Kementerian Dalam Negeri, ia putuskan menelpon saja untuk dapat komentar sang komisioner yang diinginkan redakturnya. Dipencetlah nomor. Tersambung. Mulailah ia membuka percakapan. " Selamat siang Bapak Andi Nurpati," kata dia membuka percakapan via telepon. Tapi ia terlihat agak kaget. Cuma terdengar, oh mohon maaf, mohon maaf. Setelah itu baru berlangsung proses tanya jawab. Setelah selesai, ia nyengir dan berkata, pada para wartawan yang kebetulan ngumpul di ruang Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri. " Andi Nurpati itu perempuan tohk. Kirain laki-laki. Pede aja, tadi manggil bapak. Eh didengar suaranya perempuan," katanya. Ha...ha... Ternyata itu kisah dibalik maaf-maafnya itu. Tidak ngeh juga sih lihat ia buka wawancara. Habis, semua sibuk nulis berita. Lumayanlah kisah itu bikin kendor urat syarap yang sibuk menata transkrip wawancara dan cari lead apa yang menarik dari wawancara dengan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi yang tadi pagi baru diwawancarai. Tapi kebayang juga sih, bagaimana raut muka bapak Andi Nurpati, eh Ibu Andi Nurpati. Ia pasti berkerut kening, sejak kapan ia jadi laki-laki. Kisah agak mirip juga dialami Mas Hakim. Kebetulan ia satu kantor dengan saya. Ketika itu, ada acara lumayan penting, yakni pengundian nomor urut partai peserta pemilu 2009. Nah, biar saya tak kerepotan di utuslah teman saya ini, diminta back-up saya. Datanglah dia. Saya pun berkoordinasi bagi tugas biar ringan. Suasana saat itu ramai banget. Tiba-tiba ia hampiri saya, " Bos aku ikut wawancara itu yah," pintanya. Saya hanya mengiyakan, setelah melihat siapa yang akan diwawancarainya. Ternyata yang akan diwawancarainya adalah Abdul Azis, salah seorang komisioner. Abdul Azis sendiri sudah mulai dirubung wartawan. Terlihat Abdul Azis bergerak menuruni tangga. Di ikuti terus oleh beberapa wartawan, termasuk teman saya itu. Setelah itu menghilang, karena sudah turun ke lantai satu. Beberapa saat, baru teman saya itu muncul dan melaporkan wawancaranya beres. Ya, syukurlah pikir saya. Liputan pun usai. Saya dan dia pun ke kantor. Iseng saya, melihat hasil liputan yang dimasukan ke news room. Ternyata sudah banyak berita dari teman-teman yang masuk. Saya baca satu persatu. Pas giliran berita teman saya yang saya baca, ada yang janggal. Kok Abdul Azis berganti nama Azis Syamsuddin. Lalu saya tanya teman saya yang tadi ikut bantu liputan ke KPU. " Bos dari siapa nama Azis Syamsuddin didapatkan," tanya saya. Ia pun mendekat, dan saya perlihatkan beritanya. " Memang siapa namanya bos," tanya dia. "Abdul Azis bos, bukan Azis Syamsuddin. Kau pasti ada yang nipu nih," kata saya. Akhirnya, ia cerita. Karena baru, ia tak tahu siapa yang diwawancarai. Wong dia wartawan yang di BKO-kan bantu saya. Berinisiatiflah ia bertanya pada wartawan yang disana. Ada yang kasih tahu, namanya Azis Syamsuddin. Tanpa bertanya lagi ke saya, ia tulis saja, nama komisioner itu Azis Syamsuddin. Untung belum naik cetak. Coba kalau sudah naik cetak, dan kebetulan lolos koreksi, wah koran saya akan dituduh memasukan komisioner ilegal he..he... Maka itulah pentingnya chek and richek. Apalagi bila baru dipindah pos liputan, biar peristiwa-peristiwa diatas tak terjadi lagi. Dimuat di Kompasiana.com 'Tragedi' Ibu Endang Sulastri Ibu Endang itu, bukan orang sembarangan. Setidaknya saat tulisan ini dibuat. Ia adalah Anggota KPU, sebuah lembaga negara yang ditugasi oleh undang-undang mengurus, mempersiapkan, dan menggelar pemilihan. Pemilihan yang jadi tanggung jawab KPU itu, adalah pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah, mulai dari gubernur hingga bupati dan walikota. Jadi tugasnya, memang tak sembarangan, bejibun soalnya. Hasil kerjaan KPU itu, adalah wakil rakyat, presiden dan para kepala daerah. Nah, apa hubungannya, tulisan ini dengan Ibu endang. Tulisan ini tidak hendak mengupas, siapa Ibu Endang. Tapi ini tulisan yang rada-rada nyerempet ke Ibu Endang, yang nama lengkapnya Ibu Endang Sulastri. Cerita ini, terkait dengan hukum wajib para kuli tinta, untuk hapal nama juga wajah narasumbernya. Terutama para pejabat, dimana ia ngepos dilembaganya. Kalau tak hapal, gimana mau minta komentarnya. Jadi hapal wajah dan nama itu hukum wajib dari sekian hukum wajib lainnya. Nah, ada yang abai pada kewajiban ini. Atau katakanlah lalai, tak hapal wajah juga nama. Hapal nama, tapi tak hapal wajah. Kalau begitu, tak hapal wajah tapi hapal nama, kemungkinannya salah orang. Si A disangka si B, padahal bukan. Itu yang ingin diangkat dalam tulisan ini. Kebetulan nyerempet-nyerempet ke Ibu Endang Sulastri. Ceritanya, begini, masih dalam suasana persiapan pemilu. Ketika itu, penutupan verifikasi partai peserta pemilu usai. Tinggal, memastikan siapa peserta pemilu yang boleh ikut pemilihan. Saat itu, menjelang akhir penilaian partai. Momen itu bagi kuli tinta tentu tak boleh dilewatkan. Karena nilai beritanya lumayan tinggi. Karena itu momen penting bernilai berita, para kuli tinta, baik yang sudah biasa ngepos liputan di KPU, maupun yang tiba-tiba ditugaskan kantornya meliput ke KPU, sejak siang sudah coba memantau dan mencatat proses akhir penentuan partai yang boleh ikut pemilu. Termasuk saya yang boleh dikatakan ‘orang lama’ sebab saya memang sudah lama 'ditanam' kantor meliput disana. Tapi ternyata banyak juga yang tak terlalu sering ‘nongkrong’ di KPU. Salah satunya adalah Nurul Huda, yang saat itu masih tercatat jadi reporter di Berita Kota, sebelum pindah ke Seputar Indonesia. Mas Nurul ini pedenya minta ampun. Bahkan, terlalu cepat berakrab ria dengan narasumber. Nurul, siang itu ditugaskan juga meliput ke KPU. Saya sendiri, lumayan kenal dekat, dengan wartawan yang bahasanya medok baget jawa. Saya kenal Nurul, saat berstatus wartawan floating alias wartawan udar-ider. Dari siang, saya dan beberapa wartawan lain, sudah ngendon di KPU, mantengin kalau-kalau ada hal luar biasa. Entah mengapa, dari siang komisioner tak ada yang mau ngomong. Proses verifikasi akhir partai pun tertutup. Padahal kantor tak mau tahu, harus dapat catatan informasi serta komentar komisioner tentang proses itu. Katanya, bisa jadi Head Line (HL). Para wartawan pun setia nongkrong, depan ruangan tempat verifikasi parpol dilakukan. Di depan pintu, ada dua satpam KPU, serta polisi. Artinya memang, proses didalam ruangan, tak boleh dilihat orang yang tak berkepentingan. Ditunggu, tetap tak ada yang bisa dimintai keterangan. Siang pun menjelang sore. Sudah pegel banget menunggu-nunggu, sumber informasi. Kita setia menunggu, karena kata staf KPU, ada salah seorang komisioner yang berada dalam ruangan verifikasi. Niatnya begitu keluar langsung disergap. Mau ngomong apa dia, yang penting ada yang didapat dari sumber berwenang. Nah, salah satu yang menunggu itu adalah Nurul. Biasa sembari menunggu ngobrol ngalor ngidul. Nurul yang mantan santri, banyak keluarkan lelucon ala anak pesantren. Suaranya yang keras dan bercengkok jawa, cukup menjadikannya ia bintang obrolan. Jelang magrib, tiba-tiba satu sosok yang sudah dikenal anak wartawan yang biasa ngepos di KPU keluar. Ia salah seorang komisioner. Entah karena saking semangatnya, Nurul adalah wartawan yang paling cepat bergerak menghampiri komisioner yang ditunggu-tunggu itu. Dengan keyakinan melebihi seratus persen, ia langsung membuka pertanyaan. Di awali, dengan seruan nama, "Bu Endang, Bu Endang. Bagaimana Bu Endang, proses verifikasinya. Berapa partai yang kemungkinan gagal?” Tanya Nurul dengan beruntun Yang ditanya, bukannya menjawab, tapi malah berkerut kening. Nurul pun mengulang pertanyaan yang sama, dengan titik tekan pada nama Ibu Endang-nya. Baru yang ditanya menjawab, sambil mencoba menghindar. “ Saya bukan Ibu Endang. Saya Sri Nuryanti,” jawabnya sambil bergegas menuju pintu yang mengarah ke ruangan Ketua KPU. Di depan pintu Zaid, wartawan Kompas, sudah mengantisipasi menghadang. Maksudnya biar ini narasumber yang ditunggu-tunggu tak masuk dulu ke ruangan. Sebab kalau sudah masuk ke ruangan itu, wartawan tak bisa masuk. Karena pintu yang menghubungkan lorong ke arah ruangan Ketua KPU, pakai sistem kartu kuncinya. Tapi entah karena tak mendengar, atau karena sedang diburu deadline, Nurul yang suaranya keras kembali melontarkan pertanyaannya. “ Oh, maaf bu. Jadi bagaiman Bu Endang, proses verifikasinya,?” Mendengarnya karuan saja ini Ibu Endang eh Ibu Sri Nuryanti, agak terlihat merah mukanya. Wong, sudah ditegaskan dirinya itu bukan Ibu Endang, tapi ia adalah Ibu Sri Nuryanti, ini ada wartawan tetep ngeyel. Ia pun tetap berusaha keluar dari kepungan para wartawan, tapi menghiraukan pertanyaan dari wartawan lainnya. Zaid, wartawan Kompas, yang badannya gede, dan sudah siap menghadang untuk mencegah agar Ibu Sri itu tak lewat dulu pintu menuju ruangan Ketua KPU, tak berdaya mencegah. Ibu Sri tetap berkeras masuk. Lepas deh buruan, sebab kemudian pintu terkunci, dan sudah ada satpam yang menjaganya. Kosong deh pendapatan berita, padahal sedari siang menunggu. Sudah didapat buruan lepas lagi, karena ngeyelnya Nurul. Habis Ibu Sri lepas, baru para wartawan menghakimi Nurul. Tapi dengan polosnya Nurul menjawab. “ Kirain itu Ibu Endang he...he...” Ya bukan jawab para wartawan yang lumayan sudah dirasuki dongkol. Ibu Endang itu berjilbab, tapi yang ini tomboy. Tapi setelah dongkol agak reda, meledaklah tertawa mengingat kejadian konyol itu... Dimuat di Kompasiana.com Peluru Recoset Yang 'Ofside' Peluru Recoset, itu bukan jenis peluru, tapi istilah untuk menyebut peluru yang memantul. Misalnya, memantul dari bawah ke atas. Efeknya memang bisa membahayakan, namanya juga peluru. Bahkan bisa mematikan. Nah, soal recoset-recosetan ini, saya punya kisah yang dibagikan kawan saya, Mas Toni, wartawan senior di Jawa Pos Nasional Network (JPNN). Kisahnya lumayan bikin kita mesem-mesem. Sekaligus mengangguk-angguk dan sedikit menyimpulkan, ooo ternyataa wakil rakyat yang terhormat juga manusia. Kadang tak luput dari sok ingin disebut sadurung winarah, tapi jatuhnya sok tahu. Ingin disebut pintar mengetahui segalanya, tapi ternyata terjerembab pada lubang kekonyolan. Malah kasihan, menjadi bahan dagelan. Lho kok ke wakil rakyat arahnya, karena soal recoset-recosetan itu datangnya dari gedung anggota dewan. Ceritanya begini, berdasarkan hasil rekonstruksi kisah yang dituturkan Mas Toni. Saat itu, Mas Toni, sedang meliput rapat antara Panglima TNI dengan para anggota dewan dari komisi I. Nah, komisi I, memang rekan kerjanya adalah salah satunya Panglima TNI. Karena memang, komisi ini ngurusin tetek bengek soal pertahanan. Ketika itu agenda rapat yang dibahas adalah kasus penembakan warga oleh marinir di Situbondo. Panglima TNI, dipanggil oleh komisi I, untuk menjelaskan duduk perkaranya. Biasanya kalau rapat dengan Panglima, para anggota dewan juga tiba-tiba harus ikut gagah. Wong yang dihadapi panglimanya para serdadu negara. Panglima TNI sendiri, saat itu dijabat oleh Marsekal Djoko Suyanto yang kemudian setelah Pak SBY terpilih untuk kedua kalinya menjabat Menkopolhukam. Saat tiba menerangkan, kasus Situbondo, Panglima TNI menerangkan, bahwa kemungkinan besar, korban yang jatuh dalam kasus Situbondo, disebabkan peluru recoset. Jadi bukan prajurit marinir yang sengaja menembakan langsung ke warga. Belum juga Panglima runut menerangkan tuntas, sudah ada anggota dewan yang memotong. Biasa anggota dewan kan doyannya interupsi. Kalau interupsi, biasanya suaranya keras berkumandang. Ya, mungkin agar ingin dianggap singa parlemen he..he...Nama si penginterupsi, sebenarnya disebut Mas Toni. Tapi tak etislah sebut nama beliau. Ketika disebut-sebut peluru recoset, si anggota dewan itu langsung memotong. Dan dengan lantang menyuarakan pendapatnya. “ Di mata anggaran tak ada pembelian peluru recoset. Dari mana itu peluru recoset,” Kata Mas Toni, mendengar interupsi itu, Panglima hanya mesem-mesem. Mungkin dalam benak Panglima, ini yang menginterupsinya belum ngeh, tapi ingin disebut ngeh. Akhirnya dengan menahan mesem, panglima menerangkan apa yang dimaksud peluru recoset. Recoset hanya istilah, bagi gerak peluru yang memantul, bisa karena menabrak alas keras seperti batu, sehingga memantul. Sedangkan bagi anggota dewan penginterupsi, peluru recoset, dikiranya, adalah jenis peluru. Padahal seperti yang kemudian diterangkan oleh panglima, peluru recoset itu, istilah peluru yang memantul. Dimuat di Kompasiana.com Ketika Pejabat Negara Disangka Office Boy Ini kisah sejati yang senyata-nyata. Bukan rekayasa. Ini kisah yang tercecer, dari lapangan liputan. Kisah ini terjadi ketika negeri ini sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pemilu 2009. Kebetulan saat itu saya mendapat pos liputan di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lembaga inilah yang dikasih mandat oleh undang-undang melaksanakan hajatan pemilu. Kebayangkan sibuknya. Hajatan pemilu itu bukan hajatan ecek-ecek. Ada ratusan juta pemilih yang harus dipastikan haknya. Puluhan triliun di gelontorkan biar pemilu itu sukses lancar, jujur, adil dan demokratis. Nah, cerita ini tentang pejabat. Ya, pastinya pejabat yang ngurus tetek bengek persiapan pemilu. Tapi bukan pejabat KPU yang biasa disebut komisioner. Ini kisah tentang pejabat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Nah, lembaga itu sebelumnya bernama Panitia Pengawas Pemilu. Tapi saat menjelang pemilu 2009, dipermanenkan dari yang tadinya sifatnya sementara menjadi permanen. Serta tak lagi panitia namanya, tapi sudah jadi badan. Lumayan mentereng dan gagah namanya, Badan Pengawas Pemilu disingkat Bawaslu. Badan ini, beranggotakan lima orang. Diantara lima orang ini, ada yang didaulat menjadi ketua. Nah, yang terpilih jadi ketua Bawaslu, namanya Nur Hidayat Sardini. Beliau dulunya mantan aktivis LSM yang bernama Perludem atau Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi. Tugas Bawaslu itu sendiri ngawasin penyelenggaraan pemilu. Tahapannya dipelototin apakah ada pelanggaran atau tidak. Yang diawasi termasuk KPU, bukan hanya parpol. Sebagai badan baru, biasanya problem utamanya itu selain anggaran, ya kantor. Bawaslu itu, saat sudah dibentuk, sudah ada ketua serta anggotanya, tapi yang enggak ada kantornya. Terpaksa, saat itu Bawaslu nebeng dulu berkantor di KPU. Agak unik juga, yang ngawasin dan yang diawasi ada dalam satu kantor. Karena nebeng, maka fasilitasnya ya terserah yang ditebengi. Kasihan juga sih melihat kondisi Bawaslu pada awal-awal. Sampai kalau ingin nge-faks saja atau kirim faksmile, mesti ngalah. Badan pengawas itu harus rela mengantri dan menunggu kerjaan kirim-kirim faks yang dilakukan KPU kelar. Bahkan, yang ngenesnya, untuk layanan minum saja harus si pejabat Bawaslu sendiri yang turun tangan. Ngenes kan? Bayangkan pejabat lembaga tinggi negara, mesti pontang-panting ke kantin. Waktu itu, karena baru saja terpilih dan diangkat tak semua wartawan yang ngepos di KPU hapal wajah para pejabat Bawaslu. Oh ya lupa, pejabat Bawaslu itu dipilih oleh DPR, dan ditetapkan oleh presiden. Sebelumnya diseleksi oleh sebuah tim penyeleksi yang dibentuk pemerintah. Baru setelah disaring siapa yang lolos seleksi, dilakukan fit and proper test istilah, untuk mendapatkan kelima pejabat itu. Terpilihlah lima orang, yakni Nur Hidayat Sardini, Wirdyaningsih, Agustiani Tio, Bambang Eka Cahya Widodo dan Wahidah Suaib. Saat nebeng di KPU, beberapa wartawan tak hapal wajah, maklum yang biasa liput proses fit and proper test adalah para kuli tinta yang ngepos di DPR. Karena tak hapal wajah itulah, terjadi tragedi pejabat disangka office boy. Ceritanya begini, ketika sudah ada Bawaslu, selain para komisioner yang dijadikan narasumber, pejabat pengawas pemilu juga adalah sumber berita yang bisa dikorek tentang segala hal ihwal informasi persiapan pemilu. Ada tidak yang rada-rada melanggar atau seperti apa penilaian kinerja KPU, yang ditanya para pejabat Bawaslu. Kan salah satu tugas Bawaslu ngawasi kerja KPU. Saat nebeng, para pejabat itu disediakan beberapa ruangan di sayap kiri gedung KPU. Karena satu gedung, lumayan menguntungkan wartawan, karena tak usah pontang-panting minta tanggapan, dari KPU dan Bawaslu. Coba kalau beda gedung, berabe kan? Waktu itu, kita beberapa wartawan sudah mendapat pernyataaan dari KPU. Tinggal cari perimbangannya dari Bawaslu. Dituju-lah, ruangan tempat pejabat Bawaslu ngantor di gedung tebengannya. Didapatlah pernyataan atau tanggapan. Tapi ternyata ada satu wartawan yang saat itu tak ikut wawancara. Setelah wawancara, para wartawan keluar gedung utama KPU, menuju media center, yang biasa dipakai untuk ngetik berita. Nah, Pramono, wartawan Tempo yang tak ikut wawancara, melenggang sendiri ke ruangan para pejabat Bawaslu. Pramono bercerita, saat ia sudah mau masuk ruangan, di luar nampak seorang lelaki agak pendek sedang merokok santai. Ia sangka itu adalah seorang office boy yang bekerja untuk Bawaslu. Dengan santai pula, Pram bertanya. “ Ketua Bawaslu ada?” Yang ditanya agak gelagapan. Tapi kemudian dia menjawab, bahwa Ketua Bawaslu ada di ruangannya. Pram-begitu Pramono biasa disapa- pun dengan santai mengetok pintu ruangan Ketua Bawaslu yang ditunjukan ‘si office boy’. Karena diketuk-ketuk tak ada sahutan. Pram berkesimpulan, si tuan rumah tak ada. Ia pun putuskan pergi dari situ. Pram setelah itu bergegas pergi. Si office boy yang ia temui saat hendak masuk ruangan Ketua Bawaslu pun tak lagi nampak. Mungkin ke kamar mandi. Baru setelah itu, Pram kaget bukan kepala. Ceritanya begitu. Suatu waktu, Bawaslu menggelar acara jumpa pers. Di acara jumpa pers itulah, Pram baru ngeh. Ternyata orang yang disangkanya office boy itu, tak lain dan tak bukan adalah Ketua Bawaslu yang dia cari. Ah, Pram, Pram, kok tega sekali pejabat disamakan dengan office boy. Tapi yang saya tak habis pikir, kenapa Pram langsung menyimpulkan lelaki yang merokok di depan ruangan Ketua Bawaslu itu adalah seorang office boy. Apakah karena sosokny yang mungkin mirip? Atau karen apa? Tapi Pram, kisah pejabat disangka office boy itu adalah bukti bahwa telah terjadi manunggaling kawulo Bawaslu he...he... Di muat di Kompasiana.com Paspampres Juga Manusia Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), adalah satuan elit. Karena satuan elit, pastinya prajuritnya juga pilihan. Wong yang dia kawal adalah orang nomor satu di republik ini. Jadi soal keahlian mengawal dan mengamankan, Paspampres itu jagonya. Kewaspadaannya nomor wahid. Setiap gerak mencurigakan jadi perhatiannya. Setiap detil gerak sekitar presiden, di awasi dengan ketat dan waspada. Tapi Paspampres juga manusia biasa. Kadang melakukan hal-hal konyol yang dimata orang awam, hanya meneguhkan Paspampres juga manusia, tak lepas dari kekeliruan, bahkan kekonyolan yang kadang sepele dimata orang biasa. Cerita kekonyolan Paspamres, sebenarnya teman saya yang jadi saksi langsung. Saya hanya dapat dongengnya saja. Nah, kawan saya ini satu kantor dengan saya, di sebuah harian nasional yang bermarkas di Jakarta. Kisahnya begini, ketika itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri acara peringatan hari Pancasila 1 Juni. Yang punya hajat acara itu adalah MPR. Inisiatornya adalah Ketua MPR, Taufik Kiemas. Acara itu menyedot perhatian publik, karena yang datang selain presiden, ada juga mantan presiden, Megawati. Megawati sendiri, dimata publik, masih kurang harmonis dengan Presiden SBY, yang pernah jadi bawahannya. Jadi momen bertemu Megawati dengan SBY, itu sebenarnya magnet utama acara Peringatan Hari Pancasila yang digagas oleh sang suami Megawati, Taufik Kiemas. Bejibun wartawan sudah menanti momen itu. Saking banyaknya para kuli tinta sampai suasana desak-desakan. Agak kacaulah. Saat itu, kisah teman saya, Presiden SBY menunggu Ketua MPR, Taufik Kiemas keluar ruangan. Presiden masih ada di dalam gedung Nusantara empat, tempat acara itu berlangsung, tapi sudah di luar ruangan. Wartawan sudah merubung dan berdesak-desakan, ingin dapat komentar dari Presiden dan Ketua MPR. Salah seorang Paspampres, kata teman saya mencoba mengamankan desak-desakan wartawan. Kata teman saya, sebelah pintu keluar, ada dinding kaca. Paspampres yang menertibkan wartawan masih kerja keras. Sampai presiden pun keluar ruangan, setelah bertemu dengan Taufik Kiemas untuk pamitan. Setelah presiden keluar, Paspampres yang bertugas tertibkan wartawan, mau keluar. Tapi bukan ke pintu keluar ia menuju, namun tegap menerobos dinding kaca yang mungkin disangkanya bukan kaca. Maka, jeduuuuk... ia langsung menabrak dinding kaca itu. Menyaksikan itu para wartawan hanya menahan senyum. Sedangkan si Paspampres penabrak kaca, pastinya malunya bukan main. Cepat bergegas, keluar ke pintu yang benar. Yahhh, ternyata Paspampres juga manusia biasa, kadang terselip tindakan lucu dalam bertugas. Tulisan ini bukan ingin menyepelekan Paspampres. Ampun beribu ampun, ini cuma kisah lucu saja dari lapangan liputan. Dimuat di Kompasiana.com Kiat Aji Mumpung Wartawan Jadi wartawan, banyak enaknya, juga bejibun susahnya. Enaknya, ya bisa ngelancong ke luar daerah atau pulau, karena diundang liputan. Bisa nginep di hotel berbintang, karena liputan juga. Susahnya, he...he... Kalau sudah menjelang deadline, redaktur sudah mencak-mencak tak karuan. Atau dihadang hujan yang bikin motor mogok. Nah, karena kerap dapat 'keistimewaan' biasanya strategi aji mumpung tak luput untuk dipakai. Saya banyak catatan tengan dunia peraji mumpungan wartawan. Salah satu kisahnya begini. Ada seorang wartawan, kawan satu pos liputan, yang kerap beraji mumpung ria. Pos liputan saya ini tak lain Komisi Pemilihan Umum. Waktu jelang pemilu, banyak isu yang dapat dijadikan berita. Maka kalau metodenya bobol bobolan, ya harus rajin datang pagi-pagi. Acara KPU sendiri, jelang pemilu cukup padat. Rapat pleno nyaris dilakukan tiap hari. Dari pagi, bahkan sampai larut malam. Tentu kebayangkan, kalau liputan dari pagi, hingga malam, badan terasa penatnya. Bau keringat sudah menjadi keseharian. Nah, ternyata ada seorang kawan liputan dari sebuah harian nasional yang cukup tenar, yang otaknya moncer. Ia tahu cara beraji mumpung memanfaatkan fasilitas yang ada di gedung komisi pemilihan. Dia tahu, liputan dari pagi, bahkan kerap sampai malam, bikin badan penat, gerah dan akrab dengan bau keringat. Maka ia putar strategi, bagaimana atasi itu. Modusnya, bener-benar tak terpikirkan oleh wartawan lain. Bisa dikatakan ia pioner dalam hal ini. Ternyata di tasnya, ia bawa peralatan mandi. Sabun cair, shampo botol, odol, sikat dan handuk mini. Nah, saat yang lain tak berdaya oleh bau keringat, ia segar wangi, karena dapat jebar-jebur mandi di kamar mandi yang ada digedung KPU. Biasanya dia mandi, di kamar mandi yang kerap dipakai komisioner, yang biasa sepi dari aktivitas hajat para staf lembaga penyelenggara pemilu itu. Memang cerdas kiat aji mumpungnya. Disaat yang lain enggak enak dengan bau keringat, dia siul-siul dengan segarnya badan. Padahal rambutnya gondrong. Tapi karena kiat aji mumpungnya, tak ada cerita rambutnya yang gondrong desa lengket oleh keringat dan debu. Saya pun kadang terapkan strategi aji mumpung. Terutama saat saya, di floating, alias liputan tanpa pos. Liputannya kebanyakan dari diskusi ke diskusi. Nah, kalau acara diskusi itu sering dilengkapi dengan hidangan makanan dan minuman. Kalau minuman biasanya the atau kopi. Kalau acara diskusinya di hotel berbintang, kopinya lumayan enak. Kebetulan saya ini, pecandu kopi. Tapi kalau dikantin KPU, kopi yang saya reguk diperhitungkan dengan isi dompet. Lagian di kantin, kopi yang dijual, kopi sachetan. Aji mumpung itu saya terapkan, setelah meneliti setiap diskusi banyak yang sediakan kopi. Makanya saya bela-belain, beli termos kecil dari alumunium, untuk 'mencuri' kopi diskusi. Caranya, saya racik kopi dulu secangkir untuk saya minum saat diskusi. Lalu isi termos kecil alamunium saya, buat bekal ngopi nantinya selepas acara diskusi. Jadi tak usah beli lagi kopi sachetan. Tapi bisa reguk kopi diskusi yang lumayan enak. Modus aji mumpung juga banyak diterapkan para wartawan yang sering liputan di KPU. Biasanya aji mumpung dilakukan saat mewawancarai para komisioner di ruangan. Nah, didalam ruangan para komisioner itu selalu tersedia kue dan makanan di meja. Sementara kita kalau wawancara, ya di kursi-kursi yang mejanya banyak makanan. Dengan pura-pura jaim, biasanya sambil ber ha ha hi, ada wartawan yang memulai minta ijin mencicipi makanan dan kue-kue di atas meja. Si tuan rumah, yang tak lain komisioner pemilihan, pastilah tak akan melarang. Pasti memonggokan. Maka sekali dipersilahkan, sambil wawancara tangan - tangan wartawan tak henti-hentinya masuk toples kue. Bahkan kalau hendak keluar, masih sempet-sempetnya mengisi kanton dan saku baju dengan kue, makanan ringan lainnya dan permen. Alhasil kalau rombongan pemburu berita itu usai wawancara dan pamit, nampaklah toples yang isinya terkuras. Bahkan pernah ludes. Lumayanlah, berita di dapat, mulut dimanjakan oleh penganan he...he... Aji mumpung lainnya diterapkan, jika diundang hadiri diskusi di cafe atau restoran, dimana yang empunya hajatan membebaskan para wartawan pesen apa saja. Kalau sudah begitu senengnya minta ampun, langsung pesen makanan yang belum pernah di cicipi. Atau yang harganya paling mahal. Kan namanya juga aji mumpung. Dimuat Kompasiana.com Mr Blower Bukan Whistle Blower Istilah Whistle Blower saat ini begitu populer. Picunya, adalah Pak Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri. Nah, Pak Susno sekarang di tahan oleh institusinya sendiri. Gara-garanya, Pak Susno berani bongkar ada mafia kasus di Polri. Status Pak Susno ini sekarang yang diributkan. Oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bikinan Presiden Esbeye, Pak Susno layak menyandang status peniup peluit atau whistle blower, yang layak dilindungi. Nah, di republik ini, sudah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau disingkat LPSK. Oleh banyak kalangan, LPSK diminta lindungi Pak Susno, karena ia layak masuk kategori whistle blower. Ya, sampai sekarang, LPSK belum bisa lindungi Pak Susno dan membawanya ke save house, istilah tempat bagi saksi pembocor kasus. Istilah whistle blower itulah yang kemudian populer. Para pengamat hukum, selalu menyebutnya. Praktisi hukum juga demikian. Kalangan dewan pun tak mau ketinggalan, ikut latah ucapkan istilah whistle blower. Soal whistle blower ini, saya dapat cerita lucu yang bikin kita tersenyum kecut. Ceritanya saya dapat dari seorang wartawan senior Kompas. Nama wartawan itu, Mbak Susi, demikianlah saya memanggilkan, maklum ia sudah senior dibanding saya dalam jagad perkuli tintaan. Menurut Mbak Susi, ia pernah mendapat cerita lucu berlatar istilah whistle blower. Cerita lucu itu terjadi di gedung dewan. Saat itu ia sedang meliput rapat dengar pendapat antara Komisi II dengan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Saat itu, kata dia, ada anggota dewan dengan semangat mengutarakan pendapatnya, dan memakai istilah whistle blower. Entah keseleo lidah atau tak tahu istilah yang benar dari whistle blower, yang di ucapkanya salah jauh. Atau dalam istilahnya of side. Si anggota dewan itu, kata Mbak Susi bukannya mengucapkan whistle blower, tapi yang ucapkannya dengan gagah adalah mr.blower. Anggota dewan-anggota dewan.... kalau tukang becak salah ucap mungkin masih dimaklumi. Ini wakil rakyat lho.. Dimuat Kompasiana.com Akibat Tak Hapal Narsum Jadi wartawan, salah satu yang harus dipegang kuat, adalah hapal narasumbernya (narsum). Tak hapal, ya sama saja informasi tak di dapat. Makanya, hapal muka narasumber, itu hukumnya wajib bagi kuli tinta seperti saya. Tapi adakalanya, kalau seorang wartawan awal-awal di pindah desk liputan, harus kembali belajar nol lagi istilah. Harus banyak nanya, siapa narsum yang kerap dipakai jadi referensi berita di desk barunya. Kalau tak nanya, ya sesat informasi. Soal pindah desk, dan tak hapal narsum saya pernah mengalami kisah konyol. Ketika itu, saya dipindah desk liputan dari awalnya di Komisi Pemilihan Umum, di rolling ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Tugas pertama saya, di desk liputan baru itu, adalah meliput sidang kasusnya jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap KPK, karena terima ‘oleh-oleh’ haram dari Artalyta Suryani, orang dekatnya, Sjamsul Nursalim. Jelang sidang, ruangan pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang ada di bilangan Kuningan, sudah ramai dengan wartawan. Maklum kasus itu cukup menyedot perhatian. Bahkan di koran-koran dan teve itu selalu jadi HL atau berita utama. Saat itu yang akan diperiksa adalah salah seorang atasan Jaksa Urip, yakni Muh. Salim, yang saat itu jabatannya sebagai Direktur Penyidikan di Kejagung sudah dicopot. Jadi Muh. Salim itu saat dipanggil sebagai saksi Jaksa Urip berstatus mantan. Karena baru, saya agak celingukan di sana. Sedikit wartawan yang saya kenal. Hanya beberapa gelintir wartawan yang saya kenal, itu pun yang sering mampir ke KPU. Lama nunggu sidang mulai, arus bawah minta dikeluarin, alias kebelet kencing. Melangkahlah saya kamar mandi. Saat saya tunaikan hajat, tiba-tiba masuk seorang lelaki paruh baya, pakai pakaian safari warna coklat. Sempat ada dialog antara saya dengan lelaki itu. Lelaki itu bertanya, apakah saya wartawan. Saya jawab iya. “ Enak ya jadi wartawan, “ katanya dengan dibarengi he.. he..he-an. Nyaris bersamaan, saya keluar dengan lelaki paruh baya itu. Bahkan sempat ngobrol ringan dengannya. Sampai ia ngeloyor masuk ruangan, yang biasa nampung saksi pengadilan. Saat itu, wartawan yang sudah saya kenal, langsung menghampiri, dan tanpa ba bi bu, menodong saya dengan pertanyaan. “ Bos, tadi Muh Salim ngomong apa saja?”tanya. “Muh Salim? Hahhhhhhhh jadi itu tadi Muh Salim. Walahhhhh,” jawab saya, merasa konyol dengan kebodohan akibat minimnya pengetahuan dan informasi. Padahal Muh Salim, adalah orang yang paling ditunggu komentarnya, karena ia dijadikan saksi kasus Jaksa Urip. Nasib-nasib, karena tak tahu narsum, lepaslah kesempatan dapat informasi berharga. Herannya juga, sampai wartawan tak tahu, Muh Salim ke kamar mandi. Entahlah, kenapa begitu. Yang pasti saya dongkol pada diri sendiri. Ada juga cerita yang agak mirip. Tapi bukan saya yang jadi pelaku utamanya. Cerita ini saya dengar, dari kawan sekantor saya, saat ia meliput di Kementerian BUMN. Kawan saya bercerita, ketika itu ada seorang wartawan dari sebuah koran ekonomi nasional, yang diperintahkan kantornya mewawancarai Menteri BUMN, yang saat itu dijabat Sofyan Djalil. Wartawan ekonomi itu baru meliput di Kementerian BUMN. Yang jadi bekalnya cuma nama, dan gambaran sosok sang menteri BUMN yang berkumis. Ketika itu, sang menteri sedang menerima tamu. Ia dengan setia menunggu menteri keluar ruangan. Saat itu keluarlah dua orang lelaki yang sama-sama berkumis. Dengan semangat empat lima, ia langsung menghampiri salah seorang dari lelaki berkumis itu. Dan langsung menyodorkan rekaman, dan ajukan pertanyaan. Intinya di penggal terakhir pertanyaannya, berbunyi,” Bagaimana tanggapannya Pak Menteri (Sofyan Djalil-red)." Yang ditanya gelagapan. Ia memberi isyarat, maksudnya menunjuk, bahwa Sofyan Djalil itu bukan dirinya, tapi lelaki berkumis satunya lagi. Pasti bayangkan itu, wajah si wartawan kayak udang rebus, saking malunya. Sudah semangat-semangat ternyata salah orang. Bukan sang menteri yang didapat, tapi tamu sang menteri yang gelagapan, jadi menteri BUMN dadakan ha...ha...ha... Dimuat Kompasiana.com Lift Islami Lift itu alat angkut modern. Fungsinya mengefesiensikan orang, jika ingin naik ke atas. Nah, gedung-gedung bertingkat itu, biasanya dipasangi lift. Biar orang tak cape-cape ngos-ngosan naik tangga. Kebayang capenya kan, kalau ada gedung 11 lantai saja, tak dilengkapi lift dan orang yang ingin menapaki setiap lantai harus pakai tangga. Ya, itu mah sama saja, ibarat naik gunung. Tapi selama saya liputan, lift yang paling unik, ada di gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Gedung itu adalah markas besarnya organisasi kaum nahdliyin yang terletak di jalan Kramat, Salemba Jakarta. Uniknya apa? Lift yang ada di gedung itu yang unik menurut saya. Sebab liftnya itu menggambarkan yang punya gedung, yakni organisasi Islam. Liftnya pun mengisyaratkan keislamiannya. Jadi bukan ornamen dalam gedung itu sendiri yang nyantri banget, sampai ke liftnya pun di rancang untuk mengingatkan bahwa gedung itu milik organisasi kaum sarungan atau pesantren. Karena kalau kita masuk lift dan pencet tangga berapa yang ingin dituju, setiap lift terbuka, selalu terdengar, ucapan, “Alhamdulillah, telah tiba di lantai satu. Assalamualaikum”. Begitu seterusnya, setiap pintu lift terbuka pada setiap lantainya. Kreatif juga bukan. Coba setiap lift gedung itu mengisyaratkan karateristik si empunya gedung tentu asyik juga. Misalnya, kalau gedungnya itu, anak muda banget, kan setiap pintu lift terbuka setiap lantainya, ada suara, “ Selamat bro, anda tiba dilantai dua”. Atau bisa, “ Sudah nyampe lantai dua booo!” Kalau liftnya ada di hotel, bisa saja sapaan si lift, “ Anda telah tiba dilantai tiga. Selamat menginap”. Ya, kan sedikit banyak, biar tak ada yang tersesat lantai. Bisa saja, kalau lift itu informatif seperti yang ada di gedung PBNU, orang yang lagi asyik ria main hape, bisa disadarkan, lantai berapa yang ditujunya. Salutlah pada kreativitas PBNU. Walau sering disebut kaum sarungan itu, pinggiran, tapi kreativitas bisa dihasilkan. Unik lagi. Dimuat Kompasiana.com Kepagian Mas... Tepat waktu adalah hukum wajib, bagi para wartawan. Kalau tak tepat waktu, alhasil narsum bakal tak didapat. Apalagi bila tak tepat waktunya itu saat acara sudah kelar. Ya, itumah sama saja, jurus minta transkripan teman yang tepat waktu yang digunakan. Karena terlambat sedikit saja, akan banyak omongan narsum yang terlewat. Padahal siapa tahukan, omongan diawal justru yang menarik dan layak dijadikan lead berita. Maka tepat waktu itu wajib hukumnya. Nah, ada beberapa kisah, saking inginnya tepat waktu, malah kecele. Contohnya, teman saya Vidi dari Sinar Harapan. Saat itu, saya sedang liputan di sebuah cafe meliput acara diskusi. Acara belum mulai, ya ngopi-ngopi dulu bersama wartawan lain yang juga sudah datang. Ngobrol ngalor ngidul. Gosip kiri dan kanan, sambil menyereput kopi dan menghisap rokok. Tiba-tiba muncul Vidi dan langsung bergabung. " Acara sudah selesai belum," tanyanya dengan nafas memburu. Kayaknya dia tergesa-gesa. Salah seorang wartawan menjawab," Tentang saja, acara belum mulai bos," "Syukurlah," kata Vidi. Saya pun bertanya pada dia, kok kayak dikejar-kejar. Sambil meraih cangkir kopi saya, ia menjawab." Iya nih bos, gue kan ke Mahkamah Konstitusi. Gue lihat didinding kantor ada agenda, sidang gitu. Gue tak lihat tanggalnya, hanya diinget-inget saja." Lalu ia menyambung lagi ceritanya. " Eeh, pas gue kesana, ternyata sepi. Gue tanya ke humasnya, katanya ada sidang. Eh, humasnya menjawab, sidang kan besok mas. Kampret, gue salah hari." Mendengarnya, saya tak bisa menahan tawa. " Ha..ha.. Lu tuh bukan kecepatan lagi, tapi kepagian yang kebangetan..." Jawab saya dengan tertawa. Nasib serupa pernah saya alami juga. Tapi waktu itu, bukan salah saya. Tapi salah asisten redaktur memberi perintah. Ketika itu si asisten redaktur, perintahkan saya harus meliput acara diskusi. Tempatnya, di kantor Formappi. Jam sekian dan seterusnya. Saya sebagai bawahan mengiyakan saja, namanya juga perintah. Karena ingin dapat teman liputan, saya hubungi kawan saja, Mas Arjuna, wartawan Jurnal Nasional, bahwa ada diskusi di Formappi. Mas Arjuna mengiyakan, kebetulan ia sedang meluncur di jalan yang searah dengan kantor Formappi. Saya pun meluncur kesana. Sampai disana, Mas Arjuna yang sampai duluan. Saat saya sampai dan sudah parkirkan motor, Mas Arjuna langsung bertanya. " Diskusi sebenarnya kapan sih gus?" Dengar pertanyaannya saya heran, kenapa Mas Arjuna kok nanya begitu. " Emang kenapa Jun," saya balik nanya. " Enggak, gue tadi nanya sama orang Formappi, katanya enggak ada diskusi hari ini. Besok adanya," jelas Mas Arjuna. "Masa sih?" Saya tak percaya. Saya pun berinisiatif menanyakan ulang pada asisten redaktur yang kasih perintah, kapan sebenarnya acara diskusi digelar. Kamprut, ternyata si asisten redaktur saya tak cermat. Acaranya besok. Jadi saya kecepatan satu hari. Kamprut..kamprut. Dongkol juga sih, diperintah salah hari. Nah, yang ini lain ceritanya. Bukan soal salah hari lagi. Tapi strategi tipu-tipu saya pada kawan-kawan teman satu liputan. Saat itu, saya dimohonkan bantuannya oleh Asisten Redaktur Pelaksana saya. Ia minta tolong, bisa bawa teman-teman dari media lain, hadiri diskusi yang kebetulan dia jadi moderatornya. Kalau enggak salah, tema diskusinya sih, soal ekonomi dan otonomi. Tempatnya di Mazee Cafe, sebuah cafe di sebuah pusat perbelanjaan mewah di bilangan Senayan. Saya pikir, kalau ajak teman -teman saya, kurang menarik tema itu. Saya pun putar otak. Dan ketemulah ide, nipu teman biar bisa datang. Dirubahlah tema, jadi Koalisi Pasca Century. Kebetulan saat itu lagi hangat-hangatnya kasus Century. Ya pasti tema itu seksi dari segi berita. Akhirnya saya kasih tahu tema itu ke kawan, yang biasa ngendon di KPU. Yang ada saat itu Ikhsan dari Republika, dan Eko, wartawan I Radio. Mendengar tema diskusi yang saya informasikan, mereka sigap dan minat untuk meliput. Berangkatlah kami bertiga. Saat sampai, diskusi sudah mulai. Tapi saat membaca tema diskusi yang dipampang lewat spanduk di depan, dua kawan saya ini langsung menyemprot. " Sialan, ketipu nih." Saya hanya senyum-senyum dan menjawab. " Biar kalian datang. Kalau tema sebenarnya yang dikasih tahu, pasti tak berminat. Soalnya yang punya hajatan bos saya, he...he...:he.." Dengan muka dongkol, akhirnya terpaksa mereka ikuti juga diskusi itu hingga rampung. Dimuat di Kompasiana.com Hasrat Perut Ingin Kenyang, Apa Daya Nasi Ludes Salah satu keunggulan wartawan, ya tak lain, salah satunya adalah kenal narasumber. Pejabat pula. Keuntungan lainya, selalu diundang sana-sini. Misalnya kalau partai punya acara, wartawan pasti yang diprioritaskan. Kalau tak diprioritaskan, ya tak diberitain atuh. Biasa, kalau ada acara biasanya lengkap dengan sajian makanan. Senengnya, kalau ada undangan, dilengkapi dengan pemberitahuan didahului dengan makan siang. Alias bakal makan kenyang dan enak. Wong, kebanyakan yang ngundang itu, tempatnya di hotel, atau di cafe. Jadi kalau soal injak menginjak hotel, atau cafe, wartawan jagonya. Atau icip mengicip makanannya. Tak perlu bayar, tinggal datang, makan lalu liput acaranya. Maka ada istilah, kalau wartawan itu, sarapan di hotel, makan siang di cafe, makan malam kembali indomie rebus he..he...he... Sebab acara malam jarang-jarang. Kalau yang ngundang acaranya malam, ya makan malam enak. Nah, suatu saat saya dapat undangan acara Partai Matahari Bangsa (PMB). Ini partai katanya pecahan dari PAN. Sebab yang diriin anak-anak muda Muhammadiyah. Acaranya digelar di Hotel Sahid. Hotel lumayan tenar, dibilangan Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Datang ke acara, wartawan sudah banyak. Dimulailah acaranya. Boring juga sebenarnya, cuma paparan retorika dari pendiri dan petinggi partai. Ya, isinya janji politik yang menggebu-gebu. Mau lakukan perubahanlah. Berantas korupsilah. Banyak pokoknya yang kalau didengar dengan seksama basi banget, karena sudah banyak yang ngomong begitu tapi buktinya masih nol. Dari skedul acara, usai berorasi ria, dilanjut dengan makan siang. Tapi karena belum dapat berita menarik, saya dengan beberapa wartawan lainnya, berniat doorstop si ketua umum partai, yaitu Mas Imam Addaruqutni. Setelah telasap telusup, diantara kerumunan kader partai yang datang, akhirnya dapat juga si ketua umum PMB, yang lumayan eksentrik. Jas partai yang dipakainya, tak seperti kader lainnya. Tapi ini pakai jas kulit, dengan ditempeli emblem lambang partai. Doorstop pun dimulai, nanya ini itu. Salah satunya soal capres, karena kabarnya partai itu mau mengusung Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Banyaklah omongan yang didapat. Selesai, tinggal ditranskrip. Teman saya mencolek, makan dulu yuk, lapar ni. Saya pun langsung mengiyakan, karena perut sudah lapar memang. Ada sekitar tujuh wartawan bergegas menuju ruang, dimana hidangan makanan disajikan. Sampai disana, nasi ludes. Lauknya juga tinggal remah doang. Kita pun pada nyengir sambil bawa piring kosong, muter dan melongok wadah makanan. Karena tak ada yang dapat dimakan. Perburuan dilanjutkan, ke tempat minuman. Disana ada es kelapa. Disini pun sama saja, yang tersisa cuma airnya. Kelapanya sudah pada diangkut kader partai yang kelaparan. Jadilah perut diisi bergelas-gelas air es kelapa. Ingat yah, airnya doang. Teman saya, dari Seputar Indonesia sampai bilang." Inimah bukan kenyang, tapi kembung." Saya hanya nyengir saja mendengarnya. Sudahlah tak ada nasi, air pun jadi. Lumayan, minimal perut kembunglah ha...ha...ha... Dimuat Kompasiana.com Kembali Ke Jaman Batu Sekarang, orang bilang jamannya dunia bisa diringkas selebar daun kelor saja. Internet adalah biangnya, yang membuat dunia bak desa kecil saja. Di era internet, jarak bukan halangan. Mau kirim kabar tinggal klik, kawan yang ada ratusan, bahkan ribuan kilometer, sudah sekejap bisa menerimnya. Pendeknya canggihlah. Nah, bagi wartawan yang namanya jaringan internet saat ini, ibarat nyawa. Jaringan lancar, kirim berita tak usah dengan keluh kesah. Buka email, langsung kirim ke kantor, sampai deh. Tapi itupun, dengan catatan, kalau kirim via hape ya hapenya bukan hape jebot yang tak ada layanan GPRS dan emailnya. Kalau pake laptop, beruntung kalau dapat hot spot gratis. Kalau tidak ya, gantung nasib pada modem. Nah, soal internet dan kirim berita saya punya kisah, yang rasanya kembali pada jaman batu. Ceritanya begini, waktu itu menjelang persiapan pemilu. Komisi Pemilihan Umum, punya gawe mengundang para wartawan yang biasa ngendon meliput di sana hadir dalam acara bertajuk, Sosialisasi dan Orientasi Jurnalis dalam Pemilu. Tempatnya di Sebuah Hotel, didalam kawasan Taman Safari, Cisarua Bogor. Saya termasuk salah satu wartawan yang diundang. Acara di isi paparan dari Anggota KPU, KPI dan Dewan Pers. Nah, paparan itulah yang dijadikan berita, selain wawancara nodong (doorstop). Tiba saat kirim berita. Olalala sial, hotel tak ada hotspotnya. Tanya resepsionis, internet memang tak ada. Laptop jadi mubazir. Sementara teman yang pakai hape ber-GPRS asyik ria ngetik. Lha hape saya masih kategori jadul. Tak ada GPRS, no email. Kelimpunganlah saya. Otak berpacu cara solusi. Nunggu teman selesai ngetik dan ikut nebeng enggak enak juga. Akhirnya solusi didapat, saya tanya ke resepsionis hotel, apakah ada mesin fax. " Ada disebelah," jawabnya. Pontang-panting saya menuju sebelah hotel, ternyata benar ada layanan kayak wartel. Tapi maaaak, biaya yang harus dikeluarkan sekali ngefax Rp 9000 perlembar. Tapi dari pada dimarahin kantor, tak kirim berita, ya sudah terpaksa, solusi menguras saku diterima. Bagaimana cara kirim beritanya. Saya tulis tuh berita di lembaran kertas HVS yang saya minta dari panitia. Pegel juga, karena kirim tiga berita. Mana karakter tulisannya lumayan bejibun lagi. Selesai saya telepon kantor dan bla-bla menerangkan kondisi yang saya hadapi. Untungnya si bos dikantor nerimo dan maklum. Dikirimlah berita via fax. Treteteeeet treteteeet, begitu setiap lembar berita mulai terkirim. Saya mengingat ini, jadi senyum sendiri, dijaman internet, masih nulis berita pakai tulisan tangan. Lalu dikirim via fax. Pasti orang sekred harus berjuang keras kembali, mengetik ulang kiriman berita saya. Tapi yang penting, kewajiban bisa ditunaikan. Apapun caranya, kewajiban itu harus tuntas. Sekarang sih, tak lagi berjaman batu ria. Udah ada modem. Pakai hape ber-GPRS. Dan he...he...punya blackberry jadul. Bahkan, makin kesini, alat kirim berita kian canggih. Hape dengan teknologi GPRS sudah wassalam. Kini sudah 4G. Kirim berita pun seperti naik mobil Isuzu, wuszhhhh... Dimuat di Kompasiana.com KPK Harus Exit Ini cerita sebenarnya, tak dialami saya langsung. Tapi saya dapat dari cerita teman saya, Mas Toni, seorang wartawan senior dari Jawa Pos News Network (JPNN.com) Cerita tentang gaya sok pinter anggota dewan yang berkantor di Senayan. Ya, ternyata dari cerita mas Toni ini, akhirnya dugaan saya kian mendapat pembenarannya. Anggota dewan terhormat, yang suka bertingkah aneh-aneh dan doyan minta naik gaji itu, tidaklah cerdas-cerdas amat. Bahkan banyak kelucuan dari anggota dewan yang selalu mengklaim wakil rakyat itu. Kelucuan tak disengaja, karena awalnya ia mencoba ingin menampilkan sosok yang pintar dan cerdas. Banyak pengetahuan, maka ia layaklah disebut penyambung lidah rakyat. Biar, cerdas kerap para wakil rakyat itu menyisipkan banyak kata asing. Kan asumsi, semakin banyak kata asing diserap dalam kalimat, mungkin ia rasa itu nambah dia dianggap pintar. Hasratnya begitu. Tapi bagaimana kalau penempatan kata asing itu salah tempat dan sasaran. Bukan dianggap pintar berpengetahuan yang ada, tapi cemoohan. Hanya segitu doang ternyata anggota dewan pilihan rakyat itu. Begini ceritanya seperti yang dituturkan Mas Toni pada saya. Saat itu, ia meliput rapat komisi III dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketika itu masa-masanya komisi anti korupsi itu sedang dirundung masalah. Ramelah, kata Mas Toni suasana rapatnya. Sampai kemudian, salah seorang anggota dewan yang berasal dari partai pemenang pemilu, kata Mas Toni, unjuk pendapat. Bahkan dalam mengungkapkan pendapatnya begitu menggebu-gebu dan super bersemangat. Suara lantang, maklum ujar Mas Toni saat berkisah sama saya, si anggota dewan itu berasal dari Sumatera Utara yang terkenal punya tradisi beromong keras. Nah, begini bunyi unjuk pendapat si anggota dewan ini. " Saya mendukung KPK. Pokoknya KPK harus exit," ujar si anggota dewan lantang. Ya, sontak saja itu, mengundang mesem dan ketawaan. Tapi nih si anggota dewan, kalau kata orang sunda, teu elem-elem. Tak merasa ada yang salah. Tak ada ralat dari pendapatnya. Padahal itu mengundang senyum dan tawa lucu. Maksud si anggota dewan itu adalah, KPK pokoknya harus eksis. Tapi yang diucap exit. Tadinya mungkin biar kelihatan gagah dan rada intelek, yang terjadi kelihatan rada-radanya.. He...he.. Tak tega deh melanjutkannya. Ada lagi cerita yang agak mirip-mirip. Tapi ini saya yang jadi saksi hidupnya. Saat itu, saya sedang meliput di KPU. Jelang pemilu, lembaga itu kebanjiran pendemo. Ya, dari kelompok atau partai yang tak puas atas keputusan KPU. Suatu siang, KPU kembali kedatangan pendemo. Jumlahnya puluhan. Mereka datang, ingin sampaikan aspirasinya. Bawa spanduk dan poster. Nah, biasa didepan gerbang KPU, sudah berderet polisi. Gerbang pun ditutup. Penasaran, saya melihatnya dari dalam halaman gedung KPU, di dekat gerbang. Malah lihatnya, sambil nyantai, ngopi dan merokok. Ketika itu para pendemo melakukan orasi. Yang jadi orator naik ke atas mobil bak yang disulap jadi panggung pidato, lengkap dengan sound systemnya. Dengan bersemangat ia berorasi. Oh ya, yang jadi orator seorang lelaki paruh baya dengan berikat kepala. Begini bunyi orasinya," Pada Ketua KPU, Bapak Abdul Hafiz Antasari Azhar kami datang kesini menuntut keadilan dan bla-bla lagi." Mendengarnya bikin saya tersedak minum kaget, sebab sejak kapan Ketua KPU yang bernama lengkap Abdul Hafiz Anshary ganti nama jadi Abdul Hafiz Antasari Azhar. Sepertinya sang orator, dibenaknya yang tercatat kuat adalah nama Antasari Azhar, Ketua KPK. Maka yang keluar nama ketua KPK digabung dengan sebagian nama Ketua KPU. Atau jangan-jangan, inilah karir pertamanya berdemo di KPU. Mungkin selama ini karir demo mendemonya lebih banyak dilakukan di KPK. Makanya yang akrab dibenaknya, ya nama ketua KPK itu. Kan di Indonesia sudah bukan rahasia lagi, jika demo pun jadi lahan bisnis. Tak heran jika kemudian muncul istilah demo bayaran. Tapi entahlah mana yang benar, cuma penyebutan nama itu lumayan lucu. Lumayan bikin pikiran segar he...he...he... Dimuat Kompasiana.com Hary Tanoe dan Surya Paloh Bikin Repot Anak Buah Pada puncak Hari Pers Nasional 2016 atau biasa disingkat HPN yang digelar di Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa, 9 Februari 2016, saya beruntung dapat hadir. Acara tersebut di hadiri oleh Presiden Joko Widodo. Dan yang menarik, acara puncak HPN 2016 di NTB, digelar bukan di hotel atau di ruangan tertutup. Tapi, acara puncak HPN di tempat terbuka. Acara di gelar di tepi pantai Kuta, Lombok yang ada di kawasan Mandalika. Pagi-pagi saya dan beberapa wartawan sudah meluncur ke tempat acara. Biasanya, kalau acara dihadiri Presiden, penjagaan akan ketat. Sialnya lagi, saya dan beberapa wartawan yang satu rombongan, belum dapat kartu ID yang dikeluarkan panitia HPN. Memang ngehek panitia HPN. Maka, karena belum dapat kartu ID, kami dengan diantar Kepala Bagian Humas Kementerian Dalam Negeri, Acho Madderemmeng meluncur pagi-pagi sekali dari hotel tempat menginap selama di NTB. Bahkan saat mobil yang akan bawa kami ke Mandalika meluncur keluar hotel, kabut tipis masih menyelimuti. Jalanan juga masih sepi. Belum begitu banyak kendaraan yang lalu lalang. Hanya kurang dari setengah jam, kami sudah tiba di Mandalika. Karena acara masih lama, dan Presiden juga belum datang, Pak Acho mengajak kami ke sebuah cafe yang ada di dalam komplek Sekar Kuning bungalow. Suasana cafe di Sekar Kuning masih sepi. Hanya ada satu pasangan turis bule sedang ngopi di sudut cafe. Setelah dapat tempat duduk, kami pun memesan minuman. Saya pesan secangkir kopi untuk segarkan tubuh yang lumayan masih lelah. Apalagi tadi harus bangun pagi-pagi. Makin menuju siang, suasana di dekat tempat perayaan HPN kian ramai. Tamu-tamu undangan mulai berdatangan. Para polisi pun sibuk mengatur lalu lalang kendaraan yang melintas di sekitar tempat acara HPN. Tentara pun banyak berjaga, bersenjata lengkap di setiap sudut. Maklum yang datang adalah Presiden. Tamu-tamu penting pun mulai berdatangan, mulai dari bos media, ketua partai, hingga menteri. Sampai menjelang pukul sepuluh pagi, suasana makin hiruk pikuk. Duduk satu meja dengan saya, beberapa wartawan, antara lain Dita dari Koran Sindo, Ima wartawan Media Indonesia, Ken Girsang reporter JPNN.com, dan Nadlir dari Viva.co.id. Saat sedang asyik-asyiknya menikmati kopi, tiba-tiba Nadlir berteriak. " Eh Dit, bosmu datang itu," kata Nadlir sambil mengarahkan telunjuknya ke sebuah mobil Alphard yang berhenti di pinggir jalan tepat di depan pintu masuk yang mengarah ke tempat acara HPN. Dita pun kaget, dan langsung berdiri. Ia celingak celinguk coba memastikan apa benar bosnya datang ke acara HPN. Ternyata benar, dilihatnya sosok Hary Tanoesoedibjo pemilik Koran Sindo, keluar berbaju batik di iringi beberapa orang. Dita pun terlihat panik. " Aduh bosku datang. Pasti disuruh wawancara," katanya dengan muka panik. Namun Dita kebingungan. Ia tak pegang kartu ID. Tapi untungnya Pak Acho sigap. Ia pun meminjamkan kartu ID atas nama Kartika, staf protokol Mendagri. Tak menunggu lama, Dita langsung menyambar kartu ID tersebut, dan setengah berlari ia bergegas menyusul bos besarnya yang nampak sudah memasuki tenda tempat acara HPN dilangsungkan. Tidak beberapa lama Dita sudah kembali. Wajahnya berkeringat, maklum udara pantai mulai menyengat. Setelah itu ia langsung duduk di kursi. Katanya, ia gagal mewawancarai bos besarnya. Namun setelah itu, ia kembali bergegas menuju tempat acara. Dan, tak nongol-nongol lagi. Sepertinya dia sudah bisa berhasil masuk dengan kartu ID 'palsunya'. Kami pun kembali melanjutkan acara ngopi. Karena udara makin terasa menyengat, saya pun kembali pesan minuman. Kali ini, segelas teh manis yang saya pesan. Saya pikir, ini mungkin bisa mengusir sengatan hawa pantai. Saat sedang asyik-asyiknya mengopi dan ngemil kentang goreng, tiba-tiha dari arah jalan, tampak satu sosok yang tak asing lagi. Seorang pria tinggi besar, brewokan dan berkemeja putih, nampak memasuki halaman cafe. Dia Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem yang juga pemilik Media Indonesia, koran tempatnya Ima bekerja. Ima pun terlihat belingsatan. Wartawati berjilbab dan berparas cantik itu pun sama paniknya dengan Dita. Ia tak menyangka, bos besarnya datang ke acara HPN. Dan itu alamat, ia harus mewawancarainya. Bisa dikatakan, bos besarnya adalah narasumber wajib yang tak boleh luput untuk diwawancarai. Bila lewat, tanpa satu patah kata pun ucapan Paloh dikutip, boleh jadi redaktur di kantor akan mencak-mencak. Ya, itulah susahnya kalau bos pun jadi narasumber. Dimuat di Indonesiana.tempo.co Nasib Sial Wartawan Senior Saya punya kisah tentang sialnya seorang wartawan senior. Ya, nasib sial itu pernah bikin malu setengah mati. Bagaimana tidak nasib sial itu terjadi didepan banyak orang. Nama wartawan senior itu, saya kasih inisial saja. Enggak enak, kalau disebut nama jelasnya. Nama wartawan itu, Imm, ia cukup lama malang melintang didunia kewartawanan. Sekarang ia sudah tak jadi wartawan, tapi tetap didunia tulis menulis, yakni menjadi editor, disebuah penerbitan. Bagaimana kronologi nasib sialnya? Begini, berdasarkan dari penggalan kisah dan kisah yang dituturkan oleh pemilik nasib sial itu sendiri, peristiwa yang lumayan membuat malu terjadi saat ia liputan di sebuah Hotel berbintang. Ketika itu, ia meliput dengan wartawan lainnya. Nah, kala itu, ia dan yang lainnya, menurut tutur kisahnya, memburu Mahfud MD. Tapi Mahfud MD, ada disebrang rombongan wartawan itu. Para rombongan pemburu berita pun tergesa mendekati Mahfud MD. Nah, saat yang lain ambil jalan memutar, ini si Imm ini, ngambil jalan pintas. Menurut dia, saat bercerita sama saya, ngapain jauh-jauh memutar jalan. Ia merasa jalan pintas lebih cepat. Cukup lewati sebuah 'lantai bening' yang ia pikir bermotif air dan dan kembang-kembang. Dengan yakin, setengah agak berlari ia melintasi jalan pintasnya. Sampai ia injak, lantai motif air itu. Ternyata byuuur. Ia langsung tercebur. Lantai yang disangkanya lantai beneran, ternyata memang kolam. Saya juga enggak habis pikir, kenapa ia menyimpulkan itu lantai. Ya, karena tercebur, badannya basah kuyup. Kata dia, saat itu malunya sudah enggak ketulungan. Rasanya ingin langsung saja masuk bumi, dan menghilang dari situ. Saking malunya, ia segera loncat. Tanpa tengok-tengok lagi, ia langsung ngabur, pulang dengan badan berbasah kuyup. Dia sudah tak memikirkan lagi apakah teman-teman liputannya itu menertawakan peristiwa sial yang dialaminya. Pokoknya pulang, dan hilangkan rasa malu yang menebal di muka. Saat mendengar ceritanya, tak kuat menahan tawa. Saya bayangkan, ia tercebur dan basah kuyup. Dimuat di Kompasiana.com Kholil, Wartawan 'Penipu' Kholil Rokhman ini manusia unik. Ia wartawan andalan Koran Seputar Indonesia atau biasa disingkat Sindo. Khususnya saat liputan pemilu 2009. Salah satu keprigelan dia, adalah menipu wartawan lain. Tapi bukan aksi tipu menipu negatif, hanya tipuan mengisi penatnya liputan. Sudah banyak yang tertipu oleh aksi Kholil. Salah satunya adalah saya. Waktu itu saya agak kesiangan, meliput ke KPU. Untuk pantau perkembangan, saya telepon saudara Kholil ini. “ Lil dimana, di KPU enggak,?” tanya saya lewat telepon genggam. Kholil via telepon, terdengar menjawab. “ Di lantai dua pak sekarang,” katanya. Sampai gedung KPU, saya parkirkan motor. Lalu segera dengan agak tergesa, masuk gedung KPU, dan menuju lantai dua. Tapi kok sepi. Saya celingak-celinguk, cari Kholil, karena katanya ia dilantai dua juga. Karena tak kunjung ditemukan, saya kembali nelpon. “ Lil, lantai duanya dimana sih?”tanya saya. Terdengar Kholil menjawab, “ Emang bapak dimana sih?” malah ia balik nanya. Dengan agak kesal saya menjawab,” Ya di KPU lah. Kau dimana sih, aku sudah dilantai dua KPU ni." kata saya sedikit kesal. Ternyata tanpa rasa bersalah, Kholil menjawab dibarengi suara tawanya,” Ha..ha.. Pak saya di lantai dua gedung Komnas HAM." jawabnya dengan enteng. Tawanya terdengar. Mendengar jawabannya, saya hanya mengumpat,” Kampreeeeeeeeeeeet." Nah, ternyata bukan hanya saya yang ‘ditipu’ Kholil dengan modus yang sama. Mbak Susie, wartawan senior Kompas juga punya cerita pernah jadi 'korban' Kholil dengan modus yang hampir mirip. Cerita Mbak Susie begini. Ia katanya pernah juga menelepon Kholil, menanyakan posisi wartawan Sindo itu sedang ada di mana. Di jawab Kholil, ia sedang dilantai dua gedung KPU. Nah, Mbak Susie juga saat itu sedang di KPU. Ia pun mencari keberadaan Kholil. Di cari-cari tak ketemu juga. Akhirnya Mbak Susie menyerah, ia kembali menelpon Kholil, menanyakan dimana sebenarnya berada. Tanpa rasa bersalah Kholil menjawab, “ Mbak, saya dilantai dua KPU, tapi itu kemarin,” Karuan Mbak Susie dongkol. Ha...ha...ha... Siapa lagi korban Kholil? Ada lagi namanya, Lela, wartawati yang sekarang sudah pindah di online. Lela, dulu saat masih liput di KPU, masih berstatus wartawan radio. Saat masuk liput KPU, Lela ini terbilang baru. Jadi agak kurang hapal, dengan nama-nama komisioner pemilihan. Saat itu, ia baru saja wawancara Anggota KPU, Sri Nuryanti. Karena belum hapal betul, sebelum melaporkan ketempatnya bekerja, Lela nanya-nanya, pada wartawan penghuni lama KPU. Salah seorang yang ditanya itu, ya Kholil. “ Mas, yang tadi Anggota KPU itu nama lengkapnya siapa?” tanya Lela. Di jawab sama Kholil. “ Oooh yang tadi Ibu Sri Nuryanti Simpatupang,” jawabnya tanpa beban. Setelah dapat jawaban dari Kholil, Lela pun melaporkan beritanya dengan menyebut Sri Nuryanti Simatupang. Ya, kontan saja, saya dengan yang lainnya, termasuk Kholil, kaget. Tak menyangka, itu jadi bahan laporan liputan Lela. Usai Lela melaporkan berita, Kholil mendudukan perkaranya dengan benar, bahwa Sri Nuryanti itu tanpa Simatupang, tapi hanya Sri Nuryanti tokh. Ya, karuan Lela mendengarnya langsung pasang muka cemberut, merasa ditipu mentah-mentah. Kasihan juga melihatnya, Lil....lil.... Dimuat Kompasiana.com Daniel Yang Bukan Sparinga Bapak Daniel Sparinga itu sekarang adalah orang penting. Beliau sekarang didaulat jadi Staf Khusus Presiden kalau enggak salah bidang komunikasi politik. Nah, sebelumnya Pak Daniel itu, lebih dikenal sebagai pengamat politik tenar dari Universitas Airlangga Surabaya. Ya, biasa pula jadi langganan jadi narasumber untuk dimintai tanggapannya. Di telepon genggam saya, pasti nama dan nomor Pak Daniel disimpan. Kan narasumber tenar. Di bawah nomor Pak Daniel itu, adalah nomor Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Daniel Juchron. Nah, pada Mas Daniel Juchron, saya ini kalau mintai tanggapan, misalnya via pesan pendek, biasanya enteng saja panggil bos. Satu waktu, saya mau minta tanggapan, tentang pemilu. Niatnya sih, minta tanggapan pada Daniel Juchron. Karena sudah biasa, maka di awal permintaan pendapat, diawali dengan tulisan, “ Bos apa kabar. Dimana ni, lama enggak dapat kabar. Minta tanggapan ni." Bla-bla saya ketik pertanyaan saya, untuk ditanggapi. Lama ditunggu tak di jawab. Saya kirim ulang. Sampai kemudian ada balasan. Katanya saya bukan bos, saya Daniel Sparinga. Wadaw, kontan saat membaca saya kaget bukan kepala. Saya periksa, ternyata saya salah kirim. Bukan ke Daniel Juchron, tapi mampir ke nomor Daniel Sparinga, habis nomornya berimpitan di phonebook. Waduh malunya, minta ampun. Coba berhadapan langsung dengan Pak Daniel Sparinga, tak tahu mau ditaruh dimana muka saya. Saya pun melakukan ritus menerangkan duduk masalahnya. Untungnya beliau mengerti dan memaafkan kesalahkiriman saya mengirim pesan. Untungnya sampai sekarang beliau baik, dan masih mau menerima telepon saya. Itulah pelajaran berharga, teliti sebelum kirim sms, agar tak salah orang. Camkan itu. *Saat Pak Daniel masih jadi Staf Khusus SBY, dimuat di Kompasiana.com Skandal Selimut Seorang Wartawan Judul tulisan ini, mohon maaf, bukan terkait dengan peristiwa yang agak mirip-mirip dengan kisah cinta segitiga Ariel-Luna dan Cut Tari. Tak ada unsur seronok, yang harus membuat UU Pornografi harus digunakan. Tak ada itu. Ini cuma kisah seorang wartawan senior dari sebuah harian nasional di Jakarta Kisahnya, begini, saat itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundang wartawan-wartawan, dalam acara yang diberi tajuk oleh lembaga penyelenggara pemilu itu dengan cukup gagah yakni ‘orientasi jurnalis,’. Tempatnya, di sebuah hotel, didalam kawasan Taman Safari, Cisarua, Bogor. Kebayangkan dinginnya, di Cisarua Bogor. Udaranya brrr cukup nusuk tubuh. Kalau tak bawa jaket, silahkan tersiksa dengan dinginnya hawa Cisarua. Wartawan yang ikut acara itu lumayan banyak, termasuk saya salah satunya. Berangkat dari KPU, pagi. Pakai bis berombongan. Tiba di Cisarua, siangan. Makan dulu, baru setelah itu acara yang disebut orientasi jurnalis. Acaranya sih, paparan dari anggota KPU, dari Anggota Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. Materinya, biasa soal bagaimana sih meliput hajatan pemilu, yang sesuai dengan kode etik jurnalistik. Acara diselingi makan. Kian malam, udara makin tak bersahabat. Harus sering-sering merapatkan jaket, karena hawa cukup genit menelusup tubuh. Usai acara sudah rada malam. Berita pun sudah dikirim. Tinggal istirahat, sedang yang punya rencana ‘jalan’ bersiap, katanya makan jagung bakar saja di Puncak Pass. Saya sendiri malas pergi. Niatnya mau nonton film saja, kebetulan bawa laptop dan teman dari Jawa Pos, bawa setumpuk film. Setelah pinjam, masuk kamar, dan siap-siap nonton. Oh, ya saya sekamar dengan seorang wartawan senior dari Koran Seputar Indonesia atau biasa dikenal dengan nama kerennya Koran Sindo. Sebut enggak namanya ya, ah sebut saja. Namanya Kholil Rokhman, wartawan pintar dan ulet asal Kendal. (Mohon maaf ya Lil, nama ente disebut. Kan biar cerita ini jelas sesuai fakta he... he...) Ceritanya begini, setelah CD film didapat dari teman, saya pun anteng nonton. Sampai tak terasa sudah satu film habis ditonton. Lumayan hiburan menjelang tidur. Nah, si kawan sekamar, alias Kholil, tadinya tak diperhatikan dengan seksama. Tapi selintas ni beliau bolak-balik masuk kamar mandi. Dari kamar mandi, nampak ia bawa handuk dua, yang memang disediakan pihak hotel. Lalu ia meringkuk disebelah saya, karena kebetulan kamarnya single bed. Usai nonton film kedua, mata sudah diserang kantuk. Saya pun bereskan laptop, niatnya mau jemput mimpi. Tapi mata terantuk pada Kholil yang meringkuk di bungkus handuk. Nampaknya hawa dingin sudah menyiksanya, sampai harus dibungkus handuk, dari kaki hingga badan. Awalnya saya tak merasa aneh. Tapi setelah sadar, kok Kholil tak pake selimut saja, ngapain berbalut handuk. Karena kasihan, saya bangunkan Kholil. “ Lil..lil bangun. Ngapain pakai handuk. Pakai selimut saja napa,”saran saya. Mau tau jawaban mas Kholil itu apa, “ Enggak ada selimutnya pak, dingin ni, “jawabnya polos. Lho, mendengarnya, saya aneh saja, ini Kholil pura-pura tak tahu atau memang tidak tahu. Padahal kan selimut itu nempel di ranjang, menyatu dengan kasur. “ Lil, ini kan selimut, masa enggak tahu sih,”kata saya. Dengan rada malu-malu, Kholil cuma menjawab,” Kirain enggak ada selimut pak, “ katanya lengkap dengan cengengesan malunya, sambil menanggalkan handuk dan langsung menelusup ke selimut. Melihatnya, saya ingin ngakak. Olala kadalala, ternyata si wartawan senior ini tak tahu, bahwa selimut hotel itu menyatu dengan kasur. Tinggal di buka, badan masuk, hangat deh. Dari balik selimut Kholil mewanti-wanti, “ Pak jangan dikasih tahu yang lain yah, saya tak tahu selimut hotel. Malulah." Mendengarnya saya tak kuat menahan tawa, meledaklah tawa setengah ngakak. Sampai detik ini juga, skandal selimut hotel itu selalu jadi guyonan kalau ketemu Kholil. Dimuat di Kompasiana.com Disangka Mati Lampu Cerita ini, terjadi ketika saya ditugaskan kantor meliput kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau biasa disebut PDI-P, di Sanur Bali, medio Mei 2010. Saat itu, oleh panitia kongres, saya diinapkan di sebuah hotel berbintang, namanya Sanur Paradise Hotel, berdampingan dengan hotel tempat kongres berlangsung, yaitu di Inna Grand Bali Beach Hotel. Tempat kongres, asyik banget pokoknya, sebab langsung berbatasan dengan pantai Sanur yang kesohor itu. Jadi nulis berita dipinggir pantai, sambil mandangi laut lepas, serta mondar-mandirnya bule-bule berpakaian minim. `Saya sendiri, sekamar dengan salah satu wartawan Seputar Indonesia, namanya Rahmat Sahid. Ia wartawan kahot di harian Seputar Indonesia atau Sindo milik MNC grup, grup media punyanya Pak Hary Tanoesoedibjo. Nah, ada cerita dengan mas Sahid ini. Ceritanya begini, di Sanur, telepon genggam saya, sinyalnya agak katro. Saya pakai kartu IM3, punyanya Indosat. Di luar hotel, sinyal lumayan baik. Tapi pas masuk kamar, sinyal langsung ngabur kemana. Terpaksa kalau mau nelpon, ya keluar kamar, nongkrong di luar kamar, baru dapat sinyal. Suatu waktu, saya dapat telepon dari adik saya dikampung. Didalam kamar, sinyal byar pet. Lantas saya ambil inisiatif, cari sinyal ke luar kamar. Tapi sebelum keluar, saya ambil kartu yang berfungsi sebagai kunci kamar. Saya cabut dari dudukannya yang nempel di dinding. Karena saya cabut, ya pasti listrik di kamar mati. Wong kartu itu juga, bila dimasukan ke dudukannya, fungsinya untuk menyalakan arus listrik. Padahal ketika itu, si kawan, maksudnya mas Sahid ini sedang asyik-asyiknya nonton teve. Dengan tanpa perhitungkan, bahwa kalau dicabut, listrik di kamar pasti mati, saya ngeloyor saja keluar kamar. Saya cuma berpikir, biar tak ribet ketok-ketok pintu, karena pintu kamar sekali dibuka lalu ditutup, pasti ngunci sendiri. Pikir saya daripada ribet, ya bawa saja kartu itu. Ya, setelah dicabut, matilah listrik dikamar. Sementara saya langsung saja nongkrong menelpon adik saya depan kamar. Sampai beberapa saat, dua orang petugas hotel, masuk kamar. Setelah itu nampak keluar lagi. Baru saya masuk kamar. Dalam kamar, mas Sahid ini langsung menyemprot saya. “ Kau cabut yah kartu di dinding?”tanyanya. Tanpa merasa bersalah, dengan kalem saya menjawab,” Iya." “Aduh,” katanya. “ Aku kira mati lampu, lagi asyik nonton teve, tiba-tiba mati. Makanya ku telpon petugas hotel. Ternyata kau cabut kartunya." Mendengarnya saya ingin tertawa, tapi sekaligus merasa bersalah. Akhirnya saya bernuwun sewu ke mas Sahid. Ada, ada saja. Dimuat di Kompasiana.com 'Hotel Berbintang' Dan Gerombolan Kecoa Diundang liputan ke luar kota oleh lembaga, bagi wartawan ya pasti menyenangkan. Selain bisa merasakan daerah yang belum dikunjungi, tapi juga syukur-syukur ditempatkan di hotel berbintang. Kebayangkan bisa leyeh-leyeh di atas kasus yang super empuk, dengan elusan hawa AC yang super nyesss.... Belum lagi, bisa rendeman di bathub atau rasakan enaknya mandi dengan air hangat. Tapi kadang, yang diharapkan kurang sesuai dengan kenyataan. Misalnya pengalaman saya, saat diajak liputan Komisi Pemilihan Umum ke Ambon, menjelang persiapan pemilu 2009. Saat itu ada tiga wartawan yang diajak meliput, saya sendiri, terus Bayu dari Jawa Pos dan Hendra dari inilah.com. Saat tiba, hotel berbintang tak sesuai yang diidamkan. Tak ada acara rendeman di bathub, wong yang ada cuma ember besar lengkap dengan gayungnya. Malah lift hotel, aduh begitu sempitnya, hanya muat maksimal tiga orang. Jadilah impit-impitan, kalau masuk lift. Nyesss AC juga tak didapat. Justru saat pendingin hotel dinyalakan, bunyi bak mesin kereta yang muncul. Tapi akhirnya maklum saja, Ambon kan baru pulih dari luka konflik saudara. Tapi kenangan yang tak hilang saat liputan di Ambon, adalah kisah berburu kecoa di kamar hotel. Ceritanya begini, saat itu karena habis liputan, saya leyeh-leyeh dikamar. Saya sekamar dengan Bayu, wartawan Jawa Pos. Ketika saya leyeh-leyeh di kasur yang baiklah dengan segala hormat, lumayan empuk, Bayu saya lihat kok sibuk, jongkok di ubin kamar. Serta beringsut kesana kemari, sambil meneplak sandal ke lantai. Karena penasaran, ngapain Bayu super sibuk di bawah. Saya pun longok dia dari atas kasur. Ya ampun, ternyata si Bayu sedang berburu kecoa. Sudah beberapa ekor yang berhasil dikeplak sandalnya. Tergeletak tak berdaya. Jadi olalakadala, saya ini sekamar dengan gerombolan kecoa. Nasib-nasib, mau nikmatin nyamannya layanan hotel berbintang, yang didapat atraksi kawan berburu kecoa. Dimuat di Kompasiana.com Bathub Tradisional Cap Ember Suatu waktu saya mendapat undangan liputan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelang perhelatan hajatan pemilihan umum 2009. Kali ini undangan liputan itu, untuk melihat langsung persiapan pemilu di Ambon. Khususnya yang dilakukan penyelenggara tingkat provinsi dan kota Ambon. Bersama saya, ikut juga Bayu dari Harian Jawa Pos dan Hendra dari inilah.com. Saat itu sudah masuk bulan puasa. Kami bersama staf KPU, berangkat dari Jakarta pukul dua pagi. Alhasil kami sahur diatas kepala. Sekitar menjelang pukul lima pagi, kami tiba di Ambon. Dari bandara, pihak penjemput dari KPU Ambon sudah nongkrong. Kami pun tak lama menunggu langsung berangkat menuju pusat kota Ambon, dengan tujuan pertama ke hotel yang akan kami inapi. Kami pun tiba di Hotel Ambon Manise atau biasa orang Ambon menyebutnya Hotel Amans. Kata penjemput kami, hotel ini salah satu yang lumayan bagus di Ambon. Ternyata saat masuk pelataran hotel, lalu masuk kedalamnya, suasana hotel tak mencerminkan kebintangannya. Padahal didepan hotel, terpampang nama Hotel Ambon Manise dengan bintang berjejer tiga. Tapi tak apalah, karena harus dimaklumi Ambon pernah dilanda prahara konflik yang banyak menelan korban jiwa. Sekarang pun masih dalam pemulihan. Tarap menyembuhkan dari luka-luka perang saudara. Hotel Ambon Manise sendiri ada dibilangan kawasan Pasar Mardika. Nah, disini konflik pernah berkobar. Pasar ini pernah jadi ajang medan perang dari yang berseteru saat konflik terjadi. Masih terlihat sisa-sisa bahwa disana pernah terjadi konflik. Gedung los toko, masih ada yang bekas terbakar. Kendati geliat hiruk pasar sudah terlihat. Kami pun masuk hotel, setelah urusan administrasi selesai. Kamar yang akan kami tempati berada dilantai tiga. Saat mau naik, ternyata liftnya kecil dan sempit. Kami berlima tak muat masuk lift. Terpaksa tiga orang dulu naik. Sisanya baru menyusul. Sampai dikamar, saya satu kamar dengan Bayu, wartawan Jawa Pos. Masuk kamar, langsung rebahkan badan di tempat tidur. Sementara Bayu membuka jendela. Saya iseng-iseng nyalain AC. Tiba-tiba guerrrrr, bunyi AC lumayan mengagetkan. Terpaksa dimatiin lagi, dari pada telinga berisik dengan bunyi berisik bak kereta api mau berjalan dari AC yang dipasang di dinding kamar. Saya kembali merebahkan badan. Suasana puasa terasa membuat badan lemas. Apalagi sejak berangkat hingga nyampe ke Ambon, saya kurang tidur. Di pesawat, saya tak bisa memejamkan mata. Alhasil sepanjang jalan, mata tercelak, tak bisa dikalahkan kantuk. Sementara saat saya rebahan, Bayu siap-siap untuk mandi, sebab satu jaman lagi kita semua bersama staf KPU dari Jakarta akan meliput kegiatan di KPU Provinsi Ambon. Saat saya pejamkan mata, Bayu sudah masuk kamar mandi. Sekitar 20 menitan, Bayu keluar. Badannya nampak segar. “Cepet mandi”ujar Bayu. Dengan malas-malasan saya bangkit. Ambil handuk dan bersiap mandi. “ Bay, gimana ada bathubnya enggak?”tanya saya. “Wah mantap bos. Kau bisa berendam nanti sepuasnya pake air anget. Wuenak pokoknya, apalagi sambil minum bir,”jawab Bayu setengah berpromosi. Wah, asyik juga pikir saya. Tak apalah AC kamar berbunyi bak kereta api mau jalan. Yang penting mandi dan berendam di bathub. Pikiran pun merancang-rancang. Nanti kalau abis liputan akan berendam lagi. Sepuas-puasnya. Saya pun masuk kamar mandi. Olala semprul, promosi Bayu tai kucing. Bukan bathub yang ada di kamar mandi, tapi ember plastik besar lengkap dengan gayung plastiknya. Didalam shower memang ada shower, tapi tak ada bathub. “ Inimah bathub jaman nenek moyang, bathub jaman baheula,” umpat saya. Alhasil mandi pun sambil jongkok. Usai mandi, Bayu terlihat cengar-cengir. “Gimana bos bathub-nya mantap kan. Bedakan dengan hotel-hotel berbintang?” tanyanya diakhiri ngakak. “Bathub ndasmu! Inimah bathub zaman tradisional alias bathub cap ember,”rutuk saya. Dimuat di Kompasiana.com Wartawan Dikecoh Libur Panjang Jakarta, di hari libur panjang memang lengang. Jalanan tak dipenuhi kendaraan. Rasanya plong bin lega. Tapi apa mau dikata, disaat yang lain libur, saya yang bekerja sebagai kuli tinta tak merasakan nikmatnya libur panjang. Tugas tetap menanti dan menuntut, mencari berita. Apa mau dikata, resiko pekerjaa, mau apalagi, harus dinikmati. Sore tadi, iseng melihat-lihat layanan blackberry messenger saya. Dan spontan saja mengklik recent update. Banyak juga yang mengupdate statusnya. Kawan saya satu kantor, Fadholi menuliskan statusnya: jalanan ibukota lengang, alhamudillah. Sementara pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani, menuliskan statusnya :jumat hening. Namun yang lucu adalah kawan saya Robert, wartawan Suara Pembaruan. Dia sepertinya bersemangat mencari berita di pos liputannya yaitu Kementerian Dalam Negeri, tanpa ngeh bahwa hari ini libur panjang. Ia pun kecele, dan terkecoh oleh libur bersama. Di status BBM-nya Robert menuliskan : baru sadar klo Depdagri libur, pantesan menterinya pergi!! Robert menuliskan statusnya siang hari, sekitar pukul 13.00 Wib. Ia tak sadar, Jumat hari libur bersama. Sepertinya ia datang ke Kementerian Dalam Negeri yang dulu bernama Departemen Dalam Negeri atau biasa disingkat Depdagri. Dan sepertinya saat tiba disana, ia baru sadar. Lewat status BBM, ia menuliskan itu, menuliskan ia terkecoh hari libur bersama.. Berita tak dapat, yang ada ia kecele. Robert, Robert, makanya lihat kalender dan update informasi..he..he..he.. Dimuat di Kompasiana.com Malam Tadi… Malam tadi saya tak bisa tidur. Sampai lewat pukul 01:00 Wib, mata tak kunjung juga di jemput kantuk. Buka portal berita online, baca beritanya, terasa membosankan. Kabar seputar cerita dugaan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana yang menampar petugas sipir di LP Pekanbaru saat melakukan inspeksi mendadak bersama Badan Nasional Narkotika (BNN). Kabarnya, Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin, bosnya Denny di kementerian itu sampai harus membentuk Tim Pencari Fakta untuk mencari tahu kisah sebenarnya dibalik dugaan tamparan Denny. Dan Amir pun katanya membekukan MoU dengan BNN. Saya baca komentar pembaca di salah satu situs berita mengomentari berita ‘tamparan’ Denny, yang merasa heran kenapa cerita ‘tamparan’ itu yang dibesar-besarkan sampai membentuk TPF segala, kenapa tak dibentuk TPF untuk membongkar kenapa LP dijadikan ‘markas’ bandar Narkoba. Berita lainnya soal PKS yang ditendang dari koalisi karena berbeda sikap dalam rencana kenaikan BBM. Cerita yang berulang-ulang. Dan bikin gaduh saja. Jika memang mau ditendang, segera ditendang, tidak usah berbelit-belit. Karena belum juga mengantuk, saya ke luar sebentar, ke belakang rumah. Dari belakang rumah, terlihat bulan bulat dengan gerumbulan awan. Indah. Tampak menjulang sebuah apartemen. Jendela apartemen beberapa masih menyala, mungkin penghuninya sama seperti saya belum juga di sekap kantuk. Apartemen itu sangat megah, bahkan terkesan angkuh. Saya tahu, dibelakang apartemen, tepat dibawahnya justru ada kenyataan yang kontras, dimana disana ada pemukiman yang didiami para pemulung sampah. Bahkan gerobak-gerobak sampah diparkir berjejer di belakang apartemen. Saya sering melewati jalanan belakang apartemen. Tapi itu Jakarta, yang kaya tinggal di apartemen nyaman, berimpitan dengan yang kumuh. Mungkin sebentar lagi, pemukiman kumuh belakang apartemen juga akan kembali tergusur, seperti lahan yang sekarang dibangun apartemen mewah itu. Saya pun sambil merokok, coba mengingat apa yang menarik dari jejak rutinitas yang telah saya lewati. Sore hari, saya sempat mengobrol ringan dengan beberapa wartawan, kawan liputan di Kementerian Dalam Negeri. Obrolan seputar film yang bercerita tentang tsunami yang katanya buatan anak negeri. Tapi seorang wartawan dari sebuah media besar, mengatakan, katanya film itu teknisnya dikerjakan oleh orang bule. Sutradaranya orang luar, hanya pemainnya yang orang lokal. ” Kalau sutradaranya orang lokal mungkin jadinya kaya sinentron, ” katanya sambil tertawa. Saya ikut tertawa. Mungkin saja seperti itu. Tiba-tiba seorang wartawan ikut menimpali, ” Kalau begitu kayaknya, jika presiden orang asing, negeri ini mungkin akan sedikit cerahlah, akan bagus dikit tak seperti sekarang." Wartawan lain ikut menanggapi. ” Mungkin kali yah, kalau kita sewa saja presiden dari negeri orang biar beres nih negeri,” katanya. Celetukan-celetukan ini mungkin hanya sebuah gambaran dalam hati akan gerahnya atas kondisi negeri yang terus gaduh. Dan itu mencuat begitu saja dengan spontan. Ah, saya menarik nafas dengan berat. Bulan telah bergeser. Malam itu tak ada isyarat bakal hujan. Sementara berita dari koran mengabarkan sebagian pojok Jakarta dilanda banjir. Betapa berat beban masalah yang melilit negeri ini. Di ibukota masalah begitu meruyak. Banjir terus datang menyambangi, tak bosan-bosan. Para elit yang akan manggung di Pilkada pun tak bosan-bosan menebar janji, sanggup mengatasi banjir, meski banjir tetap datang. Mata tak juga mampu dijerat kantuk. Dua batang rokok habis dihisap. Pikiran gundah. Entahlah, saya merasa hari-hari terasa muram. Dimuat di Kompasiana.com Sop, Sambal, Lalap, Tempe Goreng Ibu Mega Rumah pribadi Ibu Megawati Soekarnoputri yang terletak di Jalan Teuku Umar, suasanya begitu asri. Pepohonan yang rimbun menaunginya. Pada 2009, saya cukup rutin menyambangi rumah itu. Saat itu, saya memang ditugaskan kantor, sebuah perusahaan media cetak yang terbit di Jakarta, untuk meliput di sana. Atau bahasa gaul wartawannya ‘ngepos’ di sana. Saat itu, hiruk pikuk menjelang Pilpres, cukup terasa. Pemilu legislatif, baru saja usai. Partai Demokrat, baik dalam hitung cepat, maupun rekap suara KPU, dinyatakan pemenang. Golkar berada diurutan dua, lalu PDI-P. Pilpres akan dijelang. Dinamika menjelang Pilpres inilah, salah satunya terasa di Teuku Umar. Rumah Ibu Mega, menjadi salah satu yang banyak dirubung para petinggi partai, selain tentunya markas kubu Cikeas (Partai Demokrat) yang letaknya tak jauh dari Teuku Umar. Silih berganti petinggi partai datang, pagi, siang, sore atau malam. Mereka datang, menjajaki kemungkinan untuk berkoalisi. Sekarang, menjelang Pilpres 2014, PDI-P sudah punya calon untuk dimajukan, yakni Joko Widodo atau Jokowi. Tapi, bukan itu yang ingin saya ceritakan. Yang akan ceritakan adalah soal makanan. Makanan, yang selalu saya dan wartawan lain santap di rumah Ibu Megawati. Kala itu pihak tuang rumah, menyediakan semacam dapur umum yang menyediakan makanan dan minuman. Letaknya, di samping rumah utama, di sebuah garasi yang disulap menjadi tempat makan dadakan. Di dalam garasi, diletakan meja panjang. Satu di sisi kiri. Satu meja lainnya, di letakan di ujung garasi. Sisa ruang garasi, dipakai untuk menaruh kursi-kursi lipat. Jadilah, garasi tempat menaruh mobil itu, disulap jadi ‘arena’ makan. Padahal, garasi luas dan lebarnya tak terlalu besar. Di meja panjang itu, mulai dari minuman mineral dalam ukuran gelas, piring, nasi, dan lauk pauk serta sayurnya ditaruh. Nasinya menggunakan wadah plastik ukuran besar. Saya ingat, warnanya merah. Jadi, wartawan atau siapapun yang kebetulan sedang ada di rumah Ibu Mega, bila sudah tibanya waktu makan, dan makanan pun sudah terhidang, dipersilahkan untuk menyerbunya. Saya termasuk salah satu yang sering menyerbu makanan yang terhidang di garasi rumah Bu Mega. Lumayan, makan gratis. Tapi, makan di rumah Ibu Mega, terasa lebih nikmat. Padahal menunya sederhana saja. Seringnya sop. Sop isinya wortel, kentang, kadang ditambahi dengan macaroni. Menu tambahan lainnya, goreng tempe, tahu, sambal plus lalapan dan kerupuk yang ditaruh ditoples besar. Kadang suka ada goreng ayam dan ikan asin. Pokoknya maknyuss, nikmatnya sampai berkeringat. Sederhana, tapi tidak tahu, serasa makan di rumah sendiri. Biasanya, kalau makan di markas tim sukses lain, seringnya nasi kotakan. Kurang afdol. Beberapa kali bahkan sempat mencicipi menu fast food, ayam goreng asal Paman Sam. Tapi, menurut lidah saya, makan di rumah Ibu Mega yang paling berkesan, meski menunya cuma sop, tempe goreng, kerupuk dan sambel ditambah lalapan. Entah untuk Pilpres 2014, apakah rumah Ibu Mega kembali jadi markas pemenangan capres? Jika pun menjadi markas, semoga menu seperti yang lalu yang dihidangkan. Atau jangan-jangan, tak ada lagi menu terhidang di garasinya itu alias tak lagi menyediakan makan gratis. Bila seperti itu, terpaksa kembali lagi ke Warteg.he.he.he. Dimuat di Kompasiana.com Dodol Aceh Membawa Saya ke UGD Seumur hidup saya, baru kali ini masuk Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit. Ya, saya memang jarang dirawat, apalagi sampai menginap di rumah sakit. Sesuatu yang wajib di syukuri. Karena siapapun pasti tak ingin masuk rumah sakit. Apalagi di rawat. Terlebih masuk UGD. Maka, sangat-sangat benar pepatah bilang, kesehatan adalah yang paling berharga dalam hidup. Tapi, sejarah hidup saya mencatatkan, untuk pertama kalinya masuk UGD. Bahkan masuknya saya ke UGD, sampai bikin geger Kementerian Dalam Negeri. Serta berhasil membuat panik Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi. Jadi kisah yang akan saya ceritakan adalah kisah nyata, yang benar-benar saya alami. Ceritanya begini. Jumat, dua pekan terlewat, menjelang solat Jumat, saya sudah datang ke gedung Kementerian Dalam Negeri untuk keperluan liputan bagi media tempat saya bekerja. Setelah tiba disana, kaki langsung melangkah ke ruang Puspen. Disana, ada sebuah ruang tempat berkumpulnya para wartawan yang memang meliput di kementerian itu. Pagi lumayan cerah, kala saya tiba di kementerian itu. Sampai diruangan yang dituju, sudah ada beberapa wartawan sedang duduk-duduk melingkari meja. Saya pun berbasa-basi menyapa kawan satu pos liputan. Tak lama, kemudian masuk seorang wartawati dari sebuah media besar nasional. Ia langsung duduk dan menyapa semua yang ada di ruangan wartawan. Ia cerita baru saja datang liputan dari Aceh. Maklum di minggu itu, isu tentang Pilkada Aceh tengah hangat-hangatnya. Ia pun kemudian menawarkan oleh-oleh yang dibawanya dari Aceh. Ternyata satu paket bungkus kecil dodol. Setelah dikeluarkan, ia pun menawarkan pada yang hadir untuk mencicipi. ” Tapi jangan banyak-banyak yah,” ia mewanti-wanti. Saya dan yang lain maklum bila ada wanti-wanti seperti itu. Karena kabar burung yang sudah jadi gosip dimana-mana bila masakan Aceh itu kerapkali di sisipi ‘tanaman haram ganja’ yang memang banyak tumbuh di bumi Serambi Mekah. Namun dalam pikiran saya yang lain, tak begitu percaya, ” Masa oleh-oleh pakai ganja juga,” pikir saya dalam hati. Saya pun langsung mencicipi sedikit. Rasanya manis, lembut dan memang lidah saya menyatakan enak. Karena enak, saya pikir makin afdol bila di temani secangkir kopi. Kebetulan memang ruangan wartawan di Kementerian Dalam Negeri, selalu disediakan kopi lengkap dengan gula dan air panasnya. Aktivitas mencicipi dodol Aceh pun dilanjutkan ditemani seruputan kopi hitam manis. Tiba-tiba, masuklah Pak Manik, salah seorang Pamdal yang memang sudah akrab dengan para wartawan yang kerap meliput di Kementerian Dalam Negeri. Ia pun sama ditawari untuk mencicipi dodol Aceh. Dengan antusias ia pun langsung mencicipi dengan porsi lumayan banyak. Salah seorang kawan saya dari sebuah media juga ikut mencicipi. Tak ketinggalan salah seorang staf di Puspen, Ikbal, ikut-ikutan mencicipi dodol made in Aceh. Sambil santai dengan kopi, dan kebetulan bungkusan dodol itu dekat dengan tempat duduk saya, dengan santainya acara mencicipi dodol terus dilanjutkan sambil ditimpahi cerita dengan ragam tema dicampuri sedikit gosip politik. Tak terasa porsi dodol yang saya cicipi cukup banyak. Karena dodol satu bungkus tersisa tinggal secuil. Saatnya solat Jumat pun tiba. Wartawan lelaki yang beragama Islam bersiap pergi ke Mesjid untuk menunaikan shalat. Termasuk saya. Tapi tiba-tiba kepala terasa pening. Mulai ada perasaan melayang-layang. Tangan terasa melemas. Pun tungkai kaki. ” Waduh, kenapa ini,” kata saya dalam hati. Tiba-tiba perasaan cemas datang menyergap. ” Jangan-jangan benar ini ada ganjanya." Saya pun segera menuangkan air putih dari dispenser dengan maksud mengusir pusing. Tapi alih-alih pusing dan rasa melayang-layang hilang, namun justru kian menggila. Akhirnya saya pun terduduk kembali dikursi, Kaki kian lemas untuk di gerakan. Perasaan cemas kian meharu biru pikiran. Saya pun akhirnya tak bisa pergi ke Mesjid untuk Solat Jumat. Ruangan hanya di isi oleh beberapa wartawan, kebanyakan adalah wartawati. Sampai setelah beberapa lama, masuklah rombongan Mendagri, Gamawan Fauzi. Memang sudah menjadi tradisi, bila sedang tak ada agenda keluar kantor, usai Jumatan, Mendagri selalu menyempatkan datang ke ruang wartawan untuk ngobrol panjang lebar. Pun pada Jumat dimana saya sedang dilanda pusing. Mendagri pun mengambil posidi duduk tepat di samping saya. Para wartawan sudah memenuhi ruangan. Saat sudah duduk, Mendagri menyapa saya, ” Apa berita hangat ni,” tanyanya sambil tersenyum. Saya pun menjawab, dengan lidah yang mulai terasa kaku. ” Ya soal Aceh pak,” jawab saya. Kegiatan wawancara pun dimulai. Tanya jawab antara para pencari berita dengan Mendagri ramai terdengar. Tapi ditelinga terasa mendengung-dengung. Konsentrasi saya semakin pudar. Saya terus berusaha mengontrol konsentrasi dengan fokus ke layar laptop dan mengetik sesi tanya jawab. Tapi tangan kian gemetar. Makin tak bertenaga. Pandangan kian tak karuan. Tubuh terasa makin melayang-layang. Perasaan cemas makin menggila dalam pikiran, bahkan sudah menjadi ketakutan. Rasa takut tak bisa ditahan. Akhirnya saya pun tak lagi kuasa mengetik di keyboard laptop saya. Rasa takut terus menyiksa. Dalam pikiran saya, pasti ini akan memburuk. Saya teringat anak istri. Tidak tahu, perasaan terjadi hal yang paling buruk tiba-tiba datang. ” Wah, kalau saya tak segera diobati, umur saya akan lewat,” sudah seperti itu rasa takut yang berkecamuk. Tak ingin terus tersiksa, saya paksain untuk berteriak, maksud saya meminta tolong pada yang hadir agar saya segera dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Saya coba berdiri, dan berkata pada Mendagri yang sedang menjawab pertanyaan para wartawan. Awalnya Mendagri mengira saya hendak bertanya, karena samar dia berkata, ” Nanti dulu saya jawab pertanyaan ini,” katanya. Tapi saya tak kuat, ” Pak saya minta tolong bawa ke rumah sakit,” dengan suara parau akhirnya saya bisa berkata-kata ditengah kakunya lidah. Mendagri kaget mendengarnya, apalagi kemudian karena tungkai lemas saya jatuh dengan perasaan mengawang-awang ke kursi. Tiba-tiba rasa dingin menyergap, saya pun bersidekap melawan rasa dingin. Tapi dingin terus menyerang saya tanpa ampun. Perasaan saya saat itu melayang-layang. Saya seperti tak lagi bersatu dengan tubuh, dengan rasa takut yang tak bisa ditahan. Saat saya jatuh, Mendagri yang tepat disisi saya, langsung menghampiri. Sepertinya ia langsung memijiti. Tapi saya sudah tak merasa lagi. Perasaan melayang-layang, juga rasa takut yang menggila. Semua panik. Pun orang nomor satu di Kemendagri. ” Bawa ke dokter cepat, bawa ke dokter,” teriak Mendagri. Wartawan yang hadir pun ikut panik. Dengan kursi saya di dorong Mendagri keluar ruangan, dengan maksud di bawa ke klinik Kemendagri. Pada salah seorang wartawan yang ikut mendorong, saya membisik dengan lidah yang terus kian kaku. ” Maasss, bawa ke rumah sakit, ceppat saya takut mattti,” kata saya dengan tergagap-gagap. Akhirnya dengan susah payah saya bisa dimasukan ke dalam mobil kijang dengan maksud di bawa ke rumah sakit. Dalam mobil, ada dua wartawan yang ikut menemani, juga salah seorang staf Puspen dan seorang supir yang juga staf Puspen Kemendagri. Mobil pun meluncur dengan tujuan RSPAD yang memang lumayan dekat dengan Kemendagri. Dalam mobil, saya kian tersiksa dengan perasaan melayang-layang. Tubuh sudah tak terasa lagi. Menjelang dekat RSPAD, mobil hampir menambrak pemotor. ” Bal, hati-hati,” teriak wartawan yang ikut menemani saya. Ikbal, sang supir tiba-tiba berkata. ” Wah mas, kayaknya ini dari dodol. Saya makan sedikit tadi, ini kepala mulai melayang." Kagetlah semua yang ada dalam mobil. ” Hati-hati pelan-pelan, tinggal dikit lagi sampai,” kata wartawan yang menyangga tubuh saya. Mobil pun sampai, langsung menuju area depan UGD. Saat saya di gotong keluar dari mobil, perasaan sudah tak terasa lagi tangan-tangan yang menggotong tubuh saya. Saya sudah melayang-layang dengan rasa takut yang menggila. Tangan-tangan yang menggotong tubuh saya seperti menembusi badan. Pandangan saya nanar. Akhirnya saya dibaringkan di ranjang. Langsung diperiksa perawat. Disuntik ditangan untuk diambil darang. Diberi infus. Selanjutnya, diperiksa jantung dengan alat yang disorong dan ditempelkan ke seluruh tubuh. Perasaan akan meninggal makin membuncah. Dengan kekuatan tersiksa saya minta kawan saya, wartawan yang ikut membawa saya ke UGD menghubungi istri saya di rumah. Perasaan melayang-layang tak kunjung hilang, meski saya sudah di infus, dan diberi minum susu, dan muntah beberapa kali. Tiba-tiba salah seorang wartawan yang ikut membawa saya, rada berteriak. Rasa takut makin menyiksa. Bahkan hadir perasaan bila saya pejamkan mata, saya tak akan lagi kembali ke dunia nyata. Maka saya paksa melotot terus. Perasaan yang ada, malaikat seperti sudah mengintip-intip. ” Mas, saya juga pusing dan melayang-layang. Saya juga tadi ikut makan dodol,” ujarnya. Akhirnya, ia pun sama dengan saya terpaksa harus diinfus. Sementara yang lain panik mencari Ikbal, yang juga ikut mencicipi dodol. Magrib, sedikit demi sedikit saya merasa pulih. Tapi badan masih lemas dan melayang-layang. Perasaan takut mulai berkurang. Bada Isya saya mulai merasa pulih. Badan mulai sudah bisa saya rasakan. Saat kaki saya gerakan menyentuh bibir ranjang, saya sudah bisa merasakannya. Kawan wartawan teman liputan banyak berdatangan. Pun utusan dari Mendagri. Dua redaktur saya pun datang ke UGD, setelah ditelpon kawan saya. Lidah tak lagi kaku. Perasaaan ngefly mulai berangsur-angsur hilang, meski lemas tak kunjung pulih. Dua redaktur saya bertanya bagaimana kronologisnya, kawan saya berinisiatif cerita, pangkal sebabnya karena memakan dodol Aceh. Salah seorang redaktur saya pun bercerita, dulu juga kawannya masuk UGD karena kebanyakan makan dodol Aceh, saat liputan di Aceh. ” Ada ganjanya itu,” katanya. Sekitar pukul sembilan saya pulang, setelah istri dan anak saya datang. Saya diantar pulang ke rumah mertua saya di Cipete, dengan mobil kantor. Pun teman saya yang ikut di infus. Motor saya pun terpaksa diinapkan di parkiran Kemendagri. Karena tak mungkin lagi saya menyetir, bisa-bisa malah nabrak orang, seperti yang dialami Ikbal, saat membawa saya ke RSPAD, nyaris menabrak pemotor. Saat sudah tiba di rumah mertua, saya pun iseng buka internet lewat blackberry, mencari informasi tentang dodol Aceh. Didapat banyak berita tentang dodol Aceh yang dimuat dilaman situs-situs berita. Disalah satu situs berita, dituliskan penangkapan penjual dan pembuat dodol Aceh oleh Polda Aceh. Dalam pengakuannya, di tersangka mengatakan dodol itu memang terbuat dari terigu, daun ganja, biji ganja dan gula. Pantesan saya melayang-layang nge-flay. Rupanya saya nge-fly oleh cimeng alias ganja. Minggunya, terpetik berita menghebohkan yang saya baca dari internet, Afriyani Susanti menabrak orang yang sedang menunggu di trotoar. Tak tanggung-tanggung 9 nyawa melayang. Pemeriksaan polisi, sementara menyimpulkan Afriyanti, si supir Xenia maut itu sebelum nyetir pesta minuman keras, ngisap ganja, berekstesi ria dan nyabu. Jadi memang, narkoba itu mau seperti apa bentuknya bisa mematikan. Saya merasakan sendiri. Bayangkan, bila saya merasakan efek dodol itu kala saya menyetir motor. Bisa-bisa nasib saya seperti Afriyanti. Padahal dalam perasaan saya, tak ada enak dan indahnya ngeflay narkoba. Yang ada justru cemas dan takut. Tidak tahu kalau yang sudah kecanduan. Namun yang pasti, saya kapok dan cukup itu pengalaman pertama dan terakhir dalam hidup saya mencicipi efek dari narkoba. Saya masih punya keluarga yang dicintai. Tentu tak ingin hancur hanya karena ingin ngefly sesaat. Amit-amit. Dimuat di Kompasiana.com Kisah Delay dan Kebelet Boker Tak ada suasana yang bikin dongkol kala sedang bepergian, selain menunggu delay pesawat yang akan membawa pulang ke rumah. Menunggu, dan menunggu. Sialnya saya mengalami ini. Lebih sial lagi adalah, dua kali menikmati delay. Dongkol pun akhirnya double. Bayangkan, ketika berangkat saya juga mengalami delay pesawat. Pun saat pulangnya, kembali delay saya nikmati. Saat itu saya ada tugas dari kantor ke Lombok, meliput acara sebuah kementerian. Ketika berangkat ke Lombok, saya juga mengalami delay. Lumayan selama 45 menit. Bahkan sembari menunggu ‘tradisi delay’ saya masih sempat menghabiskan secangkir kopi, beberapa batang rokok dan satu porsi soto ayam. Selain delay, saya pun disuguhi cerita, matinya pendingin sebelum pesawat take of, sampai kemudian tercipta sebuah catatan berjudul, ” Ini Pesawat atau Mayasari Bakti Sih?” yang juga saya upload ke Kompasiana. Pulangnya, kembali saya harus dipaksa menikmati ‘tradisi delay”. Lebih dongkol lagi, karena menggunakan maskapai penerbangan yang sama. Sedikit saya uring-uringan. Seorang kawan saya, menasehati, nikmati saja. Delay pesawat bukan hal aneh di dunia penerbangan di Indonesia. Jadi tak usah dongkol, tak usah marah. ” Nikmati saja bos,” katanya. Dongkol bertambah, karena tak ada kepastian, kapan delay diakhiri. Alhasil selama di bandara, berdongkol ria. Agar dongkol tak semakin mendongkol, seorang kawan dari media lain, berinisiatif mengajak saya ngopi sebentar dan menghabiskan beberapa batang rokok di ruang smoking area yang ada di Bandara Internasional Lombok, yang masih bau cat, karena baru rampung di bangun. Satu gelas kopi hitam tandas plus ditemani beberapa batang rokok, kebiasaan yang tak patut ditiru tapi susah ditinggalkan. Selesai ngopi, saya pun segera menuju ruang tunggu pemberangkatan. Disana kawan yang bijak menasehati duduk anteng. Sampai disana, beberapa tema obrolan tentang pengalaman saat meliput sempat dibahas. Sampai, tiba-tiba si kawan yang bijak itu berdiri. ” Bos titip tas yah, aku mau ke kamar kecil dulu,” kata dia. Tak hanya dia, ada kawan lain, seorang kameramen dari sebuah stasiun televisi swasta ikut ke kamar mandi atau toilet bandara yang letaknya lumayan jauh ada di lantai bawah. Saya dan yang lain kembali melanjutkan obrolan Baru saja, dua kawan pergi ke toilet, tiba-tiba staf dari maskapai yang hendak menerbangkan saya ke Jakarta mengumumkan, pesawat sudah siap dan penumpang diharap segera ke pesawat. Sontak, para penumpang yang sudah menunggu lumayan lama, langsung pada bergegas menuju pintu keluar yang menghubungkan ke landasan, tempat pesawat di parkir. Waduh, dua kawan masih di kamar mandi. Segera yang lain menghubunginya via ponsel. Saya pun kirim pesan via BBM, mengingatkan kawan saya yang bijak itu agar segera menyelesaikan hajatnya, karena pesawat sudah mau berangkat. Yang bikin kesal, pengumuman itu lambat di umumkan via pengeras suara. Ada jeda beberapa menit, sampai kemudian terlihat, kawan saya sang kameramen tergopoh-gopoh menuju ruang pemberangkatan. Nafasnya turun naik begitu sampai. ” Mana Edi, mana Edi? ” Serempak semua menanyakan kawan saya yang bijak itu. ” Dia tadi lagi boker,” jawab si kameramen dengan nafas yang masih memburu, saking tergesanya ia menuju ke ruang pemberangkatan. Baru setelah itu, terlihat Edi, si kawan yang bijak itu setengah berlari menuju ruang pemberangkatan. Hanya rombongan saya yang belum menuju ke pesawat. Si kawan bijak itu nampak agak susah berlari cepat. Sebab badannya terbilang tambun. Namun kemudian yang lain, termasuk saya ngakak semua, melihat Edi dengan badannya yang gendut pontang-panting sambil menenteng sepatu alias dia berlari nyeker. Mungkin karena tergesanya ia tak sempat memakai sepatu. Maka ia pun bergegas nyeker alias kaki tak pakai alas apapun. Setelah sampai, semua langsung berhamburan menuju pesawat, termasuk Edi yang masih menenteng sepatu. Sampai dalam pesawat, Edi yang duduk persis disamping saya, ternyata tak juga memakai sepatu. Alias dia menuju pesawat dengan nyeker. Setelah tas-tas ditaruh di bagasi, Edi menghempaskan badannya yang tambun. Wajahnya berkeringat dan kesal. ” Kampret, belum selesai boker ni. Delay sialan, ” umpatnya. Saya hanya tersenyum simpul mendengarnya. ” Kawan nyantai saja. Kan sudah biasa delay itu kan?” Kata saya mengulang nasehatnya. ” Taulah,” jawabnya pendek, sambil membungkuk mengenakan sepatunya kembali. Lumayan bikin kesal, sebab seharusnya pesawat berangkat menuju Jakarta, pukul 19.40 waktu Lombok. Tapi baru dipersilahkan masuk pesawat 20.14 waktu setempat. Tapi dongkol agak berkurang, setelah melihat efisode Edi, kawan saya yang bijak, tergesa-gesa naik pesawat sambil menenteng sepatu dan aktivitas bokernya di interupsi oleh pesawat yang hendak mau terbang. Dimuat di Kompasiana.com “Ini Pesawat Terbang atau Mayasari Bakti Sih” Senin, 17 Oktober 2011, menjadi hari yang lumayan agak menjengkelkan. Ceritanya begini. Saya hari itu, ditugaskan kantor meliput ke Pulau Lombok. Ke sana saya, rencananya naik pesawat Lion Air, sebuah perusahaan maskapai penerbangan nasional. Di jadwal yang tertera di tiket, pesawat mestinya berangkat pukul 14.15 Wib. Tapi, ternyata sial, pesawat delay sampai 45 menit. Lumayan menunggu cukup lama. Akhirnya pemberitahuan keberangkatan pun tiba. Saya pun segera melenggang ke pesawat yang hendak membawa ke Lombok. Masuk ke pesawat, lalu segera menaruh tas di bagasi, dan duduk dikursi sesuai nomor seat yang tertera di tiket. Tapi pesawat ternyata tak kunjung berangkat. Namun yang bikin menjengkelkan adalah pendingin yang tak jalan. Keringat pun bercucuran. Untung ada brosur berisi tata cara penyelamatan di pesawat saat terjadi keadaan darurat yang di selipkan disetiap punggung kursi penumpang. Brosur pun beralih fungsi menjadi kipas pengusir panas. Ternyata tak hanya saya yang berpeluh didalam pesawat. Penumpang yang lain pun sama saja kegerahan dengan hawa di dalam pesawat. Bahkan nyaris semua penumpang, melakukan aksi kipas menggunakan brosur. Penumpang di sisi saya, sambil mengipas-ngipas tiba-tiba nyeletuk. ” Ini pesawat terbang atau Mayasari Bakti sih,” celetuknya. Mayasari Bakti yang dimaksudkannya adalah nama bis yang beredar di ibukota. Bis ekonomi Mayasari Bakti, memang kalau sedang ‘ngetem’ menunggu penumpang, gerahnya minta ampun. Agak mirip-mirip yang saya rasakan di dalam pesawat yang akan mengantar saya ke Lombok. Pantas penumpang samping saya, nyeletuk membandingkan pesawat dengan Mayasari Bakti, karena memang gerahnya mendekati setara. Saat pesawat mulai jalan, terdengar permohonan maaf dari pramugari, tentang pendingin yang mati. Kata dia, pendingin belum berjalan maksimal, karena energi mesin sedang dipusatkan untuk menjalankan pesawat. Berulangkali, permohonan maaf itu diucapkan. Beberapa penumpang menggerutu. Tapi mau apalagi, mau protes juga sepertinya percuma. Tapi, saya tersenyum simpul mendengar celetukan penumpang di pinggir saya. ” Ini pesawat terbang atau Mayasari Bakti sih." Dimuat di Kompasiana.com Kopi Pagi Dengan Berita Sea Games Pagi hari rasanya sempurna bila ada secangkir kopi dan koran Kompas. Seruputan pagi, nikmat rasanya sembari membaca kabar Indonesia dan dunia lewat koran terbesar di Indonesia itu. Namun kali ini, kabar Kompas di halaman muka, rasanya membuat pagi saya tak terasa nikmat. Berita persiapan Sea Games, yang saya baca di halaman depan Kompas, terasa hambar. Ketua Harian Inasoc, Rachmat Gobel menggambarkan persiapan Sea Games yang belum maksimal. Bahkan terasa ada sesuatu yang mendesak, dengan meminta Perpres penunjukan langsung yang berlaku surut. Dari permintaan Rachmat tersebut tersirat bahwa persiapan Sea Games menyimpan masalah. Tentu, jika persiapan sekarang sudah seperti itu, dimana nada ketar ketir bin khawatir begitu kuat mencuat, jelas saya pun yang awam lebih khawatir. Khawatir persiapan yang tak maksimal berimbas pada pelaksanaannya di hari H yang ikut tak maksimal. Lebih khawatir lagi, itu berpengaruh pada prestasi putra - putri bangsa di gelanggang nanti. Mudah-mudahan ketar-ketir saya tak terjadi. Padahal berhasil tidaknya Sea Games akan terkait dengan nama baik Indonesia sebagai sebuah negara terbesar di Asia Tenggara. Bila tak maksimal, apalagi banyak menyimpan kelemahan, muka Indonesia tentu akan tercoreng. Bisa jadi akan jadi bahan cemoohan. Terlebih kalau merunut ke belakang, persiapan Sea Games, diwarnai cerita busuk kongkalikong proyek yang kemudian menyeret bendahara umum partai penguasa, Muhammad Nazaruddin jadi pesakitan. Serta bumbu cerita yang tak kalah busuknya yang menyertai cerita Nazaruddin dan persiapan Sea Games. Mudah-mudahan ini bukan pertanda buruk. Karena hanya prestasi di gelanggang olahraga yang bisa membuat bangsa ini membusung dada. Lihat saja, saat Timnas bermain, gelora nasionalisme begitu kuat terasa. Artinya, hanya lewat olahraga, rakyat merasa memiliki bangsa ini. Mudah-mudahan halaman muka Kompas tak berlanjut. Artinya hanya berita di pagi ini, yang membuat tradisi ngopi saya terasa hambar. Mudah-mudahan muka depan Kompas esoknya, berubah, Indonesia siap menggelar pesta akbar olahraga se-Asia Tenggara. Dimuat di Kompasiana.com Sandal Wartawan Senior Hilang Di ‘Rumah Kyai’ Namanya Muhammad Sahlan. Ia teman liputan saya, tapi dia dari media cetak yang berbeda. Sahlan berasal dari Bali, maka saya dan teman satu pos liputan dengannya, selalu memanggilnya Made Sahlan. Orangnya kalem, dan jika bicara logat Balinya belum hilang. Satu waktu, saya liputan bareng dengannya, meliput acara buka bersama di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang ada di bilangan Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Kantor PBNU itu, bisa dikatakan ‘rumahnya para kyai’, sebab para kyai besar kerap ngumpul disana. Ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj, juga berkantor disana. Mendiang Gus Dur juga dulu kala masih jumeneng, sering menyambangi kantor PBNU, bahkan ada ruang tersendiri bagi Gus Dur. Acara buka bersama itu sendiri, sekaligus dalam memperingati HUT RI ke 66. Hadir diacara, selain Ketua Umum PBNU, juga para kyai. Ada KH Khalid Mawardi, KH Jawawi Imron, dan kyai-kyai lainnya. Hadir juga sebagai tamu undangan, Hayono Isman, mantan menteri yang sekarang menjadi anggota dewan pembina Partai Demokrat. Acara itu sendiri di isi tausiyah dari Ketua Umum PBNU, dan kyai lainnya, yang menekankan, jangan pernah merasa pesimis, ditengah himpitan persoalan kebangsaan yang terus meruyak. KH Jawawi Imron, misalnya menekankan bahwa umat Islam dan umat lainnya mempunyai kewajiban merawat Indonesia yang begitu indah. Bahkan KH Jawawi menyitir ucapan seorang Syekh, yang memandang Indonesia itu ibarat serpihan potongan surga yang dijatuhkan ke bumi. Bukan hanya Syekh, yang menilai seperti itu, Grup Musik Koes Plus pun kata dia, memandang Indonesia tak jauh beda. ” Orang bilang, tanah kita tanah surga, tongkat kayu bisa menjadi tanaman,” kata KH Jawawi mengutip penggalan lagu Koes Plus yang ia sukai. Bahwa Indonesia kini, jadi tempat berkelahi para elit, dan tempat menghamburnya fitnah, jangan jadi alasan untuk mengurangi cinta pada Indonesia, tanah air yang dibebaskan dengan darah dan air mata. Sahlan, saya dan beberapa wartawan lainnya, serius mencatat tausiyah demi tausiyah untuk keperluan penulisan berita. Sampai tiba saatnya berbuka puasa. Peserta yang hadir satu persatu keluar ruangan tempat pertemuan, termasuk saya dan Sahlan. Tapi di luar ruangan, Sahlan nampak kebingungan. Mukanya celingak celinguk, mengecek cermat serakan sandal dan sepatu di depan pintu ruang pertemuan. Memang saat hendak masuk ruang pertemuan, semua yang datang diminta mencopot alas kakinya, karena pertemuan di gelar dengan lesehan beralaskan karpet. Karena penasaran, saya bertanya pada Sahlan. ” Napa Lan, kok bingung,?” Tanya saya. Sahlan pun menjawab dengan muka bingung. ” Iya nih, sandal saya kemana yah,” jawabnya sambil matanya terus mencari-cari sesuatu diserakan sandal dan sepatu. Sahlan, memang ketika datang ke sana, memakai sandal kulitnya. Cukup bagus. ” Udah buka dulu Lan,” kata saya mengingatkan, sebab waktu berbuka telah tiba. ” Entar dulu nih, sandal saya mana yah,” katanya masih terus mencari. Sampai waktunya berbuka, dan yang lain sudah bersantap menu buka yang disediakan panitia pertemuan, Sahlan masih mencari-cari, sambil nyeker alias bertelanjang kaki. Karena di buru untuk segera menuliskan berita, usai solat Magrib, saya langsung cabut. Sahlan masih tetap celingak-celinguk mencari sandal kulitnya. Sekitar pukul 22.00 lebih, saya coba menghubungi Sahlan, menanyakan apakah sandalnya sudah ketemu. Sahlan yang sudah pulang ke rumah, menjawab dengan suara dongkol. ” Sial, sandal saya di curi orang. Pulang ke kantor nyeker, ditertawakan orang kantor. Hilangnya di PBNU lagi. Masa di sana juga ada pencuri sandal, enggak takut kualat apa sama kyai,” kata Sahlan dengan dongkolnya. Saya pun tak kuat menahan tawa. Tak terbayang, Sahlan datang ke kantor nyeker bertelanjang kaki. Atasan keren, tapi nyeker. Tapi Lan, ambil hikmahnya saja. Semoga, yang ambil sandalmu, bisa mempergunakan dengan baik. Siapa tahu kan, itu akan dipakai untuk lebaran. Apalagi sandal kulitmu berbentuk sepatu sandal cukup bagus, bermerek lagi. Kan yang ambil seneng, tampil keren di lebaran nanti. Relakan Lan, anggap sedekah… Lan, ini Indonesia, yang katanya negeri para segala maling. Tak hanya, di ‘rumah para kyai’ ada maling, di rumah wakil rakyat malah tambah parah, katanya yang maling adalah maling anggaran. Katanya loh Lan, kata para pengamat dan para penggiat LSM anti korupsi. Masih untung, di ‘rumah para kyai’ yang maling masih sekelas maling sandal. Jadi relakanlah Lan, sandal kulitmu itu. Dimuat di Kompasiana.com Telepon Ramadhan Seorang Wartawan Di era telepon seluler, kegunaan dari alat komunikasi segenggaman tangan itu sangat terasa manfaatnya. Selain sebagai alat komunikasi, juga sebagai juru ingat. Di bulan puasa, atau ramadhan, telepon genggam adalah juru ingat yang setia. Fitur alarm, yang disetel dengan waktu yang diinginkan, sangat berguna sekali sebagai pengingat. Di bulan puasa, jam yang di set-up, tepat pada saat adzan magrib bergema. Fungsinya, biar kita dijalan, tapi dengan fitur alarm itu, waktu berbuka bisa terus terpantau dan telepon genggam yang mengingatkannya. Nada alarm yang paling banyak di pilih adalah kumandang adzan. Saya punya sedikit cerita ringan, tentang telepon genggam si juru ingat adzan itu. Saat itu, sedang menunggu waktu berbuka. Sore kian merambat ke petang. Sambil menunggu adzan, saya mencicil mengetik berita hasil liputan tadi siang. Di jam dinding, jarum jam menunjukan pukul lima lewat. Bahkan sudah mendekati ke magrib. Tiba-tiba, terdengar bunyi adzan magrib dari telepon genggam kawan liputan saya, Sahlan, wartawan dari media nasional yang terbit di Jakarta. ” Woooi buka-buka,” kata Sahlan. Tapi kawan saya lainnya, Lili, seorang wartawan media cetak juga, segera menghardik. ” Lan, belum waktunya magrib tuh. Masih tiga menitan lagi, handphone juga belum beradzan,” kata Lili. Ternyata Lili juga, menset up alarmnya, pas di waktu adzan magrib bergema. Nadanya pun sama kumandang adzan. Benar saja, lewat dari tiga menit setelah dia mengatakan itu, terdengar bunyi kumandang adzan dari telepon genggamnya. ” Ini baru tepat magribnya, kau sengaja dicepetin kali Lan,” kata Lili lagi. Sahlan hanya nyengir saja. Apalagi adzan di handphone Lili sama kumandangnya dengan adzan di televisi. ” Bukan begitu pak Lili, adzan di handphone saya sengaja di cepetin, bukan mempercepat buka puasa, tapi biar ada waktu siap-siap menyediakan untuk buka puasa,” kata Sahlan tak mau disalahkan. Sahlan, Sahlan, ada saja kelitnya. Namun yang pasti telepon genggam Sahlan, adalah telepon genggam siaga puasa, tapi terlalu sangat bersiaga, sehingga waktu buka pun di diskon tiga menitan dengan alasan agar bisa siap-siap untuk berbuka. Ada-ada saja, kau, Lan. Dimuat di Kompasiana.com Gagal Menemani Sang Jenderal Hasrat hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai, demikian kata peribahasa yang menggambar, keinginan menggapai sesuatu tak bisa terwujud karena terbentur minimnya kemampuan. Atau ada hambatan yang menghadang, hingga kemudian keinginan gagal direalisasikan. Sederhananya seperti itulah. Nah, peribahasa itu juga pernah saya alami. Ceritanya begini. Saya yang bekerja di sektor media, atau lebih jelas sebagai kuli tinta alias wartawan, undangan meliput ke luar kota adalah satu hal yang rada-rada diharapkan. Bagaimana tidak, selain mencari berita, liputan ke luar kota itu juga ibarat mendapat tiket jalan-jalan gratis. Bisa menginjakan kaki di dearah yang tak pernah dikunjungi. Kenapa gratis, wong yang bayarin yang ngundang meliput he…he...he. Satu waktu saya diundang meliput. Undangan datang dari Pak Wiranto, mantan Panglima TNI yang sekarang menggawangi Partai Hanura. Saat itu, memang dalam masa kampanye Pilpres 2009, dimana Pak Wiranto atau dikenal dengan julukan Mr. Whisky statusnya sebagai calon wakil presiden. Pak Wiranto jadi calon RI-2 mendampingi Pak Jusuf Kalla yang jadi calon orang nomor satunya. Undangan yang datang dari Pak Wiranto itu adalah undangan untuk meliput kampanye sebagai cawapresnya Pak Kalla. Tujuan kampanye adalah Propinsi Nusa Tenggara Timur, demikian kira-kira yang tertera dalam undangan. Wah, saya yang ditugaskan kantor, tentu girang. Sebab saya belum pernah menginjakan kaki di NTT itu. Tentu itu bak durian runtuh, bisa injakan kaki di daerah yang belum pernah saya kunjungi. Pihak tim kampanye Pak Wiranto mewanti-wanti, agar saya kumpul paling lambat pukul 5 pagi. Sebab pesawat akan terbang pada pukul setengah enam. Tempat kumpulnya di Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma. Dari lapangan terbang yang juga pangkalan udara militer itu, pesawat carteran Pak Wiranto akan terbang menuju NTT. Waduh pukul lima. Pagi bener. Halim lagi, sementara saya tinggal di Cipete Selatan. Lumayan jauuh bos. Untungnya saya punya teman meliput, reporter Harian Seputar Indonesia (Sindo) yang juga diundang tim Pak Wiranto. Namanya Fahmi. Akhirnya saya janjian, untuk berangkat bareng. Kata Fahmi, berangkat dari kosannya saja yang ada dibilangan kebon sirih. ” Kita bareng aja. Kau kesini aja, jam dua maleman. Nanti pukul setengah empat kita berangkat. Pake motor aja,”ujarnya. Singkat kata saya dan Fahmi deal. Usai liputan biasa, saya pulang ke rumah, siapkan apa yang mesti dibawa untuk liputan ke NTT. Pukul dua malam kurang sedikit, saya melaju motor ke tempat kosannya Fahmi. Jalanan sepi, saya pun memacu si roda tua dengan cepat. Sampai sekitaran jalan Teuku Umar, tiba-tiba motor endeut-endeutan. Walah, pikir saya, alamat sial nih. Pas saya lihat ditanda isian bensin, kaget rasanya. Ternyata jarum penanda bensin sudah mentok ke bawah. ” Alamat habis bensin nih,”pikir saya. Benar saja, pas di bundaran jalan Teuku Umar, Menteng, Jaksel, tepatnya dekat rumah pribadinya Megawati, motor ngadat tak bisa jalan, kehabisan bensin. Saya pun tepikan motor ke pinggir jalan. Jalanan sangat sepi, hanya satu dua mobil yang lewat, maklum sudah masuk pukul dua pagi. Saya pun segera nelpon Fahmi bahwa motor saya kehabisan bensin di jalan Teuku Umar. Setelah memberi tahu detail posisi, Fahmi berjanji akan segera nyamperin saya. Selama tunggu Fahmi saya celingak-celinguk sendirian. Untung ada tukang kopi keliling pakai sepeda. Pesan kopi susu, dan rokok. Sembari ngopi dan menghisap rokok saya tunggu Fahmi. Sampai terlihat bajaj yang terseok-seok lalu berhenti tak jauh dari tempat saya tepikan motor. Ternyata yang keluar Fahmi. Setelah urusan bayar bajaj kelar, Fahmi nyamperin saya. “Wah bagaimana nih sampe kehabisan bensin?”Tanya Fahmi setelah ada dihadapan saya. “Enggak tahu bos. Lupa saya ngeceknya,”jawab saya sambil nyengir. Ada rasa bersalah sudah merepotkan Fahmi. Akhirnya kami berdua terpaksa mendorong motor mencari POM bensin yang buka 24 jam. Akhirnya setelah keringat membanjiri tubuh dan nafas ngos-ngosan, POM bensin pun ditemukan. Waktu sudah menunjukan pukul 2 pagi lewat. Setelah tanki bensin di isi, saya bersama fahmi segera berlalu menuju kosan Fahmi. Kami berdua pun mandi. Untuk selanjutnya bersiap untuk menuju ke Bandara Halim Perdana Kusuma. Dengan mengendarai motor saya, kami berdua melaju membelah pagi. Jalur perjalanan yang kami pilih, Cikini, langsung lewat RSCM dan tancap menyusuri jalur Kampung Melayu ke arah Cawang. Nanti niatnya dari Cawang baru tancap ke Halim. Tapi baru saja masuk jalan di wilayah Kampung Melayu, motor terasa geal-geol. Olalala ban belakang sepertinya gempes. Fahmi yang didaulat sebagai penyetir menepi jalan. Benar saja, ban belakang kempes alias bocor. Sementara waktu mau masuk pukul empat. Fahmi pun turun, benar memang ban belakang terlihat tanpa angin. Kami berdua tengak-tengok, kali aja ada tukang tambal. Tapi ternyata tak ada disekitar situ. Sedangkan dari tempat terjadinya tragedi ban bocor lumayan jauh ke terminal bis bayangan kampung melayu. Fahmi berpikir mungkin di terminal kampung melayu ada tukang tambal. Untuk kedua kalinya kami mendorong motor. Cukup jauh juga terminal kampung melayu itu. Secara bergiliran kami pegang kemudi. Sampai diterminal, kesialan belum hilang. Sebab belum ada tukang tambal yang buka. Suasana terminal juga masih lengang. Akhirnya setelah tanya kiri kanan, didapatlah informasi bahwa di sebelah selatan terminal kampung melayu ada tukang tambal. Kami berdua pun kembali mendorong motor atau ketiga kalinya sebab sempat berhenti lumayan lama di sekitar terminal kampung melayu. Kedua kalinya pula keringat basahi tubuh, ditimpali nafas ngos-ngosan. Untuk saat mendorong, kami berdua disuguhi pertunjukan live dua orang berlainan jenis saling berpagutan dipinggir jalan. Kayaknya dua insan entah sepasang kekasih atau pasangan selingkuh habis menghabiskan malam entah dugem atau chek in dimana. Yang pasti si cewek terlihat oleh kami hendak turun disekitaran jalan raya kampung melayu itu. Tapi saat keluar si lelaki ikut keluar dan menarik si cewek. Berpagutanlah mereka berdua dan saling remas. Tak perlu diceritain. Mereka tak sadar ada dua pasang mata dengan nafas ngos-ngosan cape memperhatikan adegan rada panas di awal pagi itu. Si cewek pun menghilang masuk gang. Sementara mobil ’sang kekasihnya’ menderu membelah jalan. Kami pun kembali ke aktivitas semula, mendorong motor. Jauh juga ternyata jarak kami mendorong motor menuju si tukang tambal ban. Nyaris kalau dihitung-hitung ada 2 kilo meter lebih. Akhirnya si dewa penolong terlihat diseberang jalan. Dengan agak tergesa, kami dorong motor lalu mencari jalur putar balik. Setelah ketemu, motor didorong lebih cepat, putar arah menuju tukang tambal ban. Akhirnya tiba juga ke tukang tambal ban. Lega rasanya, apalagi saat si tukang tambal langsung bekerja menambal ban. Kami berdua pun duduk lemas melepas cape dan pegel. Badan terasa pegal dan kaku. Lumayan jauh aksi dorong motor sampai ke tempat tukang tambal ban. Lihat jam, ternyata waktu sudah menunjukan pukul empat lewat. Bahkan lewatnya sudah mendekati pukul lima. Alamat enggak bakalan terkejar pesawat Pak Wiranto. Artinya gagalah menginjakan kaki di tanah NTT. Fahmi pun menelpon tim suksenya Pak Wiranto, menginformasikan kami berdua tak bisa ikut. Informasi Fahmi lengkap dengan kronologis motor bocor. Pada akhirnya, hasrat hati ingin ke NTT bersama sang jenderal, apa daya ban motor kempes. Nasib-nasib, bukannya menghirup udara NTT, dan menangkap lanskap pulau itu yang katanya eksotis, tapi yang dinikmati justru kaki pegal dan tenaga habis. Dimuat di Kompasiana.com Wartawan Bukan Rasa Kapitalis Seorang wartawan misuh-misuh, saat acara makan bareng, yang awalnya diagendakan di rumah makan padang, tapi kemudian berbelok agenda di sebuah restoran siap saji. Ia pun meledakan kejengkelannya. Maklum ia adalah penggemar berat masakan minang. Kian sempurna kecintaannya, karena dia memang berasal dari ranah Minang. Saking jengkelnya, niat makan bareng di rumah makan padang, ia sampai membawa-bawa istilah ekonomi kapitalis dan neo liberal, yang pernah terkenal di cuap-cuapkan oleh para kontestan pemilihan presiden 2009 kemarin. Namanya, Syafril, usianya udah senior. Saya dan wartawan lainnya, biasa memanggilnya uda Syafril, sebagai bentuk penghormatan akan asal usulnya yang dari padang, tapi juga usianya yang sudah senior. Ceritanya begini, bulan Juni 2013, kami habis liputan dari Bandung. Berangkat pulang ke Jakarta, dari kota kembang memang agak pagi. Banyak yang tak sempat sarapan. Di bis, sudah ramai, nanti berhenti di rest area untuk mengisi perut. Awalnya, pendapat yang ingin makan di rumah makan Padang, menguat, dengan kompornya adalah uda Syafril. Tapi saat bis yang membawa kami, masuk ke rest area, tiba-tiba ada suara tandingan, yaitu makan tak lagi di rumah makan Padang. ”Solaria, sekali-kali. Masa padang mulu. Solaria,” demikian pendapat tandingan itu. Pendapat tandingan itu, langsung direspon dukungan. Banyak yang awalnya setuju mengisi perut dengan masakan padang, berbalik keinginan, sepakat makan di Solaria. Dukungan pada Solaria, kian kuat. Uda Syafril coba menandingi, tapi tak berhasil, arus kuat perut keroncongan ingin ke Solaria. Karena kalah dukungan, wajah uda Syafril terlihat di tekuk. Saya sendiri, malas ramai-ramai dukung mendukung, duduk manis saja, sambil dimana berlabuh, dan perut bisa terisi. Benar saja, acara mengisi perut, tak ke rumah makan padang, tapi ke Solaria. Bis pun di parkir tak jauh dari Solaria, restoran yang banyak juga gerainya di mall-mall besar di Jakarta. Uda Syafril sebenarnya ikut masuk ke Solaria. Ia duduk di meja terpisah dengan saya, agak berjarak. Tapi kemudian, dia keluar, dengan wajah di tekuk. Saya sendiri, karena lapar, cepat pesan mie ayam. Tak lama pesanan datang. Karena lapar, semangkuk mie ayam pun dilahap dengan cepat. Usai makan, saya keluar Solaria, sekedar merokok. Lumayan lama sampai kemudian datang uda Syafril, menghampiri. Basa-basi saya bertanya, ” Makan dimana uda?” Uda menjawab tegas, ” Makan di rumah makan padang !" Tanpa diminta, setelah menjawab pertanyaan saya, uda Syafril langsung memberikan kuliahnya. Katanya, ia tak jadi makan di Solaria, karena saat pesan makanan, oleh pelayannya diminta bayar dulu di kasir. Ia meradang, lantas ’mutung’ keluar tak jadi makan, dan menuju rumah makan padang. ” Orang mau masuk rumah makan itu kan karena lapar. Tapi ini ditanya duit dulu, baru dikasih makan. Itu gaya kapitalis, gaya neo liberal,” katanya berapi-api. Saya hanya ngelet saja mendengarnya. Uda pun melanjutkan ’kuliahnya’, kata dia, kalau semua orang Indonesia nurut-nurut saja di perlakukan seperti itu, sama saja memanjakan ekonomi kapitalis. Menurutnya, ekonomi ala Indonesia itu, seperti pelayanan di rumah makan padang. ” Orang lapar, dikasih makan dulu. Kasih minum dulu. Baru bayar. Itulah budaya ekonomi Indonesia. Bantu dulu orang lagi lapar. Itu namanya ekonomi bantu membantu Ini minta duit dulu,” katanya. Sekarang, rumah makan besar di mall-mall, terutama yang siap saji, neo liberal semua, kata dia. Hanya rumah makan padang warung tegal saja yang enggak neolib. ” Itu yang tersisa, dari budaya ekonomi kerakyatan. Ekonomi bantu membantu,” ujarnya lagi, dengan wajah masih nampak kesal. Itu kuliah, dari uda Syafril, wartawan dengan usia senior, pencinta nomor satu masakan padang. Bagaimana dengan anda…. Dimuat di Kompasiana.com Rumah Tangga via BBM Wartawan Senior Di era digital dan teknologi komunikasi, perangkat seperti handphone sudah seperti jimat paling bertuah. Nyaris semua aktifitas kini, tak lepas dari alat mungil itu. Kawan saya, Mas Arjuna, seorang wartawan senior di harian Jurnal Nasional, merasakan betul betapa hidupnya tak bisa lepas dari jimat jaman modern bernama telepon genggam. Apalagi kini ia berjarak jauh dengan sang istri tercinta. Dia ada di kota Batavia (Jakarta), sementara sang istri beserta tiga anaknya tinggal di kota gudeg, Yogyakarta. Maka rutinitas rumah tangganya pun disambungkan lewat handphone. Pekerjaanlah yang membuat Mas Arjuna ini harus merentang jarak dengan sang istri dan ketiga anak tercintanya. Padahal sebelumnya ia masih ngumpul bareng istri dan ketiga anaknya di Jakarta. Bahkan ia sudah sempat mengambil kreditan rumah di daerah Cimanggis, Jakarta Timur. Di rumah mungil itulah, ia menjalani rumah tangga seperti biasanya. Namun garis nasib berkata lain, sang istri diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Jawa Tengah, tepatnya di Kebumen. Akhirnya ia pun terpaksa berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Mau apalagi, sedangkan dia mau tak mau mesti di Ibukota, karena tuntutan pekerjaan. Untungnya ada jimat jaman moderen bernama handphone. Jimat yang dikenal dengan bahasa kerennya sebagai gadget itu tetap membuat kawan saya itu bisa menjalani 'rumah tangganya' secara seluler. Alias aktivitas rumah tangganya kini, dipindah ke alat segenggaman tangan. Biar lebih mudah, ia punya satu handphone jenis smartphone yang lagi ngetren, yakni blackberry yang khusus dipakai buat aktivitas rumah tangganya. Istrinya pun demikian. Maka, kala ia di Batavia, acara komunikasi dengan sang istri memakai blackberry. Terutama lewat fasilitas blackberry messengernya atau biasa dikenal BBM. Dari mulai pengecekan rutin sang istri, menanyakan, apakah sudah makan siang atau belum. Sudah solat atau belum. Dan kiriman foto aktivitas anaknya sehari-hari menjadi menu rutin di BBM-nya. Bahkan, sampai foto menu makanan yang dimasak istrinya, rajin dikirim dari Kebumen atau dari Yogyakarta. Petang, giliran sang anak yang berkomunikasi. Foto-foto tiga anaknya silih berganti dikirim via BBM dengan beragam pose. Malam hari, istrinya kembali pegang kendali, mulai dari menanyakan makan malam, bertanya posisi dimana, jam berapa pulang ke rumah kreditannya, dan tetek bengek perhatian yang lain. Kata-kata penuh cinta dan rindu pun jadi bumbu rumah tangga selulernya. Saya, lebih beruntung, karena istri dan anak saya ada di Jakarta. Artinya tak perlu sampai berumah tangga ala Mas Arjuna, rumah tangga via BBM. Malam sepulang kerja, masih bisa bertemu istri dan anak tercinta. Dan pagi, menjelang berangkat kerja, masih bisa bercanda dengan si buah hati. Tapi keadaan yang memaksa Mas Arjuna mesti menjalani prosesi rumah tangga selulernya. Meski ada yang hilang, namun keberadaan gadget ditangannya, sedikit banyak bisa menghadirkan rumah tangganya secara maya. *Saat Harian Jurnas masih jumeneng, dimuat di Kompasiana.com Kisah Kulkas Melompong di Kemendagri Gedung boleh megah dan mentereng. Status lembaga juga boleh prestisius, sebagai kementerian utama. Itulah Kementerian Dalam Negeri. Namun ada cerita menarik, yang mungkin seperti sepele. Cerita tentang sebuah kulkas yang teronggok di pojok sebuah ruang, yang biasa dipakai para wartawan yang biasa meliput di kementerian itu. Merek kulkas boleh terkenal, Toshiba tipe Glacio. Tapi sayang, nasibnya begitu merana. Selama saya meliput di sana, hanya sesekali kulkas berisi, sisanya terus kosong melompong. Tak heran, bila seorang wartawan senior dari sebuah media online, berseloroh. “ Kulkas itu hanya untuk menambah hawa dingin saja. Isinya ya cuma hawa dingin. Yang merasa haus, monggo dinikmati hawa dinginnya,” katanya sambil tertawa. Memang benar, kulkas lebih banyak menganggur, tanpa isi. Kalau pun ada, hanya air putih yang ditaruh dalam botol. Beberapa kali memang kulkas sempat ada isinya, sebotol minuman ringan. Tapi itu pun bisa dihitung dengan jari. Bahkan wartawan yang seringnya menitip mengademkan minuman dalam kulkas. Kulkas pun, hanya jadi pajangan ruangan saja. “Padahal itu kan pake uang negara, kok dianggurkan begitu saja, tak dimanfaatkan fungsinya. Lalu buat apa beli kulkas hanya jadi pajangan saja,” cetus Ken, wartawan senior dari sebuah koran cetak di Indonesia. Ken sekarang sudah bekerja di JPNN.com. Jika kulkas kerap kali jadi bahan selorohan para wartawan yang biasa meliput di Kementerian Dalam Negeri, lain lagi dengan jaringan Wifi-nya. Jaringan Wifi, dalam dua minggu terakhir ini bikin dongkol para wartawan, karena sering byar pet, lelet, bahkan seringnya tanpa sinyal. Sinyal memang kenceng, statusnya excellent, tapi kecepatannya lambat melebihi keong. Arjuna, salah seorang wartawan yang tiap hari meliput disana, tak bisa menyembunyikan kejengkelannya. “Kita ini sebenarnya enggak mau bersuudzon. Tapi janganlah Kemendagri ini seperti KPU, karena kesal dengan pemberitaan lalu internet di putus. Mudah-mudahan bukan itu,” kata dia. Pernah satu kali, bahkan mungkin lebih, masalah jaringan Wifi itu diadukan ke Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, yang saat itu masih dijabat Pak Reydonnyzar Moenek. Sang juru bicara pun sigap menelpon bagian Pusat Data Informasi Komunikasi dan Telekomunikasi (Pusdatinkomtel). Manjur, internet jalan sebentar, lumayan kenceng kembali ke normalnya. Tapi hanya seumuran jagung, internet kembali byar pet. Sampai-sampai ada wartawan saking jengkelnya mengatakan, lebih baik buka warnet di sini, lalu wartawan bayar per jamnya berapa. Mungkin, jika ada penjelasan resmi, apakah itu karena ada perbaikan atau apa, semua akan memakluminya. Tapi sudah dua minggu internet seperti mati suri, hidup segan mati tak mau. Kini, wartawan yang biasa sehabis wawancara menteri, langsung menuju ruangan pusat penerangan untuk mengetik dan mengirim berita, satu persatu mulai kabur, mencari jaringan internet. Ah, jika sudah begini, teringat sebuah selorohan tentang Jakarta. Di ibukota, untuk kencing saja bayar, apalagi memakai internet. Pun di lembaga, yang dibiayai oleh uang rakyat. Dimuat di Kompasiana.com Mengandalkan Wifi APBN Ruang media center di gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), biasanya jadi tempat persinggahan favorit para wartawan. Khususnya yang pernah ngepos disana. Apalagi daya tariknya, kalau bukan wifi atau kata Mas Pramono, wartawan Koran Tempo, layanan internet nirkabel. Daya tarik utamanya, apalagi kalau bukan layanan itu diberikan gratis alias cuma-cuma. Tak ada cerita diblok atau dibatasi. Siapa saja yang punya laptop dengan fitur wifinya, tinggal klik, ketik paswordnya yang sudah diberikan cuma-cuma pada para wartawan, lalu bebas berselancar di dunia maya. Bahkan kalau mau unduh pun, tinggal klik saja. Tidak ada cerita, laju internet ngadat. Nyetel Youtube juga lancar saja, tak ada istilah buffering menghinggapi. Di masa pemilu, layanan wifi benar-benar memanjakan wartawan. Maklum ini wifi yang dibiayai APBN. Wifi yang diongkosi uang rakyat. Tapi usai pemilihan, terutama setelah pemilihan presiden, wifi KPU sering ngadat. Mulailah para wartawan, rada-rada dongkol. Bahkan pernah sebulan lamanya wifi mati. Padahal, kalau tak salah memang wifi itu ada alokasi dananya. Para kuli tinta yang rajin singgah ke media center KPU bertanya-tanya, mengapa wifi dibuat byar pet. Syakwasangka pun muncul, jangan-jangan karena sering dibombardir berita yang mengkritik habis-habisan kinerja KPU, layanan wifi itu di tutup. Ah, jadi negatif thinking begini yah... Tapi hampir semua para wartawan yang pernah ngepos di KPU, penilaian dan dugaan rada seragam. Mereka menduga-duga, wifi dimatikan, karena tak senang berita-berita tentang KPU yang rata-rata diketik di media center itu selalu bernada negatif. Mau apalagi, memang sudah seperti itu kondisinya. Yang bikin kesal, pernah nyala, wartawan pun senang. Tapi baru setengah jalan nulis berita tiba-tiba pet wifi mati sinyalnya. Yang muncul di laptop tulisan, limited or no connectivity. Jelas dongkol datang, sumpah serapah keluar. Bagaimana tidak, setengah berita sudah ditulis. Bahkan sudah ada yang tinggal kirim via email. Saat tinggal klik send, wifi mati. Dimuat di Kompasiana.com Tuah Kangkung Cah kangkung, adalah salah satu menu yang paling saya favoritkan. Menu berbahan kangkung, yang ditumis, dan dicampur tauco, begitu membuat lidah saya jatuh cinta. Rasa dari kangkung yang 'dicacah' seperti punya tuah yang membuat lidah tak selalu ketagihan. Maka, jika makan di rumah makan atau warung sea food kelas tenda, cah kangkung tidak akan pernah terlewat untuk dipesan. Makan sea food tanpa cah kangkung, nikmat makan rasanya tidak sempurna. Saya punya cerita tentang tuah kangkung. Ceritanya, ketika itu liputan ke Bandung. Yang mengajak liputan adalah Kementerian Dalam Negeri. Beberapa wartawan diajak ikut, termasuk saya. Usai liputan dan menulis berita, saya dan beberapa wartawan lain berniat makan malam. Udara malam di kota kembang, cukup membuat perut cepat keroncongan. Apalagi, saya dan lainnya menginap di sebuah hotel di Dago Atas, sebuah kawasan yang lumayan berudara dingin. Terlebih jika malam tiba. Naik angkot, saya dan empat kawan wartawan lainnya, meluncur ke bawah, tujuan ke Simpang Dago. Rencananya mau makan sea food di warung tenda. Akhirnya, warung sea food pun ketemu. Letaknya dekat gedung milik perusahaan kereta Api. Tiba di warung, langsung mencari tempat. Warung tendanya sederhana, hanya beratap terpal dengan tiang-tiang dari besi yang sudah dibentuk sedemikian rupa, sehingga bisa di bongkar pasang. Dinding warung hanya bentangan kain, sekaligus penanda nama warung. Tertulis di kain warna putih, tulisan mencolok warna hijau merah, Sedia Sea Food dan Nasi Uduk, dilengkapi dengan gambar kepiting, udang dan ikan. Gambar-gambar itu menandakan bahwa tenda itu khusus menyediakan menu sea food. Sayang, saat menu tiba, dan pesanan sudah ditulis, salah seorang pelayan warung, seorang lelaki masih cukup muda, memberi tahu, bahwa cah kangkung habis. Maksudnya yang habis kangkungnya. Ternyata, ada seorang kawan yang ikut, adalah pencinta cah kangkung sejati. Sampai-sampai, ia menegaskan, tak jadi makan bila cah kangkung tak ada di meja. Yang lain tersenyum kecut saja mendengarnya. Tetap memesan makanan, tak peduli ada tidak menu bernama cah kangkung. Sedangkan kawan pencinta cah kangkung sejati, tetap dengan sikapnya, tidak makan, kecuali cah kangkung datang terhidang. Pelayan warung tenda sepertinya merasa tak enak. Ia pun berkata, akan mencari kangkung ke bawah. Maksudnya ke ujung Simpang Dago, disana ada sebuah pasar. Baru saja dia keluar, tiba-tiba terdengar sebuah motor. Saya yang duduk di dekat ujung bentangan kain pembatas warung, melihat sebuah motor melaju penuh muatan kangkung, dan si pelayanan yang sudah menginjak kaki di jalan, langsung setengah melompat menghentikannya. Cericit rem terdengar. Si pengendara pembawa kangkung terlihat kaget. " Aya naon euy," tanya di pembawa kangkung dengan bahasa sunda. Pertanyaan itu bila dialih bahasakan dalam bahasa Indonesia, "Ada apa sih." Si pelayan pun tanpa cincong langsung memesan kangkung. Tanpa banyak cingcong, transaksi kangkung pun berlangsung. Alhasil kawan saya, bisa makan dengan lahapnya, karena di mejanya tersedia cah kangkung kegemarannya. Soal kangkung, tak hanya tuahnya yang nikmat kala diracik menjadi menu masakan. Tapi kangkung adalah juga tuah rejeki. Coba, hitung berapa warung sea food di ibukota. Juga di kota kembang dan kota lainnya. Mungkin puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu warung tenda sea food yang menyediakan menu cah kangkung. Artinya itu berapa banyak petani kangkung yang bisa dihidupi. Dan kangkung produk petani negeri sendiri. Rasanya, si pemilik warung tenda tak mungkin berani-beraninya impor kangkung. Selain tak pernah saya dengar berita negeri ini kebanjiran impor kangkung, seperti impor garam yang ramai diberitakan. Jadi kangkung itu rejeki rakyat. Rejeki kaum jelata. Dan juga makanan yang banyak diminati orang biasa. Saya pun coba berselancar, mencari tahu berapa sebenarnya produksi kangkung di tanah air. Setelah klak klik kesana kemari lewat google, didapatlah sebuah alamat blog yaitu : http://blog.ub.ac.id/mickoputro/2011/05/02/budidaya-kangkung. Dalam blog itu dituliskan, menurut data statistik tahun 1983, produksi kangkung di Indonesia sebesar 59.110 ton, sedangkan sayuran lain seperti bayam yaitu 50.382 ton dan petsai atau sawi 134.804 ton. Harga kangkung di pasar saat ini sekitar Rp.400,- per ikat (tahun 1999). Itu data lama, sebab data baru tak kunjung saya bisa temukan. Namun, setidaknya data itu menunjukan potensi kangkung tuahnya luar biasa. Tak hanya memuaskan selera lidah seperti teman saya, tapi juga penggerak roda ekonomi kaum informal, seperti warung-warung sea food. Juga tumpuan nafkah para petani kangkung. Dimuat di Kompasiana.com Wartawan Ketinggalan Berita Ini cerita tentang Nurul Huda, wartawan super percaya diri. Ia dulu bekerja di Berita Kota. Sekarang Nurul, sudah didapuk jadi wartawan Seputar Indonesia (Sindo), milik grup MNC milik Hary Tanoesoedibjo. Percaya diri bagi wartawan memang perlu. Karena dengan rasa percaya diri, wartawan tak gelagapan jika berhadapan dengan narasumber. Maka pengetahuan tentang narasumber perlu sebagai modal percaya diri. Tapi jangan sok tahu, bisa jadi blunder jadinya. Nah, Nurul ini masuk wartawan yang paling percaya diri. Merasa tahu, kalau istilah saya, tapi pengetahuannya kurang di update. Maka kisah berblunder ria yang ia alami. Kebetulan, kisah blunder ria ini, saya jadi saksinya. Ceritanya terjadi ketika hingar bingar pemilu 2009 sedang ramai-ramainya. Maklum sudah masuk masa kampanye. Berbagai ragam siasat dan strategi kampanya dilakukan partai. Tujuan tak lain menggaet minat calon pemilih, dan berharap kalau tertarik bisa memilihnya nanti pada saat hari 'H' pemilihan. Salah satu strategi yang dipakai untuk merayu pemilih, adalah nonton bareng di bioskop. Kalau enggak salah, film yang akan ditawarkan partai untuk kampanyenya adalah Laskar Pelanginya- Andrea Hirata. Kan lagi booming-booming ketika itu. Salah satu partai yang menggelar acara nonton bareng itu adalah Partai Republikan, sebuah partai baru. Agar terkesan partai tersebut peduli rakyat kecil yang diundang nonton bareng adalah anak-anak disejumlah panti asuhan. Biar terekspose diundanglah para wartawan. Salah satu yang diundang saya dan beberapa yang lainnya, termasuk Mas Nurul itu. Acara nonton bareng itu, rencananya dilakukan pukul 17.00-an. Agar tak terlambat, sebelum digelar acara, saya dan beberapa wartawan lain berangkat bareng. Termasuk Mas Nurul itu. Tempat nonton bareng itu sendiri di Blitz megaplek, Grand Indonesia, dibilangan Thamrin, Jakpus. Setelah parkirkan motor, saya bersama wartawan yang lain bergegas menuju tempat acara nonton bareng. Kebetulan bioskopnya ada dilantai atas, lupa saya lantainya berapa. Lalu naik lift. Nah, di lift ada seorang petinggi partai yang cukup dikenal, yaitu Muslim Abdurahman. Ia sebelumnya adalah petinggi Partai Kebangkitan Bangs (PKB), saat Gus Dur masih jumeneng dan mengendalikan partai tersebut. Tapi jelang pemilu digelar ia berpindah partai. Karena merasa kenal, dan bisa dijadikan sumber berita, kita, para wartawan yang satu lift dengan Pak Muslim sudah bersiap-siap ajukan pertanyaan. Tapi yang Nurul yang curi start dengan langsung melontarkan pertanyaan. “ Pak Muslim apa kabar?” tanya Nurul. Di jawab sama Pak Muslim,” Baik mas." Nurul pun seperti tak ingin ketinggalan momen, langsung menyodorkan kembali pertanyaan. “Bagaimana Pak Muslim kondisi PKB? Apakah akan terus 'melawan' kubu Cak Imin?” tanya dia. Yang dimaksud Nurul adalah kondisi PKB yang saat itu pecah dalam dua kubu. Nah Pak Muslim itu ada di kubu Gus Dur. Sedangkan kubu lainnya adalah kelompok Muhaimin yang Nurul sebut Cak Imin. Mendengar pertanyaan Nurul, Pak Muslim mesem-mesem saja dan hanya menjawab pendek. “ PKB baik-baik saja,” katanya. Nurul sepertinya tak puas, ia langsung bertanya lagi. “ Wah gimana sih Pak Muslim, kok baik-baik saja. Bagaimana langkah kubu Gus Dur menyikapi langkah KPU yang hanya mengakui PKB-nya Cak Imin." Pak Muslim hanya tersenyum. Karena merasa tak enak, saya berbisik ke Nurul. “ Rul, Muslim itu sudah tak di PKB lagi, ia sudah pindah ke Partai Republikan,” bisik saya. Mendengar bisikan saya, Nurul agak kaget. Ia langsung berkata ditujukan ke Pak Muslim. “ Pak Muslim, sampean sudah pindah partai ya? Kok enggak bilang-bilang ke saya. Pantesan dari kemarin saya telepon soal PKB, jawabannya baik-baik saja." Mendengar kata-kata Nurul, Pak Muslim hanya tertawa pendek. Untungnya juga, pintu lift terbuka, karena telah tiba di lantai yang dituju. Pak Muslim pun bergegas keluar. Sementara saya, Nurul dan wartawan lain keluar belakangan. Sambil berjalan keluar lift, Nurul terus ngoceh. “ Pantesan saat aku tanya soal PKB, jawabannya baik-baik saja. Sudah pindah partai ternyata." " Ha...ha... ha", Saya yang mendengarnya hanya bisa tertawa. Nurul, Nurul, bagaimana sampean ini, katanya wartawan politik, tapi tak tahu perkembangan politik. Blunder kan, karena merasa sok tahu. Dimuat di Kompasiana.com Wartawan Berbedak Polusi Jakarta berpolusi, itu bukan rahasia lagi. Ibukota yang kian sesak itu, memang dibekap pengap. Asap knalpot hitam mengepul, sudah jadi pemandangan biasa di jalanan ibukota. Jika jarum jam sudah menunjukan pukul 21.00 Waktu Jakarta dan Indonesia Bagian Barat, saya punya tradisi dengan teman liputan dari media lain, ngumpul dan ngopi di sebuah kafe kecil, di sudut jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Namanya Mellys Cafe. Tradisi ngumpul itu tidak rutin betul memang, karena suka di interupsi oleh kegiatan masing-masing. Namun memang bisa dikatakan sering. Biasanya disana, ngopi dan ngobrol ngalor ngidul. Bergosip ria tentang isu hangat pemberitaan, dan adu tertawa. Pada satu malam, tradisi ngumpul itu kembali dilakukan. Saat itu, baru saya dan dua teman, Lili dan Arjuna yang tiba disana. Lili, wartawan sebuah media. Pun Arjuna, kawan liputan dari sebuah koran yang terbit di Jakarta. Sebelumnya, kami bertiga sudah janjian, usai liputan ngumpul dan ngopi-ngopi. Ada satu teman lagi yang sebenarnya sepakat ikut, Ken, seorang wartawan juga. Berita sudah dikirim via email. Jadi saatnya rehat dan ngopi-ngopi, sebelum pulang ke rumah. Kami bertiga pun ngobrol-ngobrol. Sampai kemudian datang, Ken, salah seorang reporter dari sebuah media. Ia tergopoh-gopoh, dan langsung menghempaskan diri, duduk di kursi kosong. Wajahnya tampak cape dan kusut. Tarikan nafasnya memang mengisyaratkan betapa lelahnya dia. " Wuiiih capeenya brooo," kata dia, begitu duduk di kursi. Tangannya langsung menyambar kotak tisu yang teronggok di tengah meja. Dan mencabut beberapa lembar tisu, lalu langsung diusap-usap ke wajahnya. Setelah itu ia membeber tisu didepan wajanya. " Alamak, kotornya Jakarta. Berbedak polusi ternyata nih tiap hari," katanya. Tisu yang putih, kini begitu kotornya. Menghitam cukup tebal. Pantas Ken bilang, berbedak polusi setiap hari. Tanpa dikomando, kami bertiga juga mencabut kertas tisu dari kotaknya, dan mengelapkannya ke wajah. Setelah dilihat hasilnya, kami bertiga tertawa. Benar-benar bedak polusi itu begitu menor kelam. Berlembar-lembar tisu digunakan menyeka wajah. 'Bedak' tak kunjung juga hilang tandas. Tetap berbekas. Jadi tiap hari, kami ini berbedak polusi. Tiap hari, kami menor dengan debu dan sisa asap kendaraan. Padahal, helm yang kami pakai, semua memakai pelindung kaca. Tapi tetap saja, Jakarta bisa membedaki kami dengan polusinya, bahkan dengan tebalnya. Beruntunglah, orang kaya, yang naik mobil ber-AC. Tak perlu seperti kami, yang terpaksa tak berdaya di bedaki polusi ibukota. Ah, kotornya Jakarta... Dimuat di Kompasiana.com Sinyal 'Cinta' Naik Turun Di Anambas Perbatasan negara, serba terbatas, mungkin benar adanya. Di sana, infrastruktur masih pas-pasan, meski memang terus ada pembenahan. Fasilitas pun, masih minim, mulai dari listrik, sekolah dan lainnya. Saya pernah mengunjungi salah satu kabupaten yang letaknya masuk wilayah perbatasan negara. Kabupaten itu, adalah Kepulauan Anambas. Usia kabupaten itu, masih seumuran jagung, baru beberapa tahun di mekarkan menjadi kabupaten sendiri. Dari Jakarta, menuju Anambas, bisa menggunakan beberapa jalur transportasi. Bisa dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, tapi bisa juga dari Bandara Halim Perdana Kusumah. Bagi yang koceknya tak terlalu tebal, saya sarankan lebih baik jika mau ke Anambas, pergi dari Soekarno-Hatta. Ada beberapa maskapai penerbangan yang bisa digunakan. Tapi, sayangnya memang belum ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Anambas. Jadi, jika mau ke Anambas, mesti transit dulu ke Bandara Hang Nadim atau ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Baru setelah itu bisa nyambung penerbangan menuju Matak Airport, bandara kecil milik Conoco Phillips, salah satu perusahaan minyak asing yang beroperasi di sana. Bandara Matak sendiri, berada di Pulau Pal Matak, salah satu dari tiga pulau terbesar di Anambas. Kabupaten Kepulauan Anambas sendiri, terdiri dari 255 pulau, tiga diantaranya paling besar, yaitu Pulau Pal Matak, Pulau Siantan dan Pulau Jemaja. Dari Batam atau Tanjung Pinang menuju Anambas, bisa menggunakan pesawat Fokker, milik maskapai penerbangan Sky Aviation, salah satu perusahaan penerbangan yang memang melayani jalur perintis. Saya pun, waktu menyambangi Anambas, menggunakan jasa penerbangan Sky Aviation. Berangkat dari Jakarta, tiba di Bandara Hang Nadim, Batam, waktu menjelang siang. Rencananya pukul 13.00 WIB, saya baru akan terbang ke Pal Matak. Karena masih punya waktu, saya gunakan kesempatan untuk menelpon istri di rumah, sekedar melepas rindu. Bila sedang berjarak jauh, rindu kepada istri dan anak lebih terasa syahdu. Apalagi, dua buah hati saya, sedang lucu-lucunya. Si kakak berusia lima tahun, sementara si dedek, baru lima bulanan. Puas rasanya, mendengar suara mereka di rumah. Apalagi saat diperdengarkan suara si kecil, hati terasa tenang, tapi juga sedih karena mesti berjarak jauh dengan mereka. Tapi rasanya, saya harus menghaturkan terima kasih kepada pencipta telepon genggam. Lewat benda mungil itu, cinta tetap tersambung. Bayangkan coba bila tak ada telepon genggam, rindu bakal jadi gundah gulana tanpa obat. Diri pasti bakal merana. Pukul 13.00 WIB, pesawat yang membawa saya ke Pal Matak terbang. Di dalam pesawat, benak sudah mereka-reka seperti apa wajah Anambas, kabupaten di tapal batas negara. Perjalanan dari Batam ke Pulau Pal Matak, hanya satu jam-an. Saat awak maskapai Sky Aviation, menginformasikan pesawat sebentar lagi mendarat, saya semakin penasaran. Lewat jendela, gambar dari wajah Pulau Pal Matak sudah terlihat. Wajah pulau, terlihat masih rimbun. Makin turun, makin jelas. Pesawat pun meluncur turun ke landasan, yang sudah jelas terlihat. Di samping bandara Matak, berjejer bangunan mirip gudang. Di atap gudang, tulisan Conoco, tampak mencolok. Tulisan itu seakan menunjukan siapa yang punya bandara. Pesawat pun mendarat dengan mulus. Setelah mengambil tas di bagasi kabin, saya dan penumpang yang lainnya segera turun. Di pintu keluar, seorang pramugari Sky Aviation, menebar senyum manisnya, mempersilahkan para penumpang turun. Akhirnya kaki pun menginjak tanah Anambas. Sayang yang saya injak, adalah landasan dari sebuah perusahaan 'asing', bukan landasan yang dibangun pemerintah. Matak Airport, bukan bandara besar. Ini bandara kecil saja. Tapi meski tak terlalu besar, bandara Matak, bisa disinggahi pesawat jenis Fokker atau ATR. Saat saya tiba di Matak Airport, pesawat yang singgah hanya milik Sky Aviation yang mengantarkan saya dari Hang Nadim ke Pal Matak. Tak ada pesawat lain. Namun, pesawat milik maskapai lain kerap mampir ke Matak Airport. Terutama yang sering singgah ke Matak Airport, adalah pesawat-pesawat carteran seperti milik Gatari Air Service, atau pesawat kepunyaan Pelita Air. Rata-rata, pesawat carteran tersebut berangkat terbang dari Halim Perdana Kusumah. Terminal bandara juga, terlihat tak terlalu besar. Hanya sebuah bangunan permanen berwarna abu-abu, dengan tulisan mencolok " Matak Airport". Ketika sudah masuk terminal pun, suasana minimalis cukup dominan. Tidak terlalu ramai, bahkan terkesan sepi. Setelah menunggu penumpang lain mendapatkan barang bawaannya, saya dan yang lainnya pun segera keluar dari terminal. Di depan terminal, tampak sebuah bangunan mirip pos penjagaan. Ternyata itu tempat khusus untuk mereka yang mau menghisap rokok. Tak lama, datang sebuah bus milik Conoco Phillips, memasuki pelataran depan terminal. Inilah bis yang akan mengangkut saya dan yang lainnya ke dermaga. Oh ya, saya bisa pergi ke Anambas karena diundang Badan Nasional Pengelola Perbatan (BNPP) yang sedang melaksanakan agenda kunjungan kerja kesana. Pekerjaan menjadi jurnalis, disebuah media cetak nasional yang berkantor di Jakarta, menjadi keberuntungan tersendiri bagi saya, bisa pergi ke banyak tempat di luar Pulau Jawa, dengan status pekerjaan yang sekarang saya sandang. Seperti kepergian ke Anambas. Meski saya datang ke sana untuk meliput, tapi tetap saja sembari meliput, sekalian pula berwisata, mengenal tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi. Sebelum bis berangkat, saya pun berniat menghubungi istri tercinta untuk mengabarkan, bahwa saya sudah tiba di Anambas, sekalian ingin mendengar kabar dari kedua bocah, buah hati saya. Tapi pas lihat layar handphone, alamak tertulis dengan jelas SOS, alias tak ada sinyal. Pada salah satu staf Pemda Kabupaten Kepulauan Anambas yang menjemput, saya bertanya, kenapa sinyal telepon tak ada. Oh ya, saat itu saya pakai kartu AXIS. Jawaban si staf, " Ya mas di sini memang sinyal HP memang susah. Mungkin sinyal yang kuat baru Simpati," Waduh, jika seperti itu saya bakal putus kontak dengan istri dan dua anak saya. Tangan pun, merogoh tas, mengeluarkan telepon genggam satunya lagi. Saya cek, Alhamdulillah, puji syukur kepada Tuhan, sinyal di telepon genggam saya yang satunya lagi terlihat masih menggeliat. Saya pun coba mengetesnya dengan mengirim pesan pendek ke nomor HP istri saya. Terpaksa handphone berkartu AXIS saya pensiunkan sementara. Tapi sinyal turun naik, kadang tercetak di layar, kadang kabur menghilang. Alamak jelas bikin jengkel. Setelah bis datang, kami pun berangkat menuju dermaga. Rencananya menggunakan kapal ferry, kita akan menuju ke Pulau Siantan. Saat diatas ferry, saya masih mencoba untuk menangkap sinyal. Namun tetap turun naik. Meski begitu, perasaan rada lega, saat pesan pendek yang dikirim berstatus delivered. Senangnya pula, balasan dari istri tercinta tiba. Sore hari, kapal ferry yang membawa saya berserta rombongan BNPP, tiba di dermaga Pulau Siantan. Setelah menginjakan kaki di tanah Siantan, fokus saya tetap pada sinyal. Saya coba cek, sinyal tercetak, meski seperti hidup segan mati tak mau. Saya pun coba kirim pesan via BBM. Ciloko, tak ada tanda centang di layar pesan alias pesan pending. Waduh, bila seperti itu, alamat tak bisa ber-BBM-an ria dengan sang istri. Saya pun merutuk-rutuk. Ternyata, tak hanya saya yang merutuki sinyal. Kawan seperjalanan, seorang wartawan media cetak nasional yang terbit di Jakarta juga terdengar menggerutu. Gerutunya tak lain soal sinyal. " Waduh gimana nih, SOS mulu," katanya. Wah, bila sinyal naik turun, bahkan seringnya kabur, gimana mengirim berita, begitu keluhan dalam hati. Saya pun coba, mengetes layanan email di BB saya satunya. Alhamdulillah terkirim. Kepada istri dan atasan di kantor, saya pun meminta agar berkomunikasi via email atau SMS, jangan pakai layanan blackberry messenger. Setelah berjalan kaki sebentar, tibalah kami di Tarempa Beach, hotel terbesar yang ada di Pulau Siantan. Hotelnya langsung menghadap laut. Bahkan dibanguin di atas lautan dangkal, dengan memancang tiang penyangga ke dasar lautan. Tiba di hotel, setelah menunggu beberapa menit, kami pun dibagikan kunci kamar. Saya mendapat kamar di lantai bawah alias paling dasar. Hotel Tarempa sendiri, terdiri dari tiga lantai. Karena sudah lelah dan ingin rebahan sebentar, segera saya masuk ke kamar. Teman sekamar saya, Pak Mudji, salah satu staf dari Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri. Tiba di kamar, barang bawaan segera ditaruh di lemari. Penasaran, saya coba tengok layar handphone. Alamak, SOS. Saya tanya ke Pak Mudji, apakah handphonenya dapat menangkap sinyal, karena kartu yang digunakan sama-sama IM3. Ternyata nasibnya juga sama sial, SOS. Karena masih penasaran, saya coba keluar kamar. Di depan hotel, saya lihat kembali layar handphone. Hati pun bersorak, karena sinyal bisa ditangkap, mesti 'megap-megap'. Dari pegawai hotel, saya mendapatkan informasi, di Siantan, sinyal yang lumayan bisa ditangkap adalah milik operator Telkomsel. Sisanya, silahkan harap-harap cemas. Pada akhirnya, niat membuat berita sambil rebahan di kasur terpaksa dibuang jauh-jauh. Di depan lobi hotel, sambil menggelosor di lantai, berita pun dikirim. Untungnya bisa terkirim. Sementara untuk foto, terpaksa gagal terkirim. Depan hotel pun jadi tempat favorit para wartawan yang ikut acara kunjungan kerja BNPP, untuk mengirim berita. Lumayan dapat teman senasib sepenanggungan. Bupati Anambas, Teungku Mukhtaruddin sendiri mengakui, bila kendala di Anambas itu, selain infrastruktur, transportasi, juga telekomunikasi. Dirinya sendiri, sebagai Bupati, sudah berulang kali meminta bantuan pemerintah pusat, agar bisa ikut mendesak operator telekomunikasi membangun tower pemancarnya di Anambas. " Sampai saat ini, baru Telkomsel yang tertangkap sinyalnya dengan bagus, " kata Pak Bupati saat sesi bincang-bincang dengan wartawan. Perbatasan memang masih serba terbatas. Infstruktur masih terbatas, sinyal pun juga terbatas. Jadi, belum layaklah sebagai beranda depan negara, masih menjadi halaman belakang negara. Dimuat di adirafacesofindonesia.com Kisah Wartawan Tertidur 'Mangap' Di Depan Mendagri Ada sebuah cerita menarik dari medan liputan. Cerita menarik ini terjadi saat saya meliput di Kementerian Dalam Negeri. Kementerian ini memang jadi salah satu pos liputan saya. Jadi, sehari-hari, saya banyak meliput di kementerian ini. Saat itu yang jadi bos di Kementerian Dalam Negeri, adalah Gamawan Fauzi, mantan Gubernur Sumatera Barat. Presidennya pun belum Joko Widodo tapi masih SBY. Sekarang bos kementerian sudah berganti, Gamawan telah pensiun, diganti Tjahjo Kumolo. Pergantian menteri seiring dengan bergantinya Presiden, dari SBY ke Jokowi. Nah, cerita yang saya tuliskan ini, peristiwanya terjadi saat Gamawan masih jadi orang nomor satu di Kementerian Dalam Negeri. Saat masih jadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan punya kebiasaan, kerap mampir tiba-tiba ke ruangan yang biasa dipakai para wartawan ngumpul. Ruangan wartawan itu sendiri, ada di sebelah ruangan kerja Kepala Pusat Penerangan Kemendagri. Ruangannya tak begitu luas, tapi cukup nyaman. Ada meja besar di tengah ruangan, juga kursi-kursi yang mengelilinginya. Di pojok ada sebuah kulkas. Dan di pojok atas ruangan, tergantung sebuah televisi layar flat. Di ruangan inilah, para wartawan yang ngepos liputan di Kemendagri kerap berkumpul, mengetik berita atau sekedar ngobrol ngalor ngidul sembari menyeruput kopi. Dan, ke ruangan ini pula, Gamawan kerap mampir. Kedatangan Gamawan, kadangkala tak terjadwal, alias mendadak saja. Dia bisa mampir tiba-tiba saat siang hari, sore, atau bahkan menjelang pulang kantor, tiba-tiba saja orang nomor satu itu nongol masuk ruangan wartawan. Satu waktu, kala itu saya ingat sore hari, Gamawan tiba-tiba masuk ruangan wartawan. Saat itu di dalam ruangan, tak begitu banyak wartawan, hanya ada segelintir. Saya masih ingat, di sebelah saya duduk Sahlan wartawan Koran Seputar Indonesia (Sindo). Wartawan lainnya yang ada dalam ruangan saat itu, adalah Mas Tomo dari JPNN.com dan Arjuna yang saat itu masih jadi reporter Koran Jurnal Nasional yang sekarang sudah tutup. Sahlan ketika itu, sedang tidur pulas. Saking pulasnya, Sahlan tidur dengan mulut 'mangap' alias menganga. Dengkurnya lumayan terdengar keras. Mungkin dia kecapaian. Maklum,m rumahnya ada di bilangan Depok, cukup jauh dari Jakarta. Nah, saat Sahlan sedang tidur 'mangap' itulah, Gamawan masuk tiba-tiba. Kami yang ada dalam ruangan juga kaget, tiba-tiba saja Mendagri sudah ada dalam ruangan. Awalnya Mas Tomo hendak membangunkan Sahlan. Tapi, Menteri Gamawan melarangnya. " Biarkan saja mas dia tidur, sepertinya kecapean," kata Gamawan saat itu. Jadilah Sahlan tetap tidur 'mangap'. Dan, posisinya tepat berhadapan dengan Gamawan yang duduk di seberangnya. Kami pun kemudian mengobrol dengan Mendagri ditemani secangkir kopi. Sementara Sahlan masih tidur 'mangap' dengan dengkurnya. Sampai kemudian, Sahlan terbangun. Tapi, ia langsung kaget, begitu diketahui di depannya duduk Mendagri. Ia kaget, dan langsung meminta beribu-ribu maaf. Mendagri sendiri hanya tersenyum, lalu berkata. " Tidak apa-apa Mas Sahlan, tadi saya larang dibangunkan, karena kelihatannya lelah sekali. Kasihan kalau dibangunkan," kata Menteri Gamawan. Wajah Sahlan pun, seperti kepiting rebus, saking malunya. " Kang, kenapa tak dibangunkan saya tadi, malu saya tidur depan menteri," kata Sahlan setengah berbisik pada saya yang duduk disampingnya. " Bukan begitu Lan, tadi sudah mau dibangunkan, tapi pak menteri melarang, jadi ya dibiarkan saja kau tidur," jawab saya membela diri. Dimuat di Indonesiana.tempo.co : https://indonesiana.tempo.co/read/61852/2016/02/10/agusupriyatna/kisah-wartawan-tertidur-mangap-di-depan-mendagri Sepenggal Kisah Mendagri di Desa Suku Dayak Tulisan ini, adalah catatan ringan, saat saya meliput kegiatan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, di Desa Long Nawang, Malinau, Kalimantan Utara. Menteri Tjahjo, datang ke Long Nawang, dalam rangka perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-70. Di sana, Mendagri menjadi inspektur upacara hari kemerdekaan. Nah, ada satu kebiasaan Mendagri, setiap usai menghadiri acara. Dia, selalu mendatangi orang-orang yang hadir, lalu menyalaminya satu persatu. Itu pula yang terjadi ketika Mendagri hadir dalam perayaan hari jadi Kabupaten Humbang Hasundutan di Sumatera Utara. Usai acara, Mendagri turun ke lapangan. Satu persatu peserta pawai di hari jadi Humbang Hasundutan, disalaminya. Saya yang menyaksikannya hanya tersenyum. Acara menyalami pasti lama. Karena peserta pawai cukup banyak. Padahal, ketika itu angin berhembus lumayan kencang, maklum lapangan yang dipakai perayaan ulang tahun berada di atas bukit. Sinar matahari pun saat itu, lumayan terik. Tapi, Mendagri seperti tak pedulikan itu, ia tetap menyalami peserta pawai. Adegan yang sama kembali dilakukan saat Menteri Tjahjo usai jadi inspektur upacara di Long Nawang. Begitu upacara selesai, Mendagri bergegas turun ke lapangan menghampiri peserta upacara. Satu persatu disalaminya. Acara salaman pun berlangsung heboh. Peserta upacara seperti dapat momen, segera mengeluarkan telepon genggamnya masing-masing, berniat untuk memotret menteri. Ya, kapan lagi, bisa koleksi foto Mendagri yang seringnya hanya dilihat di televisi. Bahkan banyak pula yang minta foto bersama. Seperti yang dilakukan seorang lelaki yang jadi dirijen lagu. Ia sampai minta seorang wartawan, agar nanti menyampaikan ke Mendagri, bahwa dirinya mau foto bareng. " Mas, nanti bilang sama Pak menteri yah, saya mau foto bersama," katanya. Telepon genggamnya pun ia serahkan ke si wartawan. Carlos, sang wartawan yang dimintai tolong hanya tertawa-tawa. Dan, benar saja, saat Mendagri mendekati barisannya, ia kian salah tingkah. " Mas, bener yah, bilangan Pak menteri untuk foto," kembali ia mengingatkan. Carlos, wartawan yang dimintai tolong pun, langsung menyampaikan permintaan 'si dirijen' kepada Mendagri. Dengan wajah bungah bin sumringah, 'si dirijen' langsung mendekat setengah meloncat ke arah Mendagri. Ia pun langsung pasang pose di samping Mendagri. Carlos, yang 'disewanya' untuk memotret, berkali-kali menjepretnya dengan telepon genggam milik 'si dirijen'. Setelah acara foto bersama, 'si dirijen' kembali bersalaman dengan Mendagri. Ia terlihat menggenggam erat tangan Mendagri saat salaman. " Mau saya pasang di FB (Facebook), " katanya, begitu menerima telepon genggamnya. Wajahnya begitu sumringah. Carlos pun kemudian sedikit menggodanya. " Kok dengan bupatimu tak mau foto?"Ya ' si dirijen' yang ngebet bisa foto bersama dengan Mendagri itu, adalah seorang pegawai di lingkungan Pemkab Malinau. Bupati Malinau, Yansen TP sendiri memang ikut menemani Mendagri bersalaman dengan para peserta upacara. " Ah, bosen foto dengan bupati," katanya. Mendagri pun kemudian melangkahkan kakinya menuju Balai Adat yang tak jauh dari lapangan, tempat upacara di gelar. Tiba-tiba Carlos mendekat. " Pak, para penari belum disalami," serunya. Menteri Tjahjo pun tampak kaget. Ia pun kemudian kembali memutarkan badan ke belakang, lalu melangkah menuju barisan para penari yang berjejer pinggir lapangan. Satu persatu para penari yang tadi saat ia baru datang ke Long Nawang, menyambutnya dengan tarian Kancet Ajai, tarian perang ala Suku Dayak Kenyah di mulut desa. Soal motret memotret, lain warga, lain pula wartawan. Bila warga berebut bisa foto bersama dengan Mendagri, lain lagi dengan wartawan yang ikut meliput acara peringatan kemerdekaan di Long Nawang. Yang dikejar wartawan, adalah foto bersama dengan putri Kepala Adat Besar Suku Dayak Apo Kayan, Ibau Ala. Ya, putri kepala suku, memang cantik. Kulitnya putih bersih. "Kang, enggak foto dengan putri kepala suku?" tanya Ken, salah seorang wartawan yang juga ikut meliput kepada saya. Saya hanya mengkeret. " Enggaklah Bang, saya foto saja dengan kepala sukunya," kata saya." Ha..ha.ha.ha, takut ketahuan istri yah..ha.ha.ha," kata Ken lagi sambil tertawa ngakak. Carlos, tiba-tiba mendekat, dan langsung ikut nimbrung. " Kang, katanya, anak kepala suku yang kuliah di Bandung, malah lebih cantik," kata Carlos. Di dekat kami mengobrol memang berdiri putri kepala suku yang 'aduhai'. Sejak kami tiba di Long Nawang, salah satu yang jadi perhatian para wartawan adalah putri kepala suku. Ya tentunya, hanya wartawan pria yang selalu merhatikan dengan seksama putri kepala suku.Tempat nginap kami di Long Nawang, memang dekat dengan rumah kepala suku. Tapi, untuk makan atau buang air, kami harus ke rumah kepala suku. Maka, praktis setiap hendak buang air atau mandi, ataupun makan, putri kepala suku sering kami lihat. Dan, saat sudah pulang dari Long Nawang, wartawan yang 'sukses' berfoto bareng dengan putri kepala suku, saling memamerkannya. Mungkin yang paling sukses adalah Bayu, wartawan Jawa Pos. Ia berhasil merayu putri kepala suku untuk melakukan adegan foto yang 'romantis'. Dalam foto yang dipamerkannya, tampak Bayu tengah dikalungi semacam kalung oleh putri kepala suku. Entah bagaimana cara Bayu merayu putri kepala suku. Tapi yang pasti kata dia, kalung yang dikalungkan ke lehernya oleh putri kepala suku nan cantik itu, adalah kalung pinjaman. Kalung ia pinjam dari putri kepala suku itu sendiri. Saya juga tak tahu, bagaimana cara Bayu 'merayu' putri kepala suku, hingga mau meminjamkan kalungnya. *Dimuat di Kompasiana.com, 3 September 2015 Kang Goni, 'Penyelamat' Para Wartawan Kulitnya sawo matang. Bahkan karena sering diterpa terik matahari, ia sering terlihat agak keling. Namanya Kang Goni. Demikian, kami, para wartawan yang biasa meliput di Kementerian Dalam Negeri, memanggilnya. Kenapa panggilannya Kang Goni, karena ia berasal dari tatar Sunda, tepatnya ia berasal dari sebuah kecamatan di Kabupaten Kuningan, sebuah kabupaten paling timur di Provinsi Jawa Barat. Bagi kami, para kuli tinta yang ngepos liputan di Kementerian Dalam Negeri yang ada di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kang Goni adalah 'pahlawan'. Dia bisa dikatakan 'penyelamat' para pemburu berita, terutama ketika malam sudah datang. Kenapa dia saya anggap 'penyelamat' bahkan 'pahlawan', karena dialah yang selalu jadi juru selamat kala para kuli tinta kelaparan. Cukup menelponnya, Kang Goni akan datang tergopoh-gopoh membawakan mangkuk-mangkuk berisikan mie rebus atau mie goreng. Ya, Kang Goni, adalah pelayan sebuah warung yang menyediakan mie rebus dan goreng. Dan hanya warung Kang Goni yang buka sampai malam. Warungnya sendiri terletak dalam komplek kantin gedung Kemendagri. Yang bikin para wartawan enak, cukup duduk manis mengetik berita, Kang Goni akan datang mengantarkan pesanan. Malam-malam, saat perut keroncongan tiba-tiba datang semangkuk mie rebus plus telor, sawi dan potongan cabe rawit, siapa yang tak senang. Otak pun langsung 'segar'. Ide menulis berita yang tadinya meredup karena didesak perut lapar, tiba-tiba langsung kembali berloncatan. Semangat menulis berita pun langsung kembali menyala. Terima kasih Kang Goni, anda benar-benar penyelamat kami. Doa kami, warungnya ramai, pelanggan mienya tambah banyak, biar cepat naik haji. Insya Allah, kalau Kang Goni naik haji, visanya tak akan susah di dapat. *Dimuat di Kompasiana.com, 29 Agustus 2015 Rabu, 11 April 2012 yang Mencemaskan Rabu, 11 April 2012 sore hari, satu pesan masuk ke layanan blackberry dari seorang wartawan. Isinya, mengabarkan telah terjadi gempa dengan kekuatan 8,5 skala richter di Aceh. Kabar itu, katanya di dapat dari informasi yang disampaikan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Yang bikin cemas, gempa itu katanya berpotensi tsunami. Dan Aceh, pernah merasakan dahsyatnya gempa yang diiringi tsunami yang menelan ratusan ribu korban jiwa dan memporakporandakan bumi Serambi Mekah pada 26 Desember 2004. Saat itu, kekuatan gempa mencapai 9,3 skala richter. ” Mohon sebarkan kepada sanak keluarga yang berada dipesisir pantai,” kata teman pengirim info, karena getaran gempa terasa sampai Penang Malaysia. Setelah itu, info lain yang dikirim via blackberry messenger berdatangan. Kali ini info yang sama dikirimkan Sutopo Purwo Nugroho, dia adalah Kepala Bidang Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Info yang dikirimkan Sutopo, menggambarkan secara singkat perkembangan dari gempa yang terjadi di Aceh dan daerah sekitarnya. ” Peringatan dini tsunami di Bengkulu, Lambung, Aceh, Sumbar dan Sumut. Gempa magma dengan kekuatan 8,5 skala richter, 11 April 2012, pukul 15:38 Wib,” demikian info awal yang dikirimkan Sutopo. Menurut Sutopo lewat info yang dikirimkannya via BBM, lokasi gempa ada di 2.31 lintang utara, 92.67 bujur timur, dan pusat gempa ada di kedalaman 10 kilometer di bawah permukaan laut. Lokasi persisnya, 434 kilometer barat daya Meulaboh, Aceh. Sutopo juga mengabarkan, belum bisa dipastikan adanya korban jiwa. Sebab situasi dalam keadaan panik. Listrik di Banda Aceh mati. Gelombang masyarakat bergerak ke tempat-tempat yang lebih tinggi. ” BMKG telah mengeluarkan potensi tsunami. BNPB masih melakukan koordinasi dengan seluruh potensi nasional,” kata dia dalam pesannya. Beberapa menit kemudian, Sutopo kembali mengirimkan informasinya lewat layanan BBM. Isinya info mutakhir gempa di Aceh dan sekitarnya. Info yang didapatkan dari Aceh, gempa katanya, dirasakan sangat keras. Listrik mati, jalanan macet dipenuhi gelombang warga yang mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Sirine meraung-raung dan suara adzan bergema bersahutan dari segala penjuru di Aceh. BNPB, sendiri kata Sutopo, telah menyiapkan Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana dan sekarang sedang bergerak ke lokasi. ” Analisis awal mekanisme gempa tadi yaitu sesar geser dan bukan sesar naik (bukan mega thrust), sehingga potensi tsunami tak terlalu besar. Lokasinya yaitu di bagian luar dari daerah pertemuan lempeng (outer rise earthquake) jarak dari gempa 10 januari 2012 yaitu kurang dari 30 kilometer,” Sutopo menginformasikan. Kabar itu, sedikit meredakan tensi kecemasan. Semoga tsunami tak terjadi lagi di Serambi Mekah. Kemudian, Sutopo menginformasikan lagi, intensitas gempa sekitar VII (sangat kuat) MMI, terasa di sebelah pantai barat Aceh, Sumatera Utara. Sedangkan di pantai barat Sumbar intesitas VI (kuat). Travel warning tsunami di sepanjang pantai barat Aceh dan Sumut sekitar 1 jam. ” Untuk Barat Sumbar 1-1,5 jam, barat bengkulu dan lampung sekitar 2-2,5 jam. Masyarakat diminta waspada,” kata dia. Berdasarkan data pasang surut di Simeulue dan sekitar tidak ada perubahan. Masih normal. Posko BNPB terus melakukan pemantauan dan kontak dengan daerah. Setelah itu pesan berhenti. Lalu selang beberapa menit, Sutopo kembali mengabarkan via BBM, katanya telah terjadi gempa susulan, dengan kekuatan 6,5 skala richter. Terjadi pukul 16:28 wib. ” Lokasi ada di 1.21 lintang utara, 91.72 bujur timur atau 510 kilometer barat daya Kabupaten Simeuleu, Aceh, pusat gempa ada di kedalaman 42 kilometer bawah laut,” katanya. Kabar berikutnya dari Sutopo agak melegakan, gempa susulan tidak berpotensi tsunami. Dan berdasarkan data pasang surut di wilayah Aceh dan Sumut hingga saat ini, statusnya normal, seperti di Sinabang, Meulaboh, Sirombu Nias, Lahewa Nias Utara dan Singkil Aceh. ” Artinya indikasi air surut sebelum tsunami belum terdeteksi. Namun demikian masyarakat diminta tetap waspada,” pesannya via BBM. Pukul 17:58 Wib, Sutopo kembali mengirimkan informasi via BBM. Katanya, gempa kembali lagi mengguncang. Kekuatannya lebih kuat dari gempa susulan sebelumnya. Informasi dari BMKG, mencatatkan gempa kembali terjadi dengan kekuatan 8,8 skala richter. ” Gempa lagi 8,8 skala richter pukul 17:43. Lokasi gempa 0.78 lintang utara, 92.15 bujur timur atau 483 kilometer barat daya, Kabupaten Simeuleu, Aceh,” kata Sutopo menginformasikan. Pusat gempa ada di kedalaman 10 kilometer. Dan yang mencemaskan, Sutopo menginformasikan gempa berpotensi tsunami. ” Mohon untuk diteruskan pada masyarakat,” katanya. Dan kabar makin mencemaskan, karena Sutopo, menginformasikan, peringatan dini tsunami sudah terdeteksi di Sabang, sekitar pukul 17:00 Wib dan di Meulaboh, pukul 17:04 Wib. Sekitar pukul 20:18 Wib, Sutopo menginformasikan lagi, bahwa peringatan dini tsunami yang disebabkan oleh gempa berkekuatan 8,1 skala richter yang terjadi pada pukul 17:43 Wib, dinyatakan telah berakhir. Peringatan tsunami diakhiri pukul 19:45 Wib. Malam itu juga, BNPB, menggelar jumpa pers tentang gempa di Aceh. Yang memandu jumpa pers, adalah Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Humas BNPB, sebab Ketua BNPB sendiri, Syamsul Ma’arif, telah berangkat ke Aceh. Dua tim satuan unit reaksi cepat sudah dikirim ke Aceh dan Bengkulu. Dalam jumpa pers itu, Sutopo mengungkapkan, bahwa tercatat 14 kali guncangan gempa, sejak gempa pertama mulai dirasakan sekitar pukul 15:00 Wib. Dari 14 guncangan gema di wilayah Aceh dan sekitarnya, dua diantaranya memang berpotensi tsunami. Dan memang, kata Sutopo terjadi tsunami, namun dengan skala kecil, terjadi si pesisir pantai Sumatera bagian selatan. Sutopo juga menguraikan perbedaan tentang data pasang surut antara yang dilansir BMKG dengan Bakorsurtanal. Bakorsurtanal, melansir bahwa terjadi kenaikan tsunami di Nias Utara, tepatnya di Lahewa dengan ketinggian 1 meter dan di Meulaboh, ketinggian 1,02 meter. Sementara BMKG, mencatat dan mendeteksi tsunami di Sabang dengan ketinggian 0,06 meter dan di Meulaboh ketinggian 0,8 meter. BNPB sendiri berhasil mencatat 9 guncangan gempa dari 14 gempa yang terjadi 11 April 2012, kata Sutopo. Sutopo juga menginformasikan, berdasarkan laporan dari beberapa daerah yang sampaikan ke Posko BNPB, di beberapa daerah yang diguncang gempa tidak terjadi tsunami. Meskipun gempa yang terjadi guncangannya cukup besar. ” Tapi tsunami yang ditimbulkan tidak besar. Hal ini berdasarkan analisis beberapa pakar gempa dari ITB dan AIFDR yang disampaikan kepada BNPB,” kata dia. Dari hasil analisis pakar, dinyatakan gempa disebabkan mekanisme gempa yang bersumber dari sesar geser. Bukan sesar naik atau bukan mega trust. Sehingga potensi tsunami tidak terlalu besar. Lokasinya sendiri di bagian luar dari daerah pertemuan lempeng (outer rise earthquake). ” Kejadian gempa 8,5 SR yang diikuti dengan gempa 8,8 SR, dua jam kemudian terjadi di bagian lempeng Indo Australia. Makin menjauhnya gempa ke barat maka potensi tsunami juga berkurang, ” urainya. Menurut Sutopo, sistem peringatan dini tsunami telah berjalan dengan baik. Demikian juga kesiapan masyarakat yang langsung merespon untuk segera mengevakuasi diri ke tempat-tempat tinggi. Pengumuman evakuasi dilakukan dari berbagai media seperti masjid dan gereja. ” Hingga saat ini belum ada korban jiwa. Ada 4 orang luka ringan di Simeulue, Aceh,” kata Sutopo. Beberapa menit kemudia Sutopo kirimkan pesan BBM-nya. Kata dia, setelah presiden mendapat laporan tentang kejadian gempa di Aceh, segera menginstruksikan semua badan yang terkait dengan bencana pergi ke lokasi. Termasuk kementerian terkait seperti kementerian PU, kesehatan dan sosial. ” Presiden tadi menginstruksikan Kepala BNPB dan kementerian atau lembaga terkait langsung ke lokasi bencana,” katanya. Sutopo menambahkan, BNPB sendiri telah memberangkatkan 3 tim yaitu ke Simeulue, Padang dan Bengkulu. Tim ke Simeuleu terdiri 8 orang dari BNPB, Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial dan Basarnas. ” Tim langsung diketuai Kepala BNPB berangkat dari Halim Perdanakusumah pada pukul 18.30 WIB. Tim kedua ke Padang diketuai Deputi Penanganan Darurat BNPB sedangkan Tim 3 ke Bengkulu diketuai Direktur Tanggap Darurat BNPB,” kata dia. Tugas utama tim adalah melakukan damage assessment dan kebutuhan untuk penanganan darurat. Selain itu, BNPB juga telah melakukan koordinasi dengan kementerian dan lembaga dalam penanganan darurat. Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC PB) yang berada di Halim PK dengan pesawat Hercules telah disiapkan. ” Demikian pula pesawat Boeing 737, CN 235, Fokker dan lainnya dari TNI telah disiapkan jika diperlukan dilapangan,” katanya. Sementara itu untuk mendukung kerja tim, helicopter milik Basarnas yang berada di Sibolga akan melakukan pemantauan Kamis (12/4) pagi. Koordinasi dengan BPBD dan instansi terkait dilakukan dalam memantau kondisi terkini dampak bencana. “Hingga saat ini BPBD di daerah masih melakukan pendataan dan penanganan bencana. Laporan sementara 4 orang luka ringan di Simeulue dan satu jembatan putus di Aceh Besar,” ungkapnya. Sebagian besar masyarakat, kata Sutopo, telah kembali ke rumah masing-masing. Listrik di Aceh dan Simeulue yang sempat padam sesaat setelah gempa terjadi, kini dilaporkan sudah menyala lagi. Tak lama berselang, pesan BBM kembali masuk, masih dari Sutopo. Katanya, neski sudah banyak masyarakat yang sudah pulang ke rumahnya masing-masing, tapi sampai pukul 23:00 Wib, sekitar 10 ribu orang masih bertahan di tempat yang dirasakan aman dari terjangan tsunami. Kejadian tsunami besar pada 2004, masih menyisakan trauma. ” Banyak yang masih bertahan di tujuh titik dengan jumlah lebih kurang 10.000 orang,” kata dia. Sutopo juga menginformasikan, dari laporan BPBD Aceh Barat, telah terjadi tsunami kecil disana, pada pukul 15.38 Wib, setelah gempa kedua dengan ketinggian 80 centimeter. Tsunami kecil melanda Desa Suak Indrapuri. ” Air menerjang sampai ke dalam rumah dengan jarak 50 meter tidak ada korban. Kondisi Meulaboh sudah mulai normal masyarakat ada yang sudah pulang,” katanya. Sementara dampak gempa, tercatat satu jembatan jembatan di Bubon Arongan dan Sungai Mas rusak. ” Kerugian ditaksir lebih kurang 2 milyar,” katanya. *Dimuat di Kompasiana.com Mudik “Rasa” Partai Di musim mudik, banyak perusahaan yang berlomba-lomba menggelar acara mudik bareng. Puluhan bis, bahkan ada yang ratusan bis di carter untuk mengangkut para pemudik. Perusahaan jamu, mie instan, dan perusahaan-perusahaan makanan, minuman sampai produsen semen berlomba menyelenggarakan acara mudik bareng. Partai pun tak mau kalah. Hampir semua partai besar menggelar acara mudik bareng. Gaya mudik baik yang digelar perusahaan maupun partai sama saja. Di bis yang mengangkut para pemudik, selalu dipasang spanduk siapa penggelar acara mudik itu. Pun di bis yang dicarter partai politik dalam acara mudik gratis itu, spanduk lambang partai lengkap dengan gambar ketua umum partai tersebut menempel pada bodi bis. Acara pelepasan pun dilakukan oleh petingginya. Bila perusahaan, oleh petinggi perusahaan penggelar acara mudik gratis. Jika partai maka si ketua umum partai yang melepas keberangkatan rombongan pemudik gratis. Pada bulan puasa 2011, saya pernah meliput sebuah acara pelepasan mudik gratis yang digelar Partai Golkar, partai pemenang pemilu urutan nomor dua, setelah Partai Demokrat. Pelepasan pemudik dilakukan di kantor DPP Partai Golkar, di bilangan Slipi, Jakarta Barat. Yang melepas siapa lagi, kalau bukan Aburizal Bakrie sang ketua umum partai berlambang beringin atau biasa di sapa Pak Ical. Sekitar pukul sembilan pagi, saya sudah tiba di kantor DPP Partai Golkar. Ratusan pemudik, sudah banyak memenuhi halaman markas partai beringin. Rombongan belum bisa diberangkatkan, karena menunggu Pak Ical datang. Sebanyak 15 bis Mayasari Bakti nampak nongkrong di halaman kantor. Setelah Pak Ical datang, langsung di daulat menyapa para pemudik. Panitia mudik nampak sibuk menyeret-nyeret karung besar, ternyata berisi kaos. Gambarnya Pak Ical, sementara di belakang gambar pohon beringin lambang Partai Golkar. Juga nempel nama Aziz Syamsuddin, politisi Golkar yang punya niat maju ke Pilkada DKI Jakarta. Azis sendiri memang datang ke acara pelepasan mudik gratis tersebut. Laiknya mau kampanye, semua pemudik di bagikan kaos bergambar Pak Ical. Dan diminta dikenakan. Maka ratusan pemudik peserta mudik gratis itu, beralih rupa mirip serombongan simpatisan Golkar yang hendak berangkat kampanye. Selain kaos, pemudik juga dibagikan paket sarung. Apakah bergambar pohon beringin juga, saya tak tahu persis, sebab sarung masih di lipet dalam plastik. Terlepas dari motif politiknya, acara mudik gratis yang digelar partai patut di apresiasi. Setidaknya, partai ikut sedikit meringan beban masyarakat yang hendak mudik, tapi ongkos dikantong terbatas. Maka, kemudian meluncurlah 15 bis berisi pemudik dengan tujuan Semarang, Malang, Madiun, Yogya, Surbaya dan Garut, setelah Pak Ical mengibarkan bendera Golkar sebagai penanda start acara mudik gratis. Menurut Pak Ical, Golkar sendiri menyiapkan 120 bis untuk mengangkut para pemudik. Bis-bis dikonsentrasikan di beberapa titik. Salah satunya di kantor DPP Partai Golkar. Setelah Pak Ical mengibarkan bendera Golkarnya, ia pun segera masuk ke mobilnya merek Jaguar warna biru metalik. Dengan di kawal beberapa motor besar polisi, Pak Ical pun kembali melanjutkan acaranya. Kata stafnya, Pak Ical juga akan melepaskan rombongan pemudik di Pulogadung. Selamat berkampanye saudaraku, eh maaf selamat bermudik ria. Semoga sampai tujuan dengan selamat. Salam untuk keluarga, dan Minal Aidzin Walfaidzin. *Dimuat di Kompasiana.com Pak Manik Juru Hubung Wartawan Badannya tinggi besar. Tegap, dan berisi. Rambutnya cepak ala tentara, dengan kumis melintang yang sering dicukur tipis rapi di atas bibirnya. Tiap hari menenteng handy talky. Duduk rutin disebuah meja, mirip meja para resepsionis hotel. Tugasnya mungkin bukan level atas, ia hanya anggota satuan pengamanan dalam, atau biasa disingkat pamdal di Kementerian Dalam Negeri, sebuah kementerian utama di negeri ini. Namanya M Damanik, tapi saya dan wartawan lain yang kerap meliput di kementerian itu, menyebut singkat saja, Pak Manik. Bagi saya dan yang lain, posisi Pak Manik sangat strategis, juga penting. Bukan sebagai sumber kutipan berita, tapi jasanya yang teramat dibutuhkan para kuli tinta. Ia adalah penghubung wartawan. Tugasnya hampir mirip, juru warta, pemberi informasi bagi wartawan. Apa yang di informasikan, tak lain, bila Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, hendak turun dari ruangan, ia segera sigap memberi tahu para wartawan yang kerap ngendon di ruangan pusat penerangan kementerian itu, yang terletak tepat di sebelah lobi utama gedung Kementerian Dalam Negeri. " Pak Menteri mau turun, ada yang mau wawancara," demikian bahasa rutin dari Pak Manik mewartakan informasinya. Sebagai anggota Pamdal di front depan, ia pasti akan mendapat informasi pertama, agar mempersiapkan segalanya bagi bos besarnya yang akan keluar, entah saat hendak pulang, atau ketika akan menghadiri sidang kabinet di Istana Negera, yang tak jauh dari kantornya. Bila sudah ada warta yang disampaikan Pak Manik, para wartawan biasanya sigap keluar dari sarang ngendonnya, di ruang Puspen, menuju lobi, dan menunggu di pinggir karpet merah yang menghampar di lantai sampai lift yang dipakai untuk naik ke ruang kerja Mendagri. Begitu ajudan Mendagri nongol, menenteng tas sang menteri, artinya orang nomor satu di Kementerian Dalam Negeri, dipastikan akan keluar. Alat rekam disiapkan. Merapat ke pinggir karpet merah. Saat menteri sudah nampak, langsung disergap, dan muntahan pertanyaan, permintaan tanggapan keluar dari mulut-mulut para kuli tinta. Menteri pun berhenti sejenak, untuk menjawab dan menanggapi. Di sisi dekatnya, selalu menempel sekretaris pribadinya, yang akan pula ikut menambahi, bila ada yang dirasa kurang dari jawaban menteri. Ajudannya pun menempel rapat pada menteri. Bila dirasa waktu sudah mepet, misalnya karena menteri akan menghadiri rapat, biasanya ajudan akan membisikan pada menteri. Lalu bicara pada para wartawan yang sedang merubung atasannya. " Sudah yah, bapak ditunggu di istana," katanya. Kalau tak ada Pak Manik, yang rajin tergopoh-gopoh, mewartawan menteri akan turun, tentu para wartawan akan kehilangan sumber berita, tak bisa nodong pertanyaan atau meminta penjelasan. Alhasil tak ada yang bisa dikutip memperkuat berita. Maka, bagi saya, wartawan lainnya, jasa Pak Manik, tiada terkira. Meski hanya secuil informasi, menteri akan turun, tapi manfaatnya bagi pencari berita ibarat bom. Duaar, berita didapat. *Dimuat di Kompasiana.com Mencuri Tas Milik Sendiri Ini sebuah cerita cukup menggegerkan yang terjadi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terletak di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Menggegerkan, bukan karena komisi itu diancam bom, atau hendak diserbu polisi. Tapi menggegerkan bagi yang membuat geger saja, yaitu seorang wartawan radio yang jadi aktor utama dalam cerita ini. Oh ya cerita ini bukan dialami oleh saya sendiri. Catat ya, bukan saya pelaku utamanya. Jadi pelakunya ya orang lain. Saya pun tak melihat langsung. Jadi, bukan saya saksi lansungnya. Ini cerita saya dapat dari tuturan Mas Toni, seorang wartawan senior di Jawa Pos News Network (JPNN.com) sebuah portal berita milik Grup Jawa Pos. Mas Toni, mengisahkan kembali pada saya, disela-sela menulis berita, pada suatu waktu menjelang magrib. Mas Toni sendiri memang pernah lama liputan di KPK, tempat para pendekar pembasmi korupsi berkantor. Dan, dia adalah seorang saksi yang menyaksikan geger kisah yang mau saya ceritakan ini. Suatu waktu kata Mas Toni, hari sudah merambat ke malam. Tapi di KPK, masih banyak wartawan yang masih nulis berita. Lagi-lagi asyikdan tenangnya menulis berita, tiba-tiba seorang wartawan radio yang sudah terbilang kahot bin senior ribut sendiri. Ia panik, dan mengaku kehilangan tasnya. Lha, hilang tas di gedung KPK tentu bikin geger. Karena pengamanan gedung itu terbilang sangat ketat. Wong koruptor saja bisa disadap,apalagi pencuri tas, di gedung KPK pula. Di gedung anti korupsi itu, CCTV dipasang dimana-mana. Jadi selain anti korupsi, gedung KPK juga ya anti maling. Namun hari itu geger, ada wartawan mengaku kehilangan tas. Tasnya lumayan besar, bukan seukuran dompet. Yang hilang wartawan pula. Ini bisa jadi persoalan serius bagi KPK. Ini, bisa mencoreng nama baik lembaga pemberantas korupsi tersebut, jika sampai diberitakan gedung yang ditakuti para koruptor itu ternyata banyak maling. Maka, para wartawan yang masih bertahan di gedung KPK, sibuk membantu mencari tas yang hilang. Mereka sibuk ikut membantu sebagai tanda solidaritas sesama kuli tinta. Apalagi yang merasa kehilangan wajahnya tampak tegang, panik, bingung lalu menjadi melas. Petugas keamanan gedung KPK pun ikut membantu. Coba menyisir, setiap sudut gedung. Sampai kemudian karena tak juga ketemu, diambil inisiatif melihat rekaman CCTV. Dipastikan karena sudah terpasang dimana-mana, aksi si malang tak akan lolos dari intaian kamera pengintai. Petugas penjaga CCTV pun akhirnya membeberkan hasil rekaman kamera pengintai. Karena wartawan tak boleh masuk, maka hanya ciri-cira si maling yang dipaparkan detil petuga penjag CCT. Walakadalah, benar saja memang aksi si maling tertangkap kamera pengintai. Si petugas penjaga CCTV, menguraikan dengan detil adegan demi adegan saat si maling tertangkap kamera. Si maling, menurut cerita si petugas, mengambil tas dengan tenangnya, lalu tas itu ditaruh di bawah meja yang agak tersembunyi. Semua berdebar, menyaksikan mendengarkan kisah aksi si maling. Tapi raut muka yang mendengarkan hasil rekaman kemudian berkerut kening, karena nyata dan jelas identitas si maling mengarah pada seseorang. Seorang wartawan. Diceritakan, ciri-ciri si maling, mulai dari sosok, rambut dan pakaian. Namun yang membuat semua kaget, ciri-ciri si maling sama persis dengan si korban. Kloningankah? Tapi kemudian tawa pun meledak, ternyata si pencuri adalah wartawan itu sendiri, yakni korban sekaligus pelaku. Dengan wajah malu, 'si pelaku' akhirnya mengaku saat itu juga. Dia ternyata lupa telah memindahkan tasnya ke bawah meja, karena terburu-buru mencari pojok ruangan yang agak sepi untuk melaporkan berita. " Sorry gue lupa mindahin tas," katanya sambil nyengir disambut koor huuuuu dari yang hadir mendengarkan cerita si petugas CCTV. Hasil rekaman CCTV itu pun mengakhiri geger di gedung KPK. KPK pun tak jadi tercoreng mukanya... Rekaman Aneh di Gedung Mahkamah Agung Wartawan sering disebut sosok yang paling ditakuti, bahkan oleh Presiden. Goresan penanya, yang kemudian diracik menjadi berita, bisa membuat seorang kepala negara ketar-ketir. Namun wartawan juga manusia, yang kadang tak luput dari salah, khilaf bahkan acap menjadi sosok yang ndeso, karena ketidaktahuannya. Nah yang saya tulis ini adalah cerita tentang wartawan juga manusia. Wartawan yang kadang-kadang bertindak lucu, karena terbatasnya pengetahuan terhadap kondisi sebuah medan liputan. Suatu petang, di ruangan sebelah ruang kerja Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, saya dan beberapa wartawan asyik ngobrol ngalor ngidul sambil menyeruput kopi. Tradisi ngobrol, bergosip ria, adalah tradisi yang selalu dilakukan usai berita dikirim. Oh ya, ruangan itu, adalah yang sering jadi tempat para wartawan yang biasa ngepos liputan di kementerian itu mengetik berita, ngobrol atau ngerumpi. Saat itu, yang sedang menjadi pembicara utama obrolan santai para wartawan adalah Mas Soetomo atau biasa saya dan lainnya memanggil Mas Tomo, seorang wartawan senior JPNN.Com. Kala itu, Mas Tomo menceritakan sebuah kisah lucu seorang wartawan daerah,kawannya. Suatu saat kata Mas Tomo, si kawannya ini, seorang wartawan daerah ditugaskan atau ditarik ke Jakarta. Ya, kata Mas Tomo, kawannya ini dipromosikan ke Jakarta, karena dinilai tugasnya baik selama meliput di daerah. Mas Tomo pun melanjutkan ceritanya. Hari pertama kerja di Jakarta, dijalani kawannya dengan penuh semangat. Salah satu penugasan pertamanya, kawannya itu diminta meliput jumpa pers di gedung Mahkamah Agung. " Saya lupa, soal apa jumpa persnya," kata Mas Tomo. Maka, berangkatlah dengan penuh semangat 45, si wartawan daerah itu. Sampai di Mahkamah Agung, yang gedungnya bersebelahan dengan gedung Kementerian Dalam Negeri, acara jumpa pers baru saja dimulai. Dengan tergesa, kata Mas Tomo, kawannya itu langsung menyiapkan alat rekamannya dan langsung menaruhnya diatas speaker portable yang tersedia di pojok ruangan. Kawannya itu pun setelah meletakan alat perekam takzim menyimak acara jumpa pers. Sampai kemudian acara jumpa persnya pun kelar. Kata Mas Tomo, kawannya itu pun dengan tenangnya mengambil alat perekam. Setelah itu ia coba mendengarkan hasil rekaman. Tapi kawannya kaget. " Wushhhh, wushhh guuerrr, wushhh," begitu kata Mas Tomo, bunyi isi rekaman dari alat perekam milik kawannya itu. Kawannya itu pun clangak clinguk, bingung kenapa bukan suara narasumber, juru bicara MA yang muncul di rekaman. Penasaran ia pun kembali mendengarkan sampai tuntas isi rekamannya. Tetap saja bunyi wuushhh dan wushhhh yang muncul. Bunyi seperti hembusan angin. Karena penasaran, ia pun menuju sound system atau speaker, tempat ia tadi menaruh rekamannya. Setelah tahu dengan jelas, kata Mas Tomo, kawannya itu malunya minta ampun, ternyata yang disangka sound system adalah alat pendingin udara portable alias AC standing. Padahal, si kawannya itu sudah menyangka alat perekamnya rusak. Mungkin karena tergesa, ia sangka AC portable itu sebagai sound system. Ternyata alat pendingin udara portable. Ketika Lembaga Negara Berstatus Nebeng Siapa sangka memang lembaga berlevel nasional serta dijamin penuh oleh Undang-undang nasibnya harus terkatung-katung. Pernah beberapa bulan sejak dilantik pada 3 April 2008, lembaga itu tidak punya kantor tetap. Bahkan terpaksa nebeng di gedung milik KPU. Perkakas kantor pun semuanya berstatus pinjaman. Namun itulah yang dialami Bawaslu, sebuah lembaga reinkarnasi dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Jaminan Undang-undang begitu gagah menyatakan Bawaslu, sebagai wasit pemilu yang bersifat permanen. Namun nasibnya tidak beda dengan anak tiri. “ Ngenes,” kalimat tersebut dikatakan lirih salah seorang staf relawan yang direkrut Bawaslu saat saya, menyambanginya ketika lembaga itu masih berstatus ‘penebeng’ di KPU. Sejak resmi dilantik, dan sampai saat ini dana operasional tidak kunjung di lungsurkan. Padahal tertera diatas kertas, dana Bawaslu yang disetujui DPR sebesar 888,7 milyar rupiah. Angka itu benar-benar masih diatas kertas dalam arti harfiah. Karena realisasi masih jauh panggang dari api sampai Bawaslu berpindah kantor di Gedung Juang, Jakarta. Suatu waktu, di Minggu pertama bulan Juli 2008, saya sowan ke ruangan salah seorang anggota Bawaslu. Saat itu Bawaslu masih berstatus ‘penebeng’. Terlihat kantor lembaga itu tidak semewah saudaranya, KPU. Anggota Bawaslu, Bambang Eka Cahya Widodo yang ditemui, dengan tertawa mengatakan, “ Ya..inilah kondisi kita sampai saat ini. Semua serba pinjam, minum pun bisa dikatakan hasil pinjaman ha…ha..” kata dia. Saat ditanya, adakah faksmile dikantornya, Bambang mengernyitkan kening. “ Wah sampeyan ini ngenye yah…” ujarnya. Namun itulah kenyataanya, kata dia, lembaga selevel nasional itu harus mengalami perlakuan darurat dan cenderung mengarah ke diskriminatif yang berkepanjangan. Ia merasa dianak tirikan oleh pemerintah. Pemerintah pun sepertinya tidak begitu peduli dengan kondisi Bawaslu. Dan keberadaannya seakan dianggap angin lalu. Ia terus terang, setiap akan melakukan kunjungan ke daerah, harus pontang-panting mengurus tiket. Menurutnya bukan soal dana pribadi akan diganti nantinya. Tapi semua itu soal perlakuan. “Kami ini seperti dianak tirikan,” ujarnya. Bambang menambahkan, dia tidak takut kalau harus mengkritik keras KPU. Karena memang Bawaslu sesuai UU No.22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, di posisikan berhadap-hadapan dengan saudara tuanya itu. “ Tapi jangan-jangan kalau saya mengkritik saya tidak dikirim air minum lagi. Listrik dimatiin.. he…he..” ucapnya sembari terkekeh. Agar tetap bisa bekerja, ujarnya, dia memboyong laptop milik sendiri. Pasalnya komputer yang dipinjemin, sudah tergolong tua. Printer pun dari dua yang di pinjamkan, hanya satu yang nyala. Bahkan untuk faks, setiap akan kirim atau menerima harus bolak balik naik ke lantai tiga karena hanya itu yang diperuntukan untuk Bawaslu. Maklum itu pun di pakai keroyokan dengan staf KPU. “ Nah sekarang Bu Wahidah (Wahidah Suaib-Anggota Bawaslu-red) sedang keluar kota, tapi sekarang belum balik. Jangan-jangan enggak bisa pulang kehabisan ongkos. Kan serba bayar sendiri,” pungkasnya lagi-lagi di barengi derai tawa. Bukan hanya Bambang yang merasa dianak tirikan. Pucuk pimpinan lembaga itu, Nur Hidayat Sardini, merasakan hal yang sama. Ada cerita yang menarik tentang Ketua Bawaslu ini. Saat itu di pertengahan Juli, Saya menginformasikan Kepala Sekretariat Bawaslu, Robert Simbolon, sudah dilantik Mendagri. Nur Hidayat terlonjak kaget. Spontan di setengah berteriak menjawab,” Tugas pertama Kepala Sekretariat itu, mengeluarkan kami dari sini (kantor tebengan),” cetusnya dengan wajah sumringah. Mungkin sungguh lucu mengenang nasib yang ironis. Status boleh menterang, pejabat publik dilevel nasional. Namun perlakuan yang diterima jauh dari status yang disandang. Bahkan ketika saya, menyambangi kantor barunya, kesan darurat belum juga hilang dari Bawaslu. “ Ya beginilah, sampai berpindah ke gedung baru pun anggaran belum turun. Entah kapan turunnya,” ujar Bambang sembari menerawang. Raker Gubernur Diprotes Wartawan Pada Senin, 9 Desember 2013, Kementerian Dalam Negeri punya gawe besar, menggelar rapat kerja para gubernur seluruh Indonesia. Rapat digelar di Hotel Aryaduta, Jakarta. Dalam roundown acara yang dibagikan panitia, acara mestinya dimulai pukul 11.00 Wib. Tapi kemudian molor, baru dimulai menjelang pukul dua siang. Rapat kerja para gubernur sendiri menuai protes dari para kuli tinta yang berniat meliput acara tersebut. Apalagi mereka sudah menunggu sejak pagi, karena dalam jadwal acara rapat kerja dimulai pukul 11.00 Wib. Tapi sampai pukul 13.00, rapat belum juga dimulai. Mendagri, Gamawan Fauzi sendiri baru memasuki ruangan tempat rapat, menjelang pukul dua siang. Para wartawan dari media cetak dan elektronik makin kecewa, ketika diminta oleh pengamanan dalam Kementerian Dalam Negeri, agar keluar dari area ruangan rapat. Pintu pun ditutup dan dijaga rapat oleh tiga orang Pamdal. Bahkan, awak media yang terlanjur sudah masuk ruangan rapat pun, digiring kembali keluar. Gerutuan jengkel pun keluar dari mulut-mulut para wartawan. " Gimana sih, udah molor, tak boleh diliput lagi. Apa ini pertemuan rahasia apa," ujar seorang wartawan media online menggerutu saking dongkolnya. Kedongkolan para wartawan, dapat dimaklumi. Berjam-jam mereka menunggu rapat digelar. Tapi begitu rapat akan dimulai, mereka justru 'diusir' tak boleh meliput. " Mohon maaf mas, mohon maaf, saya hanya menjalankan perintah, wilayah ini harus steril," ujar seorang Pamdal Kemendagri, sambil menggiring para wartawan keluar dari depan ruang pertemuan para gubernur. Para kuli tinta pun keluar dengan gerutuan. " Sudah boikot saja enggak usah diliput, bila memang tidak boleh diliput. Untuk apa kita ke sini bila tak boleh masuk," teriak seorang wartawan menumpahkan kekesalannya. Sampai menjelang pukul empat, wartawan pun belum juga dibolehkan untuk meliput. Mereka pun keleleran duduk-duduk di pojok-pojok ruangan hotel. Sebagian bahkan ada yang terkantuk-kantuk. Sisanya membunuh jenuh dengan mengobrol ngalor ngidul. *Dimuat di Kompasiana.com Cerita Tudung Saji Makanan Wartawan kerap kali dianggap mahluk yang sadurung winarah. Bagaimana tidak profesi itu kesehariannya berkutat dengan berita yang nantinya dibaca banyak orang. Jadi sebelum orang lain baca, wartawan terlebih dahulu tahu. Wong mas dan mba wartawan yang racik beritanya. Kan ada istilah, kadang orang merasa tahu isi dunia, padahal baru baca koran tadi pagi. Bagaimana yang buatnya... Kalau begitu. Tapi itu hanya istilah. Wartawan juga disebut profesi yang eunak. Bagaimana tidak, dia bisa akrab dengan pejabat, bahkan menteri yang jadi narasumbernya. Padahal bagi orang kecil susahnya bukan main untuk mengakses para pejabat. Kalau wartawan yang sudah akrab, tinggal kirim pesan pendek saja, sudah dibalas. Para wartawan juga, katanya mudah berpindah dari hotel mewah ke hotel mewah lainnya. Makan makanan hotel dan tetek bengek lainnya. Ya iyalah, masa ya iya dong. Kalau ada diskusi digelar di hotel, ya pasti wartawan nginjak hotelnya. Kalau diskusinya itu plus nyediain makanan juga, ya wartawan ikut nyicipinnya. Tentang icip mengicip makanan itu, ada cerita lucu. Cerita yang menggambarkan bahwa wartawan juga manusia biasa. Ceritanya begini, satu waktu ada diskusi di sebuah cafe lumayan mewah. Nama cafe itu Melroce Place yang ada dibilangan Jakarta Selatan. Saya kebetulan dapat tugas meliput diskusi itu. Di cafe itu saya bertemu dengan banyak wartawan lain. Salah satunya adalah Kholil dari Seputar Indonesia. Saat itu, diskusi yang menghadirkan pembicara aktivis hukum, Patra M Zen dan ekonom, Aviliani, sudah setengah jalan. Lagi asyik-asyiknya nyatat omongan si pembicara, Kholil nyamperin saya. Terus bertanya tanpa diplomatis, lapar enggak," tanya. Ditanya soal perut, saya tak bisa berkelit. Memang perut sudah keroncongan. Para cacing diperut sudah ramai protes, dan selalu mengundang bunyi lapar," Krbbuk krubbuk.." "Kita makan duluan yuk,"ajak Kholil. Saya pun mengiyakan. Kami berdua segera mendekati meja makan yang dipajang di belakang tempat diskusi. Tapi sampai dekat pajangan makanan, ternyata tudung tempat makanan masih tertutup. Alhasil kami maju mundur. Kata Kholil," Kau dulu yang buka." Tapi terus terang, saya waktu itu tak tahu bagaimana buka tudungnya. Tengsin dong kalau saya coba ternyata keliru bin salah alias tudung gagal dibuka. " Kaulah Lil yang duluan," kata saya balik meminta. Kholil kembali balik meminta," Kaulah yang buka,". Saya juga tak bergeming, kembali membalik permintaan. "Kaulah Lil yang mulai," Akhirnya kami berdua maju mundur. Malah alot saling balik membalik permintaan. Sampai akhirnya, petugas cafe datang dan mendekati meja makanan. Lalu menyentuh tudung nasi itu, dan terbukalah. Saya pun segera berebut dengan Kholil mengambil piring, ingin paling pertama ngambil makanan. Setelah piring terisi penuh, saya ngari tempat untuk makan diiringi Kholil. Setelah duduk berdua, saya berbisik pada Kholil. " Lil tahu enggak, kenapa tadi nyuruh kamu duluan buka tudung makanan? Sebab aku tak tahu cara bukanya,"kata saya. " Sama, saya juga nyuruh karena memang tak tahu cara bukanya," jawab Kholil. Ha...ha..ha..akhirnya kami berdua ngikik mengingat pengalaman menjelang santap makanan. Kholil menyuruh saya duluan, karena memang dia tak tahu cara buka tudung nasi. Demi jaga gengsi dan malu tak tahu cara buka tudung makanan, kami berdua saling lempar permintaan siapa duluan buka tudung makanan. Wartawan Jangan Pendek Ide dan Akal Wartawan harus banyak punya ide dan gagasan, bahkan mesti punya banyak akal demi dapat sebuah berita. Bila pendek ide, wah itu akan bikin susah untuk dapat sebuah berita. Terlebih, bila tak ada peristiwa yang terjadi. Jadi, wartawan itu harus awas dan jelis. Mesti pintar-pintar memutar otak. Bila hanya terpaku pada perintah redaktur, misal diminta buat berita tentang isu A, sementara kondisi sekitar tak mendukung alias tak ada bahan untuk berita yang diminta, alamat ocehan redaktur yang didapat. Wartawan harus selalu sedia berita. Tak boleh pulang dengan tangan kosong. Ya, setidaknya itu menurut saya. Tentang ini, saya banyak mempunyai kisah atau pengalaman. Suatu waktu saya dapat undangan meliput ke Kupang Nusa Tenggara Timur. Yang mengundang adalah Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Singkat cerita, berangkatlah saya memenuhi undangan tersebut, setelah kantor merestuinya. Tapi sialnya, acara BNPP baru dilakukan esok harinya. Sementara saya tiba di Kupang, sehari lebih awal. Saya pun bingung, apa berita yang saya harus kirim. Sementara, saya harus tetap kirim berita. Saya pun ketika di bandara, langsung berpikir, kira-kira apa yang bisa saya racik jadi berita. Terlintaslah ide, setelah saya melihat kondisi Bandara El Tari Kupang. Bandaranya sederhana. Sementara El Tari, bisa dikatakan sebagai salah satu pintu gerbang Indonesia di kawasan Timur. Maka mulailah saya racik berita. Petugas bandara saya wawancarai, juga beberapa supir angkutan di sana. Kondisi dan suasana bandara saya rekam. Setelah itu, baru saya tambahi dengan komentar dari pejabat BNPP. Dan, jadilah berita tentang gerbang timur Indonesia yang masih sederhana. Pun, ketika saya diundang ikut kunjungan kerja ke Anambas. Masih BNPP yang jadi pengundang. Saat itu, sebelum ke Anambas, saya dan rombongan singgah di Bandara Hang Nadim Batam. Ada jeda sekitar satu jam, sebelum terbang ke Anambas. Dan diperkirakan tiba di Anambas sekitar senja hari. Jadi, tak ada waktu untuk buat berita tentang Anambas. Acara BNPP pun baru dilakukan esok harinya. Sama seperti di Kupang, saya pun memutar otak, agar hari itu saya bisa kirim berita. Terlintaslah ide tentang Batam. Batam itu kan dulu dijadikan kawasan perdagangan bebas, dengan tujuan bisa jadi pesaing Singapura, tetangga terdekatnya. Saya pun coba memulai cerita tentang kondisi Bandara Hang Nadim, yang tampak agak kusam. Lalu, saya perbandingan dengan Bandara Changi Singapura yang terkenal itu. Tidak lupa, saya mewawancarai petugas bandara. Kiatnya ya mengajak mereka ngobrol-ngobrol saja. Di dapatlah cerita, awal-awal Hang Nadim katanya masih ramai. Bahkan, dulu selalu hiruk pikuk. Kian hari, keramaian tak seperti dulu lagi. Meski masih ramai, tapi tak sehiruk pikuk dulu. Si petugas juga bercerita Batam juga tak 'sekinclong' dulu lagi. Batam mulai kehilangan daya tariknya. Maka, jadilah sebuah berita dengan judul Batam Nasibmu Kini. Saya pun hari itu aman dari omelan redaktur, karena satu berita telah saya amankan. Seperti itulah pengalaman saya. Wartawan itu, telinganya mesti peka, mendengar apa saja yang dirasa menarik untuk dikabarkan. Matanya pun harus selalu awas, merekam apapun yang bisa dibewarakan dalam sebuah berita. Bila tak peka, apalagi tak awas, selamat mendapat omelan redaktur. Modus 'Memelas' Agar Narsum Takluk Bagi wartawan, atau si kuli tinta, atau si pencari berita, keberadaan narasumber yang terkait dengan berita yang dibuat adalah hal yang utama. Bisa dikatakan, narasumber adalah nyawa sebuah berita, disamping data dan fakta lainnya. Narasumber pun, tak asal narasumber. Ada beberapa narasumber. Bila beritanya tentang sebuah kebijakan yang dilansir misal oleh lembaga pemerintah, maka pemimpin lembaga itu adalah narasumber pertama dan utama yang harus dikejar. Baru setelah itu, narasumber pendukung. Jadi, ya wartawan harus siap dengan plan A, plan B, bahkan sampai plan F, bila si narsum utama tak didapat, atau susah dimintai tanggapannya. Wartawan harus selalu siap dengan segala kemungkinan. Misal, seorang menteri irit memberi tanggapan, atau bahkan menolak, maka harus dicari siapa orang kedua setelah menteri yang bisa menambal bolong itu. Bisa itu Sekjen kementerian, bisa Dirjen, atau Direktur. Tapi dengan catatan, mereka memang terkait langsung dengan kebijakan yang hendak dibuat berita. Namun acapkali narasumber yang hendak dimintai tanggapan, susah-susah gampang. Ada yang mudah saja dihubungi, atau dia memang tak sukar di wawancara. Tapi ada juga yang sulit minta ampun, terlebih misal bila meminta tanggapan via telepon genggam. Kenapa via telepon genggam, sebab acapkali kita sebagai wartawan tak selalu bisa menemuinya langsung untuk wawancara. Nah, tentang ini saya punya cerita, lebih tepatnya tentang modus yang sering saya pakai untuk menaklukan narasumber agar mau di wawancara. Kiat atau modus menaklukan narasumber saya kira perlu dikuasai, karena seringkali narasumber itu 'jual mahal' untuk memberi komentar. Seringkali wartawan suka dongkol dengan narasumber yang susah dikontak. Lebih dongkol lagi, bila tiba-tiba keperluan akan si narsum A, atau B, datang pada saat jam deadline. Redaktur di kantor kadang-kadang suka tak punya perasaan, sudah jam deadline, tiba-tiba minta anak buahnya di lapangan, hubungi menteri anu, menteri ini. Menteri bos yang harus dihubungi, bukan teman, atau keluarga, yang gampang saja bisa kita hubungi kapan pun. Nah suatu waktu saya diminta kantor mewawancarai Ketua Fraksi PDIP yang saat itu dijabat oleh Tjahjo Kumolo. Tjahjo sekarang sudah jadi Menteri Dalam Negeri. Saat itu menjelang kongres PDIP yang akan dihelat di Bali. Ketika itu, saya sendiri bukan wartawan yang ditugaskan meliput di parlemen. Tapi pos liputan saya di Kementerian Dalam Negeri. Entah mengapa, saya yang ketiban pulung eh masalah harus mewawancarai Tjahjo. Dan sialnya, wawancara harus panjang karena untuk satu halaman. Saya masih ingat, pertama saya cari nomor kontak Tjahjo, dan nomor kontak yang terkait dengannya, misal ajudan atau staf pribadinya. Singkat kata, nomor-nomor itu didapat. Mulailah saya kirim pesan pendek meminta waktunya untuk wawancara, sembari tak lupa memberitahu siapa saya dan darimana asal media saya. Pertama tak berbalas. Kedua tak berbalas. Ketiga juga tak berbalas. Untungnya saya berhasil kontak stafnya. Saya pun utarakan maksud dan tujuan saya. Si staf pribadi, berjanji menyampaikan itu. Keempat, pesan pendek saya berbalas. Tapi modar saya, dia tak mau diwawancara, bahkan minta cari narasumber di PDIP yang lain. Kala itu, isu yang mau di angkat dalam wawancara itu soal seputar kongres PDIP. Saya pun lapor ke redaktur, bahwa Tjahjo tak mau diwawancara. Perintah redaktur tegas, harus dapat Tjahjo. Lemaslah saya. Saya pun kirim pesan lagi ke Tjahjo. Tak ada tanggapan. Sampai terlintas ide dibenak, agar Tjahjo mau diwawancarai. Modus pun saya rancang. Lalu saya jalankan. Modusnya begini, dalam pesan pendek yang saya kirim ke Tjahjo, saya memelas padanya. Yang saya ingat, saya kirim pesan, isinya begini. " Apa bapak tega, saya dimarahin habis-habisan oleh redaktur saya pak, karena tak bisa wawancara bapak. Redaktur inginnya hanya bapak. Saya hanya wartawan dengan gaji kecil. Apa bapak tega, sudah bergaji kecil di marahi pula. Semoga bapak berkenan meluangkan waktu untuk bisa saya wawancarai." Mujarab, modus itu berhasil, Tjahjo mau di wawancarai. Mungkin dia kasihan, saya akan di marahi redaktur karena tak bisa mewawancarainya. Akhirnya, via telepon saya bisa wawancarai dia panjang lebar. Selamatlah saya. Misi sukses, wawancara di dapat sesuai perintah. Modus-modus itu yang kerap saya pakai menaklukan narasumber. Pernah, saat lagi heboh-hebohnya kisah cicak versus buaya, saya diminta wawancara khusus Bibit Samad Rianto, pimpinan KPK saat itu. Susahnya minta ampun. Modus memelas pun kembali saya terapkan dengan modifikasi kata dan kalimat. Saya ingat, saat itu saya membumbui permintaan wawancara kepada Bibit, dengan mengingatkannya bahwa media adalah pihak yang ada digaris depan membela dia dan KPK. Masih manjur, akhirnya Bibit mau di wawancarai. Sekali Wawancara, Semua Wartawan Kebagian Berita Di jaman teknologi informasi, kerja wartawan kian dipermudah. Kirim berita tak perlu harus tergopoh-gopoh datang ke kantor, cukup via email, berita wushhh sudah sampai ke tangan redaktur. Pun dalam mendapatkan tanggapan dari narasumber, tak usah susah payah mewawancarai langsung. Cukup via telepon, omongan narasumber sudah bisa dikutip. Namun memang jangan sering-sering wawancara via telepon. Tak afdol, begitu kata seorang wartawan senior. Lebih afdol bila bertemu langsung, head to head atau bahasa kerennya face to face. Tapi apa mau dikata, bila sudah tiba jam deadline, tapi redaktur minta tambahan tanggapan terpaksa telepon genggam jadi andalan. Dan, diantara para wartawan ada semangat gotong royong yang tinggi. Terutama semangat berbagi informasi. Misalnya begini saya contohkan, bila ada beberapa wartawan dalam satu tempat, lalu mereka ternyata hendak membuat berita dengan isu yang sama, maka semangat gotong royong atau saling berbagai datang tanpa diundang. Saya contohkan, suatu waktu saya dan beberapa wartawan yang biasa ngepos di Kementerian Dalam Negeri, sama-sama sedang garap isu tentang perda yang bermasalah yang sempat dikeluhkan Presiden Jokowi. Nah, komentar atau pernyataan dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sudah didapatkan. Tinggal menambah tanggapan atau pernyataan dari yang lain. Saat itu disepakati, bahwa perlu ada pernyataan tambahan dari Dirjen Otonomi Daerah, Pak Soni Sumarsono. Tapi, tak mungkin mewawancarai langsung Pak Soni, sebab beliau sedang ada di Manado. Maka diputuskan untuk melakukan wawancara via telepon. Dita wartawati Koran Seputar Indonesia (Sindo) akhirnya yang dipilih akan menelpon Pak Soni. Mulailah Dita menghubungi Pak Soni. Dan, alhamdulillah nyambung, Pak Soni mau mengangkat telepon. " Pak ini Dita dari Koran Sindo, bersama teman-teman, ada Anton dari Kompas, Kang Agus dari Koran Jakarta, Bang Ken dari JPNN, Bang Carlos dari Suara Pembaruan, Mas Arjuna dari Zonalima. Mau minta tanggapannya pak tentang perda-perda bermasalah," begitu Dita memulai wawancara via teleponnya dengan Pak Soni. Semua yang disebut pun langsung berkerumun dekat Dita. Telepon genggam Dita pun di loud speaker. Jadi semua bisa mendengar omongan Pak Soni. Dan, secara bergiliran, saya dengan yang lainnya mengajukan pertanyaan masing-masing ke Pak Soni. Ya, semacam wawancara keroyokan ala doorstop, tapi jarak jauh, karena dilakukan via handphone. Kami di Jakarta, Pak Soni di Manado. Begitulah contoh semangat saling berbagi diantara kami para wartawan. Dan, ini sering kami lakukan. Bila bukan Dita, di hari lain giliran yang lain yang menelpon. Sehingga masing-masing tak merasa rugi pulsa. Semangatnya, semangat saling berbagi, gotong royong untuk dapat berita. Seperti istilah, sekali wawancara, semua wartawan kebagian berita he.he.he.he Akibat Punya Celana Terbatas Saat masih meliput di Komisi Pemilihan Umum (KPU), terutama saat hiruk pikuknya persiapan pemilu 2009, saya punya kawan liputan yang lumayan akrab. Namanya Kholil, lengkapnya Kholil Rokhman. Saat itu dia bekerja di Koran Seputar Indonesia atau Sindo, koran punyanya Pak Hary Tanoesoedibjo, konglomerat media yang juga menjadi pemilik RCTI serta sejumlah stasiun televisi lainnya. Saking akrabnya, saya kerap main ke kosan Kholil di bilangan Kebon Sirih, dekat dengan markas Sindo. Kholil, lelaki asal Kendal itu, orangnya senang humor, bahkan kerap jahil mengerjain para wartawan. Nah suatu ketika, saya ingat saat itu musim hujan sedang mendera Jakarta. Nyaris tiap hari turun hujan. Suatu hari saya tiba agak pagi. Karena kantuk masih tersisa, saya pun ngopi di dekat gerbang masuk gedung KPU. Tukang kopi langganan yang suka keliling pakai sepeda sudah nongkrong dari tadi. Sedang asyik-asyiknya mereguk kopi, tiba-tiba masuklah sebuah motor Honda Grand. Pengemudinya sudah saya kenal, Kholil Rokhman si wartawan jahil. Ia pun segera memarkirkan motor dan tergesa menghampiri saya. Lalu langsung duduk, dan tanpa permisi menyerobot begitu saja gelas kopi saya. " Ngantuk pak," katanya tanpa rasa bersalah. Saya hanya nyengir saja. Kelakuan Kholil seperti itu sudah biasa. Tiba-tiba dengan mimik wajah serius, dia bertanya. " Pak, yang jual celana dekat sini dimana yah?" Saya pun kaget, pagi-pagi Kholil menanyakan yang jual celana. Biasanya yang ditanyakan, apakah sudah dapat berita atau belum. " Nanya penjual celana memangnya ada apa Lil?" saya balik bertanya. Ia pun beringsut mendekati saya. Lalu, ia memperlihatkan celananya tepat dibagian selangkakan dia yang dari tadi dia tutupi pakai tasnya. " Ini pak, celana saya robek, saya mau beli celana," katanya dengan wajah agak memerah, mungkin menahan malu. Saya setelah melihat itu tak kuat menahan tawa. Terlihat celana Kholil robek tepat di selangkakannya. Pantesan dia malu. Tapi yang saya heran, kenapa dia tak berganti celana, bukan justru pakai celana robek. Ini mau beli celana baru pula. " Emangnya enggak ada celana lain Lil?" kembali saya bertanya. "He.he.he celana saya terbatas. Yang lain belum saya cuci, lagi direndam. Ini celana saya satu-satunya yang tersisa, eh malah robek lagi. Jadi saya mau beli celana dulu. Titip berita yah, takutnya saya lama," katanya. Saya pun mengiyakan Kholil. " Ya udah, saya jagain berita. Kau beli saja celana. Di Senen, banyak yang jual celana bekas, kau beli saja di sana," kata saya. Kholil pun mengucapkan terima kasih. Setelah itu, ia pamit dan bergegas menuju parkiran motor. Dan, setelah motor menyala, ia langsung meluncur keluar gedung KPU, sepertinya menuju ke Senen untuk beli celana baru. " Terima kasih pak, titip berita, nanti saya agak siangan ke sini lagi," kata Kholil dengan setengah berteriak. Cara Suka-suka Wartawan Menghitung Jumlah Orang Taman air Mancur Sri Baduga di Purwakarta sedang heboh jadi berita. Peresmiannya yang dilakukan Om Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta, jadi berita di mana-mana, terutama di media online. Salah satu media online tenar menuliskan hasil liputan reporternya yang meliput langsung peresmian taman air mancur tersebut dengan dramatis. Menurut si reporter media online tersebut, yang tertuang dalam beritanya, peresmian taman air mancur itu disaksikan oleh ratusan ribu penonton. Tapi tak disebutkan, ratusan ribu itu berapa tepatnya. Apakah 100 ribu atau 150 ribu atau 101 ribu orang? Tidak jelas, hanya ditulis ratusan ribu. Namun, di media online lainnya yang juga tak kalah tenar, untuk berita yang sama, ada perbedaan jumlah penonton yang menyaksikan peresmian taman air Mancur tersebut. Dalam satu beritanya tentang peresmian taman air mancur tersebut, media online tersebut menulis ada puluhan ribu orang yang menyaksikan hajatan besar Om Bupati Purwakarta tersebut. Lha kok berbeda? Media online yang satu menyebut ratusan ribu. Sementara media online yang satu menuliskan puluhan ribu. Tentu, perbedaan itu selisihnya lumayan jauh. Yang satu ratusan ribu, yang lainnya puluhan ribu. Tidak dijelaskan pula dari mana sumber puluhan ribu dan ratusan ribu Tapi, untuk berita yang sama, pembaca di sodorkan dua jumlah yang berbeda. Namun menurut kawan saya yang wartawan kahot, itulah cara wartawan menghitung cepat. Wartawan itu, bila dihadapkan pada keharusan menuliskan jumlah yang hadir dalam suatu acara, akan selalu mengambil jalan pintas. Jika yang hadir itu kerumunan massa yang rapat, alias terlihat banyak, dengan cepatnya ditebak jumlahnya ribuan orang. Nah, untuk menambah dramatis, bisa disebut puluhan ribu. Dan, untuk lebih dramatis lagi, disebut saja ratusan ribu. Tapi, bagi wartawan yang pintar cari aman, selalu membumbuhi kalimat 'diperkirakan' sebelum menyebutkan jumlah orang yang hadir. Sayang di dua media online yang saya baca, tak ada kalimat 'diperkirakan'. Si penulis berita langsung menyebut puluhan dan ratusan. Maka, jadilah dua berita dengan jumlah penonton yang berbeda. Berita yang benar bin akurat saya tak tahu yang mana. Karena yang pasti dan saya haqul yakin, si penulis berita yang meliput acara tak menghitung satu persatu orang yang hadir. Jadi, mereka menghitung cepat saja. Kerumunan massa pun dihitung berdasarkan perkiraan semata, ribuan, puluhan, atau ratusan ribu. Jadi sesuka-suka wartawan saja. Sayang perkiraan itu berbeda satu sama lain. Padahal, kalau pun ingin cari aman, si reporter bisa membumbuhi dengan kalimat 'diperkirakan'. Kalau mau aman lagi, dua perkiraan jumlah digabung dalam satu kalimat dengan menambahkan kalimat 'boleh jadi'. Misalnya, penonton yang hadir di acara peresmian taman air mancur itu diperkirakan mencapai puluhan ribu orang, bahkan boleh jadi ratusan ribu, saking banyaknya. Dari Liputan Ke Pelaminan Jodoh di tangan Tuhan. Itulah rumus bakunya. Siapa pun tak tahu, dengan siapa akan maju mengucap janji sehidup semati di depan penghulu. Tak ada yang tahu. Kata Wak Ustad, jodoh, mati dan rezeki adalah misteri Ilahi alias itu adalah otoritas Tuhan. Kadang ada yang sudah pacaran bertahun-tahun, tapi diujung justru bubaran. Kadang hanya bertemu dua bulan, tapi langsung ke KUA. Itulah misteri Tuhan. Nah, soal ini saya punya cerita tentang kawan-kawan saya, para wartawan yang dapat jodoh dari medan liputan. Pertama adalah Mbak Susie Berindra. Dia adalah wartawan senior di harian Kompas, koran cetak terbesar dan tertenar di Indonesia. Mbak Susie sekarang sudah berkeluarga. Dan dari medan liputan dia mendapat jodoh. Jodoh yang didapat Mbak Susie dari medan liputan, adalah Mas Alex, wartawan Suara Pembaruan. Sekarang Mas Alex sudah jadi salah satu 'petinggi' di jajaran redaksi Suara Pembaruan. Ceritanya, adalah ketika Mbak Susie dan Mas Alex kerap liputan bareng di Kementerian Dalam Negeri. Pos ini jadi salah satu pos liputan keduanya. Mbak Susie ditugaskan Kompas untuk liputan di Kenenterian Dalam Negeri. Pun Mas Alex, ditugaskan tempatnya bekerja juga untuk 'menjaga' Kementerian Dalam Negeri. Di Kementerian Dalam Negeri itulah keduanya kerap bertemu. Dari seringnya bertemu, kemudian muncul benih-benih cinta diantara keduanya. Panah asmara meluncur lewat alat rekam, begitu kawan saya menganalogikan sembari terkekeh. Cinta pun tak bertepuk sebelah tangan. Keduanya akhirnya 'pacaran'. Lalu kemudian menikah, hingga sekarang. Saya berdoa, semoga langgeng sampai anak cucu Mbak Susie dan Mas Alex yah... Kisah lainnya adalah tentang dua wartawan yang akhirnya jadian hingga ke pelaminan. Ceritanya tentang wartawan Viva.co.id, Bhakti dengan seorang wartawati, Lela. Lela dulu masih berstatus wartawan radio. Sementara Bhakti adalah wartawan media online punyanya Pak Ical atau Aburizal Bakrie. Di Komisi Pemilihan Umum, benih cinta itu mulai bersemi. Komisi ini memang jadi pos liputan keduanya. Menariknya, saat sebelum jadian, Bhakti dan Lela memang sering digoda oleh sesama wartawan yang bareng ngepos liputan di sana. Tapi, Bhakti dan Lela, keduanya selalu jual mahal. Awalnya, saya dan teman-teman sesama wartawan hanya iseng saja menjodoh-jodohkan kedua. Jika Bhakti dan Lela datang, para wartawan, termasuk saya tentunya, tak mau melewatkan kesempatan berlomba menggoda Bhakti dan Lela. Awalnya keduanya jual mahal. Bhakti sampai marah digodain seperti itu. Bahkan, ia mengatakan, Lela bukan tipe perempuan yang dicarinya. Begitu juga Lela, selalu cemberut bila digoda dan dijodoh-jodohkan dengan Bhakti. Dan cemberut Lela, cemberut serius, alias dia tak senang kalau dijodohkan dengan Bhakti. Sampai kemudian, hajatan pemilu 2009 pun usai. Pos liputan saya berpindah ke Kementerian Dalam Negeri. Saya pun tak lagi punya kesempatan menggoda Bhakti dan Lela. Saya kian jarang bertemu dengan keduanya. Apalagi setelah Lela, pindah tempat kerja ke sebuah media online. Setelah waktu berlalu, saya tiba-tiba dapat undangan pernikahan. Pengirimnya Bhakti yang mengantarkan langsung undangan ke Kementerian Dalam Negeri. " Saya mau nikah pak, datang yah," kata Bhakti waktu itu dengan wajah tersipu. " Wah selamat yah, akhirnya dapat jodoh juga, dengan siapa kau nikah?" tanya saya, setelah mengucapkan selamat pada Bhakti. Bhakti tersipu malu. " Buka saja pak,"kata dia. Karena penasaran, saya pun buka undangan. Tercetaklah nama calon mempelai perempuan dalam undangan tersebut. Mata saya terbeliak, setelah membaca siapa jodohnya Bhakti. " Kau nikah sama si Lela Bhak? Gimana ceritanya sampai dapat si Lela? Bukannya kau tak suka Lela? " saya pun memberondong pertanyaan kepada Bhakti. Tak percaya Bhakti akhirnya dapatkan Lela. Dulu itu, saya dan lain menggoda Bhakti dan Lela, hanya iseng saja. Ternyata keisengan berbuah jodoh. " Panjang ceritanya pak, pokoknya panjang. Datang ya pak, jangan sampai enggak datang," kata Bhakti enggan menceritakan kenapa dia sampai akhirnya memutuskan ke KUA bersama Lela, yang ia katakan bukan tipe perempuan yang dicarinya. Saya masih terheran-heran tak percaya. Saya masih inget, bagaima sewotnya Lela kalau dijodohkan dengan Bhakti. Pun Bhakti sampai me-warning agar saya dan kawan-kawan tak lagi menjodoh-jodohkan dia dengan Lela. Ternyata, dari benci jadi sayang. Mereka bahkan memutuskan untuk ijab kabul di depan penghulu. Jodoh memang tak bisa di duga. Benar-benar misteri Tuhan. Pengalaman Meliput Orang Partai 'Berantem' “ Sampeyan ngapain datang kesini?” Pertanyaan itu diucapkan dengan sengit Mbak Sukmawati Soekarnoputri pada Pak Gandung Laksana. “ Sampeyan juga ngapain kesini ?” Ujar Gandung tak kalah sengit. Adu omong itu, saya rekam ketika meliput di Komisi Pemilihan Umum, di Jakarta, Rabu 9 April 2008. Hari itu, saya sudah berada di KPU, yang memang jadi salah satu pos liputan saya. Dan beruntung, saya bisa merekam adegan orang partai 'berantem' berebut partai. Saat itu, Mbak Sukmawati dan Pak Gandung datang hampir berbarengan untuk mengambil formulir pendaftaran partai di gedung KPU. Keduanya datang mengatasnamakan Partai Nasionalis Indonesia (PNI Marhaenisme), tapi berbeda kubu. Seperti diketahui, PNI Marhaenisme menjelang pemilu 2009 dilanda perpecahan. Kubu Mbak Sukma, mengaku dirinya adalah Ketua Umum yang sah. Pak Gandung pun sama, merasa kubunya yang benar, dengan Ketua Umum yang sah Pak Teuku Syauki Markam. Perdebatan bertambah sengit, ketika Pak Syauki Markam tiba di ruangan pendaftaran partai yang terletak di lantai 2 gedung KPU. Syauki dengan lantang mengatakan, dirinya sebagai salah satu pendiri layak untuk maju membawa bendera PNI Marhaenisme. Menurutnya, klaim Mbak Sukmawati sebagai pemegang mandat kepengurusan PNI Marhaenisme itu cacat karena tidak dilakukan dengan Kongres. “ Kalau tak ada Kongres, saya sebagai pendiri berhak mencabut pengurusan periode 2003-2005,” ujarnya dengan tegas dan sengit. Pernyataan Pak Syauki dibalas tak kalah keras dan sengit oleh Mbak Sukmawati. Saudara kandung Ibu Megawati Soekarnoputri itu (Ketua Umum PDIP), mengatakan, Pak Syauki tak pantas jadi pemimpin karena pernah dipenjara. Lontaran Mbak Sukmawati dibalas Pak Gandung dengan tak kalah pedasnya. “ Bung Karno juga pernah dipenjara. Keluar penjara dan jadi pemimpin,” balas Pak Gandung. Debat panas tersebut makin ramai, ketika Pak Ardi Muhamad, Sekjen baru versi kubu Mbak Sukmawati datang membela Ketua Umumnya. “ Kamu ini jangan menghina Bung Karno dan Ketua Umum,” ujar Pak Ardi sengit. Pak Syauki yang jadi bidikan Sukmawati tak tinggal diam, kemudian membalas, dengan mengatakan, selama anak-anak Bung Karno jadi pemimpin, nama proklamator itu tidak akan pernah bisa direhabilitasi. Adu urat leher tersebut, membuat bingung petugas pendaftar. Ibu Nanik Suharti, selaku Sekretaris Pendaftaran Partai, mencoba menengahi. Ibu Nanik bertanya, mana kepengurusan yang benar. Karena ternyata menurut Ibu Nanik pada hari kedua, formulir atasnama PNI Marheanisme sudah diambil Pak I Made Sunarkha yang juga mengaku Ketua Umum. Maka makin lengkaplah cerita rebutan partai menjelang pemilu. Pada para wartawan yang menyaksikan debat kusir tersebut, Pak Ardi Muhamad mengatakan, pihaknya sudah melayangkan surat ke Departemen Hukum dan HAM untuk membatalkan nama PNI Pancasila yang setadinya akan digunakan sebagai ‘sekoci politik’. Tapi kemudian, menurutnya, perkembangan politik berkata lain, partainya karena punya kursi di DPR lolos otomatis sebagai peserta pemilu. “ Nama baru PNI Pancasila, sudah dibatalkan. Surat pemberitahuan pembatalan bahkan sudah dikirim 1 bulan sebelum Depkumham mengumumkan nama partai. Tapi SK-nya memang belum keluar, “ ujar Pak Ardi. Tapi Pak Gandung juga mengatakan hal serupa pada wartawan, sebelum bergegas pergi meninggalkan kantor KPU. Kata Pak Gandung, kubunya sudah pernah mengurus surat pemberitahuan ke Depkumham. “ Tapi memang ada dua versi kepengurusan dan Depkumham menyarankan gelar Kongres,” ujar Pak Gandung. Namun akhirnya, keduanya pulang dengan membawa berkas formulir yang diberikan patugas pendaftaran partai. Entah apa dasar perhitungan petugas pendaftaran di KPU, keduanya diberikan formulir. Yang jelas, rebutan partai semakin bertambah setelah sebelumnya di hari kedua pendaftaran, ada dua kubu yang mengatasnamakan partai yang sama. Pada hari kedua, Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) diklaim dua nama berbeda. Satu dari kubu Mentik Budiwiyono yang datang terlebih dahulu mengambil formulir. Satunya lagi dari kubu Endung Sutrisno yang datang belakangan mengambil formulir. Tentu masalah kepengurusan ganda, semakin menambah pusing petugas pendaftaran. “ Kepengurusan ganda ini, bikin bingung. Mana yang benernya ini,” keluh Ibu Nanik Suharti. Karena Wartawan, Mendagri Pun Doyan Mie Rebus Kementerian Dalam Negeri, adalah salah satu pos liputan utama saya. Di kementerian itu, lebih sering saya ada di sana. Dan yang enak meliput di Kementerian Dalam Negeri, adalah tersedianya ruangan khusus bagi para wartawan untuk nongkrong atau sekedar meracik berita, usai wawancara. Lebih enak lagi, tersedia wifi gratis. Makin enak lagi, di pojok ruangan wartawan, tergantung televisi layar flat, cukup besar, yang suka menyiarkan film-film box office, maklum karena langganan teve kabel. Jadi, usai ngetik berita, bisa cari hiburan dengan menonton film. Di ruangan wartawan di Kementerian Dalam Negeri juga selalu tersedia kopi, gula, dan teh. Jadi kami, para wartawan seakan dimanjakan. Dan, tak usah repot kalau perut lapar. Di Kementerian Dalam Negeri, ada tukang mie rebus langganan kami. Warung mie rebus Kang Goni, demikian kami menyebutnya, merujuk pada nama pelayan yang sering mengantar mie rebus ke ruang wartawan. Cukup via telepon, semangkuk mie rebus sudah bisa diantar. Jadi tak perlu repot-repot datang ke warung Kang Goni. Mie rebus hasil racikan Kang Goni, sungguh nikmat. Mie selain dilengkapi sawi, juga selalu ditaburi potongan cabe rawit. Dan, yang unik, ada menu mie kocok, yang ternyata itu adalah menu mie rebus yang dimasak bersaman dengan telur yang kemudian dikocok sampai telor matang. Jadi, bukan mie rebus seperti biasanya, yang telornya selalu dimasak terpisah. Nah, ternyata, Menteri Dalam Negeri, saat itu masih dijabat Gamawan Fauzi, mendengar bila para wartawan suka dengan menu mie rebus racikan Kang Goni. Mungkin karena penasaran, Gamawan pun coba memesannya. Sekali pesan, lalu pesan lagi, sampai mantan Gubernur Sumatera Barat itu ketagihan. Pernah suatu malam menjelang Isya, Gamawan datang ke ruang wartawan. Saya dan beberapa wartawan yang masih bertahan di ruangan wartawan kaget didatangi orang nomor satu di Kementerian Dalam Negeri. Setelah beberapa menit mengobrol, Gamawan tiba-tiba menyuruh stafnya untuk memesankan beberapa mangkok mie rebus ke warung mie Kang Goni. Untuk mie rebus pesanannya, ia mewanti-wanti agar diberi potongan cabe rawit agak banyak. Di malam itu pula, keluar pengakuan Gamawan, ia mulai tertarik menyantap mie rebus, setelah mendengar mie racikan Kang Goni disukai para wartawan. " Saya dengar, mie rebus Kang Goni favorit para wartawan. Penasaran seperti apa rasanya, saya pesan, eh keterusan pesan terus he.he.he," kata Gamawan. He.he.he, Pak menteri ini bisa saja. Padahal, kami makan mie rebus, karena memang darurat. Dan, hanya mie rebus Kang Goni yang bisa dipesan via telepon. Murah meriah pula. Inginnya sih, pesan Hoka-Hoka Bento, tapi itu pastinya menguras kantong. Jadilah mie rebus Kang Goni favorit kami. Sejak saat itulah, Gamawan suka mentraktir wartawan dengan mie rebus. Padahal sebelumnya, kalau Mendagri datang ke ruangan wartawan, dan kebetulan ingin makan bareng, selalu saja nasi padang kotakan yang dipesan. Tapi, sejak jatuh cinta pada mie rebus, menu traktiran pun berubah. Nasi padang kotakan pun jarang lagi di pesan. Nasib, nasib, menteri makan mie rebus, wartawan pun makan mie rebus. Rajinnya Wartawan Senior, Usai Subuh Sudah Dapat Berita Insting menangkap peristiwa jadi sebuah berita, bagi seorang wartawan adalah hal yang mutlak. Insting itu harus terus diasah, agar wartawan tak sekedar melaksanakan perintah redaktur. Di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apa pun insting itu harus 'menyala'. Bila tidak akan pusing sendiri. Tentang ini, saya punya cerita. Akhir Januari 2016, saya mendapat undangan untuk meliput kegiatan sosialisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Urusan Pemerintahan Umum dari Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri. Kegiatan sosialisasi dilakukan di Kota Makassar. Nah, kegiatan dilakukan dua hari. Jadi, saya menginap semalam di sebuah hotel yang berdiri tepat pinggir pantai Losari, Makassar. Ikut meliput Mas Tomo, wartawan senior JPNN.com, sebuah portal berita punyanya Pak Dahlan Iskan. Saya satu kamar dengan Mas Tomo. Pagi hari, hanya beberapa menit setelah adzan Subuh saya bangun. Tapi, Mas Tomo sudah tak ada. Saya pun malas-malasan untuk bangun. Sampai kemudian menjelang pukul enam pagi, Mas Tomo mengirimkan pesan pendek, meminta saya turun dari kamar untuk sarapan. Katanya, Bang Bahtiar, Kepala Bagian Perundang-Undangan Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, mengajak untuk sarapan di depan hotel. Dengan agak malas-malasan saya beranjak dari tempat tidur. Basuh muka, setelah itu keluar kamar menuju lobi. Setelah di luar hotel saya celingak-celinguk mencari kedai kopi, tempat Bang Bahtiar mengajak saya dan Mas Tomo sarapan pagi. Ternyata kedai kopi letaknya tak jauh dari hotel. Benar-benar ada di seberang hotel. Terlihat sosok Mas Tomo, sedang memotret sebuah gerobak. Saya pun bergegas ke sana. Setelah sampai, saya langsung menghampiri Mas Tomo. " Ngapain Mas motret-motret?" tanya saya. " Ini untuk berita. Menarik ini. Dia penjual kue pancong paling tenar se Makassar. Katanya dia sudah berjualan sejak tahun 70-an. Penghasilannya bisa 500 ribu sehari," jawab Mas Tomo melanjutkan acara motretnya. Depan gerobak, seorang lelaki tua sibuk membuat dan mengangkat kue pancong. Harumnya menggoda iman, eh perut. Dalam kedai, Bang Bahtiar sedang asyik mengobrol dengan seseorang. Saya pun langsung masuk kedai. " Udah bangun mas? Ayo sarapan. Itu kue pancongnya enak, dicoba. Kue pancong terenak se-Makassar," kata Bang Bahtiar setengah berpromosi. Saya pun langsung duduk, dan memesan segelas kopi. Di meja, sudah terhidang kue pancong. Saya pun langsung mencicipi. Wuih rasanya memang enak, beda dengan kue pancong di Jakarta. Kue pancong ala Makassar manis legit,m sementara kue pancong di Jakarta rasanya cenderung gurih asin. Hanya beberapa menit, beberapa kue pancong sudah berpindah ke perut. Saya pun berkenalan dengan teman ngobrol Bang Bahtiar. Ternyata dia, senior Bang Bahtiar di IPDN. Oh ya lupa, Bang Bahtiar adalah lulusan IPDN. Temannya menyebut nama Amsarizal. Dia, ternyata salah satu pejabat di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Makassar. Kami pun mengobrol, sampai kemudian datang Mas Tomo. " Mas tadi keluar hotel jam berapa? Saya bangun sudah tak ada," kata saya. Setelah duduk, Mas Tomo pun bercerita, bahwa ia keluar setelah solat Subuh. Katanya, ia ingin cari angin segar. Lalu jalan-jalan di pinggir pantai. Dan, di pinggir pantai itu, ia bertemu dengan dua anak kecil. Yang bikin dia kaget, dua anak kecil itu sedang mabuk lem. Sedang nge-fly dengan lem Aibon. " Kaget saya. Yang lebih kaget itu, keduanya umurnya mungkin sekitar tujuh tahunanlah. Jadi, masih anak SD. Bayangkan, mereka sudah doyan mabok lem, enggak tahu kalau sudah gede," dengan antusias Mas Tomo bercerita tentang 'temuanya' di pagi hari pinggir Pantai Losari. Bang Amsarizal pun ikut berkomentar. Kata dia, itulah sisi lain Makassar yang buram. Ini fenomena gunung es, karena tak hanya terjadi di Kota Makassar saja, tapi kisah-kisah seperti itu jamak terjadi di pinggiran Makassar. " Memprihatinkan memang," katanya. " Nanti dibuat berita Mas?" saya bertanya ke Mas Tomo. " Oh ya, ini menarik Gus untuk jadi berita," kata Mas Tomo. Rajinnya Mas Tomo, subuh hari sudah dapat berita. Dua berita pula. Satu berita tentang anak kecil mabok lem, satunya lagi tentang penjual kue pancong. Benar-benar wartawan senior yang militan memang. #Dimuat di Indonesiana.tempo.co, Jumat, 19 Februari 2016 Kisah Seorang Wartawan dengan Tifatul Sembiring Namanya Nurul Huda. Sekarang dia adalah anggota DPRD di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Ia jadi legislator dari PKB, partai yang sekarang dinakhodai Cak Imin atau Muhaimin Iskandar. Dulu, sebelum jadi wakil rakyat, Nurul- demikian panggilannya-adalah seorang wartawan, tukang cari berita. Saya mengenalnya, saat ia masih jadi wartawan di harian Berita Kota, sebuah media yang terbit di Jakarta. Koran ini, kemudian dibeli oleh Grup Kompas. Nah, saat masih jadi wartawan Berita Kota itu, saya kerap bertemu dengan Nurul di medan liputan. Maklum, sama-sama liputan soal politik, jadi sering bersua muka, baik di acara diskusi, maupun di acara-cara lainnya. Di Komisi Pemilihan Umum, intensitas pertemuan saya dengan Nurul yang paling sering. Nurul juga oleh tempatnya bekerja ditugaskan untuk meliput di KPU. Saat itu jelang pemilihan umum 2009. Komisi yang kantornya ada di Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat itu jadi pusat tujuan para wartawan yang meliput segala tetek bengek pemilu. Nurul orangnya lucu, bahkan cenderung terlalu pede atawa percaya diri. Ngobrol dengan Nurul, selalu ada gelak. Ia pintar memancing tawa seseorang. Tabungan cerita humornya segunung. Selalu saja ada joke yang ia ceritakan kala bertemu dan ngobrol ngalor ngidul. Nah, ada cerita menarik tentang Nurul yang saya dapatkan dari Vidi, wartawan Sinar Harapan. Vidi bercerita suatu waktu, dia dan beberapa wartawan asyik mengobrol di teras gedung Media Center KPU. Sore itu, tugas menulis berita telah kelar. Vidi dan beberapa wartawan pun memutuskan ngobrol ngalor ngidul sambil menyeruput kopi yang dipesan dari warung Mas Jangkung yang ada di kantin KPU. Tiba-tiba Nurul datang, dan langsung gabung mengobrol. Di tengah lagi-lagi asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba Nurul berkata, " Mau tanggapan dari Tifatul Sembiring enggak soal pendaftaran partai?" Semua kompak menjawab. Tifatul yang dimaksud Nurul, adalah mantan Presiden PKS. Saat itu, Tifatul masih menjadi Presiden PKS. Kata Vidi, Nurul sebelum dia menelpon Tifatul, mengatakan bahwa dia sudah akrab dengan Presiden PKS itu. Bahkan katanya, bisa dikatakan dekat. Istilahnya, di mana pun, kapan pun dan sedang apa pun, bila dia menelpon Tifatul atau kirim SMS, pasti diangkat dan dibalas. Ya, saking akrabnya. Nurul pun langsung mengeluarkan teleponnya. Vidi ingat, telepon Nurul adalah Nokia Communicator. Saat itu, telepon genggam jenis itu, jadi favorit para wartawan. Mulailah ia pencet nomor Tifatul. Oleh Nurul telepon di loud speaker, sehingga semua bisa dengar. Setelah beberapa saat, telepon nyambung. Nurul pun mulai membuka wawancara. " Assallamu'alaikum Bang Tifatul. Apa kabarnya. Bisa minta tanggapan?" begitu Nurul memulai wawancara setelah teleponnya diangkat oleh Tifatul. Terdengar Tifatul menjawab. " Walaikum salam, ini siapa?" Mendengar jawaban Tifatul, Nurul langsung menyahut dengan pedenya. " Ini Nurul bang. Nurul Berkot, Berkot, Berkot bang." Berkot yang dimaksud adalah akronim dari Berita Kota, tempat Nurul bekerja. Tak lama Tifatul kembali menjawab. " Nurul Berkot mana ya, tak kenal saya." Kata Vidi, ketika itu wajah Nurul langsung berubah. Dengan suara keras, Nurul langsung berkata. " Ya sudahlah kalau abang tidak kenal saya. Tidak jadi saya minta tanggapan. Assalamu' alaikum." Menurut cerita Vidi, setelah mengucapkan itu, Nurul langsung menutup telepon. Wawancara minta tanggapan pun tak jadi. Semua yang menyaksikan itu bengong. Sampai kemudian ada yang nyeletuk. " Gila lu Rul, main tutup saja." " Biar saja, sudah sombong Tifatul," kata Nurul dengan entengnya. #Dimuat di Indonesiana.tempo.co, Sabtu, 20 Februari 2016 Neng Citata Pernah Kawin, Emangnya Kenapa? Lagu "Sakitnya Tuh Disini", memang fenomenal. Lagu yang dicipta Tjahjadi/ Ishak awalnya tak begitu populer. Tapi setelah lagu yang dinyanyikan Neng Cita Citata itu masuk sebagai lagu sinetron Diam-diam Suka yang tayang di SCTV, Sakitnya Tuh Disini mulai meledak, hingga jadi lagu yang banyak disukai banyak kalangan. Bahkan sampai-sampai anak kecil pun banyak yang hapal luar dalam lagu beserta gaya tariannya. Beberapa hari yang lewat, saya sekilas menonton sebuah acara infotainment yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta di negeri ini. Salah satu berita utama dari acara infotainmen itu membeberkan kisah masa lalu Neng Cita Citata, pelantun lagu Sakitnya Tuh Disini. Masa lalu yang diberitakan tentang masa lalu Neng Cita Citata, adalah artis dangdut yang tiba-tiba langsung melesat tenar itu pernah kawin. Neng Cita Citata yang sedang didekati desainer Mas Ivan Gunawan ini, diceritakan pernah kawin pada usia 18 tahun. Di beritakan pula, pernyataan dari 'suaminya' Neng Cita Citata, Galih Purnama Eli alias Ijonk, yang tak terima Neng Cita Citata tak mengakui pernikahannya. Ya, efisodenya masa lalu Neng Cita diblejeti lengkap dengan bumbu-bumbunya. Sampai-sampai masa lalu bahwa Neng Cita pernah kerja sebagai gadis pemandu karaoke ikut diberitakan. Mungkin karena terus diberitakan, Neng Cita akhirnya angkat suara. Ia mengakui bahwa dirinya memang pernah nikah atau kawin. Kata Neng Cita, ia nikah dengan Mas Ijonk pada usia 18 tahun. Berita tentang Neng Cita tak lantas berhenti usai pengakuan jujurnya. Tapi terus makin ramai. Di kanal berita artis portal-portal berita, kisah kawinnya Neng Cita tak kalah ramai. Pendek kata Neng Cita seakan dipojokan ramai-ramai, hanya karena ia pernah menikah pada usia 18 tahun. Bahkan, tak ada pernyataan Neng Cita, para pencari berita artis seperti ingin terus meramaikan kisah kawinnya Neng Cita. Kali ini, mereka meminta komentar-komentar dari para artis dangdut. Saya pernah menyaksikan tayangan pernyataan Mas Saiful Jamil, eks suaminya Mbak Dewi Persik mengomentari pengakuan Neng Cita. Mas Saiful merasa salut Neng Cita mau jujur mengakui. Mas Saiful seperti sedang menerapkan slogan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa berani jujur itu hebat. Saya kira pola pemberitaan Neng Cita Citata, sama persis dengan pola pemberitaan dari dunia politik. Biasanya, ketika keluar sebuah kebijakan atau ada pernyataan entah itu dari elit partai, menteri atau presiden yang kontroversial, suara para pengamat akan dipinjam menanggapi itu. Bahkan, digelar diskusi-diskusi untuk menelaah lebih dalam kebijakan atau pernyataan kontroversi itu. Apa dampaknya, seperti apa perkiraan di masa datang, dibedah dari berbagai sisi. Bedanya, berita dari dunia infotaiment terkait dengan kisah-kisah personal, seperti yang dialami Neng Cita Citata yang diberitakan ramai-ramai hanya karena pernah nikah. Tidak ada, tindaklanjut berita yang bisa dikaitkan dengan kepentingan publik, misal apa dampaknya bagi penonton pemberitaan yang mengumbar cerita pribadi seorang public figur yang kebanyakan mengungkap aib. Kalau memang Neng Cita pernah nikah, emangnya kenapa. Saya kira tak ada yang salah, bila seseorang itu pernah nikah lalu kandas. Mungkin, menjadi berita yang bisa dijadikan pelajaran bila berita di program infotainment membedah dampak kawin muda. Atau membedah, penyebab dari banyaknya perceraian yang diakibatkan perkawinan usia muda. Apakah ada keterkaitan nikah di usia dini, dengan potensi perceraian? Apakah nikah usia dini itu tepat? Atau berapa sebenarnya usia yang ideal untuk mengarungi bahtera rumah tangga? Saya kira berita yang membedah itu lebih banyak mengandung pelajaran. Setidaknya ada yang didapat dari pemberitaan kawin cerai para artis. Tentu, narasumbernya jangan artis lagi, tapi mereka yang kompeten dibidangnya, bisa ia seorang psikolog, pemerhati sosial dan lain-lain. Namun ternyata saya tak dapatkan itu. Yang saya dapatkan, ya seputar Neng Cita yang pernah kawin. Neng Cita pernah kawin, sekali lagi menurut saya bukanlah sebuah kesalahan. Yang salah itu, bila perkawinan Neng Cita itu pakai duit haram misal dari hasil korupsi. Atau Neng Cita pernah terima 'gratifikasi' dari pejabat, baru itu keliru. Tapi kalau Neng Cita pernah kawin, apa salahnya. Toh, banyak yang nikah kemudian cerai. Dan, kalau misalnya Neng Cita ingin orang lain tak tahu pernikahannya, saya kira itu juga tak salah. Karena itu ranah pribadinya Neng Cita. Jelas itu bukan urusan saya, atau itu urusan sampean atau anda-anda sekalian. Kecuali jika pernikahan Neng Cita itu 'merugikan publik', baru saya dan juga yang lain berhak ikut mengomentari, karena ada kepentingan khalayak ramai yang dilanggar. Contoh tentang itu saya kira bisa kita dapat dari tayangan proses kelahiran anaknya Mas Anang Hermansyah dan Mbak Ashanty yang menuai kritikan publik. Tayangan itu menurut saya wajar dikritik. Contoh lainnya adalah tayangan pernikahan Mas Rafly Ahmad yang juga mendapat protes orang ramai. Itu pun menurut saya wajar saja diprotes. Karena tayangan kelahiran anak Mas Anang dan nikahan Mas Rafly itu pakai frekuensi publik, yang tak bisa semena-mena dipakai untuk acara yang sifatnya personal. Tapi sudahlah, kita ini hanya pemirsa yang dipaksa para pemilik televisi untuk menelan budaya 'kepo' yang remeh temeh. Setiap hari kita dijejali tontonan yang mengumbar aib pribadi seseorang. Pada akhirnya wajar pula, bila kemudian lahir generasi penggosip di negeri ini. Mau apalagi, seperti itulah kenyataannya. #Dimuat di Ciricara.com, 27 Desember 2014 Kangen yang di Rumah Tiap dapat tugas meliput ke luar Jakarta, apalagi luar Jawa, penyakit yang menyiksa adalah kangen orang rumah. Apalagi, kalau malam tiba, menjelang menjemput tidur, ada yang hilang. Tak ada suara istri yang mengingatkan, agar saya memimpin doa tidur. Tak ada rengekan, si kecil, jagoan hati, yang meminta susu. Untungnya, ada telepon genggam, benda mungil itu adalah pengobat juga penyelemat bagi buncahnya rasa kangen pada orang rumah. Maka berterima kasihlah, pada penemu telepon, juga telepon genggam. Karena dialah, yang membuat jalinan cinta yang direntang jarak, tetap bertaut. Jarak diringkas tanpa batas lagi. Mulailah, saya berkirim pesan pendek ke istri, tanya kabar, juga keadaan si kecil, tak lupa pula melapor kegiatan yang dilakukan di tempat liputan. Sampai, makan dengan apa, suasana hotel, dengan siapa satu kamar, dan lain-lain, jadi menu penglepas kangen. Sang istri nun jauh disana juga bercerita, tentang tidur yang tak ditemani, masak apa hari ini, dan menceritakan detil kegiatan apa yang dilakukan si kecil. Malam menjelang mengatup mata, tangan langsung menjangkau telepon seluler. Hasrat ingin mendengar suara istri tercinta, juga minta diperdengarkan celotehan si kecil. Kangen itu pula, yang membuat saya merasa hidup itu berharga. Adakalanya kita pergi, tapi dengan kangen itu, kita tahu kemana mesti pulang. Ke rumah, ke pelukan istri dan si buah hati, kesana kita pulang meluruhkan semuanya. Malam semakin larut, tapi mata tak jua kunjung terpejam. Kantuk susah dijemput. Mungkin pengaruh kopi yang diseruput tadi setelah isya. Pikiran melayang. Setel televisi, mungkin dengan itu kantuk datang. Tapi tetap saja, kantuk tak juga hinggap memberat mata. Padahal mulut sudah menguap beberapa kali. Biasanya, kalau kantuk susah datang, buku jadi teman. Tapi, kali ini saya lupa, memasukan buku dalam tas. Biasanya kalau bepergian, buku tak pernah lupa jadi bawaaan. Alhasil lamunan, yang melalang kemana-mana. Rumah menjadi tema lamunan. Ingatan banyak tentang istri dirumah. Pasti kalau sudah larut begini, ia sudah pulas. Si buah hati juga, pastinya sudah didekap mimpi. Ah, kok sentimentil begini. Tak apalah, memang mestinya begitu. Jauh dari rumah, yang dingat adalah orang rumah. Doa di panjat, dan di eja dalam hati. Di ucap dengan harapan takzim, Tuhan lindungi semua orang-orang yang saya cintai. Selamat tidur istriku, dan anakku. Doa ayah, menyertai mimpi indahmu. #Dimuat di Kompasiana.com, 26 Juli 2011 Tak Ada Makan Siang Gratis Di Pilkada Tak ada yang gratis dalam sebuah konstetasi politik, seperti pemilu atau Pilkada. Terutama dalam Pilkada. Apalagi bila jabatan kepala daerah yang diperebutkan itu ada di daerah yang basah, seperti Jakarta misalnya. Status Jakarta sebagai ibukota, adalah nilai tambah dari kota itu dibanding daerah lain. Dan menjadi orang nomor satu di ibukota tentu prestisenya lain, apalagi bila melihat APBD-nya yang terbesar diantara provinsi lain di Indonesia. Maka, tak heran, bila Pilkada ibukota seperti magnet bagi para politisi. Faktanya, kepala daerah dari luar Jakarta, sampai dibela-belain mempertaruhkan jabatan yang sedang disandangnya demi bisa terpilih jadi "meneer" ibukota. Tapi bukan perkara gampang menjadi "meneer" ibukota. Biaya politik pun tidaklah murah. Apalagi ini menyangkut daerah dengan prestise dan nilai tambah yang beda dengan daerah lainnya. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, pernah mengatakan, bila ingin jadi gubernur harus sedia banyak rupiah. Minimal antara 30 hingga 60 milyaran harus disediakan di kantung. Saya pernah mewawancarai Alex Noerdin, Gubernur Sumatera Selatan, usai dia menghadiri acara silahturahmi dengan calon gubernur yang digelar di Hotel Pullman, Jakarta Pusat. Alex memang berniat maju di Pilkada DKI. Bahkan selangkah lagi Alex yang berpasangan dengan Nono Sampono, melenggang ke gelanggang. Alex dan Nono, didukung Golkar, PPP, PDS dan puluhan partai kecil yang tak punya kursi di DPRD Jakarta. Saat itu saya menanyakan tentang dana yang ia siapkan menghadapi persaingan memperebutkan kursi DKI-1. Alex, saat itu menjawab, maju Pilkada itu perlu duit. Jadi Pilkada bukan hajatan gratis. Atau dalam kata lain, tak ada makan siang gratis di Pilkada. Alex memang coba berkelit, tak mau menjawab secara jelas berapa rupiah yang ia siapkan menghadapi Pilkada. Pun saat saya pancing dengan jumlah rupiah versi Mendagri yang menyatakan, seorang calon gubernur harus sedia dana 60 milyar, Alex tetap menghindar untuk menyebut angka dana politiknya. Kata Alex, jika Mendagri mengatakan harus sedia 60 milyar, lebih baik tanyakan saja ke Mendagri. " Itu kan kata Mendagri," kata Alex. Begitu pun saat ditanya tentang isu uang mahar sebesar 20 milyar yang ia berikan kepada PPP untuk mendapatkan dukungan, Alex tetap coba berkelit. Dan menjawab setengah bercanda. " Ah, kok dikit banget. Enggaklah. Tapi yang pasti butuh duitlah," katanya. Namun, Alex berjanji, ia akan transparan. Termasuk soal berapa biaya kampanye nanti. " Ya kan di audit, kita akan akan transparan," katanya. Tawa Alex terbahak-bahak, ketika ada wartawan menanyakan, bahwa untuk menghadapi Pilkada, ia dan timnya sudah menyiapkan dana hingga 1 trilyun. " Kalau punya duit 1 trilyun, buat apa susah-susah jadi gubernur," kata dia. Saat saya hendak pulang, di pelataran hotel, nampak rombongan Alex juga hendak bergegas pergi. Alex terlihat masuk mobil sedan Toyota Camry yang mengkilap dan kinclong. Di depannya polisi dengan motor besar siap mengawal Alex. Bunyi sirine pun terdengar, polisi dengan motor besarnya melaju duluan, baru setelah itu mengekor mobil Camry yang ditumpangi Alex, membelah jalanan ibukota yang mulai merayap macet. #Dimuat di Kompasiana.com, 9 April 2012 Drama Rebutan Tiket Pilkada Senin tengah hari, seorang konsultan politik yang enggan disebut namanya pada saya, mengeluh tentang kelimpungannya partai di Pilkada DKI. " Gila ini," katanya. Calon gubernur sudah didapat, tapi wakil sampai tiba waktu pendaftaran belum dipastikan. Semua kelimpungan, kata dia, menceritakan suasana di sebuah partai besar yang akan maju ke gelanggang Pilkada DKI. " ‎​Semua orang masih pusing masalah pendaftaran," ujarnya. Sementara itu, di Jalan Tebet, kantor DPD PDI-P Jakarta, suasananya dari pagi hingga siang nampak ramai dan hiruk pikuk. Kader partai berlambang banteng gemuk itu nampak sudah berkerumun sejak pagi. Mereka menunggu kepastian pendaftaran duet calon gubernur dan wakil gubernur ibukota yang diakan di usung koalisi PDI-P dan Gerindra. Wajah-wajah lelah dan bingung mendominasi kerumunan kader di kantor DPD PDI-P. Mereka wajar bingung, sebab 9 Maret 2012, adalah tenggat terakhir pendaftaran calon DKI-1 dan DKI-2 ke KPU. Maka wajar ada kecemasan, karena hingga menjelang tenggat, calon pendamping Joko Widodo atau akrab di panggil Jowoki yang sudah diputuskan sebagai calon gubernur belum di dapatkan. Robert, simpatisan PDI-P, mengaku datang sejak pagi hari. Ia mengaku ingin ikut mengantar pasangan calon yang akan di usung partainya. " Tapi wakilnya belum ada katanya," ujar Robert. Tapi penantian Robert dan simpatisan PDI-P lainnya yang sudah menunggu di kantor PDI-P, akhirnya berbuah jawaban. Sore hari sekitar pukul 15.00 Wib, didapat kepastian bahwa Joko Widodo akan dipasangkan dengan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. " Ir Joko Widodo dan cawagub Basuki Tjahja Purnama sudah kita umumkan di DPD PDI-P oleh Sekjen PDI-P dan Gerindra," kata Sekjen PDI-P, Tjahjo Kumolo. Dipilihnya Ahok mengakhiri drama rebutan tiket calon DKI-2 dari koalisi PDI-P dan Gerindra yang sempat alot dan berlarut-larut sejak kemarin. Sebelumnya nama Ahok sempat ditolak, karena Ahok masih tercatat sebagai kader Golkar, bahkan di DPR, Ahok menduduki posisi di Komisi II Fraksi Partai Golkar. Sempat dimunculkan nama alternatif, Adang Ruchiatna dan Boy Sadikin untuk mengganti Ahok. Namun, Gerindra ngotot untuk tetap mencalonkan Ahok. Akhirnya sore hari, kompromi disepakati, Jokowi berduet dengan Ahok. Ahok sendiri mengaku sudah hijrah ke Gerindra, dan telah melayangkan surat pengunduran diri pada Partai Golkar, baik sebagai kader maupun anggota DPR. " Saya sudah pegang KTA Gerindra," tegas Ahok via layanan blackberry messenger. Wasekjen Partai Golkar, Nurul Arifin via pesan pendek yang saya terima menegaskan, pasti akan ada sanksi bagi Ahok yang loncat perahu. Pemecatan bagi Ahok tinggal di ketok palu. Petang sekitar pukul 17.00 Wib, pasangan Jokowi-Ahok, dengan diantar ratusan simpatisannya mendaftar ke KPUD DKI Jakarta. Keduanya dengan berjalan kaki mendaftar ke kantor KPUD Jakarta. Tak pelak, iring-iringan jawara PDI-P-Gerindra, membuat macet arus lalu lintas. Bahkan Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, sampai menyempatkan datang ke kantor KPUD DKI Jakarta, di jalan Budi Kemulyaan. Panasnya rebutan tiket juga terjadi di kubu koalisi Golkar, PPP dan PDS yang mengusung Alex Noerdin-Nono Sampono. Sempat muncul riak dari kawan koalisinya yakni PPP yang kurang begitu menerima dipilihnya Nono Sampono sebagai teman duet Alex. Awalnya memang PPP menyodorkan nama Ketua DPW PPP Jakarta, Lulung Lunggana, sebagai calon pendamping Alex. Namun akhirnya yang dipilih adalah Nono. Internal Golkar sendiri memang seusai rapat di kediaman Aburizal Bakrie, Ketua Umum Golkar, yang memastikan nama Alex sebagai calon gubernur, mengisyaratkan wakil Alex dari kalangan tentara. Ketua Bappilu Golkar, Ade Komaruddin saat saya hubungi via telepon mengungkapkan keinginan menduetkan Alex dengan tentara datang dari Alex sendiri. Maka dapatlah nama Nono. Tapi dipilihnya Nono, pensiunan bintang tiga marinir sempat memicu kekecewaan politisi PPP, karena dengan begitu nama Lulung Lunggana, yang awalnya di ajukan sebagai calon pendamping Alex di coret dari bursa. Beberapa elit PPP sempat meradang. Nono bukan kader PPP, tegas Wakil Sekjen PPP, Joko Purwanto lewat sambungan telepon. Dan PPP, tegas Joko mencalonkan Lulung sebagai pendamping Alex. Tapi sepertinya kompromi disepakati, Alex tetap maju bersama Nono. Meski resistensi tak begitu saja padam sempurna. Tak hanya itu, diduetkannya Alex-Nono, bahkan sudah memakan korban. Ketua PDS Jakarta, Syahrianta Tarigan, di copot tiba-tiba, karena lebih mendukung Fauzi Bowo. Sementara pengurus pusat PDS, bulat mendukung Alex-Nono. Denny Tewu, Ketua Umum PDS, via siaran persnya yang dikirimkan lewat email, mengumumkan bahwa posisi Ketua PDS Jakarta kini di jabat, Gideon Mamahe. Sepertinya petinggi PDS terbelah, karena tak hanya Syahrianta yang mendukung Foke, tapi juga Sekjen PDS. Tapi pencopotan tak bisa dihindari, karena bila tak dicopot, tentu ancaman bagi keabsahan duet Alex dan Nono. Sebab pencalonan mesti ada tanda tangan dari ketua partai setempat. Jika PDS Jakarta mendukung Foke, tentu pencalonan Alex-Nono bisa bubar. Karena kursi PDS adalah pelengkap syarat untuk bisa memajukan pasangan calon. Alex dan Nono sendiri sudah mendaftar resmi ke KPUD DKI Jakarta, pada hari Minggu 18 Maret 2012. Suasana serba gamang juga menimpa PKS. Partai kader itu sebenarnya punya modal politik yang sama dengan Demokrat, bisa maju gelanggang Pilkada tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Namun sampai tenggat terakhir pendaftaran, belum juga memutuskan siapa yang akan di usung. Bahkan lebih parah lagi, calon gubernur yang belum dipastikan. Sempat mencuat nama Triwisaksana atau biasa dipanggil Bang Sani. Bahkan Bang Sani, sudah mendeklarasikan diri siap jadi calon DKI-1 dari PKS. Tapi petinggi PKS belum mengiyakan, bahkan masih mencoba mendekati Fauzi Bowo, tapi sepertinya buntu juga. Lalu muncul nama Hidayat Nurwahid, mantan Ketua MPR dan juga bekas Presiden PKS. Tapi Hidayat sendiri mengisyaratkan kurang berminat maju Pilkada. Partai kader pun gamang. Bahkan, sampai petang, 9 Maret 2012, ketidakpastian tetap melanda PKS. Partai kader itu sampai petang terlewat, masih belum memutuskan siapa yang bakal di usung, padahal PKS sebenarnya bisa maju sendiri tanpa perlu berkoalisi. Namun kekalahan pada Pilkada 2007, saat PKS maju sendiri mencalonkan Adang Daradjatun-Dani Anwar mungkin menjadi pelajaran berharga. Maka, di Pilkada 2012 ini, PKS getol mencari kawan koalisi. Sempat mendekati Foke, tapi kemudian mentah. Para elit PKS pun mulai kelimpungan, dengan kian mepetnya waktu. Sampai menjelang magrib, 9 Maret 2012, partai kader itu masih mengkotak-katik beberapa skenario, salah satunya menduetkan Hidayat Nurwahid dengan Didik J Rachbini kader PAN. Artinya PKS coba merangkul PAN. Tapi itu pun masih skenario mentah. Setidaknya itu yang diungkapkan Yudi Yudiana, salah seorang petinggi PKS. " Pasangan ini masih dimatangkan," kata Yudi. Namun sepertinya, tak mudah untuk menggolkan nama Hidayat Nurwahid. Karena mantan Ketua MPR itu, kurang begitu berminat dengan pencalonannya sebagai gubernur DKI. Kubu PAN sendiri, hingga lepas magrib masih belum memutuskan pada siapa dukungan diberikan. Apakah akan merapat ke PKS, atau mendukung Foke yang diusung Demokrat. " Ini lagi meeting dengan Bang Hatta (Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN-red), bentar ya nanti hubungi lagi. Sebentar lagi mungkin ada kejutan," kata Ketua DPP PAN, Bima Arya Sugiarto, saat saya dihubungi lewat telepon. Pukul 19.57 Wib, Bima Arya kembali menghubungi saya. Kata Bima rapat partai yang dipimpin Hatta, memutuskan suara PAN diarahkan ke Foke-Nachrowi. Artinya PAN berkoalisi dengan Demokrat. Namun yang menarik, Bima juga menginformasikan bahwa PAN juga merestui Didik J Rachbini maju bersama Hidayat Nurwahid lewat PKS. " Mas Didik tetap maju dengan Hidayat Nurwahid," kata Bima. Suasana mendebarkan juga terjadi di Partai Demokrat. Bahkan debar politik sudah berdegub sejak jauh-jauh hari, dimana dua nama bersaing untuk mendapatkan tiket Demokrat, yakni Nachrowi Ramli (Ketua DPD Demokrat Jakarta), dan Fauzi Bowo, incumbent sekaligus anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Tapi di menit terakhir, menjelang pendaftaran mengerucut pada satu nama: Fauzi Bowo. Bahkan sehari menjelang pendaftaran sudah beredar kabar yang di picu oleh pernyataan Anas Urbaningrum, Ketua Umun Partai Demokrat, bahwa calon DKI-2 yang akan mendampingi Foke adalah Adang Ruchiatna. Tapi di hari itu juga pernyataan Anas dimentahkan oleh Adang sendiri yang merasa namanya di catut. Sampai tengah hari 19 Maret 2012, Demokrat belum memastikan siapa pendamping Foke. Seorang tim sukses Nachrowi, Kahfi Siregar, dalam status BBM, menuliskan Foke-Nara, sebelum janur kuning melengkung. Artinya bisa jadi duet Foke- Nachrowi (Nara) yang akhirnya di usung Demokrat. Sebelumnya Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY, kemarin malam, sampai harus mengumpulkan semua petinggi partainya di Cikeas. Meski kata Anggota Dewan Pembina, Ahmad Mubarok, pertemuan Cikeas tak spesifik membahas Pilkada DKI. Tapi event politik yang paling dekat dan strategis adalah Pilkada DKI, maka tak mungkin rasanya bila Pilkada tak jadi bahasan di Cikeas. Tapi hingga pukul 19.00 Wib, Senin 9 Maret 2012, belum ada kejelasan siapa yang bakal mendampingi Foke yang sudah dipastikan bakal di usung partai pemenang pemilu 2009 itu di Pilkada DKI. Beberapa nama beredar sebagai calon duet Foke, mulai dari Wanda Hamidah (Politisi PAN), Nachrowi Ramli (Ketua DPD Demokrat Jakarta), sampai Aviliani (Ekonom). Demokrat dalam Pilkada DKI bisa maju sendiri, tanpa perlu berkoalisi. Namun tak mudah ternyata untuk memutuskan siapa calon DKI-1 dan DKI-2. Bahkan untuk menentukan calon DKI-1 saja berlangsung alot. Dua nama bersaing, Foke dan Nachrowi. Tapi majelis tinggi Demokrat memutuskan Foke sebagai calon gubernur DKI. Akhirnya, siapa yang menjadi pendamping Foke, terjawab sudah. Demokrat memilih Nachrowi sebagai calon DKI-2 mendampingi Foke. Ahmad Mubarok, salah seorang petinggi Demokrat memastikan itu. Kata Mubarok, saat dihubungi, duet Foke-Nachrowi sudah mendapat restu Cikeas. Di last minute juga, PKS menjawab teka-teki skenario duet calon yang di usung partai kader tersebut. Partai kader itu akhirnya mengusung Hidayat Nurwahid-Didik J Rachbini. Dengan begitu nama Triwisaksana, Politisi PKS yang selama ini getol mempromosikan diri tersingkir dari bursa di menit terakhir. Padahal Bang Sani, demikian panggilan Triwisaksana sudah mendeklarasikan diri sebagai calon gubernur. Sayang memang di menit terakhir PKS justru mengusung orang lain. Dengan begitu ada enam pasangan calon yang akan bersaing di gelanggang Pilkada DKI. Pertama dari jalur independen ada dua pasangan calon, yakni Faisal Basri-Biem Benyamin dan Hendardji-Ahmad Riza Patria. Kedua dari jalur partai ada empat pasangan calon, yaitu Foke Nachrowi, Jokowi-Ahok, Alex-Nono dan Hidayat Nurwahid-Didik J Rachbini. Di mata Direktur Eksekutif, Seven Stretegic Studies, Mulyana W Kusumah, pencalonan di menit terakhir, hanya menggambarkan ketidaksiapan partai menghadapi Pillkada. Partai tak punya format seleksi yang baku, hingga di menit terakhir menentukan calon. " Ini menunjukkan ketidaksiapan politik dari partai dalam menyeleksi dan menentukan kandidat gubernur. Sehingga baru dapat memutuskan menjelang saat-saat akhir pendaftaran calon gubernur dan wakilnya," kata Mulyana. Ia khawatir, penentuan calon di menit terakhir dasarnya hanya spekulasi-spekulasi. Bisa jadi justru itu hanya menjadi awal dari bunuh diri politik. " Karena bertarung tanpa persiapan memadai dengan kualifikasi yang meragukan untuk memimpin pemerintahan Jakarta ke depan," kata dia. Padahal Gubernur Jakarta ke depan, katanya, selain harus memiliki kapasitas teknoratik juga memerlukan figur yang teruji secara politik. Dan diakui luas mempunyai kemampuan leadership. " Sebab Jakarta berbeda dengan kepemimpinan lokal biasa," ujar Mulyana. #Dimuat di Kompasiana.com, 20 Maret 2012 Jenderal Moeldoko 'Never' Pensiun Wartawan juga manusia, kadang lupa, kadang salah, kadang pula keliru, terutama menulis nama. Karena itu benar kata orang-orang bijak, bahwa perjuangan yang maha berat itu, adalah perjuangan melawan lupa. Lupa, harusnya haram bagi wartawan. Ingatan wartawan mesti harus terus segara bugar. Tak boleh kadaluarsa, apalagi sampai ketinggalan update informasi. Bisa berabe bro, begitu kata kawan saya. Nah saya punya kisah tentang ingatan wartawan yang kadaluarsa alias lupa, alias pula tak update. Banyak sebab memang, kenapa kemampuan update informasi sirna. Boleh jadi, karena diburu deadline, lalu terburu-buru menulis berita. Cek dan ricek pun diabaikan. Padahal, itulah jantungnya berita. Kembali ke kisah wartawan yang lupa perkembangan. Awal Desember 2015, ada acara penting di Kementerian Dalam Negeri. Acaranya, peluncuran buku Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang berjudul " Politik Hukum Pilkada Serentak". Banyak tokoh penting yang datang di acara peluncuran buku yang dilakukan di ruang Sasana Bhakti Praja, nama salah satu ruang pertemuan yang ada di komplek kantor Kementerian Dalam Negeri. Tokoh-tokoh penting yang hadir, antara lain, Jenderal Gatot Nurmantyo, Panglima TNI, Komisaris Jenderal Budi Waseso, Kepala Badan Nasional Narkotika dan beberapa petinggi lembaga negara. Nah, usai acara peluncuran buku, seperti biasa para wartawan langsung memburu para tokoh. Kebetulan saat itu lagi hangat kasus penembakan tentara di Papua. Maka Jenderal Gatot pun jadi target buruan untuk dimintai tanggapannya. Singkat cerita, setelah itu beberapa wartawan langsung menuju ke ruangan dekat ruang kerja Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri. Ruangan ini, biasa jadi basecamp para wartawan yang ngepos liputan di kementerian tersebut. Saya sendiri, agak santai mengetik berita. Lain halnya dengan Carlos, wartawan Suara Pembaruan. Ia mengetik berita dengan speed yang jauh lebih trenggina daripada saya. Maklum dia juga harus mengisi berita untuk Beritasatu.com, yang satu grup dengan Suara Pembaruan. Terlihat Carlos menarik nafas legas. Sepertinya ia telah selesai menulis berita. Badannya pun agak direbahkan ke kursi. Dia pun ambil rokok. Lantas kembali mencakung laptopnya. Sepertinya ia mau mengecek, apakah beritanya sudah naik atau tidak. Ia ternyata mengecek kembali berita yang barusan ditulisnya. Tiba-tiba terdengar suaranya agak panik. " Waduh, kok Moeldoko yang saya tulis. Panglima TNI sekarang Gatot Nurmantyo kan?" kata Carlos. Ia pun langsung mengklik situs Beritasatu.com. Dan benar saja, di berita tentang tanggapan Panglima TNI atas penembakan di Papua, tertera dengan jelas, bahwa Panglima TNI masih Moeldoko. " Ah sialan, orang kantor juga asal naikan. Tidak dicek dulu," cerocos Carlos dengan nada kesal. Saya yang duduk didekatnya penasaran, lalu melongok ke layar laptop Carlos. Benar saja, tertulis Jenderal Moeldoko, bukan Jenderal Gatot Nurmantyo. " Ha.ha.ha, Jenderal Moeldoko ternyata tidak pernah pensiun," ledek saya pada Carlos. Sementara Carlos, langsung menelpon redakturnya, bahwa ada kesalahan dalam penulisan nama. " Iya ni kang, saya ingetnya masih Moeldoko jadi Panglima he.he.he," kata Carlos. Selang beberapa menit, Carlos melongok lagi layar laptopnya. Dan mengklik ulang berita tentang Panglima TNI. Ternyata, nama Moeldoko sudah hilang berganti Gatot Nurmantyo. Carlos pun menarik nafas lega. #Dimuat di Kompasiana.com, Selasa, 23 Februari 2016 Gadis-gadis Cantik Di Kantor Menteri Gedung Kementerian Dalam Negeri, sejak akhir tahun lalu, terus bersolek. Beberapa blok gedung direhab. Tembok-tembok kusam di kelupas, dan diganti dinding yang mengkilap. Bahkan sebagian ruangannya, dibongkar. Dinding beton di pugar diganti dinding kaca tebal. Kini, bagi yang kerap datang ke gedung tempat Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, berkantor akan merasa pangling. Suasana gedung tak lagi kaku. Terlebih setelah dinding beton di beberapa bagian gedung dipugar dan diganti kaca tembus pandang. Halaman parkir depan gedung utama juga tak luput untuk dipercantik. Paving block di pelataran depan lobi, yang biasa dipakai tempat upacara, di bongkar, diganti yang baru. Padahal, yang lama belum rusak betul, bahkan masih kukuh. Tapi agar seirama dengan pembaruan gedung, paving block pun di bongkar. Sekeliling pagar depan pelataran, yang tadinya hanya selesaran trotoar, kini sudah di naungi atap baja. Bersih tak seperti biasanya, berceceran sampah daun kering dan sisa bungkus rokok. Gedung kantor Mendagri memang sedang bersolek. Bukan hanya gedung, pintu pun diganti. Tak lagi pintu manual. Tapi pintu otomatis memakai kode buka tutup. Jadi tak sembarangan orang hilir mudik bisa masuk gedung. Jika ingin masuk, kalau tak punya kode, terpaksa menunggu penjaga membukakan pintu. Di lobi utama gedung, tempat dimana ruang kerja Mendagri berada, ada sebuah meja melingkar. Disana siaga pasukan pengamanan dalam atau biasa di sebut Pamdal. Pamdal inilah yang akan membukakan pintu, bila ada tamu bertandang dengan memencet tombol dibalik meja. Lumayan canggih memang, karena pintu akan terbuka otomatis bila kita ingin keluar. Tapi bila hendak masuk dan tak punya kode terpaksa harus menunggu kebaikan Pamdal, atau menunggu orang yang mau keluar, agar pintu bisa terbuka sendiri. Karena 'pintu canggih itu, yang ketiban repot adalah para pemburu berita alias wartawan yang biasa meliput di kementerian itu. Saya yang ditugaskan kantor sehari-hari meliput di sana, merasakan kerepotan itu. Biasanya, bila hendak masuk, tinggal menyelonong saja. Jika hendak 'menodong' pernyataan Mendagri, tinggal tunggu di lobi dalam. Tapi karena pintu sudah canggih, tak bisa lagi asal masuk. Lebih repot lagi, bila hendak masuk ke ruang humas, tempat wartawan biasa mengetik berita dan menumpang istirahat. Apalagi bila sore menjelang, dan berniat mengetik hasil liputan disana. Jika Pamdal masih ada, tinggal menunggu pencetan tombol. Tapi bila Pamdal sedang lowong, terpaksa menelpon office boy yang ada di dalam. Atau mengkontak teman, yang sudah di dalam ruang. Toilet dan wastafel di kamar mandi pun ikut diganti. Juga otomatis, tak lagi pakai kran manual, tapi memakai sensor. Agak sedikit repot bagi yang tak biasa, sebab air akan keluar dengan sensor. Misalnya wastafel, air bakal mancur jika tangan di sodorkan. Jadi tak akan ada lagi cerita lupa menutup kran. Namun yang membuat saya tertarik, bukan gedungnya yang dipersolek. Tapi kehadiran gadis-gadis cantik di belakang meja resepsionis. Di gedung B, misalnya, yang bersebelahan langsung dengan gedung utama, tempat kantor Mendagri berada, dibangun sebuah meja laiknya meja resepsionis di hotel berbintang dan kantor-kantor swasta. Depan meja resepsionis, ada ruangan tempat tanggu menunggu, lengkap dengan televisi flat berlayar lebar yang dipasang di dinding. Tapi yang bikin menarik mata adalah gadis-gadis resepsionisnya yang cantik-cantik. Depan pintu masuk, ada meja dengan seorang Pamdal sigap menunggu. Tamu yang datang, harus diperiksa dulu pakai tongkat deteksi seperti di hotel-hotel mewah. Kembali ke gadis-gadis cantik itu. Mereka akan menyambut para tamu yang datang dengan senyuman manisnya. Dan akan menyapa menanyakan keperluan tamu dengan tutur kalimat yang ramai teratur. Datang kesana, terasa bukan berkunjung ke kantor pemerintahan yang biasanya kesan kaku birokratis yang tampak. Tapi seperti datang ke sebuah hotel atau kantor perusahaan bonafid. Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek, mengatakan perubahan itu agar pelayanan publik di kementerian lebih baik lagi. Tidak kaku, dan birokratis. Tapi lebih ramah dan profesional. #Dimuat di Kompasiana.com, 9 Maret 2012 Sudah Cape-cape Mencatat, Off The Record Pula... Bagi wartawan, dapat berita ekslusif mungkin kebahagian tersendiri. Apalagi, bila berita itu berisi informasi yang selama ini tak diketahui publik. Tentu, itu ibarat dapat durian runtuh. Bisa dikatakan, disitulah kepuasan membuat berita di dapatkan. Namun, yang menjengkelkan bila informasi yang didapat itu, tiba-tiba jadi informasi off the record, alias informasi yang tak boleh dipublikasikan. Nah, kalau begitu lumayan bikin dongkol. Tapi mau apalagi, bila sudah diminta narasumber, infonya itu off the record, wajib hukumnya wartawan untuk tak mempublikasikannya. Nah soal ini, saya pernah mengalami beberapa kali kisah berita yang off the record. Padahal, saya sudah cape-cape mencatat rinci, bahkan merekamnya. Tapi diujung pernyataan, narasumber menegaskan itu adalah off the record Suatu waktu saya mewawancarai seorang Dirjen di Kementerian Dalam Negeri. Panjang lebar Pak Dirjen, menguraikan penjelasannya tentang sebuah kasus. Ada beberapa wartawan yang ikut mewawancarai. Saya pun semangat mencatatnya. Maklum, apa yang diuraikan Pak Dirjen, sangat menarik. Dalam uraiannya, Pak Dirjen membumbui dengan contoh-contoh kasus nyata tentang penyelewengan anggaran di beberapa daerah. Saya pikir, ini bakal jadi berita menarik. Tiba-tiba saat wawancara hampir selesai, Pak Dirjen berkata," Eh, tadi yang saya omongkan off the record yah, jangan ditulis, untuk referensi saja." Mendengar itu, saya dan wartawan lain yang ikut wawancara langsung lemas. " Yahhh pak, kita sudah cape-cape mencatat off the record," kata saya. Pak Dirjen tersenyum. " Of the record yah," katanya kembali menegaskan permintaannya agar apa yang diomongkan itu jangan dipublish di media. #Dimuat di Kompasiana.com, Rabu, 24 Februari 2016 Kisah Wartawan Mensiasati Off The Record Soal informasi of the record, saya punya kisah menarik saat masih meliput di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kala itu, sedang hiruk pikuknya persiapan menjelang pemilihan umum 2009. Tentu, KPU jadi pusat perhatian, karena lembaga ini yang jadi penyelenggara pemilu. Dan, di tangan komisi pemilihan, nasib partai-partai ditentukan, apakah bisa lolos jadi peserta pemilu atau tidak. Saya masih ingat, ketika itu KPU sedang melakukan tahapan verifikasi partai. Dalam tahapan ini, ada verifikasi administrasi, juga verifikasi faktual. Lewat tahapan inilah, ditentukan sebuah partai lolos atau tidak. Nah, suatu waktu, saya dan beberapa wartawan mewawancarai salah satu anggota KPU. Saya masih ingat, anggota yang diwawancarai adalah Abdul Aziz. Wawancara dilakukan di ruang kerja Abdul Aziz. Nah, dalam wawancara itulah, ada informasi menarik yang diungkap Abdul Aziz, bahwa ada petinggi partai yang coba menyuap anggota KPU dengan sejumlah uang agar partainya bisa diloloskan. Setelah mengungkap itu, Abdul Aziz menjelaskan masalah lain. Tiba-tiba, salah seorang wartawan keluar. Ia pamit, hendak ke kamar mandi. Katanya kebelet buang hajat. Saya dan wartawan lain melanjutkan wawancara. Sampai tiba-tiba Abdul Aziz meminta, untuk informasi tentang adanya petinggi partai yang coba menyuap komisioner pemilihan, agar jangan ditulis, alias itu informasi off the record. Karena itu sudah diminta of the record, saya pun tak menuliskan berita itu. Tapi esok harinya, saya kaget, ternyata ada koran yang memuat itu. Koran yang memuat itu adalah media tempat si wartawan yang pamit ke kamar mandi itu bekerja. Komisi pemilihan pun geger. Abdul Aziz, uring-uringan, dan menyemprot para wartawan dan mempertanyakan kenapa informasi off the record dimuat juga. Si wartawan penulis berita itu pun dipanggil. Tapi si wartawan penulis berita off the record membela diri. Dia berdalih, tak mendengar permintaan Abdul Aziz bahwa itu off the record, karena ia sudah keluar ke kamar mandi. Jadi, ia tak tahu bila itu adalah informasi off the record. Saya yang mendengar itu hanya tersenyum. " Bener juga ya, dia tak dengar Aziz mengatakan itu off the record, wong dia sudah tak ada di tempat saat Aziz meminta itu tak boleh ditulis," kata saya dalam hati. #Dimuat di Indonesiana.tempo.co, Rabu, 24 Februari 2016 Hati-hati Dalam Menulis Berita Kerja wartawan bukan pekerjaan mudah. Wartawan tak sekedar membuat berita. Tapi, ada tanggung jawab yang harus ditegakan dari setiap informasi yang dibewarakan. Karena itu, ada kode etik jurnalistik. Ada UU Pers yang jadi 'pagar' kerja jurnalistik. Jadi, tak sekedar membuat berita yang sensasional, dengan judul yang bombastis. Tapi, fakta harus tetap diutamakan. Karena itu adalah nyawa berita yang dikabarkan. Sekali fakta dimanipulasi, atau diplintir, berita yang dipublikasikan akan bias. Sementara di satu sisi, harus diakui, media tak bebas kepentingan. Ruang redaksi pun, tak sepenuhnya independen. Kadang, pemilik modal, kerap ikut campur, menyelipkan pesan serta kepentingannya. Dalam kontek ini, jelas wartawan, si pencari informasi, dan penulis berita yang dituntut menjaga 'marwah' jurnalisme. Fakta, biarkan apa adanya. Tak boleh ditambah, apalagi diplintir. Jika kemudian, sebuah pernyataan narasumber 'diplintir', tak hanya itu menyakiti si pemberi informasi, tapi juga secara tak langsung kita menjejali ruang publik dengan informasi keliru. Lebih jauh, kita telah mencederai kaidah-kaidah jurnalistik. Karena itu, hati-hati dalam membuat berita. Jangan karena dikejar kecepatan, kesetiaan pada fakta di abaikan. Dalam peringatan puncak acara Hari Pers Nasional (HPN) 2016 di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Presiden Jokowi menyorot soal media yang semata mengejar rating, dan membuat sensasi. Judul-judul bombastis pun diumbar. Padahal, salah satu tugas media, sebagai pilar demokrasi, adalah menumbuhkembangkan optimisme publik. Bukan, kemudian membuat gaduh dan riuh dengan berita yang acapkali tak sesuai fakta atau berisi kabar yang diplintir. Media memang harus kritis, karena punya tugas untuk jadi 'anjing penjaga'. Namun, tetap saja kekritisan insan pers tetap berpijak pada fakta, bukan bertumpu pada isu dan gosip. Saya kira, pernyataan Presiden Jokowi ada benarnya. Salah satu jantung dari media, adalah setia pada fakta. Karena itu cek and ricek, adalah sebuah kewajiban yang tak bisa ditawar. Jangan, karena mengejar kecepatan, lantas itu diabaikan. Akhirnya, publik pun dijejali oleh informasi yang 'setengah matang' yang acapakali hanya berisi sensasi. Saya kebetulan hadir meliput acara HPN 2016. Dan, di acara itu pula saya sempat mewawancarai Ketua Dewan Pers Bagir Manan. Saat itu Pak Bagir mengungkapkan, setiap tahun, tidak kurang dari 750 sampai 1000 keluhan disampaikan masyarakat kepada Dewan Pers, karena suatu berita siaran merugikan atau tidak mengandung kebenaran. Pak Bagir dalam wawancara itu, bicara tentang tantangan yang harus di jawab insan pers sekarang ini. Kata dia, ada kecenderungan pers menerapkan kebebasan secara berlebihan, atau bahasa populernya ”pers kebablasan”. Menyikapi itu, pers kembali harus dengan setia mengikuti azas dan kaidah jurnalistik. Tuntutan akurasi, kedalaman dan kelengkapan berita, mesti jadi langgam tugas insan pers di mana pun. Rabu malam, 24 Februari 2016, saya sempat baca berita yang dimuat portalpiyungan.com, dan Islampedia.com. Isi beritanya memang cukup bombastis tentang pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo. Portalpiyungan.com misalnya menulis berita dengan judul : Mendagri Ancam Pangkas Aturan Wajib Jilbab di Aceh. Berita di Islampedia.com pun tak jauh beda. Saya pikir, ini pasti akan menuai reaksi. Benar saja, kemudian setelah muncul berita tersebut yang gencar disebar via media sosial, reaksi keras menanggapi berita di Portalpiyungan dan Islampedia.com, bermunculan. Rata-rata, reaksi yang muncul mengecam keras pernyataan Mendagri. Apa benar Mendagri bicara seperti itu. Karena penasaran, saya pun coba mengklarifikasi ke Mendagri, Tjahjo Kumolo selaku narasumber yang mengucapkan pernyataan itu dan kemudian dikutip oleh media online. Via layanan blackberry messenger saya coba mengklarifikasi itu. Tidak menunggu lama, Menteri Tjahjo memberikan klarifikasinya via BBM. Menurut Menteri Tjahjo dalam klarifikasinya, pernyataan dia disalahpahami atau dalam kata lain diplintir. Ia mengaku, tak merasa menyatakan itu. Maksudnya, tidak pernah menyatakan, bahwa dirinya akan memangkas Perda 'jilbab' di Aceh. Kata dia, pernyataannya tentang perda kewajiban memakai jilbab, bukan dalam kontek Aceh. Ia pun kemudian bercerita kronologis munculnya pernyataan yang kemudian menuai reaksi keras dari beberapa kalangan di Aceh. Saat itu, ia di wawancarai di Istana Negara, tentang rencana pemerintah memangkas perda 'bermasalah'. Ia pun kemudian kepada wartawan berbicara tentang pera-perda 'bermasalah' yang akan dicabut pemerintah, karena menganggu iklim investasi dan pelayanan publik. Dalam wawancara itu, ia juga mengungkapkan, bahwa ada juga perda yang berpotensi melanggar HAM. Tidak lupa, kepada wartawan ia juga menceritakan tentang aturan yang dikeluarkan Wali Kota Banda Aceh tentang larangan perempuan pergi di atas jam 10 malam. Aturan itu sendiri bersifat sementara dan dibuat karena Aceh dalam situasi tak aman. Jadi, kalau tak aman, maka aturan yang terkesan diskriminatif tersebut, harusnya dicabut. Setelah itu, ia kemudian bicara tentang suatu daerah yang memberlakukan Perda kewajiban memakai jilbab bagi semua warga perempuannya. Padahal, daerah tersebut, bukan daerah yang memberlakukan nilai syariah Islam. Dan, penduduk di daerah tersebut juga beragam, ada yang beragama Islam namun ada juga yang bukan Islam. Tapi ia kaget, kenapa tiba-tiba pernyataannya itu dikaitkan dengan Aceh. Muncul berita bahwa Mendagri akan memangkas Perda keharusan berjibab di Aceh. " Saya mengatakan, daerah lain yang tidak berdasarkan syariat Islam jangan meniru buat Perda wanita harus pakai jilbab karena ada warga yang tidak muslim. Tapi, saya sudah menelpon gubernur, wakil gubernur dan tokoh-tokoh Aceh yang saya kenal, menjelaskan itu semua, agar tidak di salah pahami. Mereka memahami," urai Tjahjo. Kata Tjahjo, terkait Aceh, ia paham provinsi tersebut, memang secara khusus menerapkan syariah Islam. Itu bagian dari status Aceh sebagai daerah otonomi khusus. " Ya wanita wajib pakai jilbab. Kami tidak larang Perda Aceh. Saya memahami dan menghormati Aceh yang memberlakukan nilai-nilai syariah Islam," tutur Tjahjo. Kembali Tjahjo menegaskan, yang ia maksud dalam pernyataannya, bukan daerah dengan status otonomi khusus seperti Aceh yang memberlakukan nilai syariah Islam. Tapi, daerah lain. Tjahjo terus terang merasa terganggu, pernyataannya diplintir. Media seharusnya menulis pernyataan seseorang itu dengan utuh, tak sepotong-sepotong, apalagi pernyataannya itu dikaitkan dengan hal lain yang bertentangan. Jika seperti itu, fakta yang sampaikan publik akan kabur. Dan, yang berbahaya, justru itu akan membuat publik bingung dan salah memahami. Ujungnya syak wasangka yang terjadi. Padahal, bukan itu fakta sebenarnya. Karena itu ia merasa perlu meluruskan pemberitaan yang terlanjur beredar. Karena belum puas, saya pun coba sedikit men-tracking media mana yang pertama memuat wawancara Tjahjo di Istana. Di dapatlah, sebuah media online. Dalam berita yang dimuat di media online tersebut, judulnya tak spesifik menyebut Tjahjo akan memangkas perda aturan jilbab di Aceh. Berita di media online itu, judulnya pun landai-landai saja, hanya menginformasikan bahwa perda yang bertentangan dengan UU, akan dipangkas. Namun memang ditubuh berita, termuat kutipan langsung dari Menteri Tjahjo soal perda di Aceh. " Pemda Aceh mengeluarkan aturan wajib memakai jilbab bagi wanita, sementara masyarakat di Aceh ada yang beragama non muslim. Termasuk mengingatkan putusan Wali Kota Aceh yang melarang wanita keluar di atas jam sepuluh malam, sifatnya sementara sampai daerahnya aman," begitu kira-kira bunyi kutipan langsung yang dimuat media online yang reporternya mewawancarai Menteri Tjahjo di Istana. Membaca kutipan langsung Menteri Tjahjo yang dimuat di media online itu, saya kian bingung. Kutipan itu, akan disalapahami. Dan, kutipan itu, bisa langsung disimpulkan bahwa memang benar Mendagri akan pangkas perda 'jilbab' di Aceh, karena beritanya sendiri dalam kontek pemangkasan perda. Untungnya, saya akhirnya dapat transkrip hasil wawancara di Istana Negara. Meski itu sepertinya ketikan cepat, atau dikalangan wartawan biasa disebut 'tikpet' atau ketikan cepet. Saya pun baca perlahan, isi dari 'tikpet' wawancara wartawan dengan Menteri Tjahjo di Istana Negara. Agar lebih jelas, saya tuliskan agak lengkap 'tikpet' wawancara dengan Menteri Tjahjo. Dalam 'tikpet' tertulis, pertanyaan : Perda yang dipangkas? Sepertinya menjelaskan, bahwa wartawan yang bertanya. Lalu, kemudian Menteri Tjahjo menjawab. Begini bunyi jawaban Menteri Tjahjo berdasarkan 'tikpet' yang saya dapat. " Ada beberapa Perda yang dianggap tidak perlu kemudian untuk memudahkan perizinan, kemudian beberapa Perda yang bertentangan dengan UU, kemudian bertentangan dengan masalah indikasi pelanggaran HAM, kemudian hal-hal yang berkaitan dengan kondisi Indonesia yang harus dilihat sebagai negara yang majemuk. Sampai 9 Februari sudah 23,4% Permendagri, Instruksi Mendagri, Surat Edaran Mendagri yang sudah kita drop. Kita memberi contoh di pusat, kami sampaikan ke gubernur dan bupati untuk segera melakukan hal serupa seluruh biro hukum juga kita undang, tingkat provinsi, kira-kira mana yang langsung dicoret, langsung dibatalkan, kemudian mana yang harus dicek kembali dengan rujukan UU lain dengan Permendagri yang sudah dihapus, yang mana yang belum yang mana. Kami berharap arahan bapak Presiden yang tiga ribu Perda itu mudah-mudahan pertengahan tahun ini akan selesai Kembali lagi, muncul tulisan dengan kalimat tanya. "Didrop itu dihapus?" Menteri Tjahjo, seperti yang saya kutip dari tikpet, menjawab. Iya katanya itu dihapuskan. Setelah itu, kemudian Menteri Tjahjo menjelaskan panjang lebar. " Kalau Perda yang baru April tahun kemarin saya sudah mengembalikan 139 Perda, termasuk mengingatkan putusan Walikota Aceh yang melarang wanita keluar di atas jam sepuluh malam, dia mengatakan sifatnya sementara sampai daerahnya aman. Termasuk Perda wanita wajib memakai jilbab, padahal di daerah itu tidak seluruhnya Muslim. Khususnya yang menghambat investasi, mempercepat perizinan, retribusi yang tidak perlu." Saya hentikan dulu mengutip tikpetnya. Saya coba bandingkan dengan bunyi kutipan langsung yang dimuat media online tadi. " Pemda Aceh mengeluarkan aturan wajib memakai jilbab bagi wanita, sementara masyarakat di Aceh ada yang beragama non muslim. Termasuk mengingatkan putusan Wali Kota Aceh yang melarang wanita keluar di atas jam sepuluh malam, sifatnya sementara sampai daerahnya aman," begitu kutipan langsung Menteri Tjahjo yang dimuat di media online. Saya coba berpikir. Nuwun sewu dengan sangat. Saya pikir, antara yang termuat di 'tikpet' dan kutipan langsung di berita sebuah media online, ada yang berbeda. Atau ada 'mis'. Ada perubahan kalimat, yang kemudian membuat pernyataan sangat mungkin ditafsirkan lain. Dalam 'tikpet' pernyataan Menteri Tjahjo berbunyi : " Kalau Perda yang baru April tahun kemarin saya sudah mengembalikan 139 Perda, termasuk mengingatkan putusan Walikota Aceh yang melarang wanita keluar di atas jam sepuluh malam, dia mengatakan sifatnya sementara sampai daerahnya aman. Termasuk Perda wanita wajib memakai jilbab, padahal di daerah itu tidak seluruhnya Muslim. Khususnya yang menghambat investasi, mempercepat perizinan, retribusi yang tidak perlu." Tidak ada pernyataan langsung dari Menteri Tjahjo tentang "Pemda Aceh mengeluarkan aturan wajib memakai jilbab bagi wanita, sementara masyarakat di Aceh ada yang beragama non muslim. Termasuk mengingatkan putusan Wali Kota Aceh yang melarang wanita keluar di atas jam sepuluh malam, sifatnya sementara sampai daerahnya aman," seperti yang ditulis media online tersebut sebagai kutipan langsung dalam beritanya. Setelah baca dua informasi itu, saya pun maklum, kenapa sampai kemudian pernyataan Menteri Tjahjo disalahpahami. Dalam kutipan langsung seperti yang dimuat media online tersebut, Menteri Tjahjo secara eksplisit menyebut Pemda Aceh dan perda 'jibab'. Sementara dalam 'tikpet', tak ada tertulis, Menteri Tjahjo menyebut langsung Pemda Aceh. Dalam 'tikpet' Menteri Tjahjo hanya mengatakan, " Termasuk Perda wanita wajib memakai jilbab, padahal di daerah itu tidak seluruhnya Muslim." Dalam klarifikasinya pun, Menteri Tjahjo membantah, bahwa pernyataan dia tentang perda 'jilbab' itu merujuk pada Pemda Aceh. Tapi, pernyataannya itu, merujuk pada daerah lain yang memberlakukan perda 'jilbab'. Sepengetahuan saya, yang namanya kutipan langsung narasumber tak boleh ditambah atau dikurangi. Ada memang yang berpendapat, boleh dipotong, asal tak menghilangkan subtansi dari pernyataan langsung narasumber. Tapi, kalau ditambah, menurut pendapat saya, 'haram' hukumnya. Apalagi membolak-balik pernyataan, agar terkesan nyambung sesuai kepentingan si pembuat berita. Yang jadi pertanyaan saya lagi, darimana portalpiyungan.com dan Islampedia mendapatkan berita serupa, lantas membuat judul dengan agak 'sensasional'. Apakah, wartawan Portalpiyungan mewawancarai langsung Menteri Tjahjo? Masih gelap. Atau mungkin wartawan portalpiyungan.com, menelpon Menteri Tjahjo? Itu juga gelap. Atau jangan-jangan, mereka mengcopy paste berita dari media lain, lalu memodifikasinya sesuai dengan keinginan dan kepentingannya? Jika seperti itu, wah itu yang repot. Berita bisa berubah sesuai selera si pembuat. Karena ada ungkapan, informasi yang bukan lagi disampaikan oleh sumber pertama, bakal kian kabur dan bias. Apalagi bila ada kepentingan, entah itu kepentingan politik orang per orang atau kelompok. Boleh jadi, bila itu isu 'sensitif', tak hanya akan menyulut reaksi, tapi juga sangat mungkin bakal jadi penabuh konflik. Kiblat media bukan kepentingan sempit orang per orang atau kelompok, tapi mendaku pada kepentingan publik. Soal ini, saya punya cerita lain. Alkisah, saat digelar acara Munas Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia ( APPSI). Saat itu, muncul berita di sebuah portal berita lokal, bahwa ada gubernur yang mengikuti Munas, asyik merokok dalam ruangan yang jadi tempat acara. Beritanya pun disertai foto. Memang ada foto Pak Reydonnyzar Moenek, penjabat Gubernur Sumatera Barat ketika itu, yang tampak seperti menghisap rokok. Dibibirnya terselip sebatang rokok. Sayang, wartawan dan juru foto yang menulis dan memotret berita tak jeli dan tak mau mengkonfirmasi ulang, apakah benar Reydonnyzar merokok. Sebab, tak ada asap yang mengepul dari batang rokok yang terselip di bibir sang penjabat gubernur. Bagi yang tak kenal Reydonnyzar, mungkin akan langsung memvonis, dia memang perokok. Dan, boleh jadi akan dicap, perokok yang tak tahu aturan. Setelah melihat dan membaca berita itu, saya langsung sampaikan ke Reydonnyzar, kala bertemu di Kementerian Dalam Negeri di sebuah acara. Reydonnyzar kaget. Katanya, dia bisa saja menuntut media yang memuat dan menyimpulkan foto dia sedang merokok. Katanya lagi, media yang bersangkutan mestinya mengkonfirmasi atau mengklarifikasi kepadanya, apakah benar dia merokok di dalam ruangan. Ya, begitulah, karena kemalasan akan pentingnya akurasi, berita pun salah. Reydonnyzar bukan perokok. Tapi, dia memang punya kebiasaan membaui rokok dan menyelip-nyelipkan batang rokok di bibirnya. Kata dia, itu adalah caranya untuk tak merokok. Kembali lagi, sayang informasi itu kadung tersebar di ruang publik. Sayang, berita kadung dibewarakan. Informasi sudah menjejali ruang publik. Benar kata Pak Bagir, di era digital, media dituntut untuk membuat berita yang lengkap, juga akurat. Kedalaman berita dibutuhkan, dan tetap berpijak pada fakta. Akurasi harus jadi nomor satu, jangan kemudian jadi nomor sepatu. Semoga... #Dimuat di Kompasiana.com, 26 Februari 2016 Berita Po An Tui, Saat Media Hanya Jadi 'Tukang Tuding' Awalnya tulisan ini saya beri judul, " Malas Cari Referensi, Berita 'Sesat' Kemudian." Ini tulisan sederhana saja. Semacam kritikan saja atas pemberitaan tentang Po An Tui yang dipicu oleh peresmian monumen Laskar Tiongkok di Taman Mini Indonesia Indah yang dilakukan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Setelah dicermati, saya tergelitik untuk menulis ini. Pemberitaan Po An Tui yang 'menghajar' Menteri Tjahjo itu, kok seperti berita gosip, bahkan agak berbau fitnah, karena tak berdasarkan fakta. Fakta, fakta, dan fakta. Wartawan harus setia kepada fakta, begitulah yang saya dengar dari omongan Mas Andreas Harsono, wartawan senior yang juga murid langsung Bill Kovacs, salah satu jurnalis besar di Amerika Serikat. Goenawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo, menyebut Bill Kovach, sebagai wartawan yang sulit dicari kesalahannya. Ya kepada fakta, kerja seorang jurnalis mendaku. Karena fakta, ibarat nyawa sebuah berita. Sekali fakta ditambah, dipotong, apalagi diputar balikan, atau bahasa gaulnya diplintir, maka kebenaran informasi sudah hilang meruap. Berita pun hanya jadi sensasi. Hanya jadi info yang bisa dikatakan 'sampah'. Karena itu, mengutip omongan Mas Andreas, setialah pada fakta. Namun, bukan berarti, setelah seorang wartawan mendapat satu informasi, jangan lantas kemudian berpuas diri. Kembali kerja cek dan ricek mesti dilakukan. Ini, untuk memastikan akurasi. Bahkan, mesti dicek sedetil mungkin. Karena ada ungkapan, dalam detil, setan pun akhirnya bisa dilacak. Tapi kadang 'setan' acapkali tak bisa dilacak. Kemalasan untuk setia fakta serta ketertarikan pada sensasi, membuat sebuah informasi menjadi bias. Bahkan, berita yang dibuat tak lebih dari gosip. Hanya berupa opini dengan tendensi menuding, yang pada akhirnya menyesatkan publik. Boleh jadi, bukan berita, namun hanya 'fitnah'. Dan di era digital, hal seperti ini menggejala. Dalam buku, "Agama Saya Adalah Jurnalisme" yang ditulis Andreas Harsono, dituturkan tentang apa saja yang mesti dilakukan seorang jurnalis dalam membuat berita. Dalam bukunya, di bab pembuka, Andreas mengutip sebagian isi buku, "Sembilan Elemen Jurnalisme,"yang disusun oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua wartawan terkemuka di Amerika Serikat. Bill Kovach, adalah mantan wartawan The New York Times, salah satu wartawan terbesar di Amerika Serikat. Sementara Tom Rosenstiel, mengutip buku Andreas, adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times yang kini aktif berkecimpung di Committee of Concerced Journalists, sebuah organisasi di Washington DC, yang fokus dibidang riset dan diskusi tentang media. Buku, "Sembilan Elemen Jurnalisme", sendiri, bisa dikatakan salah satu buku yang jadi 'kitab suci' para wartawan. Dalam buku, "Sembilan Elemen Jurnalisme", seperti yang dikutip Andreas dalam bukunya, ada beberapa langkah yang perlu, bahkan 'wajib' di lakukan para wartawan, saat membuat sebuah berita. Salah satu yang terpenting adalah disiplin dalam melakukan verifikasi yang merupakan elemen ketiga dari sembilan elemen jurnalisme. Mengutip buku Andreas, elemen ketiga ini, adalah esensi terpenting dari jurnalisme. " Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni' demikian ditulis Andres dalam bukunya saat menjelaskan tentang pentingnya disiplin dalam melakukan verifikasi. Dalam bukunya, Andreas juga menjelaskan tentang lima konsep dalam verifikasi. Lima konsep itu adalah, pertama jangan menambah atau mengarang apa pun. Kedua, jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar. Ketiga, bersikap setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase. Keempat, bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri. Kelima, bersikaplah rendah hati. Andreas juga mengutip, kebiasaan yang dikembangkan David Yarnold dari San Jose Mercury News dalam menyunting sebuah berita, agar benar-benar akurat. Yarnold mengembang satu daftar pertanyaan yang disebut "accuracy checklist". Menguji akurasi ala Yarnold, antara lain, apakah lead berita sudah didukung dengan data penunjang yang cukup? Apakah sudah ada orang lain yang diminyta mengecek ulang, menghubungi atau menelpon semua alamat, atau situ Web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap? Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara? Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak sukda dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar? Apa ada yang kurang? Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan? Banyak ternyata. Itu menunjukan bahwa kerja wartawan bukanlah mudah. Dan, tak sembarang membuat berita. Intinya, hati-hati dalam membuat berita. Akurasi harus dijadikan nyawa dalam setiap berita yang ditulis. Ada ungkapan sedia payung sebelum hujan. Sedia bekal sebelum bepergian. Ya, seorang wartawan, menurut saya, pergi ke medan liputan, tak hanya berbekal note catatan, rekaman atau alat komunikasi. Tapi, seorang wartawan, datang ke medan liputan harus sudah membekali diri dengan pengetahuan. Atau dalam bahasa sederhana, datang tak dengan tangan kosong. Ia sudah punya bekal, setidaknya tentang background isu yang hendak dijadikan berita. Jadi, ia sudah punya informasi awal tentang apa yang bakal dituliskan. Dengan itu, pengembangan atau penggalian isu, bakal lebih mendalam. Dan, setidaknya dengan bekal 'background' itu, ia tahu, apa yang akan ditanyakan, dikembangkan, dan diracik, sehingga tak muncul pertanyaan-pertanyaan konyol atau bodoh pada narasumber. Dengan apa, seorang wartawan bisa menguasai background isu? Jawabannya adalah dengan banyak membaca referensi. Karena wartawan yang tak banyak menabung referensi, pada dasarnya hanya seorang pencari kalimat saja. Mungkin, hanya seorang tukang tulis ulang pernyataan narasumber. Kenapa referensi itu perlu? Sangat perlu. Bahkan mungkin ini juga masuk kategori 'hukumnya wajib' bagi para wartawan. Sebab, dengan referensi itu, si wartawan, bisa menulis alur berita dengan benar. Berita pun tak kehilangan kontek. Sebab, kalau tak ada referensi, berita yang dibuat boleh jadi salah kaprah. Apalagi, bila kemudian asal comot, dan semangatnya mengejar sensasi. Berita pun jadi gosip. Jadi kabar burung. Jadi informasi yang menyesatkan. Ada contoh menarik tentang ini. Kemarin, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, mengeluhkan munculnya berita yang menurut dia salah kaprah atau bahkan menyesatkan. Berita itu, tentang peresmian sebuah monumen di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang diresmikan oleh Tjahjo. Monumen yang diresmikan itu, untuk mengenang sebuah laskar Cina dan Jawa yang pernah berjuang membela republik melawan penjajah. Salah satu yang memuat berita peresmian monumen itu adalah Detik.com, salah satu portal berita terbesar di Indonesia. Judul berita yang dimuat di Detik.com, " Mendagri Resmikan Monumen Perjuangan Laskar Tiongkok di TMII." Monumen ini sendiri menceritakan tentang perjuangan laskar Tionghoa dan Jawa dalam melawan VOC Belanda yang menjajah bangsa Indonesia. Monumen ini menceritakan perjuangan bangsa selama tiga tahun yaitu pada tahun 1740-1743 dalam mengusir VOC, begitu salah satu penggalan paragraf dalam berita yang ditulis Detik.com, pada Sabtu, 14 November 2015. Namun setelah itu, tiba-tiba muncul beberapa berita lanjutan atau istilah dikalangan wartawan berita 'running'. Berita peresmian monumen itu 'dirunning' oleh media lain, media online terutama. Saya sebut saja, salah satunya berita yang dimuat oleh Posmetro.info. Situs berita ini, pada 22 Februari 2016 memuat berita berjudul," Hanya di Era Jokowi, Milisi Cina "Po An Tui" Pembantai Pribumi Dibuatkan Monumen di TMII." Dalam tubuh berita, disimpulkan bahwa Laskar Cina yang monumennya diresmikan oleh Menteri Tjahjo adalah laskar Po An Tui. Lalu, bla-bla, Posmetro.info, mengurai siapa itu Po An Tui. " Dalam peresmian monumen Po An Tui di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa tujuan didirikannya monumen Po An Tui adalah untuk mengingatkan siapa leluhur kita dan perjuangan laskar China dalam melawan penjajah VOC Belanda pada tahun 1740 – 1743," demikian lead berita yang ditulis Posmetro.info. Tentu lead itu jadi pertanyaan. laskar Cina atau Tiongkok yang monumennya diresmikan Menteri Tjahjo merujuk pada Po An Tui? Sebab dalam lead Posmetro.info, langsung menyebut Po An Tui. Apa dasarnya Posmetro.info yakin laskar itu Po An Tui? Bahkan, dalam lead berita tersebut disebutkan rentang tahun sepak terjang Po An Tui, yakni antara tahun 1740 – 1743. Sudah diujikah fakta tersebut? Rasanya tidak. Sebab, dalam tubuh berita, tak ada upaya untuk menguji itu, misalnya meminta tanggapan kepada sejarawan. Tapi, berita isinya langsung memvonis. Lag-lagi verifikasi diabaikan. Dan, bagi saya itu bukan sebuah berita, hanya opini, asumsi, yang sialnya tak akurat, karena tak ada referensi untuk memperkuat itu. Padahal referensi sangat penting, agar berita tak jadi kabar burung, gosip atau propaganda. Dan, itulah kelemahan berita yang dimuat Posmetro.info serta beberapa media online lainnya yang memuat berita serupa. Berita mereka, minim referensi. Padahal, ketika sebuah berita memuat tentang jejak sejarah, minimal ada referensi yang jadi rujukan. Apakah referensi itu berasal dari buku, sejarawan, atau informasi lain yang terpercaya. Karena harus hati-hati dalam memuat berita berisi sejarah yang terjadi di masa lalu. Salah referensi, berita jadi menyesatkan. Fakta terbalik-balik. Pertanyaannya, benarkah Po An Tui, adalah laskar Cina yang monumennya diresmikan Menteri Tjahjo? Dalam klarifikasinya, Menteri Tjahjo sendiri membantah, bila monumen yang diresmikannya di TMII merujuk pada Po An Tui. Tapi, monumen itu untuk mengenang laskar Cina yang pernah ada pada tahun 1740 – 1743. Laskar ini, pernah ikut berjuang melawan penjajah, Belanda. Dalam kontek masa itu, penjajah yang dimaksud adalah VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie atau kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. Mengutip Wikipedia.org, VOC didirikan pada 20 Maret 1602. Kongsi ini kemudian bangkrut dan ditutup 31 Desember 1799. Lalu bagaimana dengan Po An Tui? Ada beberapa buku yang bisa dijadikan referensi. Salah satunya buku berjudul, "Po An Tui : 1947-1949, Tentara Cina Jakarta," terbitan Masup Jakarta, Pustaka Komunitas Bambu. Buku ini ditulis Sulardi. Menurut saya, buku ini bisa jadi referensi untuk mengetahui, cikal bakal, serta sepak terjang Po An Tui. Dalam buku itu, Sulardi mengulas tentang Po An Tui, mulai dari awal pembentukannya sampai sepak terjangnya yang kontroversial. Dan, dengan jelas, Sulardi dalam bukunya menuliskan, Po An Tui, lahir sekitar tahun 1947. Bukan terbentuk pada antara rentang tahun 1740-1743. Dan, era itu, bukan era VOC, tapi era Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration yang biasa disingkat NICA. Era itu adalah fase sejarah saat NICA mulai datang mengangkangi republik yang baru saja di proklamirkan tahun 1945. Di berita Detik.com pun, monumen yang diresmikan Menteri Tjahjo, merujuk pada laskar kaum Tionghoa yang dibentuk antara rentang tahun 1740-1743 di era VOC bercokol, bukan di masa NICA menjajah. Detik.com, adalah media yang meliput peresmian monumen tersebut. Karena mereka, melengkapi beritanya dengan foto Menteri Tjahjo saat meresmikan monumen yang sekarang menuai reaksi tersebut. Lalu, pertanyaannya kenapa kemudian dikaitkan dengan Po An Tui, laskar atau milisi Cina di era NICA? Kembali ke buku Sulardi. Dalam bukunya tentang Po An Tui, menjelaskan dengan runut, latar belakang kenapa sampai kemudian lahir laskar atau kelompok milisi Po An Tui. Pembentukan Po An Tui, dipicu oleh kekacauan di awal republik berdiri. Ketika itu, banyak etnis Tionghoa jadi korban ekses dari aksi militer Belanda. Kemudian muncul pemikiran dari sejumlah tokoh Tionghoa, di Jakarta untuk mencari cara agar etnis Tionghoa tak terus jadi korban. Lalu, Perkumpulan Chung Hua Tsung Hui Jakarta menginisiasi dilakukannya sebuah konferensi. Konferensi ini, dihadiri oleh perwakilan-perwakilan Perkumpulan Chung Hua Tsung seluruh Indonesia. Konferensi digelar selama tiga hari dari tanggal 24 sampai 26 Agustus 1947. Konferensi menghasilkan beberapa keputusan. Pertama tentang perlunya pembentukan Pao An Tui atau Badan Pelindung Keamanan Tionghoa. Kedua, mendirikan suatu badan penyiaran resmi. Ketiga, menyebarluaskan hasil keputusan ke dalam dan luar negeri. Ketiga, koordinasi untuk menolong korban-korban yang akan dibentuk di setiap daerah. Dan pada 29 Agustus 1947, Pao An Tui disahkan berdasarkan keputusan rapat perwakilan Tionghoa Indonesia yang tergabung ke dalam Chung Hua Tsung Hui Lien Ho Pan She Tsu atau Badan Koordinasi Chung Hua Tsung Hui. Salah satu anggotanya Kwee Kek Beng. Kota Jakarta dipilih untuk jadi tempat markas pusat Po An Tui. Ya, dalam perkembangannya Po An Tui, memang jadi kelompok milisi. Kelompok milisi ini dikaitkan dengan sepakterjang Westerling, perwira 'bengis' dari Belanda. Dari buku Sulardi, sangat jelas, bahwa Po An Tui itu dibentuk dan lahir pada 1947, bukan 1740-1743. Lantas kenapa, dengan cerobohnya Posmetro.info dalam beritanya menulis Po An Tui, adalah laskar Tiongkok yang dibentuk pada 1740-1743? Sementara Po An Tui, adalah milisi Cina yang lahir pada masa Belanda menjajah dengan bendera NICA, bukan lagi VOC. Jadi ada rentang sejarah yang berbeda waktu. Dan, bedanya sangat jauh. Kembali, malas cari referensi, berita pun menyesatkan. Padahal, kalau penulis berita di Posmetro, disiplin melakukan verifikasi, tak begini jadinya. Berita mereka, tak jadi 'propaganda' yang menyesatkan. Buku berjudul," Geger Pacinan 1740 - 1743: Persekutuan Tionghoa - Jawa Melawan VOC," adalah salah satu buku yang bisa menjelaskan sepakterjang orang Tionghoa melawan VOC. Buku yang ditulis oleh RM Daradjadi, seorang trah Mangkunegara IV yang sangat mencintai sejarah, menjelaskan dengan rinci fase orang Tionghoa bangkit melawan VOC atau kumpeni. Buku Geger Pecinan, berisi tentang kisah peperangan di Jawa pada periode 1740-1743. Perang tiga tahun itu meletus, setelah kaum Tionghoa dibantai di Batavia pada tahun 1740. Setelah pembantaian itu, orang-orang Tionghoa berkolaborasi dengan orang-orang Jawa. Mereka berkongsi membentuk laskar melawan VOC. Lalu, terjadilah perang tiga tahun, yang melibatkan orang-orang Tionghoa yang berkolaborasi dengan kaum bangsawan Jawa yang berpusat di keraton Kartasura. Sayang, referensi sejarah dianggap remeh. Padahal, berita yang ditulis adalah kisah tentang sebuah sejarah, yang mutlak butuh referensi. Dengan ceroboh Posmetro.info menyimpulkan. Dengan gegabah pula, Posmetro.info, menuliskan berita 'sejarah' yang menyesatkan. Berita mereka pun tak lebih dari propaganda. Sialnya, berita kadung dilempar ke ruang publik. Dan, berita 'sesat' itu pun disambar oleh mereka yang boleh jadi belum mengetahui sejarah yang terjadi di masa lalu. Saya pun hanya bisa bertanya, apa karena itu berbau Cina atau Tiongkok, lantas semuaya dianggap salah? Kadang kita tak adil dalam memandang sebuah kelompok. Kita kadang lupa, bahwa republik ini, tak semata di dirikan, dibela dan di rawat oleh hanya satu etnis. Ada etnis Jawa, Sunda, Madura, Dayak, bahkan etnis Cina, yang membela republik ini. Bahwa ada segelintir etnis Cina yang kemudian berkolaborasi, atau katakanlah pro Belanda ketika itu, bukan berarti jadi sebuah justifikasi, tak ada etnis Cina yang berperan dalam perjuangan menegakkan republik ini. Saya pernah baca sebuah artikel di Tempo, tentang dokter berdarah Cina, yakni dokter Oen Boen Ing yang tanpa pamrih membela republik, meski tak lewat angkat senjata. Lewat kliniknya, dokter Cina itu, tanpa takut mengobati pejuang republik yang terluka. Kenapa kemudian situs berita seperti Posmetro.info, Bpost.id dan beberapa situs berita lainnya dengan ceroboh mengkaitkan Po An Tui dengan monumen yang diresmikan Menteri Tjahjo? Saya kira, ada beberapa kemungkinan kenapa seperti itu. Pertama, mereka hanya mengejar sensasi, bahwa ketika 'menghantam' menteri atau pejabat, atau bahkan Presiden, berita akan terlihat gagah. Kedua, ada kepentingan sempit yang sedang digelorakan media-media tersebut. Saya tak tahu, apa kepentingan sempit itu. Apakah, karena Menteri Tjahjo, bukan bagian kelompok mereka? Atau apakah Jokowi, bukanlah Presiden yang dulu mereka dukung, sehingga sekali ada celah, langsung dihantam dengan membabi buta. Ini hanya dugaan saya. Sangat mungkin saya pun keliru. Namun terlepas dari semua itu, berita yang dimuat di beberapa situs berita tentang Po An Tui itu menurut saya memiliki banyak kelemahan. Kelemahan pertama, media-media tersebut tak mengkonfirmasi ulang kepada Menteri Tjahjo yang mereka 'hantam'. Kedua, tak ada narasumber kedua (pendukung) yang juga mereka konfirmasi, misalnya panitia peresmian monumen, atau minimal pihak TMII sendiri. Ketiga, tak ada narasumber yang kompeten, terutama sejarawan. Keempat, berita tersebut lemah dari sisi referensi. Kelima, berita itu, sungguh ceroboh dan gegabah. Pada akhirnya, karena malas membekali diri dengan referensi, informasi pun jadi menyesatkan. Akibatnya, banyak yang salah menafsirkan. Banyak yang salah mengartikan. Ujungnya, muncul reaksi karena informasi yang salah. Ini yang berbahaya. Konflik bisa meletus, karena kecerobohan atau mungkin karena 'kebodohan' media dalam membewarakan informasi. Maka, Pak Bagir Manan, Ketua Dewan Pers selalu mewanti-wanti, di era digital kedalaman berita dan akurasi fakta yang dibutuhkan. Bukan berita yang semata mengejar kecepatan. Apalagi sensasi. Kalau seperti itu, apa bedanya mereka dengan 'koran kuning' atau tukang gosip. #Dimuat di Kompasiana.com dan di Indonesiana.tempo.co dengan judul," Berita Po An Tui yang Menyesatkan," Selasa, 1 Maret 2016 Kisah Dua Media Online yang 'Mengkhianati' Spirit Jurnalisme Beberapa hari lalu, saya baca berita tentang protes Dewan Rakyat Dayak kepada Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Protes mereka, dipicu oleh berita tentang peresmian sebuah monumen 'Laskar Tiongkok' di Taman Mini Indonesia Indah atau TMII. Dewan Rakyat Dayak memprotes Menteri Tjahjo, dan menganggap peresmian monumen tak lebih sebagai upaya penguasa memutarbalikan sejarah. Mereka menuding Menteri Tjahjo 'memuliakan' pengkhianat republik. "Kenapa harus monumen laskar Tionghoa, Padahal laskar Rakyat Dayak banyak yang berjuang namun tidak pernah di apresiasi bentuk perjuangnanya. Kami mengecam Mendagri yang menganak emaskan etnik tertentu, peresmian monumen Po an Tui Laskar Tiong Hoa jelas menyakiti rakyat Dayak yang lebih banyak membuat laskar untuk membela negeri ini," begitu protes Dewan Rakyat Dayak yang disuarakan ketua dewan presidiumnya, Bernadus. Kutipan langsung dari Ketua Presidium Dewan Rakyat Dayak itu saya kutip dari penggalan berita berjudul, "Presidium Dewan Rakyat Dayak Kecam Mendagri Soal Monumen Po An Tui," yang dimuat harianterbit.com pada Minggu, 28 Februari 2016. Selain harianterbit.com, ada beberapa media yang memuat berita serupa, seperti gatra.com, tarbiyah.net dan republika.co.id. Yang saya sayangkan, adalah media-media seperti harianterbit.com, gatra.com dan republika.co.id yang tak memuat berita berimbang, misalnya meminta klarifikasi kepada Menteri Tjahjo, apakah benar monumen laskar Tionghoa yang diresmikan itu merujuk pada milisi Po An Tui? Sebab, pada 24 Februari 2016, Menteri Tjahjo sudah mengklarifikasi itu, bahwa tak benar monumen yang diresmikannya merujuk pada milisi Po An Tui. Berita klarifikasi Tjahjo salah satunya dimuat oleh rmol.co. Atau mungkin saya keliru, tak cermat membacanya. Mungkin media-media itu juga sudah memuat bantahan Menteri Tjahjo. Tapi, saya memaklumi bila media online kerap kurang lengkap dan berimbang dalam memuat sebuah berita. Kecepatan sebuah berita acapkali lebih didahulukan, karena kerasnya persaingan antar media online. Maka, berita dengan satu narasumber pun sering dimuat. Padahal kerapkali berita tersebut, adalah berita tentang polemik sebuah isu yang menuai pro kontra. Idealnya, yang pro dan yang kontra mendapat porsi yang sama. Sehingga berita berimbang. Namun yang saya gugat, adalah berita awal yang memutarbalikan fakta peresmian monumen di TMII, bukan berita soal kemarahan Ketua Presidium Dewan Rakyat Dayak. Karena berita itu, yang jadi pemicunya, hingga muncul kecaman dan protes dari Dewan Rakyat Dayak. Benarkah ada pemutarbalikan sejarah? Benarkah Menteri Tjahjo 'memuliakan' pengkhianat republik? Ternyata, kemarahan Dewan Rakyat Dayak dengan segala tudingan dipicu oleh pemberitaan beberapa media online yang memberitakan bahwa monumen yang diresmikan Menteri Tjahjo, merujuk pada milisi kaum Tiongkok di era 1947, yakni Po An Tui. Tanpa verifikasi, Dewan Rakyat Dayak pun 'murka'. Disebutnya Po An Tui, seperti membuka luka lama sejarah. Ya, bicara Po An Tui, bisa dikatakan seperti bicara jejak sejarah yang penuh darah. Ada kisah pembantaian dan pembunuhan di dalamnya. Saya kira wajar, bila kemudian Dewan Rakyat Dayak marah, karena yang mereka pahami tentang monumen itu adalah Po An Tui, hantu milisi yang pernah membuat luka sejarah di republik ini. Lalu, dari mana percikan 'api' berita sesat Po An Tui muncul? Ada dua media online yang bisa saya lacak, yang sepertinya pertama menyalakan 'bara' Po An Tui. Dua media online itu adalah Posmetro.info dan Bpost.id. Dua media online itulah memproduksi berita yang menyesatkan tersebut. Posmetro.info, misalnya memuat berita berjudul," Hanya di Era Jokowi, Milisi Cina "Po An Tui" Pembantai Pribumi Dibuatkan Monumen di TMII," yang tayang pada 22 Februari 2016. Bpost.id sendiri mengcopy paste berita yang dimuat Posmetro.info. Karena baik judul maupun isi berita, sama plek dengan berita yang dimuat oleh Posmetro.info. Penulisnya pun mencantumkan sumber berita yakni berasal dari berita yang dibuat Posmetro.info. Sangat disayangkan memang, ada segelintir orang di negeri ini dengan tega 'mempermaikan' luka anak bangsa. Berita Po An Tui, adalah berita sesat. Berita ceroboh yang tak berdasar pada fakta. Tapi, yang menjengkelkan, berita itu diproduksi oleh mereka yang mendaku sebagai insan pers. Ya, berita sesat Po An Tui, diproduksi oleh media. Terutama media online. Dengan gegabah, tanpa verifikasi fakta, beberapa media menyambar peresmian monumen Laskar Tiongkok dengan mengkaitkannya dengan milisi Po An Tui. Lalu, dengan gagah pula, mereka membuat berita bombastis, berbau 'fitnah'. Menteri Tjahjo 'memuliakan' Po An Tui, milisi yang pro penjajah saat itu. Lalu, tanpa rasa bersalah pula, mereka menjejalkan itu ke ruang publik. Reaksi pun muncul. Kemarahan menggeliat. Tak salah memang mereka yang marah. Tapi jelas yang salah, adalah mereka yang memproduksi berita 'sampah' tersebut. Faktanya, monumen yang diresmikan Menteri Tjahjo di TMII, bukan merujuk pada milisi Po An Tui yang terbentuk pada 1947. Tapi, laskar Tiongkok atau kaum Cina yang sempat berjibaku mengangkat senjata melawan VOC, di era 1740-1743. Laskar ini melawan VOC bersama dengan laskar orang Jawa yang dipimpin oleh para bangsawan keraton. Buku, " Geger Pacinan 1740 - 1743: Persekutuan Tionghoa - Jawa Melawan VOC," yang ditulis oleh RM Daradjadi, adalah buku yang mendokumentasikan sepakterjang orang Tionghoa melawan VOC di tanah Jawa. Sementara sepakterjang Po An Tui, didokumentasikan dengan baik pula oleh Sulardi, dalam bukunya yang berjudul, " "Po An Tui : 1947-1949, Tentara Cina Jakarta," terbitan Masup Jakarta, Pustaka Komunitas Bambu. Sayang kedua buku itu tak dipakai jadi rujukan. Benar kata kawan saya, era digital, adalah era tukang gosip, penyuka fitnah, dan penyebar kebencian mendapat tempat. Dan, kata kawan saya lagi, jangan pernah mengharap tanggung jawab dari mereka untuk mengakui kesalahan. Mereka adalah orang-orang kalap, yang selalu memakai segala cara untuk kepentingannya. Mereka selalu merasa benar. Jadi, percuma menggugat orang-orang kalap. Karena mereka selalu merasa sudah punya nomor kontak Tuhan. Untuk yang terakhir ini, kawan saya hanya berseloroh. Mungkin karena sudah teramat jengkel dan sebal. Mau apalagi, seperti itu yang terjadi. Mungkin benar kata kawan saya, percuma saja menggugat mereka. Dan, bagi saya merekalah yang sebenarnya 'pengkhianat'. Mereka mengkhianati spirit jurnalisme. Mengkhianati, kesetiaan jurnalisme kepada fakta. #Dimuat di Indonesiana.tempo.co, 1 Maret 2016 Era Digitalisasi Fitnah, Gosip dan Kabar Burung Di era digital sekarang ini, ruang kebebasan berbicara seakan mendapat tempatnya yang lapang, bahkan tanpa batas. Apalagi, setelah hadirnya media sosial seperti Twitter dan Facebook. Warga pun tak lagi sedan bersuara. Mereka, tak lagi takut, bahkan mencaci Presiden sekali pun. Padahal di era Orde Baru, semua takut. Semua tiarap. Hanya segelintir yang berani bicara. Itu pun mesti menanggung resiko mendapat represi alat negara. Ya, era Orde Baru, adalah era, ketika negara hadir dengan wajah angker. Penguasa tampil tanpa senyum, namun penuh seringai menakutkan. Sekali berani bercuap berbeda dengan penguasa, boleh jadi derap sepatu serdadu akan terdengar di depan pintu. Tapi era itu telah berakhir. Kini, era reformasi, sebuah era yang katanya menempatkan demokrasi sebagai langgam dalam berekspresi dan berpendapat. Ya, di era ini, media-media tumbuh bak jamur di musim hujan. Terutama media online. Banyak sekali media online bermunculan, bahkan dengan nama-nama yang nyeleneh. Ada media yang dengan gagah memakai label berbau agama. Dari nama, serta konten, mereka coba meneguhkan, bahwa medianya yang paling 'agamis'. Nama-nama berbau Arab pun jadi favorit untuk menunjukan jatidiri mereka. Selain tentunya, nama-nama lain yang sifatnya umum. Harus di akui, era dotcom, seakan membawa berkah tersendiri bagi publik. Akses informasi, bahkan ruang untuk mengabarkan berita terbuka lebar. Sayang, di era euforia tersebut, selalu saja ada yang diabaikan. Dan sialnya yang diabaikan itu adalah tanggung jawab media terhadap fakta. Ini yang selalu dianggap remeh. Dan jagad maya pun penuh dengan 'berita sampah'. Lapak internet, jadi ajang tuding menuding yang sialnya tak disertai fakta. Fitnah pun berseliweran. Menjengkelkannya lagi, mereka yang membuat dan memproduksinya seakan bangga. Padahal, mereka adalah yang memakai nama berbau agama. Menyebalkan memang. Tapi apa mau dikata, itulah yang terjadi. Nama berbau agama pun hanya jadi 'merek', tanpa disertai tanggung jawab untuk menegakan nilai-nilai agama itu sendiri. Padahal, agama mana pun sangat jelas, menjunjung tinggi sebuah kebenaran. Agama mana pun tak pernah mengajarkan untuk memanipulasi fakta, hanya sekedar demi nafsu sensasi. Dampaknya, publik dibuat bingung. Pertentangan tumbuh subur, karena informasi yang sesat. Bibit konflik tak terhindarkan dibakar oleh kabar burung, gosip dan fitnah. Saya pun jadi bertanya-tanya, adakah mereka sadar apa yang dilakukannya itu sungguh tak bermanfaat, bahkan sama sekali tak mencerminkan spirit dari agama yang mereka jadikan label dan 'merek'? Untuk apa mereka melakukan itu? Jangan-jangan mereka senang bila republik ini limbung dan bingung? Media seharunya tampil jadi 'anjing penjaga' yang kritis. Dia akan mengonggong kala ada yang keliru. Bukan kemudian membuat publik bingung. Media mestinya jadi seperti 'penunjuk jalan'. Bukan, pemberi info sesat dan bohong. Karena, media yang baik, adalah media yang berhasil membuat khalayak mengetahui sebuah kebenaran. Sekali kebenaran. Bukan mengajari publik untuk kemudian pandai menyebar fitnah. #Usai membaca pro kontra berita 'sesat' tentang Po An Tui, dimuat di Kompasiana.com, 1 Maret 2016 Dari Surat Cinta Sampai Jadi Wartawan Beruntunglah saya yang langsung jatuh cinta dengan kegiatan menatah kata, menata kalimat atau menulis. Karena lewat kebiasaan menulis, saya akhirnya bisa menggapai cita-cita. Adalah bapak yang sudah lama almarhum yang mengenalkan saya pada dunia tulis menulis. Saat bapak masih jumeneng, saya masih ingat, setiap pulang dari kota kabupaten, beliau selalu membawakan saya bahan bacaan. Saya masih ingat, bahan bacaan yang selalu dibawa, jika tak koran, bapak selalu bawa Majalah Suara PGRI. Bapak saya seorang guru. Seringnya membaca, membuat ketertarikan saya akan dunia baca tulis tumbuh menggeliat. Saya pun coba-coba menuliskan ulang apa yang telah dibaca. Lalu kian keranjingan. Dan di bangku SMP, hobi menulis makin menjadi. Di bangku SMP pula, saya coba-coba buat puisi. Tentu puisi ala anak ABG. Temanya kebanyakan soal cinta. Akhirnya teman sebaya dan satu sekolah pun tahu. Mereka suka, dan selalu memuji. Ah, bangga rasanya. Makin bangga, saat seorang teman satu kelas, meminta saya membuat surat cinta untuknya. Rupanya dia sedang jatuh suka pada seseorang, seorang siswi satu sekolah tapi beda kelas. Surat cinta itulah yang akan digunakannya untuk 'menembak' si pujaan hati. Malam hari, surat cinta itu saya rancang. Tak lupa, diselipkan puisi-puisi. Saya masih ingat, teman saya yang menyediakan kertas warna biru. Dan, dia pula yang kemudian menyalin isi surat cinta yang saya tulis. Satu amplop berpewangi pun telah disiapkan. Esoknya, surat cinta itu diberikan. Tiga hari, surat cinta dibalas. Ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Sejak saat itu, teman saya pun jadi langganan surat cinta racikan saya. Dan, sejak saat itu pula, saya kian keranjingan menulis surat. Makin keranjingan lagi, setelah teman-teman saya yang lain akhirnya jadi pelanggan pula. Sampai lulus SMP, order membuat surat cinta masih mengalir. Ya, ada diterima. Tapi juga, ada beberapa surat cinta tak berbalas alias di tolak. Sayang, bapak yang selalu membawakan oleh-oleh bahan bacaan di panggil Tuhan, tepat menjelang saya lulus dari SMP. Tapi, yang membuat saya bangga, hobi membaca tak luntur, justru makin menjadi. Apa saja yang bisa saya baca, pasti akan saya eja dengan teliti. Koran bekas pun saya sambar. Saat saya sekolah menengah, hobi membaca tak juga menguap. Bahkan, makin menjadi. Sampai kemudian saya pun lulus sekolah menengah. Setelah itu hijrah ke Jakarta. Di ibukota saya menumpang di rumah paman, adik ibu di daerah Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Rumah kontrakan paman saya, dekat dengan Kampus Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka atau biasa disingkat Uhamka, sebuah universitas milik Muhammadiyah. Di Jakarta, saya ikut bekerja bersama paman yang jadi pemborong proyek. Dan saat tinggal numpang di rumah paman itulah saya berkenalan dengan para mahasiswa Uhamka yang kebetulan ngekos tak jauh dari situ. Perkenalan itulah yang membawa saya kenal dengan buku-buku yang menurut saya ketika itu, buku-buku serius. Saya masih ingat, salah satu buku yang membuat saya terkesan, adalah buku " Bangsa saya yang Menyebalkan," yang ditulis Eep Saefulloh Fatah, dosen muda Universitas Indonesia ketika itu. Bukunya bersampul warna coklat, terbitan Rosda Karya, Bandung. Entahlah, saya suka buku itu. Saya suka gaya menulis Mas Eep. Dan, diam-diam mimpi ingin jadi penulis pun menggeliat begitu saja. Saking sukanya pada buku Eep, sampai saya bela-belain memcopy ulang buku tersebut. Perbuatan tak baik memang, tapi mau apalagi, saya ingin memiliki buku tersebut. Buku itu pun selalu saya baca. Kenalan mahasiswa pun makin bertambah, tak lagi hanya anak-anak Uhamka. Satu mahasiswa UI, akhirnya jadi teman baru saya. Suatu waktu, saya diajaknya ke kosan dia, di daerah Margonda. Di kosan itulah saya mengenal Majalah Tempo, sebuah majalah yang kemudian saya gandrungi. Buku Eep dan Majalah Tempo, adalah bahan bacaan yang membuat keinginan menjadi penulis makin membara. Sampai akhirnya, rezim berganti. Soeharto tumbang. Lalu orde reformasi tiba. Beruntung kemudian saya bisa melanjutkan kuliah di program D III Unpad. Saya masih ingat, di jurusan Tata Pemerintahan, saya kuliah. Ini jurusan yang ada di lingkungan Fisip Universitas Padjadjaran. Kampusnya ada di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Dan, di Jatinangor itulah, saban hari Minggu, kala pasar kaget di gelar di lingkungan kampus, kegiatan berburu majalah Tempo bekas saya lakukan. Bertumpuk-tumpuk majalah Tempo bekas hasil buruan saban Minggu saya kumpulkan di kamar kosan. Lewat majalah Tempo, saya coba belajar menulis berita. Saya coba tiru gaya penulisan. Dan, setiap dapat hasil buruan baru, saat itu juga saya ingin segera menulis. Keinginan jadi wartawan perlahan tumbuh. Pasca Soeharto jatuh, kebebasan pers terbuka lebar. Banyak media baru lahir. Saya pun coba-coba mengirimkan tulisan. Saya masih ingat ke tabloid Abadi, tulisan pertama berbentuk opini saya kirimkan. Di tabloid itu, ada kolom khusus untuk mahasiswa. Wah, betapa bangganya, ketika saya dapat paket beberapa buku, serta satu tabloid, bukti tulisan saya dimuat. Itu tulisan pertama saya yang dimuat di media. Tentu, kebanggaan tersendiri, meski honor bukan berupa uang, tapi beberapa eksemplar buku. Yang saya ingat, salah satu buku yang diterima adalah buku Antonio Gramsci : Negara dan Hegemoni. Tulisan saya lainnya dimuat di tabloid Bangkit. Sampai akhirnya, saya bisa lulus, meski dengan IPK yang bisa dikatakan pas pasan saja. Tugas selanjutnya, mencari pekerjaan. Saya pun kembali hijrah ke kota. Kali ini, saya numpang di Bekasi, di rumah kakak saya. Ternyata, mencari pekerjaan sangat susah. Sampai saya pun demi mengisi waktu kosong karena tak dapat pekerjaan, sempat jadi kuli bangunan, memasang partisi atau sekat sebuah kantor yang ada di menara BNI, Jakarta. Sampai kemudian kakak saya menganjurkan, lebih baik saya meneruskan kuliah lagi. Saya pun akhirnya mendaftar di program ekstensi Fisip UI. Jurusan Perbandingan Politik, yang saya ambil. Alhamdulillah saya diterima. Maka mulailah, saya kuliah pulang pergi Depok-Bekasi. Kuliah dilakukan sore hari. Setelah beberapa lama kuliah, saya kenal dengan salah satu teman sekelas. Edi namanya, asal Brebes. Dan, Edi yang kemudian menawari saya tinggal di kosan, setelah dia tahu, saya kuliah pergi pulang dari Bekasi. Biaya kos pun ditanggung berdua. Di kosan itu pula saya mengenal Wening, kelak jadi fotografer harian Jurnal Nasional, sebuah harian yang berafiliasi ke SBY dan Partai Demokrat. Wening, beda kamar kosan dengan saya, namun masih satu komplek. Kala itu, Wening yang juga anggota Mapala UI, sudah jadi fotografer di Majalah NationWide, majalah internal Lion Air Grup. Majalah ini sekarang ganti nama jadi Lion Mag. Dan, saat saya ngekos di Margonda Depok itulah, saya ikut lomba menulis surat cinta dalam rangka hari valentine yang diadakan toko buku Gramedia Depok. Ternyata surat cinta yang saya buat dinobatkan jadi juara ketiga. Sala satu jurinya saat itu saya ingat adalah Mbak Fira Basuki, novelis terkenal. Satu waktu, tiba-tiba Wening, menawarkan saya jadi reporter pengganti meliput tempat wisata di Jawa Timur. Reporter tetapnya sedang sakit. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakan. Saya pikir ini kesempatan yang tak akan datang kedua kali. Pergi ke Malang, adalah pengalaman pertama saya naik pesawat terbang. Wuih, bangganya bukan main, bisa naik pesawat terbang. Di Malang, saya pergi ke Bromo, setelah itu ke Yogyakarta. Dan, kebanggaan saya bertambah, saat melihat tulisan reportase saya di muat di majalah internal Lion Air. Wening, membawakan beberapa eksemplar majalah, tanda bukti tulisan saya dimuat. Kian bangga lagi, selain tulisan dimuat, dapat honor pula. Semangat menulis pun makin membara. Setelah itu, tulisan lain saya dimuat juga di majalah Lion Air. Bahkan, beberapa cerita pendek saya juga ikut dimuat. Selain Wening, saya juga kenal dengan Sulung Prasetyo. Dia juga anggota Mapala UI. Dia, saat itu sudah jadi wartawan di Sinar Harapan, sebuah koran tua yang dipunghujung akhir tahun 2015, terpaksa tak terbit lagi. Lewat Sulung, saya menitipkan sebuah cerita pendek. Dan, ternyata cerita pendek saya dimuat di Sinar Harapan. Singkat cerita, saya akhirnya lulus dari UI. Tidak beberapa lama, saya kemudian menikah dengan gadis asal Cipete Utara. Cita-cita jadi wartawan pun akhirnya kesampaian. Saya diterima jadi wartawan di sebuah majalah yang membahas isu keamana. Majalah Security namanya. Kantor redaksinya di sebuah ruko, di Jakarta Selatan. Sayang, hanya sebentar saya bekerja di sana. Perusahaan tempat saya bekerja bermasalah, hingga kemudian tutup. Selepas bekerja dari sana, saya di terima jadi penulis naskah untuk program infotainmen Cek and Ricek. Program ini, besutan Ilham Bintang. Kantornya, ada di Meruya Jakarta Barat. Selain punya program infotainment yang tayang di sebuah stasiun televisi, grup usaha Pak Ilham Bintang ini juga punya sebuah tabloid cetak, namanya sama Cek and Ricek. Dan, saat bekerja sebagai penulis naskah di Cek and Ricek itulah, saya mengenal Kang Farid Iskandar. Dia, salah satu petinggi di jajaran redaksi tabloid Cek and Ricek. Kenal dengan Kang Farid, di sebuah warung kopi, tepat di depan kantor Cek and Ricek. Sebelum atau sesudah menulis naskah, saya kerap nongkrong di warung kopi itu, sekedar ngopi. Dan, ternyata Kang Farid sering juga ngopi di sana. Kami pun, setelah kenal sering ngobrol. Mungkin karena sama-sama dari Sunda, kami pun merasa klop. Suatu waktu, Kang Farid pernah bertanya asal sekolah saya. Saya pun menceritakan detil, jejak pendidikan saya. Saya bilang, saya lulusan ekstensi Fisip UI, jurusan perbandingan politik. Kang Farid, ketika itu agak kaget. Kata dia, anak politik ya. Sampai kemudian ia bicara serius. Katanya, sebentar lagi akan ada koran baru yang akan launching. Sekarang lagi butuh banyak wartawan. Koran Jakarta namanya. Kang Farid pun menyarankan saya melamar ke sana. Kata dia, sebagai lulusan jurusan ilmi politik, saya lebih cocok bekerja di koran harian umum, bukan di media infotainmen atau hiburan. Katanya, ia punya kenalan wartawan di sana yang jadi petinggi di koran baru tersebut. Ia berjanji, nanti akan bilang ke temannya itu. Saya pun di minta siapkan saja lamarannya. Beberapa hari setelah itu, saya datang ke kantor Koran Jakarta, yang waktu itu masih berkantor di sebuah ruko, di jalan Wahid Hasyim Jakarta Pusat. Saat saya masuk, kantor masih kosong, hanya ada beberapa meja kayu saja. Setelah tanya resepsionis, saya pun dipersilahkan menaruh berkas lamaran kerja saya di sana. Setelah itu, berkas lamaran saya di bawa ke atas. Saya diminta menunggu sebentar. Tidak beberapa lama, saya diminta naik ke atas. Saya pun naik ke lantai dua. Di sana sudah menunggu seorang lelaki. Dan, di ruangan lantai dua itulah, saya di tes. Saya masih ingat, karena dia tahu saya lulusan UI, saya diminta menelpon Eep Saefulloh. Untungnya nomor HP Mas Eep saya catat. Saya diminta mewawancarai Mas Eep untuk meminta analisisnya tentang kondisi politik Indonesia saat itu. Lewat telepon kantor, akhirnya saya bisa menghubungi Mas Eep. Dengan terus terang saya bilang ke Mas Eep, bahwa saya lulusan ekstensi Fisip UI, dan saat ini sedang di tes wawancara kerja di sebuah media. Selesai wawancara via telepon, saya kemudian diminta lelaki itu untuk menuliskan hasil wawancaranya dalam sebuah berita. Dengan memakai laptop pinjaman saya tuliskan hasil wawancara dengan Mas Eep, jadi sebuah berita. Setelah selesai, saya melapor. Lelaki itu pun kemudian, membaca hasil racikan tulisan saya. Dia tampak manggut-manggut. Usai membaca, dia minta saya menunggu sebentar. Dia kemudian masuk ke sebuah ruangan masih dilantai yang sama. Tak lama kemudian keluar lagi. Lalu, dia mengatakan, besok saya diminta ikut tes psikotes di kampus UI Salemba. Singkat cerita, esok harinya saya ikut tes psikotes di kampus UI Salemba. Dua hari setelah itu tak ada kabar. Hari ketiga, ada telpon masuk. Telepon dari HRD Koran Jakarta. Saya diminta datang ke kantor Koran Jakarta, esok hari. Dengan semangat 45, esoknya saya bergegas, naik motor ke kantor Koran Jakarta. Dan, betapa tak percayanya saya, saat itu saya dinyatakan di terima. Bahkan, hari itu juga saya di beri sebuah tas berisi laptop. Hari itu juga, saya di tugaskan meliput ke gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ada di Jalan Imam Bonjol. Saya tak percaya, benar-benar tak percaya, seperti dalam mimpi, akhirnya saya jadi wartawan 'politik'. Sebuah profesi yang jadi idaman saya sejak lama. Saya pun kemudian menelpon Kang Farid, mengabarkan bahwa saya resmi di terima di Koran Jakarta. Kang Farid merasa senang. Dan, ia minta segera mengurus surat pengunduran diri saya dari Cek and Ricek. Esoknya, saya mengurus surat pengunduran diri dari Cek and Ricek. Sampai sekarang, saya masih tercatat sebagai wartawan Koran Jakarta. Banyak suka duka yang saya alami selama jadi wartawan. Tapi saya menikmatinya. Mungkin karena sudah jadi cita-cita. Yang pasti, saya tak menyangka, dari hobi menulis surat cinta, saya bisa jadi wartawan. Benar-benar tak menyangka. Di tangan Wartawan, Kapolri Turun Pangkat Jadi Kombes Siap dengan referensi, adalah nasehat yang tak boleh diabaikan para pencari berita. Maksudnya, sebelum berangkat ke medan liputan, wartawan harus sudah bawa bekal sebakul referensi dan informasi terkait berita yang hendak dikejarnya. Jangan sampai otak kosong, apalagi sama sekali tak punya bekal referensi. Bisa fatal akibatnya. Kesalahan dalam berita sangat mungkin terjadi. Mulai dari yang sepele, seperti salah tulis nama, sampai salah kutip, atau keliru menulis pangkat atau jabatan. Bekal referensi, adalah bagian dari proses cek and ricek sebuah berita. Karena itu, ketika berita sudah selesai dibuat, jangan lantas langsung kirim ke redaktur. Cek ulang. Tes kembali dengan referensi yang telah dikantongi. Masih ragu, gampang saja, buka Mbah Google, cari referensi terpercaya. Sudah benar tidak? Bila telah yakin, baru berita di kirim ke redaktur. Intinya, jangan malas mengecek ulang. Jangan nafsu ingin cepat mengirim berita. Karena, acapkali kecerobohan tak terhindarkan, bila tak teliti. Bahkan untuk hal yang terlihat sepele. Soal ini saya punya cerita. Suatu sore di sebuah ruangan yang biasa jadi tempat ngumpul para wartawan yang ngepos liputan di Kementerian Dalam Negeri, beberapa wartawan sibuk mengetik berita. Sore adalah jam deadline. Karena itu, semua sibuk dengan ketikannya. Saya salah satunya. Saat sedang asyik-asyiknya mengetik berita, seorang wartawan dari sebuah media cetak grupnya media punya Dahlan Iskan, tiba-tiba melontarkan pertanyaan. " Badrodin Haiti itu pangkatnya Kombes atau apa yah?" Semua yang mendengar pertanyaan itu, berkerut kening. Sampai kemudian ada wartawan nyeletuk. " Lho kau tak tahu Kapolri pangkatnya apa?" Wartawan lain ikut pula menimpali. " AKBP pangkatnya ha.ha.ha." Wartawan itu hanya bercanda, atau menggoda si pelempar tanya. Mungkin merasa aneh saja, sampai tak tahu Badrodin Haiti Kapolri saat ini pangkatnya apa. Wartawan yang tak tahu pangkatnya Kapolri pun jadi bahan 'olok-olokkan' wartawan lain. Ada yang bilang, Badrodin pangkatnya Kopral, Kompol dan lain-lan. " Cek Google bro..", tiba-tiba terdengar seorang wartawan memberi saran. Wartawan si pelempar tanya, sepertinya mengikuti saran tersebut. Ia mengecek via Google. " Oh Jenderal yah," celetuknya sambil tersipu malu. Cerita lain, soal tak hapal kepanjangan singkatan sebuah direktorat. Di Kementerian Dalam Negeri itu, ada sebuah direktorat jenderal. Direktorat itu dikalangan wartawan biasa di singkat Ditjen Polpum, kepanjangan dari Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum. Nah, suatu ketika Ditjen Polpum menggelar acara. Beberapa wartawan meliputnya. Salah satu yang diwawancara di acara itu adalah Pak Soedarmo. Dia Dirjen Polpum. Sampai suatu ketika, ada wartawan yang mengingatkan wartawan lainnya. Sepertinya, si wartawan itu, membaca berita yang dibuat temannya. " Bos, Polpum itu, bukan politik dan hukum. Tapi politik dan pemerintahan umum," katanya. Ternyata temannya itu, seorang wartawan sebuah media online menulis kepanjangan dari Polpum itu adalah politik dan hukum, bukan politik dan pemerintahan umum. Untungnya berita tersebut belum dikirim ke redakturnya. Dan, untungnya lagi ada yang mengingatkan. Nah, itulah pentingnya mengecak kembali berita yang dibuat. Kan, tengsin juga, untuk masalah yang terlihat sepele, ternyata salah juga. #Tulisan saya di kompasiana.com, dengan judul," Pak Badrodin Pun Turun Pangkat, Dari Jenderal Ke Kombes." Enaknya Meliput Menteri yang Hobi 'Nguliner' Mungkin Tjahjo Kumolo bisa dikatakan adalah salah satu menteri yang hobi banget kuliner. Setiap pergi untuk kunjungan kerja ke daerah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) ini, nyaris tak pernah absen ngelakoni hobi kulinernya. Selalu saja dicari tempat makan enak di daerah yang dikunjunginya. Saya yang kerap diajak untuk meliput kegiatan Mendagri, ikut kecipratan enaknya kuliner bersama Pak Menteri. Pak Menteri memang, selalu mengajak para wartawan yang menyertainya untuk makan. Dan, jarang sekali Pak Menteri ini ikut jamuan makan resmi di daerah. Selalu saja mencari tempat makan sendiri. Seperti saat dia menghadiri acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional Sulawesi di Kota Palu, saat makan siang, ia langsung meluncur ke Rumah Makan Kaledo Streo. Rumah makan ini menyediakan menu andalan Kaledo, semacam sup dengan bahan sumsum sapi. Saya kebetulan diundang Kementerian Dalam Negeri meliput ke Palu. Saya lihat, Pak Menteri begitu menikmati lezatnya Kaledo khas Palu. Bahkan sampai berkeringat dan membuka baju seragam. Malam harinya juga begitu. Pak Menteri tak makan di kediaman resmi Gubernur Sulawesi Tengah. Tapi nyari makan sendiri. Rumah makan yang menyediakan ayam kampung yang jadi pilihannya. Lagi-lagi saya kecipratan enaknya, karena diajak ikut makan. Pun ketika berkunjung ke Palembang, untuk menghadiri Jambore Satuan Polisi Pamong Praja. Usai acara, Pak Menteri langsung mengajak para wartawan yang ikut meliput, makan di rumah makan yang menyediakan menu ikan patin. Di rumah makan itu, para wartawan duduk satu meja dengan Pak Menteri. Dan di sana Pak Menteri bercerita tentang awal mula ia jatuh cinta pada ikan patin. Ragam racikan Ikan patin ia sukai, baik bumbu kuning atau asam pedasnya. Usai makan, kami mengobrol santai. Rasanya, kami tak seperti sedang berbincang dengan seorang menteri. Tapi, seperti ngobrol dengan kawan lama, saking cairnya pembicaraan. Begitu juga saat Pak Menteri datang ke Tanjung Pinang, ibukota Provinsi Kepulaun Riau. Ia memilih mengajak wartawan makan siang di rumah makan sea food. Padahal tuan rumah, dalam hal ini pihak pemerintah provinsi Kepulauan Riau, sudah menyediakan makan siang. Pun, saat pergi ke Bali. Bahkan di Pulau Dewata ini, para wartawan diajak makan di dua tempat. Pertama makan siang di restoran sea food ala Hongkong. Restoran Laota namanya yang ada di Kuta. Di restoran itu pula untuk pertama kalinya saya mencicipi renyahnya menu bebek panggang Hongkong. Pengalaman kuliner yang langka. Sore harinya, sebelum dia terbang kembali ke Jakarta, masih sempat mengajak makan di sebuah restoran di kawasan Pantai Kuta, Bali. Saat ke Makassar, Sulawesi Selatan juga begitu. Ketika hendak menuju ke bandara usai menghadiri Munas Asosiasi Pemerintahan Provinsi se-Indonesia (APPSI), Pak Menteri sempat sarapan dulu di rumah makan Sop Saudara dekat Pantai Losari. Saya yang ikut meliput tentunya diajak pula. Pak Menteri juga tak pilih-pilih tempat makan. Makan di warung kelas tenda kaki lima pun jadi. Waktu datang ke Batam misalnya, Pak Menteri makan di warung makan yang ruangannya sempit banget. Bahkan, kedatangan Pak Menteri sempat bikin heboh pengunjung yang sedang makan. Sebab tak menyangka ada menteri nyelonong makan di sana. Tukang parkir pun sampai harus melongok, memastikan apakah benar yang datang adalah seorang menteri. Saya kebetulan ikut saat itu. Jadi tahu betul kehebohan ketika Pak Menteri datang. Mantan Wartawan Itu Kini Menjadi Menteri Malam terus merambat. Tapi pada hari Senin malam, 7 September 2015, ruangan tempat ngumpul para wartawan yang biasa liputan di Kementerian Dalam Negeri, masih ramai. Ada yang masih mengetik berita. Tapi, ada juga yang ngobrol asyik ngalor ngidul. Mungkin, berita sudah selesai dikerjakan. Saya sendiri, karena telah menyelesaikan beberapa berita, memilih nimbrung ngobrol ngalor ngidul dengan beberapa wartawan. Salah satu tema yang diobrolkan soal Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama Ahok, yang mengusulkan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dibubarkan. Alasan Ahok, sistem rekrutmen di sekolah penghasil pamong praja itu tak jelas. Pun sistem pendidikannya. Ahok juga 'menuding' banyak alumni IPDN yang suka ngumpul-ngumpul duit untuk menyogok aparat penegak hukum. Pernyataan Ahok pun kemudian memantik 'kemarahan' para alumni IPDN. Ternyata wartawan bertahan sampai malam, karena menunggu Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, yang menurut informasi sedang menggelar pertemuan dengan Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Alex Noerdin. Tentu ini bisa jadi sumber berita, terkait dengan belum pastinya siapa yang jadi Wali Kota Palembang, setelah Romi Herton, Wali Kota Palembang terpilih kena sandung kasus suap, saat ia bersengketa soal hasil pemilihan wali kota di Mahkamah Konstitusi. Romi kini sudah jadi pesakitan. Kedatangan Alex yang menemui Mendagri, pasti terkait itu, begitu para wartawan menduga. Tidak berapa lama datang informasi pertemuan telah selesai dilakukan. Dan, Gubernur Sumsel, Alex Noerdin sudah turun. Benar saja, saat saya berhambur keluar dengan beberapa wartawan lain dari ruangan tempat kumpul para pencari berita, satu sosok familiar, berbadan gemuk, sudah ada di bawah. Dialah Alex Noerdin, Gubernur Sumsel. Alex pun langsung dikerubuti para wartawan. Pertanyaan seputar Wali Kota Palembang pun diajukan kepadanya. Alex sendiri berkilah, pertemuan dengan Mendagri, Tjahjo Kumolo, tak semata membahas soal Wali Kota Palembang. Tapi juga soal asap, dimana beberapa hari yang lalu, Presiden Jokowi datang langsung meninjau lahan yang terbakar di Sumsel. " Ya disinggung (Wali Kota Palembang) tapi hanya selintas saja," kelit Alex sambil bergegas menuju mobilnya. Seperti tak mau 'buruannya' lepas, para wartawan, tentunya termasuk saya tetap mengikuti Alex yang bergegas menuju mobilnya. Pertanyaan soal isu dana desa pun ikut dilontarkan. Seperti diketahui, sedang ramai dibicarakan tentang tersendatnya pencairan dana desa. Dan, muncul pernyataan dari Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar, yang mensinyalir tersendatnya pencairan dana desa di daerah, karena adanya politisasi anggaran oleh kepala daerah yang hendak maju Pilkada. Alex sendiri menjawab, bahwa di provinsi yang dipimpinnya pencairan dana desa tak ada masalah. Ia juga tak melihat adanya politisasi dana desa. Namun diakuinya, banyak kepala daerah yang belum mengerti soal bagaimana membuat laporan pertanggungjawaban dana desa. Karena itu, sedang dilakukan pendampingan dan pelatihan. Tiba-tiba Carlos, wartawan Suara Pembaruan, melontarkan pertanyaan, tepatnya meminta tanggapan Alex soal usulan pembubaran IPDN yang dilontarkan Ahok. Awalnya Alex tak mau menjawab. Tapi, Carlos mendesak terus. Saya pun ikut mendesaknya. " Enggak ah, Ahok itu kawan saya," kata Alex coba menghindar untuk tak menanggapi usulan Ahok. Tapi Carlos tetap memburu. Pun saya. Sampai akhirnya, Alex pun mau menanggapi. Kata dia, ia tak sepakat dengan usulan Ahok, " Yang jelas diperlukan. Kalau terjadi sesuatu yang keliru, jangan institusinya yang dibubarkan, benahi saja," katanya. Setelah itu, Alex buru-buru masuk dalam mobilnya yang sudah menunggu di pintu lobi kantor Mendagri. Dan, mobil hitam besar yang membawa Alex pun pergi meninggalkan kantor Mendagri. Para wartawan pun kembali masuk ke dalam gedung. Mereka kembali menunggu Mendagri yang belum turun dari ruang kerjanya. Malam kian merambat, ketika datang informasi Mendagri akan turun. Ternyata Mendagri belum turun juga. Karena tak mau nanti Mendagri keburu pulang, maka saya dan beberapa wartawan memilih menunggu di luar ruangan tempat wartawan biasa ngumpul. Tampak satu sosok keluar. Dia Dirjen Otonomi Daerah (Otda), Soni Sumarsono. " Pak Soni," seru Carlos, begitu dilihatnya sosok Pak Dirjen. Pak Soni pun menengok. " Wah belum pada pulang nih,"katanya. Tentu bagi para wartawan, keberadaan Dirjen Otda, tak bisa dilewatkan, karena ini juga adalah sumber berita penting yang bisa dikutip. Maka, Dirjen Otda pun langsung dikerubuti wartawan. " Selamat pak sudah jadi penjabat Gubernur Sulut (Sulawesi Utara-red)," kata Carlos, begitu sudah di dekat Dirjen Otda. " Jangan ucapkan selamat dulu. Saya belum dilantik. Sekarang masih Dirjen Otda," kata Pak Soni. Ya, memang sudah santer bahwa Pak Soni telah ditunjuk jadi penjabat Gubernur Sulut. Mendagri, Tjahjo Kumolo juga telah memberi isyarat, bahwa memang Pak Soni yang akan menjabat sebagai penjabat Gubernur Sulut. Pertanyaan soal Wali Kota Palembang pun kembali diajukan para wartawam ke Pak Soni. Pak Soni menjawab, persoalan Wali Kota Palembang yang jadi polemik, sebentar lagi selesai. Kata dia, DPRD Kota Palembang, telah setuju siapa yang akan duduk sebagai Wali Kota Palembang. Tak berapa lama, sosok tinggi besar berbaju batik keluar dari lift. Dialah Mendagri, Tjahjo Kumolo. Karena Mendagri sudah datang, maka kini para wartawan pun berpindah mengerubuti. Mendagri kini yang dikerubuti. Pertanyaan soal wali kota Palembang kembali dilontarkan. Setelah itu, Dita, wartawan Seputar Indonesia, mengajukan pertanyaan soal dana desa. Dita meminta tanggapan Mendagri terhadap pernyataan Menteri Desa yang mensinyalir ada politisasi dana desa menjelang Pilkada. Mendagri sendiri menjawab, ia tak terlalu melihat itu. Menurutnya, kepala daerah lebih berhati-hati, hingga pencairan dana desa agak tersendat. Tapi katanya, dia sudah minta para kepala daerah segera mencairkan dana desa. Bila tak segera dicairkan, kepala daerah akan kena sanksi. Tapi Dita, tetap meminta penegasan Mendagri tentang pernyataan Menteri Marwan. " Jadi tak benar pak ada politisasi dana desa untuk Pilkada," tanya Dita lagi, minta penegasan Mendagri. Tiba-tiba seorang wartawan nyeletuk. " Dita lagi cari lead pak," Mendagri tertawa mendengarnya. " Ini wartawan ngatur-ngatur Mendagri ha.ha.ha," Dirjen Otda ikut menyela. Selanjutnya, Anton Wartawan Kompas, ikut bertanya. Ia minta penjelasan Mendagri soal SKB (Surat Keputusan Bersama) Mendagri dengan Menteri Desa tentang dana desa. Mendagri pun menjawab, bahwa bukan SKB. Tentang dana desa, ia memang telah meneken surat bersama dengan Menteri Desa. Tapi kata dia, tak hanya dengan Menteri Desa, masih soal dana desa, ia juga akan meneken surat bersama Menteri Keuangan. Tiba-tiba, Mendagri memanggil seseorang. " Di coba bawa itu berkas-berkas saya di mobil yang ada soal dana desa" katanya. " Wah, boleh juga tuh pak di copy" tiba-tiba Anton menyela. Orang yang dipanggil Mendagri, tak lain adalah staf pribadinya, Mas Adi. Tak berapa lama, Mas Adi, tampak tergopoh-gopoh membawa setumpuk berkas. Lalu, ia menyerahkan ke Mendagri. Mendagri pun segera membawa tumpukan berkas ke atas meja, tempat para petugas pengamanan dalam atau Pamdal, berjaga. Ia pun kemudian, memilah-milah tumpukan dokumen, mencari berkas yang dicarinya. " Di, enggak ada. Coba cari berkas yang ada tentang dana desa," kembali Mendagri berseru pada Mas Adi, staf pribadinya. Tapi tak lama kemudian, Mendagri kembali berseru kepada Mas Adi. " Di sudah ketemu, ada ini". Mas Adi pun urung mencari berkas. Tiba-tiba Dirjen Otda, berkata. " Kalian ini ngerjain menteri". Sambil membuka berkas dengan dikerubungi para wartawan, Mendagri hanya tersenyum mendengar perkataan Dirjen Otda. Sampai kemudian ia berkata. " Saya juga pernah menjadi wartawan," kata Mendagri. " Wah dimana pak? Koran apa? Suara Merdeka?," Carlos langsung menyela dengan pertanyaan. Carlos langsung menebak Suara Merdeka, karena memang Mendagri, berasal dari Jawa Tengah, dari Semarang. Koran Suara Merdeka sendiri, adalah koran tertua dan mungkin terbesar di Jawa Tengah. " Bukan, tapi temannya Suara Merdeka, koran Wawasan. Sponsor saya maju jadi Ketua KNPI, ya dari Suara Merdeka Grup," jawab Mendagri. Ya, Menteri Tjahjo memang pernah jadi Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia atau KNPI, salah satu organisasi kepemudaan berpengaruh di Tanah Air. " Kalian hati-hati menulis, Pak Menteri mengerti 5W1H," Dirjen Otda kembali menyela. Istilah 5W1H atau who, what, where, when, why, how yang disebut Dirjen Otda, adalah unsur baku dari sebuah berita. Mungkin Pak Dirjen Otda mengingatkan para wartawan, agar tidak memelintir berita. Ya, memang Mendagri sendiri, pernyataannya pernah dipelintir oleh sebuah media. Dimuat di www.kompasiana.com, 09 September 2015 Description: Buku ini, bukan buku berat. Bukan pula buku panduan menulis untuk wartawan pemula. Bukan ya! Catat sekali lagi, buku ini bukan buku tentang jurnalisme. Ini hanya sebuah catatan iseng yang dicatat, diinget-inget, dikumpulkan kembali, lalu di buat dalam sebuah cerita. Mudah-mudahan ini bisa dibaca sebagai sebuah cerita. Ini hanya sebuah keisengan belaka, mencatat segala cerita yang terjadi di medan liputan atau terjadi di sela-sela waktu mencari berita. Mungkin, bagi yang mau jadi wartawan, saya kira hukumnya wajib baca buku ini he.he.he. Buku ini bercerita tentang ragam tulisan tentang sosok maha penting yang kerap disebut salah satu pilar demokrasi, yaitu jurnalis, pencari berita, si kuli tinta, yang memang benar-benar kuli. Namun tak selamanya, sosok maha penting ini, terlihat serius, memberondong narasumber dengan pertanyaan tajam. Sosok maha penting ini juga adalah juga manusia biasa, yang kerap bisa ceroboh, atau bahkan malu-maluin he.he.he.
Title: Wirid Kiai Rohmat Category: Spiritual Text: Wirid Kiai Rohmat Wirid Kiai Rohmat MA Firdaus Ahad pagi di warung kopi Wak Dul mendadak menjadi ramai tidak seperti biasa. Cangkir kopi berjejer berdempetan, berdampingan dengan lepeknya. Kebanyakan cangkir kopi masih tersisa separuh. Semua pengunjung warung kopi itu lebih sibuk ngobrol dari pada menyeruput kopinya. Hingga pelanggan yang datang lepas subuh belum jua beranjak, tersusul oleh pelanggan lain yang datang kemudian. Mereka diasyikkan oleh obrolan tentang kejadian semalam. Tentang segerombolan preman yang lari tunggang langgang dari arah pesantren Kiai Rohmat. “Sekarang sudah jelas, Kejadian semalam itu menjadi bukti kongkrit, bahwa pesantren Kiai Rohmat itu dijaga oleh sepasang macan putih gaib, seperti rumah Kiai Abdurrohman. Saya tahu persis akan hal itu, soalnya saya pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri waktu sowan ke rumah beliau.” Mbah Hamdi melempar opini. Macan putih yang katanya sepasang itu menjadikan obrolan di warung kopi itu kian tak berujung. Waktu seakan berhenti ketika semuanya membicarakan Kiai Rohmat dan macan putihnya, topik itu seperti gula yang sedang dikerumuni sekawanan semut. Kang Imad yang baru datang langsung saja diberondong pertanyaan oleh orang-orang tentang kebenaran berita seputar kiainya itu.“Eh Kang, semalam itu ceritanya gimana? Bogel Rocker dan anak buahnya kok sampai lari sambil teriak ketakutan kayak dikejar hantu gitu? Apa benar mereka terkena tempeleng macan putih Kiai Rohmat?” Mbah Hamdi membuka pertanyaan, hendak menguatkan opini yang tak berdasar itu. Kang Imad yang belum dapat tempat duduk langsung saja diberikan seperempat meter ujung bangku oleh pengunjung lain yang buru-buru bergeser untuknya. “Loh, semalam memang ada apa Mbah?”, sahut Kang Imad sambil memesan secangkir kopi. “Loh… sampean kok malah tidak tau, semalam Si Bogel dan anak buahnya lari tak karuan dari arah pesantren sampean”. Kang Imad masih melongo. “Ada dua anak buahnya yang lari terjungkal-jungkal, sambil menuntun motor gedenya, setirnya terlihat bengkok, seperti habis dipukul palu besar” Wak Dul menambahkan. “Semalam para pengurus pondok dan santri memang sedang ada istighasah bulanan, dan selesai hingga larut malam, ya mungkin kita tidak dengar karena suara motor Bogel Rocker masih kalah dengan suara salon dan gemuruh santri saat istighasah”. Kang Imad mencoba menerka. Mbah Sholeh yang sedari tadi diam duduk di sudut warung hanya mendengar obrolan mulai angkat bicara. “Kalian ndak usah heran, dulu di dekat pesantren Kiai Rohmat kan ada rumah raja begal di kota ini, kalian masih ingat Bos Breng toh?”. Sebagian besar palanggan kopi tidak tahu, meski menjadi penasaran. Maklum dari sekian banyak yang ada di warung kopi Wak Dul adalah pendatang. Hanya Mbah Sholeh dan Mbah Hamdi yang merupakan penduduk asli kampung ini, tingkah polah penduduk kampung ini sejak 60 tahun lalu masih terekam baik oleh keduanya. Pelanggan yang lain malah hanya sekelompok tukang kuli yang didatangkan dari luar daerah. Mereka dikontrak tiga bulan untuk membangun pabrik dekat warung Wak Dul. Itu pun baru sebulan mereka tinggal di kampung ini. “Si Bogel sih masih kalah level dengan Bos Breng, preman terminal dan pasar saja semua tunduk, dia juga yang dulu mengalahkan Tomang. Lalu menang melawan lima belas anak buahnya, hingga akhirnya semua pengikut Tomang menjadi anak buahnya. Bos Breng yang sehebat itu saja menghilang tiba-tiba selang lima tahun keberadaan pesantren Kiai Rohmat yang berada di dekat rumah Bos Breng”. Mbah Sholeh bercerita dengan memang mimik serius. “Betul juga ya, dulu rumahnya pernah juga di sergap polisi, tapi Bos Breng berhasil lolos, tinggal tembok rumahnya saja yang masih tersisa sekarang” kata Mbah Hamdi sambil menunjuk ke arah gang menuju pesantren. Mendengar penuturan Mbah Sholeh dan Mbah Hamdi, Kang Imad ikut-ikutan menambah narasi kehebatan kiainya itu, “Itu mungkin karena karomahnya Kiai Rohmat, selama ini saya juga heran, dari mana Kiai Rohmat bisa memberi makan dua ratusan santrinya setiap hari, padahal Kiai Rohmat tidak memungut biaya apapun dari santrinya”. Kang Imad yang menjadi penjaga koperasi mulai membuka dapur usaha kiainya, ”Padahal Kiai Rohmat bisnisnya hanya beternak sapi, itu pun hanya empat ekor. Kalau pakai sistem bagi hasil dengan Mbah Munib sebagai imbalan angon, Kiai Rohmat kan hanya dapat sebagian saja, mana cukup untuk kebutuhan sehari-hari santri, belum lagi pembangunan pesantren terus jalan” ungkapnya dengan terheran-heran. Semua pelanggan kopi masih diam, mendengar dengan seksama. “Untung saja ada Pak Heri, pengusaha udang windu yang sukses itu tiap bulannya menyalurkan sedekahnya ke pesantren, saya yang biasa dipasrahi untuk membagikan santunan kepada para abdi pesantren. Itu pun tidak semua saya kasih amplop” terangnya dengan senyum jenaka. Kang Imad memang biasanya hanya memberikan amplop santunan Pak Heri kepada abdi pesantren yang ia kenal dekat. Yang jelas, kedua adiknya yang masih sekolah tidak pernah terlewat dalam hitungan jatah santunan. Maklum, keduanya menjadi tanggungan Kang Imad setelah ayah Kang Imad meninggal. “Wah… ternyata sudah jam 9.00 toh, saya duluan ya, waktunya njemput istri dari pasar”. Celetuk Mbah Hamdi berpamitan sambil membayar uang kopinya. Setelah itu disusul beberapa pelanggan undur diri. Kang Imad masih santai menghabiskan kopinya. Mbah Hamdi yang mau keluar pintu membisiki Kang Imad yang duduk tepat di samping pintu, “Kang, pasti Kiai Rohmat punya wirid khusus yang ampuh ya, kok bisa jadi keramat seperti itu, selain sakti, uangnya juga terus mengalir, ya nggak..?”, sambil menyenggol bahu Kang Imad dengan senyum penuh arti. *** Sepanjang perjalanan pulang ke pesantren selepas ngopi di warung Wak Dul, otak Kang Imad dipenuhi oleh seribu pertanyaan, perasaannya diselimuti oleh rasa penasaran tingkat tinggi, pikirannya digelayuti oleh wirid ampuh Kiai Rohmat, telinganya masih terngiang perkataan Mbah Hamdi kepadanya. Ia mulai membayangkan betapa enak hidupnya kelak jika mendapat wirid ampuh Kiai Rohmat. Tanggungan ekonomi keluarganya mungkin saja bisa berhenti untuk ia keluhkan. Maklum saja, Kang Imad berasal dari keluarga yang pra sejahtera. Ia terpaksa bekerja menjaga koperasi untuk dapat mondok dan sekolah hingga lulus di pesantren Kiai Rohmat. Dari awal ia memang mengincar posisi sebagai penjaga koperasi pesantren. Dengan begitu, ia mendapat jatah bonus kitab dan buku sekolah tanpa harus membelinya. Sekarang Kang Imad mulai mengumpulkan uang dari pekerjaannya itu untuk biaya sekolah kedua adiknya. Posisinya di koperasi belum ia lepas, agar ia masih mendapat jatah bonus kitab dan buku sekolah untuk kedua adiknya. Kang Imad bahkan rela puasa senin-kamis demi uang jajan saudara tengah dan bontotnya itu. Beban ekonomi Kang Imad semakin berat ketika ibunya memberitahunya bahwa ia punya hutang sepuluh juta rupiah untuk biaya operasi gagal yang menyebabkan kematian ayahnya. Impian Kang Imad langsung ambyar ketika ia teringat betapa berat beban ekomoni yang ia pikul. Namun diam-diam Ia juga masih menyimpan cita-citanya untuk dapat kuliah seperti teman-temannya, meskipun ia sadar umurnya sudah telat untuk kuliah. Beban ekonomi itu lantas mendorong Kang Imad untuk menyelidiki wirid yang menjadi sumber kekeramatan Kiai Rohmat. Tetapi ia merasa bingung untuk memulainya. Ia pikir, kunci dari misteri ini tentu ada di Kiai Rohmat. Beliau pasti paham kejadian semalam yang telah menjadi buah bibir orang-orang di sekitar pesantren. Namun yang paling membuat penasaran Kang Imad adalah wirid ampuh yang diamalkan Kiai Rohmat dan juga macan putihnya. Ia mulai mengandai, andai saja Kiai Rohmat sudi berbagi wirid dengannya, pasti peta kehidupannya akan berubah. “Aah.. Kalau langsung ke Kiai Rohmat, tentu aku tidak berani, gimana ya caranya…?” batin Kang Imad. Usai salat dhuhur di masjid, tiba-tiba Kang Imad melihat Mbah Munib di kejauhan. “Nah, itu Mbah Munib, kamarnya kan hanya dua puluh meter dari gerbang pesantren, pastilah ia tau tentang kejadian semalam, tapi kira-kira Mbah Munib mau menjawab gak ya…?”. Meskipun ragu, Kang Imad tetap melangkah ke arah Mbah Munib yang sedang mencari rumput untuk pakan sapi-sapi Kiai Rohmat. “Wah Mbah Munib kelihatan lagi serius bekerja, gak enak kalau ke sana hanya tanya saja tanpa membantunya. Tapi mencari rumput kan memang bukan bagian dari tugas pokok pekerjaan saya. Gaji bulanan yang saya terima kan hanya dari jasa menjaga koperasi, bukan dari yang lain. Aduh, gimana ya?”, batin Kang Imad sembari meneruskan langkah penuh ragunya. “Aduh, gak jadi deh, lagian Mbah Munib kan tidak pernah saya kasih jatah saat pembagian daging kurban, nasi tumpeng, atau pun santunan dari Pak Heri, bisa gawat kalau nanti ditanya”. Mengetahui kedatangan Kang Imad, Mbah Munib pun langsung menyembunyikan wajahnya di balik tumpukan karung goni. Kang Imad langsung membelokkan langkahnya, niat bertanya ke Mbah Munib pun urung dilakukan. Di samping rasa tidak enak karena merasa tidak pernah memberikan jatah santunan, Kang Imad juga sangat paham watak Mbah Munib. Pria paruh baya itu berperawakan tinggi besar. Mukanya lebih didominasi brewok dan jambang yang terlihat tak terurus. Penampilan itu dilengkapi dengan sifatnya yang selalu dingin dan tertutup. Ia tidak pernah ikut kegiatan pesantren. Jama’ahnya pun selalu berada di shaf paling belakang. Ia tidak pernah membuka obrolan dengan pengurus dan santri. Jadi wajarlah jika hampir seluruh santri tidak pernah berinteraksi dengan Mbah Munib, sama sekali. Sikap tertutup Mbah Munib itu membuat santri cenderung acuh kepadanya. Saat membopong rumput seisi beberapa karung goni pun tidak ada yang membantunya, meski banyak santri yang lalu lalang melalui jalan Mbah Munib. Santri yang statusnya menjadi karyawan di pesantren Kiai Rohmat pun tidak ada yang bersimpati membantu, termasuk Kang Imad. Dari sekian banyak yang acuh, hanya ada satu orang yang masih peduli, yaitu Mbok Sinah. Ketua dapur pesantren yang berumur sekitar 60-an tahun. Masih kerabat jauh dari Bu Nyai Rohmat. Mungkin karena keduanya telah berada di pesantren Kiai Rohmat sejak awal pendiriannya. Atau karena memang disuruh oleh Kiai Rohmat untuk mengantarkan kebutuhan makannya. Kang Imad masih mengincar waktu yang tepat untuk ngobrol dengan Mbah Munib. Sejak pagi ia menguntit Mbah Munib. Piket jaga koperasi sudah ia serahkan kepada juniornya. Sepertinya dia sudah tidak tahan dengan rasa penasarannya. Ketika sore menjelang, setelah Mbah Munib memberi pakan sapi-sapi Kiai Rohmat, ia melihat Mbok Sinah ke kamar singgah Mbah Munib, menghantarkan jamu dari Kiai Rohmat. Jamu untuk sapi-sapinya dan jamu untuk Mbah Munib. “Nah, kebetulan ada Mbok Sinah, mending saya tanya Mbok Sinah dulu saja, kok ndak kepikiran dari awal ya” ucapnya sambil menepuk jidat. Kang Imad tentu tidak akan canggung bertanya dengan Mbok Sinah, rekan masaknya di ndalem wingking Kiai Rohmat. Ketika Mbok Sinah ingin kembali ke ndalem wingking, Kang Imad sudah menunggunya di dekat pohon kelapa sebelah ndalem wingking Kiai Rohmat. Setelah basa basi, Kang Imad langsung menanyakan kejadian semalam. “Mbok Sinah, njenengan tahu tidak, semalam Bogel Rokcer ke pesantren ini”. “Bogel Rocker itu siapa…?”, ucap Mbok Sinah sambil mengingat-ingat semua kenalannya. “Bos preman kecamatan sebelah loh mbok”. “Hah… preman?”. Setelah merenung sejenak, Mbok Sinah menimpali pertanyaan Kang Imad dengan pertanyaan pula, “tapi sepertinya kamu sebenarnya pengen tanya tentang Mbah Munib kan?” tebak Mbok Sinah. “Emm, i.. iya Mbok”, Kang Imad asal mengiyakan saja, meskipun sebenarnya ia lebih berhasrat untuk mengetahui kekeramatan Kiai Rohmat. “Aduh, ya jangan sekarang, besok saja ya, saya masih repot dengan urusan dapur, sudah ditunggu Bu Nyai”, jawab Mbok Sinah sambil berjalan meninggalkan Kang Imad. “”Eh, Mbok!?”, Kang Imad menghentikan langkah Mbok Sinah, hanya untuk meminta kesempatan bertemu lagi. “Apa lagi si Kang?”, jawab Mbok Sinah ketus. “Anu, nggak jadi deh”, Kang Imad sudah kehilangan selera bertanya. “Ealah, dasar gemplung”, jawab Mbok Sinah sambil mecucu. Terang saja, setelah kehilangan kesempatan bertanya, malam hari itu Kang Imad tidak bisa tidur karena memikirkan wirid Kiai Rohmat. Semakin ia pikirkan, semakin bertumpuk pula semangatnya untuk bertemu Kiai Rohmat. “Apapun yang terjadi, besok pokoknya aku harus menemui Kiai Rohmat, Kebetulan besok hari senin, waktunya Kiai Rohmat memberikan pengajian hadis di masjid, jadi aku tidak perlu sungkan-sungkan menemuinya di ndalem”. *** Keesokan harinya, Kang Imad telah jauh lebih siap. Ia sudah bertekad untuk bertanya langsung kepada Kiai Rohmat. Sesaat sebelum pengajian hadis mingguan ba’da lohor di masjid pesantren, Kang Imad sudah berancang-ancang untuk bertanya. Selepas salat dhuhur, ia sudah cengangak cengunguk di depan teras ndalem Kiai Rohmat. “Begitu Kiai Rohmat keluar rumah, saya akan tanyakan langsung”, batin Kang Imad. Sesaat kemudian keluarlah Kiai Rohmat. Kang Imad telah mengumpulkan seratus persen keberaniannya untuk menghadap dan bertanya langsung. Namun keadaan saat itu tidak sesuai bayangannya. Kiai Rohmat keluar dari Ndalem dengan peci dan baju yang serba putih. Surbannya hanya diletakkan di pundaknya asal-asalan. Kiai yang tak pernah lepas dari senyum itu kali ini keluar diiringi oleh tiga orang tamu. Dengan muka yang ditekuk, terpaksa Kang Imad menunggu tamu itu berpamitan dan mencari kesempatan Kiai Rohmat jalan sendirian. Waktu pengajian sudah telah beberapa menit. Kiai Rohmat tergopoh-gopoh menuju masjid dengan sandal usangnya yang seharga dua bungkus nasi goreng. Kang Imad pun menjadi ciut nyali untuk bertanya, khawatir memperpendek durasi pengajian hadis kiainya. Tapi rasa penasarannya membulatkan kembali tekadnya. “Asaalamu’alaikum Kiai”, Kang Imad menyambut sambil mengecup tangan Kiai Rohmat dengan takdim. “Wa’alaikumussalam, njeh kang, wilujeng njeh?”, balas lembut Kiai Rohmat. “Alhamdulillah Kiai, pangestu, anu Kiai, saya ingin…”. Melihat Kiai Rohmat yang terus berjalan, Kang Imad pun urung bertanya. “Kenapa Kang…? Udah, ikut ngaji saja yang mempeng”, ucap Kiai Rohmad dengan sunyum khasnya. “Njeh Kiai..”, jawab pasrah Kang Imad. “Aduh, Apes deh, kalau lagi perlu, ada saja halangannya, kemarin Mbok Sinah seperti itu, sekarang Kiai Rohmat, pengen hidup enak saja susah”, Kang Imad menggerutu sambil berjalan lemas menuju koperasi, untuk menjaga sambil mendengarkan pengajian Kiai Rohmat. Sampainya di masjid, Kiai Rohmad sudah dinanti semua santrinya. Kiai berperawakan kurus kecil itu langsung dikeruyuk pengurus senior dengan kecupan takdim di bagian telapak dan pungung tangannya, bolak balik. Ia duduk lesehan seperti santrinya. Santri yang duduk di depan dapat menempelkan dengkulnya di kursi dan meja sederhana tempat Kiai Rohmat mbalah kitab. Hampir tidak ada jarak antara tempat duduk Kiai Rohmat dengan santri. Bukan karena kapasitas masjid yang tidak muat, akan tetapi karena pribadi Kiai Rohmat yang memang tidak ada sekat. Saat itu, Kiai Rohmat menjelaskan dalam pengajiannya, hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik tentang pribadi manusia agung, Rasulullah Saw. “Hadis ini ada dalam kitab Bukhari dan Muslim, yang diriwayatkan oleh salah satu sahabat yang ikut Nabi sejak belia, redaksinya: Berkata Anas bin Malik: Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna yang lebih halus dari telapak tangan Nabi, juga belum pernah mencium wewangian yang lebih harum dari aroma tubuh Nabi. Aku mengabdi kepada beliau selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata yang menyakitkan hatiku”. Dengan perawakannya yang lembut dan penuturannya yang santun, Kiai Rohmat mulai menguraikan terjemah hadis dan kandungan hikmahnya. Hadis itu secara jelas berkenaan tentang sifat fisiknya Nabi. Namun kali ini, Kiai Rohmat tidak berlama-lama menjelaskan makna yang tersurat. Ia justu lebih banyak menjelaskan tentang makna kandungan yang tersirat dari teks hadis. “Coba lihat, Sahabat Anas bin Malik, betapa beruntungnya ia, sejak usia sepuluh tahun sudah berkhidmat kepada Nabi. Sahabat Anas mulai belia sudah hidup bersama Nabi, berada dalam bimbingan manusia yang paling mulia, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga di penghujung hayatnya. Ia mendapatkan limpahan kasih sayang melebihi kasih sayang seorang bapak kepada anaknya. Ia menjadi pelayan kecil kesayangan Nabi, hingga seringkali ia dipanggil oleh Nabi dengan sebutan unais, panggilan kesayangan. Derma baktinya kepada Nabi melahirkan keridhaan Nabi terhadapnya, hingga sebelum akhir hayatnya, Nabi memberkati Anas dengan doanya: Allahumma aktsir malahu wa waladahu wa barik lahu fima razaqtahu (Ya Allah perbanyaklah harta dan anaknya, dan berkatilah untukya rizki yang telah Engkau berikan kepadanya)”. Suasana pengajian Kiai Rohmat selalu khidmat. Para santri sangat antusias mengikuti pengajiannya. Meski masjid pesantrennya belum sepenuhnya rampung, namun pengajian sore itu menjadikan suasana masjid menjadi sempurna. Spiker masjid itu pun tak sekeras suara pengajian rutin Kiai Rohmat di beberapa masjid di sekitar pesantren. Namun pesan hikmah pengajian Kiai Rohmat sangat jernih, hingga terdengar jelas dari lapangan pesantren, di mana Mbah Munib terlihat seakan-akan mendengarkan pengajian sambil mencari rumput untuk pakan sapi. “Para santri, ingatlah baik-baik, Pangkate santri ono ing ridhone Kiai, kemuliaan santri itu ada pada keridhoan kiai. Inilah pesan yang tersirat dari hadis kelembutan tangan dan tutur kata Rasulullah. Kalian ingat siapa bapak dari Imam Malik, pendiri madzhab Maliki, yang jadi gurunya Imam Syafi’I itu? bapak beliau tak lain adalah sahabat Anas bin Malik, pelayan kecil Rasulullah, yang telah mengabdi 10 tahun kepada Rasulullah. Karena bakti Anas bin Malik, maka Allah memberkahinya dengan seorang anak yang mulia, bernama Imam Malik bin Anas, yang menjadi ulama yang paling alim di zamannya. Maka selain belajar, santri juga harus punya niat untuk mengabdi di pesantrennya, mengabdi di lingkungannya. Itu adalah amalan terbaik bagi santri. Tidak perlu amalan wirid macam-macam untuk jadi mulia, cukup mengabdi yang ikhlas saja kepada pesantren atau kepada masyarakat. Insyaallaah hidup kalian akan mulia, dan hidup kita akan senantiasa dijaga oleh Allah dan diarahkan kepada kebaikan di dunia dan di akhirat kelak. Karena pengabdian yang tulus akan mengingatkan kita kepada Allah. Kalau sudah demikian, maka Allah akan selalu mengingat kita dalam suka dan duka. Saya pun bisa menjadi seperti ini, ya berkat barokah dari kakek saya yang mengabdi kepada kiainya. Saya mendirikan pesantren di sini juga dengan niat untuk mengabdi kepada kiai saya, yang telah memerintahkan saya untuk membuka pengajian di daerah sini. Karena pengabdian itu sampai akhir hayat, insyaallah Allah akan memuliakan hidup kita. Ingat, kemuliaan itu bahasa Arabnya adalah karomah. Kalian jangan mengejar karomah yang macam-macam, tapi kejarlah karomah pengabdian kepada ilmu”. Pengajian hadis Kiai Rohmat hanya sekitar 40 menitan, setelah itu pengajian ditutup dengan membaca penggalan syair “Ya Imamarrusli” karya Syaikh Abdurrahim al-Bar’i, Rabbi fanfa’na bi barkatihim…. Entah mengapa, usai pengajian Kang Imad merasa tidak perlu lagi untuk mengutarakan pertanyaannya kepada Kiai Rohmat, ia seakan telah mendapatkan jawaban dari semua pertanyaannya melalui pengajian hadis sore itu, seakan-akan dalam pengajian itu Kiai Rohmat sedang menjawab pertanyaan Kang Imad yang urung tersampaikan waktu bertemu di depan teras ndalem sebelum pengajian. Kang Imad lantas menyimpulkan sendiri jawaban tak langsung dari Kiai Rohmat. dan mulai berangan-angan, “jadi kalau gitu, wirid Kiai Rohmat adalah laku pengabdiannya..? ah, entahlah”. Kang Imad dibuat bingung oleh kesimpulannya sendiri yang ia pikir tak masuk akal. *** Ketika Kiai Rohmat mulai melantunkan Rabbi fanfa’na, tiba-tiba Kang Imad dikejutkan dengan kedatangan Mbok Sinah di koperasinya. Ia diminta Bu Nyai untuk membeli jajan buat cucunya yang baru datang. Kesempatan ini tidak dilewatkan oleh Kang Imad. “Kang, jajan yang itu dua, sama kerupuk”. Kang Imad meladeni dengan cekatan. Sambil memberikan jajan, ia mulai menagih janji Mbok Sinah. “Gimana Mbok, katanya sekarang ceritanya!”. Kali ini Mbok Sinah tidak bisa mengelak lagi. Setelah melihat situasi masih sepi karena semua santri masih di masjid, ia pun mengiyakan permintaan Kang Imad. Dengan suara sangat pelan, Mbok Sinah mulai bercerita “Kamu jangan macam-macam loh sama Mbah Munib, Mbah Munib itu mantan raja begal di kota ini. Semua bos preman tidak ada yang tidak kenal Mbah Munib”. “Ah.. yang benar?” Kang Imad heran setengah mati. Mimik muka Kang Imad langsung berubah. Ekspresi wajah Mbok Sinah pun ikut-ikutan menjadi serius. ”Mbah Munib itu dulu preman yang paling ditakuti di Kota ini, polisi mau menangkap saja kesulitan. Suamiku pernah melihat tubuhnya Mbah Munib yang banyak sekali bekas sayatan golok, dan…”. Belum selasai Mbok Sinah menyelesaikan kalimat terakhirnya, Kang Imad buru-buru menyela. “Lah kok bisa berada di sini dan kenal dengan Kiai Rohmat Mbok?”. “Husssttt…, tenang, pelan-pelan, dulu Mbah Munib itu dikenal orang-orang dengan nama Bos Breng” kata Mbok Sinah, “Loh, Bos Breng yang??”. Ia mulai ingat dengan cerita Mbah Sholeh kemarin. Kang Imad bingung, logikanya seketika mati. Buru-buru Mbok Sinah memegang pundak Kang Imad, supaya lebih pelan dan menunduk. “Dulu memang ia dikenal orang-orang sebagai Bos Breng, rumahnya dekat dari sini, mungkin hanya sekitar empat puluh meter. Namun semuanya berubah ketika Kiai Rohmat mendirikan pesantren di sini. Katanya, lokasi ini dipilihkan oleh Kiainya. Hampir lima tahun Bos Breng selalu mengganggu pesantren ini. Entah memukul santri yang lewat rumahnya, melempar pecahan beling, menumpuk sampah di gerbang pesantren, pokoknya macam-macam lah. Bahkan dulu ada pos jaga di samping gerbang, dibakar oleh Bos Breng, selama lima tahun itu, Kiai Rohmat tetap sabar dan teguh. Beliau tidak pernah sekali pun membalas kejahatannya. Tapi sebengis-bengisnya Bos Breng, akhirnya luluh juga dengan kebijaksanaan Kiai Rohmat.”. Kang Imad perlahan tenang, ia diam, tidak lagi menyela, lebih banyak menyimak penuturan Mbok Sinah. Dahulu Kiai Rohmat kerap mengisi pengajian rutinan di luar kota. Setiap hendak pulang ke pesantren, pasti melewati rumah Bos Breng. Tiap kali pulang dari pengajian, Kiai Rohmat selalu menyuruh Mbok Sinah untuk mengirimkan berkat yang ia dapat ke istri Bos Breng. Ketika Bos Breng lama tidak pulang, Kiai Rohmat selalu menyuruh Mbok Sinah untuk menjenguk istrinya Bos Breng, tentu dengan membawa makanan untuknya. Lambat laun, Bos Breng mengetahui kebiasaan Kiai Rohmat itu. Pertobatan Bos Breng pun akhirnya berada dalam bimbingan Kiai Rohmat yang telah mengenalkan Islam yang penuh rahmat kepadanya. “Ceritanya ketika itu, malam-malam, rumahnya digrebek oleh polisi. Bos Breng tampil berani dengan membalas tembakan dengan tembakan. Ketika situasi sudah sangat mencekam. Tiba-tiba istrinya yang bersembunyi di balik jendela terkena tembakan. Satu di bahu dan satu di dada, sesaat kemudian istri Bos Breng tewas di tempat”. Dalam kondisi yang kritis, istrinya meneriaki Bos Breng untuk segera lari, tanpa perlu menghawatirkan kondisinya. Yang ada di benak istrinya hanyalah masa depan putra semata wayangnya, yang saat kejadian itu masih menyelesaikan kuliahnya di luar kota. Istrinya Bos Breng lebih memilih anaknya untuk tumbuh dalam asuhan sang nenek sejak SMP. Ia ingin anaknya bersih dari riwayat kelam ayahnya yang raja begal itu. Mbok Sinah melanjutkan, “Bos Breng langsung menuju pesantren ini untuk mencari selamat.”. Ia menyelinap ke teras ndalem Kiai Rohmat, dan bersembunyi di belakang tumpukan rumput pakan sapi. Saat itu sang Kiai masih mengajar santrinya di masjid pesantren. Usai pengajian Kiai Rohmat diintrogasi oleh polisi. “Maaf Kiai, apakah anda melihat Bos Breng di sekitar sini..?”. “Maaf Pak, saya tidak melihatnya, kebetulan saya juga tadi mengaji, jadi tidak tahu apa yang terjadi di sekitar pesantren”, tukas Kiai Rohmat. “Tadi ia lari ke arah pesantren Kiai. Kiai harap berhati-hati saja, jika ada yang mencurigakan mohon Kiai bisa melapor kepada kami”, ujar polisi. “Ah… berhati-hati untuk apa? Bos Breng yang saya kenal, orangnya baik, tidak pernah bikin masalah di pesantren ini, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan”. Percakapan polisi dengan Kiai Rohmat tadi sepenuhnya didengar oleh Bos Breng. Usai polisi pergi, Kiai Rohmat yang tahu akan keberadaan Bos Breng bertutur kepadanya. “masuklah ke bilik yang berada tepat di belakangmu, diam di sana hingga tujuh hari. Aku akan melindungimu,”. Bercampur rasa waswas, Bos Breng pun menuruti saran Kiai Rohmat, karena ia tidak mempunyai pilihan lain. Polisi pun tidak langsung percaya dengan penuturan Kiai Rohmat, selama sebulan polisi terus berpatroli di sekitar rumah Bos Breng, sesekali mampir bertamu ke pesantren Kiai Rohmat. Selama tujuh hari itu Bos Breng merasa berada di dimensi kosong, banyak hal yang ada dalam pikirannya, ia mulai berpikir tentang kehidupan yang selama ini ia jalani. Kematian istrinya telah membuatnya sadar bahwa selama ini Bos Breng adalah suami dan ayah yang buruk. Pengajian rutin Kiai Rohmat terdengar olehnya selama tujuh hari, pesan agama Kiai Rohmat mulai masuk pada dimensi kosong Bos Breng, berdialog dengan kehidupan yang telah ia jalani. Pesan agama dari pengajian Kiai Rohmat bagai samudra cinta dan hikmah, semakin Bos Breng mendengarnya, semakin ia ingin untuk menyelam ke dalam samudra itu. Perlahan hikmah pengajian Kiai Rohamt membuka nurani Bos Breng, dan mulai menyirami hati Bos Breng yang kering kerontang. Pengajian Kiai Rohmat pelan-pelan menghidupkan hati Bos Breng yang telah lama mati, bagai gulungan ombak hikmah yang terus mengikis kerasnya batu karang kezaliman. Nurani yang mati itu mulai hidup, hati yang keras itu mulai menjadi lunak, hingga cahaya petunjuk dapat masuk dan mengisinya dengan begitu banyak cinta dan hikmah. Di bilik itu, ia merasakan perasaan yang begitu damai, hampir-hampir ia lupa sudah tujuh hari ia berada di dalamnya tanpa makan dan minum. Tujuh hari berlalu, Bos Breng keluar dari bilik dengan perangai yang lebih kalem, seperti terlahir kembali menjadi manusia yang baru, bagai kupu-kupu yang keluar dari kepompongnya. “Nah, setelah tujuh hari, Kiai Rohmat membuka bilik pernyembunyian Bos Breng. Bos Breng lantas mempercayai sepenuhnya janji Kiai Rohmat yang akan melindunginya”, ujar Mbok Sinah. Setelah sebulan, setahun, bahkan hingga sekarang Kiai Rohmat tetap menyembunyikan identitas Bos Breng. Mbok Sinah pun meneruskan, “tak lama kemudian Bos Breng mengutarakan niatnya untuk bertobat dan meminta Kiai Rohmat untuk diperkenankan mengabdi di pesantren ini. Sejak saat itu, namanya di ganti oleh Kiai Rohmat dan dipanggil Mbah Munib”. Sesuai dengan namanya, Munib artinya orang yang bertaubat. Setelah itu, ia diberi tugas untuk mengurus sapi. Atas saran Kiai Munib, mantan anggotanya disuruh Mbah Munib untuk mencari penghasilan yang halal. Kebanyakan mereka ikut anaknya Mbah Munib untuk membantu menjalankan bisnis tambak. “Loh, memang anaknya Mbah Munib sekarang di mana?”, tanya Kang Imad penasaran. “Loh, sampeyan belum tahu toh, Pak Heri itulah anaknya Mbah Munib”, jawab Mbok Sinah. “Hah, Pak Heri yang tiap bulan memberikan santunan di pesantren ini?” Kang Imad memastikan. “Ya iya… siapa lagi kalau bukan Pak Heri yang itu. Ya beliau itu yang mendanai sebagian besar makanan santri sini. Malah, sekarang ia sedang membangun pabrik pengolahan udang windu di dekat jalan keluar pesantren. Katanya sih, sebagian dari hasil pabrik itu akan digunakan untuk pengebangan pesantren loh Kang. Katanya diniatkan untuk membayar hutang uang begal bapaknya dulu”, kata Mboh Sinah. “Masyaallaaah, ternyata pabrik yang sedang dibangun itu milik anaknya Mbah Munib, tukang angon sapi itu”. Kang Imad hampir tidak percaya. Dari perkataan Mbok Sinah, Kang Imad sudah menemukan jawaban dari pertanyaan yang sedang menggelayut di benaknya, terkecuali masalah macan putih. “Eh Mbok, apa benar Kiai Rohmat punya macam putih yang menjaga pesantren ini?”, tanya Kang Imad. “Haduh, sampeyan ini aneh-aneh saja, udah sore ini, saya harus kembali ke ndalem wingking”. Jawab Mbok Sinah. Sayup-sayup, ucapan salam penutup pengajian Kiai Rohmat terdengar oleh Kang Imad. Ia langsung menjingkat keluar koperasi meninggalkan Mbok Sinah. “Eh, Kang, mau kemana? Ini saya belum bayar”, celetuk Mbok Sinah. “Mau wiridan Mbook, bayarnya nanti sajaaa..” teriak Kang Imad. “Loh, katanya mau wiridan, kok malah ke lapangan..? dasar gemblung”, ucap Mbok Sinah sambil menggelengkan kepala. Benar saja, tak seperti santri kebanyakan yang berebut berkah salaman dengan Kiai Rohmat usai pengajian. Namun Kang Imad justru bersegera menuju lapangan, menemui Mbah Munib. Ketika berlari, Kang Imad mencoba berpikir. Otaknya berpacu cepat dengan laju kedua kakinya. Kang Imad menarik kesimpulan bahwa sepasang macan putih yang dikatakan Mbah Hamdi itu mungkin saja Mbah Munib yang beraksi semalam, dan yang satunya adalah Pak Heri, anaknya. Selain itu, ia juga mulai memahami kesimpulan anehnya, bahwa wirid ampuh Kiai Rohmat adalah benar-benar laku pengabdiannya. Tanpa sapa dan izin terlebih dahulu, Kang Imad langsung membantu Mbah Munib membopong beberapa karung rumput menuju kandang sapi. Ia mulai memandang Mbah Munib dengan senyum yang mendalam. Pemandangan indah ini tak luput oleh Kiai Rohmat. Dengan memandangi Kang Imad, beliau berujar “Allahumma aktsir malahu wa waladahu wa barik lahu fima razaqtahu”. Jombang, 14/06/2020 Description: “Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #RahmatUntukSemua 2020 – Kategori Umum.”
Title: Wasiat Rosululloh kepada Sayyidina Ali Category: Artikel Text: efek baik dan burung memakan Barang Halal dan harom serta Barang Syubhat بسم الله الرحمن الرحيم ياعلي من اكل الحلال صفادينه ورق قلبه ولم يكن لدعوته حجاب rosul berkata Kepada Sayyidina Ali : Wahai Ali. Barangsiapa yg memakan Barang yg Halal, Maka murni Agamanya, hatinya akan Lembut, dan doanya tidak ada Suatu penghalang kepada Alloh, (sehingga mudah di ijaba) Karena dirinya menjaga perutnya dari segala Barang yg di dapat dari Hasil yg Harom. يا علي من اكل الشبهات اشتبه عليه دينه واظلم قلبه Rosul berwasiat kepada Sayyidina Ali : Wahai ali, Barangsiapa yg memakan Barang Syubhat (belum jelas Halal haromnya) Niscaya diragukan Agamanya, dan akan gelap Hatinya. contoh barang Syubhat : menemukan Uang di jalan, itu masih belum jelas halal Haromnya, walaupun uang ini jatuh pasti ada yg punya, atau menemukan Buah yg hanyut di sungai. ومن اكل الحرام مات قلبه وخف دينه وظعف يقينه وحجب الله دعوته وقلت "Dan Barangsiapa yg memakan Barang yg Harom, Niscaya akan Mati Hatinya, dan remeh Agamanya, lemah keyakinannya kepada, dan Dari setiap Doa dia, maka Alloh akan menghalangi doanya (sulit di di kabulkan) dan dirinya yg mengkonsumsi barang Harom akan menjadikan malah ibadahnya. sehingga dalam segi makan makanan yg masuk dalam perut harus di perhatikan Halal haromnya. Sebab itu berpengaruh dalam Agama, kehidupan baik dalam turunan. Ada sebuah Cerita seorang Anak muda Yg bernama sayyidina idris : Sayyidina idris ketika beliau Masih Muda, beliau duduk di tepi sungai, dan kemudian Ada satu buah Apel yg jatuh, Beliau ambil dan makan itu satu buah apel, ketika beliau makan Beliau sadar, walaupun ini Apel Hukunya syubbhat tetep ada yg Punya, Akhirnya Beliau mengikuti arah sungai Berhari² hanya untuk mencari siapa pemilik apel ini, di ujung sana Banyak pohon Apel, Bertanyalah beliau... Ini pohon Apel Punya siapa? Oh ini punya bapak ini... berkatalah sayyidina idris kepada pemilik pohon apel itu. bapak Saya dateng kesini ingin minta Halalnya, ingin minta ridhonya satu buah apel yg saya makan, karena saya gamau barang yg syubhat masuk keperut saya. Kata Bapak tersebut Boleh... asalkan kau kerja disini selama berbulan². Jadi sayyidina idris itu kerja berbulan² macul nanam, hanya untuk meminta satu buah apel yg dia makan, beres berbulan bulan dia berkata. Bapak saya sudah kerja disini berbulan² apakah kau sudah Halalkan satu buah Apel yg aku makan?. Apa kata bapak tersebut? Belum aku Halalkan asalkan kau nikahi Anakku baru aku Halakan satu buah apel yg kau makan, tapi Anakku dia gapunya mata, dia gapunya kuping, dia gapunya bibir, dia gapunya tangan dan kaki, Apa jawab beliau? Walaupun Anakmu gapunya apa² aku mau menikah dengan dia yg penting kau halalkan satu buah apel yg ku Makan. Akhirnya menikahlah Beliau, Beres menikah beliau masuk kedalam kamar, Alangkah Kagetnya karena di dalam kamar ada wanita yg begitu cantik, keluarlah beliau dan berkata kepada Bapak mertuanya, Bapak mungkin aku salah masuk kamar karena di dalam kamar terdapat wanita yg begitu cantik, jawab bapak mertuanya, itu Istrimu... loh kata bapak dia gapunya Mata? Maksud dia gapunya mata dia gapernah melihat hal yg harom, gapunya telinga dia gapernah mendengar hal yg harom, Gapunya tangan Dia gapernah mengambil Haknya oranglain (mecuri) gapunya Kaki dia gapernah melangkahkan Kakinya ketempat Hal yg Harom, Akhirnya dari pernikahan beliau sayyidina idris yg menjaga perutnya dari hal yg harom dengan istri yg sholehah yg menjaga dohir batinnya dari Hal yg harom akhirnya Lahirlah seorang Anak yg Bernama Imam syafi'i yg menjadi ulama Terbesar yg mayoritas madzhab nya di pake di seluruh nusantara, semoga dengan cerita ini Bermanfaat agar selalu semangat mencari rezeki dan nafkah yg Halal dan terhindar dari Nafkah yg harom. semoga Bermanfaat, dan saya minta doa dukungannya agar terus berkarya menyebarkan Manfaat. Wassalam Doa masuk Wc dan keluar wc, dan bersiwak Doa Hendak Masuk WC بسم الله الرحمن الرحيم بِسْمِ اللّهِ اللّهُمَّ اِنّيِ أَعُوذُبِك مِنَ الْخُبُثِ والْخَبَا ئِثِ "Bismillahi, Allahumma inni A'udzubika minkhubusi, wal Khobaisi" (Do'a ini di baca ketika mau masuk Wc) Doa Keluar WC بسم الله الرحمن الرحيم غُفْرَانَكَ اَلْحَمدُ لِلّهِ الَّذِى اَذْهَبَ عَنِّيْ الْأَذَى وَعَافَانيِ "do'a ini di baca setelah keluar dari wc Bab siwak II alat yg digunakan untuk bersiwak, seperti Kayu, dan yg semisalnya yg kasar seperti kain dsb. Yg di perbolehkan oleh syariat. Hukum bersiwak adalah Sunnah dalam keadaan apapun, Baca Quran, ketika Akan sholat, dan makruh bersiwak bagi orang yg sedang Berpuasa. khasiat bersiwak : 1. Dapat membersihkan mulut 2. Dapat memutihkan gigi 3. Dapat mengharumkan mulut 4. Dapat menguatkan gusi 5. Dapat membersihkan tenggorokan 6. Dapat menambah kefasihan dalam bicara dll Doa Sebelum bersiwak اللّهُمَّ بَيِّضْ به اسناني وشد به لثاتى وثبت به لهاتي وبارك لى فيه يا أرحم الرحمين. "Allohumma Bayyid bihi Asnani, wasyuddaBihi lisati, wasabbit Bihi Lahati, wabaarik li fihi Ya Arhamarrohohimin " Niat Bersiwak نَوَيْتُ الْإِسْتِيَاكَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَلَى "Nawaitul istiyaka Sunnatan lillahita'ala" saya niat bersiwak karena Alloh Ta'ala Doa keamanan 1. Ijazah perlindungan total lahir batin - Al IKHLAS 3x - AL FALAQ 3x - AN NAS 3x. Lalu ditiupkan ke kedua telapak tangan. Kemudian diusapkan ke seluruh tubuh. Ini diamalkan rutin sehabis sholat 5 waktu. 2. Ijazah doa keamanan paling ampuh. Bacalah doa yang diajarkan Nabi Muhammad Saw ini: بسم الله الذي لا يضر مع إسمه شيء في الأرض ولا في السمآء وهو السميع العليم [Bismillaahilladzii laa yadhurru ma'asmihii syaiun fil ardhi wa laa fis-samaai wa huwas samii'ul 'aliim] Artinya: "Dengan menyebut nama ALLAH yang tidak akan (ada) bahaya bersama nama-Nya (segala) sesuatu di bumi dan tidak (akan ada bahaya pula) di langit. Dan DIA Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Ini dibaca: - 10x sehabis sholat subuh dan sholat ashr - 7x sehabis sholat dzuhur, maghrib dan isya' - 1x setiap selesai salam yang kedua dari sholat apa saja, baik sholat sunnah maupun wajib - 1x/ 3x tanpa nafas sebelum makan dan minum (sebagai penangkal racun dan berbagai macam bahaya yang ditimbulkan makanan dan minuman) - 3x tanpa nafas ketika naik kendaraan agar aman di jalan, selamat dari kecelakaan, perampokan dll. - 3x tanpa nafas sebelum tidur sebagai perlindungan sebelum tidur - 1x/ 3x sebelum melakukan aktivitas apapun agar dijaga oleh Allah dan diselamatkan dari semua bahaya - Dibaca sebanyak2nya saat merasa terancam dan berbahaya agar dijaga oleh Allah dan diselamatkan dari semua bahaya tersebut Cara agar di hormati Materi selanjutnya adalah Cara Agar Berwibawa dan Dihormati Masyarakat Ilmu ke-satu Untuk menjadi berwibawa dan terhormat tidak perlu kita perintah orang lain agar menghormati kita. Tapi yang terpenting, JAGA KATA dan PERILAKU! Itu yang terpenting! Bagaimana mengatur kata2? Berkatalah yang seperlunya dengan bahasa yang sopan, santun, ramah. Sesuaikan dg adat budaya setempat! Kalau orang jawa, pakai bahasa kromo inggil dan harus ada basa basi dulu, baru masuk ke inti pembicaraan. Itu di jawa. Barang kali di tempat lain, adatnya beda. Kalau bicara langsung ke pokok inti maksudnya. Gunakanlah adat setempat! Itu namanya pandai menempatkan diri. Masih soal kata2, jadilah orang yang jujur. Dan sesuaikan ucapan dengan perbuatan. Tepati janji dan selalu bertanggung jawab. Segeralah akui kesalahan jika memang salah dan minta maaf dengan tulus. Hindari perdebatan dengan siapapun. Bagaimana mengatur perilaku? Jadilah orang yang perilakunya penuh kebijaksanaan. Sesuaikan dengan kata2. Tahanlah selalu emosi dalam segala situasi. Dan contohlah perilaku orang2 sholih. Ini sangat MUJARROB. Ilmu ini saja diamalkan cukuplah kita menjadi terhormat di masyarakat. ======================= Ilmu kedua, jadilah orang yang ringan tangan. Suka membantu siapapun dengan tulus ikhlas. Maka dipastikan semua orang akan menghormati kita. ======================== Ilmu ketiga, jadilah dermawan yang tulus ikhlas. Semua orang dikasih bantuan/ sedekah sesuai kebutuhannya. Maka akan terhormat di masyarakat. Jangan pakai motif. Misalnya pas musim pilkada, banyak orang tiba2 jadi dermawan tapi ada motifnya supaya dipilih jadi wakil rakyat atau menjadi pemimpin. Itu penuh tipu daya maka pengaruhnya tidak bisa sampai ke hati. Jadilah DERMAWAN yang tulus ikhlas lahir dan batin. Dijamin ,kita akan mulia dan terhormat. Di dunia dan akhirat. ======================== Apa itu ilmu Laduni Apakah itu ilmu laduni itu? Bagaimana cara mendapatkannya? Ilmu laduni adalah ilmu yang di berikan langsung oleh Allah kepada hamba-Nya yang shalih, bertakwa dan selalu berusaha membersihkan hatinya dari nafsu dan sifat-sifat tercela. Ilmu tersebut dapat di peroleh dengan tanpa usaha belajar baik dari seorang guru atau berijtihad memahami teks-teks al-Qur'an, Sunnah, atau kitab-kitab ulama. Ilmu laduni juga mungkin dapat di peroleh sebab barakah guru atau memahami al-Qur'an, Sunnah maupun kitab-kitab ulama yang shalih. Ilmu laduni juga dapat di sebut ilmu mukasyafah, ilmu wahbi, ilmu ilham dan ilmu ilahi. Dalam Al-Qur’an Surat al-Kahfi ayat 65 disebutkan: وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا “Dan Kami ajarkan padanya (Nabi Khidhir) ilmu dari sisi Kami (Allah)” . Ayat ini menerangkan Nabi Khidhir meperoleh ilmu laduni dari Allah. Ilmu laduni dalam literatur kitab-kitab salaf tidak hanya di peroleh oleh Nabi Khidhir saja, bahkan selain para Nabi, baik seorang wali atau shufi juga bisa memperolehnya. Dalam keterangan kitab-kitab tafsir di lingkungan Ahlussunnah wal Jama’ah, ilmu laduni tersebut bisa diperoleh oleh seorang hamba yang taat dan hatinya bersih. Dan ketetapan ini sudah sangat masyhur serta banyak para wali atau shufi yang mendapatkannya. Ibnu Hajar al-Haitami menyampaikan bahwa dalam Risalah al-Qusyairiyyah dan Awarif al-Awarif (as-Suhrawardi) tentang wali yang mendapatkan khabar ghaib sangat banyak . Ibnu Hajar al-Haitami juga menuturkan bahwa mengetahui ilmu ghaib adalah bagian dari karamah. Mereka dapat memperoleh dengan cara di khithab-i (sabda) secara langsung, di bukakannya hijab (kasyf) dan di bukakan kepadanya lauh mahfuzh sehingga dapat mengetahuinya . (Fatawi Haditsiyyah hlm. 222 ). Adapaun dalil dan bukti bahwa ilmu tersebut bisa diperoleh oleh hamba yang taat dan bersih adalah : Ayat al-Qur'an surat an-Nisa' :113 tentang Nabi Muhammad yang menerima ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hal ghaib. وَعَلَّمَكَ مَالَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ "Dan (Allah) telah mengajari dirimu (Muhammad) ilmu yang engkau belum mengetahuinya" Ayat al-Qur'an surat Yusuf : 68 tentang Nabi Ya'qub yang menerima ilham dari Allah: وَإِنَّهُ لَذُوْعِلْمٍ لِمَاعَلَّمْناَهُ "Sungguh dia (Ya'qub) adalah orang yang mempunyai ilmu, karena Kami (Allah) telah mengajarinya" Hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ قَالَ ابْنُ وَهْبٍ تَفْسِيرُ مُحَدَّثُونَ مُلْهَمُونَ “Dari Nabi Muhammad Saw, bahwa beliau bersabda: ‘Di dalam umat-umat sebelum kalian ada para muhaddatsun, maka jika ada satu dari umatku yang termasuk di dalamnya, maka sesungguhnya ‘Umar bin Khaththab adalah salah satu dari mereka. Ibnu Wahb mengatakan: ‘Tafsir Muhaddatsun adalah orang-orang yang diberi ilham.” Hadits ini mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa ilmu ilham bisa didapatkan oleh selain Nabi Khidhir As, seperti Sayyidina ‘Umar dan lain-lain. Hadits Rasulallah riwayat at-Tirmidzi dari Muadz bin Jabal bahwa Rasulallah bersabda: "Aku melihat Allah, azza wa jalla menempelkan telapak-Nya di antara bahuku, kemudian aku merasakan dinginnya jari-jari-Nya di antara putingku dan kemudian ber-tajalli-lah setiap sesuatu kepadaku dan aku mengetahuinya sehingga aku dapat mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan apa yang terjadi antara tanah timur (masyriq) dan tanah barat (maghrib)" hadits ini di shahih-kan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Hadits Riwayat Ibnul Jauzi dalam Manaqib Umar tentang Sayyidina Umar yang mengatahui tentaranya yang sedang berperang padahal beliau sedang berkhuthbah. Hadits ini hasan sebagaimana di katakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar. Riwayat tentang Sayyidana Abu Bakar yang pernah menebak kandungan istrinya bahwa bayinya laki-laki. Dan itu ternyata benar adanya. Hadits riwayat Abu Nu’iam al-Ashfahani dalam Hilyah al-Auliya’ dari Anas : مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ تَعَالَى عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ “Siapa yang mengamalkan apa yang dia ketahui, maka Allah akan memberinya ilmu yang dia tidak ketahui.” ( Ash-Shawi dalam Hasyiyah Tafsir al-Jalalain 1/182 menisbatkan ucapan tersebut kepada Imam Malik ) Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang hadits ini dan beliau menjawab, "Sesuai apa yang dikatakan oleh Izzuddin bin Abdissalam bahwa sesungguhnya orang yang mau mengamalkan apa yang dia ketahui baik wajib syar’i, atau sunah atau menjauhi makruh dan haram, maka Allah akan memberinya ilmu ilahi yang sebelumnya dia tidak mengetahuinya". ( Fatawi Haditsiyyah hlm. 203-204, Darul Fikr. ). Ucapan Ali al-Kisa’i : قَالَ الدَّمِيرِيُّ : وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ الَّتِي سَأَلَ عَنْهَا أَبُو يُوسُفَ الْكِسَائِيُّ لَمَّا ادَّعَى أَنَّ مَنْ تَبَحَّرَ فِي عِلْمٍ اهْتَدَى بِهِ إلَى سَائِرِ الْعُلُومِ ، فَقَالَ لَهُ : أَنْتَ إمَامٌ فِي النَّحْوِ وَالْأَدَبِ فَهَلْ تَهْتَدِي إلَى الْفِقْهِ ؟ فَقَالَ : سَلْ مَا شِئْتَ ، فَقَالَ : لَوْ سَجَدَ سُجُودَ السَّهْوِ ثَلاَثًا هَلْ يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْجُدَ ؟ قَالَ : لاَ ؛ لِأَنَّ الْمُصَغَّرَ لاَ يُصَغَّرُ “Ad-Damiri berkata : ‘Masalah ini adalah masalah yang pernah ditanyakan oleh Abu Yusuf (Hanafiyyah) kepada Ali al-Kisa’i ketika al-Kisa’i pernah mendakwahkan bahwa siapa yang dalam satu ilmu luas layaknya samudera maka dia akan bisa pada ilmu-ilmu yang lain. Abu Yusuf bertanya: ‘Anda adalah imam dalam bidang nahwu dan sastra, apakah Anda bisa fiqh juga? Al-Kisa’i menjawab: ‘Tanyalah yang Anda suka!’ Kemudian Abu Yusuf bertanya: ‘Andai ada orang yang sudah melakukan sujud sahwi tiga kali, apakah dia wajib bersujud untuk kedua kali?’ Al-Kisa’i menjawab: ‘Tidak, karena sesuatu yang sudah diperkecil (tashghir) tidak boleh diperkecil lagi.” ( Disebutkan dalam kitab-kitab Fiqh Syafi’iyyah dalam bab sujud sahwi. ) Ucapan al-Kisa’i tersebut menunjukkan bahwa siapa yang dalam satu disiplin ilmu agama luas bak samudera, maka dia akan mendapat ilmu laduni dengan bisa menguasai ilmu-ilmu yang lain. Kisah yang diceritakan oleh al-Habib Abdullah Alawi al-Haddad tentang seseorang yang semula bodoh kemudian menjadi alim lewat ilmu wahb dan ilmu ilahi (ilmu laduni) di bidang ushuluddin dan cabang-cabangnya. Mereka adalah Sa‘id bin ‘Isa al-Amudi, Ahmad ash-Shayyad, Ali al-Ahdal dan Abul Ghaits. Dengan keterangan-keterangan ini pernyataan dan syubhat-syubhat mereka yang tidak pernah di dukung dalil sudah terbantahkan. Faktor gen atau keturunan apakah menjadi penentu seseorang mendapat anugerah ilmu ladunniy ?Jawabannya adalah tidak. Karena dalam kitab Al-Hikam dijelaskan ilmu ladunni itu murni hanya karena anugerahnugrah Dari-Nya. إِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَالِ مَعَهَا إِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَإِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ إِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَتَعَرَّفَ إِلَيْكَ. أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَالْأَعْمَالَ أَنْتَ مُهْدِيْهَا إِلَيْهِ. وَأَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ إِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ. "Jika Allah membukakan pintu makrifat bagimu, jangan hiraukan mengapa itu terjadi sementara amalmu amat sedikit. Allah membukakannya bagimu hanyalah karena Dia ingin memperkenalkan diri kepadamu. Tidaklah engkau mengerti bahwa makrifat itu adalah karunia-Nya kepadamu, padahal hanya amal itu saja persembahanmu kepada-Nya? Maka, betapa besar perbedaan antara persembahanmu kepada Allah dan karunia-Nya kepadamu." Renukan hidup kadang ilmu itu sangat mudah diucapkan, tapi sangat sulit untuk diamalkan. Ilmu itu mudah dibibir, tapi berat diamal. Banyak orang bicara tentang ilmu kebaikan. Banyak orang mengajarkan ilmu kebaikan. Tapi mereka sendiri belum beramal, itu karena saking beratnya. Bicara sedekah itu mudah. Tapi bersedekah itu yang sulit. Andai orang pada gemar sedekah, maka semua jadi orang kaya. Semua orang tahu ilmu sedekah, dan manfaat sedekah. Tapi sekedar tahu, tidak mau sedekah, ya tetap miskin permanen. Bicara istiqomah itu mudah. Tapi menjalankan ibadah atau amal yang istiqomah itu yang sulit. Andai orang pada istiqomah, maka semua dapat hidup mulia. Semua orang tahu ilmu istiqomah, dan manfaat istiqomah. Tapi sekedar tahu, ibadah bolong-bolong, ya tetap tidak mulia. Bicara juhud atau hidup sederhana itu mudah. Tapi menjalani secara juhud atau sederhana itu yang sulit. Andai orang pada juhud, maka hidupnya akan lebih nyaman. Semua orang tahu ilmu juhud, dan manfaat hidup juhud. Tapi sekedar tahu, hidupnya tetap glamor, hatinya tidak tenang. Renungan :....Bicara mujahadah itu mudah. Tapi menjalankan mujahadah itu yang sulit. Andai orang pada mujahadah, maka selalu dekat dengan Allah. Allah punya segalanya, orang yang dekat Allah akan punya segalanya.* *Bila kau butuh uang mendesak. Ada peluang korupsi, tapi kau tidak melakukannya karena takut Allah. Itulah mujahadah yang sesungguhnya. Perjuangan sungguh-sungguh. Description: Wasiat Rosululloh kepada Sayyidina Ali. Semoga bisa menebarkan Manfaat bagi setiap Pembacanya, dan menambah ilmu serta Amal ibabadah Kita semua. Mohon doa dan dukungannya untuk terus berkarya dalam sebuah penulisan
Title: WORLD SO FULL OF SOUND Category: BNNS Text: PRELUDE Hm? Apa yang lelaki itu lakukan disana? Dia biasanya adalah tipikal orang yang tidak pernah perduli akan apa yang orang lain lakukan—apalagi menaruh rasa penasaran pada orang asing—namun ketika melihat lelaki itu, hanya saja Aria entah kenapa tidak bisa untuk tidak memerhatikannya dan menghentikan langkahnya. Ditengah hujan deras dibawah langit gelap, lelaki itu hanya berdiri sendirian disana, basah kuyup dan terus memandang ke arah langit di sebuah taman yang tidak sebegitu luas. Namun karena sedang diguyur hujan deras, tidak adanya orang lain disana membuat taman itu seakan berada di dunia lain. Karena memerhatikannya hanya dari kejauhan, ia tidak bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas. Aria tidak tahu seperti apa ekspresi yang diperlihatkannya. Pada saat berikutnya, Aria mendapati lelaki itu kini tiba-tiba berteriak ke arah langit. Guyuran hujan yang begitu deras disertai tiupan angin kencang membuat Aria tidak bisa mendengar apa yang diteriakkan ataupun suara teriakan dari lelaki itu. Aria menghela napas panjang, mengeratkan pegangannya pada payungnya, dan mulai beranjak pergi. "Betapa bodohnya aku membuang waktuku hanya untuk orang bodoh yang menangisi putus cinta!" 1st SOUND: RAINY SONG Suara petir menggelegar dikejauhan diiringi dengan gemuruh hujan lebat. Aria perlahan membuka matanya dan bangun sembari menatap lesu keluar dinding kaca apartemennya. Ia mengusap matanya kemudian menguap lebar, masih belum puas dengan tidur siangnya. Ia sekilas kembali melihat dari sudut matanya kilatan cahaya petir yang muncul diantara gumpalan awan hitam yang menutupi seluruh langit, sebelum akhirnya diikuti dengan suara ledakan petir yang memekakkan telinganya. Melihat amarah langit, Aria justru menyunggingkan senyuman riangnya. "Bagus! Cuaca yang sangat bagus! Aku sungguh tidak bisa menyia-nyiakan hari ini, bukan?" Aria bergegas mengambil mantel dan dompetnya, tidak lupa menyahut payung favoritnya, dan segera melesat keluar dari apartemen tidak peduli kalau ia keluar masih dengan baju tidurnya. Aria bersenandung pelan sembari menyusuri jalanan sepi tanpa hawa keberadaan seorang pun itu, yang menurutnya merupakan keuntungan terbaik dari hari hujan. Seakan dunia ini hanya miliknya sendiri. Ia mendongakkan kepalanya dari balik payung transparannya, menatap dengan mata berkilat-kilat sembari menyuarakan siulan rendah ketika kilatan petir kembali menyambar dilangit kejauhan. Suara rintikan hujan yang mengenai dedaunan, suara katak yang bernyanyi, suara air sungai yang mengalir deras di bawah jembatan, Aria menikmati semua momen yang dibawa oleh hujan. Setelah berjalan agak jauh, Aria akhirnya sampai di tempat tujuannya. Aria melongokkan kepalanya memerhatikan keadaan di dalam mini market tersebut. Hening dan sepi. Karena mini market itu bukanlah jaringan komersial berantai yang selalu ramai didatangi orang, melainkan mini market rumahan usaha keluarga, Aria bisa merasa nyaman membeli keperluan sehari-harinya disana tanpa perlu untuk mengkhawatirkan akan adanya tatapan mata dari banyak orang. Setelah memastikan bahwa kini tidak ada satu pun pembeli di dalam mini market tersebut, Aria tersenyum, menutup payungnya, dan menaruhnya pada rak payung yang disediakan disamping pintu masuk mini market. Masih sembari celingukan, Aria mendorong pintu masuk itu. Ia melihat seorang pegawai baru yang mengangkat sebuah boks besar dari arah gudang penyimpanan. Mereka sempat saling bertemu pandang sepersekian detik, sebelum akhirnya pemuda itu mengalihkan perhatiannya dengan beranjak pergi ke barisan rak paling sudut. Seperti yang diharapkan dari mini market rumahan, bahkan pegawainya sendiri tidak mau repot-repot untuk menyapa pembeli, tepat seperti apa yang Aria harapkan sebenarnya. Ia pun mengambil salah satu keranjang belanja dan menghampiri rak bagian makanan cepat saji. Ketika ia menimbang-menimbang apa saja yang akan dibelinya, dari sudut matanya ia melihat lelaki itu telah berpindah tempat mengisi rak tidak jauh darinya. Disaat Aria melihat punggung lelaki itu yang mengenakan earphone di kedua telinganya, entah kenapa ia merasa seakan pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Kenyataan bahwa ia merasa familier dengan orang itu sendiri menandakan bahwa sebelumnya lelaki itu pernah setidaknya menarik perhatian Aria, yang mana sesuatu yang hampir tidak pernah Aria rasakan. Lelaki itu menunjukkan sisi samping wajahnya dan akhirnya Aria mengingat siapa lelaki itu. Wajah manis, hidung mancung, mata gelap, dan bertubuh kurus, tidak salah lagi lelaki itu adalah lelaki patah hati yang pernah ia lihat berteriak di taman sendirian kehujanan. Ah, dalam situasi ini akan lebih baik untuknya berpura-pura tidak tahu dan tidak terlibat dengan lelaki itu. Anggap saja ia tidak pernah melihatnya. Aria pun mengalihkan perhatiannya kembali pada apa yang ingin dibelinya. Setelah beberapa saat dan Aria hendak membayar belanjaannya, ia dilanda dilema. Meja kasir kosong, dan lelaki tadi masih sibuk di rak barang tanpa menyadari Aria. Jujur saja, Aria sebisa mungkin tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain. Ia bertanya-tanya kemana perginya paman pemilik yang berisik itu. Dalam keadaan begini sepertinya ia tidak punya pilihan lain. Aria ingin kembali secepat mungkin sebelum hujan di luar reda. Aria menghampiri lelaki itu dari belakang dan berbicara menghadap punggungnya. "Hey, aku ingin membayar." Aria menunggu beberapa detik dan tidak ada respon. Apa karena earphone yang dipakainya? Merepotkan. Aria menepuk bahu lelaki itu pelan, dan akhirnya ia menoleh, melepaskan sebelah earphone-nya. "Aku mau membayar." Untuk sesaat Aria mendapati lelaki itu bertingkah aneh dengan menatapnya seperti hendak mengatakan sesuatu namun tidak dilakukannya. Lelaki itupun akhirnya menuju meja kasir sebelum akhirnya paman pemilik menuruni tangga dari lantai atas dekat meja kasir dan tersenyum hangat melihat Aria. "Oh, gadis hujan! Sudah kuduga kau akan datang! Hm? Apa kau akan membayar? Nino, tidak apa-apa. Biar aku yang melayaninya." Benar-benar tipikal pemilik ideal, pikir Aria. Selalu menampilkan wajah tersenyum tidak peduli kapanpun dan dimanapun. Lelaki bernama Nino itu, beranjak pergi dan naik ke lantai dua tanpa berkata apapun. Aria menaruh keranjang belanjanya di atas meja kasir untuk dilihat paman pemilik. "Maaf, tapi kuharap kau tidak marah karenanya." Aria mengangkat sebelah alisnya, hanya bisa menatap bingung pada paman berkacamata dengan rambut panjang yang dikuncir acak-acakan itu, karena tidak mengerti dengan maksud dari perkataannya. Aria tidak kaget dengan pembicaraan paman ini yang tiba-tiba suka melompat-lompat. Setiap Aria belanja disini, ia sudah terbiasa dengan sifat pemilik yang kelewat periang itu. Walau jika Aria hanya menutup mulutnya rapat-rapat, paman pemilik itu terus mengajaknya berbicara dengan topik yang melompat-lompat tanpa menuntut respon sedikit pun dari Aria. Tetap tertawa dan berterima kasih pada Aria. Namun, senyuman yang paman itu perlihatkan bukanlah senyuman riang seperti biasanya, melainkan senyuman sedih yang Aria pikir tidak akan pernah dilihatnya dari paman berisik ini. "Tolong dimaklumi........... Anak itu......... dia tidak berbicara bukan karena dia sombong atau angkuh....... hanya saja ia benar-benar tidak bisa berbicara. Pita suaranya mengalami cedera parah tiga bulan lalu yang mengakibatkannya tidak lagi bisa mengeluarkan suara. Kejadian ini tidak hanya merenggut mimpinya tapi juga dunianya." ..................................huh? Aria tertegun, hanya bisa terdiam seribu bahasa. Dalam hidupnya yang selalu ia lalui sebagai penyendiri yang tidak pernah memerdulikan orang lain itu, ia tidak pernah mengira bahwa akan ada hari dimana ia bisa cukup terkejut ketika mendengar kenyataan dari masalah hidup orang lain. Jadi apa yang membuatnya kini melihat lelaki itu dengan berbeda? Semua ini pasti disebabkan oleh apa yang dilihatnya hari itu. Ketika lelaki itu berteriak dengan putus asanya ke arah langit. Aria bukannya tidak mendengar suara lelaki itu karena suara hujan, tapi lebih tepatnya karena suara lelaki itu yang memang tidak akan pernah tersampaikan kepada orang lain. Teriakan tersebut bukan lagi teriakan bodoh akan putus cinta melainkan teriakan dari putus harapan. Aria berpikir, mungkin saja suara gemuruh hujan dan kilatan petir yang ia dengar hari itu, sebenarnya adalah suara sejati dari lelaki tersebut. Suara sejati akan hatinya. 2nd SOUND: FIRST STEP "...........Kejadian ini tidak hanya merenggut mimpinya tapi juga dunianya." Jadi bisa dibilang kalau mimpi dan dunianya adalah suara......? Aria memandang langit cerah yang menurutnya sangat menyebalkan itu dari dinding kaca apartemennya. Untuk kesekian kalinya dalam seharian, ia menghembuskan napas berat dan merenung. Entah kenapa bayangan akan lelaki yang berteriak putus asa pada langit di tengah hujan lebat, tidak mau meninggalkan benak Aria selama seminggu ini. "Apa yang kulihat dari cowok depresi itu sebenarnya?" Memikirkannya, Aria kembali menghembuskan napas berat sekali lagi. #### Akhirnya hujan turun! Setelah sekian lama menunggu, akhirnya hujan kembali menurunkan sihirnya. Sama seperti biasanya, Aria tidak akan melewatkan kesempatan ini untuk pergi keluar. Setelah menimbang-nimbang kemana ia akan pergi hari ini, ia memutuskan untuk menjauh dari area mini market itu. Ia tidak ingin bertemu dengan sumber kegundahannya saat ini. Aria bersenandung riang sembari terus memutar-mutar payungnya, memilih jalanan sepi yang dikiranya tidak akan dilewati seseorang atau pun kendaraan. Rintikan hujan yang menjatuhi genting rumah orang-orang, kicauan burung yang tertahan diantara pepohonan, genangan air yang membentuk kolam dijalanan. Aria tertawa kecil melihat semuanya begitu sempurna. Ketika ia hendak berbelok di sebuah persimpangan, ia melihat punggung lelaki yang paling ingin ia hindari saat ini menghilang kedalam sebuah gang. "Geh!" Aria bermuka masam. Ia pun memutuskan untuk berbalik pergi, pura-pura tidak melihatnya. Namun dari arah gang tersebut Aria tiba-tiba saja mendengar suara terjatuh yang keras diiringi hantaman dan suara riuh rendah beberapa orang. Setelah akhirnya suasana hatinya sedikit membaik karena hujan, pada akhirnya ia menghembuskan napas berat lagi. Ini bisa jadi masalah. Walaupun ia selalu menganggap dirinya sebagai iblis bagi masyarakat, tapi keadaan seperti ini selalu berhasil membuat hatinya yang dingin melemah. Aria diam-diam mengintip dari kejauhan. Lelaki bernama Nino itu sedang dikeroyok beberapa lelaki bertampang galak dan sangar. Yang membuat Aria takjub adalah walaupun lelaki itu jelas-jelas kalah jumlah, ia tetap tidak menyerah dalam memberikan perlawanan sembari menggeretakkan gigi menatap mereka tajam. "Apa-apaan mata lo itu!" "Lucu banget! Nggak bisa ngomong makanya melotot, bro! Haha!" "Nah. Keuntungan terbesar ngerampok orang bisu, sekeras apapun kita nge-gebukin dia, dia nggak bakalan bisa teriak!" Preman-preman itu terus menginjak-injak Nino sambil tertawa keras seakan seperti ia adalah hama. Tapi, sebentar saja orang-orang barbar itu menghentikan serangannya, Nino akan langsung meludahi mereka sebelum akhirnya kembali dihajar. Dasar orang-orang bodoh, pikir Aria. Tidak hanya preman itu, tapi lelaki bernama Nino itu juga tidak kalah bodohnya. Ia tidak seharusnya mengkonfrontasi pertarungan yang tidak akan bisa dimenangkannya. Abaikan, abakan. Setidaknya aku akan mendoakan keselamatanmu, lelaki malang. Dan aku akan berbaik hati menghubungi pos polisi terdekat. Aria membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi. "Oi! Lihat nih bocah bawa gitar mahal!" Mendengar itu, Aria langsung menghentikan langkahnya. "Emangnya elu tahu harga jual gitar berapa?" "Kagak." "Tapi pasti berduit nih gitar!" "Woi! Lepasin nggak! Nih bocah kok alot bener. Udah digebukin gimana juga masih nggak mau lepasin gitarnya." "Udah! Potong aja tuh tangan!" Dalam satu tarikan napas penuh, Aria berteriak. "TOLOOONNG! TOOLOOONG! PREMAN RAMPOK MAU BUNUH ORANG!!! TOLOONG!" "Ck! Sialan!" "Cepetan tinggalin tuh gitar keburu orang pada datang!" "Toh kita juga udah dapet duitnya." Aria melongokkan kepalanya menatap preman-preman yang melarikan diri ke arah lain dari gang sempit itu. Tipikal preman klise, pikir Aria. Hanya bisa berbuat keonaran dalam gerumbulan kelompok, tapi cenderung berlari ketika dihadapkan pada masa yang lebih banyak. "Tangan kotor kalian tidak pantas untuk menyentuh instrumen sakral," cibir Aria sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Aria lalu ganti menatap Nino yang masih memeluk erat gitarnya yang setengah terbuka dari tasnya. Samar-samar disekelilingnya, Aria mendengar riuh rendah orang-orang sekitar yang sepertinya menanggapi teriakan Aria. Ia pun menghampiri Nino dan dengan payungnya, ia melindungi Nino dari hujan. "Sebaiknya kita cepat pergi dari sini sebelum menarik perhatian yang tidak perlu dari orang-orang. Kau juga mengharapkannya seperti itu, bukan?" Mendengar kata-kata Aria, Nino dengan lemah menutup kembali tas gitarnya, berdiri, sebelum kemudian menyandangnya di sebelah bahu. Ia meludahkan darah dan mulai berjalan walau dengan langkah terseret. Aria membuka mulutnya sembari terus mengikuti Nino dari belakang. "Kenapa kau begitu keras kepala melawan mereka? Harga diri tidak akan menyelamatkan hidupmu, kau tahu?" Sedetik setelah ia mengucapkan itu, Aria merutuk dirinya sendiri yang begitu bodohnya bertanya pada orang yang tidak bisa menjawab. Namun, ia mengangkat sebelah alisnya ketika kini mendapati lelaki itu berbalik, dan dengan wajahnya yang penuh goresan dan luka itu, Nino menatap aneh pada Aria seakan ia adalah alien tolol. Rupanya ia menanggapi pertanyaan Aria itu dengan serius. Nino, dengan kecepatan yang menurut Aria jauh lebih cepat daripada petir, langsung mengeluarkan ponselnya, mengetik sesuatu, dan menunjukkan isinya tepat di depan hidung Aria. Ia jadi harus mundur selangkah untuk bisa membaca apa yang tertera pada ponselnya itu. 'LIKE HELL!!! Aku tidak akan membiarkan dunia mengalahkanku!!!' Setelah membaca itu, Aria ganti menatap Nino seakan dialah yang alien tolol. "Apa kau tidak melihat apa yang mereka lakukan? Apa kau tidak bisa melihat seperti apa dirimu sekarang? Dunia ini nggak senaif seperti apa yang kau pikirkan!" Walaupun begitu........... Aku akan tetap melawan.......... Untuk apa aku masih bernafas jika aku tidak bisa hidup! Melihat itu, Aria mengerjap-ngerjapkan matanya kehabisan kata-kata. Begitu............ rupanya seperti itu........ Alasan kenapa Aria begitu ingin menghindari cowok yang ada dihadapannya ini, itu karena ia tahu lelaki ini berbahaya untuknya. Semenjak hari ia melihat Nino berteriak pada langit di tengah hujan, perasaan frustasinya, kebenciannya akan kekalahan, membuat benteng tinggi dan tebal yang Aria bangun dalam dirinya mulai terkikis sedikit demi sedikit, kemudian sebelum Aria sadari, dindingnya telah berlubang. Ini karena Nino, bisa melakukan apa yang Aria tidak pernah bisa lakukan. Setelah memikirkan itu, Aria tertawa terbahak-bahak. Mungkin karena salah mengartikan tawa Aria sebagai bentuk ejekan, Nino langsung berbalik dan meninggalkan Aria begitu saja. Sebaliknya, Aria justru mengejar Nino, menarik sikunya untuk menghentikannya dan membuatnya berbalik. "Aku akan meminjamkanmu suaraku! Kau bisa menggunakannya sesuka hatimu bagaimana dan seperti apa. Tapi sebagai gantinya, tunjukkan padaku bagaimana caramu untuk melawan dunia." 3rd SOUND: DISSONANCE "Oh? Gadis hujan! Tidak biasanya kamu kemari saat tidak hujan!" Aria menyerondol masuk ke mini market itu sembari memasang tatapan mata yang seakan bisa mengeluarkan sinar laser. "Emm, aku berterimakasih karena kamu sudah mengantar Nino pulang dengan selamat tempo hari, tapi sebenarnya apa yang terjadi pada kalian berdua disaat sebentar aku tidak melihat kalian? Sampai-sampai wajah cantikmu itu membuatku takut sekarang." Pernyataan paman pemilik kembali membuat Aria mengingat apa yang terjadi hari itu. Kini Aria tidak hanya mengeluarkan sinar laser dari kedua matanya tapi juga kobaran api penuh kemarahan menyelimuti dirinya yang dapat membakar udara. "Ini hanya perasaanku saja atau kau memang sedang membakar udara, gadis hujan? Lebih baik aku mengatur ulang suhu AC-nya sebelum daganganku hancur," ujar paman pemilik sembari mencari remote AC-nya. Kembali pada hari hujan dimana Aria baru saja menyelamatkan Nino............. "Aku akan meminjamkanmu suaraku! Kau bisa menggunakannya sesuka hatimu bagaimana dan seperti apa. Tapi sebagai gantinya, tunjukkan padaku bagaimana caramu untuk melawan dunia!" Setelah mengatakan itu, Aria tidak menduga akan mendapati Nino yang tidak hanya menatap Aria layaknya alien tolol tapi juga menyiratkan kemarahan yang tidak tergambarkan dari dalam mata gelapnya. Untuk sesaat Nino menulis sesuatu di ponselnya sebelum akhirnya menunjukkannya pada Aria untuk ia baca. 'Aku tidak butuh rasa simpatimu! Kalau kau mengatakan ide gilamu itu hanya untuk mengasihani orang cacat, LUPAKAN! Rasa kasihanmu itu hanya akan membuatku terlihat lebih buruk dan menyedihkan. Atau kau memang sengaja mengatakan itu hanya untuk membuat dirimu terlihat seperti orang baik? Pemikiran BODOH!' "Bo-BODOH??!!!! Kau baru saja mengolokku BODOH?! Hah?! Oke! Lupakan! Kau pasti akan menyesali ini!! Dasar kau bodoh!!!" Ingatan Aria tentang punggung menyebalkan Nino yang melambaikan sebelah tangannya pada Aria sambil lalu, membuat rambut Aria berdiri layaknya ular. "PAMAN!!! BERITAHU AKU DIMANA IBLIS ITU BERSEMBUNYI DAN AKU AKAN TERUS MENGIKUTINYA HINGGA KE UJUNG DUNIA HANYA UNTUK MENERTAWAKAN SETIAP KEGAGALANNYA!!!!" seru Aria dengan menekan rendah setiap kata yang diucapkannya pada paman pemilik, mencondongkan tubuhnya ke depan berusaha untuk mengintimidasi pemilik yang menciut seperti tikus kecil itu. "Me-me-medusa?! Atau penagih hutang?! Aku akan memberikanmu semua yang ada di kasir hanya saja tolong ampuni nyawa pria malang ini!!" Aria menyipit menatap tajam paman pemilik dan melihat ke bawah meja kasir. Ia mengambil sebutir permen dan mengunyahnya layaknya seperti perampok. "Oke! Hanya katakan saja dimana anak iblis labil itu berada dan kita impas." Perlahan paman pemilik menarik napas lega sembari tertawa kecil. "Yeah! Sebenarnya aku ragu siapa iblisnya disini." "HAH?!" "Oh, tidak-tidak! Maafkan aku!" Tiba-tiba terdengar suara keras dari lantai atas disertai suara barang-barang yang dibanting. Aria dan paman pemilik saling bertatapan dan secara bersamaan menghela napas panjang. "Paman, bolehkah aku naik ke lantai atas?" Pemilik baik itu sembari mengernyitkan dahinya dan tersenyum masam, dia mengangguk. "Maaf. Aku akan sangat tertolong jika kamu mau membantunya. Ia masih belum bisa menerima kondisinya karena itu secara emosional dia masih tidak stabil. Terutama setelah ditinggalkan oleh anggota bandnya untuk memulai debut. Ini menjadikannya semakin pemarah padahal sebenarnya dia anak yang baik dan suka tertawa." Tentu saja cowok itu akan frustasi! Aria mengerti lebih dari siapapun seperti apa rasanya dunia dimana ia telah berusaha sekuat tenaga untuk mimpinya, namun direnggut paksa darinya tanpa diberikan kesempatan untuk melawan balik. Aria menaiki setiap tangga menuju lantai dua dengan railing berhiaskan paranada(1) yang diisi not balok menyerupai partitur musik. Ia merasa cukup aneh ketika langsung mendapati sebuah pintu hitam di ujungnya. Perlahan ia memasuki pintu yang sebelumnya memang sudah terbuka itu dan terkagum menemukan sebuah studio musik luas bernuansa classy dengan setting pencahayaan alami dari sinar matahari. "Skylight, ya?" gumam Aria pelan tenggelam dalam rasa takjubnya. Sangat jarang menemukan sebuah studio musik yang tidak tertutup penuh di keempat sisi dindingnya. Ini karena ditakutkan akan mengganggu kualitas yang dihasilkan dari rekaman suara. Walaupun begitu, studio ini sangat bagus, pikirnya. Mengingat bahwa studio ini dibangun di atas sebuah mini market rumahan. Dinding kedap suaranya berwarna biru langit dengan karpet berbulu hitam yang halus. Ada berbagai macam furnitur yang melengkapi studio tersebut seperti sofa, rak buku, rak CD, dan tentu saja, Instrumen! Inilah yang pertama kali dan paling menarik perhatian Aria. Studio cantik itu memiliki berbagai macam instrumen musik mulai dari drum, berbagai macam gitar akustik hingga elektrik, grand piano dan keyboard, bass, violin, cello, dan beberapa instrumen lainnya hingga membuat Aria bertanya-tanya, bukankah ini terlalu lengkap untuk sebuah studio rumahan? Sayangnya, studio manis dan ceria itu sangat berkontradiksi dengan suasana dingin yang memenuhi udaranya. Kertas-kertas partitur yang berserakan dimana-mana, headphone yang pecah, kursi dengan kaki-kaki yang patah, cowok depresi yang terduduk diam, dan sebuah pigura dengan kaca yang retak. Aria memungut pigura itu dan memerhatikan fotonya. Nino yang memegang mikrofon menyanyi sembari memainkan gitarnya bersama keempat cowok lain dalam sebuah panggung festival musik. Aria menaruh pigura itu di atas meja dan ganti memerhatikan laptop yang juga terjatuh di lantai, mungkin karena tadi dihempaskan begitu saja dari permukaan meja. Aria memerhatikan laptop itu yang untungnya masih menyala dan berfungsi dengan baik, menampilkan sebuah platform berbagi video dengan akun 'NINO~' ter-login pada situs tersebut. Ia mengarahkan kursornya pada tombol play dan sebuah lagu pun dimainkan. Mulai dari detik pertama ia mendengarnya, Aria tertegun. Bagus. Sangat bagus malah. Untuk sejenak Aria mencuri pandang pada Nino. Cowok ini..... sudah pasti dia punya bakat berlian! Tapi kenapa......? Kemudian ia kembali melihat pada layar laptop, men-scroll kolom komentar dan akhirnya mengerti keadaannya. "Palagiat....... hmm......." Aria melihat punggung Nino yang sedikit tersentak ketika mendengar 'plagiat'. "Band bernama Rabies ini....." Nino sontak melempar bola kertas tepat mengenai kepala Aria. 'ALL BE ASH!!! Apa kau bodoh!' tulis Nino mengkoreksi Aria. "Hah?! Siapa yang bodoh disini sebenarnya? Kenapa juga kau masih membela orang-orang yang sudah plagiat lagumu? Mereka itu mantan bandmu, bukan? Orang-orang yang memakai ikat leher bertuliskan 'teman' hanya untuk hidup meminta makan dari orang lain dengan menjilati sepatu mereka?!" Aria melotot ke arah Nino yang mengerjap-ngerjapkan matanya sebelum tertawa kecil tanpa suara. "Apa? Kenapa kau tertawa, alien gila?" Nino mengetik sesuatu dan kemudian melemparkannya pelan di karpet berbulu dekat Aria. 'Cewek ular, kenapa kata-katamu selalu menusuk tepat sasaran?' "Hmph! Jika bicara soal pengalaman, kau tidak lebih hanya terlihat seperti anak ayam di mataku! Lalu, apa yang akan kau lakukan? Apa kau tidak ingin membalas mereka?" tanya Aria sembari kembali melempar ponsel Nino ke pemiliknya. 'Tidak ada yang bisa kulakukan. Apapun yang akan kukatakan pada publik, mereka akan cenderung berpihak pada yang sudah terkenal.' "Hm. Itu benar. Lagipula untuk nama baru sepertimu, akan lebih baik jika kau tidak memulainya dengan memberikan impresi buruk dihadapan publik. Terkenal lewat sensasi hanya seperti melempar kotoran di setiap lagu yang sudah susah payah kau tulis. Mereka tidak akan mengingatmu sebagai musisi hebat, melainkan sebagai orang yang pernah mendongkrak popularitas dengan menggugat band terkenal. Karir yang seperti itu tidak akan bertahan lama." Apa yang ia lakukan sebenarnya? Bukankah tujuan utamanya kemari adalah untuk menertawakan setiap kegagalan yang mendatangi Nino sebagai balasan karena telah mempermalukan dirinya? Jadi apa yang dilakukannya sekarang? Duduk ikut termenung menemani cowok depresi ini. Aria mendongak ketika kembali melihat ponsel yang disodorkan Nino padanya. 'Aku memang berkata akan melawan dunia, tapi aku juga tidak ingin harga diriku sebagai musisi hancur. Mungkin saja dari awal aku hanyalah seorang pengecut. Maaf.' "......... kau terlalu mirip denganku........ dasar bodoh......." gumam Aria pelan hampir seperti bisikan. Sebaliknya Nino hanya mengerutkan dahinya, mungkin tidak bisa mengerti dengan jelas maksud dari suara kecil Aria. Ah, sudahlah. Terlanjur nyebur. Sambil menyelam minum air pula! "Nino, mana dari gitarmu yang bisa siap pakai?" Aria mengikuti arah penglihatan Nino dan menghampiri sebuah gitar yang masih tersarung dalam tasnya. Ia menyandang gitar tersebut dan tanpa banyak omong langsung menarik Nino keluar. #### CATATAN KAKI: (1) lima garis horisontal tempat not ditulis dalam partitur. 4th SOUND: HARMONIC SCREAM Nino yang sedari tadi membiarkan dirinya ditarik oleh cewek hujan, menghentikan langkahnya dan ganti menarik gadis itu, membuatnya terhenti. "Apaa?!" teriak gadis hujan. Oh, sial! Karena ditarik secara paksa, Nino melupakan ponselnya di studio. Disaat seperti ini dimana ia tidak bisa berkomunikasi layaknya orang normal lainnya, ia merutuk dirinya dan disabilitas yang dialaminya. Karena tidak sabar, gadis hujan kembali menarik pergelangan tangan Nino, menyeretnya untuk mengikutinya. "Dari awal, kau membuat sebuah kesalahan fatal. Menggunakan artificial vocal(1) dalam lagumu adalah ide yang bagus tapi kau lupa bahwa mayoritas penikmat musik di negara ini adalah dalam level rendah. Kau mungkin bisa terkenal di negara berpemikiran terbuka seperti Jepang, Amerika, atau Eropa yang menilai musik asli dari kemampuan dan bukannya sensasi. Mayoritas masyarakat sini memiliki apresiasi yang buruk dalam menilai musik yang asing ditelinga mereka yang mengakibatkan dirimu jadi dicap sebagai plagiat bukannya para RABIES itu! Argh, inilah kenapa aku benci bersosialisasi! Orang-orang ini memiliki pemikiran yang terlalu sempit! Hidup di dunia mereka yang begitu sempit!" Gadis ini....... apa dia memanfaatkan keadaanku yang tidak bisa bicara agar bisa terus mengomel tanpa henti mengeluarkan frustasinya? Agak sebal memikirkannya, tapi karena Nino setuju dengan cercaan gadis hujan, ia pun jadi tidak keberatan. "Dan satu lagi kesalahan buruk yang kau buat." Gadis hujan menghentikan langkahnya tepat di tengah keramaian manusia yang berlalu-lalang pada sebuah pusat perbelanjaan. "Kalau kau berpikir tidak bisa berbicara itu sama artinya dengan tidak bisa bersuara, maka kau salah besar." Nino tertegun mendengarnya. Apa yang cewek gila ini akan lakukan? Gadis itu mengeluarkan gitar dari tasnya dan menyodorkan gitar tersebut pada Nino. "Kau masih punya suara lain. Tolong jangan lupakan ini. Dan apa kau tahu apa yang sedang kupikirkan saat ini? Persetan dengan dunia ini!" .........hah? Apa gadis ini beneran gila? Nino memerhatikan gadis hujan itu menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya mengeluarkan suara sejernih tetesan air dingin. Lambat laun terus naik mengikuti tangga nada membuat tidak hanya Nino, tetapi semua orang yang ada disana berhenti dan tercengang hanya untuk melihat gadis itu. Ketika nada yang dicapainya semakin tinggi dan tinggi, tak ayal Nino pun merinding mendengar suaranya yang seperti malaikat itu melengking semakin kuat. Oi, oi, kau pasti bercanda, kan? Gadis ini......... sampai sejauh mana nada yang bisa dicapainya?! Siapa dia sebenarnya?!!! Tapi apa yang menurut Nino paling menarik dari gadis hujan ini adalah betapa bebasnya ia ketika menyanyikan setiap nadanya, walaupun yang ia lakukan hanyalah mengikuti melodi tangga nada yang sederhana. Entah kenapa jauh didalam suara indahnya itu, Nino juga bisa merasakan teriakan gadis hujan. Setelah gadis itu berhenti, suara tepuk tangan dan riuh rendah menyambutnya. "Sepertinya aku masih belum berkarat, padahal sudah lama sekali semenjak aku menyanyi. Jadi, apa yang ingin kau sampaikan? Aku akan menyampaikannya." Apa kau ini tidak sadar, kalau aku ini tidak bisa menjawabmu.......... Nino hanya bisa tersenyum pahit membalas tatapan mata cokelat gelap gadis hujan. Tapi anehnya, seperti bisa mendengar dan mengerti perasaan Nino, gadis itu mengangguk dan tersenyum. Senyuman pertama yang ia pernah lihat tersungging dari bibir gadis ular itu. Manis dan memesona. "Aku mengerti. Serahkan padaku! Sebagai gantinya gunakan gitar ini untuk menyampaikan apa yang kau pikirkan dan rasakan pada semua orang. Kau akan melawannya, bukan? Dunia!" Nino mengerjap-ngerjapkan matanya mendengar itu sebelum akhirnya tertawa kecil. Gadis hujan kembali menarik napas dalam dan dengan suaranya yang jernih namun juga kuat itu ia mulai bernyanyi, di tengah-tengah kerumunan orang yang mulai membentuk lingkaran mengitari mereka karena rasa penasaran. "Do you ever feel like breaking down? Do you ever feel out of place Like somehow you just don't belong And no one understands you?" Begitu ya..... memang nggak ada lagu lain yang lebih cocok daripada lagu ini! Nino melingkarkan strap(2) gitarnya pada bahunya, memasang capo(3) pada leher gitar, dan sedikit menyetel gitanya agar cocok dengan Welcome to My Life-nya Simple Plan. Nino pun menjawab tatapan mata gadis hujan yang menunggunya sembari tersenyum itu, dengan memainkan chord(4) selanjutnya. "Do you ever wanna run away? Do you lock yourself in your room With the radio on turned up so loud That no one hears you're screaming?" "No, you don't know what it's like When nothing feels alright You don't know what it's like To be like me" "To be hurt, to feel lost To be left out in the dark To be kicked when you're down To feel like you've been pushed around To be on the edge of breaking down And no one's there to save you No, you don't know what it's like Welcome to my life" Nino tertegun dengan bagaimana cara gadis itu yang menyanyi penuh dengan emosi yang sepertinya telah tertahan dalam waktu yang lama. Memaksa dirinya untuk menaruh perasaan frustasi dan kesedihannya sendiri pada setiap alunan gitarnya. Tidak mau kalah, Nino menyamakan permainan gitarnya setajam dan sekeras mungkin demi menyamai ledakan emosi gadis hujan. "No one ever lied straight to your face And no one ever stabbed you in the back You might think I'm happy, but I'm not gonna be okay Everybody always gave you what you wanted You never had to work, it was always there You don't know what it's like, what it's like (What it's like)" "To be hurt, to feel lost To be left out in the dark To be kicked when you're down To feel like you've been pushed around To be on the edge of breaking down And no one's there to save you No, you don't know what it's like Welcome to my life Welcome to my life Welcome to my life" Melodi terakhir pun berhenti meninggalkan semua orang dalam ketertegunan. Dengan jangkauan nada tinggi suara menakjubkan gadis hujan disertai variasi teknik gitar Nino yang mengiringi penuh luapan emosi, membuat lagu simpel ini jadi tidak mudah dan penuh akan perasaan mereka. Membawa lagu ini ke level yang berbeda memengaruhi semua pendengarnya dalam teriakan hati mereka. Seperti baru saja tersadar akan ilusi, para pendengar pun mulai bertepuk tangan sembari bersorak-sorai. Di antara sela-sela napas mereka yang masih memburu, Nino saling bertukar pandang dengan gadis hujan sebelum akhirnya mereka tertawa puas bersama. #### Aria meregangkan tangannya ke atas dan tersenyum pada langit. Jujur saja, ia masih tidak menyukai bagaimana matahari begitu menyengat kulitnya dan bagaimana keberadaan orang-orang membuatnya begitu tidak nyaman. Ia masih merindukan hujan dan bertanya-tanya kapan hujan selanjutnya akan datang. Tapi melalui hari seperti ini sekali-kali juga tidak buruk, pikirnya. Ini seakan seperti sudah begitu lama semenjak ia bisa menyanyi semenyenangkan ini. Menikmati dengan gembira saat dimana ia bisa bernyanyi dengan bebas tanpa perlu mengkhawatirkan tentang apapun. Aria tidak lagi mengingat kapan terakhir kali ia bisa menyanyi sebebas ini sebelumnya. Aria merasa bahunya ditepuk pelan dari belakang dan ia pun membalikkan badannya menghadap Nino. Semua ini berkat dia, pikir Aria. Jika bukan karena Nino yang bisa mengimbangi nyanyian liar Aria yang beberapa kali berimprovisasi dengan egois, mungkin menyanyi tidak akan menjadi semenyenangkan ini. Kurasa aku berhutang satu hal padanya, huh? Disaat memikirkan itu, Aria sedikit terkejut ketika tiba-tiba Nino menggenggam tangannya. "A-apa yang kau lakukan?" Nino menggenggam tangan Aria lembut dengan telapak tangan menghadap ke atas dan menuliskan sesuatu pada permukaannya. Perasaan geli juga malu bercampur aduk membuat wajah Aria memerah setiap kali Nino mengguratkan garis-garis hingga membentuk rangkaian huruf. Dalam hati Aria bertanya-tanya, apakah ini karena Aria yang tidak pernah begitu dekat dengan laki-laki sebelumnya, hingga ia bisa berpikir bahwa dirinya menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh ujung jari-jemari Nino pada telapak tangannya? Aria menggeleng-gelengkan kepalanya kuat dalam penolakan penuh akan pemikiran menakutkan tadi. Aria tersentak ketika mendapati Nino yang kini sedang menatapnya seakan seperti menatap alien purba. "N-Na-nama! Kamu menanyakan namaku, bukan?" Melihat Nino yang mengangguk sembari masih mengangkat sebelah alisnya, setidaknya bisa membuat Aria sedikit menghembuskan napas lega. Untung saja masih ada sekitar sepersepuluh bagian dari dirinya yang masih waras. "Aria. Kamu bisa memanggilku Aria." Untuk sesaat Nino hanya mengedipkan matanya sebelum akhirnya tertawa kecil. "A-Apa? Bahkan aku sendiri juga berpikir kalau nama ini terlalu anggun buatku. Tidak perlu sampai tertawa hanya untuk mengingatkanku akan kenyataan menyebalkan itu!" Mendengar kalimat pembelaan Aria, Nino justru tertawa semakin lebar hingga ia menutupi mulutnya dengan sebelah tangannya. "Hmph!" Merasa sebal akan ejekan Nino, Aria berbalik sembari menggembungkan kedua pipinya, berjalan meninggalkan Nino yang masih sibuk tertawa. Langkah kaki Aria kembali terhenti oleh Nino yang menahan pergelangan tangannya. Cowok itu kembali menuliskan sesuatu di telapak tangan Aria masih sembari menahan tawanya. Disaat yang bersamaan, Aria justru menahan mati-matian suaranya agar tidak mengeluarkan suara aneh pada setiap sentuhan Nino. 'Terima Kasih' " Ragrh!! Kemana sebenarnya ponselmu?! Tidak—tunggu jangan menulisnya di telapak tangan ku lagi!! —Hnyaa!!" #### "Hoh?! Senang akhirnya bisa melihatmu tertawa lebar!" Mendengar komentar Om Andy itu, Nino tertawa masam. Ia tidak bisa memungkiri lagi kebahagiaannya akan bisa kembali lagi berdiri didepan banyak orang dan bermain musik semenyenangkan itu. Semua ini berkat gadis hujan itu, kurasa. Nino kembali tersenyum setiap kali memikirkan gadis iblis berbulu domba itu. Seenaknya memasuki hidupnya, seenaknya menyeretnya keluar, dan seenaknya mengguyurkan kembali warna musik padanya. "Jadi, siapa nama gadis hujan itu? Jujur saja aku sendiri cukup penasaran dengannya." Nino kembali tertawa mengingat saat ketika ia pertama kali mendengarnya. Nino menuliskan nama 'Aria' pada kertas kecil untuk ditunjukkan pada Om Andy. "Haha, nama yang sangat cocok dengannya, bukan? Nyanyian tunggal penuh emosi. Walaupun berbeda terbalik dengan image opera." Nino juga berpikir demikian. Walaupun nampaknya si pemilik nama sendiri menganggap bahwa namanya sangat tidak cocok dengannya, Nino berpikir tidak ada lagi nama yang akan cocok selain Aria untuknya. "Jadi, bagaimana gadis Aria ini? Apakah dia menakjubkan?" 'Luar biasa! Melebihi semua harapanku!' 'Dan kurasa..... aku kini berhutang satu hal padanya......' 'Melihat bagaimana gadis itu bernyanyi, sekali lagi, aku ingin memperbaiki semuanya dari awal. Untuk bisa kembali di panggung yang bersinar itu. Walaupun keadaanku seperti ini sekarang, setidaknya aku masih diperbolehkan untuk berusaha, bukan?' Membaca setiap kata yang menyiratkan akan perasaan tulus Nino itu, membuat sudut mata pamannya berair. "Tentu saja, No! Semua orang punya hak untuk berusaha! Siapapun dan seperti apapun orang itu........" CATATAN KAKI: (1) Vokal buatan. Untuk lebih jelasnya cek Vocaloid. (2) alat bantu agar kita bisa memainkan gitar sambil berdiri (3) untuk menjepit senar dengan tujuan menaikkan nada dasar (4) Harmonisasi tiga nada atau lebih. 5th SOUND: ETUDE Dang!! Da Dang Da Da dang! Aria menaikkan sebelah alisnya mendengar dentangan piano Nino yang seakan mengatakan 'Bukan. Bukan seperti itu!'. "Lalu, seperti apa?" Nino kembali menarikan jari-jarinya di atas tuts piano, melantunkan rangkaian melodi lagu yang akan mereka cover untuk dimainkan di depan publik selanjutnya. Setelah hari itu, hari dimana Aria menyeret Nino dengan paksa untuk melakukan street performance bersama, Nino pun meminta tolong pada Aria untuk meminjamkan suaranya. Mereka berdua yang tidak dapat melupakan seberapa besar perasaan menyenangkan yang mereka rasakan saat bermain musik bersama, beberapa kali telah melakukan street performance kembali hingga cukup untuk menarik perhatian banyak orang. Karena itu menu latihan mereka semakin keras, dan secara bertahap memainkan lagu dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. "Nggak! Aku yakin nggak seperti itu nadanya!" seru Aria lalu kembali menyenandungkan yang menurutnya melodi yang benar. "Aku jelas ingat kalau nadanya seperti ini!" 'Dasar bodoh! Kenapa nggak sekalian saja putarkan CD lagu aslinya ke orang-orang daripada harus susah-susah bikin cover! Kalau perlu kita harus mainin aransemen yang bisa melebihi lagu aslinya!' Membaca itu, Aria mengerjapkan matanya sebelum berteriak keras. "Ah!! Kau benar....... apa yang sebenarnya kupikirkan. Maaf, hanya saja sudah lama tidak hujan dan aku tidak bisa berpikir dengan benar." 'Memangnya apa kamu akan mati kalau tidak hujan? Aneh.' "Hmm. Benar, aku akan mati." gumam Aria pelan. "Huh? Siapa yang akan mati?" tanya Paman pemilik yang baru saja memasuki studio sembari membawa nampan berisi minuman dan cemilan. "Ah ha ha! Tidak! Aku hanya bercanda! Kebetulan sekali Paman, aku sangat haus! Terima kasih!" ujar Aria buru-buru mengelak dari pandangan khawatir Nino dan Paman Andy. Duh, sebenarnya kenapa ia berkata seperti itu?! Aria membuka tutup botol air putihnya sembari diam-diam melirik Nino yang sudah kembali berkutat dengan lembaran partitur, mencocokkan melodinya dengan piano, sebelum akhirnya mencari chord gitarnya. Entah kenapa ia merasa seperti kesulitan untuk menahan diri di depan Nino. Ia tidak bisa menyembunyikan dirinya dengan baik layaknya seperti yang selama ini ia lakukan ketika berhadapan dengan orang lain. Apa ini karena ia merasa Nino yang begitu mirip dengannya? Tidak. Kita berdua tidaklah mirip. Nino jauh lebih........ "Ngomong-ngomong aku sudah melihatnya, lho! Street performance kalian di Youtube! Yah, kalian benar-benar hebat! Aku sampai merinding melihatnya! Tapi, aku akan peringatkan satu hal. Berlatih keras setiap hari bukanlah hal yang buruk tapi kuharap kalian tetap menjaga kesehatan kalian!" "Hei, Nino! Mainkan lagi bagian ini, aku ingin mendengarnya!" Nino mengangguk dan mengulangi rangkaian melodi yang dimaksud Aria. "Kalian sama sekali tidak mendengarkanku, bukan?" Paman Andy menghela napas panjang. "Tapi apa tidak apa-apa buat kalian untuk terus menghabiskan waktu hanya melakukan street performance? Dengan kemampuan dan teknik kalian yang sudah bagus ini, kalian bisa saja dengan mudah memenangkan kompetisi atau sema—" "TIDAAKK!! AKU TIDAK AKAN PERNAH—" Aria terperanjat setelah tersadar bahwa ia baru saja berteriak histeris. "Ma-maaf! Tolong lupakan!" Aria merunduk memejamkan matanya, berharap dalam hati agar Nino dan Paman Andy tidak bertanya lebih jauh. "Ah.... tidak Aria. Sepertinya aku yang harus minta maaf karena terlalu ikut campur. Maaf......." Aria mendongak menatap Paman Andy yang tersenyum pahit begitu menyesal. "Tidak, Paman....... Bukan begitu. Aku tidak bermaksud membuat Paman merasa tidak enak........... Hanya saja kompetisi itu buatku agak............." Ia sedikit tersentak ketika mendapati tangan Nino yang besar membelai lembut kepalanya. Aria menatap Nino dengan gelisah, kemudian membaca tulisan yang terketik di layar ponsel yang diperlihatkan Nino. 'Jangan memasang wajah seperti itu. Lihat! Hujan yang kamu tunggu sudah datang!' Aria membalikkan badannya, melihat ke arah langit di luar jendela. Ia mulai menyunggingkan senyumannya ketika melihat kilatan petir muncul dari balik awan gelap yang semakin mendekat. Perlahan rintikan hujan mulai membasahi kota kelabu yang dibencinya, membersihkan setiap butiran-butiran udara tercemar yang selama ini selalu membuat Aria kesulitan untuk bernapas. Tanpa sadar, ia pun mulai bersenandung dan melupakan semua kegundahannya bersama setiap tetesan air yang terjatuh. "Sound of Music. My Favorite Things." Aria berbalik mengalihkan perhatiannya kepada Paman Andy. "Paman tahu?" "Hm! Tentu saja! Sepertinya kamu juga sering menyanyikannya setiap kali datang kesini saat hujan, kan?" Aria memerhatikan Paman Andy yang berjalan menghampiri case biola dan membukanya. "Paman bisa bermain violin?" Paman Andy menjawab pertanyaan Aria hanya dengan senyuman. Beliau menaruh biolanya di bahu dan mulai menggesek dawai biolanya dengan kuat namun juga lembut secara bersamaan. Entah kenapa Aria merasa penampilan paman pemilik yang biasanya berantakan dengan rambut terkuncir acak-acakan itu ternyata cukup serasi dengan biola yang dipegangnya. Aria menyipitkan matanya, memerhatikan Paman Andy dengan seksama. Postur tubuhnya itu, juga produksi suaranya........ "Paman, apa jangan-jangan Paman ini seorang pro violinist?" Nino menepuk bahu Aria pelan dan menunjukkannya foto-foto Paman Andy saat masih muda dengan setelan hitamnya, memainkan biola dalam sebuah pertunjukan orkestra dan beberapa kompetisi lainnya. "EHHH?! Paman pernah bermain di Aula Simfonia?! Bahkan menjuarai kompetisi violin internasional di Jerman?!" "Haha! Sedikit malu rasanya mengingat masa lalu!" Paman Andy pun mulai memainkan My Favorite Things dengan indahnya diikuti alunan piano Nino. Sebuah kombinasi riang, lembut, dan juga menghangatkan perasaan pendengarnya. Biasanya Aria melewatkan hari hujan berharganya dengan bersenandung sendirian hanya bersama rintikan hujan dan semua suara yang dibawanya. Kini ia merasa sedikit aneh mendapati dua orang yang baru saja dikenalnya akhir-akhir ini, bersama-sama memainkan lagu yang biasa disenandungkannya sendirian hanya untuknya. Sungguh perasaan aneh yang misterius, pikirnya. Didalam dada Aria perasaan hangat terus menyebar memenuhi dirinya. Aria tersenyum dan mengisi alunan melodi itu dengan suaranya. "Raindrops on roses And whiskers on kittens Bright copper kettles and warm woolen mittens Brown paper packages tied up with strings These are a few of my favorite things" "Cream-colored ponies and crisp apple strudels Doorbells and sleigh bells And schnitzel with noodles Wild geese that fly with the moon on their wings These are a few of my favorite things" "Girls in white dresses with blue satin sashes Snowflakes that stay on my nose and eyelashes Silver-white winters that melt into springs These are a few of my favorite things" "I simply remember my favorite things And then I don't feel so bad" #### Nino tersenyum menikmati suara riang Aria yang masih saja menyenandungkan My Favorite Things bahkan hingga ketika ia mengantarkannya pulang. Cuaca masih buruk dan hujan terus turun mengguyur kota. Ia berpikir pasti akan ada banyak tempat yang mengalami kebanjiran jika keadaannya terus berlanjut seperti ini. Tapi nampaknya cuaca yang semakin memburuk tersebut malah membuat suasana Aria berbanding terbalik. Dengan anehnya ia terus terkagum setiap kali petir menyambar dari langit. Cewek yang menakutkan, pikir Nino sembari tertawa kecil. Tapi apa benar begitu? Nino kembali mengingat kejadian tadi siang dimana Aria merespon terlalu berlebihan terhadap kata 'kompetisi'. Apa ia punya pengalaman buruk saat mengikuti kompetisi atau semacamnya? "Hei, tidakkah menurutmu hujan itu sangat menyenangkan? Tidak hanya hujan membawa banyak suara ke dunia tapi juga memberikan momen yang langkah. Serasa hanya ada kita sendirian di dunia yang luas ini. Dunia yang hanya milik kita." Ah, apa karena itu ia menyukai hujan? Semakin deras hujannya, semakin semua orang akan memilih untuk berdiam diri dirumah. Jadi dia bisa menikmati dunia hanya untuk dirinya sendiri. Alasan kekanak-kanakan yang manis. Dan apa dia barusan tidak sadar telah mengatakan sesuatu yang seharusnya ia tidak katakan disaat sendirian dengan laki-laki? "Apa? Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Aria sembari menatap Nino penuh menyelidik. Whoops! Sepertinya dirinya terlalu memandang Aria berlebihan tanpa ia sadari. Nino menyadari akan sesuatu dan menyentuh bahu Aria, menariknya mendekat kesisinya. Aroma harum yang lembut dari Aria sontak tercium oleh Nino, bercampur dengan aroma menyejukkan dari hujan. 'Sial, bom bunuh diri!' teriaknya dalam hati. "Tu-tunggu! Apa yang kau lakukan?" tanya Aria dengan wajah yang memerah. Nino dengan kikuknya menunjuk bahu Aria yang sedikit basah akibat percikan air hujan. Karena mereka saling berbagi payung, tidak terelakkan kalau tubuh mereka harus saling berdekatan jika tidak ingin basah. Diam-diam Nino menikmati reaksi salah tingkah Aria yang merunduk dengan wajah semakin memerah. Sepertinya hujan tidak buruk juga, pikirnya. Tidak. Ia tidak bisa. Nino mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Setidaknya tidak dengan keadaannya yang sekarang. "A-Ah! Kita sudah sampai! Yang di depan sana adalah gedung apartemen tempatku tinggal." Nino mendongak melihat gedung apartemen didepannya yang berdiri begitu tinggi seakan menantang murka langit itu sendiri. Nampaknya Aria bukanlah sembarang gadis hingga bisa tinggal di tempat yang begitu mewah semacam ini. Tak ayal benak Nino semakin dipenuhi dengan rasa penasaran akan gadis ini. "Terima kasih sudah mengantarkanku pulang." Nino menutup payungnya, dan ganti mengeluarkan ponselnya. Ia mengetikkan sesuatu untuk diperlihatkan pada Aria. 'Aku sudah memutuskan dalam waktu beberapa bulan kedepan, aku akan menjalani operasi pita suara. Walaupun kemungkinannya akan sangat kecil untuk bisa kembali seperti semula, tapi aku akan tetap mencobanya.' Aria tersenyum manis dan mengangguk. "Ya, berusahalah! Aku juga akan membantumu sebisa mungkin! Ayo kita dapatkan kembali suaramu!" Mendengar jawaban Aria, Nino pun ikut tersenyum dan memandang gadis itu lembut. Ketika dokter menyatakan bahwa ia tidak akan bisa bernyanyi lagi walaupun jika ia bisa mendapatkan kembali suaranya, Nino berpikir semuanya akan sia-sia saja. Ia tidak keberatan jika harus kehilangan suara yang tidak bisa ia gunakan untuk menyanyi. Selama masih ada musik, selama masih ada gitarnya, ia merasa walaupun masa depannya akan sangat sulit dengan menghilangnya kesempatan bersama dengan teman-teman band-nya, semuanya masih akan tetap baik-baik saja. Ia masih bisa terus mencobanya lagi dan lagi. Namun akhir-akhir ini, ketetapan hatinya itu berubah. Ia tidak lagi merasa puas selama ada musik dan penyebab terbesarnya adalah gadis aneh ini. Gadis aneh yang walaupun tahu bahwa Nino tidak lagi bisa bersuara, ia tidak pernah menahan diri untuk mengajaknya berbicara ataupun bertengkar tidak peduli sekecil apapun itu. Kebanyakan orang pasti akan menghindar untuk berkomunikasi dengannya, tapi sayangnya Aria tidak. Nino merasa dirinya jadi semakin serakah setiap kali bersama dengan Aria. Ia jadi begitu menginginkan momen sederhana seperti bisa bercanda dan bertengkar dengan Aria menggunakan suara aslinya. 6th SOUND: RIPPLES IN THE WATER Aria menghentikan langkahnya dan bermuka masam ketika melihat sebuah cover single yang dipajang di bagian New Release. Nampaknya lagu single terbaru milik All Be Ash sedang populer saat ini hingga membuat setiap toko musik yang dikunjunginya memutar lagu mereka. Lagu yang sebenarnya diciptakan oleh Nino, mantan vokalis All Be Ash, di sebuah situs berbagi video hingga ia di cap sebagai seorang plagiat karenanya. "Terkutuklah kalian! Terkutuklah kalian!! Terkutuklah kalian!!!" rutuk Aria sembari membuat gerakan bak menarikan tarian Voodoo. Dari belakang, Nino menghentikan tarian yang mirip ubur-ubur itu dengan merapatkan kedua lengan Aria pada tubuh gadis aneh itu. "Oh Nino, apa kamu sudah menemukan senar gitar nilon yang kamu cari?" Walaupun masih dengan sebelah alis terangkat, Nino tetap mengangguk pada pertanyaan Aria. Sejenak ia memerhatikan cover single terbaru All Be Ash sebelum akhirnya mengehela napas panjang. Walaupun Nino tidak bisa berkata apapun mengenai hal ini, entah kenapa Aria bisa mengerti dengan jelas apa yang dipikirkannya dan seperti apa perasaannya. Aria seringkali merenungkan apa yang dikatakan oleh Paman Pemilik. Sebisa mungkin, ia dan Nino harus bisa secepatnya ikut terjun dalam dunia industri hiburan. Tapi, bagaimana caranya? Apakah hanya berpartisipasi dalam kompetisi saja jalan yang tersisa untuk mereka? Memikirkan itu, tak ayal tubuh Aria langsung merasa dingin dan gemetar. "Umm, bolehkah saya meminta waktu kalian sebentar?" Aria dan Nino menoleh pada suara rendah yang diucapkan dengan formal namun menggunakan aksen yang aneh itu, sebelum akhirnya mereka terperanjat kaget. Yang menyapa mereka dari balik rak CD adalah seorang pria yang tingginya hampir mencapai dua meter dengan kulit hitam legam dan bibir tebal yang menyunggingkan senyum menakutkan. Karena begitu tingginya pria itu hingga membuat Aria harus mendongakkan kepalanya hingga batas maksimal yang bisa dilakukan lehernya. Secara refleks, Nino pun menarik Aria ke belakang punggungnya. "Hey Nino, jangan-jangan tarian voodoo yang kulakukan barusan telah berhasil memanggil suatu makhluk dari dunia lain?" bisik Aria pelan pada Nino. Nino membalikkan kepalanya menatap Aria dengan mata menyipit, sebelum akhirnya menyentil dahi Aria, mungkin tidak percaya bagaimana bisa ia bercanda di saat seperti ini. "Ah, maaf membuat kalian bingung! Saya bukan orang yang mencurigakan!" 'Justru orang yang berkata seperti itu yang paling mencurigakan!' Aria dan Nino setuju terhadap pemikiran itu ketika mereka saling bertukar pandang dan mengangguk, seakan mereka bisa melakukan telepati dengan mata mereka. "Ini kartu nama saya!" ujar pria menakutkan dengan aksen bak orang asing itu sembari memberikan kartu namanya pada Nino. Aria ikut melirik kartu nama yang terlihat lusuh juga lecek itu dan membaca tulisan yang tertera pada permukaannya. UNISON ARTIST & TALENT AGENCY Chukwuemeka Clevon Aria dan Nino kembali mendongak secara bersamaan memandang pria tinggi—yang sepertinya berasal dari Afrika jika melihat nama rumitnya itu—masih menunjukkan senyum menakutkan yang sama kepada mereka. "Umm, Mister Cukawamaka........" "Oh? Haha, kalian bisa memanggilku dengan nama Chaka!" seru pria itu sembari mengacungkan jempolnya yang sebenarnya tidak banyak membantu mengurangi image menakutkan miliknya. Aria menelan ludahnya gugup dan meneruskan kalimatnya masih sembari bersembunyi dari balik punggung Nino. "Koreksi aku jika salah, tapi bukankah artis sendiri yang seharusnya berusaha mencari manajemen melalui semacam audisi dan bukan sebaliknya?" Bagaimanapun pria Afrika dengan kartu nama lusuh ini begitu mencurigakan untuk mereka. "Yah, itu karena kami agak sedikit berbeda, kurasa. Setelah bos kami melihat penampilan kalian di youtube, dia langsung menendangku keluar, memerintahkanku untuk mencari kalian! Tidak akan membiarkanku untuk kembali sebelum bertemu kalian dan menyeret kalian ke agensi, begitu katanya. Setelah tujuh hari tujuh malam keliling semua jalanan dan toko musik di Jakarta, akhirnya aku bisa menemukan kalian disini!" Menakutkan! Orang ini sangat menakutkan!? Mungkin karena memikirkan hal yang sama dengan Aria, Nino pun mengembalikan kartu nama tersebut sembari sedikit menunduk meminta maaf, sebelum akhirnya menggandeng tangan Aria keluar dari toko musik itu. "Ah, wait!! Tunggu kalian berdua!!!" Aria dan Nino menoleh terkejut ketika mendapati pria Afrika, dengan kakinya yang panjang itu, bisa berhasil mengejar mereka dengan cepat hanya dalam waktu yang singkat. "HhiiiH!! Nino ayo lebih cepat!" Nino mengangguk dan menarik Aria berlari melewati kerumunan pejalan kaki dengan lihainya tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Aria. Tidak pernah terbayangkan oleh Aria, akan ada hari dimana ia berlari begitu kencang seakan nyawanya tergantung pada kedua kakinya. Setelah merasa telah berhasil melepaskan diri dari kejaran pria Afrika itu, Aria dan Nino pun jatuh terduduk di sebuah gang kecil masih dengan napas yang memburu. Mereka menyembunyikan diri mereka, berjaga-jaga agar tidak terlihat oleh pria menakutkan tadi. Nino mengeluarkan ponselnya, mengetikkan sesuatu sebelum memperlihatkannya pada Aria. 'Banyak rumor buruk yang beredar tentang Unison. Mereka juga sempat menawari All Be Ash dulu. Ada yang mengatakan bahwa Unison adalah agensi ilegal atau bagaimana mereka sedang dalam keadaan hampir bangkrut.' "Ugh! Sepertinya kita baru saja menarik perhatian dari sesuatu yang merepotkan. Untuk sementara mungkin akan lebih baik jika kita tidak keluar rumah dulu." Nino mengangguk setuju. #### Aria hanya bisa memandangi telapak tangan kanannya yang sedari tadi digenggam oleh Nino. Walaupun mereka harusnya telah terbebas dari kejaran pria menakutkan tadi, tapi Nino masih belum juga melepaskan gandengan tangannya. Entah kenapa Aria merasa begitu nyaman dan tenang saat bersama Nino. Seakan..... ia tidak perlu lagi memikirkan yang lainnya. Hanya kehangatan yang menyebar dari genggaman tangan Nino saja sudah cukup buatnya. Masih sembari terus memerhatikan tangan Nino, Aria memiringkan kepalanya dan dalam hati bertanya-tanya, apakah struktur telapak tangan dari semua pemain instrumen musik memang selalu sebesar, sekukuh, dan senyaman ini? Terlebih lagi memiliki jari-jemari yang ramping dengan setiap sentuhannya yang lembut. Bukankah itu sedikit tidak adil? Walaupun Aria selalu merawat tangannya dengan baik dan cukup hati-hati, tapi entah kenapa tangan Nino yang digunakannya setiap hari untuk memainkan gitar dan piano terlihat jauh lebih elok dari tangan Aria. Ketika Aria masih sibuk dengan pikirannya sendiri itu, ia tidak menyadari akan Nino yang tiba-tiba menghentikan langkahnya hingga membuat Aria membentur keras sarung gitar yang tersandar di punggung Nino. "Guh! Ninoo! Apa yang kau laku.........?" Gerutuan Aria terhenti ketika melihat sebuah sedan hitam yang terparkir tidak jauh dari mini market milik paman Nino. Dari dalam sedan hitam tersebut, turun dua laki-laki dan seorang gadis berkacamata gelap yang kini berjalan menghampiri mereka berdua. Entah kenapa Nino yang tiba-tiba tercengang ketika melihat orang-orang itu, semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Aria. "Nino, lama tidak bertemu. Bagaimana keadaanmu?" tanya gadis berambut pendek bergelombang, yang sepertinya sebaya dengan Aria itu, sembari melepas kacamatanya menunjukkan wajah anggun yang tersenyum lembut menatap Nino. "Apa yang kau katakan, Claris? Baru lima bulan saja semenjak terakhir kali kita bertemu dengannya. Lima bulan bukanlah waktu yang lama, bukan?" gerutu pria di sebelahnya yang juga seumuran dengannya. "Clarissa, Indra! Sungguh tidak sopan berkata seperti itu di hadapan Nino. Bagaimanapun juga dua puluh persen dari keberhasilan kalian saat ini adalah berkat dirinya." tambah pria paruh baya yang berwajah kaku sembari tersenyum tipis, mengenakan setelan jas mahal yang mengkilat. Aria akhirnya mengenali siapa dua orang yang sebaya dengannya dan Nino itu. Mereka berdua bersama dengan tiga orang lainnya, Aria pernah melihat wajah mereka pada foto berpigura retak di studio Nino, juga dalam foto cover single dari band pendatang baru populer yang dilihatnya di toko musik beberapa saat lalu. "Geh, Rabies!!" 7th SOUND: WAVES CRASHING ON ROCKS "No! Akhirnya! Akhirnya produser dari Neo setuju buat janji temu habis ngeliat penampilan kita di live house waktu itu!" Tak ayal Nino mendongak tak percaya mendengar seruan Aldo, drummer band-nya. Indra, Noval, juga Raka yang berdiri dibelakangnya pun ikut mengangguk setuju dengan wajah sumringah. Setelah bertahun-tahun All Be Ash terbentuk semenjak tahun pertama mereka di SMA, akhirnya semua usaha keras dan perjuangan mereka selama ini terbayar. Datangnya tawaran kontrak rekaman dari sebuah label besar yang terkenal telah memproduksi banyak artis dan band papan atas di negara ini, tidak salah lagi merupakan kesempatan terbaik yang mungkin saja hanya akan datang sekali seumur hidup untuk mereka. "Ka...pan..?" tanya Nino dengan suara serak yang hampir seperti bisikan angin. Karena akhir-akhir ini ada banyak permintaan manggung untuk acara-acara kecil juga mengisi acara festival musik lokal belum lagi karena latihan rutin, nampaknya Nino terlalu banyak memforsir suaranya hingga habis. "Ugh, kau harus melakukan sesuatu dengan suaramu sebelum minggu depan," ujar Raka sembari mengambil bass-nya yang berada di ujung ruangan studio. "Maaf......" Nino pun terpikirkan cara lain untuk berbicara dengan mengetik di ponselnya dan memperlihatkannya pada mereka. 'Sementara untuk latihan, absen dulu vokalnya. Dua tiga hari juga pasti udah balik suaraku.' "Oke. Claris bisa gantiin vokal beberapa hari, kan? Lagipula kualitas suaranya juga tambah bagus akhir-akhir ini," usul Indra sembari menyetem gitarnya. "Ya iyalah, Ndra! Tiap hari pacaran di karaoke melulu sama Nino!" timpal Noval yang disambut dengan siulan rendah Aldo. "Hm?! Kukira kalian tidak menerima perempuan di band kalian. Apa akhirnya kalian menyadari bakat terpendamku? Aku akan mempertimbangkannya jika kalian membayarku!" Claris tersenyum kecil membawakan segelas air untuk Nino. Dengan susah payah Nino mengucapkan terima kasih padanya. "Ah, lo ini apapun dikomersilkan! No, cium dia!" "Cium! Cium! Cium!" Claris mendecakkan lidahnya sembari bertolak pinggang menghadap Noval dan yang lainnya. "Kalau kalian ingin lihat adegan panas kami, sebaiknya kalian udah siap buat bayar mahal, oke?" "Ehh?! Nggak asik! Seenggaknya balas budi napa sama Nino! Kita semua pada tahu kau diam-diam meminta Nino mengajarimu menyanyi, kan? Teknik dan caramu menyanyi jadi identik banget sama Nino." "Cemburu? Apa kalian pikir aku akan diam saja melihat kalian memonopoli Nino sendirian!" Nino hanya bisa tertawa kecil mendengarkan perdebatan tidak jelas teman-temannya itu. Dengan jalan yang semakin terbuka lebar untuk All Be Ash bisa naik di industri hiburan, ia berpikir akan sangat menyenangkan bila hari-hari seperti ini masih akan bisa berlanjut untuk seterusnya. #### "Tinggalkan dia." "..……............................................" "..……............................................" "..……............................................" "..……............................................" Di dalam studio mewah yang dilengkapi dengan peralatan musik dan rekaman paling canggih di negeri ini, tempat yang seharusnya selalu diidamkan oleh Nino selama ini untuk ia datangi, tempat dimana ia menaruh seluruh harapan dan mimpinya, telah berubah menjadi panggung eksekusi untuknya hanya dengan dua patah kata itu. "..............................apa?" tanya Aldo seakan masih belum bisa mencerna situasi ini dengan benar. "Kami akan setuju untuk membuat kontrak dengan kalian asalkan kalian mau meninggalkan vokalis kalian yang tidak berguna ini. Seorang vokalis yang bahkan tidak bisa menjaga kondisi suaranya sendiri tidak lebih hanyalah seorang amatir. Penyanyi yang tidak bisa menyanyi? Hah! Lucu!" ejek CEO Neo, Rama Hardjo, dengan wajah dinginnya yang menatap tajam pada Nino. Mendengar itu, Nino hanya bisa mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Kenapa semua ini bisa terjadi? Suara yang seharusnya sudah kembali normal beberapa hari yang lalu, disaat ia menggunakannya kembali untuk perform dihadapan produser dan CEO Neo Record, ketika mencapai satu nada tinggi tertentu, seakan seperti benang dengan layang-layangnya yang terputus, pita suaranya pun berhenti bergetar. Nino dirujuk ke rumah sakit hanya untuk mendengar omong kosong dokter tentang bagaimana dirinya yang tidak akan bisa bernyanyi lagi untuk seumur hidupnya. "Benar juga.... bagaimana kalau untuk vokalis baru kalian, nona yang disana saja yang menggantikannya? Dia sempat mengisi satu lagu waktu di live house, bukan?" ujar salah satu produser disamping Rama Hardjo. "Eh? S-saya?" Sontak Nino dan yang lainnya menoleh ke arah Claris yang sedari tadi hanya terdiam dibelakang mereka. "Benar. Lagipula band pop rock biasanya lebih bisa menjual jika vokalisnya perempuan. Kalangan remaja dapat menerima kalian dengan lebih mudah seperti itu." Semua orang di dalam studio hanya bisa terdiam seribu bahasa, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing mengenai usulan itu. Tidak ada satu pun kata penolakan ataupun keberatan yang keluar dari mulut teman-temannya. Nino tidak dapat menyalahkan mereka karena ia sendirilah yang paling tahu mengenai keadaan mereka. Mereka sudah mengorbankan begitu banyak hal untuk bisa sampai ke titik ini dan tidak mungkin untuk mereka mundur dari satu kesempatan yang datang sekali seumur hidup ini. Tapi, walaupun begitu........ Walaupun begitu............. Tidak mungkin untuk Nino bisa dengan mudah menerima semua ini, kan?! Dari awal dirinyalah yang membentuk band ini, memilih dan merekrut satu per satu anggotanya, bahkan yang memberikan nama All Be Ash untuk band ini, dan hanya untuk apa? Dibuang seperti kain lap yang sudah tidak berguna? Jangan bercanda! Untuk apa sebenarnya dia bergadang setiap malam demi latihan keras, membuat lagu baru, memikirkan cara agar band ini bisa naik ke tingkat nasional?! Ia telah berusaha sangat keras jauh melebihi teman-temannya tapi kenapa semua ini harus terjadi padanya?! "Nino......... aku akan melakukannya. Biarkan aku menjadi vokalis All Be Ash." Nino menatap Claris seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh gadis itu. Nino menatap satu per satu wajah Indra, Raka, Noval, dan Aldo, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang mau melihat balik ke arah Nino. Begitu. Rupanya begitu. Keberadaanku sudah tidak diperlukan lagi oleh mereka disini...... Tanpa pikir panjang, Nino segera menyandang tas gitarnya dan beranjak pergi. Ketika ia membuka pintu berat dari neraka memuakkan itu, terdengar kata-kata terakhir yang dingin dari CEO Neo. "'Menjual' adalah satu-satunya aspek utama di industri hiburan. Dalam industri ini yang ada hanyalah mendorong atau didorong! Ini kenyataannya! Panggung tidak akan bisa memuat semua orang karena itu hanya orang-orang terpilih saja yang pantas untuk berdiri dibawah lampu sorot! " Tidak mengindahkan sarkasme tolol tersebut, Nino pun segera melesat keluar dari sana, tidak lagi menolehkan wajahnya kebelakang. #### "Geh, Rabies!!" Nino kembali tersadar akan ketertegunannya ketika mendengar cibiran Aria. Ia merasakan tangan lembut Aria yang balik menggenggam tangan Nino semakin erat, seakan melalui jari-jemarinya yang kecil itu ia bermaksud mengatakan 'semuanya akan baik-baik saja'. Anehnya setiap kali bersama gadis aneh ini, Nino merasa tidak ada lagi hal di dunia ini yang perlu untuk dikhawatirkannya. Nino mengambil napas panjang lalu menghembuskannya perlahan untuk menenangkan pikirannya. Ia kembali mengangkat wajahnya dan balik menatap tiga orang dihadapannya, tidak akan menunjukkan sedikitpun keraguan lagi. Sudah waktunya untuk dirinya melepas masa lalunya agar bisa menghadapi masa depan bersama gadis disampingnya. "K-kau memanggil kami apa tadi?" tanya Claris pada Aria tidak percaya. "Kau mendengarnya." Indra yang merasa tidak terima pun melangkahkan kakinya mendekati Aria. "Aku nggak peduli walau kau perempuan tapi sekali lagi kau bilang—" Nino memotong kalimat Indra dengan mengulurkan tangannya, menghentikannya untuk mendekati Aria lebih dari itu dengan memberinya tatapan tajam tepat pada mata Indra. Seakan mempermainkan Indra dari balik punggung Nino, Aria justru mengejeknya dengan menarik bawah matanya sembari menjulurkan lidahnya. "Week!" "Kau monyet!!!" "Sudahlah, sudahlah! Kita tidak datang kemari hanya untuk bercanda. Kurasa ini adalah pertemuan pertama untuk kita bukan, nona humoris?" Rama Hardjo menyodorkan kartu namanya yang gold mengkilat pada Aria namun tidak dihiraukannya. Sebaliknya Aria justru mendekati pria paruh baya itu sembari menatapnya tajam. "Sebenarnya untuk apa kalian kemari setelah semua yang sudah kalian lakukan pada Nino? Dan apa yang baru saja tadi kudengar? Dua puluh persen? Apa kalian bergurau? Dengar baik-baik Paman eksentrik! Alasan kenapa kalian bisa populer saat ini adalah hanya karena kalian mencuri lagu Nino!" "Nah, apa yang baru saja kau katakan kami tidak mengerti," ujar Rama berpura-pura tidak tahu. "Kalian in benar-benar........i!!" Aria menggeram kesal menggeretakkan giginya. Nino menghentikan Aria, dan mengetikkan sesuatu pada ponselnya. 'Tenang. Harus hadapi mereka dengan kepala dingin. Jangan emosi.' Walau masih sedikit kesal, Aria pun menuruti Nino dan menenangkan dirinya. "Dari awal, kedatangan kami kemari hanya untuk memberikan kabar baik. Tidak ada maksud buruk apapun." Ketika Rama mengatakan itu, Nino menyadari Indra dan Claris yang memalingkan wajah mereka. Seperti hendak mengatakan sesuatu, namun tidak bisa. "Aku meragukan itu." "Nona humoris, aku menawarimu kontrak bersama manajemen artis kami. Dengan suaramu yang spektakuler itu, aku tanpa ragu bisa menjanjikanmu pamor dan kekayaan." Sedikit banyak, Nino sudah menduga hal ini akan terjadi ketika ia melihat kedatangan Rama Hardjo kemari. Walaupun begitu, Nino sungguh tidak ingin Aria mendengar kalimat ini diucapkan oleh CEO terkenal itu padanya. Tidak ada seorang pun yang mengidamkan untuk masuk di industri hiburan pernah menolak tawaran langsung dari Rama Hardjo. Semua orang tahu seberapa besar pengaruh dan kekuatan yang dimiliki pria itu dalam industri hiburan. Ketika pertama kali mendengar suara Aria, Nino tahu bahwa tidak ada tempat yang lebih cocok untuk Aria selain diatas panggung yang gemerlapan dengan cahaya. Suara malaikatnya itu harus didengar tidak hanya oleh orang-orang acak dijalanan, melainkan juga semua orang di negeri ini. Nino melirik gadis disampingnya itu, sembari telah memutuskan dalam benaknya walau dengan berat hati, untuk tidak akan menghentikan ataupun membenci Aria jika gadis itu memutuskan untuk ikut pergi bersama Rama Hardjo. Karena menurutnya itu adalah jalan yang terbaik untuk Aria. Tapi kenapa dirinya merasa bahwa ia tidak bisa menerimanya? Sepertinya perasaan berat dan pilu yang menguasai hati Nino saat ini seakan jauh lebih menusuk dibandingkan pada saat teman-temannya yang telah lama dikenalnya meninggalkannya beberapa bulan yang lalu. Mungkin bisa dibilang ini karena Aria mengulurkan tangannya pada Nino disaat ia dalam keadaan paling terpuruk dalam hidupnya. Hingga ia merasa bahwa keberadaan Aria kini jauh lebih penting dari siapapun yang dikenalnya. Nino memejamkan matanya, pasrah akan jawaban apapun yang terucap dari bibir Aria. Namun diluar dugaannya, Aria justru tertawa terbahak-bahak seakan baru saja mendengar lelucon paling lucu yang pernah didengarnya. “Hahaha….. pamor dan kekayaan, ya? Sudah begitu lama semenjak aku membuang keduanya. Lagipula Paman Eksentrik, perlu Paman ketahui bahwa aku sudah memutuskan untuk meminjamkan suaraku pada Nino. Jadi, tolong hentikan usaha sia-sia ini dan jangan halangi jalan kami lagi. Jika hanya itu yang ingin kalian katakan, bisakah kalian membiarkan kami pergi sekarang? Karena aku dan Nino masih harus menyelesaikan latihan rutin kami.” Nino mengerjap-ngerjapkan matanya seakan masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kenapa Aria bisa sampai bertindak sejauh ini untuk dirinya hingga menolak tawaran emas yang berada tepat di depan matanya? Apa yang sebenarnya Aria pikirkan? Wajah Rama Hardjo berubah menakutkan seakan tidak terima dengan penghinaan yang barusan diberikan padanya. Pria itu ganti menatap Nino dengan pandangan dingin yang menusuk. “Sepertinya aku telah menganggap sepele dirimu tanpa tahu bahwa kaulah yang memegang peranan utama dalam bandmu dan pembuatan setiap lagu kalian. Untuk kedepannya, aku ingin kau tetap menulis lagu untuk All Be Ash. Tidakkah kau ingin bisa mendapatkan kembali kesempatan yang telah jatuh terselip dari jari-jemarimu? Untuk bisa kembali bersama teman-temanmu lagi.” Nino bisa mendengar tawa tertahan Aria disampingnya. Gadis itu mungkin merasa lucu mendengar Rama Hardjo yang menggunakan istilah ‘teman’ untuk orang-orang yang telah meninggalkan Nino dengan kejamnya. "Aku bertanya-tanya siapa yang sebenarnya humoris disini? Tidakkah kalian menyaksikannya sendiri? Bakat dan potensi yang dimiliki Nino! Tempat Nino bukanlah hanya berada dibalik meja dapur rekaman, melainkan diatas panggung yang bersinar!" Kenapa gadis ini selalu mengatakan hal-hal yang paling ingin didengar Nino? Padahal tidak ada satu patah kata pun yang bisa keluar dari mulut Nino tapi gadis ini seakan bisa mengerti apa yang paling ingin dikatakan olehnya. Sungguh gadis yang menakutkan. Tak ayal Nino pun tersenyum dan mengetikkan sesuatu pada ponselnya, yang kemudian diberikannya pada Aria. Membaca itu, Aria ikut tersenyum dan menatap Nino. "Apa kamu yakin dengan ini? Suatu saat nanti kamu mungkin akan menyesalinya. Setelah akhirnya kamu bisa mendapatkan kembali kesempatanmu yang telah hilang." Sebagai jawaban, Nino hanya mengangguk penuh kepastian pada Aria. "Aku mengerti." Aria ganti memandang Rama Hardjo sebelum akhirnya membaca apa yang terketik dalam ponsel Nino masih dengan senyuman yang tersungging di bibirnya. "'Mungkin seperti apa yang Anda katakan, aku tidak lebih hanyalah seorang penyanyi amatir yang bahkan tidak bisa menjaga kondisi suaranya sendiri, karena itu aku kini memperbaiki semuanya dari awal dan suatu saat nanti aku akan menunjukkannya pada Anda, Rama Hardjo, CEO dari Neo Records & Artist Management, juga kalian dari All Be Ash, musik seperti apa yang tidak akan bisa dibeli dengan uang! Sampai bertemu lagi di puncak panggung industri hiburan!'" Mendengar penjelasan Aria yang panjang lebar itu, tak ayal membuat Nino menyemburkan tawa tertahan. Bagaimana tidak? Ia hanya mengetikkan kalimat singkat di awal dan akhir, namun gadis itu justru menambahkan banyak hal dengan hiperbolisnya kedalam kalimat yang diketik Nino. Ini tidak seperti apa yang Aria katakan itu salah, jadi Nino tidak merasa keberatan karenanya. "Sungguh memalukan! Akan kupastikan kalian menyesali ini!" seru Rama Hardjo sebelum akhirnya pria itu membalikkan punggungnya dan beranjak pergi. "Nino........." panggil Claris sesaat tanpa bisa meneruskan kalimatnya. Indra menarik pergelangan tangan gadis itu, menggiringnya kembali ke mobil. Aria mengantar kepergian mereka sembari melambaikan tangannya tinggi-tinggi dan berseru keras, "Jangan pernah datang kesini lagi, ya!" Mendengar sarkasme menyakitkan Aria, Nino kembali tertawa dan menjitak pelan kepala gadis itu. 'Terimakasih untuk semuanya,' ujar Nino hanya bisa dalam hati sembari menatap Aria dalam-dalam. Betapa ia begitu berharap untuk bisa menyampaikan kalimat sederhana namun bermakna itu secara langsung pada gadis dihadapannya. Namun anehnya seperti bisa membaca pikiran Nino, Aria tersenyum mengangguk membalas tatapan mata Nino dengan tulus. "Terimakasih karena tidak mengkhianati ekspektasiku padamu." 8th SOUND: MOVING GRASS "Ugh, sebenarnya apa yang terjadi hari ini? Dari dikejar stalker Afrika sampai dihadang Don industri hiburan. Semua ini semakin membuatku lelah menginjakkan kaki keluar," eluh Aria sembari meliuk-liuk seperti kucing yang meregangkan ototnya ketika memasuki mini market bersama Nino. Hawa sejuk yang diberikan pendingin ruangan telah menyelamatkannya dari meleleh di luar sana. Sepertinya Aria tidak akan pernah bisa terbiasa pergi keluar lebih-lebih dibawah teriknya sinar matahari. Namun karena musim telah berganti dan panasnya kemarau semakin merajalela, keluhannya ini sama sekali tidaklah berarti. "Oh? Apa kalian belum mengetahuinya? Nampaknya salah satu street performance kalian sudah jadi trending topic di internet. Terakhir kali aku melihatnya jumlah viewer-nya sudah mencapai empat ratus ribu. Menakjubkan, bukan?" "Whaatt?!!" seru Aria dengan wajah memucat. Buru-buru ia menyambar ponsel pintar paman pemilik dan benar saja, Aria menemukan video street performance dirinya dan Nino yang dibanjiri begitu banyak komentar. Aria mencoba memutar video tersebut sembari beberapa kali dipercepat. Aria kemudian sedikit menghembuskan napas lega ketika mengetahui bahwa dalam video itu wajahnya tidaklah kentara karena tertutupi dengan topi hitamnya. Dalam hati Aria memutuskan agar lain kali dia akan menambahkan kacamata sebagai penyamar wajahnya. Setelah merasa bahunya ditepuk pelan dari belakang, Aria menoleh menatap wajah Nino yang melihatnya dengan dahi berkerut, seakan bertanya mengapa dirinya begitu gelisah—hampir histeris—setelah mendengar berita yang seharusnya membuat mereka melompat kegirangan karena pamor mereka yang semakin naik. "Ahahaha..... aku hanya sedikit tidak percaya melihat bagaimana kerja keras kita membuahkan hasil dengan cukup cepat!" Aria beralasan sembari menyunggingkan senyum kaku. "Hmm, bukankah aku sudah mengatakannya sebelumnya? Ini bukanlah hal yang mengejutkan. Mengingat suaramu yang spektakuler ditambah aransemen dan permainan gitar Nino yang fantastis, bukan hal yang aneh kalau kalian bisa menarik perhatian banyak orang. Bahkan mungkin saja sudah ada orang-orang pencari bakat yang memburu kalian saat ini." Walau paman pemilik sepertinya melewatkan tingkah aneh Aria begitu saja, tapi nampaknya Nino yang cukup tajam masih memandangnya dengan tatapan menyelidik. Aria hanya bisa mengalihkan pandangan matanya secara tidak langsung dan menanggapi percakapan paman pemilik. "Sebenarnya baru saja kami bertemu orang-orang dari Neo di luar. Dan sebelum itu, ada orang aneh dari agensi aneh yang mencoba berbicara pada kami." "Eh? Benarkah? Orang-orang dari Neo? Tapi bukankah mereka itu......." tidak melanjutkan kalimatnya, paman pemilik melirik Nino khawatir. Melihat itu, Nino pun mengetikkan sesuatu pada ponselnya. 'Kurasa keadaan menguntungkan seperti ini tidak akan bisa berlangsung lama. Mengingat kita baru saja melawan Rama Hardjo, ia pasti akan melakukan beberapa hal untuk menghalangi jalan kita. Kita harus memikirkan cara cepat untuk menanggapi ini sebelum semuanya terlambat.' "Eh? Rama Hardjo yang CEO Neo? Tunggu sebenarnya apa yang terjadi? Kalian harus memberitahukannya padaku!" #### Aria membelai pelan rambut Nino yang ternyata diluar dugaan begitu halus dan lembut. Wajah tertidurnya yang seperti anak kecil di pangkuannya lantas membuat Aria tersenyum-senyum sendiri sedari tadi. Walaupun tetap saja ia tidak bisa menahan rasa malu yang membuat wajahnya memanas karena tidak terbiasa dengan pose romantis seperti ini, hanya saja dalam situasi seperti ini, ia tidak mungkin meninggalkan Nino sendirian setelah apa yang terjadi sore tadi mengingat dia baru saja bertemu kembali dengan mimpi buruknya. Nino banyak bercerita kepada Aria tentang masa lalunya, dan bagaimana band yang dulu dibentuknya dengan susah payah itu membuangnya begitu saja setelah merasa dirinya tidak lagi berguna untuk mereka. Aria tidak pernah menyangka bahwa masa lalu lelaki itu ternyata cukup serius dan mendalam. Diam-diam Aria menyenandungkan lagu Nino yang sekali pernah didengarnya. Walaupun tidak pernah mengakuinya secara terang-terangan, sebenarnya ia sering menyenandungkan lagu buatan Nino tanpa sepengetahuan lelaki itu. Selama ini Aria selalu menilai dirinya sendiri cukup kritis dalam memilih lagu. Namun entah kenapa rangkaian melodi yang dibuat Nino, meskipun hanya didengarnya sekali saja, tidak mau lepas dan terus dimainkan dalam benak Aria berulang-ulang. Sebuah rangkaian melodi yang menggugah perasaan setiap pendengarnya. Karena itu bukanlah hal yang mengejutkan mengetahui bahwa All Be Ash yang menggunakan lagu Nino itu kini bisa naik daun dengan pesat. Nino jelas punya potensi. Dia spesial. Aria memercayai itu dan berharap bisa membuat kemampuan lelaki yang sedang tertidur pulas ini suatu saat nanti bisa diakui oleh semua orang. Aria melirik layar ponsel yang masih menyala dalam genggaman Nino, yang tadinya menampilkan begitu banyak ketikan-ketikan yang menjadi perwujudan dari isi hati lelaki ini. 'Ketika suaraku menghilang........ ketika semua orang meninggalkanku sendirian........ kenapa kau justru mendekatiku dan masuk dalam hidupku? Apa tujuanmu? Ataukah, suatu saat nanti, sama seperti mereka, kamu juga akan pergi membuangku dengan kejamnya?' "Ini karena kamu mirip dengannya. Beethoven. Bahkan dalam keadaan paling terpuruk pun, Beethoven justru berhasil menciptakan banyak simfoni brilian yang menggugah perasaan semua orang. Padahal ia sendiri tidak bisa mendengar dengan jelas seperti apa musik yang dihasilkan dari tangan-tangannya karena ketulian yang dideritanya. Orang-orang hanya terlalu bodoh hingga tidak bisa melihat potensimu. Aku berbeda karena aku jenius!" adalah apa yang Aria katakan kepada Nino saat itu sembari membusungkan dadanya bangga, sebelum akhirnya Nino tertawa kecil dan perlahan tertidur di pangkuannya. 'Jangan berbohong.' Aria tersenyum pahit membaca ketikan terakhir dari Nino itu. Ia memerhatikan lekat-lekat wajah Nino, dan membisikkan kata 'maaf' dengan perlahan. Maaf. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan sendirian. Suatu saat nanti akan ada hari dimana kupercayakan semua harapanku, cita-citaku, semua mimpi-mimpiku kepadamu. Aku percaya jika itu dirimu..... pasti...... kamu akan bisa menunjukkannya padaku, bukan? Dunia yang bersinar terang itu. #### "Satu, dua, tiga." Mengikuti hitungan tersebut, dalam waktu yang bersamaan Aria, Nino, juga Paman Andy, membalik kertas yang mereka pegang masing-masing untuk ditunjukkan kepada satu sama lain. Pagi itu, mereka saling bertukar pendapat tentang apa yang harus Nino dan Aria lakukan selanjutnya untuk bisa memulai karir di industri hiburan. Aria dan Nino menuliskan kata 'Band' pada kertas mereka, sedangkan Paman Andy menuliskan 'Mengirim demo lagu pada label rekaman' dan 'Mancari pekerjaan manggung'. "Huh? Nino........ apa kamu yakin dengan apa yang kamu tulis? Maksudku, aku bahkan sudah menyiapkan diri akan terus membujukmu untuk membuat band karena berpikir bahwa mungkin kamu masih trauma dengan segala hal tentang band. Karena itu aku sendiri tidak menyangka kalau kamu juga akan memikirkan hal yang sama denganku." ujar Aria sedikit terperangah. Nino hanya tersenyum dan menunjukkan kertas lainnya yang sepertinya sudah terlebih dulu ditulisnya sebelumnya. 'Akan lebih bagus kalau kita memperkuat komposisi musik kita.' 'Bukan dengan rangkaian nada dari hasil edit dan rekaman, melainkan rangkaian yang setiap nadanya dimainkan dengan emosi dan perasaan asli. Seperti itu jauh lebih bisa memberikan emotional impact.' 'Aku hanya punya sepasang tangan jadi kita membutuhkan beberapa lagi.' Aria melihat paman pemilik yang mengangguk-angguk seakan setuju dengan pilihan Nino. "Bagaimana denganmu Aria? Kenapa kau juga berpikiran untuk membuat band?" "Ah, karena kupikir untuk bisa mengalahkan Rabi— ehem, maksudku All Be Ash, adalah dengan membuat band juga." Mendengar argumen Aria, Nino tertawa kecil lalu mengetikkan sesuatu pada ponselnya. 'Kau tidak perlu memaksakan dirimu hanya karena tahu bahwa aku lah yang memberikan nama itu pada band mereka.' "Urgh, maaf. Aku hanya mencoba untuk menghargai setiap usahamu," ujar Aria jujur dengan wajah sedikit memerah karena malu. "Hmm, jadi kalian sudah memutuskan untuk membuat band? Lalu selanjutnya apa? Seperti apa rencana kalian untuk merekrut anggota kalian?" "Yang jelas kita tidak bisa asal merekrut. Kemampuan, teknik, pemgalaman. Kita harus mempertimbangkan itu semua untuk mencari anggota yang bisa menaikkan level musik kita." Nino yang mengangguk setuju dengan pernyataan Aria kembali mengetikkan sesuatu. 'Kurasa kita juga perlu memikirkan cara lain untuk langkah selanjutnya. Kita butuh koneksi. Dan kita juga perlu mempertimbangkan usul Om Andy.' "Hmm. Ini karena kalian membutuhkan jalan untuk bisa naik ke puncak jadi kupikir setidaknya kalian bisa menjalin hubungan dengan manajemen artis, label rekaman, atau organisasi semacanya untuk membangun koneksi." 'Tapi, mengingat apa yang terjadi dengan Rama Hardjo kemarin, mugkin akan sulit. Ia pasti sudah bergerak dengan menggunakan pengaruhnya yang besar di industri hiburan untuk menutup banyak kesempatan kami untuk mencari koneksi tersebut.' Sebenarnya sedari tadi Aria merasa aneh dan bertanya-tanya dalam hati, kenapa tidak ada yang mempertimbangkan opsi untuk mengikuti kompetisi? Apa jangan-jangan mereka masih berpikiran untuk menjaga perasaan Aria dengan tidak mengungkitnya lagi? Memikirkan itu, Aria tersenyum pahit dan menundukkan kepalanya. Tidak seharusnya ia membuat orang lain mengkhawatirkan dirinya seperti ini. Dan buruknya lagi ia merasa lega dikarenakan kekhawatiran mereka ini justru bisa membuatnya terhindar dari mimpi buruknya. Padahal kompetisi bisa jadi adalah satu-satunya kesempatan untuk mereka bisa berhasil. Sebagai gantinya ia harus memikirkan jalan keluar lain untuk masalah ini. Kalau saja ada semacam sumber koneksi di industri hiburan yang terbebas dari genggaman tangan CEO iblis itu. Kemudian ia merasa telah mengingat sesuatu dan mengangkat kepalanya. "Bicara soal koneksi, aku jadi memikirkan hal gila." Nino dan paman pemilik sama-sama memandang Aria tidak mengerti. "Mari kita berburu pria Afrika!" 9th SOUND: THE NUTCRACKER'S CELESTA Untuk mencari seorang pria Afrika mencurigakan ditengah-tengah kepadatan sepuluh juta penduduk Jakarta ternyata bukanlah perkara yang sulit. Buktinya hanya perlu dua-tiga hari untuk Aria dan Nino bisa menemukan pria bernama Chaka itu (hanya bermodalkan bertanya pada orang-orang disekitar dan sedikit analisis mengenai tempat-tempat ramai banyak pengunjung yang mungkin saja akan didatangi oleh para pencari bakat). Bagaimana tidak, dengan tingginya yang hampir mencapai dua meter juga aksen anehnya itu, tentu saja pria itu mudah untuk ditemukan karena lumayan menarik perhatian orang-orang disekitarnya. Walaupun sepertinya tidak dalam artian yang baik. "Nona-nona cantik! Maukah Anda bergabung dengan agensi kami? Jadi artis itu mudah loh! Jadi model itu menyenangkan loh!" seru pria afrika itu pada segerombolan gadis berseragam putih abu-abu sembari menyodorkan kartu namanya yang lusuh. "Hiiiii!!!! Lariii!!!" teriak gadis-gadis itu melarikan diri dari pria afrika. "Tunggu!! Wait! Saya bukan orang mencurigakan!" teriak Chaka membela diri yang tentu saja tidak digubris sama sekali oleh anak-anak SMA itu. Aria melihat pria itu termenung sesaat, hanya memandangi punggung gadis-gadis SMA tersebut hingga sosok mereka menghilang di kejauhan. Pria berkulit gelap itu kemudian mengeluarkan sapu tangannya untuk menyeka keringat yang membasahi dahinya. Ia telah berdiri dibawah sengatan terik matahari selama berjam-jam hanya untuk membuat orang-orang yang diajaknya berbicara melarikan diri darinya. "Hei, Nino.... semakin aku memerhatikan orang Afrika itu semakin aku merasa bersalah seperti seorang penjahat. Tidakkah kau merasa kalau kita sudah melakukan hal yang buruk padanya hanya karena melarikan diri darinya saat itu? Ugh, entah kenapa rasa bersalah dan dosa besar seperti menusuk-nusukku tanpa ampun saat ini." ujar Aria yang tidak biasanya menaruh simpati pada orang lain. Disamping Aria, Nino menjawab pertanyaan gadis itu dengan mengangguk tanpa melepas perhatiannya dari pria Afrika itu sedikitpun. "Sepertinya kita telah salah menilainya. Bahkan untuk pria mencurigakan seperti dirinya juga punya banyak masalah rumit dan kesulitan yang diluar bayangan kita." Aria melihat sekali lagi pria bernama Chaka itu menghampiri seorang pria muda dengan gaya berpakaian yang mencolok. "Selamat siang Kakak Tampan yang disana! Tertarik untuk jadi artis? Datanglah ke agensi kami!" "............sorry. Gua nggak tertarik sama perkumpulan orang homo," semprot pria asing itu sembari beranjak pergi walau sesekali masih melemparkan tatapan mata curiga pada Chaka. Sebaliknya, Chaka yang malang itu hanya bisa berdiri terdiam meski tidak kehilangan senyumannya. "Yah, dengan tinggi badannya yang mengintimidasi, juga kulit gelapnya yang menakutkan, ditambah cara bicaranya yang norak, tentu saja tidak akan ada orang yang mau mendengarnya. Walaupun seperti itu, aku merasa bahwa ini semua salah." 'Kurasa kita harus segera membawa orang itu pergi sebelum ada polisi yang datang menyiduknya.' "Setuju." Aria dan Nino memutuskan untuk menghampiri pria Afrika tersebut, yang disambut dengan senyuman lebar olehnya. #### "Selamat datang di kantor agensi kami, Unison!" Aria dan Nino mendongak memandang bangunan di hadapan mereka dengan mata menyipit. ".......gedung?" "Benar." "Chaka...... kurasa bangunan ini sudah tidak layak untuk disebut sebagai gedung kurasa." "Eh, benarkah?" "Well, kalau bangunan ini adalah situs uji nyali, mungkin masih masuk akal. Tapi untuk disebut sebagai agensi artis itu agak...... " Aria memerhatikan gedung horor tiga tingkat dihadapannya itu sembari bersembunyi dibelakang punggung Nino. Tidak hanya kondisi gedungnya yang tidak terawat, tapi juga karena letak gedung itu yang agak terpencil dari pemukiman seakan memancarkan aura suram di sekitarnya. Siapapun yang melihatnya jadi enggan untuk menginjakkan kakinya kesana. Ia bertanya-tanya kapan makhluk berwajah mengerikan akan menampakkan dirinya dari balik salah satu deretan jendela yang kusam itu. "Hmm.... direktur kami memutuskan untuk membeli gedung ini tiga tahun yang lalu karena harganya yang terjangkau. 'Jangan menilai sesuatu dari sampulnya melainkan dari isinya, Chaka!' adalah apa yang direktur katakan padaku! Lagipula seperti kata direktur, jika kalian memerhatikan gedung ini dengan lebih seksama, tidakkah kalian berpikir bahwa gedung ini terlihat begitu artistik dan klasik!" seru Chaka sembari mengangkat jempolnya dan mengedipkan sebelah matanya. Melihat Chaka, Aria jadi berpikir sampai sejauh mana orang ini bisa mempertahankan positive thingking-nya itu. Aria jadi semakin penasaran seperti apa sosok direktur yang selalu dibicarakan oleh Chaka tersebut. Dan sebenarnya agensi macam apa Unison itu? Karena Unison adalah agensi aneh dengan bermacam-macam rumornya yang bahkan tidak memiliki website mereka sendiri, sampai-sampai tidak dapat dilacak keberadaan kantor mereka ataupun informasi yang terkait dengan mereka melalui internet. Oleh sebab itu satu-satunya cara untuk Aria dan Nino menemukan Unison adalah hanya dengan mencari Chaka. "Come! Aku akan mengantar kalian pada Direktur!" Aria menggenggam pergelangan tangan Nino yang hendak mengikuti Chaka masuk kedalam gedung. "Hei Nino, apa kamu yakin tentang ini? Kita nggak harus mengikuti ide gilaku, bukan?" Nino mengetikkan sesuatu pada ponselnya lalu menunjukkannya pada Aria. 'Tenang saja. Kalau terjadi sesuatu, yang perlu kita lakukan hanyalah melarikan diri. Lagipula aku ingin melihatnya. Seperti apa agensi yang coba diperjuangkan oleh pria aneh ini dengan begitu seriusnya tadi.' Aria mendengus pelan dan mau tidak mau mengikuti Nino dari belakang. Walaupun masih enggan untuk memasuki bangunan mengerikan itu, sebenarnya ia sendiri juga merasa tidak enak jika harus melarikan diri dari Chaka. Padahal ia sendirilah yang datang menghampiri pria malang itu atas kemauannya. Setidaknya untuk saat ini ia akan mempercayakan penilaiannya pada Nino, karena sepertinya Nino lebih bisa melihat dan menilai keadaan dengan lebih baik daripada Aria. Perlahan dari belakang, Aria menyentuh jari Nino kemudian menggandeng tangannya. Tidak ingin tertinggal kalau-kalau Nino memutuskan untuk lari mendadak nanti. "A-apa?" tanya Aria dengan wajah sedikit memerah pada Nino yang melihatnya sembari tertawa kecil. 'Mau bagaimana lagi!' gerutu Aria dalam hati. Karena saat ini rasa gelisah jauh lebih mendominasi Aria dibandingkan dengan rasa malunya. Nino hanya menggelengkan kepalanya dan balas menggenggam tangan Aria, memberikan gadis itu perasaan tenang dan nyaman. Chaka mengantar Aria dan Nino masuk kedalam gedung melewati pintu kaca ganda. Lobi lantai satu yang berdinding putih polos itu hanya diisi dengan meja penerima tamu kosong yang cukup besar. Hanya itu. Tidak ada lagi yang spesial. Tidak ada sofa, tidak ada plat nama, lupakan manusia. Jangan-jangan agensi ini benar-benar ilegal, pikir Aria. "Umm, Chaka...... ada berapa banyak artis di bawah naungan Unison?" Menanggapi pertanyaan sederhana Aria, Chaka memasang senyum polosnya. "Dua." "Siapa saja?" "Kalian berdua." Hampir saja Aria tersandung ketika mendengar itu. "K-kalau begitu...... ada berapa banyak pegawainya?" Lagi-lagi Chaka memasang senyuman polosnya sembari menatap Aria. "Dua." "Jangan bilang kalau dua orang itu adalah dirimu dan si direktur." "Kau benar!" Aria menghela napas berat. Tidak percaya dengan situasi aneh ini. Ia menatap Nino yang menyunggingkan tawa tertahan mendengar percakapan Aria dan Chaka. Ini bukan saatnya untukmu tertawa! Aria melemparkan pelototan matanya pada Nino yang balas memandangnya dengan wajah polos. Nino membuat gerakan mulut yang seakan berkata 'coba-coba' pada Aria. "Kemarilah! Sepertinya direktur masih ada di ruangannya saat ini." Aria dan Nino kembali mengikuti Chaka yang kini membimbing mereka untuk menaiki tangga spiral menuju lantai dua. Mereka sontak disambut dengan kepulan asap tebal yang memenuhi seluruh lantai itu. "Apa yang terjadi disini? Kebakaran?" tanya Aria panik sembari berusaha menutupi hidung dan mulutnya namun tidak berhasil. Ia mulai terbatuk-batuk dan merasakan sesak di dadanya akibat kepulan asap itu. Nino mengulurkan tangannya pada Aria dan memeluk gadis itu, mencoba menghindarkannya dari asap secara langsung sembari mengajaknya menuruni tangga. "Direktur! Apa Anda lupa lagi untuk membuka jendelanya setiap kali hendak merokok!" Aria mendengar suara jendela-jendela yang dibuka satu per satu—mungkin oleh Chaka—dengan terburu-buru. "Oh? Chaka! Kau sudah kembali? Bagaimana hari ini?" tanya suara rendah dan berat milik seseorang tanpa menggubris peringatan dari Cakha. "Rokok? Asap setebal itu hanya karena rokok?!" tanya Aria tidak percaya dan mendengus kesal, kembali naik ke lantai dua. "Orang bodoh mana yang mencoba untuk membakar seluruh gedung ini hanya untuk rokok?!" Setelah semua jendela di ruangan itu dibuka, Aria akhirnya bisa mendapatkan penglihatan dengan lebih jelas mengenai ruangan tersebut. Ruangan berantakan dengan berbagai macam buku, tumpukan CD, dan juga kertas-kertas yang dibiarkan berceceran dimana-mana memenuhi hampir seluruh lantai, hingga sepertinya tidak ada cukup tempat untuk berjalan. Dari balik sofa yang menghadap berlawanan dengan tempat Aria berdiri, menyembul sebuah kepala dengan rambut merah menyala yang kemudian menoleh menatap Aria dan Nino bergantian. Pria paruh baya itu menyunggingkan senyuman jail dan berdiri menghadap mereka sembari bertelanjang dada. Nino mengulurkan tangannya untuk menutup mata Aria sembari menyambar baju hawai yang tergeletak di dekatnya, yang kemudian dilemparkannya pada pria itu dengan sedikit kesal. "Thanks!" ucap pria itu pada Nino. "Ladies! Maaf menganggu tidur nyenyak kalian tapi sudah saatnya untuk pulang!" Aria terbelalak melihat dua orang gadis cantik dan seksi yang bangun dari sofa yang sama tempat pria barusan bangkit. Masih sembari menguap dan mengusap matanya, kedua gadis itu mendaratkan ciuman ringan di kedua pipi pria berambut merah menyala. "Bye, Boss!" ucap kedua gadis itu hampir bersamaan. Setelah mereka pergi, direktur mencolok itu mengaitkan kancing kemeja hawainya dengan asal-asalan sembari tersenyum memandang Aria dan Nino. "Maaf, sudah memberikan kalian tontonan yang tidak pantas. Aku tahu cepat atau lambat kalian akan datang kemari, Silent Prince dan Troublesome Princess!" 10th SOUND: INTERLUDE ".............Nino...... kenapa dari semua baju yang tergeletak di lantai..... kemeja hawai yang harus kamu lemparkan? Seperti ini aku jadi tidak bisa mengamuk sampai seratus persen!" geram Aria hampir dilahap api kemarahannya sendiri. "Oh? Apa ada yang membuatmu merasa tidak puas, Troublesome Princess?" Aria meledak dan menghampiri direktur gila itu. Ia mencengkeram kerah kemeja hawainya sembari menggoyang-goyangkannya dengan kuat. "Siapa yang sebenarnya menyusahkan disini, hah?! Ketika satu-satunya pegawaimu bekerja begitu keras untuk mendapatkan seorang talent kau malah enak-enakan bermain harem bersama dua perempuan sekaligus, kau direktur sesat!" "Ah, kupikir soal apa. Ternyata masalah kecil ini, toh. Chaka, kau tidak pernah keberatan soal ini, bukan?" Pria gelap yang dipanggil itu justru mengacungkan jempolnya sembari menunjukkan deretan gigi putihnya. "No problem, boss! Kau pernah mengatakan bahwa harem adalah salah satu pekerjaanmu, bukan?" Mendengar itu Aria jadi bertambah liar. "Beraninya kau memanfaatkan hati murni pegawaimu! Aku boleh memukulmu, kan? Aku boleh mencakarmu, kan? Tidak, biarkan aku membunuhmu saat ini juga!" Buru-buru Nino menahan Aria yang mendesis seperti ular itu dan perlahan menariknya ke belakang. "Haha, kalian ini sungguh anak-anak yang menarik! Duduklah dimanapun yang kalian mau," ujar Direktur Unison bernama Hendric Reinaldo, yang Aria kenali sebagai seorang mantan aktor terkenal dengan riwayat skandalnya yang berjibun. Apakah mayoritas orang yang bekerja di dunia hiburan memang harus berpenampilan eksentrik seperti ini? Aria membandingkan lebih buruk mana antara rambut merah menyala Direktur Unison dan jas licin mengkilat CEO Neo yang selalu bisa menarik perhatian siapapun hanya dalam sekali pandang. Aria mencibir dan berasumsi bahwa orang-orang yang bekerja di dunia industri hiburan hanyalah orang-orang narsis yang begitu amat mencintai diri mereka sendiri. Walaupun ketika direktur sesat itu mempersilahkan Aria dan Nino untuk duduk, satu-satunya tempat duduk yang tersedia untuk mereka dalam ruangan itu hanyalah sofa bekas direktur sesat itu yang baru saja bermain-main dengan dua gadis seksi tadi. "Tidak. Aku jauh lebih memilih untuk berdiri," tolak Aria dengan tegas. "Baiklah, kalau begitu apa rencana kalian selanjutnya? Nampaknya si mesin uang dari Neo sudah menyerah soal kalian dan memasukkan kalian di daftar blacklist-nya. Seperti ini kalian akan kesulitan untuk mengambil langkah maju, kau tahu? Tidak ada label rekaman yang cukup bodoh untuk menawarkan kontrak pada orang yang sudah di blacklist Neo, yang merupakan perusahaan paling dominan di industri hiburan ini. Tidak peduli seterkenal apapun kalian di internet, pasti hanya akan menjadi hiburan sesaat di mata publik." "Lalu bagaimana dengan kalian? Bukankah tadi kau sempat berkata bahwa telah menanti kedatangan kami?" tungkas Aria sedikit geram. Hendric melemparkan tubuhnya di kursi direktur sembari tertawa kecil dan menyilakan kakinya. "Menduga kedatangan dan menawarkan kerjasama adalah dua hal yang berbeda. Tidak seperti sebelumnya, merit apa yang akan kudapatkan kalau bisa bekerjasama dengan kalian sekarang?" "Bos......." Chaka bersuara menatap Aria dan Hendrick khawatir. "Aku percaya kau tidak berada dalam posisi dimana kalian bisa menolak tawaran kontrak dengan seseorang, mengingat bagaimana keadaan agensi yang terpuruk ini hampir bangkrut." "Nah, sayangnya itu tidak benar, gadis kecil! Maaf menghancurkan ekspektasimu tapi semenjak Unison didirikan sampai saat ini dan sepuluh tahun kemudian, kami pasti akan baik-baik saja. Memanajemen artis bukanlah satu-satunya pekerjaan kami." Dahi Aria berkerut mendengar pernyataan Hendric. "Apa?" Nino mengetikkan sesuatu pada ponselnya dan memberikannya pada Aria. Membaca itu, Aria jadi semakin kebingungan. "Informasi? Kalian berjualan informasi?" "Ping Pong! Benar sekali! Aku tidak menyangka akan ada satu anak yang cukup jenius untuk bisa menebak ini!" Aria memandang Hendric dan Nino bergantian, tidak mengerti. "Dari dulu direktur kami ini sangat ahli dalam mengumpulkan informasi," jelas Chaka sembari tersenyum pada Aria. "Menurutmu kenapa kami bisa jadi yang pertama menghampiri All Be Ash, jadi yang pertama menghampiri kalian berdua, dan bahkan mengetahui dengan cepat daftar blacklist Neo yang tertutup?" Aria mendongak menatap Nino yang sepertinya sudah menduga jaringan informasi Unison yang tajam. Apa karena itu Nino memutuskan untuk menyetujui ide gila Aria yang berkata untuk menemui Unison? Memang benar untuk sebuah agensi manajemen artis informasi adalah senjata utama mereka, lebih-lebih informasi mengenai pekerjaan dan orang-orang yang berhubungan erat dengan industri hiburan. Dan bisa jadi Unison akan menjadi koneksi terkuat untuk mereka. Hanya saja Aria tidak dapat membayangkan sampai sejauh mana informasi yang mereka miliki. "Kalau kau mau kita juga bisa membicarakan rahasia kecilmu, nona kecil." Mendengar itu sontak tubuh Aria membeku. Tidak ingin apa yang baru saja dikhawatirkannya menjadi kenyataan. "Apa.....?" Hendric tersenyum menatap Aria yang terbelalak kaget. "Tapi itu tidak akan jadi menyenangkan buatku, kau tidak perlu khawatir." Dia tahu! Orang ini tahu! Rahasianya yang bahkan tidak disadari oleh CEO Neo! Aria menunduk, tidak dapat menahan tangannya yang gemetaran. Jantungnya berdegup kencang dan ia mulai berkeringat dingin. Aria tersentak kaget ketika Nino menepuk bahunya pelan dan memandangnya khawatir. "Ah, ma-maaf. Aku baik-baik saja!" Aria mencoba menyunggingkan senyum sebisa mungkin untuk menghindarkan Nino dari kekhawatiran, namun nampaknya tidak berhasil. Karena hanya senyum kaku aneh yang bisa menghiasi wajahnya saat ini. 'Kalau kamu mau, kita bisa pergi dari sini sekarang. Kita bisa mencari cara lain.' Aria menggelengkan kepalanya, menolak. Unison bisa jadi sebuah koneksi yang akan sangat dibutuhkan Nino untuk kedepannya. Ia tidak bisa menyeret Nino kedalam masalahnya dan membuat masa depannya jadi ikut berantakan. Demi Nino, ia harus tetap berdiri tegar untuk saat ini. "Merit. Barusan Direktur meminta janji keuntungan dari kami, bukan? Kami punya skill, bakat, kemampuan, yang selanjutnya akan diikuti oleh pamor. Setelah ini nama kami pasti akan semakin dikenal jika diberikan jalan koneksi yang tepat, dan tidak salah lagi akan menjadi bentuk promosi yang bagus untuk kalian. Kami pasti bisa membawa nama Unison menuju puncak industri hiburan!" bujuk Aria berharap alasan ini cukup untuk membuat direktur eksentrik dihadapannya itu setuju. Sejenak pria berambut api itu terlihat berpikir keras dan menimbang-nimbang ucapan Aria. Ketika pria itu menunjukkan senyumannya dan Aria berpikir bahwa ia akan mendapatkan kata 'setuju' darinya, sebaliknya Direktur Unison itu menjawab dengan kata, "Boring." Aria mengerjap-ngerjapkan matanya tertegun. "Apa?" "For your information, aku membuat agensi ini tidak untuk alasan membosankan seperti itu." DASAR DIREKTUR SIAL! Aria harusnya bisa menduga direktur aneh sepertinya pastilah membuat agensi ini hanya untuk main-main! Jadi apa sekarang? Apa ia harus menawarkan tubuhnya sama seperti perempuan-perempuan tadi? No way! Walaupun skenario seperti ini banyak terjadi di luar sana, tapi walau mati pun ia tidak akan melakukannya! Aria sedikit terkejut melihat Nino yang mendekati Hendric sebelum akhirnya melempar ponselnya dengan kasar ke dada pria itu. Masih sembari tersenyum, direktur aneh itu membaca apa yang tertera di ponsel Nino dan mengangguk-angguk. "Menarik! Sangat menarik! Ini baru yang namanya kesepakatan! Oke, deal! Apa yang kalian butuhkan selanjutnya?" Huh? Begitu saja? Aria melirik Nino dan bertanya-tanya apa yang ditawarkannya pada direktur sesat itu hingga ia bisa menyetujuinya semudah ini. Nino kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya yang ditunjukkannya pada Hendric. "Hm, begitu. Jadi kalian ingin membentuk band, huh? Not bad. Chaka bisa membantu kalian untuk ini. Ada lagi? Kalau tidak sebaiknya kalian segera pulang sebelum hari gelap. Kalian bisa memulai pencarian member band nya besok. Chaka bisa mengantar kalian." #### "Maaf karena aku tidak bisa cukup berguna hari ini! Padahal harusnya aku yang menjadi pembicara untuk kita. Pada akhirnya kamu bisa menyelesaikan semuanya sendirian. Kamu sangat hebat huh, Nino! Tapi ngomong-ngomong apa yang kamu katakan pada direktur sesat itu hingga ia bersedia untuk menjadi agensi kita?" Nino mengangkat sebelah alisnya melihat Aria yang tidak biasanya begitu banyak bicara. Tingkah lakunya jadi aneh dan kikuk semenjak mereka meninggalkan agensi. Sebenarnya Nino bisa menebak penyebab utama keanehan Aria. Ini pasti karena 'rahasia kecil' yang tadi sempat diungkit oleh Hendric Reinaldo. Walaupun jujur saja, Nino tidak dapat menekan rasa penasarannya terhadap gadis disampingnya. Tapi lebih dari apapun, ia tidak ingin lagi melihat sosok gadis ini yang pucat gemetaran seakan dilahap oleh semua rasa ketakutannya sendiri seperti tadi. Akan lebih baik kalau ia tidak mengungkitnya dan mengikuti alur pembicaraan Aria tanpa perlu untuk membuat gadis itu khawatir. Nino mengambil ponselnya dari saku jaket dan mulai mengetik. 'Aku menjanjikan padanya untuk menunjukkan sosok Rama Hardjo yang bertekuk lutut dihadapannya.' "..........Hah?" 'Orang eksentrik sepertinya adalah tipikal orang yang biasanya rela melakukan apapun demi membuat dirinya sendiri terhibur. Ia tidak memperdulikan yang lain selama hidupnya sendiri menarik. Orang yang sangat mudah bosan dan menggilai hiburan.' "Hmm, direktur sesat itu memang terlihat seperti orang yang semacam itu...... Tidak-tidak, tunggu! Maksudku apa itu mungkin? Membuat CEO Neo dengan harga diri selangitnya bertekuk lutut........" 'Mungkin tidak mungkin, yang penting kita mendapatkan koneksi yang kita perlukan! Untuk saat ini.......' Membaca itu Aria menyemburkan tawa terbahak-bahak. "Ahahahaha..... aku tidak percaya ternyata kau orang yang lumayan licik, huh Nino! Tapi seperti ini rasanya separuh dendamku sudah terbalaskan pada direktur sesat itu! Nice job, my best partner!" Nino ikut tersenyum dan perlahan menggandeng tangan Aria. Entah kenapa ia merasa seperti, jika saat ini ia tidak menggenggam tangan Aria erat-erat, suatu saat nanti gadis itu akan menghilang begitu saja meninggalkan sisinya tanpa ia sadari. 11th SOUND: CRACKING SEEDS IN THE OPEN SUN "Lantai tiga gedung agensi biasa digunakan sebagai tempat penyimpanan semua informasi yang aku dan bos telah kumpulkan selama ini. Kalian bisa menggunakan ruangan ini kapanpun yang kalian mau," jelas Chaka sembari tersenyum, membukakan pintu bertuliskan 'Data Room' kepada Aria dan Nino. Ruangan itu cukup luas yang Aria lihat lebih mirip seperti perpustakaan dengan rak-rak bukunya yang tinggi. Di tengah ruangan disediakan sebuah meja besar dengan kursi-kursi tua yang mengelilinginya. "Seperti yang kalian lihat dari keterangan yang tertempel pada setiap rak, semua informasi disini sudah diklasifikasikan kedalam berbagai kategori. Yang disana memuat informasi mengenai sejarah perusahaan-perusahaan di dunia entertainment. Dan yang disini lebih ke arah sejarah personal yang dibagi lagi menjadi beberapa kategori lagi seperti aktor/aktris, musisi, dan talent." Aria mengangguk mengerti pada setiap penjelasan Chaka dan mengikuti pria tinggi itu yang menghampiri rak bagian musisi. "Dan disini," ujar Chaka sembari berjalan ke bagian paling sudut dari rak musisi, "memuat semua informasi mengenai musisi-musisi muda dengan bakat yang menjanjikan namun belum dikenal oleh publik. Bos menyebutnya 'Star Seeds'." Aria bersiul rendah dan mengecek setiap bagian rak yang masing-masing telah ditandai dengan kategori 'Singer', 'Guitarist', 'Bassist', 'Drummer', 'Pianist', dan masih banyak lagi. Jujur saja Aria sedikit terkesima melihat jaringan informasi Chaka dan direktur sesat itu yang cukup terperinci dan mendetail. Aria mengambil salah satu berkas dari guitarist dan lagi-lagi terkejut mendapati begitu banyak data diri beserta foto, terkadang disertai dengan rekaman demo performance, dari berbagai orang. "Sepertinya akan lebih tepat jika Unison disebut sebagai agensi stalker dibandingkan dengan agensi artis." "Ha ha ha, ide yang sangat bagus Aria! Aku bisa menyarankan idemu ini pada Bos!" "Tidak-tidak, tunggu! Kenapa kau selalu menanggapi perkataan setiap orang, bahkan direktur sesat itu, dengan begitu serius, Chaka? Aku hanya bercanda! Sungguh!" seru Aria panik, khawatir kalau sampai ide gilanya ini didengar—yang kemungkinan besar akan disetujui—oleh direktur sesat itu, Unison akan berubah menjadi perusahaan ilegal gelap karena dirinya. Bisa jadi direktur sesat itu akan memerasnya seumur hidup karena ini. Nino yang sedari tadi terdiam, kini menyunggingkan tawa lebar melihat wajah panik Aria. Aria mendengus kesal dan memukul bahu Nino. "Hmm, benarkah? Sayang sekali, padahal itu ide yang lumayan bagus. Oh! Ngomong-ngomong karena kami hanya punya satu pemutar video, jika kalian ingin mengecek demo rekaman yang ada disini, kalian bisa memainkannya di ruang rekreasi yang ada disebelah ruangan ini!" "Ruang rekreasi?" Chaka mengangguk terhadap pertanyaan Aria. "Ruangan disebelah menyimpan semua album musik juga film sepanjang masa! Semuanya adalah koleksi berharga milik Bos!" "Heh.... Ternyata ada ruangan seperti itu juga disini. Aku jadi sedikit tertarik untuk melihatnya." Setelah Aria dan Nino, juga dibantu oleh Chaka, mengambil semua berkas yang mereka butuhkan dari rak, mereka memutuskan untuk mengeceknya di ruang rekreasi. Namun ternyata diluar dugaan Aria, ternyata sudah ada seseorang, atau lebih tepatnya anak remaja, yang telah menggunakan ruangan itu terlebih dahulu dari mereka. "Chaka, anak siapa ini?" tanya Aria sambil memiringkan kepalanya, karena ia pikir selain dirinya dan Nino, tidak akan ada lagi orang yang cukup ekstrim untuk mendatangi bangunan horor agensi yang tidak jelas ini. Seperti menyadari keberadaan mereka, cowok SMA yang sedari tadi mengenakan headphone-nya sembari memainkan gitar dengan asal, menoleh menatap Aria dan yang lainnya secara bergantian. "Hey Chaka, siapa mereka? Hmmmm....... rasanya aku seperti pernah melihat mereka sebelumnya." "Oh? Gavin, kamu datang lagi hari ini! Perkenalkan, mereka berdua Aria dan Nino. Mereka musisi baru yang mulai kemarin menjadi bagian dari Unison!" sementara Chaka memperkenalkan mereka masih dengan aksennya yang unik, Aria mengikuti Nino yang berjalan menghampiri meja didekat anak SMA bernama Gavin itu, untuk menaruh semua berkas yang mereka bawa. "Ohh, aku tidak tau kalau ada orang yang cukup gila diluar sana yang berani untuk menjadi binaan Unison." "Dan aku juga tidak menduga kalau akan ada seorang pelajar yang cukup bodoh disini, menggunakan Unison sebagai tempat persembunyian untuk membolos sekolah." Mendengar sarkasme Aria, Gavin menurunkan headphone-nya dengan kesal. "Kenapa? Ada masalah dengan itu? Apa yang kulakukan tidak ada hubungannya denganmu, bukan?" "Sebaliknya, begitu juga dengan kami, dasar cebol! Jika kau tidak ingin pergi ke sekolah setidaknya pulanglah dan bantu ibumu dirumah!" "Apa katamu?! Siapa yang kau panggil cebol, hah?!" "Tentu saja dirimu. Cowok yang lebih pendek daripada aku yang seorang perempuan, apalagi kalau bukan cebol namanya?" "Aku ini masih dalam masa pertumbuhan dasar kau nenek tua!" "Apa katamu?! Aku ini masih umur duapuluhan, cebol! Ini sebabnya aku tidak suka remaja dengan masa pemberontakan mereka, hmph!" "Ah, sudahlah kalian berdua! Tolong jangan bertengkar! Gavin, bukankah kamu pernah berkata kalau ingin bertemu dengan mereka secara langsung?" bujuk Chaka khawatir. "Bertemu siapa?" "Tentu saja dua musisi berbakat yang kamu kagumi akhir-akhir ini! Kamu memutarnya berkali-kali bukan, street performance mereka di youtube." "Hah?" Gavin memerhatikan Aria dan Nino dengan lebih seksama lalu membelalakkan matanya setelah mengenali siapa mereka berdua. Sebaliknya Aria tertawa kecil, merasa terhibur dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Gavin. "Aku tidak tahu kalau kami cukup terkenal di youtube. Mau kuberi tanda tangan ku? Agar bisa kamu pajang di dinding kamarmu untuk kamu kagumi setiap hari!" "Hah?! Jangan harap, nenek tua penipu!! Sial! Aku tidak menyangka kalau pemilik suara malaikat itu sebenarnya adalah seorang iblis!" "Terimakasih pujiannya!" "Aku tidak memujimu!" Aria yang puas karena merasa telah memenangkan argumen dari anak SMA, mulai memilah-milah data yang berada dihadapannya sembari bersenandung riang. "Melihat begitu banyaknya berkas yang kita angkut kemari, tidakkah kalian merasa kalau nasib musisi berbakat di negeri ini cukup mengenaskan? Jumlah ini masih terbatas hanya di Jakarta, tapi bagaimana dengan yang diluar provinsi? Kalaupun mereka berlatih mati-matian setiap hari untuk mempertajam skill mereka, tapi hanya karena tidak memiliki koneksi sponsor, bakat mereka hanya akan terkubur dibawah tanah tanpa ada yang menyadarinya." "Ah, Bos juga menyayangkan kenyataan itu! Apalagi karena kualitas dunia hiburan yang semakin memburuk akhir-akhir ini." Mungkin karena tidak mengerti dengan apa yang hendak dilakukan oleh Aria dan yang lainnya, karena rasa penasaran, Gavin pun ikut menghampiri mereka. "Apa yang sedang kalian lakukan?" "Kami sedang mengecek data-data 'Star Seeds'." jawab Chaka sembari tersenyum karena tahu bahwa Aria dan Nino tidak akan menjawab pertanyaan Gavin itu. "Oh? Maksudmu orang-orang berbakat yang tidak punya kesempatan terkenal di masyarakat? Tapi untuk apa?" "Aria dan Nino hendak membuat sebuah band." "Apa? Band? Woi, biarkan aku bergabung dengan kalian! Aku bisa bermain gitar!" seru Gavin bersemangat. "Jangan bermimpi. Kami tidak akan merekrut pelajar," jawab Aria cepat. "Hah??!" teriak Gavin syok. "Ngomong-ngomong soal rekrut, member seperti apa yang kalian inginkan? Ada klasifikasi tertentu?" tanya Chaka ikut membantu memilah data-data tersebut. "Hmm...... pemain musik yang berbakat." Gavin menyambar gitarnya secepat kilat dan menunjukkan teknik bermainnya yang rumit untuk menarik perhatian Aria. "Mau berusaha keras untuk maju dan bersedia latihan rutin setiap hari." Gavin ganti melakukan push up, sit up, back up, dan berbagai macam latihan fisik lainnya. "Dan yang paling penting orang tersebut harus mengerti apa itu arti musik yang sebenarnya." ".............................................." Karena tidak terlihat menunjukkan reaksi aneh apapun, Aria mencuri pandang pada Gavin yang kini duduk termenung sembari menundukkan kepalanya. Kenapa lagi bocah labil ini? Perhatian Aria teralihkan oleh Nino yang menepuk tangannya lembut. Ia menyodorkan selembar profil seorang gitaris padanya. 'Aku merekomendasikan orang ini', tulis Nino dalam sticky note yang tertempel di permukaannya. 'Aku pernah mendengar permainan orang ini di kompetisi IFF.' "Oh! Aku juga merekomendasikan orang ini sebagai gitaris! Permainannya sangat menakjubkan!" seru Chaka sembari menyodorkan kaset demo-nya. "Woi! Tunggu! Bukankah barusan aku sudah bilang akan memainkan gitar untuk kalian?" Tidak memerdulikan teriakan Gavin, Aria memasukkan kaset demo itu kedalam CD Player. Setelah menunggu beberapa saat, layar televisi dihadapan mereka kini menampilkan sebuah rekaman amatir seorang finalis di panggung kompetisi. Ketika finalis itu mulai memainkan gitarnya, dalam detik itu juga Aria langsung tertegun dan menyunggingkan senyumannya. "Jika kalian ingin mengajak orang ini untuk menjadi anggota band kalian, tidak diragukan lagi kalau kalian akan mendapatkan kekuatan tempur yang tidak terbayangkan. Hanya saja, akan sangat sulit untuk membujuk orang ini." Aria dan yang lainnya langsung menoleh ke arah suara itu berasal. Dibelakang mereka, Direktur Unison yang eksentrik dengan rambut merah menyalanya, Hendric Reinaldo, menghampiri mereka sambil menggigit apel yang ada ditangannya. "Kenapa?" tanya Aria tidak mengerti. "Itu karena orang ini sudah berhenti bermain gitar dua tahun yang lalu. Dia juga sepertinya telah memutuskan untuk meninggalkan dunia permusikan." "Hey! Kenapa kalian semua mengabaikanku! Aku bisa bermain gitar untuk kalian!" Menanggapi Gavin yang berisik, Hendric menjejalkan satu lagi apelnya yang lain pada mulut Gavin. "Tapi walaupun begitu....... aku masih ingin mencobanya, membujuk orang ini!" Aria kembali menaruh perhatiannya pada finalis yang berhasil membuat semua penonton juga juri yang berada di rekaman itu tercengang. Aria yang tersenyum membaca lembar data profilnya lagi dengan rinci. "Ryan Mahardika. 21 tahun. Target Locked On!" 12th SOUND: BROKEN STRINGS Kenapa ia harus mendengarnya saat itu dan jadi tidak bisa melupakannya? Ryan menghembuskan napasnya lelah dan melemparkan tubuhnya ke tempat duduk terdekat pada bagian belakang bus kota. Dengan cepat orang-orang yang berasal dari halte yang sama dengannya segera mengisi semua tempat duduk kosong yang ada di dalam bus itu, tidak terkecuali sisi kanan dan kiri Ryan. Berbeda dengan orang-orang yang memadati bus ini karena hendak berangkat kerja, ia justru dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya. Setelah mengistirahatkan tubuhnya dengan bersandar pada kursi kaku bus itu yang menurutnya cukup nyaman untuknya, ia merasa semua rasa letih yang ditahannya kini memberontak keluar dan menyiksa tubuhnya. Pekerjaan malam yang begitu berat menuntutnya untuk terus terjaga sepanjang malam melawan rasa kantuk yang terus menyerangnya setiap hari. Tiga puluh menit. Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk bus ini bisa sampai di halte terdekat dari rumahnya. Dan hanya dalam waktu tiga puluh menit itu ia dapat beristirahat sebelum nanti mengantar adik-adiknya berangkat sekolah, yang dilanjutkan narik GoJek, disambi dengan mendistribusikan snack rumahan buatan tetangganya ke beberapa warung dan toko kecil. Lalu sore harinya bekerja paruh waktu di restoran temannya, tapi sebelum itu ia harus...... Ryan lagi-lagi menghembuskan napas berat, lelah jika harus membayangkan apa saja yang harus ia kerjakan selanjutnya. Dalam semua renungannya itu, ia mencoba menutup matanya, ingin sejenak tenggelam dalam rasa kantuknya dan tertidur. Tapi sayangnya tidak semudah itu untuknya bisa tertidur. Di kejauhan dalam benaknya yang terdalam, sebuah lagu terus terngiang dan diputar berkali-kali seperti kotak musik yang rusak, menolak untuk meninggalkannya sendirian. Ryan kembali membuka matanya dan merutuk dalam hati. Ini semua salah Yudha, teman kerjanya! Kalau saja dia tidak memutar video streaming sial itu dengan keras menggunakan speaker di pantry, ritme melodi itu tidak akan menyerangnya seperti ini dan seharusnya ia bisa menikmati tiga puluh menit waktu berharganya ini untuk tidur! Ryan menyandarkan kepalanya menyamping, menatap jalanan macet di luar kaca bus. Kenapa ini harus terjadi padanya? Padahal sudah hampir tiga tahun berlalu semenjak ia tidak lagi menyentuh musik. Ia tidak ingin lagi berhubungan dengan segala sesuatu yang terkait dengan musik. Jadi kenapa kini dalam benaknya ia terus memutar-mutar musik yang sama? Ryan mengeluarkan ponselnya juga earphone Yudha yang selama berhari-hari terbawa di tasnya, melakukan pencarian di youtube, dan setelah menemukan video yang dicarinya ia menyentuh tanda 'play' di ponselnya. Sontak suara seorang perempuan yang luar biasa merdu tapi juga powerfull itu menyerang telinganya tanpa ampun. Video two man street performance yang men-cover lagu-lagu terbaru dan terkenal itu telah banyak menarik perhatian publik. Bukan karena kepopuleran dari lagu-lagu yang mereka mainkan yang membuat mereka menjadi pusat perhatian, melainkan bagaimana cara mereka membawakan lagu-lagu tersebut yang bahkan bisa melampaui musisi aslinya seakan seperti menantang semua musisi di negeri ini secara terang-terangan yang membuat mereka begitu mencolok. Awalnya Yudha lah yang memperkenalkan channel youtube ini padanya yang di masa lalu telah memutuskan untuk tidak akan lagi menyentuh musik. Hanya satu lagu. Hanya satu lagu saja dari mereka sudah membuat dinding tebal yang telah lama Ryan bangun jadi hancur begitu saja. Ryan menyunggingkan senyum pahit menyaksikan video street performance terbaru mereka. Musisi-musisi yang masih belum diketahui nama aslinya tersebut, oleh netizen dipanggil dengan sebutan Fallen Angel. Sebuah nama yang sangat mencolok, pikir Ryan. Namun mau tidak mau setuju setelah mendengar suara menakjubkan si penyanyi wanita. Suara malaikat penyanyi wanita yang begitu kuat memang langsung menjadi inti dari pertunjukan mereka, tapi menurut Ryan yang paling menakutkan adalah kejeniusan si gitaris pria. Jika tebakannya benar, yang melakukan semua aransemen juga menulis ulang semua lagu tersebut adalah si gitaris pria itu. Walaupun masih punya banyak ruang untuk gitaris itu bisa berkembang, tapi melihat dari permainannya saja, sudah pasti berkat ialah si senjata utama yang merupakan penyanyi wanita itu bisa mengeluarkan semua kemampuannya tanpa tertahan oleh apapun. Mereka berdua saling melengkapi satu sama lain dan menjadikan musik mereka berada di level yang berbeda. Siapapun yang menyaksikan penampilan mereka pasti bisa melihat seberapa dalam ikatan kedua orang ini hingga bisa saling mempercayai satu sama lain seperti ini. Tanpa ia sadari, Ryan telah menghentak-hentakkan sebelah kakinya mengikuti lantunan ritme yang didengarnya. Tangan kirinya membuat bermacam-macam kombinasi chord mengikuti alunan lagu tersebut. Dan sesekali ia akan menyenandungkan bagian chorus yang menjadi puncak dari lagu. Entah sejak menit keberapa Ryan mulai membayangkan bahwa dirinyalah yang berdiri disana memainkan gitar kesayangannya. Dentuman detak jantung dan perasaan euforia yang tidak tertahankan meluas mengisi dadanya hangat. Tidak ingin momen ini berakhir. Dunia dimana hanya ada dia dan musik. Setelah menyadari bahwa lagu tersebut telah berakhir, suara tepuk tangan disertai riuh rendah penonton di video itu membuatnya melihat satu kenangan yang paling tidak ingin dilupakannya di masa lalu. Satu kenangan yang paling dirindukannya ketika dunia mengakui keberadaannya. Tanpa sadar setitik air muncul disudut matanya dan buru-buru Ryan mengenyahkan semua bayangan yang memenuhi benaknya. Ia membuka matanya lebar-lebar hampir melotot, sebagai upayanya untuk menekan air itu agar kembali kedalam matanya. Ryan melepaskan earphone dari telinganya, menon-aktifkan ponselnya sembari kembali memejamkan matanya dan menghela napas panjang. Ia tertawa miris meratapi betapa hidupnya jadi berubah semenyedihkan ini. "Hari yang melelahkan, bukan? Mau snack?" tanya seorang perempuan dengan suaranya yang lembut disamping Ryan. Ryan membuka matanya dan mendapati tangan putih bersih yang terlihat seperti tangan boneka, terulur kepadanya dari arah samping kirinya, menawarinya biskuit cokelat. Tidak hanya itu, disamping kanannya juga terulur tangan pria yang menawarinya sebotol teh. "Ah, tidak perlu sungkan. Kamu juga bisa mengambil tehnya kalau kamu mau! Kami membeli terlalu banyak tadi!" Ryan memandang kedua orang yang duduk disamping kanan kirinya bergantian sambil bertanya-tanya dalam hati apa ia mengenal mereka? Terutama cowok dengan jaket bertudung disamping kanannya ini. Ia merasa seperti pernah melihatnya sebelumnya. Apa ia hanya berimajinasi ketika merasa bahwa mereka berdua mirip dengan dua orang yang melakukan street performance di video yang baru saja dilihatnya tadi? Untuk menenangkan otaknya yang lelah dan berkarat karena sudah terjaga sepanjang malam, Ryan mengambil sebotol teh yang diulurkan cowok disampingnya sembari menggumamkan terimakasih dengan singkat. Tanpa basa basi ia menenggak isi botol teh itu dengan rakus. "Yah, aku tidak menyangka bahwa kamu juga akan melihat video kami dengan begitu seriusnya sampai-sampai kami tidak bisa mengajakmu bicara. Jadi, menurutmu bagaimana pertunjukan kami? Menyenangkan? Keren, bukan? Ryan Mahardika, juara IFF, PGS, YFGF, dan beberapa kompetisi lainnya." Mendengar itu, Ryan tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Tanpa diminta, kedua orang disampingnya bersamaan menepuk punggung Ryan pelan untuk meredakan batuknya. Cewek itu kini ganti mengulurkan tisu pada Ryan yang kemudian ditepisnya pelan. "Maaf, mengejutkanmu. Hanya saja melihat profilmu itu sungguh menarik," ujar gadis itu sembari tertawa kecil. Seperti menikmati melihat reaksi terkejut Ryan. "..........kenapa? Apa yang kalian inginkan?" "Sebelum itu biarkan kami memperkenalkan diri kami dulu. Namaku Aria dan dia Nino. Seperti yang sudah kamu ketahui, kami banyak melakukan street performance disana-sini tapi sebenarnya kami punya tujuan yang jauh lebih besar. Kami ingin masuk ke industri hiburan dengan membuat band. Karena itu Ryan Mahardika, jadilah gitaris kami!" Ryan membelalakkan matanya tidak percaya dengan apa yang gadis itu baru saja katakan. Ia melihat ke balik punggung gadis bernama Aria itu dan tersadar bahwa ia telah sampai di halte tempatnya turun. Buru-buru ia berdiri dan menyandang ranselnya. "Aku tidak tahu apakah kalian bercanda atau serius, tapi hanya ada satu hal yang bisa kukatakan. Aku sudah lama berhenti bermain gitar dan aku tidak punya niatan untuk kembali. Thanks untuk minumnya dan permisi." Ryan beranjak pergi menuju pintu bus dan samar-samar mendengar suara gadis itu dari balik punggungnya. "Dia melarikan diri." Entah kenapa jantung Ryan serasa terhenti ketika mendengar itu, dan ia turun dari bus dengan cepat, tidak lagi menoleh kebelakang. 13th SOUND: IN THE END "Ryan, sorry tapi bisa tolong lo isi lagi gelasnya tamu-tamu? Barusan ada yang order." "Oke. Habis antar meja tujuh nanti gue beredar." Ryan mengikat kembali tali apron hitam yang melingkari pinggangnya dan mengangkat tray berisi pesanan tamu itu. Walaupun ia sudah mulai kesulitan menahan matanya yang berat dan badannya yang serasa seperti akan rontok dalam menit berikutnya, ia tetap berusaha untuk menyunggingkan senyumnya pada pelanggan tidak peduli walaupun senyumnya itu kaku dan mengerikan. Ia berjalan menuju kitchen untuk mengambil coffe pot yang sudah penuh berisi kopi hitam juga sehelai napkin, sebelum kembali lagi ke depan untuk berkeliling menawarkan kopi tersebut kepada setiap tamu disana. Sabar. Tinggal dua jam lagi! Teriaknya dalam hati berulang kali untuk menghibur dirinya sendiri. "Would you like some coffee?" tanya Ryan ramah. "Sure! I'd love to!" Hampir saja Ryan menjatuhkan coffe pot yang dipegangnya melihat siapa yang baru saja menjawabnya. "Kenapa kalian kemari?" tanya Ryan dengan mata menyipit pada cewek yang sebelumnya memperkenalkan dirinya bernama Aria. Cowok bernama Nino juga ada disana, sedang menyantap makan malamnya dengan tenang. Hanya saja saat ini bertambah lagi dua orang. Seorang pria berkulit gelap dengan tubuhnya yang terlalu tinggi untuk duduk di meja restoran oriental. Kursi dan meja yang ditempatinya jadi terlihat begitu mungil seperti kursi bayi untuk ukuran orang tinggi sepertinya. Satunya lagi adalah seorang remaja SMA yang melahap makanannya dengan begitu rakus seakan belum makan selama seminggu. "Untuk apa kami kemari? Tentu saja untuk makan. Semua orang datang ke restoran tujuannya hanya untuk makan, bukan?" ujar Aria seakan menjelaskan fakta yang sudah pasti itu kepada anak berumur lima tahun. Ryan menghembuskan napasnya pelan dan menuangkan kopi ke cangkir Aria. "Bagus kalau memang hanya itu. Permisi, masih ada cangkir lain yang harus diisi," pamit Ryan lelah dan segera angkat kaki dari meja itu. Ryan masih mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi keberadaan Aria dan Nino sendiri saja sudah cukup untuk membuat konsentrasinya jadi kacau setelah itu. Tidak mungkin untuk mereka datang kemari kalau tidak untuk menemui dirinya. Apalagi reaksi mereka yang terlihat tidak terkejut sedikitpun menemukan Ryan yang bekerja di restoran itu. Apa yang mereka rencanakan sebenarnya? "Ryan, elo baek-baek aja? Istirahat dulu sono! Lo keliatan parah, man!" seru Yudha menghampiri Ryan. "Ahaha, sorry! Thanks, lima menit aja kalau gitu." "Jangan kaku-kaku napa sama temen sendiri! Lagipula hari ini juga nggak sebegitu rame, jadi santai aja! Emang lo udah nggak tidur berapa hari?" Ryan mengangkat bahunya sembari mengambil segelas air. "Tiga hari mungkin." "Wah, sumpah parah lo, man! Gue ngerti kalau elo kayak gini buat bisa nyekolahin adek-adek lo yang masih kecil tapi jangan berlebihan! Elo kan bisa minta tolong sama gue kalau ada apa-apa." Ryan tersenyum kepada Yudha yang merupakan temannya sedari SMP dan anak dari pemilik restoran ini. "Minta tolong sama elo terus juga nggak enak lah! Elo punya hidup lo sendiri. Tapi sekali lagi thanks. Perhatian lo aja udah cukup." "Oke-oke. Terserah elu dah! Ngomong-ngomong cewek di meja lima menurut lo cantik banget, kan? Senyum manisnya itu loh bikin nggak tahan! Sayang dia datengnya sama tiga cowok, kalau nggak pasti udah gue minta'in nomer teleponnya tuh cewek." Ryan mengikuti arah pandangan Yudha yang mengarah ke Aria. Sebelumnya ia pernah mengingat salah satu percakapan nggak jelas Yudha tentang Fallen Angel yang tidak hanya punya suara malaikat tapi juga wajah cantik malaikat yang disembunyikannya di bawah topi hitam bulat, yang sempat membuat Yudha jadi berimajinasi liar karenanya. Mengingat Yudha yang merupakan fans berat dari Fallen Angel membuat Ryan jadi berpikir kalau sampai dia tahu siapa cewek itu sebenarnya, Yudha pasti nggak akan lagi memperdulikan entah ada tiga cowok atau seratus cowok di dekat Aria. Yudha pasti tanpa ragu akan menyelami lautan darah hanya untuk menghampiri Aria dan meminta tidak hanya nomor teleponnya tapi juga tanda tangan cewek itu. "Hm? Ada apa dengan meja nomor lima itu?" Ryan mendapati Aria dan teman-temannya yang memanggil salah satu waitress rekan kerja Ryan ke meja mereka, terlihat seperti mendiskusikan sesuatu yang penting disana. Dengan bingung, waitress itu melihat ke arah Yudha seperti meminta bantuannya. "Kenapa pula Yuni itu? Bentar Yan, gue kesana dulu," ujar Yudha yang dijawab Ryan dengan anggukan. Walau tidak bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan, Ryan bisa melihat bahwa apapun yang mereka diskusikan itu nampaknya bukan suatu masalah yang besar, melihat bagaimana Yudha sudah kembali menghampiri Ryan hanya selang beberapa menit. "Ada apa?" tanya Ryan acuh tak acuh. "Oh, mereka cuman minta ijin buat pakai music corner kita. Karena hari ini nggak ada yang jadwal manggung yah gue bolehin aja. Moga-moga mereka bukan amatir." Ryan mengerjap-ngerjapkan matanya tertegun. "Lo bilang apa barusan?" "Ya ampun! Nih anak kurang tidur jadi budeg, ya? Males dah! Nggak ada siaran ulang, toh nggak penting!" Ryan ganti memerhatikan Aria dan Nino yang kini berdiri dari kursi mereka. Sementara Nino menaikkan tudung jaketnya, Aria memakai topi fedora hitam yang Ryan kenali beberapa kali telah dipakai gadis itu dalam street performance mereka. "Huh? Yan, jangan bilang kalau mereka itu sebenernya........." Ryan hanya bisa menatap lekat-lekat pada Aria dan Nino yang berjalan menuju music corner restoran. Beberapa tamu terlihat mengenali mereka dan mengeluarkan suara riuh rendah bersemangat. Sementara itu disamping Ryan, Yudha memukul-mukul lengan Ryan seakan bertingkah seperti gadis remaja. "Woi, Yan! Mereka asli, Yan! Fallen Angel, Yan! Shit! Gue harus rekam ini! Bakalan fantastis pasti!" seru Yudha yang kemudian berlari secepat angin menuju loker karyawan dibelakang. Tidak memerdulikan Yudha, Ryan mengangkat sebelah alisnya melihat Nino si gitaris, alih-alih mengambil gitar ia justru duduk di balik grand piano, menekan beberapa tuts untuk mengecek suaranya. Mereka berdua terlihat mendiskusikan sesuatu sebelum Aria mengambil posisi dekat standing mic dan juga mengeceknya. Setelah beberapa detik penerangan utama restoran dipadamkan, meninggalkan beberapa lampu kecil yang ada disetiap meja tamu juga beberapa lampu sorot yang terarah ke music corner menyala. Walau dari kejauhan wajah Aria dan Nino tidak terlihat jelas karena tertutup siluet topi dan tudung mereka, entah kenapa Ryan tahu bahwa mereka berdua sedang menatap tepat ke mata Ryan. Seperti mencoba untuk mengatakan sesuatu hanya dari tatapan mata mereka itu. Setelah beberapa detik, Aria mengalihkan tatapannya pada Nino dan mengangguk siap. Sebuah dentingan melodi awal dari lagu yang sangat dikenal Ryan mulai dimainkan. Detik itu juga, Ryan membeku. In The End - Linkin Park Lagu yang digunakan Ryan dalam kompetisi gitar lokal pertamanya yang kemudian dimenangkannya. Lagu yang merupakan awal dari segalanya untuk Ryan. "It starts with one thingI don't know whyIt doesn't even matter how hard you tryKeep that in mindI designed this rhymeTo explain in due timeAll I knowTime is a valuable thingWatch it fly by as the pendulum swingsWatch it count down to the end of the dayThe clock ticks life away" Ryan mengingat setiap detik dari lagu ini. Dulu ia menggunakan semua waktunya untuk banyak melakukan percobaan dalam membuat berbagai variasi melody demi meningkatkan level musik rock dari lagu ini. Walaupun Aria dan Nino memainkannya klasik dikarenakan sentuhan grand piano, namun seperti yang diharapkan dari mereka berdua, lagu tersebut berubah menjadi sesuatu yang baru. Power yang keluar dari setiap dentingan piano Nino, juga power yang kuat dari suara malaikat Aria, membuat lagu yang seharusnya berubah klasik itu, jadi memiliki tempo dan ritme yang begitu intens akan rock. "It's so unrealDidn't look out belowWatch the time go right out the windowTrying to hold on, but you didn't even knowWasted it all just to watch you goI kept everything insideAnd even though I tried, it all fell apartWhat it meant to meWill eventually be a memory of a time when" "I tried so hardAnd got so farBut in the endIt doesn't even matterI had to fallTo lose it allBut in the endIt doesn't even matter" Apa mereka memilih lagu ini dengan sengaja? Ryan sekali lagi bertemu pandang dengan Aria yang berdiri di atas panggung. Melihat itu, semuanya jadi jelas. Lagu ini.......... aransemen ini.......... Aria dan Nino memainkan lagu ini sebagai bentuk tantangan pada Ryan yang pernah mengaransemen lagu ini sendiri. Kenapa mereka bertindak sampai sejauh ini? "Tidakkah kau merasakannya? Tekad mereka." sebuah suara rendah menghampiri Ryan. Ia menoleh dan melihat pria asing berkulit gelap yang tersenyum sembari menyodorkan padanya sebuah gitar semi elektrik. "Satu-satunya hal yang kurang dari lagu ini hanyalah suara gitarmu," tambah pria asing itu. Ryan menoleh dan mendapati Aria yang bernyanyi juga Nino yang memainkan piano, sama-sama menatap Ryan dengan pandangan kuat mereka. Lagi, jantung Ryan kembali berdegup kencang seakan menyambut melodi itu tanpa menunggu jawaban dari Ryan. Tanpa disadarinya, tangan kanannya terangkat dan terulur pada gitar itu. Namun di sudut matanya, gelang merah buatan tangan adik terkecilnya memasuki bidang pandangnya. Seperti tersadar akan apa yang hendak dilakukannya, buru-buru dengan tangan kirinya, Ryan menghentikan tangan kanannya dan menurunkannya dari terulur ke gitar tersebut. "Kumohon............ cari saja orang lain." Setelah mengatakan itu, Ryan segera pergi dari sana menuju pintu khusus karyawan. Walaupun ia masih bisa mendengar suara Aria dan Nino dari balik pintu yang tertutup itu, ia tidak bisa membohongi dirinya yang ingin untuk sekali lagi saja, walau untuk terakhir kalinya, mendengarkan lantunan lagu yang menyimpan banyak memori baginya itu dimainkan sampai selesai. Ryan luruh dan jatuh terduduk bersandar pada pintu besi dingin itu. Hanya bisa mendengarkan 'In The End' sampai akhir dalam diam. Sungguh aneh. Lagu itu harusnya menjadi awal dari segalanya untuknya dulu. Tapi kini, sakan akhir dari 'In The End' juga akan menjadi akhir dari segalanya untuknya. "I've put my trust in youPushed as far as I can goFor all thisThere's only one thing you should knowI've put my trust in youPushed as far as I can goFor all thisThere's only one thing you should know" "I tried so hardAnd got so farBut in the endIt doesn't even matterI had to fallTo lose it allBut in the endIt doesn't even matter" 14th SOUND: SPINNING GEARS "Yaaahh!! Penampilan kalian kemarin KEREEENN!!!! Aku nggak tahu kalau Kak Nino juga bisa piano ternyata! KEREENNN!!! Lihat aja! Baru juga di upload performance kalian udah jadi trending topik lagi! Kolom komentarnya juga penuh sama cewek-cewek yang pada histeris ngelihat Kak Nino! Keren!!! Kemarin malem kalian juga langsung dikerubungi sama penonton di restoran! Apa kalian ingat gimana anak bos restoran itu bertekuk lutut sama Kak Aria? Yah, sumpah! Kalian bener-bener KEREEENNN!!!!" seru Gavin yang sebenarnya sudah diteriakkannya berkali-kali dalam seharian itu, sebelum akhirnya dengan kasar mulut Gavin dijejali bantal oleh Aria. "Kau ini berisik banget tahu nggak sih, Gav! Semuanya itu nggak penting tahu! GArgh!!! Performance kemarin semuanya jadi sia-sia saja sekarang kalau akhirnya nggak bisa menggerakkan Ryan Mahardika! Tuh orang hatinya udah jadi batu kali, ya? Urgh, padahal aku sudah yakin banget kalau dia pasti bakal ngambil tuh gitar!" "Ah, maaf. Mungkin ini salahku karena tidak bisa membujuknya lebih kuat lagi........." ujar Chaka sembari menurunkan pandangan matanya menyesal. "Ah, tidak-tidak! Kurasa apa yang sudah Chaka katakan itu bagus, tapi bagaimana menyebutnya........ sepertinya orang itu sudah punya resolusi yang kuat atau semacamnya? Karena itu biar aku saja jadi gitaris kalian, Kak Aria!" seru Gavin sembari menepuk dadanya sendiri dengan percaya diri. "Jangan NGIMPI siang-siang begini!!" "Eh???? Pelit!" Aria menghembuskan napasnya berat. Ia menerima ponsel yang diulurkan Nino kemudian membacanya. 'Akan lebih baik kalau kita tidak lagi memaksanya dan menghormati keputusannya. Bukankah kamu sudah melihatnya sendiri, seperti apa hidupnya?' Aria melemparkan punggungnya bersandar pada sofa dan memandang langit-langit ruang rekreasi. Ia mengingat kembali hasil penyelidikan terbaru yang diberikan direktur sesat Hendric pada mereka beberapa hari yang lalu mengenai background Ryan Mahardika. Tidak seperti riwayat prestasinya yang menyenangkan untuk dibaca, Aria hanya mampu untuk membaca tiga kalimat pertama sebelum langsung melemparkannya kembali pada Hendrc. "Hmm, aku tahu berat saja masih belum cukup untuk mendeskripsikan hidupnya. Ayahnya yang hanya tahu minuman keras setelah di PHK, dan ibunya yang meninggalkan Ryan Mahardika bersama kelima adiknya untuk mengikuti pria lain. Menjadi tulang punggung keluarga ia terpaksa bekerja diberbagai tempat yang berbeda sekaligus tidak perduli apakah itu siang atau malam." 'Menariknya kembali menjadi musisi tidak akan memberikannya jaminan apapun.' Membaca itu Aria memejamkan matanya dan mengerutkan dahinya. "Hmmm........ Aku tahu - aku tahu...... hanya saja..... kehidupan beratnya itu justru membuatku merasa kalau meninggalkannya begitu saja bukanlah pilihan yang tepat!" Disamping Aria, ganti Nino yang kini menghela napas panjang. 'Untuk saat ini tolong jangan bertindak gegabah dulu. Kita pikirkan semuanya baik-baik.' Masih dengan berat hati, Aria mengangguk pada Nino. #### "Mas Ryan, Mas Ryan!" Ryan menoleh dan tersenyum pada Silvi adik terkecilnya yang terlihat begitu manis dalam balutan seragam TK-nya yang kebesaran. "Apa?" "Mas Ryan," Silvi yang tersenyum terlihat ragu sejenak dan merenung sebelum akhirnya menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat rambut keritingnya yang dikuncir dua menari-nari lucu di udara. "Nggak jadi!" tambah adiknya lalu dengan jari jemarinya yang mungil itu Silvi menggandeng sebelah tangan Ryan dan menariknya untuk berjalan lebih cepat. "Ah, tunggu Silvi! Jangan jalan cepat-cepat nanti kamu bisa--" Dari sudut mata Ryan, ia akhirnya menyadari akan banyaknya anak-anak yang berseragam sama seperti Silvi bersama dengan orang tua mereka, mengerubungi seorang penjual es krim. Ah, begitu rupanya. Ryan menghentikan langkahnya, menatap punggung kecil Silvi yang masih berusaha dengan sekuat tenaganya untuk menarik-narik tangan Ryan agar segera pergi dari sana. Ryan tersenyum pahit dan berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan adik manisnya itu. Ia membalik tubuh Silvi dan menggenggam kedua tangan mungilnya. "Silvi mau es krim?" Mata Silvi bergerak kekanan dan kekiri gelisah.Tubuh kecilnya bergoyang-goyang dan dengan matanya yang besar itu, Silvi menatap Ryan ragu-ragu. Sekali lagi ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ryan tertawa kecil dan mengelus lembut kepala Silvi. "Silvi, Mas Ryan bangga sama Silvi karena Silvi sudah jadi anak yang baik dan pengertian. Tapi anak kecil seperti Silvi nggak seharusnya memikirkan hal rumit seperti Mas Ryan, oke?" Silvi yang tertawa kecil merasa geli dengan serangan gelitikan Ryan. Di sela-sela tawanya Silvi susah payah berkata, "Nanti....... kalau Silvi sudah besar....... Silvi mau jadi dokter biar bisa bantu Mas Ryan!" Mendengar itu tak ayal sudut mata Ryan berair. Buru-buru Ryan mengusapnya sebelum adik kecilnya itu menyadarinya. "Oke! Karena Silvi sudah jadi anak baik, Mas Ryan mau kasih Silvi hadiah es krim! Tapi janji jangan bilang sama Mas Fadhil atau Mbak Caca, ya?" Silvi tersenyum lebar dan mengangguk. Ia menaikkan kelingkingnya pada Ryan. "Janji!" Ryan mengaitkan kelingkingnya pada jari kelingking mugil adiknya dan tersenyum. Ia menggandeng tangan Silvi dan mengajaknya menghampiri penjual es krim tadi. Di dalam otaknya, Ryan melakukan perhitungan cepat. Tagihan sekolah, tagihan listrik, uang makan minggu ini, dan lain-lain, sebelum kemudian ia memutuskan untuk melewatkan makan siang hari ini demi mengganti pengeluaran es krim Silvi. Merasakan tangan mungil adiknya dalam genggamannya, membuat Ryan yakin bahwa ia sudah membuat keputusan yang benar dengan tidak meraih gitar yang diulurkan kepadanya kemarin malam. Begini juga tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Melihat wajah bahagia adik-adiknya saja sudah cukup baginya. "Gimana Silvi es krimnya enak?" "Hm! Mas Ryan mau?" "Silvi makan aja biar badannya bisa tinggi kayak Mas Ryan. Oh, kayaknya Mas Fadhil sama Mbak Caca sudah pulang!" ujar Ryan mendapati sepatu sekolah kedua adiknya yang lain tertata rapi di rak sepatu. "Hihihihi...... Shh!" Silvi menekan telunjuknya pada bibir sembari tertawa kecil, mengisyaratkan Ryan agar tidak mengatakan rahasia kecil mereka. Melihat itu Ryan ikut tertawa dan melakukan hal yang sama seperti adiknya. "Shhh!!" Terdengar suara Caca yang cekikikan disertai dengan gelak tawa Fadhil, membuat dahi Ryan berkerut memikirkan apa yang dilakukan kedua adiknya yang jail itu. "Caca, Fadhil, kalian ngapain?" "Oh? Kau sudah pulang? Selamat datang." sambut seorang perempuan dengan datar yang membuat Ryan sontak terlonjak kaget. Ia mendapati seseorang yang paling tidak ingin dilihatnya kini justru duduk di ruang tamu rumahnya. "Kenapa kau bisa ada disini?" tanya Ryan bingung pada Aria. 15th SOUND: CHILDREN'S VOICE "Oh? Kau sudah pulang? Selamat datang." Sontak Ryan terlonjak kaget melihat Aria, dengan wajah datarnya yang aneh, kini duduk di ruang tamu rumahnya. Gadis itu terlihat pasrah, membiarkan rambutnya yang panjang dipakai Caca dan Fadhil sebagai bahan eksperimen. Kini rambut gadis itu penuh dengan kepangan dan gelungan kecil, beberapa jepitan milik Caca juga menyebar ke seluruh bagian rambut Aria, dan bahkan anehnya ada sebuah garpu yang tertancap ke salah satu gelungannya. "Mas Ryan, Mas Ryan! Gimana? Cantik, kan?" tanya Caca, adik Ryan yang masih kelas 4 SD itu, sembari tidak berhenti cekikikan. Fadhil yang terpaut hanya satu tahun lebih tua dari Caca juga tertawa sembari menambahkan sumpit yang ditusukkannya ke rambut Aria. "Cantik banget! Nggak ada lagi orang gila yang bisa nyaingin!" "Sepertinya sebagai seorang kakak kau sudah gagal dalam mengajari adikmu tentang apa itu arti istilah 'cantik'." ujar Aria masih dengan suara datar. "Kenapa kamu bisa ada disini?" "Ah ya, nampaknya berkat beberapa orang yang baru-baru ini kutemui membuat skill stalker ku jadi level up ketingkat yang mengerikan." "Kenapa kamu menemuiku lagi? Bukankah sudah kuperjelas kemarin kalau aku tidak akan bergabung dengan band kalian?" ujar Ryan sembari mengepalkan kedua tangannya. Mencoba untuk menahan semua emosi yang seperti akan menyembur keluar dari dadanya setiap kali melihat Aria. "Ya. Tapi aku masih belum menyerah." "Apa kau tidak bisa melihat situasiku? Kalau gitaris saja pasti masih ada banyak penggantinya diluar sana, kan?" "Tidak mau. Aku sudah memutuskan bahwa gitaris kami itu harus kamu. Nino berkata kalau aku harus menghargai keputusanmu dengan tidak mengganggumu lagi, tapi seperti yang kuduga aku tidak bisa menyerah terhadapmu." "Ha haha..... Kenapa kau tidak mendengarkan temanmu yang cerdas itu? Biar kutebak. Nona besar sepertimu pasti tidak pernah membuat pengorbanan apapun dalam hidup dan kamu merasa bisa mendapatkan apapun yang kamu mau di dunia ini? Maaf, tapi aku tidak berniat untuk mengikuti keegoisanmu itu hanya demi memuaskan keinginanmu!" Pada saat kalimat itu terucap dari bibirnya, Ryan berpikir apakah itu hanya ilusi ketika ia melihat sorot mata gadis dihadapannya berubah menyiratkan kesedihan yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sembari menggigit bagian bawah bibirnya, Aria menatap Ryan lekat-lekat. "Manusia itu makhluk yang lemah jika sendirian. Aku dan Nino sangat memahami akan kenyataan ini melebihi siapapun. Ketika kau berusaha sekuat tenaga, mengeluarkan semua kemampuan yang kau punya, demi menggapai sesuatu yang kau inginkan dengan tanganmu sendiri, sebelum kamu menyadarinya, tangan-tangan lain yang juga terulur pada tujuan yang sama denganmu akan menarikmu dengan kejam menjatuhkanmu kebawah, menghalangi jalanmu, membuatmu tersungkur, hingga menutupi pandanganmu dari tujuan yang pernah kamu tetapkan." Aria menurunkan tatapan matanya seakan seperti ia memandang kekejauhan. "Ini sering terjadi mengingat kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Karena itu aku memutuskan untuk mengasingkan diriku dari manusia dan masalah mereka. Aku tidak ingin terlibat dengan mereka. Setidaknya sampai aku bertemu Nino, yang walaupun sama-sama dikutuk oleh dunia, tapi tidak sepertiku dia masih belum kehilangan sinarnya." Aria kembali menatap Ryan dan kini sembari tersenyum pahit. "Karena itu semakin aku melihatmu semakin aku yakin untuk mengajakmu bersama-sama bangkit kembali. Kau tahu, kenyataan bahwa orang yang menggapai tujuannya sendirian sering berakhir dengan tersungkur itu karena mereka hanya menggunakan kedua mata mereka untuk melihat dunia ini?" "Jadi menurutmu bagaimana kalau bersama-sama kita menggabungkan semua mata yang kita miliki untuk melihat dunia ini dengan lebih luas, menggabungkan semua suara yang kita miliki untuk berteriak keras, menggabungkan semua tangan yang kita miliki untuk melawan balik, menggabungkan semua kaki yang kita miliki untuk berlari kedepan? Tidakkah menurutmu dengan begitu kita jadi tidak akan terkalahkan? Satu tujuan sama yang kita tuju jadi lebih mudah untuk diraih!" Ryan hanya bisa terdiam. Harapan yang sudah lama sirna dari dirinya seakan kembali bersinar di depan matanya. Sebuah bisikan pelan yang lebih mirip seperti hembusan angin terucap keluar dari mulutnya. "Kenapa aku?" "Hm?" "Kenapa harus aku?" Ryan mengulang pertanyaannya pada Aria. "Apa ini semua hanya karena rasa kasihan?" Aria mencibir menatap Ryan dengan tatapan tidak percaya. "Ugh. Kau menanyakan pertanyaan yang sama dengan Nino! Kenapa orang bermasalah cenderung begitu sensitif mengenai hal ini? Kalau kau bertanya kenapa....... hm, benar juga....... bisa dibilang karena sama dengan Nino, kamu juga adalah orang yang mengerti seberapa berat nilai yang terkandung dari suara, nilai-nilai yang terkandung dari dalam musik. Lebih dari kebanyakan orang pada umumnya, kalian sangat menghargai arti sesungguhnya dari musik. Bahkan ada saat dimana Nino lebih memilih untuk melindungi gitarnya dibandingkan dengan tubuhnya sendiri dari para preman. Bodoh, kan? Tapi mungkin karena itulah musik yang kalian buat dapat menggugah perasaan orang-orang disekitar kalian. Sama seperti musik yang kau mainkan saat kompetisi." "Tidak. Kau salah. Karena nyatanya aku sudah membuang musik dari hidupku." "Hm? Benarkah? Tapi sepertinya tidak begitu." Aria berdiri dan menghampiri sudut ruangan. Ia mengambil sebuah gitar tua nan usang yang dibiarkan begitu saja berdebu di sudut ruangan. "Kata adikmu ini gitar pertamamu. Nampaknya walaupun kau sudah menjual gitar elektrik kesayanganmu, kamu masih tidak bisa menyingkirkan yang satu ini dari hidupmu. Kenapa? Apakah karena gitar ini hadiah yang diberikan kedua orang tuamu saat mereka masih bersama? Atau karena gitar ini telah membawa banyak senyuman untuk adik-adikmu yang dulu bersedih meratapi nasib mereka?" "CUKUP! BISAKAH TOLONG KAU TINGGALKAN AKU SENDIRIAN DAN JANGAN PERNAH MENEMUIKU LAGI?" teriak Ryan keras tidak ingin lagi mendengar kata-kata lain keluar dari mulut Aria. "Aku mengerti. Kecilkan suaramu. Kau membuat adik-adikmu ketakutan." Ryan tersentak melihat Caca dan Fadhil yang menciut dibalik punggung Aria, juga Silvi yang berlari menjauh darinya untuk menghampiri Caca. "Tidak apa-apa kalau kamu menolak ajakanku ini, tapi setidaknya aku berharap agar kamu tidak berhenti bermain gitar. Adik-adikmu terlalu takut untuk berkata mereka merindukan permainan gitarmu di rumah, karena mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas semua pengorbananmu ini." Aria menyodorkan gitar tua itu kepada Ryan masih sembari tersenyum. "Tidak membuat adikmu khawatir juga merupakan tugas utama dari seorang kakak. Aku tahu ini karena aku juga memiliki seorang adik." Ryan menatap Caca, Fadhil, dan Silvi bergantian. Tanpa disuruh Aria, ketiga adiknya itu bersama-sama mengambil gitar yang dipegang Aria untuk diberikan pada Ryan secara langsung. "Ma-mas Ryan! Mas Ryan mau dateng ke hari jadi sekolahku lusa nanti? Setiap anak kelas empat disuruh untuk menyumbangkan penampilan bareng orang tua mereka, dan Caca sebenernya nggak berniat buat ikut. Ta-tapi, ka-kalau bisa, aku ingin menyanyi diiringi gitar Mas Ryan kayak dulu lagi! Sewaktu Caca masih kecil! Caca ingin bisa dengar Mas Ryan main gitar lagi!" seru adik Ryan dengan tangan yang gemetar sembari memegang gitar Ryan erat. Tak ayal Ryan bertekuk lutut dan merangkul ketiga adiknya itu sembari menangis. Dia mencium satu per satu adiknya itu dan kemudian membenamkan dirinya pada tubuh mungil ketiga adiknya. Aneh, walaupun tubuh ketiga adiknya jelas lebih kecil dari dirinya, tapi kenapa mereka jauh lebih kuat dari dirinya? Mungkin karena telah lama memendam perasaan mereka di dalam hati, seperti air yang menyembur keluar dari dalam botol tertutup, ketiga adiknya mulai menangis keras melepaskan semua kekhawatiran mereka dalam pelukannya. Melihat itu membuat Ryan memeluk ketiga adiknya semakin erat. Terdengar suara dehaman pelan dari balik punggung Ryan dan ia menoleh kebelakang, mendapati kedua adiknya yang lain melihatnya dengan sorot mata hangat. "Kuharap Mas Ryan nggak akan memaksakan diri lagi mulai sekarang. Karena tahun ini aku akan lulus, jadi tolong tunggu sebentar lagi sebelum aku bisa membantu keluarga dengan bekerja." Doni, adiknya yang duduk di bangku SMA, tersenyum sembari menepuk bahunya pelan. "Mas Ryan bisa mengandalkanku!" "Mas juga nggak perlu khawatir soal sekolahku lagi! Aku sudah dapat rekomendasi beasiswa di SMA nanti, jadi sedikit banyak ini bisa meringankan bebanmu, kan?" tambah Nia, adiknya yang akan masuk SMA tahun ini, sembari membenarkan letak kacamatanya. Ryan melongokkan kepalanya kebelakang mendapati lelaki bernama Nino, berdiri tidak jauh dari mereka. Ia mengangguk pelan menyapa Ryan dan berjalan menghampiri mereka. "Cowok ini sudah mengatakan, um, maksudku menjelaskan, tentang keinginannya untuk mengajak Mas bergabung dengan band mereka. Dia ingin mendapatkan persetujuan kita dulu agar bisa meyakinkanmu, dan mengurangi kekhawatiranmu. Dia bahkan banyak memberikan kami referensi tentang sekolah untuk Nia, juga lowongan kerja padaku yang lagi menunggu kelulusan ini." "Aku terkejut dengan seberapa banyak informasi yang ia tahu mengenai jalur beasiswa. Kalau saja aku bertemu dengannya lebih cepat, karena aku sudah terlanjur daftar beasiswa sendiri," gerutu Nia pelan. Mendengar itu Ryan tertawa kecil. Tidak lagi bisa berkata apa-apa. "Tunggu, kenapa kau memotretku? Huh? Garpu? Argh! Benar juga! Semua ini membuatku melupakan rambut mengerikanku! Nino berhenti ketawa! Dan juga cepet hapus fotoku barusan!" Ryan mengernyitkan dahinya, merasa janggal dengan cara aneh Aria dan Nino berkomunikasi. Nino sesekali memperlihatkan ponselnya untuk Aria baca yang kemudian direspon dengan jawaban oleh Aria. Seakan Aria melakukan percakapannya sendirian. Jadi begitu....... Karena itu gadis tersebut mengatakan sesuatu seperti itu........ Menggabungkan mata, suara, tangan, kaki......... Saling membantu dalam menggapai tujuan yang sama...... Ryan mengangkat wajahnya dan tersenyum hangat. Menggunakan seluruh jiwanya untuk menyampaikan satu patah kata kepada mereka semua yang berharga untuknya. "Terimakasih," ucapnya tulus tidak hanya kepada adik-adiknya, tapi juga kepada kedua orang yang telah membawa harapan kembali kepadanya. Mendengar itu, kelima adik Ryan bersama-sama memeluknya dengan erat. Ia mendongak melihat Nino yang menunjukkan layar ponselnya pada Ryan. Ia membaca apa yang tertera pada ponsel tersebut dan menyunggingkan senyuman hangat berterima kasih. 'Ingatlah momen ini baik-baik sepanjang hidupmu........ bahwa kau tidak pernah sendirian.' 16th SOUND: OLD GUITAR "Sungguh menakutkan melihat bagaimana dia bisa bermain sebagus ini hanya dengan gitar usang itu! Membuatku jadi bertanya-tanya akan seperti apa permainannya jika menggunakan gitar premium?" Menjawab undangan dari adik Ryan, Aria dan Nino kini ikut menghadiri event terbuka sebuah sekolah dasar sebagai tamu lokal. Dan saat ini walau dari kejauhan, mereka berdua berdiri menyaksikan dari lantai dua gedung sekolah, permainan menyenangkan Ryan dan adik kecilnya. Dikelilingi melodi menyenangkan yang menghangatkan hati, Ryan dan adiknya tertawa bersama. 'Benar kata musisi bijak dulu, yang membentuk musisi bukanlah instrumen tapi skill.' "Yep. Kau benar. Padahal ini cuman event anak SD, tapi liat seberapa seriusnya permainannya! Rasanya kenyataan kalau dia sudah lama berhenti bermain gitar itu cuman bohong," ujar Aria sembari tertawa kecil. "Tapi sayang sekali, kan?" tambah Aria. "Akhirnya dia masih belum merubah pemikirannya. Padahal pasti akan sangat menyenangkan untuk bisa bermain musik bareng Ryan!" 'Apa benar seperti itu? Aku meragukannya.' "Hm, maksudnya?" tanya Aria pada Nino yang tersenyum penuh arti. 'Just wait and see.' #### Caca berlari dengan kecepatan penuh seperti meriam sebelum menghantam tepat ke perut Aria. Tanpa ragu-ragu, Aria menjitak kepala anak kecil itu yang anehnya malah tertawa semakin gembira. Dasar anak kecil! Tanpa sadar Aria tersenyum mengingat kembali masa lalu dirinya dan adik kecilnya yang selalu mengekori Aria kemanapun dirinya pergi. "Ah, sorry! Pasti sakit, kan? Caca! Ayo minta maaf!" seru Ryan pada adiknya yang nakal itu. "Maaf!" ujar Caca sembari tertawa lebar tanpa sedikitpun rasa bersalah. Lagi-lagi, dasar anak kecil! Tapi Aria tidak bisa membencinya. Sebaliknya ia ikut tertawa dan balik menggelitik perut Caca sampai anak nakal itu menggeliat-geliat minta ampun. Tidak mungkin ia akan melepaskan anak nakal itu begitu saja. Tapi sebelum balas dendamnya tercapai, dari belakang Nino menarik kerah belakang bajunya, seperti melerai pertengkaran anak kucing. "By the way, nice performance! Nino juga berkali-kali memujimu tadi!" ucap Aria jujur. "Benarkah? Thanks. Bicara tentang performance, apa kalian ada waktu nanti malam?" Aria saling bertukar pandang dengan Nino kemudian menggeleng. "Tidak ada rencana khusus. Memangnya kenapa?" "Great! Bisa kalian datang ke restoran tempatku bekerja waktu itu?" pinta Ryan dengan mata berkilat-kilat yang menurut Aria pemandangan baru dari sosok Ryan. Mungkin saja memang dia aslinya orang yang seperti ini? Aria dan Nino tersenyum, kemudian bersama-sama mengangguk. "Oke!" "Kalau gitu nanti malam. Sorry nggak bisa nemenin kalian lama karena aku masih harus ke kelas Fadhil. Bye!" Aria memerhatikan kepergian Ryan sembari masih melambaikan tangannya pada Caca. Nino menepuk bahunya pelan sembari tersenyum. 'Apa kubilang.' Membaca itu Aria memiringkan kepalanya tidak mengerti. "Maksudmu?" #### "Bokap gue seneng banget ngeliat banyak customer yang jadi pada ngerubungin ni restoran gara-gara Fallen Angel yang pernah perform disini. Tapi menurut elo apa malaikat gue itu bakal dateng kemari lagi? Oh..... God! Aku rela puasa tujuh hari tujuh malam biar bisa dipertemukan lagi dengannya! Tolong pertemukan kami!" seru Yudha berlebihan karena hanya bisa mendapatkan senyuman dingin dari Aria, di malam mereka melakukan performance di restoran ini. Mendengar itu, Ryan jadi meringis penuh arti kepada Yudha. "Well, good luck sama puasa lo kalau gitu! Inget, janji itu harus ditepati, bro! Apalagi janji sama Tuhan!" Yudha mengedip-ngedipkan matanya tidak mengerti. "Yan, gue cuman asal ngomong barusan. Tujuh hari tujuh malem puasa bisa bikin manusia normal sekarat. Lagipula, apa mungkin Fallen Angel bakalan perform lagi disini?" "Who knows." Ryan tertawa kecil melihat Aria dan Nino yang baru saja memasuki pintu restoran. "Malem ini panggung kosong, kan? Boleh kupakai?" ".................. Elo? Buat apa?" tanya Yudha sedikit tercengang, karena sangat mengerti bahwa sahabatnya ini telah lama memutuskan untuk berhenti dari bermain gitar. Ryan hanya tersenyum sembari menghampiri meja konter kasir, mengeluarkan gitar tuanya yang masih terbungkus dengan sarung tasnya. Ia menarik resleting sarung tasnya, dan memerhatikan lekat-lekat gitar pertamanya itu. Tidak bisa dibilang dalam kondisi bagus tentu saja. Lapisan pernis gitarnya telah banyak terkikis disana-sini pada bagian body dan lehernya. Bagian front-nya juga terkadang mengeluarkan suara derit yang menggangu. Gigi tunernya juga sulit untuk berputar. Namun, karena bridge-nya telah diganti dan dipasangkan dengan senar-senar yang baru oleh Ryan kemarin—agar bisa digunakannya untuk tampil bersama Caca adiknya—, ia rasa tidak ada yang perlu untuk di khawatirkannya ketika gitar ini dimainkannya nanti. Gitar yang telah menemani hidupnya sejak ia berumur tujuh tahun dan telah membawa banyak senyum serta tawa untuk semua orang yang berharga untuknya. "Oke, gue pinjem music corner-nya bentar," ujar Ryan pada Yudha dan beranjak pergi. "Ryan!" Mendengar namanya dipanggil, Ryan sejenak berhenti dan menoleh pada Yudha yang mengangkat gelasnya sembari menyunggingkan senyuman. "Welcome back!" Ryan tertawa dan kembali melangkahkan kakinya menuju panggung kecil yang berada di sudut ruangan. Ia meraih mic wireless yang sebelumnya telah dalam keadaan menyala dan telah siap untuk dipakai. Beberapa perhatian pengunjung telah beralih pada dirinya, membuat dadanya kini dipenuhi dengan perasaan yang meluap-luap, beriringan dengan setiap detak jantungnya yang semakin dipercepat. Seperti yang diduganya, tidak ada tempat yang jauh lebih exciting selain di atas panggung! "Selamat malam! Terimakasih telah berkunjung di restoran kami dan saya harap iringan lagu yang akan kami mainkan bisa menjadi penghibur untuk kalian selagi menikmati makan malam." Ryan bertukar pandang dengan Aria dan Nino yang kini tersenyum padanya. Mereka berdua berjalan menghampiri Ryan melewati setiap meja yang penuh dengan pengunjung. Aria mengenakan topi fedoranya, dan Nino menaikkan tudung jaketnya. "Alasan kenapa aku mengundang kalian berdua kemari adalah.......... untuk mengambil 'gitar' yang telah kalian berdua ulurkan kepadaku beberapa hari yang lalu. Walaupun agak sedikit terlambat, masih bersediakah kalian menerimaku?" Mungkin karena merasa tidak mengerti dengan apa maksud dari ucapan Ryan, para pengunjung kembali mengalihkan perhatian mereka ke arah panggung. Menemukan bahwa kini ada dua orang dengan ciri khas mereka yang mencolok berdiri tepat di depan panggung, membuat beberapa pengunjung mulai berbisik-bisik dalam ketertarikan. "Fallen Angel?" "Apa beneran itu Fallen Angel?" Seperti yang diharapkan dari dua orang berbakat yang telah meng-cover banyak lagu kedalam level yang berbeda dan lebih menyenangkan dari lagu-lagu aslinya ini, bisa menarik perhatian orang-orang hanya dalam hitungan detik, padahal mereka masih belum menginjakkan kakinya di atas panggung. "Pertanyaanmu itu........ apa perlu untuk kami mengatakan jawabannya?" Aria dan Nino tersenyum sebelum akhirnya naik ke atas panggung. Melihat itu, sontak hujan sorak-sorai keluar dari pengunjung disertai tepuk tangan. "Hei, hei! Padahal kami masih belum bermain, jadi untuk apa mereka bertepuk tangan?" Aria tertawa kecil sembari meraih standing mic yang berada tepat ditengah panggung. Nino menghampiri grand piano hitam sementara Ryan yang mengambil posisi duduk di samping kiri Aria menepatkan letak posisi standing mic dihadapan gitarnya. "Ready?" tanya Aria pada Ryan dan Nino. Ryan membalasnya dengan anggukan. Nino pun mulai memainkan melodi awal dari In The End. Lagu yang sebelumnya pernah ia tolak untuk mainkan lagi. Lagu yang telah mengawali jam waktunya si masa lalu. Dan kini lagu yang sama telah membuat waktunya yang membeku kembali berdetak. 17th SOUND: GUNSHOT Suara desingan peluru yang membelah angin seketika itu juga mengakhiri suara tawa menyeringai perempuan gila yang dibencinya. Dari awal ia tidak pernah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran perempuan itu, yang mana membuatnya tidak punya pilihan lain selain menolak keberadaannya dan membencinya. Namun kini, ketika perempuan itu akhirnya telah pergi dari hidupnya, perempuan itu justru meninggalkan lubang besar yang begitu dalam pada dadanya. Seperti itu, besi-besi dingin yang menembus kulitnya kini jadi semakin bertambah sebagai bentuk perlindungan dirinya terhadap lubang hitam yang perempuan itu tinggalkan. Ia jadi bertanya-tanya, apakah perempuan itu akan terus menghantuinya seumur hidupnya bahkan dalam kematiannya. Jika benar begitu, what a dreadful nightmare........ #### "Setelah Ryan ikut perform beberapa hari yang lalu bersama kalian, berita mengenai kalian yang sedang mencari anggota baru jadi menyebar seperti api di dunia maya. Yang lagi-lagi, jadi trending topik," ujar Paman Andy sembari membagikan minuman pada Aria dan yang lainnya. "Jadi selanjutnya apa? Drummer?" "Hm. Kami tidak akan bisa kemana-mana tanpa drummer jadi tentu saja kami akan mencarinya selanjutnya!" Aria meminum habis sebotol air mineral untuk melepaskan diri dari dahaganya setelah latihan rutin. "Semuanya, pizza yang kalian tunggu sudah datang!" seru Chaka memasuki studio Nino sembari tersenyum lebar. "Oh, thanks Chaka!" teriak Gavin sumringah yang langsung mencomot satu potongan besar pizza tersebut dengan lahap. Di sela-sela aktivitas makannya itu, Gavin lanjut berbicara. "Khak Aria! Akhu juga..... bifsa ngedrum jadhi...... biarkan aku sajah yang jadhi........ drummer khalian!" "Yuck, jorok tau nggak sih, Gav! Lagipula kenapa juga kau ngekorin latihan kami setiap hari? Sudah pernah kubilangkan, kalau aku nggak berniat buat rekrut bocah pelajar sepertimu!" Gavin menelan semua pizza yang tersisa di mulutnya dengan susah payah, sebelum akhirnya mengerang kecewa. "Ehh? Ayolah, Kak Aria! Sebulan aja, nggak, sekali aja, tolong biarin aku ikut perform bareng dengan kalian! Please!" Melihat Aria yang masih juga tidak menunjukkan reaksi apapun, Gavin menghampiri set drum di belakang dan menduduki kursi bulatnya, menyambar stick di dekatnya, lalu membuat ancang-ancang untuk memukul drum. "Liat baik-baik, Kak! Kemampuan hebatku!" Gavin dengan sekuat tenaga mulai menabuh drum tersebut dengan cepat, berpikir bahwa kecepatan menunjukkan kehebatan bermainnya yang sebenarnya, yang mana sebenarnya malah menghasilkan ritme kacau dan berantakan. Karena cara bermainnya yang kasar dan asal-asalan, membuat salah satu simbalnya jadi goyah dan terjatuh. Salah satu stick yang dipegangnya jadi melompat terbang dari pegangan tangannya. "Ah!" Seperti mengangkat anak kucing, Nino menarik ujung belakang kaus Gavin, menyentil dahinya, dan membuatnya bangkit dari kursi bulat drum. "Sa-satu kesempatan lagi! Satu kesempatan lagi aja! Please!" "Apa kau berniat untuk terus bermain sampai studio Nino hancur jadi kau baru bisa berhenti? Lupakan, lupakan! Jangan berharap!" "Urgh!" "Sori, bentar lagi gue ada shift di restorannya Yudha jadi gue balik dulu, ya!" pamit Ryan sembari memakai jaketnya dengan terburu-buru. "Oke! Lagipula kita kan udah spakat kalau keluargamu harus tetap jadi prioritasmu, so don't mind!" Aria mengacungkan jempolnya pada Ryan yang tertawa kecil. "Ryan! Makan dulu setidaknya satu pizza!"seru Chaka. "Bawa juga minuman kaleng yang kau mau untuk diminum di jalan." ujar Paman Andy menawarkan. "Ahaha....... terimakasih! Oke, sampai besok!" pamit Ryan pergi setelah mencomot satu pizza dan menerima sekaleng kopi hitam. Suara kaki Ryan yang menuruni anak tangga mini market pun menggema sebelum akhirnya menghilang disertai suara pintu depan mini market yang dibuka dan ditutup. "Senang sekali melihat anak muda pekerja keras sepertinya! Membuatmu jadi ingin ikut mendukungnya sebisa mungkin." "Sentimen Paman membuatmu jadi terlihat semakin seperti orang tua saja!" celetuk Aria bercanda pada paman pemilik yang sebenarnya masih di usia awal tiga puluhan. "Haha, itu tidak bisa dihindari mengingat aku memang sudah semakin tua, Aria!" Aria tertawa kecil dan mulai mengambil berkas-berkas profil drummer yang telah dikumpulkan Unison. Sebenarnya beberapa hari ini Aria dan Nino sudah mengeceknya dan telah menetapkan beberapa target, hanya saja masih ada satu profil seseorang yang sedikit mengusik rasa penasarannya. "Apakah ada yang menarik perhatianmu?" tanya Chaka pada Aria. "Chaka, profil orang ini....... semuanya kosong selain namanya." Aria menyodorkan selembar profil yang sukses membuat dirinya penasaran itu pada Chaka. "Huuwwah! Nakutin banget orang ini! Sorot matanya kayak mata pembunuh dan gila bener, banyak banget tindiknya!" seru Gavin sembari menggigit sepotong pizza lagi dengan lahap. "Ah, orang ini. Memang benar dia tidak punya prestasi atau riwayat bermusik apapun, tapi Bos secara eksklusif telah menominasikannya sebagai pro-nya para pro. Dia sangat terkenal di kalangan underground sebagai seorang drummer bayaran." "Hehhh....... Ternyata ada juga yang seperti ini, ya?" Aria mengangguk-ngangguk merasa semakin tertarik dengan seseorang bernama Zidan Alvaro itu. Nino menyenggol Aria pelan dan menunjukkan ketikan pada ponselnya. 'Jangan coba-coba untuk pergi ke underground sendirian!' Ah, seperti biasa, insting Nino padanya begitu tajam. Aria menyunggingkan senyuman termanisnya pada Nino tanpa cela. "Tenang, tenang! Selama pemeriksaanmu di rumah sakit beberapa hari ini, aku tidak akan bertindak gegabah!" ujar Aria sembari merencanakan sesuatu dalam otaknya untuk bertanya pada Chaka secara rahasia, dimana saja letak komunitas underground di Jakarta. #### "Oh, Zidan! Nanti malam kau ada manggung lagi?" Seorang pria berjaket kulit yang dikenal orang-orang dengan nama Bang Hari, pemilik dari beberapa live house juga gedung yang digunakan sebagai pertemuan komunitas underground, mau tidak mau membuat langkah kaki Zidan berhenti. Ia tidak bisa mengabaikan seseorang yang telah banyak mendukung dunia bawah musik juga banyak memberi bantuan padanya di masa lalu itu. "Um. Drummer anak-anak Hardkill baru aja keluar kemarin. Tapi karena mereka masih ada jadwal manggung buat malem ini mereka jadi memanggilku." "Oh? Malam ini pasti akan menyenangkan kalau begitu! Anak-anak juga pasti akan ramai setelah tahu kalau kau akan main." "Nah, tolong jangan berlebihan, Bang. Paling aku cuman main satu atau dua lagu nanti." "Kau ini selalu saja merendahkan dirimu! Aku berani bertaruh kau akan berada di atas panggung semalaman nanti!" Zidan hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus menanggapi seperti apa. "Seperti biasa, aku mohon bantuanmu lagi. Kalau terlihat sesuatu yang mencurigakan tolong jangan ragu untuk menghubungiku. Tentu saja kita tidak ingin kejadian masa lalu terulang lagi, kan?" Zidan mengangguk sembari memandang ke kejauhan. Bayangan perempuan itu yang menyeringai kembali muncul dalam benaknya. Ia menyandarkan tubuhnya pada railing pembatas lantai dua sembari melirik ke arah panggung live house yang kini menampilkan sebuah band rock pemula. Dapat terlihat dengan jelas dari wajah mereka, anak-anak pemula itu yang tidak dapat menyembunyikan rasa kegugupan mereka yang menjadi pusat perhatian di atas panggung. Nampaknya perasaan gugup mereka itu telah mempengaruhi cara bermain mereka yang akhirnya hanya bisa menghasilkan rangkaian musik kaku dan tegang. Terdengar suara cibiran pedas dan sorakan penonton yang memerintahkan band pemula itu untuk turun panggung. "Hei, hei! Kuharap anak-anak muda itu tidak akan bubar hanya karena ini, kan?" ujar Bang Hari sembari tertawa memerhatikan band pemula itu yang kini saling menyalahkan anggotanya satu sama lain. "Itu tergantung dari seberapa kuat ikatan mereka." jawab Zidan asal. "Yah, tapi akhir-akhir ini ada begitu banyak anak-anak muda menarik yang menjanjikan, bukan? Hanya saja industri musik dan minat publik saja yang semakin kejam dan tidak terarah yang membuat anak-anak itu jadi tidak punya tempat." "Hmm. Karena itu Abang memberikan mereka tempat, bukan? Aku juga sangat berterimakasih untuk perhatian Bang Hari." "Haha! Aku ini cuman sekedar pria tua yang menyukai musik anak-anak muda! Begitu hidup dan penuh petualangan! Disisi lain ada band pemula dengan segala kekurangan mereka, dan di sisi lainnya lagi terdapat anak-anak pemula berbakat yang dengan beraninya menantang para musisi terkenal dengan sangat mencolok! Melihat anak-anak muda memang benar-benar sangat menarik tentu saja!" "Apa maksud Abang musisi youtube yang biasa street performance, Fallen Angel itu?" tanya Zidan sedikit mengetahui tentang pamor mereka yang banyak dibicarakan oleh anak-anak di live house. "Ah, ya, ya, Fallen Angel namanya! Anak-anak itu, aku percaya mereka bisa memimpin revolusi musik negeri ini suatu saat nanti! Mengembalikan masa kejayaan para band seperti dulu!" "Benarkah? Selama mereka bisa berjalan di jalan yang benar, tentu saja. Sesuatu yang akan sangat sulit untuk dilakukan daripada diucapkan." Walaupun kalau dalam bakat dan skill, Zidan rasa Fallen Angel telah jauh lebih unggul dari semua pemula, yang mana membuatnya berasumsi bahwa anak-anak itu pastilah sudah punya background yang kuat sebelumnya. Ia hanya berharap kejamnya dunia tidak akan membuat langkah mereka terhenti suatu saat nanti. "...........Zidan, apa kau masih tidak tertarik untuk bergabung dalam band? Sampai kapan kau akan berkelana sendirian seperti ini? Tidakkah kau ingin mencoba untuk menaiki level selanjutnya? Menginjakkan kaki ke atas panggung yang lebih besar!" "Buatku semua panggung itu sama, Bang. Nggak ada bedanya. Selama ada pendengar itu saja sudah cukup." Bang Hari menghela napas berat memandang Zidan dengan tatapan tidak puas. "Kau ini sungguh menyia-nyiakan bakatmu." Dari awal Zidan tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Alasannya untuk masuk underground juga karena seseorang dan bukanlah keputusannya sendiri. "Zidan, ayo....... jatuhlah bersamaku kedalam neraka yang kelam!" Suara tawa perempuan itu kembali terngiang di telinganya. Samar-samar ia bahkan bisa merasakan dinginnya permukaan bibir pistol yang diarahkan ke pelipisnya. "Percayalah, pasti akan sangat menyenangkan!" "Maaf Bang, aku harus segera pergi. Aku ingin istirahat dulu sebelum manggung nanti malam." "Baiklah! Hati-hati di jalan! Aku menantikan musikmu nanti malam!" Zidan tidak membuang waktu untuk segera berbalik dan beranjak pergi. Rasa sakit yang masih ia rasakan dari telinga kirinya yang baru saja ditindik lagi, nampaknya masih belum cukup untuk mengalihkan pikiran dan benaknya dari suara perempuan gila itu. 'Your screaming voice would be so sweet, Zidan!' "DAMN, YOU CRAZY DEMONIC WOMAN!!!" 18th SOUND: ROAR OF THE UNDERGROUND Informasi dari Bos. Zidan Alvaro akan perform malam ini di live house milik teman lama Bos. Alamat dan jamnya.......... Setelah selesai mengecek ulang kecocokan antara alamat yang tertera pada pesan itu dengan tempat dimana ia berdiri saat ini, Aria mengetikkan pesan balasan terimakasih pada Chaka. Aria memerhatikan pintu masuk live house yang sesak dengan orang-orang berkaus hitam itu. Sepertinya band hardcore yang akan tampil malam ini memiliki cukup banyak fans. Aria menaikkan tudung jaket Nino yang dipinjamnya tanpa sepengetahuan pemiliknya, lalu melangkahkan kakinya menuju pintu masuk. Berhubung Nino harus melakukan beberapa pemeriksaan dini di rumah sakit untuk operasi pita suara yang akan dijalaninya, Aria tidak mungkin untuk memintanya menemaninya kemari. Suara riuh rendah di dalam live house terdengar hingga keluar. Ia mencoba menyelinap di antara kerumunan hitam yang tidak hanya memenuhi pintu masuk tapi juga di dalam ruangan luas live house tersebut. Dentuman keras drum yang diiringi dengan tarikan melodi gitar yang mampu menyayat gendang telinga semua pendengarnya justru disambut dengan sorakan dan teriakan histeris penonton. Dapat terlihat bahwa tidak hanya para pemainnya tapi juga darah penontonnya pun ikut mendidih bersatu dengan ritme cepat musik yang meledak-ledak. Melihat itu Aria merasakan respect yang kuat pada para musisi underground. Mereka mampu untuk menghasilkan pengaruh yang kuat melalui setiap nada yang mereka hasilkan kepada para pendengarnya. Memberikan kesempatan pada siapapun untuk bisa berteriak sekuat tenaga bersama-sama tanpa ada seorangpun yang menghalangi. Disini semua orang menanggalkan topeng menjenuhkan mereka. Karena keriuhan yang terjadi tepat di depan panggung, Aria memutuskan untuk naik ke lantai dua dimana ia bisa melihat panggung tanpa ada halangan. Jujur saja, Aria selalu ingin untuk mengunjungi setidaknya sekali, komunitas underground seperti ini. Samar-samar Aria mendengar dalam percakapan orang-orang disekitarnya yang menyebut-nyebut nama Zidan, drummer yang dicari Aria, dengan kehebohan yang berlebihan. Nampaknya pujian direktur sesat akan Zidan Alvaro bukanlah cuman sekedar isapan jempol belaka. Aria jadi semakin tidak sabar untuk mendengar musik seperti apa yang bisa orang itu perdengarkan pada Aria. Perasaan ketertarikannya yang berlebihan tanpa sadar telah membuat Aria menabrak bahu salah satu dari gerumbulan pria yang berjalan berlawanan arah darinya. Aria menggumamkan kata maaf singkat sebelum kembali berjalan. Namun tanpa disangkanya, pergelangan tangan Aria dicekal oleh pria yang ditabraknya tadi. "Woah, cewek!" "Sendirian? Mending bareng kita aja disana!" Aria menatap gerumbulan pria itu datar tanpa berkedip. Ah, kalau ada Nino biasanya dia pasti akan menarik Aria kebelakang punggungnya dan melindunginya. Menyelamatkannya dari masalah memuakkan yang tidak penting. Sangat disayangkan, pikir Aria. Ia tertawa kecil dan menyunggingkan senyumannya yang paling manis, tapi juga begitu dingin dan tajam di saat bersamaan, pada gerumbulan pria itu. Memunculkan sisi iblisnya yang cukup lama tidak keluar karena keberadaan Nino. "Bisa tolong lepaskan tangan kotormu dariku? Bang Hari akan memarahiku kalau sampai aku terlambat menemuinya. Kalian mau tanggung jawab?" ujar Aria memastikan nama 'Bang Hari' terdengar jelas di telinga pria-pria itu. Walaupun tentu saja Aria tidak mengenal sosok bernama Bang Hari, lupakan punya janji dengannya. Chaka sempat menyebut namanya di dalam pesan, yang memperkenalkannya sebagai kenalan lama direktur sesat yang merupakan bos besar dari jaringan live house di Jakarta. Tentu saja Aria tidak bisa melewatkan informasi itu begitu saja untuk dimanfaatkannya dalam mengusir hama pengganggu ini. "Huh? Bang Hari mengenalmu?" tanya pria yang menggenggam tangan Aria itu kikuk, sembari wajahnya yang lambat laun berubah, telah kehilangan senyum jailnya. Ketika Aria yakin bahwa pria tersebut akan segera melepaskan tangannya dalam detik berikutnya, sebuah tangan pria lain terulur, kini menggenggam tangan pria penggoda itu. "Bisa tolong lepaskan tangan perempuan ini? Tidakkah kalian bisa melihatnya kalau kalian mengganggunya?" ujar lelaki dengan rambut agak panjang ikal yang sedikit liar tidak terurus. "Tanpa lo beritahu juga gue lepasin tangannya!" seru pria pengganggu itu sembari melepaskan tangan Aria bersamaan dengan mengibaskan tangan pria berambut gondrong tersebut. Setelah kepergian gerumbulan pria pengganggu itu, lelaki gondrong disamping Aria ganti menghadap Aria. "Kau baik-baik saja? Tidak seharusnya seorang perempuan sepertimu datang ke tempat seperti ini sendirian." Aria mendengus kesal menatap balik si pria gondrong. "Hmph! Aku baik-baik saja tanpa perlu bantuanmu! Aku bisa mengusir mereka dengan caraku sendiri tadi sebelum kau datang." "Hoh? Benarkah?" tanya pria gondrong itu datar seperti tidak percaya. "Tunggu sebentar," perintahnya singkat sebelum celingukan seperti mencari sesuatu di antara kerumunan para pengunjung di sekitar mereka. "Apa? Ada apa?" tanya Aria kesal sembari memerhatikan tingkah laku aneh pria gondrong itu. Seperti telah menemukan apa yang dicarinya, pria gondrong itu mengangkat sebelah tangannya seperti memanggil seseorang. "Bang Hari!" Sontak tubuh Aria membeku. Sial! rutuknya dalam hati tidak berani menoleh ke belakang punggungnya. Ia bertanya-tanya apa sungguh Bang Hari yang asli akan muncul? "Oh! Kau sudah datang rupanya! Bukankah sebentar lagi on stage? Sebaiknya kau segera ke panggung. Hardkill juga sudah bersiap-siap di belakang." ujar suara paruh baya setengah berteriak di belakang Aria. "Ah ya, sebentar lagi aku segera menyusul kesana. Bang Hari, ada perempuan yang mencarimu. Katanya kau punya janji temu dengannya?" Aria menutup matanya erat-erat meratapi nasib buruknya. Dalam hati rasanya ia ingin mempraktekkan salah satu tarian Voodoo untuk mengutuk pria gondrong di hadapannya ini sampai mati. "Eh? Benarkah? Aku tidak ingat punya janji dengan seseorang malam ini." Terdengar suara tawa tertahan yang Aria yakini berasal dari si pria gondrong. "Baiklah kalau begitu. Aku pergi ke bawah dulu, Bang!" pamit si pria gondrong dengan teganya meninggalkan Aria sendirian bersama Bang Hari. Dalam hati ia masih komat-kamit mengutuk pria gondrong itu, berharap bahwa ia akan terpeleset jatuh berguling-guling di setiap anak tangga yang dilaluinya, yang tentu saja tidak terkabulkan. 19th SOUND: MACHINE GUN "Jadi, bisa tolong perkenalkan dirimu lebih dulu, Nona? Dan untuk tujuan apa Nona ingin bertemu denganku?" tanya seorang pria paruh baya dengan ramah kepada Aria. Pria berjaket kulit hitam yang seharusnya bernama Bang Hari itu, jika Aria tidak salah kira karena ia hanya mengikuti perkataan si gondrong, merupakan pemilik dari live house ini dan teman lama dari direktur sesat. Aria menyunggingkan senyum kaku pada Bang Hari dan mau tidak mau menjelaskan situasinya dengan jujur kepada pria di hadapannya itu. "Maaf karena sudah berbohong. Nama saya Aria. Dan saya salah satu musisi di bawah naungan Agensi Unison milik Direktur Hendric." Disini Aria terpaksa menyebut nama direktur sesat itu, untuk mendapatkan kepercayaan bos live house terlebih dahulu. "Oh? Apa jangan-jangan Nona ini yang disebut-sebut Fallen Angel itu?" "Ah, sepertinya netizen memang memberi saya julukan seperti itu tanpa saya sadari." Bang Hari tertawa kecil mendengar itu. "Memangnya apa yang terjadi tadi?" "Ah ya, karena tadi ada gerumbulan lelaki pengganggu, saya pikir dengan menyebut nama Bang Hari, maka saya bisa membuat mereka pergi. Sekali lagi saya mohon maaf untuk itu." Kalau saja lelaki gondrong tadi tidak menghampirinya, semuanya hanya akan berhenti sesuai dengan rencananya. "Ah, tidak perlu minta maaf soal itu! Sebaliknya aku merasa terhormat karena hanya dengan namaku saja sudah bisa menolong Nona dari penggoda ulung! Lalu, apa yang Nona butuhkan dari Zidan? Bohong jika aku berkata tidak penasaran ketika temanku Hendrick tiba-tiba saja menanyakan jadwal manggung Zidan." Aria akhirnya tersadar bahwa ia telah melupakan tujuan utamanya datang ke tempat ini berkat hama pengganggu dan si gondrong barusan. Aria berpikir selagi pemilik live house sendiri masih berdiri di hadapannya, ia tidak bisa membuang waktu untuk bertanya mengenai Zidan. "Paman Hari, tentang drummer bernama Zidan itu, dia benar akan perform malam ini, bukan? Saya ingin melihatnya!" Pemilik live house berwibawa tersebut menyunggingkan senyuman penuh arti-nya kepada Aria. "Ah? Apa ini? Jadi kalian bertemu tanpa mengenal satu sama lain?" Aria mengerutkan dahinya tidak mengerti dengan maksud dari kata-kata pemilik live house tersebut. Ia mengikuti arah pandangan Bang Hari yang ganti mengalihkan perhatiannya ke bawah, tepatnya pada panggung live house yang berada di lantai satu yang kini dibanjiri oleh lebih banyak penonton. Disana ia melihat pria gondrong tadi mengambil posisi duduk di belakang drum set, memegang sepasang drum stick pada kedua tangannya. "Tu-tunggu, jangan bilang kalau laki-laki gondrong barusan itu........." "Zidan Alvaro. Drummer terbaik disini, tidak, mungkin lebih tepat lagi kalau dibilang terbaik di negeri ini!" Pada detik itu juga, dentuman bass drum langsung terdengar ke seluruh penjuru ruangan, seakan seperti langsung ber-sinkronisasi dengan ratusan detak jantung milik semua pendengarnya. Tidak terkecuali jantung Aria. Teriakan sorak-sorai penonton yang bersemangat langsung meledak mengiringi setiap pukulan drum Zidan Alvaro. Machine gun. Aria merasa seperti mendengar tembakan yang dilepaskan oleh machine gun. Begitu cepat. Ritme dan temponya terlalu cepat malah. Ia bertanya-tanya apakah Zidan Alvaro sungguh seorang manusia? Untuk bisa mengeluarkan ritme yang secepat ini tanpa jeda. "Double......... tidak.......... Ini triple pedal?" "Haha, kau punya pendengaran yang tajam Nona Aria! Bagaimana? Dia hebat, bukan? Aku bisa melihat bahwa dirimu tidak bisa berhenti ternganga sedari tadi!" Aria masih memerhatikan Zidan tanpa henti, tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari gerak cepat pukulan tangannya. Bagaimana cara ia bisa mengkombinasikan antara hentakan kakinya pada pedal dengan pukulan kedua tangannya untuk membentuk ritme ini sendiri sudah seperti mustahil untuk dilakukan oleh manusia. "Reflek gila macam apa yang Zidan Alvaro miliki? Ini sudah berada di tingkat super human." "Dia pernah berkata bahwa ia membiarkan tubuhnya bergerak dengan sendirinya tanpa perlu untuk menggunakan pikirannya. Mengikuti ritme sesuai dengan arahan hatinya dan apa yang ingin di dengar oleh telinganya." Tidak hanya itu. Pada setiap hentakan suara yang dihasilkan oleh Zidan, Aria bisa merasakan betapa beratnya kandungan setiap pukulannya. Apakah ini hanya karena kekuatan tangan dan kakinya, ataukah dari dalam dirinya sendiri? Perlahan-lahan Zidan mengurangi temponya walaupun tanpa mengurangi power-nya sedikitpun, mulai memasuki bagian intro dari lagu yang akan mereka mainkan. Well, tentu saja lelaki itu harus menurunkan temponya, karena kalau tidak begitu kawan pemain instrumennya yang lain jadi tidak akan bisa mengikuti kecepatannya. Walaupun lagu yang mereka mainkan adalah musik berat death metal, Aria merasa setelah mendengar pembukaan dari Zidan tadi, lagu bertempo tinggi itu tidak lagi membuatnya terkejut. Meskipun begitu penggabungan teknik Zidan yang cerdas, tetap berhasil membuat panggung jadi semakin memanas dan masih sangat menarik untuk didengarkan. Para penonton jadi semakin menggila dengan aksi moshing, headbanging, dan crowdsurfing, mengikuti aliran adrenalin mereka yang telah berselaras dengan dentuman musik. "Bagaimana? Tertarik untuk mengajaknya masuk dalam band yang kalian bentuk, bukan?" tanya Bang Hari di antara keributan suara penonton. Sepertinya pria paruh baya ini dapat membaca Aria dengan begitu jelas hanya menggunakan intuisi tajamnya. Aria tersenyum mengangguk walaupun disertai sedikit keraguan. "Orang sehebat dirinya, aku akhirnya mengerti kenapa ia memutuskan untuk tetap bebas menyendiri," ujar Aria mengingat profil Zidan yang hanya bertuliskan drummer bayaran. "Dengan bakatnya yang menakjubkan itu, tentu saja akan sulit untuknya berbaur dengan orang lain." "Ah, kalau soal itu, alasan kenapa Zidan tetap puas hanya dengan menjadi lone wolf, sangat berbeda dengan apa yang Nona Aria barusan katakan." Aria memiringkan kepalanya tidak mengerti. "Perempuan." ".............perempuan?" "Benar. Alasannya adalah perempuan." ".................HAH?!!!!" teriak Aria tidak percaya dengan alasan bodoh seperti itu. "Perempuan iblis yang bahkan menurut seseorang yang telah berumur sepertiku, merupakan perempuan paling gila yang pernah kutemui seumur hidupku. Dan perempuan itu telah meluluh lantahkan dunia Zidan dengan begitu sempurnanya." Ketika Aria hendak menanyakan lebih lanjut mengenai masa lalu Zidan itu, ia merasa bahunya ditepuk dari belakang. Aria berbalik dan membelalakkan matanya melihat Nino yang menatap Aria sambil tersenyum. Walaupun senyuman Nino terlihat begitu manis, untuk beberapa alasan Aria bisa merasakan hawa dingin menusuk punggungnya. Seperti tatapan dari mata gelap Nino itu terhubung langsung dengan lubang hitam kegelapan. Uh-oh......... Dia marah.......... 20th SOUND: BREAKING GLASS "Nino, apa kau masih marah? Karena aku pergi sendirian tanpa memberitahumu." Tentu saja Nino tidak menjawab. Bahkan ia tidak mau ambil pusing untuk meraih ponselnya. Ia tahu bahwa kelakuannya ini terlalu berlebihan mengingat Aria bahkan bukanlah kekasihnya. Hanya saja membayangkan gadis itu yang pergi ke tempat berbahaya macam komunitas underground seperti ini sendirian, tak ayal membuat jantung Nino berdetak kencang dipenuhi kekhawatiran. Untung saja ia mengikuti nalurinya yang mengatakan bahwa senyuman termanis Aria yang ditujukan padanya siang tadi, tidak dapat dipercaya. Ini karena entah bagaiman ia sudah terbiasa dengan sifat iblis Aria. Nino pun meminta Chaka untuk memberitahunya apabila Aria menanyakan lebih lanjut seputar drummer bernama Zidan. Ia masih ingat seberapa terkejutnya dirinya ketika Chaka mengirim pesan padanya yang berisikan bahwa, Chaka telah memberitahu Aria mengenai jadwal manggung Zidan di underground. Seketika itu juga Nino langsung melesat pergi meninggalkan Om Andy yang masih menunggu hasil pemeriksaan di rumah sakit. "Bagaimana pemeriksaan pita suaramu? Lancar?" tanya Aria yang duduk disamping Nino dengan penuh perhatian. Mendengar suara lembut Aria yang tulus mengkhawatirkannya mau tidak mau membuat Nino tidak bisa mengabaikan gadis itu. Meskipun masih dengan perasaan kesal, Nino menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Aria. Disaat itulah Nino akhirnya tersadar bahwa jaket yang dikenakan Aria adalah milik Nino. Ia akhirnya mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mengetikkan sesuatu. 'Yang kamu pakai itu jaketku, kan?' Membaca itu Aria tersenyum sembari melambai-lambaikan lengannya yang diselimuti jaket kebesaran di depan Nino. Sebenarnya jaket hitam bertudung milik Nino itu cukup pas ukurannya jika dipakai oleh Nino. Namun karena tubuh Aria yang mungil, jaket itu jadi kebesaran untuknya yang sebenarnya malah membuat Aria jadi semakin manis dan imut. "Bagaimana? Cocok untukku? Sebelum kemari, aku memutuskan ingin mengenakan pakaian yang tidak akan mencolok untukku dengan maksud agar aku bisa menyamarkan tubuh perempuanku. Seperti yang kau tahu, tidak banyak perempuan yang mendatangi komunitas underground. Karena aku tidak punya baju maskulin, aku berpikir untuk mengenakan jaketmu yang sebelumnya pernah kamu pinjamkan padaku." Kalah. Nino mengaku kalah pada Aria yang kini tampak begitu manis dalam balutan jaket miliknya. Nino bertanya-tanya apakah gadis ini bahkan menyadari apa yang dilakukannya? "Maaf, membuat kalian lama menunggu!" seru pemilik live house yang dipanggil dengan sebutan 'Bang Hari' itu. Beliau menghampiri Aria dan Nino yang duduk di kursi bulat bar live house dengan langkah lebar. Nampaknya orang ini cukup dekat dengan drummer bernama Zidan. Bang Hari memesan segelas cocktail pada bartender, memilih untuk duduk di sebelah Nino. "Seperti yang bisa kalian duga dari anak-anak, mereka banyak membuat masalah," ujar Bang Hari sembari tertawa kecil setelah melerai pertikaian remaja yang terjadi di lantai bawah bersama para penjaga live house. Aria tertawa kecil menanggapi ucapan Bang Hari. "Saya bisa melihat seberapa Paman dihormati oleh anak-anak muda disini! Paman sangat menginspirasi untuk mereka." "Ah, bisa saja! Nona Aria ini sungguh pandai dalam memuji! Jadi, sampai dimana kita tadi? Oh, benar tentang Zidan." Bang Hari menyisip cocktail-nya pelan. "Seperti yang kalian lihat, komunitas underground seperti ini sebenarnya merupakan tempat yang cukup bagus untuk anak-anak muda bisa mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Sebuah tempat untuk mereka bisa melepaskan semua penat dan beban yang bersarang di dalam hati mereka. Tapi disisi lain ada juga orang-orang menyebalkan yang memanfaatkan underground untuk tempat adu kekerasan dan beberapa perilaku ilegal lainnya." "Aku tidak tahu seperti apa detailnya. Hanya saja pacar Zidan ini nampaknya terlibat dengan mafia. Ada satu waktu dimana tempat ini dijadikan sebagai tempat transaksi narkoba dan perempuan itu dalangnya. Kalian tentu saja bisa menebak seperti apa perasaanku, bukan? Membangun tempat ini sedikit demi sedikit hanya untuk dinodai tepat di depan wajahku tanpa sepengetahuanku!" "Saat itu keadaan cukup kacau. Polisi menyebar menggeledah setiap sudut ruangan dan aksi kejar-kejaran pun tidak terhindarkan. Nampaknya untuk menghindari kebebasannya di renggut oleh polisi, perempuan itu menembakkan pistol tepat ke pelipisnya sendiri dan tewas ditempat. Wanita yang cukup gila tentu saja." Aria dan Nino hanya bisa tertegun. Cukup terkejut dengan alur cerita Zidan. "Baru-baru ini aku menemukan bahwa Zidan dan perempuan itu sama-sama anak yatim piatu yang ditelantarkan. Karena mereka berdua telah dekat sejak kecil, hubungan di antara mereka jadi kuat. Labih jelasnya lagi kurasa akan lebih baik jika kalian langsung bertanya padanya." Aria menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, Paman Hari. Sampai disini saja sudah cukup. Terimakasih. Kami hanya datang kemari untuk musiknya. Bukan untuk mengusik kehidupan pribadinya. Walaupun begitu aku masih akan mencoba untuk berbicara dengannya." Aria dan Nino berdiri dari tempat duduk mereka, dan berpamitan hendak beranjak pergi. "Tunggu! Setidaknya tolong dengarkan dulu permintaan dari orang tua ini!" Nino dapat melihat bagaimana Bang Hari ini tampak agak sedikit putus asa demi Zidan. "Anak itu........ Zidan.......... kumohon selamatkan anak itu! Tidak seharusnya bakat anak itu terkubur di tempat kumuh seperti ini! Dia memiliki hak untuk berada di atas panggung yang lebih bersinar!" Aria mendongak menatap Nino sejenak. Nino menyunggingkan senyumnya dan mengangguk pada Aria. "Itu hanya akan tergantung dari apakah Zidan Alvaro mau melangkah maju atau tidak." 21st SOUND: WOMAN'S WHISPERS Zidan........... Hentikan! Your screaming voice............ HENTIKAN!!! would be so sweet...........' HENTIKAN LENA!!! Dalam keadaan tengkurap, Zidan memejamkan matanya erat-erat, merasakan dengan penuh kengerian dinginnya bibir pistol yang diarahkan menuju pelipisnya. Walaupun ia tidak dapat melihat wajah Lena yang menindihi tubuhnya diatas Zidan, ia bisa menebak dengan akurat ekspresi seperti apa yang terpasang pada wajah perempuan itu. Wajah yang dipenuhi dengan rangsangan akan kegilaan. Ketika ia merasa sedikit bisa bernapas lega saat mengetahui pistol yang diarahkan padanya perlahan ditarik menjauh dari pelipisnya, Zidan bisa mendengar tawa kegembiraan Lena. Mungkin menemukan wajah Zidan yang lega begitu merangsang pikiran gilanya. Zidan tidak pernah menduga bahwa pada detik berikutnya ia akan mendengar suara pelatuk ditarik dan tembakan keras dilepaskan memekakkan telinga Zidan. Bahkan suara itu terdengar bergema hingga ke seluruh penjuru gedung terbengkalai tersebut. Tubuh Lena terjatuh menyamping dan wajahnya yang teerjatuh ke tanah menghadap tepat pada wajah Zidan. Dengan darah yang bercucuran keluar dari pelipisnya, Lena tersenyum pada Zidan. Saat itu yang bisa Zidan dengar hanyalah suara teriakannya sendiri. Mungkin suara yang paling Lena ingin dengar keluar dari mulut Zidan. Mungkin saja itulah alasan kenapa perempuan gila itu membunuh dirinya sendiri sembari tersenyum pada Zidan. Tahu bahwa dengan begitu Zidan akan berteriak untuknya. #### Zidan.........Your screaming voice would be so sweet.......... Zidan!' Bahkan sampai sekarang Zidan masih bisa mendengar suara itu bergema di telinganya. Setengah berlari Zidan meraih gagang pintu belakang live house disertai dengan napas memburu. Ia membuka dan menutup pintu itu dengan keras, membiarkan dirinya bersandar dan luruh jatuh terduduk di depan pintu. Buru-buru ia mencari sebatang rokok di saku jaketnya dan menyelipkannya pada bibirnya. Ia dengan susah payah mencoba menyalakan pemantik itu dengan kedua tangan gemetaran, merutuk dirinya sendiri karena bahkan setelah beberapa saat ia tidak bisa menyalakan pemantik sialan itu. "Butuh bantuan?" Zidan menoleh dengan cepat ke asal suara itu. Ia tidak mengira bahwa ternyata dirinya saat ini tidak sendirian di jalan belakang tersebut. Ia memandang tidak percaya pada gadis angkuh yang ditemuinya di dalam live house tadi. Dan kini gadis itu tidak sendirian karena ia ditemani dengan seorang pria berambut dan bermata gelap. "Ketika bertemu denganmu di dalam tadi, aku tidak menyangka bahwa kamu adalah orang yang sedang kucari. Kau terlihat berbeda dengan di foto karena rambut panjangmu yang sekarang jadi menutupi tidak hanya sebagian wajahmu tapi juga semua tindik yang ada di telinga kanan dan kirimu. Ditambah sorot matamu juga telah banyak berubah. Well, kesampingkan semua itu, tadi brilliant performance by the way! Kau memberikan musik yang sangat luar biasa pada para pecinta musik." "........terimakasih. Tapi, apa aku mengenalmu?" tanya Zidan. Ia tidak merasa pernah bertemu dengan kedua orang tersebut. "Ah, tidak. Hari ini adalah pertama kalinya kita bertemu. Perkenalkan, aku Aria dan dia Nino. Aku mencarimu karena ingin mengajakmu bergabung dengan band kami." "......... hah?" "Setelah mendengar permainan drum mu, aku jadi semakin yakin. Beratnya setiap pukulan drum mu, akselerasi permainan tempomu, kamu adalah orang yang seperti itu, bukan? Seorang musisi hampa yang mencari penyelamatan dari adrenalin dentuman musik. Begitu ekspresif tapi juga secara bersamaan begitu kosong di dalam." Zidan hanya menatap Aria dan Nino dalam diam. Tidak mengerti bagaimana gadis itu bisa membaca dirinya dengan begitu jelas. Walaupun begitu........ "Apakah kalian tidak pernah mendengarnya? Aku ini pemain bayaran. Tidak ingin terikat dengan sesuatu. Jadi lupakan saja niatmu." Gadis bernama Aria itu tertawa kecil seperti menemukan ada yang lucu dari kata-kata yang diucapkan oleh Zidan. "Kau mengatakan itu padahal karena kau sendiri masih terikat begitu erat dengan perempuan itu, bukan?" Zidan membelalakkan matanya terkejut. Bagaimana gadis ini bisa tahu? Sampai sejauh mana yang gadis ini ketahui mengenai masa lalunya? "Soal itu," lanjut gadis tersebut, "hanya bisa diselesaikan dengan terikat kepada orang lain selain perempuan yang kau kenal itu. Karena kau tidak mencoba untuk terikat dengan yang lain yang jadi penyebab utamamu masih terikat kuat dengan perempuan tersebut. Kau tidak akan pernah bisa melangkah maju ke depan." "Diam! Memangnya apa yang kau ketahui tentangku? Kalian hanyalah orang asing!" "Kau benar. Dan kami adalah orang asing yang sangat menyukai pukulan drum mu. Mendengarmu bisa bermain bebas adalah harapan kami. Berat yang kau taruh pada setiap pukulan drum mu memang bagus karena mengandung gumpalan emosi yang kuat, hanya saja mendengar musik yang membuat si musisi bermain dengan tersiksa tidak bisa dinikmati dengan sepenuh hati, kau tahu. Kalau kau berpikir semua penonton itu bodoh maka kau salah!" Dalam hati ia tahu apa yang semua gadis tersebut katakan tentangnya adalah benar. Hanya saja ia menolak untuk mengakuinya. Zidan menyentuh tindik besinya yang dingin di telinga kanannya. Dingin yang sama seperti pistol yang diarahkan kepadanya oleh Lena. "Karena itu bagaimana kalau kau mencobanya lebih dulu, untuk bergabung dengan band kami?" Zidan mendongak kembali menatap Aria dan Nino yang tersenyum. Laki-laki bermata gelap itu menghampiri Zidan sembari mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Lelaki bernama Nino menunjukkan layar ponselnya pada Zidan, yang menurut Zidan cukup aneh. Jika memang dia ingin bicara tinggal bicara saja, kan? Kenapa harus menggunakan ponsel? Walaupun begitu ia tetap membaca apa yang tertera pada layar ponsel tersebut. 'Kau adalah seorang drummer bayaran, kan? Bagaimana kalau kami menyewamu untuk satu panggung? Jika kau bisa merasa tertarik dengan musik kami, mungkin kau bisa mempertimbangkan ulang untuk bergabung dengan kami.' "Eh, apa-apa? Apa yang kau katakan?" tanya Aria ingin tahu. Nino ganti menunjukkan layar ponselnya pada Aria yang membacanya dengan penuh antusias. "Ah! Jadi begitu! Kau jenius Nino! Jika kita bisa membuat Zidan ketagihan dengan permainan musik kita maka dia bisa jadi milik kita!" Siapa bilang bahwa dirinya akan menjadi milik orang-orang asing begitu saja! Gerutu Zidan dalam hati. Bahkan untuk seorang musisi ulung seperti dirinya, ia juga punya harga diri. "Jadi yang perlu kita lakukan saat ini adalah menanyakan jadwal Ryan! ............huh? Kau sudah menanyakannya lebih dulu tadi? Tunggu jadi kau sudah merencanakan semua ini sebelumnya? ............hmm aku mengerti. Masalahnya tinggal tempat. ............... Ah, kau benar. Kita bisa meminta tolong pada Bang Hari untuk membiarkan kita bermain di live house........... Ahaha! Kau benar!" Saat itulah Zidan akhirnya mengerti alasan dibalik cara aneh komunikasi mereka berdua. Aria masih terlihat seperti melakukan percakapan dengan dirinya sendiri begitu antusias. Zidan menggeleng-gelengkan kepalanya merasa bahwa dia telah salah menilai gadis itu. "Baiklah! Kalau begitu sudah dipastikan bahwa kita akan perform bareng Zidan!" "Tunggu! Aku bahkan masih belum bilang kalau aku setuju!" celetuk Zidan yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Aria. 22nd SOUND: HELENA Seperti yang telah mereka rencanakan sebelumnya, Aria dan Nino dengan mudahnya dapat ijin perform dari Bang Hari, yang mana membuat Zidan agak terkejut. Masih tidak percaya bahwa mereka berdua benar-benar mengenal Bang Hari dengan cukup dekat. Tanggal dan waktu perform mereka juga sudah ditetapkan. Walaupun pengumuman penampilan mereka masih belum dipasang pada papan jadwal performance live house, yang biasanya bisa dilihat oleh pengunjung dengan bebas, sebagai bentuk salah satu promosi dalam penjualan tiket masuk. Tapi Aria mengatakan bahwa hanya dengan memasang nama Zidan saja sudah cukup untuk menarik pengunjung, jadi mereka tidak mau repot-repot untuk melakukan promosi. Jujur saja kenyataan bahwa mereka tidak mau memberikan nama band mereka saja sebenarnya sudah cukup untuk membuat Zidan mengerutkan dahinya. Ia hanya bisa berharap bahwa dirinya tidak sedang dibayar oleh sekumpulan band amatir untuk menutupi kesalahan mereka nanti di panggung. Namun entah kenapa ketika Zidan memerhatikan Aria dan Nino dengan lebih seksama, entah kenapa ia merasa yakin bahwa firasat buruknya itu tidak akan terjadi. Yang tersisa hanya tinggal......... "Kalian belum memberitahuku lagu apa saja yang ingin kalian mainkan besok. Apa kalian punya lagu sendiri atau........" "Cuman satu," jawab Aria sembari menyisip pelan kopinya. "Satu?" "Mmhm. Kami hanya akan memainkan satu lagu. Lagu yang sudah diketahui oleh banyak orang agar pendengar bisa merasakan perbedaannya dengan jelas antara lagu asli dan permainan kami." Zidan mengerutkan keningnya tidak mengerti dengan maksud Aria. "Judul lagunya?" Aria mengalihkan perhatiannya dari kopinya dan tersenyum penuh arti pada Zidan. "Helena. Helena milik My Chemical Romance." #### Pada saat Aria menyebut judul lagu yang akan mereka mainkan kemarin, Zidan tidak bisa tertawa ketika mendengarnya. Apa mereka sengaja? Menggunakan lagu itu untuk dimainkan bersama Zidan. Tidak. Ia rasa ini hanya kebetulan mengingat tidak ada satupun orang yang mengetahui nama asli perempuan gila itu selain dirinya. Hanya saja ia tidak dapat menghentikan tangannya yang gemetaran. Zidan memerhatikan tangannya yang menggenggam erat stik drum hingga buku-buku jarinya memutih. Ia hanya bisa berharap semoga saja ia tidak akan melakukan kesalahan nanti. "Kau baik-baik saja?" tanya seorang lelaki yang menepuk bahu Zidan pelan dari belakang. Ia menoleh mendapati lelaki yang sebelumnya telah diperkenalkan Aria padanya dengan nama Ryan. Dia adalah lead guitar dari band Aria. Zidan hanya bisa menanggapi pertanyaan Aria dengan menyunggingkan senyum tipis. "Aku sudah mendengar bahwa kau cukup terkenal. Tapi tidak kusangka kalau kau akan seterkenal ini. Pamor mu jadi membuatku gugup." ujar Ryan sembari tertawa kecil memerhatikan kumpulan penonton yang membludak. "Tidak. Kau terlalu berlebihan." ucap Zidan merendah. Selama ini yang ia lakukan hanyalah memukul drum sesuai keinginannya. Dan entah kenapa semakin banyak orang mulai bermunculan disekitarnya tanpa ia sadari. "Ah, mungkin karena sifat merendahmu inilah kau jadi tidak bisa menang dari mereka!" "Mereka?" "Aria dan Nino." "Ahaha........ Aku tidak pernah berkata bahwa aku akan bergabung dengan band kalian. Jadi kenapa bisa kau berkata seolah aku sudah kalah?" Ryan menyunggingkan senyuman penuh arti sembari mengecek kondisi gitar elektrik yang dipegangnya. "Tidak. Kau sudah kalah. Dari momen dimana kau memutuskan untuk mengikuti keinginan mereka dengan melakukan perform bersama mereka saja dari situ kau sudah kalah," ujar Ryan dengan penuh percaya diri. Zidan mengerjap-ngerjapkan matanya tidak mengerti. "Hah?" "Oke. Gue check sound duluan! Good luck, my good fellow!" "Siapa yang kau bilang kawanmu?!" teriak Zidan pada Ryan yang hanya cengengesan menuju panggung. Kenapa semua orang memperlakukannya seakan seperi ia sudah jadi bagian dari band mereka? Zidan mendongak ketika menemukan sosok yang dikenalnya sedang memperhatikannya dari lantai dua. Bang Hari tersenyum menyapa Zidan sembari mengangkat sebelah tangannya yang memegang gelas cocktail. Zidan sedikit menunduk, seperti biasa berterimakasih pada orang yang telah memberikannya kesempatan untuk perform. Zidan segera mengikuti Ryan yang sudah berada di atas panggung. Ia sedikit merasa aneh ketika dirinya tidak dapat menemukan sosok Aria dan Nino dimanapun. "Kemana mereka berdua? Mereka sendiri yang menentukan untuk perform kenapa masih belum muncul juga?" tanyanya pada Ryan. "Ah, gue udah dapet kabar dari mereka kalau mereka sudah di deket sini. Mohon maklum. Aria baru aja nganter Nino pemeriksaan ke rumah sakit buat operasi pita suaranya. Bentar lagi juga mereka nyampe'." jelas Ryan yang sudah merubah cara bicaranya dengan lebih akrab kepada Zidan. Seperti benar-benar sudah menganggapnya sebagai kawan seperjuangan. Perlakuan itu justru membuat Zidan jadi kerepotan. Ia tidak tahu harus membalas dengan seperti apa jika ada orang lain yang mulai terikat dengannya. Tiba-tiba saja terdengar suara riuh rendah dari arah pintu masuk live house. Semua perhatian pengunjung teralihkann dari panggung menuju ke arah kedua orang yang baru saja melewati pintu masuk dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berambut panjang yang mengenakan topi fedora menutupi bayangan wajahnya, serta seorang laki-laki dengan jaket bertudung. Para pengunjung live house, tidak terkecuali Zidan, mengenali kedua orang dengan ciri khas unik itu sebagai Fallen Angel. Musisi muda yang baru-baru ini terkenal di dunia maya dengan aksi street performance mereka yang mencolok. "Fallen Angel?" "Oh? Jadi kau setuju bermain bersama mereka tanpa tahu bahwa Aria adalah Fallen Angel? Sepertinya nasibmu jauh lebih menyedihkan dariku, teman!" ujar Ryan terkekeh. "Lebih dari apapun," tambah Ryan sembari melingkarkan belt gitarnya pada bahunya, "........nikmati saja performance hari ini! Bermainlah sesuka hatimu dan kami akan bersamamu, menemanimu, menjawab teriakanmu! Keluarkan semua kemampuanmu karena kalau tidak begitu semuanya jadi tidak akan menarik, bukan?" Mendengar itu, Zidan tertegun. Seakan seperti ia baru saja melihat panggung dengan cara yang sama sekali berbeda. "Ah, curang! Ryan, kau mencuri semua bagian terbaikku!" teriak Aria kesal dari balik bayangan topinya. Tanpa Zidan sadari Aria dan Nino telah naik ke atas panggung. "Well, karena kita masih belum punya bassist, untuk sementara Nino yang akan mengisinya. Walaupun mungkin impact yang diberikan akan jadi berkurang dari seharusnya, tutupi saja kekuranganmu dengan skill kalian! Keluarkan semua tetes darah penghabisan kalian!" "Kalimatmu membuat seakan semua itu mudah untuk dilakukan." celetuk Ryan yang didukung dengan anggukan tegas dari Nino dan Zidan. "Diam! Dan seperti biasa, selalu bersiap untuk setiap improvisasi yang akan muncul! Bermain tanpa rencana jauh lebih menarik, bukan?" seru Aria sembari menyunggingkan senyuman termanisnya. Tentu saja siapapun yang ada di atas panggung itu tahu bahwa senyuman Aria bukan senyuman malaikat melainkan senyuman iblis. Tanpa menunggu jawaban dari yang lainnya, Aria berbalik menghadap para penonton yang masih diselimuti dengan perasaan bingung dan penasaran akan apa yang terjadi sebenarnya. Untuk Fallen Angel memilih perform di live house ini bersama Zidan yang terkenal sebagai drummer penyendiri. Ditambah lagi rumor yang mengatakan bahwa Fallen Angel sedang membentuk band dan merekrut anggotanya satu per satu. Tentu saja di dalam kepala para penonton ada begitu banyak asumsi yang terbentuk. Namun seakan tidak perduli dengan semua itu, Aria hanya membuka penampilan mereka dengan cara yang kelewat singkat. "Kami harap sama seperti sebelumnya, performance kami hari ini juga dapat menyentuh bagian terdalam dari benak kalian. My Chemical Romance, Helena!" Sontak suara sorak-sorai penonton segera meledak memenuhi seluruh penjuru live house itu, begitu antusias tanpa bisa untuk dibendung. Suara pembuka Aria yang sejernih tetesan air langsung membawa siapapun yang mendengarnya memasuki dunia Aria tanpa ada yang bisa untuk menolaknya. "Long agoJust like the Hearse you die to get in againWe are so far from you" Tercipta jeda sejenak untuk mengumpulkan suspense penonton sebelum dipecah oleh hentakan pukulan Zidan yang keras. Membuat penonton berteriak semakin histeris dan menjadi-jadi, begitu bersemangat. Zidan tidak menduga akan momen jeda yang diberikan ketiga orang di depan Zidan untuk dirinya tersebut. Ia terkekeh bertanya-tanya bagaimana ketiga orang tersebut bisa harmonis saling membaca pikiran satu sama lain tanpa perlu untuk membuka mulut mereka. Menarik! Mereka orang-orang yang sangat menarik! Zidan tidak dapat berhenti menyunggingkan tawanya pada setiap pukulan dan hentakan drum yang dihasilkannya. "Burning onJust like the match you strike to incinerateThe lives of everyone you knowAnd what's the worst you takeFrom every heart you breakAnd like the blade you'll stainWell I've been holding on tonight" "What's the worst that I can say?Things are better if I staySo long and goodnightSo long and goodnight" Zidan mengaku kalah pada mereka. Ia menatap punggung ketiga orang yang berdiri di depannya itu sembari tersenyum. Kombinasi antara suara merdu Aria yang menggelegar dan dingin, variasi melodi gitar Ryan yang memberikan warna gelap dan terang dari lagu tersebut, juga kontrol ritme Nino yang begitu jenius, membawa lagu yang mereka mainkan lagi-lagi jadi begitu berbeda dan begitu indah. Menusuk tepat pada benak setiap pendengarnya. Ia telah melupakan kapan terakhir kali ia bisa bermain se menyenangkan ini. Memukul drum-nya tanpa perlu untuk membawa perasaan tersiksanya akan segala sesuatu yang berhubungan dengan Lena. Pada setiap alunan melodi yang terbantuk bersama itu, Zidan berusaha untuk melepaskan perasaannya akan Lena. Ia ingin berterimakasih pada ketiga orang di depannya itu yang telah menunjukkan padanya sebuah panggung yang begitu hangat dibawah sorotan lampu yang bersinar terang. Ia telah memutuskan untuk ingin melihat dunia luar bersama mereka. "Came a timeWhen every star fallBrought you to tears againWe are the very hurt you soldAnd what's the worst you takeFrom every heart you breakAnd like the blade you'll stainWell I've been holding on tonight" "What's the worst that I can say?Things are better if I staySo long and goodnightSo long and goodnightWell, if you carry on this wayThings are better if I staySo long and goodnightSo long and goodnight" Ketika chorus kedua berakhir dan memasuki bagian interlude, Zidan mengerutkan keningnya melihat seorang perempuan yang tinggi semampai dengan rambut pendek model bob yang elegan tiba-tiba saja menaiki panggung mereka. Dengan wajahnya yang dingin, ia mengangkat biola yang di bawanya dan diposisikan pada bahu kirinya. Ikut membaur mengalunkan melodi bertempo cepat dengan biolanya. Perempuan itu dengan begitu mudahnya bisa mengikuti ritme lagu yang dimainkan Zidan dan yang lainnya. Setiap gesekan yang dihasilkannya begitu merdu cukup untuk membuat Zidan merasa merinding ketika mendengarnya. Siapa dia? Apa dia juga bagian dari band ini? 23rd SOUND: SLAP OF REALITY Dia melihatku........ Dia menemukanku........ Aria tidak bisa menahan tangannya yang gemetaran namun dengan sekuat tenaga ia mencoba agar kegelisahannya itu tidak akan mempengaruhi suaranya. Ia terus menyanyi dengan sekuat tenaga untuk terus menjawab alunan musik yang dimainkan oleh Nino dan yang lainnya. Setidaknya di atas panggung ini, ia tidak ingin konsentrasinya hancur karena kemunculan adiknya yang memperhatikannya dari seberang panggung. Dari sudut matanya Aria bisa melihat Sherry menyunggingkan senyuman dingin kepadanya. Perlahan-lahan ia berjalan semakin mendekat ke arah panggung, membuat wajah Aria jadi semakin memucat dan jantungnya berdetak begitu kencang. Apa yang akan Sherry lakukan? Tidak, kumohon jangan menghancurkan kehangatan panggung ini terlebih dulu! Pinta Aria pada adiknya dengan sorot mata memohon dan merendah. Sherry hanya menjawabnya dengan senyuman miring, terlihat begitu membenci Aria tanpa cela. Aria merasakan jantungnya berhenti ketika mendapati Sherry menaiki panggung dengan mencolok. Tidak ada satupun dari Nino, Ryan, ataupun Zidan, yang menghentikan permainan mereka. Walaupun Aria bisa menduga bahwa mereka pasti cukup terkejut dan bertanya-tanya siapa dia. Aria membelalakkan matanya ketika mendapati Sherry mengangkat biolanya ke bahu, mengambil postur tubuh untuk siap bermain. Dikarenakan banyaknya penonton tadi, Aria tidak bisa melihat bahwa Sherry ternyata membawa biolanya bersamanya. Dan kini Sherry memutuskan untuk bermain mengikuti lagu yang Aria dan lainnya mainkan. "Can you hear me?Are you near me?Can we pretend to leave and thenWe'll meet againWhen both our cars collide" Seperti yang diharapkan Aria, Sherry bisa mengikuti dengan mudah tanpa masalah yang berarti, percepatan tempo permainan Nino dan yang lainnya. Tidak peduli apakah musik yang mereka mainkan saat ini adalah hardrock dan bukannya classic. Aria tersenyum hangat melihat bagaimana kemampuan satu-satunya adiknya itu yang berkembang begitu pesat ketika ia tidak melihatnya, semenjak ia meninggalkan sisi adiknya lima tahun yang lalu. Aria bisa merasakan perubahan dalam permainan Nino, Ryan, juga Zidan, yang menyambut dengan hangat melodi gesekan biola Sherry. Saling menyahut satu sama lain membentuk harmoni gelap yang begitu indah. Membuat sorakan bersemangat penonton semakin kuat dan histeris. Aria memejamkan matanya, terus bernyanyi dengan kuat sembari merasakan setiap lantunan nada yang menyentuh kulit dan dadanya hangat. Menggunakan semua suara itu bersama dengan suaranya sendiri, untuk menyentuh jauh ke dalam lubuk hati pendengar mereka. Karena mungkin saja, ini akan menjadi momen terakhir untuknya bisa berdiri di atas panggung bersama adiknya. "What's the worst that I can say?Things are better if I staySo long and goodnightSo long and goodnightAnd if you carry on this wayThings are better if I staySo long and goodnightSo long and goodnight" #### "Hey, siapa namamu? Itu tadi permainan yang sangat menakjubkan!" "Bener-bener! Ini pertama kalinya aku bisa bermain kombinasi dengan violin! Keren! Lagunya jadi langsung berubah image. Gelap tapi elegan!" Zidan dan Ryan tidak membuang waktu mereka untuk langsung memuji permainan Sherry ketika mereka turun dari panggung dan menuju ruang istirahat. Aria tersenyum pahit menyiapkan hatinya untuk menerima segala murka yang akan diledakkan adiknya padanya. Nino menyentuh bahu Aria pelan dan menunjukkan layar ponselnya. 'Apa kau baik-baik saja?' Kenapa Nino selalu begitu tajam disaat seperti ini? Ia selalu bisa melihat isi hati dan pikiran Aria. Tidak ingin mengkhawatirkannya, Aria mengganggu sembari tersenyum pada pertanyaan Nino. Tanpa diduganya, ketika mereka telah sampai di tempat yang sepi dari para pengunjung dan staf, Sherry langsung membalikkan tubuhnya dan menampar pipi kiri Aria keras. Ia bisa merasakan darah tipis mengalir dari pipinya dikarenakan tergores oleh kuku Sherry. "Woah, woah, woah, ada apa ini, bisa kita bicarakan dulu baik-baik?" ujar Ryan yang terkejut dengan apa yang dilihatnya. Nino dan Zidan langsung mengambil posisi di antara Aria dan Sherry, bersiap-siap untuk melerai kedua gadis itu jika mereka memutuskan untuk bertikai. "APA KAKAK GILA?!!! APA KAKAK MENYADARI APA YANG KAKAK LAKUKAN INI?!!" teriak Sherry histeris, mungkin tidak lagi bisa menahan amarahnya yang meledak-ledak. "Kakak? ............Aria....... Apa kau mengenalnya?" tanya Ryan bingung. "Hmm. Namanya Sherry. Dia adikku." jelas Aria sembari tersenyum pahit. Mendengar itu sontak mereka semua hanya bisa terdiam. Mungkin bingung dengan apa yang harus mereka lakukan. "Sherry, bisa kita bicara ditempat lain saja? Tolong jangan libatkan mereka......" pinta Aria kepada adiknya tulus. Sherry mendecakkan lidahnya dan berjalan menjauh lebih dulu. Aria ganti menatap teman-teman band-nya dengan pandangan menyesal dan sedih. "Maaf, sudah membuat kalian melihat sesuatu yang tidak mengenakkan. Kalian bisa pergi dulu tanpa aku." Setelah mengucapkan itu, Aria beranjak pergi mengikuti Sherry. Ia menoleh ketika merasa pergelangan tangannya digenggam dan mendapati Nino menatapnya khawatir. Aria menunjukkan senyuman termanisnya sebisa mungkin. "Kamu nggak perlu khawatir. Aku pasti kembali." Walau masih dengan enggan, Nino melepaskan pergelangan tangan Aria, membiarkan Aria pergi. #### "Hanya karena ayah dan ibu menetap sementara di Wina, itu tidak berarti Kakak bisa seenaknya berkeliaran dengan bebas! Apa yang akan Kakak lakukan kalau sampai ada yang mengenali Kakak?! Tunggu sampai aku memberitahu ayah dan ibu mengenai ini!" Aria panik dan segera merebut ponsel Sherry dari tangannya. "Jangan! Aku mohon padamu Sherry, tolong jangan beritahu ayah dan ibu! Aku berjanji akan berhenti sebelum mereka terkenal!" Sherry menatap Aria dengan pandangan menyelidik, merasa tidak bisa memercayai kakaknya itu. "Lagipula apa yang ada dipikiran Kakak sebenarnya?! Sampai-sampai bergabung dengan band dan menjadi terkenal di internet! Bagaimana kalau sampai ada yang mengenali suara Kakak?! Apa Kakak tidak takut kalau sampai kejadian yang sama terulang lagi?" Aria merunduk, mengepalkan kedua tangannya yang sedari tadi gemetar tidak mau berhenti. "Hm. Soal itu jangan khawatir! Suaraku juga sudah berubah semenjak lima tahun yang lalu, jadi aku yakin tidak akan ada yang mengenaliku dari suara! Setidaknya kumohon, sebentar saja, aku ingin membantu mereka sebisa mungkin menanjaki tangga industri hiburan. Mereka adalah anak-anak yang berbakat tapi tidak punya kesempatan! Karena itu, kalau sedikit saja suaraku bisa membantu mereka—" "Ahahahaha! Jangan membuatku tertawa, Kak! Apa Kakak tidak sadar? Kalau Kakak lah yang berpotensi paling besar untuk menghancurkan anak-anak berbakat itu! Kakak ini sudah seperti bencana yang berjalan!" seru Sherry memandang tajam dan begitu rendah kepada Aria. Aria tidak bisa mengelak. Karena semua yang dikatakan oleh Sherry itu benar. Ia bahkan hampir saja menghancurkan masa depan Sherry juga karir panjang ayahnya. "Kalau Kakak mengerti, segera tinggalkan band itu! Dulu kita masih bisa selamat karena penyebaran beritanya berhasil ditekan, tapi kalau sampai berita itu kembali tersebar, apalagi mengingat pamor Kakak sekarang yang cukup menjadi pusat perhatian, tidak salah lagi Kakak pasti akan habis selanjutnya!" seru Sherry dan beranjak pergi, meninggalkan Aria sendirian berdiri membeku. Aria hanya bisa menatap kepergian Sherry dalam diam. Ia tidak bisa melihat apapun, mendengar apapun, atau merasakan apapun. Ia mati rasa. Description: Aria, gadis bersuara malaikat yang lebih memilih untuk mengasingkan diri dari dunia. Nino, cowok yang diasingkan dunia namun terus pantang menyerah untuk menyampaikan suaranya yang telah hilang pada dunia. Melalui musik, ikatan benang merah mereka terbentuk. Dan melalui musik, bersama-sama mereka ingin melawan dunia. Apakah pertemuan ini takdir atau kebetulan, bermakna atau kesalahan, bentuk kebahagiaan atau penderitaan? Satu hal yang pasti. Pertemuan ini merubah dunia mereka. Nama Pena: FictionGirl Username: khartika0409 Media Promosi: Facebook ( Siska Khartika ) Cover: Vocaloid Megurine Luka - Just Be Friend (dengan beberapa penyesuaian & editing) “Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #BNNS2019 yang diadakan oleh Storial”
Title: Wisata Taman Mozaik Wiyung Surabaya Category: Travel Text: Review Objek Wisata Taman Mozaik Wiyung Surabaya Tata letak Kota Surabaya senantiasa mendapatkan apresiasi dari pemerintah pusat, lantaran menjadi tolak ukuran dan panutan untuk beberapa Kabupaten dan Kota-Kota di Indonesia. Berbagai fasilitas lengkap ada di sana semua, salah satu nya misal fasilitas taman terbuka di Surabaya tergolong banyak dan bagus-bagus seperti wisata taman Mozaik Wiyung Surabaya. Keberadaannya disambut antusias oleh para warga Surabaya, terutama bagi para kawula muda gemar berburu spot-spot instagramable. Daya tarik utama taman Surabaya ini yaitu terdapat bangun berhias kaca warna-warni mirip mozaik. Oleh karena nya spot utama tersebut, dinamakan lah sebagai wisata taman mozaik Surabaya. Mungkin Keberadaan taman hijau terbuka itu lah menjadi keunggulan warga Surabaya dibandingkan kota lain yang mempunyai keterbatasan mencari lahan hijau. Padahal area-area seperti itu lah menjadi sedikit tempat menghirup suasana alam kota. Sebelum menjadi taman kota seindah sekarang, taman Mozaik di Surabaya awalnya berupa rawa-rawa. Lalu mengalami revitalisasi sampai jadi seperti sekarang. Area taman berada di lahan seluas 1.850 meter persegi. Tepat di tengah taman terdapat bangunan dekoratif tanpa pintu yang unik dan mencolok. Dinding-dinding bangunan tertutup oleh potongan kaca berwarna-warni, membentuk mozaik dimana tiap potongan berbeda ukuran dan warna. Bila dilihat susunan kaca nampak simetris tapi tetap aja dibuat acak. Beberapa bagian memang disengaja tidak dipasang kaca sebagai variasi. Sedangkan bagian atap asimetris menjadi pusat perhatian. Taman rekreasi Mozaik Surabaya dengan dinding warna-warni, taman hijau bisa jadi tampak berbeda. Terlebih lagi bila terkena pancaran sinar matahari. Menghasilkan refleksi ragam warna nampak menghiasi permukaan lantai. Lantaran termasuk nih ya salah satu wisata taman baru Surabaya, fasilitas di sini memang belum tergolong komplit tapi setidaknya sarana umum seperti lahan parkir, toilet umum dan pos informasi-keamanan. Oh ya di sana juga terdapat jalan setapak cukup ramah bagi seluruh golongan terutama bagi kaum disabilitas atau pengguna kursi roda. Oh ya info beredar sih rencana di sana bakal dibangun sebuah mushola dan taman baca loh. Bagaimana sob tunggu apa lagi yuk datang ke sini, oh iya saya belum menjelaskan loh jam operasional taman nih buka 24 jam, ya iya lah buka terus kan juga nama nya wisata taman hehe. Tapi nih ya saat masa pandemi covid seperti sekarang dibatasi yakni dari pagi sampai sore saja. Lanjut kita bahas harga tiket masuk ya, berhubung nih taman diperuntukkan masyarakat jadi taman unik Surabaya ini tak memungut biaya masuk kepada pengunjung. Hanya saja bagi sobat membawa kendaraan pribadi tetap loh bayar ongkos parkir yakni sekitar Rp. 2.000 roda dua dan Rp. 5.000 kendaraan roda empat. Terakhir info dari saya, lokasi wisata taman Mozaik Wiyung Surabaya berada di jalan Wiyung Praja, Kota Surabaya, dimana jalan tersebut berupa gang perumahan lebar di samping apotek. Dari lokasi pintu gang ke lokasi berjarak 200 meter saja. Lokasi taman mudah dijangkau menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Description: Destinasi wisata kekinian dengan berbagai spot foto unik, lokasi tepat berada di tengah kota Surabaya
Title: WHITESIDE Category: Fantasi Text: This is not possible "Arnaina Whiteside!" Guru berkaca tebal itu berteriak, membuat semua orang yang ada di dalam ruangan pun jadi terkejut lalu menatap Naina dengan pandangan merendahkan. Namun sayangnya, Naina sendiri malah tetap asyik dalam tidurnya. Merasa teman semejanya itu tak menunjukkan tanda-tanda orang membuka mata, ia pun mencubit perut putri tidur itu lalu berbisik. "Wake up, Nai. Atau bencana mengham-." "Ya! Ada apa lagi, Anne?" teriak putri tidur itu kesal. Sedangkan, tepat di sisi kanan Naina. Seorang wanita tua berdiri menghadap Naina dengan tatapan paling mengerikan sepanjang sejarah seolah tengah mengatakan. "Siapa yang berani menatap ku, ia akan mati." "Wah.. Mrs. Whiteside, Apakah tidur mu nyenyak?" Deg "Mrs. Si-simon, sejak kapan anda masuk?" tanyannya dengan kedua mata yang membola sempurna. Mendengar pertanyaan muridnya yang kurang beretika, ia pun melototi Naina. Namun, tampaknya tatapan itu tak mempengaruhi gadis cantik bersurai biru tersebut sama sekali. Dan dengan segala kekuatannya, Mrs.Simon pun berteriak membuat semua murid yang menyaksikan jadi terlonjak kaget. Berlebihan memang, tapi itulah kenyataannya. Disana, Mrs. Simon memang terkenal karena temperamennya yang galak karena itu melihat guru tersebut marah merupakan suatu bencana. Entah apa yang akan terjadi lagi, jika perdebatan itu tak segera di hentikan.. Se.ka.rang. "Apa kau tahu kau sedang dimana, Mrs.Whiteside?" "Tentu saja sedang di sekolah. Kenapa anda menanyakan hal konyol seperti itu? Apa anda sudah lupa? Ckckck" balasnya di ikuti dengan tatapan sedikit 'menjatuhkan'. "Kurang ajar! Beraninya dia-" Sontak, semua murid yang ikut mendengar perkataan Naina pun tampak berlomba-lomba menahan napas seakan-akan tak ada lagi oksigen yang kian menyebar disana. "Lagi pula, disini kau hanya bawahan jadi-" "Mrs.Whiteside! Cukup! Mulai esok hari kau di skors-" "Apa?! Aku tidak mau. Kenapa aku harus di skors jika hanya yang tidur sebentar di kelas? Benar-benar tak adil!" "Apa? Kau tidur sebentar kata mu?" cicit Anne dengan wajah polos lalu menggeleng. "Benar, aku bahkan hanya tidur dalam sepuluh menit. Apa itu termasuk kesalahan huh? Katakan!" Anne pun menggeleng. "Tapi kau-" "Cukup!" teriak Mrs.Simon menengahi karena jujur saja, sebenarnya ia sudah sangat pusing dengan perdebatan tanpa penghujung ini. "Tak ada lagi bantahan. Kau akan tetap di skors, Mrs.Whiteside. Dan tentunya selama satu bulan penuh." "Tidak, Mrs. Aku-" "Aku tidak peduli kau suka atau tidak, Mrs. Whiteside. Yang terpenting, jadikanlah kebijakan ini sebagai pembelajaran mu untuk ke depannya. Kau tahu aturan disini seperti apa. Dan ya, jika kau bersikap seperti itu lagi aku benar-benar akan mengurus-mu." Sial. "Baiklah, anak-anak. Pertemuan kita hari ini, cukup sampai disini. Dan ingat siapa pun yang berani melanggar peraturan di sekolah ini tentu akan mendapat sanksi yang setimpal, seperti yang aku katakan tadi salah satunya. Kalian paham?" "Yah, Mrs." Setelah merapikan semua barang-barangnya, Naina pun keluar dan terus berjalan hingga ke tepi jalan. Ya, sekolah yang di tempati Naina memanglah kecil karena itu hal pertama yang dilihat setelah berada di depan pintu kelas adalah sederet gerbang yang terbuat dari potongan bambu. Entahlah, sebesar itukah rasa kesalnya sampai bibir gadis bersurai biru gelap itu masih saja sibuk dengan sumpah serapahnya. Bahkan, kini kakinya pun tampak ikut-ikutan-menendang batu-batu kecil di jalanan-. Tluk.. Tluk.. Tluk.. Tluk "Dasar, aku bisa mati kebosanan jika tak sekolah selama itu. Bagaimana ini? Kira-kira apa yang harus aku lakukan agar hari-hari tetap menarik?" Di tengah-tengah penatnya pikiran gadis itu. Ia pun kembali teringat alasan yang membuatnya begitu kesal sampai sekarang. "Lagian, kenapa ada peraturan aneh seperti itu huh? Merepotkan saja." teriaknya kencang. "Jika ada siswa yang tertidur selama pelajaran berlangsung, maka anak itu akan di kenakan pasal 1 ayat 23 dengan hukuman skors selama satu bulan," lanjutnya dengan suara yang di mirip-miripkan Mrs.Simon. Ya, guru itu memang sering mengatakan hal seperti itu karena dia tahu kalau masalah besar terkadang muncul dari satu kesalahan kecil. Oleh sebab itu, ia membuat peraturan seperti itu untuk membuat kecil kemungkinan jika anak mendapat masalah besar. "Oy, tapi apa benar aku tidur selama itu? Selama pelajaran itu berlangsung begitu? Karena itu aku bisa di hukum seperti itu?" gumamnya pelan karena setelah di pikirkan kembali dengan otak yang jernih, akhirnya ia sadar bahwa Mrs. simon tak akan memberikan sanksi jika ia benar-benar tak bersalah. "Aargh, bodoh-bodoh-bodoh!" Disisi lain tepatnya diperempatan jalan, sebuah mobil hitam di kemudikan bak orang yang tengah mabuk. Mobil itu melaju dengan kencang, namun ada satu hal yang menarik perhatian bagi siapapun yang melihatnya. Benar, mobil tersebut bergayakan model zaman dulu namun sangat unik dan tepat di salah satu kaca mobil itu bahkan terdapat satu simbol aneh yang tak akan bisa di mengerti oleh manusia biasa. Entahlah, ternyata ada satu rahasia lagi yang terungkap. Bahkan mobil tersebut bisa menembus tubuh orang-orang yang tengah berjalan di tepi jalan itu. *** "Aissh, kepala-ku.." gumam seorang gadis bersurai biru itu meringis kesakitan. "Ah, akhirnya. kau sudah bangun ternyata." Sontak, netra biru gelap itu pun terbuka lalu membelalak seakan mata itu akan keluar dalam hitungan lima detik. "A-apa ini?" "Hallo dear, bagaimana keadaan mu?" Bukannya menjawab, Naina malah membuka mulutnya lebar-lebar membuat wanita paruh baya di hadapannya itu tersenyum kaku. "Ada apa? Kau tampak terkejut." "Ten-tentu saja, apa aku harus terlihat senang?!" teriaknya seraya begerak mundur di ranjang. Sedang, wanita itu malah tersenyum geli melihat cucu semata wayangnya ketakutan karenanya. "Tidak! Apa sekarang aku jadi Indigo huh?" "Ba-bagaiman bisa? Kenapa kau mirip sekali dengan nenekku?" teriaknya lagi seraya menodongkan payung yang biasa ia simpan tepat di samping ranjangnya ke arah wanita itu. "Tentu saja, Dear. Karena aku sendiri adalah nenek mu." Sejenak, suasana di ruangan itu terasa pengap dan juga hening. "A-apa?! This is not possible." Di luar dugaan wanita itu, ia kira Naina akan senang jika bisa melihatnya namun ternyata ia salah besar justru Naina malah jadi pingsan karenanya. "Dear, bangunlah. Kenapa kau malah pingsan?" Beberapa menit kemudian. "Sayang, bangunlah. Kenapa pingsan-mu lama sekali?" gumamnya seraya mengelus rambut Naina dengan sayang. Perlahan tapi pasti, bola mata Naina pun mulai bergerak menandakan ia akan segera bangun dari pingsannya. "Nenek, bola mata kaka ini bergerak!" teriak anak laki-laki sekitar enam tahunan tepat di sebelah kiri Naina. "Yah, syukurlah. Dia sudah sadar kembali." "Aargh! Kepala-ku bahkan lebih sakit dari sebelumnya." ringisnya kembali seraya memegangi kepalanya. "Tenang saja, Dear. kau akan segera baikan setelah kesadaran mu pulih sepenuhnya." "Oy, aku tidak bermimpi. Kalau ternyata disini ada hantu nenek ku!" Naina pun menjatuhkan tatapannya ke samping kanan. "Baiklah, tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan." "Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa baikan?" Naina pun menganggung pelan seraya tersenyum kikuk. "Kaka.." "Ya?" Deg. "A-apa aku tidak salah lihat? lagi? Ada berapa banyak hantu di rumahku ini sebenarnya?" "Lihatlah anak ini, bahkan matanya bergelayut rapuh di pipinya." Seketika pandangan Naina pun menggelap. "Oh, ya ampun. Kenapa aku bisa lupa kalau Naina takut pada hantu?" Sesalnya. "Naina, bangun sayang. Kenapa kau malah pingsan lagi?" "Sayang, ubahlah wujudmu seperti wujud manusia normal," Anak kecil itu pun mengangguk kecil lalu meminta maaf. *** "Bagaimana? Apa kau sudah membukanya?" "Tentu saja, tuan. Mungkin saat ini, ia tengah ketakutan karena melihat sebangsa kita?" "Haha.." "Baiklah, teruslah pantau perkembangannya, Smith." Laki-laki itu pun mengangguk lalu memberi hormat. "Akhirnya setelah menunggu lama, masa itu akan tiba sebentar lagi." The Secret Dua minggu kemudian.. Akhirnya Naina berhasil mengendalikan rasa takutnya terhadap hantu-hantu yang sering di jumpainya. Meski begitu, rasa terkejut nya pada hantu yang sering muncul secara tiba-tiba dihadapannya masih saja membuat jantungnya terasa seperti melompat dari tempatnya. Tepat di ruangan yang hangat juga minim akan cahaya, Naina dan Rosalie tampak berbincang serius membahas sesuatu yang belakangan ini berhasil mengusik hidup gadis bersurai biru tersebut. "Nek, apa nenek tahu kenapa aku bisa menjadi seorang indigo?" "Hmm.. Kenapa .. tiba-tiba kau mengungkit masalah ini, sayang?" Naina pun menggeleng pelan. "Aku.. Aku hanya merasa kalau aku berhak mengetahuinya, Nek. Apa nenek mengetahuinya? Karena aku sendiri bingung, mengapa aku bisa jadi seperti ini setelah malam itu berlalu." "Ya, nenek tahu bahkan tahu semua hal yang terjadi pada malam itu." Jawabnya membuat Naina jadi terdiam. Siap untuk mendengarkan. The Secret : Her name is Naina Hari mulai petang. Rosalie dan yang lainnya pun mulai berani menampakkan diri keluar dari lingkungan nya. Tetapi baru saja ia hendak pergi untuk melakukan aktivitas seperti biasa, di bangku taman ia melihat Aric duduk mengenaskan dengan keadaan terakhir kali sebelum ia mati karena kecelakaan mobil. Pakaian yang dipenuhi noda darah dan salah satu mata yang bergelayut seakan meminta untuk segera dilepaskan. "Aric, sedang apa kamu disana? " tanyanya pada bocah berumur 5 tahunan tersebut. Dengan secepat kilat, bocah itu pun berlari memeluk Rosalie erat seolah-olah ia adalah pengganti ibu dan ayahnya yang telah tiada. "Aric merindukan mereka, Rose" "Sayang, kamu tahu kan mereka susah untuk di temukan di alam kita? Mungkin saja mereka sudah tenang di alam yang lain, Nak. Karena itu mereka tidak kita temukan sampai sekarang. Lagipula, seharusnya kamu juga ada disana bersama dengan mereka kenapa kalian jadi terpisahkan seperti ini?" ucapnya seraya memeluk tubuh biru nan kecil itu lebih erat. "Baiklah, kalau begitu kamu ikut saja dengan ku." Ajaknya membuat dahi kecil Aric itu mengerut bingung hendak di ajak kemana ia. "Kau pasti suka.. Karena nanti kamu akan punya teman cantik meskipun tak bisa bermain denganmu.. Bagaimana apa anak kecil ini mau? " Aric pun mengangguk antusias hingga mata itu benar-benar hampir lepas dari tempatnya. "Dan mulai sekarang sepertinya kamu harus belajar cara mengubah dirimu agar bisa menyerupai manusia normal.. " ~~~ "Lihat.. Apa kamu melihat gadis cantik itu?" Aric pun mengangguk lalu tersenyum senang. "Dia adalah cucu ku. Naina". Pandangan Aric pun tak lepas dari Naina membuat Rosalie gemas sendiri pada bocah tersebut. Dan dengan polosnya, Aric bertanya tentang hal yang tak akan pernah mungkin terjadi sampai kapan pun. "Tapi kak Naina mau kan bermain dengan Aric? " Rosalie pun terdiam lalu menggeleng pelan membuat Aric jadi menunduk sedih. Tak ada kata-kata yang bisa Rosalie terangkan pada anak kecil yang tidak mengerti kenyataan ini. Ditengah pemikirannya yang tengah sibuk memikirkan sesuatu, Rosalie di buat terkejut tatkala melihat sebuah mobil yang melaju dengan cepat seolah-olah hendak menabrak cucu-nya. Hatinya pun menjadi was-was. "Ada apa dengan mobil itu? kenapa dia-" "NAINAAAA .... " teriaknya melengking ketika melihat Naina terlempar jauh dari tempatnya. Para hantu yang kebetulan tengah ada di sana pun mulai mengerubungi gadis yang telah memejamkan matanya tersebut. "NAINAA!! Naina, bangun Sayang. Nainaa ... " Aric yang tidak mengerti apapun disana pun turut ikut menagisi Naina yang terbaring lemah. " Kasihan sekali gadis ini .. " " Iyaa, bahkan dua orang manusia itu tak mau menolong gadis malang ini .. padahal jelas-jelas gadis ini tertabrak oleh mobil aneh itu. Apa mereka buta sehingga tak mau menolongnya?" sahut hantu-hantu itu emosi. "Nainaa.." "Dimana letak keprimanusiaan mereka sebenarnya?" Terang salah satu hantu tatkala melihat dua orang manusia muda melewati jalan itu seraya memperhatikan Naina yang terbaring dengan ekspresi aneh. Sedang di lain sisi, dua orang manusia muda dengan baju amat kekinian itu pun tahu dan melihat Naina yang secara tiba-tiba terlempar beberapa meter namun hal itu malah membuat salah satu dari mereka beranggapan negatif. '' Ck,, Apa dia sudah gila? bersikap seolah-olah ia telah ditabrak oleh sesuatu yang besar. Sungguh Ratu drama. Apa dia sedang mencari perhatian artis papan atas ini huh?" " Hei, Zayn! apa kau tak punya hati? mungkin saja penyakit ayan nya kambuh? Ayo kita turun untuk melihatnya dengan jelas... apa kau tidak kasihan? " sahut gadis bersurai pirang itu membuat pria tampan itu pun malah semakin melajukan mobilnya. "Naina .." Rosalie pun menatap hantu yang mengelilinginya penuh harap. " Tolong, siapa yang bisa membantuku membawa cucu-ku ke rumahku? tanya Rosalie pada hantu yang mengelilinginya. Mereka pun menggeleng pelan. "Maafkan kami, Rose. Kami tidak bisa membantumu.. karena yang bisa melakukan itu hanya hantu yang memiliki Benang merah. " Rosalie pun kembali menatap Naina dengan sedih. "Bagaimana ini... Maafkan nenek Sayang karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk mu. " Lirihnya seraya mencoba menyentuh tubuh kecil itu namun sayang semua itu hanya sia-sia karena Rosalie kini telah menjadi hantu dan seorang hantu yang tidak memiliki benang merah tak akan pernah bisa menyentuh seorang manusia kecuali jika hidup si manusia itu tak akan lama lagi. Diantara kekhawatiran itu, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang berhasil membuat mereka terhipnotis untuk sejenak. "Kenapa kalian berkumpul disini?" Description: Gadis itu tampak berlari bahkan terus berlari. Namun, ada hal yang lain darinya. Ya, ia tak berlari dalam artian yang sebenarnya. Entahlah, tak ada yang tahu apa yang tengah ia lakukan disana.
Title: Wanderer Category: Travel Text: WANDERE Bab 1 WANDERE Tn. Rain 3 Perjalanan ini terlalu sepi untuk kulalui sendiri. Tanpa teman yang menemani disetiap tapak perjalanan dan berbagi cerita untuk dinikmati. Merdunya lagu ‘Perjalanan’ dari Iwan Fals yang memecah kesunyian cocok untuk diresapi. Kunikmati kopi hangat khas Palembang yang sudah aku siapkan di dalam tumblerku. Mataku tak pernah lepas dari jendala dalam bus Bhineka yang akan membawaku ke Bandung. Pedagang-pedagang asongan keluar masuk bus untuk menjajaki dagangannya pada setiap penumpang. Bisingnya suara klakson kendaraan dan asap klatpot motor adu pencemaran pernapasan dengan debu-debu jalan. Hilir mudik memenuhi jalanan oleh kendaraan mereka yang harus kembali beraktifitas seperti sedia kala. Seorang ayah yang harus kembali bekerja untuk mengembalikan keadaan ART yang kini mulai menipis. Kakak yang harus kembali kuliah dan siap untuk menghadapi tugas-tugas dari dosen tanpa kenal ampun. Adik yang harus kembali belajar di sekolah dan siap untuk mengarang cerita liburan mereka yang ditugaskan oleh Guru Bahasa. Dan ibu yang harus siap kembali dengan aktifitas mencuci pakaian. Yang sudah menumpuk selama lebaran dan membersihkan rumah berdebu yang beberapa hari ditinggalkan. Dan aku baru saja akan memulai liburanku. Senin pagi, selesai sholat subuh aku mempersiapkan segalanya. Pakaian ganti, alat mandi dan perkakas untuk mempercantik diri. Sudah pukul 06.00 pagi aku mempercepat gerakanku dan langsung melesat menuju kamar pengasuh Ponpes Hidayatullah Cirebon. “Assalamu’alaikum ustadzah” aku mengetok pintu kamar beberapa kali tapi tidak terdengar suara dari dalam. Aku langsung membuka pintu tanpa izin dan menyelonong masuk. Terlihat ustadzahnya masih dalam keadaan memakai telekung dan memegang Al- qur’an. “Saya izin ke Bandung yaa ustadzah. Mau liburan lebaran.” Aku menaikkan alisku sebelah sambil tersenyum. “Oooh iya ustadzah, bisa minta tolong pesankan saya ojek online sampai ke simpang Sunyaragi?” pintaku dengan nada suara yang sedikit khawatir karena takut terlambat mendapatkan bus. “Ojeknya udah datang kak. Hati-hati dijalan yaa” kami bersalaman dan aku langsung berlalu begitu saja. Aku tidak memiliki aplikasi super praktis itu karena aku tidak begitu membutuhkannya. Aku lebih suka berjalan kaki atau naik angkot kalau mau berpergian. Tapi tidak untuk kali ini, aku harus tepat waktu sampai ke Bandung. Aku mulai cemas sudah lebih dari sepuluh 4 kali aku melihat jam ditangan. “Ayoo bus, datang cepetan. Aku membutuhkanmu sekarang” gumamku dalam hati. Pukul 07.00 pagi baru ku dapati busnya dan langsung segera naik. Aku melihat kiri dan kanan mencari tempat duduk yang kosong, ketemu. Aku duduk disisi kanan dekat jendela dan tak ada seorangpun duduk dikursi yang berbaris tiga itu. Tak lama aku berada didalam bus, aku mendengar sebuah lagu yang menyayat hati dan menambah kesepian “Are you lonely? Are you lonely? Are you lonely? I’ll stand by you” lagu ini sungguh mengolok-olok diriku, seolah Alan Walker tersenyum kejam saat menciptakan lagu ini. Aku mengambil earphone dalam tasku dan mendengarkan lagu yang bisa menemani perjalanan sunyi ini, lagu dari Iwan Fals dan Crisye adalah favoritku. Seorang ibu dan anaknya yang berumur sekitar 6 tahun duduk disebelahku. Dengan cepat aku ambil tas ranselku yang aku letakkan diatas kursi dan menaruhnya diatas pahaku. Ibu muda itu tersenyum ramah, dan aku membalas senyumannya. Lalu aku kembali pada lamunanku menikmati jalanan yang masih dipadati berbagai macam kendaraan. Lalu tiba-tiba seorang lelaki separuh baya menepuk pundakku, aku mendongakkan kepalaku ke sisi kiri belakang dan kulihat dia sedang berbicara padaku. Aku tidak mendengar apa yang ia katakan. Aku membuka earphone yang menutupi kupingku.. “Ongkosnya neng” tanpa menanyakannya aku memberikan uang Rp. 56.000 pada sang kenek. “Ongkosnya Rp. 90.000 neng. Masih suasana lebaran, jadi ongkos masih naik. Besok sudah kembali ke tarif normal kok”. Ku kembali merogoh saku tas ransel dan membayarkan kekurangannya. Si kenek berlalu ke belakang untuk menagih ongkos para penumpang. “Ongkosnya naik hampir 2 kali lipat ya teh” ibu muda disebelahku membuka percakapan dan itu membuat tanganku tertahan untuk kembali memasang earphone yang masih menggelantung di leherku. “Aaah, iya. Padahal apa bedanya hari ini dan besok ya mbak? Alsannya aja besok ongkos turun hehehe” aku tersenyu jail. “Tetehnya baru mau mudik ta?” “Enggak kok mbak, saya mau jalan-jalan aja ke Bandung.” “Ke tempat siapa? Saudara?” “Saya gak punya kerabat di pulau jawa mbak, keluarga saya semuanya di Medan.” 5 “Loooh orang Medan toh?” “Iya mbak” “Tapi tetehnya dari Cirebon. Di Cirebon ngapain? Kuliah?” “Iya saya dari Cirebon, dan baru 5 bulan. Saya sudah selesai kuliah S1 di Medan mbak, ini saya lanjut study aja di Cirebon” “Study apa?” “Mondok di pesantren, ikut program tahfidz qur’an” “Oooh, semangat berhijrah yaa.” Ibu uda ini tersenyum padaku sambil mengepalkan tangannya dan mengangakatnya setinggi bahu. “Ini jalan-jalannya sendirian?” “iya mbak sendirian aja, kalau rame-rame nanti disangka tawuran hehehe” “hahaha, berani ya? Pasti merantau dari Medan ke Cirebon sendirian juga.” aku hanya membalas pertanyaanya dengan anggukan kepala dan tersenyum. Tak ada lagi pertanyaan yang secara tiba-tiba menyerangku, sebab aku harus menjawabnya atau aku akan mendapatkan nilai merah. Ini seperti ujian dadakan yang harus aku hadapi dengan hati yang tenang dan berlapang dada. Otak kotorku selalu bekerja secara detail, aku memikirkan setiap orang yang bertanya sesuatu padamu itu bukan berarti dia perduli, tetapi dia hanya penasaran terhadap hidupmu. Aku melihat jam, dan sudah pukul 08.45 wib, aku mulai gelisah seperti seorang pemakai yang sedang kecanduan obat terlarang tapi obatku sudah kehabisan, dan itu membuatku frustasi. “Duuuh kalau terlambat sia-sia donk perjalananku ke Bandung. Mana ongkos mahal, kalau begitu aku nonton live streaming aja diasrama” keluhku dalam hati. Ku menoleh kekiri dan melihat ibu muda itu sedang makan gorengan yang ia beli dari pedagang asongan saat menjajaki jualanannya di dalam bus tadi. “Mbak, masih jauh ta nyampek Bandung?” kuberanikan diri untuk bertanya padanya. “Masih jauh teh, sekitar jam 2 siang kayanya sampai mah. Tapi kalau cepat dan gak macet kita sampai jam 12 siang”. “Apaaaaah? Gila aja, itu bukan telat lagi tapi udah gak berguna lagi untuk hadir ke acara Diskusi Umum bersama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Ustad Rahmat Baequni, 6 malah udah gulung tikar itu para panitia”. Aku menggerutu dalam hati, kupejamkan mataku dan merilekskan tubuh. Solusi satu-satunya hanyalah tidur dan kembali menikmati perjalanan yang melelahkan ini dengan lagu Iwan Fals dan Crisye. ‘Ketika kau mulai lelah, berteduhlah pada ketaqwaan. Ketika kau mulai futur, berteduhlah pada keimanan. Ketika kau mulai ingin berhenti, berteduhlah pada keistiqomahan. Berteduh padaku, maka kau tak akan kehujanan. Berteduh padamu, maka aku tak akan kemana-mana. Berteduh pada Allah, maka kita tak akan merasa sedih dan kecewa’. Pukul 12.47 siang, bus yang aku tumpangi sudah sampai Terminal Cicaheum Bandung. Ku cari Masjid terdekat untuk melaksanakan peranku sebagai seorang Hamba, berdoa memohon ampunan dan perlindungan agar dijauhkan dari segala marabahaya bisikan setan dan orang-orang yang berbuat zholim. Selesai sholat zuhur. Aku merebahkan badanku yang masih menggunakan telekung, kupatahkan setiap sendi-sendi tulangku dan sedikit memijit- mijitnya dibagian yang pegal-pegal karena sudah melakukan perjalanan selama 5 jam lebih didalam bus. Terpikirkan olehku, kemana aku harus memulai melangkahkan kaki ini? Tujuanku ke Bandung hanyalah ikut Diskusi Umum tersebut dan karena ekspektasi tak sesuai dengan realita maka aku tak tahu harus pergi kemana. Kalau aku kembali ke Cirebon hanya akan membuang ongkos dengan percuma. “Aku harus jalan-jalan dan ngiderin kota Bandung” gumamku dalam hati dan memberikan motivasi pada diri sendiri. Ada yang terlewatkan. Aku harus mendownload aplikasi ojek online. Itu adalah satu- satunya cara agar aku bisa leluasa berpetualang. Karena kini hanya ojek onlinelah yang aku butuhkan saat ini. Bukan aku anti dan tidak suka dengan ojek online tapi karena aku tidak bisa menggunakannya. Apalagi Hpku yang keadaannya sangat tak mendukung, dengan ram yang kecil dan memory card yang tidak ada. Ditambah dengan layar kaca yang memiliki codet di setiap sudutnya. Dan setiap kali aku ingin mendownload suatu aplikasi aku harus menghapus aplikasi yang lain, dan itu membuatku frustasi ingin segera mengganti handphone ini. Selesai sudah aku mendownload aplikasi ojek online dan segala peraturan-peraturannya aku ikuti sesuai arahan. Telah resmilah aku menjadi pengguna ojek online dadakan. Kuberjalan keluar Masjid dan mencari makan, perutku dari tadi tidak bisa diajak kompromi. Cacing-cacing di perut seolah-olah melakukan aksi makar untuk memenuhi segala haknya. 7 Kudapati warung nasi ‘makan suka-suka’ di dekat terminal, ternyata benar makan suka-suka. Nasi ambil sendiri, lauk ambil sendiri, duduk dan makanpun sendiri, syukurnya tak cuci piring sendiri, kalau tidak ini akan menambah ketragisan dalam perjalananku. Selama 5 bulan aku merantau di Cirebon segala kejadian aneh yang membuat aku tertawa, sedih, menangis dan juga terpuruk telah aku alami sendirian tanpa seorang teman yang aku bisa berbagi segala perasaan ini padanya. Tapi bukan berarti aku harus menyerah dengan ujian kehidupan ini. Aku malah lebih tertantang untuk terus melawan arus dunia, dan membuktikan bahwa aku adalah ‘Hastina si wanita pemberani dan kuat’. Setelah aku diwisuda November 2018 kemarin, aku merantau ke Cirebon-Jawa Barat untuk menyabung pendidikanku, bukan S2 tapi bisa jadi ini adalah masa persiapan untuk S2- ku yang berniat melanjutkannya di Rusia. Diumurku yang sudah cukup tua ini, aku mulai tergerak mempelajari Agama dan Al-Qur’an, aku nyantri di Pondok Pesantren Hidayatullah Cirebon. Aku ikut program Tahfidz 13 bulan sudah termasuk pengabdiannya, dan program ini gratis tanpa dipungut biaya apapun bahkan bebas pajak. Terkadang otak kotorku ini bekerja sangat detail untuk berfikir kenapa ilmu akhirat begitu murah sementara ilmu dunia begitu mahalnya. Sebelum aku nyantri, aku mencari bimbel agar bahasa inggrisku tidak hilang ditelan oleh MSG dan racun-racun minyak jelanta yang dijual dipinggir jalan, dan kalian tahu berapa biaya yang harus mamakku keluarkan? 3 juta selama 3 bulan. Bagiku yang hanya anak penjual salak di pasar, itu mahalnya pake na’uzhubillah, makanya aku mengurungkan niat untuk belajar bahasa inggris dan memulai menghafal Al-Qur’an, ya walaupun sampai sekarang aku berusaha mencari bimbel gratisan atau yang sangat-sangat murah. Tak jarang juga aku ikut kelas online untuk mengasah kemampuan speakingku. Hari sudah semakin sore, tapi aku masih disekitaran terminal. Aku lelah dan ingin istirahat tapi aku tak tahu harus istirahat dimana. Cara yang terpikirkan olehku hanyalah update status di story whatsapp, “Sudah sampai Terminal Cicaheum Bandung tapi gak tau harus ngapain hahaha” tulisku dan jempolku menekan tombol sand dengan pedenya. Tak lama kemudian seorang ustad ditempat aku menimba ilmu di Cirebon merespon statusku. “Nginap di Ponpes Hidayatullah Bandung aja teh. Istirahat disitu, deket kok dari terminal cicaheum naik ojek cuma Rp.10.000.” mendapatkan pesan ini adalah suatu kebahagiaan yang tak terhingga olehku, akhirnya ada tempat untukku istirahat dengan nyaman selama perjalananku di Bandung. Inilah yang disebut dengan kekuatan jaringan internet. 8 Segera kubalas pesan ustad Anwar “Boleh minta nomor kontak yang bisa dihubungi ustad?”. Tak lama ustad mengirim pesan dengan nomor kontak ustadzah disana serta alamatnya. Jari-jari tanganku sangat lincah menekan tanda ‘massage’ pada layar hp-ku dan mengetik setiap kata-kata yang terkesan meminta tolong dengan ramah dan sopan. “Assalamu’alaikum ustadzah, saya Hastina, santri Hidayatullah cirebon. Saya saat ini sedang di Bandung, terminal Cicaheum. Mau numpang istirahat di pondok boleh ta ustadzah?” lima menit ku menunggu balasan chattingan, dan Alhamdulillah dibalas dengan jawaban yang membuat hati semakin senang “Wa’alaikumussalam, boleh, mangga teh”. Aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan ke kasir, membayar makanan mereka yang sudah kumakan dengan lahapnya. Si mbak penjaga kasir lumayan lama melihat wajahku, otak kotorku kembali berjalan dan aku bertanya-tanya dalam hati ‘ada apa? Kenapa? Apa aku terlalu lama berdiam diri di rumah makan ini? Sehingga engkau melihatku dengan tatapan dingin seperti itu?’. Setelah selesai dengan si mbak penjaga kasir aku segera keluar dari rumah makan dan menaiki jembatan penyebrangan jalan, tercium olehku aroma yang tak sedap, sungguh rasanya aku berdosa telah menzholimi hidungku sendiri. Bau pesing ditangga jembatan ini sungguh menusuk saluran penciumanku masuk melewati kerongkongan hingga mengubrak-abrik perutku, mual rasanya, kukernyitkan hidungku untuk menahan nafas lalu kututup dengan tangan kiriku. Kupercepat langkahku, agar terlepas dari bau busuk dan mensterilkan saluran pernapasanku, menarik nafas dan buang nafas beberapa kali agar oksigen baru masuk dalam tubuhku sehingga hilanglah racun-racun yang hampir membuatku mati dalam keadaan sia-sia. Tertulis ‘pangkalan ojek’ di sebuah kayu dan digantung didinding yang tak jauh dari tangga jembatan penyebrangan. “Ojek pak?” tanyaku. “Iya neng, mau kemana?” kutunjukkan alamat yang dikirimkan ustad Anwar pada si bapak tukang ojek. “Oooh deket ini neng, ayo naik” “Berapa pak?” “Sepuluh ribu” sambil mengangkat kedua tangannya Kamipun meluncur ke alamat tersebut, lincah si bapak tukang ojek mengendarai motornya dijalanan yang menanjak, menurun dan menikung. Dalam hati aku bertanya, “Ini Bandung 9 udah masuk daerah pegunungan kah? Kok jalannya seperti dikampungku. Udaranya juga dingin meskipun tak sedingin dikampung”. Teringat kenangan-kenangan saat lebaran dikampung bersama keluarga. Sebelum melaksanakan sholat Idul Fitri, biasanya Ayah mengumpulkan seluruh anak-anaknya untuk melaksanakan adat ‘Marsimaapan’. Duduk membuat lingkaran dan makan bersama. Ayah akan membuka adat tersebut dengan salam terlebih dahulu lalu menunjuk anak yang paling kecil untuk berbicara terlebih dahulu, mengakui segala dosa dan kesalahannya lalu meminta maaf. Dan ini bergiliran dari adik yang paling kecil hingga kakak yang paling besar lalu mamak dan terakhir ayah yang juga meminta maaf atas kekhilafan yang pernah dilakukan. Biasanya ini akan mengundang air mata tangisan yang benar-benar ingin meminta maaf dan tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tanpa terasa air mataku mengalir mengingat kenangan itu, kesedihan itulah yang menghambatku tak ingin pulang ke Medan walaupun sebenarnya rinduku tak tertahankan. Bapak tukang ojek menghentikan motornya “sudah sampai neng” lamunanku terhenti lalu aku mengusap air mataku dan turun dari motor. “Oooh iya pak, ini. Terima kasih ya pak” aku menyodorkan uang Rp. 10.000 sambil menunduk sedikit. Si bapak mengucapkan “sama-sama” lalu meninggalkanku sendirian di jalan kecil itu. Kubuka gerbang besi bercat hitam setinggi 3 meter dan aku melihat seorang wanita bertubuh gemuk mengenakan jilbab orange dan baju gamis cream. Wajahnya berperawakan manis khas perempuan sunda. Tersenyum ia melihatku dan aku membalas senyumannya. “Hastina?” ia mengulurkan tangannya. “Iya ustadzah” kuraih tangannya dan saat hendak kucium dia malah menarik tubuhku dan menempelkan pipi kanannya kepipi kananku. Seperti itu sampai 3 kali. “Ayo naik.” Aku mengikuti berjalan dari belakang. Kami menaiki anak tangga dan berhenti didepan ruangan ukuran sekitar 5x4 meter. “Naaah ini kamarnya, istirahat aja dulu yaa, pasti capek jalan jauh.” Kulihat disekeliling kamar ada 2 rangjang yang bergempetan. Lemari pakaian berwarna coklat tua yang sudah cukup usang dekat jendela. Beberpa handuk yang digantung di tempat penggantungan dekat lemari dan sebuah dispenser beserta galonnya dipojok dapur dekat westafel. 10 “Iyaa ustadzah, terima kasih. Tapi ustadzah ini kamar siapa? Kamar para ustadzah yang disini ta?” tanyaku. “Bukan, ini kamar khusus tamu” aku mengangguk mengerti. “Jadi ustadzah, saya tidur sendirian disini?” “Iya, beranikan sendirian?” “ahahaha beranilah ustadzah” kami berdua tertawa kecil memecah suasana yang cukup canggung. “Sudah makan?” aku menggelengkan kepala sambil tersenyum malu. ”Yasudah, istirahat saja dulu, nanti saya antarkan makan malamnya ya.” “Terima kasih ustadzah” aku menundukkan kepala, ustadzah Amirul keluar kamar dan menutup pintunya. Ku kunci pintu dari dalam dan aku lompat-lompat kegirangan tanpa suara. Suaraku tertahan atau aku akan malu karena sudah membuat keributan dipondok. Aku membersihkan badanku terlebih dahulu, selesai mandi aku merebahkan tubuhku sambil mengutak-atik handphone. Terdengar suara pintu kamarku diketuk dari luar. “Assalamu’alaikum” suara seorang wanita yang sangat asing dan tak kukenali. “Wa’alaikumussalam” ku ambil jilbabku yang aku gantungkan dipaku. Saat aku membuka pintu kulihat sosok wanita hamil bercadar dengan menggendong seorang anak perempuan berpipi tembem yang sekitar berusia 3 tahun. “Ini dimakan ya. Belum makan kan?” wanita itu tiba-tiba menyodorkan nasi bungkus kepadaku. Aku sedikit bingung tapi aku hentikan otak kotorku untuk tidak berfikir yang bukan-bukan. Tapi aku tahu, dia pasti salah satu pengasuh di ponpes ini. “Terima kasih ustadzah” menerima pemberiannya dengan senyuman yang sedikit canggung dan terkesan memaksa. “Saya boleh masuk?” “Ooh iya ustadzah, silahkan.” Aduh bodohnya aku. Pake lupa mempersilahkan masuk. “Air minumnya ada ta? 11 “Ada ustadzah. Didapur ada dispenser dan air galonnya juga masih banyak” sambil mempersilahkan duduk di karpet coklat polos yang dari awal kedatanganku memang sudah terbentang. “Namanya siapa? Dan darimana?” “Saya Hastina ustadzah. Hastina Minta Ito Harahap. Biasanya dipanggil Tina. Saya aslinya orang Medan tapi saya nyantri di Hidayatullah Cirebon. Ke Bandung hanya sekedar main-main untuk berlibur lebaran” penjelasanku lebih dari apa yang dipertanyakan. “Minta Apa teh? Minta Itu? Kok aneh namanya?” ustadzah sedikit tersenyum mendengar namaku. Aku tersenyum lebar melihat reaksi ustadzah. Aku sudah terbiasa dengan orang-orang yang sedikit kebingungan dengan namaku “Minta Ito ustadzah. Hastina Minta Ito Harahap” aku mengulang kembali penyebutan namaku dan menekankannya sedikit agar biar lebih jelas terdengar. “Oooh ini yang dibilang Ustad Syamsul tadi? Saya tuh sedikit bingung dengan penjelasan ustad Syamsul soalnya bahasa ribet hahaha. Entah gimana tadi bahasanya lupa saya. Orang Medan dari Cirebon datang ke Bandung, entahlah bingung saya tuh. Orang Medan toh, saya orang Palembang. Pernah nyantri di Hidayatullah Pekan Baru-Riau. Suami saya juga orang Medan, dia suku Pak-Pak. Kampungnya di Sidikalang. Suami saya marga Solin, kamu marganya apa tadi?” “Saya marga Harahap ustadzah, saya Batak Angkola, kampung suami ustadzah dan saya beda arah. Saya melewati Danau Toba dari Parapat, kalau suami ustadzah dari Berastagi Kabupaten Karo.” “oooh kirain sama hehehe.” aku membalas dengan senyuman dan gelengan kecil. “Saya kira di ponpes Hidayatullah Cirebon jadi pengasuhnya. Ke Bandung sendirian teh? Saya kira sama suami tadi” “Hahaha enggak ustadzah. Saya sendirian, belum menikah.” Aku tersenyum malu sambil menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Banyak yang kami perbincangkan, mulai dari adat suku Batak hingga macam-macam marganya dan sampai ke hal pribadi yaitu kenapa diumur yang sudah cukup matang belum juga menikah. Dan banyak pertanyaan dadakan lainnya. Percakapan kami mengalir begitu saja tanpa ada kecanggungan lagi, kami seperti 12 teman lama yang baru saja kembali berjumpa. Mungkin karena jarak umur kami yang tidak terlalu jauh, hanya berbeda 2 tahun. Senja sudah menampakkan warnanya menghiasi setiap wajah yang memandangnya. “Sudah mau magrib teh, saya pulang dulu ya.” Ia keluar pintu “Jangan lupa dimakan ya teh dan dienakin aja kalau kurang enak hehehe. Assalamu’alaikum” mengulurkan tangannya “ahahaha iya ustadzah. Wa’alaikumussalam. Kuraih tangannya dan kucium. Lalu aku kembali menutup pintu kamarku rapat-rapat. “Ayaaaah” aku teriak memanggil ayahku. Aku baru pulang sekolah. Menyelonong masuk tanpa mengucapkan salam. Tasku aku campakkan disembarang tempat. Kulihat ayah sedang masak didapur dan aku mendekatinya “Ayah, kenapa namaku ada Minta Itonya? Kawan- kawan disekolah ngejekin terus.” Dengan sedikit nada manja. “Hastina itu artinya wanita yang pemberani, hebat dan kuat. Minta Ito itu doa ayah dan mamak yang kepengen anak laki-laki. Dan akhirnya dapat ademu itu si Raja. Harahap ya marga ayahlah” tanpa melihatku ayah memberikan jawaban yang singkat padat dan jelas. Yang memberikan nama seperti ini padaku adalah Opung dan ayahku. Mereka berdua berkolaborasi memberikan aku nama tersebut. Pada saat aku sekolah dulu, rasanya malu memiliki nama yang aneh ini, temen-temen sering mengolok-olok namaku, “Minta apa? Minta uang?” dan semuanya tertawa. Berulang- ulang kali. Hingga aku terkadang hanya memperkenalkan diri dengan nama Hastina Harahap saja terkecuali kalau yang tercantum dalam buku absen kelas. Aku tak bisa mengubah itu. Tapi berbeda pada saat kuliah, teman-teman malah menanggapi yang menurutku jauh lebih aneh. Sat aku memperkenalkan diri di depan kelas, salah satu laki-laki dari bangku belakang bertanya “Kamu orang Jepang ya? Namanya ada Ito-nya. Arigatou Hastina-Chan” aku tersenyum dengan raut wajah bingung sedikit mengerutkan keningku. Ini adalah hal aneh yang pernah aku alami. Selama dibangku sekolah aku selalu diolok-olok karena memiliki nama begini, tapi saat kuliah teman-teman malah menganggap aku orang Jepang. Bahkan ada beberapa temanku yang memanggil aku “Ito”. “Assalamu’alaikum ustadzah. Saya izin keluar ya, mau ngiderin Bandung hahaha. InsyaAllah sore balik lagi. Mau nginap semalam lagi disini boleh ta ustadzah?” ku kirim pesan pada ustadzah Amirul. 13 “Wa’alaikumussalam, iya mangga teh. Jangankan satu malam, seribu malampun boleh hehehe. Kunci kamarnya teteh bawak saja yaa”. Balasan pesan ustadzah membuat aku tertawa kecil. “Malam seribu bulan? Kayak malam lailatul qodr aja” aku berbicara sendiri dan menggelengkan kepalaku. “Okeeeeh, ayo kita berangkaaaat” aku bangkit dari tempat duduk. ‘Hari baru koin baru’ ini adalah kata-kata penyemangat dari sebuah film anak-anak Spongebob Squarepants menyambut hari baru yang datang untuk menggantikan hari kemarin. Bahwasanya kita harus melakukan hari ini jauh lebih baik dari hari sebelumnya. Dan itulah yang sedang aku lakukan, aku mempersiapkan segala hal perjalananku. Tempat apa saja yang harus aku datangi dan yang mana akan aku tuju untuk pertama kalinya. Aku lihat rute perjalanan dari geoglemaps. Ku urutkan perjalananku yang sudah aku rancang tadi malam sebelum tidur. Mulai dari yang terdekat hingga yang terjauh. Tempat pertama yang aku kunjungi adalah ‘Saung Angklung Udjo’ jaraknya dari ponpes hanya 4 menit naik motor dan hanya 15 menit berjalan kaki. “Okee deket kok. Jalan kaki aja” gumamku. Berjalan sesuai arah yang ditunjukkan oleh maps, akhirnya aku sampai pada tujuan awalku pada pukul 09.25 wib di ‘Saung Angklung Ujdo’ yang sudah mendunia. Bahkan banyak turis asing dari luar negeri bahkan dari luar kota hanya untuk menonton pertunjukan aklung disini. Tempatnya luas, bagus dan ramah lingkungan. Benar-benar asri dan menjaga alam sekitar. Aku keliling-keliling dan mengabadikan setiap sudut Saung Ujdo dengan kamera handphoneku yang tidak seberapa ini. Kumendengar pengumuman dari sound system dari dalam saung bahwa pertunjukan angklung akan segera dimulai. Kuberjalan ke loket pembayaran untuk menonton pertunjukan angklung yang limat menit lagi akan dimulai. “Berapa tiket perorangnya mbak?” tanyaku pada si mbak penjaga loket. “Perorang untuk dewasa Rp. 70.000 dan Rp. 50.00 untuk anak-anak mbak. Mbaknya mau pesan berapa tiket?” aku terkejut mendengar harga yang harus aku keluarkan untuk sekali nonton pertunjukan. “Aaah, saya sendirian kok mbak” lagi-lagi aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Sendirian? Jalan-jalan kemari dalam suasanan liburan lebaran mbaknya jalan-jalan sendirian?” dengan raut wajahnya yang sedikit tidak percaya namun menunjukkan rasa 14 kasihan. Intonasi suaranya juga sedikit menarik perhatian seluruh teman-temannya yang ada dalam loket tersebut. Seketika mata teman-temannya semua tertuju padaku. Ada satu mata yang aku tangkap disitu dan mata kami bertemu yaitu mata mas-mas tampan yang melirikku karena penasaran. Langsung kupalingkan wajahku karena malu. Aku menaikkan alisku dan menunjukkan senyum yang sedikit membingungkan karena sikap berlebihannya si mbak penjaga loket. “Oke mbak, berarti satu tiket kan?” tangannya sangat lincah untuk memesankan satu tiket secara online padaku. Sistem pemesanan tiket disini sudah bagus dan canggih, menggunakan tablet, tidak seperti biasa yang masih banyak aku jumpai pemesanan tiket masih ditulis tangan atau menggunakan kwitansi. “Eeeh, enggak mbak. Maaf saya gak jadi pesan, soalnya kemahalan buat saya mbak. Maaf yaa mbak. Maaf.” Aku menghentikan lincah tangannya sebelum dia memesankan tiket untukku. Aku sedikit menundukkan kepala dengan raut wajah yang memerah karena malu. Aku yang hanya bermodalkan ongkos dan nekat jalan-jalan keluar kota ini, mana bisa mengeluarkan uang sebegitu banyaknya, bisa-bisa aku gak bisa balik ke Cirebon kalau uangku habis. Aku hanya bisa menikmati dan mendengar pertunjukan angklung dari luar saja. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.46 wib, aku memutuskan untuk masuk kedalam toko souvenir khas Saung Udjo Bandung. Kubeli 2 buah gantungan kunci bergabarkan angklung, wayang, dan juga sebuah gelang tangan. Kumelanjutkan perjalanan ke ‘Gedung Sate’. Terik matahari begitu menyengat dan lagian jalanan ramai dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang. Tak ada seorangpun yang berfoto disana. Waktu zuhur sudah datang. Aku mencari masjid terdekat. Dan kudapatai Masjid Al- Hidayah didalam komples Museum Geologi Bandung yang tepat didepan Taman Lansia. Kutunaikan sholatku terlebih dahulu lalu aku mengunjungi Museum tersebut. Aku tak masuk kedalam Museum. Aku takut kalau tiket masuknya akan membuat aku kembali malu karena tak bisa membelinya. Aku putuskan untuk bermain dan istirahat di Taman Lansia. Taman-taman di Bandung sungguh terkenal asri dan ramah lingkungan. Dan ternyata benar, tak ada sampah yang berserakan di taman ini. Semua orang yang berkunjung juga ikut menjaga kebersihannya. Bawa semua jejakmu. Jangan tinggalkan jejak kecuali jejak kaki. 15 Aku lapar, tapi aku harus menghemat uangku. Aku hanya membeli batagor 5ribu, minumnya sudah aku sediakan dari rumah bahkan aku membawa 2 botol. Kumakan di tengah taman yang menyediakan bangku dan meja kayu panjang yang saling berhadapan. Aku kembali ke Gedung Sate, sudah banyak orang disana. Berfoto-foto dan aku hanya bisa mengambil gambar Gedungnya saja tanpa ada aku didalam foto tersebut. Sedih rasanya ingin aku meminta tolong kepada orang disekitar untuk mengambilkan gambarku. Tapi aku malu untuk mengatakannya. “Bismillah” akhirnya aku memberanikan diri untuk meminta tolong pada abang-abang yang sedang duduk-duduk dengan seorang temannya sambil melihat hasil gambar mereka di kamera. “Ini adalah sasaran yang tepat” gumamku dalam hati, biasanya orang yang memegang kamera dan punya kamera berarti hobinya tidak jauh dan pasti pandai mengambil sudut pemandangan yang bagus. “Punten bang, boleh minta tolong? Fotokan saya sebentar boleh?” “oooh iya, boleh teh” kuberikan handphoneku padanya. “Dilihat dulu teh, mana tau kurang bagus” aku mendekat dan mengambil handphoneku dari tangannya. “Bagus bang, makasih yaa” dan dugaanku benar, hasil jepretannya sungguh memuaskan. Hari sudah semakin sore, ingin kuberjalan lagi ke Alun-alun kota Bandung. Lagi-lagi masalahku diuang. Aku tak ada uang untuk ongkos kesana. Kuputuskan untuk balik kerumah, kupesan ojek online. Tak lama aku menunggu, aku sudah dijemput, sungguh ini adalah suatu penemuan yang sangat luar biasa, pemikiran yang hebat dalam membantu orang lain agar lebih cepat sampai pada tujuan. Ditambah lagi dapat mengurangi populasi pengangguran karena pekerjaan seperti ini hanyalah bermodalkan Hp. Sesampainya dikamar, aku membersihkan tubuhku lalu beristirahat. Mengutak-atik handphone dan update status di story instagram dan whatsapp. Dan lagi, makan malamku diantar oleh seorang santri pria. Awalnya aku terkejut, tapi setelah dipikir-pikir inikan ponpes khusus laki-laki yaa wajarlah. Mungkin ustadzahnya lagi sibuk ngurusin anak dan rumah. Berhentilah kau wahai otak kotor untuk tidak memikirkan yang aneh-aneh. Bersyukurlah kau sudah diberikan tempat tinggal dan dikasih makan gratis. 16 Ustadzah Amirul mengundangku ke rumahnya untuk sarapan. Ternyata ada ustadzah Muli istrinya ustad Anwar yang sedang bertamu ke Bandung, kucium tangannya. “Ayooo dimakan teh, jangan malu-malu” ustadzah Amirul menawarkan makanan yang tersedia di atas tikar. Ada martabak kacang coklat, gorengan, nasi lemak, dan juga teh hangat. Rumahnya sungguh sederhana, tak ada kursi ataupun meja. Hanya beralaskan tikar, kamarnya juga disekat dengan triplek agar ada kamar untuk ketiga orang anaknya yang masih kecil- kecil. Kusantap semua makanan yang tersedia satu per-satu tanpa ragu. Karena ketika perut yang menguasai diri maka tak akan bisa diajak kompromi sebelum haknya terpenuhi. “Teh Hastina kelas berapa?” ustadzah Amirul mulai menanyaiku dan aku bingung harus menjawabnya karena aku sudah tidak bersekolah lagi tapi sudah tamat dan sudah pengen nikah malah. “Udah tamat kuliah ini mbak, udah S1 dianya” ustadzah Muli mewakiliku menjawab pertanyaan ustadzah Amirul. Aku bernafas lega. “Oooh ini yang kamu ceritain tadi Mul?” ustadzah Muli mengangguk. Dan aku mengernyitkan dahiku. Aku mulai curiga apa yang mereka ceritakan tentangku? Oooh otak kotor jangan berfungsi lagi. Enyahlah kau. “Gimana Hastina? Mau ngajar disini? Atau mau nikah? Banyak ustad muda loh disini” dan aku mulai memasang wajah bodohku, aku tergagap dan bingung harus menjawab apa, aku hanya bisa tertawa kecil sambil malu-malu dengan tingkah yang menjijikkan. “Umurnya berapa sekarang?” “23 tahun ustadzah” “Umur segitu saya sudah nikah, kamunya kapan lagi?” “InsyaAllah ustadzah kalau sudah datang waktu yang tepat” “Ya jangan menunggu saja. Kejar dong heheh. Selepas tahfidz di Cirebon mau ngapain?” “Saya mau balik ke Medan ustadzah. Menjaga mamak sambil kerja, sekaligus cari-cari pendaftaran beasiswa S2 keluar negeri.” “Emang mau lanjut kemana?” 17 “Rusia insyaAllah ustadzah” jawabku mantab “Kenapa gak ke Turki aja? Kan banyak saudara kita disana. Kalau di Rusia kayaknya sedikit” “Entah kenapa saya lebih tertarik ke Rusia ustadzah. Saya rasa ada sejarah yang menarik disana dan ada sesuatu yang harus saya capai disana ustadzah.” “Suka sama sejarah?” aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil sambil menyeruput teh yang sudah aku tuang sejak tadi. “Semoga Allah meberikan yang terbaik bagi hambaNya yang menuntut ilmu dijalanNya.” Aku mengemasi semua barang-barangku. Aku membersihkan dan merapikan kamar yang sudah aku pakai selama 2 malam. Setelah semuanya beres aku berpamitan pada semuanya. Meninggalkan kota Bandung dan semua kenangannya untuk kembali ke Cirebon dengan semua kerinduannya. “Pak, ini bus ke Cirebon ta?” tanyaku pada supir bus tersebut. “Iya neng, ini bus yang berangkat pertama ke Cirebon” Aku memilih kursi dekat jendela. Busnya tampak sepi, hanya sekitar 6 orang penumpang termasuk aku didalam bus tersebut. Aku memasang earphone dan mendengarkan lagu dari handphoneku. Bus berjalan, tak lama banyak kursi yang terisi oleh penumpang, tapi tak ada yang duduk disampingku. Lagi-lagi perjalanan ini sungguh melelahkan karena kesunyian. Tak lama kemudian seorang laki-laki separuh baya menggunakan kemeja berwarna merah dan ada tulisan Bhineka didadanya menghampiriku. Aku tahu maksud dan tujuannya apa. Tanpa bertanya kuberi uang Rp. 55.000 padanya. “Kemana neng?” “Cirebon pak” “80 ribu neng” aku sedikit membesarkan kelopak mataku. Mati aku, uangku sisa 70 ribu dikantong sementara aku harus menyisakan 10 ribu untuk ongkos pulang ke ponpes. “Bukannya 55 ribu ya pak ongkosnya?” “Eeeeh si eneng. Ini lebaran bla....bla....bla....bla....bla....” si kenek merepet pake bahasa sunda. Itu membuatku jadi semakin bersalah dan bingung. Aku mengernyitkan dahiku dan 18 tak melepaskan pandanganku padanya. Aku emang tak tahu dia ngomong apa tapi aku tahu kalau dia kesal padaku karena aku tak membayar ongkos sesuai tarif. “Maaf pak, saya tak ada uang lagi. Saya hanya bisa kasih 60 ribu. Maaf, saya merantau disini pak” aku memasang wajah memelas. “blaaa ....blaaa ....blaaa ....” dia masih merepet dengan bahasa sunda. Tapi tetap mengambil uang ditanganku “Kalau mau merantau harus ada uang neng. Jangan malu- maluin” jleeeb serasa seperti ada pemanah jitu yang menembak kearahku dan menusuk jantungku, sakiiiit rasanya. Sungguh pesan moral yang diberikan oleh bapak kenek adalah hal yang harus aku ingat seumur hidup. Alhamdulillahnya aku tidak diturunkan ditengah jalan oleh si supir. Kalau tidak, entahlah. Aku juga tak ingin membayangkannya. Menjadi gembel di perantauan. Description: Tn. Rain, @hastinaharahap96, Petualangan bukanlah untuk sekedar senang-senang, bukan juga untuk menghambur-hamburkan uang. Tapi dia lebih dari itu. Bertemu banyak orang, menjelajahi banyak tempat, mengambil pelajaran dari sebuah perjalanan, dan mengasah kemampuan bersosialisai adalah Perjalanan sesungguhnya. Inilah yang disebut sebagai Para Petualang. "Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #SaatnyaLiburan 2019 yang diadakan oleh Srorial dan Nulisbuku"
Title: Wind Dog - Aramos and Clown Squad Category: Fantasi Text: Prolog Selama berabad-abad yang lampau, laut merupakan tempat terkaya di muka bumi. Ketika Laut menjadi jalan untuk mencapai penjuru dunia, menukar sutra dan rempah, menjadikan setiap tetes anggur berubah ke setiap keping emas dan perak, laut adalah surga bagi para penguasanya. Hingga lahirlah para penguasa yang lebih besar lagi. Para penguasa yang serakah yang ingin menguasai semua kekayaan laut dan mencicipi sedikit banyak kenikmatan daratan. Bajak Laut. Nama-nama mereka dibisikkan dengan ketakutan di setiap deburan ombak dan setiap mendekati pantai, diteriakkan dengan jeritan yang takkan pernah dilupakan oleh semua tempat yang pernah disinggahinya. Mereka mengambil semua yang dapat disentuh, menenggak semua yang dapat dinikmati lidah dan menghancurkan semua yang dapat diratakan. Lebih dari tiga abad laut dan darat mereka jadikan sarang. Dan ketika puncaknya dunia semakin terasa sempit, mereka, para bajak laut mulai merasa tidak puas. Mereka mulai melirik bagian dari para bajak laut lainnya. Mereka mulai berperang antar sesama mereka. Mulai saling menghancurkan. Tidak lagi menghormati peraturan yang dulu mereka tegakkan dan mencari kepuasan sendiri dengan lebih serakah lagi. Hingga terbelahlah laut dan kekuasaannya. Kelompok-kelompok yang merasa ketakutan mencoba berlindung di kubu-kubu yang lebih kuat. Kubu-kubu yang masih memegang prinsip dengan bayaran yang setimpal. Tapi itu tak berlangsung lama. Ketika bulan pernama datang, di tengah ketenangan laut, terjadilah perang besar memecahkan kesunyian lautan. Dua kubu yang berbeda prinsip, berbeda pemimpin, berbeda tujuan dengan bantuan sekutu masing-masing saling menghancurkan. Pertempuran yang terjadi tujuh belas hari tujuh belas malam itu merusak kehidupan banyak pihak, sehingga pemerintahan beberapa kerajaan memutuskan untuk terlibat. Son of Sea, kubu penguasa Timur dan Barat, di tengah tekanan kematian dan kekalahan melakukan kesepakatan dengan Kerajaan Inggris yang memiliki armada laut terbesar. Dengan menyerahkan lebih dari seribu peta tempat penyimpanan harta kekayaan miliknya dan para sekutunya, Son Of Sea diselamatkan dan dipulihkan seluruh kekuasaannya sebagai rakyat. Dark Seas, kubu Utara dan Selatan, yang memiliki armada dua kali lipat daripada Son of Sea, akhirnya takluk di hadapan armada Inggris dan para sekutunya. Lebih dari seribu pengikut Dark Seas dihukum mati, sedangkan ratusan lainnya berhasil melarikan diri dan lenyap di telan kegelapan malam. Yang tertinggal hanyalah kapal induk Dark Starship bersama lebih dari tiga ribu peta harta karun. Selama berabad-abad lamanya kekayaan-kekayaan yang tersimpan mulai ditemukan. Ujung Utara Selatan, Barat ke Timur, semua tempat diaduk-aduk sekutu pemenang. Tapi, ternyata para sekutu hanya mampu memperoleh sebagian kecil dari seluruh peta yang ada. Dan di luar sana masih menanti kekayaan-kekayaan berlimpah untuk ditemukan. Berpacu dengan waktu dan para keturunan pengikut Dark Seas, Pemerintah, dan sekutunya membentuk kembali kubu Son of Sea. Bab 1 “Pergi ke kamarmu. Jangan sampai aku melihat wajahmu lagi berkeliaran di rumahku” Aramos mendengus dan berlari ke bawah tanah. Dia membuka pintu dan membantingnya dengan sekuat tenaga. Sedetik kemudian suara melengking itu terdengar lagi. Aramos menutup telinganya dan meringkuk di dekat tempat tidur. Suara ibu tirinya tidak terdengar lagi. Aramos meninju bantalnya dengan keras berulang-ulang kali. Hingga akhirnya dia lelah, dia duduk menghadap sebuah foto tua yang dipigura seadanya. Foto yang menggambarkan sepasang remaja berusia awal 20-an sedang duduk di tepi pantai itu sudah usang, dan tampak bekas dirobek. Namun dengan hati-hati telah disambung lagi dengan menggunakan perekat seadanya. Aramos masih mengingat bagaimana ibu tirinya yang berhidung bengkok dan berambut merah seperti api, merobek foto itu setahun lalu. Ibu tirinya kesal karena ayahnya tidak meninggalkan harta warisan selain rumah tua yang ditempatinya saat ini. Ibu tirinya merobek dan membakar semua foto yang berhubungan dengan ayah ibunya. Beruntung saja dia berhasil menyelamatkan foto terakhir yang dilempar ibu tirinya ke kobaran api. Walaupun tangannya mengalami luka cukup parah, Aramos tidak perduli. Dia bahkan bersyukur karena kejadian itu ibu tirinya sempat diperiksa dinas sosial. Kini ibu tirinya hanya berani membentaknya. Walaupun dia mengalami tekanan batin yang amat sangat melebihi luka di tangannya, Aramos tak pernah berani melarikan diri dari rumah itu. Dia tidak lagi memiliki keluarga lain selain ibu tirinya, dan Jason adik tirinya. Hari ini untuk ketiga kalinya dia disalahkan atas sesuatu yang diperbuat oleh Jason. Adik tirinya yang berumur delapan tahun itu sangat licik. Pagi-pagi sekali dia dengan sengaja kencing di karpet ruang tamu. Tapi sesaat sebelum ibunya bangun, dia pura-pura kembali tidur di kamarnya. Sehingga yang disalahkan adalah Aramos. Siangnya, setelah pulang sekolah, Jason dengan sengaja menjatuhkan baju-baju yang telah dicuci dan dijemurnya di halaman belakang. Sekali lagi ibunya menyalahkannya. Sambil menjewer, dia diminta untuk mencuci kembali semua baju itu. Kini dia disalahkan karena memecahkan piring makan. Padahal itu dia lakukan untuk menghindari Jason yang ingin meludahinya. Menurut Jason itu permainan seru yang sedang trend di sekolahnya. Aramos naik ke tempat tidurnya. Percuma saja dia menunggu dipanggil untuk makan malam. Karena sudah dapat dipastikan dia takkan mendapatkan apapun malam ini untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Sejak kematian ayahnya setahun lalu, tubuhnya yang ceking semakin ceking saja. Dia sudah tidak bersekolah lagi. Padahal tahun ini seharusnya dia mengikuti ujian nasional untuk tingkat SMP. Tapi tak ada yang perduli, bahkan guru-gurunya yang menganggapnya tak terlalu pandai hanya sekali saja datang ke rumah, sekedar berbasa-basi menunjukkan keprihatinan karena dia berhenti sekolah. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang datang menemuinya. Dia yang memang tidak memiliki teman dekat, semakin kehilangan teman. Dia kini hanyalah seorang anak yatim piatu yang hidup dari belas kasihan ibu tirinya. Aramos hampir saja jatuh tertidur ketika pintunya diketuk dengan keras oleh ibu tirinya. Aramos memandang jam meja usang di lantai. Pukul sebelas malam. Seharusnya ibu tirinya sudah tidur jam begini. Apakah ibu tirinya menyiapkan sedikit makan malam untuknya? Aramos menggeleng sambil tersenyum kecut. Baginya itu adalah kemungkinan yang jauh dari kenyataan. “Aramos……Aramos……Aramos…..bangun kamu. Cepat. Ada yang ingin bertemu denganmu.” Aramos mengerutkan keningnya. Suara ibunya yang super nyaring membuatnya jelas mendengarkan semua, kata per kata, yang keluar dari mulut ibunya. Dengan bersemangat dia membuka pintu. “Siapa, bu?” Ibu tirinya tampak sedang berkacak pinggang tak sabar. “Seseorang dari dinas sosial” Aramos mengerutkan keningnya. Sudah setahun dia tidak bertemu dengan petugas dinas sosial. Sejak ibu tirinya berjanji akan menjaganya dengan baik, agar rumah itu dapat menjadi miliknya, mereka tak pernah lagi datang. “Malam-malam begini? Mau apa dia?” “Mana ku tahu! Lebih cepat kau temui dia, maka akan lebih baik. Dia akan lebih cepat pergi. Oh ya, ingat jangan macam-macam. Kamu tidak boleh mengatakan apapun yang merugikanku. Ingat. Bila aku kehilangan rumah ini, maka kamu pun akan kehilangan tempat tinggal. Di luar sana dunia akan lebih kejam untuk anak tidak berguna sepertimu” Aramos menelan ludah dan mengangguk pelan. Dia sadar kata-kata ibu tirinya mengandung setitik kebenaran. Dengan pelan dia menaiki tangga mengikuti ibu tirinya. “Nah, ini dia. Kalian bicaralah. Lebih cepat lebih baik. Aku harus tidur” Aramos memandang pria petugas dinas sosial dengan bingung. Pria itu bertubuh pendek dan sangat berisi. Jasnya hampir saja tidak muat untuk menutupi perutnya. Tapi wajahnya sangat bersahabat. Dia tampak menyenangkan di balik seragamnya yang menakutkan. Sangat berbeda dengan petugas-petugas dinas sosial yang dulu pernah ditemuinya. Pria itu juga memandangnya dari kaki sampai kepala dengan puas. Senyumnya semakin tersungging ketika melihat kebingungan Aramos. “Nyonya Soammer, kalau bisa bolehkah saya mengajak Aramos berbicara di luar” “Untuk apa? Ini sudah malam. Aku tak ingin disalahkan bila…..” “Tak usah khawatir. Karena ini permintaanku, tak ada yang akan menyalahkan anda.” Ibu tirinya tampak menyipitkan mata seperti seekor kucing yang licik. Itu biasa dia lakukan bila ingin menyelidiki seseorang. Setelah yakin bahwa pria pendek itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya, dia pun memandang Aramos. Dia memandang Aramos dengan nada peringatan. Kalau bisa diterjemahkan, dia bermaksud memperingatkan Aramos agar tidak macam-macam atau mengatakan hal-hal yang merugikannya. “Baiklah. Tapi jangan buat aku menunggu lama-lama. Aku tak ingin tidur terlambat hanya karena kalian.” Setelah mengucapkan terima kasih, pria itu keluar sambil mengapit lengan Aramos. Pegangannya tidak terlalu keras, tapi tidak juga longgar. Dia seakan-akan ingin mengatakan bahwa Aramos harus segera mengikutinya. Awalnya Aramos berpikir mereka akan berbincang-bincang di halaman depan. Tapi ternyata pria pendek itu mengajaknya hingga ke luar halaman. Dia bahkan mengajak Aramos terus ke arah jembatan dan berbelok masuk ke salah satu sisi jalan raya. Sebelum berbelok, Aramos sempat melihat ibu tirinya berdiri berkacak pinggang di teras kecil mereka dengan diterangi lampu lima watt. Wajahnya tak terlihat jelas, tapi tampaknya dia juga sedikit heran dengan perlakuan pria pendek ini. Aramos tiba-tiba merasa ketakutan. Di belokan itu tampak menunggu sebuah mobil mewah. Dengan segera dia di dorong masuk. Dan sedetik kemudian mobil itu melaju menuju ke kota. Aramos memandang pria kecil tadi dengan heran. Dia seakan tak mampu berkata apa-apa karena merasa seperti diculik, atau mungkin dia memang diculik oleh pria kecil gemuk ini. Tapi untuk apa? Apa maksudnya? Pria kecil itu tetap terlihat ramah di kegelapan mobil yang melaju menuju arah kota. Dengan gugup Aramos memandang interior mobil mewah itu. Seperti layaknya mobil-mobil para selebritis, mobil itu memiliki segala macam fasilitas. Tampak bar mini dengan berbagai macam minuman. Di sebelahnya sebuah wadah kaca dengan diterangi lampu kecil menerangi berbagai jenis kue yang terlihat sangat menggiurkan. Saking terpananya, perut Aramos meneriakkan apa yang dipikirkan oleh Aramos yang sedang kelaparan. Pria kecil itu tertawa. Dengan sigap dia membuka lemari kaca itu di tengah mobil yang lagi melaju. “Ambillah. Tak usah ragu-ragu” Aramos sesaat mengerutkan keningnya. Memikirkan dirinya diracuni dan dibunuh, entah dengan tujuan apa, membuatnya merasa sedikit ketakutan. Tapi ternyata tidak demikian dengan perutnya. Sekali lagi perutnya bernyanyi meneriakkan keinginan untuk diisi. Dengan hati-hati Aramos mengambil sepotong kue coklat yang dihiasi berbagai jenis buah-buahan diatasnya. Pada gigitan pertama Aramos merasakan sensasi luar biasa. Seumur hidup tak pernah dia merasakan kue selezat itu. Tanpa malu dia mengambil kembali kue kedua yang dihiasi krim. Rasa yang sama didapatinya. “Pelan-pelan saja.” Pria kecil itu menyodorkan sekotak susu coklat hangat padanya yang berasal dari penghangat dekat tempat duduknya. Aramos mengangguk dan meminum susu itu dengan cepat. Sesaat kemudian dia sudah menikmati kotak yang kedua. Setelah puas menikmati tiga potong kue yang sangat lezat, Aramos bersandar di kursi empuk mobil mewah itu sambil tersenyum. Sesaat kemudian dia sadar sedang diperhatikan oleh pria yang tadi menjemputnya. Dengan malu-malu, Aramos menghadap ke arah pria kecil tadi sambil menundukkan kepalanya. “Maaf…… Kue tadi….. saya…… terima kasih… saya……” “Tidak apa-apa. Oh ya , perkenalkan… Nama saya adalah Luis. Luis Partial” “Tuan Luis….. Aramos” Aramos menggenggam jari-jari gemuk itu dengan bersemangat. Sekilas Aramos sempat melihat cincin yang dipakai Tuan Luis. Cincin itu memiliki sebuah symbol kuda laut di tengah-tengahnya. “Baiklah, kurasa lebih cepat lebih baik kita bicara ke pokoknya. Sebelum ibumu…..” “Ibu tiri” Pria itu hanya tersenyum maklum “Iya, ibu tirimu itu merasa bosan menunggu kepulanganmu dan akhirnya memutuskan menguncimu di luar. Aku tentunya tak menginginkannya” Aramos mengangguk. Hal itu pernah terjadi dulu sekali ketika dia kemalaman pulang dari kuburan ayah ibunya. “Pernahkah kau mendengar tentang SOS?” Aramos mengerutkan keningnya. “Bukankah itu kode untuk meminta pertolongan?” Tuan Luis tersenyum dan mengangguk. “Jadi kau tak tahu arti lainnya?” Aramos menggeleng dengan bingung. “Baiklah…… Aku akan menjelaskan semuanya padamu. SOS yang kumaksud adalah Son Of Sea. Itu adalah kelompok Bajak laut yang dulu pernah diselamatkan armada Inggris dan sekutunya. Pada awal tahun 1700-an, kelompok itu dibubarkan oleh Inggris. Namun sekitar seabad lalu kelompok itu kembali didirikan” Aramos diam. Dia tidak tahu ujung pangkal dari pembicaraan ini. “SOS didirikan kembali oleh pemerintahan Inggris dan sekutunya untuk mencari lokasi tempat penyimpanan harta karun yang dulu disembunyikan oleh para Bajak Laut. Karena alasan tertentu, masih begitu banyak harta yang belum ditemukan dan masih tersembunyi di dunia ini. Itu sebabnya untuk dapat menemukannya, Para sekutu menganggap membentuk kembali SOS dengan anggotanya para keturunan bajak laut, akan merupakan langkah yang efektif. Karena untuk dapat menebak arah pemikiran para bajak laut yang begitu kompleks, mereka yakin para keturunan bajak laut merupakan orang-orang yang tepat untuk menerjemahkannya” “Lalu? Apa hubungannya dengan saya?” Tuan Luis memandangnya penuh pengertian membuat Aramos terkesiap. “Maksud anda aku adalah salah satu keturunan dari bajak laut. Benarkah? Apakah Ayahku memang keturunan bajak laut SOS?” Tuan Luis memperbaiki duduknya. “Bukan ayahmu. Tapi ibumu.” “Ibuku? Ibuku keturunan bajak laut SOS? “ Tuan Luis menggeleng kepalanya dan tersenyum. Mobil beberapa menit lagi seharusnya sampai di kota. Tapi, mobil itu berbelok ke jalan alternative yang merupakan jalan putar untuk kembali ke rumahnya. “Ibumu bukan keturunan SOS, tapi keturunan Dark Seas, pihak yang berseberangan dengan SOS” “Lalu? Aku tak mengerti” “Ketika SOS berperang dengan Dark Seas, SOS mengalami kekalahan yang cukup besar sehingga mengakibatkan dia harus menggabung kekuatan dengan Armada Inggris dan sekutunya. Dark Seas kemudian mengalami kekalahan yang cukup besar, dan sebagian besar dihukum mati oleh Pihak Inggris dan sekutu. Hanya sebagian kecil yang selamat dan berhasil melarikan diri.” Aramos menelan ludah dengan gugup. “Namun diantara dua pihak yang dihukum mati dan melarikan diri, ada sebagian kecil lainnya yang bernasib berbeda. Saat menghadapi tiang gantung, dengan mempertimbangkan beberapa hal, Pihak Inggris memutuskan mengampuni beberapa orang bajak laut Dark Seas. Salah satunya adalah moyangmu” “Ketika SOS dibentuk kembali. Kakekmu, ayah dari ibumu, merupakan bagian dari angkatan awal kami. Dia direkrut saat masih berumur Sembilan tahun. Rekrutan termuda yang pernah dilakukan. Dan ketika kakekmu meninggal, ibumu sebenarnya adalah generasi kedua Bombersfish yang ingin kami rekrut, tapi karena kondisi nenekmu yang tak memungkinkan, ibumu menolak. Kini setelah mempertimbangkan usiamu dan kondisimu saat ini, kami panitia pembentuk dan pembimbing SOS, kamu dapat menyebutnya The Dolphin, berniat merekrutmu. Menjadikanmu bagian dari SOS” Sesaat setelah semua kata-kata itu terserap, Aramos terpana. “Tapi bagaimana mungkin? Aku bahkan tak dapat membayangkan diriku menjadi bajak laut” Tuan Luis tertawa. “Kamu tak perlu membayangkan menjadi Bajak Laut, karena kamu bukan bajak laut lagi. Kamu hanya dididik dan diminta untuk berpikir seperti mereka untuk menemukan harta-harta yang terpendam. Nah, pertanyaannya sekarang, siapkah kamu meninggalkan kehidupanmu saat ini?” Aramos ingin menjerit menyatakan keinginannya. Dia walaupun masih memiliki banyak pertanyaan, tak pernah menyangka memiliki opsi lain dalam hidupnya untuk masa depannya. “Tentu saja.” Kata Aramos bersemangat. Tuan Luis mengeluarkan secarik kertas. Dia menyodorkannya ke Aramos. “Ini adalah garis keturunan ibumu. Aku yakin banyak pertanyaan yang ingin kau ajukan padaku. Tapi dengan bergabung bersama SOS, cepat atau lambat kau akan mengetahuinya. Bahkan tentang mengapa moyangmu mendapatkan pengampunan dari pemerintahan Inggris. Mungkin kau akan mendengarkan banyak kisah, tapi satu hal yang dapat kukatakan, berpikirlah yang positif, banyak kisah itu mengandung sedikit saja kebenaran” Aramos mengamati kertas itu. Dengan bantuan lampu jalan dia dapat melihat lebih dari lima belas nama tertulis di kertas itu namun yang paling atas tertulis namanya. Walaupun nama belakangnya berbeda. Aramos Bombersfish. Dia sebenarnya ingin menanyakan banyak hal lagi tapi, perlahan mobil itu telah berhenti di depan rumahnya. Dan begitu pintunya dibuka oleh sopirnya, Tuan Luis segera keluar. Dengan segera Aramos membuka pintu menyusul Tuan Luis yang kini telah berdiri berhadapan dengan ibu tirinya di teras. “Darimana saja kalian. Ini hampir tengah malam. Memangnya kau pikir aku pembantunya, hingga harus menungguinya, hah?” Tuan Luis menunduk dengan sopan. “Maafkan aku. Aku membutuhkan sedikit waktu meyakinkan Aramos untuk menerima harta warisan miliknya” Wajah ibu tirinya yang tadinya terlihat sangat kesal tiba-tiba berubah shock dan dalam hitungan detik berubah menjadi begitu manis. Aramos telah mengenali semua mimik itu. Dan mimik terakhir adalah mimik licik ibu tirinya bila menginginkan sesuatu. “Harta warisan? Wah, benarkah. Jadi Luke masih memiliki harta untuk kami?” “Maaf, Nyonya. Harta warisan itu adalah untuk Aramos seorang” “Apa? Apa maksudmu? Aku adalah istri sah Luke Soammer. Dan anakku Jason adalah anak sahnya. Jadi harta apapun yang ditinggalkannya adalah milikku dan anakku” Tuan Luis tersenyum kecil menanggapi ibu tirinya. Tampaknya dia telah mengetahui benar tabiat-tabiat seperti ibu tirinya. “Harta itu bukanlah warisan dari Tuan Luke. Melainkan dari Nyonya Julia Soammer Bombersfish kepada anaknya. Anak satu-satunya yaitu Aramos Soammer” Mulut ibu tirinya ternganga. Ingin rasanya Aramos bertepuk tangan melihat keterkejutan ibunya. “Apa? Itu tidak mungkin. Ketika meninggal perempuan itu hanyalah perempuan sakit-sakitan yang miskin. Dia tidak mungkin meninggalkan sesuatu yang berharga untuk anaknya ini. Memangnya apa yang ditinggalkan perempuan itu untuk anaknya yang tak berguna ini, hah?” Tuan Luis mengangkat sebelah alisnya dengan kurang senang. Tampaknya dia memiliki keterbatasan juga dalam mentolerir kelakuan seperti ibu tirinya. “Dia sebelum meninggal telah menyiapkan pendidikan untuk Aramos hingga dia mampu mandiri. Pendidikan di tempat yang sangat baik dan yang pasti tidak sembarang orang dapat memasukinya. Pendidikan yang sangat layak untuk Aramos” Ibu tirinya berdiri dengan berkacak pinggang. Dia kelihatan sekali sangat tidak nyaman dengan pernyataan Tuan Luis. “Tidak….. aku tidak akan mengijinkan dia pergi dari rumah ini. Dia harus di sini. Dia harus membantuku membesarkan adiknya. Dia tak perlu pendidikan itu” Tuan Luis melipat tangannya di depan jasnya. Tampak sekali dia sangat kesal. “Nyonya Soammer, seharusnya anda sadar kedudukan anda. Apabila saya melaporkan semua kata-kata yang anda keluarkan dengan tidak sopan dan tidak bertanggung jawab itu ke pemerintah, dan juga ketika anda dengan sengaja menghalang-halangi seorang anak mendapatkan harta warisannya berupa pendidikan yang layak, maka selain anda akan kehilangan rumah ini, anda juga akan kehilangan anak anda, Jason, karena dianggap tidak pantas dibesarkan oleh ibu seperti anda” Keheningan yang tercipta terasa begitu nyaman bagi Aramos. Dia tak pernah melihat ibu tirinya begitu ketakutan. Baginya Jason adalah permata, dengan mendengar akan kehilangan Jason membuat ibunya itu bagaikan tersambar petir dan untuk sesaat tak bernyawa. “Baiklah kurasa semua telah jelas, Nyonya Soammer. Besok, aku sendiri akan menjemput Aramos. Dia harus siap pukul tujuh pagi. Apabila dia belum siap atau tak dapat ikut denganku dengan alasan apapun, maka semua resiko harus siap anda tanggung” Tuan Luis mengangguk ke Aramos, dan meninggalkan teras rumah itu dengan santai tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi ke ibu tirinya. Bab 2 Aramos mengamati jalanan yang kini ditempuhnya bersama Tuan Luis. Sejam yang lalu dia dijemput oleh Tuan Luis dengan mobil mewahnya. Mereka kali ini tidak menuju ke kota, tapi menuju ke arah selatan, ke daerah perumahan mewah di dekat pesisir pantai. Tadi malam, ketika Tuan Luis meninggalkan rumahnya, dia segera berlari ke kamar bawah tanahnya. Selain untuk segera bersiap-siap, dia juga ingin menghindari interogasi ibunya. Dia tidak ingin menjelaskan apapun bagi perempuan yang selama ini membuat hidupnya bagaikan di neraka. Lagipula dia sendiri masih kabur dengan semua kejadian yang terjadi malam itu. Semalaman dia mencoba membayangkan kehidupan yang akan dijalaninya nanti kurang dari dua puluh empat jam. Dengan mengamati nama-nama yang asing di lembaran kertas yang diberikan Tuan Luis, Aramos mencoba membayangkan orang-orang itu. Namun satu-satunya yang dapat diingatnya adalah wajah ibunya yang ayu dan jauh dari kesan kejam dan sadis Bajak laut. “Kita hampir tiba” Kata-kata Tuan Luis membuatnya tersadar. Mereka memasuki sebuah halaman pekarangan yang berpagar tinggi. Tak ada penjaga yang membuka gerbang. Gerbang itu terbuka otomatis dengan mulus, dan mobil itu melaju menuju ke bagian dalam yang dipenuhi beratus-ratus pohon besar. Jalanan yang mereka lewati tampak tidak terawat, tapi setelah seratus meter Aramos dapat melihat sebuah rumah berstruktur Eropa dengan warna abu-abu. Rumah itu tidak terlalu besar dan terletak sedikit jauh dari jalanan yang dilalui mobil mewah itu. Sekilas Aramos melihat sebuah jalan menuju rumah itu, namun ternyata mobil itu tidak berbelok ke arah tersebut. Mobil itu terus melaju menuju ke pesisir pantai yang terlihat begitu indah di pagi hari. Tampak dermaga kecil dan seorang pria tua sedang berdiri di sana sambil memandang lautan. Aramos memandang ke Tuan Luis dengan tanda tanya. Dia tidak melihat satupun bangunan lain di sekitar situ. Apalagi bangunan yang berbentuk sekolah. Mobil itu berhenti lima belas meter dari garis pantai di bawah salah satu pohon. Tuan Luis seperti biasa langsung turun dari mobil begitu pintu dibukakan oleh sopirnya yang berkulit sangat gelap. Dengan menenteng ranselnya yang memang hanya berisi sedikit pakaian dan keperluannya serta foto ayah ibunya, dia ikut turun. Tuan Luis menunggunya semeter dari mobil dan dengan anggukan kepala, seperti mengajaknya ikut dengannya menaiki dermaga. Aramos memandang pantai dengan pasti. Kini dia kembali mengingatkan dirinya sendiri tentang maksud kedatangannya. Sambil setengah berlari dia melewati pantai berpasir putih dan mengikuti Tuan Luis. “Halo, Harold…….” Tuan Luis menggenggam erat tangan pria tua itu dengan bersemangat. Aramos yang di belakangnya hanya tersenyum. Dia melihat pria tua itu memakai penutup mata seperti para bajak laut. Dia jadi teringat sekolah seperti apa yang akan di masukinya ini. Pria tua itu memiliki gigi yang kekuning-kuningan ketika tersenyum. Tapi senyumnya sangat ramah membuat Aramos tidak takut ketika menyambut uluran tangannya. “Well, Luis…… Inikah anak itu?” “Ya. Aramos Soammer…… keturunan dari Aramos Bombersfish” “Hai……” Aramos mengulurkan tangannya dengan senang Pria tua yang memiliki tubuh tinggi besar itu mengabaikan tangannya dan justru menepuk-nepuk kedua bahunya dengan semangat. Lalu dia memeluk Aramos dan kemudian menatap langsung ke mata Aramos seakan-akan mencari sesuatu. “Ya, Aramos…..Matamu walaupun belum terlihat jelas, semangat itu ada di sana. Ya, aku dapat melihatnya. Semangat berpetualang” Aramos tersenyum. Dia merasa sangat nyaman diantara kedua orang yang baru dikenalnya ini. Mereka memperlakukannya sangat baik, seakan-akan dia telah lama menjadi bagian dari kelompok mereka. “Bagaimana, Harold? Apakah mereka telah tiba?” Harold mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Benda itu berbentuk bulat dan hanya sebesar jam saku. Benda itu seperti alat pelacak yang memiliki beberapa titik berkedap kedip. Dia menyodorkannya ke depan Luis yang hanya setinggi dadanya. “Kurang dari lima menit lagi” “Begitulah…… Kurasa kita harus berangkat sekarang kan?” Tuan Luis mengangguk dan berbalik menghadapi Aramos. “Aramos…… Aku mengantarmu sampai di sini dulu. Ada beberapa hal yang harus kuurus. Jangan khawatir. Tuan Harold Rhumber akan mengantarmu ke kapal yang akan mengantarmu ke sekolahmu dan rumahmu yang baru. Ini adalah kartu namaku. Hubungi aku kapan saja kau mau.” Aramos mengambil kartu itu dan menyimpannya di kantong ransel terdepan. Dengan ragu- ragu dia memandang kedua pria itu. Tuan Harold kini telah berlutut di salah satu kakinya, sehingga tingginya dapat sejajar dengan Aramos. “Panggil saja aku Harold, anakku…… Dan jangan khawatir. Aku juga mengenali raut wajah itu seperti raut wajahku dahulu. Tapi aku berjanji padamu, apapun yang menantimu, begitu engkau melangkah ke dalam kapal itu, adalah sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang tak akan bisa dinikmati oleh anak-anak lain di dunia ini. Semuanya itu hanya untuk anak-anak yang terpilih” Wajah Harold begitu jujur. Aramos tersenyum dan mengangguk. “Ya, aku percaya……” Setelah menerima jabatan hangat dari Tuan Luis, Aramos mengikuti Harold menuruni dermaga dan sampai ke sebuah speedboat. Dalam semenit speedboat itu telah dinyalakan dan bergerak menuju ke tengah lautan. Aramos memutar kepalanya memandang ke atas dermaga. Tampak Tuan Luis berdiri dengan tenang. Ada raut kepuasan tampak di wajah bundar pucat itu. “Apakah kamu suka laut, anakku?” Harold meneriakkan kata-katanya untuk mengalahkan suara bising dari mesin speedboat. “Iya….. sangat suka. Ayahku seorang nelayan” Teriak Aramos. Dia tersenyum senang. Angin meniup rambutnya. Dia merasakan kebebasan yang selama ini dilupakannya. Dalam beberapa menit mereka telah tiba di laut lepas. Rumah-rumah mewah dipesisir pantai dan dermaga tempat Tuan Luis berdiri kini terlihat seperti semut kecil yang berjejer. Harold mematikan speedboat itu dan duduk dengan tenang di depan kemudinya. Aramos kebingungan. Dia tak melihat satupun kapal di lautan lepas itu. Laut terlihat begitu tenang, diterangi sinar mentari. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, tiba-tiba laut yang tenang itu berbuih. Makin lama makin besar buih itu sehingga membuat Aramos ketakutan. Dia takut speedboat itu terbalik. Sambil berpegangan erat pada pinggiran speedboat, Aramos menyaksikan pemandangan yang sangat luar biasa. Sebuah kapal muncul dari dalam laut. Warnanya abu-abu pekat, bentuknya sangat mirip ikan pari raksasa. Mula-mula kapal itu hanya muncul dengan ketinggian beberapa senti lalu lama kelamaan mencapai lebih dari lima meter. Membuat Aramos terbelalak. Harold tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Aramos. Tapi beberapa detik kemudian dia tenang kembali. “Kamu lumayan juga ya? Aku pernah melihat yang lebih parah dari kamu. Pernah ada yang sampai jatuh ke laut saking terkejutnya.” Aramos menelan ludahnya. Dengan gugup dia memegang ranselnya. “Itu….. itu…. Itu kapalnya?” “Iya. Itu kapalnya. Kapal yang akan mengantarmu ke tempat dunia baru menantimu. Ayo!” Harold menyalakan kembali kapalnya dan mulai mendekati benda raksasa itu. Tampak di bagian dengan yang menyerupai sayap ikan itu terbuka sebuah pintu. Seorang pria yang lebih kerdil daripada Tuan Luis berdiri disitu dengan muka masam. “Jangan khawatirkan Jack Mini. Dia memang selalu bermuka masam” Harold tersenyum sambil mengedipkan matanya. Aramos tersenyum dan segera menggapai bagian sayap yang bergerigi seperti dinding panjat. “Kamu naiklah, Aramos. Pelajari dan Nikmati semua hal yang ditawarkan oleh SOS. Suatu saat kita akan ketemu lagi dan aku ingin mendengar kisah-kisahmu” Aramos menelan ludah. Dia melepaskan genggamannya dan memeluk pria tua itu dengan hangat. Setelah menganggukkan kepalanya, dia berbalik dan mulai memanjat sayap kapal itu menuju ke pintu. “Hei Aramos……” Aramos berbalik menatap Harold yang tampak berkaca-kaca. “Ingatlah satu hal. Apapun yang dikatakan orang-orang tentang kamu ataupun tentang semua pendahulumu, satu hal yang pasti. Kamu adalah keturunan Bombersfish. Keturunan bajak laut yang terhormat” Aramos mengangguk dan melanjutkan perjalanannya. Pria kecil yang bernama Jack itu membantunya mengambil ranselnya dan meletakkannya di lantai. Dalam sekejap dia sudah berada di ruangan yang berbentuk tabung besar seperti tong. Jack menekan dua buah tombol berbentuk bintang dan menarik sebuah tuas. Perlahan pintu kapal itu mulai tertutup. Dalam beberapa detik Aramos menatap Harold, hingga pintu tabung itu tertutup sempurna. “Apa-apaan tuch….. dasar cengeng” Aramos menatap Jack Mini dengan gugup. Tampaknya pria kecil yang berumur tak kurang dari setengah abad itu tidak terlalu suka hubungan emosional. Aramos memunggut ranselnya dan sedapat mungkin tidak menimbulkan suara yang dapat membuat Jack Mini lebih kesal padanya. Tabung itu mengeluarkan suara mendesing ketika perlahan-lahan mulai naik. Tidak sampai semenit pintu tabung itu terbuka menampakkan sebuah dinding berwarna merah bata. Di dinding itu tampak dua ekor kuda laut yang sedang mengapit sebuah kemudi kapal. SOS. Aramos sadar kini dia terlibat dengan sebuah dunia baru. Dunia yang belum dikenalnya tapi telah dipilihnya untuk menjadi batu pijakannya ke masa depan. “Ayo keluar…… Pergilah ke sana. Terus, jangan belok-belok, dan sok cari tahu.” Aramos memandang ke arah kanan yang ditunjuk Jack Mini. Begitu dia keluar Jack Mini langsung menutup pintu tabung. Tampaknya tabung itu turun kembali. Menurut Aramos kapal itu terdiri dari beberapa lantai, dan saat ini dia berada di lantai paling atas dari kapal selam itu. Aramos baru hendak melangkah ke lorong yang ditunjuk Jack Mini ketika dia merasa pijakannya agak goyah. Tampaknya kapal itu masuk lagi ke dalam lautan. Sambil berpegangan di dinding, Aramos mencoba menjaga keseimbangan. Setelah ketenangan disusul bunyi mendengung yang halus dari kapal selam, Aramos berjalan menuju ke ujung lorong yang ditunjuk oleh Jack Mini. Lorong yang diterangi cahaya kehijau-hijauan itu terdiri dari beberapa pintu di sisi kirinya. Sedangkan sisi kanannya tampak beberapa foto yang dibingkai dengan bingkai yang terbuat dari magnet. Aramos mengamati bingkai pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Semua menggambarkan beberapa pemuda pemudi dengan seragam mereka. Tampaknya mereka adalah orang-orang yang berjasa karena di baju mereka tersemat sebuah lencana dengan simbol SOS. Di ujung lorong, Aramos harus menyesuaikan matanya. Karena cahaya diruangan itu sangat terang. Setelah mengerjapkan matanya beberapa kali, Aramos berhasil melihat isi ruangan itu. Ruangan itu cukup luas, berbentuk seperti gerbong kereta api. Tampak kursi yang saling berhadapan dan membelakangi satu sama lain. Dan kursi-kursi itu sebagian besar telah terisi. Ada lebih dari tiga puluh pasang mata anak-anak seusianya yang sedang memandanginya. Semuanya seperti sedang menilainya. Dengan sedikit kebingungan, Aramos berjalan menuju salah satu kursi kosong yang terdekat dengan pintu. Kursi itu telah ditempati oleh tiga orang pemuda berambut pirang. Usia mereka sebaya dengannya. “Kamu tak boleh duduk di sini” Aramos sedikit terkejut mendengar kata-kata sekasar itu. “Iya, ini khusus SOS sejati. Bukan tempatmu” “Tak ada tempat untukmu di sini Dark Seas” Aramos mengerutkan keningnya. Namun sedetik kemudian dia merasa dirinya ditarik seseorang. Dengan bingung dia mengikuti gadis berambut hitam keturunan campuran Asia Eropa itu. Bahkan saking bingungnya dia tidak sempat merasa tersinggung dengan tawa mengejek dari beberapa orang dibelakangnya. “Duduklah di sini” gadis itu menunjuk sebuah kursi yang kosong. Aramos memandang kedua kursi lainnya yang telah terisi. Seorang pemuda berambut coklat dengan tubuh gemuk sedang menikmati permen, duduk berhadapan dengan seorang pemuda berwajah latin yang sedang membaca buku dengan serius. Pria latin itu hanya mengangkat sedikit kepalanya untuk mengamati Aramos dan melanjutkan bacaannya. Sedangkan yang gendut justru dengan senang hati mengangkat jaketnya dari kursi yang tadi ditunjuk oleh gadis bermata karamel itu. Gadis itu sudah duduk sambil memandangnya. “Kamu mau berdiri terus?” Aramos diam dan segera mengatur duduknya. Sambil memangku ranselnya dia memandang ketiga teman seperjalanannya. Karena sudah lama tak bertemu dengan orang-orang seusianya, Aramos merasa kaku dalam menempatkan diri. “Ammmakah mmaamu amkan teyrus memangu ansel immmtu?” Aramos mencoba mempertajam telinganya untuk menangkap kata-kata Si Gendut yang sibuk mengunyah permen barunya. “Oh…… Ini” “Kamu dapat meletakkannya di atas” Aramos berdiri kembali, mengatur ranselnya di rak di atas tempat duduk mereka. “Terima kasih” Aramos tersenyum ke gadis itu. “Namaku Andrea Sui. Keturunan Kapten Sui.” Gadis itu mengulurkan tangannya disambut Aramos dengan sedikit ragu. “Aku Bill Reycht. Keturunan Adam Reycht” Pemuda gendut itu telah berhasil berbicara normal kembali. Tampaknya permennya telah habis. “Aku Aramos. Katanya keturunan Aramos Bombersfish” “Katanya?” Aramos menanggapi keterkejutan gadis itu dengan tersenyum. “Iya….. Aku baru mengetahuinya tadi malam” Aramos memandang ke arah pemuda berwajah latin itu dengan penasaran. Usia pemuda itu tampaknya lebih tua beberapa tahun dari mereka bertiga. “Dia Julio Delegas. Keturunan dari kapten Carlos Delegas…..” “Anak dari keturunan Dark Seas” pemuda itu menutup bukunya dan menatap langsung ke mata Aramos dengan tidak senang. “Aku juga katanya keturunan Dark Seas…..” suara Aramos pelan sambil melirik ke kiri dan kanan. Banyak yang sibuk berbisik-bisik. Aramos telah dapat mengambil kesimpulan sebenarnya keturunan Dark Seas tidak terlalu disukai di SOS ini. “Lalu memangnya kenapa? Toh keturunan Dark Seas tetap diakui SOS. Bahkan ada beberapa hal yang dicatat oleh SOS yang hanya dapat dilakukan oleh Dark Seas” Andrea menyahut keras memandang tajam ke beberapa orang yang terdiam. Tapi tampaknya tidak semua yang diam. Ada yang tidak setuju dengan pembelaan Andrea. “Mereka hanya beruntung saja. Keturunan Dark Seas hanyalah orang-orang yang serakah yang kebetulan beruntung tidak dimusnahkan seluruhnya oleh SOS dan sekutu” Aramos mengenali suara itu sebagai suara yang pertama kali mengusirnya dengan kasar. Pemuda itu kini berdiri di atas karpet merah di lorong yang memisahkan dua jalur tempat duduk. “Benarkah. Bukankah SOS juga hanya beruntung. Karena mereka dengan pengecut bergabung bersama sekutu setelah menderita kekalahan dari Dark Seas” Pemuda latin itu duduk sambil menegakkan badannya sehingga dia dan si pirang dapat saling memandang dengan bermusuhan. “Itu bukan beruntung. Tapi cerdas. Karena SOS tahu bagaimana mencari teman sekutu. Tidak seperti Dark Seas yang selamat hanya karena belas kasihan” “Sudah…..sudah…..sudah…… Hentikan Aron. Kamu itu dengan pikiran picikmu hanya akan merusak SOS saat ini” “Bukan pikiran picik…..itu adalah kenyataan yang harusnya diakui SOS. SOS tidak membutuhkan keturunan Dark Seas untuk menemukan harta karun. Bisa-bisa kejadian di masa lalu terulang kembali, akibatnya kita-kita yang tidak berdosa kena imbasnya kan?” “Benar itu….. SOS dapat berdiri tanpa Dark Seas….. SOS akan……” Aramos memandang ke pemuda pirang lainnya. Pemuda itu tinggi kurus dan sedikit pucat. Beda dengan temannya yang pertama bertubuh kekar dan berkulit coklat layaknya anak pantai. Tapi sebelum Aramos melanjutkan penilainannya, tampak Jack Mini membawa sebuah tongkat dari kumparan karton dan memukul kepala Aron bersama temannya. “Diam kalian. Cepat duduk….. Kalian semua pakai sabuk pengaman. Kita akan segera melaju. Dalam setengah jam kita akan tiba di Eightlyst. Dan aku tak mau ada kekacauan lagi” Aron dan temannya didorong dengan kasar oleh Jack Mini ke kursi mereka dan dia segera berjalan menuju lorong dan menghilang di tabung itu lagi. Anak-anak segera mengencangkan sabuk pengaman di kursi mereka. Aramos membantu Bill yang terlihat kesulitan karena sabuk pengamannya hampir saja tidak cukup. Tepat setelah sabuk pengaman Bill terpasang, mereka semua merasakan dorongan yang sangat kuat. Kapal terasa melaju sangat cepat. Bunyi mesin yang halus berubah sedikit keras. Setelah lima menit, menyesuaikan dengan kecepatan kapal selam, anak-anak mulai sedikit santai walaupun belum ada satupun yang berani membuka sabuk pengaman mereka. Aramos melirik ke Julio. Wajah pemuda itu terlihat geram menahan amarah. Aramos meraba dadanya. Dia mungkin karena tidak terlalu mengenal moyangnya, amarah itu hanya terasa seperti amarah ke ibu tirinya. “Jangan dipikirkan. Aron Berstard memang sombong. Dulu moyangnya adalah salah satu dari tiga pemimpin besar SOS. Sedangkan Nick Forwed dan Kevin Forwed adalah dua sepupu yang tak ada artinya. Hanya karena moyang mereka adalah anak buah dari Kapten Berstard, maka sampai saat ini mereka tetap menjadi anak buahnya.” “Kamu tak usah bermanis-manis. Kalian SOS sama saja” Andrea melotot ke Julio. Dengan kesal dia meninju bahu pria itu. “Jangan sembarangan. Tidak semua SOS seperti yang kamu pikirkan. Lagipula kalau memang SOS sebegitu tidak menyenangkannya, kenapa juga kamu di sini. Kamu memiliki hak untuk menolak berada di sini” Julio melotot ke Andrea dan segera membuang mukanya. Julio menutup pembicaraan itu dengan tanda tanya yang cukup besar bagi mereka semua. Bill diam sambil sekali lagi memasukkan permen ke mulutnya. Andrea dan Aramos hanya memandanginya dengan heran. “Aku…. Aku…. Aku suka gugup bila berada di ruang tertutup” Bill menambah lagi sebutir permen dan tersenyum. Bab 3 Tepat setengah jam dari kemunculan Jack Mini di ruangan itu, kapal selam mulai melambat. Lampu di dalam ruangan dimatikan sehingga yang terlihat hanya lampu kehijau-hijauan yang berasal dari lorong. Aramos mendengar napas Bill yang terdengar terburu-buru. “Bill, kamu tidak apa-apa?” “Aku akan mati….. aku akan mati….. aku…..” “Apa maksudmu, Bill? Tenanglah…..” Bisik Aramos khawatir. Teman barunya ini terdengar sangat ketakutan. “Bill, kamu takut dengan kegelapan ya?” Tanya Andrea mendesis. Bill diam. Kapal selam itu berhenti. Lampu dinyalakan kembali. Aramos melihat ke Bill. Pemuda itu terlihat pucat pasi. Dengan takut-takut Aramos menjulurkan telunjuknya ke bawah hidung Bill. Sedetik kemudian Bill tersengal-sengal membuat Aramos terkejut dan segera menarik tangannya. “Kamu tidak apa-apa?” Bill memandang Aramos dan Andrea bergantian. Ketika pandangannya bertemu dengan Julio yang memandangnya dengan tajam, segera saja Bill kelihatan gugup. “Kamu itu keturunan bajak laut…. Tapi takut ruangan sempit, takut gelap, jangan-jangan takut ombak dan badai ya?” Suara Julio cukup lantang membuat Bill menunduk malu. “Apa-apaan sih? Kamu itu jangan sombong. Bagaimanapun Bajak laut juga manusia biasa kan?” Andrea menyodorkan tissue ke Bill yang disambutnya dengan tatapan lega. Julio mendengus. Kapal terasa mulai naik ke permukaan. Ketika Kapal selam terdiam beberapa lama, anak-anak mulai ribut. Tampaknya semua gugup menanti apa yang akan terjadi. Jack Mini datang sambil mengamati satu per satu anak-anak di dalam ruangan. “Baiklah Kita mulai dari jalur belakang ini keluar. Ingat yang teratur. Jangan ada yang bersikap gegabah dan celaka. Bersiap-siaplah. Dan bawa semua bawaan kalian. Jangan ada yang ketinggalan atau aku akan membuangnya ke laut.” Semua anak-anak kebingungan. Setelah mengambil barang masing-masing, anak-anak mulai berbaris sesuai perintah Jack Mini. Setelah menunggu beberapa saat, dan melihat bahwa anak-anak telah siap, Jack Mini menekan beberapa tombol dengan sigap. Bagian belakang ruangan yang tadinya hanya berupa dinding besi, terlihat terbuka. Ternyata mereka menuju ke bagian ekor dari kapal. Ekor yang berupa lempengan besi datar dengan lebar tidak lebih dari lima meter itu memiliki panjang lebih dari dua puluh meter. Di ujung ekor tampak tersambung dengan dinding kayu yang sangat besar. Ekor itu menjadi jembatan. Jack memberikan kode agar anak-anak maju. Beberapa anak mulai melangkah. Beberapa anak tampak terputar-putar kepalanya begitu sampai di tengah-tengah jembatan. Aramos penasaran apa yang dilihat anak-anak itu sehingga mereka seperti kebingungan bercampur takjub. Ketika tiba giliran Andrea dan Julio berjalan, Bill menggenggam kedua tangannya dengan erat. Aramos memandang teman gendutnya itu sambil tersenyum. “Hei kalian berdua. Cepat……” teriakan Jack Mini menyadarkan Aramos. Mereka telah ketinggalan cukup jauh dari Julio dan Andrea yang berdiri di tengah-tengah jembatan bersama beberapa anak-anak lain. Mereka semua berputar-putar seakan-akan melihat sesuatu yang ajaib. Setelah tiga meter keluar dari badan kapal selam, sadarlah Aramos apa yang dilihat oleh mereka yang lain. Bahkan Bill melepaskan pegangannya hanya untuk berputar-putar melihat pemandangan di sekeliling mereka. Entah bagaimana, kapal selam itu kini berada di tengah-tengah gugusan pulau. Disekeliling mereka, Aramos dapat melihat delapan pulau yang membentuk lingkaran mengelilingi lautan kecil berwarna biru dan kapal selam yang tadi mereka tumpangi. Semua pulau memiliki bukit hijau yang sangat tinggi. Sehingga mereka tidak dapat melihat laut lepas karena terhalang bukit-bukit. Pemandangan itu begitu menakjubkan sehingga Aramos seakan melihat sepenggal dari surga yang jatuh ke bumi. “Luar biasa……” Suara Bill yang mendesah hanya diikuti anggukan kepala polos Aramos. Mereka kembali berjalan perlahan maju mengikuti Julio dan Andrea. Walaupun antrian itu terasa sangat lambat, mereka justru sangat senang. Karena mereka memiliki waktu untuk menikmati pemandangan yang sangat luar biasa itu. Hal lain yang menakjubkan adalah mereka ternyata akan memasuki sebuah kapal kayu raksasa. Dinding kayu yang tadi dilihatnya ternyata adalah bagian dari salah satu sisi kapal kayu raksasa. Di sisi dinding kayu itu terlihat lima pintu dengan lebar tidak kurang dari tiga meter setiap pintunya dan beratus-ratus jendela dengan berbagai ukuran. Kapal itu memiliki panjang mungkin lebih dari dua ratus meter. Tingginya hampir setengah dari tinggi bukit-bukit yang mengelilinginya. Kapal itu terlihat sangat besar dan megah, walaupun semuanya terbuat dari kayu. Beberapa tiang besar tampak kokoh diatas kapal. Tidak ada layar yang terkibar, tapi beberapa bendera berukuran besar dengan lambang SOS berkibar di tiang-tiang itu. Dengan pandangan yang masih terkagum-kagum, anak-anak berjalan memasuki kapal raksasa itu melalui pintu kedua dari sebelah kanan kapal. Di pintu tampak beberapa pemuda berseragam putih merah berusia dua tiga tahun lebih tua darinya sedang membagikan tanda pengenal dan sebuah amplop coklat. Mereka mengenakan berbagai aksesoris bajak laut yang “wah”. Mulai dari pengikat kepala, topi, rambut palsu, berbagai rantai di pinggang dan lainnya yang membuat iri siapa saja yang melihatnya. Aksesoris mereka berbeda-beda sehingga menampilkan identitas masing-masing para pemakainya. Aramos menerima tanda pengenal dan amplop coklat itu sambil terus mengagumi para pemuda yang tampaknya adalah bagian dari panitia penyambutan. Dia hampir saja mengalungkan tanda pengenal itu sama seperti anak-anak lainnya, namun tangannnya terhenti dan dia memandang tanda pengenal itu dengan bingung. Di situ telah tertulis jelas namanya dan foto terbarunya. “Ada apa?” Aramos memandangi Andrea yang sudah mengalungi tanda pengenalnya. “Bagaimana mereka mendapatkan foto terbaruku?” “Mudah saja. Waktu di kapal, di dalam tabung, mereka memotretmu. Lihat saja latar belakangnya” Aramos mengangguk. “Ada lagi?” Aramos dan Andrea mengikuti arah yang ditunjuk oleh beberapa pemudi lainnya yang tak kalah keren dibandingkan para pemuda tadi. Mereka melewati sebuah lorong panjang yang disamping kiri kanannya tampak beberapa toko. Ada toko makanan, ada toko pakaian, ada toko kebutuhan harian, toko hewan hingga toko buku. Kalau dihitung-hitung mungkin ada lebih dari enam puluh kios yang terlihat dari lorong itu. Belum lagi yang berderet di lorong-lorong kecil lainnya. Mereka seperti memasuki sebuah mall jaman dahulu yang terlihat kuno, unik tapi sangat menarik. Aramos kini mengerti darimana para pemuda-pemudi itu memperoleh berbagai aksesoris yang membuatnya kagum tadi. Andrea menarik paksa Bill yang berdiri terpaku di depan kaca sebuah toko yang khusus menjual berbagai jenis pastry. Walaupun berat menyeret teman gendutnya itu, Andrea berhasil. “Tentang aku. Bagaimana anak-anak lain …..” “Maksudmu para Nytes lain?” “Nytes?” Aramos kebingungan. “Iya…..Nytes……Tiny Pirates…..Itu sebutan untuk siswa-siswi SOS.” Ujar Bill menjelaskan sambil matanya masih mempelototi toko coklat yang mereka lewati “Kenapa dengan mereka?” Aramos mengangguk. Dia melanjutkan kembali pertanyaannya. “Iya….tentang Nytes. Bagaimana mereka mengetahui tentang aku? Sedangkan aku sendiri baru mengetahuinya tadi malam” Andrea mengeluarkan sebuah buku dari ranselnya. Buku kecil dengan simbol SOS yang khas di depannya. “Buku tahunan SOS. Buku ini diterbitkan setahun lalu. Sebelum hari ini. Semua anak yang berniat masuk ke sini mendapatkannya. Seluruh asal-usulmu, terpampang jelas di sini. Bahkan Tanggal lahir dan golongan darahmu tercantum di sini.” “Kenapa aku tak mendapatkannya?” “Karena ibumu tak bersedia masuk SOS. Ini seperti daftar rahasia yang beredar di setiap generasi. Akan sangat beresiko jatuh ke tangan orang luar yang tak mengetahui SOS. Ini….. bacalah. Aku sudah setahun membacanya, sampai bosan” Aramos menerima buku itu dan segera memasukkannya ke dalam tas. Mereka kini melewati sebuah lorong yang lebih sempit, sehingga harus berjejer dua-tiga orang. Di sudut lorong mereka dibawa masuk ke salah satu ruangan yang sangat besar. Ruangan itu dihiasi lebih dari selusin lampu ukiran yang terbuat dari besi tumpah, dan berbagai potret kapal-kapal bajak laut jaman dahulu. Di dalam ruangan yang terbuat dari kayu dan besi tempa itu, tampak telah berdiri lebih dari seratus pemuda-pemudi yang seusia dengan yang membagikan tanda pengenal ataupun yang lebih tua. Mereka mengenakan seragam yang sama. Kemeja putih berumbai-rumbai, dan celana ketat selutut berwarna merah. Ada juga pemuda-pemudi lain yang berseragam putih coklat dengan model yang sama. Ada beberapa orang dewasa berdiri di atas panggung. Ada yang usianya lebih muda, seumuran, bahkan lebih tua dari Tuan Luis dan Harold. Mereka mengenakan busana bajak laut yang lengkap dengan berbagai variasi yang sangat menarik. Lebih dari sepuluh pria berusia awal empat puluhan mengenakan rompi dan sepatu boot kulit. Tiga diantaranya memiliki ular yang melingkar di tangan, dan satu memiliki monyet kecil berbulu keperakan. Semuanya memiliki tato, entah di wajah, leher atau tangan. Ada enam wanita tua yang mengenakan baju bajak laut lengkap dengan topi dan aksesoris-aksesoris rantainya, dua diantaranya memiliki burung-burung cantik yang bertengger tenang di bahu mereka. Ada lagi tiga wanita muda yang cantik dengan pakaian bajak laut. Salah satunya terlihat sangat menonjol karena mengenakan pakaian ala gipsi berwarna-warni ceria dilengkapi sebuah belati perak dipinggangnya. Beberapa pria tua dengan wajah terbakar dan tiga diantaranya memiliki luka menyeramkan memandang mereka dengan sangar. Semua terlihat bersungguh-sungguh, sehingga Aramos merasa seakan berhadapan langsung dengan para bajak laut di jaman lampau. Seorang pria dengan topi besar dan sebuah pistol dan belati terbuat dari emas yang terselip di bajunya maju menuju ke mikrofon. Dia melepaskan topinya, hingga tampaklah kepalanya yang botak licin. Kini hanya alisnya yang tebal dan kumisnya yang super lebat yang menghiasi wajahnya yang memiliki beberapa bekas luka menyeramkan. Beberapa anak, termasuk Nick dan Kevin Forwed tertawa cekikikan. Tapi Aron Berstard segera menyikut mereka. Tampaknya dia cukup segan dengan pria botak yang bertubuh sangat perkasa itu. Beberapa menit pria itu menunggu ruangan cukup tenang. Walaupun pria itu terlihat sangat menyeramkan, Aramos yakin dia juga sangat sabar dan bijaksana. Dan tanpa dikatakan oleh siapa pun Aramos sudah menduga itu adalah pimpinan tertinggi dari Kapal SOS yang mereka naiki. “Selamat Datang para Nytes sekalian. Selamat datang di EightLyst State Ship. Kapal induk SOS. Kedatangan kalian sudah kami nanti sejak lama. Kalian adalah bagian dari keluarga besar kami. Bagi kami, kalian adalah bagian yang takkan pernah kami temukan di tempat lain. Harapan terbesar kami, kalian bersedia menggabungkan mimpi besar kalian bersama kami semua di sini. Bersama SOS.” Aramos melirik ke Andrea dan Bill. Tampaknya mereka tidak cukup heran dengan apa yang dikatakan pria itu. Tak ada perubahan mimik di wajah mereka. “Perkenalkan. Namaku adalah Tom Silverbond. Kalian dapat memanggilku dengan sebutan kapten Silverbond” Pria itu meletakkan kedua tangannya di meja dan menopangnya. Matanya memandang tajam mengelilingi seluruh ruangan. “Tahun ini ada tiga puluh tiga anggota baru yang terpilih. Namun akankah semuanya menjadi bagian keluarga besar ini, hari ini? Semuanya terletak di tangan kalian masing-masing. Sekarang, bukalah amplop yang ada pada kalian dan putuskanlah apa langkah yang akan kalian tempuh. Ingat waktu kalian hanyalah sepuluh menit. Bukalah!” Seketika seluruh ruangan menjadi ramai. Semua orang diruangan itu, kecuali mereka yang baru saja datang, mengacungkan kepalan tangan kanannya ke atas sambil berteriak ‘HOO….HOOOOHOOOHOOOO…..HOOHOO…’ Sahut menyahut. Berulang-ulang kali. Tampaknya itu sebagai teriakan penyemangat atau sambutan selamat datang. Aramos tak mengerti, tapi dia tak ingin menanyakannya dulu. Mengikuti teman-tamannya yang lain yang telah sibuk membuka amplop, Aramos pun melakukan hal yang sama. Selembar kertas berwarna tembaga meluncur keluar. Dengan tulisan yang digoreskan dengan tinta perak, Aramos membaca isi kertas itu. SURAT PERNYATAAN ARAMOS SOAMMER Dengan ini, saya, Aramos Soammer menyatakan bersedia bergabung bersama Son Of Seas (SOS) selama dua puluh tahun. Saya bersedia mengikuti semua peraturan yang ditetapkan SOS dan bersedia menerima hukuman atas setiap pelanggaran yang saya lakukan. Saya bersedia menanggung seluruh resiko maupun tantangan yang akan saya hadapi disebabkan bergabung bersama SOS dan takkan mengkhianati SOS dalam kondisi apapun. Apabila saya keluar dari SOS sebelum tanggal yang disepakati, maka saya bersedia menyerahkan seluruh harta karun yang saya peroleh maupun yang saya temukan menjadi milik SOS tanpa mendapatkan bagian apapun dari seluruh harta karun tersebut. Dengan ditandatanganinya surat ini, maka saya sejak hari penandatanganan ini resmi menjadi keluarga besar SOS dan akan selalu menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan SOS dimanapun saya berada. July 30, 2011 __________________________ Aramos Soammer Aramos melirik ke Andrea yang telah dengan sigap menandatangani lembaran kertas itu. Begitupula dengan Bill yang berada di sebelah kanannya. Aramos melihat ke teman-temannya yang lain. Semuanya tampaknya tidak lagi berpikir panjang. Mereka menandatangani surat itu tanpa terlihat beban apapun. Bahkan Aron Berstard bersama Nick dan Kevin Forwed tampak tersenyum bangga sambil mengangkat tangannya mengikuti gerakan yang lain dan meneriakkan yel-yel mereka. Aramos memutar kepalanya ke belakang. Matanya bertabrakan dengan Julio yang tampaknya dari tadi mengamatinya. Dengan gugup dia tersenyum. “Kenapa kamu? Ingin pinjam pena?” kata-kata Julio terdengar tidak sabaran. Aramos belum sempat menyahut, ketika Andrea mengulurkan penanya sambil tersenyum. “Nih….. Pakai punyaku saja” Aramos ragu-ragu mengambilnya. Sekali lagi dia melirik ke kertas yang sudah ditandatangani Andrea. “Jangan bilang kalau kamu tidak tahu membuat tanda tangan ya!” Julio melipat tangannya. Entah kenapa dia terlihat sedikit kesal. Bill juga telah bergabung. Dia sejak di ruangan itu tidak lagi mengunyah permen. Dan tampaknya tidak lagi gugup. Bill justru terlihat sangat bersemangat. “Bukan. Hanya aku…. Aku tidak paham. Maksudku….aku ….aku tidak mengerti sepenuhnya isi surat ini” “Itu surat perjanjian yang menyatakan kau sepenuhnya akan menjadi anggota SOS. Ketentuan lainnya jangan terlalu dipikirkan. Kita akan menjalaninya satu per satu. Lama kelamaan kita akan paham kok!” Bill mengangguk, tanda mengiyakan pernyataan Andrea. Julio kini telah mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai kayu dengan tidak sabar. “Kamu kenapa sih? Hei…..kamu juga belum menandatangani suratnya. Jangan-jangan kamu yang tidak tahu tanda tangan” Suara Andrea terdengar sedikit mengejek. Tapi Julio cuma mendengus dan tetap melotot ke Aramos. Aramos tahu waktunya tinggal semenit lagi. Dia berpikir cepat. Satu hal yang pasti dia tak ingin kembali ke rumahnya yang dulu. Dia ingin memulai hidup baru. Itu doanya selama ini. Dan tampaknya Tuhan telah menunjukkan sebuah jalan. Dia takkan menyia-nyiakannya. Dengan segera Aramos menandatangani surat itu. Suara riuh perlahan-lahan mulai berhenti. Julio merampas pena dari tangan Aramos. “Aku nggak punya pena.” Katanya sambil menandatangani surat miliknya. “Kembalikan ya!” desis Andrea dan segera berbalik menghadap ke panggung. Tampaknya Kapten Silverbond telah siap dengan pidato selanjutnya. “Baiklah, para Nytes. Kalian telah memutuskan langkah kalian. Untuk selanjutnya, bagi yang belum siap dan ingin mengundurkan diri, silahkan mengikuti Tuan Jack Mini kembali ke kapal. Tuan Jack akan mengantar kalian kembali ke tempat kalian di jemput tadi…… tapi ingatlah, kapanpun kalian ingin kembali, kami bersedia menerima kalian….karena kalian adalah Nytes kebanggaan kami.” Untuk sesaat seluruh ruangan terdiam. Tapi banyak pasang mata memandang ke arahnya. Aramos menjadi tidak nyaman. Apakah mereka mengharapkannya mengundurkan diri? “Kenapa kamu?” bisik Bill Aramos melirik teman barunya itu. Wajah bulatnya tampak polos. “Mereka menatapku. Tampaknya mereka tak mengharapkanku.” “Siapa bilang? Mereka bukan menatapmu. Mereka menatap yang dibelakangmu. Julio Delegas. Pemuda latin itu” “Kenapa?” Aramos kebingungan. Tanpa disadarinya dia ikut-ikutan berpaling untuk menatap Julio. Tapi yang ditatap ternyata berbalik melototinya. Sehingga dengan segera dia memalingkan wajahnya. Bill tidak sempat menjawab pertanyaannya. Kapten Silverbond langsung membuka suara begitu aula itu mulai terdengar gaduh. “Baiklah…… kurasa semua telah memutuskan. Selamat!” seru Kapten Silverbond yang segera disambut seluruh ruangan dengan yel-yel khas mereka termasuk para anak baru. Aramos pun ikut-ikutan. Untuk sesaat dia melupakan semua pertanyaan yang menggelantung dipikirannya. Dia ingin menikmati saat ini juga seperti anak-anak lainnya di ruangan itu. Kapten Silverbond mengangkat tangannya. Ruangan itu kembali senyap. “Baiklah. Kini kalian, para Nytes telah resmi menjadi keluarga besar SOS. Apapun yang terjadi nantinya, kalian harus menaati semua peraturan. Baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis antar bajak laut. Sebagai awalnya, peraturan yang terutama adalah kalian dilarang untuk merampas harta karun milik Nytes lainnya. Harta karun yang tercecer atau tidak berpemilik dapat kalian miliki tanpa larangan apapun. Kalian adalah SOS. Sekarang dan selamanya. Ingat itu” “Sebagai langkah awal kalian, serahkanlah surat pernyataan kalian ke Madame Bullets dan ambillah kantong harta karun pertama kalian.” Aramos melihat ke arah yang di tunjuk kapten Silverbond. Seorang wanita berusia lewat setengah abad dengan badan gendut dan berkostum bajak laut dilengkapi rambut palsu berwarna jingga yang menyolok mengangguk ke mereka. Wajahnya keras dan tegas. Anak-anak dari barisan paling depan mulai maju menyerahkan surat pernyataan mereka ke Madame Bullets. Setelah itu mereka mengambil kantong-kantong kecil di sebuah kotak besar. Yang laki-laki diharuskan mengambil kantong di kotak biru, sedangkan yang perempuan mengambil kantong di kotak merah. Aramos berjalan mengikuti barisan. Dia menyerahkan surat kepada Madame Bullets. Untuk sedetik dia merasa wanita tua itu mengamatinya dengan tajam. Bukan untuk menakuti, tapi seakan menyelidikinya. Tapi karena harus segera beranjak menuju kotak, dia tidak lagi memikirkan lebih lanjut arti dari tatapan itu. Aramos mengambil sebuah kantong di kotak biru. Kantong itu berwarna coklat kusam. Sama seperti kantong uang yang dulu dipakai para koboi atau pengelana. Ukurannya kecil dan tidak terlalu berat. Di kantong itu terbordir huruf dan angka. HE13. Aramos menggoyang sedikit kantong itu di dekat telinganya. Tampaknya terdapat beberapa benda di dalamnya, karena Aramos mendengar beberapa bunyi. Mereka kemudian kembali ke tengah-tengah ruangan, tempat mereka tadinya berdiri. Bill tersenyum padanya sambil menggenggam kantong yang sama dengan miliknya. Bahkan tulisannya sama. HE13. Andrea di samping kanannya menggenggam kantong yang sama bentuknya, hanya tulisannya berbeda. CW36. Aramos baru saja akan buka mulut menanyakan beda tulisan itu ketika tiba-tiba kepala Julio terjulur diantaranya dan Andrea. “Hei, kamu kenapa?” Julio hanya melirik kesal ke Andrea dan melirik ke kantong Aramos. Dia tak mengeluarkan suara apapun. Tapi tampaknya dia puas dengan yang dilihatnya. Karena untuk pertama kalinya Aramos melihat pemuda latin itu tersenyum. “Nytes sekalian” Kapten Silverbond kini telah tegak berdiri dan mengenakan topinya kembali. “Apa yang tertulis di kantong kalian adalah nomor kamar kalian selama kalian berada di sini. Kalian akan mendapatkan dua teman sekamar. Bersikaplah bijaksana. Belajarlah sebanyak mungkin. Dan Bersenang-senanglah. Ingat…… Kalian, siapa pun itu memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menduduki berbagai jabatan di SOS. Tak perduli masa lalu kalian, siapa leluhur kalian, dan apa kata orang-orang tentang kalian, yang menentukan keberhasilan dan kesuksesan kalian, adalah kalian sendiri. Ingat itu” “Sekarang kalian memiliki waktu kurang dari dua puluh empat jam untuk beradaptasi dengan Eightlyst State Ship. Manfaatkanlah. Sebagai langkah awal, kalian akan dipandu Madame Slyce ke lantai lima. Ke kamar kalian. Madame Slyce juga akan menjelaskan beberapa hal yang cukup penting di Eightlyst State Ship. Ingat….. Pelajarilah, kembangkanlah dan bersenang-senanglah…” Seorang wanita tinggi dengan umur beberapa tahun lebih muda dari Madame Bullets turun dari panggung menuju pintu keluar. Wanita itu memiliki kulit gelap terbakar matahari dan sebuah pedang sangat panjang di kaitkan pada tali pinggangnya. Wajahnya tanpa ekspresi dan terkesan dingin. Beberapa detik dia berhenti menunggu para pendatang baru untuk mengikutinya. Ketika mereka mulai berbaris berjalan menuju pintu, saat yang bersamaan terdengar kembali yel-yel itu. Bab 4 “Seluruh milik pribadi kalian yang tidak penting atau tidak berhubungan dengan SOS silahkan disimpan. Kalian mulai saat ini harus selalu terlihat memakai seragam Nytes SOS atau pakaian lainnya yang bersimbol SOS. Untuk kebutuhan kalian lainnya dapat kalian penuhi dengan mengunjungi Cases, toko-toko yang menjual berbagai kebutuhan…..Tapi ingatlah Eightlyst State Ship bagaikan labirin. Setiap lantai Eightlyst State Ship memiliki empat hingga delapan tangga dan enam buah lift yang menghubungkan ke lantai lainnya. Lift penghubung tidaklah gratis. Kalian dikenakan biaya satu koin hitam untuk sekali perjalan dengan maksimum berat tiga ratus kilogram per perjalanan. Jangan gunakan Lift penghubung jika kalian memang bajak laut sejati.” Kata-kata Madame Slyce terdengar tajam ketika mengucapakan kalimat terakhir. “Berjalanlah di jalan yang mudah, jangan menembus jalur-jalur tikus…… Jangan sampai tersesat, terutama bagi yang suka penasaran….. Tapi jangan khawatir, cepat atau lambat kalian akan mengetahui dan mengenal Eightlyst State Ship seperti kalian mengenal telapak tangan kalian sendiri……” Madame Slyce menaiki tangga dengan semangat. Walau umurnya terpaut jauh lebih tua daripada mereka yang mengikutinya, tapi dia memiliki kecepatan dan kelincahan yang jauh lebih cepat daripada mereka. Sudah tiga lantai mereka lewati. Lantai dua memiliki interior yang hampir serupa dengan lantai satu. Berbagai toko dengan interior yang menarik sampai menyeramkan mereka lewati. Lantai ketiga sedikit lebih tertutup. Tampaknya itu merupakan area belajar atau area tempat pertemuan. Di dinding-dindingnya tertempel berbagai patung dua dimensi dari tembaga. Patung-patung yang dilengkapi riwayat dari para SOS yang dianggap berjasa dan penting untuk diingat. Aramos sempat melihat sebuah ruangan yang terbuka. Di dalamnya terdapat beberapa pria yang tingginya seperti Jack Mini. Mereka tampaknya sedang sibuk dengan berbagai buku dan gulungan-gulungan kertas. “Ruang Perpustakaan dan para pemelihara…..” Begitu bisik Bill ketika mereka melewatinya. Lantai empat juga sama. Hanya saja berbeda dengan lantai tiga yang terbuat dari papan-papan kayu yang kokoh, lantai empat pintunya cenderung terbuat dari lempengan-lempengan besi dan baja. Dindingnya kali ini dihiasi berbagai aksesoris kapal dan bajak laut. Mulai dari berbagai jenis kemudi, jangkar, teropong, kompas terkecil hingga super besar, berbagai jenis pedang dan senjata api di letakkan menghiasi dindingnya. “Harta karun pertama kalian….. koin hitam, koin hijau dan koin merah adalah modal kalian. Ingat baik-baik. Koin hijau memiliki nilai sebesar tiga koin hitam dan untuk koin merah memiliki nilai sebesar tiga koin hijau. Koin itu tidak dapat dibeli oleh para Nytes tapi dapat kalian peroleh dengan berbagai cara. Koin itu juga dapat ditukarkan menjadi pecahan koin lainnya. Koin-koin itu nantinya yang akan membantu kalian memenuhi kebutuhan harian. Mulai makan hingga bersenang-senang.” Aramos membuka kantong miliknya. Terdapat sepuluh koin hitam, lima koin hijau dan satu koin merah. Semuanya terbuat dari plastik transparan. “Kalian, para Nytes, sekali lagi ditekankan tidak akan dapat membeli koin-koin SOS, tapi kalian dapat menjualnya bila kalian ingin berlibur atau pulang ke dunia luar. Koin hitam nilainya lima dollar, koin hijau nilainya lima belas dollar, dan koin merah senilai empat puluh lima dollar.” Madame Slyce berdiri menghadap mereka. Tatapannya tajam mengitari seluruh Nytes baru. Mereka telah tiba di lantai lima. Sebuah ruangan dengan lebar tidak kurang dari dua puluh meter terbuat dari kayu berwarna coklat gelap dengan bau harum yang menyenangkan menyambut mereka ketika tiba di lantai itu. Beberapa set tempat duduk dan sofa serta sebuah perapian tua besar menghiasi ruangan itu. Di ujung terjauh, tampak sebuah jendela yang menghadap langsung ke salah satu bukit yang mengelilingi kapal raksasa itu. Tampak dua gang berhadapan di sebelah kiri dan kanan mereka. Dari tempat mereka berdiri, mereka juga dapat melihat beberapa gang lebih kecil yang membagi gang itu dalam beberapa blok yang memiliki banyak sekali pintu. Tampaknya itu adalah area kamar tidur mereka. “Pergunakanlah koin-koin itu sebaik-baiknya dan sebijaksana mungkin. Tidak ada seorangpun yang dapat hidup di Eightlyst State Ship tanpa koin-koin itu. Mengerti?” Para Nytes mengangguk. Mereka masing-masing dengan gugup mendekap kantong masing-masing, seakan-akan takut benda itu hilang. “Baiklah. East Side merupakan tempat para Nytes laki-laki dan untuk West Side merupakan tempat para Nytes Perempuan. Ingat. Apapun yang terjadi, pertemuan di lantai ini untuk Nytes laki-laki dan Nytes perempuan hanya dapat dilakukan di ruangan ini. Tak ada seorang pun yang diijinkan masuk ke side yang berseberangan dengan sidenya. Ada hukuman berat akan menanti mereka yang melakukannya. Dimasing-masing side terdapat dua tangga dan tiga lift yang menghubungkan lantai atas dan bawah. Ketentuan satu koin hitam untuk setiap perjalanan lift ke atas atau ke bawah tetap berlaku. ” Setelah memberikan beberapa keterangan lain, Madame Slyce mengijinkan Para Nytes mencari kamar mereka masing-masing, yang langsung di sambut mereka dengan suka cita. Dalam sekejap semua berlari mencari kamarnya, begitu pula dengan Aramos, Bill, Julio dan Andrea. “Kita ketemu setengah jam lagi di sini ya?!” Teriak Andrea bersemangat sambil berlari ke West Side. Aramos melongok ke gang pertama. Hanya beberapa anak yang masuk ke gang itu dan menemukan kamar mereka. Kamar terluar, yang paling dekat yang dapat dilihat Aramos, dipintunya terukir AE11. “Ini gang satu A…… kita di gang tiga H. Ayo jalan lagi.” Julio berputar dan melanjutkan langkahnya tanpa melongok-longok lagi di gang lainnya. Tampaknya dia tahu benar arah yang ditujunya. “Memangnya kamu kamar yang mana?” tanya Bill ngos-ngosan. Dia dengan tubuhnya yang gempal tampak masih kelelahan karena menaiki tangga. Julio membalikkan badannya dan tersenyum kecil. “Aku sekamar dengan kalian” katanya sambil mengangkat kantongnya. Dikantongnya tertera kode yang sama dengan di kantong Aramos dan Bill. HE13. “Benarkah?” Bill mengernyitkan hidungnya. Dengan gugup dia melirik Aramos. “Kenapa? Kamu tidak suka?” “Eh… Bukan begitu. Aku…..” “Kalau tidak suka, kamu boleh pindah kamar kok” Aramos menggaruk kepalanya. Dia maklum dengan rasa segan Bill untuk sekamar dengan Julio. Pemuda latin satu ini memang terlihat sedikit menyeramkan. Julio sudah menghilang di salah satu gang ketika Bill berbicara sambil berbisik. “Bagaimana, Aramos? Kita pindah kamar?” Aramos menggeleng dan menggandeng tangan Bill menuju ke gang tempat Julio menghilang. “Sudahlah. Menurutku dia lumayan juga….. pasti seru kita sekamar dengannya!” “Seru? Yang seru itu kalau anaknya enak diajak ngobrol…..Kalau ini mati……Mati……Kayak ngajak harimau bicara. Sebelum bicara sudah kirrrkkk….” Bill menirukan gerakan seperti orang yang digorok. Aramos hanya tersenyum dan mempercepat langkahnya. Dari mulut gang dia melihat Julio telah berdiri dengan tidak sabar. Tapi begitu mereka mendekat, pemuda itu langsung masuk ke pintu yang berukir HE13. Aramos menahan napasnya. Kamar itu sangat luas dibandingkan ruang bawah tanah yang selama ini ditempatinya bersama-sama berbagai barang rongsokan. Selain diisi dengan tiga tempat tidur dengan warna-warna cerah, terdapat juga meja belajar dan lemari besar untuk masing-masing mereka. Sebuah tv dan lemari pendingin kecil juga ada di dalam kamar itu . “Aku pilih ini” Julio melemparkan ranselnya ke atas tempat tidur berwarna hijau zamrud yang berdekatan dengan pintu kamar dan tv. “Kamu mau yang mana, Bill?” “Aku yang ini saja deh.” Bill memilih tempat tidur berwarna kuning telur yang berseberangan dengan Julio. Aramos mengangguk. Jadi dia mendapat tempat tidur berwarna biru langit yang berdampingan dengan Julio. Itu berarti tempat tidurnya dekat dengan jendela. Aramos sangat senang. Aramos membuka lemari disamping tempat tidurnya. Dia melihat delapan pasang seragam bermodel sama dengan yang dipakai para Nytes angkatan atas. Warnanya saja yang berbeda. Kemeja Putih dan Celana Biru laut. Ada juga beberapa pasang piyama yang terlipat rapi, beberapa kaos putih dan hitam, satu jaket wol, dua buah ikat pinggang, tiga pasang sepatu dan dua pasang sandal yang terlihat nyaman. Semuanya memiliki simbol kecil SOS. Walaupun tidak memiliki model yang semenarik dipakai oleh para Nytes senior mereka, Aramos sangat senang. Sudah lama dia tidak mendapat hadiah. Aramos melihat sekilas beberapa buku di atas mejanya. Buku panduan dasar SOS, buku gografis, peta dunia dan beberapa buku lainnya dengan bahasa-bahasa asing yang dipastikan adalah buku pelajaran mereka nantinya di SOS. “Hei lihat kamar mandinya!” Aramos dan Julio berpandangan dan langsung mengikuti arah suara Bill. Mereka masuk ke pintu kecil itu sambil berdesak-desakkan. Sesaat mereka semua terdiam. Bak mandi dalam ruangan itu berbentuk perahu kecil. “Lucu kan?” “Apanya? Kirain ada yang penting!” Julio mendengus dan mulai mengatur barang-barangnya. “Kurasa kita harus bergegas….. Andrea menunggu kita di lobi” Aramos segera mengambil handuk dan seragamnya. “Mau ngapain itu cewek? Kita capek….Istirahat dulu” “Kita kan perlu belajar banyak tentang SOS dan Eightlyst State Ship. Ayolah” Aramos tersenyum semanis mungkin. Melihat pemuda latin itu hanya memutar matanya, Aramos tahu Julio setuju dengan pendapatnya. Bab 5 “Aku sekamar dengan The Red, Laura Kema dan The Brown, Sunny The” Andrea terlihat senang. Sedangkan Aramos mengangguk mengerti. Tadi sekilas dia sempat membaca buku tahunan pemberian Andrea ketika menunggu kedua temannya menyelesaikan giliran mandi mereka. Di buku itu tidak hanya menjelaskan remaja-remaja yang akan bergabung dengan SOS, tapi juga tentang jenjang pendidikan yang akan mereka lalui. Untuk Nytes yang baru bergabung disebut The Blue, sedangkan The Red, Nytes yang berseragam Putih Merah, adalah mereka yang telah lulus tes-tes The Blue. Biasanya dibutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk The Blue menjadi The Red karena harus mengumpulkan Lima Ratus Poin untuk dinyatakan lulus. Sedangkan The Brown, Nytes yang berseragam Putih Coklat, adalah mereka yang telah lulus tes-tes The Red. Waktu yang dibutuhkan pun kurang lebih sama dan dengan jumlah poin yang sama. The Brown akan menjadi SOS Pirates setelah mengumpulkan lima ratus poin dan mendapatkan satu surat emas dari kapten kapal cabang Eightlyst State Ship setelah menjadi kru minimal satu tahun di kapal cabang tersebut dan dinilai layak oleh Kapten kapal cabang untuk mendapatkan surat emas tersebut. Ini adalah tahap tersulit. Waktu yang dibutuhkan adalah tidak terbatas. Karena tak jarang The Brown harus berganti kapal cabang Eightlyst State Ship beberapa kali, karena setelah setahun, kapten kapal cabang yang diikutinya merasa dia belum layak mendapatkan surat emas tersebut. “Baiklah, kalian sudah bawa kantong harta karun kalian?” tanya Andrea. Gadis itu walaupun hanya setahun lebih tua dari Aramos dan memiliki badan lebih pendek beberapa senti dari Aramos, tapi cara bicaranya sangat mirip pemimpin. Ketiga pemuda dihadapannya hanya mengangguk. Ada yang mengangguk semangat, ada yang lesu tapi ada juga yang acuh tak acuh. “Kita memangnya akan kemana?” tanya Aramos semangat. Aramos melihat beberapa Nytes baru sudah mulai turun ke lantai bawah, adapula yang naik ke lantai atas. Tampaknya mereka ingin menjelajahi lebih jauh Eigtlyst State Ship. “Berdasarkan buku panduan dasar SOS, kita harus mengalokasikan kebutuhan kita setiap hari dengan koin-koin yang ada pada kita. Nah, menurutku kita mulai saja dengan makanan” “Wah, setuju aku” seru Bill. Awalnya Bill terlihat paling malas. Tapi tampaknya minat kepada makanan telah membangkitkan semangatnya kembali. “Memangnya kita mulai darimana? Tadi aku melihat beberapa tempat makan.” Julio tampaknya mulai bersemangat juga. Aramos baru sadar ternyata mereka belum makan siang, sedangkan waktu telah menunjukkan lewat tengah hari. “Seharusnya sesuai yang ditulis di buku, ada beberapa tempat yang menawarkan paket makanan seminggu. Jadi kita lebih hemat. Tapi kita lihat-lihat dulu sebelum memutuskan, deh” Semua mengangguk setuju. Tanpa menunggu di komando mereka segera menuju ke lantai dua kapal. Tempat itu seperti mall kelas atas. Interiornya menarik dan banyak sekali orang yang berpakaian bajak laut mondar-mandir. Ada yang berseragam putih biru seperti mereka, ada yang berseragam putih merah, putih coklat, hingga berseragam bebas dengan tema bajak laut. Ada yang berwajah ramah, ada pula yang dingin dan menakutkan. Aramos mempercepat langkahnya mengikuti teman-temannya, setelah dia sempat bertabrakan dengan seorang pria tua bungkuk dengan wajah menyeramkan. Luka dimata pria itu sengaja tidak ditutupi seperti bajak laut lainnya. Dari matanya yang lain, Aramos tahu pria itu merasa kesal padanya. “Siapa itu?” tanya Julio ketika berlari mendekati mereka. “Entahlah…..” Aramos mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak tahu siapa pria tua itu, tapi yang pasti pria itu bukan tipe yang ramah. Mereka kembali melongokkan kepala dan membaca brosur-brosur yang dibagikan oleh para Nytes senior tentang tempat makan-tempat makan yang ada di lantai dua itu. Tampaknya para Nytes senior itu bekerja paruh waktu di tempat makan-tempat makan Eightlyst State Ship. “Ini kayaknya enak” kata Bill sambil menunjukkan brosur yang baru dibagikan Nytes senior berseragam putih merah dengan ikat kepala hitam bergambar tengkorak. “Jangan….. Masa untuk seminggu kita harus membayar dua belas koin hitam. Itu sama dengan empat koin hijau, Bill” “Lho tak masalah kan, kita tetap punya sisa” Andrea menggeleng. Tiba-tiba perut Julio berbunyi. Bunyinya cukup keras. Wajah pemuda itu tampak memerah. “Kalian bisa cepat nggak sih? Ini sudah lewat jam makan siang” “kita beli makan siang biasa dulu saja, gimana?” Semua menyetujui usul Aramos. Mereka segera memasuki sebuah cases yang menjual makanan timur tengah. Tampak beberapa Nytes senior sibuk melayani para pengunjung. Sedangkan ada juga nytes lainnya yang makan berkelompok seperti mereka. Tapi yang paling menarik Aramos adalah, para Bajak laut berusia akhir tiga puluhan di sudut ruangan. Mereka terdiri dari seorang perempuan dan dua pria, salah satunya berkulit sangat gelap. Mereka tampaknya Bajak laut yang sudah professional. Wajah mereka terbakar matahari dan terlihat sangat garang. Mereka terus-terusan menatap ke Aramos dan ketiga temannya, bahkan ketika kelompok mereka mengambil tempat di sudut ruangan lainnya. “Ada apa?” tanya Bill sambil meyerahkan daftar menu kepadanya. Dengan lirikan mata, Aramos memberikan kode. Tampaknya bukan hanya Bill, Julio dan Andrea pun mengerti maksudnya. Mereka bertiga segera menatap ke kelompok Bajak laut Professional itu. “Mau apa mereka? Ah. Sudah…… coba aku tanyakan maksud tatapan mereka” kata Julio sambil hendak berdiri. Dengan sigap, tangannya ditahan oleh Andrea. Andrea memaksanya duduk dan memajukan badannya seakan hendak membisikkan sesuatu. “Jangan nekat. Itu kelompok inti kapal Cabang Crocodile Eyes. Salah satu kelompok terbesar dalam SOS. Terdiri dari para lulusan terbaik SOS” “Bagaimana kamu tahu?” “Aku hanya mengenal salah seorang dari mereka Miss Dora Kopah, atau lebih dikenal dengan Miss Crocodile Tear. Dia berhasil mengalahkan enam orang DST, ketika pertempuran memperebutkan Batu Mata Naga di laut China…” “DST?” tanya Aramos bingung “Dark Seas Tail….. kelompok para keturunan Dark Seas yang masih dendam dengan SOS. Kebanyakan anggotanya adalah keturunan dari para leluhurnya yang dihukum mati oleh Sekutu” Aramos menatap Julio. Pria itu menjelaskan DST dengan wajah tanpa ekspresi. Aramos tak dapat menebak suasana hati Pemuda Latin itu. “Kelompok Crocodile Eyes yang berhasil menemukan lebih dari selusin tempat persembunyian harta karun itu? Wah, aku harus minta tanda tangan mereka” Bill tampak serius membuat teman-temannya menatap heran. “Mereka mungkin akan minta tanganmu sebagai gantinya” Ucapan Julio ketus, tapi tampaknya bersungguh-sungguh. “Mereka hebat sekali ya?” “Begitulah. Setiap tahun ayahku mengikuti pertemuan antara para petinggi SOS dan The Dolphins. Dan kelompok mereka sudah delapan tahun berturut-turut tak pernah absen menemukan harta karun. Itu belum pernah terjadi selama SOS baru ini dibentuk” “Memangnya ayah kamu salah satu petinggi SOS?” Andrea menarik hidung Aramos dengan gemas. “Bukan, ayahku hanya anggota biasa. Seluruh lulusan SOS berhak mengikuti pertemuan itu dengan membeli undangan, seperti reunilah….. Kalau petinggi, itu adalah ayahnya Bill…….” “Oh ya? Gendut kok bisa?” Kali ini giliran Julio yang mendapatkan cubitan di lengan oleh Andrea. “Sopan sedikit, kenapa sih?” “Nggak apa-apa kok. Ayahku hanya orang biasa juga. Kebetulan dia dipercayai untuk sebagai kepala seksi penyedia makanan instant untuk setiap kapal cabang Eighlyst State ship yang hendak terjun ke lapangan, biasa dikenal dengan istilah dafoma section.” “Oh…..Pantas saja….. kepala konsumsi toch” “Jangan sembarangan. Itu bagian yang krusial. Saat kapal cabang diutus untuk mencari harta karun, sebagian besar waktu difokuskan untuk pencarian, sehingga makanan instant itu perlu…..” “Mereka pergi……………” Aramos menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ketiga SOS Pirates itu melewati meja mereka. dengan takut-takut Aramos mengangkat wajahnya. Benar saja, dia sempat mendapatkan tatapan tajam dari pria dengan tubuh super besar yang bertato menyeramkan di wajahnya. Kelompok itu berhenti sejenak di depan pintu masuk, menatap meja mereka dan berjalan berpisah ke segala arah. “Saat ini Kapal Eightlyst State Ship ramai sekali oleh SOS Pirates. Mereka datang untuk melaporkan perkembangan pencarian peta harta karun yang masing-masing dipercayakan kepada mereka. Tapi, kabar terakhir yang kutahu, tahun ini belum ada satupun kapal cabang yang memecahkan dan memperoleh harta karun.” Andrea menatap kembali daftar menu di tangannya. Sepuluh menit lewat pukul tiga sore ketika mereka keluar dari sebuah case aksesoris bajak laut. Setelah memutuskan mengambil paket menu seminggu di case Hotpan dengan harga per paket delapan koin hitam, mereka memutuskan merelakskan mata dan pikiran mereka dengan mengelilingi case-case aksesoris khusus untuk bajak laut. Mereka telah memasuki tiga toko, tapi tak ada satupun yang berbelanja. Mereka masih bingung mau membeli aksesoris yang bagaimana untuk menemani seragam mereka. Ketika tiba di toko keempat mereka berpapasan dengan Aron Berstard dan dua temannya, Forwed bersaudara. Penampilan mereka luar biasa. Mereka tampaknya telah cukup banyak berbelanja aksesoris. Walaupun kelihatan sedikit norak, apalagi Nick mengenakan wig berwarna hijau neon, Aramos sempat iri juga mereka dapat berbelanja tanpa hitung-hitungan. “Wah….wah…..kelompok bawah SOS tampaknya sedang cuci mata. Hati-hati saja jangan sampai ada yang dicuri, karena terlalu ingin tapi tak mampu membelinya” Julio maju, wajahnya tampak gelap. Aron segera mundur dan dengan gugup bersama teman-temannya pergi menjauh sambil berbisik-bisisk. “Kamu itu kebiasaan ya! Sedikit-sedikit fisik……sedikit-sedikit fisik…..Untuk apa juga melayani orang seperti Aron dengan gaya seperti itu. Bisa-bisa kamu dihukum” Andrea mendorong Julio ke samping, dan masuk ke toko. Ketiga pemuda yang menemaninya hanya dapat berpandangan. “Dasar cewek” dengus Julio. “Tapi benar katanya. Kita itu kalau tidak berpikiran jernih bisa-bisa dihukum.” Julio mengangkat bahunya. Dia masuk ke toko dan mulai melihat berbagai koleksi ikat kepala. Tampaknya itu merupakan area favoritnya. “Tapi mereka hebat ya! Berbelanja sepuasnya tak takut koinnya habis” Bill menariknya memasuki sebuah cases. “Itu karena mereka pasti sudah mendapatkan banyak warisan koin dari orang tua atau kakak mereka. maklum. Orang tua Aron kedua-duanya adalah lulusan SOS. Mereka bahkan dipercayakan memimpin sebuah kapal cabang milik SOS. Sedangkan Forwed itu memiliki banyak kakak. Ada yang menjadi anak buahnya Berstard, ada yang menjadi anak buah kapal cabang lain. Bahkan ada yang senior Nytes.” Aramos menyentuh sebuah pisau kecil yang terbuat gagangnya berbentuk kepala Singa. Warnanya yang kuning keemasan, sangat mewah dan mengesankan. Tadi, dia sempat melihat pisau yang sama terselip di ikat pinggang Aron , yang juga baru, tidak standard seperti milik mereka. “Kamu mau membelinya?” Bill tampak mengenakan sebuah wig berwarna hitam dengan panjang sampai pinggangnya. Kesannya yang seharusnya sangar, justru terlihat sangat lucu ketika dikenakan oleh Billy. Aramos tertawa kecil. Dia menggeleng dan menuju ke area wig. “Lho….. kenapa? Pisau itu bagus sekali” “Tapi harganya lima koin hijau, Bill. Buang-buang koin saja” Bill hanya mengangkat bahu. Dia mengganti wig hitam tadi dengan wig berwarna pelangi dengan model seperti penyany metal, berdiri berduri lebih dari dua puluh sentimeter. Bab 6 Malam sudah sangat larut. Tapi Aramos tak dapat memejamkan matanya. Bukan karena sekali-kali dia mendengar suara gumaman mimpi dari Bill yang pulas, ataupun suara binatang-binatang malam yang terdengar sangat jauh tapi tetap menyeramkan. Aramos masih tidak percaya dia sekarang tidak lagi tidur di kamar bawah tanah yang pengap. Dia tidak lagi merasakan ketakutan ketika setiap saat ibu tirinya dapat membangunkannya dengan air super dingin, atau dia juga tak lagi perlu mendengar rengekan manja Jason yang menyebalkan. Hari ini dia merasa sangat bahagia setelah sekian lama. Dia memiliki teman-teman baru yang sangat unik, memiliki baju-baju baru, memiliki kamar dan tempat tidur sendiri yang sangat nyaman, bahkan dia memiliki koin-koin yang di sini di artikan sebagai uang. Dia memiliki uang sendiri. Aramos tersenyum sambil melirik ke atas meja belajarnya. Dengan dibantu lampu kecil milik Bill dan cahaya bulan dari jendela, Aramos menatap topi bajak laut yang dibelinya tadi. Harganya sebenarnya cukup mahal, dua koin hijau. Tapi Aramos merasa itu harga yang pantas. Topi yang berwarna coklat tua itu terbuat dari kulit sapi asli. Bentuknya yang khas bajak laut, dihiasi rumbai-rumbai berwarna hitam. Ada bordiran seekor naga dengan mutiara di mulutnya, dari benang berwarna keemasan dan perak. Dan ketika Aramos memakainya, Aramos merasa dia seperti benar-benar seorang bajak laut. Aramos turun dari tampat tidurnya. Dia tahu, dia takkan bisa tidur malam ini. Jadi dia memutuskan untuk membaca beberapa halaman dari buku panduan SOS. Bagaimanapun dia berbeda dengan mereka yang lain. Dia masih sangat buta tentang SOS. Setelah mengambil tempat dekat jendela, dengan bantuan bulan dia mulai membuka buku panduan berwarna merah itu. Beberapa halaman awal dilewatinya dengan cepat. Semua keterangan awal itu telah diketahuinya sesuai dengan yang tercantum di buku tahunan SOS pemberian Andrea. Dia tiba di halaman dua puluh tiga dan mulai serius membaca isinya. Di situ tertulis keterangan super lengkap tentang caranya memperoleh tambahan koin. Mulai dari hal kecil, hingga hal-hal besar. “Kamu tidak tidur?” Aramos melonjak kaget. Walaupun suara Julio tidak terlalu kuat, tapi di keheningan malam, suara itu sangat menakutkan bila muncul tiba-tiba. Pemuda itu mengenakan piyama dan tampak acak-acakan. Dia mengambil tempat di depan Aramos. “Aku tidak bisa tidur” Julio mengangguk dan melirik bacaannya. “Cara mendapatkan koin….. “ Aramos tersenyum malu. “Iya, bagaimanapun koin-koin itu akan habis. Aku harus melakukan sesuatu untuk bertahan di sini kan?” “Aku punya kelebihannya. Kalau kau mau kau dapat memakainya” Aramos menggeleng. “Kau takkan selamanya berlebihan, kita masih cukup lama di sini”. “Tidak masalah. Kalau sudah habis, kita kerja sama-sama mencari koin. Mudah kan?” Aramos mengerutkan kening. Dia tahu Julio walaupun kasar, tapi hatinya baik. Tapi dia juga yakin ada alasan lain kenapa hingga Julio sangat baik padanya. “Boleh aku tanyakan sesuatu, Lio?” “Silahkan” Aramos berpikir sebentar. Dia tak ingin terlalu mencampuri, tapi dia juga sangat penasaran. Dia mencoba memikirkan kata-kata yang tepat untuk memulai pertanyaannya. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk bertanya langsung saja. Bagaimanapun dia tidak terlatih berbasa-basi. “Benarkah tahun lalu kau mengundurkan diri dari Nytes?” “Siapa bilang? Aku bahkan belum menandatangani surat pernyataan itu. Jadi aku belum menjadi anggota Nytes kan?” “Jadi benar, kau tidak jadi masuk ke Nytes tahun lalu?” Julio diam. Matanya menerawang ke arah bukit di balik jendela. Bukit itu terlihat gelap gulita. Menakutkan. “Kalau kau tak mau menjawabnya, aku tak masalah. Maaf…..” “Aku akan menceritakannya padamu. Itu pun supaya aku ingin kau tahu posisimu dan posisiku dalam kumpulan ini” Aramos mengangkat keningnya. Dia tidak mengerti. Tapi Julio sudah mulai bercerita, dan kelihatan sekali dia tak ingin dihentikan. “Dulu, Moyang Delegas adalah seorang Bucanero. Pemburu dan penjual makanan kepada para pelaut. Tapi karena adanya wabah penyakit menular hewan-hewan buruan, sebagian besar keluarga Delegas meninggal. Yang tersisa adalah dua orang pemuda Delegas. Carlos Delegas, moyangku dan Filipo Delegas, sepupu moyangku. Setelah pemakaman anggota keluarga yang terakhir yang meninggal, mereka memutuskan untuk berpisah mencari keberuntungan masing-masing. Moyangku ke Laut Timur, dan sepupunya ke Laut Selatan. Tapi ternyata keberuntungan belum berpihak pada Moyang Carlos. Setelah diterpa badai berulang-ulang kali, perahu kecilnya tenggelam dan dia terapung-apung di samudra. Moyangku, Carlos Delegas saat hampir mati tenggelam, di tolong oleh moyangmu. Kapten Bombersfish. Kapten Bombersfish saat itu terkenal memiliki armada bajak laut yang kuat. Tidak ada satupun kubu yang cukup berani mengganggu keberadaannya. Dia memiliki dua puluh tiga kapal rampasan. Semuanya aktif. Dan setelah sepuluh tahun berperan sebagai engage, anak buah kasar di kapal induk, moyangku akhirnya diangkat menjadi salah satu kapten di kapal rampasannya.” Aramos mendekap buku panduan SOS. Dia seperti di bawa ke masa beratus-ratus tahun lalu saat mendengarkan kisah Julio. “Saat Perang Samudra Merah terjadi, Moyangku meminta bantuan Bombersfish untuk menyelamatkan sepupunya Filipo yang ternyata adalah anggota Dark Seas. Entah bagaimana cara moyangku membujuk Bombersfish, akhirnya seluruh armada Bombersfish menuju ke tempat perang. Tapi seperti perjanjian, Bombersfish hanya akan menolong Filipo, bukan Dark Seas. Sebab Bombersfish tak ingin terlibat dengan kubu manapun. Dia nyaman dengan kebebasannya.” Mata Julio tiba-tiba menjadi gelap. Aramos tahu dia telah tiba di puncak cerita. “Tapi, sepupu moyang, Filipo, telah berubah. Di hari ke sembilan belas pertarungan, Dark Seas yang saat itu berhadapan langsung dengan armada kerajaan Inggris, telah menunjukkan hal yang tak baik bagi pihak Dark Seas. Saat itu pula Bombersfish datang bersama armadanya. Mendekat secara bersahabat dari bagian belakang Dark Seas. Di luar dugaan Filipo mencoba mengambil alih Kapal Induk Bombersfish yang terkenal berkecepatan tinggi untuk mengganti kapalnya yang sudah rusak berat. Moyangku, Carlos sangat marah. Dia akhirnya menabrakkan kapalnya ke kapal Filipo, untuk mencegah kerusakan lebih lanjut di kapal Bombersfish.” “Tapi, ternyata kapten kapal Dark Seas lainnya juga memiliki ide yang sama dengan Filipo. Mereka mengalihkan serbuan dari armada Inggris ke Armada Bombersfish. Cerita selanjutnya sejarah yang mencatat. Sebelas kapal cabang Bombersfish berhasil direbut oleh Dark Seas dan melarikan diri. Delapan ratus engage Bombersfish meninggal dan tiga ratus lainnya ditangkap oleh Inggris bersama Kapten Bombersfish dan Moyang Carlos. Sejak saat itulah, Moyang Carlos bersumpah dia tidak lagi memiliki keluarga selain Bombersfish. Dan demi menebus kesalahannya, Carlos bersumpah seluruh keturunannya akan berbakti kepada keturunan Bombersfish” Aramos membelalakkan matanya. Dia menatap pemuda dihadapannya ini. “Jadi maksudnya?” “Maksudnya aku adalah anak buahmu, bahkan sejak aku dalam kandungan ibuku” Aramos menelan ludahnya. “Itu sebabnya tahun lalu aku mengundurkan diri mendaftar. Sebab tahun lalu kau pun batal masuk ke sini. Sedangkan tujuanku ke sini adalah untuk bersama kamu. Aku tak ingin seperti ayahku. Dia kecewa berat ketika mengetahui ibumu tidak masuk Nytes, padahal dia sudah terlanjur menandatangani surat pernyataan itu sebelas tahun sebelumnya.” “Tahun lalu?” “Iya, tahun lalu. Saat ayahmu meninggal. Itu seharusnya saat kau masuk ke sini” “Itu sebabnya kau masuk ke sini saat umur begini?” “Iya….sudah terlalu tua maksudmu kan?” Aramos menundukkan wajahnya. “Aku seharusnya masuk tiga tahun lalu. Tapi seperti penjelasanku, aku tak ingin sia-sia masuk ke sini. Untunglah The Dolphin mengerti. Lagipula seperti kau lihat tadi banyak juga remaja seumuranku bahkan beberapa tahun lebih tua yang juga baru terdaftar sebagai The Blue. Sebenarnya tidak ada istilah terlambat untuk setiap keturunan bajak laut untuk masuk SOS, apalagi jika mereka baru ditemukan oleh The Dolphin. Mungkin itu juga sebabnya aku sejak awal tidak khawatir.” Julio berdiri dan kembali ke tempat tidurnya. “Jadi, apapun yang kau butuhkan kau dapat mengatakannya padaku. Ayahku sebelum meninggal telah menyiapkan cukup harta untuk kau dan aku. Kebetulan ayahku tahu, ketika kakekmu meninggal, ibumu harus menghabiskan seluruh harta kakekmu untuk pengobatan ibunya, nenekmu. Tapi ingatlah aku bukan pembantumu. Aku akan melakukan apapun sepanjang itu masih berhubungan dengan operasi Bajak Laut.” “Bagaimana dengan kakekmu, Julio?” Tanya Aramos cepat, penasaran apakah Kakek Julio juga melakukan hal yang sama terhadap kakek Aramos. “Dia tidak beruntung…….Saat SOS terbentuk pertama kali, dia justru sedang menjadi seorang prajurit Angkatan Laut di kapal perang. Dia meninggal di perang bahkan sebelum The Dolphin menemukan jejaknya. Mungkin sejak itulah, The Dolphin memutuskan untuk lebih cepat melacak dan merekrut anggota SOS sejak usia remaja sebelum terikat masa tugas dengan pihak-pihak lain.” Aramos diam. Dia memandang ke luar jendela. Hatinya tidak nyaman. Dia tidak mengerti bagaimana kehidupan moyangnya di masa lampau, tapi dia merasa tidak enak pada Julio. Dia tak pernah ingin seseorang menganggap dirinya harus berbakti dan menyerahkan seluruh hidupnya pada orang lain. Dia pernah dipaksa berada dalam posisi itu oleh ibu tirinya dan dia tidak menyukainya. Bila saatnya tiba, dia akan memperjelas hal ini pada Julio Delegas. Aramos tertegun memandang beberapa cahaya berkedap-kedip di bukit. Dia mengerutkan kening. Setahunya bukit itu tak berpenghuni kecuali para pengawas. Apakah itu para pengawas? Entahlah. Tapi sinar itu berkedap kedip lama, cepat, lama lagi dan cepat- cepat lagi. Sedikit membingungkan. Dan cahayanya mengarah ke Eightlyst State Ship. Aramos menggelengkan kepalanya. Dia masih memikirkan kisah yang diceritakan oleh Julio. Dan menurutnya itu lebih penting daripada cahaya tak jelas yang berasal dari bukit di seberang. Bab 7 “Kebiasaan hidup bebas, membuat seluruh bajak laut tidak tunduk kepada hukum manapun. Tapi bukan berarti mereka tidak memiliki peraturan . di bawah bendera Jolly Roger, mereka menetapkan beberapa peraturan yang lebih cenderung dipahami daripada tertulis.” Miss Rynbou dengan pakaiannya yang bergaya bajak laut gypsi dengan rok panjangnya yang berwarna warni tampak sangat cantik. Umurnya mungkin tidak lebih dari tiga puluh lima tahun. Dengan kulit coklat terbakar Matahari, dia diberitakan sebagai guru tercantik di Eightlyst State Ship. Suara bel membuyarkan sebagian besar lamunan remaja laki-laki, dan pandangan kagum dari remaja perempuan. “Pelajarilah hukum dasar Bajak Laut lebih lanjut di Bendera Hukum Samudra. Kalian dapat meminjamnya di perpustakaan. Pastikan kalian siap minggu depan untuk test singkat. Ingat setiap test di kelas ini bernilai sepuluh poin untuk yang mampu menyelesaikan dengan sempurna.” Para Nytes segera beranjak. Beberapa langsung keluar, sedangkan lainnya tampak masih bercengkerama. Aron bersama Forwed bersaudara tampak mendekati Miss Rynbou dengan saling dorong-mendorong. “Ya, ada apa?” Aron mengusap rambutnya. Aramos, Julio, dan Bill tersenyum kecil ketika melihat Andrea menirukan gaya Aron dengan lucu. “Apa kabar, Miss Rynbou? Masih ingatkan dengan saya?” Wanita itu tampak mengerutkan kening, berpikir sebentar, sebelum tersenyum. “Ahhh…..Aron Berstard. Apa kabar?” “Baik, Bu…… Senang melihat anda lagi. Anda makin cantik saja” Miss Rynbou tersenyum kecil. Para Forwed berebutan memperkenalkan diri. Setelah tampak sekali itu hanya basa-basi, untuk menunjukkan kesombongan. Aron dan Forwed pamit keluar ruangan. Miss Rynbou baru saja mengangkat wajahnya setelah merapikan mejanya ketika melihat mereka. Aramos dan Bill langsung memerah ketika wanita itu tersenyum, dan mengangguk kecil sebelum keluar ruangan. “Dasar cowok” Andrea mendengus dan keluar meninggalkan ketiga pria itu yang terbengong-bengong. “Kenapa dia?” “Itu namanya kecemburuan antar sesama perempuan, Bill. Dimaklumi saja” Julio menepuk bahu Bill, dan keluar ruangan. Aramos dan Bill segera mengikuti Julio. Mereka harus segera menuju lantai Sembilan, kelas mereka selanjutnya. Hari ini mereka dijadwalkan mengikuti tiga kelas. Kelas Garis Sejarah Penghuni Samudra, Kelas Hukum Dasar Bajak laut, dan yang terakhir adalah Kelas Pengamatan Cakrawala. Kelas terakhir ini barada di lantai Sembilan, karena mereka akan mengamati beberapa titik, sama seperti para bajak laut mengamati lautan dan daratan tempat mereka berlabuh. Mereka menaiki tangga dengan nafas terburu-buru. Mereka melewati beberapa lantai yang menampilkan interior seperti kantor berteknologi tinggi, ruangan-ruangan yang besar seperti tempat pesta atau pertemuan, sebuah lantai, seperti lantai lima tempat kamar mereka, yang dipastikan merupakan kamar-kamar para tamu, guru dan petinggi Eightlyst State Ship, dan lantai yang sebagian besar merupakan taman yang cukup luas. Lantai itu cukup terang karena sisi Barat dan Timurnya terdapat jendela-jendela super besar. Tampak beberapa rumah kaca kecil, tanaman dan bunga yang unik di taman itu. Semuanya sangat indah. “Besok kita di sini” bisik Andrea bersemangat. “Untuk kelas Ramuan, Pengobatan dan Campuran.” Mereka segera menaiki tangga yang terletak di antara dua kaktus besar. Mereka tiba di sebuah lantai yang sebagian besar dinding sisi-sisinya tidak ada. Ruangan itupun jauh lebih tinggi langit-langitnya di bandingkan ruangan-ruangan sebelumnya yang mereka lewati. Di situ cahaya matahari masuk dengan leluasa. Luar biasa indah. Mereka kini dengan jelas dapat melihat posisi Eightlyst State Ship yang terletak di antara bukit-bukit. Bukit yang hijau, karang yang hitam, langit dan laut yang biru, serta buih-buih putih ombak merupakan perpaduan keindahan yang sangat sulit diterjemahkan. Samudra yang terbentang luas jauh dibalik bukit pun dapat mereka lihat sedikit diantara lembah. Mereka tiba-tiba merasakan kedamaian. “Selamat datang, Nytes…… Selamat atas terpilihnya kalian untuk bergabung di Son of Seas. Kupastikan langkah kalian adalah langkah besar yang akan sangat menguntungkan untuk masa depan kalian.” Nytes berkumpul mengelilingi seorang laki-laki tua berjenggot putih tipis. Wajahnya kasar dan terbakar Matahari. Matanya hijau gelap dengan alis yang tebal. Rambut ubannya gondrong dan diikat dengan asal-asalan dengan bendana berwarna hijau. Dia berbicara dengan leluasa walaupun sedang menghisap pipa yang menyala. “Kelas ini adalah kelas yang menarik. Bagaimana kalian mempelajari berbagai hal besar hanya dari benda-benda kecil ini. Walaupun kapal dan kompas adalah peralatan yang sangat penting bagi para bajak laut, tapi teropong adalah peralatan yang harus….ingat…. harus….harus dimiliki semua bajak laut. Teropong yang baik akan menunjukkan pemandangan baik untuk kalian.” Pria tua itu mengitari sebuah meja. Dengan tangan yang keriput, dia menunjukkan beberapa teropong yang sudah disiapkannya. Mulai ukuran sebesar korek api, panjang seperti suling, hingga yang sebesar seperti tiang listrik yang terbelah tiga bagian. Ada yang terlihat kuno, dan ada yang terlihat sangat modern. Semuanya kalau dihitung, terdapat enam belas jenis teropong yang berbeda-beda jenis, bentuk dan fungsi. “Namaku Tuan Foraw Airflow. Kalian cukup memanggilku Tuan Airflow, dan ini adalah pelajaran pertama kalian” Tuan Airflow, guru Pengamatan Cakrawala itu mengangkat sebuah teropong kecil berbentuk pipa sepanjang sepuluh centi. Teropong itu ditariknya, hingga menjadi sepanjang lebih dari tiga puluh centi. Dari lingkaran terkecil ke lingkaran berdiameter terbesar. “Pergilah ke peti itu, masing-masing silahkan mengambil satu. Itu akan menjadi milik kalian hingga kalian mampu membeli yang lebih baik atau lebih sesuai keinginan kalian. Jangan sampai hilang. Karena aku takkan memberikan gratis lagi. Dan, Oya……Bila kalian mampu membeli yang lain, kalian boleh menjual itu kembali padaku. Aku menghargainya dua koin hitam.” Anak-anak berebutan mengambil teropong mereka masing-masing. Aramos segera mengambilnya juga, tepat saat bersamaan Aron melemparkan teropong yang diambilnya tadi secara kasar ke kotak. Aramos terkejut dan cemberut memandang pemuda pirang itu. “Teropong seperti ini, tak ada bagusnya sama sekali. Aku sudah membeli yang lebih bagus kemarin.” Aron mengeluarkan teropong yang dibelinya. Warnanya hitam mengkilat dan terlihat sangat modern. Berbeda dengan teropong yang dibagikan, teropong itu berbentuk dua tabung berukuran dua puluh senti dengan diameter sepuluh senti yang saling terkait. Beberapa tombol menghiasi bagian atas teropong itu. Tampaknya itu seperti tombol pengatur. “Hei anak muda” Tuan Airflow merebut teropong Aron dengan kasar. “Berhati-hatilah memperlakukan teropong. Walaupun kau bilang milikmu ini modern, aku yakin kamu bodoh dalam menggunakannya. Jadi pakai dulu yang ini dan akan kuajari kamu agar menjadi tidak bodoh. Mengerti!” Tuan Airflow mengembalikan teropong Aron dengan kasar dan melirik ke Aramos. Dia mengamati teropong yang dipilih Aramos dan mengangguk puas. Aramos memandang Bill, Andrea dan Julio dengan bingung. Secara serempak mereka mengamati teropong pilihan mereka dengan lebih saksama. Saat itulah mereka melihat ukiran-ukiran yang aneh di masing-masing teropong itu. Ukiran itu tidak cocok satu sama lain. Teropong mereka memiliki ukiran berbeda satu sama lain. “Peta harta karun kah?” Bisik Bill ketika mereka berempat membentuk lingkaran kecil sambil mengamati teropong masing-masing. “Entahlah…..tapi rasanya tak mungkin. Aku tak pernah mendengar ada yang di berikan peta harta karun saat baru saja bergabung bersama Nytes” Kata Andrea bingung. “Mungkin ada aturan yang diubah. Seperti kata Miss Rynbou, Bajak Laut tidak memiliki aturan yang paten” Andrea melirik Julio dengan tak yakin. “Iya, guru cantik itu bilang begitu saat mengajarkan sejarah bajak laut, bukan saat kita berada di bawah organisasi SOS” Mereka segera menyudahi percakapan itu dengan segan, saat suara kasar Tuan Airflow memanggil mereka menuju ke ujung selatan kapal. Mereka perlu berjalan lebih dari dua menit untuk mencapai ujung kapal yang dimaksud, karena kapal itu sangat panjang. “Perhatikan pohon kelapa yang berjejer sepanjang bukit itu. Ada enam pohon kelapa. Hanya satu pohon kelapa yang memiliki keunikan. Aku ingin kalian mengamatinya selama sepuluh menit untuk mencari tahu pohon kelapa yang mana dan apa keunikannya” “Ingat, mainkan jarak pandang teropong dengan memaju-mundurkannya. Perhatikan faktor biasan cahaya yang dapat menimbulkan fatamorgana, dan faktor permainan warna. Sudut pandang dapat kalian ubah untuk menemukan jawaban yang tepat. Berjejerlah dan mulai mengamati” Aron dan Forwed bersaudara mulai mengambil posisi yang paling strategis menurut mereka walaupun itu berarti mendorong beberapa anak secara kasar termasuk Bill. “Minggir gendut. Kamu menghabiskan tempat saja” Kevin Forwed mendorong Bill dengan kasar. Untunglah Julio cepat menangkap bahu Bill hingga dia tidak terjatuh, walaupun sempat oleng. Julio sudah hendak maju, ketika Bill menariknya. “Kita ke sisi kanan saja. Yuk!” Walaupun Aramos juga kesal dengan kelakuan Aron dan Forwed bersaudara yang hanya cekikikan, dan tidak minta maaf pada Bill, tapi dia tahu juga tak baik jika membiarkan Julio terbakar amarahnya di hari pertama sekolah mereka. “Kenapa sih kalian selalu mengalah pada mereka? Kita ini sama-sama keturunan bajak laut. Apa kalian tidak memiliki semangatnya?” Andrea mengangkat teropongnya dan mulai mengamati. “Kita akan membalasnya. Pasti. Tapi dengan gaya Bajak Laut, bukan gaya premanisme.” Julio mendengus. Dia tidak membantah, tapi terlihat kesal. Aramos dan Bill tersenyum padanya dan mereka bertiga pun mulai melakukan pengamatan. Selama beberapa menit ke depan mereka mengamati dalam diam. Aramos melihat ke keenam pohon kelapa dengan jantung berdebar-debar. Ini adalah tantangan pertama dari SOS pada dirinya, walaupun sebenarnya ditujukan bagi semua Nytes pemula, tapi entah mengapa dia merasa dia-lah yang ditantang. Dia mulai mengamati pohon pertama. Tidak ada yang aneh. Begitu pula pohon kedua, ketiga dan seterusnya. Semuanya normal-norml saja sebagai pohon kelapa. Dia mencoba kembali. Teropongnya dia maju mundurkan untuk menghindari pandangan yang kabur dan tak jelas, tapi sekali lagi…. Tidak ada yang aneh apalagi unik di pohon-pohon kelapa itu. Dengan sedikit putus asa dia menurunkan teropongnya. Tampaknya ketiga temannya yang lain sudah selesai mengamati juga. “Bagaimana, ada yang melihat keanehan?” Semua mereka menggeleng. Julio bahkan menggaruk kepalanya hingga rambutnya acak-acakkan. “Entah kita semua yang buta, atau tua Bangka itu yang hendak mempermainkan kita” “Hush, hati-hati kalau bicara Julio…….Tuan Airflow adalah seorang pahlawan. Kakekku pernah menceritakan padaku bagaimana dia berhasil mengetahui jebakan musuh hanya dengan teropong tuanya. Dia berhasil menyelamatkan sepuluh anggota Nytes angkatan pertama dari sergapan DST” Andrea melirik ke orang yang dibicarakannya. Merasa diamati, pria tua itu balik menatap mereka dengan melotot. Segera saja mereka mengangkat teropong secara serempak dengan sedikit gugup. Bahkan Bill harus memutar-mutar beberapa kali teropongnya karena salah arah. “Eh…..yang mana yang untuk dekat mata kita ya?” “Yang kecil, Bill……Putar, yang kecil di sandarkan ke mata” Aramos mencoba berkonsentrasi walaupun dia, Andrea dan Julio tertawa kecil menanggapi kelucuan aksi si Biil. Aramos memaju mundurkan teropongnya perlahan seperti intruksi Tuan Airflow. Pada saat itulah tiba-tiba dia melihat sesuatu di balik daun-daun pohon kelapa ke tiga. Saat itu dia pikir dia mengalami fatamorgana, tapi ketika dia mulai memainkan teropongnya maju mundur, dia dapat melihat jelas sekarang. Sebuah koin kuningan sangat kecil terkait di antara daun kelapa. Tadi dia memang sempat mengganti posisinya agak ke kanan, sehingga bagian belakang kelapa itu terlihat lebih jelas sekarang. Koin itu terlihat kaku. Dia seperti diikat kuat di daun satu dan daun lainnya pohon kelapa. Dengan tak melepas pendangannya, dia menarik Julio agar ke posisinya. Pemuda itu tak ingin bergerak, tapi setelah dipaksa dengan tarikan kuat akhirnya dia mau juga. “Lihat, pohon yang ketiga” bisik Aramos. Suaranya bergetar gugup, sama seperti jantungnya yang bedenyut kencang. Sesaat sunyi. Aramos menurunkan teropongnya mengamati Julio yang terlihat sangat serius. Semenit kemudian Andrea dan Bill juga mengamati Julio. Beberapa detik berlalu, Julio menurunkan teropongnya. “Luar biasa. Kamu….. bagaimana?....Kamu…..Kamu berhasil melihatnya. Kalian bagaimana? Kalian melihatnya juga?” Andrea mengangguk. Bill dengan semangat menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar. Dalam sekejap mereka berempat saling melemparkan senyum rahasia. Dan mereka segera mengambil tempat di sisi paling kanan kapal dengan bersandar pada sebuah tiang. “Baiklah. Nytes…..waktu telah selesai. Kalian berkumpullah.” Mengikuti para Nytes lainnya, mereka berempat pun berkumpul di hadapan Tuan Airflow. Beberapa murid terlihat menggerutu, bahkan ada yang bisik-bisik bingung. “Baiklah. Sekarang waktunya jawaban bagiku. Kuharap diantara kalian ada yang cukup baik menjadi Eagle Eye, pengamat di atas kapal.” “Untuk apa menjadi Eagle eye jika dapat menjadi Kapten kapal” Suara Aron membahana membelah kesunyian para murid. Cara dia mengucapkannya benar-benar membuat Aramos jengah dan kesal Tapi tampaknya Tuan Airflow tidak terlalu terpengaruh. Dia mengangkat keningnya sedikit dan kemudian tertawa terbahak-bahak. Tawa orang tua yang serak. “Keturunan Berstard yang sombong. Kurasa itu memang mengalir secara turun temurun” Tuan Airflow medekatkan wajah keriputnya ke wajah Aron hingga beberapa sentimeter. “Tapi mungkin sebaiknya kau tanyakan ke ayahmu, bagaimana kakekmu yang ceroboh itu hampir saja meninggal, tengelam bersama kapalnya, karena tidak menguasai ilmu ini dan mempercayai anak buahnya yang tidak lebih pandai dari dirinya, hah?…..” Nytes seketika ribut. Banyak yang berbisik-bisik. Nick dan Kevin justru yang sibuk melotot keseluruh penjuru mata angin dengan pandangan mengancam. Dan saat pandangan mereka tiba ke arah mereka, Julio hanya tersenyum kecil mengancam dengan gaya khasnya, sehingga membuat kedua pemuda Forwed itu kembali ciut dan memalingkan wajah mereka. Aron tampak geram. Dia membanting teropong pemberian Tuan Airflow dan berkacak pinggang. “Itu hanya kesalahan kecil. Bahkan tidak sebanding dengan kesuksesan yang dicapai kakekku selama hidupnya.” “Namanya kegagalan, kebodohan dan kecerobohan, akan selalu tercatat di memori setiap pelaut dan bajak laut. Tidak akan dapat dihapus……” Melihat pemuda yang dihadapinya hanya terdiam, Tuan Airflow tampak puas. Dia mengangkat tangannya menenangkan semua Nytes. “Baiklah…..aku butuh jawaban. Berikan aku jawaban memuaskan kalian untuk membuktikan bahwa suatu saat nanti kalian pantas menjadi Kapten kapal dengan kemampuan Eagle Eye” Nytes terdiam beberapa menit. Tuan Airflow tampak memasukkan beberapa lembar tembakau kering lagi ke dalam pipanya. Dia begitu santai, dan tampak telah terbiasa bila pada awal-awal mata pelajarannya ini, tak ada satupun Nytes yang berhasil menjawab pertanyaannya. Juulio mendorong bahu Aramos. Matanya melotot kesal. Tampaknya dia sudah tak sabar untuk mengatakan jawaban yang ditanya Tuan Airflow. “Kau saja yang menjawab” bisik Aramos pelan. Dia gugup. “”Dasar gila, itu jawaban milikmu…… Aku tak ada hubungannya. Cepat katakan!” “Tapi…..” “Aramos, Julio benar. Bagaimanapun jawaban itu kau yang temukan” Aramos menatap Bill dengan tatapan memelas, tapi tampaknya Bill sangat sepakat dengan Julio. Akhirnya dia menatap Andrea yang diam dari tadi,meminta bantuan, tapi yang ditatap justru mengangkat bahunya dan balik menatapnya dengan tajam. Sedetik kemudian, dengan mengejutkan, mendadak tangannya diangkat oleh Julio. Dan entah sial atau beruntung, justru pada saat itu pula Tuan Airflow mengangkat kepalanya dari pipa tembakaunya. “Well….well….well….. tuan muda Aramos Bombersfish…… Baiklah. Berikan kejutan untukku yang sudah tua ini” Aramos hendak membalikkan badannya meminta dukungan, tapi badannya justru dibalikkan kembali dengan kasar oleh Andrea. “Katakan saja…..” bisik gadis itu dengan suara mendesis. Aramos menelan ludah. Matahari yang bersinar terang di atas kapal pasti membantu mempertontonkan kegugupannya saat ini. Setelah menghirup udara beberapa kali, Aramos merasa siap. “Pohon ketiga….. Pohon yang anda maksudkan adalah pohon ketiga” Seketika Nytes ribut kembali. Aron, Nick, dan Kevin tersenyum sinis. “Benarkah? Omong kosong apa itu. Kalau cuma tebak-tebakan semua juga bisa Bombersfish” Teriak Nick sambil diikuti tawa beberapa Nytes. Aramos mengerutkan mulutnya. Dia merasa tersinggung karena Nick menyebutkan nama moyangnya dengan nada tidak sopan. “Diam, semua diam……” Tuan Airflow mendekati Aramos. Kepulan asap di pipanya tak dapat menghilangkan ketajaman tatapan menyelidiknya. “Anak muda…… Pemuda pirang bermulut lebar itu benar. Bila hanya tebak-tebakan, semua bisa. Jadi katakan padaku, katakan sejelas-jelasnya keunikan apa yang kau lihat di pohon ke tiga itu. Dan kuharap itu bukan buah kelapa yang berwarna merah muda, anak muda……” Aramos menggelengkan kepalanya. Dia dengan semangat menjelaskan apa yang dilihatnya, termasuk bagaimana posisi koin kuningan yang terlihat kaku itu. Tuan Airflow memutar badannya. Beberapa menit suasana begitu tenang. Tuan Airflow, memegang salah satu sisi dinding kapal, dan pandangan matanya begitu jauh ke arah samudra yang kini terlihat jelas dari balik bukit. Aramos, Julio, Bill dan Andrea saling berpandangan. Mereka tak mengerti apa yang terjadi. Hingga beberapa saat kemudian, Pria tua itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, mengejutkan semua yang berada di situ. Bab 8 “Tua Bangka yang aneh. Dia membuatku terkejut saja dengan tawanya itu……Bisa dibayangkan kalau dia mati, pasti kita tiap malam akan mendengar suara tawa menyeramkan itu” Julio menggigit sebuah burger jumbo dengan gemas. Mereka hari itu menikmati burger jumbo plus salad buah, sesuai dengan paket yang mereka bayarkan kemarin. “Kamu, kalau tidak marah-marah pasti sumpahin orang. Apa tidak capek?” “Lha, si tua Airflow itu memang aneh kan? Berapa susah sich dia harus mengakui bahwa Aramos berhasil mengatasi testnya, masa lebih dulu harus tertawa menakutkan seperti itu” “Kurasa itu karena dia merasa sangat senang dengan Aramos….. Dia tampaknya begitu puas berhasil menemukan si Bombersfish ini” Aramos tersipu-sipu. Bill telah menjelaskan secara gamblang apa yang terjadi setengah jam lalu di tingkat paling atas kapal itu. Dia sama seperti nytes lainnya, terkejut dengan reaksi Tuan Aiflow yang begitu bersemangat untuk usia setua itu. Mereka menghabiskan salad buah dengan bersemangat, terutama ketika Bill menceritakan dengan antusias tentang reaksi Aron, Kevin dan Nick ketika Tuan Airflow menyatakan bahwa jawaban Aramos benar. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak melihat bagaimana Bill dan Andrea meniru mimic wajah ketiga kawan mereka yang sombong itu. Ketika Aramos baru saja meletakkan garpunya, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seorang wanita tua berpakaian abu-abu formal. Wanita berambut super pendek itu telah berdiri tepat diantara Aramos dan Julio tanpa suara. Pandangan matanya tegas tapi juga lembut. Tapi yang paling menarik untuk mereka adalah penampilan wanita itu. Berbeda dengan sebagian besar orang di ruangan itu, wanita itu memakai jas dan celana panjang formal, sama seperti orang kantoran. Tak perlu diberitahu siapapun, mereka tahu mereka sedang berhadapan dengan seorang anggota The Dolphin. “Nyonya Foodston, apa kabar?” Julio segera berdiri dan menjabat akrab tangan wanita tua itu. Nyonya Foodston adalah Dolphin pembimbing Julio. Tampaknya mereka sudah cukup akrab, karena wanita tua itu terlihat sangat nyaman diantara mereka. Setelah mereka saling berkenalan satu sama lain, Nyonya Foodston mengambil tempat di antara Julio dan Aramos. Wanita itu mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya yang berbentuk koper kotak hitam kuno.. “Ini….. Aku membawanya sesuai perjanjianku dengan ayahmu sebelum meninggal. Dia ingin kamu memilikinya begitu kamu resmi menjad nytes. Semoga ini cukup memenuhi kebutuhan kamu dan temanmu di sini.” Nyonya Foodston tersenyum pada Aramos sebentar dan kembali mengalihkan pandangannya ke Julio. Julio membuka kantong berwarna hijau itu dengan bersemangat. Dia kemudian menumpahkan seluruh isinya ke dalam vas bunga kosong yang berada di meja mereka. Koin-koin berwarna hitam, hijau dan merah berjatuhan ke dalam vas itu, menimbulkan suara yang cukup ribut. Seluruh ruangan kini menatap mereka, bahkan beberapa The Blue datang mendekat ke meja mereka. “Wah, koin yang banyak sekali Julio.” Pekik Andrea takjub. Kini vas bunga yang ukurannya cukup besar itu hampir penuh. Kalau dihitung-hitung pasti ada beratus-ratus koin hitam, hijau dan merah. “Wah, kamu ternyata nytes yang kaya, Julio….. ayahku saja tidak memberikan koin sebanyak itu padaku.” Bill mengambil sebuah koin merah yang tergelincir keluar dari vas dan memasukkan ke vas itu. “Julio, koin kamu lebih banyak dari yang dipunyai Aron, lho!” Julio mengangkat keningnya. Tampaknya dia sekarang termasuk orang yang alergi dengan nama Aron. Gadis berambut coklat yang tak sengaja menyebutkan pemikirannya itu tampak gugup dipandangi Julio. “Eh, maksud Melvia bukan membanding-bandingkan kamu dengan Aron, Julio……Dia hanya….” “Sudahlah, Willem…… Julio tak apa-apa kok……Kelopak matanya saja yang keseleo sehingga sering melotot kayak itu” Kata-kata Andrea sontak membuat Julio melotot ke arahnya. Nytes lain dan Nyonya Foodston langsung saja tertawa, sehingga suasana kembali cair. Andrea dengan cuek menggigit sepotong buah kiwi dari salad buahnya. “Kamu sekarang bisa membeli apapun….. cobalah ke Cases Flazz di lantai dua, barang-barangnya bagus dan unik…..” Melvia tampak sudah pulih dari rasa shock dipelototin Julio. “Aku takkan menggunakannya dulu untuk membeli barang-barang. Aku akan menyimpannya sementara” “Benarkah? Wah, padahal ada sebuah pistol dari titanium, keluaran terbaru tahun ini di Cases Bullets….. Harganya sembilan koin merah” “Benar…..atau kamu dapat membeli yang di Cases Targets. Pistol berhiaskan emas delapan belas karat, itu kembaran dari kepunyaan Kapten Silverbond, hanya lebih ringan dan kecil. Harganya….” Aramos menatap ke nytes-nytes pemula itu dengan takjub. Tampaknya mereka telah mengetahui banyak hal, padahal mereka belum dua hari di kapal itu. Willem, Henry dan Farlon, yang juga tetangga terdekat kamar mereka, menjelaskan berbagai peralatan dan aksesoris lengkap dengan harganya masing-masing dengan fasih. Julio sampai bingung. Belum lagi di tambah dengan tanggapan Melvia dan Carla, sambil menjelaskan tentang beberapa diskon di beberapa cases yang sedang berlangsung. Suasana sangat heboh. Beberapa nytes senior pun berkumpul dan memberikan ide–ide mereka tentang beberapa hal yang harus dibeli. Kalau ditotal-total ada lebih dari selusin orang yang kini berkumpul di meja mereka. Tampaknya dalam sekejap Julio menjadi Nytes paling terkenal di Cases itu. “Teman-teman……sudahlah….. Lihat Julio. Wajahnya yang biasa melotot, sangar….Kini mengkerut karena kebingungan. Jangan khawatir, bila Julio berminat dia pasti membelinya….Tapi aku yakin karena Julio termasuk orang yang bertanggung jawab, dia akan mendahulukan yang terpenting dulu. OK?” Kata-kata Andrea disambut gumaman semua nytes. Aramos dan Bill hanya dapat mengulum senyum. Walaupun Julio terlihat sangat kesal ketika disindir oleh Andrea, tapi dia juga terlihat sangat lega karena kini para nytes mulai kembali ke meja mereka masing-masing. Walaupun pembahasan mereka masih terus berlanjut dengan teman semeja mereka. “Ini keterangannya. Terdapat dua ratus enam puluh tiga koin hitam. seratus tujuh puluh enam koin hijau dan tiga ratus delapan koin merah. Cobalah kau cek Julio!” Nyonya Foodstone menyerahkan sebuah kertas yang terlihat tua dan lusuh. “Tak perlu, Nyonya Foodstone. Terima kasih. Aku yakin kau telah mengaturnya sesuai” Julio segera menandatangani surat tanda terima itu dan mengembalikan ke Nyonya Foodstone. ”Sekarang, perkenankanlah saya mentraktir anda sebagai tanda terima kasih” Wanita tua itu tiba-tiba tertawa geli. Wajahnya yang sedikit kaku tadi kini terlihat sangat rileks. ******** Julio menandatangani beberapa berkas di Cases B’Coins, satu-satunya tempat penyimpanan koin di Eightlyst State Ship. Sesaat setelah mereka mengantar Nyonya Foodstone ke kapal untuk kembali ke dunia luar, mereka segera menuju B’Coins untuk menyimpan koin milik Julio yang super banyak. Dengan alasan bahwa karena tak memiliki sanak keluarga, Julio meminta agar Aramos diikutsertakan sebagai pihak yang juga dapat mengambil koin itu apabila diperlukan. Aramos dapat melihat keterkejutan Andrea dan Bill, tapi kedua teman mereka itu tak menanyakan apapun. Sementara Aramos merasa sangat tidak nyaman. Bagaimanapun koin itu jumlahnya sangat banyak, dan dia diminta menjadi salah satu pemiliknya juga. “Kurasa itu bukan ide yang bagus, Julio…..aku tak bisa” “Sudahlah. Seperti kujelaskan tadi malam. Ini adalah milikmu juga. Ayolah. Kita tak ingin bermalam di sini kan? Ingat, kita harus mengerjakan beberapa tugas juga……” Aramos memandang Bill dan Andrea. Kedua temannya itu hanya tersenyum mendukung. Dengan dipaksa Julio, Aramos kini menggenggam sebuah pena. Tampak sekali Tuan Banks, salah satu pegawai di B’coins sudah tak sabar. Dia segera menunjukkan beberapa lembar kertas ke hadapan Aramos untuk ditanda tangani. Dalam semenit, Aramos sudah menandatangani sepuluh lembar arsip. Sama dengan Julio yang kini duduk santai di sebelahnya. Aramos meneliti Koran Eightlyst yang tiap pagi diletakkan di depan pintu mereka. Koran yang terdiri dari sepuluh lembar itu menyajikan berbagai informasi dan berita terbaru. Bill sedang menelpon ayahnya di koridor, sedangkan Julio sedang mandi, jadi dia cukup santai meneliti daftar lowongan yang terbit. Walaupun ada beberapa berita yang tampaknya menarik, berdasarkan headlinenya, Aramos lebih mementingkan lowongan pekerjaan. Sebagian besar lowongan dipasang oleh Cases. Tampaknya mereka sejak musim sekolah lagi, membutuhkan lebih banyak tenaga Nytes. Tawaran mereka rata-rata sama, dua koin hitam per jam. Tiba-tiba mata Aramos tertumbuk pada sebuah lowongan kerja. Terletak disudut terbawa Koran Eighlyst. Pengumumannya mungkin tidak panjang tapi sangat menarik. Dicari : Nytes muda, teliti dan bersemangat untuk menjadi Penjaga perpustakaan setiap weekend (Sabtu dan Minggu). Bagi yang berminat silahkan menghubungi Kepala Pemelihara sebelum besok siang. Sebagai pernghargaan, Nytes akan menerima pembayaran satu koin Hijau per jam. Aramos membaca lowongan tersebut berkali-kali. Tawaran itu sangat menarik. Satu koin hijau per jam. Itu artinya hanya dengan bekerja beberapa jam, dia dapat memenuhi kebutuhan makan hariannya selama seminggu. Bunyi air yang berhenti, menyadarkan Aramos. Dengan segera dia melipat Koran dan meletakkan di meja. Sambil berpura-pura memandang lautan di luar, Aramos mencoba memikirkan cara agar dia dapat ke perpustakaan dan memenuhi lowongan tadi. “Sedang apa kamu?” Julio keluar hanya dengan mengenakan jubah mandi. Sambil mengacak rambutnya yang basah, matanya melotot ke Aramos. Dalam keadaan tanpa berseragam, tampak sekali perbedaan antara dia dengan Julio yang sudah berumur enam belas tahun. Tiga tahun lebih tua darinya. “Melamun ya? Jangan bilang baru sebentar kamu sudah rindu kampung halaman” Aramos tersenyum kecil. Bukannya dia ingin melepaskan masa lalunya, tapi dia juga sedikit heran karena tak terbersit sedikitpun di pikirannya untuk kembali ke rumah ataupun kampung halamannya. Tapi kalaupun mengatakan kebenaran apa yang dipikirkannya, rasanya hanya akan membuat Julio marah besar, jadi lebih baik dia mengalihkan pembicaraan. “Bukan apa-apa. Hanya membayangkan bagaimana menjadi bajak laut yang baik” “Huh! Kamu tidak akan dapat membayangkannya. Bajak Laut itu dengan kata ‘baik’ berbanding terbalik. Yah, walaupun tak heran juga sih…..kamu kan keturunan Bombersfish” Aramos beranjak mengambil handuknya dan bersiap untuk mandi. “Yah, aku pun tak bisa membayangkannya” Bab 9 “Luar biasa. Lihat selembar daun sekecil ini dapat menjadi racun mematikan ketika masuk ke dalam teh-mu.” Andrea menunjukkan dengan bangga sebuah gambar di buku Rahasia Tumbuhan pada Aramos. Mereka baru saja selesai mengikuti kelas Ramuan, Pengobatan dan Campuran. Andrea adalah satu-satunya yang paling berminat dengan kelas itu dibandingkan siapa pun di kelas tadi. Dia bahkan tak berhenti membicarakan berbagai tumbuhan aneh dengan berbagai nama yang lebih aneh dan memusingkan. “Kau wanita yang mengerikan……” Julio mendengus dan mempercepat langkahnya. “Hei, enak saja mengatain orang. Ini adalah hal yang penting tahu” “Dengan mempelajari racun di usiamu? Wow, betapa menarik dan menakutkan” “Ini juga ada tentang pengobatan…..Tidak semuanya melulu racun, tau! Daripada kamu….. pikiranmu itu hanya terfokus pada kelas Pertahanan dan Menyerang….. Hanya memikirkan kekerasan melulu” “Bagiku itu lebih baik. Menyerang orang secara berhadapan daripada diam-diam dengan racun, licik, pengecut dan sangat rendah. Tapi Aku terkejut juga melihat Aramos berhasil meretakkan semangka itu dengan sekali ayunan. Terus terang aku tak menyangka kau cukup kuat juga.” Aramos tersipu malu. Dia ingat kejadian tadi, pelajaran sebelum kelas Ramuan, Pengobatan dan Campuran, kelas Pertahanan dan Menyerang. Setelah diperkenalkan dengan beberapa alat pertahanan dasar, mereka masing-masing diminta memukul sebuah semangka dengan tongkat toya yang telah disediakan. Hanya enam siswa yang berhasil meretakkan semangka dengan sekali pukul, diantaranya Julio dan Aramos. Tapi Aramos adalah yang termuda dan memiliki badan terkecil di kelompok yang berhasil meretakkan semangka dengan sekali pukulan. Bahkan dia memang memiliki badan terkecil untuk seluruh Nytes laki-laki yang terdaftar The Blue tahun ini. Aramos tidak menyangka, selama lebih dari setahun dia dipaksa bekerja keras oleh ibu tirinya, mulai dari membersihkan rumah, menimba air hingga membelah kayu ternyata telah melatih tubuhnya. Kini dia tahu bahwa dia memiliki kekuatan lebih dari yang terlihat. Andrea dan Julio terus bertengkar. Bill dan Aramos hanya saling pandang dan mengangkat bahu. Walaupun mereka ingin melerai, karena banyak Nytes yang memperhatikan mereka, tapi tampaknya justru mereka yang akan kena semprotan berikutnya. Akibatnya perjalanan menuju Cases Hotpan untuk makan siang, kedua orang itu terus saja berdebat. Aramos melirik jam di salah satu sisi tiang di lantai dua. Pukul sebelas lewat empat puluh menit. Itu artinya dia harus segera menemui Kepala Pemelihara kalau ingin mendapatkan pekerjaan itu. Tapi dia harus melakukannya diam-diam. Bagaimanapun Julio adalah yang paling tidak suka dengan yang akan dilakukannya. “Bill….. aku harus ke kamar kecil. Kalian duluan saja ke Hotpan. Aku segera kembali” Aramos tidak menunggu jawaban Bill. Dia segera meninggalkan Bill yang terheran-heran, menuju ke tangga lantai tiga. “Hei, mau kemana dia?” Bill memandang Andrea dengan bingung. “Entahlah, katanya ke kamar kecil” “Di lantai tiga? Memangnya di lantai dua ini tidak ada kamar mandi” Mereka bertiga saling berpandangan dengan bingung. “ini pasti gara-gara kamu. Aramos pasti kesal melihat kamu membicarakan tumbuhan inilah-itulah terus menerus” “Jangan sembarangan. Aramos itu gentleman. Dia tidak seperti kamu yang cerewet, seperti perawan tua yang tak punya pekerjaan……” Bill menutup mulut Andrea. Andrea kelabakan, tapi kemudian tenang. Dia baru menyadari Madame Bullets baru saja lewat dan menatapnya dengan kesal. Madame Bullets sampai saat ini belum menikah, dan tentu saja kata-kata Andrea yang cukup keras sampai ke telinganya yang terkenal super tajam. Setelah Madame Bullets cukup jauh dari mereka, Bill melepaskan Andrea. Dengan kesal Andrea melotot ke Julio yang pura-pura tak tahu yang terjadi sambil mengulum senyum. *************** “Siapa namamu?” Aramos mengamati pria pendek di hadapannya. Tingginya mungkin tidak sampai di pundak Aramos. Tapi pria itu terlihat sangat berkuasa. Tapi kalau dipikir-pikir itu wajar. Karena dialah pemimpin semua pemelihara di perpustakaan Eightlyst State Ship ini. “Eh…..Aramos….Aramos Soammer” Untuk sesaat Aramos sangat yakin bahwa pria kecil bernama Tuan Lenter itu mengenali nama itu. Entah bagaimana, tapi Aramos yakin Tuan Lenter juga mengenal moyangnya yang sangat kontroversial itu. “Baiklah. Tapi kau harus tahu pekerjaan ini hanya kelihatannya saja mudah. Tapi sebenarnya sangat sulit. Ingat aku takkan membayar satu koin hijau per jam jika pekerjaanmu itu tidak selesai. Bagaimanapun, akhir pekan memang tidak terlalu sibuk. Sebagian besar penghuni Eighlyst sibuk bersenang-senang. Mereka tidak terlalu berminat pada perpustakaan ini. Tapi aku tetap kekurangan tenaga. Aku hanya memiliki sedikit pemelihara yang mau bekerja di akhir pekan. Jadi kuharap kau bersungguh-sungguh” Aramos mengangguk. Dia memang dinyatakan lulus sejak pertama kali berhadapan dengan Tuan Lenter. Bukan karena dia sudah melalui berbagai test, tapi tampaknya karena tidak ada pelamar lain selain dirinya. Itu cukup mengherankannya. Tapi juga melegakannya. Mungkin karena akhir pekan, seperti kata Tuan Lenter, sangat sedikit ada yang mau bekerja pada waktu seperti itu. Apalagi akhir pekan adalah besok, jadi dia tampaknya sudah sangat dibutuhkan. Tuan Lenter menekan sebuah tombol di telepon mejanya. Beberapa detik kemudian tampak seorang wanita tua berkulit gelap dengan tinggi yang tak jauh beda dengan Aramos memasuki ruangan. Pakaiannya sedikit banyak menyerupai wanita kantoran dibandingkan wanita bajak laut. Sama seperti penampilan Tuan Lenter. “Madame Roda… ini adalah Aramos. Mulai akhir pekan besok dan di setiap akhir pekan dia akan bekerja disini. Aku akan memberikan kamu kesempatan satu bulan. Pekerjaanmu akan dinilai langsung oleh Madame Roda. Dan percayalah, semua laporannya adalah penting bagiku. Baiklah Madame Roda, tolong urus administrasinya, dan siapkan dia” Aramos mengucapkan terima kasih dan meninggalkan kantor tuan Lenter yang terletak disalah satu sudut perpustakaan yang super besar, mengikuti Madame Roda. Ternyata meja wanita itu berdampingan dengan pintu masuk keluar perpustakaan. Wanita itu tak banyak bercerita. Dia hanya meminta kartu pengenal Aramos, dan mencatatnya di salah satu kertas berwarna merah. Dia menyerahkan sebuah buku panduan untuk para pemelihara dan sebuah tanda pengenal lain yang tampaknya khusus untuk para pekerja perpustakaan. “Baiklah, mulai besok kau kerja di sini mulai pukul Sembilan pagi sampai dengan pukul dua belas siang. Perpustakaan ini hanya buka sampai jam begitu pada akhir pekan. Jangan lupa untuk absen di mesin absen. Koinmu dapat kau ambil setelah selesai, besok di mejaku.” Aramos tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dia baru saja mengatur buku panduan dan tanda pengenalnya ketika Andrea, Julio dan Bill muncul di hadapannya. Wajah mereka terlihat kurang senang, tapi yang paling menakutkan justru wajah Julio. Mereka menariknya keluar perpustakaan, dan setengah menyeretnya ke salah satu lorong sempit di lantai tiga. “Kamu ngapain sih?” suara Julio terdengar tidak sabar. Aramos memandang ketiga temannya. Dia mungkin tidak akan dibunuh, tapi dia pasti akan kehilangan teman-teman yang sangat disukainya ini. “Maafkan aku” Aramos menundukkan kepalanya dengan lesu. “Kenapa kamu tak mengatakan pada kami kalau kamu mau bekerja di perpustakaan?” “Iya…. Kenapa menyembunyikannya?” desak Andrea tak sabar. “aaaahhh…. Itu tak penting” Julio berkacak pinggang dengan kesal “sekarang anak kecil, kembali ke sana dan katakan pada wanita tua itu kau tidak jadi bekerja di sana. Kau tidak akan menjadi pemelihara akhir pekan untuk perpustakaan itu” “Tidak bisa, Julio….. aku sudah berjanji pada Tuan Lenter. Lagipula tidak mungkin belum masuk kerja saja aku sudah harus mengundurkan diri. Itu sama saja mempermainkan mereka. padahal mereka sudah menerimaku” “Itu benar juga, sih! Iya kan Bill” “Dasar bodoh. Mereka menerimamu bukan karena kamu sesuai keinginan mereka. tapi karena kamu satu-satunya Nytes yang mau bekerja di tempat mereka, pada akhir pekan lagi! Sudah jangan banyak bicara. Kamu kembali…..” “Hei, Julio. Jangan seenaknya saja menyuruh-nyuruh orang. Alasan Aramos tepat, lagipula ini hidupnya.” “Diam kau, cewek cerewet. Ini urusanku dengan dia” “ooohhh…. Aku tahu. Ini pasti gara-gara kamu. Makanya Aramos tak mau mengatakan apapapun pada kita. Kamu memang suka seenaknya” “Lho, apa salahku…..aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Aramos tak butuh koin dari bekerja. Dia memiliki tabungan bersama denganku kan?” “Tapi itu milikmu, Julio. Aku tak mungkin menggunakannya semauku. Aku juga memiliki keinginan. Banyak keinginan” Julio terdiam. Aramos menghembuskan napasnya dengan tak sabar. Andrea dan Bill juga tak berkata apa-apa. Akhirnya Julio berjalan menjauh meninggalkan mereka. “Hei…. Mau ke mana? Kita belum makan siang” “Aku tak lapar” Julio menghilang di sudut lorong. Tampaknya dia menuju kamar mereka. “Maafkan aku” “Sudahlah. Bagaimanapun ini hidupmu. Tapi menurutku Julio bermaksud baik” “Iya, dia tampak sangat menyukaimu” Andrea dan Aramos memandangi Bill dengan shock. “Maksudku dalam arti baik, kalian tahu…..menyayangi….menyayangi seperti teman….teman, saudara mungkin?” Mereka hanya tersenyum. Sesaat kemudian mereka menuju ke Hotpan walaupun masing-masing dari mereka tak ada yang berminat untuk makan siang saat itu. Hotpan tampak sedikit sesak. Ternyata banyak juga Nytes yang memilih Hotpan sebagai salah satu tempat melepaskan haus dan lapar. Dengan sedikit berdesakan, mereka menuju ke salah satu sudut Hotpan. Tempat yang agak menjorok di dekat pintu dapur. Walaupun sebenarnya hanya dikhususkan untuk dua orang, mereka akhirnya menemukan sebuah kursi kosong untuk salah seorang dari mereka. Sebenarnya posisi tempat duduk mereka cukup menguntungkan. Karena selain dapat mencium berbagai bau masakan, dan tentu saja Bill sangat bersemangat melakukannya, mereka juga dapat melihat leluasa ke koridor luar melalui jendela super besar Hotpan, tanpa terlalu menyolok. ‘Mulai sekarang berjanjilah. Kita akan saling bercerita apapun…..dan tak main rahasia-rahasiaan ya!” Andrea mengacungkan jari kelingkingnya. Kedua sahabatnya yang lain saling mengangguk dan mengaitkan kelingking mereka. Mereka bertiga tersenyum. “Sekarang tinggal mengurus si cowok latin keras kepala itu. Yah, tampaknya tidak mudah. Tapi kuyakin dia akan baik-baik saja” “Iya, kuharap begitu” Bill menyentuh lengan Aramos dan tersenyum semenarik mungkin. Aramos dan Andrea langsung saja terbahak-bahak. “Kenapa, sih? Aku kan berniat menghibur” Bill pura-pura merengut, tapi langsung tersenyum senang. Beberapa menit kemudian mereka masing-masing telah mulai menikmati seporsi mie pangsit dan sepotong pie apel ditemani jus jambu. Sedangkan Bill sendiri menambah makan siangnya dengan sepotong sandwich yang seharga satu koin hitam. Mereka agak diam, tapi setidaknya suasana sudah lebih mencair dibandingkan tadi. Dan selera makan Bill yang sempat menghilang beberapa menit lalu sudah kembali. Beberapa Nytes telah meninggalkan Hotpan sehingga suasana sedikit lebih tenang. Aramos memanggil seorang Nytes senior berseragam putih coklat berhidung bengkok dan memesan beberapa potong ayam goreng, sosis dan kentang seharga dua koin hitam. “Kamu masih lapar?” “Bukan itu untuk Julio. Bagaimanapun dia pasti lapar” Andrea tersenyum kecil, dan membiarkan Aramos menyelesaikan makanannya. Sejak kemarin, sejak Julio mendesak Aramos menjadi pihak lainnya yang berhak menarik koin dari Cases B’Coins, dia sudah memiliki banyak pertanyaan. Dan kejadian marah-marah Julio yang terlihat berlebihan ketika Aramos memutuskan bekerja di Perpustakaan lebih memperbanyak pertanyaan di pikirannya. Andrea tahu ada sesuatu yang belum diungkapkan dari hubungan Aramos dan Julio, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengetahuinya tanpa perlu bertanya langsung pada kedua orang temannya itu. Andrea memainkan tissue di tangannya. “Aramos, bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu?” Aramos mengangguk dengan sepotong pie apel masih dikunyahnya. “Sebenarnya hubunganmu dengan Julio itu bagaimana?” Pandangan Aramos yang sedikit terkejut, membuat Andrea tahu dia harus lebih mendesak lagi, jangan sampai Aramos mundur dan akhirnya dia menjadi lebih penasaran lagi. “Maksudku……Entah, bagaimana aku menjelaskannya…..Tapi rasanya hubungan kalian lebih dari sekedar sesama Nytes yang baru kenal dan kebetulan sekamar…….” “Itu bukan kebetulan…….” Aramos dan Andrea menatap Bill dengan terkejut, tapi tampaknya pemuda itu tidak tahu atau mungkin tidak mempedulikannya ketika melanjutkan kata-katanya. “Dia bertukar kamar dengan Willem….....Willem mendapatkan tiga koin hijau dan kamar JE41, sekamar dengan Farlon Ronut dan The Red, Sanjay Khan …” “Darimana kau tahu itu? Willem menceritakannya?” “Tidak…….Ayahku yang menceritakannya. Willem memberitahukan kakaknya yang kebetulan saat ini bekerja di divisi Defoma, dan kakaknya bercerita kepada Ayahku, karena Willem juga menceritakan bahwa di kamar itu ada aku……” Aramos dan Andrea bertatapan. Tapi kata-kata selanjutnya yang keluar dari Bill lebih mengejutkan mereka berdua. “Tentang Aramos dan Julio, aku juga tahu sesuatu berdasarkan cerita ayahku juga……..Dulu Ayahku seangkatan dengan ayah Julio, dan mereka sekamar…….” Kata Bill tersenyum lebar. Sandwich pesanannya telah habis. Aramos sedikit lega ketika Bill mulai bercerita lebih lanjut tentang kisah hubungan keluarga Bombersfish dan Delegas di masa lampau yang berlanjut hingga sekarang, dan mungkin akan terus berlanjut hingga keturunan-keturunan berikutnya. Sebab dengan demikian dia tidak perlu menjelaskan sesuatu yang justru masih sangat kabur dan sulit dipercayainya itu kepada Andrea. Cerita Bill yang sangat detail dan tidak dilebih-lebihkan membuat Aramos seperti mendengarkan kembali cerita yang disampaikan Julio padanya di malam itu. Sudah lebih dari lima menit sejak Bill selesai bercerita, Cases Hotpan bahkan telah sepi dari pengunjung, hanya tersisa dua meja yang terisi, satu meja dekat jendela diisi dua pasang Nytes berseragam Putih Coklat, dan satunya meja mereka. Berbeda dengan meja lain yang agak berisik, meja mereka sunyi senyap kecuali suara Bill yang masih mengunyah potongan terakhir pie apelnya. “Jadi……Cerita ini……Aku……” Pandangan Andrea yang gelisah hanya disambut senyum kecil kaku Aramos. “Aku mengerti……Cukup mengerti” Akhirnya Andrea yang lama kembali. Tegas dan terlihat bijaksana seperti awal Bill dan Aramos mengenalnya. Lima menit kemudian mereka sudah tiba di lantai lima, lantai kamar-kamar mereka. Di tangan Aramos terdapat buku-buku pelajaran mereka hari itu, buku panduan untuk pemelihara, dan sebuah kantong kertas berisi ayam goreng dan kentang untuk Julio. “Kamu yakin bisa mengatasinya, Aramos? Atau aku harus ikut untuk menenangkannya?” Walaupun Bill dan Aramos tahu Andrea serius dengan kata-katanya, tapi mereka berdua terkejut juga mendengar ide Andrea yang beresiko sangat tinggi. “Tidak apa-apa…….Aku dapat mengatasinya. Lagipula Bill pasti akan sangat membantu” Kata Aramos mencoba meyakinkan Andrea yang terlihat khawatir. Bill mengangguk gugup. Jelas terlihat dia ketakutan tapi mencoba menguasainya. Bill tahu dia mungkin takkan menang untuk melawan Julio saat mengamuk, tapi dia juga cukup bijaksana menganggap Julio bukanlah binatang buas yang tidak akan menggunakan logika. “Baiklah, aku akan menunggu sepuluh menit di sini. Berjaga-jaga. Jadi bila ada apa-apa, salah satu atau kalian berdua dapat berteriak sekeras-kerasnya. Setidaknya ketebalan buku Ramuan ini memiliki kegunaan lain selain ilmu di dalamnya…” Kata Andrea serius. Aramos dan Bill tersenyum geli membayangkan Buku Ramuan yang memiliki ketebalan lebih dari sepuluh senti dan bercover tebal itu membuat Julio pingsan atau setidaknya benjol. “Kalau tidak ada masalah, aku akan kembali ke kamar dan mulai belajar. Sebaiknya kalian juga jangan lupa, minggu depan kuis Hukum Dasar Bajak Laut, Miss Rynbou. Ingatkan juga si Gondrong itu saat dia sudah agak tenang. Sampai jumpa saat makan malam” Aramos dan Bill mengangguk mengerti maksud kata-kata Andrea dan tentang siapa si Gondrong yang tidak lain tentu saja Julio. Andrea duduk di bangku terdekat dengan East Side, sambil memandang Aramos dan Bill berjalan memasuki gang utama East Side dan menghilang ke salah satu gang yang lebih kecil. Bab 10 Hari Pertama kerja di Perpustakaan cukup merepotkan dan membingungkan bagi Aramos yang memang sudah sangat lama tidak bersentuhan dengan Perpustakaan. Tapi Aramos juga sangat bersemangat, selain ini adalah pekerjaan pertamanya yang mendapatkan bayaran, juga karena Julio yang menunjukkan dukungannya tadi pagi dengan mengatur agar dia, Aramos, Bill dan Andrea dapat tetap sarapan bersama seperti biasa hingga dia juga tidak akan terlambat ke Perpustakaan. Aramos masih ingat wajah marah, dan kesal Julio ketika dia dan Bill menginjakkan kaki kembali ke kamar mereka kemarin siang. Julio tidak berteriak, dia bahkan tidak bersuara apapun dan hanya memandang tv seakan-akan acara apapun yang disaksikannya jauh lebih menarik daripada dua makhluk yang baru saja memasuki kamar itu. Aramos berdiri di samping tempat tidur Julio dan meletakkan buku-buku dan kantong kertas yang dibawanya di atas meja Julio. Gerakannya yang gugup sangat terlihat. Sedangkan Bill sudah duduk di tempat tidurnya dan memandang gelisah ke arah mereka. Sebisa mungkin dia tidak bersuara, bahkan dia juga mencoba untuk mengendalikan napasnya yang seperti biasa agak berat setelah menaiki tangga-tangga di Eightlyst State Ship. “Aku tak mengenal moyangku, aku bahkan tidak mengenal kakekku sendiri. Sedangkan ibuku hanya kukenal tidak lebih dari empat tahun awal hidupku. Tapi dari ceritamu, aku setidaknya merasa mengenal mereka. Dan dari ceritamu juga aku sadar kenapa selama ini aku bertahan dari ibu tiriku……. Karena aku adalah keturunan Bombersfish, keturunan Kapten besar di masanya. Keturunan dari orang-orang yang tidak akan menyerah walau apapun yang terjadi. Dan terutama keturunan dari seorang Kapten yang memiliki Harkat dan Martabat yang dikagumi seluruh anak buahnya sehingga mereka bahkan akan menyerahkan nyawa mereka untuknya. Jadi kumohon padamu Julio, jangan biarkan keturunan satu-satunya Bombersfish ini menjadi benalu atau pengemis di masa ini.” Tatapan Julio yang langsung ke matanya membuatnya semakin yakin untuk melanjutkan kata-kata yang sudah dipikirkannya sepanjang hari ini apabila harus menghadapi kemarahan Julio. “Aku pasti akan memiliki saat-saat sangat membutuhkan bantuanmu, Bill dan Andrea, tapi ada saat aku juga ingin menjadi seseorang, yang suatu saat nanti dapat diandalkan oleh sahabat-sahabatnya. Bagiku kalian bertiga adalah anugrah terbaik yang diberikan padaku, bahkan melebihi keanggotaanku di SOS ini.” Uluran tangan Julio yang kekar beberapa detik kemudian setelah kata-katanya berakhir, disambut oleh Aramos dengan semangat. Sedetik kemudian mereka sudah saling berpelukan. Tak perlu kata-kata untuk mengungkapkan bahwa Julio mengerti dan dapat menerima keputusannya saat ini maupun keputusan lainnya di saat-saat akan datang. “Aku juga sayang kalian” Bill memeluk mereka berdua. Dan tak perlu di komando, mereka bertiga pun tertawa bersama-sama. Dan Aramos sadar dia menitikkan air mata, namun segera dihapusnya sebelum dilihat kedua sahabatnya. Pukul tujuh malam adalah saat makan malam bersama mereka. Bagi kelompok Nytes lain yang melihat mereka, pasti tidak akan pernah tahu bahwa beberapa jam yang lalu hubungan kelompok mereka mengalami ketegangan tingkat tinggi. Bahkan mereka mungkin akan berpikir bahwa kelompok dari berbagai etnis ini terlihat sangat harmonis dengan melihat Andrea yang tak henti-hentinya tersenyum. Andrea bahkan tersenyum dan mengucapkan salam pada Aron, Nick dan Kevin saat mereka berpapasan di tangga yang membuat ketiga pemuda itu kebingungan. Gadis Asia itu bahkan mentraktir Julio, Aramos dan Bill dengan dessert es krim. Yang agak sedikit mengganggu hanyalah kehadiran kelompok Crocodile Eyes di Cases Hotpan yang sekali lagi menatap meja mereka sambil berbisik-bisik. Untung saja saat itu mereka sudah akan meninggalkan Cases Hotpan. “Aramos, aku ingin kamu memasukkan data tiga puluh delapan buku yang baru tiba ini ke dalam Komputer. Pastikan kategori dan data-data kecil termasuk tahun penerbitan dan jumlah halamannya jangan sampai salah. Gunakan salah satu komputer di sudut timur perputakaan saja.” Madame Roda menyerahkan buku-buku yang masih terdapat dalam kardus, hanya bagian atasnya saja yang terbuka ke Aramos yang saat itu berada di gang tiga perpustakaan. “Setelah itu kamu letakkan ke raknya masing-masing sesuai dengan label yang tercantum di sampulnya” Aramos baru saja mengembalikan lebih dari seratus buku ke masing-masing rak, namun entah kekuatan apa yang ada di dirinya, dia bahkan tidak merasa lelah sedikitpun. Dengan semangat Aramos membawa kardus besar itu melewati dua gang lainnya menuju komputer yang dimaksud oleh Madame roda. Suasana Perpustakaan sangat sepi. Tidak ada satupun pengunjung. Selain Madame Roda, hanya ada dua Pemelihara yang sibuk memperbaiki beberapa buku yang agak rusak. Aramos sadar pekerjaan itu butuh ketelitian sangat tinggi sebab selain terlihat mereka sangat berkonsentrasi, mereka juga di pisahkan ke sebuah ruangan kaca yang didalamnya terdapat berbagai alat yang belum diketahui Aramos. Tuan Lenter sendiri saat ini berada diruangannya, walaupun sejam yang lalu dia sempat melewati gang tiga belas, saat Aramos mengembalikan buku-buku di rak teratas gang tersebut. Aramos kagum dengan wibawa Tuan Lenter. Walaupun Tuan Lenter yang pendek semakin terlihat pendek saja, ketika Aramos mengamatinya dari atas tangga perpustakaan, tapi dengan cara berjalan dan sikap tubuhnya terlihat sekali dia adalah pemimpin yang harus disegani. Dengan caranya sendiri Tuan Lenter terlihat sama pentingnya dengan Kapten Silverbond. Buku terakhir berjudul Island in the Sky baru saja selesai diinput Aramos dan diletakkan di dalam kardus tadi ketika Julio, Bill dan Andrea datang. “Ini sudah hampir pukul dua belas. Ayo kita makan” Kata Julio bersemangat. Sedangkan Bill baru saja memasukkan sepotong coklat ke mulutnya. “Kau tidak boleh makan di sini, Bill!” Bisik Aramos “Buku-buku ini harus di jaga jangan sampai rusak atau kotor” “Maaf, Bill tapi itu benar……” Sahut Andrea sambil mengamati buku-buku baru di dalam kardus. Bill semakin mempercepat kunyahannya, sedangkan Julio terlihat tidak sabar. “Yah, sudah……ayo kita keluar dari sini. Aku juga sudah lapar” “Masih lima menit sebelum pukul dua belas, lagi pula aku harus mengatur buku-buku baru ini ke raknya masing-masing” “Apa?” Suara Julio yang melengking langsung dihentikan oleh Bill dan Aramos. Untung saja Madame Roda sedang berada di ruangan kaca bersama dua pemelihara. Tampaknya Bill juga sangat mengerti peraturan dasar dari Perpustakaan “Jangan Ribut” Bisiknya membuat Julio menatap jengkel. “Perjanjiannya kamu bekerja dari pukul Sembilan hingga pukul Dua Belas siang kan? Nah, sekarang saatnya kamu ke nenek tua itu, minta gajimu dan kita pergi dari sini” Suara Julio yang pelan mendesis membuat Andrea mendesah kesal. “Ini tidak lama. Hanya sepuluh hingga lima belas menit kok” Kata Aramos sambil mengangkat kardus itu, tapi dihentikan oleh Andrea. “Kamu ingin Aramos cepat keluar dari sini kan? Nah, kita bagi-bagi buku-buku ini. Kita bantu Aramos meletakkannya di rak-rak” Kata-kata Andrea walaupun hanya dibalas dengusan Julio dan kata-kata keberatan Aramos, tapi dia tidak perduli. “Aramos, sekarang coba kamu jelaskan bagaimana membaca label-label buku ini.” “Kalian tidak perlu…….” “Aku setuju.” Kata Julio kesal “Semakin cepat kau jelaskan semakin cepat kita dapat mengatur buku-buku ini dan itu artinya semakin cepat kita pergi. Aku mengalami elergi hebat jika terlalu lama berdekatan dengan lebih dari tiga buku” Anggukan semangat Bill, entah dia menyetujui kata-kata Andrea atau juga memiliki alergi aneh bin ajaib seperti Julio, akhirnya membuat Aramos menyerah. Dia mulai menjelaskan cara membaca label buku yang terdiri dari sembilan karakter kepada ketiga sahabatnya. Setelah selesai mendengar penjelasan Aramos, Andrea langsung membagi buku-buku baru itu ke empat tumpukan. Dengan melihat sekilas, Aramos tahu, Andrea membagi buku-buku itu bukan hanya berdasarkan gang raknya tapi juga dari rak delapan yang merupakan rak paling atas hingga rak satu yang merupakan rak terbawah. Bill mendapatkan delapan buku untuk tiga gang berbeda tapi semuanya untuk rak satu hingga tiga. Sedangkan sisanya dia bagi rata dan serahkan secara acak ke Julio, Aramos, dan dia sendiri. Setelah saling berpandangan sebentar, keempatnya langsung membubarkan diri menuju rak-rak tujuan mereka. Tidak sampai lima menit mereka berempat sudah terkumpul di depan meja Madame Roda. Madame Roda yang pastinya tahu bahwa pada tugas terakhir Aramos dibantu oleh sahabat-sahabatnya tidak memberikan komentar apapun. Dia bahkan menyerahkan tiga keping koin hijau dengan sedikit senyum. “Kutunggu kamu besok” katanya lembut, jauh berbeda dengan mimiknya yang kaku. Mereka berempat serentak mengucapkan terima kasih dan keluar perpustakaan dengan tersenyum lebar. Setelah sepuluh meter dari pintu perpustakaan, Aramos mengangkat tinggi-tinggi ke tiga keping koin hijau yang baru saja di terimanya ke arah salah satu lampu di gang tersebut. “Gaji pertamaku” bisiknya kagum. Tiba-tiba seberkas sinar menyadarkannya. Dengan sedikit kebingungan Aramos menatap ketiga sahabatnya yang sedang tersenyum lebar. Dan Aramos pun sadar dari mana datang kilatan sinar tadi. Bill baru saja mengabadikan gayanya tadi dengan Handphonenya. “Sekali lagi boleh, Bill?” Tanya Aramos malu-malu. Andaikan dia punya Handphone, pasti dia akan mengabadikan momen yang sangat berharga ini dengan handphonenya. “Tentu saja. Ayo berdiri di samping papan perpustakaan itu” Kata Bill bersemangat sambil menunjuk sebuah papan petunjuk berukuran kecil. Hanya dalam semenit, Bill telah mengabadikan sepuluh gaya Aramos yang berbeda-beda. Mulai dari gaya serius hingga gaya konyol. Bahkan saat menuju Cases Hotpan, mereka berempat masih tertawa geli membahas gaya-gaya Aramos. Di salah satu sudut gang sebelum berbelok menuju Cases Hotpan, Aramos berlari memasuki sebuah cases yang menjual aksesori bajak laut. Ketiga sahabatnya justru yang kebingungan dan menyusul ragu-ragu ke dalam cases bernama Duyung tersebut. “Ini untuk kalian……Bukan barang mahal, tapi semoga kalian mau menerimanya” Kata Aramos dengan semangat walaupun sedikit malu, dengan menyodorkan empat buah bendana kain berwarna merah bata dengan simbol SOS tertera setelah nama mereka masing-masing. “Aramos, bagaimana bisa? Kapan?” Andrea terkejut dan menjulurkan tangannya mengambil bendana yang bertuliskan namanya. “Aku melihat iklan promonya di Koran pagi beberapa hari yang lalu. Sebenarnya ini ditujukan untuk para pasangan” Kata Aramos memerah “Sepasang harganya hanya sekeping koin hitam, untuk minggu ini……..Jadi tadi pagi sebelum ke perpustakaan, kusempatkan beberapa menit ke cases Duyung dan memesannya untuk diambil siang ini” Julio meninju lengan Aramos dengan gemas dan Bill dengan segera mengambil juga bendana bertuliskan namanya. Mereka berempat mulai mengatur bendana tersebut dengan bantuan cermin di Cases Duyung. Andrea mengikatnya di leher, Bill mengikatnya di lengan kirinya dengan bantuan Andrea, sedangkan Julio dan Aramos mengikat bendana merah tersebut di kepala mereka. Tawa mereka kembali terdengar setelah dengan konyolnya mereka berempat bergaya di depan cermin. “Kita harus mengabadikannya” kata Bill bersemangat sambil mengeluarkan hpnya. Dengan mengarahkan ke cermin mereka pun mengabadikan tiga gaya terkonyol mereka. Setelah itu, Julio dan Andrea pun mengeluarkan hp masing-masing untuk mengabadikan gaya-gaya konyol mereka lainnya. Dan bahkan tanpa malu-malu, Bill meminta salah satu The Brown yang kebetulan lewat di depan cases Duyung untuk memotret mereka berempat. Setelah mengucapkan terima kasih secara kompak, yang membuat gadis yang memotret mereka tersenyum geli, mereka segera mengecek hasil foto-foto tadi sambil menuju cases Hotpan. Cases Hotpan terlihat sangat sepi. Dari sebelas meja hanya tiga meja saja yang terisi. Sebagian besar para Nytes meminta makanan mereka dibungkus saja. Karena setiap weekend, Sabtu Minggu, adalah waktu rekreasi bagi semua penghuni Eightlyst State Ship, banyak yang lebih suka menghabiskan waktu di ruangan terbuka. Dan itu artinya sebagian besar penghuni Eightlyst State Ship berada di lantai Sembilan, kelas Pengamatan Cakrawala hingga lantai tiga belas yang merupakan bagian teratas Eightlyst State Ship yang terdiri dari dek-dek bertingkat. Tidak ada lift penghubung untuk dek-dek bertingkat tersebut. Lift hanya mencapai lantai tiga belas yang merupakan dek dasar. Sambil menikmati tiga macam Dimsum, teh hijau dan pia kacang, yang merupakan menu cases Hotpan siang itu, Aramos mengamati terus foto-foto di hp ketiga sahabatnya. “Kamu ingin memiliki hp berkamera?” Tanya Julio ringan. Aramos tahu ke arah mana pertanyaan Julio, begitu juga Andrea dan Bill. “Aku mau, tapi rasanya belum butuh. Tidak ada yang perlu atau dapat kuhubungi, selain kalian bertiga tentu saja. Namun kita bertemu setiap hari dan tinggal seatap juga. Yah, walaupun atapnya berlapis-lapis.” Kata-kata Aramos membuat ketiga sahabatnya tersenyum. Aramos lega Julio tidak membahasnya lebih lanjut. Sebab selain dia tidak ingin Julio mendesaknya memiliki hp dengan koin-koin yang pastinya milik Julio, Aramos juga mempertimbang biaya-biaya selanjutnya setelah memiliki hp. Sebenarnya ada satu orang yang dapat dihubunginya. Tuan Luis Partial, The Dolphin. Aramos pernah sekali menghubungi Tuan Luis Partial untuk memberitahukan perkembangan dirinya dan cerita-cerita lainnya dengan menggunakan telepon umum di East Side. Dengan bermodal satu koin hitam dia dapat berbicara sebelas menit dengan Tuan Luis. Jujur dihatinya, yang diinginkannya adalah kamera. Tapi itu bukan kebutuhannya. Itu hanya keinginannya saja. “Aku akan bekerja freelance di Koran Eightlyst” kata Bill bersemangat. Ketiga sahabatnya terlihat sedikit shock. Julio sampai terbatuk-batuk ketika sedang mengunyah potongan dimsum terakhirnya, sedangkan Andrea ternganga dengan mata terbelalak, dan Aramos langsung melupakan foto-foto yang sedang diamatinya. Dengan secepatnya Aramos mengembalikan semua hp sahabat-sahabatnya dan mereka bertiga menunggu dengan tegang kata-kata selanjutnya dari Bill. “Kenapa?” Tampaknya Bill yang baik hati tidak sadar kalau ketiga sahabatnya baru saja menerima teraphy shock darinya. “Bill, kalau bercanda bisa pilih waktu lain? Hilang sudah kenikmatan Dimsum yang kumakan tadi” Julio mendengus tapi langsung disikut Andrea. “Kamu serius?” Tanya Andrea pelan dan disambut anggukan polos Bill. Seketika mereka bertiga mengeluarkan bisikan yang cukup ribut sehingga Bill harus mengangkat kedua tangannya. “Aku baru akan mengajukan diri hari ini” “Ooo…….jadi belum pasti” kata Julio bersandar santai “Lho……..benar kan?” lanjutnya ketika mendapatkan sepakan kecil dan pelototan dari Aramos dan Andrea. “Darimana kau dapat ide itu, Bill?” Tanya Aramos penasaran. Bill tersenyum kecil “Kalian pasti tidak membaca dengan seksama Koran Eightlyst tadi pagi” “Aku suka sakit kepala kalau membaca Koran lebih dari setengah jam” “Penyakit anehmu lainnya ya?” Sindir Andrea kesal dan berpaling kembali ke Bill. “Di kolom iklan, Koran Eightlyst mencari Nytes-Nytes muda yang berbakat untuk bekerja freelance. Para Nytes dapat memasukkan cerita, berita seputar Eightlyst State Ship, hingga foto-foto yang menarik lainnya. Ada bayaran mulai dari satu koin hitam hingga satu koin merah, tapi kurasa sangat jarang. Karena bayarannya tergantung penilaian pemimpin atau editor koran Eightlyst atas kualitas bahan yang Nytes masukkan.” Bill meneguk teh hijaunya hingga habis dan memberikan kode kepada Nytes senior, The Brown yang juga pelayan di Hotpan yang langsung datang dan mengisinya kembali. “Semua Nytes memiliki kesempatan dan Aku ingin memasukkan foto-foto hasil jepretanku” “Jangan Foto-foto aku!” Seru Aramos gugup. Ketiga sahabatnya langsung saja tertawa dan menggeleng kepala mereka. “Aramos, untuk foto tentangmu…….bukan bermaksud apa-apa ya, tapi kurasa pemimpin dan editor Eightlyst tidak akan berminat.” Kata Julio sambil tersenyum kecil. Aramos tertunduk malu, dan Andrea mengacak rambutnya dengan gemas. “Jadi semua berkesempatan?” Tanya Andrea bersemangat Bill mengangguk dan mulai menikmati pia kacangnya. “Kita mendaftar sama-sama saja” “Kalau semua Nytes mendaftar, berapa banyak kertas pendaftaran yang diperlukan? Lagipula itu semakin kecil kemungkinan cerita, berita atau foto kita diterima oleh Koran Eightlyst” “Benar juga……Tumben kamu jenius, Julio. Mungkin habis kesedak Dimsum ya?” Andrea tersenyum kecil yang hanya disambut mimik jahil wajah Julio. “Kita mendaftar langsung di komputer depan kantor Eightlyst. Yang kutahu dari kata-kata Allex Versk, The Brown yang sudah dua tahun terdaftar sebagai freelance di Koran Eightlyst, hanya sedikit Nytes yang berminat menjadi Freelance di sana. Karena bayarannya dianggap kecil karena standard mereka cukup tinggi sebagai satu-satunya Koran harian di Eightlyst State Ship.” Allex Versk berusia sekitar dua puluh tahun dan merupakan tetangga mereka di East Side. Penampilannya memang sedikit acak-acakan, tapi terkenal di East Side karena dia dianggap sebagai salah satu The Brown keren yang ada dan ayahnya adalah salah satu kapten kapal cabang Eightlyst State Ship. Aramos melihat Andrea dan Julio juga tertarik menjadi Freelance di Koran Eightlyst. Walaupun sedikit heran karena dia tahu dengan jelas ketiga sahabatnya itu tidak berkekurangan koin, tapi dia sadar bukan hanya itu yang dicari sahabat-sahabatnya. Lima belas menit kemudian mereka berempat sudah berdiri di depan salah satu dari tiga komputer Koran Eightlyst yang terletak berjejer seperti mesin ATM di depan kantor utama dan satu-satunya Koran Eightlyst. Kantor Koran Eightlyst terletak di lantai empat sudut sebelah Selatan. Mereka harus berputar lebih dari tiga kali untuk menemukan gang menuju kantor tersebut, karena tangga yang mereka naiki letaknya cukup jauh dari gang utama ke kantor itu. Untunglah Julio menemukan peta petunjuk kecil di dekat salah satu lift penghubung, dan dengan cepat kemampuannya mencari jejak terbukti lagi. “Kau benar-benar seperti anjing pelacak yang terlatih” Bisik Andrea yang hanya disambut dengusan dan pelototan kesal Julio. Aramos hanya tersenyum kecil melihat mereka dan memperhatikan kembali bagaimana Bill memasukkan semua data dirinya dan memasukkan kartu keanggotaan SOS miliknya ke lubang scan. Hanya butuh waktu kurang dari dua menit, sebuah kartu mengkilap keluar dari lubang lainnya. Kartu anggota Freelance Koran Eightlyst. Selanjutnya Andrea dan Julio melakukan hal yang sama. Kini ketiganya mengamati kartu mereka dan tampaknya sangat puas. Kartu keanggotaan itu berlaku satu tahun, dihitung dari hari pendaftaran mereka. “Kau tidak mendaftar?” Tanya Andrea pada Aramos. Aramos menggeleng. Dia tahu sangat kecil dia dapat memasukkan bahan berita ataupun Foto ke Koran Eightlyst. Tanpa laptop, PC, atau Hp, dia tidak memiliki peralatan yang memadai untuk menjadi jurnalis, walaupun sebagai jurnalis freelance. “Mendaftar saja. Kebetulan sudah di sini” desak Julio. “Benar……. Tidak ada ketentuan kita harus memasukkan berita atau Foto saat sudah terdaftar” Bisik Bill sepelan mungkin, karena di sudut gang mereka melihat dua anggota The Red sedang menuju ke arah mereka. Kedua gadis itu tersenyum kagum pada Julio dan mengambil tempat di komputer terjauh dari mereka. Salah satu gadis itu menggunakan kabel data yang memang juga disediakan pada setiap komputer dan menghubungkannya ke salah satu Hp milik mereka. “Syukurlah kita di dek Virgo, jadi kita dapat melihat dan sekaligus memotret kecelakaan terpelesetnya Daniel Broom. Yah, walaupun kasihan juga jagoan kita itu mungkin tidak akan dapat mengikuti kompetisi Flytes tiga bulan lagi” kata gadis berambut merah dengan semangat. “Ya, dia sampai berteriak kesakitan seperti itu. Untunglah Madame Slyce berada di dekat situ” Gadis berkulit gelap itu sibuk mengetikkan sesuatu di hpnya dengan sangat cepat. Aramos mengangkat wajahnya setelah memasukkan kartu keanggotaan SOS. Tampaknya Julio, Andrea dan Bill juga mendengar pembicaraan tersebut. Tapi mereka sepakat tidak mengucapkan apapun. Setelah menerima kartu mengkilap tanda keanggotaan Freelance koran Eightlyst, Aramos memberikan kode agar mereka berempat segera menjauh dari situ. Setelah berbelok lebih dari dua gang dengan Julio di depan mereka sebagai petunjuk jalan, mereka berhenti di depan sebuah lift penghubung. “Kalian dengar itu? Luar biasa. Berita seperti itu jarang terjadi dan harganya pasti tidak kurang dari satu koin hijau” seru Bill bersemangat. “Jangan seperti itu, Bill. Rasanya tidak menyenangkan jika kita mengharapkan kecelakaan atau hal buruk lainnya terjadi hanya untuk mendapatkan koin” kata Aramos gelisah. “Memang sih, tapi Bill benar juga.” Kata Julio sambil mengerutkan kening. “Apa yang kau pikirkan? Berita tentang kecelakaan Daniel Broom atau senyuman kedua gadis tadi?” Andrea melipat tangannya dengan tak sabar. “Oh, kamu memperhatikannya juga ya? Wah, kupikir itu hanya perasaanku saja” Julio mengedipkan matanya membuat Andrea terlihat lebih kesal. “Tapi, maaf nona kecil aku tidak memikirkan keduanya. Berita tentang Daniel Broom sudah dimiliki mereka, yang aku pikirkan justru tentang keberadaan dek-dek di atas. Ada yang sudah pernah ke dek-dek di atas?” Aramos, Bill dan Andrea menggeleng serempak. “Sudah kuduga. Aku juga belum pernah ke sana. Wajar sih. Kita belum seminggu di sini jadi banyak wilayah Eightlyst State Ship yang belum kita jelajahi. Tapi kurasa sebagai Freelance Koran Eightlyst, kita harus secepatnya mulai mempelajari semua di Eightlyst State Ship ini……. Dan dek-dek di atas adalah awal mula yang baik” “Maksudnya? Kau ingin melihat dek Virgo tempat kecelakaan Daniel?” “Tidak, Aramos……Dek itu pasti satu dua jam ke depan akan disterilkan untuk mengetahui penyebab kecelakaan agar tidak terjadi lagi. Apalagi yang kecelakaan ini adalah The Brown kebanggaan. Kapten Pasukan Flytes kelas A plus” Ketiga sahabatnya mengangguk setuju. Mereka berempat bahkan seluruh Nytes tahu siapa Daniel Broom. Lelaki keturunan campuran Asia Afrika itu adalah atlet Flytes yang sangat luar biasa. Sudah delapan kali berturut-turut dia berhasil membawa Pasukan Flytesnya menang. Sejak berseragam The Blue hingga The Brown. Flytes adalah permainan terbang menggunakan bantuan tali temali ala bajak laut yang terdiri dari delapan orang Nytes. Setiap semester terdapat kompetisi Flytes yang berhak diikuti oleh setiap Pasukan Flytes yang terdaftar secara resmi di administrasi SOS. Administrasinya sangat ketat, sehingga jarang terbentuk Pasukan Flytes baru. Kebanyakan Nytes yang ingin mengikuti kompetisi Flytes bergabung dengan pasukan-pasukan yang telah terdaftar. Tapi itu juga tidak mudah. Pasukan-pasukan Flytes hanya akan menerima Nytes baru apabila ada anggotanya yang mengundurkan diri, dan itu sangat jarang terjadi, atau ada anggotanya telah lulus dan dinyatakan sebagai Pirates SOS. Setiap Nytes akan dites oleh anggota-anggota yang lama. Dan walaupun lulus dites awal, para Nytes biasanya dijadikan cadangan minimal satu tahun. Intinya, menjadi anggota Pasukan Flytes yang dapat berkompetisi sangat sulit. Semua anggota Pasukan yang berhasil memenangkan kompetisi Flytes akan mendapatkan poin dan koin dari SOS. Dua Ratus Poin untuk menambah Poin kelulusan agar para Nytes dapat naik peringkat, dan dua puluh enam koin merah untuk setiap anggota pasukan Flytes yang menang. “Kita ke dek-dek lain. Mungkin saja di hari pertama kita mendaftar sebagai jurnalis Freelance, kita sudah mendapatkan berita. Tentu bukan mengharapkan kecelakaan” lanjut Julio cepat ketika melihat Aramos yang hendak protes. “Boleh aku mengusulkan hal lain juga?” Tanya Bill gelisah. “Usul apa?” “Boleh tidak kita berempat naik lift penghubung hingga lantai tiga belas? Aku yang akan membayarnya” seru Bill panik sambil mengeluarkan sekeping koin hitam dari kantong kecil di kaos hitamnya. Ketiga sahabatnya menyambut usulnya dengan tersenyum. Andrea langsung mengambil koin itu dan memasukkannnya ke lubang kecil di samping lift dan hanya dalam beberapa detik pintu lift itupun terbuka. “Aku juga tidak ingin pergi ke dek atas menggunakan tangga setelah tadi kita hampir mengelilingi seluruh area lantai empat” Kata Andrea setelah pintu lift tertutup dan Julio menekan angka lantai tiga belas tujuan mereka. “Masalahnya, kamu sembarangan memasukkan koin. Seharusnya kita memilih lift mana yang terdekat dengan dek tujuan kita” kata Julio kesal. “Lho, tak ada satupun dari kita yang tahu tentang dek-dek atas kan?” Balas Andrea sengit “Jadi mencoba lift yang terdekat dengan kita tidak masalah kan? Tidak buang-buang waktu dan tenaga” Pintu lift penghubung terbuka sebelum sempat Julio membalas kata-kata Andrea, dan di depan pintu itu dengan segera mereka melihat sebuah taman kecil dan tiga buah tangga dengan arah yang berbeda-beda. Tangga-tangga itu memiliki panjang yang berbeda-beda juga dan masing-masing melingkari tiang kayu raksasa yang di masing-masing ujungnya terdapat bendera-bendera bersimbol SOS. Disetiap tangga terdapat papan kecil menunjukkan nama-nama dek yang dihubungkannya. Dek Virgo, Dek Pisces dan Dek Cancer. “Tuh…….Itu maksudku” Seru Julio menunjuk Dek Virgo yang seharusnya bukan tujuan mereka. “Tuh……Itu juga maksudku” Seru Andrea menunjuk ke Dek Pisces dan Cancer. Andrea dan Julio hampir saja mulai perdebatan mereka ketika sekelompok The Red dan The Brown secara bersamaan turun dari Dek Virgo. Kelompok itu terlihat seru membahas sesuatu sehingga mengabaikan mereka berempat yang kini berdiri di dekat tangga yang menuju dek Cancer. “Tanpa Daniel dan Cerry pasti kompetisi akan datang jauh lebih mudah!” seru seorang The Red berbadan pendek tapi kekar. “Benar….. Pasukan Flytesnya yang lain mudah kita singkirkan. Wajah mereka saja tadi terlihat sangat shock.” The Red berwajah penuh jerawat itu tersenyum lebar. “Akhirnya setelah sekian lama, ada juga kesempatan Pasukan Flytes lain yang dapat memegang trophy kemenangan itu. Ternyata hujan deras semalam membawa berkat” Gadis The Brown berambut cepak itu menggandeng mesra Mike Culden, The Brown berkulit gelap yang badannya paling kekar di kelompok itu. Beberapa The Red dan the Brown menyerukan persetujuan mereka dan menyatakan pendapat mereka tentang kemungkinan Pasukan Flytes Piranha pimpinan Mike Culden yang akan memenangkan kompetisi semester ini. Selama ini Pasukan Flytes Mike Culden selalu menduduki peringkat dua, hanya kalah dari Pasukan Flytes Baracuda pimpinan Daniel Broom. Dan sudah menjadi rahasia umum juga, tiang penopang Pasukan Flytes Baracuda hanyalah Daniel Broom dan Cerry Deren. Cerry Deren, The Brown berambut pirang keemasan yang juga kekasih Harold adalah satu-satunya wanita di Pasukan Flytes Baracuda. Tapi berbeda dengan Harold yang masih menunda untuk mendaftar menjadi kru salah satu kapal cabang karena ingin mengikuti kompetisi Flytes semester ini, Cerry Deren justru telah mendaftar dan terpilih menjadi kru di kapal cabang Silver Day. Hal itu tercantum di Koran Eightlyst beberapa hari yang lalu beserta tujuh puluh tiga nama The Brown lainnya yang terpilih dan kapal cabang yang memilih mereka. Kelompok The Red dan The Brown itu terus berjalan menuju ke gang di samping lift penghubung yang dipakai mereka tadi dan menghilang di salah satu gang kecil lainnya. Tapi tawa mereka masih terdengar oleh Aramos, Julio, Andrea dan Bill. “Itu dapat menjadi berita kan? Judulnya ‘Harapan Mike Culden setelah kecelakaan Daniel Broom’ ” pekik Andrea senang. Bill menggelengkan kepalanya dengan cepat “Tidak bisa, Andrea. Kita hanya kebetulan mendengar pembicaraan ini dan tidak secara langsung mewawancarai Mike Culden. Lagipula aku tak yakin saat dia mau diwawancarai maka dia akan menyatakan harapan kemenangan secara blak-blakan seperti tadi. Dan aku yakin pasukan-pasukan Flytes lainnya pun akan seperti itu” “Benar juga sih, tapi bagaimana dalam bentuk opini kita sebagai penulis tentang kemungkinan-kemungkinan pasukan Flytes dalam kompetisi ini?” Tanya Julio serius. “Nah, kalau itu bisa…… Tapi Kita harus membuat penelitian dulu walaupun sedikit dan mempublikasikannya. Setidaknya kita harus memiliki data-data, dan survey yang tepat” terang Bill. Wajahnya sangat serius. “Ribet sekali” kata Aramos pelan dan bingung. “Benarkah? Aku penasaran gendut, kamu baru beberapa menit menjadi Jurnalis Freelance, tapi kamu seakan-akan tahu tentang etika-etika jurnalis. Siapa kamu sebenarnya?” Julio melipat tangannya di depan dada dan memandang penuh selidik ke arah Bill. Aramos dan Andrea pun mau tak mau ikut menatap Bill dengan penuh tanda tanya. Bill mundur selangkah dan tersenyum kecil. “Ibuku adalah jurnalis. Dia bukan anggota SOS. Dan kebetulan kakakku juga mengikuti jejaknya. Dia memilih menjadi jurnalis daripada menjadi anggota SOS. Aku banyak belajar dari mereka” kata Bill bersungguh-sungguh. “Kakakmu tidak berminat pada SOS? Luar biasa.” Seru Julio masih kurang percaya. “Benar……Bahkan kalian mungkin mengenalnya. Karena salah satu fotonya tentang kebakaran hutan di pulau Borneo memenangkan penghargaan tahun lalu. Namanya Ronald Reycht” Andrea memekik girang “Iya, aku tahu itu. Beberapa tahun lalu aku juga sempat melihat pameran foto-foto bertema ‘Human in the roads’. Ronald Reycht adalah salah satu dari sebelas Fotographer yang foto-fotonya dipamerkan saat itu. Tapi bukannya dia berumur sekitar dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun saat ini?” “Dua puluh empat tahun…….kami memang beda lumayan jauh, sepuluh tahun” kata Bill ceria. “Oh pantas saja, aku tidak menghubungkannya saat pertama kali kau menyebut namamu, Bill. Kupikir kalian tidak berkerabat” “Luar Biasa……. Ayah petinggi SOS dan Kakak Jurnalis ternama.” Julio mendengus dan mulai berjalan menaiki tangga menuju ke Dek Cancer. Andrea menyusul dan meninju pelan bahunya, tapi Julio cuek dan terus menaiki tangga yang lumayan panjang itu. Aramos tersenyum pelan ke Bill dan mengajak temannya itu menyusul Julio dan Andrea. “Aku tak apa-apa” Bisik Bill sambil menaiki tangga ”Ayahku bilang kemungkinan besar dia memang akan seperti itu. Agak keras. Soalnya sejak kecil dia hanya dibesarkan oleh ayahnya dan kakeknya dari sebelah ibu. Kata ayah, anak yang dibesarkan laki-laki saja agak kurang bisa menunjukkan sisi lembutnya. Apalagi kakek Julio adalah penjaga hutan lindung, jadi sebagian besar hidupnya dihabiskan di hutan” Aramos mengangguk “Tapi sebaiknya jangan katakan apapun pada Julio tentang pendapat ayahmu” bisiknya setelah mereka semakin dekat dengan Andrea dan Julio yang kini berdiri di puncak tangga. Mereka berhasil mensejajarkan diri di puncak tangga dan melihat apa yang menyebabkan Andrea dan Julio berdiri diam terpaku. Dek Cancer luasnya mungkin hampir seribu meter persegi, berdinding pendek dan tidak beratap. Di sebelah kanan dan depan Dek terbentang luas pemandangan laut dan bukit-bukit yang mengelilingi Eightlyst State Ship. Walaupun cuaca agak mendung, tapi pemandangan yang mereka lihat begitu indah. Gugusan Pulau dan bukit-bukit yang sebagian tertutup kabut, sangat serasi dengan laut biru dan samudra yang terbentang luas di baliknya. Mereka bahkan tidak mempedulikan beberapa Nytes yang naik turun di sekitar mereka dan berpuluh-puluh nytes yang sedang duduk-duduk santai secara berkelompok. Mereka selama beberapa menit tidak bersuara dan membiarkan angin laut, suara ombak, burung dan tawa orang-orang menjadi lagu pengisi keheningan mereka. “Ini luar biasa…….” Akhirnya Aramos berseru sambil berlari kecil ke sebelah kanan dek sambil menopangkan tangannya ke dinding dek yang tingginya hanya semeter. Aramos melihat ke arah bawah, dan tampaklah beratus- ratus jendela dan beberapa pintu di bagian bawah kapal yang paling dekat kena dengan deburan ombak. Di salah satu pintu yang memiliki dermaga tampak telah tersandar lebih dari selusin speedboat, beberapa kapal pesiar mewah dan pintu tepat di bawah dek mereka berdiri telah tersandar sebuah kapal selam, sedikit lebih kecil dari kapal selam yang mengantar mereka beberapa hari yang lalu. Ini bukan sisi yang mereka masuki saat pertama kali tiba di kapal Eightlyst State Ship, karena pintu-pintu itu tidak sebesar gerbang yang mereka masuki pertama kali. Tapi ini adalah sisi yang sama dengan kamar mereka di East Side, karena Aramos dapat melihat bukit yang selama ini menjadi pemandangan di kamar mereka, dan atap-atap warna-warni yang selama ini membuatnya penasaran. Dari ketinggian Dek, Aramos dapat melihat lebih jelas pulau-pulau itu. Mulai dari pantainya yang masing-masing memiliki dermaga tempat bersandarnya berbagai ukuran speedboat dan kapal pesiar hingga agak jauh ke dalam pulau. Ternyata di beberapa pulau-pulau itu terdapat berlusin-lusin rumah mewah beratap warna-warni. Dan saat ini, Aramos bahkan dapat melihat bahwa di setiap puncak bukit juga terdapat bangunan-bangunan yang terlihat sudah tua tapi juga sangat kokoh. Bangunan mercusuar. “Kini Aku tahu ke mana harus menghabiskan waktu senggangku selain terkurung bersama kalian di kamar” kata Julio ringan. Tidak ada nada hinaan, atau meremehkan. Hanya kata-kata yang mengekspresikan perasaan, gaya khas Julio. Jadi tidak ada di antara mereka bertiga yang merasa tersinggung atau kesal. “Untuk apa rumah-rumah itu?” Tanya Aramos penasaran “Fungsinya beragam. Tapi Kata ayahku, sebagian besar rumah-rumah itu adalah tempat tinggal dan kantor para petinggi SOS tapi yang tidak berhubungan langsung dengan pendidikan Nytes, tempat dan kantor para Petinggi The Dolphin dan sekutu SOS dan satu lagi yang paling utama, diantara rumah-rumah tersebut ada beberapa yang memiliki ruangan-ruangan rahasia berkeamanan super ketat yang menyimpan peta-peta harta karun milik SOS dan Dark Seas” bisik Andrea. “Itu benar, beribu-ribu peta yang belum terpecahkan” bisik suara berat lain diantara Aramos dan Andrea. Keempat sahabat itu serempak berpaling dari pandangan awal mereka untuk melihat asal suara asing tersebut. Dan untuk pertama kalinya Andrea terlihat pucat dan gugup. Kapten Silverbond dengan tinggi hampir dua meter dan penampilannya yang garang berdiri di belakang mereka dengan gagah, membuat Julio, Aramos, Andrea dan Bill kompak tercengang. Sebuah topi dari kulit Buaya berwarna hijau lumut, berbagai medali kehormatan di kemeja hitamnya, sebuah pistol kecil dipinggangnya dan sebuah pedang dengan warna keemasan dan panjang hampir semeter membuat aura kekuasaan Kapten Silverbond terlihat jelas. Mereka berempat segera membalikkan badan menghadap pimpinan tertinggi SOS tersebut. “Maaf, Kapten Silverbond. Aku tak bermaksud……” Andrea menghentikan kata-katanya ketika Kapten Silverbond mengangkat tangan dan tersenyum. Aramos melirik ke sekeliling mereka. Beberapa Nytes The Blue menatap mereka terang-terangan, sedangkan Nytes senior lain mencuri-curi lihat, namun lebih banyak Nytes senior yang tampaknya telah terbiasa dengan kehadiran Kapten Silverbond di tengah-tengah mereka. Aramos sering melihat Kapten Silverbond berjalan di gang-gang Eightlyst State Ship, entah sendirian, bersama Gain, burung elang piaraannya, atau sedang bercakap-cakap dengan guru, SOS Pirates atau Nytes senior. Tidak pernah sekalipun Kapten Silverbond terlihat bercakap-cakap dengan The Blue dan untuk pertama kalinya justru mereka berempat yang disapa, dan justru pada waktu Andrea menjelaskan pertanyaannya. Tapi syukurlah pria berusia akhir tujuh puluh-an itu terlihat santai dan tidak menganggap itu masalah besar. “Itu sudah menjadi rahasia umum” Kapten Silverbond tersenyum lebih lebar lagi. Mereka berempat hanya saling melirik satu sama lain tidak tahu harus melakukan apa. “Bill Reycht kan?” Kapten Silverbond menatap Bill yang disambut anggukan Bill yang sangat gugup “Aku masih ingat ketika ayahmu pertama kali masuk kemari dan mengacaukan dapur utama Eightlyst….. Percayalah, saat itu dapur Utama bagaikan nadi bagi Eightlyst State Ship. Cases belum seperti sekarang.” Pandangan matanya beralih ke Julio “Dan kekacauan itu juga melibatkan ayahmu, Tuan Julio. Dan mereka berdua dihukum di dek Pisces. Mereka membersihkannya lebih dari enam jam.” Katanya terkekeh menunjuk sebuah dek yang terdapat kolam renang. Dek Pisces yang terpisah sepuluh meter dari Dek Cancer memiliki luas seperti Dek Cancer, hanya saja tingginya beberapa meter lebih rendah dari dek Cancer. Dek Pisces terlihat jauh lebih ramai. Mungkin ada dua ratus Nytes yang memanfaatkan Dek itu. Kolam renang yang dimaksud sangat besar, ukurannya sepertiga dari seluruh luas dek Pisces. “Memangnya ayah kita saling kenal?” Wajah Julio yang tadinya tegang sekarang kusut penuh tanya. “Mereka juga sekamar waktu masih Nytes” Kata Bill tersenyum lebar. Mau tak mau Andrea dan Aramos harus mengulum senyum melihat reaksi terkejut dan bingung Julio. “Dan Nona Andrea……bagaiman bisnis ikan ayahmu? Setelah masa dua puluh tahun, dia memutuskan mengurangi aktifitasnya di SOS dan membuka pabrik pengalengan itu. Bagiku itu langkah cerdas, tetap dekat dengan laut tapi juga dekat dengan ibumu. Mengingat ibumu setiap jam selalu menelponnya ketika berlayar mencari harta karun” Andrea tersenyum kecil “Ibuku hanya penjual bunga, jadi dia tidak terlalu mengenal laut dan merasa lebih aman setiap manusia menginjak tanah setiap saat” Kapten Silverbond tertawa dan pandangannya perlahan beralih ke Aramos. “Tuan Aramos Junior?” Aramos mengangguk gugup “Kamu sedikit mirip kakekmu” “Anda mengenal kakekku?” Tanya Aramos takjub “Mengenalnya?” Suara berat Tom Silverbond ketika tertawa membuat berpuluh-puluh pasang mata Nytes memandang mereka berlima. Bahkan Aron, Nick dan Kevin yang berada di Dek Pisces memandang mereka, dan berdasarkan penilaian sekilas Aramos, mereka bertiga terlihat sedikit iri dan kesal. “Aku adalah kru kapalnya, Kapal Cabang Sun Palace. Lebih dari sepuluh tahun aku di’cambuk’ oleh laki-laki paling keras kepala itu.” Tom Silverbond mengedipkan sebelah matanya membuat mereka berempat tahu kata ‘cambuk’ hanyalah kiasan dari arti bimbingan. “Entah sudah berapa ratus badai dan petualangan menegangkan yang kami lalui bersama dengan tiga puluh kru lainnya. Tapi tak ada satupun dari kami yang berniat pergi meninggalkan kapal itu dan kapten kepala batunya. Satu dekade kapten dan kru kapal itu tidak berubah sedikitpun. Bahkan petinggi SOS saat itu dan The Dolphin sampai harus menulis perintah resmi kepadanya dan kami masing-masing agar mempersiapkan diri atas kapal-kapal cabang lain atau kapal cabang baru. ” Pandangan mata Kapten Silverbond melayang menatap lautan. Tampak semangat, dan kerinduan di raut wajahnya yang terbakar matahari. “Masa-masa terbaik hidupku. Bahkan seratus kali lebih baik daripada saat aku memimpin kapal cabang North Star” Beberapa menit dia terdiam, dan seperti tersadar keempat remaja di depannya hanya terpana, dia menatap mereka dan tersenyum kecil “Aku harus mengecek sesuatu……. Tapi pesanku untuk kalian berempat, kalian harus bergabung dengan salah satu pasukan Flytes. Harus.” Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya dengan pelan namun sangat jelas, Kapten Silverbond bersama seluruh penampilan dan wibawanya yang mengesankan berjalan menuju ke salah satu jembatan kecil yang menghubungkan dek Cancer dengan dek Virgo. Dek Virgo memiliki luas lebih besar dari dek Cancer, tapi seperti kata Julio, dek itu terlihat sepi. Hanya belasan orang tampak di dek itu. Beberapa guru dan pejabat SOS, beberapa Nytes senior dan SOS pirates. Dek Virgo yang jelas-jelas merupakan area latihan dan menjadi lokasi apabila kompetisi Flytes diadakan memiliki ketinggian yang sama dengan dek Cancer. Terdapat sepuluh tiang di sana. Masing-masing berdiameter setengah meter. Tinggi masing-masing tiang berbeda-beda. Tapi yang pasti di atas lima meter. Berbagai jenis dan ukuran tali, jaring, tong, dan papan terlihat di dek itu. Dek Virgo dikelilingi oleh jaring baja yang tingginya bahkan jauh lebih tinggi dari tiang-tiang di dalamnya. Terlihat sedikit kacau tak beraturan, tapi bila sudah mengenal apa itu flytes maka tidaklah sulit membayangkan area itu menjadi area permainan yang sangat menyenangkan. Menyaksikan delapan Nytes dari dua pasukan dengan pedang kayu sepanjang setengah meter bertarung memperebutkan ‘Golden ball’ untuk dinobatkan sebagai pemenang, adalah keinginan seluruh Nytes di Eightlyst State Ship. Namun, bertarung dan menjadi Pasukan yang memenangkan kompetisi Flytes, itu adalah impian seluruh Nytes. Dan tidak semua Nytes mendapatkan kesempatan itu. Ketika melihat kedatangan Kapten Silverbond, beberapa guru dan pejabat SOS mendekatinya dan mereka menunjukkan beberapa sudut yang mungkin dimaksudkan sebagai area yang harus diperhatikan setelah hujan deras semalam. Aramos, Julio, Bill dan Andrea hanya terpana menatap dek Virgo. Tampaknya tidak ada satu pun dari mereka awalnya memikirkan Flytes secara serius apalagi membayangkan menjadi pasukan Flytes. Tapi saran dari seorang yang begitu dihormati dan dikagumi di Eightlyst State Ship yang diikuti kata ‘Harus’ membuat mereka tampaknya ‘Harus’ mulai memikirkan kemungkinan tersebut. Mereka berempat perlahan berbalik menghadap kembali ke lautan dan gugusan pulau. Lima menit mereka hanyut dalam pemikiran masing-masing tanpa satu pun bersuara. Angin lembut dan udara dingin tak mampu menghilangkan kegugupan masing-masing dari mereka. “Haruskah?” Bisik Bill. Ketiga sahabatnya menoleh dan masing-masing dari mereka sadar. Mereka berempat terlihat sama-sama pucat dan gugup. Bab 11 “Katanya Aron dan kedua Forwed diterima oleh Pasukan Piranha.” Bill melahap ifu mienya dengan lahap. Aramos dan Julio berpandangan. Andrea langsung menutup bukunya setelah memberi tanda di halaman tertentu. Walaupun Cases Hotpan malam itu cukup ramai, tapi posisi mereka yang agak tersudut, dan yang terdekat dengan mereka adalah meja yang sudah kososng sejak sepuluh menit lalu, membuat mereka leluasa membahas apapun. Sudah sembilan hari sejak pembicaraan mereka dengan Kapten Silverbond. Tapi mereka belum menemukan satupun Pasukan Flytes yang bersedia menerima mereka. Pasukan Flytes Lion Fish menolak mereka dengan alasan sudah menerima tiga anggota baru, semuanya The Red. Pasukan Flytes Giant hanya mau menerima Julio dan menolak Bill, Aramos dan Andrea. Dengan alasan suka mengalami vertigo, Julio mengundurkan diri dua menit setelah dinyatakan diterima. Sedangkan Pasukan Flytes Shark bahkan langsung menyatakan bahwa mereka tak membutuhkan anggota baru, karena mereka justru kelebihan anggota. Tanpa dikatakan secara blak-blakan, seluruh Nytes tahu bahwa Pasukan-Pasukan Flytes hanya akan menerima anggota yang secara fisik terlihat kuat, dan tangguh. Bill yang bertubuh gempal, Aramos yang kurus walaupun sudah lebih baik dari ketika dia pertama kali masuk SOS dan Andrea yang berjenis kelamin perempuan dan berukuran lebih kecil daripada Aramos tentulah bukan anggota pilihan mereka. Bahkan untuk menjadi calon anggota saja itu sudah merupakan keajaiban. Berbeda dengan Julio, yang selain ikut bersama mereka mendaftar di beberapa pasukan Flytes, justru juga mendapatkan tawaran dari pasukan-pasukan Flytes lainnya. Seperti Pasukan Flytes Piranha dan Pasukan Flytes Dugong. “Kamu tahu darimana?” desak Andrea kesal melihat Bill tak berhenti mengunyah ifu mie-nya. “Carla.”kata Bill singkat. Julio menahan suapan ifu mie berikutnya sebelum mendekati mulut Bill dan melotot padanya. “Tadi dia bertanya padaku sesudah kelas Pengamatan Cakrawala dimana letak Cases Bebyek. Katanya di sana Aron merayakan diterimanya mereka di Pasukan Flytes Piranha. Dia diundang oleh Nick. Nick sejak pertama memang naksir dia kan?” Bisik Bill pelan. Julio mendengus, Andrea dan Aramos hanya saling pandang. Ini bukan karena berita basi soal Nick Forwed yang tergila-gila pada Carla tapi bagaimana mungkin dia diterima oleh Pasukan Flytes Piranha. Tubuh Nick mungkin lebih tinggi beberapa senti dari Aramos, tapi bukan berarti dia terlihat lebih kekar dari Aramos. Berbeda dengan Aron Berstard dan Kevin Forwed yang memang terlihat pantas menjadi calon anggota Pasukan Flytes, walaupun belum tentu berbakat menjadi Pasukan inti flytes. “Bagaimana bisa? Nick terlihat lebih parah dari kamu Aramos” kata Julio kesal. “Bisa saja, Ayah Mike Culden dan Ayah Nick Forwed bersahabat dekat. Mereka dulu juga adalah pasukan Flytes di masa mereka. Tidak pernah menang. Dan sudah kuduga sejak awal Aron dan kedua Forwed pasti akan diterima Pasukan Flytes Piranha jika mendaftar ke sana. Hanya tak kusangka mereka memiliki nyali juga untuk mendaftar menjadi anggota Pasukan Flytes.” Kata-kata Andrea yang setengah melamun membuat yang lainnya justru makin tertarik. “Darimana kau tahu semua itu?” Aramos mengerutkan keningnya. “Pamanku…….. Kakak ayahku. Dia saat ini adalah kapten kapal cabang Treasure. Dan dulu dia tergabung dengan Pasukan Flytes Clown. Pasukan Flytes yang ‘lumayan’ dimasanya” Andrea tersenyum kecil. “Pasukan Flytes Clown? Aku baru mendengarnya. Kemarin waktu kita mencari informasi tentang pasukan-pasukan Flytes, tidak ada satu pun The Red atau The Brown yang menyebut nama itu” Julio menegakkan badannya dan terlihat serius. “Pasukan Flytes Clown didirikan dan dipimpin oleh Harold Rhumber lebih dari lima puluh tahun lalu. Dulu saat Harold Rhumber mendaftarkan Pasukan Flytesnya, Clown, yang terinspirasi dari Clown Fish peliharaannya, banyak yang menertawakannya. Tapi pada kompetisi perdananya semua orang dibuat tercengang. Mereka berhasil mengalahkan tiga Pasukan Flytes senior. Walaupun tidak menggenggam kemenangan saat itu tapi mereka dibicarakan oleh para Nytes. Setelah itu, Harold Rhumber bersama sepuluh anggota lainnya, yang berkompetisi bergantian, tercatat berhasil membawa lima kemenangan. Namun sejak Harold menjadi SOS Pirates, para penerusnya tidak ada yang berhasil lagi meraih kemenangan. Bahkan masuk ke final saja sangat jarang. Dan yang kutahu sejak lima tahun lalu Pasukan Flytes Clown sudah tidak lagi mengikuti kompetisi. Jadi wajar Pasukan Flytes itu dilupakan oleh Nytes.” Andrea mengaduk-ngaduk salad tropisnya dengan kurang semangat. “Aku pernah bertemu dengan Harold Rhumber. Pria tua yang sangat menyenangkan. Bahkan Tuan Harold yang mengantarku ke kapal selam.” Aramos meneguk soda dingin dengan semangat. “Dan kurasa itu bukan kebetulan kan?” Kata Aramos lagi dengan riang. Andrea terlihat ragu, sedangkan Bill hanya manatap kosong tanpa ekspresi. “Aku setuju” walaupun sedikit ragu, tapi nada suara Julio sangat serius “Kita sudah tahu mendirikan pasukan Flytes baru sangatlah sulit. Kita harus tergabung dulu minimal satu tahun dengan Pasukan Flytes yang telah ada dan minimal telah satu kali mengikuti kompetisi Flytes. Dan itu berarti kita berempat mustahil mendirikan pasukan Flytes baru.” Ketiga sahabatnya mengangguk lesu. Mereka tiga hari lalu menghabiskan dua jam lebih di perpustakaan. Bukan karena membantu Aramos yang seperti biasa bekerja paro waktu di Perpustakaan Eightlyst State ship, tapi karena mereka menggali berbagai informasi tentang Flytes, mulai dari sejarahnya yang hanya sebagai permainan di waktu senggang ketika pertama kali diciptakan oleh Barond Bete seorang guru SOS yang merasa bosan dengan suasana Eightlyst State Ship saat itu, hingga berkembang saat ini dan tentang berbagai peraturan untuk mendirikan Pasukan Flytes. Mereka bahkan dapat dikatakan telah paham peraturan-peraturan dalam kompetisi Flytes, walaupun belum menjadi anggota dari salah satu Pasukan Flytes. Julio yang biasanya mengeluh panjang lebar ketika dihadapkan pada tulisan lebih dari tiga baris, hari itu tidak sekalipun mengeluh saat membolak-balik buku dan mencari celah agar mereka berempat dapat segera tergabung dengan salah satu Pasukan Flytes atau setidaknya dapat mendirikan sendiri Pasukan Flytes. Satu-satunya keluhan adalah ketika sudah tidak ada lagi buku yang dapat membantu memecahkan masalah mereka, dan ketika Madame Roda menyatakan Perpustakaan harus tutup. “Kenapa sih harus si Kepala Botak itu yang menasehati kita untuk masuk menjadi anggota Pasukan Flytes. Coba kalau guru atau orang lain yang menyarankannya, kita pasti tidak akan memikirkannya seserius ini” Itu keluhan yang diteriakkan Julio semalam saat mereka mengelilingi Eightlyst State Ship hanya untuk menikmati keramaiannya tanpa berminat berbelanja. Mereka bahkan hingga saat itu tidak memikirkan bahwa mereka belum memasukkan berita atau foto satupun ke Koran Eightlyst, walaupun ada beberapa Nytes The Blue yang menyarankan beberapa topik berita yang cukup menarik untuk mereka tulis setelah tahu mereka berempat terdaftar sebagai freelance di Koran Eightlyst. Aramos, Andrea dan Bill mau tak mau setuju dengan kata-kata Julio. Kalau yang mengatakan agar mereka berempat ‘harus’ menjadi anggota pasukan Flytes adalah petinggi atau guru SOS lainnya, mereka pasti hanya akan menganggapnya bukan hal penting, dan bahkan menertawakannya. Namun di hari yang sedikit mendung itu, Kapten Silverbond-lah yang mengatakan hal itu pada mereka. Dan sejak detik itu tak satu detik pun pikiran mereka lepas dari Flytes. “Kurasa langkah awalnya kita harus ke bagian administrasi segera. Karena berdasarkan salah satu buku yang kubaca, satu Pasukan Flytes akan secara resmi dihapus namanya apabila Pasukan itu sudah tidak memiliki Nytes lagi yang terdaftar sebagai anggota” Kata-kata Andrea membuat mereka tanpa dikomando segera menyelesaikan makan malam mereka masing-masing. Tanpa dijelaskan secara terperinci, mereka tahu ada kemungkinan Pasukan Flytes Clown yang mungkin merupakan harapan terakhir mereka untuk menjadi Anggota Pasukan Flytes, justru telah dihapus oleh bagian administrasi karena sudah tidak ada Nytes yang menjadi anggotanya. Mengingat sudah lebih dari lima tahun Pasukan Flytes Clown tidak berkompetisi, bahkan tidak ada Nytes yang mengingat Pasukan Flytes tersebut. Tepat pukul delapan malam mereka tiba di depan salah satu jendela kaca berlubang yang merupakan bagian depan yang sekaligus juga bagian informasi umum dari kantor administrasi. Dengan semangat Andrea berdiri di depan kaca tersebut menghadapi seorang pria berhidung bengkok yang tampaknya sedang sibuk mencatat sesuatu. “Malam, Tuan……..Kami ingin mengecek Pasukan Flytes……” “Kantor sudah tutup. Kalian seharusnya datang sebelum pukul delapan” Jawaban ketus pria itu sebelum kata-kata Andrea selesai membuat Julio melotot tajam. “Tapi ini informasi yang sangat penting bagi kami, Tuan” lanjut Andrea merayu sambil menatap tajam Julio agar tidak membuat kekacauan. Pria tua itu menatap ke arah mereka berempat dengan tidak senang. “Sesuatu tentang pasukan Flytes tidak akan menyangkut tentang hidup atau mati seseorang. Jadi itu tidak dapat dikategorikan sebagai informasi sangat penting. Kembalilah besok” “Tolonglah, Tuan Elvin. Aku berjanji ini tidaklah lama. Hanya tentang apakah Pasukan Flytes Clown masih terdaftar atau tidak?” Aramos maju berdesakan di depan kaca yang ukurannya hanya selebar enam puluh senti itu dengan tampang memelas. Tidak berhasil. Tuan Elvin, seperti yang tercantum pada kartu kecil yang terkait di kemejanya, menutup kaca berlubang itu dengan keras dan kini hanya tampak dihadapan mereka lempengan logam penutup kaca berwarna merah. “Orang tua sombong” Desis Julio. “Mau bagaimana lagi? Kantor Administrasi memang tutup jam delapan. Kurasa itu artinya kita harus kembali besok” kata Andrea lesu “Dan itu artinya malam ini aku tidak akan dapat tidur” kata Bill pelan, menyuarakan yang juga dirasakan ketiga sahabatnya. Mereka berempat mendesah perlahan. Aramos baru saja hendak melangkahkan kaki menjauhi bilik informasi Tuan Elvin ketika mendengar seseorang mengetuk kaca bilik informasi di samping Tuan Elvin. Terdapat tiga kaca berlubang, namun tadi saat mereka sampai, hanya kaca berlubang milik Tuan Elvin yang masih belum tertutup, namun kini kaca di samping bilik informasi Tuan Elvin telah terbuka dan tampak seorang wanita tua timur tengah bersorban warna-warni dibaliknya. Wajahnya ramah dan dengan tangannya dia memberikan kode agar mereka berempat mendekat. Setelah berpandangan sesaat, dengan semangat Julio, Aramos, Andrea dan Bill mendekat. “Malam, Madam…… maaf bisakah anda” Kata-kata Julio dihentikan senyuman wanita itu. “Aku sudah dengar” katanya pelan “Pasukan Flytes Clown masih aktif. Masih ada tiga The Brown yang terdaftar, dua mungkin akan sulit bagi kalian untuk temui karena telah berada di kapal cabang, tapi ada satu yang masih di Eightlyst State Ship. Allex Versk. Cobalah kalian temui dia. Kalian ingin mendaftar sebagai anggota Pasukan Flytes Clown kan?” Sesaat mereka berempat terpana dan seperti aksesoris mobil, kepala mereka mengangguk bersamaan dengan keras. Wanita tua itu tersenyum geli dan hendak menutup kaca biliknya ketika Julio maju lebih dekat ke depan. “Terimakasih, Madam Rossa” kata Julio riang setelah sesaat melirik kartu kecil yang terkait di blasernya “Tapi, mengapa kau bersedia membantu kami……. Padahal anda telah menutup……..” “Suamiku dulu adalah anggota Pasukan Flytes Clown. Dulu dia bersama Tuan Harold beberapa kali memenangkan kompetisi Flytes. Rasanya menyedihkan melihat Pasukan yang bergitu bersinar redup perlahan-lahan dan lima tahun ini justru lenyap bagaikan tak pernah ada” Setelah kembali tersenyum pelan ke mereka berempat, Madam Rossa menutup kaca biliknya. Mereka berempat setelah beberapa detik terpana langsung ribut bagaikan lebah yang keluar dari sarangnya. Tuan Elvin membuka biliknya dengan kasar dan melotot ke arah mereka dengan rasa kesal yang tidak ditutup-tutupi. Tampaknya pria tua berhidung bengkok itu juga mendengar semua yang di sampaikan Madam Rossa. Mereka berempat hanya tersenyum lebar padanya dan segera berlari kecil menuju gang utama. Kantor Administrasi yang terletak di lantai tiga, letaknya berseberangan dan hanya beberapa meter dari pintu utama Perpustakaan. Mereka sempat bertemu dengan Madame Roda dan Tuan Lenter ketika lewat di depan perpustakaan. Raut wajah mereka tampak bingung ketika dengan sangat ceria menerima sapaan dari Aramos, Julio, Bill dan Andrea. Tapi keempat remaja itu tidak terlalu mempedulikannya dan terus berlari-lari kecil. Hanya butuh kurang dari lima menit mereka telah tiba di lantai lima tempat kamar-kamar mereka. Bahkan Bill yang biasanya suka mengeluh karena suka ketinggalan, saat itu mampu mensejajarkan langkah-langkahnya dengan ketiga sahabatnya. Di ruang tengah seperti biasa hanya ada sedikit Nytes yang terlihat. Kebanyakan adalah Nytes yang sedang mengerjakan tugas kelompok bersama. Dengan ruangan sebesar itu jarang ada yang memperhatikan kelompok yang lainnya, tapi kedatangan keempat sahabat itu ternyata berbeda. Beberapa Nytes memandang mereka dan tersenyum, bahkan tidak kurang dari tiga Nytes yang mengangkat tangan melambai ke arah mereka, dan mereka balas dengan semangat. “Aku akan tidur sangat nyenyak malam ini” kata Bill berseri-seri Mendengar kata-kata Bill diantara napasnya yang berat membuat ketiga sahabatnya yang lain mengangguk dan tersenyum simpul pada saat bersamaan. “Tapi ini belum saatnya untuk tidur, jadi kurasa kita dapat menemui Allex Versk” Usul Aramos setelah mereka tiba di salah satu sofa panjang yang kosong. “Benar. Kita harus meminta dia mendaftarkan kita sebagai salah satu anggota Pasukan Flytes. Kalau perlu besok pagi sebelum kelas mulai kita sudah terdaftar sebagai Pasukan Flytes.” Kata-kata Julio makin membuat mereka berbinar-binar. Dan tanpa diperintah Julio, Andrea dan Aramos secara serempak memandang Bill penuh harap. “Ya?” Bill yang sejak tadi tersenyum lebar, memandang bingung ketiga sahabatnya. “Kau harus mencari Allex Versk, Bill” Kata Aramos. “Benar, kaulah yang cukup dekat dengannya. Jangan khawatir, kau hanya perlu membawanya kemari. Nanti kita jelaskan sama-sama padanya maksud kita.” Semangat Andrea cukup menghilangkan kebingungan Bill. “Tapi mungkin kau akan sedikit capek, karena Allex mungkin sedang mengelilingi Eighlyst State Ship” Gurauan Julio untuk menjahili Bill disambut sikutan dari Aramos dan cubitan kecil Andrea. Bill bukannya merasa terganggu dengan kemungkinan itu, dia malah berdiri dan mengangkat handphonenya dan mulai menekan beberapa tombol. Bill menelpon Allex. “Bill, kau sangat jenius” Andrea berdiri memeluk Bill yang tersenyum lebar. Dengusan Julio membuat Aramos geli. Andrea mengerutkan hidungnya, memonyongkan mulutnya dan duduk dengan manis di samping Julio. “Perbedaan antara otot dan otak” Bisik Andrea dengan jahil. Belum sempat Julio membalas kata-katanya, Bill mulai berbicara di hpnya. Tampaknya dia telah tersambung. Tapi suaranya terhenti dan Bill beberapa detik diam lalu menutup sambungan hpnya. “Ada apa?” Tanya Aramos penasaran. “Tadi adalah voice mailnya” kata Bill serius. Julio langsung saja ketawa keras dan Andrea meninjunya dengan gemas. Beberapa Nytes sempat berpaling memandang mereka, sedikit penasaran, dan kemudian berbalik, sibuk kembali dengan yang mereka kerjakan. “Aku akui kamu luar biasa, Bill. Bisa meminta nomor Allex. Tapi, seperti awal tadi, kau harus mulai bersiap-siap mencarinya. Mungkin mulai dari lantai satu?” Julio mengedipkan matanya dengan jahil. “Aku tidak meminta nomor Allex. Dia yang memberikannya padaku. Katanya, kalau ada informasi menarik tentang divisi ayahku, dan aku tidak berminat menulisnya atau malas menulisnya untuk Koran Eighlyst, maka dia bersedia membeli informasi itu. Kurasa itu karena dia tahu kita belum memasukkan satupun berita atau foto ke Koran Eightlyst” Mereka berempat duduk bersandar dengan lesu. Masing-masing dari mereka hanyut ke dalam pikiran masing-masing. “Kita terdaftar sebagai Freelance Koran Eighlyst sudah diketahui hampir seluruh Nytes. Dan kita belum memasukkan apapun walaupun dengan resiko ditolak, tampaknya juga diketahui oleh hampir semua Nytes” Andrea mendesah panjang. “Bukan salah kita kalau menjadi kelompok The Blue terkenal. Lagipula aku yakin kita pasti sudah punya bahan untuk Koran Eightlyst kalau saja Si Botak itu tidak menyuruh kita menjadi……” Kata-kata Julio terhenti ketika Andrea melempar bantal sofa ke wajahnya. “Si botak itu adalah kapten. Kapten kapal ini. Hormatilah sedikit” kata Andrea ketus dan menegakkan duduknya diikuti Julio yang tampaknya juga siap menyerang balik. Aramos segera saja menangkap bantal yang sudah diangkat Julio dan menatap Bill dengan serius. “Voice mail Allex mengatakan apa?” Tanya Aramos “Yah, hal yang biasalah. Silahkan tinggalkan pesan bla…bla…bla…” Kata Julio dengan kesal. Bill mengangguk “Seperti itulah. Atau tepatnya ‘Hai, ini Allex……..Aku sedang di sarangku dan tak bisa diganggu. Silahkan hubungi lagi atau tinggalkan pesan. Bye’” “Sarangnya? Maksudnya kamarnya?” Tanya Aramos melihat ke sahabat-sahabatnya dan segera saja wajah Andrea ceria lagi. Julio merampas bantal yang digenggam Aramos dan melempar ke perut Bill. Tampak sekali dia gemas. “Benar-benar jenius, hah?” katanya sambil melotot ke Andrea. Bill menepuk jidatnya dan segera saja berdiri “Benar juga, baik aku akan segera membawa Allex ke sini” Bill segera berlari-lari kecil masuk ke East Side, Aramos tersenyum kecil dan Andrea menggumam sesuatu tidak jelas namun tetap terlihat bahagia dan hanya membalas tatapan tajam Julio dengan senyum lebar, membuat pemuda Latin itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan kesal. Hampir saja Julio menyusul Bill karena merasa sahabatnya itu terlalu lama ketika Bill dengan seorang pemuda berseragam the Brown dan rambut acak-acakan muncul dari gang East Side. Allex Versk, adalah pemuda yang tampan dan sangat menarik. Kehadirannya saja di ruang tengah, walaupun kelihatan sekali dia masih setengah mengantuk, langsung membuat keramaian berupa bisik-bisik yang kebanyakan berasal dari Nytes perempuan. “Teman-teman, ini Allex Versk” Bill dengan wajah bersinar lalu memperkenalkan satu-satu mereka. Walaupun mereka sebenarnya sudah saling tahu, tapi berkenalan secara resmi tampaknya adalah pembukaan yang bagus. Allex duduk dengan lesu di samping Aramos diikuti Bill. Dia memandang mereka berempat dan sesaat kemudian menggeleng sambil tersenyum kecil membuat Andrea yang sudah terpesona semakin terkesiap. Julio dengan kesal mencubit lengan Andrea, membuat gadis itu melotot dan kembali menatap Allex dengan kekaguman. Untunglah Allex tampak sudah terbiasa diperlakukan seperti itu, jadi tidak merasa terganggu dengan cara Andrea menatapnya. “Kalau bukan karena ide kalian yang menurutku jauh dari akal sehat tentang bergabung dengan Pasukan Flytes Clown, aku takkan mau berada di sini” Allex berdiri dan menatap tajam mereka berempat. Rambutnya dan gayanya masih acak-acakan, tapi pandangannya terlihat sangat mantap berbeda dengan ketika waktu kedatangannya. Ini menyadarkan Julio, Aramos, Andrea dan Bill, bahwa mereka telah melewati basa-basi dan saat ini telah sampai di pembicaraan yang serius. “Perlu diketahui aku masuk dan terdaftar sebagai Pasukan Flytes Clown baru setahun. Itu artinya aku tak pernah berlatih sebagai anggota pasukan Flytes, karena sejak lima tahun lalu Pasukan Flytes Clown tidak pernah melakukan latihan apalagi mengikuti pertandingan……Aku bahkan tidak memiliki pedang Flytes. Aku masuk karena adanya istilah ‘Simbiosis Mutualisme’” Allex melipat tangannya dan memandang mereka dengan pandangan kasihan. “The Brown yang merekrutku mengharapkan dapat terpilih menjadi salah satu kru di kapal cabang yang dipimpin ayahku. Dan dia memang terpilih. Dan keuntungan untukku adalah dapat memenuhi keinginan ayahku melihat anaknya menjadi salah satu Pasukan Flytes. Lagipula sudah menjadi rahasia umum salah satu syarat menjadi kapten kapal cabang haruslah pernah terdaftar sebagai anggota salah satu Pasukan Flytes…….Kurasa ayahku mengharapkanku menjadi penggantinya nanti.” Allex membungkuk memandang mereka dan membisikkan pertanyaan yang tampaknya sudah sangat mengganggunya. “Apakah kalian benar-benar sudah seputus asa itu, hingga memutuskan bergabung di Pasukan Flytes Clown?” Mereka berempat saling pandang satu sama lain. “Kami sudah mencoba beberapa Pasukan Flytes lain……. Semuanya menolak kami, satu-satunya yang pernah dipertimbangkan serius untuk diterima adalah Julio” Bisik Bill pelan mengikuti gaya bicara Allex. “Yah, dapat kulihat kenapa.” Allex menegakkan badannya. Suara ribut dari tangga yang tadi mereka naiki membuat mereka dan para Nytes lain di ruangan tengah memandang ke tangga dengan penasaran. Lebih dari sepuluh Nytes, semuanya The Blue, tertawa dan bercerita tumpang tindih. Aron dan kedua Forwed berada ditengah-tengah mereka dan tersenyum lebar. Aron Berstard melihat Allex dan berlari mendekat. “Allex, aku punya topik berita untukmu. Aku bahkan yang akan membayarmu jika berita ini bisa dimuat di Koran Eightlyst” Aron memandang Julio, Aramos, Bill dan Andrea dengan gaya yang sangat sombong. Kedua sepupu Forwed sudah berdiri di sampingnya dan gaya mereka tak jauh berbeda. “Oh ya, menarik sekali. Apa topik beritanya?” Tanya Allex malas. “Topiknya, Aron Berstard, Nick Forwed dan Kevin Forwed terpilih menjadi anggota Pasukan Flytes Piranha dan siap memenangkan Golden Ball semester ini” Aron mengangkat keningnya dengan angkuh disambut anggukan sombong kedua temannya. “Akan kubayar satu koin merah bila berita itu dapat kau muat di Koran Eightlyst” lanjut Aron sambil melangkah pergi memasuki East Side tanpa menunggu tanggapan atau jawaban Allex. Butuh semenit untuk membuat suara-suara Aron dan kumpulannya tidak lagi terdengar dari ruang tengah. Julio, Andrea, Bill dan Aramos memandang Allex dengan wajah tegang. Allex terlihat sekali kesal dan marah. “Akan kudaftarkan kalian sebagai anggota Pasukan Flytes Clown, dengan syarat kalian harus berjanji mengikuti pertandingan Flytes semester ini” kata Allex tiba-tiba. Andrea membelalakkan matanya, Bill mundur bersandar di sofa, Julio dan Aramos saling pandang dengan gelisah. “Terima atau tidak?” Desak Allex dengan nada tidak sabar. “Tapi itu artinya kurang dari tiga bulan” “Kita tidak akan mampu. Kita belum pernah berlatih, bahkan kita belum pernah melihat pertandingannya. Ini terlalu cepat, Allex…….” kata Julio membenarkan ucapan Aramos. Allex mengacak rambutnya dan menatap mereka berempat dengan serius. “Aku yakin kalian mampu. Hanya Nytes yang luar biasa yang mau mendaftarkan diri secara sukarela ke Pasukan Flytes yang prestasinya jauh lebih memalukan daripada namanya. Dan itu kalian. Kata ayahku, menjadi anggota Pasukan Flytes, yang dibutuhkan bukan hanya kekuatan, tapi kecerdasan, keberanian dan kekompakan sebagai satu tim. Dan kalian memiliki itu. Kekuatan, kecerdasan, keberanian dan kekompakan” Kata Allex sambil menunjuk satu-satu mulai dari Julio, Andrea, Aramos dan Bill. Julio, Aramos, Bill dan Andrea saling pandang. Bukan hanya gugup yang mereka rasakan tapi juga ketakutan. “Ayolah, kalian lebih baik dari mereka” desak Allex. “Belum tentu. Mereka jelas-jelas memiliki pelatih yaitu para senior……..sedangkan kita……Kita bahkan belum tahu siapa yang akan melatih kita. Tak mungkin kamu kan?” Andrea melotot kesal ke Allex. Allex mundur selangkah. Kerutan diantara kedua matanya menunjukkan bahwa dia memikirkan hal itu juga dengan serius. “Baiklah, kalau begitu biarlah. Kalian tidak usah mendaftar sebagai Pasukan Flytes Clown. Hasilnya akan sama saja. Buntu” Allex mengangkat kedua bahunya dan hendak melangkah pergi. Aramos berdiri dan menghalangi jalannya. “Baiklah, daftarkan kami dan kami akan mengikuti kompetisi Flytes semester ini” kata Aramos mantap. Allex tersenyum lebar, tapi Julio, Biil dan Andrea langsung menarik Aramos. “Kamu gila ya? Kamu tidak dengar apa yang dikatakan Andrea?” desis Julio kesal. “Kita tidak akan siap semester ini untuk pertandingan Flytes, Aramos” Andrea mendesah kesal juga. “Kita hanya akan lebih mempermalukan Clown” bisik Bill gugup Aramos memandang ketiga sahabatnya. Wajahnya yang serius dan gayanya yang tenang membuat mereka bertiga terdiam. “Kita telah dibukakan jalan. Dan aku percaya jalan ini walaupun tidak mulus, tapi adalah jalan yang tepat. Kita beberapa hari ini bahkan tidak menemukan titik terang untuk dapat tergabung dengan salah satu pasukan Flytes, hingga malam ini. Menurutku kita dimudahkan jalannya. Mulai dari cerita Bill, disambung kisah Andrea, bantuan Madam Rossa hingga bertemu Allex. Menurut kalian itu semua kebetulan semata?” Aramos menyentuh lengan Julio, dan memandang Andrea dan Bill “ Kita pasti bisa……..Mungkin bukan sebagai pemenang semester ini tapi yang jelas bukan sebagai Pasukan Flytes yang memalukan. Percayalah” Aramos mundur selangkah dan memandang Allex dengan serius. “Apa saja yang dibutuhkan untuk pendaftaran sebagai Pasukan Flytes Clown?” “Sudah kubilang. Keberanian…….” Kata Allex tersenyum lebar. Allex menyebutkan beberapa hal yang perlu mereka siapkan untuk pendaftaran dan merekomendasikan beberapa buku sebagai pengetahuan dasar untuk anggota flytes baru. Mereka sudah membacanya, tapi mereka berniat membacanya kembali setelah kini sudah ada kepastian mereka akan menjadi anggota Pasukan Flytes. Bukan anggota cadangan tapi anggota inti dari sebuah Pasukan Flytes. Pasukan Flytes Clown. “Aku memiliki beberapa video pertandingan Flytes. Dokumentasi pribadiku. Akan kupinjamkan pada kalian. Tapi jika itu masih kurang, aku yakin perpustakaan dapat menjadi sumber kalian juga” Kata Allex mantap. Bab 12 “Terus terang, aku sedikit menyesal ketika mengetahui mereka memilih Pasukan Flytes Clown. Harapanku yang menggebu-gebu ketika menganjurkan mereka masuk ke salah satu Pasukan Flytes, menjadi suram” Harold Rhumber terkekeh dan batuk sedikit. Dia meletakkan salah satu kakinya di bangku kayu pendek dan menatap Kapten Silverbond yang berdiri di samping jendela raksasa yang terbuka lebar. Ruangan tempat mereka berada sangat luas dan terlihat mewah. Tapi keduanya tampak nyaman dan telah terbiasa di ruangan itu. “Jangan iri, Tom. Kurasa mereka tidak terbersit sedikitpun mendaftar ke Pasukan Flytes Baracudamu……. Dan kurasa Clown adalah awal yang cukup bagus” Seorang wanita berambut pirang menyodorkan segelas anggur ke Kapten Silverbond. Madam Petra terlihat jauh lebih muda dari usianya yang berkepala tujuh. Rambutnya terlihat seperti ketika dia masih muda, dan garis tubuhnya yang tetap tegap dan terawat baik, membuat siapapun yang melihatnya takkan pernah mampu menebak umurnya dengan tepat kecuali sudah mengenalnya. Hanya keriput di wajah dan tangannya yang menunjukkan bahwa dia telah melewati beberapa tahun yang panjang dan melelahkan. “Itu benar, Sayang……. Clown adalah tempat yang sangat pantas untuk Bombersfish” Harold mematikan cerutunya, mengambil gelas anggurnya dan berdiri mendekati kedua sahabatnya dengan senyum cerah diwajah keriputnya. Kapten Silverbond mendengus dan menghirup anggurnya hingga sisa setengah gelas. Tapi dia tidak terlihat kesal sedikitpun. “Baiklah….. Kita lihat bagaimana cucu kapten kita itu akan meraih hari-harinya sebagai SOS” Madam Petra dan Harold Rhumber saling pandang penuh pengertian, dan sesaat kemudian terdengar suara orang membuka pintu. “Tapi kurasa bukan itu yang paling kita harus khawatirkan saat ini, bukan begitu Tuan Alec Smith?” Madam Petra menatap ke pintu berwarna jingga yang kini telah terbuka. Pria tua berkulit pucat kemerahan yang disapa melangkah mendekati mereka diikuti seorang wanita gemuk berwajah ramah. Alec Smith adalah pria Inggris dan berusia lebih tua beberapa tahun dari Harold Rhumber, tapi berbeda dengan Harold, penampilannya sangat rapih dan terawat. Dari ujung rambut hingga kaki, Alec Smith terlihat menawan untuk pria seumuran dia. “Kau masih saja mengecat rambutmu, Smith?” Harold mendengus “Kurasa, memang yang paling perlu kita khawatirkan, pimpinan kita ternyata tidak seperkasa yang kita harapkan. Aku heran Nyonya Lara masih bisa tahan menjadi sekertarismu” Alec Smith tersenyum kecil dan mencium pipi Madam Petra dengan lembut dan menyalami Kapten Silverbond. Nyonya Lara ikut melakukan hal yang sama, dan melanjutkan menyalami Harold Rhumber. “Harold” Alec Smith mengangguk ramah dan menatap ketiga koleganya “Kita jarang berkumpul seperti ini bukan?” “Hentikan basa-basinya, Smith…… Kami menghabiskan setengah jam terakhir dengan bertanya-tanya kenapa kami bertiga dikumpulkan di sini. Ini tidak pernah terjadi. Dan seharusnya kalau kau ingin mengadakan rapat, dimana tiga belas anggota lainnya. Jangan katakan The Dolphin dan anggota bagian Sekutu sudah terlalu sibuk hingga tidak berada di sini” Kapten Silverbond menatap tajam Alec Smith. Nyonya Lara menyerahkan beberapa map ke Alec Smith dan mundur beberapa langkah. Wajahnya kini terlihat sedikit gelisah. “Ini bukan rapat. Ini adalah diskusi. Diskusi rahasia. Menurut kalian mengapa aku meminta kita bertemu di Silver Bay bukan kantor utama di London? Aku ingin membahas, mendiskusikan semuanya dengan kalian dulu sebelum membawa ini ke Majesty, rapat tertinggi SOS” Alec Smith membagikan map-map itu ke masing-masing mereka dan berbalik menuju ke meja anggur. Kapten Silverbond, Madam Petra dan Harold Rhumber saling pandang sesaat dan meletakkan gelas-gelas mereka di bingkai jendela sebelum membuka map di tangan mereka dengan penasaran. Semenit ruangan itu senyap. Hanya terdengar suara minuman yang dituang dan kertas yang dibolak-balik dengan kasar. “Omong kosong apa ini?” Harold mendekati Alec Smith dengan marah, tapi langsung ditahan oleh Madam Petra dan Nyonya Lara. Kapten Silverbond menepuk pundak Harold beberapa kali. Pandangan matanya yang penuh kemarahan menunjukkan bahwa dia mengerti yang dirasakan sahabatnya itu. Dengan hentakan kaki yang menunjukkan kegusaran dia duduk di sofa merah yang letaknya hanya semeter dari meja anggur. Harold Rhumber mendengus dan duduk di sofa lainnya diikuti Madam Petra. Nyonya Lara mengambil tempat terjauh dari kelompok yang terlihat sangat marah itu. “Sebaiknya kau mulai menjelaskannya, Alec. Sebelum kami mengobrak-abrik kediamanmu ini karena tuduhan tidak beralasan dan bodoh seperti…….” “Itu bukan tudahan tidak beralasan, Tom...” Suara Alec sedikit tinggi memotong kata-kata Kapten Silverbond. “Beberapa waktu lalu sebuah rumah, kediaman salah satu petinggi Sekutu dimasuki oleh seseorang atau sekelompok orang, saat pemiliknya tidak ditempat. Mereka membius lima penjaga dan pembantu dengan Panah dan racun Vajer, panah ciptaan Kapten Bombersfish Junior. Tidak ada satupun barang yang hilang, tapi hampir semua tembok dan lantai rumah itu rusak parah. Kurasa, kita semua bisa menebak apa yang mereka cari walaupun itu belum bisa kita pastikan” “Ruang penyimpanan Peta Harta Karun” Bisik Madam Petra. “Benar….. Itu adalah dugaan terkuat saat ini. Dan perlu diingat ini belum pernah terjadi. Karena itulah semua pimpinan Negara yang tergabung dalam sekutu sepakat untuk mendiskusikan ini dulu dengan kalian, mengingat semua jasa dan pengorbanan……” “Ya, ingatlah kami sudah berkorban banyak demi SOS ini. Jadi, jangan sekali-kali kau atau para petinggi yang duduk nyaman di depan perapian saat kami berjuang di lautan berpikir dan menuduh kami akan menjadi rakus dan mengkhianati SOS…….” Harold berdiri dan meneriakkan kata-katanya membuat Nyonya Lara semakin terbenam dikursinya dengan ketakutan. “Menurutmu mengapa saat ini mengapa kalian masih di sini dan tidak sedang diperiksa di Sellh?” Alec maju selangkah dengan berwibawa. Harold menghempaskan pantatnya kembali dengan kasar dan menatap Kapten Silverbond. “Jadi apa yang ingin kau ketahui dari kami, Alec? Pengakuan bahwa kami yang melakukannya atau kami yang mengatur semua itu?” Suara Kapten Silverbond terdengar pelan tapi mengancam. “Benarkah?” “Tentu saja tidak. Untuk apa kami melakukan hal itu? Semua anggota Majesty, dan itu berarti termasuk kami, jelas-jelas tahu dimana letak Ruangan Peta harta Karun itu.” “Beberapa Kepala Negara berpikir kalian mungkin saja malakukan kamuflase agar tuduhan diarahkan ke pihak lain” “Itu konyol” Pekik Madam Petra “Kalau kami ingin mengelabui, kenapa juga kami menggunakan Panah dan racun Vajer yang jelas-jelas membuat kami jadi tersangka utama?” “Karena pertimbangan itu pula, maka kalian berada di sini. Semua pihak SOS tahu panah dan racun Vajer adalah ciptaan Kapten Bombersfish Junior. Kalau hanya panah, semua dapat membuat tiruannya, tapi untuk racunnya, yang dapat membuat seseorang tertidur lebih dari tiga hari, seluruh campurannya hanya dia wariskan resepnya hanya kepada kalian bertiga, orang-orang yang paling dipercayainya. Jadi ini benar-benar membuat kalian berada di daftar teratas kami, kecuali kalian dapat memberikan nama seseorang yang mungkin telah kalian bagi informasi itu secara tidak sengaja…..” “Jangan konyol, Smith. Bahkan kepada SOS pun, Kapten Bombersfish tidak memberikan resepnya, bagaimana mungkin kami memberikan resep itu kepada orang luar. Bahkan ahli waris kami tidak akan pernah mendapatkan resep tersebut. Yang berhak hanyalah keturunan sejati Bombersfish” Madam Petra terlihat marah dan tersinggung. Alec mengangkat bahunya “Yah, seperti kataku. Mungkin secara tidak sadar” Pandangan mata Alec Smith yang jelas-jelas menuduh kepada dirinya, membuat Harold mendengus. “Aku sering mabuk. Tapi, tidak pernah semabuk itu” “Yah, kurasa itu juga tidak mungkin. Terdapat enam bahan dengan spesifikasi yang rumit, kalau salah sedikit saja, racun itu tidak hanya menidurkan, tapi langsung mematikan. Orang mabuk takkan pernah mampu menjelaskan spesifikasi itu dengan benar. Apalagi sudah lebih dari tiga puluh tahun racun itu tidak kami racik.” Kapten Silverbond menyandarkan kepalanya dengan lelah. Semua diam. Buntu dan marah. “Kalau begitu, yang pasti pembuat racikan racun ini tahu benar spesifikasinya. Kelima penjaga dan pembantu itu masih hidup. Untuk sementara petinggi Sekutu tersebut, keluarganya dan semua orang yang mengetahui hal ini diminta tutup mulut. Dan aku diberi waktu sebulan untuk menemukan siapa dibalik semua kejadian ini. Itu dua hari lalu. Jadi, yang dapat kukatakan, bantu aku menemukan pelakunya, dan bersihkan nama kalian.” Alec Smith duduk di sofa terdekat dengan Kapten Silverbond. Cara duduknya yang berkelas tetap tidak mampu menyembunyikan kerisauannya. “Aku percaya pada kalian….. Jadi, ijinkan aku menyampaikan sesuatu.” Alec Smith terlihat sangat serius “Seperti kudengar, cucu Kapten Bombersfish Junior sudah menjadi Nytes……” “Ini tidak ada hubungan dengannya. Anak sekecil itu tidak mungkin membuat racun Vajer yang rumit” Harold memotong kasar ucapan Alec Smith. “Tentu saja. Aku tahu itu. Apalagi dia baru beberapa minggu mengetahui bahwa dia adalah keturunan bajak laut Bombersfish, aku bahkan tak yakin kalau dia tahu apa itu Vajer. Tapi coba pertimbangkan ini. Kejadian ini pertama kali terjadi, dan secara jelas-jelas ditujukan untuk memfitnah semua pihak yang ada hubungannya dengan Kapten Bombersfish Junior. Kalian dan si cucu. Jadi, apakah kalian tetap merasa semuanya masih aman sekarang?” Kapten Silverbond menegakkan badannya, Harold berdiri dengan gusar dan Madam Petra menarik napas, terkesiap dengan ucapan Alec Smith yang mengandung banyak hal yang selama ini belum terpikirkan oleh mereka. *** “Setiap Pasukan Flytes memasuki arena hanya dengan bersenjatakan pedang kayu Flytes. Namun semua benda di Arena Flytes dapat digunakan dengan cara apapun oleh setiap anggota untuk dijadikan senjata maupun alat pertahanan. Tanpa terkecuali. Pemenang Flytes adalah Pasukan yang berhasil mengambil Golden Ball yang tergantung di salah satu tiang dan menggantungnya di tiang yang berbendera Pasukan mereka. Di dalam Arena tidak ada peraturan resmi. Setiap anggota yang memasuki arena bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Pergantian anggota pasukan Flytes hanya dapat dilakukan sekali saja selama permainan berlangsung dan hanya untuk satu anggota saja yang dinyatakan tidak mampu bertanding lagi atau terluka.” “Bisakah kau hentikan itu. Kita sudah mengetahuinya dan sudah bosan mendengarnya selama tiga minggu ini. Semua itu tidak ada gunanya diulang-ulangi bila kita belum pernah mengadakan latihan sebenarnya di dalam arena. Bahkan pedang Flytes kita mungkin sudah dimakan rayap saat ini karena tidak juga dipergunakan.” Julio mendengus kesal ke Andrea dan berjalan ke bagian dek yang menghadap laut. Saat ini mereka berempat berada di dek Scorpio. Dek tertinggi dari semua dek. Ukurannya hanya setengah dari dek Cancer tapi dari dek itu mereka dapat melihat seluruh dek dan pemandangan di sekeliling Eightlyst State Ship. Sudah satu jam mereka mengamati latihan Pasukan Flytes Piranha. Para senior di Piranha tampaknya sangat serius melatih Aron Berstard dan Forwed bersaudara. Seperti sudah diketahui oleh semua Nytes, salah satu dari mereka nantinya akan dipilih menjadi anggota inti untuk Pertandingan Flytes yang akan diadakan dua bulan lagi. Sepuluh menit awal Aron Berstard dan kedua temannya begitu sombong memulai latihan karena mereka tahu sedang diamati oleh banyak Nytes, dan itu termasuk Aramos, Julio, Andrea dan Bill. Tapi setelah itu mereka tampak kelabakan, dan sekarang tampak sangat kelelahan. Para senior di Piranha meminta mereka melakukan berbagai manuver loncatan sambil melawan dua pasukan senior lainnya. Sementara itu, di dek Cancer tampak Pasukan Flytes Shark yang beranggotakan sebelas anggota sedang bersiap-siap menggantikan Pasukan Flytes Piranha. Setiap Pasukan Flytes diberikan kesempatan melakukan latihan di dek Virgo yang juga nantinya merupakan arena pertandingan Flytes selama tujuh puluh lima menit setiap latihan. Satu Pasukan Flytes kadangkala berlatih hingga empat kali sehari tapi dengan waktu berbeda-beda. Dari pagi jam enam hingga tengah malam sebelum seluruh dek ditutup untuk para Nytes. Tapi semua latihan itu hanya berlaku untuk pasukan Flytes yang sudah mengisi, mengajukan, dan membayar biaya permohonan pemakaian dek Virgo. Dan sayangnya, pengajuan itu ditutup sebulan lalu sehari sebelum Aramos, Julio, Andrea dan Bill terdaftar sebagai anggota Pasukan Flytes Clown. Walaupun sudah memohon dan mengatakan berbagai alasan keterlambatan mereka dalam mengajukan permohonan penggunaan dek Virgo, bagian administrasi tetap tidak dapat memasukkan pasukan mereka. Jadwal sudah sangat penuh dan padat. Tidak ada satupun dari tujuh Pasukan Flytes lain yang bersedia menyerahkan waktu latihan mereka ke Pasukan Flytes lainnya, walaupun telah ditawari sembilan koin merah yang sama saja dengan tiga kali lipat biaya pemakaian dek Virgo. Prinsip siapa cepat dia dapat sangat berlaku di sini. Bila ada Pasukan Flytes yang dapat berlatih berkali-kali dalam sehari di dek Virgo, ada pula yang hanya dapat berlatih satu dua kali saja. “Kita berlatih di kamar masing-masing sambil mengamati dan mempelajari rekaman-rekaman Pertandingan flytes terdahulu” Itu usul Aramos ketika sudah dipastikan bahwa mereka tidak akan mungkin menginjakkan kaki di dek Virgo kecuali pada hari pertandingan nanti. Andrea, Julio dan Bill setuju saja karena memang itu yang paling mungkin. Tapi setelah lebih dari seminggu, mereka tahu itu jauh dari kata efektif. Apalagi bagi Andrea yang tidak punya rekan latihan. Akhirnya mereka memutuskan berlatih di hall tengah, dek ataupun beberapa tempat yang mereka ketahui. Sudah berbagai tatapan kasihan, ledekan, ejekan hingga hinaan mereka dapatkan selama latihan di ruangan-ruangan terbuka itu. Apalagi semua Nytes juga tahu mereka terdaftar di Pasukan Flytes Clown yang jelas-jelas sangat terkenal namanya dalam arti yang menyimpang, dan mereka juga tahu keempat Nytes Blue yang baru ini juga sudah didaftarkan oleh Allex Versk untuk mengikuti pertandingan dua bulan lagi. Tanpa tempat latihan dan tanpa pelatih, semua Nytes tahu mereka akan menjadi badut sebenarnya di pertandingan Flytes nanti. Dan Aron Berstard beserta Forwed bersaudara semakin sombong setiap melihat mereka. “Sebaiknya kita pergi ke bawah saja” Kata Bill sedikit mengantuk. Cuaca cerah dan angin yang bersahabat, membuat beberapa Nytes telah tertidur pulas disekeliling mereka. Weekend yang menyenangkan, seandainya saja mereka berempat tidak dibebani pikiran akan pertandingan Flytes yang akan diadakan kurang dari dua bulan lagi. Julio tanpa suara segera melangkahi beberapa Nytes yang tertidur. Pelototan mata Andrea yang mengungkapkan ketidaksetujuannya, tidak diacuhkan oleh Julio. Semenit kemudian mereka berempat sudah menuruni tangga. “Kita berjalan turun lewat tangga saja” Kata Julio sambil menuju salah satu tangga terdekat dengan dek Scorpio. “Yakin? Kita berada di lantai tiga belas” kata Bill gelisah. Dia baru saja memasukkan sebuah permen coklat ke mulutnya. “Tentu saja. Selain untuk menghilangkan kantukmu, ini saatnya kita melihat-lihat sebentar ruangan-ruangan di setiap Eightlyst State Ship. Bila beruntung mungkin kita dapat menemukan sebuah tempat latihan yang cukup tersembunyi tanpa harus menjadi tontonan dan tertawaan Nytes lain’’ Aramos mengangguk pelan dan menarik tangan Bill mengikuti Julio yang sudah begitu cepat menghilang di belokan tangga menuju ke lantai dua belas. “Semoga saja” Bisik Andrea tak yakin menyusul Aramos dan Bill. Matahari hampir terbenam ketika mereka tiba di Hall tengah dengan kelelahan. Lebih dari empat jam mereka berjalan-jalan di setiap lantai Eightlyst State Ship, dan itupun hanya sebagian kecil area yang mereka jelajahi di setiap lantainya, tapi mereka merasa seperti sudah berjalan sepanjang hari. Bill yang paling parah, walaupun tidak merengek, tapi ketiga temannya secara sadar harus berjalan lebih pelan dan sekali-kali berhenti sejenak bila tak ingin harus membawa Bill ke klinik kesehatan di lantai enam karena kehabisan napas atau kena serangan jantung. Kaos Hitam Bill sudah basah kuyup ketika dia merebahkan diri ke salah satu sofa kulit di hall tengah. Ketiga temannya menyusulnya dengan tingkat kebasahan kaos yang hampir sama. Julio bahkan tidak bersusah payah untuk duduk di sofa, tapi langsung menikmati lantai kayu yang hangat. Beberapa Nytes di Hall tengah hanya tersenyum melihat kelakuan mereka. Namun beberapa lainnya sibuk berbisik-bisik, membuat Julio mengangkat wajahnya dan melotot kesal. “Wah, jangan katakan kalian baru selesai latihan Flytes. Kalian terlihat benar-benar kacau. Aku jadi ingin tahu ruangan mana lagi yang kalian gunakan” Aron Berstard berdiri di samping Andrea yang tersandar kelelahan. Dan kedua temannya tersenyum lebar menanggapi kata-kata Aron. Andrea mengibaskan tangannya tak perduli, Aramos hanya mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat ketiga Nytes yang menurutnya paling tidak menyenangkan itu, sedangkan Bill hanya menggumamkan sesuatu dengan tidak jelas sambil matanya tetap tertutup. Julio satu-satunya yang terlihat masih memiliki tenaga langsung berdiri dan tanpa disuruh pun Aron bersama kedua temannya mundur. Mereka terkikik tak jelas, tapi dari cara mereka berjalan dan turun tangga jelas-jelas terlihat efek latihan mereka tadi membuat mereka kesakitan. Mau tak mau seluruh Nytes yang melihat mereka tertawa geli. Ketiganya langsung melotot dan menuruni tangga dengan wajah merah. “Ada apa? “ Bill duduk kebingungan melihat suasana hall tengah yang sedikit gaduh. “Tidak apa-apa, hanya ada beberapa lalat yang sempoyongan” Kata Julio geli. Dia berjalan memasuki East Side. Bill menatap Andrea dan Aramos dengan lesu. “Kita sangat kacau kan?” Andrea dan Aramos mengangguk pelan. Mereka mengerti sepenuhnya kata-kata Bill bukan hanya menyangkut keadaan mereka saat ini yang kelelahan, tapi juga tentang keadaan keseluruhan mereka. Perjalanan mereka yang sangat melelahkan sepanjang sore tadi juga tidak membantu apa-apa. Mereka tidak menemukan satu pun ruangan atau tempat yang cocok untuk latihan Flytes. Setelah mengatur jam untuk makan malam dengan tidak semangat, mereka bertiga menuju ke kamar masing-masing. Bill baru saja hendak membuka pintu ketika tanpa sengaja matanya melihat sebuah benda yang tersandar di pintu kamar mereka. Dia mengambilnya dan membuka lembaran plastik hitam yang membungkusnya. “Apa itu?” Aramos bertanya sambil mengintip dari pundak Bill. “Sebuah Buku” Bill menyerahkan kepada Aramos dan memasuki kamar mereka “Mungkin seseorang ingin kau mengembalikannya ke Perpustakaan karena dia menghindari denda” Aramos menatap buku yang sangat tebal dan besar itu. Judul “The State” bertinta perak tercetak jelas di atas sampul kulit. Buku yang terlihat sangat tua namun masih terurus dengan baik. Suara air di kamar mandi ketika Aramos memasuki kamar secara jelas menunjukkan mereka tidak perlu bertanya dimana Julio. Bill langsung membaringkan badannya yang gempal di atas selimut merah dengan nyaman. “Bangunkan aku saat jam makan malam” katanya pelan. “Tapi kau harus mandi dulu, Bill” “Yup, sepuluh menit sebelum jam makan malam kalau begitu” Aramos tersenyum geli dan meletakkan buku tua itu di atas mejanya. Description: Begitu banyak harta karun yang belum ditemukan di dunia ini. Sekutu dengan bantuan Para Keturunan Bajak Laut berusaha memperolehnya kembali dengan membentuk SOS (Son of Seas).
Title: without you Category: Adult Romance Text: Secangkir Kopi Satu tahun sudah aku menjalani pagi sendiri kehangatan yg biasanya ku rasakan saat ku membuka mata kini telah lenyap karena ke egoisanku. Kupandang langit yg masih gelap Ku tertawa dalam keheningan pagi buta ini Tuhan begitu indahnya karma yg kau buat untuk ku sehingga gadis yg selalu menemaniku tak menginginkan ku lagi. Ely gadis yg dulu amat sangat mencintai ku,gadis yg rela mengorbankan apapun untuk pria bejat seperti ku . Memang benar kata orang kalau sudah tak ada akan menjadi luar biasa Kini tiada yg akan menyiapkan sarapan,baju ku di pagi hari bahkan aroma harum kopi yg biasa ku hirup sudah tak ada lagi. Dengan penampilan yg acak"an aku pergi ke Kantor , ku jalankan mobil putih kesayangan ku di jalanan yg lumayan agak ramai, kulirik kursi sebelah yg biasanya ada tanda kehadirannya kini kosong penuh keheningan . Hatiku terasa tercubit saat ku ingat Wajah manisnya,ku usap kasar wajah ku ingin rasanya kembali ke masa lalu. Hanya saat di kantor dengan menyibukan diri aku bisa melupakan sejenak wajah cantik yg selalu tersenyum malu saat melihatku. " Selamat pagi pak Farhan" senyum genit dari para karyawan wanita yg sudah biasa ku lihat saat aku memasuki kantor ,kubalas sapa.an mereka dengan anggukan. "Farhan nanti malam ke clubing yuk" suara cempreng yg menyapaku saat ku buka ruangan ku "Lihat nanti saja!" "Mau sampai kapan kau seperti ini ? Jangan hanya karena satu wanita seperti dia kau berubah!" Ku pandang sinis Aditya yg meremehkan wanitaku " Kau ingin Cuti untuk selamanya kah!" " Bukan begitu pak bos ,ah sudahlah padahal Ivan dan aku hanya menghawatirkan mu , jangan terlalu keras berkerja dan Jangan terlalu mengurung diri mu " ku Helah nafas panjang Hanya Aditya dan Ivan teman masa SMP sampai sekarang yg selalu bersama ku "Huhhh~oke aku akan ke clubing bersama mu, tapi sekarang Kerja!" "Oke-oke" Aditya bergegas pergi keruangan kerjanya Malas sebenarnya untuk kembali ke tempat itu kembali. ~~~~~~ Suara dentuman musik dari DJ menggema di ruangan remang saat ku masuki bersama Aditya sambil mencari seluet Ivan yg sudah menunggu kami " Tak kusangka kau akan datang " "Yupz kalau gak aku paksa mungkin Farhan tak akan datang ke sini Van" Ivan sahabat serta pemilik bar yg sering aku tongkrongi dulu "Hm~aku mau ke toilet dulu " ku tinggalkan mereka berdua yg sedang minum sambil di temani para wanita sexy di samping mereka, "Aku ikut" Ivan yg mengikuti ku dari belakang Tak sengaja aku bertabrakan dengan lelaki yg kurasa masih belum cukup umur untuk datang kesini "Ma~maaf tuan aku tak sengaja" Sungguh ingin ku hantam lelaki ini "Kau tak apa han ?" Ivan yg mengikuti mulai menengah i mungkin ia takut kalau aku akan mengacak-acak barnya " Kau siapa namamu?" "A~aku j~ju~jun tuan!" Lucu suaranya bergetar seakan ingin menangis rasa ingin ke toilet rasanya sudah ku lupakan "kau kurasa belum cukup umur untuk datang ke sini ! Sedang apa kau di sini?" Ku lihat dari atas sampai kaki kurasa dia masih seorang pelajar, Ivan yg sendari tadi hanya menyaksikan seakan memberi isyarat tak mau ikut campur dan bergegas meninggalkan mereka berdua . "Aku mencari tanteku! Dia datang kesini" entah kenapa rasanya tak ingin meninggalkan anak ini sendiri Ku lirik sekitar bar "seperti apa tantemu biar ku bantu cari " Serasa tak percaya ada orang baik yg mau menolong nya Jun bergegas memandang seluruh bar "ah~itu tuan itu Tante ku !" Ku tengok arah yg ditunjuk Jun ada seorang wanita yg sudah mabuk dengan dua laki-laki yg mulai mengelusnya Aku dan Jun mulai mendekati tempat mereka bertiga Marah bercampur kesal aku rasakan saat tau wanita yg hendak mereka mangsa adalah Ely ,wanita yg aku cari-cari selama satu tahun ini Tanpa basa basi ku layangkan tinju ku ke mereka yg hendak menyentuh wanitaku. Jun yg sendari tadi diam mulai meraih dan memeluk Ely yg tak sadarkan diri Ivan yg baru keluar dari toilet mulai berlari menghampiri ku yg mulai mengamuk "Stop ,stop Han udah cukup kau mau bunuh anak orang apa ?" Aditya pun mulai memegangi ku "Udah Han udah " Ku lirik ke arah Jun yg mulai gemetar melihatku kalap sembari kulepaskan pegangan Aditya ku hampiri Ely yg terlelap di pelukan Jun "Ah maaf, kau pasti terkejutkan tak apa Ayo ku antar kau dan tantemu pulang" lembut amat lembut aku mengatakan sepatah kata yg ku keluarkan dari bibirku seakan saat aku menaikan suaraku Ely akan terusik tidurnya Jun yg mulai melonggarkan pelukannya seakan diam melihat ku yg kian melembut menatap Ely yg masih terlelap. Dengan gerakan lembut ku angkat Ely agar tak membangunkannya lalu ku melangkah pergi dengan Jun yg mengikuti ku dari belakang. Aditya dan Ivan yg sendari tadi melihatku seakan takjub benarkah ini Farhan yg mereka kenal Farhan yg selalu penuh emosi, Farhan yg selalu tak perduli dengan sekitarnya seakan melihat dua sosok yg berbeda. Kalian tau kalau cinta setelah kehilangan akan sangat lebih berarti dari sebelumnya . Kupacuh mobil ku dengan kecepatan sedang di jalanan yg lengah ini Kupandang kaca melihat ke bangku penumpang. "Kalian tinggal dimana ?" "Kami tinggal di distrikxx no45 tuan!" Sesekali ku lirik ke arah Ely yg masih tidur Aku tak habis fikir kenapa wanita yg ku kenal tak bisa meminum alkohol datang ke tempat itu ,ingin rasanya ku omeli dia tapi aku cukup tau dan malu kalau aku tak punya hak untuk melakukan itu "Kalian tinggal berdua kah? Ah~dan jangan panggil aku tuan panggil saja paman juga tak apa" "Ah~ maaf paman ! Ya kami tinggal berdua ,karena kedua orang tuaku sedang di luar kota" "Em kalau boleh tau kenapa kau bisa masuk ke tempat itu " Rasa penasaran seakan menghancurkan image tak perduli ku "Ah itu aku di telfon kak Fifi teman Tante katanya Tante dan teman-teman nya mabuk dan karena kami hanya berdua jadi aku di suruh menjemput nya lalu aku bertemu paman ! " "Ah sudah sampai" Kupandang bangunan susun bertingkat 4 di depanku Di sinikah kau selama ini bersembunyi dariku "Paman bisakah kau menggendong tanteku ke lantai 3 aku tak kuat jika sendiri" "Baiklah! " Ah aroma sampo,wangi parfum,serta kehangatan tubuh ini yg selalu kurindukan selama ini Kau tau Ely ini akan jadi yg terakhir aku kehilanganmu lagi sungguh aku tak akan melepaskan kamu lagi . "Terimakasih paman " Aku hanya mengangguk dan meletakan Ely ke atas kasur dengan lembut. "Em sudah jam 2pagi paman apa paman tidak lelah ,kalau paman lelah paman bisa istirahat di sini malam ini " "hhm~ baiklah! Aku akan tidur di ruang tamu" Jun bergegas ke kamarnya lalu memberikan bantal dan selimut untuk Farhan "Terimakasih atas hari ini paman " sambil tersenyum aku bergegas keluar dari kamar Ely , kalau boleh jujur aku ingin tidur memeluk Ely malam ini tapi Jun pasti akan menganggap ku sama dengan lelaki lain jikalau aku melakukan itu, akhh tahan Farhan sebentar lagi saja . Ku rebahkan tubuhku di sofa ku tutup mata dengan rasa senang bercampur gelisah,getaran di saku celana membuyarkan lamunanku "Kau dimana ?" "Aku di rumah Ely!" "Seriuss! Apa kau akan kembali dengan Ely?" AKu hanya terdiam dengan pertanyaan Aditya, aku juga bingung setelah bertemu apa yg harus ku lakukan. "Entahlah aku tak tau" "Hemmm~ Han aku dan Ivan selalu mendukung mu ! Lakukan apa yg membuat hatimu bahagia , jadilah dirimu yg dulu. Farhan yg selalu optimis,Farhan yg selalu mengejar yg ia inginkan, dan ingat kau selalu memiliki kita berdua jgn kau pendam sendiri" "Hm` thanks kalian selalu support aku" "Ya udah istirahat lah dan salam untuk Ely" Ya benar kata Aditya akan ku dapat Ely kembali apa pun yg terjadi. ~~~~~~~~~~~~ Aroma masakan di pagi hari membuat ku terbangung , pemandangan yg selalu ku rindukan saat Ely memasak untukku di dapur. Ku hampiri dia dan duduk di meja makan,ku pandangi dia tanpa berkedip seakan takut Ely yg ku lihat sekarang hanya ilusi " Cucilah muka dan sikat gigi di laci kamar mandi ada sikat cadangan" Sambil membalikkan badan ia memandang ku acuh Senang bercampur sedih aku pergi ke kamar mandi Jun yg baru bangun pun mengikuti ku ke kamar mandi tanpa tau apa yg terjadi Setelah bersih aku kembali kedapur bersama Jun yg sudah siap dengan seragam sekolah nya. "Makanlah sebelum pergi sebagai tanda terima kasih kami" Aku hanya tersenyum kecut saat Ely mengagapku seakan orang tak pernah mengenalku Ya Tuhan drama apa lagi ini ingin ku bersujud di depanmu Ely sungguh inginku memeluk mu "Aku pergi dulu Tante" Jun yg pergi membuat keheningan yg semakin menjadi Secangkir kopi hitam Ely sodorkan kepadaku. " Kau tau Ely apa yg aku rindukan akhir-akhir ini?" Ely hanya bungkam seakan membiarkan ku berbicara sendiri " Aku rindu aroma dan rasa kopi yg kau buatkan untukku setiap pagi ,ah tidak kurasa aku merindukan mu jujur aku menyesal Ely tak bisakah kau kembali memberikan ku kesempatan sekali lagi" "Kau tau Farhan berapa kali aku memberimu kesempatan 2x,5x,7x? Apa itu masih kurang?" Ely menangis karena aku lagi! "Maaf ! " Lirih ku ucapkan kata sakral itu ,kalian boleh bilang aku pengecut ,lelaki tak tau diri . " Aku lelah Farhan bisakah kau pergi ! " Ku langkahkan kakiku pergi meninggalkan Ely yg mulai terisak dalam hening seakan tak ingin mengantarku keluar. Kau tau Ely saat kau telah ku temukan mana mungkin aku melepasmu. Mengejar Ku ketuk tak sabar pintu bercat putih ini seakan ingin cepat bertemu sang pemilik rumah, ketika terbuka bukan dia yg ku rindukan menghampiri ku tetapi Jun yg datang dengan sumringah saat ku datang walaupun agak kecewa bukan Ely yg membukanya . "Siapa Jun?" Kudengar suara Ely dari dalam "hanya paman Tante!" Ku sodorkan kue yg ku beli saat di jalan tadi ,Jun pun mempersilahkan ku masuk. Ely yg tau aku datang memasang wajah acuh dan cemberut nya, apa kalian fikir aku terluka saat dia seperti itu ya tentu sedikit tapi itu juga membuat ku senang karena dia tak mengusir ku keluar saat waktu itu atau mungkin karena Jun ada di sini . Sejak saat itu aku mulai akrab dengan Jun , dan dari itu aku mulai selalu datang kemari , pulang kerja aku selalu kemari dengan alasan Jun . "Paman kau menginaplah hari ini!" Aku melirik Ely yg mulai terkejut mendengar Jun dengan gampangnya mengajakku untuk menginap di rumah mereka "Ya kalau paman sih mau , tapi kalau tantemu!" Ku lirik Ely yg mulai melototiku "tak apa kan Tante hanya malam ini! Aku ingin maen ps bersama paman mumpung libur" Ely hanya mengangguk pasrah Dalam hati aku bersorak, kerja bagus Jun Ely yg masih berkutat dengan komputer nya mulai melihat jam, yg aku tau Ely sekarang berkerja sebagai designer grafis sehingga ia bisa bekerja dari rumah "Belum selesai mau ku bantu?" Aku senang Ely mulai melunak saat berbicara denganku "Tak perlu aku akan selesai " ku lihat wajah cantiknya dari samping , ya Tuhan aku ingin mencumbu bibir ranumnya itu , "Kau bawa baju ganti ?" "Tidak" "Ah paman kurasa ini pas untuk mu " Jun yg baru keluar kamar menyodorkan baju training yg kurasa bukan ukurannya , ku lirik Ely tajam Seakan tau fikiranku Ely menatapku " itu baju milik ayahnya Jun ,kau berfikir apa?" Ku angkat bahu ku tak acuh "mana ku tau ? Memang aku berfikir apa?" Lega dan senang saat baju ini bukan milik laki-laki lain ,boleh kan aku berharap Malam Sabtu yg biasa ku lalu dengan kerja dan kerja sekarang ada yg lebih berarti dan lebih menyenangkan Ku habiskan malam Dengan main dan bercanda dengan Jun . " Hoamm~ paman aku tidur dulu ya " "Ya tidur lah" ku lirik jam sudah tengah malam pantas Jun mengantuk teryata kami main sampai lupa waktu Ku lihat Ely yg sudah terlelap di sofa ruang tamu Ku dekati dia ku telusuri garis wajahnya Wajah yg masih sama seperti setahun yang lalu hanya rambut yg mulai ia panjangkan Ku Elus pipi chubby nya ,sama rasanya masih sama saatku pegang dulu Ku angkat tubuh yg mulai agak ringan ini ku pindahkan dengan lembut ke tempat tidur Ku Elus rambutnya yg masih se halus saat ku ingat Bolehkah aku memeluk mu saat ini "Ely tau kah engkau satu tahun tanpa kehadiran mu di sisi ku? , Aku gila Ely apakah memang sudah tak ada aku di hatimu lagi?" Dengan pandangan kosong Farhan keluar meninggalkan kamar Ely . Suara pintu tertutup sepasang mata coklat Ely terbuka melihat kosong ke arah langit-langit kamar Hatinya terasa sakit saat mendengar suara lembut nan lirih dari Farhan tak terasa air mata yg selama ini ia tahan untuk tak terjatuh lagi harus meleleh dengan derasnya Isakan kecil dalam sepi nan gelapnya malam seakan tak ingin siapapun tau bahwa hati yg lama tersakiti ini masih amat masih menginginkan sosok yg dulu selalu ia temani. Description: alunan musik yg selalu sama di pagi hari kopi hitam yg sama pula ku minum tanpa bosan setiap paginya Senin sampai Minggu setiap hari ku ulang rutinitas pagi yg sama tenggelam dalam kelam fajar yg masih belum menunjukan dirinya hari ku begitu mononton sejak kau pergi dari sini kosong,hampa,sepi yg tak mau pergi dari hari-hariku.
Title: When You Category: Cerita Pendek Text: Jangan Pergi Jangan pergi Tulisan cakar ayam dengan spidol hitam itu masih tetap seperti enam bulan yang lalu ketika Kevin menulisnya sebagai jawaban untuk Abi yang bertanya apa ia boleh pergi nonton bersama Ray—cowok gebetan Abi. Hanya beberapa bagian yang sudah terhapus oleh waktu, sisanya, masih jelas terbaca. Semua bermula dari seorang mahasiswa transfer dari Vancouver bernama Ray. Di mata Kevin cowok itu biasa saja—apalagi di awal-awal ia pindah—di kampus pun dia tidak terlalu dibicarakan, intinya bukan tipe seorang idola lah, namun entah kenapa Abi tergila-gila padanya. Tidak hanya sekedar mengidolakan, Abi pun mulai mengikuti setiap kegiatan yang Ray ikuti salah satu dan yang paling utama adalah basket. Ray baru terlihat menonjol ketika ia bergabung dengan tim basket kampus, tidak hanya dengan kemampuan memainkan bola yang di atas kemampuan pemain lain. Ia juga lebih tinggi daripada rata-rata orang bule—apalagi orang Indonesia?—dan wajah perpaduan ras Kaukasoid dan Cina membuatnya tampak berbeda dengan mahasiswa kebanyakan di sini. Kevin mengakui hal itu—dan entah kenapa membuatnya semakin kesal. Apalagi ketika Abi merecokinya untuk nonton pertandingan final kejuaraan basket antar kampus. Hei, nonton final basket nggak? Kevin mengangkat alis ketika membaca pesan dari Abi. Kenapa bertanya? Orang Abi juga tahu kan kalau dia bukan pecinta olahraga? Ga, kenapa aku harus nonton? Kevin mengetik pesan balasan. Karena aku pengen nonton? Lah, kau pengen nonton apa urusannya denganku? :P Masa aku nonton sendirian? Kan ada Mas Ray? Goda Kevin. Belakangan ini memang tidak ada topik yang lain bagi Abi selain Ray dan Ray. Dan sejujurnya itu memuakkan. Ray itu keren, apalagi kalau pas main basket. Ray itu cakep kalo lagi serius belajar, dia biasanya belajar di bawah pohon beringin tuh—‘Ga di bawah pohon kamboja?’ tanya Kevin saat itu, lalu disambit buku oleh Abi. Tidak ada lagi kata-kata; ‘Kev aku tadi liat lukisan di gallery A, bagus deh, gayanya kayak punya Monet.’ Atau; ‘Aku tadi lihat lukisan abstrak yang aneh, tapi komposisi warnanya bagus.’ Atau yang lainnya. Kev Kev aku lagi serius nih, nonton game sama aku ya? Pleaseeeeeee….. Kev Kev, panggilan yang selalu digunakan Abi kapan pun ia meminta sesuatu padanya dan ia tidak ingin mengabulkan permintaan cewek itu. Kali ini pun sama, Kenapa ia harus repot-repot menonton pertandingan kalau ia tahu dengan pasti itu akan membuatnya jengkel? Kadang-kadang Abi memang kurang sensitif, apalagi jika ini menyangkut Kevin. Dasar nasib. Aku sibuk Begitu balasan yang dikirim Kevin. Namun yang terjadi keesokan harinya adalah; Kevin duduk di bangku stadion yang paling depan dengan dua balon tepuk di tangan, sementara di sampingnya Abi sedang histeris bersama cewek-cewek yang lain. Ternyata Abi tidak sendirian, banyak temannya yang lain yang juga mengidolakan Ray, mungkin basket membantunya menaikkan popularitas? Sial. Dia terlalu meremehkan bule itu. Alhasil selama hampir satu jam Kevin harus menahan diri dan duduk di tempatnya seperti alien yang dikirim ke bumi sorang diri. Sesekali cowok itu menepuk-nepuk balon di tangannya tanpa perasaan, atau jika orang-orang di sekitarnya menepuk-nepuk balon dengan penuh semangat. Demi apa aku di sini? Ngerti basket juga kagak. Diliriknya Abi yang sedang menepuk-nepuk kedua balon tepuknya dengan semangat 45, Kevin melihat ke bawah, rupanya Ray baru saja mencetak skor. Kapan selesainya sih ini? Baru saja Kevin bertanya-tanya kapan pertandingan akan berakhir, mendadak wasit meniup peluit panjang. Akhirnya. Abi menoleh ke arah Kevin dengan wajah gembira. Anak ini seperti balita baru membuka kado natal. Di bawah sana seorang MC keluar diikuti maskot acara, mereka mengalihkan perhatian penonton sementara staf yang lain menyiapkan panggung dan segala tetek bengek untuk acara penghargaan dan penyerahan medali. ‘Thanks ya udah nemenin hari ini. Kev Kev keren deh, ntar mau makan apa? Aku traktir,’ Mata Kevin menyipit; ‘Sogokan nih?’ ‘Yeeee, kalau sogokan sih kemaren sebelum nonton traktirnya. Makan ke mana aja lah aku traktir, serius.’ Abi mengangguk mantap. Kevin menengok sekeliling, perhatian penonton kini terpusat di panggung yang terletak di tengah-tengah lapangan. Pemain satu-persatu menaiki panggung untuk mendapatkan medali, tidak terkecuali Ray. Akhirnya semua rangkaian acara ditutup dengan penampilan band kampus. ‘Hotpot ya?’ tanya Kevin ketika penampilan band-nya berakhir dan vokalisnya melambai mengucapkan selamat tinggal . Abi melihat jam tangannya sejenak kemudian mengangguk. ‘Oke, sip. Hotpot langgananmu jam segini baru buka kan?’ Kevin mengangguk, sekarang baru jam 5 sore, mengantri keluar stadion ditambah perjalanan ke restoran paling lama satu jam, masih amat sangat cukuplah untuk nongkrong dan menikmati berbagai irisan daging dan seafood dalam sup yang panas, nyam nyam nyam. ‘Ini ada hubungannya dengan Ray ga sih?’ tanya Kevin tiba-tiba. Abi yang mengedarkan pandangan ke sekelilingnya—penonton berjubel untuk keluar stadion sedangkan Kevin dan Abi memilih untuk menunggu agar bisa keluar dari stadion tanpa harus ikut berdesakan—sontak menoleh ke arah Kevin. ‘Maksudnya?’ ‘Ya…. Kali aja akan ada nonton basket jilid 2 gitu?’ Abi terbahak; ‘Ini final, which is only happen once. Nggak ada final kedua, aneh-aneh aja deh.’ Kevin ber-oh panjang sebelum bertanya kembali ketika sesuatu mendadak terlintas di kepalanya. ‘Apa ini untuk merayakan sesuatu? Timnya Ray menang?’ Abi menatap Kevin dengan ternganga tidak percaya. ‘Kau nggak liat pertandingannya? Ngapain saja dari tadi duduk di situ?!’ Kevin nyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal sementara Abi memelototinya sambil mengomel. ‘Ini bukan hanya timnya Ray, ini kampus kita Kev! Gimana si—‘ ‘Udah ah, keluar aja yuk, udah mulai sepi nih,’ potong Kevin sambil bangkit dari bangku, meninggalkan dua balon tepuk di sana. ‘Yuk,’ katanya lagi, kali ini sambil meraih tangan Abi yang ogah-ogahan, masih cemberut dia. ‘Nyebelin,’ gerutu Abi sambil mencubit lengan Kevin. ‘Tapi masih jadi kan traktirannya?’ tanya Kevin sambil meringis menahan sakit. Keduanya mulai menaiki tangga keluar stadion. ‘Kalo masalah makan saja pasti serius,’ Kevin tertawa. Benar saja, begitu keduanya menapak keluar stadion, hari sudah mulai gelap. ‘Perlu pesan tempat nggak?’ tanya Abi. Sekarang bukan akhir minggu, tapi restoran selalu ramai pelangan, pesan tempat ga ada salahnya juga ya? ‘Boleh,’ jawab Kevin sambil menuju mobilnya sementara Abi mengeluarkan ponsel, mulai menelepon restoran untuk memesan tempat. ‘Untung kita memesan tempat,’ kata Abi sambil masuk mobil dan segera memasang sabuk pengaman. ‘Kok untung?’ tanya Kevin. Ia mulai menyalakan mesin, bersiap untuk meninggalkan pelataran parkir. ‘Kata Tante Lina akan ada satu grup yang nyaris memesan semua tempat,’ jelas Abi. ‘Wah serius? Supnya enak sih, nggak heran kalau banyak yang suka makan di sana, murah pula kan?’ Abi mengangguk setuju. Mobil telah meninggalkan lapangan parkir stadion, membelah padatnya lalu lintas kota. Abi menggumamkan sebuah lagu tak dikenal dari radio sambil memperhatikan keluar jendela. Dia benar-benar gembira. Sebegitu kuatkah pengaruh seorang Ray untuk Abi? Dada Kevin berdesir tidak enak memikirkan hal itu. ‘Hei Bi,’ panggil Kevin. Abi masih menggumamkan lagu ketika menoleh, ‘Hm?’ ‘Apa yang kau suka dari Ray?’ ‘Huh?’ Restoran ‘Apa yang kau suka dari Ray,’ ulang Kevin. ‘Ini suka yang termasuk idol-crush atau kau beneran naksir dia?’ ‘Ngomong apaan sih?’ Abi bertanya balik heran dengan topik yang dibicarakan Kevin. ‘Cuman perhatian aja, soalnya teman baikku rasanya terlalu gembira untuk sebuah momen yang bukan milliknya.’ Abi menatap Kevin dengan pandangan bingung. Ini anak ngomong apa ya? ‘Kalo timnya Ray yang menang kan seharusnya dia yang gembira, bukannya dirimu,’ Kevin menujurkan lidah. ‘Udah saatnya kau nyari pacar Kev, biar nggak iri sama kesenangan orang lain,’ ejek Abi. ‘Lagi pula, aku juga berhak kali, ini untuk merayakan kemenangan TIM KAMPUS KITA!’ ‘Iya soalnya Mas Ray ada di tim kan?’ Saling ejek terus berlanjut hingga tanpa disadari mereka sampai di restoran hotpot langganan Kevin. Restoran terlihat sepi, padahal katanya ada grup yang akan makan di sini? ‘Selamat datang,’ seorang pegawai restoran menyapa mereka begitu Kevin dan Abi membuka pintu kaca. ‘Sudah pesan tempat?’ ‘Iya, satu meja atas nama Abi,’ Abi mengangguk kepada pegawai restoran. ‘Satu meja atas nama Abi.’ Kata pegawai itu pada temannya yang berada di balik konter. ‘Ya, meja 00.’ Kata si pegawai mengkonfirmasi dari balik konter. ‘Mari silakan lewat sini,’ pegawai yang menanyakan meja Abi dan Kevin menyilakan mereka berdua untuk mengikutinya ke meja kemudian ia menarik kursi untuk Abi sebelum menyerahkan buku menu. ‘Mau pesan per-set atau ala carte?’ tanya si pelayan. ‘Per-set sajalah biar gampang, 2 set ya,’ kata Abi. ‘Tambah seafood-nya masing-masing 1,’ tambah Kevin. ‘Minumnya?’ ‘Evian aja yang besar.’ Pesan Kevin. ‘800 ml?’ tanya si pelayan memastikan. ‘Boleh,’ ‘Aku jus melon ya, terima kasih.’ Si pelayan mengangguk. ‘Baiklah, kami akan menyiapkan pesanan Anda mohon ditunggu sejenak.’ Abi dan Kevin mengangguk dan kembali mengucapkan terima kasih ketika pelayan meninggalkan meja mereka. ‘Sepi ya,’ kata Kevin sambil melihat sekeliling. Selain meja mereka, hanya ada dua meja lain yang terisi, sepasang kakek nenek di satu meja dan tiga orang cewek di meja yang lain. ‘Padahal tadi Tante Lina bilang “aduuuh untung kamu cepet pesen tempat, udah di pesen grup lho”.’ Abi menirukan suara Tante Lina, si pemilik restoran. Kevin tertawa. ‘Mungkin mereka belum datang?’ Restoran ini memang cukup terkenal, selain karena harganya yang cukup terjangkau dan pilihan menu filling yang beragam, sup di sini memang nomor satu! Resep keluarga kata Tante Lina ketika Abi bertanya, rahasia sup hotpot-nya yang enak. Sayangnya lagi, restoran ini termasuk kecil jika dibandingkan restoran-restoran saingannya. Pernah Abi mengusulkan untuk merenovasi restoran dan menambah ruangan, namun Tante Lina enggan melakukannya dengan alasan, semakin besar restoran beliau makin susah untuk mengontrol kualitas menu yang disajikan. Ada benarnya juga sih. Abi mengangguk-angguk membenarkan ucapan Kevin, namun belum lagi gadis itu mengatakan sesuatu, dua orang pelayan datang sambil mendorong troli berisi pesanan mereka berdua. Kedua pelayan dengan cepat meletakkan piring-piring berisi sayuran, irisan daging, jamur, dumpling. Aneka seafood dan tentu saja, panci keramik yang dibagi dua, sebagian untuk sup hotpot dan sebagian yang lain untuk rebusan kerang dan kawan-kawannya. Hmm yum yum…. Kevin nyaris tidak bisa menyembunyikan tawanya ketika Abi dengan tidak tahu malu mengendus-endus aroma yang ditawarkan oleh panci dengan kuah mendidih di depannya. ‘Silakan menikmati,’ kata salah seorang pelayan—yang disambut anggukan super antusias dari Abi—sebelum berbalik dan mendorong troli meninggalkan meja Kevin dan Abi. ‘Kupikir yang suka hotpot adalah aku?’ pertanyaan Kevin menghentikan sejenak upaya Abi untuk mulai menyerang piring dumpling. Gadis itu menyeringai lebar sambil mengacungkan sumpitnya. ‘Justru itu. Kalau aku nggak cepet-cepet bisa-bisa cuman kebagian cangkang kerangnya.’ Kata Abi sambil menjulurkan lidah. Kevin tertawa sambil bangkit dari kursi, mencondongkan tubuhnya melalui meja dan mengacak rambut Abi. Cewek itu bahkan tidak seperti biasanya yang selalu marah ketika rambutnya diacak-acak, kali ini ia membiarkan Kevin dan melanjutkan memasukkan dumpling, sayuran dan daging ke dalam sup. Untuk sesaat baik Kevin maupun Abi tidak ada yang bicara, keduanya tenggelam dalam kenikmatan masing-masing. Yang terdengar hanyalah suara Kevin mencucup kerang-kerang atau suara ribut Abi yang kepanasan hingga terdengar suara ribut yang lain dari pintu masuk. Sebenarnya Kevin tidak peduli dengan suara ribut di belakangnya—pintu masuk memang berada di lurus di belakang tempat Kevin duduk—kalau saja Abi bersikap baik-baik saja. Apa Abi sedang tidak baik? Ya. Gadis itu tengah membuat suara lenguhan tidak jelas dan menggeser-geser tubuhnya seolah menghindari sesuatu. ‘Kenapa sih?’ tanya Kevin bingung, kedua tangannya sedang sibuk menarik putus tubuh udang dengan ekornya. Abi tidak menjawab hanya membuat ekspresi-ekspresi aneh, belum sempat Kevin menoleh ke belakang Abi mengangkat wajah dan tersenyum kaku, sejurus kemudian gadis itu kembali membuat ekspresi merana. Tidak tahan dengan keanehan Abi, Kevin melihat ke balakang, ia nyaris tersedak ekor udang yang tengah diemut-nya. Ray dan teman satu tim-nya berada di maja yang diperuntukkan grup yang tadi dibilang oleh Tante Lina. Oh my. Kayaknyadiasukasamaaku Sejak kejadian di restoran Tante Lina, Kevin mencatat dalam hati kalau ada yang berubah dalam diri Abi. Ia masih ingat betul ketika Abi berubah menjadi kaku dan ceroboh saat meninggalkan restoran malam itu. Cewek itu bahkan sampai menabrak punggung Kevin yang tengah membuka pintu—Abi berjalan seperti robot dan menunduk, ia tidak tahu kalau Kevin berhenti di depannya. Hari ini pun sama, Kevin terbangun ketika mendengar suara keriat-keriut di luar jendelanya, padahal ini hari Minggu, hari di mana ia seharusnya tidur sampai sore. Kevin bangun dengan mata masih keriyip-keriyip, membuka gorden dan gerendel kemudian melongok ke luar jendela, menjulurkan kepalanya ke bawah—kamar Kevin terletak di lantai dua. Ternyata Abi sedang bermain ayunan di bawah pohon jambu air. ‘Heh, pagi-pagi udah ngungsi ke pekarangan orang, nggak baik tau,’ Kata Kevin. Abi memperlambat ayunannya dan mendongak. ‘Ya, selamat pagi juga untukmu Kev,’ Kevin nyengir kuda tapi masih tidak beranjak dari jendela dan mengulang sapaannya. ‘Selamat pagi Abigail.’ ‘Selamat pagi Kevin. Hari Minggu yang cerah ya?’ Kening Kevin mengerut seketika, ini anak bener-bener kerasukan deh. Hiyyyy ‘Kau baik-baik aja kan?’ tanya Kevin khawatir, kalau sampai teman satu-satunya itu bermasalah kan berabe, di kompleks ini yang seumur hanya Abi, yang di bawah malah banyak, itu anak-anak SD dan TK, masa ia harus berteman sama mereka kan nggak banget. Momong dong nanti jadinya? ‘Sangat baik, Kev! Mau sarapan? Mau aku traktir bubur ayamnya Bang Hadi?’ Nah ini. Kalau begini Kevin musti curiga apa Abi benar-benar sehat dan waras atau tidak, soalnya Abi ini punya seribu satu alasan untuk tidak makan bubur ayam, atau apapun yang judulnya bubur. Alasannya kebanyakan tidak masuk akal pula, mulai seperti orang malas karena tidak mau mengeluarkan tenaga untuk mengunyah, membuat orang lembek, sampai seperti orang sakit. Pernah suatu ketika, Abi ngotot tidak mau makan bubur ayam padahal hanya itu makanan yang tersedia dalam jarak yang memungkinkan tanpa harus berjalan kaki keluar komplek. Namun akhirnya Abi menyeret Kevin untuk pergi ke supermarket terdekat dan memborong mi instan, padahal bubur jauh lebih sehat kan? ‘Kau menakutiku Bi,’ ‘Heh, emang aku hantu?’ tanya Abi dengan nada tersinggung. Cewek itu sudah berhenti main ayunan dan berdiri berkacak pinggang. ‘Udah deh, buruan sana mandi! Keburu habis loh buburnya.’ Kevin nyengir dan menghilang dari balik jendela sementara Abi kembali duduk di ayunan sambil mengayun perlahan, menikmati hari Minggu pagi yang cerah ceria, secerah hati Abi saat ini tentu saja. Tidak lama kemudian, Kevin kembali muncul di pintu depan, sudah berganti baju, wajah segar lengkap dengan topi baseball yang menjadi ciri khasnya. Abi yang masih mengayun pelan akhirnya menghentikan ayunan dan menghampiri Kevin. ‘Yuk,’ kata Abi sambil menggandeng lengan Kevin. Keduanya menyusuri jalanan komplek yang ramai. Beberapa mobil warga terparkir rapi di bahu jalan sedangkan jalan dipenuhi anak-anak yang bermain-main dengan hewan kesayangannya. ‘Hari Minggu, jalanan berubah jadi playground ya,’ komentar Abi yang disetujui Kevin. Sebuah bola sepak meluncur ke arahnya diikuti teriakan dari kejauhan. ‘Kak, tolong sepak ke sini!’ Nathan, anak tetangga sebelah sedang bermain sepak bola di jalan bersama-teman-temannya. ‘Oke, siap ya~’ Kevin menendang bola membuat Nathan dan teman-temannya berteriak kegirangan. ‘Kak ayo ikut main,’ teriak Kris. ‘Aku mau sarapan,’ Kevin berteriak balik dan melanjutkan jalan diikuti Abi. ‘Kangen juga kadang-kadang main sama mereka, tapi rasanya udah terlalu tua.’ ‘Dasar sok,’ Abi menjitak kepala Kevin. ‘Umurmu baru berapa sih? Kevin tertawa. Warung Bang Hadi cukup sepi untuk ukuran hari Minggu. Hanya tinggal beberapa orang yang makan di dalam dan tidak ada yang mengantri untuk dibawa pulang. ‘Tumben Bang udah sepi,’ tanya Abi begitu menjejakkan kaki di pintu warung. ‘Ini sudah jam berapa Non?’ Bang Hadi bertanya balik sambil menunjuk jam dinding di belakangnya. Abi nyengir ketika melihatnya, hampir jam 11 siang, pantas sepi. ‘Ini mau dimakan di sini atau dibawa pulang?’ tanya Bang Hadi sambil mengambil dua mangkok dari rak, bersiap-siap meracikkan bubur ayam. Abi menoleh ke arah Kevin, bertanya tanpa mengeluarkan suara. ‘Dimakan di sini aja lah. Bang Hadi tutupnya masih lama kan?’ tanya Kevin. ‘Kenapa memangnya?’ tanya Bang Hadi heran. ‘Ya, kali aja aku mau molor dulu sambil nungguin Abi makan, kan dia kalo makan lama Bang,’ ‘Hei!’ teriak Abi membuat semua orang yang ada di warung menoleh ke arahnya. Bang Hadi tertawa lalu melanjutkan meracik bubur ayam. ‘Sudah sana kalian cari tempat duduk dulu.’ Perintah Bang Hadi. Kevin yang masih tertawa berjalan masuk dan duduk di pojok belakang, agak jauh dari pelanggan yang lain sementara Abi mengekor di belakangnya dengan kepala tertunduk, malu setelah mengundang perhatian pelanggan lain dengan teriakannya tadi. ‘Seneng ya bisa mempermalukan orang,’ sungut Abi sambil menjatuhkan diri di kursi di depan Kevin. ‘Ati-ati, itu kursi plastik, kalo sampe patah malunya dobel tuh.’ Kata Kevin membuat Abi semakin cemberut. ‘Udah, nggak usah cemberut lagi, jelek ah,’ goda Kevin namun belum sempat Abi membalas, Bang Hadi datang dengan dua mangkok bubur. ‘Ndak usah bertengkar lagi, ini dimakan,’ kata Bang Hadi sambil meletakkan bubur masing-masing di hadapan Abi dan Kevin. Keduanya menggumamkan terima kasih sebelum Bang Hadi buru-buru kembali ke depan karena ada pelanggan yang akan membayar. Sedikit demi sedikit bubur di mangkok Kevin berpindah dari sendok ke mulutnya tanpa menghiraukan kenyataan bahwa bubur itu masih panas, sedangkan Abi masih sedikit bersabar, gadis itu hanya mengaduk-aduk buburnya sembari sesekali menyendok hanya di ujung, mencecapnya dengan berjengit. Panas. ‘Jadi, bisa diceritakan kenapa kau mengajakku makan bubur? Bukannya makan bubur itu kayak orang sakit?’ tanya Kevin. Abi mendongak dan sedikit melongokkan kepalanya, melihat mangkok bubur Kevin yang sudah tinggal separuh sedangkan miliknya nyaris masih utuh. Apa tenggorokannya anak itu terbuat dari besi tahan panas? Ia mengerucutkan bibir sebelum menjawab pertanyaan Kevin—dengan ragu-ragu. ‘Ray…. Diakayaknyasukasamaaku.’ Jawab Abi dengan cepat. Dilema ‘Huh?’ Kevin menatap Abi bingung. Ngomong apa dia? ‘Jadi….’ Abi mengaduk-aduk buburnya dan melanjutkan dengan suara kecil. ‘Kemarin Ray mengajakku nonton,’ ‘Oh…. Lalu?’ Abi tidak menjawab, hanya mengeleng pelan. ‘Emang, kapan Ray ngajak nonton?’ tanya Kevin. ‘Besok malem minggu,’ jawab Abi kalem. ‘Nah kenapa nggak mau?’ tanya Kevin lagi. ‘Kapan aku bilang nggak mau?’ Abi bertanya balik. Kevin menatap Abi dengan muka datar. Belakangan ini Abi memang aneh. ‘Lha tadi geleng kepala buat apa?’ ‘Nggak tau….’ Erang Abi sambil menelungkup di meja—mangkok buburnya sudah disingkirkan ke samping. ‘Wah jadi ini serius ya,’ tanya Kevin, ia pun meninggalkan buburnya sejenak dan bersandar ke sandaran kursi, memperhatikan Abi dengan senyum dikulum. Abi mendongak, maksudnya? ‘Ini bukan sekedar idol-crush aja. Waah Abi udah mulai naksir cowok ya….’ Abi menghela napas kesal. ‘Udah deh, nggak usah godain,’ Kevin tertawa. ‘Oke, oke. Jadi gimana nih? Kau sendiri, suka nggak sama Ray?’ ‘Yaaa…. Gimana, dia keren sih kalo main basket….’ ‘Ya elah Bi, mau pacarin orangnya apa gayanya main basket?’ Lagi-lagi Abi menggeleng. ‘Nggak tau…. Kalau menurutmu gimana?’ ‘Aku?’ Abi menggangguk dengan kepala masih menempel di meja. ‘Sori ya, gini-gini aku masih suka cewek.’ Abi spontan mengangkat kepalanya. ‘Maksudku kalau kau jadi aku idiot!’ ‘Kalo itu nggak tau juga,’ Kevin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. ‘Aku lebih cakep dari Ray sih,’ Abi mendengus. ‘Maksudnya aku kudu pacaran sama situ?’ ‘Ya, kalo situ mau sih,’ Kevin mengedipkan matanya sebelah dan Abi pura-pura muntah. ‘Nggak asik ah. Rugi nih dua mangkok bubur. Kepalaku malah tambah pusing!’ Abi bangkit dan meninggalkan kursinya. ‘Hei, hei…. Kok kabur? Buburmu gimana nih?’ ‘Makan aja!’ teriak Abi, cewek itu menghampiri Bang Hadi yang sibuk mencuci mangkok dan mengulurkan selembar dua puluh ribuan. ‘Bayar Bang,’ ‘Kok udah pulang? Kan Kevin belum selesai tuh?’ tanya Bang Hadi. ‘Biarin! Dia nyebelin, untung aku masih tepat janji buat bayarin makannya,’ kata Abi sambil merengut. ‘Healah begitu saja lho kok ngambek, biasanya Kevin juga nyebelin kan?’ Abi mencebik dan berpamitan. ‘Udah ah, aku pulang ya Bang,’ Bang Hadi melambaikan tangan. ‘Iya, hati-hati.’ Sementara Kevin hanya memandangi Abi yang meninggalkan warung, dalam hati bertanya-tanya seberapa serius perasaan suka Abi pada Ray dan kenapa ia semakin tidak suka dengan ide Ray yang juga menyukai Abi? *** Selama dua hari Abi mendiamkan Kevin, rupanya gadis itu benar-benar kesal karena Kevin malah menggodanya dan tidak memberikan solusi atas masalahnya. Telepon Kevin tidak pernah dijawab, begitu juga dengan pesan-pesannya, hanya dibaca tanpa dibalas. Tentu hal ini membuat Kevin kelimpungan, ia tidak terbiasa tanpa kehadiran Abi, hidupnya terasa sepi, tidak ada yang diajak bertengkar, tidak ada yang merecokinya saat melukis. ‘Hari Jum’at,’ gumam Kevin. Berarti Abi akan kencan besok, jadi ga ya? Sebaiknya sih nggak jadi—eh? Pergulatan batinnya mengejutkan Kevin sendiri, kenapa ia tidak suka dengan ide Abi kencan dengan Ray besok? Tapi…. Alasan ia tidak suka Ray karena cowok itu punya potensi mencuri teman baiknya kan? Bukan karena alasan yang lain, ia menyukai Abi misalnya? Kevin tersedak ludahnya sendiri ketika menyadari hal itu. Menyukai Abi? Masa? Mereka berdua telah bersama-sama sejak bayi, bahkan lahir pun di rumah sakit yang sama, rumah bersebelahan, sekolah dari playgroup sampai kuliah bersama-sama. Baru terpisah kelas sejak kelas dua SMA hingga sekarang—walaupun untuk beberapa mata kuliah mereka masih sekelas. Sebagai catatan tambahan mereka belum pernah benar-benar pacaran, untuk Abi, ibu Abi tidak mengijinkan putrinya berpacaran sebelum lulus SMA. Dan jika Ray ini benar-benar terjadi, maka cowok itu akan menjadi pacar pertama Abi. Kevin sendiri? Cowok itu mengerang di kursinya, sekarang ia baru menyadari kalau dirinya juga belum pernah punya pacar. Teman cewek sih banyak tapi yang menyita waktunya sebanyak Abi, belum ada. Hanya Abi. Kevin meninggalkan meja belajar dan berjalan ke jendela, niatnya untuk belajar menguap seketika. Melalui jendelanya ia bisa melihat kamar Abi yang juga masih terang—rumah mereka sama-sama di pojok blok masing-masing hanya terpisahkan jalan berpaving. Abi ngapain ya? Kevin meraih white board kecil yang diletakkan menyandar di tembok di bawah jendela, ia menulis; Lagi ngapain? Kemudian memeganginya di kusen jendela, menuggu dan berdo’a Abi muncul di jendela kamarnya seperti biasa—sejak kemarin pun Abi tidak terlihat bermain-main di jendela seperti biasanya. Agaknya Tuhan menjawab do’a Kevin ketika Abi melakukan sesuatu dengan gordennya, sepertinya ada kait yang tersangkut ke kait lainnya dan pada akhirnya ia menyadari ada Kevin berdiri di jendela kamarnya di sana. Kevin tahu Abi membaca white board-nya kerena air muka gadis itu berubah. Abi cemberut, Kevin tersenyum, Abi makin cemberut dan Kevin tertawa. Abi menunduk dan meraih white board miliknya yang juga diletakkan di bawah jendela lalu menulis sesuatu untuk diperlihatkan pada Kevin. Udah punya nyali bicara denganku? Satu alis Kevin terangkat naik. Sori Kevin menulis dan memperlihatkannya pada Abi. Abi mencebik. Kevin menurunkan white board-nya dan menghapus dua tulisan pertama untuk menggantinya dengan tulisan baru. Jadi nontonnya? Ga tau -.- Abi meletakkan dahinya ke tepi white board yang dipegangnya. Putus asa. Apa kau mau aku ikut? Tulis Kevin selanjutnya, langsung membuat Abi mendelik. Ikut? Dengan cepat Kevin menghapus tulisan yang lain dan menggantinya dengan yang baru. Lha kayaknya ragu-ragu terus gitu? Kau bukan cewek sih? Tulis Abi. Lalu tanpa pikir panjang Kevin menulis balasan yang langsung di sesalinya. Lah kalo suka ya pergi aja kok repot? Ngomong sama sama tembok emang bikin emosi! Dengan cepat Abi menurunkan white board dan kedua tangannya meraih ujung-ujung gorden, menutupnya dengan marah. ‘Lho, lho Bi! Abi?!’ teriak Kevin dari jendela seberang. Namun Abi tidak peduli dan membiarkan gordennya tetap menutup. Kevin menghela napas, sialan. Setelah menunggu beberapa saat dan Abi sepertinya tidak akan membuka gorden kembali dalam waktu dekat, Kevin akhirnya kembali ke dalam, menjatuhkan diri ke kasur. Cewek emang susah dimengerti! Kayaknya aku salah ngomong ke aku sendiri deh, lah kenapa dia yang marah? Kalo emang dia suka ya udah sana pergi. Tapi emang aku ga suka sih dia pergi nonton sama Ray. Kalo mau nonton sama aku juga bisa kan? Kevin menghela napas dan meraih white board-nya Jangan pergi Kemudian meletakkannya di jendela sedang ia sendiri kembali ke kasur, kembali memikirkan percakapan mereka barusan, juga pesan yang ia tulis di white board. Kok aku kayak ABG yang labil ya? Tadi bilang silakan pergi tapi sekarang bilang jangan pergi. Apa hakku melarang Abi pergi? Argh…. Kevin bangkit lagi dan menurunkan white board-nya. Gorden kamar Abi masih tertutup hanya sedikit menggembung ketika tertiup angin. Semoga Abi tidak membaca tulisan tadi! Tangannya menjulur meraih ponsel di bawah bantal dan mengirim pesan pada Abi sebelum ia berubah pikiran walau ia tahu akan menyesalinya nanti, namun untuk saat ini, ia merasa inilah tindakannya yang paling benar untuk dilakukan. Pergi lah nonton, ambil kesempatan selagi bisa. Banana Split Kevin memperhatikan detil wajah gadis yang sedang tertidur di jendela yang terbuka di depannya. Alisnya yang rapi, bulu matanya yang lentik, pipinya yang bersemu merah dan rambutnya yang hitam legam. Entah sejak kapan tapi belakangan ini salah satu kegiatan favorit Kevin adalah memandangi wajah gadis dihadapannya tersebut. Ia tidak pernah bosan melakukannya lagi dan lagi. ‘Creepy,’ begitu Abi pernah bilang ketika memergoki dirinya menatap Abi tanpa berkedip. Ya gimana, Abi cakep sih. Dan pertanyaannya, kenapa Kevin baru sadar sekarang? Nah. Tangan Kevin terulur menyibak anak-anak rambut Abi yang menutupi sebagian wajahnya. Wajahnya kala tertidur benar-benar tenang dan damai, jauh dari kesan Abi yang cerewet dan tidak bisa diam. Di tengah-tengah keasyikannya memperhatikan wajah Abi, gadis itu perlahan-lahan bergerak bangun. ‘Nggak ada kerjaan lain selain ngeliatin orang tidur?’ tanya Abi, karena begitu matanya terbuka hal pertama yang dilihatnya adalah Kevin yang tengah menatapnya. ‘Kau sendiri? Apa serunya sih tidur di jendela?’ Kevin bertanya balik. ‘Cobalah sendiri kalau ingin tahu,’ kata Abi sambil meregangkan kedua tangan dan punggungnya. Ugh, lumayan capek juga tidur dengan punggung terbungkuk. ‘Pengin sih, tapi aku takut diculik orang,’ seloroh Kevin, cowok itu melompat masuk dari jendela begitu Abi beringsut minggir. Abi menatap Kevin dengan pandangan ganjil, diculik? Serius? Memang apa untungnya menculik ikan teri macam dia? Dijual pun dagingnya nggak ada yang ada hanya merepotkan apalagi itu bocah itu doyan makan, oh tidak, rakus lebih tepatnya. ‘Rumahmu sepi amat?’ tanya Kevin sambil celingukan ke kiri-kanan, kedua orang tua Abi tidak tampak berada di dalam rumah. ‘Mereka belum pulang,’ jawab Abi. Gadis itu berdiri, melipat selimut dan melemparkannya ke kepala Kevin. ‘Aku mau minum, kau mau apa?’ ‘Banana split,’ jawab Kevin asal, selimut di kepalanya dibiarkan begitu saja tidak dipindah tau diturunkan. Jawaban Kevin membuat Abi yang telah berjalan setengah jalan ke dapur berbalik dengan alis terangkat. ‘Sepertinya aku yang baru bangun tidur tapi kenapa kau yang mabok?’ Banana split bukan termasuk jenis minuman kan? ‘Aku pengin banana split,’ kata Kevin ngotot. Mengabaikan Kevin, Abi melanjutkan niatnya mengambil air minum. Membuka kulkas pandangan mata Abi langsung tertumbuk pada satu sisir pisang di salah satu rak-nya. Lucky bastard. Abi memotong dua buah dan mengirisnya tipis-tipis, dua scoop besar ice cream diletakkan begitu saja di atas irisan pisang. Nggak perlu dihias atau ditata, hanya untuk si rakus Kevin ini sih. Abi membuka kabinet tempat ia menyimpan snack, tidak ada wafer roll atau choco chip. Dalam hati mencatat kalau ia harus membeli dua snack itu di jadwal belanja nanti. Menegakkan tubuh dan menutup kabinet, Abi mengeluh dalam hati, masa hanya plain pisang sama ice cream sih. Namun mendadak ia menyeringai lebar begitu melihat tiga stoples yang penuh dengan gingerbread. Hehe… Masih dengan seringai lebar di wajahnya, Abi kembali ke ruang tengah di mana Kevin dengan damainya telentang di sofa, masih dengan kepala tertutup selimut yang dilempar Abi tadi. Gadis itu menyibak selimut yang menutupi kepala dan wajah Kevin, menjitak dahinya. ‘Ow!’ pekik Kevin, ia meloncat bangun seraya mengusap dahinya. ‘Apaan sih!’ ‘Tuh,’ Kening Kevin sontak terlipat-lipat ketika melihat sebuah mangkuk besar berisi irisan pisang dan ice cream yang berantakan duduk manis di meja sebelahnya duduk sementara yang punya rumah berdiri berkacak pinggang di depannya. Kevin menatap mangkuk dan Abi bergantian untuk beberapa saat, ini serius bisa dimakan? Kevin berani bertaruh ini adalah banana split yang paling menjijikkan yang pernah ia temui. Ia bahkan tidak tahu apa ini bisa disebut banana split atau bukan. Sebenarnya yang membuat mangkuk di hadapannya itu terlihat menjijikkan bukanlah karena irisan pisang yang ditimpa ice cream, melainkan karena beberapa gingerbread yang ditancapkan di atas ice cream, lebih buruk karena Abi berdiri dengan gaya yang sama seperti para gingerbread tersebut, berkacak pinggang dengan senyum lebar. Saat ini ia benar-benar membayangkan Abi menginjak-injak ice cream-nya. Ugh gross. ‘Kenapa? Tadi katanya pengin banana split?’ tanya Abi. ‘Iya tapi apa ini?’ Kevin mengambil satu gingerbread dan menunjukkannya ke Abi. ‘Mana ada banana split pakai ginian? Pakai wafer roll kek atau mesis gitu.’ ‘Nggak ada, habis semua. Mau nggak? Aku buang nih kalo nggak mau,’ ancam Abi. ‘Heeeh, nggak boleh buang-buang makanan.’ ‘Ya udah makan! Udah minta, masih protes.’ Gerutu Abi, gadis itu menjatuhkan diri di samping Kevin dengan wajah cemberut, walau dalam hati tertawa guling-guling. ‘Gingerbread-nya buat kamu ya,’ ‘Ogah!’ tolak Abi serta merta. ‘Banyak protes aja, aku buang beneran nih,’ ‘Iya, iya. Ini aku makan.’ Kata Kevin menyerah, memang sayang juga sih kalau banana split sebanyak ini dibuang. Sedang ia tahu benar, sekali Abi mengatakan sesuatu dia pasti melakukannya, dengan kata lain, gadis itu tidak pernah menggertak. Kalau dia bilang buang, pasti akan dibuang, kan sayang. ‘Kau sengaja kan?’ tanya Kevin. Abi hanya nyengir lebar sebagai jawaban. ‘Heran ya, otakmu bisa sejahat itu,’ ‘Nggak usah banyak omong, aku buang nih,’ ‘Nggak usah ngancem-ngancem, kulempar kau keluar juga nih,’ ‘Berani ngelempar aku?’ tantang Abi. ‘Kenapa enggak?’ Abi menatap Kevin dengan wajah dongkol, ini anak nyebelin banget deh. Tanpa banyak omong Abi bangkit, meninggalkan Kevin yang sibuk memindahkan ice cream dari mangkok ke mulutnya. ‘Hei Bi, becanda Bi. Masa gitu aja marah, Abi!’ Tidak mengindahkan seruan Kevin, Abi meninggalkan ruang tengah dan menghilang di balik rak buku. Kevin menghela napas, Abi kenapa sih? PMS apa ya? Sensitif amat dan nggak jelas juga. Harusnya kan aku yang marah karena dikerjai, walaupun ternyata banana split featuring gingerbread ini nggak buruk juga. Memutuskan untuk mencari Abi sambil menimbang-nimbang perlu tidaknya ia minta maaf—walau dia tetap berpendapat dirinya tidak salah—Kevin mengangkat mangkuk banana split dan berdiri, mencari Abi. Ternyata gadis itu bersimpuh di lantai berkarpet, sibuk membungkus kado Natal. Untuk beberapa saat Kevin hanya memperhatikan Abi dan kesibukannya, tanpa sadar ia memperhatikan sekeliling, seketika ia menyadari perbedaan suasana rumah Abi dan mungkin saja ini menjadi penyebab mood Abi yang tidak menentu. Rumah Abi terlihat adem ayem, sangat jauh berbeda dengan rumahnya. Di pojok ruangan di bawah tangga, telah berdiri pohon natal namun masih telanjang, tidak ada satu pun ornamen natal yang tergantung di sana. Mendadak Kevin bertanya-tanya, apa tadi Abi tertidur karena kelelahan mendirikan pohon natal seorang diri? Kadang-kadang orang tua Abi memang keterlaluan, keluh Kevin dalam hati. ‘Ternyata kau di sini,’ kata Kevin sambil duduk di samping Abi. ‘Jauhkan mangkokmu,’ perintah Abi ketus. ‘Iya tahu, aku juga nggak berniat meletakkan ini di sini kok,’ kata Kevin sambil meletakkan mangkoknya di meja kopi di pojok. Kedua matanya menyapu ruangan, mencari-cari sesuatu yang bisa mencairkan keketusan Abi dan Kevin menemukan barang yang dicarinya berada tepat di belakang pohon natal, sebuah kotak kardus besar berisi ornamen natal. Kevin mengeluarkan satu per satu oranamen di dalam kardus dan memilahnya, ia menghias pohon natal dalam diam. ‘Hei Bi,’ panggil Kevin. Abi mendongak begitu mendengar panggilan Kevin. Gadis itu ternganga. Di depannya separuh dari pohon natalnya telah tertutup berbagai hiasan. ‘Heh, jangan diam saja, sini bantu aku, aku nggak bisa menghias dan mengambil oranamen sendirian,’ Seketika sebuah senyum mengembang dari bibir Abi, dengan cepat gadis itu bangkit dan membantu Kevin menghias pohon natalnya. Tidak butuh waktu lama untuk semua ornamen-ornamen yang semula tersimpan di kardus berpindah pada pohon cemara imitasi di hadapannya. ‘Kev,’ panggil Abi. Kevin yang tengah memasang lampu di sekeliling pohon menoleh. ‘Yeah?’ ‘Big thanks,’ Kevin nyengir lebar mendengarnya. Begitu Kevin selesai memasang lampu dan mencoba menyalakannya, Abi pun telah selesai menyingkirkan barang-barang yang tidak terpakai ke dalam kardus. Kini gadis itu tengah menata kotak-kotak kado di bawah pohon natal sementara Kevin mengamati hasil kerjanya dengan puas. Lebih puas lagi karena akhirnya ia menemukan penyebab mood jelek Abi sekaligus memperbaikinya, ha! ‘Kenapa kau menyeringai seperti itu?’ tanya Abi dengan alis terangkat. ‘Hehe, nggak apa-apa.’ ‘Ini,’ Abi menyerahkan sebuah kotak berwarna biru muda pada Kevin. ‘Tunggu di sini,’ bukannya menerima kado Abi, Kevin malah berbalik dan berlari melompat keluar jendela, hanya untuk kembali masuk melalui jendela yang sama dengan satu tangan di belakang punggung dan sebuah cengiran lebar di wajah. ‘Apaan nih?’ tanya Abi curiga demi melihat kelakuan Kevin. Kevin mengulurkan kotak kado kecil berwarna merah. ‘Merry Christmas. K & A ‘Boo!’ Abi menoleh seraya mencabut satu earpiece di telinganya. ‘Nggak asyik nih, nggak kaget,’ Kevin merengut, cowok itu meratakan pasir di sebelah Abi dan duduk di sana. ‘Oh! Kev Kev aku hampir mati terkejut!’ Pekik Abi dengan gaya yang dibuat-buat untuk menjawab protes Kevin. ‘Kau seperti kuntilanak,’ Kevin mengacak rambut Abi, terkekeh. ‘Nggak tidur?’ Abi menggeleng, ‘Sayang malam terakhir hanya dipakai untuk tidur.’ Kevin tertawa mendengar alasan Abi. ‘Malam memang seharusnya dipakai untuk tidur, bukannya keluyuran seperti ini.' ‘Mau nungguin sunrise.’ Kevin melihat jam tangannya, baru setengah empat pagi. ‘Masih lama kali,’ Ia mengulurkan tangan, mengambil earpiece yang tadi dilepas Abi dan memasang di telinganya sendiri. ‘Ni he wo de zhe yiqie, xiang yue’er wenhe de hexian, yin butong que hen hexie~’ ‘Kau tahu lagu ini?’ tanya Abi tidak percaya. Karena.... Kevin dan lagu ballad bukanlah kombinasi yang cocok. ‘Kau mendengarnya setiap waktu, kau pikir aku nggak tau. Secara nggak sadar telingaku terbiasa.’ Kevin mengangkat bahu. ‘Wow, unbelievable.’ ‘Heran sih, vocal-nya nggak bagus-bagus amat, kenapa suka banget?’ ‘It’s not about the technique, aku suka kesungguhannya dalam menyanyi. Bukan saat rekaman studio seperti ini tapi saat live.’ ‘Cieeee ada crush baru lagi nih?’ Abi menatap Kevin dengan pandangan ganjil, cowok ini sadar nggak siapa yang sedang dibicarakan? ‘Bisa nggak sih ngomong sesuatu yang masuk akal?’ Kevin tergelak, menggoda Abi memang selalu menyenangkan. ‘Untung ya nggak hujan,’ kata Abi seraya memandang langit di atasnya. Lagu For Life telah berganti dengan Twenty Four, senada dengan suasana malam ini. Langit malam yang bertabur bintang. Kevin dan Abi duduk bersisian dalam diam, Abi masih sibuk mengagumi langit di atasnya, sesekali gadis menggambar rasi bintang di udara dengan jari-jarinya, sesuai dengan rasi apa yang ia lihat. Sedang Kevin hanya memandangi pantai yang gelap di hadapannya. Gemuruh ombak dan buih-buih yang bergulung-gulung datang dan pergi. Hari ini, keluarga Kevin mengundang beberapa teman untuk berlibur menghabiskan malam akhir tahun bersama-sama di vila pantai mereka, tidak terkecuali keluarga Abi. Hari yang luar biasa, setidaknya bagi Abi, menikmati sunset terakhir tahun 2016 bersama keluarga dan teman-teman. ‘Ngomong-ngomong gimana nontonmu waktu itu? Kayaknya kau belum cerita deh,’ tanya Kevin memecah keheningan diantara mereka, cowok itu tengah menusuk-nusuk pasir pantai dengan ibu jari kakinya. ‘Nonton?’ Abi membeo, perhatiannya membuat rasi Ursa minor teralihkan oleh pertanyaan Kevin. ‘Nonton yang waktu itu, yang diajak Ray.’ Jelas Kevin. ‘Ah…. Itu,’ Abi mengangguk-angguk, gadis itu memutar tubuhnya, kini bersila menghadap Kevin yang masih sibuk bermain pasir dengan ibu jari kakinya. Tidak tahu—atau pura-pura—kalau Abi tengah menatapnya. ‘Ya, yang itu.’ ‘Menurutmu?’ tanya Abi. ‘Loh, kok bertanya balik?’ Kevin menoleh dan seketika menelan ludah begitu mendapati Abi tengah menatapnya, lalu membuang muka, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. ‘Ya menurutmu aku jadi nonton nggak?’ tanya Abi, kali ini dengan senyum jahil tersungging. Kevin ini kalau gugup bener-bener macem beruang deh, pengen kantongin! ‘Yang nonton siapa, tanya ke siapa, dasar aneh.’ Kata Kevin, masih menolak untuk bertemu pandang dengan Abi. ‘Serius pengen tahu aku nonton apa enggak?’ goda Abi. ‘Enggak!’ jawab Kevin cepat. Abi tertawa. Untuk sesaat keheningan melingkupi keduanya. Abi telah kembali ke posisi duduknya semula, bedanya kali ini gadis itu menarik kedua lutut dan memeluknya. Ingin rasanya Kevin menonjok mukanya sendiri karena dengan begonya ia memulai pembicaraan yang membuat suasana canggung. Damn you Kev. ‘Ada yang nggak ingin aku pergi tapi nggak berani ngelarang secara langsung. Aku kan baik hati dan tidak sombong, jadi ya…, aku nggak pergi.’ Eh? Abi hanya mengangkat bahu ketika Kevin menoleh ke arahnya. ‘Serius kau nggak jadi nonton?’ tanya Kevin memastikan. ‘Kau mau aku pergi?’ tanya Abi. Kevin menghela napas, frustasi. ‘Kalau aku tanya, jawab dengan jawaban bukan dengan pertanyaan,’ Abi hanya terkekeh melihat ekspresi frustasi Kevin, rasain, emang situ aja yang bisa bikin orang lain frustasi hehe. ‘Anyway, thanks buat kado natalnya. Cantik deh, aku suka.’ Kata Abi mengabaikan protes Kevin barusan. Kevin hanya bergumam sebagai jawaban, agaknya cowok itu benar-benar jengkel merasa dikerjai dan pertanyaannya berlalu tanpa jawaban. ‘Hei,’ panggil Abi. Tidak ada reaksi. ‘Kevin,’ Masih tidak ada reaksi. Poke Sontak Kevin berjingkat kaget ketika ujung telunjuk Abi menusuk pinggangnya. Abi terkekeh. Kevin melotot. Abi tergelak. Abi merogoh saku jaketnya, mengeluarkan kotak kecil berwarna perak, mengulurkannya tepat di depan mata Kevin. ‘Apa ini?’ Kevin sedikit bingung ketika melihat kotak yang diulurkan padanya. ‘Untukmu,’ kata Abi seraya menyorongkan kotak tersebut. ‘Untuk apa? Kado natal sudah kan?’ tanya Kevin bingung walau pada akhirnya ia menerima kotak tersebut. ‘Kado tahun baru? Wah kau murah hati banget Bi,’ Abi mencebik mendengar komentar Kevin. ‘Serius nih Bi, apaan ini?’ tanya Kevin sekali lagi. ‘Buka aja,’ suruh Abi. Ternyata sebuah kalung dengan bandul yang sama seperti milik Abi. Kalung kado natalnya untuk Abi lima hari yang lalu. Bandul karya pengrajin perhiasan langgangan keluarganya. Tentu saja Abi bisa menduga dengan mudah. Kau benar-benar mudah diprediksi Kev. ‘Ini…?’ ‘Pasangannya ini,’ ucap Abi dengan senyum lebar seraya mengangkat kalungnya sendiri. ‘Sini aku bantu pakaikan,’ tanpa menunggu persetujuan Kevin, Abi mengambil kalung tersebut dan mengalungkannya ke leher cowok itu. ‘Cakep.’ Kata Abi seraya menepuk bandul di leher Kevin. Kevin sendiri masih belum bisa menemukan kata-kata apapun untuk diutarakan, cowok itu hanya menatap semua gerak-gerik Abi tanpa berkedip. ‘Hei, berhenti menatapku begitu, creepy,’ kata Abi sambil menutup kedua mata Kevin dengan tangannya. Kevin dengan lembut menurunkan kedua tangan Abi namun menolak melepasnya ketika Abi berusaha menarik tangannya. ‘Thanks,’ ucap Kevin akhirnya dan untuk kesekian kalinya malam ini ia ingin menojok dirinya sendiri. Hanya itu kata-kata terbaik yang bisa kau ucapkan? Thanks? Seriously? Abi tertawa canggung tapi tidak lagi berusaha melepaskan kedua tangannya dari genggaman Kevin. ‘Baguslah kalau kau suka, jadi ntar nggak perlu beli kado lagi,’ Sontak alis Kevin tertaut di tengah-tengah. ‘Maksudnya?’ ‘Anggap itu advance present buat tanggal 14 haha,’ Abi mendadak bangkit dan berlari meninggalkan Kevin, genggamannya yang tidak lagi kuat terlepas begitu saja. ‘Eeh mana bisa, ini nggak sama dengan kado ultah dong,’ teriak Kevin protes. ‘Kalau bisa menangkapku baru kupertimbangkan beli kado lagi!’ ujar Abi tergelak. ‘Janji ya? Sini kutangkap kau!’ Petikan lirik Yisheng yishi – For Life Sama seperti yang kau impikan ketika kau muda Hidup hanyalah perjalanan panjang yang harmonis Dan kita tenggelam di dalamnya Jadi mungkin kita bisa tumbuh bersama dengan manis Trivia Halo 2017 :) Halo 2017 :) Bagi yang sudah membaca bab K&A, apa kalian menyadari sesuatu? Semoga tidak. Karena ada dua shameless promotion di sana haha Pertama bab baru untuk Catch Me When I Fall – For Life Kedua, tanggal 14 Januari merupakan ulang tahun seseorang yang namanya amat sangat sering nongol di cerita-cerita saya. Dan untuk merayakannya sudah terbit “Butterfly Dance”, bukan kelanjutan dari kisah Kevin dan Abi melainkan murni sebuah fanfiksi seorang penari dan desainer. Oke sekarang kembali ke Kevin dan Abi. Cerpen ini saya temukan ketika merapikan folder-folder dari laptop lama. Aslinya tidak ada bab Natal dan tahun baru dan akhir ceritanya juga sangat berbeda dengan When You yang saya terbitkan di Storial. Saya juga mengucapkan banyak terima kasih untuk tim Storial yang telah memilih When You sebagai salah satu buku pilihan Storial. Terima kasih banyak untuk apresiasinya. Last but least tentu saja untuk semua pembaca, untuk komen, like dan lain-lainnya. Terima kasih telah mengikuti kisah Kevin dan Abi. :) Jadi Januari ini, masih ada kisah Al, El dan Bi dan kisah baru Kai dan Krystal, jadi jangan takut kekurangan bahan bacaan dari saya hahahah See ya :) Berpisah dan Teman Baik Kevin mengerutkan kening ketika melihat kerumunan di depan gedung sekretariat. ‘Ada apaan sih?’ tanya Kevin kepada seorang mahasiswa yang baru saja keluar dari kerumunan. ‘Pengumuman daftar siswa yang ikut pertukaran mahasiswa.’ Jawabnya. ‘Oh, oke. Thanks.’ Kevin mengeluarkan ponselnya dari saku jas ketika ia melihat Abi berjalan ke arahnya dengan senyum lebar. Ya mereka berdua sudah akur kembali, Abi bersedia memaafkan Kevin dengan pajak permintaan maaf berupa 2 double cheese burger dan 1 porsi banana split. Abi kalau ngambek memang suka rakus anaknya, jadi jangan heran. ‘Coba tebak ada berita apa?’ tanya Abi dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya. ‘Ke Jepang kan?’ Kevin bertanya balik. Abi mengangguk dengan sangat antusias kemudian menggandeng lengan Kevin, menyeret cowok itu pergi. ‘Mau traktiran apa nih?’ tanya Abi. ‘Hotpot,’ jawab Kevin singkat. ‘Berangkat!’ *** Kevin mondar-mandir di kamarnya, otaknya penuh dengan Abi, cewek itu akan berangkat ke Kyoto selama enam bulan. Mereka aka berpisah selama itu, apa yang akan terjadi pada mereka? oke, lebih tepatnya apa yang akan terjadi pada dirinya? Jangankan enam bulan, beberapa hari melukis sendirian dan dalam kesunyian saja sudah membuatnya jenuh. Di tengah-tengah gelombang frustasi yang menyerang otaknya, pandangan mata Kevin tertumbuk pada white board di bawah jendela; Jangan pergi Kevin menghela napas, kabarnya Ray juga pergi ke Jepang. Cukup mengherankan sih karena dia anak baru tapi mungkin karena dia mendaftar dan lolos seleksi, mendadak Kevin menyesal tidak ikut daftar pertukaran mahasiswa. Argh…. Ia melongok keluar jendela dan seketika menyesal, Ray dan Abi baru turun dari mobil. Kok Abi nggak bilang kalo mau keluar sama Ray? Emang kau siapanya Abi? Pertengkaran di otaknya membuat Kevin geram dan mengacak-acak rambutnya sendiri karena frustasi. Kemunculan Ray di kampus benar-benar membuat Kevin tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Abi itu hanya sahabatnya, tidak kurang dan tidak lebih tapi Ray sudah mencuri Abi dariku…. Lamunan Kevin terhenti ketika ia merasakan ponselnya bergetar di saku celana. Hari Minggu ini aku berangkat ke Kyoto, mau makan hotpot lagi sebelum aku pergi? Kevin menghela napas sambil mengetik balasan untuk Abi. Oke *** Katanya Tuhan selalu mengabulkan doa setiap hambanya. Namun rasanya ada doa-doa tertentu yang tidak mungkin dikabulkan, contohnya doa Kevin agar hari Minggu tidak datang. Dan untuk pertama kalinya sepanjang ia hidup di dunia, Kevin merasa menjadi pecundang terbesar. Untung ia masih cukup waras dan tidak melakukan hal-hal yang bodoh, menyabotase keberangkatan Abi misalnya? Ya, dia memang amat sangat tidak rela Abi pergi ke Kyoto, makin tidak rela karena ada Ray bersamanya. Argh… Mencoba menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya, Kevin memasang wajah penuh senyum kebohongan ketika mengantar Abi ke bandara. Abi sendiri terlihat terlalu bersemangat dengan perjalanannya membuat Kevin tidak tega untuk mengacaukan semuanya. Cewek itu bahkan sejak pagi buta sudah mendobrak kamar Kevin dan memaksanya untuk bangun; ‘Hanya memastikan agar kau nggak ketiduran dan terlambat nganterin aku.’ Begitu katanya ketika Kevin marah-marah dibangunkan jam lima pagi. Alhasil mereka berdua menjadi yang pertama tiba di bandara, bahkan masih harus menunggu beberapa jam sebelum teman-teman yang lain berkumpul dan waktu check in tiba. ‘Kev Kev, baik-baik ya selama aku tinggal,’ kata Abi sambil memeluk Kevin. ‘Kau yang baik-baik di sana, jangan ceroboh,’ Kevin berkata sambil mengacak-acak rambut Abi. ‘Tenang, kan ada Ray yang bantu jagain aku,’ Abi menjulurkan lidahnya. Pernyataan Abi sontak membuat Kevin blank, tentu, ada Ray bersamanya. ‘Udah ya, semua udah nungguin aku tuh,’ kata Abi seraya menunjuk teman-teman satu grupnya yang sudah bersiap-siap di check in konter. Dengan berat hati Kevin melepaskan Abi dan membantu gadis itu mendorong koper ke check in konter untuk mengantri, tidak mempedulikan pandangan teman-temannya yang menandanginya dengan tatapan heran. Sampai sebegitunya ya mengantar teman? Begitu mungkin menurut teman-temannya, tapi apa peduli Kevin? ‘Jaga Abi baik-baik,’ kata Kevin—lebih tepatnya memperingatkan—pada Ray sebelum mereka masuk seusainya proses check in yang dijawab dengan anggukan mantap dari cowok itu. ‘Bye Kev Kev~’ Abi berbalik dan melambaikan tangan setelah memasuki boarding gateway. Kevin membalas dengan lambaian tangan dan senyum—yang sebenarnya cukup dipaksakan. *** Tidak terasa waktu enam bulan terlewati begitu saja, namun satu hal yang pasti, waktu enam bulan ini luar biasa bagi Kevin. Kenapa? Karena enam bulan ini beberapa rekor telah tercapai, misalnya; Ini perpisahan terlamanya dengan Abi sejak mereka dilahirkan 20 tahun yang lalu dan ia bisa melaluinya dengan baik. Kevin tidak lagi menghabiskan waktunya dengan melukis atau bermain game tapi kini ia cukup mahir bermain basket—ia bahkan telah masuk tim, walau sebagai cadangan. Berkeringat ternyata ga jelek juga sih. Ia punya kebiasaan baru, mengumpulkan kalender harian setelah disobek setiap pagi. Rekor yang paling penting adalah, ia punya misi besar sekembalinya Abi ke tanah air. Apa? Masih rahasia sekarang. :P Kevin menggosok rambutnya yang basah dengan handuk, latihan hari ini lumayan melelahkan namun mengasyikkan juga. Jadi pemain satu per satu menghadapi delapan lampu sensor yang tingginya tidak beraturan dan diletakkan membentuk setengah lingkaran. Pemain diwajibkan untuk mematikan lampu yang dinyalakan secara acak sambil men-dribble bola sedangkan pelatih mencatat waktu dan berapa banyak pemain berhasil mematikan lampu dengan cepat dan tepat, tanpa mencari-cari lampu mana yang sedang menyala. Hal ini untuk melatih reflek, kecermatan dan kecepatan pemain. Bep Bep Bep Kevin menoleh ketika ponselnya bergetar di atas nakas. Pesan dari Abi. Kev Kev, aku balik besok, jemput yaaaaaaaaaaa ^_^^ Jam berapa nyampe? Kevin mengirim pesan balasan. Balasan Abi berupa foto tiket pesawat dan berbagai detil kepulangannya. OK sip Abi akan pulang besok, Kevin menghela napas. Pandangan matanya tertumbuk pada white board di bawah jendela. Sudah lama sejak terakhir kali ia menggunakan white board itu untuk berkomunikasi. Abi seperti apa ya sekarang? *** ‘Kev Kev!’ sebuah teriakan kelelawar terdengar seolah berusaha mengalahkan keriuhan di area kedatangan. Kevin yang menjulurkan leher dan celingak-celinguk berusaha mencari pemilik suara mendadak dikejutkan oleh sesosok gadis yang terbang ke arahnya, melingkarkan kedua lengannya ke leher cowok itu. ‘Gila ih…. Kangen banget!’ seru Abi seraya melepaskan pelukannya Kevin hanya tertawa kecil dan mengacak-acak rambut Abi. ‘Enak mana di sini sama Kyoto?’ tanya Kevin. ‘Di sini!’ jawab Abi cepat. Sekali lagi jawaban Abi membuat Kevin tertawa. ‘Ngomong-ngomong mana bagasimu?’ tanya Kevin lagi sambil menoleh ke kanan-kiri Abi, gadis itu sepertinya tidak membawa apa-apa. ‘Oh iya?!’ Abi menepuk jidatnya kemudian berbalik, celingukan sebentar kemudian berlari menghampiri satu koper besar berwarna putih yang tergeletak sendirian di tengah-tengah lalu lalang pengunjung bandara. ‘Ini doang?’ untuk ketiga kalinya Kevin bertanya, kali ini keheranan. Untuk ukuran cewek yang doyan belanja, pulang dari Jepang hanya membawa satu kopor? Nggak salah nih? Abi nyengir lebar sebelum menggandeng Kevin yang mengambil alih menggeret kopor, menyeretnya keluar dari hall. ‘Bagasiku yang lain udah sampai rumah kemarin,’ jawabnya. ‘Maksudnya?’ ‘Aku kirim pake DHL express biar cepet dan aku nggak ribet bawa bagasi banyak-banyak.’ Jelas Abi tanpa dosa. Tuh kan bener? Ga mungkin Abi ga belanja. ‘Dasar,’ Abi tertawa. Keduanya menyeruak diantara keramaian di area kedatangan dengan Abi menggelayut di satu lengan Kevin sedangkan tangan satunya mendorong kopor Abi di sampingnya. Mereka tidak langsung pulang, melainkan mampir ke restoran Tante Lina. ‘Kita bikin pesta kecil-kecilan. Aku yang traktir,’ kata Kevin ketika melewati gerbang komplek perumahan mereka. Tentu saja Abi tidak menolak, senang malah. Karena ia punya segudang cerita untuk diceritakan dan sebaliknya ada bergudang-gudang pertanyaan untuk Kevin. Enam bulan bukan waktu yang singkat walaupun setiap hari saling ber-whatsapp ria, namun bercerita dengan berhadapan langsung tentu beda sensasi. ‘Jadi bagaimana denganmu?’ tanya Abi sambil menunggu daging masak. Kevin yang berkutat dengan kerang-kerang di piring mendongak dengan kening berkerut. ‘Bagaimana apanya?’ ‘Yaaa…. Aku nemu foto yang lumayan mengejutkan sih,’ kata Abi. ‘Foto apa?’ tanya Kevin dengan tampang bloon, ia benar-benar tidak mengerti dengan arah pembicaraan Abi. ‘Nggak mau ngaku nih?’ ‘Ngaku apaan?’ Abi mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan sebuah foto, membuat Kevin tersedak kerang yang tengah dicucupnya. Itu fotonya saat pertandingan pertamanya dua bulan yang lalu. ‘Darimana kau dapat itu?’ tanya Kevin setelah menghabiskan segelas air putih untuk meredakan batuknya. Abi mencebik, tidak menjawab pertanyaan Kevin. ‘Kenapa nggak pernah cerita? Kan keren itu….’ ‘Masa?’ Kevin nyengir malu. ‘Udah punya fans belum?’ tanya Abi usil. Kevin mengangkat sumpit dan mengetuk dahi Abi dengan ujungnya. ‘Pertanyaan macam apa itu? Aku dari dulu punya banyak fans kali. Jadi mana oleh-olehku?’ ‘Ada di rumah,’ jawab Abi dengan mulut penuh, anak itu sudah mulai makan lagi. ‘Apaan oleh-olehnya?’ tanya Kevin penasaran. ‘Rahasia,’ jawab Abi sambil menjulurkan lidah. Pertengkaran-pertengkaran kecil seperti ini yang paling dirindukan Kevin, bertengkar di WA tetap tidak bisa memuaskan hatinya. ‘Hei Bi, setelah ini jangan pergi-pergi lagi yah, ga asik ga ada yang diajak tengkar,’ *** Kevin memandangi kotak persegi dibungkus rapi khas orang Jepang dengan kertas pembungkus berwarna biru muda. ‘Ini, oleh-oleh spesial, tapi nggak pakai telor,’ kata Abi seraya mengangsurkan kotak persegi padanya saat keduanya sampai di rumah Abi. ‘Ga enak dong ga pake telor,’ sahut Kevin. Ia menggoyang-goyangkan kotak di samping telinganya, mencoba menebak isi di dalamnya. ‘Apaan nih?’ ‘Buka nanti di rumah, jangan di sini.’ Perintah Abi. Dan di sinilah Kevin sekarang, duduk di kasur dengan kotak kado di depannya. Niatnya untuk membuka lenyap begitu melihat kartu yang terselip di kantong kertas pembungkus. Untuk satu-satunya teman baik yang the best of the best ^_^ Agak susah nyari sesuatu yang pas buatmu tapi akhirnya aku dapat! Yay! Semoga ini nggak ngecewain sih soalnya aku udah berjuang banget loh buat dapetinnya. :) Tertulis dengan tulisan tangan yang sangat ia kenal dan dalam tinta emas. Teman baik. Kevin menelan ludah. Sepertinya ia sudah terlambat. Menghela napas berat ia membuka tali yang melingkari kotak dan terkejut ketika menemukan mereka tidak menggunakan selotip atau lem untuk merekatkan ujung pertemuan kertas, benar-benar hanya dengan lipatan-lipatan yang artistik. Ternyata berisi beragam kuas. Setiap set kuas terdapat keterangan tentang bahan dasar kuas dan fungsi terbaiknya berikut contoh hasil goresan menggunakan kuas tersebut. Abi emang the best. Kevin mengeluarkan ponselnya dari saku jins dan mengetik pesan. Keren banget oleh-olehnya. Big thanks ya….. Kevin bangkit dari kasur, berjalan ke arah jendela. I love you teman baik, makasih buat traktirannya, besok ditraktir lagi juga boleh :P ‘Dua kali,’ gumam Kevin pada dirinya sendiri. White board milik Abi diletakkan di jendela dengan tulisan itu di sana. Dalam kurun waktu beberapa jam Abi telah dua kali menyebutnya sebagai teman baik. Agaknya memang teman baik adalah satu-satunya posisi yang benar untuk mereka berdua. *** 75% Kevin mengurungkan niatnya meneruskan misi besarnya walaupun hati kecilnya masih berharap pada kesempatan yang tersisa 25%. Bodoh sebenarnya kalau ia masih berharap, namun bukankah ada pepatah, bagaimana kau akan tahu hasilnya kalau nggak mencobanya? ‘Kevin!’ Kevin spontan menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. Abi. Hal lain yang membuat satu alisnya terangkat adalah, gadis itu melepaskan tangannya dari genggaman cowok di sampingnya, Ray, dan berlari ke arahnya. Oh. ‘Lama amat sih, ditungguin juga,’ protes Abi begitu mereka berhadapan. Tadi ketika Abi menelepon mengajaknya berangkat kuliah Kevin masih baru selesai mandi. ‘Tadi mampir beli cat,’ jelas Kevin namun sepertinya Abi tidak terlalu mempedulikan penjelasannya karena gadis itu menyeretnya ke hadapan Ray. ‘Oke, jadi begini, aku belum memperkenalkan kalian berdua dengan semestinya,’ kata Abi begitu Kevin dan Ray berdiri berhadapan. ‘Kev, perkenalkan ini Ray, pacarku. Dan Ray, ini Kevin kembaranku.’ Spontan Kevin menoleh dengan alis kedua alis mata terangkat, kembaran? Tapi ia belum sempat bertanya Ray sudah lebih dulu mengulurkan tangan untuk dijabat. ‘Hei, Abi cerita banyak tentangmu,’ kata Ray. ‘Dia pasti jelek-jelekin aku,’ kata Kevin seraya menyambut jabat tangan cowok di depannya. Sementara Abi yang berdiri di sampingnya hanya nyengir lebar. ‘Kalian akan latihan kan?’ tanya Abi, Kevin dan Ray mengangguk. ‘Great, kita ke sana bareng-bareng!’ kata Abi seraya merangkul keduanya menuju lapangan basket. Sekarang sudah tidak lagi tersisa 25% tapi nyaris sudah tidak ada kesempatan. Kevin menoleh, Abi berjalan ditengah-tengan dirinya dan Ray dengan kedua tangan masing-masing merangkul bahu mereka. Wajahnya menyiratkan kegembiraan, tentu saja, ini mungkin cinta pertamanya. Seperti yang selalu dibilang orang, cinta pertama selalu menjadi yang spesial, Kevin bisa merasakan dan membenarkan hal itu sekarang. Jadi bagaimana dengan dirinya sendiri? Sedikit tidak beruntung sepertinya, hanya saja, pengalaman seperti ini tidak buruk juga. *** Kevin terbangun ketika ponselnya bergetar di samping telinganya. Pagi :) Abi, Kevin tersenyum, walalupun sudah punya pacar, ada beberapa kebiasaan Abi yang tidak—atau belum—berubah, salah satu contohnya adalah pesan-pesan singkat dan sederhana semacam ini. Rasanya ide untuk tetap menjadi teman baik tidaklah begitu buruk, Abi masih tetap Abi yang ia kenal dulu, mungkin ia tidak lagi menghabiskan seluruh waktunya untuk merecoki dirinya lagi, namun bukan berarti Abi akan sepenuhnya pergi. Sebenarnya cepat atau lambat, menjadi teman baik atau pacar, setiap perubahan tidak bisa dihindari dan lagi, bukankah setiap orang punya waktunya sendiri untuk berubah? Kevin bangun dan berjalan menuju jendela, sepertinya di luar sudah terang, tentu saja, sudah jam 8 sekarang. Perlahan Kevin membuka gorden dan daun jendela. Hm…. Udara pagi menyapa wajahnya, segar. Ia baru akan beranjak ketika seseorang muncul dari balik jendela kamar Abi, ternyata memang si empunya kamar. Abi tersenyum lebar sambil melambai, meletakkan mug yang dipegang ke kusen jendela, gadis itu menunduk, mengambil white board untuk menuliskan sesuatu di sana. Teman baik I love you Kevin tertawa dan membalas tulisan Abi dengan mengangkat kedua tangannya di atas kepala, membentuk tanda hati besar. Teman baik. Description: 我想对你说却害怕都说错 好喜欢你知不知道 I wanted to tell you but I'm afraid I say it wrongly I like you very much, do you know that? *When You by Cindy Wang _________________ Pilihan Editor periode 20-26 Desember 2016 _________________ Kover diambil dari qq music diedit menggunakan PS
Title: White and Black Category: Fantasi Text: Prolog Aku terbangun dalam posisi tengkurap di atas tumpukan benda yang dingin dan basah. Perlahan mataku membuka. Pandanganku masih terlihat samar-samar. Seketika badanku menggigil. Angin walaupun berhembus pelan tapi tetap saja terasa menusuk tulang.5 detik berlalu. Sekitarku mulai terlihat jelas. Tanah di bawahku tertutup benda berwarna putih. Langit berwarna hitam gelap. Beberapa obor yang ditancapkan juga terlihat untuk menjadi penerangan.Ah, aku ingat. Beberapa waktu lalu baru saja kami akan pergi ke rumah kayu itu. Hingga tiba-tiba tanpa ada suara mencurigakan apapun, pandanganku ditutupi oleh sesuatu dari belakang dan rasa sakit seperti dipukul di bagian leher membuatku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.Aku memeriksa sekelilingku. Sepertinya aku berada di halaman yang luas. Aku mengalihkan pandangan ke depan. Terdapat sebuah bangunan megah yang berdiri di sana. Eh? Kerajaan Ardiluc? Kenapa aku bisa di sini?Ahh!! Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku menoleh kesana kemari mencarinya. Jika aku dibawa kesini, maka orang itu juga pasti ada disini.Kepalaku terhenti saat menoleh ke sisi kiri. 10 meter dari tempatku, seorang pria paruh baya menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Di belakangnya berdiri prajurit elit dengan pedang menggantung di pinggang. Di samping pria itu berdiri seseorang yang aku kenal. Mengenakan jubah hitam berlengan. Di tangannya menggenggam sebuah benda persegi panjang berukir emas. Benda yang seharusnya hanya aku yang boleh menyentuhnya.Di tengah turun salju, orang itu dengan ekspresi wajah datar juga menatapku. Dia berada di lingkaran wilayah yang seharusnya dia tidak berada di sana. Otakku terlalu cepat tanggap untuk dapat memahami semuanya.Seperti ada kobaran api di dalam hatiku. Rasanya tidak bisa menerima apa yang kulihat. Di bawah langit gelap tanpa berhiaskan bintang, aku merasakan begitu mengesalkannya saat dibohongi. Aku sangat marah."KAU PENGKHIANAAAAT!!"""""""Note penulis: Makasih banyak buat yang sudah baca. Semoga kalian suka ^^ Bab nya di edit karena baru kepikiran bikin prolog wkwkwk Untuk pendapat dan saran boleh banget disampaikan. Kalau ada yang salah boleh juga dikoreksi. Jangan lupa dinilai, ya~ Khanmara (1) Kisah dimulai 1500 tahun yang lalu. Tepat di hari ke-9 musim panas, Siluman Angsa Bersaudara lahir. Tapi, entah mau gembira atau sebaliknya, karena salah satunya terlahir berbeda. Yang satu terlihat cantik dengan bulu putih mengkilat. Yang satunya lagi sebaliknya. Terlihat sangat berbeda. Bulunya bukan putih mengkilat, namun berwarna hitam gelap dan pekat.Menurut cerita, umur Negara Khanmara hanya berbeda 3 hari dengan umur Sang Siluman Angsa Bersaudara. Wujud asli Sang Siluman Angsa adalah manusia pada umumnya. Yang membedakan hanyalah mereka dianugerahi kekuatan yang melebihi kekuatan manusia biasa. Meskipun wujud aslinya manusia, namun yang seringkali terlihat mereka berada dalam wujud silumannya. Itulah alasan mengapa disebut "Siluman Angsa".Seiring berjalannya waktu, Sang Siluman Bersaudara tumbuh menjadi anak yang aktif dan ceria. Mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama. Konon tempat bermain yang disukai Sang Siluman Bersaudara saat kecil adalah di Bukit Zirbat. Bukit itu berwarna-warni. Tidak hanya empat atau lima jenis warna saja, namun bukit itu memiliki ratusan jenis warna. Merah, putih, ungu, jingga kemerahan, hitam kekuningan, biru kehijauan. Bahkan kemungkinan jenis warnanya ada yang belum diketahui. Disitu juga terdapat danau dengan air terjun yang berada ditengah-tengah Bukit Zirbat yang berjajar mengelilinginya. Di dekatnya ada pelangi yang selalu muncul sepanjang waktu. Saat matahari sudah tumbang, pelangi itu tidak akan tertelan oleh gelapnya malam, namun ia akan bersinar cerah dan menghiasi malam di bawah kerlip bintang-bintang dan sinarnya bulan.Seolah waktu hanya milik mereka berdua, Siluman Bersaudara seperti tak terpisahkan. Mereka mengabaikan fakta bahwa salah satu dari mereka sangat terlihat berbeda dari yang lainnya. Sang Siluman Angsa Putih tidak peduli bahwa saudaranya berbeda dari dirinya. Begitupun Sang Siluman Angsa Hitam juga tidak peduli bahwa dirinya sangat terlihat berbeda dari saudaranya.Tapi itu adalah mereka saat kanak-kanak. Yang mereka pikirkan hanyalah bermain. Masa kanak-kanak akan terlewati dan memasuki masa dimana pikiran mereka akan mulai berkembang. Fakta bahwa Siluman Angsa Hitam terlihat berbeda dari yang lain yang dulunya ia abaikan, kini mulai direnungkan. Rasanya seperti terganggu dengan kenyataan itu.Suatu sore di hari ke-3, mereka pergi naik ke puncak Bukit Zirbat. Seiring berjalannya waktu Siluman Bersaudara bukanlah anak-anak lagi. Waktu kebersamaan mereka berkurang. Satu-satunya yang masih menjadi kebiasaan mereka hingga saat ini hanyalah menyaksikan matahari tenggelam di puncak Bukit Zirbat di hari ke-3. Lantas dilanjutkan dengan turun ke tengah-tengah bukit menuju air terjun. Mau menyaksikan berkali-kali pun, tetap akan dibuat terpesona oleh indahnya air terjun dengan pelangi 7 warna yang bersinar cerah di dekatnya."Menurutmu... Apakah aku berbeda?" Setelah 5 menit lengang Siluman Angsa Hitam memecah keheningan. Dia duduk bersebelahan dengan Siluman angsa Putih di tepi danau. Mereka hanya menatap ke depan. Menyisakan suara derasnya air terjun dan suara-suara hewan malam yang mengiringi."... Kenapa menanyakan itu?" Setelah jeda sejenak, bukannya menjawab Siluman Angsa Putih bertanya balik."Hanya ingin tahu." Sebuah kunang-kunang hinggap di rumput dekat Siluman Angsa Hitam. Dia tidak tertarik memperhatikannya. Hanya terus menatap danau bercahaya di depannya. Disampingnya saudaranya menghembuskan napas pelan. Dia paham dengan maksud pertanyaan Siluman Angsa Hitam tadi."Sama sekali tidak." Di dalam kalimatnya Siluman Angsa Putih berharap dengan jawaban itu akan membuat saudaranya berhenti berpikir yang tidak-tidak."... Oh."Kunang-kunang tadi sudah terbang pergi berkumpul dengan kawanannya.Berdiam lagi cukup lama. Lima belas menit sudah berlalu. Menit-menit yang dilewati hanya dengan keheningan. Padahal saat kecil mereka tidak pernah melewatkan waktu dengan hanya membisu saja seperti sekarang. Siluman Angsa Putih sadar suasananya tidak boleh seperti ini terus. Hanya saja pertanyaan Siluman Angsa Hitam tadi berhasil mengambil alih seluruh pikirannya.Siluman Angsa Putih beranjak dari duduknya. "Danaunya terlihat segar. Aku jadi ingin berendam di dalamnya. Kau mau ikut?" Siluman Angsa Putih menoleh pada saudaranya. Berpikir mungkin suasana akan berubah jika melakukan hal yang mereka sukai waktu kecil.Siluman Angsa Hitam menggeleng, "Kau sendirian saja. Aku sedang tidak ingin." Kepalanya tidak menoleh sedikitpun.Sekilas ada rasa kecewa yang tampak di wajahnya. Siluman Angsa Putih tersenyum menjawab, "Baiklah."""""""3 minggu setelah suasana canggung di air terjun Bukit Zirbat. Siluman Angsa Putih berjalan di tengah hutan di bawah sinar matahari terik. Tenaganya terkuras sejak tadi. Tapi tetap menoleh kesana kemari berharap menemukannya. Suara aliran air menarik perhatiannya. Kepalanya menoleh ke kanan. Matanya menangkap sosok yang dicarinya."Kenapa kau tidak pulang? Kau membuat ayah dan ibu khawatir," kata Siluman Angsa Putih setelah mendekati sosok itu.Hari itu, Siluman Angsa Putih memutuskan bertindak. Sejak matahari baru memunculkan dirinya dari balik bukit, Siluman Angsa Putih sudah mulai mencari saudaranya yang 3 hari tidak pulang-pulang. Ini bukan pertama kalinya Siluman Angsa Hitam tidak pulang ke rumah. Awalnya hanya dari pagi hingga langit akan mulai gelap. Namun lama-kelamaan seperti lupa kalau punya tempat tinggal, Siluman Angsa Hitam bisa sampai 1 minggu tidak pulang. "Aku sibuk." Satu kalimat itu yang selalu dijadikan alasan olehnya. Dia duduk di tepi sungai. Satu tangannya memainkan air yang mengalir jernih membuat percikan kecil di dekatnya."Kau menghindariku? Ayah dan ibu khawatir terjadi sesuatu buruk padamu." Ada sedikit rasa kesal di nada kalimat Siluman Angsa Putih saat mengatakan itu."Sudah kubilang aku sibuk. Aku bukan anak-anak lagi. Aku bisa menjaga diri." Mendengar jawaban itu Siluman Angsa Putih tidak puas. Dia menaikkan nada bicaranya, "Tidak ada gunanya jika kau selalu sibuk memikirkan perbedaan itu! Bukankah pernah kubilang untuk tidak terlalu memikirkannya? Perbedaan itu sama sekali tidak ada artinya!" Ini pertama kalinya dia membentak saudaranya. Rasanya aneh. Tapi kesabarannya mulai menipis. "Kau sebaiknya kembali ke rumah. Bilang pada ayah dan ibu kalau aku sibuk." Diluar dugaan Siluman Angsa Hitam masih menjawab dengan tenang. Berbeda dengan Siluman Angsa Putih, kata 'sibuk' itu berhasil membuatnya hilang kesabaran. Kakinya maju lima langkah menuju tempat Siluman Angsa Hitam dan mencengkeram lengannya kuat-kuat."Aku tidak akan pulang sampai membawamu pulang!" Siluman Angsa Putih menyeret kasar saudaranya. Berniat memaksanya pulang. Jika cara damai tidak bisa digunakan, maka cara yang tersisa hanyalah dengan kekerasan. "Jangan memaksa!" Siluman Angsa Hitam menepis tidak kalah kasar. Amarahnya terpancing. Dua saudara yang dulunya selalu tersenyum lebar saat bersama, kini tidak ada kedamaian diantara mereka."Biar kukatakan sekali lagi. Perbedaan itu tidak ada artinya. Kau tidak perlu memikirkannya--""Berhenti mengatakan seolah hal itu mudah untuk dilakukan! Kau yang tidak pernah berada di posisiku mana tahu perasaanku!" Siluman Angsa Hitam berteriak marah. Suasana hatinya bertambah buruk. Padahal dengan menyendiri di tengah hutan tanpa ada siapapun berhasil menghibur hatinya. Berteman dengan suara aliran sungai sangat menenangkan. Sampai saudara sialannya ini datang..."Kau selalu saja bilang untuk tidak memikirkannya. Tapi sebenarnya melakukannya tidak semudah kau mengatakannya. Seolah hanya karena aku yang berbeda, ayah dan ibu hanya melihat kau yang berada disana. Aku seringkali bertanya-tanya, 'kenapa hanya aku yang berbeda?', 'kenapa bukan kau saja?'" Tangan Siluman Angsa Hitam mengepal kuat. Dia kira dengan meluapkan amarah yang telah lama dia pendam selama ini akan membuatnya lebih baik. Tapi kenapa ini malah seperti menusuk hatinya?"Aku marah dengan itu. Aku merasa kesal. Karena itu aku tidak bisa berhenti memikirkannya." Mendengar kalimat yang sungguh tidak pernah dia duga akan diucapkan oleh saudaranya sendiri berhasil membuat Siluman Angsa Putih mematung hebat. Hatinya tidak kalah seperti ditusuk. Terlebih saat Siluman Angsa Hitam mengakhiri percakapan dan pergi meninggalkannya sendirian tanpa ada penyelesaian masalah sama sekali. Kakinya seperti berat untuk mengejar saudaranya. Bahkan otaknya tidak pernah memerintahkannya.Siluman Angsa Putih seperti tersadar oleh sesuatu. Kemungkinan buruk itu memenuhi kepalanya. Apakah... hubungan ini akan tetap baik-baik saja ke depannya?""""""Note penulis: Makasih banyak buat yg sudah baca. Semoga kalian suka ^^ Bab nya di edit karena baru kepikiran bikin prolog wkwk. Kalau mau baca prolognya sudah ada di bagian awal bab cerita. Sya msh pemula jdi mohon maaf kalo bnyak yang salah. Untuk saran dn pendapat boleh banget disampaikan. Klo ada yg salah juga boleh dikoreksi :) Description: Pena itu ada. Itu bukan khayalan. Kami selalu mempercayainya sejak dulu. Menjadi pemilik pena itu adalah salah satu dari sekian banyak keinginanku. Karena dengan begitu, kau akan menjadi penjaga keseimbangan dunia. Terlalu larut dalam rasa keinginan yang sangat tinggi, aku sampai lupa kalau dunia adalah taruhannya. Menjadi pemilik pena itu, sekaligus menjadi penjaga keseimbangan dunia. Sekali kau gagal menjaganya, maka dunia menjadi hancur adalah salahmu. Menjadi pemilik pena itu, siapa yang tidak mau? Jika pena itu ada di tanganmu, itu artinya kau adalah yang terpilih. Semua orang menginginkan itu. Termasuk aku, dan juga mereka dengan niat terselubungnya...
Title: Wanita Simpanan Category: Adult Romance Text: Bab 1 : Pindah Tengah Malam BerceraiLan Xiang gemetar menatap surat di tangannya. Dia tak percaya setelah membaca isi surat itu. Surat keputusan pengadilan. Surat perceraian dari Qi Feng suaminya. Dia bisa menerima perceraian itu, namun dia tidak percaya suaminya menjual rumah tempat tinggal mereka dan mengharuskannya keluar dari rumah saat ini juga. Dia tidak bisa menolak atau mengulur waktu lagi. Meski sakit hati, bingung dan marah dia memutuskan untuk segera berkemas. Dengan dibantu putrinya, Qi Rou, dia mengemas barang-barangnya dan membawanya ke mobil bak terbuka. "Ibu, kita mau kemana? Rou'er tidak mau pergi, aku mau ayah," putrinya merengek kebingungan. Dia hanya bocah berumur lima tahun. Dia tidak mengerti yang sedang terjadi. Lan Xiang hanya bisa membujuknya dengan lembut agar anak itu berhenti menangis. "Rou'er, kita harus pindah. Mulai hari ini kita tidak akan tinggal di sini juga tidak tinggal bersama ayah." Lan Xiang berjongkok di depan putrinya dan membujuknya dengan lembut. "Kenapa ibu? apakah ayah marah padaku?" Rou'er mengusap matanya yang memerah. "Tidak sayang, jadilah baik. Ayo kita cari rumah baru. Untuk sementara kita tinggal di toko bunga dulu." Dipeluknya putri semata wayangnya itu dengan erat. Mulai malam ini mereka berdua akan saling bergantung untuk menjalani kehidupan di masa depan. Malam itu ibu dan anak meninggalkan rumah tempat tinggal mereka. Dengan sedikit uang di tangannya, Lan Xiang membawa putrinya ke toko bunga. Mereka bisa tinggal di situ untuk sementara. Toko dua lantai itu cukup layak ditinggali. Namun lingkungannya jelas bukan lingkungan tempat tinggal. Hanya ada deretan toko, cafe, resto dan perkantoran saja. Tidak ada rumah tinggal di lingkungan itu. Itu sebabnya, Lan Xiang berpikir hanya sementara tinggal di toko. Setidaknya sampai dia mendapatkan tempat tinggal baru yang layak. Sesampainya di toko, Lan Xiang meminta bantuan supir dan asistennya untuk memasukkan barang-barang mereka ke dalam toko. Itu tidak terlalu banyak, hanya beberapa koper pakaian dan keperluan pribadi, alat-alat rumah tangga dan beberapa koleksi pribadi miliknya. Perabotan rumah dan barang-barang elektronik dia tinggalkan semua. Hanya barang yang dibelinya secara pribadi saja yang dia bawa. Setelah semua barang masuk, Lan Xiang membawa Rou'er ke kamar di lantai atas. Dia menidurkan gadis kecil yang telah tertidur lelap itu. Untungnya dia memiliki kamar dengan perabotan lengkap di toko ini. Biasanya dia beristirahat di kamar ini saat sedang bekerja di toko bunga. Lan Xiang kembali membereskan barang-barang, setelah meyakinkan Rou'er tertidur nyenyak. Dia harus menyelesaikan beres-beresnya agar tidak mengganggu aktivitas toko keesokan harinya. Sudah larut malam saat semua barang ditempatkan dengan rapi. Lan Xiang mencuci muka dan gosok gigi sebelum bergabung dengan putrinya di tempat tidur. Meski lelah, namun dia tidak bisa memejamkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Dia telah menikah selama enam tahun dengan Qi Feng. Semua baik-baik saja. Karir Qi Feng sangat bagus. Begitu juga dengan toko bunganya. Mereka hidup bahagia meski hidup mereka tidak mewah. Namun setahun yang lalu semua berubah, saat putri pemilik perusahaan tempat Qi Feng bekerja, bergabung dengan perusahaan sekembalinya dari luar negeri. Mereka berdua terlibat affair, dan pada akhirnya Qi Feng memilih menceraikannya. Bahkan dia tidak mempertahankan hak asuh putri mereka. Dia menyerahkan sepenuhnya pada Lan Xiang. Lan Xiang berusaha untuk tidak memikirkan semua itu lagi. Dia memilih untuk memikirkan masa depannya dan putrinya. Perlahan kantuk pun datang dan dia pun terlelap. Pesan Bunga UntukkuDi saat yang sama, di tempat yang berbeda. Seorang pria tengah duduk dengan malas di kursinya. Dia memutar kursinya hingga menghadap jendela ruangan tersebut. Dari atas dia bisa melihat pemandangan sepanjang jalan di depan gedung di mana saat ini dia berada. Tatapannya jatuh pada sebuah toko tepat di seberang gedung. Sesaat tadi nampak ada kesibukan di toko tersebut. Dari tempatnya duduk dia bisa membaca papan nama toko tersebut. Toko bunga Violet Florist & Garden. Dia tersenyum membacanya. Ada banyak hal yang dipikirkannya setelah melihat lampu-lampu di lantai atas toko tersebut padam. Dan aktivitas di toko itu pun tidak ada lagi. "Chen, mulai besok pesanlah bunga untuk ruanganku di toko bunga Violet. Minta mereka mengirimnya setiap pagi. Dan revisi kembali kontrak kita dengan mereka." Pria itu berbicara pada asistennya, Chen, yang tengah duduk di sudut ruangan sambil membaca beberapa dokumen. Wanita itu tertegun namun tidak membantah pria yang tak lain adalah atasannya. "Baik Tuan muda, apakah ada yang lain?" Chen merapikan dokumen-dokumen yang tengah dibacanya. "Katakan pada pemilik toko untuk mengantarkan bunga ke ruanganku setiap pagi di hari kerja. Ingat harus dia sendiri." Pria itu memejamkan mata dan memberi isyarat pada wanita itu untuk pergi. Chen mengerti dan segera pergi meninggalkan ruangan itu. Dia segera pulang ke apartemennya. Chen telah bekerja pada pria itu hampir sepuluh tahun lamanya. Dia tahu persis watak, sikap, dan temperamen tuannya. Tuannya, Gao Yiyang adalah pewaris sah grup Gao. Saat ini dia berusia tiga puluh delapan tahun. Di usianya yang tidak muda lagi dia masih melajang. Bukan tidak ada wanita yang mau menikahinya. Justru ada banyak wanita di sekelilingnya. Namun dia tidak mau terikat dengan para wanita itu. Dia hanya menganggap wanita seperti pakaian atau perhiasan. Bisa diganti setiap dia mau atau ketika mode berganti. Dia tidak pernah terikat dengan wanita lebih dari tiga bulan. Dan sekarang tuannya tertarik dengan pemilik toko Violet garden & florist. Wanita yang baru saja diceraikan suaminya. Dan penyebab perceraian mereka adalah adik tiri tuannya. Sedikit yang mengetahui, pemilik Violet garden & florist memiliki keberanian yang menarik perhatian tuannya. Wanita pemilik toko bunga itu memiliki kepribadian dan temperamen yang berbeda dari kebanyakan wanita yang mengelilingi tuannya. Dia tenang dan penuh perhitungan, namun tidak terkesan licik. Chen ingat saat pertama kali tuannya melihat wanita itu. Saat itu grup Gao atas perintah Gao jingyan memutuskan kontrak Violet garden & florist tanpa alasan yang jelas. Wanita itu datang ke gedung grup Gao untuk memperoleh penjelasan yang masuk akal atas pemutusan kontrak tersebut. Namun Gao Jingyan telah memerintahkan resepsionis untuk mengusirnya dari area gedung. Menghadapi masalah seperti itu, dia tetap tenang tanpa lepas kendali. Dia hanya mengatakan beberapa hal yang membuat resepsionis kebingungan. "Nona Sun harap sampaikan pada CEO anda, like mother like daughter, itu saja. Dia akan mengerti." Dia mengatakannya dengan pelan, tenang dan tegas. Namun itu cukup terdengar di seluruh lobby. Kalimat sederhana itu cukup membingungkan bagi sang resepsionis. Namun justru kalimat ini yang di dengar CEO mereka, yang sedari tadi menyaksikan keributan itu. Dan tanpa menunggu reaksi resepsionis, wanita itu pergi begitu saja. Saat itu barulah, resepsionis melihat CEO Gao, yang kemudian memintanya untuk menjelaskan tentang insiden itu di ruangannya. Chen tahu tuannya sangat marah. Dia baru saja kembali dari kantor cabang grup Gao di Eropa dan kepulangannya disambut dengan keributan di lobby kantornya. Dan yang membuatnya lebih marah, pemicu keributan itu tak lain Gao Jingyan, adik tirinya. Bagi yang tidak mengetahuinya, Gao Jingyan mungkin nona muda keluarga Gao. Namun bagi kakak tirinya, gadis itu tak lebih dari perusak pemandangan. Di matanya dan juga di mata keluarga besar Gao, hanya ada satu nona muda yaitu Gao Ling, saudara sepupunya. Kini perhatian Tuan Muda Gao tertuju pada wanita pemilik toko bunga itu. Setahu Chen, grup Gao memiliki kemitraan yang telah berlangsung cukup lama dengan Violet garden & florist. Mungkin ada alasan khusus dibalik perhatiannya terhadap wanita itu. Namun Chen tahu itu bukan urusannya. Dia tidak berhak bertanya apa rencana dan tujuan Tuannya, dia hanya menjalankan perintahnya dengan sebaik mungkin. Karena sikap tidak banyak tanya dan acuh inilah, yang membuatnya bertahan sebagai asistennya selama bertahun-tahun. Bab 2 : Di Toko Bunga Semua baik-baik sajaKeesokan harinya, pagi-pagi sekali Lan Xiang terbangun. Dia langsung mengurusi bunga-bunga di tokonya. Selain bunga potong, yang setiap tiga hari sekali didatangkan dari perkebunan bunga langganannya, ada juga bunga hidup di tokonya. Karena itu tokonya memiliki lahan yang cukup luas. Di belakang toko ada kebun dan juga rumah kaca. Ada banyak bunga koleksinya. Dari bunga yang umum tumbuh di daerah itu sampai bunga langka dan bunga dari luar negeri ada di toko bunganya. Semua terawat dan terlihat indah. Itu sebabnya banyak pelanggan yang setia pada toko ini. Meski relatif lebih mahal, tapi bunga di toko ini memang berkualitas bagus. Selain itu Lan Xiang tak pernah pelit berbagi tip dalam merawat bunga. Pagi ini Lan Xiang merapikan toko dan menyiapkan beberapa rangkaian bunga pesanan pelanggan terlebih dahulu. Dia memiliki bakat alami dalam merangkai bunga, selain itu dia juga kursus untuk mendalami seni ikebana dan merangkai bunga klasik cina. Setelah itu dia melanjutkan dengan merawat bunga di rumah kaca. Lan Xiang selalu memiliki keasyikan sendiri setiap dia merawat bunga, dia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Sekarang pun dia tenggelam dalam merawat bunga-bunganya. Dia tidak menyadari kedatangan para karyawannya. Paman He selalu datang lebih pagi. Dia bertanggungjawab atas perawatan bunga di kebun dan rumah kaca. Selain itu ada Duo Duo, yang merupakan resepsionis sekaligus penjaga toko, ada juga Lin Che yang membantunya menangani pemasaran dan pemesanan. Dan ada dua karyawan serabutan yang hanya bekerja saat ada pemesanan besar. Paman He yang pertama datang, terkejut melihat toko sudah dibuka dan terlihat rapi dan bersih. Bahkan terlihat ada aktivitas di kebun. Paman He masuk dengan terburu-buru dan menemukan bosnya tengah sibuk menyiram dan merawat bunga di rumah kaca. "Selamat pagi Nyonya Lan," Paman He menyapanya dengan ramah. Lan Xiang terkejut melihatnya. Namun dia segera tersadar sekarang memang waktunya paman He merawat bunga-bunga mereka. "Pagi paman, sekarang aku dan Rou'er tinggal di toko untuk sementara. Jadi pagi ini aku bisa merawat bunga-bunga ini." Lan Xiang tersenyum sambil memotong beberapa tangkai bunga yang terlihat jelek. "Nyonya apa yang terjadi? Mungkinkah Tuan Qi benar-benar meninggalkan anda?" Paman He tak mampu menyembunyikan perasaan kesalnya. Menurutnya Qi Feng adalah pria brengsek yang meninggalkan istri dan anaknya untuk perempuan lain. "Begitulah paman, tapi bukan masalah. Mulai hari ini kita tak perlu membicarakannya lagi. Paman bisakah aku meminta dukunganmu agar aku bisa bangkit lagi?" Lan Xiang menatap paman He dengan tatapan memohon. Paman He tak mampu menahan haru. Dia telah bekerja untuk Lan Xiang semenjak toko ini masih ditangani orangtuanya. "Tentu Nyonya, aku pasti mendukungmu. Nyonya jangan khawatir, anda pasti bisa melewati ini semua." Paman He menepuk bahunya seakan meyakinkan Lan Xiang akan dukungannya. "Terima kasih Paman, aku mau melihat apakah Rou 'er sudah bangun. Paman lanjutkan merawat bunga ya." Lan Xiang pun meninggalkan rumah kaca. Dia melihat Rou'er masih tertidur nyenyak. Dia memutuskan untuk menyiapkan sarapan kemudian mandi dan berdandan. Saat mendengar Lan Xiang sekarang tinggal di toko, Lin Che naik ke lantai atas. Didapatinya Lan xiang yang tengah menyiapkan sarapan. Bosnya itu sudah mandi dan berdandan cantik. Dia mengenakan gaun sederhana berbahan katun. Terlihat cantik dan segar meski tanpa make up tebal juga pakaian tak bermerk. Lin Che selalu mengagumi penampilan bosnya itu. Meski tak seglamour wanita kalangan atas namun dia selalu terlihat rapi, bersih dan wangi. Sejujurnya tidak ada yang kurang dari penampilan Lan Xiang. "Lin Che, bantu aku membawakan sarapan untuk kalian," melihat Lin Che berdiri di tangga, Lan Xiang menyuruhnya untuk membantunya. Lin Che mendekatinya dan mengambil nampan berisi mangkuk bubur jagung, acar lobak, baozi dan tumis bokcoy. "Nyonya Lan apakah semua baik-baik saja?" Lin Che mengambil nampan itu sambil mengamati raut wajah Lan Xiang. "Sejujurnya tidak begitu baik, tapi anggaplah semua baik-baik saja. Ayo bawa itu ke bawah." Lan Xiang menepuk bahu Lin Che. "Baiklah, semua akan baik-baik saja. Anda pasti bisa menemukan pengganti pria brengsek itu." Lin Che turun dengan membawa nampan sarapan untuk mereka. Sedangkan Lan Xiang hanya tersenyum melihatnya. Ya semua baik-baik saja. Pesanan Bunga Yang Tidak BiasaToko bunga buka pada jam delapan pagi. Biasanya belum banyak pelanggan datang di pagi hari. Kecuali pelanggan yang sudah memesan untuk diambil pagi hari. Namun pagi ini ada seorang wanita yang telah datang. Dan saat ini tengah berbicara dengan Duo Duo. Wanita itu cantik dan berpenampilan formal. Dia datang dengan mengendarai mobil mewah. Saat ini dia bersikeras ingin bertemu langsung dengan Lan Xiang. Duo Duo terpaksa memanggil Lan Xiang untuk menanganinya. Lan Xiang tertegun melihat wanita cantik itu. Dia mempersilakannya untuk duduk dan menanyakan apa masalahnya. Lan Xiang mengajaknya untuk berbicara di kebun bunga di bagian belakang toko. Mereka duduk di kursi yang tersedia di sana. "Nyonya silakan duduk. Ada yang bisa saya bantu?" Lan Xiang mempersilakannya duduk dengan ramah. Dia juga meminta Duo Duo untuk menyiapkan teh dan camilan bagi mereka berdua. "Nyonya Lan, saya Chen, asisten pribadi CEO Gao. Saya akan memesan bunga untuk Tuan Gao. Tolong anda siapkan buket bunga dan diantarkan ke kantor Tuan Gao setiap pagi." Chen tanpa basa-basi merinci pesanannya. Lan Xiang terkejut mendengarnya. Seingatnya Gao grup sudah memutuskan kontrak kemitraan mereka saat dia bermasalah dengan adik tiri CEO Gao. "Nyonya Chen, saya tidak mengerti. Bukankah kontrak kerja kita telah terputus?" Lan Xiang ragu sejenak. "Nyonya Lan, ini tidak ada hubungannya dengan Gao grup. Ini pesanan CEO pribadi. Masalah kontrak kerja dengan kami akan direvisi ulang oleh CEO," Chen menjelaskannya saat melihat keraguan Lan Xiang. "Baiklah kalau begitu Nyonya Chen. Bunga apa yang dikehendaki oleh CEO anda?" Lan Xiang bertanya dengan ramah. "Itu terserah anda. Saya rasa anda lebih memahami bunga apa yang cocok untuk di ruangan CEO." Chen nampak ragu karena Tuannya tidak menjelaskan jenis bunga yang dipesannya. "Oke, Nyonya Chen. Saya akan mengatur karyawan saya untuk mengantarkan bunga ke kantor anda setiap pagi." Lan Xiang mengerti kebingungan Chen. "Maaf Nyonya Lan, CEO meminta anda sendiri yang harus mengantarkan bunganya. Tolong antar setiap jam sembilan pagi." Chen menatapnya dengan tegas. Saat itu Duo Duo datang dengan teh dan camilan untuk mereka. Lan Xiang menyajikan teh untuk Chen. "Nyonya Chen silakan teh dan kuenya. Apakah harus saya yang mengantarkan bunga itu? Apakah tidak akan menimbulkan masalah?" Lan xiang menuangkan teh untuk mereka berdua dan mempersilakan Chen untuk menikmatinya. Chen menyeruput tehnya dengan elegan. Dia tertegun, teh yang sangat enak. Namun itu bukan jenis teh yang populer. Ada wangi bunga yang samar dari teh itu. "Benar Nyonya Lan, anda tidak perlu khawatir. Ini kartu nama saya, hubungi saya saat anda mengalami masalah dalam pengantaran bunga." Chen mengulurkan sebuah kartu nama padanya. Ini inisiatif Chen sendiri. Dia ingat keributan yang terjadi saat Nyonya Lan ingin menemui CEO Gao. "Baiklah saya akan segera mempersiapkan bunga pesanan anda." Lan Xiang menerima kartu nama itu. "Oke, Nyonya Lan. Untuk pembayarannya akan diurus langsung oleh CEO. Saya permisi dan terima kasih untuk tehnya." Chen pun pergi meninggalkan toko bunga. Lan xiang mengantarkannya sampai di depan toko bunga. Dia berdiri di sana sampai mobil yang ditumpangi Chen menghilang. Lan xiang tidak tahu, ada seseorang dalam mobil yang ditumpangi Chen, memperhatikan semua gerak-geriknya. Gao yiyang-lah orang itu. Dia tersenyum senang saat melihat Lan xiang berdiri di depan toko bunga. Dia terlihat cantik, sederhana namun menarik. Dia sangat lembut dengan pakaian sederhana dan make-up seadanya. Namun itu membuat Gao yiyang memiliki hasrat yang tidak biasanya. Dia berbeda dengan wanita-wanita yang pernah dikenalnya. Lan xiang bukanlah tipe wanita yang cantik jelita bak bidadari. Juga tidak seglamour wanita-wanita kalangan atas. Pun juga tak semenggoda para sugar baby. Dia biasa-biasa saja. Namun setiap Gao yiyang melihatnya, dia memberi rasa nyaman. Ada kelembutan yang terpancar dari setiap tindak-tanduknya. Semua yang dikerjakannya terkesan alami dan tidak dibuat-buat. Bab 3 : Bunga Liar Keributan Di LobbySetelah Chen meninggalkan toko, Lan Xiang mulai merangkai buket untuk pesanan wanita tadi. Dia merangkai bunga lily of valley, dan beberapa bunga lain disertai beberapa ranting. Dia tidak tahu selera CEO Gao, namun yang pasti dia adalah pria. Jadi Lan Xiang memutuskan merangkainya dengan gaya minimalis dengan sentuhan maskulin namun indah. Lan Xiang mencurahkan kemampuannya untuk merangkai bunga pesanan CEO Gao. Entah mengapa dia ingin memberikan perhatian lebih pada buket bunga itu. Mungkin itu terpengaruh dengan perceraiannya dengan Qi Feng. Dia ingin menghibur dirinya sendiri dengan merangkai bunga yang benar-benar sesuai untuk CEO Gao. Bukankah CEO Gao adalah calon kakak ipar mantan suaminya? Lan Xiang tersenyum, "Qi Feng dan Gao Jingyan, anda belum tahu sisi liarku bukan? Mari kita lihat apakah kalian bisa menghentikan keliaranku?" Ada sekilas dingin di senyuman indahnya. Setelah merangkainya, Lan Xiang bersiap -siap untuk mengantarkan bunga itu. Dia mengganti pakaiannya dengan blouse berwarna ungu dan rok lebar selutut. Seulas make up natural memoles wajahnya. Sedangkan rambutnya dibiarkan tergerai. Sebelum meninggalkan toko, Lan Xiang menelepon Bibi Li, pengasuh Rou'er. Dia meminta Bibi Li untuk datang ke toko dan menjaganya seperti biasanya. Setelah siap, dengan berjalan kaki, Lan Xiang menuju gedung perkantoran Gao grup. Gedung itu tepat di seberang tokonya. Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di sana. Sesampainya di lobby dia dihentikan resepsionis yang tampak tidak ramah. Resepsionis itu tentunya mengenali Lan Xiang. Selain suaminya adalah salah satu direktur di managerial, dia dulu juga pemasok bunga untuk semua event grup Gao . Namun semenjak suaminya terlibat affair dengan Gao Jingyan, semua kontrak kerjanya dibatalkan. Bahkan Gao Jingyan memberi perintah untuk menghalanginya memasuki area grup Gao "Maaf Nyonya Lan, anda tidak bisa masuk. Apa pun yang ingin anda sampaikan silakan titipkan di resepsionis," gadis itu menghentikannya dengan kalimat sopan namun matanya memandang dengan remeh pada Lan Xiang. "Nona Sun, maafkan saya. Saya hanya mengantarkan bunga untuk CEO Gao. Saya sudah membuat janji dengan Nyonya Chen." Lan xiang bersikap ramah meski tahu dia diremehkan oleh resepsionis itu. "Nyonya Lan mohon jangan persulit saya, jangan menipu saya dengan menggunakan nama Nyonya Chen apalagi CEO Gao. Itu tidak ada gunanya, tolong jangan membuat keributan." Resepsionis itu tetap bertahan tidak membiarkan Lan Xiang memasuki gedung. Mendengar keributan di lobby, beberapa karyawan yang kebetulan lewat mulai berbisik-bisik. Mereka tahu affair antara Qi Feng dan Gao Jingyan. Melihat banyak orang mulai bergosip, Lan Xiang merasa tidak nyaman. Dia tidak ingin menimbulkan masalah. Jadi dia menelepon nyonya Chen. Chen langsung menjawabnya dan memintanya untuk menunggunya. Sementara itu rekan resepsionis itu pun menelepon Gao Jingyan memberitahu tentang kedatangan Lan Xiang. Karena lokasi ruangan kantor Gao Jingyan lebih dekat, dia datang lebih dahulu di lobi. Dia datang dengan Qi Feng dan asistennya. "Lan jiejie, kalau ada masalah tolong dibicarakan di dalam. Jangan membuat keributan di sini. Mari kita bicara di ruangan saya." Gao Jingyan dengan percaya diri menggenggam tangan Lan Xiang. Namun Lan Xiang menolaknya. "Nona Gao maafkan aku, aku tidak memiliki kepentingan dengan anda. Aku memiliki sesuatu hal dengan CEO Gao. Tolong jangan halangi aku." Lan xiang menepis tangan Gao Jingyan. "Xiang'er tolong mengertilah, anda tidak mungkin bisa menemui Ceo Gao, dia sangat sibuk. Mari ikut kami," kali ini Qi Feng yang membujuknya. Lan Xiang bingung melihat kedua idiot ini, mengapa mereka bersikeras mengajaknya ke ruangan mereka? Apakah mereka tidak percaya dia memiliki janji dengan CEO Gao atau mereka takut dia berbicara banyak pada CEO Gao? Untungnya Chen segera datang. Dia keheranan dengan kerumunan orang di lobi. Dilihatnya Gao Jingyan dan Qi Feng yang tengah berdiri di dekat meja resepsionis. "Nyonya Lan maaf menunggu lama. Silahkan ikut dengan saya. CEO Gao sudah menunggu " Mendengar perkataan Chen para karyawan terkejut ternyata wanita ini benar-benar memiliki janji dengan CEO mereka. "Nona Sun ingat dengan baik, mulai sekarang tidak ada yang menghalangi Nyonya Lan untuk menemui CEO, itu perintah langsung darinya!" Resepsionis itu pucat mendengarnya, dan hanya menganggukkan kepalanya. Tak ada jejak arogansi seperti yang dia pamerkan tadi pada Lan Xiang. "Nona Gao dan Tuan Qi mari ikut saya menemui CEO. Mari nyonya Lan." Chen memimpin mereka bertiga menuju ruangan CEO Gao di lantai 4. Jadilah wanitakuSesampainya di lantai 4, mereka disambut Nona Lin, sekretaris CEO Gao. "Nyonya Chen silakan masuk bersama Nyonya Lan. Nona Gao dan Tuan Qi, silakan tunggu di sini." Rupanya Gao Yiyang sudah mendengar keributan di lobby tadi. Chen mengangguk dan membawa Lan Xiang masuk ke dalam ruangan. Di dalam ruangan, Gao Yiyang tengah berdiri di depan jendela ruangannya. Sosoknya yang tinggi dan tegap itu terlihat dominan dalam ruangan tersebut. "CEO Gao, Nyonya Lan ada di sini," Chen melaporkan kedatangannya. "Nyonya Lan kemarilah. Chen tinggalkan kami berdua." Gao Yiyang menoleh ke arah Lan Xiang dan menyuruh Chen pergi. Chen meninggalkan mereka tanpa suara. Lan Xiang mendekati pria itu. Dia meletakkan bunganya di atas meja. "CEO Gao di mana saya harus menaruh bunga ini?" "Yang'er, panggil aku seperti itu Nyonya Lan." Gao Yiyang berjalan mendekatinya. Namun berhenti di depan lemari besar. "Di mana pun yang menurut anda cocok. Ada vas di lemari ini," sambungnya lagi, menunjuk lemari di belakangnya. Lan Xiang mengikuti arah pandangan Gao Yiyang. Ada sedikit celah di antara meja dan Gao Yiyang yang tengah berdiri menyandar di dinding. "Baiklah, CEO Gao bisakah anda membiarkan saya lewat untuk mengambilnya?" Gao Yiyang minggir sedikit dan hanya menyisakan sedikit celah untuk Lan Xiang lewat. "Silakan Nyonya Lan, saya rasa ini cukup untuk anda lewati. Tubuh anda langsing pasti muat." Gao yiyang tersenyum menggoda. "CEO Gao, anda pasti bercanda. Meskipun itu muat, tapi pasti kita akan bertabrakan. Baiklah, sepertinya anda sangat menyayangi vas itu. Saya akan menggunakan sesuatu di atas meja anda sebagai vas." Tanpa menunggu tanggapan pria itu, dia mulai memutari meja mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai vas. Dia menemukan akuarium mini bulat yang kosong di sudut meja. Diambilnya akuarium itu, kemudian dia ke kamar mandi di samping kiri ruangan. Di isinya akuarium itu dengan moss yang telah dibasahi dengan air. Kemudian Lan Xiang mulai merangkai kembali bunga yang dibawanya di akuarium itu. Gao Yiyang memperhatikan semua gerak-geriknya. Wanita itu sangat cantik saat memegang bunga. Melihatnya merangkai bunga seperti melihat peri sedang bermain-main dengan bunga. Tak butuh waktu lama, Lan Xiang telah menyelesaikan rangkaian bunganya. Sangat indah, meski bunga yang dipilihnya bukan dari jenis yang mahal. Sekarang dia meletakkan buket bunga itu di atas meja kerja Gao Yiyang. Meski simple dan sederhana, buket bunga itu memberi sentuhan segar dalam ruangan yang terkesan mewah namun kaku. "CEO Gao, saya sudah merangkainya. Bisakah saya pergi?" Lan Xiang berniat untuk segera pergi. Dia tidak berniat berlama-lama di ruangan yang sama dengan pria yang tengah menatapnya dengan tajam. Dia agak takut dengan pria itu. "Itu sangat indah, anda sungguh berbakat Nyonya Lan." Gao Yiyang memuji hasil karya Lan Xiang dengan tulus. "Mari duduk dulu dan berbicara bisnis." Pria itu mendekatinya dan mempersilahkannya untuk duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerjanya. Dia sendiri berdiri menyandar pada meja tersebut. Lan Xiang menghela napas, dan menurut duduk di kursi itu. Posisi mereka benar-benar ambigu sekarang. Sejujurnya Lan Xiang merasa tidak nyaman dengan posisi ini. Namun dia teringat pasangan skandal di luar ruangan itu. Dia pun menyamankan diri untuk menyingkirkan kecanggungannya. "Nyonya Lan, apa rencana anda setelah perceraian anda dengan Tuan Qi Feng?" Gao Yiyang memulai percakapan dengan santai. "CEO Gao, apakah ini berkaitan dengan bisnis yang kita bicarakan? Saya rasa kita berbicara mengenai kontrak kemitraan grup Gao dengan toko bunga milik saya yang telah diputuskan adik anda. Atau mungkin saya salah paham?" Lan Xiang menatap pria itu dengan mata bundarnya yang sebening kolam giok. Tatapan itu terlihat polos, namun Gao Yiyang menangkap sekilas sorotan dingin di mata wanita itu. "Nyonya Lan, mengenai kemitraan kita akan ditangani asistenku. Aku ingin berbicara mengenai bisnis pribadi dengan anda. Dan panggil aku Yang 'er, Nyonya Lan." Pria itu membungkukkan badannya hingga dahinya hampir menyentuh puncak kepala Lan Xiang. Lan Xiang mendongakkan kepalanya dan tersenyum, "CEO Gao, kesepakatan bisnis seperti apa yang anda inginkan?" "Nyonya Lan, anda sangat langsung dan tanpa basa-basi. Apakah anda selalu begitu di setiap langkah anda?" Gao Yiyang mencubit dagunya dengan lembut. "Tidak juga CEO Gao, tapi untuk anda yang sangat sibuk, saya tidak berani untuk menghabiskan waktu anda yang sangat berharga. Jadi katakan saja apa yang anda inginkan." Lan Xiang berusaha melepaskan cubitan di dagunya. Namun Gao Yiyang menangkap tangannya. "Jadilah wanitaku. Aku akan membantumu mengembalikan toko bungamu seperti dulu. Bahkan lebih." Gao Yiyang menggenggam tangannya dengan erat. Lan Xiang terperangah sejenak, tak percaya dengan yang baru saja dia dengar. Wanitanya? Apa dia bercanda? Cassanova idaman para wanita, Gao Yiyang, menginginkannya menjadi wanitanya. Apakah dia kehabisan stok wanita di negeri ini untuk dikencani? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya. "CEO Gao sungguh pandai bercanda. Saya sedang dalam masa tidak nyaman dan anda membuat saya tersanjung dengan tawaran anda ini." Lan Xiang berusaha melepaskan tangannya. "Aku tidak bercanda. Anda punya waktu untuk memikirkannya. Tidak ada ruginya menjadi wanitaku, Nyonya Lan. Bukankah kau ingin membalas perbuatan wanita itu?" bisik Gao Yiyang di telinganya. Pria itu membungkukkan tubuhnya begitu dekat dengan wajahnya. Lan Xiang bisa merasakan desah napasnya yang panas di tengkuknya. "Saya berterima kasih atas tawaran anda. Beri saya waktu untuk memikirkannya. Sekarang saya harus pergi. Sepertinya adik anda sudah menunggu terlalu lama." Lan Xiang mendorong pria itu untuk menjauh darinya. Dia harus segera meninggalkan ruangan dan pria berbahaya ini. "Baiklah. Dua hari lagi beri aku jawaban Nyonya Lan." Lan Xiang berdiri dan Gao Yiyang mencium tangannya dengan lembut. Lan Xiang hanya tersenyum dan melepaskan tangannya. Dia pun meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh lagi. Bab 4 : Take and Give Haruskah Aku Menerimanya?Begitu keluar, dia disambut tatapan kebencian Gao Jingyan. Sementara Qi Feng mengerutkan kening menatapnya. Namun Lan Xiang mengabaikannya. Mereka berdua masuk ke dalam ruangan CEO. Sedangkan Lan Xiang yang hendak meninggalkan tempat itu dihentikan Chen. "Nyonya Lan ini kontrak kerja yang baru, silakan anda pelajari. Jika ada yang kurang dimengerti, anda bisa menghubungi saya." Chen mengulurkan sebuah map padanya dan Lan Xiang menerimanya dengan senang. "Terimakasih. Nyonya Chen anda sudah lama bekerja bersama Tuan Gao bukan?" Lan Xiang bertanya dengan santai pada asisten Gao Yiyang itu. "Betul nyonya Lan. Apakah ada masalah?" Chen terlihat bingung dengan pertanyaannya. "Apakah dia pernah menawari seorang wanita untuk menjadi wanitanya?" Lan Xiang berbisik di telinga Chen. "Itu .... Setahu saya tidak pernah. Apakah anda ditawari oleh Tuan Gao?" tanpa sadar Chen juga ikut berbisik. Lan Xiang menganggukkan kepalanya. "Anda wanita pertama yang mendapatkan tawarannya," Chen kembali berbisik padanya. "Haruskah aku menerimanya? Reputasi Tuanmu dalam bidang ini sungguh buruk." Lan Xiang menggelengkan kepalanya dengan bingung. "Itu tergantung anda Nyonya Lan. Jika anda pintar, anda pasti akan mendapat banyak manfaat dari Tuan Gao." Chen tersenyum bijak pada wanita cantik di sisinya. "Oke oke. Aku akan memikirkannya. Sekarang aku harus pergi. Sampai jumpa Nyonya Chen." Lan Xiang tersenyum manis dan berpamitan padanya. Dengan perginya Lan Xiang berakhirlah bisik-bisik di antara dua wanita yang sebenarnya tidak pernah bergosip. Lan Xiang dan Chen merupakan dua wanita dengan tipikal yang sama. Kedua-duanya tidak suka gosip dan bergosip. Mereka juga bukan tipe sosialita, mereka pekerja keras. Dan kedua-duanya cerdas. Sesampainya di toko, Lan Xiang memberikan kontrak kerja dengan Gao grup pada Lin Che. Dia juga menginstruksikan beberapa hal pada Duo Duo. Setelah itu dia naik ke lantai atas untuk melihat Rou'er. Putrinya itu sedang bermain dengan tabletnya. Dia senang dengan kepulangan ibunya. "Ibu .... Lihat aku menggambar bunga yang cantik." Gadis cilik itu menunjukkan tabletnya pada ibunya. "Wah cantik sekali. Anak ibu memang pandai. Rou'er sudah sarapan?" Lan Xiang memuji hasil karya putrinya meski itu dibantu teknologi ipad yang canggih. "Sudah ibu, bubur jagungnya enak. Ibu kapan ayah datang kemari?" Rou'er kembali menanyakan ayahnya yang memang sudah lama tak kembali bersama mereka. Lan Xiang enggan menjawab pertanyaan putrinya itu, namun dia harus memberi jawaban yang tidak membuat Rou'er berharap banyak. "Rou'er sayang, ayah sedang sibuk. Mungkin akan jarang kemari. Tapi Rou'er jangan sedih, nanti ibu temani Rou'er ke taman bermain," dibujuknya putrinya itu dengan lembut. "Oke ibu, Rou'er tidak akan sedih. Rou'er akan tunggu ayah kemari. Rou'er akan jadi anak baik." Gadis cilik itu mengangguk mengerti. "Iya sayang. Sekarang ibu temani Rou'er bermain barbie. Lihat barbienya perlu mandi. Ayo kita mandikan." Lan Xiang mengambil sebuah boneka barbie yang terlihat kotor dan menunjukkannya pada Rou'er. Gadis cilik itu terkekeh dan mengangguk setuju untuk memandikan boneka barbie-nya. Hampir sesiangan itu Lan Xiang menemani putrinya bermain. Mereka bermain dan bercanda hingga Rou'er tertidur. Setelah Rou'er tertidur, Lan Xiang kembali mengawasi para karyawannya. Toko bunga mulai ramai pengunjung meski tidak seramai dulu. Setidaknya ada beberapa pesanan dalam jumlah besar. Setahun belakangan ini, toko bunganya memang mengalami kemunduran drastis bahkan nyaris bangkrut. Beruntung para karyawannya loyal dan selalu mendukungnya. Kenangan Dan Luka LamaLan Xiang duduk dengan santai di kursi taman yang berada di tengah rumah kaca. Dia memeriksa beberapa laporan penjualan dan stok bunga. Sesekali dia mengawasi kebun bunga yang nampak asri dan terawat. Sungguh menyejukkan mata dan hati. Entah mengapa, dengan menatap bunga-bunga itu dia terbawa suasana. Tanpa sadar dia melamunkan perjalanan pernikahannya dengan Qi Feng. Terkadang dia masih sulit mempercayai perpisahan mereka. Dia sudah berusaha semampunya untuk menjadi istri dan ibu yang baik bagi Qi Feng dan Rou'er. Lan Xiang selalu menyediakan waktu untuk keluarga, terutama di hari libur. Dia pun rela mondar-mandir toko dan rumahnya untuk mengawasi putri mau pun bisnisnya. Meski ada Bibi Li namun Lan Xiang masih menyempatkan diri mengurus suami dan anaknya. Dia juga sibuk dengan toko bunganya. Namun dia bahagia dengan semua itu. Terkadang dia memang merasa lelah namun semua itu terbayarkan saat melihat putrinya yang manis dan pintar. Dia juga puas dengan suaminya yang sukses dalam berkarir. Dia selalu mendukung suaminya dengan mengurus seluruh urusan rumah tangga dan tidak pernah mengganggu Qi Feng dengan masalah-masalah kecil. Bahkan dia memprioritaskan suami dan putrinya dibandingkan dengan bisnis bunganya. Toh keluarga mereka hidup berkecukupan. Semua terlihat sempurna hingga setahun yang lalu Qi Feng mulai berubah. Dia dingin dan acuh tak acuh terhadapnya. Bahkan mulai sering kehilangan kesabaran saat bersama putri mereka. Dia juga sering menuntut atau bahkan mengejek penampilan Lan Xiang. Dan pada suatu hari dia menemukan penyebab semua perubahan itu. Gao Jinyang, Nona Muda Gao grup yang baru kembali dari luar negeri jatuh hati pada Qi Feng. Dan Qi Feng tak mampu menahan godaan itu. Saat Lan Xiang mengetahui affair itu dia berusaha menghadapinya dengan tenang. Dia sadar betul yang dihadapinya adalah Nona Muda Gao yang kaya, cantik, manja dan sombong. Lan Xiang sangat berhati-hati menghadapi Gao Jingyan. Dia mencoba mengkomunikasikan affair mereka dengan terbuka. Namun rupanya pasangan itu tengah mabuk asmara. Mereka terang-terangan menyerangnya lewat media sosial. Bahkan ada beberapa rekan Gao Jingyan yang menggambarkannya, lewat media sosial, sebagai ibu rumah tangga yang tak mampu mengimbangi karier suaminya. Lan Xiang sadar dia tak mampu membeli media juga tak berniat untuk viral, jadi dia memilih untuk diam. Dan dia mulai fokus dengan bisnis bunganya. Namun Gao Jingyan kembali menghancurkannya. Dia memutus kontrak kerja toko bunganya dengan Gao grup. Pemutusan kontrak itu membuat klien-klien besar toko bunganya juga mengikuti langkah Gao grup. Kini tinggal klien-klien kecil saja yang tersisa. Bahkan dia sempat berniat menjual tokonya karena merugi. Namun dengan kembalinya Gao Yiyang dari luar negeri, Lan Xiang memberanikan diri untuk menemuinya. Namun sekali lagi, Gao Jingyan menghalanginya. Satu hal yang tidak diketahui Gao Jingyan maupun Qi Feng adalah hubungan antara ibu kandung Gao Yiyang dengan toko Violet Florist & Garden miliknya. Ibunda Gao Yiyang-lah yang telah membuat kontrak kerja dengan toko bunga miliknya, yang saat itu masih dikelola kedua orang tuanya, dan itu sudah berjalan puluhan tahun. Mereka memiliki sejarah yang panjang dan penuh dengan kenangan baik bagi Lan Xiang maupun Gao Yiyang. Bagi Lan Xiang kontrak dengan grup Gao adalah peninggalan orang tuanya untuk dijaga dan dilestarikan. Grup Gao adalah klien pertama mereka. Sedangkan bagi Gao Yiyang, kontrak dengan Violet Florist & Garden merupakan kenangan dengan ibunda dan neneknya. Kedua wanita itu sangat menyukai bunga-bunga dari toko bunga tersebut. Tindakan Gao Jingyan memutuskan kontrak mereka telah membangkitkan luka lama Gao Yiyang. Masa lalu yang hampir terlupakan seakan digali kembali. Gao Yiyang telah memutuskan untuk menutup luka dalam kehidupannya rapat-rapat. Dia bukan tipe pendendam tapi bukan berarti dia melupakan orang-orang yang telah menorehkan luka itu. Dan Gao Jingyan tidak menyadari, keinginannya untuk memiliki suami Lan Xiang merupakan pembuka luka lama kakak tirinya. Dan itu memicu kemarahan yang telah terpendam dalam diri Gao Yiyang. Dan suatu kebetulan, Lan Xiang adalah salah satu orang yang mengetahui luka hati sang CEO dan juga penyebabnya. Lan xiang tahu persis bagaimana ibunda Gao Jingyan mendapatkan posisi sebagai Nyonya Gao. Dia juga tahu bagaimana ibunda Gao Yiyang menderita akibat perselingkuhan Tuan dan Nyonya Gao yang sekarang. Memikirkan tawaran Gao Yiyang tadi membuat Lan Xiang mengingat kembali skandal yang terjadi bertahun-tahun lalu. Dia memiliki dugaan, Gao Yiyang ingin menjadikannya sebagai wanitanya untuk membalas dendam atas luka lama yang diakibatkan oleh ibunda Gao Jingyan. Ah sudahlah, jika itu memang tujuan Gao Yiyang, dia tidak keberatan. Selama itu menguntungkan tidak ada salahnya dia menerima tawaran itu. Anggap saja itu sebagai hubungan yang saling menguntungkan, take and give. Hanya itu yang bisa dipikirkan Lan Xiang sekarang. Bab 5 : Bertemu Lagi Apa Tujuanmu?Toko bunga tutup pukul lima sore. Kecuali ada pesanan yang harus mereka selesaikan, mereka akan tutup lebih malam. Setelah toko tutup, Lan Xiang memutuskan untuk mempelajari kontrak kerja yang baru dengan Gao grup. Kontrak itu mirip dengan yang lama, hanya ada beberapa perubahan yang disesuaikan seperti nominal harga bunga dan hal-hal yang dapat memutuskan atau membatalkan kontrak. Salah satunya adalah jika ada kelalaian atau unsur penipuan yang dapat mengakibatkan kerugian di salah satu atau kedua pihak. Di kontrak itu juga tercantum pemutusan atau pembatalan kontrak harus sepengetahuan CEO Gao grup dan Lan Xiang sebagai pemilik toko. Lan Xiang puas membaca kontrak itu. Adil dan menguntungkan dua belah pihak. Kontrak itu sangat berarti bagi Lan Xiang. Karena Violet Florist & garden akan memasok kebutuhan bunga untuk gedung perkantoran, event, pesta dan gala dinner, hotel, villa dan resort, serta rumah pribadi keluarga Gao dan rumah pribadi CEO Gao. Yang berarti akan menghasilkan pemasukan yang cukup besar bagi tokonya. Puas dengan kontrak itu, Lan Xiang menanda tanganinya dan menyimpannya dengan baik-baik. Besok dia harus membawanya kembali ke kantor grup Gao. Setelah itu Lan Xiang mengajak Rou'er berbelanja kebutuhan mereka. Karena baru pindah mereka tidak memiliki persediaan makanan. Mereka juga membutuhkan beberapa keperluan rumah tangga dan kebersihan. Mereka berbelanja di supermarket terdekat. Mereka naik taksi ke sana. Hanya beberapa blok dari toko bunga. Namun jalannya memutar. Hingga cukup jauh kalau harus jalan kaki. Mereka berdua asyik berbelanja dan berjalan-jalan di supermarket. Banyak yang mereka beli. Selain bahan makanan dan cemilan, Lan Xiang juga membeli perlengkapan mandi dan alat-alat kebersihan. Sudah lewat jam sepuluh malam saat mereka selesai berbelanja. Lan Xiang menggendong Rou'er dan mendorong troli yang penuh dengan belanjaan menuju tempat pemberhentian taksi. Cukup lama mereka menunggu namun belum ada taksi yang lewat. Rou'er mulai mengantuk. Saat itu sebuah Bentley hitam berhenti di depan mereka. Lan xiang melihat pria yang turun dari mobil itu dan terkejut melihatnya. Gao Yiyang! Bisiknya dalam hati. "Nyonya Lan aku akan mengantarmu pulang. Ini sudah malam, taksi sudah jarang lewat dan putrimu mengantuk." Pria itu tanpa basa-basi menawarkan bantuannya. Lan Xiang berpikir sejenak, apa yang dikatakan pria itu benar. "Oke, terimakasih Tuan Gao." Lan Xiang menggendong putrinya yang terkantuk-kantuk. Gao Yiyang menyuruh supirnya memasukkan belanjaan Lan Xiang ke dalam bagasi mobil. Kemudian mobil mewah itu meninggalkan pusat perbelanjaan. "Berapa umur putrimu Nyonya Lan?" Gao Yiyang menatap gadis kecil di pangkuan Lan Xiang. "Lima tahun Tuan Gao." Lan Xiang membelai rambut putrinya yang tengah terkantuk-kantuk. "Pasti dia sering menanyakan ayahnya bukan?" Gao Yiyang setengah bergumam, tangannya yang besar terulur membelai kepala Rou'er. Lan Xiang hanya mengangguk. Dia hanya agak terkejut dengan kelembutan Gao Yiyang pada putrinya. Biasanya pria itu acuh tak acuh pada segala hal. Tak terasa mereka sampai di toko. Gao Yiyang membuka pintu mobil dan membantu Lan Xiang turun. Sementara supirnya membantu menurunkan belanjaannya dan menaruhnya di depan pintu toko. Lan Xiang kerepotan mencari kunci di dalam tas sementara menggendong Rou'er. "Biar kugendong putrimu dan kau buka pintunya," Gao Yiyang menawarkan diri. Lan Xiang menyerahkan Rou'er untuk digendong Gao yiyang. Kemudian dia membuka pintu. Dia memimpin Gao yiyang untuk membawa Rou'er ke kamarnya di lantai atas. Lan Xiang membawa Gao yiyang ke kamar putrinya, dan membiarkan pria itu menidurkan Rou 'er yang telah terlelap. Setelah yakin Rou'er tertidur nyenyak keduanya ke luar dari kamar. Mereka berdiri canggung di tengah ruangan yang merupakan ruang keluarga sekaligus ruang makan. "Terimakasih Tuan Gao," Lan Xiang mengucapkan terima kasih dengan kikuk. "Nyonya Lan tolong pertimbangkan tawaranku. Kalian berdua membutuhkan perlindungan pria," Gao Yiyang menatap Lan Xiang yang tengah menundukkan kepalanya. "Tuan Gao, memang tidak aku pungkiri akan lebih mudah jika ada seorang pria dalam kehidupan kami. Tapi aku rasa anda bukan pria itu." Lan xiang mendongak dan menatap Gao Yiyang dengan serius. "Xiang'er tidak ada pria yang lebih baik selain aku bukan? Kalau aku tidak baik, bagaimana dengan Qi Feng? Dia mengkhianatimu bukan?" Gao Yiyang memanggilnya dengan panggilan akrabnya. "Tuan Gao anda benar dan orang yang telah membuat suamiku mengkhianatiku adalah adikmu. Apakah akan baik-baik saja jika aku menjadi wanitamu?" Ada nada getir dalam suara Lan Xiang. "Kau bisa coba dan kau akan tahu semua akan baik-baik saja, Xiang'er," Gao Yiyang masih berusaha meyakinkannya. "Tuan Gao, apa tujuanmu memintaku untuk menjadi wanitamu? Aku tidak berniat membalas dendam pada adikmu. Entah denganmu?" Lan xiang menatap pria di depannya dengan tenang. Gao Yiyang tertegun mendengar pertanyaan wanita itu. Ya apa tujuannya? Karena kasihan? Atau karena dia serasa melihat mendiang ibunya dalam diri Lan xiang? Atau mungkinkah dia ingin menggunakan wanita itu untuk balas dendam? "Aku tidak tahu. Pada saat aku melihatmu di lobi, dan dihalangi oleh resepsionis, aku tahu kau sengaja mengatakan itu karena kau sudah melihatku bukan? Saat itulah aku ingin kau jadi wanitaku," Gao Yiyang berkata dengan jujur. Dia memang tidak tahu apa yang membuatnya menginginkan Lan Xiang. "Tuan Gao, aku minta maaf. Mungkin perkataanku waktu itu mengingatkanmu akan sesuatu yang buruk. Tapi aku terpaksa, karena aku harus menyelamatkan toko bungaku," Lan Xiang berbicara lirih karena merasa bersalah. Dia telah mengingatkan Gao Yiyang pada sesuatu yang mungkin ingin dilupakannya. "Ya, kau mengingatkanku akan ibuku. Dia pun dikhianati suaminya yang tak lain adalah ayahku. Aku memahami kondisimu dan juga perasaan putrimu. Aku pernah berada dalam posisi yang sama dengannya. Karena itu aku menawarkan perlindungan untuk kalian berdua." Gao Yiyang menatap wanita di depannya dengan lembut. Diulurkannya tangannya untuk menarik sejumput rambut wanita itu dan menyelipkannya ke telinga. "Baiklah Tuan Gao, aku masih punya waktu sampai besok sore untuk memikirkannya. Tunggu besok sore dan aku akan memberimu keputusan." Lan Xiang kembali menatap pria di depannya dengan tenang. "Oke aku akan menunggu. Selamat malam Nyonya Lan. Jaga dirimu baik-baik." Gao Yiyang mencium tangan wanita itu sebelum pergi. Lan Xiang mengantarkan Gao Yiyang sampai di depan toko. Sebelum Gao Yiyang masuk ke mobil, dia menyuruh Lang Xiang masuk toko terlebih dahulu. Setelah memastikan wanita itu aman, Gao Yiyang meninggalkan toko itu dengan mobilnya. Suara derum mobil itu memecahkan kesunyian malam. Untungnya itu bukan lokasi hunian hingga tidak mengganggu . Description: Lan xiang adalah seorang wanita berusia tigapuluh tahun. Dia bercerai dengan Qi feng, suaminya, yang berselingkuh dengan rekan kerjanya Gao jingyan. Sebagai seorang istri, Lan xiang berjuang mempertahankan cinta, rumah tangga dan bisnis toko bunganya. Namun pada akhirnya dia tidak mampu. Cinta dan rumah tangganya hancur, dan bisnis toko bunganya hampir bangkrut. Kemudian seorang pria menawarinya untuk menjadi wanita simpanannya untuk menyelamatkan toko bunganya. Bersediakah Lan xiang menjadi wanita simpanan?
Title: Why Me Category: Fantasi Text: Prolog "Lepasin tangan gue!"- "Jelasin dulu apa maksud semua ini?!"- "gue bahkan ga sudi jelasin semuanya ke elo"- Segitu dulu ya prolognya Silahkan baca next capter berikutnya Don't Forget Like And Coment Description: Dia adalah Jung Hoseok Seseorang Lelaki Yang Mandiri Dan Sangat Bertanggung Jawab. Ia Selalu Saja Mencari Cara Agar Ia Bisa Bahagia Namun, Takdir Berkata Lain, Ia Selalu Saja Mendapatkan Kebalikan Dari Apa Yang Ia Minta. Hingga Pada Akhirnya Ia Menemukan Secerca Cahaya Yang Selama Ini Ia Cari Di Sebuah Gelapan. Mau Tau Lanjutan Ceritnya? Silahkan Baca Lebih Lanjut. Don Forger Suport, Vote And Coment Ya Readers ☺
Title: Winning 'Ur Heart Category: Chicklit Text: 1. Obrolan Makan Malam Pernah enggak sih kalian pengen lari dari suatu momen yang menurut lo paling memuakkan seumur hidup? Oke, gue bakal kasih contohnya. Bayangin lo lagi jalan sama seorang cowok tampan nan mapan. Badannya atletis, bahu lebar, dada bidang, pokoknya cocok banget buat tempat bersandar. Terus kalian makan di salah satu restoran favorit berdua yang memang udah langganan sampai para pelayan bahkan manager restoran itu udah paham snack karena udah langganan 24/7. Tapi, di hari yang sangat sial itu, lo harus dihadapkan dengan gebetan dari gebetan lo. Ngerti gak? Paham kan? .... Nah, itulah gue sekarang. .... Gue terjebak di antara dua insan yang salah satunya memendam perasaan untuk perempuan yang duduk di depan gue. Sedangkan gue sendiri makan hati liat ke-so-sweet-an mereka namun urung menunjukkan karena gue masih punya gengsi. Selain itu alasannya adalah cowok yang punya tempat di hati ini adalah sahabat gue satu-satunya yang setia menemani lika liku hidup seorang hamba tuhan yang banyak menanggung dosa alih-alih pahala. Kenalin, gue Rumi. Arumi Bella Kusuma, 26 tahun, JAKARTAAAA. Sorry sorry, emang gue obsessed banget sama nada perkenalan ajang kecantikan. Dulu gue bermimpi mau jadi puteri Indonesia, jadi sering latihan perkenalan ala-ala pageant gitu. But anyway, karena dirasa enggak ada bakat yang menonjol selain tukang malakin hutang, jadi gue lebih memilih untuk mengubur dalam-dalam mimpi konyol tersebut. Oh iya, kalau gebetan plus sahabat gue namanya Gio Putra Pratama. Umurnya 29 tahun dan yap, kita beda tiga tahun. TMI aja, hari ini dia ulang tahun. Gio ini anak dari teman SMA Ayah. Karena dulu Ayah dan Om Ridho—bokap Gio—pernah punya satu project perusahaan bareng, alhasil kami anak-anak mereka jadi dekat karena faktor sering bertemu. Kadang Gio sering main ke rumah gue, kadang juga sebaliknya. Walaupun dari SD sampai SMA sekolah gue dan Gio gak pernah sama, tapi di kuliahan kita bisa sejurusan bahkan sekelas. Lupakan soal kebetulan karena gue lebih percaya itu adalah sebuah takdir yang tuhan ciptakan untuk perjalanan hidup seorang Rumi. "Kamu gimana sama Brenda?" suara perempuan yang hadir di antara kami berdua mengintrupsi gue yang tadinya tengah berusaha menyeruput ramyeon dengan elegan. Gio tertawa kecil, "Apaan sih, Nin? Kan udah dibilang gak ada apa-apa juga." Namanya Nindi, perempuan sepantaran gue tapi beda nasib. Nindi sendiri gue akuin manis. Ditambah lagi dia orangnya lemah lembut idaman semua lelaki di luar sana. Lihat, sangat berbanding terbalik sama gue. Nindi menyambut jawaban Gio dengan senyuman yang sialnya gue bisa lihat efeknya kepada sahabat tercinta gue yaitu mukanya perlahan berubah merah tanda lagi malu-malu kucing. Sumpah ya, gue ada peran gak sih di meja ini? "Bukannya makin lengket si Brenda sampai-sampai selalu ngirimin masakan ke rumah kamu?" Nindi kembali bertanya kepada Gio. "Itu juga gak aku makan kok. Nih yang makanin." Gio mencubit pipi kanan gue yang sedang melamun sambil meniupi ramyeon agar gak panas lagi dan aman untuk dimakan. Lirikkan maut yang gue tunjukkan untuk Gio membuat baik Nindi dan Gio tertawa geli. Stop it, gue malas lihat tawa kalian. "Abis punya teman gak ada bersyukurnya. Memang kalau udah banyak uang tuh jadinya jumawa." "Mana ada gue jumawa!" "Udah deh, orang memang jumawa." "Itu gue kasih lo biar gak mubazir. Bukan jumawa!" Karena lagi malas memperpanjang perdebatan tidak berfaedah ini, gue cuma bisa membalas kata-kata Gio dengan menggerakkan tangan seperti orang sedang bicara. Gue menyuapi mulut ini dengan bimbimbap yang sama sekali belum disentuh mereka berdua dari tadi. "Memang kenapa sih sama Brenda? Kan dia cantik, tinggi kayak model gitu. Gak mungkin kamu gak suka dia." setelah Nindi selesai tertawa karena kelakuan gue dan Gio tadi, dia langsung bertanya yang gue bisa tangkap dengan nada penasaran. Serius, Nindi? Lo gak peka benaran apa sengaja pura-pura gak peka? Masih tanya aja dari jaman kapan soal Brenda dan Gio yang udah jelas sama sekali gak ada harapan. Sama kayak gue dan Gio yang mustahil lebih dari hubungan seorang sahabat. Hmm.. Kok miris ya. "Kasihan tuh si Brenda. Kamu tahu kan kalau masak itu butuh effort? Dia tahunya kamu selalu nerima dan makan masakan dia, padahal kenyataannya kamu sentuh pun enggak." Saatnya sesi Ibu Nindi berceramah. Gue gak peduli sih sama obrolan mereka berdua. Yang gue mau cuma habisin ramyeon beserta makanan pelengkap lainnya secepat mungkin, abis itu cabut. Gak papa deh pakai ojek online pulangnya, yang penting kondisi fisik maupun batin gue sehat tanpa tekanan. Takut sakit hati alias iri dengki kalau kelamaan bareng mereka berdua. "Aku kan udah pernah bilang kalau aku gak suka sama dia. Udah diomongin berkali-kali pun Brenda gak ngerti-ngerti." Nindi mengusap bahu Gio dengan halus sedangkan gue hanya menatap drama ini dengan datar tak bersemangat. "Lain kali kamu harus apresiasi dia. Hargai dia karena udah susah-susah masak untuk kamu." Kalau gue ingat-ingat lagi tentang Brenda yang kadar sukanya ke Gio udah akut banget sih memang kasihan. Pernah si Brenda curhat ke gue karena Gio pernah mempertegas ke dia kalau Gio sama sekali gak ada perasaan dan nyuruh untuk stop ngelakuin hal-hal yang bisa bikin dia ilfeel. Gue kaget banget pas si Brenda nyeret ke kamar mandi kantor sambil nangis-nangis bombay. Bukan apa-apa sih, soalnya Brenda sama Gue tuh semacam punya love-hate relationship. Kadang gue lihat dia kayak dendam banget kalau gue sama Gio lagi ngobrol. Tapi dia juga paham kalau gue sama Gio adalah sahabat dari kecil. Ya... Walaupun udah berubah perasaan gue. "Apaan sih Bren? Ini kalau orang lihat dikira gue ngapa-ngapain lo pasti." gue mengomel sambil berkecak pinggang di depan Brenda yang sedang nangis sesenggukkan. Brenda perlahan menatap mata gue yang kebingungan. Untung aja toilet kantor gue bersih dan harum. Jadi, gue gak masalah untuk ngobrol di sini dalam jangka waktu yang lumayan lama sekalipun. "G—Gi—Gi—G—" "Apaan sih? Gigi? Coba yang jelas kalau ngomong. Tenangin dulu itu nangisnya." jangan tanya kenapa gue gak berlaku lembut sama Brenda padahal dia lagi nelangsa begini. Percayalah, itu cuma sekedar gue yang gak tahu caranya respon orang yang nangis tiba-tiba. Setelah Brenda tenang, dia mulai menatap gue dengan tatapan terluka. Gue tahu sih ini bakalan kedengaran drama banget, tapi ya itu yang gue lihat dari sorot matanya. "Gio... Gio nolak gue bahkan di saat gue belum nyatain perasaan ini." Ternyata datang juga hari ini. Hari di mana Gio udah muak dengan segala perilaku Brenda yang dia rasa risih. Tadinya gue dukung banget untuk Gio berani bilang ke Brenda soal perasaannya. Tapi, ngelihat kondisi Brenda sekarang justru kenapa gue jadi kasihan ya. Sempat ada jeda beberapa menit karena gue gak tahu mesti nanggapin omongan Brenda gimana. Tapi, gue mesti ngomong kan? "Duh... Sorry ya Bren. Gue tahu ini bakal aneh banget kedengarannya. Tapi, lo gak boleh nangisin Gio yang sama sekali gak ada kontribusi di hidup lo selain ninggalin jejak sakit hati doang. Life must goes on, kan?" shit. Gue tua banget sok-sok-an ngasih semangat hidup kepada orang yang bahkan gak ada hubungan baik sama gue. Don't get me wrong. Brenda gak seburuk itu kok, cuma kadang dia agak ngeselin aja. "Anjir, gak cocok lo ngomong kayak gitu." bukannya berterima kasih karena gue udah berusaha untuk ngehibur dia, eh malah ngada-ngada ini orang. "Yee... Gini-gini gue usaha tahu." Setelah Brenda benar-benar udah kelihatan normal lagi dan sudah touch up make up biar gak kelihatan abis nangis, gue juga turut ikutan rapih-rapih baju dan bersiap untuk balik ke ruangan kerja. Sampai si Brenda nahan tangan gue sebentar karena ada yang mau diomongin sama dia. "Lo... Ada solusi gak untuk gue deket sama Gio?" gue bisa dengar nada ragu dari Brenda. Tapi gue juga kaget, kok ada orang yang masih aja berjuang padahal udah ditolak mentah-mentah. "Serius lo nanya gue?" Brenda menganggukkan kepalanya. Akhirnya gue berusaha mikir apa yang harus dilakuin Brenda supaya bisa luluhin hati Gio. Padahal kalau gini artinya gue bantuin musuh sendiri dong. Tapi ya namanya rasa iba gak bisa ditahan kan. Hitung-hitung bersaing secara sehat lah. "Gimana kalau lo coba bikinin dia makanan. Pasti gak tega buat nolak sih dia kalau kayak gitu." Brenda tampak memikirkan perkataan gue matang-matang. "Oke, gue ambil saran dari lo. Anyway, thank you ya, Mi. Nanti kalau berhasil gue traktir makan deh!" ***** "Mi?" "Rumi?" "ARUMI!" Suara teriakan Gio yang nyaring banget buat gue sadar dari lamunan tadi. Memang Gio si anak gak ada adab. Telinga gue jadi berdengung gara-gara teriakan setan satu ini. Karena gue kesal, akhirnya gue cubit perut Gio dengan kekuatan maksimal sampai si Gio teriak keras banget. Semua orang di restoran ngeliatin meja kami dengan sorotan keganggu. Ya maaf ya semuanya, saya khilaf. "Setan ya lo, Gi! Kalau gue budeg pokoknya lo harus tanggung jawab ya buat ke THT." "Makanya jangan ngelamun. Gue takut lo kesambet setan di sini. Ntar yang repot juga gue bawa pulang lo yang lagi kesurupan." "Sialan." Nindi yang melihat perilaku Tom and Jerry antara gue dan Gio cuma bisa geleng-geleng kepala. "Gio, janji ya sama aku?" Nindi kembali bertanya sesuatu yang sama sekali gak gue ngerti. Entah obrolan macam apa yang sudah gue lewatkan tapi dilihat dari raut Gio sekarang gak penting-penting amat kayaknya. Nindi menghela napas karena tidak kunjung dapat balasan dari Gio. Sedangkan gue kayak orang bego yang gak tahu topik obrolan sekarang apa. Tapi ya udahlah, mending gue abisin aja ini ramyeon yang tinggal dikit. "Memang alasannya kenapa sih sama masakan si Brenda? Gak enak?" Oh... Masih seputar masakan Brenda toh. "Ya enggak sih. Eh, maksudnya gak tahu kan aku gak pernah coba. Menurut lo gimana, Mi?" Gio berbalik bertanya kepada gue yang lagi asik menyeruput kuah ramyeon. "Enak." singkat, padat, dan jelas. Nindi berbalik menatap Gio, "nah, terus masalahnya apa?" "Takut dipelet kali." Nindi dan Gio natap gue kaget karena celetukan barusan. Sebenarnya gue asal ngomong aja biar Nindi gak nanya itu-itu terus. Gue yang dengar juga bosan. "Apa lihat-lihat? Gue balik duluan deh." Setelah gue minum air putih sampai habis, tanpa babibu gue langsung berdiri dan beranjak dari kursi sebelum Gio sempat menodongkan pertanyaan kenapa pulang sekarang. Tapi sebelum itu, gue berikan senyum terindah yang gue punya dulu kepada dua manusia tersebut. ***** Description: Mungkin susah buat ngerubah status sahabat yang udah melekat di antara Gue dan Gio. Tapi, Gue gak boleh nyerah karena seorang Rumi gak kenal yang namanya pesimis. Ingat baik-baik motto hidup Gue, "Tetap usaha selagi janur kuning belum melengkung!"
Title: Wanita yang Menusukkan Jarum ke Kulitnya Category: Thriller Text: 01 : Gendhis Suara barang pecah menusuk kuping, membuat alam sadarnya terbangun. Kedua mata membelalak saat pikiran mulai setengah sadar, lalu seluruh kepalanya serasa bergelenyar. Ia terlambat, padahal sebelumnya sudah terbangun hanya untuk mematikan alarm di ponsel. Gendhis Kumalasari langsung terbangun dari kasur dan buru-buru turun ke lantai satu melalui tangga melingkar di rumahnya tersebut. Baginya tidak masalah kalau sampai harus terlambat ke kantor, karena atasannya sangat baik dan bisa dibilang masih bisa sedikit ditipu, tapi tidak dengan suaminya yang super perfeksionis tersebut. Gendhis yang masih mengenakan tank top putih dan short pants biru muda itu termangu meski bukan pemandangan baru baginya saat melihat lantai di meja makan penuh dengan piring pecah dan tudung penutup makanan yang tergelak di sampingnya. Jantung memompa darah lebih cepat, tenggorokannya tercekat, dan untuk sesaat tubuhnya merasa terguncang seperti gempa, tapi sekali lagi ia memastikan bahwa ini bukan bumi yang sedang bergoyang. Di tengah rasa mual, ia coba mengumpulkan segenap kekuatan untuk tetap berdiri menatap punggung suaminya yang tengah berada di halaman belakang. Bima masih berpakaian santai padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, sementara jam kantornya adalah pukul setengah delapan, sebatang rokok terkepit di antara jemari lelaki tersebut. "Kamu telat bangun Dhis," ujarnya yang lebih kepada sebuah penegasan daripada pertanyaan. "Iyy..iya mas, maafkan aku ya, harusnya akutuh..." Bima memotong. "Sudah gak usah banyak bicaralah, memang kamu kan dasarnya pemalas, otaknya lemot dan lambat dalam hal apapun!" celanya sembari mengisap rokok, asap membubung di udara. "Aku..aku akan siapin dulu semuanya ya." "Yaudah telat lah goblok! Gara-gara kamu nih, aku jadi telat ke kantor, makan belum disiapin, baju belum disetrika, kaus kaki, sepatu, dasi, semuanya, kacau sekali gaya hidupmu itu." “Gak usah kasar juga ngomongnya bisa gak sih, kan mas juga yang minta main tengah malam,” balas Gendhis entah punya kekuatan dari mana. “Heh! Siapa kamu berani ngatur-ngatur aku sekarang, ya suka-suka aku, kalau mau main malam kenapa memangnya, gak usah alihin pembicaraan,” ketus Bima sembari membalik badan, wajahnya yang tampan namun memiliki rahang keras terlihat, rambutnya hitam pekat dan tebal dengan tatapan kedua mata yang secara natural memang sudah tajam. Gendhis tertunduk, matanya mulai memerah, berusaha menahan air mata. “Gak usah cengeng, jualan air matamu saat ini tuh gak laku, udahlah muak aku ngelihat mukamu, pergi sana! Aku gak ngantor hari ini, dan yah gara-gara kamu, aku kesal dan jengah, dan itu semua ya karena salah kamu, ingat ya salah kamu!” Bima Riyadi berjalan melewati pundak Gendhis, dan saat langkahnya mulai menjauh, tak terasa air mata menetes di pipi wanita itu, selama bertahun-tahun ia selalu diperlakukan seperti sampah, berulang kali dirinya berontak untuk keluar dari segala kehidupan busuk yang menghampiri, hidupnya sudah tidak di dasarkan atas nama cinta lagi, tapi ada satu hal yang selalu membuatnya harus tetap bersama, yaitu keluarganya. 02 : Dan Aku Telah Membunuhnya Gendhis termenung seorang diri di Coffee Shop, perutnya tidak terasa lapar meski jam makan siang sudah lewat, mood-nya benar-benar berada di titik terendah saat ini. Ia selalu menjadi objek kesalahan, apapun yang dilakukannya tidak pernah benar, padahal sebagai wanita Gendhis hanya ingin memberikan yang terbaik, tapi lelaki yang menjadi suaminya itu lebih terkesan memperlakukannya seperti pembantu. Memiliki rumah yang cukup besar, dengan dua lantai tidaklah jaminan akan membuatnya nyaman, ada perasaan terkungkung yang membuatnya serasa di neraka. Padahal di luar sana, Gendhis memiliki karir yang bisa di bilang cemerlang untuk wanita yang baru menginjak usia dua puluh tujuh, sebagai manajer kartu kredit dari jalur pendidikan khusus atau management trainee meski pekerjaan yang serba target itu cukup membuat hati dan otaknya lelah, mulai dari target, ocehan atasan, hingga permasalah anak buahnya yang terkadang suka tidak nurut, dan ada yang sukanya manggut-manggut tapi gagal perform, membuat dirinya serba salah kalau harus memarahi. Jadwal meeting yang terkadang padat dan mepet dari hari ke hari dalam satu minggu, membuatnya terkadang harus pulang malam, dan Bima pasti akan mulai mencurigainya kalau ia terlambat sedikit saja pulang ke rumah, sang suami akan uring-uringan kalau sampai makanan belum tersedia di meja makan atau kulkas, karena semua masalah isi perutnya, ia juga yang mengurus. Bima tinggal terima beres. Mengurus rumah dan suami yang di satu sisi mengharuskan kerja full time membuat dirinya keteteran, dan opsi menghadirkan asisten rumah tangga pernah diajukan, namun Bima menolak mentah-mentah dengan berbagai alasan. Bagi Gendhis, sepertinya itu hanya akal-akalan Bima saja, karena pada dasarnya ia tidak ingin privasinya terganggu dengan kehadiran orang lain di dalam rumah. Tiga tahun menikah dan belum dikaruniai anak, membuat hubungan mereka tidak ada perekat, dan Bima sendiri memang ogah-ogahan untuk memiliki buntut yang sebenarnya bisa meramaikan rasa suram di rumah, karena ia tidak menyukai anak kecil, mungkin dirinya malah terus bersyukur kalau Gendhis masih belum juga hamil. Pikiran Gendhis kembali teringat akan masa lalunya saat harus melalui masa pacaran yang cukup lama, yaitu selama lima tahun dengan Bima, periode di mana ia merasa dirinya terlihat keren pada saat itu, melewati masa kumpul kebo, gemar pesta, memakai marijuana hingga free sex. Semua kebodohan duniawi itu telah ia lakukan, hingga saat pernikahan yang seharusnya ditunggu-tunggu tersebut rasanya hambar dan biasa saja, menjadi semacam ritual dan penegasan secara hukum saja kalau status mereka saat ini sudah menikah. Munculnya gosip-gosip murahan yang terkesan tendensius dan mulai membanding-bandingkan juga menjadi bumbu lain, mulai dari menilai fisik, profesi, pekerjaan, atau masalah umur, dan terkadang omongan sumbang yang sampai ke kupingnya itu membuat dirinya terlalu menusuk ke hati. Bima sendiri adalah anak orang kaya, dan kini ia di dapuk sebagai seorang Operational & Area Manajer perusahaan yang bergerak di bidang Mining & Construction dengan gaji selangit di usia yang baru menginjak pertengahan tiga puluhan, sementara Gendhis hanya seorang pejabat baru di perbankan tempatnya bekerja. Baginya pernikahan tidak lebih dari sekedar kontestasi dan eksistensinya sebagai makhluk sosial agar hidupnya lebih dipandang yang mana seolah budaya menikah itu adalah sebuah keharusan, padahal sebenarnya hanya sebagai bentuk opini masyarakat, kalau tidak perlu menikah ya memangnya kenapa? Sah-sah saja bukan. Suatu hal yang seharusnya sangat ditunggu-tunggu oleh para insan wanita, menjadi hal yang biasa saja, dan menikah dengannya terkesan dipaksakan karena ia seolah memang dibuat tidak punya pilihan akibat adanya hutang budi terhadapnya. Membuat Gendhis seperti budak yang terpasung dan tidak punya hak dalam hidupnya. Gendhis tidak hanya menderita secara psikis tapi juga fisik, ia sering kelelahan dan dipaksa melayani nafsunya, dan sebagai seorang istri ia selalu diceramahi untuk tunduk dan taat pada perintah suami, suatu sistem patriarkis yang seharusnya perlahan-lahan sudah dihapuskan, bahwa feminisme adalah suatu aliran atau ajakan yang seharusnya mulai dimengerti oleh semua orang terutama elemen pria, wanita sudah saatnya sejajar dan punya hak untuk memilih apa yang baik untuk hidupnya. Gendhis bukanlah tipikal feminis radikal seperti di Eropa yang sampai haru memperjuangkan hak-hak wanita untuk bebas bertelanjang dada seperti pria, ia hanya ingin memberi pengertian pada Bima mengenai posisinya sebagai wanita modern, tapi hanya semburan dan makian yang dibalut kesolehan yang didapat. Bima Riyadi mungkin sosok idaman banyak kaum hawa, ia bertubuh tegap nan atletis, muda, tampan dan memiliki jabatan cukup tinggi yang gajinya setara sepuluh kali dari jabatan clerk. Kesolehan dan ketaatannya pada ajaran Agama akan membuat siapapun terpukau, dan kebodohan orang-orang itu yang matanya jadi silau adalah akibat ketidaktahuan mereka saja soal siapa itu Bima sebenarnya, bahwa yang terjadi sebenarnya adalah pria itu sepertinya mengidap penyakit psikis yang sangat sakit, melebihi psikopat paling mengerikan manapun di dunia. Kalau Tuhan memang ada, tapi kenapa ia tidak hadir untuk membuat kehidupanku lebih baik saat ini? Sepertinya benar kata seorang Filosof Jerman, Friedrich Nietzche, bahwa Tuhan telah mati dan aku telah membunuhnya. 03 : Neraka Saat kamu terus melihat jam dan menunggu waktu pulang, itu berarti ada yang salah dengan pekerjaanmu. Dunia perbankan dan sektor finansial bukanlah kegemarannya, saat lulus yang ia lakukan adalah menaruh lamaran sebanyak mungkin di berbagai perusahaan, dan kebetulan yang paling menjanjikan adalah perbankan pada saat itu, padahal dirinya lulusan strata satu fakultas filsafat. Cita-citanya menjadi dosen, pembicara dan aktivis, namun passion terkadang menjadi terkalahkan oleh yang disebut sebagai kebutuhan hidup. Ruangannya tidak terlalu luas dan serba minimalis, dengan meja dan komputer layar datar, serta pintu dan dinding kaca di hadapannya yang ditutupi oleh sunblast. Tiba-tiba saja tanpa pemberitahuan, pimpinannya mengajak untuk mendampingi meeting dan baru berakhir pulu delapan malam. Alamat akan ribut lagi saat sampai rumah. Usai meeting, ia pulang dengan sedikit bergelut macetnya ibukota pada malam hari, sedan Toyota Corolla tersebut diparkir depan rumahnya yang tak berpagar. Suasana tetangga sekitar yang memiliki bangunan sama dengan rumahnya nampak sepi dan memang kesehariannya seperti itu, entah penghuni aslinya tidak di tempat atau kebanyakan diisi para introver yang tidak mau diganggu kehidupannya. Saat turun dari mobil, di dalam garasi rumah sudah terparkir kendaraan milik Bima, ia menarik napas dalam-dalam, dan mencoba melatih beberapa kata yang bisa jadi jawabannya untuk menghalau pertanyaan Bima. Sepatu berhak miliknya di lepas dan dicantelkan pada jari jemari lengan kanan, lalu masuk mengendap-endap seperti maling dengan kunci yang dipegang olehnya, padahal ini adalah rumahnya sendiri. Ruang tamu begitu gelap, kakinya menginjak karpet lalu berpindah ke lantai yang terasa dingin saat beradu dengan stoking tipisnya. Ia berharap Bima sudah tertidur pulas dan saat bangun keesokan harinya, ia berharap akan lupa dengan hari ini. Padahal sebelumnya ia sudah mengabari dan akan pulang terlambat via whatssapp, namun hanya centang biru. Semoga Bima benar-benar sudah tidur dan di pagi hari, Gendhis akan menyediakan sarapan yang sangat enak, mulut lelaki bangsat itu kalau sudah dicekoki makanan akan diam dan seperti kucing malas yang kegemukan dan sulit berjalan. Sesampainya di kamar, ia tidak melihat Bima di kasur, juga di kamar mandi yang berada di dalam kamar, mungkin di balkon sedang merokok, tapi tidak ada juga, Mobilnya ada di garasi dan semua lampu di lantai bawah nampak gelap. Ke mana Bima? Hawa dingin menerpa kuduk, seperti ada makhluk halus yang tengah mendekat, sesaat membuat perasaan tidak nyaman timbul dan membuat dadanya bergemuruh. Ia merasakan seseorang sepertinya hadir di belakang tubuhnya, dan saat menoleh, wajah Bima memenuhi pandangannya. DEG! Kepalanya bergelenyar, seluruh tubuhnya bergetar dan tenggorokannya tercekat. “Ahh, kamu mas.” Bima menyeringai tajam, membuat perasaan Gendhis semakin tidak nyaman dengan senyuman sarkas dan tatapan tajamnya tersebut. 04 : Bau Rokok “Aku..aku sudah kabarin loh mas, tapi cuma dibaca saja,” ujar Gendhis dan logat jawanya keluar, berharap Bima luluh karena ia suka dengan logat jawa Gendhis yang sebenarnya sudah lama hilang tersebut. “Perempuan itu dilarang keluyuran malam,” cela Bima. “Ya habis diajak meeting oleh atasan, ya mau bagaimana.” “Habis meeting atau tengah melacurkan diri ke orang lain?” “Ya ampun mas, jaga bicaramu ya, aku ini wanitamu, perlakukanlah secara hormat.” “Ya kamu nurut donk makanya, kalau dibilang jangan pulang malam, ikuti saja perintahnya, jangan malah nantangin dengan pulang malam-malam sebagai suatu sikap pemberontakan karena tidak mau diatur.” “Aku tuh serius gak ada pikiran sampai ke sana,” balas Gendhis. Bima mencengkeram kedua rahang Gendhis, hingga kedua mulutnya mencekung seperti corong, ia mencondongkan hidungnya ke arah mulut wanita itu. “Bau rokok, kamu merokok lagi? Merokok hanya boleh dilakukan kaum pria, gimana kalau sampai orang tuamu tahu hah, benar-benar memalukan, dan ini sudah keterlaluan.” Gendhis berkelit. “Hari ini cuma sebatang, itupun usai meeting karena pikiranku sudah terlalu lelah, pembahasannya terlalu berat, banyak ancaman dari pimpinan soal hukum yang akan menjerat para pegawai kalau sampai kita bekerja tidak benar.” “Tetep gak boleh, ngerti gak!” Gendhis terdiam saat dibentak, dan sikap diamnya itu malah membuat Bima semakin marah, ia menganggap Gendhis tengah membantahnya dengan bersikap diam, karena diam bisa jadi adalah perlawanan dalam bentuk lain, dan Bima tidak suka yang namanya dibantah. “Benar-benar sudah keterlaluan kamu ya, kerjanya melawan terus, sudah kerasukan setan kayaknya kamu itu, sudah saatnya kamu harus kuhukum lagi!” kata Bima. Tenggorokannya tercekat saat mendengar kata hukuman, beberapa waktu lalu ia pernah disekap dalam gudang sempit selama seharian karena kedapatan membawa sebotol wine ke rumah, padahal itu pemberian teman kuliahnya dahulu. Hal itu sempat membuatnya trauma, tatapan matanya kosong selama berhari-hari memikirkan perasaan takut saat tersekap yang terus membayangi, dan Bima cuek saja, tidak perduli dengan masalah psikis yang mulai menghinggapinya itu. Mau dihukum apa kali ini? 05 : Membunuh Setan Bima selonjoran di atas kasur dengan selimut menutupi seluruh kaki dan sebagian tubuhnya, sementara Gendhis berdiri di hadapannya dengan kedua tangan di belakang kepala, seperti anak sekolah yang tengah di ospek. “Aku akan mengawasimu, dan kalau aku tertidur, kamu gak boleh berubah posisi kecuali atas perintahku, ngerti!” “Iya mas, aku ngerti, Gendhis nurut kok sekarang,” ucapnya, dan hatinya membatin bahwa ini masih lebih baik daripada harus diikat dan dikurung dalam gudang beberapa bulan lalu, meski kakinya harus kelelahan dan lututnya sudah mulai lemas. “Sampai berapa lama mas? Besok kan masih ngantor.” “Banyak tanya yah, bener-bener jijik aku sekarang melihat dirimu yang banyak membangkang hah! Ada setan apa sih dalam dirimu, siapa yang ngajarin kamu kayak gitu, berani lawan suami.” Bima beranjak dari kasur, lalu menjambak rambut Gendhis hingga wajah wanita itu menenggak ke atas, sementara kedua tangannya masih setia berada di belakang kepala sesuai perintah awal. Sebuah tamparan mendarat di pipinya, lalu ia kembali menamparnya dengan sangat keras secara bolak-balik hingga sepuluh kali. “Aku tengah mengeluarkan setan dalam tubuhmu, yang kutampar bukan dirimu tapi iblis dalam tubuhmu. Berikan tubuh, pikiran dan jiwamu pada Tuhan dan aku akan mudah membunuh setan dalam tubuhmu itu.” Gendhis melemah dan ia pasrah, kedua tangannya sudah tidak berada di belakang kepala, tubuhnya terkulai bak boneka, rambutnya yang diikat melingkar ke belakang masih dijambak, membuat ujung-ujung rambutnya serasa tercerabut akibat cengkeraman lengan besar Bima. Bima melempar wanita itu hingga terjatuh ke lantai. “Sepertinya sudah saatnya kedua orang tuamu tahu soal perilakumu ini.” Gendhis menangis, rasa sakit di pipinya seolah tiba-tiba saja hilang. “Jangan mas, please maafin aku, maafin istrimu yang nakal ini, please,” ucapnya memohon, dan derai air mata memenuhi pipi. “Baiklah, tapi aku mau kamu ikutin satu hal.” 06 : Dua hati yang sekarat Bima duduk di pinggir kasur, berada di samping istrinya sembari mengelus-elus rambut wanita itu seolah-olah apa yang baru saja terjadi, seperti angin lalu. Kedua pipinya masih Nampak memerah, seperti saling beradu dengan pulasan sisa make up. “Kamu tahu kan soal pembicaraan kita sebelumnya mengenai…” ujar Bima dan membiarkannya menggantung, berhadap Gendhis bisa menyambungkan kata di lidahnya yang sengaja ia putus, dan berharap keinginannya kali ini bisa terwujud atas dasar keikhlasan hati berdua. Dua hati yang tengah sekarat dan berusaha untuk disembuhkan dengan cara yang menyakitkan satu sama lain. “Soal apa mas?” tanya Gendhis polos. Bima geleng-geleng kepala. “Gak usah pura-pura gak tahu deh.” “Tapi aku beneran gak tahu atau mungkin gak ingat,” ujar Kumalasari sembari menggaruk kepala. “Kita pernah berhubungan seksual semacam yah kau tahulah, Fifthy shades bla bla bla…” “Jangan salah paham dulu, kalau soal itu kan mas tahu, aku melakukannya tidak secara sukarela.” “Tapi kenapa kamu mau pada saat itu?” tanya Bima dengan tatapan mata tajam, tidak mau kasih kendor kepada Gendhis. “Karena aku… takut,” ucapnya sembari menunduk. “Takut apa? Bukankah aku tidak mengancammu soal orang tua pada saat itu?” “Ya memang tidak, tapi aku takut kehilanganmu, itu kan terjadi sekitar dua tahun lalu, jaman di mana kamu belum suka main tangan, jadi kupikir aku melakukan itu atas dasar sayang.” “Perlu di garis bawahi, aku sama sekali gak mau main tangan, tapi semua itu karena dipaksa atas dasar kondisi yang kau beri padaku, ngerti kamu?” Gendhis mengangguk perlahan, “Jadi gimana? Mau dengan gaya yang sama lagi?” Bima menyeringai. “Aku anggap kamu mau. Nikmati saja.” Kedua lutut Gendhis terasa lemas, dan perutnya bergolak. 07 : Luka Gendhis baru tahun perilaku suaminya tersebut sekitar dua tahun lalu. Bima mulai mengutarakan minatnya dan senang menjadi seorang dominan, ia akan terbakar gairah apabila menonton film-film dengan adegan tersebut seperti wanita diikat, diperkosa, dilakban, dan sebagainya. Bima mulai melobi hati Gendhis secara perlahan, dan ternyata apa yang dilakukannya berhasil membuat Gendhis menyetujuinya meski Nampak terpaksa namun Bima tidak perduli, selama lisannya sudah mengatakan “ya”, maka ia akan melanjutkannya, semua demi hasrat pribadi. Kejadian tersebut membuat Gendhis trauma, dan sempat tidak mau bicara selama berminggu-minggu, Bima bukannya peka dan mencoba mengobati luka itu, tetapi malah jengkel dengan ulah sang istri. Amarahnya semakin membuncah tatkala Gendhis diam-diam memeriksakan diri ke dokter atas luka yang dideritanya dan Gendhis pun membalas dengan menyatakan secara terang-terangan tidak menyukai apa yang telah dilakukan oleh Bima padanya. Ia memang istrinya tapi bukan berarti dirinya adalah properti yang seperti barang dan bisa diperlakukan seenaknya. Seorang wanita adalah wadahnya kasih sayang, ia ingin dielus, dicintai, dan dinikmati dengan cara yang terhormat, bukan diperlakukan seperti binatang, yang bahkan sebagian hewan saja saat ini sudah berada di tempat-tempat yang bersih dan diurus dengan baik oleh majikannya. Manusia sebagai pemuncak rantai makanan harusnya punya kedudukan lebih tinggi daripada hewan, apapun alasannya. “Lalu kenapa kau setuju pada saat itu?” “Sudah kubilang karena aku takut kehilanganmu!” ”Dan saat kuminta lagi sekarang, kamu akan bilang karena kamu takut akan dilaporkan ke kedua orang tuamu, gitu?” “Ya memang fakta apa adanya begitu, kamu yang memulai ancaman duluan, ya sudah silahkan saja, cabik-cabik saja tubuhku ini mas, apa yang kamu lakukan memang sengaja memanfaatkan momen tersebut untuk kembali memuaskan penyimpangan yang kamu derita, anda benar-benar sedang sakit.” Bima kembali menampar wanita itu, dan saking kencangnya membuat Gendhis sampai terkapar di kasur. Lelaki itu beranjak dan mengambil sesuatu di dalam laci, tali yang digulung rapih mulai dipakai olehnya untuk mengikat ke dua pergelangan tangan Gendhis ke setiap sudut kepala ranjang. Kini Gendhis terlentang di tengah-tengah kasur, kedua kakinya ditekuk lalu bagian tulang kering dan pahanya masing-masing diikat jadi satu sehingga tertekuk seperti kaki anjing yang tengah telentang. Bima tidak saja mencumbuinya tapi melakukan beberapa adegan kekerasan seperti orang kesurupan, bogem mentahnya menghantam pipi, bibir dan alis Gendhis hingga bocor, dan mencipratkan darah di atas seprai putih. ☆☆☆ Kepalanya terasa nyeri saat samar-samar cahaya mulai masuk ke matanya, ia mulai sadarkan diri dan mendapati dirinya masih berada di lantai dengan kedua tangan sudah tak terikat. Rasa nyeri juga menjalar ke seluruh tubuh, perutnya bergolak dan kandung kemihnya berontak ingin pipis namun ia tahan karena pikirannya tiba-tiba kembali akan ingatan dari perkataan Bima semalam. “…..dan tahukan harus berbuat apa.” Wanita itu berjalan gontai di tangga yang melingkar menuju ke lantai satu, ia menuju dapur dan menyiapkan makan untuk Bima yang sudah duduk di meja makan yang berada dekat dengan dapur. Rambutnya yang terlihat acak-acakan itu coba dirapihkan dengan tangan, beberapa kancing pada blazer dan kemejanya terlepas, lalu belahan rok di pinggirnya semakin melebar, stoking tipis yang membalut kaki yang jenjang terlihat robek di beberapa bagian, tubuhnya bau asam, mulutnya masih terasa bau darah, dan ia terpaksa menelannya karena tidak mungkin meludah yang akan membuat mual Bima dan menyulut emosinya. Sarapan berupa telur mata sapi, kornet, dan nasi beserta jus jeruk tersedia. Bima menikmati makan paginya sementara Gendhis duduk di bangku seberang, menatap lelah dan lemah pada Bima yang lahap dan cuek bebek seolah istrinya itu tidak ada di sana, tidak ada basa basi apapun untuk menawarinya makan. Gendhis hanya bisa menatap suaminya makan dengan lahap, lalu pria itu berlalu dan menghilang, kini pikirannya kembali berkelabat di tengah rasa sakit yang menderanya. dengan kondisi tubuhnya yang kini babak belur, tidak memungkinkan bagi dirinya untuk masuk kantor, dan sudah saatnya ia bertemu Mirna, mungkin bisa jadi jalan keluar. 08 : Mirna Mirna adalah seorang wanita karir dengan penghasilan yang stabil, secara fisik tubuhnya cukup tinggi semampai. Pakaian kerja berupa blazer hitam, blus putih dan celana bahan ketat di atas mata kaki masih menempel saat menemui Gendhis di rumah orang tua mereka. Rumah sang mama yang sudah lama mereka tinggalkan tersebut terasa sunyi paska kedua pasangan kakak beradik tersebut sudah menikah. Ibunya tengah terbaring dan tubuhnya semakin kurus kering hanya berbalut tulang. Penyakit stroke telah menggerogoti seluruh raga, kesehariannya hanya dibantu oleh si bibi yang dibayar hasil patungan dari uang Mirna dan Gendhis. Usai berada di dalam kamar menemui sang ibu, mereka keluar ruangan dan mengobrol di bangku halaman depan. “Parah sekali ya Bima menyiksamu kali ini?” tanya Mirna dan wanita itu sudah tahu banyak hal soal perilaku busuk iparnya tersebut. “Iya Mir, lihat aja wajahku, badanku juga sakit semua rasanya,” ujar Gendhis yang berpakaian santai, celana jeans, dan kaus putih yang dibalut kardigan krem, rambut coklat samarnya terurai panjang. “Sudah, ajukan cerai saja lah.” “Hal itu juga sudah terpikirkan dan sudah pernah kusampaikan sekitar setahun lalu sama kamu, tapi ya kamu tahulah kalau untuk melakukan itu semua prosedurnya sangat ribet, belum lagi selama ini kan uang kita juga gak cukup untuk rawat jalan mama, semua yang bantu urus ya Bima.” “Trus kakak mau sampai kapan di hinakan seperti ini, sampai mati gitu? Ya kita cari caralah kak, manusia kan ladang aktivitasnya berfikir, jangan pasrah gitu aja,” jelas Mirna. “Aku tahu apa yang kamu pikirkan, tapi jalan keluarnya tidak selalu mudah meski kita sudah melihat cahaya di ujung lorong sana.” “Suamiku kan tentara dan tahulah penghasilannya cuma berapa, aku juga digaji hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku sehari-hari, belum lagi Laffa yang menginjak usia tiga tahun ini lagi banyak-banyaknya menuntut ini dan itu, minta dibelikan macam-macam, kalau secara finansial memang aku juga masih sulit untuk bantu mama.” “Jadi kamu punya ide yang lebih baik?” tanya Gendhis. “Bisa gak sih, kalau kamu dan Kak Bima ikut semacam konsultasi gitu, untuk nyembuhin penyakit seksual menyimpangnya dia?” “Ah gila kamu Mir, udah aku coba beberapa kali dan yang ada dia malah ngamuk, dia berpikir kalau orang menganggap akitivitas seksual macam si Mr. Grey itu sah-sah saja, dan orang menganggap menyimpang karena mereka tidak menyukainya. Baginya itu seni.” “Kalau gitu aku ingin dengar idemu sekarang?” tanya Mirna balik. Gendhis menghela napas, ia mengeluarkan sebungkus rokok dan menyalakan sebatang, usai kepulan asap pertama, ia kembali bernapas panjang. “Aku kepikiran soal Villa punyaku itu Mir.” “Ide bagus, yasudah jalanin aja.” “Jadi gini ya, Villa itu atas nama berdua sebagai kado ulang tahunku dari Bima, dan akan jadi milikku usai pernikahan kita berusia sepuluh tahun, nah sekarang aja usianya baru tiga tahun, ya masa gue harus nunggu tujuh tahun lagi hanya demi itu Villa jadi milik gue sepenuhnya, kalau ditaksasi nilainya sekitar lima miliar, kayaknya udah cukup lah untuk berobat mama. Harta lain yang kupunya atas nama sendiri ya si Toyota Corolla itu aja, teman ke kantor, macet-macetan dan saksi bisu segala curhat kegundahan gue saat sedang bengong atau stuck gara-gara macet,” ujar Gendhis yang dalam bahasa keseharian ia jarang berbicara bahasa slang seperti “gue-elo” kecuali dengan teman-teman kantornya yang sudah ia anggap dekat atau keluarga satu darah seperti adiknya Mirna, faktor darah Jawa yang lembut masih mengalir deras di denyut nadinya. Ponselnya berdering, sebuah nomor tak dikenal masuk. Gendhis tidak tertarik untuk mengangkatnya, namun rasa penasaran muncul dan akhirnya diangkat juga. “Heh jalang, gue udah depan mobil lo nih.” Suara dari kejauhan langsung berdengung di kupingnya, membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Deg! 09 : Debt Collector Gendhis langsung pamit dan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan karena rumah orang tuanya ada di dalam gang sempit dengan tiang listrik dan kabel menjelawir. Di sana ia melihat sesosok pria bertubuh tambun, hitam, dan brewok lebat sudah berdiri di depan mobilnya, lelaki yang mengenakan topi itu menyeringai, giginya nampak menguning dan liur menggantung di antara kedua deretan gigi. Ia mengetok-ngetok kap sedan Toyota miliknya. “Bagus juga nih mobil, udah jual aja.” “Ya gak bisa, mobil ini kan gak dicagunkan untuk pinjaman gue.” Si tambun hitam itu adalah Roy, seorang debt collector kartu kredit, dan Gendhis sudah tiga kali berhadapan dengannya. Ia memiliki tiga kartu kredit di tiga bank berbeda, dua lancar dan satu macet, dan Roy datang untuk menagih cicilannya yang sudah menunggak hampir seratus hari. “Udah gak ada toleransi lagi, atau gue bawa orang untuk tarik nih mobil, ntar dijual lalu sisanya gue balikin.” “Silahkan saja kalau maunya seperti itu dan artinya anda sudah melanggar hukum kalau begitu, nanti akan kukenai pasal perampasan dan penadahan bagi si pembeli. Dan satu hal lagi ya, yang sopan kalau bicara, kenapa katakan aku jalang tadi!” “Bisa ngegas juga ya nona cantik, nah gue bilang nona cantik loh, masih dibilang menghina juga?” “Gak usah vandalisme dan provokatif, udah intinya nanti gue bayar semuanya,” cela Gendhis. “Sampai lancar.” “Ya minimal payment dulu lah.” “Trus bunganya?” “Gue ini orang bank juga, bunga dan denda kan bisa kalian hapus dan itu urusan orang-orang berdasi di kantor lo lah, yang gue tahu, orang-orang kayak lo itu cuma nagih pokoknya aja, dan bisa dibayar minimalnya dahulu sebesar sepuluh persen.” “Sepuluh persen artinya sepuluh juta, yaudah mana sinih uangnya? Mau cash atau gesek kartu, gue dah bawa hand held nya nih.” “Kalau sekarang lagi gak ada duit, nanti lah.” Roy menggebrak kap mobilnya. “Main-main lagi sekarang ama gue lo!” “Ya terus mau lo apa bangsat! Gue bilang gak ada duit maunya apa?” ujar Gendhis dan jantungnya berdetak lebih kencan, sangat jarang dirinya berkata kasar. Roy menelisik wajah Gendhis yang penuh luka, mulai dari bibir, pelipis dan pipinya meski sudah agak tersamar oleh make up. “Abis digebukin lo?” ujarnya sembari melongok-longok dengan mata menyipit. “Jatuh dari tangga, dan bukan urusan lo juga sebenarnya,” kata Gendhis. “Yaudah kapan mau bayar!” “Budek ya kuping lo,” ujar Gendhis, ia mengeluarkan kunci mobil dan akan masuk ke dalam, namun rangka pintu bagian atasnya di tahan oleh tangan besar Roy, sehingga Gendhis tidak bisa membuka pintu mobil. “Kak,” ujar sebuah suara dari kejauhan. Mirna berjalan ganjil di atas sepatu heels sepuluh sentinya tersebut. Roy menyeringai tajam dan menatap penuh lapar ke arah Mirna. “Heh, kalau ada masalah ke gue aja, jangan bawa-bawa adek gue.” Roy tidak memperdulikan suara Gendhis. “Heh, sekarang elo yang budek ya. Hati-hati suaminya tentara, Special Forces.” Roy langsung tertegun, seringaiannya berubah menjadi wajah datar, dan kali ini tatapannya kembali ke Gendhis, sementara itu Mirna sudah berada di dekat mereka. “Berapa yang harus di bayar, semuanya?” ujar Mirna lembut dan Roy terkesiap, langsung belagak sok imut. “Kartu kreditnya udah collapse neng, dia nunggak seratus juta, tapi kalau mau cicil bisa bayar sepuluh juta dulu aja,” ucap Roy sopan dan ramah. Mirna mengeluarkan sesuatu dari tasnya, “Ini I-phone ku, harganya masih tiga belas jutaan, bisa bayar pakai ini?” Kepala Roy mengangguk-angguk seperti boneka. “Oh bisa-bisa, nanti abang jual ya neng, lalu uangnya dimasukkan ke tagihan bu Gendhis.” Mirna mengangguk dan I-Phonenya diberikan kepada Roy, lelaki itu pun membuat tanda terima lalu beringsut dari hadapan mereka, sementara kedua lutut Gendhis sudah lemas, ia bersandar di pintu mobil, kedua matanya berbayang dan tubuhnya terguncang. “Ngapain sih kamu Mir,” ucap Gendhis lemah dan meringis. “Udah gak apa-apa, itu I-Phone ku yang nganggur, aku masih punya android, kebetulan itu hape tadinya mau dijual tapi belum laku karena harganya kemahalan.” “Aku mau pingsan Mir, soalnya belum makan daritadi pagi.” Mirna membopong kakaknya itu ke kursi penumpang depan, sementara Mirna yang mengambil alih dan berada di balik setir mobilnya. Sepanjang perjalanan, sembari menyetir, pikirannya berkelabat dan muncul ide gila yang mungkin akan disampaikannya usai mengantar sang kakak untuk makan siang. 10 : Bir Mereka sudah sampai di kawasan Kemang, Burger ukuran besar tersebut dilahap sampai habis oleh Gendhis, sementara Mirna mual melihatnya. Burger bar tersebut juga menyediakan alkohol, dan sang kakak kekeuh minta segelas bir mesk Mirna sudah memperingatkan. “Kapan Ricko pulang dinas?” di mana sih dia sekarang?” ujar Gendhis, menanyakan suami Mirna. “Masih di Papua, pedalaman entah di mana, dia kan Tier-1 dan sedang dalam penyamaran, aku juga yang istrinya tidak tahu banyak soal operasi yang dia lakukan, doakan semoga suamiku baik-baik saja ya.” “Pasti lah Mir, beruntung kamu punya suami yang baik.” “Iya dia itu baik banget kak dan perhatian, waktu aku mengandung Laffa, semua permintaanku diturutin, benar-benar menjadi suami siaga. Pernah suatu waktu aku lagi ingin makan ketoprak, sudah malam sekitar pukul sepuluh lah, dan akhirnya dia keluar dan bisa dapatkan makanan itu, lalu tahu gak, tiba-tiba perutku mual dan ketopraknya gak habis.” Gendhis mendengkus. “Jangan harap Bima bisa kayak gitu Mir, kalau aku sampai hamil, dan minta sesuatu karena bawaan si bayi palingan juga dicuekin, mungkin saat mau melahirkan pun, bisa jadi gue disuruh nyetir sendiri sama dia untuk menuju rumah sakit.” Mirna menyentuh lengan kakaknya sebagai bentuk dukungan dan pengertian, sementara itu Gendhis mulai menenggak bir dalam gelas yang baru dipesan. “Aku punya ide sih.” “Apa tuh?” jawab Gendhis penasaran. “Kita santet aja gimana?” “Siapa? Bima?” “Ya siapa lagi kalau bukan si begundal itu, semua muara rasa sakitmu kan dari dia sekarang?” “Buat apa? Udahlah aku bukan orang pendendam sih, lagian dia punya banyak koneksi, dan akan bayar orang pinter juga untuk cari tahu, ya pasti ketahuan nanti lah kalau aku santet dia.” “Mumpung belum disahkan draft RUU nya oleh DPR, aku punya kenalan seorang nenek sihir di Bogor, penganut aliran ilmu hitam, mau pesugihan, usaha lancar, hingga menyakiti dan sampai membunuh juga bisa. Ya kita bikin Bima jadi sakit aja, minimal muntah beling lah.” Gendhis tertawa kecut. “Kamu ni lagi bercandain kakakmu ya, tapi lucu sih, dan akhirnya aku bisa ketawa. “Aduh, aku tuh beneran kak.” “Yaudah nanti kupikirin deh, yuk pulang dan kita kembali ke realita kehidupan yang pahit.” “Mabok ya kak? Minum bir doank mabuk?” Gendhis cekikikan, dan saat bangun tubuhnya sempat oleng. 11 : Steph Bima tengah memadu kasih dengan seorang wanita bernama Stephani di sebuah hotel bintang empat, ia adalah fitness instructor pribadinya, mereka terus saling melampiaskan gairahnya hingga klimaks menghampiri. Stephani memiliki tubuh yang bagus, perutnya nampak rata tapi tidak terlalu berotot, bahunya bidang dan payudaranya cukup besar, berusia dua puluh lima, rambut panjang agak bergelombang dan berparas campuran Tionghoa. Bima duduk di pinggir kasur lalu menyalakan rokok dan berbagi bersama Stephani yang masih selonjoran di kasur. “Kapan kamu akan melamarku?” tanya Stephani. “Kita belum ada komitmen kuat.” “Dan semua karena Gendhis bodohmu itu.” “Jaga bicaramu, bodoh gitu masih istriku,” jawab Bima dan melepaskan asap dari kedua hidung. “Kan sudah tahu bodoh, kenapa masih dipertahankan?” jelas Stephani. “Sabarlah, gak semudah itu mengurus proses perceraian, banyak yang harus dipikirkan.” “Kalau gitu fuck me again now, dan teriakan nama dia di kupingku, fuck me sekencang dan segairah yang sama saat kau menyetubuhi Gendhis.” Bima mengusap-usap rambutnya, ia seperti kambing dongo saat berhadapan dengan Stephani, berbanding terbalik kalau berhadapan dengan Gendhis yang akan sebuas Singa. Mereka kembali bercinta, dan semakin kencang. “Ayoo teriakan namanya!” Goyangan semakin kencang, wajah Bima meringis sembari memaksakan meneriakkan nama istrinya itu di hadapan Stephani. “Sudah puas?” tanya Bima dan Stephani mulai menangis. 12 : Matrelialism ? Bima pulang ke rumah, dan saat membuka pintu, terdapat amplop putih terselip di bawah pintu. Ia memungut dan membuka isi kertas tersebut, lalu kedua rahangnya terasa mengeras saat membaca isi amplop tersebut. Bima masuk ke dalam dan meneriakkan nama Gendhis, namun sepertinya wanita itu belum sampai rumah. Pagi tadi Gendhis memang sudah pamit akan ke rumah mamanya, tapi harusnya tidak selarut malam ini juga. Bima sudah kelelahan dan tidak ada tenaga yang tersisa untuk memarahi dan menyiksa Gendhis, ia rebahan di sofa dengan sorot lampu meja temaram yang menemani, suasana begitu sunyi dan gelap karena stop kontak yang menyambung ke lampu utama belum ditekan. Pikirannya kembali berkelabat kepada Stephani, selingkuhan yang sebenarnya tidak pantas diperjuangkan tapi faktanya tengah ia perjuangkan.wanita itu telah membuatnya pusing dan gelisah karena mulai semakin banyak tuntutan terhadap dirinya. Awal pertemuannya adalah saat Stephani menjadi instruktur fitness pribadinya, lalu hubungan mereka pun menjadi lebih intens, dan ia menyukai keagresifan wanita itu, secara fisik jauh lebih mumpuni, dan Stephani juga adalah tipikal wanita penurut meski banyak maunya. Bima sebenarnya tidak mau terjebak dalam kenikmatan fana tersebut, tapi pikirannya selalu dikendalikan oleh perasaan bahwa apa yang terjadi padanya kini adalah semua salah Gendhis. Gendhis menjadi wanita yang matrelialistis dan ia merasa dijebak olehnya saat tengah terbuai asamara. Contohnya adalah pembelian rumah yang kini ditinggali berdua, properti senilai Tiga Miliar tersebut untuk cicilan selama dua puluh tahun masih cukup kalau harus dibayar dari kocek pribadinya dan ia sudah berniat membeli rumah itu jauh sebelum menikahi Gendhis dengan alasan rumah itu nantinya sebagai hadiah baginya. Strategi tersebut dilakukan agar rumah tersebut tidak menjadi harta gono gini nantinya, sehingga saat harus berhadapan dengan kemungkinan terburuk, yaitu perceraian, maka rumah tersebut masih milik Bima. Wanita itu ternyata pintar dan picik bak ular dengan mengulur waktu serta selalu melawan keinginannya dan memintanya untuk membeli rumah itu paska menikah saja, ia beralasan agar uang tabungannya dipakai untuk resepsi pernikahan, dan saat Bima kekeuh dengan pikirannya, Gendhis akan menawari seks padanya. Bima selalu kalah kalau soal hasrat birahi yang mungkin menjadi titik terlemah pria manapun di jagat raya ini. Nasi sudah menjadi bubur, rumah itu benar-benar dibeli sesudah menikah. Kasus lain adalah Villa senilai lima miliar yang diwarisi oleh kedua orang tuanya, entah apa yang tengah merasukinya, sehingga Villa tersebut dihibahkan dalam bentuk perjanjian untuk jadi milik berdua dan akan menjadi milik Gendhis sepenuhnya saat pernikahan mereka sudah berumur sepuluh tahun. Nilai taksasi senilai lima miliar dan akan terus bertambah di kemudian hari akan lenyap begitu saja tujuh tahun lagi. Bima ingin menyenangkan hati Gendhis, karena wanita itu selalu merengek dalam bentuk kode, seperti update status di medsos, dan mengumbar kata-kata yang berulang di hadapannya, bahwa suatu saat nanti ia ingin memiliki villa sendiri, berada dekat danau dan jauh dari hiruk pikuk polusi. Tapi Bima untungnya masih waras dan tidak kalah cerdik, ada poin terakhir yang bisa dijadikan kunci untuk kembali memenangkan Villa tersebut. Iapun teringat akan lembaran perjanjian dalam Cluis, kunci dan kombinasinya hanya ia punya. Bima beranjak untuk membaca kembali klausa tersebut. 13 : Salah siapa? Di luar sana masih banyak yang kelaparan, maka dari itu saat makan, tidak ada boleh satu nasipun yang tersisa, begitulah peraturan yang ditegakkan secara ketat oleh Bima kepada Gendhis saat mereka tengah makan berdua di meja makan. Selain soal sisa nasi, saat makan pun dilarang berbicara, Bima berdalih karena norma kesopanan dan perintah Tuhan mengajarkan seperti itu. Selesai makan, Bima menaruh sendok dan garpu dalam posisi terbalik di atas piring yang terlihat super bersih tersebut. Ia kemudian membuka pembicaraan. “Aku menemukan ini,” ujarnya sembari menyorongkan amplop kepada Gendhis. Wanita itu menatap amplop tersebut, terdapat logo Bank di sudut dan ia sudah tahu apa isinya, surat peringatan akan hutangnya di bank. “Sudah kubayar sepuluh persennya, jadi tenang saja, Debt Collector itu tidak akan menggangguku lagi selama sebulan ke depan.” “Meski sepuluh persen, tapi tetap saja besar, dari mana uang sebanyak itu? Gajimu saja tidak sampai dua digit.” “Biarlah jadi urusanku mas.” “Kalau ditanya jangan plintat plintut,” ujar Bima menatap tajam tapi suaranya tidak ngegas, lebih ke serak akibat kebiasaan merokok. “Adikku meminjamkan uang, nanti segera kubayar kok.” “Kok gak bilang sama aku, dan buat apa juga sampai berhutang sebanyak itu. Uang dariku kurang? Atau mau alasan orang tua sakit heh?, pengobatan mereka kan aku yang bayar.” Gendhis menunduk sembari memainkan garpunya di atas piring, kandung kemihnya terasa berkontraksi dan ingin pipis di celana. Tubuhnya bergetar hebat dan sudah dalam taraf tidak tertahankan dalam menghadapi cercaan dari orang yang seharusnya memberi kasih sayang tersebut. “Uang darimu kan hanya cukup untuk beli keperluan sehari-hari mas, belum lagi untuk bayar listrik, dan cicilan rumah juga dibebankan ke uang yang kamu beri ke aku itu, ditambah lagi harus gaji si bibi di rumah mama, kebutuhanku yang lain gak cukup dari uangmu itu.” “Kebutuhan apa? Dan tatap mataku kalau lagi bicara.” Gendhis menengok perlahan dan menatap mata Bima tapi tidak kuat, ia mengalihkannya dengan berkedip berulang-ulang lalu menatap sudut rambutnya yang hitam tebal. “Belanja sepatu, tas, pakaian dan lainnya, kan mas yang selalu minta aku untuk selalu tampil cantik. Dan barang-barang itu gak murah. Tas lima juta, pakaian satu setel bisa sejutaan. Sepatu kerja aja tujuh ratus ribuan, sepatu pestas dua jutaan, gaun untuk kondangan bisa tiga juga, dan masih banyak lagi lah, kalau sudah kurang ya terpaksa gesek dulu.” Bima geleng-geleng kepala. “Soal itu harusnya kamu bilang, biar aku tambahin uang jajannya.” “Sudah pernah kuminta, tapi…” “Tapi apa?” jelas Bima dan tatapannya terlihat menusuk, meski suaranya tidak meninggi. “Sudahlah, aku gak mau ribut.” “Tapi apa, heh!” Gendhis benar-benar pipis dan sedikit membasahi celananya tapi sisanya ia tahan. “Tapi kamu pasti langsung memintaku macam-macam, seolah kamu seperti sudah membeliku dan bebas berbuat seenaknya terhadap tubuhku,” ujarnya dan perutnya terasa mual, entah keberanian dari mana ia bisa mengatakan hal seperti itu. “Yasudahlah, sekarang kan udah kejadian nih, mau sampai kapan ngutang terus? Berapa total utangmu!” “Aku punya tiga cicilan kartu kredit dengan posisi dua cc ku lancar, dan satu pinjaman chanelling untuk kendaraan beroda empat — ya mobilku itu. Yang macet hanya satu kartu kredit platinum dan sudah sekitar enam bulanan terjadi macet, tapi sejauh ini aku berhasil mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membayar minimal payment nya.” “Tetap saja hutang, dan itu menyangkut harga diri, ibaratnya sama aja kamu kayak sedang ngepel lantai rumah tetangga, kamu yang ngepel tapi aku yang malu, kamu yang ngutang ,aku juga yang malu. Sudah lunasi semuanya sekarang, sudah dikasih nafkah lebih dari cukup juga, dan aku tidak mau tahu, besok semuanya harus sudah beres atau kau akan menerima akibatnya.” Gendhis kembali menangis, kali ini dengan terisak. “Aku beneran gak bisa mas kalau harus lunas semuanya, sudah gak punya uang lagi.” “Ya orang tuamu harus tahu kalau begitu.” “Jangan mas, mamaku bisa mati mendadak.” “Ya salah siapa jadinya, kan kamu yang berbuat.” “Please aku mohon, ia aku yang salah dan semua juga demi mas.” “Jangan berdalih, dan hatiku sudah bulat,” ancam Bima. Gendhis merangkak dan bersujud di kaki Bima, ia menangis tersedu-sedu, kedua tangannya menggenggam celana bahan yang membalut kakinya. “Sudah-sudah, jangan menangis, gini deh, aku lunasi semua hutangmu tapi ikuti permainanku.” Tenggorokannya tercekat, dan Gendhis tahu bahwa ia akan kembali disiksa. 14 : Soal Villa Sebuah Kafe. Mereka duduk di bangku outdoor pinggir trotoar pada bangku dengan kanopi merah. Mirna menyeruput latte pesanannya, sementara Gendhis lebih banyak merokok dan sesekali menyesap kopi hitamnya. Beberapa pejalan kaki yang kebanyakan pegawai di daerah distrik bisnis ibukota tersebut terlihat lalu lalang dan semakin ramai saat menjelang jam pulang. “Besok mas Ricko pulang, dan aku senang sekali, Laffa juga sangat girang saat bervideo call kemarin malam,” ucap Mirna. “Bahagianya kalian.” “Tenang kak. Aku tahu kok kondisimu dan kami akan selalu ada untuk kalian.” “Mir, gue kepikiran klausa perjanjian soal Villa itu deh, tapi adanya di dalam cluis yang kunci dan kombinasinya hanya Bima yang tahu.” “Kalau kunci kamu bisa ambil diam-diam, cuma kalau kombinasi itu yang agak berat, memangnya kamu butuh apa dari lembaran tersebut?” “Aku sepertinya pernah baca, dalam kondisi tertentu aku bisa meraih lebih cepat Villa tersebut tanpa harus menunggu selama sepuluh tahun.” “Apa yang kakak ingat?” “Itulah Mirna, aku gak ingat, namanya juga lagi dibuai cinta saat itu, cuma baca sepintas dan main tanda tangan saja." “Pengacara Bima dan Notaris pasti punya salinannya.” “Aku sempat kepikiran ke situ, tapi gak mungkin mereka mau kasih ke aku.” “Kalau notaris pasti mau, kan kamu adalah Nyonya Bima, apa hak mereka menghalangi,” jawab Mirna. “Notaris pasti konfirmasi ke Bima, aku gak mau itu terjadi,” kata Gendhis dan kembali menyesap rokoknya. Asap keluar dari bibir merah mudanya itu. “Aku punya ide.” “Apa Mir, jangan main tebak-tebakan deh.” “Kamu ngerti kan cara buka kunci kombinasi?” “Ya ngerti lah sayang, aku kan pernah lama di safety room sewaktu masih on the job training, dan saat inipun aku masih sering bolak-balik yang berhubungan dengan cluis. Di perbankan namanya FCTA alias cluis itu pasti wajib ada, meski gak semua punya akses ke sana.” *FCTA — Filling Cabinet Tahan Api. “Cincin emas harga puluhan juta pemberian mama itu masih ada kan? Atau jangan-jangan udah dijual untuk bayar hutang.” “Gue mendingan mati dicekek Collector Mir, daripada jual pemberian mama itu.” “Yasudah bagus kalau gitu, jadi begini ideku.” 15 : Malam panjang di atas ranjang Kedua mata mereka saling menatap di atas kasur, ditemani lampu meja temaram kekuningan. Dan Gendhis tidak suka dengan tatapan Bima yang terlihat mengintimidasi, dalam penafsirannya bahwa lelaki itu kini tengah memandang remeh dirinya, menganggap Gendhis tak lain hanya seperti seonggok daging busuk tak berguna yang siap di ombang-ambing ke sana ke mari. Entahlah, mungkin ini hanya perasaannya saja. Mungkin…mungkin aja. “Gimana, setuju dengan proposalku?” “Proposal, berat sekali sih bahasanya sayang,” ujar Gendhis sembari menarik-narik dasi Bima. “Aku menunggu jawabannya.” “Iyah aku mau,” jawab Gendhis, lalu ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantongnya. Pikirannya kembali teringat akan nasihat dari Mirna. “Apa ini?” “Cincin pemberian mamaku, dulu aku udah cerita deh sama kamu soal ini, lupa ya?” ujar Gendhis. “Oh ya aku ingat, itu punyamu, kenapa? Mau kasih ke aku? Nyogok?” “Gak ada kok ini buatmu, aku cuma khawatir hilang kalau ditaruh di sembarang tempat, boleh titip di cluis mu itu?” “Tentu saja.” Bima mengambil kotak tersebut lalu melengos, namun sebelum lelaki itu lenyap dari pandangannya, Gendhis menarik dasinya kembali dan mulai menciumi bibir pria tersebut yang rasanya sudah hambar karena cinta yang udah tiada di hatinya. Ia kemudian berlutut dan mulai menarik resleting celananya.” Hei katanya mau menitipkan…” “Aku sedang bernafsu, please.” Mulut Gendhis sudah berada di dalam kemaluannya dan membuat Bima lemas, tulang kakinya serasa tertarik. Usai melakukan hal tersebut, Gendhis menggandeng lengan Bima. “Yaudah mas taruh dulu aja cincinnya, tapi aku gak mau lepas sama kamu.” Bima menarik celananya dan sesuai dugaan, saat sudah terpuaskan tapi baru setengah, Bima akan menjadi lengah dan meski tanpa mengiyakan, ia membiarkan Gendhis mengikutinya. Di dalam ruangan kecil yang hanya memuat cluis tersebut, ia meminta Gendhis sedikit menjauh. Wanita itu menyandarkan tubuhnya ke dinding dekat pintu, tetapi posisi di mana ia masih bisa mengintip, ia hanya punya kesempatan satu kali dan berhasil mengingat semua kodenya. Gendhis menarik napas, baginya ini akan menjadi petualangan yang panjang. 16 : Ricko dan Surat Palsu Gendhis berkunjung ke rumah Mirna dan Ricko sudah berada di sana, mereka saling bertegur sapa, lalu dilanjutkan dengan acara makan siang. Laffa tertidur usai bermain-main dengannya yang cukup menguras keringat. Rumah Mirna tidak terlalu luas, tapi halaman belakangnya cukup enak untuk dipakai berjalan santai, ada kolam ikan koi, pendopo dan rambatan pepohonan di sepanjang dinding. Ricko adalah lelaki bertubuh tegap, rambutnya pendek, berkumis dan berkulit coklat cerah. Gendhis mendekati Ricko saat lelaki tersebut tengah menatap koi, sementara Mirna tengah menina bobokan Laffa. “Gimana Papua?” Pertanyaan itu sempat mengagetkannya “Eh mbak Gendhis,” ujar Ricko menoleh. “Gendhis aja sih, lagian umur kita gak jauh.” Ricko tersenyum. “Tetap saja kamu kakak iparku.” “Perduli banget sama sistem begituan. Human are equal.” “Papua semakin panas yang jelas, tapi besyukur semua berjalan baik-baik saja, merawat persatuan memang tidak mudah, tapi percayalah di setiap usaha yang dijalankan pasti ada hikmahnya. Aku hanya seorang operator atau prajurit khusus dalam istilah militer, semua yang kuperbuat atas dasar perintah komando pimpinan.” “Mirna banyak ceritakah soal diriku?” tanya Gendhis dan Ricko sempat terdiam. “Aku gak mau terlalu ikut campur sebenarnya mbak eh Dhis, tapi kalau menurut saranku memang sebaiknya kalian berpisah sajalah, karena kalau kulihat sepertinya segala sesuatunya sudah sangat patah dan sulit diperbaiki, tapi sekali ini dari sudut pandang orang ketiga dan aku tidak tahu juga apa yang sebenarnya terjadi.” “Kamu dari militer, belajar ilmu intelijen dan psikologis, bohong kalau tidak tahu, kamu pasti tahu dan benar katamu, bahwa pada intinya aku dan Bima sedang tidak baik-baik saja.” “Jadi apa yang bisa kubantu?” “Aku ingin diajari ilmu beladiri, itu juga kalau kamu gak keberatan.” “Ilmu beladiri sah-sah saja diajarkan kepada siapapun dan aku akan dengan senang hati memberikan ilmunya padamu.” “Kalau soal ijin, nanti aku yang bicara dengan Mirna.” “Santai saja, mengajari kakak ipar sendiri masa pakai ijin.” “Bukan itu saja, tapi aku juga mau ilmu yang lainnya?” Kedua alis Ricko terangkat ke atas, “Apakah itu?” Mirna tersenyum, setidaknya ia sudah mendapat lamput hijau dari Ricko. Selanjutnya yang harus ia lakukan adalah membuat surat palsu. 17 : PTSD Gendhis kembali berkantor usai hampir seminggu mencoba menyembuhkan luka yang masih terlihat sedikit goresan di wajahnya, dan pulasan make up berhasil menyembunyikan itu. Atasannya tentu sangat senang karena Gendhis bisa kembali ikut kejar target dengannya, namun wanita itu kembali membuat sang bos terhenyak. Gendhis mengajukan surat cuti dan sang pimpinan yang sepertinya sayang dan menaruh simpatik padanya itu langsung tanda tangan meski terasa berat. Usai di accept permintaan cuti besarnya, ia kasak kusuk membuat surat palsu di depan komputer untuk membuat surat lalu mengeprint dengan kertas berlogo bank. Surat itu berisi keterangan bahwa Gendhis mendapatkan training di luar kota untuk menjadi perwakilan perusahaannya. Yang harus ia lakukan adalah tanda tangan palsu pimpinannya dan baginya itu soal mudah, sebuah cap ia bubuhkan di atas tanda tangan palsu tersebut. Meski terlihat ketat, namun pada dasarnya Bima menjaga jarak dengan teman-teman Gendhis di kantornya, ia juga bukan tipikal orang yang suka kroscek atau konfirmasi, modal surat palsu asal ada bubuhan cap, logo perusahaan dan tanda tangan pemimpin setempat sudah cukup membuatnya percaya. Keesokan harinya, Gendhis menyiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan dan mengatakan pada Bima bahwa ia sebaiknya naik taksi saja ke bandara, dan tanpa banyak pertanyaan, Bima langsung mengiyakan. Ia tipikal lelaki malas untuk mengantar dan tidak perduli kalau istrinya dikhawatirkan terjadi sesuatu di perjalanan nanti. Ya berharap baik-baik sajalah. Gendhis pun berangkat tapi tidak ke bandara, melainkan bertemu seseorang di suatu tempat. Nissan X-Trail sudah menunggunya dengan mesin bergemuruh. Ricko tancap gas usai kakak iparnya itu masuk ke dalam, perjalanan menuju sebuah daerah terpencil dan di atas gunung menempuh waktu kira-kira sekitar tiga jam dari ibu kota. X-trail tersebut akhirnya keluar dari hutan dan masuk ke sebuah padang rumput yang luas dengan gunung bebatuan menjulang tinggi besar di ujung, sebagian tertutup kabut dengan awan yang selalu menggelantung gelap, pada daratan luas di atas gunung tersebut, hanya ada sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Mereka turun dan berjalan menuju rumah. “Untung komandanku paham, dan aku harus mengarang cerita bahwa sepertinya kalau aku masih harus kerja usai penugasan di Papua maka aku akan terserang PTSD, jadilah aku dapat cuti juga.” *PTSD = Post Traumatic Disorder (Gejala stres paska trauma) “Kamu jago memanipulasi sepertinya. Perang adalah tipudaya bukan?” Ricko mengedik. “Dari mana kamu tahu bahasa seperti itu? “Aku suka baca novel, dan mengoleksi buku filsafat yang kini kusembunyikan karena Bima mengharamkan filsafat, entahlah untuk alasan apa aku tidak paham. Oh ya gimana tanggapan Mirna?” “Gak ada masalah, ia menyetujui semua rencana kita, lagipula kita kan gak berduaan saja di sini, jadi ayo kita temui orang di dalam kabin itu.” Saat berjalan dan hampir mencapai rumah, seseorang keluar dari rumah, lebih tepatnya lelaki berusia hampir tujuh puluhan dengan tubuh yang terlihat kurus, ringkih dan bergetar. Ia mengenakan celana training abu-abu, jaket berbahan kain tebal dan kupluk. Janggut putihnya terlihat panjang menyatu dengan cambang. Ricko memeluknya erat, lalu Gendhis ikut menyalaminya. “Ayah, apa kabar?” ujar Ricko. 18 : Rahasia Gelap Ayah Ada tiga undakan anak tangga dengan langkah pendek saat memasuki teras depan yang lantainya juga terbuat dari kayu, sehingga menimbulkan derit saat ditapak. Mereka langsung duduk di bangku halaman depan rumah tersebut, menikmati segarnya udara pegunungan. Halaman depan rumahnya menghadap ke arah hutan, sementara belakang rumah menghadap gunung batu besar. Ricko sendiri sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan ayahnya sendiri, permasalahan keluarga membuat hubungan satu darah tersebut agak renggang, dan kini berkat Gendhis, mereka kembali dipertemukan. Kakek Soemarno sudah berusia tujuh puluh tahun, tapi ia masih kuat merokok dan kali ini cerutu Kuba yang ada di antara kepitan jari jemarinya. Ia adalah mantan tentara Angkatan Laut di tiga generasi, Orla, Orba, dan kini Reformasi, pernah tiga kali tur di Timor Leste dan mengunjungi Uni Soviet serta RRC sewaktu di bagian logistik. “Nak, maafkan ayahmu ini yang sudah meninggalkan ibumu hingga akhir hayat.” “Ibu kesepian, dan ia mati karena kesepian,” uja Ricko dengan nada yang masih tetap terdengar sopan namun tatapan matanya tiba-tiba menjadi kosong. “Aku bersumpah tidak pernah mau meninggalkan kalian, tapi semua ini gara-gara wanita sialan itu, aku terbujuk rayu olehnya dan hingga kini aku merasa berdosa meninggalkan kalian, sebagai penebusan dosa, aku mengutuk diriku sendiri di dalam rumah reyot ini, setiap hari aku berdoa pada Tuhan, semoga Nurhayati memaafkanku di akhirat sana.” “Sudahlah lupakan saja yah, dan Tuhan itu maha adil, sebagai gantinya, ia mengirimkan istri dan anak yang baik kepadaku, dan aku semakin mensyukuri nikmatnya, sebagai perbandingan saat melihat kakak iparku ini ternyata memiliki kehidupan yang tidak sempurna, dan aku ke sini untuk membantunya.” “Bantuan dalam bentuk apa yang akan diberikan pada wanita ini nak?” “Aku cuma butuh menginap di rumahmu, itu saja. Aku ke sini untuk melatihnya ilmu beladiri, menembak, dan survival skills, waktunya juga tidak banyak, hanya dua minggu saja,” ucap Ricko tenang dan wajahnya juga terlihat bersahaja, orang akan terhenyak dan ikut mengalun apabila menatap wajah dan tatapan matanya yang sendu dan damai. “Silahkan saja, jangankan dua minggu, selamanya pun kalian anggap saja ini rumah sendiri, jangan pernah sungkan. Itu kau lihat kan hamparan lapangan yang luas, bisa kalian pakai tuh untuk latihan menembak.” Esok hari, pelatihan di mulai. 19 : Akan ada pertemuan rahasia Bima merasa bebas membawa Stephani karena Gendhis tidak ada di rumah. Ia menyalakan musik klasik dari pelantang piringan hitam, sebotol anggur dituang dalam gelas, mereka saling berpelukan dan meminum dari gelas yang sama. Lipstick menempel di bibir gelas, hari ini Stephani begitu anggun mengenakan gaun ketat hitam berbelahan dada rendah, dengan bagian bawah sekitar sepuluh senti di atas lutut. “Gimana sayang, hubungan kita mau dibawa ke mana, kapan akan menyingkirkan Gendhis bodoh mu itu.” “Jaga bicaramu, gitu-gitu masih istriku.” “Baiklah, yaudah kapan?” Bima membetulkan posisi duduknya, ia sedikit melonggarkan dasi kerjanya lalu menuangkan satu shot jagermeister pada redbulls yang sudah dituang dalam gelas yang bersebelahan dengan botol anggur. “Jadi begini, kalau aku menceraikannya, properti milikku dalam bentuk villa seharga lima miliar dan nilai takasasinya akan terus meningkat itu akan menjadi milik Gendhis, lalu rumah ini juga akan dibagi dua, itu artinya asetku akan terkuras habis kalau sampai aku melakukannya. Stephani yang mengenakan kacamata bergagang bundar itu ikut membetulkan posisi duduknya. “Jadi ceritanya kamu ini orang kaya dan kaya nya ya kaya banget dan tertipu akibat ikatan pernikahan.” “Panjang lah kalau diceritakan, nanti kamu juga akan tahu pada akhirnya, tapi ada satu klausa yang menyatakan kalau aku bisa kembali mendapatkan Villa itu kembali, yaitu apabila terjadi meninggal dunia entah secara alami, atau kecelakaan atau terbunuh, intinya Gendhis kehilangan nyawanya, maka Villa itu akan menjadi milikku sepenuhnya.” “Jadi maksudnya, kamu sekarang sudah berani kah membunuhnya? Demi aku.” “Jangan gila, aku tidak berpikir sampai situ, tapi itu memang jalan pintasnya.” Stephani memegang kedua rahang Bima.”Coba tutup matamu sayang,” ujarnya dan Bima mengikuti. “Wanita itu pada dasarnya sudah membunuhmu, ragamu hidup tapi hati dan pikiranmu sudah terbeli olehnya, dan kamu akan menikmati kesengsaraan dalam sisa hidupmu, kamu mau tersiksa terus dalam permainannya. Aliran darahmu itu sudah terinfeksi racun, dan sudah menjalar, yang bisa kulakukan adalah membantumu untuk memotong infeksi tersebut, semua akan aman dan kamu akan sembuh lagi, minimal batinmu bisa terobati dan sembuh kembali kalau Gendhis benar-benar bisa keluar dari kehidupanmu selama-lamanya.” Bima membuka kelopak matanya. “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” “Aku punya klien, aku pernah jadi instruktur fitness pribadinya, sudah lama sih, tapi aku masih pegang kontaknya, sepertinya sudah saatnya kamu bertemu dengan dia. Itu juga kalau kamu gak keberatan untuk menemuinya.” “Kalau begitu pertemukanlah.” Stephani tersenyum, dan kedua bibir mereka saling bertautan. 20 :Training Day Gendhis sudah bersiap dengan mengenakan short pants volleyball dan pakaian olahraga yang biasa digunakan pesepeda berlengan panjang, sementara Ricko mengenakan celana loreng dan kaus hitam lengan panjang. Hari pertama berlatih dilalui dengan latihan fisik yang cukup intens, dan jantung Gendhis tentu saja kaget, lalu meminta berhenti di tengah-tengah pelatihan. Ia duduk di atas tanah dan bersender di bawah pohon. “Kalau ragu masih ada kesempatan untuk berbalik arah dan kembali ke rumah.” “Lanjutkan saja, lebih baik mandi keringat daripada mandi darah dikemudian hari.” Ricko tersenyum. “Dari baca novel lagi?” “Bukan, tapi aku pengamat berbagai falsafah dari seluruh dunia.” “Berarti kamu membaca juga soal Sartre?” tanya Ricko yang duduk di sebelahnya. “Tentu saja, dia filosof besar.” “Hell is other people, benar kan?” kata Ricko. Gendhis mengangguk sembari menenggak air dalam botol, membuat tenggorokannya berderak naik turun saat air melewati dan membasahi kerongkongan. “Yah benar, hell is other people, artinya orang lain adalah neraka, saat sendiri kita bebas akan diri kita, tapi saat bertemu orang lain maka tubuh dan pikiran kita akan berbenturan dengan adat, sifat, dan kebiasaan manusia lainnya. Terpasung dalam norma yang ada, termasuk menikah, kita tidak bisa bebas karena akan selalu terbentur oleh sifat pasangan kita, segala baik buruknya, ilernya, upilnya, kata-kata kasarnya, beragam peraturannya, membuat kita sebagai manusia akan terkungkung, itulah yang disebut sebagai orang lain adalah neraka.” Ricko menimpali. “George Orwell dalam The Animal Farm mengisahkan pemberontakan hewan pada manusia karena perilaku represif manusia terhadap para makhluk berkaki empat tersebut, dan kamu adalah ibarat hewan yang tengah melakukan pemberontakan itu.” “Aku hanyalah domba yang tersesat, tolong tunjukan jalannya padaku.” “Kalau gitu masih kuat berlari?” “Ayo!!!” Mereka kembali berlari, lalu dilanjutkan dengan aktivitas fisik seperti push up, sit up dan berjalan jongkok, lagi-lagi akibat rokok dan alkohol yang membuat napas Gendhis terbatas. Ricko pun menghentikan aktivitasnya, mereka kembali ke rumah kayu. Ricko memasak telur untuk bertiga, dan ia juga menyuruh agar Gendhis tidak mengganti pakaiannya, sama seperti dahulu saat dirinya masih mengikuti pendidikan, ia disuruh bermandikan keringat dan mengenakan pakaian yang sama selama berhari-hari dalam pelatihan yang begitu brutal. “Nanti sore kita akan berlatih menembak.” Sore harinya, Ricko memberikan tas ransel berisi ribuan amunisi, pistol di taruh dalam sarung sabuk senjata di pinggang, lalu mengambil senapan dengan scope dan peredam dari bagian bagasi mobil X-Trailnya. “AR-15 kan?” “Yap, kamu benar, ini versi sipil dari M-16.” “Militer kita tidak menggunakan senjata itu sepertinya.” “Memang tidak, alutsista ini kudapatkan dari kenalanku sewaktu latihan bersama dengan Spetnaz Rusia, tahukan mereka?” “Ya, semacam Navy Seals-nya versi Rusia.” “Ayah temanku itu adalah pengelola lapangan tembak dan memiliki perusahaan jasa keamanan swasta yang berlokasi di Dagestan, saat luang aku diajak berkunjung ke sana. Daerah tersebut cukup subur dan minat anak-anak muda di sana terhadap senapan cukup besar, sehingga bisnisnya berkembang pesat. Dan ngomong-ngomong ini bukan milikku, aku cuma meminjamnya kok, dia punya cabang di sini, dan tentunya berdiri secara diam-diam saja. Sesampainya di hutan, Ricko mulai mengajarinya cara mengokang, menekan trigger, memberitahukan penggunaan tombol safety, hingga bongkar pasang senapan. Dalam tiga jam ke depan, Gendhis terus melakukan pekerjaan tersebut berulang-ulang, bongkar pasang sampai bosan yang kurang lebih sudah hampir seratus kali dilakukan olehnya. Ricko mengajarinya cara membidik menggunakan scope, membaca peta dan arah angin. “Nah sekarang tembaklah sesuka hatimu, kau lihat ada sekitar lima batang pohon, tembak dan saat peluru habis, gantilah dengan magasin yang baru. Pelan-pelan saja, yang benar dahulu, soal speed itu belakangan.” Gendhis mengenakan rompi anti peluru dengan tiga magasin cadangan di depan rompi, semua yang serba pertama kali membuatnya gugup. Ia mulai menembak, dan terus menembak, menghamburkan puluhan selongsong yang terjatuh ke tanah, hingga peredam di bagian depan moncong senapan berasap. Saat peluru habis, ia mencari-cari tombol release magazine, lalu menekannya dan membuat kotak peluru yang sudah kosong itu terjatuh ke tanah, tangannya sempat tersangkut di kantong rompi saat mengambil magasin baru untuk dipasang ke senapan. Gerakannya sangat lambat dan membuat Ricko sempat greget, tapi ia harus memaklumi karena Gendhis adalah amatiran, justru dirinya akan terkejut kalau sampai Gendhis terlihat mahir, jangan-jangan wanita itu adalah pembunuh bayaran terselubung. Ricko melingkarkan sarung sabuk senjata berisi pistol Glock ke pinggang Gendhis. “Sekarang coba lakukan latihan peralihan senjata secara cepat, saat peluru dalam AR-15 mu habis, langsung ganti ke pistol. Aku akan pasang timer, dan baru boleh menembak saat timerku berbunyi bip.” BIP… Gendhis mengeker dan mulai menembaki beberapa pohon pinus di hadapannya, secara otomatis lalu saat peluru habis, ia meleparkan AR-15 yang tergantung di tubuh depannya, lalu beralih ke pistol di Glock. Ulangi…ulangi…ulangi… sampai lancar. Ricko menatap kagum akan Gendhis yang sangat cepat belajar, ia juga mampu menuruti dan menerjemahkan dengan baik segala perintah yang diberikan padanya. “Baiklah, sekarang saatnya berburu.” Awan mulai gelap, NVG (Pencahayaan malam) di pasang di kepala masing-masing. 21 : Kobra dan Terikat Senapan M4A1 diberikan kepada Gendhis, sementara AR-15 adalah miliknya, semuanya telah dipasangi peredam di bagian ujung. Mereka menggunakan lotion anti nyamuk sebagai antisipasi gigitan nyamuk demam berdarah. “Malam hari akan keluar puluhan koyot dan babi hutan yang biasanya merusak tanaman dan hasil padi penduduk sekitar,” ujar Ricko sembari berjalan sedikit merunduk dan perlahan. “Kita harus bergerak perlahan, senyap dan taktis, jangan sampai musuh mendengar derap kaki. Bunuh senyap.” Suara berkeresak terdengar, Ricko menumpukan lutut kaki kanan ke depan dan lutut kaki kiri menapak tanah, Gendhis mengikuti di posisi belakang tidak jauh darinya. Mata Gendhis sedikit pusing karena tidak terbiasa melihat dalam kegelapan menggunakan NVG. “Kau lihat,” ucap Ricko berbisik dan Gendhis mengangguk perlahan. Seekor babi hutan terlihat berputar-putar seperti makhluk tolol, mencari-cari rumput untuk dimakan, hidungnya terlihat semakin besar saat mencocot ke sana kemari. Pantas saja dijadikan bahan makian oleh makhluk hidup bernama manusia, kelakuannya memang bodoh, apa maksudnya berputar-putar bagai kambing dongo seperti itu. “Tembaklah, kalau bisa di bagian leher karena itu akan langsung membunuhnya.” Gendhis mengangkat senapan perlahan-lahan, NVG menembus Scope, titik merah di tengah di arahkan ke bagian leher, jari telunjuk sudah siap menekan trigger dan bersiap mengakhiri satu nyawa kehidupan di muka bumi. JDBAB… Sebuah peluru melesat dan membuat babi hutan itu menciuk-ciuk, menggelepar di tanah sesaat dan tak berapa lama berhenti bergerak. Mereka berdiri dan berjalan beriringan untuk mendekati hasil buruan. Gendhis berdiri di atas hewan malang tersebut, lalu melontarkan dua peluru yang menembus kepala dan perut si babi. Suara mendesis terdengar dan membuat Gendhis bergidik, ia mencari-cari asal suara dengan panik. “Hei tenang-tenang,” ujar Ricko berbisik. “Sial..sial, kalau sampai itu suara desisan ular, aku takut, aku benci hewan panjang kayak tambang itu.” “Tenanglah, tenanglah,” ujar Ricko, sembari meneropong ke sana kemari. “Oh di situ temanmu rupanya.” “Di mana, hei tolong jangan bercanda,” ujarnya dan tiba-tiba saja kandung kemihnya berkontraksi. “Di kakimu,” canda Ricko dan Gendhis hampir berteriak. “Easy…easy… aku bohong, arah jam dua belas, dekat pepohonan. Gendhis meneropong dan melihat lilitan panjang warna hitam itu tengah memanjat menuju ranting pohon di atasnya. Ia membidik dengan darah dingin, lalu melontarkan peluru dan menembus kulit perut sang ular. Saat menggelepar di atas tanah, ia kembali melontarkan beberapa peluru hingga hewan melata tersebut tidak bergerak lagi. “Ouchh, itu kobra dan sangat berbisa,” kata Ricko. Jantung Gendhis berdetak lebih kencang, “Syukurlah sudah tewas." “Masih mau berburu?” “Sepertinya cukup. Besok mau ngapain kita?” “Nanti biar kuatur jadwal latihannya dulu. Oh ya boleh kuikat tanganmu?” Gendhis tertegun. “Apa? Aku trauma dengan ikat mengikat.” “Tenanglah, justru aku ingin mengajari gimana caranya kamu meloloskan diri saat terikat.” 22 : Wanita racun Gendhis terbangun dengan kepala berat dan semua badan terasa sakit usai latihan kemarin, suara panci dipukul-pukul terdengar nyaring dan menganggu tidurnya, meski hari sudah terang namun dirinya merasa ini masih terlalu pagi untuk berlatih. Bau kayu dan asap menusuk hidung. “Ayo Mbak Gendhis segera latihan, gak usah mandi dulu apalagi dandan,” teriak Ricko dari luar kamar. Ia buru-buru mengenakan celana panjang ketat berbahan lateks atau maksimus likra, sepatu sport dan kaus biru, rambutnya diikat dan segera keluar. Mereka berjalan dan menemukan sebuah lapangan atau padang rumput cukup luas, di sudut terdapat undakan batu cukup tinggi, seperti anak gunung yang tertutupi oleh kabut tebal, angin bersemilir dan menusuk, udara begitu dingin namun menyegarkan. Usai pemanasan, Ricko mengajari dasar ilmu beladiri Brazilian Jiu Jitsu, lalu teknik gulat, membuat mereka berulang terlihat seperti sedang berpelukan dan menggeliat di tanah. Selanjutnya adalah beladiri Kali Panantukan yang berfokus pada mempelajari ilmu merebut senjata dari pihak lawan, dan bagian tersebut adalah favorit Gendhis, ia menginginkan pergerakan tersebut diulang-ulang agar semakin mahir. Usai beladiri, mereka kembali latihan menembak, Ricko sudah menandai setiap pohon dengan spidol, membuat lingkaran dan memberi nomor di tengahnya. Pepohonan itu adalah targetnya. “Tembak hanya nomor yang ganjil saja, minimal sepuluh tembakan yang kubutuhkan dan kalau gagal kamu akan mendapatkan hukuman, waktunya sepuluh detik, dimulai dari…sekarang,” ujarnya dan suara bip pada timer berbunyi. Gendhis mulai memburu si angka ganjil, angka satu dalam lingkaran spidol merah ia temukan, lalu tembak sekali, kemudian ia menemukan angka tujuh, satu selongsong untuk satu angka, saat semakin masuk ke dalam untuk beralih ke pepohonan yang lain, ia menemukan angka-angkanya semakin besar dan membuat pikirannya sempat teracak. 37,56,66,109,1057. Ia menembak saja yang menurutnya ganjil dan waktunya habis. Ricko mengecek hasil tembakannya. “Hanya benar Sembilan dari sebelas tembakan,” ujar Ricko dan Gendhis melenguh dan saatnya hukuman. “Push up saja sepuluh kali,” ujar Ricko santai. Jelang sore hari, mereka kembali ke rumah kayu dan makan bersama kakek Soemarno, hujan turun rintik-rintik di luaran sana, suara radio berdengung pelan, pembaca berita mengabarkan kondisi cuara sekitar, di beberapa titik sangat lebat, dan ada pepohonan yang tumbang, namun belum diketahui mengenai apakah ada korban atau tidaknya. “Gimana Gendhis, latihannya,” tanya Soermano sembari menggigit daging kambing di atas piringnya. “Dia orang yang sangat cepat belajar, aku malah takut kalau ia belajar selama bertahun-tahun, maka kemampuannya akan melewatiku,” ucap Ricko sembari menyuap daging yang dibuat jadi steak yang mereka panggang bersama-sama sebelumnya. “Jangan ambil hati, tapi aku selalu berpikir kalau wanita adalah racun, bagaimana semua sendi kehidupanku hancur gara-gara makhluk bernama wanita, seandainya bisa memutar waktu, ayah hanya ingin menjadi manusia yang hidup normal saja, dan bisa ikut membesarkanmu nak.” “Sudahlah dad, hentikan ocehan seperti itu, ayo turun bersamaku ke kota, dan kau bisa menginap bersama kami dan bermain dengan cucu Laffa.” “Aku sudah senang hidup seperti ini, biarlah sampai akhir hayatku seperti ini saja, hidup menyendiri, terkadang menjadi nomaden saat harus bekerja menjual kayu bakar ke pasar. Aku hanya bisa kasih nasehat, waktu terus berputar dan tidak akan pernah kembali, jangan salah langkah atau kalian akan menyesalinya seumur hidup.” Gendhis mengelap bibirnya dengan tangan usai menyelesaikan suapan terakhirnya, kemudian hatinya tergelitik untuk bertanya. “Maaf kek, kalau boleh bertanya, apakah kakek percaya Tuhan?” Ricko mengangkat kedua alisnya, seperti tidak nyaman untuk sesaat tapi tidak berani membantah Gendhis, lalu Soemarno tersenyum. “Aku senang dengan pertanyaan seperti ini, bagiku Tuhan tidak ada dalam kehidupan orang-orang sepertiku, mungkin lain cerita dengan Ricko yang hidup serba normal, dan ia takut segala kenormalan dan kenikmatannya itu dicabut darinya, makanya dia pasti akan mengatakan kalau Tuhan itu ada.” “Bukan masalah Tuhan itu ada atau tidak yah, tapi masalahnya adalah Tuhan tidak hidup di hati kita, makanya manusia menjadi serakah, playing victim, dan dipenuhi hasrat buas. Kalau Tuhan hidup di hati kita, kuyakin kau tidak akan mengatakan hal seperti itu,” jawab Ricko. Mereka kembali menyantap hidangan penutup berupa buah-buahan dalam diam. “Bukan karena kurang cinta, namun kurangnya persahabatan yang membuat pernikahan tidak bahagia,” ujar Soemarno Kata-kata itu membuat Gendhis tertegun dan untuk sesaat pikirannya tengah berkelana ke lain tempat. ia hafal betul kutipan tersebut berasal dari mana, jadi tidak salah sebenarnya kalau ia menanyakan soal Tuhan kepada Soemarno, karena di mata sang kakek itu bukanlah hal tabu. 23 : The Birth of Tragedy Soemarno izin sejenak pada mereka untuk turun ke kota dan menjual hasil kayunya, dan ia mengatakan akan kembali maksimal pukul Sembilan malam nanti, sang kakek masuk ke dalam jeep tuanya, lalu mobil tersebut menderu keras dan perlahan menghilang dalam kabut di antara pepohonan pinus yang menjadi pemandangan teras depan rumah kayu tersebut. Gendhis duduk di sana, ditemani segelas kopi hitam panas yang cepat mendingin karena faktor cuaca, ia kembali merokok, tubuhnya dibalut kaus putih dan short pants jeans biru pudar. Ia kembali terpikirkan kata-kata terakhir yang diucapkan kakek Soemarno di akhir makan sore kemarin. Kutipan kata-kata yang tidak asing baginya sebagai pemerhati filsafat. -Selalu ada beberapa ketidakwarasan dalam cinta, akan tetapi selalu ada berbagai alasan dalam kegilaan- Ricko keluar dari dalam, lalu ikut duduk di kursi yang kosong yang hanya dibatasi oleh meja pendek di sana. “Merokok?” tawar Gendhis sembari menyodorkan sebungkus rokoknya. “Tidak.” “Pasti kau akan berpikir kalau rokok akan membunuhmu, padahal faktor pembunuh dalam hidup manusia itu sangat banyak, contohnya makanan, junk food, bakteri, kuman, dan gaya hidup.” “Yah aku tahu, dan aku tidak merokok karena tidak melakukannya, itu saja. Kalau ngopi sih masih ya.” “Join saja kopiku.” Ricko menyesap kopi yang mulai menghangat, membasahi kerongkongan dan paru-parunya. “Kau pasti tertegun dengan kata-kata kutipan dari ayahku semalam bukan. Tidak usah kaget, ia itu sama sepertimu, kau belum ke kamarnya kan, dan mumpung orangnya tidak ada, aku ingin mengajakmu ke dalam. Tidak apa-apa sambil merokok saja, karena ia juga suka merokok di dalam kamar.” Ricko beranjak dan masuk ke dalam kamar Soemarno, diikuti oleh Gendhis, dan takjub saat melihat tumpukan buku yang Nampak usang, dan sebagian adalah cetakan lama, baik berbahasa maupun bahasa Inggris. Beberapa di antaranya yang terlihat adalah buku karangan Friedrich Nietzche, seorang filosof Jerman, seperti Beyond God and Evil terbitan aslinya 1886, namun yang dimiliki si kakek adalah versi cetak tahun tujuh puluhan, lalu ada My Sister and I (1951), The Birth of Tragedy (1872), lalu koleksi Jean Paul Sartre, filosof Prancis, seperti Eksistensialisme, The Reprieve, hingga Psikoanalisis Eksistensi. Sastrawan Russia, Fyodor Dostoyesky berjudul Demons (1872), Poor Folk (1846), dan Humiliated and Insulted (1861) juga memenuhi raknya. “Aku tidak ingin mengatakan kalau para penulis buku ini adalah anti Tuhan, hanya saja tidak suka saat ayah terlalu terasuki oleh buku-buku tersebut, tapi yah kamu tahulah, bahwa ayah akan sangat sulit didebat kalau sudah berurusan dengan keyakinannya, jadi biarlah untuk sementara waktu dan entah sampai kapan ayah akan tetap dengan pemikirannya. Ayah pasti akan cocok denganmu, kau bisa berbicara dengannya selama berjam-jam soal filsafat, tapi kusarankan sebaiknya kamu menahan diri, atau ayah akan semakin sakit dalam pembenaran pikirannya.” “Ini benar-benar mengagumkan, dan kamu memiliki ayah yang sangat keren,” ucap Gendhis lalu mengisap rokoknya. “Ah sudahlah, jangan dipanas-panasi ya, ayo kita kembali keluar.” 24 : Biarkan yang lain tetap dalam keputusasaan Sebuah target berupa kaleng kosong ditaruh di atas batu, di belakangnya aliran sungai di antara bebatuan mengalir deras, menciptakan riak-riak dan suara air. Soemarno mengokang AR-15 tersebut dengan susah payah, lalu mulai membidik, kedua tangannya bergetar hebat, ia mengeker dengan satu mata, dengan satu matanya lagi tetap terbuka. Napasnya terasa berat seperti sehabis berlarian. Sebuah tembakan dilesakkan dan mengenai kaleng tersebut, dan itu membuat Gendhis terpukau. “Arah angin bukan?” ujar Ricko sembari mengulas senyum. “Ya arah angin nak, seperti yang pernah kuajarkan, taruhlah moncong senapan agak sedikit ke atas saat angin terlalu kencang, karena pelurumu akan melawan gaya gravitasi bumi yang menarik ke bawah.” Mereka duduk di tepi sungai, sembari menikmati ayam panggang yang dibungkus alumunium foil. Soermano bangkit dan keduanya mendelik ke arahnya. “Sepertinya dompetku terjatuh, aku harus kembali ke hutan, kalian tunggulah di sini.” Gendhis bangkit. “Kek, biar kutemani yah.” Mereka pun berangkat, naik beberapa tapak dan sampai di hutan, sementara Ricko ditinggalkan sendirian di sana, usai melangkah beberapa jauh dan di rasa aman, Soemarno menatap wajah Gendhis. “Dompetku tidak hilang kok, tapi aku tahu kamu pasti akan mengikutiku.” Gendhis mulai gelagapan dan masih tidak mengerti arah pembicaraannya. “Baru rokokmu tertinggal di kamarku.” “Ma..maaf kek, tapi aku diajak oleh Ricko ke dalam, aku didampingi olehnya, aku tidak bermaksud…” Soemarno mendelik, bibirnya bergoyang. “Memangnya siapa yang mau memarahimu, tapi aku tahu kalau kau kini menaruh minat padaku, sekarang lihatlah diriku, si baja yang sudah berkarat ini, aku telah menyiksa diriku terlalu lama, dan aku melihat itu dalam dirimu, tatapan matamu mengatakan itu.” Gendhis terdiam dan kembali menyimak kata-kata Soemarno. “Kalau Ricko selalu berpikir bahwa aku tenggelam dan semakin tersiksa gara-gara buku filsafat itu, tapi dia salah, bahwa sebenarnya buku-buku itulah yang menolongku dan meyembuhkanku secara perlahan, meski beberapa kerusakan dalam pikiranku sudah tidak bisa diperbaiki. Nak, perlu kamu tahu, aku pernah punya kecenderungan bunuh diri, itu mungkin sekitar lima belas tahun lalu saat wanita itu meninggalkanku begitu saja, aku mengutuk diriku setiap hari, gara-gara si wanita jalang itu sampai membuatku tega meninggalkan Ricko dan ibunya — istriku. Aku tidak perlu mengenal Tuhan untuk melanjutkan hidup, filsafat membuat nyawaku kembali hadir dalam tubuhku dan membuatku terjaga hingga kini.” Soemarno menunjuk dada Gendhis. “Nah lihat dirimu sekarang, kamu juga telah menyiksa diri terlalu lama, segala keribetan duniawi yang membuatmu terkungkung, bebaskanlah dirimu, lupakan segala keraguan, dan jadilah dirimu apa adanya.” Gendhis bernapas lebih berat, karena jantungnya memompa darah lebih cepat akibat tekanan udara di atas gunung. “Terimakasih kek atas nasihatnya.” Gendhis masih harus banyak mencerna, dan pikirannya semakin kacau dan terdistraksi ke sana ke mari. “Kau telah menyiksa dirimu terlalu lama,” ujar suara batinnya. 25 : Kau Kehilangan Sentuhan Hari begitu cepat berlalu, dan itu artinya ia harus kembali ke realitas kehidupan yang nyata, berhadapan dengan target perbankan, menghadapi suami pemarah dan sakit jiwa hingga berurusan dengan para gosipers kelewat nyinyir, yang kalau bicara mulutnya sampai harus terlihat miring curam seperti pisau. Gendhis melihat ke sekitaran dapur untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal, lalu pandangannya tertuju pada secarik kertas warna putih, tepatnya adalah kartu nama, ia mengambil lalu menimang-nimang dan tanpa pikir panjang memasukannya ke kantong jaket. Tidak perlu selalu ada alasan untuk mengambil suatu barang selama itu bukan hal yang bisa membuat geger. Masalah kecil jangan dibikin besar. Kabut masih begitu pekat, dan menutupi sebagian gunung batu yang menjadi latar di belakang atap mobil. Mereka saling berpelukan, lalu Gendhis ikut memeluk sang kakek, ia menatap sesaat mata lelaki paruh baya tersebut, tatapannya seperti memperlihatkan kesedihan. “Senang bisa berlarian denganmu, berburu, menembak, dan banyak mengobrol soal kehidupan,” ucap Gendhis dan Soemarno menatap lirih padanya. “Sampai jumpa nak.” Mobil yang dikendarai Ricko melewati jalan setapak dan meliuk-liuk, pepohonan lebat berada di kanan dan kiri jalan. Hari masih pagi namun sang matahari masih enggan menampakan dirinya, cuaca di tempat ini juga memang selalu mendung dan tak berapa kemudian, hujan rintik-rintik turun membasahi kaca depan. Wiper mulai bergerak ke sana - kemari. “Apa yang dilakukan oleh Nietzche adalah kritik sosial sebenarnya, Tuhan tidak mati, tapi manusialah yang menjadi pembunuhnya sehingga Tuhan dianggap mati, seiring perkembangan zaman, manusia menjadi serba tahu dan mulai menganggap awal dari semua kehidupan adalah nihil, dan sebagian yang mempercayai itu membuat mereka pada akhirnya hidup tanpa norma dan tujuan hidup, dalam konteks yang lebih radikal, mereka menjadi tersesat dan kehilangan arah, lalu munculah dogma agama yang berusaha untuk menyelaraskan hidup, menciptakan tujuan dalam bentuk Surga dan Neraka sebagai perjalanan akhir dari manusia,” ucap Ricko membuka obrolan. Gendhis tersenyum. “Kamu sepertinya masih tidak mau kalah sama kakek, hanya saja tidak berani mendebatnya, sudahlah Ricko, aku tidak perduli mana teori yang paling benar, yang jelas jantungku semakin tidak karuan saat ini dan berharap perjalanan ini tidak cepat selesai, aku lelah kalau harus ketemu monster itu lagi. Di sini aku mendapat pelajaran soal kehidupan dan ketenangan.” “Jadi apa yang akan kamu lakukan nantinya? Setelah semua ini berakhir, gak mungkin rasanya kamu tiba-tiba melanjutkan hidup seperti biasa, disiksa terus menerus, diperkosa dengan atas nama ikatan pernikahan dan kalau tidak menuruti dibilang gak nurut dan istri durhaka, kamu pasti punya pemikiran yang lebih besar.” “Aku sudah memikirkan beberapa ide, tapi entahlah, sekali lagi pernikahan adalah janji suci sekali seumur hidup, dan bagiku selama masih bisa dipertahankan kenapa tidak, cobalah perbaiki satu persatu dahulu.” “Dan kalau semuanya berakhir dengan kegagalan?” “Mungkin memang aku harus membunuhnya.” 26 : Jacob Sebuah lukisan karya Da Vinci tergantung di dinding, tentu saja barang tiruan namun memiliki ukuran cukup besar dan terlihat mengagumkan dengan tone warna lampu tempel dinding yang temaram kemerahan, beradu warna dengan lampu hias yang menggantung di tengah-tengah meja makan dengan sorot warna kuning. Bima duduk di bawah lukisan tersebut, mengenakan jas hitam sembari menikmati ayam panggang dan jus jeruk sebagai pilihan menunya kali ini, alunan musik jazz mengalun perlahan dari pelantang suara di setiap sudut. Seseorang berjalan menuju ke arahnya lalu duduk di bangku kosong yang membuatnya berhadapan dengan Bima. Sosok itu terlihat sudah berumur, mungkin awal lima puluhan namun memiliki tubuh yang masih terlihat tegap dengan rambut lebat dan kelabu yang mendominasi, wajahnya tidak ramai, ia mengenakan jaket hitam berat dan kaos di dalamnya. “Namaku Jacob, atas rekomendasi Stephani, aku diutus untuk bertemu denganmu.” “Yah benar, aku yang akan memberimu pekerjaan,” jawab Bima sembari memegangi garpunya. “Yang kubutuhkan profil singkat, target, dan dengan cara apa ia akan di terminate.” “Tenang buddy, aku tidak ingin membeli kucing dalam karung…” ujar Bima lalu di potong oleh Jacob. “Aku pernah membunuh orang menggunakan senapan Mini Uzi sembari membawa motor yang berjalan, targetku ada dalam mobil yang sudah kuintai, lalu kutembak mereka secara membabi buta saat motorku sudah berada di sampingnya hingga semua yang berada di dalamnya tewas, aku juga pernah mendekam di penjara selama sembilan tahun, dan pernah merasakan hidup dalam pelarian di lima belas kota. Hanya inilah keahlian yang kumiliki, menghilangkan nyawa orang.” Bima menatap tajam lawan bicaranya ini. “Self marketing yang bagus, dan aku suka dengan presentasimu, tapi masih harus dibuktikan. Tanda jadi sepuluh persen, sisanya akan dibayarkan usai misi selesai,” ujarnya sembari menyorongkan amplop coklat gemuk di atas meja. Jacob meraihnya lalu membuka amplop dan mengecek asal dengan lembaran dollar tersebut, lalu memasukan ke kantong jaket. Bima kemudian menyorongkan map tipis berisi profil calon targetnya. Mereka bersalaman, lalu Jacob akan berdiri dari bangkunya tapi Bima menahan tangannya agar tidak terlepas. “Dari mana Anda berasal?” “Yang jelas Indonesia, biarlah Tuhan yang tahu aku berasal dari mana sebenarnya,” ucap Jacob dan Bima menyeringai, jabatan tangan mereka terlepas, lalu si pembunuh itu menghilang dari pandangannya. 27 : Garpu Gendhis sudah sampai rumah, dan ia memasak telur, mi goreng dan chicken wings, lalu menyajikannya di atas meja. Ia menatap ramah suaminya dan berharap lelaki itu tidak menyalak seperti anjing lapar. Mereka makan berdua dalam diam dan sepertinya Bima tidak tertarik sama sekali atas perjalanan dinas pura-pura yang dilakukan Gendhis baru-baru ini. “Gimana mas rasanya, enak kah?” tanya Gendhis baik-baik. “Tahukan aturannya, kalau makan tidak boleh bicara,” kata Bima dengan suara datar namun serak dan berat. Gendhis tertegun, ia tahu sebenarnya aturan itu, tapi entah kenapa saat kehabisan akal dan dirasa garing, ia malah menyeplos saja. Beberapa saat kemudian makanan di piringnya habis, segelas teh manis dingin membasahi kerongkongannya, begitu juga Gendhis yang melumat habis tanpa sisa. Peraturan makan di rumah. “Mau dilayani mas?” “Gak mood hari ini.” “Tapi aku sedang ingin,” pinta Gendhis. “Aku gak mood ya mau gimana lagi.” “Iya sudah kalau begitu, ya gak apa-apa,” ujarnya pasrah. “Kenapa memangnya, kayaknya kamu gak terima gitu?” kata Bima dengan tatapan tajam. “Serius aku gak apa-apa, jangan diperpanjang mas, sudah ya aku lelah sekali hari ini.” “Memangnya kamu aja yang capek, aku juga lebih capek, kerja banting tulang untuk hidupi kamu.” “Ya memang itu tugasmu kan?” ujar Gendhis yang ikut tersulut emosi. “Nah kan ngelawan lagi, semua ini gara-gara aliran feminis sialanmu itu, aku nemuin banyak buku-buku yang sepertinya sengaja disembunyikan dan tidak terkait dengan buku mata kuliahmu dulu di gudang.” “Aku cari banyak referensi untuk bahan kuliah dan untuk refreshing otak, jadi sah-sah saja sewaktu mahasiswi aku baca buku lain juga.” Bima berdiri dengan penuh emosional hingga kursinya terjengkang ke belakang, ia kemudian gebrak meja dan membuat garpu, sendok dan piring berdentang. “Kok jawab terus sih, kalau dikasih tahu ya nurut saja, susah sekali ngomong sama orang bego.” “Dalam agama boleh mencela? Bilang bego boleh?” balas Gendhis dan ia juga bangkit dari kursi. Bima mendekat, lalu mulai melayangkan tangannya untuk menampar pipi, tapi Gendhis reflek dan menangkal dengan cara memegangi pergelangan tangan Bima. Lelaki itu pun terkaget, matanya membelalak, lalu ia mengendurkan serangan dan menarik diri dari hadapan istrinya itu. 28 : Kabut TPagi hari, saat matahari belum menampakkan diri, dengan embun dan kabut yang turun perlahan ke bumi, jalanan nampak basah usai diguyur hujan semalaman. Gendhis sudah berpakaian kerja lengkap, mengenakan blazer dan rok merah ketat di atas lutut, raganya dibalut jaket tebal. Ia menuju mobil sedan yang terparkir depan rumah. “Pagi-pagi banget neng, mau ke mana sih,” ujar sebuah suara yang familiar baginya. Gendhis sempat celingukan. “Di sini neng,” ujarnya, dan lelaki bertubuh gemuk besar itu muncul. “Ngapain lo kemari?” kata Gendhis ngegas usai melihat wajah si penyahutnya. “Eh buset galak bener,” balas Roy, senyumnya nampak ganjil, giginya kuning dan air liur menggantung di antara kedua gigi. “Ya gue mau nagih lah.” “Kan kemarin udah bayar, itu mah bisa-bisanya lo aja, berani nya cuma sama gue, padahal di luar sana banyak tuh nasabah nunggak.” “Kemarin totalnya yang harus dibayar enam belas juta, dan I-Phone nya cuma kejual dua belasan, artinya lo masih nunggak empat juta lagi, nih buktinya,” ujar si Roy sembari memberikan dua carik kertas. Gendhis menariknya dengan kasar, dan merasa lelaki tambun itu semakin mendekatinya, ia jadi terpojok hingga pantatnya menyentuh pintu mobil yang basah. Satu carik berisikan nota penjualan I-Phone, dan satu lagi berisi sisa tunggakan dalam print sistem.” “Inikan udah gue bilang, kalau bunga dan dendanya ya gue gak mau bayar.” “Denda dan bunga cuma bisa dihapus saat mau pelunasan, dan itupun proses approvalnya ribet, jadi kalau mau dihapus ya ajukan dulu dan siapin uangnya untuk pelunasan lalu tutup kartunya ke call center,” balas Roy dan satu tangannya menggantung di kap mobil, belaga playboy. “Gue nih orang bank juga, ngerti lah yang begituan mah, lo prin yang posisi bunga dan denda belum dihapus, lalu habis itu lo minta sama orang admin di kantor untuk hapusin tuh bunga dan denda, habis itu lo nagih ke gue dengan kasih prinan yang masih terlihat tunggakan dan dendanya, dan saat gue bayar ke elo, itu duit gak disetorin ke bank tapi dimakan sama lo, padahal secara sistem itu denda dan bunga sudah hilang, gitu kan?” “Wow, tendensius sekali, hati-hati neng kalau lempar tuduhan, awas nanti jeruji penjara bisa menjerat.” “Pokoknya gue gak mau bayar,” balas Gendhis lalu berusaha membuka pintu, tapi hanya terbuka setengahnya karena bagian atas pintu tertahan oleh tangan besar hitam nan berbulu dari Roy. “Minggir Roy.” Roy malah menatap ke bagian dada lalu turun ke bawah, pada bagian kaki yang dibalut stoking tipis. “Kakinya bagus amat neng, gini aja deh, kasih abang akses.” “Akses apaan, makin sontoloyo lo ya.” “Soal sewa hotel itu biar abang yang bayar,” ujarnya dan tangannya mulai berani dengan memegang bagian paha Gendhis yang dibalut rok pendek ketat. Sebuah pukulan menghujam perut gemuk bergelambir yang dibalut kaos hitam lusuh bergambar musik metal tersebut, membuat Roy terjengkang ke depan, lalu kepalanya di hantamkan ke pinggiran pintu mobil hingga penyok dan satu gerakan lagi, ia menghajar wajahnya. Membuat lelaki bertubuh tambun itu jatuh ke aspal jalan. Gendhis berdiri di hadapannya, menatap tajam ke arah Roy, lalu mengangkat kakinya yang dibalut sepatu pantofel. “Ampunn… neng, ampunn, maafin abang please,” ucapnya dengan wajah lirih dengan kedua tangan pertanda menyerah di acungkan ke depan. “Abang..abang, mank lo kira lo abang gue, enak aja, jijik gue punya abang kayak lo, jangan sok tua deh lo, dan besok-besok panggil gue mbak, yang sopan makanya kalau ngomong dan bersikap.” Gendhis masuk ke dalam mobil, deru knalpot terdengar lalu menghilang dari pandangan Roy, saat sampai di portal gerbang, ia meminta sekuriti komplek untuk mengamankan Roy. Mobil Gendhis kemudian melengos dan mulai memasuki jalanan utama. Tak jauh darinya, Jacob tengah meneropong dengan binokkular satu mata, lalu mulai mengikuti pergerakannya. 29 : Happy Birthday to me Suara berdentang terdengar saat lift sudah berada di lantai lima belas. Gendhis keluar seorang diri lalu berjalan menyusuri lorong kantor hingga sampai depan pintu, ia menggunakan keycard bertali yang tergantung di lehernya. Saat masuk ke dalam, suasana hiruk pikuk orang-orang di bilik kerjanya masing-masing Nampak dinamis, meski di luar sana tengah hujan lebat. Beberapa pegawai yang berpapasan dengannya tapi tidak terlalu kenal memberi salam atau sekedar menyapanya, entah apakah orang-orang itu masuk dalam jajaran para pejulid atau hanya menjadi korban karena telinga mereka terpasang di tempat yang salah, ibaratnya kantor ini seperti tidak punya dinding, semua ghibah terbaru akan menembus ruang dan waktu. Ia sendiri masih tidak tahu tapi sudah merasa bahwa dua minggu waktu cuti yang ia lakukan, telah memberi ruang bagi para pejulid itu untuk membicarakan dirinya secara lebih terang-terangan, menembus bilik-bilik ruang kerja hingga meresap dan menghancurkan beton dinding dengan semen terkuat sekalipun, tapi peduli setan, yang bisa ia lakukan adalah tidak mau ambil pusing, dirinya sudah biasa jadi bahan omongan meski tetap saja itu kelak menjadi beban pikirannya yang tiba-tiba saja suka muncul dalam benaknya. Ia memasuki ruangannya yang ditutupi pintu dan dinding kaca di bagian depannya yang tertutupi sunblast, sehingga dari luar, ruangannya akan terlihat buram. Barang-barangnya masih sesuai pada tempatnya, tidak ada yang berubah, semua serba minimalis, hanya ada tumpukan kertas yang perlu ditandatangani agak menggunung di atas meja bersamaan dengan layar komputer dan keyboard. Jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima, tapi sepanjang ia berjalan tak satupun menatap anak buahnya, yang terdiri dari enam marketing dan seorang supervisor, amarahnya mulai naik ke tenggorokan, kok rasanya susah sekali ya menegakkan arti kedisiplinan, meski memang para marketing itu terkenal suka cabut-cabutan gak jelas, keluar kantor dengan alasan cari aplikasi, tapi malah nyangkut di warteg, rental PS, hingga tempat pijit. Kalau sudah begini terus maunya mereka semua ini apa? Di pecat saja satu persatu gitu? Pintu kaca yang ditutupi sanblust tersebut diketuk, siluet orang beramai-ramai Nampak terlihat, lalu saat dibuka nyanyian “Happy birthday to you.” Berkumandang, dinyayikan beramai-ramai oleh anak buahnya. Gendhis terpana sampai harus menutup mulut dengan satu tangannya yang putih halus seperti orang Korea, matanya terlihat berbinar, ia sendiri hampir tidak percaya bahwa dirinya sedang berulang tahun. Suasana menjadi riuh dan mereka mulai masuk ke dalam ruangan, membuat suasana terasa sesak, usai meniup lilin, masing-masing menyalaminya. Happy birthday to me, terimakasih untuk semuanya, dan masih tidak ada surprise dari Bima, atau mungkin sore nanti akan ada kejutan, ia bisa saja berpura-pura lupa tapi… ah sudahlah, sudah dua tahun lelaki bangsat itu lupa dengan ulang tahun wanita yang telah disakitinya ratusan kali, dan Gendhis sudah sangat familiar dengan rasa sakit itu. Sore hari, ia memutuskan untuk pulang on time, lalu teringat akan klub penyintas yang pernah ia ikuti, sudah lama dirinya tidak hadir dalam kelompok tersebut, dan apakah mereka masih ada? Gendhis pun beringsut, mobilnya keluar dari pelataran basemen, dan Jacob kembali membuntutinya. 30 : Para Penyintas Mengunjungi klub penyintas tersebut membuatnya harus pulang malam, dan ia sudah mengirimkan pesan via aplikasi whatsapp kepada suaminya bahwa dirinya akan datang terlambat ke rumah. Sembari menyetir dan lebih banyak berhenti karena macet, banjir, dan rintikan hujan yang masih mengguyur ibukota, Gendhis menatap ponselnya dan dua centang biru sudah terlihat, artinya Bima sudah membaca, namun hampir dua puluh menit kemudian tidak ada balasan. Gendhis tidak mau ambil pusing, dirinya sudah bertekad untuk mengunjungi LSM Woman Survivor tersebut, ya pasti bakal terlambat lah datang ke rumah, terus kenapa memangnya, mau ngajak berkelahi (lagi)? Toh dirinya sudah minta izin dengan bahasa yang santun dan baik-baik, mengetiknya juga dengan perasaan, dan penuh perhitungan, tapi tetap saja si lelaki dongo itu belaga skeptis dan sepertinya sedang mempersiapkan pidato panjang yang dipenuhi hate speech dan menyerang harga dirinya secara personal. Ia sudah hafal luar dalam dengan wataknya, Bima tipikal orang yang paling senang menyerang secara personal hingga terasa menusuk tajam ke jantungnya, lalu belagak pongah seolah-olah ia merasa paling tahu dan berasa pemilik segala isi dunia. Habis marah-marah, banting barang, main tangan, terus dirinya disuruh minta maaf dan bersujud di hadapannya gitu? Dan kalau tidak mau, ia akan mulai mengikat dirinya. Tidak bisa kali ini! Alasan Bima tidak suka kalau ia pulang malam sangat klasik, di rumah jadi tidak ada makanan dan ia kekeuh kalau soal memenuhi isi perutnya di malam hari adalah tugasnya, padahal apa susahnya sih sebenarnya kalau harus cari makan sendiri sekali-kali. Lapangan basket yang tergenang air mulai mpak saat Toyota Corolla yang dikendarainya memasuki wilayah tersebut, ia memarkir dekat sebuah gedung yang berada di samping lapangan, bangunan tersebut memiliki corak bata merah. Sebuah pintu baja kecil ada di sudut dengan bagian atasnya di pasang lampu yang berkedap-kedip karena akan putus. Gendhis cukup aktif di klub tersebut namun dalam beberapa bulan terakhir saat kondisi psikisnya hampir gila akibat tekanan dari Bima, membuat dirinya tidak berani lagi mengunjungi klub karena acaranya selalu di mulai usai jam kantor, ia seperti binatang piaraan yang gerak-geriknya selalu diawasi dalam kandang. Di dalam gedung adalah lapangan basket indoor berlantai kayu coklat, sekelompok wanita sudah membentuk lingkaran dan di kursi lipat masing-masing. Shinta sang pemimpin klub tersebut berdiri dan menyapanya saat sosok Gendhis masuk ke dalam, dan para anggota lain yang terlihat seumuran atau lebih tua itu menengok semua ke arahnya. Sang founder Woman Survivor itu menyapanya dan memeluk hangat, lalu ia mengenalkan beberapa anggota baru kepadanya dan memberi kursi untuk duduk di sebelahnya. Hari ini ada tujuh orang yang hadir. Klub ini memiliki kartu anggota dan iurannya dibayarkan perbulan, namun kepesertaannya tidak tetap dan para anggotanya pun silih berganti. Woman Survivor didirikan dengan maksud untuk mewadahi dan sebagai inspirasi bagi para wanita yang berhasil selamat dan bertahan hidup dari kemalangan hidupnya, terutama yang berhubungan dengan kekerasan rumah tangga, seorang anggota yang kemudian bergilir akan mulai bercerita dan lainnya mendengarkan. Hari ini Shinta meminta salah seorang anggota baru untuk mengenalkan diri. “Hallo nama saya Lauren, umur 34 tahun, dan inilah kisahku.” Lauren mulai bercerita bahwa dirinya mulai mengalami kekerasan fisik usai mengetahui kalau suaminya ternyata seorang gay, ia menikah untuk menutupi jejaknya karena khawatir akan sanksi sosial yang dapat diterimanya. Lauren tidak mempermasalahkan dan menawarinya untuk sembuh, tapi ternyata sang suami tidak berniat untuk itu dan malah mengancam akan membunuhnya kalau sampai membocorkan rahasianya tersebut. Sang suami mulai berani membawa pasangan lelakinya itu ke rumah, dan si pasangan itu khawatir kalau Lauren diam-diam merekam aktivitasnya, ia pun diikat dan digeledah serta diinterogasi terus menerus lalu mulai dipukuli, Lauren sempat bertahan hidup dari kehausan karena hampir berhari-hari di sekap dengan meminum air kencingnya sendiri. Lauren mulai berontak dan memaksakan diri hingga pergelangan tangannya yang terikat teriris dan luka cukup, hanya untuk melarikan diri dan langsung melapor ke kepolisian setempat. Perasaan Gendhis teriris mendengar cerita tersebut, yang jelas ia sudah tidak mau diperlakukan seperti budak lagi, dan lebih memilih berkelahi hingga mati saja daripada tunduk pada keinginan bangsat suaminya tersebut. 31 : Jarum Gendhis pulang ke rumah, ia naik ke lantai dua dan di kamar sudah ada Bima menantinya yang masih mengenakan kemeja putih tanpa dasi, tapi tatapan lelaki itu biasa saja, sepertinya tidak sedang ingin marah atau jangan-jangan sudah bertobat usai gagal menamparnya kemarin karena ia pikir istrinya tidak mampu melawannya selama ini. Bima mendekat dan menatapnya. “Mau marah?” tanya Gendhis. “Tidak perlu, aku sudah capek, ku cuma mau menagih janji.” Gendhis menelan ludahnya sendiri, perutnya bergolak saat teringat akan janjinya tersebut. “Yaudah kamu maunya apa?” “Aku mau kamu menjahit dirimu sendiri,” ujarnya dengan suara berat, serak dan datar, membuat suara itu terasa mengerikan dan membuat kuduk Gendhis berdiri. “Kamu gila ya!” “Sakit itu hanya sementara, setelah itu utangmu lunas semuanya, termasuk tiga kartu kredit yang kamu miliki dan mamamu bisa meneruskan rawat jalan, aku akan tebus semua obatnya. “Imajinasimu terlalu berlebihan.” “Kalau begitu kamu selamanya akan dikejar debt collector, dan aku akan memberitahukan mamamu bahwa….” “Okey cukup mas, jelaskan teknisnya.” “Berlutut!” Gendhis terdiam. “Ayo berlutut,” katanya mengulang, suaranya datar tapi dalam. Ia mengikutinya, kali ini posisinya tidak bisa berbuat banyak untuk melawan, sang mama adalah titik terlemah. “Kamu tusukkan jarum dengan benang ke puting payudaramu sebanyak tiga jahitan, masing-masing, kiri dan kanan, hanya itu saja mauku.” Kedua lututnya yang sakit karena menahan beban tubuhnya terasa lemas, kepalanya mulai berputar-putar serasa ingin pingsan, imajinasi gila macam apalagi ini, jangan-jangan suaminya benar-benar sudah sakit jiwa yah, melebih kegilaan penyakit jiwa yang diidap Joker sekalipun. 32 : Kodein Matanya masih remang-remang saat cahaya buram itu perlahan masuk dan semakin jelas tertangkap mata. Gendhis terbangun dengan posisi telentang di atas lantai samping kasurnya yang berada di lantai dua tersebut. Pakaian kerjanya berupa blazer dan rok pendek di atas lutut itu masih membelenggu tubuhnya. Sepertinya ia benar-benar pingsan, ia mencoba bangun dengan tubuh yang terasa berat dan kepala yang otaknya serasa mau keluar dari batok kepalanya. Ia membutuhkan kodein, lalu di lain sisi tubuhnya mulai gatal-gatal parah, ia meleparkan blazernya dengan susah payah, lalu menggulung blus putih dan mulai menggaruk-garuk tangannya yang dipenuhi bentol memerah besar-besar, penyakit biduran yang udah dideritanya sedari kanak-kanak dan terkadang hilang di waktu tertentu. Usai menenggak kodein, ia meminum Loratadine untuk meredakan gatalnya. Alerginya biasa kambuh saat kadar stres dalam dirinya cukup tinggi, meski sudah meminum obat, namun baru akan bereaksi usai dua jam, dan yang bisa ia lakukan menunggu gatal itu reda adalah terus menggaruk hingga beberapa kulit nampak mengelupas dan berdarah. Kepalanya mulai mengantuk, ia kembali ke atas dan tertidur di atas kasur, saat terbangun hari sudah gelap, dan masih belum ada ucapan selamat ulang tahun untuknya. Bima sudah terlihat ada di hadapannya, kembali menagih janji. “Aku ultah mas,” ucapnya dan itu terlihat tolol. “Kalau begitu selamat ulang tahun, dan di hari spesial ini aku akan kasih kado berupa uang yang sangat banyak yang bisa membuat hidupmu tenang.” “Harus ya menyebut dengan kata seperti itu.” “Jadi gimana, mau menjahit atau tidak?” Gendhis terdiam lalu kepalanya mengangguk perlahan, lelaki itu melengos dan tubuhnya bergidik saat Bima kembali dengan jarum dan benang di tangan. “Silahkan mulai menjahit dan tanpa alkohol.” 33 : Ujung Jarum yang Menusuk Kulit Ia sudah melepaskan blazer dan blus dari tubuhnya, begitu juga dengan bra hitam yang membelit payudaranya seharian itu, menciptakan beberapa garis merah di sekitaran kulit yang berdekatan dengan payudaranya. Benang hitam itu dimasukkan ke dalam lubang jarum yang kecil, dan saat sudah dalam posisinya. Ia mencoba untuk memasukkan ujung tajam jarum tersebut kebagian puting, wajahnya meringis sembari memejamkan mata, namun baru bagian ujung tajam menyentuh kulitnya sedikit saja, ia sudah merasa kesakitan dan kembali mengangkat jarum itu jauh-jauh dari kulitnya. Bima Nampak santai di posisinya, selonjoran di atas kasur sembari menyarungkan tubuhnya dengan selimut, satu tangannya berada di dalam selimut sembari mulai mengaduk-aduk sesuatu, mulai merasakan kenikmatan daklam imajinasinya sendiri. Ini yang tolol sekarang siapa sebenarnya, Gendhis atau Bima? Atau anggap saja dua-duanya tengah menjadi budak setan saat ini. Gendhis kembali mencobanya, ujung jarum sudah menusuk kulitnya lalu ia paksakan untuk menembus kulit dan menarik benang yang bergerak di dalam kulit, membuat tubuhnya linu, kepalanya terasa bergelenyar, otaknya terasa mau lepas menahan sakit. Jahitan pertama berhasil dilewati, lalu tusukan kedua ia kembali lakukan dan membuat tubuhnya mulai meronta terbatas, menahan sakit, nyeri, dengan linu yang menusuk-nusuk tulangnya hingga berhasil pada jahitan ketiga lalu menggunting sisa benang dengan gunting dan membuat simpul pada ujung benang. Satu penderitaan terlewati dan masih ada satu lagi yang harus di lewati. Usai berhasil melewati semuanya, Gendhis serasa ingin muntah saat mendapat perintah Bima selanjutnya. 34 : Beretta Gendhis disuruh kembali memakai bra, kemeja dan blazernya, jahitan benang itu harus tetap berada di posisi putingnya hingga tiga hari ke depan. “Nikmati rasa sakitnya dan itulah kenikmatan sebenarnya yang tengah kau rasakan.” Gendhis berjalan linglung menuju kamar mandi, dan mulai merasakan gesekan pada kulitnya yang tertanam benang. Ia kemudian muntah di wastafel, matanya memerah dan wajahnya memucat. Ia menatap wajah pucat itu di cermin dan sepertinya ia sudah muak dengan semuanya. Ia kembali ke kamar dan mendapati Bima tengah tertidur pulas, enak sekali ya, usai menyiksa malah enak-enakan tidur, tidak ada simpatik atau empati sedikitpun, semua hanya masalah memuaskan adrenalin sakit jiwanya tersebut. Gendhis turun dari tangga melingkar tersebut secara cepat, ia mencari-cari kunci mobilnya, lalu suara langkah dari atas terdengar berderap dan suaranya semakin terdengar jelas, itu artinya Bima sudah mulai dekat. Gendhis keluar rumah sembari berlari tunggang langgang menuju mobilnya lalu mengepot di jalanan pelataran komplek yang sepi sunyi di malam hari. Bima berlarian dengan telanjang kaki bak orang gila mengejar mobil yang dikendarai Gendhis, ia terus mengayuh kedua kakinya sembari bersumpah serapah. “Awas lo ya, kalau balik lagi gue habisin lo!!!” teriakannya terdengar menggelegar dan sadis, yang sepertinya sudah berhasil mengalahkan screaming Corey Taylor dari Slipknot. Toyota Corolla itu melaju tak tentu arah, sementara itu di belakangnya, seorang pembunuh bayaran mulai menguntitnya dari kejauhan. *** Sembari menyetir dalam liarnya malam hari, ia mengaduk-aduk kantong dan menemukan kartu nama yang ia temukan di rumah Soemarno kemarin. Gendhis sebenarnya ingin menemui si pemilik kartu nama tersebut kemarin namun jadwalnya harus bentrok dengan pertemuan berasama klub penyintas Woman Survivor. Sebuah nama Rusia tertera, sepertinya orang di kartu nama ini adalah kontaknya Ricko sewaktu berlatih bersama mereka, mungkin saja dengan menghubunginya bisa menjadi sandaran bagi dirinya yang saat inipun tidak tahu harus kabur ke mana, pikirannya berkelabat kalau Bima sangat kapable untuk melakukan apapun terhadap ibunya. Kepalanya benar-benar serasa ingin pecah sekarang, terlalu banyak masalah, rasanya ingin bunuh diri saja, tapi kalau itu sampai terjadi maka para pemuja Tuhan akan bersorak sorai bahwa penganut nihilisme itu telah mati dan itulah akibatnya karena tidak mau menjadi budak Tuhan. Ricko entah lupa atau mungkin sengaja menaruh kartu nama itu agar ditemukan olehnya, yang bisa dijadikan sebagai jalan keluar bagi dirinya. Gendhis mencoba meneleponnya saat lampu merah menyala, seorang pengamen memainkan ukulelenya di pinggir kaca, dan ia tidak memperdulikannya. Dalam dengungan ketiga berbarengan dengan pengamen itu pergi suara seorang nenek tua renta terdengar. Si nenek menanyakan keperluan dan Gendhis mengatakan bahwa ia adalah teman Ricko. Si nenek sempat jeda sesaat, lalu suara tersambung dengan seorang pria yang memiliki bahasa Indonesia yang sangat payah, sehingga Gendhis harus berusaha keras mencerna kata-katanya. Sebuah alamat di dapat dari percakapan itu dan perjalanan panjang itu mengharuskannya pergi ke barat. GPS di ibukota masih waras alias tidak terlalu menyesatkannya dan ia percaya bahwa teknologi penunjuk jalan dan titik tempat itu kali ini benar. Ruko tersebut memiliki pintu baja besar yang dicat merah tua.Gendhis turun ke mobil, sesekali matanya celingukan namun suasana di sekitar terasa sepi, hanya terdengar alunan musik dangdut dari sebuah toko kelontong. Gendhis menggedor beberapa kali, lalu dair celah kotak se lehernya, muncul dua bola mata yang berbalut kulit lusuh nan kendur. Pintu dibuka lebar-lebar lalu muncul wajah pasangan lansia keturunan Tionghoa. “Mobilmu bawa masuk,” ujar si kakek dan pagar di buka lebar-lebar. Gendhis di pandu menuju lantai dua, melewati undakan yang berada di ceruk sempit. Di lantai dua, ia bisa melihat dupa yang menyala-nyala dengan patung Budha tertera di sana, beberapa tulisan huruf Hanzi yang ia tidak tahu artinya juga tertempel di dinding. Ia dipersilakan masuk ke dalam sebuah ruangan dengan penerangan temaram berwarna warni, gabungan hijau, merah, dan kuning. Seorang pria kurus bertato dan bertelanjang dada terjogrog di sofa lapuk bak mafia, mulutnya mengenyam cerutu besar. “Namaku Solozov, Rusian. Dan kamu?” “Gendhis.” “Baiklah Gendhis, dapat dari mana kartu nama itu?” “Aku menemukannya, saat tengah latihan bersama Ricko. Kau mengenal nama itu?” “Ya tentu saja, Ricko si special forces itu kan, ia adalah sahabat anakku, dan pernah berlatih bersamanya di Moskow.” “Apa yang membuat kalian saling terkoneksi satu sama lain?” tanya Gendhis. “Aku menyediakan senjata dari pabrikan seluruh dunia, sebut saja AR-15, AKM, Heckler and Koch dan masih banyak lagi, kenapa kau bertanya seperti itu?” ujar Solozov yang ternyata bahasa Indonesia saat bercakap langsung tidak terlalu payah dan masih dapat dicerna oleh kuping. “Apakah ini semua legal? Yang kau lakukan di sini.” “Tentu saja tidak nona, tapi suatu saat pemerintah akan mensahkannya. Pasukan mana yang gak mau coba keluaran terbaru dari Heckler & Koch dan itu mungkin hanya aku yang bisa sediakan tanpa birokrasi ribet.” “Aku butuh pistol, tapi aku juga tidak punya uang sepertinya untuk membayar.” Solozov cekikikan. “Baiklah nona, aku akan berikan gratis, anggap saja uji coba produkku yang dilakukan oleh orang pribumi dank arena kau kenal Ricko, asal kau tahu anakku dan Ricko sudah seperti satu darah, mereka sama-sama Special Forces loh.” Gendhis kembali ke mobil, sepucuk Beretta buatan Italia dengan peredam terpisah kini berada dalam genggaman, ia memasukannya ke kantong blazer dan kembali berkendara, tak tentu arah. 35 : Jeritan Kesengsaraan yang Terbungkam IPDA Magdalena dan BRIPTU Septian memasuki rumah Bima di malam hari, mereka melihat-lihat sejenak, lalu mulai bertanya-tanya mengenai hilangnya Gendhis. Magdalena mengenakan kemeja putih, celana jeans dan jaket kulit dengan rambut dikuncir, sementara Septian berpenampilan kurang lebih sama. Bima masih bercelana pendek dan kaos hitam saat menerima kedua tamunya dari kepolisian tersebut. “Aku IPDA Magdalena, panggil saja Magda, dan ini rekanku BRIPTU Septian, jadi sudah dua hari sejak istrimu menghilang, dan laporan ini justru masuk dari salah seorang rekan kantornya, kenapa tidak melapor?” “Kan baru dua hari, seseorang dinyatakan hilang saat sudah tiga hari, aku sarjana hukum dan paham soal itu,” ucap Bima datara dan serak, tatapan matanya terlihat lelah dan menatap tajam tapi tidak menantang, kumisnya yang mulai lebat semakin mempertegas itu. “Baiklah Pak Bima, tapi karena laporan sudah masuk, aku hanya ingin memastikan kalau semuanya baik-baik saja, kita datang ke sini bukan untuk menyelidiki apapun,” ujar Magda. “Yah biasalah, mungkin saja Gendhis sedang mencari angin, tidak tahu juga,” kata Bima sembari mengusap-usap wajahnya. “Cari angin bagaimana pak?” “Maksudku, dia sedang main, yah main ke rumah kawan atau saudaranya.” “Anda sepertinya ragu menjawab itu, main tapi tanpa kabar selama dua hari dan hari ini otomatis ia membolos kerja, apakah istrimu sedang depresi atau ia pernah bercerita sedang ada masalah di kantornya begitu?” “Oh tidak, ia baru saja ulang tahun dan sepertinya sangat bahagia, ia mengupload momen itu di Insta Story dan yah pastinya sudah hilang karena sudah lewat dua puluh empat jam. Kami sih baik-baik saja.” “Aku mendapat kabar dari tetangga bahwa sepertinya Gendhis kabur menggunakan mobilnya lalu anda coba mengejar dan berteriak-teriak kasar, apakah kalian bertengkar hari itu?” “Kami baik-baik saja detektif, serius aku lelah banget hari ini dan mohon maaf kalau jawabannya terkadang ngawur.” “Aku mengerti Pak Bima, yaudah kalau begitu selamat beristirahat.” Pintu di tutup saat Magdalena dan Septian keluar rumah, tubuhnya sudah hampir memasuki mobil namun tertahan seperti ada Sesuatu yang menariknya. Ia menengok rumah itu, bangunan dua tingkat tersebut terlihat suram, bukan karena cat atau bentuknya, tapi auranya. Sepertinya ada jeritan kesengsaraan yang terbungkam, tapi apa? 36 : Paris Paris Oktaviani adalah jurnalis investigasi dari majalah bulanan bernama Jejak Kriminal. Hingga kini dirinya belum mendapat bahan untuk digali sementara deadline tinggal seminggu lagi, ia duduk di biliknya, sementara lalu lalang orang-orang dan suara dering telepon saling menyahut di mana-mana, otaknya pusing bukan main. Ia membuka laman facebook di komputer, lalu ada salah seorang kawan membagikan sebuah foto 4x6 dengan caption “DI CARI ORANG HILANG.” Nama : Gendhis Kumalasari Umur : 27 tahun Kulit : Putih Tinggi : Sekitar 169 CM Terakhir terlihat : Kantor dan pulang on time Wajahnya terlihat menawan dan cantik, baginya ini bisa dijadikan bahan berita, daya tarik seksual selalu membangkitkan minat baca seseorang, dalam hatinya yang terdalam tentu saja akan terenyuh apabila melihat kasus-kasus kriminal berseliweran namun terkadang demi deadline, ia juga suka berharap bakal menemukan sesuatu dalam sebuah kasus, bukan karena menginginkan kasus itu muncul tapi ingin menilai dari kacamata jurnalis. Mungkinkah ini kasus penculikan? aku harus cari tahu. Paris melihat beberapa tag akun, lalu mengklik nama Gendhis. Ia membuka deretan foto satu persatu mulai dari upload ponsel, linimasa hingga album. Tidak banyak yang bisa digali, hanya terdapat foto semasa kuliah dan sewaktu magang atau pendidikan bersama kawan-kawannya. Saat tetikus beralih ke profil, statusnya di sana masih single, aktivitas postingan terakhir sekitar setahun lalu, lainnya benar-benar tidak ada yang bisa digali. Paris melakukan chat terhadap akun facebook yang menjadi temannya di dunia maya tersebut, yang secara personal ia sendiri belum pernah bertemu dengannya. Pemilik akun tersebut seorang pria bertubuh agak gemuk, berkulit coklat bernama Sumardi. Messengernya tengah online. “Hallo Pak Sumardi, kenalkan nama saya Paris dari majalah Jejak Kriminal, apakah wanita bernama Gendhis ini benar-benar hilang? per kapan?” Sumardi sedang mengetik… “Hallo mbak Paris, aku rekan kerjanya dan baru terinfo hari ini, saat kroscek ke suaminya, kalau Gendhis sudah hilang sejak dua hari lalu, tanpa kabar dan sulit dihubungi, ponselnya seperti mati. Dan tidak ada yang tahu keberadaannya saat ini.” “Gimana sih orangnya kalau di kantor?” “Mbak Gendhis itu orangnya serius, jarang senyum tapi ya tidak galak, bicaranya irit dan tidak suka di debat. Tapi secara garis besar ia orangnya baik sih, cuma suka terlihat linglung seperti orang banyak pikiran gitu.” “Terlihat stres kah?” “Mungkin ya, tapi orangnya tertutup, gak terlalu diperlihatkan juga sih, kalaupun keliatan stres biasanya dilampiaskan ke pekerjaannya.” “Pernah terlihat sangat emosional,” tanya Paris kembali. “Sepertinya pernah saat ia memukul-mukul komputernya sendiri karena ngehank, dan itu diceritakan oleh orang IT yang sedang masuk ke ruangannya karena dipanggil untuk membetulkan komputernya yang sering nge-lag tersebut.” “Mbak Gendhis ini terlihat cantik sekali kalau di foto, apakah aslinya demikian.” “Wah mbak, kayaknya semua orang naksir sama dia deh, bosnya dia aja baik banget sama dia, mbak Gendhis minta cuti aja langsung dikasih. Yang jelas sekarang ini kami semua khawatir, soalnya gosip-gosipnya nih katanya suaminya itu rada-rada.” “Rada-rada gimana pak maksudnya? Hehe.” “Iya katanya suka main tangan orangnya dan kasar, aduh ga kebayang deh kalau mbak Gendhis yang cantik nya tingkat dewa kayak gitu masih ada aja ya laki-laki yang berani nyakitinnya.” “Oh ya Pak Sumardi ini bekerja di bagian apa kalau boleh tahu?” “Kebetulan aku berada di BI Checking.” “Oh ya, berarti bisa lihat segala bentuk pinjaman calon nasabah di berbagai bank donk?” “Ya tentu saja lah mbak.” “Kalau tidak keberatan, bolehkah aku ketemu bapak dan melihat salinan BI Checking nya mbak Gendhis, aku traktir makan siang deh pak, hehe.” Sempat luring sesaat, hingga akhirnya kembali mengetik. “Okedeh, traktir ya ;)” “Siapp, Oke deh Pak Sumardi, terimakasih atas informasinya ya. Nanti siang kita ketemuan.” “Sama-sama mbak Paris. See you ^-^” Paris sempat menahan tawa saat melihat kegenitan Sumardi dengan emoticon yang diberikan, ia mengambil tasnya, lalu keluar dari bilik. Saatnya berburu berita. 37 : Investigasi Paris adalah seorang wanita muda, berusia sekitar 29 tahun, dan ia membutuhkan tiga berita kriminal investigasi lagi dengan syarat harus viral untuk bisa menjadi kepala agen jurnalis yang membawahi para jurnalis nantinya. Paris berharap instingnya kali ini tidak sia-sia dengan mencoba menelusuri jejak hilangnya Gendhis Kumalasari, si manajer kartu kredit cantik sebuah bank, begitulah kira-kira headlines yang akan ia tulis nanti. Sumardi ampak terkesima saat seorang wanita berwajah cantik bak Chelsea Islan dengan rambut terurai, mengenakan blus putih dan rok ketat biru tua berjalan ke arahnya, wanita itu menyalaminya dan mengenalkan diri sebagai Paris Oktaviani. Sumardi sendiri mengenakan kemeja merah muda dan dasi bergaris biru, perutnya yang besar membuat kemejanya terlihat sesak. Lelaki itu mungkin akan lebih bangga kalau bisa sampai mengajak Paris ikut ke kantor dan memamerkan kepada rekan-rekan kerjanya. “Mau pesan apa Pak?” “Waduh kok dipanggil Pak sih, Mas aja,” ucap Sumardi genit tapi berusaha terlihat elegan dan macho meski tampilannya malah jadi terlihat mengada-ada. Seorang pelayan datang menghampiri, Paris mengikuti pesanan Sumardi berupa steak tenderloin dan jus jeruk. “Ini lembaran BI Checkingnya.” Sumardi menyodorkan kepada Paris. Paris melihat-lihat dan Sumardi coba menjelaskan maksud dari angka-angka yang tertera di sana, wanita itu mengangguk-angguk paham apa yang tengah dijelaskan oleh Sumardi. “Wah hancur sekali ya pak BI Checkingnya, padahal ia seorang manajer kartu kredit, tapi punya kartu kredit sampai tiga buah, dan satu yang macet, jumlah tunggakannya mencapai seratus hari.” “Sepertinya mbak Gendhis ini over financing alias kelebihan hutang dibandingkan pemasukannya. Padahal suaminya orang kaya, area manajer perusahaan Mining & Construction, gajinya bisa sepuluh kalinya clerk kayak saya lho mbak.” Paris antusias atau berakting penuh semangat, semua dilakukan agar rekan berbicaranya terlihat percaya diri saat berbicara dan mulai mengumbar banyak hal yang mungkin belum banyak orang tahu, baik secara resmi atau hanya gosip-gosip saja. Usai pertemuan dengan Soemarno, Paris mulai tebersit sesuatu dan ia harus bergegas untuk mengentaskan pemikirannya tersebut. 38 : Tetangga yang mendengar teriakkan di malam hari IPDA Magdalena tengah berada di ruangannya, cahaya matahari sore menyorot lemah melalui celah-celah jendela yang tertutup kerai, ruangannya menjadi terasa sesak bak gudang karena dipenuhi oleh filling cabinet, buku, dan tumpukan kertas. Ia memain-mainkan pulpen dan menggigiti ujungnya dengan gigi. Ini sudah lima hari berlalu dan Gendhis Kumalasari belum juga ditemukan, artinya kasus tersebut murni menjadi kasus orang hilang. Magdalena harus segera bergegas, ia beranjak dari kursinya dan menuju tempat rapat. Di sana sudah ada BRIPTU Septian dan BRIPDA Martha. Ruangan tersebut cukup luas dengan proyektor dan meja kayu berbentuk huruf U. Magdalena mulai memimpin rapat. “Septian kamu coba cek CCTV, melalui hasil facial recognition dan pencarian nomor plat mobilnya, untuk mengetahui jejak terakhir dari Gendhis.” “Baik mbak, sedang kukerjakan,” ujar Septian dan dia sibuk kasak-kusuk depan laptopnya. “Untuk Martha boleh dibantu untuk kroscek ke tetangga sekitar dan juga rumah orang tua atau saudaranya?” “Siap laksanakan.” Magdalena sebagai pimpinan tim untuk kasus ini, mulai mencoret-coret sesuatu di atas white board nya. TETANGGA YANG MENDENGAR SUARA TERIAKAN DI MALAM HARI REKAN KERJA GENDHIS SAUDARA PEREMPUAN GENDHIS 39 : Kegaduhan itu Martha mengenakan kemeja biru telur asin dan jeans ketat serta sepatu kets, lencana di taruh di pinggang dengan rambut yang diikat melingkar, memiliki wajah bersih dan berkulit putih serta mata bundar di tengah garis oriental wajahnya. Ia berada di atas motor scoopy miliknya dan tengah berada di dalam kompleks perumahan Gendhis. Martha mulai coba cari tahu ke tetangga sekitar. Pertama ia bertemu dengan Bapak Johnson, usia sekitar 54 tahun, lelaki paruh baya itu mengaku sedang membaca buku di kamarnya, lalu terdengar teriakan melengking dan mengerikan dari luar, dari corak suaranya ia meyakini bahwa itu Bima Riyadi, seorang pria muda dan pasangan baru menikah. Johnson meski usianya tidak muda lagi, namun pikirannya tetap terjaga dengan senang membaca buku dan kini menghabiskan waktunya sebagai dosen fakultas Ekonomi sebuah universitas swasta. “Apakah Pak Bima selalu terdengar tengah bertengkar sebelumnya pak?” tanya Martha. “Yah, rumahku kan bersebelahan dengannya, meski dinding kita berbeda, tapi tetap beberapa suara bisa sampai terdengar ke kami, Pak Bima itu suka berteriak-teriak dan beberapa kali saya juga mendengar barang pecah, mungkin dibanting, bisa jadi.” “Di lingkungan ini orangnya bagaimana pak?” “Dia jarang bersosialisasi, padahal kami ada pertemuan RT bulanan tapi ia tidak pernah hadir, aku pernah menegur dan mengajaknya sekali namun dia berasalan masih di kantor pada saat itu, padahal kucek sih mobilnya ada di sana pada malam acara RT itu, karena setiap pagi saya juga kan mencuci mobil jadi sangat hafal dengan rutinitasnya dia sebelum berangkat ke kantor. Ia selalu bawa mobil sendiri pada intinya.” “Pernah Ada kegaduhan yang diciptakan olehnya, mungkin semacam pesta dan dia undang teman-temannya ke rumah?” “Seingatku tidak ya, Bima ini orangnya benar-benar tertutup, dan lampu di rumahnya juga sering mati alias gelap, mungkin lampu teras saja yang hidup, entah mengapa saya melihatnya suram saja begitu karena saya kan penganut feng shui juga, ah tapi kan hanya perasaanku saja, ini opini pribadi.” “Ya pak, opini pribadi.” “Ngomong-ngomong gimana nasibnya Gendhis sekarang?” “Sedang kami kerjakan, dan semoga cepat ketemu, karena laporannya sudah masuk ke kami.” “Oh ya, saya lupa mengatakan satu hal?” “Apa pak?” Johnson mulai menceritakan perihal apa yang ia lihat tersebut kepada BRIPDA Martha lalu polisi wanita itu manggut-manggut. “Baik pak terimakasih atas informasinya.” 40 : Magdalena Septian masuk ke ruangan Magdalena dengan dua cangkir kopi dan sebuah map dikepit di ketiaknya. Septian memiliki wajah Sunda-Arab dan berkulit coklat terang, yang lebih terlihat manis daripada tampan, rambutnya sedikit dan memiliki cambang di sekitaran rahang, saat ini mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung sesiku, memperlihatkan bulu-bulu tangannya yang lebat. “Wah tumben bawa kopi, pasti ada maunya nih?” “Kan mbak suka ngopi, begitu juga aku,” ujar Septian. “Ada temuan baru?” ujar Magdalena sembari menggigiti pulpennya. “Ini temuan sementara dari tim siber, semua data berdasarkan KTP, KK dan pencatatan sipil lainnya.” Magdalena menaruh pulpennya dan mulai membaca sepintas silsilah keluarga Gendhis. Keluarga Gendhis Rudi Parwoto — Ayah, Meninggal (Kanker) Ningsih — Ibu, status hidup dan Stroke berat Gendhis, 27 thn, Manajer Kartu Kredit Bank Swasta Mirna — 25 thn, Adik, menikah. Keluarga Mirna Ricko — 26 thn, Special Forces Mirna — 25 thn, Sales Manager Perusahaan Ponsel Laffa — 3 thn Mata Magda agak sedikit membelalak saat melihat nama Ricko dan Septian pasti sudah menebaknya bahwa pimpinan muda nan cantiknya ini akan bereaksi. “Special Forces, Angkatan Darat. Gendis punya ipar pasukan khusus.” “Sesama aparat gak usah saling meninggikan diri satu sama lain lah,” ujar Magda kemudian menyeruput kopinya. “Aku sudah cek status finansialnya Gendhis, dan bermasalah dengan salah satu pinjamannya, yaitu kartu kredit, ada tunggakan hampir seratus juta rupiah.” “Okey Sep, coba cari tahu motifnya hingga terbelit hutang begitu besar, cari orang yang approve pinjaman itu, atau si tukang tagihnya minimal, aku juga mau kamu datengin rumah Mirna.” “Apa! ke rumah Mirna? Sendirian?” “Heh biasa aja kali, kenapa memangnya? Takut sama suaminya?” Septian komat kamit, lalu menyesap kopinya beberapa kali dan Magdalena tersenyum kecut. “Ntar bareng aku lah kalau ke rumah adiknya itu.” Septian mengangguk-angguk berulang kali. “Yes,yes,yes.” 41 : Jiu Jitsu Septian sudah memantau pergerakan seorang pria bertubuh gemuk yang tengah bermain catur dengan seorang kakek-kakek, rongsokan dan tumpukan sampah seperti plastik, besi, dan logam menjadi latar, suara klakson kereta sesekali terdengar karena letak tempat tersebut yang tidak terlalu jauh dari transportasi massal tersebut. “Saya BRIPTU Septian, mau menanyakan beberapa hal terhadap Anda?” ujarnya sembari memperlihatkan lencana. Roy menelisik, tatapan matanya belagak sok garang, ditambah lagi perawakannya yang besar dan berkulit hitam legam padahal beberapa waktu lalu dirinya baru saja dipermalukan oleh seorang wanita. Si kakek beranjak dan menjauh, meninggalkan mereka berdua. “Pasti soal Gendhis kan, aduh kasian tuh cewek, sekarang hilang entah kemana pasti gak bahagia tuh orang hidupnya.” “Kok bisa tahu?” “Di medsos kan lagi rame, memang gak sampai masuk TV sih, tapi medos kan sekarang lebih tinggi statusnya daripada TV, ya kalau kata gue begitu. Gue juga follow akun facebook dia jadi ya tahulah soal kasus dia, banyak yang ngetag dan komen di sana.” “Ngefans lo ya sama dia, by the way apa yang lo tahu soal dia, kehidupan rumah tangganya mungkin?” “Jadi pada dasarnya gue ini cuma tukang tagihnya dia aja, dan gak sembarang orang bisa masuk ke dalam kompleknya, berhubung gue kenal sama satpamnya jadi bisa masuk, dan gak selalu juga saat gue nungguin depan rumahnya bisa ketemu sama Gendhis, tapi pernah beberapa kali dengar barang pecah, lalu suaminya mulai teriak-teriak, kayaknya lagi berantem gitu sih mas.” “Dia kan Manajer, lakinya juga Area Manajer, gajinya fantastis banget kalau penghasilan keduanya di gabungkan, tapi kenapa Gendhis bisa punya kredit macet, apa alasannya menurut lo?” “Gue bukannya sok deket ya, tapi emang dia dulu sebelum galak kayak sekarang pernah cerita kalau uangnya kepake buat beli barang-barang mahal kayak make up, sepatu, tas, baju, karena suaminya punya selera tinggi sehingga ia harus selalu dandan cantik.” “Sekarang galak dia orangnya?” tanya Septian, dan alisnya merengut di atas kacamata hitam. “Galak mas, gue aja kena tonjok olehnya!” “Yang bener?” “Iya sumpah dah, dan gerakannya itu taktis banget alias jago kayak di pelem-pelem gitu dah. Padahal dulu tuh neng Gendhis orangnya lembut banget, tapi kayaknya udah stres dia, makanya sekarang jadi kayak gitu,” oceh si Roy dengan logat betawi kental. “Tahu gak dari gerakannya beladiri apa itu?” “Gak bisa pastiin, tapi karena gue sering liat UFC, kayaknya semacam Brazilian Jiu Jitsu gitu sih, tapi gak tahu juga ya.” “Okedeh thank you kalau gitu atas infonya, dan sekarang gue cabut dulu.” Septian masuk ke mobil lalu terpikirkan sesuatu. Apakah Gendhis murni reflek memukul atau ada yang mengajarkan gerakan beladiri itu? Pikirannya kembali melayang ke Ricko, dan nama itu membuat kuduknya bergidik. 42 : Kepala Kambing Mobil sedan yang dikendarai oleh Magdalena melesat di jalan tol, lalu keluar dan mulai memasuki rumah padat penduduk, Jakarta memang tiada hari tanpa macet, menurut GPS harusnya bisa ditempuh dalam tiga puluh menit, dan ini sudah hampir satu jam, sementara awan semakin gelap menjelang maghrib. Di sampingnya ada Martha bersama Septian di kursi belakang. “Gimana Mar, ada info?” tanya Magda. “Jadi menurut penelusuranku kemarin sih saat bertemu tetangganya, kalau dia pernah lihat wajah Gendhis agak babak belur gitu sih, dari bentuk lukanya bisa jadi habis kena tonjok, tapi gak bisa pastikan juga kalau itu ulah suaminya dan pak Johnson si tetangganya itu juga gak berani nanya, karena baik Bima maupun Gendhis sepertinya sama-sama introver ya alias tertutup dan malas bersosialiasi.” “Yakin keduanya punya sifat yang sama? Atau bisa jadi Gendhis hanya takut saja bertemu orang karena dalam agresi Bima.” “Belum bisa dipastikan, belum gali lebih jauh soal itu.” “Kamu Sep, ada info?” ujar Magda dan Septian menceritakan hasil pertemuannya dengan Roy si Collector Bank. Akhirnya mereka telah sampai, pekarangan rumah Mirna cukup luas dan lampu teras kekuningan sudah dinyalakan, dari kejauhan suara tawa anak kecil terdengar. “Sep, turun duluan,” goda Magda. “Hih, apaan sih mbak, ayo barengan sih,” ujar Septian sembari melongok-longok dari balik jendela mobil ke arah rumah. Mereka berdua turun dan Martha diminta tetap di mobilnya. Saat diketuk, seorang wanita membukakan pintu lalu mempersilahkan masuk usai Magda memperkenalkan dirinya. Mirna masih mengenakan pakaian kantornya, blus putih dan celana bahan ketat hitam di atas mata kaki, ia membawakan nampan berisi teh hangat lalu duduk. Magdalena berbasa-basi dan mulai menanyakan hal-hal mendasar, sementara Septian tiba-tiba saja kebelet pipis, Mirna memberi tahu kalau toilet ada usai melewati ruang tengah lalu bertemu lorong hingga mentok dan belok kiri. Septian pamit dan sudah sampai lorong yang gelap dan sempit, ia melihat ada kepala kambing tertempel di dinding dan itu sempat membuatnya bergidik lalu sebuah topeng kayu, mungkin dari Papua, saat mentok ia harusnya belok kiri tapi Septian malah tergelitik untuk belok kanan dan menatap foto-foto yang menggantung di dinding. Ada foto seorang tentara dengan celana jeans dan menenteng senapan tengah bersama para pria berkulit hitam setengah telanjang, hanya mengenakan oteka dengan pemandangan bukit pegunungan, lalu foto keluarga Mirna bersama Ricko dan Laffa yang masih bayi. Suara seorang pria membersihkan tenggorokan terdengar dari belakang dan kuduk Septian langsung berdiri, jantungnya memompa darah lebih cepat, ia tidak bisa bergerak saat mendengar suara pelatuk pistol ditarik. “Mau ke mana mas?” ujar suara berat itu. 43 : Pistol Septian menengok dan menatap wajah Ricko untuk pertama kalinya, lelaki itu mengenakan sweeter hitam bergambar siluet tentara dengan parasut, ada tulisan besar di atasnya. PARA TROOPER. Pistol Beretta itu digenggam di tangannya lalu di masukkan ke kantong sweeter. “Maaf, aku menaruh pistol di kamar mandi, dan berhubung tengah kedatangan tamu, jadi aku pindahkan dulu pistolnya, mau ke toilet ya?” “Iyy..iyya mas,” ujar Septian kikuk, mulutnya memelet beberapa kali. Mereka berpisah, lalu Septian buru-buru kembali ke ruang tamu usai buang air kecil dan di sana Ricko sudah ikut bergabung bersama Mirna dan Magda. “Apakah Gendhis sering bercerita soal kehidupan rumah tangganya kepada mbak Mirna?” tanya Magdalena. “Iya tentu saja, dan bisa jadi penghubung dirinya dari kehidupan rumah tangga ke dunia luar mungkin hanya melalui aku, maksudku dia sepertinya tertutup dengan orang lain karena akan dianggap aib, tapi tidak denganku.” “Kekerasan seksual?” “Salah satunya.” “Maaf contohnya seperti apa kalau boleh tahu?” “Anal seks sembari dipukuli, diikat, dan pernah juga disekap dalam gudang dengan alasan sebagai hukuman karena Gendhis tidak menuruti perintah suaminya. Apakah itu semua sudah cukup untuk menuntut Bima ke penjara?” “Kita akan carikan pasalnya, tapi kalau berurusan dengan marital rape alias pemerkosaan dalam rumah tangga sih belum ada.” “Bisa kan dikenakan pasal penyiksaan atau penyerangan yang mengakibatkan luka dan trauma?” “Kondisi rumah tangga jelas berbeda kasusnya, karena kita juga harus gali lebih dalam, jadi gini ya mbak, aku pernah dapat kasus di mana seorang wanita sudah banyak luka dan melaporkan suaminya ke polisi, namun saat diteliti lebih dalam bahwa si wanita itu memang dia penyuka seks bondage juga, dan senang disakiti seperti itu, ia melapor ke polisi karena suaminya selingkuh dan bawa kabur uangnya tapi menggunakan dalih kekerasan seksual pada rumah tangga sebagai bahan pelaporannya.” “Jadi anda pikir Gendhis memang suka disiksa seperti itu?” “Tidak seperti itu, tapi kami harus gali lebih dalam lagi,” ucap Magda tenang. “Saya saksinya dan saya bersedia hadir di pengadilan untuk proses suaminya yang jahanam itu!” ujar Mirna emosi dan Ricko coba menenangkannya. “Polisi akan lakukan yang terbaik, percayalah, sudah ya sabar mah,” ujar Ricko dengan gaya penuh kesabaran dan ketenangan tingkat tinggi. Septian menatap kagum. “Maaf kalau boleh bertanya ke mas Ricko, apakah Anda mempelajari beladiri Brazilian Jiu Jitsu?” tanya Septian. Ricko tersenyum. “Aku mempelajari semua jenis beladiri, tapi fokusnya pada Silat sebagai ilmu beladiri tradisional Negara kita.” Septian mengangguk seolah puas, tapi sebenarnya ia ingin mengatakan lebih lanjut soal kasus Gendhis menghajar Roy, hanya saja tenggorokannya serasa tercekat. 44 : Progres Penyelidikan Magdalena menatap kembali catatan di white board dengan spidol biru pada ruangan meeting yang kosong melompong, di balik kerai jendela besar, awan ibukota sudah gelap dan sesekali kilat nampak menyambar sangat keras hingga menusuk kuping. PENYELIDIKAN CCTV, NO POL MOBIL GENDHIS — Belum ditemukan. FACIAL RECOGNITION — Belum menemukan hasil PROGRES PENYELIDIKAN -Motif hutang kartu kredit = gaya hidup, beli barang mewah, ingin terlihat cantik depan sang suami -Kekerasan seksual = sudut pandang Mirna, diikat, disekap, dan dipukuli, Bima gemar anal seks -Keterangan Tetangga = Bima berteriak di malam hari saat Gendhis hilang, berdasarkan sudut pandang Johnson bahwa Gendhis pernah terlihat punya luka babak belur di wajah. -Sosial Media = Terdapat hampir dua ratusan ucapan belasungkawa di wall facebook “Gendhis Kumalasari” dan sudah terverifikasi sebagai akun asli via developer facebook. Magdalena bangkit dari kursinya. Ia menyesap kopi hitam dingin, lalu berbaring di sofa kulit untuk rebahan sejenak karena punggungnya terasa sakit, dan saat menatap jam di dinding, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Sebagai gadis kos, ia sebenarnya malas juga untuk pulang ke rumah, tapi ada peraturan di mana pegawai tidak boleh menginap di kantor untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan. Mau tidak mau ia harus pulang. 45 : Rasa nyeri menjalar di tubuhnya Rasa nyeri menjalar saat tubuhnya terbangun dari lelapnya tidur. Gendhis menatap pemandangan sekitar dari balik kaca mobil yang basah dan mendapati sekelilingnya hanya berupa pepohonan lebat, ia berada di tengah hutan. Selama berhari-hari, dirinya sudah melewati di tiga pom bensin untuk mengisi bahan bakar, dan sekali turun di minimarket untuk belanja makanan seperti kue, mi dalam kemasan, dan minuman botol, kemudian satu kali singgah di apotek untuk membeli gunting, perban, kapas, dan alkohol kadar 70%. Benang di kulitnya itu masih menempel dan rasanya semakin perih, mungkin sudah infeksi, tapi Gendhis tidak berani untuk menengoknya, dan saat rasa itu semakin menyakitkan ia terpaksa memberanikan diri untuk melihat sudah seperti apa lukanya kali ini. Gendhis membuka kancing blazer dan kemeja putihnya, lalu mengangkat bra nya ke atas dan melihat kedua puting yang dijahit itu sudah lebam dan saat disentuh rasanya perih. Ia mengambil sarung tangan lateks putih dan memakainya lalu mulai menggunting jahitan tersebut dan menariknya perlahan-lahan sisa semua benang yang menempel dari kulitnya. Sebuah kapas ditotol alkohol, lalu ditempelkan ke kulit, membuatnya mendesis, kemudian menggunting perban berbentuk persegi dan menempelkan ke bagian lebam tersebut dengan rol solatif perban putih. ia menarik napas dalam-dalam saat kembali mencantelkan bra ke tempat semula, lalu mengancingkan kemeja dan blazernya. Hujan kembali turun deras, menampar dengan sangat keras kaca mobilnya dari berbagai arah, tanah menjadi lumpur dan membuat roda mobilnya terjerembab. Ia menyalakan pelantang radio yang tengah memutar lagu Senorita, lalu beralih kepada si pembawa acara radio yang memberitakan laporan cuaca dan keadaan sekitar. Uangnya tersisa tiga juta rupiah dari enam juta cash yang ia sembunyikan di dalam bagasi mobil dan tidak diketahui suaminya tersebut. Sudah saatnya mencari penginapan, tatapan matanya turun ke bawah, seonggok baja hitam yaitu Beretta ada di atas rok kerja merah ketatnya. 46 : kehidupan adalah tak lain hanya sebuah komedi. Gendhis menemukan sebuah motel dengan plang dari neon yang berkedip-kedip, mati nyala, mati nyala, dan mati lagi lalu nyala, entah kekurangan daya atau mulai konslet, ia memasuki halaman parkir yang langsung menghadap ke deretan kamar, dan dari luar, deretan kamar itu nampak sepi juga kumuh, tidak ada lampu yang menyala. Ia turun dari mobil dan check-in di lobi yang kecil dan terletak di ujung kanan. Kunci ia masukkan ke dalam lubang pintu lalu masuk ke dalam, ada sebuah ranjang satu orang, lalu kursi dan meja dekat jendela, meja cermin ada di seberang kasur, lalu kamar mandi di bagian belakang, Gendhis membuka pintu yang kenopnya sudah berkarat itu dengan perasaan jijik dan menatap wastafel yang sudah menguning, cermin di atasnya juga terlihat kotor dan ada totol-totol bekas cipratan air yang mengering. Tubuhnya merinding karena mual melihat itu semua, tapi kandung kemihnya sudah tak tertahankan, usai pipis, air pada shower di samping toilet duduk tidak menyala. “Sialann!!!” Gendhis keluar kamar mandi tanpa sempat menyiram dengan perut mual, kulitnya mulai kembali berdenyut, selain luka lain juga luka pada kedua payudaranya yang mulai kembali bereaksi. Ia melepas sepatu bertumit berbahan dove hitamnya itu, dan meski masih mengenakan stoking super tipis hitam, namun kisikan pasir terasa di lantai dan membuatnya urung melakukan hal tersebut. Gendhis lebih baik tetap memakai sepatu. Tangannya kembali mengenakan sarung lateks putih, dan meraba-raba kasur dengan seprai putih yang juga sama kotornya. Di dekat meja cermin, ada pemanas air dengan moncong yang sudah berkarat, ia mencolok dan menuangkan air dari botol plastik, lalu dalam satu menit mesin tersebut mati dan asap membubung saat menyeduh mi instan dalam kemasan. Gendhis duduk di kursi sembari menikmati mi instan rebusnya, saat selesai makan, seonggok baja dalam kantong blazer itu terasa menekan perut, ia mengeluarkan Beretta dan menaruhnya di meja. Hidup dalam pelarian, tanpa ponsel dan uang yang semakin menipis, semua sendi kehidupannya tertinggal di rumah itu, kini hanya bermodal pakaian kerja yang sudah lepek dan bau keringat serta uang yang semakin menipis. Gendhis merasa bahwa dirinya pasti tengah dicari banyak orang, dan rasa malu itu bisa saja membunuhnya, membuat hidupnya yang penuh kesengsaraan seperti sebuah tragedi, hingga akhirnya ia mencoba menghibur diri bahwa sebenarnya kehidupan adalah tak lain hanya sebuah komedi. Segala nyinyiran, spekulasi, opini tanpa fakta dan gerombolan orang suci pengorek dosa orang lain pasti tengah betebaran di medsos, ia mencoba untuk tidak perduli tapi faktanya itu sangat menyakitinya. Deru mesin sebuah mobil terdengar, lampu sorot yang begitu tajam menembus gorden kamarnya, membuat silau lalu padam. “Siapa malam-malam begini? Mungkin calon penghuni motel lainnya,” ujar Gendhis berbaik sangka. 47 : Jacob Pembunuh Bayaran Jacob mengenakan jaket hitam berat, rambut kelabunya disisir namun tetap bergelombang meski sudah menggunakan pomade, ia mengenakan sarung tangan kulit dan mengeluarkan tali yang akan digunakan untuk menjerat leher. Sementara Gendhis mengintip dari balik jendela dan hanya melihat siluet dari balik kaca mobil yang parkir di sebelah mobilnya tersebut. Jantungnya berdetak lebih cepat, perutnya terasa mual, di tengah rasa pusing, ia mengambil Beretta dan memuntir-muntir peredam di moncong. Sekali lagi ia mengintip dan rasa nyeri bekas luka dijahit itu kembali berdenyut. Ia tidak tahu itu siapa, tapi prasangkanya mengatakan, bahwa sepertinya ada yang tidak beres dengan orang di balik kaca mobil itu. Lelaki itu turun dari mobil dan melangkah menuju kamarnya, firasatnya benar, ada sesuatu yang salah, Gendhis menggenggam erat-erat Beretta tersebut hingga terasa kedua telapaknya yang dibalut lateks itu terasa berkeringat, cucuran keringat dingin juga deras membanjiri lehernya. Jacob sudah berada di depan pintu dan saat akan mengetuk, pintu dibuka oleh Gendhis sembari mengacungkan pistol namun si pembunuh berhasil menangkis dengan memegangi pergelangan tangan wanita itu ke samping, sebuah peluru berpeletuk melesak dan menghantam tembok. Jacob mendorong ke dalam, lalu menghajar wajah Gendhis dengan tangan satunya yang bebas. Mata Gendhis berbayang lalu tubuhnya ambruk ke lantai. Kini kisikan pasir yang sangat ia hindari itu memenuhi seluruh tubuhnya. Gendhis merangkak, satu tangannya masih memegangi Beretta yang dengan mudah disingkirkan oleh Jacob, lalu seutas tali melilit lehernya. Jacob berdiri dengan kedua kaki mengangkang di belakang punggung Gendhis, kedua tangannya yang bersarung tangan kulit itu menarik tali di leher dengan sangat keras hingga sang wanita mencicit, oksigen semakin terbatasi dan paru-parunya terasa mau meledak, lalu perlahan-lahan semuanya menjadi gelap. *** Ia terbangun, tenggorokannya serasa tercekat karena banyak dahak yang menggantung, ada ingus juga yang menyumbat lubang hidung kirinya. Matanya yang remang mulai menatap jelas, tubuhnya terguncang-guncang, Gendhis tengah berada di dalam mobil, duduk di samping kemudi dengan seat belt yang membelenggu tubuh, kedua tangannya terikat ke belakang. Ia menengok dan menatap sejenak sosok pembunuh di sampingnya yang tengah mengemudikan mobil tersebut, tatapannya menatap lurus ke depan yang hanya berupa pepohonan lebat dalam hutan dan sorot lampu. “Mengapa aku belum mati! Aku berharap mati saja sebenarnya.” Kepalanya menengok lemah ke bawah dan menatap Beretta berperedam itu kini sudah berpindah dan berada di antara kedua paha kaki si pembunuh. ia berusaha melepaskan diri dari ikatan, menggunakan ilmu yang diajari Ricko padanya, dan saat berhasil terlepas, lengan kanannya memukul dada Jacob tapi kurang keras sehingga hanya membuat si pembunuh itu tersedak. Jacob mengambil pistol di antara paha kakinya dengan lengan kiri, di arahkan ke kepala Gendhis namun berhasil ditangkis, peluru melesak dan menembus kaca jendela mobil yang menghasilkan retakan seperti jaring laba-laba, kuping Gendhis pengang. Meski dengan peredam namun suara tembakan itu terasa renyah menembus kaca. Gendhis menggigit tangan kiri Jacob hingga lelaki itu berteriak dan menjatuhkan pistol ke bawah kaki Gendhis. Mobil sempat oleng ke sana kemari. Wanita itu buru-buru melepas sabuk pengaman dan mencari-cari pistol yang terjatuh tapi tidak ketemu. Jacob juga ikut mencari dan menyondongkan tubuhnya ke bawah, Gendhis menyikut pipinya, lalu menghantam lehernya dengan sabetan jari tangan terbuka, kemudian menusuk bola matanya dengan jari jempol. Jacob berteriak kesakitan dan mobil semakin melaju tak beraturan hingga hentakan keras menghantam bagian kap mobil yang menabrak pohon besar dengan sangat kencang. Gendhis terjengkang, dahinya menghantam dashboard, sementara airbag di setir Jacob mengembang dan menghantam wajah lelaki itu. Rasa pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi, tapi keinginannya untuk bertahan hidup cukup tinggi, entah ia tengah kesurupan motivasi hidup dari mana, padahal sebelumnya ia sudah mulai putus asa dan stres tingkat tinggi. Gendhis kembali membungkuk dan menemukan pistolnya lalu mengacungkan ke pipi si pembunuh yang masih nampak oleng dan kesakitan itu. Sebuah peluru melesak dan menembus pipi kiri, hidung, mata hingga tersumbat di otaknya. Mencipratkan potongan daging dan darah di kaca jendela, Jacob berhenti bernapas, kepalanya telentang di kursi mobil dengan mulut menganga. Napasnya menderu hebat, dan rasa mual itu kembali dan mulai menaik ke tenggorokannya. Ia membuka pintu mobil dengan susah payah, sepatu heels nya menjejak tanah berlumpur basah, dan mulai muntah. Tubuhnya sudah tidak sanggup menopang, dan ia terjatuh dekat muntahannya. 48 : Toyota Corolla Septian berjalan cepat-cepat di lorong menuju ruangan Magdalena, jari tangannya menggiring map coklat berisi laporan seperti menjinjing punuk kucing, dan saat masuk ke ruangan, ia menatap pimpinannya yang tengah menggigiti ujung pulpen. Pulpen yang sama dan bau liurnya mungkin sudah berkumpul di sana, oh sedap sekali rasanya. “Sudah ketemu!” Magdalena tertegun. “Apanya? Yang jelas Septian kalau bicara.” “Mobil sedan Toyota Corolla milik Gendhis.” “Di mana?” “Maksudku mobilnya belum ketemu, tapi jejak terakhirnya sudah ketemu, berdasarkan hasil temuan dari satu CCTV ke CCTV lainnya, mobil tersebut tertangkap kamera pernah singgah di sebuah ruko kemudian sedan itu sempat dimasukkan ke dalam garasi, setengah jam kemudian sedan itu kembali keluar dan melesat lalu kembali menghilang. CCTV yang kita gunakan adalah milik minimarket di depannya.” “Sudah kau cek siapa pemilik ruko tersebut?” “Terdaftar atas nama Liam Siaw Wei alias Horris Jamaludin, seorang lansia berumur enam puluhan.” “Ya sudah kita ke sana.” “Tunggu dulu.” “Apa lagi? Kita harus cari tahu dan wawancarai Pak Lim itu,” ujar Magdalena dan adrenalinnya ikut terpacu akibat ulah Septian yang grasa-grusu. “Kami cari tahu informasi ke penduduk sekitar, bahwa di ruko Pak Lim tersebut juga ada orang asing bertato yang tengah singgah di sana, menurut salah satu pengakuan warga pendatang yang membuka toko kelontong di pinggir jalan, ia pernah melihat mobil van putih diparkir di sana dan sepertinya mengeluarkan banyak kotak kayu dengan tulisan “Fragile. Aku khawatir di dalam kotak kayu itu tersimpan barang berbahaya.” “Apakah lantas itu dianggap berbahaya, orang Tionghoa memang biasa berdagang, dalamnya bisa saja cuma miras atau telor mungkin, memangnya menurutmu barang apa di dalamnya?” “Ti..tidak tahu mbak, tapi bisa jadi pucuk senjata.” “Facial recognition bagaimana?” kata Magdalena. “Gak bisa lakukan detektsi, karena sosok wanita itu membelakangi kamera saat turun dari mobil.” “Ciri-ciri fisiknya tapi tertangkap kamera kan?” “Ini, tapi tidak jelas.” Septian menaruh map berisi prin warna capture CCTV. “Kalau gitu aku akan kontak tim Jatanras, kita akan sergap Pak Lim saat keluar lalu interogasi dia mengenai siapa orang asing di dalam rumah tersebut, cek kembali kondisi lingkungan di sana, siapa jaro di sana, seberapa valid informasinya, dan gali lebih dalam semua keterangan para saksi,” perintah Magda. “Siap laksanakan komandan!” 49 : Fragile Box Tim Jatanras berhasil menangkap Lim alias Horris Jamaludin, lalu mulai menginterogasinya, ia kemudian dilepaskan dan meminta pria asing itu keluar dari ruko, satu tim bersenjata lengkap sudah mengepung tempat tersebut, sementara garis polisi sudah melintang di sekitaran. Para wartawan bercampur dengan warga mulai berkumpul di garis kuning, yang penasaran mengenai apa yang tengah terjadi sebenarnya. Paris Oktaviani ada di antara mereka dan mulai mengambil gambar dengan ponsel saat pria asing bertelanjang dada dan bertato tersebut digiring keluar dengan tangan terborgol ke belakang lalu dimasukkan ke mobil polisi. Magdalena keluar dari dalam mobil, ditemani Martha dan Septian lalu masuk ke dalam ruko. Warna warni neon temaram bercampur bau dupa begitu terasa, ada banyak lentera atau lampion kertas yang diisi lampu di dalamnya tergantung di atas, kotak kayu bertuliskan Fragile itu kini tengah dibongkar oleh Tim Forensik. Magdalena mengenakan sarung tangan lateks birunya dan bersiap melihat apa yang ada di dalamnya. Kotak terbuka, dan seorang fotografer forensik mulai memotret dari segala arah, petugas lainnya melingkari dan menomori barang bukti. Magda melihat ada sekitar enam pucuk senapan M16, dan varian lainnya seperti AR-15, MP5K, MP7, dan pistol semi otomatis seperti Glock, Sig, dan Beretta. Masih ada tiga kotak lainnya yang siap dibongkar. 50 : The System is Broken IPDA Magdalena kekeuh ingin mewawancarai Solozov meski atasannya mengatakan bahwa berkas kasus warga Rusia tersebut akan di limpahkan ke Brigade Mobile, tapi ia berharap masih bisa bertemu dan menggali hubungan Solozov dengan Gendhis. Semua menjadi serba kacau dan kasusnya malah meluas. Pikirannya terdistraksi ke mana-mana, Magdalena berharap bisa menemukan setitik cahaya atas kasus yang tengah ia pegang ini. Solozov sudah berpakaian, tangannya di rantai yang terkait ke meja besi dan secara keseluruhan masih cukup panjang dan membuatnya masih leluasa untuk merokok. Magda sudah duduk di hadapannya. Solovoz mengoceh tanpa ditanya. “Aku menjual senjata sebagai bentuk keseimbangan distribusi senjata, karena seperti kita tahu, selama ini kita didikte oleh Negara-negara maju macam Amerika dan NATO, lalu orang-orang mulai tertindas atas nama demokrasi, dan siapa yang akan menolong mereka kalau bukan orang-orang sepertiku.” “Baiklah Solozov, tapi bukan berarti apa yang kau lakukan adalah legal apabila itu terjadi di negaraku.” “Sistem telah patah dan kita harus menyambungnya,” ucap Solozov dengan bahasa Indonesia terpatah-patah. Asap membubung dari mulut si lelaki kurus tersebut. “Apa yang kamu lakukan di sini?” “Mengepakkan sayap untuk menciptakan militer swasta yang besar, dan kupikir Negara ini punya potensi, lautnya luas, dan banyak musuh dalam negeri, militer kalian cukup kuat, tapi alutsistanya ya maaf saja sepertinya kurang canggih, aku hadir untuk memberikan peralatan militer terbaik yang kalian bisa pakai.” “Kenapa bisa kenal Gendhis?” “Aku tidak mengenalnya sumpah.” “Kok bisa wanita itu ketemu kamu?” “Dia datang sendiri, berdasarkan petunjuk di kartu nama yang ia temukan.” “Kartu nama?” “Iya, dia pegang itu kartu nama, dan saat kutanya dari mana ia dapat kartu nama tersebut, bilangnya dari Ricko.” “Ricko? Dia kan pasukan khusus aktif angkatan darat, suami Mirna.” “Suami siapa kek aku ya gak tahu, tapi yah..yah kamu benar kalau dia Special Forces, dan soal Ricko sih aku kenal udah lama sama dia, karena ayah mertuanya kan sahabatku, tapi sayang sekali ya Rudi Parwoto harus meninggal beberapa tahun lalu, karena kecelakaan.” Rudi Parwoto, ayah dari Gendhis dan Mirna, mertua Ricko. Solovoz kenal menantunya tapi tidak dengan anak-anak kandung Rudi? “Kecelakaan? Tidak! Dia meninggal karena kanker.” 51 : Tetap Hidup Saat kedua matanya terbuka, hari sudah gelap, cahaya bulan purnama menyorot terang tepat di atas kepalanya, bundar besar seperti bohlam. Gendhis mengumpulkan segenap kekuatan untuk bangun dari atas tanah, bau tanah basah menusuk hidung. Ia kembali ke mayat si pembunuh itu, lalu mengaduk-aduk kantong jaketnya. Sebuah ponsel android dengan posisi mati ditemukan. Si mayat ia singkirkan hingga bedebam di atas tanah, ia naik ke dalam mobil dan menstarter namun mesin selalu gagal menyala. Tangannya memukul-mukul setir berulang kali karena mulai jengah, ia hanya bisa celingukan melihat ke sekitar yang semuanya berisi pepohonan dengan selimut gelap terselip di antaranya. Gendhis mulai berjalan kaki, tumitnya mulai kesakitan saat kaki dipaksa mengayuh di atas sepatu berhak, jari jemarinya yang selalu tersudut di ujung tempurung sepatu membuat sensasi pegal dan nyeri semakin menjadi-jadi. Menempuh perjalanan selama satu jam dengan satu tangan menenteng pistol, akhirnya ia menemukan jalan besar, Gendhis masih ingat jalan tersebut yang masih terhubung dan berjarak tak jauh dari motel tempatnya tinggal. Saat sampai, ia menatap ke sekeliling kamar juga mengecek kamar mandi. Semuanya masih sama dan sesuai pada tempatnya, mobilnya juga masih terparkir di tempatnya. Ponsel si pembunuh ia nyalakan, tiga batang sinyal muncul di ujung kanan layar. Gendhis mengecek kontak telepon dan hanya menemukan satu nomor tak di kenal, ia menekan nomor tersebut dan dalam dengungan ketiga, seseorang di ujung sana bersuara. “Gimana? Sudah kau bunuh?” DEG ! Lututnya lemas karena dirinya sudah sangat hafal suara serak nan mengerikan itu. “Bima?” Suara dari kejauhan sempat terdiam dan Gendhis kembali berbicara. “Kamu mau melenyapkanku ya?” tanyanya lirih. Lagi-lagi statis, tidak ada suara. “Masih banyak kulitku yang belum dijahit nih, dan kalau itu memuaskan hasrat seksualmu, aku akan kembali padamu dan mulai menjahit lagi di hadapanmu.” Bima terkekeh. “Semuanya sudah mustahil sayang, di mana orang yang ku kirimkan itu?” “Sudah kubunuh.” “Kamu wanita tangguh ya sekarang, dari mana kamu belajar semua itu? Beladiri, bertahan hidup? pasti ada yang mengajari kan?” “Hanya berdasarkan insting aja Bim,” ujarnya dan sudah tidak memanggil dengan sebutan mas lagi. “Bangsat kau ya, memang dasarnya wanita durhaka, pembangkang, suka ngejawab dan tidak punya norma kesopanan.” “Tuhan saja aku bunuh, apalagi Anda!” ujar Gendhis dan ia menutup teleponnya, napasnya naik turun tak keruan, ia berusaha mengumpulkan seluruh tenaga dalam raganya dan mulai memikirkan rencana selanjutnya yang akan ia jalani. 52 : Investigasi Magdalena Magdalena tampil seperti biasanya, kemeja biru langit slimfit, celana jeans dan jaket kulit, ia tengah berada di dalam kafe, menunggu kehadiran Ricko. Pintu berdentang saat dibuka dan sosok pria mengenakan jaket kulit hitam dan berkacamata hitam itu muncul. Ricko sempat celingukan dengan gaya leher yang kaku sebelum akhirnya berhasil menemukan Magdalena, ia menghampiri, pesan secangkir kopi latte lalu mulai berbicara. “Ada hubungan apa anda dengan Solozov?” “Aku punya teman dari Rusia, dia juga pasukan khusus dan ayahnya adalah Solozov.” “Kau tahu kalau ia adalah pegadang senjata?” “Tahu, dan aku suka menggunakan senjata bawaannya.” “Apakah itu legal?” “Kalau sedikit-sedikit bicara hukum, pasti semua akan terlihat ilegal, membeli dvd bajakan juga kan ilegal, tapi toh masyarakat tetap melakukannya. Yang penting aku menggunakan produknya hanya untuk kepentingan latihan.” “Kamu tahu kan kalau mertuamu meninggal bukan karena kanker?” “Tahu, tapi sampai sekarang aku belum tahu siapa pelakunya.” “Siapa menurutmu? Pembunuh Pak Rudi itu?” “Secara resmi dia meninggal akibat kecelakaan, tapi penyidik mahir manapun tahu kalau dia sebenarnya tidak kecelakaan. Ini semua soal tekanan kekuatan besar di belakangnya.” “Punya nama tersangka? Berdasarkan pendapat pribadi?” “Aku melacak jejak berdasarkan bukti saja, tidak mau berspekulasi.” “Pada dasarnya tidak ada kejahatan yang tidak meninggalkan jejak,” ujar Magda ingin menekankan posisinya sebagai penyidik. “Benar, sepakat soal itu.” “Aku akan coba bantu cari tahu pelakunya.” “Sudahlah hentikan nona, sepertinya kasus ini terlalu besar untukmu, cari tahu saja di mana keberadaan Gendhis, itukan tugasmu sekarang?” “Kamu tidak menginginkan kebenaran?” “Siapa yang tidak menginginkan kebenaran! Semua pasti menginginkannya. Hanya saja, di era yang sedang serba represif ini, bersikap diam itu akan memperpanjang umurmu.” “Aku tahu kutipan itu, dari karakter fiksi Detektif Kwan Chun Dok kan?” “Benar detektif! Kumohon cari adik iparku yang malang, kami semua sekeluarga sangat merindukannya.” “Aku lakukan yang terbaik prajurit.”Pikiran Magdalena berkelabat, mungkinkah ada yang ditutupi oleh Ricko, dan saat imajinasinya semakin melayang, ia terpikirkan sesuatu dan harus segera bergegas. 53 : Paris Vlog Di era 4.0 dan serba digital, VLog adalah salah satu media yang paling efektif untuk bisa tetap hidup di industri media, dan Paris Oktaviani pun melakukan hal tersebut. Ia sudah berdandan rapih, make up yang dilakukan oleh tim professional, lalu kemeja yang dibalut blazer dan rok pendek. Paris akan menggunakan kamera Go Pro miliknya usai berhasil membujuk Bima Riyadi untuk diwawancara. Aktivitas tersebut akan dilakukan di kantornya, sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, dua sofa abu-abu yang dibatasi oleh meja kecil rendah. Bima Nampak gagah dan tampan, rambutnya yang lebat dan terselip uban itu disisir rapih, dengan jas hitam dan dasi merah, bersiap menghadapi berbagai pertanyaan dari Paris. Kamera sudah siap merekam dan mereka memulai sesi wawancara tersebut.“Bagaimana kabarmu saat ini?” “Kesehatanku sempat memburuk, sempat dua kali demam dan yah saat ini sudah baikan,” ucap Bima. “Gimana rasanya kehilangan Gendhis?” “Tentu saja sangat menyedihkan, bahkan beberapa kerabat mulai mengirimi karangan bunga dan para wartawan mulai berkumpul di sekitaran rumahku.” “Apa yang membuat Gendhis menghilang menurutmu?" “Yah, semua salahku tentunya, bahwa aku adalah lelaki brengsek, kami sempat bertengkar hebat dan itu membuatnya marah, lalu dia menghilang.” “Kamu menyesal?” “Tentu saja, aku sangat menyesal,” ucap Bima lirih. “Ada yang ingin kamu sampaikan di depan kamera saat ini, suatu pesan yang mungkin akan membuat Gendhis bisa kembali ke pelukanmu, silahkan.” Bima menatap dengan tatapan lirih, mata sayu dan alis menurun, berharap saja semua mimiknya itu bisa mengambil hati masyarakat, setidaknya itulah yang diajarkan oleh pengacaranya. Bima mulai berbicara, dan satu jam kemudian Paris beserta timnya mengupload ke youtube, dalam tiga menit sudah berhasil meraih tiga puluh ribu viewers dengan reaksi yang sangat beragam. 54 : Ganti Perban Gendhis menemukan sebungkus rokok di dalam kantong plastik. Rokok tersebut masih tersegel, ia membukanya lalu mengisap sebatang, asap membubung memenuhi seisi kamar. Tidak banyak yang bisa ia lakukan saat ini, tidak punya ponsel bagus, pakaian, bahkan pembalut. Dirinya mulai merebahkan tubuh di atas kasur sembari merokok, tubuhnya mulai terbiasa dengan rasa jijik, termasuk saat harus pipis tanpa dibilas karena air keran mati. Ia belum sempat komplain dan berharap air akan menyala dengan sendirinya saja. Suara berkeresak terdengar di depan kamarnya, ia langsung reflek dan terbangun. Pistol ia genggam, lalu mulai mengintip dari balik jendela. Ada sesosok anak kecil tengah menyapu halaman parkir. Saat itu hari sudah beranjak pagi. Gendhis lalu kembali dan duduk di meja cermin, mengambil pensil dan secarik kertas, menuliskan banyak hal secara runtut lalu mengambil beberapa lembar uang. Ia membuka pintu setengah dan memberi kode. Si anak kecil itu sempat celingukan sebelum akhirnya mendekati. “Bolehkah aku meminta tolong agar kamu membelikan barang-barang ini, please?” Si anak kecil berpakaian lusuh itu menatap kertas sejenak, kepalanya bergoyang ke kanan dan kiri, mulutnya komat-kamit. “Kamu bisa baca kan?” Si anak kecil mengangguk-angguk. “Ini aku kasih uang jajannya, sudah dilebihkan kok.” Beberapa jam kemudian, si anak kecil kembali dengan sekantong belanjaan, lalu menghilang. Gendhis memburai isi kantong tersebut, mulai dari kaos, bra, celana dalam, celana jeans pendek, sepatu, kaos kaki, kardigan, benang, jarum, obat sakit kepala, penghilang rasa sakit, sikat gigi, odol, dan barang-barang lainnya. Gendhis ke kamar mandi dan besyukur karena saluran air telah menyala, ia mandi dengan pancuran, membasahi tubuhnya, dan merasakan air hangat yang membuatnya mendesis saat membasahi puting. Perbannya sudah kotor dan sudah saatnya mengganti dengan yang baru. 55 : Lirih Selesai mandi, Gendhis menyalakan android si pembunuh, dan ternyata ponsel itu terdaftar paket internet, selama jarinya menggenggam ponsel yang sering ia lakukan adalah membuka sosial media, mulai dari youtube, instargam dan facebook. Channel Youtube yang pertama ia buka dan menemukan konten yang tengah viral muncul di baris pertama. Wawancara Paris Oktaviani dan Bima Riyadi, berdurasi sekitar tiga puluh menit, Gendhis yang penasaran langsung membuka channel tersebut. Saat memasuki sesi akhir, jantungnya berdetak tak keruan. Ia melihat wajah Bima sangat lirih dan patut dikasihani, netizen pasti suka melihat lelaki tampan berahang keras dengan gaya sendu seperti ini. “Gendhis, ingat kan momen bulan madu kita di Bali, atau momen kebahagiaan lainnya yang pernah digoreskan, ada saatnya memang aku sudah sangat bersalah dan telah menyia-nyiakanmu, tapi dengan momen ini aku ingin meminta maaf atas semua yang telah kuperbuat, kumohon kembalilah padaku, rumah kita selalu terbuka untukmu kapanpun, ingat juga kan soal villa, tempat di mana kita seharusnya memadu kasih.” Gendhis menscroll ke halaman komentar, ada sekitar dua ribuan netizen yang menyerbu di sana, dan komentarnya sangat beragam, ia benar-benar penasaran dan waktunya habis dipakai untuk membaca satu persatu komentar tersebut. Ia menyimpulkan bahwa bajingan itu telah berhasil merebut hati para netizen yang ia anggap mewakili masyarakat secara umum, karena kasus marital rape yang tengah di hadapinya kemungkinan memang kebanyakan jadi konsumsi kalangan menengah ke atas. Gendhis menjadi wanita jahat sekarang, image tidak menurut, kabur-kaburan dan durhaka berhasil melekat pada dirinya usai drama yang dimainkan oleh Bima sialan itu. Ia kembali merokok, perasaan depresi dan stres berat terus menggelayut, dan sudah mengendap sejak lama dalam tubuhnya. Dirinya sudah tidak tersenyum selama bertahun-tahun, raganya sudah didikte oleh iblis jahanam selama itu. Gendhis keluar dan duduk di kursi depan kamarnya sembari menatap bukit yang terlihat seperti gundukan hitam pekat. Angin bersemilir menerpa kulit paha yang hanya dibungkus jeans short pants yang sepertinya satu ukuran lebih kecil dari pantatnya. Kedua bola matanya terus menatap ujung bukit tersebut, dan kini sesuatu melintas dalam pikirannya. “Baiklah, ini ideku!” 56 : Pembunuh Amatiran Magdalena dan Septian berada di luar gerbang komplek, mereka sudah menunggu hampir tiga jam namun belum juga ada temuan signifikan, hingga akhirnya mulai terdengar pembicaraan dari headset portable yang dikenakan olehnya. “Mbak memangnya ini legal kah?” “Ya tentu aja engga lah Sep, tapi ya mau gimana lagi, mudah-mudahan sih aman-aman saja ya.” Septian menelan ludah, ia kembali teringat saat siang hari tadi disuruh membobol rumah Bima yang saat itu ditinggalkan olehnya karena tengah bekerja, untuk menaruh alat penyadap di dekat ruang tamu. Ia celingukan ke sana kemari dan berharap tidak ada wartawan yang melihatnya, karena kalau siang hari biasanya memang masih sepi. Suara jangkrik di malam hari menemani mereka dalam mobil. “Sep, mereka mulai bicara.” “Ya mbak, aku juga denger kok.” Di ruang tamu dalam rumah, Bima Riyadi tengah berduaan bersama kekasih gelapnya, Stephani. Mereka pada awalnya hanya membicarakan romansa yang penuh basa-basi, mulai dari makan malam, mendengarkan musik jazz dari pemutar vinil, hingga bercumbu. Dan saat sudah mulai bosan, Stephani mulai membicarakan kasus yang lebih serius. “Gimana mas, soal Gendhis?” Bima menarik napas dalam-dalam. “Temanmu itu disingkirkan.” “Makdusnya gimana sih?” “Ya disingkirkan alias dihabisi oleh Gendhis, temanmu pembunuh amatiran ya jangan-jangan?” “Engga tahu juga mas,” jawab Steph polos. “Loh kok bisa jawab gak tahu?” “Ya soalnya aku nemuin dia di internet.” “Apa? Kamu bilang kan dia itu mantan klien kamu sewaktu di tempat fitness?” “Iya..iya mas aku bohong, maafin sebelumnya soal itu, karena aku khawatir kalau bilang aku nemu dia di internet atau tepatnya darkweb, kamu gak mau pakai jasanya, aku tuh stres karena sepertinya sulit sekali sih bagimu untuk lepas dari Gendhis sialan itu, padahal wanita itu kan sudah banyak menyakitimu.” “Astaga Steph, dan sekarang keadaan bisa semakin kacau tahu gak!” “Iya aku paham mas, dan situs tersebut meminta kompensasi atas kematian Jacob dan menganggap itu menjadi tanggungan kita.” “Kenapa bisa seperti itu?” “Karena kita kan baru bayar sepuluh persennya saja, dan situs tersebut meminta bayaran lima puluh persen sebagai kompensasi kematiannya, beralasan untuk santunan keluarganya.” “Gila ya, misi nya gagal tapi minta santunan ke kita, siapa yang dirugikan sekarang kalau gitu hah!”Stephani mulai menangis bombai, ia bersimpuh di paha kaki Bima yang masih dibalut celana bahan kerja ketat, sementara Bima sendiri tatapan matanya mulai menyalang, satu tangan menggapai botol anggur dan menenggaknya sembari melihat rambut belakang Stephani yang masih bersimpuh di kakinya itu. “Aku takut sekarang mas, bisa jadi mereka akan mengirim pembunuh lain kalau uangnya tidak segera dibayarkan.” Ingin sekali ia memecahkan botol anggur itu di kepalanya atas kebodohannya itu, tapi tentu itu semua hanya imajinasi liarnya saja. 57 : Another Focus Magdalena berjalan cepat-cepat keesokan paginya di lorong kantor, beberapa petugas yang masih muda yang berpapasan dengannya memberi salam dan ia membalasnya dengan senyuman, saat memasuki ruang rapat sudah berkumpul kedua anggotanya, yaitu Martha dan Septian. Ia mulai menatap white board sembari berkacak pinggang lalu mencoret-coret sesuatu dengan spidol biru. JASA PEMBUNUH BAYARAN DARI DARK WEB – SI PEMBUNUH TERBUNUH OLEH GENDHIS (Di organisir oleh Stephani atas perintah Bima) MEDIA SOSIAL, NETIZEN CENDERUNG MEMUJI SIKAP BIMA RIYADI SOLOZOV, PEDAGANG SENJATA (Status ditangkap) – MENGENAL RICKO (Adik ipar Gendhis, suami Mirna – adik Gendhis) Apa yang sebenarnya menghubungkan titik-titik ini semua? Meski perlahan sudah mulai terurai, tapi masih ada beberapa benang kusut yang terjadi. “Sep, coba kamu perdalam soal jasa pembunuh bayaran di darkweb tersebut,” ujar Magdalena.“Siap komandan.” “Kalau Martha, aku ingin kamu memperdalam koneksi keluarga yang terjadi antara Solozov, Ricko dan ayah Gendhis yaitu Rudi Parwoto.” “Semua barang bukti sudah ada di tim balistik dan berkas Solozov tengah dilimpahkan ke Brigade Mobile, sepertinya kita akan sulit mengutak-atik di situ.” “Kalau gitu coba fokus ke dokumen milik Rudi Parwoto,” kata Magdalena. “Laksanakan, ada yang lain mbak?” “Untuk sementara itu dulu, nanti kalau ada tambahan akan ku informasikan lebih lanjut, ada pertanyaan?” 58 : Kembali Menjahit Gendhis menaruh kamera lalu mengganjalnya dengan menggunakan beberapa barang sampai android tersebut terlihat stabil, ia kemudian mulai mengambil jarum dan memasukkan benang hitam ke lubang kecil tersebut. Ia membuka kaus yang membalut tubuhnya. Dirinya sudah duduk di hadapan kamera video yang tengah merekam, video tersebut hanya mengambil bagian tubuh mulai dari leher hingga pusarnya saja, bra menggantung di kedua payudaranya. Gendhis memegangi perut sebelah kiri yang langsing, mencuil sedikit lemak di sana, lalu mulai mentotol alkohol dalam kapas. Jarum yang digenggam oleh jari jemari lengan kanannya mulai menjahit, membuatnya mendesis, meringis kesakitan, lalu saat posisi di mana ia sudah tidak kuat menahan nyeri, mulutnya disumpal oleh kain. Tapi irisan tenggorokan yang tercekat menahan perih itu masih terdengar meski teredam. Lima garis jahitan kini meliuk rapih di atas kulit perutnya, matanya sudah berair dengan leher yang dipenuhi urat seperti penyanyi metal usai konser. Ia mengambil android tersebut lalu mematikan rekaman video berdurasi sepuluh menit tersebut. Gendhis mengirimkan video tersebut ke kontak satu-satunya yang ada di sana, dan terkirim ke nomor Bima yang sebelumnya ia juga tidak pernah mengetahui keberadaan nomor tersebut. Jam pada ponsel menunjukkan pukul dua dini hari, dan sebuah kejutan baginya karena Bima ternyata masih bangun, dua centang garis biru terlihat sebagai pertanda bahwa lelaki itu sudah membacanya. Lama menunggu tapi tidak ada tanggapan dari Bima, akhirnya ia melakukan inisiatif chat terlebih dahulu. “Gimana Bim, mulai bergairah sekarang?” Bima mengetik. “Dasar jalang, di mana lokasimu sekarang? Aku ingin kamu menjahit lebih banyak.” “Tunggu hingga matahari terbit.” “Sekarang saja, aku sudah tidak tahan.” “Bagaimana aku bisa tahu kalau kau akan benar-benar datang setelah aku kirim lokasi? Atau jangan-jangan kau akan kirim pembunuh bayaran lagi ke sini?” “Aku mau kamu menjahit mulutmu dan kirimkan videomu setiap sejam sekali, sebagai gantinya aku juga akan kirim lokasi terbaru dariku, untuk meyakinkan kalau aku memang tengah bergerak ke arahmu.” Gendhis kembali mengambil benang dan mulai menusukkannya ke kulit bibir paling pojok kiri. 59 : Mayat Tergorok Polisi sudah memberi garis kuning di sekitaran mobil yang terparkir di atas gedung pencakar langit tersebut, beberapa petugas forensik dan DVI (Disaster Victim Identification) juga ikut hadir, para petugas berpakaian seperti astronot tersebut mulai menggunakan kuas untuk mencari sidik jari dalam dashboard mobil, kulit jok hingga bagian setir. Salah satu petugas memotret dari berbagai sisi, lalu petugas lainnya mulai menomori dan melingkari barang bukti. Mobil INAFIS (Indonesia Finger Print Identification System) juga terjogrog tak jauh dari parkiran outdoor di atas gedung tersebut, awan masih gelap dan kumandang adzan subuh terdengar saat Magdalena menjejak kaki di sana. Ia kemudian menatap pintu mobil di bagian kemudi yang terbuka, Magdalena mendekat dan mulai melihat mayat wanita tersebut. Ada sayatan tajam di lehernya dan mengeluarkan cukup banyak darah, kacamata wanita itu lepas dan terjun ke bawah. Magdalena menggunakan lateks biru di kedua tangannya, hidungnya mencium bau menyengat. “Sudah berapa lama proses pembusukan terjadi?” “Belum lama, mayat ditemukan oleh petugas kebersihan yang tengah jaga pada pukul dua belas malam, berdasarkan kekakuan mayat, kemungkinan besar ia dibunuh pada pukul sepuluh malam,” jawab Bripka Stefanus yang tengah bertugas pada saat itu. “Jam segitu masih belum terlalu malam sebenarnya, dan bisa jadi ada saksi mata lainnya,” ujar Magda. “Kami masih coba cari tahu berdasarkan bukti-bukti lainnya, dan sebagian orang di sini juga katanya tidak mengenal mayat ini mbak.” “Jadi wanita korban ini bukan pegawai sini, kemungkinan ia dibunuh di tempat lain lalu di bawa kemari, atau disekap dalam keadaan pingsan lalu dibunuh di sini, bisa juga ia dipaksa menyetir hingga ke sini lalu si pembunuh yang berada disampingnya mulai menggorok lehernya, dan kulit di sekitaran tenggorokannya ini tergorok oleh apa, apakah sudah ketahuan?” ujar Magdalena. “Belum bisa pastikan, tapi sepengalamanku kalau berdasarakan luka sayatannya ini kemungkinan menggunakan pisau lipat atau pisau komando yang sangat tajam, dan garis lukanya ini terlihat sangat rapih sekali, aku berpikir sepertinya si pembunuh adalah orang terlatih.” “Mungkin juga ia menyukai detail sehingga terlihat profesional, bisa jadi ini semua hanya soal pengalihan, tapi berbagai kemungkinan tetap harus dipertimbangkan,” ujar Magdalena dan matanya terus menatap mata korban yang bagian hitamnya melongok ke atas.Mayat itu adalah Stephani. 60 : Bibir dan Jahitan Tubuhnya dibalut oleh kaus hitam dan celana jeans super pendek ketat, yang memang menjadi satu-satunya pakaian bersih yang ia miliki, memperlihatkan hampir seluruh jenjang kakinya dan membuatnya sedikit kedinginan di pagi hari nan berkabut, Gendhis sudah berada di atas bukit dan menggunakan binokular satu mata yang ia rebut dari si pembunuh bayaran, Jacob. Mulutnya sudah terjahit dan sesuai janjinya ia mengirimkan video close up bagian mulutnya yang sudah dijahit tersebut, beberapa bercak darah Nampak mengering di antara daging bibir dan jahitan. Sebuah mobil SUV hitam masuk ke dalam parkiran dengan maneuver kecepatan tinggi dan mengerem mendadak, dua pria mengenakan perlengkapan taktis keluar, satu menggunakan topi abu-abu, rompi anti peluru warna coklat gurun, kaus oblong dan celana kargo sembari mengacungkan senapan serbu submachine gun H&K turun dari pintu sebelah kanan, lalu satu lagi pasukan yang kurang lebih bergaya sama tapi tidak mengenakan topi juga keluar dari pintu penumpang sebelah kiri. Mereka bergerak perlahan-lahan dengan taktis dan rapih. Si topi telah sampai di depan pintu, dan memegang kenop perlahan-lahan, lalu pintu yang tidak dikunci tersebut terbuka, ia masuk ke dalam diikuti seorang kawannya itu dan mendapati bahwa kamar kosong.Gendhis masih terus menatap melalui teropong satu mata dan melihat si topi tengah bercakap-cakap melalui telepon, tatapan wajah dan alisnya seperti orang lelah dan bingung tapi ia tidak bisa mendengar percakapan mereka.Si topi menelepon dan tersambung dengan Bima. “Bos, dia tidak ada di sini!” Bima menutup telepon dan mengirimkan pesan ke Gendhis dengan nomor ponsel lain lagi. “Heh jalang, di mana kau sekarang?” Gendhis sedang mengetik. “Masih sekitaran motel, ada juga aku yang bertanya, di mana kau sekarang? Bisa-bisanya berbohong dan malah mengirim orang, aku sudah tahu semua permainanmu itu.” Giliran Bima sedang mengetik. “Baiklah nyonya Riyadi, sudah cukup permainannya sekarang, ini semua harus berakhir sekarang!” Gendhis membalas. “Aku masih ingin bermain!” DEG ! 61 : Luka dari Infeksi Gendhis tidak bisa memastikan kalau kembali ke motel adalah jalur aman baginya kini, karena bisa jadi tempat itu sudah diintai oleh orang-orang bersenjata suruhan Bima, dan yang membuatnya tak habis pikir, dari mana suaminya itu bisa kenal orang-orang berbahaya seperti itu. Gendhis masuk ke dalam mobil yang sudah mengantarkannya ke atas bukit tersebut, ia mulai menarik perlahan-lahan jahitan benang di mulutnya, benang itu bergerak seperti cacing di antara kulit bibir dengan darah yang menetes. Gendhis buru-buru mengoleskan alkohol untuk membersihkan luka dari infeksi ke lubang-lubang kecil di antara bibir. Jantungnya kembang kempis menahan semua rasa sakit yang membuat aliran darahnya seperti tengah naik jet roller coaster. Kedua tangannya mencengkeram setir mobil yang masih terparkir di tengah hutan. Tenggorokannya terasa tercekat dan ia mulai terbatuk-batuk. Gendhis sudah mulai jijik dengan tubuhnya yang kotor dan banyak luka, ia juga sebelumnya sudah melepas jahitan di kulit perut, dan saat ini ingin sekali rasanya menggigit pizza, pasta dan kue coklat. Dan satu hal lagi, mandi dengan air bersih. Villa di danau itu, ia tiba-tiba saja teringat hal tersebut, bisa jadi asal mula konflik itu adalah muaranya di situ, berawal dari situ dan harus berakhir juga di sana. 62 : Metodologi Ricko setuju untuk diwawancarai oleh Paris, mereka bertemu di sebuah kafe, usai sang wartawan tersebut memesankan makanan, ia meminta izin untuk merekam suaranya, namun Ricko keberatan dan meminta dicatat saja pada kertas. “Baiklah mas Ricko, seberapa kenal Anda dengan Bima?” “Secara teknis dia kan suaminya kakak kandung istriku, kalau dibilang seberapa kenal, ya cukup kenal lah.” “Apakah kamu melihat kalau Bima punya perangai buruk? “Seperti?” “Apapun, suka marah-marah atau bad character lainnya, seperti menyinyir, membenci masyarakat kelas bawah, memiliki emosional tak terkendali begitu?” “Bisa dibilang ya, ia punya darah panas sepertinya.” “Apakah Anda juga tipikal demikian?” “Tergantung situasi dan kondisi, tapi aku lebih senang stay calm, hati boleh panas tapi kepala harus tetap dingin, seperti ular kobra saja yang kalau tidak diganggu tidak akan mematuk duluan, kecuali kalau ia benar-benar lapar.” “Itu karaktermu atau doktrin yang kamu dapatkan di pasukan khusus?” “Bisa jadi campuran keduanya.” “Oh ya sudah dengar kasus penemuan mayat wanita yang terbunuh di atas parkiran gedung itu?” “Jarang nonton tv dan gak terlalu suka main medsos, tapi kayaknya kasus itu lumayan menarik banyak perhatian, jadi yah cukup mendengar tapi masih samar-samar, ada apa memangnya?” “Korbannya bernama Stephani, ia seorang Personal Trainer di sebuah gym, tewas tergorok di leher, polisi bilang sayatannya sangat rapih, mungkin orang profesional yang melakukannya.” “Lalu?” “Kamu gak kenal Stephani?" “Tidak tuh,” jawab Ricko. “Dia selingkuhan Bima.” “Tahu dari mana kamu?” “Namanya juga wartawan, aku juga punya banyak kuping dan ini bersumber langsung dari penyelidikan di kepolisian kok,” balas Paris. “Jadi kenapa selingkuhan Bima itu dibunuh, menurutmu?” jawab Ricko. “Masih belum tahu, dan mungkin kamu yang tahu jawabannya?” oceh Paris sembari mengedik satu alisnya. Ricko mengedik, dadanya bergemuruh tapi ia berusaha tetap tenang. “Mentang-mentang pembunuhannya terlihat pro lantas kamu anggap aku yang bunuh gitu? Buat apa juga, toh aku kan sudah bilang gak kenal.” “Mungkin aja kamu gak kenal Stephani, tapi kan kenal Bima, ada banyak hipotesis aja sih di kepalaku,” ujar Paris yang kembali menekan ala jurnalis di tivi yang terkenal itu. “Biasakan bekerja dengan metodologi, jangan membangun narasi berdasarkan opini, dan aku tahu apa yang kamu pikirkan, mungkin dalam pikiranmu sekarang kalau aku bersimpatik dengan Gendhis dan mencoba untuk kasih pelajaran ke Bima dengan mengambil nyawa orang yang lagi disayang olehnya. Tapi buat apa aku harus meresikokan hidupku dan berurusan dengan hukum, sampai harus ngebunuh segala lagi, kupikir itu deduksi yang sangat lemah.” Paris mengangkat ke dua tangan ke depan. “Tenang prajurit, gak ada kepikiran ke sana kok, semua masih serba samar dan kupastikan aku membangun narasi berdasarkan hasil riset, karena aku bukan wartawan kejar tayang harian, tapi lebih ke investigatif.” “Good kalau gitu.” Ricko meminta untuk selesai wawancara padahal masih ada sekitar lima pertanyaan lagi yang harus Paris tanyakan kepada si pasukan khusus itu, tapi ia juga tidak mau memaksa kalau narasumbernya tidak mau buka mulut lebih dalam, hanya saja dalam percakapan terakhirnya, ia seperti menangkap suatu makna, hanya saja masih belum tahu itu apa. 63 : Wanita Masker Sekelompok buzzer para fake account yang kemudian berhasil meraih simpatisan para netizen real account mulai menampakan diri dan membuat hastag #savegendhis di instagram, dan dalam sehari saja sudah ada lebih dari seribu tagar, mereka adalah orang yang pro terhadap Gendhis dan menganggap kalau wanita itu adalah korban dan meyakini kalau Bima adalah ular berkepala dua yang berpura-pura memasang wajah muram pada wawancara di vlog milik Paris Oktaviani. Sebagian dari mereka percaya kalau itu semua sudah dilatih oleh Bima agar mendapaktkan simpatik banyak orang namun kondisi di media sosial saat ini menjadi terbagi dua kubu. Kubu Bima yang meyakini kalau Gendhis telah menjadi wanita matrelialistik dan Kubu Gendhis yang meyakini kalau Bima telah melakukan kasus kekerasan dan pemerkosaan dalam rumah tangga. Seorang wanita muda tengah duduk di depan komputer, dalam ruangan berpenerangan rendah, seperti sebuah gudang bekas hangar pesawat yang sudah tidak terpakai dan terbengkalai, wanita itu selalu menutupi wajahnya dengan masker polusi udara, berambut panjang dan memiliki poni yang dicukur lurus beradu dengan alisnya, mengamati semua gejala di medsos dan sudah mengulik habis kasus Bima vs Gendhis tersebut, dan sebagai seseorang yang sudah muak dengan segala ocehan moral di medsos, kini saatnya untuk dirinya bangkit. Si wanita bermasker debu tersebut beranjak dari kursi dan pergi menggunakan mobil lalu melesat keluar untuk menemui seseorang. 64 : Moral yang Terusik Hari ini Ricko menyewa sebuah mobil sedan, ia sudah menunggu di depan mini market pinggir tol, sementara hujan mulai rintik-rintik membasahi bumi, usai menunggu selama setengah jam, seorang wanita mendekatinya, ia mengenakan seragam sekolah yang ditutupi blazer dan rok berenda biru tua sangat pendek, sekitar lima belas senti di atas lutut, kakinya dibalut stoking hitam dan sepatu pantofel hitam datar, tampilannya benar-benar seperti anak sekolah Jepang dan wajahnya mendukung itu. Rambutnya yang lurus dengan poni itu bergoyang ditiup angin, sementara bagian wajah dari mulut hingga ke hidung tertutup masker debu. Misaki masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kemudi. “Apa kabar nona?” “Baik-baik saja, dan di mana wanita itu sekarang?” “Iya sudah mengirimkan lokasi kepadaku, yakin masih mau ikut?” tanya Ricko. “Tentu saja, karena sistem kita sudah rusak oleh orang-orang korup, kalau bukan kita siapa lagi yang melawan, dan mbak Gendhis adalah salah satu korban dari kebiadaban sosial media. Aku sudah terlalu lama berdiam diri saat moralku terusik, dan sebagai seorang feminis aku hanya ingin memperjuangkan hak wanita, dan Gendhis bisa dijadikan simbol perlawanan karena ia memenuhi kriteria itu. “Ini bukan gerakan politik girl, tapi soal menyelamatkan nyawa orang.” “Menyelamatkan nyawa dan turut aktif dengan memperjuangkan hak-hak wanita ke depannya, kita butuh figure itu, dan sekali lagi kubilang semua simbol perlawanan itu ada pada Gendhis. Kau lihat semua kisahnya yang kini mulai berceceran di berbagai situs online, lihatlah diri wanita itu, ia sudah terlalu lama menyakiti dirinya sendiri, hidup dalam sistem pria yang represif, dan kini semua wanita diam seribu bahasa, tidak ada yang berani keluar untuk berbicara lantang masalah feminisme yang menurutku sudah semakin urgen untuk di bahas.” “Berapa sih umurmu sekarang, aku lupa.” “Delapan belas.” “Delapan belas harusnya sudah tidak menggunakan seragam sekolah kan.” “Ini namanya kebebasan berekspresi.” Ricko tersenyum mendengar jawaban Misaki, sebuah nama yang jelas anonym. Mobil di starter dan mereka memulai perjalanan berbahaya tersebut. 65 : Gadis Berpakaian Sekolah Mobil yang dikendarainya sudah menempuh perjalanan nyaris dua jam, dan kini roda-roda kendaraan itu mulai menyusruk ke dalam lumpur hutan, dari balik kaca sosok wanita yang tengah dituju itu mulai terlihat. Gendhis Nampak mengenakan kaus dan short jeans, tubuh wanita itu terlihat kumal kotor, dengan wajah kusam dan paha kaki yang terciprat lumpur. Misaki memeluknya dengan antusias sementara Gendhis masih bingung dengan kehadiran wanita berseragam sekolah tersebut. “Setahuku kau tidak punya adik,” ujar Gendhis. “Dia fans mu, dan yang jelas bukan adikku, aku bertemu dengannya sewaktu dinas di Jepang, biasalah urusan mata-mata, namanya Misaki, dia punya paspor Indonesia cuma lama menetap di Tokyo karena ayahnya orang sana.” “Jadi apa yang dilakukan oleh mbak Misaki ini?” “Dia masih delapan belas saat ini, kalau tidak salah kejadiannya sekitar tiga tahun lalu, saat aku tidak sengaja menemukannya tengah ditampar dan dipukuli oleh sekelompok orang bertato dari tentakel Yakuza, aku tidak mau ikut campur sebenarnya, tapi malam hari sebelumnya baru saja mendengar kisah Junko Furuta, jadi hatiku terbangun untuk membantu menyelamatkannya.” “Kau menghajar orang-orang Yakuza itu?” “Yupp, dan sempat akan jadi masalah besar pada saat itu, untunglah aku punya kontak di PSIA – Dinas rahasia Jepang dan bantu aku untuk bereskan semuanya,” jelas Ricko. Gendhis kembali buka suara. “Aku tahu soal Junko Furuta, seorang siswi yang diculik dan tidak pernah kembali, lalu mayatnya ditemukan dalam sebuah drum beton berisi 200 liter semen, ia sebelumnya diculik, diperkosa lalu dibunuh secara keji.” “Itulah kenapa aku butuh kak Gendhis untuk memulai perlawanan kita terhadap penjajahan yang dilakukan kaum pria terhadap wanita,” ujar Misaki bersuara yang terdengar agak teredam dari balik masker. “Kita tidak sedang dalam perang apapun Misaki, aku hanya menjadi wanita yang tidak beruntung saja, lihat Ricko, ia lelaki yang baik dan bertanggung jawab, jangan sampai emosi memenuhi ruang pikiranmu,” kata Gendhis dan raut wajah kecewa dari Misaki terlihat, menatap Gendhis yang tidak seperti bayangannya di media. “Tapi kak Gendhis punya keinginan kan untuk memperjuangkan hak wanita?” “Tentu saja, aku memang lebih senang memposisikan diriku sebagai aktivis kemanusiaan dan pejuang wanita, daripada sebagai seorang banker.” “Baiklah ladies, kita mulai berburu sekarang,” ujar Ricko memotong pembicaraan mereka berdua. Ricko membuka jaketnya karena kepanasan, ia mengenakan kaos lengan panjang dan celana jeans biru gelap, lalu menuju bagasi mobil, di sana tersedia tiga senapan laras panjang, beragam pistol, helem taktis dan aneka aksesoris militer lainnya. 66 : Nalar Ipda Magdalena melepaskan jaketnya, ia hanya mengenakan tanktop biru tua ketat, telapak tangan kanannya memegangi dahi dan termenung beberapa kali di dalam ruang rapat yang sunyi tersebut, tidak ada Septian juga Martha. Hari sudah menjelang malam dan ia masih terpikirkan soal Solozov, si orang Rusia pedagang senjata tersebut. Mungkinkah kalau Solozov juga seharusnya mengenal Bima, karena Bima dan Gendhis menikah tidak terlalu jauh dari pernikahan Ricko dan Mirna. Solozov yang memiliki hubungan bisnis dengan ayah Gendhis tersebut mengenal Ricko, sudah seharusnya ia juga mengenal Bima, kecuali kalau mereka main kucing-kucingan, tapi nalar investigasinya tergelitik. Belum lagi Solozov juga ternyata tidak mengenal Gendhis, adakah sesuatu yang ditutupi lelaki itu sebenarnya? Magda segera bergegas sampai lupa mengambil jaketnya. Ia sudah berada di dalam mobil yang terparkir di basemen dan melaju kencang di jalanan ibukota yang sepi untuk menemui tahanan itu kembali. Usai masalah birokrasi dan hampir tertahan tiga jam, Magdalena akhirnya diberi akses untuk menemui Solozov dengan pengamanan ketat dan dibatasi hanya tiga puluh menit untuk berjumpa. Mereka kini duduk di dalam ruangan serba putih, dengan meja dan kursi dari baja, di samping kiri terdapat dinding dua cermin, seseorang telah mengawasinya dari sana. “Kau benar-benar tidak mengenal Gendhis, saat wanita datang kepadamu dengan membawa secarik kartu nama milikmu yang kata ceritamu itu kalau Gendhis telah mendapatkannya dari Ricko?” “Suer deh, aku tidak kenal sama Gendhis.” “Gendhis kan suaminya Bima,” ujar Magda dan raut wajah Solozov sempat berubah, ia terus menatap lelaki kurus itu dan berharap ada reaksi lanjutan, namun ternyata tidak ada, dan ruangan malah menjadi sunyi. “Aku melihat garis wajahmu berubah, saat aku menyebut nama Bima, kau kenal dengannya?”Solozov mendengkus. “Kalau soal itu, aku butuh konsultasi dulu dengan pengacara untuk menjawabnya.” “Kau bohong padaku.” “Dan anda punya bukti untuk argumenmu itu?” “Kuncinya ada di Stephani, ia mengirimkan seorang pembunuh bayaran atas perintah Bima untuk menghabisi Gendhis, namun malangnya si pembunuh itu malah dihabisi oleh Gendhis, usai kejadian tersebut Stephani tewas terbunuh dengan leher tergorok di dalam mobil. Ada yang ganjil sebenarnya, kenapa seorang Stephani hanya karena masalah cinta sampai harus repot-repot mengorganisir pembunuhan seperti demikian? Ini semua pasti ujungnya soal uang kan, dan setahuku Bima punya sebuah Villa seharga lima miliar.” “Lalu sekali lagi, apa yang menghubungkan kalau aku kenal Bima, dari ceritamu yang panjang lebar itu.” “Mungkin kamu tidak kenal Gendhis, tapi pasti kenal Bima karena saat anda melakukan pertemuan dengan Pak Rudi juga Ricko, karena Bima juga ada di sana, sebuah pertemuan rahasia yang kalian lakukan di dalam villa tersebut.” “Buktikan kataku, sekali lagi.” Magdalena tertegun, pendingin udara menerpa kulit lengannya yang terbuka, ia menelan ludah, karena semua itu asumsi dan ia butuh lebih banyak menggali informasi untuk membuktikan teorinya tersebut. 67 : AR-15 Misaki mengenakan rompi anti peluru coklat gurun, helem taktis dan senapan M4A1 dengan peredam dan pistol yang ditaruh di sarung sabuk senjata yang melingkari paha kaki – berada di bawah rok berenda pendeknya, sementara Gendhis membalut kausnya dengan rompi hitam dan menenteng MP5K juga pistol SIG yang tersarung di sarung sabuk senjata di pinggang, sementara Ricko mengenakan rompi dan menggenggam senapan AR-15, pistol Beretta di pinggang. Mereka melangkah perlahan-lahan di dalam hutan yang mulai gelap, ditemani oleh suara-suara jangkrik dan binatang melata lainnya. Bulan purnama mengikuti di atas kepala. Di atas undakan, Ricko menggunakan binokular dan menatap sebuah Villa dari kayu yang berada di bawahnya, lampu pada lantai dua terlihat menyala dan lampu lantai satu padam, terdapat tiga buah mobil SUV berkaca anti peluru di pelataran halaman depan. Seorang pasukan bersenjata lengkap, mengenakan rompi, celana gurun, dan topi serta kemeja flanel tengah berdiri di halaman dan sesekali berkomunikasi dengan handi talkie. Ricko kembali ke belakang dan menemui para ladiesnya tersebut. “Aku dan Gendhis akan ke bawah dan menyerbu tempat tersebut, sementara Misaki tetap di sini mengawasi keadaan sekitar, Misaki adalah jembatan kami dengan dunia luar, jangan segan-segan lapor polisi kalau seandainya keadaan menjadi kacau dan setelah itu kau kaburlah jauh-jauh,” ujar Ricko memberi pengarahan singkat dan Misaki mengangguk. “Dia bisa pakai senapan?” tanya Gendhis. “Ayahnya seorang petugas intelijen Jepang, kalau soal itu aku juga kaget sebenarnya, dan ia juga dapat pelatihan menembak sedari kecil karena suka diajak ayahnya berburu atau sekedar menemaninya berlatih.” Gendhis mengernyit. “Oke baiklah.” Ricko memasang peredam di ujung moncong senapan AR-15 miliknya, lalu memdidik dengan teropong ke arah tubuh si pasukan penjaga halaman villa tersebut. “Kita bergerak usai ku habisi penjaga tersebut. JDABBB.. Sebuah tembakan di kepala melumpuhkan si penjaga dan di saat bersamaan, Ricko dan Gendhis turun ke bawah, menuju Villa. Arif, seorang pasukan yang mengenakan topi di dalam villa coba berkomunikasi dengan penjaga di luar. “Kijang1, Kijang 1, menunggu jawaban situasi di luar,cek,cek.” Arif yang berada di ruang tengah lantai dua menggeleng kepada Bima yang tengah terduduk santai di sofa. “Kalian berdua periksa!” perintahnya. Arif dan Herman bergegas ke lantai bawah untuk memeriksa, sementara Bima mencoba menenangkan diri di tengah rasa cemas, menikmati segelas anggur. Ruangan di lantai dua pada dasarnya tidak terlalu berbeda di lantai satu, dipenuhi dinding dan lantai kayu, pada dinding dipenuhi berbagai lukisan dan pajangan kepala hewan, seperti rusa dan kambing. Bima yang membalut tubuhnya dengan pakaian, jaket dan jeans hitam mencoba rileks sembari menatap jam tangan. “Gendhis,” ucapnya pelan. 68 : Dua Detik yang Sunyi Arif meminta Herman untuk mematikan lampu meja temaran di lantai satu pada ruang tengah, di sana terdapat cerobong asap dengan bakaran yang belum dinyalakan. Kedua orang tersebut berpakaian dengan atribut taktis lengkap, mulai dari rompi dengan tiga buah magasin cadangan di depan dada, pistol di pinggang dan handie talkie yang tersangkut di kiri atas rompi, serta headset spiral putih yang menggantung di telinga untuk berkomunikasi dengan Bima. Herman berjalan mengendap-endap, senapan tetap diacungkan ke depan, meski sudah sangat perlahan namun tetap saja derit kayu masih terdengar, ia telah sampai di meja kecil dan mematikan lampu meja tersebut. Secara fisik, Herman bertubuh tegap, berambut tebal yang diminyaki ke belakang, dan brewok lebat, mengenakan flanel kotak corak biru lengan panjang yang digulung sesiku, memperlihatkan tato yang menjalar di lengan kirinya hingga pergelangan tangan. Arif sebagai kepala pasukan memberi komando dengan isyarat tangan, dan ia bergerak lalu diikuti oleh Herman di belakangnya. Kini mereka telah sampai di depan pintu ruang tamu, yang langsung terhubung ke halaman depan. Arif membuka perlahan, jari jemarinya yang terbungkus sarung tangan tebal itu terasa berkeringat di dalam. Dan usai memutar kenop lalu terbuka sedikit, suara berderit terdengar. Ia berjongkok lalu membuka pintu secukupnya dan mengacungkan senapan ke depan. “Aku akan mengcover dari sini, kau keluarlah dan periksa keadaan,” ujarnya dan Herman melengos melewati Arif, berjalan perlahan-lahan sembari mengacungkan senapan MK-18 paduan warna hitam dan popor coklat miliknya. Herman menatap si penjaga di depan sudah tergeletak dan darah mengucur dari dahinya, matanya membelalak, melotot ke arah bulan purnama yang tepat berada di atasnya. Sebuah suara peletukan, hasil dari kompresi senapan oleh peredam melesat melewati kupingnya. *** Halaman depan villa adalah bekas hutan yang dibabat menjadi lapangan berpasir untuk parkiran mobil, dengan ribuan pepohonan yang mengelilingi Villa. Tembakan berpeletuk melesat dari dalam hutan tersebut, membuat Herman langsung menunduk di tanah, sementara Arif mulai melancarkan tembakan dari celah balik pintu dengan suara menggelegar karena ujung moncongnya yang tanpa peredam, percikan api terlihat meriah di kegelapan malam, selongsong mulai betebaran. “Aku tidak melihat apapun,” ujar Arif yang menggelegar di headset Herman. “Aku juga bos.” “Segera menyingkir dari sana dan cari perlindungan bodoh!” “Aku akan berlari menunduk, tolong lindungi.” Peluru dalam magasin senapan Arif habis. “Tunggu dua detik.” Dua detik yang sunyi dan saatnya membalas, dari kegelapan hutan suara tembakan mistrius berpeletukan, melesat menghantam tanah, mengenai kap mobil dan menghantam dinding kayu. Menyerang Arif dan Herman. Arif berhasil memasang magasin baru, ia kembali membombardir dalam keadaan buta ke arah hutan sementara dari arah sebaliknya juga, serangan tidak mau kalah, mereka saling menghujani peluru satu sama lain, sementara Herman berusaha bangkit dari posisi tengkurap dan saat berlari kepalanya malah kena tembak dari salah satu peluru yang dilontarkan dari dalam hutan, ia terkapar dan kepalanya mengucurkan darah. Saat itu juga tubuhnya sudah menjadi mayat. Ricko berlindung di salah satu pohon besar, sementara Gendhis juga bersembunyi di balik pohon satu langkah di belakangnya. Riko meminta Gendhis untuk menghentikan tembakan. Suasana kembali sunyi, Arif tinggal seorang diri dan ia mencoba keluar dari persembunyiannya, berjalan perlahan-lahan sembari menembak sesekali ke arah pepohonan hingga berhasil menuju deretan mobil SUV yang terparkir. Arif mulai jengah karena tidak ada sahutan dari dalam hutan, ia mulai keluar dari persembunyiannya, dari atas bukit di kejauhan Misaki mengambil momen tersebut, ia meneropong dan membidik kepala Arif, sebuah peluru dilesakkan dan menembus kepalanya. Arif tersungkur ke tanah, otaknya berceceran bercampur darah. “Aman,” ujar Misaki via headset yang diterima gelombang suaranya di headset Ricko. “Ayo menuju sasaran,” ujar Ricko kepada Gendhis. Mereka berjalan mengendap, usai menghabisi para bidaknya, kini bersiap menghadapi serangan lanjutan dari sang raja, yaitu Bima. 69 : Awal Rahasia Gelap Ricko menodong senapan ke arah Bima yang masih duduk santai di sofa lantai dua, menikmati sebungkus rokok dan segelas anggur, tak berapa lama Gendhis hadir. “Ada apa kalian berdua-dua datang dan menodong senjata ini hah? Oh jadi sekarang sudah mulai berkonspirasi ya untuk menyingkirkanku dan kalian bisa enak-enakan tinggal di villa punyaku itu, lalu di sana tinggal mikirin aja gimana caranya ngehabisin Mirna,” kata Bima belagak santai padahal jantungnya terus berpacu. “Tutup mulutmu,” ujar Gendhis dan Bima cekikikan. “Gendhis…Gendhis… Benar-benar wanita durhaka dan tempatmu adalah di neraka.” “Memangnya situ punya orang dalam, sehingga bisa memastikan siapa yang masuk surga atau neraka,” balas Gendhis. “Sepertinya Gendhis sudah saatnya harus tahu." “Kalau gitu selesaikan semuanya hari ini,” kata Ricko. Bima sekali lagi mengisap rokoknya, dan ia mulai bercerita. 70 : Laporan Lanjutan Magdalena langsung buru-buru ke kantor dan menuju ruang rapat untuk menemui Septian yang baru saja menerima laporan lanjutan dari tim Forensik. “Sori mbak malam gini…” Magda mengacungkan lima jari. “Ya sama aja kan, kamu juga jadi kebangun dari istirahat, semoga lelah kita jadi lilah.” “Amin mbak.” “Yaudah gimana, ada temuan apa?” “Kita menemukan barang bukti, sebuah pisau komando di rumah Mirna yang dipastikan milik Ricko, ada bekas darah yang sudah dilap saat tim forensik memeriksanya dengan cairan luminol, tahukan kalau luminol bisa membuat jejak darah terang benderang kembali meski sudah coba dihapus jejaknya oleh sang pelaku.” “Dan hasilnya?” “Di pisau tersebut ada darah Stephani.” “Benar dugaanku berarti kalau Ricko memang pembunuhnya, tapi untuk apa, itu yang masih aku pertanyakan, memangnya dia ada hubungan dengan Gendhis yang begitu spesial gitu sampai harus ngebunuh Stephani sebagai peringatan kepada Bima bahwa dirinya jangan macam-macam.” “Aku engga tahu, tapi bukti sudah kita dapatkan, dan polisi sudah berada di rumah Mirna saat ini.” “Kalau gitu bawa aku ke sana, aku ingin denger keterangan dari Mirna langsung, Ricko bagaimana? Kalian sudah menahannya?” “Gimana mau nahan, lelaki itu lenyap tanpa jejak dan Mirna juga tidak tahu ke mana, kata istrinya, Ricko ada panggilan mendadak dari komandannya tapi saat kami coba konfirmasi tidak ada perintah tersebut.” “Sial!!” umpat Magdalena. 71 : Tipuan Magdalena sudah duduk di ruang tamu bersama Mirna, sementara itu lampu strobe pada mobil dinas polisi berkelap kelip di luar. “Suamimu menjadi pelaku utama kasus pembunuhan Stephani.” “Ya ampun mbak, aku gak nyangka loh kalau Ricko berbuat demikian, ia bukan seorang pembunuh.” “Wanita itu hanya sejari kelingking pergerakannya karena saat sudah menikah ia akan terbelenggu mengurus anak, sementara pria langkahnya bisa sepuluh jari, artinya kamu bisa jadi tidak tahu juga apa yang tengah suamimu itu kerjakan di luar sana.” “Gak mungkin dia pelakunya, Ricko itu orangnya rapih banget, semua barang akan diletakkan di tempatnya, dan kalian para polisi tiba-tiba menemukan pisau komando miliknya di laci dapur, sebuah tempat di mana ia jarang menaruh barang-barang miliknya di sembarang tempat, dan kemarin engsel pintu belakang rumahku tiba-tiba rusak, sangat kebetulan sekali ya semuanya.” “Kami juga menemukan pistol di balik toilet duduk, lalu pistol berlisensi di bawah kasur, apakah itu suatu kebetulan juga?” “Dia itu mengalami gejala ringan trauma paska stres, berbulan-bulan di pedalaman hutan Papua dan dirinya khawatir kalau KKSB itu akan membalas dendam kepada kami." “Kamu diajari cara menggunakan senjata?” “Ya tentu saja, ada yang salah?” “Baiklah, aku tidak mau membahas soal itu, tadi kamu bilang engsel pintu belakang rusak?” “Ya, atau tepatnya sepertinya terlepas lalu dipasang kembali dengan terburu-buru.” “Kalau gitu aku ingin lihat,” ujar Magda dan Mirna dengan senang hati memperlihatkannya. Semoga ada hipotesis lain bahwa sepertinya seseorang dengan sengaja menaruh pisau itu di laci dapurnya. Tapi, Magdalena berpikir sebaliknya, bisa saja Mirna melakukan manipulasi tersebut untuk melepaskan jerat suaminya. 72 : Ini Soal Kawanku di Spetnaz Beberapa tahun lalu, Rudi Parwoto (Ayah kandung Gendhis dan Mirna) mengajak Bima dan Ricko berkumpul di villa tersebut, hadir juga Solozov selaku rekan bisnis Rudi, seperti sudah diceritakan berdasarkan pengakuan dari Solozov bahwa Rudi adalah rekan bisnisnya dan orang Rusia itu memiliki bisnis militer swasta dan ingin mengembangkan sayapnya ke Indonesia, Rudi pun langsung terpikirkan akan menantunya tersebut, yaitu Ricko yang juga seorang pasukan khusus. “Hello Ricko, jadi begini, kau bisa uji coba senapan yang kumiliki, dan kupastikan memiliki kualitas kelas satu, sebut saja senapan yang kau inginkan dan akan kusediakan dan silahkan bertestimoni usai uji coba, kalau jelek ya silahkan katakan jelek, hanya uji coba kok gak perlu takut, gimana?” ujar Solozov. Ricko masih terlihat gundah, ia hanya ingin menjadi prajurit yang hidupnya lurus-lurus saja, namun di satu sisi juga tidak enak dengan Rudi karena ia adalah menantunya, bermain-main dengan arm dealer seperti Solozov dikhawatirkan akan menjadi petaka di kemudian hari. Solozov kembali mengoceh. “Satu hari aja deh, kita lakukan di daerah puncak, di sana aku punya kenalan mantan militer yang punya lapangan luas dan punya perlengkapan latihan tembak yang lengkap.” “Jadi gimana Ricko? Aku cuma punya satu mantu yang jago nembak loh,” ujar Rudi. Ricko akhirnya menyetujui. “Cuma satu hari kan? Dan aman semuanya?” “Aman 100%,” bual Solozov. Hari minggu pagi, Ricko mulai menguji semua senapan yang diberikan oleh Solozov, mulai dari AR-15, M4, M16, MP5K, MP7, Mini Uzi, Shotgun, dan beberapa jenis pistol seperti Glock, SIG, Beretta, bahkan Makarov, sementara Bima, Rudi, dan Solozov menonton. Usai berlatih menembak selama tiga jam dengan menghamburkan ribuan amunisi, Solozov tersenyum lepas sembari bertepuk tangan, senyum seperti Joker dan ia menatap Ricko yang menampakkan raut sangat puas. “Gimana Ricko, suka dengan senjataku boy?” ujar Solozov. “Seperti Porsche, benar-benar berkualitas tinggi, memiliki tekstur dan nilai rasa yang sempurna” ujar Ricko beropini. “Okey pal, sekarang gimana kalau Bima unjuk kekuatan juga,” ujar Solozov sembari berjoget-joget di hadapan Bima, dan wajah lelaki berahang keras itu tetap statis. “Jangan coba memanasiku man,” ujar Bima dengan suara serak dan berat. “Ayolah Bim, Ricko juga harus tahu dan bisa ukur kemampuanmu, Sembilan bulan kan pernah dinas di Rusia sana, apa aja yang udah kamu dapat,” kata Rudi ikut mengompori. Bima garuk-garuk kepala, ia berjalan lalu mengambil shotgun, dan mulai menembaki lima sasaran tembak di kejauhan, tiga mengenai target, satu melenceng agak jauh, dan satu lagi hampir mendekati, dan Ricko terkejut. “Whoaa, dari mana kemampuanmu itu kau dapatkan mas Bim,” kata Ricko. Bima ingin menjawab namun sudah keburu diserobot oleh Solozov, si lelaki berbadan kurus dan mengenakan jas hitam serta kacamata hitam tersebut mengoceh. “Kamu beneran gak tahu ya boy? Bima kan pernah dapat tugas kantor di Moskow selama hampir setahun, di sela-sela waktu luangnya, ia berlatih rutin dengan kawan-kawanku di Spetnaz.” Ricko mengedikkan alis. “Pantas saja.” “Aku belum sejago dirimulah Ric.” Rudi merangkul kedua menantunya tersebut. “Okey sudah cukup, mari kita makan malam, daging rusa lezat sudah menanti,” ujarnya. Dan usai makan malam, di atas balkon lantai dua, Bima menceritakan sebuah rahasia kelam pada Ricko. 73 : False Deduction Magdalena menatap engsel tersebut dan memang terlihat ada retakan pada kayu pintu, entah karena sudah terlalu lama engsel tersebut dipakai buka tutup selot atau seseorang merusak lalu memasangnya kembali, engsel itu tentu ada di sisi dalam pintu, dan di sisi pintu ada jendela, ia juga memeriksa jendela tersebut namun sepertinya baik-baik saja. Pertanyaan berkelabat, kalau ada seseorang yang ingin menjebaknya, dari mana si pelaku itu mencoba untuk masuk, apakah dari pintu depan saat Mirna sedang tidak ditempat yang artinya ia harus loncat pagar terlebih dahulu atau dari halaman belakang, si pelaku memanjat dinding tinggi yang mana belakang dinding itu hanya perkebunan kosong, lalu membobol jendela dan mencongkel engsel pintu, lantas si pelaku kembali memperbaiki seperti semula dan kabur dari jalur yang sama saat ia masuk. Magdalena mengenakan sarung tangan lateks birunya, dan ia mulai memeriksa bagian jendela, namun semua Nampak baik-baik saja. Ia berpikir keras dan akhirnya menemukan sesuatu. Oh yeah ternyata tidak baik-baik saja, ada bekas congkelan pada kusen bagian bawah jendela yang berada di sisi pintu, tipis dan tertutupi oleh cat yang sepertinya masih baru. Si pelaku mengecat kembali bagian kusen yang tercongkel tersebut. Kusen bingkai jendela bagian bawahnya yang dirusak, bukan engsel jendelanya. Mirna buka suara. “Gimana mbak, ada sesuatu kah, aku masih berkeyakinan kalau Ricko tidak bersalah. “Aku hanya menyimpulkan berdasarkan bukti, tapi sejauh ini suamimu masih tersangka, tapi aku akan berusaha keras kalau memang ada bukti baru, untuk menunjuk tersangka lain.” “Tidak bisa gitu donk mbak, mas Ricko jelas tidak bersalah pokoknya,” ucap Mirna dan ia mulai menangis, lalu Laffa menjerit di dalam kamar, terbangun oleh semua hiruk pikuk di rumahnya. “Biarkan tim forensik bekerja dulu mbak, dan tolong permudahlah kerjaku, semua kesimpulan atas dasar metodologi, bukan opini, kalau memang suamimu tidak bersalah, kamu tidak perlu khawatir.” Magdalena membatin, mungkin aja ada rahasia gelap yang tidak diketahui oleh istrinya, tapi apa? 74 : Pembunuh Berbaju Pahlawan Ricko dan Bima menikmati angin malam di atas balok villa berdinding kayu tersebut, di depan mereka terhampar hutan yang gelap dan pekat. Bima menyalakan rokok, dan asap mengembus ke udara, ia menawari meski tahu kalau iparnya itu tidak merokok dan Ricko menolak halus. “Sembilan bulan dilatih oleh Spetnaz, itu sama seperti pelatihan tahap awal sekelas pasukan khusus,” ujar Ricko. “Ga rutin gitu juga sih Ko, karena aku kan sibuk bekerja di sana, mengurus proyek dan tender serta pengawasan karena perusahaanku bergerak di bidang jasa Mining and Construction, paling kalau waktu libur seperti Sabtu dan Minggu saja, terkadang di malam hari juga aku suka ikut berburu dengan para veteran Spetnaz tersebut, seperti berburu rusa dan babi hutan, dan meski disebut veteran tapi usia mereka masih muda-muda, sekitar tiga puluh sampai empat puluhan, disebut veteran karena usai pulang dari Afghanistan dan beberapa daerah pertempuran lainnya mereka memutuskan pensiun dini.” “Lalu kau jadi mulai terbiasa mengambil nyawa, meski hewan tapi itu tetap nyawa, artinya melihat mereka dari hidup, bernapas, lalu terkapar.” “Yeahh.” “Dan bagaimana rasanya?” tanya Ricko.“Menegangkan tapi memuaskan.” “Jadi pada dasarnya kamu suka membunuh ya, meski hewan.” Bima kembali menyesap rokoknya. “Sama kayakmu kan, dan kau lebih parah, membunuh manusia.” “Aku membunuh yang dilegalkan pemerintah, menghabisi para pemberontak dan perusuh negeri ini.” “Pembunuh berbaju pahlawan,” celoteh Bima. “Yah, semacam itu mungkin.” “Oh ya ngomong-ngomong soal membunuh hewan, entah kenapa aku jadi kecanduan untuk melakukan pembunuhan itu dengan cara-cara ekstrem, seperti menembaknya tapi tidak sampai mati dan senang melihat hewan itu megap-megap berlumuran darah karena kesakitan hingga menjelang ajalnya, lalu aku menangkap tikus dan memasukannya ke kandang, kemudian ku tenggelamkan, pernah juga bikin perangkap dari listrik dan terakhir aku berburu kucing dan menggantung lehernya dengan tali yang terikat di batang pohon.” “Sial, aku pecinta kucing dan apa yang kamu lakukan itu sudah keterlaluan, kucing dan anjing itu dijaga Tuhan dan sebagai manusia kita tidak boleh membunuhnya,” kata Ricko. “Aku tahu itu, tapi aku senang melakukannya, gimana donk?” “Lalu? Tergiur untuk melakukannya kepada manusia juga?" Bima menoleh kanan kiri sejenak untuk memastikan tidak ada yang ikut menguping pembicaraan mereka, hanya terdengar suara tawa Solozov yang riuh tenggelam di lantai bawah bersama Rudi. Ia memelankan suaranya lalu kembali bercerita. “Aku sudah mencobanya, percayalah.” “Apa?” ujar Ricko dengan raut penasaran, entah harus percaya atau kakak iparnya ini sedang membual saja. “Tolong ini rahasia kita saja.” “Jadi mau cerita soal apa?” tanya Ricko tidak sabar. “Salah seorang anggota Spetnaz yang cukup urakan dan doyan mabuk menawariku wanita pekerja seks, ia berasal dari Polandia dan aku menawarinya imbalan uang cukup besar agar dia mau ikuti permainanku dan tak disangka ia langsung setuju, lalu saat kusiksa sepertinya PSK itu mulai menyerah tapi aku tidak menghiraukan, hingga akhirnya tak sengaja terbunuh.” Ricko tercekat mendengar kisah tersebut, jantungnya terasa memompa lebih cepat tapi ia tidak mau terlihat bereaksi apapun terlebih dahulu, Ricko membiarkan Bima untuk tetap berbicara. “Untungnya teman-temanku itu punya pengaruh dan bekerjasama dengan FSB untuk bersihkan mayat si pelacur.” “Memangnya kau apakan wanita pekerja itu sampai harus meregang nyawa?” tanya Ricko dan Bima kembali bercerita. 75 : Pembunuhan Sang Pelacur Kedua mata Gendhis berair, tapi kedua tangannya masih memegang senapan yang di arahkan kepada Bima yang masih duduk santai di sofa. “Kau apakan wanita Polandia itu?” Bima meminta izin merokok. “Boleh satu batang?” JDABB… Sebuah peluru dilesakkan oleh Gendhis dan menghantam bantal besar di samping Bima, mengaurkan isinya ke udara. “Gak usah banyak bacot dead man!” Bima mendesah usai terkaget sesaat. “Baiklah ibu bos, aku memperkosanya, mengikatnya di kasur dalam keadaan telentang dan memecutnya dengan gesper hingga ratusan kali, lalu terakhir aku memaksanya meminum alkohol sampai habis, ia terlihat begitu lemah, dan aku kembali menggaulinya sembari mencekik lehernya, senang saja melihat wajahnya terlihat membiru seperti kucing yang pernah kucekik dan tak kusangka aku terbawa emosi hingga mencekiknya terlalu keras, ia kehabisan napas, mungkin paru-parunya meledak dan tewas pada saat itu.” “Kalau begitu ucapkan selamat tinggal, karena setelah ini aku yang akan menebus dosa untuk orang yang telah kau bunuh itu,” ujar Gendhis. “Punya nyali dari mana kamu Dhis,” oceh Bima sembari mendengkus. “Gini aja deh, silahkan bunuh aku, tapi sebelumnya aku ingin memperlihatkan sesuatu pada kalian, sebelum ku beritahu lokasinya, aku beritahukan dahulu asal-usulnya.” *** Pada intinya, Rudi Parwoto dan Mikhail Solozov setuju untuk bisnis yang akan mereka lakukan, Rudi sebagai kontraktor dan Solozov sebagai penyedia bahan-bahan bangunan tersebut, barang-barang tersebut akan dikirimkan via kapal dagang dan beberapa senapan akan diselundupkan bersamanya, ibarat sekali menyelam dua pulau terlampaui, bisnis kontraktornya tetap jalan dan bisnis perdagangan senjata juga jalan. Entah menapa perjanjian batal begitu saja dan Solozov marah besar dan meminta uang yang sudah diberikan padanya senilai dua juta dollar sebagai tanda jadi dikembalikan, namun Rudi bersikukuh kalau uang itu jadi hak miliknya sebagai tanda jadi di awal yang akan hangus apabila suatu saat terjadinya batal perjanjian, jadi Rudi pun tidak mau mengembalikan. Solozov pun melobi Bima untuk bisa meneruskan usahanya tersebut, dan Bima setuju untuk menyingkirkan Rudi dengan cara membocorkan tangki bensin dan membuat Rudi terbunuh karena kecelakaan. Bisnis Solozov kembali jalan dan kali ini bersama sebuah CV yang didirikan oleh Bima, bisnis senjata kembali mengalir lancar dan tak disangka jumlah peminatnya cukup banyak, di lain sisi Solozov juga sesekali mensuplai secara diam-diam kepada Ricko, ia ingin pasang dua kaki akibat rasa kecewanya dari pengkhianatan yang dilakukan oleh Rudi. apabila suatu saat Bima mengkhianatinya, ia masih punya pegangan dan sandaran pada Ricko. Rudi yang ternyata didiagnosis kanker itu sepertinya ingin bertobat dengan membatalkan bisnis senjata bersama Solozv.Solozov sudah tidak perduli akan kehilangan uang dua juta dolar tersebut, namun Rudi yang menyembunyikan uang itu pernah bercerita dan memberitahukan lokasi persembunyiannya pada Bima dan Bima pun menutup rahasia gelap itu dari Solozov. Gendhis semakin menyalang dan dirinya bergitu terpukul usai tahu kalau suaminya sendirilah yang telah membunuh ayahnya, ia benar-benar ingin mencabik-cabik tubuh Bima dengan peluru, menekan trigger sampai peluru di dalam kotak magasin itu habis. Lalu apa? Setelah itu ia tertawa puas karena dendamnya terpenuhi? Tidak juga. “Aku tahu yang kau pikirkan, tapi kumohon tenanglah, kita bisa ambil uangnya lalu bunuh si bangsat ini,” ucap Ricko. “Butuh perjalanan dengan mobil untuk menuju lokasi,” oceh Bima. Mereka pergi menggunakan SUV milik Bima, Bima menyetir, Ricko duduk di samping dan Gendhis di belakangnya, sementara itu Misaki menatap pergerakan mereka dari teropong lalu iapun ikut menghilang. 76 : Gorong Rahasia Mobil SUV tersebut berhenti di sebuah villa yang tak asing bagi dirinya, villa di dekat danau yang akan jadi hak milik Gendhis usai sepuluh tahun, terbuat dari dinding kayu, di tengah hutan dan nampak kusam tak terurus, banyak lumut di beberapa bagian. Villa yang tadi Bima tinggali bersama dua pasukannya adalah villa yang lain. Bima ditodong dari belakang oleh Ricko dan Gendhis, mereka masuk ke dalam villa dengan cara didobrak, lalu berjalan menuju sebuah ruang bawah tanah, dan di sana ada sebuah saluran menuju selokan, namun saat dibuka ternyata menuju sebuah gorong-gorong luas, mereka berjalan dalam pipa bundar besar, usai berjalan sekitar sepuluh menit, terdapat sebuah pintu dari baja, Ricko menembaknya lalu Bima disuruh membuka pintu tersebut yang ternyata cukup berat karena sudah sangat berkarat, ia hanya berhasil membuka celah seukuran tubuhnya. “Biar aku masuk terlebih dahulu, seingatku ada pencongkel di dalam,” ujar Bima dan tanpa diiyakan ia langsung menyelinap masuk ke dalam ruangan gelap tersebut. Suara berkelontang terdengar dari kegelapan, lalu suara derit pintu baja mulai terbuka dari dalam, Ricko dan Gendhis bersiap siaga, khawatir kalau Bima akan melemparkan sesuatu dari balik kegelapan tersebut, kini pintu sudah terbuka setengahnya tapi tetap saja masih gelap, rupa Bima tidak Nampak dari dalam. Napas Bima terdengar ngos-ngosan dari dalam. “Ada stop kontak di dalam dekat pintu kalau tidak salah, aku sesak napas, di sini pengap sekali, mungkin efek merokok dan kopi, bisakah salah satu dari kalian nyalakan saklar lampunya,” ujarnya dan suara bergaung menggema. Gendhis masuk ke dalam diikuti oleh Ricko, mencari stop kontak, lalu rentetan tembakan terdengar menggelegar ke segala arah, di dalam kegelapan hanya percikan api dan selongsong yang terdengar, suara riuh senapan itu berhenti, lalu lampu dinyalakan. Bima menatap ke lantai, darah menggenang di dekat rubuh Ricko yang sudah rubuh, sepertinya ia tewas tertembak sementara Gendhis meringis kesakitan, darah mengucur deras di paha kaki kirinya yang tidak tertutupi short jeans. Bima menenteng mini uzi di tangan, lalu kaki kanannya menginjak luka tersebut, membuat Gendhis menjerit kesakitan. Bima menatap Gendhis yang semakin melemah lalu melucuti senapan, helem taktis, sabuk senjata, pistol, dan rompi yang membelit wanita itu. “Ayo bangun jangan manja!” perintahnya dan Gendhis mencoba untuk terbangun, kakinya merangkak menahan sakit. “Gak nyangka kan dengan serangan kejutan, kau pikir aku jadi lemah hanya karena pengakuan dosa yang kulakukan dan lantas bikin kamu jadi seperti orang suci yang petenteng-petenteng di hadapanku hah!” bentak Bima. Gendhis menatap kluis empat laci, dan sebuah kunci kombinasi dalam bentuk putaran warna hitam. “Nah sekarang kamu buka kuncinya, nih aku bacakan!” Bima membacakan dan Gendhis mengikuti perintah, lalu kunci terbuka. Kosong dan tidak ada apapun, tapi ia menemukan sebuah buku tabungan dan ATM serta kertas berisi pin yang belum digesek, Gendhis mengambilnya dan di sana tertera atas namanya. “Apa-apaan ini Bim?” “Rudi menggunakan namamu untuk buka tabungan.” “Gimana caranya buku tabungan bisa dibuka dengan posisi aku tidak hadir untuk tanda tangan.” “Namanya juga fraud, apapun bisa dilakukan, apalagi kalau menyangkut dana jutaan dolar, petugas bank mana yang tidak tergiur, target mereka jadi hijau semua. Nah sekarang berikan padaku,” ucap Bima dan Gendhis dengan pasrah memberikannya di tengah rasa nyeri akibat peluru yang bersarang di paha. 77 : Terkoyak Magdalena berdiri di tengah ruangan dan seperti biasa tim forensik kembali sibuk bekerja, mayat para tentara bayaran itu sudah dikumpulkan jadi satu di teras depan. Ia menatap ke segala arah di ruang tengah villa tersebut lalu keluar, pita kuning sudah dibuat dan melingkari dari satu pohon ke pepohonan lainnya, sementara itu beberapa petugas kepolisian lainnya juga mulai datang, dari DVI, INAFIS dan bahkan Brigade Mobile. Dua mobil dinas bercat hijau juga muncul, mereka dari militer yang ikut memeriksa dugaan keterlibatan salah satu anggotanya terhadap kasus tersebut. “Selamat siang, saya Mayor Jenderal Abdullah, komandan jenderal yang membawahi langsung salah satu anggota kami bernama Ricko, dan kasus ini resmi kami turut menangani karena terkait dengan pergerakan yang dilakukan oleh salah satu anggota kami.” “Saya Magdalena, polisi yang sedari awal mengurusi kasus tersebut, jadi gimana statusnya Ricko sekarang pak?” “Sudah di non aktifkan untuk pemeriksaan lebih lanjut, Polisi Militer akan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh atas kasus tersebut, boleh kita berbagi informasi?” ujar Abdullah. Magdalena mengangguk. “Tentu saja, dan apakah sudah di ketahui keberadaannya?” “Belum ditemukan, dan satu tim dari POMAD tengah dikirim untuk mengejarnya.” Sesosok manusia dari kejauhan Nampak tengah meneropong ke arah villa, Magda berhasil menatap siluet itu dan tanpa tedeng aling, ia langsung berlari kencang untuk menangkap sosok tersebut. *** Satu tangannya di borgol ke pipa yang berada di belakang toilet duduk dan Gendhis terduduk di atas tutup toilet, tubuhnya semakin lemah dan kepalanya beberapa kali tertunduk. Bima masuk ke kamar mandi yang kusam dan kumal tersebut, ia memberikan benang yang dimasukkan ke dalam jarum. “Ini jahit sendiri lukanya,” ujar Bima. Tangan kirinya yang bebas menggapai jarum tersebut dan mulai merajut di atas kulit, benang tipis yang biasa dipakai untuk menjahit kain pakaian. Matanya berair, perutnya bergolak, tangannya bergetar dan seluruh otot dan tulangnya serasa tercerabut saat melakukan hal tersebut, menjahit di antara sobekan kulit dan darah yang terus mengalir, sementara peluru di dalamnya terus berkoyak dengan daging. Gendhis selesai menjahit. Bima menyorongkan gelas berisi minuman berenergi ke mulutnya dan saat wanita itu ingin meminumnya, ia menarik gelas itu. “Heh, meludah dulu ke gelas, ayoo! Tahukan gak usah diperintah dua kali.” Ia mengumpulkan segenap air ludah dan meludah di atas air dalam gelas, lalu Bima mulai memaksanya untuk meminum air ke mulut Gendhis hingga berleleran di sepanjang leher dan dagu. “Jangan sok loyo gitu, tegap kepalanya!” bentak Bima dan Gendhis berusaha menuruti perintahnya, kepalanya tegap ke depan dan matanya beberapa kali mengedip, menahan nyeri. Suara derap langkah terdengar, dan Bima langsung reflek berbalik badan dan mulai menembaki ke segala arah, menghancurkan dinding, lantai, dan atap. Sunyi sesaat, lalu Bima keluar ruangan dan membuang mini uzi yang sudah kehabisan peluru tersebut dan menarik senapan yang tergantung di tubuhnya, MP5K yang ia rampas dari Gendhis lalu mengacungkannya ke depan. Ia berjalan perlahan keluar dari kamar mandi, dan menjejak di lorong yang di sepanjang kanan dan kirinya adalah dinding memanjang menuju ruang tamu di depan, siapa si pengganggu tersebut? 78 : Bima vs Misaki Suara peletukan kembali menggema dan melesak di dalam lorong ke berbagai arah, menghantam dinding, lantai kayu, dan lampu hiasan di atas. Dari luar, lutut kanannya menapak tanah, sementara lutut kirinya tertekuk sembilan puluh derajat ke depan. Senapan diacungkan ke depan, dengan satu mata fokus di balik teropong bidik. Ia mendengar suara jeritan dari dalam, Misaki beranjak dan berjalan perlahan menuju Villa dan mendapati tubuh Bima yang sudah tergeletak di atas lantai, peluru yang ia lesakkan menghantam tulang kering kaki kirinya, darah Nampak menggenang di antara kakinya tersebut. *** Misaki memapah Gendhis menuju ruang makan usai berhasil melepaskan borgol. Gendhis berjalan terseok-seok lalu duduk di atas kursi, ia meminta Misaki untuk mengobati luka di kakinya, seolah tidak perduli dengan kehadiran Bima yang masih setengah sadar di atas meja. Misaki berlutut di antara kedua kaki Gendhis. Ia menggulung perban di paha kaki wanita itu yang terluka. Pernapasan Gendhis tercekat dan kepalanya terasa tersumbat akibat menahan rasa nyeri terus menerus, matanya sudah berbayang berulang kali dan ia coba menggeleng keras untuk tetap terjaga, sebutir pain killer ditenggak. Gendhis berdiri dan menatap Bima yang sudah terikat di atas meja kayu panjang tersebut, tubuhnya telanjang, sementara Misaki memberikan senapannya kepada Gendhis perlahan-lahan dari belakang, usai serah terima senjata, Gendhis mengacungkan senapan itu ke arah kemaluan Bima yang layu dan menjijikan, barang yang juga dijajakan kepada wanita lain. Bima terlihat cemas dan ketakutan, kedua matanya lirih dan mulutnya komat-kamit. “Dhis, kumohon ma..mafkan semua kesalahanku, ak..aku memang lelaki bejad, kumohon kita smua biss..bisa kok merajut kembali hubungan ini.. aku aku sebagai suami sudah banyak menyakitimu secara fisik, itu semua akibat monster yang hidup dalam tubuhku dan aku dikendalikan olehnya, kumohon tolong aku sayang untuk keluar dari segala penyakitku ini, kumohon…kumohon.” Ia terguncang mendengar Bima jadi selemah itu sekaligus senang, akhirnya lelaki itu terlihat lemah juga dan bukan hanya itu, tapi membuat pengakuan dosa yang membuat hatinya lega, bahwa selama ini ia melakukan pembenaran atas perilakunya tersebut dan ia mengaku salah sekarang. Gendhis menurunkan senapannya dan Misaki tertegun. “Tembak saja kak! Jangan kasih ampun, minimal ada satu lelaki bajingan seperti dia yang hilang dari muka bumi.” “Tutup mulutmu Misaki!” ujar Gendhis dan Misaki terhenyak. Entah setan apa yang merasukinya, Gendhis melepaskan semua ikatan yang membelit tubuh Bima dan memapahnya untuk turun dari meja kayu, kaki Bima yang tertembak sudah dibebat perban. Mereka saling berpelukan dalam haru, tapi sepertinya hanya Gendhis yang menangis hingga terisak sementara Bima seadanya saja. Misaki jadi penonton dari pertunjukkan memuakkan dua pasangan yang nyaris saling bunuh itu. Misaki kecewa dan sepertinya Gendhis tidak bisa dijadikan sosok panutan untuk perjuangannya kelak, dengan sikap melunak hanya modal lobi kata-kata, tiba-tiba saja wanita itu tersihir seperti tengah dihipnotis. Bima memukul dada Gendhis hingga wanita tersebut terjengkang ke depan, lalu dengan cepat senapan di lengannya ia ambil, Bima segera mengacungkan pistol tersebut ke depan, di atas punggung Gendhis. Misaki reflek dan menarik pistol yang berada di sarung senjata yang terbelit di paha kanannya – di bawah rok berenda sekolahan-. Senapan tersebut menyalak, dan menghantam tubuh Misaki berulang kali, membuat tubuhnya terlihat seperti boneka yang tercabik-cabik, gadis itu terlambat menarik pistol dan kini tubuhnya rubuh ke lantai, dengan genangan darah yang terus mengucur dari berbagai lubang. Bima sekali lagi menghantam belakang leher Gendhis dan wanita itu terkapar tak sadarkan diri. 79 : Danau Sosok tersebut berhasil ditangkap dan kini berada di dalam mobil, Magdalena mengenal wajahnya sebagai seorang Vlogger, Paris Oktaviani. “Apa yang kamu lakukan di sini?” “Aku kan jurnalis investigasi dan meneliti kasus Gendhis.” “Apa yang kamu teliti sejauh ini?” tanya Magdalena. “Cukup banyak, wawancara dengan Bima dan tayang di Youtube, lalu Ricko.” “Apa yang kamu lakukan di sini?” “Kasus penembakan di sebuah villa itu kan mulai ramai meski baru desas-desus, tapi aku sudah mengendus kalau ini pasti terkait Gendhis. Hanya saja ada yang aneh.” “Apanya yang aneh?” “Bima pernah mengatakan soal villa yang ia hadiahkan kepada Gendhis, dan mengatakan kalau villa itu dekat danau, sementara yang kalian gerebek tadi itu tidak ada danaunya.” Magdalena komat-kamit. “Jadi ini villa yang salah.” “Bukan villa yang salah, bisa jadi memang Bima punya lebih dari satu aset, tapi villa yang kalian gerebek itu bukanlah villa yang dihadiahkan kepada Gendhis, nah sekarang apakah kaliah sudah mengetahui keberadaan Bima atau Gendhis?” “Belum sih.” “Bisa jadi mereka bersembunyi di villa dengan danau itu.” Magdalena menepuk jidatnya. “Aku mengerti sekarang.” “Ayo kita ke sana mbak!” “Memangnya kamu bisa tunjukkan jalannya?” Paris sempat terdiam, lalu menjawab. “Bisa, tidak jauh kok dari sini, tapi tepatnya di mana itu aku tidak tahu karena aku kan bukan orang sini, kalau melihat dari GPS sepertinya harus pakai motor.” “Berangkat!” 80 : Truth or Dare Kedua tangan wanita itu terikat ke belakang, melewati badan kursi yang di dudukinya, sementara Bima duduk di hadapannya sembari merokok dengan senapan di tangan, mayat Misaki masih tergeletak di sana. Bima kembali berpakaian, kaos dan celana jeans hitam. “Kita main game, namanya truth or dare, tinggal pilih kamu mau truth atau dare, sebelumnya udah pernah kan main gituan sama aku dulu, jadi ya gak usah pura-pura begok,” ujar Bima dan Gendhis tidak menjawab, lagi-lagi nyinyiran, kata-kata kasar atau apapun lah itu yang kembali menusuk kuping, jauh lebih menyakitkan dari rasa sakit fisik apapun yang tengah ia derita saat ini. “Ayo pilih, Truth or Dare!” Gendhis komat-kamit, napasnya tercekat sesaat lalu berucap dalam serak, tubuhnya sudah lepek, kotor dan lusuh di mana-mana. “Dare.” Bima mendengkus. “Dasar pengecut, sengaja pilih dare yang artinya kamu akan kutantang untuk melakukan hal menyakitkan daripada berbicara soal truth atau kebenaran yang kau simpan.” Ia beranjak dari kursi lalu menarik tubuh Gendhis dan menyuruhnya berlutut di atas lantai. “Nah sekarang jongkok dan jalan jongkok hingga keluar villa.” Kedua kakinya mulai menganyuh, menahan seluruh bobot tubuhnya dan luka di paha kaki terasa bergesek-gesek, antara kulit dan benang yang sepertinya kembali membuka, darah mulai merembesi perban, rasa nyeri yang coba untuk ditahan, seberapa pun menyakitkannya. Kedua sepatunya sudah menapak tanah di luar villa, cuaca nampak kering kerontang dengan panas super menyengat dan suara tonggeret terdengar nyaring. “Okey, cukup, kita kembali bermain.” “Bukankah harusnya bergantian?” jawab Gendhis yang masih jongkok. Bima mengacungkan senapan ke belakang kepala Gendhis. “Aku yang bikin perintah di sini, jangan ngejawab aja goblok!” “Nah sekarang truth or dare!” “Dare.” Bima menggeleng. “Baiklah, kuat juga lo ya.” “Udah lakuin aja, sampai mati pun aku sanggup, aku lelah dibilang suka ngebangkang, aku ingin nurut aja, padahal aku bukannya membangkang tapi karena permintaanmu gak masuk akal, makanya aku bertanya,” ujar Gendhis dan kedua matanya mulai berair. “Skot jam, tiga puluh kali, ayo cepat!” Gendhis mulai mengikuti perintahnya, dan paha kakinya lagi-lagi terasa menyakitkan, peluru di dalam daging paha terasa terkoyak, peluh keringat berceceran dari dahi, membasahi pipi hingga lehernya. Mata mulai berkunang-kunang saat baru mencapai sepuluh kali dan membuatnya sempat terkapar, lalu Bima mulai memukul punggungnya dengan popor senapan. Darah mulai mengucur dari sela-sela perban saat ia kembali skot jam, dan saat hitungan sudah di angka tiga puluh, ia kembali terkapar, tubuhnya berguling di tanah yang bercampur keringat, darah dan dedaunan rontok yang menempel. “Truth or dare!” tanya Bima dan Gendhis tidak menjawab. “Heh, jawab gak!” “Aku udah gak kuat,” ujar Gendhis lemah dengan posisi pipi kiri menempel tanah dan selasar dedaunan. “Ya makanya, tahukan harus jawab apa! Ayo bangun, bangun!” Gendhis berusaha terbangun dan berdiri terpincang. “Baiklah, sekarang kamu deh yang nanya ke aku,” kata Bima dan saat Gendhis melontarkan pertanyaan, Bima menjawab Truth. “Jadi mau cerita soal rahasia gelap apa?” Bima menyeringai. “Aku berlatih membobol rumah dengan rapih selama tiga bulan bersama anggota Spetnaz sewaktu di Moskow, dan ilmu itu coba kupakai saat memasuki rumah Mirna, lalu menaruh pisau komando milik Ricko yang sudah kulumuri darah Stephani, agar Ricko menjadi tersangkanya.” “Jadi kau bunuh Steph, dan kambing hitamkan Ricko.” “Benar sekali, hebat kan aku!” ujar Bima dan ia tertawa terbahak-bahak seperti orang tengah berakting teater. “Yaudah giliranku sekarang, kalau kamu capek, tahukan harus jawab apa sayang,” kata Bima dengan senyuman mengerikan ala psikopat. Gendhis lagi-lagi menjawab Dare, dan Bima menyuruhnya untuk berjoget seperti sinden, ia tidak mengerti harus joget bagaimana, dan Gendhis mulai memperagakan dansa dengan gerakan asal-asalan, yang ia tahu gerakannya harus gemulai dan Bima mulai tertawa terpingkal-pingkal ala Joker saat Gendhis memperagakan gerakan seperti orang bodoh tersebut. Ini siapa yang sakit sebenarnya? Gendhis atau Bima. “Cukup-cukup!” Bima mendekati wajahnya, lalu menaruh kedua tangan di rahang, ia mulai menciumi bibirnya dan kembali menatap wajah Gendhis. “Maaf soal orang tuamu, anggap saja ia korban kekejaman bisnis,” ujar Bima pelan dan kedua bola mata Gendhis kembali berair dan kali ini tangisnya meledak, ia merosot dan berlutut di atas tanah sembari terisak. “Dan sepertinya kamu juga harus jadi korban bisnis selanjutnya, aku belum rela untuk melepas Villa itu ke kamu tujuh tahun lagi, ada satu klausa di mana kalau kau mengalami cacat tetap atau meninggal dunia maka Villa itu kembali jadi milikku sebagai pewaris tunggal yang sah,” ucap Bima dan ia kembali mengacungkan senapannya ke batok kepala Gendhis. “Maaf, maafkan aku.” 81 : The Girls vs Bima Paris masih mengenakan rok pendek, kemeja putih dan sepatu pantofel bertumit lima senti, tapi ia bersikukuh mampu mengendarai motor dalam posisi pakaian ribet seperti itu, sementara Magdalena duduk di jok penumpang, dengan pistol di tangan, dari kejauhan ia bisa melihat Bima tengah mengacungkan senapan ke kepala Gendhis, namun pandangannya belum terlalu kelihatan karena masih terhalangi beberapa pohon. “Ayoo, gas lagi motornya!” ujar Magda. “Ini udah paling kenceng mbak!” “Lebih kenceng lagi!!” Paris menggas kembali dengan kencang hingga motor tersebut nyaris terbang dan mulai oleng, sementara Magda coba membidik dengan pistolnya namun masih sulit karena motornya yang bergoyang-goyang menghantam kontur tanah hutan yang tidak rata. JDARR.JDAR… Beberapa peluru dilesakkan dan membuat Bima terkesiap, peluru-peluru itu hanya menghantam tanah. Bima berjalan sedikit terpincang, sesekali meringis menahan sakit tapi ia terus menyemangati diri sebagai lelaki tangguh lalu mengacungkan senapan ke arah mereka dan Paris bergolak. “Anjritt, dia ke sini mbak, ayoo kabur-kabur,” ujarnya sembari mulai membelokkan motor. “Heh,heh, jangan, ayo balik heh!” umpat Magda. Bima membidik dengan teropong, namun pergerakan motor yang sudah membelakanginya itu tertutup beberapa pohon pinus, ia menekan pelatuk dan rentetan peluru otomatis itu keluar, menghantam beberapa badan pohon. Paris terkaget dengan suara senjata dan motornya oleng lalu mereka terjatuh. Magdalena meringis kesakitan, lalu ia mencari-cari pistolnya tapi tidak ketemu, celana jeans panjangnya robek dan kulit pahanya tergores luka, kepalanya masih sedikit oleng akibat benturan keras ke tanah, sementara Paris juga masih tergeletak tapi bernapas. Suara derap langkah mulai terdengar jelas, Magdalena bersembunyi dibalik pohon, ia mulai meracau kepada Paris dalam bentuk bisikan agar wanita itu segera bangkit dan mencari perlindungan. Paris berjalan tertatih dan duduk di balik pohon tak jauh dari tempat Magdalena berada. Bima menghentikan langkah dan semua terasa sunyi, bahkan tonggeret pun berhenti mengerik saat iblis itu terasa semakin mendekat. Matanya menatap ke kanan dan kiri dengan senapan masih teracung ke depan, ia kembali meneropong tapi tidak melihat apapun, hanya seonggok motor yang terjatuh. Suara derap langkah dari belakang terdengar semakin kencang mendekatinya, menusuk kuping Bima dan belum sempat berbalik, wanita itu meloncat dan berhasil menempel di punggungnya dengan satu tangan sesiku melingkar di leher, Bima sempat oleng dan melancarkan tembakan ke udara secara membabi buta. Sementara Gendhis dari belakang dengan suara yang nyaris seperti orang sekarat berusaha sekuat tenaga untuk terus mencekiknya hingga Bima terdengar mencicit. Bima melancarkan serangan dengan siku dan menghantam wajah Gendhis, membuat wanita tersebut terkapar ke tanah, sementara Magdalena muncul dari persembunyian dan Bima mengecek bahwa magasin senapannya telah kosong. Mereka berhadapan satu lawan satu. Magdalena melancarkan tendangan pencak silat yang pernah dipelajarinya dan hingga kini masih rutin dilatih seminggu sekali namun Bima yang dilatih oleh pasukan khusus Rusia itu tak kalah lincah, tendangan dan pukulan Magdalena berhasil di hindari dengan mudah, kemudian ia menangkap bogem polisi wanita itu dan memelintirnya. Sebuah tendangan dengan kaki yang tidak terluka menghantam perut dan membuat Magda terkapar, Gendhis kembali bangkit dan kedua tangannya menggenggam perut Bima dari belakang seperti orang tengah berpelukan. Bima tak menyangka bahwa tenaga wanita yang masih istri sahnya itu cukup kuat, genggamannya tak bisa dilepas dan Bima mulai kehabisan tenaga lalu terjatuh, dan Gendhis masih mengenggam perutnya. Mereka mulai bergulat seperti petarung UFC di atas tanah. Bima mengeluarkan segenap kemampuan dan tenaganya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Gendhis, ia kini berbalik dan berada di atas, mencekik leher Gendhis yang berada di bawahnya, suara derap langkah dari belakang terdengar, Bima terkesiap dan segera meloncat, menghindari tendangan dari Magdalena. Paris mencoba bangkit dan jok motor yang tadi ditumpanginya terbuka, lalu isinya berceceran, ada tang, kanebo dan gunting. Ia mengambil gunting, berjalan tertatih lalu melemparnya ke Gendhis. Gendhis mengambilnya, lalu menyembunyikan tangannya ke belakang, ia berjalan santai tapi agak cepat, menuju pertarungan yang tengah berlangsung antara Bima dan Magdalena. Bima berhasil menendang perut Magdalena hingga terjengkang, ia tersenyum puas dan merasa di atas angin, lalu tatapannya kembali menuju Gendhis yang berjalan cepat ke arahnya. “Ayo Nyonya Riyadi, datang ke sini cepat,” ujar Bima sembari mengayuh kedua tangan dengan mata melotot. Bima sudah bersiap-siap, meski satu kakinya agak pincang tapi ia sangat percaya diri dan merasa di atas angin bahwa Gendhis bukanlah lawannya. Gendhis berhasil menancapkan gunting itu tepat di dadanya secara cepat, menghujam dengan keras, membuat bola mata Bima membelalak, urat lehernya keluar menegang, rahangnya terlihat meleleh. Gendhis belum cukup sampai di situ, ia kembali menekan gunting itu hingga tertancap lebih dalam, dan Bima mulai lemas, kehabisan darah dan terkulai seperti boneka di tubuhnya. Gendhis menjauh, membiarkan tubuh Bima terjatuh di atas tanah. Paris dari kejauhan bernapas lega. “Girl power yes!” 82 : Kucing Dua minggu kemudian Selang infus masih menempel di buku tangannya, sinar matahari sore menyorot lemah dari balik kerai jendela. Gendhis membetulkan posisi duduknya saat IPDA Magdalena masuk ke dalam kamar, ia ditemani kedua anggotanya, Martha dan Septian, lalu si jurnalis yang melemparkan gunting padanya itu juga ikut hadir, Paris Oktaviani, tak berapa lama, Mirna juga datang sembari menggendong Laffa. “Apakah aku akan di penjara karena membunuh suamiku sendiri?” tanya Gendhis lemah. Magdalena tersenyum. “Kau mempertahankan diri, aku dan Paris jadi saksinya, ada yang mau kamu sampaikan, apapun uneg-uneg dalam hatimu?” Gendhis mengembuskan napas, beberapa luka masih terlihat di wajah, kakinya mulai membaik meski jahitan di kulitnya belum benar-benar kering, jahitan yang kali ini memang sesuai prosedur medis. Ia membuka selimut, hanya mengenakan celana pendek dan melihat paha kaki kirinya yang dibebat perban, jari jemarinya coba menyentuh perban itu. “Kamu selamat Gendhis, artinya kakimu masih berfungsi, kalau kamu saat ini masih berfikir akan kehilangan kakimu, tentu saja tidak,” ujar Magda. Gendhis mengangguk lemah lalu mulai bercerita. “Aku tidak menyangka kalau Bima membunuh ayahku, dia membocorkan tangki mobil ayah hingga meledak, suatu ilmu yang dipelajarinya sewaktu di Moskow. Ia pernah dilatih selama Sembilan bulan di Rusia bersama rekannya di Spetnaz, dan kecenderungan psikopat itu muncul karena ia tidak punya pengendalian diri, semua ilmu menyeramkan yang dimilikinya akibat dari tidak belajar ilmu-ilmu dasar kemiliteran, tapi setahuku ia memang sudah psikopat sebelum ke Moskow, hanya saja menjadi-jadi usai pulang dari sana.” “Apa yang menjadi pemicu bagi Bima untuk menjadi beringas seperti itu?” “Banyak hal, dan akibat dari kejahatannya yang tidak terlacak juga membuat dirinya puas diri karena ia merasa hukum tidak bisa menjangkaunya. Di Moskow ia pernah membunuh seorang pelacur dari Polandia yang jejaknya ditutupi oleh orang-orang Spetnaz, selama di sana ia senang membunuh dan menyiksa hewan seperti kucing.” “Balik ke soal Rudi Parwoto, ayahmu, apa yang kamu ketahui keterkaitan Bima dengan Rudi?” “Ayahku kontraktor yang membangun jalan dan irigasi negeri ini, ia kenal dengan Solozov, seorang penyedia bahan bangunan kualitas terbaik dari Moskow, di satu sisi Solozov juga adalah mantan pasukan Uni Soviet dan memiliki anak yang menjadi pasukan khusus Spetnaz, Rudi membawa Bima untuk menjalankan bisnis dan mengajak Ricko untuk berlatih bersama anak Solozov sebagai perekat hubungan bisnis mereka, semua tanpa sepengetahuan aku ataupun Mirna.” Gendhis melanjutkan. “Bisnis Rudi dan Solozov berakhir dengan kegagalan, lalu Solozov mendekati Bima untuk melanjutkan usahanya dalam melebarkan sayap menjadi penyelundup senjata, mungkin nilai kontrak yang besar membuat Bima menyetujui ide Solozov untuk membunuh Rudi.” “Gimana reaksi Ricko?” “Ricko tidak tahu kalau mereka masih berbisnis, karena saat Rudi tewas ia pun mundur teratur.” Suara sepatu berderap terdengar, dan saat sosok itu masuk ke dalam, Gendhis tersentak. “Kau?” 83 : The Other Gendhis menatap Ricko, dan lelaki itu menunduk menyatakan perasaan bersalahnya karena ia tidak menceritakan rahasia gelap suaminya yang ia ketahui, Bima. Gendhis sudah lelah dan tidak mau membahas dan berdebat kusir soal itu lagi. “Kepalaku terbentur peluru yang memantul dan membuatku pingsan seketika dan beberapa peluru lainnya menyerempet serta merobek lengan. Saat bangun kupikir sudah berada di dunia lain, tapi ternyata aku masih hidup. Maafkan soal kisah Bima yang tidak pernah kuceritakan.” “Sudahlah, aku sudah lelah dengan semuanya, tidak mau bahas itu lagi, lagian juga orangnya sudah mati.” Mirna buka suara untuk pertama kalinya. “Jadi siapa yang bunuh Stephani?” “Bima, ia membobol masuk ke dalam rumahmu dan lumuri lalu lap kembali darah Stephani di pisau komando milik Ricko,” jelas Gendhis. “Kamu tentu kenal Shinta kan dari LSM Woman Survivor?” tanya Magdalena. “Tentu saja, ada apa memangnya?” “Kamu cukup aktif dan melakukan transferan cukup besar kepada LSM tersebut.” “Aku memang aktivis dan cukup aktif serta memiliki pemikiran untuk membantu mereka, dan itulah awal malapetaka kartu kreditku menjadi macet, karena keuanganku sudah over financing alias kelebihan pengeluaran, memangnya ada apa? Apakah membantu LSM sekarang terlihat ilegal?” “Tidak masalah, aku cuma penasaran saat mengecek rekening koranmu.” “Aku bilang ke Bima kalau kartu kreditku macet untuk beli tas, sepatu dan sebagainya sebenarnya hanya dalih saja, yang sebenarnya adalah aku memberikan bantuan kepada LSM tersebut, karena Bima pasti tidak akan setuju dengan apa yang kulakukan.” Suara derap langkah terdengar dan kali ini dua pria berbadan besar mengapit Ricko dan memborgolnya, Ricko dikenai tuduhan melakukan kerjasama terselubung dengan kontraktor militer swasta dan akan diinvestigasi lebih lanjut di pengadilan militer. 84 : Nyanyian Para Filsuf Tiga bulan kemudian. Gendhis sebenarnya trauma, tapi mau tidak mau ia harus menengok Villa mewah di tepi danau yang sudah sepenuhnya jadi miliknya tersebut, mobilnya memasuki kawan hutan yang sejuk, dan saat sampai ia tidak langsung masuk ke villa, tapi menuju dermaga dan menatap danau yang tenang. Matanya menatap kosong ke ujung yang berupa hamparan hutan nan gelap pekat. Ia mulai melepaskan seluruh pakaiannya dan hanya mengenakan bikini merah lalu menyebur ke dalam, menenggelamkan diri cukup lama di air yang dingin hingga tubuhnya sulit bernapas, pikirannya melayang ke sana kemari dan sesaat ia terbangun dari khayalannya. Gendhis berenang ke atas dan tersedak saat kepalanya muncul ke permukaan. Awan mulai gelap, cahaya matahari senja menyorot lemah dari barat, menyelinap di sela-sela pohon pinus yang mengelilingi Villa dan danau tersebut. Suasana begitu sunyi, hanya ditemani riak air dan suara binatang seperti kodok, tonggeret, dan kambing mengembik entah dari mana. Ia berenang ke tepian, mengambil buku “Kutipan Para Filsuf” lalu menuju dermaga dan melepaskan perahu kayu untuk dinaiki lalu mengayuhnya hingga ke tengah danau, usai sampai di tengah-tengah, ia berbaring di atas perahu dan menatap langit biru yang mulai gelap, dan mulai membaca buku. Pikirannya kosong, sama seperti para penganut nihilisme lainnya, semua berawal dari ketiadaan. Jagat semesta ini kosong, tidak ada planet, batu, hewan, manusia, semuanya tidak ada, lalu zat itu muncul satu persatu dan manusia yang hidup pada zaman itu tidak punya tujuan hidup karena mereka juga tidak tahu saat hidup itu mau apa, apa yang sebenarnya dituju? Lalu munculah dogma agama, yang mulai mengatur hidup manusia, sehingga manusia memiliki tujuan akhir dalam hidupnya, yaitu surga atau neraka. Agama diciptakan untuk sebuah keselarasan dan mengisi ruang-ruang yang kosong di hati manusia, dan saat ketenangan itu muncul di hati setiap orang, maka kultur masyarakat pun jadi terbangun dan ikut selaras dengannya. Gendhis ada di persimpangan jalan, antara harus mempercayai atau tidak, tapi ia juga menolak menjadi atheis. Suatu saat nanti, dirinya ingin dipeluk dan dirangkul untuk menuju jalan yang benar dengan cara dirangkul bukan dihakimi dan dimarahi, karena menyebarkan agama sebenarnya tidak harus dengan kritik. Kutipan Friedrich Nietzche -Lelaki yang berilmu pasti tidak hanya sanggup mencintai lawannya, tetapi juga teman-teman yang membencinya.- -Cinta adalah keadaan yang membuat seseorang melihat sesuatu tanpa keraguan sama sekali.- -Keyakinan yang buta bisa lebih berbahaya daripada sebuah kebohongan.- -Cinta adalah penyakit. Ia membuat orang lemah di hadapan insan yang dicintainya. Ia menyebabkan candu kehidupan, seakan-akan hidup tak punya arti tanpanya.- Gendhis menutup buku tersebut lalu memejamkan mata, dan kemudian kembali membaca dan beralih ke kutipan filsafat dari peraih nobel sastra pada 1956 kelahiran Perancis, Albert Camus. -Salah satu jenis keangkuhan spiritual adalah saat orang berpikir bahwa mereka bisa bahagia tanpa uang.- -Jangan berjalan di belakangku, karena aku tidak akan memimpinmu, jangan berjalan di depanku karena aku tidak akan mengikutimu, berjalanlah di sisiku sebagai sahabatku.- -Kisah cinta terbaik belum ditulis hingga detik ini.- Rintikan air menampar wajahnya, gerimis membasahi bumi, ia menutup bukunya dan setitik air membasahi kata “cinta” pada kutipan terakhir dari Camus yang ia baca tadi. Gendhis mengayuh perahunya ke tepian, lalu mengambil semua barang-barangnya dan menuju villa. Ruangan begitu gelap dan senyap, ia menuju dapur yang menyatu dengan meja makan, tempat di mana Bima pernah terikat telanjang dan Gendhis hampir membunuhnya, lalu ada mayat Misaki yang berlumuran darah saat peluru mencabik-cabik tubuhnya. Gendhis bergidik tapi dirinya meyakinkan bahwa ia tidak bisa ditakut-takuti oleh setiap ciptaan Tuhan, termasuk hantu. Perasaan takut adalah suatu sikap alamiah yang sudah tertanam di alam bawah sadar karena bawaan sedari kecil dan sulit untuk melepaskannya. Lampu meja dinyalakan, menciptakan suasana hangat dan temaram, ia menuangkan air dalam pemanas air listrik, menuangkan beberapa bubuk kopi ke cangkir, lalu menyeduhnya usai air dalam teko tersebut sudah memanas. Ia menaruh cangkir tersebut di atas meja kayu, secarik darah gelap mengering masih tertera di sana, bekas darah dari kaki Bima yang tertembak oleh peluru Misaki. Sebungkus rokok ia keluarkan dari tas dan mulai menyulutnya dengan sebuah asbak di atas meja. Gendhis belum selesai dengan buku kumpulan kutipan para filosof dunia tersebut, ia kembali memungutnya, sembari merokok dan membaca, lalu sesekali menyesap kopi panasnya. Kali ini sebuah kutipan dari Jean Paul Sartre, seorang filsuf dan peraih nobel sastra pada 1964 dari Perancis. Sartre inilah gerbangnya untuk mendalami filsafat lebih jauh. -Aku adalah diriku sendiri, dan aku ada di sini.- -Seperti sebuah pemimpi, saya bingung dan kecewa dengan kebenaran.- -Bagian terburuk dari dibohongi adalah mengetahui bahwa anda tidak layak untuk mendapatkan kebenaran.- Bayangan Misaki tiba-tiba saja muncul, matanya mengerjap beberapa kali tapi wajah wanita polos di balik masker debu itu tidak juga menghilang. Ia masih mengenakan seragam dan blazer ala anak sekolah Jepang, lengkap dengan rompi anti peluru tanpa senapan. “Berjuanglah untuk wanita, karena hanya kamu satu-satunya harapanku,” ujar bayangan itu. Gendhis bergidik, mulutnya komat-kamit lalu bayangan itu perlahan menghilang seperti asap warna hijau yang terbang ke udara dan lenyap begitu saja. Ia buru-buru berlari keluar rumah dan berdiri di teras kayu depan samping, menatap danau yang di hujani air dari awan. Hujan masih mengguyur begitu lebat, rasa dingin menusuk kulitnya dan ia baru sadar kalau sedari tadi masih belum berpakaian, tangannya berusaha menyalakan korek untuk kembali menyulut rokok baru. Saat perasaan rileks sudah kembali muncul dan menghinggapi tubuhnya, kepalanya tertunduk ke batang kayu penyangga atap. Pikirannya kembali berkelabat dan ia memiliki ide untuk memperjuangkan apa yang belum selesai dilakukan olehnya. 85 : Kita Sudah di akhir Gendhis kembali ke dalam, lalu mengambil kertas dan mulai menata apa yang akan dilakukan. Menjual Villa. Fokus pada LSM Woman Survivor dan suplai dana hasil dari penjualan Villa. Sisa uangnya akan dipakai untuk usaha, mungkin coffe shop atau laundry. Resign dari pekerjaannya. Yah, semua harus terwujud dalam waktu dekat, dan Villa ini adalah kuncinya. Ia juga tidak membutuhkan tempat yang sepertinya meski memiliki prospek nilai bisnis yang bagus namun memiliki return atau tingkat pengembalian yang cukup lama. Description: Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #darksecret 2019 yang diadakan oleh Storial Seorang wanita cantik lenyap tanpa jejak, dan jurnalis investigasi berusaha untuk melacaknya hingga menemukan fakta mengerikan yang ternyata tidak sesuai parasnya. Bima Riyadi sebagai sang suami mulai mendapatkan banyak tekanan akan hilangnya Gendhis, berbagai tuduhan seperti marital rape, KDRT hingga pola perilaku menyimpang menerpanya. Sementara itu, Ipda Magdalena mulai menelusuri dan menemukan rahasia gelap keluarga mereka yang pelik, mulai dari perilaku konsumtif, hutang kartu kredit yang menggunung hingga munculnya jasa pembunuh bayaran. Hidup di jaman post truth membuat posisi di mana orang-orang yang berbicara banyak, maka itu yang terdengar seperti sebuah kenyataan. Kebohongan akan menutupi kebohongan lainnya. Dan akankah dua hati yang tengah sekarat itu kembali bertemu? Di mana Gendhis? Dan apakah upaya saling bunuh menjadi satu-satunya jalan? Nama Pena : Finn R, Medsos : IG (finnr.author) FB (Finn R)
Title: Woman's Struggle Category: True Story Text: Single Parent Candidate Hallo everybody!!! Ini ceritaku yang pertama?, maaf jika EYDnya banyak yang salah, penyusunan katanya kurang pas, karena author masih pemula yang belajar menulis diary untuk dipublikasikan. So.... Selamat membaca tems??. Jangan lupa vote dan komen yahh? Malam ini begitu hangat, dengan semangat baik aku berangkat ke puskesmas tempatku magang, jaraknya tak jauh dari kost ku. Aku shift malam sekarang, di IGD puskesmas. Aku suka IGD, para dokter dan perawat terlihat sibuk menyelamatkan orang orang sekarat dalam waktu sekejap, dan itu terlihat seperti pahlawan bagiku, sepertinya jiwaku jiwa perawat hehe. Sore ini tugasku tak banyak, ya karena memang lagi sepi. Dari pukul 6.30 hingga azan isya hanya ku habiskan untuk berbagi pengalaman dengan para senior yang mungkin sepantasnya ku panggil ibu dan nenek. Namun kami disini layaknya anak pramuka, walaupun seumur adik, atau setua nenek dirumah. Panggilannya ya tetap "Kak" Saat sesi cerita horor dari para senior dimulai, kamipun kedatangan pasien dengan grastitis kronis, pasien ini sudah langganan disini. Aku dan para senior pun antusias menangani pasien ini dan setelahnya kembali ke tempat semula. Kami kembali melanjutkan cerita, namun ternyata kami kembali kedatangan pasien kecelakaan, asma, vertigo, dan lainnya. Kami tak henti hentinya bekerja hingga jam 22.10 karena pasien datang silih berganti. Karena jam 10 adalah jam tidur petugas IGD, kami pun bersiap untuk tidur. Magangku kali ini berbeda dengan magangku sebelum sebelumnya. Magang kali ini kami hanya diberi jatah 1 orang untuk shif malam dan tidur di kamar pasien yang kosong, karena keterbatasan kasur petugas yang ada di puskesmas. Dan sialnya, aku harus tidur sendirian di kamar pasien dengan 3 bed kosong setelah mendengar cerita horor seputar IGD. Sampai jam 3 pagi, mataku tak mau tidur karena merasa khawatir seseorang tak kasat mata akan membuka tiraiku. Aku sangat takut malam itu sehingga aku menghubungi beberapa temanku lewat chatting. Dan akhirnya tanpa sadar aku tertidur. Jam 3.50, seseorang memencet bel IGD. Aku adalah tipe orang yang sensitif dengan suara saat tidur, sehingga dengan perasaan yang sedikit jengkel aku terbangun. Ternyata tak hanya aku, 2 orang perawat seniorku dan dokter jaga juga ikut terbangun. Ketika kami membuka pintu ruang jaga IGD, ternyata salah seorang bidan senior yang 1 shif denganku malam ini, dan seumuran nenekku tengah memencet bel sambil tertawa. Ia sangat senang karena hampir sebagian petugas kena prank olehnya. Teman perawat seumurannya juga ikut tertawa melihat tingkahnya sedangkan dokter jaga dan perawat yang seumuran ibuku kembali tidur dengan rasa kesal. Aku kembali masuk kamarku, tanpa sadar aku ikut tertawa. Nenek itu lucu juga. Tak lama setelah kejadian itu berlansung, bel kembali berbunyi dan otomatis membangunkanku, aku sangat kesal, kenapa nenek itu sangat suka memencet bel seperti itu? karena aku mahasiswa magang, aku harus bangun dan keluar. Ternyata nenek itu juga bangun dan melihat kearahku. Berarti bukan nenek itu pelakunya. Sontak aku lansung membuka pintu jaga IGD dan melihat seorang ibu paruh baya yang tengah hamil besar sedang kesakitan, sepertinya mau melahirkan. Seniorku itu lansung memberi isyarat untuk membangunkan para petugas dan tenaga medis dan lansung berlari menuju si ibu. Walau sudah tua, jiwa bidannya masih muda. Setelah memanggil petugas, aku juga bergegas ke ruang ponek untuk membantu seniorku. Ibu itu sudah baik baik saja, seniorku sedang menganamnesa datanya. Akupun di minta untuk mengukur ttv dan menghitung djj serta tbbj pasien tersebut. Tiba tiba, ibu itu merasakan sakit kembali, sontak para petugas jaga mendatangi pasien tersebut. Anehnya. Tidak ada tanda tanda kontraksi. Dari hasil pemeriksaan, kami mendapatkan diagnosa Ibu hamil 39- 40 minggu , hamil anak pertama, djj normal, perbesaran perut sesuai dengan usia kehamilan, ttv normal, sudah ada pengeluaran lendir bercampur darah dan pembukaan 1. Pasien terus mengatakan bahwa ia merasa kesakitan, namun tanda tanda kontraksi tidak ditemukan dan pembukaan semakin mengecil. Dokter jaga menjelaskan kepada keluarga pasien yang terlihat khawatir bahwa ibu dalam keadaan baik baik saja, mungkin hal ini dipengaruhi oleh psikologis ibu. Semua petugas kembali tidur kecuali senior ku yang seorang bidan jenaka dan aku sebagai mahasiswa. Ia mengajari ku berbagai trik yang memudahkan bidan dalam melayani pasien. Aku diajarkan cara anamnesa yang benar, cara dekat dengan pasien. Dan juga petuah petuah hidup. Aku semakin menyukai seniorku ini, ia merupakan satu satunya senior yang seprofesi denganku disini. Ia pun meninggalkan ku di ruang ponek sediri dan berpesan agar lebih dekat dengan pasien. Aku sedikit canggung untuk memulai pembicaraan yang lebih intim dengan pasien. Jujur ini pertama kalinya aku bicara dalam ruangan kosong seperti ini dengan pasien. Biasanya aku hanya ngobrol sekedar saja karena antrian pasien yang panjang. Atau lebih banyak ngobrol dengan teman se almamaterku jika ada pasien partus seperti saat ini. Pasien itu juga tampak gugup, aku tersenyum padanya agar tak canggung. Aku mulai menanyakan hal hal kecil dan ia juga bertanya balik padaku. Kami mulai akrab. Ibu yang tampak kesakitan jika didekati orang banyak bisa tertawa jika kudekati. Hingga tanpa sengaja aku bercerita aku sangat dekat dengan kakek ku. Pasien itu terhenti sejenak dan tersenyum padaku. "Ayah kakak sudah meninggal sebulan yang lalu" katanya Sontak aku terkejut dan lansung minta maaf sebesar- besarnya atas kesalahan yang telah kulakukan. Aku tau kesalahanku sangat fatal, psikologis ibu sangat mempengaruhi proses persalinan, apalagi pasienku adalah seorang primipara. Ia tertawa dan mengatakan bahwa ia tidak apa apa, padahal aku tau ia butuh perhatian saat ia membohongi kami soal kontraksi, ia tidak membohongi, tapi psikologisnya yang berkata demikian. "Akankah kakak kuat menghadapi persalinan ini dik?" Ia bertanya nanar. Aku terkejut, apakah ini karena aku yang mengingatkan ia pada almarhum ayahnya? "Kakak pasti kuat kak! Ingat kak, kakak dan keluarga sudah lama menanti moment ini, kakek sikecil juga pasti akan memberi kakak semangat dari surga" Ujarku. "Kalau ayah sikecil bagaimana?" Jawabnya lagi Aku bingung harus menjawab apa, apakah suaminya juga sudah meninggal? Tapi tidak mungkin. Aku tidak melihat laki laki dewasa diantara keluarganya. Mungkin suaminya sedang diperantauan. Melihatku berpikir keras, pasien itu tersenyum dan menjawab "Suami kakak juga meninggal 20 hari setelah kematian ayah kakak" Tanpa sadar aku keluar dan termenung sejenak di pintu ruang ponek. Tak terbayang olehku jika aku harus ada diposisinya. Harus menjadi janda sebelum punya anak. Namun aku harus kembali masuk, tugasku adalah menjaga psikologinya. Aku kembali masuk ke ruang ponek dan memberinya beberapa joke agar ia tertawa. Jam 6.45 seniorku masuk. "Apa ada kontraksi?" Sontak aku gelagap karena lupa menghitung kontraksi. "Dari semalam ibu tidak merasakan kontraksi kak" jawabku. Dan untung seniorku keluar lagi. Akupun bingung, kenapa ia tidak ada kontraksi? Lekas ku dengarkan djjnya. Huftt.. Ternyata masih ada, teratur, sedikit tinggi namun masih normal. Hingga pergantian shift, senior bidanku mengatakan ibu tidak merasakan kontraksi dan hasil pemeriksaan terakhir pembukaan ibu mengecil. Akhirnya dokter menyuruh ibu pulang dan menyuruh ibu datang kembali jika merasakan kontraksi. Aku mengantar ibu itu kemobilnya, dan setelah mobilnya jauh, aku baru ingat, aku belum minta nomor telponnya. Setibanya di kost, aku merebakan badanku sejenak sembari memikirkan pasienku tadi, kupikir masalahku lah yang paling rumit di dunia ini, ternyata belum ada apa apanya. Tanpa sadar akupun tertidur karena kelelahan. Alarm yang berisik membangunkanku jam 12.00 karena aku harus mandi, shalat , makan, dan bersiap untuk shift sore. Jam 13.30 akupun berangkat. Sudah menjadi kebiasaan setiap mahasiswa kebidanan maupun keperawatan dimana saja untuk melakukan overan dengan teman sesama mahasiswa sebelum kakak kakak kami overan. Pada overan kali ini, aku mendapati riwayat rujukan pasienku yang tadi dengan diagnosa KPD (Ketuban Pecah Dini). Aku sontak terkejut, temanku mengatakan ia datang dengan kondisi sudah keluar air air namun tidak merasakan kontraksi. Tertera jam 10.25 pada Daily Activity temanku. Bagaimana kabarnya sekarang? Aku sungguh menyesal tidak meminta nomor telponnya. Akhirnya aku mendengar kabar dari obrolan para seniorku bahwa anaknya laki laki, lahir secara induksi, beratnya 3500 gram dan panjang badannya 48 cm. Keduanya dalam keadaan baik. Ahh tuhan, kuharap anak laki laki ini mampu menjaganya ibunya. Mampu menggantikan posisi ayah dan suaminya. Aamin yarabb. Yuhuuu, sampai disini eps kali ini, semoga suka ya gais??, ini adalah kisah ku setahun yang lalu. Ini serius, aku merindukan kabar ibu itu?. "KATA KATA ASING" Shif = pergantian jam kerja Gastritis kronis = Peradangan lambung yang sudah diderita dalam jangka waktu yang lama Vertigo = masalah keseimbangan tubuh Bed = tempat tidur Cyto = Tindakan segera Partus = Melahirkan Ponek = Kamar bersalin Pembukaan = pelebaran jalan lahir Kontraksi = rasa sakit yang dirasakan ibu saat melahirkan Djj = Detak jantung janin, normal 120- 160 kali permenit Ttv = Tanda tanda vital ibu meliputi tekanan darah, suhu, nadi, pernapasan. Tbbj = Tafsiran berat badan janin KDP = Ketuban pecah sebelum pembukaan lengkap (10) Overan = Pemindahan status pasien dengan teman sejawat shift selanjutnya Daily Activity = Pendokumentasian kegiatan selama 1 shif dalam bentuk catatan Primipara = ibu hamil pertama Induksi = Persalinan dengan pemberian ransangan Semoga membantu tems???, jangan lupa ikuti kisah penuh haru selanjutnya yaaa?  Description: INI CERITAKU SEBAGAI MIDWIFERY HASIL PAKSAAN ORANGTUA. SETIAP HARI KU SELALU MENGENANG MASA DEPAN BURUK KARENA PROFESI KU YANG SEPERTI TAK BERGUNA DI KOTA KU, BAHKAN AKU SENDIRI PUN BELUM PERNAH MELIHAT PERSALINAN SECARA LANSUNG, AKAN MENJADI APA AKU NANTI? AKU SELALU TERDIAM SAAT TEMAN TEMAN SMA KU BERTANYA "KULIAH DIMANA? JURUSAN APA?". HINGGA SAMPAI SAAT AKU BERKENALAN DENGAN ORANG ORANG YANG DISEBUT DENGAN PASIEN, AKU MERASA BERBEDA. PROFESI KU SANGAT DI HARGAI DI DESA, AKULAH YANG MEMPERKENALKAN MANUSIA BARU PADA BUMI, AKULAH YANG MEMBANTU SEORANG WANITA MENJADI IBU, AKULAH PENGASUH WANITA SEJAK DICIPTAKAN HINGGA DIMATIKAN, DARI YANG BELUM DI BERI NAMA HINGGA TINGGAL NAMA. KEKAGUMANKU PADA PROFESIKU SENDIRI KU TUANGKAN DALAM DIARY, HINGGA DALAM SEBUAH WORKSHOP, NARASUMBER ITU MEMBERI IDE PADAKU UNTUK MENUANGKANNYA DALAM SEBUAH BUKU, KARENA AKU JAUH DARI KATA PENULIS HANDAL, AKU BERANIKAN DIRI UNTUK MENULISKANNYA DISINI. KAMAR BERSALIN SANGATLAH MENGHARUKAN, PENUH KERINGAT DAN AIR MATA YANG ASIN SEBAGAI TANDA PERJUANGAN, AYO BACA KISAH CINTAKU YANG PENUH HARU PADA IBU DISINI, MARI TENGGELAM DALAM PERJUANGAN PEREMPUAN. Oh iya, aku Kumi Cilaa, itu nama pena ku. EYD ku sangat berantakan, jadi harap dimaklumi dan mohon diingatkan jika aku salah dalam kepenulisan,semoga kalian suka dengan cerita ku.
Title: When We Become Category: Novel Text: Part 1 'Orang bilang, pertemuan pertama selalu kebetulan. Tapi, bagaimana caramu menjelaskan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya? Apakah Tuhan juga ikut campur didalamnya?'~Orizuka, Infinitely Yours --- "Boleh saya duduk disini?"aku mendengar suara bariton asing khas milik seorang cowok tepat didekat telingaku. Aku yang tengah asyik menatap layar smartphone yang berada digenggamanku, sontak langsung mendongak kearah cowok bergaya casual yang sedang berdiri dihadapanku.Entah mengapa senyum manis cowok itu membuat aku mengangguk seolah mempersilahkan. Lalu cowok itu segera mengambil tempat duduk tepat didepanku,akhirnya kami menjadi duduk saling berhadapan dalam satu meja yang bernomor 10. Setelah melempar senyuman,aku kembali melanjutkan aktifitasku dengan smartphone digenggamanku.Tanpa memperdulikan rasa canggung yang menyergap. "Udah sering kesini?"cowok itu mulai membuka pembicaraan untuk mencairkan kecanggungan diantara kami. "Hmm,lumayan sih.Kalo kamu sendiri?"aku beralih dari layar smartphone untuk menatapnya. "Baru beberapa kali sih. Tapi rame juga ya kalo hari weekend gini," cowok itu memperhatikan keadaan disekitar cafe. Lalu aku juga ikut memperhatikan suasana kafe yang memang banyak dikunjungi, bahkan seluruh meja dan kursi sudah terisi penuh oleh pengunjung. Wajar sih namanya juga hari minggu, jadi banyak anak muda yang libur sekolah, kuliah atau kerja yang menghabiskan waktu untuk sekedar makan atau nongkrong di cafe sambil internetan pake free wi-fi atau hanya sekedar numpang baca diperpustakaan yang memang disediakan oleh pengelola cafe sebagai fasilitas dari cafe ini.Padahal jam baru menunjukkan pukul 13.45 p.m, tapi Funday Cafe sudah ramai dikunjungi. Aku sudah datang limabelas menit yang lalu sebelum cowok dihadapanku ini datang dan duduk dalam satu meja bersamaku, maklum semua meja telah terisi penuh bahkan tak memberi tempat kosong, kecuali kursi dimejaku. Aku sudah memesan milk tea dan roti bakar rasa coklat. It's is my favourite drink and food in this cafe. Tak lama kemudian pesananku datang. Kulihat cowok dihadapanku juga mulai memesan menu pilihannya. "Mocca Late and French Friech satu ya, Mbak!"ujarnya pada barista yang sedang mencatat pesanan. Barista itu mengangguk lalu segera berlalu. Sembari menunggu pesanan, cowok itu malah melirik kearahku sekilas. "Ada yang nempel tuh diatas bibir kamu," intrupsinya. Aku segera mengambil tisu, lalu mengelap asal sisa minuman yang masih menempel dibibirku hingga lipbalm warna punch yang aku pake luntur dan membuat cap bibir pada tisu berwarna putih itu. Kok bisa belepotan gini sih,malu-maluin banget! "Pesanan kamu udah datang, tuh," aku mengalihkan pembicaraan. Lalu aku kembali menikmati menu favoritku sambil fokus menatap layar smartphone dan mengetik-ngetikan sesuatu. Aku sudah selesai makan dan minum, walau belum habis sepenuhnya, tapi aku sudah merasa sangat kenyang. Tak lama kemudian smartphone-ku berdering menandakan ada panggilan masuk. Setelah membaca nama yang tertera dilayar smartphone aku lalu segera mengangkatnya. "Iya, hallo!" "-," "Kamu dimana?" "-," "Oke, ntar aku kesana!" "-," "Bye," Aku memutus telpon sepihak yang sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari. Lalu segera bangkit dari kursi setelah meraih tas ranselku yang berwarna coklat kemudian berjalan terburu-buru ke kasir.Meninggalkan cowok asing itu tanpa salam perpisahan. ❤️ Aku tiba disebuah rumah bergaya minimalis country dikawasan kompleks Adipura Jaya. Setelah turun dari go-jek dan menyerahkan helm, aku langsung membayar ongkos sesuai tarif kepada driver ojol. Lalu segera membuka pagar besi yang ternyata tidak digembok,kemungkinan pemilik rumah lupa atau memang sengaja. Aku tiba didepan pintu, lalu tanpa berpikir lama aku mengucapkan salam sambil mengetuk pintu berulang kali hingga pintu terbuka. "Eh, Non Sabil. Masuk Non," Bi Inah menyambutku dengan senyuman ramahnya. "Iya, Bi Inah. Danar dirumah kan, Bi?"ujarku setelah masuk kedalam rumah. "Ada, Non. Den Danar lagi dibalkon," "Oke, Bi. Sabil kesana," "Tunggu, Non.Non Sabil mau minum apa nanti Bibi buatkan?" "Tenang, Bi. Nanti Sabil bikin sendiri," "Baik,Non. Bibi ke belakang dulu ya," Aku mengangguk. Kemudian berjalan lalu naik ke lantai atas tempat dimana Danar bersemayam. Aku sudah terbiasa dirumah ini, bahkan aku sudah menganggapnya seperti rumahku sendiri.Maka tak heran jika aku sangat akrab dengan pembantu dirumah ini, apalagi dengan pemiliknya bahkan aku sudah dianggap seperti keluarga mereka. Begitu sampai dilantai atas, aku langsung melihat penampakan seorang cowok berkaos oblong berwarna hitam yang sedang duduk bersandar dikursi sambil menatap langit biru. Aku mendekat dan kemudian mendorong pintu kaca yang menjadi satu-satunya jalan keluar menuju balkon. "Nar, muka kamu kenapa?"begitu berhadapan dengan Danar aku langsung kaget. Wajahnya babak belur. Sudut bibirnya membiru, pipi kirinya lebam serta pelipisnya ada hansaplast yang menempel dua sekaligus. "Menurut kamu?" Danar menatapku. "Kamu abis berantem?"tanyaku sambil duduk disamping Danar. "Tepatnya dikeroyok sama preman-preman sialan itu,"jawabnya sarkasme. "Kok bisa sih?" aku heran. "Ya bisa dong,Sabil.Tadinya aku mau ke cafe tempat langganan kamu, trus dijalan aku malah ketemu 4 orang preman yang lagi gangguin cewek. Sebagai naluri seorang cowok, aku mendadak berhenti dan turun dari motor, lalu tanpa babibu aku langsung menghajar preman itu satu persatu," Danar menceritakan kronologis peristiwa perkelahiannya. "Pantesan aku tungguin, kamu nggak dateng-dateng. Trus akhirnya kamu kalah kan?Sok sih,"aku menanggapi dengan kalimat mengejek diakhir. "Enak aja. Mereka malahan kabur," timpal Danar. Aku menghabiskan waktu bareng Danar dibalkon rumahnya hingga pukul 16.05 p.m. Kemudian aku pamit pulang. ❤️ "Darimana,Bil?"kata Endah,kakak perempuanku yang terpaut usia dua tahun diatasku, kira-kira umurnya 24 tahun.Kulihat Endah sedang duduk disofa ruang tamu sambil membaca majalah favoritnya. "Kepo banget sih, Kak!" ucapku sambil duduk disamping Endah lalu meletakkan kresek belanjaanku dimeja. "Abis main ke rumah Danar ya?" "Iya," "Kamu yakin nggak ada rasa sama dia?" "Apaan sih, Kak. Aku ke kamar dulu deh, mau mandi.Gerah banget," Aku langsung ngeloyor ke kamarku yang ada dilantai atas. Setelah selesai mandi dan ganti baju, aku segera membongkar isi tas yang aku pakai tadi. Aku ambil smarthphone yang masih ada didalam tas yang begitu aku hidupkan batreinya hanya tinggal 20%. Buru-buru aku charge (baca:cas) smarthphone- ku ke colokan listrik. Kemudian aku membongkar tas lagi, kukeluarkan isi didalamnya. Dompet,lipblam,cologne gel, headseat,bolpoint lalu dimana buku catatan kecilku? Seingatku tadi aku sudah memasukkannya kedalam tas, lalu kubawa ikut bersamaku. Apa aku lupa letak ya! Ku buka laci meja tempat buku-bukuku berada siapa tahu buku catatanku ada didalam.Tapi nihil,bukunya juga tidak ada.Aduh,kayaknya buku catatanku jatuh dijalan atau jangan-jangan ketinggalan.Tapi dimana? Aku langsung terduduk ditempat tidur, memikirkan bagaimana dengan nasib buku catatanku?Jika hilang aku benar-benar tidak bisa membayangkannya. Aku bangkit lalu mengambil smartphone yang masih dicharge. Mencari kontak seseorang kemudian menelponnya. "Halo, Nar!" sapaku begitu sambungan telpon terhubung. "Iya halo, apa, Bil?" jawab suara seseorang dari seberang sana. "Kamu liat nggak buku catatanku yang ketinggalan dirumah kamu?" "Nggak ada liat tuh. Kamu salah naruh kali," "Jadi nggak ketinggalan dirumah kamu ya. Ya udah deh, Nar. Aku tutup dulu!" Seperti biasanya aku selalu memutus telpon sepihak.Dirumah Danar nggak ada.Apa ketinggalan dicafe ya?Oke deh,besok aku cari lagi.Semoga ketemu. Part 2 'Setiap kehilangan apa akan berakhir dengan saling menemukan?'~Sakya Nopitasari,Author --- Sebelum berangkat ke kampus,aku berencana mau mampir dulu ke Funday Cafe.Aku melirik arloji ditangan kiriku yang menunjukkan jam 10.05 a.m,meski masih pagi dan cafe baru buka bahkan belum siap untuk melayani pengunjung,namun aku tetap masuk ke dalam. Masih sepi, belum ada satupun pengunjung yang datang,maklum ini adalah jam sibuk dihari senin.Didalam cafe aku hanya melihat satu orang barista yang sedang mengelap meja dengan telaten,lalu aku menghampirinya. "Mbak, mau pesan ya?"kata seorang barista yang sedang mengelap meja sambil menatapku, aku menggeleng, mungkin dipikirnya aku adalah pengunjung pertama dicafe ini. "Nggak kok, Mas.Saya cuma mau nanya, apa ada barang saya yang ketinggalan disini?" "Barang apa ya,Mbak?"tanya barista itu menghentikan aktivitasnya. "Hari minggu kemarin saya kan makan disini.Seingat saya,kemarin pas makan saya mengeluarkan buku catatan dari tas saya dan saya lupa memasukkan lagi," "Aduh, saya nggak lihat, Mbak. Biasanya disini kalo ada barang pengunjung yang ketinggalan pasti kami simpan," "Gitu ya, Mas. Ya udah deh saya permisi dulu. Maaf mengganggu, " aku segera keluar dari cafe karena tidak menemukan yang aku cari. Dicafe nggak ada. Apa jangan-jangan! Nggak mungkin. Aku mengenyahkan kemungkinan yang ada dipikiranku, lalu mencoba berpikir realitis.Akibat kecerobohanku sendiri, buku catatan yang berisi jurnal pribadi yang sangat penting bagiku itu hilang. Bagaimana kalau misalnya ditemukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab?Apakah buku catatanku akan kembali? ❤ "Kamu kenapa,Bil?Kusut banget tuh muka,"Intan,teman dekatku disatu jurusan yang baru masuk kedalam kelas lalu duduk disampingku. "Buku catatanku hilang,Ntan!" "Udah kamu cari?" "Udah sih, tapi nggak ketemu," "Kamu lupa naruh kali,Bil?" "Seinget aku terakhir kalinya aku nulis itu dicafe,mungkin karena buru-buru aku jadi lupa masukin lagi kedalam tas," "Jangan-jangan ketinggalan dicafe," "Aku pikir juga gitu. Tapi tadi aku udah ke cafe tapi nggak ada," "Atau jangan-jangan jatuh dijalan," "Nggak tau deh, Ntan. Mana buku catatannya penting banget lagi buat aku," "Kamu sih nggak hati-hati," Fyi, aku adalah mahasiswi semester 5 yang kuliah dijurusan Psikologi,bahkan sebentar lagi akan naik ke semester 6.Selain bercita-cita ingin menjadi seorang psikiater,aku juga ingin mengurangi jumlah angka pasien yang mengalami keterbelakangan mental akibat depresi. Bu Rika, dosen pembimbing yang berkesempatan mengajar sudah datang. Dosen berkaca mata dan berhijab itu selalu memulai memberi materi dengan diawali kuis. Untungnya tadi malam aku sudah membaca tentang teori-teori kejiwaan,jadi aku tidak kaget lagi saat akan menjawab soal kuis. ❤ Aku ke cafetaria depan kampus seorang diri,biasanya aku bareng Intan. Tapi karena dia ada urusan sama organisasinya jadi dia absen menemaniku. Aku duduk dikursi paling pojok dekat pohon ketapang. Karena cafetaria ini menyediakan tempat indoor dan outdoor. Jadi aku lebih milih lokasi tempat duduk outdoor, selain menikmati AC alam,aku juga bisa melihat mahasiswa-mahasiswi yang berlalu lalang dan kendaraan-kendaraan yang hilir mudik,karena cafetaria ini memang menghadap langsung ke jalan raya. Sebelum duduk, aku sudah memesan segelas ice lemon tea dan sepiring nasi goreng spesial. Soalnya tadi pagi aku nggak sempat sarapan karena buru-buru mau mencari buku jurnalku yang hilang dan sekalian makan siang juga. "Laper atau doyan sih!"kata seorang cowok yang familiar ditelingaku.Aku menoleh dan mendapati seorang Danar Adhitama dengan gaya coolnya berdiri dihadapanku,lalu duduk disebelahku sambil menatapku jahil. "Menurut kamu?"ucapku sambil menyedokkan nasi ke mulutku. Tidak merasa terganggu dengan kedatangannya. "Kayaknya dua-duanya deh. Tuh sampe belepotan kayak gini,"tangan Danar mengambil tisu dimeja lalu mengelapnya ke bibirku. Sok romantis banget sih,nih anak! "Aku bisa sendiri kok, Nar,"aku mengambil tisu dari tangannya dan membuat ia terkekeh. Aku sudah biasa didepan Danar, jadi aku nggak perlu malu-malu atau sok jaim kalo sama dia. Fyi, Danar itu anak Jurusan Kedokteran semester 5 dengan memiliki IPK 3,80 yang hampir mendekati angka sempurna .Selain tampan dan jenius, ia juga ramah ke semua orang apalagi ia juga terkenal dikalangan dosen dan mahasiswi. Satu lagi aku sama Danar itu berteman sejak masa ospek.Tapi nggak usah pake flashback segala,soalnya aku nggak ingat lagi alias lupa karena itu sudah dua tahun yang lalu. Aku malas untuk mengingatnya lagi. Jadi kalo kalian mengira kami pacaran itu salah besar, karena Danar sebenarnya sudah punya pacar. Jangan patah hati dulu karena diluar sana masih banyak cowok yang jomblo yang lebih keren dari Danar. Kedekatan kami wajar dan normal. Namun entah mengapa banyak pasang mata yang mengira kami berdua itu berpacaran. Aku sudah merasa kenyang karena telah menghabiskan makananku dan menyisakan irisan tomat dan timun yang nggak aku suka, lalu menyruput minumanku hingga tersisa setengahnya. Kemudian muncul sebuah ide jail dikepalaku. Nggak jail juga sih, namanya juga kepepet. Aku segera berdiri dari tempat duduk dengan cengiran lebar. "Nar,aku lupa bawa dompet nih. Tolong bayarin ya," "Kamu yang makan, kenapa aku yang bayar sih,Bil?" "Yah, Nar. Kamu kok pelit banget sih sama aku," "Makanya,Bil jangan pikun jadi cewek,belum nenek-nenek juga. Dasar pelupaan," "Tadi aku buru-buru, Nar. Besok aku ganti deh," "Ya udah iya aku bayarin, sono masuk kelas!" "Oke,Nar.Makasih," Aku berjalan meninggalkan Danar yang mengomel sendiri sambil terkekeh pelan karena aku berhasil merealisasikan ide jail yang muncul. ❤ Setelah kelas bubaran. Aku segera merapikan buku-buku dan alat tulis lalu kumasukkan kedalam tas ranselku. Sambil menyandang tas aku berjalan keluar kelas.Lalu kuambil smartphone yang ada dikantong kemejaku, mau pesan go-jek. Aku menunggu dipinggir jalan depan kampusku, Universitas Taruna Negara (UTN),Salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Sepulang dari kampus aku tidak langsung pulang ke rumah melainkan nongkrong dulu ke Funday Cafe, tempat favoritku. Karena aku masih kenyang jadi aku hanya pesan Milk Tea sekaligus numpang pake wi-fi gratis soalnya kuota internetku sedang limited. Saat mataku memandang kearah kasir,aku melihat seorang cowok asing yang pernah kulihat sebelumnya. Eh,itu kan cowok yang kemarin.Coba aku tanya deh! Aku beranjak dari tempat dudukku untuk mengejar cowok itu yang sudah keluar dari cafe. Namun sial. Ternyata cowok itu sudah hilang dari pandangan mungkin sudah pergi dengan mobil jazz warna hitam tadi. Aku menghembuskan nafas, lalu kembali masuk kedalam cafe.Semoga besok ketemu lagi sama tuh cowok,siapa tau dia yang nemuin. Ini pilihan terakhir, jika memang sudah hilang. Mungkin aku memang harus mengikhlaskan,meskipun harus beli buku jurnal yang baru dan menulis ulang catatannya yang kemungkinan akan jauh berbeda dari catatan sebelumnya. Part 3 'Hidup adalah serangkain kebetulan.Kebetulan adalah takdir yang menyamar.' ~Fiersa Besari, Garis Waktu --- "Sabila Qotrunnada!"seseorang menyebut nama lengkapku bahkan suaranya begitu dekat. Aku menoleh ke belakang, lalu mendapati seorang cowok yang sudah dua kali aku temui dicafe beberapa hari yang lalu. Saat ini aku sedang berada ditaman radio yang terletak dijalan Ir.H.Djuanda.Salah satu taman kota yang dibuka untuk umum. Tunggu!Darimana dia tau namaku? "Itu nama kamu kan?"katanya kepadaku, lalu aku menggangguk membenarkan. "Kamu tahu darimana kalo itu namaku?"tanyaku heran. Bukannya menjawab, cowok itu malah mengulurkan tangannya kearahku. "Nevan Alresca.Panggil aja Nevan," "Oke,Sabil."Aku menerima uluran tangannya. Dan detik ini kami mulai berkenalan. "Kamu ngapain disini?"tanya Nevan basa-basi. "Lagi nungguin seseorang nih, tapi kok dia belum dateng juga sih,"jawabku sambil melirik arloji ditangan kiriku yang menunjukkan pukul 16.15 p.m. Tak lama kemudian seorang cowok yang sangat aku kenal, datang menghampiriku dengan nafas ngos-ngosan seperti habis berlari. "Sorry,Bil.Aku telat, ban hondaku bocor ditengah jalan,"ujar Danar sambil mengatur nafasnya yang masih belum beraturan. "Nar, kamu udah telat 30 menit.Aku udah nunggu kamu selama itu loh,"ucapku mendramatisir keadaan. "Iya,Bil.Sorry," "Lain kali jangan gitu dong, Nar. Capek tau nungguin kamu," "Ceileh bahasa kamu,Bil.Kayak ngasih kode aja," Dasar nggak peka! "Hahaha.Btw trus honda kamu dimana sekarang?" "Aku tinggal dibengkel yang nggak jauh dari sini," "Trus sekarang kita jadi ke toko buku?" "Jadi dong,"Danar menarik tanganku. Sebelum meninggalkan taman kota, aku menoleh kearah Nevan yang tersenyum kearahku. "Nevan, aku duluan ya!"pamitku lalu aku mengikuti Danar yang masih menarik tanganku. "Oke,Sabil.Hati-hati,"sahutnya sambil mengacungkan jempol kanannya. Aku dan Danar sudah berada ditoko buku disalah satu mall terbesar di Bandung. "Bil, cowok yang sama kamu tadi siapa?"tanya Danar sambil menelusuri buku-buku yang ingin dicarinya. "Nevan.Baru kenal sih,"jawabku sambil ikut-ikutan mencari buku. "Kok kamu kayak akrab gitu sama dia?" "Biasa aja sih, Nar," Setelah itu kami menelusuri rak yang berbeda,mencari buku yang dicari masing-masing.Ditanganku sudah ada satu buku jurnal warna coklat yang lebih besar dari buku jurnalku yang hilang dan buku referensi tentang psikolog.Sedangkan Danar tidak menemukan buku yang dicarinya. ❤ Kami tiba dibengkel,tempat Danar meninggalkan motornya untuk menjemput motornya yang sudah diganti dengan ban baru,karena ban sebelumnya sudah bocor parah karena terkena paku. Setelah membayar biaya perbaikannya,Danar segera menaiki motor sportnya,lalu mengajakku untuk naik ke boncengannya. Aku segera menaiki motornya,lalu motor melaju meninggalkan kawasan bengkel,membelah jalan alternatif menuju rumahku. Aku turun dari boncengan Danar begitu motornya berhenti didepan rumahku. "Nggak mampir dulu,Nar?" Sambil melihat arlojinya,"Lain kali aja,Bil.Aku lagi ada urusan nih.Aku pulang dulu ya!" "Oke,hati-hati ya!" Danar mengangguk,lalu segera menarik gasnya meninggalkan kawasan tempat tinggalku di Kompleks Perumahan Mutiara Asri yang terkesan sederhana,jauh dari kata mewah.Setelah Danar pergi,aku segera membuka gerbang lalu masuk kedalam rumah setelah aku buka pintunya dengan kunci yang aku bawa.Kak Endah sepertinya belum pulang dari kantor dan aku dirumah sendirian. Sekarang aku sedang berada didalam kamar,merebahkan diri dispring bed. Entah kenapa aku terbayang dengan Nevan,cowok yang baru aku kenal.Seketika aku melupakan buku jurnalku yang hilang. Ditengah lamunanku,tiba-tiba suara dering ponselku didalam tas selempang yang tadi aku pake membuyarkan lamunanku.Aku meraih tasku,lalu mengambil ponsel yang ada didalamnya.Aku lihat nama Danar tertera dilayar ponselku,lalu segera aku mengangkatnya. "Apa,Nar?"tanyaku to the point,tanpa mengucapkan hallo. "Aku baru putus sama Kinan,Bil!"ceritanya. "Hah,kok bisa?"haruskah aku senang mendengarkan kabar ini?Atau merasa bersalah? "Kayaknya dia cemburu liat aku dekat sama kamu," "Jadi kamu putus gara-gara aku?Aku jadi nggak enak nih," "Bukan,Bil.Aku udah nggak cocok aja sama dia,aku nggak pernah tau apa maunya,pokoknya serba salah deh kalo sama dia," "Hmmm,tapi bukankah kamu sayang banget ya sama dia?" "Iya dulu,sekarang biasa aja," "Secepat itukah kamu move on,Nar?Udah satu tahun lebih kan kamu sama dia? "Namanya juga hati,Bil.Bisa berubah kapan aja,meskipun udah lama jadian," "Single dong sekarang?" "Iya,makanya ini aku mau ngajakin kamu jadian," "Danar,nggak lucu ya!" "Hahaha,bercanda,Bil." "Nar,udah dulu ya.Aku mau ngerjain tugas nih,bye!"memutus sambungan telepon sepihak. Paling-paling Danar diseberang sana bakalan menggerutu,"Kebiasaan banget sih,nih anak!" Setelah bertelponan dengan Danar yang curhat habis diputusin pacarnya,aku segera beranjak menuju meja belajar,menghidupkan laptop dan membuka buku yang baru kubeli tadi sore. Oh iya,cowok yang namanya Nevan itu kan cowok yang sama dengan yang dicafe waktu itu,kenapa aku tidak bertanya ke dia?Tiba-tiba aku kembali teringat dengan cowok itu. Part 4 'Tidak ada quotes untuk hari ini' --- DanarBil,aku udah didepan rumah kamu nih Aku membaca pesan whatsapp setelah mendapatkan notifikasi beberapa menit yang lalu. Tumben banget nih anak!Karena aku sudah rapi dan siap berangkat ke kampus,aku segera menemui Danar yang sudah menunggu didepan gerbang rumahku.Kulihat dia sedang bersandar dimotor sportnya sambil memandang langit biru yang cerah. "Ada angin apa nih kamu jemput aku,Nar?"sapaku begitu membuka gerbang rumahku. Danar menoleh,lalu beralih menatap kearahku,"Emangnya harus ada badai dulu,baru aku boleh jemput kamu?" "Ya nggak sih.Tapi kok tumben banget gitu!" "Udah deh,naik aja.Nanti kita telat," Aku menurut,lalu naik ke boncengan Danar setelah memakai helm bogo dari Danar.Seketika Danar langsung menarik gasnya membuat aku refleks memegang jaketnya kuat dan mendesis. "Hahaha,peluk aja kali,nggak usah malu,"kata Danar sambil menarik tangan kiriku lalu melingkarkan keperutnya. "Apaan sih,Nar?" "Biar kamu aman," Perasaan macam apa ini?Nggak,nggak boleh! Kami tiba diparkiran kampus,lalu berpisah karena beda jurusan. Aku masuk kedalam kelas dan mendapati Intan sedang membaca buku dan anak-anak yang lain sibuk masing-masing. "Bil,emang iya ya Danar putus sama Karin?"tanya Intan begitu aku duduk dikursiku. "Kamu tau darimana?"aku balik bertanya. "Semua anak kampus juga tau kali,makanya aku mau memastikan lewat kamu,bener apa nggak sih?" "Iya bener," "Tapi gosip yang aku denger nggak bener kan?" "Gosip apaan?" "Kalo mereka putus gara-gara kamu?" "Itu nggak bener,Ntan.Nggak mungkin dong aku sejahat itu," "Iya deh aku percaya.Tapi yakin kamu nggak ada rasa sama dia?" "Apaan sih,Ntan!"aku mengelak dan ragu.Apa memang benar aku memiliki rasa terhadap Danar? Sudah hampir 15 menit berlalu,tapi dosen pembimbing belum juga menampakkan batang hidungnya,padahal Pak Burhan itu terkenal sebagai dosen yang paling disiplin,tapi sepertinya beliau berhalangan hadir. Karena kelas kosong,aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan untuk menulis ulang catatanku kembali. Namun ditengah perjalanan aku bertemu dengan Karin,mantan pacar Danar bersama dua temannya. "Kebetulan banget ketemu kamu disini?"ujar Karin menyembunyikan sesuatu. "Ada apa,Karin?"tanyaku menghentikan langkah. "Ada apa kamu bilang?Heh,denger ya.Coba kamu nggak nempel terus sama Danar,aku nggak mungkin putus sama dia," "Jadi kamu nggak terima dan menyalahkan aku?Kamu kan tau kalo aku sama Danar itu cuma sahabatan.Aku nggak mungkin merusak kebahagiaan sahabat aku sendiri," "Halah,nggak usah muna deh.Mana ada sih persahabatan antara cowok dan cewek yang murni,kamu suka kan sama Danar?Udah ngaku aja!" "Terserah deh kamu mau ngomong apa.Aku permisi," "Dasar perusak hubungan orang,"kata Karin menghentikan langkahku. "Jaga mulut kamu.Aku nggak pernah ya merusak hubungan siapapun,"aku merasa tidak terima karena dituduh seperti itu. "Yah,namanya juga orang bersalah,jadi suka membela diri terus," Aku benar-benar terpancing emosi,lalu tanpa sadar tanganku hampir menampar pipi mulus Karin,kalo saja tidak ada sebuah tangan yang menahannya. "Jangan buang-buang tenaga demi orang yang nggak penting, nanti kamu akan merasa lelah karena harus menghadapinya," kata sebuah suara yang aku kenal. Aku menoleh dan mendapati Nevan berdiri disampingku,lalu menarik tanganku meninggalkan Karin dan kedua temannya. Nevan membawaku ke cafetaria kampus,lalu memesan makanan untuk kami. "Jadi kamu kuliah disini?"tanya Nevan membuka suara. "Iya,terus kamu ngapain?Kuliah disini juga?" "Aku nggak kuliah disini kok," "Jadi?" "Aku mau mengurus biaya administrasi adik aku yang pindah kuliah disini," "Oh,kirain kamu anak kampus sini juga," "Nggak," Hening. "Btw,kok bisa sih kamu dilabrak sama cewek tadi?" "Panjang ceritanya," "Ceritain aja," Sebelum aku bercerita,tiba-tiba Danar menghampiri meja kami. "Bil,kamu disini?Aku cariin juga," Description: [Ketika Menjadi Kita] Aku dan kamu itu ibarat langit sama bumi. Dekat, tapi jauh. Aku dan kamu itu ibarat air sama minyak. Bersama, tapi terpisah. Dan kita terdiri atas aku dan kamu. Mungkinkah suatu hari nanti aku dan kamu akan menjadi kita?Who know? ~WELCOME TO MY STORY! sumber gambar : pinterest
Title: When Nat Met Neo Category: Novel Text: Prolog Bocah laki-laki itu duduk di pinggir pantai sambil merenung. ditemani hembusan angin, cahaya matahari yang sebentar lagi akan tenggelam, dan suara ombak yang menenangkan hati. Namun ekspresinya tidak tampak tenang sedikitpun, ekspresinya justru terlihat sangat datar seolah ia sudah sangat bosan dengan hidupnya, seolah ia tidak memiliki kenangan menyenangkan sedikit pun. Hatinya terasa sangat sakit, rasanya seperti tertusuk pisau yang sudah terasah sangat tajam. Perlahan tapi pasti, ia berdiri lalu melangkahkan kakinya menuju air laut. Ia terus melangkahkan kakinya. saat kedua kakinya telah menyentuh air, ia berhenti sebentar dan merasa sedikit ragu 'apakah ini solusi yang tepat untukku?' batinnya. Namun tak lama ia mengingat kembali kehidupannya. Memori tentang kehidupan kelamnya tergambar jelas di benaknya. Hatinya pun terasa lebih sakit. 'ya, ini pasti keputusan yang tepat untukku. Toh tidak akan ada yang sadar bila aku sudah tiada, justru semua orang di sekitarku akan sangat senang' batinnya, kali ini ia sangat yakin lalu melanjutkan langkahnya. Air sudah membasahi sampai setinggi lehernya, ia pun memejamkan mata. sekarang seluruh tubuhnya sudah masuk ke dalam air. ia melemaskan tubuhnya, membiarkannya mengambang di dalam air. ketika sudah cukup lama matanya terpejam, ia membuka matanya kembali. kali ini ia melihat sesosok bocah perempuan yang mengenakan baju putih mendekat ke arahnya. ia terlihat seperti malaikat. 'siapa dia? apa dia yang akan mengantarku ke surga?' batinnya. lalu semuanya gelap. Natalie dan Sarah Seorang ibu guru sedang berjalan di koridor menuju ke kelas yang akan diajarnya sambil membawa beberapa buku. Ia adalah bu Cindy, guru sejarah yang tidak disukai oleh sebagian besar murid SMA Cleverworld karena sifatnya yang cuek dan terkenal sadis ketika memberikan tugas. Ia tak sadar bahwa sedari tadi ada seorang perempuan yang mengintip di belakangnya dari balik tembok sambil menahan tawa. Ketika hampir sampai di kelas, ia tiba-tiba terjatuh terlentang karena terpeleset. Ternyata ia tak sadar bahwa ada genangan air yang dicampur pembersih lantai dan seperti sengaja ditumpakan. Murid-murid yang melihat dari dalam kelas pun tertawa terbahak-bahak. "AAAKKKKHHHH KENAPA LANTAINYA BISA BASAH?! INI SIAPA YANG BASAHIN LANTAI SIH!!" teriak Bu Cindy dengan posisinya yang masih terlentang serta ekspresi wajahnya yang terlihat marah bercampur dengan malu. Bu Cindy pun dibantu berdiri oleh petugas OB yang sedang lewat. "arrrghh jangan-jangan ini bapak ya yang bikin lantainya basah, kalau ngepel yang bener dong!, ini celana saya jadi basah gini siapa yang mau tanggung jawab?!" kata Bu Cindy dengan nadanya yang ketus. Petugas OB itu hanya terdiam, karena ia merasa tidak melakukan kesalahan itu. Bu Cindy pun hanya memutar bola matanya lalu pergi dengan cepat menuju toilet. Sepertinya ia sudah tidak mood untuk mengajar. "BHAHAHAHAHAHA," Perempuan yang tadi mengintip pun tertawa dan langsung berlari menuju kelas sambil masih tertawa. bahkan ketika sudah sampai kelas ia masih tertawa sambil berjonkok-jongkok, membuat siapa pun yang melihatnya terheran-heran. Ketika sudah dekat dengan tempat duduknya, teman sebangkunya yaitu Sarah, bertanya "Nat, lu kesurupan ya?" Natalie pun kembali tertawa, kali ini justru lebih kencang. "Woy!! udah dong cape gue dengernya," kata Sarah, sedikit membentak. "sar, sumpah lu harus tau nih yaa..." Natalie pun menceritakan kejadian yang tadi Bu Cindy alami. "HUAHAHHAHAH! LU TEGA BANGET NYIRAM LANTAI BIAR BU CINDY KEP...." Teriak Sarah yang langsung ditutup mulutnya oleh Natalie "gila lu jangan teriak-teriak dong ntar pada denger," kata Natalie dengan ketus. "ya maaf, gue tau lu jahil mampus tapi ga nyangka sampe berani jahilin bu Cindy yang super nyebelin itu," kata Sarah. "mulai sekarang gue berani deh jahilin guru-guru yang lain, ntar lu gua ajak deh biar ngerasain kenikmatannya," kata Natalie sambil tersenyum jahat. "ogah, lu gausah fokus jahil deh belajar dulu yang bener, lu udah bego tambah bego yang ada. don't forget, kita udah kelas 12," kata Sarah "sar, you're the honest person i've ever met," ucap Natalie jengkel. "yeah, and i'm proud of th..." balas Sarah yang segera terpotong oleh Bu Clairine yang berkata "Sarah dan Natalie, kalian mau ngobrol sampai kapan?" mereka pun diam dan hanya menunduk. "lah Bu Clairine kapan datengnya, jangan-jangan dia bisa berteleportasi" bisik Sarah. Natalie yang memang dikenal sangat receh langsung tertawa terbahak-bahak. ☆☆☆ "ah lu sih Nat ngapain ketawa segala sih gue kan mau belajar malah jadi bersihin toilet gini," keluh Sarah. "Ya suruh siapa lu ngelawak gitu," balas Natalie. Sebetulnya dalam hatinya ia merasa sangat senang karena tidak perlu pusing-pusing ikut pelajaran matematika dari Bu Clairine. "Itu bahkan gaada lucu2nya Nat!!," kata Sarah yang sekarang terlihat lebih sebal daripada sebelumnya. Natalie hanya tersenyum, temannya yang satu ini memang sangat pintar mengomel, bahkan hal kecil sekalipun ia permasalahkan. Namun Natalie tetap menyayangi Sarah seperti saudaranya sendiri, karena justru Sarah lah yang selalu menemaninya selama ini. Lagipula ia sudah hafal cara agar Sarah tak lagi mengomelinya "Oke sorry, gue beliin eskrim vanilla ntar pulsek," kata Natalie. "YEEAAYY emang cuman lu yg ngertiin gue, huhuhu," girang Sarah sambil berpura2 terharu. "Lebay lu, yaudah buru sikatin tuh WC biar cepet kelar," balas Natalie. ☆☆☆ "Sarah, pulang sekolah mau ikut main sama kita?" ajak salah seorang dari tiga perempuan. "Waahh oke aku ikutt!!" Girang Sarah. saat itu baru seminggu masuk SMP, dan Sarah sangat senang karena sudah ada yang mengajaknya pergi. Apalagi yang mengajaknya sekarang adalah tiga perempuan hits paling terkenal seangkatan yaitu Rebecca, Christina, dan Jessica. Akhirnya sepulang sekolah pun mereka berangkat menggunakan mobil Christina yang disetir oleh supir pribadinya, Sarah sebetulnya tidak tahu akan pergi kemana, ia hanya mengikuti mereka dengan senang. Ketika di jalan, Rebecca, Christina, dan Jessica memperlakukan Sarah dengan baik dan membuat Sarah sangat nyaman. Ketika sudah sampai, ternyata Sarah dibawa ke tempat karaoke. "Waahh ternyata kita mau karaokean nih??" Tanya sarah girang. "Iya sar, ayo kita masuk," kata Jessica, namun anehnya ia mengatakannya sambil tersenyum licik. Mereka pun menuju ke sebuah ruangan tanpa memesan dulu ke resepsionis 'ah, mungkin mereka sudah memesan lebih dulu' batin Sarah. Namun ketika masuk, ia melihat ada seorang laki-laki menggunakan seragam yang sama dengan seragam SMP nya. "Oh, kalian ngajak orang lain juga?" tanya Sarah. "Nggak kok, lu aja sana," ucap Rebecca. Belum sempat Sarah menjawab, mereka bertiga bersama-sama mendorong Sarah sampai masuk ke dalam ruangan tersebut dan langsung mengunci pintunya dari luar. "Beccaa!!! Kok gue ditinggal sih??!! Wooyy," Teriak Sarah panik. "Jangan bercanda dongg Christina, jess?!!," Sarah semakin panik. Kali ini ia sudah menyadari bahwa ia telah dijebak. Tiba-tiba lelaki yang tadi memegang pundaknya dengan lembut. "Udah Sarah sayang, kita main berdua aja oke?," ucap si lelaki menggoda. Ketika Sarah menengok, ia pun sadar kalau lelaki tersebut adalah kakak kelas dan Sarah ingat, namanya Ray. "Kak Ray, aku mau pulang aja," kata Sarah sedikit gemetar. "Pulang kemana?, ayo sini, kita main ya," rayu Ray sambil meraba-raba tubuh Sarah. "ARE YOU INSANE??!!" amuk Sarah sambil menepis tangan Ray dari tubuhnya. "Yes!! And that's because of you!!, kalo kamu gamau, terpaksa gue pake kekerasan!" Bentak Ray. Sarah merinding hebat, tangannya ditarik, setelah itu adalah saat paling mengerikan yang pernah Sarah alami. Setelah kejadian tersebut, Sarah tidak masuk beberapa hari, dia sangat ketakutan. Sarah tidak berani bilang kepada orang tuanya, ia terlalu takut untuk melihat reaksi mereka, ia takut mereka akan sangat kecewa. Orang tuanya hanya mengira Sarah sakit. Akhirnya ia memberanikan diri untuk masuk sekolah, walaupun sebenarnya ia sangat ketakutan. Ketika ia bersiap-siap memakai kaus kaki, hp nya berbunyi. Awalnya Sarah tidak ingin mengeceknya, namun hpnya terus berbunyi yang akhirnya memaksa Sarah untuk mengecek hp nya. Hal yang ia takutkan terjadi. Ray mengirim Whatsapp kepadanya. Sarah berpikir pasti Rebecca, Christina, dan Jessica lah yang memberikan nomornya, karena mereka sempat bertukar nomor hp dengannya. Ray Menanyakan keberadaannya, memaksanya untuk bertemu dengannya. Sarah tidak menjawabnya, ia mematikan hpnya, badannya menggigil hebat. Sarah sempat ragu untuk masuk sekolah namun ia teringat akan pelajaran yang sudah ia tinggalkan. Akhirnya ia memaksakan untuk berangkat ke sekolah. Baru sampai di gerbang sekolah, Sarah sudah dicegat oleh Ray dan seorang temannya. "Sarah, kamu kok ga jawab Wa dari gue?" Tanya Ray sok lembut. Ia berusaha mengusap rambut Sarah. Sarah langsung menepisnya. "Oh kamu gitu sekarang, terus waktu di tempat karaoke maksudnya apa? Kamu inget kan kita udah main-main sampe malem?" Tanya Ray dengan mengencangkan suaranya. Beberapa murid yang lewat langsung berbisik-bisik membicarakan mereka. Sarah hanya bisa terdiam, menunduk, ia merasa sangat malu. Hampir saja Sarah menangis sampai ada seorang murid perempuan yang tiba2 berlari ke arah mereka, manampar Ray, dan langsung menarik tangan Sarah. Lalu ia berlari sambil tetap menarik tangan Sarah, yang akhirnya memaksa Sarah untuk mengikutinya "kita mau kemana?" Tanya Sarah bingung, nadanya gemetar karena ia masih kaget. "Ke ruang guru. harusnya lu laporin dong jangan malah diem aja, btw gue Natalie," jawab Natalie. "Gue.. sarah,' kata Sarah. Natalie hanya mengangguk. Setelah kejadian tersebut dilaporkan oleh Natalie, Ray langsung dikeluarkan dari sekolah, sementara Rebecca, christina, dan Jessica di skors dan mendapat hukuman. setelah kejadian itu Natalie lah yang selalu menghibur dan membantu Sarah untuk bangkit kembali, hingga Sarah bisa kembali ceria. Mereka menjadi sahabat yang saling melengkapi hingga sekarang. ☆☆☆ "Sar, makan dong es krimnya, udah gue beliin juga, malah diliatin doang sampe meleleh gitu," kata Natalie menyadarkan Sarah dari lamunannya. Ternyata Sarah tiba-tiba teringat kenangannya bersama Natalie dulu. Walaupun sifat mereka berbanding terbalik, Natalie yang nakal, kasar, dan sulit diatur, sedangkan Sarah yang ramah, pintar, dan sopan, namun mereka tetap bisa menjaga persahabatan mereka, bahkan saling melengkapi. "wah lupa gue, makasih Natalie cantik,"jawab Sarah sambil berusaha untuk mencium pipi Sarah. "ewwh apaan sih Sar gamau gue jijik," kata Natalie sambil berekspresi jijik. lalu Natalie segera berlari. "oh jadi mau main kejar-kejaran nih?, lu kira gue gabisa ngejar lu?," ucap Sarah Sambil berlari menyusul Natalie. ☆☆☆ Kejahilan Natalie Natalie duduk dengan dagunya menempel pada tangannya yang sedari tadi diletakkan diatas meja. ia tampak sangat bosan mendengarkan ocehan Bu Watson yang sedang menjelaskan pelajaran ekonomi. Sangat berbeda dengan Sarah yang sedari tadi mendengarkan dengan saksama sambil sesekali menulis. "nat lu gatakut jadi bungkuk apa duduk kayak gitu terus", kata Sarah. "bodo amat lah sar gue udah gakuat dengerin tuh guru nyerocos," balas Natalie datar. Tak lama kemudian Bu Watson berhenti menjelaskan. "finally!!" girang Natalie sambil berbisik. namun kegiranganya langsung menghilang satu detik kemudian. "eh bentar,bentar emang udah bel ya sar? kok gue ga denger," heran Natalie. "wah iya belum bel masih ada 15 menit lagi," balas Sarah. "Bu Watson kan ga pernah berhenti ngomong sampe udah bener-bener bunyi bel, feeling gue ga enak nih kayaknya...," kata Natalie yang langsung terpotong oleh Bu Watson "masih ada 15 menit lagi, kita ulangan ya, materinya yang barusan ibu terangin doang kok," satu kelas pun langsung berisik karena keributan murid-murid. mereka tidak ingin ulangan mendadak. Kecuali beberapa murid yang memang pintar atau memerhatikan penjelasan Bu Watson sedari tadi, termasuk Sarah. "untung ada lu sar, hehe..." kata Natalie, menengok ke arah Sarah sambil nyengir. "tempat duduknya ibu ubah ya, tidak seperti ini," kata Bu Watson. "What the f...." Natalie mengumpat namun ditahan. "yah Nat sabar ya, lu pasti bisa," kata Sarah sambil menahan tawa melihat reaksi Natalie. ☆☆☆ Natalie memandangi kertas ulangan, disana tertulis nilai sebesar 90. ia takjub. "sar, tukeran otak yuk," kata Natalie. Sarah tertawa "ya ampun nat, harusnya lu tuh belajar yang bener, bukan malah mau tukeran otak sama gue," kata Sarah. "nih ulangan lu gamau diambil?" lanjutnya. "ga gue udah enek liat nilai sendiri," balas Natalie. "jangan dong udah nih gue masukin tas lu ya, jadiin motivasi tuh, semangat natt!!" kata Sarah sambil mencubit pipi Natalie, memaksanya agar tersenyum. akhirnya Natalie tersenyum. "oh iya, gue pernah denger kalau Bu Watson itu sebenarnya selama ini pakai rambut palsu loh. Tapi gatau juga itu bener atau nggak. kalau emang bener keren banget kan ga keliatan palsu sama sekali tuh rambut," cerita Sarah. "wah yang bener? ga nyangka gue," balas Natalie. 5 detik kemudian, ia tersenyum. seperti mendapat suatu ide cemerlang. Sarah heran. lalu tiba-tiba Natalie menarik tangannya dan berlari diikuti oleh Sarah. ☆☆☆ "iyaa sayang, ini aku lagi makan kok, kamu udah makan belum sayang?" tanya Bu Watson manja. ia sedang makan sambil berbicara di telepon dengan suaminya. "Wah yang bener yang? LAUK KITA SAMA?! ahh jangan-jangan kita emang jodoh sejati,"kata Bu Watson sambil tersenyum malu-malu. "ewwhh kenapa kita kesini ngeliatin Bu Watson mesra-mesraan gitu sih? kita mau ngapain?," tanya Sarah heran sekaligus jijik. "udah gausah banyak tanya sar, pokoknya pasti ngakak deh," jawab Natalie. mereka berdua sedang mengintip dari balik tumbuhan yang ada di taman tempat Bu Watson makan. "nah lu tunggu disini aja deh, gua mau beraksi dulu ," kata Natalie sambil siap-siap pergi. Sarah bingung namun baru ingin bertanya apa yang akan dilakukan temannya itu, Natalie sudah pergi menuju tempat Bu Watson duduk. Bu Watson masih sibuk berbicara dengan suaminya, sehingga ia tidak sadar bahwa sekarang Natalie sedang berada di belakangnya, mengikat mati ujung Rambutnya di pegangan kursi taman, lalu ia kembali lagi ke arah Sarah dengan hati-hati agar tidak ketahuan. "gila lu ya kalo ketauan gimana?!!" Sarah langsung mengomeli Natalie ketika ia sampai ditempat Sarah. "sstt jangan berisik, udah deh kita nikmatin aja," balas Natalie santai. "lu kalo dendam sama Bu Watson ya ga gini juga caranya," kata Sarah. "yaelah nggak sar, it's just for fun ok?" kata Natalie meyakinkan Sarah. Sarah hanya terdiam. tak lama Bu Watson bergerak, ia akan berdiri. sepertinya makanannya sudah habis, namun ia masih tetap bertelepon dengan suaminya. ketika ia sudah berdiri dengan sempurna, benar saja, rambut palsunya tertarik secara perlahan, sampai lepas dari kepalanya. hanya tersisa rambutnya yang sangat tipis, bahkan kulit kepalanya sampai terlihat. ia terdiam, seperti merasakan sesuatu yang salah. Namun dua detik kemudian ekspresinya kembali seperti semula lalu berjalan sambil terus berbicara lewat telepon. ketika Bu Watson sudah pergi jauh, Natalie dan Sarah langsung tertawa terbahak-bahak karena sedari tadi mereka sudah menahan tawanya. "HAHAHAH oh my god, ternyata dia beneran pake rambut palsu," Ucap Natalie sambil tertawa. "gue ga nyangka rambutnya tipis banget gitu gila HUAHAHAH," kata Sarah. Tak lama mereka mendengar Bu Watson berteriak dengan sangat kencang "AAAKKKKHHHH RAMBUTKU DIMANA?!!" mereka pun langsung tertawa lagi, kali ini sampai air mata keluar dari mata mereka. ☆☆☆ Setelah kejadian yang menimpa Bu Watson, ternyata Natalie menjadi semakin sering menjahili guru-guru lainnya. bahkan sekarang motifnya tidak hanya karena ia dendam kepada guru-gurunya, namun sekarang ia melakukannya karena menikmatinya. seolah-olah semua itu adalah hiburan baginya. ia bahkan tidak merasa bersalah sedikit pun. mulai dari Pak Thomas yang salah memberi sambutan di aula karena Natalie menukar teks yang seharusnya dibaca dengan teks lain yang isinya hal-hal konyol, Pak Adam yang basah kuyup karena terkena semburan air kran di taman yang sudah dirusak oleh Natalie, sampai Bu Patricia yang salah menampilkan power point di kelas, dari yang seharunya pelajaran biologi menjadi video dirinya yang masih muda dan seorang temannya yang sedang ketakutan karena sedang menaiki Roller Coaster. di video itu mukanya memang sangat konyol dan menjadi bahan tertawaan semua murid di kelas. tentu saja itu karena Natalie-lah yang menukar flashdisknya dan mengganti judul video "roller coaster" menjadi "biologi kelas 12". dan masih ada beberapa lainnya. Awalnya Sarah pun menikmati kejahilan Natalie, ia bahkan tetap merahasiakannya dan tidak melaporkan Natalie kepada guru. namun semakin lama ia sadar bahwa apa yang dilakukan Natalie itu salah. dan dia harus mengingatkan sahabatnya itu. ☆☆☆ "Nat, menurut gue lu harus berhenti sekarang deh," Kata Sarah, mengawali percakapan mereka ketika Natalie sedang berkunjung ke rumah Sarah karena mereka akan menonton film horror bersama disana. "berhenti ngapain?," jawab Natalie bingung sambil memakan popcorn yang ia beli dalam perjalanan menuju rumah Sarah. "berhenti ngejailin guru-guru di sekolah, lu ga ngerasa udah kelewatan?" kata Sarah. Natalie terdiam sebentar. "ayolah sar, ini kan ngehibur banget, lu juga ngerasain kan?" kata Natalie lalu disusul tawanya. "iya lu bener, gue awalnya juga nikmatin banget liat guru-guru kita menderita gitu. tapi lama-lama gue sadar, ini tuh salah banget Nat. dan sebagai sahabat lu gue harus ngingetin lu kalau lu salah," kata Sarah. Natalie hanya diam. "nat?" tanya Sarah karena Natalie terdiam cukup lama. "oke sar, gue bakal coba berhenti," kata Natalie sambil tersenyum. "nahh gitu dongg!!" ucap Sarah girang. Natalie ingin menjawab Sarah, namun mereka malah kaget mendengar suara TV yang tiba-tiba berbunyi kencang. "AAHH apaan tuh?" jerit Sarah panik. "ternyata filmnya udah mulai, kaget gue," kata Natalie. mereka tertawa, lalu fokus kepada film sambil memakan popcorn. ☆☆☆ Kepergian Natalie Natalie berjalan menuju kelas. ia mempercepat langkahnya karena pelajaran pertama adalah fisika yang diajarkan oleh Pak Arnold yang mengharuskan muridnya untuk sudah ada di dalam kelas 10 menit sebelum ia memasuki kelas. namun ternyata ketika pertama kali justru dia sengaja datang 10 menit sebelum pelajaran dimulai, dan hukumannya adalah menulis rumus-rumus fisika di kertas HVS 3 lembar sampai penuh bolak-balik. sejak saat itu sampai seterusnya Pak Arnold selalu datang 10 menit sebelum bel. murid-murid pun tidak ada lagi yang berani datang kurang dari 10 menit sebelum bel ketika pelajaran Pak Arnold. sementara sekarang sudah kurang 10 menit, Natalie panik. tiba-tiba speaker di sekolah berbunyi lalu terdengar seorang guru yang berbicara. "Tolong perhatiannya. panggilan kepada murid bernama Natalie Portman, mohon untuk segera menuju ke ruang guru sekarang. sekali lagi panggilan kepada Natalie Portman, mohon untuk segera menuju ruang guru. Terima kasih,". Natalie yang mendengarnya langsung terkejut. 'lah kenapa gue dipanggil?,' batin Natalie. ia pun langsung berjalan menuju ruang guru sambil kebingungan. ☆☆☆ murid-murid sedang berkerumun di depan mading. mereka meributkan pengumuman yang baru ditempelkan disana. Kami selaku pihak guru menyatakan bahwa Natalie Portman kelas XII IPS 2, dikenakan hukuman skors 2 hari lalu setelah masuk mulai dari hari pertama sampai 5 lari setelahnya, siswi diharuskan membersihkan toilet perempuan, menyapu daun di taman, dan membersihkan aula. Hukuman ini kami berikan kepada Natalie karena tidak menghargai dan bersikap tidak sopan kepada guru-guru di sekolah.begitulah inti dari pengumuman yang tertera di mading tersebut. Natalie keluar dari ruang guru dengan lemas, ia tidak percaya telah mendapat hukuman seberat itu. ia masih bingung dari mana guru-gurunya bisa mengetahui bahwa dia-lah yang menjahili mereka selama ini. ketika ia menanyakannya kepada guru BK yaitu Bu Anna, ia hanya bilang kalau Natalie tidak perlu mengetahui dari mana guru-guru mengetahuinya. lalu ia teringat, bahwa hanya Sarah lah yang mengetahui rahasia ini. tak lama Natalie tidak sengaja bertemu dengan Sarah yang sepertinya hendak menyusulnya ke ruang guru dengan wajahnya yang khawatir. "natt! oh my god, kenapa guru-guru bisa pada tau?" tanya Sarah panik. Natalie terlihat kesal, lalu berkata "gausah pura-pura gatau sar, kan cuman lu yang tau tentang ini," Sarah terkejut. "what? jadi maksudnya lu nuduh gue?," tanya Sarah tidak percaya. "ya siapa lagi sih? gue ga nyangka ya lu bisa tega banget kayak gini, emang sih gue kemarin ga janji dan baru bilang mau coba berhenti doang, tapi seengganya gausah laporin gue ke guru sar," kata Natalie. "apaan sih?, emang bukan gue yang ngelaporin lu, jangan nuduh gue mulu dong!," kata Sarah, kali ini ia terlihat marah. "udahlah gue males ngomong lagi sama lu, lagian gue harus siap-siap pulang sekarang. karena lu udah bikin gue jadi kena skors,"balas Natalie ketus lalu berjalan meninggalkan Sarah. "Hey nat! NATALIE!!," teriak Sarah. dia tidak berusaha mengejar Natalie karena ia pun sangat kesal terhadap Natalie yang sembarangan menuduhnya. Natalie berjalan cepat menuju kelas, ia melewati mading yang ternyata masih ramai dikerumuni banyak siswa. "eh eh tuh si Natalie," "mana, mana? oh iya gila ya, masa berani gitu jailin guru-guru," "iya sumpah deh gaada adab banget dia," para murid berbisik sambil melirik-lirik kearahnya. Natalie mendengarnya karena bisikan mereka terlalu keras, bahkan seperti berbicara biasa, ia pun berhenti sebentar dan menyadari bahwa dirinya menjadi bahan tontonan disana. namun ia langsung melanjutkan langkahnya. ia mendengar sorakan para murid di belakangnya. ☆☆☆ "Natalie! ini apa maksudnya?," tanya ibu Natalie ketus sambil duduk si sofa ruang tamu. Natalie baru saja melangkahkan kaki masuk ke rumah dan ibunya sudah bersiap-siap akan memarahinya. "maaf ma," ucap Natalie sambil menunduk. "maaf? kamu kira maaf doang bisa menyelesaikan semuanya?," kata ibunya, sambil berdiri. Natalie mundur, ibunya justru berjalan mendekat ke arahnya. "kamu tau seberapa malunya mama dapet e-mail dari guru kamu? kamu seneng banget ya kayaknya bikin mama malu," ibunya semakin dekat ke arahnya, sementara Natalie terus mundur menjauhi ibunya. "nggak ma," balas Natalie. "KAMU TUH KENAPA SIH SATU KALI PUN GAPERNAH BIKIN MAMA BANGGA!?" kali ini ibunya membentak. "KARENA MAMA GA PERNAH NGANGGEP AKU SEBAGAI ANAK MAMA!"jawab Natalie sambil berteriak. ibunya terdiam, maju mendekat ke arah Natalie, lalu Natalie mundur. sekarang mereka sudah berada di dapur. "kamu kira siapa yang membiayai sekolah dan merawat kamu dari kecil?! MAMA!" bentak ibunya kali ini ia sampai melempar barang-barang yang ada di dapur. ia melempar piring, gelas, sendok. Natalie berusaha menghindar. ini lah yang ditakutkan Natalie, karena ibunya sangat suka melempari atau memukulnya ketika ia marah. "tapi mama cuman ngurusin bisnis mama, temen-temen mama, lagipula yang merawat aku dari kecil itu pengasuh, dan mama gapernah ngasih perhatian ke aku!!" Kata Natalie sambil terisak, ia hendak menangis. "CUKUP!!" teriak ibunya. ibunya kembali melempar benda-benda yang ada di dekatnya, Natalie berusaha untuk terus menghindar. sampai akhirnya ibunya tanpa sadar telah melemparkan pisau yang terletak di meja. ternyata pisau itu sukses tertancap di lengan natalie. walaupun tidak terlalu dalam, darah tetap keluar dari tangannya. ibunya langsung berhenti melempar benda. Natalie hanya terdiam. ia bahkan tidak meringis kesakitan. ia tidak menyangka ibunya berusaha membunuhnya. Natalie mencabut pisau tersebut, lalu berlari menuju kamarnya, merapikan pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, berlari menuju pintu rumah, lalu ia pergi meninggalkan ibunya yang masih terdiam di dapur. ☆☆☆ Natalie berjalan dengan cepat. sedari tadi ia terus berjalan tanpa mengetahui kemana ia akan tinggal. ia sudah sangat bertekad akan pergi dari rumah. ia sudah tidak tahan lagi tinggal di rumah tersebut, apalagi setelah ibunya mencoba membunuhnya. Tak sadar, hari sudah menjelang sore. Perut Natalie berbunyi, ia merasa lapar. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke restoran kecil yang kebetulan ada di dekat tempatnya berdiri. Untung lah ia membawa cukup banyak uang tabungannya. Sedari dulu Natalie memang tidak suka menghambur-hamburkan uang dan gemar menabung. Sesampainya disana, ia duduk di salah satu kursi dekat jendela. Pelayan datang menemuinya lalu bertanya apa yang ingin Natalie pesan. Natalie memesan nasi goreng dengan segelas minuman. Tak lama, pesanannya diantarkan oleh pelayan, lalu ia langsung melahapnya sampai habis. Tak lupa ia pun menghabiskan minuman yang tadi dipesannya. Setelah merasa perutnya tidak lagi kelaparan, ia pun membayar makanan dan minuman tersebut kepada pelayan lelaki yang memberinya bill. "Hei, sepertinya tanganmu terluka?" Tanya si pelayan tiba-tiba. Natalie terkejut dan langsung melihat ke arah tangannya. Benar saja, darah mulai keluar dari lukanya. 'What? Padahal tadi kan udah ga keluar darah' batin Natalie heran. "Sepertinya luka itu serius, gue ambilin kotak P3K ya," ucap si pelayan. Natalie berusaha mencegahnya, namun telat. Si pelayan sudah bergerak mengambil kotak P3K. Tak lama pelayan tersebut kembali sambil membawa kotak P3K. Ia menuangkan alkohol ke kapas, lalu bergerak untuk mengusapkannya pada luka Natalie. Natalie merebutnya, lalu berkata "gue bisa sendiri," ia mendekatkan kapas tersebut ke tangannya, namun tak kunjung mengenai lukanya. Ia takut akan rasa sakitnya. "Kayaknya lu gabisa," kata si pelayan sambil mengambil kapas dari tangan Natalie. "Tenang aja, gue bakal pelan-pelan. Gasakit kok," lanjut si pelayan sambil tersenyum. Natalie terdiam melihat senyumnya, sedikit takjub. Lalu pelayan tersebut mulai mengusapkan kapas tersebut ke luka Natalie. ☆☆☆ Masa lalu Natalie Alunan musik yang dihasilkan biola tersebut berbunyi dengan sangat indah, membuat hati menjadi tenang dan damai bagi siapa pun yang mendengarkannya. bocah perempuan yang sedang memainkan biolanya di atas panggung pun memejamkan mata, menghayati permainannya. ibu dan ayahnya yang berada di belakang panggung tersenyum bangga sambil menyaksikan penampilan putri mereka. Begitu bocah tersebut selesai memainkan biolanya, hampir seluruh penonton serta juri berdiri sambil bertepuk tangan. mereka terlihat sangat kagum. bocah perempuan tersebut tersenyum, membungkuk kepada penonton, lalu segera berlari ke arah orang tuanya yang langsung menyambutnya dengan peluk dan ciuman dari mereka. "nat, kamu hebat sekali tadi!" ucap ayahnya antusias. "iya sayang, ibu bahkan sampai tidak bisa berkata-kata," tambah ibunya. Natalie tertawa "terima kasih karena sudah selalu mendukungku papa,mama," kata Natalie lalu ia memeluk orang tuanya lagi. ☆☆☆ "Selamat ya Bu Megan, anak anda berbakat sekali," ucap salah satu dari kerumunan ibu-ibu yang ada di belakang panggung. "Iya, dia memang pantas menempati juara pertama," ucap ibu-ibu yang lainnya. "Ah tentu saja, karena saya-lah Natalie bisa menjadi sukses seperti ini," kata ibu Natalie bangga. Lalu mereka semua tertawa. Natalie yang berada di dekat situ tersenyum mendengarnya. Natalie sedang duduk di salah satu kursi yang ada di belakang panggung. tak jauh dari tempat duduknya ia melihat Clarissa, saingannya di berbagai kompetisi biola. Mereka memang selalu berebut juara satu, namun karena kali ini Natalie-lah yang mendapat juara satu, menandakan bahwa Natalie lebih unggul daripada Clarissa karena ia mendapat juara 1 lebih banyak. "Kasihan ya anaknya Bu Rachel, dia jadi kalah saing dengan anakmu, Megan," kata salah satu diantara mereka para ibu. "Ya, padahal dia cukup berbakat, ibunya saja yang tidak becus melatih anaknya, hahaha," jawab ibu Natalie sombong. "Kau memang hebat, Bu megan," kata salah satu diantara mereka lagi. Setelah itu para ibu tetap saja membicarakan dan menjelekkan Bu Rachel. Natalie mendengarkan percakapan mereka sambil heran, 'kenapa mereka menjelek-jelekkan orang lain?' Batinnya. Natalie melirik ke arah Clarissa, ternyata anak itu menangis. Tentu saja dia pasti mendengar pembicaraan para ibu yang menjelek-jelekkan ibunya itu. Natalie kasihan, ia berjalan mendekatinya, ingin mencoba menghiburnya. Saat Clarissa melihat ke arahnya, ia langsung berkata "ibumu jahat sekali, Natalie. Dia jahat," ucap Clarissa sambil menangis. Natalie tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama Bu Rachel datang. "Tolong jangan ganggu anakku, sudah cukup aku yang menderita, jangan sampai anakku kena juga!" Bentak Bu Rachel pada Natalie. Ibu Natalie yang melihatnya langsung berlari kearah mereka. "Ada apa ini?kenapa kau membentak anakku?!" Bentaknya. Bu Rachel hanya terdiam, lalu dia langsung pergu sambil menggandeng Clarissa yang masih menangis. "Nat, kamu tidak boleh dekat2 dengan mereka lagi, oke?" Kata ibu Natalie sambil menatap mata Natalie lekat-lekat. "Kenapa ma?" Tanya Natalie heran. "Karena mereka iri kepadamu, nanti mereka akan mengganggumu. Kamu tidak mau kan diganggu mereka?" Jawab Ibu Natalie. "Tidak ma, aku akan menjauh dari mereka," kata Natalie. Walaupun dalam hatinya ia merasa sangat bersalah kepada Clarissa dan ibunya. ☆☆☆ Natalie sangat menyayangi kedua orang tuanya. Ia selalu menurut kepada mereka. bahkan ketika ibunya menyuruhnya untuk selalu latihan bermain biola setiap hari, terkadang sampai malam hari jika ibunya belum puas dengan permainannya, ia tetap menurut kepada ibunya tanpa mengeluh. karena dia sibuk berlatih biola, ibunya akhirnya memanggil guru untuk mengajarnya di rumah saja, alias homeschooling. Natalie selalu menerima keputusan ibunya, karena ia merasa senang jika ibunya tersenyum dan bahagia ketika melihat permainan biolanya. ayah Natalie sebenarnya tidak terlalu menuntut Natalie untuk berlatih keras seperti itu, ia justru khawatir karena Natalie menjadi tidak memiliki teman dan tidak pernah bermain. Padahal anak yang berumur 6 tahun sepertinya seharusnya banyak menghabiskan waktunya untuk bermain. namun ayahnya pun tidak bisa terlalu memperhatikannya, karena ia selalu sibuk bekerja dan pulang hingga larut malam. Natalie sering ikut dengan ibunya untuk bertemu dengan teman-temannya. Namun Natalie tidak merasa senang jika ibunya membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain dengan mereka. atau bahkan ibunya juga sering menyombongkan dirinya. semakin besar, Natalie merasa bahwa yang dilakukan ibunya itu tidak benar, karena ia pun diajarkan oleh gurunya untuk tidak menjadi orang yang seperti itu. sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk menanyakan hal tersebut kepada ibunya ketika ia sedang ikut dengan ibunya ke perkumpulan ibu-ibu tersebut. "ma, kenapa mama berbicara seperti itu?, bukankah itu tidak baik?" tanya Natalie. ibunya kaget mendengar hal tersebut. teman-teman ibunya pun langsung terdiam. Ibu Natalie langsung menarik tangan Natalie. mereka langsung menuju mobil, lalu bergegas pulang. ibunya terlihat marah. Natalie berpikir, apakah salah jika dia hanya mengingatkan ibunya seperti itu, karena niatnya sebenarnya baik. ketika sampai dirumah, ibunya memarahinya habis-habisan hanya karena Natalie bertanya seperti itu. ia bahkan memukul Natalie dengan gesper. itu adalah pukulan pertama dari ibunya. Sejak saat itu, Natalie sangat membenci ibunya. ☆☆☆ Natalie tidak pernah lagi diajak untuk ikut bersama ibunya. yang ia lakukan setiap hari hanyalah berlatih biola. ibunya pun tidak ingin melatihnya lagi, akhirnya ia membayar seorang pelatih. sampai suatu malam, ia terbangun karena suara mendengar suara berisik. ia pun mengintip melalui celah pintu yang ia buka sedikit. ternyata orang tuanya sedang bertengkar. ibunya terlihat sangat marah, sedangkan muka ayahnya memerah, terlihat seperti teler karena mabuk. "kenapa kau selalu memaksakan kehendakmu kepada anak kita?! hah? dia itu butuh hiburan. tidak bisa setiap hari kau suruh dia untuk selalu berlatih!!" kata ayahnya, suaranya tidak jelas karena ia mabuk. "apa? justru itu untuk kebaikan dia! dan kau? apa yang kau lakukan? setelah bisnismu bangkrut kau hanya selalu bermabuk-mabukan setiap hari!! mau makan apa aku dan Natalie?!" bentak ibunya. "kau pun selalu sibuk bermain-main dengan teman-temanmu yang buruk itu! karena kau berteman dengan mereka kau bahkan menjadi sering menghambur-hamburkan uang! dan kau tidak pernah memberi perhatian kepada Natalie!!!" teriak ayahnya. Natalie kaget mendengar perdebatan mereka. 'bisnis papa bangkrut? sejak kapan?' batin Natalie. setelah itu orang tuanya terus bertengkar. bahkan dia mendengar ada suara barang pecah. akhirnya ia hanya menutup telinganya dengan bantal. ia takut. ketika sudah tidak ada suara ribut-ribut lagi, Natalie mengintip lewat pintu. ia melihat ayahnya pergi dengan membawa tas besar. ibunya pun menutup pintu rumahnya. Natalie melihat ayahnya dari jendela kamarnya. ayahnya berjalan perlahan menuju mobilnya. 'kenapa papa pergi?' batinnya. ☆☆☆ tepat ketika Natalie berulang tahun ke 8, ayahnya kembali ke rumah setelah 3 minggu tidak menampakkan dirinya. Natalie senang. namun kesenangannya langsung hilang setelah melihat ayahnya membereskan seluruh barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam kardus. "kenapa papa beres-beres? kita mau pindah?" tanya Natalie heran. "tidak sayang, hanya papa yang pindah," jawab ayahnya. "apa? kenapa?!" Natalie kaget. ayahnya tidak menjawabnya, lalu ia bergegas berjalan menuju mobil sambil membawa kardus tersebut. Natalie mengikutinya dari belakang. "pa, aku mau ikut papa saja! boleh kan?" tanya Natalie. ayahnya terdiam. ia berbalik "tidak bisa, sayang," ucap ayahnya, terlihat sedih. "kenapa pa? aku tidak akan rewel, aku ingin ikut papa!" ucap Natalie, ia hampir menangis. ayahnya hanya menciumnya, lalu pergi dengan cepat, masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan Natalie yang berada di belakang mobil. "papa!! aku ingin ikut papa!!" teriak Natalie. ketika mobil ayahnya berjalan, Natalie berlari mengejarnya. "AKU TIDAK MAU TINGGAL DENGAN MAMA. PAPAAA!!" teriak Natalie sambil menangis. ia berhenti berlari. ibunya hanya melihat kejadian tersebut lewat jendela dari dalam rumah. hadiah ulang tahun terburuk bagi Natalie. orang tuanya bercerai. semenjak itu, Natalie memberontak kepada ibunya. ia tidak mau bermain biola lagi. lalu ia dan ibunya pun semakin menjauh. ☆☆☆ Bantuan dari Neo "oke, sudah selesai," kata si pelayan. ia melirik ke arah Natalie yang masih saja terdiam. "hey? luka lu udah gue obatin," kata si pelayan lagi. tapi Natalie tidak menjawab dan masih saja terdiam. "haloo!! kenapa diem aja?" tanya si pelayan, kali ini agak kencang. Natalie langsung tersadar dari lamunannya. ia terlihat kaget. "hey, lu gapapa kan? emang sakit banget ya? sampe diem gitu?" tanya Si pelayan khawatir. "apa? oh, nggak kok! gue tadi cuman ngelamun bentar. btw makasih udah ngobatin gue," jawab Natalie sambil membawa tasnya dan buru-buru menuju pintu keluar. "sama-sama, kapan-kapan datang lagi ya!" kata si pelayan dengan semangat. Natalie hanya menoleh sambil tersenyum kecil. ☆☆☆ Natalie sudah berjalan selama hampir satu jam, sesekali ia berhenti untuk duduk di tempat duduk yang di sediakan di pinggir trotoar. dia sibuk mengecek hpnya untuk mencari kos-kosan yang ada di daerah tempatnya berjalan. tanpa sadar, dia sudah berjalan sampai memasuki suatu perumahann yang cukup besar. ia melihat-lihat rumah disana, siapa tahu ada kos-kosan yang masih mempunya kamar kosong. namun usahanya sia-sia. ia sempat melihat ada beberapa kos-kosan, namun sudah tertempel tulisan bahwa tidak tersisa kamar kosong. hari sudah mulai gelap, sudah melewati pukul 6 sore. Natalie mulai merasa lelah, akhirnya ia memutuskan untuk beristirahat sebentar di taman bermain. dia duduk di kursi panjang yang ada disana. Natalie tetap berusaha mencari kos-kosan di daerah itu melalui hpnya. tas nya ia taruh di sampingnya. tak lama Natalie mendengar langkah kaki yang seperti sedang berlari. ia kaget, lalu menoleh. ia melihat seorang laki-laki yang menggunakan baju serba hitam berlari terbirit-birit lalu menghilang di belokkan. 'kenapa dia?' batinnya. lalu Natalie mengambil tasnya, ia ingin lanjut berjalan. Namun ia menyadari sesuatu. resleting tasnya telah terbuka. ia panik lalu langsung memeriksa isi tasnya. "oh my god!! dompet guee! berarti orang yang tadi lari tuh copet!! sh*t!" Natalie langsung berdiri dan berlari, berusaha mengejar lelaki tadi. Natalie terus berlari mengejar pencuri tersebut. ia melihat lelaki tersebut berbelok ke kanan, ketika ia berlari lalu belok ke kanan, si pencuri tersebut sudah tidak terlihat. "gila! cepet banget ilangnya. oh my god, itu kan uang hasil gue nabung bertahun-tahun," gumam Natalie. ia terlihat sangat sedih, bahkan hampir menangis. 'ga, gue gaboleh nangis disini. gaada gunanya juga gue nangis' batin Natalie, ia meyakinkan dirinya agar tidak menangis. akhirnya Natalie kembali melanjutkan perjalanannya. tak lama ia menemukan indomaret di pinggir jalan. untungnya di kantung celananya masih tersisa uang sebesar Rp 50.000, kembalian ketika ia makan di restoran tadi. karena merasa kehausan setelah berlari tadi, ia memutuskan untuk membeli minum di indomaret tersebut. setelah membeli satu botol air mineral, Natalie duduk di kursi yang disediakan di depan indomaret. lalu dia meminum air tersebut sampai hanya tersisa setengahnya. kemudian dia mengecek hpnya. 'yah, tinggal lima persen' batin Natalie kecewa. 'oh no, gue harus kemana dong? masa iya tidur disini sih, pasti gue bakal diusir' batin Natalie lagi. ia menelungkupkan kepalanya ke atas tangannya yang berada di meja. mencoba berpikir. tiba-tiba, ada seseorang memegang bahunya. Natalie terlonjak kaget. "oh my god!" kata Natalie sambil teriak. "eh maaf udah bikin kage... loh? lu yang tadi gue obatin di restoran kan?" Kata orang tersebut yang ternyata adalah pelayan yang tadi mengobati Natalie di restoran. "eh? iya. kok lu bisa disini? jangan bilang lu ngikutin gue?" tanya Natalie. si pelayan tersebut tertawa "lu geer banget ya kayaknya, ini kan indomaret, dan gue kesini karena mau beli sesuatu. btw kenapa duduk disini? kok ga pulang?" tanyanya heran. Natalie hanya terdiam. "ehm. oke, gue mau masuk dulu beli sesuatu, lu jangan kemana-mana oke? tunggu disini," kata si pelayan sambil bergegas masuk ke indomaret. 'lagian mau kemana juga gue' batin Natalie. Natalie tak perlu menunggu lama, si pelayan sudah keluar dari indomaret sambil menenteng kantung belanjaan yang isinya terlihat lumayan banyak. lalu ia duduk di kursi di depan Natalie. "jadi, lu kabur dari rumah? am i right?" tanya si pelayan. Natalie kaget. "kok lu tau?" tanyanya. "tuh bawa-bawa tas gede, terus muka-mukanya kayak gatau nih mau tidur dimana. iya kan?" jawab si pelayan. sesaat Natalie ragu untuk menjawabnya. Namun akhirnya ia memberanikan diri untuk berkata "gue udah nyari-nyari kos-kosan sekitar sini, tapi gue liat gaada yang masih punya kamar kosong. dan lagi tadi dompet dicopet. sial banget gue hari ini," cerita Natalie. "gue udah ga kaget sih denger lu di copet. asal lu tau aja, disini banyak banget maling. tapi lu beruntung ketemu gue. lu bisa tinggal di rumah gue dulu kok! gimana?" kata si pelayan sambil tersenyum. Natalie merasa senang karena ada yang membantunya, namun ia sempat berpikir dahulu. ia takut kalau si pelayan tersebut ingin menipunya. 'ah tapi mukanya polos gitu. ga mencurigakan sama sekali. gue terima aja deh dari pada nyesel sendiri' batinnya kemudian. "tenang aja. gue beneran mau bantuin kok. ga bakal ngapa-ngapain," ucap si pelayan. 'gila nih orang jangan-jangan bisa baca pikiran gue!' batin Natalie kaget. "ehm. oke gue mau. tapi orang tua lu ga keberatan? gue takut ngerepotin," kata Natalie. "oh nggak kok! justru dia bakal seneng banget kedatangan tamu," jawab si pelayan. "oh? oke. makasih banget ya udah bantuin gue!'' kata Natalie. "no problem. oh iya, kita belum kenalan! gue neo," kata Neo. "gue Nat. Natalie," balas Natalie. "oke, ayo kita berangkat!" ucap Neo semangat lalu berdiri dari duduknya. Natalie hanya tertawa melihat tingkah Neo, lalu menyusulnya. selama di perjalanan menuju rumah Neo, mereka hanya membicarakan hal-hal umum saja. bahkan Neo tidak bertanya sama sekali alasan Natalie kabur dari rumah. Mungkin Neo mengerti hal itu sangat sensitif bagi Natalie. dan Natalie sangat menghargainya. ☆☆☆ "Ann, aku pulang! aku membawa seseorang," teriak Neo ketika sudah memasuki rumah. Natalie berdiri di belakangnya, ia memperhatikan rumah itu. rumah tersebut bertingkat dua. cukup luas, dan ada lima kamar di lantai bawah. tak lama seorang wanita berumur 30-an keluar dari dapur dan berjalan menuju arah Neo dan Natalie. "wah! kita kedatangan tamu baru? senangnya, rumah ini jadi makin rame aja!" kata wanita tersebut. 'ternyata Neo ga boong. kelihatanya dia seneng banget' batin Natalie. lalu ia tersenyum. "hai sweety! siapa namamu?" tanyanya ramah. "namaku Natalie, tante," jawan Natalie sambil berjabat tangan dengan wanita tersebut. "hei! aku belum setua itu, panggil saja aku Ann. oke?" kata Ann. "oh maaf. oke, Ann," jawab Natalie. "justru kau lebih pantas dipanggil tante, Ann," kata Neo tiba-tiba. "jahat sekali kamu, Neo!" kata Ann sambil berpura-pura marah. Neo tertawa. "aku akan menaruh belanjaan ini ke dapur," kata Neo, lalu berjalan menuju dapur. "ayo sweety, aku antar ke kamarmu diatas," kata Ann, lalu mereka berjalan menujur lantai dua. ternyata di lantai dua pun terdiri dari lima kamar. 'lah? banyak banget kamarnya. apa ini semua ditempatin?' batin Natalie. akhirnya Natalie memberanikan diri bertanya. "Ann, apakah semua kamar ini ada orangnya? mereka semua keluargamu?". "oh, tentu saja ada, sweety. mereka semua bukan keluargaku. aku hanya membantu dan memberikan tempat tinggal untuk mereka yang kurang beruntung. tapi tentu saja ku sudah menganggap mereka sebagai keluargaku," jelas Ann panjang. Natalie hanya manggut-manggut 'berarti Neo pun kurang beruntung?' batinnya. "nah, ini dia kamarmu. istirahatlah. anggap saja rumah sendiri ya!, goodnight sweety," kata Ann. "iya. goodnight Ann," jawab Natalie. lalu Ann kembali turun kebawah. Natalie masih berdiri di depan pintu. "hei, goodnight, Nat!" kata Neo tiba-tiba. Natalie menoleh. ternyata kamarnya tepat berada di sebelah kamar Neo. "goodnight, Neo!" balas Natalie sambil tersenyum. ☆☆☆ Rumah Ann Natalie membuka mata, terbangun dari tidurnya. cahaya matahari yang muncul melalui celah gorden tepat mengenai matanya. silau, Natalie kembali menutup matanya. lalu ia meregangkan tubuhnya sejenak. hampir saja ia kembali terlelap sampai tiba-tiba ia kaget dan langsung membuka matanya karena ada yang membuka pintunya lalu berteriak "HALO KAKAK BARU! ini sudah pagi! ayo bangun, kita main yuk!". Natalie masih kaget lalu melihat ke arah pintu. ternyata ada seorang bocah laki-laki disana. ia terlihat sangat bersemangat. Natalie langsung duduk lalu tersenyum kepadanya. 'lucu sekali dia' batinnya. "hei Sam! kakak kan sudah bilang jangan gangguin kak Natalie! dia pasti masih lelah," tiba-tiba Neo muncul sambil mengomeli bocah laki-laki itu. "tapi aku ingin kenalan dengannya kak!" jawab bocah tersebut. Natalie langsung menengahi mereka "hei! gapapa Neo, jangan marahin dia! lagian gue emang udah bangun kok,". lalu Natalie menyampiri bocah tersebut. "hai, aku Natalie. nama kamu siapa?" tanyanya. "halo kak! nama aku Sam. aku pengen main sama kakak cantik!" jawab Sam. Natalie tertawa lalu berkata "oke, kita main nanti ya,". "Nat, lu mandi aja dulu, kamar mandinya disana," kata Neo. "kalo udah beres mandi ke bawah aja, sarapan. tinggal lu doang yang belum sarapan," lanjutnya. "oke Neo. nanti kita main ya Sam!" jawab Natalie. "asyikk!!" girang Sam. ☆☆☆ Natalie turun ke bawah lalu menuju ruang makan. "good morning sweety! makan dulu yuk! nih kamu tinggal pilih aja yang ada di meja makan ya!" Ann menyambutnya ketia ia sampai di ruang makan. "morning Ann!" jawab Natalie lalu ia langsung duduk di kursi dan mengambil makanan yang di sediakan di meja, karena ia sudah sangat lapar. lalu ia mulai memakan makanan tersebut. baru beberapa suap, Natalie sudah berkata "yaampun Ann, makanan buatanmu enak sekali!". Ann tertawa sambil meletakkan segelas susu di samping piring Natalie, lalu ia duduk di kursi yang berada di samping kursi Natalie. "benarkah? syukurlah kalau kamu suka. makanlah yang banyak ya," kata Ann. Natalie mengangguk-angguk. "kamu hari ini ga sekolah, sweety?" tanya Ann tiba-tiba. "ehm. sebenarnya aku di skors, Ann. besok baru aku boleh masuk," jawab Natalie malu. Ann cekikikan. "gausah malu gitu sweety. asal kamu tau, waktu SMA aku pun pernah kena skors. hahahah," katanya. Natalie tertawa "benarkah? aku ga nyangka orang sebaikmu dulu pernah di skors!" ucapnya. "ayolah, setiap orang kan pasti punya keburukan. dan dulu aku itu bad girl di sekolah. hahahaa," kata Ann sambil tertawa. natalie yang melihatnya tertawa pun ikut tertawa juga. "Ann, bolehkah aku bertanya?" tanya Natalie. Ann tersenyum "tentu saja boleh! tanyakan aja apa yang pengen kamu tanya," jawab Ann. Natalie tertawa "oke!. ehm jadi gimana ceritanya sampai kau bisa membuat rumahmu ini untuk membantu mereka yang kurang beruntung Ann?" tanya Natalie. "ceritanya panjang sweety. begini ceritanya..." Ann pun mulai bercerita. ☆☆☆ Ann dan Leo, mereka adalah pasangan suami istri yang beru menikah satu tahun yang lalu. mereka bisa di bilang pasangan yang kaya, karena Leo bekerja sebagai CEO dari suatu perusahaan terkenal. Ann pun mempunyai harta yang banyak, karena ayahnya adalah pengusaha yang sangat sukses, dan ketika ia meninggal, seluruh hartanya di wariskan kepada anak tunggalnya, yaitu Ann. selama satu tahun menikah, mereka berdua selalu menghambur-hamburkan uang dan bersenang-senang. bahkan mereka tidak pernah menyumbangkan harta mereka yang sangat banyak kepada orang-orang yang kurang mampu. yang mereka pedulikan hanyalah diri mereka sendiri. sudah empat tahun mereka menikah, Leo menyadari bahwa mereka tidak juga dikaruniai seorang anak. padahal dia dan Ann tidak menunda untuk memili anak. justru mereka sangat ingin memiliki anak. akhirnya Leo menyarankan Ann untuk memeriksakan diri ke dokter. dan benar saja, dokter bilang Ann mandul. ia tidak bisa memiliki anak. Mereka sangat sedih, terutama Ann, ia berkali-kali meminta maaf kepada Leo karena tidak bisa memberinya anak. bahkan ia sempat ingin melepaskan Leo. Namun Leo tetap berada di sisinya. ia tetap setia menemani Ann. sampai suatu hari, ketika dalam perjalanan pulang, mereka menemukan bayi yang dimasukkan ke dalam kardus dan hanya di biarkan di dekat pohon. Ann yang kasihan melihatnya akhirnya membawanya pulang ke rumah. sejak saat itu, mereka sadar bahwa selama ini mereka tidak pernah memedulikan orang lain yang kesusahan di luar sana. mereka sadar bahwa Tuhan tidak sedang mengutuk mereka karena tidak bisa memiliki anak, melainkan Tuhan memiliki alasan lain. mereka sadar dengan banyaknya harta mereka, mereka bisa membantu banyak orang. akhirnya mereka merenovasi rumah mereka dan menambahkan banyak kamar disana hingga menjadi seperti sekarang. dan ketika mereka melihat anak kecil dijalanan, atau di mana pun yang ternyata tidak mempunyai tempat tinggal, mereka dengan senang hati mengundang mereka ke rumahnya dan mengurus anak-anak tersebut. ☆☆☆ Natalie takjub mendengar cerita Ann. ia tidak bisa berkata apa-apa selama beberapa menit. "aku turut sedih kau tidak bisa memiliki anak Ann. padahal hatimu sangat baik," ucap Natalie akhirnya. "oh ayolah sweety. mereka semua anak-anakku kamu pun anakku sekarang. aku senang kok dengan hadirnya kalian,"jawab Ann sambil tersenyum. Natalie pun ikut tersenyum "oh ya, anak yang pertama kali tinggal denganmu, dia masih tinggal di sini?" tanya Natalie. "iya, namanya Abigail. dia lagi bekerja sekarang. baru-baru ini dia sudah di lamar pacarnya, dan mereka akan segera menikah. ah senangnya, rasanya waktu cepet banget berlalu ya!" kata Ann. "wah? aku ikut senang mendengarnya!" kata Natalie. "lalu suamimu dimana Ann?" tanya Natalie kemudian. "oh, dia sedang ke luar kota untuk urusan perusahaan. baru pulang minggu depan," jawab Ann "OEEEEKKK OEEKKKK," tiba-tiba terdengar suara bayi menangis. "wah, si kembar sudah bangun ternyata!" ucap Ann sambil berdiri "si kembar?" tanya Natalie. "iya! mereka masih kecil dan lucu sekali! baru minggu lalu aku menemukan mereka. aku tinggal dulu ya sweety. Neo sepertinya ada di luar," kata Ann lalu segera berjalan cepat menuju kamar si kembar. setelah Ann pergi, Natalie mencuci piring dan gelas yang ia pakai tadi. ketika mencuci piringnya, ia sempat berpikir. 'gue sampe kapan bakal tinggal disini ya? hmm seengganya gue harus cari kerja sampingan biar ga terlalu ngerepotin!' batinnya. "DORR!!" teriak Neo tiba-tiba sambil memegang pundak Natalie. "AKKHH, gila lu Neo, hobi banget ya ngagetin gu..." kata-kata Natalie terputus karena ketika ia membalikkan badannya, mukanya berada tepat di depan dagu Neo. ia melirik ke atas, lalu matanya dan mata Neo bertemu. 'gila, kalo dari deket, ganteng juga dia... eh apaan sih gue? duh sadar Nat sadar!' batin Natalie. mereka diam seperti itu selama beberapa saat. Natalie merasa sangat canggung. "Neo," "Nat," ucap mereka berbarengan. "lu aja dulu," kata Neo. Natalie bingung ingin menjawab apa. karena sebenarnya ia hanya memanggil Neo namun tidak ingin berkata apa-apa. akhirnya ia spontan berkata "temenin gue cari kerja mau ga!?". Neo tertawa "lu gausah marah-marah juga bisa kali. lucu banget! hahahaha" kata Neo sambil terus tertawa. muka Natalie memerah. ia pun tidak tahu kenapa nada bicaranya bisa menjadi seperti itu. "ih apaan sih," kata Natalie sambil pergi meninggalkan Neo. Neo masih tertawa, namun tak lama tawanya terhenti, lalu ia tersenyum memandangi Natalie yang pergi dari belakang. ☆☆☆ Description: Kisah Natalie si gadis pemberontak. Sampai ia tidak sengaja bertemu dengan Neo, lelaki paling ceria yang pernah ia lihat, lalu semuanya berubah.
Title: Wangsa dan Gorilya Category: Novel Text: Wangsa dan Gorilya wang·sa kl n 1 keturunan raja; keluarga raja. go·ril·ya n pencuri; maling; pencoleng. Anak raja menyangkal takdirnya. Ia bersembunyi dalam hening. Berlari dalam diam. Dari para pemburu. Dari para tikus istana, serta badai peluru. Sampai suatu hari langitnya bersemi, bersemu. Membuatnya tersudut oleh dersik halus perasaan, duhai hati betapa lancang. Haruskah ia mendeklarasikan kuasa? Demi perahunya bisa bersauh, bertambat dan bukannya menjauh. Demi layarnya bisa tergulung, tak lama-lama berlarung. Demi didekap perasaan pulang, rebah di teduhnya naungan. Haruskah ia menerjang daratan? Ada marabahaya yang terang di bawah gemintang. Ada petaka yang senyap di antara bayangan. Bagai tarik ulur dengan hantu. Harus pamer seringai meski napas habis tercekik. Menggerung. Menderu. O, simalakama. Dapatkah sang wangsa tetap lari dari tahta? Atau haruskah ia memaksa bermahkota? Dengan menggadai jiwa pada gorilya, atau perang sampai habis tenaga. Sinopsis Tak ada yang lebih ingin ia lakukan selain menganulir apa yang tak pernah dipilihnya: lahir sebagai anak jenderal ternama yang punya pertalian dengan para gorilya—gembong penjahat negera. Alfonso Masdhirga terus menyangkal. Berpura-pura. Berlari dari sejarah keluarganya. Hingga tiba-tiba saja, ia sudah diburu oleh perempuan yang selamat dari neraka. Rumornya, perempuan itu adalah asasin legendaris yang pernah berpapasan masa lalu dengannya. Alfons bertaruh hidup mati. Memaksanya mengurai benang kusut hantu masa lalu yang selama ini ia hindari. *** Halo, selamat membaca! Gambar diambil dari pexel dan smiles-on-opposite-day.tumblr.com Playlist Serupa Rahim Ibu - Efek Rumah Kaca A Rush of Blood to the Head - Coldplay Dreamer - Ozzy Osbourne Blurry - Puddle of Mud Location Unknown - HONNE Prolog: Reditus in Gratiam = p r o l o g =Reditus In Gratiam Saint-Petersburg, Rusia. Saat ini, di bulan Februari. Napasnya terengah-engah. Sampai terdengar berisik di telinganya sendiri. Uap hangat keluar dari mulut dan hidungnya, pertanda udara di sekelilingnya dingin menghujam. Langkahnya gontai. Sejak tadi, setelah mendarat di Bandara Sheremetyevo, ia terus-terusan memburu. Menaiki shuttle bus marshrutka. Berpindah ke taksi. Lanjut dengan metro. Tersasar. Kemudian menaiki bus lagi. Berlari. Mencari orang itu berbekal alat sadap lokasi yang sinyalnya putus sambung. Bertemu hari ini atau hancur sama sekali. Seharusnya, pemandangan saat itu dapat membuatnya seakan berjalan di negeri dongeng. Tetapi tidak. Malam itu, gerimis salju turun lamat-lamat. Kota katedral yang berselimut permadani putih telah diselusurinya. Dipayungi segala resah. Dikerumuni seluruh perasaan asing. Dibayangi KGB dan kemegahan Kremlin. Dia sebenarnya pernah tumbuh di negara ini. Tetapi segala kenangan yang membebaskan sekaligus traumatik itu tak pernah terasa seperti rumah. Kilasan-kilasan masa remajanya langsung berebut timbul di pikiran, dan ia harus berkali-kali memejamkan mata untuk meredakannya. Entah kenekatan macam apa yang membawanya lagi ke sini. Ke Rusia. Negeri yang kepadanya ia ucapkan terima kasih, dan kepadanya juga ia labuhkan kebencian hingga ke ubun-ubun. Apa yang salah? Apa yang salah dengan dirinya? Dia seharusnya memburu orang itu. Bukan memihaknya. Bahkan, dia seharusnya tinggal diam Indonesia. Tak perlu memedulikan... ...orang itu... Yang demi apa pun, kini telah ada dalam jangkauan pandangnya. Kacamata Nala memproyeksikan dua titik merah bertumpuk yang berkedip-kedip. Memberitahukan bahwa jaraknya dan orang itu tinggal berbilang depa saja. "H-hei," pekiknya tertahan ketika melihat punggung lelaki tersebut. Nala berhenti pelan-pelan dari larinya yang sempoyongan. Tiba-tiba merasa lemah. Tiba-tiba baru sadar kalau perutnya belum diisi seharian. "Hei!" Serunya lagi. Berusaha terdengar lebih nyalang walaupun suhu dingin—mencapai minus—menyebabkan suaranya pecah dan patah-patah. Bibirnya seakan mengeras sehingga dirinya agak kesulitan bicara. Perempuan itu mencoba mengumpulkan kekuatan lagi, berusaha menghampiri siluet belakang yang amat dikenalnya. Raut wajah Nala sarat gemuruh khawatir, tapi mulai bercampur dengan rasa lega. Sudah hampir tengah malam. Akhirnya, orang yang sejak tadi dicarinya terlihat di pelupuk mata. Akhirnya, lelaki itu berada dalam jarak yang bisa direngkuhnya. "Reditus in gratiam!" Lelaki itu menoleh. "R-reditus in gratiam!" Kali ini, perempuan itu hanya bisa berbisik lemah. Deru napasnya saling mengejar. Dadanya naik turun. Uap putih mengepul-ngepul cepat dari hidung dan mulutnya. Debu-debu salju luruh di helai rambutnya. Matanya memancarkan benang kusut perasaan. "Please." Sang lelaki tampak tak mampu menyembunyikan keheranan begitu melihat siapa yang memanggilnya. Tapi sedikit kejap, senyum sinis di bibirnya sudah separuh menyungging. Seperti biasa. 1 | To The Storm That May Come (1) = c h a p t e r 1 =To The Storm That May Come Oak Ridge Memorial Park, Jawa Barat. Dua bulan lalu. Alfonso Masdhirga berhasil melacak balik orang yang menyadapnya. Pengintai itu ada di sini. Di pemakaman salah satu anggota dinasti ningrat besar Indonesia. Ia berdiri cukup jauh di belakang kerumunan, mengamati punggung-punggung peziarah yang memakai pakaian hitam perlente, penuh gaya. The black parade yang malah nyalang mempertontonkan merek gaun mahal atau setelan karya desainer masyhur. Mendung menghiasi kompleks pemakaman mewah tersebut. Sungguh kontras dengan aura di sana yang didominasi oleh ... sesuatu yang bukan kesedihan. "Wey." Sapa seseorang yang baru saja muncul di sampingnya. Alfons sudah langsung bisa mengenali orang itu dari derap langkahnya yang khas. Samudera. Si rekan kerja dan partner sableng kepercayaan. Sam menderita kelainan sejak kecil sehingga harus memakai robot kaki palsu untuk menahan beban bagian kiri tubuhnya, membuat derap langkahnya terdengar tidak biasa dan punya aksen desingan mesin. "Eh, udah balik lo?" Sam merangkul Alfons kasual. "Mohon maaf nih, Bro Alfons, kalau boleh tahu nih, Bro, ini yang lagi Bro ajak ngomong siapa nih kalau gue belum balik?! Basa-basinya ada yang lebih berkualitas?" Alfons mengurut dahinya kesal, kemudian melepas paksa rangkulan Sam, "Lupa gue kalau lo ngeselin." "So, is he really dead?" Cerocos Sam tak acuh. "Cek sendiri coba." Sam memelankan tawanya. "Dari tadi lo?" "Hm." "Tumben lama-lama di acara kayak begini." Sam mengeluarkan rokok dan mengisapnya tanpa terlebih dahulu dinyalakan. Ia kemudian kembali bertanya. Suaranya dibuat lebih rendah. "Lo datang soiree maut itu, kan, ya? Beneran Tirtayasa kekeuh kalau keracunan makanan bisa membuat seorang Andreas Tan wassalam gini? Katanya punya ilmu kanuragan tuh orang." Decak sebal Alfons terdengar nyaring karena penarikan sebab-akibat yang sungguh sembarangan ala Sam. "Ngaco lo." Sam terkekeh kecil. "Eh, terus orang kateringnya gimana?" "Ya nggak gimana-gimana." "Enggak diapa-apain? Bebas aja gitu?" Alfons mengangkat bahunya. "Fishy banget, ya. Padahal gue yakin kalau ada satu aja anggota keluarga mereka yang kena setrum, satu korps pegawai PLN bisa langsung kejang-kejang." Alfons kembali berdecak, "Udah, ah. Males gue dari kemarin ketemu orang ngomongin ini terus. Kayak nggak ada obrolan lain." Ia sebenarnya sedikit mual saat mengingat kehadirannya pada soiree petaka di malam itu. "Kan gue baru balik dari Negeri Tirai Bambu, Bung Popon. Saya dan Bung juga baru bersua. Coba diingat-ingat itu gara-gara siapa yang tiba-tiba pengin madol investor meeting? Anda bukan? Tanggung jawab dong nge-update gue berita terkini." Alfons tak menjawab. Ia hanya menghela napas kesal. Sejak kapan ada tanggung jawab begitu? Sam kembali mendekat dan berbisik lebih pelan. "Terus benar bahwa doi bawa mistress ke sana? Menjembreng skandal di acara hits para crazy rich gitu? Kok cari mati, ya." Dengan dagunya, Alfons menunjuk prosesi pemakaman di depan. "Well, there he was." "Iya juga, sih." Dari belakang, seseorang tiba-tiba mencubit lengan mereka berdua. Sam mengaduh dengan berlebihan—meski tetap menjaga suaranya. "Kalian tuh, hobi kok gunjingin orang yang sudah enggak ada. Respek sedikit, dong." Perempuan yang baru saja sepenuh hati mencubit mereka mendesis kesal. Ia memisahkan kedua lelaki itu dengan berdiri di antara mereka. Pasmina hitam yang mengalungi gelung rambutnya sedikit merosot. Ia membenahinya asal. "Sakit, wey!" Bisik Sam murka sambil mengusap-usap lengannya. Bianca hanya mengerutkan hidung, seperti mencium bau tak sedap—ekspresi khasnya saat tak ingin menggubris lawan bicara. Membuat Sam berkomat-kamit kesal dan memilih melipir ke samping Alfons. Ia menjauhi Bianca sehingga sekarang Alfons yang berdiri di tengah formasi. "Eh, Al," Beberapa menit kemudian, Sam mencoba mengajak Alfons berbicara lagi. Ia masih terlihat ingin tahu. "Hm." "Penasaran gue. Si Nona cantik banget emang, sampai bikin doi nekat melawan Mamak Naga? Cantikan mana sama Makena?" "Ngapain tanya begitu?" Timpal Alfons heran. Matanya memincing curiga. "Ya siapa tahu potensial untuk dipepet. Gue suka tuh yang menantang-menantang beauty gitu." "Sam—" Bianca keburu mengenyahkan Alfons sebelum lelaki itu sempat menyelesaikan kalimatnya. Perempuan itu maju, terlihat hampir menerjang Sam. Alfons memutar bola mata. "Potensial untuk dipepet?" Bianca tertawa meremehkan sampai Sam yakin ia mendengar bunyi 'cih' dari tawanya. "Seriously?" "Serius, lah. Kenapa emang? Cemburu?" Intonasi Sam tak kalah mencolot. Perempuan itu memandangi partnernya aneh. Senewen. Tangannya bersedekap. "Ngaca juseyoo." Bisiknya dengan irama khas ala sapaan bahasa Korea. "Potongan cukong demo bayaran kayak kamu tuh mending tahu diri. Tebel muka, tipis dompet. Beda playing field. Gatel tahu nih telinga dengar kamu ngomong papat-pepet." Bianca mengusap-usap telinganya, gestur jijik. "Uluh-uluuuuh yang cemburu. Gatel apa demam coba sini Abang cek." Sam memegang kening Bianca. Seolah peduli. Seakan hendak menilai apakah dahi perempuan itu panas atau tidak, sebelum menggaruk wajahnya. Bianca naik pitam dan menginjak kaki kanan Sam dengan wedges-nya. Sam sekuat tenaga menahan kesakitan agar tidak menyedot perhatian. "Udah, udah. Hei." Alfons memperingatkan kedua sahabatnya dengan malas. Pikirannya sedang kembali bercabang setelah dipantik oleh pertanyaan Sam. Si Nona cantik banget emang, sampai bikin doi nekat melawan Mamak Naga? Soiree tiga hari yang lalu memang cukup heboh karena mendiang Andreas Tan, pemilik salah satu bank swasta besar di Indonesia, anak kedua dalam trah keluarga Tan, terang-terangan membawa wanita yang bukan istrinya di acara seperti itu. Dengan sekilas lihat saja, Andreas dan pasangan mudanya yang selalu menempel itu tampak vulgar dan mencolok. "Bikin malu Tirtayasa," Alfons sempat mendengar ibu-ibu sosialita di soiree tersebut menceletuk demikian. Di media dan kalangan elite, keluarga Tan memang lebih dikenal dengan sebutan Keluarga Tirtayasa, merujuk nama jalan komplek tinggal Sang Granny yang punya julukan tak resmi: Mamak Naga. Granny adalah generasi tertua—nenek para Tan. Gosip mengenai Andreas dan Sang Nona meluas dalam kecepatan cahaya. Selain itu, beberapa jam setelah kematian Andreas, kabar burung yang lebih kacau langsung beredar di kalangan sosialita. Eliana, istri sah Andreas, diisukan menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi suaminya, entah karena dibakar kecemburuan atau semata motivasi uang. Eliana sendiri sedang ada urusan bisnis—atau konon hanya plesir hambur-hamburkan uang—di Lucerne, Swiss, saat kejadian itu berlangsung. Alibi Eliana kuat. Dia tidak di tempat dan tak ada satu pun bukti yang mengarah kepadanya. Meski jika kebencian dan rasa jijik bisa dijadikan pemberat, Eliana pasti sudah menjadi tersangka utama. Meski demikian, sekencang apa pun gosip jelek berembus, hingga saat ini Tirtayasa masih bisa mengisolasi baunya dari media. Tidak ada media yang berani memberitakan skandal tersebut, lebih tepatnya. Pengaruh Granny begitu kuat. Ia yang terkenal menjunjung adat-adat konvensional tidak akan senang jika kenakalan Andreas bocor ke publik. Dan jika sudah tidak senang, Granny dapat berbuat apa saja. Betul-betul apa saja. Keluarga Tirtayasa sudah mengumumkan bahwa kematian tersebut adalah "tragedi nahas, keracunan makanan karena alergi parah" dan kasus telah ditutup. Betapa pun janggalnya kematian Andreas, mereka tampak tak ingin polisi terlibat lebih dalam dan beritanya terekspose lebih luas. Mungkin mereka tak ingin menciptakan spotlight yang tak perlu atas keluarga tersebut. Atau mungkin ada alasan lain yang lebih genting dari itu. Apakah Alfons peduli? Peduli. Peduli setan. Ia sebenarnya ingin abai terhadap gosip-gosip sakit di lingkaran para elitis. Isu-isunya bikin bosan. Paling perebutan harta, tahta, atau wanita, meski dalam skala drama dan taruhan yang lebih ekstrem. Lebih gelap. Ia sungguh hanya ingin datang ke pemakaman dan pulang, tanpa melakukan misi apa-apa. Bahkan, meski Alfons mengenal Granny secara personal, ia cuma ingin setor muka atas nama kesopanan, dan tak hendak berlama-lama. Tapi ia merasa tidak bisa. Karena pada soiree petaka malam itu, sesuatu juga menimpanya. Dan ia berharap bisa menyelesaikan rasa penasarannya hari ini. Malam itu, ia bertabrakan bahu dengan Sang Nona yang sedang jadi pergunjingan akbar. Cangkir yang dipegang Alfons tersenggol—kopinya tumpah mengenai kemeja putih kesayangannya. Saat bersitatap dengan perempuan itu, Alfons langsung bergidik. Pancaran permohonan maaf dan respek darinya malah dibalas dengan tatapan penuh benci. Mengintimidasi. Dan ia pulang dengan bulatan penyadap di saku jasnya. Alfons yakin, satu-satunya orang yang bisa menyelusupkan alat penyadap itu hanyalah orang yang sempat kontak fisik dengannya. Sang Nona. The Mistress. Ia langsung melaporkan penyadapan tersebut ke Unit Cyber Crime Kepolisian meski memutuskan untuk menyembunyikan beberapa informasi. Secara paralel, ia juga meminta tolong Deaja, salah satu anggota tim kepercayaannya, untuk meneliti. Hingga saat ini, belum ada tindak lanjut atas laporannya ke Unit Cyber Crime. Tetapi Subuh tadi, Deaja berhasil melacak balik sang penyadap. Alfons tak buru-buru mengikuti jejak hasil lacakan tersebut. Ia mengamati. Kemudian sadar bahwa pengintai itu juga menghadiri pemakaman Andreas Tan. Sepanjang prosesi pemakaman, Alfons mencari. Tetapi terlalu banyak orang di sini. Nuansa pakaian yang serupa juga membuat Alfons makin kesulitan menemukan jejak si penyadap yang ia yakin adalah perempuan itu. Si Nona cantik banget emang, sampai bikin doi nekat melawan Mamak Naga? Tidak. Cantik bukan kata yang tepat. Bukan pula kata yang cukup menggambarkan. Memukau? Bukan main? Menghipnotis? Apa pun itu, Alfons merasa istilah-istilah tersebut tak hanya berlaku untuk wajah atau fisiknya. Istilah tersebut juga tepat untuk menggambarkan pembawaannya. Caranya berjalan, menatap, melirik, bertutur. Sangat terkendali. Seakan ia bisa memproyeksikan citra apa saja yang ia inginkan terpancar dari dirinya. Ia mampu terlihat binal, vulgar, dan sedikit murahan di samping Andreas Tan. Namun ia juga bisa terlihat berkelas, berbahaya, dan mengintimidasi saat berinteraksi singkat dengan Alfons ketika bertabrakan bahu kemarin. Alfons mengusap wajahnya frustasi. Sekali lagi, ia edarkan pandangan ke sekeliling. Mengamati—mencari seseorang. Hingga satu ketika, sudut matanya menangkap sesuatu. "Speak of the devil..." tanpa sadar Alfons menggumamkan isi hatinya. 1 | To The Storm That May Come (2) = c h a p t e r 1 =To The Storm That May Come (2) "Speak of the devil..." tanpa sadar Alfons menggumamkan isi hatinya. Membuat Bianca menoleh dan Sam bertanya penasaran. "Siapa devil?" Alfons tidak menggubris mereka dan langsung menyelisip di antara kerumunan, mengejar jejak perempuan yang berani sekali datang ke acara tersebut—mengingat bahwa Eliana dan seluruh cucu-cicit Tirtayasa ada di sini. Dan tentu saja, berani sekali perempuan itu menyusupkan alat sadap di saku salah satu pendiri start up decacorn Indonesia. Sang Nona terlihat jelas ingin bergegas pergi dari sana. Alfons mempercepat langkah dan berhasil membalapnya. Ia berbalik badan, mencegat perempuan itu tepat di muka. Mereka sudah agak jauh dari kerumunan. Berdiri berhadapan. Di dekat mereka ada anjungan dengan patung-patung raksasa serta satu pohon besar yang teduh memayungi. Angin mendung bertiup lambat. "You brave." Kisik Alfons memprovokasi. Sedikit terperangah, perempuan itu kemudian menormalkan ekspresinya. Lantas mengembangkan senyum polos menggoda. "Oh, ha-i. Do I know you?" Alfons membalas dengan senyum yang sama. Ia mengeluarkan ponselnya. Membuka cepat sebuah aplikasi yang menampakkan titik hijau neon dengan latar belakang peta berwarna gradasi hitam. "I'm not sure. What I can say is that I don't know you. But you intentionally put a bug in me. So I tracked you back. And voila." Ia kemudian mengarahkan layar ponselnya ke wajah si perempuan. "Jadi, ada masalah apa sama saya?" Perempuan itu cukup tinggi, tetapi ia masih harus mendangak untuk berbicara dengan Alfons pada jarak mereka yang cukup dekat. Ia jelas lebih muda dari Alfons—bahkan lebih cocok jadi anaknya Andreas Tan. Struktur wajahnya sedikit berbeda dari ingatan Alfons. Kini, yang ia lihat adalah wajah yang sangat Indonesia, dengan rona kemerahan di pipinya dan warna darah di bibirnya. Netranya yang jernih samar-samar bersembunyi di balik kacamata gelap kecoklatan. Menatapnya tanpa keraguan. "Jangan acting, please. You put a tracker on me at that damn soiree. You know me," Alfons masih tersenyum tengil. Perempuan itu balik badan dan mensejajari Alfons. Gestur tubuhnya berubah rileks. "Saya dengar sih kalau kamu orangnya nggak neko-neko. Tapi kamu pasti lurus banget ya, bisa langsung yakin itu saya. Habis soiree nggak punya acara after party banget nih? Getting wasted? Book a room? No?" Sang Nona mengernyitkan alis sambil mendekatkan satu ibu jarinya ke belakang telinga, "Eh dengar, deh." Wajahnya sangat serius. "Radar boring saya kayaknya bunyi." Alfons berdeceh dan mengalihkan pembicaraan, "Kamu tidak bersikap seperti orang yang baru ditinggal sugar daddy." "Wow," ucapnya mantap, "Saya melabel kamu dengan yang baik-baik tapi kamu judgemental sekali ya tampaknya. Saya kira orang yang dapat Honoris Causa dari kampus Ivy League bisa melihat lebih dalam dibanding yang tampak. Serius itu tuduhan kamu ke saya? Sugar... baby? Really? Saya kecewa," ia tertawa kecil. "Sudah ngebosenin, judgemental, gampang percaya gosip pula. Saya pikir kamu lebih menarik dari ini." Poker face, Al. Alfons mencoba tidak tersinggung dan menjawab dengan segenap ketenangan, "Maaf kalau kamu nggak nyaman dengan ucapan saya. Tapi siapa yang tidak berprasangka buruk kalau tiba-tiba dipasangi alat pengintai?" "Benar juga." Perempuan itu mengangguk, "Oke. Maaf diterima." "Dan...?" "Dan apa?" Tanya perempuan itu sambil mengernyitkan alis. "Dan kamu nggak minta maaf? Memberi penjelasan?" Perempuan itu kembali terkekeh kecil, "Kamu nggak atraktif. Saya nggak tertarik melanjutkan pembicaraan." Perempuan itu tampak ingin beranjak, tetapi Alfons langsung menimpalinya lagi—membuat perempuan itu bertahan. "Pasti, lah, saya nggak lebih menarik dari kamu. Perempuan yang bisa aman berkeliaran meski jadi masalah bagi trah Tirtayasa—kamu kayaknya kebal ya dari pengaruh Granny? Atau kamu memang suruhan Granny? Meski bagi saya, premis itu nggak masuk akal." Setahu Alfons, dalam berstrategi, Granny tak akan mengambil langkah yang akan mencoreng nama keluarganya. Dan menyewa perempuan di samping Alfons untuk menjadi penggoda anaknya sendiri adalah hal terakhir yang akan nenek itu lakukan. Perempuan itu mengangkat bahunya tak acuh. "Kenapa nggak tanya sendiri?" Pandangan mereka berdua tersauh ke arah pemakaman. "Beating around the bush? Bukan gaya saya. Kan lebih pasti kalau tanya sama tersangkanya langsung. Di mana lagi coba saya bertemu dengan perempuan yang punya alat penyadap rakitan secanggih kamu. Omong-omong, itu buat sendiri atau dapat dari pasar gelap?" ia mengolah keterangan yang ia dapat dari Deaja secara personal. "Atau kamu dikasih dan disuruh seseorang?" Perempuan itu kembali tersenyum, matanya masih memandang jauh ke depan, ia berkata lembut. "Alus banget ya kamu, nyuruh saya melengkapi analisis kamu yang masih bolong itu. No wonder punya decacorn." "It's just a matter of time, kok, sampai semua analisis yang bolong itu tertambal. Kalau saya bisa lebih awal meyakinkan kamu untuk nggak main-main dengan saya, kenapa nggak?" Alfons melipat tangannya di dada, kemudian membuang pandangannya ke sekitar. Jauh di sudut penglihatan, ada Bianca dan Samudera yang tampak mengamatinya. Perempuan itu mendeceh, "Come on, Alfonso, kamu mau saya seriusi? Mau saya nggak main-main?" Ia menurunkan kacamatanya. Masih tersenyum. Namun ada kebencian di netranya, "Kalau kamu mau saya seriusi, lapornya jangan ke polisi. Kamu paling disuruh menunggu tiga kali dua puluh empat jam buang-buang waktu. Pakai dong itu, tiket emas kamu." Poker face Alfons mendadak rusak. Ia kebingungan menemukan kata-kata. Riwayat pendidikannya terpampang jelas di Wikipedia, sehingga jika perempuan di sampingnya mendikte mana-mana saja almamaternya, Alfons tak kaget. Tetapi fakta bahwa timnya lapor polisi terkait penyadapan, tentu tak banyak yang tahu. Toh ia juga meminta penyelidikan diam-diam. Ditambah soal 'tiket emas'. Entah kenapa, Alfons yakin perempuan di depannya tidak asal jeplak. "Ekspresi syok kamu kok gemas, sih." Perempuan itu malah tertawa sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. "Mas, dengar ya, saya tuh pernah mendengar ancaman 'jangan main-main' dalam nuansa dan konsekuensi yang lebih intimidatif. Salah satunya dari seseorang yang dibenci seantero republik. Kenal Halim Setiawan, kan? Gimana deh kamu manggilnya? Paman Lim?" Perempuan itu memegang pundak Alfons, kemudian berjinjit ke telinganya untuk berbisik, "Dia ada di sini. Dan hampir semua orang tidak menyadari. You should go say hi. Selagi sempat." Mata Alfons membulat. Ia bergidik. Takjub. Ngeri. Semua orang di negara ini tentu tahu Halim Setiawan. One billion dollar man—pengusaha, pebisnis, banker, merangkap koruptor yang pernah mengutip satu miliar dolar dana talangan krisis moneter. Buronan dua dekade yang dekat dengan kekuasaan. Ada yang bilang ia meminta suaka ke Tiongkok. Ada yang bilang ia pindah warga negara. Ada yang bilang ia operasi plastik, mengganti nama, dan sudah bisa bebas berkeliaran nonton pertandingan olahraga. Semua orang tahu gosip-gosip itu. Tapi tak semua orang tahu fakta bahwa sesosok Alfonso Masdhirga yang tenar sebagai pebisnis bersih, kenal secara personal dengan koruptor kelas kakap dan memanggilnya dengan sapaan akrab: paman. Paman Lim. Alfons mulai mereka-reka kadar bahaya perempuan di sampingnya. Kemudian bertanya bodoh. "H-Halim siapa?" "Paman Lim, Masnya. Paman Lim. Lama juga ya dia nggak kelihatan," ucap perempuan itu lagi. "Hari ini saya mau nurut sama dia, nggak main-main lagi. And I will generously let you to have a look on what that means. Selamat menonton," perempuan itu menepuk pundak Alfons dua kali dan berbalik badan untuk pergi. Bersamaan dengan itu kerumunan di pemakaman Andreas Tan tampak mulai buyar dan ramai oleh entah apa. Yang jelas, prosesi pemakaman seharusnya belum selesai. Alfons mengalkulasi gerak selanjutnya. Kemarin, ia sempat berdiskusi dengan Deaja terkait penyadapannya. Dari analisis Deaja serta percakapan bersama perempuan itu hari ini, Alfons dapat menyimpulkan bahwa si nona satu itu bukanlah orang sembarangan. Perempuan itu tidak terdeteksi, tak ada di seluruh jaringan internet, dan tak terbaca oleh teknologi face recognition tercanggih yang dapat Deaja coba. Namun yang paling mengerikan, perempuan itu tahu hal-hal yang seharusnya orang tidak tahu. Setelah beberapa detik berpikir, Alfons nekat menarik lengan perempuan itu dan mengancamnya, "Just tell me everything while I'm being easy on you. Sama siapa kamu bekerja, atas tujuan apa, dan dengan imbalan apa. Saya akan bermurah hati. Kamu nggak tahu apa yang mungkin terjadi kalau kamu main-main dengan saya." Perempuan itu sejenak bergeming, kemudian memutuskan berputar menghadap Alfons. Tanpa aba-aba, ia mengalungkan satu tangannya di leher Alfons, membuat tengkuk dan rahang lelaki itu tegang. Waspada. Logam yang melingkari jemari perempuan itu terasa dingin menyengat di kulit Alfons. Dan wajah mereka begitu dekat. Alfons menelan ludah. "Nice jaw," bisiknya dengan senyum sensual yang terkembang, "Tapi sayangnya bentuk rahang nggak bisa menolong kamu. Kamu yang clueless tentang apa yang mungkin terjadi kalau main-main dengan saya, Mas." Alfons meremang. Panggilan masa kecilnya itu. Tatapan—tatapan kebencian itu. Sang Nona melanjutkan, "Kamu nggak banyak baca berita ya? Kalau beneran jenius, beneran people of the year, kamu tuh seharusnya bisa menangkap pola yang lebih besar. Bukan mewek ke saya hanya karena disadap. Don't kid me." Tiba-tiba saja, Alfons tidak bisa bergerak, meski indra pendengarnya masih bisa mencuri dengar keributan orang-orang yang berlarian bubar dari pemakaman. Ia bahkan samar-samar menangkap bisik-bisik kasar, "Halim? Halim Setiawan? Halim yang itu? Yang buron itu?" Perempuan itu berbisik tepat di telinganya, "I really wish to see you crumble, honey. Tapi nanti kalau jatuh, usahain jangan muka duluan, ya." Fokus Alfons kembali ke perempuan yang sedang tersenyum di depannya. Tetapi pandangannya mulai berbayang. Kepalanya mulai pusing. Ia mulai terengah-engah seperti kehabisan napas. "Sssh... Oh dear, dear, my dear General's precious son. Mas-nya Papi. Lihat aku. Lihat aku. Oke?" Sang nona menangkup pipinya. "Remember this, every storm has a name. And this time, the name is... Nala. So say hello... to the storm... that may come." Suara-suara melambat, memudar. Dan dunia Alfons perlahan gelap. Every storm has a name And this time, the name is Nala. Description: Tak ada yang lebih ingin ia lakukan selain menganulir apa yang tak pernah dipilihnya: lahir sebagai anak jenderal ternama yang punya pertalian dengan para gorilya-gembong penjahat negera. Alfonso Masdhirga terus menyangkal. Berpura-pura. Berlari dari sejarah keluarganya. Hingga tiba-tiba saja, ia sudah diburu oleh perempuan yang selamat dari neraka. Rumornya, perempuan itu adalah asasin legendaris yang pernah berpapasan masa lalu dengannya. Alfons bertaruh hidup mati. Memaksanya mengurai benang kusut hantu masa lalu yang selama ini ia hindari.
Title: wedding complicated Category: K-novel Text: kencan buta Bulir keringat dingin kembali disapunya dengan sapu tangan merah bermotif garis hitam. Sementara dihadapannya, wanita berusia 30 tahun duduk tenang sembari menghangatkan kedua belah telapak tangannya yang dingin pada sebuah mug berisi capucino. "Udara musim dingin sudah datang!" He Ra memecahkan keheningan diantara dirinya dan pria yang menjadi teman kencannya. Wanita berambut sebahu itu kembali menyeruput capucino miliknya, sementara lawan bicaranya terlihat gugup berhadapan dengan He Ra yang 2 tahun lebih tua usianya. He Ra tersenyum tipis melihat teman kencan yang dikenalkan oleh rekan kerjanya. "Jangan merasa terbebani!" Lanjut He Ra, ia meletakkan kembali mugnya diatas piring kecil yang diatas meja. "Sepertinya kita mempunyai persamaan, yaitu tidak bisa menolak permintaan orang lain!" He Ra tersenyum ramah. He Ra melirik arloji yang melingkar ditangan kanannya. Waktu yang ia habiskan sudah cukup lama untuk mengobrol dengan teman barunya. Ia harus kembali bekerja sebelum atasannya menegurnya. He Ra beranjak dari kursinya setelah menghabiskan capucino miliknya. "Jam istirahatku sudah selesai!" He Ra membuka suara. Pemilik bola mata berwarna hezel mengulurkan tangan kanannya. "Senang rasanya mempunyai teman baru lagi!" Ucap He Ra tersenyum lebar. Menampakkan giginya yang berjejer rapi. Pria berkacamata di hadapan He Ra berdiri dan membalas uluran tangan wanita dihadapannya. "Kau wanita baik dan ramah! Senang rasanya bertemu dengan wanita sepertimu!" Balas Kim, teman baru He Ra. Ia bisa merasakan He Ra adalah wanita yang hangat dan terbuka. Batinnya ingin mengetahui lebih lanjut wanita di depannya. Tetapi sayangnya, ia juga merasakan kalau He Ra memberikan sekat pembatas pada dirinya. *** Suara decit dari engsel pintu loker yang mulai berkarat terdengar di pojok ruangan bersebelahan dengan dapur kantin perusahaan. Suaranya saling beradu dengan suara para pekerja perempuan yang cekikikan bercerita tentang rencana mereka menghabiskan waktu setelah pulang bekerja. Akhir pekan adalah waktu yang paling mereka nantikan. Setelah bekerja seharian penuh, mereka ingin menghabiskan waktu luang untuk sekadar malas-malasan di apartemen ataupun menghabiskan waktu bersama pasangan mereka. Satu persatu pekerja kantin saling berpamitan pulang dan meninggalkan ruang ganti. Hanya tinggal He Ra, Seo Jin dan Rene yang ketiganya bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing. "Kau tadi bertemu Kim?" Tanya Rene, wanita berusia 31 tahun yang sedang mengganti pakaian kerjanya dengan blouse berwarna lavender yang ada di dalam lokernya. "He em!" Jawab He Ra singkat. Ia buru-buru mengemas barang-barangnya agar bisa cepat pergi ke terminal. "Kenapa bukan hari sabtu saja?" Tanya Rene sekadar basa-basi. Sebenarnya ia ingin mengulik lebih jauh pendapat He Ra mengenai Kim, teman semasa sekolah yang sengaja Rene jodohkan kepada rekan kerjanya. "Kau tidak tau? Kalau He Ra selalu menghabiskan akhir pekannya di kampung halamannya! Dia mana mau menghabiskan waktu liburnya untuk kencan buta yang konyol itu!" Sela Seo Ji teman akrab He Ra yang menunggu He Ra agar bisa pulang bersama-sama. Bibir He Ra menyungging keatas. Seo Ji memang teman terbaik baginya. Ia tak perlu capek menjelaskan kepada Rene. Pekerjaannya hari ini terlalu banyak dan membuatnya lelah, bahkan untuk berbicara pun rasanya malas. Mendengar Seo Ji yang terus menyela ,Rene memasang wajah masam pada rekan kerja yang menurutnya menyebalkan. Padahal ia ingin He Ra yang menjawab semua pertanyaannya. Seketika Rene mengingat kalau Kim tadi menelponnya untuk menanyakan keadaan He Ra. Apakah He Ra sampai ditempat kerja dengan selamat? Sebenarnya Kim ingin mengantarkan He Ra embali ke tempat kerja, tetapi He Ra buru-buru ingin menyudahi pertemuan mereka. "Sepertinya Kim menyukaimu!" Tutur Rene bersuara pelan. Krek! He Ra mengunci rapat pintu loker miliknya, setengah terkejut ia mendapati wajah Rene saat tubuhnya berpaling ke arah pintu keluar. "Huh!" He Ra mendesah kesal karena melihat Rene yang terus menguntitnya sedari tadu. "Kim masih belum matang untuk menjalani hubungan yang serius!" He Ra membuka suaranya. Sangat menyebalkan melihat wajah Rene yang terus mendesaknya agar mau dijodohkan dengan teman-temannya. Dahi Rene berkerut tak percaya. Ia mencoba menganalisa setiap ucapan He Ra mengenai Kim. Kim adalah kakak tingkat Rene sewaktu sekolah ia baru saja diangkat menjadi mandor disalah satu pabrik kertas. Usia Kim pun sudah cukup matang menjalani hubungan ke jenjang yang lebih serius. Penghasilan Kim juga terbilang lumayan. Menggantikan sang ayah yang dulunya menjadi mandor setelah 30 tahun bekerja dipabrik yang sama dengan Kim dan kemudian pensiun. Kini Kim mulai menyicil membeli sebuah apartemen untuk ditinggali keluarga kecilnya kelak. Begitulah yang Rene tau tentang kakak tingkatnya. "Belum matang bagaimana menurutmu?" Alis Rene naik sebelah. Ia masih belum memahami sepenuhnya jawaban He Ra. He Ra menghela nafasnya panjang. Apa Rene tidak memahami jika dirinya sengaja menolak Kim? Bosan rasanya membicarakan tentang Kim sedari tadi. He Ra berjalan mendekati Rene. "Aku sangat menghargai usahamu menjodohkan aku dengan teman-temanmu, tetapi sepertinya aku belum butuh pasangan hidup saat ini!" Terang He Ra. Lelah baginya terus-terusan harus mengikuti kencan buta yang dilakukan saat jam istirahatnya. Memangkas setiap jam makan siangnya hanya untuk mengobrol hal yang tidak penting. Apa pekerjaanmu? Darimana asalmu? Dan sederet pertanyaan yang menurutnya privacy terus ditanyakan secara berulang-ulang sehingga membuat He Ra bosan. Bahkan tak jarang ia terlambat kembali ketempat kerja karena tak enak hati memotong obrolan teman kencannya. "Aku ingin fokus bekerja!" Sambung He Ra. Rene terdiam medengar ucapan He Ra. Bagaimana bisa wanita berusia matang seperti He Ra tidak ingin ke jenjang yang serius. Apakah He Ra termasuk wanita kekinian yang ingin menikmati masa lajangnya dan memilih karir dibanding pernikahan? Entahlah! Batin Rene masih bertanya-tanya. Mulut Rene tertutup rapat setelah mendengar kata-kata He Ra sampai punggung He Ra sudah tak terlihat lagi dalam pandangannya. apa arti pernikahan? Plek....plek...plek! Suara sepatu teplek saling beradu diatas jalan aspal yang masih agak basah. Hujan sudah berhenti satu jam yang lalu, tapi masih meninggalkan sisa genangan dipermukaan jalan. "Kakak!" Panggil Seo Ji yang langkahnya tertinggal cukup jauh dari langkah He Ra dibelakangnya. He Ra menoleh kebelakang, melihat Seo Ji berlari kecil ke arahnya dan langsung menyambar lengan He Ra, menggandengnya dengan erat. Keduanya kembali berjalan bersama untuk pulang ke rumah setelah pekerjaan selesai. He Ra adalah pekerja kantin yang cukup lama bekerja di kantin perusahaan. Setelah sebelumnya ada Bu Har yang merupakan atasan He Ra dan seo Ji. Pekerja-pekerja sebelumnya tidak begitu betah bekerja di bagian dapur. Dituntut ekstra cepat dan mendapat tekanan yang penuh saat bekerja. Rata-rata yang bekerja disana hanya sampai 3 bulan hingga 2 tahun lamanya. Bahkan ada juga yang menganggap sebagai batu loncatan sebelum mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Para pekerja dikenal mempunyai sikap He Ra yang sering membantu pekerjaan rekannya dan juga membantu teman-temannya jika mengalami kesulitan dalam pekerjaan mereka. Ia juga suka mengayomi Seo Ji yang dikenal manja dan kekanakan. Karena itu, Seo Ji lebih cepat akrab dengan He Ra dibanding pekerja lainnya. Enam bulan yang lalu, Seo Ji memutuskan untuk tinggal disebuah kontrakan yang masih satu atap dengan kontrakan He Ra. Kontrakan yang memiliki 4 lantai dengan ukuran 4x4 meter persegi disetiap ruangannya juga nemiliki satu toilet di dalamnya. Walaupun hanya berisi satu kasur berukuran sebadan orang dewasa dan sebuah nakas disamping kasur, cukup membuat nyaman penghuni didalamnya. Jarak yang ditempuh ke tempat kerja juga tidak memakan waktu yang lama. Hanya 15 menit berjalan kaki. Tidak seperti lokasi tempat tinggal Seo Ji sebelumnya yang harus menaiki bus selama 30 menit. "Kakak, apa kau tau kalau pekerja lain sedang membicarakanmu?" Seo Ji membuka percakapan diantara keduanya. He Ra melirik Seo Ji yang memeluk lengannya disebelah. Alisnya naik sebelah. "Oh, ya? Mereka bergosip tentang apa?" Tanya He Ra yang pura-pura tidak tahu. Pernah ia memergoki para pekerja lain membicarakan tentang dirinya setelah pertemuannya dengan kim, teman Rene. He Ra tak begitu ambil pusing karena pekerja sebelum mereja sering bergosip tentang dirinya. "Mereka pikir kau punya kelainan sexual!" Kata Seo Ji yang mengingat-ingat kejadian siang tadi. Setelah makan siang usai, para pekerja kantin belum juga bubar. Rene yang membuka gosip mengenai He Ra yang tidak ingin menikah padahal usianya sudah sangat matang. "Andai saja ada laki-laki yang ingin meminangku, aku tidak akan menolak dia! Bahkan beban adikku pun bisa kuserahkan kepada suamiku!" Ujar Seo Ji yang meniru kata-kata Rene. He Ra tersenyum geli melihat Seo Ji menirukan gaya Rene yang konyol. Seo Ji yang waktu itu duduk tak jauh dari mereka mencengkeram sumpit yang dipegangnya. Ingin rasanya ia menghunuskan ke bagian kerongkongan Rene yang tak henti-hentinya menjelekkan He Ra. He Ra berusaha meredamkan emosi Seo Ji yang meletup-letup saat kembali menceritakan kejadian makan siang tadi. "Tidak semua omongan orang lain harus kau dengar! Ada kalanya harus menutup pura-pura tuli agar hatimu tetap terjaga!" Kata He Ra. "Jika kau terus meladeni mereka, energi dan waktumu akan habis percuma!" Sambung He Ra memberi nasehat. Seo Ji mengangguk-anggukkan kepalanya. Wanita yang sudah dianggap kakaknya sendiri ternyata wanita yang memiliki hati yang lapang. Sementara dirinya masih kekanakan dan acapkali tak terima jika orang lain menyentil dirinya. Seo Ji membuang nafas panjangnya. "Kapan Menikah? Apa kalian sudah bertemu orangtua masing-masing? Apakah dia orang yang tepat untuk masa depanmu? Kenapa orang lain begitu tertarik akan hal-hal seperti itu?" Pikiran Seo Ji mengawang seketika. Ia masih tak habis pikir mengapa orang-orang akan tertarik dengan urusan orang lain ketimbang mengurusi hidup mereka masing-masing. He Ra menoleh ke arah Seo Ji yang menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya berada ditempat lain. "Orangtuamu masih menekanmu untuk menikah?" Tanya He Ra hati-hati. Seo Ji menganggukkan kepalanya pelan. Menjadi satu-satunya anak di rumahnya ternyata membuat dirinya tidak senang. Orangtuanya menekan Seo Ji agar segera menikah karena umur putri mereka yang terus bertambah. Mereka takut jika Seo Ji tidak bisa mendapatkan suami apabila umurnya sudah menginjak kepala 3. "Jika aku tidak menikah musim semi tahun depan, mereka akan mencarikan calon suami untukku!" Kata Seo Ji dengan suara lirih. "Bagaimana dengan Ju Na?" Seo Ji terdiam! Tubuhnya melemas hingga melepaskan genggamannya pada lengan He Ra. Seo Ji pernah mengenalkan Ju Na ke orangtuanya. Berharap mendapat sambutan hangat dari orangtuanya, justru malah sebaliknya. Orangtua Seo Ji terang-terang menentang hubungan Ju Na dan Seo Ji yang sudah berjalan selama 4 tahun. " Aku sangat mencintainya, tapi orangtuaku bilang laki-laki seperti Ju Na tidak akan bisa membuatku bahagia!" Nada suara Seo Ji terdengar bergetar. Ia masih mengingat jelas marahnya sang ayah jika hubungan keduanya masih berlanjut. Kini hungan Seo Ji dan Ju Na masih berlanjut walaupun harus sembunyi-sembunyi dari orangtua Seo Ji. "Kekurangan Ju Na cuma tidak memiliki pekerjaan yang tetap!" Sambung Seo Ji. Wajahnya tertunduk sedih. Entah sampai kapan orangtuanya bisa menerima Ju Na. Merajut cinta dengan sang kekasih sejak sekolah membuat Seo Ji tidak mudah memutuskan hubungannya dengan Ju Na. Cintanya terhadap Ju Na sudah sangat dalam. Belum tentu laki-laki yang dijodohkan oleh orangtuanya bisa memberikan cinta yang tulus seperti Ju Na. *** Semilir angin yang dingin menggerakkan ayunan di sebuah taman komplek. Sebelum memutuskan kembali ke rumah, Seo Ji dan He Ra ingin menikmati sore di taman komplek yang ramai dengan anak-anak bermain. "Keberhasilan sebuah pernikahan terletak pada kerjasama dan kerja keras dua orang! Tidak ada pernikahan yang berhasil jika satu orang saja yang berjalan!" Kata He Ra yang menatap riangnya anak-anak bermain. Beberapa orangtua terlihat berdiri mendampingi tak jauh dari anak-anak mereka bermain. Seo Ji tak menjawab! Ia masih tenggelam dalam pikirannya. He Ra menatap Seo Ji yang duduk dibangku taman. Ia menggenggam jemari Seo ji, menguatkannya menghadapi masalah yang dihadapinya. "Ju Na salah satu pria yang bertanggung jawab dan pekerja keras! Cintanya terhadapmu juga sangat dalam!" Kata He Ra yang mencoba menghibur temannya. Seo Ji tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya pelan. Rasanya beruntung mempunyai teman yang masih mendukungnya dengan Ju Na. Cinta Ju Na memang tidak bisa diragukan. Apapun akan dilakukan oleh Ju Na agar bisa membuktikan cintanya kepada Seo Ji. Hanya saja dewi fortuna masih belum berpihak kepadanya. Ju Na terlahir sebagai anak yatim piatu, ia dibesarkan oleh paman dan bibinya yang merupakan petani sayur. Pernikahan mereka sudah berjalan puluhan tahun, tetapi keduanya belum kunjung mendapatkan keturunan. Meskipun besar dari keluarga yang sederhana, Ju Na tak merasa kurang mendapatkan kasih sayang. Paman dan bibinya merawat Ju Na seperti putra kandung mereka sendiri. "Kakak, apa kau percaya cinta?" Tanya Seo Ji tiba-tiba. He Ra memalingkan wajahnya ke arah Seo Ji yang duduk disebelahnya. He Ra menganggukkan kepalanya. "Tentu saja!" Jawab He Ra. Jika bukan karena cinta, tidak mungkin He Ra rela menunggu cintanya selama 5 tahun lamanya. Ia pun menutup hatinya untuk cinta yang lain. Bagi He Ra hanya ada satu cinta di dalam dirinya dan ia masih berharap cintanya akan kembali suatu saat nanti. "Kak, apakah suatu hari nanti kau akan menikah?" Seo Ji lagi-lagi melemparkan pertanyaan yang konyol. "Walaupun kami saling mencintai, tetapi aku ingin Ju Na melihatku memakai gaun putih yang cantik dengan rangkaian bunga sebagai mahkota dikepala!" Kata Seo Ji. Awan sore yang bergelombang dengan semburat warna jingga kemerahan membuat Seo Ji berimajinasi tentang gaun pengantin. He Ra tersenyum pahit mendengarnya. "Mendapatkan cinta yang tulus dari seorang pria saja sudah membuatku bahagia!" Timpa He Ra. Hatinya mulai terusik mendengar ucapan Seo Ji. Ia menginat permintaan maaf Suho yang tidak bisa memberikannya pesta pernikahan yang layak untuknya. Apakah semua wanita di dunia ini menginginkan hal yang sama seperti Seo JI? Pikir He Ra. Ini Cinta pertama? Rumah tradisional yang terbuat dari kayu sekilas tak begitu nampak tua usianya dibandingkan usia para penghuni di dalamnya. Padahal, rumah yang berdiri di pesisir pantai sudah memasuki generasi ke empat penghuninya. Namun, masih terlihat kokoh dan terawat begitu baik. Atapnya masih terbuat dari genteng tanah liat yang membentuk melengkung ke atas. Pondasi rumah dari tiang besar dengan perpaduan dinding kayu dan juga kertas. Sedangkan lantai rumah terbuat dari papan kayu panjang. Walaupun kecil, rumah yang diwariskan untuk ayahnya He Ra punya perkarangan yang cukup luas. Perkarangan rumah sering digunakan sebagai dapur juga tempat menjemur ikan. Asap putih tebal nampak mengepul dihalaman rumah orangtua He Ra. Warga desa setempat masih menggunakan cara tradisional untuk memasak, yaitu memasak dengan menggunakan kayu. Meskipun sebagian dari mereka sudah menggunakan gas untuk memasak. Putih mata He Ra berubah kemerahan karena terpapar asap dapur. Wanita berparas ayu itupun sedikit kesulitan menyalakan bara api, karena kayu yang dipakainya terkena tempias air hujan semalam. Di bibir pantai, para nelayan sibuk mengangkat hasil tangkapannya dari kapal mereka. Beberapa diantaranya membawa hasil tangkapannya untuk dibawa ke pasar atau dibawa pulang ke rumah masing-masing. Hujan semalam membawa berkah bagi para nelayan. Hasil tangkapan melimpah ruah dibandingkan sebelumnya. Angin semilir menyapu dedaunan pada pohon kelapa. Cuaca pagi menjelang siang lebih cerah dibandingkan semalam. "He Ra!" Suara teriakan terdengar dari kejauhan. He Ra yang sibuk di dapur rumahnya segera bangkit saat mendengar suara yang tak asing di telinganya. Langkah kakinya berjalan cepat melewati pagar rumah yang terbuat dari tumpukkan batu-batu karang. Senyum manis menghiasi wajahnya saat melihat laki-laki tertubuh kurus yang membawa ember besar yang terisi penuh ikan. "Suho, kau terlihat lelah sekali!" He Ra segera menyambar ember yang berada di tangan pria berkaos oblong didepannya. Suho tidak menjawab, ia justru mengendus tajam aroma yang keluar dari dapur rumah orangtua He Ra. He Ra mengerutkan dahinya melihat tingkah Suho. "Aku bisa menebak kalau aroma masakkan ini adalah masakkan istri tercintaku!" Kata Suho yang menggoda istrinya. Wanita di hadapannya tersipu malu mendengar ucapan sang pujaan hati. "Istirahatlah! Istrimu yang cantik ini akan kembali ke dapur untuk memasak makanan kesukaanmu!" Balas He Ra dengan balik menggoda suaminya. "Beruntungnya, punya istri cantik dan pandai memasak!" Suho lagi-lagi memuji istrinya. Wajah He Ra berubah merah merona mendengar pujian dari suaminya. Suho memang sangat pandai membuat hati He Ra berbunga-bunga. Tak hanya memiliki paras yang tampan, Suho juga dikenal pandai mengambil hati orang lain. *** Suara denting dari mangkuk dan sendok saling beradu di atas meja makan. Ayahnya He Ra yang baru saja pulang dari ladang terlihat bersemangat menghabiskan makanan yang tersedia diatas meja bersama keluarganya. "Waktunya lusa?" Tanya ayahnya He Ra disela-sela makan malam keluarga. Suho menganggukkan kepalanya pelan. "Iya, Ayah!" Jawab pria yang memasukkan sendok berisi makanan ke dalam mulutnya. Kepalanya menoleh melihat wajah sang istri yang berhenti mengunyah. Keputusan Suho sudah didengar istrinya seminggu yang lalu. Walau masih berat istrinya menerima, tetapi He Ra tidak ada niat untuk menghentikan langkah sang suami. Apapun yang dilakukan Suho adalah untuk masa depan keluarga kecilnya juga. Sang pemilik rumah menghabiskan sisa nasi di dalam mangkuknya dan meletakkan mangkuk kecil bersama sendok diatas meja makan. Kedua matanya yang mulai rabun memperhatikan keluarganya menghabiskan makanan diatas meja. "Ayah pandai menanam sawi putih! Ukurannya sangat besar!" Ujar He Ra memuji sang ayah. Ia tahu kalau ayahnya sedari tadi memperhatikan anggota keluarga yang lain sedang menghabiskan makanannya. Jika ia diam saja, kesan kikuk akan terasa selama makan malam berlangsung. Sang ayah tertawa renyah mendengar pujian dari putri semata wayangnya. Suaranya yang berat menggelegar seisi rumah dan membuat keadaan mencair. "Karena ayahmu tak pandai menjadi nelayan, makanya ia memilih menjadi petani sayur!" Timpal sang ibu yang sedang menumpuk piring kotor setelah selesai makan malam. "Kau sudah lupa kalau di rumah ini kita memiliki nelayan yang hebat?" Kata sang ayah yang menepuk bahu Suho hingga menantunya terbatuk-batuk karna tersedak. "Kita adalah tim yang hebat! Kalian mempunyai ayah yang pandai berkebun! Ada Suho yang pandai menangkap ikan, ada ibu kalian yang pandai membereskan rumah dan anak perempuan yang pandai memasak!" Sambung sang pimpinan dengan rasa bangga. Anggota keluarga yang lainnya tersenyum lebar mendengar ucapan ayah. Ayah orang yang pandai menghidupkan suasana. Kadang pria yang berusia senja itu melontarkan lelucon-lelucon ditengah kebersamaan keluarganya. *** Suho sedang sibuk mengemas pakaiannya ke dalam tas besar sedangkan He Ra yang masih sibuk menidurkan putrinya hanya bisa menatap tubuh yang berjalan mondar mandir di hadapannya. Putrinya yang berusia 2 tahun sudah terlelap dalam tidurnya. He Ra berhati-hati bangkit dari tempat pembaringannya agar sang anak tidak terbangun dari tidurnya. "Pakaian yang kau bawa banyak sekali!" Ujar He Ra yang membantu mengemasi barang-barang milik suaminya ke dalam tas berwarna hitam. "Untuk jaga-jaga saja! Aku tidak mau membeli pakaian di kota! Harganya sangat mahal, lebih baik uangnya kukirimkan untukmu dan Eunbi!" Ujar Suho menjelaskan. Ia tidak ingin istrinya berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya. "Pulanglah sebulan sekali untuk menjenguk putrimu!" Pinta He Ra dengan wajah mengadah mengarah suaminya. Suho meletakkan pakaiannya diatas tempat tidur dan duduk ditepi ranjang tempat tidur tepat disebelah istrinya. "Aku akan sering mengirim surat dan menghubungimu!" Kata Suho yang berusaha menenangkan sang istri. Pria yang terpaut usianya lebih tua 3 tahun dari He Ra mengambil kedua tangan istrinya. Mengecup punggung tangan sang istri penuh cinta. "Rasa bersalahku akan berkurang jika aku bisa membahagiakanmu dan Eunbi!" Suho menatap dalam wajah sang istri yang menahan air matanya. Telapak tangannya yang kasar karna sering melakukan pekerjaan serabutan mengelus lembut pipi sang istri. "Selama kita menjalani rumah tangga, belum pernah aku memberimu barang mahal! Bahkan kita tidak melakukan pesta pernikahan!" "Sebagai laki-laki dan kepala rumah tangga, Aku ingin membahagiakan istri dan putri kecilku!" Sambung Suho dengan suara lirih. Tangis He Ra pecah seketika. Suho mendekap kepala istrinya dan mengelus punggung He Ra lembut He Ra mengerjapkan kedua matanya. Membiarkan bulir air membasahi baju suaminya. Tentu saja ia merasa berat jika Suho pergi meninggalkannya bersama anak perempuannya. He Ra begitu berharap datang keajaiban yang membuat suaminya mengubah keputusannya agar tak jadi pergi. *** Matahari sudah naik setinggi tombak dan mulai terasa menyengat dikulit. Tetapi, He Ra masih berdiri mematung menatap kepergian suaminya. Padahal, tubuh Suho sudah menghilang dari pandangannya sejak 5 menit yang lalu. Wajahnya terlihat sembab dan terlihat lingkaran hitam di area matanya. Semalam He Ra merasa gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Semalam suntuk ia habiskan waktu memandangi wajah suaminya yang tertidur pulas di sampingnya. Ia yakin, kalau esok hari akan merindukan wajah sang suami. bekerja atau berperang? Sepuluh tahun terakhir, perusahaan yang bergerak dibidang furnitur ini lebih ketat menjaga asupan makanan untuk para karyawannya. Selain menghemat anggaran pengeluaran perusahaan, perusahaan juga bisa mengawasi makanan yang dikonsumsi oleh para karyawan. Jam dinding menunjukkan pukul 11 pagi, seperti biasanya suasana di dapur terasa mencekam bila jam makan siang akan tiba. Suara gaduh dari peralatan memasak terdengar nyaring di dapur kantin, bersautan dengan teriakan para pekerja di dalamnya. Mendekati jam makan siang pekerja kantin lebih merasakan tekanan dua kali lipat dalam bekerja. Dituntut lebih cepat dan tepat dalam penyajian agar tidak mendapat citra buruk dari Divisi lain. "Makan siang tinggal satu jam lagi, tapi aku tidak melihat apapun dimeja luar? Kalian sedang bekerja atau bermain!" Teriak salah seorang wanita paruh baya yang bertugas mengawasi para pekerja yang sibuk dengan tugasnya masing-masing, Ibu Har biasa karyawan lain memanggilnya. Ibu Har terkenal sosok yang tegas dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya. Ia tak segan memarahi bawahannya apabila pekerjaan tidak dikerjakan dengan benar. Tetapi diluar tempat bekerja ia justru dikenal wanita yang hangat dan ramah. "Seo Ji, apa kau sudah mencuci seladanya?" Tanya Ibu Har saat melewati Seo Ji yang baru saja meletakkan telur gulung di meja depan. "Sudah, Bu! Tapi, stok selada yang disajikan tidak banyak! Sepertinya kiriman selada hari ini belum datang!" Jawab Seo Ji dengan suara gemetar. Ia merasa takut jika Ibu Har akan memarahinya. "Begitu! Baiklah, kau buat saja salad sayur dengan menggunakan selada yang ada! Campurkan dengan sisa sayur lain yang ada di temoat penyimpanan!" Perintah Ibu Har. "Baik, Bu!" Seo Ji bergegas menjalankan tugas yang diperintahkan untuknya. Ia juga tidak ingin atasannya memarahinya. Ibu Har memang wanita yang cekatan dan cepat berpikir. Tak salah jika atasan memilihnya secara langsung untuk menjadikan wanita berusia 45tahun sebagai penanggung jawab kantin. "Kakak!" Suara seseorang mengejutkan Ibu Har yang sedang mengawasi bawahannya. Ia membalikkan tubuhnya dan melihat He Ra berlari kecil kearahnya. "Mobil pengantar bahan makanan sudah tiba!" Kata He Ra dengan nafas ngos-ngosan setelah berlari mencari atasannya. "Mereka bekerja sangat lamban!" Kata Ibu Har dengan wajah kesal dan berlalu meninggalkan He Ra. "Aku salah apa?!" He Ra bertanya-tanya dalam hati. *** Pimpinan pengawas makanan Ibu Har mengawasi para pekerja yang mengangkut bahan makanan ke dalam gudang penyimpanan. Sayuran, buah dan umbi-umbian yang dikemas di dalam peti di sortir sesuai jenisnya masing-masing. Jenis sayur yang berdaun diletakkan di dalam lemari pendingin menghindari agar sayur tidak cepat rusak dan busuk. "Kakak memanggilku?" He Ra tergopoh-gopoh mendatangi Ibu Har yang berada di dalam gudang penyimpanan. Ia menyela pekerja yang mengangkat peti kayu berukuran besar dengan buru-buru. He Ra sengaja menyebut dengan sapaan 'Kakak' karena Ibu Har yang menyuruhnya. Keduanya memang sudah akrab sebelum He Ra bekerja di kantin perusahaan. Bahkan Ibu Har-lah yang membawa He Ra untuk bekerja bersamanya. "Iya!" Sahut Ibu Har. "Ada apa,Kak?!" Tanya He Ra bingung. Tidak seperti biasanya Ibu Har memanggilnya saat dirinya bekerja melayani para pegawai yang sedang makan siang di depan. "Rene sedang cuti bekerja! Bisa kau ambil alih pekerjaannya sementara waktu?" Kata Ibu Har sembari memperhatikan pekerja yang mengangkut sayur. He Ra menganggukkan kepalanya. "Tentu saja! Apa yang harus kulakukan?" Tanya He Ra. "Pergi siapkan makan siang untuk Pak Jin Ho! Setelah itu, antarkan makan siangnya ke ruangannya! Karna beliau sangat sibuk, jadi tidak bisa pergi ke kantin untuk makan siang!" Perintah Ibu Har. "Pimpinan pengawas makanan yang baru sebulan menjabat itu?" He Ra baru mengingat kalau pimpinan pengawas makanan baru saja diganti karna pengawas sebelumnya dimutasi ke cabang perusahaan. "Benar!" Jawab Ibu Har. "Baik! Akan ku kerjakan!" Jawab He Ra dan kemudian pamit dari hadapan Ibu Har. "Kak He Ra! Gawat, Kak!" Suara Seo Ji terdengar dari luar gudang. Wanita berusia 28 tahun itu belari tergesa-gesa mencari keberadaan He Ra hingga menabrak pekerja yang sedang mengangkat peti berisi tomat. Brak! "Au....!" Seo Ji terjatuh ke lantai mengaduh kesakitan. Telapak tangannya mengusap-usap pinggangnya yang terasa sakit, sedangkan pria yang membawa peti berisi tomat naik pitam melihat Seo Ji yang tidak hati-hati. "Seo Ji! Kau tidak apa-apa?" He Ra dan ibu Har yang panik melihat keadaan Seo Ji dan pria yang mengangkat sayuran segera membantu keduanya. "Apa kau berjalan tidak mengguanakan matami?!" Pria yang diperkirakan usianya sama dengan Ibu Har naik pitam melihat ulah Seo Ji. Karna kecerobohan Seo Ji pekerjaannya menjadi bertambah. "Apa yang membuatmu berlari-lari seperti ini, Seo Ji?" Ibu Har tak kalah hebat memarahi bawahannya. Ia tidak suka melihat tempat kerjanya berantakan. "Maafkan aku! Maafkan aku!" Ucap Seo Ji yang menyesal karna sudah bertindak ceroboh dan merugikan banyak orang. "Tim eksekutif akan datang ke kantin untuk makan siang!' sambung Seo Ji sembari mengatur nafasnya. "APA?!" Ucap He Ra dan Ibu Har bersamaan. Keduanya sama-sama terkejut mendengar ucapan Seo Ji. Tap! Tap! Tap! "Apakah setiap hari pekerjaan kalian hanya bergosip seperti ini?" Suara seorang pria mengejutkan orang-orang yang ada di dalam gudang. Semua mata menuju ke arah pemilik suara. Empat orang pria berjas rapi berdiri di depan pintu tempat penyimpanan bahan makanan. Ibu Har yang mengenali keempat pria itu segera menjelaskan kronologi yang terjadi agar tidak terjadi kesalahpahaman. "Maaf, Pak Jin Ho! Ada sedikit kesalahan yang terjadi! Kami akan segera menyelesaikannya!" Ujar Ibu Har yang merasa bertanggung jawab atas insiden yang terjadi. He Ra dan Seo Ji mengamati keempat pria yang berdiri di depannya. Dua diantaranya He Ra mengetahui jabatan mereka, sementara dua orang lagi ia belum baru kali ini melihatnya. 'Ternyata dia pimpinan pengawas makanan yang baru!' batin He Ra. Lelaki maskulin bertubuh tinggi dan tegap seperti tentara pada umumnya. Terlihat sekali bahwa pimpinan yang baru ini menjaga asupan makanannya. Wajahnya bersih dan bersinar, jika ditebak umurnya sekitar 35 an. Tap! Tap! Tap! Langkah suara sepatu pantofel hitam yang berjalan di lantai membuat degub jantung berdetak dua kali lebih cepat. Park Jin Ho mendekati tomat yang berserakan di lantai. Beberapa pasang mata memperhatikan tingkah pimpinan yang baru diangkat bulan lalu itu. "Kalian memasak makanan dengan bahan makanan seperti ini?" Jin Ho mendekatkan sebuah tomat yang sudah berkerut dan layu di hadapan pekerja kantin. Ibu Har sangat terkejut melihatnya. Ia mulai mencium aroma kecemasan karena kedatangan para eksekutif ke wilayah kekuasaannya. "Bahan makanan yang datang akan kami sortir kembali, apabila tidak layak konsumsi kami akan membuanh bahan tersebut!" Ujar Bu Har menjelaskan. "Kami hanya mengelola bahan makanan yang dipasok para distributor! Jika kau bertanya tentang kualitasnya, silahkan tanyakan pada Pak Nam!" Sambung Bu Har. Ibu Har tidak ingin melanjutkan perkataannya, baginya ia hanya bertanggung jawab atas pekerja kantin saja selebihnya untuk pemasok bahan makanan ataupun kerusakan perkakas dapur ia akan melaporkannya ke atasannya. "Baik!" Ucap Jin Ho. "Tolong sediakan makan siang untuk kami!" Sambung Jin Ho yang kemudian berjalan kembali menuju ruang kantin diikuti 3 tim eksekutif lainnya. Bukan orangtua tunggal Kring! Kring! Kring! Suara ponsel yang berada diatas nakas berbunyi mengisi seluruh ruangan. Ruangan berukuran 3x4 meter persegi hanya berisi sebuah kasur berukuran tubuh satu orang dewasa dan sebuah nakas yang terletak di samping tempat tidur. Tidak banyak barang selain baju yang tergantung di belakang pintu kamar. He Ra memang sengaja menghemat pengeluaran dan tidak membeli barang yang dirasanya tidak terlalu penting. Dia bukan lagi seorang ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai tulang punggung satu anak berusia 7 tahun. Banyak biaya yang harus dikeluarkan He Ra untuk Eunbi, putri semata wayangnya. Ibu satu anak itu juga tidak membeli peralatan dapur. Toh, setiap akhir pekan ia selalu pulang ke rumah orangtuanya dan ibunya selalu membawakannya lauk pauk untuknya. Ponsel berwarna hitam miliknya masih terus berbunyi. He Ra yang selesai mandi buru-buru keluar dari kamar mandi sebelum ponsel miliknya berhenti berdering. Panggilan video Ibu He Ra mengusap tanda hijau pada layar ponselnya ke atas. "Ibu!" He Ra tersenyum senang bila sang ibu atau Eunbi menelponnya. "Kau sudah pulang kerja?" Tanya ibunya He Ra saat keduanya melakukan panggilan video. "Iya, Ibu! Aku juga sudah selesai mandi!" Jawab He Ra. "Bagaimana kabarmu?" Tanya sang ibu basa basi. Ada rasa kasihan melihat putri semata wayangnya yang harus bekerja dan terpisah dengan cucunya. "Begitulah, Bu!" Jawab He Ra singkat. Sebenarnya ia mengalami hari yang berat karena beberapa catatan dari karyawan yang mengkritik menu makan siang tadi. Tetapi, ia tidak ingin ibunya terlalu mengkhawatirkannya. Sudah cukup baginya membebani sang ibu dengan menitipkan putrinya, Eunbi. Meskipun sang ibu tidak pernah protes. "Dimana Eunbi?" Tanya He Ra mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin sang ibu mengorek lebih dalam tentang pekerjaannya. "Dia bersama ayahmu!" Jawab sang ibu. He Ra mencium aroma mencurigakan. Tak biasanya putrinya tidak ingin berbicara dengannya. Padahal Eunbi-lah yang sering merengek meminta neneknya menelpon ibunya. "Apa sesuatu yang terjadi?" Selidik He Ra. Sang ibu yang berpikir He Ra harus mengetahui setiap perkembangan putrinya pun menceritakan kejadian siang tadi. Selepas pulang sekolah Eunbi pulang ke rumah dengan jalan kaki seorang diri. Saat diperjalanan pulang ke rumah ia mendapati sebuah boneka barbie yang jatuh di jalan. Entah milik siapa yang jelas Eunbi mengambil boneka bergaun pengantin itu dan membawanya pulang ke rumah. Ketika langkah kaki kecilnya hampir sampai rumah, seorang gadis kecil yang usianya hampir sama dengan Eunbi menghentikan langkah Eunbi dan meminta Eunbi mengembalikkan boneka miliknya. Eunbi yang menolak mengembalikkan boneka ditangannya, mendorong gadis kecil yang merupakan tetangganya hingga gadis tersebut jatuh ke tanah. Tak terima dengan perlakuan Eunbi, ibu gadis kecil tersebut mendatangi rumah orangtua He Ra dan memaki Eunbi juga para penghuni rumah. Sang nenek yang merasa tidak enak hati dengan tetangganya meminta maaf dan mengambil boneka yang dipungut Eunbi dan memberikannya kepada tetangganya. Eunbi marah seketika! Gadis berusia 7 tahun itu mengamuk dan berguling-guling di halaman rumah orangtua He Ra. Bahkan ia melempari rumah orangtua He Ra dengan batu-batu kecil sampai sang nenek kewalahan menghentikannya. Beruntung tak lama kemudian ayahnya He Ra pulang dari ladang dan membantu istrinya menenangkan cucunya. He Ra yang mendengar cerita sang ibu tentang putrinya merasa sangat bersalah. Tapi, ia harus bagaimana lagi? Ia tidak mungkin berharap terus-terusnya dari sang ayah untuk membiayai hidupnya dan juga putrinya. Sebagai ibu, He Ra sudah merasakan sesuatu yang lain pada putrinya sejak berusia 3 tahun. Tidak seperti anak lainnya, Eunbi termasuk anak yang mengalami speech delay dan Sering mengalami tantrum. He Ra sempat membawa sang anak ke salah satu dokter spesialis tumbuh kembang anak. Sang dokter merekomendasikan agar Eunbi mendapatkan terapi yang cocok. Akan tetapi, gaji yang diterima He Ra setiap bulan tidak cukup untuk membayar terapi yang dokter sarankan untuknya. "Ibu..." Panggil He Ra dengan suara lirih. "Maafkan aku karena sudah menyulitkan keadaanmu dengan menitipkan Eunbi!" Sambung He Ra. Suaranya terdengar cekat dileher. "Kau ini bicara apa!! Kau dan Eunbi satu-satunya harta berharga bagi kami!" Kata sang ibu. Kedua bola matanya terasa panas dan memerah. Sebagai seorang ibu, ia tahu benar yang dirasakan oleh He Ra. Membesarkan seorang anak tanpa suami bukanlah hal yang mudah. "Sudah malam! Kau harus istirahat! Ibu matikan panggilannya!" Ujar sang ibu yang mulai tidak tahan melihat putrinya. Ia takut jika terlalu lama berbicara, airmatanya akan pecah dihadapan putrinya. He Ra tak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya pelan. Percakapan melalui video call diantara keduanya pun terhenti sampai disitu. Tangis He Ra pun tak kuat lagi dibendungnya. Sosok suami yang diharapkannya bisa menjadi sandarannya saat menangis pun belum kembali ke pelukannya. Tak ada kabar ataupun tak memberikan sepeserpun untuk dirinya dan putrinya selama bertahun-tahun. He Ra tak berharap banyak. Ia hanya ingin melihat suaminya, entah dalam keadaan hidup atau dalam keadaan tak bernafas sekalipun. Buah bibir Kunjungan tidak terduga para eksekutif beberapa hari yang lalu ke kantin perusahaan menjadi buah bibir para pekerja kantin. Pekerja kantin yang didominasi para kaum hawa membicarakan tentang visual para eksekutif yang datang. Mereka mengelu-elukan paras tampan keempat eksekutif muda yang datang untuk makan siang waktu itu. Seo Ji misalnya, ia terus memuji ketampanan pimpinan pengawas makanan yang baru. "Ah...aku menyesal sekali menolak tawaran waktu itu!" Kata Seo Ji yang mengingat dirinya pernah ditawari untuk mengantar makan siang ke ruangan pimpinan pengawas yang baru. Ia pikir pengawar yang baru seperti pengawas makanan yang lama, berusia lanjut dan sudah mempunyai anak yang usinya hampir sama dengan dirinya. "Kalau ternyata pimpinan itu mirip aktor Ha Seok Jin, aku tidak akan menolaknya!" Sambung Seo Ji dengan penuh penyesalan. He Ra yang sedang mengiris kubis tersenyum geli mendengar percakapan teman-temannya. Tetapi ia juga tak menyangka jika pimpinan yang baru masih sangat muda umurnya. Kunjungan tak biasa para eksekutif justru menjadi tanda tanya yang besar. Para eksekutif muda yang terkenal congkak di kalangan karyawan sering menolak ajakan makan siang di kantin. Mereka lebih memilih makan siang di restoran kelas atas. Dalam setahun, kunjungan mereka ke kantin perusahaan bisa dihitung dengan jari tangan. Itupun, sebelumnya pimpinan pengawas makanan yang menelpon terlebih dahulu ke pihak kantin agar dihidangkan makanan yang lebih "wah" dibanding karyawan lain. "Kata temanku yang bekerja didivisi lain di perusahaan ini, kalau pimpinan baru itu merupakan anak pemilik perusahaan ini!" Ujar salah seorang pekerja kantin yang memakai riasan wajah lebih tebal dibanding rekannya. Seo Ji dan pekerja lain terbelalak mendengarnya. Sementara He Ra yang berdiri tak jauh dari mereka tak sengaja mendengar dan sontak berhenti dari aktivitasnya. 'Pantas saja! Rupanya ia ingin memperlihatkan tajinya ke pimpinan yg lain!' batin He Ra. "Benarkah?" Tanya salah satu pekerja lainnya. "Tapi, kalau memang dia anak dari pemilik perusahaan ini, mengapa ia memilih menjadi pimpinan pengawas makanan?" Tanya Seo Ji yang masih penasaran. "Mungkin saja ia lulusan sekolah yang ada kaitannya dengan pekerjaannya saat ini!" Jawab pekerja yang memakai riasan tebal sembari memperbaiki lipstik pada bibirnya melalui cermin kecil. Pekerja lain mengangguk-anggukan kepala mereka. Cukup masuk akal bagi mereka bila anak pemilik perusahaan bekerja dibidang yang sesuai dengan sekolahnya. Tapi, masih ada beberapa pekerja yang kontra. Mengapa anak pemilik perusahaan tidak mengambil jabatan yang lebih tinggi dibanding sekadar pimpinan pengawas makanan? Jika ada sosok Rene diantara mereka, mungkin rasa penasaran terhadap Pak Jin Ho akan tuntas seketika. Perkumpulan "lambe turah" itupun akhirnya bubar saat kembalinya Bu Har dari ruangan atasannya yang memberikan laporan mengenai stok bahan makanan. rapor merah Bu Har duduk diam terpaku menatap secarik kertas berwarna merah muda yang berada di tangan kanannya. Dihadapannya, berserakan catatan lain yang ditulis oleh karyawan perusahaan setelah mendapatkan makan siang tadi. Wajah pekerja kantin sama terlihat lesunya seperti wajah Bu Har. Mereka tak menyangka jika akan mendapat lebih banyak komentar miring mengenai hidangan yang mereka sajikan hari ini. Dibandingkan kemarin, hari ini justru lebih banyak penilaian negatif dari para karyawan perusahaan. "Padahal kita sudah berusaha sebaik mungkin hari ini!" Kata Seo Ji. Suaranya terdengar begitu sedih setelah membaca kertas-kertas yang berserakan diatas meja. Rene yang tadinya berdiri disebelah Seo Ji, menarik kasar kursi didekatnya dan duduk dihadapan Bu Har dengan melipat tangannya ke depan. Wajahnya terlihat ketus. Hari ini ia sudah beberapa kali kena semprot omelan Bu Har ditambah lagi membaca penilaian dari para karyawan membuatnya semakin kesal. "Jika begini terus, bisa-bisa perusahaan mencari kontraktor lain untuk menggantikan kita!" Rene mulai membuka suaranya. Ia justru menilai bukan dirinya dan rekan lainnya yang bekerja dengan tidak baik, tetapi sang pimpinannya yang tidak becus mengatasi persoalan yang ada Seo Ji mengerutkan dahinya saat mendengar ucapan Rene. Ia masih sulit paham dengan maksud ucapan rekan kerjanya "Artinya?" Tanya Seo Ji polos. Rene menahan geram saat melihat Seo Ji yang telat berpikir. "Kita tidak akan dipekerjakan lagi!" Jawab Rene gemas. Pekerja lain terbelalak mendengar ucapan Rene. Benarkah? Bagi mereka mencari pekerjaan seperti mencari jerami ditumpukkan jarum yang tajam. Tidak mungkin jika tidak terluka saat mencarinya. Diantara mereka pernah juga merasakan penolakan dengan cara yang kasar. Bahkan tidak sedikit yang harus gigit jari karena tidak ada lagi kabar mengenai lamaran mereka. Walaupun mendapatkan tekanan kerja di bagian dapur, tapi mereka berusaha bertahan demi bertahan hidup. Bahkan tak satu atau dua orang yang menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Suasana kantin terasa lebih Menegangkan setelah para pekerja kantin mendengar kata-kata Rene. He Ra yang mulai melihat kekhawatiran di wajah rekan-rekannya. Ia pun meminta rekan kerjanya agar tidak berpikiran macam-macam. "Semua akan baik-baik saja!" Ujar He Ra yang berusaha menenangkan keadaan. Rene yang menganggap He Ra omong kosong menyunggingkan ujung bibirnya. "Baik-baik saja katamu??" Rene mengulang kembali perkataan He Ra. Rene mengumpulkan kertas-kertas yang ada di atas meja lalu melemparkan kertas berwarna warni ditangannya ke hadapan He Ra. "Lihat itu!" "Kita sudah mendapat rapor merah karena catatan-catatan mereka! Sekeras apapun kita berusaha sudah tidak ada gunanya lagi!" Sambung Rene pesimis. Rene begitu kesal karena He Ra tidak bisa melihat kenyataan didepannya dan memberikan harapan palsu kepada rekannya. Padahal mereka bukan kali pertama berusaha sebaik mungkin agar rapor tersebut berubah warna. Tetapi, tetap saja penilaian buruk terhadap masakan mereka selalu diterima. He Ra menarik nafas dan membuangnya pelan. Keadaan akan semakin sulit jika tidak dihadapi dengan kepala dingin. He Ra memungut satu persatu kertas yang dihambur oleh Rene dan mengumpulkannya di atas meja. "Lihat!" Rene mengedarkan kertas diatas meja. "Coba kalian perhatikan catatan-catatan ini!" He Ra menunjuk kumpulan kertas dihadapannya. Satu per satu para pekerja kantin membaca ulang tulisan yang ada diatas meja. Namun, mereka masih belum menyadari maksud dari He Ra. He Ra menarik nafasnya kembali dan menjelaskan kepada timnya. "Mereka lebih menekankan pada kualitas bahan makanannya! Tidak segar! Seperti memakan sampah!" Sambung He Ra yang menirukan kata-kata dari catatan yang ditulis salah seorang karyawan. "Apa kalian yang bertanggung jawab dengan kualitas bahan itu? Tidak, kan?!" "Aku pikir kalian sudah paham saat mengolah bahan makanan yang baru masuk ke gudang! Bukankah begitu, Kak?" He Ra melirik Bu Har yang memijat-mijat keningnya yang sakit. Para pekerja masih belum menangkap maksud ucapan He Ra. "Sewaktu mobil pengangkut bahan makanan datang, aku memeriksa sayur-sayur yang ada di dalam mobil mereka! Aku melihat ada dua jenis sayuran di dalamnya!" Ujar He Ra menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu saat dirinya membantu mengangkut sayuran dari dalam box mobil. Ia mencium aroma mencurigakan saat sayur dengan kualitas terbaik tidak diturunkan dari dalam box. Perusahaan tempat dirinya bekerja bukanlah perusahaan kaleng-kaleng. Perusahaan mebel terbesar di negaranya yang mempunyai 6 cabang perusahaan di luar negeri tidak mungkin teledor masalah konsumsi karyawannya. Bisa-bisa perusahaan dituntut oleh para karyawannya karena sudah dianggap lalai terhadap kesehatan para karyawan. He Ra pun kembali menceritakan keganjilan yang ditemuinya kepada teman-temannya. Ia tidak mau jika ia dan timnya dijadikan kambing hitam oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. "Beberapa bahan makanan yang kuperiksa di gudang penyimpanan juga kebanyakan dicampur dengan bahan yang sudah tidak layak konsumsi!" Kata salah seorang pekerja kantin yang lain. Mereka pun mulai menyadari dan memahami. Benar saja! Bukan hanya He Ra yang merasakan keganjilan, pekerja lainpun juga merasakannya. Pernah suatu hari salah seorang pekerja membuang bawang yang mulai membusuk dan saat itu pula pimpinan pengawas yang lama menegur pekerja kantin agar tidak membuang bahan makanan. Walaupun pekerja kantin sudah menjelaskan kalau bawang yang dibuangnya tidak layak konsumsi, pimpinan pengawas yang lama berdalih jika perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan dan bahan apapun yang telah dibeli harus digunakan demi menyelamatkan keuangan perusahaan. "Artinya mereka sengaja menyuplai stok bahan makanan ke perusahaan ini dengan kualitas yang rendah?!" Seo Ji menyimpulkan cerita teman-temannya. He Ra mengangkat kedua bahunya. "Mungkin saja!". Ia tidak berani mengambil kesimpulan sebelum pemeriksaan lebih lanjut. He Ra kembali melirik Bu Har yang sedari tadi tidak bersuara. Percuma saja mereka sedari tadi berbicara jika Bu Har sebagai pimpinan pekerja kantin tidak mengambil sikap. "Kakak, sudah waktunya kau melaporkan keU pimpinan pengawas makanan yang baru!" Desak He Ra. Kejadian terus berulang dan mempersulit keadaan dirinya dan pekerja lainnya. Wanita paruh baya itu hanya menghela nafas berat. Apakah jika dirinya melaporkan kepada pimpinan yang baru akan ada perubahan?? Kejadian lama membuat Bu Har berpikir dua kali untuk melakukannya. Bu Har diam seribu bahasa. Kekecewaannya terhadap pimpinan yang lama membuatnya enggan berhadapan lagi dengan pimpinan yang baru. Tanpa mengatakan sepatah katapun, wanita yang memiliki tubuh berisi beranjak dari kursinya. "Sudah saatnya kalian pulang!" Ujar Bu Har dan pergi meninggalkan pekerja lainnya yang melongo melihat sikap Bu Har. *** Semangkuk penuh jajangmyeon sudh berpindah ke dalam lambung He Ra. Menghadapi situasi tegang ditempatnya bekerja membuatnya tidak berselera makan ditempat kerja. Sengaja ia tidak langsung pulang ke apartemennya karena ingin mencuci mata agar penatnya hilang setelah seharian bekerja. Berjalan tanpa tujuan dan entah bagaimana langkah kakinya sampai di sebuah kedai mie yang diapit bangunan perkantoran. Kedai yang memuat 20 meja palanggan merupakan bangungan tua yang barusaja direnovasi oleh pemiliknya setahun yang lalu. Tidak ada yang terlihat istimewa pada kedai itu, kedainya nampak sama dengan deretan kedai-kedai makanan diseberangnya. Yang menarik langkah He Ra untuk datang ke kedai tersebut adalah pemiliknya, yaitu Bu Har. He Ra meletakkan mengkuk putih diatas meja setelah menghabiskan semanguk jajangmyeon mangkuknya bersih. Ahh... Perutnya terasa kencang hingga membuat celana jeans yang dikenakannya sesak dan sulit membuatnya bernafas. Seharian ditempat kerja membuatnya tak berselera makan. Bukan hanya mendapat tekanan kerja akibat rapor merah yang karyawan perusahaan berikan, tetapi juga ketegangan dari pekerja kantin yang lain yang dinilai lebih sensitif dari sebelumnya. "Kau makan seperti orang yang tidak makan seminggu!" Komentar Bu Har yang menemani He Ra makan malam dikedainya. He Ra menyeka sisa saus disela-sela bibirnya dengan tisu makan. Ia pun menyambar gelas berisi air putih yang baru saja dituangkan sang pemilik kedai. "Ahhh....!" Rasa seret di kerongkongannya pun sirna seketika. "Aku tidak bisa makan dan berpikir dengan baik di tempat kerja!" Ujar He Ra sembari meletakkan gelas bening ditangannya ke atas meja. Selama rapor merah diterima para pekerja kantin, para pekerja mulai gampang tersulut emosi dan menambah ketegangan di tempat kerja. Bu har tersenyum kecut! Kata-kata yang dilontarkan He Ra terasa menyudutkannya. "Kau sangat beruntung, Kak! Jika kami semua di PHK, kau masih punya kedai sebagai penyambung hidupmu!" He Ra tertunduk sedih. Pikirannya mengambang memikirkan masa depan putrinya. Bahkan ia mulai mencari lowongan pekerjaan ditempat lain, untuk berjaga-jaga apabila keputusan PHK itu benar-benar terjadi. Investigasi Pagi hari para pekerja kantin menemukan pemandangan berbeda saat mereka ingin masuk ke dapur. Mereka mendapati pimpinan pengawas makanan sedang duduk di ruang kantin perusahaan. Dihadapannya Bu Har berdiri membawakan setumpuk berkas-berkas yang sedang dibaca oleh Jin Ho. He Ra yang baru saja datang bekerja segera berdiri disamping Seo Jin yang lebih dulu sampai ditempat kerja. "Ada apa?" Tanya He Ra berbisik ditelinga Seo Jin. Seo Jin mengangkat kedua bahunya. Semenjak ia datang, Bu Har dan Jin Ho sudah berada di kantin dan keduanya belum berbicara satu sama lain. Ia hanya menyaksikan pimpinannya membaca lembar demi lembar kertas dihadapannya dengan wajah serius. Jin Ho mengumpulkan berkas-berkas dihadapannya dan menumpuknya menjadi satu. Ia pun beranjak dari kursinya dan pamit kepada Bu Har untuk kembali bekerja. "Semua laporan ini akan diteruskan! Kami juga akan mengajukan investigasi!" Kata Jin Ho dan kemudian pamit dari Bu Har dan pekerja lainnya dengan membawa berkas yang diberikan oleh Bu Har. *** Bukan perkumpulan lambe turah namanya kalau tidak mencari tau apa yang terjadi. Setelah Jin Ho pergi meninggalkan ruang kantin, para pekerja langsung mengerubungi Bu Har untuk mencari tau tujuan pimpinan mereka datang ke ruang kantin perusahaan. Bu Har memberikan laporan yang pernah ditolak oleh pimpinan pengawas makanan sebelumnya kepada Jin Ho. Jin Ho juga berjanji akan mempelajari dan menginvestigasi mengenai rapor merah yang ditujukan kepada pekerja kantin. Para pekerja kantin sangat senang mendengarnya. Walaupun masih terbilang baru, mereka berharap pimpinan baru mereka mampu menyelesaikan masalah yang terjadi dan bayangan PHK tidak lagi menghantui mereka. Kata-kata He Ra semalam yang membuatnya terdorong untuk melaporkan kembali kepada Jin Ho. Bu Har merasa tersudut karena mempunyai usaha lain diluar pekerjaan utamanya. "Terima kasih, Kakak!" Ucap He Ra saat pekerja lain pergi dari mereka. Bu Har tersenyum sinis melihat He Ra. "Kamu pikir aku melakukannya untukmu? Tidak!! Aku melakukannya untuk Eunbi dan keluarga pekerja lainnya!" Kata Bu Har. He Ra yang bahagia melihat keberanian pimpinannya bergelendotan di pundak Bu Har seperti anak kecil. "Apapun alasannya! Aku mencintaimu, Kakak!!" He Ra setengah berteriak dan menggema di sudut ruangan. *** Keesokkan harinya. Dua jam lagi waktu makan siang karyawan akan tiba. Para pekerja kantin sibuk di station mengerjakan pekerjaan masing-masing. Suara panci dan perabotan dapur saling beradu dengan suara teriakan-teriakan para pekerja yang memprotes pekerjaan rekan mereka yang dinilai lamban. Suara kericuhan dapur mulai mereda saat Jin Ho masuk ke dapur mereka. Sepasang mata itu mengedar mencari keberadaan Bu Har. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Jin Ho?" Suara wanita paruh baya dari belakang mengejutkan pria yang bulan depan genap berusia 34 tahun. Dari kejauhan pekerja lainnya mengamati Jin Ho dan Bu Har sedang berbicara serius. Mungkin percakapan mereka mengenai kelanjutan laporan kemarin, cetus salah seorang dari mereka. "He Ra! Kemari!" Bu Har memanggil dengan melambaikan tangan kanannya. Menginstruksikan anak buahnya segera datang ke arahnya. He Ra setengah berlari bergegas mendatangi dua pimpinannya. Tanda tanya besar pun timbul dalam batinnya. "A...ada apa?" Tanya He Ra gugup dihadapan kedua pimpinannya. Ia merasa tidak berbuat kesalahan apapun sampai hari ini. "Pergilah bersama Pak Jin Ho ke rumah Pak Nam! Diantara semua pegawai, kau yang pernah kesana!" Kata Bu Har menjelaskan. Kedua bola mata He Ra membulat menatap Bu Har. Hah?? "Ta...tapi aku harus menyelesaikan pekerjaanku!" Kata He Ra beralasan. Ia sangat canggung jika pergi bersama atasannya "Masih ada pekerja lain yang akan menyelesaikannya!" "Maaf Pak Jin Ho, kalau saya tidak bisa menemani! Karena harus mengawasi pekerja kantin untuk menyiapkan makan siang untuk para karyawan!" "Tidak masalah!" Ucap Jin Ho tersenyum tipis. "Kami pergi sekarang!" Sambung Jin Ho yang pamit undur diri dari hadapan Bu Har. Teka Teki pertama Jin Ho menolak menggunakan supir dan mobil perusahaan untuk digunakannya ke rumah Pak Nam. Setelah menemui Pak Nam, ia berencana untuk makan siang diluar. Karena jika kembali ke kantin perusahaan pastinya jam makan siang sudah akan selesai. He Ra yang sudah selama sejam duduk disebelah Jin Ho merasa jantungnya berdegub sangat kencang. Ia merasa gugup dan canggung berada di satu mobil bersama atasannya. "Jadi, rumahnya diujung blok sana?" Suara Jin Ho terdengar samar karena suara radio mengudara di dalam mobil. He Ra menyadarkan dirinya sepenuhnya. Ia kembali mengakkan tubuhnya agar bisa melihat jalan di depannya dengan baik. "I...iya! Rumah yang berpagar coklat itu!" He Ra menunjuk pagar kayu yang memiliki tinggi dua meter mengelilingi sebuah rumah megah berlantai tiga. Sedan abu-abu yang dikemudikan Jin Ho menepi tak jauh dari rumah yang ditunjuk oleh He Ra. Keduanya pun bergegas turun dari mobil dan berjalan menuju pintu gerbang rumah. Jin Ho dan He Ra mengedarkan pandangannya. Pemukiman yang padat dengan rumah-rumah elite cukup sepi dari lalu lintas kendaraan. Beberapa titik vital terdapat kamera CCTV untuk memantau area jalan. 'Teet....teet...' Jin Ho menekan bel yang ada disisi pagar rumah, tetapi tak satupun penghuni rumah keluar membukakan pintu gerbang. "Mungkin mereka semua tidak ada di rumah!" Ujar He Ra yang merasa kasihan melihat bosnya berdiri di depan pagar. Jin Ho merenggangkan dasi yang melingkar dilehernya dengan kesal. Ia harus kembali dengan tangan hampa. He Ra baru saja ingin masuk ke dalam mobil, tetapi pandangannya terhenti saat melihat bosnya menatap sedan hitam mengkilap yang berhenti di depan rumah Pak Nam. Sepasang kaki yang berbalut sepatu pantofel dengan celana biru dongker, senada dengan warna jas yang dikenakan keluar dari pintu belakang mobil. Sebagian wajah pria yang keluar dari sedan hitam itupun tertutup dengan kacamata hitam. Walaupun begitu, He Ra masih bisa mengenali pria dihadapannya. "Su...Suho?" Suara bibir He Ra yang membeku. Description: He Ra tak pandai menolak ketika teman-temannya menjodohkannya dengan pria dalam kencan buta yang mereka atur. namun, di dalam hatinya ada setitik rasa jenuh menghadapi laki-laki yang menjadi teman kencannya. usia He Ra terbilang cukup matang, yaitu 30 tahun, tetapi ia tidak begitu ambil pusing tentang pernikahan dan cinta. Baginya cukup satu cinta di dalam hidupnya, yaitu cintanya terhadap Suho.
Title: Wicked Bond Category: Adult Romance Text: Blurb (a) Sepuluh tahun yang lalu... Tidak ada yang lebih menyenangkan—bagi siswi menengah pertama maupun akhir St. Joseph—untuk menonton basket di sore hari, dibandingkan melewati gerbang sekolah dan pulang. Mereka lebih memilih berlomba-lomba untuk mendapatkan kursi paling depan, di lapangan tertutup belakang sekolah, demi memanjakan kedua mata mereka. Termasuk siswi menengah pertama yang cukup populer bernama Amora Georgina Maxwell. Gadis berusia empat belas tahun itu mendapatkan kursi paling depan. Tepat menghadap tempat para jajaran pemain beristirahat. Dia dapat dengan leluasa untuk 'menikmati' pemandangan jenis manapun yang dia inginkan. Tanpa perlu saling memaki atau melukai dirinya sendiri karena berebut. Mereka akan selalu memberikan prioritas pada Amora. Tidak ada yang tidak mengenal Amora. Gadis cantik bermata cokelat madu itu adalah pewaris tunggal Maxwell Group. Perusahaan ritel kedua yang paling berpengaruh setelah Easter Company. Selain cantik dan kaya, Amora memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Walaupun kadang sedikit angkuh—mereka tetap memujanya—para pria memuji Amora, Sang dewi Yunani yang sempurna. Rambut cokelat sampai pinggang. Mata cokelat madu yang berkilauan—dipayungi bulu mata yang panjang—nan lebar bak mata rusa. Bibir merah yang penuh. Kulit kecokelatan sewarna zaitun. Berterima kasihlah pada Ibu Amora yang terlahir sebagai wanita Spanyol dan Amora akan mewarisi tubuh indahnya ketika dewasa. "Kau yakin telah menyimpannya di tempat yang benar?" Amora berbisik pada sahabatnya, Cassidy. Namun kedua matanya tak terlepas pada sosok yang tengah mendribble bola basket menuju ring. Cassidy tersenyum. "Aku tahu tas kecil yang selalu bertengger itu milik Benjamin." Teriakan di sekelilingnya terdengar ketika Benjamin memasukan bola ke ring. Kemudian sorak lain terdengar lebih keras saat Marvin Easter memasukan bola ke ring dua kali. Pandangan Marvin dan Amora bertemu. Amora segera mengalihkan pandangannya dengan sinis. Membuat Marvin menggelengkan kepala dan tetap menatapnya tanpa Amora sadari. Benjamin Caiden, mereka menyebutnya pangeran es yang tak tersentuh. Sikapnya terbilang dingin dan tak banyak berbicara. Benjamin bukanlah idola utama yang menjadi pusat perhatian gadis-gadis di St. Joseph, tapi Amora tetap menyukainya. Sejak Amora pertama kali menginjakan kakinya kemari, dia telah jatuh hati pada pria itu. Pertemuan pertama mereka adalah di perpustakaan. Ketika Amora berusaha menggapai buku yang dia inginkan, Benjamin berada di sana membantunya, walau pria itu tetap bersikap datar. Benjamin yang selalu nomor dua dalam hal apapun, tampaknya tetap lebih menarik di mata Amora, dibandingkan si nomor satu bernama Marvin Easter. "Marvin!" "Marvin!" "Go!" Bisakah mereka berhenti? Amora membenci Marvin yang selalu mengganggunya. Pria itu selalu mengambil banyak kesempatan untuk menghancurkan hari Amora jika mereka berpapasan. Mengambil bukunya, menggagalkan hari Amora untuk bersikap angkuh, bahkan Marvin pernah mengunci Amora di gudang saat dia diperintahkan untuk menyimpan bola oleh guru olahraga. Apa yang menarik dari pria itu? "Marvin memang selalu menjadi nomor satu," celetuk Cassidy seakan menjawab pertanyaan di kepala Amora. "Kurasa aku akan mati sekarang, Amora." "Kau tetap bernapas sekarang, Cassie. Marvin tidak semenarik itu—" Cassidy menggeleng tegas. "Marvin adalah calon yang tepat. Tampan, kaya, dan cerdas..." Amora mengabaikan ucapan Cassidy. Apa yang diucapkan Cassidy secara berlebihan, justeru terjadi pada Amora sekarang. Dia menahan napas, meremas ujung roknya dan kedua pipinya memanas tatkala Benjamin mendekati tempat beristirahat. Pertandingan basket telah selesai. Skor tim yang dipimpin Marvin bersama teman-temannya, termasuk Benjamin di dalamnya, lebih tinggi dibandingkan tim Julian. Seperti biasa, tidak ada satu pun yang berpikir untuk pergi ketika Marvin menebarkan pesonanya dan berlama-lama di lapangan. "Dia mendekat," bisik Amora tercekat. Benjamin menunduk meraih handuk dan mengusap wajahnya. Bersamaan dengan itu, Marvin juga berada di tempat yang sama. Amora terus menatap lurus ke arah Benjamin. Berharap dia akan menarik tas berwarna cokelat itu lalu membuka isinya. Tapi apa yang terjadi sebaliknya, Benjamin bergeser mengambil posisi Marvin. Ia mengambil tas berwarna hitam miliknya. Kedua mata Amora seketika membelalak. "Amora, aku yakin tas itu milik Ben, dia membawanya—maksudku dia membawa dua—" "Sial," maki Amora dengan pupil mata yang kian membesar. Marvin membuka tas cokelat miliknya. Pergerakan itu cukup lama sehingga Amora tak berhenti untuk terus memerhatikannya. Ketika mendongak, Marvin menatap Amora dengan senyuman miring. Marvin mengeluarkan sebuah minuman dan kertas di tangannya. Pria itu kemudian melangkah menuju lapangan. "Guys," teriak Marvin nyaring. Menggema ke setiap sudut aula. "Seorang gadis baru saja ingin mengutarakan perasaannya...." Suasana yang semula ricuh mendadak hening. Amora menatap Marvin penuh peringatan. "Padaku," tambah Marvin tenang. Amora mengepalkan telapak tangannya. Alarm di kepalanya mulai berbunyi. Marvin dengan senyuman penuh kejahatannya membuat jantung Amora tak berhenti berdebar kencang. Marvin akan melakukan hal yang mengerikan. Dan Amora tahu dia dalam bahaya sekarang. "Dear Marvin..." Marvin mulai membaca surat itu dengan nada setengah mengejek, tapi senyumannya terlukis pada Amora. Bahkan pandangan matanya tak terlepas sedikitpun dari gadis itu. "Sejak pertama kali kita bertemu, aku telah jatuh hati padamu..." Cassidy mencekal pergelangan tangan Amora ketika ia hendak bangkit. "Bukankah kau menulisnya untuk Benjamin kenapa kau menulis nama Marvin?" Dia jelas menuliskan Benjamin, bukan Marvin. Apa-apaan pria sialan itu? "Aku menyukaimu, caramu berpikir ... kau selalu memenuhi pikiranku," Marvin nyaris menyelesaikan ucapannya dan Amora segera bangkit. Namun semuanya jelas terlambat. "Amora," panggilnya. "Surat ini dari Amora." Marvin mendekati Amora. Menarik paksa lengan Amora agar gadis itu mengekorinya. Cassidy menatap Amora dengan penuh penyesalan. Ia hanya mampu meringis tanpa berniat menarik Amora dari Marvin. "Amora, terima kasih untuk semua ini." Amora membuka bibirnya sedikit. Ia menatap surat di tangan Marvin. Pria itu memasukan benda itu ke dalam saku. Lalu kembali menatap Amora dan tersenyum penuh ancaman. "Kiss her, Marvin," Julian berteriak. Disusul oleh teriakan tak terima namun tak sedikit yang mengikuti ucapan Julian. Amora menggelengkan kepalanya. "Jangan melakukan hal bodoh, Marvin. Aku akan membuatmu ditendang dari sekolah ini," ancamnya setengah menggeram. Marvin terkekeh pelan. Ia menangkap pinggang Amora setengah memaksa. Menutup jarak di antara mereka lalu menunduk dan mencium bibir Amora lembut. Amora refleks membelalak lebar. First kissnya tidak seharusnya berada di sini. Amora mendorong dada Marvin kasar. Di waktu yang bersamaan, Marvin membuka botol minuman dan menumpahkan seluruh isinya pada kepala Amora. Amora membeku di tempat. Suara sorak penuh tawa menggema, memenuhi telinga Amora. "Aku mengapresiasi usahamu, Amora. Tapi aku tidak menyukaimu sama sekali." Marvin Easter, pria itu akan mendapatkan pembalasannya. Description: Sepuluh tahun yang lalu, ketika Amora Georgina Maxwell berusia empat belas tahun, ia menyatakan perasaannya pada Benjamin Caiden, dengan menyimpan surat cinta dan minuman di tas pria itu. Namun, surat yang seharusnya tersimpan di tas Ben, justeru tersimpan di tas musuh besarnya, Marvin Easter, si tampan penuh kharisma-yang paling Amora benci dan hindari. Sepuluh tahun kemudian, takdir memutarbalikan kehidupan Amora di mana ia bukan lagi si cantik-kaya-raya keluarga Maxwell. Dia berada di jalanan New York yang kumuh, berusaha mendapatkan pekerjaan di samping preman-preman itu mengejar Amora untuk menjualnya ke rumah bordil. "Nona sombong yang angkuh, kita bertemu lagi." Marvin Easter berdiri di hadapan Amora dengan penampilan yang luar biasa tampan. Hingga untuk beberapa saat, membuat Amora terpaku. Tak memercayai pandangannya. "Marvin?" Marvin menatap Amora dengan menggoda. "Ya, Amora Maxwell. Long time no see, huh?" Sial. Amora tahu dia dalam masalah ketika Marvin menjadi malaikat penolongnya malam itu. Karena ciuman di bibirnya sepuluh tahun lalu, terasa berbeda dengan ciuman pria itu di atas bibirnya sekarang.
Title: Welcome Back Category: Adult Romance Text: Suram Aakifa masih terbaring di atas ranjang dengan tatapan kosong di langit-langit kamarnya. Sudah satu bulan berjalan Aakifa tidak memiliki pandangan untuk masa depannya. Kegiatannya hanya ia habiskan untuk berbaring di atas singga sananya bersama boneka, bantal, dan guling yang selalu menempel di tubuhnya. Dalam sebuah ruangan berbentuk persegi yang bisa di bilang cukup besar dengan semua fasilitas termasuk kamar mandi cukup untuk kebutuhan sehari-harinya, Aakifa menghabiskan hari-harinya di sana. Di masa produktifnya saat ini orang tuanya sangat mengharapkan agar dia menyiapkan diri untuk menggantikan posisi mereka. Jangankan untuk menatap masa depan Aakifa keluar dari kamarnya sama sekali tidak pernah. Aakifa mengalami diepresi yang cukup berat seakan ia sudah tidak bisa merasakan kenikmatan dunia. Tentu sangat berat bagi sosok orang tua mana saja melihat anaknya tak mampu untuk bersemangat melanjutkan kehidupan panjangnya. Merupakan suatu keadaan yang sulit bagi orang tua Aakifa, tentu saja mereka tidak tega untuk tidak menengok anaknya sama sekali di tengah kondisi yang sangat buruk. Namun orang tua Aakifa terlebih dahulu meneguhkan hati sebelum melakukannya karena Aakifa akan meneteskan air mata setiap menatap orang tuanya. Meskipun orang tua Aakifa penuh sesak yang di rasa tapi mereka menguatkan diri untuk mampu melakukannya mengunjungi Aakifa di kamarnya. Orang tua Aakifa selalu telaten untuk menengoknya setiap saat di kamarnya. Dan pada akhirnya air mata Aakifa akan tumpah di hadapan orang tuanya. Aakifa tak pernah berbicara sepatah katapun kepada siapa saja ia hanya bermain isyarah. Orang tua Aakifa hanya mampu memeluk putri kesayangannya dengan air mata jatuh secara perlahan yang tak mampu tertahan. Selain orang tua Aakifa yang menjenguknya ia hanya akan diam dan menatap dengan pandangan kosong. Orang tua Aakifa selalu mengingatkannya untuk menjalankan solat lima waktu setiap mulai masuk waktunya karena Aakifa tak pernah ingat waktu jika sudah terbawa dengan lamunannya. Meski semua itu harus berawal dengan tumpahan air mata namun mereka begitu setia untuk melakukannya. Orang tua Aakifa tak lupa untuk memberikan nasihat-nasihat ringan untunya. Meskipun itu semua bisa diterima Aakifa atau tidak. Ibu Aakifa menghapus air mata yang memenuhi pipi putrinya meskipun air matanya sendiri terus berlinang. Wajah pucat dengan mata berkantung hitam dan cekung itu sudah bersih dari air mata. Ibu Aakifa menyisir rambut acak putrinya dan menciumnya di setiap sisi untuk memberikan kakuatan. Aakifa dengan badan kecil yang ringkih mulai berjalan gontai menuju kamar mandinya. Aakifa menjadi kurus secara drastis karena makannya sangat sulit tubuhnya tidak pernah mendapatkan asupan apapun tidak ada energi dalam tubuhnya. Ibu Aakifa tak sanggup menahan tangis dan meluapkannya dalam rengkuhan ayah Aakifa. Orang tua Aakifa sangat prihatin dengan keadaan putrinya tambah hari semakin memburuk. Mereka merasa kehilangan putri kecilnya yang dulu, putri kecilnya yang mempunyai seribu sikap optimis, tak pernah mengenal murung dalam hidupnya, putri kecilnya yang selalu memberikan hadiah akan prestasi dan karya yang ia ciptakan. Dan sekarang putri kecilnya yang sudah remaja berubah menjadi seseorang yang tidak mengenal kehidupan seseorang yang terpuruk dalam kehancuran hidupnya. Aakifa mulai mengangkat tangan untuk takbiratul ikhram di mulai dari satu butir air matanya mulai jatuh. Dalam solatnyalah Aakifa melepas semua kepenatan hidupnya. Ia merasakan ketenangan dengan memasrahkan semua kepada Alloh. Air matanya mengalir karena ia begitu merasa nyaman dalam lindungan tuhannya. Seusai solat disambung dengan dzikir dan berdoa. Ia selalu menceritakan semua yang ia rasakan beban kepenatan yang selama ini menghantuinya. Penyebab kepurukannya yang selama ini tak mampu ia ceritakan pada siapapun terluap dalam doa-doanya meski bibirnya tak berucap. Di tengah kekhusyukan Aakifa mencurahkan isi hatinya ada yang membuka pintunya. Aakifa mengakhiri doanya menoleh kepada pelaku. Ternyata mbak-mbak membawakan makan untuknya. Aakifa cukup menatap pandangan kosong sama sekali tiada kata yang terucap dari bibir mungilnya. Meskipun mbak-mbak pengantar makanan berusaha mengajaknya berbincang namun hasilnya tetap saja nihil. Aakifa hanya memberikan tatapan tanpa makna dan isyarah untuk menjawab pertanyaan mbak-mbak kalaupun tidak sangat pelu untuk di beri jawaban Aakifa hanya diam. Aakifa kembali merebahkan tubuh kecilnya di atas ranjang yang tidak pernah ia tinggalkan. Aakifa sama sekali tidak menyentuh makanannya ia hanya melakukan rutinitasnya menatap dengan pandangan kosong. Orang tua Aakifa masuk kamarnya karena mereka tau Aakifa tidak akan makan. Ibu Aakifa terus merayu dengan susah payah meskipun Aakifa terus enggan menerimanya. Satu sendok makan berhasil masuk mulut kecil pucat Aakifa meskipun beriringan air mata yang tak berkesudahan. Terus berlanjut untuk suapan yang kedua dengan penuh rayuan di dalamnya. Meski dengan hati perih ibu Aakifa terus mencoba untuk memperjuangkan putri kesayangannya. Hingga akhirnya ibu Aakifa tidak tahan menahan jerit hatinya. Satu piring makanan Aakifa di serahkan ayah Aakifa yang sedari tadi duduk di samping Aakifa membaca sholawat dan mendekap bahu Aakifa. Ibu Aakifa keluar untuk memuntahkan tangisnya karena bagaimanapun ibu Aakifa tidak mau menambah beban Aakifa harus melihat ibunya yang sering menangis. Sehancur apapun hati seorang ayah pastilah dia lebih tegar dan mampu untuk menahan semua sakit yang ia rasakan. Ayah Aakifa dalam penuh kecemasan terus membujuk putrinya untuk makan suapan demi suapan dan berhasil dalam empat suapan saja. Setiap hari keadaan mereka seperti ini mungkin ini adalah ujian hidup bagi keluarga mereka hari-hari yang tak pernah absen dengan tetesan air mata. Jati Diri Aakifa Diana Faiha adalah anak yang sangat aktif disamping dengan kecerdasan yang ia miliki. Sudah sangat banyak prestasi yang ia raih bahkan hingga ia mampu menciptakan beberapa karya yang bisa menjadi motivasi bagi orang lain. sehingga semua itu sudah dianggap biasa oleh orang tuanya karena terlalu seringnya ia memberikan kebanggaan untuk orang tuanya. Tapi kedua orang tuanya selalu tetap mendukung apapun yang dilakukan putrinya. Aakifa putri tunggal dari kyai Hadhromi Al maghiroh dan ibu nyai Adawiyatul Maria pengasuh utama pondok pesantren Darul Qolbi. Pesantren salaf terbesar di pulau jawa, Aakifa menuntut ilmu di pesantren abahnya sendiri atas perintah abahnya. Aakifa sosok yang memiliki semangat belajar tinggi ingin menuntut ilmu di tempat yang lebih baik dari milik abahnya. Tapi abahnya tidak mengizinkan, kyai Hadhromi ingin anaknya mengenal betul pesantrennya dan sistem-sistem di dalamnya. Karena bagaimanapun Aakifa lah satu-satunya yang akan meneruskan perjuangan abahnya. Aakifa yang semasa itu masih menjadi putri kecil abah dan umminya ia hanya mengikuti perintah orang tuanya meskipun Aakifa sendiri mempunyai mimpi untuk hidupnya. Selama prosesnya dalam menuntut ilmu Aakifa sama selayaknya santri yang lain. Ia tinggal di asrama tepatnya di gedung yang paling ujung dari asrama yang lain. Bahkan ia tidak boleh ke dalem ( rumah kyai) kecuali sesuatu yang sangat penting. semua peraturan santri menjadi peraturan bagi Aakifa tanpa adanya perbedaan. Semua ini adalah keinginan dari kyai Hadhromi meskipun putrinya tetap berada di bawah naungannya. Beliau tidak mau putrinya terus bermanja, sama seperti orang tua lain yang menginginkan putrinya menjadi seseorang yang hebat dan belajar mengenal kehidupan yang sebenarnya. Aakifa berbaur baik dengan teman-temannya meski terkadang temannya sedikit canggung karena mengingat nasabnya. santri-santri yang tidak mengetahui latar belakangnya pasti akan mengira dia selayaknya santri-santri yang lain terutama untuk santri baru. Kehidupan lingkungan pondok yang sederhana membuat Aakifa lupa bahwa dia berasal dari trah tinggi. Ia merasa sama seperti teman-temannya dari kalangan yang bernasab biasa. Aakifa melakukan semua yang sudah menjadi kewajibannya dan belajar untuk selalu menaati peraturan pesantren meski terkadang ia juga melanggar. Pelanggaran sudah menjadi problematika yang wajar karena bagaimanapun manusia adalah tepatnya lupa dan salah. Tapi bukan berarti harus melakukan pelanggaran terus menerus diambil hikmah dari kesalahan untuk melangkah dengan lebih baik agar tidak terjadi jatuh yang terulang. Pembelajaran yang di terima Aakifa sama seperti santri lainnya hanya saja sejak lahir Aakifa telah dikaruniai IQ di atas standart jadi dia selalu unggul dalam segala bidang. Sudah banyak sekali prestasi-prestasi yang telah ia gapai. Berawal dari prestasi-prestasi kelas yang ia juarai berlanjut menjuarai tingkat pesantren putri Darul Qolbi telah berhasil ia renggut. Dalam kompetisi apapun itu baik Al Quran, kitab kuning, cerdas cermat, pelatihan mental dan masih banyak lagi. Seiring bertambah umurnya Aakifa dan ilmu yang telah dipelajari semakin tinggi ia sering kali di ajukan untuk mewakili pesantren dalam kompetisi antar pesantren. Dan hasilnya tidak pernah mengecewakan, jiwa Aakifa sudah tertanam rasa cinta terhadap pesantrennya dan berambisi tinggi untuk menjujung tinggi harkat dan martabat pesantrennya. Dua tahun Aakifa menyelesaikan hafalannya Umur lima belas tahun Aakifa sudah wisuda tiga puluh juz tapi dia masih harus menyelesaikan madrasah diniyyahnya. Di umur lima belas tahun dengan Al Quran yang senantiasa ada di hatinya Aakifa berani berjihad. Aakifa membentuk sebuah organisasi yang di dalamnya mempelajari tentang Al Quran terdiri dari anak-anak jalanan. Di masa yang masih bisa di bilang mulai remaja itu Aakifa sudah bisa memikirkan nasib orang lain. Aakifa terinspirasi saat ia sering kali dalam perjalanan untuk berkompetisi pemandangan anak jalanan yang lalu lalang tak pernah absen dari matanya sepanjang perjalanan. Hampir setengah bulan Aakifa tinggal di salah satu kota yang lumayan jauh dari rumahnya. Atas izin abahnya Aakifa di temani dua mbak-mbak pengurus pondok putri yang sudah besar. Aakifa tinggal di asrama kebanyakan dari kalangan maha siswa yang tinggal di sana. Di kamar kecil yang cukup sederhana di huni tiga orang. Tentu saja sama sekali tidak ada keluh, mereka bertiga sudah terlatih selama di pondok. Setiap hari Aakifa mengajar anak-anak jalan untuk mengaji di gedung bekas gudang sebelah asrama yang sudah tidak dipakai. Dengan di bantu dua mbak-mbak Aakifa sangat bahagia bisa menyalurkan ilmu untuk mereka. Tapi abah menjemputnya untuk kembali ke pesantren Aakifa menolak perintah abahnya. “Nggak mau bah, Aakifa seneng ngajar mereka, mereka butuh bah.” Ucap putri kecil abah dengan tangisan. Abah hanya tersenyum dan memeluk erat putri kecilnya. “Kita bawa mereka ke pesantren nak.” Ucap abah Aakifa dengan semangat menghapus air matanya dan menatap bangga abahnya. “Kamu sendiri juga masih butuh belajar sayang.” Ujar abah mencubit manja pipi putri kecilnya. Aakifa tersenyum puas dan memeluk abahnya “Aku sayang abah.” Ucap Aakifa. Selama Aakifa tinggal di asrama kyai Hadhromi menyiapkan gedung untuk anak didik Aakifa. Setiap hari Aakifa menjalankan kegiatannya seperti biasa di pesantren hanya saja Aakifa sekarang punya aktivitas baru yaitu mengajar anak didiknya. Aakifa di umur yang masih jauh untuk di sebut dewasa tapi dia peduli dengan anak-anak seumurannya yang kurang beruntung tidak mempunyai orang tua dan harus bekerja. Dengan mereka di pesantren akan mendapatkan ilmu dan menjadi anak yang terdidik. Tepat sweet seventeen Aakifa wisuda kelulusan madrasah diniyyahnya. Proses menuntut ilmu untuk jenjang di pesantrennya telah tammat. Selain mengajar dan memberi bimbingan untuk mencetak generasinya dalam berprestasi Aakifa juga aktif berorganisasi di luar pondok. Dia mendirikan organisasi pemuda antar pesantren untuk menumbuhkan rasa semangat di kalangan santri. Merumuskan dan mencetuskan metode-metode yang inspiratif untuk di terapkan di pesantren manapun. Aakifa juga memimpin organisasi di tengah lingkungan masyarakat yang bertujuan agar tidak ada istilah tembok angkuh pesantren di kalangan masyarakat. Setelah organisasinya berjalan dengan baik Aakifa memberikan jabatannya pada salah satu anggota yang berpotensi karena Aakifa mau semua belajar menjadi seorang pemimpin. Aakifa juga harus lebih fokus dengan pesantrennya disamping ia masih memandu organisasinya dan membimbing delegasi pemimpinnya. Aakifa juga mengikuti ajang olimpiade paham islam tingkat internasional secara online. Pesantren Darul Qolbi mengeluarkan lima delegasi tiga putri dan dua putra. Dari Indonesia dua yang berhasil mengikuti kompetisi ini sampai mendapatkan sertifikat resmi dari universitan Al zaytoonah Jordan. Aakifa dan salah satu santri putra yang di delegasikan pesantren Darul Quolbi yang mewakili Indonesia semua dari pesantren kyai Hadhromi. Di sini lah puncak prestasi yang di raih Aafika abah dan ummi sampai menitihkan air mata. Namun Aakifa belum punya pemikiran untuk mengaplikasikan sertifikat berharganya. Liku Hidup Di umur yang masih tujuh belas tahun Aakifa di jodohkan oleh abahnya. Aakifa sangat menolak perjodohan tersebiut karena dia masih memiliki mimpi-mimpi yang belum ia wujudkan. Ia masih ingin memanfaatkan sertifikatnya untuk mengenalkan pesantrennya ke dunia. Aakifa menjelaskan panjang lebar kepada abah tentang keinginannya tapi abah tetap bersi keras untuk melanjutkan perjodohannya. Meski Aakifa memiliki tekat yang kuat jika abah tidak mengiyakan semua tidak akan terjadi. Malam ini di dalem ( rumah kyai ) abah mendatangkan keluarga dari calon Aakifa. Mbak-mbak dan kang-kang ndalem ( santri yang membantu di dalem ) sudah sibuk dari tadi pagi untuk menyiapkan segala sesuatunya. Saat umi kekamarnya Aakifa merayu dan meminta umi untuk bilang ke abah agar tidak melanjutkan perjodohan ini. “Sebenarnya sejak kamu menolak umi sudah bicara sama abah mu tapi abah sudah sangat bertekad kuat nak.” Ucap umi sembari menyentuh rambut panjang Aakifa. “Tapi Aakifa belum siap mi, Aakifa masih ingin terus berkarya.” Ucap Aakifa sebal. “ Umi yakin ini yang terbaik untuk hidup mu.” Ucap umi tersenyum. Aakifa hanya diam cemberut. Ia berniat untuk tidak keluar kamar tapi dengan sifat Aakifa yang tidak bisa diam tentu saja dia tidak akan betah untuk tetap diam di atas kasurnya. “Mi aku mau pergi dulu.” Ucap Aakifa mulai bergegas ganti baju dan bersiap pergi. “Aakifa gak uasah pergi nanti malem itu acara penting kamu lo.” Ucap umi khawatir. “Kan aku perginya sekarang mi.” Ucap Aakifa santai dengan mulai memakai jilbabnya. “Izin abah mu.” Teriak umi yang masih duduk di atas ranjang Aakifa karena punggung Aakifa sudah hilang di balik pintu. “Bah, aku mau cek organisasi dulu.” Ucap Aakifa masih dengan tatapan sinis pada abahnya.” “Tapi nanti malam acara kamu lo seharusnya kamu mempersiapkan diri.” Ucap abah penuh wibawa dan memaklumi keadaan putrinya yang masih berat untuk menerima ini semua. “Aku gak mau melalaikan organisasi ku Cuma gara-gara semua ini bah.” Ucap Aakifa rendah segak suka seperti apapun Aakifa masih akan terus menghormati abahnya. Abah dengan berat mengangguk dan tersenyum pasi. Aakifa segera berangkat di tengah perasaannya yang kacau. Waktu sudah menjelang maghrib Aakifa masih duduk terdiam di ruang sekretariat organisasinya. Semua anggota organisasi berlalu lalang untuk mengemas barang-barangnya untuk pulang. Beberapa anggotanya sudah mengajak pulang tapi Aakifa hanya mengangguk ia tak mampu menghadapi situasi yang akan terjadi dan berpengaru besar terhadap masa depannya. Di kantor sekretariat sudah sepi tertinggal Aatika dan berkas-berkas yang rapi di dalam ruangan. Dengan berat Aakifa bergegas pulang karena ia juga tidak mau melihat abahnya marah. Sepanjang perjalanan fikiran Aakifa tidak terkondisikan di dalam mobil taxi Aatika menatap sekeliling penuh kecemasan. Hingga sudah tiba di depan gerbang utama pondok putri Aakifa tidak menyadarinya. Aakifa terkagetkan sapaan pak sopir dan segera memberikan upah untuk turun. Aakifa menatap ragu gerbang besar di depannya badannya terasa lemas tak mampu untuk melangkah. Keadaannya seperti apapun ia mencoba untuk melakukan semuanya. Aakifa langsung menuju kamarnya sudah ada umi di sana yang menata pakaian untuk di kenakannya. Aakifa segera membersihkan badan dan memakai semua yang telah di siapkan umi. Aakifa masih terdiam lunglai di depan kaca riasnya tiba-tiba umi masuk membawa mbak santri tukang rias. “Umi ngapain ngundang mbak-mbak ini Cuma pertemuan biasa.” Ucap Aakifa lemas. “eh, umi tau nak perasaan mu saat ini jadi biar kamu tetap terlihat maksimal umi undang mbak Zahro bagaimanapun ini pertemuan pertama putri umi harus cantik.” Jelas umi dan mempersilahkan mbak Zahro untuk mulai menjalankan tugasnya. Teriak umi yang kemudian di sambung membuka pintu kamar Aakifa. Aakifa sudah mengira umi akan memintanya untuk keluar karena Aakifa sudah mendengar deru mobil berhenti di garasi. Sungguh detak jantung Aakifa tidak teratur. “Aafika ayo tamunya sudah datang.” Ucap umi di langsungkan memeluk Aakifa yang menatap umi penuh keraguan. Umi hanya tersenyum “Ayo nak kamu sudah di tunggu.” Ucap umi mengangkat ringan bahu Aakifa untuk mengajaknya segera bergerak. Aakifa berjalan di belakang umi mengenakan gamis merah muda dengan hijab yang sedikit lebih tua dari gamisnya sangat cocok melekat di kulit putihnya. Riasan natural yang membuat kecantikannya semakin tajam. Aakifa memang sangat cantik di malam itu. Mata Aakifa mulai bisa memandang orang yang mengisi ruang tamunya. Semua mata menatap Aakifa yang sudah dekat dari jarak mereka, tatapan binar yang di persembahkan seisi ruang tamu membuat Aakifa malu. Abah mengisyarahkan Aakifa untuk bersalaman dengan tamu, Aakifa membalas tatapan ragu pada abahnya. Di iringi panas dingin yang melengkapi tubuhnya Aakifa mendekati sofa yang di duduki ibu dan bapak yang sedikit lebih tua dari abah dan umi merekapun terlihat jumawa. Aakifa mencium kedua tangan beliau seusai mencium tangan sosok ibu yang duduk di sana, ibu itu memeluk dan mencium Aakifa dengan pujian-pujian ringan membuat Aakifa tambah tersipu tapi keadaannya sudah tak setegang tadi. Aakifa melirik sosok laki-laki yang duduk sendiri di sofa sebelah yang di duduki abah kemudian melirik abah untuk memberikan isyarah haruskah Aakifa bersalaman dengan sosok laki-laki itu. Abah pun mengangguk membuat Aakifa menelan kasar ludahnya. Aakifa berjalan mendekatinya dan bersalaman sekedarnya. Bersalaman mereka berdua hanya berlangsung beberapa detik tapi sukses membuat orang tua kedua belah pihak tersenyum bahagia. Pertemuan pertama ini dalam rangka mengenalkan mereka berdua sekaligus membahas masa ta’aruf mereka. Ternyata sosok laki-laki yang akan di jodohkan dengan Aakifa adalah Adam Faiz Al Arkan salah satu santri di pesantren Darul Qolbi. Kyai Hadhromi Al Maghiroh adalah sahabat dari kyai Hamzah Hanbal abah dari Adam santri kyai Hadhromi. Kyai Hamzah memiliki pesantren di luar pulau Jawa tepatnya di ujung Barat pulau Jawa sebagai pintu gerbang pulau jawa dan Sumatra. Pesantren beliau sudah besar meski masih lebih besar dari pesantren kyai Hadhromi tapi beliau membawa Adam ke pesantren Darul Qolbi agar Adam lebih bisa belajar dengan sungguh-sungguh. Kyai Hamzah dan istrinya mengantarkan Adam anak sulungnya yang masih berumur tujuh tahun untuk di pondokkan di Darul Qolbi. Aakifa pada masa itu masih berumur tiga tahun bermain boneka di pangkuan abahnya dan bermanja pada uminya yang duduk di sebelah. Kyai Hadhromi dan kyai Hamzah berbincang ringan akan menjodohkan putra putri mereka. Adam anak kecil yang masih manja berumur tujuh tahun dan Aakifa anak balita yang masih mengandalkan tangisannya sudah di susunkan masa depan oleh orang tuanya. Aakifa terenyak mendengar semua yang sedang terjadi. Ia tak habis bikir ternyata orang yang akan di jodohkan dengannya adalah santri dari abahnya sendiri yang selama ini tidak jauh darinya. Meskipun dalam naungan yang sama Aakifa dan Adam baru kedua kalinya bertemu. Tembok pembatas santri putra dan putri dengan peraturan pesantren lah yang membuat mereka jauh. Pertemuan pertamanya saja mereka masih kecil mungkin sama-sama tidak menyadarinya. Pertemuan kedua untuk mengenalkan mereka yang sudah sama-sama menjadi remaja dan orang tua mereka mewujudkan perbincangan ringan pada pertemuan pertama. Aakifa semakin tidak menyangka abahnya sudah sangat dekat dengan abahnya adam membuat dia harus benar-banar menerima semua ini. Ternyata Dia Setelah pertemuan malam itu dua keluarga antara keluarga Aakifa dan Adam telah resmi selama satu bulan kedepan mereka berdua akan menjalani ta’aruf. Malam itu pula bertempat di ruang tamu kyai Hadhromi yang elastis dengan sirkulasi udara yang segar orang tua kedua belah pihak menatakan niat ta’aruf untuk putra putrinya. Karena niat baik orang tua kedua belah pihak agar bisa terwujudkan. Orang tua kedua belah pihak saling memberi nasehati terutama kyai Hadhromi dan kyai Hamzah. Wejangan tersebut yang intinya mereka berdua harus niat yang benar meluruskan tujuan suci untuk sunnah nabi dan jangan sampai sedikitpun terselip niat berpacaran karena hal tersebut di kecam agama. Dalam masa ta’aruf ini Aakifa dan Adam di harapkan untuk saling mengenal dan mengerti satu sama lain. Abah Aakifa pun menyuruh Adam ikut dalam semua kegiatan Aakifa di luar pesantren. Untuk lebih mengakrabkan mereka dan Adam juga bisa membantu tugas-tugas Aakifa serta untuk belajar menjaga Aakifa calon istrinya. Tentunya abah mengutus seseorang untuk memantau proses ta’aruf mereka yaitu Ammar adik bungsu kyai Hadhromi bisa di bilang om dari Aakifa untuk mengantisipasi terjadinya kemaksiatan diantara mereka. Adam sempat merasa keberatan dengan ragu ia angkat bicara atas alasan pekerjaan pesantren yang menumpuk karena dia sebagai kepala pengurus pondok putra. Tapi alasan Adam hanya di beri senyuman tipis kyai Hadhromi karena sangat mudah bagi beliau mengutus seseorang untuk membantu menyelesaikan tugasnya. Ekspresi yang keluar dari raut wajah Aakifa buruk ia merasa hidupnya akan tak sebebas sebelumnya yang harus berurusan dengan orang lain. Pertemuan malam itu di tutup do’a yang dipipimpin oleh abah Adam kyai Hamzah kerena beliau yang paling tua. Setelah selesai acara orang tua Adam berpamit untuk pulang begitu dengan Adam yang kembali ke pondok putra. Abah dan umi mengantar hingga pintu tidak untuk Aakifa yang hanya bersandar lemah di sofa. Abah berjalan mendekati Aakifa dan memeluk putrinya yang akan di miliki seseorang pilihan abah. Abah dengan putrinya memang sangat dekat jadi Aakifa tak sungkan-sungkan untuk memasang wajah cemberut yang menandakan marah di depan abahnya. “Seharusnya kamu bahagia ini pertemuan pertama mu dengan calon suami mu.” Ucap abah masih memeluk Aakifa umi pun duduk di samping Aakifa kini dia berada diantara kedua orang tuanya. “Abah kan tau sendiri dari awal aku sama sekali tidak minat dengan perjodohan ini.” Jawab Aakifa ketus abah hanya tersenyum. “Ini semua abah lakukan untuk kebaikan mu nak, kenapa? kamu mencemaskan mimpi-mimpi mu justru abah mencari jalan untuk kamu lebih mudah meraih mimpi mu itu.” Jelas abah membuat Aakifa yang sedari tadi acuh dengan perbincangan abah segera menatap abah. “Maksud Abah?” Tanya Aakifa antusias. “Jadi gini abah memilih Adam sebagai calon kamu karena Adam mempunyai nasab yang bagus. Abahnya Adam orang yang berbudi luhur dia sahabat abah sewaktu nyantri dulu. Abah yakin Adam pun memiliki kepribadian yang baik karena anak yang hebat akan berawal dari orang tua yang hebat pula.” Abah menarik nafas Aakifa dan umi masih serius mendengarkan kelanjutan cerita abah. “Adam itu di besarkan disini sama seperti kamu, jiwa Adam sudah terbentuk mencintai pesantren kita. Dan asal kamu tau selama ini abah memantau Adam dan tidak ada satu orang pun yang tau termasuk umi mu.” Ucap abah tersenyum menatap umi yang hanya membalas senyum Aakifa pun ikut menatap umi dan tersenyum kemudian menunggu kelanjutan cerita abah. “Dari semasa belajarnya Adam banyak merenggut prestasi sama seperti kamu.” Ucap abah sembari mencolek nakal hidung mancung Aakifa di sambung umi yang memeluknya. Aakifa merasa kembali menjadi putri kecilnya abah dan umi. “Dan setelah sekolahnya tammat ust koordinator pondok menunjuk Adam sebagai ketua pengurus pondok putra padahal masih banyak seniornya tapi abah sendiri yakin dia punya kemampuan untuk itu.” Jelas abah tiba-tiba di potong Aakifa. “Pasti abahkan yang nyuruh biar dia yang jadi ketua.” Ucap Aakifa curiga abah tertawa renyah sembari mengelus lembut kepala putrinya. “Enggak lah abah selama ini hanya memantau tanpa adanya gerakan sedikit pun.’’ Tegas abah. “Asal kamu tau setelah Adam menjabat sebagai ketua pengurus pondok putra banyak kemajuan di pesantren kita dan yang paling memuaskan ia menghandle atas nama pesantren kita untuk diajukan ke dinas pendidikan dan alhamdulillah lulusan pesantren kita bisa diakui gelar S1”. Jelas abah penuh semangat Aakifa tertegun. “oh, jadi dia bah penggagasnya.” Ucap Aakifa kagum. “Iya dia yang mengkoordinir pengurus yang lain.” Ucap abah, Aakifa hanya mengangguk-angguk. “Waktu kamu dapet sertifikat dari Jordan kemarin dari Indonesia berapa orang?” Tanya abah “Dua.” Jawab Aakifa yang mulai paham tentang alur pembicaraan abah. ”Pasti dia ya bah yang satunya kan semua dari pesantren kita.” Tebak Aakifa abah cukup mengangguk dan tersenyum puas. “Nah, dari sini abah semakin yakin kamu nggak akan kehilangan mimpi mu tapi kamu akan semakin mudah mendapatkannya.” Ucap abah sembari memegang kepala putrinya. “Iya sayang Adam sudah mempunyai banyak pengalaman dia pasti bisa membimbing mu.” Tambah umi. “yah, tapi aku belum tentu cocok sama dia mi bah dan aku sama sekali gak ada ketertarikan.” Ucap Aakifa. “Sudahlah kamu jalani dulu.” Ucap abi sembari mencium putri kesayangannya. Setelah berbincang panjang lebar merekapun berpisah menuju kamar masing-masing. Aakifa masih belum percaya semua peristiwa yang telah terjadi. Ia berjalan gontai menuju kamarnya dengan senyum gemas yang gak jelas. Aakifa membayangkan wajah Adam sewaktu pertemuan tadi ia pun mengakui Adam cukup untuk di bilang ganteng. Terlebih mengingat cerita abi tentangnya yang baru saja ia dengar. Tentang prestasinya, kemampuannya, kecerdasannya, jasanya untuk pesantren semua itu sangat membanggakan pantas saja abi sangat percaya dengannya. Segera mungkin ia menggelengkan kepala dan mengusap-usap wajahnya. Setelah ganti mengenakan baju tidur Aakifa siap membanting badan di kasur empuknya. Beberapa kali Aakifa mencoba untuk memejamkan matanya tapi masih saja ia tidak bisa tertidur. Bayangan Adam mudah sekali melintasi fikirannya bukan karena Aakifa suka tapi ia tak sanggup hari-harinya akan selalu ditemani Adam. Di umurnya yang masih sangat remaja ia merasa belum cukup untuk melangkah ke jenjang yang telah di rancang orang tuanya. Jarum jam sudah menunjukkan hari telah berganti tapi Aakifa masih belum bisa tertidur fikirannya masih melayang jauh dalam angan. Ta'aruf Setelah solat subuh Aakifa masih merasa ngantuk berat karena semalaman ia baru bisa tertidur setelah kelewat malam. Ia segera merebah di kasurnya kembali tanpa sempat melepas mukenanya terlebih dahulu. Tidur yang cukup membuatnya pulas terbucah suara lembut umi membangunkannya. Dengan malas Aakifa mencoba membuka matanya dan segera terbelalak menatap jarum jam yang menunjukkan jam delapan. “Astaghfirulloh umi.” Ucapnya segera melepas mukena dan bergegas mandi. Umi menghembus nafas berat di iringi menggelengkan kepala melihat putrinya seperti anak kecil mengingatkan tentang memorize umi beberapa tahun silam. Setelah mandi secara kilat Aakila keluar kamar mandi memakai gamis berwarna coklat susu dengan outher coklat tua. Waktu yang sangat menipis Aakifa menyempatkan untuk memoles tipis wajahnya namun aura kecantikannya sudah mampu memancar. Secepat mungkin ia memakai hijabnya yang senada dengan outhertnya dan segera berangkat karena jam setengah sembilan Aakifa sudah harus memimpin meating untuk mempresentasikan beberapa materi. Sampai di ruang tamu Aakifa kaget karena sudah ramai orang di sana, Aakifa memicingkan mata bingung. “Itu Aakifa sudah siap.” Ucap abah membuat seisi ruangan menolehnya Aakifa hanya memasang wajah monoton tanpa senyum. “Aakifa mulai sekarang kegiatan kamu akan di bantu Adam tapi tetap ada om kamu untuk memantau kalian.” Ucap abah Aakifa cukup mengangguk dengan wajah datar. “Hmm, aduh lupa kan aku sekarang udah masa ta’aruf, SEBEL.” Batin Aaikfa. Entah kenapa Aakifa tiba-tiba bermood buruk yang sama sekali tidak bisa ia netralkan. Abah memberikan kunci mobil pajero putih ke Adam yang biasa digunakan kang Agus untuk mengantar Aakifa. Aakifa berjalan di belakang Adam dan omnya dalam keadaan tidak bersemangat. “Kamu duduk di belakang lo.” Ucap om Ammar jahil setibanya di dekat mobil yang akan mereka kendarai. “Siapa juga yang mau duduk depan.” Ketus Aakifa yang mungkin sampai di telinga Adam. Selama di dalam mobil sama sekali tidak ada perbincangan kecuali dari om Ammar yang sedari tadi bercerita panjang lebar sendiri. Om Ammar memang orangnya sedikit konyol tapi sebenarnya dia memiliki prinsip yang teguh namun semua itu tertutup sikap gokilnya. Om Ammar bercerita humor mampu membuat Adam tertawa kecil. Adam masih canggung bahkan untuk menanggapi om Ammar cukup seperlunya. Sedangkan Aakifa sedari tadi ia hanya diam mematung di kursi belakang mereka. Tanpa di sengaja tatapan Adam dan Aakifa bertemu di spion untuk beberapa detik. Aakifa segera menunduk ada desir di hatinya menerima tatapan itu. Adam tersenyum tipis melihat tingkah Aakifa dan kembali fokus menyetir tidak mengulang menatap kaca karena Adam pun masih sangat gerogi untuk memulai. Tiba di tempat tujuan Aakifa segera turun dan menuju ruang meetingnya tanpa sempat berbicara sepatah kata meskipun kepada omnya karena Aakifa sudah telat sepuluh menit dari jadwal meetingnya. Setelah meeting usai Aakifa menyelesaikan tugasnya yang lain di kantor. Sebelumnya om Ammar sudah sempat menyampaikan kepada semua rekan organisasi Aakifa bahwasannya ia sekarang sedang menjalani masa ta’aruf dengan Adam dan ia sebagai saksi prosesnya mengantisipasi agar tidak ada fitnah di antara mereka berdua. Di tengah fokusnya Aakifa menatap monitor laptopnya dengan setumpuk berkas di samping kanan kirinya. Adam dengan pakaian mecis ala santri mengenakan kemeja hitam dengan sarung coklat gelap dan peci hitam bermotif berjalan menuju arah Aakifa. Om Ammar tetap stay di ruang tunggu depan kantor karena ia yakin meskipun Adam mendatangi Aakifa mereka tidak akan berdua banyak orang di dalam kantor umum jadi tidak ada yang perlu di khawatirkan. “Assalamu’alaikum.” Ucap salam Adam dari jarak sedikit jauh dalam hatinya di penuhi desiran tapi sebagai laki-laki ia berusaha tidak menunjukkannya dan bersikap santai. Sayangnya Aakifa sama sekali tidak merespon ia masih fokus dengan tugas-tugasnya. Adam sedikit bingung di tengah keadaan hatinya yang tidak normal untung saja orang yang ada di kantor tidak memperhatikannya masih sibuk urusan masing-masing. Adam mengulangi salamnya dengan volume yang lebih tinggi. Aakifa menjawab tapi matanya sama sekali tidak pindah dari monitornya. Karena salamnya sudah di jawab Adam mendekati Aakifa berada di sebelah kanannya. “Sibuk banget ya.” Ucap Adam full mengontrol dirinya untuk bersikap tenang. “Iya ini banyak banget yang harus di kerjain.” Jawab asal Aakifa beberapa detik kemudian ia menyadari suara asing yang mengajaknya bicara membuatnya terdiam sebentar dan perlahan menoleh ternyata Adam. Cukup sekilas menatap Aakila kembali ke monitornya. Adam bingung harus model seperti apa menyikapi Aakifa putri abahnya yang kelak akan menjadi istrinya. “Mungkin ada yang bisa aku bantu?” Ujar Adam sembari meletakkan kursi sekitar jarak satu meter dari kursi Aakifa yang baru saja ia ambil. “Nggak usah aku masih bisa kerjain sendiri kok.” Jawab Aakifa sebenarnya ia merasa gerogi berada di dekat Adam. “Oh, yaudah kalau gitu aku temenin kamu aja.” Ucap Adam mulai mendudukkan tubuhnya di kursinya. Aakifa hanya diam sebenarnya ia ingin menjawab tapi karena dirinya tidak berada pada kondisi yang normal dari pada salah ucap ia lebih memilih diam. Adam merasa bosan hanya duduk terdiam gak ada pekerjaan. Mau melihat segala sesutu yang di kerjakan Aakifa tapi nggak enak sendiri. Akhirnya Adam mengambil buku yang ada di depannya entah buku tentang apa yang penting Adam membukanya. Adam hanya membuka halaman demi halaman tanpa membaca satu kata pun karena fikirannya entah pergi kemana. Aakifa yang di sebelahnya terlihat sibuk sekali ternyata ia pun merasa tidak nyaman mengerjakan tugas. Ia tidak bisa leluasa meskipun Adam sama sekali tidak meliriknya karena sudah fokus dengan buku di depannya. Mereka berdua sama-sama merasakan keadaan yang cukup mencengkeram tapi kedua belah pihak bergaya baik-baik saja. Meskipun di kantor banyak sekali orang tapi bagi mereka berdua seakan sepi karena semua orang sibuk dengan tugas masing-masing. Memang sudah menjadi kebiasaan setiap Aakifa berada di kantor semua keadaan akan berubah menjadi formal. Kedatangan om Ammar memecah suasana sunyi mereka berdua. Tujuan utama kedatangan om Ammar untuk mengecek mereka tapi karena sikap konyolnya seakan tidak ada tujuan itu semua terbungkus sirri. Sebuah Rasa Selama dua minggu pertama masa ta’aruf Aakifa dan Adam interaksi antara mereka berdua masih garing. Aakifa masih belum bisa merubah sikap cueknya pada Adam. Adam selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk Aakifa meskipun semua perjuangannya akan berujung ditolak oleh Aakifa. Setiap kali Adam bertanya Aakifa menjawab secukupnya. Setiap kali Adam mengajaknya berbicara Aakifa sesegera mungkin mencoba untuk menghindar. Setiap kali Adam akan membantu pekerjaannya Aakifa selalu menolak dan memberi alasan dia mampu melakukannya sendiri meskipun ia merasa berat tapi secara diam-diam Adam membantu menyelesaikan tugas Aakifa. Adam terus bersabar dengan sikap dingin Aakifa sekalipun ia merasa lelah untuk terus terabaikan. Om Ammar yang selalu memberi nasihat kepada Adam untuk tetap bertahan memperjuangkan. Sekeras apapun kita mengejar cinta seseorang yang kita cintai jika kita lupa pada sang maha cinta selamanya kita tidak bisa menggenggam cinta tersebut. Tapi pertama ingatlah sang maha cinta mintalah kepadanya cinta dari seseorang yang kita cintai niscaya cinta tersebut akan datang menghampiri kita. Banyak terjadi seseorang terlanjur besar ambisi untuk mendapatkan hati dia penuh harap kepada sang pemilik hati sehingga melupakan kepada yang berkuasa membolak balikkan hati setiap pemilik hati. Berkat ikhtiar dan tawakkal yang selalu di amalkan Adam setiap harinya. Minggu terakhir dari proses ta’aruf mereka Aakifa mulai merasakan sesuatu di hatinya yang sulit untuk ia tafsiri. Aakifa mulai mengagumi Adam sejak abah bercerita tentang semua kemampuan yang dimilikinya. Tapi Aakifa sama sekali belum bisa menerima kehadiran Adam dalam hidupnya. Berlanjut dari hasil tugas Aakifa yang Adam kerjakan secara diam-diam berakhir sempurna dan memuaskan. Meskipun Aakifa sangat berterimakasih dan kagum ia sama sekali tidak mau menunjukkannya kepada siapapun. Sebenarnya Aakifa menyadari semua yang telah di lakukan Adam untuknya tapi ia sangat angkuh dengan itu semua. Perhatian Adam satu minggu terakhir mampu membuat hati Aakifa tersentuh meski Aakifa masih tidak merubah sikap dinginnya. Kini Aakifa bimbang dengan perasaannya sendiri iyakah dia mulai memiliki rasa pada Adam atau hanya sebuah kagum yang berlebihan. Aakifa mencoba memahami perasaannya sendiri. Sebenarnya ia juga bersyukur jika perasaannya benar-benar suka karena bagaimana pun dia adalah calon suami sahnya. Tapi meski demikian Aakifa belum siap di usia mudanya sudah menemukan tulang rusuknya. Keesokan harinya entah mendapat energi dari mana Aakifa begitu bersemangat mengerjakan tugas proposal pesantren yang baru di beri abah. Pekerjaan itu abah melimpahkan untuk Aakifa dan Adam. Meski mengerjakannya di rumah sendiri Aakifa mengenakan pakaian yang anggun seperti selayaknya ketika ia keluar rumah. Ia sudah menyiapkan laptop, dokumen, dan semua berkas yang di butuhkan. Di meja ruang kerja abah sudah penuh barang-barang yang di siapkan Aakifa. Karena abah langsung yang memberi arahan untuk mereka berdua. Abah heran melihat Aakifa sudah mulai mengotak atik laptopnya karena biasanya ia pasti malas-malasan. “Oh ya Fa, kamu hari ini kerjain tugas sendiri karena Adam sakit barusan telpon abah pakek telepon pondok.” Ucap abah sembari duduk di samping Aakifa. “Oh gitu ya bah.” Jawab Aakifa entah mengapa ia merasakan tubuhnya lemah semangat 45 nya entah hilang di telan apa. Meski demikian Aakifa berusaha untuk tidak menampakkannya karena pada dasarnya Aakifa masih belum yakin dengan perasaannya dan gengsi untuk mengakuinya. Selama Aakifa mengerjakan tugasnya dibimmbing abah ia sama sekali tidak bisa fokus dengan materi-materinya. Fikirannya melambung ke Adam ia mulai merasakan kehadiran Adam di hidupnya. Kita bisa mengakui seseorang berarti bagi hidup kita ketika kita bisa merasakan sepi saat ketidak beradaannya. Aakifa melakukan beberapa kesalahan saat mengerjakan tugasnya abah hanya menggelengkan kepalanya. “Fa abah tau sedari tadi kamu tidak fokus mengerjakannya. Kenapa kamu mikirin Adam?.” Ucap abah sedikit menahan tawa di kalimat terakhir. “Eh, apaan si bah, enggak.” Jawab Aakifa. “Abah perhatikan kamu rajin sekali hari ini dan penuh semangat tapi setelah abah bilang Adam sakit kamu seperti kehilangan semangat mu.” Ucap abah. “Abah sok tau ah.” Jawab Aakifa tanpa menatap abahnya. “Abah gak sok tau tapi abah paham sama putri abah.” Ucap abah terkikik “Meskipun kamu berusaha menutupi tapi abah masih bisa tau Aakifa.” Jelas abah sembari mengelus kepala putrinya yang sedikit malu. “Abah juga tau selama ini proses ta’aruf kamu dengan Adam tidak berjalankan karena sikap dingin kamu.” Ucap abah berhasil menggugah Aakifa untuk menatap abah. “Dan sekarang insya Alloh kamu mulai ada perasaan ke Adam.” Lanjut abah. “Jadi abah tau semua?” tanya Aakifa heran dan sedikit terbesit rasa takut. “Abah tau semua Aakifa.” Jawab ringan abah. “Kenapa abah gak marah?” Tanya Aakifa. “Gak perlu, cinta yang murni akan datang pada waktu yang tepat ketika Alloh telah mengutusnya.” Ucap abah ringan namun penuh makna. Aakifa tersenyum “Dan kamu baru saja mengenal Adam, dia orang asing bagi kamu jadi abah tau kamu butuh waktu untuk bisa menerimanya.” Jelas abah semakin membuat Aakifa tenang. “Makasih bah pengertiannya.” Ucap Aakifa disambung abah mengelus kepalanya lagi. Akhirnya abah menyuruh Aakifa menutup pekerjaannya karena Aakifa sama sekali tidak konsentrasi sehingga hanya akan membuang waktu saja. Keesokannya harinya Aakifa tak sesemangat hari kemarin. Abah lebih dahulu yang datang di ruang kerjanya kemudian Aakifa baru muncul. Sejenak Aakifa baru saja menempelkan pantatnya di kursi ada suara dari luar pintu yang terbuka. “Assalamualaikum.” Ucap salam Adam. Membuat abah dan Aakifa segera menolehnya ada aura tersendiri dari wajah Aakifa tanpa di sadari Aakifa tersenyum lebar. Namun kegirangan Aakifa kembali meredup setibanya Adam di dekat mereka dan mencium tangan abah. Aakifa khawatir melihat wajah pucat Adam sepertinya ia masih sakit. Dengan mengenakan pakaian seperti biasa dalam keadaan tidak baik pun Adam tetap berstyle rapi di tambah syal yang melingkar di lehernya untuk menghangatkan. Adam segera di persilahkan abah untuk duduk di kursi sebelah kanan abah lurus dengan Aakifa mereka hanya terhalang meja besar. “Kalau masih sakit gak usah di paksa Dam kan masih ada Aakifa.” Ucap abah mengkhawatirkan kondisi Adam. “Gak papa bah ini sudah baikan, kasihan Aakifa sama abah mengerjakan sendiri.” Ucap Adam mencoba tampil biasa meskipun dhohirnya tidak bisa di bohongi bahwa ia masih sakit. “Dalam keadaan seperti itu kamu masih peduli banget sama aku.” Ucap Aakifa dalam hati sesekali mencoba menatap Adam. “Fa kamu buatkan wedang jahe buat penghangat sekalian abah juga.” Ucap abah. “Iya bah.” Jawab Aakifa sembari beranjak ke dapur. Selama meninggalkan ruang tamu Aakifa bingung dengan perasaannya sendiri kenapa ia harus secemas itu pada kondisi Adam. Mungkin kah Aakifa benar menyukai Adam ia masih dilema tentang perasaannya. Aakifa kembali ke ruang kerja abah membawa nampan yang berisi dua gelas wedang jahe dan setoples cemilan. Di sana abah dan Adam tengah antusias membincangkan sesuatu. Aakifa meletakkan minum jahe di dekat pemiliknya masing-masing dan setoples camilan di letakkan di tangah meja. “Kamu minumnya mana?” Tanya Adam pada Aakifa membuat Aakifa tergagap. “Em aku nggak suka.” Jawab Aakifa gerogi. Kemudian abah memulai mengarahkan cara pengerjaan tugasnya. Aakifa dan Adam mulai mengerjakan bagiannya masing-masing. “Abah mau mengecek dokumen arsip dulu.” Ucap abah mulai beranjak di meja sebelah tempat dokumentasi. Aakifa ingin menanyakan sesuatu pada Adam tapi ia bingung bagaimana memulainya ia gak tau harus panggil adam gimana. “Yang ini gimana sih ngerjainnya.” Beberapa menit kemudian akhirnya Aakifa angkat bicara dengan menyodorkan satu lembar kertas putih di depan Adam tanpa beranjak dari tempat duduknya meskipun sebenarnya ia menahan malu. Dengan telaten Adam menjelaskan pada Aakifa. Tapi Aakifa malah gagal fokus di luar kesadarannya ia menatap Adam sedari tadi. Akhirnya Adam menyadarinya ia tersenyum tipis sembari melambaikan tangan di depan Aakifa. “Hallo malah ngelamun.” Ucap Adam lembut Aakifa terennyak “Oh maaf, iya gimana.” Ucap refleks yang keluar dari bibir Aakifa rasa malunya sudah berada di ujung ubun-ubun ia segera mengalihkan agar Adam menjelaskan kembali. “Sebenarnya aku bingung harus panggil kamu gimana?” Ucap Aakifa seusai Adam menjelaskan tentang tugasnya. Adam terkikik ringan “Ya terserah kamu senyaman kamu panggil gimana.” Jawab Adam ia terlihat sangat sumringah karena ini pertama kalinya Aakifa memulai pembicaraan di antara mereka. Aakifa berfikir sejenak “Mas aja gimana?” Ucap Aakifa kemudian. “Iya gak papa.” Jawab Adam “Yaudah ayo ngerjain lagi, oh ya sambil di makan camilannya.” Lanjut Aakifa. Adam mengangguk semangat meski kondisinya bisa di bilang lemah. Waktu menjelang dzuhur abah menyuruh agar pekerjaannya dilanjutkan besok. Adam pun kembali ke pondok putra. Aakifa kembali ke kamarnya dengan penuh kebahagiaannya. Beberapa dialog yang berlangsung antara dia dan adam bisa membuat hatinya menari. Aakifa memang belum pernah punya pengalaman dekat dengan seorang laki-laki jadi dia tidak mengetahui bagaimana menyikapi seseorang yang mengisi hatinya. Aakifa menyesali semua perhatian dan proses pertama Adam mendekatinya ia abaikan. Sekarang ia sendiri bingung bagaimana harus memulai memperbaiki ta’aruf mereka. Aakifa ingin menjalani ta’aruf yang sebenarnya agar mengenal lebih jauh tentang Adam calon suaminya. Aakifa sudah tidak sabar untuk menunggu waktu besok ia ingin segera bertemu Adam. Rasa rindu mulai tumbuh di hati Aakifa. Keesokan harinya Aakifa bersemangat sebagaimana hari pertama. Ia sudah siap di depan laptopnya bersama berkas-berkas yang memenuhi meja. Tapi sayangnya keadaan sangat sama seperti hari pertama. Adam tidak bisa hadir lagi ia masih sakit. Aakifa sangat kecewa di saat ia ia bersemangat Adam tidak bisa datang. Tapi bagaimana pun ini juga demi kesehatan Adam kalaupun dia datang Aakifa gak akan tega melihat kondisinya. Semangat Aakifa pudar tapi untuk kali ini ia berusaha mengabaikan perasaannya mencoba untuk tetap fokus mengerjakan karena deadline tugas sebentar lagi. Meski terkadang bayangan Adam muncul dalam fikirannya ia segera menghapusnya dan kembali konsentrasi bagaimana pun ini untuk pesantrennya. Aakifa merasakan sepi tanpa keberadaan Adam meskipun ia ada hanya akan terjadi beberapa kata di antara mereka. Hari terakhir untuk menyelesaikan tugas karena tinggal sedikit lagi semua sudah selesai di kerjakan. Aakifa dan Abah sudah siap di ruang kerja untuk mulai menyelesaikan tugas. “Assalamualaikum.” Suara yang sudah familiar terdengar bagi abah dan Aakifa. Adam datang dalam keadaan sehat seperti biasanya. Wajah berseri penuh keteduhan sudah muncul dari raut ganteng Adam yang ala santri banget. Yang di lakukan Adam pertama kali tentu mencium tangan abah dan segera mulai mengerjakan tugas yang sudah di ujung penyelesaiannya. “Aduh maaf saya Cuma bantu sedikit.” Ucap Adam sungkan. “Gak papa emang kamu masih sakit kan masih ada Aakifa.” Jawab abah Aakifa hanya tersenyum. “Ya sebenarnya saya kasihan sama Aakifa tapi kemarin saya benar-banar gak bisa untuk hadir.” Jelas Adam “Gak papa ini juga tanggung jawab aku.” Jawab Aakifa sebenarnya ia ingin menanyakan sakit apa yang sudah melandanya tapi bibirnya membeku tak mampu mengucapkan. Khitbah Setelah semua pekerjaan selesai dan sudah tertata rapi siap untuk di laporkan Aakifa ingat dengan organisasinya. Beberapa hari terakhir Aakifa tidak pernah mengunjungi organisasinya karena sudah fokus dengan tugas dari abah. “Bah, Aakifa mau tengok organisasi dulu, rindu banget Aakifa.” Ucap Aakifa di depan abah yang masih sibuk meneliti hasil tugas yang di kerjakan. “Abah telpon om mu dulu.”Ucap abah sembari meraih handphone di meja tepat depan abah. “Loh, kenapa bah?” Tanya Aakifa bingung. “Ya kan kamu sama Adam harus ada om mu donk.” Ucap abah ringan Aakifa melirik Adam sekilas. “Emang mas Adam mau ikut, kasihan abah kan baru sembuh.” Ucap Aakifa terasa aneh saat menyebut nama Adam. Abah terdiam sebentar menatap Adam penuh tanda tanya. “Gak papa bah.” Ucap Adam ta’dzim meski abah tidak mengucapkan sepatah kata namun Adam bisa memahami kemauan abah. Aakifa terdiam kaku meski dalam hatinya ia sangat bahagia karena Adam ikut bersamanya. Abah pun melanjutkan menelepon om Aakifa agar memantau mereka. Obrolan renyah mereka masih terjadi di ruang kerja abah. Meski Aakifa hanya banyak diam di sana tapi senyum tak pernah redup dari bibir merah mungilnya. Aabah bercerita banyak tentang pengalaman yang mengandung nasihat bermakna di dalamnya. Inti dari cerita abah memantapkan Aakifa dan Adam yang hanya dalam hitungan hari orang tua Adam datang ke dalem kyai Hadhromi untuk menentukan tanggal pernikahan mereka. Sekitar sepuluh menit kemudian om Ammar datang mereka pun langsung berangkat ke tempat tujuan. Seperti biasa membawa mobil pajero abah dan Adam yang mengemudi dengan posisi Aakifa berada di belakang. Setibanya di kantor organisasi Aakifa cukup mengecek semua kegiatan yang ada. Meski sudah terjadi banyak dialog di antara mereka hanya Adam yang selalu membuka bicara. Aakifa memang tidak bisa membuka bicara terlebih ada rasa aneh yang menetap dalam hati Aakifa membuatnya gerogi untuk mengajak Adam bicara meski sebenarnya ia ingin bertanya-tanya banyak agar lebih jauh mengenalnya. Adam mengalah dan sabar untuk selalu membuka pembicaraan dan mencari-cari tema pembicaraan dan akhirnya Aakifa cukup menjawab secukupnya. Namun dari pertemuan saat itu Aakifa dan Adam sudah bertukar banyak cerita tentang pengalaman masing-masing yang tanpa di duga mereka di jodohkan dengan orang yang selama ini tidak jauh darinya. Selama perbincangan mereka yang membuat Aakifa semangat saat membahas tentang prestasi-prestasi yang selama ini mereka dapatkan. Mereka sama-sama santri yang kaya akan prestasi hingga olimpiade mendapatkan sertifikat dari salah satu universitas di Jordan. Meski mereka sering mengikuti kompetisi yang sama namun mereka tak pernah bertatap muka. Sekenario Tuhan memang selalu lebih indah hanya saja keterbatasan manusia dalam mengetahuinya. Dan Aakifa paling sebal saat Adam bercerita saat pertama kali ia di antar ayahnya dan meliihat Aakifa masih kecil yang masih bisa mainan bonekanya tapi Aakifa tak mengingat sedikit pun tentang kejadian tersebut. Semua itu membuat mereka berdua sulit mempercayai yang sedang terjadi. Lusa adalah hari khitbah mereka sesuai yang di sepakati di malam peresmian proses ta’aruf mereka. Proses ta’aruf mereka selama ini belum berjalan mirisnya baru akhir-akhir ini mereka melakukan interaksi. Mereka belum mengenal sepenuhnya satu sama lain tapi setidaknya mereka sudah mengetahui sedikit banyak tentang latar belakang mereka. Malam yang telah di tunggu-tunggu kedua orang tua dari Adam dan Aakifa telah tiba. Malam ini orang tua Adam datang dengan membawa mahar yang telah di sepakati dari pihak calon mempelai perempuan. Mahar hukumnya wajib di tunaikan bagi seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang perempuan. Islam menganjurkan hal tersebut sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan seorang perempuan. Di malam itu dengan hadirnya beberapa kiyai besar yang masih bagian dari keluarga kedua belah pihak turut di undang dalam acara tersebut. Acara berlangsung sangat khidmat abah Hamzah atas perwakilan dari Adam meminta Aakifa untuk menjadi pendamping Adam selamanya. Abah Hadhromi menerima di sambung beberapa wejangan untuk Adam dan Aakifa. Aakifa tak mampu menahan air matanya yang sedari tadi ingin keluar. Meski semaksimal mungkin telah Aakifa lakukan untuk menahannya namun tetesan air mata tidak bisa di bendung memaksa menerobos pipi putih Aakifa. Sebisa mungkin Aakifa berusaha menutupinya meski itu merupakan air mata bahagia baginya namun belum tentu semua orang yang hadir bisa menafsiri seperti itu. Aakifa takut akan terjadi kesalahpahaman diam-diam ia menunduk dan mengusap dengan ujung jilbabnya. Adam terlihat bahagia meski di hatinya terbesit rasa cemas. Adam bisa membungkus kecemasannya dengan bersikap santai dan berwibawa. Acara malam itu penuh do’a dari kyai-kyai besar tentu Aakifa sangat mensyukurinya karena ini adalah gerbang utama menuju pernikahannya dengan seseorang yang baru saja ia kenal beberapa hari yang lalu. Meski Aakifa baru merasakan cinta terhadap seorang laki-laki yang di jodohkan abahnya tapi ia merasa sudah jatuh terlalu dalam di hati Adam. Hal ini yang membuat Aakifa semakin takjub atas kebesaran Alloh baru kemarin ia terkejut atas perjodohan yang terjadi. Dan masih teringat jelas dalam fikiran Aakifa tentang sikapnya yang dingin pada Adam karena ia belum bisa menerima Adam. Seketika beberapa hari yang lalu Aakifa mempunya tekad untuk merespon Adam dan berusaha untuk membukakan pintu hidupnya untuk Adam. Pada akhirnya malam ini di iringi do’a para kyai besar Aakifa sangat mantap untuk menulis cerita hidupnya dengan Adam. Rasa cinta yang dalam hatinya tumbuh subur tanpa sepengetahuannya. Aakifa semakin yakin Alloh adalah sang maha cinta yang dengan mudah membolak balikkan hati setiap hambanya. Inti dalam acara pada malam hari ini di laksanakan yaitu penentuan hari pernikahan mereka berdua. Telah di cetuskan hari pernikahan akan di selenggarakan dalam jangka waktu satu bulan ke depan. Di lanjutkan serah terima mahar dan seperangkat alat solat di berikan kepada pihak calon mempelai perempuan. Semua yang hadir dalam acara tersebut sangat bahagia karena mereka berdua adalah calon pasangan yang sangat di harapkan untuk terus berjihad untuk agama. Para sesepuh mengharapkan mereka untuk tetap istiqomah menegakkan dan mensyiarkan agama karena keduanya sama-sama sosok remaja yang aktif. Tiba penghujung acara di tutup dengan do’a agar semua yang di hajatkan di hijabah oleh Alloh. Serpihan Hati Setelah terselenggaranya acara khitbah Aakifa tidak boleh di pertemukan dengan Adam. Sesuai adat yang ada kebudayaan yang di miliki masyarakat Jawa bagi calon pengantin tidak boleh berhubungan meskipun lewat media sosial terlebih bertemu secara langsung. Konon katanya hal ini di lakukan agar di antara calon sepasang pengantin tumbuh sebuah rasa rindu yang kuat dan ketika nanti mereka bertemu mereka sudah sah menjadi sepasang kekasih. Adat ini biasanya di sebut dengan pingit jadi calon pengantin biasanya di pingit selama satu minggu sebelum akad nikah. Meski Aakifa pernikahannya masih kurang satu bulan tapi abah sudah menyelenggarakan acara tersebut. Abah juga meminta mereka kembali fokus pada aktivitas masing-masing seperti biasa. Aakifa setelah acara khitbah sering kepikiran Adam. Entah kenapa bayangan Adam sering kali muncul di hadapannya. Ia ingin sekali bertemu Adam untuk mengerjakan beberapa tugas bersama. Tapi ia bersabar karena meski demikian sebentar lagi Adam akan menjadi miliknya selamanya. Ia juga sangat yakin Adam mampu menjadi imam yang baik untuknya dan mujahid mujahidah kecilnya kelak. Pagi hari Aakifa sudah bersiap rapi mengenakan gamis berwarna merah maroon dengan hijab hitam pashmina di balut jaket hitam keren tampak membuatnya semakin anggun. Dengan menenteng tas laptop dan tas slingbag di pundak kirinya ia berpamitan pada abah dan umi yang berada di ruang tamu. Aakifa merasakan hidupnya kembali normal seperti biasanya sebelum ada Adam menghampiri hidupnya. Keadaan ini yang Aakifa rindukan semasa ta’arufnya dulu. Hidup bebas cukup mengurus diri sendiri tanpa ada sangkut paut dengan orang lain. Tapi di saat Aakifa sudah mendapatkan kembali hatinya merasa ganjal. Ia ingin seseorang yang sedang mengemudikan modinya Adam. Aakifa tidak bisa membohongi dirinya sendiri ia merindukan Adam. Air matanya jatuh tanpa mengucap permisi ia tak hanya menahan rindu yang sedang menyeruak di hatinya tapi ia lebih merasa bersalah. Selama ta’aruf mereka berlangsung Aakifa kurang bisa bersikap baik bahkan sebelum ia bisa menerima Adam ia bisa di bilang kurang menghargai. Aakifa tidak pernah menganggap Adam ada ia sangat tidak mempedulikan perasaan Adam. Di kursi belakang Aakifa menatap spion mobil ia masih ingat jelas beberapa detik sempat bartatapan dengan Adam di spion itu. Deras tangis Aakifa semakin menjadi ia sadar keberadaan Adam yang selama ini ia sia-sia kan sangat berarti baginya. Mobil sudah berhenti tepat di depan gedung organisasi tapi Aakifa sama sekali tidak menyadarinya. Kang Agus mengangkat tangannya yang di rasa pegal hingga menyelesaikan beberapa gerakan. Kang Agus menatap spion bingung karena belum terdengar Aakifa menutup pintu mobil. Ternyata di dapati Aakifa sudah berlinang air mata laki-laki sekitar berumur dua puluh sembilan tahun tersebut bingung dengan apa yang sedang terjadi pada Aakifa. “Aduh neng Aakifa kenapa?” Tanya kang Agus penuh hati-hati tapi mampu membangunkan Aakifa dari lamunannya dan segera mengusap air matanya cekatan. “Gak papa kok kang.” Ucap Aakifa serak bekas tangis sembari membuka pintu mobil. Kang Agus masih tidak tenang melihat keadaan Aakifa “Neng nanti di jemput jam berapa?” teriak kang Agus dari cendela mobil membuat Aakifa menoleh “seperti biasa kang.” Jawab Aakifa serak segera melanjutkan jalannya. Kang Agus bisa menatap mata sembab Aakifa tapi kang Agus juga tidak mengerti apa yang harus di lakukan. Meski penuh tanda tanya kang Agus segera melesat kembali ke pesantren karena masih banyak pekerjaan di sana. Di kantor organisasinya Aakifa merasakan hatinya semakin perih. Bayangan Adam terus melintasi fikirannya di setiap sudut ruangan yang pernah Adam singgahi. Hari ini Aakifa harus mempresentasikan beberapa materi dalam keadaan hatinya yang buruk. Namun Aakifa bisa bersikap profesional di dalam meetingnya ia masih bisa sukses memimpin meeting. Setelah keluar dari ruang meeting ia segera menuju kantor umum untuk menyelesaikan tugasnya. Ternyata di kantor umum bayangan Adam semakin terlihat jelas saat menawarkan di bantu menyelesaikan tugas. Saat Adam setia menemaninya mengerjakan tugas meski tak ada satu kata yang terucap untuk Adam. Saat Adam diam-diam membantu menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang memuaskan. Lantas Aakifa hanya diam tanpa memngucapkan kata terima kasih. Kebisuannya selama ini telah membuatnya menyesal menyia-nyiakan orang sebaik Adam. Setibanya di rumah Aakifa menangis di pangkuan umi yang sedang membaca buku di ruang tamu. Aakifa menceritakan semua yang ia rasakan menyesal sudah bersikap kurang adil pada Adam. Di tengah ceritanya abah datang Aakifa menceritakan semua pada abah dan umi. Abah memberikan nasihat pada Aakifa agar tidak menyesali sesuatu yang sudah terjadi terlalu dalam. Tapi harus lebih fokus mempersiapkan sesuatu yang akan terjadi dari pembelajaran yang sudah terjadi agar tidak jatuh pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. Aakifa merasa lebih tenang terlebih saat abah bilang bahwa Adam sudah memaklumi sikap Aakifa yang sangat dingin padanya. Karena selama menghadapi sikap dingin Aakifa Adam sempat meminta mundur pada abah. Abah memberikan banyak nasihat untuknya dan Adam bisa menerima keadaan Aakifa yang masih butuh proses untuk bisa menerimanya. Hinga akhirnya Adam sekarang sudah mendapatkan hati Aakifa sepenuhnya meski ia belum merasakan hal ini karena Aakifa belum bisa menunjukkan pada Adam. Abah juga memberi nasihat waktu untuk menyayangi Adam belum telat tapi memang masa itu belum di mulai setelah akad nikah di ijab qobulkan di situlah waktu Aakifa untuk menunjukkan rasa kasih sayang yang sesungguhnya pada Adam dalam ikatan yang sah. Nasihat terakhir abah tersebut membuat keadaan Aakifa jauh lebih baik. Setiap harinya Aakifa melakukan aktivitasnya seperti biasa untuk pesntrennya dan untuk organisasinya. Meski terkadang bayangan Adam masih sesekali terlintas di fikirannya Aakifa tidak sepenuhnya merasa bersalah. Karena ia akan memperbaiki sepenuhnya setelah akad suci terjadi di antara mereka sesuai nasihat abah. Di ruang tamu Aakifa menatap monitor laptopnya bersama abah yang sedang membaca kitab tebalnya dan umi yang membaca buku tentang biografi para ulama’ salaf. Meski kami dalam satu lingkup namun semua fokus dengan apa yang ada di depan mereka masing-masing. Sesekali abah menceritakan suatu hal yang menarik membuat Aakifa dan umi tertarik perhatian untuk fokus pada abah. Terkadang juga umi yang menjadi pusat utama karena menceritakan suatu hal yang menarik juga dari yang ia baca. Sedangkan Aakifa tidak ada hal yang menarik untuk di ceritakan yang bersifat universal karena yang ada di depannya sebuah pekerjaan. “Assalamu’alaikum.” Suara salam yang kini menjadi pusat perhatian seisi ruang tamu. “Wa’alaikumsalam.” Jawab serentak ternyata pak Rusli salah satu koordinator pesantren. “Silahkan masuk pak.” Ucap abah berdiri sedikit mendekat ke pintu mempersilahkan dengan ramah. “Tidak usah bah, saya hanya menyampaikan amanah dari Adam.” Ucap pak Rusli ta’dzim sembari menyerahkan dua amplom yang sudah di bungkus rapi.. Aakifa yang sedari tadi tidak memindah pandangan dari monitor ketika nama Adam di sebut ia segera terbelalak menatap kedepan. “Setiap amplom sudah di beri nama sesuai tujuan bah.” Lanjut pak Rusli “Ini maksudnya apa? Kok saya malah bingung.” Ucap abah penuh wibawa. “Sebelumnya saya minta maaf bah saya hanya menyampaikan amanah dan sama sekali tidak tau tujuannya.” Ucap pak Rusli abah masih menatap dua amplom yang ia pegang. “Tapi Adam berpesan untuk memberikan pada abah setelah tiga hari ia pergi.” Lanjut pak Rusli membuat abah kaget. “Saya benar-benar bingung, silahkan duduk dulu pak biar saya buka amplopnya.” Ucap abah dan segera memberikan satu amplop milik Aakifa. Pak Rusli mengekor abah dan duduk di sofa untuk ikut serta mendengarkan isi surat yang membuat pak Rusli bingung sejak Adam memberikannya. Abah memerintah surat Aakifa yang terlebih dahulu di buka. Aakifa dengan penuh kecemasan dan detak jantung yang tidak normal mulai membuka amplopnya. Sebelumnya saya minta maaf setelah hadirnya saya hidup Neng Aakifa tidak tenang. Saya tidak pernah meminta akan perjodohan ini tapi saya sangat bahagia bisa mengenal neng Aakifa sejauh ini. Sekali lagi saya minta maaf karena ternyata saya mencintai neng Aakifa tapi saya sadar Neng Aakifa tidak memiliki rasa yang sama. Saya juga tidak menginginkan kelak pernikahan kita ada unsur paksaan. Salam maaf dari saya Adam Faiz Al Arkan Aakifa membaca surat cukup keras mampu untuk di dengar seisi ruangan dengan sesenggukan air matanya terus keluar tanpa ada sekat. Dalam dekapan hangat umi ia meluapkan semua kesedihannya. Abah mulai membuka suratnya Aakifa sebisa mungkin menahan jerit tangisnya karena ia ingin mendengarkan surat Adam untuk abah. Masih dalam sesenggukan Aakifa mendengarkan abah mulai membaca. Umi tetap setia memeluk putrinya dan ikut meneteskan beberapa air mata karena naluri seorang ibu yang tak mampu melihat anaknya merasakan seperih ini. Abah dan umi saya minta maaf sebesar-besarnya karena saya gagal tidak bisa menaklukkan hati putri abah. Saya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini karena saya tidak mau putri abah menikah dalam paksaan. Saya sangat mencintai putri abah maka dari itu saya tidak mau melihat putri abah harus tertekan menikah dengan saya. Kepergian saya untuk ilmu dan memperbaiki diri, saya minta abah ridho dengan kepergian saya. Dan saya yakin abah meridhoinya karena abah pernah dawuh abah akan meridhoi santrinya yang berhijrah untuk menjadi yang lebih baik. Insya Alloh meski di manapun saya berada tetap berada dalam areal abah. Dan saya mohon jangan marah pada pak Rusli karena beliau hanya saya mintai toong untuk menyampaikan surat ini setelah tiga hari dari kepergian saya. Tujuan dari kepergian saya tidak ada yang mengetahui termasuk orang tua saya. Sekali lagi saya minta maaf abah. Saya menyayangi pesantren Darul Qolbi. Saya menyayangi abah dan umi. Dan saya menyayangi Aakifa. Salam maaf dari santri anda Adam Faiz Al Arkan Abah membaca surat dari Arkan sempat meneteskan mutiara bening dari matanya. “Abah saya minta maaf, jika saya tau tujuan Adam seperti ini saya akan melarangnya pergi. Saya benar-benar menyesl bah.” Ucap pak Rusli lelaki berusia sekitar empat puluh tahun sembari bersimpuh dan mencium tangan abah penuh penyesalan. “Ini bukan salah bapak, pak Rusli hanya menyampaikan amanah.” Jawab abah bijaksana sembari mengangkat tubuh pak Rusli. “Aku juga mencintai kamu mas Adam.” Ucap Aakifa sesenggukan penuh penyesalan atas sikapnya selama ini yang belum sempat ia tebus. Terlebih ia harus kehilangan orang yang mencintainya sebelum ia sempat mengungkapkan cintanya. Sedari tadi ia menahan tangis karena tangisannya sangat dalam apabila di luapkan. Wajah Aakifa pucat dan mulai melemah dalam rengkuhan umi. Abah segera membawa Aakifa ke kamar dan segera menelepon dokter. Air mata umi terus berjatuhan meski tanpa suara. Aakifa pingsan sekitar lima belas menit setelah di tangani dokter. Sesuai hasil pemeriksaan Aakifa hanya terlalu lama menahan tangis sehingga menyulitkan saluran pernapasan membuat sirkulasi udara tidak normal. Dan tekanan fikiran yang memuncak membuat kondisi badannya melemah Aakifa hanya butuh istirahat. Mulai saat itulah Aakifa hanya berdiam menatap langit-langit kamarnya, sekeliling kamarnya dan tidak berbicara dengan siapa pun hanya bahasa isyarah yang ia gunakan. Ketika melihat abah dan umi Aakifa meneteskan air matanya dengan tanpa sepatah kata yang keluar. Abah menelepon keluarga kyai Hamzah untuk memberikan informasi semua yang sudah terjadi. Di hari itu juga keluarga kyai Hamzah datang memperjelas semua yang terjadi dengan semua alasan atas kepergian putranya. Kyai Hamzah meminta maaf sebesar-besarnya atas nama keluarganya terutama kepergian putranya. Kyai Hadhromi tidak sepenuhnya melemparkan kesalahan ini pada Adam. Karena jika Aakifa tidak bersikap terlalu dingin mungkin semua ini juga tidak akan terjadi. Kyai Hadhromi atas nama keluarganya juaga minta maaf terutama Aakifa yang tidak bersikap adil semasa ta’arufnya. Kyai hadhromi menceritakan mulai awal proses ta’aruf mereka sampai mereka sudah saling mencintai namun belum sempat terucap dan menunjukkan surat dari Adam yang baru saja di baca. Kyai Hadhromi dan kyai Hamzah saling memahami situasi yang sedang terjadi. Bagaimana pun perjodohan ini adalah keinginan mereka dan tiada yang tau akan berakhir seperti ini. Mereka sama-sama dalam keadaan yang berat Aakifa putri kyai Hadhromi hanya terdiam mematung sedangkan Adam putra kyai Hamzah entah pergi dimana. Semua saling memaklumi dan bertawakkal pada Alloh agar di berikan jalan yang terbaik. Abah dan uminya Adam sangat prihatin melihat kondisi Aakifa calon menantunya hanya terkapar di atas ranjang. Kyai Hamzah meminta tolong pihak kepolisian untuk membantu pencarian Adam. Karena insya Alloh dengan Adam tau bahwa Aakifa juga mencintainya ia akan kembali dan Aakifa bisa kembali seperti dulu lantaran kedatangan Adam. Pada Satu Sisi Adam Faiz Al Arkan di pondokkan oleh abahnya sejak ia masih menjadi kanak-kanak yang hanya bisa bermanja pada orang tuanya. Adam adalah anak sulung dari tiga bersaudara putra kyai Hamzah sahabat kyai Hadhromi pengasuh pesantren tempat Adam menimba ilmu. Tentu suatu hal yang berat menyerahkan anak yang masih kecil di pesantren. Tapi demi kebaikan masa depan seorang anak meski tidak sepenuhnya rela orang tua yang bijak akan bersabar mengikhlaskan anaknya menuntut ilmu di penjara suci. Kyai Hamzah mempunya pesantren di luar pulau jawa tepatnya di Banten namun tak sebesar pesantren tempat Adam menuntut ilmu. Kyai Hamzah khawatir jika Adam di pondokkan di pesantren abahnya ia tidak bersungguh-sungguh dalam bertholab ilmu. Akhirnya kyai Hamzah menyerahkan Adam untuk nyantri di pesantren sahabatnya. Setelah di pasrahkan di dalem kyai Hadhromi Adam di antarkan ke pondok putra selayaknya santri yang lain. pondok pesantren tidak mengenal latar belakang seseorang semua di anggap setara. Meski Adam putra kyai sekaligus abahnya sahabat dari kyainya tapi tidak ada pembedaan dalam segi apapun terhadap Adam. Adam menangis saat orang tuanya berpamitan untuk pulang. Santri baru sering menangis sudah menjadi hal yang lazim di lingkungan pesantren. Tugas bagi santri yang lama untuk menenangkan mereka. Memberi pengayoman agar santri baru bisa betah di pesantren. Toleransi dalam lingkungan hidup sangat di praktikkan di pesantren. Ternyata kyai Hadhromi mengutus salah satu pengurus untuk menuntun Adam si anak kecil yang baru saja mulai nyantri agar segera betah di pesantren. Dari awal Adam nyantri abah sudah sangat peduli padanya bukan karena Adam putra dari sahabatnya. Tapi abah memiliki keyakinan tersendiri bahwa adam kelak bisa menjadi andalan pesantren. Meski demikian abah cukup memantau perkembangan Adam tanpa adanya turun tangan abah. Hanya saat Adam menjadi santri baru abah mengutus salah satu pengurus untuk membantu Adam betah di pesantren. Dalam waktu satu minggu Adam sudah betah di pesantren dia tidak pernah menangis lagi. Ia sudah mulai merasakan kenyamanan di lingkungan pondok pesantren. Sesuai tahapan Adam mengikuti kurikulum pembelajaran pesantren Darul Qolbi mulai pemula. Ia sering kali menjuarai beberapa perlombaan yang berawal dari tingkat kelas. terus meningkat tingkat asrama bahkan sampai tingkat antar pesantren. Setiap ada perlombaan antar pesantren Adam selalu menjadi salah satu delegasi dengan hasil sesuai harapan. Ia sudah di kenal sebagai santri sorotan karena kecerdasannya, kepiawaiannya, dan ketanggapannya dalam menghadapi sesuatu. Setelah ia menyelesaikan studynya hingga tammat ketua koordinator pesantren langsung menunjuknya sebaga ketua pengurus pondok pesantren Darul Qolbi putra. Meski masih banyak seniornya namun dia lah yang terpilih karena banyak kemampuan yang dimiliki sehingga di percaya para sesepuh. Adam sempat menolak atas jabatan yang di terimanya. Tentu itu bukanlah suatu tanggung jawab yang ringan. Terlebih Adam baru saja menyelesaikan jenjang pendidikannya ia merasa belum sanggup mengemban tanggung jawab sebesar itu meski sebenarnya ia sangat mampu. Adam mendapat bimbingan tersendiri dari penasihat pesantren untuk bisa menerima tugasnya. Banyak petuah bijak yang ia dapat sehingga ia berani untuk menerimanya. Meskipun di pesantren tentu ada beberapa orang yang tidak menyukai kita. Termasuk Adam atas kemampuannya yang begitu menonjol ada seniornya yang tidak suka atas terpilihnya sebagai ketua pengurus pesantren. Namanya saja di lingkuan pesantren tentu sifat yang seperti itu tidak terlalu di dhohirkan. Sudah menjadi ciri khas santri lebih suka main perasaan dalam menunjukkan segala sesuatu. Meskipun Adam sangat peka maksud dari seniornya tapi dia tidak ambil hati ia hanya berniat untuk menjalankan tugas pesantren yang di limpahkan padanya karena Alloh ta’ala. Prinsip Adam ia harus bersikap konsisten atas jabatannya yang sudah ia terima yang sepenuhnya menjadi tanggungjawabnya. Jenis apapun rintangan semasa jabatannya kelak ia harus tetap istiqomah dalam amanah lillahi ta’ala. Dan ia selalu berusaha untuk tetap tawadu’ kepada siapapun atas jabatan tinggi yang sudah ia pegang. Semasa pemerintahannya sebagai ketua pengurus Adam menciptakan beberapa kemajuan untuk pesantren Darul Qolbi. Dalam bidang pendidikan Ia merubah metode pembelajaran di pesantren sehingga hasilnya kualitas para santri semakin tinggi. Dalam bidang perekonomian pesantren ia mampu membuat proposal untuk donatur pesantren sebagai amal jariyah bagi yang beramal yang ia terbitkan di media sosial. Dan alhamdulillah mendapat sorotan dari pemerintah dan beberapa wirausaha sukses untuk memberikan pendanaan dalam setiap bulan. Adam juga merangkul para alumni membuat pertemuan untuk mempererat persaudaraan seluruh alumni. Adam juga menjelaskan beberapa program dari pesantren yang alhamdulillah mendapat respons baik dari alumni untuk membantu donatur pesantren setiap bulannya. Dalam bidang pembangunan Adam berfikir keras untuk memikirkan tempat dan tata letak gedung yang akan di bangun beserta fungsinya. Gedung adalah tempat pokok di pesantren karena tahun demi tahun penerimaan santri baru terus meningkat sehingga memerlukan gedung sebagai fasilitas utama untuk menuntut ilmu. Dan masih banyak dalam bidang lain yang mengalami kemajuan. Tentu Adam tidak sendiri di bantu segenap anggota pengurus lainnya namun dia yang menjadi pelopor dalam pemikiran sekaligus penanggung jawab atas jabatannya sebagai ketua pengurus. Meski sudah menjadi ketua pengurus pesantren Adam memang type santri yang aktif. Ia sempat mengikuti kompetisi olimpiade syariat agama tingkat nasional. Indonesia mempunyai dua pemenang yang berhasil mendapatkan sertivikat dari universitas Al zaytoonah Jordan semua dari pesantren Darul Qolbi. Satu santri putri dan satu dari santri putra yaitu Adam. Puncak kemajuan yang ia dapatkan untuk pesantren Darul Qolbi adalah ketika mengajukan proposal kepada Dinas Pendidikan berisi tentang satandart pembelajaran di pesantren Darul Qolbi beserta kualitas yang terdapat di dalamnya. Beribu syukur atas kebesaran Alloh Dinas Pendidikan mengakui santri lulusan pondok pesantren Darul qolbi di akui dengan gelar S1 dan bisa melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya di universitas dengan prodi ilmu tafsir dan sejenisnya yang berbau agamis. Jiwa Adam sudah terbentuk kecintaannya terhadap pesantren Darul Qolbi. Ia selalu berjuang untuk mensyiarkan nama pesantren Darul Qolbi dan berusaha keras untuk mengembangkannya. Terkejut Adam sudah rapi mengenakan kemeja coklat susu ala santri tampak membuat kulit putihnya menyala dengan sarung hitam sesuai ciri khasnya tak lepas dari sarung bermotif. Ia sudah duduk di meja menatap monitor laptopnya lebih tepatnya di kantor sekretariat. Berada di ruang sekretariat pusat pesantren sudah menjadi bagian dari hidupnya. Namun Adam juga masih mengaji ilmu tinggi langsung kepada kyai Hadromi tentang ilmu hakikat. Bagi santri yang sudah tammat di perbolehkan boyong ( meninggalkan pesantren ) namun apabila masih ingin mengaji untuk ilmu hakikat pesantren sangat mengajangi jembar. Dan ternyata kebanyakan santri lebih memilih untuk melanjutkan tholabnya karena para santri sudah bisa merasakan ladzatnya ilmu sehingga terus merasa haus akan ilmu. Termasuk Adam ia berusaha sebisa mungkin di tengah banyaknya pekerjaan kantor ia jangan sampai absen mengikuti pengajian kyai Hadhromi. Selain mengaji Adam juga mengajar setelah lulus ia mempunyai banyak jam pelajaran untuk mengajar. Memang sudah menjadi program pesantren setelah tammat dari madrasah dinniyyah untuk mengajar adik kelasnya. Tapi biasanya mengajar hanya di kelas pemula kecuali Adam koordinator sistim pembelajaran pesantren memilih Adam untuk membantu mengajar di kelas yang lumayan tinggi. Semakin tinggi kelasnya tentu ilmu yang di kaji semakin berbobot dan para sesepuh yang menghandle tapi Adam mendapat kepercayaan itu. Tentu jam mengajar Adam lebih padat dari santri lainnnya. Untuk menyikapi kewajibannya Adam sering mengorbankan waktu istirahatnya untuk mengerjakan tugas kantor. Karena ia tidak mau waktu mengaji dan mengajarnya menjadi teledor. Terlebih untuk mengajar karena bukan hanya dirinya sendiri yang rugi tapi ia juga akan merugikan orang banyak. Santri yang seharusnya mendapatkan ilmu dari mengajarnya akan tidak jadi mendapat ilmu kalau ia tidak mengajar. Setelah solat maghrib berjamaah di masjid Adam sudah berpakaian rapi di balut dengan jas hitam di dalamnya ada kemeja merah hati dan sarung hitam bermotif sudah menjadi ciri khasnya. Ia siap mengajar sudah membawa kitab Alfiyah Ibnu Malik berjalan keluar kamarnya sembari memakaikan kopyah di kepalanya untuk menutupi rambutnya yang indah. Setelah memakai alas kaki baru saja mengangkat muka ia terkejut karena ia dapati sosok laki-laki yang sangat ia banggakan “Abah.” Ucapnya merekahkan senyum keteduhannya segera ia mendekati lelaki itu dan mencium tangannya. “Kenapa Abah tiba-tiba kesini, dadakan banget gak seperti biasanya.” Ucap Adam heran. Abahnya adam hanya tersenyum tipis “Emangnya gak boleh?” Tanya abah santai. “Ya boleh banget abah, umi mana bah?” Tanya Adam sembari menengok-nengok sejauh pandangan yang bisa ia lihat. “Nanti abah kasih tau, kamu ada jam ngajarkan?.” Ucap abah membuat Adam bingung bercampur sedikit panik. “Iya bah sekarang, tapi umi kenapa bah?” Tanya Adam cemas “Ngajar dulu yang bener sana, umi mu baik-baik aja.” Jawab abah tersenyum lebar. Adam pun bernafas lega dan mencium tangan abahnya untuk berpamitan pergi mengajar meski masih tersimpan rasa yang mengganjal di hatinya. Selama mengajar Adam tidak sepenuhnya fokus di dalam kelas. fikirannya masih tertinggal dengan maksut dari perbincangannya abah tadi. Setelah selesai mengajar ia sudah tidak sabar untuk menemui abahnya. Karena sudah tidak tahan mengetahui tujuan abahnya yang mendadak datang dan membuatnya penasaran. Setibanya di asrama Adam kaget karena melihat abahnya memberikan nasihat dan di kerumuni kang santri yang tidak mempunyai jam pelajaran untuk sekolah. “Assalamu’alaikum.” Ucap Adam masuk kamarnya dan mencium tangan abah. “Tumben abah nunggu Adam di sini, biasanya nunggu di dalemnya abah e.” Ucap Adam abah e disini yang di maksud adalah kyai Hadhromi. Sudah menjadi panggilan para santri dengan sebutan abah e. Abah berizin kepada kang santri untuk menyambung ceritanya lain waktu dan segera mengajak Adam di teras asrama. Abah dan Adam sudah pada zona yang tepat di teras yang biasa di buat duduk para santri dengan udara segar yang menyapu di sekeliling. Sekarang bertepatan para santri masih sekolah sehingga keadaan sepi cocok buat berbincang serius. “Adam sebelumnya abah minta maaf ke kamu karena abah sebelumnya belum pernah menceritakan dan abah rasa sekarang kamu sudah saatnya tau.” Ucap abah penuh ketenangan Adam mendengarkan dengan serius setengah cemas dan tidak sabar untuk mendengarkan kelanjutan ucapan abah. “Kamu sudah abah jodohkan sama seseorang saat kamu masih kecil.” Ucap abah sedikit berat namun masih bersikap tenang. Adam tergeragap bingung “Ini maksutnya gimana bah, aku belum siap.” Jawab Adam gugup. “Kenapa kamu sudah punya pilihan mu sendiri.” Tukas abah dengan nada standart. “Kalau pilihan saya memang belum punya bah, tapi saya merasa belum siap untuk harus melangkah ke sana.” Jelas Adam tidak percaya diri. “Adam kamu sudah dewasa abah yakin kamu sudah cukup matang untuk itu.” Jawab abah Adam hanya bisa menelas ludah kasar. “Kamu tadi tanya umi mu kan, sekarang ikut abah temui umi mu di rumah calon mu.” Ucap abah santai Adam semakin bingung. “Umi di sana bah?” Tanya Adam terkejut. “Abah gak tau juga.” Jawab abah enteng sembari mulai berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman asrama putra. Meskipun Adam merasakan gundah dalam hati yang di penuhi keraguan. Namun ia tetap semangat berganti baju mau bagaimana pun ia akan di pertemukan dengan calon istrinya ia harus menjaga vasionnya. Adam keluar menyusul abah di dalam mobil keadannya lebih fresh karena tetesan air sisa wudlunya memancarkan aura kegantengannya. Adam sangat terlihat rapi ala santri dengan mengenakan kemeja hitam berpadu coklat susu kombinasi sarung hitam bermotif. Songkok hitam polos yang ia kenakan sangat membintangi sebagai karakteristik kang santri. Tanpa nunggu lama lagi abah segera melesat karena waktu sudah menunjukkan ba’da isya’. Adam bingung karena mobil abah berhenti tepat di depan rumah ust. Ammar adik kandung kyai Hadhromi. “Bah, bukannya ust Adam anaknya masih kecil. Cowok lagi.” Ucap Adam abah hanya tersenyum. “Kamu tunggu sini.” Ucap abah mulai turun dari mobil. Umi keluar sepertinya untuk pamitan karena ust Ammar dan istrinya di depan pintu Adam hanya bingung di dalam mobil. Abah dan umi masuk mobil Adam yang berada di kursi belakang segera mendongok ke depan untuk bersalaman dengan umi. Abah mulai melajukan mobilnya “Katanya umi di rumah calon aku.” Ucap Adam abah sama umi saling tatap dan tersenyum membuat Adam gemas tambah penasaran dengan rencana orang tuanya. “Tadi kan masih nunggu abah jemput kamu, mending umi nunggu di temen umi kebetulan istri ust kamu itu temen umi waktu zaman nyantri dulu.” Jawab umi santai. Adam bingung karena mobil abah berbalik arah kembali masuk areal pesantren dan berhenti di garasi abah e kyai Hadhromi. Rumah ust Ammar sudah di luar areal pesantren tapi tidak jauh dari dalem kyai Hadhromi kurang lebih 1 KM. Karena dalem abah e berada di gerbang utama pesantren. “Bah ngapain malah ke dalem?” Tanya Adam sedikit geram tapi ia berusaha menahannya karena yang di depannya adalah orang tuanya. “Ayo turun.” Ucap abah sembari bersiap untuk turun begitu juga dengan umi. Adam pun mengikuti meski suasana hatinya tidak tenang ia mulai berfikir di jodohkan dengan putri tunggal kyai Hadhromi. Tapi ia berusaha mengusir rasa percaya dirinya itu. Ia tidak mau berharap terlalu tinggi. Abah Adam kyai Hamzah mengucap salam dan segera di sambut ramah dengan kyai Hadhromi. Di ruang tamu kyai Hadhromi sudah di siapkan beberapa makanan di meja ruang tamu. Perbincangan ringan terjadi di ruang tamu tersebut meski hanya dua keluarga ruangan sangat terlihat hidup karena mereka sangat cocok. Ibu nyai lebih tepatnya istri kyai Hadhromi berizin untuk ke dalam. Adam sedari tadi tubuhnya berasa panas dingin ia sangat tidak tenang dengan keadaannya saat ini. Beberapa menit kemudian istri kyai Hadhromi kembali ke ruang tamu bersama gadis cantik berjalan di belakangnya. Aakifa putri tunggal kyai Hadhromi yang sekarang berjalan di belakang uminya menjadi pusat perhatian seisi ruangan. Adam tersipu melihat Aakifa untuk pertama kalinya secara jelas. Adam merasakan detakan jantung dan urat nadi di seluruh tubuhnya bergetar secara tidak normal ketika Aakifa mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya. Namun Adam berusaha untuk menjaga wibawanya dan bersikap sewajarnya meski ia sangat mengagumi sosok cantik di hadapannya. Perbincangan inti pertemuan dua keluarga besar mulai di buka oleh kyai Hamzah. Beliau menjelaskan untuk pertemuan malam ini dalam rangka menjodohkan antara Aakifa dan Adam. Di tambahkan kyai Hadhromi menceritakan tentang masa lalu pertemuan mereka saat Aakifa dan Adam masih kecil di sana lah awal mula perjodohan mereka tumbuh. Adam sangat terkejut ternyata sejak kecil ia sudah di jodohkan dengan putri kyainya sendiri. Aakifa yang menjadi dambaan di kalangan santri putra pesantren besar Darul Qolbi karena kecerdasannya, kecantikannya, dan kebolehan yang ia miliki atas karunia Tuhan. Kyai Hadhromi menambahkan bahwa semasa ta’aruf mereka Adam akan menemani semua aktivitas Aakifa yang di pantau oleh ust Ammar adik kyai Hadhromi. Di dalam hati Adam merasakan kebahagiaan karena ia akan punya peluang untuk mengenal Aakifa lebih jauh. Tapi sempat ia melirik Aakifa di dapati raut wajahnya tidak baik Aadam merasa Aakifa tidak menyetujuinya. Adam memberanikan diri untuk angkat bicara dengan sedikit bergetar karena lawan bicaranya adalah kyainya sendiri. Adam tidak menyetujui untuk dia ikut dalam aktivitas Aakifa dengan alasan tugas kantornya banyak. Namun usahanya tidak di terima karena abah sudah memiliki solusinya sehingga Adam tetap harus mengikuti prosedur ta’aruf versi abah. Setelah selesai pembahasan masa ta’aruf Aakifa dan Adam kedua keluarga makan besar di ruang makan kyai Hadhromi. Meski penuh hati-hati untuk bisa menatap Aakifa Adam sempat memperhatikannya. Adam menyimpulkan sepertinya Aakifa tidak setuju dengan perjodohan ini. Saat proses makan semua orang lahap menyantap makanan tapi tidak untuk Aakifa ia hanya menyuap beberapa sendok saja dan hanya ia aduk-aduk makanannya. Bahkan saat di ajak bicara ia hanya tersenyum yang di buat-buat. Setelah selesai makan beberapa menit kedua keluarga melanjutkan berbincang ringan. Kemudian kyai Hadhromi berpamitan untuk pulang karena waktu semakin malam. Adam keluar dari dalem kyai Hadhromi dengan membawa dua perasaan yang memenuhi isi hatinya. Pertama ia sangat bahagia karena ia di jodohkan dengan putri tunggal kyai Hadhromi yang memiliki banyak talenta. Yang kedua ia sedih dan tidak tenang karena ia merasa Aakifa tidak menyetujui perjodohan mereka. Setelah berada di mobil Adam lemas lunglai bersandar di kusi mobil. “Kenapa kamu kok malah kusut kayak gitu.” Tanya umi Adam. “Aku bingung sama perasaan ku.” Jawab Adam tak berdaya. “Kenapa?” Sahut abah. “Aku seneng karena aku di jodohkan dengan seseorang yang aku suka yang pernah aku harapkan.” Jelas Adam ia menarik nafas berat. “Wah, tepat sekali kan.” Sela abah adam. “Iya dulu aku pernah di ajak ust Ammar ngantar barang di dalem kyai Hadhromi aku melihat Aakifa memakai mukena dan membawa Al quran sepertinya ia habis ngaji. Waktu itu aku merasakan ada sesuatu di hati sampai aku berharap untuk bisa memilikinya tapi aku segera mengusir angan tinggi ku itu.” Lanjut cerita Adam sembari tersenyum pahit di kalimat akhir. “Kalau emang jodoh gak kemana, buktinya sekarang kamu akan memilikinya.” Jawab abah. “Tapi yang menjadi masalah sepertinya Aakifa tidak menyetujui perjodohan ini, tadi aku bisa membaca dari raut wajahnya abah sama umi bisa lihat sendiri kan tadi.” Jelas Adam. “Ssst gak boleh bilang begitu.” Ucap umi. “Perempuan itu memiliki perasaan yang sensitif mungkin Aakifa masih sulit untuk menerima orang baru yang sama sekali belum ia kenal latar belakangnya sedikit pun di umurnya yang sekarang terlebih untuk jenjang yang butuh keseriusan jadi menurut abah itu wajar.” Jelas abah membuat Adam terdiam mencerna kata-kata abahnya yang di rasa benar. Perjuangan Ku Setelah malam hari Adam bertemu dengan calon istrinya yaitu Aakifa dan mendapatkan tugas dari abah untuk ikut berkutat dalam semua kegiatan Aakifa. Paginya Adam mendapat info dari ust Ammar sehabis beliau mengajar. Bahwasannya abah meminta Adam hari ini mulai ikut Aakifa menjalani aktivitasnya. Tubuh Adam kambuh terserang penyakit panas dingin seperti saat malam pertama ia di pertemukan dengan putri tunggal kyainya. Ia segera mempersiapkan diri karena pukul delapan ia harus sudah selesai dan siap untuk pergi ke dalem abah e. Tepat jam delapan Adam sudah siap ia segera berangkat ke rumah ust Ammar sesuai prosedur yang telah di berikan beliau. Adam berjalan kaki menuju rumah ust Ammar yang bertempat di areal luar pesantren. Adam mungkin lelah tapi sama sekali tidak merasa keberatan karena jalan kaki sudah menjadi bagian hidupnya sebagai seorang santri. Ia berangkat bersama ust Ammar menuju dalem kyai Hadhromi mengendarai motor beliau. Adam merasa aneh karena terlalu sering datang di rumah kyainya sendiri. Baru saja tadi malam ia dan sekeluarga berada di rumah besar kyai Hadhromi dan sekarang ia harus menampakkan dirinya lagi di rumah ini. Adam masih belum bisa mempercayai bahwasannya ia akan menjadi menantu dari kayainya. Lamunan Adam terbuyarkan dengan suara kayai Hadhromi. Adam segera mencium tangan abah e kemudian duduk di ruang tamu sesuai perintah abah e untuk menunggu Aakifa. Adam terbelalak melihat Aakifa yang baru saja muncul ia terlihat begitu cantik. Adam sebisa mungkin mengontrol dirinya untuk bersikap wajar meski ia sangat mengagumi perempuan yang menjadi calon istrinya. Tapi ia sedikit kecewa karena sepertinya Aakifa tidak begitu semangat pagi ini. Wajah cantik Aakifa berubah redup menjadi lesu membuat Adam berfikir mungkinkah suasana buruk Aakifa di sebabkan karena Aakifa harus berangkat dengannya. Ust Ammar segera berpamit pada abah untuk berangkat ke tempat tujuan Aakifa. Adam menerima kunci mobil pajero abah ia yang akan menyetir selama perjalanan. Saat membuka pintu mobil Adam sempat mendengar perbincangan Aakifa dengan ust Ammar cukup membuatnya sedikit hati. Adam bisa menyimpulkan bahwasannya Aakifa sama sekali tidak minat untuk duduk di depan di samping Adam. Tapi Adam mengabaikannya seakan-akan ia tidak mendengarkan perbincangan mereka. Dengan tubuh lemas lunglai ia masuk mobil dan memakai sabuk pengaman. Di tengah perjalanan Aakifa tidak berbicara satu kata pun hanya suara ust Ammar yang banyak bercerita dengan kegokilannya. Adam hanya menanggapi seperlunya karena ia masih canggung. Bagaimana pun ust Ammar adalah gurunya meski beliau memiliki sifat yang bisa di bilang rame tidak mengurangi kewibawaannya. Ust Ammar bisa menempatkan sifatnya sesuai posisi dan lingkungan sekitar. Di pertengahan perjalanan Adam menatap spion tepat ada gambar Aakifa disana. Mereka sempat bertatapan beberapa detik Aakifa segera menunduk membuat Adam tersenyum menahan tawanya. Adam bingung kenapa Aakifa bersikap salah tingkah padahal tatapan yang baru saja terjadi hanyalah ketidak sengajaan. Meski Adam kecewa atas sikap Aakifa yang menunjukkan ketidak sukaannya ia gemas melihat Aakifa bertingkah lucu seperti tadi. Setibanya di tempat organisasi Adam kaget karena Aakifa tiba-tiba turun dan melesat memasuki kantornya. Bahkan Aakifa belum sempat berpamitan setidaknya pada ust Ammar selaku omnya. Tapi Adam berfikir dua kali dan memaklumi mungkin Aakifa sudah buru-buru karena ia harus presentasi. Ust Ammar memberikan informasi kepada semua anggota organisasi bahwa Aakifa sedang menjalani proses ta’arufnya dengan Adam. Ust Ammar juga memperkenalkan Adam kepada mereka. Ini semua ust Ammar lakukan sesuai perintah abah karena untuk mengantisipasi adanya fitnah di antara mereka. Anggota organisasi masih banyak karena yang mengikuti presentasi Aakifa di ruang sebelah hanya beberapa orang saja. Ust Ammar mengajak Adam untuk duduk di depan kantor umum sembari menunggu Aakifa selesai meeting. Di kursi panjang yang di duduki dua orang yaitu ust Ammar dan Adam dengan suasana yang rindang karena halaman depan ada taman kecil yang indah beriringan kicauan burung. Ust Ammar menceritakan kalau Aakifa mungkin butuh waktu untuk bisa menerima seseorang yang baru dalam hidupnya. Jadi ust Ammar measihati Adam agar bersabar menghadapi sikap Aakifa. Cinta memang butuh perjuangan bahkan cinta yang menguji mungkin sampai membutuhkan suatu pengorbanan. Tapi ingatlah cinta yang sudah melibatkan sebuah pengorbanan akan sangat berarti entah di masa sekarang atau yang akan datang serta bisa menjadi indahnya bayangan masa lalu di masa depan kelak. Aakifa sedah selesai meeting baru saja keluar dari ruangannya. Aakifa lewat di depan ust Ammar dan Adam tetap menatap lurus ke depan. Seakan tidak ada mereka berdua yang sedang duduk di kursi. Adam terenyak melihat sikap Aakifa ia merasa tidak di hargai. Ust Ammar memahami perasaan Adam dan memberinya nasihat untuk menenangkan bahwa sikap Aakifa yang sebenarnya tidak seburuk itu. Ust Ammar tak henti mengingatkan untuk bersabar dan terus berjuang di iringi tawakkal pada Alloh sang maha di atas maha. Ust Ammar menyuruh Adam masuk kantor umum menyusul Aakifa. Adam sempat menolak tapi ust Ammar mengingatkan bahwa saat inilah watu dia untuk mulai memperjuangkan cintanya. Akhirnya Adam mengiyakan perintah ust Ammar “ Loh, ust gak ikut?” Tanya Ammar sudah satu langkah di pintu kantor umum. “Gak perlu, di dalam banyak orang tidak ada yang perlu di khawatirkan.” Jawab ust Ammar ringan dengan gaya gokilnya dan kembali menikmati segarnya udara. Adam segera masuk menuju meja kerja Aakifa. Dari jarak yang tidak terlalu jauh Adam mengucap salam. Tapi sayangnya ucapan salamnya tidak ada respons dari Aakifa yang masih tetap fokus pada monitornya. Adam kembali mengulang salamnya dan mendapat jawaban meski Aakifa tidak merubah pandangannya. Adam memberanikan diri untuk lebih mendekat ke posisi Aakifa tapi Adam tetap menjaga jarak. Adam sekarang tidak lagi melawan rasa groginya tapi ia lebih melawan rasa takut dengan sikap dingin Aakifa. Adam mencoba menawarkan untuk membantu menyelesaikan tugasnya tapi ia menolak. Adam sebenarnya ingin meninggalkan Aakifa yang tidak pernah menganggapnya ada. Tapi ia ingat ucapan ust Ammar bahwa ia harus bersabar dan berjuang. Bahkan pesan abah di malam pertemuannya dengan Aakifa sempat lewat di fikirannya tentang perasaan perempuan yang sensitif. Ia akhirnya memilih untuk menemaninya saja meski sebenarnya ia sangat bosan karena tidak ada kegiatan baginya. Ingin mengamati pekerjaan dan cara kerja Aakifa tapi ia merasa tidak enak sendiri. Solusi terakhir ia mengambil buku yang berada di depannya meski sebenarnya ia tidak minat untuk membaca. Adam sangat bersyukur dengan kedatangan ust Adam ala sikap konyolnya mampu mencairkan suasana di antara mereka berdua. Sesekali Aakifa ikut menyahut cerita ust Ammar meski lebih memprioritaskan pekerjaannya. Setidaknya Adam lega karena kini ia mempunyai teman bicara bisa mencegah datangnya kantuk pada dirinya. Lelah Selama masa ta’arufnya Adam selalu berusaha bersabar dan mencoba untuk memperjuangkan. Adam tak pernah bosan untuk selalu mencoba mengajak bicara Aakifa. Meski ia hanya mendapatkan jawaban secukupnya yang membuat iaa merasa tidak puas. Setiap Adam melihat Aakifa sibuk ia tidak pernah absen untuk memberikan tawaran membantunya. Namun semua usahanya hanya akan di tolak oleh Aakifa. Dalam kekecewaan yang di rasa Adam dengan ikhlas membantu Aakifa. Tanpa sepengetahuan siapapun Adam membawa beberapa tugas Aakifa ke pesantren untuk ia kerjakan. Meski di pesantren Adam sendiri juga mempunyai tugas. Bagaimana pun sebagai seorang laki-laki ia tidak tega melihat perempuan yang ia sayangi terlalu lelah. Usaha telah ia lakukan semampunya tapi ia sadar harus kembali pada pemilik hati yang sedang ia perjuangkan. Do’a telah ia panjatkan pada Tuhannya karena Alloh maha membolak balikkan hati setiap hambanya. Ikhtiyar dan tawakkal sudah ia lakukan namun ia merasa Aakifa sama sekali tidak berubah dalam menyikapinya. Sempat terbesit dalam fikiran Adam mungkin ini semua adalah cara Alloh untuk memberi tahu bahwa Aakifa bukan jodohnya. Karena Adam merasa ia sudah berada di ujung kelelahannya yang sama sekali tidak terlihat di mata Aakifa. Adam duduk di meja kerjanya dalam ruang sekretariat yang sunyi. Tidak ada seorang pun di kantor sekretariat hanya Adam yang menatap kosong jendela luar. Dalam kesendiriannya Adam memikirkan prosesi ta’arufnya yang sudah berjalan setengah bulan. Selama itu lah ia berjuang sendiri dengan tanpa adanya lirikan dari seseorang yang sedang ia perjuangkan. Ia merasa menjadi orang yang bodoh harus mencintai seseorang yang tidak mencintainya sedikit pun. Ia juga berfikir dari sisi Aakifa seseorang yang ia cintai juga butuh bahagia bersama cintanya. Ia tidak mungkin harus menjalani hidup bersama orang yang tidak pernah menganggapnya ada. Fikiran Adam yang sudah pergi jauh segera ia tarik dalam kehidupan nyata. Ia raih songkoknya sembari berjalan memakainya dan sedikit merapikan bajunya. Adam pergi menuju rumah ust Ammar ia harus mengakhiri proses ta’arufnya sebelum semua terjadi terlalu jauh. Adam di sambut baik oleh ust Ammar atas kedatangannya di rumah beliau. Tanpa perlu basa basi Adam langsung membicarakan tujuannya untuk mertamu karena hatinya sudah tidak tenang. Ust Ammar kaget karena Adam meminta dengan sengguh-sungguh. Ust Ammar tetap memberi nasihat pada Adam agar tetap mempertahankan ta’arufnya. “izinkan saya untuk istirahat tad, saya sudah lelah.” Ucap Adam sempat meneteskan satu butir air mata yang sudah tak mampu lagi untuk ia tahan. “Coba kamu ingat orang tua kamu dan calon mertua mu yang sekaligus kyai dan bunyai mu mereka semua sangat mengharapkan pernikahan kalian berdua.” Ucap ust Ammar penuh penekanan di setiap katanya. “Tapi saya tidak bisa hidup hanya untuk mencintai tad, Aakifa juga butuh bahagia bersama orang yang ia cintai.” Jawab Adam. “Ini memang berat, tapi saya juga tidak bisa memutuskannya lebih baik kita langsung soan ( bertamu ) di dalem kyai Hadhromi.” Ucap ust Ammar memberi solusi. Adam mengangguk dengan tegas disambung tepukan kecil ust Ammar di pundaknya. Selama perjalanan menuju dalem kyai Hadhromi Adam bingung harus mengatakan apa di hadapan beliau. Tapi ia harus melakukannya karena masa depannya dan Aakifa harus segera di tegaskan. Mereka tidak mungkin harus hidup selamanya dalam kebohongan untuk saling mencintai. Sampai di dalem kyai Hadhromi ust Ammar menyuruh Adam untuk menunggu di luar. Ust Ammar masuk mencari kyai Hadhromi dan mengusahakan agar Aakifa tidak mengetahui pertemuan ini. Kyai Hadhromi keluar bersama ust Ammar Adam segera mengucap salam dan mencium tangan beliau. Kyai Hadhromi sempat menepuk pundak Adam lalu mengajaknya dan ust Ammar ke gazebo dekat gudang yang jarang di gunakan. Meski jarang di gunakan namun pemandangan di gazebo tetap indah dengan udara segar yang terus menyapa hirupan hidung untuk mengambil oksigen. Gazebo ini memang selalu di jaga dan di rawat oleh kang santri dalem yang mendapat tugas. Jadi keasrian alami masih sangat bisa di rasa. Mereka sudah duduk melingkar Adam siap untuk membuka bicara karena sedari tadi ia sudah menahan rasa tidak nyaman. Sampai Adam tidak bisa merasakan nikmatnya suasana di gazebo yang sedang ia tempati. Meski sangat berat untuk ia katakan pada kyai Hadhromi tapi hatinya sudah ia mantapkan. “Bah saya mohon maaf sebesar-besarnya karena saya tidak bisa melanjutkan ta’aruf ini.” Ucap Adam gerogi. “Kenapa? Kamu tidak bisa meluluhkan hati Aakifa?” Tanya abah tenang penuh pengayoman. “Iya bah, selama ta’aruf saya sudah dua minggu ini sikap Aakifa masih tetap dingin.” Jawab Adam sangat berhati-hati ia takut salah ngomong sehingga menyakiti hati kyainya. “Jadi gini memang Aakifa sejak awal tidak menyetujui perjodohan ini karena Aakifa masih ingin mewujudkan mimpi-mimpinya.” Jelas abah terjeda dengan menarik nafas Adam menyimak dengan jeli sudah tidak sabar mendengar kelanjutan cerita abah. “Tapi ketika abah menceritakan tentang prestasi dan jasa kamu di pesantren ini ia terlihat sangat mengagumi mu, tentu abah sangat paham dengan putri abah.” Ucap abah tersenyum kecil. “tapi bagi seorang Aakifa yang belum pernah mengenal laki-laki dalam hidupnya dan secara tiba-tiba abah mendatangkan mu dalam hidupnya untuk menyempurnakan separuh agamanya tentu suatu hal berat. Abah yakin ini hanya masalah waktu saja Aakifa akan bisa mencintai mu. “Jadi abah berpesan tolong pertahan kan abah yakin kamu bisa meluluhkan hati putri abah. Kebetulan abah punya tugas saya pasrah kan ke kamu dan Aakifa untuk menghandlenya. Mulai besok kamu ke dalem abah nanti abah bilangin Aakifa tentang ini biar abah langsung yang menjadi penengah di antara kalian. Entah mengapa setiap berbicara dengan kyai Hadhromi ia selalu hanya bisa mengangguk. Padahal banyak yang ia katakan untuk menguatkan tujuannya. Dan pada akhirnya ia harus tetap melanjutkan ta’arufnya terlebih abah sendiri yang menjadi saksi ta’arufnya dan Aakifa. Setelah solat subuh Adam merasakan pusing berat di kepalanya. Terpaksa Adam kembali merebahkan badannya kembali karena ia sudah tidak kuat untuk melakukan aktivitas. Sikap Adam tidur setelah subuh sangat bertolak belakang dengan kebiasaannya sehingga menjadi perhatian teman-temannya. Sudah diajarkan di dalam pesantren untuk peduli kepada saudara. Kang santri lain memperhatikan Adam untuk menyiapkan obat, makan, dan lainnya yang ia butuhkan. Dalam keadaannya yang lemah Adam meminta temannya untuk membantu ke ruang sekretariat. Meski kantor sekretariat tidak jauh dari asramanya dengan kondisi Adam yang tidak memungkinkan tentu temannya melarang. Setelah Adam menjelaskan alasannya untuk menelepon abah e karena ia punya tugas dari beliau akhirnya temannya mengantarkan Adam. Ia berusaha menguatkan diri agar tidak terlalu terlihat lemah saat berbicara dengan abah dalam telepon. Meski abah terlihat kecewa tapi beliau sangat memaklumi keadaan Adam perlu untuk istirahat agar segera membaik. Adam mungkin kecapeakan karena energinya tervorsir banyak satelah membantu tugas Aakifa di samping masih mengerjakan tugasnya sendiri. Keesokan harinya Adam merasa badannya sudah baikan meski belum senormal biasanya. Adam bersiap karena ia akan ke dalem untuk menjalankan tugas dari abah e. Menggunakan kemeja seperti biasa dengan sarung bermotif tak lupa songkok hitam polos ala santri. Adam menambah menggunakan syal di lehernya untuk penghangat karena ia masih merasa kedinginan. Pancaran ganteng nan teduh Adam dari raut wajahnya kini meredup tidak memancar seperti biasa ia masih terlihat pucat. Setibanya di dalem Adam hatinya tersentuh karena abah e perhatian kepadanya sampai menyuruh Aakifa untuk membuatkan wedang jahe untuknya. Siapa yang nggak akan bahagia ketika di perhatikan kyainya sendiri terlebih sekaligus calon mertuanya. Namun kisah cinta Adam dan Aakifa kini masih dalam fase yang rumit. Mungkin inilah cara Alloh untuk menguatkan cinta mereka berdua jika keduanya bisa saling kuat untuk menjalani. Tanpa di suruh abah mengerjakan Adam sudah mulai mengerjakan beberapa berkas yang sudah siap di atas meja. Sudah menjadi makanan harian bagi Adam mengerjakan dokumen seperti yang ada di depannya saat ini. Abah tinggal menunjukkan alur dan maksud dari tujuan tersebut. Di tengah Adam berkonsentrasi mengerjakan Aakifa bertanya cara pengerjaan tugas. Tentu saja Adam sangat bahagia karena baru pertama kalinya Aakifa minta tolong padanya. Penuh kesabaran dan telaten Adam berusaha menjelaskan sebaik mungkin agar Aakifa bisa mudah menerima yang ia jelaskan. Saat menjelaskan Adam merasa kurang nyaman ternyata Aakifa menatapnya sampai fikirannya hilang. Adam tersenyum tipis dan membangunkan Aakifa dari lamunannya. Adam melanjutkan penjelasannya meski fikirannya masih bingung. Kenapa Aakifa menatapnya sedalam itu tapi ia tidak mau memikirkannya terlalu jauh karena ia tidak mau pula merasakan sakit yang lebih dalam atas pengharapannya. Adam merasa ada seruak bahagia di hatinya karena Aakifa mengajaknya bicara. Sekian proses ta’arufnya baru pertama kali ini Aakifa mengajaknya bicara. Terlebih Aakifa menanyakan bagaimana ia harus memanggil Adam. Pertanyaan pertama Aakifa membuat Adam tertawa tapi Adam tetap menunjukkkan kebijaksanaannya agar memanggilnya sesuka hati Aakifa. Ternyata Aakifa memilih untuk memanggilnya dengan sebutan “mas” Adam suka dengan pilihannya. Di sisi lain Adam juga berfikir mungkin Aakifa mengajaknya bicara karena ada abah di sana. Adam berusaha membatasi rasa bahagiannya karena lagi-lagi ia tak mau merasakan sakit terlalu dalam atas pengharapannya. Sebenarnya selama mengerjakan tugas di dalem abah e Adam menahan pusingnya. Tapi penuh syukur Adam masih mampu mengerjakan tugas dengan baik. Tiba di asrama Adam kembali berbaring untuk tidur pusing di kepalanya begitu berat. Keadaan Adam tidak kunjung membaik sampai keesokan harinya. Dengan rasa berat dan tidak enak diri Adam izin pada abah untuk tidak bisa hadir mengerjakan tugas karena kondisinya sudah tidak bisa di paksa lagi. Adam bertekad saat ini ia harus istirahat cukup dan merefresh fikirannya. Diimbangi minum obat secara teratur dan tak lupa berdo’a pada Alloh untukn kesembuhan. Insya Alloh Adam besok harus sembuh karena tugas dari abah merupakan tanggung jawabnya. Tidak Mungkin Berkat usaha dan do’a tentunya atas izin Alloh keesokan harinya Adam sudah lebih enak badan. Ia bersemangat untuk segera ke dalem membantu abah menyelesaikan tugas yang sebenarnya menjadi tanggungannya. Karena dia sakit semua beban di limpahkan pada Aakifa. Adam jelas tidak tega melihat orang yang ia sayang harus kelelahan. Adam berpakaian seperti biasa dengan tanpa syal untuk hari ini karena dia sudah merasa jauh lebih baik. Aura keteduhan dan semangat sudah mulai bersemi kembali dari raut wajahnya. Ya pagi ini Adam sudah terlihat sembilan puluh persen seperti biasa. Adam tiba di dalem mendapat sambutan renyah oleh ibu nyai sekaligus calon umi Adam. Umi segera mempersilahkan Adam di ruang kerja abah. Seperti biasa Adam mencium kedua tangan abah ia melihat Abah dan Aakifa sudah sangat konsentrasi mengerjakan tugas. “Biar saya bah.” Ucap Adam sembari mengambil beberapa lembar kertas di depan abah secara ta’dzim. Abah tersenyum membiarkan Adam mengambil alih tugas yang sedang di kerjakan. Tugas dari abah terebut sudah hampir deadline padahal Adam baru mengerjakan beberapa saja. Adam minta maaf pada abah karena ia hanya bisa membantu sedikit namun abah menerima dengan sanngat maklum. Setelah semua tugas selesai seratus persen Aakifa ingat dengan organisasinya. Sudah beberapa hari Aakifa tidak kesana membuat Adam rindu meski di sana dia tidak pernah di anggap ada. Aakifa izin pada abah untuk menengok organisasinya tanpa ada basa-basi abah menelepon ust Ammar untuk memantau Adam dan Aakifa. Ada rasa bersorak bahagia dalam hati Adam saat Aakifa menyebut namanya untuk pertama kalinya dan mempedulikan kondisinya. Adam bisa membaca Aakifa khawatir karena ia baru saja sembuh. Adam segera menjawab sanggup sangat percaya diri bahwa ia sepenuhnya sudah sembuh. Menunggu kedatangan ust Ammar abah bercerita banyak tentang pengalaman beliau. Inti dari cerita abah membuat hati Adam terketuk dan sadar bahwa sebentar lagi acara khitbahnya di laksanakan. Adam merasa tidak sanggup untuk melanjutkan acara tersebut karena selama ini dia belum mengenal calon istrinya sama sekali. Bahkan hati kecilnya berkata calon istrinya belum bisa menerimanya. Di samping mendengarkan abah Adam berbincang sendiri dengan fikirannya. Ust Ammar datang mereka berangkat ke organisasi Aakifa seperti biasa Adam yang mengemudi mobil pajero abah. Di tempat organisasi Adam menemani Aakifa mengecek semua kegiatan di sana. Dalam kelelahannya selama ini entah mengapa ada gercap di benaknya untuk mencoba bertanya tentang identitas Aakifa. Selain demi cintanya pada Aakifa yang membuat lebih berat adalah harapan kedua orang tuanya dan calon mertuanya sekaligus kyai dan bu nyainya. Adam seperti merasakan hakikat sebuah kebahagiaan karena mendapat respon dari orang yang ia cintai selama ini dalam sikap dinginnya. Mungkin perbincangan mereka masih sangat belum seberapa hanya sekedar bertukar pengalaman sampai pada akhirnya mereka harus di jodohkan. Tapi semua itu sudah merupakan sebuah kemajuan yang baik dari hubungan mereka yang selama ini tidak ada interaksi sama sekali. sempat ada gelak tawa di tengah perbincangan mereka. Adam bisa merasakan bahwa sebenarnya Aakifa orangnya Asik dia penyayang. Lamunan fikiran Adam sempat membuatnya terpaku menatap wajah Aakifa. “Mas.” Ucap Aakifa malu-malu namun tidak bisa menyadarkan Adam dari khayalannya baru panggilan ke tiga Adam tersadar. Kesadaran Adam membuatnya malu bahkan Adam bisa menatap wajah Aakifa yang memerah mungkin karena sikap konyolnya. Hati Adam terasa perih karena hanya bisa mengharapkan seseorang yang ada di depannya saat ini bisa mencintainya sebagaimana ia mencintai. Adam sudah berpakaian rapi ala santrinya seperti biasa namun malam ini ia lebih terlihat tampan. Ia tidak percaya malam ini abah dan uminya akan datang dalam rangka penyelenggaraan khitbahnya pada Aakifa putri tunggal kyainya. Jantung Adam bedetak tidak teratur setelah abah dan uminya datang menjemput untuk mengantarnya ke rumah kyai Hadhromi. Dalam mobil selama perjalanan Adam tidak henti merapal sholawat di bibir tipis merahnya. Karena dalam keseriusan hubungan yang ia jalani saat ini ia masih sangat bimbang untuk memahami perasaannya endiri. Ia belum bisa yakin atas hubungan yang ia jalani saat ini. Karena dari sisi Aakifa mungkin kah dengan berjalannya waktu Aakifa bisa menerimanya. Tapi Adam tidak mengharap untuk bisa di terima Aakifa karena sangat mungkin Aakifa menerimanya atas dasar keterpaksaan perjodohan ini. Adam menginginkan Aakifa bisa mencintainya dengan ikhlas karena Alloh atas murninya perasaan yang suci. Adam hanya bisa berdo’a semoga Alloh memberikan jawaban yang terbaik untuknya. Di malam yang insya Alloh penuh barokah dengan hadirnya beberapa kyai besar di sana turut mendoakan hubungan Adam dan Aakifa. Acara khitbah di mulai dalam serah terima mahar dan penetuan tanggal pernikahan mereka. Adam sangat bahagia karena malam itu gerbang pertama untuk memiliki Aakifa seseorang yang ia cintai sudah di buka. Atas restu kedua orang tua Aakifa dan Adam beserta do’a para kyai besar turut menyertai mereka. Adam sempat memperhatikan Aakifa di dapatinya Aakifa sedang menunduk menyeka air matanya dengan jilbab. Perasaan Adam kalut kebahagiaan yang merajai hatinya terjajah tuntas oleh rasa perih. Adam tidak bisa menerima semua ini dua insan yang akan menempuh hidup baru untuk bersatu satu pihak merasa bahagia menyambut kedatangannya. Tapi pada pihak yang lain merasa tersiksa dan terpaksa untuk menjalaninya. Adam tidak bisa berfikir bagaimana ia harus menyusun kehidupan bersama pendamping yang tidak singkron dengannya. Dan di malam itu semua yang hadir terutama kedua orang tua Adam dan Aakifa beserta para kyai menaruh harapan besar akan hubungan mereka sampai pada pelaminan. Kemudian mereka berjuang bersama untuk pesantren dan agama karena Adam dan Aakifa sama-sama memiliki potensi. Banyak yang mengharapkan mereka untuk terus bersyiar jihad agama dengan darah muda mereka. Adam dalam dilema fikirannya tentu harapan beliau-beliau sangat menjadi beban yang berupa amanah baginya. Tapi ia tidak akan tega melihat seseorang yang ia sayangi menderita tekanan batin. Meski Adam sangat mencintai Aakifa tidak berambisi untuk memilikinya karena Adam lebih memprioritaskan kebahagiann Aakifa. Mungkin bisa memiliki Aakifa adalah salah satu harapan besar hatinya. Tapi Adam rela melepaskan semua itu karena Aakifa berhak bahagia bersama orang yang ia cintai. Adam yakin Aakifa dengan semua potensi yang dia miliki bisa dengan mudah mendapatkan seseorang yang lebih baik darinya. Setelah acara selesai orang tua Adam berpamitan pulang begitu pula Adam harus kembali ke asramanya. Selama perjalanan Adam ingin membicarakan semua pada abah dan uminya tapi ia tidak mau merusak suasana bahagia mereka. Ia hanya mampu berbincang dengan fikirannya dan meminta petunjuk terbaik pada Alloh. Pergi Setelah pertemuan malam khitbah Adam dan Aakifa menjalani masa pingit menurut masyarakat jawa. Kedua calon pengantin tidak boleh di pertemukan sampai akad nikah di laksanakan. Abah juga berpesan agar Adam dan Aakifa kembali fokus pada aktivitasnya masing-masing seperti biasa. Adam merasa tidak tenang menjalani hari-harinya Bukan karena ia tidak bertemu Aakifa tapi ia merasa tidak tenang menjalani hubungannya. Adam selalu memikirkan perasaan Aakifa. Adam terus terbayang Aakifa menangis di malam pengkhitbahan kemarin. Ia tidak bisa melihat orang yang di sayang harus bersedih. Ini masih memasuki gerbang pertama dalam hubungan mereka tapi Aakifa sudah terlihat penderitaannya.. Adam berfikir bagaimana kehidupan selanjutnya haruskah Adam melihat orang yang ia sayang menangis setiap harinya. Karena harus menjalani dan menghabiskan masa hidupannya bersama orang yang tidak Aakifa cintai. Di sisi lain Adam selama ini menahan setiap sindiran tajam dari kakak kelasnya. Bisa di sebut juga sebagai seniornya Adam karena ilmunya lebih tinggi tapi dalam pesantren tidak mengenal senior junior. `Muhammad Irsyad Hanafi adalah putra dari kyai Hanafi salah satu pemilik pesantren besar di pulau jawa. Dia adalah kakak kelas Adam yang juga memiliki potensi baik dalam pendidikan. Tapi dia tidak begitu di pandang oleh para pembesar pesantren meski banyak prestasi yang telah ia dapatkan. Namun Irsyad belum bisa mendapatkan kepercayaan dari para pembesar pesantren. Adam sejak baru tammat pendidikannya langsung di percaya untuk menjadi ketua pengurus pesantren. Hal tersebut membuat Irsyad merasa tersinggung meski seangkatan Irsyad dan yang lebih di atasnya bisa menerima dengan lapang dada. Di lingkungan pesantren meski hanya satu orang yang tidak suka dengan kita cukup bisa membuat tidak nyaman. Karena teman yang berada di pesantren sudah selayaknya saudara. Teman di pesantren adalah saudara dalam ikatan lafadz tauhid dari kyai jadi wajar jika tercipta ikatan yang kuat. Sebagaimana yang di rasakan Adam meski hanya Irsyad yang tidak menyukai mampu membuatnya tidak nyaman. Namun ketidaksukaan Irsyad kepada Adam menjadi bahtera kuat Adam dalam mengembangkan pesantren Darus Sauq. Ungkapan sadis yang sempat terucap dari mulut Irsyad menjadikan Adam lebih bertanggung jawab dalam mengemban tanggungjawabnya. Sehingga Adam memiliki semangat yang tinggi dan menghasilkan banyak kemajuan di pesantren Darus Sauq. Flashback pada waktu Adam baru di resmikan sebagai ketua pengurus pesantren. Adam berada di ruang sekretariat menata beberapa dokumen yang baru ia kenal. Irsyad masuk menyusul posisi Adam yang masih fokus dengan yang dia lakukan. Irsyad menepuk pundak Adam yang memunggunginya membuat Adam kaget reflek membalikkan badan. “Enak ya kalau jadi anak dari sahabat abah langsung jadi ketua pengurus padahal baru tammat.” Ucap Irsyad lancar. Adam hanya tersenyum “Sebenarnya saya sama sekali tidak mengharapkan dan merasa tidak pantas tapi ini sudah menjadi sebuah amanat dan saya yakin semua ini tidak ada hubungannya karena abah saya sahabat dari abah yai.” Tegas Adam namun masih sopan karena bagaimana pun Irsyad adalah kakak kelasnya yang memiliki ilmu lebih tinggi darinya yang harus di hormati. “yah yang penting kerjain tugas kamu yang bener karena kamu sama sekali belum punya pengalaman.” Ucap Irsyad sembari senyum meremehkan dan berjalan keluar ruangan. Ucapan pedas Irsyad membuat Adam bangkit dan bertekad bahwa dia bisa membuktikan kalau dia mampu melakukannya. Pernah pada suatu saat Adam melakukan kesalahan dalam mengerjakan tugas di awal ia menjabat sebagai ketua pengurus. Wajar sebagai seorang manusia melakukan sebuah kesalahan apalagi masih dalam proes pembelajaran menjadi seorang pemimpin. Entah mendapat keberanian dari mana Irsyad bilang kepada salah satu koordinator pesantren bahwa Adam belum mampu karena masih kurang pengalaman. Pada saat itu koordinator pesantren sempat bimbang dan berinisiatif untuk menjadikan Irsyad sebagai ketua kepengurusan pesantren. Sekitar dua tahun Irsyad menyelesaikan pendidikannya dari koordinator pesantren sempat ada omongan akan mencalonkan Irsyad sebagai ketua kepengurusan pesantren. Karena Irsyad di anggap mampu selama pendidikannya ia termasuk santri yang memiliki kualitas potensi. Dan setelah menyelesaikan pendidikannya ia banyak membantu dewan pengurus jadi bisa di bilang Irsyad sudah mempunyai pengalaman. Tapi bertepatan pada tahun Irsyad akan di calonkan sebagai ketua pengurus pesantren. Adam Fais Al Arkan telah selesai menempuh pendidikannya. Dan ternyata para koordinator sudah menunggu waktu itu di mana Adam menyelesaikan jenjang pendidikannya. Karena kecerdasan, kepiawaian, ketanggapan, kejujuran, dan bisa di bilang bijaksana pada umur yang di miliki Adam saat itu. Ia mendapat kepercayaan dari para pembesar pesantren selaku koordinator. Adam adalah ketua pengurus pesantren termuda sepenjang sejarah pondok pesantren Darus Sauq. Sempat viral nama Adam di kalangan santri putri Darus Sauq karena menjadi ketua pengurus termuda. Pastinya karena ketampanan yang di dukung hidung mancungnya menjadikan ketertarikan santri putri untuk mengaguminya. Sebenarnya Adam tidak enak hati karena Irsyad kakak kelasnya yang akan menjadi ketua pengurus. Tapi koordinator pesantren sudah menjatuhkan amanat pada Adam. Di saat Adam melakukan kesalahan para koordinator sempat melakukan rapat untuk melepas jabatan Adam yang akan di gantikan oleh Irsyad. Tapi ketua koordinator pesantren menolak tetap kukuh mempertahankan Adam sebagai pemimpin kepengurusan pesantren. Beliau memaklumi dan mempunyai keyakinan kuat bahwa Adam bisa mewujudkan keinginan pesantren. Atas kesalahannya Adam merasa menjadi pemimpin yang tidak becus. Adam adalah type orang yang mempunyai etos semangat tinggi. Kegagalannya ia jadikan sebagai kekuatan untuk bangkit dan belajar dari kesalahan tersebut. Dan pada akhirnya ia bisa membuktikan keyakinan ketua koordinator pesantren. Banyak kemajuan pesantren yang ia hasilkan di bawah pimpinannya. Setelah malam pertemuan antara keluarga Adam dan Aakifa untuk memperkenalkan mereka dan memulai proses ta’aruf mereka. Pondok pesantren Darus Sauq merasakan patah hati besar-besaran. Baik santri putra ataupun santri putri merasakan patah hati. Karena nama Adam sudah sangat familiar di kalangan santri putri atas semua yang telah ia dapatkan selama ini. Begitu juga dengan Aakifa tentu tidak ada satupun santri putra yang tidak mengenal namanya. Bahkan nama Aakifa tidak hanya di kenal di kalangan pesantrennya saja tapi pesantren lain banyak yang membicarakan namanya. Karena Aakifa adalah putri tunggal dari kyai Hadhromi pemilik pesantren terbesar di pulau Jawa. Aakifa di kenal banyak orang karena kecantikannya, kecerdasannya, dan prestasi-prestasi nasional yang sering ia dapatkan. Kalangan santri pesantren Darus Sauq tentu sangat terkejut atas perjodohan ini. Ternyata kyai Hadhromi memilih calon menantunya dari santrinya sendiri. Namun sebagian santri sangat memaklumi hal ini karena Adam memiliki potensi sangat berkualitas. Selain dari dhohirnya yang sudah bagus dia memiliki akhlaq yang karim dan pintar dalam segala bidang. Di kalangan santri putra hanya Irsyad yang berani memberikan sindirin atas perjodohannya dengan Aakifa. Mungkin Irsyad sudah sangat muak pada Adam karena selalu dia yang mendapat kepercayaan dari para pembesar. Di awal proses ta’arufnya dengan Aakifa saat dia baru pulang dari organisasinya Aakifa mendapat ungkapan dari Irsyad “Beruntung banget kalau jadi anak dari sahabat kyainya sendiri selain mendapat kepercayaan dapet anaknya juga.” Ucap Irsyad dengan senyum kecut. “Maaf, sejauh apapun dan sedekat apapun kalau memang jodoh dan telah tiba waktunya Alloh mengngizinkan dua insan untuk bersatu dengan takdirnya dan jalannya Alloh pasti akan bersama.” Jawab Adam bijak namu tetap sopan. Irsyad hanya tersenyum meremehkan dan pergi meninggalkan Adam yang merasa tersinggung atas perkataannya. Adam merasa risih karena Irsyad selalu tidak absen untuk mendoktrin Adam sebagai anak dari sahabat kyainya. Namun Adam tetap sabar dan tidak terlalu memikirkan perkataan Irsyad karena ia percaya ada Alloh yang selalu bersamanya dan mempersiapkan yang terbaik untuknya. Di pertengahan proses ta’arufnya Adam dan Aakifa sudah trending di kalangan para santri tentang sikap Aakifa pada Adam. Mungkin sudah menjadi adat setiap ada seuatu di dalam peantren mudah untuk di ketahui santri secara menyeluruh. Adam dalam satu sisi merasa sedikit malu karena dia berada posisi seolah hanya mmengharap kepada Aakifa. Tapi Adam tidak terlalu memikirkan egonya karena ia malah merasa di beri sebuah amanah dari orang tuanya dan kyainya. Tentu Adam menjadi banyak pembicaraan diantara santri yang lain. hanya Irsyad yang terang-terangan mengungkapkan di depan. “Kasihan ya kalau di jodohin ternyata calonnnya nggak bisa cinta” Cetus Irsyad sangat terlihat di tujukan pada Adam saat santri putra berkumpul akan melaksanakan kerja bakti. Beberapa santri ada yang tertawa kecil namun kebanyakan santri tidak menyangka dengan ucapan Irsyad kepada calon menantu yai. Adam sangat merasa tersindir dengan ucapan Irsyad namun sebisa mungkin berusaha mengontrol dirinya. Adam berjalan mendekati posisi Irsyad “Semua hanya masalah waktu dan proses karena ini semua adalah amanah.” Ucap Adam tegas di beri seulas senyum dan anggukan sebagai bentuk hormat untuk permisi. Adam meninggalkan Iryad dan kembali memandu santri putra untuk kerja bakti. Tengah malam Adam merenung sendiri di teras asrama putra semua santri sudah tidur. Ia merenungkan semua yang sudah terjadi dalam hidupnya semenjak ia hadir dalam kehidupan Aakifa. Masalah omongan dari orang lain Adam sudah sangat kebal untuk menerimanya. Entah seperti apa ungkapan yang akan menjadi buah bibir para santri ia sudah bisa menerima dengan ikhlas. Tapi sekarang Adam lebih memikirkan Aakifa seseorang yang beberapa tahun silam sudah ia kagumi. Dan Adam sudah menaruh rasa cinta yang dalam untuknya. Tentu itu semua membuat Adam tidak mampu melihat Aakifa merasa sedih. Terlebih pada dirinya sendiri ia tidak akan bisa hidup bersama orang yang tidak mencintainya. Ia butuh seseorang yang bisa menerimanya untuk menemani menulis cerita hidup menghabiskan masa tua. Adam hanya bisa bertawakkal pada Alloh karena dia sudah berada di ujung fikirannya. Pernikahannya dengan Aakifa hanya kurang satu minggu. Masa depannya dan kebahagiaan Aakifa akan di tentukan untuk beberapa hari lagi. Sedangkan saat ini ia masih terus terjebak oleh fikirannya sendiri yang belum mempunyai pegangan. Di sepertiga malam Adam bermunajat pada Alloh dalam sujudnya ia meminta petunjuk. Haruskah melanjutkan hubungannya dengan Aakifa atau harus mengakhiri saat ini juga sebelum semua berjalan terlalu jauh. Keesokan harinya Adam mempunyai keyakinan dan hatinya merasa mantap untuk mengakhiri hubungannya dengan Aakifa. Tapi ia harus meninggalkan pesantren Darus Sauq ini karena jika tidak ia akan di paksa untuk melanjutkan semua perjodohan ini. Suatu hal yang berat bagi Adam meninggalkan pesantren yang sudah beberapa tahun menjadi darah dagingnya. Ia tidak tega untuk meninggalkan semua program pesantren yang sedang mulai berjalan atas rilisannya. Jika Adam pergi yang menjadi incaran koordinator pesantren untuk menggantikannya mungkin Irsyad. Hal itu yang membuat Adam sedikit berani untuk meninggalkan pesantren. Dalam fikiran Adam atas perlakuan Irsyad selama ini pasti dia memiliki banyak pengalaman dan bisa lebih baik lagi darinya dalam memegang pimpinan kepengurusan pesantren. Adam menulis surat yang pertama untuk Aakifa berisi permintaan maaf. Karena Adam sangat merasa selama adanya perjodohan ini membuat Aakifa tidak nyaman. Surat yang kedua untuk abah dan umi yang berisi permintaan maaf karena tidak bisa melanjutkan perjodohan ini. Karena Adam tidak mau melihat Aakifa orang yang ia cintai harus menikah dalam keterpaksaan. Dan ia minta ridho pada abah atas kepergiannya dalam rangka menuntut ilmu dan memperbaiki diri. Adam tidak berniatan untuk memberi tahu apapun pada abah dan uminya sendiri. Karena Adam yakin keluarga kyai Hadhromi akan memberitahu orang tuanya. Setelah selesai menulis surat Adam pergi ke rumah salah satu koordinator pesantren untuk menitipkan suratnya pada abah. “Assalamu’alaikum.” Ucap Adam setiba di rumah pak Rusli. “Wa’alaikumsalam, eh nak Adam silahkan masuk.” Jawab pak Rusli ramah mempersilahkan untuk masuk. Adam mengekor pak Rusli duduk di ruang tamunya. “Begini pak saya mau menitipkan ini untuk abah dan putrinya.” Ucap Adam dengan mengeluarkan amplom dari sakunya. “Itu masing-masing sudah ada nama yang di tujukan pak.” Lanjut Adam setelah amplop berada di tangan pak Rusli. “Dan saya minta bapak memberikannya tiga hari ke depan.” Tambah Adam pak Rusli nampak semakin bingung “Ini sebenarnya kenapa?” Tanya pak Rusli penuh penasaran. Adam bingung mencari alasan karena tidak mungkin ia harus menjelaskan yang sebenarnya. “Saya hari ini akan pergi karena ada urusan yang harus saya selesaikan, jadi saya minta tolong pada bapak untuk menyampaikan pesan saya pada abah dan putrinya.” Ucapan yang kemudian keluar dari mulut Adam. Pak rusli mengangguk meski masih nampak penuh tanda tanya. Adam segera berpamitan untuk pergi sebelum pak Rusli bertanya yang akan membuatnya bingung untuk menjawab. Sekarang Adam bersiap untuk pergi meninggalkan pesantren. Adam butuh uang untuk biaya transportnya ia ingat tabungannya. Adam adalah sosok yang rajin menabung dia sangat pandai untuk memanage uang. Di tengah keadaannya yang mendesak ini tabungannya bisa membantunya karena tidak mungkin ia harus minta uang pada abahnya. Tabungannya sudah ia bedah dan mendapatkan kurang lebih sekitar lima juta. Ia masih membutuhkan biaya tambahan karena tempat yang menjadi tujuannya saat ini adalah London. Barang berharga yang ia punya saat ini hanya jam tangan pembelian abahnya import dari luar negeri. Mungkin jika di jual harganya sudah tidak seberapa tapi bisa mencukupi untuk biaya transportnya. Atas ridho Alloh ada tiket promo ke London jadi Adam hanya perlu membayar tujuh juta untuk biaya transportnya ke London. Adam hanya membawa beberapa baju saja dan sertifikat berharga yang ia miliki. Karena Adam tidak mau teman-temannya akan mencurigai kepergiannya. Dengan menggendong ransel di punggungnya satu langkah keluar dari gerbang utama pesantren hatinya terasa berat. Sudah beberapa tahun ia bernaung di pesantren dan dengan cara yang tidak wajar ia meninggalkannya. Tetesan air mata Adam berderai tapi ini semua untuk kebaikan masa depannya dan kebahagiaan Aakifa. Adam segera melanjutkan langkahnya seberat apapun menjalaninya namun ia harus melakukannya. Adaptasi Tidak sampai dua puluh empat jam Adam sudah mendarat di negeri asing. Ia sudah meninggalkan tanah airnya Adam sempat meneteskan air mata karena teringat pesantrennya. Namun ia sudah berniat sejak pemberangkatan dari bandara Juanda untuk menuntut ilmu dan memperbaiki diri sesuai izinnya pada abah kyai Hadhromi. Kini dengan nasib sebatang kara Adam memantapkan niat untuk tegar dan fokus menatap masa depannya. Sebisa mungkin ia berusaha untuk sementara melupakan Indonesia dan semua yang pernah terjadi disana. Karena ia berniat agar bisa mendapatkan tujuannya sehingga bia kembali berjuang untuk bangsanya Indonesia. Adam memegang teguh hadits nabi tentang hijrah dalam menuntut ilmu meski harus sampai ke negri China. Di negeri Inggris yang terkenal akan kecanggihannya Adam hanya bermodal beberapa baju dan sertifikat berharganya dengan uang satu juta rupiah. Mungkin sangat ternilai kecil mata uang rupiah untuk di pertaruhkan hidup di negeri modern tingkat akut. Namun Adam dengan kegigihannya tidak menyerah ia tetap semangat untuk menyambung hidup dan memperjuangkan impiannya. Sekarang ia butuh pekerjaan karena ia butuh uang untuk mewujudkan tujuan atas kepergian jauhnya dari tanah air. Adam bertekad untuk bekerja terlebih dahulu mengumpulkan uang untuk bisa belajar di universitas London. Meski Adam sendiri tidak mempunyai kenalan sama sekali untung dia masih punya modal otaks yang berlian. Ia mencoba berinteraksi dengan pendduduk di sana menggunakan bahasa internasional. Tentu gaya hidup penduduk Inggris dengan tanah air sangat berbeda. Gaya hidup penduduk Inggris lebih bersikap formal. Namun Adam bisa menyesuaikan dengan mereka dan mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan di Inggris. Adam mendapat brosur ada beberapa pekerjaan yang kekurangan tenaga kerja di Inggris. Tentu pekerjaan di negara maju tidak main-main semua berkelas yang ada di brosur tersebut. Adam sempat merasa pusing membaca brosur karena tidak ada yang sesuai dengan dirinya. Diantaranya adalah tenaga medis internasional itu sangat tidak mungkin bagi Adam. Karena selama ini Adam tidak pernah menyentuh tentang dunia kesehatan. Ada insinyur, pengembangan software, ilmuwan sosial, penari dan musik semua itu sangat bukan jiwa yang di miliki Adam. Ada satu yang mudah yaitu pekerja sosial tidak terlalu membutuhkan pemikiran otak hanya melayani anak-anak dan keluarga. Namun pekerja tersebut juga bersyarat bagi yang sudah berpengalaman dan terlatih. Sedangkan Adam sama sekali tidak terlatih meski ia bertahun-tahun di pesantren belajar hidup mandiri dia hanya bisa merawat dirinya sendiri. Terlebih untuk melayani anak-anak dia belum bisa meski di pesantren sudah pekerjaannya untuk mengarahkan adik-adiknya di pesantren. Namun Adam hanya menjalankan seperlunya karena sudah ada yang bertugas untuk lebih mendalami anak-anak dan bisa memahami mereka. Hanya ada satu harapan yaitu menjadi guru sekolah menengah untuk pelajaran Mametika, Fisika, dan Kimia. Adam lebih tertarik untuk menjadi guru Fisika karena selama ini ia menyukai pelajaran Fisika. Adam juga pernah menjuarai beberapa olompiade Fisika tingkat nasional di tanah air semasa sekolahnya. Karena Adam mempunyai mahabbah pada pelajaran Fisika selama di pesantren di tengah kesibukannya ia selalu menyempatkan membaca buku tentang Fisika untuk menambah pengetahuannya. Adam membulatkan niat untuk mencoba melamar pekerjaan tersebut. Adam tidak mau berfikir dengan rasionya karena terlalu sempit untuk memikirkan ia bisa di terima. Tapi ia berfikir atas kebesaran Alloh jika Alloh sudah mengizinkan semua akan terjadi. Ia yakin dengan terus berdo’a dan bersholawat bahwa Alloh selalu ada untuknya. Adam mendatangi kantor pendaftaran tenaga kerja asing dengan mengenakan kemeja hitam berdasi. Celana hitam kantoran di balut ikat pinggang hitam mengkilau yang melingkar. Sudah tidak ada lagi sarung bermotif yang menjadi ciri khasnya. Adam juga membiarkan rambutnya tergerai tanpa ada penutup namun ketampanan Adam semakin mencolok karena rambutnya yang indah dan rapi. Sudah tidak ada lagi songkok hitam polos yang menjadi ciri khas santri. Meski penampilan Adam berbalik tiga ratus enam puluh derajat tapi jiwanya tetap sama sebagai seorang santri. Karena suatu kebutuhan untuk bisa menyesuaikan pada tempat yang ia tempati. Hasil dari kedatangannya di kantor ternyata Adam harus mmengikuti pelatihan karena untuk bisa mengajar di sekolah menengah Inggris harus terakreditasi dari pelatihan. Kecuali jika telah mengikuti pelatihan di area EU, Australia, Kanada, Selandia Baru atau Amerika. Setelah menjalani pelatihan selama dua hari Adam mendapat panggilan sebagai peserta pelatihan yang sudah terakreditasi. Selain dari kemampuan Adam sendiri ia memiliki gelar S1 lulusan pesantren menjadikan salah satu pendukung baginya di terima. Adam sudah resmi menjadi guru sekolah menengah di Inggris. Dalam waktu singkat Adam bisa dekat dengan direktur di kantor tempat pelatihan peserta yang mendaftar menjadi guru menengah di Inggris. Beliau mengagumi Adam karena kecerdasan dan ketanggapannya sehingga dalam waktu singkat ia sudah bisa terakreditasi. Beliau seumuran abah Adam membuatnya merindukan abah dan uminya serta ingat kembali dengann tanah air. Beliau sempat bertukar cerita dengan Adam sehingga mengetahui yang di rasakan Adam. Dengan melihat beliau membuat Adam merindukan abah di Indonesia. Adam di beri fasilitas tempat tinggal oleh bapak direktur yang lumayan dekat dari tempat Adam mengajar. Di saat Adam merenung sendiri di kamar barunya ala negara Inggris ia baru ingat bahwa hari ini adalah sudah hari ketiga dari kepergiannya. Fikiran Adam kembali pulang ke tanah air terutama pada Aakifa seorang perempuan yang masih sangat ia cintai. Dan saat ini Adam sudah benar-benar rela meninggalkan Aakifa. Bayangan pesantren ia masih ingin mengembangkannya sebagai wujud terimakasih pada abah yai dan bu nyai atas ilmu yang selama ini telah mereka curahkan untuk santrinya. Adam merasa bersalah pada abah dan uminya karena ia tidak sempat berpamitan pada mereka pasti akan membuat mereka khawatir. Dan hari ini sesuai amanahnya pada pak Rusli surat yang ia tulis pasti sudah sampai di tangan tujuan. Tapi Adam berjanji pada dirinya sendiri ia akan kembali dengan membawa kebanggaan untuk mereka. dan harapan Adam semoga Aakifa sudah menemukan seseorang yang ia cintai dan membuatnya tersenyum setiap waktu. Setiap hari Adam mengajar di sekolah menengah Inggris tentunya dengan kecanggihan yang sudah tersediakan di sana. Adam merasa sangat beruntung karena dengan ia menjadi guru di negara maju ia banyak belajar dan mendapatkan banyak pengalaman. Tidak terasa di jalani dengan penuh keikhlasan Adam sudah tiga bulan bekerja sebagai guru. Ia sudah memiliki uang yang cukup untuk mendaftar di salah satu universitas Inggris. Sesuai impiannya Adam sudah di terima menjadi mahasiswa di University College London. Ia memilih di sana karena universitas tersebut terkenal sebagai kampus yang ramah kaum muslim dan kaum minoritas. Adam minta izin untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai guru di sekolah menengah karena ingin fokus untuk pendidikannya. Tapi Adam baru bisa berhenti dari pekerjaannya setelah akhir tahun kalender pendidikan. Sehingga Adam baru bisa memulai pendidikannya tahun ajaran baru. Tiba pada waktu yang sudah Adam tunggu tahun ajaran baru. Sekarang Adam sudah mulai belajar di University College London biasa di sebut dengan UCL. Adam di UCL memilih fakultas sains sehari-hari ( terapan ) karena dalam pemikirannya ia sangat membutuhkan ilmu tersebut dalam memajukan pesantren kelak ia kembali di tanah air. Ia mengambil gelar master dengan waktu pembelajaran satu tahun ia memilih santai karena ingin mencari pengalaman di negeri Inggris. Selama mulai belajar di UCL Adam menawarkan layanan guru privat kepada maha siswa lain dan juga pelajar di sekolah lokal atau komunitas. Di samping tugas pendidikannya Adam juga harus bekerja keras karena ia butuh pemasukan untuk membiayai sekolahnya di UCL. Sejak di pesantren Adam sudah terlatih mempunyai beberapa tumpukan tugas sehingga saat ini ia sudah terbiasa memiliki banyak pekerjaan. Pekerjaan menjadi guru privat pilihan populer bagi mahasiswa yang mampu memberikan pelajaran dalam bahasa Inggris. Terdapat beberapa agen yang memperkerjakan mahasiswa dan juga bisa mempromosikan layanannya sendiri. Selama satu tahun Adam belajar dan mengajar sebagai guru privat berhasil mencukupi kehidupannya dan pembiayaan kampusnya. Dalam satu tahun kemudian Adam mendapat beasiswa atas prestasi yang sudah ia dapatkan Banyak hal baru yang Adam temukan semenjak menjadi mahasiswa di UCL. Dari kesehariannya sebagai mahasiswa, juga sebagai seorang muslim, hingga kisah akademik dan keseharian lainnya. UCL adalah kampus yang terbuka bagi umat muslim. Semua fasilitas untuk beribadah telah di sediakan untuk berbagai lintas agama. Termasuk umat muslim mulai dari tempat wudlu, tempat solat beserta kelengkapannya semua sudah tersedia. Ruang kuliah pun boleh di pakai untuk kajian islami dan ada hari tertentu yang di tetapkan sebagai kegiatan kajian rutin. Begitu juga saat ada peringatan hari besar islam juga di adakan pengkajian. Pengkajian tersebut mencangkup tentang tauhid dan juga tarikh ( cerita ) nabi Muhammad SAW. Banyak kegiatan yang bermanfaat lainnya dan yang membakar semangat Adam adalah orang-orang di sana sangat antusias dan kritis. Setelah mendapatkan beasiswa di tahun kedua masa kuliahnya Adam tidak terlalu bekerja keras. Ia mencari kesibukan lain mulai mengajarkan tentang ilmu agama pada teman sesama muslimnya di kampus tepatnya di ruang untuk solat. Adam sering mengisi kegiatan rutin kajian islami di UCL. Adam juga mempunyai jama’ah tersendiri khusus dari pelajar Indonesia yang memintanya mengajarkan pendalaman tentang agama islam. Adam sangat bahagia karena Alloh masih memberikan kesempatan baginya untuk mengamalkan ilmu meski tidak dalam lingkup pesantren. Ilmu yang di ajarkan Adam tentu sangat bermanfaat bagi teman-temannya. Karena dia meluruskan iman seorang ummat. Kamu yang ke Dua Aakifa selama satu tahun mengalami keterpurukan dalam hidupnya sejak kepergian Adam. Ia hanya berada di kamar menatap langit-langit kamar dan tidak pernah berbicara satu kata pada siapapun. Ia tidak pernah menganggap keberadaan orang di sekitarnya karena ia selalu sibuk dengan fikirannya sendiri. Dokter pribadi keluarga kyai Hadhromi mengatakan bahwa Aakifa mengalami diepresi cukup berat. Saran dokter obat dari kesembuhannya saat ini adalah penyebab yang membuatnya diepresi. Karena secara fisik tidak ada penyakit dalam tubuh Aakifa. Fikiran Aakifa yang sakit karena ia terlalu terbebani dengan fikirannya sehingga menguras energi yang membuat badannya lemas. Dokter pribadi keluarga kyai Hadhromi mengetahui kronologis dari keadaan Aakifa. Solusi terakhir dari dokter jika memang seseorang yang telah menjadi beban fikirannya saat ini tidak bisa di temukan. Mungkin dengan adanya pengganti yang bisa membuat Aakifa nyaman bisa memulihkan keadaan Aakifa. Tapi dari Aakifa sendiri tidak bisa menganggap orang di sekitarnya jadi sulit untuk bisa berkomunikasi dan memberikan kenyamanan pada Aakifa. Abah dan umi Adam sering berkunjung ke rumah kyai Hadhromi karena dari pihak mereka merasa bersalah atas keterpurukan yang dialami Aakifa. Meski kyai Hadhromi sudah beberapa kali bilang bahwa bukan sepenuhnya kesalahan dari pihak Adam. Dan memasrahkan bahwa ini semua sudah menjadi takdir dari yang menciptakan kehidupan. Padahal dari pihak Adam sendiri sangat cemas atas kepergian Adam yang belum di ketahui keberadaannya. Setelah kyai Hadhromi menceritakan saran dokter pada keluarga Adam. Kyai Hamzah abah dari Adam mempunyai fikiran putranya yang kedua bisa membantu kesembuhan Aakifa. Mungkin jodoh Aakifa memang bukan Adam tapi adik dari Adam dengan jalan ini Alloh menyatukan mereka. Kyai Hadhromi awalnya menolak karena di takutkan mengganggu kesibukan putranya kyai Hamzah. Tapi kyai Hamzah memaksa untuk mencoba karena tidak mungkin Aakifa selamanya seperti itu. Kebetulan putranya yang kedua ini mirip dengan Adam mungkin lebih mudah untuk menarik interaksi pada Aakifa. Kyai Hamzah bersi keras untuk memaksa kyai Hadhromi menerima tawarannya. Karena beliau masih merasa bersalah dengan keadaan Aakifa. Putra kyai Hamzah semua menurut pasti akan mau membantu abahnya untuk menebus kesalahan. Kyai Hamzah berpamitan akan menjemput putra keduanya dan besok akan membawanya ke rumah kyai Hadhromi. Keesokan harinya sesuai ucapannya kemarin kepada kyai Hadhromi bahwa kyai Hamzah akan kembali dengan membawa putra keduanya. Alham Zulfadli Firdaus adalah putra kedua kyai Hadhromi. Ia dua tahun lebih muda dari Adam jadi dengan Aakifa ia hanya selisih dua tahun. Alham sangat mirip dengan Adam meski lebih tua Adam namun sekarang besarnya sama. Hanya saja Alham wajahnya lebih terlihat unyu dari Adam. Alham nyantri selama tujuh tahun di pesantren kakak dari abahnya. Setelah menyelesaikan pendidikan madrasah diniyyahnmya kyai Hamzah mengirim Alham ke universitas Al-Azhar Mesir. Bekal tahfidz tiga puluh juz dan ijazah pesantren Alham di terima di Al-Azhar. Kyai Hamzah bertekad menyekolahkan Alham di sana agar dia bisa berkembang. Alham memilih fakultas pertanian karena sebagian dari mimpinya ingin merilis perusahaan pertanian untuk bekerja para santri di pesantren abahnya. Banyak para santri di pesantren kyai Hamzah di samping belajar mendalami ilmu agama juga bekerja di sawah dan kebun. Dari situlah Alham terinspirasi untuk mendirikan perusahaan pertanian. Tahun lalu Alham telah menyelesaikan sarjana S1nya di Al-Azhar pada umur 18 tahun. Dan di tahun ajaran baru ini Alham sudah kembali di Indonesia dan bekerja di perusahaan pertanian yang tidak terlalu jauh dari pesantren Darus Sauq. Alham menjadi sekretaris di perusahaan tempatnya bekerja. Alham selain bekerja ia juga mengamalkan ilmunya untuk mengajar tentang agama kepada rekan kerjanya. Alham juga membagikan ilmu dan pengalaman yang ia dapatkan selama menempuh pendidikan di Mesir. Alham sudah menjadi kepercayaan pemilik perusahaan banyak pekerjaan yang ia handle dan sukses di tangannya. Sekarang di usianya yang masih delapan belas tahun Alham selain bekerja dan mengajar mulai merilis perusahaannya yang selama ini ia impikan. Adam semakin semangat untuk merilis karena bosnya berniat untuk membantunya dan kelak mengajak untuk bekerja sama. Kebetulan pemilik perusahaan tempat kerja Alham adalah teman kyai hamzah sehingga dengan mudah untuk memintakan izin bahwa Alham beberapa hari ke depan sering izin di jam kerja. Kyai Hamzah memperkenalkan Alham pada kyai Hadromi dan menceritakan sedikit tentang Alham. Kyai Hadhromi juga menceritakan pada Alham tentang yang terjadi pada Aakifa dan kakaknya. Sehingga Alham sudah paham tujuan dari abahnya mengajak di dalem kyai kakaknya. Uminya Aakifa setelah menyambut kyai Hamzah sekeluarga meninggalkan mereka karena akan menyuruh Aakifa untuk berpakaian rapi. Karena Alham akan mencoba berusaha mengajak Aakifa berbicara. “Aakifa ayo pakai jilbab.” Ucap umi sembari membawakan jilbab untuk di pakai Aakifa. Sambil berbaring Aakifa menoleh uminya diiringi air mata mulai berjatuhan di pipi tirusnya. Setiap melihat abah dan uminya Aakifa selalu menangis membuat umi menegarkan hati sebisanya. Umi memeluk Aakifa yang sudah duduk dengan tubuh ringkihnya sembari mengusap air matanya yang sempat menetes karena melihat putrinya menangis. “Pakai jilbabnya ya nak, ada seseorang yang ingin bertemu kamu.” Ucap umi mulai memasangkan jilbab di kepala Aakifa. Aakifa kembali berbaring setelah selesai di pakaikan jilbabnya masih dengan tangisan tanpa suara. Umi meninggalkan Aakifa dengan air mata yang mengalir semakin deras. Umi bilang pada abah bahwa Aakifa sudah siap. Kyai Hadhromi mengajak keluarga kyai Hamzah menuju kamar Aakifa. Di ruangan depan kamar Aakifa yaitu ruang kerja Aakifa banyak foto Aakifa membawa piala dan berkalung medali emas. Ada sederet sertifikat berbingkai di dinding dengan atas nama Aakifa Diana Faiha telah menjuarai beberapa kompetisi. Ada satu foto Aakifa di luar kegiatan kompetisi mengenakan gamis merah muda dengan jilbab yang senada beserta topi yang menambah glamor dari kecantikan murni Aakifa. Alham kagum atas prestasi Aakifa yang telah diraih Alham dalam hati juga mengakui kecantikan Aakifa. “Bah, jadi ini Aakifa?” Tanya Alham pada kyai Hamzah. Kyai Hadhromi yang sudah berada di depan sempat mendengar dan berbalik mendekati Alham. “Iya itu Aakifa, dulu dia sangat aktif dalam aktivitas apapun.” Ucap abah tersirat kesedihan disana. Alham memperhatikan semua tentang prestasi Aakifa. “Wah, Aakifa sangat berprestasi bahkan ia sudah memimpin beberapa organisasi kepemudaan dan kemasyarakat.” Ucap Alham kagum. “Iya tapi Aakifa yang sekarang sangat bertolak belakang dengan jati dirinya.” Ucap abah sembari merangkul pundak Alham mengajaknya berjalan menuju kamar Aakifa. Setelah masuk kamar Aakifa Alham kaget melihat keadaan Aakifa yang sangat buruk berbaring di atas ranjangnya. “Itu Aakifa bah?.” Tanya Alham tidak percaya pada kyai Hadhromi. “Iya, semenjak diepresi Aakifa hanya berbaring seperti itu tanpa melakukan apapun.” Jelas kyai Hadhromi sembari memberi isyaroh pada Alham untuk mendekati Aakifa yang masih menatap langit-langit tanpa sedikitpun mempedulikan orang di sekitarnya. Alham ragu-ragu melangkahkan kaki mendekati Aakifa “Assalamualaikum.” Ucap Alham yang sudah mulai dekat dengan Aakifa. Aakifa hanya diam tanpa menjawab salam namun ia menatap dalam Alham. Batin Alham kondisi Aakifa sangat buruk jika di bandingkan dengan foto yang ia lihat tadi. Keceriaan yang memancar dari raut wajah Aakifa sama sekali tidak ia dapati saat ini. Hanya wajah pucat lemas dan badan kecil nan ringkih yang ada pada Aakifa saat ini. Tapi meski dalam kondisi sedemikian ini Alham bisa menatap kecantikan murni Aakifa dari matanya yang sekarang redup dan cekung. Alham sangat prihatin dengan keadaan Aakifa yang sangat bertolak belakang dengan prestasinya selama ini. Aakifa meneteskan air mata membuat Alham bingung menatap abah dan uminya bersama abah yai dan ibu yai di dekat pintu. Namun mereka memberi isyaroh agar Alham tetap melanjutkan karena ini sudah respon yang berbeda untuk Alham. Biasanya Aakifa hanya diam menatap seseorang dalam pandangan kosong. Tangisan hanya ia berikan untuk abah dan uminya. Kyai hadhromi dan lainnya meninggalkan Alham dan Aakifa sendiri namun pintu tetap terbuka mereka berada di ruangan depan kamar Aakifa. Alham mendekat pada Aakifa dan duduk di lantai “Kenapa kamu menangis?” Tanya Alham dengan tersenyum. Aakifa tetap menangis tanpa suara namun ia tersenyum pada Alham. “Udah ya nggak usah nangis lagi.” Ucap Alham sembari mengelap air mata Aakifa dengan selembar tisu. Umi Aakifa memanggil Alham menyuruh untuk menyuapi Aakifa karena dari kemarin ia belum makan apapun. Alham menceritakan bahwa Aakifa sudah mau tersenyum padanya dan ketika Alham meminta untuk berhenti menangis ia menurut dan tersenyum. Meski hanya hal tersebut sudah menjadi kebahagiaan bagi abah dan umi Aakifa karena sudah satu tahun Aakifa tidak pernah melakukannya meski hal sekecil itu. “Aakifa makan dulu ya.” Ucap Alham kemudian menaruh makanan yang ia bawa di meja. Alham membantu Aakifa untuk duduk kemudian mengambil makanannya tadi dan mulai menyuapkan pada Aakifa. Kyai Hadhromi menyaksikan Alham menyuapi Aakifa dari pintu membuat mereka bahagia. Sedari tadi Aakifa hanya diam dan Alham bingung pembicaraan apa yang harus ia awali. “Aakifa kamu nggak mau tanya nama aku?” Ucap Alham ketika Aakifa sudah menghabiskan separuh makanannya. Aakifa berhenti mengunyah makanan yang sudah ada di mulutnya dan menatap di luar jendela. Alham takut ia salah berucap dan membuatnya kembali drop. Babarapa detik kemudian Aakifa kembali menoleh kepada Alham “kamu siapa?” Tanya Aakifa menatap dalam mata Alham. Alham tersenyum lebar merasa lega karena kondisi Aakifa tidak kembali memburuk. “Aku Alham.” Ucap Alham tenang. Aakifa tersenyum getir “Kamu mirip sama mas Adam.” Ucap Aakifa penuh kesedihan di dalamnya. “Aku adiknya mas Adam.” Ucap Alham berhati-hati sesuai pesan kyai Hadhromi ia harus mengatakan apa adanya pada Aakifa. Aakifa terkejut mendengarnya “Apa kamu tau keberadaan mas Adam.” Ucap Aakifa serius masih dengan kunyahan yang belum sempat tertelan semua. Alham hanya menggeleng Aakifa tersenyum cemas mendengarnya. Alham mengalihkan perhatian untuk menyuapnya sembari di iringi candaan yang berhasil membuat Aakifa tertawa. Seusai Alham menyuapi Aakifa ia sberizin untuk meninggalkannya karena harus kembali ke kantornya. Abah dan umi Aakifa samgat berterima kasih pada keluarga kyai Hamzah karena banyak perkembangan dari keterpurukan Aakifa selama ini. Umi dan abah Aakifa kembali ke kamar Aakifa karena mereka rindu ingin berbicara dengan Aakifa. Di dapati Aakifa kembali berbaring di ranjangnya namun ada tersirat kebahagiaan di wajah Aakifa. “Putri abah lagi bahagia ya.” Ucap abah tersenyum karena selama satu tahun terakhir hanya melihat putrinya terbaring dengan tatapan kosong. Umi berada di sebelah Aakifa memainkan lembut rambut Aakifa. “Alham baikkan nak?” Tanya umi tersenyum meski masih tersimpan banyak kecemasan yang menumpuk. Aakifa tersenyum lebar sembari mengangguk “Dia sama baiknya seperti kakaknya.” Ucap Aakifa. “Tapi kamu harus ingat bahwa Adam dan Alham berbeda.” Ucap abah lembut namun penuh penekanan. Aakifa sesaat merasa kecewa ia hembuskan nafas besar dan mengangguk. Keesokan harinya Alham datang lagi ke dalem kyai Hadhromi untuk kali ini ia sendiri tanpa abah dan uminya. Kyai Hadhromi mempersilahkan Alham langsung menuju kamar Aakifa. Aakifa sudah siap sedari tadi meski masih berbaring di atas ranjang namun Aakifa terlihat lebih baik dari sebelumnya. “Assalamualaikum” Ucap Alham bersemangat. “Waalaikumsalam.” Jawab Aakifa ia langsung duduk menatap Alham dari bawah hingga atas. Saat ini Alham berpenampilan beda dari hari pertamanya ia ke sini. Jika hari pertama ia mengenakan pakaian kantornya sekarang ia berpakaian ala santri. Ingatan Aakifa tentang Adam seperti api yang tersiram minyak bakar semakin menyala. Namun yang membedakan Alham tidak memakai sarung bermotif ala Adam. Air mata Aakifa sempat menetes Alham segera tergerak untuk mengambilkan tisu untuknya. “Gak usah nangis.” Ucap Adam tersenyum sembari memberikan tisunya. Abah dan umi yang memantau mereka di ruang kerja Aakifa tepat di depan kamarnya ikut tersenyum. Demi menjaga fitnah yang tidak sesuai fakta pintu kamar Aakifa tetap di buka sehingga abah dan umi bisa melihat semua yang di lakukan mereka. “Kamu mirip banget sama mas Adam.” Ucap Aakifa bersedih. “Yah ini memang jati diri aku.” Jawab Alham dengan membuka bubur yang ia bawa. “Ayo sambil makan ya.” Ucap Alham sembari menyodorkan satu sendok bubur yang masih hangat. “Jadi kamu santri juga?” Tanya Aakifa antusias. Alham menceritakan riwayat hidupnya mulai ia di pondokkan sampai menempuh pendidikan di Al-Azhar hingga sekarang ia bekerja di perusahaan pertanian dan impiannya membangun perusahaan untuk bekerja para santri di pesantren abahnya. “Ternyata kamu lebih tua dari aku, berarti aku panggilnya mas.” Ucap Aakifa sembari menelan buburnya. “Terserah kamu.” Ucap Alham lembut. Setelah selesai makan Alham mengajak Aakifa jalan-jalan di sekitar pesantren sesuai permintaan abah dan umi. Karena Aakifa sudah satu tahun tidak pernah menghirup udara luar. Aakifa menunjukkan tempat dan gedung yang ada di pesantren ia juga menjelaskan fungsinya. Ada dua mbak dalem yang di utus umi untuk mengikuti mereka tujuannya hanya menjaga dari fitnah. Meski mereka memantau namun jaraknya lumayan jauh dari Aakifa dan Alham asalkan mereka masih bisa melihat Aakifa dan Alham. Sebenarnya Aakifa malu untuk banyak memulai pembicaraan karena hal tersebut sudah menjadi tabiatnya. Tapi mengingat semua yang sudah terjadi karena terlalu memanjakan egonya ia kehilangan semuanya. Untuk kali ini ia tidak mau harus kehilangan kedua kalinya sebisa mungkin ia melawan tabiatnya yang sudah melekat. Bagi Aakifa Alham adalah Adam kedua untuknya meski berbeda ia bisa merasakan kembali kehadiran Adam pada diri Alham. Aakifa seperti mendapatkan senapan energi kuat menumbuhkan semangatnya. Kini ia sudah mulai melakukan aktivitasnya di rumah seperti biasa. Ia mulai berada di ruang kerjanya dan mengecek beberapa dokumennya. Ia juga sudah mulai bercanda tawa bersama abah dan umi. Aakifa merasa bahagia karena bisa merasakan kembali kenikmatan hidup tanpa di hantui beban fikirannya. Pagi hari Aakifa sudah bersiap rapi memakai gamis yang membuatnya semakin anggun. Hari ini Alham mengajak Aakifa ke kantornya sekalian Aakifa ingin menengok organisasinya. Alham sudah tiba dengan membawa mobilnya ternyata abah sudah menelepon om Ammar untuk menemani mereka. Alham sangat bersyukur dengan adanya om Ammar karena ia juga merasa akan lebih terhindar dari busuknya omongan manusia. Selama di perjalanan om Ammar tetap dengan tingkah gokilnya. Alham seperti tidak percaya jika kyai Hadhromi yang penuh kewibawaan memiliki saudara segokil om Ammar. Tiba di kantornya Adam menjelaskan sedikit tentang kantor tempatnya bekerja. Om Ammar juga ikut menyimak karena ini adalah suatu hal yang baru pula baginya. Bosnya Alham menyambut kehadiran mereka dengan ramah Alham juga menceritakan bahwa bosnya adalah sahabat dari abahnya. Akhirnya om Ammar di ajak ke ruang tamu bosnya Alham. Hanya tinggal Alham dan Aakifa tentu om Ammar tega meninggalkan mereka karena kantor adalah tempat umum banyak orang di setiap sudut. Aakifa merasa detak jantungnya tidak terkontrol tapi ia berusaha menetralisir dan tetap berusaha bersikap renyah pada Alham. Meski sulit baginya untuk mengubah tabiatnya namun ia tidak mau harus kehilangan untuk kedua kalinya. Alham mengajak Aakifa di ruang kerjanya ia ingin memberi tahu tentang rilisan perusahaan impiannya yang akan di bangun di dekat pesantren abahnya. Aakifa kagum dengan hasil kerjanya membuat Aakifa bertanya tentang sistem pembelajaran di sekolah tinggi Alham yaitu Al-Azhar. Adam menceritakan banyak tentang metode pembelajaran dan pengalaman yang ia dapat dari Al-Azhar. Aakifa sangat tertarik dan antusias dengan cerita Adam. Setelah Alham selesai menceritakan tentang pengalamannya di Al-Azhar ia menatap mata Aakifa dalam. “Aku cinta kamu Fa.” Ucap Alham membuat Aakifa salah tingkah. “Kata abah ku jika kamu menerima aku secepatnya lebih baik kita menikah.” Lanjut Alham. “Tapi mas, aku masih mencintai mas Adam selama ini bagi aku sosok mas Adam ada dalam diri kamu.” Ucap Aakifa tegas matanya mulai bersumber air. “Aakifa kamu ingat kakak ku tidak di ketahui keberadaannya sudah satu tahun lebih kamu berhak untuk bahagia dengan orang lain.” Ucap Alham mendalam. “Iya mas Alham aku bisa menerima lamaran mu jika aku sudah bisa mencintai mu sebagai sosok Alham bukan Adam.” Tegas Aakifa sembari meneteskan air mata Alham hanya diam dengan tatapan penuh harap. “Semua hanya masalah waktu tolong beri aku waktu.” Lanjut Aakifa Alham hanya mengangguk pasrah. “Asalkan kamu nggak usah lagi sia-siakan air mata mu.” Ucap Alham sembari memberikan tisu untuk Aakifa. Sekarang giliran Aakifa mengajak Alham di kantor sekretariat organisasinya. Aakifa sangat merasakan kerinduan dengan kantor yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Rekan kantornya menyambut ramah kehadiran Aakifa mereka nampak merindukan pemimpinnya juga. Aakifa memperkenalkan organisasi beserta tata kerjanya kepada Alham. Canda tawa riuh memenuhi perbincangan Alham dan Aakifa sampai mereka merasakan nyeri di perut masing-masing karena banyak tertawa. Aakifa kini sudah menjalani aktivitasnya seperti biasa membuat abah dan umi merasakan putrinya yang super aktifis kembali lagi dalam pelukannya. Alham di tengah kesibukan kantor dan mengajarnya sesekali ia masih menyempatkan berkunjung ke dalem kyai Hadhromi. Dalam hati kecilnya ia tidak berhenti berharap agar Aakifa bisa menerimanya sebagai dirinya. Satu bulan kemudian abah mengundang kyai Hamzah dan istrinya. Dengan senang hati mereka mau mendatangi undangan beliau dengan tepat waktu. Di saat semua sudah berkumpul di ruang tamu kyai Hadhromi menelepon Alham untuk datang di dalemnya. Beberapa menit kemudian Alham mengucapkan salam di ujung pintu. Alham kaget karena sudah ada abah dan uminya duduk di sana. Hati Alham sempat berteriak bahagia karena terbesit dalam fikirannya mungkin saat ini adalah prosesi pengkhitbahannya dengan Aakifa. Alham mencium tangan abah dan uminya di lanjutkan abah yai dan ibu yai. Kyai Hadhromi mulai membuka bicara bahwa sengaja mengumpulkan keluarga kyai Hamzah karena Aakifa akan berangkat melanjutkan pendidikannya di Al-Azhar. Alham merasa lemas karena dugaannya salah ia harus menunggu pengharapan lagi dari Aakifa namun ia berusaha untuk bersikap biasa tanpa adanya kekecewaan. “Karena cerita mas Alham tentang pendidikan di Mesir aku tertarik untuk bertholab di sana.” Ucap Aakifa. “Iya, semoga kamu di beri kelancaran di sana.” Jawab Alham dengan senyum yang di buat-buat. “Mungkin dengan aku berhijrah di sana aku bisa lebih mudah melupakan mas Adam dan bisa mencintai mas Alham sebagai sosok mas Alham sendiri karena jujur aku merasa nyaman berada di dekat mas Alham.” Jelas Aakifa membuat seisi ruang tamu paham bahwa ia tidak mau membohongi perasaan siapapun termasuk dirinya sendiri karena ia ingin mencintai dalam ketulusan. Adam merasakan ada semangat baru yang tumbuh di benaknya dari ucapan Aakifa. “Abah dan umi kita juga setuju jika aku menerima lamaran ini setelah aku mencintai dengan ketulusan pada mas Alham, semua hanya masalah waktu.” Tambah Aakifa terkhususkan untu Alham yang hanya mengangguk. “Mas Alham selama dua tahun aku menyelesaikan pendidikan ku di Al-Azhar kamu bisa lebih fokus untuk mulai membangun perusahaan impian mu.” Ucap Aakifa dengan senyum lebar pada Alham. Alham mengangguk tegas dengan senyum persis milik Adam “Aku selalu menunggu mu kembali untuk mencintai ku atas dasar Alham, Aakifa.” Ucap Alham penuh semangat. Setelah semua sudah jelas mereka mengantar Aakifa ke bandara Juanda untuk berangkat ke negeri tujuannya. Welcome Back Aakifa sudah mulai aktif mengikuti pelajarannya di Al-Azhar. Ia mengambil fakultas Dirasat Islamiyah karena ia memikirkan masa depannya. Mau bagaimanapun ia akan terjun di dunia pesantren untuk meneruskan perjuangan abahnya. Terlebih Aakifa memiliki gelar S1 dari pesantrennya jadi sangat singkron untuk prodinya saat ini. Aakifa tinggal di asrama mahasiswa Republik Indonesia sesuai ketentuan dan kebijakan yang ada. Aakifa memilih tinggal di sana karena lebih terjamin dari pemikiran radikal dan pemahaman islam yang menyimpang. Keberadaan asrama tersebut akan menjaga keamanan fisik dan hak milik mahasiswa. Aakifa senang karena ia merasakan kehidapan yang baru dalam lingkungan yang sangat berbeda dengan yang ia singgahi selama hidupnya. Mencoba beradaptasi pada orang baru dengan gaya hidup baru membuatnya lebih mengerti tentang arti menghargai. Aakifa sangat bersyukur karena Alloh masih mengizinkannya merasakan kenikmatan hidup atas kebesarannya. Aakifa merasa berhutang budi pada Alham karena berkah wasilah dia Aakifa bisa sadar dari diepresinya. Dan berkat cerita Alham tentang pengalamannya di Mesir menjadi motivasi berharga bagi Aakifa. Sehingga ia sekarang mengikuti jejak Alham berada di universitas Al-Azhar tempat Adam melanjutkan sekolah tingginya. Aakifa masih sama seperti dulu dengan sikap aktifnya dalam setiap aktivitas. Di tengah padatnya jadwal dan tugas kuliahnya Aakifa tetap menjadi seorang aktifis. Ia mengikuti kegiatan organisasi namun hanya pada hari libur atau sore sampai menjelang malam. Karena Aakifa tetap memprioritaskan kuliah mengingat tujuannya jauh-jauh dari Indoneia untuk belajar. Sudah menjadi jati diri Aakifa selalu aktif dalam berbagai macam kegiatan di tengah kesibukannya. Di Al-Azhar pun Aakifa sering mendapatkan kejuaraan dalam bidang akademik dan non akademik. Di organisasinya ia juga mendapat kepercayaan dari atasannya untuk menghandle beberapa program yang di selenggarakan. Masalah tentangg keorganisasian Aakifa sudah sangat terlatih sejak di Indonesia. Sejak remaja ia sudah memimpin beberapa organisasi sehingga dalam memanage organisasi di negara Mesir ia tidak kebingungan. Hanya saja Aakifa perlu sedikit belajar tentang prosedur alur pengerjaannya karena menggunakan metode yang berbeda. Selama di Cairo Mesir Aakifa hanya bisa berkomunikasi online dengan abah dan uminya. Namun itu semua tidak menjadikan semangat Aakifa memudar karena merindukan mereka. Tapi Aakifa tambah beremangat karena semua yang ada di Indonesia tak henti memberikannya suport. Terutama Alham selalu memberikan motivasi dan arahan karena Alham sudah lama tinggal di Mesir sehingga banyak yang sudah ia ketahui. Hubungan Aakifa terjalin baik meski di antara mereka tidak pernah membahas tentang perasaan hati masing-masing selama kepergian Aakifa. Alham masih menaruh besar rasa pengharapan pada Aakifa namun ia tidak berani mengungkap karena Alham ingin Aakifa fokus terlebih dahulu pada pendidikannya. Dan Aakifa sendiri tidak pernah memikirkan persoalan cinta ia sudah bahagia dan nyaman dengan semua aktivitasnya. Meski setiap hari ia conect dengan Alham perasaannya hanya bisa menganggap sebatas teman. Bahkan sesekali fikirannya terbesit dengan nama Adam padahal sudah beberapa tahun yang lalu Adam menghilang dari kehidupannya. Di saat fikirannya menyebut nama Adam ia segera menghapusnya dan mencoba untuk menulis nama Alham. Karena Alham lah yang selama ini ada untuknya sejak membangunkan diepresinya karena Adam. Sampai sekarang ia menempuh pendidikan di Mesir Alham yang selalu ada di sampingnya. Tapi Aakifa tidak bisa membohongi perasaannya ia masih belum bisa menerima sosok Alham untuk bertahta di hatinya. Rintangan dalam keadaan sulit selama menimba ilmu di Al Azhar berhasil Aakifa tuntaskan. Moment menegangkan yang harus di jalani penuh keberanian telah berhasil ia selesaikan. Bahkan pada waktu yang membuatnya merasa bahagia pun sudah ia lalui. Negera Mesir telah memberikan pengalaman dan kesan tersendiri bagi Aakifa. Pengalaman yang ia dapat memberikan pelajaran untuk menjadikan langkah hidupnya lebih tertata. Kini Aakifa sudah berada di ujung pendidikannya semua tugas dan kewajibannya telah ia tuntaskan. Kini Aakifa tiba pada masa penentuan perjuangannya selama dua tahun bertholab di Al Azhar yaitu menunggu hasil dari kelulusannya. Waktu inilah yang paling menegangkan sepanjang sejarah pembelajarannya. Namun Aakifa mencari-cari kegiatan agar dia tidak terlalu memikirkan pengumuman yang selama ini ia tunggu dari kampusnya. Aakifa mendapat rekomendasi dari temannya untuk mengikuti acara pertemuan pelajar berprestasi internasional di Palais de Tokyo, Prancis. Berdasarkan persyaratan bagi peserta yang hendak mengikuti agenda tersebut harus memiliki sertifikat internasional. Aakifa sangat antusias mendengar informasi tersebut karena Aakifa banyak memiliki waktu luang. Model sosok Aakifa tidak tahan untuk berdiam diri meski sebenarnya ia masih aktif pada organisasinya. Karena jadwal organisasinya tetap sama seperti biasa di luar jam kuliahnya. Sedangkan sekarang ia sudah selesai masa perkuliahnya sehingga banyak waktu luang baginya. Tidak perlu berfikir dua kali untuk mendaftarkan diri karena Aakifa sudah memiliki persyaratan dari agenda tersebut. Dan kuota terbatas bagi peserta yang mengikuti acara tersebut membuat Aakifa segera mendaftarkan diri. Aakifa mempunyai sertifikat tingkat internasional dari universitas Al Zaytoonah Jordan ketika ia mengikuti olimpiade paham islam tingkat internasional. Aakifa sudah berada di lokasi agenda pertemuan pelajar berprestasi di Palais de Tokyo, Prancis. Aakifa sudah terbiasa perjalanan sendiri lintas negara sehingga tanpa pikir panjang lagi ia segera berangkat dari Mesir menuju Prancis. Kedatangan Aakifa tepat waktu kini acara baru di mulai. Banyak para tokoh ternama akan menyampaikan beberapa materi penting untuk para pemuda yang menghadiri acara tersebut. Tentu akan mendapatkan banyak ilmu mengikuti acara tersebut. Sebuah motivasi agar membuka pemikiran untuk bisa mendapatkan banyak wawasan. Aakifa sangat bersyukur karena bisa mengikuti acara ini bersama para orang-orang hebat sebagai pemateri. Di akhir acara The Master of Ceremony menyebutkan dua ratus lima puluh peserta yang mengikuti acara ini. Penyebutan nama beserta asal negara dan sertifikat yang di gunakan untuk mendaftar. Aakifa yang sedang asyik menikmati makanan khas Prancis tersedak. Karena mendengar dengan jelas The Master of Ceremony menyebut nama Adam Faiz Al Arkan berasal dari Indonesia dengan sertifikat tingkat internasional dari universitas Al Zaytoonah Jordan dalam rangka olimpiade paham islam. Fikiran Aakifa tidak mungkin ia bisa dalam satu acara dengan Adam namun pada satu sisi Aakifa memiliki keyakinan bahwa nama Adam yang telah di sebut adalah Adam yang ia kenal. Karana dulu dari olimpiade paham islam internasional hanya Aakifa dan Adam yang berhasil mendapatkan sertifikat dari universitas Al Zaytoonah Jordan. Hati Aakifa merasa tidak tenang fikirannya terus tertuju ada Adam. Rasa cinta yang selama ini berusa ia kubur dalam seperti berontak dan tumbuh kuat di hatinya. Jika memang dia adalah Adam yang ia kenal apakah bisa ia menemukan Adam di tengah orang banyak yang sangat bersifat formal ini. Mumpung masih di negara Prancis untuk merefresh fikiran Aakifa mengunjungi Gustave Eiffel lebih masyhur di sebut menara Eiffel. Bertepatan lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat acara. Aakifa memakai kaos hitam panjang di balut outher hampir menyentuh mata kakinya dan memakai celana jins. Penampilan Aakifa sangat berbeda ketika di Indonesia karena dia butuh untuk menyesuaian lingkungan yang ada. Menara Eiffel dibangun di Champ de Mars tepi sungai Seine, Prancis. Menara ini menjadi ikon global negara Prancis dan salah satu struktur terkenal di dunia. Aakifa tidak mau menyesali moment ini melewatkan mengunjungi menara Eiffel. Di sana Aakifa bisa merasakan kesan tersendiri sehingga mengetahui kenapa beribu-ribu orang tertarik mengunjunginya. Setelah menyusuri tempat di sekitar menara Eiffel dengan seorang diri Aakifa merasa lelah. Ia duduk di kursi untuk beristirahat sejenak meregangkan tubuhnya. Aakifa mendapati ada sosok lakki-laki tidak asing baginya sedang mamainkan ponsel di ujung pandangan matanya. Namun Aakifa belum tau siapa sosok yang ada disana karena posisinya memunggungi Aakifa. Aakifa menghampirinya sosok laki-laki memakai kemeja coklat berdasi dengan celana kantor berikat pinggang sepatu hitam yang mengkilat dan rambut indahnya yang tergerai rapi. “Hello, Assalamualaikum.” Ucap Aakifa tepat di belakang punggung lelaki tersebut. “Waalaikumsalam.” Jawab laki-laki tersebut sembari membalikkan badannya. “Aakifa.” Ucap laki-laki tersebut membuat Aakifa tidak bisa berkata apapun hanya tetesan air mata yang mampu mengungkapkan. Laki-laki tersebut adalah Adam sosok yang dicintai Aakifa dalam kegengsiannya selama ini. Adam mengajak Aakifa untuk duduk di suatu tempat yang lebih nyaman. Di sana mereka berdua saling menceritakan apa yang terjdi pada mereka. hingga bertukar cerita dan pengalaman masing-masing dari kehidupannya di luar negeri mereka. Dan berujung menceritakan perasaan masing-masing. “Aakifa aku mencintai mu pada awal perjodohan kita hingga saat ini perasaan ku tidak berubah meski aku berusaha menghapusnya.” Ucap Adam mendalam. “Welcome back mas Adam, mungkin aku yang dulu terlalu bodoh. Dan ternyata aku hanya mencintai kamu mas Adam.” Ucap Aakifa dengan air mata namun di iringi senyum kebahagiaan. Setelah beberapa tahun Aakifa dan Adam menyimpan cinta dan rindunya mereka hanya bisa bertemu beberapa saat karena kewajiban masing-masing yang menuntut mereka. adam harus kembali ke London karena tuntutan pekerjaannya sedangkan Aakifa harus kembali ke Cairo karena tuntutan organisasinya. Aakifa dalam kebahagiaannya bertemu kembali dengan Adam tapi ia masih memikirkan Alham. Seseorang yang membantunya bangkit dari keterpurukan hidup hingga sekarang ia berada di luar negeri dan bisa bertemu kembali dengan Adam. Semua itu merupakan jasa Alham adik kandung Adam. Setelah dua minggu dari pertemuan Adam dan Aakifa di negara Prancis. Kini Adam menjemput Aakifa di Mesir sesuai perjanjian mereka pada pertemuan kemarin. Karena dalam jeda tersebut kelulusan Aakifa sudah di umumkan. Aakifa berhasil lulus dengan nilai terbaik membuatnya merasa tidak sia-sia atas perjuangannya selama ini. Rencana mereka Adam menjemput Aakifa karena ia ingin mengetahui kampus dan kehidupan Aakifa selama di Mesir. Aakifa menunjukkan semua kegiatannya selama tinggal di Mesir. Kemudian mereka mengurus semua keperluan Aakifa dari universitasnya. Setelah semua sudah selesai Adam mengajak Aakifa ke London tempat Adam bekerja. Adam setelah menyelesaikan gelar masternya ia bekerja di universitasnya. Dan sekarang Adam mengadakan kerja sama antara pesantren Darus Sauq dengan universitasnya karena Adam ingin mengembangkan kualitas pesantren kyai Hadhromi. Kini Adam berganti menjelaskan semua tentang aktivitasnya di London. Aakifa sangat bangga dengan Adam karena ia bisa bertahan hidup dan menempuh pendidikan di sini atas cerih payahnya sendiri. Setelah Adam menyelesaikan semua yang ia butuhkan segera mengajak Aakifa pulang ke Indonesia. Selama di perjalanan Aakifa menata hati dan mencari suasana yang pas untuk membahas Alham. “Mas sekarang permasalahan kita ada pada Alham, aku nggak enak hati sama dia.” Ucap Aakifa. “Kita pasti bisa memperjuangkan cinta kita.” Ucap Adam penuh keyakinan. Adam dan Aakifa sampai di gerbang utama pesantren Darus Sauq. Para santri yang sudah melihat mereka heboh karena Aakifa bersama Adam yang selama ini menghilang. “Assalamualaikum.” Ucap Aakifa sudah tidak sabar bertemu abah dan uminya. “Waalaikumsalam.” Suara umi menjawab salam membuat Aakifa ingin segera memeluknya. Aakifa langsung memeluk uminya yang sudah ada di depannya. Di lanjutkan abah juga memeluk Aakifa penuh kerinduan. “Kenapa kamu pulangnya gak bilang kan bisa abah jemput.” Ucap abah khawatir. “Aku sama seseorang speisyal bah.” Jawab Aakifa. Aakifa berlari menuju gerbang rumahnya memanggil Adam. Abah dan umi terkejut karena Aakifa bersama Adam. Adam mencium tangan kyai dan bu nyainya. Setelah duduk di ruang tamu Adam menceritakan semua perjuangan hidupnya di London hingga kabar bahagia tentang kerja sama pesantren Darus Sauq dan universitasnya. Kyai Hadhromi dan istrinya sangat bangga mempunyai santri seperti Adam. Aakifa juga menceritakan proses pertemuan mereka sampai bisa kembali di Indonesia bersama. Kyai Hadhromi menelepon kyai Hamzah untuk datang ke dalemnya karena ada kejutan berharga. Karena perjalanan cukup jauh kyai Hamzah baru sampai malam hari di dalem kyai Hadhromi. Abah dan umi Adam sangat bahagia karena bisa bertemu kembali dengan putranya. Adam minta maaf pada orang tuanya telah membuat kecemasan selama beberapa tahun. Adam juga menceritakan semua perjuangan hidupnya selama di London dan proses bertemunya dengan Aakifa. Abah dan umi Adam meski sedikit masih ada rasa kecewa. Namun mereka sangat bangga pada Adam karena berani untuk memperjuangkan hidupnya dan orang lain. “Bah, sekarang Adam ingin menikahi Aakifa karena kami saling mencintai.” Ucap Adam pada abahnya. “Tapi Alham adik kamu juga mencintai Aakifa, ia menunggu Aakifa bisa menerimanya sejak Aakifa mulai belajar di Mesir.”Jelas kyai Hamzah bingung karena semua menjadi serumit ini. “Tapi bah cinta kami sangat kuat, beberapa tahun dengan menjalani banyak liku hidup ternyata kami di pertemukan kembali dengan rasa cinta yang masih sama.” Ucap Adam penuh penekanan. “Assalamualaikum.” Suara mengucap salam membuat lengang seisi ruang tamu. Ternyata sosok tersebut Alham yang mulai berjalan masuk dan mencium tangan abah dan uminya. Di lanjutkan mencium tangan kyai Hadhromi dan istrinya terakhir ia menjabat tangan kakaknya di iringi senyum getir. “Aku ikhlas jika Aakifa akan menikah dengan mas Adam karena saya paham Aakifa tidak bisa mencintai saya. Aakifa hanya mencitai mas Adam. Selama ini saya memang berharap Aakifa bisa menerima saya. Tapi takdir mempertemukan mereka berarti memang Aakifa jodoh mas Adam bukan saya.” Jelas Alham yang sudah duduk di samping Adam. “Mas Alham terima kasih atas semua yang mas lakukan untuk saya dan pengertiannya mas Alham. Saya sangat minta maaf jika sudah menyakiti hati mas Alham.” Ucap Aakifa matanya sudah penuh air mata. “Sama-sama Aakifa aku sudah ikhlas, dan aku juga berterima kasih sama kamu berkat suport dari kamu aku sudah bisa mewujudkan impian ku membangun perusahaan pertanian untuk pesantren abah.” Ucap Alham. “Selamat.” Ucap Adam sembari memeluk dan menepuk pundak adiknya. Alham membalas pelukan kakaknya meski hatinya mungkin masih terasa sakit. Keesokan harinya pernikahan Adam dan Aakifa di laksanakan di masjid pesantren. Dengan di hadiri kyai-kyai besar semua mendoakan mereka agar menjadi keluarga yang sakinah mawadah wa rohmah. Dan ribuan santri pesantren Darus Sauq turut menjadi saksi dan mendoakan mereka. Harapan besar mereka Adam dan Aakifa bisa berkiprah untuk memperjuangkan agamanya. Setelah akad nikah di laksanakan mereka sangat bahagia karena sudah sepenuhnya mereka saling memiliki. Setelah berbagai macam badai mereka lalui pada akhirnya mereka bisa bersama menyatukan cinta. Di saat tamu undangan sibuk menyantap hidangan Adam mengajak Aakifa menepi di jendela. Dengan menatap pemandangan indah di luar jendela dan sapaan segar udara bersih membuat harmoni keromantisan di antara mereka berdua. “Sejauh apapun aku pergi kamu adalah rumah ku untuk pulang begitu juga dengan kamu seberapa besar usaha mu untuk menghindar aku adalah rumah mu untuk pulang.” Ucap Adam penuh keyakinan menatap lekat mata Aakifa dengan memegang kedua bahu Aakifa. “I will love you until the end of my life.” Ucap Aakifa yakin dengan menatap lekat mata Adam. “I will always look after you my wife.” Ucap Adam sembari menenggelamkan Aakifa dalam dada bidangnya dan mencium ubun-ubun Aakifa penuh makna. Description: Nama Lengkap : Istiqomah Ulfa Media Sosial : Ig @ulfa_0108 Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #Pulang 2020
Title: Winter Sonata Category: Novel Text: Kata Pengantar Kata Pengantar, Wow di hari ini ada juga penulis cowo yang tertarik untuk menulis cerita cinta maupun tips-tips cinta ke dalam sebuah buku. Tapi jangan disangka loh untuk urusan yang khusus satu ini kebanyakan cowo lebih pandai dari cewe, contohnya dalam bidang masak-memasak, kebanyakan koki masak yang handal/ulung adalah cowo. Mungkin banyak buku yang diterbitkan oleh pengarang buku tapi gue menulis buku ini bukan ikut-ikutan tapi ingin melengkapi saja seperti penulis pria yang terkenal seperti Bang Hilman Hariwijaya penulis buku Lupus. Aku adalah penggemar Bang Hilman Hariwijaya. Zodiak aku adalah Libra. Hobi gue sendiri adalah menulis dan membaca buku. Gue sendiri hobi sekali menonton film. Ada keinginan untuk meramu yang telah tonton dan dituangkan ke dalam layar lebar seperti film Indonesia-film Indonesia yang terkenal sekarang ini. Setelah melewati kutak-katik, bongkar pasang, akhirnya setelah 1 tahun buku ini tersaji juga untuk anda. Isi buku ini adalah semuanya fiksi belaka. Jadi semua kejadian adalah karangan si penulis. Ada sih beberapa kejadian yang nyata misalnya hobi si penulis dan penulis memenangkan hobi karangannya di Singapura. Berbincang mengenai hobi, gue dilahirkan pada era tahun 1990 dimana Lupus, seperti Topi Topi Centil, (maklumlah Film Dedy Mizwar dan Lydia Kandou : Kejarlah daku kau kutangkap lagi terkenal pada masa yang sama. Film Catatan Si Boy lagi terkenal-kenalnya. Kebetulan gue bersekolah di Singapura. Di Singapura gue mengambil pelajaran Melayu dan Sastra Inggris. Di sekolah bahasa melayu gue mengikuti kompetisi penulisan. Gue memenangi penghargaan untuk categori karangan terbaik. Pada saat yang publik Singapura/Malaysia sering kali disuguhi film Isabella: Film patungan antara Malaysia dan Indonesia. Ada dua versi yang Indonesia dan versi Malaysia. Tapi yang lebih terkenal adalah film Indonesia yang mengkisahkan persahabatan antara dua Negara. Persahabatan ini antara seorang Indonesia yang terkenal yang diperankan oleh Niki Zulkarnaen dan anggota Band Search yang terkenal. Menurut gue si penulis scenario dapat meramu ideanya dalam endingnya yang keren. Terima kasih pertama kali gue ucapkan kehadiran Tuhan yang maha Kuasa sebab dengan banyak doa yang gue panjatkan, buku ini tersaji untuk anda. Daftar isi Daftar Isi Kata Pengantar 3 Cintai Produk Buatan Negeri Sendiri 9 Skenario Winter Sonata 13 Cintai Pertamaku Bersama Sahabat Pena 33 Menulis itu Indah 37 5 Negara dan 8 kota yang pernah dan ingin gue kunjungi 46 Zodiak Cewek menurut Bintang- Bintang 71 Tips Membuat di Jatuh Cinta Lagi 82 Cara Cowok Berkenalan Dan Artinya 88 Bola itu Bundar 93 Cintaku yang Kedua- Diari Seorang Cowok 95 Film Film Beken (Dalam dan Luar Negeri) 100 BMW and My Nitro Cars 104 Seorang Bintang Film Terkena Masalah 105 Email Naydia Dari Jakarta Ketemu Seseorang Di Perth, Australia 109 Tips bekerja dan belajar di Australia 116 Tips Menggaet Cowok/Cewek 120 berdasarkan Zodiak Tentang Penulis 169 Cintai Produk Buatan Negeri Sendiri Cintai Produk Buatan Negeri Sendiri Gue sering melihat bagaimana sinetron Indonesia ceritanya sering selalu dipaksakan. Kita melihat bagaimana Film Indonesia mengkopi abis film-film Hollywood/Taiwan yang sering kita lihat. Dalam bahasa kerennya plagiat. Gue prihatin banget dengan sinetron Indonesia yang mengkopi sinetron luar negeri tapi gue berpikir positifnya aja bahwa dalam suatu hari nanti akan ada karya-karya besar yang dihadirkan oleh penulis-penulis dan pujangga Indonesia. Jadi cintailah produk buatan negara sendiri. Bagi yang belum mengetahui plagiat itu apa. Plagiat itu adalah proses dimana sang penulis meniru bulat-bulat/menkopi sebagian dari hasil tulisannya pada penulis lainnya. Biasanya di dalam situasi ini penulis sering kali kekurangan idea untuk membuat cerita itu semanarik mungkin. Dalam sastra Inggris, kita tidak diperbolehkan untuk plagiat tapi kita diperbolehkan untuk mengganti/mengambil sebagian dari inspirasi penulis lain lalu mengantinya. Bagi yang mempelajari sastra Inggris kita liat bagaimana Rome and Juliet berakhir dengan tragis. Dapat disimpulkan cerita ini mencontoh sekali cerita tentang putri salju yang sering tonton di Hollywood tapi ceritanya didramatriskan sehingga endingya happy ending. Bagi seorang penulis kreatif, cara ini mudah sekali tinggal tambal sulam saja. Laskar pelangi adalah salah contoh dari film yang berhasil diadaptasi ke dalam film Indonesia untuk disajikan ke layar lebar dalam bentuk alur cerita yang menarik. Bagi yang pernah menonton “Dead Poet Society” film America atau “Good Will Hunting” ceritanya sebenarnya hampir sama mengenai kentalnya persahabatan beberapa orang murid murid sekolah dan disiplin mengenai ilmu-ilmu yang diajarkan sekolah. Dalam film Ada apa dengan cinta, gue melihat unsur-unsur puitis dan kesetia kawanan yang dapat lihat dalam film Dead Poet Society. Ada unsur-unsur tragis yang dapat kita lihat dalam endingnya “Cruel Intention” yang diadaptasi dari cerita “Dangerous Liason”. Bagi yang telah melihat film musical anda dapat melihat Dansa Dian Sastro hampir mirip dengan “Bring it on”. Menurut gue di film AADC ada 6 film yang adegannya hampir-hampir mirip dengan film Hollywood (Serendipity, Isabella, Cruel Intention, Dead Poet Society , Dangerous Liasion, Bring it on). Melihat anomino masyarakat untuk melihat scenario yang layak untuk tampil di layar lebar, ada keinginan untuk memanjakan mata penotonton. Skenario Winter Sonata Dear Buku Diari, Ini mungkin kali terakhir aku menulismu. Apakah aku akan kehilangan Dito untuk kali ke-2 kalinya?? Kali ini bukan hanya utk sementara tapi untuk...selamanya. yang mencintaimu, Naydia di Jakarta Satu tahun tanpa terasa telah terlewati. Anak-anak SMA 80 memasuki tahun ajaran baru. Dody seperti biasa culun apa adanya. Geng anak – anak cewe anak SMA tambah dewasa. Di sekolah Dody menaruh harapan pada Naydia. Tapi siapa sangka Lydia malah jatuh kepincut pada Dody yang jago berdikusi. Naydia seperti biasa duduk termenung seorang diri. Entah apa yang dipikirnya. Ayah dan ibu Cindy telah bercerai. Cindy mengikuti ibunya yang memilih menjanda daripada disakiti oleh Bapak tiri Cindy “Hi” sapa Lydia malu-malu, “masih mikirin Dito yah”? “Sudah lupakan saja Dito. Di sudah di New York. Sambung Dia itu pasti sudah lupa dengan kita”. Pasti sudah dapat gabetan baru di New York sana.” Itulah kata terakhir teman-teman cinta sebelum lonceng sekolah berbunyi. Tahun itu adalah tahun 2001 bulan August 2001. Naydia merayakan Paskibra tujuh belas Augustan di sekolah. Masih diikuti teman-teman satu gengnya. Pak kepala sekolah kembali menekankan pentingnya upacara 17 belas Augustus di sekolah. Di rumah Naydia masih memandang puisi yang diberikan Dito sewaktu meninggalkan Indonesia. “Kayaknya aku harus melupakan kamu deh Dito. Aku harus maju menghadapi hidupku” Guman Naydia pada puisi dan photo Dito. Ditaruhnya puisi Rangga dalam buku diarinya dan cinta mulai menulis dalam buku diarinya sambil mendengarkan lagu dalam sebuah kotak musik pemberian Dito. “Dia merupakan cinta pertamaku. Ingin sekali aku memeluknya sekali saja meski dianya jauh sekali di Amerika sana. Aku harus gimana? Belok ke pantai atau …. “Nak sedang melamun yah? Kenapa masih memikirkan Dito yah. Dia sudah jauh sana. Pasti dia sudah lupa dengan kamu. Kamu pacaran saja dengan Bornoe. Dia kan anak baik-baik dan berasal dari keluarga nigrat.” “Ayo jangan melamun saja, makan sana. Ibu sudah menyiapkan makanan favourite kamu”. Sepotong roti yang berisi selai kacang kesukaan Naydia. Tiba- tiba cinta dikejutkan oleh suara ayah “Naydia-Naydia” kata ayah. Ada telpon dari Dito. Cepat ke sini. Dito menungumu. “Hi Dito. Kenapa baru hari ini telpon?” Naydia menangis sembari tersenyum bahagia. “Maafkan aku Naydia. Keadaan politik di Indonesia belumlah baik. Musuh-musuh politik ayahku berada di mana-mana. Kami harus berhati-hati di sana”. “Jadi… Kapan kamu pulang ke sini. Aku sudah sangat merindukanmu”. Kata Naydia. “Naydia aku akan segera pulang pada bulan September tahun ini. Ingat tidak itulah hari dimana kita jadian pertama kali. Ingat tidak kita ke buku loak demi mencari aku, bukunya samanjaya. Ingat tidak kita makan kacang bersama sembari mendikusikan apa itu artinya kehidupan.” Akan aku kirimkan e-mail ke kamu yah Naydia. Dear Naydia, Hari ini kota New York dingin sekali. Ini adalah musim dingin. Suhu udara mencapai -4 derajat celcius. Keadaan ayah di New York parah sekali. Beliau sakit kerana kedinginan. Itulah juga alasan mengapa aku tidak dapat menelopon kamu. Aku sibuk dengan urusan ayah yang hampir tiap seminggu sekali kedokter untuk menyembuhkan penyakit flu dan demannya. Untunglah dokter ayah baik. Naydia…aku sangat merindukanmu. Aku berjanji akan kembali ke Indonesia pada bulan September ini. Ingat kita memaduan cinta kita pada bulan itu. Udah dulu yah ntar kita sambung lagi. Love, Dito di New York Balasan pada Dito… Dear Dito, Jakarta pada hari hujan rintik-rintik seakan mengingatkan pada perasaanku yang mendung seakan menguyur perasaanku yang sedang kering kerontang. Indah sekali kota Jakarta setelah disapu bersih dengan air hujan. Dito, aku melihat sebuah pelangi seakan langit mensetujui hubungan kita. Terima kasih Naydia, kutunggu kamu di Jakarta. Love, Naydia di Jakarta Sebulan sudalah berlalu. Seperti biasa cinta dan keempat gangnya mencatatkan kegiatan sehari-hari dalam buku diari bersama mereka. Hari itu hari minggu, tanggal 11 September 2001. Ada sebuah kejadian yang membuat Naydia shock "Naydia! Naydia! WTC dibomb!!! Teriak ibu Naydia sambil tunjuk ke tv. Seketika itu juga cinta terhentak dari lamunan pada Rangga. Hah....Naydia merenung. "Bukankah hari ini, siang hari waktu New York...Dito bilang dalam suratnya dia akan mengunjungi ke WTC??? Bukankah hari iniii???" Naydia... kaget sekali... “Oh Dito bagaimanakah keadaamu”, seru Naydia. Sebab Dito berjanji untuk pergi ke Twin Tower sebelum pulang ke Indonesia untuk mem-abadikan photo-photo Twin Tower. Seketika itu juga Naydia pingsan…sedih tidak karuan. Naydia baru bangun dari rasa kagetnya(tergamam), ibunya berkata, "Waah..banyak skali orang yg mati dlm bangunan itu...salah satunya pelajar dari Indonesia.....tapi namanya belum diketahui..."Pada saat itu juga Naydia bagaikan tersambar geledek panjang... jangan-jangan Rangga adalah salah seorg darinya???????????(saat-saat yg sulit bagi Naydia) ...cemas...panik...sedih... 2 hari telah berlalu..Cinta menunggu siapakah pelajar yg meninggal pada kejadian tersebut. Apakah Dito? Jawaban sudah diketahui. (Berita SCTV), "...telah diketemukan mayat tubuh warganegara Indonesia diantara puing-puing reruntuhan WTC. Pemuda itu berumur 18 tahun, tinggi 180 cm, bertubuh atletis yang bernama... Dito Rizal...." Rumah Naydia yg tadinya sepi, sunyi tiba2 pecah oleh teriak Naydia. "Apakah Rangga akan meninggalkn ku utk yg kedua kalinya??? Tapi bukan hanya utk semantara...tapi utk selamanya..." Adegan yg lucu-lucu… ..Si Kribo (yg rambut allycat) potong rambut kerana tahun ni dia bakal masuk tahun ketiga bagi pelajar utk belajar Estabanas. Pelajar-pelajar menyiapkan diri utk ujian Estanas. Si Kribo...jadi cool banget setelah rambutnya dipotong. ..Si Cindy (the Naydia's gang jadi gayak ladies gitu) langsung jatuh cinta dgn si Kribo… Tok..tokk...tokkk... pintu rumah Naydia diketuk... "Nak..nak...ada orang yg mengetuk pintu di luar"..kata ibu Naydia. "Pasti itu si Borne "(temen sekolah/pacar ...pikir Naydia... dia malas keluar dan ingin buka pintu."Bu...ibu aja deh yg buka pintu. Naydia malas keluar. Kalau Borne, kasi tau aja Naydia nggak ada di rumah." "Naydia! Naydia...(dgn nada penuh gumbira). Kamu pasti tidak akan menyangka ini..." "siapa bu??"tanya Naydia. "Lihat aja sendiri siapa diluar"... Naydia keluar. Ada sebuah bayangan yg tidak asing lagi berdiri di hadapan Naydia sambil tersenyum. Itulah Dito....Dito yg selama ini dia ingat dah pergi..pergi jauh selamanya...dah mati la konon.. Ditoo (penuh excited gembira)...Dito (saling peluk2)..." Kau telah datang. Datang bukan untukku tapi untukmu utk memberikan cinta kepada seseorg. Seseorang iaitu diriku..." "Aku kira kamu telah meninggalkn aku utk selamanya.." Naydia berbicara dgn penuh perasaan "Tidak.Pelajar itu bukan aku...kebetulan pada saat aku dompetku serta kartu pelajarku terjatuh di dalam bangunan itu. Detik-detik terakhir pada saat bangunan itu roboh terhempas ke bumi, aku telah berada di luar..." jelas Dito. “Ada apa denganmu Naydia,” Mengapa engkau menangis. “Dito yang aku inginkan hanyalah engkau”. Naydia memeluk Dito dengan eratnya. “Akhirnya kamu kembali untukmu untuk menjawab semua pertanyaan cintaku.” Sementara itu, ayah dan ibu Naydia tidak mensetujui Naydia berhungan dengan Dito sebab Dito adalah pemuda misterius yang ayahnya cacat secara politik dan ibunya tidak tahu dimana. Ayah dan ibu Naydia menginginkan seseorang yang mapan secara kehidupan dan jelas statusnya kedua orang tuanya. Ayah dan ibu cinta lebih menyukai Borno yang sudah dijodohkan oleh ibu bapa Naydia dan berasal dari keluarga ninggrat dan mempunyai darah biru. Naydia dan Dito telah jatuh hati kemanapun mereka akan arungi demi cinta mereka. Naydia dikurung di rumah tidak diperbolehkan untuk melihat Dito. Ibu Naydia hanya memperbolehkan cinta untuk melihat Borno. Pada saat yang sama Rangga sering menerima telpon misterius dari seseorang. Mungkinkah Naydia? Atau seseorang yang selama ini Dito kenal?? Pada saat yang sama Dito menemukan buku diari ibunya dalam laci ayahnya. Di dalam terdapat catatan harian ibunya. Ternyata selama ini ibu Dito belum meninggal. Ibu Ditoternyata masih hidup dalam pengasingan. Ayah Dito tidak ingin memberitahukan sebab keamanan keluarga mereka dapat terancam. Naydia dan Borno berdua di rumah. Borno berniat mencium Naydia dan memperkosanya. Borno tidaklah seperti anak ningrat yang seperti ibu dan ayah cinta harapkan. Akhirnya mereka berdua berangkat ke Los Angelas, Amerika untuk kuliah di sekolah. Pada saat yang terakhir hati ayah dan ibu akhirnya cair juga dan mereka menyetujui hubungan Naydia dan Cinta. Di airport ayah dan ibu Naydia mengantarkan Naydia sampai kepada bandara. "Aku punya suprise untukmuuu Ditooo (manja Naydia pada Dito)..sesuatu yang kamu telah hilang..sesuatu yg pasti kamu inginkan.." "Apa Naydia?Apa?selain cintamu?" Dito mengucapkan satu persatu kata2nya dgn tulus yg menjadi persoalan di hati.. "Tidakkah kamu menginginkan cinta dari seorg ibu?"tanya Naydia. "Itu mustahil bagiku" "Naahh..siapakah yg berdiri didepanmu ini?" kata Naydia. "Macam pernah kulihat..tapi dimana ya?? Ibuu? Ibuu?" Naydia terperangah saat itu juga... Ada seorang yang berdiri di sisi Rangga. Ternyata itu adalah ibu Naydia. Musuh politik ayah dan ibu cinta. Kedua akhirnya saling memaafkan….(Ayah Rangga tiba2 muncul dan memegang tangan ibu Rangga) "Hello Monyet! ya..dialah ibumu..kemana kamu?bapak kira kamu telah ninggalin bapak sendirian.."(terus memeluk Naydia) Ibu menitipkan sepucuk surat kepada Cinta yang isinya. Dear Naydia, Maafkan ibu nak. Ibu telah memilih jodohmu. Ibu tidak menyangka bahwa Borno dapat sekejam ibu. Ibu menyangka Borno adalah anak baik-baik yang ayah ibunya ningrat. Mengenai Dito, ibu dan ayahmu setuju saja kamu berdua sekolah ke luar negeri asal kamu berdua dapat berhubungan yang wajar. Ibu & ayah Dito juga telah memaafkan ayahmu yang membuatnya mereka menderita di pengasingan. Love, Ayah dan ibumu di Jakarta Dari atas pesawat, Cinta tersenyum. Lalu cinta mengambil buku diarinya. Pada halaman terakhir ditulisnya : Sahabat itu datang tak terduga atas nama Dito Sahabat itu juga pergi tidak terduga atas nama Dito Kembali kupertanyakan cinta kepadanya Apakah dia mencintaiku Bunga-bunga mekar mewangi laksana surgawi Aku ingin kamu ada aku juga tidak ingin bunga menjadi layu Cinta kepadamu adalah Sonata musim semi. Terima kasih Dito. Aku mencintaimu. Lalu lagu sehabatku kekasihku. Adegan yang lucu. Naydia nengok ke bangku sebelah di pesawatnya. Ternyata yang di sebelah pesawat adalah Dody. Dito ketiduran ketika pesawat tinggal landas. “Oh tidak” teriak Naydia. Cinta Pertamaku bersama sahabat Pena Cinta pertamaku bersama sahabat Pena Banyak buku yang gue baca tentang cinta monyet. Tapi ini sudah sering dibicarakan oleh banyak penulis. Yang gue ingin bincangkan kali ini tentang cinta pertama bersama seorang sahabat pena. Mengenai masa-masa sekolah di SMP, gue mencintai seseorang sebut saja namanya Fransiska. Kebetulan Fransiska adalah adik kelas gue. Kami bersekolah sama tapi kami dalam kelas yang berbeda. Fransiska adalah sosok seorang cewe yang berbeda. Berkulit putih dan berparas cantik, Fransiska adalah dambaan setiap orang pria. Fransiska adalah seorang yang menyukai musik sedangkan aku adalah pemuda yang suka olah raga. Bukan basket seperti kebanyakan cerita anak-anak muda sekarang, sedangkan Tenis dan renang. Kebetulan sekolah kami mempunyai extra kurikulur kedua olah raga tersebut. Aku sering kali maen Tenis. setiap harinya aku bermain Tenis seminggu tiga kali dan renang seminggu sekali. Kulitku terbakar akibat sengatnya matahari dan kaki lecet. Aktivitas ini rutin dan sering aku lakukan sehingga pada sewaktu waktu aku bertemu dengan Fransiska tengah bermain Tenis dengan teman-teman wanitanya. Dari kejahuan kuamati Fransiska, sebuah sosok yang cantik. Seperti seorang bidadari, Fransiska terasa dekat sekali seperti sebuah peribahasa yang mengatakan “Gajah yang dekat di tempat tidak dapat dilihat sedangkan semut yang jauh di hati dapat dilihat. Kuberanikan diriku untuk bertanya kepada “Kamu sendirian yah” aku Tanya dia dengan pelan saja. Kamu suka maen Tenis? Kok hobi kita sama? “Iya aku sering sekali olah raga. Sering olah raga tapi olah raga untuk santai saja. Aku juga Arobik untuk menjaga kebugaran tubuhku. Boleh juga nih cewe kataku. Kayaknya kool juga nih cewe.Sejak saat itu kami jadian. Kami pacaran tapi hubungan berakhir sewaktu kami menginjak bangku SMA. Aku berangkat sekolah ke Singapore sedangkan si Fransiska bersekolah di Indonesia. Tapi kami terus berhubungan dengan tulis menulis surat, istilah kerennya Fransiska adalah sahabat penaku. Terus terang Fransiska adalah cinta pertamaku. Menulis itu indah Menulis itu Indah Saya telah banyak belajar dari para penulis pemula ataupun penulis mahir. Di era modern sekarang ini menulis itu mudah. Yang anda perlukan adalah sebuah laptop dantulisan tulisan anda dapat menjadi asset anda. Teknologi juga menyediakan anda kemudahaan untuk melakukan penulisan. Dengan blog kita dapat menulis dengan mudah. Blog itu ibaratnya selembar kertas putih yang menanti anda untuk merangkainya dengan kata kata yang indah. Ibaratnya seorang Mozart dalam sebuah konsert musik. Di sekolah saya sangat menyenangi penulisan baik dalam bahasa inggris ataupun dalam bahasa Indonesa. Saya menyenangi penulisan dalam di bidang pamasaran. Di bidang pemasaran anda dituntut untuk kreatif dalam penulisan anda. Jangan takut untuk menyampaikan pesan dalam tulisan anda sekalipun pesan itu salah. Itulah salah saya yang disarankan oleh guru bahasa inggris salah di dalam salah satu sesi mengenai cara menulis yang baik dan benar. Yang kedua adalah latihan dan latihan. Dengan melakukan banyak latihan tulisan anda dapat menjadi sempurna Luangkan perasaan anda dengan menulis. Meluangkan perasaan anda. Menulis adalah komunikasi secara tidak langsung. Menurut para pakar kesehatan menulis dalam mengurangi stress di dalam tubuh anda. Menulis juga mencegah kepikunan dini (alzeihemer disease) yang dapat terjadi pada diri anda. Menulis juga dapat menjadi hobi anda. Banyak penulis muda memulai menulis dari hal hal yang sederhana dan menjadi mahir dalam penulisannya setelah mengulangi dan merivisi apa yang ditulisnya. Selain menjadi hobi menulis juga mendatangkan pendapatan yang lumayan. Sekarang banyak blog blog yang ditulis oleh penulis pemula yang mendatangkan uang. Bagi penulis pemula disarankan untuk memulai penulisan dengan menulis cerpen cerpen pendek. Bagi yang telah mahir, anda dapat memulainya dengan melakukan penulisan novel. Penulisan novel dapat menjadi teman anda di masa luang dan anda dapat memperoleh pendapatan yang tetap dari menulis novel. Apakah anda ingin mempublikasikan novel yang anda tulis. Di Indonesia telah banyak berdiri perusahaan perusahaan penerbitan. Anda hanya mengirimkan novel yang telah anda tulis. Biasanya anda akan mendapatkan fee (10%) dari harga buku yang anda tulis. Jadi misalnya harga buku yang anda terbitkan bernilai Rp 40000 maka anda mendapatkan uang sebesar Rp 40,000 X 10% = Rp 4000 sebanyak buku yang dicetak oleh penerbitan anda tersebut. Meskipun tidak seberapa anda masih dapat memperoleh royalty pada penerbitan buku. Cara lain yang banyak digunakan oleh penulis buku untuk memperoleh tambahan pendapatan adalah menyelenggarakan seminar seminar tentang buku anda. Cara kedua yang banyak dilakukan adalah menerbitkan buku itu sendiri. Ini disarankan jika anda mempunyai modal untuk menerbitkan buku anda. Banyak percertakaan yang melayani penerbitan dalam jumlah yang sedikit. Misalnya anda dapat menerbitkan buku 1000 dari buku anda ke dalam komunitas anda. Akan tetapi cara kedua ini kurang begitu popular sebab anda tidak dapat menekan biaya penerbitan buku anda dengan jumlah yang sedikit. Anda juga harus memasarkan buku anda sendiri yang banyak menyita waktu bagi anda yang belum berpengalaman. Jadi mengapa tidak memulainya sekarang juga! Yang anda perlukan adalah usaha usaha dan anda akan menjalani kehidupan ini dengan berarti. Q1) Anda ingin menjadi seorang seorang penulis terkenal. Apa aja kiat kiat dalam menulis yang baik dan benar? Ingin Menulis sebuah novel.jadilah penulis yang constant. Seorang penulis besar adalah seorang yang mempunyai visi dan misi dalam tulisannya. Ingat penulisan adalah rutinitas bukan bakat. Ibaratnya pisau yang diasah tiap hari, tulisan anda akan sampai pada kesempurnaan seiring dengan waktu. Menulis adalah sesuatu menyenangkan. Berdisplinlah dan biarkan anda terlibat dalam penulisan tersebut. Banyaklah membaca dan demikian anda dapat memperoleh bekal dalam tulisan anda. Revisi ulang yang telah anda tulis and perjelas titik titik dimana anda belum memperoleh kesempurnaaan dalam penulisan makalah. Q2) Apa itu blog dan apa manfaatnya dalam menulis. Blog adalah sebuah lembaran putih di Internet yang dapat diisi oleh para penulis. Ibaratnya selembar kertas, blog adalah fasilitas online yang disediakan oleh Internet untuk melatih penulis penulis pemula untuk menyampaikan visi dan misi yang ingin disampaikan. Ingat menulis berbeda dengan berbicara. Blog bermaaf sekali untuk mengasah ketampilan anda untuk menulis. Banyak dari penulis berbakat yang telah menulis berbagai novel memulainya dengan menulis blog blog pribadi. Contoh Radtyia Dika yang suskes menulis berbagai novel yang suskes di pasar. Q3) Saya menyukai membaca tetapi saya tidak dapat merangkai kata kata yang indah. Bagaimanakah saya dapat menulis yang baik dan benar? Mulainya menulis. Ingat anda juga harus mempunyai visi dan misi dalam menulis. Seorang penulis yang baik adalah seseorang yang dapat menempatkan dirinya di dalam si pembaca. Ingat, asalah ketrampilan anda berulang kali. Jangan mudah menyerah. Mulainya dengan kata kata pendek. Susunlah jadwal yang baik untuk mengasah ketrampilan anda. Ingat seorang penulis yang baik bukan didapatkan dari bakat Description: Tahun itu adalah tahun 2001 bulan August 2001. Naydia merayakan Paskibra tujuh belas Augustan di sekolah. Masih diikuti teman-teman satu gengnya. Pak kepala sekolah kembali menekankan pentingnya upacara 17 belas Augustus di sekolah. Di rumah Naydia masih memandang puisi yang diberikan Dito sewaktu meninggalkan Indonesia. “Kayaknya aku harus melupakan kamu deh Dito. Aku harus maju menghadapi hidupku” Guman Naydia pada puisi dan photo Dito. Ditaruhnya puisi Rangga dalam buku diarinya dan cinta mulai menulis dalam buku diarinya sambil mendengarkan lagu dalam sebuah kotak musik pemberian Dito. “Dia merupakan cinta pertamaku. Ingin sekali aku memeluknya sekali saja meski dianya jauh sekali di Amerika sana. Aku harus gimana? Belok ke pantai atau …. Ingin tahu kisah selanjutnya. Winter Sonata adalah cerita fiksi mengenai cinta dan berisi mengenai tips tips cinta untuk anda dan pasangan anda.
Title: Wanita penunggu rumah No 13 Category: Horor Text: part 2 Peristiwa pertama,tepat dua bulan aku dan keluarga tinggal di rumah itu.Ayah dan Ibu sempat meninggalkan aku,kaka ku dan adikk yang masih Tk sendirian di rumah.Mereka pergi reonian berdua saja di malam minggu,aku lupa tanggalnya.Aku di anggap suda besar sehingga adik di serahkan dalam pengwasanku. Kakaku bukan orang yang peduli sama adik,dengan santay nya dia hanya mengunci diri sendiri di kamar nya,gak peduli adik ku sudah makan apa belum. Kalau aku saja sih gampang makan mie instant aja jd. Lah adiku yang kecil ??? Hellow apa kabar,kak ? Ahh,dari pada gak waras mikirin dia,lebih baik aku membuat makanan untu adik ku. Mie instan dulu ya dek . Aku beranjak kedapur yang memiliki atap sekitar empat bukaan yabg hanya di lapisi plastik tebal bening. Jadi langsung menatap langit,terkadang aku suka ngayal,ada yang mengintip dari sana. Entah orang bintang atau bukan keduanya. Ko agak meniding .... Aahhh,buru - buru aku lenyapkan fikiran aneh itu. Fokus masak mi instan ..... Kelar memasak mie,aku langsung mematikan kompornya. Tiba - tiba terdengar suara Duuugg !!!... Terdengar keras sekali di telingaku. Mendengar tembok belakang rumahku yang menempel dengan dinding rumah wanita yang no 13 berbunyi keras sekali. Seperti di hantam benda tumpul,kenapa gka roboh ? Karena dua lapis ! Dinding rumahku dan rumahnya,jantungku berdetak dengan kencang. Duuggg .... Terdengar lagi suara yang sama sampai tiga kali,aku tak bergerak. Mau pingsan malu sama adik,tapi itu suara apa yaa ?... Isi kepalaku penuh dengan tanda tanyaa. Suaranya tiba tiba berhenti Pelan - pelan ku langkahkan kaki mendekati tembok,dan mencoba menempelkan telingaku ke dinding belakang rumah ku. Laallllluuuu ......... Description: Peristiwa pertama,tepat dua bulan aku dan keluarga tinggal di rumah itu,Ayah dan Ibu sempat meninggalkan aku,kakaku,dan adik yang masih Tk sendirian. Aku beranjak kedapur yang memiliki empat atap bukaan,dan hanya di lapisi plastik tebal bening.Jadi langsung menatap langit terkadang aku suka mengayal,ada yang mengintip dari sana.Entah orang,bintang atau bukan keduanya.Ko agak merinding. Duuugg ! mendengar tembok belakang rumahku yang menempel dengan dinding wanita no 13 berbunyi keras sekali. Ade,kamu denger gak suara itu ? buugg,gitu. Enggak tuh,jawab adiku singkat.
Title: Will Last Forever Category: Fan Fiction Text: Prolog Aku terdiam duduk di meja kerja ku. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam namun aku juga belum beranjak dari tempat itu, meratapi hujan yang turun dan membasahi kota Jakarta yang penuh dengan hiruk pikuk. Syukurlah aku memilih lembur malam ini. Aku menyandarkan punggung ku pada sandaran kursi lalu memakai airpod ku dan mulai mendengarkan musik dari artis favoritku. Ah, akhir-akhr ini aku sering sekali memutar lagu-lagu dari tahun 2010-an rasanya seperti nolstagia semasa sekolah dulu. Mengingat bagaimana dulu kami bercanda, tertawa bahkan sampai di hukum satu kelas pun kami pernah merasakannya. Hal itu dulu sangat menyebalkan, namun jika di ingat-ingat kembali itu adalah salah satu bagian paling menarik dari masa SMA aku dan teman-teman. Selain kenalakan-kenakalan yang kami lakukan di SMA terselip juga kisah romantis para pujangga di dalamnya. Aku juga merasakan bagian ini, namun sepertinya ceritaku tidak berhasil. Yah mau bagaimana lagi, namanya juga cerita anak SMA. Kalau kalian bagaimana, apakah cerita kalian juga sama seperti ceritaku? Description: Banyak yang bilang kalau masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidup semua orang. Yang namanya persahabatan, jatuh cinta, patah hati dan harapan untuk masa depan di mulai dari sana. Namun seperti langit, kisah itu tidak selamanya bersinar seperti matahari tapi terkadang dalam kisah tersebut juga di selipkan sebuah awan mendung yang dapat menurunkan hujan. Jika kalian bisa memilih, kalian ingin melewati cerita masa SMA kalian, seperti apa?
Title: Wajah Seribu Sepi Category: Cerita Pendek Text: Teriakan Kau bilang sangat menyukai laut. Kau memang tidak mengatakannya langsung kepadaku sebagaimana juga hal-hal lainnva. Namun, dari balik dinding kamar aku pernah mendengar kau bicara tentang itu; tentang keinginanmu berdiri di depan laut dan kau menyaksikan ikan-ikan berlompatan. Kau bergumam sendiri dalam hening malam itu, "Dey, aku ingin kesana. Aku ingin mendengar deru ombak, aku ingin mengelilingi batu karang, aku ingin menyelam. Dey, tak bisakah aku? Dey, mengapa kau tak menghirauku? Dey..." semakin kau sebut namaku, semakin lirih suaramu ku dengar dan kian hilang. Aku ingin menjawabmu, bahwa akupun ingin. Inginku melihat awan, menyentuhnya dengan jemariku, mengepakkan sayapku ke angkasa, aku ingin terbang. Tapi, setiap kali aku menuturkannya, ceritaku terbentur dengan sekat pemisah, kau membalasnya dengan bentakan "Kau Gila, Dey. KAU GILA! KAU TAHU KAU APA DAN DIMANA?" Lalu kau melempariku dengan benda tumpul di sekitarmu. Teriakanmu selalu menyakitiku. Dinding ini yang menyelamatkanku. Aku tak ingin membalasmu dengan teriakan yang sama. Aku membalasmu dengan abaiku dibalik pribadiku yang lain. Agar kau tahu, rasanya terluka karena diabai dan menderita karena dicaci. Sukma, ingatkah kau perkenalan kita dibalik dinding ini lima bulan lalu? Saat sekujur tubuhku penuh memar dan diikat. Kau hanya tertawa mendengar kisahku, dan kau bilang "Aku sama denganmu. Mari berteman". Sejak saat itu kupercayai kau satu-satunya yang mendengar nyanyian-nyanyian senduku tiap malam, ku yakin kau terusik dengan lagu malaikat tak bersayap yang ku senandungkan lirih saban hari. Tapi aku tak bisa menimpali apapun yang kau teriakkan setiap malam, saat kau kesakitan dalam awan kelammu. Aku tak bisa menahan diriku, setiap kali ku dengar di akhir celotehmu yang parau, suara benturan benturan kepala di dinding. Maafkan aku tak bisa menyentuhmu. Maafkan aku tak bisa menolongmu. Maafkan aku memilih bersembunyi. "Dey, kau mendengarku Dey? Hei, kaukah itu Reno, Andi, klara? Siapapun yang menguasai tubuh Dey, bangunkan dia. Katakan padanya aku rindu senandungnya yang membuatku tenang." Aku terkesiap, Andi si alter egoku yang bisu menggugahku dari persembunyianku. Dia mengguncang-guncang tubuhku hingga aku kembali ke kesadaran. "? Kali ini hampir habis dayakuMembuktikan padamu ada cinta yang nyataSetia hadir setiap hariTak tega biarkan kau sendiriMeski seringkali kau malah asyik sendiri?" nada-nada syahdu terurai di bibirku, diiringi ketukan ketukan kukuku di lantai. Secuil penenang dariku yang menghantarmu dalam mimpi panjang tentang menjadi duyung di lautan lepas, Sukma. -Bersambung- Sup kacang merah Hening.. Tak ku dengar lagi suara isak tangisan. "Ah, Sukma pasti sudah tertidur." Gumamku. Tok.. Tok.. Suara ketukan pintu kamarku. Langkah kaki Mano mendekatiku. Sementara nyanyianku tak jua berhenti, hanya bibir terus berkemam. "Dey, sudah waktunya makan. Mari makan, ku temani. Setelah itu minum obat." ujar Mano ramah. Dia memang ramah, dialah teman baikku yang dapat ku lihat wajahnya. Ku dipapahnya menuju tempat tidurku, aku menoleh padanya, menatapnya lalu menyeringai. Hanya dia yang terbiasa denganku, saban hari merawatku. Setelah aku duduk manis, air liur ku menetes. Nasi, tahu goreng, dan semangkuk sup kacang merah di hadapanku sungguh menggoda selera. "Yaaayy, waktunya makan. Asyik. Aku lapar ... aku lapar.. " "Tidak, aku juga lapar. Biar aku saja yang makan. Mano mengenalku. Dia pasti mengijinkanku makan." "Tidak, aku yang anak-anak disini. Aku butuh makan untuk tumbuh" "Hei, Reno. Kalau kau makan selalu saja berantakan. Kau pasti akan merepotkan Mano juga Dey. Memangnya kau mau tubuh Dey diikat lagi?" "Hiks.. Hiks.." Suara-suara di kepalaku mulai bergemuruh, berebut tubuh. Aku menggigit keras bibirku, aku mencengkeram tangan Mano yang duduk di sebelahku untuk minta pertolongan "Ada apa Dey? Kau belum menyendokkan supmu. Apa perlu ku suap?" "Emmh akhhh.." aku menggeleng cepat sambil mengerang. Ku kepal tangan kiriku untuk memukul kepalaku agar tak lagi berisik. Mano yang melihat hal itu segera menangkap tanganku dan memegangi kedua tanganku erat. "Okey, siapa yang berisik di dalam? Siapa yang bertengkar di dalam?" tanya Mano sambil menatap mataku lekat. "Baik, kalau tidak ada yang mengaku. Makanan ini tidak jadi ku berikan. Reno atau Klara?" timpal Mano lagi. Sesaat kemudian, aku meregangkan tanganku. Mano mengerti. Ia membiarkan Andi menjelaskan. Tanganku bergerak bebas di udara, memberikan isyarat pada Mano. Dengan ekspresi muka yang serius Andi mencoba menengahi pertengkaran Remaja 16 tahun dengan anak-anak 10 tahun itu, namun gagal belaka. "Baiklah. Kalian semua dapat giliran makan. Tapi ada jadwalnya. Untuk sarapan jatah untuk Reno. Untuk makan siang giliran Klara. Dan untuk makan malam, Andi dan Dey akan berbagi. Setuju?" "Setuju. Baik sekarang giliranku ya, Mano." Seloroh Klara menyeruak. Mengambil alih peran. Dan dia makan dengan lahap. Klara, gadis 16 tahun yang tinggal dalam tubuhku. Dia remaja yang baik sebenarnya, hanya peristiwa pelik penuh trauma yang dialaminya saat balita membuatnya terpenjara di dalam kebencian dan kesendirian. -Bersambung- Klara dan Penjaranya Melihat gadis remaja itu makan dengan lahap, Mano si Perawat Jiwa sedikit tenang. Ia kembali duduk di dekat jendela sambil membolak-balikkan lembar jurnal pemeriksaan harian. Setiap kali ia membaca, matanya selalu memerah. Menahan emosi yang tak tersampaikan. Sebagaimana ia memikul beban untuk merawat jiwa-jiwa malang di hadapannya. "Mano, Mano... Ini sudah selesai." teriak Klara, memanggil manggil namanya. Mano tertegun. Dia melihat tangan Klara yang terulur menyerahkan piring makanannya yang sudah bersih. "Wah, hebat. Letakkan saja di atas meja yang ada di sampingmu." "Baiklah. Apa yang kau baca, Mano? Kau tampak sedih" "Ah, tidak apa. Oke, karena makanmu sudah selesai, kau perlu minum obat." ujar Mano seraya menyerahkan 2 kapsul pada Klara dan segelas air. "Tapi aku tidak sedang sakit, Mano." "Ini memang bukan untukmu. Ini untuk Dey. Kau sayang dengan tubuh Dey kan?" "Hmm.. baiklah akan ku minum" Klara pun meneguk obat yang diberikan Mano padanya. Mano mendekatinya, menarik kursinya untuk merapat di sebelah pembaringan Klara. "Bagaimana perasaanmu Klara? Apa ada yang mau kau ceritakan?" "Aku tidak suka disini!" "Lalu apa yang ingin kau lakukan?" "Aku ingin pulang. Tapi aku tak punya rumah. Aku.. Aku.. Aku.." ujar Kara terbata-bata, wajahnya tertunduk lesu "Bukankah rumah Dey, rumahmu juga?" "Tidak! Aku hanya menumpang. Dey tak tahu rasanya jadi aku" "Apa kau masih ketakutan di dalam sana? " "Kau tahu Mano, setiap malam aku bermimpi yang buruk. Aku terkurung. Ada orang yang mengikat tangan dan kakiku. Mereka berbisik di telingaku " "Apa yang mereka katakan? " "Kau ingin bebas? Lepaskan. Lepaskan seluruh yang ada di tubuhmu" "Dan kau melepasnya?" "Tidak, mereka yang melakukannya. Melepas bajuku. Aku menjerit tapi tidak ada yang mendengarku. Aku minta tolong tak ada yang datang. Persis seperti waktu itu." "Kau masih ingat kejadian waktu itu?" "Mereka yang berbisik bisik itu mengancamku, Mano, mereka menayangkan videoku, berulang-ulang di depan mataku. Aku takut, Mano." "Di video yang muncul di pikiranmu apakah ada tanggal dan waktu? " "Mereka bilang tengah hari, aku akan mati. Mati dibunuh dan diperkosa. 2009. Mati.. Mati.. Arrghh" Klara mulai menjambak rambutnya, bibirnya menggigil, giginya bergemeretak. Mano, segera memeluknya, melepaskan perlahan tangan dari rambut-rambutnya yang tertarik jemarinya. "Kamu tidak sendiri. Ada aku." Mano menepuk-nepuk bahu Klara untuk menenangkannya. "Terimakasih sudah bercerita padaku. Apa kau mau beristirahat? " imbuh Mano "Tidak.. Tidak.. Kalau aku tidur, mereka akan mendatangiku lagi. Aku tidak mau tertidur, mereka akan menyekapku dan menelanjangiku lagi" "Kami akan menjagamu. Percayalah. Bagaimana kalau kau menyelesaikan gambaranmu yang sempat tertunda?" Bujuk Mano pada Klara agar dia kembali mendapatkan kesadarannya. Klara mengangguk kecil. Mano memberikan buku gambar dn pensil warna yang tersimpan di laci meja. Klara menggambar. Gambarannya tak seperti biasanya. Ia menambahkan gambar rumah yang penuh dengan jeruji. Tanpa sadar ia tertidur dengan buku gambar di pelukannya. Mano tersenyum kecut. Ia tahu persis sosok yang didepannya ini mengidap Dissosiative Identity Disorder. Dia tak bisa melakukan banyak untuk membantunya, dia hanya berusaha hadir untuk mengerti sekalipun tidak semua hal dapat ia terima dengan akal sehatnya. Termasuk tentang mengapa Klara bisa terperangkap dalam tubuh Dey yang memiliki pengalaman dan ingatan yang jelas berbeda. Ia keluar dari kamar bangsal bernomor 152 dan mulai menelisik di ruang kerjanya, menyusuri berita-berita online maupun koran tentang peristiwa 11 tahun lalu. *Bersambung* Description: Tak pernah ada yang ingin melanggar batas. Tak pernah ada yang ingin terjebak sunyi di tengah riuh. Tapi pertemuan Dey dan Sukma mengubah arti perjuangan melawan dogma, meretas sekat jiwa dan batasan diri. Dengan satu tujuan: Hidup Bebas. Tentang Dey dan Sukma yang berjuang melawan batas diri
Title: Who Want To Be A Dreamer Category: Young Adult Text: Prolog Tentang mimpi ... siapa pun bisa melakukannya. Sekedar memejamkan mata, atau malah diam memandang ke depan. Gadis berambut panjang itu menatap selebaran kertas di tangannya, tidak menduga sama sekali. Ia menarik napas dalam. Melipat kembali kertas itu. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kaca. Setelah merasa cukup rapi, ia mengembus napas panjang dan mengetuk pintu tiga kali. "Masuk." Lelaki berkacamata bulat yang sedang menatap layar komputer itu tersenyum. Gadis itu mengambil tempat di depannya. "Bagaimana?" Gadis itu menatap ujung jarinya, kukunya kali ini ia biarkan polos tanpa warna. "Saya menolak, Pak." Lelaki itu berdehem, fokus menatap gadis di depannya. "Yakin?" tanyanya tidak percaya. Lisa mengangguk mantap, ia lalu meninggalkan selebaran kertas itu di sana dan pamit pulang. Tidak tahu apa keputusannya kali ini benar atau tidak. Apa ia akan menyesal atau tidak. Apa ini yang sebenarnya ia mau atau tidak. Yang jelas, tekadnya sudah bulat. Tentang mimpi, Lisa hanya ingin berjalan perlahan. Menggapai semuanya pelan-pelan. Jika memang sudah waktunya, ia percaya sukses adalah sebuah hadiah. Ia ingat seseorang pernah mengatakannya, tidak perlu menjadi hebat. Jika kehebatan membuat kita sengsara, bahagia yang sebenarnya adalah ketika kita mencapai apa yang hati kita inginkan. Jadi perjuangin itu, bukan karena pengen kelihatan hebat. Tapi itu semua karena bisa bikin kita bahagia. Tentang Lisa Lisa memutar tubuhnya ke kiri, kanan. Melingkarkan tangannya, lalu merentangkannya dengan anggun. Kemudian ujung kakinya bergerak mengikuti alunan musik. Lalu saat putaran terakhir, brakk, Lisa hilang keseimbangan. Kakinya berbelit dan terjatuh. Ia lalu mematikan musik dari ponselnya, mengambil handuk yang tergantung di sudut ruang. Lalu duduk menatap pergelangan kakinya yang memerah. Kali ini lebih sakit. Ia langsung meneguk air mineralnya hingga tak bersisa, matanya menerawang lurus ke depan. Harusnya dia bisa menikmati masa SMA-nya, Lisa menghela napas. Di saat bersamaan, ia sering memikirkan hal-hal aneh seperti itu. Tapi di sisi lain, Lisa juga ingin melambung tinggikan namanya. Ponsel Lisa berdering, ada sebuah pesan masuk. Lisa langsung menekan salah satu room chat di sana. Gladys : Lis, ikut yuk. Gue mau ke bioskop bareng anak kelas. Mumpung masih bisa santuy-santuy. Lisa menghela napas, sudah berapa kali ia menolak ajakan teman-temannya. Entah sekedar nongkrong, cuci mata di mall, atau nonton. Lisa tidak punya waktu untuk bermain, daripada jalan ke sana-sini. Lisa lebih memilih untuk mempertajam tariannya, sebentar lagi ia akan ikut dalam salah satu ajang bergengsi. Lisa : Sori, Dis. Gue masih latihan. Gladys : Sehari aja kali, Lis :(( Gladys : Kalau ada lo pasti rame yang ikut :( Gladys : Kan seru :) Lisa : Soriiiii :)) Read Lisa meninggalkan ponselnya di lantai. Ia berjalan sedikit tertatih menuju kamar ganti, sepertinya ia harus pulang dan mengompres kakinya. Siapa yang tidak kenal Lisa? Gadis cantik, bertubuh tinggi, dengan kulit putih itu selalu tampil di acara-acara besar sekolah maupun luar sekolah. Followers instagramnya sudah mencapai 600 ribuan, apa lagi dia juga aktif di youtube dengan subscriber hampir menginjak angka dua jutaan orang. Belum lagi setiap video yang di uploadnya bisa menyentuh angka lima jutaan viewers. Gila. Satu kata yang sering disematkan untuk Lisa, gadis itu terlalu gigih untuk mencapai mimpinya. Membuang segalanya dan fokus meraih masa depan. Gadis bertubuh tinggi, langsing—bahkan nyaris tidak punya lemak itu—membuat beberapa orang jelas akan iri dengan tubuhnya. Belum lagi popularitasnya. Lisa segalanya. Hanya dengan satu postingan instagram saja, bisa membuat laman sekolah penuh dengan wajah Lisa. Seperti kali ini, Lisa tidak membawa kendaraan pribadinya. Ia sedang menunggu bus di halte tidak jauh dengan studio mininya. Lisa memposting foto selfie dirinya tanpa caption. Baru juga sedetik, fotonya langsung dibanjiri ribuan like, juga komentar. Lisa tersenyum sekilas saat bus yang ditunggunya sudah tiba, ia langsung naik dan duduk di dekat jendela. Tidak lama seseorang juga duduk di sebelahnya, Lisa sempat menoleh. Beberapa detik keduanya diam. "Lah, elo?" "Dirham?" Lelaki itu langsung mengambil tempat di sebelah Lisa. "Gak ikut temen-temen lo nonton?" Lisa menggeleng. "Ah, lo mah nggak punya waktu buat gituan. Iyakan?" Lisa mencibir, lalu membuka sedikit jendela sampingnya. "Oh lo duduk di halte yang tadi? Pantesan pada heboh." "Heboh gimana?" tanya Lisa tidak mengerti. "Postingan lo." Lisa hanya terkekeh, lalu kembali menatap jalanan. "Lo darimana?" tanyanya. "Baru pulang buat tugas Pak Ian, terus mampir ke toko buku." "Oh." "Jarang banget gue liat lo naik angkutan umum." "Ho-oh ya, males bawa mobil." "Hm. Nggak takut lo?" Lisa mendelik, "Takut kenapa?" Dirham membenarkan posisi duduknya, lalu menatap Lisa sekilas sebelum kembali menatap lurus ke depan. "Diserang fans fanatik lo, mungkin?" "Nggaklah, gue belum setenar itu. Masih biasa aja." Dirham terkekeh, "Jadi segan duduk sama seleb." "Yeuh." Lisa dan Dirham memang pernah beberapa kali di kelas yang sama. Pertama saat kelas sepuluh, lalu sekarang ini saat mereka berada di kelas akhir masa SMA. Seorang ibu-ibu hamil mencari tempat duduk yang kosong, Lisa yang menyadari itu langsung bangkit. Padahal pergelangan kakinya masih nyeri. Baru saja ia ingin menyuruh ibu itu mengambil tempatnya, Dirham lebih dulu bangkit dan menyuruh ibu itu untuk duduk. Dirham mengerlingkan matanya, Lisa tersenyum manis menampakkan mata bulatnya. Tepat di halte dekat kompleks rumahnya, Lisa dan Dirham turun bersamaan, rumah mereka memang berada di satu kompleks yang sama tapi berbeda blok saja. Dirham yang sudah turun lebih dulu, menunggu Lisa yang masih berjalan ke arah pintu keluar. "Kaki lo sakit?" tanyanya saat Lisa sedikit kesusahan untuk berjalan. "Biasa," jawab Lisa dengan senyum lebar. Lisa berjalan tertatih menuju rumahnya, Dirham hanya mengikuti dari belakang. "Yakin?" tanyanya lagi saat ia sudah berada di sebelah Lisa. "Ini mah biasa, Ham." Dirham tidak mendengarkan Lisa, sekarang ia malah berjongkok dan menggulung celana training Lisa. "Biasa gimana? Bengkak gitu." Dirham sedikit membungkukkan tubuhnya, lalu menepuk bahunya. "Ayo naik." "Dih, nggak usah." "Buruan, gue nggak pernah nawar bantuan dua kali." Lisa sedikit menimbang, lalu saat Dirham kembali menatapnya. Lisa menyerah. Ia naik di punggung Dirham. "Gila ya, ringan banget." "Jangan ngeledek." Dirham tertawa lalu berjalan pelan menuju rumah Lisa. "Berat gue ya, Ham? Turun aja deh, dikit lagi nyampe kok." "Gini lo bilang berat? Lo harus nambah bobot, Lis." Lisa menimpuk bahu Dirham, sedangkan Dirham tidak bisa menahan senyumnya sejak tadi. Cukup lama Dirham mengenal Lisa, sejak SMP lebih tepatnya. Saat itu Dirham sedang menunggu bus, begitu juga Lisa. Dirham pikir dia tinggal di kompleks berbeda dengannya, tapi beberapa kali melihat Lisa menunggu di halte yang sama. Dirham yakin gadis itu masih sekitaran sini, rumahnya. Tepat saat SMA, Dirham baru mengetahui nama gadis itu adalah Kalisa Hanum Batrisia. Gadis yang selama ini membuatnya penasaran. Sekolah Baru saja Lisa menguncir rambutnya, sang Mama menyembulkan kepalanya dari balik pintu. "Kenapa, Ma?" Listia menatap anak gadis semata wayangnya itu, pergelangan kakinya dibalut kain berwarna coklat. Kemarin setelah diantar Dirham, Lisa kekeuh kakinya baik-baik saja. Tapi setelah dibawa ke dokter, ternyata terkilir. Jadilah kaki gadis itu harus di balut beberapa hari, ditambah tidak boleh dulu menari. "Yakin mau sekolah?" Lisa mengangguk mantap, lagi pula ia sudah mengatakannya semalam. "Tenang aja, Ma. Lihat nih, aku bisa berdiri. Iyakan?" "Kamu tapi nggak boleh bawa mobil, diantar supir Papa aja ya?" Lisa mengangguk, lalu setelah memastikan rambutnya rapi ia mengambil tas di atas kasur dan keluar dari kamar. Mamanya mengikuti dari belakang. "Makan dulu." "Diet," kata Lisa. Listia mendelik lalu mengambil beberapa potong sandwich dan memasukkannya ke dalam kotak makan. "Nanti dimakan, kamu itu udah kurus. Nggak perlu diet ketat." Lisa mengalah, tidak ingin berdebat pagi-pagi dengan sang Mama. Di jalan menuju sekolah, Lisa hanya memandang keluar jendela dengan telinganya yang tersumpal AirPods. Sesekali ia menggerakkan kepalanya, bahkan kakinya juga ikut-ikutan bergerak. Rasanya Lisa lupa kapan terakhir kali dibiarkan pergi sendiri dengan bus saat ke sekolah. Mamanya selalu takut ada fans yang mengganggu Lisa, ya walaupun sejauh ini hanya beberapa. Dulu awal mula Lisa terkenal adalah saat Mamanya merekam Lisa sedang latihan dance, terus tiba-tiba Lisa terjatuh. Namun berhasil bangkit kembali dan melanjutkan tariannya. Lisa pikir Mamanya hanya merekam untuk dirinya sendiri, eh ternyata, Mamanya sedang live di salah satu media sosialnya. Jadilah ia seperti ini sekarang. Kalau tidak salah itu terjadi saat Lisa kelas dua SMP. Orang-orang beranggapan bahwa Lisa itu keren, tidak mengeluh padahal terjatuh. Tidak berteriak meminta tolong, atau kesal saat terjatuh. Ia malah bangkit dan kembali menari. Lisa juga berpikir kenapa saat itu dia tidak mengeluh, atau merasa kesakitan. Padahal di video itu jelas sekali Mamanya menyuruh untuk duduk lebih dulu, tapi Lisa menolaknya. Dulu sekali, sebenarnya Lisa tidak pernah menyukai menari. Ia merasa badannya tidak selentur di video-video yang ia tonton di youtube. Bahkan sejak awal dia tidak pernah mau melihat hasil rekaman Mamanya. Tapi Mama selalu meyakinkan Lisa, kalau menari memang sudah mendarah daging di dirinya. Mamanya memang seorang instruktur Zumba, dulunya. Tapi setelah menikah ia fokus mengurus suami dan anak. "Sudah sampai, Non." Lisa terkesiap, mungkin sejak tadi ia terlalu asik melamun. "Ah, Makasih, Pak. Nanti aku kabari harus jemput jam berapa ya, Pak," katanya yang mendapat anggukan dari Pak Firman. Lisa berjalan menuju kelasnya, dari berbagai arah sesekali orang-orang menatapnya. Ada yang menatap iri, bahkan tidak suka secara terang-terangan. Banyak yang menganggap Lisa tidak seramah di media sosial. Wajah Lisa memang tampak sedikit jutek, apalagi kalau ia tidak menarik dua sudut bibirnya ke atas. Gayanya tomboy, tapi tetap terlihat girly di saat yang bersamaan. Ada juga yang beranggapan Lisa itu berlebihan, beberapa barang yang ia miliki berasal dari brand ternama. Tapi apa salahnya? Toh, jika dia membeli barang mahal, itu pun karena hasil kerja kerasnya, bukan? Ia bahkan sudah berhenti meminta uang saku dari orang tuanya. Uang dari hasil endors dan youtube bahkan bisa membuat Lisa membeli studio mini yang ia jadikan sebagai tempat latihannya. Walaupun Papanya masih tetap mengirimi Lisa uang saku. "LISAA!" Lisa langsung membalas lambaian tangan dari ujung koridor, ia bisa melihat Gladys sedikit berlari ke arahnya. "Akhirnya lo sekolah juga, lama banget nggak lihat lo di sekolah." Lisa hanya mendelik lalu tertawa. "Kemarin anak-anak padahal berharap lo ikutan, terus kata Vanya lo lagi nyiapin diri buat ikut lomba ya?" "Iya, kok dia tau?" tanya Lisa penasaran. Sepengetahuan Lisa, hanya pihak sekolah yang tau akan lomba itu. Itu juga karena beberapa kali mereka menelepon Mamanya, untuk memberitahu bahwa Lisa tidak bisa terus-menerus membolos dan menomor-duakan sekolah. "Dia mah telinganya di mana-mana. Tapi ngomong-ngomong, minggu depan bakalan ada festival tahunan. Lo bakalan tampil lagi?" Lisa menggeleng. "Nggak tahu tuh, nggak ada pemberitaan apa-apa ke gue." "Lo mah udah ahli kalo nari-nari gitu, jadi kalai dikasih tau H-1 juga lo pasti siap." "Ya, gak H-1 juga kali, Dis." Keduanya tertawa lalu memasuki kelas yang sudah ramai, beberapa orang sempat melirik ke arah pintu. Menatap center kelas mereka kali ini masuk sekolah. "Wah, tumben banget lo. Apa perlu kita adain hajatan?" celetuk Juni. "Hooh ya, kita semua kangen tau, Lis. Mbok ya, dikasih waktu buat kita. Nggak lama lagi kita pada mencar." itu suara Gilang. Lisa hanya tersenyum menghangat, dia pikir akan dianggap asing oleh teman-temannya karena terlalu sering izin. Tapi, saat mendengar mereka menyambutnya, hati Lisa menghangat. Sudah lama ia tidak merasakan seperti ini. "Bisa kali dianya duduk dulu, lo nggak liat kakinya dibalut gitu?" ucap Dirham yang baru saja tiba lalu merangkul Lisa, semuanya sontak bersorak. "Kalah gercep lu, Lang," sahut Benu. "Gapapa, gapapa, kalau Lisa bahagia." Gladys hanya menggelengkan kepalanya lalu duduk di sebelah Lisa. Memang teman-temannya di kelas XII IPS 2 ini terkenal akan hebohnya, apalagi soal Lisa. "Kaki lo kenapa?" tanya Gladys penasaran. "Biasalah, jatuh pas latihan." "Ck, nggak hati-hati sih lo." Juni duduk di depan Lisa lalu memberikan beberapa buku catatan. "Nah ini hadiah buat lo, tinggal lo salin aja." "Semua?" Juni mengangguk, "Udah gue rangkum dengan bahasa paling mudah lo pahami." "Kalau nggak ngerti bisa tanya Rafa." Rafael yang baru saja tiba langsung menoleh, "Lah kok gue?" "Kan lo orang paling pinter di kelas ini, " racau Juni. "Noh, Dirham juga." Kali ini Juni menatap Dirham yang sedang merunduk dengan ponsel di tanggannya. "Dirham kalau ngajarin serem." "Kenapa nggak lo aja, kan catatan lo, pea." Juni langsung menggeplak kepala Gilang yang sudah berdiri di sampingnya. "Thanks, Jun." "Santai, Lis." Sesekali Lisa melirik Rafael yang duduk sambil menyenderkan punggungnya, dari semua orang di kelas ini... hanya laki-laki itu yang jarang sekali atau malah tidak pernah berbicara dengan Lisa. Sekalinya ngomong juga pasti seputaran tugas, atau kerja kelompok. "Mau ke kantin nggak? Gue denger-denger Ms Cia nggak masuk, mau nikahan," ajak Gladys. "Weh? Serius?" tanya Benu tidak percaya. "Duluan deh, gue mau nyatat. Banyak bener." Gladys mengangguk, "Have fun, Lis! Hahaha." teriak Juni saat mengekori Gladys. "Mabar, Ben." "Kuy." Dirham dan Rafael Lisa merebahkan kepalanya di atas meja, dia sudah selesai mencatat satu mata pelajaran—Sosiologi. Lisa menggerak-gerakkan jarinya, lalu kembali bangkit. Kali ini ia akan mencatat pelajaran Matematika. Baru juga ingin memulai, kepala Lisa langsung berputar-putar menatap beberapa angka yang tercatat rapi di buku Juni. Ia melirik Dirham yang sekarang sibuk berkutat dengan buku tebal, entah tentang apa. Lalu Lisa melirik ke arah seberang Dirham, di sana Rafael sedang memelintir-lintir kertas. Menggumpalnya jadi satu, entah untuk apa. Lisa pikir pasti lelaki itu bosan, karena ini sudah mata pelajaran kedua—tapi tetap tidak ada guru. Sebagian anak kelasnya sudah berada di perpus atau kantin—diam-diam. Juni dan Gladys juga sejak tadi belum kembali ke kelas, sedangkan Benu dan Gilang sudah pergi, entah ke mana. Jadi hanya ada beberapa siswa di kelasnya, Lisa tidak bisa mencatat begitu saja matematika di buku Juni tanpa dijelaskan. Matematika bukan seperti Sosiologi yang mudah Lisa pahami, membayangkan angka-angka di dalamnya saja sudah membuat mual. Lisa berdeham, ia ingin meminta tolong Dirham. Tapi sepertinya lelaki itu terlalu fokus dengan Buku di hadapannya. Jadilah sekarang Lisa berjalan ke arah Rafael, lalu duduk di sebelahnya. Rafael sempat kaget, walau wajahnya masih seperti biasa; datar. Berada sangat dekat dengan Rafael membuat Lisa baru mengetahui, kalau cowok di sampingnya ini sangat harum. Tidak terlalu menyengat, tapi parfumnya cukup menyegarkan. "Kenapa?" tanyanya yang sedikit tidak nyaman saat Lisa menatapnya secara terang-terangan. "Hm. Ajarin gue dong." Rafael menautkan alisnya, menatap buku Matematika di tangan Lisa. "Gue nggak paham kalau Matematika." Rafael menoleh ke kanan kiri, lalu—"Ham, sibuk lo?" tanya Rafael membuat Lisa mendelik. Dirham menggeleng, menautkan alisnya seolah bertanya ada apa. "Lo ahli Matematika, ajarin nih." Dirham berjalan menuju meja Rafael, lalu duduk di depan Lisa. "Kenapa nggak langsung minta ajarin ke gue?" tanyanya. Lisa menyengir, "Tadi lo fokus banget baca bukunya." "Ah. Sini, mana yang lo nggak paham." Lisa menunjuk satu soal di catatan Juni, lalu Dirham menjelaskannya dengan rinci. Sesekali Lisa menganggukkan kepala mengerti dengan penjelasan Dirham. Lalu mata Lisa melirik ke sebelahnya, Rafael sedang menatap mulut Dirham yang komat-kamit. Dalam hati Lisa bertanya-tanya, Rafael selalu berada di peringkat atas barulah di susul Dirham. Tapi kenapa lelaki itu malah menyuruh Dirham menjelaskannya kepada Lisa? "Bahasa gue sulit lo pahami ya?" tanya Dirham tiba-tiba. Kali ini dua cowok itu kompak menatapnya, Lisa berdeham canggung terus menggeleng. "Paham kok." "Ada lagi?" "Bentar, gue catet dulu." Dirham mengangguk, lalu sekarang dua orang itu mengobrol. Dari yang Lisa dengar, Dirham bertanya ke Rafael akan melanjutkan ke mana setelah lulus. Rafael malah balik bertanya ke Dirham. "Gue sih, kalau SNMPTN nggak lewat. Bakalan tes UTBK, salah satu target gue mungkin UI?" "Bagus sih, gue udah aply beberapa beasiswa juga. Tapi belum pengumuman." Dirham ber-oh-ria, lalu Lisa kembali fokus dengan catatannya. Wajar sih kalau Rafael akan sekolah ke luar negeri, otaknya aja encer banget. Bahkan Rafael bisa menjawab pertanyaan yang bahkan Dirham aja nggak tau jawabannya. Rafael tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Gue mau ke toilet dulu," katanya lalu berjalan keluar. Lisa melihat punggung itu hilang di balik pintu. Kalau boleh jujur antara Dirham dan Rafael, keduanya memang cukup tampan. Sama-sama bertubuh tinggi, sama-sama pintar, sama-sama berkulit putih. Tapi... Ada satu hal yang membedakan keduanya. Dirham itu lebih friendly sedangkan Rafael seperti punya dunianya sendiri. Lisa mengembuskan napas perlahan, lalu kembali mencatat. "Lo masih suka ngecover dance?" pertanyaan Dirham sontak membuat tangan Lisa yang sibuk terhenti lalu menatap lelaki itu. "Masih." Kali ini dia mengangguk-angguk, "Adek gue fans berat lo. Dia banyak belajar dance dari video lo, terus tiap hari sibuk nyuruh gue nanyain ke elo kenapa jarang banget upload video baru." "Serius?" Dirham mengangguk. Lisa meringis menatap kakinya, "Gue lagi sibuk persiapan lomba. Kalau lomba kali ini menang dan gue diurutan teratas, bokap bakalan ngebiarin gue kuliah sesuai passion gue. Tapi kalau enggak, gue harus ambil S1 Hukum—kayak bokap." Dirham mendelik, lalu sesekali membenarkan posisi duduknya. "Wah, sayang banget. Padahal banyak fans lo yang nungguin update terbaru video lo." "Kapan-kapan gue bisa dong ketemu adek lo?" "Boleh dong, dia pasti seneng banget." *** Tadinya Rafael akan kembali ke kelas, tapi begitu melihat dua orang yang duduk berhadapan di mejanya sedang berbincang, bahkan Lisa sesekali tertawa membuat ia mengurungkan niat dan berbalik arah. Rafael berjalan di deretan kelas sebelas, beberapa adik kelas yang baru istirahat dan akan ke kantin sesekali memanggilnya. Rafael tidak seterkenal itu, mereka juga pasti mengetahui dirinya karena sering mengikuti olimpiade. Jika dibandingkan dengan Dirham, tentu saja fans teman sekelasnya itu cukup banyak di sekolah ini. Apa lagi Dirham orangnya ramah, dan murah senyum. Rafael akhirnya memutuskan untuk ke perpustakaan, mungkin membaca buku atau sekalian ngadem. Ia lalu mencari buku kemudian menarik salah satu buku tentang self help. Sudah sejak lama Rafael menyukai buku-buku Psikologi, entah karena dengan itu dia mudah mengontrol dirinya atau memang murni karena penasaran. "Hoi!" Rafael mendelik, menatap sosok jangkung yang berdiri di sebelahnya. "Nggak berubah ya bacaan lo," katanya. "Tumben lo di sini?" Dean mengambil salah satu buku di rak depannya. "Menurut lo kenapa?" "Mana gue tau," sahut Rafael. "Gue denger pengumuman beasiswa Australia itu udah pengumuman, Fa." "Lo udah lihat?" Dean duduk di salah satu kursi di belakang rak yang langsung menghadap jendela. "Belumlah, niat gue pergi itu 50 50." "Lha?" Dean terkekeh, Rafael malah menggeleng seolah tau jalan pikirannya. "Tapi ya, kalau gue lulus nih ... ini masih kalau ya, menurut lo? Apa nyokap bakalan setuju?" "Kenapa enggak?" "Yeuh, kasih respon panjang dikit kek, Fa." "Ya, itu tergantung gimana cara lo ngeyakininnya, kan?" Dean menganguk. "Terus, kalau lo gimana?" "Gimana apanya?" "Ya beasiswanyalah, bege." Rafael terkekeh. "Lo pasti tau jawabannya." "Hm, dari dulu lo pengen ngurangi beban kakak lo ya, Fa." Rafael mengangguk-anggukkan kepalanya, matanya fokus pada buku di hadapannya. "Kalau gitu, lo bakalan jadi alasan gue ke nyokap. Oke?" "Kok gue?" "Ya lo kan tau, nyokap gue kalau udah nyebut nama lo aja langsung sumringah. Terus langsung iyes aja." Rafael menggeplak kepala Dean, cowok bertubuh jangkung itu meringis. "Alasannya yang masuk akal, kalau lo emang mau pergi. Kalau enggak lo bisa tolak." Kali ini Dean tidak mau membantah, perkataan Rafael selalu benar menurutnya. Description: Lisa sudah berjanji, ia akan hidup sebagaimana harusnya. Mencintai seadanya, bermimpi sesukanya. Bertemu orang-orang yang bekerja keras demi mimpi yang nyata. Jatuh. Bangun. Terluka. Tapi ia lupa, bagaimana caranya agar tetap bahagia. Berada di antara banyak orang yang mengaguminya, membuat Lisa sadar-hidupnya bukan hanya sebatas followers instagram, bukan hanya perihal subscriber jutaan. Lebih dari itu. Lisa punya kendali segalanya, bagaimanapun ini mimpinya. 20.05.08 ©haloyellow
Title: When Im with You Category: Teenlit Text: Prolog Mikayla Faradisa, gadis berumur 16 tahun kelas 11 bersekolah di SMA Harapan Bangsa, Jakarta. Gadis berambut panjang ini sangat di segani semua murid, ia juga di takuti karena sikapnya yang arogan dan sombong. Tak ada yang berani melawan seorang Key, begitu ia di sapa. Key anak tunggal dari Larasati dan Wirahadi, ayahnya empunya Yayasan di sekolahnya. Jelas saja, ia juga sangat di manjakan oleh kedua orangtuanya. Key memiliki seorang sahabat sekaligus contekan berjalannya. Asyifa, gadis yang tak kalah cantik dengan Key, kepintarannya sungguh luar biasa. Syifa meraih juara umum di sekolah Harapan Bangsa, Syifa juga sering mengharumkan sekolahnya dengan mengikuti Olimpiade dengan beberapa piala yang sudah bertengger disana. "Key, lu tau gak kalo di sekolah kita ada anak baru, ganteng buanget mirip lee min ho, nih sampe jantung gue tuh rasanya mau pecah, Key." Syifa sahabat mikayla atau yang sering di panggil key ini membuka obrolan di pagi yang cerah secerah wajahnya Al ghazali. "Oh, Ya? Gue nggak tertarik." Key yang tengah sibuk mencontek, tak menghiraukan Syifa yang mencoba membuka perghibahan di pagi hari "Tapi ini beda, Key." Syifa yang merasa perkataannya tak respon baik oleh rekannya mendadak jahil, ia mengambil paksa pulpen Key "Please, Fah, jangan sekarang bentar lagi masuk, gue gak mau di hukum lagi ama tuh guru killer." "jadi lu percaya gue kan?" Syifa menatap sahabatnya itu dengan picik, "Hm iya-ya deh." Key menganggukan kepalanya cepat lalu meraih pulpen yang berada di tangan Syifa. Kringggg. . . Bel berbunyi cepat, dengan berat hati Mikayla di kalahkan oleh bunyi bel itu. Ia menatap tajam sahabatnya seperti ingin menyedot habis darah di tubuhnya, Vampire kali ah! "Maaf, Key, elu sih datangnya kelamaan," Syifa yang paham sahabatnya sedang menatapnya tajam, mencoba membalikkan keadaan. "Bu rida datang. . Bu rida datang. ." teriak salah satu siswa, sontak seisi kelas menjadi panik dan kembali ke tempat duduk asalnya "Good morning student." Bu Rida tampak begitu antusias melihat siswa-siswi nya, kelas yang tadinya seperti pasar kini berubah total layaknya kuburan, Bu rida adalah salah satu guru dengan kategori killer yang mengajar pelajaran Matematika. "Apa kita ada tugas?" tanyanya pada seluruh murid, "Tidak, Bu" serempak murid mengatakan tidak, tidak dan tidak. Walaupun ada harus berkata tidak! Tidak pada PR matematika! "Bagus, sudah berani kalian berbohong ya, kalian fikir saya tidak ingat. Cepat kumpulkan!" serunya "Yaampun guru lu itu, kalau ingat kenapa nanyak coba, mati gue belum selesai!" Key mengoceh tak jelas, ia yang tahu dirinya sedang dalam masa 'maju kena mundur kena' kini pasrah akan nasib hidupnya. Setelah seluruh Murid mengumpulkan semua tugas, Bu Rida masih saja menghitung tumpukan buku yang menjulang tinggi, ia memang guru yang disiplin. Satu kali tidak mengerjakan berdiri dengan satu kaki, dua kali membersihkan toilet dan tiga kali di black list dari jam pelajarannya. "Siapa yang tidak mengumpulkan tugas maju kedepan, sudah salah tidak tahu diri! Masih berani duduk dengan santai." Bu Rida dengan cetusnya berkoar pada puluhan muridnya memakai nada tall, nada tinggi maksudnya. Key yang merasa dirinya sudah di ujung tanduk berjalan perlahan ke hadapan Sang guru meminta agar waktu di berhentikan secepatnya. "Oh, jadi kamu Mikayla, menurut catatan saya kamu sudah dua kali tidak mengerjakan PR, kamu tau kan konsekuensinya?" Bu Rida meneliti catatan keramatnya dengan kacamatanya yang sengaja di turunkan sedikit. "jangan dong Bu, Please. . " Key memohon dengan kedua tangannya tertunduk lesu. Tok. . Tok. .Terdengar suara ketukan dari luar pintu kelas, seseorang membuka sedikit daun pintu hingga terbuka "Selamat pagi, Bu" seorang siswa laki-laki masuk tanpa merasa bersalah, dengan sangat berani ia terlambat di jam pelajaran Bu Rida, "Kamu siapa? di sini gak terima tamu." Dengan logat bicaranya yang ceplas-ceplos dan sedikit kasar Bu Rida menatap mata siswa baru itu dengan nanar "Sa-saya siswa pindahan bu, maaf telat." katanya sadar kalau gurunya tak sebaik pemahamannya "Maaf? Tidak ada kamus itu dalam hidup saya." Katanya dingin kini tanpa ekspresi, sepertinya moodnya sedang tidak baik hari ini. "Sekarang juga, Kamu dan Key keluar sekarang, bersihkan toilet yang ada di pojok dekat gudang!" Lerintahnya dengan tegas. Key dan si Murid baru hanya saling bertatapan tanpa mencerna perkataan Sang guru. "Satu..dua.." Bu Rida memberi kode, lantas key dan siswa itu pun bergegas pergi "Ayo kita lanjutkan pelajaran." katanya pada murid di kelas. Sementara Key dan si anak baru sudah tiba di toilet,Namun, Key hanya berdiri di depan pintu toilet sedang si anak baru lebih memilih bungkam, menuruti perintah Bu Rida ia dengan sangat teliti membersihkan bak di dalam toilet yang terlihat sudah lama tak terpakai. "Hei kamu, tolong dong ambilkan sikat itu," katanya pada Key, meminta pertolongan. "iyuw, ogah, seorang Mikayla Faradisa di suruh ngambil sikat kamar mandi, nanti tangan gue berkuman lagi, enggak banget." Ocehnya tanpa merasa bersalah. Si anak baru yang belum di ketahui namanya itu hanya menatap tajam mata gadis itu, ia beranjak dari tempatnya menjangkau sikat kamar mandi yang di mintainya pada Key namun tak di hiraukan. Key malah sibuk dengan gawai nya.Key berdecak kesal tak karuan melihat si anak baru dengan sengaja menyikat lantai di dekatnya hingga percikan air nya mengenai seragamnya. "Woi, lu kerjanya yang bener dong, liat nih seragam gue jadi kotor." Katanya sedikit menjauhi dari siswa baru. "Gak asik lo," sambung Key, lalu pergi meninggalkan pria asing itu, tak lama Bu Rida memantau untuk memastikan kedua muridnya melakukan perintahnya. "Dimana Mikayla?" tanyanya melihat kesana kemari, "i-itu buk," anak baru itu sangat gugup mendapati guru killernya kini sudah ada di dekatnya "Itu-itu dimana?" tanyanya lagi memastikan. "Tadi dia cakep Bu, eh, capek Bu jadi dia izin beli minum bentar" jawabnya asal kena. "Oh begitu, baguslah, sudah karena jam pelajaran saya sudah habis kamu boleh pergi, tetapi ingat satu hal ya, jangan terlambat lagi!" katanya menjelaskan pada siswa barunya. "I-iya bu" katanya makin gugup "Sudah, saya memang begini kalau mengajar kamu jangan terlalu gugup, saya gak makan orang kok." Guru killer itu bisa juga bercanda, entah garing atau tidak masalah belakang, guru selalu benar! Murid baru membalas dengan senyuman kecut yang terpaksa ia sunggingkan. Setelah Bu Rida pergi, secepatnya ia mengambil tas nya dari gantungan lalu bergegas masuk ke kelas agar jangan sampai ia terlambat lagi. Dia adalah Zayn Michele Oden Setibanya murid baru itu di kelas, Key terlihat sudah berada di dalam sambil tertawa bergosip dengan sahabatnya, Syifa. Anak baru itu mencari-cari tempat yang kosong, namun hanya kursi di belakang Key yang kosong. Mau tak mau ia harus duduk di sana. Ia berjalan ke lorong kursi Key, menatap gadis itu dengan tajam setajam silet, ingin saja ia menjitak kepala gadis yang belagu itu. "Apa lo, mau duduk di sini? gak bisa, ini udah ada orangnya!" Katanya pada murid baru. "Emang ini kursi lo?" Siswa baru yang sudah tak tahan dengan emosi yang sengaja di pendamnya kini sudah merasa habis kesabaran menghadapi seorang Key. "Wah, nyolot lo ya. Lo gak tau siapa gue!" Key yang tak ingin di kalahkan secepatnya berdiri menghadang si murid baru layaknya mengajak lelaki itu untuk berduel, wajahnya memancarkan ketidaksukaan. "Boleh kok, duduk aja, ini gak ada yang orangnya kok" Syifa dengan gamblangnya memberikan pendapat yang tentu saja tak seirama dengan kemauan Key. Murid baru itu menggeser sedikit tubuh Key lalu duduk dan bersandar di kursi kosong tersebut, ia terlihat sangat kelelahan, keringat di kepalanya terus mengalir sampai jauh, mata air kali!! "Nih pake aja," Syifa memberikan sebungkus tissue pada murid baru, ia tampaknya memiliki rasa yang lebih pada cowok tampan berwajah campuran itu.Murid baru menerimanya, memberi senyuman manis pada pemilik nama Syifa, sementara Key merasa sudah di khianati oleh sahabatnya yang sama sekali tidak mendukungnya. "Key, ini yang gue bilang murid baru, tapi kenapa dia bisa telat coba, padahal gue liat dia tadi di parkiran, sumpah ganteng buanget kan udah kaya Aliando," bisik Syifa mengagungkan Sang murid baru, Key yang sudah dongkol duluan dengan sikap Syifa hanya diam tak meladeni. "Lu masih marah Key sama gue, maaf Key gue gak maksud.." "udah deh Fah, males gue di sini" Key lantas pergi begitu saja meninggalkan sahabatnya, ia juga membawa tasnya untuk berganti posisi duduk dengan teman di depannya. "Hei, Nih sisa tissuenya, Makasih ya." Murid baru itu menyentuh punggung Syifa pelan, mengembalikan beberapa sisa tissue milik Syifa. "Eh, iya, sama-sama," Syifa berbalik dan mengambil sisa tissuenya dari genggaman tangan Murid baru. Tak lama Pak Anton, guru yang mengajar pelajaran Olahraga masuk ke kelas 11 itu. "Selamat pagi menjelang siang Murid-murid," katanya memandangi murid-muridnya satu persatu. "Seperti ada yang janggal, tapi apa ya?" tanya guru olahraga itu pada muridnya "Ada anak baru pak." Syifa menjawab dengan cepat, menunjuk seorang Murid di belakangnya. "Ayo perkenalkan dulu dirimu." Pak Anton yang baru menyadari anak baru itu langsung menyuruhnya memperkenalkan diri di hadapan para muridnya, murid baru berjalan mendekati Pak Anton, memperkenalkan dirinya pada teman barunya. "Hallo, nama saya Zayn Michael Oden, teman-teman boleh panggil saya Zayn, saya pindahan dari Bandung." Zayn menebarkan senyum ke segala penjuru, hidungnya yang mancung bak Al Ghazali, mata yang lebar seperti Aliando dan bibir yang seksi seperti Jefry Nichole membuat gadis yang menatapnya meleleh seperti ice cream yang terkena sinar matahari. Tiga bintang dalam satu tubuh dari seorang Zayn, ia lebih dari seorang bintang, tepatnya bintang-bintang! Setelah memperkenalkan diri, semua gadis di sana begitu takjub dengan paras rupawan Zayn, bahkan Mina orang yang 'agak' gak normal sekalipun langsung mimisan ketika melihat ketampanannya. Zayn menjadi bintang baru di sekolah itu. Pak anton mempersilahkan Zayn kembali ke tempat duduknya, tetapi sesaat setelah ia tak lama berjalan seseorang terlihat sengaja menjegal kaki Zayn, Zayn terjatuh ke lantai, lututnya menahan bobot tubuhnya, telapak tangannya memerah menahan dirinya agar tak jatuh bebas. Key dengan kerasnya menertawakan Zayn.Pelaku utamanya adalah Key, Key sepertinya sangat terganggu dengan kedatangan seorang Zayn Oden.Zayn tak menghiraukan ia secepatnya bangkit, tak ada yang berani membuka suara kecuali Key. "Sakit ya?" tanyanya mengejek, kembali ia tertawa renyah melihat Zayn.Zayn menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan perlahan, pria itu sepertinya mencoba mendamaikan isi di kepalanya, menyatukan hati dan fikirannya agar konstan. "Oke semuanya kembali ke pelajaran, saya beri waktu 5 menit untuk ganti pakaian lalu berkumpul di lapangan." Pak Anton memberi penjelasan dengan para murid. "Ya, Pak." Jawab mereka kompak. Pak Anton lalu pergi meninggalkan kelas. Aji seorang Wibu Zayn yang memang belum memiliki baju olahraga memilih diam di dalam kelas, sementara para murid yang lain sibuk berganti pakaian di toilet. "Zayn lu gak olahraga?" tanya teman sebangkunya, "Tidak, Oh, ya nama kamu siapa? Kita belum berkenalan sejak tadi." tanyanya "Nama gue Aji," jawabnya cepat Aji adalah wibu akut, misi nya ketika tiba di sekolah adalah menonton Dragon Ball, naruto, Captain Tsubasa dkk, wajahnya yang lumayan ganteng tak sepadan dengan hobinya yang malas-malasan, menonton anime, atau bahkan tidur pada jam pelajaran. Tetapi anehnya saat ia di panggil ke depan kelas untuk mengerjakan soal matematika sekalipun, ia mampu. Aji, kamu luar biasa *nada noah* "Beginj aja Zayn, lu kan anak baru harusnya berbaur gue juga males banget dah tu olahraga-olahraga an kagak penting, gue belum selesai nonton anime. Jadi, lu aja yang make baju gue, bilang aja gue sakit kepala sampe kagak bisa bangun." Tanpa membutuhkan jawaban dari Zayn, Aji langsung memberi seragam olahraganya itu pada teman barunya, lalu memasang earport di telinganya dan mulai menjadi wibu, wibu bau bawang ! Zayn mengambil seragam itu, ia melihatnya, merasa bimbang tetapi Zayn memang penggemar olahraga, terlihat dari badannya yang cukup atletis, contohnya ketika memakai seragam sekolah saja menampakkan bentuk badan Zayn yang kotak-kotak namun tak kuning itu sih spongebob! Zayn pergi begitu saja menggenggam baju yang telah di serahkan oleh Aji, ia berjalan menyusuri lorong beberapa kelas, tak di sengaja Key berjalan dari arah berlawanan, Key yang tak ingin melihat Zayn, secepatnya ia membuang muka dan berpura-pura tak melihat lelaki itu, Syifa memperhatikan rekannya itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seakan memberi kode pada Zayn entah apa yang telah merasuki Key hingga sebenci itu ia melihat Zayn. "Aji! Kenapa lu kasih seragam olahraga lu ke cowo tengil itu coba," Key memukul meja Aji, teman wibunya, ia meluapkan emosinya yang memuncak tetapi si wibu yang sepertinya tak mendengar tetap santai menatap layar ponselnya dengan wajah polosnya, Key yang merasa dirinya tak di tanggapi menarik paksa earport Aji hingga terlempar ke lantai dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Aji menatap Key dengan nanar, barang keramatnya dibuat rusak oleh Key. "Key lu punya otak gak sih! Mau gue kasih ke orang kek seragam gue mau gue kasih ke pengemis, emang apa urusannya sama lo!" Aji hilang kesabaran nafasnya tak teratur wajahnya berubah menjadi dakocan, sinchan atau jangan-jangan luffy, pemeran utama one piece, oh tidak! Aji memang benar marah, hingga urat-urat yang tersimpan ia keluarkan, kini aji berubah menjadi hulk! "lu yang salah, lu yang gak dengerin gue ngomong" Key yang tak merasa bersalah malah menyalahkan aji, lalu pergi begitu saja meninggalkan Syifa dan Aji. Syifa berjalan membuntuti Key, ia tak tahu mengapa sahabatnya kini berubah menjadi tokoh antagonis. "Stop Key, lu harusnya gak gitu sama Aji, lu harus minta maaf Key sama dia, lu yang salah." Syifa tampaknya memberi wejangan untuk sahabatnya yang tak ingin di salahkan "Udah lu diem aja deh, lu juga mau belain anak baru itu" kini Key berjalan lebih cepat meninggalkan Syifa sendirian, ia masih tak mau mengakui kesalahan yang telah di perbuatnya. Dilapangan, para murid diperintahkan untuk berbaris "Murid-murid kali ini kita akan bermain basket, tim perempuan akan saya bagi menjadi dua kelompok dan tim laki-laki pun begitu, nantinya tim perempuan yang masuk final akan melawan tim laki-laki untuk mendapat hasil akhirnya, saya akan berikan nilai A untuk tim yang menjadi pemenang" Pak Anton menjelaskan secara detail prosedur permainan tersebut. Namun tiba-tiba semua mata menyorot ke arah seseorang di sana. "Wah Zayn" "Itu Zayn" "Ganteng banget dia, Parah!" "Gue mau dong jadi pacar Zayn" "Aak Zayn neng mau atuh di jadiin calon istri" Kalimat-kalimat itu terdengar riuh di barisan perempuan yang melihat Zayn mengenakan pakaian olahraga dengan badan atletisnya, semua gadis meleleh melihatnya kecuali Key yang menatap Zayn dengan tatapan penuh dendam. "Duh tiba-tiba gerah gue, pengen muntah." Key menyeka kepalanya yang tak basah, berpura-pura mual padahal tidak. Zayn yang masuk ke barisan tidak tau-menau dengan prosedur yang di katakan pak Anton terlihat kebingungan. "Zayn Pak, Captain timnya" seorang murid laki-laki menunjuk Zayn dengan wajah sumringah. "Oke kalau begitu Zayn, Aldi, Key, Sarah, kalian adalah capten tim pilihlah tim kalian dengan bijak," ucap pak anton menjelaskan. Para murid sibuk bergerombol meminta agar satu tim dengan Zayn, Zayn terlihat kebingungan sedangkan Key menatap dengan sinis ketidaksukaannya. Dengan bersusah payah akhirnya mereka terpecah menjadi 4 tim, Key yang masih sewot kepada Syifa sama sekali tak mengajak sahabatnya itu untuk masuk ke timnya. Key vs Zayn Tibalah puncak pertandingan, tubuh Zayn yang tinggi tentu saja memudahkan timnya untuk mencetak angka, karena tak ada sama sekali yang menandingi pria tampan nan atletis itu. Kemudian dari tim perempuan, Key yang cukup tinggi dan gesit mampu mengalahkan lawannya dengan nilai telak, Key berjingkrak-jingkrak bangga terhadap prestasi yang ia peroleh. "Apa gue bilang, kita pasti menang guys." Key dengan kesombongan diri yang tinggi melambungkan dirinya sendiri dengan berbangga hati. Prittttt... Tiupan seruling tak berbambu itu mengoyakkan telinga para murid, para murid berhamburan dan kembali berbaris dengan tim nya masing-masing. "Tim Zayn melawan Tim Key, ayo masuk ke lapangan." Pak Anton terlihat sangat antusias melihat kedua tim yang membuatnya terkesima. Prittt..tiupan seruling tak berbambu menandakan permainan telah dimulai, Key mengerahkan anggota timnya dan Zayn terlihat mantap dengan posisinya, permainan yang cukup ketat, Zayn unggul dua point dari tim perempuan, tim Zayn terlihat bersemangat sekali seperti ingin membumi hanguskan lawan mainnya, tim Zayn berhasil menjajah tim Key dan menciptakan point dengan mudahnya, dengan berat hati Key harus menyadari kekalahannya, ia berupaya dengan sekuat tenaga menjatuhkan Zayn, saat Zayn dan Key bertatap muka Key mencoba berbuat curang, ia berupaya merebut bola dari Zayn. "Zayn apatuh di belakang lo," gertaknya dengan cepat, "Apa?" Zayn menoleh ke belakang sedangkan Key merebut bola yang berpantul di tangan Zayn, Key berlari dan melompat setinggi mungkin, dan ya, ia berhasil menambahkan point nya. Pritt..pritt..pritt.. Waktu habis, semua tim bersorai kecewa, permainan seri tak ada yang menang dan kalah. Tim Zayn yang merasa di curangi tak berkutik ketika tahu biang keladinya adalah Key. "Curang lo!" Zayn melabrak Key, sedangkan tim Zayn berada di belakang Zayn tak bergeming. "Suka-suka gue dong, lo aja yang oon mau di kibulin." Key lagi-lagi tak merasa bersalah, ia merasa dirinya pantas melakukan Zayn seperti itu. Zayn tak lagi melawan, ia sangat menghargai wanita, ia tak tahu mesti berbuat apa pada dirinya sendiri. Ah sudahlah ini hanya permainan Zayn, fikirnya positif. Zayn lalu bergegas mengganti bajunya ke arah toilet diikuti teman-teman lelakinya. "Tuh cewe emang begitu Zayn, dia itu anaknya ketua yayasan di sekolah ini, jadi gak ada yang berani sama dia." Salah seorang teman sekelas Zayn membuka suara sembari mengganti pakaian. Zayn hanya mengernyit tak paham, sangkut paut nya dengan empunya sekolah apa, toh disini dia juga murid, tetapi Zayn tak memberi tanggapan kepada teman yang seakan takut kepada seorang Key. Zayn malah berniat untuk merubah Key menjadi lebih menghormati temannya, jika anak presiden saja masih jualan pisang, maka key harusnya tak sombong seperti itu, mungkin dia bisa mencoba jualan donat! Kring. . . Tibalah waktu yang di nanti para murid yakni pulang. Zayn yang terlihat tak ingin berdesakan memilih menunggu di kelas hingga seorang pun tak tersisa kecuali ia dan teman sebangkunya, Aji. "Ji, lo gak pulang?" tanyanya pada aji yang tengah asyik dengan kesibukannya menjadi seorang wibu akut. "Gak, gue males di rumah, kagak ada orang. Paling nyokap bokap gue lembur lagi." Acuh tak acuh aji membalas pertanyaan Zayn, sama sekali tak berpaling dari ponselnya "Oh gitu, yauda gue balik duluan ya," Zayn yang sedang berada di ambang pintu melihat kesana kemari untuk memastikan keadaan sudah tak riuh lagi, ia meninggalkan begitu saja Aji yang sudah terdiagnosis wibu itu. Zayn meluncur ke parkiran sekolah, melihat hanya beberapa kendaraan yang tersisa disana, termasuk mobil sedan berwarna merah berstiker hello kitty, Zayn memakai helm berstandart dan segera melaju meninggalkan hari pertamanya yang sedikit sial itu. Tetangga baru Sesampainya di rumah, Zayn melihat sebuah mobil tak asing terparkir di depan rumahnya, tapi mobil siapa itu? Ah entahlah mobil semacam itu memang banyak di miliki semua orang, tapi stiker hello kitty yang persis menempel di sudut kaca? "Assalammualaikum, Ma" Cowo berdarah campuran itu memasuki rumah barunya yang terlihat megah. "Waalaikumsalam, Zayn sini deh, Mama baru saja membuat cake untuk para tetangga, sengaja sih sebenernya buat ngejalin silaturahmi buat orang baru seperti kita ini" Zayn menatap Diandra, Mamanya sedang bersemangat sekali di dapur tatanan kue Diandra yang indah tak kalah menarik dengan kue yang ada di toko. "Oke, Ma, Zayn bakal antar cake ini kemana ?" dengan raut wajah polos Zayn yang masih mengenakan seragam putih abu-abu ia membawa sebuah kue. "Pertama kali kasih ke tetangga depan rumah aja gimana, Zayn?" tanya Diandra pada Zayn "Ide bagus, Ma," Zayn dan Diandra tersenyum lebar, mereka terlihat gembira. Zayn yang memang penasaran dengan mobil yang terparkir di depan rumahnya, berjalan lebih cepat. Ia mengetuk pintu rumah, seseorang keluar dari dalam. "Mau cari siapa ya, Mas?" seorang wanita paruh baya, sepertinya seorang pekerja di sini. Terlihat ia sedang memegang kemoceng dan alat bersih-bersih lainnya juga mengenakan seragam. "Apa pemilik rumahnya ada, Bi?" tanya Zayn agak ragu, takut salah mencap orang. "Oh, Nyonya. Ada Mas, sebentar saya panggilkan." Wanita itu lantas pergi memanggil seseorang ke dalam kamar, ia mengetuk pintu agak keras. "Permisi, Bu, ada yang mencari" "Siapa, Bik?" tanya orang di dalam kamar tanpa membuka pintu. "Tidak tahu bu, dia bilang mau ketemu ibu" katanya lagi. Tak beberapa lama seorang wanita bertubuh tinggi, berparas cantik dengan balutan hijab nya, seumuran dengan Diandra, Ibu Zayn beranjak keluar dari kamarnya, kemudian wanita itu menemui Zayn yang berada di teras rumah. "Ada perlu apa nak, kamu temannya Mika, ya?" Tanyanya tak paham dengan maksud kedatangan Zayn. "Tidak tante, saya baru pindah tepat di seberang rumah tante, Mama ingin memberikan ini kepada tetangga barunya, Mama sendiri loh tan yang buat kalau enggak enak kasih kucing juga boleh, tapi saya jamin deh tan rasanya gak kalah sama toko kue terkenal sekalipun." Zayn cengengesan mempromosikan kue milik ibunya itu. "Oh, begitu, boleh dong sesekali tante main kerumah kamu, ayo masuk dulu, nama kamu siapa?" Wanita itu kemudian menerima kotak berisi kue tersebut dari tangan Zayn. "Dengan senang hati tan, Mama juga sering kesepian sih, nama saya Zayn, Tan" "Ngomong-ngomong seragam kamu seperti seragam sekolah anak saya, kamu sekolah di SMA Harapan ya?" "iya tante benar sekali" "tunggu ya, biar tante kenalin kamu dengan anak tante siapa tau kalian saling mengenal" "Mikaa... Mika.." panggilnya setengah berteriak. "Bik Marni, tolong kamu panggilkan Mika, ya." Perintahnya pada Bik Marni. "Sebentar ya Zayn, Mika agak ribet soalnya" katanya menahan Zayn untuk tetap berada di sana. Tak beberapa lama, Bik Marni turun dari lantai atas "Bu, Non Mika nya sedang tidur" "Yasudah gak papa Tan, lain kali Zayn main kerumah tante lagi, Zayn juga belum sempat ganti baju. Zayn pamit ya, Tan." Pemuda itu bersalaman layaknya Ibu dan anak, tata krama yang sudah di ajarkan Diandra kepada Zayn sejak ia masih kecil. Menghormati yang tua dan menghargai sesama nya. "Assalammualaikum, Ma." katanya sembari membuka pintu "waalaikumsalam Zayn, gimana nak, Sukses?" "gimana apanya Ma, ya udah di terima lah." "Wah bagus deh Zayn, yasudah kamu cepetan mandi gih, Mama uda ga tahan nyium bau baju kamu" Zayn menatap bajunya, bagaimana tidak bau, Zayn membersihkan toilet yang super duper menyengat itu mengenakan seragam sekolah, sudah pasti baunya lengket keseragam nya lantaran air yang terciprat di bajunya. "Kenapa kotor begitu?" Diandra kini menatap anaknya seperti mengintrogasi maling sendal. "ini Mah, hem. ." "hem apa, Zayn?" seru Diandra, Zayn terlihat makin gugup "Udah ah Ma, Zayn mandi dulu." Ia berjalan cepat meninggalkan pertanyaan Diandra, seperti sudah tertangkap basah Zayn segera masuk kedalam kamar mandi tanpa menjawab. Diandra hanya tersenyum melihat tingkah anaknya yang terlihat kekanakan itu, Diandra sangat menyayangi anak itu. Hari kedua di sekolah Matahari sudah menyongsong ke arah timur, memancarkan sedikit cahaya nya hingga ke dalam bilik kamar Zayn "Zayn bangun!" diandra yang tengah membuka tirai jendela Zayn menyeru pada Zayn yang tak kunjung bangun dari tempat tidurnya. "iya Ma." Zayn berusaha membuka kedua matanya yang tak sejalan dengan kemauannya yang ingin tidur saja, tubuh Zayn terlihat berat sekali di bangunkan. Ia tampak kesakitan, barangkali karena kemarin ia membersihkan toilet sekolah seorang diri, Zayn bukan Zayn yang sebenarnya. Fisiknya memang terlihat kuat namun sebenarnya tidak, membersihkan toilet baru kali pertama di lakukannya, ia selalu di manja dengan Diandra sejak kecil. "Zayn jangan lupa minum obat, kamu kelihatan pucat sekali." Diandra kaget ketika melihat wajah Zayn berubah pucat pasi. "Zayn kalau kamu masih belum enakan, tidak perlu pergi ke sekolah." Wajah Diandra terlihat cemas menatap anaknya. "Nggak Ma, Zayn bisa kok." Pria berusia 16 tahun itu kini beranjak pergi meninggalkan tempat tidurnya menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya, berjalan sangat perlahan berusaha menguatkan tubuhnya. Diandra hanya menatap anaknya dengan sendu. "Zayn biar Pak Muklis aja yang antar kamu, jangan naik motor." Zayn yang tengah menelan obatnya menggeleng dengan cepat. "Nggak Ma, Zayn bisa kok." Bantah Zayn cepat. "Nggak Zayn, ini keputusan Mama, Pak Muklis sudah menunggu di depan, kalau kamu merasa masih kurang sehat jangan di paksakan Zayn, mama nggak mau kamu kenapa-kenapa" "iya, Ma." Zayn tak bisa berkutat dengan perintah Diandra yang sudah bulat, ia mengambil sebuah tas di sampingnya mendekati Diandra, tak lupa bersalaman dengan Sang Ibu dan mencium pipi sang ibu. "Mobil itu masih ada di rumahnya." Zayn menatap mobil yang terparkir di garasi milik Larasati, lalu ia segera masuk ke dalam mobilnya untuk pergi ke sekolah. **Dari kediaman Larasati** "Yaampun Mika, udah jam segini kamu belum juga mandi?" Larasati seperti melihat setan di hadapannya, Mika dengan rambut berantakan keluar secara tiba-tiba mengejutkannya. "Santuy, Ma, Woles" jawabnya enteng "Kamu ini ya, santuy, woles bahasa apa itu, begitu caramu berbicara dengan Mama?" "itu bahasa gaul Ma, udah ah Mika mau mandi dulu ya." Mika menguap sebentar sambil mengucek-ngucek kedua matanya, gadis itu kini telah tumbuh dewasa namun masih saja tak berubah, Laras hanya menatap anak kesayangannya dengan kesabaran yang luar biasa. Di sekolah masih pukul 06.30, Zayn sengaja datang lebih cepat agar tak kena macet, saat memasuki lorong sekolah yang masih sepi ia merasa ada yang mengikutinya dari belakang, ia mempercepat langkahnya sambil melihat ke arah belakang sesekali untuk memastikan, bulu kuduknya sedikit berdiri ketika melihat sesosok bayangan perlahan mulai mendekat. Daaarr.... Jantung Zayn hampir saja lepas dari tempatnya, ekspresinya tak bisa di jelaskan, matanya menatap tajam seseorang. "Ah elo, Kampret!" Zayn mengelus dadanya yang agak sesak, mengatur nafas nya keluar masuk, kembali menyeimbangkan dirinya lagi. Orang itu adalah Aji, si wibu bau kencur itu secara mengendap-endap telah dengan sengaja merencanakan perbuatan kejinya "Jadi lu kira siapa? Setan?" tawanya cekikikan seperti baru saja menang lotre "Iya gue kira Malaikat Izrail mau nyabut nyawa gue." Balas zayn yang terlihat sebal menatap rekannya "Lo tumben datang cepat, biasanya.." "Telat!" jawab Zayn singkat memotong dialog Aji. "Baru telat sekali aja gue udah di cap jelek ya di sini." Zayn dan Aji berjalan bersama memasuki lorong kelas-kelas yang belum begitu ramai seperti biasanya. "Emang kenapa lo bisa telat?" tanya Aji penasaran. "Eh gue kemarin nonton One Piece, gue denger Luffy jadian sama Nobita, ya?" Zayn mengalihkan pembicaraan Aji, "Ah yang bener lu, di episode berapa sob?" Aji secepatnya melupakan pertanyaan sebelumnya dan menanyakan perihal omong kosong Zayn "Emang sejak kapan One Piece Berkolaborasi sama Doraemon?" Zayn menatap aji serius "Parah lo, gue di kibulin." Aji balik menatap Zayn, ia merangkul rekannya dan bersamaan masuk ke dalam kelas mereka. Aji dan Zayn amat terkejut ketika melihat siswi perempuan sudah terlebih dahulu sampai ke kelas, sepagi buta ini dirinya sudah ada di kelas yang tak berpenghuni, Aji beranjak ke kursinya yang berada di belakang, sedangkan Zayn tertinggal di belakang Aji. Aji melihat wajah gadis itu, tetapi gadis yang sedaritadi menutup wajahnya dengan sebuah tas tak menghendaki Aji untuk membuka pembicaraan. Aji menyentil pundak gadis itu. "dede cipah, bagi contekan dong, gue tadi malam lembur abis nonton Dragon Ball." Ya, gadis itu tak lain dan tak bukan adalah Syifa. Aji memelas, sayangnya, gadis itu tak menghiraukan. Syifa tampaknya menghadapi masalah yang cukup rumit hingga dirinya tak seperti biasanya, yang selalu ceria. "Gue lagi males Ji, uda deh jangan ganggu gue, jangan sentuh gue, please!!" Ucapnya masih dalam wajah tertutup tas. "Eh, lu tau ga, 2 hari yang lalu gue nonton film judulnya Kimi No Na Wa, dua pribadi yang saling bertukar karakter, yang satu namanya Mitsuha Miyamizu dia tuh lagi nyari tubuhnya yang ketuker, jangan-jangan tubuhnya yang ketuker itu ada di lo ya?" Dahi aji berkerut memikirkan alur cerita film yang belum selesai ia tonton karena ketiduran, Syifa enggan membalas argumen dari temannya itu, tiba-tiba ia terbangun dan melihat Aji di sebelahnya, menatapnya dengan penuh was- was. "Lu sakit jiwa ya." Syifa mendorong tubuh Aji hingga Aji sedikit mundur dari kursinya, Aji tampak puas ketika Syifa membalas Aji seperti biasanya. "Nah ini baru gue percaya kalo lo turunan mak lampir!" Aji tertawa renyah serenyah wafer yang baru di buka dari bungkusnya. "Dasar Wibu!!" Jaka Dara tahunan Zayn duduk perlahan bersebelahan dengan Aji ia menatap Syifa yang kembali ke tempat awalnya, masih tetap menempelkan wajahnya di atas meja seraya menatap kosong. Zayn mengawasi Syifa, benar kata Aji. Syifa berbeda hari ini. Bel berbunyi, namun Key belum juga datang, kelas yang tadinya masih sedikit kini sudah meluap, para murid khususnya kaum adam tak bisa lepas dari yang namanya mencari contekan, hari itu pelajaran Kimia, namun Syifa sang juara kelas sekalipun belum mengerjakan PR nya. Dan lagi bangku di sebelah Syifa yang biasanya diisi oleh key masih kosong. "lo ngerasa ada yang beda gak sih dari Syifa, Ji?" tanya Zayn pada Aji yang sibuk menatap ponselnya. "Ya." jawabnya singkat, jika perihal film anime guru sekalipun tak di gubrisnya bagaimana dengan Zayn yang baru di kenalnya. Sudah sekitar 10 menit, guru kimia belum juga muncul, para murid ramai kesana kemari seolah sedang di pasar, begitulah kondisi kelas yang sesungguhnya ketika guru sedang tidak ada, seperti anak ayam yang baru saja di lepas induknya. Tiba-tiba saja murid berlarian ke tempat duduknya, seperti banci yang dikejar satpol PP, sontak Aji melepas headsfree dari telinganya, ia menjatuhkan handphone nya ke dalam laci mejanya. Samar-samar terlihat seorang pria tegap, tinggi sekitar 175 cm memakai setelan jas, dasi dan sepatu kulit berwarna hitam, rambutnya cepak dan matanya besar. Diikuti seorang gadis berseragam di belakangnya, tubuhnya yang langsing dan wajahnya yang orisinil membuat siapa saja yang melihat terpukau, rambutnya yang ia biarkan tergerai tak lupa tas selempang yang di bawanya, bermotif Hello Kitty. Gadis itu masuk ke kelas dengan bimbingan pria dewasa itu, ia mendorong kecil pintu yang sengaja di tutup agar suara riuh gemuruh tak sampai ke kelas lain. "Key!!" Zayn masih tak paham, ia menatap Aji meminta jawaban yang jelas, tetapi bukan Aji namanya kalau tak punya akal untuk menonton drama anime kesayangannya, kini wibu itu sudah kembali lagi kedunia nya yang up normal, hingga menonton di dalam laci demi menuntaskan rasa penasarannya pada film Anime. Syifa tak menatap nya sama sekali, ia mengalihkan pandangannya ke bawah. Key berjalan dengan santainya, kini ia sudah berada di samping Syifa, kembali ke tempat duduk asalnya. "Selamat Pagi" Pria dewasa itu melihat seluruh muridnya. "Pagi Pak" ucap para murid kompak "Kali ini saya akan mengadakan perlombaan tahunan yang di adakan mulai minggu depan, saya harap kalian dapat mengharumkan nama sekolah kita hingga ke tingkat nasional" Para murid tak sedikitpun bergeming, mereka fokus mendengar pemberitahuan yang di adakan setiap tahunnya oleh kepala yayasan. "Lu ikut Ji?" tanya Zayn masih tak mengerti. "Nggak, nggak minat." Cetusnya tak ingin di ganggu "Akan di pilih satu pasang murid dari masing-masing kelas, ayo Zayn kamu aja!" Syifa tiba-tiba masuk ke dalam pembicaraan Zayn dan Aji, Key menatap Syifa rupanya gadis itu masih tak ingin bicara kepada sahabatnya. "Gue juga ikut kok Zayn, nanti gue kasih tau apa-apa yang harus di lakukan" ajaknya, tahun lalu Syifa masuk ke dalam 3 besar dalam kompetisi ini. Ia agak bersemangat mendengar pemberitahuan yang telah di nantinya. Tiba-tiba saja Key mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi, seakan tak membiarkan Syifa dan Zayn bersatu. "Mika?" kepala yayasan sekaligus bokap dari Mikayla menatap wajah anaknya tak percaya. "iya, Pa. Key mau ikut" jawabnya "Key dan kamu yang di belakang Mika, ya kalian. Kalian samgat cocok." tambahnya. Sontak Syifa terkejut bukan main menatap Key dengan tatapan penuh tanda tanya. Namun syifa tetap memilih bungkam. "Menang banyak lo Zayn." ledek Aji. Zayn tak bergeming, apa ini jalan yang di tunjukkan Tuhan supaya dia bisa ngerubah sikap arogan Key, fikirnya. "Ya, saya siap Pak" ucap Zayn jamblang. Kini semua mata tertuju pada Zayn dan Key. Sejak kapan mereka akur? Kok Zayn mau, yah?Fix, Key guna-guna zayn! Kok sampe nurut begitu?Key tersenyum sinis layaknya peran Dinda Kanya Dewi di film cinta Fitri. Description: Mikayla Faradisa, gadis tenar di sekolah Harapan Bangsa, ia sangat di segani siswa-siswa di sana. Akibatnya, sikap sombong dan arogan Key, begitu ia di sebut seakan menjadi momok menakutkan. Tapi, semua itu seakan berubah semenjak kedatangan murid baru di sekolahnya. cerpen ini di tulis dalam rangka mengikuti Kompetisi #CintaTanpaBatas2020
Title: World Legends Category: Fantasi Text: Awal 21 September 2031 Pernahkah kalian berpikir, bahwa kemajuan teknologi bisa sangat membantu kehidupan kita sehari-hari? Apalagi kita tidak perlu bergerak lebih untuk bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang sebenarnya memerlukan tenaga. Mungkin menurut kalian, ini hanyalah sebuah mimpi yang menjadi angan-angan setiap orang. Namun, kini mimpi tersebut telah berubah menjadi kenyataan, bahkan kita sendiri bisa mengendalikan mimpi tersebut dan menjalankannya sesuai yang kita inginkan. Alan Shield, merupakan seorang veteran 'Survivor', yakni sebutan bagi mereka yang memainkan sebuah game dalam platform Lucid Dream. Game tersebut adalah World Legends. Memang, dalam tahun pertama, semua kegiatan dalam Lucid Dream berjalan lancar sesuai dengan slogannya, yakni 'Living life, Dream and Do'. Namun, semuanya berubah saat Lucid Dream memasuki tahun ke-sepuluhnya. --0-- Sinar matahari mulai menusuk penglihatan. Alan perlahan mencoba mengerjapkan matanya untuk membiasakan cahaya yang mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Kicauan burung pun semakin terdengar semenjak ia mulai sadar akan keberadaanya di suatu tempat yang kini sedang ia pijak. Tampak sebuah monumen berbentuk patung seorang pria yang sedang menaiki kuda dengan tangan mengacungkan pedang ke udara, disertai kolam di bawahnya saat Alan pertama kali membuka matanya. Perasaan familiar menghampiri Alan yang sedang mengamati lingkungan sekitar. Kepalanya pusing, rasa bingungnya pun mulai melandanya. Belum ada semenit bagi Alan untuk mencerna apa yang sedang terjadi kepadanya, tiba-tiba, muncul orang lain di depannya dengan kilauan cahaya, persis seperti yang ia alami saat tiba barusan. "Ada apa ini?" ucap orang yang baru saja muncul. Alan yang sama bingungnya mencoba mengajak pria tadi untuk berkomunikasi dengan mencoba menyentuh bahu bagian belakangnya. "Permisi, apa kau tahu apa yang terjadi disini? " tanyanya. Pria tadi lumayan tersentak karena sentuhan di bahu belakangnya. Ia lantas membalikkan badan untuk membalas pertanyaan yang baru saja dilontarkan kepadanya. "Eh? Aku juga tidak tahu. Kenapa tiba-tiba kita semua berada disini? " jawab pria tadi sambil memperhatikan sekeliling, karena nampak banyak orang yang mulai muncul sama sepertinya, diawali dengan kilauan cahaya. Alan mengikuti arah pandang pria tadi, dan memang benar, banyak orang yang tiba-tiba muncul seperti dirinya. "Sepertinya kita berada di Landmass." sambung pria tadi. Beberapa lama saat ia mengedarkan matanya, ia tersadar ketika mendengar nama yang lumayan familiar di telinganya, Alan pun sedikit tersentak dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan pria tadi. "Sebentar, barusan kau menyebut Landmass? " tanya Alan untuk memastikan bahwa yang didengarnya tidak salah. "Yup, kau tidak salah dengar bung." jawab pria tadi seakan mengetahui apa yang ada dalam fikiran Alan. Alan pun perlahan mulai mencerna perkataan yang barusan pria tadi lontarkan. Keningnya pun berkerut, kedua alisnya pun bertemu, namun langsung menjauh seperti baru saja menemukan sesuatu yang penting. "Jangan-jangan, kita sedang berada dalam..." Ia kemudian membalikkan badannya untuk melihat sebuah obyek yang baru saja terlintas dipikirannya saat mendengar kata 'Landmass'. "Oh, yang benar saja." ucap Alan. Terlihat sebuah Kastil yang menjadi ikon kota yang berada di tepian air terjun. Bangunan dibawahnya pun terlihat sangat beragam, mulai dari pertokoan, motel, restoran, hingga penjual senjata pun ada disana. Merupakan kota yang sempurna bagi para pemula yang baru saja memulai debutnya sebagai seorang Survivor. "Kita berada di dalam World Legends." Seseorang "Kita berada di dalam World Legends." --0-- "Iya, sudah dipastikan perkataanmu benar." "Bagaimana jika kita berteman?" sambung pria tadi. Perkataannya seketika membuyarkan pikiran Alan. Ia langsung berbalik dan menemukan pria tadi memasang cengiran lebar yang menurut Alan aneh, karena mereka baru saja dipindahkan secara paksa. "Baiklah." jawab Alan singkat setelah muncul friend request bar di depan wajahnya. "Gallen?" "Yup, seperti yang kau lihat." balas pria bernama Gallen dengan santai. "Bukankah kau masuk dalam 20 besar teratas saat tahun kemarin?" ucap Alan seperti tak menyangka bahwa ia bertemu dengan seorang Survivor hebat dalam game. 20 teratas yaitu peringkat bagi seorang Survivor yang berhasil mencetak poin tinggi dan masuk kedalam jajaran Survivor terbaik dalam game. ID mereka pun dipajang dalam Hall of Fame di Aula Landmass. "Iya benar, tapi itu sudah setahun yang lalu. Aku sudah lama tidak memainkan permainan ini." jawab Gallen sembari menerawang ke cakrawala. "Dan juga kau seorang Knight, lalu dimana perisaimu?." Dalam World Legends, para survivor akan dipertemukan oleh beberapa pilihan karakter yang akan digunakannya. Ada Knight, Assasin, dan Archer. Knight merupakan salah satu karakter terkuat dengan tubuh besar yang biasanya menjadi ujung tombak utama saat penyerangan bersama, karena bertubuh besar serta menggunakan persenjataan berat, seperti kapak, pedang, tombak dan perisai. Assasin lebih mengutamakan kecepatan saat menyerang, walau bar nyawa-nya tak sebanyak warrior, namun dengan kombinasi dua pedang, Assasin akan memberikan serangan beruntun yang bisa mengurangi HP lawan secara drastis. Archer, merupakan spesialis untuk serangan jarak jauh. Mereka biasanya ditempatkan di bagian tengah hingga belakang saat melakukan serangan bersama. Skillnya memanah sangat akurat dan bahkan bisa mengurangi HP lawan secara drastis dalam sekali serang. "Memang, biasanya seorang Knight menggunakan kombinasi pedang dan perisai, namun hal itu biasanya memperlambat pergerakanku." jelas Gallen menanggapi pertanyaan Alan. "Oh jadi seperti itu." Confirm "Baiklah, untuk sekarang, bagaimana jika kita pergi ke Aula untuk melihat apakah ada informasi tentang hal ini?" ucap Gallen setelah Alan menerima permintaan pertemanannya. Alan hanya menganggukan kepalanya ringan yang menandakan ia setuju dengan ajakan Gallen. Mereka pun meninggalkan area transfer dan menuju ke perkotaan guna mencari Aula yang dimaksudkan Gallen. Landmass Tampak banyak survivor yang berada di dalam kota, kebanyakan dari mereka berbincang satu sama lain mengenai peristiwa Login massal yang membuat mereka semua masuk kedalam game. "Bagaimana kita semua bisa disini?" "Entah, mungkin kali ini ada event besar yang akan diadakan." Terdengar ucapan-ucapan yang terlontar dari survivor lain saat Alan dan Gallen melewati mereka. "Mungkin memang akan ada event besar yang akan diadakan, tapi kenapa mendadak seperti ini." ucap Gallen menanggapi ucapan survivor yang ditangkap melalui pendengarannya. "Bagaimana menurutmu?" "Eh, aku? Entah aku tak tahu." jawab Alan setengah terperanjat karena pikirannya kalut oleh hal-hal yang berhubungan dengan kejadian ini. "Apakah ada masalah? " tanya Gallen sambil mendekatkan wajahnya ke arah Alan. "Tidak ada masalah, aku hanya berpikir, apakah temanku juga ikut Login atau tidak." Gallen pun mendekat untuk ikut melihat daftar pertemanan Alan. Terlihat dalam daftar, semua temannya sekarang dalam status online yang menandakan bahwa mereka benar-benar berada dalam game. "Yah, mungkin memang mereka semua masuk kedalam game ini, dan juga mereka sedang berada di kota ini." ucap Alan. "Oh itu dia Aula-nya" Gallen tiba-tiba dengan berlari menuju ke Aula. Melihat Gallen berlari, kaki Alan reflek mengikutinya dari belakang dengan berlari pula hingga ke dalam Aula. Tampak banyak orang berkumpul di dalam Aula, sebagian besar dari mereka berkumpul melingkar sambil berdiri, membicarakan peristiwa yang baru-baru ini terjadi. "Sepertinya mereka sedang berkumpul dengan guild-nya masing-masing." gumam Alan melihat sebagian besar survivor yang berkumpul melingkar. Guild merupakan suatu fitur yang tersedia dalam World Legends, gunanya sebagai wadah bagi para survivor untuk bertukar informasi atau hanya sekedar untuk berkumpul. Bisa dibilang keberadaan guild sangat berpengaruh bagi survivor. Jika ada survivor yang berada dalam guild yang mempunyai peringkat tinggi, dapat dipastikan pula mereka memiliki level yang tinggi. Brakkk "Permisi, permisi." 'Sepertinya aku mengenali suara ini' batin Alan saat mendengar ucapan seseorang yang baru saja menabraknya. Alan kemudian berbalik untuk melihat seseorang yang baru saja menabraknya. 'Zirah yang didominasi warna biru-hitam, pedang panjang, kaki ramping, tubuh tinggi, serta rambut pirang dengan tudung di kepala?' 'Tidak salah lagi.' "Tunggu." ucap Alan sambil menarik kembali seseorang yang dikenalinya. Orang tersebut terperanjat ketika ada yang menariknya, lantas ia berbalik, namun pada saat yang bersamaan, kesimbangannya hilang, dan ia terjatuh dengan terbukanya tudung yang mulanya menutupi sebagian kepalanya. "Alan? " ucap orang tadi seperti tak menyangka bertemu sosok yang telah lama ia tak jumpai. 'Sudah kuduga.' "Yah, kita akhirnya bertemu lagi." Navaeh (1) "Sasha.." Alan mengulurkan tangannya untuk membantu Sasha berdiri. Sasha pun dengan ringan menerima uluran tangan dari Alan. "Tak kusangka kita bertemu lagi. Sudah berapa lama semenjak terakhir kali?" "Entahlah, aku tak menghitung waktu." Sasha tampak terkejut dengan pertemuan tak terduga bersama Alan. Matanya memindai dari atas ke bawah tubuh Alan seperti sedang memastikan sesuatu. "Apa yang membuatmu log-in lagi?" balas Sasha. "Yah, seperti yang kau lihat, aku dipindah secara paksa ke dalam game ini. Tampaknya semua survivor juga mengalami hal yang sama." "Ngomong-ngomong, kenapa kau tak bersama dengan guild-mu?" lanjut Alan. Sasha sedang berjalan sendiri sebelum Alan memanggilnya. Sepengetahuan Alan, Sasha memiliki guild handal di belakangnya. Ia juga sebenarnya masuk ke dalam 20 besar teratas ketika Alan masih bermain. "Aku keluar dari guild. Kami memiliki sedikit masalah." balas Sasha singkat sembari mengangkat bahunya. Alan hanya menganggukan kepalanya. Ia juga nampaknya mengerti permasalahan yang dialami oleh Sasha dengan guildnya dahulu. "Wow, aku tak menyangka akan bertemu dengan Sasha The Destroyer disini." ucap Gallen yang berjalan santai dari tengah keramaian. Ia bersiul melihat Sasha yang sedang berdiri di hadapan Alan. Sasha acuh tak acuh mendengar julukan yang membuatnya muak. Ia mengalihkan pandangannya dan menatap tajam ke arah Gallen yang sedang berjalan ke arahnya. Hawa membunuh seketika keluar dari tubuh Sasha. "Aku tak menyangka julukan itu masih diingat hingga sekarang." balas Sasha dengan tangan kanannya memegang pedang di punggungnya. Gallen tersentak dengan tatapan Sasha. Punggungnya bergidik ketika merasakan hawa membunuh yang dikeluarkan Sasha. "Um, maaf-maaf, aku hanya bercanda." Gallen menyatukan telapak tangannya di depan wajahnya seperti meminta pengampunan kepada Sasha. Alan yang melihatnya tidak terkejut dengan fakta peringkat 20 teratas yang saling mengenal dan berhubungan buruk satu sama lain. Saat Alan hendak bertanya tentang Sasha dan Gallen yang saling mengenal, tiba-tiba kegelapan memenuhi pandangannya. Perlahan visi Alan menjadi buram. Sebelum pandangannya benar-benar menghilang, ia melihat survivor lain di dalam Aula bergerak secara kacau sembari memegang kepala masing-masing. Nampaknya hal ini terjadi pada semua orang. Tubuh Alan mati rasa. Tangannya tak bisa digerakan. Kakinya terasa berat seperti terikat oleh sesuatu. Matanya yang melihat kesana-kemari tak dapat menemukan suatu pemandangan apapun. Semuanya gelap dan sunyi, seakan ia menjadi buta dan tuli seketika. 1 menit 2 menit 3 menit 'Apa yang terjadi?' Hingga 10 menit berlalu, perasaan asing ini masih dirasakan oleh Alan. Entah apa yang terjadi, ia tak tahu. Ketakutan mulai menjalar pada diri Alan. Ia belum pernah merasakan perasaan terkekang seperti ini selama ia hidup. Namun seakan menjawab pertanyaannya, sebuah suara mulai terdengar dan layar transparan muncul di depan Alan. [Pemindahan seluruh survivor telah selesai] [Memulai acara utama] Suara khas dari AI dan layar transparan atau bisa disebut dengan jendela status yang biasanya digunakan untuk membantu kegiatan para survivor dalam bermain World Legends seketika muncul. [Pemberitahuan kepada seluruh survivor] [Tutorial telah selesai. World Legends kini akan menyatu dengan Nevaeh] 'Hah? Tutorial? Navaeh?' [Memulai penyatuan] Di tengah kebingungannya, penglihatan Alan yang tadinya gelap dan tubuhnya yang mati rasa perlahan kembali ke keadaannya semula. Dunia tampak seperti merekonstruksi dirinya sendiri. Pemandangan di sekitarnya pun mulai berubah. Orang-orang yang ia lihat di dalam aula kini mulai hilang satu-persatu. "Hei, ada apa ini?!!" "Alan, Sasha, tubuh kalian tampak transparan! Eh tubuhku juga?!!" Gallen yang telah mendapatkan kembali penglihatannya berteriak panik sembari menunjuk ke arah tubuh Alan dan Sasha, lalu ia mengedarkan penglihatannya ke sekeliling. "Sial, apa yang terjadi?" Sasha juga mau tak mau ikut panik ketika melihat keadaan yang terjadi pada dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Alan yang sama seperti seluruh survivor hanya diam, meski tubuhnya gemetar dan keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. "Ada apa ini" "Apakah terjadi error atau sesuatu yang lain" "Bagaimana tanggapan pengelola game? Mengapa mereka diam saja? "Arggggghhh" Terdengar suara pertanyaan dan gumaman frustasi dari survivor yang berada di aula, dan Alan yakin hal ini dirasakan juga oleh seluruh survivor yang saat ini log in ke dalam World Legends. Cahaya menyilaukan mulai menusuk mata Alan. Terlihat tubuh setiap survivor mengeluarkan cahaya yang sangat terang, begitu juga dirinya sendiri. Dunia seketika berubah dari yang awalnya dipenuhi oleh kegelapan hingga kini disilaukan oleh cahaya yang menusuk mata. Situasi seperti ini tak bertahan lama. Cahaya yang menyilaukan mata mulai memudar. Pemandangan padang rumput yang sangat luas mulai memasuki penglihatan Alan ketika ia membuka matanya. Ia tak ingat ada tempat semacam ini di dalam World Legends. 'Tunggu, dimana orang-orang?' Alan sendirian di tengah padang rumput yang sangat luas ini. Survivor lain yang bersamanya ketika di dalam aula tak terlihat dimanapun ia memandang. Ia benar-benar sendirian di tengah padang rumput dengan hanya ditemani beberapa pohon yang berdiri. Dari jauh, terlihat kota dengan sebuah kastil besar sebagai pusatnya yang berdiri gagah dengan beberapa menara yang tingginya menjulang menembus awan di langit. Di sekelilingnya terdapat tembok tinggi yang mengitari seluruh kota. Di tempat lain, terlihat pegunungan yang memutari area penglihatan Alan. Bahkan ada gunung dengan puncak yang tinggi hingga terlihat seperti diselimuti oleh salju. Perasaan asing pun mulai memasuki indera Alan. Perasaan ini berbeda dari yang ia alami ketika bermain World Legends. "Ini terasa... sangat nyata." Meski pengalaman bermain World Legends masih dikaguminya, ini berbeda. Hembusan dan suara angin, tekstur tanah dan rumput yang ia injak, serta pemandangan yang ia lihat sangat berbeda dari perasaannya bermain World Legends. [Penyatuan dengan Navaeh telah selesai] Alan yang terpukau dengan pemandangan spektakuler di hadapannya hampir tak menyadari bahwa jendela status telah muncul di depannya. [Navaeh] [Merupakan dunia dimana berbagai ras dan spesies hidup di dalamnya. Dimana kedamaian selalu diperjuangkan dan berusaha digapai dengan sepenuh hati oleh makhluk hidup di dalamnya] [Namun, ada ancaman yang kini dengan perlahan sedang mendekati Navaeh. Ancaman yang dapat menghancurkan kedamaian yang telah dipertahankan selama bertahun-tahun lamanya] [Navaeh membutuhkan pejuang. Navaeh membutuhkan pahlawan. Navaeh membutuhkan penyelamat] [World Legends kini telah menyatu dengan Navaeh dalam rangka membantu Navaeh mempertahankan dunianya. Survivor World Legends telah dipindahkan ke dunia Navaeh] [Survivor tidak diijinkan pergi dari Navaeh] [Seluruh kemampuan survivor direset] 'Apa..?' [Tutorial telah selesai] [World Legends memasuki acara utamanya. "Navaeh"] [Misi utama : Mempertahankan Navaeh] [Hadiah kontributor utama : ???] [Semoga beruntung] Hening seketika menyelimuti sekitar Alan. Hanya terdengar suara angin sepoi-sepoi yang secara berkala menabrak wajahnya ketika ia masih berusaha mencerna informasi baru yang sangat mengejutkannya beberapa waktu lalu. "Apa yang terjadi?" Navaeh (2) "Apa yang terjadi?" Tubuh Alan membeku ketika ia mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Denyut jantungnya seakan berhenti berdetak ketika membaca informasi dari jendela statusnya. "Tidak diijinkan pergi?" "Kemampuan direset?" "Navaeh?" "Omong kosong apa ini?" Alan yang frustasi dengan kasar membuka jendela statusnya kembali, namun informasi yang tertera di dalamnya tidak berubah. Bahkan tombol untuk log-out tidak dapat ditemukan dimanapun. ~~0~~ [ Profil Numen ] Nama : Alan Shield Level : 0 Kelas : Tidak ada Afiliasi : - [ Atribut : ] Kekuatan : 3 Stamina : 2 Kecepatan : 2 Intelligence : 5 Mana : 5 Kharisma : 2 Keberuntungan : 4 ~~0~~ Kepalanya seakan dihantam oleh palu ketika Alan melihat jendela statusnya sendiri. "Benar-benar direset. Ini gila." "Lalu Numen? Apa ini?" Alan yang frustasi melemparkan tinjunya ke arah jendela status, namun pukulannya hanya menembus jendela status. Hal ini semakin menambah rasa frustasinya. Ditengah kebingungannya, ia kemudian menghela nafas panjang, mencoba tenang dan berfikir jernih. Ia rasa pasti ada penyebab mengapa hal ini bisa terjadi. "Tenang Alan, tenang." "Benar juga! Mungkin ada bug saat memulai event baru. Semoga pengelola game dapat memperbaikinya segera." Alan berusaha tenang. Ia tidak ingin membiarkan dirinya meledak-ledak seperti dahulu yang membuatnya pensiun dari World Legends. Alan kemudian memperhatikan lingkungan sekitarnya. Padang rumput terlihat sejauh matanya memandang. Hanya ada beberapa pepohonan di area tempatnya berdiri. Ia benar-benar tidak percaya bahwa ia sendirian di tempat yang sangat luas ini. "Yang paling penting saat ini, aku harus segera mengumpulkan informasi, dan hal itu bisa dilakukan di sana." Alan kemudian melangkahkan kakinya ke arah kota di kejauhan. Ia baru tersadar bahwa peralatannya telah hilang menyisakan ia yang hanya mengenakan pakaian standar petualang pemula, bahkan tanpa alas kaki. "Oh yang benar saja, bahkan peralatanku menghilang." Emosinya kembali pada tempatnya. Ia lalu berjalan dengan menajamkan kepekaannya yang telah ia latih selama bertahun-tahun dalam bermain World Legends. Sendirian di tempat yang luas tanpa memiliki perlengkapan apapun sangatlah berbahaya bagi petualang. Entah bahaya apa yang akan datang bila seseorang tak berhati-hati. Langit biru terlihat indah dengan hiasan awan dan burung yang berterbangan. Seluruh pemandangan padang rumput terlihat oleh Alan. Ia menjadi cukup yakin bahwa setidaknya untuk saat ini tidak ada monster yang berkeliaran di sekitarnya. 30 menit kemudian "Haah... Haaah..." Alan saat ini sedang terbaring di rerumputan dekat gerbang masuk ke dalam kota. Dadanya naik turun secara kasar. Rasanya seperti melihat ikan yang dilepaskan di daratan. "Kacau... Staminaku kacau." "Hanya berjalan sebentar saja sudah begini." Ia menyadari kelelahannya diakibatkan oleh rendahnya stamina yang ia miliki, hanya sekitar dua poin saja. Ini merupakan angka yang sangat rendah, bahkan bagi para pemula sekalipun. "Mungkin aku akan mati jika ada monster yang menyerang." Alan memejamkan matanya, menikmati sapuan angin sejuk yang menerpa wajahnya. Nafasnya mulai kembali teratur setelah beberapa saat ia berbaring di rerumputan. Ia lalu bangkit dari tempatnya dengan terengah-engah. Kakinya gemetar menahan kelelahan setelah berjalan selama 30 menit lamanya. Gerbang kota terlihat sangat besar, mungkin tingginya sekitar sepuluh kali tinggi Alan. Terdapat pos penjaga di sisi gerbang. Lalu ada juga penjaga yang berdiri di depan gerbang mengenakan zirah berwarna silver dengan pedang dan perisai di kedua tangannya. Di atas dinding kota, terlihat beberapa pernjaga yang sedang berbincang satu sama lain. Ada pula yang sedang berjalan dengan busur panah tergantung di punggungnya. Para penjaga di sekitar gerbang hanya menatap Alan dengan heran. Namun mereka tidak mencoba mengusirnya, hanya melihat saja seakan hal itu adalah kejadian umum yang terjadi. "Um, permisi. Bolehkah aku masuk ke kota?" Alan sadar bahwa mungkin ia akan dicurigai karena dirinya bahkan tidak mengenakan pakaian lengkap, ditambah ia juga tidak memiliki tanda pengenal sama sekali. "$%#%#%%#&##%" balas penjaga. "HAH?" 'Bahasa apa yang mereka ucapkan?' Alan terkejut bahwa ia tak memahami bahasa para penjaga. Pada dasarnya, World Legends memiliki sistem penerjemah otomatis yang akan menerjemahkan setiap bahasa. Hal ini memudahkan para survivor dalam berinteraksi satu sama lain. Namun sepertinya hal ini tidak berlaku di Navaeh. 'Navaeh ini masih bagian dari World Legends atau berbeda?' pikirnya. Penjaga yang melihat raut wajah kebingungan Alan hanya menaikkan satu alisnya. Seperti telah memahami sesuatu, ia lalu menggunakan gestur agar Alan mengikutinya memasuki kota. Alan yang memahami niat baiknya hanya mengikuti penjaga yang menuntunnya serta menganggukkan kepala pada penjaga lain sebagai tanda terimakasih. Tempat Alan dan penjaga lewat untuk memasuki kota bukanlah gerbang besar seperti di hadapannya, melainkan pintu berukuran normal yang terdapat di samping pos penjaga. Suara bising mulai memasuki indera pendengaran Alan setelah ia mendekat ke arah pintu, seperti percakapan orang-orang, suara roda yang berbenturan dengan tanah, suara gesekan, dan lain sebagainya. Lalu ia mengikuti penjaga melewati pintu. "Woah..." Rahangnya terjatuh. Meskipun hal yang dilihatnya adalah perkotaan layaknya abad pertengahan seperti yang ada pada World Legends, namun pemandangan yang sangat menarik baginya adalah ketinggian menara yang menjulang menembus awan. Walau ia sudah melihatnya dari padang rumput, memandangnya dari jarak dekat memang memberi kesan tersendiri baginya. Kota nampak ramai hari itu. Banyak orang yang berlalu-lalang melewati jalanan kota, entah sedang membeli sesuatu atau sekedar berjalan santai menikmati hari. Pemandangan yang dilihat Alan tidak tepat seperti deskripsi keadaan adanya ancaman yang disebutkan dalam jendela status. Semuanya damai, kota ini damai. Penjaga terus berjalan meninggalkan Alan yang berdiri kaku dengan matanya melihat-lihat lingkungan sekitarnya tanpa berkedip. Alan yang menyadari bahwa dirinya telah tertinggal mau tak mau menyesuaikan kecepatan kakinya dengan penjaga yang menuntunnya. "%$$##$%" "##%$#&&" "Iya juga, kota ini sangat menakjubkan." Di tengah percakapan penduduk lokal yang memasuki indera pendengaran Alan, secara tidak sengaja ia mendengar obrolan seseorang dengan bahasa yang bisa ia pahami. 'Apakah ada survivor lain?' Alan lalu memutar tubuhnya ke segala arah guna mencari sumber suara. Namun nihil, dengan ramainya pejalan kaki di sekitar Alan, sulit untuk menemukan seseorang yang sedang dicarinya, ditambah ia harus segera menyusul penjaga yang telah meninggalkannya di belakang. Tidak sampai lima menit bagi Alan dan penjaga untuk mencapai tempat tujuan. Bangunan dihadapannya cukup besar dengan dinding kayu yang terlihat kokoh. Di atas pintu masuk terdapat plang kayu dengan huruf yang tidak bisa ia baca. Alan pun segera masuk ke dalam tempat itu bersama dengan penjaga yang mengantarnya. "%$%%$%#?!!" "$%#&%$#, %$%#" Alan hanya memperhatikan penjaga dengan seseorang di dalam ruangan bercakap-cakap. Bagian dalam tempat tersebut terlihat seperti kedai minum yang dipenuhi oleh orang-orang yang terlihat seperti petualang. Penjaga kemudian menggunakan isyarat agar Alan mendekat, lalu menyuruhnya duduk di sebelahnya. Tak lama ada seseorang dengan jubah panjang dan topi besar berjalan mendekat ke arah mereka. 'Mau apa orang eksentrik ini?' Alan yang melihat orang dengan pakaian menyerupai seorang penyihir ini hanya menahan pikirannya. Orang eksentrik tadi membawa gelas di tangan kirinya. Ia kemudian seperti mengucapkan sesuatu dengan tangan kanannya berada di atas gelas yang dipenuhi air. Tiba-tiba sebuah lingkaran bercahaya dengan huruf-huruf aneh muncul di telapak tangan lalu menghilang ketika di dekatkan ke arah gelas. 'Apa itu tadi? Sihir?' 'Seingatku belum ada kelas yang berkaitan dengan sihir dalam World Legends.' Setelah menyelesaikan kegiatannya, orang eksentrik tadi menyodorkan gelas yang dipegangnya dan menyuruh Alan untuk meminum airnya. Pada mulanya Alan nampak waspada, namun setelah melihat tatapan penjaga yang seakan berkata 'tidak apa-apa', ia akhirnya meminum cairan dalam gelas. Air yang diminumnya terasa mengalir ke seluruh tubuhnya, terutama ke bagian otaknya. "Bagaimana perasaanmu?" Terdengar suara seseorang bertanya kepada Alan." "Aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing." Seakan menyadari sesuatu yang aneh, Alan kemudian mengangkat kepalanya dan memandang orang-orang di sekelilingnya. "Eh...?!!" Tuan Pierce (1) "Eh... Aku bisa memahamimu." "Hahahahaha, semua Numen memiliki ekspresi seperti ini ketika pertama kali mencoba sinkronisasi bahasa." Pria berkulit hitam dan berbadan besar yang sebelumnya bercakap-cakap dengan penjaga hanya tertawa melihat keterkejutan yang dialami oleh Alan. "Numen? Aku juga sebelumnya mendengar tentang itu." Alan sebelumnya sudah pernah membaca tentang Numen di jendela status, namun ia tidak memahami apa artinya. "Jadi, Numen adalah sebutan bagi orang dari dunia lain yang memasuki Navaeh." Penjaga menyela jawaban yang akan dilontarkan oleh pria berkulit hitam dan dengan cepat memberikan penjelasan atas pertanyaan dari Alan. "Dunia lain? Jadi kita tidak berada di dalam World Legends?" "World Legends? Apa itu?" Penjaga menunjukkan raut wajah bingung ketika Alan menyebutkan game fantasi yang membawanya kesini. 'Tunggu, banyak sekali hal aneh disini.' pikir Alan. "Um, bukan apa-apa. Sebelumnya terimakasih telah membantuku melakukan sinkronisasi bahasa. Entah apa yang terjadi jika aku tak melakukannya." Alan hanya menundukkan kepalanya dengan maksud berterimakasih atas bantuan orang-orang di sekelilingnya. "Tidak masalah, ini memang hal normal yang selalu dilakukan oleh kami." balas penyihir ringan. "Tapi bukankah kau sedikit terlambat?" lanjut penyihir itu. "Terlambat?" Alan hanya memiringkan kepalanya mendengar ucapan dari penyihir. "Iya, kedatangan para Numen ke Navaeh sudah terjadi dua minggu lalu. Namun kenapa kau baru datang kemari dan melakukan sinkronisasi." balas penyihir dengan heran. Alan membeku bagai tersambar petir di siang bolong. "D-dua minggu lalu?" "Iya benar." jawab penyihir santai sembari menyesap pipa rokok di tangannya. "Tapi aku baru dipindahkan ke padang rumput kurang lebih satu jam lalu." Penyihir menaikkan satu alisnya. "Padang rumput? Normalnya Numen yang baru datang akan tiba di area pelatihan dan disambut oleh kepala instruktur disana." "Hal ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Numen dan membantu mereka membiasakan diri dengan kondisi di dunia ini." "Pada mulanya memang banyak Numen yang proter dan marah akibat peristiwa yang mendadak ini. Namun setelah dijelaskan oleh instruktur, sepertinya mereka mulai bisa menerimanya." "Kasusmu sendiri lumayan aneh." lanjut penyihir dengan nada serius. Alan yang mendengarnya menjadi lemas. Pantas saja ia sendirian di padang rumput di luar kota. Di tambah dirinya telah tertinggal selama dua minggu dari Numen lainnya. "Tunggu, jadi dimana Numen selain aku?" "Mereka yang sudah menyelesaikan pelatihan mungkin sedang keluar untuk menjalankan misi. Aku rasa mereka sudah paham bagaimana dunia ini bekerja." "Sebenarnya, kami telah merencanakan pelatihan selama dua bulan kedepan. Namun banyak dari mereka yang melakukan adaptasi dengan lebih cepat." "Apakah duniamu sebelumnya juga serupa dengan Navaeh?" tanya penyihir dengan satu tangan menyangga dagunya. Jawaban penyihir seakan memukul bagian belakang kepala Alan. Ia menjadi pusing untuk mencerna beberapa informasi yang masuk ke dalam otaknya. "Y-ya bisa dibilang iya dan tidak." "Hei kawan, apakah kau baik-baik saja?" Pria berkulit hitam tampak panik melihat Alan yang sempoyongan. "Aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong dimana sopan santunku? Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Alan Shield." Suasana meja menjadi sedikit ringan dengan perkenalan diri Alan. Penyihir, penjaga, dan pria berkulit hitam melemparkan pandangannya ke arah masing-masing. "Aku Darren." "Aku Raymond Waterhouse." "Aku Knight of Havland, Richard Walden." Orang disekeliling Alan masing-masing memperkenalkan diri secara berurutan. Mulai dari pria berkulit hitam, penyihir, dan terakhir penjaga "Havland. Jadi itu nama kota ini." gumam Alan. Masih banyak hal yang belum Alan ketahui tentang Navaeh. Namun ini merupakan awal yang cukup baik karena ia bisa mendapatkan informasi dasar tentang dunia ini. "Bagaimana jika kita berbicara sambil berjalan menuju area pelatihan? Richard, Tuan Raymond, kalian bisa menyerahkan orang ini padaku." Darren menunjuk dirinya dengan ibu jari sedangkan tangan lainnya menenggak minuman keras dengan gaya ala viking. "Baiklah, aku juga harus kembali." "Tolong antarkan Alan kesana, Darren." Richard dan Raymond kemudian beranjak dari kursinya, mereka lalu pergi meninggalkan Alan dan Darren berdua di meja. "Sepertinya kita juga harus pergi kawan." Alan berdiri mengikuti Darren yang mulai beranjak dari kursinya lalu pergi meninggalkan ruangan. "Hei Darren!! Bayar dahulu hutangmu bulan lalu!!" Terdengar suara menggelegar di seluruh penjuru ruangan. Orang-orang yang berada di dalamnya pun mengedarkan pandangannya untuk mencari sumber suara. Darren bergidik dengan pelipisnya mengeluarkan keringat. "Akan kubayar nanti nona Emma." Darren kemudian lari meninggalkan Alan sendirian. "Hei tunggu." ucap Alan berlari menyusul Darren. ~~0~~ Kota Havland masih terlihat ramai seperti ketika ia datang. Banyak orang berlalu-lalang melewatinya. "Jadi ini adalah Zona Hiburan. Tempat ini biasa menjadi tempat untuk melepas penat orang-orang yang lelah bekerja. Apalagi saat malam. Kapan-kapan kau harus kemari." Darren terlihat antusias dengan liur di ujung bibirhya dan matanya yang berbinar ketika pikirannya melayang entah kemana. Ia menunjukan berbagai macam tempat di penjuru Kota Havland. Mulai dari pusat perdagangan, menara sihir, toko senjata, hingga zona hiburan seperti yang baru saja ia sebutkan. "Mungkin kita memang harus kesana Darren." balas Alan sama antusiasnya dengan Darren. Seakan menemukan teman seperjuangan, Darren kemudian langsung merangkul Alan. "Hahahaha, memang kita harus berbagi keindahan dunia." Alan ikut tertawa mendengar suara Darren. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan area pelatihan?" "Kita sebentar lagi sampai, jadi bersabarlah kawan." balas Darren santai. Dari kejauhan, nampak sebuah dinding dengan pintu besar. Dibelakangnya terlihat pohon-pohon yang tinggi menjulang melebihi dinding. "Itu dia. Area Pelatihan." Darren dan Alan pun segera mempercepat langkah kakinya untuk menuju ke area pelatihan. Setelah membuka pintu, mereka disuguhi pemandangan lapangan yang luas dengan pohon-pohon di sisinya. Ada objek seperti target berbentuk manusia yang berdiri di beberapa titik lapangan. Di sisi lain, cukup banyak alat-alat olahraga yang tersedia. Namun, untuk ukuran area pelatihan yang luas ini, hampir tidak ada orang yang berlatih di dalamnya. "Seperti yang dikatakan oleh Tuan Raymond. Kebanyakan Numen telah pergi dari area pelatihan." ucap Darren menyadari pemikiran Alan. Alan hanya menganggukkan kepalanya. 'Aku benar-benar sial.' 'Berfikir bahwa aku telah tertinggal selama dua minggu dari yang lainnya.' 'Mengapa ini bisa terjadi?' Disaat Alan sedang tenggelam dengan pikirannya, Darren berteriak di tengah sepinya area pelatihan. "Haloo, apakah ada orang disini." "Tuan Pierce." "Haloooo??" Darren berjalan kesana kemari sambil berteriak, namun sayang, sepertinya area pelatihan benar-benar kosong tanpa ada satu orang pun. "Sepertinya memang tidak ada orang disini. Berhubung penjelasan tentang Navaeh sudah kau terima, jadi bagaimana jika kau berlatih sendiri saja Alan?" Sambil mengamati area pelatihan, Alan akan membalas namun dihentikan oleh Darren. "Tunggu, ada seseorang mendekat." Darren menyipitkan matanya untuk melihat siluet seseorang yang berjalan mendekat dari ujung area pelatihan. "Berbadan besar, botak dengan luka di sudut matanya..." "Tidak salah lagi." "Itu adalah Tuan Pierce, instruktur di area pelatihan." ucap Darren. Description: Dibalik mimpi, ada dunia dengan karakter serta latar waktu yang terasa sangat nyata. Semua ini dapat terwujud dengan adanya Lucid Dream. Sebuah platform terobosan terbaru yang dapat membuat pengguna mengendalikan mimpi mereka dan telah tersambung ke seluruh dunia. Alan Shield, ia merupakan seorang veteran Survivor yang telah menghabiskan banyak waktu dan kehidupannya dalam sebuah game fantasi bernama World Legends, namun kini ia memilih untuk meninggalkan dunia yang telah lama ia tinggali. Karena sebuah kejadian, seluruh survivor tiba-tiba Log in ke dalam World Legends tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu dari pengelola game. [Tutorial telah berakhir] [Memulai penyatuan dengan Navaeh] Alan yang dipenuhi dengan kebingungan harus mencari tahu apa yang terjadi. Perjalanannya baru saja dimulai.
Title: Wallet Love Category: Adult Romance Text: - Main Cast - © 2020 Flaming Teeth Rich _______Wallet Love______ Kehilangan adalah sesuatu yang menyedihkan bagi sebagian orang. Tetapi, tidak demikin dengan Kenzo Alexander Wright. Pria jangkung berparas tampan yang akrab dipanggil Ken itu, membuktikannya sendiri. Kehilangan benda terpenting di hidupnya justru membawanya bertemu dengan seorang gadis cantik. Gadis cantik yang telah menyelamatkan hidupnya. Gadis cantik yang juga membuat Ken melakukan hal-hal yang sama sekali belum pernah ia lakukan sebelumnya. Hingga orang-orang terdekatnya pun heran, mantra apa yang digunakan gadis cantik itu pada Ken ? *** Sereline Vivianne Lee, gadis cantik pegawai salah satu kedai kopi terkenal di Seoul. Sere, panggilan akrab gadis itu, tidak pernah menyangka jika benda yang tidak sengaja ia temukan di tempat kerjanya, akan membawanya bertemu dengan pria tampan itu. Pria tampan yang sulit untuk dimengerti. Pria tampan yang memiliki segudang rahasia yang tidak Sere ketahui. Pria itu pula yang membawanya merasakan perjalanan hidup yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. *** - Prolog - WARNING![Smoking | Profanity] *** Port of Genova, Italy "Tuan..." Aaron menoleh sekilas pada Gustavo, yang tidak lain adalah kaki tangannya. Ia menyesap rokok di tangannya dan meniupkan asap rokok itu ke udara. Pandangannya tidak teralihkan dari dua benda besar yang bersandar di depan sana. "Alexander Zero Two." Aaron menunjuk benda besar yang bersandar di sisi sebelah kanan. Kemudian menunjuk benda besar yang satunya di sisi sebelah kiri. "Wright Emperor.., tunggu. Dimana Alexander Zero One ?" "Alexander Zero One berada di Marseille, Tuan." Gustavo menjawab dengan sopan, walau Tuannya bertanya tanpa menoleh padanya. "Jadi, hanya dua." Gumam Aaron dingin. Dari balik kacamata hitam yang bertengger di hidungnya, Aaron menatap dua kapal tanker yang bersandar di dermaga tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia lalu kembali menyesap rokoknya. "Benar, Tuan." Aaron mengangguk tanpa menatap ke arah Gustavo yang sedari tadi berdiri di belakangnya. "Well..," Aaron mengendikkan bahunya. "Walau seharusnya ada tiga kapal, tapi itu tidak menjadi masalah." "......" "Dua kapal. Bukan 'kah itu sudah lebih dari cukup, Gustavo." "......" Gustavo tidak menjawab. Sebab ia tahu, Tuannya sedang tidak bertanya kepadanya. Pria di depannya itu sedang bergumam lebih kepada dirinya sendiri. "Lakukan sesuai rencana." Perintah Aaron dengan dingin. Ia kembali menyesap rokoknya, kemudian tersenyum. Bukan senyum kebahagiaan. Tetapi, senyum menakutkan penuh ancaman. Senyuman yang apabila kau berada di sana, kau akan memilih untuk segera pergi ketika melihat senyuman itu. Aaron membuang puntung rokok di tangannya dan menginjaknya sebelum pergi dari pelabuhan yang sangat sibuk oleh aktivitas orang-orang yang sedang bekerja. Gustavo memerintahkan beberapa anak buah Aaron yang berada disana, sebelum kemudian berjalan di belakang pria itu. 'Aku akan menghancurkanmu, Ken!' Gumam Aaron di dalam hati. Satu tangannya mengepal kuat ketika mengingat nama pria itu. Pria yang tidak lain adalah saudaranya sendiri. *** Jongno-gu, South Korea Dengan langkah terburu-buru, Richard Kim berjalan ke arah pintu besar di depan sana. Beberapa saat yang lalu, ia mendapat kabar dari seseorang. Kabar yang bisa dikatakan bukan kabar baik. Richard berhenti sejenak ketika mendapati seorang wanita cantik keluar dari pintu besar di depan sana. Wanita itu menoleh padanya. Lantas melirik sekilas sebuah tablet yang ia genggam. Tidak mengatakan apapun padanya dan tidak pula tersenyum. Membuat Richard mengerutkan kening dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah terjadi sesuatu lagi ? Sebab, ia paham jika wanita itu memasang tampang dingin, bisa dikatakan telah terjadi sesuatu. Richard mengangkat bahunya. Apapun masalah yang telah terjadi, ia tidak ingin ikut campur. Itu bukan urusannya. Lalu ia mengetuk pintu di depannya sebanyak tiga kali dan membukanya setelah suara baritone seseorang menjawab dari dalam sana. Richard mengangguk sopan pada Tuannya yang tengah duduk di kursi kerja. "Tuan, ada kabar buruk." Gumamnya langsung pada intinya. Richard mengerutkan kening saat Tuannya mengangguk. Pria itu duduk dengan tenang dan tidak terlihat terkejut sama sekali. Seolah-olah Tuannya itu sudah mengetahui kabar buruk itu. Richard lantas menyerahkan tablet yang dibawanya ketika tangan Tuannya terulur. Hening beberapa saat. Richard mengamati Tuannya yang sedang menatap tablet di tangannya. Tidak. Tuannya tidak hanya sedang menatap tablet itu. Richard yakin, Pria muda itu tengah berpikir serius walau tampilan luarnya terlihat begitu tenang. "Jadi, Alexander Zero Two dan Wright Emperor terbakar?" Ken meletakkan tablet itu di atas meja. Ia menatap Richard yang tengah mengangguk padanya. Sudut bibirnya terangkat, membentuk seringaian tipis. Ken lantas mendecih saat satu nama itu teringat. "Aaron.. bajingan tengik itu." Ken bergumam dingin. Tanpa harus bersusah payah mencari tahu siapa dalang dibalik terbakarnya dua kapal tanker miliknya, Ken seratus persen yakin jika Aaron adalah pelakunya. Sialan! Bajingan itu tidak berhenti membuat masalah dengannya. Dua kapal tanker yang mengangkut minyak mentah itu seharusnya sudah tiba di Pelabuhan Barcelona sejak petang kemarin. Ken tahu ada sesuatu tidak beres sedang terjadi. Dan informasi dari Richard tadi, telah menjawab semuanya. "Hubungi Franco sekarang juga!" Perintahnya pada Richard yang mengangguk sopan. Pria itu lantas menelepon seseorang bernama Franco. Memberikan beberapa instruksi sebelum kemudian menutup sambungan teleponnya. Ken berdiri dari kursinya dan lantas menyambar jasnya yang tergeletak di sofa. Ia dengan terburu-buru keluar dari ruangan kerjanya. Diikuti dengan Richard yang berjalan di belakangnya. "Hubungi Rea." Perintahnya lagi pada Richard. "Minta dia secepat mungkin mempersiapkan pesawat." Dengan terburu-buru, Ken menaiki anak tangga dan menuju lantai 2 rumah mewahnya. Malam ini juga dia harus terbang ke Italia dan membuat perhitungan dengan Aaron. Kali ini dia benar-benar akan membuat Aaron merasakan akibat dari perbuatannya. Sebab, ini bukan kali pertama Aaron mengusik dirinya. Ken sudah pernah memperingatkan Aaron jika pria itu kembali membuat masalah, Ken tidak segan - segan menghancurkan hidup pria itu. Aaron mungkin melupakan satu fakta, bahwa Ken bisa lebih kejam darinya. *** {Hallo semuanya.. saya newbie alias pemula disini. Mohon dukungannya utk cerita pertama saya. Terima kasih.. ☺} Description: "Kehilangan adalah sesuatu yang menyedihkan bagi sebagian orang. Tetapi, tidak demikin dengan Ken. Kehilangan benda terpenting di hidupnya justru membawanya bertemu dengan seorang gadis cantik. Gadis cantik yang telah menyelamatkan hidupnya. Gadis cantik yang juga membuat Ken melakukan hal-hal yang sama sekali belum pernah ia lakukan sebelumnya. Hingga orang-orang terdekatnya pun heran, mantra apa yang digunakan gadis cantik itu pada Ken ?" ===== ===== ===== ===== ==== ===== ===== Wallet Love ©2020, Flaming Teeth Rich
Title: Wait Category: Horor Text: Berubah Pagi ini Sera melihat dari atas rumahnya ada bendera kuning di depan rumah tetangganya. Bendera itu terlihat sangat nyata karena memang sungguhan menandakan bahwa ada orang yang meninggal dunia. Sera perlahan menutup gordennya lalu duduk tersimpuh, tak lama kemudian ia tersenyum tipis. Pada tengah malam sebelum peristiwa itu Sera mendapat pesan dari Kenan yang berstatus sebagai kakak kandungnya. Kenan memberitahu Sera bahwa ia kecelakan bersama dengan anak tetangganya. Entah Sera mempunyai jiwa psikopat atau bagaimana Sera hanya membalas pesan kakaknya itu dengan satu kata yaitu kasihan. Beberapa jam setelah itu Sera mendengar bahwa anak tetangganya itu meninggal dunia saat tiba di rumah sakit. Sera tidak tahu harus bagaimana saat itu, ia hanya terdiam di balik pintu kamarnya. Dari peristiwa itu Sera tidak pernah berpikiran bahwa dunianya tidak akan menyenangkan seperti dulu. Di hantui rasa bersalah padahal kakaknya lah yang melakukan itu semua. Bebas Beberapa hari setelah kematian tetangganya Kenan sama sekali tidak terlihat, bahkan saat pemakaman lelaki itu tidak hadir. Sera tidak terlalu memikirkan hal itu karena ia juga sama saja, tidak pergi melayat. Hanya kedua orang tuanya yang hadir sebagai bentuk tanggung jawab terhadap anak tetangga. Kecelakaan itu terbawa-bawa sampai ke kantor polisi menginggat bahwa yang menyetir mobil itu adalah Kenan. Banyak yang harus diberikan ganti rugi dari anak tetangganya yang meninggal, mobil yang rusak total, dan papan reklame jalan yang tertabrak. Sungguh membuat pusing orang tua saja. Orang tua Sera lebih memilih membebaskan Kenan dari penjara. Mereka lebih memilih membayar semuanya dan begitu masalah terselesaikan dengan mudah. Orang kaya selalu mudah menyelesaikan itu semua. Seharusnya orang tua Sera membiarkan Kenan di hukum agar merasa bersalah karena ia juga anak yang nakal. Kenan sering meminta uang banyak, entah itu buat apa. Sering pulang malam juga. Banyak sekali kesalahannya sampai-sampai Sera malas untuk bertegur sapa dengan Kenan. Dunia ini begitu menyakitkan. Orang itu "Pembunuh ngapain pulang?" Ucap Sera setelah melihat kakaknya muncul dari ruang tamu. Sera berada di ruang makan. Ia sedang sarapan pagi tetapi justru disuguhkan pemandangan yang tidak enak dilihat baginya. Kenan mematung seketika mendengar ucapan Sera. Raut wajahnya tidak menunjukkan kesedihan tetapi justru menunjukkan kemarahan. Terlihat jelas di mata Sera bagaimana kondisi Kenan sekarang. Lusuh, rambutnya acak-acakkan seperti gembel. Luka-luka di wajahnya juga belum terlalu kering padahal sudah beberapa hari. Kenan lantas berjalan menuju ke arah Sera. "Punya sopan santun nggak lo?" Katanya. Sera tersenyum miring, matanya yang tajam melihat ke arah Kenan. Mata Sera terlihat jelas menunjukkan bahwa ia benci kepada kakaknya itu. "Ngaca!" Ucap Sera lalu bangkit pergi dari sana. Ia sudah muak, lebih baik pergi ke sekolah. Ikut? Setelah masuk SMA Sera mendaftarkan diri masuk ke dalam geng Dark Girl, awalnya Sera iseng masuk ke geng itu tetapi semakin lama ia semakin nyaman sampai kelas sebelas ini, padahal tidak ada yang baik dari geng itu. Semua yang ada pada mereka sama seperti nama gengnya Dark. Sera berangkat ke sekolah tadi bersama teman-teman gengnya dan sekarang sudah sampai di tempat parkir sekolah. Saat keluar dari mobil pandangan mata murid lain yang ada di sana tak pernah lepas. Ada yang menatap sinis, ada yang menatap jijik, adapula yang menatap karena terpesona. Sera dengan rambut sepundak, rok jauh di atas lutut, dan baju sedikit ketat. Lena dengan rambut dua warna atau yang disebut hairband bangs, rok jauh di atas lutut, dan juga baju ketat. Rere dengan rambutnya yang pendek seperti cowok, rok jauh di atas lutut, tetapi baju tidak ketat. Keren dengan wajah bule dan baju sekolahnya yang jauh lebih seksi siap menarik para lelaki. Mereka berempat lalu berjalan menuju ke dalam sekolah dengan angkuh seperti tidak ada beban dan tidak merasa bersalah. Murid lain yang ada di sekitar pun hanya diam dan melipir seolah-olah takut kepada mereka. Sebenarnya Sera tidak enak hati dari dulu seperti itu. Tetapi hari ini entah mengapa ia akan merubah semuanya, ia tidak akan peduli lagi. Semua telah berubah. "Kuy malem ini kita pesta-pesta di rumah Rere!" Lena berseru saat mereka berjalan di koridor. Sera langsung menoleh, selama ini ia tidak pernah ikut jika ada acara seperti itu. Ia berpikiran bahwa ini waktu yang tepat untuk ikut dengan mereka. Sarkasme Sera berdiri menghadap ke arah cermin panjang yang ada di pojok kiri kamarnya. Kedua tangan Sera memegang dua baju yang satu berwarna hitam dan yang satunya lagi berwarna merah. Sera mencoba memilih dari kedua baju itu mana yang pantas dia kenakan untuk pergi ke rumah Rere nanti malam. Sera tersenyum miring setelah sekian lama menimbang-nimbang pilihannya. Ia kemudian melempar baju hitam yang ada di tangan kirinya ke atas kasur. Ia lebih memilih baju merah yang ada di tangan kanannya. Serah berpikir merah itu berani. Berani melakukan semuanya lebih tepatnya. Sera berjalan ke arah lemari besar yang ada di sisi kanan cermin dan mengantung baju itu di sana. Dia lantas berjalan keluar dari kamarnya. Sera ingin makan terlebih dulu sebelum berangkat. Sebenarnya itu sudah menjadi kebiasaan Sera karena dulu saat SMP dia pernah pingsan sebelum berangkat study tour. Dari itu Ibunya menyuruh Sera untuk makan terlebih dulu sebelum pergi sampai sekarang pun bagitu. Sera mematung saat sampai di pintu masuk ke dapur, napsu makannya tiba-tiba menghilang. Dia melihat kakaknya sedang makan di dapur dengan sangat lahap sampai-sampai mengira bahwa kakaknya itu sudah bertahun-tahun tidak makan. Sera lantas melipat kedua tangannya di depan dada dan perlahan berjalan menuju di mana kulkasnya berada. Entah kenapa Kenan sama sekali tidak terganggu adanya Sera di dekatnya. Mungkin saja dia tidak melihat sosok adiknya, dia bahkan semakin cepat memakan makanan yang lumayan banyak itu. Sera tak langsung mengambil makanan yang ada di dalam kulkas, dia justru bersandar di pintu kulkas melihat kakaknya. "Ngga sekalian mati aja?" Ucap Sera setelah itu. Kenan mengangkat wajahnya dan melihat Sera dengan tatapan mata yang nyalang. Mulutnya yang sejak tadi mengunyah perlahan mulai berhenti. Penasaran Sera beranjak pergi setelah pipi kanannya mendapat tamparan yang begitu keras dari Kenan. Detik itu Sera menjadi sangat benci pada kakaknya meskipun dia sudah membenci semenjak peristiwa kecelakan tetapi rasa bencinya bertambah seribu kali lipat. Memang kalau di pikir kembali pertanyaan Sera sangat menusuk hati tetapi bagaimanapun bagi gadis itu pertanyaan tersebut cocok untuk diberikan kepada Kenan. Sera menutup pintu kamarnya dengan keras lalu ia duduk di depan meja rias untuk melihat pipinya yang habis terkena tampar tadi. Gadis itu melihat pipinya sedikit memerah dan lecet, dia kemudian menghela napasnya pelan. Tentu saja Sera sangat marah sekarang tetapi dia masih bisa menahan diri. Sera beralih mengambil dan membuka kotak obat yang ada di dalam laci meja riasnya, dia mengambil salep. Sera kemudian perlahan mengoleskan salep itu ke bagian pipinya yang lecet. Saat salep itu menempel di pipinya, Sera merasa perih tetap tidak seperih hatinya. Tiba-tiba ponsel Sera yang terchager di dekat meja rias berbunyi. Sera lantas mengambil ponselnya itu tanpa melepas sambungan kabel charger. Setelah membuka ponselnya Sera mengerutkan keningnya bingung. Akun Linenya tiba-tiba sudah berada di dalam grup yang terkesan sedikit mengerikan karena banyak foto-foto orang berlumuran darah di tubuh mereka. Anehnya grup itu banyak sekali anggotanya. Sera jadi bertambah bingung, apa maksud grup itu. Grup apa ini? Anonim : Welcome to group You Dead For Me. Untuk kalian yang ingin keluar dari grup ini ada dua pilihan, yaitu dibunuh atau membunuh. Jika kalian ingin dibunuh kami siap untuk melaksanakannya, jika kalian ingin membunuh kami akan menyiapkan korbannya. Pikirkan baik-baik. Kalian yang berada di grup ini adalah orang-orang yang terpilih bukan orang sembarangan. Jika tidak ingin dua pilihan tersebut tugas kalian hanya menyaksikan video pembunuhan dan melihat foto-foto hasil pembunuhan tersebut. *Teresa* : Ini grup gila. Gue mau keluar! *Axel* : Bener-bener nggak warah! *Reina* : Gue mau hidup dengan tenang please! *Gaga* : Siapa yang masukin gue di grup gila ini woy! Pesan yang ada di grup itu terus bermunculan dan semakin banyak. Sera melihatnya pun pusing sendiri. Sebenarnya Sera juga tak habis pikir dengan grup itu karena sangat-sangat gila. Siapa orang yang mau melihat foto-foto bahkan video pembunuhan seperti itu? Sera beberapa kali memecet tombol keluar tetapi ia tetap masuk ke dalam grup itu. Ia merasa aneh, teman-temannya tidak berada di dalam sana. Mengapa dia sendiri? Ponsel Sera bergetar, ia lantas melihat grup itu lagi. Anonim sedang mengirim sebuah foto di sana. Sera lantas tampak terkejut setelah mengunduh foto tersebut karena orang yang ada di dalam foto itu adalah Rere temannya. Seharusnya Sera pergi ke rumah Rere malam ini, tetapi ia malah melihat tubuh Rere yang tergeletak penuh darah dan ada beberapa tusukan di perutnya. Sungguh mengerikan. *Seralee* : Dia temen gue woy! Bener-bener gila ya, lo! *Fara* : Nggak ngotak lo, gue lagi makan! *Wenda* : Nggak lucu, basi! *Saga* : Ini maksudnya orang terdekat gitu yang harus kita bunuh? *Beno* : Jangan bikin gue overthinking! Korban Pertama Semalaman Sera menangis dan tidak bisa tidur karena memikirkan bagaimana keadaan Rere. Sera berusaha untuk tidak percaya dan menganggap semua yang terjadi kemaren hanyalah mimpi tetapi nahasnya itu nyata, semua benar-benar terjadi. Di atas kasur Sera duduk sembari memeluk lutut, seluruh tubuhnya tertutup selimut. Kamarnya pun segaja ia kunci dari dalam agar orang yang ada di rumah itu tidak ada yang berani masuk. Sera yang tadinya sudah berhenti menangis kini kembali menangis ketika ponsel yang ada di genggaman tangannya bergetar beberapa kali. Getaran itu menunjukkan bahwa ada banyak pesan yang masuk. Sera sudah sangat frustasi dan takut sampai-sampai ia enggan untuk membuka ponselnya. Sera tak habis pikir, ternyata korban yang mereka siapkan itu adalah orang-orang yang ada disekitarnya. "Gue nggak mau dibunuh ataupun membunuh." Ucap Sera. Nada suaranya terdengar gemetar dan serak. Tiba-tiba ponsel Sera bergetar dengan jangka panjang, menunjukkan bahwa ada panggilan masuk dan ternyata panggilan video. Sera awalnya ragu untuk mengangkat panggilan video itu tetapi ia berusaha yakin. Sera kemudian menggeser layar hijau ke atas pada ponselnya untuk menerima panggilan video. Setelah mengangkat panggilan, tubuh Sera panas dingin. Ia ketakutan lagi, tangannya juga tremor. Panggilan itu panggilan live untuk pembunuhan. Belum melihatnya saja Sera sudah merasa tidak kuat. Saat pembunuhnya mulai beraksi, Sera menangis sejadi-jadinya. Kali ini korban mereka adalah seorang laki-laki. Sera melihat pergelangan tangan laki-laki itu di tusuk-tusuk menggunakan besi panas. Di dalam panggilan live itu ada dua orang yang menyiksa korban tersebut. Namun, wajah mereka tidak terlihat karena menggunakan topeng. Korban kedua Penyiksaan yang dilakukan si pembunuh pada korbannya semakin lama semakin di luar nalar. Jarum yang seharusnya untuk menjahit baju kini justru mereka gunakan untuk menjahit ke kedua telinga korban. Jari kaki korban satu persatu pun mereka patahkan. Selama menyaksikan penyiksaan itu Sera berkali-kali menyebut nama Tuhan. Ia sangat takut, mereka sangat kejam dan sadis seperti psikopat yang tidak memiliki perasaan. Sera tidak kuat lagi melihat mereka seperti itu. Ia kemudian mencoba untuk memutuskan sambungan panggilan video tetapi hasilnya nihil. Sera yakin ada yang aneh pada kejadian ini. Meskipun si korban menelungkung Sera sepertinya tahu siapa dia, tetapi samar-sama ia juga kurang yakin. Sera lalu memfokuskan padangannya kepada korban. Sera melihat tangan si korban yang belum mendapat penyiksaan berusaha meraih dan mencoba menunjukkan kalung yang berada di lehernya. Saat kalung itu berhasil diraih dan berada di telapak tangannya Sera lantas melihat ada liontin berbentuk jangkar kapal. Jantung Sera seakan-akan berhenti berdetak dan napasnya perlahan mulai membara. Ia jadi teringat seseorang yang menggunakan liontin itu. Sera yakin liontin itu di dunia ini hanya ada satu karena yang membuat sendiri adalah seseorang itu. Sera cepat-cepat membuka selimut dan membuka pintu kamarnya. Dengan penuh air mata ia bergegas menuju ke salah satu ruangan yang ada di rumah itu dan tak lupa ia membawa ponselnya untuk memastikan apakah itu benar-benar dia. Pikiran Sera sudah kacau, ia sangat sedih. Hatinya sangat sakit seperti ditusuk pedang berkali-kali. Ia sungguh tidak rela. "Ku mohon Tuhan, jangan dia." Kata Sera penuh harap. Penyesalan Sera mematung ditengah-tengah pintu sebuah kamar seseorang. Saat Sera melihat seisi kamar itu jari-jari tangannya perlahan mulai mengeratkan genggamannya pada ponsel yang dibawa olehnya tadi. Hatinya terus meminta pertolongan kepada Tuhan, agar orang yang dia maksud bisa selamat. Kamar yang biasanya berantakan itu kini terlihat sangat rapi. Gorden yang biasanya menutupi jendela pun juga terbuka lebar. Tubuh Sera kembali bergemetar dan air mata yang mati-matian dia tahan sejak tadi kini menetes dan membasahi kedua pipinya. Dengan hati yang rapuh Sera berjalan masuk ke dalam kamar. Ada sedikit kebahagian dalam hatinya karena bisa masuk ke kamar itu lagi. Sera berhenti di tengah-tengah kamar yang bercat abu-abu itu, perlahan ia mulai menghirup udara yang berada dalam sana. Sera sangat-sangat rindu kamar ini dan dirinya. Saat Sera ingin duduk di kasur, ia melihat sebuah kertas putih yang terlipat di atas kasur. Mungkin seseorang sengaja meletakkannya di sana. Sera lalu berjalan dan mengambil Surat itu. Dia duduk dan mulai membaca. _Dear Sera Sera, i miss you so much. Baru kali ini aku menulis surat untuk seseorang dan menggunakan bahasa yang baku. Sera maafkan aku karena tidak bisa memberi pengaruh baik padamu. Sera, aku tahu kamu membenciku sejak saat itu. Aku tidak masalah kamu bersikap seperti itu karena itu memang salahku, mungkin semua orang juga membenciku. Sera, sejujurnya tadi malam aku ingin memelukmu untuk yang terakhir, tetapi kamu terlihat ingin pergi sehingga aku mengurungkan niatku. Lebih baik aku memberimu surat saja. Sera, kamu tidak akan bisa menemukan identitas mereka sampai kapanpun. Jadi, tidakn usah membuang waktumu. Oh iya, kamu sudah bisa keluar dari grup itu. Hidupmu akan lebih baik, adikku. Sera, untuk ke depannya jaga dirimu baik-baik karena aku sudah tidak bisa menjagamu. Jangan lupa jaga Ayah dan Ibu juga, sampaikan salam terakhirku ini untuk mereka. Aku cinta kalian selamanya. Kakakmu, Kenan._ Setelah membaca surat itu Sera merosot dan terduduk lemas di lantai, punggungnya menyender pada sisi kasur dan air matanya terus mengalir. Kini hatinya benar-benar sakit, ada sedikit penyesalan dalam hatinya. Namun sekarang rasanya itu semua sudah sia-sia kakaknya itu tidak akan kembali lagi. Pengumuman Halo! Salam Kenal! Aku Blue sky. Apakah cerita ini bagus bagi kalian? Jika iya, bagaimana kalau aku menambah bab-bab baru yang lebih seru lagi? Komen ya! Thank You. Description: Sera dan Kenan adalah kakak dan adik yang saling menjaga satu sama lain. Namun, semenjak Kenan tidak sengaja membunuh anak tetangganya, hidup mereka menjadi tragis. Banyak kejadian aneh yang menghampiri mereka.
Title: WEIRD Category: Fan Fiction Text: WEIRD | MOST WANTED Sebuah mobil Lamborghini Black Aventador itu memasuki gerbang SMA Adipura diikuti mobil Audi R8 dibelakangnya, membuat semua siswa-siswi yang ada disekitar langsung terdiam ditempat ketika mobil tersebut terparkir dengan mulus di parkiran sekolah. Dua orang cogan dengan wajah identik tersebut keluar dari mobil pertama diikuti satu orang cogan lagi yang keluar dari mobil selanjutnya. Seketika nafas siswi-siswi disana tercekat untuk menahan teriakan mereka namun ketika 3 cogan tersebut berjalan kearah gedung sekolah langkah mereka langsung diiringi dengan teriakan memuji dari para kaum hawa. Seperti... "AKH! KAK DYLAN KOK KERENNYA GAK NGUATIN!!" "KAK GLEN GAKUNA AKUHH!!" "KAK NATHAN OMEGAT!" "KAK DYLAN CIUM AKU DONG!" "DYLAN LO KOK GANTENG BET SIH?!" "GLEN MANIS BANGET ANJIR!" "NATHAN AKU MIMPIIN KAMU LO SEMALEM! "DYLAN I LOOVVEEE YOOOUUU!" "DYLAN I'M YOURS!" ... dan masih banyak lagi. Ya mereka adalah The Most Wanted Adipura Senior High School. Dylan Gerando Saul. Pria tampan yang sangat persis dengan kembarannya Glen Ardeno Saul, mereka memiliki hidung yang mancung, mata hijau, postur tubuh tinggi tapi masih tinggi Dylan, bibir yang sexy dan rambut coklat. Membuat para kaum hawa pasti akan tergila-gila dengan ketampanan mereka, selain itu mereka adalah anak ketua yayasan. Dylan dengan sifatnya yang tertutup, pendiam, cold prince, irit ngomong dan tidak peduli dengan sekitar, berbeda dengan Glen yang periang, murah senyum, banyak bicara dan berjiwa sosial tinggi. Jadi untuk membedakan merekapun sangat mudah. Dan.. jangan lupakan satu lagi Cogan sahabat dekat Dylan dan Glen yaitu Nathan Eduardo si Playboy Jomblo, memiliki wajah dan postur tubuh seperti anak dari David Beckham alias Brooklyn Beckham, selalu bisa membuat orang lain tertawa dengan 1001 kekonyolannya. Disinilah mereka begitu memasuki area sekolah tempat tujuan mereka adalah lapangan basket Outdoor, duduk sambil bercengkrama. "Eh Dy! Gue tuh heran ya sama lo, kok bisa fans gua kalah banyak sama punya lo, padahalkan muka kita sama persis." Ucap Glen yang dijawab kedikan bahu oleh Dylan. "Gue juga heran, muka udah kaya Brooklyn Beckham gini masih aja kalah sama si Dydyn Unyu." Kini Nathan bersuara dengan seenak jidatnya mengganti nama Dylan. "Tai." Hanya itu yang keluar dari mulut Dylan. "weisszzz bang gua tau lo irit ngomong, tapi sekali ngomong itu pedes dan tepat." Ucap Glen lalu tertawa. "ANJG! Lo Begal!" sewot Nathan pada Glen yang hanya direspon dengan tawaan Glen. Dylan yang sedari tadi hanya mendengarkan ocehan 2 burung beo disebelahnya hanya diam dengan straight face, siswi-siswi yang berlalu lalang hanya bisa gigit jari dengan sifat Dylan yang menurut mereka kerennya GAKUNA. KRRIIIINNNGGGGG....!!!!! Bel masuk pelajaran pertama berbunyi, semua murid berlarian menuju kelas mereka masing-masing. Sedangkan Dylan? Dia hanya berjalan santai toh dia tidak akan dimarahi jika masuk kelas terlambat karena dia dan Glen adalah anak ketua Yayasan. Saat keadaan koridor sudah sepi dan hanya ada Dylan yang berjalan santai tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang tergesa. Sedikit berlari mungkin. Dari arah belakang Dylan tampak seorang gadis dengan seragam SMA Adipura dan celana legging hitam ¾ sepatu Puma Blaze, tusk bag berwarna hitam, rambut yang dikepang Jepang dan snapback biru muda yang melekat dikepalanya. Tomboy memang penampilannya tapi jangan salah wajahnya yang kelewat cantik dan unyu itu mampu memikat banyak pria apalagi postur tubuh 'S' line miliknya yang sangat- errr. Karena lari sambil mengenakan dasi dia sampai tak melihat didepannya ada sesosok jangkung yang berjalan santai. BUGH! Alhasil dia menabrak punggung sosok tersebut hingga terjatuh menimpa punggung sosok tersebut. Spontan gadis tomboy itu bangkit dan meminta maaf. "Eh... Sorry gue gak sengaja.. lo gapapa? Ada yang luka? Ada yang lecet? Ada yang memar? Mau ke UKS atau ke Rumah Sakit? Punya BPJS gak? Atau gue-" ucapan gadis tersebut terpotong ketika suara bass milik sosok tersebut masuk menembus gendang telinganya. Dylan. "Berisik." "Sorry... gak sengaja..." ucap gadis tersebut sambil menatap manik mata Dylan dengan tampang cengo. Dylan menaikkan satu alisnya melihat tingkah gadis didepannya. 'Aneh.' batin Dylan lalu melenggang santai pergi dari hadapan gadis yang masih belum kembali kealam sadar. . . . Jam dimana semua murid melepaskan penat adalah ketika jam istirahat. Bercengkrama dengan teman sebaya, adik kelas, maupun kakak kelas, mengisi perut yang meronta untuk diisi, mengobrol bersama, bersenda gurau, dan lain sebagainya. Sama seperti halnya murid lainnya 3 orang murid tampak sedang bercengkrama, 2 murid perempuan dan satu murid laki-laki tampak asik mengobrol. "Jadi Zoe, lo pindahan dari California? Tapi kok bahasa indonesia lo fasih banget?" tanya seorang gadis cantik berwajah asia. Haura Kim. "iya kok bisa sih? Udah lama belajar bahasa indonsia?" kini giliran pria berwajah bule yang bertanya. Trevor Knight. "gak juga, bakat mungkin."ujar gadis bernama Zoe tersebut sambil cengengesan. "O iya lo tinggal disini sendiri?" tanya Haura. "iya..." "gak takut Zoe? Kalo takut gue mau kok nemenin lo hehehe... Aw!" ucap Trevor yang langsung dihadiahi jitakan dari Haura. "dasar Bege! Cari-cari kesempatan dalam kedodoran lo Termometer?!" omel Haura. "kesempatan dalam kesempitan kali Ra. Pepatah jangan diubah-ubah ntar artinya beda lagi elah! Pe'a lo." Balas Trevor. "suka-suka gue, mulut-mulut gue. Cuma orang-orang pilihan dan berotak kaya Einsten aja yang ngerti sama omongan gue." "Dasar Gila." Gumam Trevor yang masih bisa didengar Haura. "apa?! Lo ngatain gue apa?! Dasar pantat ayam!" kesal Haura. "Ekor Cicak!" "RUSA BERTANDUK!" "SINGA BETINA!" Zoe yang melihat pertengkaran 2 sahabat barunya hanya bisa tertawa. Namun seketika gadis-gadis yang ada dikantin ricuh begitu 3 orang pria tampan memasuki area kantin. Zoe langsung mengalihkan pandangannya kearah pria-pria tersebut, Zoe terbelalak melihat 2 pria yang sangat mirip dengan orang yang dia tabrak tadi pagi. "ASTAGA! ITU GLEN! ANJASS! MAKIN KEREN AJA SIH DIA?!" Teriak Haura yang membuat Zoe tersentak bahkan hampir terjungkal, sedangkan Trevor? Jangan ditanya dia sudah teramat bosan dan jenuh dengan teriakan-teriakan tidak penting Haura yang seakan-akan memuja Glen. "Mereka siapa sih?" tanya Zoe polos. Mendengar hal itu Haura langsung menanggapi dengan tidak layak. "ASTGA NAGA LYLA BIN LADY GAGA!!! SAMARA ZOE! LO GAK TAU SIAPA MEREKA?! THE MOST WANTED DI SEKOLAH INI?! BAHKAN KITA SEKELAS SAMA MEREKA DODOL GARUT!!" kesal Haura. "biasa aja kali, gua kan baru aja tadi pagi sampe di SMA Adipura ini Ra." Zoe mengingatkan. "O Iya gua lupa Zoe hehehe..." balas Haura sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "makanya kalo ngomong tuh mikir dulu sama gak usah teriak-teriak, sekarang kita jadi tontonan OGEB!" cicit Trevor. Mendengar itu Haura langsung melihat sekitar dan cengengesan tidak jelas.. "Lo sih! Pake tanya kek gitu gua jadi spontan kan Zoe?" bisik Haura. "dih nyalahin gue, udah ah gue mau kekelas aja." Jawab Zoe. Saat dia beranjak matanya tak sengaja bertubrukan dengan mata hijau milik orang yang dia tabrak pagi tadi dikoridor sekolah, mata tersebut menatapnya dengan datar dan dingin, dipandang seperti itu Zoe hanya bisa menundukkan kepalanya lalu berjalan cepat keluaar kantin. Glen menatap Dylan yang sedari tadi menatap kepergian Zoe, dia mengerti tatapan Dylan yang seakan-akan penasaran dengan Zoe dan tak lama.. "tuh cewek siapa?" cicit Dylan. 'sesuai dugaan' batin Glen. "dia? Cewek tomboy yang baru keluar?" kini Nathan yang bertanya pada Dylan. "hm" "dia tuh anak baru dikelas kita, namanya Samara Zoe, eh Dydyn Unyu tumben banget lo penasaran sama cewek? Lo gak sakit kan?" oceh Nathan sambil memegangi jidat Dylan dan mengatupkan pipi Dylan dengan tangannya sehingga bibir Dylan monyong-monyong, melihat itu seketika membuat para gadis histeris karena Dylan terlihat unyu. "Anju lo" kesal Dylan sambil menyingkirkan tangan Nathan, lalu pergi meninggalkan kantin. . . . Jam pulang sekolahpun telah tiba, semua murid SMA Adipura pun berhamburan keluar kelas dan bergegas pulang atau pergi ketempat nongkrong mereka tak urung pula dengan Dylan dan Glen yang hendak pulang namun ketika Dylan ingin membuka pintu mobil, matanya menangkap sosok seorang gadis yang sejak tadi pagi mengganggu pikirannya, gadis yang menabraknya di koridor sekolah, gadis yang satu kelas dengannya, gadis yang dikantin tadi menarik perhatiannya, ya dia Samara Zoe. Zoe memasuki mobil Ferrari merahnya dengan santai dan melajukannya keluar gerbang sekolah, Dylan terus saja mentap kearah gerbang hingga mobil tersebut hilang dari pandangannya. 'kenapa gue jadi pengin merhatiin tuh cewek terus ya? Aneh. Ahhh bodo amat.' Batin Dylan lalu masuk dan mengendarai mobilnya. Namun tanpa sadar Dylan diperhatikan gerak geriknya oleh Glen, Glen yang mengerti dan merasakan apa yang sedang Dylan alami hanya tersenyum kecil. 'syukur deh ternyata hati lo mulai kebuka, Cuma gara-gara tuh cewek tomboy Dy. Bahagia gue.' Batin Glen. WEIRD | THE RACER Sebuah mobil Ferrari melaju dengan kecepatan sedang disebuah jalan yang sepi, ya itu adalah mobil milik Zoe dia baru saja pulang dari Underground. Saat sedang anteng – antengnya melaju, dia melihat sebuah gerombolan muda-mudi mengelilingi 2 buah motor, karena penasaran dia memberhentikan mobilnya dan mendekati kerumunan tersebut. Terkejut. Itu hal pertama yang dia alami saat melihat seorang pria yang sangat mengganggu pikirannya sejak tadi pagi, dia ada disana diatas motor Ninja berwarna hitam, dengan hoodie motif Army bertuliskan 'OBEY', sepatu adidas sport, dan celana jeans Hitam kusamnya. Saking terpesonanya dia sampai tak sadar jika seseorang sudah berdiri disampingnya. "ekhm." Sontak Zoe menoleh kearah sumber suara, dia lebih terkejut karena orang yang dia lihat disana sekarang ada disebelahnya, namun bedanya sekarang dia menggunakan jeans hitam yang sobek dilutut sebelah kanan, sepatu vans hitam, kaos putih dan jacket jeans , dan senyum yang merekah. "lo kok..." ucap Zoe sambil menunjuk 2 pria itu bergantian dan bingung. "dia kembaran gue, namanya Dylan. O iya kenalin gue Glen." Ucap Glen. "oohhh iyaaa gue Zoe." Jawab Zoe. "Samara Zoe, murid SMA Adipura kelas XI IPA-2, pindahan dari California." Ucap Glen tiba-tiba yang membuat Zoe melongo. "kok lo bisa tau?! Lo bukan stalkerkan?" curiga Zoe. "hahahahaha ya bukanlah, lo kan tadi pagi ngenalin diri di depan kelas bahkan lo duduk tepat didepan gue." Jelas Glen yang membuat Zoe bernafas lega. "berarti lo yang tadi pagi juga gak sengaja gue tabrakkan?" tanya Zoe. "hah? Gue gak ada ngerasa tuh ditabrak sama lo?" jawab Glen. "berarti yang gue tabrak kembaran lo dong?" "ciri-cirinya?" tanya Glen. "muka persis sama gue?" Zoe mengaangguk. "Jalannya sante banget?" Kembali Zoe mengangguk. "straight face?" Angguk lagi. "irit ngomong?" Angguk lagi. "cuek?" Angguk lagi. "sok cool?" Angguk lagi. "oke fix itu Dylan Gerando Saul kembaran gue." Oceh Glen. 'nih cowok aneh banget sih jadi orang, dia yang pe'a atau gue yang pe'a sebenernya?' batin Zoe sambil menatap Glen aneh. "mau berteman?" Glen menjulurkan tangannya pada Zoe mengajak bersalaman. 'asik juga kayanya punya temen kek gini.' Pikir Zoe langsung membalas jabatan tangan Glen. Saat sedang asik ngobrol tiba-tiba 2 buah motor sudah bersiap untuk melaju yang artinya balapan, Zoe yang melihat Dylan terpesona melihat pria itu melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata, melaju dengan mulus dan keren memimpin balapan. "itu udah jadi Hobbynya Dylan ikut balapan liar, selain hobby bisa buat nambah uang jajan katanya kalo dia menang." Jelas Glen terhadap Zoe yang terus memperhatikan Dylan. "apa Dylan selalu menang?" tanya Zoe. "sejauh ini sih dia gak pernah gak menang, Zoe. Alias dia itu pemenang sejati, bahkan dia dijuluki masternya Racing." Jelas Glen lagi. Dan benar kata Glen, tak lama Dylan melewati garis Finish dan seketika orang-orang yang mendukung Dylan heboh. "keren." Gumam Zoe. Glen yang sejak tadi memperhatikan Zoe hanya tersenyum. 'ternyata lo juga punya ketertarikan sama Dylan.' Pikir Glen. . . . Dylan dan Glen baru saja memasuki parkiran sekolah ketika bel masuk berdering, berbeda dengan murid yang lain yang akan bergegas kekelas karena sudah telat, mereka malah terlihat sangat santai bahkan sempat-sempatnya mereka membeli minuman dulu kekantin. "Dy gue beliin minum dong, duit lo kan banyak hasil balapan semalem." Pinta Glen pada Dylan. "hm." Hanya itu jawaban Dylan. "Yoshh! Ntar istirahat tinggal traktir gue makan ya kembaran?" pinta Glen lagi dengan mengedip-ngedipkan kedua matanya. "muka lo mirip babi mau lairan kalo kek gitu." Tanggap Dylan datar. "lo juga dong Dy. Ngek ngek ngek, Bege amat si lo?!" "emang iya?" tanya Dylan. "kita kan kembar identik sepatu Ando! Bege kok kelewatan sih?!" kesal Glen. "lupa gue." Tanggap Dylan lalu melenggang mendahului Glen. "sakit Hati gue Dy! Gue kembaran lo! Tapi kenapa lo lupain gue?! Hiks." Ucap Glen memasang tampang sedih idiotnya sambil memegangi dada kirinya dan pura-pura menangis dihadapan Dylan. Dylan hanya menatap jijik dan berkata.. "Jijik gue." "menyakitkan lo Dy! Pantesan aja dia ninggalin lo... Ups! " ucap Glen yang langsung mendapat tatapan tajam milik Dylan. 'salah ngomong gue, bego lo Glen bego.' Batin Glen merutuki ucapannya. "Sorryyy gak sengaja hehehehe...." cengir Glen, dan hanya diblas kedikan bahu Dylan. 'untung lo kembaran gue Glen, kalo gak udah gue Bogem lo.' Batin Dylan. . . . Dikelas XI IPA-2 sedang berlangsung kegiatan belajar mengajar namun harus terhenti ketika Dylan dan Glen memasuki kelas dengan santainya, sang guru hanya bisa mendengus kesal melihat kelakuan 2 muridnya sekaligus anak dari ketua yayasan. "pagi pak Broto! Lanjutin aja pak, kita gak ganggu kok." Ucap Glen sambil tersenyum, dan membuat para gadis dikelas tersebut gigit jari, kecuali Zoe yang malah terus menatap Dylan yang duduk tepat dibangku sebelah kirinya. Dia sedang mengagumi ciptaan tuhan disebelahnya yang sedang menatap papan tulis dengan datar dan ogah-ogahan. Hingga sebuah suara menginterupsinya. "SAMARA ZOE! KELUAR DARI KELAS SEKARANG JUGA!" teriak pak Broto yang berkepala botak pada Zoe. Dan Zoe? "dengan senang hati pak! Hehe.." ucap Zoe lalu keluar dengan santainya. 'tuh cewek beneran aneh, unik.' batin Dylan sambil menatap kepergian Zoe. "psstt... Dy, lo naksir sama tuh cewek?" bisik Nathan yang duduk dibelakangnya. Dan Dylan hanya menjawab dengan kedikan bahu. "gak asik lo." Kesal Nathan lalu menelungkupkan kepalanya dimeja dan mulai memasuki alam mimpi. Sedangkan diluar sana Zoe duduk dilapangan basket dengan headphone yang terpasang ditelinganya, memakan beberapan cemilan yang dia beli dikantin serta sebotol Freastea melati. "Dylan Gerando Saul? Kayanya gue tertarik sama lo." Ucap Zoe lalu tersenyum. "AAAhhhhh!!! Baru kali ini gue tertarik sama cowok yang bahkan cowok itu kaya gak tertarik sama cewek, atau jangan-jangan dia gay lagi... gak gak gak mungkin." Monolog Zoe. "apa gue tanya aja ya sama Glen tentang Dylan? Ya gue emang harus tanya sama Glen, secara diakan kembarannya." Monolog Zoe lagi. Masih dikelas Dylan tampak gusar ingin segera keluar dari kelas dan melihat Zoe, tunggu kenapa dia ingin melihat Zoe? Karena sudah benar-benar malas dan jenuh akhirnya Dylan beranjak keluar kelas. "Pak saya keluar." Uucap Dylan pada pak Broto, dan guru tersebut lagi-lagi hanya bisa mendengus. Dylan terus berjalan mengikuti langkahnya dan berhenti dilapangan basket, disana dia melihat Zoe yang sedang bermonolog tidak jelas sambil mendengarkan musik. 'dia emang bener-bener aneh, lucu sih.' Batin Dylan tersenyum tipis. Dylan memutuskan untuk mendekati Zoe, dan duduk disebelah Zoe. Zoe yang merasa seseorang duduk disebelahnya pun menengok kesamping kanannya, dia membulatkan mata ketika melihat name tag yang di pakai pria disebelahnya. "hai." Sapa Dylan tanpa melihat Zoe. "hai juga." Jawab Zoe. "lo cewek yang kemarenkan?" tanya Dylan. "maKsudnya?" "koridor sekolah." "ooohhhh iyaaa.... sorry buat waktu itu, gue gak sengaja." "it's okay." Ucap Dylan. "mau kenalan? Gue Dylan." Lanjutnya. "Zoe." "gue tau kok." "lo tau darimana?" 'ternyata dia sama anehnya sama Glen, udah tau nama gue masih aja ngajak kenalan.' Pikir Zoe. "tadi dikelas." "ohh gituu.." Kemudian semua hening.. 'kok gue jadi canggung gini sih?' batin Dylan. 'aduhh gue deg-degan mama... nih cowok kok ganteng banget?' Batin Zoe. Tanpa mereka sadari sepasang mata sedang menatap mereka tak suka dari tangga Tribun. 'lo ternyata tertarik sama dia Dy, liat aja gue yang bakalan dapetin tuh cewek.' Batin orang tersebut. WEIRD | FALLING IN LOVE Zoe PoV Entah kenapa gue akhir-akhir ini penasaran sama Dylan, gue jadi sering menatap Dylan, dan setiap gue liat kedalam matanya gue ngerasa kaya jantung gue mau copot, setiap kali dia liat kearah gue rasanya pipi gue kaya kebakar. Gue gak tau kenapa gue kayak gini, gue juga sekarang jadi deket sama Glen kembarannya Dylan. Glen pernah bilang ke gue kalo Dylan itu gak pernah deket sama cewek manapun, setelah suatu hal aneh, gue gak tau hal aneh apa yang dimaksud, so berarti gue satu-satunya cewek yang deket sama dia saat ini, gue bahagia bisa kek gini, tapi setiap gue natap mata Dylan lebih lama kayak ada luka tersembunyi disana, luka yang gak orang lain tau selain dirinya, luka yang menyayat dan menghancurkan banyak hal, luka yang membuatnya menjadi gelap. Zoe Pov END* Kamis pagi yang mendung, semendung hati seorang pria tampan berwajah bak Brooklyn Beckham. Nathan Eduardo. Wajahnya murung entah apa yang dia pikirkan, akhir-akhir ini juga dia tidak kelihatan bersama dengan kedua sohib kembarnya, tak seceria biasanya yang selalu melontarkan kalimat tolol nan konyol. Saat ini dia berjalan sendiri dengan menggendong tasnya hanya dibahu kanan, menunduk dengan kilatan mata yang memancarkan amarah, cemburu, dan juga iri. Tapi tak ada yang tahu apa sebabnya. "Nathan!" terdengar suara Glen dari kejauhan memanggil Nathan. "Nath oy!" lagi Glen memanggilnya saat sudah sampai disebelah Nathan, tentu saja hal itu membuat Nathan terlonjak kaget. "Eh buset dah! Begal ngagetin orang aja kaya jelangkung tau gak lo?!" oceh Nathan. "eh sempak Brooklyn! Enak aja ngatain gue dalam satu kalimat dua hinaan! Gue tuh udah manggil-manggil lo sambil lari!" balas Glen tak mau kalah. "Dylan mana?" tanya Nathan merubah topik. "dikantin beli minum." Sepasang anak manusia berjalan kearah Nathan dan Glen, mereka tak bukan dan tak lain ialah Dylan dan Zoe. Nathan yang menyadari hal itu lebih dulu dari Glen pun langsung pergi tanpa mengatakan apapun. "woy Nath! Lo mau kemana? Oy!" Glen kesal dengan sikap Nathan yang aneh. "tuh bocah kenapa sih? Sensi banget. Jangan-jangan PMS hari pertama!" Glen bermonolog. "hai Glen!" sapa Zoe. "oh hai Zoe! Lho Dy kok lo bisa sama Zoe?" tanya Glen. "tadi gue ketemu Dylan dikantin jadi kita bareng aja." Zoe menjawab. Sedangkan Dylan? Dia sibuk dengan kaleng Nescafe moccachinonya. "Nathan mana?" tanya Dylan. "gatau tuh tadi pergi kemana, sempet ngalamun terus ngacir, dan gue pun sendirian huhuhuhu" Glen menjelaskan dengan dramatis. "Alay." Ucap Dylan lalu melenggang masuk ke kelas yang hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri sebelumnya dan diikuti Glen yang kesal dan Zoe yang cekikikan. Tapi dalam hati Glen membatin 'sekarang gue tau kenapa Nath, gue udah merhatiin kalian berdua.' Nathan POV* GILA! Gue ini kenapa sih?! Kenapa juga gue kabur gitu aja liat mereka? Harusnya gue berjuang dan misahin mereka! Kalo ditanya mereka siapa? Ya itu mereka yang bikin gue kabur ninggalin Glen tanpa ngomong apapun. Ya mereka, Dylan dan Samara. Uh! Gue cemburu berat! Gue selalu aja kalah dari Dylan, tapi gak kali ini, gue pasti bakal dapetin Samara pasti dan gue bakal bikin Samara jatuh hati sama gue. Itu pasti. Gak ada kata nyerah di kamus kehidupan seorang Nathan Eduardo. Nathan POV END* Sepasang anak kembar sedang berjalan bersama dikoridor sekolah yang satu tampak sangat santai dan cool bermuka datar, sedangkan kembarannya berjalan sambil menebar senyuman dan siulan bahkan sesekali menjahili murid lain yang berpapasan dengannya. "Dy gue gak pernah liat muka lo seetenang dan sedamai ini sebelumnya, kenapa emang? Dan gue liat juga perubahan postur wajah lo itu semenjak ada si cewek aneh anak baru disekolah dan dikelas kita." Glen memulai perbincangan. "Ngomong apa si?" jawab Dylan yang sedikit risih dengan pertanyaan Glen. "elahh gue udah jelas ngomongnya sepatu Ando!" kesal Glen. "gue... tau deh." Ucap Dylan tidak mengerti dengan dirinya. "dih lo suka sama Ms. S.Z? iya?" tanya Glen. "S.Z?" bingung Dylan. "astajimmmm lo LOLITA banget sih! S.Z itu Samara Zoe!" "gue nyaman aja sama Zoe, dan LOLITA tuh apaan?" "LOLITA itu.... Loading Limit Kuota." Jelas Glen, sedangkan Dylan hanya mengangguk - angguk. "wait.... ASTAGA! Dy lo baru aja boros ngomong! Lo baru aja ngomong dengan kalimat terpanjang dalam sejarah eksistensi lo di dunia ini, babe. 9 kata dalam 1 kalimat Omegat!" Glen histeris dengan kalimat terpanjang Dylan. "Eksistensi? Vampir dong." Jawab Dylan. "iya Vampir! Secara lo itu dingin banget kaya es kutub." "lagi proses." "es kutub lagi proses apa emang?" tanya Glen. "mencair." "emang kenapa? Kok bisa mencair?" "global warming." "wuihhh seriuss nanti bakal kiamat dong kalo kutub mencair? Nanti kita mati dong?" "lo lagi interview?" tanya balik Dylan dengan datar lalu pergi begitu saja. "cita-cita gue jadi Pianis dan lo tau itu, bukan jadi Wartawan Dydyn Unyu!" kesal Glen sambil mencak-mencak sendiri ditengah keramaian koridor. Sedangkan Dylan? Dia tak peduli dan terus berjalan. Dan lagi-lagi... JDUG! Dia menabrak seseorang saking tidak pedulinya dengan sekitar. "Aw!" keluh orang yang Dylan tabrak. Dylan yang sudah terlebih dulu melihhat gadis yang dia tabrak langsung membantunya berdiri, gadis itu yang membuat Dylan sedikit berubah akhir-akhir ini, siapa lagi jika bukan Ms. S.Z. "Sorry." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Dylan. "iya gapapa ko Dy, tapi kok lo bisa gak liat gue? padahal gue persis jalan didepan lo tadi." Heran Zoe. "lo sendiri? Gue juga didepan lo tadi." Dylan membalik omongan Zoe, dan Zoe hanya cengengesan seperti orang idiot, mereka tidak tahu bahwa puluhan pasang mata gadis menatap iri pada Zoe yang bisa ngobrol santai dengan Dylan. "lo mau kemana Dy?" tanya Zoe mengalihkan pembicaraan. "lapbas." "ohh.. ngapain? Gak ke kantin?" "lagi males aja." "ohh gitu ya udah lanjutin aja perjalana lo ke lapbas, semoga selamat sampe tujuan dan gak nabrak orang lagi, gue balik ke kelas dulu ya Dy? See you." Ucap Zoe panjang lebar dengan ceria. Yang membuat Dylan tersenyum tipis bahkan tak terlihat. 'dasar si aneh tapi lucu. And i think... i really Fallin' in love wit You Samara Zoe' Batin Dylan dan tanpa sadar tersenyum manis. WEIRD | MAYBE Pagi ini adalah hari Sabtu, dengan cuaca cerah. Jam di dinding sebuah kamar bernuansa Navy and White itu masih telihat gelap karena gorden dark grey yang masih tertutup. Seorang gadis menggeliat terbangun dari tidurnya karena deringan alarm yang ada dimeja samping tempat tidur queen sizenya. Ya siapa lagi jika bukan Zoe. Dia bangkit dengan malas sambil mematikan alarm yang terus berdering membuat telinga sakit. "Shit! Ini alarm apaan si? I hate things like it." Umpat Zoe pada benda tak bersalah. Zoe melihat lagi kearah jam weckernya.. masih jam 6 dan ini hari libur, lalu Zoe bangkit dari ranjang menuju kamar mandi sekedar cuci muka dan gosok gigi, lalu menuju outfit room mengambil celana nike hitam, kaos oblong putih bertuliskan supreme, handuk kecil, rambut coklat yang dikuncir kuda, sepatu nike roserun. Yap dia sudah siap untuk jogging. Zoe hanya jogging mengelilingi taman didekat apartementnya sambil menikmati udara segar pagi hari kota Jakarta. Merasa lelah akhirnya Zoe duduk disalah satu bangku ditaman tersebut, dia meneguk air mineral yang dia beli di mini market depan apartement sebelum berangkat jogging. Dengan sekali teguk dia sudah menghabiskan hampir setengah botol. "WOW! Amazing! I can do this. This isn't my style." Ujar Zoe kagum. Tanpa Zoe sadari sedari tadi ia diperhatikan oleh seseorang. Seseorang itu mendekati Zoe kemudian dengan sengaja mendudukan pantatnya disebelah Zoe. "Hai!" sapa orang tersebut. Zoe yang merasa disapa kaget dengan orang yang ada disebelahnya, dia nampak familiar dengan wajah tersebut, namun sayang dia tidak tahu nama orang tersebut. "Hai?" sapa orang itu lagi membuat Zoe sadar dari pemikirannya. "oh hai.." "gak usah dipikirin gue siapa, kita belum kenalan secara langsung walau kita sekelas. Gue Nathan Eduardo." Ucap sesorang tersebut yang ternyata adalah Nathan. "ohh hai,, i'm Samara Zoe, you can call me Samara, Mara, Ara, Zoe, or whatever you want, but i swear don't call me with weird or freak name. And i hate if you want to call me chubby." balas Samara tersenyum. "key i won't to call you like that, i will call you Samara. Nice?" tanya Nathan. "bisa-bisa." Jawab Zoe. "okey, so... bukannya lo temennya Glen sama Dylan?"tanya Zoe. Entah mengapa mendengar nama Dylan keluar dari muut Zoe itu membuat hatinya seperti tergores dan lecet, karena menurutnya saat Zoe menyebut nama Dylan ada hal yang tak biasa yang tersirat disana. "yup! Lo bener. Tapi, kok bisa ya lo kenal Dylan dan Glen tapi gak kenal gue sama sekali?" heran Nathan. "haha entahlah mungkin gue terlalu fokus sama satu titik." Ucap Zoe sambil senyum-senyum tidak jelas. Nathan tau senyum apa yang Zoe keluarkan, Nathan tau apa yang ada dipikiran Zoe, Nathan sangat tau apa yang dimaksud dengan 'satu titik' dan hal itu membuat hatinya makin tergores. Tapi, Nathan tak menyerah, dia sudah bertekad untuk mendapatkan Zoe sampai dia benar-benar yakin dengan apa yang ada di pikiran Zoe. "o iya Nath, berapa lama lo sama Dylan sahabatan?" tiba-tiba Zoe bertanya. "eumm... mungkin 8 tahun." "wuihhh lama juga, berarti lo tau banyak tentang Dylan dong?" "ya... lumayan lah, tapi gak semua." "kalo gitu Dylan itu sebenernya cowok yang gimana sih?" 'sabar Nath sabar...' Nathan membatin. "kenapa emangnya?" "dih malah balik nanya" "haha.. oke-oke, Dylan itu gak pernah deket sama cewek, pelit ngomong, sinis sering, pembalap liar, benci alkohol dan nikotin, takut tikus tapi suka ular, jaim banget, dsb. Lo ... suka ke Dylan ya?" akhirnya karena tidak sabaran Nathan bertanya seperti itu. Dan parahnya... Zoe memberi respon tidak baik yang membuat hatinya tergores lagi bahkan hampir teriris. "Maybe, Yes..." ungkap Zoe halus sambil tersenyum. . . . Masih dihari yang sama, di siang hari yang terik dengan panasnya kota Jakarta, 3 orang sahabat yaitu Zoe, Trevor dan Haura sedang duduk manis berbincang bersama sambil menikmati minuman mereka di Starbucks. "Zoe, kayanya lo akhir-akhir ini deket ya sama si Dylan?" tanya Trevor. "iya Zoe, lo gak mau gitu cerita sesuatu ke kita-kita?" kini Haura menambahi. "okey... kayanya sekarang gue harus cerita sama kalian." Ungkap Zoe lalu meminum Americano Coffee Icenya. "kalian jadian?!" serempak Trevor dan Haura bertanya dengan mata melotot. "gak bukan gitu... gue gak jadian sama Dylan, tapi gak dipungkiri kalo gue jatuh hati sama Dylan." Ucap Zoe sambil tersenyum menatap ramainya kota metropolitan. "oh astaga! Kalo lo suka Dylan, lo harus bisa bikin dia juga falling in love sama lo Zoe." Saran Haura. "gue lagi usaha." Jawab Zoe. "but, don't like a bitches. Key?" Trevor menimpali. "Never." "okay babe, kalo misal lo jadian sama Dylan, lo harus bisa bikin gue deket sama Glen! You know?! You must Promise!" Haura bersemangat, dan Trevor sudah memutar bola mata malas. "iya deh iya serah lu." "mak lampir kumat tuh.." gumam Trevor yang masih bisa didengar oleh Haura. "APA LO BILANG?!" teriak Haura. "kagak itu tadi gue liat kecebong berak." Jawab Trevor memalingkan muka. "emang kecebong bisa berak ya?" tanya Zoe yang bisa-bisanya berpikir bersama Haura. "bisalah! buktinya tadi gue liat diselokan." "Bego! Kecebong mana bisa berak?!" teriak Haura dan Zoe bersamaan ketika sadar sedamg dibodohi Trevor. "gue tipu mau aja." Jawab Saat mereka sedang mengobrol(?) mereka dikejutkan dengan si kembar yang tiba-tiba sudah duduk bersama mereka. "Hai Guys!" sapa Glen, sedangkan Dylan? Jangan tanya, hanya langsung duduk. Seketika Haura dan Zoe menegang, Trevor? Dia belum apa-apa sudah ngobrol dengan Glen. "kalian kenapa?" tanya Dylan tiba-tiba yang membuat 2 cewek gesrek ini terperanjat kaget. "ah? Apa?" tanya Zoe. "gak." "dih lu irit ngomong banget sih dy?" tanya Zoe lagi, dan hanya dijawab kedikan bahu oleh Dylan. "Dy jangan gitu lah sama gebetan, eh keceplosan." Ucap Glen meledek, dan langsung mendapat deathglare dari Dylan. "hah? Gebetan Dylan? Siapa?" tanya Haura bingung. Sontak Dylan langsung memberi deathglare lagi(?) pada Glen. "haha becanda kali gue." Glen tertawa garing. Sedangkan Zoe sudah berharap jika Glen akan menyebut namanya. Mungkin dia terlalu berharap. Poor Zoe. 'ada apa sama mukanya Zoe? Apa dia berharap kalo Glen nyebutin namanya? Apa mungkin Zoe juga suka sama gue kaya gue suka sama dia? I wish. Maybe, Yes.' Batin Dylan. 'tuhkan bener dugaan gue, mereka saling suka, mata mereka gak bisa boong.' batin Glen. 'sebenernya Dylan suka gak yah ke Zoe? Gue harap iya, karena gue gamau liat Zoe sedih.' Batin Haura. WEIRD | CUPID Pagi hari gelap alias subuh di SMA Adipura sudah terpakir sebuah mobil Porsche diparkiran sekolah, tampak di lapangan basket Outdoor seorang pria duduk dengan tenang mnunggu kembarannya. Lalu seseorang dengan wajah persis alias kembarannya datang dengan dua bungkus sandwich ditangannya. Ya mereka Dylan dan Glen. "Dy, lo kurang kerjaan banget ngajak gue kesekolah subuh-subuh gini, gue masih ngantuk." Ucap Glen lalu menguap sambil memberikan sepotong sandwich pada Dylan. "Glen?" ucap Dylan. "hm?" "gue... mau nyatain perasaan." "uhuk! Serius lo?! Ke siapa?!" Glen terbatuk mendengar penuturan Dylan. "Samara Zoe." "Dy? Lo yakin?" kini Glen bertanya serius. "Of course." "gue dukung lo." "mau bantu?" "bantu apaan?" Dylan menjinjing tas besar yang dia bawa dari tadi, dan sebuah kunci aula sekolah. "Dy lo mau ngapain? Itu tas isi apaan?" "ikut gue." Dylan dan Glen berjalan menuju aula sekolah, Dylan membuka pintu aula dengan kunci yang dia bawa, setelah masuk dia langsung menyalakan lampu yang ada. "Dy lo sebenernya mau ngapain sih?" tanya Glen lagi. Tanpa menjawab Glen, Dylan langsung mengeluarkan berbagai macam barang yang dia bawa didalam tas besar tersebut. 'the great Dylan is Back.' Batin Glen tersenyum simpul melihat barang-barang yang Dylan bawa. "hohoho gue ngerti jalan pikiran lo Dy." Setelah mengucapkan itu Glen langsung membantu Dylan. Pukul 07:30 para siswa mulai berdatangan karena bel masuk sekolah adalah pukul 08:00, sama halnya murid lain Zoe tampak berjalan santai dikoridor sekolah sambil mendengarkan lagu yang diputar oleh tim radio sekolah. Lagu dari Ed Sheeran - Shape Of You. Setiap langkah Zoe menuju kelas diiringi lagu tersebut. Dan juga entah mengapa hari ini Zoe tidak memakai celana ¾ dan snapbacknya, rambutnya juga tidak ia kepang seperti biasa, dan warna rambutnya juga berubah menjadi ungu kali ini. Entah, untuk hari ini dia ingin tampil seperti perempuan, seperti yang ia lakukan saat di California. Dan kebetulan hari ini ada rapat guru jadi dia masih bisa santai hingga siang nanti. Tapi ada yang ganjal, dia belum melihat Dylan dan Glen sejak pagi tadi, kemana perginya sikembar? Saat sedang berjalan tiba-tiba seorang pria menepuk bahunya, membuyarkan pikirannya. Dia Nathan. "oh! Hai Nathan!" sapa Zoe. "tumben sendirian Zoe bisanya sama Haura?" tanya Nathan. "hehe iya Haura kan tim Radio dia udah di ruang siaran pasti." "iya juga." Nathan tersenyum. Saat mereka sedang mengobrol tiba-tiba saja speaker yang tadinya memperdengarkan lagu-lagu romantis mendadak berganti dengan suara seseorang. "hai!! Glen disini!" speaker itu memperdengarkan suara Glen, sontak siswi-siswi yang berlalu lalang langsung berteriak histeris. "okey! Girls! Gue tau sekarang lo semua lagi teriak histeris. Tapi gue disini bukan buat nyanyi atau interview dan semacamnya, gue disini bakal kasih pengumuman buat nonton The Great Dylan di Aula SMA Adipura sekolah kesayangan kita, dan khusus buat si rambut baru yang warnanya ungu lo keruang Radio sekarang! Cepet gapake lama! Nah itu aja! Have a nice day!" kalimat Glen berakhir, Nathan sempat bingung apa yang akan dilakukan si kembar sampai dia ingat kata-kata 'The Great Dylan' dia langsung lari Ke Aula. Dan Zoe yang merasa bahwa dirinya si rambut ungu langsung berlari ke ruang Radio. Saat sampai didekat tangga ruang Radio Zoe langsung ditarik Glen menuju pintu belakang Aula. Glen terus menarik Zoe hingga ditengah-tengah kerumunan. Dia tak sendiri ditengah kerumunan itu, di depannya sekarang telah duduk Dylan dengan seragam sekolah dan sebuah gitar Acoustic, ruangan aula yang dipenuhi dengan hiasan pita dan bunga itu mendadak hening ketika Dylan memainkan gitarnya. Lalu terdengar sebuah melodi yang tidak asing bagi Zoe, lagu Let Me Love You milik Justin Bieber mengalun dari bibir Dylan iringannya yang dirubah acoustic menjadi kesan romantis bagi yang mendengar. I used to believe We were burnin' on the edge of somethin' beautiful Somethin' beautiful Selling a dream Smoke and mirrors keep us waitin' on a miracle On a miracle Say, go through the darkest of days Heaven's a heartbreak away Never let you go, never let me down Oh, it's been a hell of a ride Driving the edge of a knife Never let you go, never let me down Don't you give up, nah-nah-nah I won't give up, nah-nah-nah Let me love you Let me love you Don't you give up, nah-nah-nah I won't give up, nah-nah-nah Let me love you Let me love you Oh baby, baby Don't fall asleep At the wheel, we've got a million miles ahead of us Miles ahead of us All that we need Is a rude awakening to know we're good enough Know we're good enough Say go through the darkest of days Heaven's a heartbreak away Never let you go, never let me down Oh it's been a hell of a ride Driving the edge of a knife Never let you go, never let me down Don't you give up, nah-nah-nah I won't give up, nah-nah-nah Let me love you Let me love you Don't you give up, nah-nah-nah I won't give up, nah-nah-nah Let me love you Let me love you Oh baby, baby Don't you give up, nah-nah-nah I won't give up, nah-nah-nah Let me love you Let me love you Don't you give up, nah-nah-nah I won't give up, nah-nah-nah Let me love you Let me love you Oh baby, baby Lagu selesai dimainkan, Dylan memberikan gitar tersebut pada Glen, dan Glen menggantinya dengan sebuket bunga mawar pink-putih yang sudah dipersiapkan. Setelahnya Dylan menatap Zoe dan tersenyum, membuat para gadis yang ada ditempat itu berteriak histeris sekaligus iri pada Zoe. Zoe seperti baru saja terkena anak panah Cupid begitu juga dengan Dylan yang melihat tampilan Zoe hari ini, dia begitu terpesona. 'Beautiful.' batin Dylan. "Hai Zoe!" sapa Dylan. "kamu sangat cantik hari ini." Lanjutnya. Dan keadaan kembali riuh. Zoe yang mendengar perkataan Dylan hanya termenung. Setelah itu Dylan berlutut didepan Zoe. "so... Zoe? Let Me Love You?" Dan Cupid memang telah mengincar mereka berdua. Hari ini ditempat ini setelah bertahun-tahun Dylan bisa membuka hatinya kembali, untuk orang yang tak terduga. Description: Apa itu cinta? Sesungguhnya hal Aneh apa yang disebut dengan Cinta? "berkat lo, sekarang gue tau apa arti cinta yang sesungguhnya." - Dylan G.S "gue janji gue akan ajarin ke lo apa itu cinta sejati yang sesungguhnya Dy." - Samara Zoe.
Title: Wanita Pilihan Category: Spiritual Text: Awal Segalanya "Jangan risaukan apa yang tidak kita miliki, tapi, risaukanlah hati saat tak bersungguh-sungguh mensyukuri setiap pemberian Nya." ★★★★★ "Jangan bergerak!" teriakan lantang seorang pria, menodongkan senjata. "diam di tempat dan jangan ada seorang pun yang keluar dari sini!" seru pria jangkung berpakaian preman yang tiba-tiba muncul itu. Adam Fabian, tengah asik dengan minumannya saat puluhan polisi berhasil menggerebek sebuah diskotek di mana dia dia berada malam ini. Puluhan pria mengenakan jaket dengan lencana bersimbol anggota kepolisian terpasang di dada menodongkan senjata ke semua penjuru arah. Bergerak, memindai penuh waspada. Mengawasi gerak-gerik setiap orang yang berada di dalam diskotek. Suara ramai, cahaya temaram, dan hilir mudik orang dengan pakaian bermacam gaya, dari mulai yang biasa sampai yang punggung terbuka penikmat dunia malam, mulai terdengar histeris penuh kepanikan, saat irama musik energik yang berdentam itu mendadak berhenti. "Ada razia," bisik salah seorang pengunjung yang ada di sampingnya hanya terdengar secara samar. Adam yang sudah mulai mabuk, tidak begitu peduli, bahkan tidak jelas dengan apa yang didengar apa dibicarakan oleh sekumpulan makluk penghuni diskotek. Dia hanya mampu melihat secara samar ada kepanikan dan jerit histeris yang terdengar dari setiap penjuru. Adam meringis memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Kendatipun demikian, dia masih bisa merasakan seseorang bertubuh tegap tiba-tiba menyekapnya. Dengan kasar dipelintir tangannya hingga tertarik ke belakang punggung. Salah seorang di antara mereka memeriksa setiap kantong celana, baju, dan dompetnya. Adam bergerak sedikit memberontak. Namun, karena kondisi yang setengah mabuk, tentu saja itu membuat polisi curiga kalau dia terlibat jaringan pengedar obat-obatan terlarang. Lalu dengan sigap orang itu meringkusnya bersama seluruh pengunjung yang lain ke kantor polisi. "Ayo jalan!" bentak salah seorang pria bertubuh kekar itu seraya mendorongnya, kasar. Adam yang setengah sadar terus saja mengoceh. Dia bertanya dan protes atas tindakan orang-orang itu yang main tangkap tanpa alasan. Tapi sayang, tindakannya justru mendapat perlakuan kasar dari seorang pria jangkung, berperawakan tegap yang saat ini menggiringnya keluar dari tempat yang semestinya bukan menjadi tempatnya. Didorong tubuh Adam yang berjalan sempoyongan. Kepalanya mulai berdenyut lagi, sakit. Puluhan orang polisi berpakaian preman itu membawa sebagian pengunjung diskotek ke kantor polisi. "Pak, salah saya apa, Pak...? Saya bukan pengguna atau pengedar, loh, Pak..., saya tuuuh, cuma mi-num. Itu pun cuma sedikiiit, Pak. Se-cu-il." Adam menjentikan kelingkingnya "Bapak tahu, kan, apa itu... secuiiil?" tutur Adam, sedikit protes dengan suara putus-putus dan tubuh sempoyongan, dengan mulut menguarkan aroma alkohol. Polisi itu tetap tak acuh, mereka tetap membawa Adam ke kantor polisi. "Jelaskan nanti di kantor! Sekarang, ikut kami!" Seseorang membentaknya lagi, menimpali ocehan Adam. Saat tiba di sana, mereka langsung memasukkannya ke dalam bui bersama dengan puluhan orang lainnya. Sial! Gerutunya, saat dia tersungkur. Sungguh apes! Pikirnya. Padahal tujuan awal, Adam hanya ingin mencari hiburan. Dia ingin melepas segala bentuk dari rasa kekecewaan dalam hati. Tapi apa yang didapatnya malam ini? Hanya masalah baru. Sedangkan masalahnya sendiri tak sedikit pun mampu dia selesaikan. Hanya orang-orang bodoh yang menyelesaikan masalah dengan cara yang sia-sia. Adam merasa saat ini takdir seperti sedang mempermainkan hidupnya. Semua yang pernah membuatnya sakit hati menjadi rumit hanya gara-gara satu hal, yaitu cinta. Sebenarnya setiap masalah tidaklah rumit, hanya saja orang-orangnya saja yang membuat semakin rumit. Adam berpikir, andai dia tak mengenalnya, dan tak mudah jatuh cinta pada wanita itu, mungkin hidupnya tak akan sekacau ini. Sejak peristiwa buruk itu terjadi, Adam bertekad untuk tidak akan pernah percaya lagi dengan yang apa itu cinta dan makhluk bernama wanita. Menurutnya, semua wanita sama saja. Kecuali satu, yaitu Uminya. Seorang wanita yang telah melahirkannya ke dunia dan menjadi cinta pertamanya. Adam duduk bersandar pada dinding dalam ruangan sempit yang luasnya hanya 3 x 3 meter persegi. Tubuhnya lemas, kaki ditekuk untuk menopang kedua tangannya. Bersandar pada tembok dengan wajah mendongak, menatap langit-langit yang terlihat seperti berputar-putar. Kedua tangan dia biarkan bertumpu di atas kedua lututnya. kemejanya telah lusuh, rambut kusut dan wajah pun terlihat kacau. Bukan kali pertama Adam seperti ini. Namun entah mengapa semua itu tidak membuat dia merasa jera. Adam pikir, dia bisa dengan mudah keluar dari sini. Bahkan Adam yakin, jika besok pagi Abanya akan membebaskan dia dari sini. Karena memang sudah seperti itulah biasanya. Aba yang akan datang dan menandatangani beberapa berkas agar dia bisa bebas. Gampangkan? Pikir Adam, meremehkan. Aaarrgghhh! Adam pusing, tubuhnya perlahan mulai ambruk, meluruh di lantai. Terpejam, saat kepala mulai terasa berat. Mabuk dan pusing yang mendera, tidak bisa membuat dia terus terjaga. Hingga akhirnya Adam tertidur. Entah berapa lama dia terlelap. Yang di dengarnya hanya suara pintu besi berderit seperti dibuka. Langkah kaki yang bisa Adam dengar semakin mendekat. Tak lama, suara keras seseorang membangunkannya. Rasa sakit di kepalanya sudah sedikit reda. Dia mengerjap, berusaha membuka mata untuk bisa melihat orang yang ada di depannya. Sekilas bayangan semalam berkelebat di memorinya. Sampai Adam ingat di mana dia sekarang. "Cepat, keluar!" Seseorang menarik lengannya hingga ke posisi berdiri. Lalu mendorong pelan menuju arah pintu ke luar. "Ke mana, Pak?" tanya Adam dengan suara khas orang bangun tidur. "Sudah. Jangan banyak tanya!" bentak orang itu lagi. Tak banyak bicara, Adam berjalan menuju pintu ke luar. Dengan langkah sedikit gontai, dia lewati beberapa ruangan lainnya, mengikuti petugas jaga yang saat ini berjalan mendahuluinya. Adam dibawa masuk ke salah satu ruangan. Dan di sana, tampak lelaki paruh baya yang sedang berbicara dengan salah seorang pria bertubuh tegap berseragam lengkap yang kemudian menjabat tangan lelaki itu yang tak lain adalah abanya. Sulaiman menatap tajam kepadanya. Lelaki berkopiah haji, berjenggot sedikit tebal dan beruban itu menoleh memandangnya dengan kilatan marah. Bagi Adam, Abanya adalah lelaki yang terbilang sudah tidak lagi muda. Tapi jangan dikira, perawakan lelaki di depannya masih terlihat gagah. Dia tidak boleh menganggap remeh, karena lelaki di depannya ini tidaklah lemah, sama sekali tidak. Justru sebaliknya, semakin berumur, kharisma dan wibawa abanya tidak pernah memudar sedikitpun. Adam bisa melihat bahkan menyaksikan semuanya. Hanya dengan diam dan tanpa banyak bicara, abanya itu sudah bisa menunjukkan kemarahan jug ketegasan dalam pribadinya. Tatapan mata lelaki itu mampu melumpuhkan seluruh kerja sel saraf tubuh dan otaknya. Abanya adalah lelaki yang tegas, tapi tidak kasar. Aba adalah orang yang jarang marah hanya karena permasalahan yang masih bisa dimaklumi. Beliau hanya akan marah dan benci semata-mata karena Allah. Dalam mendidik anak-anak, Aba tak pernah sedikit pun memanjakannya. Dibiarkannya Adam dan kedua kakaknya tumbuh berkembang dalam kedisiplinan dan tegas dalam bertindak. Abanya juga mengajarkan untuk tetap menjaga ucapan ketika dia marah. Menurut abanya, mengendalikan emosi adalah sebuah terapi agar kemarahan tidak melebihi batasannya. Dan mengelola rasa marah agar tetap pada jalurnya. Abanya juga dikenal sebagai lelaki yang santun dan lembut pada setiap orang. Lelaki yang tidak pernah sedikit pun membedakan miskin dan kaya. Di matanya, semua sama. Sama-sama calon mayat, katanya. Calon mati. Kecuali akhlak dan ketaqwaan seseorang yang menjadi pembeda dan pembela saat berpulang. Itulah yang Adam lihat sebagai keistimewaan abanya. Lelaki sukses dalam bidang travel haji dan umroh yang didirikan sejak duapuluh lima tahun yang lalu. Abanya, lelaki pertama dalam cinta. Pahlawan dalam hidupnya yang saat ini sedang menatap tajam ke arahnya. Hingga Adam Fabian, lelaki berusia 28 tahun, yang seharusnya sudah matang dan berumah tangga ini, kini hanya bisa diam membisu. Tanpa bisa membalas tatapan tajam yang telah membuatnya tak berkutik. "Baiklah, Pak. Terima kasih." Sulaiman menjabat tangan perwira polisi yang ada di depannya, "kalau begitu saya permisi," ibuhnya lagi. "Sama-sama, Pak Haji," balas perwira polisi itu seraya tersenyum. Tanpa banyak bicara, Adam hanya berjalan mengekor ke mana arah abanya melangkah. Sepanjang perjalanan pulang, suasana di dalam mobil sudah seperti sedang melewati sebuah lokasi pemakaman yang mencekam. Beruntung, hari sudah mulai petang. Jika saja masih gelap, Adam merasa saat ini dia sedang duduk berdampingan dengan malaikat Ijroil sang Pencabut Nyawa. Sesampainya di rumah, Adam mendapati sosok wanita paruh baya tengah duduk di sofa ruang tengah. Kedua matanya sedikit bengkak, sambil kedua tangannya sibuk menghapus air mata dengan menggunakan ujung jilbabnya. Ummi menangis. Hati Adam berkedut nyeri. Melihat wanita cinta pertamanya itu berlinang air mata karena dirinya. Dia malu, walau sebenarnya tidak ada maksud bagi Adam melukai hati umminya, wanita yang berjasa telah melahirkannya ke dunia. Adam merasa sangat bersalah. Karena caranya yang salah dalam melupakan sebuah peristiwa yang menyulam banyak kenangan kelam, Adam malah menyakiti hati umminya. Maafkan aku, Ummi... bisiknya dalam hati. Adam tahu, saat ini abanya tidak akan melepasnya begitu saja. Pasalnya hari ini adalah bukan yang pertama bagi Adam selalu mengulangi kesalahan yang sama. Itu artinya, ini sudah yang kesekian kalinya dia keluar masuk kantor polisi hanya karena persoalan yang berurusan dengan perkara hati. Jujur, Adam tak sanggup melihat wajah cantik umminya yang sudah tak muda lagi, menatapnya penuh dengan tatapan terluka. Tapi dia pun masih terlalu malu untuk bisa memeluk dan bersimpuh di kaki umminya. Mungkin jika itu harus Adam lakukan, dia akan lakukan tidak di hadapan abanya. Baru saja Adam melangkah, berpijak pada tiga undakan anak tangga menuju lantai dua kamarnya, ayunan kakinya langsung terhenti oleh suara menggema, yang terdengar begitu menggelegar bagai kilatan halilintar. "Mau ke mana kamu, Adam?!" Hardik suara berat aba, bagai suara petir yang menyambar tepat di telinganya. Adam diam, tanpa membalikkan tubuhnya, dia berdiri tepat di tangga ketiga pijakannya dengan mata berpusat pada anak tangga berikutnya. "Urusanmu belum selesai, duduk! Dan jangan pergi sebelum aba perintah!" Oke, baiklah. Adam merasa akan ada hal buruk jika sang Paduka Raja sudah memerintah. Itu artinya dia harus manut. Perlahan Adam berbalik berjalan dengan kepala tertunduk lesu menuruni anak tangga. Pandnagannya hanya bisa menatap permukaan lantai dan gerakan langkah ujung-ujung sepatu di kakinya. Lalu dijatuhkan bokongnya, pada sofa empuk berbulu coklat. Duduk saling berhadapan dengan abanya yang siap mengadili dirinya sebagai terdakwa. "Berapa usiamu, Dam?" tanya Sulaiman mulai menurunkan oktaf suaranya. Adam tahu, oktaf suara itu mulai menurun. Tapi, bukan berarti dia akan bebas dari kiamat kecil yang pasti akan diciptakan abanya kali ini. Dia tahu jika abanya adalah orang yang paling pandai mengendalikan hawa nafsu dan kemarahan, tapi bukan berarti Adam akan terbebas dari sangsi hukuman yang akan ditetapkan untuknya. Apalagi saat ini Adam yakin, jika sudah menyangkut kesalahan yang melanggar aturan syariat dan agama, dijamin dia tidak akan bisa membuat abanya untuk tidak marah. Apalagi menunda kemarahannya. Seperti saat ini, Adam sangat tahu, pasti ada konsekwensi yang harus Adam terima. Apalagi, abanya tahu dengan jelas apa yang jadi kesalahannya. Mabuk dan mengunjungi tempat yang tak layak menjadi tempatnya, mendekati yang haram, apalagi Adam sudah berani menyentuh dan menikmatinya. Dalam hukum islam, minum khamar adalah haram. Baik sedikit atau banyak, tidak akan bisa mengubah setiap hal yang sudah ditentukan Allah dalam perkara ini. Tidak hanya muslim, bahkan dalam kitab agama lain pun, minum dan mabuk-mabukan itu dilarang. Lalu, apa jadinya jika dia sudah tahu itu haram tapi, tetap dilanggarnya? Sudah terbayang bagaimana aba akan marah kepadanya. "Duapuluh delapan, Ba." Adam tak berani mendongak menatap balik abanya. "Dan itu artinya kamu itu sudah tua, Adam! Kamu tahu artinya tua, hah?!" Adam bergeming. Dia masih belum mengerti apa yang akan dibahas. "Jawab Adam!!" bentak Sulaiman, lagi. Adam terperanjat sesaat. Tapi, tetap saja, dia memilih untuk diam. Dia janji tidak akan berkata apapun saat ini. Karena posisinya memang salah. Dia akui itu. Hanya saja, dia terlalu gengsi untuk mengatakan dan mengakui kesalahan itu di depan kedua orang tuanya. "Artinya kamu itu sudah bukan remaja lagi, Adam. Di usiamu, sudah sepantasnya kamu itu berpikir jauh lebih dewasa. Pikirkan tentang berkeluarga! Berumah tangga. Kamu itu, sudah pantas menggendong anak. Melakukan semua kewajibanmu sebagai seorang suami. Bukan senang-senang dengan hal yang berbau maksiat!" Emosi abanya kembali naik, tapi umminya terus menenangkan. Adam tak menjawab apa pun perkataan abanya. Dia hanya mendengarkan, walau ada rasa kesal, tapi Adam sadar, dia memang salah. Kata-kata abanya memang benar, tidak sedikit pun Adam hendak memungkiri semua perkataan itu. "Apa kamu menjamin? Allah tidak akan mencabut nyawamu saat kamu dalam kubangan dosa? Sadar itu, Adam! Kamu itu laki-laki. Di mana akan kamu temui masanya kamu menjadi kepala rumah tangga. Menjadi imam, yang wajib dan bertanggung jawab atas keluargamu. Melindungi keluargamu dari siksa api neraka. Dan, Itu bukan tanggung jawab yang kecil yang kamu pikir mudah, Dam." Sulaiman menarik napas lalu mengebuskannya pelan, "dan kamu tahu? Kamu itu sudah seharusnya belajar menuju ke sana, sebelum kami mati, Adam." Sulaiman tampak melemah. Matanya berkaca-kaca saat dia mengucapkan kalimat terakhir yang mengingatkannya pada kematian. Astagfirullah, Adam beristigfar dalam hati. Dia tak sampai hati memikirkan ajal menjemput kedua orang tuanya. Tidak, Adam tak akan siap. Tapi meski begitu, benarlah adanya jika mati adalah misteri. Dia tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemputnya. Apa jadinya jika dia mati dalam keadaan seperti tadi malam? Di saat mabuk, menenggak minuman haram. Ya Allah, bagaimana bisa dia melewati hal itu? Sesalnya dalam hati. Jika tidak, bisa saja posisinya terbalik. Di saat dia belum membahagiakan kedua orang tuanya, bagaimana jika Allah justru mengambil mereka terlebih dahulu? Pikir Adam lagi. Adam menggeleng. Tidak, itu tidak boleh terjadi. "Dengar Adam. Kali ini aba tidak akan tinggal diam. Aba akan memberikan hukuman terbesar untuk kamu. Aba rasa kelakuanmu kali ini sudah melampaui batas. Aba akan pikirkan, apa hukuman yang pantas untuk menghukum kesalahanmu kali ini. Dengar itu baik-baik. Jadi bersiaplah!" ancam aba kepadanya. "Ya, Ba." Adam mengangguk pasrah tanpa perlawanan. Dia tak bisa lagi membantah. Jika saja Adam berontak, abanya tidak akan segan untuk menendangnya keluar rumah. Dilihat umminya pun hanya diam. Tidak sedikit pun membelanya. Mungkin umminya masih marah dan kecewa dengan kelakuannya. Dan, itu Adam anggap wajar. Karena dia memang sudah keterlaluan. Suasana kembali hening. Atmosfer di dalam rumah masih tegang. Tapi abanya tetap memilih tenang. Dia tahu abanya tidak akan memakai kekerasan dalam mendidik semua anak-anaknya. Tidak pernah membabi buta melampiaskan kemarahannya. Sebab dia pernah mengatakan kepadanya, dulu ketika dia masih remaja. Bahwa orang yang kuat bukanlah orang yang berani dan kuat dalam berduel, melainkan orang yang kuat menahan marah, saat dia bisa melampiaskannya. Ketika seseorang menahan marah, akan ada satu malaikat yang mencatat dan mendampinginya. Mendoakannya dengan dirahmati Allah. Tapi, di saat orang itu tidak bisa menahan marah, maka malaikat akan pergi dan membiarkan setanlah yang bertepuk tangan, bersorak mentertawakan kelemahannya. Tapi sayang, terkadang Adam belum bisa mengikuti seperti apa yang abanya ajarkan. Abanya yang selalu akan menjadikan marah sebagai sesuatu yang harus dikendalikan. bukan dihilangkan atau pun juga dilampiaskan. Abanya akan marah, jika dia harus marah. Marah ketika siapa pun melanggar agama dan syariatnya. Tanpa kecuali, termasuk dirinya. Tidak memandang siapa yang berbuat. Jika urusannya sudah perkara keyakinannya, dia akan marah besar. Marah dan bencinya, semata-mata karena Allah. Dan itu yang belum bisa Adam ikuti jejaknya sampai saat ini. Adam rasa tidak nyaman jika saat ini dia harus berlama-lama di sini. Dia harus ke kamar. Menghindar dari aba dan umminya adalah hal yang dia butuhkan saat ini "Adam ke kamar dulu, Ba, Mi." Adam berdiri dan melangkah pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang tetap duduk tanpa menghiraukan ucapannya. Adam berjalan menapaki anak-anak tangga yang mengantarkan menuju lantai dua kamarnya. Didorong pintu kamar lalu dia tutup kembali dengan kakinya yang bergerak mendorong hingga pintu itu tertutup dengan sempurna. Dilemparkan jaket ke keranjang. Lalu bergegas ke kamar mandi untuk meluruhkan semua kotoran yang melekat di tubuhnya sejak kemarin. Selepas itu, direbahkan tbuhnya di atas kasur yang sejak semalam tidak dia tempati. Terlentang, menerawang menatap langit-langit kamarnya. Cahaya langit senja sudah mulai menghilang, sedikit menggelap menyambut sang malam. Dia biarkan kamar tetap gelap. Letih menyergap dan membuat dia tak mampu lagi untuk bergerak meski hanya membalikkan tubuhnya. Adam tetap diam, merenungi setiap alur kehidupan dari masa ke masa. Hingga tanpa terasa, kantuk pun menyapa. Perlahan tapi pasti, matanya terkatup secara perlahan dan membawa Adam terbuai dalam tidurnya. ***** Description: KETIKA BENCI DAN CINTA HARUS BERLANDASKAN KARENA ALLAH. Ketika hati mencintai melebihi batas, maka akan lebih besar resiko kesakitan yang diterima saat perpisahan. Berharap lebih adalah pangkal dari setiap kekecewaan ketika harapan itu tak pernah menjadi nyata. Namun percayalah, setiap hati yang terluka, waktu akan membawanya pada satu fase di mana setiap orang bisa melupakan setiap dukanya. Entah dengan jalan apa, Allah telah merencanakan hal terindah tanpa pernah kita duga. Begitu pula dengan Adam Fabian, pria berusia 28 tahun yang mengalami fase terendah dalam hidup hanya karena cinta, membuat lelaki ini harus menerima konsekwensi dari perbuatannya. Hukuman, meski tak pernah diinginkan, tapi yakinlah bahwa hukuman orang tua bukan tanpa pertimbangan bagi anaknya. Sama seperti yang Adam terima dari Sulaiman—Abanya—yang memberi sebuah hukuman dengan harus menikahi wanita anak dari sahabatnya. Seorang gadis 20 tahun, cantik nan shaliha, yang telah memiliki cinta pertama di masa kecilnya. cinta yang tak pernah dia mengerti awal hadirnya tapi terus menjadi satu harapan dalam doanya. selalu terjaga di kedalaman hati hingga sepuluh tahun lamanya. Hilyatul Aulya, selalu memintanya dalam doa, menyebutkan Sang Cinta itu akan menjadi penggenap imannya. Namun apa dikata, satu pernikahan harus memaksanya melupakan Cinta seorang Bian. Mengarungi rumah tangga tanpa dasar cinta, bukanlah hal mudah dijalani keduanya. Namun bukankah tidak ada yang mampu menolak sebuah cinta jika Allah telah memilih ke mana cinta itu akan berlabuh? lalu apa yang terjadi jika saat keduanya saling jatuh cinta, harus ada kesalahpahaman yang tak terungkapkan? ditambah lagi kehadiran orang ketiga yang membuat Hilya Harus memilih pergi meninggalkan Adam yang ternyata adalah lelaki yang pernah menjadi cinta masa kecilnya? Adamlah yang selalu diucapkan dalam doa dan terang-terangan dipintanya pada Tuhan? mampukah keduanya melewati badai gelombang yang menerjang? Atau akan memilih saling meninggalkan, bahkan terpaksa menerima pergi atas kehendak Tuhan dan menyisakan sebuah penyesalan? Wanita Pilihan, Mengisahkan perjuangan seorang Wanita yang tetap tegar, seumpama mawar di padang gersang.
Title: When I Fall in Love Category: Adult Romance Text: Blurb + Info Tatapan matanya nanar seperti pembunuh bayaran, dialah wanita dengan keegoisan tertinggi di dalam urusan bisnis. Tidak ada kata maaf yang diucapkan ataupun permohonan maaf yang dia terima. Laura Schiffer, cucu satu-satunya Jon Schiffer pemilik Perusahaan Siemens Group di Berlin yang sudah pensiun sejak 15 tahun yang lalu. Banyak orang internal maupun eksternal dari perusahaannya yang tidak menyukai dirinya. Laura tahu, dia memiliki banyak penggemar dengan wajah munafik yang mencoba menjatuhkan dirinya dari dunia bisnis, terutama Tyson Schiffer, pamannya sendiri. Wanita itu belum memiliki kekasih diusianya yang sudah menginjak 33 tahun. Kakeknya meminta Laura untuk menikah dan saat itulah, dia bertemu dengan seorang lelaki bermata biru dengan impian besarnya menjadi seorang Fotografer. Arthur Hamann, mahasiswa tingkat akhir di Universitas Hannover. Ayahnya seorang pebisnis yang usahanya hampir bangkrut, yaitu Hamann’s Group. Hamann bertemu dengan Laura di acara penghargaan Berlin. Dan saat pertemuan pertamanya itulah hubungannya berlanjut. Sampai pada kesepakatan jika Arthur dan Laura akan menikah secara terpaksa. Laura dengan keegoisannya karena tidak ingin turun dari jabatannya sebagai seorang Kepala Bagian Akuntan. Dan Arthur yang rela melepaskan kekasihnya, Celine Patitz. Ibunya Arthur memiliki penyakit serangan jantung yang bisa kambuh kapanpun, dia tidak ingin hanya karena ia menolak untuk dinikahkan dengan Laura, perusahaan yang sudah dibangun oleh ayahnya selama lebih dari 20 tahun itu bangkrut. Bagaimanakah kisah Arthur dan Laura dalam menjalankan hubungan pernikahannya? Berubahnya sikap Laura yang menjadi posesif setelah menjalani usia pernikahan satu bulan bersama Arthur? __________________________________ Informasi Hai Gaisss! Ceritaku kali ini akan berlatar belakang di Negara Jerman. Aku bikin trailer Novel "When I Fall in Love" ini di YouTube. So, bagi kalian yang penasaran tentang sosok Laura, Arthur, Matthew dan beberapa tokoh lainnya dalam cerita ini, bisa tonton trailernya dengan judul "TRAILER NOVEL 'WHEN I FALL IN LOVE' @STORIAL / Link: https://youtu.be/lM4cIj--qs4 Jangan lupa klik Berlanganan agar tidak ketinggalan ceritanya. Semoga kalian menyukainya dan dengan itulah kalian harus pencet tombol LOVE dan komentar yang banyak ya ;) Saran Setelan baca: Lato dengan background warna abu-abu. Luv yu gaiss… [1] Lauras Leben Seien Sie geduldig für alle Lebensprobleme, die Sie Gesicht, denn jedes Problem muss es einen Ausweg zu geben. Bersabarlah untuk semua masalah hidup yang Anda hadapi karena setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. ~o~ Laporan, tumpukan kertas, laptop, kacamata, dan beberapa undangan acara penghargaan. Semua benda itu berada di depan mata Laura Schiffer, seorang Kepala Akuntan di Siemens Group tepatnya di Berlin, Jerman. Jam tangannya dilirik dan itu menunjukkan pukul 7 malam. Jam pulang kantor sudah lewat 2 jam yang lalu, tapi dia tak memiliki kehidupan lain seperti para karyawan setelah melakukan aktivitas kerjanya. Bermalam di kantor adalah kebiasaan yang tidak aneh lagi baginya, karena dia memiliki kamar tidur khusus di ruang besarnya. Tapi, dia tidak akan menginap di kantornya malam ini, karena harus segera pergi menemui Jon Schiffer, kakeknya. Pesan teks yang masuk sejak jam makan siang tadi baru dibaca dan dia tidak akan menolak perintah kakeknya yang menyuruh dia untuk datang makan malam di rumahnya. Laura memakai mantel tebal berwarna merah tua yang dibeli ketika dia melakukan perjalanan bisnis di Kanada 3 bulan yang lalu. Dia meninggalkan ruang kerjanya dan berjalan melewati lorong-lorong yang sudah gelap karena semua karyawan sudah pulang. Lift terbuka dan dia menatap seorang lelaki yang terlihat kulit wajahnya sudah keriput di dalamnya. Laura enggan masuk tetapi dia terpaksa harus berada di dalam satu lift bersama orang yang paling tidak dia sukai selain roti dengan selai stroberi. “Malam Laura!” sapa lelaki tua itu setelah melihat Laura berdiri di sampingnya. “Malam Tuan Tyson!” balasnya tanpa melirik. Tyson Schiffer adalah anak kedua dari Jon Schiffer, pencetus sekaligus pemilik Siemens Group. “Seharusnya kamu bisa memanggilku dengan sebutan ‘Paman’ saja, Laura. Ini sudah lewat jam kantor,” katanya dengan menghadap wanita itu. “Tapi ini masih di kantor, Tuan. Aku tetap menjaga nama baikmu sebagai Direktur Utama di sini.” Tyson tidak menjawab, karena dia tahu wanita ini sangat keras kepala. “Kamu tidak bermalam di kantor lagi? Apakah kamu memiliki janji dengan seseorang?” tanyanya dengan rasa ingin tahu. Pamannya sangat mengetahui jika kehidupan Laura tidak lepas dari kantor dan karirnya yang semakin cemerlang di perusahaan ini. Bahkan, wanita yang sudah menginjak usia 33 tahun itu belum memiliki kekasih sampai saat ini juga. “Bukan urusanmu, Tuan. Aku pergi dulu!” ucap Laura setelah pintu lift terbuka dan meninggalkan Tyson dengan mulut yang sedikit terbuka karena sikapnya yang sangat dingin. Tyson berjalan ke luar lift lalu sedikit menyunggingkan senyuman. Laura masuk ke dalam mobil merahnya dan melepaskan mantel. Mobilnya segera dilajukan dengan sedikit kencang karena lalu lintas yang mulai sepi. Auranya sangat dingin dan percaya diri, dia adalah wanita terpandang dalam dunia bisnis di kota Berlin. Tidak ada satupun lelaki yang memiliki jabatan rendah darinya yang mendekati Laura. Hanya ada beberapa rekan bisnis yang memiliki kekayaan lebih tinggi yang berani mendekatinya, tetapi mereka semua ditolak mentah-mentah. Rambutnya berwarna coklat dengan panjang sepunggung. Terkadang, rambutnya dikuncir kuda ketika sedang banyak masalah yang terjadi dalam pekerjaannya. Bibir tipisnya selalu dihiasi lipstik berwarna merah tua terkadang merah maroon. Simpel, namun dia tetatp menjaga stylish pakaiannya. Rumah dengan gaya model lama terpampang jelas di mata Laura saat ini. Dia sudah sampai di rumah kakeknya yang sudah pensiun sejak 15 tahun yang lalu. Luasnya seperti istana di negeri dongeng, namun ukirannya sangat kuno. Dia memasuki rumah itu dan disambut oleh dua penjaga di depan rumah. “Kakek!” seru Laura seraya berlari memeluknya. Seorang lelaki tua mengenakan sweater hitam tebal segera membuka tangannya lebar untuk menerima pelukan cucunya. “Sudah seminggu kamu tidak berkunjung. Apakah pekerjaanmu lebih penting dariku?” kesalnya dengan cemberut. Laura terkekeh lalu mencium pipi kakeknya. “Tentu saja Kakek lebih penting dari segalanya. Mari kita makan malam, aku sudah lapar,” ucapnya dengan menarik tangan Jon ke ruang makan. Wanita itu sangat keras di dunia kerja tetapi lembut jika hal itu berhubungan dengan kakeknya. Mereka hanya berdua di ruang makan dengan koki yang sudah meletakkan sajian terakhir di meja makan. Koki itu meninggalkan majikannya dan di sinilah Laura dan Jon yang sedang bermakan malam. “Masakannya selalu enak, kau benar-benar pandai mencari koki seperti dia, Kek.” Laura melahap daging yang sudah dipotong ke dalam mulutnya. “Ya, Quorta sudah bekerja denganku hampir… empat atau lima tahun, aku sedikit lupa,” jawabnya dengan sedikit terkekeh. Jon memandang cucunya dengan perasaan bahagia karena melihatnya yang masih seperti cucu kecilnya dulu. Terkadang perasaan khawatir dan kasihan juga dialaminya terhadap Laura. Cucunya itu ditinggal oleh kedua orangtuanya sejak ia memasuki masa kampus. Hari itu adalah hari terberat baginya, karena Jon harus merawat Laura seperti anaknya sendiri. Makan malam telah selesai, mereka masih menyempatkan untuk menyesap minuman jus di ruang makan. “Laura, berapa usiamu sekarang, Nak?” tanya Jon dengan lembut. Laura yang sedang meminum jusnya memandang lurus padanya. “Uhm, 33 tahun, Kek,” balasnya. Jon melepaskan gelas dan menaruhnya di meja. Lelaki tua itu melipat tangannya di atas meja dan kembali menatap Laura dengan tatapan lurus yang serius. “Kamu sudah menghabiskan banyak waktu untuk perusahaan, Nak. Sudah waktunya untuk kamu menemukan pasangan hidupmu, berbahagialah.” Laura membuang pandangannya ke samping, dia tidak berani menatap kembali mata Jon. “Aku senang bisa berada di perusahaan, Kek. Aku menyukainya dan aku bahagia.” Laura masih tidak memandang ke arah Jon dan itu membuatnya bangkit dari kursinya dan mendekati Laura yang berada di sebrangnya. “Tapi, aku khawatir denganmu, Sayang. Kamu menghabiskan masa mudamu di perusahaan dan itu membuatku merasa bersalah. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan. Kakek mau kamu segera menikah,” katanya lagi. Jon sudah duduk di samping Laura sehingga wanita itu tidak bisa menghindari kontak matanya lagi. “Apakah kamu sangat ingin aku menikah, Kek?” tanya Laura dengan sedikit bergeming. Jon mengangguk pelan lalu membelai rambut coklat cucunya. “Ya, aku sangat ingin. Karena kamu tahu Laura, usiaku sudah kepala 9 dan aku bisa mati kapanpun,” ucapnya dengan nada rendah. “Kakek, jangan bicara seperti itu! kamu orang yang kuat dan hebat seperti kamu ceritakan padaku dulu,” rengek Laura. Jon hanya memasang wajah tersenyum, “itu dulu, waktu berjalan setiap detiknya dan sekarang sudah berubah.” Laura menghela napasnya panjang, dia sangat tidak ingin membahas hal ini pada kakeknya. Tetapi kakek benar, waktu terus berputar dan dia harus segera menikah. “Baiklah Kakek, aku akan mencarinya. Atau kamu ingin mencarikannya untukku?” tanya Laura dengan sedikit senyum pasrah. Jon berdecak kesal, “kamu mau aku pasangkan dengan Quorta?” tanya Jon dengan bergurau. Laura terkejut lalu memukul lengan Jon pelan. “Kakek!” geramnya. Jon semakin tertawa lebar karena tingkah laku cucunya. “Hanya bercanda, Sayang. Kamu bebas untuk membawa lelaki ini padaku, asal dia mampu membuatmu bahagia,” ucapnya dengan tersenyum lebar, giginya masih komplit karena itu adalah gigi palsu. “Kek, apakah kamu benar-benar yakin?” tanya Laura sekali lagi, karena jujur saja, dia belum siap untuk menikah dalam waktu dekat. “Iya, Sayang. Kakek ingin ada seseorang yang bisa menjagamu ketika aku sudah tidak ada,” tandasnya lagi membuat hati Laura semakin dirundung rasa bersalah. Semenjak orangtuanya meninggal, dia hanya dekat dengan kakeknya. Tidak dengan paman atau bibinya yang memiliki kegilaan dalam harta. Laura bekerja di perusahaan karena itu adalah hak atau warisan yang diberikan oleh Jon Schiffer. Bahkan, saham kepemilikan Laura di dalam Siemens Group hampir 40% karena ayahnya yang sudah meninggal dan dia diberikan warisan berupa saham. Laura pamit untuk pulang karena malam sudah semakin larut. Dia segera menjalankan mobilnya kembali ke rumah pribadinya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor tempatnya bekerja. Laura merasa pusing memikirkan permintaan kakeknya, dan dia hanya bisa menjelaskan masalah ini pada satu orang yang sudah sangat dipercayanya, yaitu Fiona Scarlette, sahabat sejak masa kuliahnya. [2] Saugt Show Da es sich um eine Situation, die ich nicht gerne über mich selbst bin ich alleine, wenn ich den Weg zu heilen, Melancholie, aber auf der anderen Seite habe ich eigentlich in der Depression verloren. Seperti inilah suatu keadaan yang tak aku suka dari diri aku sendiri, saat ku berikan jalan tuk sembuhkan pilu, namun di lain sisi aku malah tersesat dalam kepiluan itu. ~o~ Laura mengirimi Fiona pesan teks sebelum tidur, karena jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dia meminta Fiona untuk datang ke rumah besok pagi untuk sarapan bersama. Setelah mendapatkan balasan, dia segera menutup sebagian tubuhnya menggunakan selimut tebal berwarna putih. Dia tidak langsung memejamkan matanya, melainkan berpikir. “Bagaimana caranya aku mendapatkan pasangan untuk menikah?” batinnya bergemuruh. Dia kembali mengambil undangan tebal di samping meja kecilnya. Itu adalah sebuah undangan acara penghargaan bisnis di Berlin. Akan ada banyak kategori penghargaan di acara itu, dan dia adalah salah satu pemenangnya. Kategori Kepala Bagian Akuntan selalu dimenangkan secara 3 tahun bertutut-turut oleh Laura Schiffer. Awalnya, dia enggan untuk menghadiri acara seperti itu lagi, karena acaranya yang cukup membosankan. Hanya ada orang-orang dari kalangan bisnis yang selalu ia jumpai termasuk musuh-musuh Siemens Group dan orang-orang munafik di dalam perusahaannya sendiri. Dia menjadi orang yang dingin ketika berada di sekitar perkumpulan seperti mereka. Tetapi, dia akan menjadi Laura yang lembut dan manja untuk kakeknya dan Fiona, sahabatnya. ~o~ “APA?!” teriak histeris Fiona membuat Laura salah memotong buah pir yang ada di genggamannya, untung saja tidak terjadi kecelakaan seperti salah memotong. Laura menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya sebelum menanggapinya. “Benar Fi, dia memintaku untuk segera menikah dengan siapapun itu asal aku bahagia,” tukasnya sambil meletakkan pir di atas piring. “Tapi kamu mau menikah dengan siapa? Alex? Matthew? Sean?” tanya Fiona bertubi-tubi membuat Laura semakin bingung. “Tidak! Tidak! Tidak!” bentak Laura kesal. Dia menutup seluruh wajahnya dengan kedua tangannya. Nama-nama yang disebut Fiona tadi adalah beberapa rekan bisnis dan juga teman yang berusaha mendekatinya, tetapi Laura menolak dengan alasan yang berbeda. Alex adalah temannya semasa di perkuliahan, dia orang yang cukup pemberani dan terlihat tampan. Keluarganya berasal dari kalangan menengah ke atas. Tapi Alex bukan tipe Laura pada awalnya, karena dia memiliki kebiasaan buruk yang tidak disukai beberapa wanita sepertinya, yaitu suka bergaonta-ganti pasangan. Lalu Matthew, seorang pewaris tunggal dari lawan bisnisnya yaitu VAGG Group. Usianya lebih muda darinya 2 tahun dan dia memiliki ambisi yang cukup tinggi untuk mendapatkannya dalam satu tahun terakhir. Setelah pertemuannya beberapa kali dengan Matthew di acara penghargaan, lelaki itu menjadi sangat lebih berani. Tapi karena Laura berpikir jika itu adalah salah satu triknya untuk mengalahkan Siemens Group, Laura selalu menolaknya. Walaupun lelaki itu selalu bilang jika tidak ada campur bisnis di dalam hubungan mereka nantinya. Yang terakhir terlalu menjijikan untuk diceritakan. Mr. Sean merupakan teman ayahnya semasa hidup dulu, dia memiliki usia yang jauh lebih tua darinya yaitu berjarak 20 tahun. Mr. Sean sendiri sudah memiliki anak dan istrinya sudah meninggal. Lelaki itu berusaha mendekati Laura dua kali ketika pertemuan terakhirnya dalam kerjasama antar perusahaan Siemens Group dengan perusahaannya yaitu Allienz Group. Untungnya, lelaki tua itu menyerah dan tidak pernah mendekatinya lagi. Selain dari ketiga lelaki tadi, Laura juga sempat didekati oleh beberapa rekan bisnisnya yang hanya menggodanya saja, tidak terlalu serius dalam hubungan. Laura tidak ingin urusan bisnis kakeknya terganggu hanya karena dirinya menjalin hubungan dengan salah satu rekan. “Terus kamu ingin menikah dengan siapa? Kakekmu benar, kamu harus segera menikah di usia seperti sekarang ini.” Fiona mengambil potongan pir lalu memakannya. “Aku tidak tahu, aku harus meminta bantuan seseorang. Semoga Tuhan menurunkan malaikat untuk membantuku.” Laura berharap di pagi hari yang masih hujan deras. ~o~ Laura mengenakan setelan jas berwarna merah dengan celana yang berwarna selaras sampai ujung mata kakinya. Dia terlihat sangat elegan dengan lipstik yang berwarna merah tua. Dia memutuskan untuk mendatangi acara itu untuk mewakili perusahaan Siemens Group karena pamannya tidak bisa datang. Laura meminta jabatan sebagai Kepala Bagian Akuntan di Siemens Group karena jurusan yang dia ambil semasa kuliahnya. Selain itu, pada hari pertamanya dia bekerja di kantor kakeknya, dia diajari oleh senior yang ada di Siemens Group dan itu berjalan sangat lancar karena dia mampu memahami semua itu dengan cepat. Dan sekarang, Laura Schiffer sudah menjadi andalan penerima penghargaan untuk kategori itu selama 3 tahun berturut-turut. Dia juga harus menerima penghargaan untuk Siemens Group dalam peringkat pertama dalam tahun ini. Tidak ada saudaranya dalam acara itu, membuatnya sedikit lega karena berkurangnya satu masalah yang mungkin akan terjadi. Laura memiliki banyak musuh dari pihak internal maupun eksternal perusahaannya. Dia sudah bisa menerima dan menangani hal itu sekarang, karena dia seorang Laura Schiffer, satu-satunya cucu Jon Schiffer. Tyson belum memiliki anak dengan istrinya sampai sekarang di usia pernikahan yang sudah menginjak 25 tahun. Pengawal membukakan pintu untuk Laura dan ini dia, banyak kamera dan media berdatangan untuk menyambutnya melewati karpet merah. Laura lupa membawa kacamata hitamnya, sehingga dia harus menerima kerlap kerlip jepretan setiap kamera. Dia bergaya dengan pose yang berbeda, tidak lama karena itu hanya ada dua sampai tiga gaya saja. Laura masuk ke dalam gedung dan disambut baik oleh beberapa orang yang menundukkan kepalanya. Laura tersenyum seperti iblis, dia tahu dialah yang berkuasa di dalam acara penghargaan tahun ini karena Siemens Group meraih tiga penghargaan sekaligus. Pesaing yang tahun lalu menerima penghargaan dalam kategori Pertumbuhan Saham Tertinggi yaitu Miens Group sekarang berada di posisi kedua. Tidak hanya itu, VAGG Group yang juga pesaing sejak tiga tahun lamanya menjadi penerimaan penghargaan dalam kategori Kesejahteraan Karyawan. Pada 10 tahun lalu, ketika tahun pertama Laura masuk dalam perusahaan Siemens Group terjadi skandal antara VAGG Group dengan Siemens Group, perpindahan karyawan sebanyak lebih dari 50 orang yang memiliki kualitas tinggi pindah ke VAGG Group. Saat itu, Tyson Schiffer yang masih memimpin perusahaan, setelah 5 tahun pensiunnya Jon Schiffer, sang pemilik sekaligus pencetus Siemens Group. “Selamat malam Nona Laura, kamu terlihat sangat cantik dengan gaun itu,” puji salah seorang karyawan lelakinya yang ikut menghadirkan acara penghargaan. Laura bahkan tidak menjawabnya, dia hanya mengulaskan senyuman dan itu mampu membuat karyawannya terpesona. Walaupun dia memiliki umur yang jauh lebih muda dari Laura, tetapi matanya tak bisa berpaling dari wanita cantik yang memiliki wajah seperti lukisan yang terukir dari pelukis Picasso. Laura melenggang pergi meniggalkannya dan bertemu dengan beberapa rekan bisnis di luar perusahaan. Dia memiliki strategi khusus untuk para calon investor dari perbincangan singkat, itu adalah sebuah keajaiban yang dimiliki oleh seorang Laura Schiffer. Nada bicaranya yang meyakinkan dan bola matanya yang hitam pekat membuat daya tarik tersendiri. Terlebih lagi, lawan bincangnya adalah seorang lelaki yang lebih tua darinya. Hanya dengan dia mengulaskan sebuah senyuman, setiap lelaki normal mampu jatuh hati padanya. Ketika Laura sedang menjalankan aksinya, lelaki berjas hitam dengan pita yang berwarna selaras menghampirinya dengan senyum sumringah dan percaya diri. “Laura! akhirnya kita bertemu lagi, aku senang.” Matthew menjulurkan tangannya untuk berjabatan dengan Laura, tetapi seorang Laura tidak akan pernah menerima jabatan dari lelaki seperti dia. “Saya juga cukup senang bertemu dengan anda, Tuan Matthew.” Laura berbicara seolah dia sangat menjaga formalitas antar perusahaan yang baru menjalin kerja sama. [3] Kurzes Treffen Matthew masih menyunggingkan senyuman yang di arahkan khusus untuk seorang Laura Schiffer. Lelaki itu sudah berjuang hampir 1 tahun belakangan ini dan selalu mendapatkan penolakan yang sama. Dia bahkan tahu jika Laura menghadirkan penghargaan ini walaupun sebenarnya dia merasa sudah sangat muak. “Itu terlalu formal Laura, kita sudah seperti teman. Oh ya, aku memasuki beberapa penawaran di perusahaanmu, apa kamu menerimanya?” tanya Matthew. Dia benar-benar lelaki yang tampan dan mempesona di usianya yang sudah sangat matang, 31 tahun. Beberapa wanita dibutakan oleh keindahan bentuk hidung dan mata gagak hitamnya yang pekat. “Penawaran yang menarik, tapi perusahaanku belum bisa menerimanya karena beberapa alasan. Mohon maaf, Tuan Matthew.” Laura sekali lagi masih bersikap profesional karena masih berada di hadapan calon investornya, dia tak ingin melakukan kesalahan yang membuat image Siemens Group menjadi buruk. Wanita itu mengetahui rencana busuk seorang Matthew yang selalu tumbuh di dalam hati dan pikirannya. Apalagi mengingat skandal 10 tahun yang lalu, itu membuat Laura benar-benar tidak habis pikir dengan perbuatan yang dilakukan oleh perusahaan pria berbadan atletis ini. MC sudah mulai menjalankan tugasnya sehingga orang-orang yang berbincang secara pencar menjadi berkumpul pada sofa yang sudah dipersiapkan. Laura duduk di tempat yang sudah tertera namanya. Dan betapa sialnya dia, harus duduk di samping seorang Matthew dari pesaing bisnisnya. Matthew sepertinya tidak kehabisan senyuman untuk Laura, dia sedikit melirik wanita itu lalu menghadap lurus ke depan untuk menyaksikan acara yang akan berlangsung. “Selamat malam untuk semua Tuan dan Nyonya yang sudah menghadiri acara penghargaan tahunan yang diselenggarakan oleh Berlin Bussiness Award. Saya selaku pembawa acara di sini akan menyampaikan beberapa ….” Laura muak dengan basa-basi MC itu, sehingga dia hanya menatapnya dengan pikiran melayang. Dia masih memikirkan tentang pria mana yang akan segera dinikahi? Kakeknya terlihat sangat menginginkannya, tetapi dirinya belum siap. Terlebih lagi jika ia mengingat pamannya, Tyson Schiffer. Dia memiliki banyak cara untuk menendang Laura dari Siemens Group, tetapi itu belum bisa terjadi karena wasiat yang diberikan oleh Jon Schiffer masih ada di tangan pengacaranya. Laura berpikir jika dia menikah, itu berarti karirnya berakhir dan Tyson adalah pemenangnya. Karena dengan begitu, suaminya nanti tidak mengijinkan dia bekerja. Atau bahkan lebih buruk lagi jika dia menikah dengan Matthew, lelaki yang kini berada di samping kanannya. Matthew akan merebut segala asset yang ada di Siemens Group dan menjadikan Laura seorang wanita di dalam dekapannya saja. Seketika pikiran buruk Laura membuyar karena tepuk tangan riuh yang tidak tahu untuk apa. Laura melirik ke kiri dan kanannya sampai matanya bertemu dengan Matthew. “Kenapa Laura? Kamu terlihat banyak pikiran,” ucapnya dengan pelan karena MC baru saja menyambut Ketua penyelenggara acara. Wanita itu hanya menggelengkan kepala dan memijit ringan pelipisnya karena pusing. Wajah Matthew berubah menjadi khawatir karena wanita itu memejamkan matanya. Dia masih memandang Laura lalu mengguncangkan bahunya pelan. “Hei, lebih baik kamu ke Toilet dulu untuk menenangkan pikiran,” sarannya. Laura tidak menghiraukan omongan pria itu walaupun dia ingin melakukannya. MC berlanjut untuk membacakan beberapa kategori penghargaan dan ini adalah kategori Kesejahteraan Karyawan. Laura sudah mengetahui siapa pemenangnya dan siapa yang akan maju ke atas panggung untuk menerima penghargaan. Ya benar, lelaki yang berada di sampingnya, Matthew. Tepuk tangan kembali riuh untuk menyambut kedatangan Matthew ke atas panggung dan Laura menatap tajam ke arah mata gagak hitam itu yang sudah berdiri di depan mimbar. Beberapa kalimat pengantar dan ucapan terima kasih dilontarkan olehnya sampai dia kembali turun dari panggung. “Selamat atas kemenanganmu!” ujar Laura dengan senyum terpaksa. Dia masih bisa menghargai orang seperti Matthew dan lelaki itu menyunggingkan senyum lebar padanya. “Terima kasih Laura, setelah ini kamu yang akan naik. Jadi, hati-hati!” Matthew memberi peringatan padanya agar dia kembali tenang. MC kembali mengambil alih tugasnya untuk membacakan pemenang penghargaan selanjutnya. Yaitu dalam kategori Kepala Bagian Akuntan Terbaik tahun ini. “Kita sambut, Laura Schiffer dari Siemens Group!” panggil MC yang membuat tepuk tangan yang lebih riuh lagi. Semua orang yang menghadiri acara itu tahu tentang Laura, cucu satu-satunya pencentus Siemens Group yang sudah berdiri lebih dari 40 tahun lamanya. Laura bangkit dan berjalan melewati beberapa orang. Dia mulai menaiki anak tangga dan sampailah di atas panggung untuk menerima plakat penghargaan. “Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Berlin Bussines Award yang telah menyelenggarakan acara ini setiap setahun sekali. Ini merupakan hal yang sangat luar biasa karena dapat mengapresiasi setiap orang dan perusahaan yang baru bangkit ataupun sudah berjalan lama. Ini adalah penghargaan ketiga saya dalam kategori yang sama dalam 3 tahun belakangan ini. Saya juga berterima kasih kepada kakek saya, Jon Schiffer yang telah mempercayai saya dengan jabatan sebagai Kepala Bagian Akuntan sampai detik ini. Tidak lupa juga saya mengucapakan terima kasih kepada semua karyawan dan pemegang saham Siemens Group atas kerja kerasnya selama ini.” Tepuk tangan kembali riuh setelah mendengar kalimat Laura yang panjang dan juga lembut mempesona. Mata para penonton tidak berkedip dan tak terlepas darinya. Laura Schiffer benar-benar magnet para calon investor dan bahkan pesaing bisnisnya. Semakin membuat banyak orang yang membencinya dan ingin segera wanita itu runtuh dari jabatannya di Siemens Group. Laura sudah mengetahui hal itu, mereka itulah para orang munafik. Terkadang mereka memuji di depan tapi berbicara buruk di belakang. Mata mereka semua tidak bisa berbohong tentang kecantikan dan kecerdasan yang dimilikinya sehingga membuat mereka terpesona sekaligus benci di saat yang bersamaan. Setelah Laura turun dari panggung, MC menyebutkan beberapa kategori penghargaan yang berbeda namun diwakilkan oleh orang yang sama. Laura menaiki panggung itu lagi hingga tiga kali dan itu semakin membuat para pembencinya kepanasan atas prestasi yang dicapai olehnya dan juga perusahaannya. Acara penghargaan selesai dan ditutup oleh bincang singkat antar perusahaan. Makanan sudah siap tersaji di setiap meja bundar. Banyak orang yang membuat janji bisnisnya juga pada acara itu. Bahkan ada orang yang menarik perhatian investor untuk berinvestasi di perusahaannya seperti yang Laura lakukan sekarang. “Saya sangat kagum melihat prestasimu, Nona Laura. Kau benar-benar memiliki sikap dan keceradasan seorang Jon Schiffer. Pasti dia bangga sekali denganmu,” ucap David Scold, salah seorang pebisnis baru di kancah Internasional yang menghadiri acara penghargaan itu. “Terima kasih Tuan David. Aku banyak belajar dari kakekku sendiri, dia benar-benar orang yang sangat hebat dan panutanku dalam dunia bisnis.” Laura tersenyum ramah padanya karena dia bisa melihat David bukanlah orang yang licik dalam bisnis. Dia selalu menggunakan instingnya dan itu selalu benar. “Hei Laura, mau mencoba makanan di ujung sana?” tanya Matthew setelah melihat kepergian David. Laura sedikit risih dengan Matthew sehingga dia menolaknya. “Tidak Tuan Matthew, aku sedang diet,” balasnya membuat lelaki itu merubah raut wajahnya. Laura ingin mencari cara agar dia terhindar dari Matthew dan bertemulah dia dengan seorang lelaki yang terlihat lebih tua darinya menggunakan setelah jas hitam sederhana. “Selamat Malam, Tuan. Dari perusahaan mana anda berasal?” tanya Laura berjalan menghindari Matthew dan memulai perbincangan dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Lelaki yang usinya terlihat seperti 50 tahunan itu menjadi gugup karena dihampiri olehnya. “Malam Nona Laura. Saya pemilik Hamann’s Group, perusahaan pembuat bahan material. Saya senang bisa diundang dalam acara seperti ini, karena sangat memotivasi,” katanya dengan nada yang sopan. Laura melihat Matthew di belakangnya mulai merasa tidak nyaman. “Oh maaf, tetapi saya belum pernah mendengar tentang perusahaanmu,” ujarnya lagi. “Oh itu karena saya mendirikannya di kota Hannover. Saya sengaja mendatangi Berlin untuk meihat orang-orang yang sangat hebat seperti anda, Nona.” Lelaki itu masih menjaga nada bicaranya sehingga membuat Laura tertarik dengannya. “Anda benar-benar orang yang sangat baik dan pekerja keras, Tuan …” Laura mengangkat alisnya karena belum mengetahui nama lengkapnya. “Hamann, nama saya seperti perusahaan saya sendiri, Hamann’s Group.” [4] Blaue Augen Fragen Sie nicht, warum ich mich so wohl fühlen kann weil mir die glückliche Vergangenheit mehr gefallen hat als die Gegenwart. Jangan tanya mengapa saya begitu nyaman karena saya lebih menyukai masa lalu yang bahagia daripada saat ini. ~o~ Perbincangan yang dilakukan oleh Laura dan Hamann berlangsung cukup lama, membuat Matthew jenuh dan akhirnya meninggalkan mereka. Hati Laura merasa lega karena sudah tidak didekatinya lagi. Tetapi sekarang dia harus berurusan dengan pengusaha asal Hannover yang baru dikenalnya. “Suatu kebanggan untuk saya bisa berbincang dengan anda, Nona Laura,” ucap lelaki itu dengan senyum sumringahnya. Sebenarnya Laura juga merasa nyaman berbincang dengan lelaki tua ini karena mengingatkan dia tentang seseorang. Nada bicara dan matanya ketika berbincang sangat tidak asing baginya. “Saya juga senang berbicara dengan anda, Tuan Hamann. Anda mengingatkan saya dengan ayah saya,” balas Laura dengan senyum tulus. Dia berkata jujur saat itu, karena Hamann terlihat seperti Ken Schiffer, anak pertama Jon Schiffer alias ayahnya sendiri. “Benarkah? Saya merasa lebih senang kalau begitu. Saya berharap proposal yang saya masukkan ke perusahaan anda menarik minat anda, Nona.” Hamann terlihat sangat berharap penuh dengan Laura bisa berinvestasi di perusahaannya. Sedangkan Laura terlihat tidak tertarik dengan jenis perusahaan yang Hamann dirikan, tetapi dia melihat diri ayahnya berada pada lelaki tua itu. “Baik Tuan Hamann, saya juga ingin bertemu dengan anda secara langsung lagi di lain waktu. Terima kasih atas perbincangannya dan saya permisi dulu.” Laura pamit dengan senyum yang masih sama lalu meninggalkan Hamann sendiri. Dia tidak memiliki rekan bisnis yang baik di acara penghargaan ini. Lelaki itu hanya datang karena undangan yang diberikan oleh rekan bisnis dari Hannover yang tidak bisa menghadirinya. Laura segera berjalan ke luar dari gedung acara, berharap tidak bertemu dengan Matthew lagi. Dia sudah mengirimi pesan teks kepada sopir kantor untuk menjemputnya di pintu belakang. Langkah kakinya cepat tapi tetap menjaga keseimbangan agar tak terlihat seperti maling yang diburu. Kerumunan orang sedang berbincang dan Laura hanya melewatinya saja tanpa sepengetahuan mereka. Suara sepatu high heels-nya juga terdengar. Bayangannya menghilang dari pintu belakang dan tepat di belakangnya terdapat Matthew yang tidak melihatnya pergi secara sembunyi-sembunyi. Fyuhhh! Laura mengeluarkan napasnya karena dia akhirnya sampai di area belakang gedung dan menanti kedatang mobil. Matanya masih terus mencari tetapi yang dicari tidak ada. Tatapannya bertemu dengan mata seseorang yang sedang bersandar di pintu mobil. Lelaki dengan kemeja hitam dan celana kasualnya. Mereka berdua saling menatap tidak terlalu lama, tapi itu cukup membuat hati Laura berdegup tidak karuan. Dia tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Apakah ini karena terlalu terburu-buru tadi? Atau karena dia takut bertemu dengan Matthew lagi? Laura tidak tahu. Yang terpenting, lelaki itu masih menatapnya dengan tatapan yang biasa dengan permainan tangan memutar pada kunci mobilnya. Laura berjalan ke arah samping untuk menghindari pandangan dengannya. Sampai Laura melihat lelaki itu mulai berdiri tegak dari sandarannya dan tersenyum lebar. Dia tidak tahu kenapa lelaki itu tersenyum lebar, matanya melihat ke mana perginya mata lelaki itu dan Laura merasa canggung karena bertemu dengan seseorang yang baru saja ditemuinya tadi, Hamann. “Ayah, akhirnya kau datang juga. Lama sekali,” gerutunya dengan sangat lucu. Itu membuat Laura terkekeh di dalam hati. Hamann tidak langsung menuju pada putranya tetapi mengalihkan perhatiannya pada Laura. “Nona Laura, anda masih menunggu?” tanyanya dengan ramah. Laura tersenyum lalu mengangguk. “Ya, sopir saya sebentar lagi akan datang,” jawabnya. Hamann melepaskan kacamata tipisnya lalu sedikit menunduk. “Kalau begitu, saya permisi dulu Nona Laura. Selamat Malam!” Hamann meninggalkannya dan masuk ke dalam mobil bersama putranya. Laura melihat kepergian dua orang itu dan tiba-tiba saja senyum kecil terbentuk di bibirnya. Tak lama setelah itu, mobil kantor datang lalu membawa Laura pulang ke rumahnya. ~o~ Hamann masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang sangat bahagia. Setelah memakan waktu tempuh selama tiga jam, dia merasa tidak lelah. Putranya yang memperhatikan hal itu dari mobil hingga sekarang hanya menggelengkan kepalanya. Seorang wanita tua ke luar dari kamar dan ikut tersenyum. “Ada apa ini? Kamu merasa bahagia sekali.” Wanita itu memeluk suaminya. Hamann membalas pelukan istrinya dengan sangat erat. “Aku bertemu dengan seorang calon investor dari Siemens Group. Laura Schiffer, cucu satu-satunya Jon Schiffer pengusaha terkenal di Berlin.” Hamann mengucapkannya dengan bangga dan sekarang mereka semua sudah duduk di ruang tengah. “Aku tidak tahu siapa dia. Tapi aku berharap dia bisa membantu perusahaanmu yang sedang krisis,” tutur Katty Hamann, istrinya. Hamann hanya mengangguk dan menatap lurus ke depan. “Aku yakin, dia akan menghubungiku dalam waktu seminggu ini.” Percaya dirinya sangat tinggi membuat putranya tertawa. “Ayah, kau terlalu bersemangat,” komentarnya. Hamann melirik dengan tatapan tajam lalu mendekati tempat duduknya. “Hal itu sangat diperlukan dalam dunia bisnis, Nak. Kau tidak pernah akan tau karena jalur kita berbeda,” tampiknya membuat putra tunggalnya berhenti tersenyum. Putranya langsung berdiri karena merasa mulai tidak nyaman dengan perbincangan. Dia hendak pergi menaiki anak tangga menuju kamarnya. “Arthur!” teriak Hamann yang tidak mendapatkan respon. Hamann melirik istrinya dan yang dilirik hanya bisa mengusap punggungnya untuk menenangakan. Arthur Hamann memiliki ketertarikan yang berbeda dari ayahnya, dia adalah seorang fotografer. Impiannya adalah untuk membangun studio foto dan memenangkan setiap ajang perlombaan berfoto di Hannover. Hamann selalu menyarankan dia untuk melanjutkan bisnisnya atau sekedar membantunya, tetapi dia menolak karena katanya tidak tertarik. Malam semakin larut, jam menunjukkan pukul 2 malam. Arthur masih disibukkan dengan tugas akhir masa kuliahnya. Dia ingin membuktikan pada ayahnya sendiri jika dia bisa mencapai impian yang sudah dibangun sejak masa sekolah menengah. Ponselnya berdering tanda panggilan masuk dan dia dengan cepat langsung mengangkatnya. “Halo Hon? Kenapa belum tidur?” tanyanya pada penelpon di sebrang sana. [Aku tidak bisa tidur, terus memikirkanmu. Kamu sendiri kenapa belum tidur?] “Aku sedang mengerjakan tugas dua hari lalu itu.” [Kamu baru mengerjakannya? Ke mana saja tadi?] “Aku mengantarkan ayah ke Berlin, Honey. Ada acara di sana sehingga ayah sangat ingin hadir.” [Uhm, baiklah. Cepat tidur sekarang! aku akan segera tidur juga.] “Okey, sampai jumpa!” Arthur menjalin hubungan dengan teman kampusnya bernama Celine Patitz. Seorang wanita yang memiliki impian menjadi model majalah di Hannover. Hubungannya dengan Celine sudah terjalin hampir satu tahun, dia yang memintanya untuk menjadi kekasih. Arthur merasakan jika Celine memiliki karakteristik yang disukainya. Mata wanita itu seolah menggambarkan masa depan yang indah baginya. Arthur tidak bisa menggambarkan karakteristik setiap orang yang ditemui dari matanya. Dia hanya bisa merasakan dengan hati murninya, seolah dia mengetahui orang itu akan mengarah ke mana. Seperti mata wanita yang terakhir kali dia temui di Berlin. Wanita dengan setelan jas berwarna merah dengan celana longgar yang berwarna selaras. Dia bisa merasakan jika wanita itu sangat kuat dan percaya diri. Tubuhnya bergerak ke samping tempat tidur, dia sudah menyelimuti sebagian tubuhnya. Pikirannya masih mengingat dengan wanita yang ditemuinya tadi. Arthur merasakan ada sesuatu yang ditutupi oleh wanita itu dari aura dinginnya. Badannya kembali di gerakkan ke samping kiri dan itu membuat dia benar-benar tidak bisa tidur disaat jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Dia belum pernah merasakan sepenasaran ini dengan wanita setelah melihatnya dalam waktu kurang dari sepuluh detik. Wanita itu seolah menunjukkan pada Arthur jika dia sulit untuk ditaklukkan. Telinganya sempat mendengar ketika ayahnya menyapanya. Laura, hanya itu yang dia tahu dari namanya. Arthur tidak tahu sepenting apa dia di acara penghargaan Berlin malam itu. Kali ini tangan kirinya digunakan sebagai alas kepala untuk tidur, dia mencoba untuk memejamkan mata sambil tetap membayangkan wanita yang dia kira usianya jauh di atasnya. Dan, Arthur tertidur lelap dengan mimpi mata dingin seorang Laura. [5] Mittagessen Tangan Laura menari di atas keypad laptopnya. Berada di ruangan besar dengan suhu AC yang sangat dingin adalah rasa terbaik selama masa hidupnya. Dia suka aura dingin, tidak suka dengan hal yang berbau panas. Tubuhnya ramping walaupun dia jarang olahraga. Dia tidak rutin mengikuti kegiatan pilates, tetapi bentuk tubuhnya terukir begitu sempurna. Laura memiliki satu jawaban ketika ada orang yang bertanya mengapa para karyawannya banyak yang tidak menyukainya. Yaitu karena dia ingin semuanya sempurna. Seperti laporan tepat waktu, datang ke tempat kerja tepat waktu, dan menyampaikan informasi dengan tepat jika dibutuhkan. Setiap bulannya selalu ada satu sampai dua karyawan yang melakukan pengunduran diri karena tidak tahan dengan cara kerja seorang Laura Schiffer. Dia memilki hak itu dan Tyson tidak bisa berbuat banyak dengan apa yang dilakukan oleh anak kakaknya sendiri. Laura sedikit memijat dahinya ketika laporan yang baru saja dicek merasa ada kejanggalan. Dia memanggil staff akuntannya untuk masuk ke dalam ruangan melalui sambungan telepon. Tidak lama setelah itu, masuklah wanita muda berpakaian rok di atas lutut berwarna krem dengan mimik wajah yang ketakutan. “Serine, kenapa transaksi di atas sepuluh juta menggunakan kwitansi dari kantor? Seharusnya itu mendapatkan tanda buktinya sendiri?” tanya Laura to the point, karena tak suka berbasa-basi. “Saya sudah bicara soal itu dengan bagian penjualan dan mereka hanya menyuruh saya untuk membuat kwitansinya dari kantor,” balas Serine dengan gugup. Sebenarnya dia tahu hal itu salah. “Saya tidak ingin memeriksa ini sebelum kamu mendapatkan kwitansi aslinya!” Laura mengembalikan berkas laporan yang menghabiskan waktunya dari pagi. Kedua tangannya menutup seluruh wajah sehingga Serine yang hendak pamit dari ruangannya tak dihiraukan. “Aisshhh!” Laura menggeram karena ponselnya berdering. “Halo Tuan Tyson!” sapanya pada penelpon. Laura merubah raut wajahnya menjadi tambah kesal setelah mendengar permintaan Tyson. Ponselnya diletakkan di samping laptop dan dia menopang dagunya dengan kedua tangan. Makan siang bersama Kepala Bagian Siemens Group di Kantin. Itu hal yang paling menyebalkan baginya, karena dia akan bertemu dengan rekan bawaan dari Tyson dan orang-orang munafik lainnya. Masih ada waktu sekitar 30 menit sebelum dia makan siang. Laura teringat dengan janjinya malam itu dengan Hamann, dia juga mengingat tentang putranya yang menunggu di mobil. Lelaki itu terlihat muda darinya tapi yang membuatnya tertarik adalah bola mata berwarna birunya. Ada kontak batin yang ia rasakan setelah melihat lelaki itu. Ide kecil muncul di pikirannya dan dengan cepat ia mengambil ponsel untuk mengirimi pesan teks pada Hamann. ~o~ Suara air panas yang dituang ke cangkir memberikan kesan tersendiri bagi penikmat kopi. Seolah itu adalah alunan terindah yang pernah masuk ke dalam indra pendengarannya. Laura memesan Coffe Latte dengan susu putih. Sekarang dia sudah berada di kantin dan merasa duduk di sekitaran kobaran api yang menyala. Terdapat Tyson dan ketiga orang lainnya. Barak, seorang Kepala Bagian Penjualan dan dia bergabung dengan perusahaan sekitar lima tahun yang lalu. Laura tidak menyukainya karena dia memiliki potensi yang berbeda dari pekerjaan yang sebelumnya. Dan jika ditanya kenapa lelaki yang usianya sama dengan Tyson itu bisa memimpin di perusahaannya sekarang, jawabannya adalah karena Barak merupakan teman kampus Tyson dulu. Mark Will adalah seorang Auditor Internal Perusahaan. Dia sering berhubungan langsung dengan Laura untuk masalah Laporan Keuangan sebelum akhirnya diaudit oleh pihak eksternal. Namun, Laura tidak terlalu dekat jika hal itu bersangkutan dengan kehidupan selain pekerjaan. Mark memiliki usia empat tahun lebih tua darinya. Dia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan. Mark adalah satu-satunya pekerja yang masih dipertahankan oleh Tyson selama pergantian jabatan dengan Jon Schiffer. Wiliana, sebenarnya bukan seorang kepala bagian, melainkan sekretaris Tyson yang selalu dibawa ke manapun dia pergi. Parasnya tentu saja cantik dan memiliki kulit putih susu yang mengkilap. Bibirnya selalu dipoles dengan lipstik berwarna merah dan bulu mata palsu selalu terpajang di matanya yang besar. Laura tidak menyukainya karena wanita itu selalu menunjukkan kepercayaan diri yang lebih tinggi darinya. Bersikap dan merasa berkuasa di perusahaan ini. Tapi, Laura tidak pernah menghiraukannya, karena dia merasa itu adalah hal yang percuma saja. “Bagaimana Laura? Makanannya terlihat enak sekali, kan? Yang ini adalah kesukaanku,” ucap Barak menghancurkan kekosongan yang terjadi sebelum pelayan datang. “Ini terlihat enak, tapi kudengar pemilik restoran di Siemens Group ini teman sekolahmu, benarkah itu, Tuan Barak?” tanya Laura seraya menyesap minumannya. Barak terkejut karena wanita itu mengatakan dengan sangat jelas. “Y-ya benar, dia adalah teman semasa sekolahku,” jawabnya sedikit gugup. Laura terkekeh, “tidak perlu gugup, Tuan. Saranmu akan selalu diterima oleh Tuan Tyson. Benarkan?” kini Laura melirik tajam pada Tyson yang masih mengunyah steak di mulutnya. Direktur Utama itu sedikit tersedak akibat pertanyaannya. “Tidak juga, itu karena memang masakannya enak. Semua karyawan di sini harus menikmati hidangan seperti ini.” Tyson mencoba untuk tidak gugup. Sedikit aneh memang jika ada rasa takut di dalam hati kecilnya terhadap Laura. Melihat jabatannya adalah yang paling tinggi. “Itu benar sekali, makanannya selera perutku.” Kali ini Wiliana mencoba untuk bicara tapi cepat diserang oleh Laura. “Ya, selera perutmu, bukan perut semua karyawan di sini,” timpalnya dengan tatapan yang mematikan. Wiliana berhenti mengunyah dagingnya dan menatap ke arah Tyson yang hanya meresponnya dengan anggukan. Suasana kembali canggung dan Laura menanti kedatangan hidangan penutup agar dia bisa cepat pergi. Laura tidak menyukai hidangan penutup di kantinnya sekarang. Jadi, dia bisa langsung pergi meninggalkan ketiga orang yang ragu untuk berbincang ketika masih ada dirinya. Pelayan datang dengan membawa nampan berisikan makanan penutup dan meletakkannya di meja. Laura mulai bangkit dengan senyum yang masih palsu. “Nikmati hidangan penutup kalian, aku permisi dulu!” pamitnya melenggang pergi menuju lift. Hentakkan kakinya sangat tegas dan percaya diri untuk melangkah. Beberapa karyawan menundukkan pandangannya ketika Laura berjalan di depannya. Dia memasuki lift yang tidak ada penghuninya sama sekali. Emosinya sangat terkendali, karena sudah terbiasa menghadapi orang-orang bermuka dua seperti itu. Pintu lift terbuka, memperlihatkan lantai 17 tempat dia bekerja. Siemens Group memiliki 18 lantai bangunan dan yang tertinggi adalah tempat Direktur Utama. Beberapa karyawan yang membuat suatu kerumunan menjadi berpencar kembali ke tempat duduknya masing-masing karena melihat Laura. Wanita yang rambutnya digerai dengan kacamata tipisnya itu hanya mengabaikan para karyawannya, terlebih lagi ini masih jam istirahat. Mereka berhak melakukan apapun. Kenop pintu diputar dan dia menutupnya kembali. Menampilkan sebuah ruangan yang sudah didiaminya selama hampir sepuluh tahun. Laura biasa mengganti dekorasi ruangannya setahun sekali, warnanya hanya ada hitam dan putih. Tapi jika dia sedang frustasi, dia akan meminta orang mengubah catnya langsung dengan warna abu-abu saat itu juga. Keinginannya selalu tercapai, tidak ada yang bisa menolak atau berseteru dengannya. Dia menduduki kursi hidroliknya yang berwarna hitam. Kepalanya disandarkan untuk kembali menenangkan pikiran. Tiba-tiba ponselnya bergertar tanda pesan masuk. Tangannya meraih ponsel dan matanya melirik dengan cepat untuk membaca isi pesan yang masuk. Bibirnya terukir senyuman yang cantik. Hatinya berubah menjadi senang dan kepercayaan dirinya semakin kuat. Besok sore akan menjadi pertama kalinya dia pergi ke Hannover untuk bertemu dengan rekan bisnis yang sebenarnya tidak dinantikan. Tapi, hatinya selalu ingin bertemu dengan orang itu lagi karena merasa ada kenyamanan yang tercipta di hati kecilnya. Hamann dari perusahaan Hamann’s Group. Dia sendiri tidak percaya bisa melihat sosok Hamann yang seperti ayahnya ketika masa sekolah. Ayahnya selalu berbuat manis dan memperhatikannya dengan baik, tidak seperti ibunya yang selalu memarahinya ketika dia melakukan kesalahan. Tapi sekarang, Laura benar-benar rindu dengan dua orang yang sudah pergi meninggalkannya. Rindu dengan kelembutan ayahnya dan sikap posesif ibunya. Dia tidak perduli rasa atau sikap seperti apa yang keduanya lakukan pada dirinya waktu itu, yang terpenting dia rindu akan semua hal dari mereka. Laura membuka laptopnya kembali untuk mengecek beberapa penawaran yang masuk pada perusahaannya. [6] Cafeino Ich habe Gott nie um mehr gebeten. Aber nachdem ich dich gesehen habe, habe ich sicher viele Anfragen, es ihr zu sagen. Saya tidak pernah meminta lebih dari Tuhan. Tapi setelah melihatmu, aku yakin aku punya banyak permintaan untuk diberitahukan padanya. ~o~ Hujan turun sangat deras sore ini. Ramalan cuaca yang disampaikan oleh reporter Nick dari stasiun televisi benar-benar terjadi. Laura melihat melalui layar laptopnya dan lelaki itu masih dengan tahi lalat di hidungnya. Kaca besar ruangannya berembun dan terkena beberapa cipratan air hujan. Laura menarik kursinya dan melangkah mendekat jendela besar itu. Hidungnya menghirup udara segar yang diciptakan oleh hujan. Kalau ditanya, apakah dia menyukai hujan atau tidak, jawabannya tergantung. Terkadang dia bisa menyukai hujan ketika dia sedang berada di rumahnya yang nyaman, itu akan menambah konsentrasi dalam mengerjakan beberapa tugas kantornya. Lalu, dia akan bisa segera tidur dengan cepat dengan suara hujan yang mengiringnya untuk lelap. Tapi dia tidak menyukai hujan ketika itu hadir mendekati jam pulang kerjanya. Beberapa karyawannya itu akan menunda pulang ke rumahnya masing-masing. Bukan karena Laura mengkhawatirkan mereka, melainkan karena nantinya mereka akan bergosip ria ketika jam pulang kantor sudah selesai. Dan seorang Laura tahu betul bagaimana sikap para karyawannya yang selalu memperguncingkan kehidupannya dari segala sisi. Mulai dari masalah pekerjaan, cinta, dan kehidupan pribadinya. Dia benci hal itu. Matanya masih menatap embun di kaca besar sambil menunggu pesan teks dari sopir pribadinya. Sore ini dia akan pergi ke Hannover untuk bertemu dengan Hamann membicarakan kerjasamanya. Walaupun Laura tahu, kondisi perusahaan Hamann’s Group sedang tidak baik, tetapi hatinya terus menginginkan jika dia bisa terus dekat dengan Hamann. Ponselnya berbunyi dan itu adalah hal yang ditunggunya saat ini. Pekerjaannya sudah selesai dan tidak ada pertemuan yang harus dia lakukan. Laura melirik jam tangannya yang jarum jamnya menunjukkan pukul 3 sore. Luar biasa baginya untuk bisa ke luar kantor di hari yang masih sangat sore. Dia tidak pernah ingin meninggalkan kantornya sebelum jam kantor berakhir, tapi sekarang, urusannya sudah lain. Pertemuan dengan Hamann seperti melepas rindu dengan ayahnya. Laura memakai mantel tebalnya, kali ini berwarna hitam, dan itu pemberian ayahnya sebagai hadiah kelulusan sekolah menengahnya. Terkadang dia berpikir, apakah tubuhnya tidak berubah begitu banyak dimakan waktu? Greg, sopir pribadinya membukakan pintu mobil dan Laura beruntung tidak bertemu dengan rekan sejabatnya atau Tyson, pamannya. Pasti akan ada banyak pertanyaan yang dilontarkan, mungkin itu wajar karena dia adalah bawahannya. Bukannya dia melanggar jam kerja, dia sudah meminta ijin dan disetujui. Dia hanya tidak mau, pamannya bertanya dengan pertanyaan yang sama. Hawa dingin Berlin menusuk tajam ke wajahnya yang tak tertutup. Mantel tebal yang ia pakai sangat menghangatkan tubuhnya. Mobil dilajukan dengan kecepatan normal karena jalanan yang licin. “Bisakah kau nyalakan musik, Greg?” pinta Laura pada lelaki dengan janggut tebalnya berwarna coklat. Greg dengan senyuman khasnya mengangguk. “Siap Nona! apapaun yang kau inginkan,” balasnya. [Playing music Ed Sheeren ~ Perfect] Entah kenapa, Laura merasa lagu ini sangat pas diputar ketika hatinya sedang bahagia. Seolah Tuhan tahu dia sedang merasa rindu dengan hujan yang masih deras mengguyur Berlin. “Kira-kira berapa jam waktu perjalanan kita?” tanya Laura dengan memainkan ponselnya. “Sepertinya di Hannover tidak hujan dan kita bisa mengejar dalam waktu 3 jam, Nona.” Greg masih terfokus pada setir dan pandangannya ke depan. “Baik, kalau begitu, aku ada waktu untuk tidur sebentar.” Laura mengambil bantal kesayangannya yang bergambar beruang. Bantal itu juga dihadiahkan oleh ayahnya. Dia mulai menutup mata dengan udara dingin yang masih menyambar kulit putihnya. Sesekali telapak tangannya diusap secara bergantian untuk meringankan suhu dinginnya Berlin. Dia hampir terlelap ketika melihat sebuah wajah dingin Arthur dengan bola mata birunya yang pekat. Laura terperanjak kaget dan terbangun, dia bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas. Seolah ingatannya merekam dengan baik wajah lelaki yang baru pertama kali dilihatnya. ~o~ Mobil terparkir di sebuah Kafe dengan logo secangkir kopi di atasnya. Kafe itu bertulisan Cafeino. Laura tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya, sangat unik. Logo cangkir kopi itu berwarna merah, menambah kesan romansa di dalamnya. Benar saja, ketika Laura melangkahkan kaki pertama di depan pintunya, dia merasa auranya sangat berbeda. Orang-orang dengan tawa riang, lelucon bodoh, dan beberapa teriakan dari seorang wanita muda. Lebih tepatnya, Kafe itu memiliki pengunjung yang dominan berisikan anak-anak kampus. Seorang pelayan dengan celemek berwarna coklat menghampirinya dengan senyum ramah. Pria itu sedikit membungkuk, “ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanyanya dengan topi berlogo cangkir sama seperti di depan. Laura membalas senyumnya, “saya ada janji dengan Tuan Hamann, dia bilang sudah melakukan reservasi,” kata Laura dengan lembut. Pelayan berjenis kelamin laki-laki itu terpesona karena suaranya. “Oh, Nona Laura! Silakan ikuti saya, Tuan Hamann sudah menunggu anda di ruang VIP.” Pelayan itu berjalan diikuti oleh Laura di belakangnya. Laura cukup terkejut mendengar jika Kafe ini memiliki ruang VIP. Melihat bangunannya yang tidak terlalu besar, tempat ini cukup hebat bisa memilik ruang VIP. Kafe cukup ramai saat itu, sehingga ketika ia berjalan, beberapa mata meliriknya. Dia pikir tidak ada yang salah dengan pakaian kerjanya saat ini. Dia memakai kemeja kantor berwarna putih dengan rok tepat berada di lututnya yang berwarna merah. Rambut coklatnya masih terurai rapi dan dia memakai kacamata hitamnya. Pintu terbuka dan menampilkan Hamann yang sedang mengetik pada laptopnya. Lelaki itu mengenakan kemeja berukuran besar menyesuaikan tubuhnya yang gemuk. Kacamata kecilnya sangat pas untuk wajah kecilnya. Laura mengembangkan senyumnya ketika memperhatikan sikap lelaki itu yang belum menyadari kehadirannya. Sehingga pelayan berdeham, “permisi Tuan Hamann. Nona Laura sudah datang,” katanya mendekat. Hamann mendongak, mengalihkan tatapannya dari laptop pada wanita cantik di depannya. Dia sedikit kaget dan merasa tidak enak. “Oh Nona Laura, maaf saya terlalu fokus dengan bahan presentasi saya.” Hamann berdiri lalu mencoba untuk berjabat tangan dengangannya. Laura dengan senang hati menerima jabatan tangannya yang ramah. Pelayan pamit pada keduanya yang sudah mulai duduk di ruang yang ukurannya tidak terlalu besar tetapi dekorasi yang menurut Laura sangat unik. Ada beberapa foto yang terpampang dengan tema pemandangan kota Hannover. Laura kagum dengan hasil jepretan siapapun yang mengambilnya. “Kau ingin makan apa, Nona?” tawar Hamann seraya memberikannya menu. Laura meliriknya dan merasa perutnya masih kenyang. Tapi, dia tidak ingin mengecewakan lelaki tua di hadapannya ini. “Kopi susu dengan Roti bakar saja, Tuan.” Hamann mengklik pada layar tab yang berada di samping meja. Dengan begitu pesanannya akan masuk otomatis pada bagian dapur. “Hanya itu saja, Nona? Kau menghabiskan banyak waktu perjalanan tadi,” ujarnya lagi. Terlihat sangat jelas jika wajah Hamann kini khawatir pada Laura. “Aku sedang diet.” “Oh, bisakah kamu memanggilku dengan sebutan Laura saja?” pinta Laura dengan wajah hangatnya. Hamann terkekeh geli melihatnya seperti itu, dia seperti memiliki putri kecil. “Aku merasa tidak enak. Tapi jika kamu memakasaku, baiklah.” Laura tersenyum gembira lagi. Dia merasa ayahnya telah kembali sekarang. Mereka melanjutkan obrolan ringan sebelum akhirnya pelayan datang membawa pesanan. Kali ini pelayan yang datang berbeda, dan orang itu cukup membuat Laura terkejut. “Ini pesanannya, Nona!” ucapnya dengan meletakkan piring berisikan roti bakar dengan selai stroberi dan coklat. Laura melihat roti dan dia berupaya untuk memberitahu jika dia tak suka itu. “Bisakah kamu mengganti selai rotinya? Aku tidak suka dengan selai stroberi,” komentarnya membuat pelayan itu tertegun memandangnya. “Oh maaf, aku tidak tahu jika kamu tak menyukai selai stroberi. Nah, Arthur tolong berikan selai roti yang lain.” Hamann memohon maaf pada Laura lalu bergantian melirik ke arah Arthur yang masih berdiam diri. Arthur hanya menunduk dan membawa kembali piring itu dengan mengganti roti bakar. Dia belum berkata apa-apa lagi selain menatap mata Laura, lalu kembali membawa nampannya ke luar dari ruang VIP. [7] Lauras Geständnis Setelah menunggu sekitar lima menit, Arthur kembali datang dengan piring yang berisikan roti bakar isi selai coklat. Dia sedikit membungkuk untuk meletakkan piring-piring di atas meja beserta kopi susu yang dibawa. Hamann menarik lengannya setelah dia selesai melakukan itu. “Nah, ini putraku, namanya Arthur. Dia bekerja di sini, karena temannya pemilik Kafe ini.” Hamann memperkenalkan Arthur yang masih tidak berbicara. Hamann sedikit memberi kode pada putranya untuk mengajak bersalaman. Arthur yang mengerti kode itu langsung mengulurkan tangannya. “Arthur Hamann,” sapanya pada Laura yang masih termenung. Wanita itu dengan cepat membuyarkan lamunannya dan menjabat tangan Arthur yang sedikit lebih besar darinya. “Laura Schiffer.” Laura tidak bisa melihat perbedaan wajah antara kedua lelaki di hadapannya kecuali kulit keriput dan tubuh besar yang dimiliki Hamann. Bola mata mereka yang berwarna biru itu sama dan hidung, bibir, juga alisnya sangat serupa. Arthur adalah miniatur Hamann. Bahkan rasa hangatnya tertular pada dirinya, Laura bisa merasakan hal itu. “Nah, Arthur, kamu bisa kembali,” kata Hamann menepuk pundaknya. Arthur hanya mengangguk dan membungkukkan badannya sekali lagi pada Laura untuk ijin pamit. Laura hanya tersenyum sebagai balasannya. Hamann kembali mencoba untuk berbincang pada Laura, tetapi wanita itu seperti memiliki banyak pikiran di kepalanya. Laura memang memiliki maksud lain dari pertemuannya dengan Hamann saat ini. “Seperti yang sudah dijelaskan tadi, Laura. Perusahaan saya benar-benar diambang kehancuran. Penipuan yang dilakukan sahabat saya sendiri itu, membuat citra perusahaan jelek di mata investor dan juga kerugian besar,” ucap Hamann dengan wajah lesunya. Kantung mata hitam juga terlihat dengan jelas, jika dia memiliki masalah besar dalam hidupnya. “Sebenarnya saya sangat terkejut ketika mendapatkan pesan teks dari anda. Seperti malaikat penolong telah hadir di kehidupan saya,” tambahnya lagi. Laura terkagum mendengar cerita buruk yang dialami oleh Hamann. “Saya turut merasa prihatin, Tuan,” ucapnya dengan nada rendah. “Kamu tahu, ketika aku bertemu denganmu di acara penghargaan Berlin saat itu, aku langsung teringat dengan ayahku. Kamu benar-benar mirip dengannya. Dia orang yang sangat pekerja keras, tak kenal lelah dan perhatian padaku jika aku membutuhkannya. Kulihat, kamu sama lembut dan perhatian sepertinya.” Laura berkata jujur dan itu membuat goresan lukan lama kembali terasa. Hamann membesarkan pupil matanya dan dia merasa terharu mendengar perkataan Laura. “Benarkah? Aku pikir, aku adalah seorang ayah yang menyebalkan. Hahaha… putraku tidak terlalu menyukai kelembutanku padanya, karena terkadang jika aku keras, itu terlalu menyakitkan katanya. Maka, lebih baik aku menjadi sekarang ini, tidak terlalu lembut padanya, apalagi dia seorang lelaki.” Hamann teringat dengan putranya. Hubungannya dengan Arthur tidak terlalu dekat. Tapi dia yakin jika putranya itu tahu jika ia menyayanginya. Arthur tumbuh sebagai anak tunggal yang tidak kekurangan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Berbeda dengan Laura yang hanya memilik kasih sayang dari kakeknya saja. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Mereka berdua masih berbincang dan pembahasannya dihabiskan dengan saling bercerita pengalaman hidup satu sama lain. Hamann bahkan sedikit terkejut melihat perubahan yang ditampilkan olehnya, karena melihat seorang Laura Schiffer yang sangat disegani dalam dunia bisnis. Tapi kenyataan sangat berbeda 360 derajat. Laura baginya adalah seorang wanita yang sangat ramah, lembut dan juga manja. Hamann merasa jika dia memiliki putri kecil di sampingnya. Tidak jarang ruangan itu digemakan dengan suara tawa dari keduanya. Hamann juga menceritakan kejadian-kejadian lucu semasa mudanya dan juga rumah tangga padanya, itu terlalu berlebihan tetapi Laura menerimanya dengan tidak serius. Laura sendiri melihat Hamann yang semakin lama semakin mirip dengan ayahnya ketika bercerita. Dia seperti kembali ke hari pertamanya masuk sekolah, setiap kali dia tidur, dia akan ditemani oleh ayahnya dengan sebuah dongeng yang membuatnya terlelap tidur. Ayahnya benar-benar memberikan kasih sayang yang penuh padanya. “Ceritamu sangat membuat perutku sakit.” Laura terkekeh sambil memegang perut. Hamann yang juga masih tertawa mengambil segelas air untuk menenangkannya. Tetapi tawa Laura memudar ketika Arthur masuk kembali dengan hidangan berat. Dia tidak merasa memesan makanan, tapi lelaki itu menaruhnya di meja. “Aku tidak memesan ini, Tuan Hamann,” ucap Laura menatap Hamann yang membantu Arthur meletakkan piring, itu membuat Laura merasa iri karena kedekatan antara keduanya. “Kau bisa sakit, Laura. Ini sudah waktunya untuk makan malam. Ayo kita makan bersama!” ajak Hamann dan Arthur ikut bergabung bersamanya. Laura bingung harus berbuat apa, yang pasti sekarang hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Arthur melepaskan celemeknya dan itu memperlihatkan tubuhnya yang sedikit atletis. Lelaki itu memiliki rambut berwarna hitam dengan beberapa poni di dahinya. Laura jarang bertemu dengan lelaki berponi sebelumnya, karena di dalam dunia bisnis tdak ada yang seperti itu. Tetapi Arthur berbeda, dia lebih pendiam dan memiliki jiwa seni menurutnya. Merekea bertiga mulai menyantap hidangan dan Laura merasa beruntung, karena Hamann mengetahui kondisinya yang sudah lapar. Dia pikir, dia tidak akan lama di sini, tetapi ternyata waktu berlalu sangat cepat sehingga dia tak sadar jika hari sudah malam. “Putraku pandai dalam hal fotografi, dia memiliki impian untuk menjadi Fotorgrafer profesional,” ucap Hamann disela makannya. Arthur terlihat kurang nyaman dengan ayahnya yang menceritakan impian di depan orang asing. “Apakah itu berarti foto yang dipajang di sini hasil jepretanmu?" tanya Laura melirik Arthur. “Ya, beberapa punyaku,” jawabnya. Mereka kembali terdiam, sibuk dengan makanannya masing-masing. Sampai Laura merasa harus pergi ke Toilet. Hamann meminta Arthur untuk mengantarkannya, karena suasana Kafe malam yang semakin ramai pengunjung. Arthur dengan pemilik Kafe menjalin persahabatan sejak masa sekolah. Terlebih lagi, ayahnya Arthur yang menginvestasikan sebesar 20% di dalam kepemilikan Kafe ini. “Nah, Toiletnya berada di ujung sana,” kata Arthur menunjuk sebuah ruang yang lampunya sedikit gelap. Awalnya Laura tidak yakin bisa melakukannya di tempat seperti ini, tetapi dia tidak memiliki pilhan lain selain berjalan melewati ruang-ruang yang sedikit menjijikan baginya. ~o~ Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan Laura masih berbincang dengan Hamann. Sementara dia masih belum mengatakan tujuan aslinya datang ke Hannover. Ketika dia rasa kedekatan dirinya dengan Hamann terjalin begitu cepat, dia baru bisa mengatakannya dengan jujur dan terbuka. “Tuan Hamann, bisakah aku menceritakan hal lainnya padamua juga? Aku memiliki masalah yang aku sendiri bingung untuk menceritakannya pada siapa,” kata Laura dengan gelisah. “Silakan Laura. Sedari tadi kamu bercerita, kan. Kenapa sekarang menjadi sedikit malu? Bukankah kau bilang aku seperti ayahmu?” Hamann menjawabnya dengan tegas namun lembut, dia bersikap seperti seorang ayah, bukan rekan bisnisnya. Laura kembali menyunggingkan senyumnya dan hatinya mulai merasa percaya diri untuk bercerita. “Kau tahu kakekku bagaimana sikapnya, kan? Di-dia memintaku untuk me-menikah,” katanya dengan sedikit gugup. Hamann hanya tersenyum dan memasang mata lembut, “lalu, apa yang jadi masalahnya? Kakekmu menginginkanmu menikah dan itu adalah hal yang baik.” Hamann masih belum mengerti arah pembicaraan Laura. Laura frustasi. “Tapi aku belum menemukan lelaki yang cocok untukku,” terangnya. Hamann melebarkan mata dan mulutnya. “Aku yakin pasti banyak pria yang mendekatimu, tetapi kau belum merasa cocok dengannya, begitu?” tanya Hamann yang langsung dibalas anggukan olehnya. “Ya begitu, jadi, bisakah kamu mencarikan lelaki yang sekiranya tepat untukku? Kau sudah mengenal sisi asliku dalam waktu singkat.” Hamann sempat berpikir dan entah kenapa, Arthur yang melintas di dalam pikirannya. Tapi dia tidak langsung menyebutkannya pada Laura. Karena …. Lihatlah Arthur, dia seorang mahasiswa akhir yang belum memiliki pekerjaan yang cemerlang seperti Laura. Bagaimana bisa mereka bersatu begitu cepat dengan jarak usia yang cukup jauh? Hamann menimang di dalam pikirannya. [8] Große Überraschung Laura menatap dengan tatapan serius, dia takut jika lelaki tua itu tidak bisa menolongnya. Karena bagaimanapun dia telah melanggar kode etik bisnis. “Menurutmu, bagaimana putraku?” Hamann berbicara begitu saja tanpa memikirkan kembali konsekuensi yang akan diterimanya dari Laura. Dia tahu hal itu sedikit lancang, tetapi dia tidak memilik kenalan yang cukup luas dalam mencari pria lajang. Laura sontak terkejut mendengar saran Hamann. Dia tak menyangka jika pria tua itu akan merekomendasikan putranya sendiri. Mulutnya terbuka dan sedikit gemetar, tangannya mengusap pipinya yang sedikit dingin. Udara Hannover lebih dingin di malam hari. “A-aku … tidak tau. Maksudku, aku lebih tua darinya, apa dia mau?” “Aku akan mengurusnya.” Dengan begitu, perbincangan mereka selesai tepat pukul 10 malam. Hamann meminta Laura untuk menginap semalam di rumahnya tapi wanita itu menolak. Laura kembali masuk ke dalam mobil merahnya dan Greg mengemudikan mobil dengan cukup cepat. Supir itu tertidur selama menunggu Laura, jadi dia dapat membawa mobil dengan selamat sampai di Berlin. ~o~ Dua hari setelah pertemuannya dengan Laura Schiffer, Hamann mengurung diri di ruang pribadi rumahnya. Istri dan putranya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan ayah mereka. Yang pasti, mereka berdua tahu jika kondisi perusahaannya sedang di ambang kehancuran. Sang istri yang khawatir dengan suaminya, menyuruh Arthur untuk menemui ayahnya. Arthur yang sedang mengatur kameranya mengangguk lesu dan menyeret kakinya menuju ruang pribadi Hamann. Kenop pintu diputar dan memperlihatkan Hamann yang sedang fokus dengan laptopnya. Arthur sedikit ragu untuk masuk, tapi dia tak bisa menolak permintaan ibunya. Jadi, dia melangkah masuk dan kembali menutup pintu dengan rapat. “Apa kau terlalu sibuk sampai belum makan sejak kemarin?” tanya Arthur yang sudah duduk di kursi hidrolik hadapannya. Ruang kecil dengan cat tembok berwarna putih yang mendominasi. Tidak banyak hiasan dinding ataupun pot kecil, hanya ada satu di sudut dan dua gambar hasil jepretan Arthur sendiri. Keduanya yang mendekorasi ruangan yang sebelumnya menjadi kamar Arthur ketika kecil. Tapi Arthur memiliki kamar barunya di lantai dua ketika ulang tahunnya yang ketiga belas. “Bagaimana aku bisa makan jika para karyawanku belum mendapatkan haknya?” Hamann sedikit memandang Arthur lalu kembali fokus dengan laptopnya. Kedua tangan Arthur bersatu dan ia sedikit menggosok telap tangannya. “Memangnya calon investor waktu itu tidak berhasil? Kau terlihat senang berbincang dengannya,” ucapnya melihat ke arah belakang laptop. “Maksudmu Laura Schiffer?” Hamann memperjelas. “Ya Laura, kau dengannya asyik berbincang bahkan sampai tertawa-tawa.” Arthur yang selama bekerja tak terlalu fokus hari itu karena ayahnya terlalu bersemangat mengadakan pertemuan dengan Laura. Dia sesekali menguping dari balik pintu ketika tak ada orang di sekitar. “Dia bekerja sebagai Kepala Akuntan di Siemens Group, tidak bisa berbuat banyak untuk menolong perusahaanku yang hampir bangkrut. Dia berinvestasi jangka pendek dan nominalnya tidak terlalu besar.” Hamann menjelaskan. “Kecuali kami memiliki hubungan yang lebih dekat, maksudku … jika kita menjalin hubungan dengan keluarganya.” Hamann menutup laptop dan melepaskan kacamata tipisnya. Arthur mengerutkan alisnya, dia bingung maksud dan tujuan pembicaraan ayahnya. Apa urusan dengannya? Dan kenapa mengaitkan dengan hubungan keluarganya? Hamann menghela napas panjang. “Laura memilik masalah pribadi dan dia menceritakannya padaku sebelum pulang,” terangnya. Hamann akan berterus terang dengan rencananya. “Kenapa Ayah harus ikut campur dengan urusan pribadinya?” tanya Arthur yang semakin bingung. “Dengarkan aku, Nak! Laura sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya sejak dia masuk masa kampus. Kakeknya yang merawatnya, dia kekurangan kasih sayang dari ibunya. Maka dari itulah dia menjadi wanita yang cerdas, kuat dan tidak mudah menyerah dalam dunia bisnis. Menurutku, dia wanita yang sangat tangguh. Tapi … ketika dia bercerita masalah pribadinya, itu sangat membuat hatiku sakit. Dia bilang di awal pertemuan kami, jika dia ingin bertemu denganku karena aku mirip dengan ayahnya. Dan dia rindu, maka dari itu dia datang jauh dari Berlin ke Hannover untuk memecahkan kerinduan dengan ayahnya.” Mendengar ayahnya bercerita, Arthur ikut merasakan kesedihan yang dialami Laura tentang kondisi orangtuanya. “Itu sangat menyedihkan. Lalu apa yang kamu ingin lakukan padanya?” “Maukah kamu menikah dengannya?” tanya Hamann secara spontan. Mata Arthur terbelalak kaget dan dia langsung berdiri dari kursinya. “Apa kamu bercanda, Ayah? Kamu ingin menggunakanku untuk kepentingan bisnismu?!” Arthur merasa kesal dan marah. Dia tak menyangka jika dirinya dijadikan alat untuk kepentingan perusahaan ayahnya. Hamann masih bisa mengendalikan emosinya, dia tidak bergeming sama sekali apalagi membalas bentak putranya. Hamann tahu jika Arthur akan menolak di awal. “Itulah, kamu tidak akan ingin membantu perusahaanku. Maka, lebih baik kamu ke luar dari ruanganku. Aku harus membuat proposal penawaran untuk beberapa calon investor lain,” katanya sambil membuka kembali laptop. Arthur mengacak rambut poninya dengan kesal, lalu ke luar dari ruang pribadi ayahnya. Katty yang sedari tadi menunggu di luar melihat Arthur ke luar dengan kondisi wajah yang kesal. “Ada apa?” tanyanya menghampiri Arthur. Arthur tak langsung menjawab, dia duduk di sofa ruang tengah dan menyandarkan kepalanya. Dia masih tidak percaya dengan keinginan ayahnya. Menikah dengan Laura? Wanita yang lebih tua darinya? Arthur berdecak kesal. Mungkin bukan masalah dari jarak usianya, tetapi Arthur tidak bisa menikahi wanita yang tak dikenal sebelumnya. Lagipula, dia memiliki kekasih sejak masa kampusnya, Celine. Apa yang harus dikatakan pada pacarnya itu jika dia memutuskan hubungan tiba-tiba dan langsung menikah dengan wanita lain? Celine akan berpikir jika Arthur adalah lelaki brengsek yang tidak memiliki komitmen dalam dirinya. Arthur masih terdiam, belum menjawab pertanyaan ibunya. Bibir tipisnya digigit untuk menahan amarah. Dia menggelengkan kepalanya mengingat permintaan ayahnya. “Hei, ceritakan, Nak,” ucap Katty lembut seraya mengusap rambut milik putranya yang dibentuk gaya the two block. Model rambut yang berupa cukuran pendek dan tipis di bagian sisi rambut dan bagian belakang bawahnya. Arthur melirik ke samping dan menatap wajah ibunya dalam-dalam. “Ayah memintaku menikah dengan wanita yang tidak aku kenal. Dan kau tahu Bu, dia melakukan itu demi kepentingan bisnisnya.” Kedua tangannya menutup seluruh wajah. “Siapa wanita ini? Laura?” tanya ibunya lagi. “Bagaimana Ibu bisa tau dia?” Arthur balik bertanya. “Ayahmu sudah memberitahuku tentangnya,” jawabnya. Arthur mendecak kesal lagi dan bangkit dari sofa. Kepalanya merasa pusing seketika dan satu-satunya yang bisa menenangkannya adalah kameranya sendiri. Arthur masuk ke kamar dan mengambil kameranya, dia pergi meninggalkan rumah dan pamit pada ibunya yang masih setia duduk di sofa. “Jangan pulang terlalu larut!” teriak Katty yang terdengar oleh Arthur. ~o~ Mengambil gambar, lalu dihapus kemudian. Arthur tidak bisa fokus pada kamera kesayangannya. Dia terlalu sibuk memikirkan tentang wanita yang belakangan ini menjelma masuk ke dalam pikirannya. Dan kejutan terbesarnya adalah dia dipaksa menikah dengan wanita itu. Wanita yang dilihat seperti iblis yang menjelma menjadi malaikat ketika bertemu dengan ayahnya. Walaupun Arthur tidak tahu banyak tentang Laura, tapi dia sering mendengar kabar desas-desus dunia bisnis melalui koran pagi yang selalu ia baca di Kafe. Anak kecil dengan es krim stroberi. Arthur mengambil gambarnya dan itu adalah satu dari dua belas gambar yang menurutnya bagus. Dia menyunggingkan senyuman sebelum akhirnya mengusap rambut kriting bocah perempuan yang mengenakan kaos oblong berwarna putih. “Kau sangat cantik!” puji Arthur membuat bocah kecil itu tersipu malu sambil menjilati es krim stroberinya. Arthur teringat, ketika Laura menolak untuk dibawakan roti bakar dengan isi selai stroberi. Sebenarnya dia terkekeh saat itu, melihat perempuan tidak menyukai selai stroberi, itu adalah hal yang cukup aneh. Tapi Arthur penasaran, apakah Laura juga tidak menyukai buah stroberi? Arthur tidak tahu dan dia ingin bertanya, tapi tidak mungkin untuk saat ini. [9] Freund At Cafeino [Playing music Thinking Out Loud by Ed Sheeren] Setelah kelelahan mengambil gambar di pinggiran kota, Arthur pergi ke Kafe tempatnya bekerja. Walaupun Kamis bukan hari kerjanya, dia datang sebagai pengunjung. Seperti biasa, Kamis malam adalah yang paling ramai karena mengundang Musik Solo dari Klub ternama di Hannover. Banyak pengunjung yang datang untuk menikmati musiknya, ada juga yang karena ingin menikmati secangkir kopi untuk menghilangkan rasa penat seperti Arthur saat ini. Arthur sedang duduk di bagian bar dengan kondisi yang masih sama. Kesal terhadap ayahnya, karena permintaannya tadi. Will, sahabatnya sekaligus pemilik Kafe ke luar dari ruangannya dan melihat Arthur yang menatap kosong kopinya. “Sepertinya anda butuh psikolog, Tuan?” sapanya membuat Arthur mendongak ke arahnya. Dia langsung memukul lengan Will dengan kencang membuat lelaki berkaos hitam itu merintih kesakitan. “Pecundang!” bentaknya. Arthur terkekeh, dia selalu bisa mendapatkan tawa ringan ketika bertemu dengan sahabatnya ini. Posisi duduknya berada di paling ujung dan kursi sebelahnya kebetulan kosong. Arthur tidak yakin menceritakan masalah ini padanya, tetapi dia butuh seorang teman. “Kau sedang sibuk?” Arthur menyesap kopinya yang sisa setengah. “Pekerjaanku sudah selesai,” jawabnya. Lelaki berbola mata biru itu hanya mengangguk dan menundukkan pandangannya. Dia masih sedikit ragu. “Ada yang ingin kau ceritakan?” Will seperti tahu tentang kondisi sahabatnya itu, jadi dia menawarkan. “Ayah memintaku untuk menikah,” ungkapnya. Will tersenyum lebar dan pupil matanya membesar. “Bagus kalau begitu, akhirnya kamu menikah lebih dulu daripada aku,” balasnya dengan bahagia. “Bukan dengan Celine, tapi dengan wanita lain, Will!” Arthur meninggikan suaranya, membuat beberapa pekerja mengalihkan perhatiannya pada dua lelaki itu. “APA?! Lalu dengan siapa?” Will merubah raut wajahnya seketika. “Laura, Laura Schiffer.” Will menjauhkan tubuhnya dari Arthur dan berjalan sedikit ke kanan dan ke kiri seperti orang bingung. “Jangan bilang kalau Laura yang bekerja di Siemens Group itu?!” Will mengetahuinya karena kebiasaan yang sama dengan Arthur, suka membaca koran di pagi hari. Berita di dunia bisnis mereka sangat update dan juga bermanfaat untuk menambah wawasan dalam mengembangkan Kafe ini. Arthur mengangguk pelan. Will memukul meja dengan kencang. Kali ini para pengunjung mengalihkan perhatiannya pada mereka berdua. “Maaf semuanya,” ucap Will lesu dengan menundukkan badannya dan mengajak Arthur untuk masuk ke dalam kantor. Arthur mengikuti dari belakang dan menemui Will yang tengah duduk, sepertinya dia sudah siap mendengar ceritanya. “Jelaskan padaku dari awal!” perintah Will seakan dia adalah gurunya. “Kau tahu, dua hari lalu Laura datang ke Kafe ini dan bertemu dengan ayahku.” Will semakin terkejut dan kali ini bola matanya hampir ke luar. Sedangkan Arthur hanya bergeming pelan. “Kenapa kau tidak memberitahuku jika Laura Schiffer datang ke Kafeku? God! A-aku sangat ingin melihatnya secara langsung dan melakukan be…” ucapannya terhenti. “Diam! Aku yang sedang bercerita, Will!” geramnya. Arthur tidak percaya mendapatkan respon seperti ini dari sahabatnya sendiri. Saat pertemuan Laura dengan Hamann berlangsung, Will sedang berkunjung ke rumah orangtuanya. “Oh, maaf, kau bisa lanjutkan,” balasnya dengan wajah cemberut. “Ya, dia datang atas keperluan bisnis ayahku. Kau tahu kan, perusahaan ayahku hampir bangkrut. Dia berharap agar Laura menjadi investornya, tapi…” kali ini ucapan Arthur yang terhenti. “Tentu saja dia tidak akan mau. Perusahaan ayahmu sudah parah, dan perusahaan Siemens Group tidak akan berinvestasi di tem…” Arthur memukul mejanya dengan keras membuat kalimat Will terhenti. Wajah Will terlihat seperti bocah yang ketakutan, sedangkan Arthur sudah merah sepenuhnya. Dia bangkit dari kursinya dengan raut merah di seluruh wajahnya. Kali ini Will tahu jika Arthur sangat marah. “Kawan, tenangkan dirimu!” Will mencoba untuk menenangkannya dengan memberi segelas air. Arthur mengeluarkan napasnya dengan kasar tepat di depan wajah sahabatnya. Dia masih bisa mengendalikan emosinya dengan mengambil gelas itu lalu meminumnya. “Oke … sudah tenang sekarang. Tarik napas dulu … fyuhhh … buang saja, kau perlu menenangkan emosimu dulu sebelum bercerita.” Will mempraktekkan dengan kedua tangannya. Arthur orang yang jarang marah, dan dia hanya marah pada Will, karena sahabatnya itu sangat gila. Pada dasarnya, dia lelaki yang lembut dan pandai mengendalikan diri. “Bisakah kamu tidak memotong ucapanku?!” tanya Arthur dengan tatapan dingin. Dia kembali frustasi karena permasalahannya sendiri, tapi dia butuh Will karena sarannya sangat cemerlang. Will mengangguk cepat, “oke,” balasnya. Dengan begitu, Arthur kembali keadaan semulanya dan mulai tenang. “Setelah pertemuan itu, ayahku mengurung diri di ruang pribadinya. Itu membuat ibuku khawatir dan menyuruhku untuk masuk.” Arthur memandang Will serius. “Lalu, kami berbincang dan ternyata Laura hanya berinvestasi jangka pendek dan itu tidak bisa menyelamatkan perusahaan ayahku. Lalu … ayahku bilang jika kita bisa memiliki hubungan keluarga yang baik, maka perusahaan Siemens Group-lah yang akan berinvestasi dan perusahaan ayahku akan tertolong,” tambahnya. Will mencermati penjelasan Arthur dan dia merasa sudah menemukan titik masalahnya. Will mengetahui jika Arthur memiliki pacar dan dia tidak akan melepaskan Celine bergitu saja. “Kau mau mendengar saran terbaikku?” tanya Will yang kali ini terlihat serius. Arthur tidak menyangka jika Will bisa secepat ini menyimpulkan dan memberikan saran padanya. Tidak pernah satu saran pun yang ditolak olehnya, karena Will selalu benar. “Cepat katakan!" Arthur menatap Will dengan serius seolah dia adalah mangsanya. Will diam untuk beberapa detik sampai akhirnya dia berbicara. “Kau harus menikahi Laura!” ~o~ Bulan tidak terlihat secara sempurna dan bintang-bintang juga tidak menemaninya. Malam ini adalah malam yang paling merana bagi Arthur. Bimbang karena tidak bisa mengambil keputusan yang tepat. Dia masih ragu dengan penjelasan yang disampaikan oleh Will tentang mengapa dia harus menikahi Laura. Tangannya memutar kenop pintu dan menampilkan Katty yang sedang memotong buah apel. Wanita tua itu memiliki kacamata dengan kalung yang digantung di lehernya. Arthur merasa sedih melihat ibunya yang semakin hari semakin tua. Terlebih lagi, Katty memiliki penyakit serangan jantung. Maka dari itulah, Arthur dan Hamann sepakat untuk tidak berbicara keras apalagi membentak di depannya. “Kau baru pulang,” ucapnya dengan lembut. Arthur mendekatinya dan mencium dahinya. Sekarang, dia sudah duduk di ruang tengah sambil menonton TV. Katty memberikannya potongan apel dan dengan senang hati Arthur menerimanya. “Kamu tumbuh sangat cepat, Nak. Aku jadi teringat ketika ayahmu dulu melamarku.” Senyuman kecil tercipta di bibir tebalnya. Arthur menggigit buah apel itu dan siap mendengarkan cerita ibunya. “Kami adalah teman masa kampus dan dia melamarku ketika hari wisuda. Itu sangat mengejutkan, karena kupikir dia menyukai temanku.” Katty tersipu malu mengingat masa lalaunya. “Lalu, setelah kami menikah, dia bercerita tentang impiannya membangun usaha manufakturnya, pembuatan material. Tentu saja aku mendengar semua impiannya itu dengan senang hati. Ayahmu itu sudah bekerja ketika dia masuk semester 1 dan itu membuatku kagum padanya.” Arthur masih mengunyah apelnya. “Dan kau tahu, dia berhasil melakukan itu dengan usahanya sendiri. Dia memiliki jaringan pertemanan yang bagus untuk dijadikan investor. Aku khawatir terhadapanya, karena itu baru 3 bulan pernikahan kita dan dia selalu melakukan lembur. Ketika aku memberitahu kabar baik tentang kehamilanku, dia juga memberitahu kabar baik tentang kemajuan usahanya yang pesat.” Katty mulai menitikkan air mata di pipinya yang keriput. “Malamnya, kami melakukan makan malam romantis di rumah kecil kami. Itu sangat membuat hatiku tersentuh, karena melihat dia benar-benar bahagia. Bahagia karena usahanya berhasil dan kehadiranmu di dalam perutku.” Arthur menyeka air matanya dan dia merasa hancur detik itu juga. Tapi air matanya tertahan walaupun rasanya ingin keluar. “Dia meminta saran untuk nama perusahaannya. Kemudian aku menjawab jika Hamann’s Group adalah nama terbaik. Itu karena ayahmu yang melakukan kerja kerasnya. Perusahaan itu seolah harta milik kami yang paling berharga setelah kamu, Nak.” Tangis Katty mulai pecah dan Arthur memeluknya. Dia membenamkan wajah ibunya di dadanya yang sedikit bidang. Hamann masih sibuk di kantornya, sehingga ia pulang sangat larut malam itu. Arthur membersihkan badannya dan masuk kembali ke kamarnya. Dia merasa tidak berharga saat ini. Jendela kamarnya masih terbuka lebar dan dia mengingat ucapan Will di Kafe tadi. “Dengar! Pertama, perusahaan ayahmu lebih penting dibandingkan Celine, pacarmu yang manja. Kedua, kau bisa seperti sekarang ini karena perusahaan yang hampir bangkrut itu, apa kau tega padanya? Lalu yang ketiga, Laura adalah impian bagi seluruh pria yang memiliki otak normal, bukan bodoh sepertimu. Dan yang terakhir …” Will sengaja memberhentikan kalimatnya. Arthur masih serius menatapnya dengan alis yang mengangkat. “Yang terakhir apa?” tanyanya penasaran. “Kenapa wanita seperti Laura harus menikah denganmu? Aku lebih tampan dan mempesona.” Dengan begitu, Arthur menjitak kepala Will dengan kesal. [10] Entscheidung Merasa tidak nyaman dengan tidurnya, Arthur terbangun dan menatap jendela yang terbuka sebelah. Dia bangkit dari kasur, hendak menutup jendela. Pandangan matanya teralihkan pada mobil Hamann yang baru terparkir di garasi rumah. Matanya mengernyit untuk meyakinkan bahwa itu benar ayahnya. Arthur melirik ke arah jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Ayahnya baru pulang dari kantor, karena membuat puluhan proposal penawaran untuk calon investor. Piyama tidur berwarna putih terlihat di kamar gelapnya. Dia memutuskan untuk menyambut kedatangan Hamann. Kenop pintu kamarnya dibuka dan ia berjalan menuruni anak tangga. Hamann dengan pakaian kantor yang sangat lusuh dan kantung mata hitamnya membuat Arthur semakin merasa bersalah. Arthur mendekat ketika Hamann berhasil mengunci pintu rumahnya. “Kau baru pulang?” tanyanya dengan lembut. Hamann hanya melihat kondisi putranya yang masih setengah mengantuk. Dia hanya menjawab dengan anggukan lalu jalan melewati Arthur di ruang tengah menuju dapur. Arthur tidak mengikutinya, dia hanya duduk di ruang tengah untuk menanti kedatangan Hamann kembali. Setelah menunggu Hamann membersihkan diri, Arthur memutuskan untuk pergi ke dapur karena mendengar suara piring yang bersentuhan dengan sendok. Dia berpikir jika ayahnya sedang makan. Dan benar, dia melihat dari balik tirai ruang dapur, Hamann makan dengan sangat lahap. Masakan ibunya tak pernah membuat kecewa ayahnya. Arthur teringat masa lalu yang diceritakan ibunya. Mereka benar-benar masih romantis untuk hal-hal kecil seperti ini. Arthur masih terdiam, tak ingin mengganggu Hamann yang masih makan malam. Ketika Hamann menaruh piring kotornya di wastafel, Arthur baru mendekatinya. “Ayah!” panggilnya membuat Hamann menoleh kaget. “Ada apa? Seharusnya kau tidur,” katanya. Arthur sudah duduk dan menanti Hamann yang juga ikut duduk bersamanya. Keduanya masih menatap dengan keraguan dan kebingungan. “A-aku … ber-bersedia, untuk menikah dengan Laura.” Mata Hamann terbuka lebar, dia tak percaya. Kacamata tipisnya dilepas dan memandang dengan penuh kasih pada putranya. Tak terasa, dia menjatuhkan setetes air matanya. Hamann tersenyum memandang Arthur. “Kau tidak langsung menikahinya. Laura juga akan memutuskan jika dia juga ingin menikah denganmu,” katanya sambil mengambil segelas air. Arthur sedikit menunduk karena tersipu malu, dia pikir Laura yang meminta untuk menikahinya. “O-oh, baiklah. Jadi, aku harus gimana? Membuatnya jatuh cinta padaku?” tanya Arthur dengan sedikit keberanian. Hamann tertawa, dia tak berpikir jika putranya sudah beranjak dewasa dengan sangat cepat. “Malam ini, kau ikut denganku ke acara Penghargaan Hannover. Laura akan datang dan bertemu denganmu lagi,” ucapnya dengan perasaan bahagia. ~o~ Arthur mengancingkan bagian terakhir dari kemeja biru dengan rompi hitam yang membalutnya. Matanya masih menatap ke arah cermin yang menampilkan wajah charming-nya yang terang. Rambutnya sudah tertata rapi dengan poni. Gaya rambut the two block masih dipercaya yang terbaik untuk bentuk wajahnya. Pintu kamarnya terbuka, menampilkan Hamann yang juga sudah siap dengan rompi hitamnya. Merka berdua akan pergi ke acara penghargaan yang diselenggarakan di kota Hannover. “Kau terlihat sepertiku ketika muda,” ujarnya dengan tersenyum tipis. Tubuhnya yang semakin gemuk menandakan jika sudah siap untuk pensiun dini. Tapi, ambisinya sangat tinggi, sehingga dia tak akan menyerah begitu saja. “Tentu saja, aku anakmu. Mari berangkat, Ayah!” ajak Arthur masih menatap cermin untuk yang terakhir kali sebelum pergi ke luar dari kamarnya. Keduanya bergegas menuju mobil hitam milik Hamann yang terparkir di garasi rumahnya. Artur menyetir dengan kecepatan normal, tapi hatinya berdetak cukup kencang. Hatinya tidak bisa dibohongi ketika itu berbicara soal Laura. Dia cukup gugup sekarang karena akan melihat wanita itu lagi untuk ketiga kalinya, oh salah. Tapi yang keempat kalinya, karena setelah pertemuan pertama, dia memimpikan wanita itu di malam harinya. Arthur merasa udara Hannover kali ini lebih dingin dari malam sebelumnya. Dia tidak tahu apa itu hanya perasaannya saja atau kenyataannya seperti itu. Tapi melihat ayahnya dengan santai menatap lalu lalang dari jendela samping membuat dia sedikit tenang. Setelah mengemudi selama dua puluh menit, mereka sampai di sebuah gedung besar. Hamann yang ke luar dari mobil lebih dahulu, menatap gedung dengan penuh harapan. Berharap jika perusahaan yang sudah ia bangun selama karir hidupnya bisa bangkit dari kegelapan yang menyedihkan. Arthur yang baru keluar, melihat Hamann yang sepertinya akan menjatuhkan setetes air matanya lagi. “Ayah!” panggilnya. Hamann menyadarinya dan mulai berjalan masuk ke dalam gedung bersama Arthur. Karpet merah tergelar dengan sempurna di depan pintu masuk gedung. Arthur menatap dengan kagum hiasan yang didekorasi dalam ruangan besar itu. Matanya tidak berkedip. Sedangkan Hamann langsung menyalami beberapa rekan bisnisnya. Arthur seperti patung, dia tidak bergerak setelah memasuki ruangan itu. Matanya mencari sosok ayahnya yang masih dikerumuni beberapa rekan bisnisnya. Tiba-tiba semuanya berhenti bergerak dan suara-suara mulai mengecil. Arthur sedikit terperangah, karena orang-orang yang berkerumun seperti menantikan kedatangan seseorang yang baru datang. “Aku tidak percaya wanita itu akan datang,” ucap salah seorang. “Dia datanga jauh dari Berlin, kurasa ada suatu kepentingan,” balas temannya. “Lihat, dia sangat cantik, padahal dia terlihat seperti nenek sihir.” Beberapa kalimat yang didengar oleh Arthur, membuat dia semakin penasaran tentang siapa yang mereka bicarakan. Dia melangkah perlahan mendekati pintu utama. Beberapa poni rambutnya sedikit terhempas karena terkena angin, mulutnya terbuka karena matanya terbelalak melihat seorang wanita dengan high heels berwana hitam dan dress berwarna sama. Lehernya dibiarkan terbuka, membuat kulit putih susunya terlihat. Wanita itu berjalan seperti sudah terlatih sebagai model. Pinggulnya bergoyang dengan cara yang elegan, tapi tidak menarik perhatian sensual. Melainkan memperlihatkan sikap dinginnya yang semakin memuncak. Arthur merasa kering di tenggorokannya, dia menelan ludah dengan usaha maksimal. “Selamat malam Nona Laura, kau selalu terlihat cantik dan muda,” ucap seorang lelaki yang memiliki badan gemuk. Dia adalah pengusaha tekstil di Hannover, Harley Scott. “Terima kasih Tuan Harley,” balasnya degan suara halus. Arthur masih menatapnya dengan diam. Tanpa melihat sekelilingnya yang semakin sedikit karena bersiap unuk menempati tempat duduk. Laura masih berbincang dengan pengusaha itu. Hamann yang sedari tadi berada di belakangnya, menepuk pundah Arthur. Jarak mereka cukup jauh dengan Laura, tapi pancaran cahayanya tidak berkurang sama sekali. Arthur sangat kagum melihat wanita itu. Artur menoleh pada ayahnya dan dia melihat Hamann yang mencoba untuk menghampiri Laura. Dia hanya memperhatikan tingkah laku Hamann yang mulai berbicara dengan Laura seperti teman akrab. Arthur tidak mengetahui pembicaraan yang dilakukan ayahnya dengan Laura karena mereka sedikit berbisik. Ayahnya menunjuk padanya agar Laura melihat ke arahnya. Arthur sedkit gugup karena hal sepele itu, dia tidak berani untuk menghampiri mereka berdua. Akhirnya, Laura dan Hamann yang menghampirinya dengan senyum merekah. “Nah, saya tidak perlu memperkenalkan kalian lagi ‘kan,” kata Hamann melirik Laura dan Arthur secara bergantian. “Se-selamat malam, Nona Laura,” sapanya sedikit gugup. Laura terkekeh di dalam hatinya. Arthur yang mengulurkan tangannya disambut dengan baik oleh Laura. “Malam juga, saya tidak menyangka kamu akan ikut dengan ayahmu.” Laura berbicara dengan santai, tidak ada kegugupan sama sekali yang ditampilkan olehnya. “Saya sengaja mengajaknya. Siapa tau dia memiliki ketertarikan dalam dunia bisnis,” jawab Hamann karena dia tahu, putranya tidak bisa menjawab. “Oh, itu sangat bagus. Kalau begitu, saya permisi dulu,” pamit Laura seraya melenggang pergi meninggalkan kedua lelaki yang memiliki hidung dan mulutnya serupa. Hamann mengajak Arthur untuk duduk di kursi yang sudah disediakan. Acara pun berlangsug dan beberapa kategori pemenang telah naik ke atas panggung secara bergantian. Laura hadir sebagai tamu dan dia juga mendapatkan penghargaan sebagai perwakilan Siemens Group. Acara penghargaan itu selesai dan seperti biasa mereka akan makan malam bersama rekan bisnisnya. Laura yang tidak memiliki keperluan lain selain bertemu dengan Hamann menjumpainya. Mereka bertiga duduk dan mulai makan bersama di meja bundar yang sama. [11] Hochzeit Ich verstehe nicht einmal, ist es das, was ich im Leben will? Saya bahkan tidak mengerti, apakah itu yang saya inginkan dalam hidup? ~o~ Mereka masih sedikit canggung, terkecuali Hamann yang menjadi penengah antara keduanya. Steak yang disajikan tidak terlalu menarik perhatian, jadi mereka hanya minum dan berbincang santai. “Oh, apakah aku harus meninggalkan kalian untuk berbincang?” tawar Hamann melirik pada Laura. Wanita itu kini menjadi gugup, dia sudah mengetahui rencana Haman. Dia juga cukup terkejut pagi ini mendapat pesan teks dari pemilik Hamann’s Group itu. Laura hanya mengangguk dan tersenyum. Dia tidak tahu harus bicara dari mana dengan Arthur. Setelah akhirnya Hamann pergi, Laura menatap Arthur yang berada tepat di hadapannya. Lelaki itu menyatukan kedua tangan di atas meja. Laura bisa melihat jika dia sedang gugup juga. “Jadi … kamu setuju untuk menikahiku?” “Jika kamu bersedia, aku akan melakukannya,” jawab Arthur dengan perasaan yang tak karuan. Dia mengatakan seolah hatinya juga menginginkan hal itu. Menikah dengan Laura. Setelah melihat secara detail dan privasi Laura seperti ini, Arthur merasa semua perkataan Will benar adanya, termasuk jika ia lelaki yang bodoh jika tisak menginginkan Laura. “Apakah kita perlu mengenal satu sama lain lebih jauh sebelum akhirnya menikah?” tanya Laura lagi. Posisi mereka berada di sudut dan suaranya tidak terlalu menarik perhatian banyak orang, sehingga bisa bebas untuk membicarakan hal ini. “Aku rasa kita bisa mengenal satu sama lain setelah menikah. Ta-tapi, apakah kamu mau menikah dengan lelaki sepertiku? M-maksudku … lihatlah aku! mahasiswa semester akhir yang belum memiliki karir cemer…” ucapannya terpotong. “Aku tidak memperdulikannya,” balas Laura dengan mata yang mengintimidasi, membuat lelaki itu sedikit menundukkan pandangan. “Dengar Arthur! Kakekku menginginkanku untuk menikah dengan siapapun yang aku mau. Dan … aku mau itu menjadi kamu.” Jantung Arthur semakin berdegup kencang setelah mendengar jawaban Laura. Dia tidak tahu kenapa hal ini terjadi. Apakah karena merasa takut melihat mata dinginnya atau gerogi karena bersama dengan wanita yang pernah ia lihat di Koran pagi beberapa kali. Tiba-tiba Hamann datang dengan membawa makanan penutup. Tapi dia melihat ketegangan yang ditampilkan oleh keduanya. “Hei, jadi bagaimana dengan kalian?” tanya Hamann yang mulai duduk di samping Arthur. Dia sedikit tertawa ringan untuk memecahkan ketegangan yang tercipta. “Itu berjalan baik, Ayah,” jawab Arthur. Laura tidak bisa percaya jika lelaki itu bisa kembali tenang ketika kehadiran ayahnya. “Jadi, apakah kamu setuju Laura?” Hamann melirik ke arah Laura yang tidak lagi mendominasi dalam perbincangan. Laura kembali tersenyum. “Ya, ini berjalan dengan sangat cepat. Kami akan menikah minggu depan,” balasnya dengan percaya diri. Arthur lagi-lagi membelalakkan matanya menatap Laura. Dia tidak percaya jika wanita ini sangat ingin menikah dengannya. Tapi dia juga tidak bisa berkomentar tentang tanggal pernikahan itu. “Y-ya, benar. Kita akan menikah minggu depan.” Arthur menatap yakin pada Laura yang kini mengukir senyum yang menenangkan hatinya. Hamann melebarkan senyuman dan memukul punggung putranya pelan. “Selamat untuk kalian berdua!” ~o~ Hari-hari menuju tanggal pernikahan adalah yang paling menegangkan bagi Laura. Dia masih harus bekerja di perusahaan, karena dia belum memberitahu pada pamannya dan juga semua rekan bisnis. Sekembalinya dari Hannover malam itu, Laura menginap di rumah Jon Schiffer dan memberitahu kabar pernikahannya. Kakeknya sangat senang malam itu, dia merasa lega karena sudah bisa melepaskan Laura dengan tenang. Dan hari ini, tepat dua hari sebelum pernikahannya berlangsung. Laura mengetuk pintu Direktur Utama Siemens Group, pamannya sendiri. Sekretarisnya, Wiliana mengijinkannya untuk masuk. Tyson duduk di kursi hidrolik hitam yang berputar ke arahnya. “Ada apa Laura, keponakanku tersayang?” Tyson memberi sedikit gurauan padanya karena Laura masih terlihat dingin. Mata Laura melirik tajam pada Wiliana yang selalu berada di samping Tyson. “Bisakah kau ke luar sebentar? Ini urusan pribadi,” katanya dengan nada sarkas. Wiliana yang sudah hafal degan sifat Laura, hanya menuruti perintahnya tanpa menjawab sepatah kata pun. Pintunya sengaja ditutup dengn kencang oleh Wiliana, yang berarti dia marah atas perlakuannya. Tyson masih bersandar pada sandaran kursinya dan Laura mulai berani duduk ketika Tyson menyuruhnya. “Mungkin kabar ini akan mengejutkan bagimu,” ucapnya memulai pembicaraan. Tyson masih bersikap santai menanggapinya, karena Laura akan selalu serius dalam menghadapi semua hal yang baginya tidak terlalu penting. “Aku akan menikah dua hari lagi.” Tyson menegakkan badannya, tak lagi bersandar. Mata dan telinganya sama-sama terkejut. Dia berharap tidak salah dengar, karena inilah yang dia inginkan. Melihat Laura menikah, lalu pergi jauh dari perusahaan dan tidak mengganggu atau mengacaukan setiap langkah yang dia buat di Siemens Group. “Oh Tuhan! aku tidak salah dengar ‘kan? Ini kabar bahagia, kenapa kamu baru memberitahuku sekarang, Sayang?” Tyson mengusap seluruh wajahnya, menampakkan wajah bahagia yang sebenarnya karena dia menginginkan Laura pergi dari kehidupannya. “Tidak, kamu tidak salah dengar. Aku akan menikah, jadi datanglah bersama sekretarismu itu yang cantik,” katanya seraya bangkit dari kursi. Tyson berpura-pura bingung dan menaikkan sebelah alisnya. Sebelum akhirnya Laura membuka pintu, dia membalikkan badannya dan menatap sekali lagi pada Tyson. “Oh satu lagi. Setelah menikah, aku akan tetap berada di kantor. Jadi, jangan berharap jika aku akan pergi meninggalkan perusahaan.” Laura tersenyum licik padanya lalu memutar kenop pintu. Betapa terkejutnya dia melihat tubuh Wiliana yang menunduk karena mencoba untuk mengintip dari lubang pintu. Dengan perlahan, dia berdiri dan bertemu dengan mata Laura yang tajam. “U-uh, a-aku tidak bermaksud…” Laura meninggalkannya tanpa mau mendengar jawaban yang dilontarkan dari mulut wanita itu. Wiliana kesal dan mulutnya mencaci Laura dengan perkataan yang kotor setelah kepergiannya. Dia segera masuk ke dalam ruangan Tyson dan melihat wajah frustasinya. ~o~ Matahari malu untuk menampakkan dirinya di waktu yang sudah menjelang siang, tepatnya jam sepuluh. Atau mungkin matahari sengaja tidak ingin muncul karena tidak ingin melihat kecantikan Laura yang dibalut dengan gaun panjang berwana putih dengan hiasan mahkota di kepalanya. Matahari takut meleleh melihat keindahan makhluk ciptaan Tuhan yang hampir sempurna. Laura Schiffer, berdiri di samping kakeknya, Jon Schiffer. Tangannya dikaitkan pada lengan Jon. Mereka mulai berjalan di atas karpet merah secara perlahan. Matanya hanya terfokus pada satu titik, bola mata biru Arthur yang tengah menunggunya di ujung lorong. Laura menikahi pria yang lebih muda darinya, agar bisa mengendalikannya. Dia melihat Arthur adalah orang yang mudah diatur dan berhati baik. Jauh di lubuk hatinya, dia tidak mencintai Arthur, karena dia tidak tahu apa itu cinta. Dia hanya tahu rasa kasih sayang yang diberikan oleh kakek dan orangtuanya dulu. Dan dia tidak memiliki rasa itu padanya. Di sisi sepanjang karpet terdapat hiasan bunga-bunga yang tertata rapi. Tidak banyak orang yang menghadiri acara itu selain karyawan dan rekan bisnisnya yang sedikit. Sedangkan dari Arthur sendiri, dia tidak ingin memberi kabar pernikahan pada mantan kekasihnya, Celine. Dia hanya mengundang keluarga dan sahabat dekatnya, Will. Perjalanannya sudah sampai. Jon memberikan tangan Laura pada Arthur. Keduanya saling memandang dan sudah dipastikan jantung mereka bekerja lebih cepat dari biasanya. Setelah kalimat janji diucapkan oleh satu sama lain, mereka sudah sah menjadi sepasang suami istri. Tepuk tangan riuh hadir dari tamu-tamu yang datang. Dan sekarang saatnya Arthur mencium kening Laura. Laura yang gerogi hanya menunggu Arthur melakukannya. Sedangkan Arthur harus mengumpulkan keberaniannya terlebih dulu sebelum akhirnya bibirnya menyentuh dahi Laura. Tepuk tangan kembali terdengar dan siulan yang tiba-tiba muncul, membuat semua orang menatapnya. Mereka yang hadir merasa canggung untuk melakukan itu karena Laura orang yang cukup sensitif. Tetapi ketika tahu siulan itu berasal dari Will, Arthur terkekeh dan diikuti dengan Laura. Setelah menyelesaikan sesi foto, keduanya terlihat mencoba untuk memancarkan aura bahagia yang hadir murni dari hatinya masing-masing. Beberapa tamu mulai naik menuju pasangan untuk menyalaminya. Mengucapkan selamat yang Laura yakin tidak ada yang murni kecuali orang-orang terdekatnya. Dia tahu siapa yang asli dan siapa yang munafik, itu keahliannya. [12] Umzug Manchmal stimmt das Herz nicht mit dem Verstand überein. Sei also vorsichtig, oh brüchiges Herz. Terkadang hati tidak sejalan dengan pikiran. Jadi, berhati-hatilah wahai hati yang rapuh. ~o~ Acara pernikahan yang berlangsung selama lima jam itu memang tidak semenarik seperti pernikahan biasanya. Tetapi, bagi Laura dan Arthur, lima jam itu adalah waktu yang berarti untuk keberlangsungan masa depan mereka. Semua rasa bercampur menjadi satu membentuk sebuah emosi yang sulit dijelaskan. Setelah acara itu selesai, Arthur harus kembali terlebih dahulu untuk mengambil semua barang termasuk pakaiannya di rumah. Pernikahan itu berlangsung di Berlin, sehingga Arthur pergi bersama kedua orangtuanya dan pamit dengan keluarga Laura. Hal itu sudah direncakan oleh Arthur sendiri, dia ingin meninggalkan rumahnya dalam kondisi sudah menikah. Hamann mengendarai mobil hitam kesayangannya. Mereka dikawal oleh supir pribadi Laura dari belakang yang nantinya akan membawa kembali Arthur ke rumah pribadi Laura. “Bagaimana perasaanmu, Arthur?” tanya Katty yang duduk di sebelah Hamann. Arthur duduk di kursi belakang sendirian. Baju pernikahannya masih terpakai, tetapi poni rambutnya sedikit berantakan. “A-aku … bahagia, seperti kalian sekarang,” tukasnya dengan keringat yang masih setia di dahinya. “Terima kasih, Nak.” Hamann kali ini berkata dengan hati yang tulus. Perbincangan yang mereka lakukan dengan keluarga Laura, terutama Jon Shiffer sangat menguntungkan baginya. Perusahaannya selamat dari kebangkrutan dan karyawan setianya yang hampir meninggalkannya. Hamann tidak bisa egois ketika membicarakan tentang para karyawannya, karena mereka sudah bekerja sejak dia membangun perusahaan itu. Dan semua karyawannya itu sudah tidak mendapatkan haknya selama 3 bulan selama masa-masa krisis. “Kamu harus menjaga dan menyayangi wanita hebat itu, seperti kamu melakukannya pada Ibu, Nak,” ujar Katty melihat Arthur dari kaca yang ada di depannya. Arthur merasa hatinya tergugah. Sebegitu istimewanya-kah Laura sehingga kedua orangtuanya menginginkan dia untuk menjaganya? Arthur tahu, orangtuanya bukan orangtua yang kejam karena melakukan hal ini padanya. Tetapi Arthur tidak tahu kenapa mereka harus menyayangi Laura seperti anaknya sendiri jika pernikahan ini berlandaskan hubungan bisnis. “Arthur, jika kamu merasa menikahi Laura karena bisnis, ayah mohon untuk kamu membuang pikiran itu jauh-jauh, Nak.” Arthur tertegun dan tersadar dari lamunannya. Ayahnya mengetahui tentang isi kepalanya. Dia mengangkat wajahnya dengan lesu. “Jujur, Laura itu wanita yang baik hati. Untuk apa dia datang menemuiku jauh-jauh dari Berlin hanya untuk mengatakan jika ia memiliki ketertarikan denganku karena aku mirip ayahnya? Dia wanita yang rapuh, terlalu rapuhnya membuat dia menjadi wanita yang terlihat kejam.” Hamann masih memandang Arthur sesekali dari kaca depannya. “Bisnis ini hanya kebetulan. Itu seakan takdir yang mempertemukan kamu dengannya.” “Oke aku jujur, aku senang mendapatkan investor besar seperti perusahannya. Tapi aku juga merasa senang jika kamu menikah dengan Laura,” tambahnya lagi. Arthur masih terdiam, dia merasa perkataan Hamann hanya untuk menenangkan suasana hatinya yang masih labil. “Tenang saja, Ayah, Ibu. Aku akan melakukan apa yang kalian katakan. Tidak usah terlalu memikirkanku, oke?” Arthur menenangkan keduanya. Raut wajahnya berubah sedikit baikan. Perkataan Hamann, Katty dan Will akan selalu diingat dalam memorinya. Karena jujur saja, Arthur mempercayai ketiganya dalam mengambil keputusan hidup. Tiga jam perjalanan telah dilalui. Tidak mengira jika di Hannover memiliki cuaca yang lebih bagus dari Berlin. Hamann masuk ke dalam rumah setelah berhasil memarkirkan mobilnya di garasi. Dia mempersilakan masuk supir itu, tetapi dia menolak dan memilih untuk tinggal di dalam mobil. Katty membantu Arthur untuk memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Tidak semua pakaian dia bawa, melainkan hanya yang menurutnya nyaman dan terlihat bagus. Karena setelah ini, dia akan dipandang dalam dunia bisnis sebagai keluarga Schiffer. “Baju ini terlihat buruk, Nak. Lebih baik tak usah dibawa,” kata Katty seraya merebut kaus oblong berwarna coklat. Baju itu biasa dipakai Arthur untuk tidur. “Tidak Bu, ini baju yang nyaman. Aku akan membawanya satu untuk tidur, oke?” Katty mengalah dan membiarkan putranya melipat baju itu. Semuanya sudah siap. Arthur memandang kamarnya untuk kesekian kalinya. Dia tak menyangka akan menikah secepat ini dengan wanita yang baru dikenalnya. Tapi dia juga tidak bisa egois dengan menolak pernikahan itu. Rasa sayangnya lebih besar terhadap orangtuanya daripada Celine, yang kini sudah menjadi mantan kekasihnya. Bahkan Arthur tidak percaya jika wanita itu tidak menghubunginya lagi setelah hari Arthur memutuskannya. Mata Katty sudah mulai berair, seakan itu akan pecah dalam waktu dekat. Arthur tidak tega melihat pemandangan itu. “Bu, jangan bersedih! aku akan mengunjungimu sesering mungkin, oke?” Arthur memeluk ibunya. Dia juga tak kuasa menahan rasa sedihnya karena harus meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat persinggahannya. Hamann hanya bisa menyaksikan kejadian itu, dia tak ingin terlihat sedih walau hatinya merasakan hal yang sama dengan Katty. Arthur adalah anak satu-satunya mereka. Yang terakhir, Arthur memandang Hamann yang sedari tadi hanya berdiam diri. Tangannya terbuka siap untuk memeluk Hamann. Tinggi mereka sama, sehingga itu terlihat seperti dua saudara kembar yang saling berpelukan. “Ingat selalu pesanku. Jaga dirimu baik-baik,” pesan Hamann pada putranya. Arthur mengangguk dan tesenyum. Ia berjalan membawa koper hitam besar ke luar rumah. Greg yang melihat kedatangan Arthur, mengambil alih koper itu dan memasukkannya ke dalam bagasi. “Sampai jumpa, Ayah dan Ibu,” pamit Arthur seraya masuk ke dalam mobil. ~o~ Gemerlap kota Berlin sangat indah di malam hari. Jejeran lampu pinggir jalan membuat jalanan gelap menjadi lebih terlihat cantik. Cuacanya masih sedikit buruk, gerimis serta angin kencang menerjang. Beberapa kedai sengaja menutup dagangannya lebih cepat dari biasanya. Greg masih setia dengan diamnya yang membuat hati Arthur tambah gugup. Sekarang Arthur sendirian datang ke rumah Laura Schiffer yang seharusnya bisa disebut dengan istilah Istana. Mata Arthur mengagumi bangunan besar itu sedari tadi. Dia tak menyangka akan mendiami tempat sebesar ini sebelumnya. Greg membukakan pintu mobil untuknya dan dia merasa risih karena tak terbiasa mendapat perlakuan seperti itu dari siapapun. “Kamu bisa langsung masuk, Tuan Arthur,” ucapnya dengan menundukkan badan. Tuan? Arthur terkekeh dalam hatinya. Dia hanya mengangguk dan tak ketinggalan senyuman untuk supir itu. Greg telah meninggalkannya dengan membawa mobil menuju turunan bawah rumah itu. Dia yakin, pasti rumah ini memiliki bagasi di ruang bawah tanah, tidak berpikir tentang berapa jumlah mobil yang dimiliki Laura. Arthur masuk dengan langkah kaki yang masih ragu. Tiba-tiba pintunya terbuka dan menampilkan perempuan yang tidak dia kenal namanya. Dia pernah melihatnya di acara pernikahannya tadi, tapi dia belum mengenalnya. Perempuan itu mendekatinya dengan senyum manis di bibirnya yang sedikit tebal. “Ayo masuk! Sekarang ini akan menjadi rumahmu juga,” katanya dengan lembut. Perempuan ini benar-benar sopan, tapi Arthur yakin jika usianya lebih tua darinya. “Owh, aku lupa memperkenalkan diri, dan aku yakin Laura belum memberitahu tentangku,” katanya lagi seraya menggandeng tangan Arthur masuk ke dalam rumah. Keduanya berjalan masuk dan bersiap duduk di ruang tengah. “Aku Fiona, sahabatnya Laura. Aku sudah menikah, tapi belum memiliki anak. Kami teman semasa kampus dulu.” Fiona menceritakan seolah Arthur adalah temannya. Perempuan itu masih melihat Arthur dari bawah hingga atas. “O-oh, baik Fi-fiona. Aku Arthur Hamann,” ucap Arthur memperkenalkan dirinya. Fiona hanya tertawa ringan melihat tangan lelaki itu yang siap berjabatan. “Hei, aku sudah kenal kamu.” Fiona bangkit dan melihat Laura yang masih cantik degan gaun pengantinnya. Dia banyak mengambil sesi foto dengan Fiona dan beberapa teman semasa sekolahnya yang baru datang setelah acara pernikahan berakhir. “Ah, pengantin wanitanya sudah ke luar. Jadi … aku harus segera pulang. Aku pamit yah, Arthur. Sampai jumpa Lauraaaaa ….” Laura melihat kepergian sahabatnya dan matanya teralihkan pada Arthur yang masih terkaku di sofa panjangnya. Arthur juga masih mengenakan jas pernikahan. Laura mendekatinya dengan langkah kaki yang gemulai. “Kamu bisa bawa masuk barang-barangmu ke dalam kamar itu. Ada kamar mandi juga di dalamnya jika kau ingin mandi.” Laura menunjuk pada pintu berwarna putih dengan gagang berwarna silver. Dia tidak yakin jika Arthur akan tidur di kamarnya, tapi dia teringat jika tidak memiliki kesepakatan setelah pernikahan. “Terima kasih, Laura,” balasnya. Dia sudah memutuskan untuk berhenti memanggil wanita itu dengan sebutan awal ‘Nona’. Laura meninggalkannya kembali ke arah belakang rumah. Arthur berusaha menarik kopernya dengan sekuat tenaga karena tenaganya sudah terkuras untuk perjalanan dari Hannover ke Berlin. Kenop pintu ditarik ke bawah dan matanya terbelalak melihat kamar yang sangat mewah dan indah. Tidak ada keringat yang mampir di sekujur tuubuhnya karena suhu di rumah itu sangat dingin. Walau cuaca Berlin cukup dingin, tapi rumah itu tetap menjaga kestabilan suhunya dengan AC. Kopernya di letakkan dan dia membukanya untuk memasukkan beberapa pakaian ke dalam lemari. Ketika menggeser lemari berukuran besar berwarna silver itu, dia sedikit terkejut karena melihat pakaian dalam yang dia yakini adalah milik Laura. Lemari kembali ditutup dengan cepat dan jantungnya kembali berdetak dengan cepat. Tangannya mengusap-usap lembut dadanya yang sedikit bidang. Matanya membesar dan Arthur memutuskan untuk tidak memasukkan pakaiannya dulu ke lemari. Akhirnya dia mengambil pakaian ganti untuk dibawa ketika mandi. 15 menit kemudian, Arthur ke luar dari kamar mandi dengan menggunakan piyama hitamnya. Dia membaringkan tubuhnya di atas kasur yag ukurannya besar. Sprei serta selimutnya berwarna putih. Itu terlihat seperti baru diganti. Rasanya nyaman, karena empuknya kasur itu. Dia mulai memejamkan matanya karena jujur dia sangat mengantuk. Pintu kamarnya terbuka dan itu mengejutkan Arthur, sehingga sontak dia bersandar pada bagian kepala kasur dengan bola mata birunya yang melebar. Laura dengan gaun pernikahan yang masih terpakai. “Oh maaf, apa aku mengejutkanmu?” Arthur menggeleng dengan cepat. “Ok, aku akan pergi mengambil pakaian dan pergi mandi,” katanya lagi dengan berjalan menuju lemari pakaiannya. [13] Nach der Hochzeit Laura terbangun ketika mendengar dengkuran kecil yang diciptakan oleh seseorang di sampingnya. Matanya terbuka dan melihat Arthur masih sama dengan wajah polos dan mata tertutup. Semalam, ketika dia selesai mandi, Arthur sudah terlelap tidur sehingga ia tak bisa berbincang dengannya. Laura tidak menyangka akan tidur di sebelah lelaki yang baru dikenalnya kurang dari sebulan. Dahinya berkeringat, dia menarik napas dan melihat fitur wajah Arthur dengan jelas. Dia kecewa tak bisa melihat bola mata birunya yang menarik. Bajunya terbuat dari satin sutera berwarna putih, dia tidak punya pilihan selain mengenakan itu. Telapak kakinya turun menginjak lantai yang begitu dingin. Laura mematikan AC dan segera menuju meja laptopnya yang berada di sudut ruangan. Layar laptop terbuka dan sinarnya menyilaukan matanya yang masih terkantuk. Tapi dia tidak bisa melewatkan pekerjaannya begitu saja setelah menikah. Rapat pagi ini cukup penting dihadirinya, dia tak ingin Tyson memutuskan sesuatu yang tidak baik untuk masa depan perusahaan. Dia hanya menambahkan beberapa slide pada presentasinya. Setelah melakukan pekerjaan yang memakan waktu, Laura melihat pada jam dinding yang menunjukkan pukul 5 pagi. Matanya melirik sekali lagi pada Arthur yang masih nyenyak dengan tidurnya. Koper hitam mencuri perhatiannya, dan dia yakin itu milik Arthur. Laura kembali pada laptopnya yang sudah mati karena sudah menyelesaikan bahan presentasi meeting. Perkataan Fiona kemarin sore terngiang di dalam pikirannya. “Jangan pernah menjadikan dia seperti pelarianmu, Laura. Dia juga manusia yang memiliki kehidupan dan impian. Tolong jangan buat dia menderita karena menikahimu.” Matanya terpejam, mengingat tujuan dan rencana yang dia bangun sendiri di dalam dirinya setelah menikahi Arthur. Dia tidak ingin menikah, tetapi kenyataan membawanya untuk melakukan itu. Tidak ada pilihan lain selain menjalani takdir. Tapi dia mempunyai pegangan sendiri, dia tak akan melakukan apapun yang dilakukan layaknya sepasang suami istri. Dia akan menjadikan Arthur hanya sebatas teman rumah, tidak lebih. Laura tidak ingin Arthur mengendalikannya karena dia seorang suami. Tapi sebaliknya, Laura yang berkuasa di rumahnya, tidak ada bulan madu ataupun yang lainnya. Dia rasa Arthur memahaminya, lagipula dia tidak tahu bagaimana perasaan Arthur setelah menikahinya. Laura merasa semakin frustasi. Dia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi untuk merendam dirinya. Sinar matahari mulai terlihat, Arthur mengernyitkan dahinya dan perlahan matanya terbuka. Tidurnya sangat lelap sehingga dia bisa merasakan seluruh tubuhnya segar bugar. Ruang besar dengan dinding warna hitam yang mendominasi mengalihkan perhatiannya. Dia tersadar jika sudah menjadi seorang suami dari seorang Laura Schiffer. Bahkan dia sendiri tidak ingat jam berapa dia tertidur, yang dia ingat adalah sepasang senyuman Laura yang ke luar dari kamar. Tubuhnya merasa hangat dan dia melihat AC yang sudah mati. Tubuhnya disandarkan pada kepala kasur dan ponselnya diambil untuk mengecek berapa pesan teks yang masuk. Tidak ada. Arthur telah menghapus dan mengganti kartunya pada hari sebelum pernikahan. Dia mengakui dirinya pantas disebut sebagai Pecundang. Dia teringat dengan reaksi Celine ketika diputuskan. Wanita itu bahkan tidak membujuk atapun menangis di hadapannya, sungguh aneh. *Krreekkk* Pintu terbuka dan menampilkan Laura dengan kimono putihnya dengan rambut basah terurai. Arthur terpana dibuatnya, wanita itu masih terlihat cantik dengan hanya mengenakan pakaian itu. “Oh, maaf. Aku tidak terbiasa ada orang di kamarku,” katanya dengan mencoba kembali menutup pintu. Arthur bangkit dari kasurnya dan mencoba untuk mendekat. “Tidak, aku yang akan ke luar.” Keduanya merasa canggung. Mereka berpapasan di depan pintu tanpa saling pandang. Arthur yang sudah di luar kamar merasa dirinya bodoh. Dia mengusap kasar rambutnya dan berjalan menuju sofa. Waktu berlalu beberapa menit dan Laura ke luar dengan pakaian kantornya yang menyegarkan. Kemeja berwarna kuning dengan rok hitam, itu terlihat sangat elegan. Rambutnya terkuncir kuda dengan kunci mobil yang siap di genggamannya. “Kau pergi ke kantor?” tanya Arthur terheran setelah melihat pakaian Laura. “Ya, apa ada masalah?” Laura mulai merasa tidak canggung berbincang dengannya. “Ti-tidak, maksudku, kamu baru saja menikah dan bagaimana bisa…” Arthur menghentikan ucapannya setelah melihat mata dingin wanita itu tiba-tiba muncul. “Pekerjaanku adalah yang terpenting. Aku harap kamu bisa menerima itu,” ucapnya seraya melenggang pergi. Untuk kesekian kalinya Arthur dibuat terpana dengan semua tingkah laku yang dibuat Laura. Kali ini dia sangat menyetujui ucapan Will seratus persen. Semua lelaki normal menginginkannya untuk dinikahi dan dia sekarang merasa termasuk lelaki normal seperti yang dikatakan sahabatnya. ~o~ Ketukan sepatu Laura menggema di lorong lantai 18 Siemens Group. Lantai itu cukup sepi karena rapat sudah dimulai 15 menit yang lalu. Semakin dekat dengan ruangan yang dituju, semakin besar suara tawa orang-orang yang menghadiri rapat pagi itu. Laura memutar kenop pintu dan semuanya menjadi senyap. “Selamat pagi. Maaf saya terlambat. Lalu lintas semakin padat pagi ini,” sapanya. Semua orang tercengang terutama Tyson yang sedari tadi tertawa paling keras. Direktur itu membuka sedikit mulutnya dan Wiliana menyenggol bahunya pelan disaat semua mata tertuju pada Laura. “Uh, saya pikir kamu tidak hadir. Kamu perlu istirahat setelah melangsungkan pernikahan, Laura.” Tyson kembali normal dan berbicara dengan formal. “Itu tidak jadi masalah untuk saya, Tuan Tyson. Saya bisa mengatasinya, dan presentasinya sudah siap di sini.” Laura mengangkat sebuah flashdisk berwarna hitam. Semua pandangan masih tertuju padanya ketika menggapai kursi paling ujung. Wiliana yang berada di sampingnya memasang wajah kesal karena merasa kecantikannya tertandingi. Laura memasukkan flashdisk pada Laptop Tyson. Tidak ada suara yang tercipta di antara mereka. Proyektor menyala dan menampilkan presentasi yang sudah disiapkan. Rapat pun dimulai dengan tenang. Setelah tiga orang melakukan presentasi, sampailah pada keputusan terakhir yang disampaikan Laura. Perusahaan Laduardu yang tengah hadir tidak bisa menjalin hubungan kerjasama karena perbedaan visi dan juga kesetaraan asset yang tidak sebanding dengan Siemens Group. Orang-orang yang menjadi perwakilan merasa kecewa karena proposal mereka berbeda dari yang disampaikan oleh Tyson sebelumnya. Akhirnya terjadilah perseteruan yang memanas di ruangan itu. “Saya tidak bisa terima dengan ini. Kami sudah datang jauh dari Inggris untuk kerja sama yang saling menguntungkan. Pernyataan perusahaan kalian berbeda dan aku merasa dikecewakan, terutama dengan anda Nona Laura,” kata Frank, ketua divisi marketing perusahaan Laduardu. “Maaf Tuan Frank. Saya tidak pernah menjanjikan anda sebelumnya dan inilah keputusan yang sesuai. Saya sudah menjelaskan mengenai perbedaan perusahaan kita dari segala macam aspek.” Laura membela dirinya dan perusahaan. Dia tidak mau perusahaan ini semakin menurun ke depannya karena keputusan dan janji palsu yang sering dibuat Tyson. “Tenang dulu semua! Laura, aku Direktunya dan aku yang seharusnya memutuskan,” sela Tyson dengan nada tinggi. Frank kembali duduk setelah dia menatap tajam pada Laura. Sedangkan Laura masih mengendalikan dirinya. “Saya sudah memaparkan perbedaan di antara kedua perusahaan, Tuan Tyson. Itu sangat jelas tergambar,” bantahnya. “Tapi aku yang masih memegang kendalinya, Laura. Terima kasih atas presentasi yang kamu buat.” Laura memutar bola matanya dan kembali fokus pada kertas di depannya. “Maaf Tuan Frank. Sepertinya kami harus menunda rapat ini untuk beberapa hari ke depan. Kami akan mengadakan rapat internal dahulu, sebelum menerima proposalmu. Sekali lagi aku minta maaf,” kata Tyson dengan lembut. Mencoba untuk membujuk Frank agar bisa mengendalikan emosinya. Frank bangkit dari kursinya dan mengambil berkas-berkas di meja. Dia beranjak pergi ke luar ruangan diikuti dengan tiga rekannya dari belakang. Tyson dan beberapa orang kantornya menjadi khawatir dan takut bersamaan. Sehingga mereka berusaha mengejar Frank dan kawan-kawan. Sedangkan Laura tidak menampilkan ekspresi bersalah karena sudah merusak rapat pagi ini. [14] Die erste Aufregung Ungerechtigkeit wird immer unser Leben umgeben, deshalb müssen wir in der Lage sein, unsere Gefühle in unserer Seele zurückzuhalten. Ketidakadilan akan selalu menyelimuti kehidupan kita, karena itu kita harus bisa menahan emosi dalam jiwa. ~o~ Sore ini tidak seperti sore-sore biasanya. Laura pulang tepat waktu dan itu membuat para karyawan yang melihatnya cukup terkagum. Supir kantor membukakan pintu mobil untuknya dan Laura masuk tanpa memperdulikan orang di sekitar gedung utama. Mobil melaju cukup lambat membuat Laura sedikit kesal. Supir kantornya berbeda dari supir pribadinya, yaitu Greg. Greg lebih ramah dan tahu kondisi disaat harus berkemudi cepat, normal ataupun lambat. “Bisa kau percepat kemudinya?!” Laura bertanya tapi lebih seperti memerintah. Supir itu hanya mengangguk dan melakukan apa yang diperintah. Rumah besar yang sudah disinggahi lebih dari 9 tahun lamanya masih tetap memiliki kesan dingin seperti pemiliknya. Laura turun dari mobil sebelum supir itu berhasil membukakan pintu mobil. Laura sedikit marah terhadapnya karena mengemudi dengan semberono. Jelas saja, supir itu adalah pilihan Tyson. Laura meninggalkan supir itu sendiri tanpa pamit dan melangkah masuk ke area depan rumahnya. Matanya terkunci dengan kotak surat yang berada di depan pintunya, itu cukup banyak. Dia berpikir jika itu adalah surat-surat yang berisikan ucapan selamat atas pernikahannya. Tangannya merauk semua surat hingga tak ada yang tersisa. “Apa yang kau bawa?” Arthur bertanya ketika Laura berhasil membuka pintu kamarnya. Mendengar pertanyaan darinya, cukup menambah esmosi di dalam dirinya. “Kau pikir apa? Koran atau majalah?” “Hum, tapi itu seperti tumpukan surat,” ujar Arthur seraya bangkit dari tempat tidurnya. Laura menghela napas panjang dan sekali lagi memperhatikan lelaki di hadapannya, terlihat ada yang berbeda. “Apa? Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Arthur dengan menaiki satu alisnya. “Kau terlihat berbeda, habis potong rambut?” Laura melepaskan mantel tebalnya dan menaruh tumpukan surat di meja kerjanya. Arthur terkekeh geli dan sedikit menyeringai tanpa sepengetahuan Laura. “Ya, Kakek datang dan mengajakku untuk merubah gaya rambut. Aku pikir itu ide yang tidak terlalu buruk. Dan ternyata itu benar,” katanya lagi. “Kakekku datang? Kapan dan di mana dia sekarang?” Laura menjadi sedikit terkejut. “Tepat satu jam setelah keberangkatanmu ke kantor. Dan dia langsung pulang begitu saja dengan supirnya." Laura melirik ke belakang melihat Arthur yang duduk di tepi kasur. Dia kembali disibukkan dengan beberapa surat yang sudah rapi di atas meja. Mungkin dia akan membukanya nanti malam, dia sangat butuh mandi saat ini. ~o~ Suara perpaduan antara pisau, garpu dan piring menghiasi ruang makan. Keduanya hanya saling terdiam tanpa ada yang mau memulai percakapan lebih dahulu. Banyak persoalan yang dipikirkan Laura di dalam otaknya, terutama masalah pekerjaannya. Arthur sendiri bingung untuk memulai perbincangan dengan Laura dari mana. Tapi dia harus memberitahu apa yang dikatakan oleh Jon Schiffer tadi pada Laura. Mulutnya masih ragu untuk berbicara dan hanya ada kontak mata yang dia lakukan pada wanita yang sama sekali tidak menatapnya. Laura telah selesai makan malam dan dia sedang memotong buah apel sebagai pencuci mulut. Arthur sendiri masih belum menyelesaikan makanannya. “Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan,” ujar Arthur dengan pelan. Laura hanya membalasnya dengan bergeming. “Kakek menyuruh kita untuk … pergi honeymoon,” ungkapnya dan saat itu juga gelas yang berada di samping Laura terjatuh. Laura dengan gerakan cepat berusaha untuk membereskan pecahan beling. “Jangan sentuh! Biar aku saja yang bersihkan,” kata Arthur berlari ke arahnya. Laura terpaku, tidak menolak perintah yang diberikan suaminya itu. Arthur dengan hati-hati membersihkan pecahan beling dan memasukkannya ke dalam tempat sampah. Keduanya masih berada di ruang makan. “Kakek mengatakan hal itu?” Laura tidak jadi memakan apel yang sudah dipotong. Dia lebih tertarik dengan perkataan Arthur. “Iya, dia bilang tadi. Tiket perjalanannya kusimpan di kamar,” ucap Arthur seraya mengambil gelas. “Aku tidak bisa. Pekerjaanku sangat banyak dan itu tidak memungkinkan jika aku harus cuti.” Laura menatap Arthur. Lelaki itu hanya memasang wajah sedikit kecewa karena penolakannya. “Kau bisa bicara dengan kakek. Aku tidak enak padanya,” balas Arthur seraya meletakan piring-piring ke wastafel. Laura meninggalkan ruang makan dan beranjak masuk ke kamar. Dia meraih ponselnya yang tergeletak di meja kerjanya. Dia kembali menimang keputusannya untuk menghubungi Jon, karena dia tidak pernah menolak keinginan kakeknya. Tumpukan surat kembali mencuri perhatiannya. Dia mengambil semua surat itu dan membawanya ke kasur. Surat-surat yang membuatnya sama sekali tidak bahagia. Dia hanya membaca tulisan dengan raut wajah yang datar. Itu semua dari karyawan dan juga beberapa teman. Tapi surat dengan amplop berwarna hitam mencuri perhatiannya. Seperti surat itu sangat istimewa baginya. Dia membuka amplop dan mendapatkan secarik kertas putih dengan tulisan tinta berwarna hitam. Selamat menikah! Aku harap kamu segera keluar dari perusahaan. Jantungnya seketika berhenti berdetak. Siapa yang berani mengiriminya surat seperti ini. Apakah karyawannya? Atau lawan bisnisnya? Laura tidak tahu. Dia sedikit meremuk kertas itu tapi terhenti ketika Arthur membuka pintu. Laura kaget. “Bisakah kita buat peraturan? Mengetuk sebelum membuka pintu.” Laura menatapnya dengan tajam. Arthur masih terhenti di ambang pintu. “Mengapa aturannya tidak mengunci pintu jika berada di dalam?” Arthur memberinya pilihan. Mata Laura membesar membuatnya sedikit ketakutan. Jadi, dia mengalah karena tahu, Laura sepertinya sedang ada di kondisi yang buruk. “Oke, aku rasa mengetuk sebelum membuka pintu adalah ide yang bagus. Aku ulangi, yah,” katanya seraya mundur ke belakang dan menutup pintu kamar. *Tok tok tok* “Kamu bisa masuk!” teriak Laura. Arthur membuka pintu dan masuk dengan raut wajah yang masih sama. Surat-surat yang tergeletak berantakan di kasur diberesinya. Laura tidak ingin Arthur membaca isi dari semua surat itu karena takut merasa seperti pasangan yang sesungguhnya. Arthur menuju cermin yang berada di samping kasurnya. Dia menatap dirinya sendiri dengan penuh rasa kagum. Potongan rambutnya sangat bagus. Tidak ada poni yang menutupi dahinya lagi. Dia terlihat seperti seorang Fotografer atau Pengusaha ternama. Rambutnya benar-benar klimis dan tertata rapi. Tapi ada rasa sedikit kecewa karena istrinya tidak memuji perubahan rambutnya setelah menikah. Laura ke luar dari Toilet kamarnya. Dia habis memakai masker rutinitasnya. Tapi langkah kakinya terhenti ketika melihat hewan kecil yang berlari ke arahnya. Kecoa! “AAAAAA!” teriaknya seraya melompat-lompat. Arthur yang kaget langsung berjalan ke arahnya. "Ada apa?” tanyanya khawatir. “Itu ada kecoa! Bagaimana bisa hewan menjijikan itu masuk ke dalam kamar?! Sebelumnya tidak pernah.” Laura naik ke atas kasurnya, sedangkan Arthur berusaha menangkap hewan kecil yang lari dengan lincah. *Happp* Kecoa berhasil ditangkap oleh Arthur dengan kedua tangannya yang lebar. Dia menyeringai lebar karena telah berhasil menangkap hewan itu. “Sudah. Turun! Ini hanya kecoa, kenapa harus berteriak?!” Arthur memajukan kedua tangannya yang terkatup dengan kecoa di dalamnya. Laura semakin merasa jijik karena lelaki itu berusaha memberikan hewan kecil itu padanya. “Menjauh dariku! Itu benar-benar menjijikan! Kecoa di tanganmu,” geramnya seraya menunjuk pada Arthur. “Oke, oke. Aku akan membuangnya di luar. Tunggu sebentar!” Arthur berlari menuju luar rumah diikuti dengan Laura di belakangnya. Laura ingin memastikan jika suaminya itu tidak menyentuh benda apapun di rumahnya setelah membuang hewan kecil yang menjijikan itu. Udara dingin kembali masuk ketika Laura membuka pintu dan Arthur melewatinya untuk membuang makhluk kecil itu. “Nah, sekarang, jangan sentuh apapun sebelum kamu mencuci tanganmu sebanyak sebelas kali!” Laura memperingatinya dan Arthur seperti seorang anak yang hanya menuruti perintah ibunya. “Sebanyak itu?” tanya Arthur seraya membuka kedua telapak tangannya lebar. “Ya, cepat bersihkan!” Keduanya sudah berada di dalam Toilet. Dengan hati was-was Laura menunggunya untuk menghitung berapa banyak Arthur mencuci. “Sudah sepuluh kali. Ayo cuci sekali lagi!” katanya memerintah. Sabun cair keluar lagi dan Arthur mengusap-usap hingga berbusa. “Selesai,” ujar Arthur. Laura merasa lega karena tangan lelaki itu sudah sepenuhnya bersih. Dia kembali menatap mata Arthur yang sedari tadi seperti menggodanya karena takut akan kecoa. “Masalah permintaan kakek tadi, kita bisa pergi. Tapi, jangan berharap dengan hal itu…” “Tidak masalah bagiku. Aku mengerti keadaanmu, Laura. Aku hanya tidak ingin menolak permintaan kakek, dia sangat baik pada keluargaku.” Laura merasa tenang karena Arthur selalu bisa mengeti keadaannya. [15] Mettlach Ich hätte nie gedacht, dass das passieren würde. aber ich bin sicher, Sie können immer verstehen. Aku tidak pernah mengira hal ini akan terjadi. tapi aku yakin kamu selalu bisa mengerti. ~o~ Greg membawakan koper kecil milik Laura ke dalam bagasi mobil. Sedangkan Arthur hanya membawa tas ransel hitam kecilnya ke dalam mobil. “Bersenang-senanglah untuk kalian!” Jon sengaja datang mengunjungi rumah cucunya itu agar bisa memberikan kecupan pada dahi Laura dan yang terakhir pada Arthur. Lelaki tua itu tidak kehabisan senyumannya karena melihat cucu satu-satunya bahagia. “Kakek, aku akan merindukanmu. Jaga dirimu baik-baik, karena aku telah melakukan apa yang kamu inginkan,” ucap Laura sebelum masuk ke dalam mobil. Arthur masih menunggu istrinya dengan membukakan pintu mobil untuknya. “Nah Arthur, jaga cucuku, oke?” Arthur hanya mengangguk tersenyum padanya. Greg melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Dia akan mengantarkan kedua orang ini ke Bandara untuk melakukan perjalanan honeymoon-nya. Tiba saatnya mereka di Bandara. Greg sudah meninggalkannya, dan lagi-lagi hanya ada kecanggungan di antara keduanya. Laura berusaha membaca Tour Planning Book mereka yang sudah dia siapkan sendiri. “Mari lihat rencana liburan kita …,” kata Laura. Matanya menerawang setiap kata yang tertera di atas kertas itu. “Mettlach. Itu cukup menarik, banyak kebun anggur di desa itu. Ada sungai Saarschleife juga,” jelasnya. “Jadi, kamu lebih tertarik yang mana?” tanyanya pada Arthur yang ada di depannya. Lelaki itu tersenyum melihat antusias Laura yang cukup bagus. Setidaknya wanita itu tidak sedingin kemarin. Arthur melirik pada buku yang dipegang Laura. “Kebun anggur sepertinya menarik, kamu sendiri lebih suka yang mana?” Laura menatap Arthur yang tengah tersenyum ramah padanya. Dia membalas senyuman itu dengan raut intimidasi, “tidak keduanya. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di hotel.” Raut wajah Arthur berubah seketika seperti kehabisan kata-kata. Laura berjalan mendahuluinya ke dalam Bandara. ~o~ Sebuah Desa yang tidak mencolok di wilayah tiga perbatasan, yaitu Prancis, Jerman, dan Luksemburg itu tidak terlalu terkenal. Kebun-kebun anggur dan sungai Saarschleife yang menakjubkan menghiasi tempat itu. Hotel Gastehaus Schloss Saareck yang ada di Mettlach itu seperti rumah dengan gaya bangunan kastil kuno. Halamannya luas dipenuhi dengan rumput-rumput hijau yang cantik. Mereka masuk ke dalam bangunan itu dan meninggalkan koper hitam Laura di ambang pintu. Arthur berusaha untuk membuka kunci kamar itu. “Bisakah kamu membukanya? Aku harus pergi ke Toilet secepat mungkin,” kata Laura menahan panggilan alamnya. Arthur tertawa ringan mendengarnya dan masih berusaha untuk membukanya. Pintu terbuka dan menampilkan properti kamar yang sangat unik dan bernilai estetik. Laura langsung lari ke Toilet, sedangkan Arthur membawa koper beserta tas ranselnya ke dekat lemari. “Fyuhhh!” Laura berjalan membuka jendela yang ada di kamar dan betapa kagumnya dia melihat rumput hijau bertebaran dengan bebas di pelataran hotel Desa itu. Arthur hanya bisa menyaksikan pemandangan itu dari belakang Laura. Semilir angin yang masuk terasa alami, derunya air pancur yang berada di pelataran menambah suasana indah Desa ini. Hari sudah mulai gelap dan burung-burung berterbangan melewati jendela kamar mereka. Tidak ada percakapan yang terjadi antara keduanya. Arthur memutuskan untuk pergi mandi terlebih dahulu. Seperti biasa, Laura akan mementingkan urusan pekerjaannya. Jadi, dia membuka laptopnya dan menerima beberapa e-mail yang datang dari staff-nya. Matanya terfokus pada semua surat elektronik yang masuk dan terhenti pada satu nama pengirim. Matthew! Dear Laura Schiffer Selamat Menikah. Itu kabar yang paling mengejutkan selama hidupku. Aku tidak tahu kenapa kamu menikah dengan pria seperti itu. Tapi percayalah, cintaku tidak akan pernah habis untukmu. Cintaku sudah tumbuh lebih lama dari priamu itu. Jadi, jangan berharap jika aku akan berhenti mencintaimu. Dan satu lagi, aku tidak tahu mengapa kamu sangat membenciku. Karena cintaku sangat tulus untukmu. Aku sabar menunggu penantianmu, tapi kamu sekarang sudah menikah. Jika kamu membenciku karena persoalan skandal antara kedua perusahaan kita, itu sangatlah salah. Jadi, tolong beritahu aku, dimana letak kesalahanku sehingga kamu sangat membenciku. Your Love Matthew Dua kata yang bisa Laura gambarkan setelah membaca surat darinya adalah sangat berani. Dia tidak pernah mengira jika lelaki itu bisa mencintainya sangat dalam. Tapi dia jadi berpikir kembali, kenapa Matthew selalu mengatakan jika dia tidak mencampuri urusan skandal sepuluh tahun lalu. Padahal Laura sangat yakin, jika itu adalah pekerjaan busuk dari keluarganya. *Krreeekkk* Arthur ke luar dari kamar mandi dengan celana tidur dan kaus oblong berwarna coklat yang ia bawa dari rumahnya. Lelaki itu menggosok kasar rambutnya menjadi berantakan sehingga Laura hanya menatapnya dengan diam. Mata Arthur teralihkan pada istrinya yang kini menatapnya lebih dari sepuluh detik. Seolah jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. “Apa? Kau tidak ingin mandi?” Arthur mencoba untuk membuyarkan lamunannya. “Apakah ada air panasnya?” tanya Laura yang berusaha mematikan laptopnya. Dia sudah cukup memeriksa e-mail yang masuk. “Ada, tapi mandi dengan air dingin lebih menyegarkan,” saran Arthur dengan raut wajah yang gembira. Laura beranjak mengambil keperluan mandinya dan berjalan melewati Arthur. “Tapi aku lebih menyukai air panas.” Arthur sekali lagi tertegun dibuatnya. Kenapa wanita itu selalu bisa mendominasi dalam percakapan? Dia memilih untuk membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan sprei berwarna merah. Rasa canggungnya sedikit berkurang, mungkin karena terbiasa dekat dengan Laura. Dia tak pernah habis pikir, jika menikah akan seperti ini rasanya. Sangat lucu dan menegangkan di waktu yang bersamaan. ~o~ Suara bel berbunyi. Arthur segera membukanya, karena Laura sedang mandi pagi. “Selamat pagi, Tuan Arthur. Ini ada kiriman bunga beserta vasnya yang sudah dipesan khusus oleh Jon Schiffer,” ucap seorang wanita muda. Usianya terlihat sama seperti Arthur. “Oh, terima kasih.” “Oh iya, satu lagi. Kamu bisa mengambil air untuk vas bunganya di dekat air pancur itu. Jadi, bersenang-senanglah untuk bulan madu kalian. Salam hangat dariku, kakekmu sangat baik.” Arthur terheran melihat tingkah laku wanita muda itu yang terlalu bersemangat. Mungkin Jon sudah merencakan semuanya, tapi jujur ini sangat mengangumkan. Pintu kembali ditutup dan dia masih disibukkan dengan bunga beserta vas itu. Laura muncul dengan gaun santainya berwarna putih yang panjangnya selutut, Itu membuat kaki jenjangnya terlihat. Rambut coklatnya yang panjang diikat bergelombang, menyisakan beberapa helaian rambut di wajahnya dan … itu terlihat sangat cantik. “Oh my god! Apakah itu bunga Ostara?” Laura membelalakkan kedua matanya setelah melihat bunga yang dipegang oleh Arthur. “Ya, tadi ada kiriman dari hotel ini. Kakekmu yang menyuruhnya,” jelas Arthur. Mata Laura masih berbinar dan mencoba untuk merebut bunga beserta vas yang masih dipegang erat oleh Arthur. “Hei, hati-hati!” “Aku sangat suka bunga Ostara, itu sangat cantik.” “Katanya, kamu bisa mengambil air di pancuran itu!” Arthur menunjuk ke arah pancuran yang ada di pelataran rumput hijau. Laura terlihat sangat tertarik untuk segera ke sana. Jadi, dia berlari ke luar kamarnya menuju air pancur. Arthur mengejarnya, untuk memastikan jika tidak ada hal buruk yang terjadi pada Laura karena berlari sangat kencang dan juga bersemangat. Keduanya sudah sampai di air pancur dan Laura berusaha duduk di tepian kolam besar itu. “Biar aku saja yang mengambil air,” pinta Arthur berusaha mengambil alih vas bunga. Laura mengelak, “tidak, aku saja.” Keduanya menjadi rebutan vas bunga satu sama lain. Anak kecil yang sedari tadi memperhatikannya dari jarak yang cukup jauh terkekeh geli. Seperti Tom dan Jerry yang sedang memperebutkan daging. “Lepaskan tanganmu!” bentak Laura, tapi malah membuat Arthur semakin tertantang untuk menggodanya. “Tidak akan, biar aku saja, Laura,” tutur Arthur yang masih berusaha mengambil benda yang terbuat dari tanah liat itu. *Plunggg* Vas bunganya terjatuh dan keduanya menjadi diam. Mata Laura sudah terbakar seperti api, sehingga membuat Arthur menjadi takut. “Sudah kubilang aku saja. Kau sangat menyebalkan!” oceh Laura, tapi malah membuat Arthur terkekeh geli sehingga dia tertawa. Laura menggeleng ringan kepalanya melihat kelakuan Arthur yang semakin seperti anak kecil. Arthur bangkit dari tepi air pancur karena serangan pukulan ringan Laura pada bahunya. Arthur tertawa semakin geli. “Tidak ada yang lucu!” bentak Laura. Sekarang dia harus mengambil vas bunga itu dari kolam cetek pancuran. Tidak ada pilihan lain selain mengangkat sedikit gaunnya yang berumbai sehingga memperlihatkan pahanya pada Arthur. Raut wajah Arthur berubah menjadi sedikit gerogi ketika melihat aksi Laura yang memasukkan dirinya ke dalam air pancuran itu untuk menyelamatkan vas bunga. Laura berhasil membalas perbuatannya dengan cara yang sungguh menyiksa dirinya. Wanita itu seakan menggodanya tanpa berusaha. Arthur sedikit frustasi. Laura kembali ke atas dengan vas yang sudah berisikan air dan bunga yang sudah dimasukkan ke dalamnya. Dia melangkahkan kakinya dengan cepat melewati Arthur tanpa berbicara sepatah kata pun. Sedangkan Arthur, masih terdiam bodoh mengingat betapa seksinya wanita itu bertindak tadi. Baju Laura menjadi basah, dia memutuskan untuk mengganti pakaiannya. Setelah pertengkaran kecilnya dengan Arthur, dia tidak pernah bisa melupakan tingkah bodoh lelaki itu. Ponselnya berdering ketika dia memandang kagum pada bunga Ostara. “Halo!” jawab Laura pada penelepon. “Nona Laura, maaf aku harus bicara sekarang dengamu. Tapi, ini sangat gawat. Tuan Jon dilarikan ke rumah sakit. Dia tidak membiarkanku untuk memberitahumu, tapi aku tidak bisa karena keadaannya sangat parah.” Mulutnya terbuka lebar dan jantungnya merasa lemas. Disaat seperti ini, Arthur datang membuka pintu dan menyaksikan dirinya yang masih tertegun dengan sambungan telepon. Tidak ada yang bisa Laura katakan lagi selain menutup panggilan dan bergegas menuju kakeknya. ~o~ Hai Gaisss!!! Makasih sudah baca sampai BAB 15 ? Btw, aku bikin trailer Novel "When I Fall in Love" ini di YouTube. So, bagi kalian yang penasaran tentang sosok Laura, Arthur, Matthew dan beberapa tokoh lainnya dalam cerita ini, bisa tonton trailernya dengan judul "TRAILER NOVEL 'WHEN I FALL IN LOVE' @STORIAL / Link: https://youtu.be/lM4cIj--qs4 ? Terima kasih atas dukungan kalian semua [16] Krankenhaus Kepulangan mereka ke Berlin dipercepat karena kondisi Jon yang masuk Rumah Sakit. Seperti diterkam puluhan ombak dalam pikirannya, Laura menjadi sangat khawatir dan tak ada hentinya mengeluarkan air mata. Arthur setia menemani di sampingnya hingga mereka mendarat dengan sempurna di kota kelahiran wanita itu. Supir pribadinya, Greg yang menjemput di Bandara sejak 30 menit telah menunggunya dengan keadaan cemas. Mobil dilajukan dengan kecepatan maksimal aturan pada jalan yang mereka lalui. Honeymoon mereka gagal, 7 hari yang sudah direncakan oleh Jon terbengkalai begitu saja karena kondisi kesehatan dirinya. Mobil terparkir di depan sebuah bangunan besar bernama German Heart Institute Berlin. Langkah kaki mereka cepat sehingga membuat sedikit keributan dan desakan di depan Resepsionis. “Di mana ruangan kakekku?” tanya Laura antusias. Staff yang bekerja tentu saja sudah mengetahui tentang keluarga Schiffer. Merkea langsung mengecek pada layar komputer di depannya. “Ruang 74A,” balas salah seorang Staff. Mereka berdua kembali berlari menuju ruang... [17] Tantenproblem Arthur terbangun dari tidurnya dan matanya melirik ke arah jam. Pukul 9 pagi. Dia terkejut dan segera beranjak dari tempat tidurnya. Dia lupa dengan pesan teks yang masuk kemarin dari Will. Revisinya sudah selesai dikerjakan dan dia perlu bertemu dengan Dosennya hari ini untuk meminta tanda tangan. Dengan begitu, dia akan segera diwisuda. Jadi, dia berlari dengan tergesa-gesa menuju kamar mandi. Dia tidak memikirkan untuk menghubungi Laura dengan telepon karena dia yakin jika wanita itu sedang sibuk dengan pekerjaannya. Suasana hati Laura tak bisa ditebak. Arthur memutuskan untuk mengiriminya pesan teks sebelum akhirnya dia berhasil memakai bajunya. Kepada: Laura Laura, aku izin pergi ke Hannover, karena harus menjalani revisi tugas akhir kuliah. Mungkin hanya butuh waktu 3 hari. Maaf baru memberitahu sekarang karena aku lupa. Jadi, jaga dirimu baik-baik. Arthur berhasil menekan tombol kirim dengan ragu. Dia beranjak pergi meninggalkan rumah besar milik istrinya. Dia memilih menggunakan Taxi untuk sampai... [18] Aufgedeckt Jetzt ist die Angst vor Ihrer Abreise entstanden. Was stimmt mit mir nicht? und warum tust du mir das an. Sekarang ketakutan akan kepergianmu telah muncul. Apa yang salah denganku dan mengapa kamu melakukan ini padaku. ~o~ Kebencian, kekhawatiran, dan kemarahan bersatu di hati Laura. Bagaimanapun juga, Winy adalah bibi yang dulu sangat baik padanya ketika mendiang orangtuanya masih hidup. Bahkan ibunya sangat dekat dengan Winy seperti saudara kembar. Laura yang masih memiliki rasa khawatir terhadapnya walaupun sedikit, mencoba untuk mendatanginya. Berharap perempuan itu akan baik-baik saja kondisinya, tetapi dia salah. Isak tangis mulai ke luar dari mulut Winy yang lambat laun jatuh tersungkur di hadapan Laura. Kedua tangannya mengacak-acak rambutnya sendiri. Laura tak kuasa melihat pemandangan seperti ini. Jadi dia berusaha untuk memegang kedua bahunya, tapi perempuan itu menolak dengan kasar. “Tidak Laura! Cepat pergi dari sini sebelum pamanmu datang!” bentaknya lagi dengan tatatapan menyala. “Tidak Bibi, aku tidak... [19] Ich Vermisse Aroma bubuk kopi yang beradu dengan air panas sangat menggugah indra penciuman setiap pengunjung yang datang. Arthur yang sedang berada di salah satu kursi Cafeino memesan Coffe Latte menu andalannya. Sejak pernikahannya berlangsung, dia sudah resmi ke luar dari pekerjaannya. Hari ini, hari keduanya dia di Hannover setelah kemarin sibuk menghabiskan sebagian waktu di perpustakaan. Dia memutuskan untuk pergi ke kampus bersama Will yang juga memiliki keperluan serupa. Arthur bahkan merasa tidak dianggap kehadirannya oleh istrinya sendiri, karena sampai sekarang Laura belum menghubungi atau membalas pesannya. Terkadang dia berpikir, apakah dia benar-benar sudah menyandang status sebagai suami? Lamunananya buyar ketika Will datang dengan menepuk bahunya. “Ayo berangkat sekarang! Profesor Krab mungkin akan pergi dari kampus satu jam lagi,” ajaknya. Arthur segera beranjak menuju mobil milik Will dan mengemudikannya menuju Universitas Hannover. Kampus yang sebentar lagi akan ditinggalkannya itu menyisakan banyak kenangan, terutama dengan mantan kekasihnya yang seharusnya mereka akan segera... [20] Eifersüchtig Pukul 1 pagi, Tyson ke luar dari Bar dengan ditemani dua wanita yang menjadi pelayannya malam ini. Kesadarannya sedikit hilang karena mabuk. Untungnya, Leonard berada bersamanya sebagai pengemudi. “Terima kasih, ladies,” kata Leonard mengedipkan sebelah matanya pada salah satu wanita berpakaian mini. Kedua wanita itu hanya membantu Tyson sampai parkiran. Dan setelahnya, mereka pergi menuju rumah Tyson. Dalam perjalanannya, mereka tidak banyak berbincang karena kondisi Tyson yang kacau. Tapi, Leonard tetap berusaha untuk meyakinkan sahabatnya itu agar melakukan rencana yang sudah mereka bahas belakangan ini. “Sudahlah, Tyson. Tidak ada pilihan lain, selain kau mengikuti saranku. Sean bisa diandalkan atau kau mau yang lebih mahir lagi dalam masalah ini? Aku punya Tom, tapi bayarannya sedikit mahal karena dia tinggal di Texas.” Leonard sesekali melirik padanya, tetapi dia hanya bergeming. “Y-yya-yaa … aku … xkdfhswyjsbr.” Leonard hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Tyson. Sesampainya di rumah. Leonard hanya mengantarkan Tyson sampai depan... [21] Abschluss-Tag Was ist, wenn ich Angst habe, dich zu verlieren? Was ist, wenn ich ohne dich nicht leben kann? Und wenn ich mich wirklich in dich verliebe? Bagaimana jika aku takut kehilanganmu? bagaimana jika aku tidak bisa hidup tanpamu? Dan bagaimana jika aku benar-benar jatuh cinta padamu? ~o~ Hari berlalu begitu cepat. Rumah tangga yang dibangun oleh Arthur dan Laura berjalan dengan normal. Pernah suatu kali, Laura marah besar ketika tahu vas bunga kesayangannya yang terpajang di ruang tengah pecah karena Arthur. Terlalu euphoria karena club sepak bolanya mengalami kemenangan, dia berjingkrak-jingkrak di sekeliling sofa hingga tertabrak dengan vas bunga itu. Arthur yang tahu akan kemarahan Laura setelah pulang kerjanya, berupaya untuk mengganti vas itu dengan vas yang berada di taman belakang. Tapi keberuntungan tidak memihak padanya sore itu. Laura yang sangat mengetahui tentang detail rumahnya melihat perubahan yang terjadi, dia marah dan mendiami lelaki itu semalaman. Pagi harinya, Arthur berusaha... [22] Über Nacht bleiben Keributan yang terjadi di Auditorium cepat mereda setelah Arthur menarik Celine ke luar. Dia tidak ingin Laura menemuinya apalagi tahu jika wanita kasar itu adalah mantan kekasihnya. Bukan untuk kepentingannya sendiri, tapi dia takut Laura merasa terhina karena perkataannya yang dianggap sebagai penganggu hubungan orang. “Celine hentikan perbuatanmu itu! Aku sudah bilang hubungan kita berakhir dan aku juga sudah minta maaf padamu, apa itu tidak cukup?!” Arthur melepaskan tangannya karena takut menyakiti wanita itu. “Tidak ada yang cukup, Arthur. Hubungan kita berakhir karena wanita itu. Jangan pernah minta maaf lagi karena hubungan kita berakhir. Karena jauh di dalam lubuk hatimu itu, aku tahu kalau kamu masih mencintaiku,” terang Celine menunjuk dada Arthur. Arthur sejenak berpikir atas ucapannya. Apakah benar dia masih mencintai Celine? Tapi kenapa sekarang dia jadi merasa wanita itu seperti pengganggu dalam hidupnya? Arthur frustasi dan menggelengkan kepalanya. Dia menatap lagi pada Celine yang masih mencoba untuk meraih... [23] Attentäter einstellen Kedua orang yang tengah mengintip sedikit membuat keributan kecil. Katty yang baru saja menutup pintu dengan pelan terkikik karena melihat putra dan mantunya yang sedang tertidur. “Dasar penguntit!” ucap Hamann pelan pada istrinya sambil tersenyum sumringah. “Kau juga,” balasnya. “Tapi itu salah mereka karena tidak mengunci pintu.” Hamann memeluk istrinya dari samping dan berjalan menuju sofa. “Ya, kau benar. Untung saja mereka tidak berposisi yang memalukan.” “Kalau itu terjadi, aku bisa pingsan. Lihat Laura, dia sangat cantik dengan wajah tanpa make-­up,” tutur Hamann membuat istrinya sedikit cemburu. Lalu, Katty mencubit pinggang Hamann sampai meringis kesakitan. “Sadar, kamu sudah tua!” Di ruang lain, Laura yang tengah tertidur dengan tangan memeluk pinggang Arthur sedikit menggerakan tubuhnya. Kasur itu benar-benar sangat kecil sehingga mereka harus tidur dengan saling berpelukan. Sedangkan Arthur, wajahnya miring ke arah Laura hingga bibirnya tanpa sadar menyentuh rambutnya. Keduanya sama-sama tidak sadar atas tindakan itu. Hingga... [24] Eine Nacht Arthur terperangah ketika Laura menarik kerahnya dengan kasar masuk ke dalam mobil. “Ayo kita pulang!” perintah Laura yang sudah siap dengan sabuk pengaman mobilnya. Arthur hanya menuruti perkataannya saja. Tangannya memegang erat setir mobil sampai buku-buku jarinya terlihat. Dia mengemudi dengan jantung berdetak lebih cepat karena tindakan Laura yang begitu agresif terhadapnya. Di dalam perjalanan, Laura selalu mengingat ucapan lembut Arthur yang memberinya selamat atas pencapaiaan usia pernikahan satu bulan mereka. Tidak menyangka waktu berlalu begitu cepat, bersama Arthur yang sebelumnya tidak dikenal. Semakin hari, rasa di hatinya yang selalu berubah menemukan komitmennya sendiri. Laura sadar, dia sudah melenceng jauh dari rencana awalnya. Dan sekarang, dia tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri lagi. Mobil Porche terparkir di depan rumahnya dan seperti biasa, Greg yang akan memasukkannya ke dalam garasi bawah tanah rumah. Tangan Laura menarik Arthur dengan sangat kasar sampai pintu rumahnya tertutup. Mata mereka bertemu kembali dan saling menyala... [25] Besitzergreifend Pertemuan makan malam yang sudah dijanjikan tiba. Laura datang bersama Arthur yang kini mengenakan setelan kemaja warna krem tanpa jas. Kancing hitam paling atas dibiarkan terbuka. Laura mengaitkan lengannya pada Arthur sambil berjalan memasuki restoran. Terdapat lima orang yang sudah hadir di lantai dua restoran Maciola itu. Atap terbuka dengan semilir angin yang sejuk. Pemandangan gedung pencakar langit sangat terlihat indah ketika malam hari, karena lampu-lampunya yang menyala. Wiliana duduk sangat dekat di sebelah Tyson, bahkan wanita itu tidak malu untuk meletakkan tangannya pada paha lelaki yang merupakan atasannya sendiri. Lalu ada Barak seperti biasa dia akan selalu hadir di tengah-tengah mereka. Mark Will juga ada di sana, bersebelahan dengan Kepala Divisi Pemasaran yaitu Charmen, biasanya dia jarang hadir karena istrinya yang terlalu posesif membuatnya tidak bisa pergi selain jam kerja. “Malam Laura, kamu terlihat cantik seperti biasa,” puji Mark padanya. Dia hanya membalas senyum tipis lalu duduk bergabung dengan... [26] Neuer Direktor Ungerechtigkeit hat unser Leben immer geschmückt. Obwohl wir dafür gekämpft haben, scheint es doch ein Schicksal zu sein. Ketidakadilan memang selalu menghiasi hidup kita. Sekalipun kita sudah memperjuangkannya, tapi itu seakan sebuah takdir. ~o~ Oktober berlalu, sudah sebulan lamanya setelah Matthew tidak menampilkan wajahnya lagi di depan Laura sesuai permintaan wanita itu. Hari-harinya cukup membosankan karena tidak mengirimi wanita itu email, datang ke rumahnya, bertemu di kantor, ataupun di tempat-tempat biasa Laura menghabiskan waktunya. Dia tahu segalanya tentang wanita itu. Wanita yang sekarang sudah lebih dari satu tahun dia cintai. Tapi perasaannya tak terbalaskan karena ketidakpercayaan wanita itu padanya. Dia adalah lelaki yang terlalu sempurna untuk disia-siakan begitu saja. Lelaki yang mendapatkan pinangan dari beberapa wanita berkelas ataupun teman semasa kampusnya, tapi ia tolak. Gelas ketiga diteguk dengan perasaan yang masih kalut. Kini dia berada di dalam sebuah Bar yang tidak terlalu terkenal di Berlin. Setelah mendapatkan kabar dari berita... [27] Ausländer Seorang lelaki bertubuh besar dengan rambut yang dikuncir tinggi masuk ke dalam ruangan yang cukup luas. Pakaian lengan panjang hitam dan celana jeans-nya membuat dia terlihat tidak seperti bekerja. Blackzine Studio, nama yang diberikan oleh Arthur untuk studio barunya. Saat itu dia sangat terkejut sekaligus tidak percaya jika Laura membelikannya sebuah gedung dua lantai yang baginya cukup besar untuk dijadikan Studio Foto. Awalnya dia tidak mau menerima karena merasa uang itu berasal dari istrinya. Tapi karena Laura memaksa dan melihat kondisinya yang belum tahu ingin melakukan apa setelah lulus, jadi dia menerimanya dengan senang sepenuh hati. Dia merasa beruntung mendapatkan dukungan yang begitu luar biasa dari istrinya sendiri. Laura tidak pernah melihatnya lebih rendah walaupun dia adalah suaminya. Sekarang, di sinilah dia, menjadi seorang Bos sekaligus pemilik Blackzine Studio. “Bos, kita akan berangkat 1 jam lagi. Apa kau mau kopi?” tanya lelaki bertubuh besar tadi yang dikenal dengan nama... [28] Morgens Liebe Machen Vertrauen ist schwer aufzubauen, behalten Sie also das Vertrauen, das Ihnen gegeben wurde, unabhängig von den Bedingungen. Kepercayaan sulit untuk dibangun, jadi pertahankan kepercayaan yang telah Anda terima apa pun persyaratannya. ~o~ Tidak hanya Laura yang menangis atas kepergian bibinya, Winy. Arthur juga ikut merasakan kesedihan yang dialami istrinya. Seminggu berlalu begitu cepat, fakta mengenaskan dialami oleh Laura yang sangat ingin tahu tentang kematian Winy sebenarnya. Polisi menemukan pria berjaket hitam dengan bagian kepala serta wajah yang tertutup memasuki rumah Tyson. Kemungkinan besar orang itulah yang membunuhnya. Laura yang menduga Tyson ikut campur dengan aksi pembunuhan itu dibantahkan tuduhannya dengan polisi. Malam itu, Tyson pergi ke Klub malam bersama Leonard. Tyson sendiri  mengaku sedang banyak masalah dengan utang sehingga mengakibatkan dia memiliki banyak musuh. Polisi menduga salah satu musuh dari Tyson-lah yang melakukan itu. "Sayang, aku akan pergi bekerja.” Arthur dengan pakaian kasual dan tas gendongnya menghampiri Laura di sofa... [29] Treffen Sie ex Mobil Porche Arthur terparkir di sebuah gedung berlantai 4 dengan cat dinding depan berwarna abu-abu. Tempat itu sangat cozy. Dia dan keempat timnya segera ke luar dari mobil dengan membawa peralatan foto untuk melakukan proyek bersama Kellyn Patitz. “Aku punya firasat baik tentang ini, Bos. Brand miliknya sangat popular bulan belakangan ini,” ucap Jade di tengah kesibukannya membawa alat penerangan. “Benarkah?” Arthur terkagum melihat bangunannya dan ia sedikit mengulas senyuman. Jade mengangguk, lalu mereka semua masuk ke dalam dan disambut oleh kedua wanita yang sedang berjaga dengan tulisan di depan ‘Resepsionis’. “Aku ingin bertemu dengan Nona Kellyn Patitz, kami sudah memiliki janji dengannya,” kata Arthur. Kedua wanita dengan pakaian berwarna hitam itu segera memeriksa dokumennya dan langsung mempersilakan tim Arthur untuk masuk. Lift menuju lantai 3, dimana mereka akan bertemu dengan Kellyn untuk pemotretan berlangsung. Mata ketiga karyawannya sangat tidak terkendali karena melihat karyawan yang bekerja di perusahaan ini... [30] Eifersüchtig Laura tidak makan siang karena tidak bisa menghubungi Arthur sedari tadi. Apakah dia terlalu sibuk bekerja atau ponselnya mati? Pikirnya. Tidak mau ambil pusing, dia segera berteriak memanggil sekretarisnya. Dengan wajah tertekuk, Wiliana masuk ke dalam bertemu dengan bosnya yang sedang memiliki kondisi buruk. “Bawakan aku kopi susu sekarang!” perintanya dengan tegas. “Aku sekretarismu, bukan pembantumu,” tolak Wiliana. Hal itu membuat Laura semakin marah. Dia mendekati sekretarisnya lalu menunjuk tepat di depan matanya. “Cepat bawakan sekarang atau-" “Oke, aku bawakan sekarang. Tolong jangan sering mengancamku seperti itu, huhh,” keluhnya seraya berjalan keluar ruangan. Laura menghela napas panjang dan kembali duduk di kursi hidroliknya. Matanya terpejam memikirkan masalah yang begitu rumit. Dia percaya pada Matthew sekarang, lelaki itu selalu memiliki segala cara untuk mengetahui semuanya. Pamannya berencana untuk membunuhnya. Apakah dia harus menceritakan soal ini pada Arthur? Laura pikir mungkin tidak, karena takut akan membuat suaminya khawatir yang berlebih. Dia... [31] Fotoshooting Berkali-kali pukulan tangannya pada air yang awalnya tenang, membuat emosi di dalam dirinya semakin memuncak. Matthew yang kini sedang mengamuk di kolam renang rumahnya karena penyesalan atas perlakuannya terhadap Laura hari lalu. Lelaki itu baru menyesal karena telah berusaha bersikap bodoh di hadapan wanita yang dicintainya. Dia merasa malu dan merendahkan dirinya. Mengajak wanita itu untuk kesenangannya sendiri adalah hal yang paling dibenci oleh Laura, dia tahu itu. Tapi dia tidak bisa mengendalikannya saat itu ketika diajak bertemu dengannya. Seolah nafsunya berkata jika ia akan menang dan wanita itu menyerah. Tapi seorang Laura berbeda dari wanita biasanya, dia wanita yang cukup terpandang. Matthew mengetahuinya, dan betapa bodohnya dia bisa memberikan pilihan itu padanya. Sekarang, setelah kepergian kakeknya Laura, dia merasa lebih bersalah karena melihat wanita itu bersedih. “Bodoh! Bodoh! Bodoh!” teriaknya di kesunyian malam yang sudah larut. Sesekali isak tangisnya ke luar karena merasa tekanan yang ada di dalam dirinya... [32] Erwischt werden Laura mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya kemerahan. Menerka-nerka siapa yang belakangan ini memeluk tubuh suaminya itu hingga baunya tercampur dengan parfum Arthur. Hatinya merasa cemas, pikirannya bekerja lebih cepat untuk menduga. Dia tidak bisa menanyakan hal ini lanngsung pada suaminya sebelum dia tahu kebenarannya sendiri. “Sayang, apa yang kamu pikirkan?” Arthur datang dengan membelai punggungnya. “Um, tidak. Aku hanya kelelahan,” jawabnya dengan tidak yakin. Keduanya hanya saling terdiam dalam makan siangnya. Walaupun sesekali Arthur memberikan seulas senyuman padanya, tapi dia hanya membalas dengan senyum yang lemah. Laura tidak tahu, apa yang harus dia lakukan saat ini. Tentang rencananya bersama Matthew mungkin tidak akan diceritakan padanya, karena mungkin akan membuatnya khawatir. “Aku harus pergi ke kantor sekarang. Jaga dirimu baik-baik,” pamit Laura seraya bangkit dari kursinya. Dia berjalan begitu saja tanpa adanya ciuman yang mampir di pipi Arthur. Lelaki itu pun terheran dan semakin khawatir akan keadaan istrinya yang semakin hari... [33] Schlechter Tag “Sayang!” Laura tidak menghiraukan panggilan Arthur, dia terus melangkah mendekati Celine yang sudah berdiri dari duduknya di pegangan kursi hidrolik. Matanya masih menyembunyikan perasaan yang mungkin sebentar lagi akan meledak. Dia berjalan dan akhirnya berada tepat di depan wanita yang juga menatapnya. Laura belum bertindak, dia terus memperhatikan Celine dari ujung kepala hingga kaki. Sampai pada akhirnya, dia merubah raut wajahnya menjadi seperti singa, diiringi dengan aksi tangannya yang menjambak rambut panjang Celine. “Awww!” pekik wanita berbaju biru tua itu. “Beraninya kamu mendekati suamiku!” teriak Laura. Celine masih memegang tangan Laura yang menjambak rambutnya dengan kasar. Entah sudah berapa kali dia merintih tapi pegangan wanita itu tidak bisa lepas. “Lepaskan aku wanita tua!” katanya dengan suara yang nyaring. Laura melepaskan pegangan pada rambut Celine, lalu dengan gerakan cepat menamparnya. *Pllakkkk* Deru napas Laura kasar diiringi dengan lirikan tajamnya pada Arthur. Dia sangat tidak menyangka dugaannya selama ini benar. Parfum yang... [34] Laura Verschwand “Mereka telah pergi,” ucap Sean dengan mengintip pada kaca mobil milik Leonard, dia memiliki mobilnya sendiri yang disewakan khusus untuk melakukan kejahatan ini. Leonard yang sedang menepikan mobilnya di sebrang rumah milik Matthew menoleh padanya. “Maksudmu pergi ke mana?” “Aku tidak tahu, tapi ini masih belum jauh. Lebih baik aku yang akan mengurusnya sendiri,” katanya dengan nada serak dan yakin. Leonard melirik ke arah Tyson yang berada di sebelahnya. “Oke kalau begitu. Selamat menjalankan tugasmu!” kata Tyson. Sean kembali masuk ke dalam mobil hitamnya dan mengendarai dengan kecepatan tinggi di malam yang sudah sangat larut. Sedangkan Tyson meminta Leonard untuk pergi ke rumah Laura. - Arthur merasa panik di kala Laura tidak bisa dihubungi, dia jadi tidak bisa tidur. Jam menunjukkan pukul 10 malam dan amplop hitam itu tergeletak berantakan di meja kamar milik Laura. Mata kecilnya sembab karena menangis. Bibir tipisnya tidak henti-hentinya mengeluarkan isak tangis. Dia merasa tidak... [35] Bad Wimpfen “Aku sudah mendapatkannya, ini sangat mudah bagiku. Aku bisa melacak ponselnya, jadi, kalian hanya menunggu kabar baik dariku. Jangan lupa untuk siapkan bayarannya.” Sean berbicara di sambungan teleponnya dengan Leonard. Kini dia berada tidak jauh dari keberadaan mobil yang Laura tumpangi. GPS-nya aktif dan itu memudahkannya untuk membuntutinya dari jarak 5 KM. Awan yang gelap dan berkabut, membuat perjalanan yang dilalui Greg sedikit terganggu. Dia sebenarnya sangat lelah karena tidak terbiasa menyetir di waktu malam seperti ini. “Greg, apa kamu ingin kita istirahat dulu di pengisian bensin?” tawar Matthew, karena Laura yang sedang nyenyak tertidur. “Tidak apa, Tuan. Tidak lama lagi, kita akan sampai di tempat tujuan.” Matthew mengangguk setuju. “Baiklah, jika kamu ingin bergantian berkendara denganku, katakan saja,” ucapnya lagi. Dia melirik pada Laura yang tertidur lelap. Wajahnya sangat lembut ketika tidur. Alisnya yang terukir rapi dan sempurna bersamaan dengan mata cantiknya. Matthew memperhatikannya dengan saksama, dia tidak percaya... [36] Talmarkt Cuaca semakin dingin. Walaupun air lemon hangat dan teh panas berada di genggaman mereka, tapi itu tidak meredakan suhu dingin di seluruh badannya. Laura duduk di ruang tengah ditemani dengan Matthew yang juga sedang menonton TV bersama. Crop sedang pergi ke luar untuk urusan acara malam ini bersama kawan-kawannya. Jadi, hanya ada mereka berdua dan perempuan kecil yang dititipkan padanya, tapi anak itu sedang tertidur di kamarnya dengan boneka beruang kecil milikinya. “Aku tidak bisa menunggu lama, Matthew.” Laura menghancurkan keheningan yang sedari tadi tercipta. Matthew menoleh padanya, “tapi biarkan aku yang mengurusinya, oke?” Laura hanya mengangguk setuju padanya, dia mulai terbiasa percaya pada pria ini. Terdengar suara sepatu yang digebuk-gebuk pada dinding. Mereka sedikit terkejut, dan Matthew berjalan untuk mellihat siapa yang datang bertamu. Tapi ternyata itu adalah Greg yang sedang mengambil barang dari mobilnya. Matthew membukakan pintu, dia bahkan tidak melihat jika Greg tadi sempat ke luar. “Greg,... [37] Mach Weiter Mereka berjalan kaki menuju rumah, itu tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sekitar 15 menit perjalanan. “Kau banyak termenung, Laura,” ujar Crop yang berjalan di sebelah kanannya. “Ah tidak Tuan. Aku hanya sedikit lelah. Tapi melihat kalian semua tertawa dan bersenang-senang, membuatku ikut merasakannya.” “Tapi sepertinya nyawamu tidak ada di sana tadi, kamu seperti melayang jauh,” timpal Matthew yang berjalan di sebelah kirinya. Laura tertawa, ternyata lelaki itu masih memperhatikannya. Dia menyenggol lengan kanan lelaki itu, “kamu pikir aku sudah mati?” decak kesalnya. Crop dan Matthew hanya tertawa ringan. Sampai pada akhirnya, perasaan Crop mulai tidak nyaman, seperti ada orang yang mengikutinya dari belakang. Dia menoleh ke belakang dan mendapati seseorang dengan pakaian tertutup menyerang Laura dengan sangat cepat. *Tusssss* Lelaki itu menusukkan benda tajamnya pada perut Crop yang berhasil melindungi Laura. “Astaga Tuan Crop!” Laura berteriak dan Matthew yang melihat sangat jelas langsung berusaha menyerang kembali pria itu. Tapi... Description: Seorang Kepala Divisi Keuangan di Siemens Group bernama Laura Schiffer merasa sedikit frustasi karena permintaan Kakeknya. Dia disuruh menikah karena usianya yang sudah kepala tiga. Beruntungnya Laura bertemu dengan Arthur yang memiliki impian menjadi Fotografer. Mereka terpaksa menikah karena memiliki tujuan masing-masing. Tapi bagaimana kondisi mereka setelah menjalani satu bulan pernikahan? Laura menjadi posesif setelah mengalami satu malam bersama Arthur. Masalah pernikahannya muncul setelah Laura ingin membongkar skandal perusahaan 10 tahun yang lalu dan membuatnya berurusan dengan Matthew, CEO VAGG Group, saingan Siemens Group.
Title: Welcome to My Heart Category: Young Adult Text: Prolog "Pergi dari sini!" Usir seorang pria kepada gadis kecil yang masih berusia 10 tahun ini. Mendorong keras gadis kecil tersebut sampai jatuh tersungkur. Dilemparlah sebuah tas ransel berisi baju-baju milik gadis kecil itu. Sedangkan yang diusir hanya bisa merengek sembari menangis tergugu memohon untuk tidak pergi dari rumah tersebut. "Kumohon ayah biarkan aku tinggal disini. Aku takut sendirian. Hiks. Ayah, tolong aku. Hiks. Hiks." Isaknya dengan kencang. "Gara-gara kau istriku pergi meninggalkanku. Pergi sebelum kau benar-benar ku bunuh disini." Pria itu segera menutup kasar pintu rumahnya dengan keras. Brakkk... Betapa teganya pria itu mengusir anak kandungnya sendiri. Membiarkannya terduduk lemah sendirian di tanah dengan hujan yang mulai turun dengan derasnya. Hari sudah gelap. Suasana rumah dan jalanan yang sudah sepi tak ada seorang pun yang lewat disana. Apalagi hujan turun dengan lebatnya. Gadis kecil itu masih menangis sesenggukan tanpa berniat bangkit hanya sekedar untuk berteduh. Ya, bagaimana bisa seorang Ayah tega mengusir anak perempuannya yang masih berumur 10 tahun. Padahal gadis ini masih tidak mengerti apa-apa. Masih awam dengan dunia luar. Pun dunia malam seperti ini. Gadis kecil itu mulai menggigil kedinginan. Memeluk tas ransel warna pink miliknya yang sudah basah kuyup. Ia pun juga masih tidak berhenti dari tangisnya. "Hiks... hiks... ayah, tolong buka pintunya. Ara takut, hiks. Ayah... Ara sayang sama Ayah. Jangan tinggalin Ara, Yah... Hiks..." teriak gadis itu memohon dengan suara yang tertutup derasnya hujan. "Ayah, maafkan Ara. Kalo Ara salah, Ara minta maaf. Ayah boleh hukum Ara apa aja. Tapi jangan usir Ara dari rumah. Hiks... Ayah, tolong buka pintunya, hiks... hiks..." racau gadis kecil itu semakin menjadi-jadi. Ia mulai beranjak. Melangkahkan kakinya lemas. Sesampainya di depan pintu rumahnya ia mencoba menggedor-gedor pintu tersebut. Berharap ayahnya akan membukakan pintu untuknya. "Ayah, Hiks... bukakan pintunya. Ara takut, Ayah. Hiks. Ayah..." tetap saja tak ada respon dari sang ayah. Semakin Ara meracau dan menggedor-gedor pintu, justru lampu rumahnya perlahan mati satu per satu. Membuat gadis kecil itu benar-benar merasakan ketakutan. Suara petir menyambar begitu hebatnya. Gadis kecil itu... Pingsan. Tubuhnya sudah pucat pasi dan kedinginan. Tergeletak tak berdaya di depan rumahnya sendiri dengan keadaan menyedihkan. Basah kuyup. *** Seorang ibu-ibu berusia sekitar 35 tahunan mengompres gadis kecil dengan air hangat. Menyeka hampir seluruh badan gadis itu guna memberinya kehangatan. Baju yang awalnya basah kuyup sudah diganti dengan baju kering. Baju yang layak dipakai. Ibu itu menatap lemah gadis kecil yang ada di depan matanya. Gadis kecil dengan wajah cantik, imut, dan polos. Namun, seketika ibu itu merasa iba kala melihat bekas luka di sekujur tubuh gadis itu. Apalagi dengan tubuh yang kurus kering seperti tidak pernah diurus sama sekali oleh orang tuanya. Dua anak yang setia di samping ibu itu ikut memandang penasaran anak kecil yang dibawa oleh ibunya. "Kapan dia akan segera sadar, Bu?" Tanya salah seorang anak laki-laki yang seusia sekitar 10 tahunan itu. "Ibu tidak tahu. Badannya dingin sekali." "Dia tidak akan mati kan, Bu?" "Farah, jaga ucapanmu." "Lihatlah, dia sangat kecil dan kurus, Vano." "Lalu apa hubungannya? Dia masih bernapas." "Tapi dia engga bangun-bangun." "Iya bukan berarti dia akan mati." "Sudah-sudah kalian ini apaan sih. Malah berantem gini. Siapkan sarapan untuk adik-adikmu yang lain sana." Ucap ibu itu melerai pertengkaran keduanya. "Tuh Farah kamu disuruh Ibu untuk nyiapan sarapan." "Eh, kamu juga." Farah menarik Vano keluar dari kamar itu meninggalkan Ibu sendirian yang menunggu gadis kecil itu. Ia berharap bahwa anak manis yang di depannya segera sadar dari pingsannya. Perlahan jari jemari gadis kecil itu bergerak. Dahinya berkerut, keringat dingin mulai bercucuran. Namun, ia masih tak kunjung membuka mata bulatnya. "Tidak, jangan... Ayah, kumohon jangan. Aku menyayangimu." Gadis itu semakin meracau. "Ayah!" Teriaknya lantas ia terbangun dari tidur panjangnya. Ibu itu segera menyodorkan air putih pada Ara. Gelas tersebut langsung diambilnya. Ia meneguk kasar air putih itu sampai habis tak tersisa. Nafasnya pun masih terengah-engah. "Kau tak apa, Nak?" Tanya ibu itu khawatir. "Aku dimana?" "Ibu ini siapa?" "Tolong antarkan aku pulang. Ara gabisa ninggalin Ayah sendirian," "Ara harus pulang." "Ayo, tolong antarkan aku pulang." "Aku ingin pulang. Hiks. Hiks." Ara mulai menangis. Memohon untuk segera pulang ke rumahnya. Berharap ia bisa bertemu dengan ayahnya. Namun, Ibu itu langsung mendekap Ara dalam pelukannya. Mencoba menyalurkan ketenangan untuk Ara. Walaupun awalnya Ara berontak, perlahan ia membalas dekapan Ibu itu. Lalu menangis sesenggukan. Tangisannya pecah. Semakin kencang ia terisak. Ada luka yang menyayat di hatinya. Perih dan terasa sakit yang tidak bisa dijelaskan. "Namaku Sena. Kau bisa memanggilku Ibu Sena." Ibu itu berucap memperkenalkan diri ketika Ara sudah mulai tenang dan berhenti menangis. "Ibu akan menceritakan semuanya. Jadi, kau dengar baik-baik ya?" Ara mengangguk lucu. Dengan menghapus air matanya secara berkala. "Ibu menemukanmu pingsan di depan sebuah rumah besar." "Kupikir rumah itu tak ada orang. Jadi, aku membawamu kesini." "Besoknya aku kembali kesana, tapi kata tetangga orang yang ada di rumah itu sudah pindah pagi-pagi sekali." "Aku tidak bisa mendapatkan kontak kedua orang tuamu. Maafkan, Ibu." Ibu itu menjelaskan secara singkat. "Ayah pergi? Pindah?" "Kenapa ayah meninggalkanku, Bu?" Tanya Ara dengan polosnya. Sedangkan Sena hanya bisa menghela napas kasar. Ia masih tidak menyangka, lagi-lagi ia harus melihat kejadian dimana orang tua meninggalkan anaknya tanpa ada rasa tanggung jawab sama sekali. "Mulai sekarang, kau tinggal disini saja ya?" "Tapi aku ingin pulang, Bu." "Tetap disini sampai kita menemukan ayahmu, oke?" Ara yang sadar tidak ada siapa-siapa lagi yang bisa ia temui dan mintai tolong hanya bisa mengangguk pasrah. "Kau sudah pingsan selama tiga hari. Ayo kita sarapan bersama sekarang." Ajak Sena kepada Ara. Ara pun hanya mengangguk kecil karena ia juga merasakan lapar. "Namamu?" "Almaira. Almaira Husein." "Farah, Vano... Ayo ajak Alma makan bersama kita semua." 1. Perasaan Benci Satu bulan sebelumnya, Almaira menggigit bibir bawahnya guna menahan rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya. Mencoba untuk tidak mengeluarkan suara ketika ikat pinggang sang Ayah melayang berkali-kali di punggungnya. Ia hanya bisa menahan semuanya sampai ayahnya benar-benar puas memukulinya. Setelah itu, ayahnya akan segera pergi ke kamarnya. Meninggalkannya yang sudah terkulai tak berdaya di lantai dingin rumahnya. Kejadian itu berulang setiap malamnya, ketika sang ayah pulang dari kerja. Kenapa ada seorang ayah yang begitu kejam. Tega memukuli anak semata wayangnya. Tanpa ampun. Tanpa penyesalan. Seakan-akan memang pukulan itu pantas untuk gadis kecil yang berusia sepuluh tahun. What the hell? Dimana hati nuraninya. Awalnya Reno sangat menyayangi Almaira. Semenjak kejadian istrinya meninggal karena melahirkan Almaira, ia sudah berjanji akan menjaga Almaira dengan baik. Namun, dua tahun kemudian setelah kelahiran Almaira, ia menikah lagi. Akan tetapi, ibu tirinya sangat tidak menyukai Almaira. Walaupun begitu Rasa sayang Reno masih tetap ada untuk Almaira. Seiring berjalannya waktu, pertengkaran terus saja terjadi di antara keduanya. Reno yang selalu saja membela anaknya dan istrinya yang selalu saja menyalahkan anaknya. Hingga akhirnya Reno mengetahui bahwa istrinya mengkhianati cintanya. Ia memergoki istrinya berselingkuh dengan pria lain. Amarahnya memuncak. Namun, ia masih ingin mempertahankan pernikahannya. Sayangnya sang istri malah tidak pulang selama berhari-hari. Membuat Reno menjadi gusar. Hingga datanglah sepucuk surat dari pengadilan. Ya, istrinya menggugat cerai dirinya. Reno yang sudah mulai kehilangan akal, membanting segala benda yang ada di depan matanya. Almaira langsung menghampiri Reno. Bertanya dengan tatapan polos, "Ayah kenapa?" Kebencian mulai menyelimuti hatinya. Ia tak terima, kenapa wanita yang ia cintai selalu meninggalkannya. Ia berpikir, salah satu alasannya adalah karena kehadiran Almaira di hidupnya. Ia menatap Almaira penuh kebencian. Melepas ikat pinggangnya lalu mengarahkannya ke tubuh mungil anaknya. Memukulnya tanpa ampun. Ia benar-benar kalap oleh amarah yang menguasai dirinya. "Semua ini gara-gara kau." Pukulan pertama. "Kau penyebab semua orang yang kucintai meninggalkanku." Pukulan kedua. "Kau pantas mendapatkan ini." Pukulan ketiga. "Kau anak sialan." Pukulan keempat. "Kau pembawa sial." Pukulan kelima. "Ini hukuman yang setimpal untukmu." "Dasar pembawa sial." "Enyah kau dari hidupku." Sumpah serampah terus saja keluar dari mulutnya. Sedangkan yang dipukul hanya bisa mengadu kesakitan dan menangis. Badannya gemetar. Kulit putihnya mulai membiru. Tenaganya mulai terkuras karena sakit yang luar biasa. Hingga akhirnya Almaira tak sadarkan diri. Terkulai lemas tak berdaya. *** Tujuh tahun berlalu dengan cepatnya. Kini Almaira tumbuh menjadi gadis cantik dan baik. Dua tahun ia lewati masa kecilnya di panti asuhan Kasih Bunda. Dimana ia mendapatkan kasih sayang seorang ibu, Sena. Juga mendapatkan teman-teman yang baik, Farah, Vano, dan anak-anak lainnya yang berada di panti itu. Namun, lima tahun selanjutnya. Almaira melewati masa remajanya bersama dengan orang tua angkatnya. Ia diadopsi oleh salah satu donatur di panti asuhan Kasih Bunda. Orang tua angkatnya sangat menyayanginya. Pun ia juga memiliki kedua kakak laki-laki, anak kandung orang tua angkatnya. Akan tetapi, anak kedua sangat tidak menyukai kehadiran Almaira. Berbeda dengan anak pertama yang saat ini justru sangat dekat dengan Almaira. Almaira sudah mengubur jauh-jauh masa lalunya. Ia pun sudah tidak mau mencari lagi keberadaan ayah kandungnya. Padahal Tama, ayah angkatnya ini berbaik hati menawarkan bantuan. Namun, Almaira menolaknya mentah-mentah. Ia sudah cukup bahagia dengan apa yang ia miliki sekarang ini. Almaira Pratama, itulah nama lengkapnya sekarang. "Ra," panggil kakak pertamanya yang bernama Septian Adi Pratama. "Hm." "Cuek banget elah." "Ga liat ya aku lagi baca buku," "Bodo. Temenin kakak jalan yuk." "Gamau ah." "Ayo, kakak bosan nih. Ini kan hari libur, masa iya di rumah terus." "Jalan sama kak Rendra sana ih." "Ayolah, Ra. Ara... adik kakak yang cantik, manis, dan imut ini." "Kalau ada maunya pasti gini." "Udah sama kak Rendra sana. Kalian kan gapernah jalan bareng." "Ah, kau ini. Rendra gaakan mau." "Yaudah, tunggu biar aku yang ngomong ke dia." Almaira langsung beranjak dari posisi duduknya. Melangkahkan kakinya menuju kamar Rendra Adi Pratama, anak kedua keluarga ini. Kakak angkatnya yang membenci kehadirannya di keluarga ini. Namun, bagaimanapun perlakuan Rendra kepada Almaira, ia sama sekali tidsk menaruh perasaan benci kepada kakak keduanya ini. Almaira memberanikan diri mengetuk pintu kamar milik Rendra. Sebenarnya ia takut, sudah pasti Rendra akan marah karena ia mengganggunya. Namun, inilah salah satu cara supaya Almaira bisa berbicara dengan Rendra. Tok... tok... tok... Suara ketukan pintu terdengar jelas. "Siapa?" Teriaknya dari dalam kamarnya. "Ara, Kak." "Pergi. Jangan ganggu." "Diajakin kak Septian jalan tuh." "Tidak mau." Almaira menghela napas kasar. Ia kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Septian menunggu kedatangan Almaira. Wajah lesunya sudah menunjukkan apa yang terjadi. Septian sudah menduga akan hal itu. "Kau tak apa?" Tanyanya hati-hati. Sedangkan Almaira hanya mengangguk pelan. Menampilkan senyum tipisnya. "Sampai sekarang pun, kak Rendra belum bisa nerima kehadiran aku di keluarga ini. Apa aku pergi aja ya dari sini?" Ucap Almaira putus asa. "Kau jangan bilang seperti itu. Cepat atau lambat dia pasti akan menerima dirimu. Bersabarlah," ucap Septian menenangkan. Papa, Mama, dan Septian tahu akan semua masa lalu Almaira kecuali Rendra. Itulah mengapa mereka sangat menyayangi Almaira. Mereka ingin memberikan seluruh kasih sayangnya pada Almaira. Mereka ingin Almaira merasakan bahwa dirinya memang layak untuk diterima dan dicintai. Itulah yang membuat Rendra iri. Ia merasa bahwa kasih sayang orang tuanya dan kakaknya mulai berkurang pada dirinya. Padahal tidak seperti itu. Mereka semua selalu berusaha untuk adil dan memberikan yang terbaik. "Daripada bersedih ayo kita beli es krim," tawar Septian untuk menghibur adik perempuannya ini. Mata Almaira berbinar-binar ketika mendengar kata es krim. Itu adalah makanan favoritnya. Makanan yang bisa mengembalikan energi positif pada dirinya. Ia mengangguk cepat dan langsung menarik lengan Septian. "Ah, dasar anak ini. Giliran dengar kata es krim langsung semangat," Septian menatap penuh bahagia melihat Almaira memakan es krim dengan semangatnya. Ia benar-benar bahagia melihatnya senyuman manis yang tercetak di bibir mungil Almaira. "Aku menyayangimu, Ra. Tetap seperti ini ya," ucapnya dalam hati sembari tersenyum simpul. Ia benar-benar menganggap Almaira layaknya adik kandungnya sendiri. *** Rendra memetik senar gitar asal di dalam kamarnya. Ia hanya bisa duduk termangu dengan banyak pikiran yang menguasai otaknya. Setiap weekend ia hanya menghabiskan waktunya berada di dalam kamar. Keluar dari kamarnya hanya untuk makan saja. Jika tidak, ia akan pergi ke rumah temannya. Kepribadian Rendra sangatlah cuek. Ia menjadi pendiam. Namun, ia juga playboy. Suka sekali mempermainkan hati seorang perempuan. Berbeda dengan Septian yang justru sangat berhati-hati ketika dekat dengan seorang perempuan. Septian yang lembut, dan Rendra yang keras kepala. Kepribadian yang bertolak belakang satu sama lain. Namun, tetap saja bagaimanapun mereka adalah sedarah. Septian dan Adelia berkeliling-keliling sebentar di mall setelah dari kedai es krim. Banyak sepasang mata yang memandang ke arah mereka. Menganggap mereka adalah sepasang kekasih. Apalagi Septian yang dengan posesifnya merangkulkan tangannya di bahu Adelia. Tak diragukan lagi, memang keduanya memiliki visual yang tampan dan cantik. "Kak," panggil Adelia di sela-sela jalan-jalan mereka. "Apa?" "Terima kasih." "Untuk?" "Semuanya." Septian hanya tersenyum menanggapi ucapan Almaira. Namun, langkah mereka seketika terhenti ketika Almaira merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya. "Akhhh..." ia meringis kesakitan. "Ra, kau baik-baik saja?" Tanya Septian khawatir. Sedangkan Almaira hanya mengangguk seraya menahan rasa sakit yang semakin menjalar di kepalanya. Almaira sudah tak bisa lagi menahan rasa sakitnya. Badannya terhuyung ke belakang. Ia kehilangan keseimbangan. Untung saja ada seseorang yang menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Tapi itu bukan Septian, melainkan orang lain. Laki-laki yang tinggi, putih, dan berbadan tegap. Sayangnya, Almaira sudah terlebih dahulu tak sadarkan diri. 2. Percaya Almaira masih tak sadarkan diri. Kini ia sudah berada di sebuah rumah sakit terdekat. Untung saja Septian bertemu dengan Keano. Laki-laki baik yang tadi sempat menahan tubuh adiknya agar tidak terjatuh. Namanya, Keano Aldebran Nugraha. Yang ternyata adalah kakak kelas Almaira di sekolah SMA-nya. "Terima kasih ya," ucap Septian tulus kepada Keano. Sedangkan Keano hanya membalasnya dengan senyuman. "Ah, aku baru tahu kalau Alma ini adik kelasku, Kak." Ujar Keano seraya menemani Septian menunggu Almaira sadar. "E- eh," kaget Septian. "Sepertinya ia tidak terlalu inframe di setiap acara sekolah. Makanya aku gatau. Aku mantan ketua OSIS dulu, heheh. Jadi, aku hampir tahu siapa saja murid yang bersekolah di sana." Curhatnya. Kini Septian mulai mengerti arah pembicaraan Keano. "Oh, kalau begitu kau temannya Rendra?" "Kita sekelas, Kak. Teman nongkrong juga." "Dia adikku." Septian memberitahu dengan semangat. "Ah, berarti Alma ini adiknya Rendra?" Septian mengangguk mantap. Namun, justru dahi mulus Keano berkerut heran. "Dia tidak pernah cerita kalau punya adik yang satu sekolah dengannya," Septian langsung bungkam. Berarti memang selama ini Rendra tidak pernah mengakui kehadiran Almaira. Tak lama kemudian, pintu ruang rawat inap terbuka menampakkan kedatangan Tama, Dina, dan Rendra. Nampak jelas raut wajah khawatir pada kedua orang tua itu. Berbeda dengan Rendra yang justru memasang muka datar. Sedangkan Keano membungkukkan badannya setengah guna menyapa kedua orang tua temannya itu. Awalnya Rendra nampak kaget ketika melihat keberadaan Keano di ruang rawat adik angkatnya. Kemudian ia menarik Keano untuk keluar dari ruangan itu sejenak. "Kau kenapa bisa ada disini?" "Tadi tidak sengaja ketemu di mall," jawab Keano santai. "Lebih baik sekarang kau pulang," suruh Rendra. "Kenapa kau tidak pernah cerita kalau punya adik perempuan yang satu sekolah dengan kita?" "Kau tak perlu tahu akan hal itu." "Hanya penasaran sih kenapa seorang kakak tidak mau mengakui adiknya sendiri," "Kau!" Rendra menunjuk ke arah Keano dengan tatapan tidak suka. "Jangan ikut campur masalah keluargaku. Kau tak punya hak sama sekali." Gertak Rendra kepada Keano. "Kita sahabat kan?" "Kita memang sahabat. Tapi tidak semua hal tentang diriku kau harus mengetahuinya." "Apa alasannya?" "Terkadang kita harus memberi batas untuk suatu hal yang tidak perlu orang lain tahu akan hal itu." "Termasuk keberadaan Alma sebagai adikmu?" Rendra terdiam. Ia tak ingin menjawab pertanyaan itu. Jujur, sebenarnya sudah sejak lama hatinya bimbang. Namun, kebimbangan hatinya kalah besar dengan egonya. Rendra memutuskan untuk kembali ke ruang rawat inap adik angkatnya. Meninggalkan Keano yang masih bingung dengan sikap sahabatnya ini sejak kelas 1 SMA. *** Tama, Dina, dan Septian harap-harap cemas melihat Almaira yang tak kunjung sadarkan diri. Berbeda dengan Rendra yang hanya menatapnya datar. Sebenarnya ia jengah berada di ruangan ini. Apalagi melihat orang yang ia cintai menaruh perhatian lebih pada adik angkatnya ini. Ia ingin pulang. Namun, Tama dengan tegas menyuruh Rendra untuk tetap disini sampai Almaira sadar. Keano, ia sudah berpamitan beberapa menit yang lalu karena sudah dicari oleh orang tuanya. Perlahan gerakan kecil jari Almaira menunjukkan eksistensinya. Itu artinya beberapa detik lagi ia akan sadar. Kelopak matanya yang awalnya tertutup rapat, kini terbuka secara perlahan. Semua orang di dalam ruangan itu tersenyum lega, tapi tidak dengan Rendra. Memastikan bahwa adik angkatnya sudah sadar, ia langsung pergi meninggalkan ruang rawat inap tersebut. "Kau tak apa, Nak? Apa ada yang sakit? Mama akan panggilkan dokter." Belum sempat Dina menekan tombol panggilan, dengan cepat Almaira menahan tangan Dina. Lalu ia tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja, Ma." "Kenapa kau bisa kelelahan? Bukankah jalan-jalan ke mall sudah biasa bagimu?" Tanya Septian mengintimidasi. Septian benar-benar curiga. Karena walaupun kelelahan tidak biasanya Almaira sampai pingsan seperti ini. Almaira tertegun. "Dan kenapa sampai-sampai pola makanmu menjadi tidak teratur selama seminggu ini?" Pertanyaan Septian benar-benar memojokkan Almaira. Pasalnya Almaira tidak boleh menceritakan apa yang terjadi selama satu minggu lalu. Almaira memejamkan matanya sejenak, "Kak, aku pusing. Bisa tidak nanti saja aku jawabnya," ujarnya. Septian menghela napas kasar. "Pulang dari rumah sakit kau harus menceritakan semuanya kepadaku." Ucap Septian tegas. Almaira hanya membalasnya dengan anggukan. "Sudah, sudah. Sekarang istirahatlah lagi. Papa sama Mama akan menjagamu." Ujar Tama. Namun, Almaira menggeleng kuat. "Tidak, tidak. Kalian semua pulanglah. Aku tahu kalian semua pasti lelah. Pulanglah, aku tak apa jika sendirian." Tolak Almaira mentah-mentah. "Papa sama Mama pulanglah. Biar aku yang jaga Ara. Besok aku tidak ada kelas kuliah. Jadi, biar aku saja oke?" "Kak..." "Septian..." "Tidak ada penolakan." Septian dengan cepat mendorong Papa dan Mamanya keluar dari ruang rawat Almaira. "Beristirahatlah, aku tahu kalian berdua pasti lelah karena baru saja tiba di Indonesia. Jadi, nikmati waktu kalian berdua. Hati-hati ya Pah, Ma..." "Aishh, dasar anak ini." Tama dan Dini hanya bisa pasrah menuruti kemauan anak sulungnya ini. "Istirahat lagi. Aku akan ke kantin rumah sakit dulu cari makan wkwk..." ucap Septian dengan kekehan kecil lalu pergi meninggalkan Almaira yang menggelengkan kepala melihat kelakuan kakaknya ini. Tak selang beberapa lama kepergian Septian, tiba-tiba pintu kamar inapnya terbuka. "Katanya mau cari makan, kok cepet banget sih, Ka-" ucapan Almaira terhenti ketika melihat sosok lelaki yang memasuki kamar inapnya. "Dasar payah! Baru juga seminggu disuruh kerja bersih-bersih rumah dan makan sehari sekali langsung sakit. Kau, memang tidak berguna sama sekali." Ucapan Rendra benar-benar menusuk dan menyakitkan. Almaira hanya membalasnya dengan senyuman. Walaupun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia merasakan sakit dan sesak di hatinya. "Sampai kapan, Kak?" "Apa?" "Adakah cara lain supaya kau bisa menerima keberadaanku?" "Ketika aku melihatmu menderita sampai-sampai kau ingin mengakhiri hidupmu." Ucapan Rendra benar-benar membuat dada Almaira sesak. Sebenci itukah Rendra padanya? "Kenapa, Kak? Apa aku harus mati dulu baru kau mau menerima keberadaanku?" "Wah, kau hebat sekali bisa menebak pikiranku. Benar, karena setelah kau mati aku bisa mengenangmu bahwa kau pernah hadir dan menghancurkan kehidupanku. Setelah kau tiada, maka semuanya akan kembali seperti sedia kala." Almaira benar-benar tidak menyangka dengan apa yang didengarnya ini. Air matanya sudah tidak dapat dibendung lagi. Ingatannya kembali ke masa tujuh tahun lalu. Dimana ayah kandungnya sendiri tidak ingin ia berada di dunia ini. Saat ini, situasi itu kembali. Dimana orang yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri tidak menginginkan keberadaannya di dunia ini. Ah, sebegitu tidak berarti kah kehidupannya di dunia ini? "Tunggu saja, Kak. Kelak hari yang kau tunggu itu akan segera tiba." *** Setelah beberapa hari beristirahat, akhirnya kesehatan Almaira sudah mulai membaik. Hari ini pun ia sudah bisa bersekolah. Seperti hari-hari biasanya, ketika berangkat ia akan diantar oleh Septian dan ketika pulang ia akan naik ojek atau taksi online. Bagaimana dengan Rendra? Ia sama sekali tak peduli dengan Almaira. Almaira tersenyum senang ketika Farah dan Vano sudah ada di depan gerbang sekolah menunggunya. Setelah berpamitan dengan Septian, ia langsung menghampiri kedua sahabatnya itu. "Gimana? Sehat?" Tanya Vano. "Aku kira kau akan meninggalkan kami." Ucap Farah memang yang terkesan blak-blakan. Walaupun begitu, Farah ini sangat menyayangi Almaira. Begitupun sebaliknya. "Omonganmu sekali-kali harus disaring dulu deh, Far. Dari dulu tidak ada perubahan sama sekali." Sebal Vano. Sedangkan Farah hanya terkekeh melihat wajah sebal Vano. Ternyata Vano dan Farah ini adalah saudara kembar. Namun, mereka berdua tidak kembar identik. Almaira baru tahu ketika dulu Bu Sena menceritakan latar belakang Vano dan Farah kepadanya. Mengapa mereka berdua bisa berakhir di tempat ini. Disini Vano itu kakaknya dan Farah adalah adiknya. "Yasudah ayo kita masuk ke kelas." Ajak Almaira disertai anggukan keduanya. Beruntungnya takdir memihak mereka bertiga, mereka satu kelas. Kelas 11 IPA 2. Ketiganya memiliki prestasi di bidang masing-masing. Vano dan Farah memang terkenal di sekolah ini karena prestasi mereka di setiap acara perlombaan akademik. Mereka pun sering disebut dengan sebutan "Kembar Pintar". Jadi, siapa yang tidak kenal dengan mereka. Lain halnya dengan Almaira. Ia pintar, tetapi ia tidak ingin dirinya menjadi sorotan banyak orang. Ia terlalu minder dan juga takut. Ketika ia mengikuti perlombaan untuk mewakili sekolah pun, prestasinya tidak ingin disebutkan. Ia menyuruh pihak sekolah untuk merahasiakan hal tersebut beserta merahasiakan identitas aslinya. Jadi, hampir tidak ada yang tahu jika dia adalah anak dari Pratama, donatur terbesar di sekolah swasta ini. Pun tidak ada yang tahu jika ia adalah adik dari Rendra Adi Pratama. Adik angkat lebih tepatnya. Walaupun ia berteman dengan Farah dan Vano, Almaira tidak terlalu menunjukkan eksistensinya. Warga sekolah hanya tahu kalau mereka memang berteman baik sejak kecil dan tumbuh bersama di panti asuhan. Selain itu, tidak ada yang tahu bagaimana aslinya. Waktu istirahat ini pun jarang sekali Almaira ikut ke kantin bersama dua sahabatnya ini. Ia lebih memilih untuk pergi ke perpustakaan. Menghabiskan waktu istirahatnya membaca novel kesukaannya. Keano memincingkan matanya ketika melihat sosok perempuan yang menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang langkah kakinya menghampiri perempuan itu. Ia mengambil duduk tepat di depannya. Namun, kehadirannya masih tak dihiraukan. Keano menatap dalam gadis kecil yang ia tolong beberapa hari yang lalu. "Cantik," gumamnya lirih. Merasa diperhatikan Almaira langsung mengubah pandangannya. Ia sedikit memundurkan bangkunya. Matanya membulat kaget. "Oh, maaf mengagetkanmu." Ujar Keano dengan cengiran khasnya. "A-ada apa, Kak?" Tanya Almaira gugup. Ini pertama kalinya ada seseorang yang menatapnya begitu intens. "Keano." Ucapnya memperkenalkan diri. Sedangkan Almaira masih memandangnya heran dan takut. Bagaimana nanti kalau ia menjadi sorotan di sekolah ini akibat perilaku laki-laki di depannya ini. Sudah jelas Almaira tahu bahwa laki-laki di depannya ini terkenal di sekolah ini. Almaira hanya diam. Tak ingin menjawab ataupun memperkenalkan diri. "Kau Alma kan?" "Adiknya Rendra?" Pertanyaan Keano merubah raut wajah Almaira. Ia menjadi tegang dan berkeringat dingin. Ia benar-benar gugup saat ini. Bagaimana dia bisa tahu identitas Almaira? Bagaimana jika Rendra tahu kalau ada seseorang yang mengetahui hal ini? Bukankah ia akan marah nantinya? Ya tuhan, Almaira benar-benar takut jika hal buruk akan terjadi kalau Rendra tahu akan hal ini. "Kau tak perlu takut. Rendra sendiri yang memberitahuku," bisiknya menenangkan. "K-kau tidak berbohong kan?" Keano tersenyum puas. Entah kenapa gadis kecil ini menarik di matanya. "Kumohon jangan beritahukan ini pada siapapun, Kak." "Kenapa?" Almaira tersenyum miris, "Aku percaya padamu, Kak." Lalu beranjak dari tempat duduknya dan melangkahkan kakinya pergi. Keano terdiam mematung. Jantungnya berdetak kencang saat Almaira mengatakan bahwa ia mempercayainya. "Astaga, mana mungkin aku bisa jatuh cinta secepat ini?" Lirihnya sembari memegang dadanya yang masih berdetak tak karuan. 3. Terluka "Kau ikut aku sekarang!" Rendra menarik paksa Almaira keluar dari rumah malam-malam ketika semua orang sedang tidak ada di rumah. "Masuk mobil!" "Ini udah malam, Kak. Mau kemana?" "Apa susahnya sih turuti perintahku." "Masuk!" Almaira hanya bisa pasrah. Sekalipun menolak Rendra pasti tetap akan memaksanya. Ketika keduanya sudah berada di dalam mobil, Rendra langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Almaira hanya bisa memegang erat sealbelt nya untuk mengurangi rasa takutnya. Walaupun ia tak tahu kemana tujuan Rendra membawanya pergi malam-malam begini. Tibalah mereka berdua di sebuah bangunan rumah yang sedikit kumuh. Banyak motor balap juga beberapa mobil yang dimodifikasi. Jika dilihat langsung membuat nyali Almaira menciut. Tempat apa ini, pikirnya dalam hati. Pikirannya mulai dihantui rasa takut. "Turun!" "Tidak mau." "Turun!" Almaira menggeleng tegas. Tanpa basa-basi lagi Rendra menarik paksa Almaira turun dari mobilnya. Menyeretnya tanpa ampun memasuki rumah kumuh itu. Setelah itu, mendorong tubuh gadis itu sampai jatuh tersungkur. Orang-orang yang berada di dalam rumah itu pun langsung mengerumuni Almaira dan Rendra. Ada sekitar 10 orang dengan penampilan yang cukup urakan. Seperti preman, tapi jika dilihat mereka masih muda. Setidaknya sepantaran dengan Rendra. Semuanya tersenyum licik dan menatap tubuh Almaira dengan penuh nafsu. Bau alkohol dan rokok tercium menyengat memenuhi ruangan ini. Almaira benar-benar takut sekarang. Disini dia hanya perempuan seorang diri. Sejak tadi Almaira sudah meneteskan air matanya. Sungguh, ini benar-benar menakutkan. Tatapan laki-laki yang mengelilinginya membuat nyali Almaira semakin menciut. Apa yang akan dilakukan kakak angkatnya ini padanya? "Jadi, ini mangsa kita?" "Cantik." "Bagaimana kau mendapatkannya?" "Apa kau jamin dia akan memuaskan kita?" "Jika dilihat sepertinya dia lebih cocok bermain denganku." Mereka saling bersautan satu sama lain. Perkataan yang tidak bisa dicerna Almaira sama sekali. Dia benar-benar gadis yang kelewat polos dan lugu. "K-kak, apa maksudnya ini? Tolong bawa aku pulang." Almaira benar-benar ketakutan saat ini. Sedangkan Rendra hanya tersenyum miring melihat wajah pucat ketakutan Almaira. "Biarkan aku dulu yang akan mencobanya. Setelah itu kalian boleh bergantian," ujar Rendra tersenyum miring lalu menyeret paksa Almaira memasuki sebuah kamar di ruangan tersebut. Dilemparlah Almaira di sebuah ranjang yang berukuran cukup besar. Rendra langsung membuka jaket yang ia kenakan lalu melempar jaket tersebut sembarangan. Diambilnya sebuah tali lalu mengikat kedua tangan dan kaki Almaira. Almaira sempat melakukan perlawanan. Akan tetapi, tenaganya kalah kuat dengan Rendra. Rendra melepas ikat pinggangnya. Memegang Almaira supaya berada dalam posisi duduk bersimpuh membelakanginya. Tanpa ampun ia langsung mengarahkan ikat pinggangnya pada punggung mulus milik Almaira. Almaira memekik. Ia merintih kesakitan. Kamar yang didesain kedap suara ini benar-benar menguntungkan Rendra. Dia bisa menyiksa Almaira sampai puas. Sedangkan di luar kamar, semuanya berkumpul. Merasa ada yang tidak beres dengan gadis yang dibawa Rendra. Walaupun mereka nakal seperti badboy, jika ada gadis yang dibawa kesini untuk memuaskan nafsu mereka pastilah seorang jalang. Begitupun jika mereka ingin melakukan hal itu pasti memakai pengaman. Hanya beberapa dari mereka yang suka melakukan hal itu, lainnya hanya seperti nongkrong biasa layaknya anak muda. "Dia bukan jalang." Ucap salah seorang yang bernama, Deva. "Iya, bisa dilihat dari raut wajahnya tadi yang ketakutan melihat kita." Timpal salah seorang lainnya. "Kita memang nakal tapi kita tidak akan merusak gadis yang masih perawan." "Kita harus menghentikannya." Semua yang berkumpul disana mengangguk setuju. "Gila tuh anak." "Cepat kita tolong gadis itu!" "Ada apa ini?" Suara Keano berhasil membuat semua orang menoleh ke arahnya. Mereka semua gugup karena kedatangan Keano. Pasalnya disini dialah ketuanya. "Gadis? Siapa? Apa maksud kalian?" Semuanya terdiam. Tak berani menjawab. Semua pandangan temannya menuju ke arah kamar yang tertutup rapat. "Apakah Rendra sedang bermain dengan wanita jalang lagi?" Tanya Keano yang tidak biasanya melihat gelagat teman-temannya yang seperti ini. Kini Deva angkat bicara. Sebelum semuanya makin terlambat, "Sepertinya yang dibawa Rendra kesini bukan seorang jalang." "Heh, apa maksudmu?" "Gadis tadi ketakutan." "Heh kenapa kalian tidak mencegahnya? Sial." Seperti tahu apa yang dimaksud oleh temannya ini, Keano langsung melangkahkan kakinya ke arah kamar tersebut. Pasalnya jika tidak ada Keano, maka Rendra lah yang berkuasa. Bisa dibilang Rendra adalah wakil ketua disini. "Berikan kunci cadangannya, cepat!" Deva dengan cepat memberikan kunci cadangannya kepada Keano. Tanpa pikir panjang, ia langsung membuka kamar tersebut. Pemandangan mengerikan terlihat jelas di mata Keano dan Deva. Almaira sudah terkulai lemas tak berdaya dengan kedua tangan dan kaki yang terikat. Sedangkan Rendra yang kaget karena pintunya terbuka langsung mengakhiri kegiatannya memukuli Almaira dengan ikat pinggang miliknya itu. Keano langsung mengarahkan pukulan keras tepat di pipi kiri Rendra. Sangking kerasnya pukulan itu sampai membuat Rendra jatuh tersungkur. Ada noda darah di sudut bibir Rendra bekas pukulan keras Keano. "Kau tak punya akal, hah? Dia ini adikmu. Sadarlah!" "Dia bukan adikku!" "Kau manusia kejam, ck." Keano berdecak lalu langsung menghampiri Almaira. Melepaskan tali yang mengikat kedua tangan dan kakinya lalu menggendong tubuh gadis kecil itu yang sudah tidak berdaya. "Ayo, kita ke rumah sakit." "J-jangan, K-kak." "Apa yang kau katakan? Lihatlah lukamu ini. Kau harus ke rumah sakit," "A-aku ingin pu-pulang," lirih Almaira setelah itu ia sudah tidak sadarkan diri. "Hey bodoh. Bangunlah!" "Hey, bangunlah." Keano menghela napas kasar. Ia segera membawa gadis itu keluar dari markasnya. Sebelum melangkahkan kakinya kembali, "Kalian semua, mulai hari ini sampai seterusnya jangan ada yang membawa wanita jalang ke markas ini. Kalaupun kalian ingin bermain, bermainlah di klub atau carilah hotel. Tidak boleh ada alkohol lagi disini. Jika salah satu dari kalian ada yang melanggar, aku tidak segan-segan menendang kalian keluar dari sini." Semuanya terdiam. Ini kali pertamanya mereka melihat Keano semarah ini. Semua pandangan langsung tertuju kepada Rendra. "Kita memang nakal tapi kita tidak sampai menyiksa seorang wanita. Aku benar-benar kecewa denganmu," ucap Deva lalu melangkahkan kakinya pergi mengikuti Keano. "Kita memang sering bermain dengan jalang tapi kita masih tahu batasannya. Tidak sampai ingin merenggut keperawanannya. Apalagi itu adalah adiknya sendiri. Kali ini kau benar-benar keterlaluan," ucap temannya lagi, Sandi. "Kau tahu kan kita bermain dengan jalang karena dia memang sudah tidak perawan lagi. Aku benar-benar kecewa padamu, Ren." Ucap salah satu temannya lagi, Refo. "Jangan sampai hal ini terulang lagi." Ucap Miko sembari menepuk pelan bahu Rendra lalu melangkah pergi. *** Raut wajah cemas dan khawatir Keano terlihat jelas ketika dokter pribadinya mengobati luka memar di punggung kecil milik Almaira. Sedari tadi ia mondar-mandir di depan kamarnya menunggu dokter Lea keluar. Ia masih tak habis pikir, kenapa Rendra bisa menjadi manusia sekejam ini. Apa salah Almaira sampai-sampai ia harus dipukuli seperti itu. "Bagaimana kondisinya, Dok?" Tanya Keano ketika dokter Lea keluar dari kamarnya. "Dia kekasihmu?" Goda dokter Lea kepadanya. Sedangkan Keano hanya mendengus sebal. "Ini bukan waktunya bercanda, Dok." Sedangkan dokter itu hanya terkekeh pelan melihat Keano yang salah tingkah. "Apakah dia dulu juga pernah mendapat luka pukulan di punggungnya?" "Maksudnya, Dok?" "Punggung gadis itu benar-benar memprihatinkan. Seperti yang kulihat, dia pasti pernah mendapatkan luka pukulan yang sama di masa kecilnya." "Hah masa kecil?" "Iya, luka itu masih berbekas sampai sekarang. Luka bekas pukulan ikat pinggang. Sama dengan lukanya yang sekarang ini." Dokter Lea menjelaskan apa yang dilihatnya. "Tebus obat ini di apotek ya? Setidaknya obat ini bisa sebagai pereda nyeri. Belikan juga salep ini supaya luka nya cepat mengering. Aku permisi dulu. Jaga dia baik-baik." Ucap dokter Lea lalu berpamitan. Sedangkan Keano hanya mengangguk membalasnya. Langkah dokter Lea terhenti sejenak, "Mungkin yang terlihat adalah luka di fisiknya, Ken. Tapi jika kau mau melihatnya lebih dalam lagi, ada luka batin yang dia sembunyikan." Ucap dokter Lea mengulas senyum kemudian melanjutkan langkah kakinya. Keano hanya terdiam. Masih mencerna semua perkataan yang dilontarkan dokter pribadi keluarganya itu. Ia menghela napas panjang. Lalu melangkahkan kakinya memasuki kamarnya untuk melihat kondisi Almaira. Intensinya memandang lekat gadis yang duduk di pinggiran tempat tidurnya. Pandangan Almaira kosong. Wajah cantik yang pucat. Keadaan yang benar-benar memprihatinkan. Keano memandangnya iba. Tatapannya berubah menjadi sendu di kala Almaira menyadari keberadaannya. Keano mendekatkan dirinya dan mengambil duduk tepat di samping Almaira. "Apa kau bisa mengantarku pulang, Kak?" Pinta Almaira menatap Keano dengan mata berkaca-kaca. "Lihatlah sekarang jam berapa!" Almaira melirik jam yang terpampang di dinding kamar ini. Jam itu sudah menunjukkan pukul 23.30 malam. Bagaimana jika nanti keluarganya mencarinya? Bukankah ini akan menjadi masalah besar bagi Rendra jika Almaira tidak pulang. "Bisakah mengantarku pulang sekarang, Kak? Orang rumah pasti akan mencariku jika aku tidak pulang." Ucap Almaira khawatir. "Setidaknya pikirkan dulu dirimu. Baru kau bisa memikirkan orang lain," "Semua orang di rumah pasti akan memarahi Kak Rendra jika aku tidak pulang. Tolong antarkan aku pulang. Kumohon," Almaira benar-benar memohon kepada Keano. Kini Keano menghadapkan tubuhnya ke arah Almaira. Dilihatnya gadis itu sudah banjir air mata. Keano benar-benar tidak tega jika melihat seorang wanita menangis. Tanpa pikir panjang direngkuhlah Almaira dengan lembut. Menenggelamkan wajah gadis itu di bahunya. Yang direngkuh justru semakin menangis terisak. Rasanya rasa sakit di punggungnya tidak sebanding dengan luka batin di dalam hatinya. Keano mengelus pelan dan lembut punggung Almaira. Setidaknya pelukan ini dapat membantu Almaira melepaskan segala bebannya. "Aku tahu hidupmu berat. Mulai saat ini, aku akan menjadi sandaranmu." Ucap Keano dalam hati. Sangking nyamannya Almaira di pelukan Keano, ia mulai berhenti menangis. Ia memejamkan matanya sejenak. Lalu tanpa ia sadari, ia tertidur dalam dekapan Keano. Sedangkan Keano tersenyum simpul ketika mendengar dengkuran halus gadis yang dipeluknya. Dilepaslah pelukannya lalu membaringkan tubuh ringkih Almaira. "Selamat malam. Semoga kau mimpi indah," lirih Keano. 4. Hati Nurani Sudah dua hari ini Almaira masih berada di rumah Keano. Ia benar-benar dirawat dengan baik disini. Tak hanya Keano, kedua orang tuanya pun dengan senang hati menerima keberadaannya di rumah ini. Justru mereka sangat senang bahwa Keano melakukan hal di luar dugaan mereka. Kedua orang tua Keano senang anak semata wayangnya ini merawat Almaira dengan baik dan tulus. Senyuman hangat Keano ketika bersama Almaira, menyentuh hati kedua orang tua ini. Senyuman itu kembali sejak dua tahun lalu adik perempuannya meninggal akibat kecelakaan. Sedari kemarin Almaira memaksa untuk pulang. Namun, Keano menolak mentah-mentah dan berakhir mengunci Almaira di dalam kamarnya. Hal ini ia lakukan supaya kesehatan Almaira segera pulih. Sebenarnya Almaira khawatir akan keadaan di rumahnya. Bodohnya, ia tidak membawa ponselnya. Itu yang membuatnya sulit untuk menghubungi orang rumah. Pasti keadaan rumah kacau karena ia tak pulang-pulang. Ia pun tak berangkat sekolah selama dua hari ini. "Astaga, apa yang harus kulakukan?" Gumam Almaira lirih. "Tetap disini sampai kau benar-benar pulih." Ucap Keano spontan memasuki kamarnya sembari membawa nampan yang berisikan makanan, air putih, dan obat. "Tapi aku ingin pulang, Kak." Lirih Almaira menundukkan kepalanya. Keano memutar bola matanya malas. Lalu ia menghela napas jengah. "Kondisimu masih belum cukup pulih. Tetap disini sampai semua lukamu mengering. Mengerti?" Almaira hanya terdiam menunduk. Memainkan kedua jari tangan yang berada di pangkuannya. Hanya saja ia sedih. Sedih karena tidak bisa bertemu Tama, Dina, dan Septian. Ia juga sedih karena mungkin Rendra akan dimarahi habis-habisan dengan semua orang di rumah. Ketika ia pulang nanti, sudah jelas kebencian Rendra akan meningkat semakin dalam kepadanya. Namun, lagi-lagi hatinya mengatakan bahwa kebencian Rendra bukanlah masalah besar. Toh, memang dia berhak membencinya. Keberadaan Almaira selalu saja menimbulkan masalah, asalkan Rendra merasa puas dan mengakui keberadaannya itu tak masalah. Sekalipun luka di dalam batin Almaira akan terkoyak semakin dalam. "Hei, apa yang kau pikirkan?" Tanya Keano ketika melihat Almaira yang hanya diam saja. Biasanya juga ia akan merengek meminta Keano untuk mengantarnya pulang. Almaira menggeleng sembari tersenyum. "Kak," panggilnya dengan nada serius. Sedangkan yang dipanggil hanya membalasnya dengan deheman. "Langit malam," "Apa?" "Aku ingin melihat langit malam." Ucap Almaira memohon kepada Keano. "Apa punggungmu masih terasa sakit?" Tanya Keano. "Sudah lebih baik." Jawab Almaira seraya tersenyum ceria. "Ayo, Kak..." "Kemana?" Tanpa pikir panjang Almaira langsung menarik lengan Keano menuju balkon kamar milik Keano. Sesampainya, ia langsung melepas lengan Keano. Kedua tangannya ditaruh di pagar pembatas balkon kamar Keano. Almaira langsung mendongakkan kepalanya. Memandang ke arah langit. Dilihatnya bulan berbentuk sabit yang ditemani satu bintang kecil kelap-kelip. Jarak bintang itu tak jauh dari bulan. Almaira tersenyum simpul, "Indah." Gumamnya lirih. Keano hanya diam memandangi gerak-gerik gadis kecil di sampingnya ini. Ia pun ikut tersenyum ketika melihat Almaira menampakkan senyuman kecilnya. "Kak," "Ya?" "Kau tahu, aku sangat ingin pulang." Ucap Almaira dengan pandangan yang masih ke arah langit. "Sudah kubilang aku akan mengantarmu pulang kalau kondisi sudah jauh lebih baik." Geram Keano yang mulai bosan dengan kata pulang yang dilontarkan Almaira. "Tidak, bukan itu." "Lalu?" "Aku ingin pulang ke atas sana." Ujar Almaira sembari menunjuk ke arah langit. "Kau ini bicara apa?" "Ketika tempat yang kau anggap sebagai rumah untuk pulang tidak memberikanmu rasa aman dan nyaman lagi, bukankah tempat pulang yang paling aman dan nyaman itu di atas sana?" Keano langsung menoleh ke arah Almaira yang masih memandang langit. Dengan berani ia memutar tubuh Almaira supaya berhadapan dengannya. Dilihatnya kedua mata Almaira yang sudah berkaca-kaca. Keano menatapnya sendu. "Apa maksudmu? Katakan padaku. Apa maksud dari ucapanmu itu?" Almaira terdiam. Menatap kedua manik mata Keano. Lalu ia tersenyum sedih. Satu per satu air matanya mulai berjatuhan. Ia mulai terisak. "A-apa yang harus aku lakukan, Kak? A-aku sudah tidak kuat lagi berada di dunia ini. Untuk apa aku berada di dunia ini jika orang-orang yang kusayangi tidak menginginkan keberadaanku? Untuk apa aku pulang, kalau nyatanya rumah untukku pulang tidak mau menerimaku? Untuk apa aku hidup jika tidak ada yang menginginkan keberadaanku. Untuk apa, Kak? Untuk apa! Aku ingin pulang, Kak. Sungguh, aku ingin pulang. Aku ingin pulang di tempat dimana tidak ada lagi penderitaan. Tempat dimana tidak ada lagi kebencian, dan tempat dimana tidak ada lagi kesedihan. Bi-bisakah Tuhan segera mengambil nyawaku? Bisakah Tuhan segera menjemputku pulang ke atas sana? Bi-bisakah, Kak?" Almaira menangis sesenggukan. Ia mengeluarkan segala emosi yang selama ini ia pendam. Pertahanannya sudah roboh beberapa detik yang lalu. Ia memukul-mukul dadanya dengan tangan kanannya. Ia merasakan sesak yang amat menyakitkan di dalam sana. Ia tergugu. Tak kuat lagi menahannya sendirian. Melihat ketulusan Keano seketika membuat Almaira mampu membagikan segala hal yang menyakitkan untuknya. Badan Almaira gemetar hebat menahan isak tangisnya. Keano hanya bisa menatap Almaira iba. Ia juga tak tahu harus bagaimana. Setidaknya gadis di hadapannya ini sudah mengeluarkan apa yang mengganjal di hatinya selama ini. "Ya Tuhan, seberat inikah kehidupannya?" Ucap Keano dalam hati. Keano ikut terduduk. Ia kembali merengkuh Almaira ke dalam dekapannya. Mencoba memberikan kenyamanan dan ketenangan untuk gadis kecil ini. Mengusap-usap lembut bahu Almaira. Sesekali mengecup singkat pucuk kepala Almaira. *** "Rendra, kau sembunyikan dimana Ara?" Tanya Septian dengan menggebu-gebu. Pasalnya dua hari ini memang Septian sudah mencari keberadaan Almaira. Dan ia belum mendapatkan hasilnya sama sekali. Terlebih kedua orang tua mereka masih belum tahu akan hal ini. "Aku tidak tahu." Jawabnya dengan datar. Septian yang sudah tidak bisa menahan emosinya lagi langsung mengarahkan pukulan tepat di wajah tampan Rendra. Ia melayangkan pukulan beberapa kali sampai Rendra jatuh tersungkur. Septian menarik kerah baju Rendra dengan kuat. "Cepat katakan! Dimana Ara sekarang? Jika kau tak ingin mendapatkan masalah lagi, cepat katakan. Jangan sampai mama dan papa tahu kalau Ara menghilang." Ancam Septian kepada Rendra. "Biarkan saja mereka tahu." Jawab Rendra menyeringai. Mendengar jawaban yang tidak memuaskan hati Septian ingin melayangkan pukulannya lagi. Namun, ia menahannya. "Kenapa? Pukul saja lagi. Pukul, Kak. Sekalian saja kau bunuh aku." Teriak Rendra yang kini sama-sama dikuasai oleh amarah. Yang satu khawatir, yang satu lagi benci. Rendra menatap nyalang ke arah Septian yang mulai melonggarkan cekalannya di kerah baju miliknya. Ia menyeringai sinis. Namun, ada kesakitan juga di dalam sana yang tidak dapat dilihat oleh Septian. "Salahkan saja aku! Kenapa semua orang harus menyalahkanku karena gadis seperti dia? Kenapa? Kenapa?" Ucap Rendra dengan nada tinggi. "Karena kau memang salah. Apa yang kau lakukan kepada Ara memang SALAH." Jawab Septian dengan nada yang penuh penekanan. "Tidakkah kalian lihat kalau disini aku juga terluka?" Mata dan wajah Rendra memerah. Ia mencoba menahan rasa emosionalnya. "Tidakkah kau juga berpikir bahwa ada seseorang yang lebih terluka, Ren? Jangan berpikir kau adalah korban disini. Sejak awal aku sudah bilang padamu, bukan? Tidak ada yang diistimewakan di rumah ini. Kau, Aku, dan Ara sama di mata mama dan papa. Hanya saja kau gelap mata, Ren. Kau sendiri yang membuatnya semakin rumit. Pikirkan baik-baik, di bagian mananya kita semua membedakan posisimu dengan Ara di rumah ini. Buka mata dan hatimu, Ren. Tolong, jangan semakin mempersulit keadaan ini." Ucapan Septian berhasil membuat Rendra terdiam. Ia merenungkan apa yang dikatakan oleh kakak kandungnya ini. "Besok bawa Ara pulang sebelum papa dan mama sampai di rumah," Septian langsung melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Rendra. Ia berniat untuk mencari kembali keberadaan adik angkatnya. *** Rendra berpapasan dengan Keano di koridor sekolah. Semenjak kejadian itu, semua teman-teman gengnya dan Keano sedikit menjauh darinya. Keano yang awalnya duduk sebangku denga Rendra pun memutuskan untuk pindah tempat. Mereka tidak saling menyapa. Ini memang ciri khas ketika mereka ada suatu pertengkaran. Batasnya hanya tiga hari, setelah itu mereka akan baikan lagi seperti sedia kala. Membicarakan dengan kepala dingin setelah intropeksi diri masing-masing. Kini mereka berdua sedang berada di rooftop sekolahan. Berdiri berdampingan dengan jarak kurang lebih satu meter. Keduanya masih terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. "Kau berhasil," Keano membuka percakapan terlebih dahulu. Sontak membuat Rendra menoleh ke arahnya. "Kau tahu? Dia terus memaksaku untuk mengantarnya pulang ke rumah. Tapi aku selalu menolaknya. Ku kira ia ingin pulang ke rumahmu. Tapi ternyata tidak," ujar Keano sembari tersenyum miris. "Bagus dong." Jawab Rendra seolah-olah tak mau tahu. Sontak Keano langsung menatap tajam laki-laki brengsek yang ada di hadapannya ini. "Kenapa kau menjadi sebrengsek ini?" "Bukankah dari dulu aku memang brengsek? Ah, bukan, bukan. Lebih tepatnya kita." Keano mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Sebisa mungkin ia harus mampu menahan emosinya. Keano menghela napas berat, "Setidaknya aku masih punya hati nurani." Rendra tertawa remeh mendengar ucapan Keano. "Tahu apa kau soal hati nurani? Kau kan sering memainkan perasaan perempuan. Mana mungkin kau memiliki hati nurani," Rendra benar-benar meremehkan Keano. "Bukankah kita sama? Kita sama-sama brengsek Keano. Jangan berlagak kau menjadi pahlawan dan orang baik." Rendra mendekatkan dirinya kepada Keano lalu berbisik, "Jadilah dirimu sendiri, Ken. Yang namanya brengsek tetap saja brengsek." Rendra menyeringai. Lalu meninggalkan Keano yang masih menahan amarahnya. Seperginya Rendra, Keano langsung meninju dinding tembok yang ada di dekatnya. Ia melampiaskan amarahnya ke dinding itu. Ia tak merasakan sakit di tangannya. Hanya saja perkataan Rendra berhasil melukai harga dirinya. Mulai hari ini, Keano merasa benci dengan dirinya sendiri. 5. Selamat Datang Hari ini Keano sudah berjanji akan mengantar Almaira pulang. Dokter Lea mengatakan bahwa luka di punggung Almaira sudah mulai mengering dan membaik. Walaupun bekas luka itu masih tetap ada di balik punggungnya. Setidaknya Almaira tidak terlalu merasakan ngilu lagi ketika ia harus berbaring untuk tidur. Almaira tersenyum lebar di dalam mobil yang dikendarai bersama Keano. Seketika aura kesedihan Almaira hilang begitu saja. Rona bahagia terpancar jelas di raut wajahnya. Mengatakan seolah-olah tidak pernah terjadi apapun padanya. Sesekali Keano melirik ke arah Almaira. Ia tersenyum simpul melihatnya. "Apa yang akan kau katakan nanti pada keluargamu?" Tanya Keano memecahkan keheningan. "Aku akan membuat alasan, Kak. Bisakah kau membantuku?" "Kau tidak akan berkata jujur kepada mereka?" Almaira terdiam. Mengarahkan pandangannya ke luar jendela, "Terkadang berkata bohong lebih mudah daripada mengatakan yang sebenarnya." Keano hanya bisa menghela napas. Ia benar-benar tidak tahu apa yang ada di pikiran gadis ini. Pikiran yang sulit ditebak. "Kalau kau tidak mendapatkan rasa aman dan nyaman di rumah itu, kenapa kau kekeh untuk pulang kesana?" Tanya Keano serius. "Karena hanya disana tempat yang bisa kutuju untuk pulang, Kak." Almaira menjawab diiringi senyuman simpul. Kini sampailah mereka di rumah kediaman Almaira. Mereka berdua langsung turun dari mobil. Keano mengantar Almaira sampai ke dalam rumahnya. Keano merangkul bahu Almaira dengan lembut memasuki rumah. Septian yang melihat kedatangan Almaira dan Keano langsung menghampiri mereka. Dengan posesifnya ia mengambil Ara dari rangkulan Keano dan langsung memeluknya erat. Almaira merintih pelan ketika ngilu di punggungnya terasa akibat pelukan erat Septian. Keano yang melihatnya segera ingin menjauhkan Septian dari Almaira. Namun, salah satu tangan Almaira terangkat mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja. Keano mengurungkan niatnya. "Kau darimana saja hah?" Tanya Septian khawatir sembari melepaskan pelukannya. Menatap tajam mata Almaira. Sedangkan Almaira hanya tersenyum mencoba mengalihkan rasa khawatir yang menyerang Septian. Karena rumah tampak sepi, sepertinya Tama dan Dina belum pulang dari perjalanan bisnis mereka di luar negeri. "Sebelumnya aku minta maaf, Kak. Dia menginap di rumahku beberapa hari ini." Ujar Keano angkat bicara. Sontak Almaira menatap tajam Keano. Perjanjian yang dibuat di mobil tadi tidak seperti ini. "Ka-kalian?" Septian masih tidak mengerti. "Apa yang kau pikirkan, Kak?" "Dia kesepian, Kak. Jadi aku mengajaknya ke rumah. Rendra jarang pulang kan? Waktu itu kalian juga tidak ada di rumah. Aku hanya kasihan padanya karena tidak ada yang menemaninya di rumah ini." Jelas Keano. "Sejak kapan kalian dekat?" Tanya Septian mengintimidasi. "Kemarin kita resmi jadi sepasang kekasih." Jawab Keano dengan santainya. Sebuah jitakan pelan mendarat di kepala Keano. "Dia bohong, Kak. Jangan dipercaya." Keano langsung menatap Almaira tak terima. "Aku dikirim sekolah untuk mengikuti pelatihan bersamanya. Sangking terburu-burunya aku sampai lupa tidak membawa ponsel dan mengabari kalian semua. Maaf, ini serba dadakan. Iya kan, Kak?" Almaira menyenggol pelan lengan Keano. Keano hanya bisa menghela napas pasrah. "Iya." "Lalu dimana barang-barangmu?" Tanya Septian yang masih curiga. "Aku tinggalkan di panti asuhan. Tadi sebelum pulang aku mampir dulu kesana. Aku kangen Ibu, heheh..." Septian menatap Almaira lekat. Lalu ia menghela napas berat. "Ku kira kau diapa-apakan oleh Rendra. Syukurlah kalau kau tidak kenapa-napa. Masuklah. Istirahat. Kau pasti lelah," Almaira mengangguk lalu berpamitan kepada Keano dan mengucapkan terima kasih. Melihat Almaira pergi, Keano juga berpamitan kepada Septian. Septian mengangguk mengiyakan. Keano melangkahkan kakinya pergi. "Semoga kau tidak akan kenapa-napa lagi," ucap Keano dalam hati kemudian melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah Almaira. *** Malam ini Keano nongkrong bersama teman-temannya. Bukan di rumah itu, melainkan di sebuah caffe langganan mereka yang dekat dari sekolahan mereka. Tidak ada Rendra disini. Semenjak kejadian itu, Rendra tidak pernah lagi nongkrong bersama mereka. Keano merasa bodo amat, begitupun teman-temannya yang lain. Rendra yang salah tetapi ia tak ada niatan sedikitpun untuk meminta maaf. "Ken," panggil Miko. "Hm," Keano hanya membalas dengan deheman sembari memainkan ponselnya. "Sampai kapan kita biarin Rendra? Bukannya ini akan semakin memperburuk hubungan kita?" Kini giliran Deva mengungkapkan pendapatnya. Sedangkan yang ditanya hanya mengangkat bahunya tak peduli. "Dia sendiri yang memperburuk keadaan ini, bukan kita." Ucap salah seorang yang lain, Gilang namanya. Sedangkan yang lain hanya diam. Sebagian lagi sibuk dengan bermain game di ponselnya. Keano beranjak dari tempatnya. Lalu melangkahkan kakinya pergi. "Mau kemana?" "Bertemu calon kekasih. Duluan." Jawab Keano singkat disertai kekehan kecil. Semenjak kejadian itu, Keano dan Almaira menjadi dekat. Memang tidak ada yang tahu perihal hubungan mereka. Jika di sekolah mereka tak pernah saling sapa. Namun, jika di luar sekolah mereka seperti sepasang kekasih. Tunggu, jangan berpikiran berlebih. Sampai saat ini Almaira hanya menganggap Keano sebagai kakak. Menurut Almaira, Keano itu cocok jika dijadikan pendengar yang baik. Ia lebih nyaman menceritakan segala hal kepada Keano. Walaupun tidak semuanya, itu sebagai pengganti Septian jika Septian sedang sibuk dengan kuliahnya. Berbeda dengan Keano, sejak awal ia sudah memiliki perasaan terhadap Almaira. Hanya saja ia sering menepis perasaan itu. Ada beberapa hal yang membuat Keano menjadi brengsek. Tanpa ia sadari, kehadiran Almaira di hidupnya membuka kembali pintu hatinya yang tertutup cukup lama. "Kak," panggil Almaira ketika melihat sosok Keano yang berjalan ke arahnya. Keano menyungging senyum simpul menghampirinya. Hari ini sabtu malam minggu. Sedang tidak ada siapa-siapa di rumah. Jadi, Keano mengajak Almaira bertemu di taman alun-alun kota. Suasananya ramai dengan pemuda-pemudi yang berkencan. Pun keluarga kecil yang menikmati waktu bersama di taman ini. Mereka berdua hanya duduk di kursi taman sembari memandang pemandangan yang ada di depan keduanya. "Lihat ke arah jam 2, Kak." Suruh Almaira kepada Keano. Sontak Keano menuruti arahan Almaira. "Ada apa?" "Keluarga mereka bahagia ya?" Keano dan Almaira memandang seorang pria paruh baya yang sedang berjalan bersama istri dengan anaknya yang berusia seumurun dengan mereka berdua. Namun, Almaira langsung memfokuskan pandangannya kepada keluarga bahagia itu. Perawakan pria itu seperti... "A-ayah," lirih Almaira yang masih terdengar di telinga Keano. Tanpa mempedulikan Keano di sampingnya, Almaira langsung berlari menghampiri pria tersebut. Hingga jarak mereka dekat, sontak Almaira memanggil pria itu dengan sebutan Ayah. Pria itu pun menoleh ke arah Almaira. Raut wajahnya terkejut setelah melihat Almaira. Dengan cepat ia menginstrupsikan kepada istri dan anaknya untuk segera pergi dari tempat ini. Namun, justru Almaira menahan lengan ayahnya. Cekalan Almaira langsung ditepis oleh anak perempuan yang seumuran dengannya. "Jangan pegang papaku!" ucap gadis itu kasar. Mendengar itu Keano langsung menghampiri Almaira dengan cepat. Ditariknya Almaira untuk berada di dekatnya. "Apa yang kau laku-" ucap Keano terpotong ketika melihat gadis yang memarahi Almaira. Kini wajah Keano langsung berubah menjadi dingin dan datar. "Ken," panggil lirih gadis itu kepada Keano. "Al, ayo kita pergi dari sini." "Aku ingin bicara dengan Ayah, Kak." "Aku bukan ayahmu." Pria paruh baya itu buka suara. Menatap Almaira remeh dan tak suka. "A-ayah lupa denganku? Ini aku Ara, Yah." Ucap Almaira dengan nada bergetar. Matanya sudah berkaca-kaca. "Anakku hanya Keyla. Tidak ada yang lain. Ayo kita pergi dari sini." Pria itu menggandeng istrinya dan Keyla untuk segera pergi meninggalkan tempat ini. Yang digandeng hanya bisa menurut. Keyla masih menatap Keano. Ada kerinduan yang terpancar dari kedua bola matanya. Keano tak peduli akan tatapan itu. Ia dengan senang hati langsung merengkuh Almaira ke dalam pelukannya. "Ayo kita pergi!" Ajaknya. Namun, Almaira menolak mentah-mentah. Ia berlari mengejar pria yang mirip dengan ayahnya. Nyatanya, memang dia adalah Husein. Ayah kandung Almaira. Meskipun pria itu menyakitinya, Almaira tidak pernah lupa sama sekali dengan wajah ayahnya. Mungkin wajah ayahnya berubah sedikit adanya lipatan-lipatan keriput. Tetap saja, Almaira masih bisa mengenalinya. "Tunggu, Yah." Almaira meraih lengan Husein. Namun, ditepisnya kuat-kuat cekalan Almaira hingga membuat gadis itu kehilangan keseimbangannya. Untung saja Keano berada di belakangnya. Almaira tidak jadi terjatuh. Pria itu membawa keluarga kecilnya semakin jauh dari jangkauan Almaira. Almaira memberontak ingin mengejar lagi tetapi ditahan kuat oleh Keano. "Dia tidak mengakuimu. Berhenti berharap pada orang yang tidak memiliki hati seperti dia." Ucapan tajam Keano berhasil membuat Almaira terdiam. "Sudah kubilang kan, Kak? Tidak ada yang menginginkanku di dunia ini." Lirih Almaira dengan tertawa miris. Entah sudah berapa lama air mata itu sudah menggenang di pipi chubby Almaira. "Jangan suka menyimpulkan suatu hal tanpa tahu fakta yang ada. Manusia tidak ada yang sempurna. Semuanya memiliki proses hidup masing-masing. Mungkin sebagian merasa dirinya tidak berguna di dunia ini. Tapi tanpa disadari ia berguna untuk orang lain. Bahkan ia sangat berharga bagi orang lain." Keano menangkup wajah bulat Almaira dengan kedua tangannya. Lalu menghapus air mata Almaira. "Jangan pernah berpikir bahwa kehadiranmu di dunia ini tidak diinginkan oleh banyak orang. Kau tahu? Aku sangat menginginkan kehadiranmu." Ucap Keano sembari tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya di samping telinga kiri Almaira lalu berbisik, "Selamat datang, Al. Selamat datang di hatiku." 6. Bahagia? Farah dan Vano menatap heran sahabatnya ini yang sedari tadi melamun. Saat ini Almaira mampir dahulu di panti asuhan setelah pulang sekolah tadi. Namun, pikirannya masih teringat akan kejadian beberapa hari lalu di taman alun-alun kota. Semenjak itu ia dan Keano menjadi canggung satu sama lain. Semenjak itu juga mereka tidak saling berkirim pesan. Untung saja di sekolah mereka jarang berpapasan. Jantung Almaira berdetak tak karuan tatkala mengingat perkataan Keano. Ia pun masih tidak mengerti maksud dari perkataan Keano kemarin. Apakah Keano menyukainya? Apakah Keano mencintainya? Atau apakah itu hanya kalimat penenang untuk menenangkan hati Almaira. Almaira benar-benar bingung saat ini. Kemudian ia menghela napas berat dan menyudahi lamunannya. Almaira mengerutkan dahinya ketika melihat ekspresi dungu kedua sahabat di depannya ini. Tawa Almaira pecah begitu saja. "Hahaha... hahaha... ya, apa yang kalian lakukan? Hahaha... kenapa menatapku seperti itu?" Ujar Almaira di sela-sela tawanya yang langsung mendapatkan dua jitakan kecil di kepalanya. "Akh... Sial!" Gerutu Almaira meringis kesakitan. "Apa yang kau pikirkan?" Tanya Vano kepadanya. Farah dan Vano ini sangat tahu bagaimana Almaira. Almaira dekat dengan Keano pun mereka berdua tahu. Namun, memang mereka bertiga ini berjanji untuk menjaga rahasia satu sama lain. Setidaknya, Almaira masih bisa merasakan indahnya sebuah persahatan. Almaira mungkin menceritakan kedekatannya dengan Keano. Akan tetapi, ia tidak pernah menceritakan apa yang telah diperbuat Rendra selama ini kepada mereka. Ketika ditanya kenapa Almaira tak ingin mengungkapkan identitas aslinya, alasannya adalah karena ia tak ingin menjadi sorotan banyak orang. Padahal itu karena Rendra tak ingin mengakui Almaira sebagai adiknya. Almaira selalu saja menceritakan hal-hal yang membuatnya bahagia. Hal-hal yang membuatnya sedih akan ia simpan sendirian. Baginya, sudah cukup ia tak ingin merepotkan banyak orang lagi. "Aku ingin bertanya sesuatu." Ujar Vano dengan nada serius kepada Almaira. Almaira hanya menaikkan salah satu alisnya menunggu pertanyaan dari Vano. "Kau ditembak sama Ken ya?" Almaira membulatkan matanya. Ia mengarahkan jitakan keras di kepala Vano. Vano hanya bisa merintih kesakitan sembari mengelus-elus bekas jitakan Almaira. "Mati dong." Jawab Almaira asal. "Bukan itu yang ku maksud." Kesal Vano. "Lalu?" "Punya sahabat otaknya dongkol banget kalau urusan cinta ya gini ini." Kini Farah berucap jengah melihat ketidakpekaan Almaira. "Kau tahu kan Keano itu siapa? Kita tidak masalah kau dekat dengannya. Tapi perlu kau ingat. Dia itu brengsek, Ra." Ucap Farah. Almaira memandang Farah tak mengerti. Farah bernapas jengah, "Dia sering gonta-ganti perempuan. Kau berhati-hatilah," Almaira tersenyum. Lalu ia menggeleng tidak membenarkan ucapan Farah. Padahal disitu Vano juga mengangguk setuju dengan ucapan saudara kembarnya. "Dia orang baik kok. Percaya padaku, dia benar-benar orang baik." Ucap Almaira mencoba meyakinkan kedua sahabatnya ini. "Awas saja kalau tiba-tiba kau menangis karena dia," ancam Farah. "Aku kan masih bisa berlari ke kalian." Ucap Almaira sekali lagi dengan senyuman khasnya. Kini ketiganya saling berpelukan. Tersenyum hangat. Bukankah ini namanya persahabatan yang keren? *** Rendra memarkirkan motornya di pinggir jalan. Ia berhenti sejenak untuk membeli minuman di warung pinggir jalan. Ia masih merasa haus karena baru saja selesai bermain basket dengan teman kompleks rumahnya. Walaupun sekarang ia tak banyak bergaul di sekolah, ia masih sering bergaul dengan teman-teman kompleks rumahnya. Pandangan matanya terfokus pada seorang pria paruh baya yang sedang memperbaiki mobilnya yang sepertinya mogok. Karena memang dasarnya ia suka dengan otomotif, Rendra memutuskan untuk menghampiri pria tersebut. "Mobilnya mogok, Om?" Tanya Rendra dengan sopan. Sebenarnya Rendra ini orang baik. Hanya saja ia masih gelap mata. Kebencian sebagian besar masih menguasai hatinya. Pria itu menoleh, "Ah iya. Sepertinya air aki nya habis, Nak." Jawabnya. Rendra langsung ikut mengecek mesin mobilnya. Mengotak-atik mesin itu sesuai pengetahuannya. "Sepertinya mobilnya harus dibawa ke bengkel, Om. Ini ada beberapa bagian mesin kecil juga yang harus diperbaiki." Jelas Rendra. Pria itu mengangguk lalu mengambil ponsel di saku celananya dan menelepon montir langganannya. "Kalau gitu saya permisi dulu, Om." Pamit Rendra sembari tersenyum lalu melangkahkan kakinya pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika lengannya ditahan oleh tangan pria yang ditolong Rendra tadi. Sontak Rendra menoleh ke arah pria tersebut. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Om?" "Bisa tolong antarkan saya pulang?" Rendra berpikir sejenak. Lalu ia mengangguk. Tak lama kemudian montir langganan pria itu datang. Setelah menitipkan mobilnya, Rendra dan pria itu langsung pergi dari tempat tersebut. Kini sampailah mereka berdua di rumah yang cukup megah. Setelah mengantarkan pria tersebut, Rendra langsung berpamitan pulang. Akan tetapi ia ditahan oleh pria itu untuk mampir sebentar di rumahnya. Sebagai tanda terima kasih katanya. Sungkan untuk menolak, Rendra pun mengiyakan permintaan pria tersebut. Akhirnya mereka berdua masuk ke dalam rumah. Kedatangan mereka langsung disambut baik oleh dua orang wanita. Seketika Rendra diam mematung. Tatkala ia mengenal salah satu wanita itu. Pandangan mata mereka bertemu. "Keyla," lirih Rendra. "Kau mengenal putriku?" Tanya pria itu. Ya, dia adalah Husein. Rendra mengangguk lemah. Seketika bayangan masa lalu terputar di memori otaknya. Ternyata takdir mempertemukan mereka kembali. "Ah istriku dan Keyla. Kenalkan, dia yang menolongku tadi di jalan." Suasana masih terasa canggung disini. "Keyla temani dia dulu. Sayang tolong siapkan makan malam, mari kita makan bersama. Aku akan mengganti pakaian kerjaku dulu." Husein tersenyum lalu menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Sedangkan, Meyra istri Husein langsung ke arah dapur. Tinggal Rendra dan Keyla berdua di ruang tamu. Mereka berdua hanya saling diam. Sesekali melirik untuk melihat satu sama lain. Bagaimanapun juga ada kisah lama di antara keduanya. Keyla, juga adalah alasan mengapa Rendra menjadi brengsek. Suka mempermainkan hati perempuan. Dua tahun yang lalu, "Key, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan." Ucap Rendra kepada Keyla setelah mereka berdua baru saja selesai ke acara pemakaman adik Keano. "Ya?" "Saat ini Keano sedang terpuruk. Kumohon tetaplah di sampingnya." Keyla tersenyum miris mendengat perkataan Rendra. Pasalnya walaupun status Keyla adalah kekasih Keano. Ia tidak mencintai Keano, melainkan mencintai Rendra. Rendra tahu akan hal itu. Karena Keyla yang mengungkapkan dulu perasaannya kepada Rendra. Rendra pun memiliki perasaan yang sama dengan Keyla. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Keyla sudah menerima perasaan Keano tiga bulan yang lalu. Mau tak mau, Rendra harus mundur. Bagaimanapun pertemanan mereka tidak boleh berakhir hanya karena mencintai wanita yang sama. Kalau saja Rendra bergerak cepat dan Keyla tidak menerima Keano, mungkin sampai saat ini mereka akan bisa menjadi sepasang kekasih. "Bukankah kau sudah tahu bahwa aku mencintaimu? Berapa kali harus kukatakan kalau aku mencintaimu, Ren?" Ucap Keyla gemetar. Rendra mengusap wajahnya frustasi, "Sejak kau menerima perasaan Ken, sejak saat itu juga aku sudah menghapus perasaanku kepadamu." "Key, tidak bisakah kau mencintainya secara tulus? Dia membutuhkanmu, Key. Tolong mengertilah," ucap Rendra frustasi. Bohong jika ia tidak memiliki perasaan kepada Keyla sampai saat ini. Nyatanya, perasaan itu sudah mulai memudar seiring berjalannya waktu. Keyla memegang kedua tangan Rendra dengan lembut. Matanya sudah berkaca-kaca. Sepersekian detik tangisnya sudah pecah. Ia menangis sesenggukan. "Aku tidak bisa lagi melakukannya. Aku sudah mencoba tapi tetap tidak bisa, Ren. Semakin aku menyangkal perasaanku padamu, semakin dalam rasa cintaku padamu." "Kau tahu, Key? Akhirnya kita semua akan tersakiti." Rendra melepas genggaman tangan Keyla pelan. Lalu pergi meninggalkan Keyla yang masih menangis. Tanpa disadari ada sepasang mata yang melihat kejadian tersebut. Ya, Keano melihat semuanya. Dadanya terasa sesak berkali-kali lipat. Hari ini ia sudah kehilangan dua wanita yang ia cintai sekaligus. Rendra dan Keyla masih terdiam satu sama lain. Tak ada yang ingin membuka percakapan. Sesekali Rendra menyesap teh hangat yang disuguhkan untuknya. Karena sudah lama berdiam diri, Rendra membuka suaranya. "Apa kabar?" Tanyanya sembari menatap sendu Keyla. Begitupun sebaliknya. "Aku baik. Kau apa kabar?" "Baik juga." Jawab Rendra seadanya. Mereka kembali terdiam. "Bisakah kita melupakan masa lalu kita? Bisakah kita memulai semuanya dari awal lagi?" Lirih Keyla yang masih terdengar oleh telinga Rendra. Rendra tersenyum lalu menggeleng pelan. "Harusnya kita sudah bahagia dengan hidup masing-masing." "Menurutmu apakah aku bahagia, Ren?" "Iya." "Ah, kenapa kau jadi orang jahat sekarang?" "Bukankah memang dari dulu aku orang jahat?" Rendra menyeringai sinis. Keyla tak percaya dengan jawaban lelaki yang ada di depannya ini. "Kau adalah alasanku untuk bahagia, Ren. Mari kita kembali bersama," perkataan Keyla membuat Rendra benar-benar merasa kesal. Cerita mereka sudah berakhir dua tahun yang lalu. "Tapi kau bukan alasanku untuk bahagia, Key." "Kau mungkin bisa mengukur kebahagiaanmu. Tapi kau tidak bisa mengukur kebahagiaanku." Ucapan Keyla membuat Rendra tak bisa bergeming lagi. Keyla yang masih setia dengan masa lalunya dan Rendra yang masih setia dengan ego kebenciannya. Setiap orang pasti memiliki luka sendiri-sendiri. Sedekat apapun kita dengannya, tidak ada yang bisa mengukur seberapa dalam luka tersebut. Tidak ada yang bisa mengukur sebahagia apa orang tersebut. Orang selalu tersenyum pun, ia juga memiliki luka di dalamnya. Hanya saja ia tak bisa mengekspresikan emosi yang dimiliki nya secara bebas. Orang yang cengeng pun, itu karena ia mampu mengekspresikan emosinya. Hanya orang yang bersangkutan yang mampu mengendalikan perasaan emosi, pikiran, dan perilakunya. Hanya orang yang bersangkutan yang mampu membuat luka yang ada dirinya sembuh. Pun hanya orang yang bersangkutanlah yang mampu mengukur sebahagia apa dirinya. 7. Selamat Datang (2) Tama, Dina, Septian, dan Almaira telah berkumpul di meja makan. Mereka semua menunggu kedatangan Rendra. Ini sudah menjadi hal rutin yang mereka lakukan ketika Tama dan Dina ada di rumah. Namun, sedari tadi yang ditunggu tidak kunjung datang. Padahal Rendra juga sudah dikabari oleh Septian untuk segera pulang. Rendra pun mengiyakan. Lima belas menit lamanya menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga. Rendra langsung duduk di tempatnya. Akhirnya acara makan malam pun berlangsung dengan hening. Yang ada hanya suara adu sendok garpu dengan piringnya masing-masing. Setelah percakapannya dengan Keyla tadi Rendra langsung berpamitan untuk pulang. Untung saja kakaknya menelepon di saat yang tepat. Karena Rendra sudah jengah dengan Keyla yang masih tidak bisa melupakan masa lalu di antara keduanya. Padahal tanpa disadari, Rendra pun menjadi brengsek karenanya. Selesai makan malam, semua nya langsung sibuk dengan aktifitas masing-masing. Mereka akan berkumpul dan bercanda bersama ketika hari weekend. Dan memang entah kenapa mungkin ini sudah menjadi tradisi di keluarga ini. Untungnya Almaira juga mampu beradaptasi dengan kebiasaan ini. Jika hari kerja, memang mereka semua harus difokuskan dengan kegiatan mereka masing-masing. Dan ketika weekend itu adalah hari keluarga. Walaupun hanya berkumpul sekitar satu sampai tiga jam saja. Mereka akan bertukar cerita satu sama lain. Namun, hari weekend bagi Rendra itu cukup memuakkan. Karena ia tidak memiliki banyak hal untuk diceritakan. Hari ini Tama dan Dina akan bertolak ke negara sebelah. Lagi, lagi pasti urusan bisnis. Walaupun mereka sangat sibuk, mereka tidak pernah melupakan anak-anaknya. Sesampainya di negara tetangga mereka pasti akan menelepon semua anaknya. Pun ketika pulang, mereka pasti membawakan oleh-oleh. Septian hari ini tidak ada di rumah. Ia harus melakukan penelitian untuk skripsinya. Jadi, ia akan pulang larut malam. Di rumah hanya tersisa Rendra dan Almaira. Pembantunya sudah pulang karena memang mereka hanya dipekerjakan untuk membersihkan rumah dan memasak. Pun sopir pribadi mereka meliburkan diri. Sedari tadi Almaira mengetuk pintu Rendra untuk mengajaknya makan malam. Karena sejak pulang sekolah Rendra mengurung dirinya di kamar. Tidak keluar sama sekali. Tak ada jawaban dari Rendra, Almaira memberanikan diri untuk memasuki kamar Rendra. Beruntungnya pintu kamar Rendra tidak terkunci. Kamar dengan desain abu-abu putih nampak keren di mata Almaira. Ini adalah pertama kalinya Almaira memasuki kamar Rendra. Intensinya langsung tertuju pada tempat tidur dengan sprei berwarna abu gelap. Dilihatnya Rendra yang tertidur dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Almaira memberanikan diri untuk mendekat. Tubuh menggigil, wajah pucat pasi, dan keringat dingin Rendra terlihat jelas di mata Almaira. Tanpa pikir panjang ia langsung memegang dahi Rendra. "Astaga. Tubuhnya panas sekali." Almaira memekik ketika punggung tangannya merasakan panas. Ia pun segera mengambil termometer dan air kompresan. Sekembalinya, ia langsung memasang termometer digital untuk mengecek suhu tubuh Rendra. Tertera angka 39,1° C di sana. Ia langsung memeras handuk kecil lalu menaruhnya di dahi Rendra. "Kak, makan dulu yuk." Bujuk Almaira kepada Rendra. Sedangkan Rendra justru tak ingin bangun. Sesekali ia mengigau tetapi suaranya tidak terdengar jelas di telinga Almaira. Almaira menghela napas panjang. Ia mengambil selimut lagi untuk menyelimuti Rendra. Setidaknya ini akan membuat tubuh Rendra lebih hangat. Dengan setia Almaira tetap menunggui Rendra. Sekalipun ia harus duduk di bawah. Almaira menopang kepalanya di pinggiran tempat tidur Rendra. Salah satu tangannya memeluk tubuh Rendra dari samping. Ia pun tertidur dengan posisi seperti itu. Septian mengintip hal itu di balik pintu kamar Rendra. "Dia sangat menyayangimu, Ren. Sampai kapan kau akan membencinya? Lihatlah. Apapun yang telah kau perbuat kepadanya, tidak sedikitpun ia membencimu. Semoga kau cepat sadar bahwa yang kau lakukan selama ini salah." *** Almaira terbangun tengah malam. Ia merasakan pegal dengan posisi tidur seperti itu. Ia lalu mengecek kembali suhu tubuh Rendra. Panas di tubuh kakak angkatnya ini sudah mulai reda. Akhirnya ia pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Namun, langkah kakinya tertahan ketika sebuah tangan memegang pergelangan tangannya. "Terima kasih," lirih Rendra lalu melepaskan tangannya dan tertidur kembali. Almaira mengulas senyum. Bukankah ini merupakan awal yang baik untuk dirinya? Pagi-pagi sekali Almaira sudah menyiapkan bubur untuk Rendra. Sebelum berangkat ke sekolah, Almaira ke kamar Rendra dahulu dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur, air putih, dan obat demam. "Buat siapa?" Tanya Septian ketika berpapasan dengan Almaira yang ingin menuju kamar Rendra. "Kak Rendra." "Dia kenapa?" "Sakit." "Dia bisa sakit?" "Kak..." "Iya, iya maaf. Setelah ini aku akan ke kamarnya." Septian bersikap seolah-olah ia tak tahu bahwa adik kandungnya ini sedang sakit. Padahal kemarin dia mengawasi keadaannya setiap waktu. Walaupun begitu, jiwa seorang kakak akan selalu melekat padanya. Rendra sudah berada dalam posisi setengah duduk dengan tubuhnya yang bersandar pada tempat tidurnya. Ia memegang kepalanya yang masih terasa pusing. Begitupun ia yang masih merasakan lemas di tubuhnya. Wajahnya pun masih pucat pasi. Pandangannya terfokus pada seseorang yang membuka pintu kamarnya dengan tangan yang membawa sebuah nampan. Rendra menatap gadis itu sendu. Pikirannya masih terbayang akan kejadian yang ia lihat semalam. Ya, ketika Almaira tertidur. Rendra terbangun dari tidurnya. Ia mulai merasakan sesal di dalam hatinya. Dengan lembutnya orang yang ia benci mau menjaga dan merawatnya ketika sakit. Almaira yang merasa ditatap Rendra terus sedikit ketakutan. Ia takut jika Rendra akan marah lagi padanya. Justru apa yang dipikirkannya hilang begitu saja. Rendra hanya diam sembari memperhatikan gerak-gerik Almaira menyiapkan sarapan dan obat untuknya. "Hari ini kau tidak perlu sekolah, Kak. Aku sudah meminta tolong ke kak Ken untuk mengijinkanmu ke wali kelasmu." Ujar Almaira yang masih sibuk menyiapkan sarapan dan obat untuk Rendra. Almaira terdiam. Menunggu reaksi Rendra. "Dia mau mengijinkanku?" Respon Rendra sedikit membuatnya kaget. Ia pikir Rendra akan marah dan keras kepala. "Mau kok." "Kalau gitu buburnya dimakan ya, Kak? Jangan lupa obatnya diminum juga. Setelah itu istirahatlah lagi supaya kau cepat sembuh. Aku akan berangkat sekolah sekarang," ucap Almaira sekaligus berpamitan. "Terima kasih." Ucap Rendra tanpa suara menatap kepergian Almaira. *** Sedari tadi Keano menunggu Almaira di perpustakaan ketika jam istirahat tiba. Sudah lima belas menit ia menunggu. Anehnya, Almaira belum juga datang. Padahal biasanya juga Almaira yang akan sampai duluan di perpustakaan. Almaira masih bersitegang dengan Keyla di toilet perempuan. Ia cukup kaget, ketika di kelasnya ada murid baru. Ya, entah kenapa Keyla masuk ke sekolah ini. Dimana semua orang di masa lalunya berada di sini. "Kau siapanya Ken?" Tanya Keyla sinis. "Bukan urusanmu." Jawab Almaira datar dan ingin segera keluar dari toilet ini. Namun, langkahnya selalu tertahan oleh Keyla. Sepertinya Keyla tidak ingin membiarkan Almaira pergi dengan tenang. "Dia milikku. Kau tidak boleh dekat dengannya." Almaira tersenyum miring mendengar larangan Keyla. Sebenarnya ada hubungan apa gadis ini dengan Ken? Pikirnya. "Kau yakin dia milikmu? Jika dia lebih memilihku kau bisa apa?" Sarkas Almaira dengan ucapan telak membungkam Keyla. "Aku akan membuat perhitungan denganmu." Ucap Keyla lalu melangkah pergi dengan perasaan kesal. Almaira menatap cermin yang ada di depannya. Ia menarik napas panjang. "Kau benar, Farah. Aku sudah terjebak. Aku mencintainya." Lirih Almaira. Ia langsung melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Waktu menunjukkan kurang 10 menit lagi sebelum jam istirahat berakhir. Almaira menepuk jidatnya pelan. Ia langsung berlari keluar dari toilet. Ia lupa bahwa ada janji dengan Keano untuk belajar bersama di perpustakaan. Pasti Keano sudah menunggunya sedari tadi. Dengan napas yang terengah-engah ia berhasil menemukan keberadaan Keano. Almaira tersenyum simpul dibalik napas yang masih tak beraturan itu. Ia langsung menghampiri Keano yang berdiri di pinggiran rak buku. "Kak," panggil Almaira pelan. Karena memang di perpustakaan tidak boleh mengeluarkan suara keras dan menimbulkan berisik. "Maaf," "Kalau tidak bisa seharusnya kau berterus terang. Jangan memaksakan diri," Keano kesal dan langsung melangkahkan kakinya pergi. Almaira langsung menahannya. "Kenapa kau sangat kesal seperti ini? Aku sudah berlarian seperti ini untuk bisa menemuimu dan ini balasanmu, Kak?" Keano tertegun. "Ada yang ingin ku katakan padamu." "Besok saja. Aku sudah tidak mood lagi." "Astaga... kau seperti bayi, Kak." "Hey," sergah Keano dengan suara yang lumayan keras sehingga membuat semua orang menoleh ke arah mereka berdua. Almaira langsung menarik Keano keluar dari perpustakaan. Masih berjalan di koridor, Keano langsung melepaskan genggaman Almaira. Ini pertama kalinya mereka terlihat bersama oleh semua siswa disini. Sekarang pertama kalinya Almaira menjadi sorotan siswa yang berada di koridor. Keano langsung berbalik arah. Tidak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya ingin menyelamatkan dan menjaga Almaira. Pasalnya ia tahu bahwa Almaira tidak suka menjadi sorotan banyak orang. Mengerti dengan apa yang dimaksud Keano, Almaira langsung melengos pergi juga. Semua siswa yang melihat hal itu hanya bisa menatap mereka berdua heran dan curiga. Farah dan Vano yang melihat kejadian tersebut pun langsung menghampiri Almaira. "Kau, bagaimana bisa?" "Maaf, aku kelepasan." "Kalau kau benar-benar menjadi sorotan semua murid disini bagaimana?" Almaira menghela napas, "Berarti sudah waktunya aku menunjukkan siapa diriku." "Kau yakin?" Almaira mengangguk. "Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini." Farah dan Vano tersenyum mendengar jawaban sahabatnya ini. Akhirnya Almaira mulai bangkit secara perlahan. Sebelum memasuki kelas, Almaira mengambil ponsel di sakunya lalu mengetik pesan untuk Keano. Nanti antar aku pulang ya, Kak. Jangan marah-marah lagi. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," Send. Akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Dengan tergesa-gesa Almaira langsung membereskan buku dan alat tulisnya. Kali ini ia bersemangat sekali untuk segera menemui Keano. "Kenapa buru-buru sekali?" Tanya Vano heran. "Ingin bertemu dengan Ken, hehe. Duluan ya," jawab Almaira bersemangat dan langsung pergi dengan sedikit berlari. Ia hanya tak ingin Keano menunggunya terlalu lama lagi. Farah dan Vano hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sahabatnya ini sedang dilanda panah asmara. Seketika langkah Almaira terhenti ketika melihat posisi Keano yang berpegangan tangan dengan Keyla. Pun posisi mereka yang seperti itu membuat semua mata para murid tertuju kepada mereka berdua. Almaira hanya bisa tersenyum melihatnya. Senyuman yang tidak bisa diartikan. Ia menunduk, lalu berbalik arah. "Kau tahu hal yang ingin kukatakan untukmu, Kak? Selamat datang. Selamat datang juga di hatiku," ucap Almaira pelan dengan terus berjalan meninggalkan parkiran sekolah. 8. Jatuh Cinta Keano melihat Almaira. Namun, entah kenapa kakinya terasa ngilu digerakkan untuk menyusul gadis yang selama ini menarik perhatiannya. Pandangannya kembali lagi kepada Keyla yang menatapnya penuh harap. Ya, Keyla meminta balikan dengan Keano. Jika ia tidak bisa mendapatkan Rendra, setidaknya ia bisa mendapatkan Keano kembali. Keano benci berada di posisi seperti ini. Setengah hatinya ia memang masih mencintai Keyla. Namun, setengah hatinya lagi sudah terisi oleh Almaira. Keano langsung melepas genggaman tangan Keyla. Tanpa memberi jawaban apapun, ia langsung masuk ke dalam mobilnya dan pergi. Dua tahun yang lalu, "Kita putus saja, Key. Aku sudah tahu semuanya," ujar Keano setelah tujuh hari kematian adik perempuannya. Keyla benar-benar terkejut saat itu. "Apa yang kau katakan, Ken? Tidak. Aku tidak mau putus denganmu." "Kau tidak mencintaiku kan, Key?" Pertanyaan Keano dengan telak membungkam mulut Keyla. "Aku benar kan?" "Jangan memaksakan diri, Key. Akhirnya kita semua akan tersakiti satu sama lain." Ucap Keano pelan sembari menatap sendu Keyla. Keyla langsung pergi dari rumah Ken dan berniat untuk menemui Rendra. Di sisi lain, ia merasa sedih karena diputuskan oleh Keano. Namun, di sisi lainnya lagi ia merasa senang karena ia dapat bersama dengan Rendra. Harapannya sia-sia ketika ia melihat Rendra bersama dengan wanita lain. Jadi, ia sudah kehilangan dua orang sekaligus? Pertama, Keano yang mencintainya dengan tulus. Dan yang kedua, Rendra yang ia cintai dengan tulus. Semenjak itu, Keyla memutuskan pergi dari kehidupan keduanya. Keano, Rendra, dan Keyla mencoba menjalani hidupnya masing-masing. Walaupun begitu, Keano dan Rendra masih tetap berteman sampai sekarang. Tapi alangkah sulitnya menebak jalan cerita takdir. Mereka semua akhirnya dipertemukan kembali. Mungkin memang ini jalannya. Mereka dipertemukan kembali untuk menuntaskan perasaan masing-masing yang belum usai. Keano melihat Almaira yang berjalan menuju halte bus di depan sana. Ia melambatkan laju mobilnya dan membunyikan klakson. Sontak membuat Almaira menghentikan langkahnya. Almaira menoleh dan kaca mobil tersebut turun perlahan. Menampakkan Keano dengan senyum simpulnya. "Ayo, masuk. Katanya minta antar pulang? Kenapa malah pulang sendiri, hm?" Ucap Keano di dalam mobil. Oh, dia sudah tidak marah lagi. Pikir Almaira. Seketika hal itu menjadi pemandangan beberapa siswa yang berada di tempat itu. Dengan tatapan aneh dan seperti bertanya-tanya. Tanpa pikir panjang Almaira langsung masuk ke dalam mobil tersebut. Tak peduli apakah dia nantinya akan menjadi bahan gosip di sekolah ini. Mulai hari ini ia akan mencari kebahagiaannya sendiri. Bukan mencari, hanya saja kebahagiaan selalu dekat dengan kita. Hanya tinggal bagaimana kita memaknai kata bahagia tersebut. "Hal apa yang ingin kau katakan padaku?" Tanya Keano kepada Almaira di perjalanan pulang. Almaira menoleh ke arah Keano. Menatap lekat lelaki yang berada di kemudi mobil. "Kau sudah mempersilakanku masuk kan, Kak?" Tanya Almaira yang masih belum dapat dicerna oleh Keano. "Maksudmu?" "Pintu hatimu sudah terbuka untukku kan? Kau sudah mempersilakan aku masuk saat itu." Ah, Keano mulai memahami arah pembicaraan Almaira. Ia pun hanya membalasnya dengan anggukan. "Baiklah," jawab Almaira yang sontak membuat Keano mengerem mendadak mobilnya. "Kenapa?" Tanya Almaira bingung. "Apa maksud dari ucapanmu?" "Aku akan masuk. Dan ya... selamat datang, Kak. Selamat datang juga di hatiku." Jawaban Almaira sontak membuat mereka berdua saling menatap satu sama lain. Tangan kiri Keano terangkat mengelus lembut surai hitam milik Almaira. Keduanya melempar senyum satu sama lain. Bunga-bunga di hati mereka berdua mekar secara bersamaan. *** Almaira memasuki halaman rumahnya dengan hati yang amat bahagia. Ah, seperti inikah rasanya jatuh cinta? Ini pertama kalinya ia merasakan jatuh cinta. Ia melangkahkan kakinya dengan senyum yang terus mengembang di bibir mungilnya. Namun, ia segera menghentikan langkahnya ketika mendengar beberapa orang yang berbicara di ruang keluarga dengan nada serius. "Sampai kapan, Nak? Sampai kapan kau akan seperti ini?" Itu suara Dina, Mama angkatnya. "Kami tahu kau terluka. Tapi tidakkah kau lihat disini siapa yang lebih terluka?" Itu suara Tama, Papa angkatnya. "Kenapa kalian selalu memaksaku untuk menerimanya? Jika aku bilang aku tidak bisa menerimanya sampai kapan pun, apa yang akan kalian lakukan?" Kali ini suara Rendra yang terdengar datar. "Bukankah sudah kukatakan padamu? Tidak ada yang diistimewakan di rumah ini. Kita semua sama. Sampai kapan kau akan membuat Ara menderita terus menerus? Tidakkah kau kasihan padanya? Sudah cukup, Ren. Jangan membuatnya menderita lagi!" Septian menumpahkan segalanya. Almaira sudah tidak dapat menahan air matanya. "Jadi, mereka hanya kasihan kepadaku?" Ia berucap lirih. Almaira berbalik arah lalu pergi keluar dari rumah ini. Ia berjalan tanpa tujuan dengan masih memakai seragam sekolahnya. Pikiran dan hatinya kacau saat ini. Sedikit ia mulai memaknai kata bahagia tetapi kesedihan menghampirinya lagi. Rasanya hidupnya seperti naik wahana Roll Coaster. Silakan kalian simpulkan sendiri. Sedari tadi Almaira hanya duduk berdiam diri di taman dekat kompleks lama. Cukup lama ia berada disana. Tak terasa langit pun mulai gelap. Cahaya senja akan menghilang sebentar lagi. Ponselnya berdering berkali-kali. Namun, ia tak ingin mengangkat panggilan di ponselnya. Ia masih merenungkan apa yang di dengarnya tadi. Apakah memang hidup seperti ini? Lalu dimanakah tempatku yang sesungguhnya? Dimana tempat yang bisa kutuju untuk pulang. Tidak adakah seseorang yang benar-benar mencintaiku dengan tulus? Sepertinya Almaira lupa bahwa ada beberapa orang yang benar-benar mencintainya dengan tulus. Seperti Farah, Vano, dan Bu Sena. Kali ini hanya mereka bertiga yang ada di pikirannya. Ia pun memutuskan untuk pulang ke panti asuhan. Sesampainya disana ia langsung disambut hangat dengan penghuni panti asuhan. Perasaan Almaira menghangat kembali. Ia tersenyum dengan kebahagiaan sekecil ini. "Tumben?" Tanya Farah yang baru saja muncul dan langsung menghampirinya. "Belum ganti baju?" "Ada masalah di rumah?" Almaira menggeleng pelan. "Ibu mana?" Tanya Almaira mengalihkan pembicaraan. "Tuh di dapur," tunjuk Farah. "Aku ke dapur dulu." Pamit Almaira. Sebenarnya Farah dan Vano sudah tahu kalau Almaira mencari Ibu Sena pasti sedang ada masalah di keluarganya. Namun, mereka tak pernah memaksa Almaira untuk menceritakan semuanya. Yang mereka tahu dari Bu Sena adalah bahwa Almaira mendapatkan cinta dan kasih sayang dari Keluarga Tama. Selebihnya beliau tidak mengatakan apapun kepada mereka berdua. Di lain sisi, Bu Sena tahu bahwa Rendra masih belum bisa menerima keberadaan Almaira. Namun, Almaira akhir-akhir ini berkata bohong. Ia mengatakan kepada Bu Sena bahwa perlahan Rendra sudah mulai bisa menerimanya. Selebihnya perbuatan yang dilakukan Rendra ketika menyakitinya tak pernah ia ceritakan. Almaira memeluk Sena dari belakang. Menyadarkan kepalanya di punggung Sena. Sena yang tahu bahwa ini pasti ulah Almaira hanya bisa mengulas senyum di bibirnya. Bagi Almaira, Sena sudah dianggapnya sebagai ibu kandung. Sama halnya dengan Dina. "Ada apa?" Tanyanya lembut. "Hanya kangen, hehehe." "Jangan berbohong. Katakan ada apa?" Almaira menggeleng. "Aku kangen dengan suasana panti, Bu. Hari ini ijinkan aku menginap disini ya?" Sena berbalik menghadap Almaira yang menatapnya dengan tatapan memohon. Kalau sudah begini ia tidak bisa menolak permintaan Almaira. "Tapi ada syaratnya." Almaira memasang wajah cemberut. "Katakan yang sejujurnya kepadaku. Setelah itu aku akan memutuskan apakah kau boleh menginap atau tidak?" "E-eh kenapa begitu?" "Kalau kau berbohong dan tidak mengatakan yang sebenarnya lebih baik kau pulanglah ke rumah." Tegas Sena kepada Almaira. Almaira terdiam. Menghela napas panjang. Tatapannya mulai berubah. Ia mengajak Bu Sena ke taman belakang panti. Setelah itu, ia menceritakan apa yang terjadi. Disitu Almaira menangis. Ia benar-benar merasa sedih. Rasanya ia ingin kembali saja ke panti ini. Tak apa tak kaya, tak apa tak mewah, karena kesederhanaan di sini mampu menghangatkan suasana hatinya. Sedari tadi Farah dan Vano bersembunyi di balik tembok tak jauh dari tempat Almaira dan Bu Sena berada. Mereka berdua turut sedih mendengarnya. Tanpa pikir panjang, mereka keluar dari tempat persembunyiannya dan langsung memeluk Almaira. Bu Sena dan Almaira terkejut dengan kedatangan mereka. "Kenapa kau tak pernah mau berbagi kesedihanmu bersama kami, hm? Kau tidak menganggap kami sebagai sahabat? Lalu kau ini anggap kami apa?" Ucap Farah dengan kesalnya yang masih dalam posisi memeluk Almaira. Bu Sena beranjak dari tempat duduknya. Mengisyaratkan kepada Vano untuk tetap disini menghibur Almaira. "Baiklah. Satu hari saja menginap disini. Jangan lupa kabari dulu Tama dan Dina! Besok kau pulanglah. Tidak baik kalau kau kabur seperti ini." Ucap Bu Sena lalu pergi meninggalkan mereka bertiga. Lamunan Almaira tersadar ketika Vano menepuk bahunya pelan. Vano mengambil tempat duduk di samping Almaira. Ia memberikan ponsel Almaira yang sedari tadi berdering. Almaira langsung mengambilnya dan melihat siapa saja yang mencarinya hari ini. Sebelum mengabari Keano, terlebih dahulu ia mengabari keluarga angkatnya bahwa hari ini ia akan menginap di panti asuhan. Almaira tersenyum ketika melihat spam chat dan panggilan yang dilakukan Keano. Astaga, Almaira belum menghilang seharian ini. Padahal mereka sudah bersama tadi siang. "Kau sudah jadian dengannya?" Tanya Vano yang tahu alasan Almaira tersenyum. Ya, dia ikut membaca apa yang tertera di ponsel Almaira. "Entahlah." Almaira mengangat bahunya ke atas seolah-olah tidak tahu. "Tapi aku selalu merasa nyaman dan bahagia ketika berada di sampingnya. Menurutmu, apakah bisa dikatakan kalau aku jatuh cinta?" Vano tersenyum. Pertama kalinya Almaira seantusias ini menceritakan apa yang dirasakannya sekarang. Mungkin, hadirnya Keano mampu menjadi obat untuk luka Almaira. Vano membalasnya dengan anggukan. Lalu mengacak pelan rambut Almaira. "Astaga, adikku ini sedang jatuh cinta sekarang." Seketika pipi Almaira menjadi merah merona. Keduanya terhanyut dalam canda tawa. Beberapa detik kemudian, Farah datang. Canda tawa semakin menjadi di antara ketiganya. Ah, bahagianya. Melihat ketiganya tertawa lepas seperti menghilangkan segala beban yang mereka pikul masing-masing. 9. Tentang Almaira Pagi hari ini suasana sekolah lebih ramai daripada biasanya sebelum bel masuk berbunyi. Sekumpulan siswa bergerombol di papan pengumuman di koridor utama sekolah. Farah, Vano, dan Almaira yang baru saja datang hanya bisa saling menatap heran. "Sebentar, biar aku yang lihat ada apa." Vano langsung berjalan ke arah papan pengumuman menembus banyaknya siswa yang berkumpul. Seketika ia menganga melihat apa yang tertempel di papan pengumuman itu. Ia langsung memutuskan untuk kembali ke tempat Farah dan Almaira yang menunggunya penasaran. "Ada apa sih?" Tanya Farah penasaran. Vano langsung mengarahkan pandangannya ke arah Almaira yang menatapnya penuh penasaran juga. "Kenapa menatapku seperti itu?" Almaira bertanya-tanya. "Tenangkan dulu hatimu, okay. Jangan marah. Jangan sampai kepancing emosi." "Cepat katakan!" Almaira sudah tak sabar lagi. "Foto Keano dan anak baru sedang berpelukan di taman alun-alun kota." Ucap Vano singkat tanpa basa-basi lagi. Almaira masih tak bisa mempercayai ini. Ia langsung berjalan menembus siswa yang masih bergerombol. Matanya membulat lebar melihat apa yang dilihatnya saat ini. Matanya mulai memerah berkaca-kaca menahan tangis. Sesak terasa di dalam hatinya. Untuk kesekian kali, hatinya terluka lagi. Ia menggeleng kuat tak ingin mempercayai ini. Bisa saja foto ini diedit kan? Keano beserta teman-teman gengnya baru saja datang. Sontak membuyarkan segerombolan siswa yang berkumpul. Mereka langsung ke arah papan pengumuman. Mereka pun tak kalah kagetnya dengan apa yang tertempel di sana. Pasalnya geng Keano tahu kalau ketuanya ini dekat dengan Almaira. Bukan dengan gadis yang ada di foto tersebut. Mereka semua menatap ke arah Almaira yang saat ini menatap Keano dengan tatapan tak percaya. Akan tetapi, beberapa detik kemudian bel masuk pun berbunyi. Dengan berat hati mereka semua harus segera masuk ke kelas masing-masing. Sebelum melangkahkan kakinya pergi, langkah Almaira tertahan oleh Keano. "Aku bisa jelaskan." Ucap Keano ingin menjelaskan apa yang terjadi. Namun, cekalan tangannya di pergelangan tangan Almaira dilepas secara perlahan oleh Almaira. Almaira tersenyum tipis. "Nanti temui aku saat pulang sekolah." Respon Almaira kelewat lembut untuk menyembunyikan rasa sesak yang ia rasakan di dalam hatinya. Bagaimanapun sekarang ini ia sedang terbakar oleh api cemburu. *** Saat istirahat pun Almaira memutuskan untuk berdiam diri di dalam kelas. Begitupun Keyla yang sedari tadi menatap sinis Almaira dari tempat duduknya di pojokan kelas. Ya, mereka berdua sekelas. "Jangan terlalu dipikirkan." Ucap Farah mencoba menenangkan Almaira. "Kau yakin kan kalau dia orang baik? Dengarkan dulu penjelasannya supaya tidak ada salah paham dalam hubungan kalian." Saran Vano. Memang jika ada hal-hal seperti ini, Vano lah yang akan bertindak bijak dan menjadi penengah. Almaira hanya mengangguk mengikuti saran dari kedua sahabatnya ini. Bel pulang sekolah pun berbunyi. Guru di mata pelajaran terakhir pun juga sudah keluar dari kelas XI IPA 2. Namun, anak-anak kelas itu seketima menjadi ramai karena ada Keano di depan kelas mereka. Salah satu teman Almaira langsung memanggil Keyla yang sedang membereskan buku-bukunya. Semua yang ada di kelas ini mengira bahwa Keano memang menunggu Keyla. Sepertinya foto tadi berdampak pada asumsi semua siswa disini bahwa memang Keano dan Keyla memiliki suatu hubungan. Seketika Almaira langsung menunduk lesu. Padahal ia berharap kalau memang Keano menunggunya. Harapannya pupus ketika dengan semangatnya Keyla langsung keluar dari kelasnya berniat untuk menghampiri Keano. Almaira digandeng Farah dan Vano keluar dari kelas. "Kau menjemputku, Ken? Kau ingin mengantarku pulang kan? Kalau begitu ayo kita pulang." Ujar Keyla dengan percaya dirinya sembari menggandeng manja lengan Keano. Sedangkan Keano hanya menunjukkan raut wajah heran dengan perlakuan Keyla. Niatnya Keano ialah ingin menjemput Almaira. Ia ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ia pun baru tahu kalau ternyata Keyla sekelas dengan Almaira. Ia langsung melepas paksa tangan Keyla dari lengannya ketika intensinya melihat Almaira keluar dari kelas bersama Farah dan Vano. Keano langsung menghampirinya. Para siswa yang melihat kejadian tersebut semakin bertanya-tanya. Dengan gaya cool-nya Keano langsung melepaskan tangan Farah dan Vano yang merangkul bahu Almaira. Ia langsung menautkan jari-jarinya di sela-sela jari kanan Almaira. Kemudian menarik Almaira untuk berjalan beriringan dengannya. Almiara mencoba melepaskan genggaman tangan Keano. Namun, tenaganya kalah kuat. Almaira hanya bisa pasrah sembari menunduk. Kini ia dan Keano menjadi sorotan satu sekolahan. Keyla yang melihat itu hanya bisa menggeram kesal. Salah satu tangannya terkepal kuat. Vano yang melihatnya langsung berjalan mendekati Keyla. Ia mendekatkan kepalanya di samping telinga kiri Keyla. Ia berbisik, "Sekali saja kau buat masalah dan nyakitin sahabatku lagi. Kau akan berurusan denganku." Vano langsung melenggang pergi meninggalkan Keyla yang semakin kesal. Farah hanya mengikuti kakak kembarnya dari belakang. *** Kini mereka berada di taman bermain yang tak jauh dari kompleks rumah Almaira. Sedari tadi di mobil tak ada percakapan di antara keduanya. Itulah mengapa akhirnya Keano memutuskan untuk tidak segera mengantar Almaira pulang terlebih dahulu. Sebenarnya ia ingin menjelaskan di sekolah tadi, berhubung keadaan sekolah tak kondusif mau tak mau mereka harus segera pergi. Keduanya duduk di ayunan. Almaira mengayun-ayun pelan. Ia masih menunggu Keano untuk buka suara. Sedangkan Keano ia masih mengolah kata supaya tidak menyakiti hati Almaira. Sontak ia menoleh menatap Almaira. "Al," panggilnya. Dengan cepat Almaira langsung menoleh. Mereka berdua beradu tatap. "Maaf," lanjutnya. Almaira menghela napas. "Aku disini ingin mendengar penjelasanmu, Kak. Bukan kata maaf. Sekarang ayo jelaskan, sebelum moodku semakin memburuk." Jawab Almaira. "Kemarin malam aku ingin mengajakmu jalan-jalan ke taman hiburan dekat alun-alun kota. Aku menghubungi berkali-kali tapi tak ada jawaban sama sekali darimu. Posisinya saat itu aku sudah di alun-alun kota. Tanpa sengaja, aku melihat gadis yang duduk sendirian menangis. Karena kasihan ya aku menghampiri dia. Ternyata dia, Keyla. Saat itu ketika melihatku dia langsung memelukku. Menangis sejadi-jadinya. Aku hanya bisa mencoba menenangkannya karena disana banyak orang yang melihat. Dikiranya aku yang membuatnya menangis. Aku tak tahu kalau ada yang memfoto itu dan menyebarkannya di sekolah." Jelas Keano panjang lebar. "Kenapa dia menangis?" Tanya Almaira. "Katanya Papa dan Mamanya sedang bertengkar hebat di rumah." Jawaban Keano sukses membuat raut wajah Almaira yang awalnya sudah tersenyum mendengar penjelasan Keano kembali menjadi murung. "Hei, kau kenapa?" Tanya Keano yang menyadari perubahan Almaira. "Kak," "Ya?" "Banyak hal yang kulewati denganmu. Em, bolehkah mulai hari ini kau kujadikan salah satu tempatku untuk pulang?" Seketika wajah Keano berubah menjadi blank mendengar pernyataan Almaira barusan. Ia menatap Almaira tak percaya. Sontak ia langsung mengangguk. "Dengan senang hati." Jawabnya dengan seutas senyum. "Kalau begitu aku akan menceritakan tentang diriku. Dengarkan baik-baik, mengerti?" Keano mengangguk. Almaira mulai menceritakan tentang siapa dirinya. Dari ia kecil sampai saat ini. Hampir tak ada yang ditutupi. Mulai dari ia dulu sering dipukuli oleh ayahnya dan ayahnya yang tidak menerima kehadirannya sampai saat ini. Ia yang tinggal di panti asuhan dan bertemu dengan kedua sahabatnya. Lalu ia yang kemudian diangkat menjadi keluarga Pratama. Pun, masalah Rendra yang masih belum bisa menerima kehadirannya. Keano mendengarnya dengan seksama. Pandangannya tak pernah lepas menatap Almaira yang berceloteh mengenai dirinya. Tatapannya berubah menjadi sendu. Jadi, sejak kecil memang hidup yang dijalani Almaira memiliki banyak lika-liku. Dari sini Keano mulai paham, tidak semua orang yang selalu tersenyum dan baik-baik saja hidupnya itu bahagia. Justru salah satu hal yang bisa ia ambil dari kisah Almaira adalah setiap kebahagiaan pasti ada kesedihan. Mereka berdampingan satu sama lain. "Kau tahu, Kak? Sebenarnya aku sudah pernah bertemu ayah kandungku selama hampir 7 tahun aku tidak bertemu dengannya," "Kapan? Dimana?" "Saat kita berada di taman alun-alun kota. Pertama kalinya juga kita bertemu dengan Keyla," Keano langsung terdiam. "Nama asliku adalah Almaira Husein. Husein, adalah nama ayah kandungku." Keano mengangguk. "Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Kau tidak ingin bertemu dengannya lagi?" Almaira tersenyum lalu menggeleng mendengar pertanyaan Keano. "Bahkan sampai sekarang dia masih tak mengakuiku, Kak. Aku tidak dendam kok padanya. Hanya saja..." "Hanya saja?" "Melihatnya bahagia tanpa kehadiranku saja aku sudah ikut bahagia." Almaira tersenyum kemudian tak selang berapa lama senyumnya kembali memudar. "Mungkin orang tua Keyla bertengkar juga karena kehadiranku yang tiba-tiba waktu itu," ucap Almaira menunduk. "Jangan bilang seperti itu. Kita kan tidak tahu pasti alasan mereka bertengkar karena apa. Jangan menyimpulkan suatu hal kalau kau sendiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi." Ucap Keano menenangkan Almaira. Almaira hanya mengangguk. Hatinya kembali menghangat mengingat Keano yang saat ini berada di sampingnya. "Boleh aku bertanya, Kak?" "Apa?" "Keyla itu siapamu?" Keano terdiam. Kali ini cukup lama. Pandangannya beralih tak menatap Almaira lagi. "Bu-bukan siapa-siapa." Jawabnya gugup. Melihat ekspresi Keano yang seperti itu, Almaira paham. Ia hanya menyungging senyum tipis. Tak ingin bertanya lebih jauh lagi. Ia merasa tak adil karena sudah menceritakan semuanya kepada Keano. Sedangkan Keano masih tertutup akan dirinya kepada Almaira. "Aku tahu kau bohong, Kak." Ucap Almaira dalam hati. "Kenapa kau kemarin tidak ada kabar?" Tanya Keano tiba-tiba mengalihkan pembicaraaan. "Aku menginap di panti. Tidak pegang hp sama sekali." "Tapi malamnya kau membaca pesanku. Dan kau tidak ada niat sedikitpun untuk membalasnya?" "Ah, maaf maaf. Saat aku ingin membalasnya bateraiku habis dan langsung mati. Heheh..." jawab Almaira disertai kekehan kecil. Keano yang melihat tingkah lucu Almaira langsung mengarahkan tangannya mengacak-ngacak pelan rambut Almaira. "Kak, mau es krim." Almaira meminta dengan nada seperti anak kecil. "Astaga, jika kau bersikap seperti ini mana mungkin aku bisa menolakmu." Ucapnya gemas sembari menoel pipi kiri Almaira. "Tunggu disini ya? Aku akan segera kembali." Ujar Keano langsung beranjak pergi dari ayunannya berniat untuk membelikan es krim di depan sana. Almaira hanya mengangguk menurut. Almaira tersenyum. Setidaknya saat ini ia masih bisa menghabiskan banyak waktu dengan Keano. Cinta pertamanya. Suatu hari kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi selanjutnya. Bisa saja hati Keano, tidak ingin dijadikan tempat pulang bagi Almaira. 10. Accident Rendra terkejut ketika atensinya melihat Keyla berjalan melewati kelasnya dengan beberapa anak yang memakai seragam yang sama. Ya, Rendra baru saja masuk sekolah setelah tiga hari absen. "Sejak kapan dia sekolah disini?" Gumamnya lirih. Sontak ia terkejut ketika ada seseorang yang menepuk bahunya pelan. Ia menoleh dan mendapatkan orang itu, Keano. Keano langsung duduk di sampingnya. "Kau sudah sembuh?" Tanyanya santai. "Em, kau sudah tidak marah lagi padaku?" Rendra justru balik bertanya hati-hati. Rendra menggidikkan bahunya. "Sebenarnya aku masih kecewa denganmu. Hm, tapi ada seseorang yang menyuruhku untuk memaafkanmu. Bagaimanapun juga kita sudah bersahabat hampir tiga tahun. Aku tahu kau pasti punya alasan melakukannya. Tapi kau juga harus tahu, apa yang kau lakukan itu salah." Ucap Keano panjang lebar. "Iya, maaf." Cicitnya pelan. "Ngomong-ngomong, dia siapa?" Lanjut Rendra. "Rahasia." "Jangan bilang..." Keano seakan-akan tak peduli. "Ara ya? Dia cerita semuanya?" Tebak Rendra dan langsung dibalas anggukan oleh Keano. Melihat ekspresi Rendra yang langsung berubah membuat Keano langsung mengajaknya keluar kelas. Kini mereka sudah berada di rooftop, sebelum 10 menit lagi bel masuk berbunyi. Hembusan angin pagi membuat surai hitam keduanya terbang secara bebas. Visual mereka benar-benar tak tertandingi. "Jangan marah sama dia. Asal kau tahu, dia sangat menyayangimu dan keluargamu." Jelas Keano. "Apa saja yang sudah dia ceritakan padamu?" Tanya Rendra. "Masa lalunya dan apa yang ia rasakan saat ini. Seharusnya kau bangga punya adik angkat seperti dia. Kenapa kau justru tidak mau menerima keberadaannya?" Rendra menghela napas. "Apa dia tidak membenciku?" Keano tersenyum dan menggeleng. "Dia tidak pernah membencimu sama sekali." Jawab Keano yakin. Rendra menundukkan kepalanya. "Kali ini jangan menutup mata dan hatimu, Ren. Aku tahu kok kalau kau juga menyayanginya. Hanya saja kau masih gengsi untuk mengakuinya." Ucap Keano sembari menepuk-nepuk pelan punggung Rendra. "Bisakah kau menceritakan semua yang dikatakan Ara kepadaku?" "Tidak mau." "Eh kenapa?" "Kau harus punya waktu berdua bersamanya. Minta maaf, menghilangkan rasa canggung, dan perbaiki hubungan kalian layaknya adik kakak." Keano langsung berlari meninggalkan Rendra yang nampak kesal. "Sebenarnya nanti sepulang sekolah aku ada janji dengan Alma. Kali ini aku akan mengalah untuk kakak ipar. Pergilah bersamanya dan perbaiki hubungan kalian." Ucap Keano sedikit berteriak. Lalu menuruni tangga dengan cepat ketika bel masuk berbunyi. Rendra tersentak kaget. "Sejak kapan adikku menjadi kekasihnya?" Pikirnya dalam hati. Hari ini Rendra sudah tersadar. Kehadiran Almaira bukanlah masalah besar. Dia saja yang terlalu berpikiran negatif. Toh, sampai sekarang pun faktanya kedua orang tua dan kakaknya tidak pernah pilih kasih walaupun ada Almaira. Ia benar-benar menyesal sekarang. Apalagi ketika kejadian dimana ia menyiksa Almaira berputar di kepalanya. Maukah Almaira memaafkannya nanti? Hal itu yang membuatnya cemas saat ini. *** Keano membatalkan janjinya dengan Almaira. Ia segera menyuruh Rendra pergi ke parkiran. Sesampainya disana Rendra melihat Almaira yang berjalan lesu pergi dari parkiran. Terlihat kesal dari raut wajah Almaira. Rendra tersenyum simpul melihatnya. Ia segera berlari menghampiri Almaira dan menahannya. Sangking kagetnya Almaira langsung menepis kasar tangan Rendra yang berada di lengannya. "Oh maaf, Kak." Almaira ketakutan ketika tahu siapa yang menahan lengannya. Rendra hanya tersenyum simpul. "Pulang denganku saja." Ucap Rendra dengan nada kaku. Almaira menaikkan satu alisnya. Ia tak salah dengar kan? "Seperti biasa aku akan pulang naik bus saja, Kak." "Kau tahu aku tak suka penolakan kan?" Almaira langsung terdiam. Mau tak mau ia pun menuruti ajakan Rendra. Namun, langkahnya terhenti. "Kenapa?" Tanya Rendra bingung. "Kau tidak akan macam-macam padaku lagi kan, Kak?" Takut Almaira. Kejadian malam itu masih terputar jelas di memori otaknya. Seperti menjadi trauma tersendiri baginya. "Tidak. Aku tidak akan berbuat hal buruk lagi padamu. Kau percaya padaku kan?" Jawab Rendra mencoba meyakinkan Almaira. Almaira menggeleng lalu memundurkan langkahnya. Rendra mencoba mendekati Almaira langkah demi langkah. Namun, Almaira tetap mundur langkah per langkah. "Maaf, Kak." Cicit Almaira lalu berbalik dan berlari pergi. Rendra tak ingin mengejarnya. Mungkin Almaira masih butuh waktu untuk menerima perubahan perilaku Rendra kepadanya. Almaira berhenti. Mengatur napasnya yang terengah-engah. Seketika atensinya menjadi sendu ketika melihat mobil Keano melewatinya. Matanya mulai berkaca-kaca ketika melihat ada seorang gadis di dalam mobil milik Keano. "Jadi ini alasanmu membatalkan janji kita?" Gumam Almaira dengan tersenyum miris. Sepersekian detik air mata Almaira jatuh. Ia mendongakkan kepalanya agar air mata nya tak jatuh lagi. Ia menunduk sembari memegang dada sebelah kirinya. Sesak dan sakit, itulah yang ia rasakan sekarang. Ia mengusap kasar wajah dan matanya. Lalu melanjutkan langkahnya untuk segera pergi dari sekolah. Langkahnya tak terarah. Ia hanya berjalan tanpa arah. Sesekali ia memainkan kakinya menendang batu kecil yang mengganggu perjalanannya. Entah kenapa sore ini jalanan yang dilewati Almaira sangatlah sepi. Akan tetapi, ia tak peduli. Seingatnya ini adalah jalan pintas yang bisa ia lewati untuk pulang ke rumah. Walaupun ia akan berjalan jauh untuk sampai, tak masalah. "Akhhh." Pekikan samar terdengar di indera pendengaran Almaira. Sontak membuatnya menoleh mencari sumber suara tersebut. Matanya membelalak kaget ketika ia melihat lima orang preman sedang duduk-duduk di depan sana. Salah satunya memegang kepalanya yang mungkin terpentuk oleh batu kecil yang Almaira tendang. Sial, ia akan berada dalam bahaya. Salah satu preman mengetahui keberadaan Almaira dan langsung memberitahu teman-temannya. Belum sempat mencoba kabur, kini Almaira sudah dihadang oleh mereka semua. "Kau yang menendang batu kecil itu ya, gadis kecil?" Ucapnya sembari menoel pipi Almaira. Dengan cepat Almaira menepisnya kasar. "Maaf, saya tidak sengaja." Ucap Almaira meminta maaf. "Kau harus tanggung jawab." "Saya kan sudah minta maaf," Almaira mencoba untuk segera pergi dari tempat itu. Sayangnya gerakannya terkunci. Ia tak bisa kabur kemana-mana lagi. "Ayo, ikut dengan kami!" Ucap salah seorang preman dan menarik Almaira dengan brutalnya. Dengan sekuat tenaga Almaira mencoba melepaskan cekalan di tangannya. "Lepaskan! Aku kan sudah minta maaf. Tolong, lepaskan aku." Teriak Almaira. "Apa yang kalian inginkan dariku hah? Lepaskan aku sekarang." "Hei, sudah kukatakan lepaskan aku sekarang. Lepaskan aku!" Almaira berteriak sekuat tenaga sekaligus mencoba melepaskan cekalan preman tersebut. "Tolong! Tolong! Tolong... siapapun tolong aku!" Almaira berteriak sekencang mungkin. Kali ini dia benar-benar ketakutan. Tubuhnya gemetar hebat dan seluruh tenaganya mulai terkuras. Di dalam hati ia hanya bisa berdoa siapapun akan datang untuk menyelamatkannya. Almaira jatuh tersungkur. Ia masih menangis ketakutan. Kelima preman di depannya menatapnya dengan nafsu. Salah satunya berjongkok dan memegang kerah seragam Almaira. Ia mencoba membuka kemeja seragam Almaira. Namun, sekuat tenaga yang tersisa Almaira terus memberontak. Begitupun ia tak lupa berteriak sekeras mungkin meminta tolong. Justru preman-preman tersebut malah tertawa dengan kerasnya. Seolah-olah teriakan kencang Almaira tak bisa membantunya. Lengan seragam Almaira sobek. Ketika salah satu preman tersebut menariknya dengan sangat kuat. Almaira hanya bisa menangis dan berteriak. Melihat itu, ia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Ia sudah ternodai. Ia memejamkan mata. Badannya berdesir tak karuan ketika sebuah tangan mulai menjelajahi tubuhnya perlahan. Sepersekian detik sentuhan itu tak ia rasakan lagi. Ia membuka matanya secara perlahan. Dilihatnya Rendra yang sedang memberi pelajaran kepada lima preman tersebut. Pertarungan cukup sengit karena satu lawan lima. Beberapa menit kemudian kelima preman tersebut terkapar dan langsung lari tunggang langgang. Rendra langsung menghampiri Almaira yang masih terisak sembari kedua tangan yang menutupi tubuhnya. Kali ini ia benar-benar merasa malu dengan dirinya sendiri. Keadaannya benar-benar kacau. Rendra sangat cemas melihat keadaan Almaira sekarang. Ia langsung melepaskan jaketnya dan menutupi tubuh Almaira. Rendra langsung memeluknya. Begitupun Almaira langsung membalas pelukan tersebut. "Hiks... hiks... a-aku takut, Kak. A-aku sangat takut. A-aku hiks..." isak Almaira dengan tangisnya yang semakin kencang. "Kau aman. Kau aman sekarang. Semua akan baik-baik saja. Percayalah, semua akan baik-baik saja." Rendra berusaha menenangkan Almaira. Namun, mental Almaira menjadi tidak baik saat ini. "Hiks... ti-tidak, Kak. Semuanya tidak baik-baik saja. A-aku, hiks... a-aku sudah kotor, Kak. Me-mereka me-menyentuhku, Kak. Se-semuanya kacau. Ti-tidak, Ti-tidak hiks... hiks..." "Ssstttt... tenanglah, Ra. Tenang ya?" Almaira langsung melepaskan pelukannya. "Aku kotor, Kak. A-aku sudah ternodai. Bagaimana mereka memperlakukanku terekam jelas di otakku. A-aku ingat wajah mereka. A-aku jijik dengan tubuhku. Ba-bagaimana kalau Ken tahu? Dia juga akan jijik kepadaku. A-aku ingin membersihkan tubuhku. Aku benci diriku. A-aku benci diriku. Hiks..." Almaira berteriak histeris sembari mencoba mengusap tubuhnya dengan kasar. "Hentikan, Ra! Kau akan melukai dirimu sendiri." Rendra mencoba menghentikan Almaira. Tubuh gadis itu benar-benar bergetar hebat. Almaira benar-benar frustasi akan dirinya. Wajahnya benar-benar menampakkan ketakutan yang amat dalam. Rendra menatapnya nanar, untung saja ia datang tepat waktu. Jika tidak adiknya ini bisa saja kehilangan mahkotanya sebagai perempuan. *** Almaira masih terbaring lemah di bankar rumah sakit. Kini bajunya sudh berganti baju seorang pasien. Tangan mungilnya terpasang infus. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Semua keluarganya berkumpul disana menunggu kapan Almaira akan sadar. Rendra pun juga sudah menceritakan apa yang terjadi. Mendengar hal itu, Tama langsung menghubungi polisi. Dengan segala kekuasaannya, kelima preman tersebut harus tertangkap dan mendekam di penjara. Perlahan Almaira membuka matanya. Semuanya langsung mendekat ke arah Almaira. Namun, langkah mereka terhenti ketika Almaira berteriak histeris. "Jangan mendekat!" Teriak Almaira yang kini sudah berada pada posisi setengah duduk dan seolah-olah memasang pertahanan diri pada tubuhnya. "Nak, kau kenapa? Tenanglah." "Jangan mendekat! Sekali lagi aku bilang, jangan mendekat! Kumohon, tinggalkan aku sendiri sekarang." "Ra, apa yang terjadi? Jangan begini." Septian mencoba mendekati Almaira. Justru Almaira semakin berteriak histeris. "Jangan coba-coba mendekat atau aku akan melukai diriku." Ancam Almaira lantas mengambil sebuah gelas di nakas sampingnya dan memecahkan gelas tersebut. Lalu ia arahkan pecahan gelas itu pada pergelangan tangannya. "Kalian kesini pasti karena kasihan kepadaku kan? Kalian disini karena iba padaku kan? Apalagi dengan kondisiku yang seperti ini. Kalian akan semakin kasihan kepadaku kan? Semua kasih sayang yang kalian berikan kepadaku itu palsu. Semuanya palsu. Aku benci kalian. Aku benci diriku sendiri. Kalian semua cepat pergi dari sini! Pergi!" Ucap Almaira histeris. Rendra yang tak terlihat oleh Almaira. Berjalan mendekati Almaira. Dengan sigap ia mencekal tangan Almaira, lalu membuang pecahan gelas yang dibawa Almaira. Almaira memberontak dengan kuat. Namun, tenaganya masih kalah dengan Rendra. Tak berapa lama, dokter datang. Beliau langsung menyuntikkan obat penenang pada Almaira. Sepersekian detik, tubuh Almaira mulai lemas. Obat tersebut bekerja. Mereka semua mendekat ke arah Almaira. Rendra masih mendekap Almaira. "Kau salah, Ra. Kita semua disini, menyayangimu dengan tulus." Bisik Rendra tepat di telinga Almaira. Almaira kembali tak sadarkan diri. 11. Perang Beberapa hari setelah itu entah kenapa kondisi mental Almaira semakin memburuk. Ia seringkali berteriak histeris. Pun ia tak ingin keluarganya menemui dirinya. Hanya dokter dan perawat yang boleh masuk ke ruang rawatnya. Farah, Vano, Bu Sena, dan Keano juga tidak ingin ditemui olehnya. Mereka semua yang menjenguk Almaira hanya bisa melihatnya melalui kaca kecil dari balik pintu. Hal yang mereka lihat pun sama. Pandangan kosong terpancar jelas di manik mata indah Almaira. Sesekali mereka melihat Almaira yang kacau. Berteriak histeris. Melempar semua barang yang ada di dekatnya. Juga pernah beberapa kali ia melepas paksa infus yang berada di tangannya. Pagi sudah berganti malam. Almaira terbangun dari mimpi buruknya. Ia bangkit dari ranjangnya. Lalu berjalan gontai sambil menenteng infus di tangan kanannya. Ia keluar dari kamarnya. Dilihatnya Rendra yang tertidur di tempat tunggu. Almaira tersenyum tipis hampir tak terlihat. Ia melangkahkan kakinya gontai menuju rooftop rumah sakit ini. Hembusan angin malam menerbangkan surai hitam panjang Almaira. Ia menatap bintang-bintang di atas sana. Ia pergi ke tepian gedung. Merentangkan kedua tangannya. Menikmati dinginnya hembusan angin malam. Ia memejamkan mata. Ia harus bisa mengendalikan emosinya saat ini. Seketika ia kaget karena ada seseorang yang menariknya jauh dari tepian gedung. "Kau gila hah?" Bentaknya. "Bunuh diri bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan segalanya." Ucapnya lagi. "Kak," panggil Almaira. Rendra menatapnya nyalang. "Kau benar-benar mengira kalau aku akan melakukannya?" "Terakhir kali kau mencoba untuk melakukan hal gila." "Ppffttt..." Almaira menahan tawa. Ini pertama kalinya ia melihat Rendra seperti ini. "Kenapa kau tertawa?" Tanya Rendra marah. Almaira harus menanyakan ini. Agar semuanya menjadi jelas. "Kak, jangan seperti ini! Sikapmu yang seperti ini seolah-olah memberikanku harapan." "Heh apa?" "Harapan kalau kau sudah menerima keberadaanku." Almaira menunduk. "Harapanmu sudah tercapai sekarang." Ucapan Rendra sontak membuat Almaira mendongakkan kepalanya menatap Rendra. Rendra langsung mengarahkan jitakan kecil pada kepala Almaira. "Aw..." Almaira meringis. "Itu artinya kau tidak mimpi. Bodoh," "Masih saja mengumpat." "Apa kau bilang?" "Ah, tidak tidak." "Kak?" "Hm," "Terima kasih ya?" "Untuk?" "Semuanya." Jawab Almaira tersenyum menatap Rendra. Rendra mengangguk. "Ada satu hal yang harus kau tahu?" "Apa?" "Kami semua menyayangimu. Bukan karena kasihan. Kami menyayangimu tulus. Benar-benar tulus." "Buktinya?" "Kalau mama menyayangimu karena kasihan, pasti sudah sejak lama ia akan berada di rumah saja untuk mengurus dan menemanimu. Kalau papa menyayangimu karena kasihan, pasti sudah sejak lama ia lebih meluangkan waktunya untuk dirimu. Kalau Septian menyayangimu karena kasihan, pasti sudah sejak lama kalau kau menghilang dia tidak akan khawatir untuk mencarimu. Kalau aku menyayangimu karena kasihan, pasti sudah sejak lama aku akan berpura-pura baik padamu. Nyatanya, kita menunjukkan kasih sayang kita berbeda-beda bukan?" Penjelasan Rendra membuat Almaira berkaca-kaca. "Sekarang kau mengerti kan?" Almaira mengangguk mantap. Rendra langsung merengkuhnya dari samping. "Mulai hari ini jangan pernah berpikir seperti itu lagi. Kami semua benar-benar menyayangimu dengan tulus. Mengerti?" "Iya." Rendra dan Almaira saling melempar senyum. Seketika hati Almaira menjadi sedikit tenang. Ternyata apa yang dipikirkannya selama ini salah. Begitulah malam yang dihabiskan oleh Almaira dan Rendra di rooftop rumah sakit. Inilah awal hubungan antara Almaira dan Rendra sebagai kakak adik yang sesungguhnya. *** Hari ini hari weekend. Kata dokter tiga hari lagi Almaira sudah diperbolehkan pulang kalau ia sudah merasa tenang dan pulih. Kali ini ia sendirian disini. Setelah menunggu semalaman, Rendra berpamitan pulang untuk bersih-bersih diri sekaligus menjemput Tama, Dina, dan Septian. Katanya juga Keano akan menjenguknya hari ini. Walaupun ia merasa takut untuk bertemu dengan Keano lagi, saat sesi konseling terakhirnya ia harus mampu melawan rasa takutnya. "Hidup harus terus berjalan bagaimanapun yang terjadi. Ambil hikmah yang dapat kamu petik dari segala hal yang terjadi padamu. Hidup kita ini seperti roda. Kadang kita di atas, merasakan kebahagiaan. Kadang kita di bawah, merasakan kesedihan. Hanya diri sendiri yang mampu mengendalikan seberapa dalam kebahagiaan dan kesedihan yang kamu inginkan. Karena hanya kamu sendiri yang tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan." Kata-kata itu terngiang di kepala Almaira. Itulah yang diucapkan Dokter Lyra diakhir sesi konseling kemarin. Jam masih menunjukkan pukul 09.00. Almaira beranjak dari ranjangnya. Sebelum Keano datang ia ingin berjalan-jalan terlebih dahulu di taman rumah sakit. Saat perjalanannya di koridor menuju taman rumah sakit tak sengaja atensi Almaira melihat Keano dan Keyla bersama. Ia mengedarkan pandangannya yang kemudian jatuh pada genggaman tangan di keduanya. Almaira menatapnya sendu. Ia langsung berbalik arah. Masuk ke sembarang ruang rawat supaya tak terlihat oleh keduanya. Untung saja ruang rawat tersebut sepi. Setelah Keano dan Keyla melewatinya, Almaira langsung keluar dari ruang tersebut. Sebelum melanjutkan langkahnya ia memejamkan matanya. Satu tetes air mata jatuh dari mata kirinya. "Kau bukan salah satu tempatku untuk pulang, Ken." Lirih Almaira. Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju taman rumah sakit. Ia mengambil duduk di bangku berwarna putih yang menghadap air mancur. Ia memandangi air mancur tersebut dengan fokusnya. Sampai-sampai ia tak sadar kalau Rendra sudah berada duduk di sampingnya. "Memikirkan apa?" Suara Rendra berhasil membuyarkan lamunan Almaira. "Ah, tidak." "Ada dua kabar baik untukmu." "Apa, Kak?" "Pertama, kelima preman itu sudah tertangkap dan mereka masuk penjara." "Syukurlah. Lalu?" "Keano sudah datang. Cepat temui dia!" Ucap Rendra bersemangat. Almaira menggeleng lemah. "Aku tidak mau bertemu dengannya." Lirihnya masih terdengar oleh Rendra. "Kenapa?" "Tidak apa-apa." "Kau ini kenapa? Kau tidak tahu ya betapa khawatirnya dia saat tahu kau masuk rumah sakit dan hampir diper-" "Stop, Kak!" Almaira berteriak sembari menutup kedua telinganya. Rendra baru sadar. Kalau itu hal yang sensitif bagi Almaira. Bisa-bisa hal itu akan mengganggu pikiran dan emosinya lagi. "Dia sangat merindukanmu." "Bohong." "Aku tidak pernah berbohong kalau soal seperti ini." "Suruh saja dia kesini." "Kau PMS ya?" "Tidak." "Baiklah, baiklah. Kau tunggu saja disini." Rendra pergi untuk memanggil Keano. Seperginya Rendra justru yang datang di hadapannya saat ini bukanlah Keano melainkan Keyla. Ia menatap Almaira sinis. "Aku baru tahu kalau ternyata kau adiknya Rendra. Adik angkat lebih tepatnya." "Apa maumu?" "Kau tadi lihat kan saat aku bergandengan dengan Keano. Lihatlah, dia lebih memilihku daripada dirimu." "Kau ini percaya diri sekali," jawab Almaira meremehkan ucapan Keyla. "Kau tak percaya?" "Kau pun tak punya bukti." Almaira memutar bola matanya malas. Bagaiamana bisa badut menor ini tahu keberadaannya. "Kemarin Keano bilang padaku kalau dia tidak mencintaimu. Dia hanya menjadikan dirimu pelampiasan. Apalagi melihat hidupmu yang menyedihkan. Dia juga bilang kalau dia tidak suka gadis yang lemah sepertimu." "Kau berbohong! Aku tidak akan mempercayaimu." "Ah benarkah? Yang harus kau tahu adalah aku ini cinta pertamanya dan... sampai sekarang ia tidak bisa melupakanku." Almaira tertegun. Ucapan Keyla benar-benar menusuk hatinya terlalu dalam. Akhirnya Almaira paham, jadi ini alasan Keano tidak terbuka perihal Keyla kepadanya. "Seharusnya kau malu, Al. Kau tak pantas bersama dengan Keano. Tubuhmu sudah kotor dan ternodai. Ingatlah kejadian beberapa hari yang lalu! Kau sudah bukan wanita seutuhnya. Dan kau tahu, sebenarnya Keano merasa jijik melihatmu." Almaira menutup kedua telinganya rapat-rapat. Ucapan Keyla benar-benar keterlaluan. Seakan-akan ia memakai taktik untuk mengibarkan bendera perang. Almaira yang sudah tak tahan lagi langsung menampar pipi Keyla. Satu dorongan keras membuat tubuh Almaira terhuyung ke belakang untung saja Rendra berada di belakangnya. "Jaga omonganmu!" Teriak Almaira marah. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menamparnya?" Bentak Keano cukup keras. Almaira tersentak kaget. Ini pertama kalinya Keano membentaknya. "Dia menggangguku." Jawab Almaira tak kalah kerasnya. "Tidak, Ken. Aku sama sekali tidak berniat mengganggunya." Keyla membual. Almaira hanya tersenyum miring melihat Keyla yang mulai menangis. "Kau ini kenapa, Al? Dia sudah berniat baik datang kesini untu menjengukmu. Tapi kenapa kau memperlakukannya seperti ini?" "Kau membelanya, Ken?" "Iya. Karena disini kau yang salah." Tegas Keano. Sukses menggores luka di hati Almaira. "Ternyata benar kau tidak benar-benar mencintaiku, Ken." Ucap Almaira dalam hati. "Bela saja dia. Andai disini ada cctv ataupun perekam suara, kau bisa lihat siapa yang lebih jahat disini." "Kak, antar aku kembali ke kamar." Lanjut Almaira kemudian meninggalkan Keano yang masih berusah menenangkan Keyla yang pura-pura menangis. Rendra merengkuh tubuh Almaira dengan lembutnya. Mencoba menyalurkan ketenangan di hati Almaira. Rendra tahu, Almaira tidak akan sampai melakukan hal itu kalau Keyla tidak memancingnya duluan. Rendra juga tahu, kalau Keyla itu sudah berubah. Keyla bukan lagi gadis yang ia kenal dulu. 12. House of Card Tidak semua hubungan berjalan dengan lancar. Pasti ada saja yang namanya lika-liku di dalamnya. Almaira sedari tadi hanya diam menunduk. Tak bersemangat untuk melakukan apapun. Walaupun semua keluarganya lengkap berada disini. Entah kenapa hatinya masih terasa sakit mengingat kejadian beberapa waktu tadi. "Sudah jangan dipikirkan. Saat ini fokuslah dulu untuk lekas sembuh," ucap Rendra menenangkan. Perihal Rendra yang sudah menerima Almaira. Dinda, Tama, dan Septian senang mendengar hal itu. Terlebih lagi saat ini Rendra memberikan semua perhatian dan kasih sayangnya kepada Almaira layaknya seorang kakak yang menjaga adiknya. "Ra, kenapa kau sekarang lebih dekat dengan Rendra daripada denganku?" Septian terbakar cemburu melihat kedekatan keduanya. Pasalnya ia tak benar-benar cemburu, hanya saja ia ingin mencairkan suasana ini. "Cemburu bilang," satu jitakan mendarat di kepala Septian. Septian mengaduh sembari memeluk Almaira dengan manjanya. "Tuh kan. Kakak sendiri dipukul. Dasar, adik laknat." Ucap Septian dengan menjulurkan lidahnya sengaja mengejek Rendra. Seketika sudut bibir Almaira terangkat. Ia tersenyum melihat kelakuan dua kakaknya ini. Kebahagiaan perlahan datang menghampirinya. Hatinya kembali menghangat. Kasih sayang dari keluarganya sekarang seolah-olah memberikan kekuatan untuknya. "Sudah, sudah, kalian ini kenapa malah bertengkar." Lerai Tama. "Ayo kita makan bersama. Mama sudah membawakan makanan kesukaan kalian," ucap Dina sembari menyiapkan makanannya. Mereka pun berkumpul dan makan bersama. Almaira bersyukur. Kali ini ia sudah menemukan tempat untuknya pulang. Tak ada lagi benci, tak ada lagi derita, dan tak ada lagi kesedihan di keluarga ini. "Terima kasih, Tuhan." Ucap Almaira dalam hati sembari menatap wajah keluarga angkatnya satu per satu. *** "Apa yang sedang kau rencanakan?" Tanya Rendra datar ketika ia setuju untuk menemui Keyla di tempat masa lalu mereka dulu. "Kembalilah bersamaku!" Jawab Keyla. "Tidak akan pernah." "Kenapa? Kenapa kau selalu menolakku?" Keyla berteriak kesal. Emosinya kembali memuncak. "Apa yang kau inginkan? Jangan mengganggu hubungan adikku dengan Keano." "Kau!" Rendra terdiam. Menatap Keyla tak percaya. Mengapa Keyla sangat terobsesi untuk mendapatkannya? Mengapa Keyla masih terjebak di masa lalunya? "Jawab pertanyaaanku! Kenapa kau selalu menolakku? Kenapa?! Apa aku kurang cantik? Apa aku kurang baik? Apa yang kurang dariku sampai kau selalu menolakku? Apa?!" Keyla berteriak histeris. Air matanya sudah tak dapat ia bendung lagi. "Kau tanya kenapa? Bukankah kau sudah tahu jawabannya, Key? AKU SUDAH TIDAK MENCINTAIMU LAGI." Ucap Rendra penuh penekanan. Keyla tertawa miris dengan air mata yang terus membasahi pipinya. "Hah... kalau begitu aku akan menghancurkan hidup adikmu." Keyla menyeringai sinis. "Kau jangan gila!" "Aku gila karenamu. Tidakkah kau sadar itu?" "Ini salah, Key. Kau harusnya tidak boleh seperti ini." Keyla kembali menyeringai. Menatap Rendra sinis. Ia mendekati Rendra secara perlahan. Tubuhnya masih gemetar. Ia memejamkan matanya sejenak. "Hidup Almaira bergantung di tanganmu sekarang. Jika kau kembali denganku aku tidak akan mengganggu hidupnya. Tapi jika kau tetap menolakku, aku akan menghancurkan hidupnya." "Kenapa harus Ara? Dia tidak ada hubungannya dengan ini semua. Kalau kau ingin balas dendam, hancurkan saja hidupku. Jangan hancurkan hidup orang lain!" Rendra berucap frustasi. Ia tak habis pikir kenapa Keyla bisa senekat ini. "Kau tanya kenapa harus dia? Dia sudah merebut orang-orang yang kusayang. Itulah kenapa aku akan menghancurkannya dan membuat orang-orangku kembali kepadaku." "Apa maksudmu? Kau benar-benar sudah tidak waras, Key." "Pertama kali aku melihatnya, dia sudah merebut perhatian papa baruku." Ucapan Keyla terjeda. "Papa baru?" Keyla mengangguk. "Kau tahu alasanku pergi? Karena aku sudah tidak punya seorang laki-laki yang menyayangiku lagi. Aku sudah kehilangan papa, lalu kalian datang dan memberikan seluruh perhatian kalian kepadaku. Tapi akhirnya kalian juga meninggalkanku. Saat itu aku frustasi, papa Husein datang dan memberikan kasih sayangnya kepadaku dan mama. Akhirnya mereka berdua menikah dan aku mendapatkan lagi kasih sayang itu." Keyla mengambil napas. "Lalu Almaira datang. Ia merusak segalanya. Mengaku-ngaku sebagai anak papa Husein. Padahal papa Husein bilang kalau dia tidak punya anak. Semenjak itu, mama dan papa sering bertengkar hanya karena dia." Rendra menatap nanar Keyla. Ia merasa kasihan dengan gadis yang dulunya pernah ia cintai. Ternyata Keyla haus akan kasih sayang dari banyak orang. Ia terlalu egois, sampai semua orang di dekatnya harus menyayanginya. Menyayangi dirinya sesuai dengan apa yang ia inginkan. "Kenapa Ken juga menjadi targetmu?" "Kalau aku tidak bisa mendapatkanmu. Setidaknya aku bisa mendapatkan Ken kembali." "Jangan lakukan itu." Cegah Rendra dengan nada lembut. "Jangan membuatnya bingung dengan perasaannya sendiri." "Kenapa?" "Biarkan dia bahagia bersama dengan Ara." Keyla berdecih. Ia benar-benar benci dan muak mendengar perkataan Rendra. "Tidak akan. Aku yang akan lebih dulu bahagia." "Dengan cara menyakiti mereka? Menyakiti dirimu sendiri?" "Apapun. Asalkan aku bisa bahagia." Rendra mengusap wajahnya kasar. "Aku adalah orang yang akan maju pertama kali untuk mempertahankan hubungan mereka." Ujar Rendra tegas lalu melangkahkan kakinya pergi. "Kau tahu? Peluangku untuk mendapatkan Ken cukuplah besar." Ucap Keyla sedikit berteriak yang sontak membuat Rendra memelankan langkahnya. "Hubungan mereka itu seperti rumah yang terbuat dari kartu. Mereka baru saja bertemu dan baru saja membangunnya. Dipaksa untuk bertahan pun, tak akan lama. Rumah itu masih terlalu rapuh untuk ditempati. Disenggol sedikit saja... Byarrr... kartunya akan berhamburan. Rumah itu akan runtuh." Filosofi yang dibuat Keyla berhasil membuat Rendra mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Wajah Rendra memerah menahan amarah. Bagaimanapun caranya ia harus bisa menghentikan tingkah gila Keyla. Ia akan melakukan apapun supaya tidak akan ada yang tersakiti disini. Sudah cukup! Rendra tak ingin ada lagi penderitaan. Tak ingin ada lagi kebencian. Tak ingin lagi ada kesedihan. Apapun caranya ia harus menghentikan ini semua. Menyadarkan Keyla untuk melepaskan dan mengikhlaskan masa lalunya. Menyadarkan Keano supaya tidak bimbang lagi dengan perasaannya. Menguatkan Almaira dengan selalu berada di sampingnya. Setiap luka yang tergores harus disembuhkan satu per satu. *** Almaira dan Septian sedang membangun bangunan rumah-rumahan dari kartu. Siapapun yang nantinya merobohkan bangunan itu, maka dirinya harus membawa pasangannya ke rumah untuk dikenalkan kepada keluarga. Keduanya setuju dan mulai fokus menaruh kartu demi kartu. Rendra baru saja tiba. Ia mengedarkan pandangannya melihat suasana rumah yang sangat sepi. Atensinya menangkap Almaira dan Septian yang sedang fokus. Karena kedatangannya tidak disadari, ia akan menjahili Almaira dan Septian yang membelakanginya. Ia memelankan langkahnya dan mengendap-ngendap. Hanya berjarak 50 cm, Rendra langsung melancarkan aksinya. "Dorrr!" Teriaknya yang langsung membuat keduanya terkejut dan seketika bangunan itu roboh ketika giliran Almaira yang menaruh kartunya. Keduanya menjingkat sembari memegang dadanya masing-masing. Pukulan dan cubitan kecil langsung memenuhi tubuh Rendra. "Ihhh, gara-gara kakak aku kalah nih. Lihatlah! Ah, tidak seru." Ucap Almaira berdecak kesal. Sedangkan Rendra dan Septian hanya bisa tertawa karena gemas melihat tingkah laku Almaira. "Hahahah... hahahah... ingat taruhan kita. Besok kau harus membawa pasanganmu kemari," ucap Septian yang masih diselingi tawa. Mendengar itu seketika membuat Rendra terhenti dari tertawanya. Lalu pandangannya mengarah ke Almaira. Sontak ia juga terdiam ketika melihat kartu yang jatuh berhamburan. Ingatannya kembali saat ia bertemu dengan Keyla tadi. "Besok kau akan membawa Keano kemari? Kalian sudah tidak perang dingin lagi?" Tanya Rendra spontan yang langsung mendapat cubitan kecil di perutnya. "Aw, sakit tahu. Suka banget sih cubit-cubit perutku." "Oh, jadi lelaki itu." Goda Septian. Sedangkan Almaira hanya bisa mendengus sebal. Ah, kenapa kedua kakaknya ini suka sekali menggodanya. "Baiklah, kalau begitu aku ke kamar duluan ya? Adik-adikku tercinta. Ada deadline yang harus segera aku kumpulkan." Pamit Septian lalu meninggalkan mereka berdua. Rendra sedari tadi hanya melamun sembari menatap kartu-kartu yang tak beraturan di hadapannya. Lamunannya terbuyar ketika Almaira kembali mencubit perutnya. "Aw, kenapa sih?" Kagetnya sembari meringis kesakitan. "Kakak yang kenapa?" "Tidak. Aku tidak kenapa-kenapa." Almaira menatap intens kedua mata Rendra. Sedangkan Rendra berusaha menghindari kontak mata dengan Almaira. "Bagaimana kau dengan Keano?" Tanya Rendra mengalihkan perhatian. "Tidak bagaimana-bagaimana." "E-eh?" "Kenapa, Kak...?" "Dia masih belum menghubungimu?" Almaira mengangguk. "Lalu hukumanmu besok?" "Entahlah. Aku tidak yakin." "Kalau begitu biar aku saja yang menghubunginya untuk datang kemari." Almaira menggeleng keras. Bagaimanapun juga ini konsekuensi yang harus ditanggungnya. Jadi, kali ini biarkan dia saja yang akan menghubungi Keano. "Biar aku saja. Besok, biar aku saja yang menghubunginya." "Kau yakin?" Almaira mengangguk. "Kau masih kecewa padanya ya?" Pertanyaan tak terduga Rendra sukses membuat Almaira menatap kedua manik mata Rendra. "Sepertinya hanya aku saja yang jatuh cinta kepadanya, Kak." "Hei, kenapa kau bicara seperti itu?" "Kata orang cinta pertama itu sangat mengesankan dan aku menyadari itu." "Lantas apa yang kau khawatirkan?" "Mengesankan karena dia cinta pertamaku. Mengkhawatirkan karena cinta pertamanya kembali di hidupnya." Jawaban Almaira sukses membungkam mulut Rendra. Ternyata, Ara sudah tau kalau Keyla adalah cinta pertama Keano. Dan Ara sepertinya juga tahu kalau Keyla berusaha untuk mendapatkan cinta Keano kembali. Rendra memegang kedua bahu Almaira kuat. "Percayalah padaku. Dia mencintaimu, terlepas dari kau cinta pertamanya atau bukan." Ucap Rendra meyakinkan Almaira. Almaira tersenyum mendengar ucapan Rendra. Kali ini ia ingin percaya. Percaya kalau memang Keano benar-benar mencintainya. Benar-benar membuka pintu hatinya. Dan benar-benar membuatnya masuk ke dalam hati Keano. 13. Labirin Informasi menyebar begitu cepat. Seisi sekolah sudah tahu kalau Almaira adalah adik Rendra. Itu artinya, semua yang ada di sekolah ini juga tahu kalau dia adalah anak dari donatur terbesar di sekolah ini. Semenjak itu banyak anak yang mendekati Almaira. Seolah-olah numpang pansos dan hal lainnya seperti memanfaatkan dirinya. Almaira sebenarnya risih dengan menjadi sorotan di sekolah ini. Prestasinya yang selama ini disembunyikan mulai terkuak satu per satu. Banyak siswa yang awalnya tidak percaya akan hal itu. Namun, semakin kesini semuanya semakin jelas. Satu hal yang belum mereka tahu sampai saat ini adalah hubungan Almaira antara Keano dan Keyla. Entah kenapa saat berpapasan dengan Amaira, Keano sama sekali tak menyapa. Menoleh pun tidak sama sekali. Setiap harinya Almaira merasakan sesak di dalam hatinya. Walaupun beberapa hari lalu ia harus menjalankan hukuman untuk membawa Keano ke rumah, ia meminta tenggang waktu kepada Septian. Untungnya Septian dapat memakluminya. Di sekolah Keano selalu bersama dengan Keyla dan teman geng nya. Sedangkan Almaira selalu menghabiskan waktu dengan Farah dan Vano. Sebenarnya Rendra menawarkan bantuan untuk membantu Almaira supaya dapat berbicara dengan Keano. Akan tetapi, Ara menolak dengan keras. Biarlah masalah pribadinya ini ia selesaikan sendiri. Sesekali Almaira tampak murung. Pandangannya kosong. Walaupun kondisi mentalnya sudah mulai membaik tetapi rasa trauma itu masih ada. Hingga akhirnya, setiap pergi Almaira tidak diperbolehkan sendirian. Harus ada yang menemani. Setiap minggu ia juga masih rutin melakukan konseling di rumah sakit. Suasana kantin tampak sangat ramai. Namun, perut lapar Almaira sudah tidak dapat ditolerir lagi. Mau tak mau ia harus ke kantin ditemani Farah. Kemana Vano? Ia sedang ada rapat OSIS. Almaira mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantin. Semua tempat duduk penuh. Ada satu tempat yang tersisa yang bisa ia tempati bersama dengan Farah. Tapi... Rendra melambaikan tangannya ketika melihat adiknya berdiri tak jauh dari tempatnya. Ia berlari kecil menghampiri Almaira dan Farah. "Hai," sapanya dengan riang. "Mau makan sesuatu?" Tanyanya lagi. Almaira dan Farah mengangguk ragu. "Gabunglah bersama kami!" Ajak Deva sedikit berteriak. Almaira menatap Rendra seperti mengisyaratkan sesuatu. Pasalnya disana juga ada Keano dan Keyla. Hati Almaira masih tak siap untuk melihat mereka bersama secara dekat. Rendra yang sepertinya peka mengangguk pelan. Seolah-olah berkata, "Tak apa. Ada aku bersamamu," Rendra menggenggam erat tangan Almaira. Menggandengnya lalu mendudukkannya tepat berhadapan dengan Keano dan Keyla. "Pesan bubur saja ya? Kau kan tadi tak sempat sarapan." Rendra sengaja mencoba menarik perhatian Keano. Almaira melirik Keano di depannya. Namun, Keano lebih asyik bercanda dengan Keyla dan teman-temannya yang lain. Seolah-olah Keano mengabaikan keberadaan Almaira. Almaira tersenyum simpul. Sesekali ia tertawa karena melihat tingkah teman-teman kakaknya. "Kau tidak berniat untuk meminta maaf?" Keano membuka suara. Semuanya menoleh ke arah Keano. "Siapa?" "Minta maaf?" "Untuk apa?" "Apa aku melakukan kesalahan?" Begitulah sahutan dari teman-teman Keano. Keano justru menatap tajam ke Almaira. Merasa diperhatikan, Almaira menyudahi aktifitas makannya. Lalu mengarahkan pandangannya ke depan. Tatapan tajam Keano menciutkan nyalinya. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" Tanya Almaira dengan tatapan sendunya. Kontak mata terjadi di antara keduanya. "Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" Pertanyaan Keano sukses membuat semua yang berada di meja itu terdiam. "Untuk apa aku minta maaf?" "Kau masih saja bertanya setelah apa yang kau perbuat kepada Keyla?" Seketika semuanya terkejut. Almaira membanting sendoknya dengan kasar. Ia beranjak dari tempat duduknya. "Aku tidak salah. Kenapa harus aku yang minta maaf?" Almaira benar-benar tak percaya dengan kelakuan Keano. Bisa-bisanya ia membicarakan hal itu di depan semua orang seperti ini. Keyla berusaha menenangkan Keano. Berakting seolah-olah hal itu sudah tak perlu diungkit lagi. Ya iyalah, baginya tak perlu diungkit karena bukan dia yang disalahkan. Almaira berdecih melihat pemandangan di depannya. Tangannya mengepal kuat. Ia mengajak Farah untuk segera pergi dari tempat ini. "Sampai kapan kau akan lari? Setidaknya kau minta maaf supaya semuanya selesai." Ucapan Keano benar-benar sudah melukai hati Almaira. "Kau pikir semuanya bisa diselesaikan dengan minta maaf? Minta maaf padahal bukan kita yang berbuat salah?" "Tidakkah kau ingat kalau kau menamparnya dengan keras di taman rumah sakit?" "Aku ingat. Sangat-sangat ingat." "Minta maaflah!" "Tidak mau." Tolak Almaira mentah-mentah. Kemudian ia langsung melenggang pergi diikuti Farah di belakangnya. Rendra menatap Keano tak percaya. "Hari ini kau melukai harga dirinya, Ken. Setidaknya kau bisa membicarakan hal ini tanpa melibatkan banyak orang seperti ini." Rendra berniat hendak menyusul adiknya. Pasti hati adiknya terluka karena ini. Ia tahu betul bagaimana perasaan adiknya kepada Keano. Sebelum benar-benar melangkahkan kakinya pergi. Rendra berucap sesuatu yang membuat Keano merasa bersalah. "Kalau kau masih mencintai Keyla, kenapa kau membuka hatimu untuk Ara? Kalau hatimu benar-benar masih untuk Keyla, kenapa kau memberinya harapan? Kalau kau masih ragu dengan perasaanmu, dari awal jangan biarkan Ara masuk ke dalam labirin hatimu." *** Almaira dan Rendra sedang duduk bersama di balkon kamar Almaira. Mereka melihat pemandangan langit lama. Bulan terlihat bundar besar. Namun, tak ada bintang yang menemani bulan. Almaira tersenyum tipis. Seketika bayangan kejadian dimana Almaira dan Keano melihat langit malam bersama terputar jelas di otaknya. "Sekarang bagaimana?" Tanya Rendra memecahkan keheningan malam. Almaira terdiam. Ia nampak memikirkan sesuatu. "Bukannya hari ini jadwalmu nongkrong dengan teman-temanmu, Kak?" "Iya. Memangnya kenapa?" "Kenapa belum berangkat?" "Tidak ah. Aku ingin menemanimu saja." Jawab Rendra dengan kekehan kecil. Almaira tersenyum. "Pergilah, Kak. Aku tak apa. Sebentar lagi Kak Septian juga pulang." "Kau mengusirku?" Satu pukulan mendarat di lengan Rendra. Yang dipukul mengadu kesakitan. "Astaga, kau ini! Aku ingin titip sesuatu." "Apa?" "Surat." "Hah?" "Iya, surat. Berikan pada Keano." "Kenapa tidak kau berikan sendiri saja?" "Ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk memperjelas semuanya." "Maksudmu? Memperjelas perasaanmu dan perasaannya?" Almaira mengangguk. "Aku tidak ingin berharap terlalu jauh lagi, Kak. Nyatanya dia hanya menganggapku sebagai tempat singgahnya. Sedangkan aku sudah tidak punya celah lagi untuk pulang ke sana." "Hei, apa maksudmu?" "Aku sudah memiliki keluarga yang sangat sayang kepadaku. Aku juga memiliki Bu Sena, Farah, dan Vano. Kalian sekarang adalah tempat untukku pulang. Aku tidak membutuhkan siapa-siapa lagi sekarang. Aku sangat-sangat menyayangi kalian." Rendra menghela napas kasar. Ia mengusap lembut kepala Ara. Kemudian ia beranjak dari tempatnya. "Mana suratmu? Aku akan berikan kepadanya sekarang." Almaira tersenyum. Ia segera kembali ke tempat belajarnya untuk mengambil surat yang ia tulis tadi. Lalu memberikannya kepada Rendra. Setelah mendapatkan suratnya Rendra langsung pergi ke tempat tongkrongannya. *** "Ken, ada yang perlu kita bicarakan berdua." Ajak Rendra kepada Keano. Sebenarnya ia ingin langsung memberikan surat itu kepada Keano. Berhubung saat sampai di lokasi, mata elang Rendra menangkap ada Keyla juga disana. Ia langsung mengurungkan niatnya. Jika Keyla tahu, bisa-bisa Keyla melakukan berbagai cara untuk menghentikan aksi Rendra. Saat ini pun, ia juga tak ingin melepaskan Keano untuk berbicara berdua bersama Rendra. "Kenapa tidak bicara disini saja, Ren?" Tanya Keyla seolah-olah nada bicaranya dibuat selembut mungkin. Pun tangannya tak pernah lepas dari lengan Keano. Rendra berdecak sebal. Kenapa Keyla bisa berubah menjadi gadis ular seperti ini? Rendra mengakui kenekatan Keyla. Nyatanya Keyla berhasil menghancurkan hubungan Keano dan Almaira. "Ini penting, kalau kau tidak ingin menyesal. Temui aku di luar," Rendra tak menghiraukan pertanyaan Keyla. Setelah mengucapkan kalimat itu, ia langsung melenggang pergi. Keano beranjak dari tempatnya tetapi tertahan oleh Keyla. Ia melepas paksa genggaman Keyla. "Sebentar." "Jangan lama-lama," Keano mengangguk lalu melangkah pergi menemui Rendra. "Apa yang ingin kau bicarakan?" Rendra langsung memberikan surat titipan Almaira kepada Keano. "Apa ini?" "Bacalah!" "Sekarang?" Rendra mengangguk. Karena penasaran Keano langsung membuka surat tersebut. Hai Ken, apa kabar? Kali ini aku tidak ingin meminta maaf. Aku hanya ingin berbicara denganmu apa yang aku rasakan saat ini, heheh... Terima kasih ya, sudah mengijinkan aku masuk ke dalam hatimu. Tapi nyatanya aku tidak benar-benar bisa masuk ke dalam hatimu:) Kau menjebakku, aku benci hal itu. Tapi aku tidak bisa membencimu. Awalnya aku ragu ketika kau mempersilakan aku masuk ke dalam hatimu. Namun, bertekad akan kata percaya membuatku masuk begitu saja melewati pintu itu. Aku percaya kalau kau akan benar-benar menunjukkan jalan untukku pulang ke hatimu. Tapi ternyata saat aku masuk, ada labirin di sana. Banyak jalan dan itu membuatku bingung. Kupikir kau akan menuntunku melewati labirin itu. Baru saja setengah jalan, kau meninggalkanku. Aku tidak bisa kembali ke pintu utama. Pun aku tidak bisa pulang ke tujuan yang ku inginkan. Kau mengunciku. Di tengah-tengah labirin tanpa ku tahu mana arah yang tepat untuk ku jelajahi. Kau membuatku tersesat di sana. Akhirnya aku hanya bisa berkata pada diriku sendiri, "Tak apa. Kau pasti akan menemukan jalan yang tepat. Tak apa, dia akan membimbingmu. Entah itu kau harus kembali atau tetap melanjutkan perjalanan pulang." Aku tidak ingin berharap terlalu jauh. Tolong, yakinkan hatimu. Tuntun aku! Apapun keputusanmu akan aku terima. Terlepas dari apapun itu. Ada satu hal lagi yang ingin aku katakan padamu, Ken. Kau harus tahu kenapa aku tiba-tiba menampar cinta pertamamu. Itu karena dia melukai harga diriku sebagai perempuan. Mungkin benar apa yang dia katakan, sekarang ini kau pasti jijik melihatku. Tak apa, aku sadar diri. Aku sudah menerima semuanya. Setidaknya kau pernah menaruh perasaan padaku bukan? Hehehe... Terima kasih, Ken. Sudah pernah menjadi salah satu tempat untukku pulang. Mulai saat ini, aku minta maaf. Aku harus mencari jalan untuk kembali ke pintu utama. Aku tidak ingin terjebak terlalu lama lagi. Dari aku, Yang pernah menaruh hati terlalu dalam padamu. Keano meremas surat yang baru saja ia baca. Matanya memerah menahan tangis. Sedangkan Rendra hanya diam saja. Ia berjalan mendekat ke arah Keano. Kemudian menepuk pelan pundak Keano. "Terima kasih, Ken. Sudah menjadi salah satu bagian di hidup Ara. Terima kasih, sudah membuatnya bertahan sampai sejauh ini." "Apa maksudmu?" Rendra menggeleng pelan. "Apapun keputusan yang kau buat nantinya, aku akan menghargainya. Jika kau memang tidak mencintai Ara, tolong lepaskan dia. Tuntun dia untuk kembali ke pintu utama." Rendra meninggalkan Keano yang terdiam. Jujur, sampai saat ini Keano pun masih bimbang dengan perasaannya sendiri. Terlebih sejak itu, Keyla lah yang selalu untuk dia. 14. Bertahan Bagaimana kalau tiba-tiba ada sebuah takdir yang tidak pernah kalian duga datang menghampiri hidup kalian? Sabar dan ikhlas, menjadi kunci utamanya. Terlepas itu takdir baik ataupun buruk. Setelah beberapa bulan lamanya terjadi perang dingin di keluarga Husein, membuatnya benar-benar frustasi. Pikirannya masih saja menyalahkan kehadiran Almaira kala itu. Rumah tangganya semakin kacau. Bisnisnya semakin bangkrut. Pun sebentar lagi istrinya akan menggugat cerai dirinya. Lengkap sudah penderitaan Husein saat ini. Husein seringkali keluar rumah dan pulang malam. Ia mencari keberadaan Almaira. Namun, ia tak kunjung menemukannya. Ingin rasanya ia menghabisi Almaira. Husein sudah kalap dengan emosinya. Ia tak peduli Almaira itu anaknya atau bukan. Yang jelas ketika ia bertemu Almaira, ia akan membunuhnya saat itu juga. Semua masalah yang terjadi pada Husein, selalu ia menyalahkan Almaira. Padahal Almaira tak tahu apa-apa. Ini adalah salahnya sendiri. Salahnya sendiri berbohong kepada istrinya kalau ia tak punya anak. Salah sendiri karena dari awal hubungan yang ia bangun dari sebuah kebohongan. Inilah hasilnya. Maka tak pantas ketika ia harus menyalahkan Almaira yang tak tahu apa-apa. Hari ini Almaira ingin mengunjungi makam Ibu kandungnya. Karena tak ada yang bisa menemaninya akhirnya ia diantar oleh Pak Budi, sopir pribadinya. Rencananya setelah dari makam, ia berjanji untuk menemui Keano di taman alun-alun kota. Katanya, Keano ingin membicarakan sesuatu yang serius dengannya. Kini Almaira sedang perjalanan menuju taman alun-alun kota. Namun, atensinya menangkap ada seorang bapak-bapak yang dikeroyok oleh beberapa preman di jalanan yang cukup sepi ini. Tak ada mobil yang lewat selain miliknya. "Pak Budi, tolong berhenti dulu." Suruh Almaira. "Ada apa, Non?" "Pak Budi, tolong bapak itu." Pak Budi mengangguk. Walaupun hanya sopir Pak Budi ini jago bela diri. Itulah kenapa Tama mempercayakan Almaira kepada dirinya. Jika tidak ada yang bisa menemani Almaira keluar maka Pak Budi lah yang akan menemani. "Non, kunci pintunya ya? Jangan ikut keluar. Berbahaya," pinta Pak Budi lalu beliau keluar membantu bapak-bapak tersebut. Kali ini preman-preman itu terlihat seperti masih anak muda, sepertinya anak punk. Berbeda dengan preman yang dulunya menyerang Almaira. Mereka berbadan besar dan bertatto. Almaira hanya bisa melihat perkelahian mereka di balik mobil. Sesekali ia meringis kesakitan melihat kejadian itu. Sebenarnya ia sudah keringat dingin dari tadi. Tubuhnya gemetar. Badannya juga terasa dingin dan menggigil. Terlihat raut wajah yang cemas disana. Ia menggigit kukunya. Seolah-olah traumanya akan kembali lagi. Matanya berkaca-kaca ketika bapak-bapak itu jatuh tersungkur karena tidak dapat lagi menahan pukulan yang menyerangnya bertubi-tubi. Air mata Almaira menetes ketika ia sudah dapat melihat jelas wajah bapak-bapak itu. "A-ayah," lirihnya. Atensinya teralihkan ketika salah satu preman kedapatan menyembunyikan pisau di balik punggungnya. Seolah-olah pisau itu ingin diarahkan ke perut bagian kanan ayahnya. Almaira tak bisa tinggal diam. Ia memberanikan diri membuka pintu mobil. Ia berlari untuk menyelamatkan ayahnya. Bagaimanapun juga ia sangat menyayangi ayahnya. "Tidak, tidak. Jangan lakukan itu," gumam Almaira berlari sekuat tenaga untuk segera menggapai ayahnya. "Non, jangan!" Teriak Pak Budi melihat pergerakan Almaira. 1 2 3 Almaira tepat berada di depan ayahnya yang mencoba berdiri lagi. Dan Jlebb... Pisau itu sukses melukai perut bagian bawah Almaira. Seketika preman-preman itu langsung kabur. Lari tunggang langgang ketika mendengar teriakan warga yang melintas. Almaira melihat ke arah perutnya yang tertancap pisau. Ia memegangnya. Darah perlahan mulai merembes dari baju putih yang ia kenakan. Tubuhnya sudah gemetar hebat. Rasa sakit dan nyeri mulai menjalar ke sekujur tubuhnya. Ia terduduk lemas menyentuh tanah. Husein hanya terdiam terpaku melihat anak kandungnya yang sudah terduduk lemah. Untung saja Pak Budi segera menopang tubuh Almaira. "Non, bertahanlah. Saya akan membawa Non ke rumah sakit." Cemas Pak Budi. Ia menyesal karena tidak bisa menjaga majikannya. Husein berjongkok di depan Almaira. Tanpa pikir panjang, ia langsung mencabut pisau yang masih tertancap di perut Almaira. Darah mengucur semakin deras. "Akhhh..." rintih Almaira kesakitan. Ia sudah lemas. Ia tak bisa berbuat banyak. Rasanya tenaganya sudah terkuras habis. "Hei, apa yang kau lakukan Tuan? Kenapa kau mencabut pisaunya? Itu akan membuatnya kehilangan banyak darah." Marah Pak Budi pada Husein. Pak Budi langsung membuka seragam supirnya. Ia buatkan bulatan untuk menekan luka yang ada di perut Almaira. Setidaknya untuk menghambat agar darahnya tidak keluar terlalu banyak. "Biarkan saja. Biarkan dia mati sekalian." Ucap Husein dengan nada dingin. Lalu melangkahkan kakinya pergi. Almaira hanya menatapnya nanar. Pak Budi meminta bantuan kepada warga untuk membantunya membawa Almaira ke rumah sakit terdekat agar segera ditangani. Melihat punggung Husein yang semakin menjauh, saat itulah Almaira sudah tak sadarkan diri. *** "Bagaimana keadaannya, Dok?" Tanya Tama cemas ketika dokter baru saja keluar dari ruang operasi. Dokter tersebut melepas maskernya. Menatap sendu semua orang yang berkumpul untuk menunggu kabar baik. "Operasinya berjalan lancar. Untung saja lukanya tidak sampai mengenai organ bagian dalamnya. Dia kehilangan banyak darah. Dia juga sempat gagal jantung. Untung saja detak jantungnya bisa kembali normal." "Kapan dia akan sadar, Dok?" "Saya tidak bisa memastikannya. Sewaktu-waktu ia bisa mengalami gagal jantung lagi," "Anak saya akan baik-baik saja kan, Dok?" "Sampai saat ini, iya. Bersabarlah dan doakan yang terbaik untuknya. Saya permisi," Semua orang yang disana menunduk. Mengusap wajahnya kasar. Apalagi Dina yang sedari tadi menangis tak berhenti-henti. Air matanya terus saja menetes. Mereka masih menunggu Almaira untuk dipindah ke ruang rawat inap. Di sisi lain... Keano masih menunggu kedatangan Almaira di taman alun-alun kota. Karena menunggu terlalu lama, ia memutuskan untuk menghubungi Almaira. Namun, ia urungkan niatnya ketika ada panggilan masuk dari Keyla. Tanpa pikir panjang, Keano langsung mengangkatnya. "Ada apa, Key?" "Papa, Ken." "Kenapa?" "Papa pulang-pulang babak belur. Terus sekarang dia teriak marah-marah, banting-banting semua barang yang ada di dekatnya. Hiks, aku takut. Tolong kesini, Ken. Aku takut, hiks... hiks..." Keano langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia langsung beranjak pergi ke rumah Keyla. Sampai-sampai ia lupa kalau ada janji dengan Almaira. Sesampainya disana Keano merengkuh Keyla untuk menenangkannya. Keyla menangis sejadi-jadinya disana. Sampai saat ini pun Keano lupa dengan janjinya, bahkan ia tak tahu apa yang telah terjadi kepada Almaira saat di perjalanan untuk menemuinya. "Ssstttt... Tenanglah, Key." Ucap Keano menenangkan Keyla di depan rumah. Entahlah, saat itu Keyla langsung keluar dari rumahnya dan takut untuk kembali masuk. Entah apa yang terjadi di dalam sana. Pertengkaran terdengar jelas di luar sini. Ya, Keano dan Keyla mendengar semuanya. Apalagi ketika kata "cerai" terucap dari mulut Husein. Sontak membuat Keyla kembali menangis. Menangis lebih kencang dari sebelumnya. Keano dengan setianya berada di samping Keyla untuk menenangkan dirinya. Setelah itu, Husein keluar dari rumah dengan membawa kopernya. Ia tak menoleh ataupun berhenti untuk berpamitan pada Keyla. Ia langsung melenggang pergi sembari menyeret kopernya. Husein pergi, tak tahu kemana. Keyla langsung beranjak dan masuk ke dalam rumahnya. Ia langsung berhamburan memeluk mamanya yang menangis terduduk di sofa. Keano hanya bisa terdiam melihat pemandangan di depannya. Sekarang ia baru ingat, ia harus menemui Almaira. Tak ingin mengganggu, Keano langsung pergi meninggalkan rumah Keyla. Saat sudah di mobil, ia memutuskan untuk menghubungi Almaira terlebih dahulu. Tiga kali ia menghubungi nomor telepon Almaira tapi tetap tidak diangkat. Hal itu membuat Keano semakin khawatir. Hingga akhirnya panggilan kelima teleponnya diangkat. "Halo?" "Rendra?" "Kau dimana?" "Dimana Alma? Aku ingin bicara dengannya." "Datanglah ke rumah sakit mitra sejahtera." "A-apa yang terjadi?" "Ara ditusuk pisau ketika menyelamatkan orang. Cepatlah kemari!" Keano langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia menancap gas mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kini pikirannya terpenuhi dengan Almaira. Bagaimana keadaannya? Dia tidak akan kenapa-napa kan? Apa lukanya serius? Kenapa bisa terjadi hal seperti ini? "Pantas saja perasaanku tidak enak dari tadi. Al, bertahanlah. Aku akan datang. Tunggu aku." Gumam Keano lirih. 15. Cahaya Dua cahaya putih berada di samping kanan kiri Almaira. Ia berputar bingung mengedarkan pandangannya di sebuah taman yang penuh dengan bunga. Ia merasa aneh dengan dirinya. Mengapa ia memakai dress berwarna putih? Mengapa ia disini sendirian? "Ara," panggilnya dengan lembut. Almaira menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. "Kau siapa?" Wanita itu tersenyum. Lalu berjalan mendekati Almaira. Tangannya terangkat membelai pipi kiri Almaira dengan lembutnya. Wanita itu menatap Almaira dengan kasih sayang. "Aku ibumu, Ra. Ibu kandungmu," jawabnya. Mata Almaira berkaca-kaca. Sewaktu kecil ia hanya bisa melihat wajah ibunya dari sebuah foto. Karena diusir oleh ayahnya dan tidak membawa foto apapun membuat Almaira sedikit lupa dengan wajah ibunya. Terlebih ia tidak pernah melihat wajah ibunya sedari ia lahir. Tanpa basa basi Almaira berhambur memeluk ibunya. Ibunya mengelus lembut puncak kepala Almaira Sosok wanita yang sangat ia rindukan dari dulu. Wanita yang selalu ingin dia lihat secara nyata. Sekarang, Tuhan mengabulkannya. Tuhan benar-benar mempertemukannya dengan ibu kandungnya. "Kau akan ikut bersama denganku, Nak?" Pertanyaan itu sontak membuat Almaira melepaskan pelukannya. Ia mengerutkan dahinya bingung. "Apa maksud, Ibu?" "Ikutlah bersamaku, Nak. Ke tempat yang lebih indah dari tempatmu sebelumnya. Ke tempat dimana kau selalu bersama dengan Ibu setiap waktu." Almaira menatap wajah sendu ibunya. Ia terdiam. Namun, kemudian ia mendengar suara yang memanggil-manggil namanya. Pun ia juga mendengar tangisan keputusasaan. "Su-suara apa ini?" Batin Almaira. Almaira menggenggam kedua tangan ibunya. Lalu ia tersenyum. "Bisakah kita jalan-jalan terlebih dahulu, Bu? Aku merindukanmu. Dan selama itu, aku akan memikirkan dulu ajakan Ibu. Bagaimana?" Wanita itu tersenyum dan menggangguk. Lalu menggandeng tangan Almaira. "Baiklah, ayo kita nikmati waktu ini." Ucap wanita itu sembari melangkahkan kakinya beriringan dengan Almaira. *** Sudah hampir satu minggu Almaira belum sadarkan diri. Padahal kata dokter keadaannya sudah stabil dan melewati masa kritis. Setiap hari Dina, Tama, Septian, dan Rendra bergantian untuk menjaga Almaira. Pun Keano yang setiap hari juga menjenguk Almaira. Semenjak kejadian seminggu yang lalu. Keyla tiba-tiba menghilang. Tiba-tiba saja ia keluar dari sekolah dan tak ada kabar. Sebenarnya keluarga angkat Ara tahu kronologi bagaimana Almaira bisa terluka seperti ini. Tama pun sampai menyuruh orang untuk melacak keberadaan Husein. Namun, sampai sekarang keberadaan Husein belum ditemukan. Hingga akhirnya terdengar kabar bahwa Husein telah meninggal karena serangan jantung mendadak. Semua orang yang mendengar hal itu kaget tak percaya. Begitupun Keano yang memang sebelumnya tahu apa yang telah terjadi dengan keluarga Husein. Akhirnya, Tama menghentikan pencariannya. Awalnya ia marah karena Husein tidak memiliki hati nurani. Namun, akhirnya ia menyayangkan kematian Husein. Husein mati dengan rasa benci di hidupnya. Tittt... Bunyi alat pendeteksi jantung Almaira menjadi satu suara dan garis lurus. Dokter langsung datang dan menyuruh mereka semua keluar dari ruang rawat Almaira. Alat kejut jantung disiapkan. 100 joule, shoot... 150 joule, shoot... 200 joule, shoot... Semua berharap-harap cemas menunggu di luar ruangan. Dina sudah menangis di pelukan Tama. Septian, Rendra, dan Keano terduduk lemas. "Waktumu tidak banyak lagi, Ra. Kita sudah cukup lama berjalan-jalan di tempat ini." "Ibu," "Kau akan ikut bersamaku kan?" Suara tangisan keputusasaan dari Dina terdengar di indera pendengaran Almaira. Sebuah bisikan kata "pulang" terdengar bersautan di telinga Almaira. "Pulang, Al. Kau tak boleh pergi meninggalkanku seperti ini." Suara Keano. "Pulang, Ra." Suara Septian. "Pulang, Ra. Kau adikku satu-satunya. Aku tak siap untuk kehilanganmu. Kita baru saja baikan bukan?" Suara Rendra. "Pulang, Nak. Kami semua menunggumu." Suara Tama. Almaira meneteskan air matanya. Ia memejamkan matanya sejenak. "Kau tak menahanku untuk tetap disini kan, Bu?" "Aku hanya ingin kau ikut denganku, Nak. Mari kita hidup bahagia berdua selamanya." Almaira melepaskan genggaman tangan ibunya. "Aku ingin pulang, Bu. Ada banyak orang yang menungguku kembali." "Tidak, Ra. Ikutlah bersama kami. Maafkan ayah telah menyia-nyiakanmu selama ini. Ikutlah bersama kami. Ayo kita hidup bahagia bertiga selamanya." Tiba-tiba Husein datang dan sekarang sudah berada tepat di samping ibu kandungnya. Hal ini benar-benar membuat Almaira dilema. Di sisi lain, ia ingin hidup bersama dengan keluarga kandungnya. Karena kini mereka semua tengah berkumpul. Namun di sisi lainnya lagi, ia masih ingin hidup bersama keluarga angkatnya, teman-temannya, dan juga cintanya. Pandangan Almaira terfokus pada satu cahaya yang semakin meredup. Ia menatap kedua orang tua nya bergantian. Lalu berhambur memeluk keduanya. "Aku sudah memaafkanmu, Ayah." "Aku akan merindukan kalian. Suatu saat nanti, jika waktunya sudah tepat aku akan menemuimu kalian lagi. Sampai jumpa," Almaira berpamitan lalu melepaskan pelukannya. Ia langsung berlari ke arah cahaya yang kian meredup sembari melambai-lambaikan tangannya. "Aku akan merindukan kalian. Tunggu aku ya?" Ucapnya sedikit berteriak. Hingga akhirnya semua berubah menjadi gelap. Alat pendeteksi denyut jantung kembali normal. Dokter dan perawat yang menangani Almaira menghembuskan napasnya lega. Tinggal menunggu waktu, Almaira akan segera sadar. *** Almaira pulang. Iya, dia pulang ke tempat yang seharusnya. Di tempat dimana ia diinginkan oleh banyak orang. Almaira sadar, bahwa dunia ini tidak hanya melulu ada kata bahagia. Bahwa di dunia ini ada banyak kata selain bahagia. Seperti marah, sedih, kesal, cemburu, dan kata lainnya yang akhirnya jika sudah waktunya akan menemukan kata bahagia. Itulah bumbu-bumbu kehidupan bukan? Ketika kita menjalani segalanya dengan ikhlas tanpa berharap lebih. Semuanya akan berjalan baik walaupun tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Nyatanya, Tuhan yang memiliki rencana paling baik untuk kita. Nyatanya, Tuhan selalu di sampingmu. Tuhan tak pernah meninggalkanmu. Ketika kau tersesat, Tuhan akan membantu mencari jalan keluar. Baik secara langsung ataupun lewat perantara yang ia kirimkan untukmu. Almaira benar-benar berterima kasih dengan apa sudah ia lalui sampai sejauh ini. Ia benar-benar bersyukur dipertemukan dengan orang-orang baik di sekelilingnya. Yang terjadi dulu, kini ia jadikan itu semua sebagai pelajaran. Kini Almaira hanya fokus pada hari sekarang dan disini (tempat ia berada). Keano pun sudah melepaskan masa lalunya. Ia menyadari kalau ia benar-benar mencintai Almaira. Ia tak ingin menyakiti hati gadisnya lagi. Hatinya sudah tidak dipenuhi dengan labirin. Hanya jalan lurus supaya memudahkan Almaira untuk benar-benar masuk ke dalam hatinya. Ia turut bahagia bisa mendapatkan gadis sebaik Almaira. Mulai saat ini bahu untuk bersandar, tangan untuk digenggam, dan hati untuk tempat pulang sudah ia siapkan khusus untuk Almaira. "Selamat datang, dunia. Mari kita menjelajah lagi." Description: Jika rumah bukanlah tempat ternyamanmu untuk pulang? Bolehkah jika hatiku, kau jadikan rumah untukmu pulang? Pulang. Pulang ke tempat dimana banyak orang yang menunggu dan menginginkan kehadiranmu. Nama pena : Dikara Sarang Media sosial : delaprhrtn_ "Novela ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #Pulang 2020."
Title: Warna Tias Category: Cerita Pendek Text: Warna Tias Langkah kakiku terhenti saat hujan mulai berhenti. Aku melihat kearah luar jendela koridor kantor Papa. Ada pelangi di sana. Tias, temanku yang menemaniku ke kantor Papa juga ikut melihat keluar jendela. Berdua kami menikmati pemandangan pelangi yang indah itu. Aku dan Tias tidak pernah bosan melihat pelangi dalam waktu yang lama, karena pelangi itu salah satu fenomena alam yang paling kita berdua sukai. “Warna, pelanginya bagus ya?” Tias merekahkan senyumnya. “Iya, bagus banget!”Aku menyetujuinya. “Entar, kalau kamu jadi pindah ke Bengkulu sering-sering liat pelangi…” Aku memadang wajah Tias begitu dalam. “Memangnya kenapa harus ngeliat pelangi?” tanyaku penasaran. “Soalnya aku pasti bakalan ngeliat pelangi itu dan kita bakalan terasa dekat, walau kita nantinya akan berjauhan…” Aku hanya tersenyum mendengar alasan Tias. Dalam waktu yang dekat ini aku dan keluargaku akan pindah ke Bengkulu. Papa mendapatkan tugas baru dari perusahaan tempatnya bekerja untuk menyelesaikan proyek di sana. Aku tidak bisa menolak ajakan Papa dan Mama untuk pindah ke kota Bengkulu, tempat yang sama sekali tidak aku ketahui. Jika aku pindah, aku akan kehilangan sahabat terbaikku, Tias. “Tapi kan hujan di Bengkulu sama di Jakarta beda..” “Ya… biarin, yang penting liat pelangi aja.” Aku dan Tias pun tertawa. “Warna, kok belum pulang ke rumah? Hujannya sudah berhenti tuh…” suruh Papa saat menemukanku masih asyik melihat pelangi. “Eh iya, Pa.” Aku dan Tias melangkahkan kaki pulang ke rumah. Akan tetapi langkahku terhenti saat Tias berteriak. “Kenapa Tias?” tanyaku khawatir. “Tangan aku luka, kena cutter.” Tias menunjukkan lukanya dan cutter yang telah melukai tangannya. Darah menetes dari pergelangan tangan Tias. Aku segera mengambil tissue di tas dan menutup luka Tias agar tidak jatuh ke lantai. Aku juga mengelap darah di cutter itu dan langsung membuangnya. “Kok dibuang?” tanya Tias sambil menahan perih. “Banyak banget darahnya itu,” jawabku santai tapi pelan. “Pulang yuk. Biar lukamu bisa diobati di rumah.” *** “Hati-hati di jalan ya…” pesan Tias seraya menghapus air matanya yang berlinang. Aku tak sanggup untuk berkata-kata dan pesan Tias hanyaku jawab dengan anggukan. Pengumuman pesawat menuju Bengkulu sudah terdengar, aku melepas pelukanku dengan Tias. Papa sudah duluan jalan dan Mama masih menemaniku. Akhirnya saatnya aku dan Tias untuk berpisah. Aku melambaikan tangan dan dibalas Tias. “Sering liat pelangi ya…” aku mengangguk dan Tias berlari keluar dari bandara. “Di Bengkulu kamu pasti bakalan dapat teman yang sama seperti Tias…” kata Mama mencoba menenangkanku dan aku hanya bisa mengangguk saja. *** Setahun sudah aku berada di Bengkulu. Sebuah tempat yang nyaman yang pernah aku rasakan, karena di sini tidak terlalu bising seperti di Jakarta tempatku tinggal dulu. Udaranya masih sejuk, karena gedung pencakar langitnya sangat sedikit. Pohon-pohonnya masih ada yang rimbun dan jalan-jalannya jarang macet, kalaupun iya itu nggak setiap hari seperti Jakarta. Aku sekarang bersekolah di salah satu SMA favorit di sini. Awalnya aku kurang suka dengan anak-anak Bengkulu. Soalnya omongannya pada kasar, tapi setelah aku berteman lama dengan mereka aku sadar bahwa ini Sumatera. Cara mereka berbicara memang kasar, terkesan tak ada aturanya, tapi mereka baik dan ramah. “Warna!” Fina menepuk punggungku. “Lagi liat apo?” Aku menunjuk pelangi di langit. “Kau suko liek1 pelangi yo?” Aku menjawab dengan anggukan. “Ambo2 jugo suko. Soalnyo tiap liek pelangi biso ngilangin rindu.” “Iya, aku sedang kangen seseorang.” “Siapo? Pacar kau yo?” Tebakan Fina membuatku tersenyum lebar. “Kangen sama sahabat aku di Jakarta.” “O, masih sering kontakan nggak?” “Dulu, tujuh bulan lalu. Sekarang nggak tahu. Di telpon nomornya nggak aktif. Fbian3 sama TWITeran4 nggak pernah direspon sama dia.” “Sibuk kalu5…” “Mungkin…” Sebersit keraguan menyelimuti hatiku. *** “Warna, ada surat…” Suara mama dari luar kamar membuat aku langsung loncat dari tempat tidurku. Seketika rasa kantuk yang dari tadi aku rasakan hilang. Aku melangkah keluar kamar dan menuju ruang tamu. Mama memegang sebuah amplop putih. Aku sangat berharap kalau itu dari Tias. Ya Allah, aku sangat merindukannya, sampai aku berharap seperti ini. “Dari siapa ma?” Jantungku berdebar begitu aku bertanya. “Hem…” Mama membaca. “Dari Tias!” Dengan cepat aku mengambil amplop itu dari tangan mama. Mama hanya menggeleng melihatku. Aku tak peduli dan langsung berlari menuju kamar. Amplop di tanganku tak sabar untukku buka. Aku merobek ujung amplop itu dengan hati-hati supaya surat di dalamnya tidak ikut terobek. Di dalam amplop itu ada sebuah kertas surat. Aku mengambil dan melihatnya. Tulisan tangan Tias yang rapi tidak berubah dan aku mulai membaca. Assalamu’alaikum wr.wb Apa kabar Warna? Aku harap kamu baik-baik aja dan sehat selalu. Maafin aku ya War, kalau aku sudah sulit untuk dihubungi. Aku sakit Warna, jadi harus dirawat beberapa waktu di rumah sakit. Sekarang aku masih dirawat. Kuharap kamu tidak shok mendengar penyakitku. Aku terkena HIV. Aku sedih Warna saat dokter mengatakan kalau aku terkena virus itu, tapi mama menegarkanku dan aku mencoba untuk tidak sedih lagi. Warna, aku minta do’amu untuk kebaikan aku ya. Kamu jangan jauh dari aku ya. Kita tetap bertemankan? Walau aku sudah sangat jauh dari kamu. Aku akan selalu melihat pelangi kok War, biar kita tetap merasa dekat. Your best friend, Natiasih Rahma Aku membaca ulang surat dari Tias berkali-kali. Mataku tak henti-hentinya memandang tulisan kata HIV. Tanganku bergetar memegang surat itu. Tias terkena HIV, aku shok. Mataku sudah berlinang air mata dan hampir jatuh membasahi pipiku, tapi aku mencoba untuk tidak sedih mendengarnya, karena Tias sendiri nggak sedih dengan sakitnya itu. Di luar hujan mengguyur lebat. Aku meraih hapeku dan mencoba untuk menghubungi Tias, tapi sayang tak ada jawaban. Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah SMS. Ini dari Tias. Warna, ini mamany Tias. Tias nggak bsa jwb telponmu. Tias sdh dipanggil Allah saat telpon kmu msk. Do’ain yg terbaik buat Tias y syg. Hatiku hancur membaca sms itu. air mataku berurai tak berhenti. Jantungku berdegup kencang. Tias meninggalkan aku. Dia meninggalkan aku selamanya. Dia pergi, dipanggil oleh Sang Kuasa. Aku tak sanggup ditinggal sahabat terbaikku. Rasanya aku tak percaya kalau Tias akan meninggalkanku secepat ini. Aku tak pernah mendapat firasat kalau Tias akan pergi. Atau mungkin rasa kekosonganku dalam menjalani hari-hariku adalah pertandanya? Hujan di Kota Bengkulu sudah reda. Dengan air mata yang berlinang, aku keluar dan menatap langit. Ada pelangi. Saat itu wajah Tias langsung terbayang di kepalaku. Aku merasa Tias melihat pelangi juga, karena aku sekarang merasa sangat dekat dengannya. “Innalillahiwainnailaihirrojiun… sesungguhnya kami adalah milikMu dan sesungguhnya kami akan kembali padaMu.” Tak terasa air mataku turun membasahi pipiku. Selamat jalan sahabatku. Pelangi itu akan selalu mengukir senyummu untukku. [1] Lihat [2] Saya [3] Facebook-an [4] Twitter-an [5] Mungkin Description: Dua orang sahabat mesti terpisah jarak. Keduanya menyukai pelangi dan percaya jika setiap kali mereka melihat pelangi mereka merasa dekat satu sama lain.
Title: What Is Your Secret Ingredients? Category: BNNS Text: PR Sekolah “Perlu gua bilang berapa kali, sih? Gak usah dateng ke sekolah gua! Tuli lu? Hah?” bentak Katon pada Karin usai sampai di rumah. “M-maaf. Tapi tadi PR lo ketinggalan, Ton. Gua pikir lo bakal nyariin,” ucap Karin dengan suara yang serak. “Yang nyuruh lo nganterin PR gua siapa, hah? Udah deh, gak usah alasan terus. Sekali lagi gua lihat lo di sekolah gua, gua bakal...” “Katon, niat Karin baik loh sama kamu. Dia cuma gak mau kamu dihukum. Lagi pula, tadi itu Mama yang nyuruh dia ke sekolah kamu,” ujar mama memotong ucapan Katon. “Mama tuh sama aja ya, sama-sama gak ngertiin aku. Kalo sampai temen-temen aku lihat Karin gimana?” ucap Katon kesal lalu pergi meninggalkan Karin dan mama. Tangis Karin pecah memenuhi ruangan setelah Katon menghilang dari pandangannya. Ia tak bisa menahan bentakan dari saudara kembarnya itu. Ia benci dengan kenyataan bahwaKaton begitu membencinya. Ia benci karena terlalu berbeda dari sisi manapun dengan Katon. Ia benci dirinya. Katon dan Karin memang kembar, tetapi begitu sedikit kesamaan yang ada pada keduanya. Bagaimana bisa, Katon Janardana yang merupakan seorang primadona sekolah, tampan, tinggi, memiliki tubuh yang bagus, ternyata mempunyai saudara kembar yang bernama Karin Janardana, gadis bertubuh gendut, tak terawat, dan juga tak populer. Hal itu membuat Katon tak pernah mau menganggap Karin sebagai saudaranya. Ia tak ingin teman-temannya mengejeknya. Lebih parahnya lagi, Katon merengek pada mama dan papanya untuk tak satu sekolah dengan Karin. Sebisa mungkin, ia harus menyembunyikan keberadaan Karin dari hidupnya. Mama dan papa awalnya menolak ide Katon. Namun, Katon bertaruh untuk tak sekolah dari pada harus berada di sekolah yang sama dengan Karin. Akhirnya, permintaan itu dikabulkan oleh kedua orang tuanya. SD, SMP, semuanya berjalan begitu mulus bagi Katon, sebab ia menjadi murid populer dan digemari banyak siswi di sekolahnya. Ia begitu disegani oleh teman-temannya. Lain halnya dengan Karin. Tak ada hari-hari istimewa baginya. Ia tak memiliki teman, seringkali dirundung dan dikucilkan. Hampir setiap hari, Karin menangis di kamarnya. Ia benar-benar benci dengan kehidupan sekolahnya. Belum lagi jika di rumah harus bertengkar dengan Katon. Tak jarang ia berpikiran untuk menghabisi nyawanya. Namun, rencana itu selalu gagal entah mengapa. Apalagi saat ini mereka sudah SMA. Kehidupan semakin pahit saja bagi Karin. Di saat anak-anak lain mulai mengenal cinta, ia sibuk menyembunyikan dirinya dari semua orang. “Ma, kenapa sih aku sama Katon beda? Kenapa semua yang bagus ada di Katon? Pintar, ganteng, populer. Kenapa semuanya diambil sama dia?” ucap Karin dengan tangis yang semakin meledak. “Karin sayang, kamu gak boleh bicara begitu. Mama gak pernah sekalipun beda-bedain kamu sama Katon. Kalian berdua anak Mama yang sama-sama hebat,” ujar Mama. “Mama bohong! Aku sama Katon itu jelas beda. Aku gendut. Aku malu, Ma! Kenapa sih, Mama harus ngelahirin aku? Kenapa?” Mama terdiam mendengar ucapan Karin. Baru kali ini ia mendengar Karin begitu marah. Selama ini, Karin tak pernah mengeluhkan apapun. Ia terlihat sangat tegar menjalani hari-harinya. Karin kemudian pergi meninggalkan mamanya dan melanjutkan tangisnya di kamar. Tak lama kemudian, terdengar bunyi ketukan pintu dari kamarnya. Karin tak berniat untuk membukakan pintu itu. Ia hanya ingin sendiri saat ini. Namun, suara ketukan itu semakin keras dan juga terdengar suara teriakan Katon. Karin segera mengelap air matanya dengan tisu, lalu membukakan pintu kamarnya. Karin tak ingin Katon tahu bahwa ia sedang menangis. “Abis nangis, lo?” tanya Katon. “Hah? Nggak kok,” jawab Karin bohong. “Gua gak akan marah kaya tadi kalau lo gak dateng ke sekolahan gua. Lo sih cari gara-gara. Yaudah, mana buku PR yang lo bawain tadi?” “Ada di tas gua, sebentar gua ambilin.” Katon masuk ke dalam kamar Karin setelah sekian lama hanya melihat dari ambang pintu saja. Ia takjub melihat kamar Karin yang ternyata begitu rapi, nyaman, dan juga wangi. Ia melihat beberapa perabotan Karin, lalu tertarik dengan buku tulis bersampul merah muda yang sudah sedikit lusuh. Katon membuka buku itu dan mulai membacanya. Namun, tangan Karin melesat cepat mengambil buku itu dari genggaman Katon. “Pelit amat sih, cuma liat sebentar juga!” ucap Katon. “Ngapain lo masuk kamar gua? Udah sana keluar! Nih, bawa buku PR lo yang gak seberapa itu,” bentak Karin dengan menyodorkan buku Katon. Katon terkejut mendengar Karin membentaknya. Jarang sekali ia melihat Karin seperti itu. Katon keluar dari kamar Karindengan dipenuhi rasa bersalah. Dalam hatinya bertanya-tanya, apakah ia sudah terlalu kelewatan pada Karin hingga Karin tak dapat lagi meredam emosinya? Namun, perasaan itu hanya lewat sekilas saja, beberapa menit kemudian, Katon pun lupa akan hal itu. Sebenarnya, Katon bukanlah saudara yang jahat. Ia hanya tak dapat melawan gengsinya. Ia malu jika harus mengaku memiliki saudara kembar yang super gendut. Ia takut teman dan juga para penggemarnya di sekolah menjauhinya. Katon tahu ia sedikit pengecut. Namun, ia tetap berdiri pada gengsinya, hingga saat ini. Hingga mereka menduduki bangku SMA, sangat sedikit teman yang tahu jika Katon memiliki saudara kembar. Setiap temannya ke rumah, Katon berbohong dan mengaku jika ia memang memiliki saudara, tetapi sedang bersekolah di luar kota. Padahal kenyataannya, saat teman-teman Katon main ke rumah, Karin tak dibolehkan keluar kamar oleh Katon. Katon selalu memberikan makanan yang banyak untuk menyogok Karin agar tak keluar dari kamarnya. Karin terlihat tak keberatan akan hal itu, padahal diam-diam Karin selalu menggerutu saat Katon menyogoknya. Katon sekolah di SMA favorit se-kotanya. Ia selalu pergi sekolah dengan motor sport hadiah dari papa. Sedangkan Karin sekolah di SMA yang tidak begitu terkenal. Lain hal dengan Katon yang naik motor saat pergi sekolah, Karin hanya dibekalkan sepeda untuk pergi ke sekolahnya. Karin tak begitu protes pada kedua orang tuanya tentang hal itu. Ia cukup tahu diri dan tak mau ambil pusing. Ia cukup fokus saja untuk lulus dari SMA itu, agar kemudian mengurung diri di kamar sehingga tak perlu bertemu dengan teman-teman yang menyebalkan. *** Digemari banyak wanita tak membuat Katon mudah untuk memiliki pujaan hati. Ia khawatir para penggemarnya akan hilang jika ia sampai mengencani salah satu wanita di sekolahnya. Faktor lainnya, hingga saat ini belum ada gadisyang bisa membuatnya jatuh hati. Pernah sekali ia menyukai salah satu gadis yang ada di kelasnya. Namun, sungguh Katon yang malang. Esok harinya, Ega, salah satu temannya mengungkapkan perasaan pada gadis itu. Pada akhirnya, gadis itu berpacaran dengan Ega. Tak ada yang tahu soal itu, karena Katon telah menyembunyikannya rapat-rapat, lalu kemudianmencoba melupakan gadis itu. Ternyata bukan perkara mudah melupakan wanita yang disukainya. Apalagi Ega selalu bercerita tentang gadis itu padanya. Jika mereka sedang bermain, gadis itu selalu ada karena Ega mengajaknya. Keadaan seperti itu terus berlanjut setiap harinya hingga saat kelas X semester 2, Katon tak lagi sekelas dengan Ega maupun gadis itu. Kini, ia tak perlu khawatir lagi tentang gadis itu dan segera membuang jauh-jauh perasaanya. Minuman Keras Hari sabtu di sekolah Katon, teman-temannya berencana untuk menghabiskan minggu malam mereka dengan pergi ke pantai. Katon menyetujui rencana teman-temannya itu. Sepulangnya dari sekolah, Katon segera berkemas dan bersiapmenunggu jemputan dari temannya. Tak tertinggal, ia menyuruh Karin untuk tetap diam di kamar saat temannyananti datang ke rumah. Setelah mereka bersiap untuk pergi, Katon mengetuk kamar Karin untuk berpamitan. “Nanti bilang ke mama sama papa, gua ke pantai sama Angga dan teman yang lain. Minap, jadi gak usah nelponin atau nyariin gua,” ucap Katon pada Karin. “Kenapa gak bilang sendiri, sih? Biar papa sama mama gak khawatir anak kesayangannya gak ada di rumah,” sindir Karin. “Protes aja lo! Kalo gua bilang langsung, yang ada malah gak dibolehin. Udah ah, gua pergi,” ucap Katon dengan melambaikan tangannya pada Karin. Karin tak menjawab. Ia tak ingin ikut campur dengan urusan Katon. Masa bodo Katon hendak kemana, dengan siapa, yang penting tidak membentak dan memakinya. Karin justru senang jika Katon pergi, ia bisa bebas keluar kamarnya, lalu pergi ke dapur untuk memakan makanan yang telah disediakan oleh mba Neneng, pembantu di rumahnya. Sejak dulu ia ingin sekali diet, tetapi layaknya setan yang menggoda manusia untuk tak berbuat baik, makanan-makanan itu selalu menggoda Karin untuk segera menghabiskannya sehinggamembuat rencana dietnya meleleh. Pukul 17.00, mama dan papanya pulang dari kantor bersama. Meskipun tempat kerja papa dan mama berbeda, papa tak pernah absen untuk menjemput mama, kecuali jika papa ada lembur atau mengalami kejadian yang tak terduga. Seperti yang sudah Karin yakini, belum selesai papa melepas sepatu sebelah kirinya, papa sudah menanyakan keberadaan Katon. Karin menjawab seadanya, sesuai dengan apa yang dikatakan Katon padanya. “Ke pantai mana? Kenapa gak telepon papa dulu?” Tanya papa pada Karin. “Karin gak tau ke pantai mana, Pa,” jawab Karin polos. “Kamu ini gimana sih, Karin? Seharusnya kalau Katon kaya gitu, kamu langsung telepon Papa dong.” “Iya Pa, maaf. Soalnya tadi...” “Ya sudah, biar Papa telepon aja dia langsung,” ujar papa memotong ucapan Karin. Seperti itulah papa, ia tak pernah benar-benar mendengarkan apa yang Karin ucapkan. Yang ia pikirkan hanya Katon, putra kesayangannya itu. Mama hanya menggeleng melihat tingkah laku suaminya. Karin pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang saat ini sedang sibuk menelepon putranya, tetapi tak diangkat satu kali pun. Katon dan teman-temannya sampai di pantai dengan suasana hati yang gembira. Mereka telah menyiapkan segala perlengkapan untuk party malam nanti. Bahkan ada salah satu dari mereka yang membawa beberapa minuman keras. Katon terkejut melihatnya, kemudian memarahi temannya itu. “Otak lo dimana, hah? Kalo sampai ada yang lihat kita bawa kaya gini gimana?” oceh Katon. “Tenang, Bro. Jangan pakai emosi gitu lah. Gak akan ada yang tahu juga, kok. Ini rahasia di antara kita aja,” ucap Bimo santai. “Awas lo ya, kalau sampai kita ketahuan, habis lo sama gua!”ucap Katon, lalu kemudian pergi dari hadapan Bimo. Malam harinya, suasana hati Katon mulai mereda. Ia tak marah lagi pada Bimo. Mereka bermain game, bermain gitar, membakar ikan, dan melakukan hal seru lainnya hingga larut malam. Malam itu benar-benar malam yang indah. Mereka tak tahu, esok harinya mereka akan dihadapkan oleh kejadian yang tak pernah mereka harapkan. Fajar mulai terbit dari arah timur membuat isi dunia mulai terang. Katon dan teman-temannya mulai berkemas danbersiap untuk pulang. Saat salah satu dari mereka membuka ponselnya, ia terjekut dengan notifikasi di HPnya yang berisi berita dengan headline “Sepuluh Siswa dari SMA Ternama di Ibu Kota Bermalam di Pantai dengan Minuman Keras”. Ia segera memberi tahu sembilan temannya. Katon dan teman yang lain ikut melihat berita itu. Benar saja, berita itu mengarah pada mereka. Bahkan, ada bukti foto mereka di dalamnya. Siapa yang berani memotret dan menyebarkan berita ini? tak ada yang tahu pastinya. Tanpa basa-basi, Katon meninju wajah Bimo hingga keluar darah segar dari hidungnya. Belum sempat Bimo menghindar, perut Bimo juga menjadi sasaran telak oleh Katon. Bimo mengaduh kesakitan. “Sudah gua bilang, kan? Lihat sekarang! Nama kita bakal hancur kalau begini,” ucap Katon sambil mengatur nafasnya. “Sumpah, Ton. Gua gak tahu kalau jadinya bakal begini. Gua juga gak mau nama gua hancur.” “Terus, siapa yang mau tanggung jawab, hah? Lagi pula, pengecut mana yang berani memotret kita dan menyebarkan berita sampah itu?” “Sudah-sudah, lebih baik kita pulang dulu ke rumah, tenangin diri. Gak ada manfaatnya kita berantem di sini. Kita semua udah ketangkap basah,” ucap Rangga menenangkan. “Gak bisa gitu, Rang. Orang tua gua pasti bakalan marah besar. Belum lagi kalau sekolah ngeluarin kita. Mau sekolah di mana kita? Lo sih enak udah gak punya orang tua lagi, gak ada yang marahin,” balas Katon “Maksud lo apa? Lo ngerendahin gua? Jangan mentang-mentang orang tua lo masih hidup dan mereka kaya raya, lo bisa seenaknya gini nilai orang, Ton! Lo tu gak berubah-berubah, ya. Lo pikir dengan ngerendahin orang kaya gua, derajat lo bakal naik, gitu?” bentak Rangga. Stop! Bisa gak sih tenang sebentar. Sekarang bukan waktunya untuk berantem, Bro, ucap Gery melerai. Ponsel Katon berdering kencang dan memperlihatkan kata“Papa” pada layarnya. Ia mengangkat telepon dari papanya itu. Tanpa basa-basi, papanya langsung menyuruhnya pulang. Katon dan teman-temannya pulang dengan suasana hati yang buruk. Tak ada yang berani atau berinisiatif memulai obrolan.Mereka sibuk dengan nasibnya masing-masing. Mereka mengantar Katon terlebih dahulu karena rumah Katon lah yang terjauh. Sesampainya di rumah, Katon telah di sambut dengan belasan pertanyaan oleh papa dan mamanya. Karin hanya terdiam di ujung pintu mendengar pertunjukan itu. “Benar apa yang diberitakan itu, Ton? Kamu kenapa bisa ikut-ikutan begitu, sih?” tanya mama dengan wajah cemas. “Katon gak tahu apa-apa, Ma. Katon sama sekali gak nyentuh minuman itu. Mama percaya kan sama Katon?” “Kamu semakin di biarin semakin gak karuan ya, Ton. Bukan berarti Papa gak pernah marahin kamu, kamu bisa seenaknya begini. Gimana kalau kolega Papa tahu kalau anak Papa terlibat kasus seperti ini?” bentak papa. “Mudah aja, Pa. Papa cuma perlu gak anggap Katon, sama seperti apa yang Papa lakuin ke Karin. Dengan begitu, teman-teman Papa gak akan tahu kalau Katon sebenarnya anak Papa,” cetus Karin. “Karin, kamu ngomong apa, sih? Jangan begitu ya sayang,”ucap Mama mencoba menengahi. “Habisnya, Papa bukannya mikirin perasaan Katon, malah mikirin koleganya. Katon kan udah bilang kalau dia gak ikutan minum, Pa. Harusnya Papa percaya sama Katon, dia kan anak kesayangan Papa,” ucap Karin lagi. “Karin! Jaga ya omongan kamu! Papa gak pernah ngajarin kamu seperti itu.” “Aku juga gak butuh ajaran dari Papa yang toxic kaya Papa!” ucap Karin lalu kemudian masuk ke dalam kamarnya. Ia tak tahu mengapa bisa sampai hati berkata seperti itu pada papanya. Ia merasa bersalah, tetapi juga merasa lega karena telah menumpahkan segala emosinya. Ia merasa memang harus mengatakan itu agar papanya sadar akan perbuatannya selama ini pada Karin. Dan tentang Katon, Karin memang tak menyukainya, tetapi ia yakin saudara kembarnya tak mungkin berbuat seperti itu. Ia tahu betul Katon tak pernah tertarik dengan hal yang berbau semacam itu. Pindah Sekolah Katon mengurung diri di kamarnya sejak pulang dari pantai pagi tadi. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja menimpanya dan juga teman-temannya. Bedebah mana yang sengaja menyebarkan poto itu, pikirnya. Ini hari minggu, masih belum ada tanggapan dari sekolah mengenai hal itu. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya saat ini. jika sampai ia dikeluarkan dari sekolah, ia tak akan tinggal diam. Ia akan mencari tahu siapa dalang dibalik semua kejadian ini. Karin khawatir dengan kembarannya itu. Hari sudah malam, tetapi Katon belum juga keluar dari kamar sejak pagi tadi. Karin mencoba melakukan pendekatan dengan Katon. Dibawanya makanan yang telah disiapkan oleh mba Nenengsejak tadi, lalu ia mengetuk pintu kamar Katon. Tak ada sahutan dari dalam kamar. Namun, Karin tak menyerah begitu saja. Ia harus bisa membuat Katon bercerita tentang kejadian sebenarnya di pantai itu. Karin terus mengetuk pintu, hingga Katon tak tahan lagi mendengarnya. Dengan rambut kusut dan mata yang terlihat sangat lelah, Katon membuka pintu kamarnya dengan enggan. “Mau apa lo?” ucap Katon sinis. “Nih, makan. Mba Neneng udah masak banyak di dapur, sayang kalau gak ada yang makan,” ucap Karin sembari menyodorkan piring yang penuh dengan makanan. “Kan ada lo yang biasa ngabisin makanan, udah deh gak usah sok baik. Lo pasti senang kan lihat gua dapat masalah begini?” “Mau sampai kapan sih lo sinis gitu sama gua? Bisa gak sehari aja lo itu positive thinking ke gua. Gua ke sini tulus mau bantuin lo.” “Apa yang bisa lo bantu, hah? Hidup lo aja gak keurus begitu, sok sok-an mau bantuin gua. Udah sana pergi! Bawa aja makanannya, gua gak lapar.” “Lo jahat banget ya, Katon. Di saat lo susah begini aja lo masih bisa ngehina gua. Tadinya gua pikir, lo cuma apes aja terlibat dalam kasus semalam. Tapi sekarang gua mulai percaya kalau lo emang beneran minum sama kawan-kawan lo itu! Lo pantas dikeluarin dari sekolah, tahu gak?” ujar Karin lalu kemudian pergi dengan membawa piring yang tak jadi diberikan pada Katon. “Heh, jaga ya omongan lo! Lo gak tahu apa-apa jadi gak usah sok tahu,” teriak Katon pada Karin. Katon kembali menutup pintu kamarnya. Perkataan Karin tadi membuatnya semakin emosi. Namun, ia tak cukup kuat untuk kembali marah seperti tadi karena perutnya mulai rewel. Jika tidak karena gengsi, ia pasti sudah kenyang saat ini. Bodoh sekali ia menyia-nyiakan kesempatan mendapatkan makanan tadi. Katon mengambil HPnya di atas meja belajar. Ia melihat banyak notifikasi pesan dari grupnya, kemudian ia membuka pesan tersebut. Abim​​: Gawat woi, pak Budi nelepon papa gua! Rangga​: Serius lu? Terus apa katanya? Kok papa gua gak ditelepon ya? Abim​​: Dia masih nanya-nanya sih, tapi kayanya berita kita udah nyebar luas deh. Bimo​​: Sorry ya woi, kalau gua gak bawa itu, pasti gak akan kejadian begini. Alang​​: Gua udah disuruh pindah sama mama ke luar kota woi. Andre​​: Gua gak mau pindah woi. Masa gua harus LDR sama Citra! Abim​​: Citra terooooos!!! Katon​​: Mengetik... Gery​​: Lu ngetik apaan si Ton lama amat dah. Rangga​: Ton? Lo gak kenapa-kenapa, kan? Katon​​: Gak apa-apa kok bro. Gery​​: Eh Katon mah enak, tinggal pindah aja ke sekolah saudaranya di luar kota. Alang​​: eh iya, benar tuh. Gua juga ikut pindah kesana ah biar langsung ada kawan. Penasaran juga gua sama adiknya si Katon. Katon meninggalkan grup. Sempat-sempatnya mereka membahas tentang Karin, gerutu Katon. Ia tak bisa membiarkan teman-temannya tahu tentang Karin. Begitu sulitnya ia menimbun seluruh rahasianya selama ini, lalu dihancurkan begitu saja karena ia harus pindah sekolah. Apapun yang terjadi, jika memang ia di keluarkan dari sekolah, ia tak akan mau berada di sekolah yang sama dengan Karin. *** “Nak, keluar sebentar ya. Mama sama papa mau bicara,” ucap mama sembari mengetuk pintu kamar Katon. Katon membuka pintu kamarnya. Mama tersenyum melihat Katon yang akhirnya mau keluar dari kamar. Katon tahu itu senyum palsu. Mama pasti sangat kecewa padanya. Katon berjalan di belakang mamanya menuju ruang keluarga. Di sana, papa dan Karin sudah menunggu mereka. Karin tak melirik Katon sedikit pun, ia sibuk menonton drama diponselnya. “Papa mau bicara serius sama kalian semua. Karin, nanti dulu main HPnya,” ujar papa membuka pembicaran. Alih-alih mendengarkan perintah papanya, Karin masih terus lanjut menonton. “Karin?” ujar papa lagi. Karin mematikan ponselnya dan menggerutu dalam hati. “Tadi pak Budi telepon papa. Dia bilang, kamu dan teman yang lain mulai besok gak perlu ke sekolah lagi.” Katon terdiam. Begitu juga dengan mama dan Karin. “Setelah Papa pikir dengan matang, besok kamu akan Papa daftarkan di sekolah Karin,” ucap papa pada Katon. “T-tapi Pa, Katon gak mau, Pa.” “Kalau kamu gak mau, seharusnya kamu gak melakukan hal bodoh seperti itu, Katon!” bentak papa. “Katon gak minum, Pa. Katon berani sumpah. Tolong Katon sekali ini aja, Pa. Papa pasti punya teman di sekolah Katon, kan? Papa pasti bisa bujuk mereka untuk gak ngeluarin Katon.” “Kamu pikir dengan begitu, masalahnya akan selesai? Apa kata teman-temanmu nanti kalau mereka tahu kamu gak dikeluarin? Kamu gak akan berkembang kalau selalu mengandalkan orang dalam, Katon!” “Kalau gitu jangan pindah ke sekolah Karin, Pa.” “Keputusan Papa sudah gak bisa diubah. Besok Papa akan antar kamu ke sekolah dan mengurus perpindahan kamu.” Suasana ruangan semakin kaku. Karin tak berkomentar sedikit pun. Setelah papa pergi dari ruangan, ia melanjutkan tontonannya. Mama mencoba menenangkan Katon meskipun sebenarnya tak begitu berhasil. Mama membujuk Katon untuk mengisi perutnya walau sedikit. Mama tahu Katon pasti kelaparan sejak tadi. Katon menuruti mama, ia pergi ke dapur dan memakan lauk dan sayur yang sudah disiapkan. “Rin, ayo makan bareng Katon. Tadi kamu bilang mau makan nunggu Katon,” ucap mama pada Karin yang masih sibuk menonton. “E-ehh, aku gak bilang begitu kok, Ma. Mama ini ngarang aja deh,” jawab Karin salah tingkah. “Katon, kamu tahu gak? Karin itu khawatir banget sama kamu. Dia sampai bawain makanan ke kamar kamu, tapi malah gak kamu makan. Dia tuh dari tadi nungguin kamu keluar dari kamar, mau makan bareng katanya,” ucap mama pada Katon yang membuat Karin semakin salah tingkah. “Mama apaan sih, aku tuh gak makan karena memang masih kenyang, Ma. Mana mungkin aku gak makan cuma karena nungguin Katon.” “Untung gua keluar kamar, yah. Kalau tadi gua gak keluar, lo udah mati kelaparan nih pasti,” gurau Katon. “Hmm, Karin sweet banget kan, Katon. Mama mau, kalian bisa gini terus tiap hari. Saling perhatian satu sama lain,” ucap mama tersenyum. “Mama tuh salah paham tahu, gak? Aku kan udah bilang kalau aku gak lapar, bukan karena Katon.” “Iya deh iya, muka kamu sampai merah tuh, Rin,” ucap mama lagi. Malam itu perasaan Katon tak karuan. Ia kecewa saat mendengar papanya akan memindahkannya ke sekolah Karin. Namun, ia juga senang mengetahui saudaranya yang begitu peduli dengannya meskipun ia sering menyakiti perasaannya.Ia mulai luluh dengan hangatnya sikap Karin. Rasa benci itu perlahan-lahan memudar meski membutuhkan waktu yang lama. Penghuni Tiga Kursi Pagi ini gerimis menyiram debu-debu jalanan kota. Katon sudah siap sarapan setelah sekian lama tak pernah menyentuh meja makan di pagi hari. Karin sudah berada di meja makan saat Katon tiba di sana. Karin sibuk membungkus makananyang ada di atas meja. Katon bertanya pada Karin untuk apa ia membungkus makanan itu. “Buat apa tuh?” “Apanya? Oh ini. Buat bekal ke sekolah,” jawab Karin. “Kenapa gak beli di kantin aja? Sekolah lo ada kantin, kan? Jangan bilang kalo sekolah lo....” “Heh sembarangan kalo ngomong. Mentang-mentang sekolah di SMA favorit!” “Ya bukan gitu. Abis lo aneh sih, bawa begituan kan bikin nambah berat bawaan lo.” “Sejak kapan lo peduli sama gua? Urusan gua kali mau bawa barang berat atau nggak. Lagi pula ini tuh lebih sehat.” Katon tak menanggapi perkataan Karin kemudian. Ia sadar bahwa tak pernah sedikit pun memerhatikan Karin. Hal kecil seperti membawa bekal pun Katon tak tahu, karena memang Katon tak pernah sarapan di rumah. Ia selalu terlambat saat pergi ke sekolah, lalu mengamuk pada mama karena tak membangunkannya. Padahal, mama setiap pagi selalu mondar-mandir ke kamar Katon untuk membangunkannya. Pagi ini Katon menyadari bahwa banyak sekali hal yang tidak pernah ia lakukan selama di rumah. Ia lebih sering bermain dengan teman-temannya di luar sana. *** Papa mengeluarkan mobil dari garasi dan bersiap untuk pergi mengurus pindahan Katon. Katon dan Karin keluar rumah bersama-sama. Katon masuk ke dalam mobil papa, sedangkan Karin mengambil sepeda yang merupakan teman baiknya selama ini. Katon melihat Karin membawa sepeda dan ingin menghentikannya, tetapi papa lebih dulu memanggil Karin. “Rin, kok naik sepeda? Ayo naik mobil sama papa. Papa memang mau mangantar kalian berdua,” ucap papa dengan penuh semangat. “Emm, gak usah Pa. Karin naik sepeda aja, supaya bisa menghirup udara segar pagi,” ucap Karin bohong. Padahal, satu-satunya alasan ia tak mau adalah Katon. Ia yakin Katon pasti akan memarahinya jika mereka sampai pergi sekolah bersama. “Kamu yakin, Rin?” “Iya, Pa. Karin kan memang setiap hari naik sepeda. Ya sudah, Pa, Karin duluan ya. Ma, Karin berangkat dulu.” “Iya sayang, hati-hati di jalan,” ucap mama sambil melambaikan tangannya. Papa mengiringi Karin dari belakang. Katon tak berbicara sepatah kata pun di dalam mobil. Karena suasana semakin canggung, papa berusaha mencairkan suasana dengan bertanya sekenanya. “Teman-teman kamu yang juga dikeluarkan dari sekolah, mereka pindah kemana, Ton?” “Belum tahu, Pa. Katon belum menghubungi mereka lagi.” “Papa minta maaf kalau semalam terlalu kasar sama kamu.” “Iya, Pa. Katon juga minta maaf sama Papa. Maaf kalau Katon buat Papa repot. Yang seharusnya ke kantor, malah ngantarin Katon pindah sekolah.” “Iya, Nak. Oh iya, kamu kan sekarang sudah satu sekolah dengan Karin. Coba kamu perhatiin dia. Papa khawatir dia ada masalah di sekolah, tapi gak mau cerita ke kita. Jangan terlalu kasar sama dia. Dia baik banget loh sama kamu.” “Iya, Pa. Nanti akan Katon coba.” “Ya Papa sih maunya kalian akrab, Ton. Andai saja dari dulu kalian satu sekolah, Papa jadi enak merhatiinnya.” “Eh, udah sampai Pa. Ternyata sekolah Karin bagus juga ya, Pa,” ucap Katon mengalihkan pembicaraan. “Memang siapa yang bilang sekolah Karin jelek? Kamu pikir sekolah kamu aja yang bagus?” “Hehe, sekolah Katon kan yang paling terkenal, Pa. Ya jelas paling bagus lah.” “Ya sudah, ayo kita ke ruang guru.” “Iya, Pa.” Katon berjalan dibelakang papa menuju ruang guru. Sesampainya di sana, Katon segera diantar ke kelas barunya. Papa pulang setelah Katon masuk ke kelas. Katon diberi waktu dua menit untuk memperkenalkan dirinya di depan kelas. Setelah selesai, ia segera duduk di kursi kosong tepat di bagian paling belakang. Guru yang mengantar Katon melihat tiga kursi kosong pada barisan ketiga dan bertanya pada murid di kelas. “Kemana penghuni tiga kursi itu?” Semua murid terdiam, tak ada yang menjawab sama sekali. “Kalian tak dengar ibu bertanya?” “Kami di sini, Bu,” ucap salah satu gadis di ambang pintu kelas bersama dua teman di belakangnya. “Riri, Nana, Karin, dari mana saja kalian?” “Dari toilet, Bu. Perut saya sakit banget, sebagai teman yang baik, mereka nungguin saya, Bu,” ucap Riri. “Besok lagi kalau kamu mau lama di toilet, biarkan kawan kamu masuk kelas duluan. Kamu kan bisa ke toilet sendiri.” “Iya, Bu. jadi sekarang kita boleh masuk kan, Bu?” “Ya sudah. Besok jangan diulang lagi.” “Siap bos!” ucap Nana dengan lantang yang membuat satu kelas tertawa. Katon terkejut melihat Karin yang baru saja masuk ke kelasnya. Astaga, setelah sekian tahun ia menghindari agar taksatu sekolah dengan Karin, sekarang bahkan ia sekelas dengannya. Dan apa maksud kejadian yang baru sajadisaksikannya? Apakah Karin memang suka telat masuk jam pelajaran seperti itu? Katon memperhatikan Nana dan Riri secara bergantian. Pasti mereka berdua adalah pembuat onar, pikirnya. Apakah selama ini Karin bergaul dengan orang-orang seperti itu? tanya Katon pada dirinya sendiri. *** Saat guru keluar dari kelas, Riri segera mendekati kursi Karin dan memegang dagu Karin hingga membuat Karin mendangak. “Lo liat kan tadi? Kalau bu Ani sampai tahu apa yang sebenarnya terjadi, gua gak akan segan-segan bikin lo lebihsengsara!” “Ri, jangan keras-keras, ah. Gak enak kalau sampai didengar sama anak baru,” ucap Nana sambil menunjuk ke arah Katon. “Anak baru?” “Iya. Lo gak liat tu di paling belakang.” Riri segera menengok ke arah yang ditunjukkan Nana. “Cakep juga tuh anak baru. Siapa namanya?” “Emm, siapa ya tadi? Eh Katon deh kalau gak salah namanya,” ujar Nana menunjukkan wajah seperti sedang berpikir keras. “Katon?!” tanya Karin spontan. “Kenapa lo gendut? Sok kaget gitu,” tanya Nana. Karin segera menoleh ke belakang dan memastikan bahwa itu bukan Katon Janardana. Dan sayangnya, itu benar-benar Katon Janardana yang setiap hari ia lihat di rumah. “Heh gendut, jawab. Kenapa lo? Lo kenal sama tu anak baru?” ucap Nana mengulang pertanyaannya. “N-nggak, gua gak kenal sama dia.” “Ya iyalah gak mungkin juga lo punya kenalan secakep itu,”ucap Riri dengan angkuh. Riri dan Nana kemudian berjalan menuju meja Katon. Dengan bangganya mereka memperkenalkan diri saat Katon sedang sibuk bermain handphone. “Hai, anak baru ya? Kenalin gue Riri,” tutur Riri dengan menjulurkan tangan kanannya ke arah Katon. “Eh hai, gua Katon,” jawab Katon namun matanya tak lepas dari gadget. Riri segera menurunkan tangannya setelah sadar juluran tangannya tak berbalas. Ia berlagak seolah tak terjadi apa-apa dan segera meluncurkan pertanyaan sekenanya. “L-lo, udah makan?” “Udah.” “Ehmm, kalau ada yang bingung atau lo mau tahu tentang sesuatu di sekolah ini, panggil gua aja ya. Gua siap kok bantuin lo,” ucap Riri lagi. Katon berhenti memainkan gadgetnya lalu menoleh ke arah Riri dan Nana. Perempuan-perempuan seperti ini sudah sangat sering ia temui di sekolahnya yang lama. Katon sangat paham orang-orang seperti ini hanya ingin meminta perhatiannya. Mereka selalu ingin hubungan timbal balik. Saat di sekolah lamanya, Katon senang dengan kehadiran siswi-siswi seperti itu di dekatnya, atau selanjutnya bisa disebut dengan penggemarnya. Namun, entah mengapa sekarang ia bahkan tak ingin ada yang mengganggunya. Ia ingin kehidupan yang lebih tenang. Tak ingin mengharapkan apapun dari mereka. Ia sadar semuanya telah berubah. Ia bukan lagi siswa populer melainkan anak baru yang dikeluarkan dari sekolahnya yang lama. Meski tak semua orang tahu, tetapi ia yakin cepat atau lambat berita itu pasti akan menyebar. Maling! Papa tak bisa menjemput Katon pulang sekolah karena ada pekerjaan tambahan di kantor. Oleh karena itu, Katon berinisiatif untuk memesan ojek online. Setelah memesan, Katon teringat dengan Karin. Ia tak melihat Karin sejak keluar dari kelas. Namun, ia melihat sepeda Karin masih bertengger rapi di parkiran sekolah. Saat ojek online yang Katon pesan tiba, ia melihat kerumunan siswi yang entah sedang apa di belakang kelasnya. Katon melangkahkan kaki mendekati kerumunan itu, tetapi abang ojol itu lebih dulu memanggilnya untuk segera naik kendaraan. Katon akhirnya mengurungkan niat untuk menghampiri para siswi itu. Ia juga merasa tak ada hak untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di antara gadis-gadis itu. Katon bersiap untuk menaiki motor saat kemudian Nana muncul membawa ember berisi air berwarna kecokelatan. Nana terkejut melihat Katon yang sejak tadi memperhatikannya. “Eh, Katon. L-lo ngapain di sini? B-belum pulang?” “Ini baru aja mau pulang. Lo ngapain bawa ember segala?” “E-eh ini. Anu, oh iya ini air bekas ngepel kelas kita, mau gua buang,” ucap Nana gelagapan. “Oh, lo piket ya hari ini? mau gua bantuin bawa?” “Ng-nggak usah, gak usah. Gua bisa sendiri kok. Ya udah gua duluan ya, bye!” Nana langsung melipir pergi meninggalkan Katon. Katon terheran melihat kelakuan Nana yang aneh. Apakah ia terlalu tampan sampai Nana gugup berbicara dengannya? GumamKaton. “Mas? Ayo pergi,” ucap abang ojol pada Katon. “Eh, iya Pak. Maaf dari tadi nunggu lama, ya.” “Gak apa-apa, Mas. Saya juga gak buru-buru kok.” Abang ojol itu segera membawa Katon ke rumahnya. Mereka tak banyak bercakap selama perjalanan karena abang ojol itu cukup pendiam. Selain itu, Katon juga tak berniat untuk mengobrol di motor karena pasti tak terlalu terdengar. *** Mama telah menunggu di depan pintu saat Katon tiba di rumah. Mama menoleh ke kiri dan kanan, seperti mencari sesuatu. “Loh, kamu gak bareng Karin pulangnya, Ton?” “Eh, enggak Ma. Karin kayaknya lagi main sama teman-temannya.” “Main? Tumben banget dia main. Kamu beneran lihat dia main?” “Emangnya dia gak pernah main ya, Ma? Ya Katon gak liat sih, cuma tadi Katon lihat cewe-cewe kelas Katon pada ngumpul gitu berisik banget di belakang kelas. Mungkin Karin di sana, Ma.” “Besok-besok kamu pulang bareng Karin aja, Ton. Mama kepikiran terus sama Karin, takut dia kenapa-kenapa dan gak mau bilang sama kita.” “Ya elah Mama. Karin tuh udah gede, Ma. Dia bisa lah jaga diri. Gak usah terlalu dipikirin gitu.” “Iya tapi Mama tuh khawatir Karin dirundung kawan-kawannya, Ton. Sekarang kan banyak berita tentang pembulian di sekolah.” “Gak ada ma yang buli-buli di sekolah. Mama terlalu sering nonton sinetron nih kayanya. Katon tuh tadi lihat sendiri di kelas. Gak ada kok murid yang merundung siswa lain.” “Ya syukur deh kalau begitu. Kamu jangan galak-galak lagi sama Karin ya. Kasihan dia.” “Iya, Ma. Bawel banget deh. Lagi pula Katon gak mungkin marahin dia kalo dia gak buat Katon kesel, Ma.” “Ya udah. Sekarang Mama senang banget akhirnya kamu sama Karin satu sekolah. Karin jadi gak merasa dibeda-bedain lagi deh.” Bel rumah berbunyi saat Katon dan mama asik berbincang. Mama segera membukakan pintu rumah. “Assalamualaikum, Ma,” ucap Karin datar. “Waalaikumussalam. Kamu dari mana, Rin? Kok tumben pulangnya telat.” “A-anu, Ma. Karin...” “Lo abis main, kan?” tanya Katon memotong ucapan Karin. “Eh? Oh iya benar. Karin tadi main dulu, Ma.” “Besok-besok ajak kawan kamu main ke sini. Mama jarang banget loh lihat kawan kamu main ke rumah.” “I-iya Ma. Ya udah Karin ke kamar dulu ya. Capek banget.” “Rin, bajumu kok basah? Kamu habis ngapain?” “Oh itu t-tadi panas banget, Ma. Karin jadi keringetan deh.” “Benar, Rin? Kamu gak nyembunyiin sesuatu dari Mama, kan?” “Iya Ma, beneran. Udah ya Karin ke kamar.” “Lho, gak makan dulu, Rin? Makan bareng Katon nih mumpung sayurnya masih hangat.” “Gak Ma. Duluan aja, Karin gak lapar.” “Ya udah. Kalau lapar kamu langsung ke dapur aja ya.” Karin tak menjawab ucapan mamanya. Sesampainya di kamar, ia segera melepas seragamnya yang basah. Maafin Karin, Ma. Karin udah bohongin Mama. Karin gak mau Mama kepikiran kalau tahu Karin begini, gumam Karin dengan air mata yang membasahi wajahnya. Setelah itu, ia segera mandi dan mencuci seragamnya yang basah dan kotor. *** Karin keluar dari kamar dan pergi ke dapur untuk makan. Di dapur, Katon masih sibuk bermain gadget di meja makan. Karin merasa risih jika harus makan di depan Katon. Belum lagi saat ini mereka hanya berdua di sana. Karin ingin mengusir Katon, tetapi tak tahu bagaimana caranya. Saat Karin telah memiliki ide untuk mengusir Katon dengan halus, Katon lebih dahulu membuka percakapan. “Rin, tadi pelajaran Fisika ada tugas. Kerjain bareng yuk. Jujur gua belum paham apa yang dijelasin bapak tadi.” “E-eh, boleh deh. Tapi gua makan dulu.” “Oke! Gua tunggu di kamar lo, ya?” ”Kamar gua?” “Iya. Emang gak boleh?” “Ya nggak gitu, tapi kan..” “Oke deh kalau boleh. Gua duluan ya, bye!” Kerasukan apa tuh anak bisa sok dekat gitu ke gua, gumam Karin. Terlepas dari itu, Karin lega akhirnya bisa menikmati makanannya dengan tenang. Katon semenjak insiden di pantai itu memang sedikit berubah. Katon menjadi lebih hangat dan perhatian padanya. Karin bersyukur atas hal itu. Semoga Katon terus berubah menjadi saudara yang baik baginya. *** Setelah selesai makan, Karin segera ke kamarnya. Ia membuka pintu kamar dan terkejut melihat Katon sedang berbaring di kasurnya. “Mamaaaaaa!!!!” “Aduh, apaan sih lo teriak-teriak. Ngagetin aja tahu gak?”ucap Katon pada Karin. “E-eh, Katon? Oh iya gua lupa kalau lo tadi mau ke kamar gua. Kirain tadi ada maling nyusup kamar gua. “Sinting lo ya? Masa cakep-cakep gini disamain sama maling.” “Pergi gak lo dari kasur gua!” “Dih siapa lo nyuruh-nyuruh gua?” “Apa lo bilang? Ini kamar gua ya, jangan macem-macem lo!” “Elah, galak amat mbak Karin. Takut nih.” “Dih.” “AC kamar lo dingin banget, Rin. Bikin nyaman.” “Kamar lo juga kan ber-AC.” “Iya, tapi kamar gua masih tetap panas. Enakan juga kamar lo.” “Ih, udah deh gak usah banyak alesan. Katanya mau ngerjain tugas?” “Ya iya, kan gua nunggu lo makan tadi?” “Iya sekarang udah selesai. Ya udah lo bangun dulu dong. Masa ngerjain sambil tiduran?” “Iya iya dih bawel banget lo kaya guru di sekolah gua yang lama.” Karin tak melanjutkan perdebatan itu. Ia mulai mengerjakan tugas fisika yang akan dikumpul besok. Ia juga mengajarkan Katon rumus-rumusnya. Mama diam-diam melihat mereka dari pintu. Ia senang kedua anaknya sangat akur malam ini, dan semoga akan begitu seterusnya. Kini mama tak perlu khawatir terjadi apa-apa dengan Karin di sekolah, sebab Katon dirasa sudah bisa menjaga Karin. Rasanya seperti mimpi, tetapi itu jelas nyata sekali. Katon yang keras kepala kini sudah mulai luluh dengan semua keadaan. Ia mulai menjadi anak yang hangat. Description: Apakah kalian percaya jika manusia yang kembar selalu serupa? Seperti memiliki bentuk tubuh dan wajah yang mirip misalnya. Jika iya, tentu saja kalian salah. Masih tak percaya? Baiklah, akan aku tunjukkan buktinya. Karin telah lama pasrah akan hidupnya yang suram. Sejak lama ia merasa diperlakukan tak adil oleh dunia. Katon, saudara kembarnya, begitu malu mengakuinya sebagai saudara karena ia bertubuh gendut dan tak terawat. Sejak SD, Katon tak pernah mau berada di sekolah yang sama dengannya. Begitu rapatnya Katon menutupi rahasianya tentang Karin. Hingga suatu hari, kejadian yang sangat Katon sesali tiba. Ia harus pindah ke sekolah Karin. Hal itu membuat dunia Katon berubah sepenuhnya. Lalu bagaimana Katon menjalani hari-hari di sekolah barunya? Akankah ia tetap berpura-pura tak mengenal Karin meski telah berada di sekolah yang sama? “Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #BNNS2020” Nama pena : glassbead twitter : @oswald80474429 instagram : @widyastagram
Title: Wajah Rembulan yang Tak Pernah Menjejak Category: Cerita Pendek Text: Wajah Rembulan yang Tak Pernah Menjejak Becak itu berhenti di Jalan Slamet Riyadi. Bapak-bapak pengayuh becak turun dari belakang, lalu memasang dongkrak di becaknya. “Sudah sampai, Mas.” “Nuwun, Pak,” Arka memberi si bapak tiga lembar sepuluh ribuan,”Boleh saya foto bapak sebentar?” Bapak-bapak itu terlihat salah tingkah, tapi dia tersenyum malu-malu, “Monggo, Dik. Tapi, saya ini ndak cocok jadi foto model, lho.” Arka tertawa menanggapi lelucon si bapak, “Nggak apa-apa, Pak. Biasain aja. Makasih sebelumnya, lho… Pak.” Bapak itu pun berpose dengan kaku di beberapa bagian becaknya. Agak sulit menangkap momen yang pas. Akan tetapi, beberapa foto candid terlihat bagus. Dengan beberapa editan, foto itu akan cocok mengisi blog Arka. Arka berterima kasih sekali lagi. Kemudian, dia melangkah menyusuri jalan besar kota Solo itu. Sesekali, dia memotret beberapa sudut dengan kamera mirrorless-nya. Suasana Solo terasa menghanyutkan. Ada aroma kejayaan masa lalu yang begitu kental. Benteng lama, istana kerajaan… di zaman kemerdekaan yang damai dan tidak menggunakan sistem monarki lagi, semua ini menjadi bak negeri dongeng bagi Arka. Kini, Arka berhenti di depan sebuah bangunan tua. Suara-suara kepak sayap menyita perhatian Arka. Pemandangan langka terlihat di depan mata. Ribuan kelelawar terbang dari atap gedung itu. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Arka beralih ke ponsel. Dengan cepat, Arka menghidupkan kamera video, lalu mengabadikan peristiwa ini. Menjejak Villa Liberty. Jelang malam. Para kelelawar terbang, entah kemana… #ranselkehidupan #backpacker #travelling #instastory #Solo #Surakarta #Indonesia Tak menunggu lama, video telah terunggah ke Instagram. Beberapa detik kemudian, sebuah tanda hati menandai unggahan Arka. Arka tersenyum. Nama JejakRembulan kini muncul di kolom komentar: Eh, lagi di Solo? Komentar akun itu, lengkap dengan emotikon terkejut. Arka mengenal pemilik akun itu beberapa waktu lalu. Foto wajah cantik sang jejak rembulan berhasil dia dapatkan dari salah satu unggahannya. Hanya satu-dua foto, itu pun tertutup riasan tarian Jawa. Dyah Kirana. Itulah nama gadis itu. Atau setidaknya, nama yang diakui Sang Jejak Rembulan. Arka segera membuka aplikasi Whatsapp. Setelah menemukan kontak Kirana, Arka kini menghidupkan panggilan video. Dengan sengaja, Arka berdiri menunjukkan salah satu bagian dari rumah tadi sebagai latar belakang. “Keren, kenapa nggak bilang-bilang ke Solo, sih?” senyuman gadis berlesung pipit itu langsung menyambut Arka di seberang, “Lagi di Omah Lowo, ya?” “Hu-um,” Arka mengangguk-angguk, “Nggak nyangka, rumahnya bagus banget. Misterius. Kayak ada di film-film Eropa.” Kirana tertawa renyah, “Ah, kamu bisa aja.” “Beneran. Coba kalau rumah ini dirawat, mungkin bisa jadi setting film Romeo and Juliet.” “Hihihi,” Kirana masih tertawa, “Banyak yang bilang, rumah itu banyak kotoran kelelawarnya. Coba aja masuk, paling-paling kamu bakalan cium bau pipis.” Arka ikut tertawa, “Dasar nggak romantis!” “Kamu aja yang kebanyakan berkhayal!” Tawa mereka pecah bersamaan. Selalu begitu saat mereka saling meledek. Arka hafal kebiasaan Kirana memicingkan mata kalau tertawa. Gadis itu juga suka meremas-remas rambut kalau sedang jengkel. Kadang-kadang, Kirana menangis tapi berusaha menyembunyikan kesedihan. Rasanya, setiap kebiasaan gadis itu terekam hingga membayang dalam mimpi-mimpi Arka. “Kamu di mana sekarang?” Alih-alih senang, Kirana malah garuk-garuk kepala mendengar pertanyaan ini, “Aku… di rumah, sih.” “Rumahmu di mana?” Ekspresi Kirana seketika berubah. Arka tidak mengira, gadis itu mendadak cemberut dan terlihat canggung, “Aku… aku…” “Kita ketemuan? Mau jadi guide-ku keliling Solo, kan?” “Arka, aku … aku …” Kirana langsung tergugu, “Aku nggak nyangka, kamu bakalan datang. Jadi…” “Kamu keberatan ketemu aku?” ada rasa kecewa ketika Arka mengucapkan hal ini. Arka ingin mengatakan, salah satu penyebab kunjungannya ke Solo adalah Kirana. Akan tetapi, hingga kini mereka belum bertemu muka. Apakah memang tidak sopan mengatakan hal ini? * “Masalahnya aku nggak nyangka, Nis! Selama ini, aku mikir Arka Surya itu cuma selebgram yang bakal kontak-kontakan di dunia maya doang,” Kirana meremas rambut dengan frustasi, “Waktu dia folbek aku itu, aku udah senang banget. Lha, kok sekarang dadakan ngajak ketemu?” Di luar dugaan Kirana, Anisa menanggapi curhatannya dengan santai. Gadis berjilbab itu malah mencomot pisang goreng lalu makan dengan cueknya. “Justru bagus, toh… bisa kenal sama selebgram ngetop?” Anisa berkata sambil mengunyah pisang, “Siapa tahu, kamu malah ketularan ngetopnya. Atau, jangan-jangan Si Arka ini malah ada hati sama kamu, kan.” “Ealah! Ngawur!” “Aku jadi mikir, nih. Jangan-jangan cinta di dunia maya itu benaran bisa terjadi,” Anisa semakin bersemangat, “Coba kamu pikir. Biasanya, artis-artis dumay itu kan sombongnya minta ampun. Ini malah langsung balas waktu kamu kirimin DM.” “Itu kan sudah lama. Waktu itu kan follower-nya masih dikit, Nis. Ya, wajar ajalah kalau dia masih sempat balasin DM,” Kirana berkata membela diri, “Kebetulan ngobrolnya juga nyambung. Siapa sangka, Arka malah suka nonton drama Korea. Jadi bahas itu terus, deh.” “Cieee… cieee… witing tresno jalaran soko kulino nih, ye.” “Iih, apaan, sih?” “Habisnya, kan dulu kamu sendiri yang memuji-muji Arka. Kamu bilang fotonya bagus lah. Kata-katanya puitis lah. Kamu juga perhatiin banget Instagramnya. Terus, kamu senang banget waktu dia akhirnya punya follower ribuan hingga ratusan ribu. Padahal, follower-mu sendiri nggak sampai 500. Iiish iiish iiish.” Kirana berdeham beberapa kali. Ternyata daya ingat Anisa tajam juga sampai mengingat hal-hal begini. “Ingat nggak, waktu akhirnya Arka masuk TV? Kamu ajakin aku nonton bareng, kan? Waktu itu, kamu langsung bilang dia ganteng dan pengin ketemu dia.” Kini, pisang goreng di meja telah habis dimakan Anisa, “Nah! Sekarang dia mau ketemu, kok kamunya jual mahal?” “Tapi, Nis…” “Ndak ada tapi-tapi,” Anisa kini mengarahkan Kirana menghadap cermin besar di ruang tengah, “Lihatlah! Kamu itu cantik! Meski mungkin, ada kekurangan… banyak kelebihan yang bisa membuat seorang cowok jatuh cinta! Kamu tuh nggak boleh terlalu pasif, Ran!” * “Makanya, Ka. Jadi cowok jangan terlalu agresif! Baru kenal udah nanyain rumah!” Verri langsung tergelak ketika Arka menceritakan penolakan Kirana. Pemuda yang menjadi manajer merangkap kamerawannya itu bahkan tertawa sampai tubuhnya berguncang. “Agresif apaan. Kalau langsung jedukin tembok terus nyosor, baru agresif kali!” “Ah, elu kebanyakan nonton drakor, ah!” “Biarin!” protes Arka, “Bantuin gue, kek. Ini malah ngetawain. Dasar nggak setia kawan!” Verri masih tertawa terbahak-bahak, “Maaf, maaf… habisnya lucu banget, sih. Elu kan tahu, Kirana itu… gadis Solo,” Verri kini menggerakkan tangannya seperti menari, “Gadis Solo itu ayu. Kemayu. Ngomongnya pakai unggah-ungguh. Lakunya pakai toto kromo… Kangmas ini kok ya ndak ngerti… nang ning nang ning nung …” Verri malah sengaja berkidung menirukan lakon wayang orang yang tadi mereka tonton. Arka menimpuk Verri dengan bantal hotel. Verri kontan membalasnya dengan umpatan. “Udah lama gue mau kenal jauh sama Kirana, Ver,” ungkap Arka, “Bisa dibilang, dia follower pertama gue. Dia nyapa gue duluan. Terus gue lihat akunnya. Ya ampun, ternyata lukisan-lukisan yang… gimana gue bilangnya, ya? Magical banget, Ver! Tiap lukisan seolah ada kekuatan yang mendatangkan semangat di hati gue! Nggak nyangka, yang bikin seorang cewek yang masih muda.” “Dan cantik, kan?” Verri menimpali, “Eh, jangan-jangan mukanya itu hasil editan, Ka. Makanya dia nggak mau ketemuan sama elu.” “Masa, sih?” alis Arka seketika mengerut. “Elu sih, polos amat jadi orang. Sampai bela-belain batal ke Mainland gara-gara pengin ke sini.” “Gue udah bosan ke China, Ver. Lagian di sana kurang bersih. Lu juga sebal sama toiletnya, kan?” “Ehehe. Benar juga, ya.” “Sekali-kali, wisata dalam negeri, lah. Gue suka main ke sini, Ver,” ujar Arka. “Suka main ke sini, apa suka sama ceweknya?” Verri balas meledek, “Gadis Solo. Cowok Jakarta. Ransel kehidupan dan jejak rembulan. Semoga nggak jadi punggung merindukan bulan,” Verri kembali berkidung seraya menggerak-gerakkan tangan, kali ini sambil berputar-putar, “Dik Ayu, Kangmasmu datang… Nang ning ning nung…” “Uhuk… uhuk… Sialan lu, Ver!” * “Sobat Ransel, kali ini saya lagi duduk di angkringan. Asyik banget ternyata menikmati suasana malam di sini. Oh, ya… saya juga lagi nyoba minum wedang uwuh. Buat yang belum tahu, wedang uwuh ini dibuat dari seduhan kayu secang dan jahe. Rasanya greget banget ternyata. Cocok nemenin malam-malam yang dingin… tanpa kamu. Eaa.” Kirana menyimak apa yang dikatakan Arka di Youtube. Saluran Youtube cowok itu baru. Tapi Arka semangat sekali mengunggah video. Beberapa video bahkan menampilkan keterampilannya memainkan gitar. Suara memukau, musik menenangkan, ditambah puisi dan latar belakang pemandangan menjadi hal yang mendapat banyak respons di kolom komentar media sosial Arka. “Hayo, ngelamun, lho,” pegangan Anisa di punggung Kirana langsung mengagetkan Kirana. Ponsel di tangannya terjatuh ke lantai. Kirana menunduk, berusaha mengambil ponsel itu. Tapi, Anisa lebih dulu mengambil ponsel itu lalu menaruh ponsel ke pangkuan Kirana. “Sori, Ran,” Anisa berkata seraya menggeleng, “Aku langsung ke sini waktu baca postingan blog Ransel kehidupan. Kamu udah baca belum?” Kirana langsung menggeleng. Anisa kini mengambil tabletnya. Dengan bersemangat, dia membuka laman blog Ransel Kehidupan untuk menunjukkannya pada Kirana. Tulisan baru Arka berjudul ‘Rembulan di Kota Solo’. Seperti biasa, foto-foto yang diunggah menggetarkan hati, seakan-akan tiap foto memiliki cerita. Namun, kata-kata yang Arka tuliskan juga tidak kalah menggetarkan. Rembulan di Kota Solo Langit abu-abu, awan yang berlalu. Kupandang Solo di setiap sudut. Bangunan tua, jalanan berdebu. Aku menerka-nerka, di sanakah dirimu? Di manakah rembulan itu menjejak? Apakah di masa lalu, atau waktu yang sedang berjalan? Rembulan nan ayu, bolehkah aku melihatmu? Agar aku sadar, aku tidak sebatas mengkhayalkanmu. “Ran, ini buat kamu, kan?” Anisa berjongkok di sebelah Kirana agar bisa memperhatikan laman blog itu bersama-sama. “Mana mungkin,” Kirana merasa hatinya mencelus. Sebenarnya, berharap kata-kata Anisa itu benar. Sudah berbulan-bulan dia bercakap-cakap langsung dengan Arka, baik melalui obrolan Whatsapp atau panggilan video. Semakin mengenal Arka, semakin pula dia ingin dekat dengan cowok itu. Bunyi berdenting Whatsapp kini mengagetkan Kirana dan Anisa. Karena sedang berdekatan, Kirana jadi tidak bisa menyembunyikan obrolannya di Whatsapp. Arka: Besok aku mau ke keraton. Mau bareng? :) Teriakan Anisa begitu bersemangat. Dia langsung merebut ponsel di tangan Kirana dan mengetikkan balasan: Saya: Mau! * Verri bertepuk tangan di sebelah Arka. Hore! Akhirnya misi bertemu dengan Kirana Si Jejak Rembulan berhasil! “Pasti puisi elu itu yang bikin dia termehek-mehek, Ka!” kata Verri semringah, “Emang, ya, cewek itu pasti klepek-klepek kalau dirayu! Lain kali, pinjam puisilu, ya! Mau pakai rayu Si Wanda, ah!” “Huh, dasar buaya lu!” Arka menimpuk Verri. Hatinya senang, akhirnya Kirana mau juga menemuinya. Selama ini, Arka memang hanya melihat wajah Kirana di layar ponsel atau tablet. Setengah hatinya kebat-kebit memikirkan kecurigaan Verri. Tapi, masa iya ada orang bisa menipu lama begitu? Semakin lama dipikirkan, Arka semakin penasaran. Sekarang, dia benar-benar bersemangat membuktikan dugaan Verri. Kalaupun dugaan Verri benar, dia tinggal menjaga jarak saja, kan. Tidak perlu berurusan lagi dengan penipu. Nggak sepadan. Saya: Oke. Nanti ketemu di Kori Kamandungan, ya :) Arka mengetikkan balasan itu. Ketika Verri melirik, dia langsung mengacungkan tinju pada Verri, “Awas! Elu nggak boleh ikut! Biar nggak ganggu lu!” * Terlambat. Kirana tidak bisa menghapus pesan tadi. Arka sudah membaca pesan itu. Tidak, dia bahkan sudah membalas pesan dari Kirana gadungan alias Anisa. “Kamu, sih!” protes Kirana, “Usil banget! Tuh, kan… dia sudah balas. Nggak mungkin, kan, ngebatalin lagi. ‘Ntar dia bilang aku plin-plan lagi!” “Ya udah, toh, kamu tinggal berangkat,” kata Anisa tanpa ampun, “Dengar, Ran. Sudah saatnya kamu tuh ke luar rumah. Nggak kesepian apa, tiap hari di rumah sama pembantu doang? Bagus kan ketemu Arka. Kamu bisa nambah teman. Nambah wawasan. Seenggaknya, kamu bisa memulai dengan persahabatan.” Setetes air mata kini jatuh di pipi Kirana, “Makasih, Nis. Aku bersyukur banget punya teman perhatian kayak kamu. Tapi…” “Kirana, maaf. Mungkin aku terlalu ikut campur. Aku nggak bisa ngerasain apa yang kamu rasain. Tapi, aku berharap, kamu bisa memulai hidup yang baru. Sekali lagi, Maaf. Kupikir, orang tuamu di surga juga mengharapkan yang sama,” Anisa kembali berjongkok, lalu mengusap air mata Kirana dengan tissue di tangannya. “Aku nggak bisa banyak membantumu, Ran. Tapi, aku bisa lihat semangatmu kembali waktu kamu mulai ngobrol sama Arka. Kesempatan ini harus kamu gunakan baik-baik.” “Tapi, Nis…” “Seperti yang kubilang, ada banyak kelebihan lain dalam diri kamu, Ran. Kaki kamu mungkin nggak bisa berjalan. Tapi imajinasi kamu. Cita-cita kamu. Impian kamu. Lukisan-lukisan itu sudah mengungkapkannya dengan jelas. Kamu nggak boleh membuang semuanya itu! Kesempatan itu kadang nggak datang dua kali, lho!” * Gerbang keraton Solo begitu megah dengan perpaduan arsitektur Eropa dan etnik Jawa. Herannya, meski bangunan itu mempesona turis-turis yang langsung berswafoto, Arka malah sibuk memutar-mutar tangkai mawar di tangannya. Arka memeriksa ponsel berkali-kali. Hatinya semakin berdebar setelah melihat orang-orang datang dan berlalu. Namun, entah mengapa Kirana belum juga muncul. Apakah gadis itu benar-benar menipunya kali ini? “Mas? Mas ini Mas Arka?” seorang gadis berjilbab merah muda berjalan cepat menuju Arka. Arka langsung mengernyit bingung. Apa ini Kirana? “Maaf, Mas. Saya ini Anisa. Temannya Kirana,” gadis itu tersenyum ramah, “Sebelum ketemu Kirana, bolehkah saya menceritakan sesuatu ke Mas?” Arka merasa heran, tapi dia mengangguk. “Mas Arka pasti tahu, Kirana itu gadis yang berbakat. Selain melukis, Kirana itu juga pandai menari. Dari tari balet hingga tari Bedhaya, semua bisa dikuasai. Dia juga anak kesayangan orang tuanya. Hidupnya itu dulu bahagia banget, Mas. Hanya saja…” “Hanya saja?” Anisa memilin-milin jemarinya dengan gelisah. Beberapa kali, dia mencuri pandang ke arah Arka, “Begini, Mas Arka… saya ingin bertanya pada Mas Arka, apakah Mas Arka tidak keberatan jika Kirana memiliki… sedikit kekurangan?” Anisa kini bergerak ke sebuah pohon dekat pos satpam itu. Perlahan-lahan, gadis itu mendorong sesuatu… sebuah kursi roda. Arka terkejut melihat gadis di atas kursi roda itu. Wajah gadis itu persis foto di Instagramnya, bahkan lebih cantik. Akan tetapi, Anisa benar. Gadis ini memiliki kekurangan. Kaki gadis itu… sudah tidak ada.” “Kirana mengalami kecelakaan di tahun pertama kuliahnya. Semenjak itu, Kirana tidak bisa berjalan lagi,” kata-kata Anisa ini serupa keris yang menghunjam hati Arka. Dia kaget sekaligus kasihan. Di sisi lain, bagian lain dirinya merasa tidak terima, karena sosok asli Kirana ternyata tidak sesuai dengan bayangannya selama ini. Arka seketika mundur… lalu berbalik. Hatinya bergemuruh oleh amarah, tidak sanggup menghadapi Kirana maupun kenyataan di depannya. Gadis ini penipu! Dia tidak sebaik apa yang ditampilkan di Instagram! “Arka!” teriakan Kirana telah bercampur suara tangis, “Inilah aku sebenarnya, Ka! Bukankah aku ini yang mau kamu temui? Supaya aku tidak hanya jadi sekadar khayalan? Inilah aku! Aku yang malu menemuimu karena keadaanku.” Tangkai mawar di tangan Arka telah patah. Pikiran logisnya menariknya jauh-jauh dari tempat itu. Berusaha mengakhiri rasa suka dan penasaran yang ternyata tidak memuaskan harapan. Akan tetapi, semua lukisan Kirana kembali membayang dalam ingatan Arka. Semua kekuatan dalam lukisan itu ternyata bersumber dari sini… ketidak berdayaan dan keinginan bangkit! Arka baru menyadarinya saat ini. Jadi, Arka pun berbalik… lalu berlutut di depan Kirana. Diamatinya wajah gadis itu. Mata Kirana masih basah oleh air mata. Tapi, wajah itu tidak pernah menipunya. Kirana hanya tidak pernah mengatakan kekurangannya atau apa yang dia alami. Itu bukan sepenuhnya salah Kirana. “Kirana, maaf,” Arka menaruh setangkai mawar yang kini batangnya mulai koyak. Semua kata-kata menguap dari mulutnya. Untuk beberapa saat, mereka tidak mengatakan apapun. Suasana makin lama makin terasa canggung. “Kamu…” Arka dan Kirana berkata bersamaan, tawa mereka pun pecah berderai. Seperti yang sering terjadi saat panggilan video. “Nah, sekarang kalian sudah ketemu! Gimana kalau kita lanjut ngobrol sambil jalan-jalan di keratin? Eh, atau kalian mau pergi berdua aja?” ajakan Anisa yang kemudian mencairkan suasana. “Eh, benar juga, ya,” Kirana berkata malu-malu. “Tawaran guide masih berlaku, lho,” Arka mengedipkan mata. “Foto-foto dulu, lah,” pungkas Anisa, “Kapan lagi bisa foto bareng selebgram ngetop, kan?” kata Anisa sambil mengedipkan mata penuh arti. Ya, Anisa benar. Setidaknya, mereka bisa memulai ini dari sebuah persahabatan. Siapa tahu saja suatu saat… ada yang berubah. Bukankah ada ungkapan witing tresna jalaran saka kulina? Cinta timbul karena terbiasa. Siapa tahu, kan… TAMAT Description: Arka dan Kirana sama-sama aktif di media sosial, khususnya Instagram. Kirana adalah follower Arka sebelum Arka menjadi selebgram terkenal seperti sekarang. Komunikasi mereka akhirnya berlanjut dan mereka semakin saling mengenal. Arka mengagumi lukisan Kirana. Sebaliknya, Kirana mengagumi foto dan puisi Arka. Suatu hari, Arka akhirnya ke Solo untuk bertemu dengan Kirana. Sayang, ketika Arka tiba di Solo, Kirana justru menghindar. Mengapa Kirana enggan bertemu dengan Arka? Apakah kecurigaan Verri-teman Arka tentang foto yang diedit memang benar? Ataukah Kirana menyimpan rahasia lain?
Title: werewolf Category: Novel Text: prolog Sebuah keluarga yang luarnya baik baik saja tetapi beda dengan dalamnya. Pasangan suami istri bernama andrew dan lumia adalah sosok werewolf murni. Mereka berdua hanya berubah saat bulan Purnama penuh. Dan mereka harus menghabiskan waktu mereka di dalam rumah. Sebuah kutukan datang kepada werewolf murni. Jikalau keluar rumah saat bulan Purnama dia akan menjadi werewolf abadi. Tidak bisa menjadi manusia kembali. Itu kutukan yang sudah turun menurun. Dari nenek moyang mereka. Namun dibalik kutukan tersembunyi kabar baik. Mereka tak bisa menjadi tua. Dan bisa menikah dengan manusia atau werewolf murni. Kebanyakan werewolf murni menikah dengan sesama rasnya agar keturunannya tidak retak. anak pertama Andrew dan lumia bahagia karena anak mereka lelaki dan juga yang pertama. Mereka memberi nama anaknya itu adalah dion. Yah dion sejak kecil diperlakukan dengan baik dan juga bijaksana. Saat mulai remaja dion mulai berubah. Dari badan hingga suaranya. Andrew dan lumia merasa bahwa anak ini berbeda dengan diri mereka. Dion diawasi ketat oleh andrew. Bahkan ke sekolah pun juga diikuti. Agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan. Dion beranjak dewasa dan berusia 25 tahun. Dion mandiri. Tak perlu diawasi oleh andrew. Di tempat kerjanya banyak wanita yang menyukai dion. Tetapi dion tak tertarik dengan mereka. Dion itu cool. perubahan wujud Andrew dan lumia tidak memberitahu dion itu apa. Karena takut dion marah atau kabur dari rumah. Mereka tetap merahasiakan tentang dion sampai dion penasaran. Keseharian dion tetap sama seperti manusia. Walaupun dia sendiri berbeda dengan orang orang di sekelilingnya. Dia pulang kerumah. Malam itu tepat bulan purnama Purnama. Dion selesai mandi dan dia membuka tirai. Cahaya bulan mengenai dion dan dia berubah menjadi werewolf. Dia mengaum sekencang mungkin. Andrew dan lumia bergegas ke kamar dion. Setelah sampai dikamar dion. Lumia menutup tirai kamar dion. Andrew pun mengusap kepala dion. Dion menatap ayahnya dengan was was dan juga penasaran. berbeda Keesokan harinya dion ke ruangan ayahnya. Dion mengetuk pintu dan andrew mempersilahkan dion masuk. " pa aku mau nanya aku ini apa?. Dan mengapa bulan Purnama aku menjadi serigala??. Kasih tau aku pa" ujar dion. Andrew pun tersenyum. " inilah saatnya untuk mengetahui jati dirimu nak. Dulu papa dan mama tidak memberitahumu karena takut kamu pergi dari rumah dan menunggu mu dewasa. Kamu adalah werewolf keturunan murni. Kutukan kita sebagai werewolf murni adalah kita tidak boleh keluar rumah. Kalau keluar rumah kita menjadi werewolf abadi. Dan kabar baiknya kita tidak bisa menua dan bisa punya banyak anak bisa menikahi manusia atau werewolf murni. Sesama ras menikah karena tidak mau darah werewolf murni retak. Papa dan mama werewolf murni kita bertemu karena suka dan Cinta. Tak ada paksaan " ujar andrew. Dion mengerti yang dibilang ayahnya. Kemudia dia bertanya kepada ayahnya. " pa aku rasa saatnya untuk menikah. Dimana aku bisa menemukan wanita werewolf murni??. " ujar dion. Andrew tersenyum lagi. " suatu saat dia akan menghampirimu jadi kau tak usah cari. Dan werewolf murni mempunyai Indra keenam. Jadi percaya lah dengan kata hatimu nak" ujar andrew. Dion memeluk ayahnya dan dion keluar dari ruangannya ayahnya. Jujur dion tak merasa kecewa. Dia senang kalau dia berbeda. Rapat Werewolf Andrew menghadiri rapat werewolf. Dan banyak ketua werewolf berbagai negara datang ke rapat tersebut. Lumia tidak ikut karena andrew tidak mengizinkan lumia ikut ke dalam rapat tersebut. Ia tau sifat istrinya yang sedang marah seperti apa. Acara rapat dimulai dengan sunyi. Hanya ada kertas dan pena disana. Kertas jawaban ketua werewolf disimpan oleh andrew sebagai referensi andrew. Dan pada akhirnya ia harus mendiskusikan nya dengan lumia. Rapat adalah acara merepotkan bagi andrew. Karena tak ada obrolan seperti dia, lumia, dion , dan keluarga besarnya. Menurut lumia acara rapat itu elegan dan misterius. Semua tertutup termasuk tirai ruangan tersebut. Andrew pun heran saat pertama kali ikut sertakan dalam rapat itu. So quite. sisi kelam mengenai werewolf murni Banyak sisi kelam werewolf yang kita tidak tahu. Rahasia kelam ini ditutup rapat oleh para ketua dan tetua. Membuka aib ras sendiri membuat malu dan rasanya tak karuan. Lumia sendiri tau cerita itu tapi dia kubur dalam dalam. Banyak werewolf yang tertipu oleh istri manusia mereka. Lumia membunuh mereka yang beristri manusia. Awalnya lumia tidak memperbolehkan werewolf murni dengan wanita manusia. Karena wanita banyak muslihat daripada ras sendiri. Kaum werewolf murni mempunyai solidaritas tinggi, jujur dan Setia sampai mati. Manusia hanya 50 % dari werewolf berdarah murni. Dulu lumia adalah tangan kanan para tetua dan ketua. Lumia salah satu werewolf yang mempunyai sifat petarung paling tinggi di antara werewolf berdarah murni lainnya. Karena orang tua lumia mengajari dirinya untuk bertarung dan menuruti apa kata tetua dan ketua. Makanya tidak heran jikalau lumia banyak anak buah. masa lalu lumia Lumia berasal dari keluarga petarung. Kedua orang tuanya menginginkan lumia pintar bertarung. Setelah dilatih 23 tahun. Lumia pun menjadi kedua orang tuanya. Lalu kedua orang tua lumia menyuruh dirinya menghadap para ketua dan tetua werewolf berdarah murni. Lumia menuruti kata kedua orang tuanya dan pergi ke hadapan tetua dan ketua. Setelah sampai ke tempat tujuan lumia masuk dengan tenang. Dan duduk dihadapan ketua dan tetua. Sunyi senyap. Tetua dan ketua melihat lumia dari atas kepala sampai ujung kaki. Mereka semua mengangguk kepada lumia. Lumia pun memberi hormat. Lumia masuk ke ruangan petarung. Disitulah dia berada. Tugas lumia membunuh para werewolf berdarah murni yang beristrikan wanita manusia. Setiap hari pekerjaan lumia membunuh dan membunuh tiada henti. Sampai lah kesuatu titik dimana lumia merasa semua ini tak adil. Lumia menghadap ketua dan tetua. Disana tersedia pena dan kertas. Pertanyaan lumia disampaikan oleh tangan sekretaris ketua dan tetua. Lumia menunggu jawaban ketua dan tetua. Setelah membaca jawaban ketua dan para tetua. Lumia pun dialihkan menjadi penasihat werewolf berdarah murni. Dan membuat peraturan baru. Pertama kalinya bagi lumia mendengar suara para ketua dan tetua. " lumia kini kau menjadi penasihat werewolf berdarah murni dan buatlah peraturan baru pikirkan baik baik apa yang kau keluarkan dari mulut mu itu. Kita tak bicara karena ini bersifat rahasia dan tertutup kuharap kau mengerti nak" ujar ketua pertama. Lumia menganguk memberi hormat dan keluar dari ruangan tersebut. Sebuah misi baru Andrew tidak menanyakan rahasia apa yang ditutup oleh lumia. Lumia sampai tidak makan. Dion khawatir dengan keadaan ibunya. Andrew dan dion liat perubahan drastis lumia. Setiap pagi lumia berlari dan memanah. Dion takjub melihat panahan ibunya yang tidak pernah meleset itu. Saat makan siang lumia lah makan paling banyak. Andrew dan dion terdiam cukup lama. Kemudian lumia pergi keruangan rahasianya. Yang memakai darahnya sendiri. Terbuka lah ruangan itu. Lumia masuk. Dia berubah wujud menjadi serigala dan pergi ke sebuah hutan. Dimana tersembunyi pasukan rahasianya. Lumia sampai kehutan tersebut dan mengaum. Datanglah pasukan nya. Lumia kembali menjadi manusia. Tangan kanannya bernama jane. Mereka memberi hormat kepada lumia. Lumia angkat tangan dan menyuruh mereka berdiri. Serempak mereka semua berdiri. Lumia memanggil jane. " jane ada hal penting apa yang tidak ku ketahui. Beritahu aku jane " ujar lumia. Jane membungkuk dihadapan lumia. " ketua ada beberapa werewolf non berdarah murni menyerang kota asli kami ketua. Tolong kami ketua" ujar jane sambil menangis. Lumia menyuruh jane berdiri. Dan berteriak lantang. " kalian tidak usah takut akan ku hadapi mereka sendiri!!! Aku adalah ketua kalian. Jadi percaya padaku rakyat ku " ujar lumia. Lumia berubah wujud menjadi serigala dan mengaum kencang sekali sampai pohon di sekeliling mereka berguncang. Lumia pun kembali kerumahnya. werewolf berdarah murni vs non murni Lumia pergi ke tempat yang dimaksud oleh jane. Pelan pelan lumia berjalan dan melihat kanan kiri nya dengan waspada. Lumia merasa aneh kenapa tempat itu sepi sekali. Namun lumia tak bodoh. Dia berteriak dengan kencang " keluarlah kalian pengecut aku datang menantang kalian. Aku tak bodoh apa dengan cara kalian bersembunyi aku akan kabur??. Tidak akan pernah " ujar lumia. Seseorang bertepuk tangan. " luar biasa sekali dirimu nona manis. Perkenalkan nama ku ryu ketua werewolf non murni istilah nya werewolf bar bar" ujar ryu. Lumia terdiam cukup lama. "Lalu kau mau apa dengan rakyatku??. Sampai kota asli mereka kau porak poranda??. Kau menantang ku atau mempunyai maksud lain ryu??. Ujar lumia. Ryu bertepuk tangan. " hebat sekali tebakan mu nona aku mempunyai tujuan lain. Yaitu dirimu" ujar ryu. Lumia mengeram marah. Kemudia dia menyerang ryu sekuat tenaga. Dia memanah ryu namun nihil. Lumia ingat pesan ayahnya untuk memakai kuda kuda andalan. Lumia mencoba itu. Ryu pun menyerang lumia. Lumia berhasil menangkis serangan ryu. Dia memukul ryu sampai tidak bisa bangun. " dengar ryu kau tak bisa mendapatkan ku. Karena aku mempunyai keluarga. Kalau kau menyakiti rakyat ku maka seluruh rakyat dan keturunan rakyatmu ku bantai dengan sadis dan juga kejam ingat perkataan ku ini ryu" ujar lumia. Lumia pun pergi. Dan ryu merasa lemas mendengar perkataan lumia. ketenangan rakyat lumia Semenjak saat itu ryu dan anak buahnya tidak berani lagi dengan rakyat lumia. Jane sangat amat berterima kasih. Namun lumia tidak butuh terima kasih dari jane. Karena lumia menganggap jane sebagai adiknya bukan tangan kanannya. Dan hari itu lumia mengangkat jane sebagai adik angkatnya. Rakyat lumia senang. Diadakan pesta besar-besaran. Lumia dan jane berdansa. Jane memeluk lumia dengan erat. Malam itu mereka semua bergembira dengan keberanian lumia. Pesta pun sudah usai lumia pun pergi dari hutan itu. Dirinya merasa lelah. Dia terjatuh saat mau memasuki kamarnya. Dion yang tak sengaja melihat ibunya pingsan dia bawa ke kamar. Dia memanggil andrew. Andrew bergegas ke kamar setelah diperiksa oleh dirinya. Lumia hanya kecapekan jadi dia drop. Siapakah andrew ini??. Saksikan dibab selanjutnya. Tq. masa lalu andrew Andrew dulunya adalah dokter yang bisa menangani manusia dan kaum werewolf berdarah murni atau non murni. manusia sangatlah mudah. werewolf berdarah murni atau non murni ada penanganan khusus. Tentang andrew sampai ke telinga ketua dan para tetua. Andrew diberi undangan istimewa oleh mereka. Andrew pun datang. Pertama kali datang ke tempat ketua dan para tetua sangatlah sepi. Andrew memberi hormat. Para tetua dan ketua mengantuk andrew pun berdiri dan duduk. Andrew melihat sebuah pena dan kertas. Mereka mulai menulis pertanyaan. Kertas pertanyaan itu sampai ke andrew dan andrew mulai menjawab satu persatu. Setelah melihat jawaban andrew para ketua dan para tetua merasa terpukau dengan andrew. Pada akhirnya andrew diangkat menjadi dokter para werewolf berdarah murni. Dan tidak lagi menjadi dokter manusia. Andrew dengan senang hati menerimanya. Andrew memberi hormat dan keluar dari ruangan tersebut. Saat andrew keluar dari ruangan tersebut dia melihat seorang wanita memakai baju petarung yang sedang melamun di bagian kastil yang menghadap pemandangan. Andrew tak mengusik wanita tersebut. Dia pun pergi. teka teki Dion dan andrew penasaran apa yang dilakukan lumia. Sampai lumia tidak sadarkan diri. Andrew tak bisa membuka ruangan rahasia milik lumia. Karena hanya darah lumia lah yang bisa membukanya. Dion murung melihat kondisi ibunya. Andrew mondar mandir akhirnya menelpon koneksi nya. Dia bertanya apakah bisa mengobati istrinya atau tidak. Teman andrew pun tidak menjanjikan dia bisa atau tidak. Malam pun tiba. Teman andrew pun datang. Dia melihat kondisi lumia. Antara terkejut dan penasaran. Dia bertanya kepada andrew. " andrew istrimu melakukan apa??. Sampai seperti ini. Ada hal ganjil apa kah yang terjadi di dalam keluarga kalian??. Aku baru pertama kali melihat yang seperti ini" ujar teman andrew. Teman andrew inu bernama dean. Andrew menggeleng kepala. " tidak ada hal ganjil dirumah ini. Semua seperti biasa. Anak lelaki ku pergi kerja. Dan aku pun sendiri menjalankan tugas ku. Ada hal aneh apa didalam tubuh lumia dean" ujar andrew. Dean menghela nafas. " andrew istrimu ini sangat kuat. Didalam darahnya mengalir darah petarung. Dan juga dia hanya kelelahan secara fisik dan mental. Butuh waktu untuk dia sadar. Istilah manusia bilang ini koma sementara. Tapi jangan khawatir bung dia baik baik saja ". Dan aku mohon pamit. Dean memberi hormat dan pergi. Andrew termenung. termenung Andrew melamun setiap malam. Dia teringat pertama kali memasuki kastil tetua dan ketua. Andrew melihat wanita memakai baju petarung. Dia sempat tidak menanyakan namanya. Dan itu membuat andrew penasaran. Akhirnya dia sadar bahwa wanita itu adalah istrinya yang sekarang. Andrew mengetahui hal itu berlari kekamarnya. Dia melihat lumia. Dan mencium keningnya. " ternyata wanita memakai baju petarung itu adalah dirimu istriku. Mengapa kau tak memberitahuku masa lalu mu??. Dan ruangan itu apa??. Aku tidak bisa membukanya. Ku rasa setelah kau sadar kita harus membuat anak lagi sayang " ujar andrew sambil mencium pipi lumia. lumia terbangun dari koma sementara Lumia sadar. Dia tau semalam suaminya membicarakan ruangan rahasia miliknya. Tapi lumia tidak akan bilang kepada suaminya. Karena itu bersifat rahasia dan tertutup. Lumia mencari andrew. Setelah dia menemukan andrew. Dia memeluk andrew. Andrew terkejut dan meluk lumia dengan erat. " kau sudah sadar sayang??. Oh aku merindukan mu lumia. Kau adalah wanita memakai baju petarung dibagian kastil itu??. Benar bukan?? Ujar andrew. Lumia mengangguk. " yah itu aku. Ruangan rahasia itu adalah milikku. Jangan kau buka atau apa pun andrew. Dan aku sangat merindukan mu. Ayo kita buat anak. Buat adik dion kita " ujar lumia. Andrew tersenyum sambil memeluk lumia. tentang ryu Yah ryu gagal untuk memiliki lumia.walaupun dikekang tapi itu tak bisa mematahkan keinginan lumia. Saudara ryu bernama gustav melarang ryu tetapi ryu tetap pendiriannya. Gustav ribut dengan ryu. Werewolf berdarah murni dan non murni tak bisa bersatu. Karena sudah seperti itu jalan takdirnya. Gustav memberi tahu ketua dan para tetua werewolf non murni. Dipanggil lah ryu. Ryu memberi hormat dan duduk. Ketua pertama berdehem. " jadi apa yang kau pikirkan tentang lumia itu??. Lumia adalah werewolf murni. Diatas kita. Tak sadar kah kau dengan tingkah laku mu ini?. Kau seperti ini karena Cinta. Putriku bernama aster lebih cantik dari lumia. Dan dia elegan sekali. Dibalik elegannya tersimpan petarung yang diwarisi ibunya. Aku tau lumia itu juga petarung seperti aster. Ubah dirimu nak sebelum kami memberimu hukuman" ujar ketua pertama. Ryu terdiam. Dia tarik nafas dan tersenyum. " bagaimana bisa aku jatuh Cinta dengan putrimu ketua??. Aku hanyalah werewolf non murni yang suka mengembara. Sedangkan putrimu dibawah naungan mu ketua" ujar ryu. Ketua pertama tertawa. " lihatlah ryu kita ini dia pintar bermain kata. Kalau begitu nanti akan ku kenalkan dirimu dengan aster Putri semata wayang ku nak. Kau tidak akan menyesalinya " ujar ketua pertama Ryu memberi hormat dan keluar dari ruangan tersebut. Dia tak menyangka bahwa ketua pertama bisa setuju dengan ucapannya walaupun dia hanya berpura pura. Secepat mungkin dia melupakan lumia. Karena dia tau hukuman para ketua jikalau dia melanggar nya. perkenalan aster dan ryu Keesokan harinya ryu pergi ketempat yang dimaksud oleh ketua pertama. Dia melihat aster sedang merangkai bunga untuk pesta perjamuan. Dia melihat aster dari atas hingga ujung kaki. Ryu berdehem. Aster kaget. " maaf atas perlakuan ku yang tidak melihatmu " ujar aster. Ryu tersenyum. " tak apa tuan Putri. Aku senang melihatmu. Dan ayahmu tak salah dengan keanggunan mu" ujar ryu. Aster tersenyum. Setelah selesai merangkai bunga. Ryu mengajak jalan aster. " tuan Putri apakah kau setuju misalkan kalau ayahmu menikahkan kau dan aku??. " ujar ryu. Aster terhenti. " aku menuruti kata ayahku. Jika itu keinginan ayahku aku akan menurutinya. Karena bagiku ayahku juga adalah ibuku" ujar aster. Aster menitikkan air mata. Ryu pun tau yang dirasakan aster dia mengusap air mata aster dan memeluk aster yang sedih. Pelukan ryu membuat aster menangis sesenggukan dan tertidur didalam pelukan ryu. Ryu memulangkan aster ke kastil. Lambat laun semua akan berubah dari sekarang. aster jatuh cinta Setelah pertemuan nya dengan ryu. Aster pun mulai jatuh Cinta dengan ryu. Dia pergi ke ruangan ayahnya. Dia mengetuk ruangan ayahnya. Ayahnya mempersilahkan masuk. Aster masuk dan memberi hormat. Ayahnya mengangguk dan aster duduk dihadapan ayahnya. " ayah sepertinya aku mulai menyukai ryu. Apakah ayah bisa mengatur pertemuan ku dengannya ayah?" ujar aster. Lupin tertawa. " hohoho rupanya anak ku sudah bisa jatuh cinta yah. Ayah kira kau akan merangkai bunga seumur hidupmu putriku" ujar lupin. Aster menunduk. " dan aku punya permintaan lain ayah. Ayah bilang ibu adalah petarung. Izinkan ku bertarung ayah. Aku tidak mau hanya duduk dan melihat yang ayah kerjakan. Aku sudah mengerjakan apa yang mau. Tolong ayah" ujar aster sambil membungkuk dihadapan lupin. Lupin menghela nafas dan menyuruh anaknya berdiri. " berdirilah anakku. Aku tak ingin kau mati di medan petarungan anakku. Aku tak mau itu terjadi. Dulu ibumu memohon seperti mu seperti sekarang. Hanya perbedaan mu dan ibumu terlalu besar. Ibumu keras kepala dan kau tidak seperti itu. Ibumu memohon kepadaku. Ku tak izinkan. Dia pergi diam diam tanpa sepengetahuan ku. Dan begitu kita menang ibumu mati karena di Serang oleh pihak lawan. Jadi mintalah yang lain anakku" ujar lupin sedih. Aster diam dan sambil memikirkan permintaan lain. " kalau ayah tak setuju aku punya permintaan lagi. Jadikan aku penasihat hukum saja. Selain bertarung ku bisa menjadi penasihat hukum. Apakah ayah setuju??. " ujar aster. Lupin mengangguk yang berarti setuju. Aster memeluk ayahnya. Dia tau ayahnya tak mau dia terluka dan aster pun tak mau ayahnya terluka. kebenaran diri ryu Setiap ryu menyendiri dihutan. Dia jarang bergaul. Walaupun banyak yang mau bergaul dengannya. Dia menghindar. Jarak dia dan gustav pun mulai terlihat. Gustav diam saja. Ryu berubah menjadi serigala dan di mulai lah pengembaraannya. Saat lelah dia tertidur dengan pulas. Setelah merasa puas dengan pengembaraannya dia pun pulang ke rumahnya. Ryu mulai melamun. Entah apa yang dia pikirkan. Saat makan malam pun tiba. Ryu dan keluarganya makan dengan santai. Dan terompet pun berbunyi. Yang menandakan ada bahaya. Ryu menghabiskan makannya dan keluar rumah. Gustav mengikuti ryu. Ryu memandangi sekelilingnya. Tak ada apa pun. Dia menyuruh gustav berjaga di dalam rumah dengan bahasa isyarat. Ryu berteriak. " kalian keluar lah jangan menjadi pengecut seperti ini. Jikalau kau musuh keluar lah hadapi ku secara jantan. Kalau bukan musuh hadapi ku juga" teriak ryu. Keluarlah barisan yang datang entah darimana. Pria berjubah barisan utama maju kehadapan ryu. " apa benar kau adalah ryu??. Anak dari sonata dan Ken??. Ujar pria tersebut. Ryu tertawa. " hahaha tentu saja aku anak mereka. Lantas kalian mau apa dengan ku??. Ujar ryu. Pria tadi membungkuk memberi hormat. " nama ku adalah john. Aku adalah tangan kanan Ratu sonata. Ratu sonata menyuruhku menjemput anda tuan muda " ujar john. Ryu terkejut. " jadi aku ini pangeran??. Selama ini kalian menutupi fakta yang ada dariku. Apa gustav tau hal ini juga??. Kalian sungguh kelewatan " ujar ryu marah. Saat itu ryu mengubah diri nya menjadi serigala dan menyerang mereka. Mereka mundur dan lari ketakutan. Ryu mengaum dan pergi ke kastil ketua dan para tetua. amarah ryu Ryu menenangkan dirinya dalam kastil ketua dan tetua. Dia mengaum dengan keras. Amarahnya menguap nguap. Lupin mendengar auman ryu dia keluar dari ruangan nya. Ryu menceritakan apa yang terjadi. Lupin hanya tersenyum. " memang kau pangeran nak. Ibu mu menitipkan kau kepada ku. Dan dari kecil kau sudah dijodohkan oleh aster. Namun ku menunggu waktu yang pas saja. Aster pun sudah tau. Aster jatuh Cinta kepadamu nak. Aku akan mengatur pernikahan kau dengan aster. Ibumu sudah mengirimiku surat. Dia akan datang besok. Sambutlah dia dengan baik nak. Kuharap kau mengerti" ujar lupin. Ryu melupakan amarahnya dan dia terjatuh lemas. Rasanya sungguh tak percaya. kedatangan sonata Sonata datang ke kastil para ketua dan tetua. Ia hanya melihat tetua dan ketua. Gustav dan ryu tak nampak. Lupin memberi hormat. Sonata mengangguk pelan. " dimana ryu ku dan gustav ku lupin??. Apa kau tak memberitahu mereka atau ada masalah yang ku tak ku ketahui?? Ujar sonata. Lupin tersenyum. " jangan khawatir kan itu yang mulia Ratu. Mereka akan sampai sebentar lagi. Ryu sudah tau tentang dirinya. Kemarin dia datang dipenuhi amarah. Setelah mendengar dirinya seperti apa dia terkejut. Kurasa kau harus menginap disini yang mulia Ratu" ujar lupin. Sonata mulai merasa bersalah. Dia merindukan ryu dan gustav. Malam itu pun sonata menginap dikastil tersebut dan ditemani oleh aster Putri lupin. asal usul werewolf non murni Suatu tempat bernama ginka. Disana terdapat pulau, hutan, dan rumah. Ketiga tempat tersebut menjadi rumah dan tempat tinggal werewolf non murni. Non murni dan murni berbeda tempat tinggal. Non murni adalah werewolf menyukai kebebasan dan melihat pemandangan di sekeliling mereka. Mereka disebut jiwa bebas. Sedangkan bagi yang murni mereka penutup dan hidup berkelompok. Non murni juga sama. Hanya sifat mereka yang berbeda. Petarungan mereka juga berbeda. Kecepatan bertarung werewolf murni lebih kuat daripada non murni. Angka persen bertarung mereka 60% dan 40 % untuk werewolf non murni. Para ketua dan tetua werewolf non murni membuat rakyat mereka lebih cepat daripada sebelumnya. Dan mereka menerapkan itu secara terus menerus. Sekarang pun juga seperti itu. Mereka berlatih terus menerus. Kecepatan mereka meningkat 10% dari sebelumnya. Kemajuan untuk werewolf non murni. perjamuan malam penting Ryu dan gustav menghadiri perjamuan malam yang penting. Dihadiri oleh aster. Gustav makan dengan tenang begitu juga dengan ryu. Sonata membuka pembicaraan. " kau sudah besar nak. Saat ibu titipkan kamu kepada ketua pertama kamu masih bayi. Kapan rencana kamu untuk menjenguk ibumu di kastil Yovania??. Ujar sonata. Ryu terhenti. Lalu ia tersenyum. Kirimi aku surat bu. Maka aku akan datang sesuai keinginanmu ibuku tersayang" ujar ryu. Lupin tersenyum. Dia tau ryu makin cakap bermain kata. Ryu pun memulai obrolan lagi. " jadi kapan aku dan aster akan menikah??. Apa saat bulan Purnama??. Oh kalau itu terjadi aku bisa buat banyak anak dengan aster" ujar ryu. Gustav, lupin, aster, dan sonata tersedak makanan mereka. Ryu tersenyum lebar. Yah saat bulan Purnama werewolf non murni bisa membuat banyak anak. Itu lah anugerah mereka dan juga kutukan werewolf murni. Sonata meminum minumannya. " okey jikalau itu mau kamu ibu akan mempersiapkan nya " ujar sonata. Ryu tertawa terbahak bahak. " oh ayolah bu aku hanya bercanda. Hari biasa saja kalau begitu. Aku tak tau apakah aster bisa atau tidak " ujar ryu sambil melihat aster. Aster pun tersipu. Mereka semua tertawa melihat aster yang tersipu malu. kutukan dan anugerah para werewolf. Yah sebuah kutukan tiada pernah berhenti berputar. Dan itu turun temurun. Kutukan untuk werewolf murni dan anugerah untuk yang non murni. Non murni bisa mempunyai banyak anak saat bulan Purnama itu anugerah terbesar untuk mereka yang non murni. Sedangkan yang murni mendapatkan kutukan yaitu tidak boleh keluar saat bulan Purnama penuh. Hal itu mereka terima. Entah siapa yang bisa mematahkan kutukan itu. Semua itu tidak ada yang tau. Mereka menjalani kodrat mereka sebagai para werewolf. Mereka tak tau kalau ada buku yang bisa mematahkan kutukan itu. Nama buku itu adalah. The curse blood. Yah darah kutukan. Entah darah itu mengalir di mana. Tiada yang tau. pertemuan jane dan lumia Lumia pergi keruangan rahasianya. Pintu itu terbuka. Lumia masuk dan pintu itu tertutup kembali. Dia melihat jane sedang termenung. Dia menghampiri jane. " jane ada apa kau memanggil ku adikku tersayang " ujar lumia. Jane memberi hormat. Lumia mengangguk. Jane berdiri. " kak kau buku the curse blood??. Yah dibuku itu ada acara mematahkan kutukan kita. Yaitu ras kita menikah dengan ras non murni. Hanya itu satu satunya cara kak" ujar jane. Lumia terkejut. " benarkah adikku. Berarti ras ryu yang dimaksud??. Bulan Purnama kutukan kita namun bulan Purnama itu anugerah mereka?. Begitu kah maksud mu jane" ujar lumia. Jane mengangguk. " bagaimana kalau aku menikahi saudara ryu yang bernama gustav??. Lalu kita bisa keluar dari kutukan ini kak. Aku mulai berpikir seperti itu tadi malam" ujar jane. Lumia terdiam. " nanti kita pertemukan ketua dan tetua kita ke ketua dan tetua mereka. Apakah mereka setuju atau tidak. Sekarang aku mau pergi ke suatu tempat adikku" ujar lumia. Lumia berubah wujud menjadi serigala dan berlari dengan kencang. Jane melihat sosok kakaknya itu dari kejauhan. lumia dan para ketua dan tetua Lumia sampai dikastil tersebut. Dia berlari ke ruangan para ketua dan tetua. Pintu itu terbuka. Lalu dia melihat para ketua dan tetua duduk. Lumia memberi hormat. Mereka semua mengangguk. Dan lumia duduk. " selamat malam para ketua dan tetua. Saya hadir disini karena ada hal penting untuk saya sampaikan. Apa kalian tau the curse blood??. Beritahu saya jikalau kalian semua tahu " ujar lumia. Lupin tersenyum. " tentu saja kami tahu lumia. Karena kebencian mu kepada werewolf non murni kau menutup matamu secara rapat rapat serta kupingmu. Kuyakin kau dengar ini dari jane. Betul bukan" ujar lupin. Lumia mengangguk. Ketua kedua berdehem. Jerry ketua kedua angkat bicara. " nak semangat mu pada bertarung sangat hebat. Ku tau ini sejak kau kecil. Dulu kau membantai werewolf yang menikahi manusia dan akhirnya itu membuat mu sadar. Itu adalah hal paling efektif untuk membuka mata dan kupingmu. Tapi lagi lagi kami salah menduga. Kau terlalu ambisi. Kami takut menceritakan the curse blood ini kepadamu. Tapi sekarang tiba saatnya untuk menceritakan kepadamu. Istirahatlah besok kamu ceritakan padamu. Menginap lah dikastil ini. Besok kita temui mereka. the curse blood Mereka datang ke hadapan ketua dan tetua non murni. Lumia terkejut jikalau lupin ketua murni dan murni. Ryu dan gustav datang tanpa ibunya. Jane berjalan mengikuti lumia. Mereka semua duduk. Lupin buka pembicaraan. " kali ini giliran ryu yang menyampaikan the curse blood ini. Simak dengan baik baik" ujar lupin. Ryu berdiri dan berjalan menghadap lumia. Dia tidak lupa memberi salam kepada tetua dan ketua murni dan non murni. Ryu pun mulai bercerita. " the curse blood ini adalah cerita mengenai dua ras serigala yang berbeda. Namun perbedaan ini dianggap remeh oleh mereka. Cara mereka mematahkan kutukan ini adalah menikahi werewolf non murni. Kami yang non murni tidak lah hina dibanding para manusia. Kami Setia melebihi hewan lain. Dan kuharap setelah mendengar cerita ini kedua ras kita bisa menjalin hubungan yang lebih baik. Dan kau nona lumia kau bisa menikah kan putra mu dengan werewolf non murni. Begitu juga dengan kaummu " ujar lupin. Lumia memanggil dion putra nya. Dion pun masuk. Begitu juga aster. Aster memeluk ryu. Pada akhirnya mereka yang murni setuju dengan hal ini. Dimulailah kisah baru. kedatangan anggota baru non murni Ada 5 anggota baru non murni. Ialah Carina, joy, belle, sofie, dan everlyn. Mereka cantik. Bahkan dion terpesona. Andrew pun sudah mengetahui tentang the curse blood ini. Lumia akhirnya pasrah. Carina berserta 4 temannya pun tinggal didalam kastil itu. Entah mereka dapat tugas seperti apa. Semenjak kedua ras ini menjalin hubungan semua baik baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Andrew tau populasi non murni lebih banyak daripada kaumnya. Dia dan lumia pergi ketempat yang sunyi. " lumia kau tau aku ingin kita honeymoon. Dan bikin banyak anak. Sudah lama ku merencakan ini sayang" ujar andrew. Lumia tersenyum. "Baiklah sekarang saja kita pergi dan tinggal kan dion disini. Kurasa dion enjoy karena melihat anggota baru disini" ujar lumia. Mereka berdua berubah menjadi serigala dan pergi begitu saja. aster dan ryu Aster dan ryu menghabiskan waktu malam berdua. Aster membuka pembicaraan. " akhirnya besok hari pernikahan kita ryu. Aku sungguh tak sabar " ujar aster. Ryu tersenyum. " tentu saja sayang. Aku pun juga seperti dirimu" ujar ryu. Aster memeluk ryu dengan erat. Namun ryu melepaskan pelukan aster. Aster terkejut. " ada apa ryu??. Apa pelukan ku tak hangat??. " ujar aster. Ryu menggeleng. " bukan seperti itu. Hanya saja aku ingin merubah diriku menjadi serigala. Supaya kau bisa lihat wujud ku aster " ujar ryu. Ryu pun mulai berubah wujud menjadi serigala. Aster mendekati ryu dan mengusap kepala ryu. "Kalau begitu aku juga sama ryu" ujar aster. Aster pun berubah wujud menjadi serigala. Mereka memadu kasih dalam wujud serigala. perkenalan dion carina dan temannya. Carina dan keempat temannya menghampiri dion. Dion terkejut. " hai dion" ujar mereka serempak. Dion tersenyum. "Nama ku carina dan ini adalah joy, belle, sofie dan everlyn. Maaf jikalau perkenalan kami tak seperti anggota mu" ujar carina. Dion senyum. " tak apa. Aku tidak tersinggung dengan hal itu. Aku hanya merasa bosan saja" ujar dion. Carina dan temannya tersenyum. " ayo kita ajak jalan dion saja carina. Kurasa itu mengurangi rasa bosan dion disini " ujar joy disetujui oleh belle, sofie, dan everlyn. Mereka berlima pun jalan jalan. pernikahan ryu dan aster Hari pernikahan ryu dan aster sangat lah meriah. Carina dan teman-temannya menikmati pernikahan tersebut. Dion hanya melihat dari kejauhan. Sang pengantin pun turun dari balkon. Aster menjadi pusat perhatian. Gaun aster terbuat dari rancangan design terkenal. Ada yang iri dan senang. Namun aster biasa saja. Lupin lah yang paling bahagia. Karena anak semata wayangnya tersebut menikah. Jane tidak kelihatan diacara pernikahan. Jane sedang termenung di dekat laut. Gustav menghampiri jane. " sepertinya kau asyik melamun yah. Sehingga tak memperdulikan sekelilingmu nona manis" ujar gustav. Jane menatap gustav. Gustav diam saja. " mau apa kau disini??. Ingin menganggu ku??. Jika iya pergi saja sana. Aku tak suka diganggu " ujar jane. Gustav tertawa. " hey kau galak sekali nona. Bagaimana kita berkenalan. Aku gustav dan kau?. " ujar gustav. Jane menjabat tangan gustav. " aku jane" salam kenal " ujar jane. Jane berubah wujud menjadi serigala dan dia berlari kencang. Gustav tersenyum. Jane pulang kerumah. pertarungan Gustav sering kerumah lumia. Alasannya main main. Lamban laun keduanya jatuh cinta. Saat bermain main dengan gustav dihalaman rumah. Seseorang entah siapa memanah jane. Gustav bawa masuk jane kedalam rumah. Dia berubah wujud menjadi serigala. Dia mengaum. Auman gustav sampai ke kuping ryu. Ryu berlari ke tempat gustav mengaum. Dia melihat seseorang selain gustav. Ryu menjadi manusia kembali. " hey kau untuk apa menganggu saudara ku dan teman kencannya??. Kau menganggu ku yang sedang bersama istriku" ujar ryu. Pria itu melepas tudungnya. " hai ryu. Kau tau aku ini siapa??. Sebut nama ku " ujar pria tersebut. Ryu mundur beberapa langkah. " tak mungkin kau masih hidup . Dulu sudah ku Serang bagian vital tubuhmu. Mengapa kau masih hidup " ujar ryu. Gustav mengubah dirinya menjadi manusia. Gustav berlari kedalam rumah lumia. Dia mengobati tangan jane yang terluka. Dan pria itu tertawa. " yah aku masih hidup. Akulah mantan ketua yang berkhianat. Titik Serang mu lemah ryu" ujar tom. Ryu tertawa. " oh lemah??. Mungkin ku harus banyak berlatih dengan mu. Bagaimana kita berlatih saja. Dan buktikan ucapan mu benar atau tidak" ujar ryu. Keduanya bertarung dengan cepat. Saat tom ingin memukul ryu. Ryu secepat kilat menghindar. Tom mulai kelelahan. " bagaimana mantan ketua berkhianat. Apakah aku masih lemah atau tidak??. Kau menjual jiwa kepada kegelapan dan saatnya aku membunuhmu untuk yang kedua kalinya pengkhianat" ujar ryu. Datanglah sonata ke tempat ryu berada. " tunggu nak. Biar ibu yang urus mundurlah " ujar sonata. Ryu mundur. Sonata melangkah ke hadapan tom dan berkata " wahai jiwa murni yang telah menjadi gelap aku menghukum mu dengan setimpal. Jiwamu ku ambil dan pergilah ke neraka " teriak sonata. Tom pun berlutut dan menjadi debu. Sonata tersenyum. Mereka semua tercengang. tentang sonata Sonata lahir disebuah kerajaan serigala yang memiliki ilmu sihir yang sangat kuat. Itu sangat lah langka dan jarang sekali. Kedua orang tua sonata memiliki ilmu sihir yang turun temurun. Dan diwarisi sampai ke generasi berikutnya. Mereka hanya menjalani hidup mereka. Mereka hanya belajar dan belajar ilmu sihir belahan dunia. Sonata dan keluarganya merahasiakan kemampuan mereka. Kalau sampai tersebar mereka bisa diasingkan. Sampai sekarang tak ada yang tahu kemampuan sonata dan keluarganya. Sungguh istimewa bukan. sonata ,ryu ,gustav dan jane Sonata menghampiri mereka bertiga. Lalu dia membuka percakapan. " kalian bertiga pasti terkejut bukan?. Hahaha maafkan aku anak anak. Belajar lah sihir ibu punya perpustakaannya. Dan kau gustav serta jane. Kalian saling menyukai bukan?. Jujur saja. Aku tak akan marah. Justru senang " ujar sonata yang menyihir air menjadi butiran salju. Jane mengambil salju tersebut. " kau benar yang mulia Ratu. Aku tak akan mengingkari perasaan ku pada gustav. Dan untuk gustav terima kasih atas pertolonganmu. Kau juga ryu. Dan mengenai sihir aku sepertinya berminat yang mulia Ratu " ujar jane. Sonata terdiam. Lalu berkata " apa yang ingin kau lakukan dengan sihir mu jika kau bisa menguasai sihir??. Yang ku lihat darimu hanyalah ambisi seperti lumia" ujar sonata. Jane membungkuk badannya. " yang mulia Ratu aku hanya ingin belajar saja. Dan tak ingin melukai siapa pun" ujar jane. Sonata tertawa. " cukup sudah jane. Aku tahu masa lalu mu dan juga lumia. Walaupun kerajaan ku tak setenar kerajaan lain. Tapi aku tau kisah kalian. Jujur saja. Sihir itu tidak bisa digunakan oleh orang berambisi. Jika kau ingin menikahi putra ku gustav boleh saja. Aku tak keberatan. Jika sihir aku tak bisa berkata apa apa" ujar sonata. Sonata menyihir Batang pohon menjadi kursi kerajaan. Lalu pergi ke kastil para ketua dan tetua. Jane duduk disana. Gustav dan ryu menghibur jane. Carina dan dion Finally carina dan dion pacaran. Keempat temannya bahagia mendengar kabar tersebut. Dion dan carina sering jalan berdua. Sonata terdiam di kamarnya. Merenungi apa yang telah terjadi. Dia tau kapan harus bertindak dan tidak. Semua salah dirinya. Tom seperti itu karena dirinya. Jika dia tidak menolak pernikahannya dengan tom. Maka tom tidak menjual jiwanya kepada kegelapan. Merasa bersalah pun percuma. Karena nasi telah menjadi bubur. gustav dan jane Gustav dan jane resmi berpacaran. Mereka berdua romantis. Dan sonata hanya diam saja melihat hubungan mereka. Ryu menghampiri sonata. " bu aku ingin belajar sihir. Dan tentu saja itu demi keamanan keluarga kita bu " ujar ryu tulus. Sonata membalikkan tubuhnya. Dia melihat ketulusan di mata ryu. Mereka berdua pergi ke ruangan rahasia sonata. Saat sampai ke ruangan rahasia sonata. Sonata membuka ruangan rahasianya dengan sihir nya. Terbuka lah ruangan itu. Ryu sangat terkejut. Didalamnya terdapat perpustakaan serta buku buku sihir yang sangat kuat. Sonata tersenyum. " selamat datang nak diruangan rahasia ku. Disinilah kau belajar sihir siang dan malam. Tentu saja kalau kau lapar ada asisten ku yang menyiapkan hidangan. Kau pasti bisa anakku. Ku yakin itu. Jangan gunakan sihir ini demi kejahatan. Buatlah dengan kebaikan. Seperti aku menolongmu bersama pengkhianat itu " ujar sonata dingin. Ryu mengangguk. pelajaran sihir ryu Pembelajaran sihir ryu sangat amat susah. Dia naik level. Satu persatu sihir sudah dia kuasai. Rasa lelah menghampiri ryu. Ryu tidur di tempat yang sudah tersedia. Ryu tidur dengan pulas. Sampai malam tiba dia baru bangun. Rasa segar menghampiri ryu dan makan malam sudah tersedia. Dia makan dengan lahap dan belajar sihir lagi. Ryu terus belajar berhari hari. Tak sampai 3 tahun dia menguasai semuanya. Sonata menguji ryu. Setelah menguji ryu sonata tersenyum puas. " selamat nak. Kau sudah mengimbangi diriku sekarang. Dan jangan lupa pada pesan ku. Jika kau menyeleweng maka kekuatan sihir ini lah yang akan berbalik kepada dirimu sendiri nak" ujar sonata. Ryu mengangguk. Mereka berdua berubah menjadi serigala dan berlari ke arah kastil. lumia dan andrew kembali Lumia dan andrew kembali dari honeymoon mereka. Rasanya luar biasa kembali dari perjalanan jauh. Lumia dan andrew mencari dion anak mereka. Setelah dilihat dion sedang tertidur dengan pulas. Mereka berdua senang melihat anaknya baik baik saja. Ingin mengobrol dengan dion tapi dion sedang tertidur. Mereka berdua mencium pipi dion. Lumia dan andrew keluar dari kamar dion. kebahagian lumia andrew dan dion Mereka semua bahagia. Lumia memberitahu dirinya mengandung adiknya. Dan ia memberitahu ayah dan ibunya bahwa dirinya berencana menikahi carina kekasihnya. Lumia dan andrew setuju. Keduanya mempersiapkan semuanya. Sonata pun juga sama. Akhirnya lumia andrew dan sonata bertemu dihari persiapan pernikahan mereka. pertemuan lumia andrew dan sonata Lumia, andrew, dan sonata bertemu. Lumia dan andrew memberi hormat kepada sonata. Sonata mengangguk. Lumia buka obrolan. " jadi anak mu gustav berencana menikah dengan adik angkat ku yang mulia Ratu " ujar lumia. Sonata tersenyum. " yah betul sekali. Ambisi mu menurun kepada jane lumia. Jangan kau pikir aku tak tau tentang dirimu. Beruntung lah kamu masih bisa menghirup nafas segar sampai sekarang. Kalau bukan ryu mungkin dirimu tak ada sampai har ini anak muda " ujar sonata. Andrew berdehem. " apa yang diinginkan oleh istriku yang mulia Ratu. Jika boleh saya tau " ujar andrew sopan. Sonata tertawa. " istrimu menginginkan sesuatu dari ku. Dan ku tak pernah memberikan itu kepadanya. Dan aku memilih untuk menyerahkan nya kepada anakku andrew. Aku suka kesopananmu. Maka ku angkat dirimu menjadi tangan kananku " ujar sonata. Andrew berdiri dari bangkunya dan memberi hormat. " sesuatu kehormatan besar mendapat tugas Agung darimu yang mulia Ratu. Maka dengan segala hormat saya menerimanya " ujar andrew. Lumia tetap melanjutkan makannya. hari pernikahan Datanglah hari pernikahan yang ditunggu tunggu oleh lumia andrew dan sonata. Diacara itu sonata lah yang menjadi sorotan. Gaun sonata sama mewahnya dengan gaun lumia. Lumia merasa biasa saja dibandingkan dengan sonata. Hanya perbedaannya sonata Ratu dan lumia bukan ratu. Dan itu membuat lumia kesal. Akhirnya ia pergi sebelum acaranya selesai. Sonata mengetahui hal itu ia mengejar lumia. Tapi lumia tidak ada dimana mana. Dan ia kembali ke kastil. Lumia pergi ke dalam hutan. Karena di dalam hutan tak ada yang bisa menemukan dirinya. Lumia merasa sedih. kerajaan yovania Finally andrew mulai tinggal di kerajaan yovania. Karena dia sudah menjadi tangan kanan Sonata. Sebagai Ratu sangat memusing kan. Ada ada saja masalah. Masalah tak akan pernah berhenti. Untung saja suku werewolf murni dan non murni tak bisa menua. Itulah yang menguntungkan bagi werewolf. Dan juga bisa mempunyai banyak keturunan. Suami Sonata bernama jack. Dia bahagia dengan keluarga kecilnya itu. Ryu mirip sekali dengan jack. Jack pergi ke tempat ketua dan tetua murni untuk melihat putra nya itu. Senang melihat berdua sudah mempunyai keluarga sendiri. Jack merindukan gustav dan ryu. perjumpaan jack ,gustav dan ryu Jack pergi ke kastil lupin. Dia masuk ke dalam kastil tersebut. Jack bertemu dengan lupin. " halo ketua gimana kabar mu. Dan juga gimana keadaan ku. Aku ingin bertemu dengan putra ku. Tolong panggilkan mereka" ujar jack. Lupin tersenyum. " kau tak merasa mereka berdua dibelakang kau jack " ujar lupin. Jack menoleh ke belakang. Ryu dan gustav memeluk jack. " halo ayah. Kita mirip sekali bukan??. Bagaimana kabarmu? Setelah ini aku akan bawa aster ke kerajaan kita. Gimana ayah lupin kau setuju " ujar ryu sambil mengedipkan mata. Lupin tertawa. " tentu saja. Bawalah anakku ke kerajaan mu pangeran ryu. Aku sangat bangga. Dan juga bawa istri mu gustav. Biarkan mereka melihat dunia luar " ujar lupin. Mereka berdua mengangguk. Jack dan ryu bagaikan kembar tapi tak serupa. Perjalanan baru Carina Dan Aster Carina dan aster memulai perjalanan baru mereka ke kastil yovania. Kerajaan sesungguhnya. Selama ini mereka tidak melihat dunia luar. Hanya jalan jalan saja. Mereka berempat menjadi serigala dan pergi ke Yovania. Gustav menjadi pemandu. Sedangkan ryu menjaga istri mereka dari belakang. Rasanya senang sekali Yovania hanya mengajari ryu sihir. Ryu merahasiakan dari gustav, dan istri mereka. Ryu senang bisa menjaga rahasia dirinya beserta ibunya. Gustav mulai kelelahan. Ryu mengaum. Itu pertanda dirinya menjadi pemandu. ryu berjalan dengan santai. Saking bersemangatnya gustav kini ia menjadi kelelahan. Aster berjalan disamping ryu sambil menggesekkan kepalanya di badan ryu. Ryu menjilat bibir aster. Aster merasa senang. Sampailah ke kerajaan Yovania. Senang Sonata senang melihat kedua anaknya datang. Carina dan aster memberi hormat. Jack dan sonata mengangguk. Jack membuka percakapan. Carina kau berasal dari kerajaan mana atau kau seorang pengelana??. Ujar jack. Carina tersenyum. " aku bukan pengelana yang mulia Raja. Aku berasal dari kerajaan durke. Yang berdiri di bidang perang. Kalau manusia bilang bagian militer yang mulia Raja " ujar carina. Sonata mengangkat tangannya. " cukup carina. Aku mendengar cerita kerajaan mu cukup lama. Aku tau kerajaan mu seperti apa. Dan bagaimana kerajaan mu bergerak. Aku sangat kagum " ujar sonata dingin. Jack, gustav, ryu, dan aster bingung dengan perubahan sikap sonata. Sonata berubah wujud menjadi serigala. Ia mengaum kencang. Ketua dan tetua non murni datang sesegera mungkin. Ketua dan tetua non murni memberi hormat. Sonata berubah wujud menjadi manusia. " aku ingin kalian mengawasi carina. Aku curiga ada maksud apa dia menikah dengan putra ku. Selidiki kerajaannya dan carina tersendiri. Aku tidak mengekang dirinya untuk jalan jalan atau apa pun " ujar sonata lantang. Dendam Sonata Sonata berlari dan kastilnya dan mengaum dengan kencang. Ia marah saat mengetahui istri gustav dari kerajaan durke. Sonata berubah wujud menjadi manusia dan menyihir dedaunan menjadi jarum. Jack menghampiri sonata. " ada apa istiku. Mengapa kau geram seperti ini. Dan untuk apa kau menyihir jarum dari dedaunan ini " ujar jack lembut. Sonata sedih. " apa kau tau jack kaum durke membunuh ibu ku dulu saat ku masih kecil mereka membunuh ibuku. Ayah carina menginginkan ibuku menjadi istrinya yang kedua. Ibuku menolaknya. Ayah carina membunuh ibuku di depan hadapanku. Dan kini anak kita beristrikan serigala durke!!! Gimana aku bisa tenang jack " ujar sonata histeris. Carina yang mendengar nya secara tersembunyi menangis. Ia malu dihadapan sonata. " aku membuat jarum ini untuk menusuk carina seperti ayahnya menusuk ibuku jack " ujar sonata. Jack mengeleng. " kau tidak bisa lakukan itu istriku tersayang. Kau ingat pesan ibumu terhadap sihir ini. Jangan kau pakai untuk dendam. Apa kau lupa atau ingin melupakannya?. " ujar jack. Sonata menjawab. " ku tau apa akibatnya. Biarkan aku yang menanggung itu semua. Jika aku mati karena sihir ini. Berjanjilah kepada ku. Kau akan jadikan ryu kita Raja. Dan jangan biarkan dia terjerumus karena kematian ku jack. Dan kau harus menikah lagi. Ku mohon lakukan itu untuk ku " ujar sonata sambil memeluk jack. Jack pun menangis. Durke Sonata pergi ke kerajaan durke dengan kereta kuda. Kali ini dia pakai jubah. Kemudian menyusuri kastil durke. Dia masuk keruangan jerry. Ia melihat jerry sedang membaca buku. Sonata membuka percakapan. " sedang apa kau disini jerry. Dimana istrimu??. Kok tidak terlihat " ujar sonata. Jerry diam. " siapa kau?. Kenapa kau bisa disini. Ada hubungan apa dirimu dan diriku" ujar jerry. Sonata tertawa. " bagaimana kau lupa dengan masa lalu mu jerry. Kau mengubur masa lalu mu dengan membaca buku buku ini??. Lebih baik kau mati " ujar sonata sambil buka jubahnya. Jerry terperanjat. " k k kau adalah putrinya??. Apa yang kau mau lakukan terhadapku??. Ujar jerry. Sonata menghampiri jerry dan menyihir jarum jarumnya. " keinginan ku adalah membunuhmu. Seperti kau membunuh ibuku dihadapan ku jerry " ujar sonata geram. Ia menyihir seluruh buku buku itu menjadi jarum dan menyerang jerry. Jerry pun terkena jarum sebanyak itu dan mati. Jarum itu merupakan jarum beracun. Sonata tersenyum puas. " ibu maaf jika aku melanggar janjiku pada mu dan biarkan aku menjadi abu. Karena aku telah melanggar janji " ujar sonata pelan. Sonata pun terjatuh. hidup sonata Sonata ditolong oleh ryu. Ryu baru tau apa yang dimaksud ibunya. Sonata tidak sadarkan diri setelah membunuh jerry. Di alam mimpi sonata bertemu dengan ibunya. Ibunya tersenyum. " sonata demi dendam kau gunakan sihir tersebut. Pesan ku itu adalah palsu nak. Sihir ini membuatmu makin kuat. Dan kau telah mengajarkan cucu ibu nomor dua sihir ini. Ibu sayang padamu nak. Tetap lah hidup. Cintailah mereka yang ada di dekatmu. Dan buang lah orang yang kau benci nak " ujar ibunya sonata. Sonata mengangguk. Dan ia pun sadar. Dia mengaum kencang sampai kaca kamarnya pecah. Sungguh luar biasa. akhir kisah Finally Sonata hidup kembali. Jack takut sonata pergi untuk selamanya. Sedangkan carina tak nampak. Gustav biasa saja. Dia berkata kepada ryu. " nak bisa ajak jalan ibu sebentar saja??. " ujar sonata sambil mengedipkan mata. Ryu tersenyum. Dan menemani ibunya jalan jalan. " bu apa itu benar yang ku lihat??. Apa yang terjadi kepada mu saat itu bu??. Ujar ryu. Sonata tersenyum. " ibu pingsan karena emosi. Dan ibu bertemu nenekmu. Dan itu semua bohong anakku. Sihir ini membuat kita makin kuat. Mengapa ibu mengajari mu sihir?.karena kau lemah dibanding gustav. Jadi ibu mengajarimu sihir anakku. Kau lah yang mewarisi bakatku dalam sihirku anakku. Aku bangga kepadamu " ujar sonata sambil memeluk ryu. Mereka berdua menjadi serigala dan berlari dengan kencang. Time to epilog. epilog Mereka semua hidup bahagia. Tidak ada yang tau dimana carina. Carina mulai mengembara setelah kematian ayahnya. Dan didalam warisan tersebut disitu tertulis. " putriku carina. Jadilah Ratu yang baik dan jangan seperti ku dimasa lalu. Dan jadilah kuat seperti Ratu Sonata. Contohi dia sebagai ratu sekaligus ibu suamimu " itulah pesan ayahnya. Mulai saat itu juga dia menjadi ratu. Namun ia ingin tinggal di durke sampai dirinya tenang. Hanya gustav yang tau. Dan ia mengizinkannya. Dendam sonata terbayar. Dan kutukan werewolf murni hancur. Selamat untuk werewolf murni. Dan inilah akhir kisah mereka. tanda bahagia penulis werewolf dan 2 kisah lain. Terima kasih para pembaca different country, cerita ini, dan the weight. Saya pertama kali menulis tapi apresiasi kalian terhadap cerita ini luar biasaaaaa. Dan komen jikalau ada tulisan kurang menyenangkan dikisah ini. Dan itu menjadi perbaikan penulisan saya di cerita saya selanjutnya. Teruntuk para pembaca kisah saya. Saya harap kalian baik baik saja disana dan selalu sehat. Amin. See u the next time Description: Dion seorang anak lelaki. dia tumbuh dalam keluarga yang luarnya biasa biasa saja. tapi saat bulan Purnama dirinya menjadi serigala!!!. Dia bertanya tanya mengapa dirinya bisa menjadi seperti itu.
Title: With Enemy Category: BNNS Text: With Enemy 1 Wilhelmina terus menggapai-gapai. Berenang hingga ke tepian pantai. Ombak ini begitu sulit, sangat sulit diterjang. Setelah berusaha semaksimal mungkin akhirnya bisa mendekati pantai. Namun kemiringan pantai membuat air laut memantul dan membalik menuju lautan. Dan dia terseret kembali oleh ombak yang menerpa pasir dan menurun. Lalu memantul kembali. Sekuat tenaga dia terus merangkak ke tepi pantai dan bertemu dengan daratan. Akhirnya bisa sedikit lega. Dia melihat ada mayat, di pantai itu juga, tak jauh darinya. Mayat seorang prajurit Jepang. Hal ini jelas terlihat dari pakaiannya. Seragam hijau yang biasa terlihat saat para penjaga interniran mondar-mandir, sembari membawa senjata. Atau orang itu belum jadi mayat? Kalau begitu bakalan dibunuhnya sekarang juga. Biar rasanya tak cemas, mesti berbarengan dengan musuh. Didekatinya pelan-pelan Jepang itu. Tampaknya memang masih bernafas. Satu, dua, pelan sekali. Makanya dia berpikir, ‘bakalan mati orang ini. Membunuhnya pun percuma. Hanya akan menambah dosa. Lebih baik dibiarkan.’ Wil meninggalkan orang mati suri itu dan dia mencari tempat tenang, berbaring kembali mengingat kejadian mengerikan sebelumnya yang menyedihkan. ‘Tunggu aku di kota itu’ kata-kata temannya saat Jepang menyerang. Sekarang pasukan musuh itu, sudah sangat terkenal akan kekuatannya. Ini terbukti saat mereka berhasil mengalahkan China juga Rusia dalam pertempuran yang menentukan. Berikutnya pasukan kuat itu menyebar. Menaklukkan daerah sekitarnya yang berdekatan untuk dijadikan batu loncatan menyerang negara berikutnya. Hingga menjangkau Hindia. Dan akhirnya Hindia Belanda terkalahkan. Di Linggajati mereka menyerah. Kemudian menandatangani kesepakatan, untuk Kepulauan Nusantara berada dalam pengawasan Kekaisaran. Sebelumnya ayah ibu Wilhelmina tinggal di Jawa di pedalaman. Membeli perkebunan luas yang dikerjakan para pribumi. Dan mereka menjadi tuan tanah. Untuk waktu yang tak ditentukan. Bahkan mungkin untuk seumur hidup. Wil sendiri sudah merupakan kelahiran Jawa, karena demikian lamanya mereka tinggal. Wilhelmina baru berumur sepuluh tahun kala itu dan harus merasakan dinginnya tembok penjara. Sebabnya karena dia orang bule, yang jadi propaganda kekaisaran supaya para pribumi tumbuh nasionalismenya dan mengusir para kolonial agar pulang ke Eropa. Tempat asalnya. Dengan paksa dia diangkut dengan truk tentara untuk dibawa ke penjara Jepang. Setelah Hindia jatuh ke Jepang mereka berencana mau pulang ke negerinya. Takut bakalan jadi tawanan. Yang nantinya bakalan dipekerjakan Sesuai dengan keinginan si pemenang perang. Tapi belum juga berangkat pasukan musuh datang dengan serdadu galak yang kebanyakan dari Korea yang menjadi bala tentara kekaisaran. Daerah Semenanjung Korea sudah ditaklukkan Kekaisaran Jepang. Hingga mau tak mau para pemudanya harus menjadi pasukan Jepang guna menghadapi kekuatan sekutu yang begitu banyak. Hingga mereka akhirnya tertangkap. Didalam situ kedua orang tuanya mendapat perlakuan buruk. Ayahnya bahkan sampai tewas. Akibat disuruh bekerja keras secara paksa. Untuk membuat goa pertahanan, demi kepentingan Jepang dalam pertempuran melawan musuh. Juga mencangkul di kebun. Hal yang tak biasa dilakukan para tuan tanah Hindia Belanda. Yang memang merupakan keluarga kaya di negerinya sana. Apalagi dengan makanan seadanya. Tak layak konsumsi, bahkan seringkali tak mendapat jatah sedikitpun. Membuat tubuhnya tak berdaya dalam menghadapi tekanan ini. Yang begitu parah, kondisinya ikut memburuk, hingga tewas secara miris. Meninggal bersama banyak tawanan lain yang mati secara menyedihkan. Ibunya juga menjadi tawanan. Dia tertangkap berbarengan dengan sang ayah. Mereka digabung dengan para misionaris, juga bule-bule keturunan lainnya yang tertangkap. Mungkin sudah dua tahun. Si kecil Wilhelmina ada di penjara itu. Yang semestinya masih tergolong usia kanak-kanak. Tapi dibarengkan dengan orang dewasa. Mereka tak perduli. Tak mau tahu. Kalau dipisah juga tak ada tempat. Sebab kemenangan dalam perang itu yang menjadi tujuan utama. Bahkan tak jarang, para tahanan perang itu bakalan langsung dibunuhnya. Dengan alasan tak terlampau merepotkan dalam mengurus. Termasuk menyediakan makan, membuat penjagaan yang lebih ketat, juga persoalan lainnya. With Enemy 2 Untunglah beberapa pasukan berhasil membebaskan tahanan. Mereka dari satuan ABDA. Tapi kebanyakan yang menjadi personilnya orang Belanda. Mereka ini dikirim karena merasa lebih mengenal daerah di Jawa. Selain beberapa angota keluarganya yang menjadi tawanan. Hingga mereka ini yang dikirim. Sisanya pasukan dari negara-negara sekutu itu guna memberikan bantuan. Sebagian melakukan penyusupan agar bisa membebaskan para tahanan sipil itu tanpa ketahuan. Hingga kemungkinan selamat lebih besar. Pasukan ini mengalihkan perhatian penjaga dengan membuat keonaran. Makanya para penjaga Jepang langsung menembaki kelompok musuh tersebut yang tengah bersembunyi dibalik persembunyian yang tersembunyi. Beberapa pasukan lainnya masuk lewat tangga bambu tunggal dengan anak tangga yang ditaruh pada lubang-lubang memenuhi satu batang bambu panjang itu. Alat ini demikian ringan, namun kuat mengangkat orang yang meniti diatasnya. Selain ringan juga panjang, hingga untuk tujuan singkat, alat ini demikian praktis. Karena bentukannya yang demikian panjang untuk jangkauan yang jauh bisa lebih maksimal. Seperti, menggali sumur yang dalam sampai 12 meter, atau naik pohon tinggi, juga bisa menggantikan tangga monyet dengan ujung diikat dan menaiki kapal besar. Setelah tangga disandarkan pada beteng tersebut. Tiga orang langsung naik. Satu orang naik duluan, setelah sampai pertengahan disusul yang kedua dan seterusnya. Kemudian mereka melompati pagar berduri diatas tembok. Ketiganya mengendap-endap saat para penjaga sibuk menangkis serangan musuh yang mengacau. Mereka berhasil menemukan ruangan para tahanan. Dengan memukul pakai hammer kunci gembok yang besar. Maka pintu terbuka. Membuat banyak orang dapat keluar. Laki-laki kurus kering, perempuan yang gendut tapi lusuh, anak-anak yang tembem, banyak. Yang segera berhamburan berusaha meninggalkan kamp yang selama ini menyekapnya. Satu demi satu mereka menuju ke tangga dan menuruninya. Tapi belum juga lolos. Sudah kepergok bala tentara kaisar yang membantu para penjaga, dalam menangkis serbuan musuh. Mereka langsung menembak para tahanan yang mencoba kabur. Pasukan ini menyuruh para tahanan cepat–cepat meninggalkan tempat itu. Sedangkan mereka balas menembak tentara Jepang. Para sipir bertambah banyak dan terus menembak tawanan. Hingga pasukan pembebas tewas semua dan beberapa tawanan yang belum turun ikut terbantai. Para pengungsi yang berhasil turun segera berlari. Lalu dibawa oleh tentara lainnya menuju ke tempat aman. Mereka terus berjalan mencoba menuju kapal di pantai. Setelah sampai pantai langsung naik kapal perang yang sudah menunggu untuk melakukan penjemputan. Setelah naik semua, maka kapal berangkat menuju ke negara aman. Belum jauh bergerak sudah kepergok patroli Jepang yang langsung memerintahkan kapal itu agar berhenti. Merasa seruannya tak dihiraukan Armada Jepang langsung mengejar. Tiga kapal penjaga yang memburu mereka sembari melepaskan tembakan. Dari sekutu berusaha membalas gempuran musuh. Hingga terjadi saling tembak menembak. Akhirnya, sama-sama terkena tembakan. Dan sama-sama tenggelam. Wilhelmina menjerit. Ibunya dan para tawanan lain berusaha mencari selamat. Terlambat. Kapal yang ditumpangi bocor parah akibat terkena tembakan meriam musuh. Itu juga masih terus digempur montir besar dari kapal lawan. Dari antaranya yang berada di kapal penyelamat, banyak yang terkena tembakan langsung. Pasukan bantuan sibuk menembak patroli musuh. Tak sempat memperhatikan kondisi penumpangnya. Itulah akhirnya, semua tenggelam. Kapal pasukan, juga para tawanan yang sedang dibebaskan. Wilhelmina berusaha melompat. Meninggalkan kapal yang bakalan tenggelam. Tak ada pilihan lain. Dia kemudian menggapai batang kayu dari pecahan kapal yang tersisa. Wilhelmina berhasil lolos. Meskipun begitu merasakan sakit dikala terlempar dari kapal. Bagaimanapun lembutnya air, tapi dalam jarak yang lumayan tinggi, membuatnya jadi terasa keras. Yang airnya langsung menekan ke segala penjuru dimana terjadi benturan antara tubuh dengan air. Dia melihat, kapalnya dan tiga kapal musuh tenggelam. Berikutnya merasakan keheningan ditengah laut. Dan membiarkan terkatung-katung dipermainkan air. Barulah saat melihat pulau, dia berusaha menuju daratan itu. Dan menemukan si Jepang yang tengah terkapar ini. Dia tampaknya dari kapal patroli musuh yang ikut tenggelam. Ombak kuat menyeretnya hingga ke pulau itu. With Enemy 3 “Ah... Dari pada ngurusin musuh mendingan mencari makan biarkan saja dia di situ toh sebentar lagi dia bakalan mati,” ujarnya. Pasrah. Tak mau tahu. Lebih baik dia mengurusi diri sendiri dulu. Kesehatannya yang utama dan kemungkinannya dia selamat andai bisa mengisi perut dengan makanan. Juga bagaimana nanti dia bertahan hidup dipulau yang misterius ini. Sejauh ini, dia merasa sangat sedih. Bertahun-tahun berada dalam tawanan Jepang. Serba kekurangan. Menyaksikan kengerian yang tak sepantasnya. Dimana banyak tawanan yang mati disiksa, juga pada berpenyakit. karena kesemuanya serba tak layak. makanan seadanya. Masih untung jika mendapat nasi. Terkadang hanya makan ares, batang pisang muda yang diolah seadanya, baik pakai kuah, dikukus atau langsung dimakan. juka ampo, tanah liat yang digoreng kering tanpa minyak. Pakaian juga seadanya. Para Belanda mendingan masih ada yang dipakai sisa-sisa hari raya terdahulu. Orang-orang diseputar terkadang memakai karung goni atau bahan kayu yang dijadikan bubur, lalu dipakai. asal bisa menutupi bagian tubuh yang vital. Bahkan dia sendiri yang mengalami hal mengerikan. Seorang anak harus berkerja keras. Dalam tekanan yang begitu berat. Hasilnya hanya untuk diberikan pada musuh. Perang memang menyedihkan harus berjuang cuma demi hidup. Dia yang mestinya menikmati cerianya kanak-kanak. Harus melampaui batas usia. Melakukan pekerjaan orang dewasa. Demi kebutuhan hidupnya yang sewaktu-waktu tercabut. Tak berapa jauh dia berjalan. Menemukan sungai kecil. Air jernih. Disitu dia minum. Lumayan segar. Beberapa waktu sebelumnya, dia mesti meminum air asin yang tak layak. Kemudian dia mencari buah-buahan. Agar tak lemas badan. Lumayan ada buah liar. Tak seberapa masak. Tapi cukup menambah tenaga. Dia kemudian duduk. Mencoba menguatkan tenaganya. Sekian lama duduk. Wil mengingat si Jepang. Dia masih hidup. Tapi dia musuh. Cuma dia tak bisa memastikan. Nasib musuhnya itu nantinya. Apa mau di kubur? Atau dibakar? Atau tinggal melempar lagi ke laut. Tempat sebelumnya dia berasal. Didatangi lagi si mayat. Dipegang, masih hidup. Posisinya berubah, dia terseret ombak. Lebih ke atas. Badannya bertambah panas. Ini juga yang membuatnya bingung. Kini dia sendiri tanpa teman. Dan yang ada hanya manusia ini. Musuh. Sekarat. Tapi dia butuh teman. Setidaknya supaya merasa tak sendirian. Mungkin memang setelah orang itu kuat lagi, dia yang bakalan dibunuh. Atau.... Kebingungan. Akhirnya diseretnya tubuh tentara itu. Dia tak tahu apakah musuhnya ini orang Jepang atau orang Korea. Bentuknya sama. Sampai ke bawah pohon nan rindang. Tapi di atas pasir. Yang empuk. With Enemy 4 Didiamkan orang itu sekian lamanya. Dia tak tahu mesti berbuat apa. Yang bisa dilakukan membuatnya biar tenang. Beristirahat tanpa gangguan baik alam maupun mahluk lain. Sebab kondisinya memang sangat lemah. Diperhatikan orang itu yang tak membawa apa-apa. Selain pakaian seragam, celana yang robek. Bajunya kosong. Dia meneliti lebih jauh. Hanya ada gesper. Kopel sudah tak ada. Atau memang tak memakai. Tubuhnya luka-luka. Dia terus memeriksa satu per satu. Semua kantong saku. Kosong. Hanya dompet kumal. Yang berhuruf kanji Jepang. Jadi tak tahu apa bacaannya. Duit kertas sedikit. Sudah hancur. Namun demikian beberapa waktu berada dalam tawanan Jepang, sedikit-sedikit dia mengenal huruf kanji Jepang itu. Namanya Hiroshi dari Nagasaki. Jelas orang Jepang dia. Gesper itu diambil. Ditarik dari pinggangnya. Ujungnya terbuat dari besi. Bisa dibuat jadi pisau. Walau entah bagaimana caranya. Karena selama ini, dia belum pernah membuatnya. Dilepas kulit sabuk itu. Dan besi diambil. Dia merasa sabuk ini lebih bermanfaat jika jadi senjata. Dari pada dipakai orang yang sekarat itu. Dipukul-pukul sabuk besi itu. Dibuat pipih memanjang. Lalu digosok dengan batu. Dan pakai air. Sehingga bisa lumayan tajam. Baik ujung maupun salah satu sisinya. Dan menjadi sebentuk pisau yang sederhana. Mungkin memang ini kegiatan yang terbaik. Kalau membuat api besar nanti jika yang datang musuh dia bakalan jadi tawanan lagi. Kalau berdiam. Tak bakalan dia hidup. Memang sulit. Sebelumnya jadi tawanan. Tapi ada makanan. Dan kini dia bebas. Tapi makanan kesulitan. Apa-apa mesti mencari sendiri. Bebas. Kebebasan ini bakalan dipergunakan sebaik-baiknya. Mencari suatu yang bisa menguatkan hidupnya. Meski sendiri setidaknya dia bebas. Tak harus berada dalam tekanan orang lain yang demikian menyiksa. Yah dia harus bergerak. Tempatnya sekarang disini. Dipulau sepi ini. Dengan kebebasan. Sepi tapi bebas. Ramai dan dalam kekuasaan orang lain. Pilihan yang memang sulit. With Enemy 5 Ditariknya papan yang sebelumnya menyelamatkan nyawanya. Kayu sisa kapal yang meledak. Dibuat untuk jadi rumah sederhana. Dicarinya tempat yang lumayan ideal. Berada didekat sungai, juga dekat pantai. Tapi masih di pasir biar bisa jadi alas empuk. Mau buat tenda tak ada. Makanya dicari beberapa kayu. Dibentuk menjadi seperti tenda. Untuk sementara atapnya dari daun-daunan. Bisa buat berteduh. Ditariknya mayat hidup itu. Dan diletakkan digubugnya. Agar lebih terlindung. Dia sendiri malahan tiduran di luar gubug di pasir yang Empuk. Hari berikutnya dia mencari makanan. Baik kepiting atau ikan. Dia buat jebakan ikan dengan batu-batuan. Dapat ikan kecil. Dimakannya mentah-mentah karena untuk masukan tenaga. Dapat beberapa kepiting dan ikan kecil. Dia mau membuat api dengan meletupkan batuan serta kayu yang diputar-putar keras. Lalu pakai dedaunan kering yang lumayan bisa membuat percikan api. Barulah dibuat tungku sederhana hanya dari bebatuan yang ada. Kini yang dia mesti urus si mayat hidup itu. Umurnya sekitar empat puluhan, tua, tapi kini dia yang jadi teman. Hanya dia kawatir, jangan-jangan kalau sembuh nanti bakalan merepotkannya atau bahkan menyerahkan dia lagi ke tahanan. Dia mencoba membuka baju itu. Kotor. Dia hanya pakai baju seragam dan kaos hijau. Sebagai dalaman juga celana militer. Sudah robek. Disekanya tubuh itu. Dibersihkan dari kotoran hingga tampak bentuk aslinya. Luka-lukanya banyak. Darah sudah mengental tapi yang paling parah mungkin di tengkuknya yang membuat dia pingsan, bukan luka terbukanya, terlihat hanya lebam mungkin karena terantuk benda keras saat kapal meledak. Dan terlontar. Canggung juga dia melakukan pada orang dewasa yang selama ini belum pernah dilakukan, hanya selama dia berada dalam tekanan musuh membuatnya bisa berpikir dewasa. Dibersihkan orang itu dan diseka pakai baju serta air sungai membuat tubuh si mayat hidup bisa lebih jernih. Dengan kulit kuningnya. With Enemy 6 Kemudian dia mencuci pakaian si Hiroshi. Hanya mencelup pakaian itu kedalam air sungai yang terus mengalir. Hingga kototannnya langsung terbawa arus itu. Kemudian Menguceknya berkali-kali. Bahkan memukul-mukulkan pada batu biar kotoran kuat ikut lenyap. Semua dilakukan tanpa sabun. Beberapa waktu ini dia sudah tak merasa canggung lagi memperlakukan Hiroshi, meskipun harus memakaikan atau membuka pakaian si sakit itu. Lalu dihamparkan di bebatuan. Pada tepi sungai. Biar kering. Dia belum membuat jemuran. Yang bisa lebih cepat kering dan pakaian tak kotor kembali. Dia sendiri mandi puas-puas. Dengan air jernih dan menggosok dengan batu sungai itu. Pakaiannya memang hanya yang melekat ditubuh. Itupun sudah jelek. Sudah dari sebelum dia tenggelam dulu. Karena berada dalam tawanan musuh. Malamnya begitu dingin. Dia membuat api di luar gubug. Untung tak hujan. Disekanya si Hiroshi. Yang menggigil. Makanya dia membuat api unggun didekatnya untuk membantu menghangatkan. Dibiarkan dia pada alas pasir yang masih hangat sisa panas siang tadi. Beberapa waktu, dia hanya makan ikan, dan minum air sungai yang dimasak. Memasaknya cuma pakai bebatuan pipih. Butuh makanan lain sebagai variasi. Dicari pada tempat yang lebih dalam, barangkali ada kelapa. Memang ada, cuma letaknya lumayan jauh. Ke dalam hutan. Lagi pula dia kebingungan memanjatnya. Perempuan masa harus memanjat. Tapi ini harus melakukannya, demi perut. Setelah sampai pada pohon itu, dicobanya naik. Pelan-pelan, pakai pengikat di kakinya. Sampai pada buah segera dipetik. Beberapa buah saja. Dibawa turun, kemudian dibuka dan diminum. Kemudian buahnya dibakar. Si Hiroshi diberi sedikit. Pada mulutnya. Tapi hanya diam. Tak mampu berbuat banyak. Tak bisa makan, apalagi mengunyah, bahkan menelannya. Hari berikutnya dia mencoba membuat gubug agar lebih kokoh. Tidak roboh oleh angin seperti saat ini. Dicari kayu yang agak kuat sebagai tiang. Hanya pada empat titik saja. Pada ujungnya diikat kayu yang kecil. Bagian depan dibuat lebih tinggi. Biar kalau hujan, air tak menggenang di tengah jadi tak bocor. Dia nyamanya beberapa daun kelapa. Barulah ditutupkan sebagai atap. Rapat. Supaya tak bocor. Beberapa ditambahkan. Hingga berlapis-lapis. Sebagai dinding dipakai kayu. Yang dikat satu sama lain. Dan dihubungkan dengan tiang. Barulah ditutup pakai anyaman sirap kelapa. Hingga jadi dinding sederhana. Dan membentuk satu gubug hunian. Dibersihkan orang itu. Dan diseka pakai baju. Serta air sungai. Membuat tubuh si mayat hidup bisa lebih jernih. Dengan kulit kuningnya. Beberapa kali dia membersihkan si Hiroshi. Hingga benar-benar bersih. Dan luka-lukanya dibersihkan. Kembali dia memberi minuman. Pada si Hiroshi. Pelan-pelan. “Uhuk....” Si Hiroshi siuman. Pulih dia. Tapi lelah. Matanya belum terbuka. Hanya jelas sudah bisa bernafas. Dia sudah tak perduli. Kalaupun nanti jika sembuh bakalan menyeretnya kembali ke tahanan. Yang dia inginkan kini, orang tua itu bisa jadi teman selagi kesepian di pulau terpencil ini. Kini dicobanya memberi minuman. Beberapa teguk. Tapi kemudian dimutahkan lagi bersama dengan darah kental yang ikut keluar. Makanya supaya tidak bertambah kacau, dibiarkan dia beristirahat dalam diamnya. With Enemy 7 Kini ada sedikit semangat. Ada kemungkinan si mayat hidup itu benar-benar bisa hidup kembali. Tapi melihat kondisi yang demikian kacau, proses penyembuhannya bakalan lama terutama kalau melihat lukanya demikian parah. Bakalan bertahun-tahun hingga benar-benar sembuh total, sehat dan bisa melanjutkan kehidupannya kembali dengan normal. Kini mulai siuman dia. Tapi lemah. Matanya belum terbuka. Hanya jelas sudah bisa bernafas. Kembali dia mencoba meminumkan air pada Hiroshi. Sedikit yang bisa masuk. Lalu menolaknya. Hiroshi belum bisa membuka mata. Hanya bisa bergerak sedikit demi sedikit. Terutama pada bagian-bagian tertentu. Wil membiarkannya beristirahat. Sedangkan dia mencari aktifitas lain. Membuat makanan, memperbaiki gubug dan kehidupan sederhana lainnya. Gubug itu begitu rapuh. Tak bakalan sanggup melindungi kalau hujan datang. Juga bencana lain. Itu yang dipikirkan, perlu segera diperbaiki. Tak perlu terlalu kuat, asal cukup melindungi tubuh, selagi belum ada pertolongan datang. Bagian depan juga belum ada penutupnya. Mesti segera dibuat. Supaya kalau hujan datang sudah ada pelindung. Hingga tak kemasukan air dan bisa mengusir rasa kedinginan. Peralatan tak ada. Hanya gesper itu saja besi yang tertinggal. Dijadikan pisau yang tak tajam. Tapi semua mesti difungsikan maksimal. Guna bertahan hidup pada situasi yang memang sangat memprihatinkan ini. Dibuat dan dicari peralatan berburu dari alam. Dicari bambu dan diikat dengan tali hasil dari lilitan pelepah kering batang pisang yang menjadi kuat, saat dipilin dan disatukan. Diikat diantara dua ujungnya. Hingga membentuk satu busur yang siap melontarkan anak panah. Yang dibuat dari batang kayu dengan ujung diruncingkan. Bambu yang diraut hingga membentuk anak panah sederhana. Dibuat beberapa buah. Sebagai tempat, dibuat dari pelepah basah batang pisang yang ditekuk serta diikat beberapa bagian hingga menjadi sebuah tas. Atau ditaruh demikin saja pada bambu yang berlubang. Dibuat tungku dari tanah liat. Diambilnya tanah basah dekat sungai yang langsung ditempatkan didekat gubug. Agar tak repot Mengangkatnya nanti. Ini semua hanya sebagai pengganti tungku batu yang kurang panas. Dibentuk sangat sederhana. Hanya gundukan membulat dengan rongga di bagian tengah dan atasnya. Lalu dibiarkan supaya mengering. Dan kalau perlu digunakan pemanas seketika hingga cepat kering tanpa ada retakan yang dihasilkan. Maka jadilah tungku sederhana. Tapi belum bisa digunakan. Menunggu hingga kering dan lebih kuat. Barulah mencari makan. Mencari ikan atau kepiting. Ditelusuri jebakan di sungai. Dimana bebatuan ditata sedemikian rupa, supaya ada ikan terperangkap. Hanya dapat sedikit. Kecil-kecil. Lalu disusuri pantai dengan menarik kayu sedikit lebar. Jika ada kepiting kecil, bakalan langsung terlihat. Dipungutnya. Itu cukup untuk pengganjal perut sore nanti. Sangat melelahkan. Membuat dia terlelap dengan sendirinya. Diatas pasir dikala senja pada pantai itu. Melupakan semua. Melupakan kesendiriannya. Serta segala rasa sunyi yang kini dialaminya. With Enemy 8 Wilhelmina membuka mata. Sudah senja. Lama sekali dia terlelap. Dia kembali ke gubug. Dimana didapati temannya sudah membuka mata. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kembali Wil memberi air ke mulut si sakit. Diseka tubuh itu. Dan diganti pakaiannya dengan kaos. Dicari buah-buahan ke hutan didekat pantai. Mungkin dia sudah bisa makan. Hanya pisang yang didapat, itu sudah lumayan. Pisang itu dijadikan bubur. Dan disuapkan pelan-pelan pada mulut. Sulit sekali makan. Hanya bisa masuk sedikit. Tak bisa mengunyah. Juga sulit menelan. Malam sunyi. Tanpa penerangan. Hanya api unggun yang bisa menyala yang satu saat bakalan padam. Pagi-pagi. Wil sudah ke sungai. Dia mencoba melihat jebakan. Lumayan memang. Ada ikan yang mampir. Terus menjerang air. Guna menghangatkan minuman. Lalu mencari makan. Kehidupan di tempat sepi. Hanya bingung cari makanan. Dibiarkan Hiroshi yang masih lelap. Rupanya orang Jepang itu masih bisa istirahat. Sehingga menunggu kepulihan tenaganya. Dan bisa jadi kekuatan nantinya. Sesekali melihat laut. Siapa tahu ada kapal lewat. Hanya saja dia tak berani membuat api yang besar. Misalkan dengan membakar pohon. Atau membakar banyak kayu. Takut kalau-kalau justru patroli Jepang yang nanti mendatangi tempat mereka. Bukannya kebahagian dan lolos dari malapetaka. Malah mendatangkan petaka baru. Mungkin kali ini membuat perangkap ikan dari bambu untuk dijadikan bubu dan membuatnya cukup sulit. Meskipun rumpun bambu ada di tepian sungai yang bisa dimanfaatkan menjadi perlengkapan sehari-hari hanya saja peralatannya yang tak ada. Sebisa mungkin membuat, meskipun jadinya tak demikian bagus. Asal bisa dimanfaatkan untuk menangkap ikan. Bubu itu hanya dibuat dari bilah-bilah bambu yang dibuat mengerucut. Dengan ujung yang dibuat penutup. Sehingga ikan yang nantinya masuk kesulitan keluar lagi. Kemudian bubu itu dipasang pada aliran sempit sungai itu. Dan atasnya dibendung dengan tanah. Tinggal menunggu hasilnya nanti atau esok. Dipasang kali ini memang hanya ikan yang bisa ditangkap. Belum berani atau sempat masuk ke dalam hutan. Didalam pulau sana. Yang mungkin memang ada buruan. Atau buah-buahan yang bisa dimakan. With Enemy 9 Mungkin kali ini pingin masuk ke hutan. Barangkali saja disana nanti ada rejeki. Meskipun bukan harta yang berlimpah. Setidaknya ada yang buat mengganjal perut mereka berdua. Ditinggalkan si Hiroshi dalam gubug aneh itu. Dipasrahkan saja semuanya pada apa yang terjadi. Dan membawa semua peralatan perangnya untuk masuk ke hutan yang memang lumayan lebat itu. Disusuri sungai kecil yang selama ini menjadi nafas hidupnya. Mungkin lewat jalur ini bisa lebih mudah. Mengenali pulau misterius. Yang kini ditempati itu. Tak banyak yang ditemui sejauh dia masuk. Hanya ikan-ikan kecil yang sesekali tersibak kakinya. Kanan-kiri sungai itu cuma tebing batu yang lumayan keras. Tak terkikis aliran air. Terus masuk. Pepohonan ada yang lebat. Namun sesekali jarang. Ada pergerakan aneh disemak-semak. Diamati dengan teliti. Barangkali itu satu binatang yang bisa dimakan. Namun kawatir juga. Jika itu binatang melata serta berbisa. Yang justru bakalan mencelakakannya. Lumayan. Ada kelinci. Pelan-pelan, dibidik dengan saksama. Dilempar dan kena. Dipotong dan ditentengnya untuk kemudian pulang. Cukup untuk saat ini. Dan tak meninggalkan Hiroshi terlalu lama. Nanti malam bisa buat makan mereka berdua. With Enemy 10 Menuju pulang sembari mencari dedaunan buat obat bagi Hiroshi. Selain itu juga mencari gula pemanis, daun-daun untuk dibuat minuman teh, butiran kopi dan lainnya yang bisa dijadikan sebagai masukan yang menyehatkan. Sampai gubug si Hiroshi sudah bangun dan hanya sanggup menatap kanan-kiri. Dia ke dapur kemudian membuat masakan sederhana yang dimasukkan langsung ke dalam api, nantinya menjadi bakaran yang simpel. Sebelum itu mesti ke sungai, dibersihkan hasil yang didapat terutama dibersihkan bagian kulitnya. Lalu dimasak dalam kuali tanah buatannya dan ditaruh bumbu seadanya. Garam hasil laut. Juga cabai dari dalam hutan. karena memang hanya itu yang dimiliki. Setelah matang dimakannya demikian saja. Disebar benih diseputaran sungai. Barangkali saja ada yang tumbuh. Jadi tak terlampau jauh untuk mencari lagi di dalam hutan. Kelihatannya malam ini tak indah. Gelap. Awan menggantung. Angin tampak aneh. Takut bakalan turun hujan. Mesti bersiap-siap dan mengantisipasi segala sesuatunya. Dibenahi gubugnya dipergunakan bilik itu. Dan ditempatkan si Hiroshi disana. Menjaga agar bara tetap ada. Dikurungnya dalam tungku tertutup. Hingga besok tak kesulitan buat memasak. Dan hanya menunggu kalau-kalau cuaca buruk benar-benar menghampiri. Benar saja angin bertiup kencang. Berikutnya hujan deras. Yang bisa dilakukan berlindung dalam gubug yang bolong-bolong dan tak bisa berbuat banyak. Kala air merembes masuk ke gubug. Meskipun begitu banyak bagian yang memang tak tersentuh. With Enemy 11 Diselimuti Hiroshi pakai baju seragamnya. Orang itu hanya mengerjap-ngerjap menatap sekitarnya yang redup disirami temaram rembulan yang memang remang-remang, tanpa bisa berbuat banyak. Tak ada lagi perlengkapan lainnya. Meskipun demikian nampaknya sudah bisa sedikit menghangatkan badan orang Jepang itu. Wil sendiri kemudian duduk sembari menunggu kantuk. Diantara gelap disekitar. Bulan bertambah redup. Tertutup mendung yang menggantung. Serta percikan air yang menambah pekatnya suasana. Kini tak ada penerangan. Tak ada apapun. Bahkan melihat disekitarnya juga sulit. Menunggu malam. Dan hujan berhenti tak lama setelahnya. Hanya berlangsung sekitar satu jam. Tapi suasana terdengar ngeri. Sungai bergemuruh, menyapu segala yang dilaluinya. Air sungai turun dengan deras. Dari hulu hingga laut. Sungai banyak kotoran dan terlihat sedikit keruh. Nanti buat mandi kurang enak. Yang bisa dilakukan sekarang hanya berlindung. Dalam gubug yang bolong-bolong. Dan tak bisa berbuat banyak kala air merembes masuk ke gubug. Meskipun begitu banyak bagian yang memang tak tersentuh percikan air hujan tadi. Diantara rasa dingin itulah, Wil menutup rasa lelahnya dengan memejam dan akhirnya bisa terlelap. Dia tertidur hingga pagi. Pagi-pagi sudah berkemas. Terjaga. Namun membiarkan Hiroshi yang masih terlelap. Dia langsung ke Sungai. Mencari bagian yang sedikit bersih. Guna cuci muka. Menghilangkan kantuk yang masih ada. Kini dicari umbi. Diteliti beberapa pepohonan. Memang tak banyak. Ada sedikit di hutan. Namun diantara yang sedikit itu terlihat masih ada harapan. Yang agak tua diambil buat dimasak. Sementara batangnya kemudian di ambil beberapa potong dan ditancap di dekat sungai yang sedikit berair. Lalu dia ke laut. Mencoba melihat jebakan ikan kemarin. Sisa- sisa hujan. Siapa tahu ada yang menyasar. Dan benar. Beberapa tersangkut diantara jebakan sederhananya. Ada yang lepas. Masih hidup ikan-ikan itu. saat melihat kesempatan, langsung melarikan diri. Tapi sebagian ditangkap. With Enemy 12 Paginya setelah sarapan Wil segera memperbaiki semuanya. Gubug, dapur, perapian dan lain-lainnya. Bersiap-siap kalau-kalau datang hujan badai yang lebih besar dari semalam. Kemudian memberi minuman dan makanan buat si Hiroshi. Membersihkan tubuhnya dan menyeka sebisa mungkin. Hiroshi sudah mulai bisa main mata. Namun sama sekali belum sanggup menggerakkan bagian tubuh yang lain. Kemudian dia berusaha menarik semua perangkap yang telah dipasangnya. Di sungai tak bisa menangkap apapun. Air besar membuyarkan jeratannya. Hanya di laut ada sedikit kepiting dan ikan kecil yang masuk perangkap serta memakan pancingnya. Di hutan jebakan tak mendapat hewan apapun. Benih-benih yang disebar ditepian sungai juga belum tumbuh. Makanya masih mengandalkan buah-buahan liar. Dan daun-daun sayuran yang bisa dimasak. Lalu pergi ke hutan pelan-pelan. Berjalan sembari menyibak air sungai yang tak begitu dalam. Meniti bebatuan tebing bungai tak tinggi. Namun semakin masuk ke dalam hutan bertambah tinggi bebatuannya. Yang mengakibatkan air bergemerincik begitu deras menuruni lembahnya. Saat ini hanya sebatas mencari bambu dan kayu guna berbagai keperluan. Bahan itu yang kali ini sangat dibutuhkan untuk membuat berbagai peralatan dalam menghadapi kesehariannya. Dibuat jerat, juga perangkap. Di hutan, di sungai, di laut. Semuanya. Siapa tahu salah satunya bisa mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan. Tidak ikan, ya udang atau kepiting atau binatang hutan yang justru dagingnya lebih besar dan lebih nikmat. Serta kebutuhan protein, lemak dan karbohidrat yang diperlukan tubuh terpenuhi. Dan kesendirian ini sedang membawa perdamaian. Tak ada musuh, tak ada bencana. Hanya alam itulah yang kini jadi teman namun juga lawan yang mesti ditaklukan. Dia berusaha membuat bubur lembut. Supaya si sakit bisa menelan makanan yang ada. Walau begitu hasilnya memang tak bisa maksimal. Sama sekali tak bisa menelan. Apalagi mengunyah. Hanya cairan saja yang berusaha masuk ke tubuhnya. With Enemy 13 Hari-hari ini tak berjalan dengan baik. Jebakan hampir tak mendapat apa-apa. Tapi benih tanaman mulai tumbuh. Itu satu harapan untuk kesehariannya nanti. Makanan hanya mengandalkan buah-buahan hutan. Hari selanjutnya Hiroshi bisa menggerakkan kepala serta tangannya. Namun kesulitan untuk bicara dan lain-lain. Entah mengapa. Si Wilhelmina sangat senang. Dia bertambah giat merawat si Jepang itu. Dan jebakan hampir semuanya mengena. Disungai ikan-ikan masuk bubunya. Di laut banyak kepiting dan ikan Yang terjaring. Dan di hutan ada kijang kecil yang terjerat. Semua menambah rasa gembiranya. Belum lagi tanamannya sudah bisa menghasilkan. Bisa dipergunakan sebagai bumbu dan penyedap rasa lainnya. Bakalan dimasaknya, sebelumnya dia memasak air. Dengan kuali tanah yang bentukannya tak jelas. Namun bisa difungsikan dengan maksimal. Membuat semua makanan yang baru saja diperolehnya. Lalu dibentuk menjadi bubur dan makanan lunak lain. Kalaupun bukan dia yang menikmati. Barangkali bisa buat si sakit. Disuapinya si Hiroshi. Tapi tak banyak yang sanggup dimakan. Tetap belum bisa memasukkan makanan hingga perutnya. Guna menambah kekuatan yang sedikit memperbaiki kesehatannya. Kemudian membenahi gubug lagi. Sedikit layak. Sekarang rumah kecil dengan emperan di luar dan satu ruang tidur didalamnya. Hiroshi biasanya ada di luar rumah kalau siang hari. Dia tiduran sembari memandang banyak hal. Dikala tak bisa melakukan kegiatan apa-apa. Kalau lagi santai si Wil main di pantai sendirian. Menikmati lembutnya pasir dan sejuknya udara yang mampu melawan panasnya matahari. Baru saat menjelang senja dia kembali ke gubug. Mengangkat Hiroshi kedalam. Dan menyalakan obor minyak kelapa diluaran. Biar dalam rumah itu tak demikian gelap. Malam ini Wil tidur diluar. Setidaknya sampai udara benar-benar dingin dan badannya sudah tak kuat menahan dingin itu. Tapi kini cuaca benar-benar nyaman untuk dinikmati. Makanya lama sekali dia di luaran. Sembari menatap kejauhan, dimana debur ombak begitu indah. Memantulkan cahaya langit. Dan bintang gemintang yang memanjakan mata. Sembari membuat api unggun dan menikmati kopi buatan sendiri hasil dari hutan dengan pemanis gula merah yang dibikin dari seduhan bunga kelapa, dideres, dimasak. Sebagai bagian dari kesehariannya yang hilang. With Enemy 14 Pagi ini membuat perahu dari kayu hanyut. Buatannya kasar. Hanya dari pahat kayu dan batu pemukul. Yang demikian saja diikat dengan kayu sebagai pegangan. Membuatnya lama sekali. Maklum tenaganya tak seberapa. Perahu belum jadi, tapi sudah ingin masuk ke hutan. Siapa tahu ada buah atau buruan yang bisa dibawa buat hari ini menjadi pengganjal perut yang bisa menambah kekuatan guna melakukan kegiatan. Dia pakai sepatu si Hiroshi. Dikenakan sedapatnya. Kegedean tapi lumayan, bisa untuk melawan duri atau kerikil tajam dan ranting yang kemungkinan bisa melukai telapak kakinya. Kaos kakinya dikenakan pada si Hiroshi. Baju kumalnya tetap dipakai. Itu satu-satunya yang pantas dikenakan. Lalu membiarkan bubur didekatnya, siapa tahu kelaparan Kalau belum sempat dia datang dan menyuapi mungkin dia bisa bergerak sendiri dan melakukannya tanpa harus kelaparan yang lebih parah. Dia masuk ke hutan. Dengan memutari pulau. Mencoba jalur lain yang belum terlewati. Mungkin ada hal baru. Yang dia dapat di pulau misteri ini. Namun demikian memberi banyak kebutuhan buat kesehariannya. Seperti biasa dia membawa panah bambu dan pisau gesper itu saja. Hanya untuk berjaga-jaga kalau ada binatang berbahaya atau jika menemukan barang yang bisa dimakan. Lumayan jauh masuk dalam hutan. Tiap ada buah yang terlihat dipetiknya, dimasukkan ke kantung dari kulit binatang hasil jebakan yang dikeringkan dan dibuat sendiri menjadi tas tanpa penutup. Digunakan tali buat selempang. Saat masuk ke tempat liar itu. Dia melihat ada gundukan dan lubang didalamnya. Terlihat suatu duri. Yah. Landak..... Maka dia ingin menangkapnya. Diasapinya pintu keluar. Biasanya binatang ini mau keluar. Karena tak tahan pada asap tersebut hingga mengganggu pernafasannya. Apalagi dalam rongga, asap akan terus bertahan, untuk terus menggumpal, kesulitan keluar. Benar saja, binatang berduri itu keluar. Setelah keluar lalu dipanahnya. Binatang itu kena dan kesakitan. Lalu berusaha masuk ke dalam lubang lagi. Kalau ditangkap pakai tangan bakalan terluka oleh durinya yang bisa jadi beracun. Makanya dipakai sebatang pokok pisang yang lunak. Lalu dipukulkan ke binatang itu. Hingga duri-duri tajamnya tertncap kuat pada batang pisang itu. Dan ditariknya keluar hingga mendekat. Dimatikannya binatang itu pakai pisaunya. Setelah benar-benar mati. Ditangkap dan ditentengnya. Dia membawa pulang landak itu. Lumayan nanti bakalan dikuliti untuk diambil dagingnya. Dimakan. Dan durinya bisa dijadikan mata panah yang kemungkinan bisa untuk berburu. With Enemy 15 Sampai di rumah langsung mencoba memasak binatang itu. Masakan yang sederhana karena segala perlengkapan memang demikian saja tak banyak yang bisa dilakukan. Bumbu tinggal mengambil di hutan. Garam di laut. Dan keramik tanah liat buatan sendiri, sudah bisa digunakan maksimal. Sebagai bagian dari perkakas rumah tangga yang begitu berarti buat kesendirian mereka. Sedikit saja dikasihkan pada si Hiroshi dan sedikit itu juga yang bisa dimakan. Mulutnya seakan tak bisa dibuka, bahkan untuk menerima hal paling enak sekalipun. Kegiatan selanjutnya begitu monoton. Hanya memperbaiki perangkap dan berbenah rumah tinggalnya agar layak. Setidaknya tak seperti di interniran dulu. Masih ada kebebasan. Di laut perangkap hanya mendapat kepiting. Di hutan tak dapat. Di sungai dapat ikan. Besarnya sebetis. Bisa dibikin ikan asin. Kopi sudah kering, maka ditumbuk serta dihaluskan. Menumbuknya pakai batu kali. Lumayan untuk kali itu. Memang hanya itu yang bisa dinikmati. Tak seenak kalau dapat di toko dengan pilihan istimewa. Rasa dan keharuman yang khas. Pemanisnya hanya gula merah yang dibikin sangat sederhana. Mengambilnya dari kelapa yang tak begitu tinggi, sehingga dia bisa memanjatnya dan memeras air dari bunga kelapa. Ditampung dalam bambu yang diserut kasar. Semua itu pernah dia saksikan kala masih berada di perkebunan swasta di Jawa. Dimana banyak penderes yang melakukan pekerjaan berat itu. Dan mengelola alam dengan sangat sederhana. Namun bisa mengatasi kehidupannya. Sembari menikmati sedikit minuman itu kemudian dikasihkan pada si Hiroshi sebisanya. Mestinya pakai sendok tapi tak ada, makanya disuling dengan bambu yang dicontong, dibuat torong. Hingga bisa masuk ke mulut si sakit. Baju sudah tak karuan. Sekian lama tak ada pengganti, paling-paling dari kulit binatang buruan yang berhasil didapat. Dikuliti dan dijemur hingga kering lalu dibentuk menjadi celemek yang hanya bisa menutupi sekedarnya. Setidaknya itu lumayan sebagai bahan ganti. Kulit-kulit binatang hutan bisa jadi pakaian sekedar penutup tubuh. Itu kalau tak lapar. Tapi jika kelaparan dan tak ada makanan. Maka kulit itu dimasaknya jadi bubur dalam kuali tanah yang bentukannya tak jelas. With Enemy 16 Cuaca sedang jelek. Awan menggantung sangat dekat dengan kepala. Mendung menghitam menggambarkan bentukan menyeramkan. Awan cumulus yang demikian mengerikan. Pertanda jelek. Bakalan terjadi hujan. Dan mungkin badai yang akan menimpa daerah itu. Menghadapi situasi demikian, Wilhelmina segera menutup pintu dan duduk dibawah lampu minyak kelapa. Hiroshi cuma bisa menatap kesana-kemari. Belum tertidur dia. Semua pakaian sudah dikenakan. Wil takut kalau si sakit bertambah dingin jika hujan turun. Makanya sebisa mungkin segala perlengkapan dikenakan. Kasut, segala selimut kulit yang ada, juga pakaian lengkap. Semua dikenakan berlapis-lapis. Berikutnya terdengar berkerosak. Angin bertiup kencang. Mencekam. Daun-daun runtuh, pasir laut seakan disemburkan dan menghantam dinding-dinding luar gubug rapuh itu. Juga ranting-ranting kering luruh. Bagaikan nyanyian selaksa amarah. Dianpun bergoyang, kemudian padam. Dan angin bercampur hujan turun langsung lebat, tambah mencekam. Menghantam gubug yang tak bakalan kuasa menantang ganasnya alam. Air menetes, rembes dari atap daun kelapa. Mengeluarkan air putih. Beberapa bagian basah. Hanya sedikit saja yang tak tersentuh rembesan itu. Berikutnya bergemuruh. Laut bergolak. Angin bertambah kencang. Menyeret air laut dalam gerak yang cepat. Mungkin daerah itu bukan daerah yang kerap terjadi tsunami. Namun, namanya laut, tempat merupakan berkumpulnya jutaan liter air. Disaat terseret oleh angin kencang, maka gelombang besar juga tercipta. Mendorong dan menghantam pulau kecil yang sebelumnya tenang menjadi bergemuruh. Dan berikutnya gelombang itu menjangkau gubug kecil. Wil tambah panik. Dia segera menyiapkan sepatu boot milik Hiroshi. Dia harus bergerak. Kalau-kalau bencana lebih besar bakalan terjadi. Benar saja, air terus datang, hampir menjangkau panggung sederhana buatannya. Air terus meninggi. Wil bertambah kawatir. Dikenakan segala yang bisa dipakai. Dibawanya pisau sederhana dari gesper Hiroshi. Kemudian dia berusaha menarik Hiroshi. Digendong dan dibawa keluar. Air terus menerjang, sangat kuat. Wil terus berjalan menuju dataran lebih tinggi, diantara hujan dan angin kencang serta dorongan ombak yang ganas. Dia sedikit pasrah, namun terus berusaha. Jangan sampai perjuangannya terhenti dan beberapa waktu berikutnya hanya menyisakan dua tengkorak disitu. Wil terus berjalan menembus hutan. Tak perduli pekat. Tak perduli licin. Mencari tempat tinggi yang tak terjangkau air laut. Hujan terus mengguyur. Hiroshi diam, sedikit menggigil. Tubuh yang belum sempurna kesembuhannya itu bertambah parah. Dan hujan dengan curah tinggi terus menerpa tubuhnya. Dan setelah sampai pada titik aman, Wil berhenti lalu menggelosor demikian saja sembari menempatkan Hiroshi di bawah pohon yang agak teduh. With Enemy 17 Memang lumayan teduh, sudah mengering, meskipun tetes-tetes air hujan masih membasahi wajah Hiroshi. Dibawah pohon rindang itu, air tak langsung menerpa tubuh, tapi merembes lewat dedaunan. Disini bisa mengurangi sedikit kesengsaraan. Hujan berhenti. Hanya keheningan yang kini tercipta dan Wil membiarkan semua lewat dulu, meskipun tak hujan banjir besar tentu masih menggenangi gubugnya. Makanya mendingan disitu hingga pagi menjelang. Dia cuma menjaga agar Hiroshi tak terlampau kedinginan. Jangan sampai keduanya menjadi tengkorak di detik-detik ke depan. Hanya untuk menghadapi masalah yang tak terselesaikan. Saat pagi menjelang Wilhelmina mencoba menggendong Hiroshi kembali, dia tak selayaknya berada disitu, terus menanti ajal. Menyeretnya menjadi tengkorak yang akhirnya terlena untuk hilang akibat dari gerusan alam. Apalagi disitu tempat sepi. Kemungkinannya akan lama ditemukan orang. Atau bahkan samasekali tak akan ada yang menemukan. Hingga lenyap. Materi maupun namanya. Tak bakalan ada yang menorehkan kata wil itu dari kesejarahan manusia. Masih terasa berat. Jalan licin dan beban dipunggungnya. Hingga jalan oleng terkadang tersuruk. Terpuruk dan kakinya berat, menyeret sepatu yang dibebani lumpur dari hujan. Hingga sesampainya di gubug, dia tambah tercengang. Agak berbeda. Selama ini dia tempati dan menjadi dunianya, kini langsung terubah oleh bencana yang terjadi semalaman. Air memang sudah surut dan kembali ke laut. Memperlihatkan ketenangan, seakan tak terjadi apa- apa, diantara pandangan teduhnya dan rata bagai hamparan kalasa yang demikian luas. Namun sebaliknya telah tersembunyi serentetan kengerian yang tercipta saat membawa amarah. Matahari bersinar cerah, belum menghangat. Tapi sudah sangat terang. Terlihat puing-puing gubugnya. Semua berantakan. Banyak yang lenyap. Yang tersisa hanya benda yang berat-berat. Perkakas dari bebatuan, lainnya terbawa air. Gubugnya juga berantakan. Dia meletakkan Hiroshi di pasir yang masih basah. Air memang surut, banjir sudah tak ada, tapi sisa-sisa bencana itu jelas terlihat. Pasir masih basah dan puing-puing sampah berserakan tak teratur. With Enemy 18 Sekian lamanya Wil terdiam. Tak tahu harus mulai darimana. Hatinya terpadu antara bingung, kecewa dan sia-sia. Segala yang dia usahakan seakan hancur. Musnah dalam sekejap. Namun hanya diam tak ada arti, semua tak akan membaik, jika cuma berdiam diri. Mesti berusaha agar masalah itu selesai. Sejauh ini berbagai rintangan dan masalah telah dilalui. Kini, mungkin harus memulai lagi dari awal. Harus berusaha kembali. Badai telah berlalu. Dan menata kehidupan kembali adalah yang terbaik. Dia bergerak mencari benda-benda yang masih bisa dipakai. Membersihkan gubugnya. Puing-puing yang berbahaya disingkirkan. Yang bisa dibakar, dibakar. Bisa sebagai penghangat badan selagi menunggu matahari memanaskan suasana. Hiroshi hanya terdiam, hanya matanya yang terlihat meneteskan air. Dia tak bisa apa-apa. Menggerakkan badan saja menjadi satu pekerjaan yang teramat sulit. Hanya kepalanya saja yang bergerak kanan-kiri. Menyaksikan Wilhelmina pontang-panting memperbaiki segalanya. Memang pekerjaan kali ini tak terlampau lama. Karena hanya merupakan pengulangan dari hari-hari lalu yang sudah pernah dialami dan dikerjakan. Setelah agak beres Wil duduk menggelosor di pasir yang mulai menghangat. Dibiarkan rasa letih pegalnya, terpijat sendiri oleh hangatnya pasir yang menjadi penyembuh alami. Sore harinya Wil meneliti semua jebakannya. Di hutan dibenahi, di sungai bubunya hilang dan dibuat lagi. Di laut juga demikian. Membuat yang baru. Malamnya kembali datang, melumat segala keindahan pulau misterius itu. Lampu dari minyak yang tersisa oleh bencana menyala mesti sulit. Hiroshi masih bisa terhangatkan dengan baju dan beberapa penghangat yang tersisa. Lama sekali dia hanya berkejap-kejap tak mampu terlelap. Angannya sudah bisa bergerak meskipun belum bisa tersalurkan lewat gerak. Dan masih mati rasa tubuh itu. Malam berlalu terasa lama hingga minyak dalam tempat ceper habis dan gulita menyelimuti gubug. Sudah tak ada nyala untuk saat itu dan menggantungkan harapan untuk munculnya matahari sebagai penerang alam. Wil terlelap kecapaian dan Hiroshi perlahan-lahan tidur meski membutuhkan waktu yang begitu lama mendekati fajar. Dia bisa menghilangkan segala pikiran dan asa. With Enemy 19 Setelah bencana semua kembali dari awal. Benih-benih yang telah tumbuh hampir semua musnah. Tersisa yang ada saja dan mesti ditabur kembali. Wil mencoba membuat gubug sederhana diatas pohon untuk mengatasi segala kemungkinan yang bakal terjadi andai badai datang dan merusak apa yang telah tertata. Gerabah, peralatan keseharian, keranjang-keranjang dari bambu, kini sudah dibuat. Dan kesehatan Hiroshi semakin membaik. Terlihat dia mulai bisa menggerakkan anggota tubuh. Terutama pada kepala yang bisa gerak kanan-kiri. Juga urat-uratnya mampu menggerakkan sedikit keadaan. Luka-lukanya juga sudah mengering. Yang sebelumnya terbuka dengan nanah dan darah mulai tertutup Karena bantuan Wil. Juga ramuan tumbuhan liar yang sedikit banyak bisa menjadi obat. Buat mengatupkan kembali luka itu. Yang masih kesulitan adalah bagian dalamnya, yang kemungkinan terlampau keras, kala terjadi kecelakaan dahulu dan membuat sistem lemah dan segala indra menjadi terputus. Terutama dengan hal yang berhubungan dengan otak. Karena bagian inilah yang memberikan perintah pada segala pergerakan di tubuhnya. Apapun itu, Wil kini sendirian dan hanya Hiroshi yang bisa jadi teman sekaligus raga yang menjadi bagian dari kesehariannya. Meskipun tak bisa diajak cerita, berkomunikasi, bahkan beraktifitas. Kini Wil mencoba membuat perahu dari puing-puing dahan yang dulu pernah dibuat namun terseret gelombang hingga menjadi bentukan yang semakin tak karuan. Namun begitu masih terlihat keadaannya yang memang menyerupai perahu. Perahu jadi, dayungnya juga. Dibuatnya dari kayu lurus dan pangkalnya dari bagian melebar yang dikat pada tangkai kayu tadi secara kuat. Maka menjadi alat yang bisa dipakai untuk mendorong perahu. Dia mencoba mendayung ke tengah laut, sembari menebarkan jebakan ikan. Sedapatnya dalam membuat. Dari rangkaian temali yang dijalin sedikit rapat, lalu diikat pada belakang perahu. Jadi penangkap ikan yang tak pantas disebut jaring. Dan hanya sekedar berupaya mendapat apa yang jadi rejekinya. With Enemy 20 Sesekali naik ke rumah diatas pohon, yang sebenarnya hanya menyerupai sarang yang dikasih atap sekedarnya. Supaya bisa ditempati sementara waktu, sembari memandang pemandangan seputar hutan yang memang sangat indah. Memukau. Sangat fantastik pokoknya. Setelah kembali terlihat si Hiroshi berusaha duduk. Dengan segera si Wilhelmina membantunya. Sembari meringis-ringis si Jepang mulai berusaha bangun. Diantara rasa sakitnya. Dan kelaparan mau makan, tapi sulit mengatakan dan yang bisa Hiroshi perbuat hanya terdiam. Namun Si Wil paham. Dia mencoba mengambilkan bubur dan menyuapinya. Satu, dua suap bisa masuk kedalam kerongkongannya. Tak banyak yang bisa dimakan. Satu dua suap doang. Mulutnya masih sulit mengunyah, bahkan untuk yang keras juga tak bakalan sanggup mengunyah. Jangankan mengunyah, menelan saja kesulitan. Kemudian dia tidur lagi, atau entahlah, mungkin cuma berbaring saja. Karena kalau duduk cepat lelah. Punggungnya belum bisa bertahan lama-lama. Wil masuk ke hutan lagi. Tapi sayang jebakan rusak. Nampaknya ada yang merusaknya. Entah siapa. Tapi dia langsung memperkirakan kalau yang berbuat. Binatang besar dengan kekuatan yang sanggup merusak jebakannya. Wil berusaha memperbaiki dan membuatnya lebih kuat, siapa tahu binatang besar itu kembali terperangkap dan bisa dijadikan makanan untuk bertahan disitu hingga waktu yang belum pasti. Lalu memeriksa bubu di sungai. Sebelumnya bubu dari bambu ini dipasang pada aliran deras yang sempit di sungai itu. Dimana diperkirakan bakalan ada ikan yang lalu lalang disana. Benar saja, dapat satu ikan sungai yang besar. Bisa dipotong tiga bagian. Selebihnya dapat ikan kecil-kecil. Makanya dilepas kembali. Kiranya ikan besar itu cukup untuk hari ini. Dimakan berdua. Dan yang kecil biar menjadi besar dulu. Ikan lalu dipanggang dan separuhnya dimasak pakai kuah. With Enemy 21 Kini berencana masuk hutan lagi, berburu, walau tak berpengalaman dan wanita, tapi hidup sendiri, mesti memahami situasi kini. Serta harus bisa beradaptasi dengan lingkup pulau. Yang misterius tapi demikian subur dan menyediakan apa-apa. Buat kebutuhan sehari-hari. Siapa tahu dapat buruan besar, nanti kulitnya bisa dijadikan pakaian. Selain dagingnya yang memang sangat diperlukan guna mengisi perut yang keroncongan. Dan menambah kekuatan tubuh. Seperti biasa hanya berbekal panah sederhana, ujung pakai duri landak yang tajam, dan pisau gesper dengan gagang dari kayu yang diikat sedemikian rupa hingga lumayan enak pemegangannya. Menelusup diantara rimbun ilalang. Gatal, tajam. Tapi sepatu itu demikian banyak membantu perjalanan yang bisa mengatasi duri tajam dan tumbuhan gatal di sekitar kakinya. Kakinya lumayan nyaman, meski pakai boot Hiroshi yang sedikit kebesaran dan diganjal pakai kulit binatang. Juga berfungsi jadi kasut. Diamati sekitar pepohonan, jalan binatang, atau apapun. Asal ada pergerakan selalu dilihat. Barangkali itu buruan yang enak dimakan. Atau juga tanaman yang selama ini bisa memulihkan kekuatan temannya. Ada ular dibiarkan, tengah melingkar diatas dahan yang kuat. Meskipun tak banyak bersuara, tapi jelas terlihat. Tak suka. Mungkin lain waktu kalau memang benar-benar tak ada apapun untuk dimakan. Ular itu juga ada daging didalamnya yang bisa dimakan. Burung terlalu tinggi, tak mungkin mengena. Kalaupun memaksa maka kemungkinannya mungkin tak sampai 10 persen, jadi lebih baik kalau mencari yang lain atau menanti pas burung itu bertengger pada jangkauan bidikannya. Terus masuk, jauh ke dalam. Meninggalkan gubugnya yang tak layak huni, tapi berada pada daerah yang kelihatannya paling aman untuk ditempati. Selama berada dalam pulau itu. Mungkin di tempat lain juga ada yang bisa digunakan. Tapi belum tahu dan masih meraba-raba kalau mesti meninggalkan tempat dimana pertama kali terdampar dalam daerah ini. Dilihatnya gua lumayan dalam tapi tak berani masuk takut banyak binatang berbahaya yang mungkin duluan ada disana. Makanya mending mencari jalur lain. With Enemy 22 Jauh kedalam semakin mencekam. Tumbuhan tumbuh tak beraturan tak tertata menandakan tak ada yang sengaja menanamnya untuk keperluan perkebunan atau bisnis lan. Sampai disatu tempat aneh ada padang rumput yang sunyi. Aneh mencekam hanya desah nafas yang saling berpadu disana. Beberapa binatang terlihat. Saling makan bukan antar binatang. Hanya antara para binatang itu dengan rumput hijau yang demikian subur, tumbuh dengan indahnya. Ada rusa, puluhan. Ada kancil, mungkin menjelang punah. Banyak binatang dengan daging yang begitu menggiurkan. Dan bisa disimpan lumayan lama kalau kena nanti. Juga beberapa mahluk pemakan rumput yang sulit dikenali. Mereka begitu akur membagi makanan yang tumbuh subur. Dengan berbagai bentukan yang tak merata namun tetap satu warna hijau. Mau memanah. Rusa itu yang diincar. Karena lumayan besar bisa buat beberapa waktu. Tapi banyak semut merah yang menggigit, membuatnya kacau. Binatang tak kena. Kabur. Pada lari Ketakutan. Juga kaget. Yang membuat jantung berdetak kencang. Juga darah memompanya sangat kuat. Hingga beberapa waktu tempat itu sepi. Setidaknya Wilhelmina tahu banyak makanan dalam hutan itu. Esok atau lusa bakalan ke situ lagi dengan persiapan yang lebih matang dan berusaha mendapatkan beberapa ekor darinya. Dia ke pantai sembari memetik beberapa buah yang ditemuinya. Buah yang mungkin kurang enak tapi lumayan buat pengganjal perut. Buah-buah liar yang tak ditanam. Ketika pulang Wil mendapati temannya berbaring. Namun bubur daging telah habis. Dia sudah bisa memakan sendiri. Entah bagaimana, mungkin langsung ditelan. Itu menandakan sedikit banyak ada kemajuan tentang kesembuhannya. With Enemy 23 Pulang memasak sayur. Jadi sayur bening, tege, Yang menyegarkan. Lumayan sebagai variasi masakan, yang sejauh ini hanya dengan daging yang direbus sampai empuk dengan bumbu seadanya. Paling garam, bawang, cabe. Yang semuanya hasil dari sisa-sisa banjir malam itu. Dttt... Si Hiroshi kentut. Wil segera datang dan membawakan makanan. Kali ini pencernaan si Hiroshi tampaknya lancar. Seperti orang yang baru dioperasi bagian dalamnya dan menunggu indahnya kentut. Maka bisa jadi si Hiroshi juga bisa makan banyak dan pencernaannya telah lancar. Dan itu menandakan proses penyembuhan yang lumayan lancar juga. Di dudukkan Jepang itu. Kemudian mulai menyuapinya. Pelan-pelan tahu-tahu banyak saja. Yang membuat si penyuap juga malahan senang. Karena bisa jadi tenaga yang kemungkinan bakalan membuat tenaga si jepang itu kuat. Lumayan banyak habisnya. Bubur dan sayur bening itu. Meski hanya pakai daun yang langsung dibuang. Piringnya hanya dari tanah liat yang dibentuk jadi cowek, cobek tanah lumayan bagus. Kemudian si Hiroshi rebahan lagi. Tapi tak lama. Dia sudah jenuh dan mencoba duduk. Sendiri disitu. Dia lama menatap kejauhan dan indahnya lautan. Wil ke pantai. Mencari kepiting, jingking atau apa yang ada di pantai. Nanti bisa dimasak. Kering atau digoreng pakai minyak kelapa. Jika dimakan enak buat cemilan. Kemudian mandi, mencuci dan menjemur. Di bambu yang dilintangkan. Lalu membenahi bubunya. Lumayan bisa diandalkan buat keseharian. Dan kelancaran mendapatkan makanan. Membawakan hasil jebakan. Lalu menumpuk di dapur. Membuat kopi dengan tumbukan kasar dan teh daunan sedapatnya yang tak pasti pucuknya yang demikian melegenda. Kemudian main panggangan dan mengurangi rasa bediding. Dingin ini memang tak terlampau namun bakalan membuat sakit kalau tetap dibiarkan pada alam liar yang bakalan mengganggu kesehatannya. Sedapat mungkin membuat penghangat. Malamnya tidur lumayan nyenyak. Hiroshi diselimuti dengan kulit binatang yang kasar namun tak membuatnya terlampau kedinginan. Dan kaki dari kasut militernya yang mulai kusam bahkan bolong. With Enemy 24 Paginya Hiroshi sudah bangun. Dia berusaha duduk Dan mulai bisa lalu menatap sekitar. Memang tak asing bahkan menjemukan, kesehariannya ditempat seperti itu terus. Wil menyeka tubuh Jepang itu. Dan memeriksa luka nya. Hampir semua luka luar telah kering. Hanya luka dalamnya yang masih membekas. Ada benjolan di tengkuknya yang mengeras. Mungkin itu juga yang menjepit urat syarafnya hingga melumpuhkan seluruh tubuh. Dari otak tak bisa memerintah pada bagian lain di bawahnya. Kemudian mencoba menyuapinya. Memberi bubur sampai si Hiroshi tak sanggup menelan. Kemudian mencoba memberinya daging bakar. Satu dua suwiran. Daging bisa ditelan. Dan perlahan mengunyah. Di teras depan itu. Diberi tumpukan benda empuk agar tak sakit dihadapkan pada laut kalau dia jenuh tiduran bisa duduk. Dan sebaliknya. Kembali Wil mencoba menelusuri jebakannya hanya ikan dan hasil laut yang ada. Jebakan hutan kosong. Ditaruhnya dalam periuk tanah liat buatannya. Setidaknya mau dimasak nanti. Kini dengan perahu kasarnya dia mencoba mengelilingi pulau. Cadiknya memakai bambu. Untuk penyeimbang. Lumayan berhasil, bisa naik dan berkeliling pulau. Menerjang ombak hingga ditengah laut yang sudah tenang. Barulah bersampan dengan tenang sambil melihat pulau yang tak jauh didepannya. Terus berkayuh. Nampak gugusan menghijau disana berliku-liku bahkan membukit dengan tepian membuih dan ombak yang terus menghajar tebing pembatasnya. Sangat sulit kalau ingin mendarat disana. Salah-salah malahan perahu yang nanti dilempar ke bebatuan itu. Cukup jauh tapi belum juga berhasil memutarinya. Maka diputuskan membalik. Rupanya pulau itu lumayan besar. Andai cuma dijelajahi mengunakan perahu kayuh saja. Kembali lagi. Dan waktu terus bergulir. Tak bisa ditahan Matahari mulai condong. Disaat itu wil menemukan daratan landainya. Yang paling mudah untuk didarati. Perahupun mendekat dan ditaruh begitu saja di pantai. Sambil menuju gubugnya tanpa membawa apa-apa. With Enemy 25 Paginya Hiroshi mulai berlatih jalan. Dia bangun lalu mencoba duduk dan menuju tepi emperan gubug. Sembari menggerak-gerakkan kakinya, diongkang-ongkangkan. Dia berdiri dan dibantu Wil sambil memapah, sangat kesulitan. Kakinya masih terlampau kaku. Saat mencoba bangkit hampir saja langsung jatuh. Kalau tidak langsung dipapah sama Wilhelmina. Sekian lama tak difungsikan membuat kaki itu begitu kesulitan, bahkan untuk menopang tubuh sendiri. Perlu waktu dalam menyesuaikan diri kembali menguatkan tulang dan otot. Baru menghubungkan dengan motorik dalam otaknya. Yang memberi perintah langsung. Hingga langsung terhubung dengan syaraf di tubuhnya. Sangat kesulitan. Bahkan untuk perkara sepele begini. Harus seperti bayi. Yang mulai segala sesuatu dari awal. Kemudian duduk lagi. Atau tepatnya didudukkan kembali. Dan lain waktu, bakalan melanjutkan lagi dalam melatih diri, guna melancarkan otot-ototnya dan bisa difungsikan kembali sebagaimana mestinya. Dia pergi. Mengambil sesuatu untuk dimakan hari itu. Wil mambakar ikan dikasih bumbu hingga sedap. Dilumuri segalanya. Dan menerima diri. Diberikan pada Hiroshi sampai tak habis. Sisanya ditaruh pada jebakan laut supaya ada ikan terperangkap didalamnya. Kemudian masuk hutan dan mencari buah. Hanya membawa bambu runcing agar bisa dipakai berburu, meramu, mencari buah-buahan tinggi dan umbi-umbian. Sayang, ubi kayu dan ubi jalar serta lainnya tak dapat. Hanya menggunakan bambu runcing itu sebagai penggalah. Buat menjolok yang tinggi. Dan memudahkan pekerjaannya. Kali ini banyak menemukan buah. Ada pepaya mangga pisang jambu. Paling banyak pisang. Nanti bakalan digantungnya digubug. Sebagai persediaan. Sekaligus pemandangan yang menarik. Asal tak ada bencana saja. Yang sekonyong-konyong mendera. Beberapa digorengnya. Pisang-pisang yang belum begitu masak ada yang dibakar tanpa bumbu apapun. Yang digoreng dilumuri dengan bumbu sekedarnya. Hingga layak saja dimakan. Dimakan bareng lalu rebahan di pantai sambil membenamkan diri dalam pasir yang di lubangi lalu masuk dan ditutup lagi sampai batas kepala. Dingin dan terapi yang sehat. Dan waktu terus bergulir tak bisa ditahan matahari mulai condong. Disaat itu malam ini sembari menatap bintang yang bertaburan. Segala tampak jernih. Tak berani main pasir. Terlalu dingin. Dan mungkin kotor untuk enggan membersihkan diri lagi. Makanya mendingan rebahan di balai-balai. Sambil menatap kejauhan. Dan menanti kantuk datang. Didekatnya ada kopi yang nikmat. Serta gorengan pisang. Nanti makan ikan bakar. Makan pelan-pelan. Sampai habis. Dan tiduran kembali. Hiroshi sudah bisa mengenakan selimut sendiri. Tak dibantu sama Wil. With Enemy 26 Pagi-pagi masih semangat aja. Langsung melihat semua jebakannya. Disungai, dihutan, di laut. Dapat ikan dan jebakan hutan berhasil menangkap ayam hutan. Lumayan. Kuat juga buatannya itu menangkap ayam liar. Ikan-ikan lumayan banyak dijemur. Kali ini sarapan daging ayam yang demikian saja dibakar. Setelah disembelih lalu dimasukkan ke api hingga hilang darah dan bulunya. Habis itu dibersihkan dan bagian dalamnya dibuang. Dan dibakar lagi. Hiroshi sudah bisa menggerakkan tangan dia bakalan mengunyah sendiri. Tapi kepanasan membuat dia menunggu dingin malahan diambili sama Wil. Kali ini tak ada kegiatan mencoba melatih hiroshi jalan saja. Perlahan di papah beberapa langkah berputar-putar hingga lumayan hafal. Dan memulihkan otot kaki. Agar tak terlampau tegang. Dan terhubung dengan otak syarafnya. Kemudian perlahan dilepas. Tapi selalu hampir ambruk, belum kuat. Maka kembali didudukkan ke teras panggung rumah sederhananya. Dan membiarkan istirahat. Dibuat kayu dengan ukuran seketiak dan ada cabang di ujungnya sebagai penopang. Alat ini bisa membatu si Hiroshi. Dalam melancarkan kesehatannya. Dan membiarkannya bisa mandiri lagi. Dengan membawa bambu runcingnya Wil masuk ke hutan hanya memasang jebakan dan mengambil buah yang ditemukan. Kali ini dapat pepaya saja yang sudah matang. Bisa buat membantu pencernaan. Dikupasnya buah itu dikasih didekat Hiroshi. Beberapa langsung diambil dan dimakan pelan-pelan. Tangan dan giginya mulai lancar. Terutama untuk yang lunak-lunak. Sambil membawa pepaya itu naik ke rumah pohon. Dan memakan diatas sembari memandang lautan lepas dan melihat siapa tahu ada kapal yang lewat. With Enemy 27 Sorenya mengambili ikan. Meneliti tiap perangkap yang sudah dipasangnya. Kini ditambahnya beberapa buah buat merangkap kalau ada binatang yang masuk jeratnya. Kemudian memasang perangkap dan menenteng buah yang didapat. Membawa Hiroshi ke sungai. Dia hanya memapah, tak perlu menggendongnya. Sambil melatih otot kakinya agar lebih kuat. Mandi sudah bisa sendiri. Meskipun pelan. Wil hanya menunggu ditepi sungai. Sambil santai, makan bakaran ikan. Ada hasil dari padi-padian liar. Lumayan buat tambahan karbohidrat yang membuat tubuh lebih hangat. Hiroshi duduk menatap laut yang menghitam. Wil hanya diam sambil main pasir yang hangat. Dimasukkan kakinya ke pasir itu setinggi mata kakinya. Main terapi alamiah. Hingga malam membuat semua lelap. Hiroshi merangkak sendiri ke dalam. Malam ini Wilhelmina justru tidur di teras luar. Sangat enak cuacanya. Hingga tanpa terasa sanggup membuat terlelap hingga pagi. Paginya aktifitas rutin. Ada ranting di sungai, dicoba diseret-seret. Siapa tahu bakalan ada makanan disana. Kalaupun tidak ada, nanti bisa dijemur. Lalu dijadikan bahan bakar yang lumayan untuk api unggun nanti malam. Benar ada kerang menyangkut. Langsung dibanting dan diambil isinya. Lumayan untuk dimasak dalam kuali. Dan dinikmati bareng. Setelah sarapan, kerang itu kemudian ditinggalkan. Wil masuk ke dalam hutan. Membawa bambu runcing buat menjolok buah jika ketemu. Sampai ke tempat rumput tumbuh subur. Terlihat disana ada rusa tengah sendirian. Merumput. Lumayan kalau dapat nanti. Makanya langsung main bidik. Dipanahnya. Kena. Rusa itu menjerit. Ke... ke.... Kemudian mencoba lari. Tapi terlalu berat lukanya demikian parah. Dan menembus bagian fitalnya. Membuatnya langsung roboh. Dan dibawa pulang. Sampai gubug langsung di kuliti. Kulitnya dijemur. Jeroannya diambil. Sisanya juga dijemur. Lalu memasak dalam kuali tanah. Buatannya yang kacau. Tak demikian bagus. With Enemy 28 Dicarinya si Hiroshi mau diajak makan tapi tak ada. Biasanya dia tergolek dalam gubug itu dan hanya detak nafas yang menemaninya. Hari ini sedikit beda. Dilihat pada pantai. Diantara debur ombak yang menggemuruh dan hamparan pasir nan luas. Hiroshi sedang berjalan tertatih-tatih. Dia tengah latihan jalan dengan tongkat kayu bercabang pada ketiaknya. Dilihatnya, tapi tak berusaha menjangkau. Hanya bisa menatap. Satu langkah, dua langkah. Bisa. Pelan sekali. Tertatih-tatih. Tapi tak jauh kemudian diam. Jalan lagi. Lalu jatuh berguling, Wil mengejar. Dia kawatir sekali. Didapatinya dan membangunkan si Hiroshi. Dipapahnya dan diambil tongkat bercabang itu. Kemudian dikasihkan lagi pada Hiroshi. Lalu didiamkan berdiri lagi. Sekian lama dan dibiarkan dia berlatih jalan lagi. Tertatih-tatih kembali. Hampir jatuh. Tapi kali ini langsung ditangkap. Sekian lama kegiatan ini dilakukan berulang kali. Hingga capek dan tak ingin melakukan lagi. Lalu dibawanya ke gubug. Buat mengaso. Makan bareng seadanya. Diambil daging dan dibiarkan tangan kaku Hiroshi memakan sendiri. Satu dua suap. Dan lama-lama habis makanan satu piring tanah liat itu. Kemudian dibiarkan istirahat. Dengan menggapai-gapai tempat buat istirahat dan tiduran. Sebagaimana biasa. Menanti sampai tenaga pulih dan nanti bakalan latihan jalan lagi. Dia sendiri naik ke gubug pohonnya. Meninggalkan Hiroshi, dia hanya menggumam barangkali dia bukan satu pahlawan. Hanya saja bantuan sederhana itu mungkin dapat berarti buat keterasingannya di pulau sunyi itu. Lalu tiduran barangkali bisa tidur betulan, sambil memandang laut yang indah membiru. Dan makan buah segar hasil mencari di hutan sambil garuk-garuk kepala. A a u u.. With Enemy 29 Hari-hari terus berlatih. Tanpa kenal lelah, tak mesti berputus asa. Terus menguatkan diri, tak bisa instan buat menguatkan otot-ototnya. Yang sudah kaku dan membiru. Agar bisa kembali lentur. Seirama dengan perintah otak pada setiap anggota badannya. Lambat laun mulai bisa jalan dan jaraknya panjang. Dari sekitar rumah lalu menjauh hingga pantai dan menyentuh riak-riak gelombangnya. Terus jalan sambil menyusur pantai. Jika lelah menggelosor dan membiarkan badannya basah oleh gelombang yang bercampur dengan keringat derasnya. Akibat melakukan pekerjaan berat. Meski demikian saja bagi orang tak mampu, tentu sangatlah berat. Berani sendiri melakukannya. Dalam melangkahkan kaki demi bisa merayap yang kembali keawal seperti bayi. Dan ini berarti merupakan kehidupan keduanya dalam hidup di dunia. Hanya kondisi inangnya yang berbeda. Hanya kalau ke sungai masih butuh teman. Takut tergelincir dan tak kuasa bangkit. Yang berakibat pada kesengsaraan yang dicipta sendiri nantinya. Waktu berjalan dan ada perobahan yang lumayan cepat. Mulai lepas tongkat. Dengan menyeret kaki diantara lembutnya pasir pantai Selangkah demi selangkah. Jalan pelan. Pelan sekali. Sampai tak kuasa berjalan. Kalau jatuh, merayap. Menjangkau titik yang ditempuh dan itulah tahap rencananya. Menuju satu titik sebagai patokan dalam melatih diri. Dari dekat, kemudian titiknya dibuat menjauh dalam tempo yang berbeda. Kini mulai dengan kondisi sendirinya dan tak perlu teman. Mesti sanggup berjuang sendirian. Bagaimanapun Wil mesti melakukan aktifitasnya sendiri guna menghidupi kesehariannya. Dan dia juga mesti sanggup bertahan dengan kesendiriannya. Wilhelmina sudah mulai terbiasa. Paling dia meninggalkan makanan yang telah dimasak. Dan minuman didekatnya lalu pergi. Mengantar ke sungai membawanya naik dan meninggalkannya. Masuk hutan menyusur sungai dan memasang jerat di laut sambil berperahu. Mencari apa-apa yang bisa dimakan guna bertahan dalam keterasingan yang misterius ini. With Enemy 30 Hiroshi mulai bisa membantu aktifitas sehari-hari. Meskipun pelan dan berhati-hati, namun jalannya sudah agak lancar, apalagi kalau memakai tongkat yang benar-benar menjadi kaki ketiga baginya. Wilhelmina kini yang justru mulai kurang aktifitasnya. Bahkan sesekali dia ngeledek si Hiroshi. Kadang ikan yang dia dapat tak dibagikan. Hanya ditaruh begitu saja. Membuat Hiroshi tak makan. Bukannya lalu menawari, Wil malahan memberikan makanan itu pada ikan sambil tertawa-tawa. Berikutnya, Wil mengambil burung yang terjebak di hutan. Lumayan ada burung berdaging yang bisa menjadi santapannya. Burung indah, bulu merah dan warna jingga, sayap hijau beruntai putih. Sungguh burung pujaan. Tapi karena lapar. Maka burung itu dijadikan santapan hari itu. Apalagi kondisinya sudah luka parah akibat terperangkap jebakannya. Hiroshi lalu membuat api dalam tungku dan Wil membersihkan burung tak seberapa besar itu ke sungai. Seperti biasa dibuatnya sebersih mungkin. Dan memanfaatkan bagian-bagian yang bisa diambil. Hanya kotorannya saja yang dibuang. Usus dan jeroan lain sebisa mungkin dicuci untuk tetap dimanfaatkan. Nanti bisa dijadikan sop jeroan. Begitu nikmat rasanya. Lalu dipanggang bagian yang banyak dagingnya. Ditusuk pakai kayu dan Hiroshi membolak-balik daging itu sampai matang sembari dikasih bumbu seadanya. Sementara yang tak ada dagingnya dimasak dengan kuah. Supaya bisa buat penyegar kalau menikmatinya. Apalagi kalau di makan dengan nasi yang padinya dipetik dari sawah liarnya itu. Bisa jadi santapan nikmat. Dinikmati makanan itu berdua saja. Dibagi rata yang terus dikunyah pelan-pelan. Hiroshi memakannya dengan lahap. Sebagai tambahan tenaganya yang mulai pulih. Sehabis makan Wil memeriksa kembali jebakan di laut, diteliti dengan saksama dan dibenahi. Siapa tahu sudah ada ikan yang terjebak atau kalau belum dan posisinya tak benar, bakalan dibenahi agar maksimal perolehannya nanti. Demikian juga di sungai. Hiroshi sudah bisa mencuci piring yang habis dipakai. Meskipun kadang masih sedikit kotor. Misalkan ada bekas abu atau pasir yang menempel pada piring bekas tempat makanan dan jadi bahan ejekan si Wil. Benar-benar dunia terbalik. Dimana lelaki yang mengerjakan pekerjaan cewek, sementara si Wil harus bekerja keras mencari nafkah, agar tercukupi kesehariannya. With Enemy 31 Malam ini cuma duduk-duduk saja di teras. Cuaca nampaknya sedang galau, tak mengenakkan. Kelihatannya, bakalan ada suatu hal yang bisa membuat bencana. Hujan turun dengan derasnya. Datangnya sangat cepat. Udara menjadi bertambah dingin dan air mulai membasahi sisi-sisi gubug. Disamping atapnya yang sudah melelehkan air hujan itu. Belum mengantuk meskipun hujan deras. Makanya cuma bersandar pada tiang bambu dimana tak basah. Atapnya sanggup melindungi namun begitu Wil bersiap-siap kalau-kalau gelombang besar kembali datang. Dia bakalan membawa Hiroshi ke atas pohon. Di gubug yang lumayan melindungi. Angin kencang, cuaca berubah sangat cepat, daun-daun berkerosak. Hawa dingin, semakin dingin. Hiroshi mengerang, tengkuknya sakit. Rasa dingin itu, seakan menembus dalam tulang yang membuat semakin ngilu. Lukanya sewaktu-waktu kambuh, kalau cuaca tak bersahabat begini. Wil berusaha menghangatkan orang tua itu. Baik dengan obat-obatan dari daunan hutan maupun dari air rebusan yang ditempatkan pada suatu wadah hingga bagian luarnya terpakai. Agar terasa hangat. Jika disentuhkan pada bagian yang luka itu. Setelahnya membiarkan berbaring di dalam gubug, sembari diselimuti dengan berlapis-lapis, agar lebih hangat. Sekaligus menurunkan rasa sakit yang kini dideritanya. Luka itu belum sepenuhnya sembuh. Maklum luka dalam dan bakalan semakin parah kalau dibiarkan kembali tanpa pengobatan. Meskipun bukan satu obat manjur, dengan perlakuan baik, lama-lama dapat juga meringankan rasa lara yang melanda itu. Lama kelamaan Hiroshi bisa terlelap. Dibawah guyuran hujan deras dan angin yang terus bertiup menggoyang pohon-pohon lebat yang menimbulkan suara aneh. Wil pun tertidur sembari berselimut kulit binatang yang ditumpuk-tumpuk jadi penghangat alami dan sanggup mengatasi ganasnya alam di pulau misterius itu. With Enemy 32 Pagi-pagi Hiroshi terbangun dan dengan tertatih-tatih dia segera mengambil air dingin yang lalu diminum dan diraupkan ke muka. ‘Segar’ katanya puas. “Kau habiskan!” kata Wil memandang hal demikian. “Heeh.” Si Wil melihat itu dan tidak menyukainya. Hiroshi hanya diam. Wil berpaling sambil ngomel. Mendingan dia meneliti jebakan. Siapa tahu ada yang terperangkap disana. Kemudian jalan-jalan meneliti hutan. Disini Wil melihat jambu yang kemudian dipetik pakai bambu runcingnya. Maklum lagi malas manjat memanjat. Dan dengan menggunakan itu, lebih memudahkan pekerjaan, apalagi jaraknya lumayan tinggi dan jauh letaknya berada di ranting kecil. Kalau diinjak bakalan patah dan bisa-bisa dirinya yang nanti menggantung di bibir jurang. Lumayan buat dimakan berdua. Segenggaman buah-buahan yang didapat itu kemudian ditaruh dibajunya. Kalau dipegang pakai tangan tak cukup. Juga lebih nyaman jika melakukannya demikian. Hiroshi berjalan tertatih-tatih serta berusaha lepas tongkat. Kakinya mulai kuat, tulangnya terhubung lagi dan syarafnya mulai bisa memerintah pada segenap organ dan ototnya bisa difungsikan sebagaimana biasanya. Hiroshi pergi ke laut. Dia membantu melihat-lihat jebakan. Dalam perangkap milik Wil, ada kepiting yang didapat. Lumayan besar. Tapi dia ragu-ragu dalam melakukannya, takut terkena capit dan bisa luka. Makanya tindakannya mesti ekstra hati-hati. Setelah bisa mengatasinya, lalu dibawa ke gubug. Berikutnya direbus yang nanti bakalan dimakan. Merebusnya dalam kuali tanah liat dengan mengasih air lumayan banyak sebagai kuah, agar sarinya bisa buat penyegar. Selain itu lebih mudah ditelan. Maklum kalau waktu lain tidak dapat bakalan kecewa dan perutnya merana. Setelah makan, Wil mainan pasir di laut, sementara Hiroshi terus berlatih jalan. Kakinya diseret-seret diantara pasir yang membekas panjang. Terasa sulit tapi terus berusaha semampunya. Lumayan capek namun nyaman. Sampai senja melakukan hal yang demikian saja. Barulah beberes kala matahari tenggelam sekaligus membersihkan diri. Hiroshi sudah bisa melakukannya sendiri, meskipun masih sangat pelan dan jalannya merayap-rayap, seperti kepiting yang baru saja masuk ke perut mereka. With Enemy 33 Pagi datang seiring suara kokok ayam kalau di perkotaan. Tapi disitu tak ada. Yang ada kokok ayam hutan. Sepi. Hiroshi sudah bangun dengan pelan dikerjakan semua kepentingan rumah. Sementara Wilhelmina meneliti jebakannya. Jika sudah dilihat maka di betulkan kembali. Kali ini lebih tertata karena rumah sudah ada Hiroshi yang sudah mulai normal segalanya. Meskipun belum sempurna. Setidaknya sudah dapat diandalkan kinerjanya. Kali ini hanya mendapat kepiting. Jebakan laut lumayan. Yang lain tak ada satu nyawapun yang terperangkap disana untuk memenuhi perut yang tengah kelaparan. Langsung dimasak Hiroshi. Dibersihkan saja, lalu diberi bumbu-bumbu penyedap dan direbus untuk menjadi kuah sebagai penyegar. Adanya hanya itu. Lumayan. Dimakan berdua. Dibagi sama banyak. Tak seberapa kenyang. Makanya kuah sebagai tambahan untuk penuh-penuh perut. Hingga antob, sendawa. Ditambah buah buahan hasil kemarin yang kini sudah mulai masak. Daripada nganggur Hiroshi mainan ditepi sungai. Membuat gerabah. Jalannya masih tertatih-tatih. Namun berusaha lepas tongkat sebagai kuat-kuat tulang kakinya. Batu yang bulat ditumpuk pada batu lain kemudian tanah diputar pelan-pelan. Maka jadi bentukan guna memuat sesuai keinginan. Tiap putaran sambil mencelup dalam air. Hingga tetap basah dan mudah dibentuk. Lama kelamaan menjadi bentuk perabot yang sesuai demi kepentingannya. Kali ini jadi kuali basah. Makanya dijemur. Supaya air menghilang secara pelan dan tak terlampau cepat. Mengeringnya merata sempurna. Dan dapat digunakan meskipun belum dibakar. Tapi bakalan lebih sempurna kalau dibakar dan lebih kuat hasilnya. Setelah mengering dibakar pelan-pelan. Dalam tumpukan kayu-kayu dan daunan hingga membuat tanah kering itu semakin keras dan dapat difungsikan dengan sempurna. Jadilah. Dan langsung dipakai untuk mengambil air dari sungai yang jernih dan terus menerus mengalirkan airnya yang meluncur dari hutan. With Enemy 34 Malamnya setelah makan mereka duduk sambil mengelilingi api unggun. Berdua. Sebagai penghangat diantara desau angin laut yang demikian dingin. Hiroshi memboreh ramuan dedaunan agar kakinya lebih kuat serta gumpalan aneh ditengkuknya bertambah normal. Jaga penghangat tubuh agar stabil. Sambil makan ubi dan nyeruput kopi. Tangan Hiroshi terus memijit-mijit bagian yang demikian sakit. Hingga terasa nyaman dan sedikit melemaskan urat yang kaku-kaku. Malam larut dan mereka tidur. Membiarkan gubug membisu dan benda-benda langit bergerak seirama nafasnya yang terus bergerak tanpa ikatan. Paginya Wil masuk hutan, dia memakai sepatu Hiroshi. Membawa panah dan pisau sabuk. Mencari sesuatu untuk digunakan hari ini. Hiroshi membuat berbagai gerabah. Dia menuju tepi sungai. Dimana banyak tanah yang tak demikian keras guna dibentuk menjadi benda-benda keperluan dapur. Dan mulai bisa membantu mengambili bubu disungai juga pantai. Siapa tahu ada ikan yang bersarang didalamnya. Lalu diambil. Tapi yang dihutan belum berani. Masih takut tergelincir. Jalanan lumayan banyak rintangan. Kalau tergelincir bakalan mengulang dari awal lagi proses penyembuhannya. Dengan telaten dibuat berbagai macam gerabah. Piring, gelas, kuali juga penggorengan dari tanah. Buat menggoreng bebijian tanpa minyak yang bisa lebih mengering. Untuk bikin kopi atau garam maka bakalan memudahkan pekerjaan. Hingga banyak yang dibuat sedangkan Wil cuma dapat buah-buahan. Hewan tak dapat pada lari dan tak menjumpai satupun. With Enemy 35 Pagi itu Wil mengajak Hiroshi masuk hutan karena merasa si Jepang sudah mulai bisa jalan dan sudah bisa tak memakai tongkat. Wil membawa panah sedangkan Hiroshi memakai bambu runcing buat tongkat. Juga nanti dipakai buat menusuk musuh hingga perutnya terburai. Kalau kebetulan menemukan buruan di jalan. Hiroshi pakai sepatu sedangkan Wilhelmina jalan biasa tanpa alas. Dengan demikian hiroshi lebih nyaman kalau melewati jalanan tak rata. Masuk hutan pelan-pelan. Namun Jalan licin dan Hiroshi tergelincir. Hampir saja masuk jurang untung ditangkap, kemudian dipapah Wil. Mesti hati-hati. Sampai di ladang rumput tempat perburuan. Wil hampir tak membuat gerakan, supaya langkahnya tak menimbulkan suara berisik yang akibatnya membuat buruan kabur sebelum ada yang tertangkap. Benar saja banyak rusa di ladang rumput tersebut. Mereka tengah asik merumput. Tanpa menghiraukan bahaya disekitarnya yang sedang mengintai. Wil menyuruh Hiroshi diam. Tangannya memberi kode. Lalu mempersiapkan senjata. Panah siap dibusurnya lalu mendekat pelan-pelan. Kemudian membidik salah satunya. Pelan-pelan dilepaskan setelah benar-benar yakin akan incarannya. Kena. Rusa kecil menjerit. Panah bambu itu menancap di tubuhnya lumayan dalam. Gerakan kuat dalam jarak dekat itu mampu membuat panah sederhana tersebut menembus kulit binatang itu. Hal ini membuat terkejut para binantang yang langsung lari lintang pukang. Sedangkan yang terkena panah mencoba berlari. Namun kesulitan. Darah deras mengucur. Dan rasa sakit demikian parah. Membuat langkahnya tersendat dan tak jauh meninggalkan tempat itu. Akhirnya roboh. Bergegas didekati rusa kecil itu. Lalu disembelih guna memastikan binatang itu sudah mati. Mereka pulang sembari membawa binatang buruan. With Enemy 36 Perjalanan pulang tak terlampau lama mungkin karena rasanya senang mendapat rejeki serta makanan untuk hari itu. Jadi jalannya agak cepat juga agak lancar karena sudah terlewati sebelumnya. Sampai sungai lalu dibersihkan. Wilhelmina memasak daging dan Hiroshi lebih suka mengurusi kulit. Daging itu seperti biasa cuma direbus dikasih bermacam bumbu dan menjadi kuah kental yang nikmat. Dibersihkan kulit itu rencana mau dipakai buat membikin pakaian. Atau peralatan lain buat keseharian bisa jadi tas dompet atau sepatu dari kulit rusa. Menunggu hingga kering mereka makan daging itu. Tapi keringnya bisa berhari-hari perlu dibolak-balik nanti kalau kering sekali bakalan dilemesin, dipukul-pukul. Dilukis dijadikan sesuai perencanaan yang bagus. Dibentuk baju hangat lumayan anget, jaket kulit. Diikat pakai tali tumbuhan hutan, bisa juga dari pelepah pisang kering yang dijalin jadi tali. Lumayan kuat juga. Setelah jadi jaket maka ada pekerjaan lain mencari kapas di hutan. Lalu dibentuk pakaian pemintalan. Tak banyak sih tapi lumayan bisa buat beberapa kain. Jadi baju bagus. Mulai dari memilin-milin kapas itu secara pelan hingga menjuntai jadi benang lalu dihubung-hubungkan secara bagus. Tak bisa hanya sesaat mesti butuh waktu berhari-hari dan itu perlu ketelitian serta ketahanan. Dan tak mudah jenuh. Mungkin memang awalnya dari militer jadi apa-apa bisa ditangani. Meskipun kekuatan fisiknya belum sempurna, tapi sudah bisa menghasilkan. Jadi celana lembut enak apaan ngarang beneran berhasil. With Enemy 37 Pagi-pagi Wil bangun. lumayan puas dia tidur didalam. Dan Hiroshi sudah bisa tidur diluar gubug. Mungkin lain kali gubug itu diperluas. Hingga ada ruang buat berbagai keperluan. Sepi.. Tak terlihat batang hidung si Hiroshi. Kemana dia? Selama ini orang itu hanya tergolek dan tak bisa beranjak jauh. Makanya dia selalu melihat kalau pertama kali memuka mata. Kali aja ke sungai, ke laut atau ke hutan. Kesembuhannya terus membaik. Sudah bisa lepas tongkat. Bisa jalan lari. Bahkan pandai melakukan pekerjaan. Hampir sembuh total. Mendingan dia bersih-bersih dapur atau masak. Daripada memikirkan hal yang belum tentu sesuai dengan perkiraan. Hingga hanya menjadi adegan suujon yang tak perlu. Tapi semua sudah bersih. Sudah matang. Hiroshi sudah masak nasi. Mendingan dia membuat lauk sayur goreng daging. Itu yang belum kepikiran sama Hiroshi atau waktu sudah beranjak siang, jadi dia keburu untuk melakukan usaha yang mesti dilakukan secepat mungkin. Sudah beres. Semua. Bikin sop ala hutan. Bikin goreng daging pakai minyak buatan sendiri. Semua bisa dilakukan. Sudah siap. Tapi si Hiroshi tak muncul-muncul. Sekian lama dia menunggu sembari minum kopi dan sarapan. Tapi tak juga kelihatan. Baru terlihat setelah siangan. Keluar dari hutan. Dia membawa buruan dipundaknya. Darah masih menetes. Mengotori pundaknya yang hanya mengenakan baju kulit, rakitannya sendiri. Wil membuatkan minuman juga menyajikan makanan yang memang sudah matang dan mulai dingin. Hanya tinggal memanaskan sebentar, sudah nikmat. Hiroshi makan dengan lahap. Keduanya lalu menangani buruan. Keduanya saling bantu. Hingga cepat pekerjaan. Dikuliti dipotong-potong. Dicuci. Beres. Seperti biasa, sebagian dimasak dan sisanya yang banyak itu dijemur. Dijadikan dendeng buat lain waktu. With Enemy 38 Mungkin kali ini bikin gubug untuk lebih kokoh. Juga kalau malam tak terlampau dingin juga bila ada hujan, bakalan bisa melindungi. Hiroshi memperkokoh gubug itu hanya dengan menambah pilarnya dari beerapa bambu yang diikat jadi satu untuk menjadi tiang inti. Terlalu sempit rasanya. Apalagi kini Hiroshi selalu tidur diluar yang bisa jadi kedinginan kala banyak angin. Atau terlampau gatal bila ada nyamuk yang menyerbu. Wil memasak hingga matang. Sedari tadi dia mengambil air, menanak nasi mematangkan hingga membuat sayur seadanya daging kering juga menggoreng jagung kering. Tapi kopi habis. Dicarinya si Hiroshi, tak terlihat. Sedari pagi belum sarapan. Entah dimana dia kini berada. Nanti bakalan diajak makan bareng. Baru tampak dipantai dia lagi asik mainan pasir. Ada gundukan ada lubang dan Hiroshi terus saja mengeduk pasir hingga membentuk gundukan. “Ngapain lu! Tua- tua juga mainan pasir,” katanya sambil melempar Hiroshi pakai pasir. Dan telak mengenai punggung. Hiroshi diam saja. Seakan tak tahu apa yang mesti diperbuat. “Kerja! Mainan pasir aja lu!” katanya terus mengomel. Tangannya dengan mengambili pasir dan terus melempari si Jepang itu dengan pasir yang memedihkan mata. “Kalau tak pergi, bakalan ku....” Hep! Pasir tepat di mulutnya. Hiroshi sudah tak tahan dengan semua ini. Kesabaran ternyata ada batasnya. Dia risih dengan kata-kata yang terus meluncur. Dari mulut bawel si cewek. Makanya dia melempar pasir. Hingga berhasil membungkam mulut cewek Belanda itu. “Ngelawan lu!” kata si Wil sembari terus melempar pasir. Tapi si Hiroshi bukannya berhenti malahan terus membalas. Terjadi perang tanding yang sangat mengerikan, antara Jepang dan Belanda. Lempar melempar pasir. Dan baru berhenti setelah keduanya capek. Menggelosor di pasir dengan tubuh penuh noda dan kotoran. Setelah puas istirahat, keduanya membasuh muka di pantai dengan air asin. Lumayan segar terutama si hiroshi dengan tubuh yang sudah berlumur peluh. Sedari tadi sudah mengeduk pasir. Hirosi melanjutkan kegiatannya. Wil melihat saja. Hiroshi terus membuat lubang pada pasir itu. Hingga dalam semeter lebih. Kemudian diambil tempat dari tanah liat buatan si Wil. Dibuat disamping gubug lama. Biar masih ada tempat berteduh sambil menunggu rumah baru selesai. Perencanaan baru mencari bahan bahan yang lumayan bagus buat With Enemy 39 Besok mencari lagi dengan lubang yang berbeda. Atau meneruskan tapi menggeser posisi lubang. Sebenarnya kalau menggali lebih dalam mungkin masih ada bijih yang ditemukan. Tapi karena lebih berat dan kemungkinan bakalan beresiko pada keselamatan, maka lebih baik mencari di lain tempat. Asal menemukan tapi tak mencelakakan. Lumayan dalam dicari pasir dengan berat yang paling berat pakai air. Air dimasukkan ke kuali lalu dikopyak-kopyak hingga yang bagian atas yang paling ringan. Dibuang air tersisa pasir-pasir yang tenggelam di bawah sendiri. Dan dipaling bawah yang terberat pasir hitam mengandung besi. Jumlahnya tak banyak. Baklan tak menjangkau angka 10 persen. Paling bawah diambil. Warnanya kehitaman. Itupun masih campur pasir pantai yang tak mengandung besi. Nanti masih perlu disaring lagi agar benar-benar hanya besi yang ada. Dia nyari bijih besi buat membikin peralatan yang lebih kuat dari yang sebelumnya sudah jadi. Hingga pekerjaan menjadi semakin komplek yang dapat dilakukan. Sangat sulit karena bijih besi itu tak banyak. Sangat sedikit. Daerah itu benar-benar bukan penghasil besi. Hanya lumayan ada yang bisa didapat. Mesti telaten. Seharian cuma mendapat sedikit. Sebatok saja tak ada. Satu berat yang tak standar. Tak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Itu juga bercampur dengan pasir biasa. Dapet sebatok di saring lagi. Dipilih-pilih lagi. Ada pasir langsung dibuang hingga dapetnya bertambah sedikit. Namun kadar besinya semakin baik. Terus disaring hingga hasil maksimal. Karena tanpa peralatan sungguh sangat sulit mencari bijih besi berkualitas. Dengan peralatan saja terkadang masih ada kurangnya. Malam datang, aktifitas dihentikan mesti istirahat, guna memulihkan tenaga hingga besok dapat kerja lagi dan mencapai apa yang menjadi target harian mereka. Lagipula kalau malam terlampau gelap. Tanpa penerangan yang memadai. Dan bahaya tentu saja semakin rawan buat mereka. Tidur bertambah nyenyak karena rasa capek yang demikian hebat dan luka ditengkuk Hiroshi mulai kambuh lagi. Karena belum sembuh total sudah mesti berkerja berat. Tapi dengan istirahat semalaman menjadi kembali normal. With Enemy 40 Esoknya, benar, membuat lubang. Hanya dengan peralatan sederhana. Mulai dari mengorek-ngorek pakai kayu atau tangannya. Agar semakin gembur terutama pasir yang terpadatkan oleh tekanan pasir diatasnya. Atau oleh percampuran dan lengket oleh air laut. Dari pagi- pagi sudah melakukan usaha ini. Dan terus mencari hingga mendapat banyak bijih. Dari lubang itu digeser ke sebelahnya. Supaya tidak mulai dari awal lagi yang membuat pekerjaan sulit. Setelah dapat lumayan banyak yang sekiranya sudah cukup untuk membuat satu bentukan benda. Digodog dengan kayu bakar yang banyak terdapat di hutan. Kayu terus ditambah agar panasnya benar-benar maksimal hingga dapat meleburkan pasir-pasir mengandung besi itu. Bagaimanapun panas untuk meluluhkan besi bakalan lebih kuat dari kuali tanah liat. Nanti kemungkinan bakalan hancur itu kuali. Hingga mencair dan membaur dengan tanah liat. Hasilnya nanti menjadi besi walau bukan yang terbaik kualitasnya. Karena memang bukan dari pantai penghasil besi. Setidaknya dapat buat membuat barang dari besi itu. Terus dibuat panas meleleh dan kuali pecah sebelum pecah bawahnya ditahan pakai kuali tanah lagi begitu terus. Hingga lelehan membentuk bagian dasar kuali. Benda cair akan mengikuti bentuk yang menjadi tempatnya. Barulah didinginkan pelan-pelan lewat pendinginan udara supaya sel-sel besinya lebih rapat. Dan ini bakalan menjadi hasil yang lebih maksimal. Jika dibandingkan dengan pendinginan kejut. Misalkan dimasukkan ke air atau es. Memang lebih cepat tapi kualitasnya tentu saja menjadi berkurang. Pakai kuali tanah liat karena memang hanya itu yang ada. Semestinya menggunakan semacam tempat dari besi yang ketahanannya lebih bagus dari yang bakalan dibuat meleleh. Logikanya besi lebih kuat dari tanah. Maka bisa jadi tanah akan lebih dulu meleleh dari yang diharapkan mencair menjadi besi. Setelah dingin kuali dipecah terjadi bentukan besi tak teratur. Bagian bawah mengikuti kuali yang kecampuran kuali itu sendiri dan atasnya rata namun tak halus. Ada semacam gelembung dan pasir-pasir yang masih keras. Sebisa mungkin dibesihkan dipisahkan dari besi murninya. Habis itu dibakar lagi dengan bentukan yang nanti mau dibikin senjata golok. With Enemy 41 Membuat semacam tungku kuat. Bagian dalam dari tanah Lalu dikuatkan dengan pasir dan ditahan batuan. Terus ditimpa pasir lagi. Sangat kuat. Menyalakan kayu lagi dengan suhu tinggi. Besi dimasukkan lagi pakai kayu jika kayu habis dengan bambu, terus berganti-ganti. Sudah panas dipukul-pukul, dimasukkan lagi sampai meleleh. Dengan dijepit kayu atau bambu. Lalu dipukul-pukul lagi, hingga membentuk sesuai yang diinginkan. Semakin lama besi membentuk satu bentukan memanjang sekitar 30 cm, dengan gagang kecil sekitar 5 cm. Maklum bijih besi dapatnya cuma segitu. Didinginkan lagi dengan air. Panas-panas langsung dicelup ke air. Dilakukan berulang-ulang. Sampai benar-benar dingin dengan pendinginan cepat itu. Habis itu dibakar lagi dengan bentukan yang nanti mau dibikin golok. Sangat diperlukan untuk keperluan sehari-hari maklum sejauh ini melakukan kegiatan sehari-hari hanya pakai pisau gesper. Atau bebatuan alam. Kemudian dipukul-pukul dan diasah dengan batu sambil mencelup ke air. Supaya lebih licin. Dan gesekan antar batu dan besi maksimal. Hingga pengikisannya langsung terbuang. Tanpa mengganggu gesekan yang justru bagian terbuang itu yang tergesek-gesek. Terus, terus dan terus dengan hasil yang lumayan rapi. Gosok-gosok, celup dan diteliti bagian yang dikehendaki. Dalam proses pengasahan. Satu sisi sudah menjadi bentukan tajam dengan sudut yang melebihi 0,01 derajat. Benar-benar tajam. Lagian halus bisa buat memotong kertas kalau di uji coba. Sudah jadi golok tajam. Dengan ujung sedikit melengkung. Maklum biasa pegang katana samurai. Lalu istirahat dan makan sama minum buatan Wil yang lumayan buat pengisi perut. With Enemy 42 Tinggal membuat gagang. Dicari kayu agar tak banyak yang mesti dibuang. Dipilih yang sudah mirip dan kuat. Supaya tak lapuk dimakan rayap. Dibuat pendek dengan serutan halus pakai pisau buatan tadi. Diberi lubang untuk gagang golok. Dimasukkan sangat tepat. Kalau ada sela, maka dipasak pakai kayu hingga betul-betul kuat. Pinggirannya diikat. Jadilah gagang yang indah. Wil masih sayang dengan pisau sabuk yang selama ini membantunya. Meskipun sudah ada golok besi yang begitu bagus dan tajam buatan Hiroshi. Maka dia minta Hiroshi membuatkan gagang. Dipakainya tanduk rusa yang kebetulan masih ada. “Bikinin cepet, kalau enggak gue cekik lu,” kata Wil mengancam Hiroshi. Tangannya mencekik leher Jepang itu. Hiroshi hanya diam. Perempuan itu memang kadang aneh. Kadang emosinya meledak-ledak. Mungkin memang kehidupan kerasnya yang membuatnya tak stabil. Atau pengalaman buruknya dahulu yang mesti membawa memori tak sadar itu pada kehidupan kini. Yang jelas, bagi Hiroshi perempuan itu sudah seperti ibunya. Dia yang merawat disaat dirinya sekarat. Dan nafas tinggal di ujung hidung. Pikirnya itu yang membuatnya hidup untuk kedua kalinya. Kalau tak ada anak perempuan itu, barangkali dia tak pernah ada kini. Tak bisa kembali ke Jepang untuk berkumpul kembali dengan anak istrinya kelak. Hiroshi ngeloyor sembari membawa pisau aneh itu. Dibawanya ke sungai. Wil mengikutinya. Gesper di bentuk ulang. Diasah. Dipukul-pukul. Dibuat sebagus mungkin. Tanduk tinggal pasang dan hanya sedikit membentuk maka jadilah gagang yang cantik dan pisau yang sangat indah. Kini gesper sudah tak berbentuk. Istirahat malam ini. Langsung tidur kecapekan kali. Hiroshi tiduran di teras sembari bersandar pada ujung pondok yang terbuat dari jalinan beberapa bambu. Wil melempar selimut ke Hiroshi. Hiroshi membiarkannya saja selimut itu terhampar. Dia hanya asik makan umbi dan minum kopi. Esoknya berusaha mencari bijih lagi. Untuk membuat peralatan yang lebih permanen. Mau membentuk peralatan menggali lubang. Menutup lubang barulah setelah. Meneliti jebakan dan lumayan mendapat hasil. Jebakan itu ada yang terperangkap kali ini. Pola pikirnya semakin berkembang. Mungkin mau membuat wajan penggorengan. Buat memasak agar lebih mudah cuma bijihnya yang mesti banyak yang didapat. With Enemy 43 Sejak itu banyak barang yang dibuat dari besi. Perkakas dapur. Macam penggorengan, juga kuali. Alat berburu, macem panah, tombak, tentu saja bagian mata panahnya. Dan ujung tombaknya saja yang pakai besi. Pagi ini Hiroshi menghilang masuk hutan, membawa pisau dan panah yang ujungnya dari besi. Dia bakalan berburu sendirian. Wil memasak dan mencuci. Menggunakan pisau indah dari gesper. Barulah jumpa Hiroshi pada waktu tengah hari. Sambil menenteng hewan buruan yang lumayan besar. Wilhelmina segera menyuci dan memberesi hasil buruan hari itu. Dia ke sungai dan memotong dagingnya kemudian dikerat-kerat. Dipotong pendek-pendek. Agar cepat matang. Setelah makan dan minum air putih Hiroshi balik kembali ke sungai dan menguliti hasil buruannya. Memberesi daging sisa. Yang sudah diambil sama wil secara acak. Sisanya dibikin dendeng. Kalau dimasak semua sudah pasti tak akan habis. Terlampau banyak jika hanya dimakan berdua saja. Lagian kalau masak sendiri tak bakalan habis banyak. Asal kenyang sudah cukup. Dendeng yang lama dan mengeras dipakai buat umpan. Tak harus dibuang semua. Sayang. Baik pada bubu maupun pancing di laut. Hiroshi terus menjemur kulit. Meskipun jika dimasak juga enak tapi lebih bagus kalau dimanfaatkan buat keperluan lain toh dagingnya juga banyak. Sudah lebih dari cukup jika hanya untuk dimakan sehari-hari. Sekarang pakaian dari kulit sudah lumayan banyak. Bisa buat ganti-ganti. Hanya untuk bagian dalam yang kurang nyaman. Kurang lembut. Terkadang kulit yang mengering dibuat sandal atau sepatu. Biar Wil juga punya. Sepatu kulit yang mahal harganya. Tapi tak membuat dompet kulit. Karena tak ada uang buat dimasukkan ke dalamnya. Paling tas kulit baru yang elok. Dipakai untuk tempat barang. With Enemy 44 Kini saat mendirikan bangunan diantara kayu-kayu yang telah terkumpul namun belum sempat didirikan. Belum sempat kini pakai kapak kecil bakalan dilanjutkan Pembuatan rumah yang lebih kokoh. Kayu-kayu kuat itu dibuat lumayan kokoh hanya empat pilar berukuran 6 x 6 lumayan besar. Tingginya hanya dua meter. Bagian atasnya kemudian dikasih palang kayu juga sepanjang delapan meter. Masing-masing melintang dengan satu meter menjorok ke sisi masing-masing luarnya. Bagian tengahnya dikasih semacam tiang pendek yang melintang. Sebagai bagian tonjolan yang menyerupai gunung fungsinya untuk membuang air kala hujan deras turun. Hingga membelah dan tak terkumpul di atap yang mengakibatkan runtuhnya bagian tersebut atau merembes dan cepat bocor. Atapnya dibuat dari alang-alang kering yang dijepit pakai bambu dan dipasang bertumpuk-tumpuk secara menurun. Agar ujungnya tak rembes air kala hujan maka salah satunya dibuat menonjol atau ditekuk sehingga ujung itu tak rembes air. Dindingnya pakai kayu-kayu yang dibelah lumayan rapi. Tapi membuatnya lama. Kapak mesti sering diasah. Dan keduanya bahu membahu saling bantu gitu. Hiroshi dengan tekunnya dan Wil terkadang memasak sekedarnya supaya tak sampai kelaparan. Hingga tenaga yang diperlukan terus maksimal. Agar lebih aman pakai panggung supaya binatang malam atau ular berbisa tak bisa langsung masuk. Bagian bawah itu dibuat melintang lagi. Setinggi sekitar setengah meter. Dengan bagian tengahnya dikasih penahan dari kayu utuh sebagai penguat. Seperti biasa bagian depan dikasih teras. Dipakai tambahan tempat buat semua itu dengan ukuran dua meter kali panjang rumah sekitar enam meteran. Hanya melanjutkan papan di rumah itu. Atapnya juga ditambahkan sepanjang itu. Jadilah rumah kecil yang kuat. Setidaknya untuk menahan hujan dan angin malam. Rumah kayu dengan dinding dari papan yang kuat. Dan terasnya nyaman untuk dijadikan tempat berantai Juga tak terlampau dingin karena ada panggungnya. Meskipun pendek saja. With Enemy 45 Jadilah rumah kecil yang kuat. Setidaknya untuk menahan hujan dan angin malam. Rumah kayu dengan dinding dari papan yang kuat. Dan terasnya nyaman untuk dijadikan tempat bersantai juga tak terlampau dingin karena ada panggungnya. Meskipun pendek saja. Ini merupakan rumah ketiga. Disebutnya rumah inti. Buat istirahat juga buat makan. Yang dua itu gubug kecil. Satu buat dapur. Dan satu lagi buat jagal. Kalau-kalau ada buruan yang tertangkap. Nanti bakalan diiris-iris, dipotong-potong. Sisanya dimasukkan lubang. Dipendam. Atau dibuang ke sungai. Musim berubah waktu berganti Dan bencana datang lagi. Tanpa rencana dan tak ingin terjadi. Namun datang begitu saja tanpa diundang tanpa diantar. Malam belum lama berlalu, makan belum lupa. Tapi aneh. Cuaca menyeramkan. Sepertinya bakal ada badai. Mengulang kejadian beberapa waktu yang telah terlewati. Angin bertiup. Gerimis mulai turun. Dan bersantai. Wil mulai tiduran dan Hiroshi duduk bersandar di dinding kayu pada satu pojokan ruang. Keduanya berfirasat bakal ada bencana besar. Makanya segala peralatan disimpan baik-baik atau diikat kuat-kuat pada papan yang sekiranya kuat menahan bencana. Keduanya kawatir, air terus meninggi bahkan menarik beberapa benda yang ada dirumah tinggal tersebut. Atau pada gubug tak berkunci yang demikian mudah diserobot masuk oleh air deras tersebut. Hujan deras turun. Diiringi gemuruh angin meniup daun-daun. Laut menggelora kembali menyeret gelombang yang lebih tinggi dari ombak. Air mulai masuk. Sangat cepat, cipratannya menyentuh atas lantai papan. Hingga basah keduanya tak bisa tidur dan mulai cemas. Supaya tak terlalu mengkhawatirkan keduanya keluar mencari tempat tinggi ke atas pohon seperti dulu. Meninggalkan segalanya. Kalau telah surut nanti bakalan dicari kembali. Bergegas keduanya naik pohon dimana ada gubug yang telah rusak. Lama tak difungsikan dan kini dipakai kembali sebagai keadaan darurat. Atap yang bocor ditata lagi ditumpuk supaya bisa meindungi. Terutama si Wil yang cewek. Keduanya langsung basah kuyup. Hiroshi ikut berteduh setelah merasa ada ruang disamping Wil dan dibawah payungan atap yang rusak itu. Mereka berteduh, sampai semuanya reda air surut. Dan cuaca tenang. Dalam posisi demikian, keduanya menghindari air hujan. Agar tak menggigil. Meski begitu bibir mereka mulai berubah. Membiru. Dinginnya air dan lingkungan membuat demikian. Tapi hampir semalaman mereka disitu. With Enemy 46 Lama berada di pohon tengkuk Hiroshi yang masih benjol merasa lumayan sakit, gara-gara rasa dingin yang bikin menggigil. Hujan sebelumnya sedikit banyak membawa perubahan suhu di alam sekitarnya. Air deras yang turun mampu mengalahkan, suhu tanah yang sebelumnya hangat, menjadi turun beberapa derajat. Hal ini membawa mahluk yang diatasnya, turut merasakan imbasnya. Suhu luar yang dingin, justru membuat badan lebih hangat, bahkan panas, sebagai perlawanan, supaya tercipta kestabilan akan kesehatannya. Dan bakalan terus bertambah panas, andai tak ada penetralnya. Manusia mengetahui akan hal ini. Makanya mereka mencari benda yang bisa menetralkan hal tersebut. Misalkan dengan mengisi lambungnya, baik dengan makan ataupun minum. Hal-hal tersebut sedikit banyak dapat mengurangi dampak tubuh yang berubah akibat perubahan suhu dan cuaca. Namun kali ini tak ada makanan atau minuman yang masuk ke perut mereka. Sehingga sebisa mungkin menahan hawa ekstrim itu dengan kekebalan tubuh yang masih dimiliki. Untungnya lagi sempat terteduh oleh atap gubug meskipun sudah rusak yang tidak maksimal dalam menahan air hujan. Ketika sudah cukup lama mereka berada di tempat tersebut dan menganalisa, apakah kira-kira sudah aman atawa belum daerah dibawahnya, terutama diseputar gubugnya. Secara hipotesa yang terpikirkan, kiranya sudah. Paling tidak hujan sudah reda. Air pasang kemungkinan sudah surut. Walaupun mungkin belum kering benar, setidaknya sudah tidak membahayakan jiwa mereka, kalau memaksa untuk kembali. Hal ini dilakukan, agar segala miliknya yang sudah ada, bisa diselamatkan, dan tengkuk Hiroshi yang sakit itu perlu mendapatkan pengobatan yang lebih layak dengan obat yang bagus meskipun jelas didaerah tersebut tak ada apotik yang bisa dimintai pertolongan, setidaknya obat-obat hasil hutan yang berasal dari tanaman liar, dapat dipakai juga buat meringankan penderitaan. Syukur-syukur malahan bisa menyembuhkan. Jadi rasa sakit yang dideritanya tidak berkepanjangan. Lebih jauh lagi bisa melakukan pekerjaan sehari-hari yang biasa dikerjakan oleh orang dewasa seperti Hiroshi. Pasca bencana memang menyedihkan, semua porak poranda. Kacau balau, berantakan. Juga banyak yang hilang. Semuanya tak ingin terjadi. Namun bagaimana lagi, segalanya mesti terjadi, dikarenakan banyak hal yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain kuatnya tenaga alam yang sanggup menghancurkan tempat tersebut. Sekali waktu alam mampu berbuat beringas. Rotasi dan evolusi planet ini dalam menjelajah semesta, tidak selamanya berada pada jalur aman. Sekali tempo ada kendala. Dimana mesti berbenturan dengan benda lainnya. Atau berada pada jarak yang sama antara satu benda inti dengan yang mengikutinya. Sehingga berpengaruh pada benda-benda didalam kedua tempat tersebut. Diantaranya inti atau bagian dalam benda itu yang bergolak, suhu yang tak beraturan, juga berpindahnya suatu zat dari satu tempat ke posisi berbeda, hanya mengikuti pergerakan alami itu. Dan inilah salah satu yang dirasakan oleh satu sosok yang tak kuasa melawan kekuatan lain yang lebih besar. Jika mampu menahan kekuatan lain, mungkin tak menderita, semisal, angin yang menerpa tubuh, rasanya justru nikmat, karena suhu menjadi stabil. Namun angin beku yang ekstrim dan menerpa badan akan menembus tulang, rasanya sebagai hal buruk, dan melemahkan daya tahan tubuh itu. Mereka turun perlahan dengan meniti batang-batang kayu basah yang belum membuang sisa-sisa airnya serta berusaha mendekati rumah. Sesampainya di tempat yang dituju, mereka hanya bisa mendesah, dugaan mereka sebelumnya benar, rumahnya kotor sekali, air masih membasahi dibagian bawah rumah. Meskipun begitu mereka terus mendekati rumahnya pelan-pelan, diantara kecipak air yang masih ada. Tingginya se-matakaki. Dilihatnya, sebagian benda buatannya hanyut tak terselamatkan, tapi banyak juga yang masih ada karena sebelumnya telah diikat lumayan kuat. Penyelamatan itu lumayan berhasil, meskipun ada beberapa benda yang tak hanyut menderita sedikit kerusakan sehingga bagian itu perlu diperbaiki. Sesampainya di rumah, mereka duduk di teras pondok yang kotor karena bekas air yang sebelumnya berhasil menusuk masuk hingga ke dalam rumah. Sembari beristirahat itulah mereka melihat sekitar rumah yang mesti segera diperbaiki, juga menunggu air lebih surut lagi. Dilihatnya dapur yang hancur sebagian bahkan bagian itu telah lenyap. Tak tampak bekasnya, mungkin sudah mengendap di dasar laut atau lebur kembali menjadi tanah. Yang tertinggal di bekas tempat itu hanya puing-puing ranting dan dedaunan yang justru terseret arus naik, kala air menerjang daratan. Itu suatu bencana yang dirasa sangat mengerikan. Bencana yang tak dapat diprediksi, datang seketika. Namun begitu dampak kerusakannya bisa diminimalisir andai sudah bersiap terlebih dahulu, hingga satu saat tak ada kerugian sama sekali yang diderita. Ketika air benar-benar lenyap mereka mulai membersihkan rumah. Disapu pakai sapu lidi untuk sampahnya, dan yang besar langsung dipungut dengan tangan, karena lebih mudah mengerjakannya juga bisa terangkat. Jika menggunakan sapu tadi bakalan lebih sulit bahkan bisa-bisa sapunya yang patah. Sambil mengumpulkan benda-benda yang masih bisa terselamatkan. Yang sempat diikat masih ada, tak bergeming oleh banjir itu, namun yang diikat pada benda rapuh turut hilang. Seperti benda dari besi besi dan sudah diikat pada tiang tak kuat, ada yang lenyap terseret arus, meskipun besi itu lebih berat dari air namun tarikan oleh arus lebih kuat. Hingga enda tersebut langsung mengikuti arah tarikan. Saat berikutnya hanya kegiatan membersihkan rumah dan menata ulang lagi semuanya. Dilakukan terus dan terus. Seakan tak ada habisnya pekerjaan manusia di dunia ini. Yang ada hanyalah menunda datangnya pekerjaan selanjutnya. Supaya bisa ditangani pada waktu yang lebih longgar. With Enemy 47 Pagi setelah semua tertata kembali mereka pergi berburu. Mencari makan yang habis karena sebagian besar hanyut bersama banjir besar dan yang tertinggal terbenam air hingga enggan memakannya. Seperti biasa Hiroshi pakai sepatu boot dan baju kulit binatang. Wil pakai terompah kulit. Hasil buatan Hiroshi yang halus dan lumayan lembut dikenakan. Mereka menuju ke ladang rumput, tempat hewan biasa kumpul. Barangkali disana bakalan menemukan banyak binatang dan dagingnya nanti bisa mengganti semua yang musnah. Sepi. Tak ada binatang satupun. Entah kemana. Apakah pengaruh bencana sebelumnya? Atau menemukan lahan baru yang bisa dijadikan santapan paginya. Akhirnya menelusup jauh ke dalam. Terus dan terus masuk. Menembus daerah yang lumayan baru selama ini belum menjangkau daerah tersebut. Karena biasanya di padang rumput itu sudah mendapat buruan. Dan kalau tak menemukan langsung balik. Mereka terus masuk berusaha menemukan binatang buruan. Harapannya. Namun demikian jauh tak ada apa-apa yang bisa ditusuk apalagi dicincang. Terdengar ada berkeresek. Mencurigakan. Barangkali.... Barangkali.... Itu yang menjadi pemikiran. Mereka mengendap-endap mencoba mendengarkan lebih seksama. Sembari terus mendekat. Didekati. Mengendap-endap lagi, menyibak rumpun ilalang dimana suara tersebut berasal. 'Pasti disini', makanya terus didekati. Dipertajam dan siap. Bakalan ditangkap kalau itu binatang buruan. Senyap, tak ada apa-apa. Disibak ilalang itu serta lebih diamati. Hingga akhirnya kecewa. Karena buruan sama sekali tak nampak dan kosong. Tapi... “Awas ular!” Hampir saja si ular mematok Wil, tapi Hiroshi melihatnya dan langsung menyingkirkan ular itu. Si ular malahan mematok tangan Hiroshi hingga melepuh. Dengan cepat ular di potong hingga meninggal. Paeh. With Enemy 48 Wil kawatir sekali melihat Hiroshi tergigit. Dia berusaha membantu agar bisa ular yang terlanjur masuk, segera dapat dikeluarkan dari tubuhnya. Sementara Hiroshi berjuang sendiri. Dia segera mengikat lengannya dengan merobek kain yang dipakainya, untuk mengikat lengan. Tepat dibagian atas bekas luka gigitan. Wil membantu mengikat agar lebih kuat memutus pergerakan darah menuju jantung. Dirobeknya luka tersebut, tepat pada bekas gigi ular, pakai belatinya. Darah kehitaman keluar. Dihisap bisa dengan cepat. Darah diludahkan. Berkali-kali hal ini dilakukan, sampai terlihat merah semua, tak ada hitamnya. Wil berpikir, untuk saat ini mendingan pulang dulu. Tak perlu melanjutkan perburuan. Lebih baik menyelamatkan Hiroshi. Jangan sampai bertambah parah kondisinya, hanya untuk satu tujuan yang membuat perut kenyang. Dijalan Hiroshi sedikit oyong. Tenaganya melemah. Makanya Wil berusaha membantu dengan memapahnya. Melewati ladang rumput subur. Tetap sepi. Hewan-hewan itu, entah kemana, mungkin dia takut sesuatu yang mengerikan. Ular, orang atau enggan menjadi makanan bagi kedua orang itu. Mereka terus jalan, lewat yang dilewati semula. Mestinya lebih cepat karena sudah hafal, namun perjalanan kali ini sangat berhati-hati, hingga butuh waktu dan demikian melelahkan. Mereka berpikiran, luka itu jangan sampai bertambah parah. Begitu berat perjalanan pulang. Jalur memang biasa. Luka juga belum parah. Sakit belum terasa dan tenaga masih ada. Namun kekhawatiran itu. Kekawatiran akan luka dapat bertambah parah. Hingga detak jatung yang bisa berhenti andai bisa ular menjangkaunya. Makanya kemungkinan menjaga itulah yang sulit. Perjalanan pelan, sangat pelan. Terkadang mesti beristirahat dulu sembari memeriksa luka. Menjaganya agar tak bertambah parah dan terus berusaha menghisap darah kalau-kalau masih ada bisa didalamnya yang belum dikeluarkan. Sehingga sisa bisa itu, tidak masuk lebih dalam. Wil terus memapah hingga pondokan. Tenaga Hiroshi terus melemah. Bagaimanapun bisa itu tetap berpengaruh pada kesehatannya. Hingga kesadarannya sudah sulit mengenali sekitarnya serta bakalan bertambah kacau keadaannya. Sampai di rumah, langsung dibaringkan pada kamar bagian dalam. Wilhemina membantunya terus sampai Hiroshi dalam posisi tiduran. Barulah setelah itu keluar, membiarkannya beristirahat. Hiroshi hanya bisa diam sembari menatap langit-langit ruangan. Yang hanya terbuat dari anyaman ilalang. Dia berusaha melupakan yang terjadi. Berharap sudah tak ada bisa dilukanya, dan dapat beristirahat. Hingga setelahnya, sakit juga ikut hilang. Untuk kembali melakukan kegiatan. Dikala tak ada orang lain yang dapat dimintai pertolongan. Hiroshi terus mencoba memejamkan mata, mencoba terpejam, sukur-sukur dapat tertidur. Ini mungkin kehidupan untuk yang ketiga kalinya. Dimana dia telah merasa mati, sekali lagi mati dan kini mencoba bangkit lagi. Kehidupan yang misterius. Belum juga menggapai kebahagiaan sudah mendapat musibah yang bertubi-tubi. With Enemy 49 Sekarang Wilhelmina harus mencari apa-apa sendiri lagi. Seperti sedia kala, disaat Hiroshi masih belum siuman. Hampa rasanya. Tak enak selalu berada dalam kesendirian. Sunyi, sepi, terpaksa. Namun demikian peralatan sudah lebih baik. Serta sudah tersedia. Yang dibuat oleh Hiroshi. Sehingga hal ini lebih memudahkan pekerjaan. Semuanya masih bisa diselamatkan dan tak tergeser posisinya oleh derasnya banjir yang kala itu menerjang rumah. Wil bekerja sendiri meninggalkan Hiroshi yang tengah istirahat dalam kedamaiannya. Dia hanya pergi dengan membawa belati gesper bergagang tanduk rusa yang dibuat indah. Kini bahkan tanpa alas kaki. Supaya saat masuk ke sungai sepatunya tak basah. Diteliti bubu dari anyaman bambu. Cuma dapat ikan sedikit. Dipasangnya lagi dengan membiarkan ikan-ikan kecil didalamnya sebagai pancingan bagi ikan yang lebih besar. Ke hutan melihat jerat. Kosong. Makanan masih ada. Tak ada binatang hutan yang menyentuhnya. Maka dibiarkan saja jerat itu. Hanya dibenahi saja. Agar letaknya lebih benar. Dan menangkapnya lebih maksimal. Lalu ke laut mengambil ikan. Dapat. Lumayan besar. Pancingannya berhasil. Hasil kali ini kiranya cukup untuk mengisi perutnya dikala tak mendapat apapun dari hutan. Kemudian semua ikan yang didapat di bersihkan. Dicuci dan dikasih bumbu. Dimasak sekedarnya, asal langsung masak dengan cepat dan bisa langsung dimakan. Meskipun kurang enak. Setelah matang dimakannya. Hanya ikan itu, tak ada nasi. Meskipun demikian, lumayan, bisa membuat perut kenyang. Mungkin kalau nanti menemukan buah, bakalan menambah rasa kenyangnya. Makanan itu sebagian diletakkan pada piring tanah, lalu ditaruh didekat Hiroshi supaya kalau terbangun nanti bisa langsung makan dan mendapat kekuatan untuk melawan penyakitnya itu. Memang, tak berapa lama, setelah Wil pergi, Hiroshi terbangun. Segar rasanya. Rasa sakitnya sudah hilang. Rupanya bisa itu sudah terambil sepenuhnya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi. Rasa sakit di tengkuknya akibat benturan benda keras dahulu, sekarang justru sudah menurun. Mungkin karena ada rasa sakit di lain tempat. Hingga sakit itu teralihkan. Seperti pada banyak proses penyembuhan, mengalihkan rasa itu dengan memberi rasa sakit ditempat lain, misalkan pantat atau lengannya, hingga sakit utama itu justru teralihkan dengan menusuk pakai jarum dengan alasan pemasukan obat cair. Dan ini biasanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang justru tak berpendidikan. Sehingga kala sakit, dia memilih langsung di suntik. Tak memperdulikan obatnya jenis apa. Biar rasa sakit itu pindah ke pantatnya. Atau memang berangsur sembuh berdasarkan penyembuhan alami dari dalam tubuh itu sendiri yang menjadi imune tak sadarnya. Yang jelas dalam beberapa kasus, setelah proses ini, si pasien memang rasanya lebih mendingan. With Enemy 50 Hiroshi bangun. Mau ke sungai. Tapi begitu melihat makanan, dia lalu makan dengan lahap, supaya yang menyediakan tak kecewa. Setelah habis, dia berjalan keluar meninggalkan kamar untuk cari angin. Dia melihat Wilhelmina yang saat itu tengah membersihkan ikan. Meski langkahnya tertatih- tatih dan ekstra hati-hati. Apalagi menuju ke sungai yang jalannya memang menurun. Wil sedikit terkejut. Dia melihat Hiroshi sudah sehat. Kali ini sakitnya tak terlampau lama. Meskipun demikian, namanya sakit, tetap saja tak mengenakkan. Hanya, kenyataan kali ini lebih cepat proses sembuhnya. Berikutnya keduanya sudah terlihat bekerja bersama lagi. Hiroshi masih melakukannya secara pelan-pelan. Setidaknya kegiatan ini menunjukkan, kalau dia telah sehat kembali. Dan membuat Wilhelmina sudah tidak khawatir lagi. Sorenya Hiroshi tidur awal. Dia langsung masuk ke kamar tertutup agar tak kedinginan. Sementara Wil nanti akan tidur diluar. Atau cukup di dalam rumah tapi di luar kamar. Kalau kedinginan. Sekarang, Wil duduk sambil memandang laut. Anggun, teduh, biru. Biru kehitaman karena gelap dan berbayang bintang yang membentuk kembarannya dibawah sana. Menerawang. Gelap namun teduh. Teduh pasif. Gerak aktifnya benar-benar lagi hilang. Desau angin hanya sepoi-sepoi namun menyegarkan, tak dingin. Meniupkan hawa-hawa indahnya. Yang tenang dan menghidupkan. Dan bergerak seirama langkah para mahluk. Menelusup dalam jiwa. Wilhelmina tetap terdiam. Sambil menunggu kantuk. Sesekali menatap langit, membiarkan bintang gemintang yang berjalan-jalan meniti angkasa dalam jalur tertata, seperti rel-rel yang tak menyimpang. Demikian mempesona. Tak terbayang. Disana, jutaan cahaya itu, saling berebut. Dalam menguasai semesta. Saling rebut. Saling makan. Saling tabrak. Namun di mata yang melihat, tetap cantik. Semburat cahaya, warna-warni, perbedaan itu. Benar-benar memanjakan mata. Berikutnya rebahan di teras kala merasa lelah yang tak tertahankan. Namun pandangannya tetap jauh ke depan, bersama kelap-kelip kunang-kunang yang turut menghiasi malam, juga mendengarkan binatang malam yang bernyanyi lirih. Lama-lama Wil memejamkan mata. Diam dan damai. Menyusul Hiroshi yang sudah tenggelam dalam lelapnya, yang memimpikan indah hari tua, berada di kampung halaman bersama keluarga di Nagasaki sana. Hingga pagi datang. With Enemy 51 Suasana mulai stabil lagi. Pekerjaan normal. Semua sudah bisa dilakukan dengan penuh kesungguhan. Dan akibatnya beberapa pekerjaan bisa dilakukan dengan cepat. Namun Hiroshi belum berani masuk ke hutan. Jalanan masih terasa agak sulit. Takutnya kalau-kalau tergelincir, yang berakibat lukanya kambuh lagi atau justru merepotkan Wil nantinya jika terjadi suatu hal yang buruk. Pagi itu, agak siangan sedikit, Wilhelmina datang sambil menenteng kijang kecil. Dia baru saja datang dari hutan. Dan langsung mendapatkan yang diharap. Hiroshi tengah asyik menata ikan pada jemuran, biar kering. Dan dapat dijadikan konsumsi untuk jangka waktu yang lebih panjang. Hiroshi mendapati kijang itu. Dibawa ke sungai untuk dicincang-cincang. Wil membiarkan saja, dia malahan masuk ke rumah dan mendapati makanan sudah ada disana. Sedari pagi belum makan. Di situ, sudah ada ikan panggang dengan daun hijau lalapan dan nasi yang sudah dingin. Sama sambal. Hiroshi sudah memasaknya dari pagi, sesaat setelah Wil pergi membawa panah dan pisau gesper. Sehabis sarapan Wil menyusul Hiroshi, untuk mengurusi daging di sungai. Sudah hampir selesai si Hiroshi mengurusi daging itu, tinggal memberesi usus dan lambung. Wil mencuci daging itu dan membawa ke rumah. Kemudian mencoba memasak sedikit dan dinikmati langsung. With Enemy 52 Mencoba mencari rejeki kembali dengan masuk hutan. Lagian suasana badan dalam kondisi yang demikian nyaman. Sangat nikmat buat dibawa bepergian. Hiroshi Ikut. Mulai lagi menyusuri medan sulit. Daripada di rumah terus. Membosankan. Seperti bayi yang hanya bisa menunggu makan minum dari inangnya. Masuk hutan dengan langkah tertatih-tatih dan memakai tongkat dengan tombak yang bagian tajam di atas, si Hiroshi melangkah mengikuti Wilhelmina yang membawa panah dan pisau. Melihat ada buah jeruk gulung, bali, yang besar dipetiknya satu. Dengan menjoloknya pakai tombak. Lumayan menambah jarak jangkauan jika dibandingkan dengan tanpa menggunakan apa-apa. Setelah terambil, kemudian berjalan lagi. Masuk lebih ke dalam. Melihat pohon kelapa yang terlihat buahnya begitu bergemrandul. Sangat lebat. Kata Wil, “Panjat!” “Aku?” “Heeh.” Bagaimanapun Si Lelaki adalah Hiroshi. Makanya dia yang disuruh memanjat. Bagaimanapun. Hiroshi mau mencobanya. Dia sudah mengikat tali dalam suatu lingkaran dan ditempatkan diantara dua kakinya. Dia hendak memanjat. Namun Wil segera mencegahnya. “Janganlah....” Bagaimanapun kondisi si lelaki tak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan yang kali ini demikian berat. Takut bertambah parah sakitnya. Kalaupun berhasil, nanti akan sakitnya bisa kambuh. Apalagi jika gagal. Dan lebih parah lagi kalau sampai terjatuh. Bakalan merepotkan diri Hiroshi sendiri. Juga Wil nantinya mesti merawat lagi sampai sembuh. “Aku saja.” Wil mencoba memanjat kelapa yang tanpa takik. Karena tak pernah dipanjat oleh para penderes atau orang-orang disekitar pohon itu. Wil mencoba naik. Pelan- pelan. Seberapa kuatnya dia, bagaimanapun tetap namanya wanita. Mesti hati-hati dan lumayan beresiko. Tapi semua harus dilakukan. Lebih baik bersusah sementara. Demi mendapat suatu hasil. Daripada tak berusaha, yang tentunya tak ada yang didapat. Belum tinggi dia memanjat. “Apa liat-liat!” kata Wilhelmina dengan judes pada Hiroshi di bawahnya. Hiroshi hanya berpaling. Padahal dia kawatir kalau-kalau si cantik ayu itu gagal naik. Makanya tatapannya dipertajam. Namun Wil berpikiran lain. Akhirnya Hiroshi menyingkir, dan duduk agak jauh. Pelan-pelan si Wil menjangkau puncak pohon. Merayap pelan-pelan. Satu demi satu. Terdiam kala lelah dan membiarkan tali di kakinya mencengkeram dahan. Lalu dicobanya naik kembali. Hingga tangannya sudah sanggup menjangkau buah-buah itu. Tali pada kakinya yang dipakai supaya pered, lengket, dilepaskan. Dia bertahan dengan tangan kirinya. Tangan kanannya dia pakai buat memegang pisau. “Hiroshi kau tangkap ini!” Hiroshi hanya merengut saja. “Hihi,” Wil ketawa ngikik sambil memotong tangkai kelapa. Digoroknya kuat-kuat tangkai kelapa yang ulet itu. Dalam posisi sulit begini, terasa demikian alot rasanya. Lain kalau sudah di darat. Tak demikian rumit. Apalagi tangannya mesti berpegangan kuat agar tak jatuh. Makanya tenaga yang dikerahkan demikian besar. Satu tundun kelapa jatuh. Sampai bawah terpencar karena hantaman. Wilhelmina kemudian melorot turun. Hiroshi memungutinya dan mencoba membelah beberapa. Kemudian mereka makan kelapa muda yang rasanya sangat segar. Terus diminum airnya selain sebagai penyegar juga sebagai anti racun yang barangkali mengendap di tubuh. Sisanya dibawa pulang. With Enemy 53 Esoknya mereka berburu kembali. Hiroshi memakai bootnya dan Wil pakai sepatu kulit. Membawa perlengkapan secukupnya. Panah dan pisau. Wil membawa tombak dan pisau gesper. Bakalan mencari buruan di ladang rumput itu. Menangkap barang satu binatang yang bisa sebagai pengganjal perut mereka yang kelaparan di setiap waktu. Namun seperti sebelumnya belum tentu ada binatang disana lebih baik mencari di tempat lain. Ada perubahan rencana mendadak saat dalam perjalanan itu. Mereka terus berjalan, menembus hutan, menyibak rumput tinggi dan meneliti daerah yang sekiranya ada yang mereka cari. Pada suatu rimbun ilalang. Nampak jelas sesuatu yang bergerak. Buruan. Sangat misterius, namun nyata dan bakalan menjadi incaran mereka yang pertama untuk menghentikan pencarian mereka kali ini. Hiroshi membidik dan panah melesat. Tepat... Tubuh itu langsung tertembus oleh panah tajam sang Jepang. Binatang itu langsung ambruk. Mereka mendatangi buruan lumayan besar. Cukup untuk beberapa hari andai tak basi atau membosankan. Hiroshi menyembelih dan memondongnya di punggung. Nanti kalau sampai rumah bakalan dimasak seenak mungkin. “Gua juga capek. Minta gendong!” Tiba-tiba saja si Wilhelmina melompat ke punggung Hiroshi. Aduh... Hiroshi hanya bisa menjerit. “Berat tahu!” Teriaknya kencang. “Cepet!” Wilhelmina tak mau tahu. Dengan cueknya dia tetap minta di gendong. Untung lelaki itu tua, ya tambah ngos-ngosan lah. Dengan tertatih-tatih Hiroshi membawa beban memberat dipunggungnya. Binatang liar dan binatang jalang. Benar-benar satu perjalanan yang melelahkan. Sampai gubug langsung ambruk. Mereka berdua merumat binatang itu menjadi masakan daging yang nikmat dan dinikmati berdua tanpa mesti berbagi dengan tetangga yang tak ada. With Enemy 54 Pagi-pagi sudah pada beraktifitas. Melupakan kejadian buruk yang pernah dialami. Hiroshi sudah pulih tenaganya kembali, seperti sedia kala. Bahkan rasa sakit ditengkuknya sudah tak terasa lagi. Seiring waktu, bisa pulih. Wil masak. Hiroshi sudah menyeret-nyeret ikan, hasil tangkapan kali dan laut. Lumayan juga tangkapan pagi ini, lebih dari cukup, jika hanya untuk mengisi perut berdua, bisa dijadikan ikan asin nanti sisanya. Kemudian keduanya sarapan sambil minum kopi gula merah. Dan sarapan sambil makan ikan bakar yang lumayan lezat meskipun hanya dengan menggunakan bumbu seadanya. Wil mulai kumat, dia ngomel yang tidak-tidak. Mempersalahkan kehidupannya yang demikian suram dan sebagai pelampiasan tentu saja yang ada didepannya, yang hidup. Dia merasa, disitu terus, rasa hidup demikian hampa, tak banyak perubahan. Iya kalau mereka sehat selalu, bisa saling ngobrol, berbagi kisah. Kalau salah satu sakit atau bahkan sampai meninggal akan semakin kesepian hidup. Makanya keturunan bisa menjadi solusi untuk mendapatkan teman. Disitu yang ada Hiroshi. Makanya dia yang jadi sasaran kejengkelannya. “Ayo! Cepet!” katanya mencakar-cakar, memukul badan, kemudian menangkupkan kedua tangan didada sambil membalikkan badan. Hiroshi hanya diam, lalu dia pergi begitu saja. Sambil menggumam, “dasar anak-anak.” Hiroshi ke pantai. Disana dia juga bisa menghilangkan keterasingannya dan menjauhkan diri dari ilusi serta gambaran ada kehidupan ramainya untuk kumpul kembali dengan keluarga. Bersenda. Bercanda. Meluapkan kegembiraan. Mewujudkan bias-bias asa. Menjalin kembali kenangan-kenangan akan kebersamaan yang selama ini terpisahkan. Akibat perang yang berkepanjangan dengan tujuan yang masih misteri. Disana, dari asal keberadaannya dulu. Segala harapannya akan dituju. Pulang.... Kembali ke rumah. Sekian jauh berpetualang. Sekian panjang derap langkah. Hampir tiada arti. Karena... Tujuan akhir tetap dimana awal segalanya. Mengenang kembali masa mula. Dari kecil kala bertumbuh. Bercak-bercak kenangan yang terus membekas. Meskipun sekian jauh. Meski jarak tak terhitung. Namun demikian lekat. Pada kenangan yang dulu pernah terlewati. Wil terduduk dengan segala kekawatirannya. Dia mempermainkan pasir pantai yang lembut. Menatap hutan yang penuh misteri namun memberikan kehidupan yang selama ini telah dijalani. Dan membiarkan angannya untuk bertemu dengan kerabatnya di Belanda sana. Berjumpa dengan keluarga impian yang kini sudah di alam abadi. Tapi berikutnya sudah kembali bisa beraktifitas. Menguasai diri atas lingkungannya yang aneh. Bakalan sia-sia jika terus berada dalam satu bayangan tak nyata. Tak akan merubah keadaan. Yang awal tetap awal. Keduanya sudah menyibukkan diri dengan segala kegiatan yang tak ada habis habisnya dan monoton, itu-itu saja yang menjadi aktifitas. With Enemy 55 Mereka ingin ke laut dengan perahu buatan Wilhelmina namun sudah dihaluskan sama Hiroshi dengan peralatan seadanya, membuat samwau itu bisa lebih mudah dan nyaman di pakai. Keduanya sudah menyibukkan diri mempersiapkan peralatan yang kemungkinan bakalan difungsikan nantinya. Yang utama, membawa jaring juga menyiapkan kail. Sekarang mencari rejeki di laut, barangkali saja lagi banyak ikan di perairan yang tenang itu. Wilhelmina naik di bagian depan perahu. Hiroshi di belakang, namun dia bakalan mendorong dulu perahu itu. Setelah semua benar-benar siap, didorongnya perahu ke tengah laut, menerjang ombak yang terus menghantam, sampai tak sanggup lagi mendorong. Karena air sudah sepinggang. Hiroshi naik sampan, kemudian memegang dayung. Lalu mendayung ke tengah laut. Menyibak gempuran ombak yang terus menerus menerjang pantai hingga menimbulkan kekuatan yang lumayan besar buat mendorong perahu agar kembali ke daratan hingga keduanya mesti menguras tenaga dalam menaklukannya. Setelah berjuang keras, dalam beberapa menit kemudian, perahu berhasil melintasi ombak pantai. Pada suatu arus tenang mereka berhenti mendayung. Hingga hanya diam, terkatung-katung digoyang alunan ombak yang tiada kunjung henti memainkan perannya. Disini mereka mulai menebar jaring. Jaring yang dibuat dari tali temali sederhana, namun lumayan panjang. Yang diharap bisa menjerat ikan-ikan besar. Setelah jaring masuk dalam air semua, kemudian ditariknya pelan-pelan. Hampir tak mendapat apapun. Beberapa kali dicoba, hanya mendapat sedikit. Ditarik pelan-pelan jaring itu, dan tiap ada ikan yang terjerat, dilemparkan begitu saja ke perahu sederhana. Hal ini dilakukan berkali-kali. Sampai tenaganya habis terkuras. Kemudian mancing, setelah capek menebar jaring, sambil istirahat menata nafas. Beberapa kail disebar di sekitar perahu. Dengan makanan menggunakan ikan-ikan kecil yang baru terjaring. Atau udang yang tak layak konsumsi. Lalu diam, dan menunggu sampai ada yang tersedia makan umpan. Sambil memakan bekal yang dibawa. Mereka menikmati itu sambil berayun-ayun di perahu yang digoyang ombak. Karena lapar dan capek, seberapa buruk makanan yang dibawa, membuatnya terasa nikmat. Sesekali menarik pancing–pancing itu. Pancing yang bergerak-gerak segera ditarik. Lumayan jika dapat, namun kecewa kalau cuma dimainkan saja sama ikan di dalam sana. Hari ini dihabiskan dengan bermain di tengah laut. Lalu kembali ke rumah. Saat matahari sudah mulai turun. Sambil membawa tangkapan seadanya. Yang bisa untuk makan nanti malam dan esok harinya. With Enemy 56 Pada suatu pagi tampak dikejauhan seperti kapal tengah melintas tidak jauh dari pulau mereka. Mungkin kapal itu tersesat. Menyimpang dari jalur pelayaran dunia hingga terlihat oleh mereka. “Hirosi. Lihat, ada kapal! Kapal!“ teriak Wilhelmina yang saat itu tengah di pantai meneliti jebakan lautnya. Dia tercengang, seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Berkali-kali matanya dikejap-kejapkan. Benda besar itu tetap terlihat, nyata. Hal ini menumbuhkan rasa senangnya. Untuk bisa meninggalkan tempat sunyi tersebut, bahkan kalau perlu bisa kembali ke negerinya, seperti rencana sebelum mereka terdampar di tempat tersebut. “Mana?“ “Itu!“ Hiroshi ikut memandang apa yang ditunjuk Wil. Terlihat kapal di kejauhan. Nampak besar sekali. Wil melambaikan tangan ke arah kapal, sembari berlari-lari menembus air laut di pantai pasir itu, berharap dapat dilihat oleh penumpang kapal. Usaha ini dilakukan sampai tak bisa melangkah lagi, karena air itu sudah sampai sepinggangnya. Merasa tak ada respon dia menggunakan kain yang kemudian dilambai-lambaikan. Hiroshi ikut membantu usaha Wil, dia bahkan mencoba alat yang sekiranya lebih besar. Berharap mudah dilihat kapal itu. Seperti daun-daun kelapa atau ranting pepohonan yang masih banyak daunnya dan dipatahkan dari batangnya. Berkali-kali usaha itu dilakukan. Karena merasa tak ada yang melihat, maka Hiroshi berencana membuat asap. Dengan membakar rumpun ilalang atau pepohonan yang rimbun. Atau mencoba menaiki pohon. Pada suatu ketinggian, tentu bakalan bisa dilihat oleh orang di jarak yang cukup jauh, setidaknya untuk ukuran menjangkau kapal itu. Tak lama kemudian terlihat kapal berhenti. Dalam beberapa jarak yang lumayan panjang dari titik dimatikannya mesin. Nampaknya mereka yang diatas kapal melihat kode yang di lontarkan oleh keduanya. Gerakan - gerakan aneh di satu tempat terpencil begitu jelas, nyata dan mudah dikenali. Terutama jika dibandingkan dengan daerah disekitar laut yang tenang dan sunyi. Apalagi keduanya melakukan dengan segenap upaya. Dengan harapan yang memang bisa dilihat oleh kapal tersebut. Terlihat beberapa sekoci turun dan mendapati mereka menuju ke pulau itu. Mereka rupanya mematuhi hukum laut. Barangsiapa membutuhkan pertolongan di suatu tempat terpencil atau bahkan di tengah laut maka sebisa mungkin mereka bakalan memberikan bantuan. Andai tak pakai perahu. Barangkali kapal mereka tak bakalan bisa merapat hingga pantai. Selain terlalu besar, juga kecepatannya bakalan tak terkendali. Bisa jadi malahan akan menabrak pantai. Namun Wil panik. Dia tak mengira bakalan begini. Yang datang bukan yang diinginkan. “Hiroshi bersembunyi! Belanda! Belanda!“ ujarnya sembari menyuruh Hiroshi tak menampakkan diri. Hiroshi kaget. Dilihatnya bendera tiga warna itu berkibar-kibar. Segera dia menyelinap diantara rimbun dedaunan dan benda-benda yang bisa menutupi tubuh dari pandangan kapal Belanda itu. Kini, bukan rasa senang akibat bakalan ada pertolongan yang selama ini digadang-gadang. Namun suatu yang justru dirasa sangat mengerikan. Yang kemungkinan bakalan memisahkan mereka nantinya. Tentunya Hiroshi bakalan mereka tawan atau bahkan akan dibunuhnya. Sekian lama bersama di tempat sunyi itu. Rupanya tak tega kalau harus berpisah hanya dalam beberapa saat saja. Sekoci semakin mendekat dan berikutnya merapat ke pantai. Mereka langsung mendapati Wil. “Nona kenapa disini?“ Wil diam. Permohonannya seakan sirna. Merasa tak ada jawaban, perwira itu kembali bertanya, “Apa tersesat?“ Wil hanya mengangguk. “Kalau begitu, mari ikut kami ke Belanda.“ “Kenapa? Apa Jepang sudah mengalahkan kalian?“ tanya Wil. “Tidak.“ “Kenapa?“ “Kita sudah tak bermusuhan dengan Jepang.“ “Hah?“ Wil terkejut. “Tapi dengan orang pribumi.“ “Apa maksud anda?” “Jepang sudah kalah. Tapi saat kita kembali, justru para pribumi yang melawan kerajaan,” jelas perwira itu. Wil diam sesaat, lalu tangannya melambai. Menyuruh Hiroshi tak usah lagi bersembunyi. Hiroshi keluar setelah mendapati kenyataan kini mereka sudah tak berseteru. “Yah kita harus pulang semua. Karena Hindia sekarang sudah jadi Republik.“ Keduanya hanya saling pandang. “Dia Jepang?” Wil mengangguk. “Rumahnya mana?“ “Nagasaki.“ “Sayang sekali kota itu sudah menjadi abu. Sekutu mengebom nuklir hingga rata.“ Hiroshi tambah terdiam. Pikirannya berkecamuk. Harapannya untuk kembali pupus. Keluarganya mungkin sudah musnah, bersama hancurnya kota. “Kami tak akan pulang,” kata Wilhelmina. Dia juga mempertimbangkan pikiran Hiroshi yang kacau. Kalau ke Jepang dia yang sulit, karena orang Belanda. Sementara kalau ke Belanda, Hiroshi yang justru kacau. Dia Jepang. Kebudayaan serta bentuk fisiknya beda. Lumayan sulit mengatasi situasi begitu. “Lalu?” “Kami mungkin akan ke Batavia.“ “Jakarta?“ “Apalah namanya itu. Sejak kecil saya sudah berada di pulau Jawa. Disana mungkin kami bakalan bisa beradaptasi,“ ujar Wil. Disitu tempat yang tak ada penyekat, meskipun justru sama sekali berbeda. Bukan Belanda, juga bukan Jepang. Keduanya terdiam untuk beberapa lama. “Ya sudah,” kata si perwira Belanda. “Kalau itu sudah menjadi keputusan kalian. Kami tak bisa berbuat banyak. Kami juga segera mungkin mau ke Belanda. Membawa seluruh penumpang untuk bertemu keluarganya. Ini sekoci dipakai. Bahan bakar kelihatannya cukup mencapai kota itu. Kami hanya berdoa, semoga keinginan kalian tercapai.” Wil mengangguk. Membiarkan orang-orang sebangsanya berlalu. Orang-orang itu kembali ke kapal menggunakan sekoci lain, ketika usahanya membawa si Noni itu tak berhasil. Berikutnya kapal itu berjalan lagi lalu menghilang menuju ke Holand. Setelah kapal tak kelihatan mereka juga bersiap. Kali ini mesti pergi, mencari tempat yang banyak penghuninya agar tidak terasing, selalu berada di pulau kosong itu. Mengemasi barang secukupnya. Meninggalkan gubug dan segala peralatan yang sejauh ini dibuat. Juga membuang segala kenangan selama tinggal disitu. Bahkan kali ini cuma membawa pisau gesper saja sama sedikit makanan, kalau-kalau kelaparan saat menuju ke Jawa. Yang lainnya ditinggal di pulau tersebut. Lalu mereka naik sekoci dengan mesin tempel dengan satu pendayung. Dinyalakannya mesin perahu terus berangkat. Seperti biasa berayun-ayun dahulu saat meninggalkan pantai dan berhadapan dengan ombak deras. Baru tenang setelah berada di tengah lautan. Perahupun laju dengan kecepatan stabil. Mereka meninggakan pulau dan menuju ke Batavia. Tak berapa lama sekoci mereka sudah mendekati pantai Jakarta. Mereka terus masuk dan meyusuri Ciliwung. Lumayan lega rasanya bisa mencium komunitas yang sama dalam satu perkampungan yang khas. Bertemu para pemuda pelajar yang tengah berjaga disepanjang sungai. Dengan persenjataan lengkap. Dengan senapan laras panjang yang menggelantung dengan tali pundaknya. “Maaf nona? Apakah kalian ketinggalan kapal?” tanya para pemuda itu menghentikan perahu mereka. “Tidak,” sahut Wil. Para pemuda hanya saling pandang. “Tidak tahukah kalian, kalau ibu kota sedang rusuh?“ Wil hanya diam. “Anda bakalan kesulitan kalau masuk kota, nona? Banyak tempat-tempat milik Belanda yang sedang di nasionalisasi.“ “Kami tidak ke Jakarta?“ “Lalu mau kemana?” “Buitenzorg. Disana mungkin tak terlampau kacau. Kami hanya mau tinggal di tempat yang tidak begitu ramai. Karena kami sendiri sudah berbeda.“ Para pemuda itu hanya mengangguk-angguk. “O begitu. Silahkan jika demikian. Hati-hati. Susuri saja sungai Ciliwung ini.“ “Heeh. “ Mereka pergi. Mencari tempat yang sekiranya bisa menerima mereka dengan segala perbedaan. ***** Description: “Novel ini dibuat untuk mengikui proyek Bulan Nulis Novel Storial 2017 #BNNS2017″ e-mail: [email protected] instagram: ares saturn facebook: [email protected] Sinopsis: Wilhelmina harus merasakan ngerinya bersama musuh dalam pulau terpencil apalagi musuhnya adalah orang Jepang yang lama menyekapnya untuk merasakan dinginnya dinding tahanan sebagai tawanan.
Title: Wisata Offroad Goa Pindul yang Dijamin Tak Terlupakan Category: Olahraga & Petualangan Text: Wisata Offroad Goa Pindul yang Dijamin Tak Terlupakan Berlibur merupakan kegiatan menyenangkan dan bisa dilakukan saat keadaan tubuh serta pikiran sedang capek. Terdapat berbagai macam jenis pilihan wahana atau tempat rekreasi, namun memilih kedekatan dengan alam menjadi solusi terbaik membawa ketenangan. Seperti wisata offroad Goa Pindul yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Mengenal Wisata OffroadKalau mungkin banyak yang belum tahu tentang wisata offroad itu seperti apa. Maka pada bagian ini akan dijelaskan agar paham dan mengerti sehingga menjadi paham gambaran umumnya. Kegiatan ini memang lebih cocok untuk penyuka adrenalin serta petualangan. Sebenarnya offroad sendiri merupakan salah satu aktivitas yang bisa dikatakan olahraga. Digunakan kendaraan outomotive penggerak 4 roda. Biasanya mobil-mobil bertipe ini seperti model Jeep atau SUV (Sport Utility Vehicles). Kegiatan wisata offroad Goa Pindul sendiri adalah mengendarai mobil namun melewati berbagai medan yang notabene sulit dilalui. Jika pada umumnya orang berkendara dijalanan aspal. Pada jenis wisata ini kendaraan harus dipacu melalui sungai, area berbatu, pasir, lumpur dan lainnya. Alasan medan ekstrim itulah mengapa dipergunakan mobil-mobil 4WD atau Four Wheel Drive. Pembeda dari jenis lainnya, kendaraan ini bisa bergerak pada keempat roda. Maka keseruan manantang diatas yang dicari banyak orang dan sekarang bisa didapatkan di offroad Goa Pindul. Awal Mula Wisata Offroad Goa PindulSebelum membahas tentang wisata offroad Goa Pindul, ada baiknya memberi penjelasan sejarah singkat mengenainya. Berlokasi di salah satu desa Kota Yogyakarta, tempat tersebut masih terbilang belum begitu lama dibuka namun sudah dikenal banyak orang. Wisata offroad awalnya memang belum dibuka dan terpikirkan. Sebelum adanya wahana tersebut, mereka hanya memiliki cave tubing, rafting dan lainnya. Namun, area medan di sekitarnya yang cocok dipergunakan untuk dimanfaatkan memberikan sebuah ide. Maka mulai dirancang dan dicetuskan sebagai tempat rekreasi oleh gagasan beberapa penduduk sekitar. Adanya wahana seperti wisata offroad Goa Pindul juga membawa dampak baik. Tentu akan memberikan keragaman pilihan dalam menikmati keindahan alam di Desa Bejiharjo. Kegiatan baru tersebut memang memiliki banyak peminat, terutama dari kalangan wisatawan lokal. Sensasi layaknya sedang berpetualang menyusuri hutan ini tentu jarang didapatkan di tempat lainnya. Wisata tersebut bisa dinikmati dengan membayar tiket Goa Pindul dan menyewa mobil Jeep di sana. Menikmati Wisata Offroad di Goa PindulTentu cara menikmati liburan paling baik adalah datang ke tempat yang sudah dikenal memiliki beragam wahana wisata. Salah satunya yaitu Yogyakarta dimana banyak sekali pilihannya mulai dari Malioboro dan lain-lain. Namun jika ingin mencoba nuansa baru bisa datang ke Gunung Kidul. Maksudnya adalah wisata offroad Goa Pindul yang jarang didapatkan dari tempat lain di Yogyakarta. Selain itu, juga terdapat berbagai wahana seperi susur sungai, cave tubing dan sebagainya. Sedangkan lokasinya sendiri berada di Desa Bejiharjo yang bisa dinikmati kapan saja. Wisata offroad pasti cocok terutama untuk yang menyukai sensasi berpetualang. Maka memilih wisata ini adalah hal bagus. Selain itu. juga bisa menikmati pemandangan alam sekitar Desa Bajiharjo dan medan-medan berlumpur yang seru untuk dilakukan. Panjangnya rute dalam kegiatan refreshing ini berjarak sekitar 15 kilometer. Waktu tempuhnya rata-rata antara 1,5 sampai dengan 2 jam lamanya setiap perjalanan. Kendaraan jeep yang disediakan untuk wisata offroad juga banyak. Fasilitas dan Harga yang Didapatkan dari Wisata Offroad Fasilitas yang didapatkan adalah tersedianya layanan umum, seperti toilet, kamar ganti dan sebagainya. Kemudian untuk harganya kurang lebih sekitar 450.000 dengan peruntukan 1 mobil. Itu sudah termasuk pemandunya, kendaraan wisata offroad Goa Pindul, Helm serta minuman. Kapasitas yang bisa ditampung dalam satu kendaraan wisata offroad maksimal 4 orang. Harga tersebut adalah untuk durasi sekali putaran yang perjalanannya sekitar 15km dengan waktu tercepat 1,5 jam. Pemandangan alam selama berjalannya aktivitas dijamin akan memanjakan mata. Rute wisata offroad Goa Pindul dirancang melewati berbagai medan. Di antaranya hutan kayu putih, sungai Oya dan area-area berlumpur yang menantang adrenalin. Dimana di dalam lokasi tersebut akan dijumpai banyak tanaman-tanaman Pohon Kayu Putih serta tumbuhan palawija lainnya. Berbagai keseruan bisa didapatkan dengan mencoba wisata offroad. Namun, tentunya terdapat berbagai jasa pelayanan disana yang mempunyai keunggulan berbeda. Maka sebaiknya memilih mereka yang menjamin keamanan dan fasilitas terbaik, salah satunya brand Goa Pindul Official. Tips Agar Aman Berwisata OffroadBerikut adalah beberapa tips mudah saat berwisata offroad agar lebih seru dan aman: 1. Hanya Membawa Barang yang DiperlukanTips pertama saat menjelajahi medan dengan mobil offroad adalah membawa barang yang sekiranya dibutuhkan saja. Misalkan action camera, topi dan air mineral. Usahakan mengurangi benda bawaan selama aktivitas karena akan mengganggu pengalaman berpetualang. Hindari membawa barang-barang seperti smartphone jika memang tidak dibutuhkan. Kemudian tinggalkan atau titipkan saja dompet, jangan dibawa. Hal-hal tersebut agar menghindari terjadinya kehilangan maupun rusak akibat jatuh karena medannya lumayan sulit. 2. Memakai Baju BiasaTips kedua adalah pastikan hanya menggunakan baju-baju biasa saja. Jangan gunakan pakaian bagus karena akan percuma. Alasannya tentu dalam offroad pasti melewati berbagai medan sulit, salah satunya yaitu area berlumpur dan berair. Maka nantinya pasti baju akan kotor dan lusuh. Pasti disayangkan jika pakaiannya bagus. Sebaiknya menggunakan kaos oblong saja karena nantinya kalau kotor tidak apa-apa. Bahkan kalau perlu tidak usah mandi sebelum berangkat. Alasannya tentu akan percuma serta hanya buang-buang uang. 3. Memilih Waktu TerbaikTips ketiga saat wisata offroad Goa Pindul adalah memastikan waktu saat ingin melakukan offroad. Tentu saja tujuannya agar mood dan pengalaman menarik serta menyenangkan bisa didapatkan dengan maksimal. Sebaiknya pilih saat masih pagi hari, sehingga suasana hati masih bagus. Hindari juga untuk datang dan melakukan offroad saat siang hari atau menjelang sore. Hal tersebut karena cuacanya sudah pasti panas sehingga kurang tepat. Alasannya tentu dari faktor kendaraan jeep yang atapnya terbuka sehingga sinar matahari akan langsung mengenai kulit. 4. Usahakan BermalamTips berikutnya adalah mengusahakan untuk bermalam di homestay yang ada di sekitar tempat wisata. Tentu alasannya agar bisa menikmati waktu dan suasana alam nan asri serta menenangkan. Apalagi setelah melakukan aktivitas seperti offroad atau cave tubing di Goa Pindul. Pilih homestay yang nyaman karena akan menjamin waktu istirahat agar berkualitas. Kemudian suasana pedesaan asri di tempat tersebut bisa membantu menenangkan penatnya pikiran serta tubuh. Jika kebingungan dapat menanyakan kepada pemandu wisata dilokasi Goa Pindul. 5. Pilih Jasa yang TerjaminTips terakhir adalah memilih jasa pengelola wisata offroad yang menjamin keselamatan. Tentunya karena memang kegiatan tersebut memunculkan resiko terjadinya kecelakaan. Maka sikap selektif penting dimiliki, salah satu rekomendasinya yaitu di Goa Pindul Official. Itulah tadi beberapa penjelasan mengenai wisata offroad Goa Pindul yang memberikan pengalaman petualangan. Pastinya seru untuk dicoba apalagi bersama teman-teman dekat. Tips di atas bisa coba dilakukan agar pengalaman dan keseruan semakin maksimal. Description: Berlibur merupakan kegiatan menyenangkan dan bisa dilakukan saat keadaan tubuh serta fikiran sedang capek. Terdapat berbagai macam jenis pilihan wahana atau tempat rekreasi, namun memilih kedekatan dengan alam menjadi solusi terbaik membawa ketenangan. Seperti wisata offroad Goa Pindul yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.
Title: WITCH QUEEN Category: Fantasi Text: Pengenalan Karakter & Prolog Ratu Chaterine Berusia 24 tahun, putri sematawayang Raja Aragon. Memiliki karakter yang periang dan polos, sangat cerdas dan disayangi semua orang. Kepribadiannya sangat menarik sehingga membuat orang selalu tertarik padanya. Kecantikan dan keanggunan yang diwariskan ibunya sangatlah mempesona.Namun, karena dendam dan penghianatan. Gadis cantik ini berubah menjadi penyihir kejam yang berhati dingin. AndrewSeorang Panglima perang Kerajaan Aragon yang handal dan berdarah dingin. Menghabisi siapapun yang menghalangi keinginanya. Ia juga merupakan tunangan Ratu Chaterine. Andrew berusia 27 tahun dan sangat ambisius untuk menguasai Aragon. Andrew bahkan berselingkuh dengan sahabat Chaterine dan merencanakan pemberontakan. LauraWanita berusia 24 tahun ini adalah sahabat Ratu Chaterine sejak mereka masih belia. Karena menganggapnya seperi saudara kandung, Chaterine pun menyuruh Laura tinggal di Istana agar dia tidak kesepian. Tidak puas dengan itu, Laura yang merasakan kemewahan hidup di Istana dan dilayani pelayan, membuatnya tamak dan mengincar posisi Chaterine untuk menjadi wanita satu-satunya di Kerajaan. Laura adalah seorang penyihir, tetapi Chaterine tidak mengetahuinya. Raja RogerRoger adalah seorang Raja Vampir berdarah murni yang sangat kejam dan berdarah dingin. Namun dibalik sikapnya yang dingin itu, ia sangat melindungi bawahannya. Darah vampir murni dalam tubuhnya, membuat ia tidak pernah menua walau usianya sudah ribuan tahun. Suatu hari, tanpa sengaja ia bertemu Chaterine di taman Kerajaan. Tempat yang hanya diketahui keluarga kerajaan, bagaimana Roger bisa mengetahuinya? Roger yang tidak pernah merasakan cinta, seketika tak bisa melepas pandangannya dari Chaterine. Muncul rasa dalam dirinya untuk melindungi gadis itu. NickNick adalah pengawal setia Chaterine, ia juga merupakan teman masa kecil Chaterine. Nick mengetahui seluruh rahasia Chaterine, termasuk saat Chaterine berubah menjadi penyihir. Nick selalu setia mendukung Chaterine. Namun, karena melindungi Chaterine, Nick pun terluka. Apakah ia selamat? atau Nick kehilangan nyawanya? Raja AragonRaja Aragon yang merupakan ayah Chaterine sangatlah menyayangi dan mencintai Chaterine. Raja Aragon memiliki darah separuh penyihir. Raja Aragon yang merasa umurnya tidak lama lagi, mengadakan oenobatan untuk putrinya agar segera menjadi Ratu Aragon. Sadar bahwa ada yang tidak beres di Istananya, Raja Aragon pun terpaksa menceritakan kisah yang selama ini ia berusaha lupakan kepada Chaterine. Kisah tentang ibunya yang menghilang dan warisan yang diberikan ibunya untuk Chaterine dan siapa Chaterine sebenarnya. Ratu CelineRatu Celine adalah ibunda Chaterine sekaligus istri satu-satunya Raja Aragon. Ratu Celine menghilang saat setelah melahirkan Chaterine. Ratu Celine merupakan penyihir yang sangat hebat dan kuat. Rahasia ini hanya diketahui oleh Raja Aragon. Kerajaan Aragon merupakan kerajaan yang damai dan sejahtera. Sumber dayanya sangat melimpah dan rakyatnya sangat makmur. Bagai negeri dongeng, semua orang bermimpi tinggal di Aragon. Tidak ada perbudakan dan penyiksaan. Semua rakyat sangat bahagia. Kerajaan Aragon tidak memiliki musuh, dan Kerajaan Aragon juga tidak pernah menjajah negri lain walaupun Angkatan Militernya sangat hebat dan tak terkalahkan. Inilah yang menyebabkan Kerajaan lain sangat menghormati Kerajaan Aragon. Namun, dengan segala kekuatan dan kesejahteraannya, tidak ada yang pernah menyangka bahwa ada kisah menyedihkan dibalik keagungan Raja Aragon. Kisah tentang sihir hitam dan Bangsa Vampir yang sangat tabu bagi masyarakat. Tidak ada yang tahu, Kerajaan Aragon yang megah dan damai itu berubah menjadi tempat pertumpahan darah dari ratusan nyawa. Penobatan Hari itu, hari yang cerah seperti biasanya.Raja Aragon memanggil putrinya ke taman istana. "Ayah" panggil Putri Chaterine yang melihat ayahnya sedang menatap kosong ke pohon persik itu. "Kamu sudah datang Chaterine" jawab Raja Aragon sambil tersenyum. "Ada apa ayah? apa ada sesuatu? wajah ayah serius sekali" tanya putri. Raja pun menjawab pertanyaan putrinya dengan nada lembut "Chaterine... putriku... ayah ingin kamu segera memimpin Aragon" Putri Chaterine pun terkejut mendengarnya, ayahnya adalah seorang raja yang selalu berhati-hati dalam berucap. Tapi? lelucon apa yang ayahnya katakan ini? Ia pun bertanya pada ayahnya "Apa maksud ayah? kenapa ayah tiba-tiba ingin aku memimpin Aragon? apa ayah akan pergi ke suatu tempat yang jauh?" "Chaterine,Ayah memang akan pergi jauh kesuatu tempat, selain itu kamu sudah dewasa. Sudah saatnya kamu memimpin Aragon. Besok adalah hari penobatanmu. Jangan menolak, ayah harap kamu mengerti". kata raja "Kemana ayah akan pergi? ayah pasti kembali kan? kalau begitu aku tidak perlu penobatan. Aku hanya akan memimpin sementara" jawab Chaterine Raja Aragon menatap dalam putrinya, memeluknya dan berkata "Ayah akan pergi, tapi tidak akan kembali kesisimu anakku" Chaterine pun terkejut, ia tidak mengerti maksut ayahnya. "Kenapa ayah berbicara seperti itu? ayah menakutiku". "Berjanjilah pada ayah, kamu akan memimpin Aragon dengan baik, banyak yang ingin ayah katakan padamu Chaterine, tapi waktu ayah tidak banyak" ucap Raja Aragon. Chaterine pun menangis, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dirinya belum siap menjadi Ratu Aragon. Terlebih dia belum siap kehilangan ayahnya. "Ayah... aku hanya punya ayah. Jangan tinggalkan aku . Dimana aku akan bersandar setelah ini? Siapa yang akan mengusap air mataku setelah ini? Aku tidak butuh semuanya, aku hanya ingin ayah bersamaku selamanya. Aku mohon ayah..." isak Chaterine "Apakah ayah sedang sakit? aku akan mencari dokter paling hebat di dunia ini. Apapun akan aku lakukan asalkan ayah tetap bersamaku". tambah Chaterine Melihat putrinya yang begitu sedih, Raja Aragon tak kuasa menahan air matanya. Putri sematawayangnya akan hidup sendiri di dunia yang kejam ini. Memikirkannya saja dia tidak sanggup. "Anakku sayang, putriku yang paling cantik. Tidak semua penyakit didunia ini bisa disembuhkan oleh obat dan dokter. Kamu akan mengerti maksud ayah suatu saat nanti". "Ayah akan menceritakan kisah yang ayah hindari selama ini, bagaimana ibumu menghilang setelah melahirkanmu. Siapa sebenarnya ibumu dan kekuatan dalam dirimu nak, ayah akan mengatakan semuanya termasuk warisan sihir hitam ibumu" ucap raja yakin. Ayahnya menatap dirinya dengan penuh harap, ia tidak tega menolaknya. "Baiklah ayah, aku mengerti. Aku akan mendengarkan ayah". -Hari Penobatan- Titah Raja "Hari ini, aku Raja Aragon , mengangkat putriku sematawayang, Chaterine Aragon untuk mewarisi tahta Kerajaan Aragon. "Putri Chaterine menerima titah raja dengan hormat" jawab Chaterine Chaterine pun menduduki singgasana.Semua orang yang ada disana pun berlutut memberi hormat kepada ratu mereka."Selamat, Ratu Chaterine, Queen of Aragon" ucap mereka". Rakyat menyambut hangat penobatan Chaterine, semua bahagia... kecuali dirinya sendiri. Chaterine melihat semua orang bahagia dan berpikir dalam hatinya :Benar, seharusnya dia bahagia dan senang karena menjadi ratu. Tapi apa gunanya menjadi ratu, jika orang yang paling dia cintai dan yang paling mencintainya didunia ini akan meninggalkannya. Ayah... apa ayah tau betapa menyedihkannya berdiri dengan penuh kesedihan ditengah-tengah orang bahagia ini? ~bersambung~ Description: Chaterine adalah Putri kerajaan Aragon. Tunangannya berselingkuh dengan sahabatnya.. kemudian meracuni ayahnya dan ingin membunuhnya. Kisah ibunya yang ternyata adalah seorang penyihir... Munculnya Vampir yang selalu datang menjaga taman istana.. Kisah cinta yang tak pernah ia bayangkan.. seluruh pengorbanan yang dilakukan oleh orang-orang yang menyayanginya.. Keputusan terberat hidupnya yang merubahnya menjadi penyihir iblis... Ada apa sebenarnya dibalik semua ini?
Title: Wanna Be Category: Chicklit Text: Prolog Seorang perempuan berpakaian dress ungu diatas lutut, rambut hitam legam yang bergelombang dan panjang hingga punggungnya dilengkapi dengan High Heels pumps berwarna hitam andalanya senada dengan tas selempang kecilnya yang berwarna hitam. Berulang kali Ia mengecek jam tangan yang bertengger di pergelangan tangannya kemudian ke ponsel yang ada di atas meja tempatnya duduk sekarang. Selalu seperti itu setiap beberapa menit sekali. “Sialan. Tu anak kemana sih?” gerutunya sambil mendial angka 5 di ponselnya. Menghubungi seseorang. “Sabar. Bentar lagi gue nyampe. Ini macet banget.” “Gue udah nunggu lo selama 1 jam, bego” “Sialan. Jangan begoin gue napa? Jalannya masih macet. Terus gue bisa apa dong?” “Terbang kek. Pake Heli atau jet” “Pandhita Aruni Prasojo, cerewet amat sih lo. Pms yaa?” Perempuan yang di panggil Pandhita Aruni Prasojo itu mendencih kesal. Secara sepihak ia langsung mematikan sambungan telfon. Kemudian bangkit dari duduknya menuju toilet perempuan. Setelah memperbaiki make up dan tatanan rambutnya Pandhita langsung keluar dari toilet tersebut dengan sedikit tergesa. Siapa tahu Devi, sahabatnya sedari SMA itu udah sampai. Tanpa terduga seorang pria lewat di depan pintu toilet perempuan sehingga menabrak tubuh Pandhita yang baru keluar dari toilet. Secara kaget Dhita tidak siap dan kehilangan keseimbangan tubuhnya ditambah dengan High Heelsnya yang sama sekali tidak membantu. Pandhita sudah pasrah jika bokongnya yang seksi akan mencium dinginnya lantai toilet. Semoga memejamkan mata dapat memberi manfaat dan mengurangi rasa sakit. ‘Tapi kok aku gak ngrasain sakit sama sekali? Kok juga ada bau – bauan parfum cowok sih? Wangi banget. Jadi pengen tidur deh.’ “Maaf, apakah anda tidak apa apa?” ‘eh, kok ada suara cowok seksi sih? Ya Ampun suaranya bikin gue merinding gimana gitu’ “Mbak, Mbak. Maaf. Tangan saya pegal kalau kaya gini terus,” “Hehh? Tangan pegel?” Ujar Dhita pelan sambil membuka matanya secara perlahan. Dihadapannya terpampang wajah tampan nan menawan nan seksi dan nan maskulin. Panjang banget sebutannya. Pokoknya wajahnya itu ganteng banget. Dengan garis wajah yang tegas, hidung mancung, rambut hitam dan sorot mata abu abunya yang tajam. “Maaf Mbak. Tangan saya,” Segera saja Pandhita langsung keluar dari kungkungan atau diperjelas lagi pertolongan agar ia tidak jatuh. Menyeimbangkan tubuhnya dengan berpinjak pada kaki – kakinya yang ternyata juga tidak apa – apa. Dengan adegan seperti tadi, harusnya ada adegan-adegan romantis seperti di drama korea, kok ya ini sama sekali gak ada romantis-romantisnya. Mungkin dia aja yang berlebihan. “Maaf. Saya terlalu kaget.” Ringis Dhita sambil membenahkan pakaiannya agar terlihat rapi. “Gak apa apa kok. Anda tidak apa – apa?” Pandhita membuka mulutnya hendak membalas pertanyaan pria yang ada dihadapannya. Namun kata – kata itu nyangkut sehingga tidak keluar. Ia hanya terpaku dengan wajah di depannya. Ia tidak akan pernah lupa. Wajah itu, wajah seorang pria di masa lalunya. Seseorang yang berhasil memporak – porandakan masa remajanya yang indah. Terutama dengan mata abu – abu yang dulunya menjadi bagian favoritnya dari pria itu. ‘Mati aku. Dari sekian tempat dan kejadian yang berbeda – beda. Kenapa gue harus di pertemukan dengan dia lagi?’ “Maaf, Mbak. Anda tidak apa – apa?” ‘Hehh? Mbak?’ “Mbakk–” “Eh, gak apa apa kok. Saya yang salah.” Pandhita memberi senyum paksa dengan pria yang ada dihadapannya. ‘Syukurlah, dia gak inget siapa gue. Tapi gue tetap harus cepet-cepet pergi sebelum dia menyadari siapa gue.’ “Ah, bukan. Seharusnya saya yang minta maaf. Menabrak perempuan secantik anda.” Pria itu memberikan senyum termanisnya. ‘Dasar playboy cap kodok mulutnya manis banget kalau didepan cewek cantik.’ “Eh, gak apa-apa kok. Saya maafkan.” Lebih baik bicara seperti itu jadi masalahnya selesai pikir Dhita “Maaf, saya sedang terburu – buru. Selamat siang,” Pandhita langsung kabur begitu saja meninggalkan pria itu. Lebih baik seperti ini dari pada pria itu tahu siapa dirinya. Di perjalanan untuk keluar kafe, Ia melihat Devi sudah memasuki kafe dan melambaikan tangan ke arahnya. ‘Jangan sampai pria itu melihat Devi disini bersamanya,’ Pandhita langsung berlari ke arah Devi dan langsung menyeretnya keluar dari kafe. Devi menghentikan dengan paksa dari Dhita yang menyeretnya keluar dari kafe. “Apaan sih lo Dhit? Main nyeret – nyeret aja. Emang gue apaan?” Maki Devi sewot. “Aduh ngomelnya nanti aja deh. Sekarang kita harus cepet – cepet pergi dari cafe ini,” “Lha emang ada apaan?” Tanya Devi sambil menolehkan kepalanya ke kafe. Tapi kedua tangan Dhita langsung sigap memegang kedua pipi Devi dan memaksanya agar menatap kedepan. “Gue ketemu sama Rega tadi.” “Huh? Rega?” Devi menautkan alisnya tidak mengerti. “Iya. Rega. Arkharega Adhyatsa Geofrey,” “Ya Ampun. Rega yang itu. Yang dulunya~” “Udah ah, jangan disini. Pertama – tama kita pergi dari sini lalu baru gue ceritain.” Pandhita menyeret Devi lagi pergi meninggalkan kafe tersebut. Disaat ia menatap kembali ke kafe, ia melihat Rega yang sedang mengelus rambut seorang wanita kemudian mengecup bibir wanita itu singkat. Bola mata Pandhita seperti ingin copot dari tempatnya. Tubuhnya bergidik ngeri. Seketika itu juga perutnya melilit seakan ingin mengelurkan makanan yang tadi dimakannya. ‘Gila. Gila. Cowok cap kodok itu kencan sama emak – emak? Eh, bentar. Itu memang emak – emak kan? Kelihatan sekali sudah tuaaa’ 1 Hari Senin. Hari yang benar – benar sibuk untuk kota Jakarta. Sebagian orang berkata “I Hate Monday” karena pada hari itu jalan – jalan macet sedari pagi, dari sepeda motor, angkot, hingga kendaraan pribadi berlomba – lomba memenuhi jalan raya. Bisingnya jalanan dimana setiap orang membunyikan klakson masing – masing kendaraan mereka agar kendaraan yang ada didepannya untuk cepat bergerak maju walaupun hanya beberapa meter saja. Alunan musik miliknya Justin Bieber–Love Yourself mengalun indah di dalam sebuah mobil honda jazz warna merah ikut berbaur dengan hiruk pikuk jalanan Kota Jakarta. “Cause if you like the way you look that much,oh baby you should go and love yourself, and if you think that I’m still holdin’ on to somthin’, you should go and love yourself” Sesekali gadis yang mengendarai mobil tersebut ikut bersenandung bersama Justin Bieber di list player musiknya. Sebuah short dress tanpa lengan bermotif bunga – bunga dan dipadukan dengan blezzer berwarna baby pink yang membalut tubuh rampingnya dengan baik. Rambutnya yang hitam bergelombang dibiarkan terurai hingga menjuntai punggungnya. Oh, dan tidak lupa juga stiletto warna hitamnya yang membungkus kakinya dengan indah. Bagian dari tubuhnya yang paling ia suka. Sesekali gadis itu memerhatikan jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangannya. Mengecek sudah berapa lam dia terjebak dalam macetnya kota Jakarta pada hari senin. “Ya Ampun Pandhita, Seharusnya kamu ngusir Devi saat jam sudah menunjukkan pukul 01.00 tadi malam.” Pandhita Aruni Prasojo atau sosok yang kerap di panggil dengan nama depannya atau Dhita itu menggerutu sambil menggas mobilnya setelah keluar dari lautan mobil yang saling berdempet – dempetan. Berusaha secepat mungkin agar Ia sampai ke kantor secepat mungkin. Pandhita berhasil memarkirkan mobilnya dengan mulus di area parking car kemudian bergegas turun setelah melihat tampilannya di sebuah kaca mobilnya sambil membawa tas jinjingnya. Setelah memastikan mobilnya sudah terkunci dengan benar Ia berjalan memasuki lobby gedung perkantoran tempatnya bekerja. “Pan, tungguin dong.” Teriak seseorang yang berhasil memperlambat jalannya kemudian menoleh ke belakang. Seorang pria berjalan cepat menghampirinya kemudian mensejajari langkah Dhita memasuki kantor. “Jangan panggil kaya gitu lah, Nu. Pan, Pan, Pan, emangnya papan apa? Nama bagus nih, kok main di putus – putus sembarangan, Pan-dhi-ta,” Ujar Dhita dengan sedikit kesal. “Ya ampun, cantik. Iya iya, aku khilaf. Pandhita yang cantik. Lagi pula kalau papan juga gak cocok buat kamu. Kamu itu cocoknya sama gitar spanyol. Kan cocok sama body kamu yang...” Danu bersiul sambil menggerakkan tanganya seperti body sebuah gitar. Dhita memukul punggung Danu dengan tasnya “Sembarangan. Jaga tu mata sama mulut. Aku aduin ke Laras nanti.” “Sakit kali, Ta. Apaan pula, beraninya main adu.” “Biarin.” Dhita berjalan cepat mendahului Danu. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Sapa dua orang receptionist di lobby kantor yang dikenal Dhita bernama Saras dan Citra. “Pagi juga.” Balas Dhita dengan senyum ramahnya kemudian bergegas memasuki lift kantor disusul Danu setelah membalas sapaan dari para receptionist. “Ya Ampun, Mbak Pandhita makin cantik aja sih. Gue ngefens banget sama dia. Udah ramah, smart, udah muda jadi kepala bagian pemasaran pula. Selera fashion juga TOP BGT,” Citra menggebu – gebu cerita tentang Pandhita yang saat ini sudah hilang di balik lift kantor yang membawanya naik ke kantornya. “Ya elah, tiap mbak Dhita lewat kata – kata yang keluar dari mulut lo cuma itu mulu. Ganti kek. Lagi pula jangan cuma ngagumi aja tapi di contoh kinerja mbak Dhita. Nih, kerjaan lo kan belum kelar.” Ujar Saras sambil menyodorkan tumpukan kertas di hadapan citra. “Ih, Mbak Saras jangan ingetin aku sama pekerjaan dong. Masih pagi ini.” “Justru karena pagi gue ngingetin elo. Biar ntar siang gak ketiduran setelah makan siang. Gimana mau jadi kaya mbak Dhita kalau setelah makan siang malah ngebo di meja kerja. Udah ah, aku mau ke toilet dulu.” Saras tertawa di saat perjalanan dan mendengar teriakan Citra yang kesal. ***** Pandhita duduk balik meja kerjanya sambil mempersiapkan barang – barang yang akan ia gunakan untuk bekerja. Menyalakan komputer dan meneliti berkas – berkas yang kemarin belum sempat ia jamah dan masih rapi dalam tumpukan berkas yang belum tersentuh. Suara ketukan pintu mengalihkannya dari lembaran kertas kerja dan menyuruh siapa saja yang ada dibalik pintu itu untuk masuk. “Selamat pagi, Mbak Pandhita,” Sapa Rima sekretaris Dhita yang sudah menemaninya dari awal selama menjabat menjadi kepala bagian pemasaran pusat yang sudah ia lakoni selama satu tahun terakhir. “Pagi juga Rim. Jadwal saya apa saja hari ini?” Rima membuka tablet yang selalu ia bawa kemana saja “Jam 10 nanti mbak ada rapat dengan bagian keuangan, lalu makan siang dengan perwakilan dari Kiandra Production terkait kerjasama kita yang terakhir kali, dan yang terakhir jam 2 nanti mbak akan rapat dengan tim terkait evaluasi bulan ini.” Dhita manggut – manggut saja tanda mengerti dan mengingat. Toh walaupun ia juga tidak mengingatnya, ada Rima yang akan memberitahunya 30 menit sebelum jadwal yang sudah ada. “Oh, iya mbak satu lagi. Tadi pak Rudi menelpon, mbak disuruh datang ke ruangan pak Alastair sesegera mungkin,” Pandhita mengabaikan berkas – berkas dihadapannya lalu memandang sekretarisnya sambil menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa beliau menelpon sepagi ini?” “Saya juga kurang tahu, mbak. Mungkin ada suatu hal yang penting.” Pandhita hanya menganggukkan kepalanya lalu mengambil tumpukan berkas yang sudah diteliti dan ditandatanganni kemudian menyerahkannya ke Rima. “Terima kasih, Rim” “Sama – sama mbak. Saya balik dulu ke meja saya.” Ujar Rima sambil beranjak dari ruangan Dhita kembali ke meja sekretaris. Dhita memberesi berkas yang tadi sedang di buka olehnya lalu beranjak keluar dari ruangannya. Ia mampir sebentar ke meja Rima untuk membicarakan suatu hal kemudian melangkah pergi menuju ruangan CEO perusahan ini di lantai teratas gedung ini. “Ah, Pandhita. Baru saja saya mau nelfon Rima agar kamu segera datang,” Ujar pak Rudi yang melihat Dhita melangkah ke arahnya. “Maaf pak Rudi, jadi nunggu lama. Memangnya ada apa ya pak? Sepertinya penting sekali.” Pak Rudi menggelengkan kepalanya. “Saya juga kurang tahu, Dhita. Lebih baik kamu langsung masuk saja.” Pak Rudi mengetukkan pintu untuk Dhita yang dibalas sahutan dari dalam untuk menyuruhnya masuk. Sebelum masuk ke dalam ruangan, Dhita berterima kasih kepada pak Rudi. “Selamat Pagi, Pak.” Sapa gadis itu ramah. “Pagi juga Pandhita. Ayo silahkan duduk,” Pak Alastair yang semula menekuni pekerjaannya beranjak ke sofa di depan meja kerjanya yang biasanya untuk menerima para tamu ataupun kolega – kolega perusahaan. “Ada yang bisa saya bantu Pak?” Tanya Dhita sesopan mungkin. Pak Alastair menggelangkan kepalanya “Tidak ada Dhita. Maaf menyuruhmu untuk datang ke ruangan saya secara mendadak.” “Tidak masalah pak. Kebetulan saya masih belum ada jadwal untuk keluar kantor.” Pak Alastair menghela nafasnya sebentar sebelum memulai bicara. “Saya hanya ingin mengucapkan banyak – banyak terima kasih atas kerja kerasmu selama beberapa tahun ini. Berkat kamu juga beberapa bulan terakhir ini berbagai penjualan dan saham kita semakin naik. Bapak suka sekali dengan kinerja kamu.” “Sudah menjadi kewajiban saya untuk melakukan tugas yang seharusnya saya lakukan pak. Jadi bapak juga tidak perlu terima kasih kepada saya. Toh, semua yang saya lakukan juga berkat kerja sama teman – teman saya dalam tim.” Pak Alastair tersenyum lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. “Saya pasti akan merindukan hiruk pikuk perusahaan ini,” Pandhita mengerutkan keningnya mendengar penuturan dari Bosnya itu. “Saya sudah tua Pandhita. 58 tahun lebih. Sudah saatnya saya menikmati masa tua saya dengan istri dirumah, sama seperti Ayah kamu. Menikmati masa tua di kampung halaman. Enak ya Adipati. Udah bisa merasakan anaknya menikah dan nimang cucu. Dua pula.” Dhita tersenyum masam “Bapak akan–” “Ya, Dhita. Sudah saatnya saya mengalihkan perusahaan ke anak tertua kami. Sudah saatnya juga Ia mengabdi pada perusahaan milik keluarganya bukan mengabdi pada perusahaan asing di tempat asing pula. Yah walaupun saya bukan asli orang Indonesia, tapi saya merasa ini rumah saya sekarang, tempat dimana anak – anak saya lahir dan tumbuh.” Pandhita hanya mendengarkan atasanya tanpa menyela lagi. “Ah, Saya pasti rindu bagaimana kamu membawakan presentasi di depan para direksi untuk meyakinkan mereka dan bagaimana kamu beradu argumentasi dengan mereka juga.” “Bapak masih bisa melihatnya bukan? Walaupun pimpinan kami sudah berganti. Sesekali mengunjungi perusahaan di bawah pimpinan anak bapak,” Ujar Dhita sambil tersenyum manis. Pria itu hanya menganggukkan kepalanya “Saya selalu membayangkan bagaimana jika kamu bertemu dengan anak saya nanti. Pasti akan menarik. Ia memiliki sifat keras kepala, mempertahankan apa saja yang menurutnya benar, perfeksionis dan agak kaku. Semoga saja kalian betah dengan anak saya.” Dhita tersenyum kecut ‘Semoga saja’ ujarnya dalam hati. ***** Pada jam yang sama, di sebuah Hotel Matahari kali ini benar – benar menyebarkan sinarnya setelah semalaman turun hujan. Seakan akan balas dendam akan hari kemarin yang juga di liputi oleh mendung. Semua tempat tak luput dari sinar matahari pagi. Termasuk sebuah kamar hotel berbintang 5 itu pun juga terkena sinarnya. Seorang pria tiduran di ranjang sambil memandang seorang wanita yang masih bergelung di bawah selimut tebalnya. Selimut itu menutupi tubuhnya hingga ke leher jenjang putihnya. Senyuman pria itu tetap awet hingga wanita yang ada dibalik selimut itu bergerak sedikit karena cahaya matahari yang mengnai wajahnya. “Silau,” Wanita itu mengambil selimutnya lalu menutupi seluruh tubuhnya dari cahaya matahari. “Morning beautiful lady. Time to wake up.” Ujar pria itu sambil membuka selimut yang menutupi wajah wanitanya dan memberikan ciuman ke wajahnya secara bertubi – tubi. “No. Aku masih lelah Rega,” wanita itu berusaha menjauhkan wajah Rega dari wajahnya. “I know. Tapi kamu tetap harus bangun. Kita sarapan dulu. It’s 9 o’clock now. Tidakkah kamu lapar?” Wanita itu tidak mengacuhkan perkataan Rega. Ia mengambil selimutnya kembali lalu menutupi tubuhnya. “Ohh, sepertinya laparmu lapar yang lain,” Ujar Rega sambil menyusupkan tangannya kebalik selimut kemudian terdengar pekikan wanita itu hingga membuatnya menggeliat kegelian sambil tertawa keras. “Stop it,” “Aku akan menghentikannya jika kamu bangun sekarang,” Mereka masih pada posisi yang sama hingga sebuah deringan ponsel terdengar nyaring. Buru – buru sang wanita menghentikan aksi Rega secara paksa kemudian mengambil ponselnya dengan cepat. “Udahlah gak usah di angkat,” “Sorry,” Sebelum menerima panggilan yang ada diponselnya, Wanita itu langsung membungkus tubuhnya dengan selimut dan berjalan menjauh dari tempat Rega berada. “Halo,.. iya mas...” Mendengarnya membuat Rega diliputi kekesalan dan kemarahan yang menggumpal. Ia bangkit dari ranjang lalu memandang keluar jendela dengan tangan yang mengepal erat. Rasanya ia ingin meninju sesuatu saat ini. Setelah 10 menit berlalu wanita itu kembali lagi ke Rega lalu memeluk sebelah tangan Rega dengan erat. Mencoba merilekskan tangan – tangan pria itu yang tadi mengepal dengan sentuhan lembut tangan wanitanya. “Re,,” “Seharusnya kamu mengabaikan panggilan itu, Nina. Kita sedang menghabiskan waktu berdua,” Ujar Rega dengan kemarahan menggebu – gebu. Karenina Putri Kusuma, wanita berumur 40 tahun itu membalikkan badan pria yang ada dihadapannya dengan perlahan kemudian menyandarkan kepalanya di dada bidang pria itu. “Kita sarapan dulu yuk, lalu pergi keluar. Hanya kita berdua. Tidak ada yang lain.” Bujuk Nina dengan suara yang pelan dan lembut. Rega menghela nafasnya kemudian membalas pelukan wanita yang ia kasihi dengan erat. “Ayo, kita sarapan,” ***** “Halo,” Pandhita keluar dari mobil merahnya menenteng sebuah tas dan telfon di tangan kanannya yang saat ini sedang memegang ponsel dan berbicara dengan lawan bicaranya di telfon. Setelah terdenga bunyi beep dari mobilnya, ia langsung berjalan menuju lift basement. Masih dengan ponsel di telinga kanannya. “Iya. Ini gue sampai basement. Bentar lagi masuk lift. Aku tutup ya,” Pandhita memasukkan ponselnya ke dalam tas kemudian masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai dimana Devi sedang menunggunya. Setelah seharian dengan aktivitas kantor, Ia mengajak Devi untuk pergi belanja bulanan. Kebetulan juga kebutuhan sehari – hari sahabatnya itu juga menipis di apartemen sehingga ia setuju saja saat di ajak Pandhita untuk belanja bulanan. Kebetulan juga Pandhita dan Devi tinggal dalam satu gedung apartemen. Devi tinggal di lantai 12 sedangkan Pandhita di lantai 14. Jadi mereka sering sekali pergi hanya untuk sekadar belanja bulanan di selingi dengan keliling mall terlebih dahulu. Pandhita keluar dari lift dan mencari sosok sahabatnya. Tak lama Ia menemukan sahabatnya yang masih dalam pakaian kerjanya. Sama sepertinya yang dari kantor langsung kemari. “Dev,” Devi menoleh lalu menghampiri Pandhita yang melambaikan tangannya. “Lama amat sih lo?” “Ya maaf.” Ujar Dhita lalu jalan bersisihan dengan Devi “Kita kemana dulu nih?” “Emh, gue butuh pakaian kerja baru nih. Kita keliling dulu aja yuk.” Pandhita dan Devi berkeliling mall dari satu butik ke butik lain untuk mencari pakaian. Setelah mereka mendapatkan pakaian yang diinginkan mereka masing – masing, mereka berniat memulai belanja bulanannya di supermarket. Namun langkah mereka terhenti saat mereka melewati sebuah toko sepatu. “Please, Jangan lagi. Oke?” peringatan dari Devi tidak diindahkan oleh Dhita. Pandhita langsung masuk melihat High Heels yang terpajang satu per satu. “Kamu udah punya berpuluh pasang yang seperti ini di kamarmu Dhit. Terus sekarang kamu mau beli lagi? Kapan terakhir kali kamu beli High Heels?” Pandhita berhenti sejenak untuk memikirkan kapan terakhir kali ia membeli High Heels. “Minggu lalu? Atau empat hari yang lalu ya?” Dhita mengangkat bahunya tanda tidak tahunya. “Ya Ampun. Bahkan terakhir kali kamu belanja kayak gini aja lupa? Ini emang lupa atau sengaja dilupain?” “Ya elah, gitu amat sama gue. Gue bener – bener lupa. Emang kaya begituan aja harus ya diingat? Lagi pula lo tau kan gimana cintanya gue sama mereka?” Ujar Dhita dengan tampang polosnya. Devi langsung menghadiahinya pukulan ringan di kepala perempuan itu. “Iya lah. Yang jadi getahnya kan gue juga. Entar kalau pertengahan bulan uang gajianmu menipis gue juga yang repot. Pasti lo bakalan merengek – rengek buat meminjamkan uang ke elo,” “Tapi kan pada tanggal gajian langsung gue lunasin. Paling gak omongan gue gak cuma bualan aja. Karena gue bener – bener mengembalikan pinjaman.” Devi tidak membalas bantahan dari Pandhita. Karena omangan perempuan yang ada didepannya ini benar. Walaupun Dhita sedikit konsumtif, tapi Ia hanya membelanjakan uang dari kerja kerasnya di kantor. Bukan pasokan dana dari bisnis keluarganya atau bisnis yang di bangun oleh Devi dan Pandhita. Bisnis bakery mereka yang saat ini sudah memiliki 3 cabang di Jakarta dan satu di Bandung yang saat ini berada di bawah kekuasaan Devi. Menurut Pandhita, bakery yang sebenarnya dirinya hanya membantu keuangan pertama saat pembukaan toko dan pembukaan cabang lain. Katakanlah saja seperti ia menanam saham disebuah perusahaan yang nantinya lihat saja rekening tiap bulan akan bertembah seiring berkembangnya sebuah perusahaan itu. Tapi bertambahnya cabang bakery bukanlah kerja keras dari Pandhita karena ia terlalu sibuk di kantor. Semuanya berkat kerja keras Devi yang membuat bakery Pandevi– nama bakery milik Devi dan Dhita yang terdiri dari nama mereka berdua. Beralih soal kehidupan mereka, saat ini mata Pandhita tidak bisa lepas dari sepasang sepatu yang di pajang. Sebuah High Heels pesta dengan merk Jimmy Choo berwarna emas dengan detail yang sempurna untuk di pakai saat pesta, menurut Pandhita. Denga buru – buru ia menghampiri incarannya dan mengambil sepatu itu, namun ada tangan lain juga yang hendak mengambil sepatu yang sama. Mereka melihat satu sama lain lalu saling tarik menarik. Tidak ada yang mau mengalah. “Maaf, tangan saya dulu yang memegang sepatu ini,” Ujar Dhita dengan tangan yang masih memegang sepatu itu. “Enak saja, saya dulu yang lihat dan memegangnya. Tangan kamu itu yang telat saat mengambilnya. Lepasin dong.” Wanita berusia 30an atau lebih itu keukuh tidak mau kalah juga. “Tante ngalah dong sama yang lebih muda,” “Ehh, sembarangan kamu. Saya bukan tante kamu. Jangan panggil seenaknya aja yaa.” Ujar wanita itu kesal. Devi menghampiri Dhita lalu berbisik ke arahnya “Dhit, jangan mau – maluin dong,” “Yee, siapa juga yang malu – maluin? Seharusnya lo bantu gue dong,” Ujar Dhita sewot. “Mbak, sepatu yang sama persis ada gak ya?” Tanya Devi kepada penjaga toko disana. “Maaf. Itu kan stok limited edition, jadi Cuma ada satu series dalam 4 ukuran, dan itu ukuran yang tersisa, 38,” Ucap sang penjaga toko sambil tersenyum menyesal. “Nah, itu dengerin. Ini stok satu – satunya. Jadi kamu ngalah saja sama saya, lagian ukuran sepatu saya itu 38. ” Dhita mendengus kesal ‘Yang ada elo kali yang ngalah ama yang muda. Tapi sebentar, kok kaya tahu wajah tante ini yah? Tapi dimana ya?’ Pandhita mengerutkan dahinya berpikir keras. Tiba – tiba melintas kejadian di kafe saat dirinya bertemu dengan Rega pertama kali. Dan wanita yang ada dihadapannya kali ini adalah wanita yang dicium Rega di kafe. ‘Jika wanita yang dicium Rega itu disini kemungkinan besar Rega–’ “Ada apa, Nina?” Sebuah suara terdengar familiar ditelinganya dan secara refleks Pandhita melepaskan sepatu itu kemudian mundur secara teratur di belakang tubuh Devi. “Nah, gitu dong. Kenapa gak dari tadi saja sih?” Omel Wanita itu yang saat ini berdiri seorang pria dengan tubuh tegapnya, Rega. “Dia beneran Rega yang itu? Makin ganteng aja dia,” Bisik Devi di telinga kanan Pandhita. Rega menatap seorang wanita yang sangat familiar di matanya “Kamu Devi Alisa Hakim Kan? Adiknya Dimas?” “Ha? Saya?” Devi menunjuk dirinya sendiri kaget “Eh, benar. Saya Devi adiknya Dimas. Anda siapa ya?” Tanya Devi pura – pura tidak mengenali Rega. “Ya ampun ternyata benar. Saya Arkharega, Rega. Temen kakakmu kuliah di Jogja dulu. Saya kan sering datang ke rumahmu dulu.” “Oh, mas Rega yang itu ya, yang sering ngajakkin mancing kalau ke rumah.” “Iya. Gimana kabar mas kamu?” Rega melepaskan jabat tangannya dari Devi. “Baik kok. Mas kesini sama siapa?” Tanya Devi berusaha menampakkan wajah penasaran. Ia hanya ingin membuktikan kata – kata Dhita beberapa hari yang lalu saat Pandhita bertemu pertama kali dengan Rega. Karenina, yang ada di sebelahnya memegang lengan Rega dengan kuat. “Kamu sendiri sama siapa?” Tanya Rega berusaha mengalihkan pembicaraan dan mengerti arti cengkraman tangan dari Nina. “Dev,” Bisik Pandhita sambil meremas tangan Devi gugup. “Oh, dia tetangga apartemenku. Kebetulan kami berencana buat belanja bulanan.” Devi mengamati jam tangannya “Ah, mungkin mengobrolnya kita lain kali ya mas Rega, kami benar terburu – buru ini. Sampai jumpa lagi” “Tunggu dulu–” Baru mau mengerjar kedua perempuan itu, tangannya dicegah oleh seseorang. Ia hanya memperhatikan dua perempuan itu menghilang dari toko sepatu ini. “Reuniannya udah ya Ga. Ayo bayar ini dulu,” Ujar Nina dengan semangat. Rega hanya menganggukkan kepalanya lalu menuruti langkah Nina. Tapi pikirannya saat ini tertuju pada dua perempuan tadi. Terutama perempuan yang tadi di belakang Devi. Seolah – olah ia menyembunyikan dirinya dari seseorang. ‘Tapi dari siapa? Dan kenapa wajahnya juga cukup familiar sekali dimataku?’ Pikirannya buyar saat seseorang mengguncang – guncang tubuhnya “Sayang. kartu kredit kamu?” Sedangkan Devi dan Pandhita saat ini berjalan mengelilingi deretan berbagai sabun mandi di sebuah supermarket. “Ya ampun. Pria sesempurna Rega kok seleranya emak – emak kaya gitu, ya walaupun itu emak – emak cakep bener, tapi kan tetep aja...” Ujar Devi dengan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi. “Ya mana aku tahu. Udah di turunin mungkin kriteria wanita idamannya,” ujar Dhita asal. “Masa sih? Tapi kalau dilihat lagi, wanita itu tadi masih lumayan lah. Gak keliatan tua amat menurutku.” Pikir Devi sambil mendorong trolinya ke bagian perlengkapan mencuci. “Tapi lagi, bagaimana ceritanya ya kalau dia tahu penampilanmu yang sekarang ini?” Devi memperhatikan Dhita dari atas hingga bawah secara berulang – ulang. “Apaan sih lo. Gak akan ada drama aneh – aneh. Walaupun dia tahu siapa aku. Oke?Lagian aku yakin ini pertemuan terahir dengan dia.” Pandhita mendorong trolinya sendiri menjauhi Diva. 2 Tok tok tok ... Seseorang dari luar mengetuk pintu ruangannya. Setelah di persilahkan masuk, orang yang berada di luar ruangannya itu masuk ke dalam. Rima masuk sambil menenteng tablet di tangan kanannya. “Selamat pagi, mbak Pandita.” “Pagi juga, Rim. Apakah jadwalku padat hari ini?” Tanya Dita sambil memilah – milah berkas yang ada didepannya. ”Tidak terlalu padat kok mbak. Hanya beberapa berkas yang perlu di cek dan ditanda tangani lalu CEO baru kita akan datang hari ini. Penyambutan CEO baru akan dilangsungkan pagi ini juga dan secara tertutup dengan pada direktur bagian dan yang lainnya akan dilaksanakan di ruang rapat. Eemm, pertemuan akan dilangsungkan satu jam lagi.” Pandita mengangguk–anggukkan kepalanya tanya mengerti tanpa menghentikan kegiatanya. “Ada sesuatu yang mbak butuhkan mungkin?” Tanya Rima menawari. Pandita menggelengkan kepalanya lalu menyerahkan beberapa berkas yang sudah di periksa olehnya. “Terima kasih sudah mengingatkan, Rim. Oh, iya. Nanti tolong bilang ke mang ujang buat mencarikan makan siang seperti biasanya ya,” “Baik, Mbak. Kalau begitu saya undur diri,” Rima meninggalkan ruang ***** Pandita masih asik dengan tablet yang ada di depannya, menghiraukan hiruk pikuk pembicaraan para direktur bagian yang sebagian memang didominasi oleh pria. Direktur bagian di perusahaannya yang berjenis kelamin perempuan hanya dua, Pandita dan Direktur bagian HRD, Bu Wulan. Pandita masih fokus dengan laporan penjualan bulan lalu yang ada di tabletnya. Hingga tangan seseorang menyenggol pelan tangannya. Kepalanya langsung menoleh ke arah orang yang menyenggol tangannya tadi. “Dita, Kau seharusnya meninggalkan tabletmu di kantor saja. Kenapa juga harus membawanya?” Kata Pak Guntoro yang tadi menyenggol tangannya “Jangan terlalu keras mengabdi ke perusahaan ini. Kau kan juga butuh istirahat,” Bisiknya agar kata-katanya tadi tidak terdengar oleh orang lain. “Lagi pula, seharusnya kamu mempercantik dirimu sendiri. Aku dengar CEO baru kita ini masih muda. Umurnya tidak jauh beda denganmu, pintar, tampan dan tentu juga kaya,” Bu Wulan yang ada di sampingnya ikut masuk mengingatkannya untuk menjauhkan tablet yang ada ditangannya. “Ahh, iya. Dia memang pria muda yang tampan. Aku dengar juga Ia belum punya Calon di umurnya yang sudah matang. Lalu kamu juga masih sendiri. Ini kesempatan yang baik buat kamu Dita,” Pak Guntoro menimpali. Pandita hanya memberikan senyum manisnya sambil menutup tablet yang ada di tangannya. “Duhh, Pak, Bu. Saya disini kan digaji buat bekerja, bukan buat cari jodoh. Nanti kalau memang sudah waktunya, jodoh saya juga akan datang sendiri. Gak bakalan lari kemana mana kok.” Ujar Dita menanggapi kata – kata yang menurut gadis itu konyol. “Tapi kalau gak usaha yang jodohmu gak akan dekat-dekat.” “Nah, Bener itu kata Pak Guntoro,” Bu Wulan memberi dukungan. Pandita menghela nafas sebentar. “Maaf Pak, Bu. Saya mau ke toilet sebentar,” Dita langsung bangkit dari duduknya pergi meninggalkan ruang rapat. Tak lama setelah Dita pergi, rombongan kecil memasuki ruangan itu. Beberapa orang yang berjas hitam berada di luar ruangan dan tiga orang pria memasuki ruangan. Orang – orang yang duduk langsung berdiri melihat orang yang mereka tunggu – tunggu datang. “Selamat Pagi,” Sapa seorang pria yang berdiri di ujung meja. Seorang pria yang berpawakan tinggi, dengan tubuh atletis dan wajah tampan namun terlihat tegas. “Silahkan duduk,” Ujar pria itu mempersilakan orang – orang yang ada di hadapannya untuk duduk. “Terima kasih sudah memenuhi undangan saya dan menyambut saya dengan baik. Perkenalkan Nama saya Arkharega Adhyaksa Geofrey. Saya harap ke depannya kita dapat bekerja sama dengan baik. Sebelumnya saya ingin minta maaf dan memberitahukan jika cara bekerja saya berbeda dengan Ayah saya. Ya walaupun saya belum di resmikan menjadi CEO.” Tidak ada yang menimpali perkataan Rega. Kemudian Ia melanjutkan kembali “Saat ini, Ayah saya belum bisa mendampingi saya untuk memperkenalkan rekan – rekan kerja Ayah. Kalau begitu, kita mulai saja dari perkenalan. Saya ingin mengenal rekan – rekan kerja Ayah yang kata beliau memiliki kemampuan di bidangnya masing – masing dan profesional” Satu per satu orang yang ada di ruangan tersebut mengenalkan dirinya hingga tuntas. Kemudian mata Rega baru menyadari ada satu kursi kosong di antara Pak Guntoro dan Bu Wulan. Menyadari kerutan di wajah CEO barunya, Bu Wulan menjelaskan “Maaf, Pak. Dia baru di toilet.” Tak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka. Rega memperhatikan orang yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Matanya meneliti seorang perempuan dengan rok span di bawah lutut dan kemeja dengan motif bergaris pada tubuhnya. Tanpa sengaja mata mereka bertemu dan pada detik itu juga Ia sedikit terkejut lalu kemudian mengerutkan dahinya berfikir sesuatu. Pandita sama terkejutnya. Melihat orang yang Ia hindari ada dihadapannya dan tunggu... ‘duduk di kursi CEO? What? Jadi, Rega anaknya Mr. Geofrey? Benar kata orang. Ternyata dunia memang kecil.’ Ia tertawa frustasi lalu kemudian duduk di kursinya setelah Bu Wulan menjawil dirinya dari lamunan singkatnya tadi. “Dit, Perkenalkan diri kamu. Tinggal kamu saja yang belum,” Bisik Bu Wulan kepadanya. Pandita gugup luar biasa. Berbagai pemikiran bersliweran di kepalanya. Bagaimana jika Rega mengetahui siapa dirinya? Bagaimana jika nantinya posisinya terancam? Dan berbagai hal lainnya. Bu Wulan menyenggolnya lagi “Jangan kelamaan diamnya,” Bisik Bu Wulan gemas. Pandita berdehem sebentar. “Perkenalkan, nama saya Pandita yang saat ini menjabat sebagai Direktur bagian pemasaran.” Hanya kalimat itu yang dapat dikeluarkan gadis itu. Kemudian ruangan itu terlihat sunyi setelah Pandita selesai memperkenalkan dirinya. Rega berdehem untuk mencairkan suasanya yg terlihat kaku. “Mungkin bu Pandita bisa memperkenalkan diri lebih detail lagi? Selain nama dan jabatan mungkin? Karena direktur bagian yang lain tidak hanya nama dan jabatan saja. Atau mungkin progress bagian pemasaran setelah di bawah kepemimpinan oleh Bu Pandita?” tanya pria itu sesopan mungkin. “Kalau untuk profil secara detail bapak bisa lihat sendiri di biodata karyawan.” Ujar Dita sedikit ketus. Bu Wulan langsung menyenggolnya untuk memperingatinya akan bicaranya yg kurang sopan. “Aduh. Maaf. Maksud saya . . .” “Duh, Nak Dita terlalu gugup mungkin pak. Soalnya ketemu Pak Rega yang tampan. Jadi dia gugup,” Celetuk salah satu orang direktur bagian yang mengundang gelak tawa yang lainnya. Wajah Dita langsung memerah malu. Ia meringis kecil, biarlah gugupnya di anggap seperti itu. Paling tidak dapat mencairkan suasana dan melupakan kejadian ketidaksopanannya terhadap CEO yang baru. Setelah itu perbincangan menjadi lebih leluasa dan lancar satu sama lain hingga satu jam kemudian pertemuan itu selesai. Hampir semua orang yang ada di sana sudah pergi meninggalkan ruang rapat. Pandita masih ada si sana, saat hendak ingin keluar ruangan seseorang memanggilnya dari arah belakang. Pandita memejamkan matanya untuk mempersiapkan raut wajahnya agar bersikap tenang dan sopan. Ia membalikkan badannya kemudian tersenyum. “iya pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya seramah mungkin sambil memamerkan senyum palsunya. “Saya belum mengenalkan diri saya pada bu Pandita. Tadi anda masih ada di luar . jadi sebaiknya kita berkenalan secara pribadi. Arkharega Adhyaksa Geofrey. Biasanya saya di panggil Rega.” Pria itu menyodorkan tangannya ke arah Dita, menunggu sambutannya. Pandita tersenyum kikuk “Pandita, Pak. Bapak kan sudah tahu nama saya.” Sambil membalas jabat tangan dari Rega. “Ya.” Hening beberapa detik. Membuat Pandita merasa risih. “Kalau tidak ada yang ingin bapak sampaikan, saya mohon undur diri.” “Tunggu.” Kata Rega. “Kamu temannya Devi Alisa? Kalau tidak salah kita pernah bertemu beberapa hari yang lalu di mall. Di gerai sepatu,” Pandita gugup bukan main. Apa yang harus Ia jawab? Bukan teman Devi? Toh beberapa hari yang lalu rega secara sadar melihat dirinya waktu di mall. “Benar, Pak. Saya temannya Devi Alisa.” Ujar Dita pada akhirnya. Ia menyisir rambutnya ke belakang. Terlihat frustasi. “Begini. Bisakah kamu melupakan kalau kita pernah bertemu di mall atau paling tidak membicarakannya pada siapapun?” Dahi Pandita berkerut samar, tanda dirinya tidak tahu maksud dari perkataan Rega. Rega menghela nafasnya. “Kita bertemu di mall. Kamu dengan Devi dan Saya bersama seseorang yang waktu itu kalian memperebutkan sebuah high heels.” Pria itu berhenti sejenak. Mencari kata – kata yang cocok untuk diutarakan kepada gadis yang ada dihadapannya. “Tolong jangan memberitahu kepada siapapun soal kita bertemu di mall. Soal saya di mall jalan sama siapa. Saya harap kamu menyembunyikan hal ini.” ‘Oh, backstreet. Hubungan yang tidak di restuikah?’ pikir Dita dalam hati. “Saya harap anda dapat bungkam soal kejadian itu. Seolah – olah kita baru saja bertemu sekrang. Atau anda minta apa dari saya? Apapun saya kasih. Asalkan anda dapat tutup mulut.” “Maaf ya, Pak,” Pandita menghentikan sejenak kata – katanya untuk meredakan emosi dalam dirinya. “Saya bukan orang picik. Bukan orang yang dapat berpikiran seperti itu. Soal hubungan apapun itu antara bapak dengan wanita itu, tenang saja. Saya dapat menutup mulut saya dengan rapat – rapat tanpa harus diberi APAPUN.” Ujar Dita dengan sangat kesal. Tanpa berpamitan dan dengan ogah – ogahan menundukkan kepalanya untuk memberi hormat kepada pria dihadapannya, Pandita keluar dari ruang rapat tersebut masih dengan hati yang kesal bukan main. Rega membalikkan badannya hingga melihat perempuan di hadapannya tadi hilang di balik pintu ruang rapat. Perempuan itu menutup pintu dengan sedikit kasar. Tanpa membuang – buang waktu, Rega juga mengikuti dibelakangnya untuk keluar dari ruangan. “Imron,” Panggil Rega kepada asisten pribadinya saat ada di luar ruang rapat. “Iya, Pak?” “Cari profil lengkap perempuan yang baru saja keluar dari ruangan ini tadi. Pendidikan, masa kecil maupun semua masa lalunya. Semuanya tanpa ada kecuali.” Perintah Rega kepada asisten pribadinya itu yang dijawab iya oleh asisten pribadinya. ‘Sepertinya kau akan selalu berurusan denganku mulai dari sekarang’ pikir Rega dalam hati. ********** “What?” Devi menghentikan kunyahannya mendengar cerita dari Dita di hadapannya “Dia pake ngancem lo segala? Di sogok pake duit juga?” Devi berdencak kesal sambil geleng – geleng kepala “Emang edan tu orang, terus lo gimana?” “Ya gue marah lah, gue kan bukan cewek matre. Emangnya gue kelihatan seperti cewek gila harta yaa?” ujar Dita kesal mengingat kejadian tadi siang saat pertemuan pertama dengan CEO baru perusahaannya. “Lah, elu kan emang cewek gila harta,” Dita langsung melempar makanan ringan ke muka Devi “Sembarangan. Gue bukan cewek gila harta yaa,” “Lah lu kan suka banget shopping terutama buat beli High Heels meskipun harganya sepasang jutaan, namanya apa kalo bukan gila harta?” “Itu namanya bukan gila harta. Tapi itu konsumtif, keles. Lah, emang apa bedanya gue sama elu yang sama – sama gila shopping?” Dita berdiri dari duduknya dan berjalan menuju dapur apartemen miliknya. “Duh, iya juga yaa.” Dita meletakkan minuman ringan didepan Devi “Terus, dia belom tahu siapa elu kan?” Devi membuka botol minuman yang diberikan Dita. “Untuk sekarang sih sepertinya belum. Tapi gak tahu juga besok – besok. Keluarga Geofrey kan terkenal dengan kekayaannya. Mungkin kan kalau Rega mencari tahu siapa gue sebenarnya?” Devi mengangguk – anggukkan kepalanya tanda mengerti. “Terus lo mau gimana untuk sekarang?” Dita merebahkan tubuhnya ke sofa empuk miliknya. “Entahlah. Untuk sekarang gue akan melakukan apa yang dia minta dan berusaha untuk menghindari kontak langsung dengan dia. Bagaimanapun caranya.” Ujarnya sambil menatap langit – langit apartemen miliknya. ******** Pandita berjalan masuk keruangannya dan tak lama kemudian Rima, sekretarisnya masuk ke dalam dengan membawa buku agenda dan tabletnya. “Ada apa, Rim? Bukankah jadwal untuk menemui Pak Santoso masih satu jam lagi?” Tanya Dita keheranan sambil melihat jam di tangannya dan jam di komputer memastikan jika jam yang ada di tangannya masih berfungsi dengan benar dan Ia tidak salah membaca jam yang saat ini masih pukul 13.00. “Benar, mbak. Jadwal meeting dengan Pak Santoso masih satu jam lagi. Tapi tadi asisten pribadi Pak Rega menelpon, Ibu disuruh untuk datang ke tempat beliau sekembalinya dari makan siang.” Pandita mengerutkan dahinya. Untuk apa CEO baru itu ingin bertemu dengannya. Padahal Ia berusaha untuk tidak bertatap muka dengannya. “Mbak?” panggil Rima membangunkan Dita dari lamunannya. “Ehh, ya? Saya akan ke sana segera,” “Kalau begitu saya akan undur diri mbak.” “Terima kasih, Rim.” Rima menjawab perkataan rima lalu keluar ruangan. Tak lama kemudian Pandita juga keluar ruangan menuju ruang CEO barunya. Entah hal apa yang akan disampaikan oleh sang CEO. Jika hanya mengenai selingkuhannya ia akan langsung meninggalkan ruangan yang ada dihadapannya ini. Benar – benar akan keluar dari ruangan ini. Pandita memasuki ruangan setelah orang yang ada didalam memberi izin untuk masuk. Interior dalam ruangan yang dimasukinya masih sama seperti milik CEOnya yang lama. Mungkin sang CEO baru belum sempat mendekor ulang ruangannya atau memang tidak berniat untuk merubah apapun dari ruangan ini. “Silahkan duduk.” Orang yang ada dihadapannya masih berkutat dengan dokumen dihadapannya setelah Ia mempersilahkan Pandita untuk duduk. Tak lama kemudian Rega menutup dokumen yang dipelajarinya dan menghampiri Pandita yang duduk di sofa ruangan tersebut. “Terima kasih sudah menyempatkan waktu anda untuk datang ke ruangan saya,” ‘Gue masih berfikir waras untuk gak di pecat kali’ “Oh, tidak apa, pak. Kebetulan saya masih memiliki waktu senggang,” jawab Dita dengan senyum yang dipaksakan. “Mungkin bapak ingin menyampaikan sesuatu yang penting ke saya?” Rega hanya memamerkan senyumnya yang dirasa aneh oleh Pandita. “Anda tahu kan kalau enam hari lagi akan ada pesta penyambutan dan penyerahan jabatan untuk saya?” Pandita hanya menganggukkan kepalanya. “Saya ingin anda mengatur semua hal untuk pesta itu.” “Apa? Melakukan apa?” Tanya Dita dengan muka kagetnya. “Mengatur pesta itu. Untuk tempat dan EO sudah di booking oleh asisten saya. Anda hanya perlu mengatur dekorasi dan segala hal lainnya. Daftar undangan juga akan di urus oleh asisten pribadi saya.” “Tunggu, Pak. Anda meminta saya ke sini hanya untuk menyuruh saya mengatur pesta peresmian bapak sebagai CEO?” “Ya.” “Bapak tidak salah memberi saya tugas seperti itu? Bukankah hal sepele seperti ini dapat anda limpahkan ke asisten pribadi anda ataupun sekertaris anda?” ‘Pria ini pasti sengaja ngerjain gue. Sialan.’ Batin Pandita dengan kesal. “Sekertaris dan asisten saya masih memiliki pekerjaan banyak karena mengurus pekerjaan saya karena pergantian jabatan di putuskan dalam rapat pemegang saham.” “Tapi masih ada orang lain yang bisa menghandlenya. Saya...” “Saya hanya ingin anda yang mengurus segala hal tentang pesta itu. Bukankah anda biasa mengurus berbagai penjualan dan promosi,” “Tapi itu berbeda, Pak.” Bantah Dita sekali lagi. “Menurut saya sama aja. Permintaan saya ini adalah sebuah perintah jadi saya tidak ingin di bantah,” Ujar Rega, CEO barunya yang menyebalkan. “Tapi Pak...” “Sekertaris saya akan memberikan tempat diadakannya pesta dan EO yang sudah di pesan sekeluarnya anda dari ruangan ini. Saya harap anda segera bertemu dengan EO terkait, karena acara semakin dekat.” Rega berdiri dari duduknya. “Jika tidak ada yang ingin anda tanyakan, anda bisa kembali ke ruangan anda. Karena saya disini juga masih banyak pekerjaan. Saya tunggu perkembangan selanjutnya.” Ujar Rega sambil berjalan menuju meja kerjanya dan berkutat dengan dokumen – dokumen perusahaan tanpa mempedulikan Pandita yang masih duduk di sofa ruangannya. Sementara itu, Pandita mengepalkan tangannya untuk menahan emosinya agar tidak mencuat keluar. Tak lama kemudian Pandita berdiri dari duduknya. “Bapak tidak perlu khawatir. Saya akan membuat pesta itu SUKSES dan mendapat PUJIAN dari tamu undangan. Kalau begitu saya UNDUR DIRI.” Ujar perempuan itu sambil menekankan kata – kata tertentu. Setelah itu, Ia keluar ruangan dan disambut dengan senyuman dari asisten dan sekertaris CEO. Asisten CEO memberikan sebuah kartu nama EO. Pandita menerima kartu nama itu tanpa tersenyum sama sekali. Kemudian langsung pergi dari sana tanpa kata – kata ataupun sapaan ringan yang biasanya dia lakukan kepada siapapun di kantor. ‘CEO Sialan, CEO Brengsek. Awas saja jika Ia sekali lagi menyuruh – nyuruh gue seenak. Semua aibnya akan gue sebarin. Tanpa belas kasihan.’ Description: Pandhita langsung berlari ke arah Devi dan langsung menyeretnya keluar dari kafe. Devi menghentikan dengan paksa dari Dhita yang menyeretnya keluar dari kafe. “Apaan sih lo Dhit? Main nyeret – nyeret aja. Emang gue apaan?” Maki Devi sewot. “Aduh ngomelnya nanti aja deh. Sekarang kita harus cepet – cepet pergi dari cafe ini,” “Lha emang ada apaan?” Tanya Devi sambil menolehkan kepalanya ke kafe. Tapi kedua tangan Dhita langsung sigap memegang kedua pipi Devi dan memaksanya agar menatap kedepan. “Gue ketemu sama Rega tadi.” “Huh? Rega?” Devi menautkan alisnya tidak mengerti. “Iya. Rega. Arkharega Adhyatsa Geofrey,” “Ya Ampun. Rega yang itu. Yang dulunya~” “Udah ah, jangan disini. Pertama – tama kita pergi dari sini lalu baru gue ceritain.” Pandhita menyeret Devi lagi pergi meninggalkan kafe tersebut. Disaat ia menatap kembali ke kafe, ia melihat Rega yang sedang mengelus rambut seorang wanita kemudian mengecup bibir wanita itu singkat. Bola mata Pandhita seperti ingin copot dari tempatnya. Tubuhnya bergidik ngeri. Seketika itu juga perutnya melilit seakan ingin mengelurkan makanan yang tadi dimakannya. ‘Gila. Gila. Cowok cap kodok itu kencan sama emak – emak? Eh, bentar. Itu memang emak – emak kan? Kelihatan sekali sudah tuaaa’
Title: [WATCH] American Horror Stories SEASON 1 EPISODE 1 'FULL EPISODES Category: Horor Text: [WATCH] American Horror Stories SEASON 1 EPISODE 1 'FULL EPISODES ⭐ — Watch American Horror Stories Season 1 Episode 1 Full Episode⭐ , American Horror Stories 1x1, American Horror Stories S1E1, ⭐ American Horror Stories Season 1 Cast, American Horror Stories HULU, American Horror Stories Season 1 Episode 1, American Horror Stories Episode 1 Premiere▼ ➥Watch full Episodes, One click.! ➤➤ http://startvseries.club/tv/113036-1-1/american-horror-stories-season-1-episode-1.html American Horror Stories : Season 1 , Episode 1 || FULL EPISODES | Episode 1 ☆Brief Overview☆ An anthology series of stand alone episodes delving into horror myths, legends and lore. Rubber(wo)Man (1) A teenager and her Dads move into a forsaken home with a grim past. As the family makes renovations, a darkness takes root within them. Description: Rubber(wo)Man (1) A teenager and her Dads move into a forsaken home with a grim past. As the family makes renovations, a darkness takes root within them.
Title: (Watch)~ “Loki ” Season 1; Episode 1,[Full Eps] TV Series Category: Fantasi Text: (Watch)~ “Loki ” Season 1; Episode 1,[Full Eps] TV Series Watch Loki Season 1 Episode 1 Full Episode — Loki Season 1 Episode 1 Full Streaming Free All Subtitle ►►https://bit.ly/3zgaUaR Episode 1 Glorious Purpose After stealing the Tesseract in "Avengers: Endgame," Loki lands before the Time Variance Authority. ▼Watch Or Download Loki Season 1 Episode 1 Full Episode▼ https://bit.ly/3zgaUaR Loki : Season 1 , Episode 1 || FULL EPISODES | On Series Loki Season 1 Episode 1 : OverviewAfter stealing the Tesseract during the events of “Avengers: Endgame,” an alternate version of Loki is brought to the mysterious Time Variance Authority, a bureaucratic organization that exists outside of time and space and monitors the timeline. They give Loki a choice: face being erased from existence due to being a “time variant”or help fix the timeline and stop a greater threat.After stealing the Tesseract during the events of “Avengers: Endgame,” an alternate version of Loki is brought to the mysterious Time Variance Authority, a bureaucratic organization that exists outside of time and space and monitors the timeline. They give Loki a choice: face being erased from existence due to being a “time variant”or help fix the timeline and stop a greater threat. Description: Overview After stealing the Tesseract during the events of “Avengers: Endgame,” an alternate version of Loki is brought to the mysterious Time Variance Authority, a bureaucratic organization that exists outside of time and space and monitors the timeline. They give Loki a choice: face being erased from existence due to being a “time variant”or help fix the timeline and stop a greater threat. full watch > copy Link https://bit.ly/3zgaUaR
Title: White Wedding Category: Young Adult Text: albus Mawar putih, mutiara ....” “Perban mumi, kain kafan.” “Krim, susu, vanila.” “Tulang belulang, kulit mayat, kertas ujian.” “Awan.” “Hujan.” Sierra merengut. “Enggak boleh. Hujan, kan, bukan warna putih.” “Tapi, awan, kan, tetap saja membawa hujan,” sanggahku keras kepala, meskipun aku tahu kalau dia benar. Papa bilang, sikapku yang satu ini persis Ibu. Keras kepala, keras hati. Aku, dengan keras kepala, menolak opini itu. “Hantu,” putusku, akhirnya. Kusandarkan punggung ke kursi beanbag usang yang biji-bijiannya sudah berceceran ke lantai dan ke bawah pantat. Lembap dan bau apaknya membuatku merasa nyaman. Hal-hal menyebalkan seperti itu yang membuat tempat ini terasa seperti rumah. Aku bersidekap ketika dia berhenti cukup lama untuk berpikir. Permainan ini sudah sering dia menangkan. Kurasa, warna putih lebih sering diasosiasikan dengan hal-hal yang baik. Dan, aku sudah pernah bilang “badai salju”, tapi aku enggak begitu yakin apa hubungannya “hipotermia”dengan kuda nil. Tentu saja aku tahu kalau permainan ini enggak akan mengubah apa pun. Namun, meski menjelek-jelekkan warna putih enggak membuatku merasa lebih baik, kalah dari permainan ini rasanya lebih buruk. Aku menyeringai lebar ketika dia berhenti bicara cukup lama. “Enggak ada lagi, kan? Kalau begitu, aku yang menang, ya,” sahutku girang. “Masih ada, kok,” sergah Sierra buru-buru. “Apa?” desakku. Dia diam selama tiga detik, lalu tersenyum. Jenis senyum yang membuatku harus menahan napas, mengantisipasi karena aku tahu, aku enggak akan bisa menerka setiap senyum seperti itu muncul. Sierra membuka mulut dan seperti dugaanku, kata berikutnya yang dia ucapkan melumpuhkan kerja otakku. “Kamu.” Di sinilah kami. Di atap yang gelap, sempit, dan berdebu. Satu-satunya jendela ―berbentuk bulat dengan kisi-kisi yang membelahnya jadi empat― ditutupi tirai berwarna biru tua. Tirai lusuh dengan motif bintang-bintang emas yang berhasil kami temukan saat membongkar kardus-kardus misterius, sebelum membangun markas pribadi kami. Sierra yang memasang rel, aku yang mencuci tirainya di lantai bawah. Kami membersihkan bed cover tua dan menjadikannya karpet. Lalu, kami letakkan bantal-bantal yang sudah menipis di atasnya, berderet bersama kursi beanbag berwarna hijau yang sudah robek, kemudian ottoman dengan bekas air menyolok, dan sofa yang sudah kehilangan satu kaki. Kami juga menemukan buku-buku cerita, kemudian menyusunnya di potongan rak buku yang kami temukan di sudut ruangan ―potongan lainnya kami jadikan tempat menyimpan makanan ringan. Hanya ada satu lampu yang bersinar remang-remang keemasan di tengah ruangan. Ini sama sekali enggak membantu penglihatan. Namun, Sierra berhasil menemukan lampu minyak, tempat lilin, dan wadah aromaterapi. Kami berdua pergi membeli minyak aromaterapi. Alhasil ... sekarang, setiap kali kami bermain di atas, ruangan itu selalu beraroma seperti lemari baju Nenek, dengan komposisi bau: minyak bunga, kamper, kanji, jamur, dan orang tua. Penerangan di sini buruk sekali ―seperti yang kubilang, hanya ada lampu remang-remang yang sudah sangat tua di atas kepala. Aku yakin, akulah alasannya kalau suatu hari nanti Sierra perlu kacamata. Dia bilang, sih, enggak memasang lampu yang lebih terang karena dia enggak bisa, bukan karena aku enggak bisa melihatnya. “Kamu enggak mau buka jendela,” tantangku, suatu kali. Sierra cuma berkilah, “Aku sekarang enggak butuh kacamata.” Kalau aku sedang butuh ketenangan dan penjelasan, dia akan menjawab jujur. Bahkan dengan sabar menjelaskan, dia mengalah bukan karena lebih tua atau karena anak laki-laki, melainkan karena bisa berada dalam kegelapan tanpa masalah. Dengan kata lain, dia lebih sehat dariku. Aku benci kalau dia mengalah, namun aku tahu dia benar. Dan, tindakan ini wajar. Bahkan, aku sebenarnya bersyukur atas hal ini. Hanya saja, aku enggak mau mengatakannya. Aku enggak mau dia pikir aku senang karena kebaikan hatinya. Soalnya, ini masalah Sierra: dia terlalu baik. Anak laki-laki seusia dia enggak seharusnya membiarkan anak perempuan yang lebih muda masuk ke markas pribadinya. Apalagi, sampai mengubahnya seenak perut menjadi tempat yang nyaman bagi nenek-nenek untuk merajut sambil minum teh atau sambil mendandani kucing seharian. Anak laki-laki seusia dia enggak seharusnya memberikan stroberi di atas krim strawberry shortcakenya, atau manisan ceri di atas es krim sundae-nya. Anak laki-laki seusia dia enggak seharusnya membiarkan anak perempuan mengambil alih acara televisinya, dan puluhan hal lain yang enggak sewajarnya dilakukan anak laki-laki. Namun, dia melakukannya. Dia melakukan berbagai hal seolah orang lain akan selalu lebih penting darinya. Aku enggak suka itu. Sierra enggak melakukan itu karena dia kasihan kepadaku, aku tahu. Dia berbuat baik karena dia memang baik, namun tetap saja aku enggak suka. Manusia enggak seharusnya bertingkah seperti itu. Bahkan, kungkang bisa menyerang kalau diganggu (dia yang memberitahukannya padaku). Sierra punya sensor marah yang bergerak jauh lebih lambat daripada siput. Itu pun kalau suatu hari dia akhirnya marah. Karena dia terlalu baik, entah mengapa aku jadi merasa perlu melindunginya dari orang-orang. Serius. Kadang-kadang, kupikir Sierra butuh pelajaran untuk jadi jahat. Dia perlu bicara bohong, meskipun semua kejujuran yang dia ungkapkan kedengaran manis. Enggak peduli seberapa menyebalkan fakta yang dia sampaikan itu. (Serius, dia bisa bilang kalau aku KECIL tanpa membuatku kepengin menusukkan pensil ke bola matanya. Dan itu prestasi luar biasa.) Dia juga perlu belajar mencuri semua piza di loyang dan enggak menunggu semua orang selesai meraup jatah mereka dulu. Mungkin, kalau dia enggak sibuk mengajariku IPA, aku akan mengajarinya cara memelototi orang. Aku jago memelototi orang. Sierra menuangkan teh ke dalam cangkirku. Di antara kami, terhampar berbagai makanan yang bisa kami temukan di dapur, kecuali kue muffin blueberry dengan krim keju. Itu untuk Papa kalau pulang malam ini. “Kamu enggak akan merasa lebih baik, tahu?” ungkap Sierra, sambil menuangkan teh untuk dirinya sendiri. Aroma bunga menyebar mengalahkan minyak aromaterapi yang kami nyalakan hari ini. Dia memandangku dengan wajah serius. “Mencari-cari hal buruk soal warna putih. Enggak ada gunanya, kan? Kamu enggak perlu menjustifikasi apa yang orang lain bilang soal kamu.” Kutautkan alis, memasang wajah cemberut. Aku albino. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, aku seputih kertas. Inilah alasan mengapa aku enggak bisa melihat cahaya. Bagiku, cahaya terlihat jauh lebih terang dari yang sesungguhnya. Kurangnya pigmen dalam tubuhku membuat iris mataku agak transparan, sehingga aku enggak bisa memblokir cahaya dengan sempurna. Cahaya terang bukan cuma membuatku sakit kepala, tapi benar-benar menyakitiku. Kata Papa, atau tepatnya menyampaikan apa yang dokter bilang, ini terjadi karena Papa dan Ibu sama-sama membawa gen albino. Papa bilang ini bukan masalah, namun tetap saja aku iri melihat rambut cokelat Papa yang kelihatan seperti kue. “Papa juga sudah jadi albino, nih,” canda Papa, setiap kali dia mencabut uban. Nenek sudah mewanti-wanti jangan suka dicabut, tapi Papa bilang kepalanya gatal. Biasanya, Nenek ngomel-ngomel soal uban yang tercecer di lantai. Namun, bukan itu yang membuatku benci warna putih. Aku enggak keberatan jadi albino. Apalagi, Sierra bilang, warna putih adalah warna favoritnya. (Kurasa memang gampang menyukainya kalau kamu enggak berwarna putih dari ujung kepala sampai ujung kaki.) Dan sejak bertemu denganku, dia terus meyakinkanku kalau warna putih itu adalah warna yang paling bagus. Seringkali, dia terobsesi membuatku menyukai warna putih. Kadang-kadang, aku senang, sih. Soalnya, memuji warna putih sama saja memujiku secara enggak langsung, kan? Aku, kan, warna putih. Tapi, enggak bisa. Aku benci warna putih. Kurasa, aku harus membenci warna putih. Bukan karena membuatku tampak berbeda atau membuat tubuhku sakit setiap kali berjalan di bawah matahari, sehingga aku enggak bisa pergi ke sekolah untuk ditanya-tanyai kapan Cyclops bisa mendapat kacamata X-Men miliknya kembali atau mendengar anak-anak memanggilku Henry Sturges. Bukan karena itu. “Aku enggak menjustifikasi apa yang mereka bilang soal aku,” kataku tegas. Aku belum yakin seratus persen apa arti kata “menjustifikasi”, tapi Sierra sudah cukup sering menggunakannya, jadi anggap saja aku cukup paham apa maksudnya. Sierra mengerutkan dahi. “Kalau begitu, kenapa?” Aku tersenyum sedikit. Kuulurkan tangan untuk mengusap kepala Sierra untuk menenangkannya. Kadang-kadang, kalau aku mulai bersikap masam soal diriku dan warna putih, Sierra jadi sangat gusar. Aku enggak mengerti kenapa dia sangat terusik kalau aku membenci diriku sendiri. Namun, pada saat itu terjadi, kurasa dia lebih butuh usapan di kepala daripada aku. Sierra selalu membiarkanku mengusap kepalanya meskipun aku lebih kecil. Cuma itu, mungkin, kebaikan Sierra yang kusuka. Papa juga selalu membiarkanku mengusap kepalanya. Ini membuat Sierra mengingatkanku akan Papa. Lagi pula, aku suka melihat tanganku di atas kepala Sierra. Rambut Sierra selalu tampak artifisial (ya, aku tahu arti kata “artifisial”). Warna merahnya tampak seperti warna stroberi. Jari-jariku yang seputih salju terlihat mencolok di antara rambut lebatnya yang berwarna merah stroberi. “Kuharap, rambutku juga sepertimu,” keluhku pelan. Mau enggak mau, aku jadi terbiasa membandingkan diriku dengannya. Sierra memang tampak berbeda, tapi dia penuh warna. Sementara, aku cuma anak kecil berwarna putih. Waktu awal aku berkenalan dengannya, Sierra bilang kalau orang-orang berambut merah sepertinya hanya mengisi 1-2% populasi dunia. Tentu saja, aku enggak paham kenapa dia tampak ceria sekali ketika bilang, “Dulu, mereka sering diburu dan dibunuh karena dikira keturunan setan.” Namun, ucapan tersebut membuatku langsung menyukainya. Dia juga berbeda, sepertiku. Lebih dari itu, dia sangat, sangat baik. Dia selalu membuatku merasa lebih baik, bahkan sejak pertama kali kami bertemu. Sierra memiringkan kepalanya sedikit. “Putih itu warna yang bagus, kok,” katanya. “Sungguh. Dibanding merah, representasinya jauh lebih bagus.” “Apa itu reseprestasi?” “Representasi,” koreksinya. Dia senang sekali menggunakan kata-kata yang susah dimengerti anak seusiaku. Namun berkat dirinya, aku jadi tahu banyak kata-kata panjang dan aneh. Menjustifikasi. Artifisial. Asosiasi. Antisipasi, bahkan ottoman. Dia anak yang pintar, meskipun ... agak aneh. “Representasi maksudnya melambangkan. Putih melambangkan banyak hal bagus.” Kuangkat sebelah alis yang berwarna seputih porselen. “Misalnya?” albus - 2 “Kemurnian,” jawabnya, sambil menenggak sedikit teh panas. Lidah Sierra sepertinya mati rasa, soalnya dia enggak pernah menunggu tehnya dingin. “Kesempurnaan. Kejujuran. Kebaikan. Permulaan. Putih, kan, warna cahaya. Cahaya selalu jadi lambang segala sesuatu yang baik, kan?” “Tapi, aku enggak bisa melihat cahaya,” protesku. Sierra tersenyum lembut kepadaku dari atas cangkirnya. “Cuma karena kamu enggak bisa lihat, bukan berarti kamu enggak tahu ia ada, kan?” Ini salah satu alasan mengapa aku menyukai Sierra pada hari pertama aku mengenalnya. Ada waktu-waktu tertentu ketika aku yakin pernah bertemu Sierra sebelumnya. Sebelum kami tinggal berdekatan dan menemukan dunia lain di loteng rumahnya. Pada suatu waktu yang jauh. Jauh ... jauh sebelum ini .... Ingatanku membawa kembali hari-hari yang sudah lama berlalu. Aku tahu ini kedengarannya kekanak-kanakan, tapi dulu ... dulu sekali, ketika aku masih kecil (meskipun sekarang aku juga masih ―AGAK― kecil), aku punya teman khayalan. Aku enggak pernah melupakannya, meskipun sudah bertahuntahun berlalu. Papa juga ingat sekali anak laki-laki tak terlihat yang kupanggil Michael. Dan, sama seperti Sierra, dia juga punya rambut semerah stroberi disertai mata abu-abu lembut. Bukan hanya penampilannya yang mirip, ucapan dan tindakan mereka juga serupa. Aku enggak bisa mengingat semua bagian masa kecil. Namun, setiap detail interaksiku dengan Michael pada masa lalu adalah ingatan yang entah bagaimana, selalu bisa kukunjungi kembali. Layaknya album foto yang menumpuk di dasar kardus lembap, yang disimpan di loteng dan enggak pernah dirapikan, album foto tersebut bisa kubuka kapan pun aku ingin membukanya. Aku ingat sosok kecilnya memandangiku dari luar keranjang bayiku. Dia menyanyikan lagu “Nina Bobo” diam-diam pada malam hari, ketika aku terbangun karena mimpi buruk, ketika dia tertawa bersamaku, ketika dia menangis untukku, dan ketika dia bermain di bawah hujan menemaniku .... Michael dalam imajinasiku adalah sahabat terbaik sekaligus abang yang selalu melindungiku. Dia adalah ingatan yang meminta, memanggil, memohon untuk terus kukunjungi. Bagian terindah dari masa kecilku. Lalu, Sierra datang. Anak laki-laki dari dua blok sana. Dia aneh, suka bicara hal-hal enggak jelas, dan enggak kupahami ... dan enggak menunggu tehnya dingin. Namun, dia pintar, dia baik, dan dia memperhatikanku seperti Papa. Dia tersenyum kepadaku dengan sangat lembut. Dia memperlakukanku dengan lebih lembut lagi, seperti tahu sutera. Kurasa, aku memang agak mirip tahu. Kupikir, Michael memang imajinasiku, jadi wajar kalau dia memperlakukanku dengan sangat baik. Sementara Sierra, nyata. Aneh sekali rasanya, betapa dia mengingatkanku akan teman masa kecilku yang enggak pernah ada. Seolah-olah ... dia adalah mimpi yang jadi kenyataan. Ketika aku pertama bertemu Sierra, aku hampir yakin teman khayalanku itu bukan khayalan sama sekali. Namun, Papa dan Nenek yakin betul, enggak pernah ada Michael sungguhan dalam hidupku. Akan tetapi, aku tahu betul ucapannya barusan pernah diucapkan teman khayalanku ketika aku berumur enam tahun. “Misalnya saja,” suara Sierra tiba-tiba memecahkan lamunanku, “bahaya. Warna merah itu lambang bahaya, kan?” Aku menggeleng. “Bahaya, tuh, warna jingga.” Dia merengut dan berpikir lagi. “Oke. Gimana dengan api?” “Itu juga jingga.” “Tanda dilarang masuk? Darah?” “Kan, ada juga darah putih.” Wajah Sierra berubah cemas. Sedikit warna yang tadinya ada di sana merembes pergi. Dia menunduk, bergumam, “Darah putih itu enggak ada.” Aku mengangkat bahu. “Oke. Sel darah putih. Nah, leukemia! Itu satu lagi kata buruk soal warna putih.” “Elphira, kamu janji enggak akan mengungkit itu,” tegur Sierra pelan. Aku diam saja, mencibir kepada cangkir tehku. Karena aku sedang merajuk, aku bilang, “Menurutmu, aku mirip tahu enggak?” “Hah? Enggak, lah.” Sierra meletakkan cangkir tehnya dan mendesah lembut. Dia berdiri, mengulurkan tangannya kepadaku. “Ayo!” Dia menggerakkan jari-jarinya untuk memberi isyarat agar aku mengikutinya. Dengan embusan napas keras, aku menangkap jari-jarinya dan berdiri. Sierra mematikan semua lampu dan lilin, membuat kami disergap kegelapan. Dengan hati-hati, dia membimbingku ke sofa bobrok di pinggir ruangan. Sierra duduk di lengan sofa yang langsung merosot miring begitu diduduki dan membiarkanku jatuh di atas pangkuannya. Kurasa bukan Sierra yang memasangnya dan yang pasti bukan aku, tapi ada stiker menyala-dalam-gelap yang menempel di langit-langit loteng. Stiker berbentuk konstelasi-konstelasi bintang. Kadang-kadang, kalau kami menghabiskan sepanjang malam di sini, kami akan berbaring di sofa miring ini, persis seperti yang kami lakukan sekarang, sambil memperhatikan bintang-bintang artifisial itu. Rasanya menenangkan. Seolah kami punya langit pribadi. “Oke, waktunya kita belajar,” kata Sierra. Aku mengerang keras, memprotes. Sierra tertawa. “Ini pelajaran terakhir hari ini, oke? Setelah ini, aku akan mengantarmu pulang. Janji.” Aku mencibir. “Janji, ya.” Sierra mengangguk, lalu berdeham. “Kamu ingat yang mana bintang Sirius?” tanyanya. Aku mengangguk dan menunjuk lingkaran terbesar di peta konstelasi langit-langit. Sierra memberi tahu tentang bintang itu pada hari pertama kami menemukan stiker konstelasi ini. Sirius adalah bintang paling terang yang bisa dilihat di langit malam. Aku enggak suka belajar, tapi suka kalau Sierra mulai membicarakan tentang bintang atau apa pun yang ada di langit. Aku suka langit. Ada banyak warna di sana. Dan, selalu banyak cerita menarik tentang langit. Selalu suka cara Sierra menceritakan soal langit. Dia membuat ilmu pengetahuan kedengaran seperti mimpi. “Sebenarnya,” lanjut Sierra, “yang kamu lihat itu hanya satu bagian dari Sirius. Sirius terdiri atas dua bintang: Sirius A dan Sirius B. Kamu enggak bisa melihatnya di peta ini, tapi ia ada. Sirius B adalah titik kecil yang mengikuti Sirius A ke mana-mana. “Sirius B juga bintang, tapi ia bintang yang sedikit lebih istimewa. Sirius disebut ‘bintang merah’ oleh orang-orang zaman dulu, tapi Sirius B punya sebutan lain dalam astrologi saat ini. Ia disebut ‘kurcaci putih’. “Bintang-bintang seperti Sirius A bisa menyala karena mereka menyimpan energi dalam tubuhnya. Sementara, bintang kurcaci putih enggak punya energi seperti itu. Mereka tetap bertahan di langit sana. Meskipun mereka akan mati, butuh waktu sangat lama bagi kurcaci putih untuk padam ―boleh dibilang ... empat belas triliun tahun! Sampai saat ini, masih belum ada kurcaci putih yang mati. Mereka semua masih hidup, masih menyala. “Kekuatan,” kata Sierra, akhirnya. “Warna putih punya kekuatan untuk bertahan, bahkan meskipun berada dalam kesulitan. Kehidupan warna putih memang sulit dan penuh perjuangan. Kurasa itulah yang membuat warna putih menjadi kuat. Bukan begitu?” Aku terdiam. Perlahan, aku bertanya, “Kenapa bintang kurcaci putih tetap bisa menyala meskipun enggak punya energi?” “Mereka terlahir dengan temperatur sangat tinggi,” jawab Sierra. “Mereka baru akan padam ketika temperatur turun.” Dia meremas tanganku, menguatkan. “Kedengaran seperti warna yang penuh semangat, kan?” Aku menoleh memandangnya, meskipun wajahnya hanya samar-samar terlihat dalam gelap. “Kedengaran seperti warna yang cepat panas dan keras kepala.” Sierra tersenyum lebar. “Ya, kurasa ia memang warna yang keras kepala.” Ada cincin berwarna keemasan di mata abu-abu Sierra. Aku menyadari itu sejak pertama mengenalnya. Cincin itu tampak sangat indah, seperti cincin Saturnus. Atau kupikir, cincin Saturnus akan tampak seperti itu. Dan saat ini, cincin itu tampak berputar pelan. Seperti planet yang mengitari orbitnya mengelilingi matahari. Seperti yang Sierra ceritakan kepadaku dalam pelajaran IPA. Cahaya redup tampak seolah memancar dari sana. Persis seperti lampuremang-remangdilotengkami.Seolahadalilinyangmenyala di matanya. Selalu sulit bagiku untuk berhenti memperhatikan matanya ketika cincin itu berputar. Aku sangat menyukainya. Aku ingin memberi tahunya itu. Namun, yang keluar dari mulutku, “Kenapa, sih, harus kurcaci?!” old lace Papa pulang malam itu, meskipun datang pada waktu tidurku. Papa membelah dua muffin karena dia enggak bisa menghabiskan seluruhnya. Papa enggak pernah melarangku makan di atas tempat tidur, sejauh aku membersihkan semua remah yang terjatuh ke selipan seprai. Papa mulai bercerita soal pemeriksaan yang membuatnya disekap di rumah sakit selama tiga hari. Ada perawat baru, kata Papa. Anak muda yang seharian berlatih menyuntik sosis karena dia takut jarum suntik. “Papa bilang ke dokter kalau Papa enggak mau dia menyuntik Papa,” kata Papa sambil mengusap krim keju yang menempel di hidungnya. “Papa, kan, bukan sosis.” Aku tertawa. “Terus? Kata dokter apa?” “Dokter bilang, Papa tetap harus disuntik. Jadi, Papa kabur dari rumah sakit dan makan muffin di tempat tidur anak Papa.” Aku tertawa lagi. Papa selalu punya cara untuk membuatku melupakan alasan dia pergi ke rumah sakit. Mulai dari ekstra setengah porsi muffin, perawat sosis, sampai upaya melarikan diri dari penyuntikan. Papa mendapat dua kabar dari dua dokter berbeda pada hari kelahiranku: Papa punya anak perempuan dan leukemia. Saat ini, usia penyakitnya sama dengan umurku, sebelas tahun. Papa sudah bertahan sangat lama melawan penyakit mengerikan ini dan enggak pernah kekurangan semangat. Kami enggak tahu bagaimana Papa bisa bertahan lama. Namun, katanya penyakit ini bisa sembuh, kan? Karena Papa kelihatan sangat kuat, kurasa Papa akan sembuh. “Hari ini, kamu belajar apa?” tanya Papa sambil mengusap saputangan ke hidungku yang baru saja menyelupkan diri dalam krim keju. Tangannya yang kurus kering sedikit bergetar ketika mengangkat saputangan itu. Aku terdiam sejenak mengingat pelajaran hari ini. Aku teringat akan bintang kurcaci putih yang berkeliaran mengikuti Sirius Besar (aku enggak ingat apa sebutan untuk Sirius yang besar). Kurasa yang mau dikatakan Sierra dari penjelasannya tentang bintang kurcaci putih bukan soal kekuatan, tapi semangat hidup. Sudah jelas, kan? Bintang kurcaci putih enggak punya kemungkinan untuk hidup, tapi mereka tetap mencoba hidup. Bukan karena mereka punya kesempatan, tapi sematamata karena mereka enggak menyerah. Papa adalah bintang kurcaci putih. Bintang yang tetap bertahan melalui semangatnya. Mungkin, Papa yang masih hidup sampai hari ini adalah keajaiban. Atau, kekuatan. Atau, keduanya. Sierra yang bilang kalau warna putih adalah lambang keajaiban. Warna Tuhan. Aku menelan kue sebelum menjawab. “Matematika. Susah. Terus, ada tugas membuat resensi buku A Child In The Forest dari Winifred Foley. Kupikir itu buku cerita, ternyata autobiografi.” Wajah Papa tampak terkejut. “Kamu tahu apa itu autobiografi?” Aku mencibir. “Tentu saja tahu. Cerita soal diri sendiri, kan, intinya?” Aku membusungkan dada. “Aku juga sudah tahu apa itu sinopsis.” Papa mencium keningku. “Sudah lama Papa enggak ngajar, ternyata kamu sudah jauh lebih pintar, ya? Berarti, sekarang enggak perlu Papa lagi, dong?” “Perlu, kok,” protesku keras-keras. “Papa masih lebih jago ngajarin Matematika daripada Sierra.” Sebetulnya enggak juga. Kurasa, mereka sama saja ―enggak berhasil membuatku paham perkalian. Entah Papa dan Sierra yang salah, atau aku yang memang enggak bisa Matematika sama sekali. Sierra sebenarnya guru privatku. Dulu, aku belajar di rumah bersama Papa karena sulit bagiku untuk pergi sekolah tanpa merasa seperti berjalan di atas bara api. Namun, Papa semakin mudah merasa lelah. Sulit baginya berkonsentrasi atau bersabar mengajariku dalam waktu lama. Sierra pindah ke kompleks kami bulan Mei lalu, pada akhir musim semi, bersama ibunya yang enggak pernah kutemui. Dia menggantikan Papa sebagai tutorku (dan menurut Nenek, menggantikan dia sebagai pengasuhku). Nenek sangat menyukainya dan selalu mencari cara untuk membuat Sierra mengajar di rumahku, alih-alih di rumahnya. Mengerikan. Aku mengangkat muffin terakhir yang belum tersentuh. “Satu muffin ditambah setengah muffin sama dengan satu muffin yang enggak habis dimakan. Seenggaknya, aku bisa penjumlahan.” Papa tersenyum, tapi wajahnya tampak bersedih. Belakangan ini, sepertinya wajah Papa selalu tampak sedih. Bahkan, ketika kami menonton Mr. Bean. “Kalau ada yang belum paham, kamu bisa tanya Papa, kok.” Aku buru-buru mengangguk. “Aku ada PR Matematika. Papa bisa bantu?” “Papa pikir, kamu sudah ngantuk,” ucap Papa, ragu. “Enggak, kok. Bisa, ya, Pa? Cuma tiga soal, kok.” PR Matematika-ku masih punya waktu tiga hari lagi untuk diselesaikan, tapi enggak perlu mengatakannya kepada Papa. Aku enggak peduli sekarang sudah pukul 11 malam dan harus menghabiskan malam. Aku bersama Papa. Setiap saat merupakan saat yang tepat untuk melakukan sesuatu bersamanya, semembosankan apa pun kegiatan itu. Karena mungkin saja, saat itu adalah waktu terakhirku bersama Papa. Menjadi albino artinya memiliki kulit dan mata yang sangat sensitif terhadap matahari. Seperti aku. Aku enggak tahu apa nama resminya, tapi aku tahu kalau aku lebih baik menghindari matahari sebanyak mungkin. Karena kondisiku ini, Papa memutuskan enggak mengirimku ke sekolah. Karena aku enggak bisa sering-sering bermain di luar rumah, Papa merancang banyak kegiatan untukku ―kelas-kelas gratis yang bisa Papa temukan di sekeliling kompleks: mini-basket, klub boling, kelas membuat keramik, dan kelas-kelas lainnya. Kadang-kadang, aku memutuskan berhenti dan Papa enggak keberatan. Pada usiaku yang masih muda ini, aku sudah mencoba banyak hal yang bisa dilakukan orang di dalam ruangan. Hari ini, misalnya, aku pergi ke kelas merajut. Bukan karena aku suka banget kelas itu ―aku orangnya sangat enggak sabaran― tapi karena hasil rajutanku selalu membuat Papa girang. Tahun ini, aku berencana membuat baju hangat untuk Papa. Teman-temanku di kelas merajut sebagian besar berumur delapan kali lipat lebih tua dariku. Seenggaknya, aku punya “teman sekelas” meskipun enggak sekolah. Bukan jenis teman yang biasanya dimiliki anak umur sebelas tahun, walau begitu mereka teman-teman yang baik. Hari ini, misalnya, Rita membawakan benang wol yang akan kugunakan untuk membuat baju Papa. Dia bilang, yang ini gratis dan ini merupakan wol terbaik yang bisa dia dapat. Begitu kukeluarkan, ternyata dia membawakan lima gulung benang gendut berwarna abu-abu pudar. “Katanya diwarnai dengan natural, makanya kelihatan seperti agak bulukan begitu,” kata Rita. Maksudnya baik, tapi dia barusan bilang kalau aku akan membuat baju hangat berwarna buluk. Rita memandangku dengan hati-hati. “Enggak apa-apa, kan, kuberikan yang warna bulukan?” Dia memang nenek-nenek berfirasat tajam. Aku tersenyum dan menggeleng. “Enggak apa-apa. Bagus, kok.” Rita tersenyum senang, memamerkan satu-satunya gigi yang tersisa dalam mulutnya. “Kupikir juga bagus. Semoga cukup untuk membuat baju ayahmu. Kalau dia gendut, enggak akan cukup.” Aku tertawa. “Jangan cemas. Papa lebih ceking dibandingkan tusuk gigi.” Memang benar, soalnya Papa semakin hari semakin kehilangan nafsu makan. Kurasa itu karena obatnya atau bisa juga karena penyakitnya. Papa jarang membicarakan penyakitnya di depanku. Papa enggak pernah mengeluh. Kurasa, Papa enggak bisa mengeluh kepada siapa pun selain Nenek. Ibu terlalu rentan dan aku terlalu kecil. Kuharap, Papa bisa bicara kepadaku. Kuharap, aku enggak terlalu kecil untuk itu. Rita menunjukkanku cara membuat barisan pertama dengan benangnya sendiri. Dia merajut dengan kecepatan macan tutul, meskipun dia bergerak selambat siput gemetaran. Aku mencoba menirunya, tapi jahitanku masih kalah jauh dari jahitan Rita. Sepertinya, dia merajut setiap saat ketika dia enggak tidur atau makan. Di meja-meja lain, para orang tua bercakap-cakap dengan suara pelan sambil membuat rajutan masing-masing. Rita sudah tenggelam dalam dunianya sendiri, membuat hiasan renda putih yang cantik dari benang yang katanya kasmir mahal. Sepertinya, Rita menghabiskan uang pensiunnya untuk membeli benang-benang mahal. “Apa yang akan kamu buat?” tanya Esme, nenek-nenek paling berisik di klub. Sejauh ini, Esme lebih sering mengganggu orang daripada mengerjakan rajutannya sendiri. Kuangkat rajutanku yang baru selesai sedikit. “Baju hangat,” kataku. “Susah, ya?” Esme memicingkan matanya dan mengangguk-angguk, memperhatikan rajutanku. “Untuk Papamu?” “Ya.” Aku mengangguk. Esme menepuk tanganku dan menghela napas pelan. “Susah. Tapi, kamu punya banyak waktu.” Dia mengedipkan mata tersenyum, lalu berjalan pergi. Aku membalas senyumnya sambil memperhatikan punggung bungkuk Esme. Sudah kubilang. Teman-temanku di sini memang enggak seusia, tapi mereka baik sekali. Aku menunduk lagi, melanjutkan rajutanku dengan tekun hingga kelas berakhir. Sekitar ... dua jam lagi. Kelas merajut diadakan di pusat pemberdayaan, di dekat terminal bus. Ada beberapa sukarelawan yang mengatur kegiatan untuk manula di sini. Sebagian besar dari mereka baik, kecuali Jillian Stone. Aku benci dia. Hari ini, Jillian datang dan berkeliling meja dengan lagak ratunya yang menjijikkan. Kuharap, Esme meludahi matanya. Minggu lalu, sih, Esme melakukannya. Dia bilang ke Jillian kalau dia enggak sadar. Sepulang dari kelas, Esme bilang, dia sengaja melakukannya karena Jillian Stone bau ketiak. “Sudah selesai.” Aku menoleh. Rita yang mengucapkan kalimat barusan. Rasanya kami baru saja duduk di sini dan baru bagian bawah baju hangat yang selesai kurajut, tapi Rita sudah berhasil menyelesaikan seluruh bagian dari kardigannya yang rumit. Dia mengangkat hasil rancangannya: kardigan rajut yang sangat cantik ―berwarna putih-krim, dihiasi aplikasi renda yang kelihatan mustahil kukerjakan. Rajut-bandul menghiasi pola Aran seperti salju musim dingin. Kuraba mahakarya Rita. Benang yang dia gunakan terasa sangat lembut di tanganku. Aku sudah pernah melihat karya-karya Rita, rajutan ini menjadi karya terbaiknya. Terdengar dengusan puas ketika Rita melihatku terkagum-kagum. Aku menoleh kepadanya. “Ini cantik sekali. Bagaimana kamu melakukannya, Rita?” Rita tersenyum. “Hanya ada satu cara menyelesaikan hal yang mustahil diselesaikan, Sayangku. Kamu harus selalu ingat mengapa kamu memulai pekerjaan. Kalau kamu sungguhsungguh peduli pada tujuan, kamu akan selalu mencapainya ―sesulit apa pun.” Aku membalas senyumnya. “Menurutmu, aku bisa menyelesaikan baju untuk Papaku?” Rita mengedipkan sebelah mata. “Ya, bisa. Kalau kamu betul-betul ingin melihat senyumnya.” “Aku mau,” kataku. Rita memamerkan gigi dan menyuruhku duduk di sebelahnya. Dia membantuku menyelesaikan satu baris lagi di baju hangatku. Aku berhenti, meletakkan jarum rajut dan memandang Rita. “Untuk siapa kamu membuat rajutan itu, Rita? Perlu niat yang sangat besar untuk menyelesaikan rajutan serumit itu. Kamu pasti menyayangi orang itu.” “Oh, tentu saja,” kata Rita, tersenyum lagi. Matanya berbinarbinar, seperti kandelir kristal. Dia menepuk lenganku. “Ini untuk anak yang sangat baik. Sangat manis. Benar-benar anak yang pantas disayangi.” “Untuk cucumu?” tanyaku penasaran. Rita mendengus. “Mana mungkin. Anak-anak yang enggak pernah mengunjungiku lagi itu? Bukan, bukan.” Dia memandangku lekat-lekat. Wajahnya sangat dekat, sampai-sampai aku bisa mencium bau keringatnya. Rita menyeringai lebar. “Ini untukmu.” Mataku melebar kaget. “Untukku?” Rita mengangguk. “Ya, untukmu. Oh, kaget seperti itu. Tentu saja ini untukmu. Kemarilah, Sayang. Biar kupakaikan ini di badanmu.” Aku menahan napas ketika Rita menarik hasil rajutan itu dari meja. Bahannya yang lembut, hangat, dan halus memelukku dari belakang. Kumasukkan tangan ke dalam lengan baju. Rajutan Rita pas sekali, seolah benangnya mengikuti bentuk tubuhku dengan sempurna. “Rita, terima kasih! Ini luar biasa,” desahku, memandangi rajutan renda bunga mungil di pinggiran lengannya. Jenis rajutan renda yang baru bisa kukerjakan, mungkin tiga tahun lagi. Detail ini kelihatan seperti buatan mesin, hanya saja ... penuh perasaan. Kurasakan tangan Rita bersandar di bahuku, sama hangatnya dengan kardigan yang dia kenakan di badanku, dan kasih sayang yang dia tumpahkan di setiap rajutannya. Kutepuk jemari keriputnya beberapa kali. “Rita ...?” Esme, tiba-tiba menarik tanganku sampai aku berdiri. Aku menjerit ketika tangan kurus Rita merosot dari bahuku dan menabrak kursi yang kutinggalkan. Kepala Rita terkulai lemas ke atas meja. Orang-orang di dalam kelas mulai berbisik-bisik, berteriak, mendesah, berlari menuju telepon, dan menuju Rita. Esme memelukku erat-erat dan terus-menerus berkata, “Jangan takut, ini memang sudah waktunya.” Kurasakan air mata memenuhi pelupuk mataku, menjatuhkan banjir air mendidih yang terasa seperti lelehan bara di wajahku. Tanganku gemetar ketika mengepal di belakang punggung Esme. Ini sudah waktunya. Waktu untuk apa? Sierra bernyanyi untuk pemakaman Rita. Sierra berumur 15 tahun, sehingga kalau dia bicara, dia kedengaran seperti anak lelaki biasa. Namun kalau bernyanyi, ujung-ujung dahan pohon yang baru saja menggugurkan daun sebagai perayaan musim gugur bisa-bisa menumbuhkan lagi bunga musim semi. Aku serius. Entah kapan, aku benar-benar melihat satu dahan yang mendadak menumbuhkan bunga apel ketika Sierra bernyanyi. Namun, kurasa itu cuma imajinasiku saja. Kata Nenek, aku terlalu banyak berkhayal. Enggak mengejutkan, sih, mengingat aku pernah punya teman khayalan. Rita pernah mengatakan dengan jelas kalau dia enggak mau dikumandangkan lagu-lagu konvensional yang murung ketika meninggal. Jadi, teman-teman di klub merajut sudah menyusun lagu untuk Rita dan meminta paduan suara menyanyikan Bobby Vinton. Rita suka banget lagu-lagu Bobby Vinton. Sierra sekarang sedang menyanyikan bagian solo “Red Roses For Mom” dengan suara yang sepertinya mencakup seluruh orkestra, sementara anak-anak paduan suara di belakangnya terdengar seperti kicau burung yang sahut-menyahut pada pagi hari. old lace - 2 Sejak Rita meninggal di belakang punggungku, aku enggak banyak bereaksi. Namun, begitu aku berdiri di depan petinya, lalu melihat tangan Rita yang terampil mengutak-atik jarum rajut itu bersedekap diam di atas perutnya, tangisanku langsung meledak. Aku seharusnya berdiri di sebelah Sierra. Itu yang kupikirkan ketika meletakkan bunga mawar merah ke dalam pelukan Rita, yang kini terbaring di atas peti berlapis kain velvet biru. Aku juga anggota paduan suara itu. Seharusnya, aku yang menyanyikan Bobby Vinton kesukaan Rita. Namun, hari ini aku malah enggak bisa mempersembahkan lagu terakhir untuk Rita. Kapan terakhir kali aku bernyanyi untuk Rita? Lagu apa yang terakhir kunyanyikan? “My Special Angel”, sepertinya. Ketika Rita mengundangku ke rumahnya dan dia memutar piringan hitam Bobby Vinton “spesial”-nya sambil menyeduh teh. Kurasa itu sudah berbulan-bulan lalu. Kulihat pantulan diriku di cermin yang entah mengapa berdiri di ujung ruangan. Putih. Putih. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, aku berwarna putih. Seperti hantu. Mengerikan. Bahkan, Rita mungkin akan takut melihatku. Mungkin, selama ini dia takut melihatku. Karena, aku seperti hantu. Lalu, tangisanku semakin menjadi-jadi. Rasanya seperti obat mati rasa yang disuntikkan dokter untuk mengobati lengan patah, lalu besoknya efek obat itu menguap dalam tubuh, sehingga semua sensasi menyakitkan di bagian patahan itu menyerbu tanpa ancang-ancang. Hanya saja yang patah bukan tangan, namun hatiku. Papa merangkul bahu dan memelukku erat-erat sambil membimbingku menjauh dari jasad Rita. Penglihatanku dibutakan oleh air mata dan jas Papa, tapi aku sempat melihat Sierra melempar pandangan cemas ke arahku. Dan, sekarang aku merasa tolol. Tolol dan kecil. Nenek bergabung di belakangku seraya mengusap-usap semua yang bisa dia usap di badanku. Nenek-nenek kelas merajut juga masing-masing memberi satu usapan di punggungku. Sepertinya, semua orang berharap aku bisa mengeluarkan jin. “Mau pulang sekarang, Sayang?” bisik Papa. Dia memelukku lebih erat, melindungiku dari serangan usapan. “Atau, kamu mau beli sesuatu dulu sebelum pulang? Es krim?” Aku menggeleng. Es krim enggak akan membuatku lebih baik. Es krim enggak akan membawa Rita hadir di klub merajut lagi. Kutatap pemakaman Rita di belakangku. Orang-orang mulai bertebaran dan berjalan menuju mobil mereka, meninggalkan Rita sendirian. Sepertinya, mereka sudah berhasil melalui kenyataan tragis di dalam peti berlapis velvet biru itu. Sementara aku .... “Aku mau ke rumah Sierra,” gumamku pelan, menghapus air mata dengan punggung tangan. Kutatap Papa lekat-lekat, satu-satunya cara yang kutahu dapat membujuk Papa. “Boleh, kan?” Dari binar keruh matanya, aku tahu Papa cemas dan ingin membawaku pulang secepat mungkin. Namun, Nenek menepuk lengannya, membujuk Papa. Akhirnya, Papa mengangguk. “Tapi, kamu harus menghubungi Papa kalau ada apa-apa. Kalau mau menginap, beri kabar.” Aku mengedipkan mata kaget. “Aku boleh menginap?” Papa tersenyum sedih. “Papa rasa, kamu memang mau menginap, kan?” Papa membaca pikiranku. Mungkin itu kemampuan yang bisa kamu dapat kalau kamu menghabiskan sebelas tahun terakhirmu membesarkan anak perempuan yang membangun dunianya di sekelilingmu. Kupeluk Papa erat-erat, lalu kupeluk Nenek. Aku sayang, sayang, dan sangat sayang, mereka berdua. “Nanti, aku akan ke rumah untuk mengambil baju ganti,” kataku, lalu melambaikan tangan dan berlari ke arah Sierra yang sepertinya sudah menungguku. “Bajumu bagus,” kata Sierra, begitu aku menghampirinya. Matanya memicing hebat sampai hanya meninggalkan segaris tipis berwarna hitam. Dia memang enggak punya masalah penglihatan sepertiku, tapi matanya cukup sensitif terhadap matahari dibanding orang biasa. Mungkin, gara-gara itu atau karena hari ini panas luar biasa. Sierra tersenyum kecil. “Baru?” “Ya.” Aku mengangguk. Kuangkat kedua lenganku untuk memamerkan detail kardigan yang kukenakan. “Dibuatkan Rita pada hari dia meninggal. Dia meninggal tepat setelah memasangkan baju ini padaku.” Senyum Sierra memudar. “Oh.” Aku menunduk dan merengut pada kardiganku. “Aku tahu, seharusnya aku memakai baju hitam. Tapi, ini hadiah terakhir dari Rita. Entah mengapa, aku merasa, dia menunda kematiannya untuk menyelesaikan kardigan ini. Sepertinya, dia menunda kematiannya untukku.” “Itu manis sekali, kan?” kata Sierra lembut. Sungguh, anak laki-laki enggak bicara begitu. Aku mencibir. “Aku enggak senang!” kataku keras-keras. “Rasanya, seolah aku merepotkan dia sampai hari terakhirnya, kan? Dan, aku bahkan enggak memakai baju hitam, seperti orang normal di pemakaman.” Sierra menghela napas pelan. Dia mengulurkan tangan untuk merangkulku. Dan membimbingku menjauh dari pemakaman Rita. Dari gerak-geriknya, aku tahu dia akan memulai acara “Waktunya Belajar Bersama Sierra”. “Di Cina,” katanya, “orang-orang memakai warna putih ke pemakaman. Warna putih juga digunakan oleh janda-janda yang ditinggal mati di Abad Pertengahan dan Abad Renaisans. Para Ratu Prancis yang menjanda karena kematian suaminya mengenakan pakaian berwarna putih sebagai tanda berkabung. “Namun, pada zaman dulu, sekitar abad dua sebelum masehi, di Roma, orang-orang mengenakan warna gelap sebagai tanda berkabung, kemudian mengadakan jamuan besar dan mengganti pakaian mereka dengan warna putih. Lambang bahwa masa berkabung telah berakhir. Jadi kurasa, bagus kalau kamu memakai warna putih.” “Tapi, aku belum berhenti berkabung,” protesku. “Kalau begitu, kamu harus berhenti berkabung. Anggap saja, Rita meninggalkanmu baju berwarna putih agar kamu enggak sedih terlalu lama.” Kutatap Sierra dari balik kacamata hitam (aku harus mendongak karena tinggi kami jauh berbeda). “Apa kamu enggak sedih?” tanyaku, setengah menuduh. Sierra mengangkat bahu. “Karena kematian Rita? Aku enggak bisa sedih karena enggak mengenal Rita.” Dia berhenti dan balas memandangku tajam. “Aku mengkhawatirkanmu. Kamu bukan sedih karena kematian Rita, kan?” Aku mengernyit. “Apa maksudmu? Aku sedih, kok.” “Aku tahu,” katanya. “Tapi, kamu lebih merasa takut daripada sedih.” Kuangkat alisku, terkejut. Aku paham kalau Papa mengerti aku lebih dari diriku sendiri. Tapi, mengerikan juga kalau sampai anak laki-laki yang baru kukenal beberapa bulan saja bisa punya kemampuan menerawang yang sama seperti Papa. Yang kutahu, Sierra memang baik, tapi kalau soal emosi orang, dia lambat sekali. Mungkin, bukan Papa dan Sierra yang hebat. Mungkin, aku yang terlalu mudah dibaca. Aku menghela napas. “Ya,” kataku pelan. “Kematian Rita membuatku memikirkan Papa. Aku takut, tahu? Aku takut Papa tiba-tiba meninggal ketika dia melakukan hal paling sederhana di dunia ... seperti Rita. Bagaimana kalau besok pagi dia meletakkan roti bakar untukku, kemudian enggak bernapas lagi?” Aku menelan ludah dan menatap Sierra lagi. “Memangnya, kelihatan jelas, ya?” Sierra tertawa pelan. “Ya,” jawabnya. “Dan kurasa, Papa-mu juga sudah tahu. Kalau enggak, mana mungkin dia mengizinkanmu menginap di rumahku hari ini.” Aku mengerutkan alis. “Oh, ya?” Dia mengangguk. “Kadang-kadang, anak perempuan perlu waktu sendiri,” kata Sierra. “Apalagi, kalau melihat wajah Papa sampai membuatmu kepengin menangis. Kalian, perempuan, perlu tambahan waktu untuk menyortir isi kepala, yang seringkali diisi banyak pikiran.” “Kamu tahu? Kadang-kadang, kurasa kamu bisa menulis buku sejenis ‘Wanita dari Venus, Pria dari Mars’ ... atau jadi cewek sekalian.” “Hei, itu menyakitkan!” protes Sierra, tapi dia tertawa dan menarikku lebih dekat lagi. “Tadinya, aku mau membeli kue untuk menghiburmu, tapi enggak jadi. Kamu menyebalkan kalau sedang sedih.” “Kamu menyebalkan kalau sedang jujur,” balasku, aku tersenyum. Suara tawa Sierra selalu memaksaku tersenyum. Habis, kedengarannya dia seperti sedang diserbu anak kucing berbulu lebat. “Omong-omong, aku boleh, kan, menginap malam ini? Ibumu, enggak keberatan?” “Dia enggak ada di rumah,” jawabnya singkat. Sierra jarang membahas ibunya yang enggak pernah kutemui. Aneh sekali, menurutku. Aku menghabiskan sangat banyak waktu bersama Sierra di rumahnya, namun enggak pernah sekali pun melihat ibunya. Nenek juga enggak berhasil menemukan info apa-apa soal ibu Sierra. Aku juga enggak mau memaksa dia membahas soal itu. Kalau dia menanyakan soal ibuku juga mungkin enggak akan kujawab. Kami harus saling pengertian, kan? “Oke.” Aku mengangguk. Kami berjalan beberapa blok menuju rumah Sierra. Rumahnya dibangun dari bata merah, seperti warna rambutnya. Kalau Sierra berdiri di depan rumahnya, kamu enggak akan sadar dia sedang berdiri di sana karena kelihatan menyatu dengan tembok. “Sierra,” panggilku, sebelum dia membuka pintu depan. Sierra menoleh dan memandangku dengan sabar. Aku menelan ludah. “Kamu selalu punya jawaban anehaneh untuk pertanyaan enggak penting, kan?” Sierra mengernyit, tersenyum heran dan memiringkan kepalanya. “Mungkin.” Oke, kalimat barusan kedengarannya memang agak menghina. Aku menelan ludah lagi, memilin-milin rambut putihku di antara jemari. “Begini ... waktu Rita meninggal, Esme bilang, ‘Ini sudah waktunya’. Aku penasaran .... Maksudku, orang-orang selalu bilang begitu, kan? Menurutmu ... menurutmu, maksud mereka, waktunya untuk apa?” Aku berhenti. Wajah Sierra tampak seperti baru saja mendengar kalau aku sebenarnya kodok. Buru-buru, aku menimpali dengan, “Kalau kamu enggak mau jawab juga enggak apa-apa, kok. Jawabannya memang enggak jelas dan ....” “Jawabannya jelas, kok,” kata Sierra. Kami berpandangan dalam diam selama beberapa saat. Sierra mengangkat alisnya. “Maksudnya, waktu untuk menemui Tuhan.” smoke Si Sinting Sierra mengoceh soal warna putih lagi. Katanya, orang mati berubah pucat, menjadi berwarna putih karena Tuhan. “Warna putih adalah bukti bahwa mereka sudah melihat Tuhan, sudah disentuh Tuhan, dan seberapa dekatnya dengan Tuhan.” “Apa hubungannya, sih? Aku enggak ngerti,” keluhku sambil berusaha mematahkan kaki kursi di dapur. Sierra sedang menuangkan jus jeruk untuk kami bawa ke atas. Aku berani sumpah, setiap kali kubuka lemari pendingin Sierra, enggak pernah ada apa-apa di dalamnya. Namun, setiap kali dia yang buka, selalu ada saja sesuatu yang bisa dia bawa ke atas untuk dimakan. Sierra mengangkat bahunya. “Mungkin, kamu enggak akan ngerti. Kamu, kan, masih kecil.” OH, DIA ENGGAK BILANG ‘KECIL’, KAN, BARUSAN? Aku melipat lengan dengan sebal. “Coba saja. Siapa tahu aku mengerti meskipun aku MASIH KECIL.” Sierra nyengir minta maaf kepadaku sambil mengangkat dua gelas berisi jus jeruk. Dia berjalan mendahuluiku ke arah loteng. “Kupikir, kamu enggak suka kalau aku... smoke - 2 “Yang mencintaimu bukan hanya satu orang.” Kuputuskan untuk enggak menginap di rumah Sierra malam itu. Bukan waktu yang tepat, sepertinya. Berhubung Sierra hari ini mendadak korslet, mulai bicara aneh-aneh, dan membuatku sangat enggak nyaman seperti ikan kering. Nenek menyiapkan makan besar untuk malam hari. Entah mengapa, sepertinya suasana hati Nenek sedang baik. Aneh juga, mengingat dia baru menghadiri pemakaman. Papa juga tampaknya senang. Mungkin karena aku enggak jadi menginap di rumah Sierra. Malam ini, kami makan semur lentil dan labu. Aku bisa menemukan beberapa potongan udang di dalamnya. Aku suka udang. Tahu apa yang lebih enak dari udang? Enggak ada. ENGGAK ADA SAMA SEKALI. Kecuali, mungkin keju. “Papa membeli yoghurt blueberry. Tadinya untuk dimakan besok, setelah kamu pulang dari rumah Sierra. Tapi kalau kamu mau, kita bisa menghabiskannya setelah makan malam,” kata Papa sambil tersenyum lebar di balik sendoknya yang gemetaran. Aku mengangguk. “Asyik. Mau!” “Nenek boleh minta?” tanya Nenek,... cosmic latte Aku masih berumur sebelas tahun. Baru satu dekade lebih satu tahun aku hidup di dunia. Meskipun aku benci mengakuinya, aku masih kecil. Aku enggak paham ketika seseorang bilang bahwa mereka lahir untukku. Habisnya, manusia egois. Manusia harus egois. Mereka enggak bisa hidup sendiri, tapi enggak bisa juga hidup 100% untuk orang lain. Kadang-kadang, Sierra enggak masuk akal. Dan, Sierra yang enggak masuk akal selalu membuatku bergidik. Aku menyayanginya. Aku juga senang dia menyayangiku. Namun, dia enggak boleh lahir untukku. Dia hanya boleh lahir untuk dirinya sendiri. Tapi, kan ... Sierra membiarkanku masuk ke rumahnya. Dia memberiku handuk, baju ganti, susu panas, dan tempat tidur untuk menghabiskan malam. Jadi, kurasa aku enggak bisa protes sekarang. Ketika Sierra meninggalkanku dalam gelap, aku sadar kalau aku sinting. Anak biasa enggak melompat keluar jendela dan berlari ke rumah orang di tengah hujan pada malam hari. Aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan sandal... lemon chiffon “Hai! Aku membawa kardigan Rita, sandal biri-birimu, dan kue sifon lemon.” Sierra sering muncul dengan banyak bawaan atau barang yang sangat besar dalam pelukannya. Hari ini, dia membawa kotak berisi kue sifon lemon seukuran pantat Nenek. Bahkan, aku enggak berani tanya bagaimana caranya dia membawa kue itu sambil mengendarai sepeda. Kardigan Rita dan sandal biri-biriku, seperti yang dia janjikan, sudah dicuci sangat bersih. Aku enggak akan kaget kalau ternyata Sierra merajut kardigan baru dan membeli sandal baru. Namun, aku tahu dia enggak bisa merajut, dan satusatunya yang bisa menjahit kardigan Rita adalah Rita. “Terima kasih,” kataku, sambil membiarkan Nenek lewat dan membawakan kue sifon lemon ke ruang baca, tempat kami biasa belajar. “Kenapa kue sifon lemon?” Sierra meletakkan buku demi buku di atas meja makan kami. Sepertinya, dia sengaja membuatku ciut karena kemarin sudah merepotkannya. Katanya, “Yang ukuran besar sedang diskon. Kayaknya, aku enggak bisa menghabiskan semuanya sendirian, jadi kubawa... lemon chiffon - 2 Sekarang, aku yakin 100% kalau Sierra memang sinting. Maksudku, jenis sinting yang bagus, dengan semua bintang, malaikat, dan pelangi di sekitarnya. Namun, kalau kamu enggak sinting, maka memahami orang sinting itu sulit. Setiap kali aku bicara dengan sisi sinting Sierra, aku selalu kebingungan, enggak peduli seberapa panjang penjelasan Sierra. Aku duduk di teras belakang. Hujan turun lagi, deras, tapi aku enggak berniat masuk ke rumah. Entah mengapa, hari ini, suara hujan terdengar bagus. Seperti musik. Aku membayangkan Sierra yang mungkin kehujanan di tengah-tengah perjalanan. Rasakan! Itu balasannya karena sudah membuatku belajar Sejarah. Tiba-tiba saja, di sampingku terdengar suara pintu terbuka. Kulihat Ibu muncul dari balik pintu. Kurus, pucat, seperti hantu, dengan rambut keriting kusut, dan kusam. Dia langsung menunduk dalam-dalam ketika melihatku. Ini sinting. Aku enggak akan pernah melakukan apa yang diminta Sierra. Aku enggak akan meminta maaf kepada Ibuku. Dan, yang pasti, enggak mungkin aku tiba-tiba bilang, “Kamu dimaafkan!”... eggshell “Pasir putih.” “Cokelat putih.” “Kenapa cokelat putih jelek?” “Karena, ia bukan cokelat sungguhan, tapi mengaku-ngaku cokelat.” “Baiklah. Hmmm ... burung merpati?” “Tahi burung.” “Ih, jorok.” Aku tertawa. Sudah lama rasanya sejak terakhir aku datang ke sini dan menjelek-jelekkan warna putih. Sierra duduk di seberangku, dalam kegelapan, sambil minum teh yang wanginya terlalu manis. Hari ini, camilan kami adalah puding karamel yang sudah enggak dingin karena Sierra lupa memasukkannya ke kulkas setelah membelinya dari minimarket kemarin. Dan, puding minimarket selalu manis. Jadi, hari ini semuanya sangat manis. “Omong-omong, ini teh apa, sih?” tanyaku, baru sadar kalau aku sudah lebih dari setengah tahun meminum teh yang sama tanpa pernah tahu apa yang kuminum. Bisa saja, dia memasukkan serbuk mencurigakan di dalamnya. “Lady Grey,” kata Sierra. “Kupikir, kamu suka.” “Suka, kok. Aku cuma enggak tahu saja apa yang kuminum. Kenapa wanginya tajam sekali, sih?” Sierra mengangkat bahu. “Enggak tahu. Mungkin karena bunga jagung.... eggshell - 2 “Ibuku bernyanyi,” kataku lagi. “Mezzo-soprano. Apa itu mezzo-soprano?” “Suara perempuan di antara alto dan soprano. Suaranya bagus? Kamu sudah pernah dengar?” Aku mengangguk. Aku belum pernah menceritakan kisah lengkap percakapan pertamaku dengan Ibu di teras itu. “Dia menyanyikan lagu Jane Sibbery. ‘Calling All Angels’, kamu tahu? Katanya, dia menyanyikan lagu itu sepanjang waktu ketika dia mengandungku, bahkan waktu dia hampir melahirkan.” Aku terdiam lagi. “Kemarin, dia bilang, aku lahir pada saat hujan. “Sierra, kamu punya saudara?” tanyaku, teringat ahli terapi musik yang diceritakan Ibu. Sierra menggeleng. Aku mengernyit. “Ahli terapi musik itu apa, sih?” “Hmmm, mungkin maksudnya psikolog. Dia membantu orang menyembuhkan kondisi mentalnya menggunakan bantuan musik. Kenapa?” Aku menggeleng. Sebenarnya, Sierra enggak akan menganggapku gila, apa pun gagasanku. Namun, aku enggak bisa mengekspresikan pertanyaan dalam kata-kata. Lagi pula, mungkin, pemikiranku ini muncul karena aku terlalu sering bermain bersama Sierra. Kupikir, Ibu sungguhan dihampiri malaikat. Mungkinkah, Michael itu malaikat sungguhan?... ghost Kami belajar Biologi hari ini. Kayaknya, Sierra paling jago mengajarkan Biologi. Atau memang, aku suka Biologi? Atau mungkin, aku suka kalau dia menjelaskan Biologi. Enggak tahu, enggak tahu. Hari ini agak tegang. Aku sudah bilang kepada Ibu kalau Sierra akan datang dan aku mau mereka mengobrol. Aku enggak tahu mereka sudah saling kenal atau belum, meski tahu mereka sudah pernah bertemu (tentu saja). Tapi, aku takut Ibu enggak menyukai Sierra atau sebaliknya. Karena gugup, kadang-kadang aku berkata agak keras, “Tapi, Nenek suka kepadamu. Papa juga. Jadi kurasa, dia akan menyukaimu juga.” Sierra membelalak kaget, lalu dia tertawa. “Siapa? Ibumu? Jangan cemas, aku akan bersikap baik.” “Tentu saja,” gerutuku. Dia, kan, selalu baik. “Kenapa kamu harus tegang, sih? Kan, aku yang akan dikenalkan. Harusnya, aku yang tegang,” kata Sierra. Aku mau memelototinya dan bilang, ‘Tapi, kamu enggak pernah tegang’. Namun karena aku tegang banget, akhirnya enggak bilang apa-apa. Aku menghela napas.... broken Ketika terbangun esok paginya, aku sudah kering dan hangat di atas tempat tidur. Di samping tempat tidurku ada bubur di dalam pot panas, banyak air putih, dan obat. Awalnya, aku kebingungan kenapa ada obat di sana, tapi kemudian aku sadar kalau badanku panas. Ibu pulang beberapa menit setelah aku bangun. Dia langsung panik begitu mendapati aku demam. Lalu, dia bertanya siapa yang membuatkanku sarapan dan menyiapkan obat untukku. “Sierra,” kataku, karena aku tahu itu benar. Aku enggak tahu bagaimana dia mengeringkanku, atau kapan dia membuat sarapan ini, atau kapan dia pergi, atau kenapa dia datang ke rumah, tapi aku tahu dia melakukannya. Ibu meletakkan tambahan bantal di belakang kepalaku seraya membiarkanku makan sedikit ―padahal aku enggak nafsu. Dia membuatkanku teh madu dan membawa termometer, lalu duduk dengan wajah cemas di samping tempat tidurku. “Elphira, tentang tadi malam ...,” mulainya. Aku harus mendengarkan. Aku enggak mau mendengar, tapi aku mendengarnya juga.... baby powder Malaikat Michael adalah pelindung anak-anak. Dalam banyak tulisan, disebut-sebut sebagai “Pangeran Surga”. Michael adalah malaikat kesatria yang melindungi surga dan dunia dari serangan setan. Menemani jiwa yang sudah mati ke surga dan memberikannya waktu untuk menebus kesalahannya di dunia. Dia akan memberikan balasan atas setiap kebaikan yang dilakukan manusia, nanti setelah mereka mati. “Nenek,” panggilku. Nenek sedang duduk bersamaku di teras, mengupas apel untuk pai nanti malam. Pai apel Nenek jempolan. Katanya, rahasianya adalah krim keju. Aku enggak peduli dengan rahasia, tapi aku suka krim keju. Nenek menjawabku dengan gumaman dan senyuman, sambil terus menekuri pekerjaannya dengan apel hijau di tangan. “Kenapa mereka bilang Malaikat Michael selalu menderita?” tanyaku. Aku memandang Nenek, yang kini memandangiku dengan heran. “Aku baca itu di buku. Katanya, Malaikat Michael adalah malaikat kasih sayang yang menanggung banyak penderitaan.” Nenek mengernyit sangat dalam, sampai-sampai aku bisa membedakan yang mana kernyitan dan yang mana keriputnya. Dia menurunkan... champagne Keesokan harinya, Sierra kembali mengajar. Nenek tampaknya sangat bahagia, sehingga dia memeluk Sierra erat sekali. Kalau aku enggak tahu Sierra adalah malaikat, aku akan sangat cemas karena sepertinya dia akan mati kehabisan napas. Nenek terus-menerus membawa makanan dan minuman, sepertinya enggak cukup melihat Sierra sekali sehari itu. “Kami semua sangat cemas waktu dengar kamu sakit,” kata Nenek, ketika dia membawa scone dan selai stroberi untuk ketiga belas kalinya. Dia mendelik padaku. “Dan, anak nakal ini enggak mau mengunjungimu.” Sierra memandangku dengan wajah menuduh. Bagaimana rasanya coba, melihat nenekmu mengadukan dosamu kepada malaikat? Aku 100% akan masuk neraka setelah ini. Terima kasih, Nek. Aku mau bilang, ketika Nenek pergi, “Apa lagi yang bisa kukatakan pada Nenek soal kepergianmu? Kamu balik ke surga, gitu?” Tapi, enggak jadi. Aku enggak berani bicara kepada Sierra lagi. Kemarin, aku berhenti bicara sama sekali sampai waktunya pulang. Aku hanya menghabiskan satu cangkir teh, lalu berdiri dan... floral Aku tahu anak-anak sering bilang kalau mereka suka merencanakan pernikahan mereka. Biasanya, model pria pen dampingnya adalah ayah mereka. Namun, aku kasus istimewa. Aku sungguhan melakukannya. Papa hanya tersenyum tipis ketika aku dan Sierra menjelaskan proyek ini kepadanya. Tentu saja, Papa akan membiarkanku melakukan apa pun yang kuinginkan. Dia, kan, menyayangiku. Hanya saja, Papa kelihatan sedih. Mungkin, dia tahu kalau aku sudah paham seberapa dekatnya dia dengan kematian. Seberapa dekatnya kami dengan perpisahan. “Kamu tahu kalau ada jenis warna putih yang disebut Putih Bunga?” kata Sierra ketika kami melihat model buket bunga di internet. Sebetulnya, aku ingin menyuruhnya diam. Namun, aku enggak sampai hati. Sierra masih saja terobsesi dengan proyek Mari-Buat-Elphira-Suka-Warna-Putih. Aku masih enggak menyukai warna itu. Habisnya, tetap enggak bisa dimungkiri bahwa Papa akan meninggal karena kanker sel darah putih, dan Ibu pernah masuk rumah sakit jiwa karena punya anak albino. Enggak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa warna... floral - 2 Kulempar pandangan ke arah Bumi yang berpendar biru pilu. Kupejamkan mataku, bersiap untuk kembali melebur dalam kesedihan yang berpusar di dalamnya. “Pengorbanan,” kataku. “Burung merpati, yang selalu kamu contohkan sebagai hal bagus tentang warna putih, lalu domba ... keduanya adalah lambang pengorbanan, kan? “Mungkin, bagiku juga seperti itu. Aku akan mengorbankan perasaanku, egoismeku, sebagian dari kemanusiaanku demi kebahagiaanPapa.”AkumemandangSierra.Airmatamulaimerayapi pelupuk mataku. “Dan, aku akan mengorbankan perasaanku untuk merelakanmu ... demi kebahagiaanmu sendiri.” Kupejamkan mata, kurasakan bibir Sierra di keningku. Tubuhku terasa ringan dan aku dibungkus cahaya. Namun, bukan cahaya yang menyakitkan. Cahaya yang hangat, seperti pelukan. Cahaya yang melahirkan malaikat. Aku bangun keesokan paginya dengan air mata masih meleleh di sudut mata. “Kamu tahu, kan, kalau tindakan kamu tadi malam itu bahaya banget?” Sierra masih enggak bisa berhenti mengomeliku soal apa yang terjadi pada malam ketika aku pergi meninggalkan Bumi. Dia enggak membahas itu selama satu hari, tapi keesokan harinya, dia... linen Papa makannya sedikit hari ini. Seperti biasa, aku bertanyatanya, apa Papa pernah makan banyak? Sejak aku lahir, Papa sudah sakit, jadi aku enggak pernah melihat Papa makan banyak. Bisa jadi, Papa pernah mengalami masa-masa makan banyak, tetapi setelah itu dimuntahkan lagi. Papa juga pernah jadi anak laki-laki. “Bagaimana persiapanmu?” tanya Papa. Pai pisang buatan Nenek sudah dia letakkan di meja teras. Papa meminum tehnya. “Katanya, hari ini kamu mau ke rumah Esme?” Aku mengangguk. “Katanya, bajunya sudah jadi. Cepat sekali, ya, Pa?” “Sejak dulu, Esme memang mahir menjahit. Dulu, Esme punya toko jahit. Dia yang cerita waktu Papa pertama membawamu ke klub merajut. Sepertinya, dia juga pernah menunjukkan beberapa karyanya. Esme profesional. Jahitannya mengesankan.” “Oh, ya? Aku enggak pernah tahu. Kenapa dia ikut klub merajut?” “Karena, dia enggak bisa merajut,” gelak Papa. “Anaknya yang suka merajut. Dia mau belajar merajut agar bisa merajut bersama anaknya. Tapi Esme bilang, matanya sudah... linen - 2 Dia tampak ragu sebentar, lalu berkata, “Namanya Linen. Warna putih di gaun pengantinmu,” katanya. Lodeus mengusap bahuku sekilas dan berdiri. Dia mengangguk tipis sambil berpaling dariku. “Sampai jumpa lagi.” Lodeus berjalan menjauh. Kini, aku hanya bisa diam terpaku, memandangi kepergiannya. Sosoknya lenyap di bawah sinar lampu jalan yang memancar menyorot jalan setapak. Aku berdiri di sana lama sekali, menahan tangis dan jerit kemarahan yang bergelantungan di ujung lidah, sampai akhirnya Papa muncul dari dalam rumah. Tanpa berkata apa-apa, Papa memelukku erat-erat. Seolah Papa tahu apa yang terjadi di dalam kepalaku. Aku membalas pelukannya, membiarkan air mata panas bergulir pelan menuruni pipiku ketika aku menangis tanpa suara. Malam itu, entah mengapa, Sierra datang setelah makan malam. Sudah terlalu larut untuk menerima kunjungan siapa-siapa, tetapi melihat Papa bersemangat menghampiri pintu saat bel berbunyi, aku tahu Papa yang memanggil Sierra. Kamu baik-baik saja?” kata Sierra ketika kami masuk ke ruang baca, tempat pertemuan... magnolia Sierra bilang, keajaiban dilambangkan dengan warna putih. Dia enggak pernah bilang kalau kebahagiaan juga dilambangkan dengan warna putih. Entah sudah berapa kali aku mendengar betapa orang menghabiskan waktu puluhan tahun hanya untuk merasakan apa yang kurasakan saat ini. Padahal, aku baru sebelas tahun. Untuk mendapatkan dalam waktu singkat atas sesuatu yang sulit dicari, artinya hanya satu: keajaiban sungguhan terjadi. Mungkin bukan naga atau sihir atau binatang yang bisa bicara, tapi keajaiban terjadi. Keajaiban sederhana yang indah, berupa kebahagiaan. Bisa jadi karena itulah pernikahan diisi dengan taburan warna putih. Gaun pengantin, taplak meja makan, bunga-bunga yang ditaburkan di sepanjang jalan, dan burung merpati cantik yang terbang menembus awan .... Kulirik celah terbuka di antara tirai yang menutupi jendela. Aku bisa melihat langsung menuju altar “pernikahan”-ku. Seluruhnya tertutupi warna putih. Salju turun sejak tadi malam. Seseorang mengetuk pintu ruangan. Lily yang sejak tadi berusaha memasang sesuatu di belakang gaunku, berdiri dan membukakannya.... magnolia - 2 Sekali lagi, aku ditinggal sendirian. Kutatap wajahku di cermin. Mengerikan. Lagi-lagi, aku menangis. Waktu yang buruk untuk menangis. Wajahku selalu tampak seperti habis disengat lebah setelah menangis. Enggak lama kemudian, Papa muncul dengan wajah cemas. Sepertinya, uban di kepalanya tampak lebih putih dari biasanya. Dia segera menutup pintu dan berlutut di depanku, memegangi tanganku, dan bertanya ada apa. Aku menarik napas dalam-dalam. “Papa, aku enggak bisa menikah dengan Papa. Maaf.” Papa tampak sangat terkejut. Dia tercenung selama beberapa saat, mengerjapkan mata, memastikan kalau kata-kata itu memang keluar dari mulutku. Kemudian, Papa bertanya, “Kenapa?” “Karena, Papa mencintai Mama dan Mama mencintai Papa. Kalau aku berdiri di antara kalian, sakit yang kalian rasakan enggak akan pernah sembuh. Dan, aku enggak boleh menikah dengan orang yang enggak mencintaiku seperti Papa mencintai Mama.” Kutempelkan dahiku di dahi Papa, membiarkan ujung hidung kami nyaris bersentuhan. “Ayah yang baik biasanya melarang anaknya menikahi pria yang enggak... candidus “Dulu, aku sering terjaga di atas tempat tidur ketika seharusnya tidur. Aku takut sesuatu terjadi pada Papa ketika tidur. Aku takut Papa akan pergi ketika aku tertidur. Aku takut ditinggal tanpa mendengar salam perpisahannya. “Jadi, aku berbaring, terjaga, kepalaku di atas tumpukan bantal yang Papa tepuk untukku sebelum dia mencium keningku dan mengucapkan selamat tidur. Aku memandang langitlangit, menghitung bayangan malaikat yang berputar-putar mengelilingi kepalaku. Dan, aku akan mengucapkan ratusan doa kepada masing-masing malaikat. Juga, ratusan pertanyaan. Meskipun setiap malam, enggak satu pun didengar. Enggak satu pun dijawab. “Dulu, aku sering masih terjaga pada pagi hari ketika seharusnya sudah bangun. Aku takut menghadapi hari ketika Papa masih hidup, tetapi menderita. Aku memandang langitlangit tempat malaikat bayangan berputar-putar, meskipun tampak pudar di bawah cahaya pagi. Aku akan menantikan pertanda yang menyiratkan kalau doa, atau pertanyaanku, dijawab mereka. Enggak pernah ada satu pun yang datang. “Apa aku bicara terlalu pelan? Atau, aku... Description: Ini kisah kecil tentang gadis mungil bernama Elphira. Dia terlahir albino. Drai ujung kepala hingga ujung kaki, semuanya putih. Kadang-kadang, Elphira menganggap dirinya hantu. Dia akan meringis ngeri setiap melihat pantulan dirinya dalam cermin. Kulitnya akan terbakar jika sinar matahari menyentuhnya. Pada akhirnya, Elphira punya satu keyakinan bulat: dia benci warna putih. Kemudian, kisah kecil ini menjadi besar ketika Sierra, cowok berambut merah datang ke dalam hidup Elphira. Dia sabar bagaikan malaikat. Dia tersenyum ketika Elphira merajuk, dan teguh pada tekadnya untuk membuat Elphira menyukai warna putih. Bagi Sierra, putih adalah warna kebahagiaan, kesucian, dan keabadian. Elphira senang atas kehadiran Sierra, sebenci apa pun dirinya pada prinsip Sierra tentang warna putih. Hingga, Elphira percaya. Mungkin dia harus menerima semua keyakinan konyol Sierra tentang warna putih. Namun haruskah kisah besar ini dihentikan jika Sierra memang benar-benar malaikat?
Title: wielmanzone Category: Novel Text: Jilbab putih rok biru Aku gak tau waktu itu jam berapa, hari apa, dan tanggal berapa? Yang kutahu hari itu cuacanya sejuk Sesejuk sahutan Tan mu ketika aku menyapamu pertama kali suaramu yang lembut ,yang membuat hatiku selalu berdebar dan tatapan matamu Yang selalu membuatku malu Setiap gerakmu membuatku kaku Tapi entah mengapa bersamamu membuatku tenang dan tak merasa canggung Dulu kita hanya bocah remaja, Km berjilbab putih dan rok biru Aku pun sama cuma anak berbaju putih bercelana biru aku gak tau waktu itu apa yang membuatmu mencintaiku , yang aku tau hanya perasaanku padamu, aku benar-benar cinta padamu Sampai saat ini aku masih benar-benar mencintaimu Aku gak bisa lupa kebaikan dan ketulusanmu... Description: wielmanzone
Title: Will You Marry Me Category: Pengembangan Diri Text: Prolog Beberapa bulan yang lalu, ketika saya sedang berkunjung ke rumah Ibu saya, tanpa diduga adik laki-laki saya yang berusia 28 tahun, mengutarakan keinginannya untuk menikah dengan kekasihnya. Kontan saya bertanya padanya, kamu sudah punya rencana apa? Bagaimana dengan rencana kamu dalam 5 tahun, 10 tahun, dan 15 tahun ke depan. Ia melihat ke arah saya dengan wajah bingung dan menjawab,”Enggak tahu! Tapi gaji saya sudah 5 juta per bulan!” sebutnya bangga dengan senyum lebar. “Jangan khawatir! Kamu pasti ditolak!” tanggap saya dengan senyum tak kalah besar. Seribu argumentasi kemudian timbul atas jawaban saya seperti itu. Namun masalahnya bukan karena saya menyepelekan atau apa, tapi saya justru mempertanyakan tujuan dan maksud dari dirinya menikah itu. Dan jawaban pertama darinya adalah “Gak tahu!” Bukan masalah gaji besar yang ia miliki sekarang, karena menurut saya rezeki di tangan Tuhan. Tapi lebih mengarah kepada fakta di mana ia sendiri sebenarnya tidak tahu ia mau apa dan bagaimana. Atau dengan kata lain, ia tidak memiliki tujuan keuangan yang pasti. Betul ia sekarang masih tinggal dengan orangtua saya. Betul ia punya keinginan untuk memiliki kendaraan dan rumah sendiri. Betul yang namanya gaji atau pekerjaan akan terus meningkat. Tapi kapan? Kapan? Sepertinya itu adalah suatu pertanyaan sederhana yang ternyata sulit untuk dijawab. Tanpa disadari pada saat saya menyebut kata Kapan..? Kita akan menjawab dalam hati.. Yah nanti kalau ada rezeki saya akan beli mobil. Nanti dulu deh, kayaknya masih ada prioritas lain buat menikah atau beli mobil, duh umur segini mau nikah? Yang ada.. ini.. itu.. dan seterusnya dan seterusnya.. Sadar atau tidak kita mulai memberikan diri kita sendiri ‘Alasan’ untuk tidak mencapai tujuan, cita-cita atau keinginan-keinginan kita. Kita terlalu banyak membuang energi kita untuk hal hal supaya kita TIDAK mendapatkan apa yang menjadi cita cita dasar kita, daripada memberikan energi atau effort yang sama untuk mencapai semua itu, sehingga apabila hal tersebut tidak tercapai, kita masih bisa ‘memaklumi’ diri kita sendiri. Kemudian, siapakah yang akan kita salahkan? Dalam buku ini, saya akan bercerita tentang apa yang saya tahu mengenai apa dan bagaimana menjadi karyawan, keuntungan-keuntungannya, dan hal-hal yang bisa kita dapatkan dengan menjadi seorang karyawan, tentunya setelah lulus kuliah, dan menjawab pertanyaan: apa yang kita harus lakukan setelah lulus? Dalam bagian kedua saya akan berbicara tentang investasi, mengapa kita harus berinvestasi, pengenalan awal tentang apa arti dari investasi itu sendiri, risiko-risikonnya berdasarkan profile resiko kita, produk-produk investasi itu apa saja, dan investasi apa yang cocok untuk kita, lengkap dengan jangka waktu, jenisnya dan lain-lain. Pada bagian ketiga saya akan bercerita tentang apa yang orang tua kita tidak katakan pada kita, dan mengapa hidup tidak ada manual book-nya. Suatu pembelajaran sederhana yang saya pahami, setelah justru saya menjalani profesi saya sebagai perencana keuangan. Dan untuk itu saya membutuhkan waktu sampai 40 tahun untuk mengertinya. Harapan saya, kamu tidak harus melewati waktu yang selama itu untuk memahaminya. Kita tidak perlu untuk menjadi seorang dengan latar belakang ekonomi untuk mengerti dan memahami buku ini. Karena saya pribadi tidak memiliki latar belakang ekonomi maupun keuangan. Namun buku ini berguna bagi mereka yang mau belajar dan memahami lebih jauh arti pentingnya investasi, dan mau meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik dari yang sekarang. Kalaupun kamu merasa kehidupan kamu yang sekarang mencukupi, bagaimana dengan orang-orang yang kamu sayangi? Bagaimana dengan anak-anak yang kamu cintai? Tentunya kamu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak kamu dan keluarga kamu yang tercinta, bukan? Dan sayangnya, di Indonesia, yang terbaik = mahal! Melalui buku ini, saya akan menjelaskan secara sederhana tentang beberapa instrument investasi yang ternyata mudah dan membutuhkan biaya sangat sedikit, sehingga kita dapat menyesuaikannya dengan pengeluaran kita yang lain, baik dengan dialokasi atau direstrukturisasi, namun kita bisa menikmati masa pensiun atau malah miliki beberapa properti yang lebih dari cukup, dan kita bisa mengalami apa yang disebut And they live happily ever after, layaknya dongeng-dongeng Walt Disney. Kenapa tidak? Kita semua ingin hidup tanpa dipusingkan oleh urusan finansial bukan? Life is About Loving Dalam setiap presentasi, apapun topic yang saya bawakan, pasti akan saya buka dengan pernyataan sederhana: Life is about Loving. Hidup adalah untuk mencintai. Baik apakah itu untuk mencintai orangtua kita, anak-anak kita, suami atau pasangan kita, keluarga kita, teman sepergaulan, teman sekerja, atau bagaimana kita mencintai hidup kita sendiri. Dan kalau kita mau jujur, sebenarnya kita tidak benar-benar memerlukan sesuatu. Gadget keren dan tas keren, atau dalam beberapa hal, sepatu keren saja sudah cukup. ‘Kebutuhan’ mulai timbul ketika kita mulai memikirkan orang lain. Sesederhana karena, kita ingin membahagiakan orang tersebut, dan memberi kenyamanan serta perlindungan maksimal atas apa yang kita bisa berikan kepada mereka. Apalagi, setelah kita menikah. Dan segala sesuatu yang tadinya cukup, mendadak kita menginginkan lebih. Tapi sebelum kita berbicara lebih lanjut tentang pernikahan dan Dunia setelah bekerja, sebelumnya.. Kemana Setelah Lulus ? Fresh graduate. Setelah lulus, kamu akan kemana? Sangat penting bagi kamu untuk mempunyai target atau tujuan. Tentukan dan targetkan diri kamu disini, kapan kamu akan memulai bekerja setelah lulus kuliah? 3 bulan? 6 bulan? Kemudian apa? Kamu bekerja di sebuah perusahaan atau mungkin di perusahaan perbankan atau perusahaan asing swasta lain yang bona vide. Sistem kontrak satu tahun dan mungkin diperpanjang. Kemudian bagaimana selanjutnya? Kamu tidak suka sistem target perusahaan tempat kamu bekerja, kerja lembur yang tidak dibayar, over work under paid, stres kerja, komplain dst.,dstnya. Kemudian.......? Hal terpenting dalam hidup, dan kebanyakan dari kita sering lupa, adalah bagaimana kamu di sini membuat adalah TARGET. Setelah kamu memiliki target, tanyakan dulu kepada diri kamu sendiri: Why? Why? Kenapa Target tersebut harus terpenuhi. Sebuah cerita tentang Adi dan Rio: Suatu hari saya diundang oleh sahabat saya, untuk menghadiri acara syukuran karena adiknya yang paling kecil, baru saja di wisuda. Karena hubungan kami dekat, saya menghadiri acara makan-makan keluarga tersebut, yang meski sederhana, namun sangat meriah. Tidak heran, Tante Hesti, ibu sahabat saya, adalah koki yang luar biasa handal. Setelah makan malam, saya melihat Liana, melambaikan tangan ke arah saya untuk mendekat. Saya bisa melihat dari jauh, kalau ia sedang duduk bersama Rio, si bungsu dan salah satu sahabatnya Rio, Adi. Sepertinya mereka tengah berbicara serius. “Nie, bilangin nih si Rio, dia udah lulus loh, sudah waktunya dia justru serius sama hidupnya,” saya dapat menangkap nada kekhawatiran dalam kata-kata Liana. Dan seperti yang sudah kita duga, Rio hanya tertawa lebar menanggapi kekhawatiran kakaknya itu. “Jadi rencana kamu habis ini apa, Rio?” tanyaku. “Enggak tahu kak. Yah cari-cari kerjalah. Sambil liburan dulu,” kata Rio. Saya dapat menangkap ketidakseriusannya Rio dalam bercerita. Meski dengan semangat ia beralasan capai karena sekian bulan mengerjakan skripsi, beberapa malam tidak tidur, acara menginap di rumah Adi dan lain-lain, serta keseruan lain yang menurutnya ‘patut diberi hadiah liburan dahulu sebelum bekerja.’ Yang sesungguhnya saya dengar di sini adalah: Rio tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan dan bagaimana ia harus menjalaninya. Lain halnya dengan Adi. “Kamu bagaimana Adi? Mau ikutan Rio jalan-jalan dahulu?” tanyaku. “Oh enggak Tante. Hari Minggu besok ada career week, di kampus. Jadi ada beberapa perusahaan yang promosi di kampus kita, nah aku mau lihat-lihat dulu aja. Terus Ibu juga bilang kalau ada kenalan Ayah yang kerja di Bank yang mungkin bisa bantu. Kemarin sih sudah dikenalin dan sudah ngobrol-ngobrol sebentar sama Ayah dan temannya. Tapi baru minggu depan aku disuruh ke kantornya, jadi lebih baik liburannya saya tunda duu deh Tante,” jawabnya tegas. Meski agak sebal karena dipanggil ‘Tante’ mengingat kakaknya Rio adalah teman saya dan seharusnya saya ‘berpangkat’ kakak, namun saya suka sekali mendengar jawaban Adi. Ia punya rencana, tentang karirnya. Dan itu sudah dijalankannya jauh sebelum masa wisuda terjadi. Dua bulan kemudian, Adi dengan IPK yang cukup baik, namun tidak terlalu tingi, mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan asing di kawasan jalan Jendral Sudirman. Bukan dari teman orangtuanya, bukan dari career week di kampusnya, namun karena usahanya yang gigih mencari kerja untuknya sendiri, melalui LinkedId, iklan lowongan pekerjaan, dan lain-lain yang bisa ia temukan. Apa yang terjadi dengan Rio? Sekembalinya dari liburan di Bali dan beberapa daerah di pulau Jawa, Rio sakit, dan sampai 8 bulan kemudian, ia masih belum bekerja. Alasannya: HRD-nya pilih kasih, gajinya terlalu kecil, tempat pilihan kerjanya jauh, ia maunya kerja di daerah Jl. Jend. Sudirman atau Thamrin, dan seterusnya dan seterusnya. Benarkah? Apakah sebegitu sulitnya mencari pekerjaan? Atau ada factor lain? Apa yang salah di sini? Inilah yang sebenarnya yang harus kamu perhatikan: Setelah lulus kuliah, 3-6 bulan pertama akan kamu habiskan dengan mencari kerja. Disini target dan tujuan yang berbicara. Beberapa dari kamu akan sangat beruntung untuk mampu langsung mendapatkan pekerjaan. Mungkin bukan pekerjaan idaman, tapi setidaknya itu adalah awal yang baik. Untuk mereka yang setelah 6 bulan masih belum juga mendapatkan pekerjaan, tanyakanlah pada diri kamu sendiri, apakah Anda sudah cukup berusaha untuk mendapatkan pekerjaan itu atau tidak? Atau sebenarnya (dan kalau kamu mau jujur) kamu sebenarnya masih enggan bekerja? “When you want something, all the Universe conspires in helping you to achieve it” Paolo Coelho, The Alchemist “Ketika kamu menginginkan sesuatu, maka Alam semesta akan berkonspirasi untuk membantumu mendapatkannya.” Kita seringkali terpaku pada idealisme yang ‘enak’ sampai terkadang kita lupa tujuan akhir kita bekerja sebenarnya untuk apa. Dan ternyata hal inilah yang membedakan kamu dengan teman-teman kamu dalam hal: kenapa kamu masih belum bisa mendapatkan pekerjaan impian kamu, sementara teman ita si Adi, yang sebenarnya IPK lebih rendah, tapi kok bisa lebih baik dari kamu? Gaji pertama layaknya seorang fresh graduate S-1 bidang Ekonomi atau setara adalah Rp 3.000.000,- atau setara UMR yang berlaku. Namun semua tergantung dari besar-kecilnya perusahaan, dan bahkan ada beberapa posisi yang sama memiliki nilai gaji yang berbeda antar 2 buah bank yang sama-sama bonafid. Tapi yang penting dan perlu diingat di sini bukanlah besarnya gaji. Yang perlu kamu lihat dan perhatikan dalam menilai suatu perusahaan di sini adalah: Status Kepegawaian Jenjang Karir Social Benefit Health Benefit Retirement Benefit Loan Benefit Berikut coba kita bahas satu per satu: Status Kepegawaian Pada saat kamu pertama kali diterima kerja, dan masuk sebagai pegawai, sebagai seorang fresh graduate atau karyawan tanpa pengalaman kerja sebelumnya, kamu akan melalui beberapa hal sebagai berikut: 1-3 bulan pertama kita akan menjalani masa training, dan 3-6 bulan kemudian kamu akan bertindak sebagai “ikan sarden”, yaitu karyawan ditempatkan dalam satu ruangan yang penuh dengan teman sesama trainee lainnya, dan harus ikut kemanapun supervisor atau pengawas menyuruh kamu pergi atau melakukan sesuatu. Jadi apabila kamu tidak memiliki ruang khusus sebagai ruang kerja kamu, maka hampir dipastikan kalau kamu bukan pegawai tetap. Walaupun kamu telah diterima bekerja bukan berarti kamu telah secara otomatis diterima sebagai pegawai. Itu adalah dua hal yang berbeda. Apakah kamu pegawai tetap, pegawai kontrak, atau bagaimanakah status kamu di perusahaan tersebut? Adakah kontrak kerja-nya, hitam di atas putih? Memiliki kekuatan hukum atau tidak? Sebuah perusahaan yang menghargai karyawannya, akan memberikan kontrak dengan detail perincian gaji yang jelas dan bukan hanya terbatas pada ‘katanya’ semata. Jadi penting bagi kamu untuk memahami hal ini dan sadar betul hak hak dan kewajiban kamu sebagai karyawan. Ciri-ciri pegawai tidak tetap: Bisa dilihat dari kontrak kerja yang mereka tawarkan, ada atau tidak dan berapa lama Tidak ada tambahan gaji atau tunjangan, apabila kamu harus bekerja setelah atau di luar jam kantor Tidak ada benefit kesehatan. Status kamu di kantor, itu ditandai dengan apakah kantor memberikan asuransi kesehatan atau BPJS yang dibayarkan oleh perusahaan bagi karyawannya, pertanda perusahaan tempat Anda bekerja menghargai ‘value’ kamu sebagai karyawan. Jatah cuti. Perusahaan wajib memberikan jatah cuti bagi karyawannya. Lamanya tergantung dari kebijakan perusahaan masing-masing. Apabila kamu tidak boleh cuti, atau justru harus membayar karena ketidakhadiran kamu, bisa dipastikan kamu bukan pegawai tetap. THR, alias Tunjangan Hari Raya. Perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk memberikan THR bagi pegawai tidak tetapnya. Namun jangan khawatir. Karena apabila kamu telah lulus melewati masa percobaan, dan mampu memberikan prestasi yang baik, kurang dari jangka waktu 2 (dua) tahun kamu akan memiliki status kepegawaian sebagai pegawai tetap, tunjangan dan tambahan benefit lain. Bahkan kalau kamu termasuk yang beruntung, atau berprestasi, bukan mustahil atasan kamu akan melihat potensi kamu yang lebih menonjol, sehingga status pegawai tetap bisa kamu sandang hanya dalam waktu 6 bulan. Semua tentunya memiliki proses, tapi prestasi dan kinerja kamulah yang membuat kamu bisa memiliki karir dan posisi yang baik. Jangan berkecil hati jika dalam 2 tahun pertama dalam dunia kerja kamu menemukan banyak kesulitan dan masa adaptasi yang membingungan. Bersyukurlah dan manfaatkan momen ini sebagai kesempatan belajar dengan digaji atau dihargai (alias dibayar). Lagi, saya ingatkan, bagaimana kamu menyikapi pekerjaan kamu sendirilah yang membuat kamu akan dilirik oleh atasan, untuk direkomendasi pada posisi yang lebih baik. Jadi penting untuk diperhatikan, kalau kamu masih saja belum memiliki target atau tujuan yang jelas, maka kamu akan melewati masa ini dengan mental main-main dan seenaknya. Yang tentunya hal ini kembali akan berimbas pada bagaimana peran kamu di perusahaan tersebut juga tidak akan diperhitungan dengan serius, karena kamu juga masih main-main. Namun kalau kamu mau fokus dan serius dalam menyikapi masa-masa ini, pasti manfaat yang kamu dapatkan juga akan lebih banyak. 2. Jenjang Karir Adi, bekerja di Perusahaan Bangun Bersama sebagai seorang manager. Perusahaannya tempat ia bekerja, hendak mempromosikan dirinya menjadi seorang Senior Manager. Namun, berhubung secara kualifikasi Adi kurang memadai, maka perusahaan Bangun Bersama kemudian membiayai program training S-2 bagi Adi, dan pelatihan TOEFL agar Adi mencapai target kualifikasi minimum untuk jabatan senior manager di Perusahan Bangun Bersama. Apakah tempat kamu bekerja menjanjikan atau mampu memberikan kenaikan atau jenjang karir yang menjanjikan? Apabila sebuah perusahaan tidak mampu memberikan kenaikan pangkat atau peningkatan jenjang karir setiap 2 (dua) tahun, sebaiknya kamu keluar atau mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Jenjang karir berbanding lurus dengan kenaikan gaji. Dan kenaikan gaji tanpa kenaikan pangkat biasanya sekitar 6-8% per tahunnya. Kalau perusahaan tempat kamu bekerja ternyata selain tidak bisa memberikan peningkatan jenjang karir, atau kenaikan gaji, pikirkanlah untuk pindah. Karena perusahaan atau tempat bekerja seperti itu, tidak akan pernah bisa menghargai kamu dari segi kemampuan dan skill. Perhatikan juga apakah perusahaan tempat kamu bekerja memberikan pelatihan-pelatihan yang memperdalam skill kamu yang dibutuhkan perusahaan, atau tidak? Pelatihan-pelatihan atau training tambahan yang baik dan benar, akan memberikan sertifikat atau sertifikasi khusus, yang artinya : ada nilai tambah atau nilai lebihnya bagi kamu, yang akan berujung pada: nilai gaji yang lebih baik. Pelatihan tambahan di sini juga bisa bersifat internal, artinya pelatihan yang diadakan dari dalam kantor atau perusahaan tempat kamu bekerja, dan diikuti oleh beberapa orang sekaligus. Mungkin dari beda divisi, namun dalam satu manajemen yang sama. Sementara pelatihan yang bersifat eksternal adalah pelatihan di mana kamu mencari sendiri atau dicarikan oleh perusahaan tempat kamu bekerja, untuk menambah skill yang dianggap berguna untuk kelangsungan perusahaan. Pelatihan-pelatihan ini juga bisa berupa Public Speaking, Pajak brevet A dan B, Serifikasi analis keuangan, pengolahan resiko, instrumen keuangan, sertifikasi dalam menggunakan suatu aplikasi, dll. Apapun itu, pelatihan ini ditujukan untuk menambah benefit pada perusahaan, sesuai kebutuhan perusahaan. Dan di sini kamulah yang justru dipercaya oleh perusahaan untuk mengikutinya. Dengan kata lain, ini adalah salah satu cara perusahaan menghargai kamu dan menunjukkan kalau kamu cukup berharga bagi perusahaan. 3. Social Benefit Suatu hari saya diundang oleh sahabat saya Pamela, untuk menghadiri acara penghargaan dari sebuah stasiun TV swasta ternama. Saya sebenarnya datang hanya untuk men-support teman saya, tapi saya malah bisa berkenalan, bercakap-cakap, dengan beberapa otang ‘petinggi di dunia pertelevisian’ yang saya yakin dengan pekerjaan saya yang sekarang, sangat tidak mungkin saya bisa mendekati apalagi berada dalam satu ruangan dengan mereka. Ternyata terjadi, sesederhana karena persahabatan. Social Benefit di sini maksudnya adalah apakah dengan bekerja di perusahaan yang sekarang, kamu mampu berkenalan dengan banyak orang baru sehingga memperluas networking serta jaringan sosial yang kamu miliki? Sebuah kesempatan atau opportunity yang baru dan bagus, seringkali justru datang dari sebuah pertemanan dengan orang-orang baru. Trust and friendship jauh lebih berharga daripada sebuah CV yang baik. Jadi pastikan kalau kamu memiliki kesempatan, di mana kamu bisa memilih antara sebuah perusahaan yang mampu membuat kamu, atau memungkinkan bagi kamu untuk memperlebar social network atau jaringan sosial kamu, dengan perusahaan yang hanya membuat kita berada terus di belakang meja, pilih yang pertama. “It’s not about who you know, the more important thing is, Who Know You..?” Contoh: apakah lingkungan tempat kamu bekerja sering mengadakan seminar motivasi, acara gathering atau sekedar mengadakan promo-promo tertentu, yang berujung dengan mengundang klien atau orang orang tertentu, petinggi petinggi tertentu, dan lain-lain? Pastikan dalam setiap acara tersebut, kamu sudah siap menyediakan kartu nama. Dan pastikan kamua berkenalan dengan banyak orang. Karena kamu tidak pernah tahu siapa pacar kamu berikutnya, calon istri atau suami kamu, calon bos, calon mertua, atau bahkan yang paling penting, calon partner bisnis kamu yang mampu membuat kamu mencapai apa yang menjadi tujuan keuangan kamu. Relations is the best tools for success.. Kalaupun ternyata perusahaan tempat kamu bekerja tidak memungkinkan hal itu, tidak ada salahnya juga justru kamu sendiri yang mencari-cari acara talkshow, pelatihan, gathering atau apapun, yang kamu tahu akan membawa kebaikan dan manfaat untuk kamu. Tidak akan ada kata sukses kalau kamu bergaul dengan orang-orang yang tidak sukses. Pastikan diri kamu dikenal dan menjadi lebih menonjol dibanding yang lain karena kamu tidak pernah akan tahu, apa yang bisa kamu dapatkan dengan berkenalan dan dikenal oleh orang-orang hebat. Kalau kamu merasa sepertinya ruang lingkup kantor kamu tidak memungkinkan terciptakanya kesempatan seperti itu, kamulah yang bertugas untuk mencarinya sendiri. Adalah tugas kamu untuk lebih pro-aktif mencari kesempatan. Karena kalau kamu hanya menunggu sesuatu tejadi pada diri kamu, sangat mungkin kamu bisa mencapai tujuan kamu, namun akan lebih cepat lagi kalau kamu justru yang menghampiri kesempatan yang ada bukan? 4. Health Benefit Seorang teman kantor menelpon saya, dan meminta tolong untuk memberi tahukan pada bagian HRD kalau hari ini ia tidak bisa masuk kantor karena anaknya sakit. Demam tinggi yang tampaknya sederhana, ternyata berujung pada demam berdarah, dan rawat inap di rumah sakit selama 10 (sepuluh) hari. Contoh biaya cek-up di suatu rumah sakit swasta dijakarta[1]: Biaya dokter spesialis Rp. 225.000,00 per kunjungan. Rawat inap satu malam di kelas 1 Rp. 1.250.000,00 per malam. Dokter anestesi Rp. 2.500.000,00. Dokter Bedah (tergantung tingkat kesulitan) Rp. 5.000.000,00 – Rp. 160.000.000,00 (estimasi). Suster di ruang operasi 2 orang @ Rp. 500.000,00. Dokter Umum sebagai asistensi Rp. 1.500.000,00 Dokter Internist Rp. 5.000.000,00 Obat obatan selama di rumah sakit, estimasi 5 hari Rp. 2.000.000,00 Lain lain.. Rp. 500.000,00 Total bayar : 0 Total bayar tanpa Health Benefit : Rp. 20.000.000,00 – Rp. 180.000.000.00 Estimasi biaya Asuransi kalau kita memiliki Asuransi yang memiliki standar cover kesehatan seperti tersebut diatas : Rp. 12.000.000,00 – Rp. 18.000.000,00 tergantung usia dan riwayat kesehatan sebelumnya. Beberapa perusahaan memberikan fasilitas Asuransi Kesehatan bagi kamu sebagai karyawan, yang biasanya juga melindungi anggota keluarga kamu. Disini kamu dapat memilih, untuk memasukkan nama orangtua dan adik kamu sebagai anggota keluarga (apabila Anda belum berkeluarga). Atau untuk kamu dan istri/suami kamu. Besarnya asuransi kesehatan ini tergantung pangkat dan pentingnya posisi kamu di perusahaan tersebut. Jadi perhatikan baik-baik apakah asuransi ini benar benar mampu meng-cover kebutuhan kesehatan kamu atau tidak. Beberapa perusahaan bahkan memberikan General Check-up secara rutin karyawan-karyawannya setiap 2 tahun sekali, dan mampu memberikan fasilitas kesehatan terbaik, kalau kamu memang berharga bagi perusahaan tempat kamu bekerja. Dengan Health Benefit dari perusahaan tempat kamu bekerja, kamu sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeserpun, bahkan dengan cover kesehatan yang biasanya jauh lebih baik dari asuransi yang kamu miliki, karena itu merupakan asuransi corporate. Beruntung sekarang memang kita memiliki BPJS. Bahkan beberapa perusahaan yang sudah mengeluarkan Health Benefit untuk karyawannya juga mengadakan kerjasama dengan BPJS berupa program COB atau Cooperation of Benefit, sehingga apa yang tidak di-cover oleh BPJS bisa di-cover oleh Health Benefit atau asuransi yang diberikan dan dibayarkan oleh perusahaan, dan sebaliknya. BPJS bisa mengcover banyak hal yang tidak dicover oleh asuransi biasa. Untuk lebih detailnya, penjelasan mengenai Asuransi dan BPJS akan saya bahas di Bab Asuransi Apapun itu, perlu kamu pahami bahwa asuransi kesehatan itu penting. Apalagi kalau kamu adalah tulang punggung keluarga. 5. Retirement Benefit Salah satu mentor dan guru yang saya miliki, berusia 55 tahun. Dan seperti sebagian besar pria paruh baya, ia sudah memasuki usia pensiun. Setiap hari ia bangun siang, bersantai di rumah, dan hanya kalau dibutuhkan ia baru keluar rumah, menghabiskan sore dan malamnya dengan berkumpul bersama kawan-kawan (begitu ia menyebutnya), dan setiap sedikitnya setahun sekali, ia akan menghabiskan waktu 2 (dua) bulan di U.S.A., untuk mengunjungi anak-anaknya yang tinggal di sana, selama liburan. Penasaran, suatu hari saya bertanya kepadanya,”Kok bisa Pak, hidupnya seperti ini. Bapak investasi di mana? Apa Bapak justru punya usaha lain?” Begini kira-kira jawabannya,”Sewaktu saya masih bekerja (dan ia menyebut nama sebuah bank swasta) gaji saya sudah dipotong untuk program yang namanya Golden Handshake Pension Plan. Dan itu kebijakan dari perusahaan. Golden Handshake Pension Plan ini, membuat saya pada saat pensiun, akan terus menerima penghasilan sebesar gaji terakhir saya, tanpa saya harus kerja, sampai saya tutup usia. Tapi tentunya nggak ada kenaikan ya layaknya kenaikan gaji.” Begitu jelasnya. Lebih lanjut, sayapun mempelajari. Ketika kamu masuk menjadi pegawai tetap di sebuah perusahaan, perusahaan akan menawarkan kamu mengenai tabungan dana pensiun atau DPLK. Misal usia kamu pada saat mulai bekerja adalah 20 tahun, maka sesuai dengan ketentuan usia pensiun yaitu 55 tahun, maka kamu memiliki waktu 35 tahun untuk menabung melalui pemotongan gaji, yang dilakukan setiap bulan selama kamu bekerja, namun nilainya tentu sangat kecil. Perusahaan akan memiliki perhitungnnya sendiri mengenai estimai gaji pertama masuk, dengan jenjang karir, dan tingkat inflasi, maka akan ada rumus estimasi khusus dari perusahaan, yang bisa memperkirakan kira-kira gaji kita berapa pada aat pensiun nanti. Contoh misalnya: Pak Andi ketika masuk di perusahaan tempatnya bekerja memiliki gaji Rp 500.000,00 sewaktu ia masuk, di tahun 1980. Ketika pensiun di tahun 2015, Pak Andi memiliki gaji Rp 35.000.000,00 di luar tunjangan-tunjangan lainnya, karena selama 35 tahun bekerja, Pak Andi mampu memberikan prestasi yang selalu baik, sehingga kenaikan jenjang karirnya juga menempatkan beliau pada posisi yang bagus sekarang. Ketika memasuki perusahaan pertama kali, Pak Andi sudah ditawarkan mengenai tabungan dana pensiunnya ini oleh perusahaan. Kalau dulu hanya bernilai Rp 10.000,00 maka dengan kenaikan pangkat, gaji dan penyesuaian lain, perusahaan memiliki rumusnya sendiri sehingga pemotongan ini dirasakan tidak berat oleh Pak Andi. Gaji yang dipotong oleh perusahaan kemudian diserahkan kepada pihak ketiga oleh perusahaan, yaitu bisa berupa: Badan Asuransi atau BPJS Sekuritas Dana Persiapan Masa Pensiun (DPLK) Manager Investasi lain / Badan Keuangan lain Dan kerjasama yang dibentuk oleh perusahaan tempat Pak Andi bekerja dengan ketiga badan tersebut seharusnya mampu memberikan proteksi kesehatan berupa asuransi kesehatan tanpa batas, return atau hasil investasi yang sesuai dengan perjanjian, atau lebih, dan lain-lain sesuai perjanjian perusahaan dengan Pak Andi. Sehingga pada saat Pak Andi pensiun, perusahaan dapat memberikan dana pensiun ke Pak Andi sesuai dengan yang telah dijanjikan. Perusahaan juga akan melakukan subsidi silang untuk persiapan dana pensiun ini, misal dengan nilai yang ditawarkan adalah Rp 200.000,00 pemotongan gaji setiap bulan, bisa saja hanya Rp 100.000,00 sisanya ditanggung perusahaan. Ini yang disebut sebagai ‘iming-iming’ agar beberapa karyawan yang potensial dan berharga bagi perusahaan tidak mudah untuk pindah bekerja di tempat lain. Jadi, kenapa tidak kamu justru malah menunjukkan pada perusahaan, bahwa kamu sangat berharga dengan kinerja dan prestasi yang baik? Sementara kalau kamu memutuskan untuk berhenti bekerja sebelum masa pensiun, secara otomatis kamu akan kehilangan privilege ini dalam menerima pensiun. BPJS juga merupakan suatu kewajiban di tiap perusahaan yang legal atau taat secara hukum. Apabila suatu badan usaha memiliki sedikitnya 20 org karyawan, maka Anda berhak mendapatkan BPJS[2] atau tabungan masa pensiun. Sangat menyakitkan bagi saya untuk melihat beberapa orangtua sahabat dan kenalan saya yang sudah memasuki usia pensiun, namun tetap harus bekerja karena tidak memiliki dana pensiun yang mencukupi. Kalau perusahaan tempat kamu bekerja tidak memiliki perencanaan pensiun sebaik ini, bukankah sebaiknya kamu yang mempersiapkannya sendiri dari awal, mengingat kamu telah bertahun-tahun bekerja? Kalau kamu bekerja tidak untuk menikmati hasilnya di masa pensiun, pernahkah terpikir untuk apa kamu bekerja? 6. Loan Benefit Klien saya Bapak Anton, bekerja di sebuah bank swasta dengan gaji 22 juta per bulan. Posisi GM. Setelah 2 tahun bekerja di sana, ia mendapat fasilitas pinjaman dari koperasi sebesar 200 juta rupiah yang dipakainya untuk membayar down payment cicilan rumahnya. Dengan pinjaman tersebut, Bapak Anton mampu membeli rumah seharga Rp 850.000.000,00, dengan membayar uang muka sebesar Rp. 206,387,000,00 sudah termasuk seluruh biaya asuransi jiwa, kebakaran, ppn dan lain-lain, pembayaran cicilan kredit rumah sebesar Rp 6.900.000,00 per bulan, sementara gajinya yang sebesar Rp 22.000.000,00 hanya dikurangi sebanyak Rp 1.687.000,00 oleh pihak kantor. Sehingga jumlah gaji yang ia bawa pulang setelah dipotong pinjaman koperasi adalah masih sebesar Rp 20.313.000,00 Catt : asumsi bunga pinjaman koperasi adalah sebesar 6 %, KPR 9%, jangka waktu pinjaman 15 tahun. Kelebihan dari loan benefit sebuah perusahaan adalah: Bunga lebih kecil daripada Bank Biasanya merupakan sistem koperasi, sehingga persyaratan dan lain-lainnya lebih mudah dan diringankan Dengan bertambahnya waktu, apabila Anda inginkan, jumlah pinjaman Anda, dapat ditambah, tanpa persyaratan tambahan apapun. Sayangnya, tidak semua perusahaan memiliki fasilitas yang ada tersebut di atas. Tapi sebelum kamu memilih untuk mengajukan lamaran pekerjaan pada sebuah perusahaan baik besar maupun kecil, sebaiknya kamu juga sudah mempunyai target atau setidaknya menentukan standar kamu, tujuan kamu, jenjang karir, gaji berapa yang kamu inginkan, dan lain lain. Singkat kata : MAP atau peta kehidupan yang kamu inginkan dalam benak kamu, yang akan menentukan apakah kamu akan mendapatkan pekerjaan impian. Kamu akan sukses atau tidak, semua dimulai dari Map kamu. Apa sih yang sebenarnya kamu inginkan? Kalau kamu saja masih belum tahu, bagaimana kamu tahu cara mencapainya? “It’s not your blue blood, your pedigree or your college degree. It’s what you do with your life that counts” ~ Millard Fuller Tips And Trick Pakaian Untuk Interview 1. Jangan memakai pakaian warna merah sewaktu melakukan wawancara. Warna merah adalah warna intimidasi. Kebanyakan HRD akan melihat kamu sebagai trouble maker yang suka mencari perhatian kalau kamu memakai warna ini dalam interview. Kecuali, kamu tengah melamar pekerjaan pada sebuah perusahaan agency. 2.Jangan terlalu banyak memakai asesoris, terutama gelang. Apalagi gelang-gelang bernuansa gothic atau bohemian. 3. Jangan memakai warna putih layaknya pegawai trainee. Menunjukkan betapa desperatenya diri kamu di sini. 4. Jangan juga memakai pakaian warna hitam. HRD akan menilai kamu yang misterius walau warna hitam sangat identik untuk memberikan efek kurus. Namun ternyata tidak banyak HRD yang melihat warna hitam sebagai daya tarik untuk mau meperkerjakan kamu. 5. Jangan juga memakai baju kotak-kotak, atau bunga-bunga yang terlalu mencolok. Kepribadian kamu akan mudah terbaca dan dinilai kalau kamu mengenakan pakaian seperti ini. 6. Pakailan warna-warna pastel atau polos. Warna hijau, biru, kuning muda atau pink, bisa memberikan nilai plus yang baik untuk kamu dalam berpakaian. 7. Pakailah pakaian yang sopan dan rapi. Untuk perempuan rok panjang polos hitam lebih dihargai daripada celana panjang sebagai bawahan. Untuk laki-laki, hindari dasi yang kekanakan dengan gambar bebek atau Tazmania, atau motif kartun apapun, walau sedang trend saat ini. Dan jangan lupa, pelajari terlebih dahulu perusahaan tempat kamu bekerja bergerak di bidang apa, dan bagaimana pertumbuhan serta kinerjanya 3-5 tahun ke belakang, dan proyeksi perusahaan 3-5 tahun ke depan. Cari informasi, dan perbanyak ilmu pengetahuan kamu menyangkut bidang perusahaan ini. Ini akan menjadi plus point kamu dalam menghadapi pertanyaan jebakan dari HRD. [1] Ada Kemungkinan biaya di rumah sakit yang lain berbeda. [2] Info lebih lanjut bisa dilihat pada www.bpjs.co.id Description: Kalau hidup ada manual book-nya, apakah yang akan kamu lakukan? Ada sedikit kenalan di antara kita yang masa depan finansial dan karirnya sudah dipersiapkan oleh orang tuanya. Dan biasanya itu adalah sedikit dari antara teman-teman atau kenalan kita yang memiliki orangtua yang sudah sangat mapan dan terencana. Bagaimana dengan yang tidak? Bagaimana dengan orangtua kita yang ternyata menganut paham konvensional dan konservatif, sehingga melihat segala macam bentuk investasi atau pengembangan usaha secara baru, adalah suatu momok menakutkan yang sebaiknya dihindari? Sejak kecil ada paradigma turun temurun yang selalu ditanamkan di benak kita: sekolah yang pintar, kerja yang baik, menikah, punya anak, dan memulai lingkaran kehidupan yang sama. Tanpa sadar, orangtua kita dan orangtua sebelum kita, mengajarkan kita untuk bekerja pada orang lain, dan tidak mengajarkan tentang pentingnya investasi atau bagaimana cara yang tepat untuk bisa menjalani hidup lebih dari sekedar ‘berkecukupan’. Bagaimana dengan kita yang memiliki profesi, keinginan serta impian yang berbeda dengan orang tua kita? Bagaimana bila kamu mengetahui sesuatu secara lebih dini sekarang, sehingga untuk masa depan kamu dan anak cucu kamu, bisa jauh lebih baik dari yang pernah kamu impikan? What if your dream is not just a dream? And I can show you how to make it your reality? Bagaimana kalau saya katakan pada kamu, kalau kamu bisa menjadi seorang milyuner, hanya dengan mengenal produk investasi yang sederhana, dan memiliki perencanaan keuangan yang baik? Atau hal terburuk yang mungkin terjadi, bagaimana apabila orangtua kamu terlambat mengajarkan kepada kamu cara mengelola bisnis yang baik sehingga terjadilah apa yang disebut dengan gagalnya regenerasi perusahaan atau usaha, sehingga kamu justru terpuruk dalam dilema dan ketidak tahuan bagaimana mengelola suatu bisnis keluarga? Belajar melalui trial dan error, selain memakan waktu dan menguras tenaga, belum tentu juga kamu akan mendapatkan hasil yang kamu inginkan pada akhirnya. Bagaimana kalau kamu ternyata bisa menyingkat semua itu, dan menjadi pakar keuangan yang baik hanya dengan berinvestasi sederhana? Kehidupan seseorang benar-benar akan berubah pada saat ia mulai mempertanyakan, apa yang selanjutnya harus saya lakukan? Bagaimanakah masa depan saya nantinya? Dan keinginan perubahan itu pastinya akan jauh lebih besar pada saat ia berkata atau dihadapkan pada suatu pertanyaan : Will you marry me? Dan kemudian sebuah perjalanan kehidupan berdua, dimulai. Atas konsep sederhana untuk menyiapkan dan memiliki kehidupan yang lebih baik dengan perencanaan keuangan yang tepat, buku ini lahir, untuk mereka yang mau memberikan kesempatan pada dirinya sendiri, untuk menjadi seorang yang lebih baik di bidang investasi.
Title: Wanita hebat Category: Surat Text: WANITA HEBAT WANITA HEBAT Dear Nikita, Ibunda Pat. Keteguhanmu lebih kuat dari baja. Kesabaranmu lebih lembut dari sutra. Keikhlasanmu lebih luas dari samudera. Ketulusanmu lebih putih dari prasangka. Selama ini kau telah menderita, merasakan sakit tiada terkira. Namun percayakan adanya cinta, Tuhan tak akan meninggalkan kau dengan berputus asa. Sulit bagimu untuk mengungkapkannya, rapuhnya dirimu menanggung semua beban derita. Merawat anak sendiri dan mencari nafkah, banting tulang tanpa kenal lelah. Lupakan segala luka, songsonglah hari dengan ceria. Abaikan mereka yang menghina, karena berburuk sangka tak akan membawamu pada keberkahanNya. Berkeluh kesah tiada berguna, siapa mereka yang memahami ketidakberdayaan Ibunda. Jadikan anak alasan siang hingga malam bekerja, hanya untuk memberikan secercah cahaya kehidupan padanya. Kesendirian dan kesepian yang selalu menyertai setiap perkara, berlarilah pada dia yang kau cinta. Tataplah wajahnya dan lihatlah ada kebahagiaan yang tiada terkira. Apa jadinya senyuman itu hilang tanpa sebab dan keterpurukan yang kau bawa. Hapuskanlah segala kesedihanmu yang melanda, jangan biarkan ia menguasai dirimu dalam kenangan duka. Berbahagialah. Berbahagialah. Berbahagialah. Ibunda. Karena kau pastas untuk berbahagia. Dariku, Pengagum Wanita Hebat. Description: Tn.Rain, @hastinaharahap96, "Surat ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #LottaLoveLetter 2019"
Title: What Happen With My Homo Jadulensis? Category: Novel Text: satu " Langit Jakarta itu warnanya ungu, Tsan." Kataku yang berdiri di samping Tsana, yang memakai jaket parka berwarna biru tua kebesaran." jangan ngawur deh." desis Tsana, gadis paling apatis di muka bumi, yang badannya seolah tenggelam karena jaket parka yang ia kenakan begitu kebesaran di tubuhnya yang mungil." Enggak, Tsan. Maksudku itu waktu kemarin." Kataku." Perasaan kemarin cuman mendung."" Maksudku, kemarin-kemarin saat kamu lagi ada di Bandung." Tsana mengernyitkan dahinya. " hah? Lalu hubungannya langit jakarta dan aku apa? "" Ya, sedih saja. Jakarta tanpa kamu, Jakarta berlangit ungu." Ucapku sambil memasang-kan wajah terbaikku di depannya." Aku serius, Wan." Ia menatapku dengan mata kecilnya yang sebesar biji kancing. Tapi apa boleh buat, matanya yang kecil itu lebih menyeramkan di bandingkan dengan tatapan mata ayah yang menghalau ku, saat hendak masuk ke rumah ketika aku baru pulang larut malam." Tapi Tsan, yang paling penting sekarang adalah, Jakarta kembali cerah." Lagi-lagi aku memasang wajah terbaikku." Aku bukanlah seorang yang cukup mengenal Jakarta. Begitupun kamu, Diwan. Dan ekspresi anehmu itu, sangat mengganggu ku tahu! "" Mungkin kamu perlu waktu untuk menyesuaikan diri, Tsan." Imbuhku." Diwan-Diwan.. salah satu hal yang paling aku benci adalah terikat dengan waktu. " Setelahnya ia sedang bersiap turun dari bus, dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Bus pun mendesis dan berhenti tepat di depan halte, Tsana turun tanpa mengucapkan sepatah kata padaku. Hubungan kami berdua hanyalah sebatas teman saja, lebih tepatnya teman semi pdkt posisinya, aku yang paling banyak berharap. Terhitung sudah hampir setengah tahun aku berusaha mendekatinya. Tapi, Tsana belum menunjukkan adanya ketertarikan kepadaku. Ia justru semakin menyebalkan setiap harinya. Tsana, satu-satunya manusia langka dan aneh yang tidak suka bau hujan, tidak punya medsos, apalagi ponsel. Pasti akan sangat membingungkan, bagaimana caranya aku bisa mengenalnya? Sementara kami beda fakultas, dan Tsana sendiri tidak mempunyai media sosial? Ya, ini semua berkat si kunyuk Ben, ia sendiri adalah sepupu Tsana yang satu kelas denganku. Jujur, aku harus sekali mengucapkan terimakasih padanya." perempuan itu, yang sedang menatap langit itu namanya, Tsana." Ucapnya. Aku lalu menoleh ke arah gadis dengan rambut sebahu, dengan celana Corduroy coklat dan atasan kaos hitam polos, satu tangannya sedang menopang dagu, sedang satu tangannya yang lain sedang menghalagi sinar matahari yang menyentuh kulit halusnya. Aku berbalik tanya.“ Maksudnya yang itu? Yang duduk sendirian itu? " tanyaku." Iya. Manusia primitif itu namanya Tsana. " jawab Ben." Sontoloyo. Jangan sok kenal kamu, Ben." Ucapku mendesis, aku begini karena, aku tahu Ben adalah tipikal orang yang sotoy." lho, memang betul kok. Aku ini sepupunya. Dia anak bukdeku." Aku lagi-lagi menoleh, kali ini menoleh ke arah Ben. Dan memasang wajah setengah tidak percaya. Karena wajah Ben, sangat nggak meyakinkan." Cantik ndak? "" Sopo? " Tanyaku." Bukde ku, yo Tsana lah. "" Tapi, aku nggak paham. Kok dia disebut primitif, sih? " Ben lalu menjelaskan bahwa Tsana adalah salah satu manusia jenis homo jadulensis. Disebut demikian karena ia tidak mempunyai ponsel, ataupun sosial media. Menurut penuturan Ben, Tsana juga tidak banyak mendengarkan musik zaman sekarang, ia lebih suka mendengarkan musik lewat walkman yang selalu ia bawa di dalam ransel biru mudanya. Atau melalui tape yang ada dirumahnya." menarik." Kataku." Sampeyan kalau mau kenalan, kenalan aja. "Aku dengan senang hati ingin berkenalan dengan dia, Tsana. Gadis dengan nama satu kata, dengan kepribadiannya jadulensis nya." Tapi, Ben.. aku isin.."" Halah, biasanya bikin malu."" ASEM."Dan seiring berjalannya waktu, aku dan Tsana sudah saling mengenal, ya meskipun sifatnya masih tertutup dan ketus terhadapku. Aku selalu menyukai caranya berdiri, apalagi sembari memasukkan tangannya yang mungil itu ke dalam kantong celana jeans yang agak kebesaran, yang ia gulung bagian bawahnya. aku juga suka saat kami berdua sedang menunggu bus bersama, lalu ia menyandarkan tubuhnya di tiang halte yang jauh lebih tinggi darinya. Sebenarnya aku juga tidak begitu akrab dengannya, akrab sih, tapi itu hanya menurut ku sendiri. Kalau menurut Tsana sih, ya biasa saja. Ya intinya, kami ini berteman. Lebih tepatnya, teman semi pdkt.Waktu itu, waktu masih malu-malu, waktu awal-awal aku baru mengenal Tsana, aku dititah Ben untuk menelpon Tsana. Ya meskipun aku dan dia sudah saling mengenal, rasanya masih agak kaku. Pasalnya, ini adalah pertama kalinya aku menelponnya. Ben menyodorkan secarik kertas kepadaku. Kertas yang berisikan nomor telepon rumah Tsana. Segera ku tekan tombol di ponselku. Gemetar dan canggung sekali rasanya.“ harusnya sampeyan minta nomornya langsung ke Tsana, Wan. Kata Ben dengan mulut yang dipenuhi goreng pisang setengah hancur." Kan situ tahu sendiri sikapnya Tsana seperti apa. Tapi ini nomernya aktif kan? " kalau aku yang memintanya langsung, boro-boro dikasih, yang ada di skip dari list future husbandnya." Insya Allah." Jawabnya.Aku meliriknya sekilas karena agak ragu dengan saran Ben, " Berdoa dulu, Wan. Supaya diangkat." Sepertinya ia membaca pikiranku kalau aku ragu dengan usulannya. Ia lantas berkata begitu sembari menatapku, mencoba meyakinkan aku. Ya kalau kupikir usul Ben ini ada benarnya. Aku lalu memejamkan mataku dan berdoa, mengucapkan doa apa saja yang kubisa. Lalu ku tekan tombol hijau yang bergambar telepon itu. Ku tunggu suara yang menjawab teleponku. " Halo.."Terdengar suara parau yang sepertinya baru saja terbangun. Astaga suaranya begitu merdu dan bergairah. Rasanya ingin sekali, mendengar suara itu di setiap pagi. Lebih tepatnya, Aku ingin, saat pertama kali membuka mataku, disamping ku ada dia. Aduhai indahnya. Yaampun Diwan, kenapa kamu jadi mengkhayal begini?!?!" Halo? Dengan siapa? " Aku masih terpaku, sementara Ben tidak tahu kalau teleponnya sudah diangkat oleh Tsana. Jadi dia mengira kalau Tsana belum mengangkat teleponnya." Halo? Ini siapa? Ada keperluan apa? " Aku sulit membuka mulutku, saat hendak membalasnya, suaraku malah tidak ada, malahan hanya geremengan yang tertahan di kerongkongan. Sementara itu, tiga puluh detik kemudian teleponnya ditutup. Astaga, sepertinya dia marah, tapi dia tidak tahu siapa yang barusan menelponnya." Diangkat? " Tanya Ben." Diangkat."" Kok nggak ngobrol? Bukan Tsana ya yang angkat? "" Tsana.. tapi.."" Tapi? "" Tapi aku bingung mau ngapain."" Berarti benar."" Apa yang benar? "" Sampeyan ndak bakat pdkt." Lalu Ben terpingkal-pingkal setelahnya." Bisa ndak sih aku skip fase pdkt ini, terus langsung ke fase saling mencintai.." ucapku sambil memasang wajah kuyu." ealah.. Wan, semisal lambe mu tak jotosi nangis pora su? " Ben lalu berlagak menyilang tangannya. Beberapa hari setelahnya, tepat di hari Minggu, aku membuat keputusan untuk mampir ke kediaman keluarga Tsana. Itupun hanya bermodalkan tekad dan nekat. Jam yang melingkar dipergelangan tanganku menunjukkan pukul Sembilan, dimana matahari pagi ini belum begitu panas. Tidak seperti kebanyakan orang yang kerap kali berolahraga di hari minggu, Tsana pasti akan selalu berada dirumah. Karena menurut sotoy sotoyan, aku yakin, Tsana bukanlah tipikal orang yang gemar berolahraga, bisa dilihat dari postur tubuhnya yang mungil dan menggemaskan itu. Setelah sampai, aku parkirkan motorku (sebenarnya motor punya abangku), tepat di samping gerbang rumah Tsana. " Hai Tsan." Kataku yang menjajal menelpon-nya untuk yang kedua kali. Dimana kali ini aku mulai berani berbasa-basi, tidak seperti kemarin yang tampak pengecut dan bingung mau apa.Dia lalu menjawab, dan tentu dengan nada sinis dan ketusnya, " Diwan? Tahu dari mana nomorku? " aku cekikikan medengarnya. Tapi, bisa kutebak, Tsana pasti marah dan kesal dengan tingkahku." Aku belum sarapan." Ucapku yang langsung to the point." Ini bukan rumah makan, kamu salah tempat, Diwan! "" Enggak Tsan. Maksudnya aku mau kamu temani aku cari sarapan." Lugasku.Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, Tsana pasti akan menolaknya mentah-mentah, " tidak mau."" Ayolah Tsan. aku sudah di depan rumahmu nih." Tak ada jawaban dari Tsana. Mungkin ia sedang terkejut dan berlari menuju jendela dan mengintipku dari dalam rumahnya, " Tsan...? "Teleponnya langsung ditutup begitu saja. Apa Tsana marah ya?" Diwan! " Aku mendongak. Rupanya Tsana yang sedang menatapku dengan tatapan matanya yang kecil itu." Tamunya ngga disuruh masuk nih? " Ucapku yang masih berdiri di depan pagar rumahnya. Tsana tidak tersenyum sedikitpun. Dia benar benar seperti singa yang tidak memperbolehkan siapapun untuk masuk ke daerah teritorialnya." Lebih baik kamu pergi, Wan. Hari ini, aku tidak mau diganggu." Ucapnya. " sibuk sekali ya? Padahal aku sudah jauh jauh kesini." " kamu jauh-jauh kesini hanya minta di temani untuk cari sarapan? " dia nanya.“ bukan hanya itu, kalau boleh, " aku menggantungkan kalimatku, membuat Tsana menunggu dan mengira-ngira. Ia tampaknya tak sabar dan langsung menyambarku, " kalau boleh apa, hah?! "Tadinya aku tidak jadi mengatakan hal ini, tapi terlanjut di desak, dan kepalang sudah ada di depannya, ku katakan saja semua isi hatiku. " kalau boleh.. aku ingin memintamu untuk mau menemani hari- hariku, hingga tua nanti, hingga ajal memisahkan." Lalu aku menutup mulutku. Rasa canggung dan gugup pun menyeruak seketika. Lengang. " itu saja? " katanya, aku lantas mengangguk.“ aku ingin memilikimu." Lanjutnya. Aku langsung mendongak, menatapnya bingung. Apa maksudnya? " Barusan, kamu tidak mengatakan itu, Wan. Itu artinya, apapun yang akan kulakukan nanti sia-sia. ” ucap Tsana yang masih berdiri kaku di depanku.Besoknya aku menceritakannya kepada Ben. Tentunya tak secara detail. Karena ya pasti aku di katain lagi nanti sama si kunyuk ini. " harusnya sampeyan tanya dulu.." " nanya ke situ? " kataku. " iyalah. Mosok nanya ke pak Nawir." Balasnya. Sedang Pak Nawir adalah nama Security di kampus kami. " kemarin terjadi begitu saja, Ben. Dadakan. Cuman modal nekat."" terus gimana? "" apanya yang gimana? "“ Sampeyan jalan sama Tsana opo ndak? " ucapnya yang memburuku dengan pertanyaan yang seharusnya aku hindari.Yah terpaksa, aku harus jujur. Karena kalau mengarang cerita, rasanya tidak mungkin dan pasti gampang di tebak. nggak. Tsana bilang, dia nggak bisa di ganggu.Ben lalu tertawa, puas sekali dia. " oalah Wan.. aku lupa ngasih tahu, kalo minggu, Tsana memang nggak bisa di ganggu. Ada ritual gitu deh. " " ritual? Ah yang bener kalau ngomong! "Awalnya agak ngeri mendengar kata ritual. Ya karena, di kepalaku langsung terproyeksi hal-hal menakutkan. Tapi setelah dijabarkan oleh Ben, ritual yang Tsana lakukan adalah, ritual mengenang memori indahnya bersama cinta pertamanya, Sang Ayah.Dimana Tsana dan adiknya akan duduk di meja makan, memakan nasi goreng putih yang hanya di berikan rasa asin dan pedas dari sambal yang mereka ulek dengan mengikuti resep dari sang ayah. Dilanjutkan dengan menonton tinju, lalu membaca buku sejarah atau cerita fiksi sejarah, seperti yang ayahnya lakukan di setiap hari minggu. Setelahnya, Tsana dan adiknya menyetel musik yang dibawakan Panbers, Ddloyd, Koes Plus, The Beatles, Oasis atau british pop lainnya. Sesekali Maranti, atau kerap disapa Mara, mengelap kaset koleski milik sang ayah yang diletakkan di sebuah rak kaca di ruang keluarga.Keduanya lalu menonton video ulang tahun Maranti dan Tsana, yang kala itu Tsana masih berumur 9 tahun dan Mara 3 tahun. Dimana, mereka masih bisa melihat sang ayah yang masih gagah dan sehat, masih bisa melihat sang ayah yang masih kuat menggendong Mara atau bahkan, masih bisa melihat ayah mereka yang senang bercanda. Ben menekankan bahwa, Tsana amat mencintai sang ayah. “ setelah kepergian Om Ranu, hati Tsana benar benar hancur, Wan. Dia itu seperti kehilangan separuh hatinya, seperti kehilangan raganya. Lanjut Ben.“ aku mau jadi separuh hatinya, Ben. " yo.. usaha, Wan. Balas Ben." " Tapi.. kalau separuh hatinya bukan aku, gimana? " " lho, yo ndak tahu kok nanya saya." --ooo-- Description: " masih jauh ya? " " apanya? " dia nanya. " kita."
Title: Welcome To Batam Category: Cerita Pendek Text: HELLO BATAM! Ada banyak hal menarik ketika kita dihadapkan oleh pilihan-pilihan. Beberapa pilihan sangat menentukan dan ada juga pilihan yang tepat sasaran. Meski begitu, tidak semua pilihan benar. Memutuskan untuk memilih berarti sudah siap menanggung segala resiko yang ada. Baik buruknya nanti yang kita alami, adalah pilihan kita sendiri. ******** Lalu, pilihan apa yang aku maksud. Hmmmm. Jadi, sebelumnya aku pernah di besarkan di sebuah pulau yang disebut Batam. Ketika aku lulus dari Sekolah Dasar aku melanjutkan hidupku di tanah kelahiranku di Aceh. Aku selalu berharap bisa kembali lagi ke pulau itu. Tapi, ada beberapa hal yang memang harus dipertimbangkan secara matang. Disamping, aku sedang menempuh pendidikan, dan tentunya ongkos yang tidak sedikit. Hehe Hingga akhirnya, aku telah menjadi seorang mahasiswa. Lagi-lagi aku masih berharap kembali ke pulau Batam. Obrolan itu sudah sering terjadi antara aku dan Mamak. Tapi, aku diminta bersabar dan fokus pada kuliahku. Aku memang tidak bisa membantah perkataan orangtuaku dan memilih menjadi anak yang menurut apa kata mereka. Alhasil, aku bersabar sampai belasan tahun. Tiba saatnya detik-detik aku melepaskan gelar sebagai mahasiswa. Aku bersungguh-sungguh untuk tidak mengecewakan permintaan orangtuaku dan di sebuah obrolan melalui ponsel malam itu, yang tersambung dengan kakak dan orangtuaku. Kami mengobrol tentang bagaimana aku nanti setelah menjadi alumni. Obrolan demi obrolan terasa hangat, tidak seperti biasanya keluargaku seperti itu. Beberapa jam kemudian, satu pertanyaan dari kakak ketigaku mengheningkan suasana. Dia menanyakan hadiah apa yang aku inginkan setelah lulus sarjana nanti. Aku menjadi sangat canggung karena tidak pernah aku ditanya mau apa dan diberi pilihan yang akan dikabulkan. Pilihannya sangat berat, aku ingin berlibur ke Batam atau aku ingin dibelikan sebuah laptop. Saat itu, aku malah menjawab cepat dalam hati, kenapa tidak ada pilihan melanjutkan S2. Hehe, karena itu pilihan yang harus dipilih. Akhirnya, aku memilih berlibur ke Batam, ada kakak dan abangku yang tinggal disana. Jadi, aku tidak terlalu memikirkan dimana aku tinggal dan mencari sesuap nasi. Hanya ongkos pulang dan pergi yang harus di mengerti. Hari berganti bulan, aku masih sibuk mempersiapkan diri untuk menyelesaikan tugasku di kampus. Mempersiapkan diri untuk di sidangkan dan siap memakai gelar baru di belakang namaku. Sungguh, aku sangat yakin dan tidak ingin mengeluh. Aku berjuang sendiri setengah mati rasanya, pagi sampai malam aku habiskan untuk berjuang merebut gelar itu. Ya, karena dengan begitu orangtuaku akan sangat bangga memiliki anak bungsunya yang berpendidikan lebih tinggi dibandingkan saudara yang lainnya. Tapi, dengan syarat tidak sombong akan hal itu. Mamak sangat percaya aku bisa menempatkan diri dimana pun berada dan tetap menghargai saudaraku yang lainnya. Setelah itu, aku juga mempersiapkan diri untuk syarat demi syarat yang harus aku penuhi untuk sah menjadi alumni. Tidak mudah untuk mengambil ijazahku rupanya. Masih ada perjuangan baru setelah wisuda. Aku mulai dilema, aku hampir membatalkan rencana untuk berlibur ke pulau tercinta. Namun kakakku meyakinkan kalau aku bisa mengatur waktu sebaik mungkin. Apalagi dalam waktu dekat akan menuju bulan yang suci. Ya benar, tidak lama lagi akan puasa. Tapi, aku akan berlebaran disana kalau aku berangkat bulan April. Aku mulai membuat rencana, menghitung hari demi hari supaya dapat berlibur kesana. Karena, tidak mungkin sehari atau dua hari saja. Harus berbulan, mengingat biayanya cukup mahal. Akhirnya, aku memutuskan untuk berangkat 29 April 2019 dan untuk pertama kalinya aku berangkat seorang diri. Bukan tidak berani atau mandiri, orangtuaku sangat paham aku tidak bisa sendirian. Tapi, aku meyakinkan mereka dan berjanji akan selalu memberi kabar. Setelah aku mendapatkan jadwal penerbangan. Aku teringat akan sesuatu hal yang tidak terduga. Aku mulai bercerita pada seseorang yang ku sebut pria koleris, aku tidak pernah menyangka akan kembali ke tempat aku di besarkan dulu lagi. Aku bisa menemui teman-teman kecilku yang dulu. Aku sangat bahagia saat itu. Aku kegirangan dan mulai berencana ini dan itu. Aku juga baru sadar akan bertemu pria koleris ketika aku disana nanti. Dia juga berencana akan kembali ke rumahnya setelah hampir dua tahun tidak pulang. Aku kira akan menunggu sewindu lagi untuk bertemu dia. Tapi takdir berkata lain, kami dipertemukan kembali setelah setahun berlalu. Aku dan dia sudah terbiasa dengan jarak. Selalu ada harapan-harapan untuk bertemu, tapi tidak mudah. Jarak kami tidak dekat, tidak bisa direncanakan dengan mudah. Hanya percaya pada kekuatan do'a. Segala sesuatunya pasti akan terjadi dengan izin semesta. Aku dan dia sudah siap menghadapi resiko hubungan ini. Segala sesuatunya kami serahkan pada Sang Pencipta. Jalani saja apa yang terjadi dan hadapi saja apa yang diberi. Begitulah aku dan dia saling mengisi hati. ******** Akhir-akhir ini, aku sering menghitung hari dan tidak lupa mengaktifkan alarm di tanggal keberangkatanku. Mungkin aku terlalu bahagia, yang ada di dalam kepalaku ingin bertemu saudaraku, teman-temanku dan menjelajahi kota Batam. Aku makin senang karena disana ada abang dan kakakku yang pasti akan mengantarkan kemana pun aku mau. Karena kalau sendirian sudah pasti tidak boleh, mereka takut aku dalam bahaya dan sudah di amanahkan untuk menjaga aku selama disini. Aku tidak masalah, karena memang aku sudah terbiasa seperti itu sedari kecil. Akhirnya waktu yang dinanti telah tiba. Sebelum subuh aku sudah bersiap-siap menuju bandara. Aku tidak membawa banyak pakaian dan oleh-oleh. Aku sempat kesal karena biaya bagasi selangit. Belom lagi harga tiket yang tidak biasanya mahal. Jadi, aku harus pandai mengatur barang-barang yang akan dibawa. Alhasil, hanya satu tas ransel dan satu tas jinjing. Sangat kurang bahkan aku tidak nyaman berpergian tidak membawa barang banyak. Tapi apa boleh buat demi menuju kesana, aku rela membawa perlengkapan seadanya. Untung saja aku punya kakak perempuan. Jadi ada sesuatu yang bisa di pinjam. Hehe Aku agak takut saat tiba di bandara. Aku takut salah dan ketinggalan. Karena aku sangat panik dan ceroboh kalau pergi sendirian. Ketika aku menunggu keberangkatan, aku memperbanyak do'a agar selamat sampai tujuan. Kamu pasti pernah merasakan hal sama, saat akan menaiki pesawat atau kapal dan apapun itu yang membuat kamu deg-degan. kamu pasti berfikir apakah pesawatnya aman dan tidak jatuh atau hilang ditelan segitiga bermuda dan apakah kita akan selamat kalau sesuatu yang buruk terjadi. Aku mencoba berfikir jernih dan tidak berimajinasi terlalu aneh-aneh. Aku memainkan ponsel dan mengirim pesan pada orangtuaku. Aku juga mengirim pesan untuk si pria koleris. Dia juga terus mengingatkan aku untuk berhati-hati dan bersabar menunggu dia kembali. Tepat pukul 06.00 pagi. Aku berangkat dari bandara Sultan Iskandar Muda menuju bandara Kuala Namu. Aku transit disana, tidak bisa langsung menuju ke Batam. Sebelumnya, pria koleris mengingatkan aku untuk tidak malu bertanya pada orang-orang ketika tiba di bandara Medan. Karena tempatnya sangat luas dan ramai. Dia takut aku tulalit. Hehe Ketika tiba disana, aku menunggu selama dua jam lebih untuk berangkat lagi menuju bandara Hang Nadim. Selama menunggu, aku sempat mengobrol dengan seorang wanita yang akan menuju kesana juga. Sangat ramah dan asik di ajak ngobrol, sayangnya seat kami sangat jauh. Dia di depan dan aku di belakang. Tapi, saat aku akan menaiki pesawat dan kembali turun dia menunggu aku sampai akhirnya kami berpisah di bandara. Aku yang sudah ditunggu abang dan kakak iparku beserta satu keponakan laki-laki yang baru pertama kali aku lihat. Biasanya hanya lewat video call. Dia benar-benar menggemaskan. Aku sangat senang bisa bertemu dengan keponakanku. Setelah itu, aku menuju rumah kakakku yang katanya tidak jauh dari bandara. Aku rasa itu sangat jauh, rumahnya berada di Nongsa dekat pantai pula dan diujung sana. Aku sempat tercengang, aku tidak mengira kakakku tinggal sejauh itu. Dulu aku dan keluarga tinggal di Jodoh namanya dan sekarang abangku yang tinggal disana. Aku memilih untuk tinggal dengan keluarga kakakku saja karena aku lebih nyaman dengan dia. Meskipun jauh, aku tidak begitu peduli. Kenyamanan itu nomor satu, lagipula bila aku tinggal di tempat abangku. Pasti akan sangat risih disana dia membuka bengkel yang setiap harinya di datangi kaum pria. Dia juga jarang berada di rumah, tapi tempatnya selalu ramai dengan teman-temannya. Aku lebih menyukai suasana hening seperti rumah kakakku. ******** Hari pertamaku di kota Batam. Aku disibukkan dengan mengurus anak semata wayang kakakku yang berumur 6 tahun. Kakakku bekerja dari pagi hingga sore hari. Begitu juga dengan suaminya, aku juga belum kepikiran untuk bermain-main. Mungkin setelah kakakku libur bekerja kami akan berjalan-jalan. Aku tidak memaksakan dia untuk menuruti kemauanku. Karena aku tidak ingin dia terganggu dan membuatnya makin lelah karena bekerja seharian. Jadi, hari-hariku selama disini membantu dia menjaga anaknya dan mengurus pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan. Seperti janjinya, dia akan berjalan-jalan denganku dihari dia libur bekerja. Kami pergi pagi hari karena harus menunggu bis yang biasanya lewat di persimpangan kampung ini. Dia lebih memilih bis karena lebih murah dan mudah. Kalau memakai sepeda motor akan sangat bahaya karena rawan saat pulang nanti. Jalannya cukup jauh dan sepi, aku juga sangat senang berjalan-jalan menaiki bis tidak terlalu panas dan lebih santai. Menunggunya juga tidak terlalu lama. Kunjungan pertamaku terhenti di sebuah Mall baru. Jujur saja, di Aceh aku sangat jarang berpergian dan disana tidak ada Mall seperti disini. Namanya juga anak kampung datang ke kota pasti senang lah ya. Apalagi baru kali ini aku dibebasin jalan-jalan. Biasanya selalu di rumah. Tidak banyak yang aku lakukan disana. Aku bahkan tidak berfoto-foto dan menambahkan story di sosial media karena terlalu menikmati jalan-jalan dan terlalu banyak makan. Jadinya aku malas sendiri memainkan ponsel. Setelah berbelanja perlengkapan rumah kakakku kami kembali pulang dan tidak ke tempat lain lagi. Kakakku bukan tipe orang yang hobi jalan-jalan dan berbelanja barang yang tidak terlalu dibutuhkan. Ditambah lagi dia sudah memiliki anak dan suami yang super bawel kalau dia berpergian. Jadi, dia akan berfikir duakali untuk jalan-jalan. Beruntungnya ada aku dan tentunya diizinkan. Alasannya bawa aku jalan-jalan. Nyatanya, temanin Ibu-Ibu belanja. Aku nurut saja, asalkan aku menghirup udara kota Batam setelah lama aku berdiam diri di Kampung Tua Bakau Serip, Nongsa. Itu alamat kakakku. Jangan lupa mampir ada wisata pantai bale-bale disana. Haha Padahal di belakang rumah kakakku ada lapangan golf. Tidak sampai dua menit sampai di pantai. Tapi, aku tetap berlibur di dalam rumah. Karena aku juga sudah ada rencana akan berjalan-jalan bersama si pria koleris. Jadi aku santai saja, mereka sibuk bekerja aku pandai mencari cara untuk bermain. ******* Tidak terasa Ramadhan telah tiba dan ini pertama kalinya aku berpuasa di luar Aceh. Biasanya aku akan sahur di pukul 03.30 atau sebelum pukul 04.00. Karena imsak disana lama dan waktu berpuasa disana juga panjang. Berbeda dengan di Batam, sahur sangat cepat bahkan sebelum pukul 03.00. Aku masih belum terbiasa di puasa pertama sahur sangat cepat. Tapi, beruntungnya ketika berbuka puasa justru lebih awal. 18.09 waktu berbuka di Batam sedangkan di Aceh hampir pukul 19.00. Sangat jauh berbeda, tapi inilah suasana baru semuanya serba berbeda dan mengejutkan. Ada banyak hal-hal menarik selama aku disini. Terutama selama menjalani puasa, aku merasakan suasana yang lain dari biasanya. Buka puasa lebih awal dan buka puasa tidak bersama orangtua. Meski sedih aku tetap bersyukur bisa berkumpul dengan saudara kandungku disini. Mengingat kami telah lama berpisah sejak aku tinggal di Aceh. Paling tidak ini adalah bonus liburanku. Bisa menikmati puasa bersama saudaraku. Aku juga banyak teman selama di Batam. Sayangnya, mereka sibuk bekerja dan jarak tempat tinggal kami yang cukup jauh. Beberapa rencana gagal untuk bertemu sebab tidak ada kepastian yang jelas. Jarak rumah adalah salah satu alasannya. Selebihnya, sebab tidak punya banyak waktu hanya di hari libur saja. Aku merasakan sekali menjadi seorang pengangguran. Teman-temanku sudah memiliki pekerjaan bahkan sudah ada yang berumah tangga. Awalnya aku sangat minder, tapi aku menyemangati diri dengan mengatakan aku kan sedang liburan. Lagipula, aku masih fresh graduate. Mana boleh minder kataku. Ahh ada-ada saja yang di kepalaku ini. Aku sedang liburan masih sempat memikirkan minder dengan teman-temanku. ********** Tidak lama kemudian, obrolan grup teman-teman sd mulai memancing keributan. Mereka merencanakan buka puasa bareng, aku juga ikut memberi saran dan paling antusias. Karena aku di Batam untuk pertama kalinya setelah lama terpisah dengan mereka. Jadi, sekalian reuni dan melepas rindu bersama teman-temanku. Akhirnya, setelah lama berdiskusi tentang waktu dan tempat. Kami memutuskan untuk buka puasa bersama di King Sate Batam. Lokasinya berdekatan dengan sekolahku dulu, yang akrab kami sebut sd patung kuda. Karena memang ada patung kuda berwarna putih di depan sekolah itu. Lalu, bagaimana dengan si pria koleris. Apakah dia ikut gabung bersama kami. Tentu, dia sudah berada di Batam pada tanggal yang telah kami sepakati. Dia tiba di Batam pada 30 Mei 2019 dan terhitung aku menunggunya selama satu bulan. Hari-hariku di Batam tidak berubah sama seperti hari lainnya. Menjaga anak sewata wayang kakakku. Selebihnya, aku menanti seseorang yang sangat spesial dan belum bertemu selama satu tahun ini. Aku dan dia baru bertemu satu kali setelah belasan tahun tidak bertemu. Tidak ada rencana yang kami janjikan. Namun semesta mengizinkan kami untuk saling bertemu di tahun ini. Meski singkat waktu, aku dan dia sangat bersyukur bisa saling bertatap muka. Biasanya layar ponsel menjadi saksi kerinduan. Kini tatap dunia nyata jadi bukti kesetiaan. ******** 30 Mei 2019, Ada apa dengan 30 Mei 2019 ? Apa lagi kalau bukan kedatangan seseorang yang telah menembus jarak sekali lagi untuk bertemu denganku. Tidak 100 % kedatangannya adalah karena aku. Mungkin hanya ada 10 % saja dan selebihnya adalah karena keluarganya terutama adalah mamanya. Sebab, lebaran tahun lalu dia tidak berkumpul bersama keluarga. Aku tidak boleh egois dengan singkatnya waktu selama dia disini. Sadar atau tidak harus tetap menyadari bahwa aku bukan prioritas utamanya. Setelah sampai di bandara Hang Nadim, Batam pada pukul 08.00 pagi. Dia dijemput oleh keluarganya dan langsung kembali kerumahnya. Setelah itu, aku dan dia sepakat untuk bertemu pada 31 Mei 2019. Lalu, aku lebih dulu meminta izin pada kakakku dan jujur akan bertemu siapa dan dimana. Dan untuk pertama kalinya, aku diizinkan keluar rumah sendirian. Selama hampir sebulan aku di Batam, aku hanya mengikuti kakakku dan hanya berjalan-jalan ke Mall saja. Perasaanku saat itu campur aduk karena akan bertemu dia dan harus tepat waktu sampai dirumah sesuai permintaan kakak dan abang iparku. Karena terlalu senang, aku mempersiapkan diri untuk bertemu dia. Wanita pasti punya cara sendiri untuk bertemu dengan seseorang yang spesial di hati. ******** 31 Mei 2019, "Pertemuan adalah jalan menemukan kejujuran pada dua bola mata yang kau tatap". Arunika telah lebih dulu menyambutku di pagi ini. Tampaknya tidak akan turun hujan sebab beberapa hari ini hujan datang tidak karuan. Jatuh sesuka hati bahkan saat sedang panas-panasnya. Aku bersyukur jika satu hari ini tidak akan turun hujan. Bukan tidak suka dengan hujan, kalau sudah setiap hari aku lelah juga. Mungkin rindu memang sedang hebat-hebatnya. Seperti rinduku sehebat hujan. Aku hampir saja melupakan bercerita sesuatu. Padahal sangat penting. Pada tanggal 5 Mei 2019 sekitar satu minggu aku berada di Batam. Aku berulang tahun, aku benar-benar lupa akan hari itu tidak biasanya. Mungkin faktor usia jadi aku tidak terlalu mengingatnya. Dan yang paling tidak aku sangka adalah di hari lahirku itu. Adik-adik dan Mama si pria koleris yang memberi kejutan. Tepat di hari itu aku dan mereka juga bertemu dan mengobrol sepanjang jalan menuju Nagoya. Nama tempat di Batam, yang penuh dengan toko-toko para penjual. Waktu itu, aku menemani mereka membeli sesuatu. Setelah itu, makan bersama dan aku dibawa kerumah mereka. Mama dan adik-adiknya super baik dan ramah seperti sudah bertemu denganku berkali-kali dan tidak menganggap aku seperti orang asing. Aku sangat malu dan masih canggung di pertemuan pertama dengan mereka dan sesampainya dirumah, aku juga disambut dengan kue ulangtahun berwarna merah muda yang ternyata telah direncanakan oleh si pria koleris. Terharu atau malu aku merasakan keduanya. Haha Jujur saja, aku sangat terharu setiap kali pria koleris memberi kejutan dan jujur juga aku sangat malu dengan keluarganya karena diberi kejutan olehnya. Tapi ternyata mereka menikmati kue itu yang rasanya memang sangat enak sekali. Jangan tanyakan angka berapa pada lilinnya ya yang jelas bukan sweet seventeen. Nah, begitulah cerita singkat tentang hari ulangtahunku di Batam. Liburanku memang banyak bonusnya, dan bonus yang paling luar biasa adalah aku bertemu si pria koleris. Tapi tetap dong yang tidak kalah luarbiasanya adalah bertemu dengan keluargaku di Batam. Selama perjalanan di dalam bis, aku merasakan jantungku berdetak lebih kencang, nafasku jadi setengah-setengah. Bis yang hawanya dingin malah membuat aku keringatan. Jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 08.30 sedangkan aku akan bertemu tepat pukul 10.00 pagi. Perjalanan dari rumah kakakku menghabiskan waktu hampir satu jam untuk menuju Mega Mall Batam Centre. Pria koleris ingin menjemputku tapi aku tidak mau karena aku ingin, pertemuan pertama kami bertemu di suatu tempat saja. Untuk selanjutnya, dia harus menjemput karena permintaan kakakku. Dia takut terjadi hal yang tidak diinginkan jika aku pergi sendirian dan bersama seseorang yang tidak bertanggung jawab. Salah satu kesempatan aku juga untuk mengenalkan si pria koleris dengan kakakku. Setelah sampai pada tempat tujuan dan ternyata hari itu sangat panas. Membuat wajahku yang tadinya agak sedikit cerah menjadi kecoklatan. Maklum saja, bukan kulit putih jadi cepat terlihat gelap kalau cuaca mulai tidak mendukung. Aku duduk di terminal bis dan menunggu si pria koleris sesekali melihat cermin kecilku untuk memastikan wajahku. Mungkin aja ada debu menempel dan berbentuk kotoran di wajah. Jujur saja, aku agak risih tentang wajah bukan karena akan bertemu dia. Tapi aku ingin selalu terlihat segar. Haha alasan. Kurang lebih setengah jam aku menunggu si pria koleris. Tiba-tiba ponselku berdering dan ada panggilan dari si dia. Aku makin deg-degan itu tandanya dia sudah tiba, benar saja di sudah menunggu di dekat terminal ini. Aku segera menemuinya sembari melempar senyuman. Ketika aku berhadapan dengan dia, sangat jelas terlihat tidak ada yang berubah darinya, masih tetap sama saat pertama kali bertemu. Kami mengobrol di perjalanan menuju Mall dan lagi-lagi liburanku di Mall. Kali ini Mall yang berbeda namanya BCS Mall, karena hari Jum'at dan dia juga akan shalat Jum'at, jadi aku dan dia jalan-jalan ke Mall saja. Sesampainya disana, dia mengajakku ketempat favorit selama aku di Aceh. Gramedia, aku mulai menjelajah rak demi rak buku dan sesekali memberitahu dia tentang sebuah buku yang menarik. Dia juga menjelajah beberapa buku, jadi hari pertama pertemuan kami adalah dengan menjelajah buku. Kataku " Semoga nanti ada buku-buku karyaku disini". Setelah menjelajah, aku dan dia menuju masjid. Aku menunggu di taman masjid sampai dia selesai shalat, sambil menunggu aku menghubungi mamak dan bercerita tentang jalan-jalanku bersama dia. Mamak adalah orang pertama yang tahu dan aku ceritakan tentang kedekatanku dengan si pria koleris. Mamak sangat mengerti urusan perasaan, asalkan aku pandai dalam menjaga diri dan tidak melewati batasan. Obrolan dengan mamak cukup lama, dan aku meminta izin menutup telfon untuk melanjutkan perjalanan kami. Aku dan dia berencana menonton di bioskop dan buka puasa berdua di Mall Botania Dua atau yang akrab dengan sebutan MB2. Aku dan dia memang suka nonton, kadang komunikasi di jeda karena alasan menonton. Dia yang biasanya menonton youtobe sedangkan aku nonton drama korea atau drama lainnya. Seperti itulah kami mengerti satu sama lain perihal menonton. Jadi, ketika berdua seperti sekarang memanfaatkan waktu untuk menonton di layar yang lebih besar. Alasan lain, maklum saja di Aceh belum ada bioskop. Hehe Singkat cerita di hari pertama bertemu kami menonton film Aladdin. Itu sangat menyenangkan ditambah lagi kami buka puasa berdua. Tapi, yang paling mengesankan di pertemuan pertama adalah saat perjalanan menuju rumahku. Hujan turun sangat deras, aku dan dia mengatakan setiap pertemuan kita selalu di akhiri dengan hujan. Sama seperti beberapa tulisanku tentang rinduku sehebat hujan. Mungkin ini sebabnya hujan turun di malam itu. Aku dan dia tersenyum mengingat kembali pertemuan pertama di Aceh. Selama tiga hari dia disana hujan turun sangat deras di malam harinya setelah mengantarkan aku pulang kerumah. Singkatnya lagi, dia menemui kakakku yang saat itu sudah menunggu dirumah. Mereka mengobrol banyak hal dan ketika si pria koleris pulang. Kakakku mengatakan dia anak baik dan percaya jika aku dan dia izin untuk berjalan-jalan lagi. Sebenarnya aku yang bawel dan menanyakan apakah kakak suka atau tidak dengan dia. Haha ********* "Pertemuan aku dan dia sebanyak lima kali dalam dua minggu dia berada di Batam. Semua pertemuan sangat mengesankan. Meski belum semua rencana tercapai, kami tetap bersyukur semesta telah mengizinkan untuk lebih meyakinkan pilihan hati". Mengapa tidak setiap hari saja aku dan dia menghabiskan waktu berdua. Itu tidak mungkin, keluargaku khususnya abangku adalah orang paling takut sesuatu buruk terjadi. Apalagi kalau aku pergi dengan seorang pria. Orangtuaku percaya padaku, karena aku selalu terbuka dan jujur. Tapi, kakak dan abangku disini tidak demikian. Aku membatasi diri dan mengatur waktu sebaik mungkin untuk bisa bertemu si pria koleris. Kakakku percaya tapi abangku murka. Dia marah besar saat tau aku berjalan dengan dia, entah apa yang membuatnya marah. Padahal aku telah izin lebih dulu sebelum pergi, hanya karena dia melihat foto yang dia minta untuk tahu siapa pria itu. Aku tidak bisa membantah saat dia mengancamku untuk tidak pergi lagi dengan pria koleris. Hatiku benar-benar hancur. Aku menuruti untuk tidak pulang larut malam dan tiba dirumah sebelum waktu magrib. Aku hanya pulang malam dua kali sebab hujan dan buka puasa bersama alumni. Aku tidak tahu apa salahku. Kakakku mengerti dan kebetulan dihari kamis tanggal 13 Juni 2019 dia libur dan mengizinkan aku bertemu sekali lagi dengan pria koleris. Syaratnya tetap pergi bersama kakakku dan pulang sore hari. Aku dan pria koleris memanfaatkan waktu singkat berdua dengan makan dan menonton lagi. Terhitung aku dan dia sudah tiga kali menonton di bioskop. Di hari sabtu nanti tanggal 16 Juni dia akan kembali ke Jakarta melanjutkan kuliah dan pekerjaannya disana. Itu tandanya kami memulai lagi hubungan jarak jauh. Setelah selesai menonton, dia pamit pada kakakku dan aku. Ingin menangis rasanya, karena segala rencana tidak terlaksana. Mau tidak mau demi aku dan dia tidak terlibat dalam masalah yang besar karena abangku yang telah marah. Aku dan dia tetap menerima dan ikhlas ditahun ini pertemuan yang sangat singkat. Meski sudah satu daratan masih ada saja penghalang. Satu hal yang harus aku mengerti ini semua demi kebaikanku. Tandanya abangku sangat peduli dan sayang padaku. Aku juga bersyukur liburanku penuh kejutan dan sangat mengesankan. Apa saja pelajaran yang dapat aku petik dari liburan ini? Ada banyak pelajaran hidup selama liburan di Batam. Ketika aku tahu saatnya liburan akan tiba yang aku fikirkan hanyalah rencana demi rencana, bermain, berjalan-jalan, menghabiskan waktu di segala tempat wisata. Sampai aku lupa resiko yang akan terjadi dan tidak memikirkan bagaimana keadaan disana. Sebab, ini bukan liburan seorang anak sultan, aku berlibur sebab ada tujuan dan hadiah dari kakakku. Tujuannya adalah agar aku bersenang-senang sebelum berjuang sedikit lagi demi masa depanku di Aceh. Liburanku juga bukan sehari, tapi berbulan. Liburanku bukan di sebuah hotel, tapi di sebuah rumah paling jauh di Batam ini. Jadi, wajar saja semua tidak sesuai rencana. Tapi aku benar-benar bersyukur aku sudah mengunjungi jembatan Barelang Batam yang menjadi tujuan wisata di kota Batam bersama keluarga si pria koleris, dengan begitu aku bisa lebih dekat dengan keluarganya. Meski pertemuan tidak sesuai rencana, namun ada banyak cara yang diberikan semesta agar kita semakin percaya. Bahwa pertemuan yang berkualitas sangat langka dan pertemuan singkat namun bermakna lebih mengesankan. Dibandingkan pertemuan hampir setiap waktu. "Terimakasih kota Batam, kau ciptakan pertemuan antara aku dan dia yang entah kapan akan bertemu lagi. Terimakasih untuk liburanku yang sangat berarti. Terimakasih untuk tempat-tempat yang menjadi saksi, bahwa kekuatan do'a dan ketulusan hati mampu menyatukan kami meski jarak yang sangat jauh. Dan untuk pria koleris tetap berhati-berhati menjaga hati. Sampai jumpa lagi di pertemuan selanjutnya, semoga rencana kita tercapai". Di tanggal 16 Juni 2019 nanti. Kita memulai lagi perjalanan hati, kau harus tahu bahwa kekuatan do'a lebih dari apapun. Rencana semesta adalah yang terbaik. Meski aku harus menunggu sewindu lagi untuk bertemu. Aku siap! Sebab hati yang tulus menanti akan jatuh pada hati yang setia menemui. Dari Batam--Jakarta, kemudian dari Aceh--Jakarta. Semoga jarak bukan memisahkan namun menguatkan. Description: Bercerita tentang liburan adalah hal paling menyenangkan. Karena ada banyak cerita menarik yang tidak akan berulang berkali-kali. Begitu juga saat kita menikmati liburan, ada setiap kejadian yang ingin kita abadikan. Melalui rekam video atau memotret gambar pada setiap tempat. Ada banyak cara orang-orang untuk menikmati liburan. Lalu, bagaimana jadinya jika liburan yang harusnya dinikmati malah jadi suatu pelajaran berharga dalam hidup. Sebab itu, aku ingin berbagi cerita selama aku di kota Batam yang kembali aku kunjungi setelah belasan tahun dan aku di sambut dengan kata pada bukit merah kehijauan itu dengan "WELCOME TO BATAM". Aku menjawab dengan tulisan dalam cerita ini. ....................................... Nama : Mulyana • • Sosial Media : ✔ Instagram : Mulyanalee ✔ Facebook : Mulyana • • Cerita ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi storial #SaatnyaLiburan2019 yang diadakan Storialco dan Nulisbuku
Title: World of Knight's Category: Fantasi Text: Chapter 0 : Starting This Story From the Past Berlatar di sebuah dunia di mana sihir dan pedang merajarela. Pada hari itu, hidupku sepenuhnya berubah. Meskipun pada saat itu, diriku baru berumur satu tahun dan kejadian ini diceritakan oleh ibuku. Kejadian ini seharusnya merubah alur dari kehidupanku. Di hari itu, di sebuah kota besar tempat aku lahir dan tinggal. Secara tiba-tiba, langit yang awalnya cerah dan disinari matahari itu berubah. Bayangan sesuatu yang terbang, sesuatu yang terbang dalam jumlah ribuan atau bahkan ratusan ribu. Bayangan tersebut menutupi langit, menghalangi cahaya matahari layaknya bencana yang datang. Warga-warga di kota itu merasakan ancaman, sedangkan para Knight langsung mengevakuasikan para warga. Kepanikan mulai terjadi meskipun belum menyeluruh. Bayangan itu menutupi kota sepenuhnya dan menyelimuti kota itu dengan kegelapan. Ketika diriku mengedipkan mata, kota telah berubah menjadi lautan api. Bayangan-bayangan yang terbang itu, merupakan naga. Naga yang terbang dalam jumlah yang benar-benar tidak masuk akal. Ribuan nyawa manusia lenyap seketika, beberapa berhasil dilindungi oleh para Knight. Tetapi, yang gugur jauh melebihi yang selamat. Kepanikan luar biasa ditimbulkan oleh mereka yang berhasil selamat. Teriakan dan tangisan ketakutan terdengar dimana-mana. Kengerian yang ditimbulkan oleh para naga membuat para warga putus asa akan kehidupan mereka. Para Knight berusaha untuk mengevakuasikan yang masih selamat tetapi, mereka sendiri tidak yakin bisa selamat dari para naga itu. Para naga terbang di ketinggian 9,2km dari permukaan laut, membuat para Knight kesusahan untuk menyerang mereka. Tidak ada, seekorpun naga yang turun lebih dekat ke kota karena mereka semua tahu kalau mereka akan dibantai habis-habisan oleh para Knight di darat. Naga ini adalah naga-naga yang memiliki akal dan pemikiran. Dapat menggunakan sihir dan termasuk ke dalam tiga ras terkuat di dunia. Para naga tidak hentinya menyerang, membuat ratusan hingga ribuan nyawa kehilangan tempatnya di dunia ini. Berbagai cara dilakukan oleh para naga untuk memusnahkan manusia. Pusaran api, hujan meteor, menciptakan berbagai bencana alam seperti gempa bumi, dan menurunkan hujan jarum beracun. Semuanya mereka lakukan, tanpa diketahui alasannya. Pasukan Knight telah terbagi dua, satu bagian ditugaskan untuk menahan para naga agar tidak mengakibatkan semakin banyak korban. Sedangkan satu bagian lagi ditugaskan untuk mengevakuasikan dan melindungi penduduk yang berhasil selamat. Dua orang Knight telah pergi ke ibu kota untuk memberi pesan mengenai penyerangan ini, meminta bantuan dan menunggu perintah lanjutan. Sedangkan itu, di tengah-tengah dari penghancuran itu, "Baiklah, Caroline! Dengarkan ayah!! Kamu akan mengikuti para Knight dan mengevakuasikan diri!" seorang pria, tampaknya seorang Knight. Dan dirinya saat ini sedang berbicara dengan putrinya yang sedang menggendong adiknya. Adiknya masih berumur satu tahun. "Aku bisa mengevakuasikan diri, tetapi bagaimana dengan ayah?!" anak itu bertanya kepada ayahnya. Anak itu tampaknya berumur sekitaran 22 tahun. "Ayah dapat menjaga diri sendiri, sedangkan kamu hanyalah anak perempuan biasa yang belum lama dewasa. Jadi pergilah Caroline!!" jawaban dari ayahnya membuat dirinya tersinggung. "Tetapi..." "Tidak ada tapi-tapi, pergilah! Ayah adalah seorang Knight, jadi sudah seharusnya ayah melindungi rakyat." "Tapi, kota ini bahkan sudah hancur! Apalagi yang harus dilindungi!" "Kalianlah yang harus kulindungi. Bila di kota ini sudah tidak ada yang bisa dilindungi, maka memastikan agar kalian berdua selamat adalah tugas berikutku, jadi bila kamu ingin membantu ayah, maka larilah!" "Ng, baiklah-baiklah, tapi pastikan ayah kembali hidup-hidup!" "Tentu saja." Perempuan itu, Caroline Frize dengan membawa adiknya yang bernama James frize lari sekuat kakinya dapat membawanya. Sedangkan ayahnya lari ke arah yang berlawanan dan melompat terbang ke arah para naga-naga. Kengerian terus berlangsung, seiring dengan diriku yang terus berlari membawa adikku. Aku tidak dapat berpikir dengan jernih, asap-asap dari api-api ini membuat diriku sesak napas. Darah-darah dan mayat dari mereka yang kehilangan tempatnya di bumi berceceran di seluruh jalan membuat aku hampir menggila. Kakiku terus berlari meskipun tidak mengetahui arah aku berlari. Api terus menjalar kemana-mana, membuat penglihatanku menjadi terbatas. Teriakan, tangisan, dan berbagai hal sejeniasnya terdengar dari segala arah. Di atas langit pedang-pedang saling berbenturan, dan di daratan nyawa terus melayang. Aku masih bisa berlari, dan adikku baik-baik saja meskipun asap dan panas api menyelimutinya adalah karena sihir yang dirapalkan oleh ayah kepada kami berdua. Ketika aku berlari, aku sudah beberapa kali tersandung dan jatuh. Kakiku sedikit demi sedikit hancur. Aku berlari, dan di depan sana terdapat semacam lahan yang luas. Harapanku bangkit kembali karena di depan sana adalah perbatasan dari kota. Tetapi itu kembali hancur ketika mengetahui bahwa lahan luas itu adalah lapangan di pusat kota. Aku, putus asa. Tanpa alasan yang jelas, seluruh tubuhku terasa sakit. Lututku terjatuh dan saat ini aku berada dalam posisi berlutut. Aku tidak tahu mengapa, aku merasa putus asa dan ingin hidupku berakhir. Semua orang yang berada di sekitarku juga tampaknya mengalami hal yang sama dengan diriku. Rasanya seperti harapanku, semangatku, alasanku untuk hidup, dan kebahagianku telah direbut dariku. Kejadian ini, tidak berlangsung lama, tapi bagi mereka yang merasakannya terasa seperti bertahun-tahun lamanya. Kejadian ini berakhir ketika seorang Knight berlari dan memasuki wilayah lapangan. Dan berkat perlindungannya, semua orang yang diambil arti kehidupannya kembali semula. "Caroline!" Knight yang memasuki wilayah itu memanggil Caroline. Caroline mengarahkan pandangannya kepada Knight itu dan.. "Paman Mike!!" orang itu adalah kenalan dari ayahku, dia bernama Michael Ford. Dan aku memanggilnya paman Mike. "Apa yang kamu lakukan di sini, Caroline?! Bukankah seharusnya kamu mengevakuasikan diri!!" "Iya, aku ingin mengevakuasikan diri tapi, aku tersesat! Siapapun bisa tersesat di lautan api ini!" Caroline menjawab. Dan sebelum menjawab, Michael menatap Caroline beberapa saat terlebih dahulu. "......Kalau begitu, ikuti aku!!" Paman Mike memegang tanganku dan menarikku lalu berlari menembus lautan api. Paman Mike berlari dengan sangat cepat, aku tidak dapat mengimbangi kecepatannya. Aku lebih seperti diseret dari pada dituntun. "Paman Mike, kecepatan larimu terlalu cepat!!" "Eeh? Ooh, maaf." Dia memperlambat larinya. Sebuah jalan yang dibuat khusus untuk mengevakuasikan penduduk telah dibuat oleh para Knight dan dilindungi dengan berbagai mantra kuat. Jalur ini tidak dapat dirusak oleh para naga, dan hanya dengan mengikuti jalur ini kita dapat sampai ke kereta yang akan membawa kita. Paman mike dan aku telah masuk ke dalam jalur ini, tetapi paman Mike tidak membiarkanku pergi dan masih membawaku. Aku tidak bertanya mengenai hal ini. Jalur ini hanyalah jalur kecil yang tidak akan bisa dilewati dua buah kereta kuda dalam waktu bersamaan. Sedangkan itu, jumlah dari mereka yang telah berada di jalur ini tidak sampai seratus orang. Dari 1,7 juta manusia yang tinggal di kota ini, yang tersisa tidak lebih dari seribu orang. Jumlah itu, adalah jumlah yang kecil untuk bencana yang sebesar ini. Bila para naga yang berjumlah ratusan ribu itu menyerang daratan secara langsung kemungkinan yang selamat hanyalah para Knight. Setelah beberapa saat, aku dan paman Mike telah berhasil keluar dari kota. Di luar kota, terdapat beberapa kereta yang akan membawa kita pergi ke ibu kota. Kereta ini hanyalah kereta kuda yang biasa digunakan untuk mengangkut barang. Karena bencana ini terlalu tiba-tiba, para Knight tidak sempat untuk menyiapkan kereta penumpang. 87 kereta tersusun di depan gerbang kota, dilindungi oleh beberapa Knight dan telah dimantrai agar menjadi lebih cepat dan kuat. Kereta-kereta itu dapat menampung sepuluh orang tetapi, diisi dengan 13-15 orang. Semua kereta itu akan dikirim ke ibu kota. Dan tiga puluh kereta telah digunakan. Paman Mike berhenti menarikku, mengarahkan pandangan ke arahku dan memegang kedua bahuku. Sama seperti yang ayah lakukan tadi. Lalu berbicara... "Baiklah Caroline. Kamu akan menaiki kereta ini dan pergi ke ibu kota, seharusnya ibumu akan segera menjemputmu." "Iya, aku tau. Aku sudah dewasa dan cukup tau instruksi mengenai evakuasi diri." Caroline menjawab. "Baguslah kalau begitu. Paman harus kembali ke dalam api itu. Jadi, sampai bertemu di ibu kota!!" Paman Mike pergi dan langsung berlari ke dalam kota. Diriku menaiki kereta yang belum terisi dan duduk di sisi paling dalam dari kereta itu dan menunggu. Di dalam kereta, aku terhimpit oleh 11 orang lainnya, di kereta yang tertutup ini diriku hampir pingsan akibat sesak nafas. Selain itu aku tidak dapat melihat keadaan di luar dan itu benar-benar mengganggu menurutku. Tidak mengetahui keadaan di luar membuatku tidak tenang. Sambil memeluknya dengan erat, adikku yang saat ini tertidur! Dirinya dapat tertidur di keadaan seperti ini, haha. Didalam kereta itu sendiri, diisi oleh tiga belas orang termasuk diriku dan adikku. Sembilan orang dewasa lain dan dua orang anak-anak juga berada di kereta ini, kedua orang anak ini berumur kurang lebih 5 dan 8 tahun. Tidak ada seorangpun yang tidak terluka, semua orang terluka setidaknya luka bakar. Keadaan ini benar-benar tidak nyaman, anak-anak itu baru berhenti menangis, beberapa orang hampir kehilangan akal, beberapa lagi kehilangan semangat hidup. Suara pedang dan sihir yang berbenturan, suara rapalan sihir, dan berbagai hal sejenisnya dapat terdengar dari atas. Sedangkan apa yang kurasakan adalah, kereta ini tidak melalui jalan yang mulus. Batu-batu yang bertebaran di seluruh jalan mengakibatkan perjalanan ini tidak nyaman. Sihir yang dirapalkan ayah mulai menghilang, dan kakiku mulai terasa hancur sedikit-demi sedikit. Selain itu, tenaga yang dimiliki tubuhku seakan-akan terkuras habis, dan kepalaku mulai pusing. Di kondisi seperti ini, aku tidak bisa bertahan lama, tetapi aku harus bertahan. Setelah kereta berjalan cukup jauh dari kota, sesuatu terjadi. Diketahui, jumlah Knight yang berada di kota adalah 150 orang, 50 orang bertugas untuk mengevakuasi dan sisanya menghadapi para naga. Saat ini, mereka yang menghadapai naga tidak berfokus untuk menahan para naga ataupun melindungi kota, tetapi melindungi rakyat. Di setiap keretanya minimal ada satu Knight yang melindungi. Di jalan ketika Caroline menaiki kereta, sesuatu yang mengerikan terjadi. Ketika, Knight-knight yang melindungi kereta yang dinaiki oleh Caroline melakukan pertarungan di udara. Suara naga mengaum di seluruh daerah, salah satu diantaranya berada di sekitar sini. Mengetahui bahwa ada naga yang dekat dengan kereta ini, semua orang yang berada di kereta juga sangatlah ketakutan. Suara itu semakin dekat dan dekat, sampai kejadian itu terjadi. Itu terjadi dengan cukup cepat, meskipun tidak secepat serangan naga di kota yang terjadi dalam kedipan mata. Seketika, seokor naga terjatuh tepat di depan kereta kita, naga itu masih hidup dan kereta kita menjadi terbalik akibatnya. Orang-orang yang berada di kereta beberapanya terbanting keluar, beberapa terbanting sampai pingsan dan aku terbanting di punggungku, adikku baik-baik saja. Naga itu terbangun dan segera mengibaskan ekornya, kereta kita yang berada di dekatnya, hancur dan terhempas. Kereta ini telah hancur, dan secara ajaib aku berhasil selamat. Seluruh tubuhku terasa seperti akan hancur, napasku begitu berat dan aku benar-benar ingin pingsan. Tetapi, tidak bisa itu karena satu hal, aku tidak melihat adikku di sekitar ini. Kaki kiriku patah dan mati rasa, pandanganku buram, dan tidak bisa berpikir sedikitpun. Api telah mebakar kereta yang kunaiki tadi dan aku tidak dapat bergerak. Tidak ada satupun bayangan manusia yang dilihat oleh mataku, para knight juga tampaknya sudah pergi tanpa memeriksa keadaan kita. Tidak ada yang dapat kulakukan dalam kondisi ini, kakiku terjepit oleh batang kayu yang akan segera terbakar habis dan selanjutnya adalah kakiku yang akan terbakar. Hidupku, tampaknya akan segera berakhir. Itu adalah sesuatu yang telah terlintas di pikiranku tanpa pikir panjang. Aku melupakan, bahwa James adalah adikku yang mewarisi darah HIGH ELF milik ibu! Takdir, keajaiban, dan sesuatu yang tidak masuk akal selalu terjadi di antara High Elf. Ras Elves yang diciptakan secara khusus oleh para dewa, ras kuat yang menyembunyikan taringnya dan merupakan ras dengan harga diri tinggi dan memiliki kemampuan priest sejak lahir, singkatnya ras High Elf merupakan musuh alami undead dan hanya merendahkan diri bila sudah jatuh cinta. Aku tidak tahu apalagi yang bisa menyelamatkanku, tapi satu hal yang pernah kuketahui adalah kekalahan hanya muncul ketika kita telah menyerah. Batang kayu yang menimpa kaki kiriku itu besar dan berat, tetapi api telah membakarnya menjadi abu, kakiku tidak merasakan panas karena indra perasa sakitnya sudah hancur. Aku dapat bergerak tetapi tidak bisa berjalan, api di kakiku habis setelah sedikit berguling di tanah. Pertama pastikan terlebih dahulu tempat ku saat ini..........sialan, kereta ini membawa kita melalui hutan! Api telah mengepungku, dan para naga di langit sudah mulai lewat dan matahari mulai menyentuh tanah. Tetapi, asap yang diciptakan api membuat keadaan tidak banyak berubah. Aku hanya dapat bergerak dengan menyeret tubuhku, tidak ada suara dan tanda-tanda kehidupan itu membuatku ketakutan. Menyeret tubuh ditengah hutan terbakar dan di lahan yang tidaklah datar bukanlah hal yang mudah. Tepat ketika sebuah pohon jatuh ke jalan, aku mendengar suara, suara anak-anak, suara James! Ketika pohon yang terjatuh itu menyentuh tanah pohon itu terpantul dan terhempas jauh ke dalam hutan. Terdapat semacam medan yang dilindungi, medan berwarna biru dan disitu pula sumber dari suara tangisan James. Aku mempercepat gerakanku dan bergerak langsung ke pelindung itu. Aku tahu kalau James baik-baik saja, itu membuatku senang. Semakin aku dekat dengan pelindung itu, suaranya semakin keras. Suara dari pohon-pohon yang terbakar seakan-akan menghilang dari telingaku, dan satu-satunya suara yang menjadi fokusku adalah suara tangisan James. Setelah bergerak cukup lama, aku telah berada di dalam pelindung dan melihatnya, James memang berada di tengah dari pelindung ini dan baik-baik saja. Sejauh ini tidak terjadi apa-apa, tetapi ketika aku berhasil memegang dan memeluk James. Seekor naga tampak datang tepat menuju ke arah kita berdua. Wajahku menunjukkan ketakutan kakiku tidak dapat berjalan dan lagi naga itu tampak tidak lemah. Aku berusaha untuk membawa James pergi, tetapi tidak bisa, aku telah berada di dalam jarak sihir milik sang naga. Naga itu membuatku tidak dapat bergerak. Apa yang harus kulakukan!? Menyerah begitu saja? Memercayai pelindung yang diciptakan oleh James?! Tidak mungkin! Naga itu terus mendekat dan memberikan teror kepadaku, sama seperti yang kurasakan di lapangan tengah kota. Tetapi, efek ini jauh lebih lemah dari yang di kota, pelindung ini! Ketika naga itu mendarat, naga itu segera membuka mulut besarnya dan berusaha untuk memakan Caroline dan James secara bersamaan. Caroline memeluk erat adikkya itu dan tidak melihat sedikitpun ke arah naga itu. Naga itu telah mulai menutup mulutnya dengan cepat, dan giginya hancur ketika berusaha menyerang pelindung ini. Itu bukan sihir pelindung biasa, itu bukanlah sihir pelindung yang diciptakan oleh tubuh James. Tetapi, sihir yang diciptakan oleh kalung sihir dengan tingkat legendaris, kalung ini diberikan oleh ibunya dan hanya bisa dipakai oleh ras Elves. Pelindung itu tidak akan hancur dengan mudah. "Hah!? Apa-apaan pelindung ini!!?!" naga tersebut, bicara!! Tubuh Caroline bergetar begitu hebatnya, dia menggerakan kepalanya dan melihat ke arah naga itu. Dan berkontak mata dengan sang naga. Dia, melakukan kesalahan. Tubuh Caroline, telah sepenuhnya terbeku oleh sihir milik naga tersebut. Dan di detik berikutnya, naga tersebut telah menghilang dan Caroline berhenti berpikir dan menjadi sepenuhnya lumpuh. * * * Setelah kejadian itu, diriku dan kakakku ditemukan oleh beberapa Knight yang dikirim untuk mengecek kota ini sekali lagi. Yang pastinya, kakakku tidak meninggal tetapi mengalami koma, ayahku juga berhasil selamat tetapi mengalami kelumpuhan. Diriku dibawa kepada ibu dan dibesarkan di benua elves, tempat bagi berbagai ras elf hidup. Ras Naga mendeklarasikan perang melaui penyerangan di kota itu dan mulai menyerang berbagai daerah dibenua manusia. Dalam jangka waktu tiga tahun setelah perang dideklarasikan, manusia berada di posisi bertahan dan bukan menyerang. Dalam tiga tahun itu pula, lebih dari lima puluh juta nyawa manusia menjadi korban. Manusia kehilangan lima persen dari tempat kekuasaannya dan terus berkurang. Ras-ras monster yang tunduk kepada ras naga, mambantu melakukan penyerangan terhadap ras manusia. Ras Elves membantu manusia degan memberikan donasi peralatan dan perlengkapan. Tidak ada satupun yang memberikan bantuan berupa mahluk hidup, kenapa? Karena, Raja manusia menolak untuk mengambil bantuan berupa mahluk hidup. Sang raja mengetahui bila dia menerima bantuan berupa tenaga mahluk hidup, peluang dari perang ini berubah menjadi perang dunia menjadi bertambah. Para Dewa tidak melakukan pergerakan sedikitpun, ras iblis, raksasa/Giant, sea monster, mermaid dan manusia ikan, werewolf, demigod, peri, unicorn, dark elf, roh, undead, kurcaci/Gnome, Elder Snake, dan slime. Semua ras itu untuk saat ini berada di posisi netral. Ras-ras yang memberikan bantuan kepada manusia adalah ras elves( Night Elf, Light Elf, High Elf, Woods Elf ), Dwarfs, Centaur, dryad, Angel, dan pegasus. Untuk ras yang membantu ras naga adalah Goblin, Troll, Orc, Orge, Swamp Monster, Titan, Fallen Angel, dan Insect. Note: Ras Fallen Angel dengan Ras Iblis adalah berbeda. Ras Raksasa/Giant dengan Ras Titan adalah berbeda. Yang pastinya perang diantara dua ras terkuat di dunia dapat pecah menjadi perang dunia bila mereka melakukan kesalahan sedikit saja. Berlanjut Chapter 1 : James Frize the Blood Manipulator Chapter 1 : James Frize the Blood Manipulator Berjalan di sebuah kota manusia, seorang pria yang memiliki telinga elf dan mata berwarna hijau. Seorang High Elf setengah manusia. Dengan rambut hitam, dan tinggi 186cm. Elf itu memakai pakaian kelas bangsawan, dengan baju biru dan celana panjang putih. Elf itu tidak berjalan di jalan-jalan utama, mengapa? Karena dirinya berusaha untuk menghindari para jurnalis yang ingin mewawancarainya. Dirinya merupakan seorang pengguna kekuatan khusus pengendali darah. Kekuatan hebat yang hanya pernah muncul tiga kali dalam sejarah manusia. Pengguna kekuatan khusus sendiri adalah orang-orang yang diberkahi kekuatan spesial. Kekuatan-kekuatan itu berbeda-beda ada yang kuat sampai yang lemah, tetapi patokan sebenarnya terdapat di seberapa efektifnya si pengguna memanfaatkan kekuatannya. Elf ini, mendapatkan kekuatan spesial langka yang sangat kuat. Elf ini, adalah seseorang bernama James Frize. Iya, James Frize tokoh utama dari cerita ini. Diriku, James, saat ini sedang berada di ibu kota manusia untuk mendaftar ke akademi knight. Diriku memilih untuk menjadi knight manusia dari pada menjadi High Archer milik High Elf. Itu dikarenakan beberapa hal, salah satunya adalah permintaan ibu dan keinginan untuk menjadi lebih kuat. Tidak ada keinginan untuk membalas dendam. Knight manusia sendiri jauh lebih kuat dari pada High Archer milik High Elf. Akademi Knight tersebar di seluruh benua manusia, dengan berbagai kualitas pembelajaran. Akademi knight di ibu kota adalah yang terbaik di seluruh benua, jadi diriku pergi ke sini. Dua puluh tahun berlatih di Hutan Tanpa Matahari yang terletak di benua elves menghasilkan diriku yang sangatlah kuat. Meskipun begitu diriku bahkan belum bisa mengalahkan ibu. Diriku berjalan di jalan yang jarang dilewati oleh orang-orang, jalan dimana sarang kejahatan dibiarkan menjamur. Energi gelap terus bergerak dan tidak pernah disentuh oleh Knight. Itu dikarenakan penduduk sarang kejahatan ini hanyalah doppelganger yang dapat dibedakan dengan mudah oleh orang sekuatku. Doppelganger adalah ras gelap yang dapat meniru aura dan penampilan dari seorang manusia. Mereka termasuk mahluk lemah karena dapat dibedakan oleh orang sepertiku. Dan kekuatan mereka juga tidak lebih dari menguasai sihir gelap dasar. Ketika berjalan, diriku merasakan keberadaan dari satu orang manusia. Seorang perempuan dewasa yang saat ini sedang dikelilingi oleh kumpulan doppelganger. Perempuan itu tampaknya cukup kuat untuk mengalahkan semua doppelganger itu, tetapi diriku tetap pergi ke tempat wanita itu. Mendekati wanita itu, tampaknya dirinya sudah menyadari keberadaanku. Kenapa wanita seperti dirinya berada di tempat seperti ini? mungkin aku akan menanyakannya nanti. Melewati rumah-rumah yang saling berdempetan, aku merasakan hawa permusuhan dari para doppelganger dan langsung berlari mendekati tempat mereka. Disaat yang sama pula, energi sihir kuat terasa dari sana dan semua aura doppelganger yang berada di sana menghilang. Sebuah dinding menghalangi jalanku, aku melompatinya dan mencapai seberang. Apa yang kulihat di sana adalah, jalan dan dinding di sana telah diselimuti oleh darah. Beberapa bagian tubuh doppelganger yang telah terpotong juga tergeletak begitu saja. Dan seorang wanita berdiri di sana, seseorang perempuan berambut hitam dengan mata merah pekat. Seseorang perempuan cantik, dengan pandangan sombong dan merendahkan. Dirinya memegang senjata api berupa pistol berukuran cukup besar. Dirinya melihat ke arahku dan berkata dengan nada menyombongkan diri. "Jadi, apakah kamu bernama James Frize? Si manipulator darah yang sedang dibicarakan di ibu kota?" ketika mendengarkan kata "kamu" diriku sedikit mengernyitkan dahi. "Apakah diriku harus menjawab iya?" itu jawabanku. Setelah melihat ke arah telingaku, dan mendengarkan jawabanku, perempuan itu tampak seperti menyadari sesuatu. "Ah, apakah anda/dirimu adalah seorang high elf setengah manusia dengan nama James Frize?" "Iya. Siapakah kamu dan apa yang kamu lakukan disini?" Perempuan itu tampaknya baru saja mengernyitkan dahi. Diriku tidak memedulikannya dan melanjutkan pembicaraan sembari mengumpulkan beberapa informasi yang tidak terlalu penting. "Namaku adalah Lillie Korstein, salah satu dari anggota keluarga sekunder dari keluarga besar Sion. Jadi, ketahuilah keberadaanmu." Ketika dan sesudah memperkenalkan diri, dirinya tampaknya menjadi semakin sombong. "Hohoho, apa yang dilakukan seorang keluarga kerajaan di tempat seperti ini?" "Aku disuruh untuk mengirim pesan, kepada seorang manipulator darah." Lalu melemparkan sebuah surat ke tanah. Setelah itu, dirinya menghilang mengunakan sihir teleportasi. Kali ini diriku tidak mengernyitkan dahi ataupun sejenisnya, dan mengambil surat itu tanpa mengeluh. Itu adalah surat dari Akademi Knight, diriku membuka surat itu lalu membacanya. Tidak ada hal yang penting di dalamnya kecuali, pernyataan bahwa diriku sudah diterima ke akademi knight karena bantuan dari ayah dan ibu. Mengenai situasi sat ini, dua puluh tahun telah berlalu sejak penyerangan ras naga. Berjuta-juta manusia kehilangan nyawanya, medan perang utama saat ini adalah berada di sebuah pulau yang berada di tengah samudera diantara benua manusia dan benua naga. Nama pulaunya adalah Stone Fin. Keadaan di kota-kota yang berada di sekitar pantai terancam menjadi medan perang dan penduduknya di penuhi oleh kekhawatiran. Tetapi ibu kota berbeda, kepanikan, kekhawatiran, keadaan terdesak atau sejenisnya tidak terasa sedikitpun di ibu kota. Di sini, seakan-akan tidak ada yang terjadi. Bahkan di penyerangan dua puluh tahun lalu, para naga tidak dapat menembus sedikitpun pertahanan ibu kota. Dan, ayahku sudah keluar dari rumah sakit! Dengan meninggalkan kebutaan, dan kehilangan tangan kiri. Sedangkan kakakku, dirinya masih hidup dan masih dalam keadaan koma. Bahkan setelah dua puluh tahun, misteri mengenai kehilangan kesadaran kakakku masihlah belum terpecahkan. Diriku menjadi seorang Knight karena berusaha untuk memecahkannya dan saat ini juga, diriku telah diterima. Ditulis di kertas ini, bahwa diriku harus berkumpul di Akademi hari ini juga tepat di tengah malam. Kenapa harus tengah malam? Yah, mungkin masih sedikit lama untuk menunggu sampai tengah malam. Diriku memilih untuk terus berjalan dan mengikuti si putri kerajaan itu. Diriku melompat ke salah satu atap rumah yang ada di sana, melihat ke sana kemari, lalu menggunakan kekuatan darahku. Puncak tertinggi ibu kota adalah bendera lambang keluarga kerajaan dan benua manusia, yang berada di puncak tertinggi dari kastil kerajaan. Dan kastil itu sendiri berada di puncak dari sebuah gunung. Benar, ibu kota berada di sebuah gunung. Di sekitar gunung telah dilapisi oleh dinding-dinding tebal, dan pelindung sihir kuat yang bahkan tidak bisa dilewati oleh serangga tanpa izin. Ibu kota terbagi menjadi beberapa bagian. Bagian inti atau puncak gunung hanya boleh dimasuki secara bebas oleh keluarga kerajaan, bangsawan kelas atas, Knight terkuat, orang-orang yang memiliki urusan dengan kerajaan, dan beberapa mahluk penting lainnya. Lalu, ada lapisan kedua yang menjadi rumah bagi beberapa bangsawan kelas, beberapa Knight kelas atas dan menengah, dan menjadi daerah kemiliteran yang paling kuat yang ada di benua manusia. Akademi Knight di ibu kota juga berada di sana. Lalu, bagian ketiga adalah rumah bagi penduduk ibu kota. Aku juga berada di sini ketika bertemu dengan Lillie yang tinggal di inti dari ibu kota. Di bagian ketiga ini berada di kaki gunung, dan menjadi pusat perdagangan dan wisata dari ibu kota. Banyak daerah yang dianggap keramat karena belum dipecahkan misterinya. Beberapa di antaranya adalah Goa Refleksi, Jurang Kebangkitan, dan banyak lagi. Setiap lapisannya di pisah oleh dinding benteng kuat yang tidak sama dengan kota lainnya. Dimana, dinding di ibu kota terbuat dari batu khusus yang dapat bertahan bahkan oleh panas matahari. Singkatnya, ibu kota dari setiap ras adalah daerah terkuat dari ras tersebut. Kecuali di benua Goblin, dimana ras Orc, ras Ogre, ras goblin, dan ras troll yang tinggal di sana menyatukan kekuatan militer mereka di sebuah daerah, terpisah dari ibu kota mereka. Menyerang ibu kota berarti perang, menghancurkan ibu kota suatu ras berarti menaklukkan ras tersebut. Pusat dari segalanya, jantung dari sebuah negara. Ibu kota merupakan jantung, sedangkan otak dari suatu ras adalah penduduk yang tinggal di ibu kota. Selama otak masih hidup, sebuah ras tidak akan pernah berakhir, itulah beberapa hukum peperangan di dunia ini. Misteri adalah hal yang lumrah di dunia ini. Bahkan, sejarah dunia di 203 abad yang lalu menghilang begitu saja. Keberadaan ras dewa mulai diragukan, raja iblis ke-3 merupakan setengah manusia, sihir pembentukan jiwa, dan berbagai hal lainnya juga merupakan misteri. * * * Diriku menggunakan kekuatan darahku untuk berpindah tempat. Diriku mengambil pisau kecil yang terdapat di pinggangku. Diriku mengeluarkan pisau kecil itu dari sabuknya, mengangkatnya tepat di depan dadaku. Mengangkat tangan kiriku yang tidak memegang pisau, lalu memegang bilah dari pisau itu. Tanganku dengan pelan, menarik pisau itu, membuat luka di tangan kiriku. Darah mulai mengalir keluar, dan jatuh ke lantai membuat genangan darah yang tampak dalam. Diriku berhenti membuat luka, lalu menyimpan kembali pisau yang kupakai. Semua darah itu membuat genangan yang cukup besar untuk menelanku. Diriku secara perlahan-lahan terjatuh ke dalam genangan darah itu. Seakan-akan memakanku, diriku terhisap ke dalam genangan darah itu. Semakin lama semakin cepat, diriku telah sepenuhnya terjatuh ke dalam. Apa yang terjadi denganku adalah, di dalam alam yang berbeda dimana kegelapan total menyelimutiku. Di alam dimana diriku berkuasa, di alam dimana semuanya dapat kurasakan. Bahkan diriku tidak dapat menjelaskannya, yang pasti ini semacam portal yang akan membawaku ke manapun yang diriku mau. Diriku berniat untuk pergi ke Akademi secara langsung, tetapi mengingat bahwa akademi berada di dalam dinding ke dua, tampaknya diriku ditahan oleh sebuah pelindung karena tidak diizinkan. Sementara itu, di dalam dinding kedua, merasakan getaran pelindung yang diriku akibatkan. Hampir semua Knight tampaknya bergerak dan mengejarku. Dinding ini masih bisa diriku hancurkan dan akan diriku terobos. Sementara itu........ * * * Di dalam akademi, berada di depan gerbang utama. Berdiri tiga orang manusia, manusia tersebut salah satunya adalah Lillie Korstein, satu lagi adalah pengawal Lillie selaku Lillie adalah seorang keluarga kerajaan. Salah satu lagi adalah kepala sekolah akademi Knight dan merupakan seorang Knight bergelar yang sekuat seorang jendral pasukan Knight. Gedung Akademi Knight memakan lebih dari dua puluh persen dari daerah yang ada di lapisan kedua. Ukuran Akademi Knight sangatlah besar, kira-kira setara dengan 75% dari istana kerajaan. Di sekitar Akademi terdapat anggota kemiliteran pusat yang berada di ibu kota. Singkatnya daerah ini adalah daerah yang hanya bisa di tembus oleh ras iblis. Perumahan mewah kelas atas yang memenuhi daerah itu. Banyak pula yang namanya daerah pelatihan dan sejenisnya. Gerbang utama menuju akademi begitu mewahnya, terbuat dari batu, banyak pula detail-detail kecilnya. Hanya akademi saja yang dibuat seperti benteng pada zaman pertengahan. Kepala sekolah itu merupakan seorang laki-laki dengan tinggi 196cm, dirinya memakai kacamata petak putih dengan rambut hitam, dan warna mata adalah hitam pula. Dirinya memakai jas kantoran biasa dan mengeluarkan aura intimidasi yang kuat. Tepat setelah diriku di tahan oleh pelindung, semua Knight yang masih berjaga menargetku. Lillie dan juga kepala sekolah menatap ke arah pelindung dan.... "Hm, dia telah mendapatkan surat dengan lambang akademi. Tetapi, dia masih menerobos pelindung." kata Lillie kepada kepala sekolah. "Tampaknya, kita akan mendapatkan sedikit masalah setelah ini." jawab kepala sekolah. "Apakah kamu yakin, ingin menjadikan dirinya murid eksekutif?" tanya Lillie kepada kepala sekolah. "Iya, kamu sendiri mengetahui alasannya bukan. Dia diwajibkan selalu dalam pengawasan. Hanya untuk melahirkan dua orang anak saja, kedua orang tua nya sudah sangat berusaha keras. Jadi kita memberikan syarat, dan inilah syaratnya." Jawab kepala sekolah. Lillie tampak tidak peduli dengan apa yang di katakan kepala sekolah. "Kalau begitu, apa isi surat itu yang kuberikan kepadanya?" tanya Lillie lagi. "Mengenai ini, tanyalah dirinya sendri." Kepala sekolah pergi begitu saja tanpa memberikan informasi selanjutnya. Setelah itu, pengawal Lillie melangkah maju satu langkah, lalu mulai berbicara. "Nona, anda dilarang berbicara mengenai rahasia tersebut." dengan nada yang sopan dan hormat. Sebelum menjawab, Lillie tampaknya membuat raut wajah tidak senang. "A k u t a h u." lalu dirinya menghempaskan rambutnya dan berjalan pergi meninggalkan pengawalnya. * * * Sedangkan itu, diriku di alam lain sedang mencoba untuk menerobos pelindung ini. Di alam ini, serasa seperti berada di dalam air atau darah?. Entahlah, yang pasti di alam ini diriku tidak bisa menggunakan kekuatan darahku dan hanya bisa menggunakan sihir atau beladiri. Berbagai sihir dan perpaduannya dengan beladiri yang telah ku pelajari, salah satunya adalah ini. Sebagai catatan, diriku adalah seorang pengguna satu pedang dan jenis sihirku adalah jenis manipulasi atau menciptakan. Jenis manipulasi dan menciptakan berarti diriku dapat mengendalikan dan menciptakan beberapa elemen dengan tidak sempurna. Diriku dapat mengendalikannya tetapi tidak dapat sesempurna pengguna kemampuan khusus yang mengendalikan elemen tersebut. Diriku sedikit berguling untuk menyesuaikan posisi tubuh, lalu aku memindahkan pedang katana yang berada di punggungku ke pinggangku dan melakukan kuda-kuda yang sama ketika ingin menghunuskan pedang dan memotong sesuatu dengan kecepatan dan kekuatan tinggi. Mengalirkan kekuatan sihir ke pedang dan tangan kananku yang memegang pedang. Lalu.. "Dragon Cutter Technique, Second Form, Dragon Twister!" Selagi mengatakan itu, pusaran air mulai berpusar di sekitarku, semakin lama semakin besar dan kuat. Lalu, dengan menggabungkan sihir listrik dan sihir air. Aku melepaskan sedikit bagian pedang, dan semua pusaran di sekitarku mulai berlistrik. Listrik bertegangan tinggi menyelimutiku. Dan, ketika diriku selesai mengatakan kalimat tadi. Pusaran mencapai tingkat tertinggi lalu, gelombang air ini mendorongku dengan cukup cepat ke depan mendekatkan diriku dengan pelindung ini. Lalu, ketika diriku sudah sangat dekat dengan pelindung. Setelah itu, diriku langsung menghunuskan pedangku dengan cepat dan...... Pelindung itu berhasil ku tembus dengan cepat, tidak, bukan ku tembus tetapi ku hancurkan seluruhnya. Tidak diriku sangka bahwa akan bisa menghancurkan pelindungnya secara total. Saat ini, tampaknya beberapa Knight mulai mencoba untuk menembus ke dunia ini. Tetapi, mereka sudah dipastikan tidak bisa masuk, bahkan untuk Knight terkuat kecuali ku izinkan. Setelah beberapa saat, di lapangan utama terbuka yang berada di tengah-tengah sekolah. Tempat murid-murid melakukan duel resmi ataupun berkumpul karena acara tertentu. Tempat besar yang berada di tengah-tengah ruangan kelas yang digunakan oleh lebih dari dua puluh lima ribu calon Knight. Tepat di tengah-tengahnya, sebuah genangan darah mulai muncul. Genangan darah yang berpusar. Lapangan itu sedang diawasi oleh seluruh murid yang bersekolah di akademi. Semua muridnya mengawasi dari jendela kelas mereka. sedangkan orang-orang penting dari sekolah sedang berdiri di panggung pidato. Bila dijelaskan, lapangan tersebut berbentuk oval dan terdapat lahan petak yang berada di ketinggian berbeda di tengah dari lapangan ini, lahan ini dapat di samakan pula ketinggiannya bila tidak digunakan. Lahan ini biasanya digunakan untuk duel, sedangkan itu panggung pidato berada di sisi yang membelakangi gunung. Akademi berada di gunung dan dataran yang tidak datar. Tetapi dibuat datar menggunakan sihir. Ruangan kelas mengelilingi lapangan ini, dan jendela yang berada di kelas itulah yang mengarah ke lapangan. Terdapat di belakang panggung pidato sebuah balkon besar dan terdapat kursi besar di sana. Kursi mewah yang sama seperti kursi tahta. Beberapa kursi yang disediakan untuk orang penting juga berada di sisi kursi tahta itu. Beberapa menara juga berada di gedung akademi. Dan digunakan untu hal-hal yang berbeda, dan khusus. Seperti bidang astronomi yang hanya digunakan oleh mereka yang mengandalkan kekuatan bintang dan sejenisnya. Atau menara perpustakaan dimana seisi dari menara tersebut adalah perpustakaan. Ada pula gedung sampingan yang berada di belakang dari gedung utama ini dan digunakan untuk kegiatan khusus. Singkatnya, lapangan ini adalah lapangan utama dan gedung yang mengelilingi lapangan utama adalah gedung utama. DI gedung utama terdapat beberapa menara dan menempel di sisi gedung utama terdapat dua gedung sampingan berbentuk oval pula. * * * Genangan darah itu mulai membesar, lalu Dengan cepat, diriku meloncat tinggi dari air. Diriku masih berada di posisi kuda-kuda, dan ketika diriku berada di udara genangan darah itu menghilang. Diriku mendarat dengan sempurna dan masih mempertahankan kuda-kudaku. Diriku merasakan bahaya. Dan, benar saja. Ketika diriku mendarat, sebuah gelombang sihir besar mengarah ke diriku dengan cepat. Dengan cepat pula, menghunuskan pedang dan menahan serangan tersebut. Diriku berniat untuk membelahnya, tapi serangan tersebut cukup kuat. Tepat ketika serangan itu menyentuh pedangku. Dorongan gelombang sihir itu cukup kuat membuatku terdorong sedikit ke belakang. Apa-apaan ini!? gelombang itu menghilang ketika diriku mulai melawan balik. Dan yang menyambutku berikutnya adalah, diriku telah di kepung oleh lima orang Knight yang berusaha untuk menahanku. Semua Knight ini memakai seragam Knightnya yang merupakan seragam kemiliteran rapih yang berwarna putih dari atas sampai ujung kakinya dengan sedikit motif berwarna emas. Di samping bajunya atau di bahunya terdapat lambang keluarga kerajaan dan di sisi lainnya terdapat semacam lambang yang menyatakan pangkatnya. Terdapat pedang yang terkait di pinggang mereka masing-masing. Di panggung pidato, terdapat tujuh orang manusia, semua orang itu adalah kepala sekolah, Lillie, dan lima sisanya adalah guru dari berbagai pelajaran. Semua orang di sana kecuali Lillie telah mendapat sertifikat resmi sebagai seorang Knight dan guru dari akademi ini. Kepala sekolah berada di tengah dan berdiri di paling depan, diikuti dengan Lillie dan guru-guru lainnya. "Kamu!! Yang berada di sana, Iya kamu!!" seorang Knight berbicara denganku. "Siapa kamu dan apa yang kamu lakukan disini!? Apa tujuanmu menghancurkan pelindung!!!" dirinya melanjutkan. Sebelum menjawab diriku terlebih dahulu melihat ke kiri dan ke kanan, menatap tujuh orang yang berdiri di panggung pidato dan banyak murid yang menatap diriku. Seorang Knight kemudian berjalan ke tampak tujuh orang tersebut dan berbicara. Sedangkan itu, "OI!1 Jawablah!!" "Apakah diriku di wajibkan untuk menjawabnya?! Lagi pula, bukankah diri kalian sudah mengetahui siapa diriku!!" itulah jawabanku. "Kamu!! Jangan sombong hanya karena merupakan manipulator darah!" Knight yang menjawab itu segera maju dan menerjangku dengan cepat. Pedang berbenturan pedang. Menunjukkan aura perlawanan yang kuat, diriku menahan serangan langsung dari Knight tersebut. Dan, kekuatan dari Knight memang tidak bisa di remehkan, itu lah yang kupikirkan ketika menahan serangan Knight itu. Serangannya tidak menggunakan sihir sama sekali dan sudah cukup untuk membelah pedangku. Diriku menggunakan sihir untuk memperkuatnya, dan seluruh tubuhku. Pedang yang digunakan oleh Knight tersebut adalah pedang tempaan para penempa pedang terkenal yang melegenda. Diriku tidak bisa menang, tetapi diriku tidak pula menyerah. Setelah terjangan pertamanya, diriku langsung serius untuk bertarung. Darah, mengalir di seluruh tubuhku. Fokus pernapasan, mengalirkan seluruh oksigen ke seluruh tubuhku. Dengan aliran darah yang kupercepat, tubuhku memanas dengan cepat. Jari-jari tanganku yang memegang pedangku mengeluarkan darah. Lalu melapisi pedangku dengan darah. Petir-petir mulai kuhasilkan pula, membantu aliran darahku dan pernapasanku. Memperkuat ototku dan menghasilkan aura intimidasi kuat. Semua orang yang menatapku di jendela-jendela tampak terkejut. Dan Knight di depanku, menyengir dan menunjukkan aura intimidasi pula. "dirimu hebat juga ternyata." Itulah yang diucapkannya dengan cepat lalu... Berlanjut Chapter 2 : The Test?! Chapter 2 : The Test?! Darah, mengalir di seluruh tubuhku. Fokus pernapasan, mengalirkan seluruh oksigen ke seluruh tubuhku. Dengan aliran darah yang kupercepat, tubuhku memanas dengan cepat. Jari-jari tanganku yang memegang pedangku mengeluarkan darah. Lalu melapisi pedangku dengan darah. Petir-petir mulai kuhasilkan, membantu aliran darahku dan pernapasanku. Memperkuat ototku dan menghasilkan aura intimidasi kuat. Semua orang yang menatapku di jendela tampak terkejut. Dan Knight di depanku, menyengir dan menunjukkan aura intimidasi. "dirimu hebat juga ternyata." Itulah yang diucapkannya dengan cepat, lalu... Cahaya. Terang. Segalanya berubah menjadi putih, indraku tidak dapat merasakan apapun, kemampuan sihirku juga tidak dapat digunakan. Bahkan ketika mengedipkan mata, cahaya putih masih menyinariku. Seakan-akan dipindahkan ke dunia lain. Diriku terasa seperti mengambang di cahaya, indraku telah rusak karena menerima terlalu banyak informasi. Tidak dapat bergerak, bahkan tidak bisa mengedip. Indraku rusak dan membuat diriku tidak dapat merasakan apapun. Bahkan ketika diriku merasa baru saja mengedip, sebenarnya diriku tidak mengedip sama sekali. Mataku terbuka lebar, rasa perih menyerang mataku dan membuat air mata keluar. Tubuhku masih bekerja, tetapi tidak dalam kendaliku. Seketika, rasa sakit menusuk seluruh tubuhku secara bersamaan. Dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki, semuanya terasa seperti ditusuk, dibakar, dibelah, dipotong, dibekukan. Detik berikutnya. Terjatuh, lututku bersentuhan dengan batu, pedang yang diriku pegang terjatuh ke tanah. Semuanya kembali normal, tetapi, diriku telah kalah. * * * Knight, kumpulan manusia terkuat yang melindungi dan menjaga umat manusia. Dapat menjadi polisi, tentara, pasukan spesial, dan banyak lagi. Knight menerima latihan super intensif, dan berubah menjadi seorang pendekar pedang kuat yang dapat diletakkan di posisi manapun. Pertarungan itu adalah perbedaan kekuatan, pengalaman, dan pengetahuan antara James dengan seorang Knight. Bahkan, Knight tersebut belum serius mengaktifkan sihir tersebut. Dapat menggunakan sihir, dan dapat bertarung dalam jarak dekat, memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai tanaman, monster dan banyak lagi. Merekalah satu-satunya pasukan manusia di dunia ini yang dapat melakukan hampir semuanya. Sebagai catatan, Knight merupakan pasukan terkuat milik kerajaan manusia. Kerajaan manusia masih memiliki beberapa pasukan, seperti pasukan spesial medis, pasukan spesial sihir, dan pasukan spesial pertahanan dan keamanan negeri. * * * Mataku terbuka, langit gelap terlihat oleh mataku. Penglihatanku masih buram tetapi semakin membaik, kepalaku berdenyut, jantungku serasa ditekan dan suara di sekitar menghilang dari telingaku. Diriku berdiri dan melihat ke sekitar. Diriku terbangun di suatu tempat seperti Penjara Bawah Tanah atau bisa dibilang sebuah dungeon. Kenapa diriku berada disini? Setelah beberapa saat siuman, diriku langsung terkagetkan dengan energi gelap yang datang. Dungeon ini, bukanlah Dungeon yang di urus dengan benar. Tetapi yang ditelantarkan begitu saja!!! Monster-monster, mahluk gelap, dan banyak lagi, semuanya berkumpul disini. Energi gelap menghalangi kemampuanku, dan diriku tidak dapat menggunakan sihir apapun yang bersifat teleportasi. Diriku terbangun di suatu ruangan luas yang gelap, dengan tinggi hanya dua setengah meter dan luas yang sangatlah besar. Ruangan ini telah di kontaminasi oleh sihir ilusi, membuat mataku hanya melihat segala sesuatu dalam diameter 3 meter. Ruangan ini seperti gedung serbaguna, yang sangat luas. Pilar-pilar dalam jumlah banyak dapat terlihat di sekitarku, dan terdapat monster di dalam ruangan ini. lantai di kakiku diisi oleh air kotor yang benar-benar membuat tidak nyaman. Monster-monster ini juga belum menyadari keberadaanku. Setalah ku rasakan menggunakan sihir dengan baik dan benar, monster itu berasal dari ras Swamp Monster. Sebuah ras yang normalnya hidup dan menguasai daerah rawa-rawa, yang berarti dungeon ini berada di daerah rawa-rawa. Bila diriku ingat-ingat, hanya ada satu daerah yang merupakan rawa-rawa di sekitar ibu kota. sebuah dungeon bernama Dungeon of the death Iya, diriku pernah membacanya di sebuah buku dari perpustakaan High Elf. Swamp Monster!! Sebuah ras gelap yang mendukung ras naga dalam peperangan ini. Belum sepenuhnya di habisi di benua manusia adalah dikarenakan Swamp Monster di sini tidak membantu ras naga, dan hanya dalam kondisi netral. Swamp Monster merupakan monster penguasa rawa-rawa yang hanya terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu jenis manusia, jenis monster, dan jenis monster langka. Sebagai catatan, tidak hanya merupakan ras spesial, ras High Elf juga merupakan ras dengan pengetahuan terbesar akan dunia ini. Dalam hal pengetahuan, tidak ada yang dapat mengalahkan ras High Elf. The Dungeon Of Death sebuah dungeon yang berada di sisi timur dari ibu kota. Dungeon ini terkenal akan keunikan Swamp Monster yang tinggal di Dungeon ini. Dimana, Swamp Monster yang tinggal di sini dapat mengakibatkan kematian tanpa alasan bagi para pengunjung. Jiwa pengunjung akan diambil oleh Swamp Monster itu, menyisakan tubuh hidup yang kosong. Selain Knight dan petualang kuat, tidak ada yang boleh menjadi pengunjung dungeon ini. Swamp Monster ini disebut dengan nama Ufile ( termasuk ke dalam jenis monster langka ). Monster ini memiliki kepala dengan hanya satu buah mata berukuran besar, monster ini tidak memiliki hidung, mulut, ataupun telinga dikepalanya. Dua tangan kecil tersambung langsung di kedua sisi kepalanya dan dua kakinya juga tersambung langsung ke kepalanya. Monster ini memiliki kaki dan tangan yang sangat panjang, dengan diameter matanya yang memenuhi seluruh kepalanya, yaitu setengah meter. Dari leher sampai ke pinggul tidak dimiliki oleh monster ini. Kakinya memiliki panjang lebih dari satu setengah meter, dan tangannya lebih panjang dari satu meter. Dirinya cukup besar untuk mengisi sebuah lorong dengan lebar setengah meter Monster ini memiliki kulit berwarna hijau tua dan berkeriput, kuku-kuku panjang yang kotor di kedua tangan dan kakinya. Lumpur, tanah, dan kotoran lainnya menutupi tubuhnya. Berdasarkan informasi dari para Knight yang bertahan dari kekuatannya, matanya memiliki warna abu-abu dan hampir putih. Kekuatannya adalah mengambil jiwa seseorang, dan caranya mengambil jiwa seseorang adalah dengan melakukan kontak mata dengan korban. Tidak ada yang tahu warna mata monster ini karena kebanyakan menjadi korban dan di makan jiwanya. Jiwa yang dimakan tidak akan sampai ke para dewa ataupun ke para iblis. Dan akan mengalami kematian kekal. Ini bukanlah tempat yang aman bagi diriku untuk berada. Diriku kuat, tetapi belum bisa mengalahkan monster kelas atas seperti monster ini. Setidaknya, diriku dapat mengatasi monster ini. Monster ini tidak dapat merasakan keberadaan mahluk hidup, dan digantikan oleh kecepatan reflek dan kewaspadaan yang luar biasa, di ikuti oleh indra pendengaran dan penglihatannya yang luar biasa. Dirinya juga memiliki kekuatan fisik luar biasa kuat. Tetapi, Mengatasi monster ini bukanlah masalah besar, yang menjadi masalah adalah jalan keluar dari dungeon ini. Diriku mungkin harus mencari ke seluruh dungeon hanya untuk mencari tahu jalan keluarnya. Monster di dalam ruangan diriku berada adalah beberapa Ufile dan Swamp Monster pada umumnya. Yaitu, jenis manusia. Jenis yang memiliki akal, tetapi IQ yang tidak lebih dari 10 jadi mereka hanyalah monster biasa. Monster ini berbentuk seperti manusia tetapi dengan beberapa hal yang tidak dimiliki manusia. Seperti sirip, sisik, dan insang, lalu penampilan mereka juga sangat berbeda dengan manusia, mereka diselimut secara total oleh lumpur dan berbagai jenis hal lainnya. Lalu, kekuatan juga berbeda, pada umumnya Swamp Monster jenis manusia hanyalah monster tingkat menengah. Dan hanya memiliki kekuatan untuk sedikit mengendalikan air dan lumpur. Selebihnya, mereka cukup kuat dalam kekuatan fisik mereka. Dibatasinya penglihatanku adalah masalah besar, jadi diriku lebih mengandalkan kemampuan sihirku untuk merasakan keberadaan musuh dan penglihatan untuk berjalan. Dan mulai bergerak pelan-pelan. Pergerakan yang tiba-tiba tampaknya berbahaya sehingga diriku memilih untuk bergerak dengan cukup pelan. Bergerak di atas air pasti menyebabkan suara, suara yang diakibatkan oleh diriku pasti dapat terdengar oleh para Swamp Monster. Dengan menyembunyikan aura manusiaku, diriku dapat bergerak dengan lebih bebas. Diriku mencegah ketahuan oleh para monster, dikarenakan tidak yakin bisa menang. Menjelajahi dungeon ini adalah pilihan yang kumiliki untuk bisa pergi dengan selamat. Bila diriku bertarung dengan Ufile, maka diriku akan berakhir meninggal dengan cara paling mengerikan yang dapat dipikirkan. Mungkin para monster menyadari ada seorang Elf yang berada di dungeon ini, tetapi mereka belum mengetahui letak pasti dari diriku. Sejauh ini, diriku belum menemukan dinding ataupun semacamnya, yang ada hanyalah pilar-pilar dan ruangan yang sangat luas, ditambah beberapa mayat manusia yang berserakan di tanah. Ketika berjalan lurus ke depan, di saat diriku tidak merasakan keberadaans satupun monster. Diriku membuka mata dan, tepat berada di samping sebuah pilar. Sesuatu, seekor monster, monster yang paling tidak ingin kutemui di dungeon ini, Ufile!! Kepanikan?! Tidak. Diriku tidak berlari ataupun bergerak sedikitpun, dikarenakan monster ini sedang tidak menghadap diriku, melainkan menghadap arah sebaliknya. Bergerak sedikit saja dapat mengakibatkan diriku mengeluarkan suara dan ketahuan. Keringat dingin memang mulai dihasilkan oleh tubuhku. Menantang yang lebih kuat ataupun menantang kematian belum menjadi hobiku. Diriku masihlah lemah di hadapan dunia. Berada di sekitar monster ini membuat diriku merasa tertekan dan merasa selalu di awasi. Berjalan melewati bentuk nyata dari kematian? Belum, monster ini bukanlah bentuk nyata dari kematian. Tetapi bentuk lemah dari kematian. Dunia ini luas, lebih luas dari bayangan setiap mahluk. Dunia itu luas dan hanya yang mencaritahunyalah yang akan mengetahuinya. Ketika dirimu telah merasa adalah yang paling hebat di suatu daerah, dan tidak menlihat dari perspektif yang luas. Maka dirimu akan dikalahkan oleh orang luar yang tidak pernah kamu sadari itu. Di atas langit, masih ada langit. Entah kenapa, diriku malah berceramah mengenai hal ini ketika berada di dekat kematian. Teknik darah akan membunuhku di keadaan ini. Dengan indranya yang begitu hebat, monster ini dapat mencium darahku yang hanya setetes saja. Ufile tidak dapat menggunakan sihir, berarti dirinya tidak dapat merasakan sihir. Diriku akan menggunakan sihir, tetapi tidak boleh bersuara sedikitpun. Monster ini tidak mencium bau manusiaku dan belum bergerak sedikitpun adalah keajaiban. Diriku mengeluarkan energi sihir dalam jumlah yang kecil dan mengalirkannya ke udara sekitarku. Mengalirkannya lalu menyamarkannya menjadi suara yang berada disekitarku. Diriku menyamarkannya lalu membuat agar meskipun tubuhku bersuara tetapi tidak akan didengar oleh monster itu. Disini, diriku mebuat kesalahan. Kesalahan kecil yang berakibat fatal. Diriku membuat tubuhku tidak mengeluarkan sedikitpun suara, tetapi diriku lupa untuk menghilangkan suara air ketika diriku berjalan. Seketika diriku berjalan dengan santainya karena berpikiran sudah selamat dari Ufile itu. Lalu didetik berikutnya, dengan sangat amat terkejut Ufile itu melompat ke depannya dan menjauhiku, dirinya juga dengan cepat berputar. Diriku yang juga terkejut, dan panik, langsung berlari. Suara air yang bergetar akibat langkah kakiku terdengar ke seluruh ruangan dan semua monster di dungeon ini telah benar-benar mengetahui bahwa diriku berada di dungeon ini. Berusaha selamat dari kejaran monster-monster bukanlah hal yang gampang. Ufile yang mengejarku berlari dengan sangat cepat dan berhasil mengimbangiku atau akan segera mengalahkanku. Bila diriku ters berada di posisi ini, maka diriku akan segera di bunuh. Berpikirlah!! Apa?! Apa yang harus dipikirkan!? Tidak ada yang dapat kulakuakn selain berlari!! Diriku berlari, dengan hanya dapat melihat dan mendengar segala sesuatu yang berada di dalam diameter tiga meter. Halangan terbesar yang ada. Tidak bisa melawan, tidak bisa melakukan apapun selain berlari, siapa sebenarnya yang memindahkanku ke sini!!! Beberapa menit berlalu, diriku kembali merasakan aura tertekan yang tadi kurasakan yang berarti, Ufile itu sudah berada di dekatku. Berlari lurus tidak bisa, maka diriku berlari zig-zag melewati pilar, berusaha untuk kabur dari monster ini. Monster itu malahan menabrak dan menghancurkan pilar-pilar ini!! Tidak ada rasa takut ataupun menyerah di darah High Elf. Ketika diriku sedang berlari, keberuntungan telah memihakiku. Apa yang kulihat, adalah sebuah daerah untuk lari. Sebuah pintu! Sebuah pintu jeruji dengan tangga yang membawa kita semakin ke bawah. Tidak ada pilihan lain, diriku berlari menuruni tangga di pintu itu agar dapat selamat dari kejaran Ufile itu. Turun. Dan terus turun. Dinding di kedua sisi tangga ini semkin lama semakin sempit, tidak mungkin bukan!! Suara yang dihasilkan Ufile di belakang yang berupa getaran terdengar seakan-akan memanggil teman-temannya. Oo, ini adalah akhirku. Didepan, sebuah pintu, sebuah pintu!!! Berlari mendekati pintu itu, menarik gagang pintu tersebut. Menariknya ke sisiku lalu maju ke ruangan berikutnya lalu segera menutup kembali pintu tersebut dan berusaha untuk mengunci pintu itu. Tidak bersuara!?!? Ufile itu tidak berusaha untuk mendobrak masuk ke dalam!! kenapa?! Jawabannya berada di belakangku. Diriku menghadap ke belakang dan mengetahui satu hal. Dungeon ini, bukanlah benar-benar sebuah dungeon yang berada di dekat ibu kota. Melainkan hanyalah semacam ilusi yang diciptakan di dalam pikiranku. Bagaimana caraku mengetahuinya?! Karena, daerah di ruangan ini bukanlah lagi sebuah ruangan yang berada di dalam tanah. Tangga-tangga yang tidak terhitung jumlahnya, arah grafitasi dari tangga-tangganya juga tidak masuk akal. Luas ruangan ini tampaknya tidak terbatas, tangga-tangga ini beberapa diantaranya bergerak dari satu tangga ke tangga lainnya. Sebuah dunia yang cukup susah untuk diciptakan. Di dunia ini, tidak ada yang namanya jalan keluar, dan kita harus membuat satu sendiri bila ingin keluar. Pemandangan yang cukup luar biasa, meskipun tidak ada apa-apa lagi selain diriku di dunia ini. Setelah mengetahui bahwa ini bukanlah dungeon normal, diriku merasa bahwa ini adalah semacam test atau sejenisnya. Test untuk menguji diriku. Masih berada di depan pintu itu, diriku berjalan ke depan mendekati anak tangga pertama, dan melihat ke sekitar dengan pandangan waspada dan merasakan sejauh mungkin keberadaan dari seekor monster. Menjelajahi ruangan ini dengan mata dan melihat ke segala hal yang tampaknya mencurigakan. Tetapi, tidak ada hal yang berbahaya ditempat ini!! bahkan monster Ufile di belakang sudah tidak terasa. Lalu, seketika..... Suara!?!? Sebuah suara seorang perempuan tertawa terdengar dari segala penjuru daerah dunia ini. Tidak ada seorang manusiapun yang terasa di sekitar ini, hanya diriku yang berada di dunia ini saat ini. Yang berarti, orang itu berasal dari dunia nyata. "Oi! Apakah kamu bisa mendengarku? Tidak, kamu pasti bisa mendengarku. Katakan!!! Dimana diriku saat ini!" sebuah pertanyaan yang sudah kuketahui jawabannya. "Dan juga atas alasan apa dirimu tertawa?!" Beberapa waktu berlalu, tidak ada tanggapan sama sekali. Emosiku naik, tidak ada tanggapan!?! Tapi, bila dilihat baik-baik, bila orang ini dapat membuat dunia ini, maka orang ini pasti lebih kuat dari diriku. Lalu, setelah seakan-akan berusaha untuk menahan tawa, perempuan itu kembali tertawa dengan lebih keras dan lama. Aku tidak mengerti mengapa dirinya tertawa. "sebenarnya, apa yang kamu tertawai!?!" "Hahahahahhaaahah, ma-maafkan aku, Hahahaahahahahaahhaha,........." "Astaga, biarkan aku saja yang mengurusnya" suara orang lain terdengar, kali ini seorang pria. Pria itu kembali berbicara. "Maafkan temanku ini.("tentu" jawabku) Baiklah James frize!, saya adalah orang yang akan menjadi wali kelasmu di akademi Knight, saya benama Clark Melton. Saat ini, dirimu sedang berada di dunia buatan temanku ini dan dirimu di pindahkan ke sini untuk melakukan test masuk akademi knight." Mendengar hal tersebut membuatku kebingungan. "Tapi......" dirinya memotong perkataanku. "Tentu saja, dirimu telah lulus test pengetahuan karena ibumu yang merupakan High Elf berpangkat yang menjamin mu. Dan ayahmu juga membantu untuk memungkinkanmu untuk mengikuti test secepat ini. Tetapi, kita ingin mengetahui dengan lebih baik mengenai kekuatan fisik dan sihirmu di medan pertarungan dan bukan melalui pengetesan kristal biru yang hanya memuat jumlah kekuatanmu berupa angka. Dirimu disuruh untuk datang tengah malam untuk mengikuti tes berupa petarungan duel. Tetapi, dirimu malahan datang tepat setelah mendapatkan surat dan bukan datang dengan cara yang benar, tapi menghancurkan pelindung pemisah. Itu membuatmu akan mengalami test sekaligus hukuman. Dan disinilah dirimu sekarang." Diriku tidak diberikan kesempatan bertanya ataupun berbicara. "Permisi, bolehkah aku berbica......." benar-benar tidak di beri kesempatan. "Jadi, dirimu sekarang ini berada di dunia kecil buatan ini. Di dalam dunia ini, tentu dirimu tidak sendirian, terdapat monster kuat yang tidak akan bisa dikalahkan bahkan oleh seniormu yang bersekolah di akademi ini. Dirimu tidak di suruh untuk mengalahkan monster-monster itu. Yang perlu kamu lakukan adalah berlari sampai ke ujung lainnya dari dunia ini, berusahalah untuk selamat dari monster-monster itu dan bertahan hiduplah sampai ke ujung dunia itu. Di ujung dunia ini, terdapat kristal biru yang akan mengukur kekuatanmu dan mendatanya sebagai angka. Tugasmu setelah mencapai ujung dunia itu adalah dengan mendata kekuatanmu lalu berlarilah kembali sampai ke titik ini. berusahalah untuk tidak tersesat. Dan berjuanglah! Instruksi berikutnya akan diberikan setelah dirimu selesai melakukan tugas-tugas ini. Dirimu akan selalu di awasi dan bila dirimu mati maka dirimu gagal untuk masuk ke akademi sedangkan bila berhasil keluar maka dirimu lulus. Baiklah, selamat berjuang!!!!" Apa-apaan itu, diriku tidak di biarkan berbicara! Tetapi ini ternyata hanyalah test yang bila gagal berarti kematian. Iya kematian. Dan lagi, diriku belum mengetahui nama dan jenis dari monster yang berada di sini. Ini adalah hukuman yang cukup berat untuk seorang High Elf yang baru lima jam berada di benua manusia. Sejauh ini, diriku tidak merasakan sedikipun keberadaan monster. Diriku dengan cukup waspada mulai berjalan dan menginjakkan kaki ke anak tangga pertama yang menuju ke atas ini. Dan tampaknya test ini baru saja dimulai. Yah, monster-monster yang tidak berjumlah satu, dan sama sekali tidaklah lemah berdatangan dengan menjadikanku sebagai tujuan. Diriku tidak dapat menebak monster apa yang datang itu. Yang diriku tahu adalah, monster itu sangatlah kuat untuk membunuhku dalam waktu singkat. Dan monster itu cukup cepat. "Dengan ini, Life and Death Chase Game dimulai!!!!!!" Guru itu baru saja mengatakannya! Permainan!?! Baiklah kalau begitu, aku akan menyelesaikan permainan ini secepat mungkin. Dan pergi dari dunia ini. Berlanjut Chapter 3 : Life and Death Chase Game Chapter 3 : Life and Death Chase Game "Dengan ini, Life and Death Chase Game dimulai!!!!!!" Guru itu baru saja mengatakannya! Permainan!?! Baiklah kalau begitu, aku akan menyelesaikan permainan ini secepat mungkin. Dan pergi dari dunia ini. * * * Belari menaiki tangga, di sebuah dunia penuh tangga yang disusun layaknya labirin ini. berlari di atas tangga ini membuat kita berpikir bahwa tangga ini tidak ada akhirnya. Ketika berlari, sebuah benda terletak di tengah-tengah tangga ini. Diriku mendekat dan melihat, itu merupakan ramuan penyembuh! Kenapa berada disini? Mungkin untuk mempermudahku, entahlah. Diriku akan mengambilnya dengan senang hati. Monster di dunia ini berjumlah lima belas, dan memiliki beberapa jenis tetapi hanya berasal dari satu ras. Yaitu, undead!! Yang tentu saja adalah undead kuat yang tergolong tingkat atas. Mengetahui diriku yang merupakan seorang High Elf, bila mereka memasukkan undead tingkat menengah maka diriku dapat mengalahkannya. Tetapi ini adalah undead tingkat atas, yang tampaknya adalah sesuatu seperti lich atau bahkan elder lich, dan sesuatu setingkatnya. Terus menaiki tangga ini, diriku merasakan kecepatan lari dari para monster itu berbeda-beda. Ada yang datang tepat lurus ke arahku yang berarti dirinya terbang, ada pula yang tampaknya harus melalui labirin tangga ini, yang berarti dirinya berlari menggunakan kakinya. Tidak ada hal spesial mengenai tangga-tangga ini, kecuali. Tangganya bergerak!! Bergerak, menuju ke suatu arah yang membinggungkan. Tangga tempat diriku berpijak, khususnya anak tangga tempat kakiku berada saat ini berubah. Diriku melihat ke atas dan terlihat pintu diriku berasal, diatas?!? Tunggu, kenapa!? Atau, arah gravitasi disini, telah diubah menjadi sepenuhnya terbalik!!! Dunia ini tidak jelas, gravitasi di dunia ini disesuaikan dengan tangga tempat kita berpijak. Tangga-tangga ini dapat berubah, bergerak, atau bahkan menghilang. Dan diriku terjatuh karena tangga ini menghilang. Jatuh ke atas. Monster-monster mendekat, dan semakin mendekat. Diriku masih berlari dan sekarang mulai meningkatkan keceptan lariku. Kecepatan lari murniku tanpa kekuatan sihir atau semacamnya berada di rata-rata 2/9 kecepatan suara, atau bisa disebut 274,4km/jam. Mungkin cukup tinggi untuk manusia normal, tetapi manusia terkuat yanng pernah ada di dunia ini, katanya memiliki kecepatan setara dengan cahaya. Diriku dapat menjelajahi labirin ini dengan cukup cepat. Tujuanku hanya satu, yaitu mencapai ujung dunia ini, tetapi, diriku tidak memiliki satupun petunjuk mengenai cara untuk mencapainya. Sementara memikirkan berbagai kemungkinan, pada akhirnya, ganguan pertama muncul dihadapanku. Seorang Elder Lich. Seorang undead yang belum dapat kukalahkan. Berpenampilan hanya berupa kerangka manusia, yang dapat bergerak. Dengan memakai baju berupa kain lusuh yang sudah koyak-koyak (kebanyakan berwarna biru tua), dengan hiasan emas di pundak dan sebuah mahkota?! Area yang seharusnya tulang rusuknya tidak tertutupi dan di dalamnya terdapat semacam bola energi hitam yang kupercaya sebagai inti kehidupannya. Dan dirinya memegang tongkat kayu dengan kristal di ujungnya. Dirinya mengeluarkan semacam suara unik yang mirip seperti menghisap jiwa seseorang. Diriku tidak memperlambat lariku, Lich itu juga terus terbang ke arahku. Lich itu mulai merapal dan di kristal di ujung tonkatnya mulai di kelilingi energi hitam. Masih belum merendahkan kecepatanku, diriku mendekatinya dengan berani. Lalu, ketika sudah dekat dengannya, diriku merendahkan tubuhku dan meluncur di bawah lich itu sementara dirinya menghancurkan jalan di depannya dengan sihirnya. Dengan cepat dirinya berbalik, dan mulai mengejarku. Dirinya termasuk ke mage, dan diriku adalah seorang yang akan menjadi pengguna pedang, tentu saja diriku lebih cepat darinya. Perbedaannya, dirinya dapat menggunakan sihir teleportasi sedangkan diriku yang seharusnya bisa menjadi tidak bisa di karenakan efek dari dunia ini. Diriku dapat merasakannya, undead-undead itu mulai mendekatiku. Tidak ada gunanya untuk bertarung jadi kugunakan saja kekuatanku untuk berlari dan menghindari serangan. Tentu saja, diriku mulai memanaskan darahku dan memompanya ke seluruh tubuhku dengan cepat, di tambah dengan sihir, kecepatan maksimalku bertambah pesat. Diriku dapat merasakan dibelakang bahwa elder lich itu mulai merapalkan sihir kuat. Diriku mellihat ke kanan dan ke kiri, lalu memutuskan. Berlari ke tepi jalan ini, lalu melompat, sementara jalan tadi lagi-lagi dihancurkan oleh sihir Elder lich itu. Diriku jatuh ke tangga dengan arah gravitasi yang berbeda. Bisa dikatakan diriku sedang berlari menuruni sebuah tembok. * * * Sementara itu, kembali ke dunia nyata. Masih di akademi, di ruangan khusus pembelajaran dan pembuatan dunia lain. Sebuah ruangan bundar dengan diameter 65 meter, dengan tinggi lebih dari 275 meter dan terdiri dari lima lantai. Berupa balkon dengan lubang yang memungkinkan mereka yang berada di lantai dua dan diatasnya untuk melihat ke bawah. Setiap lantai, khususnya di letakkan di dekat dinding. Terdapat semacam tempat tidur berjumlah kurang lebih seratus buah, untuk menidurkan tubuh mereka yang sedang pergi ke dunia lain. Sebagai penjelasan, ada dua macam pergi ke dunia ciptaan. Yaitu pergi dengan membawa tubuh atau tanpa membawa tubuh asli kita ke dunia itu. Perbedaan dari pergi ke dunia ciptaan dengan tubuh dan tanpa tubuh adalah, bila kita pergi dengan membawa tubuh, bila kita mati di dalam dunia itu, maka kita akan benar-benar mati. Tetapi, bila kita tidak membawa tubuh, maka kita tidak akan benar-benar mati meskipun kita mati di dunia tersebut. Di tengah-tengah gedung di lantai pertama, terdapat sebuah meja berbentuk lingkaran dan berukuran cukup besar dengan kursi-kursi mengelilinginya. Berfungsi untuk mengawasi dunia yang diciptakan beserta dengan keadaan semua murid. Biasanya disamping tempat tidur, terdapat semacam meja kecil untuk mengawasi keadaan dari murid yang tubuhnya sedang tidur di tempat tidur tersebut. Di meja utama itu, terdapat empat orang yang sedang duduk mengelilingi meja tersebut. Orang-orang tersebut adalah kepala sekolah, wali kelas James, Lillie Korstein, dan satu lagi adalah pencipta dari dunia yang saat ini mengurung james, beserta tubuhnya. Seorang guru spesialis dunia ciptaan di akademi knight dan pencipta dunia ciptaan terkuat yang ada di antara manusia, Reno Tym. Mungkin perempuan ini akan sedikit tidak dapat membaca situasi. Kenapa Lillie ada di sini padahal dirinya bukanlah seorang guru?!? Itu dikarenakan dirinya adalah satu dari sedikit orang yang mengetahui sejarah yang seharusnya tidak diketahuinya. Dan juga keluarga kerajaan utama bukanlah keturunan keluarga yang menciptakan akademi knight. Yang menciptakan akademi knight adalah anggota keluarga kerajaan sekunder, yaitu keluarga korstein. Dan dirinya merupakan putri dan pewaris tunggal keluarga korstein. "Kepala sekolah, apakah yang harus kita lakukan mengenai kedatangan anak ini?!" Clark Melton memulai percakapan. "apa yang harus kita lakukan?! Apakah kamu yakin bertanya kepada saya, Clark?" jawab kepala sekolah. Kepala sekolah akademi kesatria, seorang knight setingkat dengan jendral. Setiap pelajaran yang diberikannya sangatlah susah dan dirinya telah mengeluarkan lebih dari lima ribu calon knight dari akademi ini. Dirinya memiliki nama belakang Craine, dan lebih sering dipanggil kepala sekolah, atau Dr. Craine. Dirinya adalah guru yang mengajarkan tiga mata pelajaran, ramuan, ritual dan lingkaran sihir, dan juga sejarah. "Saya tidak akan menarik kembali perkataan yang sudah saya keluarkan." Kata Clark. "kalau begitu, saya akan dengan percaya diri mengatakan bahwa saya tidak begitu senang dengan kedatangannya." jawab kepala sekolah. "Pastinya ya. Tetapi saya tidak akan membiarkan anda memperlakukannya dengan kurang baik, lo." "Terserah kamu." "kepala sekolah, aku tahu kamu sangat benci terhadap keberadaan iblis, tetapi inilah apa adanya. Mau dirinya merupakan darah terkotor sekalipun, dia telah menjadi murid akademi knight, dan kita diharuskan untuk melindunginya." Jelas Clark. "Aku mengetahuinya" jawab kepala sekolah. "Baiklah kalau begitu, lagipula hanya itu........" Clark tidak sempat menyelesaikan kalimatnya dan. "Heh!! Lihatlah Elf itu, dia berhasil mengalahkannya!!! Undead terkuat di dunia itu!!" Reno mencampuri. * * * Kembali ke dunia diriku berada, diriku masih berlari menuruni tangga. Dengan berlari turun, diriku bisa bergerak dengan lebih cepat dari Elder Lich itu. Tetapi, sekarang terdapat tiga undead termasuk elder lich ini yang dapat kulihat dengan mataku. Yang berarti terdapat dua undead yang mendekat. Dua orang undead itu salah satunya adalah undead dengan energi gelap terkuat yang ada di dunia ini, jadi bisa dipastikan bahwa dirinya adalah undead terkuat yang berada di dunia ini. Undead itu adalah undead petarung jarak dekat, yang berjalan dengan cukup lambat. Memakai full body armor dan memegang pedang yang cukup besar. Memiliki tinggi 2.38 meter. Dirinya merupakan seorang undead tingkat spesial. Undead ini sering disebut dengan panggilan Dornt. Dipanggil begitu bukan tanpa alasan, hanya saja diriku belum mengetahuinya Sebagai catatan, tingkatan monster-monster biasanya dibagikan dari yang terlemah, yaitu tingkat hewan, tingkat rendah, menengah, tinggi, dan tingkat spesial. Diatasnya adalah tingkatan yang jarang berada di medan pertempuran. Biasanya merekalah yang memerintah, meskipun belum tentu lebih kuat, tetapi mereka pasti memiliki sebuah posisi di pemerintahan dari ras mereka. Knight sendiri terbagi menjadi beberapa tingkat, yaitu dari yang terlemah adalah Knight pemula, Knight menengah, knight berpengalaman, Knight spesial, lalu terbagi lagi menjadi beberapa cabang berbeda. Yang pastinya, untuk kekuatan, knight pemula setara dengan monster tingkat menengah dan terkadang atas, knight menengah bisa mengalahkan lebih banyak lagi monster tingkat atas, tingkat berpengalaman sudah mulai dapat mengalahkan monster tingkat spesial, dan knight tingkat spesial dapat mengalahkan posisi khusus yang berada diatas spesial. Monster tingkat hewan adalah monster lemah yang lebih lemah dari monster tingkat rendah. Biasanya dijadikan objek buruan bagi petualang lemah, ataupun objek latihan bagi anak-anak dan remaja yang ingin menjadi lebih kuat. Diriku dapat mengatasi monster tingkat tinggi karena monster ini adalah undead. Dan diriku adalah High Elf. High Elf adalah mahluk dengan ketahanan terkuat terhadap sihir gelap, sekaligus pemilik sihir suci terkuat diantara para mahluk hidup. Ras High Elf termasuk ras kuat, yang dapat menyaingi ras manusia. dapat dikalahkan oleh ras manusia karena, manusia adalah ras pemegang artefak. Sihir dibagikan menjadi tiga macam, sihir gelap, sihir, dan sihir suci. Sihir adalah jenis sihir yang dikuasai oleh manusia dan ras-ras pada umumnya. Sihir suci dimiliki oleh ras High Elf, para pendeta di setiap ras, dan Crusader. Sihir gelap dimiliki oleh undead, beberapa manusia, dark elf, iblis, danbanyak ras sejenisnya. Ketiga sihir ini dibagi menjadi beberapa tingkat lagi. Tingkat 1 sampai 15. Sihir tingkat 15 sudah cukup untuk menghancurkan dunia, hanya dimiliki oleh knight terkuat, raja iblis, dan dewa tertinggi. Sihir yang dikuasai Knight pada umumnya adalah tingkat 7-12. High Elf, memiliki sihir suci terkuat, di mana Arrcher mereka mampu untuk menggunakan sihir suci tingkat 10-14. Meskipun dirinya ini berjalan dengan lambat, diriku yang dari tadi berjalan menghindari para undead ini. Tampaknya arah berlari diriku telah dimanipulasi, yang berarti ada pemimpin di antara lima belas undead ini. Diriku terus mendekati Dornt ini, dan saat ini juga, dirinya sudah berada di depanku. Dikepung, dari segala arah. Tidak ada cara selain bertarung, dengan tiga belas undead tingkat atas dan dua undead tingkat spesial dan diatasnya. Tiga orang monster berada di jarak pandangku, lalu ada satu lag yang mulai mendekat. Sisanya masih bergerak tetapi masih cukup jauh dari diriku. Sekarang, hanya keberuntungan yang bisa menyelamatkanku sekarang ini. Sekarang, apa yang harus kulakukan?! Aku mungkin sudah kalah dalam kekuatan, tetapi dengan gerakannya yang tergolong lambat bagiku. Mungkin diriku dapat menghindarinya. Kalau begitu, memaksimalkan peredaran darah, mempercepatnya dengan sihir. Menarik napas dalam-dalam, dan mengeluarkannya dengan teratur. Dan tentu saja mengambil kuda-kuda, merendahkan tubuh serendah mungkin, dan dengan mempercepatnya dengan sihir listrik. Diriku melaju ke depan. Dengan cepat. Melaju dengan masih merendahkan tubuhku, berusaha uuntuk melewati Dornt ini. Tetapi, undead tingkat spesial, adalah tingkat spesial. Tidak mungkin bisa kuimbangi. Menggerakkan tangannya, mengambil pedang besar yang berada dipunggungnya. Menarik dan menghunuskannya, diriku belum berhasil melewatinya dan dengan cepat pula energi gelap dalam jumlah banyak telah terkumpul di pedang undead itu. Dirinya mengayun pedangnya ke arah atas dan energi gelap melaju, memotong segalanya dan mendekatiku dengan cepat. Diriku tidak dapat menghindarinya, jadi diriku harus menahannya. Atau tidak, membelokkan seranggannya. Masih berlari mendekati seranggannya, sembari mengalirkan sihir suci ke ujung telapak tangan kiriku. Ketika seranggannya sudah mendekat, diriku melambatkan lariku dan mulai menegakkan tubuhku. Serangan mendekat, tangan kiriku telah membentuk tinju dan siap untuk mengaktifkan sihir ini. "Sihir suci tingkat 8, gelombang suci." Tanganku bercahaya, cahaya tersebut seakan-akan bergelombang. Dan mendorong serangan energi gelap itu dalam kecepatan tinggi. Di detik berikutnya, energi gelap itu telah melenceng dari dririku. Sekarang energi gelap itu terdorong dan mengarah ke arah kanan. Serangannya tidak berhenti disana, tepat ketika energi gelap itu sudah habis dan meledakkan segala sesuatu yang berada di sisi kanan. Dornt itu, muncul tepat didepanku, dengan pedang besarnya mengarah kearahku. Undead ini menusukkan pedangnya tepat ketika diriku berhasil menunduk sedikit dan menghindarinya. Diriku menghindarinya dan berlari maju ke depan, menuju ke belakangnya. Dirinya langsung mengayunkan pedangnya mengikuti pergerakanku dan hampir membelah dua diriku. Dua orang undead lainnya sudah cukup dekat dan sebentar lagi akan benar-benar mengacau. Undead ini dengan cepat berbalik dan mengangkat pedangnya ke atas kepalaku dan mulai menebas. Dirikku yang telah memegang pedangku langsung menarikknya dan. Pedang kita saling berbenturan, lantai tempat kita berdua berdiri telah hancur. Seluruh tubuhku merasakan rasa sakit. Bukan karena beratnya pedang milknya, tetapi karena sihir gelapnya. Kita terjatuh, diriku melangkahi setiap batu-batu yang masih bisa dilangkahi dan berjalan dengan cepat menjauhi si Dornt. Tetapi, tampaknya dari tadi undead ini hanya menyembunyikan kecepatannya. Dirinya dapat bergerak dnegan sangatlah cepat, hampir mengimbangiku. Bahkan melebihiku. Ini adalah permainan yang akan menjadi mustahil untuk dimenangkan bila diriku tidak ditinggal di hutan tanpa matahari waktu masih di benua elf. Tetapi diriku telah berhasil bertahan hidup di Hutan Tanpa Matahari yang merupakan hutan bagi para mahluk iblis. Diriku pasti memiliki cara untuk melakukan ini. Diriku menggunakan teknik darahku. Menggunakannya untuk membuat seorang James palsu untuk mengacaukan pengejaran undead lainnya. Sebelum menggunakannya, diriku telah mengubah batu tempat dornt akan menginjak. Mengubahnya menjadi jebakan yang akan menanhannya selama beberapa saat menggunakan teknik darahku. Menggunakan kesempatan ini untuk kabur, diriku melompat ke jalan di bawahku dan mulai berlari kembali dengan kecepatan penuh. Diriku berlari lurus dengan kecepatan penuh, ketika sedang berlari. Di depanku, terdapat semacam lingkaran hitam muncul, lalu, keluar dari dalamnya, si Elder Lich muncul!! Diriku tidak bisa membuang waktu dengannya. Diriku langsung berbelok dan melompat. Tetapi, tidak mungkin hal yang sama bisa diulangi dua kali di hadapan monster tingkat atas. Sebuah batu melayang ke arahku dengan cepat dari samping sebelum diriku melompat, dan menghantamku dengan keras. Batu lainnya datang dari arah berlawanan menghantamku dan menjebakku sehingga tidak dapat bergerak. Sakit, tekanan yang luar biasa diberikan oleh elder lich itu. Diriku melihat ke atas dan, melihat. Batu dari atas dan tampaknya dari seluruh arah. Diriku terjebak sepenuhnya di dalam batu-batu ini. Tidak dapat bergerak, dan tampaknya energi sihirku terus dihisap. Diriku merasa pmulai pingsan, penyerapan energi sihir milikku sangatlah cepat. Lama-lama diriku dapat mati dihisap energi sihirnya. Pusing dan sakit kepala mulai terasa. Diriku melihat sekali lagi ke segala arah dan menyadari. Batu-batu ini bukanlah batu yang diperkuat, tetapi hanyalah batu biasa. Dengan cepat memegang pedang milikku, lalu. "Dragon Cutter Technique, fourth form, Dragon Blood Slash." Dengan mencampurkan teknik pengendalian darah jarak memotongku bertambah. Diriku memotong ke segala sisi dan menghancurkannya sampai keserpihan-serpihannya. Diriku berhasil keluar. Yah, yang menyambutku diluar ini tidak jauh berbeda dengan berada didalam. Tampaknya terdapat necromancer di antara para undead ini atau ( sambil menatap ke arah elder lich) Ellder Lich itu memiliki kemampuan necromancing. Suara erangan zombie, suara yang dikeluarkan oleh hantu-hantu, rantai yang berdenting, tulang-tulang yang bergerak dan saling bersentuhan, pedang dan busur yang telah diarahkan kepadaku. Ratusan zombie, skeleton, Dullahan, Spectre, Revenant dan ghoul telah menungguku di luar sini. Terlebih lagi, stau undead kelas spesial, dan dua undead kelas atas berada disini. Kekalahan, diriku tidak munngkin bisa menang melawan mereka sekaligus. Sebagai catatan yang mungkin sudah diketahui, Elf memiliki pendengaan yang benar-benar hebat. Jadi janganlah berbicara segala sesuatu yang merendahkannya ketika berada di satu ruangan yang sama dengan dirinya. Dunia ini sudah benar-benar gila. Bukankah ini hanyalah hukuman? Apakah hukuman untuk para penyusup selalu seberat ini? pastinya, satu undead kelas atas yang baru selain Dornt, dan Elder Lich adalah, Butcher. Undead gendut yang dipenuhi dengan jahitan, memiliki tiga tangan dan tangan ketiganya berada di atas bahu kirinya. Memiliki senjata berupa golok besar yang dipegang kedua tanggannya. Tangan ketiga digunakan untuk menyerang menggunakan sihir. Detik selanjutnya setelah diriku berhasil keluar, yang terjadi adalah diriku, terjatuh. Sembari terjatuh, diriku telah dikejar oleh ratusan undead. Ratusan sihir gelap dilemparkan kepadaku, sebagian besar mengenaiku, tetapi beberapa berhasil melesat atau ku tangkis. Luka yang dihasilkan memang hanya berupa memar, tetapi luka-luka tersebut sangatlah menyakitkan. Memiliki sihir penyembuhan memanglah sesuatu yang tepat untuk di miliki. Jatuh dan mendarat ke jalan datar. Diriku memasukkan pedangku ke sarungnya kembali. Diriku mengeluarkan darah dalam jumlah yang cukup berbahaya. Dan membuatnya menjadi pelindung dengan membuatnya mengelilingiku. Pedang milikku kulapisi dengan darahku dan diperkuat dengan sihir. Beberapa skeleton ataupun zombie bukanlah masalah besar. Tetapi, dullahan, revenant, dan spectre merupakan ancaman. Mengejarku dari segala arah, undead-undead ini sedang dikendalikan oleh seseorang yang dekat keberadaannya dariku. Diriku berusaha untuk mencari sumbernya, tetapi diganggu oleh undead ini. Disaat diriku telah mendapatkan keberadaan pemimpinnya, diriku telah melihatnya. Itu berada tepat di bawahku dan diriku telah mulai bersiap untuk melompat ke bawah. Disaat itulah, Dornt yang telah berada di belakangku dari tadi berhasil melukaiku dengan luka serius. Pendarahan dari perutku, diriku terjatuh dan benar-benar kehilangan keseimbangan. Pernapasan dan detak jantungku tidak teratur, pusing dan sakit kepala luar biasa menyerang kepalaku, dan, diriku teramat lelah. Diriku kekurangan darah, dan terkena racun yang berada di bilah pedang Dornt itu. Undead-undead mendekat dan akan membunuhku. Diriku berusaha untuk mengumpulkan energi sihir untuk menciptakan darah dan menyembuhkan luka ini. Disaat itu pula, diriku teringat terhadapnya. Ramuan penyembuh yang tadi ku ambil. Berlanjut Chapter 4 : The Undead Leader, and The Massive Fight Chapter 4 : The Undead Leader, and The Massive Fight Disaat itulah, Dornt yang telah berada di belakangku dari tadi melaju menghancurkan dinding darah yang kuciptakan dan menusuk perutku. Dirinya yang menerjang ke diriku dan menghasilkan luka serius masih berlari terus ke depan. Sedangkan itu, Diriku kekurangan darah, dan terkena racun yang berada di bilah pedang Dornt itu. Undead-undead mendekat dan akan membunuhku. Diriku berusaha untuk mengumpulkan energi sihir untuk menciptakan darah dan menyembuhkan luka ini. Disaat itu pula, diriku teringat terhadapnya. Ramuan penyembuh yang tadi ku ambil. * * * Dengan cepat, diriku mengambil ramuan penyembuh yang berwarna hijau tersebut. Diriku berhasil mengambilnya, langsung membuka penutupnya dan meminumnya. Rasanya, seakan-akan gelombang energi yang besar masuk mengalir dalam tubuhku, dan menyebar ke seluruh bagiannya. Lukaku juga menyembuh dengan cukup cepat. Merasakan energi yang mengalir dalam tubuhku, diriku langsung berdiri dan kembali berlari. Undead-undead ini sudah sangat dekat, cukup dekat untuk melukaiku. Tetapi, diriku dapat berlari sebelum mereka menyerang. Tetapi tetap saja, ribuan sihir masih dilemparkan kepada diriku. Di depanku, terdapat Dornt yang telah berhenti berlari dan bersiap-siap untuk menyerang. Undead yang memimpin semua undead ini telah pergi dalam sesaat. Jejak keberadaannya juga tidak dapat dirasakan. Diriku berlari, tentu saja berlari. Di langkah pertamaku, ketika efek ramuan penyembuh masih terasa, diriku mengeluarkan darah dalam jumlah banyak ke lantai. Menyebarkannya sampai ke kaki milik Dornt itu. Darah tersebut adalah perantara energi sihir yang lebih kuat daripada udara. Sejak pertama kali terpindahkan ke dunia ini, diriku mencoba sihir teleportasi (kemampuan yang sama dengan yang kulakukan untuk mengikuti Lillie) tetapi tidak berhasil. Dan belum mencoba lagi ketika telah mencapai pintu tadi. "Sihir tingkat 4, Swipe." Diriku bertukar tempat dengan Dornt tersebut!! Sihir Swipe termasuk ke dalam sihir tipe teleportasi dengan menghabiskan energi sihir yang banyak. Meskipun jumlah energi sihirku dapat di tambah oleh ramuan penyembuh. Swipe adalah sihir tipe teleportasi, jadi mungkin diriku akan mencoba teleport nanti. Diriku langsung berlari dari para undead itu. Diriku yakin Dornt itu akan segera mengejarku, tetapi diriku masih bisa selamat bila hanya dia seorang saja. Pengejaran dimulai kembali. Tetapi dengan lebih banyak monster yang mengejar. Dengan begitu banyaknya monster, kerusakan dari jalan-jalan cukuplah banyak. Batu-batu berjatuhan ke segala arah. Menghindari serangan sihir dan batu-batu yang berjatuhan sudah merepotkan. Banyak cara yang dapat mereka gunakan untuk menghalangiku. Tapi, karena mereka aadalah monster yang dikendalikan oleh satu orang. Hal-hal yang dapat mereka lakukan dalam satu saat menjadi sangatlah sedikit. Itu bukan berarti mereka tidak dapat melakukan banyak hal. Disaat diriku berlari pula, jalan yang sedang ku injaki ini, meledak. Diriku terlempar cukup jauh ke samping. Sesaat setelah itu, batu-batu berjatuhan mendekatiku. Batu-batu ini dikendalikan oleh Elder Lich tadi. Diriku segera menstabilkan gerak tubuhku dan menghindari batu-betu tersebut. Dan menghindari serangan hampir tanpa henti milik undead-undead dengan melompati batu-batu ini. Terus berlari dan melompati dari satu jalan ke jalan lainnya. Di udara, diriku sangat mudah untuk di serang. Dan di udara pula, sebuah pisau golok berukuran besar terlempar ke arahku dengan kecepatan dan kekuatan tinggi. Menghancurkan sebuah jalan di depanku. Diriku melihat ke asal dari golok tersebut. Dan si Butcher yang melemparnya!! Disaat diriku berbalik, siriku melihat si Butcher yang berperilaku yang seakan-akkan memanggil kembali goloknya. Merasakan bahaya yang datang dari depan, diriku segera berbalik dan melihat golok itu sudah tepat di depanku. Diriku berhasil mengurangi luka yang dihasilkan golok itu. Golok itu melukai tangan kiriku. Diriku terjatuh ke salah satu jalan. Dan, puluhan Ghoul, beserta beberapa revenant telah menungguku di sana. Diriku terjatuh di posisi ysng telah kusesuaikan untuk bertarung. Sementara itu, pendarahan di tanganku sudah kuhentikan, meski luka masih terbuka cukup lebar. Tangan kananku menarik keluar pedang di punggungku dan menerjang ke kumulan ghoul itu. Ghoul merupakan undead tingkat rendah. Lawan yang dapat kukalahkan dengan cukup mudah. Diriku dengan cepat menyelimuti pedangku dengan darah yang telah kucampuri dengan sihir. Sihir penyucian. Hanya dengan sekali tebas, diriku sudah cukup untuk membunuh satu Ghoul. Berlari melalui puluhan ghoul, menebas beberapa yang perlu di tebas. Dan memfokuskan ke pertahanan dari pada penyerangan. Tidak ada gunanya menghabiskan lebih banyak waktu bersama undead-undead ini. Sekalinya diriku mengalahkan pemimpinnya, mereka akan menghilang. Berlari dengan cepat, melalui para ghoul. Undead yang menungguku setelah diriku keluar dari para ghoul itu adalah, Elder Lich, dirinya berteleportasi. Sihir kuat telah dirapalnya. Dirinya langsung mengarahkan tongkatnya ke arahku tepat setelah melihatku. Dan cahaya biru keluar dari kristal itu, megarah lurusku arahku. Diriku menyiapkan pedangku dan langsung membenturkan pedangku dengan sihir milik Lich ini. Pedangku yang masih di selimuti dengan darahku, memurnikan sebagian seranggannya yang seharusnya mengenaiku. Sisanya, terbagi dua oleh pedangku dan mengarah entah kemana. Setelah menahan serangan miliknya, diriku langsung maju dan berusaha untuk menyerang dengan menusuk tepat kearah bola energi kehidupan miliknya. Tentu saja tidak berhasil, pedangku berbenturan dengan pelindung tak terlihat yang diciptakannya. Dan diriku berada di posisi yang cukup berbahaya. Setelah menyerangnya, diriku segera melompat mundur dan menjaga jarak. Tetapi, di belakangpun musuh yang berbahaya sudah muncul. Si Dornt. Berlari di langkah-langkah yang besar. Dornt itu segera melaju ke arahku dengan pedang besarnya yang sudah teracungkan ke diriku. Menyadari keberadaannya, diriku berbalik dan segera berlari ke samping jalan untuk melompat, ke samping. Diriku telah dikepung, lagi. Ketika di udara, sebuah sihir kuat yang lebih kuat dari pada yang lainnya mengarah ke arahku, meskipun meleset. Sihir itu berasal dari Butcher. Si Butcher memang tidak bisa bergerak secepat Dornt dan Elder Lich, tetapi daya hancur fisiknya adalah yang paling kuat. Ini berbahaya!!! Setelah diriku mencapai tangga di samping ini. diriku segera mulai berlari, dan menghabisi beberapa skeleton dan zombie yang menghalangi. Satu-satunya yang dapat mempercepat Butcher adalah lompatannya.... itu lah yang kupikirkan, dan saat ini, tangga ini berada tepat di atas si Butcher...!!!!!!!! Sebuah golok menghancurkan sebagian anak tangga di belakangku. Diriku tidak memedulikannya dan segera berlari menaiki tangga ini. Butcher itu melompat dan membuat tangga ini bergetar ketika dirinya mencapai lantai. Tangga itu bergerak ke arah kiri. Arah yang cukup menguntungkanku, karena menjauhkanku dari Dornt dan elder Lich. Tetapi, tangga ini naik ke atas, jadi Butcher itu melompat melewati kepalaku dan berdiri di depanku. Ini kondisi yang cukup menyulitkan. Selama berada di jangkauannya, serangan jarak jauh milik Butcher bisa menjadi lebih kuat dari serangan dekat miliknya. Dan, diriku juga memilih untuk maju untuk menghadapi Butcher ini. Darah-darah bertetesan dari ujung pedangku, diriku melangkah dari anak tangga satu ke lainnya dengan cepat. Diriku mengayunkan pedangku ke belakang dengan satu tangab. Lalu, tepat ketika kakiku menyentuh anat tangga. Dengan cepatnya, diriku mengaktifkan sihir. "sihir tingkat 3, Blank" dimulai dari kakiku, kegelapan muncul dan menyelimtu segala sesuatu yang berada di sekitarku dengan cepat. Termasuk si Butcher. Setelah memastikan bahwa segala undead di sekitarku sudah tertutupi kegelapan ini, suara kebingungan merekapun terdengar. Diriku maju melangkah dengan cepat dan melompat lalu menyerang Butcher dengan tusukan di leher. Setelah diriku menusuknya, diriku langsung menggerakkan pedangku, berusaha untuk memotong habis lehernya. Dirinya sendiri langsung menyerangku dengan sihir dari tangan ketiganya. Karena itu, diriku langsung melepas pedangku dan melompat menghindari serangannya. Karena pergerakannya, butcher ini terpeleset dari tangga dan terjatuh. Diriku terus berlari maju. Setelah beberapa langkah, cahaya kembali menerangiku, diriku berhasil keluar dari kegelapan dari sihir yang kupakai tadi. Yah, mungkin itulah yang kupikirkan akan kulakukan. Tetapi yang keluar hanyalah bayanganku, untuk menarik perhatian para undead. Diriku yang asli melompat dan telah sedang berlari di atas mereka. Bayangan itu sempat membingungkan undead-undead itu selama beberapa saat. Tetapi, si Dornt dan si Elder Lich langsung menyadari keberadaanku dan mengejarku. Sedangkan sisa undeadnya mengejarku karena mengikuti kedua undead ini. Pra Spectre dan Dullahan adalah yang berada paling dekat denganku, para Dullahan ini kebanyakan menunggangi kuda, tetapi, beberapa ada yang berlari dengan kedua kaki mereka. Dan salah satu dari mereka, melempar semacam sihir berbentuk bola hitam. Sihir itu tidak lah dimaksudkan untuk mengenaiku yang berarti itu adlaah semacam sihir pengikat atau sihir dengan jarak kehancuran cukup besar. Diriku yang menyadari sihir itu segera melompat tinggi, tetapi itu sudah terlambat. Setelah sihir itu mengenai lantai, muncul semacam tali berwarna hitam yang langsung mengikat kakiku dan menarikku. Diriku terjebak!?! Bahaya!! Diriku mengangkat pedangku dan memotong tali itu, dan mulai berlari kembali. Sementara itu, para undead sudah berhasil mengelilingiku. Tetapi diriku terus berlari menerjang ke arah undead ini. "Dragon Cutter Technique, Second form, Blood Stream" Menggerakkan pedangku di lantai, menggores lantai ini dengan darah yang tampaknya dapat melelehkan segalanya. Lalu ketika sudah cukup dekat, diriku langsung mengangkat pedang ini, menghasilkan semacam gelombang darah yang dapat memotong dan membelah kumpulan undead yang menghalangi ini dengan aliran darah. Baik, diriku sudah mulai kekurangan darah. Tidak ada darah lyang boleh digunakan lagi. Tentu saja, tidak sepenuhnya undead-undead ini bersih, tetapi ini mungkin sudah sedikit lama diriku di kurung oleh mereka. bila teruus begini, diriku dapat terjebak hampir selamanya. Sekali lagi setelah cukup lama, diriku mencoba merasakan keberadaan setiap Undead di dunia ini. Dan, diriku dapat merasakannya, tali energi yang menghubungkan para undead-undead penggangu ini dengan sihir. Si undead tingkat spesial kedua yang memimpin semua undead disini. Dan objek utama yang akan kuincar terlebih dahulu. Diriku langsung melompat ke atas dan menhampiri tangga-tangga yang berada di sana, dan terus mendekati pemimpinnya. Semua undead yang mengejarku seakan-akan dipicu oleh arah dari pergerakanku. Dan menjadi lebih aktif lagi, meskipun hampir tidak berbeda. Tidak ada satupun undead ciptaannya yang berada diatas, yang berarti diriku hanya perlu menghindari seragnag dari belakang. Bahkan Dornt sekalipun tidak akan menyamai kecepatanku dalam hal seperti ini. Baiklah, diriku akan segera mengalahkannya dan pergi ke tempat kristal biru sialan itu berada. Undead ini mulai bergerak, tentu saja dirinya bergerak. Auranya tidak begitu kuat, dan diriku yakin dapat mengalahkannya. Seorang pemimpin undead memang tidak selalu kuat, mereka hanya pintar saja. Jumlah energi sihir yang kumiliki masih lumayan banyak. Tetapi tubuhku sudah mulai merasakan lelah, sesuatu yang berbahaya di situasi ini. Tetapi masih cukup bila diriku menahan diri. Kecepatan bergerak monster ini lebih lambat dari diriku. Sejauh ini, diriku lah yang paling cepat dari pada seluruh undead-undead ini. Belum ada undead dengan gerakan yang cepat. Itu mungkin menguntungkan, tetapi juga bukanlah kabar yang cukup baik bila di pikir-pikir kembali. Kenapa? Karena, mayoritas undead tingkat spesial dan atas itu diisi oleh mahluk yang cepat. Dan mengingat masih ada sebelas undead tingkat atas lainnya, mungkin saja diriku dapat dibunuh tanpa kesadaranku karena terlalu fokus terhadap undead lainnya. Dirik dapat terbiasa dengan pergerakan ini dan grafitasi yang berubah-ubah itu dikarenakan, kejar-kejaran dan melompat-lompat dari berbagai rintangan merupakan hal yang kulakukan sehari-hari di hutan tanpa matahari. Beberapa waktu berlalu sebuah keanehan terjadi. Diriku benar-benar sangat yakin bahwa, dari tadi diriku berlari menjauhi pintu awal tadi. Tetapi sekarang, diujung mataku, terdapat pintu yang sama persis dengan pintu di awal tadi. Sebenarnya ini juga sedikit aneh, dari tadi diriku tidak dapat merasakan aura keberadaan dari monster yang kukejar ini. Bahkan, dari tadi yang kukejar hanyalah tali energi sihir yang terhubung dengan para undead ini. Tadi, mungkin diriku sempat melihatnya, tetapi tidak dapat mengingatnya dengan baik dan benar. Dan, berdasarkan kata-kata calon wali kelasku itu kristal biru itu berada di ujung dari dunia ini. Tetapi, diriku telah berlari selama lebih dari tiga jam, dengan bantuan dari sihirku. Dunia mana yang memiliki ujung? Dunia itu berbentuk bulat, bahkan bila itu adalah dunia ciptaan, mungkin saja. Dunia ini mungkin lebih kecil dari dunia normalnya, tetapi ini hanyalah dunia ciptaan. Dunia ciptaan manusia pencipta dunia terhebat dalam keadaan serias mungkin lebih luas dari pada ini. Dunia ini bukanlah sebuah dunia dengan uung, diriku belum pernah membaca tentagnya, tetapi itu cukup masuk akal untuk dipercayai. Kebanyakan undead sudah tertinggal jauh di belakang, kecuali para undead tingkat atas dan spesial ini. BIla teroiku tadi benar, maka yang dari tadi kuukejar ini, adalah, kristal itu sendiri!! Tidak adanya undead tingkat atas lainnya mungkin karena memang sudah tidak ada lagi, dan hanyalah alat untuk mengintimidasiku. Sedangkan itu, pemilik dari dunia ini mampu untuk mengendalikan apapun yang ada disini, dan juga menambahkan apapun. Termasuk akal atau bisa dibilang program. Jadi bisa saja, sang pencipta dunia ini menambahkan semacam progam dimana sang krisatal akan mengendalikan ratusan undead untuk membantu undead tingkat atas menghabisiku. Jadi, kristal itulah bentuk dari pemimpin undead ini. Akan tetapi, semua hal itu belumlah pasti, dan bila itu tidak benar, maka diriku tidak akan pernah bisa mencapai ujung dunia lainnya. Mari berharap kalau teoriku itu benar. Diriku masih berlari dan berhasil melihat bahwa teoriku itu benar. Benda yang kukejar ini adalah sebuah kristal biru berbentuk berlian dan berukuran besar, serta mengambang di udara. Berada di inti dari sebuah topan kecil. Diriku bergerak dengan cepat berusaha untuk menyentuh kristal itu, melupakan bahwa ini adalah sesuatu yang mustahil dan sempat lengah. Di kelengahan itulah kejadian tidak diinginkan terjadi. Ketika diriku telah memasuki bagian dari topan kecil yang menyelimuti kristal biru ini. segala undead yang dari tadi berusaa untuk mengejarku tiba-tiba menjadi semakin liar dan liar. Baik. Ketika diriku masuk ke topan ini. pergerakan di topan ini berhenti sepenuhnya. Tampaknya juga luas di dalam topan ini telah diperluas beberapa kali. Diriku saat ini bukanlah berada di sebuah topan normal. Topan ini layaknya daerah aman yang akan melindungiku dari para undead karena ini hanaya bisa dimasuki oleh pengguna sihir biasa atau pengguna sihir suci. Sedangkan sihir gelap tidak dapat masuk, kecuali pengguna...tersebut.........sangatlah kuat!! Salah satu undead disini adalah undead tingkat spesial, undead yang tentu saja sangatlah kuat!! Yang pastinya, diriku segera berbalik dan menyentuh kristal biru ini terlebih dahulu. Para Undead mulai bergerak mengelilingiku, sedangkan diriku berlari menuju kristal biru tersebut, lalu menyentuhkan tangan kananku ke sana. Apa yang terjadi adalah, kristal biru ini mengalami perubahan warna, dari warna biru menjadi biru tua, dan ungu, lalu merah, dan pada akhirnya jingga dan muncul sebuah angka di kristal tersebut, 273. Sebagai catatan, perbedaan kekuatan di dunia ini dibedakan dengan warna. Meskipun warnanya sebenarnya tidak senada, tetapi, beginilah urutannya dari yang paling kuat. Hitam, abu-abu, putih, biru muda, biru, biru tua, ungu, merah, jingga, kuning, dan hijau. Di setiap warnanya terdapat jumlah yang lebih spesifik lagi, yaitu angka. Setiap warna terbagi dalam 1000 angka. Dengan angka terlemah adalah 1. Kekuatan Knight pada umumnya adalah berada di mulai dari warna biru tua. Dan diriku adalah jingga. Merbah warna ke tingkatan yang lebih kuat adalah hal yang susah. Sangatlah susah. Tepat setelah diriku selesai mengetes dengan kristal ini pula. Sang Dornt berhasil memasuki wilayah sekitar kristal ini. Diriku melihat ke belakang dan berhadapan dengan si Dornt. Dornt itu menjaga jarak denganku, dan diriku juga menjaga jarak dengannya. Melihat kesekitar, semua undead seperti ghoul dan zombie telah menghilang. Tersisa para undead tingkat atas, yang mengelilingiku sepenuhnya. Mungkin pilihan terbaik adalah lari dari sini. Tetapi, satu orang undead tingkat spesialbaru yang ternyata benar-benar ada sejak tadi. Seorang undead dengan kecepatan yang dapat mengalahkanku. Seorang undead tipe roh bernama banshee. Tangisannya sudah cukup untuk membunuhku. Banshee ini tidak bisa masuk karena dirinya tidak memiliki energi sihir yang cukup: lya, bahkan bila diriku dan dirinya bertarung dalam pertarungan fisik, diriku pasti akan menang. Tangisannya hanyalah berupa kutukan, dan lagi kutukan itu berbeda dengan sihir Sihir masih bisa dibatalkan dan ditangkal, tetapi kutukan tidak. Selain itu, harga diriku mencegahku untuk keluar tanpa membunuh satupun undead tingkat atas yang ada disini. Jadi, Dornt ini mungkin dapat menjadi objek paling sempurna untuk ku kalahkan. Diriku mungkin akan sekarat setelah pertarungan ini selesai. Dan tampaknya mahluk ini juga ingin mengadakan duel. Dirinya memegang pedangnya dengan kedua tangannya dan membentuk kuda-kuda. Diriku juga melakukannya. Dan bersiap-siap untuk menerjangnya. Menyiapkan sihir kuat, dan form ke-enam dari dragon cutter technique. Catatan terakhir, setiap form dari Dragon Cutter Technique-ku. terdapat tiga macam gerakan, dan total form yang kumiliki saat ini adalah 20. Teknik bertarung itu sangatlah banyak, dan diriku memiliki Dragon Cutter Technique yang kupelajari di hutan tanpa matahari. Dan...... tentu saja diriku akan kalah dalam pertarungan ini Berlanjut Chapter 5 : Somehow, Myself Managed to Win, and Passed the Test. Description: Perang melawan Ras Iblis telah lewat, sekarang adalah perang melawan Ras Naga! Knight, pilar utama dari kekuatan tempur milik ras manusia. Knight adalah kekuatan tempur utama yang dimiliki ras manusia, mereka melalui pelatihan yang sangat ketat dan menjadi sangat kuat. Sehingga, keluarga dari mereka yang menjadi Knight akan disetarakan dengan para bangsawan. Dan mereka akan mendapat jaminan hidup selama sepuluh tahun. Selain itu, mereka yang meraih gelar tertentu maka akan dikenal oleh seisi benua. Seperti yang telah dikatakan, perang dengan Ras Iblis telah berakhir. Setelah 300 tahun berdamai, tanpa diketahui penyebabnya, Ras Naga mendeklarasikan perang dengan manusia. Perang ini termasuk ke dalam perang besar yang dapat berubah kapan saja menjadi perang dunia. Seorang anak bernama James Frize, seorang anak dengan ayah seorang Knight dan ibu seorang Jenderal tinggi Archer dari ras High Elf. Anak ini, mewarisi darah High Elf milik ibunya. Setelah kota tempat tinggalnya diserang, dan kakak perempuannya dibunuh oleh para naga. Dia mulai berlatih sebagai seorang knight. James akan mencari kebenaran keluarga Frize yang disembunyikan oleh leluhurnya. Menghentikan perang, dan mendamaikan kembali ras naga dan ras manusia. * * * Petunjuk membaca: bacalah di setiap kalimatnya dan berhentilah ketika telah mencapai titik, pahami terlebih dahulu kalimat yang kamu baca lalu lanjutkan membaca.
Title: While We Ran Away Category: Novel Text: Prologue “Yoshi! Halo?” “Halo, Yah?” “Yoshi, ibumu … ibumu … ibumu meninggal … dalam … kecelakaan ….” Hari itu … hari itu menjadi hari yang paling menyedihkan dalam hidupku. Aku menerima telepon dari ayah ketika jam istirahat di sekolah berlangsung. Aku hanya sedang duduk di bangku sambil bermain ponsel sebagai melepas penat sehabis pelajaran pertama. Begitu aku mendengar kata meninggal, aku … terdiam, tidak ingin menerima hal ini terjadi. Kenapa … kenapa ibuku harus meninggalkan kehidupanku? Kenapa harus tiba-tiba seperti ini? Aku tidak ingin menghadapi kenyataan kalau jadi begini! Kukeluarkan air mata sambil menaruh ponsel di atas meja. Napasku terasa begitu sesak ketika menghadapi sebuah kenyataan pahit. Aku malah bertingkah bodoh, bukannya menerima kenyataan, tetapi aku menolaknya. Semakin kuat kutolak kenyataan itu, semakin sesak hatiku. Otakku juga ikut seperti dipenuhi badai, pusing. Aku menggeleng sekali lagi sambil menolak kenyataan bahwa ibuku telah meninggal dunia akibat kecelakaan. “Yoshi, lo kenapa?” tanya teman bangku sebelahku. Aku tidak ingin menjawab, aku hanya ingin menangis, menangis sekeras-kerasnya. Aku tidak ingin ibuku pergi untuk selamanya tanpa mengucapkan selamat tinggal. Tapi, kehidupan nyata tidak bisa kuatur sama sekali, sebuah hal yang tidak terduga pasti akan terjadi, entah itu keajaiban, kedatangan, atau kehilangan. Begitu menyakitkan kalau hal tidak terduga adalah kehilangan orang yang paling kusayangi, ibuku. Padahal, waktu itu … aku masih kelas 3 SMP. #1: Tidak Ada Yang Sama Lagi Entah kenapa, waktu memang terasa begitu cepat berlalu, setiap peristiwa terjadi begitu saja tanpa ekspektasi apapun, seperti saat ayah mengurus diriku dan adikku seorang diri. Begitu sulit mengurus anak-anak apalagi sudah ditinggal ibu, memang terasa kurang di rumah. Sejak aku menginjak masa SMA, yang ayah percaya kalau aku sudah bisa bertanggung jawab, kami berdua membagi tugas yang seharusnya seorang ibu kerjakan. Kadang, aku hanya bisa lebih fokus mengerjakannya saat akhir pekan, seperti biasa, mencuci, membersihkan, hingga membereskan rumah. Tetap saja, meski kami berdua mengerjakan segalanya di rumah, kami kekurangan sosok sang ibu. Aku yakin adik perempuanku tetap membutuhkan figur sang ibu sebagai role model dan orang yang bisa diajak bicara, aku tahu perempuan punya urusan rahasia yang harus mereka sembunyikan dari laki-laki. Aku tahu, akhir-akhir ini ayah memang sibuk dengan pekerjaannya sebagai pejabat politik, politik, ya, aku tidak peduli dengan politik sama sekali, entah kenapa. Sering sekali ayahku pulang larut karena padatnya kemacetan di ibu kota ketika perjalanan menuju rumah. Kadang juga, ayah pulang larut karena ada rapat membahas urusan politik, tentu saja, politik, demi masa depan negara. Karena itu, sejak aku menginjak bangku SMA, ayahku membelikan motor bukan hanya sebagai transportasi untukku, tetapi juga memasangkan sebuah tanggung jawab sebagai grown-up, kugunakan sebagaimana mestinya secara bertanggung jawab, jangan main kebut, jangan naik motor tengah malam. Karena ayah sering sekali pulang malam, aku juga harus menjemput adikku sepulang sekolah. Ya, karena tidak ada pembantu di rumah sama sekali, jadi beginilah kehidupan keluargaku. Aku juga rela bolos sekolah kalau adikku jatuh sakit dan tidak bisa pergi ke sekolah. Ya, sebenarnya tetangga juga sering merawat adikku yang jatuh sakit agar aku bisa pergi ke sekolah seperti biasa, tapi tetap saja, aku tetap khawatir pada kondisinya. Kerepotan itu … di rumah … akhirnya harus teratasi ketika ayahku membawa seorang wanita ke rumah. Ayahku tidak pernah bercerita tentang wanita itu padaku sebelumnya, apalagi adikku, sama sekali. Ayahku bilang kalau dia bertemu ketika acara rapat politik. Ayahku ingin menikah sekali lagi dan menjadikan wanita itu sebagai ibu pengganti kami. Aku memang berharap agar kehidupan keluargaku bisa lebih baik sejak kedatangan wanita itu sebagai ibu pengganti kami. Tapi … mungkin tidak sama seperti dulu, memang berbeda rasanya. Seperti kata pepatah, nothing can change the original one. *** “Yoshi! Makan malam yuk!” “Iya, Yah!” Sudah sekitar tiga bulan setelah pernikahan kedua ayah, beruntung, ayahku kadang-kadang bisa pulang lebih cepat daripada sebelumnya. Entah karena dia ingin bertemu ibu baruku, memang terlihat jelas. Dia begitu menikmati menghabiskan waktu luangnya bersama ibu baruku, ya, sering terlihat saat makan malam. Hal yang akan kulihat akan menjadi salah satu contoh begitu mesranya ayah dengan ibu baruku. Memang biasa bagi pemuda zaman sekarang, tapi orang dewasa? Aku bahkan tidak tahu kalau orang dewasa zaman sekarang juga bersikap seperti itu, layaknya memuaskan rasa kangen seperti ketemuan date dan pacaran. Sebelum ayah memanggilku, aku hanya melihat diriku menggunakan ponsel kamera depan. Aku memang tidak suka selfie seperti kebanyakan pemuda zaman sekarang, tapi hanya kali ini aku menggunakan kamera depan untuk bercermin sambil berbaring di tempat tidur. Kulihat diriku memakai kaos oblong putih, rambutku sedikit berantakan mungkin karena aku malas gerak sepulang sekolah. Ya, rambutku pendek, kebanyakan orang bilang rambutku agak spiky, mungkin orang juga bilang warna rambutku hitam kecoklatan. Entah kenapa, aku tidak mendapat komplain dari guru gara-gara warna rambutku. Aku juga ingat bola mata coklat yang kumiliki berasal dari ibuku. Aku bangkit dari tempat tidur begitu ayah memanggil dari luar. Pandanganku tertuju pada meja belajar penuh buku terlebih dahulu sebelum menatap pintu di sebelahnya. Meski ayahku seorang politikus, aku hanya minta kamarku sesederhana mungkin, tidak banyak perabot yang kumiliki di kamar, selain meja belajar, lemari pakaian juga berdiri di sebelah tempat tidur. Aku tidak suka berlebih-lebihan dalam segala sesuatu. Aku melangkah mendekati pintu dan membukanya. Kulihat seluruh keluargaku, ayah, ibu dan adik, telah duduk mennghadap meja makan, menungguku. Biasanya, tidak ada yang boleh makan sebelum seluruh keluarga berkumpul menghadap meja makan, meski hidangan sudah terletak di meja makan, mau itu masakan sendiri, take away dari restoran, atau delivery. Kali ini, lagi-lagi delivery, entah karena orangtuaku malas untuk masak atau tidak, aku tidak tahu. Kulihat sudah tersedia sebungkus ayam goreng kremesan coklat keemasan ditambah sambal lalap, tentu nasi putih ibuku yang membuatnya sendiri dari nol. Begitu aku duduk, ayahku mempersilakan setiap anggota keluarga agar mengambil sepiring nasi dan ayam kremesan itu. Kedua orangtuaku yang duluan mengambil demikian, aku hanya memperhatikan setiap detil bagaimana keluargaku mengambil makan malamnya. Pertama, mereka mengambil nasi secukupnya sesuai dengan selera makan. Kedua, mereka mengambil sepotong ayam sekaligus kremesnya menuju piring. Setelah itu, aku juga melakukan hal yang sama. Ketika aku mengambil makan malam, kutatap sekilas adik perempuanku, Sena. Aku menatap dia hanya menatap ke bawah. Apakah adikku memang sedang menyembunyikan sesuatu? Apakah adikku yang berambut panjang itu sedang menyembunyikan sesuatu di dalam hatinya? Ayahku yang berkacamata itu membujuk Sena, “Ayo makan, Sena.” Sena menggeleng sambil menundukkan kepala. “Enggak. Sena enggak lapar.” “Sena, ya harus makan dong. Ayo makan. Kalau enggak makan, entar enggak bisa tidur lho. Lapar lho pas malam,” ayahku menggunakan sugesti agar Sena mau makan. “Ayo ambil sendiri ya makannya.” Sena tetap bersikukuh tidak ingin makan, piringnya juga masih kosong melompong. Aku jadi tidak enak juga begitu menatap adikku bersikukuh tidak lapar. “Sini, Ibu ambilin ya,” ibuku mengambil piring Sena agar dia bisa mengambilkan seporsi nasi dan ayam kremes untuknya. “Ya, enggak boleh gitu dong. Kok enggak mau makan sih? Kan Sena juga butuh makan, kalau enggak makan entar sakit lho. Kalau sakit, ya enggak enak, kan?” “Tuh, Sena,” ucap ayahku. “Benar kata Ibu lho.” “Ini, Sena.” Ibuku menyerahkan sepiring nasi dan ayam kremes pada Sena. “Ayo makan, ya.” “I-iya, Bu,” ucap Sena. “Cu-cuma … Sena kangen ibu ….” “Nah, ayah juga mau bilang … kita udah lengkap lagi sekeluarga, meski enggak ada yang bisa menggantikan ibu kalian, Yoshi, Sena. Ya, ibu baru kalian itu lagi berusaha buat merawat kalian sebaik mungkin, setidaknya mendekati perilaku ibu kalian.” Aku mengangguk. “Iya, Yah. Yoshi … juga kangen sama ibu. Sama kayak Sena sih. Kadang … Yoshi juga kepikiran pas di sekolah.” “Udah deh, masa lalu biarlah berlalu aja. Enggak baik kita kejebak di masa lalu, yang harus kita hadapi itu sekarang. Sena, Ayah jamin kalau Ibu pasti bakal ngerawat kamu pas Ayah enggak ada di rumah,” ayahku mulai menasihati. “Masih ada Kak Yoshi kok, Sena. Kak Yoshi juga sayang sama kamu.” Aku mengangguk setuju. “Iya, Sena. Kalau ada apa-apa, mending bilang sama Kakak aja, kalau Kakak udah balik ke rumah. Nah, makan ya, biar bobonya nyenyak.” Sena hanya mengangguk tanpa berkata-kata sebelum dia mulai memasukkan sesuap makan malamnya. Tetapi, dia tetap saja tidak berubah. Adikku perlahan memasukkan setiap suap makan malamnya sambil termenung. Aku mengangguk menatap ibuku, Wilhelmina, yang berambut ikal dan berwajah mulus bebas kerutan, seraya menghormatinya sebagai ibu pengganti. Wilhelmina juga membalas senyumku. “Oh, maaf,” ucap ayahku yang bernama Gunawan bangkit dari hadapan meja makan begitu mengambil ponselnya. “Makan aja,” ucap Wilhelmina berusaha mengalihkan perhatianku dari Ayah yang berdiri menghadap meja dan sofa ruang depan. “Iya, Bu,” aku mengangguk. Kudengar ayahku berbicara pada seseorang melalui telepon sambil menikmati setiap suap makan malam. Akhir-akhir sering menjadi begini, semenjak ayah menikahi Wilhelmina, ayah jadi sering pergi pada malam hari dan bahkan rela menginap di kantor. Mungkin karena ayah naik jabatan sebagai pejabat, gajinya tentu begitu banyak. Aku masih saja heran, entah kenapa, ayah tidak ingin menghambur-hamburkan uang hanya demi kemewahan, tidak seperti kebanyakan pejabat, terutama politikus. Ayah hanya ingin mengajarkan kesederhanaan dalam menjalani hidup pada Sena dan diriku. Wilhelmina bertanya begitu ayahku selesai berbicara melalui telepon, “Ada apa? Ada rapat lagi?” “Iya. Rapatnya mendadak. Biasa, membahas masalah lagi,” jawab ayahku. Sena mulai menggeleng sambil meneteskan air mata. “Yah, Sena mau sama Ayah! Sena mau ditemani sama Ayah!” Ayahku menarik napas sambil menemui Sena. “Sena sayang, kan ada Kak Yoshi, kan ada Ibu juga.” “Enggak mau! Sena maunya sama Ayah! Ayah jangan pergi!” Tangisan Sena mulai mengeras. Aku menepuk bahu Sena sambil berusaha menenangkan, “Sena, Ayah kan harus kerja. Rapat kan bagian dari pekerjaan Ayah. Mau enggak mau Ayah harus balik ke kantor. Kalau Ayah enggak hadir, bisa aja Ayah enggak punya pekerjaan lagi. Ayah kan kerja buat cari duit.” Wilhelmina melanjutkan, “Kak Yoshi betul, Sena. Kalau Ayah enggak kerja, duitnya kan buat Kak Yoshi sama Sena sekolah, terus buat kasih makan juga.” “Tuh, masih ada Ibu sama Kak Yoshi,” ucap Ayah. “Sena enggak mau—” ucap Sena masih menangis. “Ah, masa udah gede nangis nih?” ucap Wilhelmina sambil membelai rambut Sena. “Sayang, habisin makan dulu. Bareng anak-anak, kan kasihan Sena.” “Iya. Nanti habis makan, Ayah berangkat, ya. Yoshi, jaga Ibu sama Sena ya.” Aku mengangguk. “Iya, Yah.” Memang, kehadiran Wilhelmina sebagai ibu pengganti tidak dapat menggantikan ibuku yang sesungguhnya. Ayah benar, Wilhelmina telah berusaha sebaik mungkin agar bisa mendekati tingkat kasih sayang sebaik ibuku. Kehidupan keluarga ini memang tidak lagi sama, apalagi ayah sering harus ikut rapat pada malam hari akhir-akhir ini. Kalau saja ibuku masih ada, apakah Sena akan berkelakuan begini? Dia tidak ingin ayahnya pergi rapat? Aku tidak tahu pasti. Ibuku selalu mengisi kekosongan ketika ayah tidak bisa bersama kami di rumah waktu dulu. *** “Kak Yoshi,” panggil Sena ketika aku sedang membaca kembali catatan materi yang akan diujiankan di kamar. Aku berbalik menatap Sena telah berdiri menghadap pintu kamar setelah melepas earphone. “Kenapa, Sena?” “Kak … apa Kakak kangen Ayah juga?” ucap Sena begitu dia memasuki kamarku. “Iya, Kakak juga sebenarnya enggak mau Ayah pergi cuma buat rapat. Ya, apa boleh buat, kita enggak bisa kontrol semau kita sendiri.” Aku akhirnya berpindah tempat duduk dari kursi menghadap meja belajar menuju kasur. Kutepuk bagian kasur sebelah kiri seraya mempersilakan Sena duduk di samping. Kulihat Sena perlahan menghampiriku dan akhirnya duduk di samping. “Sena.” Aku membelai rambut panjang Sena. “Kakak juga kangen Ibu kok, sama kayak Sena. Kakak juga kepikiran sama Ibu, berat sih nerima ibu baru.” Sejujurnya, aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan Sena. Aku tidak sepandai Ayah dan Ibu yang sering memberi nasihat atau saran pada anak-anaknya, termasuk diriku. Kata-kata Ayah dan Ibu kadang lebih mengena perasaan anaknya, mau itu menerima atau tidak. Mau itu nada menegur, marah, atau senang, nasihat tetaplah nasihat bagiku. Memang berat kalau yang memberi nasihat itu sambil meninggikan nada, seakan-akan kamu ingin tampar dengan bentakan. Aku pun melanjutkan berbicara, “Oh ya, Sena masih ujian besok enggak?” Aku berusaha agar pikiran Sena teralihkan dari kangen Ayah selama semalam menuju hal yang terpenting selama akhir semester, ujian akhir. Aku yakin, dengan begini, Sena akan teralihkan fokus sedikit demi sedikit, apalagi dari kerinduan ibu kami yang tak pernah bisa tergantikan, terutama Wilhelmina sekali pun. “M-masih, Kak,” jawab Sena. “Mau Kakak bantuin enggak? Mungkin Kakak bisa bantu nih.” Sena menggeleng. “E-enggak usah, Kak. Sena … mau belajar sendiri.” “Sena, kalau misalnya susah ngertinya, mending Kakak bantu deh.” “Enggak apa-apa,” jawab Sena polos. “Kakak juga besok masih ada ujian, jadi Kakak juga harus belajar.” “Iya juga.” Aku menggesekkan rambut bagian kepalaku. “Udah ya, Kak. Sena mau ke kamar dulu ya.” Sena bangkit dari tempat tidurku. “Iya, kalau ngantuk, tidur aja ya. Jangan dipaksa buat belajar!” Itulah pesanku untuk Sena sebelum dia meninggalkan kamar. Aku tercengang ketika menyadari ada sesuatu yang berbeda pada Sena. Bukan perasaannya, tetapi … aku melihat ada sebuah warna yang berbeda di bagian belakang lehernya. Aku tidak begitu memperhatikan bagaimana ukurannya. Entah kenapa, aku jadi merinding ketika mengingat kembali. Apa yang sebenarnya terjadi pada Sena? Nanti akan kutanyakan, tidak enak kalau aku memasuki kamarnya dan menganggunya belajar untuk ujian. Aku juga masih ada ujian besok.. Kuharap, tidak akan terjadi apa-apa pada Sena, apalagi yang tidak-tidak. #2: Hal yang Tak Kuketahui “Eh, Yoshi, besok lo kosong kan pulang habis ujian? Futsal yuk!” seru salah satu teman sekelasku. Besok, ujian akhir semester memang akan berakhir, tentu ini jadi kesempatan agar bisa melepas rasa penat dan panas sehabis berlama-lama pusing memikirkan belajar dan mengeluarkan jawaban pada setiap soal. Tentu aku tahu setiap orang pasti akan tercemar oleh rasa penat karena harus terus menerus belajar demi ujian, apalagi lolos dari standar kelulusan. “Yoshi? Ikutan futsal enggak besok?” lelaki berkulit sawo dan berambut hitam agak gondrong itu bertanya lagi padaku. “Enggak kayaknya,” jawabku. “Ah! Kok kagak sih? Lo kalau diajak futsal gitu aja jawabnya, lo jarang sih ikutan futsal.” “I-iya juga. Gue … soalnya … harus ngejaga rumah sama adik.” “Ah! Santai aja lah! Paling ada nyokap lo yang jaga rumah, nyokap lo enggak kerja, kan?” “Entar … gue pikirin dulu.” “Nanti LINE aja paling kalau lo bisa! Duluan!” temanku akhirnya pamit. Kulihat beberapa bangku di belakangku satu per satu mulai kosong, menurutku wajar, sangat wajar. Pasti setiap siswa di kelasku pulang duluan karena tidak ingin berlama-lama hang out sehabis ujian berakhir, aku tidak tahu apa mereka juga akan langsung belajar atau malah malas gerak di rumah, atau mungkin mereka bakal hang out di tempat lain, mungkin sambil belajar. Aku bangkit dari bangku sambil mengambil tas ransel hitam. Aku memang salah satu siswa yang duduk di bangku barisan depan, mungkin karena aku tidak ingin ikut keributan siswa di barisan belakang, memang wajar. Begitu aku melangkah menuju pintu yang terletak di samping kanan, kulihat layar ponselku menunjukkan pukul 11:05 dan notifikasi WhatsApp dari Ayah. Seperti biasa, sehabis aku pulang sekolah, biasanya Ayah mengingatkan untuk menjemput Sena, lebih sering kalau Ayah akan pulang terlambat. *** Anak-anak berseragam kemeja putih dan rompi merah berlalu meninggalkan halaman sekolah yang kukunjungi. Di sini adalah di mana Sena bersekolah. Aku memang menunggu sambil memegang setir motor di depan pintu gerbang sekolah. Kulihat beberapa anak begitu ceria dan berseri-seri berjalan bareng teman-teman mereka sambil bercengkrama, ada juga yang seperti melompat-lompat mengekspresikan kepolosan mereka, menginjakkan kaki pada lantai bebatuan abu-abu, mungkin karena ujian akhir semester akan berakhir besok. Kupandang pintu gerbang sekolah berwarna merah yang diimpit pagar batu-bata merah terbuka lebar. Seluruh anak-anak yang keluar dari halaman sekolah satu per satu menemui orangtua atau masuk ke mobil jemputan. Salah satu mobil jemputan memang ada di dekat sepeda motorku. Sampai-sampai aku juga memutar sebuah kilas balik waktu masih SD, aku memang harus naik jemputan karena Ayah memang sibuk bekerja dan Ibu tidak bisa mengemudi mobil. Aku kangen masa-masa saat aku bisa tersenyum lebar seperti anak-anak polos, begitu menyenangkan. “Kak!” Sena membuyarkan lamunanku dari sebelah kanan. “Oh!” ucapku terkejut. “Kagetin aja, Sena.” “Sena ujiannya tinggal besok, Kak.” Aku bisa menatap senyuman lebar Sena begitu dia berkata. “Iya, Kakak juga ujian terakhir besok.” Aku mulai bangkit dari tempat duduk motorku. “Nah, pulang yuk. Enggak enak kalau lama-lama di sini.” Aku mulai mengangkat tubuh Sena untuk menaikkan dirinya menuju tempat duduk belakang motor, tepat di belakangku. Agak berat jika kuangkat Sena tinggi-tinggi. Ketika aku menempatkan Sena pada tempat duduk belakang motor, aku tercengang ketika menatap sesuatu. Sesuatu yang sama persis ketika kulihat tadi malam, sebuah warna berbeda dari kulitnya, kulit polosnya, aku tidak begitu tahu apakah warna itu merah kecoklatan atau ungu keabu-abuan. Aku menyadari ada yang salah. Aku bertanya, “Sena, Kakak mau tanya. Ini kenapa ya?” Aku menunjuk warna itu pada bagian belakang leher Sena. “Yang mana, Kak?” “Yang ini,” Aku menekan bagian warna berbeda pada bagian belakang leher Sena. “Sakit enggak?” “Oh. Um … waktu itu … Sena kepeleset, Kak. Ibu … lagi ngepel. Sena-nya enggak hati-hati.” “Gitu. Kalau Ibu lagi ngepel, lain kali jangan lari-lari ya,” aku menasihati sambil mengambil helm biru dari bagian bawah setir motor. “Iya, Kak,” ucap Sena ketika aku memakaikan helmnya. “Gitu dong!” Aku kembali duduk di depan setir motor dan memutar kunci seraya menyalakan mesin. Kudengar suara seperti bebek menandakan mesin telah menyala. Kusuruh juga Sena agar memegangku erat. “Oh ya, mau makan dulu enggak sebelum pulang?” tawarku. “Um … terserah.” “Iya deh. Kita makan dulu ya! Kakak yang bayar!” Aku mulai menginjak pedal gas untuk meluncur dari halaman sekolah Sena meninggalkan trotoar menuju jalan aspal. *** “Permisi, Kak, pesanannya,” seorang pelayan wanita berseragam kaos hijau bercelemek hijau membawakan pesanan berupa sekeranjang tujuh potong chicken wings, dan dua keranjang berisi nasi putih, serta setoples plastik saus keju cheedar. “Silakan.” Kami sedang berada di salah satu restoran chicken wings ternama, motif hijau menjadi bagian atas dari dinding depan yang terbuat dari kaca. Dinding di dalamnya terbuat dari batu bata. Warna abu-abu menjadi dominan pada dinding dekat kasir. Aku dan Sena duduk di meja dekat wastafel cuci tangan yang dibatasi oleh dinding batu bata coklat. Kami duduk di bench berwarna krem layaknya sebuah kayu dengan bantalan empuk warna abu-abu. Pesanan kami mendarat di meja kayu kuning kecoklatan. Kulihat masing-masing dari chicken wings yang kami pesan telah terselimuti oleh bumbu barbeque berwarna coklat, terlihat begitu krispi dan menggugah selera, apalagi bagi Sena yang sudah tidak sabar ingin mencicipi chicken wings itu. Kubagi chicken wings menuju masing-masing sekerajang nasi. Kuberi Sena empat chicken wings, dan untukku tiga chicken wings. Kugunakan sendok dan garpu plastik untuk memindahkan setiap chicken wings menuju masing-masing keranjang nasi. “Sena, makan dulu,” kubujuk Sena yang sedang bermain game di ponselku. “Iya, Kak,” ucap Sena. Aku mulai memotong satu chicken wings berbumbu barbeque. Potongan kecil chicken wings itu kucocol pada saus keju cheddar berwarna kuning. Begitu potongan chicken wings barbeque bercampur keju itu masuk ke dalam mulut, suara crunchy bisa kudengar ketika mulai menggigitnya. Rasa asin manis dari bumbu barbeque pada chicken wings pun mendarat dan meresap pada lidah, tidak lupa dengan rasa manis saus keju cheddar. Kulihat Sena begitu menikmati sesuap potongan besar chicken wings yang telah dia cocol pada saus keju. Sampai-sampai dia menggigit kulit crunchy chicken wings-nya begitu keras. “Enak … banget, Kak!” ucap Sena. “Iya, emang enak banget chicken wings sini,” ucapku blak-blakan. “Emang Kakak sering ke sini?” “Sebenarnya sekali sih, pas Kakak diajak ke sini sama teman. Ya, udah lama kita enggak makan-makan di luar bareng Ayah sama Ibu nih. Jadi Kakak ngajak kamu ke sini buat ngerasain chicken wings enak ginian.” “Oh ya, Kak, kapan-kapan kalau ke sini lagi, bareng Ayah ya! Oh ya, Ibu juga!” bujuk Sena. “Iya, kalau Ayah enggak sibuk ya. Terus … harus janji lho, Sena bakal belajar giat malam ini, kalau nilai Sena bagus, mungkin Kakak bakal bilang sama Ayah buat makan bareng di sini sekeluarga kapan-kapan. Janji ya?” “Iya, Sena janji,” ucap Sena sambil menikmati satu chicken wing lagi sampai mulutnya mulai terselimuti bumbu barbeque. Meskipun aku menatap Sena menikmati setiap potong chicken wing berbumbu barbeque, aku masih saja memikirkan warna berbeda pada leher bagian belakang Sena. Mungkin Sena memberitahuku kalau dia hanya terpeleset saat lantai sedang dibersihkan, tetapi entah kenapa … aku merasa ada sesuatu yang lain di balik itu. Entahlah apakah hanya perasaanku. “Kakak kenapa?” Sena membuyarkan lamunanku, mungkin karena aku berhenti makan sejenak. “Oh, enggak apa-apa, Sena. Makan aja. Habis ini, kita langsung balik ya! Kakak mau langsung belajar buat besok.” *** Begitu lelah ketika aku harus berlama-lama menatap catatan pelajaran yang akan muncul di ujian akhir besok. Mataku entah kenapa mulai menutup bersamaan dengan tubuhku yang lemas. Mungkin aku mengantuk pada awal malam ini. Kusudahi belajar untuk ujian besok, tidak baik kalau harus terus memaksa otak untuk menyerap semuanya saat sudah waktunya istirahat, mungkin kebanyakan dari temanku akan menunggu hingga tengah malam tidak peduli lelah atau tidak hanya untuk mengebut belajar semalaman. Kututup buku catatan salah satu pelajaran yang akan diujiankan besok, dua ujian terakhir sebelum semester berakhir. Aku bangkit dari meja belajar dan melangkah menuju tempat tidur. Entah kenapa, aku hanya ingin tidur meski aku harus belajar lebih banyak lagi agar ujian besok dapat berjalan lancar. Apa boleh buat, tubuhku tidak dapat menahan kelelahan yang entah kenapa tiba-tiba datang saat aku sedang belajar. Mungkin ujian tadi di sekolah benar-benar menguras fisik dan mental, rumus-rumus yang begitu sulit untuk diterapkan mungkin jadi pemicu energiku habis. Aku berbaring di tempat tidur, entah kenapa mataku langsung tertutup. Mungkin karena terpicu kelelahan. Aku tidak begitu ingat lagi apa saja yang kulakukan sebelum terlelap, aku tiba-tiba seperti kehilangan kesadaran begitu saja. Aku mendadak terbangun ketika mendengar suara keras, suara jeritan diiringi oleh isak tangis pun meluncur menuju telingaku, entah ini seperti alarm pembangun tidur atau bukan, perasaanku mulai merinding. Hal yang lebih parah ketika kudengar seorang ibu-ibu menjerit begitu keras, meluapkan seluruh ledakan emosi terpendam. Kerasnya volume jeritan sang ibu bahkan mencapai rumahku, kamarku sendiri. “NGAKU KAMU! NGAKU! KAMU YANG NYURI UANG, KAN!” jerit ibu-ibu itu Kudengar juga suara seperti cambukan, mungkin tebasan sapu lidi atau semacamnya yang bisa dijadikan senjata hukuman. Jeritan korban, anak kecil, tidak berdaya menghadapi hukuman ibu itu, tangisannya juga ikut meledak senada dengan jeritan kemarahan ibu itu. “SAKIT, BU! SAKIT! AMPUN!” “NGAKU! NGAKU!” #3: Kebenaran yang Tersembunyi Mungkin aku punya begitu banyak beban di pikiran karena ujian akhir semester terakhir yang akan diadakan pada hari ini adalah pelajaran tersulit bagi kebanyakan siswa sepertiku. Tak heran, pelajaran itu ditempatkan paling akhir dalam jadwal ujian, sebenarnya ini tidak membuatku terkejut sama sekali. Apa boleh buat, aku tidak memaksakan diri agar terus membaca materi ujian semalaman karena begitu lelah, entah mengapa. Aku juga tidak begitu yakin apakah semua materi berupa rumus dan konsep juga telah masuk secara permanen ke dalam otakku. Mungkin saja aku kehilangan ingatan tentang materi ujian ketika menatap beberapa soal nanti, seperti lampu terang terlalu menerangi panggung saat tampil atau bertanding. Aku hanya duduk menikmati sarapan berupa roti isi selai cokelat hazelnut, cukup untuk membuat perutku terisi setelah sarapan, aku memang tidak sarapan nasi ditambah lauk pauk seperti kebanyakan orang. Manisnya selai cokelat hazelnut menyelimuti tawarnya roti begitu potongannya masuk ke mulutku. Biasanya Ayah berangkat pagi-pagi sekali, katanya urusan kantor, begitulah kerjaan pejabat politik, sekali lagi, aku tidak begitu peduli terhadap politik, apalagi ketika beberapa kabar negatif masuk berita, terutama tentang penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi dan menyepelekan tanggung jawab terhadap negara. Aku hanya berharap semoga Ayah tidak pernah terjerumus pada sisi gelap politik nasional. Aku tahu Ayah telah mengajariku hidup sederhana meski punya banyak uang hasil dari gaji pejabat politik. Aku sama sekali tidak peduli apa pekerjaan ayahku meski pun sekali-kali bangga. Begitu aku selesai memakan roti isi selai cokelat hazelnut, kulihat Sena baru saja keluar dari kamarnya sambil membawa tas dan sudah berpakaian seragam sekolah. Tetapi, ada hal yang biasanya tidak kulihat pada Sena. Aku seperti terhenti ketika menatap Sena perlahan-lahan mengambil langkah kecil sedikit demi sedikit hanya untuk melangkah mendekati meja makan. Tetapi, hal yang membuatku terhenti bukan hanya itu. Kulihat juga warna yang berbeda pada sekujur tubuh Sena, hampir sama persis ketika kulihat kemarin, tetapi mungkin saja ini berbeda. Kulihat beberapa goresan terlihat pada tangan Sena meski dari jauh. Aku berdiri dari tempat duduk untuk melihat lebih jauh terhadap warna yang berbeda pada kulit Sena. Goresan yang kulihat seperti sayatan pisau tapi tidak dalam sama sekali. Kulihat pula warna merah kecoklatan atau ungu keabu-abuan mulai bertambah, terutama pada lengan mengiringi beberapa goresan. “Sena?” panggilku ketika aku menyentuh lengan Sena. “Ini … kenapa ya?” Kulihat juga Sena hanya menatap ke lantai sambil berjalan tadi, dia tidak menatapku ketika dia akan mengutarakan jawabannya. Entah kenapa, aku hanya merasa kalau Sena memang sedang … tidak bersemangat. “Sena … tadi malam … pengen ngupasin mangga sendiri, tapi … malah kena pisau kulitnya. Terus … tangannya malah kena tembok.” Entah kenapa, jawaban Sena tidak dapat kuterima sesuai dengan kenyataan pada dirinya. “Kemarin … dapat mangga dari teman, mangganya belum dikupas sama dipotong.” Aku secara impulsif bertanya balik, “Kok enggak tanya Kakak sama Ibu? Kan bisa Kakak kupas buat Sena.” “Kakak sama Ibu … udah tidur, takutnya ngeganggu.” “Ya udah, lain kali, kalau mau minta kupas sama potong, bilang ya sama Kakak atau enggak Ibu. Pisau kan tajam banget. Makan dulu, Kakak udah bikin roti. Habis makan, kita berangkat.” “Iya, Kak,” respon Sena sebelum mengambil satu roti isi selai cokelat hazelnut. SAKIT, BU! SAKIT! AMPUN! NGAKU! NGAKU! Entah kenapa, bentakan semalam terputar kembali di dalam otakku, apalagi jika melihat kondisi Sena seperti ini. Apakah … anak kecil yang menjerit tadi malam itu benar-benar Sena? Terus … siapa ibu-ibu yang membentaknya semalam? Ah, tidak. Tidak mungkin itu Sena. Aku terpikir kalau itu bentakan dari tetangga sebelah tadi malam. Bentakan yang begitu keras hingga membangunkanku semalam, aku ingin menegur mereka, tetapi entah kenapa aku hanya ingin tidur lagi, mempersiapkan diri untuk ujian hari ini. “Eh? Kok belum berangkat?” Ibu tiriku menemui kami begitu melangkah dari kamar. “Udah siang, nanti telat dong datangnya. Apalagi ujian terakhir kan.” “I-iya, Bu,” jawabku sebelum berbalik pada Sena. “Sena, makannya cepat ya. Kita bentar lagi berangkat!” *** Sebuah bel berbunyi terompet berdering sebanyak tiga kali, pertanda bahwa ujian hari ini telah selesai. Ujian pelajaran tersulit di sekolah, bagi kebanyakan siswa SMA, akhirnya selesai juga. Begitu guru pengawas mengumumkan agar kami mengumpulkan lembar jawaban dan soal serta menghentikan aktivitas mengotret dan menjawab beberapa soal tersisa, aku menatap kembali lembar jawaban, semua soal berbentuk pilihan ganda. Aku sudah membulatkan setiap jawaban yang kuyakin benar atau hanya sekadar tebak-tebakan pada setiap soal di lembar jawaban. Aku baru saja selesai mengerjakan soal terakhir begitu ujian berakhir. Beberapa keluhan dari sesama siswa bisa kudengar setelah kami mengumpulkan lembar jawaban dan soal pada guru pengawas. Terlebih, keluhan blak-blakan terdengar lebih keras ketika guru pengawas telah meninggalkan kelas. “Ah! Susah banget!” “Udah pakai rumus gini, terus jawabannya enggak ketemu lagi. Harusnya enggak ada jawaban yang benar!” “Pusing tahu mikirin angka sama rumus!” Ya, sudah biasa, keluhan seperti ini memang umum pada akhir ujian pelajaran tersulit di sekolah bagi kebanyakan siswa. Pikiran sudah terkuras, apalagi batas kesabaran terhadap materi pelajaran berupa rumus dan teori sudah mencapai batasnya ketika ujian. Aku tahu, ujian tadi benar-benar membuatku berputar-putar. Tapi, alasan mengapa aku memberi jawaban tebak-tebakan dalam beberapa soal bukan hanya karena aku menghabiskan banyak waktu mengerjakan beberapa soal lain, terutama soal yang setidaknya bisa kukerjakan meski begitu sulit, tetapi juga kilas balik semalam terputar kembali di dalam otakku. “Yoshi!” teman bangku sebelah menepuk pundakku, tentu dia adalah teman yang mengajakku untuk main futsal dari kemarin. “Futsal yuk sore ini!” “So-sorry, gue … harus jaga adik di rumah,” aku membuat-buat alasan agar bisa mengawasi Sena di rumah, terlebih aku juga telah memikirkan ada hal yang seharusnya tak kupikirkan ketika mengingat jawabannya terhadap pertanyaanku. “Please lah! Enggak rame dong kalau lo enggak ikutan!” seru temanku. “Habisnya adik gue sendirian di rumah,” jawabku sambil mengambil ponsel. Kulihat layar ponsel menunjukkan notifikasi panggilan tak terjawab dan pesan masuk di WhatsApp, kali ini, ayahku sekali lagi mengirimkan sebuah pesan yang membuatku tercengang hingga tidak bisa berkata-kata sejenak. Aku seperti kehabisan napas ketika menatap setiap kata pada pesan dari Ayah. Yoshi, cepat ke sekolahnya Sena. Gurunya nelpon dia pingsan habis ujian. Sena lagi di UKS Sena pingsan? Tunggu … kenapa? Aku tidak bisa percaya hal ini terjadi! Aku jadi begitu khawatir begitu mendengar kabar dari Ayah, apalagi Ayah sedang tidak bisa ke sekolahnya Sena karena urusan kantor seperti biasa. Secara cepat, aku buru-buru mengambil tasku dari bawah meja, tidak ingin menunda lagi untuk menemui Sena di sekolahnya, apalagi dia tidak sadarkan diri setelah ujiannya berakhir. “Yoshi, kenapa?” tanya salah satu teman sekelas yang berdiri di dekat pintu. “Gue … jemput adik, gue duluan!” aku pamit. *** Aku segera memasuki ruangan UKS sekolahnya Sena setelah terburu-buru masuk gedung sekolah. Tidak ingin teralihkan oleh setiap anak SD sebaya dengan Sena berjalan menikmati akhir dari ujian akhir semester, aku hanya mempercepat langkah mencari UKS, jika perlu, aku juga bertanya pada anak-anak itu agar mempertunjukkan jalan ke sana. Aku pun tiba di UKS ketika menatap pintu bertanda segitiga hijau di dekat tangga menuju lantai atas. Begitu kulewati pintu masuk UKS, sudah terlihat guru berjilbab merah jambu tengah menemani Sena yang terbaring di salah satu tempat tidur bersprei biru. Ruang UKS di sekolah Sena kulihat memiliki dinding keramik coklat pada bagian bawah dan cat putih pada bagian atas ruangan, tiga tempat tidur yang terpisah oleh gorden hijau di hadapanku, dan beberapa reminder tentang kesehatan berupa poster tertempel di dinding. Dengan cepat, aku melangkah mendekati tempat tidur paling kanan yang tengah Sena tumpangi. Guru berjilbab merah jambu yang tengah mengawasi Sena pun berbalik menatapku. Aku segera memperkenalkan diri, “Sa-saya kakaknya Sena, Bu. Saya Yoshi.” Aku begitu malu ketika aku harus mewakili Ayah agar menjemput Sena, terutama ketika dia mendadak lemas seperti ini, terlebih aku masih memakai seragam sekolah terbungkus oleh jaket hitam. Entah kenapa, aku merasa begitu canggung ketika menemui guru SD yang tengah mengawasi Sena di UKS. “Oh, Kakaknya Yoshi ya?” balas guru berjilbab merah jambu itu. “Tadi … pas waktu ujian mau beres … Sena pingsan. Kayaknya kecapekan. Terus … pas diantar ke UKS, kelihatan ada luka semacam memar begitu di tangan Sena.” “Terus … ujiannya gimana?” tanyaku secara impulsif. “Ya … dia sebenarnya udah isi semua jawabannya,” jawab guru itu. “Ibu mau tanya ya. Ini Sena kenapa ya sampai luka-luka begitu? Terus … dia kelihatannya kurang tidur.” “Ta-tadi, kata Sena, dia pengen ngupas mangga tadi malam, terus malah kena pisau,” aku jawab sesuai dengan apa kata Sena tadi pagi. “Kak Yoshi, Ibu minta maaf kalau nanya begini. Apa … ada masalah di rumah?” Ketika pertanyaan guru itu terlontar dari mulutnya, sekali lagi pikiran bentakan antara ibu-ibu dan seorang anak perempuan kembali berputar di dalam pikiranku. Aku juga menatap warna pada lengan Sena masih sama seperti tadi pagi. Apakah ini penyebab Sena pingsan? Apakah semalam Sena memang kurang tidur gara-gara sesuai dengan hal yang kupikirkan? Apakah Sena memang anak perempuan yang kena bentak dan cambukan sapu lidi atau semacamnya semalam? Ah, itu hanya pikiranku. Tidak mungkin Sena menjadi korban. Lagipula, seingatku, bentakan itu terdengar keras dari sebelah, mungkin dari tetangga. Aku … mungkin ingin menghentikannya, tetapi … aku terlalu lelah sehabis belajar untuk ujian tadi. “Ibu minta maaf ya kalau nanya begini, kalau tidak mau jawab—” Aku memotong ucapan guru itu, “Bu, maaf menyela. Sebenarnya … enggak ada masalah di rumah.” “Begitu. Di rumah, tinggal sama siapa aja?” “Tinggal sama Ayah sama Ibu. Sebenarnya ibu tiri, Ibu udah meninggal.” “Oh … Ibu turut prihatin. Ya sudah, kalau mau sendiri sama Sena, Ibu keluar dulu ya.” “Iya, Bu. Terima kasih banyak sudah menghubungi ayah saya,” ucapku ketika guru berjilbab merah jambu itu melewati pintu keluar UKS. Aku menemui Sena yang masih terbujur kaku di tempat tidur biru. Kutatap kembali warna memar pada kulit lengan Sena. Kupegang juga lengannya, tetapi entah kenapa terasa ringan, mungkin Sena sedang lemas sehabis pingsan saat ujian. “Sena enggak apa-apa, kan?” tanyaku. Sena mengangguk sambil membuat senyuman. “Sena enggak apa-apa, Kak.” “Sena, kalau ada apa-apa di rumah. Bilang aja sama Kakak ya. Kakak tahu kalau Sena ada masalah, ya kalau emang enggak mau ngomong, Kakak enggak bakal maksa. Entar, kalau mau ngomong, Kakak pasti dengar. Kakak janji, Kakak bakal ngebantu Sena. Asal, Sena jujur ya. Kan … bohong enggak benar.” “I-iya, Kak. Sena janji.” “Nah, gitu dong adiknya Kakak. Mau pulang sekarang? Kan istirahat di kamar bisa. Atau mau di sini dulu bentar?” “Na-nanti pulangnya. Sena kayaknya masih capek.” “Iya. Kakak temani ya,” ucapku tersenyum. Aku duduk di kursi menghadap kasur Sena sambil mengeluarkan ponsel, menatap layar telah mengeluarkan notifikasi berupa pesan masuk lewat LINE, seperti biasa, dari temanku dan juga grup kelas. Kubuka aplikasi LINE untuk membaca pesan masuk dari temanku, ya teman bangku sebelahku di kelas. Kudapat pertanyaan sama persis seperti waktu di kelas sebelum pulang. Lagi-lagi dia mengajakku untuk bermain futsal, katanya tidak seru kalau aku tidak ikutan. Ah, apakah ini yang namanya memaksa? Katanya mulainya nanti sore, aku begitu bingung. Aku bukanlah penggemar olahraga manapun, apalagi sepak bola atau pun futsal. Jangan heran kalau aku selalu menolak untuk bermain futsal setiap sehabis pelajaran olahraga. Penyebab mengapa aku tidak begitu suka olahraga adalah pemaksaan dari Ayah ketika dia belum sesibuk sekarang. Ayah selalu memaksa agar aku ikut berolahraga bareng sepupu yang datang atau hanya teman sekalipun, bahkan berenang saja aku tidak ingin ikutan sampai harus dibentak agar aku mau. Sebenarnya, aku tidak begitu dekat dengan Ayah. Aku memang dekat dengan Ibu waktu dulu. Mungkin karena Ayah begitu sibuk dari pagi hingga malam kerja dalam bidang politik, apalagi sekarang sebagai salah satu pejabat. Aku paham pelajaran yang selalu kuingat dari Ayah adalah tetap hidup sederhana, tidak peduli aku punya berapa banyak uang. Ibu juga dulu mendukung pendapat Ayah seperti itu. Notifikasi pesan dari grup ekskul English Club membuyarkan lamunan tentang masa laluku. Kubuka pesan itu dan membacanya. Oh tidak, rapat? Rapat mendadak setelah ujian berakhir? Mendadak sekali. Kalau saja diberitahu lebih awal, aku akan menghubungi ibu tiriku agar menjemput Sena dan mengantarnya pulang. Apa boleh buat, akhirnya aku memutuskan. “Sena, Kakak antar kamu pulang sekarang ya. Kakak harus balik ke sekolah lagi, ada urusan teman sih. Udah baikan, kan?” tanyaku. “I-iya, Kak.” Sena bangkit dari posisi berbaring di tempat tidur. “Bisa turun sendiri ya?” Sena menghentakkan perlahan kedua kaki pada lantai putih ruang UKS sekolahnya, setidaknya dia baik-baik saja setelah apa yang dia telah alami selama ini. Dia … benar-benar gadis kecil tangguh meski memiliki beberapa goresan dan beberapa warna berbeda pada kulit. “Enggak apa-apa kalau Yoshi enggak di rumah bareng Sena?” Aku hanya ingin memastikan. Kupandangi Sena kembali menatap ke arah lantai putih. Entah kenapa, aku merasa kalau Sena begitu sedih jika kutinggal di rumah sendirian bersama ibu tiriku, apalagi ketika dia menggeleng pelan. “Kenapa? Kakak cuma bentar kok,” aku mencoba untuk menenangkan Sena. Sena menjawab sambil menyamarkan ekspresinya dengan senyuman, “Eng-enggak apa-apa, Kak.” “Oke deh. Pas Kakak pulang, entar Kakak beliin keripik kesukaan Sena ya. Asal, Sena nunggunya sabar ya.” “I-iya, Kak.” “Ayo, berangkat sekarang yuk,” ajakku ketika kami berdua mulai menghadap pintu keluar UKS. #4: Menerima Kenyataan “Semester ini project kita bisa dibilang sukses, nge-dub sinetron ke bahasa Inggris. Terus ada yang ngomong kalau project kita semester berikutnya mesti bikin parodi sinetron berbahasa Inggris nih! Kayaknya seru nih!” ucap ketua English Club berjilbab putih yang berdiri membelakangi papan tulis menghadap setiap anggotanya, termasuk aku. “Wow! Parodi sinetron nih! Gimana kalau kita bikin lucu-lucuan, seru tuh kayaknya!” seru salah satu anggota lelaki. “Rame dong kalau kita main sinetron sendiri!” seru gadis berambut pendek berbando. Sebenarnya, alasan aku mengikuti English Club adalah atas permintaan Ayah. Ayah selalu bilang masa depan seseorang pada zaman sekarang akan lebih cerah jika menguasai bahasa Inggris. Memang, zaman sekarang globalisasi benar-benar berpengaruh pada masa depan, terutama favorit remaja saat ini, mulai dari game, drama Korea, anime, hingga musik. Pengaruh globalisasi terhadap dunia kerja dan dunia pendidikan tentu juga berlaku. Kegiatan English Club di sekolah diadakan di salah satu ruang kelas, seperti ekskul lainnya, kecuali klub olahraga seperti sepak bola, futsal, hingga basket. Pada siang hari, umumnya ruangan kelas digunakan oleh ekskul tertentu, karena tidak ada ruangan khusus. Setidaknya, ekstrakurikuler bisa jadi menambah atau mengurangi beban pada otak sehabis kegiatan belajar mengajar di sekolah. Lumayan buat mengisi kegiatan sehabis menyerap setiap pelajaran berupa teori berat yang menjadi beban berat di otak. Sisi positif lainnya, berkat mengikuti English Club, nilai pelajaran bahasa Inggris-ku benar-benar tinggi, bisa dibilang, nilaiku bersaing dengan beberapa murid ranking atas yang biasanya memiliki nilai tinggi di setiap pelajaran. Sebenarnya, aku aktif jika guru memberi seisi kelas pertanyaan atau setidaknya salah satu dari kami memanfaatkan kesempatan untuk bertanya. Tapi, rapat English Club kali ini … aku sangat tidak fokus. Aku masih terpikir bagaimana keadaan Sena, setelah melihat kejanggalan yang terbukti pada warna sebagian kulitnya. Aku juga masih membingungkan apakah Sena berkata jujur jika menjawab pertanyaanku. Apakah Sena benar-benar memendam sesuatu yang tidak ingin dia ucapkan? Apakah Sena memang baik-baik saja? Mungkinkah … Sena adalah gadis yang menjerit meminta ampun tadi malam? Ah! Kenapa aku jadi kepikiran begini? Tidak mungkin! Tidak mungkin Sena terluka gara-gara itu! Tapi … kalau dipikir-pikir juga, luka gores pada Sena, terus … semacam warna ungu atau abu-abu pada kulitnya, terutama bagian lengan dan leher. Terlebih, Sena juga pingsan saat ujian tadi mau selesai. “Tapi kan … gimana kalau kita nge-dub sinetron lagi? Ya, bisa dibilang ngebikin parodi sinetron sendiri, butuh biaya juga buat properti,” ucap salah satu anggota perempuan mengangkat tangan. Salah satu anggota lelaki mengangguk setuju. “Benar juga. Iya, kan, Yoshi!” Dia membuyarkan lamunanku. “Eh? Apa? Jadi … kita mau ngapain nih?” Benar-benar canggung, aku malah tersesat di dalam lamunanku. “Yoshi, Yoshi, dasar. Lo kerjaannya melamun aja!” ucap ketua English Club. “Ya udah, kita mau antara nge-dub sinetron lagi atau enggak bikin parodi sinetron buat project semester depan. Jadi gimana pendapat lo?” “Uh—” Sebenarnya aku bukan penggemar sinetron sama sekali, nonton televisi juga jarang. Sering sekali aku melihat keluhan mengapa sinetron negeri ini begitu buruk jika dibandingkan dengan drama Korea atau Barat di media sosial maupun dalam percakapan di sekolah. “—mending kita nge-dub lagi aja, benar tuh, kalau bikin parodi, syutingnya bikin repot, terus propertinya juga harus seakan-akan seperti sinetron benaran.” “Oke, ada yang ikutan setuju?” seru ketua English Club. Ya, kulihat mayoritas dari anggota English Club mengangkat tangan, menyetujui usul agar kami menge-dub sinetron ke dalam bahasa Inggris, sama seperti semester ini. Berbicara tentang sinetron, entah kenapa, aku kepikiran tentang perebutan harta, ibu mertua, hingga ibu tiri. Ibu mertua dan ibu tiri lazimnya menjadi antagonis dalam sinetron, atau kalau lebih mendekati, cerita dongeng sekali pun. Mungkin saja, penikmat cerita, terutama anak kecil, terpikir tentang stereotip bahwa ibu tiri benar-benar jahat. Tentu saja di dunia nyata hal itu tidak mungkin terjadi, tidak seperti stereotip yang sering digunakan dalam cerita, ibu tiri sebenarnya tidak jahat, melainkan ingin mencoba agar bisa menyayangi anak tirinya sebaik mungkin. Aku juga pernah cerita pada Sena ketika Ayah menikahi Wilhelmina. Aku memastikan kalau Wilhelmina tidak akan menjadi ibu tiri yang jahat seperti di cerita. Aku juga pernah berkata kalau hal itu hanyalah sebuah cerita rekaan. Tapi … mengingat akhir-akhir ini, kejadian pada Sena … aku … malah terpikir yang tidak-tidak soal Wilhelmina, ibu tiriku. Apakah mungkin kejadian semalam …. Tidak! Ini dunia nyata, tidak mungkin ibu tiriku akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak pada Sena. Aku bisa memastikan kalau ibu tiriku berusaha sebaik mungkin untuk menjadi ibu kami, setidaknya level kasih sayangnya sedikit mendekati. Aku juga bisa memastikan kalau ibu tiriku memang berusaha sebaik mungkin agar menyayangi Sena dan diriku layaknya seperti mendiang ibuku. Kalau Ibu masih ada, apakah keadaan akan menjadi berbeda? Aku hanya berharap yang terbaik bagiku dan Sena, begitu juga dengan Ayah. “Ngelamunin apa, Yoshi?” sahut salah satu anggota lelaki English Club. “Eh? Apaan?” ucapku sambil meninggikan nada. “Ciyeee!!” seru mayoritas dari anggota English Club. “Jangan-jangan punya kecengan ya?” “Siapa yang punya kecengan coba?” bantahku. “Udah deh, fokus!” seru ketua English Club yang tidak ingin lama menunggu keputusan. “Semester lalu kan kita pilih episode dari BMBP-nya Prilly, kan? Jadinya mau pilih yang mana? Mau BMBP lagi? Atau yang lain?” “Siapa Takut Jatuh Cinta aja! Kan lagi booming!” seru cewek yang rambutnya diikat seperti ekor poni. “Eh? Lo sering nonton ya?” ledek salah satu cowok. “Iya lah! Masalah buat lo!” Ya, perdebatan memilih sinetron yang akan kami dub berujung saling sindir, kenyataannya, beberapa dari anggota English Club rutin menonton sinetron harian kejar tayang, padahal, banyak juga yang bilang kalau sinetron seperti itu kualitasnya … jangan tanya. Akhirnya, rapat kami selesai, meski saling sindir menjadi main event-nya, beginilah jika berurusan dengan sinetron negeri ini, ada yang pro, ada yang juga kontra. Berjalan begitu lama. “Baiklah, sudah cukup untuk hari ini! Kita bakal nge-dub salah satu episode Siapa Takut Jatuh Cinta ke bahasa Inggris ya! Nanti bakal di dub-nya kemungkinan pas liburan ya! Terima kasih sudah datang!” Syukurlah, sudah selesai. Kuambil ponsel dari saku celana. Terlihat beberapa notifikasi LINE, baik itu dari grup maupun dari teman bangku sebelahku. Seperti biasa, dia tidak pernah bosan untuk mengajakku ikut futsal, semua murid di kelasku akan ke tempat futsal. Ya sudah, mungkin … aku akan mencoba menikmatinya, mumpung habis ujian salah satu pelajaran tersulit di sekolah. Aku juga ingin membebaskan diri dari pikiran negatif yang kudapat setelah memikirkan luka pada lengan Sena. Sebenarnya aku juga dapat pesan WhatsApp kalau Ayah akan pulang lebih awal untuk menjaga Sena. Sena mungkin butuh Ayah untuk saat ini. Aku membalas pesan LINE dari teman bangku sebelah kalau aku akan ikut futsal, setidaknya, sekali-kali aku ikut kegiatan bareng teman-teman, suka atau tidak. Aku akan coba menikmatinya, demi mengalihkan perhatian. *** Tidak kusangka, futsal bareng teman bakal begitu lama, mungkin karena banyak kelas yang mengikuti futsal sehabis ujian berakhir. Wajar saja, salah satu teman sekelasku menyewa lapangan futsal dalam waktu lama. Setiap kelas bergantian bermain futsal sekaligus menonton dan menyoraki. Kebanyakan, termasuk diriku, telah mengganti baju agar tidak terjebak dalam penatnya seragam sekolah. Aku mengenakan kaos oranye dan celana training panjang putih agar lebih leluasa bermain futsal. Kudengar suara tendangan begitu keras hingga aku harus memalingkan wajah, mengira kalau bola akan keluar lapangan dan mengenai tepat pada wajah. Beruntung, setiap lapangan futsal terlindungi oleh dinding ikatan tali. Biasanya, kalau main sepak bola atau futsal, aku paling takut kalau bola mengenai tepat pada wajah. Waktu demi waktu, jam demi jam telah berlalu hingga jam lima sore, entahlah, aku merasa tidak enak kalau pulang lebih awal, meninggalkan tempat futsal lebih dulu, apalagi tanpa pamit sama sekali. Aku memang masih terpikir pada kejanggalan antara kenyataan pada Sena dan ucapannya. Bahkan, ketika aku ikut main futsal hingga tidak berkonsentrasi. Pikiran itu terus mendominasiku entah kenapa. Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi di rumah. Itulah pikiran yang selalu menusukku akhir-akhir ini, terutama setelah semalam saat aku mendengar bentakan ibu-ibu dan jeritan anak kecil meminta ampun. Tusukan pikiranku sampai harus membakar seluruh perasaan senangku ketika teringat pada sesuatu yang terlihat pada tubuh Sena. Aku bangkit dari tempat duduk, tanpa sengaja kuhentakkan langkah seraya mengalihkan perhatian yang lain. Aku menatap mereka sambil pamit, “So-sorry. Gue … ada urusan di rumah.” “Eh?” Teman bangku sebelahku melangkah mendekati. “Bentar lagi kan main lagi.” “Ya, sebenarnya gue pengen main lagi, ya mau gimana lagi, gue lupa ada urusan di rumah. Gue duluan!” Aku begitu cepat mengambil tas dan berlari menuju pintu keluar, kuhentakkan langkah kaki keras, karena terburu-buru. Firasatku membuatku sangat impulsif. Aku bodoh! Bodoh! Kenapa aku tidak langsung pulang sehabis rapat English Club? Kenapa aku menghabiskan waktu lebih lama untuk bermain futsal? Aku mendekati motor dan buru-buru memutar kunci untuk menyalakan mesin. Kupasang helm sebelum menaiki motor dan mulai mengendarai. Aku berangkat dari tempat futsal dengan kecepatan tinggi, karena kekhawatiranku terhadap Sena. Kuharap Sena baik-baik saja. *** Tidak ada mobil terparkir di garasi rumah, berarti Ayah belum pulang, meski langit telah menunjukkan warna oranye, pertanda warna hitam akan segera tiba menguasai seluruh langit untuk sementara. Lampu teras rumah juga belum menyala ketika aku sampai, seperti kegelapan tengah menguasai halaman depan rumah. Kuparkirkan motor di depan halaman rumah, kulepas helm begitu cepat hingga harus terbanting karena terburu-buru. Aku membuka kunci pintu seperti sedang memaksa mendobrak pintu. Kubanting pintu ketika aku membukanya dan memasuki rumah. Lampu sama sekali belum menyala pada setiap ruangan rumah, termasuk ruangan depan. Jendela juga masih belum tertutup oleh gorden, meski keadaan rumah sudah mulai gelap. Kulihat juga setiap pintu kamar tertutup rapat. “Bu? Sena?” panggilku sambil meletakkan tas di sofa menghadap jendela depan. “Sena?” Kamar Sena berada di sebelah kamarku, yakni di samping kanan ruang makan. Tidak perlu mengunjungi kamarku lebih dulu, aku mendobrak pintu kamar Sena agar memastikan dia baik-baik saja, aku merinding ketika bertanya-tanya dalam hati apakah Sena sedang pergi atau hanya sedang berada di kamar. Ketika kubuka lebar pintu kamar Sena, aku … tidak bisa berkata-kata. Aku sempat menghentakkan kaki keras memundurkan langkah. Aku menggelengkan kepala tidak percaya apa yang kupikirkan telah menjadi kenyataan. Selama ini … luka pada Sena yang kulihat dari kemarin, mungkin saja … berkaitan dengan kejadian kemarin malam. Kulihat Sena tengah tergeletak tidak berdaya di dekat tempat tidur. Beberapa barang di kamarnya berserakan di lantai. “Sena!” Kepanikan sudah menggerogoti tubuhku ketika menatap Sena sudah seperti ini. Kutepuk tangannya pelan untuk membangunkannya. “Sena? Sena?” “K-kakak,” jawab Sena sambil meneteskan air matanya, napasnya juga terengah-engah menahan rasa sakit dan ledakan kesedihan. Aku bisa menatap Sena sedang menangis sambil berbaring tidak berdaya. “Sena, kenapa? Siapa yang ngelakuin gini?” “I-I-Ibu … A-A—” Belum sempat Sena menyelesaikan jawabannya, mendadak, dia menutup mata. Tubuhnya mendadak kehilangan kendali dan kesadaran. “Sena!” jeritku sambil kembali menggoyangkan tubuh Sena. “Sena, bangun! Sena!” Berapa kali kugoyangkan tubuh Sena, dia sama sekali tidak merespon. Dia benar-benar pingsan. Jantungku penuh dengan adrenalin dalam arti buruk. Ini benar-benar serius. Kenapa pikiranku malah jadi kenyataan? Kuambil ponsel dari saku celana dan cepat-cepat menekan gambar gagang telepon pada layar. Kutelepon 118 demi bantuan. Napasku terengah-engah ketika menunggu respon dari operator 118 yang mengangkat telepon. “118, ada yang bisa saya bantu?” Aku panik berkata, “Halo! Aku butuh ambulans! Adikku, adikku—" #5: Titik Terpuncak Kutatap Sena sedang terkujur lemas di atas tempat tidur hitam di UGD rumah sakit. Aku hanya duduk terdiam tidak dapat menerima apa yang baru saja terjadi. Apakah … benar firasatku menjadi kenyataan? Kulihat kembali luka yang kini membekas pada kulit Sena, terutama pada bagian tangan. Kulihat garis-garis telah memudar dan mulai tertutup, warna pada luka kulit Sena juga sedikit bertambah, meski beberapa warna memarnya telah memudar. Kalau saja … aku lebih peka pada apa yang terjadi pada Sena, mungkinkah keadaan jadi berbeda? Kalau saja aku tidak meninggalkan Sena untuk menghadiri rapat English Club dan ikut bermain futsal bersama teman sekelas demi menguras rasa penat sehabis ujian, apakah … Sena takkan terluka seperti ini? Aku … merasa bodoh, begitu bodoh. Aku tahu ada yang salah pada Sena, ada sesuatu yang salah. Cara dia menjawab pertanyaanku kalau dia baik-baik saja … bertentangan dengan kenyataan yang terlihat pada tubuh Sena. Aku bisa merasakannya kalau ada yang salah pada Sena. Aku juga mengingat ketika Sena menemui ibu tiri, Wilhelmina, ketika tidak ada Ayah di rumah, biasanya, dia akan menghindar. Raut wajahnya juga berubah dari polos berseri-seri menjadi berkerut, tubuhnya juga gemetar. Dia ketakutan ketika melihat Wilhelmina, sang ibu tiri. Aku seharusnya tahu dari dulu, kalau ada yang salah pada Wilhelmina terhadap Sena ketika Ayah dan diriku tidak ada di rumah, bukan hanya sekadar curiga. Aku juga terpaksa berbohong sesuai dengan apa yang dikatakan Sena padaku pada salah satu dokter jaga di UGD. Karena … entah kenapa, aku ingin Sena mengatakan yang sebenarnya padaku terlebih dulu. “Ka-Kakak?” Aku terlepas dari lamunanku, kaget ketika Sena sudah mendapatkan kembali kesadarannya. Matanya terbuka lebar dan menatap padaku di samping kanannya. “Sena,” aku memanggilnya. “I-ini di mana?” “Sena.” Aku menyentuh tangan kanannya seraya menenangkan diriku. “Kamu … mau minum enggak?” “Ki-kita enggak di rumah?” “Kita di rumah sakit, Sena. Kamu aman sama Kakak sekarang. Kamu … mau Kakak beliin … keripik?” “Kakak kok nangis?” Sena perlahan mengangkat telunjuk kanan untuk menunjuk tepat pada wajahku. Dia … tahu aku sedang mengeluarkan air mata? Mungkin aku terlalu banyak memikirkan apa yang baru saja terjadi, rasanya ingin menangis setelah melihat kenyataan yang terlihat pada Sena. “Kakak … Sena pengen ngomong … sama Kakak,” ucap Sena ketika aku mengusap air mata yang menetes di wajahku. “Kakak juga pengen nanya sama kamu, Sena. Tapi … kalau Sena misalnya enggak mau jawab atau cerita, Kakak enggak bakal maksa. Kalau Sena siap … Kakak pasti bakal dengar cerita kamu. Sena boleh sambil cerita juga.” “Ka-Kakak … enggak bakal marah?” “Kata siapa? Kakak enggak bakal marah. Kakak pengen tahu yang sebenarnya. Kenapa … kamu jadi begini?” “I-Ibu … tiri. Katanya … ibu tiri yang … jahat … itu … hanya ada di dalam cerita.” Sena menghela napas. “A-Ayah … selalu bilang … kalau ibu tiri Sena … enggak bakal jahat, malah … bakal sebaik Ibu. Ta-tapi … malah beda … pas Ayah … sama Kakak … enggak ada.” “Sena, kalau misalnya … seram banget, enggak apa-apa. Pelan-pelan aja.” “Se-Sena … kangen Ibu. Sena … kira ibu tiri Sena … baik sama Sena. Tapi … pas Kakak sama Ayah enggak ada, ternyata … ibu tiri Sena … jahat sama Sena.” Sena mulai mengeluarkan air matanya saat dia menceritakan semuanya. “Sena … udah bilang sama Ayah …. Tapi … Ayah malah marahin Sena. Sena … dibentak-bentak sama Ayah … buat baik sama ibu tiri. Ayah nuduh Sena berbohong tentang ibu tiri. “Terus … pengen juga ceritain sama Kakak, tapi … Sena takut Kakak bakal marah sama kayak Ayah.” Aku mengusap bahu Sena. “Sena, Kakak enggak bakal marah. Kakak tahu … ada sesuatu yang terjadi sama kamu, sama ibu baru juga. Kakak cuma pengen … kamu ceritain yang jujur aja. Kakak janji enggak bakal marah sama kamu. Kemarin malam, Sena ngapain aja?” “Enggak tahu …. Tiba-tiba aja … ibu tiri marah-marah sama Sena pas masuk kamar.” *** “BANGUN!” jerit Wilhelmina memukul Sena yang sedang terlelap di tempat tidurnya menggunakan sapu lidi. Rasa sakit harus Sena terima ketika kembali dari mimpi menuju kenyataan. Punggungnya terkena cambukan gagang sapu oleh Wilhelmina. Sena berbalik spontan menatap Wilhelmina yang tengah meratapinya sambil memegang sapu. “Kamu yang mencuri uang, kan? Uang di laci hilang. Terus kamu yang mengambilnya, kan?” “Bu-bukan Sena yang ngambil, Bu–” “BOHONG KAMU!” jerit Wilhelmina sambil menarik paksa tubuh Sena dari tempat tidur dan membantingnya ke lantai. “Ini anak kerjanya cuma nangis pengen dapat simpati, terus dimarahin sama Ayah kamu. Terus, kamu curi uang dari Ibu. Kamu pengen balas dendam?” “Bu-bukan, Bu. Sena enggak mencuri uang. Sena enggak mencuri.” “BOHONG! Sini kamu!” jerit Wilhelmina menarik tangan Sena agar berdiri. “Sena enggak mencuri, Bu.” “NGAKU!” Wilhelmina menempaskan ayunan sapu lidi untuk memukul punggung Sena dengan keras. Beberapa kali merasakan sakit pada punggungnya akibat empasan sapu lidi dari Wilhelmina, Sena mulai meringis sambil meneteskan air mata, memohon ampun pada sang ibu tiri. “SAKIT! SAKIT, BU!!” Tidak peduli berapa kali Sena memohon ampun sambil meronta dan meneteskan air mata, Wilhelmina semakin gemas hingga dia menggunakan sapu lidi sebagai cambuk. Tanpa henti, sang ibu tiri mencambuk setiap anggota tubuh Sena. Tangan kirinya juga mengikat kedua tangan Sena agar dia tidak bisa lolos dari siksaan. “NGAKU KAMU! NGAKU! KAMU YANG NYURI UANG, KAN!” “SAKIT, BU! SAKIT! AMPUN!” “NGAKU! NGAKU!” Jeritan mereka begitu keras, bahkan sampai menandingi sepinya malam hari, saat semua orang seharusnya sudah terlelap. Wilhelmina tetap tidak peduli, dia melampiaskan kemarahannya terhadap Sena yang seharusnya tidak bersalah. *** “Kamu mencuri uang lagi dari saya, kan?” jerit Wilhelmina ketika sore datang menyingsing, ketika Yoshi sedang tidak berada di rumah. “Enggak puas juga udah dihukum, malah curi lagi.” “Bu ….” “Apa lo! Mau bohong lagi kamu?” bentak Wilhelmina. “Bukan Sena yang curi, Bu. Sena enggak pernah ambil uang dari laci.” “Bohong!” jerit Wilhelmina seraya menampar wajah Sena. Sena pun terjatuh akibat tamparan keras dari sang ibu tiri. Dia tidak dapat menahan ledakan air matanya ketika menatap sang ibu tiri sudah meledak-ledak, tetap bersikukuh menuduh Sena mencuri uangnya. Wilhelmina mendekati Sena sambil menghentakkan kaki dengan keras, meluapkan seluruh emosi yang dia tampung demi penyiksaan sang anak tiri. Dia sudah mengambil garpu dari meja makan seraya mengancam Sena. “Pencuri memang harus dihukum. Kamu mencuri uang saya, kamu saya hukum! Kamu enggak mau ngaku-ngaku juga!” Bentakan Wilhelmina pun bertepatan dengan suara pintu depan rumah terbuka. Sena pun berbalik berharap ada pertolongan agar bisa lolos dari tuduhan. Sena kembali lega ketika orang yang tiba di rumah adalah ayahnya. Dia berlari menemuinya sambil ketakutan. “Ayah!” Tetapi, karena telah mendengar bentakan Wilhelmina pada Sena, sang Ayah memukul gadis malang itu menggunakan tumpukan kertas yang dia bawa hingga terjatuh. “Nakal! Kamu curi uang Ibu, kan?” “Enggak!” jerit Sena sambil menghindar menuju kamarnya. “Hei! Sini kamu! Ngaku!” jerit Ayah sambil mengambil sapu yang tergeletak di dekat meja makan dan memasuki kamar Sena. “Enggak! Sena enggak curi!” jerit Sena mulai merengek dan meneteskan air mata serta menutup pintu. “NAKAL!” jerit Ayah mendobrak pintu kamar Sena dengan paksa. Begitu Sena terjatuh, Ayah mulai melampiaskan emosinya, terlebih mengetahui bahwa Sena yang mencuri uang sang ibu tiri. Dia menarik tangan Sena erat dan memukulkan gagang sapu tepat pada kepala berkali-kali. “Nakal! Nakal!” jerit Ayah tetap memukul setiap anggota tubuh Sena termasuk kepala menggunakan gagang sapu. “AYAH! JANGAN!” rengek Sena sambil meledak-ledak mengeluarkan air mata. “AMPUN! AMPUN!” “Kamu mencuri uang! Ayah benci kalau kamu enggak suka sama Ibu! Ngaku! Ngaku!” Tenaga Ayah semakin mengeras ketika dia memukul Sena menggunakan gagang sapu, tidak peduli betapa tidak berdayanya putrinya sendiri. *** Mendengar cerita dan pengakuan dari Sena, aku tidak bisa bereaksi lagi, selain meluapkan seluruh emosi terhadap apa yang telah sebenarnya terjadi. Kukepalkan kedua tangan menahan ledakan emosi yang telah kudapat. Kenapa? Kenapa Ayah juga? Kenapa Ayah malah ikut-ikutan menyiksa Sena? Padahal … Ayah bisa saja bertanya yang sebenarnya? Ayah malah ikut-ikutan menuduh Sena yang mencuri uang dari ibu tiri. Kalau Ayah bertanya tentang kebenarannya, hal seperti ini takkan terjadi! Kenapa harus Sena? Kenapa harus adikku yang masih SD harus menjadi korban seperti ini? Kenapa ibu tiri seperti Wilhelmina ingin menyiksa Sena ketika aku tidak berada di rumah? Memikirkan hal itu, emosiku tercampur aduk, api kemarahan dan air kesedihan bercampur menjadi badai emosi di dalam otakku. Air mataku juga kembali keluar semakin lama memikirkannya. Aku menutup mataku yang semakin banyak meneteskan air mata. Ini semua salahku. Aku tidak melakukan apapun. Padahal aku tahu ada yang salah pada Sena semakin memikirkan tanda-tanda yang janggal jika mengingat kembali jawaban beberapa pertanyaanku. Seharusnya aku berada di rumah untuk menjaga Sena dan melihat jika ada apapun yang terjadi. Seharusnya aku langsung pulang begitu selesai rapat English Club, bukan ikut-ikutan futsal demi menekan rasa penat sehabis ujian. Aku malah mendapati Sena tergeletak pingsan di kamar begitu aku pulang, aku … telah melakukan kesalahan besar. “Ma-maafkan Kakak,” ucapku sambil terisak-isak. “Kakak … enggak cepat-cepat pulang. Kalau Kakak tahu ini dari awal … Kakak mungkin–” “Kakak marah sama Sena?” Sena memotong ucapanku. Kuhapus air mata menggunakan tangan kanan sebelum menjawab, “Kakak enggak marah sama kamu. Kakak cuma … kurang peka sama apa yang terjadi sama Sena. Kakak ngerti Sena udah jujur sama Kakak. Kakak … enggak bisa nerima kelakuan Ayah sama Sena tadi.” “Kakak. Sena udah bilang jujur sama Kakak.” Kalau begitu, setelah mendengar semua yang Sena alami, aku telah membuat keputusan, keputusan yang mungkin konyol, tapi setidaknya aku ingin agar Sena tetap aman untuk sementara. Kupegang pundak kiri Sena ketika aku ingin berkata tentang keputusanku. “Sena, dengarin Kakak. Kakak … bisa aja nelepon polisi sekarang setelah dengar cerita kamu. Kakak juga sebenarnya bisa telepon polisi pas nemu kamu pingsan di rumah sepulang dari futsal. Tapi … Kakak enggak bakal nelepon polisi. Soalnya, bakal butuh waktu yang lama prosesnya, bisa aja … ibu tiri kita … enggak jadi dihukum, kalau cuma cerita aja, sama yang terjadi sama Sena, keadilan bisa aja disalahgunain sama mereka, bisa aja mereka mihak yang salah, terus yang benar malah dihukum seberat-beratnya. “Sena, kita bakal tinggalin rumah, terus kita kabur, ke luar kota, seenggaknya kamu bakal aman untuk sementara. Intinya, kita bakal kabur dari rumah, setelah apa yang terjadi sama kamu.” “Kakak, tapi … kita enggak bakal punya rumah kalau kabur.” “Iya, Kakak tahu.” “Terus … kita mau tidur di mana?” Sena kembali terisak-isak. “Kalau kita kabur dari rumah … kita mau tidur di mana? Kalau kita di rumah … ibu … tiri … bakal nyiksa Sena lagi. Ayah marahin … Sena pas ngaduin itu.” Tangisan Sena meledak ketika menyelesaikan kalimatnya. “Sena.” Aku menghapus air mata Sena. “Biar Kakak yang atur. Kakak bisa … ngatur soal itu. Serahin sama Kakak aja ya, Sena. Sekarang, kita bakal menjauh dari kota ini, kota di mana ayah dan ibu tiri tinggal sekarang.” Ya, itulah keputusanku agar Sena aman dari siksaan ibu tiri, apalagi Ayah sudah tidak mempedulikan mana yang benar dan mana yang salah. Kalau aku berkata apapun sesuai dengan kenyataan yang Sena katakan, pasti Ayah takkan mengerti. Benar, aku dan Sena akan melarikan diri dari rumah. Aku tidak ingin tinggal di rumah yang sudah seperti neraka, apalagi mengetahui Sena telah menjadi korbannya. #6: Melarikan Diri Aku benar-benar muak dengan sistem penegakan hukum di negeri ini, apalagi jika berkaitan dengan politik. Tentu aku sering mendengar perbandingan hukuman bagi koruptor, terutama politikus, dengan orang biasa mau itu miskin atau kaya yang telah mencuri, hingga artis yang tersandung kasus video porno. Tentu aku ingat, hukuman pelaku korupsi dan artis yang tersandung kasus video porno harus menerima vonis penjara, waktu sama persis, tiga setengah tahun, mungkin itu sudah termasuk remisi. Hal yang paling bikin aku murka adalah ketika penegakan hukum malah membela pejabat yang sudah jelas melakukan korupsi, sedangkan rakyat kecil seperti orang miskin sekali pun harus menderita vonis berat setelah melakukan kesalahan sepele, mencuri. Hukum di negeri ini malah menjadi tidak adil, kasusnya besar hukumannya ringan, dan sebaliknya, kasusnya kecil hukumannya sangat berat. Apakah itu yang dinamakan keadilan? Setelah ibuku meninggal dunia karena kecelakaan mobil, Ayah begitu murka hingga dia menuntut sang pelaku karena telah melakukan tabrak lari lewat jalur hukum. Aku ingat Ayah ingin sang pelaku, meski dia masih merupakan mahasiswa, dihukum seberat-beratnya. Tetapi, proses penegakan hukum ternyata tidak secepat dan semudah itu. Meski terbukti pelakunya telah menabrak mobil yang waktu itu Ibu tumpangi lewat rekaman CCTV, aku tidak ingat kenapa dia sampai mengebut hingga melakukan tabrak lari yang begitu parah. Seingatku, bagian depan mobil pelaku sampai penyok menunjukkan retakan akibat tabrakan itu, sesuai dengan rekaman ketika dia berupaya melarikan diri dari masalah, menghindar dari tanggung jawab. Meskipun begitu, pelaku di balik kematian Ibu mendapat vonis yang tidak sesuai harapan Ayah, tidak seberat yang Ayah inginkan. Pelakunya hanya dihukum denda, aku tidak ingat berapa banyak uang yang harus dia keluarkan, serta pembinaan, mengingat dia masih berstatus mahasiswa. Aku yang sempat menonton sidang vonis sampai-sampai menjerit begitu keras tidak dapat menerima keputusan hakim, “Harusnya dia dipenjara! Dia bunuh Ibu saya! Dia bunuh Ibu saya!” Ayahku yang awalnya ingin pelaku di balik kematian Ibu tidak bisa berbuat apapun lagi ketika hakim telah menentukan sebuah keputusan. Dia juga bilang padaku kalau Ayah bukan ahli hukum, begitu juga denganku. Rakyat yang tidak berwenang ketika berhadapan dengan proses penegakkan hukum memang tidak berhak jika kita menentukan hukuman sendiri, termasuk pejabat politik sekali pun seperti Ayah. Karena itu, aku benar-benar muak dengan penegakkan hukum di negeri ini, tidak ada keadilan yang ditegakkan sama sekali, yang salah malah dibela hakim hingga mendapat hukuman ringan. Sungguh ironis, menegakkan keadilan saja tidak bisa, main hakim sendiri juga tidak boleh, pantas saja banyak yang ingin main hakim sendiri jika ada kesalahan fatal bagi sang pelaku. Aku sudah tidak ingin percaya pada penegakkan hukum di negeri ini, makanya aku tidak memanggil polisi sama sekali demi melindungi Sena. Mungkin main hakim sendiri tidak boleh dan melanggar hukum, tapi aku benar-benar akan melakukannya. Aku akan menghukum ayahku sendiri, begitu juga dengan ibu tiri, karena mereka telah menyiksa Sena habis-habisan. Aku dan Sena akan melarikan diri, menjauh demi menghindari neraka dari mereka. *** Berkat kebohonganku terhadap dokter jaga di UGD, beliau menyimpulkan bahwa Sena hanya kelelahan, mungkin karena kurang tidur. Tetapi, beliau juga berkata padaku agar mengawasi Sena, hanya untuk berjaga-jaga jika Sena melakukan hal berbahaya bagi anak seusianya. Kami pun diperbolehkan untuk pulang. Ada dua kemungkinan jika kami berdua kembali ke rumah, mungkin Ayah dan ibu tiri sudah pulang duluan dan bertanya kami ke mana malam-malam begini. Mungkin saja … Ayah dan ibu tiri belum pulang. Kalau mereka belum pulang, mungkin rencana untuk melarikan diri bisa berjalan mulai dari sekarang, aku bisa persiapkan segalanya untuk melarikan diri dari rumah. Aku memesan taksi online begitu kami keluar dari halaman rumah sakit yang sudah begitu sepi, meski beberapa mobil telah terparkir pada malam itu. Udara memang sedang dingin pada malam hari seperti ini, sialnya aku tidak pakai jaket karena terburu-buru dan panik ketika Sena jatuh pingsan di kamar. Dinginnya hingga menusuk kulitku hingga tegang, tapi aku tetap harus fokus pada rencanaku. Sebuah mobil sedan oranye tiba menemui kami. Ketika menatap nomor polisi mobil itu, ya, mobil itu merupakan mobil bernomor polisi sama yang tertera di aplikasi taksi online, berarti itu adalah mobil driver yang mengambil order-ku. Kubuka pintu belakang kiri dan membiarkan Sena masuk terlebih dulu. Aku juga masuk sambil menutup pintu rapat. Kami berdua duduk di kursi belakang ketika supir kembali mengendarai untuk menuju tujuan, rumah. Jika pagi dan sore jalanan sering sekali mengalami kepadatan kendaraan bermotor, terutama mobil, di kota ini, siang dan malam lumayan lancar, meski terkadang masih padat. Beruntung, langit malam sudah mulai larut dalam waktu, jalan pulang yang kami lewati benar-benar lancar, kalau padat, setidaknya supir kami bisa mengendarai dengan leluasa tanpa harus berhenti. Lampu neon putih pada jalan turut menemani larutnya malam dan setiap pengemudi agar mendapatkan keamanan dalam mengemudi. Kulihat juga beberapa gedung pencakar langit mulai padam cahayanya. Mall terkenal yang kami lewati juga sudah mulai mengalami waktu tutup ketika kulihat kebanyakan pengunjung mulai berkumpul di trotoar menggenggam ponsel. Ketika kami memasuki komplek rumahku, aku hanya memikirkan skenario terburuk sebelum rencanaku benar-benar dimulai, bagaimana kalau Ayah dan ibu tiri masih ada di rumah? Apakah aku harus menunda melarikan diri? Apakah aku harus membiarkan Sena berada di dalam neraka buatan mereka? Lamunanku terhenti ketika mobil terhenti di samping rumah. Beruntung, seluruh lampu rumah, termasuk teras rumah, belum menyala sama sekali, tidak ada mobil sedan silver yang terparkir di samping sepeda motor di garasi, berarti mereka belum pulang. Aku buru-buru mengeluarkan dompet dari saku, mengeluarkan uang pas dan menyerahkannya pada pengemudi mobil. Kami akhirnya keluar dari mobil dan menempatkan kaki pada jalan aspal. Kami melangkah memasuki teras rumah. Kubuka kunci rumah begitu keras hingga menimbulkan bunyi karena sedang terburu-buru. Aku juga berkata pada Sena, “Kita siapin baju dulu. Terus kita langsung ke terminal.” “Kak … kenapa enggak langsung aja?” tanya Sena penasaran. Aku menjawab ketika membuka pintu, “Enggak enak juga kalau misalnya enggak ganti baju habis mandi. Ayo masuk, cepat. Sena ke kamar dulu, ambil baju yang pengen dibawa. Kakak bakal cari sesuatu dulu.” Aku tahu melarikan diri butuh uang, apalagi ketika saat darurat. Ketika Sena memasuki kamarnya, aku menyalakan lampu ruangan rumah. Lampu neon pada rumah akhirnya menerangkan ruangan depan rumah dari kegelapan yang sunyi. Semua tampak seperti biasa, tidak ada makanan yang tersisa di meja makan, tidak ada koran bekas baca di meja ruang tamu, semuanya tidak bernoda sama sekali. Kudekati rak di bawah televisi LCD dan pemutar DVD dekat pintu kamar Ayah, menghadap pintu kamarku dan meja makan. Kubuka satu per satu laci untuk mencari jika ada uang atau sesuatu yang berguna. Tetapi, yang kutemukan hanyalah beberapa CD musik favorit Ayah, genre jazz, dan DVD film. Ayah sering beli CD jazz dan mendengarkannya untuk melepas penat setelah kerja, jika sempat. Setelah kututup seluruh laci rak di bawah televisi dan pemutar DVD, kini saatnya kumasuki kamar Ayah. Sudah lama aku tidak pernah masuk ke kamar Ayah semenjak Ibu meninggal. Kudorong pintu perlahan untuk membukanya lebar. Kutekan tombol di dekat pintu tuk nyalakan lampu kamar. Lampu neon putih seakan-akan memberi cahaya putih memancarkan dinding putih polos. Kutatap tempat tidur king size berada di hadapanku, lemari pakaian berada di sisi kiri, kursi kecil berbantal coklat empuk dan cermin ber-rak penuh dengan perlengkapan kosmetik juga berdiri di samping kanan. Entah kenapa, naluriku mengantar menuju lemari pakaian, apa memang menurutku ada rahasia yang disembunyikan setiap orang di lemari pakaian? Ketika kubuka pintu kiri lemari pakaian, beberapa pakaian, terutama pakaian formal seperti jas tergantung di dalamnya menggunakan gantungan baju berwarna-warni. Begitu kubuka pintu kanan lemari itu, terlihat beberapa pakaian yang telah terlipat rapi, berdasarkan kategorinya sesuai tingkatan. Kulihat ada empat tingkat pada lemari sebelah kanan. Tetapi, di tengah-tengahnya, ada satu laci. Mungkin ini memisahkan yang mana pakaian Ayah dan yang mana pakaian ibu tiri. Begitu kubuka laci itu, kulihat sebuah amplop putih berada di posisi puncak beberapa kertas dokumen, entah itu berkaitan dengan politik atau bukan. Amplop menggelembung itu terbuka, sama sekali belum tertutup dengan perekat. Kumasukkan tangan kanan ke dalam amplop itu untuk meraba isinya. Isi dari amplop itu adalah sebuah tumpukan, ketika kuraba puncaknya, begitu tebal dan bertekstur kasar, ini berarti …. Kukeluarkan puncak dari isi itu, aku begitu tercengang ketika menatap isi yang telah kusentuh. Uang kertas pecahan seratus ribu, berarti isi dari amplop itu adalah tumpukan uang masing-masing bernilai seratus ribu. Kulihat kembali isi dari amplop itu, ternyata benar, warna merah mendominasi isi dari amplop itu. Tapi … kenapa? Kenapa Ayah menyimpan uang sebanyak itu di dalam amplop? Apalagi di dalam laci lemari pakaian? Apakah Ayah memang sedang menyiapkan uang cadangan untuk berjaga-jaga? Apa tujuannya? Tidak, bukan waktunya untuk mengajukan pertanyaan pada diriku sendiri tentang tujuan Ayah menyimpan uang seperti itu. Kuambil beberapa lembar uang dari amplop itu, berarti aku mencuri uang dari ayahku sendiri. Setidaknya, menurutku, cukup untuk memberi biaya segala sesuatu untuk melarikan diri, apalagi transportasi menuju luar kota. Kututup rapat laci itu dan pintu lemari pakaian, Kukeluarkan dompet untuk menaruh uang yang telah kucuri dari ayahku sendiri. Aku cepat-cepat keluar dari kamar Ayah, kembali menekan tombol untuk mematikan lampu dan menutup pintu dengan rapat. Kubuat seakan-akan aku tidak pernah masuk ke kamar Ayah lagi. Kupercepat langkah ketika memasuki kamarku sendiri. Kubuka pintu lebar, buru-buru ingin mendekati tas backpacker-ku yang telah kugeletakkan di bawah meja belajar. Begitu kubuka setiap risleting, semua isinya kukeluarkan, mulai dari alat tulis, beberapa kertas hasil tugas, hingga beberapa buku catatan. Semuanya kuletakkan di meja belajar, kuatur juga seakan-akan telah merapikannya. Tas telah kukosongkan semua isinya, tinggal mengambil baju. Dengan cepat kudekati lemari pakaian. Kubuka lebar kedua pintu lemari pakaian. Tidak ingin menunggu lama lagi, kupilih pakaian yang memang biasa kupakai, kebanyakan kaos oblong dan celana jeans, hanya satu celana training hitam yang kuambil, serta pakaian dalam. Kumasukkan semua pakaian yang ingin kubawa ke dalam ruangan paling belakang tas. Kutumpuk semuanya, celana terlebih dahulu, lalu kaos, lalu pakaian dalam. Kututup risleting tas begitu cepat. Kuambil jaket biru dari gantungan baju yang menggantung di gagang pintu dan memakainya. Udara malam ini memang menusuk kulit, pantas saja aku tidak mengenakan jaket ketika ke rumah sakit mengantar Sena setelah memanggil ambulans tadi, aku memang baru ingat saat perjalanan menuju rumah sakit kugantungkan jaket itu di gagang pintu kamar. Dengan begini, tusukan udara dingin akan berkurang ketika kukenakan jaket biru yang biasa kugunakan saat mengendarai motor. Ketika kuambil tas sebelum keluar dari kamar, oh sial, suara mesin mobil mendekat menuju telingaku, begitu keras menandakan Ayah sudah tiba di halaman rumah. Aku mempercepat langkah sambil menggandeng tas menuju kamar Sena. “Sena?” panggilku ketika memasuki kamar Sena. Kututup pintu dengan rapat sambil menatap beberapa pakaian yang telah Sena letakkan di atas kasur. Sena begitu tertegun ketika menatap wajahku yang penuh kepanikan, mengetahui bahwa Ayah sudah kembali ke rumah. “Kenapa, Kak?” “Ayah udah balik. Kamu diam dulu ya. Ayah enggak boleh tahu rencana kita,” ucapku sambil berdiri di belakang Sena. “Dekat sama Kakak, ayo.” “Sayang, pasti capek kan,” suara ibu tiriku terdengar begitu keras. “Se-Sena takut,” ucap Sena. Kututup mulut Sena menggunakan tangan kanan sambil berbisik, “Tenang, Sena. Tenang.” Keadaanku tidak berbanding lurus seperti perkataanku pada Sena. Aku menarik napas pelan untuk menangkan diri. Aku berkata pada diri sendiri dalam hati agar tidak panik, yakin saja kalau melarikan pasti akan berhasil. Kudengar Ayah telah membuka pintu untuk masuk bersama ibu tiri. Langkah kaki dan percakapan mereka berdua mulai terdengar ketika kututup mata, berharap agar mereka tidak mengecek kamarku sama sekali. “Yoshi sama Sena udah pada tidur?” ucap Ayah ketika terdengar pintu rumah telah kembali tertutup dan terkunci. “Eh, udah jam segini, pasti mereka udah tidur. Biarin aja. Enggak enak kalau keganggu kan? Udah, Ibu capek banget.” Percakapan itu terhenti ketika kudengar suara pintu kamar Ayah yang tertutup rapat. Aku menghela napas sambil kembali membuka mata merasakan beban telah terangkat untuk sementara. Kulepas mulut Sena agar dia bisa mengembuskan napas. Dengan cepat, kubuka risleting tengah tasku, menumpuk setiap pakaian Sena dengan berhati-hati, khawatir ketika kutumpuk akan menimbulkan sebuah suara kencang. Kutepuk pelan tumpukan pakaian Sena di dalam tas setelah memasukkannya. Kututup risleting perlahan agar tidak menimbulkan bunyi. “Sena, dengar Kakak. Kita bakal pelan-pelan jalannya, biar enggak berisik.” Kuambilkan jaket merah dari lemari Sena. “Ta-tapi … gimana kalau ketahuan?” tanya Sena memasamkan wajahnya ketika aku kembali menggandeng tas. Aku menenangkan Sena lagi sambil memakaikan jaketnya, “Bisa aja kita ketahuan, tapi pikir positif aja, kita bakal keluar dari sini. Tapi pelan aja. Pas kita udah di luar, Sena bisa lari, kan?” “Se-Sena capek, Kak. Enggak naik motor aja?” “Ya udah, kita percepat jalan aja pas udah di luar. Soalnya, kalau naik motor, takutnya bakal ketahuan. Kakak bakal pesan taksi online, terus kita ke terminal, naik bus ke luar kota. Kita bakal lolos. Kalau Sena percaya sesuatu pasti akan terjadi, pasti bakal terjadi.” Aku mengenggam erat tangan kanan Sena bersiap untuk keluar dari kamar. “Oke, kita keluar dari kamar, jalannya pelan aja ya. Ayo.” Aku mulai melangkah dan membuka pintu perlahan sambil mengenggam tangan Sena. Kami melangkah begitu pelan dan mengendap-endap menuju pintu rumah. Beruntung, pintu kamar Ayah tertutup rapat, seperti dugaanku. Kami memelankan langkah menuju pintu rumah. Kubuka kunci pintu perlahan, tidak menimbulkan suara sama sekali, begitu sulit harus mengurangi tenaga agar pembukaan kunci tidak terdengar keras. Kubuka pintu perlahan dan kami keluar dari rumah menuju teras. Begitu kututup perlahan pintu dengan rapat dan kukunci, kami cepat-cepat memakai sepatu yang telah kami letakkan di samping. Ketika mengikat sepatu, debar jantungku menambah kecepatannya, sangat tegang dan takut jika ketahuan. “Ayo, Sena.” Akhirnya, kami berdua mempercepat langkah ketika kami meninggalkan halaman rumah. Detak langkah kami pada jalan aspal berbunyi pelan ketika kamu terburu-buru ingin meninggalkan komplek meski angin malam berembus terlalu sejuk. Kupesan taksi online ketika sampai di gerbang komplek. *** Meski langit gelap semakin larut, bisa terlihat masih ada begitu banyak bus yang tengah mterparkir menunggu waktu keberangkatan. Satu per satu penumpang berbondong-bondong mendekati bus ketika waktu keberangkatan menuju tujuan masing-masing telah dekat. Kami telah membeli dua tiket bis menuju destinasi yang kami tuju, harganya lumayan mengocek dompet, apalagi ketika berangkat berdua. Beruntung, kudapatkan dua tiket terakhir karena katanya tiket bus menuju kota tujuan kami sering laris hingga terjual habis semuanya. Begitu waktu keberangkatan telah tiba, seluruh penumpang berbondong-bondong melangkah mendekati salah satu bus putih yang terparkir di jalan aspal ketika seorang supir mengumumkannya. Tempat parkir bus memang masih penuh dengan beberapa bus yang menunggu keberangkatan menuju destinasi masing-masing, berbaris berjajar. Kuputuskan untuk mengambil salah satu kursi barisan belakang sebelah kiri bus, setiap sisi barisan memiliki dua tempat duduk berwarna abu-abu, memang empuk jika diduduki mengingat kami mengambil tiket bus kelas bisnis. Lampu neon memang masih menerangi menjelang keberangkatan. Kuambil ponsel dari saku celana sekaligus bungkus kartu perdana prabayar yang telah kubeli setelah mendapatkan dua tiket terakhir bus menuju tujuan. Kukeluarkan SIM card lama dari ponsel secara hati-hati dan perlahan. “Kak, kenapa itu dikeluarin?” Sena menunjuk SIM card lama yang telah kukeluarkan. Kutaruh SIM card lama itu ke dalam plastik kecil sambil menjawab, “Kakak ganti nomor baru, biar Ayah enggak bisa SMS, apalagi nelepon. Sena enggak mau kan kalau dipaksa pulang sama Ayah, apalagi dimarahin, terus–” “Sena ngerti, Kak,” “Sena capek kan habis jalan sama nunggu? Kakak juga capek banget. Ya mending tidur aja. Jangan dipaksa buat gadang ya.” “Iya, Kak. Sena ngantuk … banget.” Sena membuka mulut lebar seraya menguap. Kutepuk pundak Sena sekali lagi ketika mesin bus telah terdengar dan menyala. “Gitu dong. Nanti Kakak bangunin kalau udah nyampai. Tidur aja. Nanti Kakak juga tidur.” Sena menyandarkan kepala pada jendela kaca sambil menutup mata, kelelahan terlihat jelas pada tubuhnya. Setelah apa yang telah dia alami, kurasa pantas baginya untuk beristirahat. Aku tahu Sena kelelahan setelah tersiksa oleh ibu tiri, apalagi Ayah. Aku tidak ingin ada apa-apa lagi pada adikku. Akhirnya, bus yang kami tumpangi lepas landas dari terminal. Perjalanan menuju destinasi kami dimulai, melarikan diri dari rumah yang sudah bagaikan neraka. #7: Awal Baru Aku ingat ketika tidak menyangka Ayah mengumumkan kalau dia akan menikahi Wilhelmina. Padahal Ayah sama sekali tidak memberitahuku, apalagi Sena. Pengumuman itu tiba-tiba terlontar dari mulut Ayah ketika membawa Wilhelmina pulang ke rumah. Aku paham Sena butuh figur sang ibu, kupikir hal itu akan menjadi awal baru yang baik untuk keluargaku. Pernikahan pun akhirnya terjadi ketika liburan tengah tahun, ketika aku baru naik kelas 2 SMA. Sebenarnya, Ayah ingin pernikahan yang sederhana, tidak ada sesuatu yang mewah dan mengagumkan. Tetapi, karena tekanan dari sesama pejabat politik, apalagi mendengarkan saran dari Wilhelmina, akhirnya pernikahan itu berlangsung di hotel bintang lima. Harga sewanya cukup fantastis untuk menyewa aula hanya demi resepsi pernikahan mewah. Kuingat aula yang dipakai untuk pernikahan Ayah membuatku tidak bisa berkata-kata, apalagi setiap tamu, teman dan keluarga, tertegun ketika menatap gerbang masuk berbunga-bunga menuju resepsi pernikahan. Hampir semuanya serba putih, pilar, tirai, taplak meja, hingga panggung tempat untuk sekadar memberi selamat pada pengantin dan mempelai. Bunga-bunga bermekaran turut membuat dekorasi resepsi pernikahan menyegarkan mata, apalagi sebagai pagar pada karpet merah jalan menuju panggung. Sebenarnya, kebanyakan tamu yang diundang menghadiri setiap resepsi pernikahan datang hanya untuk alasan sederhana, makanan gratis, apalagi seluruh hidangan berselera di resepsi pernikahan Ayah benar-benar elegan dari pandangan, dan menakjubkan begitu tiba di lidah setiap gigitannya, terutama makanan Barat, mahal tapi cara membuatnya sebenarnya cukup mudah. Sebagai keuntungan tamu resepsi pernikahan, setiap tamu berbondong-bondong hanya mengambil beberapa piring hidangan berselera, termasuk Sena juga yang ketagihan makan, hampir semua yang dia suka dia ambil sepiring, mulai dari siomay, sate ayam, spageti, steak, hingga puding dan es krim. Aku sampai berpikir dua kali kenapa Sena bisa makan sebanyak itu. Aula hotel itu sangat ramai, banyak percakapan sambil menikmati hidangan, seluruhnya terdengar ketika aku berjalan-jalan sejenak, melihat-lihat apa lagi hidangan berselera yang ingin kumakan. “Yoshi!” panggil seorang pemuda di belakangku. Aku berbalik merespon panggilan itu, suaranya begitu familiar. “Lho? Bang Fandy?” Aku membalas sambil berjabat tangan. “Udah lama enggak ketemu!” Bang Fandy membalas jabat tangan sampai memelukku. “Kirain enggak bakal ke sini. Kirain Ayah enggak undang Bu De!” “Ya, tetap lah. Hubungan keluarga harus tetap jalan!” Bang Fandy adalah sepupu dari keluarga mendiang Ibu. Sejujurnya, dia adalah saudara terdekat yang bisa kuandalkan ketika berbicara tentang segala masalah dan pengalaman. Dulu, Bang Fandy sering mengunjungi kami bersama keluarganya sebelum Ibu meninggal dunia karena kecelakaan. Setidaknya, dari kecil Bang Fandy dan aku sering sekadar hang out, kadang-kadang memisahkan diri dari yang lain. Meski terakhir kali kumenemuinya saat pemakaman Ibu, setidaknya aku lega Ayah dapat mengundang Fandy dan keluarganya. Sudah sekian lama aku tidak berbicara langsung dengannya, kami hanya berbincang-bincang lewat chat, entah itu lewat LINE atau WhatsApp. Fandy pernah berbicara padaku kalau dia hanyalah anak angkat, pantas saja dia memiliki wajah oriental jika dibandingkan dengan keluarganya. Rambutnya pendek, sisi kiri dan kanan rambutaya benar-benar tipis. Tubuhnya bahkan lebih kekar sejak terakhir kali kumelihatnya. Dia memang sering ikut aktivitas klub olahraga di sekolah. “Udah gede aja kamu,” Bang Fandy mengesekkan tangan kanan pada rambutku. “Makan banyak enggak?” “Enggak juga sih. Sena yang makan banyak. Oh ya, Bang Fandy … lebih berotot.” “Ya … sering olahraga juga sih, akhir-akhir ini sering ikutan klub badminton! Oh ya, Yoshi.” “Eh?” Kulihat Bang Fandy mulai merangkul bahuku. “Abang senang banget kamu dapat ibu baru. Abang juga senang ngelihat Sena mulai bisa bahagia. Ya, Abang juga lihat Sena makannya banyak banget. Kamu juga harus makan banyak dong! Mumpung gratis!” “Iya. Bingung juga mau makan apa lagi, tapi … takut kenyang juga.” “Ah! Enggak usah mikirin kenyang apa kagak! Makan aja sepuasnya! Abang juga puas juga udah makan banyak, tapi belum cobain semua!” “Ah! Entar gendut lagi lho!” “Oh ya, Yoshi. Selamat ya buat pernikahan Om Gunawan. Punya Tante lagi nih.” “Makasih, Bang. Terus … kata Ayah, IPK Abang bagus. Enak banget jadi anak kuliah, jadwalnya banyak kosong, terus … enggak perlu repot.” “Ya, enggak juga kali!” Bang Fandy memukul pelan bahuku. “Ya, banyak yang mikir kuliah itu enak, tapi … sebenarnya repot dari tugas terus ikut himpunan, Abang juga ikut klub badminton lah. Rajin-rajin aja masuk, terus ngerjain tugas, biar impress dosennya. Mumpung masih SMA kamu, nikmati masa-masa indah yang bakal kamu alami, sambil kerja keras juga buat masuk PTN kayak Abang.” “Ya.” Aku berbalik menatap Fandy secara langsung. “Yoshi bakal berjuang yang terbaik. Terus … habis itu, Yoshi bakal masuk negeri kayak Unpad atau enggak UNJ, atau enggak UI kali.” “Gitu dong! Usaha keras, tapi ada kalanya kamu santai aja ya. Nikmatin aja. Pas kuliah, pasti kepikiran pengen balik ke masa SMA. Apalagi, kamu udah punya ibu baru. Pokoknya, nikmatin aja.” “Ya!” Itulah terakhir kali aku bertemu Bang Fandy dan keluarganya, saat pernikahan Ayah dengan Wilhelmina yang menjadi ibu tiri. Kupikir dari situ … semuanya akan berjalan lancar, kami mungkin akan menjadi keluarga bahagia lagi. Tapi … kenyataan tidak sesuai ekspektasi, ibu tiri yang kumiliki ternyata sama saja seperti di kebanyakan cerita. Ibu tiriku … ternyata telah menyiksa Sena. Entah kenapa, Ayah juga membela ibu tiri sampai-sampai harus ikut-ikutan menyiksa Sena, aku tidak tahu apa alasan mengapa Ayah melakukan hal keji seperti itu. *** “Bangun, Mas.” Tepukan seorang petugas seolah membawaku kembali dari mimpi menuju kenyataan. Mataku terbuka secara cepat, tercengang ketika diriku telah mengira mimpi sebagai sebuah kenyataan alternatif. Pikiranku seakan kosong ketika kutatap petugas dari sisi kanan. Tubuhku terasa berat hingga menusuk otot, mungkin karena aku tidur dalam posisi duduk selama perjalanan. Mataku juga masih berat ketika mengedip, seakan-akan tidak puas setelah tidur. “Udah mau sampai,” ucap petugas bis itu yang berlalu untuk membangunkan penumpang lain. Mimpi? Apakah mimpi itu mengingatkanku dalam bentuk flashback? Bang Fandy? Entah kenapa, aku bermimpi bertemu Bang Fandy lagi, hanya saja itu pada masa lalu, saat pernikahan Ayah dengan Wilhelmina. Aku menatap Sena masih tertidur, kepalanya masih bersandar di dekat jendela. Kulihat bus mulai mempelankan langkah ketika akan memasuki terminal pemberhentian. Ya, kami telah tiba di Jogjakarta, kota destinasi kami untuk melarikan diri. Aku tahu, aku punya sebuah alasan mengapa Jogja menjadi destinasi kami. Kutepuk pelan pundak Sena seraya membangunkannya. “Sena? Sena?” “Uh ….” Sena membuka mata hingga menggerakkan kepala menjauh dari sandaran bawah jendela. “Udah mau sampai. Siap-siap.” Memang, ini adalah pengalaman berbeda, jauh berbeda jika dibandingkan ketika aku berangkat ke luar kota bersama Ayah dan Ibu. Bahkan sebelum Ibu meninggal, Ayah sering rela cuti untuk berkunjung ke rumah Bang Fandy di Surabaya, begitu jauh hingga kami rela menginap selama long weekend. Atau sebaliknya, Bang Fandy dan keluarganya juga ikut menginap ketika berkunjung ke rumah saat libur panjang. Sebelum tidur pada malam keberangkatan, aku juga terpikir … apakah akan aman jika berangkat tanpa orangtua. Ini pertama kalinya bagiku, apalagi Sena, berangkat ke luar kota tanpa pengawasan orangtua sama sekali. Aku mengecek ponsel ketika Sena menatap ke arah jendela bahwa bus telah memasuki daerah terminal dengan perlahan, mencari tempat parkir. Kutatap menu aplikasi pada layar ponselku, ya, aplikasi chat seperti WhatsApp dan LINE telah kuhapus semua, aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram juga kuhapus. Semua kontak juga telah kuhapus, termasuk teman sekelas dan dari English Club, kecuali satu, Bang Fandy. Aku hanya bisa menghubungi Bang Fandy lewat telepon dan SMS. Aku juga sengaja tidak membeli paket data internet. Cukup aneh ketika kuanggap hanya Bang Fandy yang bisa kuandalkan dan kupercaya. Mungkin saja ini berisiko, aku bisa saja kembali ke kota asal dan menjalani kehidupan bagaikan neraka, Sena bisa saja tersiksa kembali. Aku hanya ingin adikku aman dari siksaan mereka, apalagi dari ibu tiri yang ternyata berbahaya baginya. Sebuah notifikasi SMS masuk terlihat pada layar ketika kulihat kembali kontak. Kutekan notifikasi untuk membaca pesan dari Bang Fandy. Sorry baru bls, Yosh. Hari ini Abang sampai mlm latihan badminton. Paling besok Abang kosong. Ujiannya tinggal Senin doang. Aku segera membalas, Yaaaa… Yoshi udah keburu nyampe.,Bbsk Yoshi ke kampus Abang ya Oke, aku tidak bisa menginap di kosan Bang Fandy malam ini, berarti aku harus mencari penginapan untuk sementara. Kalau mengingat jumlah budget yang kucuri dari Ayah, aku tidak bisa boros hanya untuk menyewa kamar hotel mahal, apalagi yang sudah terkenal dan mewah. “Kakak?” panggil Sena. “Nanti kita … ke kosannya Bang Fandy habis ini?” Aku menjawab, “Uh … Bang Fandy-nya lagi ada acara sampai malam. Jadi … kita bakal cari penginapan.” “Hotel?” “Iya, Sena. Kita bakal cari tempat buat istirahat. Kakak juga enggak puas tidurnya. Sena juga, kan?” “Jogja! Jogja! Harap periksa kembali barang bawaan Anda!” seru petugas ketika bus yang kami tumpangi telah parkir. “Ayo, Sena. Kita sarapan dulu.” Aku mengambil tas sebelum bangkit mengajak Sena keluar dari bus. *** “Dua nasi gorengnya, De, silakan.” Dua piring nasi goreng telah tersaji di meja hadapanku. Karena belum sarapan, aku mengajak Sena untuk makan di warung dekat terminal bus. Kebanyakan warung makan dekat terminal merupakan lapak kaki lima, tempat duduknya beratap … mungkin kain biru, aku tidak yakin atapnya terbuat dari apa, kurang lebih menyerupai tenda. Kutatap sepiring nasi goreng yang telah mendarat di hadapanku. Bumbu nasi goreng berkecap manis mewarnai setiap butiran nasi bercampur telur orak-arik dan sayuran, kebanyakan wortel, buncis, dan bawang, Setidaknya tampilan sepiring nasi goreng seperti yang kulihat benar-benar khas pedagang kaki lima, mungkin tidak seelegan di restoran. Aku mengangkat tangan pada seorang pedagang yang merupakan seorang wanita berjilbab merah. “Oh, maaf, Bu. Apa di sini ada yang tahu penginapan murah?” “Oh, ada. Nanti saya panggilkan ya. Mau sekarang?” “Nanti aja, Bu. Habis makan aja.” “Berapa semuanya, Bu?” salah satu pelanggan yang telah menyelesaikan makan bertanya. “Dua empat ribu, Mas,” jawab wanita itu. Kutatap Sena hanya mengaduk-aduk sepiring nasi gorengnya di sampingku, sama sekali belum memasukkan sesuap ke dalam mulut. Sial, aku lupa, nasi gorengnya juga bercampur sayuran, harusnya aku bilang buat dia tidak pakai sayuran. Dengan tenang, aku bertanya, “Enggak makan, Sena?” Sena hanya terdiam, masih menggerakkan sendok hanya untuk mengaduk nasi gorengnya. Hiasan sayuran pada sepiring nasi gorengnya kini seperti terselimuti butiran nasi berwarna coklat. “Kalau enggak mau makan sayurnya, sisihin aja, entar Kakak aja yang makan.” Sena menggeleng. “Bukan, Kak. Sena … kangen ….” “Sena.” Kurangkul bahunya. “Kakak ngerti kita enggak di luar kota sama Ayah, ini juga pertama banget buat Kakak.” “Bukan, Kak. Sena … kangen … masakan Ibu.” “Ibu?” Mendadak, aku teringat setiap kenangan ketika Ibu selalu memasak untuk kami. Sejak kedatangan ibu tiri, jarang ada yang memasak makan untuk keluarga, hanya mengandalkan delivery dari restoran atau hanya beli di warung. Ibu sering sekali memasak makanan enak untuk keluarga, terutama nasi goreng untuk sarapan saat akhir pekan. Ketika menatap nasi goreng yang berada di hadapanku sekali lagi, aku ingat bagaimana rasanya, gurih, asin, dan manis bercampur dengan kasih sayang. Aku yakin, kasih sayang dari Ibu dulu menambahkan rasa enak dan nikmat ketika memakan setiap suap masakannya, terutama nasi goreng buatannya. “Kakak juga kangen masakan Ibu. Ya, ini penampilannya mendekati buatan Ibu, jadi … anggap aja Sena makan nasi goreng buatan Ibu pas weekend. Hari Sabtu kan ini? Ya, emang beda banget sama buatan Ibu, tapi Sena anggap aja gitu, biar bisa nafsu makan. Nah, ayo makan.” “I-iya, Kak.” Sena mulai memasukkan sesuap nasi gorengnya. “E-enak banget, Kak.” Aku mengangguk. “Iya, gitu dong. Habisin ya. Kalau enggak suka sama sayurnya, sayurnya buat Kakak aja ya.” “Enggak usah, Kak. Sena … juga suka sayurnya,” ucapnya sambil menikmati satu suap lagi. Giliranku untuk memasukkan suapan pertama pada mulutku. Kuambil sesendok beberapa butiran nasi dan potongan telur dan sayuran dan memasukkannya ke dalam mulut. Rasa asin, gurih, dan manis dari resapan bumbu pada nasi bercampur kesegaran dari sayuran mendarat di lidah. Rasanya … mungkin tidak mirip dengan buatan Ibu, karena … rasa kasih sayang … tidak semirip buatan Ibu. Aku menatap Sena mulai cepat melahap nasi goreng di hadapannya, dia telah menganggapnya sebagai nasi goreng buatan Ibu. Kalau saja Ayah bisa masak … mungkin … keluargaku tidak akan bergantung pada delivery, restoran, atau warung. Kalau saja Ayah bisa menambahkan kasih sayang pada masakannya dulu, aku tidak tahu apakah Sena akan bernasib lebih baik. #8: Bantuan Membutuhkan waktu cukup lama agar mecari hotel yang setidaknya tidak menghamburkan banyak uang, apalagi aku tidak ingin boros uang terlalu cepat. Aku tahu kebanyakan kamar hotel bintang lima pasti harganya fantastis hingga uangku tidak cukup. Apalagi ini adalah uang yang kucuri dari Ayah, beberapa lembar uang masih berada di dalam dompetku, harus cukup untuk makan, apalagi tidur. Rencanaku untuk meminta bantuan Bang Fandy belum berjalan sama sekali. Bang Fandy bilang lewat SMS dia akan ada kegiatan klub badminton sampai malam, paling tidak tengah malam. Sebenarnya aku hanya ingin mengeluarkan uang hanya untuk makan dan transportasi, sayang sekali, terpaksa aku mencari hotel yang murah. Setelah selesai memakan nasi goreng dan membayarnya, ibu penjaga warung memanggil seorang bapak-bapak yang mungkin tahu tentang hotel. Bapak-bapak itu rela mengajakku dan Sena menumpang di mobilnya hanya untuk mencari hotel. Satu per satu hotel kami datangi, setidaknya hotel murah. Tapi … aku bingung apakah ada yang lebih murah daripada setiap hotel yang kami datangi. Katanya, kamar hotel termurah seharga 150 ribuan, sementara aku … tidak ingin kehilangan beberapa lembar uang begitu cepat. Lebih buruknya, kamar hotel termurah banyak yang sudah fully booked ketika mengunjungi satu per satu hotel, entah karena ini weekend atau bukan, pasti banyak yang berkunjung ke Jogja sambil menginap setelah merasakan penat pada akhir semester. Tidak, pokoknya aku tidak ingin kembali lagi, jangan sampai. Pokoknya aku harus cari hotel murah agar Sena bisa tidur dengan tenang, tidak terganggu lagi oleh siksaan ibu tiri. Aku ingin Sena tetap aman bersamaku apapun yang terjadi. “Oh! Halo?” Bapak-bapak yang rela mencarikan kami kamar hotel murah berbicara lewat telepon. “Oh ya! Di sebelah mana?” “Sabar ya, Sena. Bentar lagi ketemu.” Itulah kata-kata yang hanya bisa kuucapkan saat ini pada Sena, mungkin akan menjadi sebuah kebohongan demi menenangkannya. Ini dia, berkeliling kota lagi hanya demi sebuah tujuan, hotel yang mungkin akan menjadi tempat singgah kami untuk malam ini. Semoga saja harga kamar hotelnya murah dan tidak penuh. Begitu tiba, halaman hotel yang kami kunjungi bukanlah sebuah gedung dengan faktor wow, malahan lebih sederhana dari itu. Tidak banyak mobil yang parkir di depan halaman hotel. Kalau tidak salah, atapnya mirip rumah adat tradisional di Jogja, pokoknya bagian atap pada setiap sisi atap seperti bertanduk lancip. “Tumben sepi,” ucap bapak-bapak itu seraya parkir dan mematikan mesin mobil. “Semoga benaran enggak penuh ya, Mas.” Aku dan Sena turun dari mobil dan memasuki hotel itu sambil membawa tas, memasuki ruangan depan dari hotel itu, ruang akomodasi. Aku berharap setidaknya masih ada kamar kosong kalau harga sewanya murah. Ah … aku baru ingat, aku bisa saja cari di internet untuk mencari promo kamar hotel murah. Tapi … internet di ponselku sengaja tidak kuaktifkan sama sekali, aku hanya mengandalkan bapak-bapak yang rela membantuku mencari kamar hotel murah. Beruntung, kamar murah masih ada, kamar kelas ekonomi, sudah termasuk sarapan, seorang resepsionis berseragam putih dengan ramah mengatakan bahwa kamar seperti itu masih tersedia, setidaknya, aku tidak perlu mengeluarkan begitu banyak lembar uang pecahan seratus ribu. “Ini kuncinya, Mas,” sang resepsionis memberikanku sebuah kunci kamar hotel. Mengingat aku masih SMA, tentu kuanggap aneh kalau diriku menyewa kamar hotel tanpa pengawasan orang dewasa, apalagi orangtua. Dengan canggung, kuterima kunci itu sambil tersenyum. “Te-terima kasih,” ucapku sambil mengangguk-angguk. Kutatap bapak-bapak yang telah menolongku mencari hotel murah sambil berterima kasih. “Te-terima kasih, Pak, udah bantu cari kamar.” “Sama-sama, Mas. Oh ya, enggak sama orangtua ke sininya?” Aku lagi-lagi berbohong, “Um … lagi pengen liburan sendiri, Pak.” “Baiklah, Mas. Saya pamit.” Bapak-bapak itu meninggalkan ruangan depan hotel. *** “Akhirnya bisa tiduran, Kak!” seru Sena mulai berbaring di tempat tidur bersprei putih dengan motif mirip batik berwarna cokelat menghadap televisi. Kututup pintu yang terletak di dekat televisi dan menguncinya. Dinding biru, dua lukisan tertempel di dinding, gorden cokelat, cermin, meja, dan pintu kamar mandi bisa kulihat saat berbalik menatap di dalam kamar. Memang murah dan sederhana, setidaknya cukup nyaman untuk beristirahat. Aku memasang senyuman ketika menatap Sena akhirnya melepas ketidaksabarannya untuk segera berbaring di tempat tidur. Lelah, apalagi setelah apa yang dia alami selama ini. Aku juga lelah harus berlama-lama duduk dan berdiri tanpa berbaring di tempat tidur sangat lama. Ketika kutaruh tas di dekat meja dan kursi menghadap cermin dinding, kurasakan ponselku bergetar di saku celana. Kuambil ponsel dan menatap jam telah menunjukkan hampir pukul dua siang dan sebuah notifikasi pesan dari Bang Fandy. Hampir pukul dua siang, begitu lama kami berangkat naik bus, makan nasi goreng, dan mencari hotel murah. Kulihat pesan dari Bang Fandy, oooh… nginep dmn? Kubalas pesan itu dengan mengetik nama dari hotel di mana kami menginap untuk malam ini tanpa perlu bertele-tele lagi. Kuanggap ini sebuah pertanda bahwa Bang Fandy akan bersedia untuk menerima kami di kosannya besok untuk menginap. “Kak,” panggil Sena. “Ya, Sena?” “Apa … kita bakalan ke Bang Fandy besok?” Aku ikut berbaring di tempat tidur sambil mengambil guling yang menjadi pembatas antara diriku dan Sena. “Kakak juga enggak tahu. Kalau misalnya enggak bisa, mau enggak mau, cari tempat lagi, terus … butuh duit. Kakak juga punya duit enggak banyak.” “Terus … gimana dong kalau enggak punya uang lagi?” “Mau enggak mau, paling kita tidur di jalan, kayak anak jalanan, pengemis, sama pengamen. Tapi … kalau tidur di jalan, kan Sena enggak nyaman, Kakak juga enggak bakal nyaman. Dingin, terus … harus tidur di pinggir jalan, bukan di kasur kayak ginian.” Kutepuk kasur itu dengan pelan. “Kalau gitu nanti dapat uangnya gimana?” “Kakak enggak tahu. Tapi … jangan sampai kita ikut-ikutan ngamen atau ngemis, secara enggak langsung kita maksa minta bayaran sama orang lain. Paling simple jualan tisu, terus air, atau enggak rokok. Mendingan jualan aja daripada ngemis atau ngamen sebenarnya.” “Terus … kalau bisa jualan, kok masih ada yang ngamen sama ngemis, Kak? Terus, ada anak kecil juga yang ngemis di jalanan.” Kuletakkan telapak tangan sebagai bantalan kepala sambil menjawab, “Kakak juga enggak ngerti … kenapa mereka lebih milih ngemis atau ngamen daripada jualan sesuatu. Kalau menurut Kakak, mereka malah milih jalan pintas buat cari uang. Tapi … jalan pintasnya kan enggak ada usaha, enggak ada rintangan. “Ibu pernah bilang … kesuksesan itu … didapat saat kita … dapat rintangan sebanyak-banyaknya. Kalau kita dapat rintangan, mau enggak mau kita harus hadapi, bukan hindari. Rintangan itu buat diselesaikan. Gini, ujian di sekolah itu masuk rintangan, ya diselesaikannya dengan ngerjain semua soal, terus … hasilnya … berupa nilai. Gitu contohnya, nanti makin banyak rintangan yang diselesaiin, banyak hasil, bisa jadi itu pengalaman, bisa jadi itu sukses, bisa jadi itu uang. “Contoh lagi deh, Bang Fandy lagi kuliah sekarang, Bang Fandy lagi menghadapi rintangan buat jadi lebih dewasa, terus nanti pas lulus kuliah, dapat kerja. Gitu lho, Sena.” Ketika aku selesai berbicara, Sena tidak menjawab. Aku bangkit sejenak untuk memanggil Sena sejenak. Kulihat Sena sudah menutup mata, tertidur, sedikit mendengkur, menghadap guling yang menjadi pembatas. Aku menjawab pertanyaannya terlalu panjang hingga mengantuk. Aku akan biarkan Sena tidur sambil berbaring setelah sekian lama hanya duduk dan berdiri. Perjalanan begitu panjang membuatku juga lelah, meski sudah tidur sambil duduk di dalam bus. Aku juga butuh istirahat. *** “KPK mengumumkan setidaknya enam orang tersangka baru dalam kasus suap terkait sejumlah proyek.” Suara news anchor dari siaran televisi merupakan hal pertama yang kudengar ketika bangun tidur. Aku duduk sambil mengumpulkan tenaga sambil menatap Sena sedang menonton TV. Sial, lagi-lagi berita tentang korupsi. Kenapa setiap berita korupsi selalu muncul sebagai headline news atau berita utama, mulai dari koran, televisi, hingga situs berita? Ini sebabnya … aku tidak ingin berminat atau percaya pada politik, apalagi beritanya. Aku ingat ada seorang teman yang pernah membahas ini di kelas. Katanya, pantas saja banyak proyek yang belum selesai, termasuk monorel, jalan tol, hingga untuk penanggulangan banjir, tetapi … malah terhambat, dia menyalahkan pejabat yang membawa kabur setiap dana dari proyek itu, singkatnya, dananya malah dikorupsi. Pejabat bisa jadi kaya tanpa memedulikan rakyatnya sendiri. Cukup, aku tidak ingin melihat berita tentang korupsi seperti itu lagi. Aku menambil remote control dan memindahkan menuju channel lain. Kalau bukan sinetron yang kualitasnya jangan ditanya lagi, paling tidak komedi ber-gimmick dan reality show rekayasa mendominasi jam sore televisi negeri ini. Setidaknya, kupindahkan ke channel yang menampilkan acara komedi tentang konten di media sosial. Aku bangkit setelah meletakkan remote di dekat Sena. “Sena, Kakak bisa tinggalin dulu bentar enggak?” “Kemana, Kak?” Sena dengan polos bertanya. “Mau ke minimarket. Sena mau dibeliin apa?” “Um … cokelat aja, Kak.” “Oke deh. Kalau misalnya ada orang yang ngetuk, jangan dibuka ya. Kakak bentar kok ke minimarketnya. Baik-baik ya!” Aku pamit sambil membuka pintu kamar untuk keluar. “Hati-hati, Kak,” ucap Sena sebelum menutup pintu. Saat keluar dari kamar, kusadari aku masih memakai jaket biru, berarti aku tidak sempat melepas jaket sebelum ketiduran, pantas saja! Kulihat juga taman rumput berbunga-bunga di hadapan masing-masing kamar, dekat ruang depan adalah sebuah restoran yang memang sepi pada sore hari. Kuambil ponsel sambil berjalan menuju halaman depan hotel. Kulihat notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab telah menanti saat ketiduran, dari Bang Fandy. Sial, aku tidak sempat membaca apalagi membalas pesannya! Kuhentikan langkah untuk membaca pesan dari Bang Fandy, Agak sorean Abang otw, latihan badmintonnya g jd. Ah! Bang Fandy mungkin udah berangkat dari kosan beberapa jam setelah aku dapat pesan ini! Sial! Aku tidak sempat membalasnya karena ketiduran! Kalau begitu, aku mulai mengetik pesan balasan secepat mungkin. Ketikanku terganggu ketika muncul notifikasi bahwa ada panggilan masuk dari Bang Fandy. Karena tidak ingin membiarkan Bang Fandy menunggu lagi, kujawab panggilan itu dan kudekatkan layar ponsel pada telinga. “Halo?” “Yoshi!” jawab Bang Fandy. “Lama banget balas SMS-nya.” “So-sorry, Bang. Tadi Yoshi ketiduran.” “Yoshi, Abang lagi otw dari kosan, masih di sana, kan?” “I-iya, Bang.” Mendadak, aku teringat kalau aku sama sekali belum mengungkapkan alasan mengapa aku dan Sena berada di Jogja. Bang Fandy sama sekali belum tahu kondisi Sena yang menjadi alasan mengapa kami berada Jogja sekarang. Mungkin, ini kesempatan untuk memberitahunya, lewat telepon. “Bang Fandy.” “Kenapa, Yosh?” Tunggu? Haruskah aku bilang sekarang? Kalau aku bilang, bagaimana reaksinya? Apakah ini momen yang tepat untuk menceritakannya? Apalagi dalam percakapan telepon? Aku mengurungkan niat untuk menceritakannya setelah jeda selama lima detik, “Enggak jadi.” “Yaaa, gimana sih? Ya udah, tunggu ya!” Bang Fandy menutup percakapan. Ah! Sialan! Baru kusadari setelah Bang Fandy menutup telepon, aku lupa mungkin Bang Fandy juga akan ikut menginap di kamar hotel yang kusewa! Aku yang memintanya untuk menumpang di kosannya. Aku sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi jika orang di kamar yang kusewa bertambah satu lagi. #9: Kejujuran Abang udah nyampe! Ketika pesan itu muncul di ponselku, aku menuju halaman depan hotel, menyambut kedatangan Bang Fandy yang telah tiba di sana. Aku masih berpikir sambil berjalan menuju sana, apakah aku memang harus menceritakan sejujurnya pada Bang Fandy? Apa tidak apa-apa kalau Bang Fandy rela menginap di kamar hotel yang kusewa? Padahal bisa saja dia menunggu di kosan hingga besok jadi tidak akan merepotkannya atau diriku. Aku tercengang ketika menghentikan langkah, menatap Bang Fandy menerima kembalian dari pengemudi ojek online. Kulihat dia memakai jaket biru muda, kaos oblong merah, dan celana training panjang biru, mungkin habis latihan badminton, tapi tidak jadi sampai malam. “Yosh!” sapa Bang Fandy begitu ojek tumpangannya pergi. “B-Bang ….” Aku masih kebingungan kenapa Bang Fandy bela-belain kemari. “Jadi ini hotelnya ya?” “Ya,” jawabku. “Itu bawa apa?” “Gudeg nih! Buat makan malam! Belum makan, kan?” Bang Fandy menunjukkan kantong plastik yang dia bawa ketika kami kembali ke dalam hotel menuju kamar. “Belum. Kok repot-repot juga?” “Ya, Abang kira kamu sama Sena belum makan. Seenggaknya, lagi liburan habis ujian, kan?” Aku mengangguk ketika kami telah berada di hadapan pintu kamar. “Ba-baik banget Abang.” Aku membuka pintu, menunjukkan kamar hotel yang sederhana dan tidak se-wow sesuai bayangan Bang Fandy. “Sena, ada Bang Fandy nih.” “Eh! Sena!” sapa Bang Fandy pada Sena yang masih bermain game di ponselku. “Sena, pause dulu dong game-nya,” suruhku. “Ha-halo, Bang Fandy,” sapa Sena masih duduk di kasur. “Udah gede aja kamu!” seru Bang Fandy ikut duduk di samping Sena. “Udah lama enggak ketemu! Abang bawa makan nih! Belum makan, kan?” “Be-belum,” jawab Sena malu-malu. “Bang Fandy, enggak apa-apa nih … Abang juga nginap? Yoshi … jadi … ngerepotin nih.” “Enggak apa-apa. Kan biasanya ada sarapan gratis kalau sewa kamar hotel. Benaran kan ada sarapan gratis?” Bang Fandy mulai senyam-senyum. “Jadi … itu alasan Abang bela-belain nginap di sini bareng Yoshi?” Aku mengambil kantong plastik berisi makanan dari Bang Fandy. “Ingat lho! Manfaatin kalau ada yang gratis, apalagi makanan, mumpung gratis lho!” Bang Fandy mengingatkan perkataannya saat menghadiri pernikahan Ayah dan Wilhelmina. “Itu alasan macam mana, Bang?” Aku membuka setiap bungkus makanan di lantai. “Eh? Sena, ini … kenapa ya?” Bang Fandy menatap goresan pada lengan Sena. Oh tidak! Aku lupa! Aku masih lupa kalau Bang Fandy belum tahu apa yang terjadi sebenarnya pada Sena. Aku berbalik menatap Bang Fandy melihat beberapa goresan pada lengan Sena, menyadari bahwa aku masih mempertimbangkan apakah aku harus mengatakan sejujurnya. Bang Fandy masih belum tahu kalau aku dan Sena sebenarnya melarikan diri dari rumah, aku … tidak ingin Bang Fandy kecewa denganku karena telah menjadi semacam pemberontak, paling tidak … aku takut aku akan membuat Bang Fandy marah dan kecewa meski kuberitahu kenapa aku melarikan diri. “Ini … juga kenapa nih?” Fandy menunjuk … warna lain pada kulit leher Sena. Kenapa Bang Fandy jadi ingin tahu tentang apa yang terjadi pada Sena? Kenapa? Aku … tidak bisa membiarkannya, aku tidak ingin Bang Fandy tahu untuk sekarang. Mungkin nanti aku akan cerita semuanya saat sampai di kosan. “Bang, bantuin dong!” seruku mengalihkan perhatian Bang Fandy. *** Kutatap layar ponselku menunjukkan sudah pukul 9:11 malam, begitu melelahan, tidak terasa siang hari harus berlalu menuju larutnya sinar bulan di luar. Aku terdiam di kasur menatap Sena yang sudah ketiduran sehabis makan malam. Bang Fandy berada di bagian terdepan kasur sambil menonton acara debat di televisi setelah sekian kali dia memindah-mindahkan channel menggunakan remote control. Kudekati dia sambil mendengar topik dari acara debat itu. Sial, topiknya lagi-lagi korupsi. Dengan cepat, aku mengambil remote dari genggaman Bang Fandy dan memindahkan ke channel lain. Aku muak dengan korupsi yang selalu menjadi perbincangan publik, apalagi berkaitan dengan politik. “Oh ya, Yosh, itu Sena kenapa ya?” Bang Fandy mulai bertanya. “Eh? Kenapa apaan?” “Itu … ada … semacam luka gores atau memar di lengannya, terus … lehernya juga … kelihatannya bengkak.” “Um–” Aku sekali lagi berbohong, “–Sena bilang itu … habis ngupas mangga, jadi … kena pisau. Terus … dia juga gadang buat belajar. Sena juga … bilang … dia kepeleset pas lantainya habis dipel. Dia juga … bosan, jadi … pengen ketemu Bang Fandy juga. Yoshi juga … pengen ketemu Bang Fandy, udah lama enggak ketemu sih, terakhir ketemu pas Ayah nikah lagi.” Entah kenapa, kebohonganku semakin bertele-tele. Kalimat yang terlontar dari mulut Bang Fandy adalah yang tidak ingin kudengar. “Apa … kamu ngarang?” “Kata siapa? Enggak.” “Enggak usah ngarang, Yosh. Abang tahu kalau luka kayak gitu bukan dari pisau, apalagi bukan yang enggak disengaja.” Aku menundukkan kepala sejenak. “Ma-maafin Yoshi, Bang.” “Yosh, kalau kamu ada masalah, mending cerita aja, jujur aja sama Abang. Abang bakal ngerti.” “Ta-tapi … kan … Abang enggak bakal ngerti kalau Yoshi–” Bang Fandy memotong, “Coba cerita dulu, Abang pasti dengar kok. Abang usahain ngerti kok.” Aku menghela napas sambil menundukkan kepala, mempertimbangkan apakah aku harus mengatakan sejujurnya mengenai alasan aku dan Sena berada di sini, meminta bantuan Bang Fandy untuk menginap di kosan untuk sementara waktu. Bang Fandy merangkul bahuku. “Ya udah, kalau enggak mau cerita. Paling nanti kalau udah siap.” Ini adalah keputusan sulit bagiku. Bang Fandy tahu aku mengarang alasan mengapa ingin menemuinya. Aku … tidak ingin terlalu cepat mengungkapkannya, kalau sebenarnya Sena telah menjadi korban siksaan ibu tiri, apalagi Ayah yang telah ikut-ikutan menyerang. Aku tahu Bang Fandy juga … mungkin bisa kupercaya, tapi … apakah ini terlalu cepat untuk menceritakannya? Bolehkah aku begini? Terus menyembunyikannya? Apakah akan lebih tenang jika Bang Fandy terus menanyaiku? Apakah Bang Fandy akan percaya dengan kenyataan yang telah Sena alami selama ini? Aku memalingkan wajahku sejenak, memikirkan apakah aku harus terbuka terhadap Bang Fandy. Bang Fandy memang sepupu terdekatku, kami benar-benar sahabat karib, aku … tidak ingin membiarkan persahabatan kami yang telah kami bangun sejak kecil retak hanya karena ganjaran dari keputusanku. “Yosh? Ya udah, kalau enggak mau cerita–" “Bang,” panggilku ketika aku spontan memutuskan. “Sebenarnya … Yoshi sama Sena … kabur dari rumah. Sorry udah bohong sama Abang. Sena … disiksa sama ibu tiri.” “Eh?” ucap Bang Fandy tercengang. “Disiksa? Benaran?” “Iya, Bang.: Aku mulai bercerita, “Pas jemput dia habis ujian … Yoshi lihat … luka di lehernya. Terus … pas malam, Yoshi ngedengar suara teriak anak kecil minta ampun sama ibunya yang nyiksa, Yoshi kira … itu dari tetangga sebelah. Pas malam berikutnya … Yoshi tuh sadar. Sena ternyata anak kecil yang minta ampun waktu itu.” Aku tidak tahu harus bercerita seperti apa, karena … gejolak emosi telah bercampur di pikiranku, entah karena aku tidak ingin menceritakan yang sebenarnya atau bukan. Ceritaku seperti bertele-tele, aku takut kalau Bang Fandy tidak akan mengerti. Aku mengepalkan kedua tangan sambil merunduk kembali. “Yoshi … enggak percaya, kalau ibu tiri di dunia nyata itu … ternyata sama aja kayak di kebanyakan cerita, seenggaknya buat Yoshi sama Sena. Ibu tiri … udah nyiksa Sena selama ini … sementara … Yoshi enggak tahu apa-apa. Apalagi … pas Yoshi nemu Sena pingsan sepulang dari futsal. “Yoshi bawa Sena ke rumah sakit, terus … Sena cerita semuanya, semuanya, tentang gimana dia disiksa ibu tiri. Pantasan aja Sena takut dekat-dekat sama ibu tiri, apalagi pas dia bilang ke Ayahnya. Ayahnya akhirnya nyiksa dia juga! Nyiksa terus tinggalin gitu aja sebelum Yoshi nyampai rumah! Kalau Yoshi pulang malam banget habis dari futsal … Yoshi enggak tahu Sena bakal gimana. Sena bisa aja mati!” “Yosh ….” Bang Fandy menepuk pundakku. “Kenapa … kenapa harus Sena yang jadi korban? Kenapa harus dia? Kalau aja Ibu … masih ada … enggak bakal gini jadinya! Yoshi … bisa aja manggil polisi, tapi … Yoshi enggak mau lama-lama nunggu. Yoshi enggak mau Sena menderita lagi. Apalagi … saat dia kangen Ibu. Ibu tiri bilang … dia bakal jadi baik, tapi kenyataannya beda. Kayak enggak ada rasa kasih sayang seperti Ibu dulu,” aku semakin bertele-tele dalam bercerita. Eh? Kurasakan beberapa butir air mata menetes menuju pipi, semakin ingin kuledakkan bom emosi yang tergejolak di pikiranku, apalagi ketika memikirkan Ibu, apalagi ketika memikirkan bagaimana Sena akan bahagia kalau Ibu benar-benar masih ada. Kuhapus air mataku menggunakan lengan, aku tidak ingin menangis, aku hanya ingin marah. Aku benar-benar marah pada Ayah dan ibu tiri yang telah menyiksa Sena habis-habisan tanpa pernah memikirkan kasih sayang darinya, tidak seperti Ibu dulu. Semakin kuingat, semakin ingin kuledakkan seluruh tumpukan emosi. Entah kenapa, wajah Ibu terbayang kembali. Aku ingat saat Ibu memberi segala sesuatu padaku penuh kasih sayang. Saat aku sedang ada masalah, aku selalu ceritakan semuanya pada Ibu, bahkan termasuk saat Ayah memarahiku sampai menangis. Aku … rindu saat Ibu selalu ada untuk menghiburku. “Ke-kenapa?” Aku kembali mengusap air mata yang tidak ingin berhenti mengalir. “Kenapa? Enggak! Enggak! Enggak boleh! Enggak–" Aku tidak ingin menangis lagi. “Yoshi.” Fandy kembali menepuk pundakku. “Ma-maaf, Bang. Yo-Yoshi … enggak tahu kenapa … kebayang Ibu pas cerita.” “Yoshi, jangan ditahan. Mending nangis aja. Keluarin aja semuanya.” Kusandarkan kepalaku pada bahu kiri Bang Fandy, entah kenapa, secara spontan aku butuh bantalan untuk meledakkan seluruh emosi. Tangisanku benar-benar meledak, apalagi ketika mengingat kembali saat Ibu masih ada. Aku menjerit pelan dan merengek seperti anak kecil, begitu kangen dengan Ibu. Bukan hanya itu, aku juga terbayang kembali cerita Sena waktu di rumah sakit bahwa … ternyata sang ibu tiri kerap menyiksanya. Aku … mungkin benar-benar bodoh mengambil keputusan, kuajak Sena melarikan diri dari rumah agar dia selamat dari siksaan fisik dan mental oleh ibu tiri dan Ayah. Kalau Bang Fandy … tidak ada … aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku yang bertanggung jawab atas Sena, adikku sendiri. Bagaimana kalau aku dan Sena tidak punya uang lagi saat melarikan diri? Bagaimana kalau aku dan Sena memang harus kembali? Bagaimana kalau … aku dan Sena berakhir tinggal di jalanan dan menjadi pengamen atau pengemis? Apakah aku harus pasrah begitu saja? Kuledakkan seluruh pikiran bercampur emosi melalui tangisan dan rengekan di hadapan Bang Fandy, sampai-sampai aku terengah-engah dalam mengambil napas untuk menyeimbangkan diri. Semua emosi yang telah menjadi beban kulampiaskan menjadi tangisan. Meski pun sulit dan berat, kualihkan pikiran sejenak, mengingat kembali saat Ayah menikah lagi dengan Wilhelmina. Aku bisa membayangkan Ayah mampu mendapat kebahagiaannya kembali, begitu juga dengan Sena yang membutuhkan figur sang ibu. Awalnya aku pikir … keluargaku akan bahagia kembali. Seharusnya kami berempat mampu saling memberi kasih sayang … memang seharusnya. *** “Eh?” Aku bangkit begitu membuka mata dan kembali ke dunia nyata setelah berlama-lama di dalam kegelapan. “Lho? Aku … ketiduran?” Kutatap sebelah kiri yang dibatasi oleh guling, Sena masih terlelap di dalam mimpinya. Kuambil ponselku yang menunjukkan sudah pukul 05:21. Kusentuh kening sejenak, kebingungan apa yang telah terjadi semalam. Berat untuk mengingat setiap detil peristiwa yang telah kualami hingga akhirnya tertidur. Aku seperti telah menghadapi hangover. Kudengar pintu kamar mandi telah terbuka. Aku mengalihkan pandangan menuju sebelah kanan, menatap Bang Fandy baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan boxer hitam. Seperti dugaanku, badannya cukup kekar, perutnya hampir terbentuk beberapa kotak, mungkin dia sering berolahraga selain hanya latihan badminton. “Udah bangun, Yosh?” Bang Fandy meletakkan handuk merahnya di atas bahu. “Ya. Tadi malam … kenapa ya? Yoshi … ketiduran.” Bang Fandy tersenyum sambil menjawab, “Kamu cerita semuanya, terus … kamu nangis sampai ketiduran. Ya … awkward juga apalagi sama-sama cowok. Terus … kamu tidurnya … enggak bisa diam, sampai pelukan sama Abang segala, erat … amat peluknya, Mas.” “EEEEEH!!” jeritku tercengang ketika mendengar kenyataan kalau aku memeluk Bang Fandy saat tertidur. “Aku tidur sampai meluk Abang? Ma-maaf, Bang!” “Oh ya, Yosh. Jadi … mau gimana sekarang?” Fandy berlutut membuka risleting tas ranselnya. “Eh? Apaan?” “Jangan bilang apaan lagi. Kamu kan udah ceritain semuanya tadi malam.” Bang Fandy mengambil kaos oblong hitam dan memakainya. “Um …. Enggak tahu mau gimana. Palingan … Yoshi nginap di kosan Abang. Ya … Abang juga bentar lagi pulang habis ujiannya selesai, Yoshi enggak tahu mau nginap di mana lagi habis Abang balik ke Surabaya.” “Gimana kalau balik bareng ke Surabaya?” tawar Bang Fandy. Aku melongo, “Bilangnya aja gampang, terus … enggak ngerepotin kalau Yoshi sama Sena tinggal di rumah Abang sementara? Terus gimana dong bilang ke Tante-nya? Yoshi enggak bisa bilang kalau Yoshi sama Sena kabur dari rumah gara-gara masalah yang udah disebutin tadi malam gitu aja dong. Jadi enggak enak juga ke Abang, ke Tante, terus sama keluarga Abang sendiri.” “Nanti Abang pikirin!” Bang Fandy duduk di sampingku begitu dia memukul pelan pundakku. “Kan kasihan ke kamu juga, kasihan Sena. Abang jadi enggak enak kalau kalian harus tinggal di jalanan, terus … Abang juga enggak bisa ngelihat kalian kepaksa pulang, apalagi … ujung-ujungnya kamu sama Sena bakal menderita lagi.” “Bang … apa … enggak repot?” “Slow aja! Udah gih, sana mandi. Habis sarapan, kita langsung check out terus cabut ke kosan! Lagian sarapannya gratis, kan?” “Huh! Abang nginap cuma ngincar sarapan gratis!” Aku bangkit. “Sekalian ngebantu juga! Kan kasihan kamu sama Sena.” tambah Bang Fandy ketika aku melangkah menuju kamar mandi. Syukurlah, untung Bang Fandy bisa mengerti inti dari ceritaku yang bertele-tele semalam. Mungkin ada yang belum kuungkapkan padanya, tapi … tinggal menunggu waktu untuk melanjutkan agar Bang Fandy dapat lebih mengerti lagi. #10: Kepercayaan “Bang, sorry ya. Yoshi … malah jadi makin ngerepotin Abang,” ujarku ketika kami bertiga sedang menikmati sarapan roti bakar olesan selai dan mentega tawar di area restoran hotel. “Ya … Abang percaya kamu enggak pengen cerita dulu sama Ibu atau keluarga Abang sendiri. Kan kasihan kamu sama Sena, udah jauh-jauh ke sini mau ketemu Abang. Abang enggak enak ngebiarin kalian jadi anak jalanan,” jelas Bang Fandy. “Oh ya, Bang. Yoshi … kayak masih … enggak jelas ceritanya semalam?” “Abang ngerti kok yang udah kamu ceritain, Yosh. Sekarang … Abang pengen bantu kamu sama Sena, seenggaknya buat sementara waktu. Entar … Abang SMS ke Ibu kalau kamu dan Sena nginap di kosan terus ikutan ke rumah. Simple, ya … alasannya mau liburan ke, mau ketemu sama Abang ke–” “Uhuk! Uhuk!” perkataan Bang Fandy terpotong ketika kudengar Sena batuk. “Lho? Sena batuk?” ucapku. Sena melanjutkan makan roti isi olesan selai dan menteganya sambil menjawab, “Sena enggak apa-apa, Kak. Cuma ada yang ketinggalan di tenggorokan.” “Oh ya, Kakak ambilin air hangat ya, biar enak tenggorokannya.” Aku bangkit dari tempat duduk menuju meja buffet sarapan sederhana. Beberapa bungkus berisi beberapa lembar roti yang begitu banyak, toaster untuk memanggang roti, beberapa bungkus kotak selai dan mentega, kopi bubuk, teh, dan dispenser air hangat serta dingin telah tertata di atas meja bertaplak meja putih. Wajar, tidak se-wow yang kubayangkan, hanya ada satu menu sarapan, roti bakar. Kuambil cangkir di laci terbuka di bagian bawah meja. Kutuangkan air panas pada cangkir hingga terisi setidaknya mendekati penuh. Kuangkat cangkir itu sambil berbalik. Kutatap juga beberapa meja telah terisi oleh tamu hotel lainnya yang sedang menikmati sarapan gratis. Begitu aku kembali ke meja semula membawakan secangkir air hangat untuk Sena, kutatap Fandy memperlambat makan roti bakarnya, seakan-akan sedang menikmati secara berlebihan, memang dia hanya mengincar sarapan gratis khusus tamu hotel. “Enggak usah gitu juga kali!” sambutku sambil meletakkan secangkir air hangat di hadapan Sena. “Nikmatin lah mumpung gratis!” bela Bang Fandy. “Eh, habis sarapan, kita langsung ambil barang, terus check out ya!” “Bang,” panggil Sena. “Emang … kampus itu sama kayak sekolah ya? Kata Ibu … nanti habis lulus semua sekolahnya, bisa belajar lagi di kampus dong, terus kerja buat cari uang.” “Iya, Sena. Makanya, kalau sekolahnya bagus, entar dapat kampus bagus, terus gampang cari kerja,” jawab Bang Fandy ketika aku kembali duduk di samping Sena dan menikmati roti bakar. Akhirnya, kulihat Sena sudah mulai seperti dulu lagi, meski sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti. Aku … hanya ingin Sena begitu bahagia ketika dia akhirnya bebas dari segala siksaan di rumah, setidaknya aman baginya ketika bersama diriku dan Bang Fandy. *** Begitu kami check out dari hotel dan membayar sewa kamar, kami bertiga memesan taksi online menuju kampus Bang Fandy. Kosan Bang Fandy bisa dibilang cukup dekat dari kampusnya, bisa ditempuh dengan jalan kaki jika pergi ke kampus. Dalam perjalanan, Bang Fandy sempat cerita kalau dia sebenarnya malas naik motor ke Jogja dari Surabaya, dia lebih prefer naik bus antar kota jika ingin bolak-balik dari kosan ke rumahnya. Pantas saja, dia pesan ojek online semalam untuk menemuiku di hotel. Alih-alih memasuki daerah kampus, Bang Fandy justru ingin langsung ke kosan begitu tiba di gerbang kampus. Kami berjalan kaki menuju kosan Bang Fandy, kuingat jalan menuju ke sana berbelok begitu banyak hingga membuatku pusing, bahkan sampai melewati beberapa gang. Kami pun tiba di depan kosan Bang Fandy. Memang bukan seperti gedung apartemen yang wow, lebih mendekati rumah biasa, bedanya sedikit lebih lebar mengingat ini adalah kosan. Dinding bagian luar rumah berwarna hijau, lantai teras kosan itu berwarna hitam aspal layaknya di tempat parkir. Bang Fandy membuka pagar berwarna hijau dengan pelan. Begitu kami memasuki daerah halaman kosan, seorang pemuda berambut gondrong hingga melebihi dahi dan berwajah oriental melangkah menemuinya. “Eh, Fandy. Lo entar enggak kemana-mana, kan? Ntar siang kumpul ya!” sapa pemuda itu. “Mau ngapain?” tanya Bang Fandy. “Ya … mau ngomongin soal pacarnya Shinta sih. Ya, katanya mau pada semacam intervensi sih. Oh ya, lo sebelahnya Shinta, kan?” “Iya.” “Ya udah, nanti kumpul ya!” Pemuda itu keluar dari daerah kosan itu. “Lho? Intervensi? Apaan?” tanyaku. “Nanti Abang omongin pas udah di kosan,” jawab Bang Fandy begitu kami memasuki bangunan kosan itu. Kami melangkah melewati tangga yang berada di dekat ruang tengah, di mana semua orang biasanya berkumpul hanya untuk hang out setiap malam, wajar, di ruang tengah ada televisi, jadi penghuni kosan biasanya menonton pertandingan sepak bola. Begitu kami tiba di kosan Bang Fandy, dia membuka kunci pintu nomor 23 yang menghadap balkon pemandangan ruang tengah. Bang Fandy membuka pintu, menunjukkan bagian dalam kosannya. Kulihat beberapa poster tertempel di dinding bercat biru, meja belajar dan lemari pakaian di dekat pintu, dan tempat tidur di sebelah kanan menghadap jendela bergorden biru. Karpet yang masih tergulung juga berada di dekat meja belajar. “Sorry ya, simple banget kosan Abang. Cuma ginian doang.” Bang Fandy meletakkan tasnya di dekat meja belajar. “Enggak apa-apa, Bang,” balasku ketika memasuki kosannya dengan Sena. “Oh ya, Sena mau tiduran dulu?” “I-iya, Kak. Sena … masih … capek kayaknya,” jawab Sena sebelum melangkah menuju tempat tidur Bang Fandy. Bang Fandy membuka gulungan karpet dan menggelarnya di lantai begitu Sena mulai berbaring di tempat tidur. Aku letakkan tasku di dekat tas Bang Fandy dan membuka risleting, memastikan semuanya masih ada di dalamnya. “Eh, itu katanya pacarnya Shinta kenapa sih? Emang kenapa sampai harus diomongin entar siang?” tanyaku lagi. Bang Fandy menjawab, “Sebenarnya … Shinta itu … punya pacar semacam bad boy sih, katanya dari SMA. Ya, sekarang udah beda kampus wajar lah kalau Shinta punya banyak kerjaan, apalagi hang out bareng teman kampus sama kosan. Akhir-akhir ini juga … pacarnya kelihatan banget toxic. Abang juga pernah dimarahin sama dia cuma gara-gara dekat sama Shinta, ya enggak lah, dia salah paham banget coba! “Terus, Abang juga pernah dengar dia cewek kosan yang lain kalau Shinta sering banget nangis tiap kali dia kencan sama pacarnya. Katanya juga … dia kelihatan sampai dipukul lho. Pas ditanya, Shinta malah ngehindar, enggak mau jawab gitu. Apa dia … emang denial kalau pacarnya emang toxic?” “Anjir.” Entah kenapa, kubayangkan kembali ketika Sena tersiksa oleh sang ibu tiri, bisa kuingat bagaimana suara jeritannya meminta ampun. Lalu, Ayah juga ikut-ikutan menyiksa Sena setelah menolak kenyataan yang dikatakannya. Mungkin hal ini tidak bisa dibandingkan dengan penderitaan Shinta oleh pacarnya yang toxic, kurang lebih, ini … kejam sekali, apalagi korbannya adalah wanita dan anak-anak, korban siksaan dari seorang laki-laki yang toxic. “Oh ya, Yosh, kalau capek, mending tiduran aja,” bujuk Bang Fandy. “Nanti deh.” Aku mengeluarkan ponsel menatap jam sudah menunjukkan jam 10:37. “Kak?” panggil Sena. “Ya? Kenapa, Sena?” Aku menemuinya. “Apa … Ayah … enggak sayang lagi sama Sena? Setelah … Sena ceritain tentang ibu tiri ke Ayah?” Sena mengungkapkan. Aku menjawab sambil menyentuh lengan Sena, “Sena, Ayah mungkin belum mau percaya sama kejujuran kamu. Ya … Ayah juga sayang sama istrinya. Kakak juga … pikir kalau Ayah juga masih sayang sama Sena. Lama kelamaan, kejujuran bakal menang, kebohongan pasti bakal terungkap ujung-ujungnya.” Sena bertanya lagi, “Kalau … Ayah sayang Sena … sama Kakak, Ayah … bakal cari kita? Ayah tahu kalau kita … kabur dari rumah?” Aku memalingkan wajah sejenak, memikirkan bagaimana kalau Ayah benaran mencari aku dan Sena. Konsekuensi apakah yang akan kudapat karena melarikan diri dengan Sena ketika Ayah menemukan kami? Aku … sama sekali belum memikirkan bagaimana kalau Ayah menemukan kami di sini, atau di kota lain, terutama Surabaya yang akan kami kunjungi dan singgah sejenak. *** Sudah sekitar jam satu siang, aku tetap duduk di atas karpet, tidak tahu harus apa ketika Bang Fandy ikut berkumpul dengan seluruh penghuni kosan di ruang tengah untuk melakukan semacam intervensi terhadap Shinta. Ketika aku berbalik menatap Sena yang masih berbaring, lagi-lagi kubayangkan bagaimana dia menjerit minta tolong saat tengah malam dari siksaan sang ibu tiri, salah satu penyesalanku, aku hanya berdiam diri, malah ingin melanjutkan tidur setelah lelah belajar demi ujian terakhir. Aku juga terpikir sebuah pertanyaan, kenapa Ayah juga ikut-ikutan menyiksa Sena? Aku tahu Sena cerita kalau Ayah sama sekali tidak ingin menerima penjelasan Sena mengenai sang ibu tiri, pada akhirnya Ayah muak ketika mengetahui Sena yang mencuri uang dari sang ibu tiri, jadi dia menyiksanya. Tidak, kenapa Ayah tidak mau mendengar penjelasan Sena sama sekali? Pasti Ayah begitu sayang pada istri barunya, istrinya yang telah dia nikahi beberapa bulan lalu. Apakah dia rela mengorbankan kejujuran anaknya hanya demi cinta pada sang istri? Ayah macam apa kalau dia tidak peduli dengan anaknya sendiri, termasuk Sena? Kukepalkan kedua tangan, menahan ledakan emosi yang kupendam semenjak mendengar kenyataan bahwa Ayah juga ikut-ikutan menyiksa Sena. “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Kudengar Sena batuk begitu keras. “Sena!” Kutemui Sena yang terbaring kaku di tempat tidur. “Sena enggak apa-apa, kan?” “Pusing … Kak … Uhuk! Uhuk!” Aku sentuh dahi Sena. Oh tidak! Kurasakan panas telah menggerogoti tubuhnya. Kusentuh lehernya juga bercucuran keringat. Sena tetap batuk-batuk ketika kucek dirinya. “Sena, kamu panas?” Sena sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, dia seperti kesulitan untuk bernapas setelah batuk-batuk begitu keras. Oh tidak, jangan bilang Sena … dia benar-benar demam, sial! Kenapa jadi begini? Aku benar-benar panik, sangat panik! Sena jatuh sakit! Sial, aku harus menelepon Bang Fandy! Kuambil ponsel dan kutelepon Bang Fandy, meski dia berada di ruang tengah di bawah, masih melakukan intervensi terhadap Shinta bersama hampir seluruh penghuni kosan. “Halo? Yosh?” Untunglah, Bang Fandy mengangkat telepon. “Bang Fandy!” dengan panik kupanggil namanya. “Whoa! Kenapa, Yosh?” “Sena! Sena! Sena panas!” “Whoa, whoa, whoa! Serius, Yosh?” “Iya! Sena juga batuk! Gimana dong!” “Oke deh, Abang ke kamar ya!” Bang Fandy menutup percakapan. Aku menutup mata mencoba untuk menenangkan diri, tidak kusangka Sena akan jatuh sakit seperti ini, apalagi setelah menghadapi penderitaan dari ibu tiri dan Ayah dari kemarin. Kusentuh kembali tangan Sena yang masih bergelimangan goresan bekas sapu lidi, panasnya begitu tinggi hingga membakar dalam tubuhnya. “Yosh!” panggil Bang Fandy memasuki kamar menemuiku. “Bang Fandy! Sena panas banget!” sahutku ketika Bang Fandy menemui Sena. Bang Fandy menyentuh kening Sena, merasakan panas yang begitu membakar rabaan kulit. Dia juga menyentuh bagian leher Sena yang berkeringat. “Punya obat panas sama batuk enggak, Bang?” tanyaku panik. “Paling tablet atau enggak kapsul, terus belum tentu Sena bisa minum obat orang dewasa lah. Sekarang, slow aja, Yosh. Kamu tenang dulu. Tenang.” Bang Fandy menepuk kedua pundakku dengan keras. “Nanti Abang beliin obat buat Sena, soalnya hari ini kliniknya pada tutup di dekat kampus. Abang ke apotek sekarang ya! Tunggu ya, Yosh.” “Cepat ya, Bang!” Saat Bang Fandy kembali ke lantai bawah, kusentuh kembali dagu dan kening Sena, masih kurasakan panas menyengat di sekujur tubuhnya. Kepanikan masih membanjiri emosiku, takut kalau terjadi sesuatu yang tidak-tidak pada Sena. “Sena, kamu bakal baik-baik aja. Kamu bakal baik-baik aja.” #11: Tidak Sesuai dengan Kenyataan Untunglah, Bang Fandy rela melewatkan lanjutan dari intervensi terhadap Shinta di ruang tengah gedung kosan. Dia bahkan juga membelikan bubur ayam buat Sena setelah membeli obat di apotek dekat kostan. Bang Fandy juga meminjam teko pemanas air bertenaga listrik dari teman satu kostannya untuk merebus air minum, Sena memang harus banyak minum air hangat karena tenggorokannya begitu gatal. Dia juga meminjam kompres putih yang sudah diberi air hangat untuk meletakkannya pada kening Sena. Aku yang menyuapi setiap sendok bubur ayam pada Sena, meski pun begitu, Sena memakannya sangat lambat, hingga buburnya tidak sampai habis, hanya menyisakan setengah. Bang Fandy yang memberinya sesendok obat batuk dan demam berbentuk sirup dan segelas air hangat. Bang Fandy menuangkan kembali air hangat dari teko ke gelas setelah Sena menelan campuran sirup obat dan air hangat ke dalam tenggorokannya. Ketika Sena sudah terlihat terlelap, aku merasa berat hati pada Bang Fandy. “Bang, maafin Yoshi ya. Jadi ngerepotin lagi pas Sena sakit. Yoshi … juga enggak tahu kalau bakal jadi kayak gini.” “Yosh, enggak apa-apa. Ini emang unexpected kejadiannya. Jangan jadi enggak enak gitu dong, kan sama-sama saudara,” balas Bang Fandy. “Oh ya, kalau misalnya besok belum baikan, entar pagi Abang antar Sena ke klinik.” Aku menundukkan kepala sejenak. “Bang … gimana dong kalau pulangnya ketunda cuma gara-gara kita ngerepotin Abang?” “Enggak apa-apa. Abang juga pengen Sena sembuh dulu sebelum pulang ke Surabaya. Apalagi … kostan model kayak gini emang buat mahasiswa, bukan buat sekeluarga, apalagi anak-anak kayak Sena. Kalau misalnya Sena bosan di kosan, entar Abang download kartun dulu, biar Sena bisa nonton. Kalau TV di ruang tengah juga suka rame sama anak-anak yang lain, terus Sena juga masih harus istirahat di kamar.” Bang Fandy membuka tas, mengeluarkan laptop dan meletakkannya di atas karpet. Dia menyalakan laptop itu sekaligus memasang kabel router internet berwarna abu-abu sambil duduk. “Bang,” aku memanggil. “Yosh, syukurlah kamu minta Abang buat nginap di kosan.” Bang Fandy menepuk sebelah kirinya, mempersilakan diriku duduk. Aku mulai duduk di samping Bang Fandy ketika laptopnya sudah menunjukkan desktop. “Bang, Yoshi sering rela bolos buat ngerawat Sena sakit kayak gini, tapi … sekarang malah kerasa beda, apalagi Yoshi sama Sena enggak lagi di rumah. Yoshi panik banget tadi, enggak setenang pas di rumah.” Bang Fandy merangkul bahuku. “Yosh, tenang aja, Abang juga rela ninggalin sama lewatin gimana intervensi ke Shinta-nya. Terus … pas Abang balik ke kosan, intervensinya udahan. Abang juga … enggak sempat gimana pada akhirnya, apa … Shinta emang bakal putus sama pacarnya yang emang udah toxic duluan. Abang harap sih … Shinta putusin aja itu cowok, ya kalau emang sering mukul cewek, ya enggak bisa dong ngurusin dia.” “Terus … banyak yang bilang putusin aja gitu?” tanyaku penasaran. “Ya … cuma pengen Shinta mikir ulang, emang itu cowok pantas buat dia. Ujung-ujungnya sih … pada minta yang terbaik buat Shinta, putusin aja itu cowok. Udah emang kayak gitu hubungannya, tapi Shinta malah bersikeras kalau dia masih cinta sama itu cowok. Jadi kesal juga.” Bang Fandy mengarahkan kursor laptop untuk membuka browser internet. Dia bertanya padaku sekali lagi untuk mengganti topik, “Oh ya, Sena suka kartun apa?” “Paling … dia suka SpongeBob, dia sering banget nonton.” “Dia udah nonton season 10-nya, belum?” “Kayaknya belum.” “Oke deh, Abang download season 10-nya.” Bang Fandy.mengetik keyword SpongeBob Season 10 dalam search engine. “Lo ngapain ke pacar lo?” Suara seorang gadis menganggu kami di depan kamar kostan. “Lo emang enggak ngerti juga ya, Shinta?” “Lo ngapain sih ikut campur urusan orang lagi?” Akhirnya, aku mendengar bagaimana suara Shinta. “Lo udah dibilang berapa kali, pacar lo emang toxic ya!” “Sorry ya, gue cuma ketemuan sama dia buat ngomong. Lo repot-repot amat nanyain semuanya tadi, semuanya coba, pada maksa gue buat putusin dia! Terus lo mau apa, Stella?” Shinta tetap angkuh. “Kalau dia udah kayak gitu ke lo, lo masih nganggap dia sayang lo apa?” “Bang Fandy?” panggilku. “Itu Shinta?” “Ah, udah deh! Daripada Sena keganggu.” Bang Fandy bangkit dan keluar dari kamar. “Ini kenapa lagi?” “Udah, gue mau cabut deh! Gue cuma pengen ngomong sama cowok gue nih!” Kudengar langkah kakinya setelah Shinta mengelak. “Shinta? Shinta! Woi!” panggil Bang Fandy begitu keluar dari kamar. Aku hanya menatap pintu, melihat Bang Fandy mencoba untuk menghentikan Shinta, tetapi … tidak bisa. Stella yang kulihat memiliki rambut panjang dicat cokelat tua mengungkapkan keresahannya pada Bang Fandy. “Lo lihat kan, Fandy? Dia masih aja enggak mau ngerti sama omongan kita pas intervensi. Padahal dia yang tahu sendiri kelakuan cowoknya kayak gimana, tapi dia tetap aja bilang dia masih cinta sama itu cowok toxic!” Bang Fandy menahan Stella. “Udah, Stella, udah. Sabar.” “Mana bisa sabar, Fandy! Gue tahu cowoknya Shinta itu emang bad boy dari SMA, ya cuma dari cover-nya doang, kan? Tapi dalamnya? Enggak kayak yang diceritain di novel lah! Enggak kayak di novel jebolan Wattpad. Kenyataannya, bad boy kayak dia juga bahaya kalau gini terus ke Shinta. Terus … Shinta juga nganggap bad boy yang ada di novel juga sama aja kayak di dunia nyata, cocok jadi pacarnya. Gue tahu Shinta enggak baik-baik aja selama cowok itu … masih ada di dalam kehidupannya! Makanya, gue sebenarnya pengen Shinta putusin aja itu cowok, biar enggak kapok lagi.” “Stella, udah. Ada saudara gue yang lagi–" Stella memotong perkataan Fandy, “Sia-sia aja buat ngadain intervensi ke Shinta kalau ujung-ujungnya bakal gini! Ya kitanya juga pengen Shinta mikir ulang tentang cowoknya, kalau bisa putusin aja itu–” “Udah, Stella, kita ngomonginnya nanti aja. Saudara gue lagi sakit.” Bang Fandy dengan tegas memotong. Stella menggelengkan kepala sambil menghela napas, berbalik menuju kamarnya, sama sekali tidak menerima apa yang telah sahabatnya lakukan dalam mengambil keputusan. Bang Fandy menggosok-gosok rambutnya seraya kebingungan. “Oh ya, sorry banget tadi. Soal intervensi tadi,” ucap Bang Fandy padaku. “Enggak apa-apa, Bang,” ucapku sambil mencari link download setiap episode SpongeBob Season 10. “Emang gini ya, kalau yang sering baca Wattpad atau novel-novel online lainnya. Jujur aja, Abang udah enggak tahan sama tren bad boy sama CEO kotor lah. Mungkin penyebabnya dari bacaan sih, jadinya pikirnya kurang realistis. Lagian, ceritanya itu-itu aja lah.” Bang Fandy mengambil ponselnya dan membuka aplikasi Wattpad. “Abang sering baca di sana?” Bang Fandy kembali duduk di sebelahku. “Abang kadang baca juga. Tapi … cerita bad boy sama CEO udah bikin Abang risih. Katanya … banyak cerita bad boy atau enggak CEO yang ngegambarin hubungan … apa ya … masokis gitu, gampangnya toxic. Heran juga kenapa banyak anak muda yang suka cerita gituan. Ya, bisa aja kalau terjadi di kenyataan, ujung-ujungnya malah … kayak Shinta lah contohnya. Pantas aja negeri ini enggak mau maju-maju kalau cuma bergantung sama tema itu-itu aja dalam bacaan.” “Bang.” Aku mengerti memang kebanyakan kenyataan tidak sesuai dengan kebanyakan karangan, apalagi cerita. Aku memang menganggap cerita ibu tiri jahat itu hanya cerita belaka, memang … ini menjadi stereotip dalam cerita kalau ibu tiri haruslah jahat, beberapa dari pembacanya justru menganggap demikian. Ujung-ujungnya … Sena menjadi korban siksaan ibu tiri. Aku kembali membayangkan bagaimana seharusnya keluargaku kembali bahagia berkat kedatangan Wilhelmina, sang ibu tiri, menganggap bahwa cerita ibu tiri jahat hanyalah bayangan hasil dari cerita, baik itu dongeng, novel, atau drama. Tetapi, kenyataan berkata lain, ada yang salah dengan Wilhelmina ketika aku menyadari beberapa pertanda dari Sena, apalagi setelah mendengar penjelasannya. Ayah juga tidak ingin mendengar kenyataan bahwa istrinya telah berbuat jahat pada Sena. Apakah setiap cerita karangan setiap orang merupakan representasi dari kenyataan? Apakah kenyataan memang harus berbeda dari cerita karangan, bahkan melampaui ekspektasi? “Yosh, kalau misalnya mau baca novel, usahain jangan baca bad boy sama CEO ya. Pasti ada cerita yang lebih baik daripada cerita-cerita enggak jelas itu. Ya, banyak banget cerita gituan nongol di posisi teratas di Wattpad. Mendingan anti-mainstream aja,” pesan Bang Fandy. “Iya, Bang. Yoshi ngerti maksud Abang. Lagian … Yoshi juga kurang suka baca novel,” jawabku. “Oh ya, Yosh. Nanti malam mau dibeliin makan apa? Mau delivery aja?” “Paling … kalau buat Sena … bubur atau sup, kalau ada itu.” “Delivery aja berarti ya,” ucap Bang Fandy ketika aku menge-klik tombol download pada salah satu episode SpongeBob. *** Siang pun akhirnya berlanjut hingga sore, bahkan sampai malam. Ketika sore telah mulai menyingsing, Sena akhirnya bangun dari lelapnya tidur, meski dia masih sering batuk. Aku dan Bang Fandy berganti-gantian membawakan segelas air hangat buatnya. Menunggu hingga sore berakhir menjadi malam, Bang Fandy mengajak Sena untuk menonton semua episode SpongeBob yang sudah dia download. Sena tercengang ketika menyadari bahwa tidak ada episode SpongeBob yang dia sedang tonton pernah dia lihat. Semuanya episode baru bagi Sena. Aku juga ikut menonton sambil duduk di dekat Sena di kasur, dapat menikmati Sena dapat kembali tertawa ketika menatap adegan atau dialog lucu baginya. Bang Fandy juga ikut berkomentar tentang beberapa adegan dari setiap episode. Kurasa … Sena sudah cukup baikan, meski dia masih batuk, suhu tubuhnya juga … sudah lebih baik, masih sedikit panas. Sena juga masih harus beristirahat untuk sementara waktu. Tinggal menunggu waktu yang pas buat berangkat ke rumah Bang Fandy di Surabaya. “Oh ya, udah nyampe delivery-nya,” ucap Bang Fandy ketika membaca SMS masuk. “Bang, Yoshi aja yang ngambil ya,” aku mengajukkan diri sambil bangkit. “Enggak usah, biar Abang aja.” “Enggak apa-apa kok, Bang. Nanti Yoshi aja yang bayarin.” “Eh? Enggak usah, Yosh.” “Enggak apa-apa kok, Bang.” Aku keluar dari kamar sambil mengeluarkan dompet, mengeluarkan berapa banyak uang yang harus dibayar sambil menuruni tangga. Kulihat petugas delivery berseragam merah hitam telah berdiri di depan pagar membawa seplastik isi tiga bungkus kotak makanan menyerupai bento makan siang dan sebungkus isi semangkuk putih sup hangat. “Sore, Kak,” sapa petugas delivery itu. Aku mengambil bungkus makanan itu sambil membayar semuanya. Karena tidak ingin merepotkan, aku beri semua uang kembalian pada petugas delivery itu sambil mengangguk tersenyum. Kuletakkan kembali dompet di dalam saku sambil membawa dua plastik masing-masing berisi makanan dari delivery. Begitu aku hampir mendekati tangga, suara debrakan kaki mendengung menuju telinga. Aku berbalik menatap sumber suara itu. Benar saja, seorang gadis melangkah memasuki rumah dengan mempercepat langkah. Gadis itu terlihat mengeluarkan air mata sambil gemetar, aku tercengang ketika dia memegang tangan kirinya, dia meringis menahan tangisan sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Jangan-jangan … itu benaran Shinta? Aku tercengang menatap wajahnya. Gadis berambut bang ikal panjang itu memiliki lebam di dekat bibir dan di dekat mata kanannya. Entah kenapa, aku kembali terbayang cerita yang Sena bilang di rumah sakit. Sebuah bayangan cerita entah kenapa kembali muncul di dalam otakku. “Shi–” Aku memanggilnya. “Shinta!” beberapa penghuni kosan yang berada di ruang tengah menemuinya setelah menatap Shinta dengan khawatir. Salah satu penghuni cowok bertanya, “Shinta, lo kenapa?” “G-gue … dipukul,” jawab Shinta terengah-engah. “Sama cowok lo, kan?” tebak salah satu gadis penghuni kosan. Shinta menghindari pertanyaan itu, “G-gue … pengen ke kamar. Gue pengen sendiri.” “Tuh kan, dibilang juga apa!” “Woi! Jangan gitu ngomongnya!” bentak Stella. “Shinta, lo ngomong aja lo kenapa. Cowok lo–” “Enggak, gue pengen sendiri dulu.” Shinta menggeleng dan menaiki tangga. Stella mulai blak-blakkan, “Ah! Kalau aja Shinta enggak ngebantah cowoknya toxic banget sama dia, hal ginian enggak bakal terjadi!” “Udah, Stella, udah. Udah telanjur terjadi,” ucap salah satu penhuni cowok berambut hitam pendek berkulit mulus. “Gue tahu, Richard! Ya, habisnya dia udah gue larang ketemu sama dia, eh, malah gini jadinya!” bentak Stella. “Shinta, lo kenapa?” kudengar Bang Fandy bertanya pada Shinta. Aku terdiam, tidak tahu aku berada di dalam posisi apa. Aku ini memang asing di kosan ini, hanya sebagai tamu, tidak tahu apalagi yang harus kukatakan. Aku benar-benar kehabisan ide ingin bertanya seperti apa pada mereka tentang Shinta. *** Kusisihkan masalah Shinta dan pacarnya sejenak ketika aku, Sena, dan Bang Fandy menikmati makanan dari delivery. Menunya adalah nasi putih dengan potongan ayam krispi bersaus yakiniku dan salad sayuran, Buat Sena, ditambah cream soup karena dia harus makan yang hangat terlebih dahulu agar tenggorokannya bisa lebih enak. “Kak, itu tadi kenapa ya di bawah?” Sena bertanya. Aku kebingungan, ini mungkin seharusnya tidak Sena ketahui. Anak SD memang seharusnya tidak mengenal dunia pacaran ataupun soal cinta. Sayang sekali, sinetron percintaan sudah mencemar kebanyakan anak SD, apalagi novel-novel percintaan tentang kisah cinta anak SMA atau orang dewasa. Ini sebenarnya bukan urusan anak-anak, melainkan orang dewasa. “Sebenarnya ini masalahnya orang dewasa, tapi … ya tahu kan kenapa dulu Ayah sama Ibu nikah, ya itu karena mereka saling jatuh cinta,” jawab Bang Fandy. “Bang!” Aku memukul pelan bahu Bang Fandy. “Fandy,” panggil Richard mengetuk pintu pelan. “Eh, Richard.,” balas Bang Fandy. “Sorry banget, man. Jadi ngeganggu saudara lo juga, ya gara-gara masalah tadi sih, soal cowoknya Shinta.” “Enggak apa-apa, man,” jawab Bang Fandy bangkit setelah menyelesaikan makan dan mengajakku untuk menemui Richard. “Kenalin, ini Yoshi. Yang lagi di kasur, Sena.” “Yoshi.” Aku berjabat tangan dengan Richard. “Richard.” Richard membalas jabat tanganku. “Itu … Sena kenapa tuh?” Richard menunjuk Sena dengan menganggukkan kepala. “Oh, dia lagi demam sama batuk, ya … dia udah rada mendingan, tapi … masih butuh istirahat juga.” Bang Fandy mengambil dua kotak bento hitam kosong dan menumpuknya. “Richard, si Shinta-nya masih enggak mau buka pintunya!” sahut Stella dari hadapan pintu kamar Shinta. “Udah tidur kali,” Richard menyimpulkan. “Enggak ah! Ada suara kok, dia belum tidur,” bantah Stella. “Shinta? Buka dong pintunya. Kita mau ngomong sama kamu baik-baik. Please!” “Itu cowoknya Shinta emang terlalu banget, kalau emang dia yang ngebuat Shinta kayak tadi.” Richard menggelengkan kepala. “Emang toxic banget itu cowok.” Kudengar suara putaran kunci pada pintu kamar sebelah, berarti … Shinta membuka kunci pintu. Kami tercengang ketika Shinta memutuskan untuk membuka pintu setelah Stella dan Richard menunggu lama agar bisa berbicara dengannya. “Shinta ….” Kudengar suara Stella. “Oh ya, gue barengan Stella pengen ngomong ke Shinta dulu deh,” ucap Richard. Entah kenapa, aku juga masih penasaran dengan keadaan Shinta. Aku bangkit dari karpet dan menatap Bang Fandy meninggalkan kamar dan membuang sampah di sebelah pintu kamar. Aku ikut keluar ketika Bang Fandy juga mengunjungi kamar Shinta. Bang Fandy justru mempersilakan aku untuk masuk dengan memberi isyarat tangan. Kulihat Stella sudah duduk di samping Shinta di tempat tidur, sementara Richard berjongkok menatap mereka, dan Bang Fandy hanya berdiri. “Emang Alex … yang udah ngebuat gue jadi gini.” Akhirnya, aku tahu siapa nama pacar Shinta. Shinta histeris meledakkan air mata ketika ingin bercerita, “Terus, udah dibilangin cowok lo kayak gitu, ya kenapa lo pengen ketemuan sama dia?” tegur Stella. “Gue … pengen ngomong baik-baik sama dia. Gue tahu dia cinta sama gue, gue cuma pengen minta … dia berubah. Lo pada benar, bad boy yang jadi pacar gue … enggak kayak di novel kebanyakan. Gue tahu gue salah, gue kekecoh. Tapi … dia emang kayak gitu, terus … gue pengen dia beru–” Richard memotong, “Enggak, Shinta. Kalau cowok emang cinta sama ceweknya, ya pasti dia enggak bakal ginian sama lo.” “Jadi … mau gimana sekarang?” tanya Bang Fandy. “Laporin polisi aja?” Richard menawarkan solusi. “Enggak, enggak. Jangan. Gue … mau putus aja sama Alex. Kalau itu mau lo, kalau pada mau, gue SMS, gue putusin dia aja.” Shinta mengambil ponselnya. “Shinta, lo pikir lagi deh,” Stella membujuk. “Putus lewat SMS itu bukan solusinya lah! Mending ngomongin aja kalau lo emang mau putus secara langsung, baik-baik lah.” “Ma-maafin gue ….” Shinta kembali histeris mengeluarkan air mata. “Udah, Shinta. Udah.” Stella memeluk Shinta untuk menenangkannya sambil menepuk kedua bahu. Entah kenapa, mendengar Shinta bercerita … mengingatkanku ketika Sena bercerita di rumah sakit tentang siksaan ibu tiri dan Ayah. Memang … seorang pria, apalagi memiliki sejarah sebagai bad boy, bisa menjadi toxic ketika berurusan dengan wanita dan anak-anak yang sering menjadi pelampiasan emosi. Aku begitu kasihan pada Shinta, aku bisa merasakan penderitaan yang sama seperti Sena melalui ceritanya. Bedanya, dia memang disiksa oleh pacarnya sendiri, sama sekali belum terikat sumpah penikahan dan keluarga. Memang … kenyataan … tidak ada yang bisa mengatur sama sekali. Semuanya terjadi begitu saja. #12: Kenangan yang Menyakitkan “Sena udah mendingan, kan?” Bang Fandy menyentuh kening Sena, memastikan suhu tubuhnya sudah benar-benar turun. “Udah sih, Bang. Uhuk!” jawab Sena sambil batuk. “Masih batuk ya. Kayaknya minum obat batuk aja, enggak usah minum obat panas. Sama … minum banyak air hangat ya.” Bang Fandy telah bersiap untuk berangkat ke kampus. Dia sudah memakai jaket dan kaos oblong putih. Hari ini adalah ujian terakhir buat Bang Fandy dalam semester ganjil tahun ajaran. Bang Fandy menemuiku yang sedang duduk di hadapan laptopnya. Aku terfokus pada layar laptop yang menunjukkan laman daftar kartun. “Yosh, nanti Abang langsung ke sini habis ujian. Oh ya, kalau ada apa-apa, SMS Abang aja ya.” Bang Fandy mulai menggendong tasnya. “Iya, Bang,” jawabku. “Oke, Abang cabut ya!” pamit Bang Fandy. “Hati-hati, Bang!” seruku. Ketika kulihat Bang Fandy meninggalkan kamar, aku baru ingat. Hari ini adalah Senin. Kalau saja aku dan Sena masih bersama Ayah dan ibu tiri, kami biasanya sudah di sekolah seperti biasa pagi begini, waktu yang sama ketika Bang Fandy mengerjakan ujian di kampus hari ini. Untunglah, pekan ini sama sekali tidak ada pelajaran, hanya pekan olahraga dan seni yang diadakan di sekolah. Tapi … kalau teman-temanku tahu aku menghilang, bagaimana jadinya? Apakah mereka akan bertanya-tanya apa yang terjadi padaku? Apakah aku akan mendapat ganjaran dari sekolah juga karena telah menghilang demi melindungi Sena? “Kak, Sena mau nanya,” Sena membuyarkan lamunanku. “Oh.” Aku menatap Sena yang masih duduk di atas kasur. “Kenapa, Sena?” “Apa … Ayah emang pacaran sama ibu tiri? Terus … kita enggak tahu?” Aku melongo, memang seharusnya anak-anak seperti Sena tidak mengetahui segala hal tentang cinta, apalagi pacaran. Mendadak, aku teringat ketika melihat sebuah kabar bahwa anak SD sudah mulai berani pacaran di depan umum, bahkan sampai pamer lewat media sosial. Sebenarnya, Sena belum siap untuk mendengar segala hal seputar pacaran. Oh tidak, aku ingat, mungkin kemarin Sena mendengar aku dan Bang Fandy berbicara tentang Shinta serta pacarnya. Mungkin … itu mendasari Sena untuk menanyakan pertanyaan seperti ini. “Bisa jadi sih. Ya … mereka ketemu, terus jatuh cinta, terus pacaran, terus nikah. Kalau mereka udah merasa cocok sejak lama, ya … mereka siap ke langkah berikutnya, menikah, terus mengurus anak.” “Kak, apa … pacarnya Shinta … sama aja kayak Ayah, sama juga kayak ibu tiri? Apa … Shinta juga … sama kayak Sena? Disakitin gitu aja, kan?” Aku menggeleng. “Kita … sebaiknya enggak ngomongin gini deh. Mending … nonton kartun aja. Kartun emang lebih fun daripada ngomong ginian. Ya, Kakak juga sering nemanin Sena pas weekend, nonton kartun bareng. Kakak … udah download lumayan ramai nih kartunnya.” “Kak, kita … kapan ke rumah Bang Fandy-nya?” “Enggak tahu sih. Tapi kata Bang Fandy, Sena masih harus istirahat ya. Kita nunggu kamu baikan, oke? Terus kita ke rumah Bang Fandy di Surabaya. Sena harus baikan total ya. Nah, kita nonton kartun aja.” Aku berbalik menatap layar laptop, membuka file salah satu kartun yang ku-download tadi, serial kartun yang ku-download adalah Gravity Falls, salah satu kartun kesukaan Bang Fandy waktu SMA. Bang Fandy memintaku untuk men-download serial kartun itu karena yakin Sena pasti suka. Ketika kutonton beberapa episode pertama, ceritanya cukup rumit buat kebanyakan kartun untuk anak-anak, tapi … ketika kutatap Sena, dia begitu menikmati kartun sambil berkomentar tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. SpongeBob dan Gravity Falls yang kami tonton akhir-akhirnya membuktikan bahwa anggapan kartun hanya untuk anak-anak itu salah besar. Kebanyakan remaja zaman sekarang, apalagi orang dewasa, menganggap demikian, mereka tidak ingin menonton kartun atau selebihnya anime sama sekali karena takut dianggap kekanak-kanakan. Kartun memang dibuat untuk ditonton sekeluarga. Sudah beberapa episode yang telah kami tonton, kami masih menunggu Bang Fandy untuk pulang ke kosan. Mungkin … dia ada urusan mendadak setelah ujian selesai, hal yang bisa kulakukan hanyalah menunggu dan menonton kartun sambil menemani Sena. “Lo mau apa? Mau apa ke sini lo?” jeritan Shinta terdengar dari kamar sebelah. “Lo minta putus? Lewat SMS!” terdengar suara seorang cowok, tak salah lagi, itu suara Alex, pacarnya Shinta! “Emang. Mending lo pergi aja deh! Gue udah enggak tahan sama sifat lo–" Shinta membalas jeritan sambil mengusir Alex. “Enggak! Gue enggak mau pergi! Gue cinta lo, Shinta! Gue cinta sama lo!” jerit Alex. Ah … ternyata benar, Shinta memang putusin pacarnya, Alex, lewat SMS. Padahal Stella sudah bilang padanya, dia seharusnya ngomong baik-baik dulu pada pacarnya agar bisa putus. “Lepasin! Lepasin!” Shinta meronta-ronta. “Tolong! Lepasin!” “Gue cinta sama lo, Shinta! Lo enggak ngerti juga ya! Gue gini ke lo karena sayang lo!” bentak Alex. “Enggak! Lepasin!” “Gue udah sayang banget sama kamu, terus gini yang kamu kasih ke gue?” Shinta terdengar mulai menangis. “Lepasin! Gue capek sama sifat lo yang gini!” “Gue gini ke lo … gue sayang banget.” “Enggak, lo gini buat gue nangis, lo selalu gitu. Udah, keluar aja. Gue capek hadapin lo.” “Shinta! Lo enggak ngerti juga gue sayang sama lo! Gue cinta sama lo! Gue enggak playboy. Sini lo!” “Lepasin! Lepasin!!” jerit Shinta. “AAAH!” Kudengar suara tubrukan menuju lantai. Oh tidak. Ini benar-benar berbahaya. Dengan cepat, aku mengetik SMS pada Bang Fandy. Bang, si cowonya Shinta dtg! Gmn nih? “Ini salah lo sendiri, Shinta! Gue enggak mau diginin sama lo!” jeritan Alex semakin keras. “Minta putus lewat SMS, enak aja gitu ke gue!” “Kak, itu kenapa di sebelah?” tanya Sena. “Gue udah enggak tahan lagi sama lo! Gue enggak sudi banget sama lo lagi!” Shinta merengek histeris, jeritannya tidak keras dibandingkan Alex. “Woi!” Suara seorang cowok terdengar menengahi mereka. “Lo ngapain ke sini!” “Sena, kamu di sini aja ya. Kakak mau ke sana dulu. Lanjutin nonton aja ya,” ucapku sambil bangkit dari karpet. Aku membuka pintu ketika jeritan dari kamar sebelah semakin menjadi-jadi, bahkan menjadi adu mulut yang panas, susah untuk dipadamkan. Adu mulut kini seperti api emosi yang sulit padam dengan bujukan. “Lo siapanya Shinta, hah?” jerit Alex. “Gue teman kosannya Shinta!” Cowok yang menengahi perdebatan itu adalah Richard, yang kulihat ketika menatap ke dalam kamar Shinta. Richard menghalang-halangi Alex agar dia tidak mendekati Shinta lagi dengan merangkulnya. Alex masih saja bersikukuh sambil menjerit-jerit agar dia dapat mendekati pacarnya lagi. Richard mulai menasihati, “Gue tahu Shinta cewek lo, tapi bukan gini cara buat ngelakuin cewek!” “Emangnya lo siapa, hah! Lo enggak tahu betapa sayang banget sama Shinta!” jerit Alex tidak mau mengalah. “Lo yang siapa? Siapa yang ngajarin kayak gitu ke lo!” jerit Richard. “Lo kan cowok! Ini cewek lo lho! Harusnya lo enggak kayak gini ke cewek lo! Lo sayang sama dia, kan? Harusnya enggak menyakiti dia!” “Lo siapa, anjing? Lo berhak gitu ke gue!” Alex mendorong Richard dengan keras. “Biasa aja kali! Gue tahu lo bilang sayang sama cewek lo, tapi enggak gini caranya! Lo lihat kan! Lihat! Gara-gara lo, dia luka kayak gini! Lo tahu lo buat dia luka kayak gini kemarin! Lo mending pergi aja deh, terus jangan–” Alex menghantamkan kepalan tangan tepat pada wajah Richard, meledakkan seluruh emosi yang dia pendam. Richard pun akhirnya ikut meledakkan hawa panas dari emosinya dengan membalaskan pukulan pada Richard. Shinta yang terlepas dari Richard memundurkan langkah sambil histeris. “Udah! Stop!” Tangisan Shinta semakin menjadi-jadi. Oh tidak, semuanya meledak, seperti bom meledak! Yang kulihat dari pintu kamar Shinta, Alex dan Richard saling memukul setelah capek dengan adu mulut panas! Mereka memutar posisi, dengan Alex menhadap pintu, sedangkan Richard membelakangi pintu. Sial, aku harus menghentikan mereka. Tapi … apakah … aku memang yang harus … menghentikan perkelahian mereka. “Diam, anjing!” jerit Alex mendorong bahu Richard hingga terjatuh ke lantai ketika terkena tempat tidur di sisi kanan kamar. “Stop! Udah!” jerit Shinta histeris bersandar di tembok dekat lemari pakaiannya. Tanpa berpikir panjang, aku menerobos masuk ke kamar itu, mencoba semampuku untuk menghentikan perkelahian. Aku tidak ingin Shinta sama menderitanya dengan Sena kalau begini. Dia sama toxic-nya dengan Ayah dan ibu tiri. Kalau kulihat mereka menyiksa Sena seperti ini, aku pasti akan menghentikan mereka seperti yang akan kulakukan. “Enggak!” jerit Shinta ketika Alex berbalik menemuinya. “Gue cinta lo, Shinta!” jerit Alex ketika aku mendekatinya dari belakang. “Woi!” jeritku impulsif, menarik perhatiannya. “Udah dong, enggak usah kayak gini caranya.” “Lo ngapain ikut campur!” jerit Alex padaku. “Lo juga udah menganggu penghuni kosan, tahu enggak! Gue udah tahu keadaan lo sama cewek lo.” “Emangnya lo siapa, hah?” Alex mendekatiku sambil mengancam. “Alex … kan? Gue sebagai cowok pengen bilang baik-baik. Gue cuma pengen ngasih tahu lo baik-baik. Lo udah sayang sama Shinta, kan? Lo punya kasih sayang sama Shinta sebagai pacar lo? Tapi … nyatanya beda sama omongan lo sendiri. Gue emang lebih muda daripada lo, tapi gue cuma pengen kasih tahu lo,” aku berpesan. “Cara lo … ngelampiasin kasih sayang ke cewek lo … salah besar.” “Lo sok nasihatin aja! Kayak bapak-bapak aja! Emang lo siapa!” bentak Alex. “Gue tahu gimana rasanya jadi korban kelakuan kayak lo, adik gue pernah jadi korban ginian. Bukannya sayang, malah takut, sakit, sakit banget tiap kali ngelihat pelaku kayak lo. Tiap kali lo ngelakuin kasar sama cewek lo, apalagi sampai dia terluka kayak gini, dia jadi takut sama lo. Pantas aja, dia mau putus sama lo kemarin. Gue udah dengar dari Shinta kemarin, kalau lo emang … pantas dapat ditinggalin! Kalau … Shinta emang pengen udahan sama lo, lo kenapa sih harus maksa dia buat balik ke lo!” “Diam!” Alex melepaskan segala emosi melalui pukulannya. Pukulannya mengenai perutku. “AH!” jeritku terjatuh ke lantai tidak dapat menahan rasa sakit sehabis menerima pukulan tepat pada perut. “AA-AAAAH!!” jerit Shinta kembali histeris. “AAAH!!” Sialan! Pukulannya keras sekali! Perutku terasa seperti melilit setelah dipukul Alex! Aku menyilangkan kedua tangan menyentuh perut dan menahan rasa sakit. Aku berguling ingin mengalihkan rasa sakit itu. “Sini lo!” jerit Alex menarik paksa Shinta. “Enggak! Enggak!” balas Shinta meledakkan air mata. “Woi!” jerit Richard bangkit menghadapi Alex dan menampar lengannya. “Apa lo! Enggak puas lo habis dipukul!” jerit Alex berbalik menghadapi Richard. “Lo mending pergi aja deh! Jangan ganggu Shinta lagi! Lo udah enggak pantas sama Shinta!” Alex kembali memukul Richard tepat di kepala sekali lagi. Lagi-lagi … Alex dan Richard saling baku hantam, mereka melontarkan kata-kata kasar sambil saling memukul dan menjatuhkan. Aku ingin menghentikan mereka, tapi … perutku masih terasa sakit. Cengeng banget sih jadi cowok! Ah! Kenapa? Kenapa tiba-tiba saja … sebuah kilas balik yang tidak ingin kuingat … kembali muncul di otakku? Enggak! Aku tidak mau ingat kembali! Suara ketukan pintu terdengar begitu keras, seperti sebuah ledakan yang mengagetkan kami semua di kamar Shinta, menghentikan seluruh kericuhan yang telah terjadi. Alex tercengang ketika beberapa penghuni dan pemilik kosan telah tiba di hadapan pintu. “Itu tuh!” seru salah satu penghuni kosan. “Kalian semua, ikut saya. Cepat!” perintah pemilik kosan yang merupakan seorang bapak-bapak berambut putih dan berkacamata. “Awas lo!” jerit Alex sambil menunjuk-nunjuk Richard sambil keluar. “Shinta!” beberapa penghuni cewek mendatangi Shinta. “Oh my God!” “Yoshi!” panggil Richard menemuiku. “Enggak apa-apa, kan? Bisa berdiri, kan?” “I-iya.” Akhirnya aku berhasil bangkit tanpa dibantu. “Enggak apa-apa kok.” “Gue capek banget! Gue capek sama … Alex yang posesif ke gue.” Shinta kembali hiseris hingga dia membutuhkan pundak untuk ditangisi. “Shinta, udah, udah,” salah satu penghuni cewek memeluknya dan membiarkan pundaknya menjadi tempat tangisan Shinta. *** Setelah memberi segala penjelasan pada pemilik kosan, akhirnya Alex masih membantah segala kebenaran yang aku, Richard, dan Shinta lontarkan. Bukan hanya itu, Alex akhirnya diusir dari kosan, juga … dia tidak boleh datang ke dalam kehidupan Shinta lagi. Memang, Shinta dan Alex sudah putus untuk selamanya. Bang Fandy datang ke ruang tengah, di mana aku dan Richard hanya duduk terdiam merenungi apa yang telah terjadi di kamar Shinta. Dia bertanya, “Ini tadi kenapa ya? Tadi … Yoshi SMS.” Aku berdiri menemui Bang Fandy. “Sorry, Bang. Baru kebaca SMS-nya.” Richard menjawab pertanyaan Bang Fandy, “Tadi si Alex psycho datang tuh. Untung aja udah diusir sama pemilik kosnya. Goblok banget sih itu cowok, nyiksa Shinta terus sih. Ya, emang Shinta udah minta putus sama dia lewat SMS.” “Aduh!” Bang Fandy menepuk tangan pada dahinya. “Ya iyalah malah jadi masalah gini, pantas aja dia enggak mau nerima kalau Shinta udah mau putus. Oh ya, Yosh. Sena mana?” “Masih di kamar kayaknya, Bang. Ya … udah bilang ke Sena biar enggak keluar kamar dulu,” aku menjawab. “Oh ya, si Shinta mana?” tanya Bang Fandy lagi. Richard bangkit. “Masih di kamarnya, sama anak-anak cewek. Udah ah, pusing mikir ginian. Udah tugas buat ujian besok belum dikerjain lagi.” “Yosh, balik ke kamar ya.” Aku bangkit saat Richard memasuki kamarnya di dekat ruang tengah, mengikuti langkah Bang Fandy, menaiki tangga. Tetapi … di tengah-tengah tangga, mendadak … aku kembali terbayang sebuah kilas balik yang seharusnya sudah kuhapus bersih dari pikiranku. Begitu menyakitkan ketika mengingat kembali kilas balik itu. Segala rasa sakit, dari kemarahan menuju fisik dan mental, sampai-sampai hatiku terluka saat itu. Mungkin … pukulan dari Alex memicu kilas balik itu kembali ke dalam pikiranku. Entah kenapa, mataku kembali berair semakin kuputar kembali sebuah kenangan pahit itu. *** Waktu itu … saat pelajaran olahraga ketika aku masih SMP. Kami bermain bebentengan, salah satu permainan tradisional, katanya permainan ini dari Jawa Barat. Peraturannya cukup sederhana, tujuan utamanya adalah untuk menyerang dan mengambil alih benteng dengan menyentuh tiang lawan. Pemain yang bertahan di daerahnya dapat menawan penyerang dari tim lain hanya dengan menyentuh tubuh mereka. Waktu itu, aku memang disuruh menjaga gawang yang menjadi benteng di lapangan sepak bola. Aku ingin maju, tapi … aku tetap dipaksa untuk menjaga benteng oleh rekan timku sendiri. Ketika lawan menyentuh gawang yang berarti mereka mendapat angka, mereka malah menyalahkanku dan hanya berkata agar aku jaga benteng dengan benar, padahal, aku sudah berusaha sebaik mungkin. Ketika tim lawan sudah mendapat tiga angka berturut-turut, lagi-lagi aku disalahkan, aku menjadi kambing hitam oleh rekan satu timku. Aku jadi sasaran empuk untuk disalahkan menggunakan kata-kata panas. “Gimana sih kamu!” jerit salah satu rekan timku. “Lo enggak bisa jaga yang benar ya!” “Ah! Yoshi mah!” Aku membela diri, “Ya, udah dong! Aku udah usaha!” “Alasan aja lo!” salah satu rekan satu timku mendorong hingga jatuh. Rasa sakit pun muncul tiba-tiba ketika aku mendarat di rumput dengan keras. “Hei! Hei!” jerit salah satu pemain tim lawan. “Jaga aja kamu enggak becus lo!” jerit salah satu rekan satu tim seraya menampar tanganku dengan keras, diikuti oleh dua teman dekatnya yang kebetulan menjadi rekan satu tim. Rasa sakit itu, fisik dan mental, membuatku memanas, air mataku keluar, aku jadi ingin menjerit, merengek sekeras mungkin. “Nangis lo! Nangis!” salah satu rekan satu tim menjewer telingaku. “Woi, udah, woi!” Kudengar ada teman yang ingin menghentikan perkelahian itu. “Hei, hei, hei!” guru olahraga menghampiri kami dengan wali kelas. “Jangan gitu dong. Sportif dong!” “Udah!” wali kelas berjilbab merah itu menghampiriku, melepaskan jeweran dari sang pelaku. “Ah! Cengeng banget sih jadi cowok!” “Udah! Mulai lagi! Main lagi! Ayo!” guru olahraga berkaos merah dan bercelana training putih itu membubarkan dan menyuruh seluruh teman sekelasku melanjutkan permainan. “Yoshi, kamu kenapa?” salah satu teman cewek mengikuti aku dan wali kelas yang memisahkan diri untuk duduk di pagar. Wali kelasku menyuruh, “Udah, kamu lanjut main aja ya. Ayo.” “I-iya.” “Yoshi.” Sang wali kelas membujuk untuk berbicara sambil menepuk bahuku. Aku terengah-engah dalam berbicara, aku masih menangis, mengeluarkan air mata dan tidak dapat menahan segala campuran emosi yang telah kualami selama bermain bebentengan, “A-a-aku … udah … jaga … se-se-sebaik mungkin. Ta-tapi … me-mereka … te-tetap nya-nyalahin aku! A-aku salah a-apa? Di-dibilangin … ja-jaganya en-enggak ben-benar.” Aku meledakkan tangisanku. “Yoshi.” Sang wali kelas mengusap punggungku untuk memadamkan seluruh emosi yang telah kuledakkan. Inilah kenapa … aku sebenarnya tidak ingin ikut main permainan olahraga tim, seperti bebentengan, apalagi basket, apalagi futsal. Daripada aku terus menjadi penyebab kekalahan tim sendiri, lebih baik aku tidak ikutan. Sejak saat itu, setiap akhir pelajaran olahraga, aku tidak ikut bermain basket, futsal, atau semacamnya, apapun yang melibatkan kerja tim. *** “Yoshi? Kamu kenapa?” Bang Fandy membuyarkan kilas balik yang baru saja kuputar. “Eh?” Aku tersadar dari kilas balik itu. “Ya … kepikiran juga yang tadi, Si Shinta. Yoshi … jadi ingat ceritanya Sena pas dia disiksa. Ya … gimana ya? Kayak bisa ngerasain juga gimana Sena pas disiksa sama ibu tiri.” “Yoshi. Mending … kita ke kamar aja deh. Istirahat aja. Oh ya, mau makan siang dulu?” “Nanti deh.” Aku menyusul Bang Fandy menuju kamarnya. “Oh ya … kamu … enggak apa-apa, kan?” Bang Fandy bertanya ketika aku sudah menghadap pintu. “Enggak apa-apa.” *** Hari Senin yang bermasalah di itu akhirnya berakhir menuju ketenangan pada malam hari. Hari yang melelahan fisik dan mental, masalah Shinta terhadap pacarnya telah berakhir. Tetapi … hal ini akan menjadi salah satu kenangan yang tidak ingin Shinta ingat sama sekali, sama seperti ketika Sena mengingat kembali ketika dia disiksa Ayah dan ibu tirinya. Meski kenangan buruk merupakan masa lalu, kalau mendadak teringat, rasa seperti … racun masuk ke dalam otak, begitu menyakitkan, pikiran akan terasa terpukul palu, bagian tubuh akan juga ikut sakit saking tidak ingin mengingat kenangan itu lagi. Masa lalu memang sudah berlalu, tapi … rasa sakitnya … tetap akan ada di dalam pikiran. Itulah yang dinamakan sebuah trauma dari kejadian pahit. Lampu kamar Bang Fandy menyala memancarkan sinar putih, memancarkan jelas setiap warna di sekitar dengan jelas. Bang Fandy mematikan laptopnya ketika dia bersiap untuk berbaring di atas karpet di sampingku. Memang, jam sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Aku menyentuh kening Sena untuk memastikan apakah panasnya sudah benar-benar turun, atau lebih singkatnya suhu tubuhnya kembali normal. Tanganku yang menyentuh kulit kening Sena sama sekali tidak panas, berarti panasnya sudah turun. Mungkin Sena sudah sembuh. Bang Fandy bangkit membujukku, “Udah agak lumayan turunnya sih. Ya … Sena tetap harus istirahat buat jaga-jaga besok. Nanti … kita ke Surabaya-nya Rabu aja.” “Bang.” Aku menatap Bang Fandy. “Bolos sekolah sampai ke luar kota itu … kayak campur aduk. Yoshi juga … kepikiran gimana … kalau teman-teman pada nanyain, apalagi … kalau udah beberapa hari enggak masuk juga, jadi kepikiran gimana nasib Yoshi entar. Ya … kan sekarang … dua minggu terakhir itu … pekan olahraga dan kesenian di sekolah, jadi … udah enggak ada pelajaran.” “Udah deh. Entar, kalau misalnya mau ambil rapor entar, nanti Abang pikirin dulu. Kalau mau kembali cuma buat ambil rapor, sok aja. Tapi … Abang pikir matang-matang dulu. Apalagi kan … kamu enggak mau ketemu Ayah sama ibu baru kamu di sekolah.” “Bang. Kalau gitu … nanti Yoshi juga mikirin.” Bang Fandy menepuk pundakku. “Yosh, sorry ya, udah melibatin kamu ke masalahnya Shinta tadi. Jadi enggak enak–” “E-enggak, enggak apa-apa, Bang. Justru … Yoshi enggak pengen Shinta berakhir kayak Sena, apalagi lebih buruk,” aku memotong sambil mengangkat tangan kanan. “Enggak, Yoshi. Abang enggak enak kalau kamu juga jadi ikut-ikutan terlibat gini. Mungkin … kayak enggak tepat juga pas ada masalah ginian–” Aku sekali lagi memotong perkataan Bang Fandy. Entah kenapa, aku ingin mengikat erat Bang Fandy pada pelukanku, cukup canggung, apalagi kalau sama-sama cowok. Aku ingin memeluk Bang Fandy agar bisa lebih tenang dalam memikirkan masalah. Tujuanku melarikan diri hanyalah untuk menyadarkan Ayah kalau istri keduanya … memang bermasalah dengan Sena. Kalau tidak bisa dengan kata-kata, terpaksa aku melakukan hal ini, memberi hukuman pada ayahku sendiri. Bang Fandy tercengang ketika kuikat bahunya dengan tanganku pada pelukan. Kedua matanya menatap pada wajahku, tidak tahu apa lagi harus dia katakan. “Ma-makasih, Bang–" ucapku mematahkan keadaan hening dan canggung, “–udah mau ngebantu Yoshi.” “Ya.” Bang Fandy menepuk pundakku sekali lagi. “Woi, udah dong pelukannya, jadi awkward gini.” “So-sorry.” Aku melepas pelukan Bang Fandy yang kembali berbaring di atas karpet. “Udah gih. Ayo tidur. Pasti capek lah habis tadi.” “I-iya, Bang.” Aku berbaring di samping Bang Fandy, bersiap untuk tidur. *** Akhirnya, setelah beristirahat selama Selasa, kami akhirnya menyiapkan segalanya untuk ke rumah Bang Fandy di Surabaya. Bang Fandy telah memasukkan beberapa pakaian, peralatan mandi, dan handuk ke dalam tas. Beberapa buku dan lembaran kertas yang telah menumpuk di dalam tasnya juga dia keluarkan. “Ayo,” ucap Bang Fandy ketika dia mulai menggendong tasnya. “Iya,” aku mengangguk ketika sudah menggendong tasku. Sena juga sudah memakai jaket sebelum berangkat. Kami akhirnya keluar dari kamar kosan Bang Fandy. Ketika aku dan Sena melewati tangga, Bang Fandy mengunci pintu kamar kosannya sebelum menyusul. “Eh? Pada mau balik nih?” tanya Richard yang sedang menonton siaran berita di ruang tengah sambil memegang puntung rokok. “I-iya nih,” ucapku sambil menghampiri Richard. “Belum balik?” “Gue baliknya besok, masih ada ujian entar siang.” Richard kembali memasukkan bagian belakang puntung rokoknya ke dalam mulut. “Udah pada balik nih?” tanya Bang Fandy ikut menghampiri Richard. “Ada yang belum.” Richard mengeluarkan asap putih dari mulut ketika berbicara. “Komisi Pemberantasan Korupsi telah memeriksa setidaknya enam orang tersangka terkait kasus korupsi sebagian besar dana megaproyek nasional.” Kudengar suara news anchor membacakan berita di TV. “Yoshi! Yoshi! Itu Om Gunawan, bukan? Yoshi!” Bang Fandy tercengang ketika menatap seseorang yang familiar pada layar televisi. Aku menatap pada layar televisi. Aku tercengang, aku seperti ada yang menyilaukan hatiku. Kutatap seorang bapak-bapak yang tengah beberapa wartawan dari media televisi dan radio hampiri. Bapak-bapak itu berkacamata, wajahnya juga familiar. Ketika kutatap nama dari narasumber itu, aku … tertegun ketika namanya adalah nama ayahku, Gunawan. Ayahku terlihat berbicara pada wartawan media sambil dikawal polisi, “Saya … yakin … saya telah dijebak … karena … saya tidak mungkin melakukan hal sekotor itu. Saya … menjadi penjabat … ya untuk melayani rakyat dong! Mereka cuma asal tuduh! Mana buktinya! Mana bukti kalau saya melakukan korupsi! Kalau gini, berarti saya dijebak dong sama mereka! Saya dijebak! Saya dijebak oleh KPK! KPK cuma asal tuduh terus jebak saya! Saya dijebak oleh KPK!” “Pak! Pak!” Terdengar suara beberapa reporter berbondong-bondong bertanya. A-Ayah … jadi … tersangka … korupsi? #13: Memikirkan Alasan Sempurna Apakah … yang kulihat tadi itu … benar-benar hukum karma? Ayah sudah memperlakukan buruk pada Sena, ikut-ikutan perilaku sang ibu tiri. Aku tahu dari Sena … Ayah tidak ingin mendengar penjelasan darinya, dia menganggap penjelasan dari gadis kecil tak bersalah itu sebagai kebohongan belaka. Aku mengepalkan tangan, menahan emosiku. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah ini sebuah hukuman untuk Ayah … karena telah menyiksa Sena? Bukan, Ayah menjadi tersangka korupsi karena dia diduga melakukan sesuatu pada uang negara, bukan karena ikut-ikutan menyiksa Sena. Aku … tidak tahu apakah harus senang atau sedih atau marah pada kenyataan ini? Pada dasarnya Ayah sudah ikut-ikutan ibu tiri untuk menyiksa Sena, jadi … kupikir Ayah pantas mendapat ganjarannya, menjadi tersangka korupsi. Tapi … tersangka korupsi, bukan tersangka pelaku kekerasan terhadap anak kecil seperti Sena. Ini mungkin ganjaran yang berbeda. Bagaimana bisa? Ayah selalu bilang … kalau aku dan Sena harus hidup sesederhana mungkin, meski berlimpah dengan gaji tingginya. Rumah kami tidak bermewah-mewahan, hanya sederhana, sesuai kebutuhan, makan, belajar, tidur, nonton, dan baca. Kenyataan mungkin berbanding terbalik dengan ucapannya, Ayah menjadi tersangka korupsi? Kalau benar Ayah melakukan korupsi … berarti … uang yang kucuri dari amplop di kamarnya … adalah uang hasil korupsi? Apa benar? Sisa uang yang berada di dalam dompetku … dan juga yang sudah kugunakan … apakah … hasil dari korupsi? Apakah … keadaan akan berbeda kalau Ayah tidak bekerja di bidang politik sebagai pejabat? Politik, aku sama sekali tidak ingin peduli tentang hal itu, apalagi korupsi selalu menjadi topik utama jika membahas politik dari media manapun. Mungkin … kalau Ayah tidak selalu pulang malam karena urusan pekerjaan semenjak Ibu meninggal, dia pasti akan menghabiskan waktu luangnya denganku dan Sena. Dengan begitu, mungkin dia akan mengerti apa yang dikatakan Sena tentang perlakuan ibu tiri. Tapi … tetap saja, Ayah memang sudah cinta Wilhelmina, ibu tiriku dan Sena, sudah cinta sejak mungkin pertama kali bertemu. Karena itu … karena itu, dia tidak ingin terima kejujuran Sena, melainkan ingin aku dan Sena menyayangi Wilhelmina seperti Ibu dulu, bukan menjelek-jelekannya. Mana bisa aku dan Sena melakukan keinginan ayah seperti itu, menyayangi Wilhelmina, ibu tiri, seperti Ibu dulu? Kenyataannya, Wilhelmina menyiksa Sena saat aku dan Ayah tidak ada di rumah. Pantas, Sena ketakutan jika dia dekat-dekat sama Wilhelmina. Lalu … Ayah juga sekadar membantu Wilhelmina menambah penderitaan pada Sena, bukannya menolong, malah membela tuduhan, menyiksa anak perempuannya sendiri demi cinta istri keduanya. “Yoshi?” Bang Fandy membuyarkan lamunanku lagi. “Yoshi? Enggak apa-apa, kan?” “Bang, itu … tadi Ayah?” tanya Sena setelah dia menatap wawancara Ayah di televisi. “Ayah … kenapa?” “Ya … Om Gunawan–” Bang Fandy kebingungan ingin menjawab seperti apa, tentu dia tahu Sena akan histeris jika Ayah menjadi tersangka korupsi. Mungkin seharusnya aku senang, mungkin juga seharusnya aku sedih, begitu mendengar kabar Ayah menjadi tersangka korupsi. Ayah … sudah mendapat ganjarannya, entah itu karena ikut-ikutan menyiksa Sena atau bukan. Tapi … dia tetap ayahku, aku juga tidak bisa menerima kenyataan kalau Ayah mungkin sudah masuk ke dalam dunia gelap pejabat politik, termasuk melakukan korupsi. Haruskah … aku benar-benar peduli pada situasi Ayah sekarang? Aku … memang sudah melarikan diri dengan Sena dari rumah. Apakah Ayah juga … masih peduli padaku dan Sena? Apakah Ayah juga merindukan kami berdua? “Ih! Pindahin ah! Beritanya korupsi melulu! Bosan tahu!” suara Stella mengagetkan kami saat dia baru datang ke ruang tengah. “Ya mau gimana lagi dong? Pejabatnya korupsi melulu! Pantasan banyak proyek gede negara yang enggak jadi-jadi, gara-gara duitnya dikorupsi. Pejabatnya enggak tanggung jawab lah!” bantah Richard sambil mengeluarkan asap putih sehabis memasukkan rokok. “Ih! Richard, ada anak kecil tahu, bisa enggak rokoknya dimatiin gitu?” keluh Stella yang peduli dengan Sena. “Gue udah di sini dari tadi lah!” sahut Richard. “Udah deh, gue … balik duluan ya,” Bang Fandy pamit, tidak ingin berlama-lama lagi di kosan, menunda keberangkatan kami. “Iya, hati-hati ya!” jawab Stella. “Oke,” jawab Richard. *** Kami pun tiba di terminal bus setelah menggunakan taksi online. Bang Fandy yang membayar biaya jasa kepada supir. Begitu kami tiba di terminal, kami cepat-cepat menuju loket tiket, di mana terlihat beberapa antrean ramai. Wajar, karena ini menjelang akhir tahun, jadi jumlah penumpang bus membeludak. Akhirnya, kami akhirnya mendapat tiga tiket dengan harga masing-masing cukup murah, bus dari Jogja ke Surabaya. Kami pun menunggu sambil duduk di bangku dekat area bus. Bisa kulihat beberapa bus seperti menumpuk menunggu penumpang, beberapa pedagang asongan juga ikut menawarkan barang dagangan pada calon penumpang, dan beberapa petugas memanggil sesuai tujuan penumpang menandakan bus yang mereka kendarai akan segera berangkat. Ketika aku duduk, lagi-lagi aku terbayang bagaimana nasib Ayah. Aku kebingungan apakah aku harus senang atau sedih. Hari ini … kami bertiga akan ke rumah Bang Fandy di Surabaya, seharusnya aku merasakan lega kalau situasi aman bagiku dan Sena berlanjut, tapi … kabar Ayah menjadi tersangka korupsi justru berkata lain. “Yosh?” Bang Fandy menepuk punggungku. “Kenapa?” “Eh?” Kurasa Bang Fandy telah menatap diriku menundukkan kepala, saking banyak segala pikiran yang mulai menumpuk. “Yosh, sorry ya, ayahmu udah jadi tersangka korupsi. Abang juga … enggak nyangka sebenarnya. Kalau benar, emang ayahmu udah masuk–” Aku memotong, “Apa … ini sebuah hukuman buat Ayah … habis dia ikut-ikutan nyiksa Sena?” “Yosh, enggak gitu. Kalau dia jadi tersangka korupsi, itu gara-gara kemungkinan dia ikut-ikutan korupsi duit negara.” “Ayah selalu bilang … hiduplah sederhana, tidak peduli berapa banyak uang yang kamu miliki. Kenyataannya ternyata … bukan, mungkin kebalik. Ayah … nyimpan duit di balik amplop di dalam laci lemari kamar, banyak banget. Terus … Yoshi curi duit dari situ, pas Yoshi sama Sena mau kabur dari rumah. Mungkin duit yang Yoshi punya, termasuk … yang udah dipakai, itu duit hasil korupsi. “Yoshi … jadi sempat ragu pas sebelum bayar buat tiket tadi, buat Yoshi sama Sena. Pakai duitnya jangan ya. Ya … Yoshi juga enggak enak kalau harus ngerepotin Abang lagi cuma buat bayarin tiket bus buat Yoshi sama Sena.” “Iya sih, duit Abang juga … cuma tinggal bayar tiket, sama … mungkin taksi online kalau masih ada,” jawab Bang Fandy. “Yoshi … bingung banget, Bang. Apa emang Ayah pantas dapatin gini habis semuanya? Ayah udah nyiksa Sena juga, ikut-ikutan ibu tiri. Harusnya … Yoshi sedih banget … enggak percaya kalau Ayah udah berani korupsi, terus … mau gimana lagi … Ayah tetap ayahnya Yoshi dan Sena. Mungkin … Ayah udah terkena hasutan ibu tiri, jadi Ayah nyiksa Sena sampai gini jadinya. Makanya, Yoshi sama Sena kabur dari rumah.” Bang Fandy mengangguk. “Enggak apa-apa, kok. Abang ngerti perasaan kamu jadi … campur aduk gitu. Kadang … kamu bakal berharap Ayah pantas masuk penjara gara-gara perbuatannya, termasuk pas nyiksa Sena. Kalau ibu tiri … Abang juga enggak yakin apa dia juga bakal masuk penjara karena perbuatannya pada Sena. Sejauh ini … kita enggak punya bukti selain luka-luka Sena.” “Ibu tiri Yoshi sama Sena … bakal masuk penjara, kan? Kalau kita punya bukti yang kuat,” tanyaku sekali lagi. “Mungkin, kalau polisi udah percaya sama kita. Kita bisa aja bohong, sembunyiin kenyataan dan kebenaran yang terjadi, kalau kita harus bohong, ya bohong aja, demi kebaikan., selama enggak ngelukai orang. Abang juga … kadang bohong demi enggak menyakiti perasaan orang. Kalau emang saatnya buat jujur, ya apa boleh buat. Kejujuran emang bikin sakit banget. Jadi … kejadian Om Gunawan kayak tadi … mau dijadiin alasan sempurna?” “Alasan sempurna?” ulangku. “Ya, alasan buat kenapa kamu ke kosan, terus ke rumah entar lah. Kamu kan bilang kalau kamu emang enggak bisa bilang Abang ngantar kamu sama Sena ke rumah gara-gara masalah di rumah lah. Jadi mau gini aja alasannya?” Aku memikirkannya sejenak, apakah alasan seperti ini akan menjadi alasan yang akan kuungkapkan, Ayah menjadi tersangka korupsi? Lalu … aku harus berbohong seperti apa? Kenapa aku dan Sena ke rumah Bang Fandy di Surabaya kalau cuma karena Ayah jadi tersangka korupsi? Meski ada ibu tiri di rumah. “Surabaya!” sahut salah satu petugas mengumumkan bus yang akan kami tumpangi telah siap untuk berangkat. “Kak,” panggil Sena. “Kita bakal ketemu Bu De di rumahnya Bang Fandy?” Bang Fandy mengambil alih untuk menjawab, “Ya, Sena. Bu De bakal senang kok. Sekeluarga juga pasti bakal senang ketemu kamu sama Yoshi.” “Ayo,” aku bangkit dari tempat duduk. “Udah mau berangkat nih!” “Iya, iya, baru aja Abang mau bilang.” Bang Fandy ikut berdiri setelah Sena bangkit. Kami bergegas meninggalkan tempat duduk menuju tempat parkir bus, mengikuti beberapa penumpang yang berbondong-bondong, tanpa perlu mengantre membentuk barisan lagi. Kami pun mendatangi bus ber-body warna perak, yaitu bus rute dari Jogjakarta ke Surabaya dengan harga tiket paling murah katanya. Akhirnya, kami siap meninggalkan Jogjakarta menuju Surabaya ketika duduk di salah satu bangku barisan tengah. Meski begitu, aku masih tidak tahu apa aku harus lega atau tidak karena Ayah sudah mendapat hukuman dari perbuatannya. Keadilan tidak ada yang tahu apakah benar atau salah menetapkannya. *** Butuh kurang lebih delapan jam perjalanan dari Jogja menuju Surabaya, ketika kami tiba di terminal bus, jam pada layar ponselku sudah menunjukkan pukul 6:39 sore. Kami pun akhirnya turun dari bus dan memasuki gedung terminal yang dinamakan Teminal Purabaya. Katanya Terminal Purabaya merupakan terminal bus terbesar dan tersibuk di Indonesia dan di Asia Tenggara, benar saja, suara langkah kaki dari kebanyakan penumpang seakan-akan membuat sebuah nada. Banyak sekali penumpang berdatangan, baik yang ingin berangkat atau baru saja tiba di terminal. Terminal Purabaya juga sempat kukira aku tidak sedang berada di terminal bus, melainkan bandara. Tidak seperti terminal-terminal lain yang pernah kukunjungi, terminal Purabaya benar-benar bersih, tertata, dan enak terlihat di mata. Sisi positif lain, tidak ada calo yang terlihat bertanya lokasi tujuan calon penumpang. Tempat duduk juga terlihat seperti di bandara. Dinding setiap ruangan terminal juga tidak bernoda, bersih dan enak dipandang. “Wah.” Kulihat Sena begitu kagum ketika menatap bagian dalam gedung terminal. “Ini … kayak di bandara aja.” “Iya dong, Sena,” jawab Bang Fandy. “Dulu terminalnya enggak sekeren gini lho.” Ketika kami berjalan menuju lobi, aku masih terpikir bagaimana nasib Wilhelmina, ibu tiri. Bagaimana nasibnya sejak Ayah menjadi tersangka korupsi? Aku bahkan tidak berharap ibu tiri akan baik-baik saja, melainkan mendapat ganjaran akibat perbuatannya pada Sena. “Nanti bisa enggak kita ke sini lagi?” tanya Sena. “Eh? Mau ngapain?” aku tertegun. “Ya, enggak naik bus juga enggak apa-apa, cuma pengen lihat-lihat. Enggak kayak terminal bus aja, kayak di bandara.” “Nanti lah, kapan-kapan kita ke sini lagi ya,” ajak Bang Fandy sambil mengeluarkan ponselnya begitu kami keluar dari lobi menuju halaman depan terminal bus. “Sekarang … kita ke rumah Abang dulu ya. Sena pasti capek, Yoshi juga. Udah malam soalnya. Sena juga lapar, kan? Nanti bakal makan yang enak banget!” “Eh? Emang … Bu De bakal masak banyak kayak pas Yoshi sama Sena ke rumah Bang Fandy kayak dulu?” tanyaku lagi. “Ya … enggak tahu juga. Pokoknya nanti lihat aja.” *** Kami pun tiba di hadapan rumah Bang Fandy, keadaannya masih sama sesuai ingatanku. Pintu gerbang depan terbuat dari kayu, pagar halaman depan terbuat dari batu-bata bercat abu-abu begitu tinggi hingga tidak terlihat bagaimana kondisi rumahnya. Terakhir kali aku kemari bersama Sena, Ayah, dan Ibu, kondisi rumah ini tetap sama persis. Aku ingat betapa tidak sabar diriku untuk bertemu Bang Fandy. Kali ini, Bang Fandy yang mengantar Sena dan aku ke rumahnya, bahkan rela membiarkan kami berdua menginap kalau Bu De mengizinkan. Bang Fandy menekan tombol bel tertempel di sisi pagar dekat gagang pintu garasi kayu yang biasanya terkunci gembok. Suara bel seharusnya terdengar keras di dalam rumah, menandakan ada tamu. “Bang, enggak apa-apa? Yoshi … jadi enggak enak,” aku lagi-lagi sungkan. “Enggak apa-apa, Yosh. Kalau ditanya, bilang aja apa alasannya kenapa kamu ketemu Bang Fandy terus pengen nginap. Kalau kamu tetap enggak bisa, Abang bakal bantu.” Suara kunci pintu depan rumah terdengar cukup nyaring menuju telinga. Suara langkah kaki pun menyusul, menanti siapa yang akan membuka pintu gerbang kayu. Apakah itu Bu De yang membuka pintu dan akan menemui kami. Suara kunci gembok terbuka pun menyusul sebelum pintu gerbang bergeser ke kiri, terbuka mengungkapkan teras rumah sekaligus mobil sedan merah terparkir di depan pintu garasi rumah. Orang yang membuka gerbang itu adalah … seorang wanita, dia adalah kakak dari Ibu sekaligus ibunya Bang Fandy. Dia tertegun ketika menatap diriku dan Sena. “Bu,” sapa Bang Fandy. “Mas Fandy. Eh, ada Mas Yoshi sama De Sena juga.” “Bu De,” panggilku. #14: Tiba di Rumah Bu De Wanita berambut ikal panjang, berkerut di dekat hidung, dan beranting berbentuk berlian itu adalah ibu dari Bang Fandy sekaligus kakak Ibu, namanya Bu De Soraya. Terakhir kali aku bertemu dengan beliau saat pesta pernikahan Ayah dan Wilhelmina beberapa bulan sebelumnya. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi, Bu De Soraya begitu tertegun ketika menatap kenyataan bahwa Bang Fandy telah membawa diriku dan Sena ke rumahnya. Sebuah kejutan bagi Bu De Soraya ketika dirinya terdiam sejenak menatapku dan Sena. Bu De Soraya memecah keheningan itu, “Ayo masuk, masuk aja. Mas Fandy, Mas Yoshi, sama De Sena juga.” “I-iya, Bu.” Bang Fandy mengangguk. “Ayo, Yoshi. Ayo, Sena.” “Oh ya, pintunya tolong tutup lagi ya, Mas Fandy,” suruh Tante Soraya. Kami pun mengikuti Bu De Soraya melewati halaman rumah setelah Bang Fandy menutup dan mengunci gembok pintu gerbang kayu. Tanaman hias dan rerumputan menjadi sambutan bagi tamu rumah di halaman depan, lantai bebatuan menjadi pijakan menuju lantai teras rumah. “Duduk dulu aja, silakan,” Bu De Soraya mempersilakan duduk di sofa ruang depan. Bagian dalam rumah Bang Fandy memang tidak banyak berubah sejak aku terakhir kali ke rumahnya. Ruang depan merupakan gabungan dari ruang tamu dan ruang keluarga. Terlihat tiga buah sofa cokelat mengelilingi meja lebar layaknya seperti di kedai menghadap televisi, sebuah grand piano menghadap tangga menuju lantai dua, dan lemari berletakkan beberapa barang-barang antik berupa tumpukan piring, beberapa cangkir, dan beberapa kendi kaca berukuran kecil hingga besar di dekat pintu menuju ruang makan dan dapur. Kami bertiga duduk di sofa bagian tengah, aku begitu sungkan ketika Bu De Soraya melihat Sena dan aku tiba di rumah Bang Fandy tanpa perlu diantar oleh Ayah. Terlebih, ibuku yang merupakan adik dari Bu De Soraya sudah meninggal dunia karena kecelakaan, mungkin akan terasa canggung ketika Ayah sudah menjadi “mantan” saudara ipar. “Mbak Shilla, Mbak Mila, ada Mas Yoshi sama De Sena nih!” Bu De Soraya memanggil kedua kakak Bang Fandy. “Ah, mereka lagi masak gulai, pasti pada lapar, kan?” “Bu,” panggil Bang Fandy, “maaf kalau ini tiba-tiba banget. Yoshi sama Sena boleh kan nginap di sini? Buat sementara?” “Oh, Ibu udah lihat beritanya Om Gunawan jadi tersangka korupsi,” Bu De Soraya menurunkan nadanya. “Iya, Bu. Itu sebabnya. Terus–” Bang Fandy mulai mengungkapkan alasan palsu mengapa aku dan Sena berada di rumahnya saat ini, “–Om Gunawan bilang sama Mas Fandy buat nitip Yoshi sama Sena ke rumahnya, lagian … bentar lagi juga liburan sih, mumpung sekalian. Terus … Tante Wilhelmina juga bakal yang ngambil raport entar. Ya, Om Gunawan sebenarnya nitip Bang Fandy buat antar ke rumah buat jaga-jaga kalau … Om Gunawan dipenjara sama disidang entar.” “Jadi begitu ya. Bu De jadi kasihan ke Mas Yoshi sama De Sena ya. Kalian … boleh tinggal di sini buat sementara, sampai masalah ayah kalian selesai. Berharap saja agar ayah kalian enggak bersalah. Tante juga masih enggak percaya kalau ayah kalian jadi tersangka korupsi.” “Bu! Bikinin teh juga?” suara Mbak Mila begitu tidak asing terdengar dari dapur. “Iya dong, ada tamu nih!” jawab Bu De Soraya. Aku sungkan sambil mengangkat tangan kanan, “Enggak usah, Bu De.” “Udah, enggak apa-apa, kan udah jauh-jauh ke sini,” balas Bu De Soraya santun. “Entar, Mas Yoshi tidur sama mas Fandy ya. Kalau Sena … entar tidurnya sama Mbak Mila aja ya.” “I-iya, Bu De,” jawabku. “Mbak Shilla, Bina mana?” “Di kamarnya kali, enggak keluar-keluar,” jawab Shilla. “Ah, Bina emang harus disuruh keluar kamar dulu. Ada saudara kok di kamar aja.” Bu De Soraya bangkit dan melangkah menuju tangga untuk memanggil Bina. “Yosh, Sena, Abang udah bilang alasan kenapa kalian ada di sini. Jadi … kemungkinan kita bakal ketemu banyak orang, palingan mulai dari keluarga Abang. Kalau mereka nanya kayak Bu De tadi, bilang aja ayah kalian nitip di rumah Abang. Soalnya, ayah kalian jadi tersangka korupsi,” Bang Fandy berpesan. “Terus … kalau kita harus di sini terus, kita sekolah gimana?” tanya Sena. “Uh–” Bang Fandy ragu-ragu dalam menjawab. “–nanti paling Abang pikirin dulu gimana situasinya. Kalau … emang Sena enggak mau balik ke rumah, kalau Sena masih takut sama Ayah sama ibu tiri, nanti … Abang pikirin sama ngomongin. Mungkin … kata Abang, Sena pindah sekolah di sini paling.” Aku menyela, “Emang … gampang urusan gitu? Apa enggak repot kalau harus pindah sekolah? Sekolah Sena kan jauh banget dari Surabaya, terus … kalau mau pindah sekolah, kan harus kabarin dulu.” “Sena kan kasihan juga, apalagi dia takut sama Ayah sama ibu tiri, kan?” Bang Fandy mengingatkanku. “Iya, Bang. Sena … nanti mungkin bakal pindah sekolah. Sena … enggak mau ketemu sama Ayah lagi. Ibu tiri juga, Sena enggak mau ketemu lagi,” jawab Sena. “Jadi repot juga,” ucapku. “Enggak apa-apa, Sena juga enggak bakal ketemu sama Ayah lagi, apalagi sama ibu tiri,” Sena mengingatkan. “Sena emang enggak bakal kangen sama teman-teman di sekolah?” tanyaku lagi. Sena menundukkan kepala sejenak setelah kuajukan pertanyaan seperti itu. Memang kenyataannya, pindah sekolah harus mengucapkan perpisahan pada teman-teman yang sudah dekat dari awal masuk. Pasti pada awalnya akan merindukan teman-teman itu saat beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan teman-teman baru. Aku juga sama, kalau memang harus pindah sekolah, aku harus rela kehilangan teman-teman dekatku, apalagi … aku juga harus melewatkan momen project besar English Club, nge-dub sinetron ke bahasa Inggris. Aku akan merindukan semuanya, semuanya. Bang Fandy mematahkan keheningan. “Uh … nanti kita pikirin deh soal itu. Kalau misalnya Sena pengen balik ke sekolah lama, nanti Abang juga pikirin gimana caranya. Ya … masalahnya juga … pasti enggak pada pengen ketemu ayah sama ibu tiri kalian juga. Susah sih.” “Fandy!” Mbak Mila memanggil sambil melewati pintu menuju ruang makan untuk menemui kami sambil membawa tray tiga cangkir the ke meja. “Gulainya bentar lagi matang nih!” “Eh, Mbak Mila,” sapa Sena. “Sena! Udah lama enggak ketemu nih! Yoshi juga!” sahut Mbak Mila yang menemui Sena lebih dulu. ”Darimana aja sih, enggak pada ngabarin. Pantas Fandy ngomongin kalian melulu pas ke rumah.” Mbak Mila adalah kakak kedua dari Bang Fandy. Gadis berambut lurus panjang itu sebenarnya sedang menggarap skripsi, kampusnya juga masih satu kota dengan rumahnya, jadi mudah kalau ingin bolak-balik ke kampus untuk bimbingan. “Diminum tehnya,” pinta Mbak Mila. “Ada saudara datang nih,” suara Bu De Soraya terdengar ketika dia mennuruni tangga dengan Bina. “Enggak boleh gitu, kan Mas Fandy juga baru balik, bawa saudara juga.” Aku bangkit menatap Bu De Soraya membawa seorang gadis yang merupakan adik Bang Fandy, Bina, melewati tangga menuju ruang depan. Bina merupakan anak keempat Bu De Soraya, dia masih kelas 1 SMA, beda satu kelas denganku. Kutatap penampilan Bina memang tidak banyak berubah semenjak terakhir kali bertemu saat pernikahan Ayah, rambutnya panjang hitam kecoklatan dan wajah yang selalu masam, cemberut sambil menyipitkan mata ketika dia merasa terpaksa untuk berkomunikasi dengan seseorang. Aku ingat, ketika bertemu dengan Bina saat pesta pernikahan Ayah waktu itu, dia malah mengabaikanku begitu saja, tidak ingin menjawab sapaanku sama sekali, dia hanya ingin menyendiri di balik keramaian. “Eh, Bina,” Bang Fandy bangkit sambil menyapa. “Ayo duduk sini, ada saudara nih, Mas Fandy juga udah pulang. Jangan di kamar aja dong,” suruh Bu De Soraya pada Bina. “Iya, Bu,” jawab Bina. “Eh, Bina, ujiannya gimana? Bisa ngerjain enggak?” Bang Fandy mulai mengajukkan pertanyaan. “Lancar. Semuanya lancar,” Bina berbicara pelan. “Eh, sekarang di sekolah kegiatannya ngapain aja?” “Biasa, habis ujian, ada yang remed, sekalian juga pekan olahraga sekolah.” Bina menarik napas sejenak. “Seenggaknya Bina enggak ada yang diremed lah pelajarannya.” “Gulainya udah matang nih!” sahut Mbak Shilla. “Iya!” jawab Mbak Mila. “Yuk, makan dulu, bareng. Yoshi sama Sena juga.” *** Semangkuk besar gulai daging sapi sudah tersaji di bagian tengah meja makan yang begitu lebar. Kulihat kuahnya berwarna oranye kekuningan, setiap potongan daging sapi berwarna cokelat menandakan sudah dimasak hingga sempurna, dan hiasan potongan jahe, serai, serta daun salam sebagai penambah aroma. Kulihat Mbak Shilla mengambilkan sepiring nasi untuk masing-masing, sesuai porsi secukupnya. Ketika piring nasi tiba di hadpaan kami masing-masing, barulah kami mengambil sesendok sayur gulai daging secukupnya. Kulihat juga Bang Fandy mengambilkan beberapa sendok sayur gulai pada sepiring nasi Sena sambil menanyakan apakah sudah cukup. Sena mengangguk tersenyum ketika dia sudah mendapat begitu banyak daging berkuah gulai pada sepiring nasinya. “Makan yang banyak ya, masih banyak gulainya,” ucap Bu De Soraya. “Ayo lagi, Yosh,” ucap Bang Fandy ketika menatapku selesai mengambil beberapa sendok sayur gulai menuju sepiring nasiku. “Enggak deh, Bang, udah.” Lagi-lagi aku sungkan. Aku akhirnya mengambil sesendok nasi yang sudah tercampur gulai daging. Kulihat asap bersumber dari gulai yang menandakan masih panas. Kutiup sejenak sebelum memasukkannya ke dalam mulut. Ketika gulai itu mulai mendarat di lidah, bisa kurasakan kekayaan rempah yang meresap pada kuah dan membuat gurih serta segar. Setiap potongan dagingnya juga empuk dan mudah dikunyah, menandakan memang matang merata. “Enak banget,” ucap Sena menikmati gulai itu. “Ah! Sena suka ya? Nanti tambah yang banyak ya,” ungkap Mbak Mila. Mbak Shilla, gadis berambut kepang belakang yang juga merupakan kakak pertama Bang Fandy, bertanya, “Oh ya, pada ketemu di mana? Kok pada bareng nyampai sininya?” “Ah! Mbak Shilla!” ucap Bang Fandy. “Yoshi sama Sena nginap di kosan Fandy lah.” “Ya iyalah!” Mbak Mila ikut menghebohkan. “Kan Fandy sama Yoshi udah dekat banget lah. Fandy juga sering nge-LINE si Yoshi kok.” “Gimana sih! Tahu darimana? Fandy emang ngekos kok,” Mbak Shilla mengingatkan. “Kan dari dulu juga Fandy udah dekat banget sama Yoshi. Kalau nginap di sini pas dulu, Yoshi pasti minta tidur di kamarnya Fandy lah!” Bang Fandy tertawa kecil. “Udah, makan ya makan, bercandanya entar aja.” “Oh ya, besok Bang Fandy keluar enggak?” tanya Bu De Soraya. “Kayaknya enggak dulu, Bu. Mau di rumah aja.” Mbak Mila mengangkat tangan. “Oh, Mila besok mau bimbingan paling, Bu.” Melihat dari situasi dan keadaan, besok sepertinya aku akan di rumah dengan Bang Fandy dan Sena, kalau Mbak Mila perwalian, terus … Mbak Shilla sama Bu De Soraya juga bakal kerja biasa. Bina juga akan ke sekolah besok menghadiri pekan olahraga. Sambil menikmati setiap suap gulai di mulutku, kulihat Bina yang duduk di depanku diam tanpa berkata, dirinya hanya mengunyah setiap suapan nasi dan gulai dengan cepat, seperti buru-buru ingin mengejar waktu. Kulihat piringnya juga hanya menyisakan sedikit. “Bina ngomong dong, jangan diam aja. Ayo, Mas Fandy udah datang, ada saudara juga kok,” bujuk Bu De Soraya. “Enggak ah, Bina capek,” bantah Bina halus sambil bangkit setelah menghabiskan sepiring nasi dan gulai. “Eh, Bina lagi dong gulainya, masih banyak nih!” sahut Mbak Mila ketika Bina membawa piring kosongnya ke dapur. Sena bertanya pada Bang Fandy, “Emang … Mbak Bina biasa gini … juga?” “Sena, jangan ngomong gitu dong, enggak sopan,” tegurku. “Sena, habis makan mau langsung ke kamar Mbak Mila?” Mbak Mila bertanya sambil tersenyum. “Iya, Mbak,” jawab Sena. *** “Akhirnya! Udah lama enggak tidur bareng!” seru Bang Fandy ketika kami berdua memasuki kamarnya. Ketika kumasuki kamar Bang Fandy, cat hijau dan putih menjadi hal utama ada dinding. Kasur bersprei biru berada di hadapanku, dekat lemari berisi mainan Gundam-nya yang terbuka. Meja belajar dan lemari pakaian terlihat di samping pintu keluar kamar. “Ah! Senang banget kamu nginap di sini, Yosh!” Bang Fandy membantingkan tubuhnya menuju kasur. “Iya, udah lama Yoshi enggak nginap di sini lagi.” Aku meletakkan tas di dalam kolong meja belajar sebelum duduk di samping Bang Fandy. “Eh, Gundam-nya nambah ya?” “Iya, beruntung rela nabung cuma buat beli ginian, lumayan nambah koleksi.” “Gitu.” Aku mulai berbaring di samping Bang Fandy. “Yoshi,” panggil Bang Fandy, “tadi sorry ya pas Sena nanya sekolahnya gimana, Abang malah bilang kalau emang mau pindah sekolah–” “Enggak, kok, Bang, enggak apa-apa. Yoshi juga … enggak nyangka kalau bakal gini jadinya. Yoshi … sama Sena udah ngerepotin intinya. Kalau harus pindah sekolah, kalau lama-lama kita stay di sini, kayaknya … bakal jadi yang terbaik. Seenggaknya, Sena udah aman dari Ayah sama ibu tiri. Sena enggak bakal harus menderita lagi.” “Oh ya, Yosh. Entah kenapa, Abang jadi ingat pas Ayah … milih Abang jadi anaknya.” Bang Fandy menyilangkan kedua tangan di dada. “Tahu kan semua anak-anaknya cewek. Anak pertama, Mbak Shilla, kedua, Mbak Mila, terus ketiga, Bina. Katanya Ibu ngerasa udah cukup punya tiga anak aja, tapi Ayah kepikiran pengen punya anak laki-laki habis Mbak Mila lahir. Ya, akhirnya anak ketiganya Bina deh, cewek” “Jadi itu … alasan Pak De mau adopsi Abang?” tanya Yoshi. “Bisa dibilang gitu. Waktu itu … Abang udah lima atau enam tahun lah pas diadopsi, sekitar setahun setelah Bina lahir. Awalnya enggak gampang nerima Ayah sama Ibu jadi orangtua, pasti ada proses adaptasinya. Abang juga ingat kenapa Abang masuk panti asuhan.” Bang Fandy terhenti sejenak untuk bercerita, kurasa dia sama sekali tidak ingin mengingat masa lalunya yang menyakitkan, apalagi hal yang menjadi alasan mengapa dia masuk panti asuhan alih-alih bersama orangtua kandungnya. Aku sama sekali belum tahu kenapa Bang Fandy sampai harus masuk panti asuhan. “Bang,” panggilku. “Udah deh, tidur aja. Besok kita bangun pagi-pagi terus ajak Sena main badminton. Kita habis … perjalanan panjang, kan? Oh ya, Yosh, nanti … kalau Abang bakal cerita yang tadi kalau udah waktunya.” “Bang, makasih udah ngebantu Yoshi sampai sini.” “Eh, enggak usah makasih lah. Kamu sama Sena udah aman buat sementara waktu. Ke depannya, nanti Abang bantu pikirin selanjutnya mau kayak gimana. Semuanya … terserah kamu keputusannya mau kayak gimana.” Bang Fandy menarik napas lagi. “Kalau udah gede kayak gini kadang enggak adil juga, kadang kita juga pengen dimanja kayak anak-anak lagi, kadang kita pengen ke masa lalu lagi, pengen nikmatin masa SD, SMP, apalagi SMA.” Aku melanjutkan, “Apa boleh buat, lama kelamaan kita enggak boleh bergantung sama orangtua lah. Entar kita juga hidup sendiri-sendiri tanpa pengawasan orangtua. Harus belajar mandiri mulai sekarang.” #15: Mengungsi di Rumah Bu De Jalan di depan rumah Bang Fandy memang sudah begitu sepi pada pagi hari, mungkin karena beberapa tetangga sudah meninggalkan rumah masing-masing untuk bekerja atau sekolah, sama seperti seluruh anggota keluarganya. Bu De Soraya masih harus berangkat kerja karena belum memutuskan untuk pensiun, Mbak Shilla juga harus kerja, Mbak Mila juga pergi ke kampus pagi-pagi demi menunggu dosen agar bisa bimbingan lebih awal, dan Bina pergi ke sekolah seperti biasa. Di rumah, hanya ada aku, Sena, dan Bang Fandy, sepi, memang, pagi yang sudah begitu sunyi. Mungkin bagi kebanyakan orang hal ini menjadi kesempatan untuk melanjutkan tidur dengan tenang, apalagi saat hari libur. Tapi … hari ini Bang Fandy tidak ingin berlama-lama malas gerak di kasur. Dia memaksaku agar bangkit dari kasur dan menuju halaman depan. Sesuai janji tadi malam, kami akan bermain badminton pagi-pagi begini. Bang Fandy juga bilang kalau dia juga sering bangun lebih awal hanya untuk olahraga kalau tidak ada kelas pagi; Ya … aku tidak heran karena Bang Fandy dengar dari teman-temannya kalau dia paling rajin latihan badminton, baik di luar atau dalam kegiatan UKM. Tidak ada mobil di antara pintu garasi rumah dan pintu gerbang, jadi lahan kosong itu bisa kami gunakan untuk bermain badminton. Memang lebih aman daripada di jalan depan rumah, kami bisa bermain badminton tanpa ada gangguan mobil numpang lewat. Jujur saja, aku tidak begitu ada dorongan yang ingin memaksa diriku untuk bermain badminton, meski Bang Fandy telah mengajakku tadi malam. Aku tidak begitu suka olahraga, apalagi permainan seperti sepak bola, futsal, basket, dan ini, badminton. Mungkin penyebabnya adalah kenangan yang menyakitkan waktu disalahkan sebagai biang kerok kekalahan benteng saat SMP. Gara-gara itu, setiap kali aku ikut permainan olahraga, selalu saja terpikir bagaimana kalau aku jadi penyebab kekalahan timku, bagaimana kalau aku salah dalam teknik dan hal-hal mendasar lainnya. Mungkin pikiran seperti itu sama sekali tidak membuatku terdorong untuk bermain yang melibatkan olahraga. Kulihat Sena kembali berseri-seri saat Bang Fandy membimbing kami untuk pemanasan sebelum menyentuh raket dan kok. Dia melakukan setiap gerakan pemanasan penuh dorongan keceriaan, seakan-akan dia lupa akan hal-hal yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Mungkin … keceriaan itu hanyalah distraksi agar dia tidak terbayang kenangan yang menyakitkan. Kulihat keceriaan yang terlihat pada Sena mulai menyembuhkan luka dari kenangannya. Setelah pemanasan, Sena langsung memegang raket dan kok, tidak sabar ingin bermain badminton. Tetapi, Bang Fandy berkata ada satu hal lagi sebelum kami siap untuk bermain, hal paling dasar. Bang Fandy menunjukkan pada Sena hal dasar yang dia maksud, yakni memukul kok menggunakan raket layaknya membalikkan pancake, aku tjuga tidak tahu apa istilah dari dasar ini. Dia menunjukkan agar Sena harus memukul kok tepat pada buntut, bukan pada bulu. Bang Fandy juga menyuruhku melakukan hal yang sama. Aku pun mengangguk dan mulai membayangkan kok adalah sebuah pancake yang belum matang, serta raket seperti sebuah penggorengan untuk memasak pancake. Aku mencoba fokus agar kok yang kupukul selalu memantul pada raket, layaknya memutarbalikkan pancake, tetapi aku masih saja kehilangan fokus ketika kok itu tidak mengenai raket yang kugenggam. Kuambil kok lagi dan mengulanginya kembali. Selanjutnya, Bang Fandy mengajari cara servis. Dia menunjukkan tata cara servis paling dasar, memposisikan kaki kiri di depan, dan kaki kanan di belakang, lalu angkat raket ke belakang setinggi bahu, pegang kok pada bagian bulunya dan jatuhkan di depan sesaat sebelum kok tersebut mengenai raket. Pukul kok pada permukaan raket dan ayunkan. Kini, saatnya bermain. Sena ingin bermain badminton duluan dengan Bang Fandy, terlihat jelas dari betapa antusiasnya dalam menikmati pemanasan. Bang Fandy berdiri membelakangi pintu gerbang keluar menghadap Sena yang berdiri membelakangi pintu garasi, masing-masing memegang raket dengan erat. Sena mencoba untuk melakukan servis pertama, dia pegang bagian bulu kok menggunakan tangan kiri untuk dijatuhkan pada raket. Dia berupaya untuk memukul kok menggunakan raket begitu menjatuhkannya. Sebagai seorang pemula, tentu dia kurang berhasil, entah karena ayunan raketnya cepat atau lambat, tidak sesuai dengan kecepatan jatuhan kok. Ketika giliran Bang Fandy yang melakukan servis, Sena membalas sebaik mungkin dengan mengayunkan raketnya, meski pada akhirnya tidak mengenai kok sama sekali, kok pun terjatuh di lantai. Meski gagal berkali-kali dalam melakukan atau membalas servis, Sena tetap begitu bersemangat bermain badminton bareng dengan wajah berseri-seri. Bang Fandy pun juga ikut tertawa, begitu juga dengan diriku yang masih menjadi penonton. Sena pun akhirnya tertawa ketika Bang Fandy memukul kok dengan ayunan raket terlalu keras. Koknya pun melambung terlalu tinggi hingga mencapai atap garasi rumah. “Ah! Nyangkut di atas!” sahut Sena. “Pakai yang lain dulu aja lah!” seru Bang Fandy. *** “Ah! Capek banget!” seruku sambil melepas baju begitu masuk ke kamar Bang Fandy. Ya, Bang Fandy tadi memaksaku untuk main badminton dan mengerahkan seluruh tenaga. Dia tahu aku benar-benar malas melakukan olahraga, jadi terpaksa aku harus hadapi latihan “keras”-nya. Lenganku begitu kaku setelah mengayunkan raket berkali-kali hanya untuk servis dan membalas “serangan” Bang Fandy. “Gimana sih!” Bang Fandy berkata ketika aku berbaring di tempat tidurnya. “Ya, akhirnya paksa juga kamu mainnya, ya udah lah, kamu udah kelihatan sekuat tenaga mainnya. Sena juga pasti enggak mau lihat kamu enggak semangat gitu tadi.” Dadaku benar-benar bersimbah keringat yang begitu banyak, berkat dorongan Bang Fandy tentunya. Kuletakkan kedua telapak tangan pada punggung kepala sambil melihat Bang Fandy ikut melepas baju. “Udah lama enggak main bareng ginian lagi,” ucapku. “Ah! Kamu yang jarang olahraga ah! Badminton tadi aja kamu loyo gitu.” Bang Fandy menendang pelan lututku. “Jadi … mau ngapain nih sekarang?” “Enggak tahu. Yoshi mager banget.” Bang Fandy mulai duduk di sampingku sambil bertanya, “Oh ya, kalau libur gini … biasanya ngapain? Di rumah aja?” “Udah tahu malah nanya. Ya iyalah. Ayah sibuk melulu meski Cuma weekend atau libur, ibu tiri juga … enggak pernah ngajak Yoshi sama Sena keluar. Justru … ibu tiri sering pergi sendiri, nyuruh Yoshi jaga rumah. Paling … kalau ada kegiatan English Club pas weekend, ya keluar deh, sekalian hang out, main ke mall lah misalnya.” Bang Fandy menggosok rambutku sambil tertawa. “Pantas dari tadi mager. Ya minimal sih … kalau libur biasanya Abang suka olahraga, lari keliling kampus.” “Oh ya, Bang. Gimana ya … kalau misalnya pas kita balik cuma ngambil rapor semester, kan orangtua juga datang tuh. Kalau ketemu sama Ayah atau enggak ibu tiri, enggak kebayang harus gimana jadinya.” “Abang juga lagi mikirin dulu gimana caranya enggak ketemu Om Gunawan sama Tante Wilhelmina. Oh ya, Om Gunawan kan … lagi dijadiin tersangka, kan? Oh ya, benar, bisa jadi Tante Wilhelmina datang ke sekolah kamu sama Sena juga ya? Susah juga sih.” “Ngapain ya? Yoshi sama Sena udah aman di luar kota, di sini, dari Ayah sama ibu tiri. Kalau ketemu mereka … Yoshi … takut kalau semuanya enggak baik-baik aja. Sena nanti malah disiksa lagi gimana. Apalagi … Yoshi tahu gimana Ayah marah-marah, kayak pas Yoshi enggak benar habis diberitahu sesuatu lah, masih aja salah. Emang benar Ayah bakal marah banget pas tahu Yoshi sama Sena kabur dari rumah.” “Udah deh, mending jangan mikir kayak gitu.” Bang Fandy memukul pelan bahuku. “Ya … Abang bakal bantu kamu kalau emang akhirnya bakal ketemu ayah sama ibu tiri kamu. Tahu lah mana benar mana salah. Mereka tahu hal yang mereka lakukan salah, kita tanya gimana penyebabnya aja kenapa mereka jadi kayak gitu.” Aku ragu dengan usul Bang Fandy, “Apa enggak ngelewat privacy?” “Ya … orangtua kamu kayaknya ngelampiasin masalah yang bikin stres ke Sena, kalau diomongin baik-baik, ya … kayaknya enggak bakal ada masalah lagi sih. Masalahnya, kamu juga … enggak mau ketemu mereka dulu, kan? Apalagi buat ngelindungi Sena lah.” Bang Fandy membalas. “Oh ya, habis mandi, nonton kartun aja deh, bareng Sena.” “Terusin lah Gravity Falls!” “Ya iyalah, Abang juga mau nonton itu lah.” “Rame banget lah Gravity Falls.” “Mending copy ke flashdisk file-nya. Nontonnya di TV aja.” *** Setelah mandi dan berganti pakaian, kami pun memutuskan untuk menonton Gravity Falls di televisi ruang depan bersama-sama, memanfaatkan waktu untuk rehat dari segala pikiran yang melelahkan. File video episode Gravity Falls pun kami mainkan menggunakan flashdisk yang Bang Fandy colokkan ke TV. Kami pun menonton beberapa episode sebisa mungkin, hanya demi meneruskan jalan cerita yang telah kami tinggalkan saat menonton di kosan Bang Fandy. Kami menyaksikan adegan demi adegan, terkadang Sena berkomentar sekaligus bertanya apa yang sedang setiap tokoh dalam cerita itu lakukan, terutama Grunkle Stan, paman dari tokoh utama, Dipper dan Mabel. Begitu kami mencapai akhir dari season pertama, kulihat jam pada layar hp sudah menunjukkan pukul 1:17 siang. Ternyata kami memang keasyikan menonton sampai lupa waktu, kami bahkan belum makan siang. “Oh ya, pada mau makan apa nih?” tanya Bang Fandy. “Paling Abang bisa bikinin telur, mie, atau enggak nasi goreng.” Aku mengulang pertanyaan pada Sena, “Sena mau apa?” “Nasi goreng? Mau dong dibikinin nasi goreng,” Sena secara antusias menjawab. “Sip deh, Abang bikinin nasi goreng aja,” tanggap Bang Fandy. Ketika Bang Fandy bangkit dari sofa menghadap televisi, bunyi bel pintu terdengar nyaring memunculkan nada sebuah lagu yang aku tidak ingat apa namanya. Dia melangkah menghadap pintu dan membukanya. Begitu pintu itu terbuka, yang baru saja tiba di rumah adalah Bina, adik Bang Fandy. Dia masih mengenakan seragam SMA. Dia melangkah tanpa perlu menyapa, melewati ruang depan begitu saja menuju tangga. “Bina.” Bang Fandy menutup pintu. “Kasih salam kek, kan ada Mas Yoshi sama Sena.” “Terus, gue harus peduli apa?” balas Bina dengan angkuh. Aku tercengang ketika mendengar perkataan dan nada bicara Bina ketika membalas ucapan Bang Fandy, terlebih … dia … apakah … ada apa dengannya? Apa dia merasa ada yang salah denganku? “Bina! Enggak boleh ngomong kayak gitu!” tegur Bang Fandy. “Terus, Fandy, gue udah dengar dari Ibu. Mereka emangnya siapa? Sembarangan aja pengen tinggal di sini buat sementara. Katanya gara-gara Om Gunawan kena kasus korupsi ya?” “Bina–” “Lo tahu enggak, Fandy,” Bina bahkan tidak membiarkan Bang Fandy membalas, “enak aja ngebiarin mereka nginap di sini, mereka udah enggak pantas sama kita tahu! Mereka itu anak koruptor! Gue enggak sudi kalau anak koruptor kayak mereka tinggal di sini!” Aku bangkit tertegun dengan apa yang telah Bina katakan padaku dan Sena. Emosiku mendadak mendidih di dalam pikiranku, benar-benar tersinggung. Aku sampai dibilang anak koruptor oleh adik Bang Fandy. Benar-benar tidak sopan! #16: Kemarahan dan Frustrasi “Anak koruptor tinggal di rumah ini? Enak aje lo!” Bina mengarahkan kepala padaku dan Sena. “Ayah lu udah jadi koruptor, terus … lo malah minta-minta pengen tinggal di sini. Ayahnya udah korupsi, gimananya anaknya coba?” “Bina!” bentak Bang Fandy. “Udah!” “Apa lo!” balas Bina yang tidak kalah kerasnya. “Lo pengen ngebela si anak-anak koruptor ginian, hah? Lagian, ngapain? Lo lihat wajah yang seakan-akan enggak ada salahnya, tapi mereka malah melas pengen tinggal di sini. Asal lo tahu aja, mereka enggak pantas tinggal di sini. Emang, mereka pantasnya tinggal di jalan aja sekalian!” “Bina!” Bang Fandy membentak lagi. “Minta maaf enggak! Minta maaf!” ‘Minta maaf? Apaan sih? Sekarang lo pengen gue minta maaf sama anak-anak koruptor sialan ini! Mereka?” “Emang! Lo sopan kek sama saudara sendiri! Dia saudara kamu sendiri, Bina!” Aku bangkit dan mengingatkan Bang Fandy, “Bang, udah. Enggak usah kayak gitu juga. Yoshi jadi enggak enak.” “Lo … bilang … gue enggak usah bentak-bentak kayak tadi?” Bina menyalahartikan perkataanku. Aku menatap Bina sambil mengingatkan, “Bu-bukan, Yoshi enggak ngomong ke kamu, Bina. Udah cukup.” Bina mengentakkan kaki pada lantai begitu keras, menimbulkan bunyi keras dari pertemuan kakinya dan lantai. Kutatap dirinya benar-benar murka, wajahnya memanas hingga seperti mendidih kemerahan. “Jadi lo enggak peduli sama gue! Lo enggak pernah peduli sama gue! Lo kira gue tai apa!” Bina meluapkan kemarahannya sampai matanya berair. Aku, Sena, dan Bang Fandy terdiam menatap Bina yang telah meledakkan seluruh bom emosi pada pikirannya. Kami tidak tahu apalagi yang kami ingin katakan demi menasihatinya. “Bina?” ucapku. Bina pun akhirnya berbalik menuju tangga, berlari sambil mengentakkan langkah kaki menandakan ledakan emosi. Dia pun masuk ke kamar dan membanting pintu, muak dengan perlakuan dan kesalahpahaman kami. Sena sampai terdiam ketika mendengar bantingan pintu kamar Bina. Kutatap dia menundukkan kepala, mungkin terpikir kembali apa yang telah Bina katakan tadi. “Sena.” Aku menemui Sena. “Sena enggak apa-apa, kan? Jangan dipikirin ya.” *** “Yosh, sorry banget kalau kelakuan Bina ke kamu sama Sena udah bikin enggak enak,” ucap Bang Fandy ketika mulai berbaring di sampingku di kasur kamarnya. Entah kenapa, aku hanya ingin tidur lebih awal, meski jam dinding di hadapan kasur baru menunjukkan pukul 8:34 malam. Mungkin aku lelah sehabis bermain badminton dan menonton Gravity Falls seharian penuh hingga malam. Sena tentu sudah tidur sehabis capek menghadapi hari ini, dia yang paling antusias dalam memberi komentar dan pertanyaan selama menonton, apalagi dia sering banyak gerak, tipikal anak-anak. Menurutku, mungkin kartun menjadi pengalih pikiran dari kenangan buruk tentang perlakuan Ayah dan ibu tiri padanya. Sekarang, ada masalah baru, Bina sama sekali enggak mau terima aku dan Sena tinggal di sini untuk sementara waktu, hanya gara-gara Ayah menjadi tersangka korupsi. Semakin kuingat dia memanggilku sebagai anak koruptor, entah kenapa … aku merasa seperti tertusuk oleh ucapannya. Tapi … aku juga masih bertanya dalam hati, kenapa Ayah melakukan perbuatan keji seperti itu, seperti beberapa politikus yang ujung-ujungnya menjadi tersangka? Apakah hanya untuk memperkaya diri? Kalau memang ingin memperkaya diri, kenapa harus bilang ke keluarga agar tetap hidup sederhana? Kenapa kalau banyak uang tidak mengajak liburan seperti dulu sebelum aku tahu kalau dia jadi tersangka korupsi? Tidak, tidak. Aku menggelengkan kepala sambil berpikir keras, lagi-lagi aku terpikir Ayah tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Ayah masih berstatus tersangka, jadi ada kemungkinan dia tidak bersalah, meski tergolong kecil. Mungkinkah … penyebab Ayah ikut-ikutan menyiksa Sena … untuk melampiaskan beban berat berupa ketakutan? Apakah dia khawatir dengan pekerjaannya? Apakah dia cemas dengan segala perbuatan selama bekerja dalam bidang politik? “Yosh.” Bang Fandy membuyarkan lamunanku. “Eh? Bang Fandy, kenapa?” Bang Fandy bercerita, “Bina … emang jadi kayak gitu sih akhir-akhir ini, udah masuk SMA negeri favorit, terus … jadi kayak gitu kelakuannya. Pengennya ngurung di kamar, terus kalau dipaksa keluar, malah marah-marah, bilangnya sibuk. Terus … kalau ditanyain gimana sekolah, malah ngehindar. “Pas sebelum Abang mulai ujian akhir semester, Mbak Mila bilang pas Bina ngehindar pertanyaan gimana sekolah, Ibu kasih nasihat ke dia. Tapi … dia malah marah-marah sama Ibu, bentak-bentak lagi, terus dia ngurung di kamar. Bina … udah susah kalau mau ngomong ke dia, apalagi kalau buat nasehatin. Bina juga enggak pernah ngomong tentang nilai ulangan sama UTS. Kan orangtua harus tahu gimana nilainya, bagus atau kagak. Ya, kalau kagak bagus, pasti malu dulu lah.” Benar, kalau nilai seorang siswa misalnya enggak bagus, bahkan di bawah KKM, pasti bakal sembunyiin dulu, bakal takut dimarahi orangtua. Hal itu pernah kulakukan saat mendapat nilai ujian matematika di bawah KKM, aku tidak ingin mengatakan apakah nilaiku bagus atau enggak kalau Ayah bertanya. Kalau memang nilaiku bagus, pasti akan kujawab. Penyebab mengapa siswa seperti diriku ingin menyembunyikan nilai jelek dari orangtua justru adalah hanya untuk membahagiakan mereka. Seorang anak tidak ingin membuat orangtua mereka marah dan kecewa hanya karena mendapat nilai jelek di sekolah. Kalau ujung-ujungnya dapat nasihat orangtua, pasti akan muak dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Itu yang sudah kualami setelah mengatakan yang sebenarnya tentang nilai jelek. Kalau seorang anak dapat membahagiakan orangtua, pasti dia akan bahagia, itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Mungkin … aku tidak dapat melakukan hal itu, aku sudah kabur dari rumah dan membuat Ayah frustrasi dan kecewa. Mendengar cerita Bang Fandy, kurasa … aku harus tahu kenapa Bina menjadi seperti itu perilakunya, terutama padaku dan Sena tadi. Tapi … aku mungkin bakal kelewat batas privasi, pasti Bang Fandy entah tidak ingin cerita lagi atau mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Bang,” aku memberanikan diri untuk berkata, “kayaknya dia punya kenangan yang bikin dia sedih gitu, jadinya dia ngelampiasin. Ah, jadi ingat pacarnya Shinta yang toxic gitu.” “Oh, si Alex. Itu kan udahan. Katanya Shinta baru balik tadi sih, kayaknya emang butuh waktu buat nge-handle putus dari pacar.” “Oh ya, Bang. Segala sesuatu pasti ada penyebabnya, kan?” Bang Fandy mulai meletakkan telapak tangan pada punggung kepalanya. “Ya. Kalau ngomong penyebab kenapa Alex kayak gitu, kita enggak tahu, terus … kita juga enggak perlu cari tahu.” “Fandy!” panggil Mbak Mila dari hadapan pintu kamar. “Udah pada makan belum? Dibikinin rendang nih!” “Yosh, mau makan enggak?” tanya Bang Fandy. *** “Ayo ambil lagi! Masih banyak” sahut Mbak Shilla ketika aku menaruh sepiring nasi bertoping rendang dan kuahnya. Kutatap kembali sepiring nasi dengan dua potong daging sapi berkuah rendang. Kuahnya yang berwarna cokelat tua dan berbentuk cairan memang tidak seperti di restoran padang, setidaknya kebanyakan rendang buatan rumah memang seperti ini. Aku ingat saat Ayah membelikan makanan restoran padang sepulang dari kerja, tentu rendang menjadi incaran utamanya. Rendang dari restoran padang pada dasarnya memiliki bentuk kuah bumbu menggumpal dan lebih kecokelatan menonjolkan minyak dan lemak dari daging. Perbedaan makan malam bareng di rumah Bang Fandy dengan di rumahku benar-benar jelas, di rumah Bang Fandy pasti hidangannya buatan rumah, sedangkan di rumahku hanya mengandalkan delivery atau take away dari restoran. Jelas sekali rasa cinta pada hidangan buatan Mbak Shilla dan Mbak Mila bisa lebih terasa. Kumasukkan sesuap nasi dan potongan daging ke dalam mulutku. Rasa cinta pada kuah daging terselip pada rasa asin dan gurih, meski bukan rendang otentik khas Padang. Rasa cinta buatan keluarga sendiri memang membuat makanan lebih nikmat. “Lho, Bina mana? Enggak ikut makan?” tanya Bang Fandy sebelum memasukkan sesuap lagi. “Udah diketuk pintunya berapa kali, kayaknya udah tidur,” jawab Mbak Mila. Bina … memang sering enggak pengen makan bareng di meja makan? Aku lihat wajahnya seakan-akan berbicara dia tidak ingin berkumpul bareng keluarga kemarin, apalagi hanya untuk menemuiku dan Sena. Kali ini, entah dia cuma ingin mengurung diri atau kelelahan sehabis melampiaskan kemarahannya tadi siang. Aku menatap kembali Bang Fandy. Bang Fandy memang sering bermain denganku saat bertemu, apalagi saat liburan. Tak heran, Bang Fandy adalah saudara sekaligus sahabat terdekatku, mungkin dia juga akan berpikir sama, meski dia hanyalah anak adopsi. Kalau Bina … dia anak kandung Bu De Soraya, tidak seperti Bang Fandy dan sama seperti Mbak Shilla serta Mbak Mila. Kalau mengingat saat liburan di rumah Bang Fandy dulu, Bu De Soraya tidak pernah memperlakukan anak-anaknya, termasuk Bang Fandy, secara berbeda. Tapi … kurasa ada sedikit perbedaan akhir-akhir ini, cara Bu De Soraya memperlakukan anak-anaknya, terlebih jika melihat kelakuan Bina tadi. Ataukah … Bu De Soraya masih menganggap Bina sebagai anak yang masih labil? Sedangkan Mbak Shilla, Mbak Mila, dan Bang Fandy … sudah lebih dewasa? “Eh, Sena mana?” tanya Mbak Shilla yang baru bergabung di meja makan. “Udah tidur sih. Katanya ngantuk pas jam setengah delapan,” jawabku. “Habis nonton marathon.” “Eh? Kenapa enggak diajak keluar aja? Fandy, ajak dong Yoshi sama Sena keluar kek!” usul Mbak Mila. “Uh … enggak deh. Enggak apa-apa di rumah dulu,” jawabku. Rumah Bang Fandy jadi tempat aman untuk waktu, bagaimana kalau aku dan Sena keluar rumah? Lagipula … aku dan Sena masih dianggap orang hilang oleh Ayah dan ibu tiri. Kalau terjadi apapun, misalnya … kalau mereka sudah melapor ke polisi tepat sebelum Ayah jadi tersangka korupsi, bagaimana ini? Oke, sejauh ini tidak ada berita tentang aku dan Sena sebagai orang hilang, jadi itu tidak mungkin terjadi. Aku sudah berada di Surabaya, sangat jauh dari tempat orangtua. Mungkin akan aman, selama Ayah atau ibu tiri tidak pergi ke Surabaya hanya untuk mencariku dan Sena. “Oh ya, Bang. Katanya Sena mau ke stasiun yang waktu itu, kan? Ke sana aja besok. Gimana?” usulku. “Uh … iya deh. Sekalian mau ngajak ke mall juga, mau kan? Cuma buat main lah,” tanggap Bang Fandy. “Daripada di rumah terus, enggak ngapa-ngapain, kan?” “Ah!” Aku memukul bahu Bang Fandy yang duduk di sampingku. “Paling besok nonton Gravity Falls lagi rencananya!” “Nanti nyesal lho keburu tamat!” “Oh ya, Bang.” Aku berbisik, “Enggak apa-apa nih kita keluar?” “Hmmm … selama Om Gunawan enggak ke sini karena jadi tersangka, aman aja kok. Udah, jangan pikirin,” Bang Fandy membalas bisikanku. #17: Segala Sesuatu Pasti Ada Penyebabnya “Lihat Ibu! Lihat Ibu, Bina!” Suara Bu De Soraya menjadi hal pertama yang menyambutku setelah kembali dari lelapan mimpi semalam. Aku bangkit sambil mengusap kedua mata dan tercengang dengan suara kencang Bu De Soraya. Ada apa lagi? Ada apa dengan Bina? Memang apa yang sedang dia bicarakan dengan Bu De Soraya? “Bina enggak boleh menghindar kalau Ibu, Mbak Shilla atau Mbak Mila, apalagi Mas Bang Fandy nanya lho! Kalau ditanya, malah menghindar. Ibu cuma pengen tahu di sekolah ngapain aja.” Bina menolak, “Emang Ibu berhak tahu segalanya tentang Bina?” “Ibu kan cuma pengen tahu karena Ibu sayang, Nak. Lihat Ibu, Bina! Lihat! Bina enggak pernah kasih tahu gimana ujiannya, gimana nilainya, ada PR enggak,” Bu De Soraya bersikukuh. “Itu bukan urusan Ibu dong!” lawan Bina menambah amunisi api. “Bina, Ibu cuma pengen ngasih tahu kalau perilaku kayak gini enggak bakal bikin kamu tahan pas dewasa! Kalau di dalam keluarga udah kayak gini, gimana dalam kehidupan bermasyarakat? Orang pasti enggak bakal tahan sama kamu kalau kayak gitu!” Pagi-pagi begini, Bina sudah bikin masalah. Jam pada dinding depan kasur telah menunjukkan pukul 5:52, keadaan Bang Fandy masih begitu gelap karena lampu sengaja dimatikan dan gorden belum dibuka. Kutatap Bang Fandy yang masih lelap tertidur hanya memakai boxer di sampingku. Kurasa dia masih lelap di dalam tidur, akan tidak enak kalau kubangunkan untuk membantu melerai masalah antara Bina dan Bu De Soraya sekarang. Aku menempatkan kaki pada lantai, berdiri dari tempat tidur dan meninggalkan kamar Bang Fandy menuju tangga ke lantai bawah. Mungkin Bina akan lebih murka seperti kemarin saat pulang sekolah. Bu De Soraya seakan-akan memanas-manasi bagi Bina, “Kalau kamu ada masalah apa-apa, apalagi di sekolah, kenapa enggak ngomong sama Ibu, sama keluarga juga. Nanti kita bareng-bareng ngomonginnya. Lihat Ibu, Bina! Lihat! Ibu enggak mau kamu menghindar terus, hadapi dong. Bagaimana kalau kuliah nanti–” “BERISIK!!” jerit Bina meledakkan seluruh amarah terpendamnya. “Bina, kamu ngelawan Ibu?” balas Bu De Soraya. “Ibu cuma mau ganggu gue aja! Ibu ke gue cuma ngomel aja! Kenapa sih Ibu enggak peduli sama gue!” Bina meledakkan seluruh amukannya kembali. Suara ledakan amarah Bina terdengar ketika aku mengambil langkah pertama pada anak tangga menuju lantai bawah, tidak percaya terhadap apa yang baru saja terjadi. Bina benar-benar meluapkan kemurkaannya pada Bu De Soraya, ibunya sendiri! Kulihat Bina dari tangga. Bina yang sudah memakai seragam sekolah dan tas punggung cokelatnya buru-buru berlari sambil mengeluarkan ledakan dari injakan kaki pada lantai. Pintu pun dia genggam dengan erat, begitu keluar, dia banting menutupnya, menimbulkan suara keras setara amarah. “Bina!” panggil Bu De Soraya yang kulihat melangkah mendekati pintu rumah. Kenapa? Kenapa Bina bertindak kasar dan memberontak seperti itu pada Bu De Soraya, ibunya sendiri? Berbeda dengan diriku dulu, kalau Ayah menasihatiku sambil marah-marah, kutahan agar tidak melawan perkataannya, lalu kukeluarkan semua yang telah kupendam lewat tangisan sambil mengurung diri di kamar. Perbuatan Bina … mungkin sudah kelewat batas. Memikirkan hal itu, aku duduk pada anak tangga kedua dari lantai atas, merenung apa saja yang telah kupikirkan. Sudah menjadi hal umum kalau seorang anak tidak sepatutnya melawan orangtua menggunakan api kemarahan, suka atau tidak. Mau tidak mau, perkataan orangtua selalu benar pada anaknya, seakan-akan memaksa anak untuk mengalah. Aku ingat apa yang Sena katakan waktu di rumah sakit, perkataan Ayah memang menjadi senjata untuk memaksa Sena mengalah melawan sebuah kebohongan, tanpa perlu memeriksa sebuah kebenaran lebih lanjut. Kebanyakan orangtua memang tidak mengerti pada anaknya, padahal seorang anak sudah membuat keputusan, tapi malah ikut campur seakan-akan keputusan itu salah. Mungkin … itu yang membuat anak-anak zaman sekarang secara tidak langsung dimanjakan, diperlakukan seperti anak kecil, tidak peduli sudah menginjak usia remaja atau dewasa, meski orangtuanya selalu bilang untuk mulai bersikap mandiri. Benar-benar membuat pusing … Bina saja membentak pada ibunya sendiri meski tahu hal itu benar-benar salah dan membuat marah juga. Apakah … perlu melawan nasihat orangtua yang berlawanan terhadap prinsip dan tujuanku kalau berada di posisi Bina? Kalau Ayah menggantikan posisi Bu De Soraya? Setiap anak sepertiku pasti ingin menahan diri agar orangtua tidak marah dan kecewa, apalagi saat memberikan perlawanan, apalagi sambil marah-marah seperti Bina tadi. Mengobrol dengan orangtua seperti Ayah memang akan menjadi hal sulit, berdasarkan apa yang Sena ceritakan di rumah sakit. “Udah bangun, Yosh?” Pertanyaan basa-basi Bang Fandy sekali lagi memotong lamunanku. “Bang Fandy!” Aku bangkit dari duduk dan berbalik. “Kagetin aja.” “Tadi … Bina ya … yang ngebanting pintu?” tanya Bang Fandy. “Kenapa ya? Dia marah-marah lagi?” “I-iya, Bang. Tadi kedengaran dia ngamuk sama Bu De.” Aku kembali memasuki kamar Bang Fandy. “Aduh! Bina, Bina, itu cewek susah banget dikasih tahunya.” “Oh ya, Bang, sebenarnya … ingat kan pas Yoshi bilang segala sesuatu pasti ada penyebabnya tadi malam, kan? Yoshi … penasaran … sama kenapa ya … Bina jadi kayak gitu?” Ini memang pertanyaan bodoh, kulontarkan pertanyaan bodoh itu ketika kembali duduk di atas kasur sambil mengambul salah satu mainan Gundam dari laci. Aku memang penasaran apa yang menjadi penyebab Bina memiliki perilaku seperti itu, apalagi saat dia mendatangi pernikahan Ayah dan ibu tiri. “Bina … katanya udah mulai kayak gitu pas Ayah meninggal sekitar Agustusan. Keluarga kamu … enggak sempat datang ke pemakamannya.” Aku menyimpulkan, “Jadi … dia paling sayang sama Pak De?” “Bisa dibilang gitu sih. Apalagi pas dia masuk rumah sakit tahun lalu. Seingat Abang, Bina dirawat di rumah sakit sekitar tiga hari habis dimarahin Ibu, gara-gara nilai TO-nya jelek. Makanya jadi beban, ya jadi sakit. Pokoknya sering ngedengar kalau Ibu pengen Bina nilai UN-nya bagus terus masuk SMA negeri pilihannya. Mungkin … Bina mulai belajar keras habis pulang dari rumah sakit.” “Gitu ya …. Jadi pantas aja dia paling sayang sama Pak De.” “Omong-omong, Bina sering banget curhat sama Ayah, kalau Ibu, jarang. Ayahnya kan selalu bilang jangan paksain, tapi Ibu malah bilang belajar, belajar, belajar, terus ngelarang ngelakuin hobinya. Mungkin … habis Ayah meninggal, Bina udah mulai memberontak sama Ibu, marah-marah lah tiap dikasih tahu, ditanyain gimana sekolah. “Kayaknya sih … Ibu pengen Bina lebih bagus daripada Mbak Shilla, Mbak Mila, sama Abang dulu pas SMA, nilai bagus, terus kuliahnya juga di kampus bagus, apalagi Abang di negeri. Ibu juga enggak mau kalau Bina dapat nilai jelek habis masuk SMA negeri favorit, ya … selama ini Ibu juga enggak tahu berapa nilai UTS-nya sampai sekarang katanya. Ya … pada akhirnya, mau enggak mau, Bina harus patuh sama syarat begitu, terus dia kayaknya udah enggak tahan sama perintah Ibu.” Aku akhirnya mengerti mengapa Bina menjadi seperti itu pada Bu De Soraya tadi, dan pada Bang Fandy kemarin. Dia … seperti tidak punya izin untuk keluar dari sebuah sangkar oleh ibunya, tidak dapat merasakan kebebasan sebagai seorang remaja zaman sekarang. Bu De Soraya mungkin … memperlakukan Bina sebagai anak kecil yang masih labil. Sedangkan aku … tidak diperlakukan seperti itu oleh Ayah. Jika iya, Ayah hanya memberiku nasihat dan saran. Jika cocok dengan sarannya, aku terima, seperti saat masuk ekskul English Club. Aku bahkan diberi kebebasan sebagai seorang remaja, tetapi … Ayah juga ingin agar aku bisa bertanggung jawab, dari saat mulai menyuruh menjaga Sena hingga membelikan sepeda motor. Apakah … Bu De Soraya … tidak siap untuk melepas perlakuan seperti itu pada Bina? *** “Mas Fandy!” Mbak Mila berlari melewati tangga. Aku, Bang Fandy, dan Sena sudah siap untuk berangkat ke terminal pada jam sembilan pagi, kami sudah berkumpul di ruang depan. Bang Fandy tengah membuka aplikasi untuk memesan taksi online sebelum berangkat. “Mbak Mila?” balas Bang Fandy. Aku bangkit dari sofa, tertegun melihat Mbak Mila memakai jaket mirip jas warna abu-abu bergaris putih berkancing seperti wanita kantoran, padahal dia masih seorang mahasiswi tingkat akhir. “Wow, rapi banget, Mbak. Mau kemana?” komentar Sena. “Sena, Bu De bilang Mbak Mila ikut aja jalan-jalan. Lagian, Mbak Mila juga enggak ada kegiatan apa-apa hari ini,” balas Mbak Mila sambil berlutut menghadap Sena yang masih duduk di sofa menghadap pintu rumah. “Whoa, revisiannya gimana? Kalau masih banyak, mending enggak usah deh,” Bang Fandy mencoba menolak tawaran Mbak Mila. “Mas Fandy enggak ngerti ya? Revisian skripsi bikin stress lho, nanti kamu juga bakal kerasa entar. Nanti habis dari terminal, kita ke mal, Ibu nyuruh aku beliin baju buat Sena,” tutur Mbak Mila. “Uh … mending enggak usah deh, jadi ngerepotin,” tolakku. “Udah, enggak apa-apa, kan bakal tinggal di sini buat sementara. Eh, Yoshi juga kan, beli baju nanti ya, disuruh Ibu. Eh, Mas Fandy, aku aja yang pesan taksi online-nya ya!” “Mbak Mila, udah jangan ngerepotin, terus duitnya?” tegur Bang Fandy ketika Mbak Mila membuka aplikasi taksi online. “Udah ditransfer Ibu ke aku.” Mbak Mila menggesekkan jari pada layar ponselnya. Sena membela, “Enggak apa-apa, Kak, Bang, lagian … kita bakal tinggal di sini … masih lama, kan?” Aku melongo ketika mendengar perkataan Sena. Terpikir kembali bagaimana kalau Sena benar-benar tidak ingin kembali, apalagi jika menemui Ayah dan ibu tiri. Apakah kami berdua akan tetap tinggal di sini? Apakah kami berdua akan aman? *** Wajah Sena kembali berseri-seri ketika kami tiba kembali di terminal Purabaya, terminal bus yang mirip bandara, seperti bukan terminal bus kebanyakan di negeri ini. Seperti biasa, lalu lintas pengunjung begitu ramai padat, berkat masih musim liburan akhir tahun. Mbak Mila tertegun ketika menatap hampir tidak ada noda pada lantai, dinding, dan properti di dalam gedung terminal. Ketika menatap ruang tunggu yang luas, nyaman, dan bersih, serta penuh kursi seperti di bandara padat dengan calon penumpang, dia terkagum-kagum dan tidak bisa berkata apapun saking terkejutnya menatap sekeliling. “Pertama kali ke sini?” tanya Bang Fandy. “Ya iyalah! Kalau Purabaya udah kayak gini pas dulu, kita bakal naik bus buat ke rumah Om Gunawan lah. Kan dulu sering banget naik kereta buat ke sana, terus pesan taksi. Pantas aja Sena pengen banget ke sini,” balas Mbak Mila. Sena mengangguk menyebar senyuman. “Iya, soalnya terminalnya beda banget sama yang lain, mirip banget sama bandara, jadi nyaman.” “Oh ya, nanti mau ke mallnya jam berapa nih? Terus nanti mau ke mall yang mana? Mall dekat sini City of Tomorrow?” Mbak Mila mengingatkan. “Itu aja! Fandy emang mau ke situ sih habis dari sini, sekalian main,” balas Fandy. “Oh ya, Yoshi, kalau mau bareng Fandy di mall entar, Mbak Mila yang ajak Sena belanja dulu ya, nanti gantian belanjanya,” usul Mbak Mila. Aku menghentikan langkah. “Hah?” “Kan Sena perempuan, enggak lucu kan kalau kalian nemenin Sena fitting pakaian, nanti malah mikir yang kagak-kagak lagi. Nanti gantian belanja sama mainnya ya.” Setelah mendengar ucapan Mbak Mila, Sena mulai berjingkrak penuh keceriaan melewati jalan lantai putih bersih tak bernoda, meninggalkan kami terlebih daulu menuju pertigaan. Dia memang suka dengan terminal model seperti bandara ini, tidak ada hal kumuh sama sekali. “Sena, tunggu, jangan cepat-cepat!” Aku mempercepat langkah menyusul Sena. #18: Penuh Pikiran “Tiga tenderloin steak saus barbekyu dan satu Korean Grill.” Seorang pelayan membawakan dan menaruh pesanan pada meja. “Selamat menikmati.” Hal pertama ketika tiba di mall dekat terminal, Mbak Mila memutuskan untuk membawa kami makan siang di sebuah restoran steak. Kami menatap makanan sudah berada di hadapan kami. Aku, Bang Fandy, dan Sena memesan tenderloin steak saus barbekyu, sedangkan Mbak Mila memesan Korean Grill. Di sekitar restoran, kulihat kursi dan meja berwarna variatif, bukan hanya itu, beberapa meja juga ikut didampingi sofa berwarna oranye, yaitu tempat duduk kami berempat untuk menikmati makanan yang telah tiba di atas meja. Lantai putih, atap kayu cokelat, dan dinding wallpaper berwarna-warni membuat restoran begitu cozy bagi pengunjung yang sekarang kebanyakan siswa sekolah dan mahasiswa. Ketika menatap Sena dan Mbak Mila di hadapanku dan Bang Fandy, mendadak aku jadi teringat kapan terakhir kali Ayah mengajak pergi ke luar, minimal ke mall atau makan-makan di restoran. Ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya, termasuk lembur pada weekend. Seingatku, terakhir kali aku jalan-jalan dengan keluarga seperti ini saat Ibu masih ada. Untungnya, Mbak Mila dan Bang Fandy mengajakku ke mall seperti ini, aku memang hanya pergi ke mall sekali-kali dengan teman sekelas hanya untuk menonton dan sekadar hang out. Perbedaan dapat kurasakan sekali lagi, makan bareng di restoran bersama Ayah dan Ibu tentu akan berbeda daripada sekarang, bersama Bang Fandy dan Mbak Mila yang menemani. Aku … mungkin dapat merasakan begitu nyaman jika tidak bareng Ayah dan Ibu melulu. Aku kembali terfokus ketika melihat Mbak Mila membantu Sena memotong steak saus barbekyu, wajar, anak kecil pasti belum begitu bisa memakan steak dengan benar, apalagi menggunakan pisau karena takut kena kulit hingga terluka. Kutatap sepiring tenderloin steak yang telah berada di hadapanku. Sebuah potongan daging sapi matang kecokelatan bersaus barbekyu warna merah dengan kentang goreng dan sayuran berada di atas piring hotplate hitam telah mengundang rasa lapar. “Oh ya, emang Sena belum pernah makan steak ya?” tanya Bang Fandy. Sena menjawab sambil mengunyah potongan steak, “Udah, Bang. Kan pernah makan steak pas nikahan Ayah.” Begitu kupotong steak-ku menjadi sebuah potongan kecil, terlihat potongan daging menunjukkan bagian merah muda, menandakan daging telah dimasak hingga setengah matang. Kumasukkan potongan steak itu dan bisa kurasakan betapa empuk dan berair ketika meleleh di lidah, rasa dari saus barbekyu juga tidak kalah meledak mengimbangi rasa dari daging. Saking menikmati setiap gigitan steak itu, kurasakan rindu ketika Ayah dan Ibu sering mengajak makan di restoran. Kapan lagi Ayah akan mengajak kami ke restoran seperti ini? Mungkin tidak akan karena aku tahu apa konsekuensi yang akan didapat setelah melarikan diri dari rumah. “Oh ya, Yoshi, udah kepikiran belum mau kuliah di mana entar? Terus jurusan apa?” Mbak Mila melontarkan pertanyaan sambil memakan Korean Grill-nya. “Oh, kalau kuliah … Yoshi belum tahu mau di mana, jurusannya juga … kata guru, lebih cocok ke sastra Inggris, soalnya Yoshi nilai bahasa Inggris-nya tinggi, sama ikut English Club juga di sekolah,” jawabku. “Oh, bagus dong. Kalau emang minat, mending pilih jurusan itu aja. Ya, kalau enggak sesuai minat sama merasa salah jurusan, entar nyesal lho di akhir. Pada akhirnya, imbangin juga sama kemampuan pas SMA,” pesan Mbak Mila. “Eh!” Bang Fandy menyikut bahu pelan. “Kuliahnya pilih di kampus Abang aja, kalau keterima, bisa bareng deh ke sananya!” “Ah! Abang! Entar lama-lama juga Abang lulus kuliah! Yoshi kan … bentar-benar bakal ditinggalin Abang entar!” balasku. “Fandy, mending Yoshi aja yang milih kampusnya. Kalau maksa, entar jadi enggak enak Yoshi-nya dong,” bujuk Mbak Mila. “Mbak Mila, Sena mau dong main piano kalau udah nyampai rumah,” Sena akhirnya memecah keheningan pada dirinya. “Mbak Mila bisa main piano, kan?” “Oh, mau main piano? Boleh, boleh. Lagian Mbak Mila udah lama enggak main piano lagi gara-gara skripsi. Entar deh, Mbak Mila ajarin Sena main piano ya!” Mbak Mila secara antusias setuju sambil mengangguk. “Ah! Mbak Mila!” seru Bang Fandy. *** Sambil menunggu Mbak Mila membawa Sena belanja pakaian baru di sebuah department store, Bang Fandy mengajakku ke sebuah game center, menemaninya untuk bermain game arcade di sana. Aku juga bilang pada Bang Fandy kalau aku tidak ingin belanja pakaian karena tidak ingin lebih merepotkan lagi. Biasa, kalau wanita berbelanja baju, butuh waktu yang cukup lama, apalagi jika membawa anak-anak seperti Sena. Memilih pakaian bisa saja sekaligus menilai kecocokan dan pengaruh terhadap penampilan. Kalau laki-laki berbelanja, mereka hanya memilih pakaian yang cocok dan menarik, tanpa perlu memperhatikan penampilan. Seperti biasa, pasti anak-anak dan keluarga mendominasi game center yang sedang kukunjungi, aku tidak heran jika mendengar anak kecil menangis dan merengek karena penolakan orangtua setelah berkata ingin bermain lagi. Kalangan anak muda, baik siswa SMA atau mahasiswa, juga tidak kalah ramai, mendominasi game musik, terutama game dance seperti Pump It Up dan Danz Base karena banyak lagu mainstream, terutama K-Pop. Tidak seperti kebanyakan anak muda yang mendominasi mesin Danz Base dan Pump It Up, Bang Fandy justru lebih memilih game musik anti-mainstream berjudul Sound Voltex. Yang bisa kutangkap dari game itu seakan-akan player-nya menjadi seorang DJ, berkat bukan hanya terdiri dari tombol-tombol, tetapi juga knob untuk memutarkan semacam efek suara, kurasa game itu benar-benar keren. “Ah! Sial, gagal!” sahut Bang Fandy ketika muncul tulisan TRACK CRASH pada layar game itu. “Bang, Yoshi … mau ngomong sama Abang, sebenarnya Yoshi pengen ngomong pas di jalan, tapi … ada Mbak Mila juga. Yoshi juga … kepikiran yang mau diomongin pas makan tadi.” “Oh, benar. Abang juga kepikiran.” Bang Fandy menyelesaikan permainannya sebelum duduk di sampingku menghadap mesin Sound Voltex. “Habis ngomong mau kuliah di mana.” “Bang, itu yang mau Yoshi omongin.” Aku menepuk kedua tangan pelan dan meletakkannya di hadapan wajah. “Nanti kan … Abang balik ke Jogja buat kuliah, kalau Yoshi sama Sena jadi tinggal di rumah Abang, Yoshi juga enggak kepikiran harus gimana kalau–” “Yoshi,” Bang Fandy memotong, “Abang … juga kepikiran kayak gitu. Pas Abang nanti ke Jogja lagi entar, kamu sama Sena kan … sendiri di sana, sama Ibu, Mbak Shilla, sama Mbak Mila juga. Abang enggak bakal selalu ada di rumah pas udah kuliah lagi, lagian … Abang juga butuh duit banyak buat bolak-balik ke rumah ke kosan juga.” Aku menghela napas. “Udah seminggu Yoshi sama Sena kabur dari rumah, seenggaknya … Sena masih aman. Kalau … misalnya … Yoshi sama Sena kepaksa balik ke rumah sama Bu De kalau Abang enggak ada, ya … Yoshi juga enggak tahu lagi bakal harus gimana. Yoshi bingung banget, Bang.” “Oke, kalau emang takut ketahuan pas Abang enggak ada, mending gini aja. Kamu sama Sena ikut Abang aja ke Jogja, tinggal di kosan. Nanti kalau mau, Abang ngomongin dulu ke pemilik kosnya. Tapi … terserah kamu juga sih, kalau Yoshi jadi ngerasa enggak enak, Abang enggak bakal maksa kamu tinggal di kosan buat sementara.” “Iya, sih, Bang. Yoshi jadi enggak enak kalau emang bakal ngerepotin Abang lagi. Sorry, Bang, udah kayak maksa bantu Yoshi.” Aku menundukkan kepala. “Enggak apa-apa, Yosh. Abang juga pengen Sena aman dari Om Gunawan sama Tante Wilhelmina, kalau emang disuruh balik, mau enggak mau Sena pasti kesiksa lagi, kan? Apalagi, Om Gunawan lagi jadi tersangka kasus korupsi. Terus Tante Wilhelmina tinggal di rumah. Ah, pokoknya kan … Abang udah bilang kalau Om Gunawan nyuruh kamu sama Sena tinggal di rumah Abang, kan? Kita nanti pikirin baik-baik gimana selanjutnya kalau Abang balik ke Jogja entar.” “Bang, jadi … kayak berulang juga sih ngomongnya. Apa Yoshi jadi sering ngomong gini ke Abang?” “Enggak kok. Abang juga pikir … pasti bakal galau kalau gini terus.” Bang Fandy bangkit dari duduk. “Oh ya, pernah coba ini game enggak?” “Sound Voltex, kan? Ah, susah ah,” aku menolak. “Ayo, coba aja! Rame kok!” Bang Fandy menarik tangan kananku, seperti memaksa untuk bermain. “Mending main daripada kepikiran lagi. Main aja dulu deh!” “Iya deh, Bang.” #19: Rencana Lain Twinkle, twinkle, little star, How I wonder what you are! Up above the world so high, Like a diamond in the sky. Twinkle, twinkle, little star, How I wonder what you are! Suara alunan nada dari sentuhan jari pada tombol piano mengiringi nyanyian lantang Sena dan Mbak Mila. Mbak Mila yang membantu Sena agar menyentuh nada yang tepat pada tombol piano selagi mengajarinya bagaimana cara memainkan instrumen musik itu. Aku dan Fandy duduk di sofa ruang depan menatap penampilan kecil dari Sena dan Mbak Mila, meski kebanyakan pertunjukan piano oleh Mbak Mila karena wajar dia memang jago. Aku juga melihat Sena kembali berseri-seri ketika menyentuh setiap tombol piano sambil menyanyi. “Pintar!” seru Bang Fandy ketika lagu itu selesai. “Sena pintar banget!” “Nanti Sena mau main piano kan?” tanya Mbak Mila. Percakapan pun terhenti ketika suara ketukan pintu depan terdengar. Sena mengangguk dan bangkit dari tempat duduk depan piano dan mendekati pintu depan untuk membukanya. Aku dan Bang Fandy seperti terlambat merespon menyaksikan Sena melangkah cepat. Pintu pun Sena buka, menunjukkan Bu De Soraya dan Mbak Shilla telah tiba di rumah. Mbak Mila bangkit dari tempat duduk depan piano, tertegun menatap mereka berdua sudah pulang. Aku menatap jam pada layar ponsel, masih jam 4:46 sore, padahal kemarin Bu De Soraya dan Mbak Shilla belum pulang jam segini, mereka biasanya pulang jam 6-an kata Bang Fandy. Tentu, Bang Fandy juga tercengang menatap mereka berdua. “Bu, tumben pulangnya cepat,” ucap Mbak Mila. “Sena, duduk dong. Bu De mau ngomong,” ucap Bu De Soraya. “Sena.” Bang Fandy menepuk sisi kanannya seraya mengajak Sena untuk duduk. “Oh ya, Mila, ke dapur dulu gih!” sahut Mbak Shilla ketika Bu De Soraya duduk di hadapan kami. “Oh ya, mau masak apa nih?” seru Mbak Mila mengiutki langkah Mbak Shilla ke dapur. “Sena, bagi rapornya kapan?” tanya Bu De Soraya ketika Sena sudah duduk di dekat Bang Fandy. “Eh?” ucapku. “Jumat depan, Bu De. Sena bagi rapornya Jumat depan.” “Kalau Yoshi?” Bu De Soraya menganggukkan wajah padaku. “Uh … sama … Jumat depan juga. Emang … Bina bagi rapornya kapan ya?” aku membalas. “Nanti Rabu bagi rapornya.” Bang Fandy mengangkat tangan kanan mencoba untuk memberikan pendapat, “Bu, apa enggak apa-apa ke sekolahnya Yoshi sama Sena? Apa Ibu enggak bakal capek. Kalau perlu, Fandy aja yang ngantar Yoshi sama Sena ke sana entar Jumat depan.” Aku menambah, “Yoshi juga enggak enak kalau ngelihat Bu De capek cuma buat ngantar ke Yoshi sama Sena ambil rapor. Enggak apa-apa kalau Bang Fandy yang ngantar–” “Yoshi, ayah kamu kan lagi jadi tersangka korupsi, lagian … Ibu juga dapat kabar kalau ayah kamu mangkir terus pas dipanggil pemeriksaan tadi lewat berita di radio. Maaf kalau Bu De bilang gini ya, Yosh, kalau ayah kamu mangkir terus, ada peluang besar ayah kamu bakal masuk penjara, terus jadinya ayah kamu bakal nitipin kamu sama Sena di sini.” “Tapi kan, Bu De–” “Buat jaga-jaga aja, habis bagi rapor, Bu De bakal bantu kamu sama Sena buat pindah sekolah dekat sini, kalau ayah kalian udah masuk penjara, bakal susah kan tinggal di sana lagi,” Bu De Soraya memotong perkataanku. “Bu,” Mbak Mila menghela setelah keluar dari dapur begitu mendengar percakapan kami, “bukannya masih ada Tante Wilhelmina ya di sana? Kenapa enggak gini aja, Yoshi sama Sena kan masih bisa tinggal sama Tante Wilhelmina, enggak perlu repot-repot.” Bang Fandy menjawab, “Kan Om Gunawan udah nyuruh Yoshi sama Sena buat tinggal di sini selagi beliau jadi tersangka korupsi. Lagian … kalau udah jadi tersangka, harusnya udah masuk penjara sih daripada harus mangkir dari pemeriksaan.” “Sena boleh jujur enggak?” Sena akhirnya angkat bicara sambil mengangkat tangan. “Sena … kalau di rumah … makannya selalu dari luar, enggak pernah masak sendiri. Kalau di sini … makannya bikin sendiri, masakan Mbak Shilla sama Mbak Mila lebih enak, nasi goreng buatan Bang Fandy kemarin juga … enak banget. Sena … juga pengen belajar main piano, sama sering main badminton juga. Sena masih pengen diajarin Bang Fandy buat main badminton.” “Baiklah, kalau begitu … Mas Fandy, nanti kamu bantu Ibu cari sekolah cocok buat Sena besok. Kalau Yoshi … nanti biar dia yang milih duluan,” Bu De Soraya memberi perintah. Aku melongo ketika Bu De Soraya membuat keputusan seperti itu. Kutarik napas mencoba untuk menerimanya. Kalau hal ini benar-benar terwujud, Sena tidak harus tinggal dengan ibu tiri dan tersiksa lagi di rumah. Tapi … apakah rencana ini akan berhasil? Kalau Sena tidak mau tinggal dengan ibu tiri lagi, Sena harus tetap berada di sini dan pindah sekolah sebagai gantinya, semua demi keamanannya. Tapi … apakah aku dan Sena memang harus tinggal di kosan Bang Fandy untuk sementara waktu alih-alih dengan Bu De Soraya? Sena … pengen belajar piano juga, kan? Ini akan jadi keputusan tersulit selama aku kabur dari rumah. *** “Kak.” Sena mengetuk pintu kamar Bang Fandy. Aku bangkit dari tempat tidur hanya untuk menemui Sena. “Kenapa, Sena?” “Sena … jadi betah tinggal di sini. Soalnya … Mbak Mila baik banget mau ngajarin Sena main piano, terus … masakan Mbak Mila sama Mbak Shilla juga … enak banget lho. Kalau bisa … Sena enggak mau balik ke rumah, Sena enggak mau sama ibu tiri itu lagi.” Perkataan Sena sekali lagi memicu sebuah pemikiran, apakah Sena takkan merasa rindu rumah? Apakah Sena takkan rindu teman-teman di sekolahnya? Apakah Sena tahu apakah dia siap untuk menghadapi semua ini, pindah ke luar kota, pindah ke sekolah di kota ini? “Kak … Sena bakal kangen sama teman-teman di sekolah yang lama, Sena tahu kalau pindah sekolah … Sena harus pisah sama mereka. Tapi … Sena bakal senang kalau ketemu teman-teman baru nanti.” Sena seperti menjawab semua pertanyaan di dalam pikiranku. “Habisnya … Sena enggak nyaman kalau harus tinggal sama ibu tiri.” “Oke,” ucapku. “Kak, besok Bang Fandy ngajak Sena main badminton lagi lho pagi-pagi, terus … Sena mau main piano lagi. Sena pengen bisa servis kayak Bang Fandy, Sena juga pengen main lagu di piano entar, kayak pas Mbak Mila tadi.” “Iya, Sena. Nanti Kakak bakal lihat kamu ya, Kakak bakal ada di samping Sena, Kakak yakin. Udah malam, Sena tidur ya.” “Iya, Kak. Selamat malam,” pamit Sena berbalik menuju kamar Mbak Mila. Begtu Sena telah meninggalkan kamar, aku kembali ke tempat tidur, merenungkan keputusan Bu De Soraya untuk memindahkan aku dan Sena dari sekolah lama. Pada saat yang sama, kami akan aman, tapi … apakah akan baik-baik saja kalau begini? Aku berbalik menatap rak Gundam milik Bang Fandy, masih merenungi apa yang akan terjadi jika aku dan Sena benar-benar harus pindah sekolah kalau Ayah masih menjadi tersangka korupsi dan harus masuk penjara, kepalaku kini penuh dengan hantaman palu. #20: Masa Lalu Tidak Bisa Dibiarkan Berlalu Sudah seminggu semenjak aku dan Sena kabur dari rumah, tepatnya hari ini adalah hari Sabtu, benar-benar tidak terasa. Aku mengingat kembali setiap momen ketika malas gerak dari pagi. Sebenarnya aku hanya malas gerak sehabis bangun tidur, begitu juga dengan Bang Fandy yang ternyata pura-pura tidur. Kuingat momen ketika menemukan Sena tergeletak di lantai, penuh dengan luka akibat siksaan Ayah dan sang ibu tiri, beruntung, kubawa dia ke rumah sakit sebelum kuputuskan untuk membawanya kabur dari rumah, kabur dari keadaan toxic sang ibu tiri dan Ayah menuju tempat aman. Aku benar-benar beruntung, Bang Fandy rela membantuku menghadapi masalah ini, meski pada awalnya aku ragu apakah harus bilang sejujurnya meski dia adalah orang yang bisa kupercaya. Kalau tidak ada Bang Fandy, mungkin aku dan Sena akan berakhir menjadi anak jalanan, mengemis atau mengamen, atau lebih buruk lagi, pulang ke rumah hanya untuk menyaksikan betapa menderitanya Sena akibat perlakuan Ayah dan ibu tiri. Kami sekarang sudah berada di rumah Bang Fandy, tapi … aku benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan sekarang. Bang Fandy kemarin menawariku untuk tinggal di kosannya, lalu Bu De Soraya juga menawariku dan Sena agar pindah sekolah jika Ayah benar-benar masuk penjara sebagai tersangka korupsi. Memikirkan Ayah, kemarin katanya … sesuai berita, Ayah mangkir dari pemeriksaan KPK sebagai tersangka. Apakah … Ayah tidak mau masuk penjara karena kelakuannya dalam pekerjaan politik? Katanya … kalau sudah menjadi tersangka, seharusnya sudah masuk penjara, atau mungkin tidak, ah, aku benar-benar bingung bagaimana penyelidikan kasus oleh polisi, hanya karena aku tidak peduli dengan penegakan hukum di negeri ini. Aku juga teringat ketika menonton berita penetapan tersangka kasus mega korupsi sebuah proyek, tepatnya aku tidak ingat berapa banyak proyek yang menjadi korban korupsi dana. Ayah mengaku kalau dia sedang dijebak KPK dan mengakui bahwa dia tidak bersalah. Saya … yakin … saya telah dijebak … karena … saya tidak mungkin melakukan hal sekotor itu. Saya … menjadi penjabat … ya untuk melayani rakyat dong! Mereka cuma asal tuduh! Mana buktinya! Mana bukti kalau saya melakukan korupsi! Kalau gini, berarti saya dijebak dong sama mereka! Saya dijebak! Saya dijebak oleh KPK! KPK cuma asal tuduh terus jebak saya! Saya dijebak oleh KPK! Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Ayah sekarang ini, yang jelas … seperti kata Bu De Soraya yang telah mendengar beritanya, Ayah sedang mangkir. Mungkin … alasannya masuk akal jika mengingat kembali perkataannya pada awak media waktu itu kalau dia merasa dijebak KPK. Ayah mangkir gara-gara dia KPK memperlakukannya sebagai tersangka “asal tuduh”, bukan sebagai saksi. Ah, betapa gelapnya dunia politik, korupsi tetap merajarela karena godaan uang dan kekayaan, beberapa dari pekerjanya akan melakukan apapun, bahkan menyalahgunakan kekuasaan orang tertinggi bagi masyarakat, demi mengambil kekayaan negara sebesar-besarnya. Makanya aku tidak peduli dengan berita politik sama sekali, pasti korupsi yang menjadi headline setiap berita di seluruh media. Apapun yang terjadi, aku harus memikirkan rencana berikutnya, apakah aku akan tetap tinggal di sini meski Bang Fandy akan kembali kuliah di Jogja pada sekitar awal tahun, atau aku memang harus tinggal di kosan Bang Fandy nanti? Aku tetap bingung memutuskan, aku hanya ingin Sena aman dan tidak perlu menghadapi kekejaman kehidupan di rumah seperti selagi aku tidak ada. “Kak, Bang!” panggil Sena memasuki kamar, mengagetkan Bang Fandy dan diriku. “Eh! Kenapa, Sena?” Bang Fandy bangkit dari posisi berbaring. “Kan Bang Fandy udah janji pengen main badminton pagi-pagi,” Sena mengingatkan ketika mendekati Bang Fandy. “Iya. Tapi … Mbak Mila sama Mbak Shilla udah pergi? Sama Bu De juga?” “Baru aja pergi, mau belanja katanya. Bang, Kak, ayo dong, main badminton.” “Iya, iya, Abang bangun nih.” Bang Fandy bangkit dari tempat tidur. “Yosh, bangun dong. Ikutan badminton.” “Ah, enggak ah, malas,” aku beralasan sampai ingin tetap memikirkan di tempat tidur. “Ah, Sena udah ngajak nih! Ayo, kasihan kan adik kamu, pengen main badminton bareng. Jangan mager ah!” Bang Fandy sampai menarik tanganku. “Iya, iya, Yoshi bangun nih!” “Sena ambil raket sama koknya ya!” sahut Sena sambil berbalik keluar dari kamar. “Oh ya, di garasi ya!” Bang Fandy mengatakan lokasi penyimpanan raket dan kok badminton. “Bang, Yoshi belum mutusin mau kayak gimana ke depannya. Yoshi tadi malam kepikiran sama kata Bu De. Yoshi sama Sena bisa pindah sekolah ke Surabaya, tapi … berarti Abang enggak bakal di sini, kan? Abang juga harus stay di Jogja buat nerusin kuliah. Sena … juga bilang kalau dia tetap pengen belajar piano sama Mbak Mila juga. Kalau emang Yoshi bakal stay bareng Abang di kosan, ya Yoshi juga harus pindah sekolah ke Jogja, terus … takut ngerepotin anak-anak kosan juga.” “Oke, masih bingung ya. Abang … juga enggak bisa bantu banyak sih, pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan kamu, Yosh. Udah gih, main badminton, Sena pasti udah nunggu di luar bawa raket sama koknya. Ayo!” Bang Fandy menepuk pundakku sebelum aku berdiri dari tempat tidur. Ketika aku dan Bang Fandy keluar dari kamar menuju tangga, kulihat ke bawah, Bina? Bina berlari habis dari dapur, terlihat seperti terburu-buru, apalagi ketika melihat kami berdua. Ketika kami berpapasan di tangga, Bina mengabaikan kami begitu saja, tanpa perlu berkata apapun. Bina hanya berlari menuju kamarnya. “Bina?” aku terhenti ketika selesai menuruni tangga menatap Bina menutup pintu dengan rapat. “Kenapa, Yosh?” tanya Bang Fandy. “Tadi … tumben banget Bina sempat keluar dari kamar, biasanya, pas dia ada, dia ngurung terus di kamarnya.” *** Sekitar sejam kami bermain badminton, kulihat Sena sudah mulai bisa bermain dengan benar, meski service-nya masih agak meleset, terkadang kelambatan mengayunkan raket hingga koknya jatuh ke tanah. Meski begitu, Sena masih menganggapnya menyenangkan, tanpa perlu mengeluh dan merasakan frustrasi. Tidak seperti aku yang dulu, setiap ikut permainan olahraga seperti badminton, apalagi sepak bola, aku tidak memiliki semangat untuk mengikutinya, apalagi untuk bekerja sama dengan rekan satu tim. Memang semenjak aku disalahkan menjadi biang kerok kekalahan waktu permainan bebentengan saat SMP, aku seperti loyo ketika disuruh ikutan. Bang Fandy tadi justru memberiku semangat jangan terpaku pada kegagalan, apalagi ketika gagal melakukan service dan membalasnya. Dia memberiku seperti boost mengacu pada Sena berupa kata-kata penyemangat dan saran. “Oh ya, Kak. Sena … boleh enggak jajan? Sena … pengen beli cokelat sama keripik,” ucap Sena ketika kami hampir kembali memasuki rumah setelah kami meletakkan raket dan kok di garasi. “Oh, iya,” jawabku. “Tapi, Kak … Sena … mau ke sana sendiri aja.” “Eh? Tapi kan–” “Enggak apa-apa, Sena bisa kok jajan sendiri,” Sena memotong ucapanku. “Emang … Sena tahu di mana tempat jajannya?” tanyaku lagi. “Kemarin kan lewat pas pulang dari mall, jadi Sena ingat letaknya. Sena juga ingat jalan pulang dari sananya.” “Yosh,” Bang Fandy mulai membujuk, “enggak apa-apa, lagian Sena udah bisa mulai ke sana sendiri buat jajan. Kan … enggak selalu diantarin buat jajan kan pas kecil, usia segitu udah bisa dipercaya kok.” Aku menghela napas. “Oke, Sena. Boleh, tapi … kalau ada orang asing yang ngajak gimana-gimana, jangan mau ya. Habis jajan, langsung pulang ya.” “Iya, Kak. Sena bakal langsung pulang.” “Oh ya, Sena, ini.” Bang Fandy mengeluarkan dompet dari saku celana. “Bang, jadi ngerepotin lagi nih! Biar Yoshi aja–" bujukku. “Enggak apa-apa kok. Nih, Sena.” Bang Fandy menyerahkan selembar uang senilai limapuluh ribu pada Sena. “Makasih, Bang Fandy. Kak, Bang, Sena jajan dulu ya,” Sena pamit. “Iya, Sena. Hati-hati ya, habis itu langsung ke sini lagi, oke?” sahutku ketika Sena meninggalkan rumah melewati pintu gerbang. “Yosh, yuk!” seru Bang Fandy mengajakku kembali masuk ke dalam rumah. “Mau mandi duluan?” “Hei,” sahut Bina. Kami tertegun ketika Bina telah berdiri di hadapan kami, di ruang depan membelakangi sofa. Sejak kapan Bina ada di situ? Bina mencuri percakapan kami selama ini? “Bina?” panggilku. Bina menyeringai, “Manis banget ya lo sama anak kecil kayak dia.” “Hah?” Bang Fandy melongo. “Mentang-mentang kasih duit ke anak koruptor kayak dia, apa lo enggak tahu gimana Sena bakal gunain duitnya? Apa enggak takut dia malah korupsi duitnya?” Entah kenapa, kulihat Bina berseri-seri mengatakan hal jelek seperti itu. “Oh! Gue lupa! Yoshi, lu kan kakak dari anak kecil itu lah, ayahnya koruptor, terus mau ngapain ke sini sama dia? Mau manfaatin kebaikan di sini, hah? “Mentang-mentang cuma numpang tinggal di sini, enak banget ya lo sembarangan hidup di sini, pindah sekolah aja malah dibantuin, gue udah dengar semuanya kemarin dari Mila sama Shilla, biar lo bisa puas-puasin tinggal di sini sementara bokap lo bakal masuk penjara gara-gara jadi koruptor.” “Bina, tunggu–” ucapku. “Ternyata … nyokap gue lebih sayang ke lo sama Sena, anak koruptor, seakan-akan lo bebas banget lah, sementara gue … gue malah disiksa habis-habisan sama nyokap, buat gini gitu lah, gue malah diperlakukan gini, semena-mena, enggak peduli banget sama kondisi gue, dan lo lihat sendiri akibatnya kan.” “Bina! Dia itu ibu kamu lho!” Aku mencoba memperingatkan. “Enggak pantas kamu bilang gitu!” “Udah,Yosh.” “Oh ya, Fandy. Lo cuma anak pungut kan. Baru kali ini gue bakal jujur bilang gini, udah lama gue pendam dalam-dalam. Lo kan orang Cina, udah kelihatan dari wajah lo, lo malah enak-enak minta pungut sama nyokap, terus malah lebih disayang-sayang. Jujur aja, Cina kayak lo emang udah cari perhatian, kayak Cina-Cina di luar sana tuh, sedih banget tuh kelakuan lo ke bokap nyokap gue. Pantas aja, Cina itu pada anjing lah, pengen lebih terkenal–” Bang Fandy akhirnya meluapkan seluruh emosinya ketika mendengar perkataan Bina, tersinggung dengan kata Cina, yang berarti diskrimatif stereotip bagi orang berketurunan Tionghoa. Dia akhirnya meledakkan emosinya lewat sebuah tamparan pada Bina tepat pada pipi, memotong perkataannya. Bina tertegun dengan tamparan Bang Fandy, hingga dia roboh ke lantai. Dia tercengang sambil menyentuh pipi yang telah ditampar, perkataannya terpotong, ungkapannya pun tidak sempat dia lanjutkan. “Bang!” seruku. “Lo bilang apa tadi! Lo bilang apa Cina-Cina gitu! Lo berani banget ya ngehina orang-orang kayak Abang! Lo ini benar-benar orang yang enggak tahu diri!! Enggak tahu malu!!” jerit Bang Fandy meluap-luap. “Bang, udah!” Aku menahan bahu Bang Fandy. “Abang tahu gimana Ibu ke kamu, Bina! Abang tahu kamu kangen Ayah! Tapi Ayah udah meninggal, cuma tinggal Ibu, Mbak Shilla, Mbak Mila, sama Abang di rumah! Jujur aja, ya, Bina, Abang enggak pernah kayak gini ke kamu, Bina. Abang gini ke kamu karena Abang sayang sama kamu! Ibu juga gini karena Ibu juga sayang ke kamu!” “Bang, dibilangin udah!” sahutku. “Lo sekarang mikir ya, Bina! Ibu cuma pengen yang terbaik buat kamu lho! Ibu cuma nasihatin, masa kamu ngelawan sih! Pantas aja Ibu kayak gini ke kamu! Abang enggak tahu gimana rasanya kalau jadi kamu, sekarang, sebagai kakak kamu, Abang pengen nasihatin kamu, dewasa kek! Siapa yang enggak sayang sama kamu, Bina? Kata siapa Ibu enggak sayang sama kamu? Buktinya kemarin, kan! Kemarin–” “Bohong lo! BOHONG!” jerit Bina membalas api dengan api. “Kalau Ibu sayang sama gue, Ibu pasti enggak bakal lalu bentak-bentak ke gue kayak kemarin! Ibu cuma pilih kasih doang! Gue tahu, udah lama tahu, sebenarnya Ibu enggak mau sayang sama gue!” “Bina, kok mikir kayak gitu sih? Ibu sebenarnya sayang sama Bina, enggak milih kasih sama sekali, semuanya, Mbak Shilla, Mbak Mila, sama Abang juga sama aja!” “DIAM, ANJING! Lo tahu apa, bangsat!” jerit Bina. “Bina!” jerit Bang Fandy tersinggung. “Lo apaan sih manggil Abang kayak gitu?” “Lo itu cuma anak pungut dari panti asuhan! Sementara gue … dilahirin dari Ibu! Terus … Ibu cuma peduli sama lo! Apalagi orangtua asli lo yang Cina kebunuh! Kebunuh! Lo dapat belas kasihan daripada gue dari Ibu sama Ayah! Gara-gara lo, enggak ada yang peduli sama gue di rumah! Enggak ada yang ngerti sama gue sama sekali!” “Bina!” Aku mencoba mendekati Bina. “Paling enggak, kamu kan … sering curhat sama Ayah waktu itu.” “Diam! Diam!” jerit Bina. Bina melampiaskan segala api di dalam pikirannya bukan hanya melalui jeritan, tetapi … yang paling mencengangkan … dia sampai-sampai melempar barang-barang antik berupa piring dan cangkir dari lemari dekat sofa menuju lantai. Suara barang-barang antik itu meledak ketika pecah berserakan di lantai hingga berkeping-keping. “Whoa! Bina!” jeritku memperingatkan. “Udah, Bina.” “Kenapa sih! Cuma gara-gara orangtua Cina lo yang udah mati, mentang-mentang lo cuma anak pungut, emangnya lo istimewa! Kenapa sih lo yang paling disayang daripada gue!” Kutatap wajah Bina bukan hanya berlinang air mata secara dahsyat, tetapi juga kerutan pipi, dahi, dan dagu semakin bertambah seiring menambahnya api kemarahan di dalam pikirannya. Badannya juga mulai gemetar saking tidak tahan lagi dengan segala kemarahan di dalam hatinya. “Bina ….” Aku mencoba menghampirinya sekali lagi. “Itu enggak benar, lo–” “LO!” jerit Bina mendorongku dengan memukul tepat pada dada. “Lo juga sama aja! Mentang-mentang bokap lo koruptor, lo juga enak disayang-sayang sama Ibu, sama semua orang di rumah! Mau apa lo semua dari gue! Mau apa! GUE UDAH ENGGAK TAHAN!!” Bina sekali lagi mendorong semua barang antik dengan lengan kosongnya hingga jatuh di lantai, semua suara pecah itu memang setara dengan api kemarahannya. Gadis yang berapi-api itu berlari melewati tangga dan menjerit sekeras-kerasnya, hingga telingaku sampai tidak dapat menahan tolerasi betapa keras sekali suara seperti ultrasonik. “Bina!” panggilku sebelum Bina membanting pintu kamarnya dengan keras. “Dia tahu apa tentang orangtua gue! Dia tahu apa! Dia enggak pernah tahu gimana penderitaan gue pas ngelihat orangtua gue kebunuh!” Giliran Bang Fandy yang meluapkan emosinya akibat perkataan Bina. “Dia enggak pernah tahu gimana gue menderita sebelum gue ke sini!” “Bang.” Aku berbalik menatap Bang Fandy. “Emangnya dia siapa, anjing! Dia berani ngehina orangtua asli gue yang udah meninggal! Dia juga bilang Cina! Ya, gue juga kesal!! Dia cari masalah sama orang yang salah!” Bang Fandy mengomel seperti orang gila. “Bang, udah, Bang.” Aku mencoba menghentikan Bang Fandy dengan mengenggam erat lengannya. Bang Fandy mendorongku tidak dapat menahan segala kemarahan, aku seakan-akan menjadi korban pelampiasannya, tetapi tetap kupegang erat kedua lengannya hingga kudorong mendekati diriku. Begitu kupeluk Bang Fandy, kepalanya menyentuh bahu kananku. Bang Fandy akhirnya mengeluarkan semuanya lewat tangisan dan rengekan, kurasakan air matanya mengalir hingga menetesi bajuku. Napasnya terengah-engah ketika dia melampiaskan semuanya. “Dia … enggak tahu gimana menderitanya gue … pas bokap nyokap asli gue kebunuh. Dia enggak bakal tahu situasi gue.” Tangisan Bang Fandy semakin meledak, terdengar dari embusan napasnya Sekarang aku tahu … alasan mengapa Bang Fandy masuk panti asuhan sebelum menjadi anak asuh Bu De Soraya. Ayah dan Ibu kandung Bang Fandy terbunuh, tapi … apakah konflik diskriminasi ras yang menjadi pemicunya dulu? Kalau dilihat dari situasi tadi, pasti Bang Fandy bimbang untuk memberitahuku, pokoknya sepertinya dia tidak ingin mengingat setiap momen penyebab dia harus masuk panti asuhan. *** ”Yosh, sorry … Abang jadi enggak tahan, kamu juga malah jadi dilampiasin gini,” Bang Fandy akhirnya buka suara. Sudah lima menit semenjak kulihat Bina dan Bang Fandy adu api dari mulut ke mulut, bekas pecahan barang antik juga sama sekali belum dibereskan, masih berserakan di lantai dekat tangga. Bang Fandy duduk di sampingku di sofa dekat piano. “Orangtua asli Abang … kebunuh cuma gara-gara pelakunya rasis, seingat Abang … pelakunya sempat bilang kata-kata kasar ke orangtua Abang. Terus … pas kejadian itu … pas pelakunya datang mau ngebunuh orangtua Abang cuma gara-gara keturunan Tionghoa, dia bawa beberapa orang. Abang juga enggak ngerti sampai sekarang kenapa mereka gitu ke orang-orang Tionghoa kayak Abang, emang mereka enggak mau ngebiarin mereka hidup di sekitar mereka. “Abang juga ingat … Ibu bilang buat Abang lari dari pintu belakang, itu kata-kata terakhir dari Ibu padaku. Waktu itu hujan, Abang coba buat sembunyi, berteduh, tapi … Abang kedinginan, menggigil, Abang enggak peduli, Abang nangis keras banget ngikutin irama hujan, nangis banget keras. Abang kepikiran pas ngelihat Ayah sama Ibu udah kebunuh di tangan orang-orang rasis bejat itu, kepikirian terus. “Lama kelamaan, tahu-tahu Abang ketiduran, sebuah keajaiban muncul. Seorang wanita yang ngurus panti asuhan ngebangunin Abang, terus … Abang ceritain semuanya. Habis itu, beliau bawa Abang ke panti asuhan. Kalau aja … beliau enggak ngebangunin Abang, Abang enggak bakal tahu bakal gimana. Abang mungkin enggak bakal tinggal di sini, Abang juga enggak mungkin bisa kuliah kayak sekarang, Abang juga enggak bakal … bisa ketemu kamu, Yosh.” “Bang.” Aku menepuk pundak Bang Fandy. “Sekarang Yoshi tahu … Abang juga menderita. Kalau Yoshi ada di posisi Abang waktu itu … Yoshi pasti bakal menderita banget.” “Yosh, kamu enggak bakal tahu gimana rasanya waktu itu, pas Abang ngelihat orangtua Abang sendiri dibunuh sama orang-orang rasis bejat itu. Abang juga … enggak bakal bisa ngerasain gimana rasanya pas Sena disiksa sama Om Gunawan sama Tante Wilhelmina juga, apalagi habis kamu cerita semuanya pas di hotel.” “SENA!” suara jeritan seorang pria tidak asing terdengar begitu nyaring dari luar rumah. Tepat setelah itu, kulihat Sena berlari memasuki pintu rumah yang masih terbuka lebar, tanpa perlu menatap diriku dan Bang Fandy. Dia berlari begitu cepat melewati tangga tanpa kenal lelah. Kudengar dia mengembuskan napas selagi berlari dengan cepat, terlihat panik sekali ketika memasuki rumah. “Sena?” Bang Fandy bangkit dari tempat duduk dan melangkah mendekati tangga. “SENA!” sumber suara yang sama terdengar semakin nyaring, semakin dekat, aku tahu pemilik suara ini. Aku bangkit ketika menatap sumber suara itu. Oh tidak, aku benar-benar tertegun ketika orang yang berdiri di depan pintu rumah adalah seorang pria yang tidak asing! Dia adalah pria berkacamata yang tidak asing bagiku, napasnya terengah-engah, apalagi ketika sudah menatapku berada di rumah Bang Fandy. Bang Fandy juga berbalik menatap pria itu, dia juga menghela napas, kaget menyaksikan pria itu telah tiba di rumahnya, memanggil nama Sena dan menatap diriku. “A-A-Ayah?” Aku … tertegun ketika pria itu adalah Ayah. #21: Ketahuan “Ayah?” ulangku. Ini … di luar dugaanku, aku memang berpikir kalau Ayah akan begitu murka kalau begini. Tapi … yang tidak kuduga adalah … Ayah menemukan kami di rumah Bu De di Surabaya, beliau rela pergi kemari! Tapi … bukankah seharusnya Ayah menjadi tersangka? Seperti kata Bang Fandy, kalau Ayah menjadi tersangka korupsi, seharusnya Ayah sudah masuk penjara, bukan lagi bisa mangkir dari pemeriksaan KPK seperti ini, hanya untuk mencariku dan Sena. “Yoshi!” Ayah mendekatiku meluapkan kemurkaannya. “Kamu ngapain jauh-jauh ke sini? Sendirian? Sama Sena lagi? Kamu berani bawa Sena sendirian jauh-jauh ke sini? Kenapa sih kamu hilang gitu aja terus enggak kabarin Ayah! Di mana Sena? Di mana Sena? Cari sampai ketemu! Terus kita pulang!” Aku menundukkan kepala setelah menatap ledakan pada wajah Ayah. Aku tidak sanggup menghadapi kemarahan ini seperti yang kupikir. “Om, udah,” Bang Fandy melerai, “Mending kita ngomong baik-baik aja. Mending duduk aja dulu.” “Diam kamu!” jerit Ayah mendorong Bang Fandy. Ayah kembali menjerit memanggil sambil melangkah menuju dapur. “Sena! Di mana kamu! Sena! Kita pulang sekarang!” Bang Fandy berbicara padaku, “Gimana bisa? Harusnya kan Om Gunawan udah dipenjara kalau ditetapin sebagai tersangka, kan?” “SENA! SENA!” jerit Ayah mulai mencari di kamar Bu De Soraya dekat pintu dapur. Ayah berlari terbirit-birit menuju tangga, menghindari beling barang antik yang telah Bina pecahkan sebelumnya. Dia menjerit memanggil nama Sena sambil mendekati setiap pintu kamar. Begitu kudengar dia membuka gagang pintu kamar Mbak Mila, dia menjerit. “Sena, buka pintunya! Keluar kamu! Keluar!” jerit Ayah. Bang Fandy dengan cepat menaiki tangga untuk menemui Ayah, “Om!” “Ayah enggak suka kamu kalau ngunci pintu kayak di rumah! Buka enggak! Keluar! Kita pulang!” Ayah mengempaskan sekuat tenaga pada ketukan pintu. “Om!” Bang Fandy menghentikan Ayah. “Udah, enggak kayak gitu caranya!” “Minggir!” jerit Ayah mendorong Bang Fandy. “Kalau caranya teriak kayak, Sena bakal takut sama Om!” Bang Fandy memperingatkan ketika aku menaiki tangga. “Udah, Om. Mending duduk aja dulu, tenangin diri, terus … ceritain semuanya aja. Ayo.” Bang Fandy membawa Ayah menuruni tangga selagi aku terengah-engah dalam bernapas. Ayah sudah menemukan kami berdua, kami ketahuan melarikan diri. Ini saat-saat terburuk yang sedang kuhadapi sekarang. Ayah benar-benar murka padaku. *** Butuh beberapa menit bagi Ayah untuk menenangkan diri, beliau duduk terdiam di sofa dekat piano. Dia memang sedang memendam sebuah kemarahan, tidak terima kalau aku dan Sena benar-benar kabur dari rumah hanya untuk pergi ke rumah Bang Fandy. “Om, Fandy minta maaf sebelumnya, tapi … mau nanya juga. Yoshi udah cerita semuanya ke Fandy. Emang … ada masalah kayak gimana di rumah?” Bang Fandy mulai bertanya. “Fandy tahu Om pasti enggak bisa nerima kalau Yoshi sama Sena benaran ke sini tanpa sepengetahuan Om sendiri kok.” “Ah ….” Ayah memegang keningnya. “Emang kenapa nanya kayak gitu?” “Yoshi udah bilang cerita semuanya ke Fandy, Om. Sekarang, Fandy pengen Om cerita kenapa jadi kayak gini, ya … selain Yoshi sama Sena kabur dari rumah. Apa ada alasan lain?” “Yoshi … emang cerita kenapa dia bisa ke sini? Sama Sena?” Ayah membalas tanya. “Om, kalau Yoshi sama Sena ke sini, pasti ada alasan kuat kenapa mereka kabur dari rumah, pokoknya Abang udah tahu dari perspektif Yoshi. Sekarang gini, Om mending ceritain semuanya, dari perspektif Om sendiri. Ayo.” Ayah akhirnya membuka suara, “Sena … enggak tahu kenapa … jadi enggak sayang sama Ibu, ibu barunya. Padahal Om … udah bilang … kalau ibu … bakal sama kayak ibu.” “Maksudnya gimana, Om? Ibu barunya sama kayak mendiang ibunya?” tanya Bang Fandy. Ayah menarik napas sejenak sebelum kembali bercerita, “Om tahu … Yoshi sama Sena sayang banget sama mendiang ibu mereka. Istri pertama Om … meninggal setelah sebuah kecelakaan. Om … lihat … Yoshi sama Sena kangen banget sama ibu mereka. Om juga merasa … kurang gitu, tanpa kehadiran sosok ibu … tentu kehidupan di keluarga kurang. “Akhirnya … Om ketemu sama Wilhelmina, istri kedua Om sendiri. Pas pernikahan Om sama Wilhelmina, Om tahu … kehidupan di keluarga bakal lebih baik lagi dengan kehadiran wanita itu, wanita cantik, awet muda, dan menawan. Om juga tahu Yoshi sama Sena bakal sayang Wilhelmina, meski sebagai ibu tiri, sebagai ibu mereka sendiri, layaknya seperti mendiang ibu mereka. “Lama kelamaan, enggak tahu kenapa … Sena kelihat pengen menghindar dari Ibu yang sekarang, pasti merengek pengen sama Om melulu. Pengen Om tinggal di rumah. Om selalu bilang kalau Om harus balik kerja kapanpun, ada urusan penting demi negara. Om juga bilang kalau enggak kerja, uangnya dapat darimana. “Terus … Sena bilang tentang ibu barunya. Dia bilang kalau Sena selalu disiksa sama ibu barunya kalau Om sama Yoshi enggak ada di rumah. Om pokoknya enggak bisa nerima, Om tegur Sena buat bisa nerima ibu barunya, bukan bohong kayak gitu. Om pengen Sena sayang sama ibu barunya seperti mendiang ibunya.” “Oke.” Bang Fandy mengangguk. Ayah bangkit dari duduk dan melangkah melewati tangga, tidak sabar ingin menemui Sena kembali. Dia mengetuk pintu perlahan, meminta Sena untuk keluar dari kamar Mbak Mila. “Sena? Sayang? Buka pintunya, Nak,” pinta Ayah ketika Bang Fandy dan aku mengikutinya. “Ayah cuma pengen kamu sama Yoshi pulang, Nak. Ayo pulang. Ayah tahu kamu masih belum mau nerima ibu kamu di rumah, Sena, lama kelamaan kamu harus nerima semuanya yang ada di rumah. “Sena maunya apa? Kalau Sena pengen Ayah di rumah, bareng sekeluarga, Ayah janji … Ayah akan ambil cuti setelah semua masalah kerja beres, semua masalah yang sampai ke media. Oh ya, Ayah juga … bakal ngajak kamu, Yoshi, sekeluarga, buat makan di luar, kayak dulu lagi pas sama mendiang Ibu, Nak. “Sena, kalau mau begitu, Ayah minta kamu sama Kak Yoshi pulang ya, sekarang. Kalau Sena mau bilang apa-apa, Ayah pasti dengarin, asal … Sena mau sayang sama ibu barumu, Nak. Sena, buka pintunya. Tolong buka pintunya, Nak.” Ayah kembali membantingkan kepalan tangan pada pintu kamar Mbak Mila. Suara putaran kunci terdengar nyaring, aku pun tidak menyangka Sena akan membuka kunci pintu setelah mendengar perkataan Ayah. Sena akhirnya membuka pintu dengan rapat, terdiam ketika menatap kami bertiga. Ayah membuang napasnya, lega ketika menatap Sena telah membuka pintu dan menemuinya. Dia menunduk sambil menyentuh tangan kanan Sena. “Sena, kita pulang yuk, bareng Yoshi juga,” ajak Ayah. “Ayah,” Sena menghentikan. “Sena, pas pulang, mau dibeliin apa, Ayah nanti beliin kok.” “Sena … mau jujur sama Ayah. Pas Sena jujur … Ayah sampai marah-marah di rumah, nuduh Sena bohong,” Sena mengungkapkan. “Nanti ngomongnya pas di jalan aja ya. Ayo pulang. Ibu juga udah nungguin. Nanti … kita berempat kumpul lagi, sekeluarga.” “Yah … Sena … enggak mau kalau ada Ibu di rumah. Sena udah jujur … tapi Ayah … malah enggak mau nerima kenyataannya. Ibu … udah sering nyiksa Sena pas Ayah sama Kak Yoshi enggak ada di rumah. Sena udah cerita sama Kak Yoshi, dia nerima kenyataan itu.” “Enggak, Sena enggak boleh ngomongin gitu sama Ibu.” “Itu kenyataannya … Yah. Sena bilang jujur.” Ayah menggeleng. “Enggak! Enggak! Sena enggak boleh bohong gitu dong! Sena emang masih enggak sayang Ibu?” “Pas Sena coba lagi membuktikan kata Sena, Ayah malah nyiksa Sena malam itu. Ayah malah sakitin Sena. Apa … Ayah udah enggak sayang lagi sama Sena. Ayah lebih sayang sama Ibu yang sering nyiksa Sena.” Akhirnya, sebuah kejujuran dari Sena terungkap kembali. “Sena, Ayah begitu karena Ayah sayang sama Sena. Ayah pengen Sena sayang sama Ibu, selayaknya sayang sama mendiang Ibu, ibu yang telah melahirkanmu, Nak. Ayah … jadi lepas … enggak percaya kamu sudah mencuri uang Ibu, Nak.” “Sena enggak curi uang, ibu tiri … udah nuduh Sena sambil nyiksa pakai sapu lidi.” “Sena enggak boleh bilang gitu sama ibu kamu sendiri!” Ayah sedikit terlepas emosi. Aku memotong, “Yah, Sena udah cerita sama Yoshi, sama Bang Fandy juga. Sena enggak kelihat bohong pas cerita.” “A-apa, Yoshi, Fandy.” Ayah berbalik menatapku. “Kalian percaya sama Sena yang udah bohong kayak gini? Ngomongin keburukan ibu tiri.” Bang Fandy menambah, “Anak kecil bohong pasti takut dimarahin, kayak bilang nilainya bagus, nyatanya jelek.” “Terus … apa hubungannya?” ucap Ayah. “Sena udah jujur sama Yoshi, kalau sama Ayah, ternyata Ayah juga masih enggak mau percaya. Apalagi … Ayah ini udah jadi tersangka korupsi, nyatanya … Ayah masih bebas, harusnya Ayah udah masuk penjara. Maafin Yoshi, tapi … perlakuan Ayah ke Sena bukan kayak sayang lagi, Ayah malah nyiksa Sena pas pulang Jumat minggu lalu, pas Yoshi enggak ada. Terus … malam sebelumnya, Yoshi dengar suara anak kecil nangis disiksa sama ibu-ibu, ternyata … itu Sena sama ibu tiri.” “Yoshi … jadi … kamu–” “Om.” Bang Fandy mendekati Ayah, “sebelumnya, maaf kalau kedengar kasar, mending … Om pergi dari sini aja, kalau enggak, Fandy bakal manggil polisi, terus ngejeblosin Om ke penjara, bukan cuma gara-gara jadi tersangka korupsi, tapi juga udah nyiksa Sena, meski … sebenarnya … Tante Wilhelmina yang sering nyiksa Sena. Om mending pergi aja deh dari ngeganggu.” Ayah menggeleng sambil berkaca-kaca. “Ka-kalau itu mau kalian, baiklah. Ka-kalian … anak durhaka.” Kami terdiam ketika Ayah secara perlahan melewati tangga, melewati kepingan beling berserakan di lantai, dan melewati pintu rumah. Kini aku tahu … Ayah benar-benar berlinang air mata … ketika … kami tidak mau kembali ke rumah, apalagi menerima sebuah kebenaran yang terlontar dari mulut Sena. Ayah masih tidak ingin menerima kenyataan bahwa ibu tiri, Wilhelmina, telah menyiksa Sena, apalagi ketika aku dan beliau tidak ada di rumah waktu itu. Padahal … Ayah tahu perlakuannya terhadap Sena, salah, menuduh, sebelum akhirnya ikut menyiksa. #22: Sebuah Akibat Butuh beberapa lama bagi kami untuk menenangkan diri setelah kedatangan Ayah ke rumah Bang Fandy. Sesungguhnya, tidak kusangka kalau Ayah benar-benar memergoki kami di sini meski dia masih berstatus tersangka. Apakah Ayah masih belum resmi masuk tahanan? Aku masih tidak mengerti mengapa. Tepat setelah Ayah pergi, Sena akhirnya meledakkan tangisan yang telah dia lama pendam, sesuai permintaan Bang Fandy agar mengeluarkan perasaan dari dalam hatinya. Sena menutupi wajah dengan kedua tangan tidak dapat menahan ledakan air mata yang telah terbendung. Pasti Sena tidak percaya kalau Ayah masih tidak ingin menerima sebuah kenyataan tentang sang ibu tiri. Aku duduk mendampingi Sena untuk mengusap punggungnya seraya menenangkan. Aku masih tidak percaya bahwa Ayah memang ingin kami sayang pada Wilhelmina, sang ibu tiri. Padahal … kenyataannya ibu tiri kami memang sering menyiksa Sena ketika Ayah dan aku tidak ada di rumah. Selagi aku menenangkan Sena, Bang Fandy mengambil sapu dan pengki berwarna hijau dari dapur. Dia mendorong beling-beling barang antik yang telah Bina pecahkan di dekat tangga tadi menggunakan sapu menuju pengki, sampai tidak bersisa di lantai. Seluruh beling barang antik telah berada di pengki. Bang Fandy melangkah membawa pengki ke luar untuk membuang beling-beling itu ke tempat sampah. Kini … lemari berisi barang keramik antik itu … sudah kosong, Aku masih tidak percaya apa yang telah terjadi pagi ini, pertama … Bina meledakkan amukannya setelah Bang Fandy memperingatkan bahwa perkataannya begitu menghina dan rasis, ditambah dia tidak bisa menerima segala nasihat keras lagi. Aku teringat ketika Bina mengatakan bahwa hal yang selalu Bu De Soraya tanya adalah privasinya sendiri, bukan urusannya. Gadis itu memang sudah sulit untuk diberitahu yang akan bermanfaat untuk hidupnya. Kalau berurusan dengan seperti itu, amukan yang akan didapat. Seperti tadi, saat Bang Fandy mengatakan hal baik-baik, terutama mengenai ejekan sebuah ras yang tentunya akan menyinggung, aku tidak menyangka Bina akan menjerit sampai melempar seluruh barang antik dari lemari dekat tangga ke lantai. Belum beberapa lama, Ayah tiba-tiba datang memanggil nama Sena. Wajar kalau Sena berlari menghindar dari Ayah, bahkan sampai mengunci pintu kamar. Kemarahannya masih terputar pada otakku, terutama ketika Ayah memaksa kami pulang. Tentu kami tidak mau, terutama Sena yang sudah tidak lagi mau tinggal bersama ibu tiri di rumah, apalagi kalau aku tidak ada di rumah. “Bang,” panggilku ketika Bang Fandy telah kembali sambil menggenggam sapu dan pengki, “makasih.” Bang Fandy menghela, “Jujur aja, Yosh, Abang juga enggak mau ikut Om Gunawan kalau teriaknya kayak gitu, maksa buat pulang lah. Lagian, Om kan juga masih berstatus tersangka, emang harusnya udah dipenjara daripada repot-repot ke sini buat ngejemput kamu sama Sena. Pantas aja disebut mangkir, harusnya enggak bisa mangkir kan kalau udah jadi tersangka. Kalau udah mangkir, pasti polisi sama KPK cari dia lah. Makanya, Abang ngancam dia buat manggil polisi.” “Kenapa … kenapa enggak manggil polisi aja sekalian kalau gitu?” tanyaku. Bang Fandy duduk di samping kiriku, “Enggak tahu kenapa … Abang juga enggak berani sekarang, kalau manggil polisi sekarang. Situasinya juga …ah … enggak tahu lah.” “Yoshi juga enggak percaya sama polisi sekarang. Kalau udah ngelapor, pasti prosesnya lama banget, kalau ujung-ujungnya dibebasin, bakal sia-sia banget lah. Kalau Yoshi bilang situasi kayak gini ke orang lain, pasti pada bilang kenapa enggak lapor ke polisi aja? gitu. Tapi … Abang enggak bilang gitu ke Yoshi pas di hotel.” “Kalian tenang aja ya. Abang pasti bakal ngebantuin kalian sekarang, meski lama-lama Abang enggak bakal ada di sini karena kuliah. Abang bakal usahain biar kalian aman,” ucap Bang Fandy. “Mending ke kamar aja dulu buat nenangin diri ya.” “Fandy,” sapa Mbak Mila yang duluan memasuki rumah menghampiri kami. Aku tertegun ketika menatap Mbak Mila, Mbak Shilla, dan Bu De Soraya telah tiba di rumah sambil menggenggam beberapa kantong plastik berisi belanjaan. Memang tidak terasa waktu akan berjalan cepat, apalagi ketika menghadapi Bina dan Ayah tadi. “Oh, udah pulang ya?” Bang Fandy menghampiri Bu De Soraya untuk mengambil dua kantong plastik dari genggamannya. “Kirain masih lama.” “Ya keluar gini cuma belanja kok,” tanggap Mbak Shilla yang duluan ke dapur memimpin membawa kantong plastik belanjaan ke dapur. “Lho? Kok–” Mbak Mila memperhatikan ada yang berubah dari lemari dekat tangga. “Ini … barang-barang di lemari ini kenapa pada hilang?” “Masa sih?” Bu De Soraya heran. “Ini pada kenapa ya hilang?” “Oh … Bu … itu–” Bang Fandy mencoba menjawab ketika keluar dari dapur. Kulihat Bang Fandy apakah akan mengungkapkan apa yang terjadi pada Bina tadi, terutama amukannya sebelum Ayah kemari untuk menjemputku dan Sena. Bang Fandy memalingkan wajah sejenak, ragu apakah harus memendam sebuah kejujuran sekali lagi. Aku juga sebenarnya tidak ingin Bang Fandy mengungkapkan apapun mengenai kemarahan Bina, apalagi mengenai kedatangan Ayah tadi. Tidak dapat kubayangkan bagaimana perasaan Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila ketika mendengar sebuah kejujuran kalau aku dan Sena sebenarnya kabur dari rumah. Kalau kukatakan alasannya, pasti mereka takkan mengerti. “Bina mana? Ibu mau ngomong dulu sama Bina,” Bu De Soraya meminta. “Eh? Emang kenapa, Bu?” tanya Mbak Shilla. “Ibu … udah … pikir … kalau kita lebih baik ngomong baik-baik sama Bina, bareng-bareng, sekeluarga. Kenapa … Bina jadi memberontak sama Ibu. Ditanya gimana sekolah, malah enggak mau jawab, terus dinasihatin juga … marah-marah melulu. Ibu tahu Ibu pengen yang terbaik buat Bina, tapi … dianya–" Bu De Soraya mengungkapkan beberapa alasan. “Udah, Bu,” Mbak Shilla mengusap kedua bahu Bu De Soraya, “kita nanti ngomongnya baik-baik aja, jangan sambil bentak. Kalau bentak, Bina-nya pasti bakal melawan. “Fandy, Bina gimana tadi pagi? Dia keluar dari kamar?” tanya Bu De Soraya. “Uh … itu–” Bang Fandy tetap ragu. Mbak Mila mengambil alih untuk menjawab ketika keluar dari dapur, “Ya … kemarin juga … dia marah-marah lagi. Mila juga udah coba buat kasih tahu tentang kemarin. Bina kan … bentak Ibu kemarin pagi juga. Akhir-akhir ini emang susah itu anak, udah susah banget dikasih tahu.” “Ya udah, kalau gitu harus sekarang kita omongin baik-baik ya. Shilla manggil Bina dulu ya.” Mbak Shilla menaiki tangga itu. “Ibu duduk aja dulu,” Fandy mempersilakan ibunya untuk duduk di sofa di hadapanku dan Sena. “Nanti aja, pas Bina udah ke sini.” Bu De Soraya mulai mengusap matanya. “Sejak kematian Ayah … Bina jadi makin berontak sama Ibu. Ibu juga mikir apa salah Ibu sama Bina. Apa cara kasih tahu ke Bina salah? Padahal … Ibu … cuma ingin yang terbaik pada Bina.” Aku mengangkat tangan ingin berbicara. “Bu De, Bang Fandy udah cerita sama Yoshi, tentang Bina. Ya … Yoshi enggak nyalahin Bu De di masa lalu, gimana Bu De kasih tahu Bina buat belajar, belajar, belajar. Yoshi tahu … gimana rasanya dapat nilai jelek, kalau Bu De ada di posisi Bina, pasti bakal malu, enggak mau bilang ke siapa-siapa, apalagi TO. Yoshi juga enggak tahu apa hobi Bina dulu, seenggaknya … Bina juga berhak buat ngejalani hobinya di sela-sela waktu belajar.” “Bina? Bina? Buka pintunya dong. Mbak Shilla mau ngomong nih.” Suara Mbak Shilla terdengar dari lantai atas mengetuk pintu kamar Mbak Mila. Bang Fandy menambah, “Bu, ingat pas Ayah dulu bilang jangan terlalu dipaksain ke Bina, kan? Mungkin … Bina bingung banget gimana benar, gimana salah, apalagi pas belajar.” “Ibu … cuma pengen Bina sukses kok, itu aja,” ucap Bu De Soraya. “Bina? Buka pintunya dong. Bina?” sahut Mbak Shilla. Mbak Mila berlari melewati tangga sambil bertanya, “Enggak dibuka-buka juga?” Sena secara spontan menjawab, “Kayaknya … Bina lagi tidur.” Aku menyanggah, “Enggak, Sena. Kan enggak mungkin kalau masih jam segini udah tidur lagi.” “Kak,” Sena mendekatiku untuk berbisik, “Kakak pernah kayak gitu sama Ayah enggak? Dimarahin kayak ke Sena? Selain pas tadi.” Aku menjawab, “Ya … Yoshi juga pernah dimarahin sama Ayah.” “Karena nilai ujiannya jelek?” “Yoshi … waktu itu … dimarahin gara-gara enggak mau ikutan renang pas ada saudara lain ngajak, padahal Yoshi enggak mau. Tetap aja … Ayah maksa Yoshi buat ikutan renang sama saudara. Yoshi juga sebenarnya pengen nolak, ya apa boleh buat, posisi Ayah lebih tinggi daripada Yoshi.” “Bina? Bina? Buka pintunya dong!” sahutan Mbak Mila dan Mbak Shilla semakin mengeras berdasarkan nada yang kudengar. “Masih belum keluar juga?” tanya Bu De Soraya. “Dikunci kagak?” tanya Bang Fandy. “Kalau kagak buka aja.” “Bina?” Mbak Mila akhirnya memegang gagang pintu untuk membuka pintu kamar Bina. Tepat setelah mendengar pintu kamar Bina telah terbuka, jeritan Mila meledak tidak kalah dengan jeritan Bina sebelumnya. Aku tertegun dan bangkit dari sofa bereaksi pada jeritan Mila. “ASTAGA!” jeritan Mbak Shilla juga tidak kalah keras. “Lho! Kenapa?” Bang Fandy dengan cepat berlari melewati tangga. “Sena, kamu di sini dulu aja ya,” bujukku sebelum mengikuti Bang Fandy menuju lantai atas. “Mas Fandy! Bina! Bina!” jerit Mbak Mila menunjuk pada dalam kamar Bina. “Bina kenapa?” tanya Bu Soraya ketika tiba di lantai atas bersamaku. Bang Fandy dan aku tercengang ketika menatap apa yang telah terjadi di dalam kamar Bina. Buku telah berserakan di lantai, tas juga terlihat terbaring di dekat lemari, mungkin sehabis melempar melampiaskan kemarahannya. Yang paling membuat semuanya bereaksi hingga mencapai ambang batas … darah, darah, dan darah. Terlihat Bina terbaring menggenggam pisau berdarah, kulit tangannya juga mengeluarkan darah segar hingga menodai sprei kasur dan lantai. Tidak mungkin! Dia mengiris kulitnya sendiri? Setelah dia meledakkan amarahnya pada kami berdua? “Astaga! Bina!” jerit Bang Fandy tidak kalah meledakkan shock-nya. “Cepat panggil ambulan!” “Bina!” jerit Bu De Soraya mulai meletakkan histerianya sambil mendekati Bina. “Astaga! Bina! Kamu kenapa, Nak! Bina! Bina, bangun! Bangun!” Tangisannya semakin meledak ketika tidak percaya apa yang baru saja beliau lihat. Kulihat Mbak Shilla dengan cepat menghubungi ambulan. “Halo! Tolong! Adik saya! Adik saya!” “Suruh cepat ke sini! Cepat!” jerit Bu De Soraya masih histeris sambil menutupi setiap luka irisan pada kulit tangan Bina. “Bina! Bina! Bangun! Bina! Jangan mati! Suruh ambulannya cepat ke sini! Cepat! Bina!” Kenapa jadi begini? Apakah … ini akibat yang tadi? Tepat sebelum Ayah tiba untuk menjemput paksa Sena dan aku? #23: Tragedi dan Bencana “Bina! Bina! Bina!” Bu De Soraya masih meledakkan air mata dan kepanikan meminta tolong. Bu De Soraya sama sekali tidak dapat menahan lebih banyak badai duka meski ambulans telah tiba dan dua orang paramedik berseragam kemeja telah memasuki rumah menggiring stretcher bersprei oranye. Dia masih tidak dapat menerima bahwa Bina selama ini berupaya untuk bunuh diri setelah semua yang telah terjadi. “Di atas!” Mbak Mila berlari melewati tangga seraya mengantar kedua paramedik tersebut menuju kamar Bina. Mbak Shilla menggoyangkan kedua telapak tangan untuk menggosok lengan Bu De Soraya seraya menenangkannya, ikut menyaksikan kedua paramedik memasuki kamar Bina. Dia juga menggeleng tidak dapat menahan panik sehabis menyaksikan irisan pergelangan tangan Bina yang menyebabkan lantai keramik dekat kasur berubah menjadi genangan darah. Bang Fandy juga menundukkan kepala dan mengepalkan kedua tangan, kurasa dia merenungi perbuatannya terhadap Bina sebelum hal ini benar-benar terjadi. Ini juga di luar dugaannya, tidak menyangka bahwa Bina sudah sangat tertekan hanya dari cara melampiaskan seluruh api kemarahan. “Sena!” Kulihat dari tangga Sena juga menaiki tangga. “Sena.” Kugiring dia agar tidak memperhatikan apa yang sedang terjadi. Aku tahu Sena belum siap melihat banyak darah menjadi sebuah genangan di lantai, terlebih ketika ada seseorang yang telah melakukan upaya bunuh diri. Pasti Sena tidak akan kuat melihat kejadian itu. “Kenapa, Kak? Kok ada dokter gitu?” tanya Sena. Kugiring Sena menuju kamar Bang Fandy dengan mempercepat langkah. “Um … Bina sakit, jadi … Bu De Soraya manggil ambulan tadi.” “Dok, selamatkan anak saya! Selamatkan anak saya!” jeritan dan tangisan Bu De Soraya semakin menjadi-jadi, hingga terdengar di kamar Bang Fandy. Ketika berbalik menghadap pintu, kutatap kedua paramedik itu menuruni tangga dan mengangkat Bina dalam posisi berbaring dengan berhati-hati. Aku tahu pasti mereka tidak mampu membawa stretcher melewati tangga begitu saja, jadi … mau tidak mau mereka harus mencegah memperparah kondisi Bina. “Yosh! Sena!” panggil Bang Fandy, “Mbak Mila bilang kita ikut, ikutin ambulans pake mobil Mbak Mila.” “Ayo! Cepatan!” bujuk Mbak Mila. “Kak Yoshi, Bang Fandy, Sena … takut … kalau Ayah ketemu kita lagi.” Sena menundukkan wajahnya. “Kalau ketemu Ayah di rumah sakit … gimana?” Bang Fandy menjawab, “Enggak kok, Om Gunawan udah pergi.” “Ayo pada cepat!” sahut Mbak Mila memaksa kami untuk segera keluar. “Keburu berangkat ambulannya!” “Iya, iya! Ini juga mau keluar!” tanggap Bang Fandy. *** Begitu kami memasuki rumah sakit, aku, Bang Fandy, Sena, dan Mbak Mila mempercepat langkah melewati UGD yang penuh hilir mudik dokter dan suster berseragam. Beberapa pasien yang tengah berbaring di tempat tidur UGD juga ikut terlihat dari terbukanya gorden biru, suara batuk juga mengiringi kegaduhan di UGD itu. Mbak Mila mendekatkan layar ponsel pada telinga ketika berbicara pada Mbak Shilla lewat telepon. “Lagi pada di mana sekarang? Si Bina gimana?” Dia terdiam ketika mendengar jawaban Mbak Shilla sambil mengangguk. “Ruang operasi dekat UGD. Oke, kita ke sana!” Ketika Mbak Mila menutup telepon dan meletakkan ponsel ke dalam saku, kami pun kembali melangkah cepat mencari ruang operasi dekat UGD. Bahkan, kami sempat bertanya pada salah satu suster yang sedang hilir mudik di sekitar UGD. Tidak perlu menunggu lama lagi, kami kembali melangkah mengikuti arah yang suster sebutkan sebelumnya menuju ruang operasi dekat UGD. Ketika kami melihat pintu ruangan berukuran besar berjendela kecil di depan mata, terlihat Bu De Soraya dan Mbak Shilla duduk di samping pintu itu. Bu De Soraya masih tidak dapat menahan isakan tangisnya dan menutup wajah menggunakan tangan. Mbak Shilla bangkit dari tempat duduk dan menemui kami, terlebih dahulu memeluk Mbak Mila, melepaskan sedikit dari ketegangan yang terpendam semenjak kejadian tadi di kamar Bina. Mbak Shilla mengabarkan ketika melepas pelukan pada Mbak Mila, “U-untung aja … Bina … enggak dead on arrival, sebuah keajaiban. Tapi … tangan Bina … harus dijahit tangannya … buat nutup pendarahannya.” “Bu Soraya,” salah satu menemui dokter berseragam menemui kami, “mohon maaf menganggu, bisa ikut saya sebentar? Saya ingin tahu apa yang terjadi pada Bina.” “Bu.” Mbak Shilla tetap mengusap kedua lengan kanan Bu De Soraya. “I-iya, Dok ….” Bu De Soraya bangkit dari tempat duduk. “Mila, mending ikut temani Ibu aja, biar Mas Fandy sama Yoshi yang di sini gih,” ajak Mbak Shilla ikut bangkit. “I-iya.” Mbak Mila menatap kami. “Kalau ada apa-apa sama Bina, telepon aja.” “I-iya,” jawab Bang Fandy. Aku berbalik menyaksikan Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila menggerakkan kaki mengikuti sang dokter yang ingin tahu segala hal tentang Bina akhir-akhir ini, apa ini … seperti interogasi polisi yang pernah kutonton lewat serial drama Barat terkenal? Apa kejadian ini di rumah sakit juga sama seperti di kantor polisi hanya untuk mengorek informasi? “Kak.” Sena membujukku. “Bakal lama enggak di sini? Kalau lama banget, Sena mau pulang, Sena maunya di rumah.” Bang Fandy mulai duduk di bangku dekat pintu ruangan operasi. “Enggak tahu, Sena, tergantung kapan selesai Bina-nya. Kuncinya juga lagi di Mbak Shilla sama Mbak Mila. Kayaknya sejam dua jam udah selesai.” “Tapi–” Bang Fandy mendekati Sena dan berjongkok memotong perkataannya, “Sena, Ayah kamu udah pulang, dia enggak bakal ke sini lagi. Ayah kamu … masih ada masalah yang harus diselesaiin.” “Kayak … jadi tersangka korupsi gitu?” “Yosh,” Bang Fandy memanggilku. “Eh?” Aku mendekati Bang Fandy. “Duduk aja gih. Abang pengen ngantar Sena jalan-jalan, keliling rumah sakit.” “Eh? Enggak usah, Bang. Biar Yoshi aja yang ngantar jalan-jalan,” aku sungkan. “Ya … Abang juga bosan di rumah sakit kayak gini, butuh refreshing juga. Ya … Abang bisa–” “Udah, Bang, enggak apa-apa. Yoshi aja yang bawa keliling rumah sakit. Abang di sini aja, nunggu Bina. Yoshi kan kakaknya Sena juga. Terus … Bina juga adiknya Abang.” “Yosh.” Bang Fandy menyentuh pundak kananku. “Ya udah, Abang tunggu di sini aja. Lagian … Abang juga … ngerasa bersalah udah lepas kontrol habis Bina ngejek Abang sama kamu. Abang juga enggak nyangka Bina udah jadi kayak gini, sekarang … Abang juga lagi nunggu kabar dari Ibu sama dokter kalau ada kenapa-kenapa sama Bina akhir-akhir ini. Oke, hati-hati ya. Kalau ada orang yang enggak dikenal, jangan ngikutin.” “Bang, Yoshi bukan anak kecil lagi. Nanti kabarin kalau ada perkembangan,” aku pamit. “Sena, ayo.” *** Aku dan Sena hanya mengelilingi lantai satu dari gedung rumah sakit, tentu beberapa dari tempat yang mungkin benar-benar menunjukkan darah dan luka parah kami hindari agar Sena tidak meledakkan ketakutannya. Sena juga sempat sedikit bertanya tentang segala hal di setiap sudut rumah sakit, mulai klinik hingga bagian farmasi. Sebelum kami kembali ke ruang operasi dekat UGD, aku meminta Sena agar menunggu di depan pertigaan kamar mandi di dekat lobi gedung rumah sakit. Dari yang kulihat, lobi rumah sakit tidak begitu ramai, tempat duduk banyak yang kosong, staf administrasi juga tidak banyak yang berjaga, mungkin karena ini hari Sabtu, sudah wajar. Mungkin Sena akan baik-baik saja, dia bisa menungguku keluar dari kamar mandi pria sendiri. Lagipula, dia akan tahu dia tidak akan mengikuti orang asing yang mengajaknya melakukan hal aneh-aneh, kalau ada yang bertanya, dia akan menjawab lagi nungguin Kakak, tidak perlu terlalu kukhawatirkan. Setelah buang air kecil dan menutup risleting celana, kudekati wastafel dan cermin dan memancarkan pintu toilet. Kugeser gagang keran untuk mengalirkan air menuju bagian dasar wastafel putih. Kugosokkan kedua tangan pada aliran air keran. Begitu kugeser kembali gagang keran untuk mematikan aliran air, kupercepat langkah dan kubuka pintu keluar toilet pria. Ketika aku berada di persimpangan antara lobi dan toilet, Sena tidak tampak sama sekali. Mungkin Sena sedang ke toilet dulu, menyadari kalau dia ingin buang air selagi menungguku. Aku bersandar pada dinding putih selagi menyaksikan beberapa pengunjung ikut keluar masuk dari toilet. Detik demi detik pun berputar terasa lama ketika menunggu Sena menjadi salah satu dari yang keluar dari kamar mandi wanita. Kuambil ponsel dari saku celana untuk melihat jam, menghitung berapa menit kutelah menunggu agar Sena keluar dari kamar mandi wanita. Astaga! Kurasa Sena terlalu lama kalau benaran ke toilet, pasti … ada sesuatu yang terjadi. Begitu buru-buru, kupercepat jariku untuk menyentuh layar ponsel. Kutelepon Bang Fandy ketika napasku mulai cepat tidak beraturan, apakah … Sena. “Yosh? Kenapa?” Kudengar suara Bang Fandy mengangkat telepon. “B-Bang! Sena udah balik ke situ?” aku bertanya begitu panik. “Eng-Enggak, kan Sena lagi sama kamu, Yosh. Kenapa?” “Sena enggak ada!” ucapku sambil mulai berlari meninggalkan pertigaan antara toilet dan lobi. Kupercepat langkah ketika sudah berada di lobi. “Sena enggak ada?” Bang Fandy tercengang. Kulihat beberapa orang yang berada di lobi berbondong-bondong mendatangi pintu keluar. Kerumunan orang seperti melenyapkan pandangan halaman depan lobi gedung rumah sakit meledakkan pekikan. Aku berlari mendekati sumber musibah itu sambil bertanya-tanya dalam hati. Ada apa ini? Ada apa lagi sebenarnya? Pertanyaanku terjawab ketika kulihat seorang satpam berseragam putih tergeletak di lantai, kehilangan kesadaran. “Kasih ruang! Jangan pada dekat-dekat!” suruh salah satu staf administrasi berlutut mendekati satpam itu. “Ini kenapa?” salah satu wanita bertanya. Jawaban dari wanita lain terdengar menuju telingaku, “Tadi ada ibu-ibu yang maksa anaknya pulang, dipukul lagi. Terus mukul satpam pakai sepatu haknya. Harusnya ibu itu enggak mukul-mukul paksa pulang anaknya, kasihan lah!” Ibu-ibu? Mukul? Paksa pulang? Jangan-jangan …. Wilhelmina, ibu tiri! Aku berlari keluar dari gedung rumah sakit menuju tempat parkir, mencari keberadaan ibu tiri dan Sena, memastikan kalau mereka belum jauh dari sini. Tetapi, hanya ada beberapa mobil dan orang asing yang menjadi saksi dari tempat parkir itu. Aku sampai terengah-engah dalam mencari dan melihat beberapa sudut tempat parkir rumah sakit. Tidak ada! Tidak ada! Tidak ada! Kuledakkan jeritanku seperti tidak ada orang yang akan melihatku, “Sena … Sena!! SENA!!” #24: Penculikan Aku seperti kehilangan tenaga setelah menjerit memanggil Sena, berlutut seperti kehilangan kendali untuk berdiri di tengah-tengah lantai aspal tempat parkir. Wilhelmina … tidak mungkin … tidak mungkin ini terjadi! Kenapa Wilhelmina, ibu tiri, datang jauh-jauh ke sini? Sejak kapan? Aku menundukkan kepala, tidak lagi mampu menatap dan mencari keberadaan Sena dan Wilhelmina. Kedua tanganku gemetar, pertanda aku tidak dapat menahan segala kecemasan menumpuk cepat di dalam pikiran. Hatiku terasa teriris, aku sebenarnya ingin menangis, tapi … air mata tidak keluar, aku hanya merasakan pembakaran dalam perasaanku, perasaanku terbakar begitu mengetahui Wilhelmina telah menculik paksa Sena. “Yosh? Yosh?” Aku ketika mendengar suara Fandy memanggilku lewat telepon, ternyata … aku belum sempat mematikan telepon ketika keluar dari lobi. Kudekatkan ponsel yang kugenggam pada telinga kanan untuk menjawab, “Bang–” “Kamu di mana sekarang?” “Di-di … tempat parkir … depan lobi utama.” “Ya udah, Abang ke sana dah.” Bang Fandy menutup telepon. “Mas?” Sentuhan pada bahu kiri sontak membuatku tergerak, apalagi ketika aku menatap wajah seorang pria berkumis tebal berlutut menemuiku. “Ah!” “Kenapa, Mas?” tanya pria tersebut sontak bangkit. Aku ikut bangkit dan menjawab, “A-adik saya … adik saya … adik saya diculik, Mas. Terus … udah jauh dari sini.” “Bapak telepon polisi aja.” Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku. Aku menolak sambil mengangkat tangan, “E-enggak usah, Mas. Sa-saya … udah telepon polisi.” Sekali lagi aku berbohong. “Oh, kamu tenang ya, polisi pasti bakal bantu cari penculiknya,” ucap pria itu sebelum sedikit menjauh. Kalau kupikir-pikir lagi … Wilhelmina … juga datang. Apakah … dia juga ikut Ayah kemari untuk menjemputku dan Sena? Bahkan untuk memaksa kami jika perlu? Mulai dari penjemputan paksa Sena yang kuanggap sebagai penculikan? Inikah … ganjaran akibat kami tidak ingin pulang? Akibat kami menolak permintaan Ayah? Lantas … Ayah mencap diriku dan Sena sebagai anak durhaka hanya karena kami mengatakan kebenaran yang sesungguhnya, apalagi tentang Wilhelmina, istrinya sendiri? Kalau Sena sudah bersama Wilhelmina, tanpa diriku … pasti dia dalam bahaya! Tak dapat kubayangkan betapa dirinya sudah menderita karena sang ibu tiri tanpa diriku di sampingnya. Sena sudah jatuh pingsan gara-gara wanita itu yang kerap kali menyiksanya. Bagaimana kalau … Sena …. “Yosh!” Panggilan Bang Fandy membuyarkan lamunanku. Ketika kutatap Bang Fandy, aku juga menatap beberapa orang yang menyaksikan diriku hanya karena penasaran. Pria yang kutemui tadi juga menjelaskan pada beberapa orang tidak begitu jauh dariku. Kutatap ekspresi dan reaksi mereka begitu pria itu menceritakan inti dari kepanikanku. “Bang, tadi … wanita itu! Ibu tiriku!” aku langsung mengatakan siapa pelakunya. “Tadi … katanya … dia teriak-teriak sambil marah, maksa Sena pulang. Terus … dia mukul satpam yang membujuk mereka pakai sepatu hak.” “Pantasan … tadi … banyak banget suster yang datang ke lobi, ngebawa satpam tadi pakai tempat tidur.” “Bang … emang … ibu tiri … suka nyiksa Sena, apalagi pas Yoshi enggak ada. Yoshi juga enggak ngerti … kenapa ibu tiri juga ikut-ikutan datang ke Surabaya cuma buat ngambil Sena. Padahal … dia enggak datang sama Ayah tadi ke rumah. Mungkin aja … Ayah suruh dia nunggu di mobil biar bisa jemput Yoshi sama Sena. Ini semua udah direncanain! Pas kita … nolak pulang … dia udah jalanin rencananya!” “Yosh,” Bang Fandy menghentikanku, “mending kita cari tempat yang sepi aja, enggak enak kalau banyak orang yang ngelihat.” *** “Di sini aja,” ucap Bang Fandy. Kulihat tidak begitu banyak mobil terparkir di sekitar kami, hampir tidak ada orang yang berjalan di sekitarnya. Dari sini … cukup jauh kalau ingin kembali ke dalam gedung rumah sakit. Bang Fandy memilih tempat ini agar tidak menarik banyak perhatian. Kutatap arah langit, bukan lagi biru, tetapi kelabu dan putih, awan berbentuk kapas seraya menghalangi kebiruan langit dan tembusan sinar matahari, pantas saja tidak terlihat sinar matahari saat aku keluar menuju tempat parkir tadi. “Yosh, Abang telepon Ayah aja.” Bang Fandy telah mengenggam ponsel. “Kita tanya apapun tentang hal ini. Enggak apa-apa, kan?” “Yang penting ada info tentang Sena, cepatan!” bujukku. Bang Fandy menyalakan loudspeaker ketika mulai menghubungi Ayah lewat ponselnya, agar aku juga bisa dengar apapun pertanyaan dan jawabannya. “Mau apa?” Itulah kalimat pertama setelah Ayah mengangkat telepon. “Om, Fandy mau nanya sama Om. Habis dari rumah Fandy, Om kemana?” tanya Bang Fandy. “Om … langsung pulang, emang kenapa? Yoshi sama Sena berubah pikiran?” “Enggak, Om. Justru ada masalah, pasti Om tahu kan?” “E-enggak, emang ada masalah apa?” Bang Fandy mulai mengonfrontasi, “Om, emang Fandy enggak tahu ya? Om mikir bisa maksa Yoshi atau Sena buat pulang setelah ditolak mentah-mentah, pakai ngebantah kenyataan yang udah dibilang Yoshi sama Sena coba?” “Fandy … kamu ngomong apa sih?” “Masih nanya gitu juga, Om? Sena diculik, Om! Diculik!” Setelah hening beberapa lama, baru Ayah mengulang, “Sena diculik? Yang benar?” “Emang, Om!” Ayah memotong, “Tu-tunggu, Sena diculik?” “Terus, Om. Tebak siapa yang menculik Sena? Istri Om sendiri, Tante Wilhelmina!” Bang Fandy mempertegas, bahkan sampai menaikkan nada ketika mengatakan nama pelakunya. “Heh! Jangan fitnah kamu!” bantah Ayah. “Enggak mungkin istri saya berbuat kayak gitu! Lagian, istri saya baik-baik kok sama Sena, apalagi di rumah!” “Masih bantah juga perbuatan istri Om sendiri!” jerit Bang Fandy, “mending Om enggak usah pura-pura lagi deh. Pas Om ke rumah buat jemput Sena sama Yoshi, paling sama Tante Wilhelmina, kan? Hah?” “Tu-tunggu,” Ayah memotong lagi, “saya tidak mengajak istri saya! Saya ke rumah Fandy cuma sendiri saja. Lagian, istri saya sudah menunggu di rumah, nunggu Yoshi sama Sena pulang. Om juga lagi ada masalah. Bikin pusing tahu, Om jadi sakit kepala gara-gara gini!” Telepon pun terputus. Bang Fandy berbicara padaku, “Om Gunawan masih berani membantah kalau Tante Wilhelmina yang sebenarnya sering nyiksa Sena. Ayah macam apa yang enggak peduli anaknya sendiri.” Aku menyimpulkan, “Berarti … Ayah enggak sama ibu tiri.” Bang Fandy membuang napas sejenak, melangkah sedikit sambil mengayunkan kedua tangan demi menenangkan diri sehabis berbicara pada Ayah. Tentu dia juga tidak bisa menerima bahwa Ayah masih tidak ingin menyerap sebuah kebenaran dariku dan Sena. Kupegang keningku sendiri, tidak dapat menahan napas begitu cepat menunjukkan kepanikan. Kalau Ayah tidak tahu di mana Wilhelmina, apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu lagi bagaimana … untuk menemukan keberadaan Sena. Kukepalkan kembali kedua tangan, memikirkan apa lagi cara untuk mengetahui keberadaan Sena. Otakku kini seperti langit yang dirundung awan kelabu, saking cemas dengan keadaan Sena. Aku ingin Sena selamat, dan aku ingin membawanya dengan selamat pula dari cengkraman Wilhelmina …. Karena … aku memang bertanggung jawab atas keselamatan Sena semenjak melarikan diri dari rumah. “Yoshi.” Bang Fandy menyentuh pundak kananku. “Pasti ada jalan. Pasti … Sena kita selamatin. Kita cari sampai ketemu, gimanapun caranya.” “Tapi … gimana caranya? Kita juga enggak tahu di mana Sena sama ibu tiri.” Kuayunkan kepalan tangan kanan seraya melampiaskan seluruh api terpendam di dalam otak. “Yosh.” Bang Fandy kembali menatapku dengan ponsel tetap berada di genggaman. “Gimana, mau manggil polisi aja? Cuma ini satu-satunya cara.” Memanggil polisi? Tidak, kalau aku memanggil polisi, pasti akan ada masalah lagi. Polisi pasti akan lama memproses urusan penculikan seperti ini. Kalau mereka terlalu lama mencari tahu, Sena bisa celaka, apalagi kalau ada di cengkraman ibu tiri. Aku memang tidak percaya dengan polisi dan proses penegakkan hukum di negeri ini sama sekali. “Yosh?” panggil Bang Fandy sambil mengangkat genggaman ponselnya. Aku menggeleng. “Enggak, Bang. Yoshi enggak mau polisi ikut campur soal ginian. Yoshi juga enggak minta bantuan polisi … pas nemu Sena pingsan di rumah, sebelum kabur dari rumah.” “Yoshi, cuma ini satu-satunya cara lho.” Aku menolak tegas, “Enggak! Gimana kalau semuanya udah telat!” “Yosh, coba dulu aja!” tegas Bang Fandy. “Cuma ini satu-satunya cara! Kalau kita nunggu lebih lama lagi, Sena pasti bakal celaka. Semua terserah kamu, Yoshi. Mau Sena selamat atau enggak?” Memikirkan perkataan Bang Fandy, apalagi semua tumpukan kecemasan terasa berat di kepalaku, aku akhirnya mengambil ponsel dari saku celana. Dengan cepat kutekan tombol gagang telepon pada layar. Kutekan nomor 112 menggunakan jempol pada tombol angka telepon. Ketika kugerakkan jempol pada tombol telepon, aku … menggerakkan jempolku, kebingungan apakah ini keputusan tepat untuk menyelamatkan Sena? Kedua tanganku yang menggenggam ponsel juga ikut gemetar, saking tidak bisa membuat keputusan apakah hal ini tepat. “Lho … nomor yang enggak dikenal?” ucap Bang Fandy sontak menghentikan kecemasanku sejenak sebelum mengangkat telepon itu. “Ini siapa?” Aku kembali mengalihkan pandangan pada layar ponsel. Ingin kutekan tombol telepon agar bisa melaporkan kasus penculikan Sena pada polisi, tapi … aku tetap saja tidak bisa melakukannya, jempolku, kedua tanganku, tetap saja gemetar mulai mengeluarkan peluh. “Tante? Tante Wilhelmina? Tante dapat nomor ini darimana!” Ucapan Bang Fandy entah kenapa menghentikanku sejenak dari menatap layar ponselku sendiri. Kutatap Bang Fandy mulai mengerutkan wajah ketika berbicara dengan seorang penelepon. Tunggu … dia bilang Tante Wilhelmina? “Yoshi, dia mau bicara sama kamu.” Bang Fandy menyalakan loudspeaker pada panggilan tersebut. “I-Ibu …,” panggilku ketika aku menunduk pada genggaman ponsel Bang Fandy. “Yoshi.” Itulah suara sang ibu tiri, Wilhelmina, lewat telepon. Aku dan Bang Fandy terdiam sejenak ketika mendengar suara Wilhelmina lewat loudspeaker. Kami bahkan saling menatap dengan bingung dan melongo. Wilhelmina mencuri giliran pertama berbicara, “Oh. Yoshi. Selama ini … kamu tahu kan … apa yang sebenarnya terjadi ketika kamu dan ayahmu tidak ada di rumah?” “Yoshi udah tahu. Sena udah cerita sama Yoshi,” jawabku. Ketika kujawab, kuputar kembali ingatan malam sebelum kami melarikan diri dari rumah, ibu-ibu yang kukira tetangga sebelah menjerit menuduh anaknya mencuri uang sambil menyakiti anak kecil. Kuingat kembali kata-kata mereka berdua, memang ternyata benar sesuai yang kulihat pada kondisi Sena waktu itu. NGAKU KAMU! NGAKU! KAMU YANG NYURI UANG, KAN! SAKIT, BU! SAKIT! AMPUN! NGAKU! NGAKU! “Terus … karena itu … kamu ngajak Sena kabur dari rumah, biar bisa menghindar dari saya? Kamu juga minta bantuan Fandy, sepupu yang kamu juga anggap sahabatmu, bahkan lebih, saudara kandung,” Wilhelmina melanjutkan. “Benar, biar Sena bisa benar-benar aman.” “Aman darimana? Kamu ke luar kota tanpa pengawasan orangtua, pasti repot banget.” Aku mulai berlinang air mata ketika berbicara kembali, “Ibu … Ibu juga … repot-repot ke Surabaya? Cuma buat maksa pulang Sena? Bukan … lebih tepatnya menculik, menculik Sena. Ayah bilang … Ayah enggak tahu kalau Ibu juga ke sini, padahal harusnya di rumah aja, biar Ayah yang jemput Yoshi sama Sena. “Ayah … masih enggak mau nerima kejujuran tentang Ibu terhadap Sena. Ayah juga enggak mau percaya kalau Ibu udah culik Sena. Ibu udah pura-pura baik ke Sena pas aku sama Ayah ada di rumah, emang gampang berpura-pura? Emang … susah nganggap Sena anak Ibu sendiri? Jadi … Yoshi tanya, di mana Sena? Sena baik-baik aja? Sebagai kakaknya, Yoshi harus mastiin Sena baik-baik aja.” “Emangnya takut? Kalau Ibu habis culik Sena, dia enggak bakal baik-baik aja?” “Kalau Yoshi sama Ayah enggak ada di rumah, ya iyalah!” Kudengar suara Wilhelmina menyeringai, “Hm, tentu saja kamu harus takut. Sena habis Ibu kurung di sebuah bangunan yang telah terabaikan, setidaknya dia baik-baik saja. Tapi … kalau kamu ingin bertemu Sena kembali, kamu harus cari Ibu dulu, cari bangunan yang kami tempati. Ibu beri kalian waktu, secepatnya, karena … Ibu ingin berbicara padamu, tatap muka. Satu hal lagi … Ibu beri waktu sampai malam. Kalau kamu tidak datang juga atau … kamu libatkan polisi… Ibu siksa saja sampai dia tidak bisa mengembuskan napas lagi.” “Astaga!” ucap Bang Fandy. “Kamu punya batas waktu, takkan Ibu kasih tahu berapa lama. Ibu tidak suka menunggu lama, kalau perlu, kulampiaskan ketidaksabaran Ibu pada Sena, hingga dia puas menjalani hukumannya.” Wilhelmina menutup percakapan “AAAAAH!!” jerit Bang Fandy melampiaskan amarahnya. “Dasar wanita goblok!!” Dia sampai mengayunkan kaki ke udara menuju jalan aspal, tenaganya dia kerahkan hingga jalan aspal berbunyi. “Ibu macam apa dia yang mau nyiksa anaknya sendiri, anjing!” Aku berlutut menatap jalan aspal. “Se-Sena ….” #25: Melacak Aku dan Bang Fandy sudah kembali di depan ruang operasi dekat UGD setelah apa yang telah terjadi. Aku tetap saja tidak dapat menenangkan diri setelah mendengar ancaman dari ibu tiri terhadap Sena. Ibu tiri memberi batas waktu sampai malam, aku harus menemukan keberadaan mereka, jika tidak … Sena … akan terancam. Kugetarkan kaki kanan tidak bisa mengalihkan pikiran, kuhadapkan kedua tangan pada mulut sambil berharap-harap cemas terhadap keadaan Sena, apalagi ketika bersama sang ibu tiri. Aku tahu sendiri Sena akan seperti bagaimana kalau aku dan Ayah tidak ada di rumah, apalagi di luar rumah. Bang Fandy juga kebingungan harus bagaimana untuk membantuku, selain menatap dari jendela pintu proses penjahitan luka pergelangan tangan Bina. Ponsel tetap berada di genggaman tangan kanannya. Kulihat dia menghela napas, tidak dapat menerima kejadian Sena. Sudah kurang lebih satu setengah jam kami menunggu penjahitan luka sayatan pergelangan tangan Bina berlangsung, dan juga … Bu De Soraya selesai menjawab seluruh pertanyaan dari dokter, layaknya diinterogasi detektif atau polisi. Aku berpikir pasti Bu De Soraya menjawab seluruh pertanyaan dengan jujur hingga beberapa dokter dibutuhkan untuk mengorek informasi lebih lanjut demi sebuah diagnosis. Kalau Bu De Soraya memang sudah selesai, bagaimana aku menjawab pertanyaan seperti Sena mana? Tidak mungkin aku bilang Sena diculik, sangat tidak mungkin. Aku juga harus meyakinkan Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila agar jawabanku masuk akal. Baru saja kupikirkan bagaimana jadinya, Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila akhirnya kembali menemui kami di depan ruang operasi dekat UGD. Kutatap raut wajah Bu De Soraya menuju ke bawah, air matanya juga memang keluar begitu banyak. Mengapa? Apa para dokter yang bertanya seperti menginterogasi? “Bu,” Bang Fandy menemui Bu De Soraya. Bu De Soraya kembali duduk sambil menggeleng ingin menahan tangisan. “Fandy.” Aku juga ikut bangkit dan menemui beliau. “Bu De ….” “Oh ya, Sena mana?” tanya Mbak Shilla. “Sena … lagi di toilet,” jawabku mencoba untuk berbohong sekali lagi, “dia bisa ke toilet sendiri, enggak usah ditemanin katanya.” Pandangan kami teralihkan ketika pintu ruang operasi terbuka begitu lebar, mengungkapkan beberapa dokter mulai menggiring tempat tidur Bina keluar dari ruangan itu. Terlihat pula Bina masih menutup mata. “Dok!” panggil Bu De Soraya mengikuti para dokter tersebut. “Oh ya, kalau boleh tahu, ditanyain apa aja tentang Bina?” Bang Fandy bertanya pada Mbak Shilla ketika Mbak Mila sudah duluan mengikuti Bu De Soraya. “Um … gini … tadi ditanyain … gimana aja Bina di rumah, terus … kenapa Bina jadi kayak gitu juga sih, ya semacam latar belakangnya. Terus … Ibu juga ngerasa bersalah … habis … kayak disalahin dokter gitu, makanya jadi nangis.” “Terus … Bina gimana kesimpulannya? Dia kena apa?” tanya Bang Fandy. “Berdasarkan apa yang kami bilang ke dokter … dia … menderita gangguan makan sama … pokoknya apalah, depresi atau semacamnya, sebenarnya enggak nyangka juga Bina kena kayak gitu, apalagi gangguan makan.” Gangguan makan? Bina kena gangguan makan? Apa dia tidak ingin makan setiap kali dipanggil makan di rumah? Apalagi makan malam? “Katanya … kata … Mila … Bina pernah muntah habis makan malam. Ya … jadi kelihat kurus gitu Bina.” Bang Fandy mengangguk. “Oh … Abang juga enggak nyangka bakal jadi gini. Mbak Shilla, Fandy … sama Yoshi kayaknya pulang aja dulu … Sena … katanya mau pulang habis ke toilet.” Dia juga berbohong demi diriku dan Sena. “Oh … begitu.” Mbak Shilla menyerahkan kunci rumah pada Bang Fandy. “Kayaknya aku juga bakal nyusul malam. Ibu sama Mbak Mila juga … bakal di sini dulu, buat … nemanin Bina. Kalian hati-hati ya.” “I-iya,” jawab Bang Fandy ketika Mbak Shilla berlalu menuju selasar rumah sakit sambil menggenggam ponselnya. Bang Fandy dengan cepat menemuiku sambil tetap menggenggam ponselnya. Sementara aku … hanya terdiam menatap Mbak Shilla meninggalkan kami. Aku juga tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan demi menyelamatkan Sena dari cengkraman sang ibu tiri. “Yosh. Abang nemu di mana Sena,” ungkap Bang Fandy. “Bang, gimana caranya? Ya, Sena udah enggak tahu di mana. Lagian, Ibu juga enggak ngasih tahu di mana tempatnya!” Aku benar-benar tidak tahu karena itu kenyataannya. “Abang udah coba lacak nomor yang tadi. Mungkin … mereka ada di situ. Ya … Abang juga coba cari pelacak nomor lewat Google. Semoga aja mereka ada di sana.” “Gimana kalau mereka … maksud Yoshi … Sena enggak ada di sana? Gimana kalau ponselnya ditinggalin segala?” Aku benar-benar ragu. “Makanya, Yosh. Kita coba dulu aja. Ayo!” usul Bang Fandy. *** Aku dan Bang Fandy tiba menggunakan taksi online yang telah kami pesan. Cukup aneh ketika kami mengajukan lokasi tujuan yang sama sekali tidak kami kenal, apalagi mengatakan sebuah tujuan untuk menyelamatkan Sena. Kami pun meminta supir mengemudi secepat mungkin menuju tujuan. Begitu kami menatap lokasi yang tertera pada pelacak nomor ponsel tadi dari kejauhan, kulihat sebuah bangunan kotak berdinding seperti jeruji, tanpa ada atap yang menonjol. Bisa kubilang gedung itu adalah gudang yang telah lama terabaikan. Tanah tandus juga kuinjak ketika meninggalkan jalan mendekati gedung itu. Kulihat juga langit telah berubah menjadi oranye, matahari tengah meluncur ke bagian bawah langit bersiap untuk transisi menuju kegelapan. Aku tidak menyangka dalam perjalanan akan begitu macet. Kami tidak enak meminta supir untuk mempercepat demi keadaan darurat. “Jadi … Yoshi yang masuk ke bangunan itu aja, buat mastiin kalau ada Sena sama ibu tiri. Bang, kalau misalnya Yoshi sama Sena enggak keluar atau ada apa-apa, mending masuk aja, terus tolong Yoshi sama Sena,” usulku. “Whoa, Yosh, bahaya lah. Kenapa enggak gini aja? Kita masuknya bareng-bareng, terus … kita selamatin Sena dan keluar dari sini. Atau gini aja, Abang yang masuk, terus … kamu–” “Enggak apa-apa, Bang. Yang penting … Yoshi pengen lihat Sena masih aman di sana,” kuyakinkan Bang Fandy, “paling enggak, Ibu pengen ketemu Yoshi di sini. Yoshi juga pengen ngomong sama Ibu.” “Yosh–” “Segala sesuatu pasti ada penyebabnya, kan? Yoshi pengen tahu kenapa Ibu tega banget nyakitin Sena. Akan lebih cocok kalau Yoshi yang ngomong sendiri sama Ibu.” Bang Fandy menarik napas sejenak. “Oke, Yosh. Hati-hati.” Aku mengangguk ketika mendekati pintu bangunan itu, kulihat juga dua jendela yang menunjukkan bagian dalam darinya. Ketika kupegang gagang pintu, kulihat wajah Wilhelmina telah mengawasiku. Kubuka pintu perlahan, sedikit mengintip isi bangunan itu, gelap, tanpa ada penerangan kecuali hanya jendela kaca. Hanya ada sedikit barang yang terlihat di dalam bangunan itu, terutama patahan kayu dan kursi. Begitu kubuka pintu dengan lebar dan memasuki bangunan kecil itu, kulihat … Wilhelmina menemuiku. Wajahnya … begitu datar, tanpa perlu ada ekspresi, seperti seorang predator yang tengah akan memakan sang mangsa. Tubuhku … seperti mendidih ketika menatap wajahnya. Kualihkan pandanganku …. Sena! Kulihat Sena! Sena telah duduk menghadap Wilhelmina yang membelakanginya. Kulihat juga tali yang mengikat dada, kaki, dan tangan agar tidak bisa lolos dari bangkunya. Mulutnya juga tertutup oleh lakban hitam. “Dia belum mati.” Wilhelmina menganggukkan kepala pada Sena. “Ke-kenapa? Kenapa Ibu tega kayak gini?” ucapku. #26: Konfrontasi “Tutup pintunya dengan rapat.” Itulah jawaban dari sang ibu tiri terhadap pertanyaanku. “Ibu mau ngomong baik-baik sama kamu, Yoshi.” Tubuhku masih terasa mendidih ketika kututup pintu, berada di bangunan yang sama bersama sang ibu tiri, apalagi Sena. Aku benar-benar murka atas perbuatan terhina oleh sang ibu tiri. Aku tidak percaya kalau kepercayaanku dan Ayah terhadap sang ibu tiri telah dia salah gunakan, alih-alih menyayangi kami persis seperti mendiang Ibu dulu, justru malah menyiksa Sena selagi aku dan Ayah tidak ada di rumah. Lalu … dia semacam menjebak Sena agar dia bisa disalahkan Ayah sepenuhnya, terutama ketika dia dituduh mencuri uang. Sungguh, ibu tiriku … sama seperti di kebanyakan cerita, sesuai dengan stereotip, sigma, dan citra tokoh ibu tiri, terutama di kebanyakan dongeng maupun sinetron. Memang, dia adalah seekor serigala predator di dalam bulu domba yang lemah tak berdaya. “Ceritain semuanya, terus … lepasin Sena.” Aku berhadapan kembali dengan sang ibu tiri. “Kamu tahu segalanya, kan? Tentang kami berdua?” Ibu tiri menunjukkan kursi di dekat Sena dengan menganggukkan kepala. “Duduk aja dulu, Ibu mau ngomong baik-baik dulu.” Kutarik napas dalam-dalam seraya menahan ledakan emosiku yang mendidih, wanita itu … menghindari pertanyaanku dan seperti tidak ingin melepas Sena meski aku sudah tiba di tempat ini. Kuhentakkan kaki sebelum menempati kursi di dekat Sena. “Sena. Yoshi udah di sini,” bisikku pada Sena yang sudah mengeluarkan air mata, “kita bakal keluar dari sini. Kamu tenang ya.” “Emang enggak bisa ngerti ya? Anak-anak kayak Sena.” Wilhelmina mengambil tali pada ujung dalam bangunan di belakang kami. “Memang anak-anak zaman sekarang pada manja, pasti bergantung sama Ibu sama Ayah. Makanya … Sena harus belajar gimana rasanya … gimana kalau jadi manja terus, berulang kali meminta bantuan Ibu. Orang yang manja pasti banyak penderitaannya.” Wilhelmina menemuiku sambil menunjukkan tali yang dia genggam erat. Dia … memutarkan tali itu pada tubuhku dan mengikatnya, agar aku tidak dapat lolos dari bangku. Apa-apaan ini? “Sementara kamu … kamu kan udah gede. Kamu udah berani menghindarkan Sena dari segala hal penderitaan yang akan dialami orang dewasa, apalagi kelak … kamu bakal begitu menderita setelah beranjak dewasa. Kamu memang masih SMA, berani banget ke luar kota, enggak bareng Ayah sama Ibu.” “Se-Sena masih anak SD, jadi … Sena juga masih kecil. Wajar kalau Yoshi sendiri yang jelasin. Sena udah kesiksa kalau pakai cara Anda, emangnya … Anda tidak tega melihat anak sendiri nangis meminta tolong selagi Anda menyiksanya? Apa itu yang dinamakan penderitaan orang dewasa?” “Oh ya. Sebenarnya … Ibu hanya mengincar ayah kalian. Ibu udah jatuh cinta sama ayah kalian. Sebenarnya … begitu tahu ayah kalian memiliki dua anak, memang, ini menyakitkan. Sejak dulu, Ibu tidak peduli sama kalian sebagai anaknya, apalagi anak Ibu sendiri. Ibu … pengen terus erat dengan ayah kalian, kalian hanyalah sebagai penghalang, jadi harus dibasmi.” “Ma-maksud Anda … Anda–” ucapku tertegun. “Benar. Ibu bakal membasmi kalian, seakan-akan kalian telah bunuh diri, sehabis dimarahi Ayah.” Aku mulai meledakkan emosi. “Kenapa! Kenapa! Yoshi udah percaya! Yoshi udah percaya Anda bisa jadi seperti mendiang Ibu dulu! Seenggaknya mendekati lah! Ayah juga udah percaya Anda! Lama kelamaan … pasti bakal ketahuan lah kalau Anda yang akan membunuh kami! Apalagi menyiksa Sena!” “Kamu juga bakal ketahuan, kan? Kamu juga sudah menyembunyikan rahasia. Kamu enggak pengen Bu De Soraya, Mbak Shilla, Mbak Mila, apalagi saudara terdekatmu sendiri, Mas Fandy, tahu, kan? Kalau kamu sebenarnya membawa Sena kabur dari rumah, jauh ke luar kota malah, gara-gara Ayah dan Ibu tiri kalian. “Ibu tahu … hal ini akan terjadi. Ibu sengaja membuntuti Ayah kalian yang rela mangkir setelah jadi tersangka korupsi hanya untuk menjemput. Faktanya, Ayah kalian tidak tahu Ibu ada di sini, di Surabaya, sekarang.” “Gimana caranya Anda membuntuti Ayah? Padahal mobil di rumah cuma ada satu!” jeritku. Wilhelmina bangkit begitu menatap diriku merasakan kesakitan akibat gesekan tali pada kulit lengan dan kaki. Kutatap mulutnya menjulur ke atas, begitu menikmati penderitaan kami, seperti sedang menyandera dan mengancam untuk membunuh. “Ibu punya mobil di rumah Ibu sendiri.” “Terus … gimana Anda bisa mengikuti mobil Ayah kalau gitu!” “Udah cukup ngomongnya.” Wilhelmina melangkah kembali menuju belakang kami. “Sena.” Kutatap ke belakang, oh tidak! Wilhelmina sudah mengambil cambuk jalinan tali hitam! Sial! Sekarang apa? Wilhelmina kembali menghadapi kami tatap muka. “Yoshi, kamu tahu kan … Sena disiksa pakai sapu? Sekarang … Ibu akan menggunakan ini, layaknya hukuman di Aceh. Sena akan kuhukum mati. Kucambuk dia sampai mati.” Sena mulai meronta-ronta dan meledakkan jeritannya. Kulihat air matanya semakin meledak seiring dia menggelengkan kepala. Meski kata-katanya tidak jelas, sudah jelas kalau dia tidak ingin terancam seperti ini! “Tunggu! Jangan!” jeritku. “Daripada cambuk ke Sena, mending cambuk aja Yoshi!” “Kamu berani bilang gitu juga. Baik, Ibu bakal cambuk kamu sampai mati!” Wilhelmina mulai menggenggam erat cambuknya ketika menghadapi diriku. Kulihat pintu terbuka pelan, berarti … Bang Fandy? Bang Fandy akan masuk. Aku mengalihkan perhatian Wilhelmina terlebih dulu. “Sebenarnya … Anda … udah nyiksa diri sendiri. Habis nyiksa, pasti ada penyesalan, kan? Asal Anda tahu, kalau Anda terus-terusan kayak gini, Anda pasti bikin luka ke diri sendiri tahu.” “Mending diam aja. Kamu bakal bikin Sena lihat kamu mati, mati di tangan ibu tirinya sendiri. Terus … kamu udah enggak bisa apa-apa buat ngelindungi Sena. Ibu yang akan ngurus itu.” “HAA!” jerit Bang Fandy mengayunkan gagang kayu tepat pada kepala Wilhelmina. Wilhelmina terlambat bereaksi begitu berbalik menghadapi jeritan Bang Fandy. Dia akhirnya tumbang ke lantai dan menjatuhkan cambuknya. “Bang!” jeritku ketika dia berlutut melepas seluruh ikatan tali padaku. “Dibilang kalau ada apa-apa–” “Kamu jerit lah!” Bang Fandy menjauhkan ikatan tali dariku. Begitu ikatan tali padaku telah lepas semua, aku temui Sena dengan cepat. Kubantu lepas ikatan tali pada tubuhnya dan melepas lakban yang telah menutup mulutnya. Kutatap juga air matanya semakin banyak mengalir. “Kakak!” Sena mengikat tubuhku seraya memeluk. “Sena, Kakak di sini. Udah, kita udah aman.” Kucoba menenangkan Sena. “Kakak!” jerit Sena lagi. Begitu Sena kembali meledakkan air matanya, sebuah suara seperti ledakan meluncur menuju telinga. Aku dan Bang Fandy berbalik menyaksikan pintu sudah tertutup rapat. Dan … Wilhelmina sudah tidak ada di hadapan kami! “Sialan!” jerit Bang Fandy mendekati pintu. “Wanita brengsek!” Bang Fandy menggoyangkan gagang pintu berkali-kali. Pintu pun sama sekali tidak terbuka. Terkunci! Dia juga membanting kepalan tangan pada pintu seraya mengetuk meminta keluar. “Hei! Hei!” Bang Fandy membanting tendangan pada pintu ketika tidak berhasil meminta sang pelaku untuk membukakannya, bahkan berkali-kali. “Kak ….” Sena menunjuk sebuah cairan yang melewati bawah pintu. Bang Fandy berhenti meledakkan tendangan pada pintu. Dia berlutut menyentuh cairan yang telah mengalir menuju dalam bangunan melewati bagian bawah pintu. Cairan bening seperti air? “Itu apa?” tanya Sena. “Bensin.” Bang Fandy mendekatkan tangan bercairan itu pada hidung. Bang Fandy mendorongku dan Sena menghindari cairan itu. Aku dan Sena tersentak menjerit kaget, apalagi setelah cairan bensin itu benar-benar meledak mengeluarkan kobaran api, membakar bagian depan bangunan yang tengah kami tempati. “AAAAH!” jerit Sena menyaksikan api mulai berkobar menambah ukurannya. Sena pun mendekatiku. Kupegang tangannya begitu erat sambil menyaksikan kobaran api mulai menyebar selagi kami berlari menuju bagian belakang bangunan sebagai upaya menyelamatkan diri. Bang Fandy mengambil patahan kayu yang dia telah gunakan untuk memukul kepala Wilhelmina. Dia ayunkan kayu itu seraya melempar menuju tepat pada jendela agar kami dapat meloloskan diri. Namun … kayu itu sama sekali tidak mengenai kaca, melainkan dinding di hadapan kami yang ikut terbakar. Aku menutup mulut mengeluarkan embusan asap dari pernapasan melalui batuk, asap juga mulai menyebar seiring kecepatan api bertambah. Dinding di hadapan kami, bagian depan bangunan, di ambang api besar, warna oranye kemerahan telah melahap warna putih padanya. “Enggak apa-apa, semuanya baik-baik aja.” Tentu saja hal yang kukatakan tidak sesuai apa kata hatiku. Aku mencoba menenangkan Sena, pasti ada jalan keluar. Bang Fandy berbalik menatap dinding tepat di belakang kami. Dia mengayunkan kaki dan menjadikan tenaganya sebagai sebuah tendangan, mungkin ini harapan terakhir kami agar bisa lolos dari ambang api. Aku memalingkan pandangan ketika terdengar sebuah suara retakan. Bang Fandy telah melubangi dinding itu berkat tendangannya sekuat tenaga. Tapi … keringatku mulai bercucuran ketika panas dari api semakin berhamburan di dalam bangunan, batukku juga semakin banyak saking banyak asap yang telah kuhirup. “Tripleks?” Bang Fandy menyimpulkan asal buatan dari dinding itu. “Kak! Kita bakal mati!” Tangisan Sena semakin meledak meski asap telah menyebar. “Uhuk! Kita bakal mati!” “Udah, Sena, tenang.” Aku menepuk bahu Sena sambil merasakan getaran pada tanganku. Begitu lama untuk memproses semuanya, apalagi di dalam pikiranku. Adrenalinku melonjak kencang hingga tidak terkendali, kepalaku semakin pusing, peluhku semakin banyak bercucuran pada kulit, tidak dapat menahan di ambang api, apalagi begitu panas. Bang Fandy mengerahkan seluruh tenaga dan menyalurkannya pada tendangan demi menghancurkan dinding tripleks bagian belakang bangunan. Begitu lubang mulai muncul berkat tendangannya, dia menyalurkan tenaga sekuat mungkin pada pukulan, meski asap sudah mulai berkumpul. “Cepat, Bang!” jeritku ketika menatap api sudah mulai mengepung hampir seluruh dalam bangunan. “AAAAAAAARRGH!” jerit Bang Fandy menubrukkan tubuhnya menuju dinding tripleks yang telah dia lubangi. Aku tertegun ketika melihat Bang Fandy terjatuh begitu lubang sudah dia buat pada dinding tripleks. Setidaknya, lubang itu setara dengan jalan keluar seukuran kami, sungguh pas. Kulihat Bang Fandy merangkak meninggalkan lubang itu agar kami dapat keluar. “Sena, duluan!” sahutku menyuruh Sena keluar terlebih dahulu. Setelah Sena berlari melewati lubang itu untuk meloloskan diri, aku menutup mulut dan hidung menggunakan telapak tangan kanan sambil mengambil ancang-ancang. Kulihat sekeliling api tengah mendekati lubang yang telah Bang Fandy buat. Aku akhirnya mengempaskan tenaga untuk berlari keluar dari bangunan kecil yang telah terbakar itu. Begitu kulihat tanah tandus sebagai injakan dan Bang Fandy serta Sena seraya menjauhi bangunan itu, aku merobohkan diri, berbaring sambil batuk beberapa kali mengeluarkan asap. “Pada enggak apa-apa, kan?” Bang Fandy menemuiku dan Sena sambil memegang bahu kirinya. “Kak … Bang ….” Sena kembali menggelengkan kepala, sekali lagi tangisannya meledak. “Sena.” Bang Fandy berlutut mendekati Sena. Sena mengikat erat tubuh Bang Fandy menuju pelukannya. “Sena kira kita bakal mati! Sena enggak mau mati! Sena enggak mau mati!” Napasnya mulai terengah-engah semakin banyak ledakan air mata mengalir pada wajah. Aku secara perlahan mendekati Sena yang tengah memeluk erat Bang Fandy, mendengar ledakan tangisannya. Sena … dia sudah terancam mati dua kali, pertama … saat aku menemukannya sebelum melarikan diri dari rumah sehabis tersiksa Wilhelmina, kali ini … pelakunya sama, Wilhelmina, bukan hanya ancaman cambuk mati tetapi juga bakar hidup-hidup. Wilhelmina … pasti dia melarikan diri sehabis membakar bangunan tempat mengurung Sena. Dia bukan hanya mencoba untuk membunuh Sena lagi, tetapi juga diriku dan Bang Fandy. Lega, murka, dan kecewa, semua perasaan itu membuat otakku pusing. Aku benar-benar marah, sangat marah hingga harus kupukul tanah tandus. Wilhelmina tak boleh lolos begitu saja! #27: Sebuah Keputusan Ketika langit berganti dari campuran warna oranye, biru, dan putih menuju hitam, yaitu waktu kami menenangkan diri dari perbuatan tanpa ampun dari Wilhelmina yang baru saja mencoba untuk membasmi, kami akhirnya tiba kembali di rumah Bu De Soraya setelah sekali lagi menggunakan taksi online. Kami telah mencoba untuk diam, tanpa ada kata atau suara yang membahas Wilhelmina, di dalam taksi online yang kami tumpangi. Kami tentu tidak mau supir merasa iba begitu mendengar percakapan itu. Sena juga … menahan diri untuk berbicara, mungkin sehabis dia memendam sebuah trauma akibat tadi. Perjalanan pulang … terasa sunyi memasuki malam hari. Setelah membyar ongkos taksi online, kami akhirnya kembali memasuki rumah. Tak lama, Sena langsung melesat menuju kamar Mbak Mila. Dia berlari melewati tangga sambil kembali meledakkan tangisannya, kejadian tadi masih membekas di dalam pikirannya. Mungkin Sena hanya butuh waktu untuk sendiri, menerima situasi saat ini, begitu juga denganku. Aku melangkah pelan melewati tangga menuju kamar Bang Fandy. Lampu sama sekali tidak kunyalakan, kegelapan hanya yang kuinginkan sesuai kata hati sekarang. Kubantingkan tubuh menuju tempat tidur, berbaring tengkurap, kepala menabrak bantal. Aku … masih memikirkan apa yang baru saja Wilhelmina lakukan, tega sekali menculik Sena sampai-sampai ingin membunuhnya, dia mencoba untuk membunuhku dan Bang Fandy juga. Ketika kupikirkan kembali perkataan Wilhelmina saat bertemu semenjak melarikan diri dari rumah, itulah kenapa pikiran seperti terbanting dan terombang-ambing. Memang, yang kukatakan kejujuran atau kebenaran akan terungkap lama-lama, tapi … aku masih saja menyembunyikan fakta kalau aku melarikan diri dari rumah demi menghindari Ayah dan Wilhelmina pada Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila. Memang benar, aku selama ini sering berbohong, Bang Fandy juga sering membantuku untuk mengatakan sebuah kebohongan pada Bu De Soraya. Kukatakan kalau Ayah memintaku dan Sena untuk menginap di rumah Bu De Soraya sebagai sebuah fakta yang benar-benar fiktif. Untunglah, Ayah tadi pagi datang saat Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila tidak ada di rumah, hanya untuk menjemput paksa diriku dan Sena. Kalau saja mereka tahu kenyataan itu, aku … bahkan tidak tahu harus berkata apa lagi untuk membela diri. Kuletakkan tangan pada kedua mata, hanya ingin memaksa diri untuk terlelap ke dalam mimpi. Kalau bisa, aku hanya ingin menganggap kenyataan ini sebagai sebuah mimpi, tapi tidak bisa, inilah kenyataan. “Yosh?” Kudengar suara Bang Fandy yang melangkah memasuki kamar. Kudengar pula pijakan tombol lampu oleh jari Bang Fandy seraya menyalakan penerangan pada kamar. Mataku yang tertutup seperti terkilat kilasan cahaya merah begitu lampu telah menyala. Aku masih ingin berbaring, tidak ingin bangun dari tempat tidur. “Yosh, kamu coba lihat.” Bang Fandy menepuk pundak kananku. Aku menggerakkan kepala menatap Bang Fandy. “Bang, Yoshi mau sendiri dulu.” “Yosh, ini penting, ayah kamu! Om Gunawan! Om Gunawan ditangkap!” Aku tersentak bangkit menuju posisi duduk, Ayah telah ditangkap polisi? Lagi? Polisi telah menemukan Ayah di Surabaya? Tidak! Kenapa? Kenapa? Kulihat judul artikel di salah satu situs berita terkenal yang terpampang pada layar ponsel Bang Fandy. Tidak! Kenapa? Perasaan apa ini? Kenapa? Kenapa aku tidak bisa menerimanya lagi? Padahal … Wilhelmina seharusnya berada di posisi Ayah! Aku … benar-benar ceroboh, sangat ceroboh. Ketika kupikirkan keputusan untuk melarikan diri dari rumah, tanpa perlu bantuan polisi, hanya karena aku tidak percaya dengan proses hukum di negeri ini, aku … pikiranku … lagi-lagi menumpuk menjadi sebuah badai. “Yosh?” panggil Bang Fandy. Aku menggelengkan kepala sambil mengeluarkan air mata. “Bang. Yoshi … kepikiran … kalau emang Bu De Soraya, Mbak Mila, sama Mbak Shilla tahu, tahu kalau Yoshi sebenarnya kabur dari rumah. Kalau aja Yoshi enggak bohong kayak gini … atau enggak … paling enggak nelepon polisi pas Sena di culik, atau enggak … pas mau kabur dari rumah, pasti enggak bakal jadi kayak gini. “Yoshi juga pasti enggak bakal ngerepotin Abang. Abang udah rela bantuin Yoshi dari awal buat ngelindungi Sena, terus juga … repot-repot biarin Yoshi sama Sena numpang di kosan Abang, terus di sini, rumah Bu De. Maafin Yoshi, Bang. Maafin.” Aku menempatkan tangan kanan pada mata, tidak dapat menahan hujan air mata yang semakin membasahi wajah. Aku benar-benar sudah tidak enak telah melibatkan Bang Fandy, apalagi ketika kami hampir mati terbakar hidup-hidup oleh Wilhelmina. “Bang, Yoshi bakal nelepon polisi, ngejelasin semuanya yang udah terjadi.” Aku menghela napas sambil menutup wajah. “Ini udah kerasa sia-sia. Ibu tiri jadi tahu di mana kita. Yoshi enggak mau kalau dia bebas berkeliaran cari Sena. Sena enggak bakal aman.” “Yosh, kamu yakin? Yakin mau lapor polisi soal ginian?” tanya Bang Fandy. Aku menjawab setelah menarik napas, “Tapi … Yoshi enggak yakin apa ibu tiri … bakal dihukum sama polisi dan proses hukum. Yoshi juga enggak percaya … sama polisi, prosesnya lama, ujung-ujungnya … nanti malah bebas, yang enggak bersalah, malah disalahin.” “Yoshi,” ucap Bang Fandy, “udah, coba dulu aja. Atau … mau bilang dulu ke Mbak Mila sama Mbak Shilla? Mau ke ibu Abang?” Aku menggeleng. “Yoshi masih mikir gimana cara nyampaiinnya. Besok … kita ke rumah sakit lagi … atau … kita langsung ke polisi aja. Bang … bantu Yoshi … buat nyampaiin semuanya yang udah terjadi. Yoshi … makin enggak enak udah ngerepotin sama nyembunyiin semuanya.” “Udah, Yosh, mending tidur dulu aja deh. Besok pagi kita pikirin aja baik-baik. Besok kita bilang semuanya ke Ibu, Mbak Mila, sama Mbak Shilla di rumah sakit.” “Ah …. Aku udah pusing banget mikirin segalanya.” Aku kembali berbaring. “Yosh.” Bang Fandy merangkul bahuku ketika berbaring. “Abang … mikir manggil polisi juga keputusan yang tepat, kita laporin Wilhelmina ke polisi besok.” *** “Yosh! Bangun!” Bang Fandy menggoyang-goyangkan tubuhku. “Apa sih?” ucapku membuka mata. “Wilhelmina ada di luar rumah! Dia SMS!” seru Bang Fandy. Aku terhentak bangkit dari berbaring, kuambil ponsel Bang Fandy dari genggamannya dan membaca SMS itu. Saya tahu kalian ada di dalam situ! Saya di luar rumah Bu De Soraya! Lagi-lagi … pikiranku … kembali penuh badai ketegangan, napasku juga mulai terengah-engah, mulutku juga terbuka tidak terkendali, aku … panik. Wilhelmina tahu kami telah kembali ke sini, rumah Bu De Soraya! “AAAH!” jeritku melampiaskan semuanya. “Yosh! Yosh! Udah, tenang!” Bang Fandy menahan ayunan kepalan tanganku. Aku menggelengkan kepala tidak dapat menerima hal ini lagi. “Kenapa dia masih ngikutin sih! Padahal kita udah lolos! Dia mencoba untuk bunuh kita semua! Terutama Sena! Sena udah disiksa habis-habisan! Yoshi cuma pengen melindungi Sena, Yoshi cuma pengen kasih pelajaran sama Ayah sama Ibu. Tapi … ibu tiri … enggak mau capek-capek juga ngejar kita. Bahkan habis Ayah ditangkap polisi. Sekarang … dia di sini, terus … harus gimana lagi! Apa harus ketemu secara langsung sama bicarain lagi!” “Yosh, ini saatnya!” Bang Fandy menepuk kedua bahuku. “Kita manggil polisi sekarang aja.” Aku kembali menggeleng. “Enggak, Bang. Gimana–” Suara bel rumah memotong perkataanku, begitu nyaring hingga aku lupa bahwa Sena mungkin baru saja bangun dan akan membuka pintu pagar. Entah kenapa … bel pun baru berbunyi sekarang, karena … sebelum bangun … sama sekali tidak ada bel. “Yosh, kamu ke Sena. Bang Fandy bakal ngurusin ginian. Kamu yang manggil polisi aja. Ayo.” *** Aku telah menghubungi polisi begitu kutemui Sena di kamar Mbak Mila. Kini … kami tengah berdiri di balik jendela dekat pintu rumah menyaksikan sebuah ledakan adu mulut antara Wilhelmina dan Bang Fandy. Kulihat dari arah jendela, Wilhelmina semakin menunjuk-nunjuk Bang Fandy dan menjerit memaksa ingin masuk untuk menjemput Sena dan aku, terlepas apa yang kemarin dia perbuat, dari menculik hingga mencoba untuk membunuh kami. “Tante, ini Fandy baik-baik lho! Fandy tahu apa perbuatan Tante sama Yoshi dan Sena, udah diceritain semuanya.” “Enak aja! Apa-apaan kamu! Kamu ini fitnah!” “Enggak, Tante! Itu yang terjadi sebenarnya! Mending Tante pergi aja dari sini–" “MINGGIR!” jerit Wilhelmina meledakkan suara berapi-api. “MINGGIR! Saya mau jemput anak saya! Anak saya harus pulang!” “Kak ….” Sena menarik kaosku sambil menggeleng. “Enggak mau, enggak mau pulang sama Ibu itu!” “Sena, tenang, udah.” Aku menepuk punggung Sena mencoba untuk menenangkan. “Sena! Yoshi! Buka!” bentak Wilhelmina mendekati pintu. “Udah kelihatan kalian di situ!” “Tante, Fandy ngomong baik-baik lho!” Bang Fandy mencoba menghalangi dengan bergerak cepat membelakangi pintu. “Tante enggak dengar juga, Yoshi sama Sena enggak mau ketemu sama Tante lho.” “Enggak bisa gitu! Saya ibunya! Suka atau enggak, enggak bakal ganti fakta bahwa saya yang bertanggung jawab untuk mereka!” bentak Wilhelmina lagi. Sebuah langkah kaki tambahan turut mengagetkan kami, akhirnya … yang kami telah tunggu semenjak Bang Fandy menghadapi Wilhelmina di halaman rumah telah tiba. Kulihat tiga orang polisi berseragam melewati gerbang pagar mendekati Wilhelmina. Salah satu dari polisi itu berkata ketika Wilhelmina berbalik menghadapi mereka, “Nyonya Wilhelmina, Anda ditahan karena kami mendapat laporan bahwa Anda telah memaksa masuk rumah tanpa izin.” “Tu-tunggu! Ini apa-apaan!” Wilhelmina menolak ketika polisi berseragam itu menahan erat kedua tangannya. “Anda berhak untuk diam.” Salah satu polisi memasangkan borgol pada kedua tangan Wilhelmina. “Ini apa-apaan! Lepasin!” jerit Wilhelmina mencoba untuk melawan. Kubuka pintu dengan rapat ketika Wilhelmina mulai terseret oleh polisi melewati gerbang pagar. Aku mengentakkan langkah dengan cepat mendekati polisi, aku hanya ingin menyampaikan hal yang belum kusampaikan lewat telepon sama sekali. “Pak! Beliau yang telah menyiksa Sena. Beliau … juga coba buat bunuh kami,” ucapku. “Ini salah paham, Pak! Dia bohong! Dia bohong!” jerit Wilhelmina saat dirinya tengah dipaksa masuk ke mobil polisi. “Enggak! Enggak!” “Sena!” Bang Fandy kembali menemui Sena yang akhirnya kembali meledakkan tangisannya. Ini semua … sudah berakhir … untuk sekarang. Wilhelmina tidak akan mengganggu kami lagi, sampai rela untuk membuat kami semua tewas seperti kemarin. Beban dalam pikiranku … sedikit terangkat ketika menyaksikan Wilhelmina berada di dalam mobil polisi sebagai tahanan baru. #28: Kebenaran yang Terungkap Begitu Wilhelmina telah tertangkap oleh polisi karena semua perbuatannya, yakni memaksa masuk ke rumah orang tanpa izin, menyiksa Sena selagi aku dan Ayah tidak ada di rumah, dan mencoba membunuh kami, tentu polisi membutuhkan beberapa keterangan. Kami terlebih dahulu ke kantor polisi di mana Wilhelmina tengah ditahan agar kami bisa menjelaskan lebih rinci lagi. Aku jelaskan sesuai dengan kata-kata Sena saat dia menjelaskan di rumah sakit, lalu … kami juga ceritakan bahwa kami telah melarikan diri demi menghindari Ayah dan Wilhelmina. Sialan … memang berat mengatakan sebuah kejujuran, terutama pada polisi yang ingin sekali membantu. Aku … tidak tahu apakah mereka akan mempercepat proses penyelidikan dan proses hukum terhadap Wilhelmina. Kurasa aku masih memikirkan polisi akan bergerak lambat dan ujung-ujungnya Wilhelmina dapat lolos dari segala perbuatannya. Katanya … memang wajar kalau kita ingin melarikan diri dari segala masalah yang ada, kita memang sering sekali menolak menghadapi sebuah masalah, termasuk meminta bantuan. Kebohongan, sering sekali menjadi jalan keluar demi menghindari masalah, selama orang yang mendengar kebohongan itu terus percaya dan tidak mengetahui kebenarannya sendiri. Kali ini, aku jujur mengatakan hal yang sebenarnya terjadi, mulai dari saat Sena kutemukan pingsan sehabis tersiksa Ayah dan Wilhelmina sepulang dari futsal kelas hingga ketika kami hampir terbunuh oleh cambukan dan kebakaran. Wilhelmina telah mencoba untuk membunuh kami setelah menculik Sena di rumah sakit. Setelah aku mengutarakan segala jawaban pada semua pertanyaan yang pihak polisi lontarkan, mereka memastikan bahwa luka akibat siksaan Wilhelmina benar-benar asli. Untungnya luka-luka itu masih ada, belum menjadi sekadar bekas. Setelah semua keperluan untuk penyelidikan telah selesai, polisi memastikan bahwa keterangan yang telah kami sampaikan akan mereka pertimbangkan terlebih dulu. Kuharap … polisi dan proses hukum berjalan kencang dan Wilhelmina tidak dapat lolos dari perbuatannya. Kami pun meninggalkan kantor polisi yang bisa dibilang tetap sibuk meski hari ini adalah Minggu. Rumah sakit di mana Bina tengah dirawat merupakan tujuan kami berikutnya. Aku memikirkan bagaimana cara membicarakan sebuah kenyataan yang tengah kusembunyikan pada Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila, apalagi di depan Bina. Aku takut kalau aku salah berkata yang akan menyebabkan kesalahpahaman, meski Bang Fandy akan membantuku. *** Begitu kami memasuki sebuah kamar inap di mana Bina tengah dirawat, serta Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila menemaninya, aku sampai kehilangan pikiran apa yang ingin kukatakan, sebuah kebenaran. Kulihat Bina masih menutup mata di tempat tidur, terbaring, pergelangan tangannya seperti terbungkus oleh kapas setelah selesai melakukan operasi penjahitan. Baju putih khusus rumah sakit menjadi seperti seragam baginya, selang infus juga terpasang pada pergelangan tangannya. Mbak Shilla dan Mbak Mila bangkit dari sofa ketika Bu De Soraya membukakan pintu untuk kami. Mereka rela mengeluarkan uang lebih hanya demi kenyamanan Bina, sampai menyewa kamar VIP. Wajar jika kulihat kamar itu lebih luas dan menjaga privasi daripada di kamar-kamar biasa. Dinding cat putih dan kayu cokelat, sebuah meja dekat sofa, dan televisi LCD menjadi ciri khas dari kamar itu. “Bina gimana, Bu?” sapa Bang Fandy. “Syukurlah,” Bu De Soraya mengungkapkan, “tadi malam dia udah siuman, ya awalnya sempat berontak sampai nangis juga, tapi … Ibu udah bilang Ibu minta maaf udah maksa Bina, apalagi sejak Ayah meninggal dunia.” “Syukurlah … Bina udah enggak apa-apa,” tanggap Bang Fandy. “Oh ya, katanya Yoshi mau bilang sesuatu sama Bu De, ya? Sama Mbak Shilla sama Mbak Mila juga? Tadi Fandy SMS.” Bu De Soraya menatapku. “I-iya.” Jujur, aku sama sekali kehabisan kata-kata untuk mengatakan sebuah kejujuran. “Mari.” Bu De Soraya mempersilakan kami duduk di sofa menghadap televisi LCD dan membelakangi tempat tidur Bina. Ketika kulihat Mbak Mila dan Mbak Shilla ikut kembali duduk di sofa, aku harus memikirkan apa yang ingin kubicarakan, kata-kata apakah yang harus kupilih? Aku tahu … aku telah membohongi mereka dan Bu De Soraya, jadi mungkin aku akan mematahkan hati mereka hanya karena sebuah kebohongan. Kutatap Mbak Mila, Mbak Shilla, dan Bu De Soraya, gemetar, itu yang kurasakan ketika ingin membuka lembar kejujuran di balik peti mati. Aku menarik napas, begitu banyak beban yang tersimpan di dalam diriku, apalagi setelah mengatakan sebuah kebohongan pada orang-orang tercinta, keluarga, meski mereka hanyalah bu de, dan kedua kakak sepupu. “Yoshi, kamu mau bicara gimana? Apa kamu mau–” Aku memotong, “Sebenarnya … benar kalau ayah Yoshi sama Sena itu … jadi tersangka korupsi, tapi … itu bukan alasan kenapa Yoshi sama Sena jauh-jauh ke Surabaya, apalagi setelah ketemu Bang Fandy. Sena … sebenarnya … sering disiksa sama Ibu, apalagi pas Yoshi sama Ayah enggak ada di rumah.” “Ah ….” Mbak Shilla menggeleng sambil menghela napas. Tatapan Bu De Soraya dan Mbak Mila juga mengarah pada lantai ketika mendengar kejujuran dariku, tentu mereka melepas semua beban dengan menghela napas, sama seperti Mbak Shilla. Aku tahu … mereka sudah kubohongi, demi kebaikan Sena juga. Apa boleh buat, aku harus hadapi semuanya. “Kalau Yoshi … enggak ketemu Bang Fandy di Jogja, kalau Yoshi juga … enggak jauh-jauh ke Surabaya … Sena pasti bakal makin menderita. Sena bisa aja … meninggal sebelum Yoshi tahu apa-apa.” Mbak Shilla memotong sambil mengangkat tangan kanan, “Yosh, kalau kamu tahu tentang hal ini, kenapa kamu enggak manggil polisi aja? Kenapa kamu enggak bilang ayah kamu juga kalau Sena sering dianiaya sama ibu kamu? Gitu aja simpel kek, enggak perlu pakai kabur segala.” “Shilla,” potong Bu De Soraya. “Mbak Shilla.” Aku menyatukan kedua tangan. “Sena udah bilang ke Ayah, tapi … Ayah tetap aja enggak mau nerima kenyataannya. Yoshi juga … enggak percaya sama polisi. Tahu kan … kebanyakan kasus high profile kayak korupsi atau skandal yang merugikan negara ujung-ujungnya enggak selesai dan dilupain gitu aja lah, atau enggak … pas kasus pencurian yang dilakukan sama orang-orang kecil yang membutuhkan, ujung-ujungnya koruptor dapat hukuman lebih ringan daripada orang-orang kecil yang mencuri hal sepele.” “Terus? Apa hubungannya? Itu karena kamu enggak coba sama sekali. Kalau kamu manggil polisi, masalah di rumah kamu bakal kelar, gitu aja,” Mbak Shilla seperti menolak penjelasanku. “Ya enggak gitu juga, Mbak,” aku melawan, “pasti segala sesuatu ada proses dulu, enggak bakal kelar gitu aja, ya ujung-ujungnya bakal berkepanjangan. Sena makin menderita.” “Ya enggak lah, mereka paling ahli menyelidiki kasus apapun, dari pembunuhan hingga bahkan pencurian dan penculikan, bahkan kasus pelecehan juga mereka lebih ahli daripada kamu. Kamu kan masih SMA, Yosh. Kamu emang mau berlagak kayak pahlawan yang sok gitu? Main hakim sendiri? Pakai kabur dari rumah jauh-jauh ke sini. Kamu itu menghindar dari masalah, bukannya menghadapi sendiri.” “Mbak Shilla, udah,” potong Bang Fandy membelaku, “Mbak enggak tahu apa yang lagi dialami Yoshi sama Sena sekarang. Kalau misalnya Mbak Shilla, Mbak Mila, atau Ibu, atau enggak Bina ada di posisi Sena, korban penyiksaan atau penaniayaan, kalian bakal nyembunyiin dulu karena masih takut, trauma gitu. Seenggaknya Sena udah usaha buat bilang perbuatan Tante Wilhelmina ke Om Gunawan, tapi Om Gunawan malah nolak dan marahin Sena. Makanya, Sena jadi takut. “Sama kayak Yoshi. Pas Fandy ketemu Yoshi, nanyain kenapa Sena, kelihatan luka-luka di tangannya, awalnya dia ngarang kenapa Sena jadi kayak gitu, akhirnya … Yoshi bilang habis–” “Kamu tahu, Fandy?” potong Mbak Shilla, “Yoshi udah bilang ini ke kamu?” Bang Fandy menatapku. “Jujur aja, Fandy juga kasihan ke Yoshi, apalagi Sena, mereka udah jauh-jauh ke sini buat bebas dari siksaan Tante Wilhelmina, apalagi Sena. Fandy juga tahu, hal yang paling bikin trauma pasti bakal disembunyiin dulu sebelum dikeluarin lama-lama.” “Mila boleh kasih pendapat enggak?” Mbak Mila mengangkat tangan. “Jujur aja, emang polisi lebih ahli menyelesaikan masalah ginian, tapi … Yoshi juga pengen ngatasin masalah di rumah. Mila pikir … Yoshi juga mikir keselamatan Sena. Oh ya, pas malam, pas Sena udah tidur, Mila lihat ada luka-luka di tangan Sena. Mila juga enggak nyangka kalau lukanya Sena … dari situ.” “Mbak, Bu De.” Sena mengangkat tangan sambil memalingkan wajah ke lantai. “Maafin Sena ya. Sena … udah bohong, Kak Yoshi juga udah bohong sama Mbak dan Bu De. Kak Yoshi … cuma pengen Sena aman.” Aku juga memalingkan wajah ke lantai setelah mendengar beban begitu berat mmasuk ke dalam hati, “Bu De, Mbak Shilla, Mbak Mila, Yoshi minta maaf udah bohong sama enggak bilang yang sebenarnya. Yoshi enggak pengen Bu De, Mbak Shilla, Mbak Mila sampai repot cuma gara-gara masalah ginian. Yoshi emang udah ngerepotin dari awal, sampai … harus nginap di rumah Bu De.” “Yoshi, yang berlalu sudah berlalu. Sekarang … gimana?” Bu De Soraya bertanya padaku. “Apa … ibu kalian … masih ada di rumah?” Aku menggeleng. “Ibu udah coba buat bunuh Sena, sama Yoshi juga, sama Bang Fandy juga. Kemarin, Sena diculik sama Ibu. Terus … pas Yoshi sama Bang Fandy ketemu lagi sama Sena, sama Ibu juga. Ibu … malah coba bunuh kami, bakar tempatnya. Terus … tadi … juga … Ibu datang ke rumah, minta Yoshi sama Sena pulang, pakai maksa segala. Yoshi … akhirnya nelepon polisi juga. Ibu … udah ketangkap polisi. Yoshi udah jelasin semuanya sekalian.” “Berarti … bakal disidangkan,” Bu De Soraya menyimpulkan, “kalau perlu, Ibu juga bakal datang ke sidang Tante Wilhelmina, kalau tidak sibuk dengan pekerjaan. Paling cepat … vonisnya bakal dikasih awal tahun depan.” “Sekarang … Yoshi mau gimana sekarang?” tanya Mbak Mila. “Yoshi … mending pulang dulu aja, nunggu kabar sidang juga. Tapi … kalau misalnya … enggak jadi sidang atau … Ibu bebas, boleh enggak … Sena sama Yoshi tinggal di Bu De aja buat sementara?” lagi-lagi aku mengajukan pertanyaan. Mbak Shilla menggeleng. “Yosh, ya enggak segampang gitu nanya gituan. Apalagi Bina udah kena depresi sama gangguan makan, ya bakal jadi repot–” “Shilla, enggak apa-apa. Kalau demi keselamatan Yoshi sama Sena, enggak apa-apa. Mereka bisa tinggal sampai mereka benar-benar aman.” Aku mengangguk. “Makasih, Bu De.” #29: Persiapan Sidang Begitu melegakan setelah kuungkapkan sebuah kejujuran, kejujuran yang telah kusembunyikan tentang situasi sebenarnya. Memang benar, aku tidak ingin Bu De Soraya, Mbak Shilla, Mbak Mila, bahkan Bina sekalipun, ikut terlibat dengan masalah yang sedang kuhadapi, apalagi demi melindungi Sena. Beruntung, polisi tanggap cepat setelah penangkapan Wilhelmina, mereka berusaha sebaik mungkin agar penyelidikan memasuki proses hukum, proses di mana hakim dan publik dapat menentukan apakah semua perjuangan ini layak untuk diperadilkan. Sampai-sampai, dalam perjalanan pulang saat Senin aku sempat membaca sebuah artikel di situs berita internet mengenai hal ini, Wilhelmina telah tertangkap karena melakukan kekerasan terhadap anak. Bukan hanya kekerasan terhadap anak, Wilhelina juga mendapat tuntutan karena telah percobaan pembunuhan dan masuk rumah orang lain secara paksa, mungkin bisa kubilang itu sebagai trespassing dalam bahasa Inggris, tapi artinya beda. Kemungkinan beliau akan menghadapi tuntutan hukuman berat. Aku juga mengetahui bahwa Wilhelmina akan dipulangkan dari Surabaya untuk menjalani sidang. Mungkin aku tidak mengerti mengapa semenjak beliau ditangkap di rumah Bu De saat memaksaku dan Sena pulang. Mungkin … penjelasanku pada polisi akan berguna saat persidangan nanti. Bang Fandy juga rela mengantarku dan Sena pulang menaiki kereta alih-alih bus seperti saat kami berangkat dan melarikan diri dari rumah. Dia juga rela menghabiskan libur semesternya di rumahku, hanya demi menemani saat persidangan berlangsung. Awalnya, aku tidak ingin Bang Fandy ikut karena takut merepotkan, tapi karena dia bilang tidak keberatan, akhirnya aku setuju. Bu De Soraya juga rela memberikanku uang yang akan kupakai selama satu bulan, karena aku dan Sena akan menjadi penghuni satu-satunya di rumah, sementara Ayah dan Wilhelmina sedang mendekam di penjara. Benar, Ayah tidak akan bisa bekerja ketika dia menjadi tersangka korupsi. Awal hingga pertengahan perjalanan sembilan jam itu, kami kebanyakan tidak berbicara, hanya terdiam memandangi jendela yang menunjukkan pemandangan bergambar, bagaimana kami melewati sawah, rerumputan, hingga bahkan jalan raya. Aku hanya bersandar di sofa coklat melihat sekeliling, termasuk jendela. Jalan berkarpet cokelat, AC, layar televisi dan tempat penyimpanan barang layaknya seperti di pesawat, beberapa penumpang juga kulihat sebentar. *** Pada Selasa, aku akhirnya kembali ke sekolah seperti biasa, berapa lama aku sudah tidak sekolah? Sudah enam hari berturut-turut, maksudku enam hari kerja berturut-turut jika tidak terhitung akhir pekan. Begitu aku memasuki kelas, beberapa teman sekelas menemuiku dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Salah satu teman sekelasku juga menemukan berita bahwa Ayah telah menjadi tersangka korupsi. Juga … berita tentang Wilhelmina melakukan kekerasan terhadap Sena telah mereka baca. Aku akhirnya menjelaskan, secara jujur, tidak ada lagi yang kusembunyikan. Mulai dari saat kutemukan Sena pingsan sepulang futsal waktu itu, lalu kujelaskan bagaimana kami melarikan diri dari rumah jauh-jauh ke Jogja, dan ke Surabaya, hingga saat Wilhelmina mencoba untuk membunuh kami. Teman-temanku mengangguk dan tertegun ketika mendengar seluruh pengakuanku di kelas. Beberapa dari mereka hanya bisa berkata sabar, yang tabah, atau yang paling parah kenapa enggak dari dulu nelepon polisinya?, kalimat-kalimat itu pertanda bahwa mereka kurang paham apa yang baru saja Sena dan diriku alami. Beberapa dari mereka juga … menawarku dukungan berupa kata-kata, bukan hanya sekadar kata-kata yang menandakan ketidakpahaman. Hatiku … tersentuh dan tercerahkan ketika mereka mengatakan kata-kata dukungan yang lebih kompleks, apalagi ketika menunggu jadwal sidang perdana Wilhelmina. Karena aku kembali ke sekolah saat pekan olahraga dan seni, sebelum pembagian rapor Jumat mendatang, mereka bahkan sampai mengajakku untuk menonton futsal di lapangan halaman sekolah, katanya sedang semifinal, juga … kelasku tidak lolos babak penyisihan. Selesai menonton futsal, ketika menuju tempat parkir setelah mengambil tas, kugenggam ponselku yang berdering. Kulihat nomor yang tak kukenal terpampang pada layar menandakan ada telepon masuk. Aku mungkin sudah menghapus semua kontak setelah mengganti kartu SIM. Kuangkat telepon itu. “Halo?” “Halo, apa benar ini Yoshi?” Suara seorang wanita meluncur ke telinga melalui telepon. “Ya, benar.” “Maaf menganggu, saya perwakilan dari KPAI.” KPAI? Komisi Perlindungan Anak? Mereka tahu nomorku? Memang kenapa mereka meneleponku? “Begini,” perwakilan dari KPAI itu menjelaskan, “kami telah melihat beritanya, adik kamu, Sena, telah menjadi korban kekerasan terhadap anak oleh ibu tiri, bukan?” “I-iya, Bu, itu benar.” Aku menggangguk ketika tiba di tempat parkir motor, mendekati motorku sambil mengambil kunci dari saku. “Memang ada apa ya?” “Yoshi, saya langsung saja, hari ini saya bisa ke rumahnya Yoshi? Ya, kami bertanya begini karena kami menunjukkan kekhawatiran kalau Sena ada apa-apa, terutama dia jadi korban kekerasan terhadap anak. Untuk itu, kami ingin membantu agar Sena dapat bisa mengatasi trauma sehabis menjadi korban kekerasan, kami juga ingin membantu proses sidang tuntutan atas Bu Wilhelmina agar lancar.” Kalau mengingat kembali, pasti KPAI dapat nomorku dari polisi di Surabaya. Aku mencantumkan nomor telepon saat menjelaskan semuanya, seluruh perbuatan Wilhelmina. Tadi Sena juga tidak ke sekolah, tetap di rumah dengan Bang Fandy, katanya … dia tidak ingin ke sekolah dulu sampai bagi rapor. Mungkin … aku bisa andalkan bantuan dari KPAI agar semuanya lancar, Sena bisa dapat lebih baik, terus Wilhelmina juga dapat hukuman setimpal dalam sidang nanti. *** Jam pada ponselku telah menunjukkan pukul 8:21 malam ketika kulihat Sena sudah terbawa mimpi di atas kasur kamarnya. Aku menemaninya hanya untuk menenangkan sebelum tidur. Kupikirkan kembali apa yang terjadi pada jam tiga sore. Perwakilan dari KPAI, seorang wanita, mengunjungi kami, ingin tahu segala sesuatu yang bisa memperkuat alasan mengapa Wilhelmina harus mendapatkan hukuman setimpal. Meski sudah kuceritakan semuamya, dari saat Sena jatuh pingsan akibat siksaan Ayah dan Wilhelmina hingga saat penculikan, Sena tidak ingin menjawab satu pertanyaan pun dari wanita itu. Seperti yang Bang Fandy telah katakan, Sena masih memproses segala perasaan sebelum siap menghadapi pertanyaan yang mungkin akan membuka lembaran trauma pada memorinya. “Udah tidur?” Bang Fandy menemuiku ketika memasuki kamar Sena. “Ya, rada lelap juga. Pasti capek banget dari kemarin.” “Oh ya, kemungkinan Om Gunawan juga bakal ikut dituntut karena lalai.” “Ayah juga dituntut?” Aku tercengang ketika bangkit dari tempat tidur Sena. “Aku cerita juga Ayah juga nyiksa Sena waktu itu ke perwakilan KPAI?” Bang Fandy menepuk pundakku. “Yosh, nanti kamu harus yakinin Sena biar bisa jelasin semuanya. Kalau enggak … kemungkinan kalian bakal tinggal sama Wilhelmina lagi, tentu Sena enggak mau. Kalau tinggal di Surabaya lagi, bisa terulang tuh.” Aku melewati pintu kamar Sena sambil membuka kaos hingga bertelanjang dada. “Nanti kita bakal bersaksi enggak? Soalnya, KPAI lagi ngusahain buat kita bisa bersaksi. Mending lah, daripada Sena juga enggak mau gitu.” “Ya, lama kelamaan Sena juga harus bersaksi dong, biar publik sama hakim percaya kalau Tante Wilhelmina harus dihukum.” Aku berbalik menatap Bang Fandy. “Bang, Yoshi tepat kan ngebiarin KPAI ngebantu kita?” Bang Fandy memukul pundakku pelan. “Ya iyalah, biar masalahnya cepat selesai.” #30: Bersaksi di Sidang Meja hijau, palu cokelat, seragam toga berwarna hitam, dengan lengan lebar, simare dan bef, menjadi ciri khas yang kulihat ketika memasuki ruang sidang di pengadilan. Tempat duduk menghadap para hakim menjadi tempat duduk terdakwa dan saksi yang ingin mengutarakan kesaksian mereka. Tempat duduk berpagar khusus untuk penonton yang terbuat dari kayu ikut menjadi saksi sebuah sidang di pengadilan. Sidang perdana akhirnya bisa dilakukan pada Senin, tiga hari setelah aku dan Sena mendapat rapor semester ganjil. Aku dan Bang Fandy ikut menjadi salah satu penonton umum dalam sidang, bersama dengan beberapa anggota KPAI dan juga orang asing. Saat sidang berlangsung, kami titipkan Sena di gedung KPAi karena katanya anak-anak belum boleh bersaksi secara langsung atau dikhawatirkan akan semakin menganggu penyembuhan traumanya sebagai korban kekerasan terhadap anak. Dia juga pasti ketakutan kalau menatap Wilhelmina lagi. Kulihat Ayah dan Wilhelmina telah duduk menghadap para hakim, terutama hakim ketua. Pihak jaksa penuntut umum duduk menghadap meja di sebelah kiri Ayah dan Wilhelmina, sedangkan pengacara mereka duduk menghadap meja di sebelah kanan. Sidang pun dimulai saat hakim mengetuk palu. Beliau membacakan biodata dari Ayah dan Wilhelmina, mungkin hanya sekadar formalitas. Sidang pun beralih menuju jaksa penuntut umum yang membacakan dakwaan Ayah dan Wilhelmina. Beliau menyatakan bahwa Wilhelmina telah menjadi terdakwa pelaku kekerasan terhadap anak, penculikan, dan percobaan pembunuhan. Ayah juga menjadi terdakwa karena ikut terlibat menyiksa Sena dan telah mengabaikan segala fakta. Kujuga melihat Ayah dan Wilhelmina juga tidak saling berbicara sehabis sidang perdana selesai. Mungkinkah? Sidang ini mempengaruhi hubungan mereka? *** Pada sidang berikutnya yang diadakan seminggu kemudian, jaksa penuntut umum mendatangkan setidaknya empat orang saksi, yaitu wali kelas Sena, perwakilan KPAI yang telah menemui kami sebelumnya, Bang Fandy, dan aku. Ya, memang tidak terasa sidang berikutnya diadakan pada awal tahun, liburku juga harus rela terganggu oleh sidang demi keadilan. Pertama yang menghadap hakim untuk bersaksi adalah wali kelas Sena. Wanita berpakaian serba hijau, termasuk hijab, itu kini duduk menghadap hakim menjelaskan kesaksian sambil mendekatkan mikrofon pada mulut agar suara dapat terdengar jelas. “Terakhir saya melihat Sena … waktu itu … hari Jumat, sekitar tiga hari sebelum dia tidak masuk sekolah. Itu terakhir saya melihat Sena. Saya pun menyadari … bahwa penyebabnya … berkaitan sama beberapa luka yang saya temukan waktu itu. Jumat itu … Sena jatuh pingsan saat ujian akhir. “Saya juga pernah bertanya pada Sena kalau ada apa-apa di rumah. Tapi … Sena malah enggak mau jawab apa-apa, cuma bilang dia enggak apa-apa. Saya juga kasihan sama Sena yang udah bilang enggak apa-apa, dia tahu kalau dia punya luka semacam sayatan begitu.” Seorang pengacara pria berkacamata yang duduk di sebelah Wilhelmina kembali mengajukan pertanyaan, “Lalu apa yang Anda lakukan setelah Sena menolak menjawab? Saya dengar Anda menelepon terdakwa Gunawan berkali-kali.” “Ya, benar. Tapi–” “Sudah, Yang Mulia,” potong sang pengacara pada hakim. “Tunggu,” wali kelas Sena mengungkapkan sebuah alasan, “memang benar saya mencoba menghubungi terdakwa Gunawan berkali-kali, saya hanya ingin bertanya bagaimana keadaan Sena di rumah. Kepala sekolah juga mencoba untuk menghubungi terdakwa Gunawan. Lalu setelah kami, para guru, memperbincangkan masalah yang terjadi pada Sena, kami memutuskan untuk menghubungi KPAI, membuat pengaduan–” “Sudah membuat pengaduan masyarakat pada KPAI tanpa bukti sama sekali. Tanpa ada bukti konkret sama sekali.” “Kami mengadu ke KPAI setelah Sena mulai bolos pada Senin lalu, saat pekan remedial. Pada Selasa, KPAI meminta kami ke kantor untuk meminta penjelasan lebih lanjut.” “KPAI waktu itu hanya menerima aduan lewat kata-kata, tanpa ada bukti konkret,” bantah sang pengacara. *** Selanjutnya, giliran perwakilan KPAI yang bersaksi, wanita yang mengunjungi rumah kami untuk menanyakan keadaan Sena lebih detil lagi. Sekarang … beliau memberi flashdisk pada juri agar bisa menayangkan bukti-bukti berupa gambar lewat layar proyeksi. Satu per satu, gambar bekas luka Sena begitu tampak, mulai dari berbentuk garis seperti sayatan hingga memar biru. Terpampang gambar itu terambil dari bagian lengan, kaki, paha, dan leher. Gambar-gambar itu membuat penonton berdiskusi, terutama dari pihak KPAI. Para hakim dan jaksa penuntut umum tertegun ketika menatap begitu nyata gambar-gambar luka itu pada layar proyeksi. “Yang Mulia.” Sang pengacara bangkit. “Luka-luka itu bisa saja karena hanya terpeleset, karena kecerobohan sang anak.” “Lalu kenapa bekas luka itu memang masih tampak. Apalagi luka seperti sayatan pada lengan dan paha. Apalagi memar pada leher dan kepala. Lalu … kami sempat menghubungi terdakwa Gunawan dan Wilhelmina, tapi mereka sama sekali tidak menjawab telepon kami. Setelah terdakwa Gunawan ditetapkan sebagai salah satu tersangka korupsi, baru terdakwa Wilhelmina mengangkat telepon, mengatakan kata-kata kasar pada kami dan mengganggu privasi rumah tangga.” Pengacara kembali membantah, “Pertanyaan yang diajukan oleh KPAI memang melanggar hak privasi terdakwa.” “Kami hanya ingin baik-baik bertanya bagaimana situasi Sena di rumah. Apalagi setelah kami mendapat pengaduan dari pihak sekolah, setelah Sena bolos melarikan diri.” *** Giliran Bang Fandy yang bersaksi, dia telah duduk menghadap para hakim memaparkan kesaksiannya dengan menceritakan beberapa kejadian memilukan yang terjadi pada Sena, aku, dan dirinya. “Memang benar, Yoshi, sebagai seorang kakak, harus melindungi Sena, adiknya, dengan menjauh dari orangtua yang abusive. Saya mengerti kenapa dia rela jauh-jauh melarikan diri ke Jogja sebelum ke Surabaya hanya demi melindungi Sena. Yoshi udah bilang semuanya yang udah terjadi di rumah, kenapa Sena jadi kayak gitu, dapat luka yang ditunjukkan oleh foto-foto dari KPAI tadi. “Lalu, saat di Surabaya, Tante Wilhelmina datang ke Surabaya, lalu menculik Sena saat di rumah sakit. Adik saya, Bina, telah mencoba untuk bunuh diri. Saya juga dapat telepon dari Tante Wilhelmina, beliau juga mengancam … ingin membunuh Sena … kalau tempat persembunyiannya tidak ditemukan. Bahkan saat kami berdua menemukan Sena, Wilhelmina tetap saja ingin membunuh Sena, sama Yoshi juga sekalian, menggunakan cambuk, terus–" “Yang Mulia,” sang pengacara kembali memotong, “Yoshi membawa Sena melarikan diri ke luar kota tanpa pengawasan orangtua. Apalagi, jarak antara kota ini dan Jogja cukup jauh, apalagi Surabaya. Bisa dibilang, Yoshi, sebagai sang kakak, telah bermain hakim sendiri dan berlagak seperti pahlawan, padahal bukan. Kalau hal ini memang dia ketahui–” “–Yoshi waktu itu belum mau menghubungi polisi demi bantuan, saya paham. Saya lanjutkan yang tadi, Yang Mulia. Setelah saya membebaskan Sena dan Yoshi, Tante Wilhelmina mencoba untuk membunuh kami menggunakan api dan bensin. Tentu saja ini akan melukai Sena bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental. Mentalnya juga semakin tersakiti.” Sang pengacara beraksi kembali, “Kalau Yoshi, kakaknya tahu hal ini, memang seharusnya dia memanggil polisi, tapi dia hanya membawa kabur adiknya tanpa melakukan apapun yang justru memperparah keselamatannya, apalagi tanpa pengawasan orangtua. Tapi Anda, Fandy, juga membantu Sena dan Yoshi melarikan diri ke Surabaya.” “Setidaknya saya antar mereka ke rumah saya, rumah Bu De! Jadi mereka bisa aman!” Nada bicara Bang Fandy mulai meninggi ketika bangkit menghadap pengacara, Ayah, dan Wilhelmina. “Anda juga mengusir terdakwa Gunawan, om kamu sendiri, saat beliau menjemput Yoshi dan Sena di rumah Anda sendiri.” “Saya harus melakukan itu demi melindungi mereka!” “Harap tenang!” Hakim ketua mengetuk palu berkali-kali memperingatkan keduanya. “Sidang saya tunda sampai minggu depan.” “Terima kasih telah mengizinkan saya untuk bersaksi.” Bang Fandy menunduk hormat pada para hakim dan jaksa penuntut umum sebelum kembali ke bangku penonton. “Bang.” Aku bangkit menemui Bang Fandy. “Yosh, kamu nanti hati-hati ngomongnya. Itu pengacara tegas banget.” Kulihat Ayah, Wilhelmina, dan pengacara mereka tengah berbicara. Kutatap tajam sang pengacara yang tetap bersikukuh membela Ayah dan Wilhelmina, meski pada kenyataannya para saksi mengatakan sejujurnya. “Berdiri,” perintah hakim. “Kalau gini terus … bisa aja Tante Wilhelmina bebas dari hukuman, terus … kamu sama Sena terpaksa tinggal sama mereka lagi, apalagi Om Gunawan bakal ikut sidang kasus korupsi juga.” Aku mengungkapkan, “Ini kenapa … Yoshi enggak suka proses ginian. Salah satunya pembelaan pengacara.” Kuanggukkan juga mengarah pada sang pengacara. “Pengacara itu … bakal melakukan apapun demi melindungi sang klien, sang terdakwa, meski tahu mereka bersalah.” “Eh, enggak kayak gitu juga kali. Selama kebenaran tidak terbongkar, pasti pengacara bakal cari cara untuk membela kliennya. Makanya … kita butuh Sena bersaksi, kamu juga harus bersaksi, biar pengacara bajingan itu enggak bisa bilang apa-apa buat balasnya.” “Memang pengadilan ini hanya mengandalkan kata-kata dan bukti-bukti.” #31: Inilah yang Namanya Keadilan Hanya tinggal sehari sebelum sidang berikutnya berjalan. Sial, aku masih memikirkan kata-kata apakah yang akan kulontarkan saat bersaksi besok. Aku sampai mengelilingi rumah memikirkan bagaimana kalau pengacara itu akan menggunakan senjata kata-kata demi melindungi Ayah dan Wilhelmina. Kulihat Sena tengah menonton TV, acara kartun di salah satu channel nasional, tidak berkata apa-apa, bahkan tertawa sedikit pun. Memang aku harus bersaksi demi keselamatan Sena, tapi … dia juga harus bersaksi. Ada dua kendala, pertama, Sena masih benar-benar di bawah umur, masih usia anak-anak, jadi dia tidak boleh dibawa ke persidangan secara langsung hanya untuk bersaksi; kedua, Sena masih tidak ingin menjawab setiap pertanyaan dari perwakilan KPAI, padahal dengan menjawab pertanyaan seperti itu, mungkin akan membantu hakim untuk mendapatkan sebuah keadilan dan kesimpulan. Suara ketukan pintu menghentikan segala pemilihan kata-kata dalam pikiran. Kulewati ruang tamu dari ruang makan. Begitu kulihat ke arah jendela, Bu De Soraya, Mbak Shilla, Mbak Mila, dan bahkan Bina telah berdiri di depan pintu. Bu De Soraya terlihat baru saja mendekatkan kepalan tangan pada pintu. “Yoshi,” sapa Bu De Soraya begitu kubukakan pintu. “Eh, Bu De. Tumben ke sini, jauh-jauh dari Surabaya.” “Ibu sama Mbak Shilla udah cuti, mumpung saya juga lagi libur,” jawab Mbak Mila padaku. “Oh ya, Bu De sama Mbak Shilla, Mbak Mila mau ketemu Sena dulu nih. Oh ya, Bina katanya mau ngomong sama Yoshi, sama Mas Fandy juga,” ucap Bu De Soraya. Rasanya cukup canggung ketika aku berhadapan dengan hanya Bina, apalagi ketika Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Mbak Mila menemui Sena yang sedang menonton TV. Aku terdiam sesaat ketika menatap Bina berdiri di depan. Kulihat juga beberapa jahitan pada pergelangan tangan Bina, sebagai penutup luka akibat mengiris tangannya sendiri. Bisa kubilang, dia benar-benar beruntung tidak dead on arrival di rumah sakit, meski darahnya sudah berserakan di lantai kamarnya waktu itu. “Lho, Bu?” kudengar Bang Fandy menyapa Bu De Soraya. Katanya Bina bukan hanya mengalami depresi, tetapi juga gangguan makan. Kondisinya mungkin diakibatkan bukan hanya kematian ayahnya, tetapi juga tekanan dari manapun, mulai dari orangtua hingga sekolah, kalau bukan kekerasan fisik, kekerasan verbal yang menjadi penyebabnya. Kalau tidak salah, Bang Fandy bilang Bina kena anorexia nervosa, berarti tidak makan sama sekali atau hanya makan sedikit, tujuannya menjadi sekurus mungkin, bahkan sampai berat badannya sangat rendah. Terkadang, Bina juga sering memuntahkan makanan yang telah dia makan sebelum mengiris pergelangan tangannya sendiri. Melihat kulit Bina, terutama lengannya, sedikit terisi daripada saat pertama kali menemuinya. Seingatku, badan Bina tidak begitu mirip dengan kondisinya sekarang. Bina pasti sudah memulai perawatan rutin ke psikiater mengingat dia sudah boleh pulang sebelum akhir tahun. Dia harus mematuhi beberapa saran dari sang psikiater sekaligus meminum obat secara rutin agar perawatannya berjalan lancar. Aku mempersilakan dengan terbata, “Um … mending duduk … aja dulu.” “Yosh, Bina.” Bang Fandy menemui kami di ruang tamu. “Bang. Duduk aja, Bina mau ngomong sama kita.” Aku menepuk tempat kosong di dekatku begitu mulai duduk di sofa. Kulihat pada arah jendela juga, langit pun mulai kehilangan cahaya oranye menuju sebuah taburan gagap gempita pada gelap gulita. Jalanan depan rumah pun mulai memancarkan cahaya putih sebagai penerangan melalui lampu neon. “Oke. Bina,” sapa Bang Fandy setelah mulai duduk di sampingku. “Mas Fandy, Mas Yoshi. Gue ingat … gue ingat apa yang gue bilang sebelum coba buat mati. Gue … marah banget, iri malah sama Mas Yoshi. Mas Yoshi … gue enggak nyangka … kenapa lo sampai jauh-jauh ke rumah Bu De bareng Sena. Harusnnya … bilang dari dulu kalau sebenarnya … Sena udah disiksa sama Tante Wilhelmina. Tapi … gue kayaknya enggak bisa ngubah fakta kalau gue bakal marah-marah waktu itu. “Mas Fandy … gue tahu lo marah banget sama gue, gue udah enggak tahan lagi sama semua tekanan di rumah, di sekolah, sampai-sampai gue pengen ngatain yang sebenarnya gimana lo. Lo mungkin emang cuma anak pungut, tapi … Ibu tetap sayang kamu layaknya anak sendiri. Gue emang lagi marah, pengen ngelepasin semua tekanan, sampai-sampai gue bilang kata itu ke lo, Mas Fandy.” Kulihat mata Bina mulai berbinar-binar selagi menarik napas dalam-dalam. Segala hal yang dia pikirkan benar-benar terpampang pada wajahnya, kulihat sebuah tekanan menguasai pikiran dan air mukanya. “Mas Fandy marah kan pas gue bilang gitu, sampai bentak gue segala. Gue … emang mendam tekanan sama marah ke Ibu. Apalagi habis Ayah meninggal, kepikiran terus kalau Ibu bakal bilang nilai semua pelajaran enggak boleh jelek, harus bagus. Gue udah coba berkali-kali belajar biar nilainya bagus, biar Ibu senang, gue enggak perlu bikin Ibu permasalahin nilai jelek yang gue dapat. Tapi … gue juga pengen jadi cewek yang sempurna, nilai bagus sama cantik, langsing, dan ideal. “Mas Yoshi, Mas Fandy … gue tahu … lo enggak mau maafin gue. Jadi … gue udah bilang gini udah cukup, gue … udah bilang … gue pengen minta maaf. Lo … enggak perlu maafin gue.” “Bina,” Bang Fandy mulai buka suara, “kamu enggak perlu mikir kalau Mas Fandy sama Mas Yoshi enggak bakal maafin kamu. Mas Fandy emang anak pungut. Mas Fandy emang bukan dari darah Ibu, tapi … seenggaknya Mas Fandy sendiri masih tetap jadi kakak kamu, Bina. Kamu juga masih punya keluarga yang bisa maafin kamu. Bu De Soraya, Mbak Shilla, sama Mbak Mila juga udah maafin kamu sekalian minta maaf udah bikin kamu jadi gini. “Apapun yang terjadi, keluarga pasti bakal sayang kamu, selalu. Mungkin cara penyampaian kata-katanya ke Bina … masih kurang tepat kalau emang nunjukkin rasa sayang. Mas Fandy juga minta maaf udah sampai marah banget, soalnya Mas Fandy juga tersinggung sampai nampar. Mas Fandy tetap anggap Bina sebagai adik sendiri.” Aku akhirnya berbicara pada Bina, “Ya, Yoshi juga enggak pernah bilang kalau situasi di rumah sekarang … emang lagi abusive. Yoshi juga kaget sama perilaku Bina. Yoshi waktu itu enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Bina. Intinya, Yoshi juga minta maaf udah sampai ngerepotin, terus juga bikin marah Bina sendiri. Jujur, Yoshi juga enggak tahu gimana mau bicara ke Bina.” Bang Fandy kembali berkata, “Bina, nanti … kalau kamu dapat nasihat dari Ibu, Mbak Shilla, Mbak Mila, atau enggak Mas Fandy sendiri, mending kamu terima aja, jangan tolak pakai marah. Ya, kalau enggak bisa nahan marah, mending kamu pikirkan kembali bagaimana nasihat itu sebenarnya baik buat kamu ke depannya. Keluarga di sini … pengen ngebantu kamu buat lebih baik.” “Mas Fandy, Mas Yoshi.” Bina kembali meledakkan seluruh emosi. Tangannya mulai menutupi wajah sambil membungkukkan badan. “Bina.” Bang Fandy bangkit menemui Bina. Bina mulai menjerit, melampiaskan segala pendaman emosi dari dalam lubuk hatinya. Memang begitu berat untuk meminta maaf, apalagi demi mengatakan sebuah kejujuran. Jujur … itu memang susah. Kita memang terpengatuh agar kita mudah berbohong agar tidak melukai orang yang kita cintai dalam jangka pendek, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjangnya. *** Pada sidang berikutnya, Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan Bina juga ikut menghadiri ruang sidang untuk menonton, mendampingiku dan Bang Fandy. Mereka berada di barisan belakang kami berdua selagi memperhatikan persiapan sidang. Aku juga masih memikirkan apa saja yang kukatakan sebagai seorang saksi, harus mengatakan sebuah kejujuran tetapi tanpa harus membuat sang pengacara menantang setiap pernyataan. Sistem peradilan seperti ini … memang mengandalkan testimoni, tetapi … testimoni itu bisa terbantah oleh sebuah kebohongan yang menutupi sebuah kebenaran. Kulihat jaksa penuntut umum mengumumkan, “Kami memanggil korban Sena untuk bersaksi lewat live feed.” Pengacara bangkit dengan cepat dan menyatakan, “Keberatan! Korban masih di bawah umur, tidak sepatutnya korban yang masih anak-anak menjadi seorang saksi dalam persidangan.” Jaksa penuntut umum membalas, “Meski korban masih di bawah umum dan tidak patut menjadi saksi, ada baiknya kita mendengar sebuah kesaksian dari korban, demi memperlancar sidang, agar semua dapat terselesaikan dengan cepat. Melalui pihak KPAI, korban telah bersedia untuk bersaksi. Alih-alih menghadirkan korban secara langsung dalam persidangan, korban dapat bersaksi langsung di kantor KPAI.” Hakim pun mengumumkan, “Ditolak. Kuasa hukum, silakan kembali duduk.” Layar proyeksi kini menunjukkan wajah Sena yang tengah duduk di sofa hitam membelakangi papan nama KPAI, menandakan bahwa dia sedang berada di ruang utama gedung KPAI. Sang jaksa menatap layar setelah petugas menyerahkan mikrofon agar bisa berkomunikasi secara langsung. “Selamat pagi, Sena. Kami dari jaksa penuntut umum. Anda … telah menyatakan bahwa Anda bersedia untuk bersaksi dalam persidangan ini. Kami berharap kamu dapat menjawab setiap pertanyaan yang kami ajukan. Saya ingin bertanya sekali lagi, apakah kamu bersedia untuk bersaksi?” Sena mengangguk. “Ya.” “Sena, apakah … ibumu pernah memukulmu?” “Ya.” “Bisakah … kamu menceritakan kapan dan di mana terakhir kali ibumu memukul?” Keheningan, Sena memutuskan untuk menutup mulut ketika pertanyaan itu terlontar. Berarti … kalau Sena memang belum mau memberi kesaksian, semuanya … tergantung kesaksianku dan perlawanan pada sang pengacara. Kedua tangan kukepalkan di atas lutut. “Kalau begitu, saya tanya satu per satu saja.” Sang jaksa mengambil selembar kertas tulisan. “Sehari sebelum kamu melarikan diri dari rumah dengan Yoshi, kakakmu, kamu dipukul dengan sapu lidi di kamar. Apa itu benar?” “Pak. Saya … sudah menceritakan ini ke ayah saya, tapi … ayah saya tidak mau percaya dengan saya. Kenyataan ibu tiri saya. Selain Kak Yoshi dan … Bang Fandy, Bapak … enggak bakal bilang Sena bohong, kan? Semuanya … enggak bakal bilang Sena bohong?” “Sena.” Sang jaksa mencoba meyakinkan. “Kami di sini ingin bantu kamu, kami tidak akan menghakimi, kami tidak akan bilang kalau yang kamu katakan jujur atau bohong, benar atau salah. Kami tidak akan menilai apakah kamu benar atau salah, yang penting … kamu jawab pertanyaan dengan jujur saja, itu sudah bisa membantu proses persidangan.” “Itu yang sudah Sena coba bilang ke ayah saya. Sena udah jujur sama ayah saya soal ibu tiri, tapi … Ayah bilang kalau Sena bohong. Ayah bilang … kalau Sena enggak boleh nakal sama Ibu, enggak boleh bohong sama ngatain jelek tentang Ibu. “Sena … waktu itu ... mikir … kalau Bu Wilhelmina … bisa sama kayak Ibu yang udah meninggal. Ayah bilang … habis nikah sama Wilhelmina, kita … bisa jadi keluarga utuh, keluarga yang bisa bahagia lagi. Ayah senang, Bu Wilhelmina senang, Kak Yoshi senang, Sena juga senang. “Tapi … lama-lama, Bu Wilhelmina jadi … sering kasar sama Sena, apalagi … pas Kak Yoshi sama Sena enggak ada di rumah. Bu Wilhelmina … sering banget marahin Sena kalau salah, sampai Sena sendiri dipukul, diejek, sama … dihina. “Sena udah coba bilang ke Ayah … tapi … Ayah malah nuduh Sena bohong sama ngejelek-jelekin Bu Wilhelmina. Habis itu … Bu Wilhelmina jadi sering mukul Sena, mukul pakai sapu lidi. Apalagi pas Jumat sore waktu itu … Bu Wilhelmina nuduh Sena mencuri uang, padahal bukan Sena yang nyuri, Sena enggak pernah ngambil uang dari Bu Wilhelmina. Lalu … Ayah datang.” Kulihat sang pengacara terdiam tanpa kata begitu mulai mendengar penjelasan dari Sena. Ayah juga terlihat menundukkan kepala, memalingkan wajah menuju kolong meja. Wilhelmina … menggetarkan kedua tangan yang tengah dia kepal di atas meja. “Ayah … juga nuduh Sena udah curi uang Bu Wilhelmina. Ayah … ikut mukul Sena pakai sapu. Sena udah bilang Sena … enggak curi uang, tapi … Sena malah dipukul terus sama Ayah di kamar. Terus … pas malam … Kak Yoshi datang, terus bawa Sena ke rumah sakit. Yoshi sama Sena … kabur dari rumah ke Jogja buat ketemu Bang Fandy, terus ke Surabaya buat tinggal di rumah Bu De Soraya. Kak Yoshi ngajak Sena kabur … karena biar Sena aman. “Tapi … ternyata … Bu Wilhelmina datang ke Surabaya …. Bu Wilhelmina … menculik saya di rumah sakit.” Sena mulai menarik napas cepat-cepat ketika air matanya mulai mengalir menuju pipi. “Sena … dibawa … ke bangunan gelap … terus … disiksa. Terus … Bu Wilhelmina menelepon Bang Fandy dan Kak Yoshi … kalau dia bakal bunuh Sena, dia ngancam saya bakal mati. “Pas Bang Fandy dan Kak Yoshi datang buat nyelamatin Sena … Bu Wilhelmina bakar bangunan pakai bensin sama api. Sena … bersyukur masih hidup. Bu Wilhelmina … ingin … saya mati …. Kenapa?” Sena akhirnya menutup wajah ketika dia mulai terisak mengeluarkan segala beban sehabis mengungkap semuanya demi persidangan. Napasya cepat ketika dirinya melampiaskan segala kesedihan melalui sebuah tangisan. “Maaf, Pak. Sena … jadi gini.” Sena menggeleng. “Sena.” Mbak Mila terlihat menemui Sena dalam layar proyeksi. Setelah mendengar kesaksian Sena, sama sekali tidak ada suara pembicaraan, semuanya terdiam, mungkin tertegun mendengar sebuah pengakuan dari seorang anak, korban kekerasan terhadap anak, yang telah berkata jujur sampai menangis saking ingatnya setiap kenangan buruk dan trauma. Kulihat Ayah tengah menatap Wilhelmina sambil melongo, tidak bisa percaya akan sebuah kenyataan yang telah Sena katakan pada semua orang di persidangan, apalagi mendengar perkataan bahwa Wilhelmina mencoba membunuh Sena, Bang Fandy, dan aku. Kulihat … Ayah sudah percaya pada semua kenyataan. “Baiklah …. Saya nyatakan persidangan memasuki reses selama sepuluh menit.” Sang hakim ketua mengetuk palu sambil mengumumkan. *** Reses selama sepiuluh menit telah berlalu ketika aku mempersiapkan semacam pidato untuk sebuah kesaksian di pengadilan. Meski semua orang di dalam persidangan tertegun setelah mendengar kesaksian Sena, aku masih ragu apakah kesaksian yang akan kusampaikan akan menjadi sasaran empuk bagi sang pengacara. Kini, aku tengah duduk menghadap para hakim selagi jaksa penuntut umum mengajukkan beberapa pertanyaan. Aku terdiam sejenak ketika kudengar sebuah pertanyaan itu. Aku memutuskan untuk mengeluarkan semua kata-kata yang telah kupendam. “Saya … sebagai seorang kakak, kakak korban kekerasan terhadap anak, sudah sepatutnya melindungi adik dari segala ancaman dan bahaya. Memang benar … kalau … segala sesuatu pasti ada penyebabnya. Memang benar … kalau saya membawa Sena kabur dari rumah, kabur jauh-jauh ke luar kota, semuanya benar, bahkan tanpa pengawasan orangtua sama sekali. “Saya … mengajak Sena melarikan diri … karena saya ingin Sena aman, aman dari lingkungan yang kerap kali menjadi hal buruk bagi Sena, terutama kekerasan. Sebelum … saya menemukan Sena terbujur lemas sehabis perlakuan Ayah dan Ibu … saya sempat mendengar suara jeritan ibu-ibu sama anak perempuan menangis. Tadinya … saya kira … itu berasal dari tetangga sebelah, tapi … setelah Sena menceritakan semuanya di rumah sakit, pada malam saat kami memutuskan untuk melarikan diri, memang jeritan Sena yang menangis meminta tolong. “Anda … pasti bertanya … kenapa … saya tidak menelepon polisi. Karena … Sena butuh perlindungan dengan cepat. Memang berat saya yang bertanggung jawab atas keselamatan Sena, apalagi dalam kehidupan nyata, tanpa pengawasan orangtua. Saya juga sebenarnya tidak ingin yang lain malah repot-repot kasihan sama Sena juga. “Mungkin … harusnya memang saya panggil polisi atau … membela Sena pada Ayah. Saya memang ceroboh sudah melarikan diri dari rumah, jauh-jauh ke Jogja dan ke Surabaya. Saya membuat Ayah murka. Bahkan … Ayah rela menyusul ke Surabaya, mangkir dari pemeriksaan tersangka korupsi, hanya menjemput Sena dan saya.” “Yoshi.” Ayah bangkit dari tempat duduknya. Kutatap Ayah yang mulai berbinar-binar telah menerima sebuah kenyataan. “Yah. Maafin Yoshi. Maafin udah bawa Sena jauh-jauh ke luar kota.” “Enggak, Yoshi, enggak. Ayah yang harusnya minta maaf sama kamu. Ayah … selama ini cepat mengambil kesimpulan sendiri. Ayah awalnya enggak mau terima kalau Sena bohong tentang Ibu. Ayah … rela ke Surabaya … rela ke rumah Fandy … cuma buat jemput kalian … karena Ayah sayang kalian. Ayah udah … menyakiti hati kalian. Ayah juga … minta maaf sama Sena.” “Yah.” Aku mulai meneteskan airmata. “Ayah tetap ayah Yoshi sama Sena, enggak peduli apa perbuatan Ayah. Yoshi juga masih jadi anak Ayah. Sena juga.” “Yang Mulia Hakim.” Ayah mulai menatap para hakim, terutama hakim ketua. “Kalau memang Yang Mulia harus memberi vonis seberat mungkin, saya akan senang hati menerimanya. Saya pantas mendapatkannya, setelah apa yang saya lakukan pada anak saya sendiri. Saya memang ceroboh.” Ayah juga menatap Fandy. “Fandy, maafkan Om sudah tidak percaya sama kamu juga. Terima kasih … sudah jaga Yoshi sama Sena selagi mereka kabur dari rumah.” *** Sidang vonis. Ini dia, Setelah kurang lebih dua minggu, yaitu saat awal-awal semester baru, saat Bu De Soraya, Mbak Shilla, Mbak Mila, dan Bina sudah kembali ke Surabaya, aku rela bolos sekolah hanya demi mendengar vonis dari hakim pada Ayah dan Wilhelmina. Ayah dan Wilhelmina tengah duduk menghadap hakim menunggu nasib mereka yang sedang di ujung tanduk. Kulihat mereka duduk berjauh-jauhan, pertanda pengakuan Sena telah mempengaruhi hubungan mereka. Sang hakim ketua mengumumkan hasilnya, “Satu, menyatakan terdakwa satu, Wilhelmina; dan terdakwa dua, Gunawan, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak. “Dua, menjatuhkan pidana kepada terdakwa satu, Wilhelmina, dengan pidana penjara selama sepuluh tahun, mengingat ada unsur penculikan dan percobaan pembunuhan yang telah dilakukan; dan kepada terdakwa dua, Gunawan, dengan pidana penjara selama dua setengah tahun.” Begitu melegakan mendengar hakim menjatuhkan vonis untuk Wilhelmina, penjara selama sepuluh tahun, cukup lama. Aku lega ketika para hakim telah mempertimbangkan tindak penculikan dan percobaan pembunuhan dalam menentukan vonis. Sedangkan Ayah … juga harus penjara karena turut terlibat, apalagi saat memukul Sena Jumat sore waktu itu, sebelum kami melarikan diri. Terlebih, sidang kasus korupsi yang dia ikuti juga mungkin akan lebih memberatkan lagi. “Yosh. Sekarang gimana? Om Gunawan sama Tante Wilhelmina udah masuk penjara, berarti … di rumah … cuma ada kamu sama Sena,” bujuk Bang Fandy. “Emang … Yoshi juga bakal tinggal sama Sena sendiri. Yoshi harus tanggung jawab semuanya di rumah. Yoshi … bakal mulai hidup lebih mandiri, sambil nunggu Ayah bebas dari penjara, selama dua setengah tahun. Yoshi juga enggak enak kalau harus tinggal di rumah Bu De di Surabaya. Yoshi lebih prefer tinggal di rumah bareng Sena. Terus … awal Februari nanti, Abang juga harus ke Jogja, kuliah lagi.” “Yosh.” Bang Fandy merangkul bahuku. “Abang … rela liburan di sini, buat bantu kamu sampai akhir Januari. Nanti … kapan-kapan, Abang juga bakal sering ke sini. Abang rela bolos kuliah buat ngebantu kamu.” “Abang enggak usah repot-repot bolos. Mending Yoshi tunggu kalau Abang ada waktu luang.” “Enggak, Yosh. Abang rela, sumpah. Abang juga bakal manfaatin jatah bolos tiga kali cuma buat bantu kamu di rumah.” Aku mengangguk. “Kita lihat aja nanti. Makasih, Bang, udah mau rela repot bantuin Yoshi, dari pas ke Jogja.” Aku kembali memperhatikan hakim telah selesai membacakan vonis untuk Ayah dan Wilhelmina, semuanya sudah berakhir, untuk sekarang. Beberapa kalimat yang kudengar dari hakim juga tidak kumengerti karena panjang lebar demi formalitas. Ketika aku melihat Wilhelmina yang menundukkan kepala pada meja hijau, aku teringat mengapa dia melakukan tindak kekerasan, bahkan sampai menculik dan ingin membunuh Sena. Dia terobsesi hanya ingin memiliki Ayah, tidak perlu peduli denganku dan Sena. Tapi … kalau motifnya berupa kekikiran, kenapa aku tidak menjadi korban seperti Sena saat di rumah? Padahal aku bisa saja bernasib sama seperti Sena, seperti saat mengadu pada Ayah. Mungkin aku juga tidak akan tahu kenapa Wilhelmina menjadi wanita keji seperti itu. Sungguh, aku tidak akan pernah tahu mengapa. #32: Enam Bulan Kemudian (FINALE) Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, silih berganti. Tidak terasa, waktu seperti melangkah lebih cepat daripada langkah setiap orang di jalanan. Beradaptasi dengan situasi baru memang tidak mudah, apalagi jika menjalani kehidupan baru tanpa pengawasan orangtua sama sekali. Setelah Bang Fandy kembali ke Jogja untuk memulai kuliah semester genap, aku benar-benar harus repot dalam bertanggung jawab, aku seperti seorang kepala keluarga, figur sang ayah bagi Sena. Mulai dari mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, menyepel, dan mencuci hingga harus mempersiapkan makan malam yang masih harus beli di luar atau delivery. Aku juga harus mengantar Sena ke sekolah pagi-pagi sekali menggunakan sepeda motor. Pagi-pagi memang biasa, macet di mana-mana, bahkan setelah mengantar Sena. Aku pun rela menghadapi kemacetan saat perjalanan ke sekolahku sendiri. Kalau urusan uang, Bu De Soraya mengirimkanku uang dengan jumlah nilai lumayan untuk menjalani kehidupan baru tanpa orangtua, setidaknya untuk kebutuhan sehari-hari. Beliau juga yang mengurus iuran sekolah per semester penuh. Bang Fandy, sesuai yang telah dia bilang, rela bolos kuliah hanya untuk membantu kami di rumah, meski tidak begitu sering frekuensinya karena dia dapat jatah bolos tiga kali pada masing-masing mata kuliah. Dia rela bolos seminggu penuh, meninggalkan jadwal kuliah dan latihan badminton, sebagai gantinya, tugas-tugas dia kerjakan di rumahku. Bukan cuma Bang Fandy, tapi juga Mbak Mila yang sering datang kemari hanya untuk membantu-bantu. Dia juga punya banyak waktu luang selain mengerjakan skripsi dan bimbingan dosen. Dua atau tiga minggu sekali dia datang berkunjung jauh-jauh dari Surabaya selama rentang tiga hari hingga seminggu, tidak peduli betapa mahal harga tiket transportasi dari Surabaya. Pernah sekali, Mbak Mila memergoki Bang Fandy yang rela bolos pada sekitar pertengahan semester saat datang, entah kebetulan atau bukan. Akhirnya dia hanya memberi Bang Fandy teguran. Kudengar juga kabar tentang Bina dari Bang Fandy. Bina masih menjalani rawat jalan di rumah sakit, dia juga masih harus rutin minum obat resep dari dokter dan atur pola makan dengan benar. Secara berangsur, kondisi Bina sudah tidak lagi memprihatinkan daripada sebelumnya, dia mulai terbuka pada Bu De Soraya, Mbak Shilla, dan bahkan Mbak Mila di rumah. Berbicara tentang rutin konseling, aku juga harus mengantar Sena ke KPAI secara rutin setidaknya seminggu sekali setelah pulang sekolah. Memang, tujuannya untuk membuat Sena dapat melepas segala beban yang dia dapat saat menjadi korban sang ibu tiri, Wilhelmina. Tidak terasa, sudah enam bulan berselang, aku telah naik kelas, begitu juga dengan Sena, saat kami mendapatkan rapor semester genap. Mbak Mila juga akhirnya lulus sidang skripsi dan tinggal menunggu jadwal wisuda. Bina juga naik kelas meski masih dalam proses penyembuhan. Bang Fandy pun akhirnya rela kembali ke rumah dan menghabiskan waktu liburannya untuk membantuku dan Sena. Sekali lagi, membantu membereskan urusan rumah. Bahkan, Bang Fandy sering memasak, katanya dia sudah belajar dari beberapa resep dari internet. Enam bulan, entah terasa singkat atau lama, yang penting sudah kulalui, tanpa ada dampingan orangtua sama sekali. Hanya ada aku dan Sena di rumah, kadang-kadang juga Bang Fandy dan Mbak Mila yang mengunjungi untuk membantu. Oh ya, terakhir kali aku mendengar Ayah yang mendekam di penjara ketika dirinya memutuskan untuk menggugat cerai Wilhelmina tak lama setelah sidang kasus korupsi selesai. Ayah sudah sadar bahwa dia telah menikahi orang yang salah, wanita seperti serigala di balik bulu domba. Ayah juga akhirnya divonis tidak bersalah dalam kasus korupsi, tidak bersalah, berarti tidak perlu ada tambahan waktu untuk.mendekam di penjara. Kini Ayah hanya punya waktu dua tahun sebelum diperbolehkan untuk keluar dari penjara dan kembali bergabung bersamaku dan Sena. Vonis kasus korupsi memang berat, kalau itu terjadi pada Ayah, kami harus menunggu dalam waktu yang lama. Syukurlah, Ayah memang tidak bersalah dalam kasus korupsi, tapi … itu hanya menurut pada hakim dan beberapa bukti serta kesaksian yang ada. *** Sabtu, sehari setelah mengambil rapor sekaligus hari pertama liburan sekolah, Bang Fandy, Sena, dan aku akhirnya dapat mengunjungi Ayah di penjara, demi mendengar kabar bagaimana dirinya setelah menceraikan Wilhelmina dan divonis tidak bersalah dalam kasus korupsi. Kami hanya punya waktu lima menit untuk berbicara pada Ayah yang tengah di balik jeruji besi, waktu yang tidak sedikit, tapi harus kami manfaatkan, demi berbixara pada Ayah. Petugas pun juga turut mengawasi kami agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan sekaligus menjadi pengingat waktu. Dia berdiri di samping kami yang tengah menatap Ayah di balik jeruji besi. “Yoshi? Sena? Fandy?” Ayah memanggil kami. “Ayah, “ panggil Sena. “Om,” ucap Bang Fandy. Kulihat tangan Ayah mulai melewati celah jeruji besi menuju pipi Sena. Saking merindukan kami dan saking menyesal akan perbuatannya terhadap Sena, air mata mulai mengalir menuju pipi Ayah. “Maaf … maafin Ayah, Sena. Maafin udah enggak percaya sama kamu,” Ayah mulai meminta maaf sambil menunjukkan sebuah penyesalannya, “Ayah … terlalu buru-buru menyimpulkan apa kata kamu, Sena. Ayah kira kamu bohong tentang Ibu, Sena, ibu barumu. Ayah … waktu itu enggak percaya kalau Ibu yang culik kamu.” “Ayah ….” Sena menundukkan kepalanya sebelum kembali menatap Ayah. “Enggak apa-apa, Yah. Ayah masih ayah Sena sama Yoshi. Sena pengen Ayah cepat keluar ….” “Sabar ya, Sena. Tinggal sekitar dua tahun lagi Ayah keluarnya ….” Aku memanggil, “Yah. Yoshi juga kangen Ayah …. Yoshi … ngerasa di rumah … enggak sama kalau enggak ada Ayah.” Ayah menepuk kepalaku. “Yoshi, kamu udah besar, udah naik kelas tiga SMA, bentar lagi … kamu akan kuliah, Nak, kamu juga harus lebih dewasa, tanpa ada Ayah.” “Yoshi tahu, Yah. Tapi … Yoshi juga repot sendiri.” “Yoshi, kamu juga jadi yang bertanggung jawab, semakin bertanggung jawab. Ayah sama Ibu udah enggak ada di rumah …. Ayah harap kamu bisa jadi lebih mandiri, biar kamu bisa siap di kehidupan bermasyarakat. Hidup.mandiri di kehidupan bermasyarakat itu berat lho.” “Iya, Yah. Yoshi pasti bakal belajar banyak. Yoshi janji … Yoshi bakal lulus tahun depan. Yoshi juga usahain … bakal kuliah di negeri (perguruan tinggi negeri).” “Mau negeri atau swasta, yang penting kamu bisa kuliah. Nanti … tanya sama Bu De Soraya aja buat biayanya ya.” Ayah pun kini menatap Bang Fandy. “Fandy … makasih udah bantuin Yoshi di rumah ya.” “Lho, enggak, Om. Fandy juga tergantung situasi juga, ya, ngebantu juga enggak sering-sering amat. Ada Mbak Mila juga yang seenggaknya lebih sering.ke rumah Yoshi daripada Fandy sendiri, sambil nyelesaiin skripsi juga.” “Syukurlah.” “Om, maafin Bang Fandy ya, pas waktu itu, pas Sena diculik, emang Om enggak tahu apa-apa.” Ayah menggeleng. “Enggak, Fandy. Om yang harusnya minta maaf.” Dia pun akhirnya berpesan mengingat waktu kunjungan semakin menipis. “Yoshi, Fandy, Sena … kalian … yang rukun ya, saling bantu, jangan malah diam-diaman. Ayah suka kalian akrab begini, terutama Yoshi dan Fandy juga. Ayah tahu Yoshi sama Fandy udah dekat dari kecil, kuatkan tali persahabatan kalian. Satu lagi, jangan sampai mau mewah-mewahan, tetaplah hidup sederhana, enggak peduli berapa banyak uang yang kalian punya–” “Waktu habis!” sahut petugas menenui kami. “Yah, baik-baik ya,” ucap Sena. “Yah … nanti kapan-kapan kita ke sini lagi,” ucapku sebelum meninggalkan jeruji besi dengan Sena dan Bang Fandy. “Hati-hati di rumah ya. Saling jaga,” ucap Ayah pamit. *** “Kak,” panggil Sena. “Kenapa, Sena?” tanyaku ketika kutemui dirinya yang tengah duduk di meja makan, menunggu nasi goreng buatan Bang Fandy. Aku pun mulai duduk menghadap Sena di meja makan yang tengah kosong, seperti saat kami menunggu agar makanan dari delivery atau takeaway tengah disiapkan, bedanya … tidak ada lagi Ayah dan Ibu di rumah. Menunggu Bang Fandy selesai memasak … memang terasa seperti menunggu mendiang Ibu memasak di dapur, ya, seperti dulu lagi. Saat Bang Fandy atau Mbak Mila tidak berkunjung ke rumah, aku juga belajar bagaimana caranya memasak, hanya mengandalkan resep dari internet, baik berupa teks atau video. Kalau memang malas membeli bahan makanan, kami andalkan makanan takeaway dari restoran atau delivery. “Sena … jadi ingat pas kita kabur dari rumah, pas kita bela-belain ke Jogja, terus ke Surabaya juga. Enggak diantarin sama orangtua.” Sena mengulum senyuman. “Ya … meski kita kabur dari Ayah sama Bu Wilhelmina … Sena juga mikirin hal-hal positif. Sena bersyukur banget … ada Kakak sama Bang Fandy.” “Ya, Kakak juga jadi dapat pelajaran berharga. Kakak juga bisa jadi lebih mandiri sama bertanggung jawab. Kakak juga udah tanggung jawab buat kamu lho, Sena.” Bang Fandy akhirnya tiba dari dapur membawakan tiga piring nasi goreng, layaknya seorang pelayan di restoran. “Nih, nasi gorengnya udah jadi.” “Asyik! Nasi gorengnya Bang Fandy enak banget. Paling enak malah!” seru Sena ketika Bang Fandy meletakkan ketiga piring nasi goreng di atas meja makan. “Lho? Katanya … nasi goreng buatan Ibu paling enak. Maksud Kakak, buatan mendiang Ibu,” aku mengingatkan. Sena pun geli. “Hihi, sama enaknya deng. Nasi goreng Bang Fandy sama enaknya kayak buatan Ibu dulu.” Bang Fandy pun tertawa ketika menempati kursi dekat Sena dan diriku. “Ha ha, Sena, Sena, bilang aja nasi goreng buatan Abang paling enak.” “Oh ya, Bang Fandy, Kak Yoshi. Sena … pengen bilang … jadi pengen balik ke Jogja, terus ke Surabaya. Pengen ketemu sama Kak Stella sama Kak Richard di kosan Bang Fandy. Pengen ketemu sama Bu De Soraya, Mbak Shilla, sama Mbak Mila juga di rumah Bang Fandy.” Bang Fandy berkata, “ Iya deh, nanti … kita liburan ke sana ya, kalau Ibu kasih banyak uang. Nanti Abang minta uang lebih deh biar kita bisa ke sana.” Aku memukul pelan pundak Bang Fandy. “Mending sekarang aja lah. Mumpung baru libur kok.” “Oh ya, Kak, Bang, kalau Sena bisa ke masa lalu, Sena pengen bilang ke Sena yang waktu itu, kalau dia bakal baik-baik aja, kayak Sena sekarang.” Aku tertawa. “Ha ha, seenggaknya kamu udah melalui semuanya. Kita semua udah melalui semuanya.” “Kalau kita hapus segala yang menyakitkan, setidaknya … pergi ke luar kota, enggak diantar Ayah sama Ibu … bakal jadi kenangan yang paling menyenangkan. Sena bisa kenal teman-teman Bang Fandy juga. Sena bisa ketemu Bu De Soraya lagi, bisa makan masakan buatan Mbak Shilla sama Mbak Mila juga.” Bang Fandy menganggapi, “Oh ya, Sena, yang penting … kita hadapi aja sekarang. Nanti tiap pelajaran sama nasihat yang kamu dapat bakal jadi pengalaman hidup, bakal berguna pada masa depan.” Aku mengangguk. “Iya, benar. Oh ya. Ayo makan gih. Entar keburu dingin.” Aku benar-benar bersyukur, setelah semuanya yang telah terjadi, kami masih bisa menjalani kehidupan normal meski ada beberapa kekurangan. Mungkin tidak seperti dulu lagi, tapi aku, bukan, kami akan membuat beberapa kenangan baru yang dapat menekan kenangan menyakitkan dan yang tidak ingin kami ingat sama sekali. Ini akan mulai menjadi kenangan baru, mulai dari sekarang. TAMAT Terima kasih telah membaca While We Ran Away hingga akhir. Semoga kalian menikmatinya. Description: Seorang remaja lelaki bernama Yoshi menyadari bahwa adiknya, Sena, tengah mengalami penindasan oleh sang ibu tiri. Tidak tahan dengan perlakuan sang ibu tiri, Yoshi membuat keputusan berani untuk membawa adiknya melarikan diri dari rumah.
Title: WIFI MALAPETAKA Category: Novel Text: WIFI MALAPETAKA WIFI MALAPETAKA Oleh : Aljas Saputra* Siapa aku? Ya, aku manusia. Siapa orang tuaku? Ya, orang tuaku juga manusia. Anak siapa aku? Ya, aku anak manusialah. Kenapa semua orang meperbincangkan aku. Padahal, aku sendiri masih utuh sempurna. Aku ya aku, aku bukan apa-apa yang kau sebut itu. Aku adalah manusia, asli manusia. Manusia yang berjenis kelamin laki-laki, itu saja. “tapi kenapa kau disebut anak wifi?” lagi-lagi pertanyaan itu. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, aku nyengir kuda, pada akhirnya akupun menjelaskan. Aku anak manusia. Tapi, aku disebut anak wifi, karena aku selalu menempel dengan yang namanya wifi. Julukan itu muncul, ketika semua orang sudah mengetahui, bagaimana diriku yang benar-benar tergila-gila dengan wifi. Awal aku menyukai wifi, adalah ketika aku benar-benar dilanda kemiskinan paket data. Gadget yang aku miliki, sehingga tiada guna tanpa kehadiran paket data. Mereka seakan, seperti pasangan suami-istri yang tidak dapat dipisahkan. Namun, wifi datang menjadi penyelamat. Pandangan pertama, serta selingkuhanku dari paket data ke wifi. Pertama wifi yang aku pakai, adalah wifi yang ada di perpustakaan sekolah. Kalau yang lain datang untuk membaca, aku datang hanya untuk menghampiri sang wifi. Setelah, berlama-lama menikmati wifi di perpustakaan sekolah. Aku mulai sadar, ternyata wifi ada dimana-mana. Aku pergi ke warung, ada wifi. Pergi ke cafe, ada wifi. Pergi ke pasar, ada wifi. Bahkan, pergi ke toilet umumpun, juga ada wifi. Ah, bercanda! Kalau memang ada toilet umum yang seperti itu, mungkin aku akan berlama-lama ada didalam toilet umum, hehehe.... Sejak itu, aku tidak betah ada di rumah. Karena di rumah, tidak ada wifi. Aku selalu, bepergian dari tempat satu ketempat lainnya, hanya untuk memburu wifi yang aku sukai. Karena pada nyatanya, aku ini orangnya juga pemilih. Wifi dengan koneksi tercepat, itulah yang aku sukai. Buat apa paket data, kalau pada akhirnya ada wifi yang menemani. Aku mah, lebih suka pergi ke tempat-tempat yang ada wifinya, daripada menghamburkan uang hanya untuk membeli paket data. Orang tuaku menyadari, ketika aku benar-benar jarang ada di rumah. Namun, apa aku harus berhenti menjadi penikmat wifi? Jawabanya tidak!. Akhirnya, orang tuaku yang baik itu, membelikanku wifi dan diletakkan tepat dikamarku. Sehingga, koneksi yang cepat, membuatku berbunga-bunga. Akupun memulai hari-hari dengan wifi yang baru dibeli. Aduhai, senang sekali aku. Ketika aku bosan dengan, sosial media, maka youtube hadir menemaniku. Kini, aku bukan lagi pemburu wifi, dengan pergi ketempat-tempat yang ada wifinya. Sebaliknya, aku adalah anak rumahan, yang sangat betah ada dirumah. Aku adalah orang yang mempunyai teman dunia maya lebih banyak daripada teman di dunia nyata. Kalau tidak percaya, lihat saja teman yang ada di facebookku, hampir mencapai 3000 orang. Prestasi yang membanggakan, silahkan bertepuk tangan. Karena wifi yang berteger di rumahku. Banyak pula, teman-teman yang selalu berkunjung kerumah. Katanya mau belajar, taunya matanya tidak lepas dari youtube yang dia tonton. Katanya, mau silaturahmi, eh dia sibuk pada sosial media. Semua tidak bisa aku biarkan begitu saja, mereka telah menodai wifi tercintaku dengan kata-kata bulshit. Naluri bisnisku lahir. Mereka yang mau sensasi wifi nyaman dan cepat di rumahku, aku menarik bayaran dari mereka. Bukan karena aku pelit, karena akupun membayar setiap bulannya untuk wifi tersebut. Bukan aku sih, tapi orang tuaku. Langganan wifi rumahku mulai resah, berbagai cara mereka lakukan untuk tidak membayar sepeserpun. Akhirnya, beberapa hacker wifipun lahir. Aku memang gila, karena aku sangat mencintai wifi. Namun, ada yang lebih gila dariku. Sebut saja namanya Mustafa. Kabar yang aku dengar, dia akan menikahi wifi. Aku terkejut. Bisakah dia menghasilkan anak dengan sang wifi? Aku heran mengapa ada orang seperti dia di dunia ini? Akupun tertarik untuk meneliti orang itu. siapa tau aku juga bisa menikahi wifi seperti dia. Isu itu, aku dengar dari gosip kelas tetangga. Mustafa, juga tergila-gila pada wifi sepertiku. Namun, dia beda. Dia lebih gila daripada aku yang hanya anak wifi. Kini orang itu, akan menjadi bapak wifi. Aku mulai mencari orang itu, dari kelas tetangga. Aku mencoba menyebut namanya beberapa kali. Seperti yang saya duga, kelas tetangga yang aku tanyain. Semuanya pada kenal dengan yang namanya Mustafa. Namun, yang membuat kecewa, aku tidak bisa berjumpa dengan orang itu. Dia telah tidak masuk sekolah setelah berbulan-bulan. Pada akhirnya, aku mulai menelusuri rumahnya. Namun, orang-orang yang kenal dengannya. Ternyata, tidak tau letak rumah pastinya. Mereka menyebut rumahnya, dengan tempat-tempat yang berbeda. Aku mulai tertantang untuk mengetahui lebih dalam tentang orang itu. Semua aku korbankan. Aku rela, tidak mengerjakan tugas sekolah, sampai bolos sekolah, hanya untuk mencari sosok orang itu yang mau menikahi wifi. Ada yang menyebutkan, rumahnya ada di rumah bakso jawa. Akupun kesana, namun yang aku jumpai hanya pentol-pentol dan beberapa orang yang menikmati pentol-pentol tersebut. Aku kembali, mencari beberapa tempat yang di duga rumah. Pernah aku ke cuci mobil, aku mikir, disana mustahil adalah rumahnya. Dan ketika aku kesana, ternyata memang bukan. Akhirnya, aku mencuci motorku yang kotor. Beberapa tempat aku kunjungi, warung, cafe, restoran, cuci mobil, got,tongrongan, namun nihil, disana bukan rumah Mustafa. Tempat terakhir yang aku datang adalah rumah besar yang terletak di sudut kota. Disana bukan tempat warung makan, atau cuci mobil yang kerap aku kunjungi. Jadi, rumah besar itu mempunyai bukti kuat bahwa disana adalah rumah Mustafa. Aku mencoba mengetok pintu, berharap Mustafa akan keluar bersama istrinya si wifi. Namun, yang keluar hanya tante-tante berbadan gembrot. Aku tanya tentang Mustafa, mereka malah menggeleng. Mereka memaksa aku masuk. Untung saja, aku punya kaki seribu, sehingga aku bisa berlari secepat mungkin dengan ngos-ngosan. Aku menyerah, telah berbulan-bulan mencari rumah Mustafa. Namun, tidak kunjung aku temukan. Aku mulai berpikir, bukankah setiap tempat yang aku kunjungi, pasti ada wifinya. Jangan-jangan mereka yang bilang, tempat-tempat itu adalah rumah Mustafa, ternyata hanya tempat nongkrongnya untuk menikmati wifi. Walah, kenapa aku gak berpikir ya. Telah aku temui, sahabat dekat Mustafa yang bernama Musil. Dia membocorkan, dimana rumah asli Mustafa berada. Aku senang, dari saking senangnya, aku langsung kesana. Rumahnya tampak sederhana, dengan beberapa tanaman bonsai yang menghiasi. Aku mengetok pintu, dan aku jumpai wajah Mustafa, yang selama ini aku cari. Badannya krimping, kumisnya jarang-jarang, ditambah lagi rambut yang gimbal. Telah aku ketahui, dialah Mustafa yang aku cari-cari selama ini. Mustafa mempersilahkan aku duduk. Dengan disungguhi kopi pahit, aku memulai perbincangan. “Kau Mustafa bukan?” “Ya, akulah Mustafa yang tampan itu,” jawabnya mantab. “Aku mau tanya?” “silahkan beribu-ribu pertanyaanpun tidak apa-apa” “apakah benar, kau menikahi wifi?” “Oh tentu!” jawaban itu membuat aku semakin bersemangat. “Benarkah? Gimana cara kau menghasilkan anak dengan wifi tersebut?” “Emang harus aku jelaskan? Aku malu!” “Tidak apalah, aku akan menjaga rahasia. Aku mohon!” aku memohon, agar dia dapat menjelaskannnya. Raut wajahnya, tampak kebingungan. Namun, kemudian dia mendekatkan mulutnya ketelingaku dan bebisik. “Tinggal masukin aja,” bisiknya. Membuat aku termenung sejenak. Aku heran bagaimana caranya? Sedangkan wifi sendiri tidak punya lubang sama sekali. Aku menghapus kebingungan tersebut dalam kepalaku, dan kembali bertanya. “Dia kan benda, bagaimana cara masukinnya?”aku balik berbisik. Raut wajahnya berubah, entah bagaimana aku mengundang amarahnya. “kau pikir istri ku benda!” Mustafa mulai mengamuk, dan mengusirku kasar. Aku masih heran. Namun, aku simpan keherananan tersebut. Aku kembali sekolah, namun nasib malang menimpaku. Lantaran mencari Mustafa berbulan-bulan. Dan selama itu akupun membolos. Aku dikeluarkan dari sekolah. Orang tuaku marah. Dia menjual wifi yang penah dia berikan padaku. Aku hanya diam, karena wifi itu aku dikeluarkan dari sekolah. Dan kini, aku hanya meratapi hidupku yang luntang-lantung. Ternyata, Wifi istri Mustafa adalah manusia. Nama panjangnya adalah Wifiatul Asifa, di panggil Wifi. Dulu memang Mustafa tergila-gila sama yang namanya wifi, sehingga dia menemukan beberapa tongkrongan untuk menikmati wifi. Diapun mencari istri, dan jodohnyapun kini dengan Wifi. “Dasar! Wifi pembawa malapetaka!” umpatku. *Aljas Saputra adalah seorang manusia yang hidup sejak 23 Maret 2000. Hobi menulis sejak SD hanya karena kesepian. Description: bagaimana jadinya kalau manusia mencintai WiFi? apakah akan terjadi pernikahan?
Title: when the wind blows Category: Novel Text: Angin itu Anindya berjalan menyusuri sebuah lorong kosong yang begitu gelap,dengan suara gemercik air memecahkan keheningan. Anindya menatap sekeliling, tempat ini begitu asing baginya tak seorangpun nampak disana. “aku dimana?” batin Anindya. Dia terus berjalan tanpa tujuan yang pasti, hanya berharap setitik cahaya terang akan menghampirinya Suara langkah kaki seseorang mulai terdengar, perlahan tapi pasti suara itu makin mendekat. Membuat suasana tambah menakutkan untuk anindya. Anindya berusaha mempercepat langkah kakinya, hanya saja kakinya terasa begitu berat seperti sesuatu menahan langkahnya, diapun terjatuh ketanah yang dingin nan lembab Sebuah bayangan menghampirinya, anindya sangat ketakutan, sekujur tubuhnya menggigil. Ingin sekali dia berteriak, tapi dia takut itu akan memperburuk suasana. Bayangan itu semakin dekat dan dekat. Anindya memejamkan matanya, sekian detik berlalu tak terjadi apapun padanya, akhirnya dia memberanikan diri untuk membuka mata. Saat mata Anindya terbuka bayangan itu lenyap seketika hanya hembusan ANGIN yang datang ke arahnya. Anindya membuka matanya dan menyadari bahwa yang dia alami hanyalah mimpi. “mimpi ini lagi” batinnya. Dia bergegas bangun dari ranjangnya dan duduk di meja belajarnya Anindya mengambil buku hariannya dan mulai menulis Rabu, 18 november 2019 Hari ini mimpi itu datang lagi, setelah beberapa hari tidurku tak terganggu, mimpi ini akhirnya datang lagi. Entah apa maksud dari semua ini. Apakah angin itu, atau siapakah angin itu?? Sesampainya di Kampus, anindya bergegas menuju perpustakaan. Dia memeriksa setiap rak buku yang ada di setiap lorong perpustakaan. Dia memilih beberapa buku yang ada kaitannya dengan alam bawah sadar manusia, rupanya Anindya begitu penasaran dengan arti mimpi yang dia dapatkan belakangan ini. Sambil berjalan menuju tempat duduk, anindya mulai membaca buku yang dia pikir ada kaitannya dengan mimpi. Tanpa dia sadari sebuah bangku menghalangi jalannya. Buku-buku yang dia pegang berjatuhan begitu juga dengan tubuhnya. Anindya memejamkan mata berharap rasa sakit yang akan dia rasakan tak separah lukanya tempo hari. “auuu... sikuku sakit sekali” rintihnya Beberapa orang yang ada di perpustakaan menghampirinya, beberapa dari mereka mencoba membantunya berdiri, bukannya berterima kasih Anindya malah membentak mereka “ aduhh.. gak usah repot-repot kalian aku bisa sendiri. minggir” gerutunya sambil mencoba berdiri Anindya bukanlah orang yang ramah, jauh dari kata ramah bahkan. Dia tak segan-segan menolak pertolongan orang lain. Bahkan dalam keadaanya saat ini. Hal yang sudah tak asing bagi teman-temannya, Anindya sangat populer di kampus terutama di Jurusan Hukum, jurusan yang dia ambil saat ini. Bukan hanya karena prestasi belajarnya atau hal baik lainnya melainkan karena ke angkuhannya. Katanya dia punya alasan untuk itu, dia selalu mengatakan “ namaku Anindya yang berarti Tanpa cela, aku sempurna aku bisa melakukan segalanya sendiri” Di sebuah kelas mendekati jam kuliah dimulai, terlihat Dinar sedang menunggu Anindya. Dinar terlihat sangat cemas “Dya.. kamu dimana, bentar lagi kelas dimulai nih” Tak berapa lama Anindya muncul dengan memegangi sikunya. Dinar langsung menghampirinya “kamu kemana aja, bentar lagi kelas dimulai nih” “habis dari perpus, perhatian banget sih kau sama aku” “aku ga peduli kamu ngapain diperpus, aku nunggu kamu karena tugas kita. Jadi mana makalah yang kemarin aku kasih kamu” “kirain.. iya bentar-bentar ada di tas ko” Anindya membuka tasnya, satu persatu buku yang ada di dalamnya dia keluarkan. Perlahan raut mukanya mulai berubah. “kayaknya tadi malem udah aku masukin tas deh makalahnya, kok ga ada ya” seru Anindya Dinar mulai panik, mengingat makalah itu harus dikumpulkan hari itu juga “jangan bercanda dong dya, kamu tau kan dosen teori hukum kita killernya minta ampun” “aku ga lagi bercanda Dinar, beneran ga ada” Anindya terdiam sejenak dan mulai mengingat.. “mati kita.. kayaknya makalahnya jatuh di perpus deh” “Anindya.. kok kamu ceroboh banget sih” Bell berbunyi tanda kelas akan dimulai. Anindya terduduk lesu di bangkunya sambil menundukkan kepala “tuhan bantu aku” serunya dalam hati, anindya mengangkat kepalanya dan menyadari orang yang berdiri didepan kelas bukan dosen yang seharusnya mengajar kelas hari ini. Anindya menoleh ke arah Dinar “din itu siapa?” “gak tau” jawab Dinar singkat. Orang itu mulai merapikan mejanya, dan mengamati para mahasiswa yang ada di kelasnya. “perkenalkan saya Raffa Daneswara, assistent dosen teori hukum kalian. Hari ini prof. Diksa sedang ada hal penting yang harus beliau urus, jadi materi hari ini saya yang akan menyampaikannya” jelasnya “baik..” jawab para mahasiswa serentak “hari ini kita mulai dengan membahas tugas makalah yang sudah Prof berikan ke kalian. Tolong maju kedepan dengan tugas kalian” Satu per satu teman-teman sekelas Anindya maju menyerahkan tugasnya, hanya tersisa Anindya dan Dinar yang belum mengumpulkan. Raffa memandangi Anindya dan Dinar, seperti memberikan mereka isyarat. “saya tidak akan menyebutkan nama kalian disini, yang merasa belum mengumpulkan tugas silakan kedepan. Tolong berikan saya alasan yang cukup masuk akal kenapa anda belum menyelesaikan tugas” Tanpa banyak berpikir Anindya berdiri dan melangkah kedepan kelas. Anindya menatap dalam mata Raffa “tugas kami sudah selesai hanya saja saya menghilangkannya di perpustakaan pagi ini” Raffa bangun dari tempat duduknya, dan berjalan ke arah tempat duduk mahasiswanya. Dia membalikkan badannya mengarah ke tempat dimana Anindya berdiri. “apakah menurut kalian alasan yang diberikan oleh saudari Reva Anindya bisa dianggap masuk akal untuk usia sepantaran kalian” tanya raffa Tak ada yang berani menjawab pertanyaan Raffa, bahkan Dinar juga terdiam. Sebagai seorang Assisten dosen Raffa memiliki karisma yang sangat luar biasa, tak hanya tampan, dari penampilannya saja dia sudah terlihat dewasa ditambah pola pikir dan IQ yang tinggi tak heran diumurnya yang hanya selisih 3 tahun dari Anindya, dia segera akan mendapatkan gelar master-nya. “baik saya berikan satu kesempatan, bagi kalian yang belum mengumpulkan makalah hari ini. Selain tugas itu kalian juga harus membuat essay mengenai hukum pidana. Saya tunggu sampai besok” lanjut raffa Anindya tak bisa berkata apa-apa, dia terdiam sambil kembali ketempat duduknya. Kelas hari itu terasa begitu lama bagi Anindya, “sial kapan sih selesai nih kelas, aku udah muak banget sama assisten dosen satu ini. Baru jadi assisten aja udah sombong minta ampun” gerutunya dalam hati Akhirnya yang ditunggu-tunggu anindya tiba. Kelas berakhir “baiklah kita akhiri sampai disini, sampai jumpa di mata kuliah selanjutnya” raffa meninggalkan kelas. keesokan harinya diruangan dosen, terlihat raffa tengah asik dengan bahan-bahan mengajarnya. Nampaknya Raffa sangat menyukai pekerjaannya. Tak berapa lama terdengar suara ketukan pintu tok.. tok.. tok.. Raffa mengarahkan matanya ke arah pintu, ternyata yang datang mengunjunginya saat itu adalah Anindya. Gadis itu datang dengan dua buah map ditangannya. Tanpa basa-basi Anindya meletakkan kedua map itu kemeja kerja Raffa. “ini makalah dan essay yang anda minta bapak Raffa daneswara” kata anindya dengan ketusnya Raffa tak menggubris perkataan Anindya, dia hanya mengambil map itu dan mulai membacanya. “kalau begitu saya permisi” tambah anindya Baru beberapa langkah berjalan, anindya berhenti saat raffa mengatakan “seharusnya keteledoranmu itu tidak menimbulkan masalah untuk orang lain, khususnya orang yang percaya padamu” Anindya membalikkan badan dan berkata “ maksud anda?” “saya tau bukan hanya tugas anda yang hilang tapi anda juga menghilangkan tugas dari saudari dinar bukan, anda membuatnya terkena masalah hanya karena keteledoran anda” “bukankah saya sudah mengumpulkan tugas yang anda berikan, saya rasa itu sudah cukup. Anda tidak perlu mengurusi urusan saya dengan dinar, permisi” Anindya langsung meninggalkan ruangan itu tanpa berkata banyak lagi. Raffa berjalan menuju perpustakaan untuk mengambil beberapa buku, dia memeriksa setiap lorong yang ada disana tanpa sengaja dia menjatuhkan beberapa buku ke lantai. perlahan raffa mulai mengambilnya, pandangannya tertuju pada sebuah buku yang nampak berbeda dari yang lainnya. Benar saja rupanya itu adalah sebuah makalah. Raffa membukanya dan menyadari bahwa makalah itu adalah tugas yang seharusnya diserahkan oleh anindya tempo hari. “aku tak menyangka kita akan dipertemukan seperti ini” kata raffa sambil tersenyum memandang makalah yang ada di tangannya. “Bruk...” terdengar sesuatu jatuh kelantai, raffa segera menghampiri asal suara itu. Terlihat Anindya tengah berdiri disebuah bangku, dia berusaha mengambil sebuah buku yang terletak di rak atas. “kamu sedang apa” tanya raffa pada anindya Anindya tampak terkejut dengan kedatangan raffa, tanpa sadar dia kehilangan keseimbangan dan... “Aaa.. aa..” kursi yang dinaiki anindya bergoyang, tak bisa dihindari lagi anindya pun terjatuh, raffa dengan sigap meraih tangan anindya. “Dubrak..” suaranya terdengar begitu keras anindya jatuh tepat diatas raffa Cukup lama mereka saling menatap, hingga akhirnya anindya tersadar akan posisinya yang kini tepat berada di atas assisten dosennya. Anindya bergegas bangun, dan minta maaf. “Maaf saya tidak sengaja,” dengan suara terbata-bata Anindya langsung pergi dari tempat itu, raffa hanya bisa diam, seperti dia tidak mengerti apa yang telah terjadi. Raffa memutar kembali ingatannya saat anindya terjatuh tadi, tanpa dia sadari senyum lebar mulai menghiasi wajah tampannya ketika kita ingin saling mengenal Satu per satu langkah kaki anindya menaiki tangga menuju kamar tidurnya, Kakinya terasa begitu berat untuk melangkah saat ini. Perlahan dia membuka pintu kamar tidurnya dan segera menuju tempat tidurnya tanpa berlama-lama anindya langsung membaringkankan tubuhnya di sebuah boneka beruang besar pemberian ayahnya. “pussy hari ini aku lelah sekali”keluh anindya pada boneka beruang besar itu. Anindya menghela nafas panjang dan memejamkan matanya untuk sejenak dan berkata “ kenapa aku harus minta maaf” Dia tampak begitu kesal sekarang, rupanya anindya masih memikirkan kejadian tadi siang di perpustakaan kampus. “kenapa aku harus minta maaf coba, aku kan tidak sengaja terjatuh lagi pula aku tidak minta dia untuk menolongku” keluhnya dalam hati. Anindya beranjak bangun dari tempat tidurnya, “sebaiknya aku mandi” Keesokan harinya, anindya pergi ke kampus seperti biasanya. Menaiki mobil kecilnya dia melaju menuju jalan raya. Tak perlu waktu lama untuknya sampai ditempat tujuannya, hanya saja sekarang dia bermasalah dengan tempat parkir. Masalah yang sangat sederhana namun rumit. “kenapa hari ini parkirannya terasa begitu kecil ya” batin anindya “sepertinya aku bisa parkir disana”. Anindya melihat ada tempat kosong, dia bergegas memarkirkan mobilnya tapi sayang hanya berselang beberapa detik, sebuah mobil berwarna putih memasuki area itu. Merasa tak terima anindya membunyikan klakson mobilnya dengan begitu keras. Merasa terganggu sang pengemudi mobil putih turun untuk menegurnya “tok tok tok” suara kaca mobil anindya di ketuk, tanpa berpikir panjang anindya langsung membukanya. Kata-kata makian sudah ada diujung lidahnya. “itu parkiran sa..” suaranya terhenti saat melihat orang yang datang menghampirinya adalah sesosok pria tampan yang begitu populer di kampus. Pria itu Theo, Theo mahendra dari jurusan kedokteran universitas yang sama dengan anindya. Theo sudah terkenal semenjak zaman ospek, dari senior hingga junior tak ada yang tak jatuh hati padanya. Tampan, tinggi, putih dengan tubuh atletis, siapa yang tahan dengan pesonanya. Begitu pula dengan teman-teman anindya termasuk dinar diantaranya. “Pantesan, kamu ternyata” lanjut anindya, raut mukanya langsung berubah menjadi kesal “Udah lama ya kita ga ketemu” sapa theo “udah lama ya, ga peduli tuh” Theo hanya tersenyum senang melihat expresi anindya. “Udah minggir, mau lewat” lanjut anindya sambil menutup kaca mobilnya Theo berusaha menahannya “aku kan belum selesai bicara” Anindya tak menggubris perkataan theo, mobilnya segera melaju mencari lahan parkir kosong lainnya. Sesampainya di ruang kelas, dinar berlari menghampiri anindya. “Kamu udah denger belum, theo uda balik dari program pertukaran pelajar di jepang. Hari ini dia mulai ngampus lo” dinar nampak begitu antusias dengan kepulangan theo ke Indonesia, berbalik halnya dengan anindya, anindya sangat terganggu dengan kembalinya theo ke kampus. Anindya dan theo dahulu pernah menjalin kasih. Hampir 1 kampus tau akan hubungan mereka. Pasangan serasi katanya.. yang cowok ganteng, tinggi, pintar dan anindya cantik, pintar ya walaupun sifatnya jauh dari kata ramah. Hampir 2 tahun lamanya mereka pacaran, tapi sayangnya hubungannya harus berakhir saat theo memutuskan untuk ikut pertukaran pelajar kejepang satu tahun lalu. “anindya kamu dengar aku ga sih” keluh dinar “iya aku dengar,hanya saja aku tidak tertarik dengan itu” jawab anindya “masa? Yakin kamu.. theo tambah ganteng lo baru pulang dari jepang” “iya terus” “ih kamu kok gitu sih, kamu ga ada niat buat balikan lagi sama dia? Kan sekarang dia uda di indo lagi” “engga, ga akan pernah. Udah jangan bahas dia lagi” anindya langsung menutup telinganya dengan earphone yang dia bawa saat itu. Dinar telihat menyerah dengan anindya, dia pun segera kembali ke tempat duduknya. Jam pulang kuliah telah tiba anindya memutuskan untuk tidak langsung pulang, dia berjalan menuju perpustakaan. Sesampainya disana dia mulai sibuk mencari beberapa buku untuk materi kuliahnya. Hari itu tak banyak mahasiswa yang datang ke perpustakan, anindya hanya melihat beberapa orang disana. Anindya duduk di sebuah meja dekat jendela, meja yang menjadi tempat favoritenya belakangan ini Raffa tak sengaja lewat dekat tempat duduk anindya, langkahnya terhenti saat melihat anindya tengah sibuk dengan buku-bukunya. “haruskah aku diam disini” batin raffa, Rupanya raffa menaruh ketertarikan pada anindya. Tanpa dia sadari matanya tidak berhenti menatap anindya “sebaiknya aku kembali ke kantor saja” raffa membalikkan badan hendak pergi dari tempat itu . “ahh..”raffa menarik nafas panjang dan kembali menuju tempat anindya tadi duduk, tapi sayangnya saat dia sudah dekat dengan anindya, seorang pria datang menghampiri anindya terlebih dahulu. Dia theo. “eh ketemu lagi kita” sapa theo pada anindya “aku sedang tak ingin diganggu” kata anindya tanpa menoleh ke arah theo. “Ayolah anindya kamu masih marah sama aku?” Anindya diam tak menjawab sedikit pun. “please kamu jangan marah lagi, aku udah pulang sekarang, kita bisa pacaran lagi kayak dulu” Anindya bangun dari tempat duduknya dan merapikan tempat duduknya. “ aku sibuk” katanya “tapi masih banyak yang ingin aku bicarakan tentang kita” “tapi aku tidak” anindya pergi meninggalkan theo Anindya berjalan dengan tergesa-gesa, dia tidak ingin theo menghampirinya lagi. “sebaiknya aku pulang saja” Sesampainya anindya di rumah ingatannya kembali ke masa saat dia masih bersama theo. Diawali saat awal semester mereka masuk ke universitas bakti negara, mereka sama-sama orang yang dikagumi karena prestasi belajar mereka, tak heran banyak yang suka sama, mulai dari mahasiswa seangkatan sampai kakak tingkat. Tak sengaja mereka harus mengerjakan tugas bersama sebagai panitia pekan olahraga di kampus. Saat itu mereka mulai dekat satu sama lain, banyak hal yang mereka harus kerjakan membuatnya harus menghabiskan waktu seharian bersama. “kamu bosan ga sih diem disini” kata theo saat mendapat tugas jaga stand bersama anindya “hmm.. lumayan sih” jawabnya “gimana kalau kita keluar sebentar” ajak theo “kemana?” “ya jalan aja dulu, nyari angin” “angin kok dicari” kata anindya sambil tertawa Mereka pun melangkahkan kaki menuju taman yang ada dibelakang kampus, banyak hal yang mereka bicarakan, mulai dari hobi, makanan kesukaan, sampai masalah pribadi mereka masing-masing. Tak perlu waktu lama bagi theo untuk jatuh hati pada anindya, begitu pula sebaliknya. Mereka pun saling jatuh cinta. Seminggu setelah acara pekan olahraga berakhir, theo memutuskan untuk menyatakan perasaanya kepada anindya. Saat itu anindya tengah menonton pertandingan basket antar fakultas, theo bergabung dengan alah satu team yang masuk final “ayoo semangat..” teriak para penonton Anindya merasa sangat gugup kala itu, jatungnya berdetak dengan sangat kencang saat menatap theo. “anindya fokus, fokus” batinnya Saat pertandingan tiba-tiba saja theo terjatuh dan pingsan, semua yang menonton terkejut olehnya. “kenapa tuh si theo,” seru dinar Anindya langsung berlari menghampiri theo yang berbaring di lapangan tak ada yang berani mendekat saat itu, hanya anindya seorang yang bersimpuh disamping theo berusaha membangunkannya. “theo.. kamu kenapa bangun dong” seru anindya, theo tak merespon sama sekali. “yang lain bantuin dong, ambilin minyak angin cepat” anindya tampak begitu cemas, tanpa dia sadari anindya mula menangis. “theo bangun dong” kata anindya terbata-bata Tiba-tiba saja theo terbangun dan tersenyum kepada anindya “kamu takut aku kenapa-kenapa ya, kok sampai nangis gitu” “kamu gak kenapa, kamu ga lagi pura-pura pingsan kan?" Teman-teman mereka menyadari apa yang direncanakan theo, satu persatu dari mereka pun mulai menjauh meninggalkan anindya dan theo ditengah lapangan. Anindya kesal dibuatnya, dia segera berdiri dan melangkah pergi, tapi anindya kurang cepat dari theo. Theo menarik tangannya dan memeluk anindya dengan erat. “ciee.....” seru teman-teman mereka dari pinggir lapangan “lepasin ga” anindya mulai memberontak “engga sebelum kamu bilang kamu mau jadi pacar aku” sahut theo “ahh.. kamu apa-apaan sih, lepas” “ini aku lagi nembak kamu tau” Anindya terdiam, dia tak menyangka laki-laki yang dia sukai mengajaknya untuk berkencan “kamu mau kan” lanjut theo “lepas dulu baru aku jawab” kata anindya, theo pun melepaska pelukannya “sekarang jawab aku” “aku ga suka cara kamu” “iya aku minta maaf kalau aku kekanak-kanakan, habis aku uda ga punya ide lagi buat nembak kamu” kata theo sambil terus tersenyum “aku khawatir banget tau, takut kamu kenapa-kenapa” “itu berarti kamu sayang sama aku, jadi kita pacaran ih”seru theo “aku belum bilang apa-apa” “tanpa kamu bilang aku udah tau kok, kalau kamu juga sayang sama aku” theo memeluk anindya sekali lagi dan kali ini terbalas, Anindya mebalas pelukan theo dengan erat. “ i love you reva anindya” bisik theo di telinga anindya. “ i love you too theo mahendra” balas anindya Hari itu anindya dan theo resmi pacaran, hari-hari mereka lalui bersama dimana ada anindya pasti ada theo disana walaupun beda fakultas theo selalu menyempatkan diri untuk bertemu anindya. Berita mereka pacaran tersebar begitu cepat, melihat keduanya memang sedari awal sudah dikenal banyak orang. Hitungan tahun telah berlalu, tak pernah ada masalah yang berarti dalam hubungan mereka. Anindya merasa sangat beruntung mendapatkan pacar seperti theo tak hanya perhatian theo sangatlah romantis. Banyak hal yang sudah theo lakukan untuk hubungan mereka. Suatu hari di taman sekolah anindya tengah berduaan bersama theo, mereka terlihat begitu bahagia. “sayang.. kita nikah yuk” ajak theo “kamu apaan sih, bercandanya gak lucu tau” jawab anindya sambil tertawa “ih.. ini beneran tau, aku udah mikirin ini dari lama. Kalau aku harus nikah aku maunya sama kamu” “iya-iya tapi engga sekarang kan ya” “aku bakal lamar kamu pas aku balik ke indonesia” “balik ke indo maksud kamu?” “aku ikut program pertukaran pelajar ke jepang, minggu depan berangkat” “apa? Kamu kok ga ada bilang sama aku sebelumnya” “iya maaf aku lupa” ata theo sambil sedikit tertawa “kamu bilang kamu serius sama aku tapi bisa-bisanya dengan hal yang begitu penting kamu gak kasi tau aku” nampaknya anindya marah dengan keputusan theo yang akan berangkat ke jepang tanpa memberitahunya sejak awal. “aku pergi ga lama kok, Cuma 2 tahun” “2 tahun bukan waktu yang cepet theo, aku juga gak yakin bisa LDRan” “kita pasti bisa, kamu tunggu aku ya” theo berusaha untuk meyakinkan anindya untuk menunggunya. 2 bulan setelah keberangkatan theo ke jepang, dia mulai susah untuk dihubungi. Anindya mengirimkan pesan setiap hari tapi perlu waktu 3-4 hari untuk mendapatkan balasan. Pesan text : Anindya : sayang kamu baik-baik kan disana? Anindya : jangan lupa makan dan istirahat Anindya : saat kamu ga sibuk balas pesanku.. Lama anindya menunggu, tapi balasan pesan dari theo tak kunjung datang. Suatu hari balasan pesan yang ditunggu anindya datang, dengan begitu semangat anindya membukanya, “leo.. ini pacar aku” begitu pesan yang tertulis Sepertinya theo salah mengirimkan pesan, anindya mencoba mebuka file yang dikirim theo padanya. Betapa terkejutnya anindya saat membukanya, ia melihat foto dimana theo sedang berpelukan dengan seorang wanita dengan berlatarkan pohon sakura disana. Semenjak saat itu anindya tak pernah membalas pesan yang dikirimkan theo padanya. Hingga akhirnya hari ini mereka bertemu lagi. Description: Memulai suatu hubungan bukanlah hal yang mudah, perbedaan sudut pandang sampai karakter terkadang menjadi alasan. Tapi akankah kita tau saat kita saja tidak ingin mencoba. Bukalah sedikit saja hatimu, belajar untuk mencintai bukan hanya dicintai. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta antara Reva Anindya seorang gadis cantik yang angkuh dengan Raffa Daneswara pemuda tampan dengan kepribadian yang sangat dewasa yang selalu mengalah untuk Anindya. Anindya tak pernah percaya akan cinta sejati, baginya semua kisah cinta sama saja akan berakhir dengan air mata. Bukan tanpa alasan, kisah hidupnya yang membawanya menjadi pribadi yang keras dan sulit untuk didekati. Akankah anindya membuka hatinya untuk cinta yang baru? Ataukah dia akan tetap dengan pendiriannya.
Title: When He Text You After Midnight Category: Adult Romance Text: KB - Aturan Main Kos Bersama Sebelum melanjutkan membaca cerita ini, mohon dibaca baik-baik surat perjanjian yang ada dan dijalanin semestinya. Kalau ada pertanyaan silahkan ajukan pertanyaan ke kontak yang sudah diberikan sejak awal. ----------------------------------------- Kewajiban Penghuni: Berusia minimal 20 tahun. Menjaga rahasia Menjalankan kewajiban seperti seharusnya. Hak Penghuni: Mendapat kenyamanan selama tinggal di gedung ini. Memanfaatkan fasilitas tanpa mengganggu hak penghuni lain. Ikut serta dalam mengambil keputusan bersama demi kebaikan seluruh penghuni. ----------------------------------------- Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama: _____________________________________ No. Telp: ___________________________________ No. Kamar: _________________________________ Dengan ini menyatakan bahwa saya berusia minimal 20 tahun saat memasuki gedung Kos Bersama dan akan menjaga rahasia yang saya dengar dan lihat kepada diri saya sendiri. Saya tidak akan menuntut penjelasan yang akan merugikan pihak lain dan bersedia menerima sanksi sosial yang diberikan apabila ditemukan pelanggaran di kemudian hari. Saya juga akan melaksanakan kewajiban saya sebagai penghuni dengan sebaik-baiknya dan menggunakan hak saya sewajarnya tanpa mengganggu hak asasi penghuni lain. Jakarta, _______________ Penghuni Kos No. ___ _____________________ KB - Penghuni Kos Bahagia Warning: Penting dibaca sampai selesai dan patuhi semua aturannya! Ada pepatah bilang tidak kenal maka tidak sayang. Karena itu kuberi sedikit spoiler siapa saja penghuni Kos Bahagia. Setelah selesai membaca chapter ini, harap kunci rapat-rapat semua informasi yang kalian tahu. Jangan bicarakan sepatah kata pun informasi dari chapter ini ke penghuni lain. Nanti kamu dikenakan sanksi! Lantai Bawah 1. Victoria (Vic / Baby Girl) Penghuni paling baru dan merupakan penghuni termuda nomor dua setelah Robyn. Saat ini berstatus mahasiswi aktif di Universitas Lima Cakrawala dan punya pekerjaan sampingan sebagai selebgram dengan 13,000 followers. Para penggemarnya menamai diri mereka 'Kesayangan' dan sosok Vic adalah kekasih bersama. Dia punya akun Twitter diaryofnona_v yang dirahasiakan dari semua followersnya. Akun ini dijalankan sejak SMA dan jumlah followersnya stuck di angka 1250. Setiap bulan, dia akan membuka pre-order khusus foto-foto dirinya ke penggemar VIP. Semakin mahal harga paket, semakin banyak keuntungan yang didapatkan para VIPs. Mau tau apa saja keuntungannya? Pilih opsi 'Dinner' saat check out. 2. Karina (Baby Queen) Penghuni kamar nomor 2B. Pekerja kantoran yang menjalin hubungan beda agama dan ditentang orang tua. Hobinya berhubungan dengan kesehatan; mencoba tips diet terbaru, yoga, senam aerobik, dan kadang suka ikut-ikutan puasa makan. Tidak lupa memborong berbagai pil dan minuman yang klaimnya bisa menambah tinggi badan. Kesibukannya di kantor tidak membuat jaringan informasinya tersendat. Kalau butuh info tentang penghuni lain, bisa ketok kamar 2B. 3. Alice (Bukan nama sebenarnya / Just Baby) Penghuni kamar 3B yang jarang pulang. Semenjak Covid dan WFH, dia pulang ke kampung halaman di Surabaya. 4. Fathia (Ms. Netijen / Baby Sugar) Satu-satunya hijaber yang akun Instagramnya sudah centang dan di-endorse oleh banyak olshop. Tapi di mata penghuni lain, Fathia adalah Netijen. Dia sering negur Vic karena dirasa selera pakaiannya terlalu mengumbar aurat, tapi nggak pernah protes kalau para penghuni cowok mondar-mandir tanpa atasan. Sebelum pandemi, dia bekerja di sebuah perusahaan kosmetik. Makanya sering bawa pulang dan mereview produk kosmetik perusahaan saingan dengan tambahan 'Teh'. Oops! Lantai Atas 1. Alexander Robyn Penghuni termuda. Statusnya sebagai mantannya Victoria membuat penghuni lain maklum kalau mereka sering kepergok lagi berduaan di dapur atau lagi berantem karena ngebahas makanan. Menurut poling penghuni, Robyn adalah penghuni terganteng. Statusnya sudah bukan koass, tapi belum jadi dokter karena ujian profesi UKMPPD dibatalkan akibat pandemi. Kalau lagi butuh duit, dia bakal aktif jaga klinik atau jadi asisten dokter spesialis di kampusnya. 2. Fabian Efraim Semua orang menjuluki 'The Stone'. Orangnya jarang berekspresi, ngomong seperlunya, tapi sekalinya ngomong bisa bikin orang depresi. Waktu lulus kuliah dapat gelar cum laude dan sekarang menggantikan salah satu dosen di kampusnya yang cuti. Menurut Jacob, Fabian is his style and he would date him any time. Tanpa sepengetahuan penghuni lain, Fabian pernah tunangan dan ditinggal selingkuh sehari sebelum hari pernikahan. Sejauh ini penghuni KB taunya dia nggak laku karena batu banget. 2. Ganesa Hutama (Gen / The Real Kos' Owner) Mengaku penghuni paling ganteng dan nggak ada saingan. Satu almamater waktu sekolah sama Robyn, tapi nggak pernah teguran karena beda geng. Panggilan 'Baby' khusus dia berikan untuk penghuni perempuan. Jangan ditanya kenapa. Selama tiga bulan nggak pulang karena ngiterin pulau Jawa sama Jeep kesayangannya. Karena nggak punya kerjaan, sehari-hari cuma ngabisin waktu di kamar atau di ruang tengah sambil ngegonjreng ukulele. Ganesa nggak bisa nyanyi. Kos ini dirintis sejak awal dia kuliah dan modalnya dari ayahnya yang direktur rumah sakit. Dibantu adiknya yang jago hitung-hitungan, dia mengelola KB dengan tujuan menjadikan KB rumah keduanya. Tapi, fakta bahwa dia adalah owner sebenarnya dirahasiakan. Penghuni lain taunya dia adalah penghuni yang paling dipercaya Ibu Kos, sehingga semua keluhan penghuni harus melalui Ganesa sebelum diteruskan ke Ibu Kos.. 3. Jacob Reid (Jack / Mom) Nggak ada yang tau Jacob kerja apa. Sehari-hari dia pergi dari jam 8 dan pulang jam 6-7 sore. Pacarnya Jacob sedang merintis karir dan diketahui sering ngirimin makanan buat seluruh penghuni kos. He's a good listener dan memegang hampir seluruh rahasia penghuni kos. Better be careful around him. 4. Michael Wicaksana (Mike, Mickey) Duda anak satu yang kehilangan hak asuh anak. Mantan istri dan anaknya sekarang pindah ke Jogja. Every once in a while, Mike bakal berkunjung ke Jogja untuk ketemu anaknya. Mike bekerja di perusahaan penerbitan dan setiap kali dia pulang bawa buku baru pasti dikasih ke Vic. Karena dia nggak suka baca buku. Kalau komik masih bisa dia toleransi. Ada kabar yang beredar, Mike bercerai karena istrinya jengkel dengan hobi Mike yang mengoleksi action figure karakter idol wanita. Tapi, semakin lama mengenal Mike, para penghuni yakin kabar itu benar adanya. The Fucking Pandemic Vic meraih ikat rambutnya lalu menjepitnya dengan bibir selagi kedua tangannya mengumpulkan rambut ke atas kepalanya. Tangannya menyisir helai yang tertinggal, setelah semua terkumpul, ia kendurkan sedikit, dan diikatnya membentuk sebuah cepol besar yang membumbung di kepalanya. Matanya lalu memerhatikan layar ponselnya lalu ia tertawa kecil. "You're welcome, NamakuGilang," ujarnya sambil mengedipkan mata. "Sebenernya aku penasaran, deh. Kenapa sih cowok suka ngeliat cewek lagi nguncir rambut? Banyak banget yang nge-tag aku dan bilang pengen liat aku nguncir rambut." Victoria memiringkan tubuhnya lalu memperagakan gerakan menguncir yang dilakukannya tadi. "Honestly, Guys. I don't get what so sexy about this pose." NamakuGilang: cm cwo yg ngerti ;) Barbarney: ur so sexy, Vee! Xtopher123: keteccccccccccccc!!!!!!! NamakuGilang: Xtopher ss-ed! GantengKB02 has joined the live Xtopher123: mimpi apa gwa pagi" liat ketecc Vee Xtopher123: jd brasa masi di alam mimpi Barbarney: ada yg lagi bangun tapi bukan gedung pencakar langit GantengKB02: Morning, Baby Girl. Vic tersenyum sambil terus menggulir kolom komentar. Kepalanya bergerak mengikuti irama lagu yang diputar di laptopnya secara acak. "Good morning," jawabnya pada belasan komentar dari pendatang baru. "Lagi pada ngapain, nih? Kampus atau kantor kalian udah libur belum?" Belasan komentar langsung bersahutan menjawab. "Sebenernya, aku senang banget bisa bangun siang. Thanks to pandemic," ungkapnya sambil menatap kalender di meja. "But this whole fucking pandemic is so scary. Bayangin kita lagi ngobrol santai di kafe favorit dan pulang-pulang kita malah nularin ke orang rumah." Vic menggeleng lalu memeluk tubuhnya sendiri. "Semoga kalian tetap semangat walau di rumah aja," ujarnya sambil meletakan dagu di kedua telapak tanganya. "Untuk yang masih harus kerja dan kuliah, jangan lupa pakai masker, ya? Sama cuci tangan." Sementara kolom komentar ramai dengan obrolan dari para penonton siaran langsung, Vic meraih ponselnya. Ponsel yang dipergunakan khusus untuk kesehariannya. Dibukanya sebuah pesan yang berada paling atas dan senyumnya merekah. Setelah meletakan ponselnya kembali di meja, Vic kembali menghadap kamera. "Karena aku bakal di rumah aja entah sampai kapan, mungkin akan kucoba bikin konten live yang lebih seru. Nanti kubuat post pertanyaan ... apa, nih? Pagi-pagi nge-live, udah sikat gigi apa belum?" Vic tertawa membaca komentar dari salah satu penontonnya. "Aku udah mandi, ih! Anyway, Guys. Nanti dijawab ya pertanyaanku. Biar aku tahu kita mau ngobrolin apa di live selanjutnya.." Selama 45 menit Vic mengobrol dengan puluhan penonton siaran langsungnya dan membahas banyak hal. Sampai jam menunjukan pukul 10, Victoria akhirnya mengakhiri siaran langsung dengan alasan sudah mulai lapar. Saat ia membereskan meja yang ia acak-acak selama melakukan siaran, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan kembali muncul di daftar notifikasi paling atas. Setelah membubuhkan parfum di sweater ungu dan di bagian belakang telinganya, Vic langsung ke luar ruangan. - - - Saat Vic tiba di dapur, seseorang sudah menunggunya di meja bar. Kedua tangannya langsung membentang lebar. "Ganesaaaa!!" "Good morning, Baby ..." Ucapan Ganesa terhenti karena Vic keburu menghamburkan pelukannya. Pria itu tertawa saat tubuh kurus Vic berusaha memeluk tubuhnya yang dua kali lipat besarnya. Wangi parfum segar kini bercampur bau asap rokok. "I miss you too." "Kapan balik, Gen?" "Semalem. Sarapan dulu, gih. I've made you coffee." "Asyik!" seru Vic sambil menghentak kakinya di lantai dengan tidak sabar. Setelah mengambil sendok, didudukinya kursi di samping Ganesa. Segelas kopi yang masih mengepulkan asap digeser mendekat ke piring Vic, aromanya langsung membuat tubuh Vic merinding. "Jangan diminum dulu, nanti mateng lidah lo." Ganesa memperingatkan saat Vic nyaris menenggak kopi buatannya. Ganesa duduk di samping Vic, rokoknya sudah ia padamkan. "Souvenirs," ujarnya sambil menggeser sebuah paper bag bermotif batik yang ditumpuk di atas sebuah kardus besar. "Sorry, ya. Gue nggak bisa beliin makanan yang lo sebutin. Bisa keburu basi di jalan." Vic mengangguk semangat lalu menyuap sepotong lontong. Sambil mengunyah ia memeriksa paper bag dari Ganesa yang didominasi warna ungu gelap. Sekilas diintipnya isi paper bag tersebut dan matanya berbinar menyilaukan. "Can I open this later? For Instastory?" "Tapi kasih tau Kesayangan jangan nyerang gue. Sumpah, gue takut dihujat sama penggemar lo." Ganesa hanya terkekeh saat dilihatnya Vic mengerutkan hidungnya. "Yang lain kemana, Vic? Gue cuma liat motor Robyn di depan." Dua suapan kemudian, Vic melirik ke arah ruang tengah. "Mike masih di Jogja, Jacob nginep di tempat pacarnya, Fabian nggak tau kemana. Oh, kalo Robyn ..." "The girls." Vic terdiam menatap Ganesa lalu melihat piringnya yang baru habis separuh. "I don't know. They don't tell." Kedua alis Ganesa terangkat dan dia mengangguk pelan. Ada seulas senyum menghiasi bibirnya yang tertutup tebalnya bewok. "Gue kira gara-gara pandemi bakal ada selametan buat kepulangan gue." "Hello, Mister," kata Vic sambil menjentikan jarinya di depan wajah Ganesa. "There's this famous girl in front of you, be grateful!" Ganesa tertawa dan obrolan mereka berlanjut hingga matahari terbenam. - - - "Udah jam segini, cari makan, yuk." Vic mematikan kran air dan mengelap tangan dengan selembar tisu. Dikeluarkannya ponsel dari saku belakang celananya dan aplikasi ojek online sudah terbuka dengan satu sentuhan. "Makan apa ya enaknya?" Ganesa mengerutkan keningnya. Didorongnya ke arah bawah ponsel Vic, menjauhkannya dari pandangan. "Lo ngapain?" "Mau order makanan. Lo mau makan apa? Gue yang traktir." "Kita beli nasi goreng di depan. We're going there." "Emang udah jualan?" Ganesa tertawa sambil memencet cepol di atas kepala Vic. "Nge-live di kamar mulu sih lo. Tunggu di sini, gue ambil dompet sama masker dulu." He Knows She Loves Purple Pandemi benar-benar mengubah segalanya. Bukan hanya munculnya kebijakan lockdown, work from home, dan kegiatan serba online, kondisi jalan raya pun berubah drastis. Jalanan yang biasanya ramai dengan tenda penjual makanan, pedagang pernak-pernik, dan lalulalang pejalan kaki kini nampak kosong seperti kuburan. Binar lampu yang biasanya menghiasi sepanjang jalan sudah tidak ada lagi. Tepatnya, tidak seramai dulu. Masih ada cahaya lampu jalanan dan rumah warga yang memberikan pencahayaan, namun tetap harus dibantu sinar lampu sorot dari ponsel agar mereka terhindar dari lubang dan becek. Niat awalnya, Vic dan Ganesa mau mampir ke minimarket untuk membeli bubuk kopi, tapi mereka harus berubah arah karena minimarket terdekat tutup lebih awal. Mereka akhirnya berjalan lebih jauh untuk bisa berbelanja di sebuah minimarket berukuran lebih besar. Kalau tahu harus sejauh ini berjalan, seharusnya tadi mereka naik motor saja. Sepanjang perjalanan, Vic dan Ganesa membicarakan banyak hal. Ganesa yang lama tidak pulang ke kos diceritakan kejadian apa saja yang selama empat bulan belakangan menghebohkan grup chat kos. Vic sebagai pendongeng pun berhasil menampilkan cerita yang menarik dan beberapa kali malah bersimpati dengan sang tokoh. Sampai Ganesa harus menyudahi dengan "Iya, iya. Gue ngerti. Sabar, Vic.". "Lo sendiri gimana?" Mereka akhirnya menemukan restoran nasi goreng yang masih buka padahal jam masih menunjukan pukul 7.20. Memang tidak tersedia untuk makan di tempat, tapi ada beberapa tempat duduk disediakan untuk pembeli yang menunggu pesanan. Ganesa memberikan satu-satunya kursi kosong untuk Victoria, namun Victoria lebih memilih berdiri. Kursinya dipakai untuk meletakan belanjaan mereka. Sambil menyendokan es krim ke mulutnya, Vic menatap Ganesa dengan sebelah alis terangkat. "Lo udah cerita tentang Mike, tentang Robyn dengan pasiennya, dan orang tuanya Karina yang dateng sambil bawa pendeta. Gue belum denger kabar lo, Victoria." Vic mengalihkan pandangannya pada punggung penjual nasi goreng yang sedang menuangkan nasi dari bakul ke dalam penggorengan. Ada rasa aneh di perutnya ketika mendengar namanya disebut oleh Ganesa. Rasanya seperti tertangkap basah menyalin tugas, ketahuan dosen, dan terlalu memalukan untuk mengakuinya. Ugh, calm down, Vic! "Kabar gue nggak beda jauh sama apa yang gue post di Instagram," jawabnya sambil menyuapkan sesendok es krim. "Liburan panjang memang asyik, tapi kalo harus di rumah aja jadi bosen." Ganesa tidak merespon apapun. Pria itu malah tiba-tiba membuka jaket kulit hitamnya sebelum ia tarik Vic ke dalam pelukannya. Napas Vic tercekat. Mangkuk es krim di tangannya jatuh dan tubuhnya kini menempel dengan tubuh kekar Ganesa. Dari sekitarnya bisa didengar suara berbisik dan dengusan yang menjadi satu dengan suara denting alat masak beradu. "Banyak nyamuk," gumam Ganesa yang memisahkan diri. Vic hanya bisa diam menatap bagaimana jaket kulit Ganesa menenggelamkan kaki jenjangnya dari nyamuk. --- "Dapet oleh-oleh dari Abang Ganesa Ganteng." Suara Victoria mengudara di telinga. Video singkat itu memperlihatkan tangan kiri Victoria tengah menenteng sebuah paper bag batik ungu lalu beralih pada sosok Ganesa yang duduk menghadap ke kamera dengan pose andalan; tangan menyugar rambut ke belakang sambil menyeringai. Kedua alisnya naik-turun dan video diakhiri dengan tawa geli keduanya. Video selanjutnya Vic mencoba mengeluarkan isi paper bag tersebut. Ada dua buah kotak yang juga berwarna ungu dan diikat pita emas serta sebuah paper bag berukuran lebih kecil penuh dengan lilin aroma terapi. Saat dua kotak itu dibuka, suara Vic terdengar benar-benar terkejut melihat dua buah kain selendang. Keduanya memiliki warna dasar ungu. "Jangan lupa tag tokonya, Vic," pinta Ganesa saat Vic selesai merekam. "Gue nggak enak sama mbak-mbak yang bantuin gue milih. Sampe harus bolak-balik gudang demi nyari yang warna ungu." Mengingatnya membuat Vic ingin tertawa. She loves purple. Violet. And all of those similar shades. Tapi Vic tidak pernah spesifik mengatakan bahwa orang-orang—terutama Ganesa—harus memberinya benda berwarna ungu. Bayangkan bagaimana repotnya penjual souvenir yang didatangi Ganesa yang nekat meminta benda berwarna ungu, apalagi sampai harus mondar-mandir ke gudang. Pernah sekali Ganesa membuat temannya ketinggalan pesawat pulang ke Jakarta karena menyuruh temannya mencari kuteks berwarna ungu. Tentu saja akhirnya Vic sendiri yang minta maaf pada teman Ganesa setelah memarahi pria itu habis-habisan. It feels like, he knows everything about her. Ganesa tidak pernah bertanya apa yang diinginkan Vic, pun tidak pernah bertanya apa yang tidak disukainya. Dia hanya diam dan memberikan apa yang Vic butuhkan. Bahkan hal sesederhana kopi yang diseduh dengan air mendidih, bukan air dispenser. Jari telunjuk Vic menelusuri foto dirinya bersama Ganesa tadi. Mereka berfoto bersama beberapa kali usai merekam video singkat untuk Instastory. Pada foto itu Vic duduk di depan Ganesa di atas sofa. Tubuhnya nampak mungil dalam dekapan tubuh Ganesa yang begitu kokoh merengkuhnya. Tangan kiri Ganesa yang dipenuhi tato melingkari perut Vic, erat medekap seolah sedang menandai; She's off limit. Vic memejamkan matanya. "This is so wrong," gumamnya sambil tertawa. "I shouldn't be expecting more ... we're so over years ago." Detik itu, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Vic memanfaatkan bunyi familiar itu untuk mengalihkan fokusnya dan sebaris kalimat yang tertera di layar ponselnya membuatnya tersenyum. The Living Stone Barbarney: apa cm gwa yg ngerasa lo seksi bgt Vee? Sadgurl123: mxdnya apa sih Sadgurl123: live pagi2 di tempat tidur Sadgurl123: mata sembab Sadgurl123: jablay! Barbarney: Gengs! Serbu, kuy!>>>> Sadgurl123 Xtopher123: Pengen rebahan sm lo, Vee. "Guys, sorry... Aku lagi nggak presentable banget," ujar Vic dengan suara sengau. Ia bangkit dari posisi berbaringnya dan meletakan ponsel di tempat tidur, tepat di antara dua kakinya. Sambil mengikat rambutnya, Vic memerhatikan sekelilingnya. "Semalem aku nonton drama Korea. Lupa judulnya apa, tapi cowoknya ganteng banget," ceritanya pada ratusan penonton siaran langsung yang berada jauh di sana. Tanpa mengubah posisi duduknya, diulurkan tangannya untuk mengambil tumpukan bungkusan di atas meja dan sebuah tripod hitam. "Drama Korea itu menurutku unik. Bayangin, deh. Dalam satu episode, aku bisa nangis sampe dua kali. Abis nangis aku dibuat senyum-senyum karena acting actornya yang bikin baper beneran." Sambil memposisikan ponsel di tripod yang di letakan di atas headboard tempat tidur, Vic tersenyum di depan kamera. "Tapi aku lebih baper kalo digombalin Kesayangan." Tangan Victoria menggulir kolom komentar yang kini berubah jadi sarana hujatan drama Korea. Kebanyakan dari mereka merasa jijik melihat cowok menggunakan lipstik dan ada 1-2 komentar yang mengomentari bahwa plot cerita drama Korea terlalu ngawur. Tidak realistis. NamakuGilang: baju tidur lo cantik bgt, Vee Xtopher123: Vee... aduh, ah. Sebelah alis Vic terangkat. "Baju tidur?" Masih di depan kamera, dia menunduk. Begitu menyadari dadanya bisa terlihat dari celah baju saat ia menunduk, Vic langsung duduk tegak. Dengan bibir mengerucut, ditatapnya tajam layar ponselnya. "Bandel banget, ih!" NamakuGilang: Bye, guys! Mo menin990y gue dimarahin Vee Xtopher123: Damagenya gila! Barbarney: NamakuGilang bangun gue, sob! Vic segera meraih bungkusan yang tadi diambilnya. Satu per satu dibacanya tempelan kurir jasa pengiriman dan senyumnya menghiasi wajah pucatnya saat melihat tujuh paket yang belum dibukanya sejak kemarin. "Hari ini aku mau unboxing beberapa paket, ya? Boleh, kan? Ini nggak disponsorin, lho. Aku beli sendiri karena lagi diskon." Sambil membuka satu per satu paket yang dimilikinya, Vic menceritakan bagaimana dia bisa memutuskan untuk membeli barang-barang itu. Kolom komentar menjadi ramai ketika Vic tanpa sadar membuka bungkusan berisi pakaian dalam. Tentu saja Vic buru-buru melemparnya ke kolong tempat tidur agar tidak tertangkap kamera, namun memang dasar netizen ... selama 30 menit melakukan siaran langsung, para penonton tidak berhenti menanyakan pakaian dalam warna hitam itu dibeli di toko apa. --- Vic menelan ludahnya ketika dilihatnya sosok Fabian tengah menguasai dapur dengan duduk di salah satu kursi tinggi, ditemani setengah croissant, dan sebuah mug hitam di hadapannya. Cowok berambut ikal itu tengah mengetik sesuatu di laptopnya sambil mendengarkan lagu milik Dewa 19 yang berjudul Cinta 'Kan Membawamu Kembali. Versi aslinya. Sambil melihat pantulan dirinya di jendela hitam kamar Karina—memastikan bahwa dirinya sudah berpakaian layak—Vic menegakan tubuhnya. Namun, tubuhnya kembali menciut begitu menyadari hanya akan ada dirinya dan Fabian di dapur. And she hates it. Well, Fabian might. Setelah berkali-kali menengok ke sekeliling dan menemukan fakta bahwa dia membutuhkan kopi dan makanan, Vic kembali berdiri tegak. "Keep calm, Vic. Keep calm." "Hai, Yan." Victoria berujar hati-hati begitu memasuki dapur. Tanpa menunggu jawaban, karena ia tahu Fabian tidak pernah membalas sapaan orang-orang, diambilnya sebuah panci kecil dan satu yang lebih besar yang kemudian diisi air dari dispenser. Setelah mengambil dua bungkus mi instan dan sebuah mug berwarna ungu dari lemari penyimpanan, Vic mulai menyiapkan. Dengan posisi membelakangi Fabian, sulit untuk mengetahui apa yang pria itu lakukan. Vic penasaran apa yang dilakukan pria itu pagi-pagi (well, okay... 9.40 bukan lagi masuk kategori 'pagi') di dapur dengan laptopnya. Ini masih tergolong weekdays dan jarang sekali Fabian terlihat berkeliaran di pagi hari di sekitar kos. Nyaris tidak pernah. Setelah memasukan dua buah mi instant ke dalam panci, Vic yang sudah menuangkan bumbu memutuskan akan berpura-pura membuang sampah untuk melihat apa yang Fabian lakukan. Tempat sampahnya memang berada di dekatnya, tapi Vic sudah memposisikan badannya agar setidaknya dia bisa melihat ke arah Fabian hanya dengan melirik ... dan Vic tertangkap basah! Saat dia melirik pandangannya bertemu dengan Fabian. Pria berkacamata itu tengah menatapnya datar, membuat Vic jadi salah tingkah. "Ada apa?" tegur cowok itu dengan nada datar. "Nggak," jawab Vic dengan suara melengking. Setelah berdeham, dia melanjutkan, "itu ... hm, lo abis potong rambut?" Aduh, freak ... batin Victoria mengutuk kecanggungannya. Padahal kan bisa gue berkelit dikit! "Ya." Jawaban singkat Fabian rupanya diikuti dengan gerakan menunduk sembari memasang earphone ke telinganya. Sambil melirik takut, Victoria bergumam, "bagus. Keliatan lebih fresh." Udah, please. Makin gue ngomong makin garing ... pikir Vic yang kini berbalik menatap panci kecilnya yang sudah mendidih. "Thanks," gumam Fabian sebelum menekan tombol play pada playlist laptopnya. --- "Kayaknya dia benci sama gue, deh." Vic berhasil menyita perhatian Robyn yang sedang duduk di ruang tengah lantai bawah sambil menatap layar laptopnya. Vic membalas tatapan Robyn dan mereka sempat bertukar pandang sebelum Robyn kembali menatap layar yang sedang menunjukan tampilan share screen sebuah halaman PPT. "Apa sih yang lo harapkan dari batu?" Vic mengangkat kedua kakinya ke atas sofa lalu memeluknya. Dagunya menempel pada lututnya dan bibirnya manyun. Selalu begitu respon yang Robyn berikan setiap kali Vic menceritakan kejadian canggung saat bertemu Fabian. Robyn pulalah yang selama ini dimintai tolong bila Vic harus menyampaikan sesuatu pada Fabian. Sebenarnya bukan karena Vic terlalu takut bertemu Fabian, tapi memang kebetulan kamar Robyn tepat di sebelah Fabian. "Dia irit ngomong ke semua orang, Vic. Don't mind him. Cuekin aja." "Nggak, Byn. Gue yakin banget dia tuh ada dendam pribadi," sangkal Victoria. Keningnya mengerut. Kira-kira apa yang sudah dilakukannya sampai dibenci Fabian? Padahal seharusnya Vic yang membenci Fabian, karena pria itu tidak minta maaf usai menonton tubuhnya tanpa busana. "Apa badan gue seburik itu sampe bikin dia ill-feel, ya?" "Your body—what!?" Suara Robyn benar-benar memekik siang itu sampai Vic terkejut mendengarnya. Pria yang seharusnya mendengarkan kuliah melalui Zoom itu kini meletakan laptopnya dan tubuhnya menghadap ke arah Vic. "Explain, Vic." Melihat Robyn kini menatapnya tajam, Vic menelan ludahnya. Kepalanya menoleh, memastikan tidak ada orang selain mereka berdua di area ruang tengah. Setelah berpindah duduk ke samping Robyn, Vic mulai mengaku, "he saw me naked when I first moved here." "The fu—" Vic langsung membekap mulut Robyn sebelum pria itu, dengan suara gledeknya, membongkar semua rahasia Vic. Setelah beberapa kali percobaan melepaskan diri, akhirnya Vic melepaskan bekapan itu. "Are you fucking serious!?" desis Robyn dengan mata membelalak. "Itu nggak sengaja," jelas Vic. "Kamar mandi di kamar gue nggak bisa dipake dan waktu gue pake kamar mandi itu, kelupaan ngunci," lanjutnya sambil menatap pintu kamar mandi dekat tangga. "And he just left." "Asshole," decak Robyn. "Anyway, gue yakin bukan itu sebabnya. Fabian cuma menjadi dirinya sendiri." "Ganesa nyuruh gue untuk coba ngomong ke Fabian." "Untuk?" Vic terdiam. Dimainkannya tali hoodie yang dipakainya dengan bibir manyun. "Meluruskan masalah. Biar nggak makin ribet kayak kabel kusut, Byn. Gue sama Fabian tinggal satu atap, nggak mungkin diem-dieman terus." Sambil menggerakan jari telunjuknya di udara, Robyn menggeleng. "Kabel kusut bukan buat diurai. Buang. Beli baru." Snack Time Bertentangan dengan saran Robyn, Vic malah jadi kepikiran bagaimana caranya dia bisa berbicara dengan Fabian. Robyn mungkin mudah saja menyarankan untuk menganggap sikap dingin Fabian adalah hal biasa, tetapi Vic penasaran. Dia ingin tahu apa yang membuat pria itu bersikap tidak bersahabat padanya. Juga memastikan apakah benar tubuhnya seburuk itu sampai membuat Fabian enggan berinteraksi dengannya. Sekarang persoalannya adalah dimana dia bisa bertemu Fabian? Pria batu itu tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali seharian ini. Entah di kamar atau memang keluar. Kalau memang keluar sepertinya dia naik kendaraan umum, karena mobilnya masih belum berpindah posisi di parkiran. Kalau tidak salah, Fabian itu dosen. Karina pernah bilang dosen asli di kampus itu sedang cuti jadi selama satu semester digantikan oleh Fabian. Tapi, kenapa Fabian tetap sibuk dan tidak terlihat di rumah? Padahal semua kampus sedang dipersiapkan untuk kuliah daring, bukankah seharusnya Fabian jadi lebih sering di kos? Apa Fabian punya kekasih, jadi hari libur digunakan untuk menginap di tempat kekasihnya? Kira-kira seperti apa wanita yang bisa membuat Fabian bertekuk lutut? Pacarnya Fabian laki-laki atau perempuan, ya? “We have eggs, sausages, nuggets, and beef. Will that be enough? Vic!” Suara rendah Robyn membangunkan Vic dari sejuta pertanyaan mengenai Fabian. Sambil mengedipkan matanya beberapa kali, Vic melirik ke arah tumpukan bahan yang Robyn susun di meja. Oh, ya... Mereka berdua sedang menyiapkan cemilan malam karena semua penjual makanan tutup lebih awal sejak pandemi, menyisakan restoran cepat saji 24 jam yang jaraknya tertulis ‘4 kilometer’ dari kos. Vic mengangguk dan hendak meneruskan mengocok adonan kopi ketika Robyn menyingkirkan dua benda—piring dan saringan—dari tangan Vic. “I’ll do this and you make the dinner.” Memang harus Vic yang menyiapkan makanan, karena Robyn ... He’s a fool. Terakhir kali dia mencoba memasak telur mata sapi dengan wajan yang baru saja dicuci, minyaknya meletup, dan Robyn membuat seisi kos panik. Sejak itu dia dilarang mendekati dapur selain untuk makan atau menyeduh minuman. “Ini harus gue kocok sampe kapan, sih?” Robyn menatap piring berisi cairan coklat di tangannya. Dengan jarinya ia mencolek lelehan di saringan dan sehabis menjilatnya, kepalanya bergerak naik turun. “Kata resepnya minimal 200 kali ...” “Kelar ngocok direkrut jadi model Men’s Health gue, Vic. Serius dikitlah!” Tanpa mengeluarkan suara, Vic memberi kode pada Robyn untuk melihat ke ponselnya. Resep kopi Dalgona masih menjadi tampilan utama. “Kocok sampai berubah warna dan jadi kayak busa. Abis itu dicampur es sama susu cair,” jelas Vic yang sudah menghapal cara membuatnya. Dia benar-benar ingin mencoba olahan kopi yang sedang viral itu. Untung supermarket yang dia kunjungi bersama Ganesa kemarin masih punya stok kopi bubuk dan susu cair, karena semua orang mengatakan dua produk itu semakin langka sejak pandemi. Selagi Robyn mempelajari resep kopi Dalgona, Vic telah selesai memotong-motong sosis. Gerakannya sempat berhenti saat mencoba memperhitungkan jumlah telur yang dibutuhkan untuk mereka berdua. “Empat cukup kali, ya?” gumamnya sambil memecahkan butiran telur ke mangkuk. Tepat sebelum telur terakhir dipecahkan, Vic dikejutkan dengan hadirnya Robyn di belakangnya. Ponsel miliknya digeletakan Robyn di meja, sudut pandangnya memungkinkan Vic untuk melihat tampilan resep kopi Dalgona kini telah berganti dengan foto dirinya saat mencoba pakaian dalam hitam. “Byn?” Robyn bergerak maju, mengimpit tubuh kecil Vic dengan permukaan meja. Tangan kanan Robyn sudah menemukan tempatnya di wajah Vic, dua jarinya dimasukan ke dalam mulut dan dimainkannya lidah wanita dalam rengkuhannya. Kepalanya menunduk, menemukan bagian belakang telinga kiri Vic dan mengecupnya pelan. Ada samar suara desahan tertahan dan erangan dari mulut Vic yang membuat Robyn sengaja menggerakan pinggulnya. Menggesekan bagian depan tubuhnya pada bokong Vic yang bergerak seolah memintanya untuk terus bergoyang. “Gue belum liat yang hitam.” “Hmm.” Tangan Robyn berhenti bermain dengan lidah Vic, berniat memutar tubuh mungilnya agar mereka bisa meneruskan permainan singkat mereka sebelum melanjutkan snack tengah malam, tetapi saat tubuh itu kini sudah sepenuhnya menghadap ke arahnya, tubuhnya tertahan. Dua tangan Vic terulur dan kini menempel di dadanya, memberi batas tegas di mana posisi mereka saat ini. “Jangan sekarang, Byn.” Berlawanan dengan tatapannya yang menghunus, rona merah di wajah Vic saat dia berusaha mengelap mulutnya malah membuat Robyn tertawa. Dan tawanya begitu memanjakan telinga. Robyn menatap tangan kanannya dengan seulas senyum tipis. Jari telunjuk dan jari tengahnya bergerak menirukan gerakan menggunting sebelum dijilatnya kedua jarinya. “Kenapa? Hari ini lagi aman, 'kan?” Vic memutar matanya. “Because I’m hungry and I need food.” Dengan sedikit dorongan, Vic mencoba melepaskan diri. Begitu tubuhnya sudah tidak menempel pada Robyn, Vic menatapnya tajam. “Sekarang minggir, sebelum lo gue goreng bareng sosis-sosis ini.” Robyn terbahak saat Vic menodongkan sebatang sosis utuh ke dagunya. Jangan coba-coba mengganggu Victoria yang kelaparan. Noted. - - - "Nggak boleh, Byn!" "Ini tawar banget, Vic. Dikit aja. Gue janji." "Apanya dikit? Itu udah setengah sendok teh, Byn. Nanti tensi lo tinggi." Robyn berdecak. Mulutnya manyun ketika melihat Vic menjauhkan wadah berisi garam dari jangkauannya. Akhirnya, dia menambahkan saus tomat agar ada sedikit rasa pada omeletnya. "Robyn." Menoleh, Robyn menatap datar Fabian yang berjalan memasuki dapur. Pria batu itu terlihat mengenakan polo hitam dan celana pendek khaki. Ada sebuah laptop dalam dekapannya dan sebuah botol termos warna hitam dalam genggaman. "Percetakan di dekat sini masih ada yang buka?" "Yang di depan tutup sejak lockdown," jawab Robyn mencoba mengingat. "Kayaknya masih ada yang buka kalau lo jalan dikit ke arah supermarket. Naik motor aja." "Gue boleh pinjem motor lo? Ganesa lagi nggak ada di kamar." "Waduh, kuncinya di kamar. Lo ambil sendiri aja, ya? Ada di meja yang ada laptopnya." "Mau nyetak apa emangnya?" Dua pria itu terdiam ketika Vic menimbrung. Fabian menatap Vic cukup lama sebelum menjawabnya. "Saya mau print peraturan karyawan. Besok mau saya bawa ke kafe." "Mau pake printer gue? Bisa berwarna, kok." - - - Dia bisa pake lo-gue ke Robyn, kenapa ke gue pake saya-kamu? Berasa lagi ngomong sama dosen ... batin Vic selagi Fabian mengutak-atik mesin printer yang terakhir dipakai bulan Desember tahun lalu. Sebenarnya, Vic was-was melihat kondisi printernya. Takutnya niat untuk membantu malah membuat Fabian semakin repot. Yah, seharusnya masalah mereka hanyalah aplikasi bawaan mesin yang belum di-install di laptop Fabian, selebihnya tidak ada kendala berarti. He doesn’t wear his glasses ... pikir Vic. Bisa-bisanya dia malah memerhatikan bagaimana mancungnya hidung Fabian tanpa aksesoris wajibnya itu. "Ribet nggak, sih? Ngurus kafe dan ngajar sekaligus?" Good job, vic. Basa-basi lo basi banget! batin Victoria menyesali usahanya. Fabian pun diam saja dan menambah rasa malu dan penyesalan dalam diri Victoria. Kira-kira sosok Vic sudah seburuk apa dalam pandangan Fabian? Setelah insiden di kamar mandi dulu dan pujian bernada genit tadi pagi, dan basa-basi yang—demi Tuhan!—basi banget, pastilah sosok Victoria kini sudah menjadi suatu aib bagi Fabian. Kalau bertemu di luar suatu saat nanti, Fabian pasti tidak akan mau mengaku mengenal Vic. Tanpa alasan yang jelas, Vic merasa kecewa dan kehilangan keinginan untuk mengobrol dengan Fabian. Benar kata Robyn, benang kusut lebih baik dibuang dan beli baru. Untuk apa dicoba diurai? Buang-buang waktu. Saat Vic mulai menyerah, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Tergesa-gesa diraihnya ponselnya yang dia letakan di bawah bantal. | Bisa ketemu? Tempat gue in 30 minutes "Kamu nggak ada kuliah daring?" Tangan Vic langsung berhenti mengetik dan kepalanya menoleh cepat pada Fabian. Did he just ... "K, kayaknya minggu depan ... belum ada pengumuman," jawabnya kaku. Fabian tetap diam ketika mesin mulai mengeluarkan bunyi yang menandakan bahwa kertas akan segera diproses. "Untungnya kuliah diadakan daring, jadi saya nggak perlu repot mondar-mandir kafe-kampus." Mesin printer pun terus mencetak halaman demi halaman tanpa kendala. Dengan teliti Fabian memeriksa setiap lembar yang sudah tercetak dan mengurutkannya di atas laptop miliknya. "Lima lembar berwarna, jadi berapa?" "O, oh ... Nggak usah bayar." Fabian mengangkat sebelah alisnya. "Yakin?" Victoria mengangguk. "Kabari saya kalau kamu berubah pikiran," ujar Fabian sambil melangkah ke luar kamar lalu berhenti tepat di ambang pintu. "Atau kamu mau saya bawakan sarapan sebagai gantinya?" “S, sarapan?” “Kalau kamu nggak keberatan.” “Mau!” Jawaban spontan yang meluncur dari mulut Vic membuat Fabian mengulum senyumnya. Pria itu mengangguk kecil sebelum meninggalkan Vic yang kini menutupi wajahnya yang memerah. Wow, he’s cute. Welcome Back, Housemates! “Mimpi apa gue semalem?” gumam Ganesa tepat jam tujuh pagi di depan layar laptopnya. Matanya menyipit sebelum mengerjap berkali-kali untuk memastikan bahwa email yang baru dibukanya memang berasal dari Mahesa Hutama. Adik kandungnya. Bangkit dari posisinya, Ganesa lantas menyugar rambutnya ke belakang sebelum mengikatnya membentuk cepol di bagian belakang kepalanya. Satu tangan bergerak membuka email tanpa judul di layar laptopnya sementara tangan lain meraih ponselnya. Ada sebuah file dalam format Excel yang menjadi satu-satunya isi dari email tersebut. “Si Kriwil ngirimin laporan keuangan jam lima pagi? Udah gila kali!?” pekik Ganesa yang mencocokan isi pesan terakhir dari adiknya dan isi email yang kini menampilkan sederet angka, tabel, dan warna-warni membingungkan. Sambil memijat keningnya, diperhatikannya seluruh tabel ajaib itu—yang dibuat oleh si Bendahara tersayang—dan begitu sampai di bagian terbawah tabel, barulah Ganesa memahami isinya. Karena lo tolol, jadi ini kesimpulannya; No Cleaning Service, No Laundry, No food stock Sebaris kalimat Itulah yang tertulis di bagian bawah tabel panjang yang membuat Ganesa mengangguk setelah menghabiskan sepuluh menit untuk mencoba memahami tabel indah itu. Memang keputusan yang tepat menyuruh adiknya untuk menjadi bendahara, selain sifatnya yang pelit minta ampun, adiknya itu tahu benar bagaimana kinerja otak Ganesa. Namun, kesimpulan yang dibuat oleh adiknya membuat Ganesa termenung. Bisnis kos yang sudah dirintisnya sejak awal kuliah akhirnya menemukan titik terendah dan menurut hasil analisa si Bendahara, satu-satunya solusi adalah dengan memangkas pengeluaran. Selama dirinya melakukan perjalanan, kendali ada di tangan adiknya. Dia sendiri terkejut saat pulang melihat tanaman di pelataran parkir nampak subur tidak terawat, pajangan mulai berdebu, dan stok makanan yang menipis. Setelah mengobrol dengan Vic dia baru mengetahui bahwa ada beberapa perubahan yang dilakukan oleh 'Sang Ibu Kos'. Salah satunya adalah memberhentikan jasa cleaning service dan laundry karena para pekerjanya diberhentikan. Tadinya Ganesa berniat menyewa jasa bersih-bersih untuk membenahi kekacauan selama dia pergi. Namun, saat dia mencoba bicara pada adiknya, tolakan yang diterima begitu jelas tanpa basa-basi dan akhirnya laporan keuangan itu dikirimkan padanya. Tetapi tidak mungkin kondisi kos dibiarkan tidak terawat terus-menerus. Harus ada yang berinisiatif membersihkannya dan sebuah ide tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Buru-buru Ganesa mengambil sebuah memo dan menuliskan idenya sebelum ke kamar mandi untuk sikat gigi. --- Langkah Ganesa berhenti di pertengahan tangga ketika telinganya menangkap suara riang Vic berduet dengan suara kaku Fabian. Sesekali ada celetuk sarkastik Robyn dan tawa Karina yang begitu khas seperti suara tokoh antagonis di film kartun. Ketika dia mendarat di anak tangga terakhir, Karina terlihat berlarian kecil menuju pintu depan usai mendengar teriakan “Paket!!” “Morning, Baby Girl,” sapa Ganesa saat memasuki dapur. “And to all of you,” sambungnya ketika sapaan paginya disambut dengan wajah masam Robyn dan tatapan bingung Fabian. Nyaris saja Ganesa mengambil panci kecil untuk merebus air saat dilihatnya mug ungu Vic sudah terisi, menemani sisa remahan roti di atas sebuah kertas pembungkus di atas meja bar. Akhirnya Ganesa beralih pada jus jeruk kemasan dari kulkas. “Lagi pada bahas apa?” “Masker bekas,” jawab Vic sebelum menyeruput kopinya. “Tadi gue liat berita, ada home industry yang mendaur ulang masker medis bekas. Maskernya didudukin dan pekerjanya sibuk milih-milih gitu. Jijik banget, ‘kan?” “Makanya jangan beli sembarangan, Vic. Minta Robyn tuh, si penyelundup,” saran Ganesa. “Untung waktu koass gue suka nyolongin masker sama sarung tangan, ya? Ternyata ada gunanya,” bangga Robyn. Senyum congkaknya berubah jadi cengiran ketika Vic menatapnya curiga. "Gratis, Vic. Buat kalian semua gue gratisin. Ambil di kamar gue kalau butuh." “Nggak ada kelas, Yan?” Ganesa memperhatikan Fabian yang nampak berpakaian santai pagi ini. Biasanya, jam segini, Fabian sudah berangkat. Entah untuk mengajar atau untuk mengurus kafenya. “Hari ini libur.” Ganesa menyeruput kopinya dan sengaja membuat suara keras. Diliriknya Robyn yang mengunyah nugget sambil membahas harga masker dengan Vic. “Lo ngapain di sini? Garda terdepan lagi berjuang, lo malah leha-leha.” Robyn mendelik tapi terlihat jelas dia mencoba menahan keinginannya untuk membalas ucapan Ganesa. “Ini lagi memantau. Takut ada virus Covid nemplokin Vic,” jawabnya sambil menekan kata Covid dengan menggeram. Ganesa mengangguk-angguk. Kali ini tanpa bunyi menyeruput yang berisik. “Holy Prisoner of Azkaban! Ganesa! Is that you!?” Karina yang memasuki dapur sambil membawa beberapa bungkusan langsung menggeletakan bawaannya di meja. Ditatapnya wajah Ganesa dari atas ke bawah lalu kedua tangan bersilangan di dada. “Berbulan-bulan nggak pulang, kenapa bentuk lo jadi kayak ...” “Sirius Black?” Karina menoleh ke arah Fabian dan wajahnya semringah. “Yes! Him!” “Should I be happy or ... mad?” Vic tertawa dan Robyn tidak peduli. Saat Karina meneruskan kritikannya terhadap penampilan baru bangun tidur Ganesa, suara derap langkah kaki terdengar menuruni anak tangga. Seseorang berjalan memasuki dapur dan komentar pertama yang keluar dari mulutnya setelah lama tidak berjumpa adalah, “damn! What an Aquaman.” --- “I don’t know Ganesa was this hot. He reminds me of Jason Momoa. Except for the wet hair and the whole fishy comrades,” bisik Jacob pada Robyn yang duduk di sudut sofa dan tubuhnya meringkuk karena Jacob terus mendesaknya. “Kembang desa pasti klepek-klepek ngeliat perjaka kota kayak Ganesa. Wanna bet? Wait, did you change your shampoo, Byn? You smells like grape.” “Robyn pake sampo yang sama kayak gue,” bisik Vic yang duduk di sisi kiri Jacob. “Inget nggak? Gue pernah nawarin patungan beli sampo promo 50% for 2 bottles?” Jacob kini mencondongkan tubuhnya ke arah Vic dan mengendus rambut Vic. “It smells good. Ajak me kalau ada promo lagi.” “Ahem!” Jacob dan Vic terkejut saat Ganesa berdeham keras ke arah mereka. Hanya dengan tatapan tajam pria itu, Jacob dan Vic merapatkan mulut mereka. Ganesa memperhatikan dua orang itu cukup lama sebelum melanjutkan memimpin diskusi di ruang tengah. Dia bersandar pada meja TV sambil membawa sebuah memo kecil. Memo yang sudah ditulisi saat dia bangun tidur tadi. “Oke, gue lanjut,” ujarnya ketika suasana kembali hening. “Ini bukan kegiatan wajib. Kalau ada yang keberatan ikut atau ada kesibukan, nggak akan gue paksa. Tujuannya sederhana,” lanjutnya sambil menunjuk ke arah luar. “Tanaman di parkiran makin subur. Kalo ada yang lewat bisa nutup jalan dan bahaya juga. Terus karpet-karpet ini, karena nggak ada yang bersihin, jadi sarang debu. Sama rencananya mau gue buat satu tempat sampah di setiap lantai jadi kita bisa kolektif buang waktu petugasnya dateng.” Ketika semua orang masih diam, Ganesa bertanya, “ada yang mau protes atau nambahin ide?” Karina mengangkat tangannya. “Saran gue, yang nggak bisa ikut kena denda atau penalti.” Ide Karina langsung dihadiahi erangan dan helaan napas. Robyn dan Vic kompak nampak terkulai di sofa. Sambil nyengir, Karina melanjutkan, “sorry guys. Tapi, kita bisa pake uang dendanya untuk kebutuhan bersama. Seperti beli kopi, gula, dan telur.” “How about party?” saran Jacob dengan wajah berseri-seri. “Mumpung pandemi dan kegiatan semua dilakukan di rumah, we can Netflix together and order some foods. Biar nggak jenuh.” Ganesa mempertimbangkan ide Jacob dan menuliskannya pada memo. “Kita start sabtu pagi dan penutupnya kita bisa BBQ Party. How’s that?” "Gas, Bos!" teriak Robyn sambil bertepuk tangan. "Gue setuju," sahut Karina. “Me 100% available!” “Lo gimana, Vic? Ada live?” Vic menggeleng. “Aman, Pak RT!” Ganesa tersenyum tipis lalu beralih pada Fabian. "Yan?" "Kalau jadwal kelas daringnya sudah ada, gue kabarin." “Nanti kita kabarin Mike sama Fathia. Sekalian tanya Alice dia bakal ada rencana balik ke Jakarta atau nggak,” ujar Karina menutup pertemuan siang itu. “Ya, Tuhan!” Seluruh pandangan menoleh ka arah sumber suara baru yang tidak asing. Mike, yang baru saja disebut namanya, berdiri terperangah sambil menarik sebuah koper kecil. Dia tertawa. “Ada Hagrid lagi ngasih kuliah.” The Fur Warning: Chapter ini akan terasa sedikit bikin gerah.- - - - Pukul 22.15, Ganesa menuruni tangga dengan hati-hati. Sambil melihat sekelilingnya, ia menuju kamar di ujung lorong dan diketuknya dua kali sebelum melangkah masuk. Hal pertama yang menyambutnya ada aroma herbal yang mengingatkannya pada salon bernuansa Bali yang biasa dikunjungi ibunya. Bukan aroma favoritnya, tetapi ia sudah membiasakan diri. Hal lain yang menyambutnya adalah seorang wanita yang menguncir rambutnya menjadi sebuah cepol besar berantakan di atas kepalanya. Kulit kecoklatannya bersinar di hadapan sebuah laptop yang sedang menampilkan wajah Bae Suzy (hell, yeah! Ganesa knows every beautiful women out there!). Tubuh mungilnya dibalut sebuah sweater tie-dye ungu yang besarnya dua kali ukuran tubuhnya serta di bawah sana ada celana jeans pendek yang ikut terbenam lipatan sweater. Kedua kakinya bersilangan di atas kursi beroda, menunjukan jari kaki terawat yang dicat ungu gelap. Ada sepasang slipper berbulu dengan warna senada tergeletak asal di kolong meja. Beralih ke tempat tidur, Ganesa melihat tumpukan paket yang pagi ini diterima oleh Karina. Tiga di antaranya telah terbuka dan ada setidaknya empat buku tebal tergeletak. “Alexander Robyn?” Tangan Ganesa asal mengambil satu bungkusan yang belum terbuka dan alis tebalnya kini terangkat. Wanita itu melirik ke arahnya lalu menutup laptopnya. “Gue minta tolong Robyn untuk check out. Itu isinya palette eyeshadow.” Ganesa mengangguk pelan lalu meletakan benda itu dengan hati-hati. Oh, he knows how girls can be overly dramatic when it comes to make up. Cukup sekali dia diamuk oleh adik perempuannya karena melempar lip balm ke atas sofa. Kapan terakhir kali Ganesa menginjakan kakinya di ruangan itu? Sepertinya nyaris setengah tahun. Ruangan itu kini didominasi warna ungu dan nampak ... hm, estetik? Pemiliknya benar-benar menyulap sebuah kamar kosong menjadi sebuah istana yang menunjukan jati diri pemiliknya. Cute, unique, and sexy. Saat Ganesa tengah memerhatikan ruangan, wanita itu berdiri di hadapannya dan gaya tengilnya yang menggemaskan menunjukan seolah dia sedang berpikir. “Udah dicukur.” “Gue nggak mau saluran air lo mampet karena My Fur,” ujarnya sambil memencet cepolan di atas kepala wanita itu. “Gue tunggu di kamar mandi.” Begitu memasuki kamar mandi, Ganesa terkesan dengan hadirnya beberapa botol berwarna pastel yang mengisi sisi wastafel. Pisau cukur elektrik berwarna ungu sudah hadir di sana, menemani beberapa alat cukur konvensional yang disusun di atas sebuah handuk putih. Sama. Kamar mandi itu pun sudah berubah menjadi sebuah ruangan yang akan dikomentari ‘Estetik’. Bedanya, bagian ini begitu familiar karena beberapa kali dilihatnya pada siaran langsung. Ada bunyi pintu dikunci sebelum Vic berjalan masuk kamar mandi. Wanita itu telah mengganti bajunya. Hanya ada selapis cropped top ungu yang membungkus longgar tubuhnya dan thong hitam yang begitu erat menempel pada tubuh berlekuknya. Dengan bantuan tubuh kekarnya, tubuh mungil Vic kini duduk di atas wastafel dengan punggung membelakangi cermin. Ganesa membenamkan kepalanya pada dada Vic, menghirup aroma sabun yang biasa dipakai wanita itu dari balik tipisnya sehelai kain. Ia tertawa ketika kedua kaki Vic menggesek bagian depan celananya sebelum melingkari tubuhnya. Menariknya mendekat hingga selangkangan wanita itu kini menempel dengan perutnya. “Gue alergi pewangi,” ujarnya ketika wanita itu melepaskan kunciran rambutnya dan helai rambut panjangnya kini membingkai wajah kecilnya. “I know,” jawab Vic sebelum membuka sebuah kotak, mengeluarkan sebuah brush dan menyelupkannya ke dalam kubangan air hangat di wastafel. Dengan terampil dikeluarkannya silet dari sebuah wadah berisi cairan dan memasangnya pada alat cukur. ”I bought the non-perfume one for you, Gorgeous.” Mata Ganesa terpejam ketika tangan Vic mulai mengoleskan cairan-cairan aneh ke wajahnya. She was right. Hanya ada aroma basa kimia yang begitu samar pada wajahnya. “So, how’s my Baby Girl doing so far?” ujarnya saat tangan Vic memijat kedua sisi pipinya yang terasa basah. “Bingung,” jawabnya sebelum beralih pada area di bawah hidung. “Karena di rumah terus, mau nggak mau harus sering update dan ngadain live. Hasil jawaban yang gue dapet terlalu luas jadi harus disortir lagi mana yang bisa dijadiin konten. Well, not exactly a content.” “You’re not gonna do Youtube?” Vic berhenti sejenak sebelum berganti pada dagu. “Gue nggak siap untuk komit melakukan sesuatu seberat Youtube.” “Paid promotion?” “Meh,” tawa kecilnya menggelitik telinga dan Ganesa mulai mengistirahatkan tangannya pada pinggang Vic. Dibelainya pelan sebelum dia bergerak naik turun—menggodanya sebatas menyentuh bagian bawah payudara. “Lo tau gue bukan tipe orang yang bisa berbohong tentang kepuasan suatu produk.” And yet you lie to me ... “Iya, muka lo nyebelin kalo udah nggak suka. Sampe bikin orang yang ngasih hadiah sakit hati.” Tawa Vic terdengar memenuhi ruangan kecil itu sebelum tergantikan oleh alunan musik dari speaker bluetooth. Alunan musik jazz itu membuat Ganesa semakin mendekat. Bagian perut bawahnya mulai terasa hangat dan semakin lembab. He knows he plays it well. “Gen, abis ini bantuin gue foto, ya?” Vic mengelap tangannya dengan handuk lalu meraih sebuah kotak berisi sabun. Setelah memasukan batangan sabun ke wadah terpisah, disiramnya sedikit air lalu ia gunakan brush yang direndamnya untuk mengocok. “Robyn sucks at taking photos and he keeps—A, ahh!” Sudut bibir Ganesa terangkat saat ia mendapatkan apa yang diinginkannya; fokus tubuh kecil itu pada sentuhannya. Kedua kaki Vic semakin kencang melingkari tubuhnya dan pinggulnya bergerak maju, menekan sesak yang menyerang tubuh bagian bawahnya. Semua karena dua ibu jari Ganesa memijat sepasang puting yang tersembunyi di balik helai kain tipis. Keras dan menantang. Ganesa suka memainkannya. Mengingatkannya pada konsol game yang selalu menghiburnya di waktu kosong. Bedanya, konsol game tidak akan mengeluarkan suara desah kenikmatan yang begitu merdu di telinganya. “Robyn keeps what?” Sambil menggigit bibirnya, Vic menggerakan pinggulnya. Mulutnya terbuka, matanya terpejam, lalu ia menahan keinginannya untuk mengerang. Mereka berdua bisa merasakannya, panas dan sesak yang menguasai tubuh. “He won’t let me do ... Hmm. G, Gen ... Play with me." “Just do your job and I’ll pay you fairly, Baby Girl.” Seulas senyum muncul di wajah Vic dan ia mulai mengoleskan shaving soaps pada seluruh area bawah wajah Ganesa. Begitu selesai, diraihnya pisau cukur yang sudah ia sterilisasi. Perlahan ia mengerok busa yang memenuhi wajah Ganesa dan menggunakan handuk untuk mengelap. “Kenapa harus dicukur, sih?” “Karena penghuni durhaka.” Vic terkekeh mendengarnya. “Sirius Black is hot,” aku Vic. “Jason Momoa ...” “A fucking fish-man, Vic! Apalagi? Hagrid? Seriously?” Kali ini Vic terbahak. Setelah meredakan tawanya, Vic kembali mengarahkan pisau cukurnya ke wajah Ganesa. “One fact you should know, Hagrid owns a Buckbeak.” Sebelah alis Ganesa terangkat. "One wild, huge, and my all time favorite bird." Boudoir Photography Warning: Chapter ini bisa bikin gerah..... Seumur hidup, Ganesa menyebut foto seorang wanita yang berpakaian seksi dan bernuansa erotis sebagai foto syur, foto panas, vulgar, dan terkadang disebut foto bugil. Baru beberapa tahun terakhir dia mengenal istilah Boudoir Photography karena berkenalan dengan seorang adik kelasnya di SMA yang memperjualbelikan foto gadis-gadis di bawah umur. Dari perkenalan itulah dia mengenal Victoria, gadis lugu yang datang ke Jakarta untuk sekolah tetapi terjebak dalam sebuah kasus rumit. Tidak pernah disangka oleh Ganesa bahwa gadis lugu yang dulu selalu menunduk itu kini bisa berdiri di hadapannya, dalam balutan night robe hitam, dan tengah berpose sensasional. Vic tahu kekurangan apa yang ada pada tubuhnya—terutama payudaranya yang kerap disebut tepos oleh netizen di akunnya—dan tahu bagaimana memanfaatkan kekurangannya menjadi sebuah karya sensual. Ia tidak malu membusungkan payudaranya yang dibalut lingerie hitam penuh renda ke hadapan kamera. Di saat perempuan seusianya berlomba-lomba menjadi putih dan sebening kristal, Vic malah membiarkan warna kulitnya apa adanya. Sawo matang yang begitu eksotis. Perawatan yang dilakukannya semata-mata untuk menjaga kulitnya nampak sehat, bukan untuk menjadikannya carbon copy boneka porselen. She’s the queen of her own world. Siapapun yang melihat pose-pose sensualnya tidak akan mengira bahwa Vic hanyalah seorang mahasiswi biasa. Sama seperti gadis lugu yang dulu Ganesa temui di sudut kota Jakarta, yang matanya berbinar melihat seloyang pizza, dan yang membuat Ganesa ingin memonopolinya. "Lo mau request?" Ada seulas seringai di wajah Ganesa. “I'm good. Mind if I ask?” lanjutnya sambil memerhatikan bagaimana Vic menyimpan kamera di lemarinya dan mulai melepaskan night robe hitam transparan lalu satu per satu lingerie yang menempel di tubuhnya jatuh ke lantai. Belum sempat Vic meraih kaus yang akan dipakainya tidur, tubuhnya ditarik oleh Ganesa dan didorong jatuh ke tempat tidur. “You never ask.” Vic merangkak mundur hingga kepalanya merasakan empuk bantal. Kedua kakinya merapat saat Ganesa merangkak mendekat dan kini menjulang di atasnya. Kaus hitam dilemparnya sembarangan. Ganesa menunduk dan tangannya meraba sisi bagian kiri tubuh Vic sampai pada batas bawah payudaranya. Diusapnya ukiran asing yang membingkai payudara kiri Vic dengan ibu jarinya. “Since when?” Vic tertawa. “Gue ditemenin Jacob ke tempat kenalannya. Lucu, ‘kan?” Alis Ganesa bersatu di tengah dan diperhatikannya ukiran hitam itu. “Maksudnya ‘I am GReat?” “G for Ganesa, R for Robyn, and eating is my hobby,” jelas Vic penuh percaya diri. “Victoria, I’m being serious." Ganesa bersuara rendah. Ditatapnya lurus sepasang mata yang memantulkan bayangan dirinya. Kedua mata itu sama sekali tidak bergerak. "Tattoo is a commitment. Once you got it, you will never be able to erase it.” “Gue nggak pernah seyakin ini dalam hidup gue, Gen.” Ganesa bergerak mundur saat Vic bangkit untuk duduk. Dengan helaan napas panjang, Vic tersenyum tipis. “Lo inget ini?” tanyanya sambil mengangkat tangan kanan dan menunjukan sebuah tato yang lama dimilikinya. Tato yang merupakan tulisan nama Victoria yang huruf ‘V’nya diukir membentuk gambar hati dan huruf ‘I’ pertamanya digantikan simbol semikolon. Tato itu ia dapatkan empat tahun lalu untuk mengingatkannya bahwa dia pernah berada di titik terendah dalam hidupnya namun memutuskan untuk berjuang. Rasa sakitnya tidak bisa diungkapkan. Berhari-hari dia tersiksa menahan sakit dan reaksi infeksi yang membuatnya pernah mengatakan menyesal sudah mentato tubuhnya. Tetapi itu semua tidak sebanding dengan rasa sakit yang dulu dialaminya hingga dia memutuskan—sempat memutuskan—untuk mengakhiri penderitaannya dengan cara yang rendah. “Lo dan Robyn are my hero," jawabnya sambil mengusap pergelangan tangannya. "Sampai kapanpun gue nggak akan pernah bisa ngebales apa yang kalian lakukan untuk gue—Wait, don’t but me. Gue tau lo akan bilang lo nggak pernah mengharapkan imbalan,” lanjutnya kemudian. “In return, I want to remember that I've ever had someone so precious to me. You guys were there for me.” Ganesa terdiam. Ia menunduk, mengacak rambutnya, dan menggeram. Tidak akan ada gunanya menyanggah omongan wanita di hadapannya. She made her own decision and the tattoo is permanent. Kalaupun dia berhasil meyakinkan, gambar itu tidak akan bisa dihapus. Gusar, ditatapnya ukiran yang kini akan terus menempel di tubuh wanita di hadapannya. “Pasti sakit, ‘kan?” Pertanyaan bodoh. He has tattoo all over his body dan satu-satunya pertanyaan yang keluar dari mulutnya begitu bodoh. Vic nampak manyun dan mengangguk. “Nggak sesakit yang pertama, sih. Jacob's friend is a pro. He treated me well.” “Did Jacob ask anything?” Vic menarik tubuh Ganesa saat ia akan berbaring. Kedua tangan melingkari leher Ganesa dan mata mereka kini saling pandang. “Lo orang keempat setelah temennya Jacob, gue, dan Robyn. You were out in the forest, y’know?” Tangan Ganesa mulai membelai sisi tubuh Vic. Kepalanya dibenamkan di leher dan dikecupnya pelan sebelum ia bergerak turun. “Robyn pasti marah.” “Gue didiemin sebulan.” “How did you guys make up?” Vic menggigit bibirnya ketika Ganesa melumat putingnya. Kedua tangannya mengusap rambut Ganesa dan sesekali menjambaknya saat putingnya dimainkan. “Gue duduk di depan kamarnya sampai dia mau ngomong sama gue.” Ganesa tertawa. Robyn bukan seseorang yang tahan marah lama-lama. Apalagi pada Vic. Ganesa yakin ada detail lain yang tidak dibahas oleh Vic—because they’re talking about Robyn. Sepenggal kalimat ‘Gue minta maaf’ tidak akan melunturkan amarahnya—namun dia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Tangan Ganesa bergerak turun dan menemukan area incarannya dan mulai memijatnya. Erangan merdu itu mengalun indah di telinganya, membuatnya semakin lepas kendali memainkan setiap titik sensitif wanita dalam rengkuhannya. Hampir empat bulan mereka tidak bertemu dan pikiran Ganesa dibuat kacau. Hari pertama mereka bertemu, di dapur, Ganesa mati-matian menahan keinginannya untuk menelanjangi Vic detik itu juga. Dia tidak tahu siapa saja yang ada di tempat saat itu dan dia tidak rela membagi pemandangan Vic yang menggila seperti ini pada pria lain. Malamnya Ganesa dibuat ingin meledak ketika ada segerombolan pria yang berbisik nakal mengenai kaki Vic. Harus diakui Ganesa lalai saat itu. Ia lupa mengingatkan Vic untuk memakai celana yang lebih panjang—sialnya, dia tidak bisa mengatur apa yang ingin dipakai Vic. Baru ketika mereka mengobrol di ruang tengah dan Ganesa tahu bahwa tidak ada siapa-siapa di kos malam itu dia bisa mengangkat satu beban rindunya dengan melakukan fingering di sofa. Itupun dia harus menahan diri untuk tidak melanjutkan lebih jauh karena dia tidak tahu apakah malam itu kondisinya cukup bersih untuk meniduri Vic. Empat bulan dia tidak tahu apa yang Vic lakukan dengan hadirnya para pesaing. Dia bisa tenang karena Robyn sudah memiliki kekasih baru dan dia tahu Vic tidak suka didekati pria taken. Seharusnya dia tidak memusingkan Vic akan ditiduri pria lain selagi dia pergi, tetapi Ganesa tidak bisa tenang. Apalagi saat melihat Fabian dan Robyn duduk bersama Vic pagi ini. He hates the look they gave her. He hates sharing. If only she belongs to him. “G, Ganesa ... Aaahh!” Ganesa berdecak ketika bagian bawah tubuh Vic bergetar hebat dan jemarinya kini erat diremas dinding liang kewanitaannya. Sialan ... batinnya. “I miss you, Gen," bisik Vic. Ganesa hanya tersenyum tipis saat wanita itu merangkak turun dan melepaskan sesak yang sejak tadi menyerangnya. Napasnya tercekat saat panas menyelimuti kejantanannya dan disaksikannya bagaimana Vic mengobati rasa rindunya. KB - The Maps Kos Bahagia: The Maps Lantai Bawah 1. Kamar Penghuni Wanita Terdiri atas 5 kamar; Kamar Vic satu-satunya yang berlokasi di dekat tangga, 4 sisanya ada di seberang kamar Vic. Kamar Fathia adalah kamar terbesar. 2. Ruang Tengah Bertempat di tengah ruangan yang diisi dengan 2 sofa berukuran sedang, 1 sofa besar berbentuk L, 1 meja kopi besar, 1 lemari kabinet yang dijadikan alas TV layar datar, konsol game, dan sound system. Ada sebuah AC yang biasa dinyalakan saat diadakan pertemuan. Terkoneksi dengan tangga, dapur, dan teras depan. 3. Kamar Mandi Umum Semua kamar dilengkapi kamar mandi, namun disediakan satu kamar mandi umum di setiap lantai. 4. Dapur-Pendopo Dapurnya didesain modern. Ada satu kompor beserta oven, microwave, lemari kabinet, dan island yang menyatu dengan meja bar. Nuansanya didominasi kayu dan marble hitam. Dari dapur, ada dua pintu yang bisa diakses; pintu ke ruang tengah dan pintu yang tersambung ke taman belakang tempat didirikan sebuah pendopo. Setiap hari pintunya dibiarkan terbuka untuk pertukaran udara. Lantai Atas 1. Kamar Penghuni Pria Ada lima ruangan utama yang tersebar di dua sisi. Kamar Robyn dan Fabian bersebelahan. Kamar Ganesa, Mike, dan Jacob di seberang dua kamar sebelumnya. 2. Kamar Mandi Umum Ada dua kamar mandi umum di lantai atas karena hanya kamar penghuni pria yang tidak dilengkapi kamar mandi. 3. Meja Bundar Sebuah meja berbentuk bundar yang diletakan di tengah ruangan dan dijadikan tempat berkumpul. Versi lebih kecil dari Ruang Tengah. Hanya ada 4 kursi kayu. Di ruangan ini para pria (+ Karina) biasa mengobrol sambal merokok. 4. Ruang Laundry Ada pintu di dekat kamar Robyn dan terhubung ke ruang laundry. Ada 2 mesin cuci, 1 lemari, 1 wastafel yang dicor pada beton sehingga bisa diduduki, dan tiang jemuran. Cleaning Day Dapur adalah tanggung jawab Victoria. Itu kesepakatan yang dibuat para penghuni KB di Sabtu pagi. Mereka membaginya menjadi tiga wilayah; dapur dan halaman depan, ruang tengah, dan lantai atas. Jam delapan mereka sarapan bersama. Dengan dibantu oleh Karina, Vic menyiapkan roti isi dan pisang goreng. Tiga puluh menit kemudian, mereka mulai menyebar untuk melakukan tugas masing-masing. Rencananya, Vic ingin membersihkan semua perabotan dapur. Dia ingin menata ulang alat makan agar lebih mudah diraih dan mengeluarkan semua bahan makanan yang lama tersimpan. Harapannya, bisa ia temukan bumbu yang bisa dipakai untuk mencoba resep viral. Setelah mengosongkan semua isi lemari kabinet, Vic dibuat kagum dengan apa yang ditemukannya. Ada dua set alat makan yang masih terbungkus kardus dan nampak begitu cantik untuk dipakai, belasan gelas, elektronik untuk memasak, dan bahan makanan yang kadaluarsa dalam dua bulan. “Victoria.” Vic mengalihkan pandangannya dari tulisan saran penyajian pada Fabian yang baru saja memasuki dapur. Pria itu nampak sangat rapih dengan atasan kemeja krem dan celana jeans hitam. Rambutnya sudah diberi Pomade dan dari tubuhnya tercium aroma parfum yang membuat Vic semakin kagum dengan sosok Fabian. He’s a man with style. Sosoknya jadi terlihat seperti Matthew Bomer. “Hai,” sapa Vic canggung dan ada rona merah di pipinya. “Kirain udah berangkat.” “Saya mau menitipkan uang,” kata Fabian sambil mengeluarkan dompet dari saku celananya. Setelah menghitung, dia letakan uang di meja. “Ganesa bilang untuk titip uangnya di kamu.” “Untuk apa?” Sebelah alis Fabian terangkat dan mereka saling bertukar pandang dalam diam. “Peraturannya untuk bayar denda kalau berhalangan ikut.” Mata Victoria melotot. “Sebanyak ini!?” “Saya dapat potongan seratus ribu karena menyediakan kopi untuk sarapan,” jujur Fabian sambil memasukan dompetnya ke saku celana. “Saya duluan, ya. Boleh saya minta pisang gorengnya?” Pria itu membawa sepotong pisang goreng dengan selembar tisu lalu pergi meninggalkan Vic yang termenung di dapur. Mata Vic menatap mug ungu miliknya. Sekarang ia mengerti kenapa rasa kopi yang dibuat Ganesa pagi ini rasanya berbeda. --- “Awas ketauan, Jack.” Jacob menenggak habis air mineralnya lalu meletakan gelas di meja bar. Sambil memeluk kain pel, dia menopang dagunya. “It’s okay, Hon. I told them I’m gonna help you clean the kitchen.” Sambil mengelap garpu dan sendok, Vic melirik ke arah ruang tengah. Sejak tadi di sana begitu berisik. Seolah ada nobar sepak bola padahal hanya ada tiga orang pria dan seorang Karina di sana. Perlu dicatat juga bahwa mereka sedang menggeser perabot ruang tengah. Bukan sedang nobar. Vic terkekeh. “Then start move your ass, Mr. Reid!” Jacob memutar matanya. Tangannya menggerakan kain pel di tempat, mengelap satu area di bawah kakinya. “I’m doing it, Sis!” “By the way,” ujar Jacob. “How’s life? Anything fun worth sharing?” “Life has been ... pandemic?” Bahu Jacob melorot. “Fuck pandemic. I want to hear more about how you achieved all those followers. I mean, 13k? Girl, you rock! Any hot dudes sliding into your DMs? Endorsement? I need stories!” Vic menumpuk peralatan makan di atas kain putih lalu beralih pada gelas kaca yang berukiran di bagian luarnya. Gelas yang cantik jika dipakai untuk minum kopi. “Hot guys? None? Can't find anyone hotter than you, Jack," candanya. "Gue banyak ditawarin produk abu-abu, sih. Takut, ah. Robyn bilang bahaya." “Me can help you try them. I'm always ready for freebies.” Kedua mata Jacob mengerling manja dan Vic berpura-pura memasang wajah jijik. “What about Fabian? You can get free coffees and help him promoting his bussiness." Sambil memastikan bahwa gelas yang dilapnya sudah nampak mengilat, Vic melirik ke arah mug ungunya. Sebenarnya, dia sudah berencana untuk membuat postingan khusus untuk kopi Fabian. Hanya sebatas rasa terima kasih dan karena Vic menyukai kopinya. Semua foto sudah dia edit dan siap diunggah, namun Vic ragu. Dia tidak tahu apakah Fabian mau menerima promosi terselubung dari sebuah akun yang 80% isinya adalah foto-foto sexy. Apalagi mereka belum saling follow dan Vic merasa sungkan untuk berinisiatif. Mungkinkah karena Vic tahu Fabian seorang dosen yang menjadikan hubungan mereka terasa kaku? Cara Fabian menggunakan saya-kamu seolah membatasi hubungan pertemanan mereka. “He’s a fine man, Vic,” ujar Jacob memecah lamunan. “It’s time to move on, girl. Forget that, what's his name again? Beka? Ah, yes! Bara. Forget that asshole. Robyn bisa ngamuk kalau lo masih mikirin Bara, Vic.” “Kok jadi bahas mantan, sih?” tanya Vic gemas. Jacob memutar matanya. Tubuhnya membungkuk, sedikit condong ke arah Vic, dan ditutupinya satu sisi wajahnya. “He’s a teacher in the morning and businessman for the rest of his day. If it was me, I don’t mind get ting an extra lesson before bed.” Tawa Vic meledak sampai matanya berair. “Aduh, Jack,” isak Vic mencoba mengatur tawanya. “Udah, ah. Nggak bakal kelar gue ngelapnya kalo diajak ngobrol mulu. Now, shush! Continue your duty, Sir.” --- Jam 12.15, Vic dengan dibantu oleh Jacob menyiapkan cemilan siang dan membawanya ke ruang tengah yang sudah terlihat berbeda dari yang sebelumnya. Letak sofa dan meja sudah berpindah. Karpet telah disingkirkan. Walau masih berantakan, ruang tengah jadi terlihat lebih luas dan lega. “Kita break sebentar,” pimpin Ganesa yang langsung ditinggal oleh anak buahnya yang segera berkerumun di sekitar makanan. Hanya ada dua piring besar berisi gorengan berbentuk bulat, satu piring yang berisi tumpukan roti goreng yang ditusuk potongan sumpit, dan sebuah teko yang berisi jus jambu. Jacob menepuk tangannya. Saat perhatian terpusat padanya, senyumnya merekah. “We made some snacks for you. We have tots and corndog with special Victoria’s Style dipping sauce and guava juice!” Karina dan Ganesa bertepuk tangan sambil mengangguk bangga, sementara Mike yang baru menerima segelas jus dari Vic langsung menenggaknya sampai habis. “Impatient, aren’t we?” sindir Jacob yang dibalas dengan cengiran di wajah Mike. Jacob lalu mengambil sebutir tots. Dihampirinya Robyn yang sedang menunggu gelasnya penuh diisi jus. "Vic made this for you, Handsome," bisiknya sambil memegangi dagu Robyn. Mata Robyn yang semula menatap gelas jusnya kini menatap bergantian senyuman aneh di wajah Jacob dan ekspresi menggoda Vic yang ditujukan padanya. Mulutnya mengatup saat Jacob memasukan tots hangat, menggigitnya, dan langsung terbatuk karenanya. “Bangsat! Jack! Vic!” Semua orang menatap bingung sementara Jacob dan Vic terbahak bersamaan. He Knows How to Grill Kegiatan kerja bakti selesai tepat pukul 6 dan Vic yang lebih dulu mandi sudah kembali ke dapur untuk memastikan makanan mereka tidak dihinggapi lalat atau malah hilang dibawa kabur kucing. Sambil bersenandung dia menguncir rambutnya menjadi bentuk cepol besar. Sebenarnya, dia ingin memakai celana pendek, namun berkat ulah Ganesa di malam sebelumnya, malam ini dia harus memakai legging hitam. Untuk atasannya, dia memilih bralette hitam dan cropped top putih bertuliskan 'Like what you see?'. Vic asyik mengetik di ponselnya dan sudah mengisi daya hingga penuh untuk memotret semua hasil jerih payahnya seharian ini. Tadi siang dia terlalu sibuk memikirkan konsumsi sampai tidak ingat untuk mengupdate Instagramnya. “Fathia!” serunya terkejut. “Apa kabar?” Mendengar sapaan ceria Vic, wanita berhijab yang kerap dipanggil 'Fa' hanya melirik tidak berminat. "Gue kira lo balik besok," lanjut Vic yang mendengar kabar mengenai Fathia dari Karina tadi pagi. Fathia membuang sisa air minum dari gelasnya ke wastafel lalu membilas gelas tersebut sebelum dikembalikan ke rak. Ada bunyi keras saat es batu jatuh ke permukaan wastafel. “Tumpukan sampah di depan sampe nutupin jalan, posisi perabot berubah semua, dan ini makanan nggak diberesin. CS-nya kemana, sih?” “Lo belum baca grup? Hari ini kita kerja bakti ...” “Untuk apa?” sela Fathia sambil bertolak pinggang. “Uang sewa kan sudah termasuk biaya CS, kenapa harus kerja bakti? Aku kan sibuk di kantor, mana sempet ikutan bersih-bersih?” Vic meletakan ponselnya di meja lalu membuka kulkas untuk memeriksa es batu yang tadi Jacob buat. Senyum di wajahnya langsung surut ketika dilihatnya banyak balok es yang hilang. “Pekerjanya pulang kampung, Fathia. Karena kebijakan lockdown, Ibu Kos susah nyari penggantinya. Makanya diberhentiin dan kita inisiatif ngebersihin semuanya.” Vic menggigit bibir bawahnya. Kalau begini, mereka tidak bisa menyajikan fruit punch tepat waktu. Atau haruskah mereka minum fruit punch tanpa es? “Tadi Fabian bayar uang denda karena nggak bisa ikut. Coba tanya Ganesa gimana kebijakannya.” “Emangnya Fabian kemana?” Vic mengangkat bahu. Fathia nampak gelisah. Vic melihat bagaimana wanita itu menggigit kukunya dan matanya berkeliling seolah mencari sesuatu. Dengan seulas senyum, Vic menepuk bahu Fathia. “Habis ini kita mau bakar-bakaran. Ikut, yuk? Yang lain lagi pada mandi.” Fathia mengernyit. “Ya, sudah. Aku siap-siap. Kamu juga ganti baju gih, Vic. Mau kumpul sama yang lain masa bajunya begitu?” Dengan itu Fathia meninggalkan dapur dan Vic hanya bisa mengulum senyumnya. ---- “Akhirnya pekerjaan kita selesai, Guys! Jangan lupa ucapkan terima kasih pada Vic ...” “And Me,” sela Jacob sambil tersenyum. “... untuk breakfast, lunch, and this amazing dinner. Bersulang!” “Bersulang!” seru seluruh penghuni kos sambil membenturkan ujung gelas di tengah meja. Vic menggumamkan 'thank you' pada Ganesa sambil tersenyum lebar. Tidak lupa pula ia abadikan momen bersulang mereka dengan mode boomerang lalu menyeruput fruit punchnya yang setengah dingin. “Maaf, ya. Fail banget es batunya nggak ada.” “It’s okay, Vic. Untungnya lo sempet masukin kulkas, jadi lumayan dingin,” seru Karina dan diangguki oleh Robyn yang baru saja kembali dengan sebuah piring berisi beberapa tusuk sate dan potongan jagung bakar. “I swear I made the ice cubes," seru Jacob sambil mengacak rambutnya. "I'm sorry, Vic. I ruined your spotlight." "It's okay, Jackie. Lo udah banyak ngebantu." Bahkan bisa dibilang, setengah pekerjaan dilakukan oleh Jacob. Dia yang membantu Vic mencuci semua alat masak yang sudah selesai dipakai, dia pula yang membersihkan meja, dan mengepel ulang bagian dapur yang ketumpahan bumbu. Vic mengangkat gelasnya lalu mengarahkannya pada Jacob yang duduk di sampingnya. “Cheers to us, Jack. We feed them all and been gossiping non-stop.” Jacob terkekeh dan mengetuk gelasnya pada gelas Vic. “Next time ajak gue ngegosip juga,” celetuk Karina sambil mengambil setusuk sate dari piring Robyn. "Fabian jago juga nge-grillnya." "I want to get smokey with him." Jacob berbisik dan Vic dibuat nyaris tersedak. Sekilas ia melirik ke arah di mana Ganesa, Mike, dan Fabian berkumpul dekat pemanggang. Mike sibuk makan, Fabian yang baru bergabung untuk makan malam sedang membolak-balik daging, dan Ganesa sedang menikmati rokoknya sambil sesekali tertawa. Hanya Robyn yang duduk bersama di pendopo karena semua orang melarangnya mendekati alat masak, lalu Fathia ... wanita itu sedang mondar-mandir di dekat pemanggang sambil mengabadikannya dengan Go-Pro. Katanya mau mengunggah vlog kebersamaan mereka. "This is our first gathering," gumam Vic. Tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa seluruh penghuni KB akan berkumpul untuk makan bersama seperti ini. Biasanya, paling banyak hanya dilakukan bertiga; dirinya, Jacob, dan Ganesa. Sisanya sibuk dan begitu sulit untuk mencari hari kosong. "Hopefully this won't be our last gathering," ujar Jacob sambil memeluk Vic. "Kalau mereka pada pindah, kita harus tetap tinggal bareng Vic. You can live with me and Satria and you'll be our lovely daughter." "Count me in, Jack!" Karina bergeser dan ikut memeluk Vic dari sisi sebelahnya. "Jangan ajak Robyn. Dia suruh tinggal di rumah sakit aja." Vic terkekeh melihat Robyn nampak tidak peduli. Dia begitu sibuk memisahkan daging dari tusuk sate sampai Vic akhirnya mengambil alih untuk membantu melepaskan. "Kayaknya ini harus jadi acara rutin. Kumpul-kumpul di akhir pekan. Biar Vic nggak capek, sesekali kita order online aja," usul Karina. "Gue setuju!" "Habis ini kita sogok Ganesa." "Sekarang aja! Ayo, Jack!" Jacob dan Karina kompak turun dari pendopo untuk menghampiri Ganesa. Keduanya begitu bersemangat berbicara sampai membuat Ganesa kelimpungan. Dari tempatnya Vic tertawa melihat bagaimana semangat Jacob dan Karina ikut menular pada Mike dan Fathia. Mereka berempat begitu heboh sampai membuat Fabian menjauh, membiarkan Ganesa diserang seorang diri. "I thought we'll live together after I graduate." "Ya?" Vic menoleh dan mendapati Robyn sedang memerhatikannya. Dengan seulas senyum, dia memiringkan kepalanya. "Lo ngomong apa barusan, Byn? Nggak kedengeran." Robyn tersenyum tipis. "Gue bilang lo cantik banget malam ini. Pengen gue sayang tapi udah keburu jadi mantan." "Mabok sate ayam lo, ya?" tandas Vic. "Nggak, gue mabok bola-bola kentang isi wasabi dicampur terasi." Vic tidak bisa menahan tawanya dan dihadiahi gumpalan tisu bekas oleh Robyn sebagai balas dendam. Tanpa disadari keduanya, ada sepasang mata yang terus memerhatikan dan berharap dirinyalah yang ada di posisi Robyn saat itu. We're Buddies Now Sambil mengelap wajahnya dengan sebuah handuk kecil, Vic melihat pria itu membersihkan vibratornya dengan sebuah tisu basah sebelum memasukannya ke dalam tas. Ugh, Vic berharap dia akan mencucinya setelah ini dengan standar yang benar. Diliriknya beberapa sex toys lain yang tergeletak di atas mesin cuci lalu kembali pada sosok pria yang ternyata kini sedang memerhatikannya. “Mau lagi?” Vic menggeleng pelan. “Makasih, ya. Servisnya selalu memuaskan.” Ada seulas senyum tipis di wajah Vic. Mendengar sebuah pujian selalu membuatnya senang dan mampu mengobati kekecewaannya karena malam ini, hanya pria itu yang bisa terpuaskan. Namun, harus diakui ini kali pertama Vic begitu menikmati menggunakan alat-alat itu. Mungkin, karena pria itu tahu bagaimana menghibur seorang wanita dengan mainan? Yah, siapa tahu. Vic meraih celana dalamnya, berniat memakainya, dan mengurungkan niatnya karena sehelai kain itu sudah tidak berbentuk lagi. Pria itu merobeknya. Lagi. “Can I get some tips? I need to buy new pair. Again.” Pria itu melihat bagaimana Vic menggoyangkan celana dalam putih di udara. “Kirim link-nya ke WA gue, nanti gue check out.” Vic melempar celana dalamnya ke tempat sampah lalu meluruskan kaus longgar yang dipakainya. “Pastiin lo pake nama gue waktu check out. I want to minimalize suspicions.” Dihampirinya pria itu lalu dikecupnya di pipi. Tangan pria itu memegang bokongnya, meremasnya cukup kencang lalu berbisik di telinga Vic. “Thanks for tonight, Vic.” “See you tomorrow, Handsome,” jawab Vic yang lebih dulu keluar dari ruang laundry. “F, Fabian!?” seru Vic saat menutup pintu laundry. Tangannya meremas gagang pintu. Fabian mengangkat kepalanya dari laptop yang ada di pangkuannya. “Ya?” Vic refleks menarik rendah kausnya. Walau kaus itu cukup longgar hingga setengah pahanya, ia takut gerakannya akan membuat kausnya tersingkap. Dada Vic berdebar saat sepasang mata itu kini terfokus padanya. “L, lagi ngapain?” tanya Vic dengan sengaja mengeraskan suaranya. Harapannya, dari celah pintu suaranya akan terdengar oleh pria itu dan mencegah pria itu keluar. “Meeting dengan teman.” “S, sorry. Suara gue nggak kedengeran, kan?” “Saya matikan speaker.” Bukan suara itu … batin Vic yang semakin cemas. Tangannya semakin keras memegang kenop pintu saat didengarnya suara samar tawa pria itu dari balik pintu. “Lo nggak dinyamukin duduk di situ?” Fabian menggeleng pelan. “Di situ kan bau rokoknya Ganesa.” “Saya nggak terganggu dengan bau rokok.” “Emangnya nggak gerah?” Pria itu terbahak di balik pintu dan Vic ingin mengutuknya. Bisa-bisanya dia tertawa di saat Vic merasa seperti seorang pengutil yang sedang ditonton melalui CCTV. “Sinyal di sini lebih lancar.” Merasa Fabian tidak juga mengerti kode yang Vic berikan, akhirnya Vic mengeluarkan jurus rahasianya. Setelah berdeham, Vic menantang sepasang mata yang masih menatapnya. “Ngobrolnya masih lama? Ada yang mau gue tanyain … b, buat kepentingan kuliah.” --- “Kalau mau menampilkan PPT punyamu ...” Fabian dengan sabar menjelaskan bagaimana mengoperasikan aplikasi Zoom yang baru di-download di laptop milik Vic. Pria itu bahkan membantu membuatkan akun, mengajarkan cara mengganti nama, sampai membantu cara mengubah latar belakang. Vic tidak begitu memerhatikan karena dia tahu bagaimana aplikasi itu bekerja. Dia hanya tidak pernah melakukannya di laptop dan mengandalkan ponselnya untuk melakukan online meeting. Nggak bisa gegabah, next time harus main di kamar… Vic memperingatkan dirinya. Seluruh penghuni sudah kembali dan ia harus berhati-hati memilih tempat. Ia tidak bisa lagi berpikir bahwa tidak akan ada yang berkeliaran setelah jam 12 malam. “Apa sudah jelas?” Vic terkejut saat Fabian tiba-tiba bertanya. Ditatapnya tampilan laptop yang menunjukan akun Zoom miliknya. “Iya,” ujarnya dengan nada gantung. “Uhm, Yan?” Pria itu menoleh dan tatapan mereka berserobok. “Do you hate me?” Di balik sepasang lensa, Vic melihat bagaimana mata lawan bicaranya membesar. Wajahnya terkejut, bingung, dan semua itu karena pertanyaan absurd yang baru saja Vic lontarkan. “Kenapa saya harus membenci kamu?” Because of my naked body ... “Nggak tahu,” bohongnya sambil menunduk. Vic memainkan ujung kausnya. Matanya menatap cat kuku yang mengelupas di ibu jari kakinya. “Mungkin bakal terdengar aneh, tapi gue merasa sikap lo agak dingin. Lo bisa ngobrol santai sama Ganesa, Robyn, dan Fathia tetapi kalau sama gue lo agak kaku.” Hening mengisi jeda panjang percakapan mereka. Vic benar-benar menyesal sudah mengutarakan isi pikirannya. Sekarang pasti Fabian menganggapnya butuh perhatian sampai menyebut Ganesa dan Robyn. Bahkan Fathia!? Entah apa yang membuatnya melontarkan nama itu. Salah langkah, Vic. This is not nice and you’re so stupid … pikir Vic. “Seharusnya kamu langsung tegur saya, Victoria,” ujar Fabian sambil mengusap lehernya. Ada semburat rona merah di wajahnya saat dia mengalihkan perhatian ke pintu. “Saya bukan orang yang ahli dalam bergaul. Takutnya, saya terkesan sok akrab dan malah membuat orang lain risih. Ganesa seumuran dengan saya, jadi kami cukup nyambung untuk bicara. Robyn teman diskusi yang baik dan Fathia beberapa kali membantu saya.” Semua informasi itu mengalir begitu saja dari mulutnya. Berdeham, Fabian melanjutkan, “saya nggak tahu kalau sikap saya malah membuat kamu merasa begitu. Maaf, ya.” “Jadi lo nggak benci gue?” Vic memastikan. “Nggak.” “Beneran?” Tubuh Vic maju selangkah. Suaranya terlalu bersemangat dan gestur tubuh Fabian yang mundur beberapa langkah tidak dipedulikannya. “Jadi bukan karena badan gue, ‘kan? “Badan?” “Buddy!” Vic meralat cepat. “We’re buddies now!” Enjoy The Show “Masa, sih? Kayaknya semua kopi rasanya sama aja, deh.” “Beda, Fa. Kopi dari Fabian ini lebih asam, kayaknya pengaruh jenis kopinya.” “Semua kopi itu sama, Karina. Semuanya pahit!” Karina memutar matanya lalu menoleh pada Vic. “Vic, tell her. Lo penikmat kopi pasti ngerti yang gue maksud.” Mengangguk, Vic lalu menyeruput kopinya. Ah, yes! World's greatest taste! batin Vic tersenyum. Karena rayuan Ganesa, sang pemilik kafe akhirnya membawakan sebungkus serbuk kopi yang bisa dinikmati setiap saat oleh penghuni KB. Untungnya, tidak banyak penikmat kopi di antara penghuni KB, jadi selalu ada porsi lebih yang bisa Vic nikmati. “His coffee is definition of perfection.” “I know right? The croissant is also delicious.” “The chocolate one is yumm!” Vic mencium ibu jari dan telunjuknya yang dikatupkan, meniru gerakan a la chef dari film yang ditontonnya. “Kamu pernah nyoba croissantnya?” Kali ini Fathia bersuara. Vic melirik sekilas dan mendapati tatapan Fathia begitu tajam ke arahnya. Memangnya salah kalau pernah menyicipi salah satu produk populer dari kafe Fabian? Lagipula croissant itu dibeli dengan uang sendiri melalui jasa ojek online, kenapa Fathia jadi terlihat begitu… sewot? “Dua kali. Roti isi selai kacangnya juga enak. Katanya selainya resep dari mendiang ayahnya yang dulu pernah kerja sebagai chef.” Informasi itu Vic dengar dari Jacob pada suatu sore saat mereka berdua sedang menonton video masak di ruang tengah. Namun, rupanya keluarnya kalimat itu dari mulut Vic membuat reaksi berbeda pada dua pendengarnya. Karina membelalakan matanya. Takjub. Fathia… kedua alis hitamnya menukik di atas matanya. Mempertegas tatapan penuh bencinya pada Vic. Tangan Fathia lalu meraih ponselnya dan sibuk mengutak-atik. “Kar, aku jadi pengen bikin story khusus buat kopinya Fabian. Bantuin aku, ya. Aku nggak ngerti tentang kopi soalnya.” “Wah, tanya dulu ke Fabian, Fa, setuju atau nggak dipromosiin. Takutnya dia nggak sreg sama tarif paid promotion lo.” Fathia tertawa. “Ih, Karina! Masa bantu teman promosiin usaha diminta bayaran? Aku ikhlas mau bantu Fabian, kok. Abisnya dia udah baik banget sama aku waktu … ” Sisa omongan Fathia tidak lagi terdengar di telinga Vic saat disadari kopi dalam mugnya sudah mencapai tetes terakhir. Vic menatap stoples berisi bubuk kopi dan menimbang haruskah dia membuat gelas kedua sekarang atau nanti setelah pesanan breakfastnya datang. --- “Dari Ronron69, gue fotografer, kalau mau ajak collab gimana caranya?” tanya Vic sambil membaca secarik kertas kecil lalu ia singkirkan kertas itu ke samping. Tangannya meneruskan menggambar alis kanannya dengan pensil alis abu-abu gelap. “Ini pertanyaan yang lumayan sering ditanya. Untuk sekarang, aku belum mau collab dulu. Maaf, ya. Habisnya lagi ada wabah, takutnya nanti kalian sakit karena harus keluar rumah,” jelas Vic sambil tersenyum melihat hasil sketsa alisnya. Ia melirik ke arah kamera lalu mengedipkan satu mata. “Tunggu Covid selesai, ya?” Sambil tertawa Vic mengambil satu lagi kertas dari wadah kaca dan membacanya. “Dari F, fffffak801? Bacanya fakboy, ya? Sebutin 3 size.” Vic menatap pantulan dirinya di cermin. Tangannya menyugar rambut lalu ia gunakan mascara pada dua sisi bulu matanya. “Bajuku sebenarnya ukuran S, tapi lebih sering pakai M. Kalau celana, tergantung bahan, sih. Celana bahan biasanya nomor 8, kalau jeans tergantung merk apa. Hm, sepatu 37-38.” NamakuGilang: Bukan 3 size itu kayaknya, Vee. Barbarney: Lo lucu banget, Vee. Gemeesssh. NamakuGilang: Kalau ukuran daleman, Vee? Xtopher123: Top or bottom? Morri69: Pasti lu putus karna gx bs puasin laki lu. Morri69: Rata! Tangan Vic mengutak-atik ponselnya, menggulir layar agar berganti pada komentar yang terdahulu. “Hei, Rafli. Betul, nih. Lagi ngejawabin Q&A yang kemarin kalian kirim ke story aku. Semuanya kutampung, kutulis di kertas, dan hari ini dijawab,” jelasnya pada satu pertanyaan dari penontonnya. Vic tertawa setiap membaca komentar lucu dari penggemarnya. “Halo, Revano. Makasih atas pujiannya. Aku sekarang lagi di kamar mandi dan lagi dandan pakai make up baruuu,” ujarnya sambil menunjukan palette eyeshadow barunya. Matanya mengerling, memperlihatkan gradasi ungu di kelopak matanya. “Bagus nggak?” Barbarney: Cantik banget, Vee. Xtopher123: Kenapa ungu? NamakuGilang: Yeay! Matching sama kaus gue! Vic membulatkan mulutnya. “Coba foto! Beneran ungu atau nggak?” ledeknya sambil meletakan kembali ponselnya. Vic menegakan tubuhnya, lalu bergerak mundur untuk memperlihatkan tubuhnya hingga sebatas paha. “Aku juga hari ini pakai ungu! Nanti tag aku di foto kalian pakai baju ungu, ya?” Sengaja Vic menurunkan kimono bermotif etnik yang membungkus tubuhnya. Bikini tanpa tali berwarna lilac melingkari dadanya, di bagian tengah dadanya membentuk simpul menyerupai pita. Tubuhnya sedikit membungkuk, membiarkan sinar lampu dari wastafel memantul pada tubuhnya yang sudah diberi lotion agar mengilap. Tangannya meraba bokongnya, menggoda dengan menggerakan satu jarinya di selipan bikini. Vic berputar membelakangi kamera ponselnya. Bagian bawah kimono diangkatnya, memberikan akses sempurna untuk ratusan pasang mata agar dapat melihat bokongnya dalam balutan bikini lilac. “Enjoy the mini show, guys,” ujarnya tepat sebelum musik mulai berkumandang dari speaker Bluetooth. Sepanjang satu lagu, Vic menggoda ratusan penontonnya dengan bergoyang. Dia menyentuh setiap bagian sensitifnya, menggigit bibir bawahnya, dan menunjukan ekspresi nakal. Siang itu, kolom komentar pun memanas dan jumlah follower Vic bertambah dengan pesatnya. Family You've Been Dreaming of Mata Vic menatap sederet angka pada mutasi rekening di layar ponselnya, keningnya mengerut sambil menyelesaikan transaksi, lalu beralih pada aplikasi e-commerce untuk mengunggah bukti pembayaran. Begitu tampilan memperlihatkan bahwa Vic hanya butuh menunggu barang dikemas, ia menoleh. “Byn, yang sebelumnya lo belum bayar, ya?” Robyn tidak menjawab. “Sama yang semalem jadi double, lho.” “Mau belanja apa, sih? Buru-buru banget.” Robyn mengeratkan pelukannya dan menempelkan wajahnya di leher Vic. Dikecupnya bagian terekspos itu beberapa kali. Tubuh Vic bergerak-gerak dalam pelukannya, mencoba melepaskan diri lalu dengan gerakan mulus, dia sudah duduk di atas perut Robyn. Robyn tersenyum tipis. Tangannya mengelus kedua paha yang mengapit tubuhnya. Kedua alisnya mengerut di tengah ketika Vic memperlihatkan isi troli sebuah situs pembelanjaan. “Gue mau beli lampu LED buat di meja belajar, celana kulot, sama kulkas kecil buat di kamar. Terus ada skin care baru yang mau gue coba. Kapan mau transfer?” “Masih pagi, Vic. Nanti pas gue jaga, gue mampir deh ke ATM.” Vic cemberut. “Byn,” rengeknya pelan. Jemarinya memegangi perut Robyn, menggosoknya tepat di atas pusar. Satu tempat sensitif yang sering diserangnya kalau ingin membuat Robyn terangsang. Usahanya berhasil. Pinggul Robyn bergerak. Robyn berdecak. Vic bisa jadi sangat keras kepala saat menyangkut hutang. Dengan gesit, diraihnya ponselnya dari kolong tempat tidur dan kurang dari lima menit, sejumlah uang sudah ditransfer ke rekening Vic. “Utang gue lunas,” ujarnya sambil menunjukan bukti transaksi yang mencapai dua digit. “Sekalian gue bayar uang muka … You’re sleeping with me for a week, Victoria.” Pengalamannya mengatakan tidak ada gunanya melawan Robyn, karena itu Vic pasrah saat Robyn memutar tubuhnya dan mencium bibirnya. Matanya terpejam menikmati permainan lidah Robyn di dalam mulutnya sementara di bawah sana, tangan Robyn tidak sabar mempersiapkan tubuh Vic. Saat melepaskan ciumannya, Robyn menatap Vic lekat. Ada seulas senyum di wajah pria itu yang membuat Vic merindukan masa-masa kebersamaan mereka. Sejak kapan hubungan mereka menjadi sebatas hubungan bisnis? Dulu, mereka bisa bercinta di mana saja tanpa harus ada transaksi setelahnya. Mereka melakukannya karena mau dan karena cinta mereka saling menjaga; Robyn tahu kapan mereka harus berhubungan and Vic decided to take birth control for him. “A—aah!!” Vic mendongak dan matanya terpejam saat tubuhnya dan Robyn menyatu. Napasnya menderu, dadanya bergerak naik turun. Padahal ini bukan kali pertama mereka bercinta. Bukan pula pengalaman masa lampau yang membuat Vic jadi lupa bagaimana sensasi mantan kekasihnya dalam tubuhnya itu, tetapi rasanya menyakitkan. “I’ll start moving, Babe,” bisik Robyn sebelum mengecup kening Vic. And she hates it. Vic benci setiap kali Robyn melakukan kebiasaan sederhana yang dulu dia lakukan. Ketika mereka masih bersama. Dia benci cara Robyn memperlakukannya seperti seorang wanita yang begitu berharga—they have sex because of money! Vic only wants his money! Tidak seharusnya Robyn menyamakannya dengan Abey. Wanita yang saat ini dikencaninya. Wanita cantik, berprestasi, dan mampu membuat Robyn melupakan perpisahan mereka. Seharusnya Robyn meninggalkan semua kebiasaannya. He should’ve fucked her. Just fuck her mindlessly, pay, and leave. Bukan malah memberi rasa sakit ini pada Vic. Tangan Vic melingkari leher Robyn, menariknya dalam pelukan untuk menyembunyikan setetes air mata yang berhasil keluar dari sudut matanya. “Fuck me harder, Byn.” --- Hihigirl12: jijik gw liat cwk tepos joget2. Seksi nggak, kayak kurang gizi iya. Jassminee94: tt kecil lo bs apa c? T0wnboy22: U hv small tits. I bet ur pussy is small too? Wanna taste how tight it is. Playp0rn: hi! I’m from indo. U? Playp0rn: hai! Pls answer me, bitch. Iambigboobies: cwo ap gk jijik nidurin lo,,,? Kulit lo item gt, pasti selangkangan lo item. Iyuuuuh. Geli bgt ciiyh,,, KerdusBekas: Heh lont3! Gara2 lo suami gw jd hapean mulu! Gk usah ganggu rumah tangga gw dan suami! Kmi udh bahagia dg 2 anak! Jgn godain suami gw! Lorren99: drop tarif per jam dong Miiiiiii78: Badan kek triplex sp jg yg sang3? Operasi gih tt lo biar makin cantix! R3n4_ren: cwek murahan! Umbar2 aurat! Mati aj kek lw! Vic menghelakan napas lalu meletakan ponselnya di nakas samping tempat tidur. Robyn masih terlelap dan tidak ada tanda-tanda dia akan bangun dalam waktu dekat. "Bisa-bisanya lo langsung tidur, Pak Dokter!" serunya gemas sambil menutup hidung Robyn sampai pria itu mengerang. Melihat Robyn yang tidak merespon apapun, Vic berjalan menuju tempat di mana dia menyimpan kontainer 50L di sudut kamarnya. Kontainer itu berisi barang yang didapatkannya secara gratis dari teman-temannya dan belum dipakai. Kebanyakan adalah skin care, kosmetik, dan produk kebersihan. Dikeluarkannya sebuah wadah kecil berwarna hitam. Ada tulisan masker organik pada tutupnya dan Vic tersenyum puas saat melihat tulisan aroma kopi tercetak di sana. Sambil duduk di tepi tempat tidur, Vic mengoleskan masker tersebut ke wajah Robyn. Dia tidak akan marah. Dulu sekali Vic sering melakukannya dan Robyn bilang dia tidak keberatan asalkan bukan produk abu-abu atau produk yang akan menimbulkan sakit—ya, Vic dan Jacob pernah iseng menggunakan sugar wax di kaki Robyn dan ugh ... endingnya menakutkan. “Byn,” gumamnya sambil mengoles di antara hidung dan bibir. “Gue udah ngomong sama Fabian. Katanya dia nggak benci gue." Yang ditanya tidak merespon. Suara dengkurannya halus terdengar. Tangan Vic membelai sisi wajah Robyn sebelum menutupi kulit pria itu dengan pasta beraroma kopi. Usai seluruh wajah pria itu tertutup masker, Vic meletakan wadah masker di lantai. Sambil menopang dagu, diperhatikannya wajah Robyn. "Kalo gue pacaran sama Fabian, lo bakal berhenti khawatir, nggak? Gue nggak enak sama Kak Abey. Dia pacar lo, tapi lo malah lebih care ke gue." “Kak Abey itu cantik banget, Byn," lanjut Vic. "Karirnya udah stabil, keluarganya jelas, dan dia punya segala hal yang nggak bisa gue kasih ke elo. You should build a family with her. One happy family you've been dreaming of." Lama Vic terdiam menatap Robyn yang tidur. Mau diganggu seperti apapun dia tidak akan terbangun. Pria itu ahli dalam mengontrol diri saat tidur dan setelah berpacaran selama lebih dari setahun, Vic sudah memahami polanya. Berkat itu, Vic seringkali memanfaatkan tidurnya Robyn untuk meluapkan perasaannya. Mengatakan semua keluh kesah yang tidak bisa ia ceritakan saat Robyn terjaga. Karena Robyn pasti akan memarahinya dan mengatakan kalimat penenang sampai mulutnya berbusa. Dan Vic tidak ingin Robyn atau siapapun mengetahui betapa sakitnya hatinya. Vic bangkit dan menggunakan punggung tangannya untuk menghapus setetes air yang keluar dari sudut matanya lalu meraih ponselnya. Him Can we meet tonight at my place? Kalo dimajuin sore, bisa? I have things to finish tonight. Boys Do Gossip Too “Haaah!" Ganesa menghelakan napasnya keras-keras sebelum tubuhnya merosot rendah, menekuk, dan kini memenuhi kursi kayu. Sebatang rokok menghiasi sela jarinya dan matanya menatap lukisan abstrak di dinding yang terpasang tegak lurus dengan arah pandangannya. "Mereka kapan selesai rekaman, sih?” Ganesa mengembuskan napasnya lagi, mengeluarkan kepulan asap putih membentuk lingkaran yang kemudian lenyap oleh angin. “Gue mau konser, nih. Ada lagu baru yang gue pelajari semalaman dari Youtube.” “Kenapa nggak gabung aja? Lo bisa jadi musik pengiring.” Ganesa mengernyit. Ditatapnya Mike yang sedang memangku laptop yang samar memperdengarkan dialog penuh teriakan dalam Bahasa Jepang. “What is it this time?” “Beauty drinks dari Thailand,” jawab Mike tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. “Itu, lho. Minuman viral di Tiktok yang katanya bagus buat detox. Klaimnya dalam seminggu bisa bikin kulit mulus bebas jerawat, badan langsing tanpa lemak, dan nambah tinggi tanpa olahraga.” Alis Ganesa semakin keriting memikirkan penjelasan Mike. Dia bukan pengamat tren kecantikan, tetapi dia yakin semua klaim yang disebut Mike bukanlah sesuatu yang bisa instan didapat hanya dengan meminum minuman dari Thailand. Kalau memang bisa bertambah tinggi tanpa olahraga, semua orang yang rutin meminumnya harusnya sekarang sudah setinggi tiang listrik., kan? “Tren pembodohan publik." "Ya, minimal bisa memperlancar buang air besar." "Mereka harusnya beli minuman yang bisa nyuci otak. Dikuras kalau perlu." Mendengar komentar sarkastik Ganesa, Mike meringis. “Does anybody know where Vic is?” Jacob muncul tiba-tiba dari arah tangga dan menduduki kursi di samping Mike. Diliriknya sekilas laptop Mike lalu menghelakan napasnya. “Anime again?” gumamnya sambil mengalihkan pandangan pada Ganesa. “I didn’t see her since this morning.” “Kuliah online,” jawab Ganesa sambil menghembuskan asap rokok. “Makanya baca grup.” Jacob cengengesan mendengar sindiran itu dan saat membaca grup, memang ada pesan singkat Vic yang mengatakan kuliah daringnya akan berlangsung selama 2.5 jam hari ini. "My poor Vic. I was about to tell her about the latest gossips.” “Gosip mulu!” tukas Ganesa sebal. “This one is hot, Handsome,” jelas Jacob sambil menggulir layar ponselnya. “Fathia updated her Instagram aaaand …” sengaja Jacob menjeda kalimatnya agar memicu adrenalin, “… she put a big heart sticker on Vic’s face. She didn’t even tag Vic.” Mike terpancing. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan masuk ke akun miliknya yang terakhir dibuka berbulan-bulan lalu. Notifikasi muncul di sudut kanan bawah, memberitahukan bahwa ada beberapa orang yang menandainya dalam berbagai foto. Dari deretan notifikasi, ada akun Fathia terpampang di sana dan keningnya mengerut. “Kok dia bisa tahu akun gue?” “You mean your deserted account? Well, duh! We always tag your account so she … Oh, God!” seru Jacob mendramatisasi sambil menutup mulutnya. “Even you, Anime Freak, got followed by Her Majesty?” “Emangnya lo nggak difollow?” “Nope. Request-nya nggak pernah me accept. Ingat dia pernah buat status anti-pelangi?” Melihat Mike mengerutkan keningnya, Ganesa menghelakan napasnya. “Udah lama banget itu. Statusnya latar hitam dan tulisannya 'Hate rainbow, love pastel colors'. Setelah itu followersnya turun nyaris 50%.” “Oh, gue tahu itu!” seru Mike yang akhirnya menghentikan video yang tengah ditontonnya. “Nana pernah cerita ada influencer di-cancel masyarakat karena menghina kaum LGBTQ+. Oh, jadi itu Fathia?” Jacob memutar matanya. “No wonder she divorced you, Mike. You’re so pre-historic. What are you? Flinstones?” Jacob menggeram saat mendengar Mike hanya tertawa. “Anyway, I want to ask her to help me with the plants." "Fathia?" “Vic! Oh, God! Walaupun Fathia orang terakhir yang ada di muka bumi ini, me lebih milih ikut punah daripada harus minta tolong Fathia.” “Awas kualat,” celetuk Ganesa sebelum dilempar sebuah bantal oleh Jacob. Jacob lalu menjawab pesan Vic dengan mengirim stiker hati dan tulisan 'Good luck focusing on your study, Hon!'. "What about Robyn? Still sleeping?” “Jaga klinik. Ada juga di grup. Baca!” Sekali lagi Jacob cengengesan. “Semua orang sibuk di hari Rabu, ya? Even Nyonya Besar is busy filming.” Ganesa menghisap rokoknya lalu kembali menghelakan napas ke arah jendela. Matanya sayu menerawang. “Dia yang sibuk, orang lain yang kena imbasnya." Melihat Ganesa mendadak melankolis, Jacob mencari-cari penyebabnya sampai akhirnya matanya mendarat pada sebuah buku dalam pelukan Ganesa. Tanpa izin dari sang pemilik, direbutnya buku yang berjudul ‘Keluhan Penghuni Durhaka’. Biasanya buku itu diletakan di ruang tengah dan akan Ganesa laporkan pada pemilik kos di akhir pekan. Namun, baru juga hari Rabu, buku itu sudah digenggam oleh Ganesa. "Vic already wrote my name," seru Jacob senang melihat namanya tertulis di sana dengan tulisan tangan khas Vic. Hurufnya bulat-bulat dan ada emoji senyum di akhir kalimat. "Fabian needs permission to get his bussiness packages? Kenapa harus minta izin?" "Baca yang bener!" tegas Ganesa yang mulai jengkel menanggapi pertanyaan Jacob. Jacob manyun sambil menatap buku di tangannya lalu tertawa saat melihat ada penjelasan tepat di bawahnya. "Oh, paket untuk kafenya, ya? Me will give an 'OK' for him. Who's next? Mike? Lo mau pake ruang tengah untuk nonton anime? Dude?" Mike menggedikan bahunya. "Terakhir kali gue pakai TV di bawah untuk nonton, Fathia ngelaporin gue ke Ibu Kos dengan tuduhan mengganggu tidur siang." Jacob mengangguk—sudah tidak heran dengan tingkah Nyonya Besar—lalu kembali membaca daftar yang ada. Robyn dan Ganesa tidak memiliki keluhan apapun. Mereka jarang sekali mengeluh dan kalaupun ada sesuatu yang mereka butuhkan, mereka melakukannya sendiri tanpa izin dari pemilik kos. Lalu beralih pada Karina. Wanita itu hanya mengeluh AC di kamarnya sudah tidak dingin. Setelah Karina, Jacob melihat ke kolom nama Fathia dan matanya menyipit. “Nggak setuju diadakan kerja bakti karena sibuk, nggak mau bayar denda karena pemborosan, mau panggil tukang cuci sendiri kalau jasa laundry dihentikan, bebas pakai ruang laundry kapanpun, minta digantiin bak mandi jadi bath up, butuh dipasang CCTV … Wow!” seru Jacob takjub melihat daftar panjang yang memenuhi kolom Fathia. "Can I add one more to my list, Handsome? Me mau Fathia diusir dari kos ini karena kehadirannya membawa polusi!" Mike mengangguk penuh semangat. Untuk kesekian kalinya, Ganesa menghelakan napasnya dengan pasrah. "Kalau bisa, gue pengen ngerubuhin kamar doi dan ngebangun kolam renang. Biar dia bisa nyuci jiwanya sekalian sampai mampus!" “I will pray for you, Ganesa Darling.” “Emang lo punya Tuhan?” “You can be one, Handsome. I'll give you my everything if you ..." “Fuck off.” Karina's Love Advice "Ini enak!" Karina berujar penuh semangat sambil mengambil sepotong dimsum dari wadah plastik besar di atas meja lalu melumurinya dengan saus. "Lembut banget, kulitnya juga tipis, dan rasanya fresh! Sausnya juga pedasnya enak, nggak kayak dimsum murah yang sausnya asam banget gitu." "Kayaknya Fathia sebentar lagi punya saingan," ledek Ganesa sebelum menyeruput jusnya. "Sorry, guys," ucap Karina sambil menutup mulutnya saat mengunyah. "Kebiasaan bantuin Fathia review produk jadi begini, tapi ini seriusan enak, Vic. Lo beli di mana?" "Bunda yang bikin." Karina kembali menyuap sepotong dimsum. Mulutnya penuh ketika menatap bergantian Ganesa dan Vic yang duduk di hadapannya. "Bunda siapa?" "Nyokapnya Vic. Dipanggilnya Bunda. Gimana, sih, lo? Ngebucin terus, sih!" Mata Karina membulat. Wajahnya nampak lucu dengan kedua pipi menggembung akibat dipenuhi potongan dimsum. "Bunda tadi ngirimin buat dimakan bareng. Abis ini lo post di Instastory lo, ya. Bantuin Bunda promosi usahanya." "Belum jadi usaha, ini masih test drive," sanggah Vic yang akhirnya meletakan ponselnya. Dia mengambil satu potong dimsum yang berbentuk seperti pundi uang dan melumurinya dengan saus. "Rencananya Bunda mau mulai open order minggu depan." Saat Vic membelah dimsumnya menjadi dua bagian, satu bagian diambil Ganesa sementara Vic kembali meraih ponselnya saat didengarnya ada notifkasi masuk. "Gue ke kamar Robyn bentar, ya." "Robyn kan lagi jaga," ujar Ganesa bingung. "Iya, dia lupa bawa dompet jadi minta dikirimin pake ojek," jelas Vic beranjak dari posisinya dan berlarian kecil menuju lantai dua. Sepeninggal Vic, Karina melirik Ganesa yang melanjutkan memakan potongan yang belum sempat Vic makan. Matanya menyipit dan senyumnya membentuk lengkungan di wajahnya. "Agak panas, ya?" Ganesa melirik Karina. "Lo nggak mau nembak, Gen?" "Mati anak orang ditembak," jawab Ganesa datar. "Oh, c'mon! Lo pasti paham maksud gue." "Nggak. Wanita kan susah dimengerti. Mana gue ngerti lo ngomong apaan." Karina memutar bola matanya. Tubuhnya menunduk, nyaris menempel pada meja. Satu tangan menutupi satu sisi wajahnya. "Robyn udah punya pacar, Gen. Ini saatnya lo maju untuk mengisi kekosongan hati Vic. Lo berdua kan udah dekat sejak lama. Nih, gue kasih tips dari seorang wanita," lanjutnya bersemangat. "We like it when someone do us favors when we're at my worst. Ala bisa karena biasa. Semakin sering lo ada di samping dia ketika hatinya kosong, semakin hatinya mempertimbangkan untuk menerima lo. Kuncinya slow but sure." Ganesa mencebikan bibirnya. Dalam hatinya menertawakan nasihat Karina yang bukan lagi rahasia. Siapa sih yang tidak akan terlena kalau terus-terusan diberi perhatian dan kasih sayang? Batu saja lama-lama bisa berubah kalau terpapar cuaca ekstrim, apalagi hati manusia? Sambil menyeruput jusnya dia melirik ke arah yang tadi dilalui Vic. Hari ini wanita favoritnya itu mengenakan kaus besar bertuliskan 'Fakultas Teknik ULILA'. Ya, kaus itu milik Ganesa dan sudah jadi hak milik Victoria karena dia pun sudah tidak memakainya. Sebelum Karina bergabung, mereka sedang membahas perubahan jadwal pertemuan mereka karena Vic sibuk kuliah. Kecewa? Jelas. Sangat, malah. Namun, Ganesa tidak bisa memaksakan kehendaknya. Berbeda dengan dirinya yang sudah tidak peduli dengan bangku kuliah sejak lama, Vic masih punya kewajiban menyelesaikan pendidikannya. Lagipula hari ini dia sudah mendapatkan sebuah ciuman dari Vic yang memperbaiki suasana hatinya. Sayang dia gagal menyentuh wanita kesayangannya itu karena interupsi Karina. "Dating, for us, is a bizzare thing, Kar. Starting might seems easy but for all the things I know, I can't have her by doing favors," jelasnya sambil menyandarkan diri pada pembatas pendopo. "And FYI, Robyn is single." Karina menganga. "He's what!?" Kedua alis Ganesa bergerak mengonfirmasi. "My brother told me the woman is now in German for scholarship-thing? I don't know. Intinya mereka putus secara baik-baik dan putusnya udah lama banget." "Oh, iya, ya. Adik lo seangkatan sama Robyn jadi bisa tahu," tutur Karina yang masih tidak mempercayai berita yang didengarnya. Dalam hatinya Karina mulai menghubungkan berbagai kejadian yang berubah dari Robyn. Ya, ya. Tentu saja. Wanita yang Karina ketahui berprofesi spesialis mata itu sudah jarang menemui Robyn ke kos dan Robyn akhir-akhir ini semakin sering menghabiskan waktu kosongnya di kos. Bersama Vic! "Does she know?" "I bet he hasn't told her," ungkap Ganesa sambil menggedikan bahu. "Kenapa? Padahal kalau Vic tahu, mereka bisa balikan ... oh, sorry, Gen. I'm still rooting for you, though." Pria itu terkekeh. "Nggak tahu, Kar. Gue lebih penasaran sama lo, sih." "Ah, basi!" umpat Karina sambil manyun. Tangannya mengetuk sumpit bambu ke meja. "Masalah gue masih nyangkut di situ-situ aja. Vic pasti udah cerita tentang nyokap gue yang ke sini sambil bawa pendeta, kan? Pernah ada rencana mau ke orang pinter, untuk lihat apa gue diguna-guna sama cowok gue." "Bukan yang itu," sangkal Ganesa sambil tertawa. "Gue penasaran kapan lo sama Mike mau officially announcing your relationship." Sudut bibir Ganesa terangkat membentuk sebuah seringai saat melihat Karina membuka-tutup mulutnya seperti seekor ikan yang baru ditangkap. --- "Kalau nggak ada di atas meja, coba di ransel hitam atau di kolong tempat tidur. Ya, pokoknya coba lo cari ajalah, Vic." Usaha Robyn menjelaskan petunjuk di mana dia terakhir meletakan dompetnya benar-benar tidak berguna. Pria itu terdengar sedang berbicara dengan seseorang di seberang sana. "Vic, ada pasien. Lo cari sendiri aja, oke? Bye!" Vic mendesah panjang saat dia sampai di depan pintu kamar Robyn. Cemberut dia tatap layar ponselnya lalu dia masukan ke saku belakang celana jeansnya. "Dia yang ketinggalan dompet, gue yang disuruh nyari ... Ya, Tuhan! Ini kamar atau TKP habis perang dunia, sih? Jendela juga nggak dibuka, gimana mau bagus sirkulasi udaranya? Dokter tapi kok hidupnya nggak ada sehat-sehatnya!" cerocos Vic sambil menggeser benda-benda di lantai yang menutupi langkahnya. Setelah membuka jendela dan mengikat tirai, Vic mulai memunguti kardus dan kemasan bekas pembungkus paket yang berserakan di lantai. Kertas-kertas bekas yang sekiranya tidak terpakai dia buang ke tempat sampah, buku-buku dia tumpuk sebagian di atas meja, dan sisanya di rak buku kecil di sudut kamar. Beberapa pakaian, entah sudah dipakai atau belum, dilipatnya di atas tempat tidur. Usai membereskan kamar Robyn, Vic dengan mudah menemukan dompet pria itu diletakan di rak sepatu. Rasanya tidak heran menemukan benda itu di sana, mengingat suasana kamar yang begitu porak poranda saat Vic masuk. "KTP, SIM, ATM, Kartu kredit." Vic mendata isi dompet hitam itu, memastikan tidak ada yang tertinggal karena akan menyulitkan kalau dia harus bolak-balik mengirimkan barang. "Oke, lengkap ..." ulurnya ketika membalik sisipan dompet dan kini menatap foto di dompet tersebut. Foto yang lusuh dan terdapat banyak bekas lipatan itu menampilkan wajah mereka berdua pada hari jadi bulan ketiga yang diambil di sebuah mesin photobox. Tangan Vic cepat-cepat menutup kembali dompet tersebut. "Harus dikirim secepatnya," bisiknya pada diri sendiri sambil berjalan ke luar. "Permisi, Mbak." Vic menoleh ke arah pintu laundry. Seorang wanita yang tampak asing mengangguk padanya. "Mbak siapa, ya?" "Saya Yuli, Mbak. Tukang cucinya Mbak Fathia. Ini sabun cucinya habis, saya boleh buka yang ada di lemari?" Vic menghampiri wanita itu dan mereka bersama-sama masuk ke dalam ruang laundry. "Boleh, kok. Pakai aja. Untuk Fathia jangan lupa pakai pewangi yang ini, Mbak," jelasnya sambil mengeluarkan sebungkus pewangi pakaian berwarna hitam. "Kalau habis, bilang ke Fathia aja minta dibeliin yang baru." "Terima kasih banyak, Mbak." "Nanti kalau ada sampah, tolong dibuang di tempat sampah di depan, ya. Biar bisa sekalian dibuang," pinta Vic. "Kalau butuh tempat lagi untuk jemur pakaian, yang kering boleh dipinggirin atau ditumpuk di ember di sana, Mbak." Wanita itu mengangguk lalu tersenyum tipis. "Terima kasih banyak, Mbak." "Kalau begitu saya permisi, ya," ujar Vic seraya berjalan meninggalkan ruang laundry. Sambil menuruni tangga, Vic bergumam, "beneran manggil tukang cuci ternyata." Fabian is a dangerous man Jacob mengernyit. "How big?" "Sekitar 7-8 cm, not that big but quite surprising." "Yeah, small," gumam Jacob sembari melanjutkan melahap sepotong lapis legit. "I once found a bigger one. Almost as long as that sausages. Dark red, slimy and wiggling." "Hah? Serius?" Vic meraih sosis yang baru saja dikeluarkannya dari lemari es. Niatnya ingin menjadikannya sama dengan suhu ruangan sebelum dia olah menjadi camilan sosis gulung mie. "Segede ini, Jack? Aren't you mistaken it for ... a bloody sausage?" "Duh!" Jacob menggedikan bahu. "I know things, 'kay? Segede itu dan menggeliat!" Vic tertawa. Dia menyibak katalog yang sejak tadi terbuka di hadapannya dan berhenti pada gambar hand bag hitam. Dia tersenyum tipis lalu menghelakan napasnya. "Lucu, sih, tapi mana bisa dipake?" Jacob melongok, ikut melihat katalog yang sejak tadi dibawa Vic ke mana-mana. Mereka pun akhirnya mendiskusikan tas tersebut sampai Fabian muncul di ambang pintu. "Pagi." "Morning, Mr. Fabulous. Sleep well?" "Lumayan," jawabnya singkat. Dia membuka kulkas, melihat-lihat isinya dan meraih sebotol air mineral. "Anything worth sharing?" goda Jacob sambil mengubah posisi. Dia bersandar manja pada meja. Jemarinya mengetuk permukaan meja dengan gerakan yang membuat Vic menahan keinginan untuk tertawa. "Lo mau gue bagi rasa pegel gue?" "What? No!" Fabian tertawa pelan lalu menggeleng. Setelah menenggak habis segelas air mineral, dia mulai memegangi lehernya. Beberapa kali dia menggerakan kepalanya membentuk gerakan sederhana dan Vic menangkap maksud dari gerakannya. "Salah posisi?" Pria itu terdiam. Gerakannya benar-benar berhenti saat Vic berbicara. Tanpa menatap lawan bicaranya, Fabian mengangguk. Melihat respon Fabian memberi efek berbeda untuk Vic dan Jacob. Ketika Vic sedang merasakan sedikiiiiit kecewa karena kurangnya kontak mata saat mereka berbicara, Jacob malah berhasil menemukan celah dari kondisi Fabian. Sudut bibir Jacob menukik, membuat siapapun yang melihatnya paham ada ide tidak manusiawi yang akan dia lontarkan. Benar saja, dalam tiga detik usai senyuman itu mengembang, wajahnya berubah serius saat memberi usul. "Let Vic give you a massage, Hon. She's an expert." Sudah gila, batin Vic sambil melotot pada Jacob. "Her hand job is amazing." Vic melotot semakin lebar. Apapun makna di balik kata-kata Jacob, Vic tidak suka dengan ke-frontal-annya. What if he mistake it for anything else? Anything as in ... 'any' ... thing? Di bawah meja, dia sudah mencubit paha Jacob, tetapi pria yang dicubit sepertinya tidak keberatan. "Kayaknya Ganesa pernah menyinggung tentang itu." "Oh, C'mon! Free trial only for today. You have to pay me next time you feel tired, I'm her manager as of today," ungkap Jacob sambil tertawa. Dia, tanpa permisi, menarik tangan Fabian agar duduk di kursinya lalu memposisikan pria itu agar membelakangi Vic. Di balik punggung Fabian, Vic dan Jacob berkomunikasi tanpa suara, tetapi akhirnya Vic menyerah dan mulai memijat bahu Fabian. Selagi Vic melakukan tugasnya, Jacob duduk di seberang Fabian. "So, what's your schedule for today, Mr. Fabulous? You have class today?" "Nggak," jawab Fabian sambil menunduk. "Nanti siang kayaknya mau ke kafe sebentar, nge-drop beberapa paket." "What a coincidence!" seru Jacob sambil tepuk tangan. Matanya berkilau ketika bertukar pandang dengan Vic dan detik itu juga Vic merasakan firasat buruk. "Tadi Me and Vic lagi ngobrol. This girl needs to buy something di supermarket. Can you take her with you?" "Ack!" Fabian mengaduh. "Oh, God! Fabian, maafin gue. Sorry banget, ya? Nggak sengaja. Sumpah, gue nggak sengaja." --- Fuck, fuck, fuck! umpat Vic dalam hati begitu mobil yang dikendarai Fabian berhenti sebelum lampu kuning berubah merah. Angka digital di atas sana tidak membantu Vic menghilangkan kecanggungan berada dalam satu ruang kecil bersama pria itu. Everything just keep getting worse! Setelah tanpa sadar menekan bahu Fabian terlalu kencang tadi, Vic jadi sungkan untuk mengajaknya bicara. Walaupun pria itu sudah berkali-kali menjawab permintaan maafnya, tetap saja Vic merasa tidak enak hati. "Gue turun di halte aja, deh. Nanti lo kejauhan muternya, Yan." "Justru lebih dekat muter dari depan supermarket," jelas Fabian sambil mengatur arah aliran AC. "Jalannya banyak ditutup semenjak pandemi, jadi rute terdekat lewat depan supermarket." Stupid me, batin Vic. Sambil menunggu, Vic memperhatikan rantai yang tergantung pada spion dalam. Ada bandul antik yang tergantung di sana. Warnanya rose gold dan jiwa kepo Vic tidak bisa tenang melihat itu tergantung di sana. "Boleh liat?" Fabian melirik sekilas lalu menjawab, "silakan." "Cantik banget," puji Vic ketika membuka bandul tersebut dan disambut foto wajah seorang wanita blasteran. Riasan wanita itu sederhana dan foto pun diambil secara amatir dengan kamera. Melihatnya membuat Vic teringat akan aktor luar negeri Anne Hathaway di era Princess Diaries. "Memang." Vic mengembalikan bandulnya. "She used to be the most beautiful woman I've ever met. But she's no longer with me." Di balik maskernya, Vic menggigit bibir. "She left?" ujarnya pelan. "Kecelakaan tunggal waktu naik motor." "O, oh." Vic mengerutkan keningnya. Dia tidak menyangka akan mendengar sebuah pernyataan yang memilukan. Selama ini, menurut apa yang beredar di kos, Fabian ditinggal selingkuh oleh calon istrinya. Jadi, bukan karena selingkuh? "I'm so sorry." "Nggak apa-apa. Udah dua tahun berlalu. Semua baik-baik saja. Isu tentang selingkuh itu juga benar, kok." "Hah? Lo tau?" "Isu ditinggal selingkuh? Iya, saya tau." Mulut Vic menganga lebar di balik masker. "Dengan suara Jacob, rasanya satu isu bisa didengar semua penghuni dalam waktu kurang dari 24 jam. Kamu nggak benar-benar percaya bahwa tempat kos kita aman, kan, Victoria?" Wanita itu tertegun. Pertanyaan itu membuatnya teringat kembali akan semua kejadian yang membuatnya nyaris tertangkap basah. Tunggu, sebentar! Jangan-jangan malam itu pun Fabian sadar dan tahu apa yang terjadi? Sisa perjalanan menuju supermarket menjadi sangat canggung dengan percakapan yang berlangsung di antara mereka. Fabian mungkin menjadi lebih santai dalam berkomunikasi, tetapi Vic menjadi semakin berhati-hati. Dia tidak mau apa yang keluar dari mulutnya akan menyerangnya di kemudian hari. Fabian is a dangerous man. Dan Vic akhirnya bisa bernapas lega ketika mobil berhenti di lobi mall. Itu artinya dia bisa bebas dari suasana menyesakan bersama Fabian dan memikirkan cara untuk melanjutkan aksinya. Namun, semua kelegaan itu hanya berlangsung kurang dari dua menit. Karena saat Vic melepaskan sabuk pengamannya, kata-kata Fabian kembali menyumbat saluran pernapasannya. "Lokasi tempat makan yang Jacob bilang, bisa tolong share location ke saya? Biar bisa saya pelajari rutenya di kafe selagi menunggu kamu belanja." Tempat makan ... what? Menunggu ... who? Oh, fuck!! This Is A War Vic menadah di bawah mesin hand sanitizer dan menunggu ada cairan bening yang jatuh ke tangannya. Setelah menunggu, mesin tidak kunjung mengeluarkan isinya, sehingga Vic menunduk untuk melihat ke dalam tube. "Don’t laugh! It was … disaster! Mas, ini habis. Saya pakai punya sendiri aja, ya?” Sambil mengeluarkan hand sanitizer, Vic menggosok tangannya dan berjalan maju. Petugas sedang mengarahkan thermo gun ke lengannya yang baru saja dia usap. “Um, terima kasih,” ujar Vic yang mengernyit. Bingung dengan prosedur mengukur suhu di lengan dan hasil 33,5°C yang ditunjukan oleh layar. Dia lantas berjalan memasuki supermarket setelah mengambil sebuah troli. “No, listen to me, Mr. Reid!” “He’s single and available, so what?” suara Jacob di seberang sana terdengar begitu geli. Dia sedang tertawa—terhibur—karena tiba-tiba Vic menelponnya sambil marah-marah. Tentu saja karena percobaan menjodohkannya yang terlalu maksa. “I’ll be here at home, preparing the best atmosphere for you guys to start bang—“ “Hell no!” sela Vic. Dia menunduk, mempercepat langkahnya melewati lorong penuh dengan paket sembako yang penuh dengan pegawai, dan berbelok ke lorong pembalut. “Gue nggak tahu mau beli apa di supermarket dan nggak tahu makanan apa yang lo maksud. Now, before I run back home, do tell! What should I do now? Gue nggak mau terjebak situasi canggung kayak tadi, Jack. Please, help!” Jacob Reid is a bastard, batin Vic ketika suara tertawa pria itu memekik di telinganya. Saking gelinya, napas pria itu jadi seperti orang sesak napas. “Jack, please ….” “Okay, okay,” kata Jacob yang mulai mengatur napasnya. Di seberang sana dia terdengar menarik napas panjang. “I’ll help you but,” ujar Jacob dengan sengaja mengulur ucapannya. “Can I get a service tonight? I’m so lonely without Satria for the past few days, Hon.” Vic mendengkus. “Fine,” ujarnya pasrah. “Not tonight. Gue ada ….” “Of course. Malam ini Fabian might score the goal. Silly me for asking,” canda Jacob. “Okay, listen, Beautiful. What you need to do is ….” --- Tadinya Vic memang tidak tahu harus membeli apa di supermarket karena tidak ada barang yang dibutuhkan. Namun, setelah berkeliling selama setengah jam dia berhasil memenuhi satu troli dan kini terjebak bersama kardus berisi belanjaan di dalam trolinya. Lumayan, dia bisa membeli beberapa makanan beku untuk cadangan di kos dengan harga miring dan beberapa produk pembersih yang, kalau dibeli secara online, harganya sudah dua kali lipat harga normal. Dia juga sempat membeli pembalut serta bahan-bahan untuk memasak. Karena panas, Vic menunggu di bangku lobi. Seluruh AC di gedung dimatikan untuk mencegah penyebaran virus melalui sirkulasi di dalam ruangan. Menjadikan suasana supermarket jadi seperti pasar tradisional tanpa ventilasi udara. Pengap dan panas. Empat puluh lima menit kemudian, mobil Fabian muncul di lobi. Pria itu langsung membantu Vic memasukan belanjaan ke bagasi. "Coffee," tawar Fabian ketika Vic selesai memasang sabuk pengaman. Dengan senang hati Vic menerimanya. “Rawamangun agak jauh, ya? Kita naik tol aja, nggak masalah, ‘kan?” Hanya suara berdeham yang Vic keluarkan ketika dia sibuk menyeruput es kopi pemberian Fabian. Ah! Semua lelah, panas, dan keluh kesahnya seketika menguap tidak bersisa. --- Mungkin karena efek pandemi, jalanan jadi sangat lengang. Perjalanan menuju Rawamangun yang notabenenya berada di sisi lain Jakarta jadi sangat singkat dan tahu-tahu, mereka sudah sampai di depan sebuah universitas swasta. Tadi Jacob bilang ingin makan bakso yang hanya dijual di depan kampus itu. Begitu tiba di sana, ternyata lokasi tersebut seperti surga kuliner. Para pedagang membentuk lingkaran di bawah pohon yang rindang dan ada kursi plastik tersebar di seluruh penjuru. Entah bagaimana pemandangan saat tidak pandemi, karena hari ini saja suasananya ramai sekali. Semua orang asyik makan dan bercanda. Seolah berita Covid-19 di luar sana tidak pernah ada. “Lo mau juga, Yan?” tanya Vic yang bersiap melepaskan seatbeltnya. “Saya lebih tertarik sama sate padang,” kata Fabian yang sedang melihat ke sekeliling. Matanya menyipit di balik lensa untuk melihat jenis makanan yang ada di sana. “Loh, kok sama!?” seru Vic bersemangat. “Gue juga ngidam sate padang, Yan. Beli, yuk? Makan di sini aja, boleh, ‘kan?” “Boleh. Kalau begitu saya pesan dulu, sekalian panggil penjual baksonya ke sini,” ujarnya sebelum keluar mobil. --- "Bang! Jangan tidur mulu dong. Bantuin pindahin kardusnya ke gudang." Ganesa melambaikan tangan sementara tubuhnya tenggelam di sofa. Pria itu mengatur temperatur AC di ruang tengah lalu melempar remot ke sembarang arah. "Nanti dulu, Ca. Taro situ dulu nanti Abang pindahin. Capek nih abis mindahin lemari." Adik Gen, Caca, mendengkus. Dia pergi meninggalkan Gen beserta tumpukan kardus berisi pajangan. Gen sendiri baru bisa bernapas lega setelah mengangkat dua lemari besar, satu tempat tidur, satu meja rias, dan TV dari kamar adiknya ke ruangan baru di lantai atas. Adiknya itu baru saja lulus SMA dan permohonannya adalah mendapatkan kamar baru yang lebih besar. Jadilah kamar miliknya direlakan untuk adik perempuan satu-satunya. Toh, Gen sudah tidak mendiami kamarnya lagi semenjak mengurus bisnis kos. "Bang Gen!" Caca berteriak dari lantai atas. Kepalanya menyembul dari celah pilar pegangan tangga. "Bang Eca mau pesen makanan, Abang mau dibeliin sekalian nggak? Apa? Oh, salah! Bang Gen mau beli apa? Bayarin kita makan dong!" "Kriwil brengsek," desis Gen yang tahu betul siapa dalang di balik ‘kode’ yang baru Caca berikan. Si pelaku pasti saat ini sedang bersembunyi di atas sana dan terus menghasut Caca untuk membeli makanan yang sekarang sedang dia idamkan. "Ya, udah, pesen aja sana. Nanti bayar cash. Dompetnya di kamar." "Oke bos! Bang Eca, aku mau yang Bolognese, dong. Minumnya …." Suara Caca menghilang. Sepertinya dia masuk ke dalam ruangan tempat di mana si Kriwil berada dan sekarang mereka sedang menyusun rencana untuk menghabiskan uang Gen. Gen menghelakan napasnya. Dikeluarkannya ponsel dari saku samping celana. Ada satu notifikasi yang tidak pernah disangkanya. 'Fabian baru saja memperbarui story' Tumben, batin Gen sambil membuka akun Instagramnya. Dia merupakan satu-satunya penghuni kos yang tahu akun asli milik si Pak Dosen. Akun yang selama ini difollow dan ditandai pada foto oleh para penghuni merupakan akun untuk publik. Yah, Gen tidak heran, sih. Pada akun publik yang isinya hanya foto-foto estetik suasana kafe dan ‘belajar’ saja, banyak akun wanita yang memenuhi kolom komentar dengan kalimat-kalimat tidak senonoh. Apalagi kalau mereka tahu akun asli Fabian … bisa-bisa si Pak Dosen dijadikan objek fantasi. Dua porsi sate padang. Bukan hal yang mengejutkan. Pria berkacamata itu memang sering mengunggah foto makanan di story-nya. Bahkan saat dia hanya memiliki sepotong roti tawar dan butter, dia akan mengunggah fotonya dengan ditambah tulisan-tulisan tanpa makna. "Wah, jajan di mana, Yan?" komentar Gen sambil memberikan dua emoji bermata love. Sesaat dia memperhatikan foto tersebut dan matanya menangkap sesuatu yang familiar. Ada ponsel dengan case ungu dalam pangkuan seseorang yang sedang memegangi sepiring sate padang di foto itu. Bukan case biasa, tetapi case yang berisi air dan glitter serta manik-manik berbentuk huruf V. Sepasang alisnya bertautan. Setelah menggeser story Fabian, dia melihat-lihat story lain yang diunggah teman-temannya. Jacob rupanya baru saja memposting sesuatu dalam mode close friend. Dalam klip singkat itu Jacob mengunggah boomerang yang memperlihatkan Vic dan Fabian menuju mobil lalu Vic melambaikan tangan. Tangan Gen bergerak cepat membuka akun Vic. Benar. Wanita itu baru saja mengunggah sebuah foto dalam mode close friend. Foto dirinya berdiri di lorong pembalut dan melepas maskernya. Tidak. Bukan masalah masker yang dilepas atau foto dengan pose yang sedikit nakal itu yang membuat darah Gen mendidih. Melainkan fakta bahwa celana yang dikenakan Vic sama dengan celana seseorang yang sedang bersama Fabian dan asyik menikmati sate padang. Sialan! Hanya beberapa jam dia lengah dan seseorang sudah melangkahinya. This is a war. PINDAH KE WATTPAD CERITA INI PINDAH KE WATTPAD. akun wattpad: diaryofmedstudent Description: Cerita ini pindah ke Wattpad (akun: diaryofmedstudent) Terima kasih.
Title: Wait at 24 Category: BNNS Text: Jangan Bosan Mendengar Tentang Aku Setiap bintang menjadi sumber semua imajinasi. Siapa yang mau peduli jika kita tercipta seperti nasi basi? Tak menarik di mata dan hanya pantas dikepal dan dilempar ke galaksi. Menarik diri cukup berarti karena merasa percuma timbul berlebih. Usaha keras pun hanya dijadikan penyeimbang si beauty yang duduk di sisi dan sudah jelas akulah the beastnya. Chatting semacam pelarian dari kehausan mengenai lawan jenis yang tak tercipta di dunia nyata. Aku terlalu lelah merubah dan memperbaiki apa yang telah Tuhan ciptakan. Memiliki diri yang serba terbatas membuat setiap usaha tak pernah berakhir maksimal. Berkhayal tinggi, menyapa mesra dan menyampingkan tentang muka. Terlihat jelas, jika si lawan lebih berada, mereka tak akan mau saling berdekat mata dan yang sudah-sudah saja hanya melewati dan menganggapku tiang bendera. Sampai bertegur sapapun tak mau jika itu tidak terpaksa. Pelampiasanku hanya pada dunia maya, tempat yang tepat untuk sekumpulan orang-orang yang sama, berwajah hampir serupa, yang biasa disebut si buruk rupa. Media sosial adalah pelarian rasa sepi. Mencari teman dan penghiburan disela-sela kehidupan nyata yang membosankan. Tak sedikit orang yang berhubungan melalui chat dan berlalu. Tak pernah ada hubungan lanjut atau apapun itu. Sebagian hanya melewati sesaat dan kembali ke dunia nyata yang jauh dari sempurna. Tertawa sejenak dan kembali lagi menghirup udara sambil membayangkan pasangan yang sesempurna foto profil mereka. Dunia maya tidak selalu tentang bahagia, apa yang kita mau tak selalu ada. Pasti saja salah satu ada yang membuat kecewa. Salah satunya yang terjadi kepadaku. Orang pertama yang bersedia bertemu denganku setelah berkali-kali chatting bersama adalah Ivan. Dia salah satu mahasiswa di sebuah universitas swasta di Bandung, Pada saat itu kampusnya terkenal karena mahasiswinya yang menjadi model video cukup vulgar dan beredar secara massal entah disengaja atau tidak. Bukan karena hobi atau cita-cita menjadi model video 3gp, kalau bisa mungkin mereka memilih menjadi model yang lebih elite dan bermartabat. Menurutku mungkin kebanyakan dari mereka dijebak pasangannya ataupun kalau ada yang melakukannya secara sadar hanya untuk sekedar mencari penghasilan tambahan. Maklum saja, godaan menjadi seorang mahasiswa itu lebih dahsyat daripada air es di tengah hari saat awal-awal puasa. Godaan melihat teman-teman nongkrong, beli ini-itu, cukup membuat hati panas dan rasanya ingin sekali bertukar tempat menjadi mereka yang tak perlu berpikir panjang saat membeli barang teranyar dan menguras uang saku sebulan lebih. Aku berada di usia remaja yang sebagian besar anak sudah mempunyai pacar, sedangkan aku? Bertemu laki-laki asing saja baru mau. Polos dan sedikit berlebihan, pikiranku hanya dipenuhi ketakutan dan banyak pertanyaan apa tujuan Ivan mau bertemu denganku.? Apa dia tahu aku masih polos dan lebih mudah dimanfaatkan? Karena biasanya melihat fotoku saja laki-laki sudah malas. Jangan-jangan aku mau dijadikan model video? Tapi aku tersadar lagi ketika tanganku tak sengaja memegang perutku yang bergelambir. Ah, nggak mungkin. Paling model artikel orang penderita obesitas. Pikirku. Aku bukan termasuk salah satu wanita yang menjadi kriteria pacar idaman laki-laki. Pada saat usiaku baru belasan dan sedang dalam masa puberku, Tuhan memberiku penampilan yang luar biasa. Jika diibaratkan hewan, mungkin kingkong akan menganggapku sebagai saudaranya. Seragam sekolah saja sudah tak ada ukurannya di koperasi, tak jarang aku harus menjahit sendiri dan tukang jahitpun selalu geleng-geleng kepala saat mengukur tubuhku. Di samping biaya yang lebih mahal, aku enggan pergi ke penjahit karena pasti mereka selalu takjub melihat lingkar pinggangku yang cukup untuk pinggang tiga orang anak kelas 2 SD. Ukuran rok seragam 32 dan kemeja xxl adalah pasangan yang tepat untuk teman belajarku. Tidak terlalu mengekang perutku yang sangat menonjol saat duduk di bangku kayu di dalam kelasku. Jika sedikit saja ukuran kemejaku kurang tepat, maka puluhan kancing baju harus menjadi korban ganasnya dorongan lemak-lemak di dalam perutku. Tak sedikit usaha yang kulakukan untuk memperkecil ukuran tubuhku. Mulai dari minum ramuan-ramuan herbal penyusut peruh, teh pelangsing yang harganya lebih mahal dari uang jajanku, puasa yang tak kenal hari, setiap masuk sekolah kepalaku pusing karena sebelum tidur aku berolahraga untuk menghasilkan keringat membanjir agar lemakku terbakar, sampai memuntahkan makanan yang baru saja aku telan sudah pernah aku lakukan, hal yang dalam bahasa medis disebut Bulimia. Bulimia memang penyakit yang sering di derita oleh model-model yang notabene harus terus menjaga tubuhnya agar tetap langsing. Kalau aku bilang, ini bukan penyakit, tapi seperti kebiasaan buruk yang dimana kita akan makan secara berlebihan dan mengeluarkannya lagi. Merana dan mubajir. Sepertinya Tuhan saja sudah bosan mendengar satu-satunya doaku “langsing”. Setiap hari sekolah, aku hanya memandangi dengan sedih teman-temanku yang memiliki tubuh kecil dan mungil. Mereka dengan manisnya memakai seragam yang berukuran hanya sepertiga ukuran seragamku. Mempunyai perut rata dan memakai rok yang mungkin hanya cukup untuk sarung bantal kursiku. Bahagia sekali menjadi mereka, ibunya tak perlu mengomel karena harus membeli tambahan kain untuk membuat seragam. Semakin aku memandangi mereka semakin aku ingin makan, karena dengan cara itu semua keluhanku akan hilang meskipun hanya sementara. Dan bebanku akan bertambah dengan cepatnya. Di tengah hari ketika matahari sedang semangat-semangatnya berbagi sinar dengan bumi. Aku dan Ivan sepakat untuk bertemu, “kopi darat” istilah kerennya. Di dekat lampu merah, tempat janjian yang kurang kreatif namun aku menganggapnya yang paling aman. Setidaknya kalau Ivan berniat macam-macam, aku akan berlari kearah pos polisi dan meminjam pistolnya atau berlari kearah pangkalan ojek dan meminta tukangnya menabrak Ivan. Dua puluh menit kurang lebih kulitku yang sudah coklat bersentuhan dengan suhu yang panas. Aku sudah tak berharap lagi, kalau saja dua puluh menit berikutnya Ivan tak datang , aku akan pulang dan menerima nasibku seperti biasanya. Standar mahasiswa pada umumnya, Ivan mengendarai motor untuk menjemputku. Wajahnya cukup lumayan, dengan tubuh tinggi besar, rambut sedikit gondrong dan sudut hidungnya yang simetris cukup membuatku terpukau sejenak sampai tak sadar lupa berkedip beberapa kali. Dilihat dari fisiknya mungkin dia lebih mirip abangku. Dia bersikap biasa saja, meskipun aku sedikit menebak kata hatinya “Masya Allah, ini orang apa gajah?”. Sedikit terlanjur, dia mengajakku menaiki motornya walaupun dengan resiko harus masuk bengkel setelahnya. Semerbak harum minyak wangi tercium oleh hidungku yang hanya berjarak tiga puluh senti dari punggung Ivan. Tiga jam berlalu bersama Ivan tapi tidak ada yang istimewa kegiatanku dengan Ivan, hanya makan siang dan basa-basi yang sedikit dipaksakan. Setelah pertemuan itu tak pernah ada hubungan selanjutnya, meski sejujurnya aku berharap. Mas Essa Media sosial dan dunia maya itu surganya orang-orang pengkhayal sepertiku. Dan untuk saat ini benda itulah yang paling berjasa atas pertemuanku dengan Ressa atau biasa aku panggil Mas Essa. Mahasiswa jurusan Teknik Manufaktur di salah satu kampus di Yogyakarta. Usia yang lebih tua tiga tahun tidak aku permasalahkan. Tujuanku tidak aneh-aneh, aku hanya mencari teman bercerita dan tidak terlalu memakai rasa. Tapi sebuah pencapaian yang luar biasa untukku saat itu. Aku yang masih duduk di kelas 3 SMP merasa bangga mempunyai teman seorang mahasiswa. Ressa tidak terlalu istimewa, parasnya biasa saja. Wajah masa peralihan dari remaja menuju dewasa masih terlihat jelas, campuran antara muda menuju tua. Gaya berpakaiannya juga sedikit norak, kurang mengikuti mode terkini. Dia tipe mahasiswa yang tidak mengikuti arus, cuek dengan segala hal yang kurang ‘berfaedah’, terlalu serius belajar, terlalu kaku, terlalu kolot dan sangat pintar. Aku belajar menerima semuanya dan tidak menuntut lebih. Setidaknya aku bersyukur dia mau menjadi temanku disamping banyak orang yang menolak mempunyai teman dekat sepertiku lebih tepatnya karena fisik. Dia masih menerimaku sejauh ini. Selama kami belum bertemu karena masih berhubungan hanya via chat dan sms. Kita lihat saja nanti, apa dia masih bertahan saat melihat aku secara nyata. Awal mengenal Ressa aku masih belum mengerti betul mengenai “rasa”, dimana aku baru mengalami puber yang sebenarnya dan belum pernah merasakan pacaran. Di dalam keluargaku tidak terbiasa dengan yang namanya pacaran. Terkadang bagi kami anak-anaknya yang tidak tahan, menjalani pacaran secara diam-diam. Agak jadul memang, tapi aku beruntung tidak menjalani hidup terlalu bebas pada waktu itu. Setidaknya sekarang aku masih utuh dan higienis. Orang tuaku memang tidak secara khusus mengikrarkan kami anak-anaknya dilarang pacaran. Namun bila dilihat dari ekspresi wajah mereka ketika aku membahas lelaki atau membawa teman lelaki akan sangat terlihat jelas dalam raut wajahnya, mereka tidak setuju dengan namanya pacaran. Terutama abangku, mereka sangat protective terhadap semua adik perempuannya. Mungkin karena mereka laki-laki, sedikit banyak mengetahui jalan pikiran setiap pasangan laki-laki saat sedang pacaran. Ressa dan aku terus berkomunikasi melalui sms dan telepon cukup lama sampai aku masuk SMA. Meskipun kami belum pernah bertemu, sudah mulai ada rasa sayang tumbuh sedikit-demi sedikit, merasa rindu ketika salah satu tidak menghubungi, menghabiskan waktu merangkai kata untuk dikirim, menunggu setiap waktu di depan handphone, semua itu yang peribahasa bilang “rasa datang karena terbiasa”. Rasa kami, tepatnya rasaku untuk Ressa masih timbul tenggelam. Tersamarkan oleh lingkungan baru di SMA orang-orang baru terutama rasa-rasa suka yang baru pada senior-seniorku istilah kerennya itu ‘ngeceng’. Ngeceng atau naksir pada seseorang itu rasanya tidak jauh berbeda dari pacaran. Kalau menurutku ngeceng itu lebih mempunyai sensasi daripada pacaran. Ada rasa tertentu yang tidak bisa dijelaskan. Ada kangennya, membuat kita semangat untuk pergi ke sekolah, kesenangan tersendiri melihat kecengan dari jarak jauh, ngulik-ngulik tentang kecengan dan berusaha terlihat baik di mata kecengan. Bonusnya kalau lagi melamun , ada kecengan lewat itu serasa sedang dehidrasi disediakan air segalon, adem banget. Apalagi kalau kecengan secara tidak sengaja tersenyum kearahku, rasanya ingin teriak dan loncat-loncat, padahal belum tentu senyum itu benar untuk kita, bisa saja kebetulan. Sekolahku yang baru termasuk sekolah berstandar tinggi, jadi tidak aneh kalau siswanya juga banyak yang berkualitas. Baik dari segi materi , wajah dan tentunya otak mereka. Sudah dapat dibayangkan akan banyak sekali siswa laki-laki yang layak dijadikan kecengan, hal itu sampai membuatku plin-plan dan selalu mengubah siapa orang yang aku suka. Tak heran jika setiap bulannya aku selalu mempunyai kecengan yang berbeda. Mudah sekali aku menyukai siswa laki-laki, terkadang karena wajahnya, kadang juga karena perawakannya, tak jarang hal itu bisa timbul hanya karena hal sepele, dengan singkat aku bisa menyukai mereka hanya karena laki-laki itu meminjamkan aku pulpen. Ah, dasar. Hampir semua orang yang pernah mengagumi dari jauh. Mereka yang lebih memilih diam dibandingkan mengungkapkan, lebih memilih melirik daripada harus teriak memekik dan lebih memilih menahan rasa daripada berusaha menjadi penguasa cinta. Ya , lagi-lagi mereka adalah orang-orang sepertiku, yang tidak percaya diri ataupun sadar diri apa yang diharapkan adalah hal yang terlalu tinggi. Tidak ada yang memilih terlahir menjadi orang yang kurang diperhitungkan, jangankan dikagumi untuk disadari keberadaannya saja mustahil. Mengagumi itu menyiksa sekali, menahan suka pada orang yang jelas bukan milik kita, menahan rindu seperti orang dungu dan setiap memejamkan mata dunianya penuh mimpi membuat cerita sendiri dengan orang yang dikagumi. Orang kasmaran tapi tidak ada bedanya dengan orang depresi. Terdapat beberapa tipe orang yang mengagumi. Ada yang diam-diam saja dan ada yang begitu nekat seperti temanku Nia. Dia berani betul teriak-teriak di lorong sekolah memanggil nama orang yang dia suka. Bahkan beberapa kali dia menguras dompetnya untuk membelikan orang yang disukainya barang berharga, meskipun tak pernah ada respon positif. Genk Karena hari ini pengalaman pertamaku harus duduk berdampingan dengan senior, maka aku memutuskan untuk datang ke sekolah lebih awal. Selain agar aku bisa mengulang sedikit pelajaran, aku juga tidak mau menjadi pusat perhatian para senior saat aku masuk kelas jikalau aku datang terlalu siang. Sampai kelas tempatku ujian, baru ada sekitar 7 siswa, 3 orang senior perempuan yang sedang berkumpul di bangku yang ada di sudut kelas dan sisanya adalah teman-teman sekelasku. Aku langsung memeriksa satu-persatu meja untuk mencari nomor pesertaku. Meja ketiga di baris kedua dekat pintu masuk, cukup strategis dan “Abimanyu Nayawaki Mohammed” nama senior yang akan menjadi teman ujianku selama seminggu ini. Nama yang cukup unik, baiklah mungkin aku akan panggil Bima saja agar lebih singkat. Bel ujian belum berbunyi, satu kelas masih ribut mengobrol kesana kemari, termasuk aku yang sedang membahas sedikit materi bahan ujian hari ini bersama teman yang duduk dibelakangku. Pukul 06.43 yang artinya tujuh belas menit sebelum ujian dimulai senior yang seharusnya duduk denganku baru saja datang. Masuk pintu kelas, berjalan di depan kelas menuju tempat duduk layaknya orang terganteng satu sekolah. Dia langsung duduk di sampingku, semacam mempunyai indera keenam dia tahu tempatnya tanpa harus mencari sepertiku tadi. Kulihat sebentar kearah seniorku itu, bukannya menyiapkan alat tulis, tapi langsung mencari teman mengobrol. Tidak kuhiraukan, aku melanjutkan percakapanku dengan Aden temanku. Meskipun kita sudah standby di kursi masing-masing, tapi suara kita sampai terdengar sampai ke ujung kelas. Semua asyik mengobrol bersama teman masing-masing, bagi yang sudah akrab dengan senior disampingnya maka mereka sudah berbicara satu sama lain. Banyak hal yang dibahas siswa-siswa dikelasku, mulai dari mengulang hafalan, membahas rencana makan apa sewaktu istirahat nanti sampai hal yang tidak ada hubungannya dengan sekolah. Aku tidak terlalu berani memulai pembicaraan dengan Bima ataupun sekedar berkenalan. Masih merasa canggung dan sedikit risih. Tapi di sisi lain ujung mataku tertarik dengan apa yang Bima lakukan. Bima menyimpan cermin kecil hasil pinjaman dari teman perempuannya , dia simpan dengan hati-hati cermin itu di atas mejanya bagian depan. Cermin itu dia posisikan tepat ke bagian wajah temannya dibangku belakang. Sedikit penasaran, perhatianku sekarang fokus pada apa yang dia lakukan, meskipun tidak berani menanyakan untuk apa cerminnya dia posisikan seperti itu. Tapi tiba-tiba dia tersenyum memperlihatkan deretan giginya kearahku dengan sok akrabnya. “ Ini untuk nanya jawaban kebelakang, biar nggak ketahuan guru. Hehe” Katanya dengan cuek dan mimik wajah yang menggemaskan. Aku hanya membalas dengan senyuman hambar dan sedikit canggung. Tingkahnya yang kreatif itu cukup mencairkan suasana. Sifatku yang tidak suka basa-basi dan malas memulai pembicaraan ternyata dengan mudahnya Bima rubuhkan oleh sifat konyolnya. Mudah sekali dia tersenyum, membuatku yang kaku merasa malu jika tidak membalas senyumnya. Adapun yang paling unik adalah rambutnya yang menggumpal keatas. Pihak sekolah tidak punya alasan menegur model rambutnya yang kribo itu. Kalau siswa lain akan langsung dipotong di tempat jika melebihi kerah baju, nah kalau ini meskipun panjang rambutnya kalau ditarik lurus akan sampai sebahu, tapi karena menggumpal panjangnya jadi tidak melebihi kerah baju hanya menambah tingginya beberapa senti. Seperti aromanis. Tidak ada niatan untuk mengetahui lebih dalam kehidupan atau keseharian senior-seniorku itu. Hanya saja tanpa disadari ketika kita melihat suatu keadaan sekitar selalu saja menyimpulkan sendiri tentang apa yang terjadi. Begitupun aku. Dari awal masuk kelas, Bima langsung mengobrol dan membahas sesuatu dengan beberapa temannya. Rado, siswa beperawakan tinggi dengan wajah melankolis dan selalu senyum, tipe-tipe siswa ganteng tapi membosankan. Banu, siswa yang duduk dibangku belakang kita, bertubuh tinggi kurus dan berwajah biasa saja, tipe-tipe siswa slengean yang tidak suka bergaya hidup highclass. Geusan, siswa bertubuh gempal dan berwajah tampan, dari gaya bicaranya yang cukup berbobot mencerminkan dia berasal dari keluarga yang berpendidikan. Dan yang terakhir Coki, senior yang duduk tepat di sebelahku namun berbeda baris itu adalah yang paling mencolok, siswa berkulit putih dan berwajah oriental. Jika Bima sudah sok akrab, maka Coki lebih sok akrab beberapa level di atas Bima, Coki tipe-tipe senior yang yang banyak diidolakan dan pemberi harapan palsu. Dari keakraban mereka aku dapat menyimpulkan, Bima, Rado, Banu, Geusan dan Coki adalah teman satu genk. Bukan genk motor, tapi gengk-genk sekolah yang kemana-mana selalu bersama, makan bersama, main bersama ataupun bolos bersama. Ujian sudah dimulai dua puluh menit yang lalu , suasana masih hening dan belum terlihat tanda-tanda akan terjadi kecurangan. Untuk hari pertama pelajaran yang akan diujikan memang cukup mudah. Agama dan Kewarganegaraan. Tidak bermaksud menyepelekan, tapi setidaknya untuk pelajaran agama sebagian besar materinya sudah kita lakukan sehari-hari. Dan untuk kewarganegaraan, terutama pasal-pasal adalah hafalan wajib bagi siswa-siswa disekolahku. Setiap selesai upacara siswa-siswa akan berbaris untuk dites hafalan pasalnya. Bagi yang belum hafal, maka jangan harap akan diijinkan masuk kelas serta hadiahnya adalah berjemur dibawah tiang bendera sampai bel tanda habis jam pertama berbunyi. Menit-menit terakhir sudah jelas akan keluar jurus-jurus mncontek. Duduk di sebelah seniorku yang satu itu membuatku sulit berkonsentrasi. Bima pribadi cukup tenang saat mengerjakan soal. Penyebab konsentrasiku terganggu karena adanya kerusuhan yang dilakukan senior-senior lain, terutama teman satu genk Bima. Mereka sibuk meminta jawaban dengan cara melempar kertas-kertas yang sudah disobek kecil sebelumnya. Coki yang sangat sering menanyakan jawaban, entah dia memang kurang pintar atau tidak belajar sama-sekali. Sesekali aku melirik kearah Bima dengan ujung mataku, terlihat mimik kesal namun tak berdaya. Yaaaah, Bima tidak bisa apa-apa kalau yang mengganggu keseriusannya adalah semua teman “kesayangan”. Aku yang duduk diantara mereka selalu menjadi korban ritual ini. Setiap nomornya Coki selalu memberi isyarat kepadaku untuk memanggil Bima. Bisa dengan “ssst”, mencolek pinggangku atau menendang kursiku. Sampai ada saatnya aku merasa serba salah, aku merasa sangat terganggu jika tidak cepat-cepat memanggil Bima karena Coki akan terus menggangguku. Di sisi lain aku kasihan kepada Bima karena hasil berpikirnya harus dia bagi ke orang lain. Cermin yang Bima persiapkan di awal masuk kelas sama sekali tidak berguna menurutku. Tidak berguna untuk Bima maksudku. Selama ujian dia sama sekali tidak meminta jawaban kepada teman dibelakangnya itu. Kalau yang menanyakan jawaban yaa jangan ditanya, hampir sepertiga kelas jawaban ujiannya akan sama persis dengan dia. Aku pikir dia cukup pintar, apa mungkin rambut kribonya itu isinya otak semua??? Pengawas mempunyai pemikiran yang berbeda denganku. Bukan pengawas namanya kalau tidak selalu curiga, pada akhirnya cermin itu harus direlakan Bima disita oleh pengawas. Meskipun Bima memberi seribu alasan untuk meyakinkan bahwa cermin itu tidak dipakai untuk mencontek. Cicak Putih vs Ketombe Matematika dan Fisika pasangan mata pelajaran yang tragis untuk ujian hari ini untuk kita siswa-siswa jurusan IPA. Semua siswa bungkam dalam diam, berontak dalam ketidakmampuan. Satu jam pertama tidak ada kekacauan, hanya terdengar suara lembaran kertas yang dibolak-balik dan gesekan penghapus yang tergerus. Empat puluh soal penuh rumus yang harus diselesaikan selama 120 menit sungguh menguras otak. Wajah siswa-siswa berubah cemberut, berusaha fokus memahami apa yang harus menjadi jawaban pada setiap pertanyaan. Si “pintar” semakin bengis saat diganggu dansi “kurang pintar” semakin gelisah setengah pasrah. Jika si “pintar” membutuhkan lebih dari satu kertas buram untuk menghitung jawaban , berbeda dengan si “kurang pintar” yang memanfaatkan kertas buram hanya untuk menggambar dan pura-pura sibuk. Jika si”pintar” memaksimalkan setiap detik untuk berusaha memecahkan soal, berbeda dengan si”kurang pintar” banyak menghabiskan waktu untuk melamun, mencari inspirasi dengan memandangi langit-langit dan mencari kesempatan untuk melakukan kecurangan. Semakin lama waktu ujian berjalan, semakin membuat duduk pesertanya tidak tenang. Kursi kayu yang cukup dingin , berubah tidak nyaman sepanas duduk di atas aspal panas bagi si “kurang pintar”. Logaritma trigonometri beserta saudara-saudaranya berlomba-lomba bersuara ingin diselesaikan terlebih dahulu. Tapi ada mau dikata, amnesia dadakan selalu muncul disaat-saat genting. “Sst..sst.” Aku menoleh ke arah suara yang ternyata berasal dari mulut Coki.dan langsung sedikit mengangkat daguku untuk klarifikasi kenapa seniorku itu memanggil, tanpa lupa melihat kearah pengawas untuk memastikan keselamatanku. Selain untuk ajang mengulang pelajaran, ujian juga merupakan ajang latihan bagi kita. Multitasking adalah tujuannya, dimana kita harus tetap fokus mengerjakan soal tapi juga tidak lupa membantu teman yang kesulitan dan tetap waspada terhadap lirikan maut pengawas. “Panggilin Bima!” kata Coki. Aku menyenggol tangan Bima memakai sikut dengan mata yang tetap waspada memantau pengawas. Letak tangan kami yang hampir bersentuhan memudahkan aku memberikan isyarat kepada Bima tanpa melakukan gerakan yang berlebihan. Bima menoleh kearahku, saat itu aku baru tahu setiap lekukan wajah. Wajah dengan garis tegas dan sudut hidung yang hampir sempurna yang terbalut kulit berwarna hampir hitam. Kugerakan sedikit kepalaku menunjuk ke arah Coki. “ Apaan?” Bima agak sedikit kesal saat melihat ke arah Coki. Sepertinya dia sedang benar-benar fokus mengerjakan ujiannya, tergambar dari ukuran rambutnya yang semakin membesar karena terdorong uap yang keluar dari otaknya. “ Apa?” Coki malah kembali bertanya pada Bima. Bima terlihat bingung dan semakin bertambah kesal. Pertahanan diriku goyah untuk tidak melihat kearah mereka secara bergantian. Perseteruan antara dua sahabat selalu membuatku kepo. “ Ih anjrit tadi kan kamu manggil saya, kenapa sekarang malah balik nanya? Yang benar dong kamu!” volume suara Bima cukup mengusik beberapa siswa membuat mereka menengok ke arahnya dan siap-siap melemparnya dengan penghapus. Daun telingaku semakin melebar ketika mendengar kata “saya” keluar dari mulut Bima. Bukan hal yang aneh memang kalau kata itu dipakai jika sedang berbicara dengan orang yang lebih tua. Tapi Bima memakainya saat berbicara dengan Coki?? Oh yang benar saja. “ Kertas yang aku lempar goblok! Mana jawabannya?” Kata Coki tidak kalah volume. Bima langsung celingukan mencari kertas yang dikatakan Coki. Sepertinya bukan karena ingin tahu isinya, tapi lebih karena takut ketahuan oleh pengawas. Aku yang tadinya berjanji akan fokus hari ini untuk mengerjakan soal, sama sekali jauh dari yang namanya konsentrasi. Mau konsentrasi gimana kalau melihat orang di sebelahku rusuh seperti kemasukan ulat bulu di dalam seragamnya.. “Nyari apa?” Tanyaku berbisik kearah Bima yang sedang asyik di bawah meja kami. “Nyari kertas contekan si Coki tuh” jawab Bima tanpa menoleh ke arahku dan masih tetap rusuh mencari kertas. Sebagai adik kelas yang baik aku membantu mencari dengan sangat berhati-hati berusaha untuk tidak terdeteksi pengawas. Sebenarnya aku membantu Bima bukan karena aku baik, hanya saja rambut Bima yang besar itu mengusap-usap betisku yang sebesar mangga. Membuat sangat tidak nyaman. “ Nggak ada kang,” Ucapku di atas kursi. Aku hanya mencari sebisaku, ke tempat-tempat yang sekiranya dapat kujangkau tanpa harus bergerak terlalu signifikan. Sedang rusuh-rusuhnya kita mencari kertas dari Coki, tiba-tiba pengawas berjalan mendekati bangku kita dengan wajah menghakimi, spontan kita langsung duduk rapi seakan tidak terjadi apa-apa. Aku berusaha duduk setenang mungkin, mengatur nafas sestabil mungkin, meskipun pikiranku tidak karuan, aku takut kertas itu ketahuan atau terinjak oleh pengawas dan pengawas berpikir akulah yang memberi contekan. Matilah kita kalau sampai itu terjadi. Pengawas berhenti tepat di dekat tempat duduk Bima. Aku heran dengan orang di sebelahku yang santai sekali dan terlihat sangat tenang. Tidak ada kepanikan sama sekali di wajahnya. “ Yaelah,, aku botakin juga tuh rambut kamu“ Ada apa ini, kenapa kamu turun-turun ke bawah bangku?” Tanya pengawas dengan tatapan tajam yang tertuju kepada Bima yang sedang berpura-pura membuka-buka kertas soal sambil bersandar ke kursi kayu yang sedang didudukinya.. “ Nggak bu, ini badannya pegal-pegal, biasalah bu kalau terlalu fokus kan badan suka tegang gitu.” Katanya memiringkan lehernya ke kanan dan ke kiri lalu meregangkan kedua lengannya persis seperti orang baru bangun tidur. Oh God, aku tidak habis pikir dengan orang di sebelah aku ini, apa dia diciptakan Tuhan untuk menjadi orang paling santai di dunia? Anehnya, pengawas hanya sejenak menarik nafas panjang menahan kekesalan dan langsung pergi setelah mendengar penjelasan dari Bima tadi. Mungkin pengawas malas berdebat dengan orang yang super santai itu. “ Santai aja kali, nggak usah gugup, kalau gugup malah ketahuan!” Bima hanya tersenyum dan mulai mengajarkan jurusnya Bim” kataku dalam hati, kalau ngomong langsung mana aku berani. Kupaksakan sedikit tersenyum sebelum melanjutkan pekerjaanku. Delapan belas menit terakhir. Pengawas pergi keluar kelas, entah mau memberi kesempatan kita untuk mencontek atau sekedar mengobrol dengan pengawas kelas sebelah s . Tanpa buang-buang waktu, Bima langsung melesat merangkak ke bawah bangku dan meneruskan misinya mencari kertas dari Coki. Kolong meja, kolong bangkuku dan kolong-kolong yang lainnya dia jamah. Aku tidak membantu kali ini karena pekerjaanku masih banyak yang belum diisi. Aku menyempatkan melirik ke bawah kearah orang yang sedang merangkak itu. Dalam hati aku berpikir, baru kali ini bertemu senior yang tidak ada jaim-jaimnya di depan junior. Aku berpikir dan hanya bisa melihat rambutnya Bima, apalagi yang bisa dilihat dari atas selain rambutnya yang menonjol dan menutupi semua kepalanya kalau dilihat dari belakang. Sedikit fokus aku perhatikan, ada benda berwarna putih di rambutnya Bima, seperti ketombe tetapi agak besar. Aku tidak yakin itu ketombe, bisa jadi itu cicak putih yang jatuh ke rambut Bima dan tidak bisa keluar lagi karena terlalu rumitnya lalu lintas di rambut Bima. Aku jadi penasaran, aku melihat lebih dekat. “Kang, kang” Aku memanggil sambil mencolek punggung Bima setelah merasa yakin dengan apa yang aku lihat “Apa? Ada pengawas?” Bima bicara tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. “ Bukan, Itu dirambutnya ada……..” “ Kecoa? Biarin aja, di dalamnya masih banyak kok.” Belum selesai aku bicara, Bima langsung memotong pembicaraanku. “ Kamu kira rambut kamu gudang apa Bim?,” gerutuku dalam hati, aku biarkan saja Bima bermain dengan lantai sampai akhirnya dia menyerah dan duduk di bangkunya. “ Aduh mana sih, si Coki lempar kemana ya itu kertas? Eh, tadi di rambut aku ada apa?” Tanya Bima sambil mengacak-acak rambutnya tanpa mampu membuat benda putih itu terlepas.. “ Kertasnya ada di rambut akang.” Kataku sedikit canggung memanggilnya dengan sebutan “akang”. Aku berusaha menahan tawa saat menunjukkan letak benda putih dirambutnya itu. Bima menunduk dan mengoyang-goyangkan kepalanya berharap kertasnya akan terjatuh, tapi percuma, daya gravitasi rambutnya lebih kuat dan kertasnya tetap menempel manis di sana. Gumpalan-gumpalan rambut Bima seperti semak belukar yang siap menjebak benda apapun yang masuk kedalamnya. “ Nggak ada, mana?” Tanyanya menarik beberapa helai rambutnya dan mengernyit kepadaku. “ Sorry ya kang,” Karena aku junior yang baik, aku mengambilkan kertas yang ada di rambut Bima dan memberikannya. Aku menahan tertawa setengah mati, karena sungguh aku tidak habis pikir kenapa kertas itu lebih memilih mendarat disana. Tanpa pikir panjang Bima langsung mengisi kertas itu dengan jawaban yang dia tahu begitu santainya sampai masih sempat menyanyi Welcome to the Black Parade. Disisi lain aku salut pada solidaritas orang ini, kalau aku mungkin berpikir dua kali untuk memberikan semua jawaban ujian yang sudah susah payah aku kerjakan. Bukan Bima namanya kalau dia tidak dapat membaca pikiranku, tanpa aku meminta dia langsung bicara kepadaku “Kalau nilai bagus bareng-bareng nggak ada ruginya kan?”. Aku hanya menggaruk-garuk kepala dan merasa malu sendiri. “ Yah kalau gitu kertasku diisi juga dong.” Candaku “ Teet… Teet,, Teet..” Bel tanda berakhirnya ujian hari ini sudah berbunyi. Semua siswa mengumpulkan kertas ujian ke depan meja pengawas, tidak terkecuali aku dan Bima. Bima keluar terlebih dahulu dibanding siswa lain dan menyempatkan diri membalikan tubuh saat di depan pintu kelas lalu berteriak. “ Makasih ya Tria, sampai ketemu besok!!’ Tanpa mempedulikan reaksi siswa sekelas, dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Semua siswa dikelas melirikku, aku tidak membalas teriakannya dan hanya berani mengacungkan jempol saja kearah Bima karena sudah terlanjur malu oleh yang lain, meskipun sangat ingin aku berteriak juga. Ketertarikanku pada Bima dimulai detik itu. Entah apa yang membuatku tertarik, seperti biasanya mungkin hal yang sangat sepele dan tidak masuk akal sama sekali. Bisa saja aku menyukainya karena dia konyol atau mungkin karena rambutnya yang luar biasa?. Mungki saja.. Tidak sabar rasanya untuk menunggu hari-hari ujian berikutnya, yang jelas bukan menunggu untuk mengerjakan ujiannya tapi karena aku akan duduk bersebelahan dengan Bima lagi. Changes Semester keduaku dikelas 1 SMA berakhir dengan bayangan Bima di setiap kegiatanku. Entah bagaimana caranya berita tentang aku menyukai Bima beredar dengan cepat ke seantero sekolah. Teman sekelasku, teman sekelas Bima bahkan sampai Bima pun tahu kalau aku suka sama dia. Mungkin karena Bima cukup famous atau bisa jadi karena temanku agak gila, dia suka berteriak-teriak saat kebetulan Bima lewat di depan kami "Bim, nih ada salam dari Tria!" Reka selalu teriak dengan volume yang melebihi speaker. Entah kenapa setiap Reka teriak Bima selalu ada tepat di dekat kami. Kalau itu terjadi, aku hanya diam dan berpura-pura tidak mendengar. Tapi hari seterusnya aku tidak kapok untuk mencari posisi tepat saat melihat Bima dan Reka pun terus dengan kegilaannya berteriak di dekat Bima. Lebih tepatnya saat Bima melewati kami. Tidak terasa ujian kenaikan kelas sudah di depan mata. Aku takut menghadapi ujian kali ini. Bukan karena aku tidak pernah belajar, tapi karena aku akan sekelas lagi dengan Bima dan antara senang campur bingung jika aku harus duduk sebangku. Aku takut tidak bisa bersikap biasa karena Bima sudah tahu tentang perasaanku dan tentunya teman sekelasnya pun sudah tahu. Aku harus betul-betul menyiapkan mental untuk digoda seluruh isi kelas. .. Hari pertama ujian aku datang lebih pagi. Hal pertama yang aku lakukan adalah melihat sticker peserta ujian siswa yang akan duduk disebelahku, melekat di meja tempatku duduk. Anthony Wisnu adalah nama yang tertera disitu, puiiih aku lega rasanya karena aku tidak sebangku lagi dengan Bima, tapi disisi lain juga kecewa karena aku tidak akan merasakan kekonyolannya. Memang benar, ujian kali ini sangat membosankan karena senior disebelahku kali ini tidak seperti Bima. Dia cuek, sombong dan senioritasnya tinggi. Itu membuatku harus mengerjakan ujian Bahasa Inggris dengan hasil sendiri. Ada sedikit penyesalan kenapa aku harus mempunyai rasa suka untuk Bima, seandainya saja aku tidak punya rasa, mungkin aku sekarang akan menengok ke belakang dan meminta Bima untuk menukar soal ujiannya lagi dengan milikku. Seperti dulu. Sampai hari terakhir tidak ada komunikasi sedikitpun dengan Bima, meskipun hanya sekedar "hai" atau "heh" pun tidak terlontar sama sekali. Selesai ujian Bima langsung keluar kelas tanpa berteriak lagi, aku hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin jauh, sama seperti kemungkinanku untuk berkomunikasi dengan dia. Entah kenapa dia bersikap seperti itu. Mungkin dia kecewa padaku karena sudah membuatnya malu ketika Reka berteriak atau mungkin saja dia tidak mau memberikan harapan padaku. Aku mengikutinya keluar kelas sambil mengeluarkan handphoneku dari tas. Tanganku memang mencari handphone tapi mataku terfokus melihat Bima yang asyik mengobrol dengan temannya di seberang lorong, terlalu terhanyut aku melihat dia, sampai tidak sadar kalau dia sedang balik melihatku. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke sms yang aku terima. Ada empat sms masuk dan salah satunya dari Ressa.Ressa 10.25 : " De, ujiannya bisa gak?" Sms Ressa kala itu cukup menghiburku dari kekecewaan karena tidak bisa berkomunikasi seperti biasa dengan Bima. … Statusku dan Ressa belum resmi, masih sebatas teman smsan yang cukup rutin. Aku mulai mempunyai sedikit rasa, tapi menjadi samar ketika aku mulai mempunyai rasa pada Bima yang semakin lama semakin kuat meskipun tidak pernah ada komunikasi. Sekarang Bima kelas 3 SMA dan aku naik ke kelas 2. Saking terobsesinya aku pada Bima, aku meminta wali kelas untuk diempatkan di kelas yang sama seperti Bima kelas dua, meskipun akhirnya wali kelas menempatkanku di kelas lain. Satu tahun lebih aku berhubungan dengan Ressa via sms dan telepon. Kita belum pernah bertemu sama sekali, sampai tepatnya bulan puasa kita janjian ketemu untuk buka puasa bersama. Tempat janjian pertama kita adalah di monument yang terletak di depan salah satu universitas negeri di Bandung. " Sorry, lama yah nunggunya?' Ressa tergopoh-gopoh menghampiriku yang sudah setengah jam menunggu. " Gak apa-apa, darimana dulu emang?" Jawabku memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki orang yang baru pertama kali aku lihat ini. " Rumah om, kebetulan di Bandung juga. Hayu langsung cari tempat makan. Bentar lagi maghrib." Dia menarik tanganku tanpa ada rasa ragu. Kita langsung menuju salah satu rumah makan Padang di dekat situ, bangunan dua lantai yang cukup nyaman. Tak jauh dari pintu masuk kita sudah disediakan rangkaian makanan yang menggugah selera dengan ukuran yang tak kalah saing. Kalau saja bukan sedang jaim, mungkin aku akan mengambil lauk-lauk yang berukuran raksasa. Disitulah aku baru mengetahui kalau makanan Padang sudah mendarah daging bagi Ressa, baginya padang mempunyai cerita sendiri. Untuk kesan pertama Ressa itu makannya sangat banyak, bicaranya tidak pernah disaring sedikit membuatku hilang rasa sementara dan yang pastinya royal karena dia spontan membayar semua makananku. Tak sampai setengah jam kita melahap habis semua makanan di piring, Ressa mengajakku ke salah satu toko buku yang letaknya tepat di depan Mall. " De, sekarang kan kamu kelas 2, harusnya kamu udah mulai mengerjakan soal-soal ujian biar nanti lebih gampang." Ressa memilih-milihkan buku khusus untuk latihan Ujian Nasional dan memberikannya padaku. " Kan masih lama mas.?" Aku pergi dari rak buku itu untuk menghindari Ressa membahas mengenai ujian. Aku merasa malas saja, seharusnya dia membahas hal yang lebih menyenangkan dibanding mengguruiku. " Biar nanti gak kesulitan aja de, mas juga dulu gitu. Kan bagusnya.." Belum selesai bicara tiba-tiba handphone Ressa berbunyi, dia sedikit menjauh dari aku mungkin teleponnya sedikit pribadi. Aku berkeliling-keliling sendiri sampai speaker memutarkan lagu Welcome the Black Parade dan membuatku menghela nafas panjang. Siapa lagi yang langsung terbayang setiap aku mendengar lagu itu? Sudah pasti Bima. … Crush Letak kelas Bima di lantai atas dan aku dilantai bawah. Akses yang tidak mendukung membuatku jarang melihat Bima, hal ini membuatku nekat untuk mencari nomor handphone Bima. Dan untuk pertama kalinya aku menghubungi Bima. Aku bukan termasuk perempuan yang gampang mengungkapkan perasaan dan mempunyai keberanian untuk itu. Bukan karena aku penakut, tapi karena aku sadar mengenai tubuhku yang sebesar Gajah Bengkak waktu itu. Aku sengaja membeli nomor baru untuk sms Bima karena aku tidak mau Bima tahu kalau yang menghubungi dia itu adalah aku. Agak sedikit konyol dan norak karena aku lebih memilih sms Bima dengan kata-kata mutiara yang aku kirim sehari 3 kali dan anehnya kata-kata itu muncul dengan sendirinya, tanpa aku harus menduplikat kata-kata penyair terkenal. Itulah jatuh cinta, semuanya bisa tercipta tanpa harus dipaksa. Bima 11.22 : " Ini siapa ya? Kata-kata mutiaranya keren. Up two thumbs." Satu kalimat yang sukses membakar semangatku, banyak sms yang kukirim sampai Bima akhirnya tiba-tiba curhat tentang perasaannya pada seseorang. Yuni, dia adalah teman seangkatan Bima yang berbeda kelas. Orangnya mungil, alim, cute dan pintar. Tidak heran kalau Bima tertarik. Bima sudah berkali-kali menyatakan cinta tapi di tolak. Yuni masih trauma pacaran, karena sebelumnya dia pernah berpacaran dengan teman sekelasnya Bima yang kasar. Bima sudah meyakinkan, tapi Yuni bersikeras. Aku salut pada Bima kala itu, dia tidak menyerah untuk mendapatkan perempuan yang dia sayang. Di sisi lain juga aku mencibir dia, coba kalau dia sama aku. Huh. Tanpa pikir panjang mungkin aku terima dia. Aku juga rela kalau setiap hari aku harus mencatok rambutnya atau mencarikan kotoran yang masuk kedalamnya. Sungguh rela. Perasaan Bima masih kuat terhadap Yuni, tapi dia tidak bisa stuck menunggu Yuni yang tidak pernah dia tahu akan sampai kapan menyadari usaha dan keseriusannya. Untuk menyamarkan perasaannya, Bima melakukan pendekatan dengan teman seangkatanku, namanya Qori. Perawakan Qori hampir sama seperti Yuni, imut dan mungil. Karena itu pula aku tidak heran sama sekali kenapa Bima tidak pernah tertarik padaku yang sebesar Badak ini Memang aku pernah mengira bahwa Bima sudah berpacaran dengan Qori. Beberapa waktu terakhir Bima selalu bersama Qori terus, ke kantin, mushola bahkan keluar gerbang untuk pulang pun seperti pengantin yang baru menikah. Tapi Bima mengaku pada saat dia memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya pada Qori berakhir nihil, Qori hanya menganggap dia sebagai kakak. Oh God, nasibmu Bim, lebih menyedihkan dari aku. Kenapa kamu tidak sadar kalau aku siap menampung kamu? Hampir dua minggu aku smsan dengan Bima, sampai suatu hari karena kesalahan yang cukup bodoh identitasku ketahuan dan mulai dari situ aku tidak pernah sms dia lagi sekaligus membuang simcard yang aku pakai untuk smsan bersama Bima. Setelah tahu perasaan Bima, aku tidak terlalu terobsesi lagi untuk mencari tahu tentang dia, walaupun untuk melihat dari jauh masih sering aku lakukan secara sembunyi-sembunyi. Rasaku masih sama, namun kali ini lebih terkesan dewasa dan tidak terlalu nekat seperti yang sudah-sudah. Itu karena aku tahu Bima sedang menunggu seseorang dan aku belajar dari Bima, rasa kita mungkin kuat untuk seseorang tetapi bukan berarti kita menutup semua jalan untuk bersama orang lain. Simpan saja rasa itu dengan rapi, kalau terbalas itu berarti bonus dari Tuhan. Aku juga malu, mulai sering diledekin oleh teman-teman gerombolannya dan selain itu aku juga sedang gencar mendekati Ressa. Experience Hubunganku dengan Ressa agak sedikit dipaksakan. Aku tidak tahu apa karena aku merasa terlanjur sayang dia atau hanya sekedar ingin melupakan Bima dan bisa saja karena terlanjur ingin merasakan pacaran yang sebenarnya. Saat itu tidak ada alasan yang paling menonjol. Aku semakin sering berhubungan dengan Ressa melalui sms dan membuat rasaku semakin kuat. Pernah suatu waktu Ressa tidak menghubungiku selama seminggu. Rasa kangenku memuncak saat itu dan aku sadar kalau aku mulai menyayangi Ressa.Aku menipu Ressa untuk tahu perasaannya terhadapku seperti apa. Aku mengirim sms ke nomor Ressa dengan nomor baru yang sengaja aku beli, sama seperti ketika aku menghubungi Bima dulu. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan buruk saat aku berpura-pura sebagai orang lain disitu, itu hal yang paling memalukan yang pernah aku lakukan untuk mendapatkan seseorang. Aku sms dia dan mengaku sebagai mantanku. Jam istirahat sekolah waktu yang tepat untuk mengirim sms karena aku tahu pada waku itu Ressa kuliah sore. Aku 09.11 :" Kamu Ressa ya? Cowok yang lagi dekat sama Tria?" Tanpa berpikir panjang aku mulai mengetik dengan kata-kata licik yang bersumber dari otakku sendiri. Ressa 09.20 : " Iya, ini siapa?" Hatiku sedikit merasa senang karena ada respon dari Ressa. Dan pesan-pesan selanjutnya tidak terlalu sulit aku karang. Aku 09.23 :" Kamu jangan coba-coba deketin dia kalau hanya untuk nyakitin, hubungan kamu sama dia belum pasti, jadi aku harap jangan macem-macem." Ressa 09.26 :" Heh, kamu juga bukan siapa-siapanya, gak berhak ngatur hidup dia ataupun ngatur apa yang harus aku lakukan. Lagian kalau kamu mau dia aman kenapa gak kamu aja yang jagain dia" Untuk pertama kalinya Ressa pakai Kamu-Aku di sms, seketika aku mulai sadar apa yang sedang kulakukan itu memalukan dan harus aku akhiri. Aku kirim sms terakhir ke Ressa. Aku 09.56 :" Aku nunggu waktu yang tepat." Entah apa yang terpikir di otakku saat mengirim sms ini, mungkin ingin sekedar memancing RessaRessa 10.00 : " Sama" Balasnya Setelah mendapat sms balasan dari Ressa, aku membuang kartuku, aku sudah tidak peduli mau bagaimana perasaan Ressa terhadapku. Sudah melakukan hal seperti tadi cukup membuatku terlihat licik. Untuk mendapatkan seseorang dan mengatur semuanya berjalan baik membuatku melakukan segala hal. Mungkin ini efek terlalu banyak menonton drama yang selalu berjalan mulus. Aku pasrah apa yang akan terjadi berikutnya dengan hubunganku bersama Ressa. Selanjutnya aku smsan seperti biasa. Ressa tidak pernah membahas sekalipun tentang sms tadi pagi. Kita mengganggap itu tidak pernah ada sampai seminggu kemudian ada sms masuk saat aku bersiap-siap untuk tidur. Ressa 21.01 : " De, sebenarnya mas gak mau terus kayak gini." Aku 21.05 : " Maksudnya?" Sebetulnya aku paham apa yang dia maksud, sebagai orang yang sering berkhayal dan mengatur skenario jalan hidupku sendiri itu membuatku sedikit banyak bisa membaca jalan pikiran orang lain. Ressa 21.08 : " Mas senang bisa merasakan punya ade kayak kamu, karena sebagai anak tunggal mas gak tahu rasanya punya ade." Kakak-adean itu hubungan yang klise terjadi sebelum pacaran, sering terjadi pada anak seumuranku. Aku 21.10 : " Ya makasih, kenapa tiba-tiba bilang gitu?" Dengan cuek aku masih berlatidak bodoh membalas sms Ressa, berlagak seperti itu biar gak ketahuan tentang apa yang sudah aku lakukan sebelumnya. Ressa 21.18 : " Awal kuliah mas pernah pacaran, namanya Hani. Tapi mas kayak patung di depan dia, hanya dimanfaatin untuk nganterin belanja, bayarin nongkrong dan suka dicuekin kalau dia lagi bareng-bareng sama temannya." Ressa menghela nafas. Aku 21.20 : " Oya? Kok tega banget sih?" Tidak aneh sebenarnya kalau Ressa yang serius diperlakukan seperti itu. Kalau tidak betul-betul orang yang cocok, bersama Ressa sangat membosankan karena yang dibahasnya selalu tentang belajar dan masa depan. Ressa 21.28 : " Itu kejadiannya sudah hampir setahun, waktu mas awal kuliah. Makanya mas agak males pacaran. Mas hanya merasa kalau semua perempuan itu hanya manfaatin doang, lebih nyaman sama teman-teman dan teman juga tidak semuanya baik. Kadang mereka datang saat ada butuhnya doang." Agak sedikit tersinggung aku membaca sms yang ini tapi aku sengaja tidak membalas karena aku merasa Ressa sedang butuh share, bukan dinasihati atau diskusi. Ressa 21.30 : "Mas komitmen sama diri sendiri tidak akan pacaran dulu sampai lulus kuliah, tapi namanya juga manusia kadang ingkar sama komitmennya sendiri." Aku tidak merespon, sedikit was-was mendengar pernyataannya itu. Kemungkinan Ressa akan menjadi pacarku semakin mengecil. Ressa 21.35 : "Kamu mau jadi cewek mas? Sorry kalau pertanyaan mas ini akan merusak hubungan yang sudah ada, apapun jawaban kamu, mas berharap kita akan seperti biasanya."Binggo, bener kan apa yang aku maksud? Meskipun bisa ditebak, tetap aja sedikit kaget. Aku 22.00 : " Yes, I want. Love you, good night." Tidak berpikir panjang lagi langsung aku menerima, lah emang ini kok yang aku mau. …. Minggu pagi aku dibangunkan oleh dua sms masuk yang salah satunya berasal dari nomor tanpa nama tapi aku hafal betul nomor siapa itu. Ressa 06.21 : " Morning and Happy Sunday darling, im sorry I can't hangout with you in this weekend. Have a nice day :*" 0857234----- : " Rasa dan obsesi berbeda tipis, obsesi hanya sebuah keinginan yang akan hilang ketika tercapai. Rasa akan datang karena kenyamanan. Kenali saja rasa saat ini berasal darimana." Tak ada satupun yang aku balas, berkali-kali Ressa mengirim sms sepanjang hari tapi yang ada di benakku hanya pengirim sms terakhir, Bima. Sms Ressa lebih dari romantis tapi hambar. Mungkin ini yang dibilang obsesi yang dimaksud sms Bima tadi, atau mungkin secara tidak langsung dia menginginkanku sadar kalau perasaanku untuk dia hanya obsesi. Aku hanya berusaha meyakini kemungkinan yang kedua. Ressa dan Bima sejenis namun tak sama. Bagaimana bisa aku menginginkan keduanya sedangkan aku tak mengenal tentang apapun mengenai mereka? Aku selalu menganggap mereka indah karena belum menyelam lebih dalam. Keinginanku untuk menyelami mereka lebih kuat dibanding ketakutanku untuk tenggelam. Biarlah tenggelam ketika aku sudah puas merasakan kerasnya karang dan dalamnya lautan dalam. Matiku pun tak akan penasaran karena aku telah puas merasakan dahsyatnya buatan Tuhan. Begitulah kira-kira rasaku. Puitis Aku berusaha menekan dalam-dalam rasaku untuk Bima, meskipun sering muncul saat ada hal yang mengingatkanku akan kekonyolannya. Hubunganku dengan Ressa berjalan masih sebatas sms dan telepon, aku anggap itu wajar, sewajar usahaku yang masih berusaha menguatkan rasa untuknya. Dan akhirnya bisa. Syndrome Untuk pertemuan pertamaku dengan Ressa sebagai pacar, aku membuat sedikit cokelat untuk diberikan kepada Ressa. Hari janjian bertemu, aku berusaha tampak semenarik mungkin, memakai baju ketat agar tidak terlalu kelihatan gendut dan melatih ekspresi terbaik aku semalaman di depan cermin. Aku janjian ketemu di perempatan, tempat yang sama ketika aku janjian dengan Ivan. Ressa belum mengetahui alamat rumahku, jadi kita memilih tempat janjian yang mudah dicari. "Hai dek?" Katanya di atas motor matic berwarna hitam tanpa membuka helm dan masih menyalakan mesin motornya. Dibalik helmnya terlihat kedua matanya yang berbulu lentik "Hai mas, apa kabar?" Aku masih agak kaku dan bingung harus bersikap bagaimana. "Baik, yuk naik!!" Aku memakai helm dan langsung naik ke jok belakang motor Ressa dengan posisi tangan "masih" di pegangan belakang. " Kita ke Dago Pakar yuk, mas sudah lama gak kesana." " Oke, aku belum pernah malah kesana." Aku menyetujui saja keinginan Ressa karena sebagai anak yang jarang main pembendaharaanku mengenai tempat yang menarik untuk pacaran memang sangat minim Satu jam kemudian kita masih ada di atas motor dan belum sampai di Dago Pakar."Mas kok gak sampai-sampai?""Mas lupa lagi jalannya de, gimana dong?" Katanya atidak sedikit samar"Yaudah ke tempat lain ajalah!" Bukit Bintang, itu tempat pertama kita ngedate. Kita mengobrol dibawah pohon kering sambil memandangi kota Bandung dari atas bukit. Gedung- gedung tinggi dan rumah-rumah kumuh terlihat jelas seperti yang terdapat pada permainan monopoli. Langit cerah berwarna biru tanpa penghalang adanya kabel-kabel listrik mendukung suasana kala itu. Antara terhanyut dan mengalihkan perhatian dari tangan yang tanpa sadar sudah menggenggam satu sama lain. Untuk pertama kalinya aku menggenggam tangan laki-laki dengan status pacar. Perasaanku senang, tetapi ada sedikit rasa yang berontak di dalam hati. Mungkin karena belum terbiasa atau baru merasakan hal itu. Yang ada dipikiranku saat itu hanya wajah Bima dan orang tuaku secara bergantian. Kurasakan itu sebagai sebuah dosa yang kupersilahkan untuk terjadi. "De, lihat sebelah kanan arah jam 2! Pelan-pelan aja jangan mencurigakan!" Ressa bicara kepadaku tanpa mengalihkan wajahnya dari pemandangan di depannya. Pelan-pelan aku melirik dengan ujung mata dan dengan jelas aku melihat sepasang anak SMA seumuranku sedang mencium bibir pasangannya, ditengah siang hari bolong dan di tempat umum kayak gini. Aku hanya bisa menelan ludah dan menahan nafas. Sedikit salah tingkah dan kagum karena mereka mempunyai keberanian yang cukup besar untuk melakukan hal itu. " Mau kayak gitu de?" Ressa sedikit membungkukkan tubuh dan mendekatkan wajahnya ke pipiku. " Aku gak mau kayak gitu mas?" Sedikit demi sedikit kujauhkan pipiku dari wajah Ressa dengan perlahan. " Gak mau melakukan, apa gak mau di tempat terbuka?" Goda Ressa " Gak mau melakukan, kata temanku, itu awal dari kita berani melakukan hal yang lebih jauh, lagian enaknya apa sih? Hanya bibir nempel sama bibir? Kadang main lidah, itu menjijikan!" Jawab ku polos. " Mas menghargai komitmen kamu, yaudah kita pergi ah, panas disini!" Akhirnya kita pergi dari situ karena merasa panas, entah itu panas karena cuaca atau panas melihat anak SMA tadi. "Sekarang naik motornya peluk ya De!" Perintah yang langsung aku patuhi Tidak ada pembahasan apapun di atas motor. Aku dan Ressa hanya menikmati adanya perubahan hormon ketika tanganku melingkar di pinggangnya. Kita berusaha mengenali setiap garis tangan masing-masing yang saling menggenggam, mengenali bau tubuh masing-masing ketika dagu bertemu pundak dan sejuknya udara Bandung mendukung semuanya. Aku tahu sekarang kenapa orang menikmati pacaran dan terkadang sampai melewati batas. Terlalu sulit saat harus melepas bersatunya dua tubuh dalam satu pelukan. Terlalu nyaman saat setiap rongga tangan terisi tangan lainnya. Terlalu menyenangkan saat setiap helaan nafas menambah setiap rasa semakin kuat. Sepertinya Tuhan menciptakan magnet yang berbeda pada setiap gender yang otomatis akan saling menarik saat berdekatan. Setelah itu kita terus menggenggam tangan satu sama lain. Aku pulang dengan perasaan campur aduk, antara senang, senang dan mau mengulang lagi. Sedikit demi sedikit aku tahu apa yang dimaksud Bima dengan rasa datang karena rasa nyaman. Aku 20.19 : " Mas makasih untuk hari ini ya, makanan untuk mamah sudah dikasihin, makasih katanya." Ressa 20.15 :" Iya sayang, sama-sama ya. Mas baru sampai rumah nih, mau bersih- bersih dulu. Kamu tidur ya. Love you :*" Description: Kita itu milik Tuhan. Jadi ikuti saja mauNya dan jangan semena-mena! Anganmu tentangku tak boleh melebihi anganmu tentangNya! Ucapan Adjie menyadarkanku. Sudah waktunya berhenti berharap. Novel ini ditulis untuk mengikuti proyek Bulan Nulis Novel Storial #BNNS2018 yang diadakan oleh Storial dan Nulisbuku
Title: What is Love Category: Fan Fiction Text: P e r t a m a Definisi Manusia Terbatu Copyright by Min Aldrenji Zyatado ───────────────────────── Kalau kalian ingin tanya siapa itu Damar, maka kalian akan membayangkan mas-mas wajah manis dan teduh yang selalu tersenyum, atau tipe anak rumahan yang patuh dan mencintai mamanya sepenuh hati, bahkan ikut kondangan dengan tertib. Bisa jadi kalian anggap Damar yang itu adalah anak baik-baik, sesuai dengan citra namanya dalam bahasa Jawa yang artinya lampu, cahaya yang menerangi. Namun kalau kalian membahas Riki Damar Cakara, maka bersiaplah kecewa. Meski namanya berat dan juga butuh sandingan alias sesajen untuk ruwat asma, Riki atau yang biasa di sapa Kiki itu tidak sehebat namanya. Kalian pasti menyesal. Pasti. Riki hanya seorang anak Jawa, yang konon katanya masih ada darah biru mengalir dalam garis nadi keturunannya. Meski Damar alias Kiki tidak terlalu peduli soal itu. Dia hanya murid SMA biasa, yang akhirnya terdampar di asrama sekolah seni. Sekolah berkapasitas dinamis, dimana kreasi tidak dinilai dengan kemampuan menghitung dan berlogika, yang paling aneh yang dinilai paling kreatif. Kiki anak seni yang agak nyeleneh, dengan IQ jongkok, atau bahkan sudah tiarap karena efek global warming. Kiki sudah biasa disebut oon, dodol, lemot, lola dan yang lain sejenis dengan itu. Meski Kiki tahu kalau julukan itu lebih tepat disematkan pada merk makanan dan nama cewek. “Masih di sini? Udah packing?” Sang ibu berteriak di ambang pintu, menatap anak semata wayangnya yang sedang terpekur. “Belum, biyung.” Ah, entah sejak kapan anak itu sudah bersatu dengan cerita kolosal soal kerajaan Jawa! Ibunya tersenyum miris, melangkah masuk ke dalam kamarnya. “Kenapa gitu saja masih nunggu mama?” “Saya harus menyusun daftar barang yang ingin saya bawa terlebih dahulu, biyung.” Sang ibu melongo. Sabar, sabar! “Juga, sejak kapan kamu panggil mama dengan sebutan biyung?” Mamanya mendelik dengan raut tidak terima. Kiki tersenyum, lantas menunjukkan beberapa halaman yang sudah dia lipat. Buku bertulisan “Asal mulai nama bangsawan Jawa” menghiasi cover buku itu. “Dari tadi kamu sempat baca ini, tapi nggak sempat buat packing? Inget nggak kalau kamu tinggal di asrama itu bukan buat sehari dua hari?” Sang ibu sudah tidak tahan lagi. Kiki berkedip, menatap sang ibu yang sudah tidak sabar. Kiki tersenyum, berdiri dan mengendikkan bahunya. “Maafkan Kiki, biyung.” Ibunya sudah tidak tahan lagi. Beberapa hari yang lalu ada sebuah surat sampai di rumahnya. Surat itu adalah surat resmi yang berisi undangan untuk Kiki, agar masuk ke sekolah seni. Sekolah seni yang memiliki asrama, ibunya menatap Kiki waktu itu. Mungkin naluri seorang ibu selalu menyangkal apa yang selalu orang katakan tentang anaknya. Kiki bukannya bodoh, dia hanya terlalu sering disalahpahami. Tidak ada orang yang sanggup mengerti jalan pikiran anaknya. Termasuk sang ibu. “Sini mama bantu!” Lalu ibunya beranjak ke depan lemari baju Kiki, membuka pintu lemari itu. Beliau melotot kaget mendapati apa yang ada dalam lemari anaknya. Semua baju yang dimiliki anaknya begitu aneh. Sejak kapan ada anak lelaki yang mengoleksi jaket ngejreng dengan gambar hati dan bunga? “Kamu dapat darimana yang kayak gini?” Kiki mengerjap. “Saya dapat itu dari pasar loak, biyung.” Ibunya merasa sakit kepala tiba-tiba. Dia juga ingin anak semata wayangnya itu memanggil mama dengan akrab, atau memakai diksi aku tiap kali bicara dengannya. Tidak terlalu fleksibel dan nyeleneh, hingga orang-orang menatapnya aneh. Jadi ekspresif bagus, tapi bila terlalu ekspresif malah membuat sakit kepala. Karena itulah, sang ibu setuju ketika surat resmi itu datang mengundang anaknya untuk datang dan pindah. Karena hanya sekolah seni yang mengerti jiwa bebas anaknya. Jiwa yang orang bilang dengn sebutan aneh, bahkan tidak segan-segan berubah jadi oon. Entahlah... “Kamu mau pakai ini?” Kiki menggeleng. “Saya hanya bisa mengagumi, namun sayangnya tidak punya nyali untuk memulai.” Tolong, pukul anaknya sekarang agar bertingkah lebih wajar seperti anak usianya! Kiki pernah tinggal bersama neneknya di daerah keraton. Di sana dia diajari dengan keras soal ngajeni yang lebih tua, menggunakan krama alus ketika bicara dengan orang yang isinya lebih di atasnya, hingga kebiasaan itu terbawa sampai sekarang. Bahkan ketika dia sudah besar, dengan bahasa Indonesia yang terdengar aneh untuk diucapkan dalam ragam santai. Lagipula, Kiki memang selalu jadi anak bawang. “Nanti saya akan jadi adik kelas, biyung.” Kiki mencoba curhat, panggilan mama yang kemarin masih dia ucapkan kali ini berubah jadi lebih njawani. Sang ibu sudah tidak tahan untuk mendengarkannya lagi. “Kamu....” Ibunya batal mengucapkan sesuatu, lalu menarik koper yang teronggok mengenaskan di sudut ruangan. Kiki menunduk, mengambil beberapa lembar pakaiannya. Lalu dia mulai melipat baju itu dan memasukkannya dalam tas yang lebih kecil. “Ki, bilang nanti sama papa kalau kamu berangkat pagi. Biar papa nggak kesiangan besok.” Mama berpesan, Kiki mengangguk dengan wajah mengantuk. Kiki terdampar di atas kasurnya, terpejam setelah mamanya mengomel tanpa jeda. Besok dia harus berangkat ke sekolah barunya. Sekolah yang katanya mampu menerima segala pemikiran nyeleneh dan anehnya. Sekolah yang katanya mampu menerima kapasitas IQ tiarap namun berjiwa seni tinggi. Meski pada kenyataannya orang kreatif itu memiliki dominan IQ di salah satu ruang otak. Tapi Kiki malas mikir. . . . Keesokan paginya, seisi rumah heboh. Papa dan mamanya berteriak kencang, menjerit kencang pada Kiki. Alasan? Karena anak itu bangun kesiangan. “Kamu tuh ya, Ki! Mama udah bilang suruh pesen sama papa. Akhirnya papa nggak bisa bangun pagi. Kamu juga malah santai-santai!” Mama berteriak kencang, lalu berlari ke sana kemari. Papa yang nggak dapat wangsit sebelumnya hanya menghela napas, lalu menatap tajam wajah anak semata wayangnya. “Papa heran, kamu kok masih bisa bertahan hidup di dunia yang kejam ini!” Kiki mengendikkan bahu, mengunyah roti berselai sambal. Seleranya sudah aneh kok! Papa ikut ribut bersama mama, membantu memasukkan koper ke dalam mobil. “Ki, kamu yakin mau pindah sekolah?” Papanya bertanya sekali lagi. “Yakin, romo.” Papanya melongo, melotot dengan wajah kaget. Ya ampun, kenapa anaknya berubah seperti ini? Kiki menyelesaikan sarapannya, sebelum melangkah menjauh, dia juga sempat mengunyah roti lain. Kali ini berselai kecap. Papa dan mamanya mendadak emosi. Mungkin tindakan yang tepat untuk anaknya dipindahkan ke sekolah seni. Apalagi anaknya itu suka sekali dengan lukisan surealisme. Cocok dengan jiwanya yang tidak nyata. Mereka berangkat ke sekolah dengan berbagai ekspresi. Meski hari pertama mereka yakin tidak akan langsung di lempar ke kelas, namun tetap saja mereka harus mengurus ini itu. Menjelang sore mereka sampai. “Kamu itu, ya!” Papa masih mengomel dengan wajah lelah. “Saya sudah mendengar kalimat itu sejak berangkat, romo. Tolong jangan ulangi lagi!” Mamanya memijat pelipisnya, lalu melangkah lebih dulu. Mamanya menemui kepala sekolah sekaligus pengawas asrama. Kiki sampai di kamar barunya, dengan dua koper di tangan kanan dan kiri. “Jadi ini kamar saya?” Kiki mengerjap. Satu kamar asrama dihuni oleh dua orang, namun karena penghuni asrama berjumlah ganjil, maka ia harus tinggal seorang diri untuk sementara ini. “Semoga betah, ya!” Kiki mengangguk paham. Mama dan papanya menunggu di ruang tamu asrama. Mereka tampak sedang mengobrol dengan anak perempuan. Kiki tahu siapa itu. Sepupunya. Ryn Damar Cakara. “Budhe yakin mau nitipin mas Kiki di sini? Nggak cemas dia bakalan...” Ryn melirik Kiki. Cowok itu sudah duduk manis di depan mereka. Kiki menegakkan badan mencoba bersikap santai meski gagal. Ryn adalah murid seni tari dan tinggal di asrama putri. “Iya, tadi juga sudah wawancara. Dia masuk di seni lukis, Ryn.” Ryn melongo. Setahu Ryn, sepupunya itu sudah aneh sejak kecil. Dia suka sekali naik pohon hanya untuk menatap tekstur batang pohon. Bukan hanya itu keanehannya, sejak kecil Kiki sudah mulai menggoreskan pensil warna, crayon, bahkan spidol di manapun dia berada. Bahkan buku matematika Ryn dulu pernah jadi korban. Masalahnya, kalau lukisannya indah sih masih bisa dimaklumi. Tapi Kiki tidak pernah punya keinginan untuk melukis lukisan yang indah menurut orang lainnya. Dia bebas melukis apa saja. Karena itulah Ryn dipanggil dan diomeli di ruang BP karena bukunya muncul gambar-gambar aneh yang didominasi wanita telanjang yang seksi. Tanpa sensor. Ryn merinding kalau ingat itu. Dia juga ragu menjaga mas sepupunya itu di sini. “Tinggal sekamar sama siapa, mas?” Ryn bertanya cepat. Kiki mendongak, menggeleng setelah itu. “Masih sendirian,” “Iya, nanti juga bakalan ada penghuni baru.” “Di sebelah kamar saya ada siswa dari kelas seni rupa.” Ryn terbatuk kencang. “Mas udah tegur sapa sama dia?” Kiki menggeleng. “Saya mencium bau tanah liat, semen dan juga bau asem dari bajunya.” Ryn nyengir. Dia tidak tahu kalau Kiki juga punya kemampuan mengenali seseorang hanya dari bau. Bahkan dia bisa mengacungi jempol karena Kiki bisa mengendus aroma itu dari jarak yang lumayan jauh. “Mungkin dia baru saja bikin patung, mas.” “Iya, karena itu saya coba menguji dan saya cium bajunya langsung.” Ketiga pasang mata lainnya terbatuk kencang. Mata mereka melotot tak percaya, anak mereka di hari pertama sudah mulai bertingkah tidak wajar. Ryn menatap budhe─nya, tersenyum miris seketika. “Budhe beneran titip masmu loh, Ryn!” Setelah itu kedua pasutri itu melarikan diri. Mereka tidak tahan berdekatan dengan anaknya sendiri. ──────────── What is Love? Disebut dengan asrama adalah sebuah kos-kosan resmi yang punya aturan. Kiki mengucek matanya, mengerjap. Kamarnya masih berantakan, selimut dan sprei nya tergulung jadi satu. Bajunya ada yang sudah masuk lemari, namun sisanya masih dalam koper. Bel pagi tanda sarapan berbunyi. Kiki mengacak isi kopernya dan menemukan sesuatu. Roti selai kecapnya. Dia tidak butuh sarapan, dia hanya harus mandi dan mulai mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Hidupnya sudah berantakan─dalam artian fisik yang jauh lebih manusiawi. Hari pertama sekolah. Kiki nyasar. “Mau kemana?” Seorang guru tiba-tiba menegurnya. Kiki menoleh dengan wajah kaget lalu menggaruk tengkuknya. “Jam pertama saya di laboratorium seni.” “Anak seni lukis?” Kiki mengangguk. Guru di sekolah ini sepertinya punya kemampuan menebak jurusan muridnya. “Ayo ikut!” Kiki mundur sambil menggeleng ragu. “Saya harus ke kelas, tidak ada waktu untuk ikut ngobrol.” Guru itu melongo, lalu dalam embusan napas beliau langsung berteriak gahar di depan wajah si murid baru. “Hari ini jam saya di kelas itu!” Kiki manggut-manggut tanpa ada rasa bersalah atau penyesalan sedikitpun. Dia melangkah, mengikuti sang guru masuk ke sebuah laboratorium. Mata Kiki memindai penghuni kelas, ada siswa lelaki yang gondrong, rambutnya diikat di kepala. Di sudut lab ada perempuan yang tampil berantakan. Seperti korban kekerasan dalam rumah tangga. “Kamu murid baru, kan? Perkenalkan dirimu!” Kiki mengangguk. “Nama saya Riki Damar Cakara. Panggil Kiki saja. Sudah.” Seisi kelas mengerutkan keningnya. Sang guru tahu kalau mereka bingung, ah, jangankan mereka! Tadi saja dia sudah emosi mendadak ketika mendengar jawaban si murid baru. “Apa motivasi kamu masuk kelas ini?” “Saya tidak pernah mengubah sesuatu.” Seisi kelas saling berpandangan. “Maksudnya apa?” “Saya tidak pernah mengubah sesuatu dari yang sudah ada untuk jadi barang karya saya. Saya menciptakan pak, bukan memotivasi” Seisi kelas makin bingung, namun ketika melihat wajah serius Kiki, mereka tersentak. Semuanya melongo dan terkikik kemudian. “Kalau yang kamu maksud mengubah itu, istilahnya adalah modifikasi.” Kali ini mereka semua tergelak. Bahkan murid nyentrik di kelas yang sejak tadi menguap di bangku belakang akhirnya terkikik geli. “Saya melukis, bukan membuat istilah pak! Maafkan saya.” Sekali lagi sang guru harus rela masa kerjanya didominasi oleh murid ajaib lagi. Dia mungkin murid baru, namun tingkah absurd yang aneh nyeleneh itu membuatnya jadi makin galau. Guru itu memerintahkan Kiki untuk duduk dan mulai membacakan absensi. Begitu melihat tanggal lahir Kiki di sebelah namanya, guru yang baru saja memperkenalkan diri bernama pak Seon itu melongo. “Ki, kamu masih umur empat belas tahun?” Seluruh kelas menoleh ke arahnya. “Iya, saya di depak dari TK. Guru TK saya mengatakan kalau saya bukan anak-anak.” Kali ini mereka semua ngakak nista karena penjelasan gamblang Kiki yang super datar itu. Teman-teman Kiki dulu mengatakan kalau dia oon, bodoh, dodol, lemot, lola. Ketika semua orang menggambar buah semangka dan mewarnainya dengan warna merah, Kiki malah menggambar sebuah gelas dengan cairan merah. Ketika ditanya, Kiki menjawab kalau itu jus semangka. Guru TK nya mendadak linglung. Tapi kali ini dia sudah terdampar di tempat yang seharusnya, dengan penghuni aneh dan nyeleneh lainnya. “Jadi, kamu jadi anak bawang sekarang di sini?” Pak Seon terkikik geli, yang lain manggut-manggut senang. Menjadi murid yang paling boncel dan junior adalah salah satu kesialan baru dalam hidup Kiki. Masalahnya dia harus memanggil semua orang dengan sebutan kangmas atau mbak ayu. Halah! Ini benar-benar orientasi usia! Duh, biyung... anakmu ini akan menderita di sini! ──────────── What is Love? Kalau ditanya siapa itu Azka Janadi Pradhika, maka semua pembisnis akan menunjuk anak SMA kelas dua yang sudah diberikan tampuk kekuasaan milik mendiang kedua orang tuanya. Di usia muda dia sudah mewarisi banyak perusahaan dan aset penting. Dia tidak perlu belajar di sekolah umum karena sudah menjalani home schooling sejak kecil. Dia pintar dan juga kaya, tidak perlu repot-repot mengurus tenaga untuk mendapatkan uang. Dia sudah punya pacar. Namanya? Ryn Damar Cakara. Sebut saja Ryn. “Aku nggak bisa diginiin!” Ryn meraung gemas, memuntahkan emosi yang sudah mendarah daging di otaknya. Azka mendengarkan omelan Ryn dengan wajah bingung. Ryn sudah marah padanya sejak pagi, ketika ia baru saja membuka matanya. “Kamu yang selingkuh, kenapa kamu yang harus marah?” Azka balik bertanya. “Aku selingkuh juga gara-gara kamu!” “Kenapa jadi salahku?” “Kamu terlalu kaku!” Bola mata Azka melebar. Dia memang kaku, membosankan. Punya pacar, punya uang dan juga punya segalanya tidak membuatnya bahagia. Dia tidak tahu apa yang membuatnya jadi pribadi yang kaku dan juga membosankan begini. “Ini memang aku. Kamu juga bilang kalau cinta aku apa adanya, kan?” “Ya, aku cinta kamu apa adanya. Tapi lama-lama aku muak tau, Ka! Kamu nggak pernah merespon apa yang aku omongin. Sampe aku mikir, kamu beneran cinta nggak sih sama aku?” Azka tersentil. Iya, ya... meski punya pacar dia sama sekali tidak menikmati waktunya untuk berpacaran. Meski kadang dia menjemput Ryn untuk berkencan, berciuman sesekali. Namun tetap saja rasanya... hambar. Datar. Azka hanya numpang status berpacaran terhadap Ryn, meski hatinya sama sekali tidak mengakui rasa cinta itu. “Aku...” “Jadi aku minta putus.” Bungkam sesaat merambat di antara keduanya. Minta putus sih boleh saja, lagipula Azka juga tidak mampu menjanjikan hubungan lebih serius terhadap Ryn. Namun selingkuh adalah perbuatan yang sangat kejam. “Kamu sengaja selingkuh biar gampang minta putus sama aku?” Tanya Azka datar. Tidak tampak rasa kesal dan juga cemburu. Dia merasa datar-datar saja. “Ya!” Ryn tahu, dia memang kejam. Tapi tetap saja! Berhubungan dengan Azka adalah sebuah perbuatan yang membuang-buang waktu. Cowok itu terlalu kaku. Cuek. Datar. Membosankan. Marah saja tidak pernah, cemburu juga ogah. Ryn memang harus mengakhiri hubungannya dengan Azka. Harus! “Ryn, saya pinjam buku kamu.” Sebuah suara menginterupsi obrolan Ryn dan Azka di telepon. Ryn menoleh dan mendapati sepupunya yang super aneh sedang menatapnya. Berdiri dengan tampilan berantakan. Cat di wajah, di celemek, juga sebagian di celananya. “Sejak kapan mas Kiki jadi setingkat sama aku?” Kiki menggeleng. “Saya pinjem, buat difoto. Itu kan kenang-kenangan.” Di seberang sana Azka mendengarkan kedua obrolan dua orang itu. Ada sesuatu yang mulai mengusiknya. Hanya dengan suara itu Kiki berhasil mengantarkan sebuah rasa aneh pada si pewaris kaya. “Jangan ke mana-mana, mas! Kalau mas ngilang aku yang repot.” Saat itu Azka sudah punya rencana picik di otaknya. Dia ingin tahu. Ketika Ryn begitu mencemaskan orang itu, tentu orang itu sangat berharga bagi dirinya. Diam-diam Azka berniat jahat. Untuk balas dendam. Alasan? Karena dia patah hati? Oh, tidak! Alasannya adalah karena Ryn memutuskannya lebih dulu. Menjatuhkan harga dirinya! ─────── Bersambung ─────── Sandingan : imbanganRuwat asma : semacam ritualBiyung : mamaNgajeni : biaya ─ Azka nama lokal Jake Kiki nama lokal Ni-ki Haris as papa nama lokal Hyunjin Mika as mama nama lokal Yeji K e d u a 02. Ada untung menculik saya? Copyright by Min Aldrenji Zyatado ─────────────────────────── Kelas seni lukis kedatangan seorang murid baru yang agak ajaib. Bukan agak, tapi benar-benar antimaenstream. Orang normal menyebutnya oon, atau juga dodol. Itu semacam makanan dari kasta jenang yang rasanya lumer di mulut dan lengket. Mereka tidak mengerti bagaimana cara pikir anak itu. Dia akan menjawab apa yang orang tanya, tapi dalam beberapa detik jawabannya akan melantur ke mana-mana. "Kok bisa pindah ke sini?" Cewek nyentrik di pojokan bertanya pada cowok nyeleneh itu. Kiki sebagai korban yang harus menjawab pertanyaan serupa itu hanya tersenyum, lantas mengendikkan bahu. "Takdir mungkin." Kiki sudah menjatuhkan talak atas hidupnya. Lantaran hidupnya seperti lukisan aliran surealisme. Tidak bisa diartikan secara gamblang hingga melampau batas logika. Tidak tahu, ya! Dia sendiri jarang berlogika soal hidup. Dia hanya ingin menjalani hidup ini hingga maut menjemput. Meski kadang Kiki memberontak. Dia tidak tahu kenapa dia harus bertanya aneh-aneh. Kadang ibunya sampai pusing untuk menjawab pertanyaan Kiki kecil. Orang tidak akan menyebutnya jenius, karena apa yang ditanyakan anak itu selalu saja aneh. Orang-orang terpaku pada tingkat kejeniusan seseorang berdasarkan logis tidaknya ucapan dan pemikiran. Sudahlah, Kiki hanya perlu menjalani hidupnya saat ini. "Kamu suka lukisan surealis?" "Tidak juga." "Trus?" "Bahkan saya sendiri tidak pernah tahu jenisnya. Saya hanya ingin melukis."Kiki kembali menggoreskan kuasnya di kanvas. Cewek nyentrik itu terganggu karena ucapan Kiki yang cenderung kaku dan juga formal. "Cara ngomong kamu kaku banget!" "Saya sudah hidup dengan fleksibel." Cewek nyentrik itu ingin salto sekarang. Tidak bisa! Dia tidak akan pernah bisa berteman dengan makhluk seperti ini. Cara pikir dan juga bicaranya sangat berbeda dengan manusia normal. Oke, kita meletakkan nama normal untuk hal yang kontekstual. Anak seusianya menggunakan ragam santai ketika bicara dengan teman sebayanya. Namun Kiki berbeda. "Jam kelima nanti ada pembekalan buat pameran lukisan. Kamu datang juga, kan? Wajib loh!" Cewek nyentrik itu berdiri, lalu berlalu. Ketika melewati punggung Kiki, iseng dia menoleh dan menatap lukisannya. Matanya melotot. Tidak paham surealisme?! Lalu lukisannya itu jenis apa? Cewek nyentrik yang bahkan belum Kiki tahu namanya itu melengos kesal. Lukisan Kiki tentu saja masuk dalam jajaran aliran surealisme. Murid baru itu punya aura aneh ketika melukis. Caranya memegang kuas, caranya menatap kanvas, bahkan caranya menarik napas. Menghembusi bau cat yang sudah terhampar di palet. "Apa melihat lukisan adalah keharusan?" Kiki menggumam sendiri. Tangannya masih sibuk berkutat dengan kuas. Dia tidak perlu ikut sosialisasi atau apapun itu. Meski dia senang juga, persiapan pameran tentu saja akan memakan waktu lama. Project Work untuk pameran lukisan pasti membutuhkan persiapan. Jadi.... Selamat tinggal tugas! Juga sekolah! "Ini udah jam istirahat." Ryn muncul tiba-tiba di belakang Kiki. Kiki menoleh dan mendapati sepupu cantiknya itu sedang duduk manis. Kiki dan Ryn itu mirip sekali. Bedanya hanya dari mata. Mata Kiki lebih sipit. Orang akan sering menganggap mereka kakak adik. "Saya tahu." Ryn meradang seketika. "Mas, bisa nggak sih ngomong pakek bahasa yang lebih akrab? Aku kayak lagi ngomong sama pejabat!" "Saya sudah biasa seperti ini, Ryn!" "Mas...!" "Saya ya saya, kamu ya kamu. Kalau saya harus jadi kamu, memangnya kamu mau jadi saya?" Ryn mendadak emosi. "Mas Kiki selalu saja kaku! Orang sulit mengerti apa yang mas pikirin, tau! Makanya mas nggak punya temen akrab." Keluh Ryn khawatir. Kiki mengendikkan bahu. "Terserah mereka. Mereka berhak untuk berteman sesuai dengan kriteria mereka." Ryn mulai kesal setengah mampus. "Budhe bilang katanya makin tua mas jadi makin menyebalkan." "Bisa jadi." Ucap Kiki cepat. Ryn menatap wajah Kiki lagi. Sesekali ia menghembuskan napasnya gusar. Ada ya manusia individualis tapi malah menikmati kesendirian seperti ini? Sudah begitu tiap kali diajak bicara selalu saja tidak pernah nyambung. Dia selalu melompat dari topik sebelumnya, seperti sedang menciptakan alurnya sendiri. Ryn yakin, anggapan orang tentang Kiki itu salah! Kiki tidak bodoh, tidak oon, tidak aneh. Dia hanya tidak bisa dimengerti. Bahkan kalau Ryn tidak salah, Kiki itu sebenarnya jenius. Hanya saja dia malas. Dulu Kiki pernah ikut tes IQ. Tapi dia tidak menjawab pertanyaannya. Dia malah menggambar. Ryn tahu, Kiki tidak terlalu serius dengan banyak hal. Dia hanya tertarik pada sesuatu yang menurutnya menyenangkan. "IQ mas berapa?" "Sembilan puluh sembilan." Ryn melongo. "Satu biji IQ itu akan mengubah digit IQ saya. Ryn, tahu kenapa manusia sibuk mengotak-ngotakkan IQ seseorang ketika masuk kelas akselerasi?" Ryn tahu, Kiki sudah mulai lagi. Ryn menggeleng kencang. "Karena otak-otak tahu rasanya enak, Ry! Apalagi pakai nasi hangat." Ryn ingin menjambak rambut Kiki sekarang. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi. Dia tidak bisa berinteraksi dengan kakak sepupunya ini. Walaupun usianya juga masih boncel, masih empat belas tahun. Dia jadi paling muda di kelasnya, Ryn harus memanggil Kiki dengan sebutan mas. Ondo-usuk dalam tingkatan garis keturunan Jawa. "Saya libur. Kamu tidak libur, Ry?" Ryn menggeleng. Enak ya anak seni lukis sedang mengalami liburan. Liburan demi mempersiapkan pameran lukisan ini. "Mas mau langsung balik ke asrama?" "Iya, saya belum membereskan barang-barang." Kiki berdiri, mengabaikan lukisan yang sejak tadi dia buat. Dia ingin kembali ke asrama. Ryn melongo, mencoba memfoto lukisan milik sepupunya itu. Menguplodnya dengan caption "My Cousin's Dream" Lukisan itu menggambarkan seorang anak yang sedang berlari tanpa kaki, sementara tebaran bunga terarah padanya. Aliran surealisme seperti biasanya. Ryn menghembuskan napas. Kiki sama sekali tidak bodoh. Tidak. ──────────── What is Love? Kiki sampai di pintu gerbang sekolah. Jarak sekolah ke asrama dekat sekali, hanya dibatasi oleh jalan raya. Kiki melangkah cepat, hingga seseorang menghalangi jalannya. Di sebelah kanan sudah terparkir mobil hitam mengkilat. Beberapa orang berjas hitam berdiri di hadapan Kiki. "Kalian ingin minta tanda tangan?" Pertanyaan itu sangat retorik dan juga tidak berdasar. Kiki mengendikkan bahu. Seorang dari mereka merogoh saku jas, lalu memperhatikan sebuah foto. Dia memandang foto itu, lalu menatap Kiki. Dia mengangguk mantap, lalu tiga orang lainnya membekap mulut Kiki. Mereka membawa Kiki pergi paksa. Dengan kata lain, Kiki diculik!! Kiki diikat, dibekap dan matanya juga ditutup. Mereka membawa Kiki pergi ke tempat yang bahkan belum ia ketahui. Mobil yang mengangkut mereka masih melaju. Beberapa jam kemudian mereka sampai. Orang-orang mencurigakan tadi menarik lengan Kiki dan mendorong tubuh lelaki itu hingga terantuk beberapa kali. Ketika ikatan matanya dibuka, dia melongo. "Kalian membawa saya untuk diajak liburan?" Tanya Kiki cepat. Bangunan di depannya ini bukan gudang kumuh seperti difilm-film soal penculikan. Bangunan di depannya malah sebuah villa besar, namun terlihat sepi. Tidak ada rumah penduduk di sekitarnya, hanya ada lapangan yang luas dan juga jalanan yang sempit. "Masuk!" Mereka membentak. Kalau memang ini liburan, anggap saja begitu! Kiki terpaksa menurut dan melangkah masuk ke dalam villa itu. Beberapa orang terlihat mondar-mandi di dalamnya. Terlihat seperti sebuah organisasi gelap, sindikat berbahaya macam mafia. "Kami datang, tuan!" Mereka membawa Kiki masuk ke dalam sebuah ruangan besar. Pintunya saja terukir emas, Kiki menelan ludahnya gugup. Dia tidak tahu apa salahnya, tiba-tiba saja dia sudah diseret ke tempat ini. Kiki berdiri di belakang seseorang. Seseorang yang Kiki duga usianya tidak terlalu tua. Malah mungkin seusia dirinya. Kiki menunggu orang itu berbalik, ketika dia berbalik, keduanya melotot dengan ekspresi kaget. "Siapa kamu?" Orang itu bertanya kaget. Kiki mengerutkan keningnya. "Kenapa anda tanya saya siapa? Lalu kenapa anda membawa saya ke sini?" Cowok itu mengerjap sebentar. "Harusnya kalian bawa yang cewek!" Lelaki itu mengomel pada cowok berjas itu. "Kalian nggak becus! Bisa-bisanya bawa dia!" Kiki tidak paham apa yang lelaki itu ucapkan. Dia melangkah kearah cowok yang sedang murka itu. "Kenapa saya di bawa kesini?" Cowok itu mengabaikan pertanyaan Kiki dan balik marah-marah pada cowok berjas lainnya. "Goblok! Nggak bisa bedain mana cewek dan mana yang bukan?! Wajahnya mirip, tapi dia cowok! Dia nggak punya tetek, sialan! Aku suruh kalian bawa Ryn!" Kiki terlonjak kaget. "Ryn? Kenapa anda sebut sepupu saya?" Cowok itu menghentikan amarahnya. Dia menoleh ke arah Kiki dengan raut bengong. Sepupu? Jadi dia adalah sepupu Ryn? Cowok yang sedang murka itu menghembuskan napas. Azka nama anak itu. Azka adalah lelaki yang sedang merencanakan sebuah kejahatan, tapi karena kecerobohan orang suruhannya maka bukan Ryn yang dia culik. Melainkan sepupunya. "Jadi kamu sepupu Ryn, yang kemarin ngomong sama dia di telepon?" Azka itu jenius. Daya ingatnya jauh lebih bagus daripada manusia pada umumnya. Dia juga sempat mendengar Ryn bicara tentang berapa pentingnya cowok ini bagi Ryn. "Iya, mungkin." Kiki menjawab tenang, hampir tanpa beban. Wajah datarnya itu jadi menyebalkan saat ini. Tidak ada rasa takut atau terancam yang nampak di wajahnya. Itu yang membuat Azka jadi gemas sekarang. Dia seperti gagal balas dendam terhadap Ryn. "Ikat dia!" Lalu setelah itu Kiki terikat sempurna di depan mereka. Kiki sama sekali tidak memberontak ataupun protes. Dia malah pasrah saja. Lagipula tidak akan ada yang mencemaskannya. Seisi sekolah tidak akan curiga karena sekarang memang sedang ada Project Work pameran. Murid seni lukis boleh tidak masuk sekolah, namun mereka harus mengirimkan minimal dua lukisan untuk dipajang di pameran nanti. "Percuma kalian culik saya. Saya tidak menghasilkan apa-apa." Kiki berkata tenang. Dia terikat begitu saja dengan wajah santai. Azka melangkah ke arah mejanya, lalu menelpon seseorang. Sengaja meloadspeaker panggilannya. Tentu saja Ryn yang sedang dia hubungi. "Untuk apa kamu hubungi aku lagi, Azka?" Ryn berteriak kencang di sana. "Tenang, Ryn! Aku juga males mau telepon kamu kalau emang nggak penting," "Sejak kapan kita jadi ada urusan penting? Kita udah putus, ya!" "Iya, tapi hubungan kamu dan sepupu kamu belum putus, kan?" Ryn di sana menegang. "Apa maksud kamu, Azka?" "Dia ada di sini." "Nggak usah bohong kamu!" Azka beranjak mendekat ke arah Kiki. Kiki masih bersandar di kursinya dengan tubuh terikat. Dia menghembuskan napas ketika Azka memberinya isyarat untuk bicara. "Ryn..." "Kiki?!?!" Ryn menjerit kencang. "Iya, saya diculik. Tapi santai saja, tidak perlu telepon polisi. Saya tidak apa-apa kok! Tidak ada yang bisa diambil dari saya." "Ki..." "Anggap saja saya lagi liburan!" Azka menjauhkan teleponnya dari Kiki. Ternyata selain salah culik, Azka juga mendapatkan karma atas apa yang sudah dia perbuat. Azka salah culik, terlebih lagi dia menculik seseorang yang... "Kiki, ya? Boleh saya minta makan?" Azka melotot galak. "Aku bakal bebasin dia asal kamu mau balikan sama aku." Azka masih sibuk bicara dengan Ryn. Ryn menghembuskan napas kesal. "Kamu ngancam aku?" "Ya, bisa dibilang gitu." "Sayangnya aku nggak mau!" Ryn memutus teleponnya semena-mena. Kiki mengendikkan bahu, Azka melongo, menatap cowok yang sedang terikat itu dengan wajah tak percaya. "Lihat, kan? Percuma anda culik saya, Azka. Saya tidak menguntungkan untuk anda." Kiki menguap, dia lapar dan mengantuk. "Diam kamu!" Azka menggeram emosi. Dia menatap wajah Kiki dengan wajah kesal. Kiki ikut merutuk kesal. Dia lapar. "Saya benar-benar lapar." ──────────── What is Love? Azka tahu kalau cowok yang dia culik ini sangat merepotkan. Ia menghela napas dan memperhatikan cowok yang sejak kemarin sudah berkeliling rumahnya. Beberapa orang mengawasinya, berbagai alasan dia pakai untuk berjalan-jalan. Mulai dari kamar mandi, dia kram, lalu dia mengalami sindrom sesak napas karena tidak menghirup udara bebas. Azka tidak tahu sejak kapan dia sudah dibodohi oleh orang seperti ini! Korban salah culiknya ternyata membawa sebuah sebutan karma untuknya. Bahkan Ryn dengan senang hati mengiriminya line. Dia mengirim sticker prihatin di sana, mengatakan kalau orang yang Azka culik adalah kesalahan terbesar yang akan membuatnya menyesal. "Saya suka sekali tinggal disini." Perlahan Azka disertakan oleh sebuah suara yang kini membuatnya menoleh spontan. Cowok itu─yang Azka tahu namanya adalah Kiki sedang duduk terpekur dengan pembantunya. Ada tukang kebunnya, ada kokinya, duduk disebelah Kiki. Mereka sedang main kartu. Azka melotot tak percaya. Dia benar-benar salah culik! "Kenapa mas ada di sini?" Kokinya yang selalu mengintip dirinya yang sedang makan itu kali ini jadi lebih ramah. Biasanya dia akan ketakutan kalau Azka memanggilnya untuk berkomentar soal masakan yang telah dia buat. "Saya diculik." Kokinya tertawa. "Diculik kok mas malah senang gitu? Harusnya mas di ikat." Kiki mengangguk, lalu meletakkan kartu di depan mereka. Kali ini gilirannya. "Saya sudah diikat kemarn, oni bekasnya," Kiki menunjukkan bekas ikatan di pergelangan tangannya. Warnanya sudah merah karena terlalu kencang. "Untuk apa tuan Azka menculik mas?" "Karena masalah dendam cinta." Azka menguping semua yang cowok oon itu katakan. Dia benar-benar ember. Azka melongo. Tidak! Tidak! Bisa gawat kalau Azka melepaskan cowok itu. Bisa-bisa dia bocor dan menceritakan semuanya pada orang lain. Bagaimana kalau rekan bisnisnya tahu apa yang terjadi? Bisa malu dia nanti! "Tuan Azka memangnya punya pacar?" "Iya, sepupu saya mantannya. Karena sepupu saya ogah balikan, akhirnya dia ingin menculik sepupu saya. Tapi om-om yang disana salah culik." Koki dan tukang kebunnya terbahak geli. Kiki masih fokus dengan kartu di tangannya. "Kenapa mas nggak ingin kabur? Kan mas di culik." Kiki menggeleng. "Saya pikir, menyenangkan tinggal di sini. Jauh dari manusia yang selalu menatap saya seolah saya alien. Lagipula saya harus mencari inspirasi untuk lukisan baru. Saya kira mencari inspirasi di sini bukan hal yang buruk." Azka terusik ketika mendengarnya. Siapa yang akan menganggap cowok itu normal? Semua pasti akan mengerti bagaimana oonnya cowok itu! Juga soal ember dan bocor mulutnya. "Kamu! Jangan harap aku bakalan lepasin kamu!" Azka berteriak kencang, membawa ketiga pasang mata yang sedang bermain kartu menoleh spontan, menatap orang yang sedang mereka bicarakan tengah berdiri di lantai dua. Dengan raut marah. "Mohon bantuannya. Saya akan tinggal di sini untuk sementara waktu." Azka menyesali ucapannya setelah itu ─────── Bersambung ──────── Ondo-usuk : tingkatan aliran hubungan keturunan Aliran Surealisme : Aliran seni lukis yang menggambarkan obyek dari alam khayal atau alam bawah sadar K e t i g a 03. Saya pintarnya bermain Kartu, apalagi Judi! Copyright by Min Aldrenji Zyatado ─────────────────────────── Azka tidak menyangka kalau resiko menahan lelaki korban salah culik itu akan merepotkan seperti ini. Awalnya dia mencoba biasa saja, lalu kenyataan menamparnya telak. Sesuatu yang awalnya dia kira akan berhasil padanya, dengan mengatasnamakan sebuah ketidaksengajaan kini mengantarkannya pada sebuah kesalahan. Sungguh, awalnya Azka kira dia akan berhasil membuat Ryn takhluk padanya. Ketika dia diantarkan pada kesialan pun dia mencoba menerima. Dia punya kuasa penuh kalau memang harus berurusan dengan hukum Dia sanggup menyewa pengacara kondang mahal untuk membebaskannya dari tuntutan. Dia biasa saja, tidak takut sama sekali kecuali soal ancamannya pada Ryn. Dia akan membebaskan lelaki ini asal Ryn mau balikan dengannya. "Azka, saya boleh minta tolong?" "Jangan sok akrab!" Azka melotot tidak terima. Kiki melangkah cepat, mengabaikan teriakan Azka sebelumnya. "Saya butuh kuas, palet, cat dan tiga buah kanvas." "Heh!" Azka melotot ganas. Kiki menghembuskan napasnya, lalu duduk dengan semena-mena di depan Azka. "Kamu pikir aku orang tua kamu?!" Keluh Azka lagi. Kiki masih mencoba mengatur mimik wajahnya. Dia tidak boleh datar ketika meminta tolong. Jadi, dia mencoba untuk memasang mimik memohon. "Please...." Azka terbatuk di tempat. "Apa-apaan, tuh?!" Wajah Kiki kembali datar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, perubahan mimik juga tidak berhasil. Dia harus membeli alat dan bahan lukis. Begitu lukisannya selesai, maka dia akan bisa menikmati masa liburannya di tempat ini. "Maaf, saya kelepasan." Kiki bangkit dengan kecewa, lalu kembali ke tempatnya berada. Azka melongo tak percaya. Sungguh, apa yang sebenarnya ada di otak lelaki aneh itu? Azka mengernyit. Pantas saja orang menganggapnya aneh. Ia merinding. Dia harus tinggal bersama dengan makhluk yang masih perlu diraba sifatnya. Itu artinya dia juga harus beradaptasi dan mengasuhnya. Kali ini sifat Azka tidak bisa biasa lagi. Ketika langkah kakinya menapaki lorong villa besar miliknya, koki Azka berlarian. Azka curiga. Lantas karena yakin pasti ada sesuatu yang tidak beres, lelaki kaya raya itu menyusul sang koki. Matanya melotot sempurna. Membeku begitu saja. Di sana. Kiki sedang bermain-main di dapurnya. Bermain api. Benar-benar api dalam artian fisik. Dia membakar sesuatu, Azka melotot, lalu berteriak kencang. "Kalian semua kenapa diam aja?!" Seisi dapur heboh. Kiki melongo, apalagi ketika korek ditangannya dirampas semena-mena. Azka ngeri. Lelaki aneh itu sedang bermain api di dekat tabung LPG. Dia.... GILA! "Saya belum selesai memanggang," Keluh Kiki, menggapai beberapa ikan yang sudah terpanggang─tidak, bentuknya sudah gosong dan menjijikan. "Kamu gila?!" Azka menarik lengannya kasar, menatapnya tajam. Kiki mengedikkan bahunya. "Saya lapar," "Mikir pakek otak kalau mau ngapa-ngapain!" Azka sukses dilanda murka. Kiki mengerjap perlahan, lalu dia bungkam. "Saya memang sering dibilang gila." Azka mengacak rambutnya gusar. Sudah! Cukup! Dia sudah tidak tahan dengan semua ini. Apalagi melihat raut Kiki yang sepertinya tidak merasa bersalah sama sekali. Lelaki itu kembali menoleh dengan wajah mupeng. "Jadi, saya boleh pinjam piring?" Seisi dapur mendadak gemas setengah mampus, meraung kencang karena batinnya seolah disiksa dengan berbagai kenyataan hidup yang tidak mengenakkan. Kenyataan paling ambigu sedang menghampiri mereka, dalam balutan si penghuni baru, yang entah bagaimana sekarang sudah menjelma jadi lelaki absurd aneh nyeleneh dan selalu berkeliaran dengan bebas seolah sedang liburan. "Kamu!!" Azka sudah siap meluapkan emosinya. "Ya?" Sayangnya Kiki tidak cukup tanggap untuk menganggap teriakan Azka sebagai sebuah murka. "Jangan pernah deketin dapur!!" "Tapi saya lapar, saya ingin memasak sendiri. Saya tidak menggaji Koki anda, jadi saya harus membuat makanan saya sendiri." Absurd. No reason. See? "Kalian! Siapa yang berani mengizinkan dia masuk dapur, aku pecat kalian!" Kali ini kening Kiki berkedut. Dia melangkah cepat keluar dari dapur, mengabaikan pelototan Azka untuknya. "Saya sudah di luar dapur." Saat itu Azka tahu kalau lelaki di depannya ini selain aneh juga... oon. Terlalu bodoh hingga menyebutkan kosakata itu. Dia bete mendadak. Ketika dilihatnya Kiki yang sudah melarikan diri kembali ke kamar sekapnya, Azka memberikan petuah dan juga omelan pada koki dan juga asistennya. Mungkin, kesialan Azka bukan hanya saat itu saja. Kali ini ada tragedi baru lagi. Lelaki absurd itu kembali berulah. Azka menjerit pagi-pagi ketika mendapati kolam renangnya sudah berubah jadi kolam angsa. "Ini apa-apaan?! Siapa yang bisa jelasin ini?!" Pembantu-pembantunya berkumpul mendadak dengan wajah takut. Mereka juga tidak tahu bagaimana bisa kolam renang milik majikannya berubah jadi kolam angsa. Terlebih lagi angsa yang berenang di atas kolam renang sang majikan sangat kotor. "Ini pasti ulah anak sinting itu!" Azka bergerak cepat, sedikit berlari untuk menghampiri si pelaku. Beberapa hari ini kesabaran Azka sudah diuji. Dia sering emosi karena ulah korban culiknya itu. Sifat kakunya berubah, dia tidak lagi fokus pada dunianya sendiri. Sekarang dia terusik ketika seseorang dengan kebebalan yang luar biasa seperti sedang mengetuk pintunya. Mendobrak pintu itu, lalu masuk seenaknya. Ketika kakinya sudah masuk ke dalam kamar sekap Kiki, matanya melotot lebih lebar lagi. Kiki menghilang. Azka bergerak gusar, bersiap berteriak pada anak buahnya. Namun matanya terpaku ketika melihat anak itu sedang sibuk bermain di halaman belakang. Kiki, iya lelaki itu sedang bermain dengan ayam dan juga unggas-unggas lainnya. Azka curiga. Tidak mungkin ada ayam yang masuk ke dalam villanya. Azka berlari kencang, mengabaikan rasa takut yang tampak di wajah para pembantunya. Ketika kakinya sampai di halaman belakang, dia menggeram emosi. "Siapa yang berani buka pintu belakang?!!" Harusnya Azka tahu kalau pelakunya tidak jauh-jauh dari orang yang sedang mengerjap menatapnya dan terlihat menikmati hidup bersama ayam-ayam. ──────────── What is Love? Kiki disidang. Tapi tetap saja percuma, karena Kiki tidak menganggap itu sebagai sidang. Dia hanya sedang duduk di depan Azka, dengan raut datar seperti biasa. "Kenapa kamu berulah, heh?!" Kiki mengetuk-ngetukkan sepatunya di lantai. Lihat itu, Azka! Sepertinya dia tidak merasa bersalah sedikitpun. "Apa salah saya? Saya tidak mengganggu hidup anda, Azka." "Sialan! Nggak mengganggu?!" Kiki mengernyit. "Sebenarnya salah saya apa?" Azka makin murka. Apalagi ketika melihat Kiki seolah sedang bermain-main dengan kalimatnya. Lelaki itu tidak membawa baju ganti, jadi dia pinjam baju ke pembantu-pembantunya. Celana gombrong yang sudah dijepit dengan peniti, lalu kaos lusuh bertulisan I Love You yang terlihat norak itu dia pakai tanpa ngeri. "Yus!!" Azka berteriak kencang, memanggil salah satu pengawalnya. Yusrizal keluar dengan wajah takut dan kaki tergopoh. "I...iya tuan?" "Ikat dia! Jangan lepasin sampe dia sadar dan instropeksi apa yang udah dia lakuin!" Kiki melongo, namun pasrah ketika lengan Yus mengamit kedua ketiaknya. Yus mengikat tubuh Kiki di kamar sikapnya, mengikatnya di kursi. Sebelum itu Yus sempat berpesan dengan wajah bersalah. "Maafin aku ya, Ki! Aku terpaksa." Kiki mengedikkan bahu. "Tidak masalah, saya maklum kok!" Kiki menjawab santai, perlahan Yus merinding. Kok ada ya orang diculik tapi santai begitu. Bukan hanya itu, lelaki yang disebut tuannya sebagai lelaki oon itu terlihat sangat menikmati rasa penculikannya. Kiki diikat lagi. Dengan perut lapar seperti kemarin. Tapi dia senang, dia hanya harus menahan lapar sebentar lagi. Namun dia tidak bisa masuk dapur. Kalau dia masuk dapur, maka koki akan dipecat. Kiki tidak ingin menyusahkan mereka. Ketika perutnya menjerit, bernyanyi dengan sebuah genre lagu─keroncongan namanya─pintu kamarnya terbuka. Seseorang masuk dengan sebuah piring di tangannya. "Mas?" "Ah, pak koki?" Kiki mengerjap. "Mas lapar, kan? Saya bawa makanan untuk mas. Tapi maaf, saya tidak bisa melepaskan ikatan mas." Kiki mengangguk pelan. "Tapi pak koki bisa menyuapi saya, kan?" Koki mengangguk mantap. Kiki disuapin, dia mengunyah khidmad, seolah sedang menikmati hukuman sekaligus pelayanan itu. Koki terus menyuapi Kiki hingga nasi di piring itu tandas tak bersisa. "Mas udah kenyang?" "Iya, terima kasih ya pak koki!" "Saya punya nama, mas." "Saya tahu, tapi saya lebih senang menyebutnya begitu." Koki itu tergelak geli, lalu perlahan tatapannya berubah meredup. Dia merasa kasihan pada Kiki, tapi dia tidak bisa melakukan sesuatu. Koki yang bernama pak Nawan itu punya keluarga yang harus dihidupi, jadi dia tidak ingin dipecat dari tempat ini. Azka sudah sangat baik memperlakukannya. Pak Nawan pergi dari kamar Kiki, meninggalkan lelaki itu dalam keadaan terikat. Kiki tersenyum dengan miris, ini pertama kalinya dia tersenyum di tempat ini. Atas kebaikan orang-orang yang belum dia kenal sebelumnya. ──────────── What is Love? Azka bukannya orang jahat yang sanggup menyiksa seseorang lebih lama. Dia melepas ikatan Kiki setelah seharian. Kiki menjerit kencang ketika dia kebelet pipis. Dia berteriak hingga Azka masuk ke kamarnya dengan mata melotot bengis. "Saya kebelet pipis. Saya bisa ngompol sekarang!" Azka terpaksa melepaskannya dan tidak ada minat untuk mengikatnya lagi. Kini lelaki absurd itu kembali dengan rutinitas sebelumnya, bermain kartu bersama dengan pembantunya yang lain. Dia sudah menang banyak kemarin, sekarang lagi. Diam-diam Azka penasaran. Kiki itu tipe orang yang sangat bodoh untuk merespon hal sekitarnya, sering tidak nyambung kalau diajak ngobrol, membenci angka, namun ketika dihadapkan pada kartu-kartu judi itu matanya berbinar. Meski dia tidak menampakkan ekspresi yang berarti, namun tetap saja Azka mengakui kalau dia jago bermain kartu. "Sudah, mas! Saya nyerah." "Ini masih belum lama, pak." Kiki mengeluh. Mereka mundur teratur. Kiki selalu saja menjadi pemenang dalam permainan ini. "Mas Kiki ini selalu menang." "Ini hal yang saya bisa, pak! Saya bodoh kalau bahas pelajaran, tapi saya cukup ahli untuk main kartu. Mungkin saya bakat untuk judi." Mereka terus bermain kartu hingga sore. Tapi hari itu bukan hari yang bagus untuk Azka. Petir sedang menamparnya pada sebuah kenangan kelam, di masa lalu. Petir dalam artian fisik, benar-benar petir. Dia punya pengalaman dan kenangan yang tidak mengenakkan dengan petir dan hujan. Dulu kedua orang tuanya ada dalam mobil ketika petir itu menyambar. Jalanan yang licin membuat mobil mereka mengalami kecelakaan. Mobil mereka menabrak pembatas jalan, Azka mengetahui dengan pasti kejadian tu. Waktu itu ayahnya terkejut melihat petir dan kehilangan konsentrasinya hingga mobilnya menabrak. Hanya Azka yang berhasil diselamatkan dalam kecelakaan itu. Tapi luka dan trauma masih jelas terlintas di otaknya. "Petir..." Pak Nawan berdehem sekilas. Azka sudah berlari kencang ke arah kamarnya yang kedap suara, tapi sebelum dia sampai dikamarnya petir itu menyambar lagi. Spontan Azka menunduk, berjongkok dengan kepala tertunduk di antara lutut. Pak Nawan dan yang lain panik mencoba menghampirinya, tapi Azka menjerit kencang. Dia berontak dari orang-orang yang mencoba membantunya. Hanya Kiki yang melihat kejadian itu dengan ekspresi bengong. Dia tidak sepenuhnya bebal untuk ini. Kiki juga takut pada ketinggian, jadi dia paham bagaimana rasanya berhadapan dengan sesuatu yang ditakuti. Ketika para pembantu tidak mampu menolong Azka yang sedang terguncang dengan tangis, maka anak absurd itu melangkah ke arahnya. Berjonglok di depan Azka dengan ekspresi datar. "Azka, kamu takut petir?" Harusnya itu tidak perlu ditanyakan saat ini! Semua orang mendadak emosi dan juga kesal setengah mati. Azka bereaksi sekilas. Kepalanya yang penuh dengan air mata dan dihiasi raut ketakutan itu mendongak. Rahangnya mengatup kencang, menatap wajah lelaki oon yang bebalnya setengah mampus itu. "Nggak tahu kenapa tiap kali lihat muka kamu, aku selalu mendadak emosi!" Lalu Azka berdiri dengan tubuh gemetar, tertatih melangkah ke kamarnya seorang diri. Hanya Kiki dan pembantunya yang masih bengong di tempat. Azka bisa melangkah ke kamarnya sendiri. Horee...!! ──────────── What is Love? Pasca kejadian kemarin itu membuat Azka menjadi labil. Dia selalu emosi tiap kali mengingat Kiki dan segala bentuk kepolosan dan keoonan yang sudah di atas normal itu. Azka bangun keesokan harinya dengan kerusuhan yang masih terjadi. Ketika tangannya membuka pintu, kakinya berhenti. Kiki sudah duduk di depan pintu kamarnya, dengan kaki bersila. Azka melotot ganas melihatnya. Tolong, jangan sekarang! Azka sedang tidak ada nafsu untuk meladeni lelaki absurd mencurigakan ini! "Ngapain kamu di sini?" "Saya ingin minta maaf," "Hah?! Buat apa?" "Karena saya tidak peka. Saya kira waktu itu Azka hanya sedang terkejut, saya malah bertanya apa kamu sedang takut." Kiki mengabaikan sapaan awalnya dari diksi anda menjadi kamu. Azka malu setengah mampus sekarang. Salah tingkah juga. "Maafkan saya, Azka!" "Sana pergi!" Azka dengan gamblang mengusir Kiki, namun lelaki itu masih menggeleng kencang. "Ka..." "Jangan panggil namaku kayak gitu!" Azka terusik. Kiki mengerjap. "Kenapa? Azka terlalu panjang." "Nggak usah nanya! Lakuin aja!" Azka malas menjelaskan pada lelaki oon ini. Kiki mengangguk patuh. "Saya boleh minta sesuatu?" Ha! Sudah Azka duga sebelumnya, pasti lelaki ini sedang ada maunya, karena itulah dia sengaja bersikap manis. Azka menatap wajah Kiki dengan rut kesal. "Nggak!" "Azka, tolong belikan saya alat lukis. Saya ingin melukis." Demi apa, Azka sudah kesal setengah mampus sekarang. Tidak ada lagi rasa sabar yang tersisa di hatinya, mengingat kalau lelaki di depannya ini memang tidak pantas untuk diberi kesabaran. Azka menatap Kiki gusar, dan dalam beberapa langkah dia mencengkeram lengan lelaki mata sipit yang oon itu. "Jangan bertingkah di sini!!" Teriaknya, ganas. Hasilnya? Kiki hanya mengerjap, melongo, lalu kembali memasang wajah datarnya. Dia sempat tersenyum miris, tapi pada akhirnya bibir tipis itu bersuara. "Saya tidak punya uang untuk membeli alat lukis, Azka." Harusnya Kiki paham kalau bukan itu yang dimaksud Azka! "Saya juga tidak akan diizinkan pergi dari sini." Kiki masih mengeluh. Harusnya Azka sadar kalau dia sudah menculik lelaki yang merepotkan! Semua ini gara-gara harga dirinya yang terlampau tinggi. Meski dia tidak merasa apapun ketika Ryn memutuskannya. "Jadi, bisa saya pesan alat lukis beserta kanvasnya?" Azka spontan menjitak kepala Kiki kencang. Kiki tidak mengaduh, mungkin karena kepalanya sudah sekeras batu saking bodohnya. Kiki hanya menatap Azka datar dan kemudian bicara dengan nada pelan. "Saya terinpirasi dari ketakutan kamu soal petir. Saya ingin membuat pesan surealis soal trauma kamu." Azka makin murka. Lelaki ini memang tidak paham bahasa manusia, ya? Azka tidak bisa menahan emosinya lagi, lantas berteriak kencang ke arah Kiki. "Jangan harap aku bakalan patuh sama perintah kamu!!" Setelah itu Azka pergi meninggalkan Kiki yang masih bersila di depan kamarnya. Hari itu harusnya Azka menyesali apa yang sudah dia katakan. Dia harus menyesal karena sudah menolak permintaan kecil seorang Kiki. Azka tidak tahu kalau efek penolakannya akan jadi seperti ini. Tembok ruang tamu dan ruang keluarga penuh dengan coretan. Coretannya mencurigakan, entah dibuat dari bahan apa. Bahkan kalau Azka tidak salah ada bagian lukisan aneh itu yang baunya seperti bau kari ayam, lalu lumpur dan juga bau daun-daunan. Azka tahu kalau ini pasti ulah lelaki absurd itu di samping kondisi kere nya. Azka mendadak emosi! Murka memuncak dan membumbung hingga tak terelakkan lagi. Azka sudah miris dan mencelos seketika. "Azka, tolong belikan saya alat lukis!" Azka berjanji kalau dia akan segera membelikan lelaki absurd itu alat lukis! Yakin! ───────── Bersambung ───────── K e e m p a t 04. Menemukan Doraemon Copyright by Min Aldrenji Zyatado ─────────────────────────── Setelah sekian lama mencoba bertahan dengan keanehan Kiki, Azka punya ide yang lumayan bagus. Kalau memang pada akhirnya dia harus menahan cowok absurd itu untuk sementara di villa ini, maka jalan satu-satunya adalah memanfaatkan cowok absurd itu agar lebih berguna dan punya kesibukan. Kiki tanpa kesibukan sama halnya dengan bom waktu yang bisa meledak ketika sudah menunjukkan nol. Azka menggeleng kencang, membayangkan cowok aneh itu meledak tiba-tiba. "Jadi aku bakalan mengajukan sebuah penawaran." Azka bicara dengan nada otoriter. Kiki duduk didepannya. Siap menunggu apapun yang Azka katakan. Kiki sudah siap mendengarkan apapun vonis yang dilayangkan padanya. "Apa itu, ka?" Azka melotot. "Maafkan saya, Azka. Saya tidak peka." "Jadi, aku bakalan mempekerjakan kamu di sini," Jeda sekilas dalam ucapan Azka hingga dilanjutkan kembali. "Itu yang harus kamu sanggupi kalau mau tetep tinggal di sini." Kiki yang oon dan juga bebal itu tidak akan pernah paham soal penawaran dan otoriter. Dia hanya menurut saja ketika Azka menawarkan sesuatu padanya. Atau bukan penawaran namanya, tapi sudah memaksa. "Itu artinya saya akan digaji?" Kiki peka kalau untuk membahas soal duit. Azka melotot tak terima. "Jangan ngimpi deh! Udah untung kamu nggak aku aniaya!" Kiki menatap wajah Azka datar. Dia menghembuskan napas, lantas mencoba bicara dengan bahasa yang jauh lebih sederhana. Walaupun kenyataannya, bahasa Kiki tidak bisa dikatakan sebagai bahasa yang sederhana. Bahasa itu hanya bisa di mengerti oleh dirinya sendiri. "Saya punya dugaan awal kenapa Azka menculik saya," "Karena kecelakaan. Harusnya Ryn yang aku culik!" Azka menjawab terlebih dahulu sebelum Kiki mulai dengan dugaan nggak berdasarnya. "Saya kira karena nama saya," "Hah?!" Sepertinya Azka harus mengalami sindrom sambungan putus saat ini. Itu sindrom ketika seseorang tidak paham apa yang dia ucapkan dan malah menjawab diluar topik. "Nama saya memiliki makna artian dan bangsawan Jawa." Azka memijat pelipisnya geram. Dia menatap Kiki tajam, lalu berkata pedas di depan wajah cowok absurd itu. "Kamu!" Azka tidak tahu harus merespon seperti apa kali ini. Dia sudah tidak tahan lagi berdekatan dengan cowok aneh ini. Tapi dia harus bertahan, apalagi sekarang dia punya ide untuk membuat cowok absurd ini bekerja di villanya. "Kamu mau jadi apa? Selain koki tentunya!" Azka memberi peringatan. Kiki mencoba mencari alternatif atas tawaran Azka. Jadi tukang bersih-bersih? Yakin? Kiki justru lebih rajin mengotori daripada membersihkan. Satu-satunya pekerjaan paling aman adalah jadi tukang kebun. "Saya memutuskan untuk jadi tukang kebun saja." Azka juga berpikir demikian, maka sudah diputuskan Kiki akan menjadi tukang kebun di villa ini. Meskipun Azka harus mikir beberapa kali untuk mempekerjakannya. Kiki sudah menghasilkan satu buah lukisan. Terinspirasi dari ketakutan Azka soal petir. "Jangan potong rumput seenaknya!" Lalu petuah dan juga pesan keramat Azka terdengar kembali. "Jangan rusak bunga-bunga semaunya!" Kiki jadi seperti seorang nerapidana yang sedang menjalani proses persidangan. Azka adalah pengacaranya, yang memberikan saran agar dia selamat dari persidangan. Ketika otaknya sedang mencari analogi yang sesuai dengan kondisinya saat ini, Azka sudah berdiri tepat di depannya. "Aku nggak akan gaji kamu, tapi.." Kiki menunggu. "Aku bakalan beliin alat lukis baru, lalu memberi kamu makan. Asalkan biayanya nggak gede banget aku sanggup menghidupi kamu." Kiki mikir. Azka sangat pelit dan juga perhitungan, tapi perlahan dia juga sadar diri. Dia sedang diculik, bukannya sedang kerja part time di sini. Diberi makan dan dibelikan alat lukis saja sudah melewati hakikatnya sebagai korban penculikan. Oke, itu mulai klise! "Azka pelit sekali! Padahal uang kamu banyak," Kiki mengeluh. "Aku hidup bukan untuk biayain kamu!" "Lalu kenapa Azka hidup untuk menculik saya?" Azka dilanda kegalauan. Bagaimana caranya merespon pertanyaan ambigu mencurigakan itu? Azka berusaha memahami, tapi dia gagal untuk mengetahui. Dia tidak mau jadi seseorang yang dengan mudah terpancing emosi saat ini. Ketika matanya melirik si oon, tiba-tiba dia terusik. Kiki sedang sibuk berkutat dengan taplak mejanya. Menarik-narik benang di ujung taplak, hingga beberapa kaitan taplak itu terlepas. Azka melotot horor. "Kamu ngapain?!" "Saya sedang mencoba memperbaiki ini, Azka." Azka ingin berteriak kencang sekarang. Dia menatap Kiki dengan wajah kesal, lalu menarik lengan cowok oon itu. "Jangan pernah menyentuh apapun di rumah ini! Kamu hanya diperbolehkan jadi asisten tukang kebun!" Azka memberikan titah otoriternya. Kiki sebagai tebenger yang tahu diri, dan juga sebagai penumpang gelap korban penculikan seharusnya tahu diri. Kiki berdiri, mengabaikan taplak yang sudah tercerai-berai benangnya. Wajahnya tidak menampakkan rasa bersalah sedikitpun. Hari itu Azka yang kaku dan juga membosankan mulai memberikan kuliah gratis padanya. Kiki mengawasi Azka yang sedang belajar. Azka juga siswa sepertinya, dia satu tingkat di atasnya, sama seperti Ryn. Tapi Azka lebih memilih home schooling daripada sekolah umum. "Jadi untuk mencari nilai X kita harus mencari sudut yang ini dulu." Kiki mengawasi Azka yang sedang mencoret-coret bukunya. Kiki tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Angka yang dia suka adalah angka yang tercetak di selembar kertas, yang bisa ditukar dengan barang atau jasa. Uang. Azka melirik Kiki yang sedang duduk mengawasinya, mulut cowok oon itu melongo tidak paham. Azka memberi isyarat padanya untuk mendekat. Kiki mundur ragu, dia tidak ingin sekolah, dia tidak mau berhubungan dengan buku, dia senang ketika sekolah meliburkan anak seni lukis untuk project work menjelang pameran lukisan. "Sini!" Kiki mundur teratur, bersiap untuk kabur. "Saya tidak tertarik dengan belajar. Tolong abaikan saya!" Azka bergerak lincah, menarik kerah baju Kiki seenaknya. Dia menyeret Kiki dan mendudukkannya tenang di depan tutornya. Di depannya sudah ada buku matematika. "Saya masih kelas satu, Azka. Ini buku kelas dua─EH?!" Kiki sadar kalau cowok disebelahnya ini lebih tua daripada dia. Dia benar-benar sudah durhaka dan tidak sopan. "Kamu sudah kelas dua, eh...mas?" "Jadi kamu kelas satu? Tapi Ryn panggil kamu mas!" "Ibu saya budhe dia, mas." Azka jadi terusik ketika mendengar namanya berubah jadi mas. Kalau kakak mungkin masih terdengan wajar, tapi mendengar seorang cowok yang memanggilnya mas begitu membuatnya mikir. "Jangan panggil aku mas." Kiki mengangguk paham. "Maafkan saya, kangmas." Azka spontan memukul kepala Kiki dengan buku. Dia melotot galak. Ternyata bicara dengan Kiki itu tidak ada gunanya. "Panggil aku sesukanya, asal jangan pakek sebutan kangmas itu! Geli dengernya!" "Baik, mas." Sudahlah... "Kamu harus ikut home schooling ini." Kiki melongo, menggeleng kencang setelah itu. Belajar bukan keahliannya, dia sudah melihat silabus jurusannya. Ada beberapa materi, aliran realis, surealis, naturalis... Tidak ada kata-kata interval XYZ atau menggambar sudut kayang melengkung manja di atas grafik. Kiki menghembuskan napas, lantas melirik wajah Azka dengan raut pias. "Maaf, mas. Saya menolak," "Kenapa? Kamu nggak perlu bayar, aku juga udah menyita waktu liburanmu." "Kenapa mas baik sekali?" Kiki tidak pernah meletakkan rasa sungkan dan berpikir dulu sebelum bicara. Dia lebih senang menceritakan apa yang dia pikirkan saat ini, meski kadang orang bilang kalau pemikiran Kiki tidak pernah benar dan normal. "Pokoknya aku mau kamu ikut acara home schooling ini!" Kiki masih curiga. "Kenapa mas?" "Biar pinter, nggak oon!" Kiki selalu datar tiap kali ada orang yang memanggilnya begitu, dia sudah biasa dihina seperti itu. Kiki mencoba tersenyum, meski dia jarang sekali melakukannya terlebih di depan orang lain. Hanya di depan orang tuanya dia bisa tersenyum, nyengir mencurigakan malah. Tapi sekarang dia mencoba tersenyum. "Saya oon atau tidak, apa ada pengaruhnya untuk hidup mas?" Jleb! Azka mencoba menjelaskan dengan bahasa yang sederhana. Kiki yang selalu sibuk dengan pemikirannya sendiri dan juga tingkah absurdnya itu harus di ajak bicara dengan bahasa yang jauh lebih sederhana. "Anggap saja ini bayaran karena kamu mau kerja di sini, cuma sampe kamu aku bebasin," "Kapan saya dibebaskan?" "Sampai Ryn mau balikan!" Kiki mengernyit. "Sebulan lagi ada pameran lukisan, saya harus menghasilkan paling tidak dua lukisan." "Dan belajar nggak bakalan butuh waktu lama, kamu bisa melukis di waktu luang." Kiki tidak bisa melarikan diri lagi, mungkin tujuan Azka memang baik, dia ingin Kiki memanfaatkan waktunya untuk belajar, agar tidak dianggap oon atau bodoh. Meskipun Azka salah soal ini, Kiki bukannya butuh belajar soal ilmu pengetahuan, tapi soal kepribadian. Juga sikap. "Jadi, kenapa mas baik sekali pada saya?" Azka mencoba menjawab. "Kalau memang mas mau cari muka agar Ryn menerima mas lagi, mungkin mas salah kalau memanfaatkan saya. Saya tidak berguna dan tidak ada hubungannya dengan kisah cinta kalian." Azka berdehem. Privat tutornya hanya bungkam, tidak bisa menyuruh Azka fokus pada pelajaran sekarang. "Aku takut sama mulut embermu!" Kiki jelas tidak pernah tersinggung dengan itu, salah satu keuntungan jadi orang bebal adalah tidak pernah merasa tersinggung atau sakit hati meski dihina. Tidak tersinggung atau karena memang tidak tahu sedang disinggung? "Saya tidak pernah bermasalah dengan mulut saya." Tidak nyambung. Lihat, kan? "Aku bete lihat orang oon di sekitarku. Jadi mau nggak mau kamu harus ikut aturan rumah ini!" Kiki mengeluh sebentar. "Lalu pak Nawan dan kawan-kawan ikut home schooling juga?" Azka ingin bunuh diri sekarang! ────────────── What is Love? Ryn menatap ponselnya, menimbang dan memikirkan keberadaan Kiki sekarang. Cemas? Lumayan. Tapi Ryn yakin kalau Kiki mampu menyelamatkan diri dimana pun dia berada. Ryn tahu itu, Kiki memang super lemot dalam memproses ucapan orang lain, tapi dia lebih mudah mengeksplorasi lingkungan sekitarnya. Lagipula, memangnya Azka bisa apa? Cowok itu terlalu kaku dan membosankan, bahkan Ryn mengira kalau Kiki akan diabaikan dan dilepaskan secepatnya. Tidak akan ada orang yang bisa tahan kalau berdekatan dengan Kiki. Iseng, akhirnya Ryn mengirimi line pada mantannya itu. "Jagain sepupuku! Kalau dia lecet sedikit aja, maka tujuh turunan bakalan neror hidup dan keluarga kalian!" Azka membaca line dari mantannya itu, tapi tidak ada minat untuk membalasnya. Dia bergerak, melangkah ke ruang keluarga, tapi langkah kakinya terhenti begitu saja melihat cowok absurd yang dia culik sedang duduk terpekur. Pasca belajar tadi Kiki jadi punya kesibukan. Mengerjakan tugas matematika soal persamaan. Azka iseng, ingin tahu. Ketika dia sampai di belakang Kiki, cowok itu mendadak emosi. "Kamu disuruh ngerjakan tugas, tapi malah.." Kiki menoleh kaget. Garis-garis di buku matematika itu sudah berubah bentuk, bertransformasi jadi lukisan. Azka melongo. Ternyata dia salah sangka, dia kira Kiki tertarik untuk belajar, tapi nyatanya Kiki tetap sama. "Ini lukisan aliran kubisme, mas!" Azka tidak ingin tahu soal itu! "Aku nggak nanya!" "Aliran ini di dominasi oleh bentuk garis, segitiga, persegi, lalu..." "Aku nggak nanya!" "Mas, kenapa mas dan Ryn bisa putus?" Kali ini topiknya berubah begitu saja. Azka bingung bagaimana harus menanggapi tipe orang seperti ini. Dia tipe orang yang kaku dan tidak terlalu cocok dengan orang yang terlalu fleksibel. Sejujurnya Azka iri, karena Kiki bisa hidup sebebas mungkin. "Penting untuk tahu?" "Penting, mas! Dia sepupu saya," "Aku nggak mau beritahu!" "Ya sudah, terserah mas saja!" Sudah. Dan obrolan itu berakhir dengan miris. Azka yang awalnya berharap obrolan itu akan berakhir di pihaknya, maka semuanya terasa menyakitkan. Azka sudah berbuat kesalahan fatal. Ini bukan sepenuhnya kesalahan anak buahnya yang salah culik. Wajah keduanya mirip. Dia dan anak buahnya hanya sedang miss communication. Azka lupa mengatakan kalau yang diculik itu cewek, bukan cowok. Lagipula di foto itu Ryn sedang memakai topi rajut yang menyembunyikan rambut panjangnya. Jadi jelas saja anak buahnya salah culik! "Saya kepo soal sesuatu." Azka awalnya tidak ingin tahu, sungguh! Tapi dia tergelitik untuk mengetahui hal itu karena begitu ke mengganggu. "Kenapa mas begitu yakin kalau Ryn akan balikan kalau mas menculik saya?" Azka tahu kalau dia tidak perlu merespon ucapan Kiki, cowok itu akan selalu bicara semaunya. Meski tidak nyambung. "Mas, tahu kenapa kita harus menghirup oksigen?" Azka bahkan tidak pernah memikirkan itu. "Saya baca buku mas tadi, api akan semakin besar ketika diberi oksigen. Jadi kenapa manusia harus menghirup oksigen?" Azka tidak tahu, juga tidak pernah peduli soal itu. "Nggak usah nanya aneh-aneh!" "Saya hanya penasaran." Kiki bicara dengan nada datar, tapi bukan hanya sampai di sana. Kiki masih ingin berkomentar soal sesuatu, dia penasaran dengan apa yang Azka lakukan selama ini divilla mewahnya. "Kenapa mas betah di sini? Kenapa mas tidak ingin keluar mencari angin? Atau tidak ingin keluar mencari angin? Atau berpetualang begitu?" Azka terusik dengan pertanyaan itu. "Aku udah punya semuanya di sini! Untuk apa aku pergi keluar?" Itu nada sombong yang muncul dari dua belah bibirnya, meski dia sendiri juga tidak tahu kenapa dia mengatakannya. Azka tidak berniat sombong, tapi mau bagaimana lagi. Dia hanya sedang ingin memamerkan apa yang dia capai di usia muda, walau itu bukan seratus persen usahanya. "Jadi mas seperti doraemon, bisa mendapatkan apa yang mas inginkan." Azka tersenyum geli diam-diam. Untuk pertama kalinya dia bereaksi seperti itu, sebuah ungkapan tulus, tanpa basa basi seperti saat dia berada di depan client. Senyum itu begitu tulus, meluncur apa adanya dari bibir Azka. "Kamu mirip nobita, yang oon dan juga kerjanya nyusahin orang." Kiki menggaruk kepalanya, benar juga apa yang Azka katakan. Tapi tetap saja, statusnya bukan seperti doraemon dan nobita asli. Statusnya hanya sekedar penculik dan korbannya. Kiki tersentak kaget tiba-tiba. "Saya punya ide untuk lukisan yang kedua!" Kiki beranjak pergi ke kamarnya. Dia mulai sibuk dengan kanvas dan kuasnya. Mengabaikan Azka yang masih bengong tidak paham tentang perubahan mood yang mendadak itu. Mungkin dia memang seorang doraemon untuk nobita, atau seekor? Doraemon kucing, bukan? ──────── Bersambung ──────── K e l i m a 05. Bebas, tapi tetap diawasi Copyright by Min Aldrenji Zyatado ──────────────────────────── Kiki menatap dua lukisannya yang sudah jadi. Dari sudut manapun lukisan itu tampak seperti dua buah lukisan dengan inspirasi sama. Objek yang sama. Tentu saja Kiki tahu kalau memang itu yang dia lakukan. Lukisan pertama terinspirasi dari ketakutan Azka soal petir, lalu lukisan kedua adalah gambar kucing dan seorang anak lelaki. Kucing itu memakai mahkota seperti raja. Kiki merasa kalau kucing dalam lukisan itu sudah menyindir seseorang, cowok kaya yang sedang terpekur karena bingung. "Lukisan saya sudah jadi. Terima kasih, mas Azka!" Azka terusik mendengar panggilan baru untuknya. Dia tidak tahu sejak kapan namanya sudah berubah jadi menyebalkan seperti itu. Kiki membungkus lukisannya agar tidak berdebu. "Saya sudah banyak merepotkan, terima kasih sekali lagi." Azka berdehem sekilas. "Lalu mau kamu kirim ke sekolah gitu?" Kiki menggeleng pelan. Tidak mungkin dia mengirim lukisan itu. Dia harus mengirimkannya sendiri ke sekolah. Andaikan dikirim via pos pun pastinya ada alamat pengirim, Azka pasti akan melarangnya. "Jadi, mau kamu apa?" Azka bertanya sekali lagi. "Saya harus kembali ke sekolah, setidaknya sampai pameran selesai." Azka menaikkan alisnya. "Saya tahu kalau mas tidak akan membebaskan saya. Saya tahu diri, saya diculik di sini. Jadi saya harus kembali jadi tawanan, setidaknya sampai Ryn mau kembali ke pelukan mas Azka." Azka yakin kalau cowok di depannya ini memang bebal dan oon setengah mati. Ada ya orang diculik tapi tetap konsisten untuk tinggal di rumah penculiknya begitu? "Lalu?" "Saya ingin membalas budi pas mas Azka." Kali ini Azka tertarik. Balas budi berarti mendapatkan sesuatu yang sebanding dengan usahanya selama ini. Azka sudah melakukan banyak hal terhadap Kiki, dengan tujuan agar cowok itu tetap hidup. Kiki diberi makan, nebeng belajar juga, lalu dibiayai untuk melukis. Penculik mana yang sebaik dirinya, coba? "Apa yang bisa kamu berikan?" "Saya bisa mengajari mas Azka untuk move on dari Ryn." Azka bukan cowok bodoh yang percaya pada janji klise seperti itu. Move on terhadap Ryn? Bahkan dia sudah lupa soal cewek itu. Dia tidak ingat soal Ryn karena perhatiannya sudah teralihkan karena kerusuhan cowok oon yang ajaib ini. "Kenapa?" "Sebagai balas budi saya, saya ingin membuat mas Azka bangkit dari Ryn. Ryn bukan tipe orang yang akan mengulangi kesalahannya. Dia keras kepala, mas." "Jadi kamu anggap aku sebagai sebuah kesalahan?" Kiki tahu, dia sudah salah bicara. Lantas karena dia sudah bingung mau bicara apa, akhirnya cowok absurd itu menghembuskan udara berat. "Saya hanya ingin membantu mas Azka untuk move on," "Baik banget. Kenapa?" "Karena mas sudah berbaik hati untuk merawat saya selama ada di sini." Kiki menjawab datar. Perlahan Azka menelisik wajah yang sedang bicara ini. Bahkan ketika hampir dua minggu lebih dia berada di sini, Azka masih belum bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan. "Apa yang bisa kamu ajarkan?" Sejujurnya, Azka hanya penasaran. Dia tahu kalau mendengarkan cowok absurd ini bicara sama dengan menjerumuskan dirinya sendiri. "Kepribadian mas yang harus diubah." NGACA!! Kalau memang dia tahu, harusnya dia sadar soal itu. Ini sama saja dengan masuk rumah sakit jiwa, tapi dokternya juga gila. Itu tidak lucu sama sekali! Azka melongo, bersiap melepaskan amarahnya. Dua minggu lebih dia diuji. Kesabarannya di uji. Pak Nawan dan yang lain seolah senang-senang saja dengan perubahannya. Dia memang sudah berubah. Azka yang biasanya hanya pribadi yang kaku. Melangkah dan menyendiri di ruang kerjanya, mengawasi perkembangan perusahaannya via online. Lalu setelah itu dia bisa memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan keperluannya seperti makan, lalu ganti dan yang lain. Bahkan dia tidak pernah bertegur sapa dengan pembantunya kalau memang tidak penting. Namun sekarang? "Kenapa aku harus belajar kepribadian ke cowok yang bahkan tumpul soal kepribadiannya sendiri?" Kiki mengabaikan sindiran Azka. "Mas Azka terlalu kaku," "Dan kamu terlalu datar!" "Mas Azka harus belajar lebih fleksibel dan tidak terikat oleh peraturan," "Kamu seenaknya!" "Mas Azka bisa cepat tua kalau terlalu serius dan kaku. Ryn mungkin bisa menganggap mas Azka terlalu kaku dan membosankan." Azka sudah tidak tahan lagi untuk mengumpat. Mengatakan hal baik pada Kiki sama sekali tidak akan pernah direspon baik olehnya. Jadi percuma saja Azka mencoba menjaga hati Kiki dari ucapan pedas. Dihujat saja anak itu tetap datar. "Kamu ngomong kayak gitu nggak ngaca apa kalau hidupmu itu juga kaku dan membosankan?!" Azka murka. Kiki menatapnya datar, tidak takut sama sekali. "Paling tidak saya lebih luwes daripada mas Azka." Kiki memuji dirinya sendiri. Dia sering tersenyum ketika berhadapan dengan ibu dan ayahnya. Pada Ryn juga dia sangat ramah, banyak senyum. Hanya pada orang asing lah Kiki agak kurang bisa menyesuaikan diri. Kurang bisa? Lalu bagaimana dengan pak Kiki dan seluruh pembantu Azka itu? Azka menatap wajah Kiki dengan raut gemas setengah mampus. Kiki yang ditatap seperti itu tidak paham apa yang sedang Azka ucapkan. Kiki menanggapinya dengan santai. "Mas Azka tahu kenapa kita harus berinteraksi dengan orang-orang?" Nah! Kiki kembali mengalihkan topik seenak jidat kembali. Azka memijat pelipisnya gemas. Sudah cukup! Dia tidak tahan kalau harus berdekatan dengan makhluk aneh ini lebih lama. Azka berdiri, bersiap kembali ke kamarnya hingga didengarnya suara Kiki menginterupsi. "Mas Azka, saya serius soal mengajari kepribadian pada mas Azka." Azka dilanda gemas akut berkepanjangan. Bahkan menjelang malam pun Kiki masih mengganggunya soal mengajari kepribadian itu. Azka tahu kalau dia sudah memilih lawan yang salah, lantas karena sudah tidak tahan lagi dengan celoteh Kiki soal itu, Azka menyanggupi. Jadi, di sinilah dia sekarang. Mendengarkan apapun yang muncul dari bibir Kiki. Dia siap mendengarkan apapun meski hatinya memberontak tidak terima. "Mas coba lebih banyak senyum." Kiki memberikan saran yang pertama. Azka mencoba melebarkan bibirnya, namun seringainya yang muncul di sana. Kiki berdehem sekilas, lalu kembali menggeleng. "Itu senyuman Nenek Serigala di cerita si Kecil Bertudung Merah." Azka sudah dilanda kesal, tapi dia masih saja mencoba untuk tersenyum meski harus gagal. Bahkan cowok absurd itu dengan seenaknya menarik kedua pipi Azka agar tersenyum makin lebar. "Wajah mas Azka memang kaku. Saya tidak bisa menyalahkan kalau memang akhirnya sulit untuk tersenyum." Azka makin murka. "Coba mas Azka pakai sabun cuci muka yang membuat wajah tidak kaku." Ucapan Kiki jadi terdengar seperti sebuah iklan sabun muka. Azka mendengus seketika. "Contohin!" Kiki memijat pipinya sebentar, lalu dalam beberapa detik dia tersenyum. Manis sekali. Azka melongo. Jadi cowok absurd ini bisa tersenyum seperti itu? Bahkan senyumnya manis sekali. Mata sipitnya terlihat makin kecil, dikombunasi dengan pipinya yang naik dan bibirnya yang melebar. Lalu dalam beberapa detik wajah itu kembali datar. Azka merinding. Cowok absurd di depannya ini jadi mirip psikopat. Azka menggaruk tengkuknya, tidak tahu harus merespon seperti apa. "Saya melakukan ini ketika orang-orang marah pada saya." Azka makin merinding. "Saya tahu kalau senyuman ini tidak tulus dan hanya sekedar akting. Karena itu..." Jeda sekilas dalam ucapan Kiki, dilanjutkan dengan sebuah kalimat yang membuat Azka makin ngeri. "Saya sendiri juga tidak tahu apa bisa menjadi pribadi yang baik. Maafkan saya, saya sudah sok tahu hingga harus mengajari mas Azka soal kepribadian." Tatapan mata Azka menggelap. Kalau memang membunuh itu legal, maka dia tidak akan mengenal orang bernama Kiki ini. Mungkin cowok ini sudah ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Terbunuh sejak lama. Azka memijat pelipisnya lagi. Ketika matanya menoleh, dia mendapati Kiki sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Cowok absurd itu tampak sedang berpikir. Entah apa yang dia pikirkan, dia tidak ingin tahu! Sungguh, Azka tidak ingin tahu! Mungkin, Azka memang harus melepaskan cowok ini. Ditahan di sini lebih lama juga tidak akan pernah ada gunanya selain membuat masalah. "Kamu nggak pengen keluar dari sini?" Azka basa-basi. Kiki membuka matanya, menoleh ke arah Azka dengan raut bingung. "Mas ingin jalan-jalan? Ingin ditemani" Azka melotot bengis. Dia tidak tahu bagaimana cara cowok absurd ini mengambil kesimpulan. Setahunya Kiki memang bukan tipe orang yang bisa diajak bicara normal. Imajinasi dan pemikiran cowok absurd itu terlalu klise, semua dan abstrak hingga sulit di tebak. "Aku pengen lepasin kamu," "Saya dibebaskan dari acara penculikan ini? Kenapa?" Kiki bertanya cepat. Azka tidak tahu bagaimana cara cowok absurd ini hidup. Dia malah menanyakan alasan untuk hal baik, tapi untuk hal yang buruk dia malah santai saja. "Penculikan ini bukan acara!" Azka jadi gahar. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk bertahan lebih lama. Dia sering mengumpat sendiri ketika tidak sengaja melihat Kiki yang berulah di kebun belakang. Cowok absurd itu senang sekali membuat hal-hal aneh. Tanaman serut di taman belakang dia sulap menjadi bentuk wanita seksi. Tidak masalah, tentu saja tidak masalah! Tapi entah kenapa wanita seksi dengan dada besar itu juga memiliki penis di selangkangannya. Azka jadi kacau setengah mampus. Lalu dia perintahkan tukang kebunnya untuk memangkas bagian penis itu. Kiki tidak marah, tapi keesokan harinya dia kembali berulah. "Kamu harus kembali ke sekolah! Ingat, kamu nggak boleh cerita apapun soal kejadian disini. Ngerti?" Azka mengancam. Kiki mengerjap. "Lalu saya jawab apa kalau ditanya, 'Kamu dua mingguan ini kemana aja?' gitu?" Tanyanya cepat. Azka mendengus tak peduli. "Terserah mau jawab apa, asal jangan bilang kamu udah diculik dan disekap di sini!" Azka hanya sedang malu. Malu karena acara penculikan nya tidak setragis di TV. Acara penculikannya malah berakhir pada rasa kesalnya. "Baik, saya akan mengatakan kalau saya diikat saja." Azka ingin menendang cowok ini sekarang kalau boleh! "Inget, aku bakalan ngawasain kamu! Jadi jangan harap kamu bisa bebas ngomong dan cerita ke orang soal kejadian dua minggu ini." Kiki mengangguk. "Iya, saya tahu! Terima kasih dan maaf merepotkan!" Keesokan harinya ketika pagi-pagi buta, Kiki dibangunkan paksa. Tangannya diikat, matanya ditutup. Seseorang menggendongnya ke mobil, lalu mobil melaju, meninggakkan tempat itu. Lama-lama Kiki mencium bau parfum Azka tadi ketika seseorang menggendongnya. Kiki menduga, cowok yang menggendongnya adalah Azka. Indera penciuman Kiki tajam sekali, kok! Tapi ketika dia dilemparkan ke dalam mobil, dia tidak mencium bau itu lagi. Azka tidak ikut mengantarkannya pulang ke rumah. Pameran anak seni lukis berlangsung hari ini. Kiki berkeliaran sejak tadi, Ryn datang ke lapaknya dan terperangah kaget melihat lukisan Kiki. "Mas lukis Azka?" Tanya cewek itu shock. "Ya, dia jadi inspirasi saya, Ryn!" "Mas jadi akrab sama Azka?" Ryn masih tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. "Tidak juga, Ry!" "Trus kok Azka mau gitu jadi objek yang mas nistakan?" Ryn tahu kalau Azka bukan tipe orang yang senang ketika privasinta di kulik seenak jidat. "Mungkin dia sudah berubah, Ry!" Ryn menggeleng kencang, tidak mungkin Azka berubah secepat itu. Perlahan Rym menatap Kiki, kalau Kiki yang berhadapan dengan Azka, mungkin semuanya bisa saja terjadi. "Maaf, apa adik yang melukis ini?" Seorang bapak bertipi rajutan tiba-tiba muncul di samping mereka. Ryn tersenyum lalu mundur teratur. Dia memberikan waktu pada Kiki dan calon pembeli itu. "Iya, saya yang melukisnya." "Dua-duanya?" Kiki mengangguk. "Bisa adik ceritakan soal apa ini?" Kiki sudah biasa menceritakan makna lukisannya. Tapi kali ini dia bingung harus menceritakan dari mana. Kenapa penikmat lukisan ini tidak menginterpretasi lukisannya sesuai apa yang dia pikirkan saja? Kenapa pembuatnya yang harus menjelaskan? Manja, ih! "Dua-duanya hanya soal kisah seorang teman. Seorang teman yang meski punya banyak kelebihan, namun dia tetap punya ketakutan." "Boleh saya beli yang ada petirnya? Saya tertarik dengan yang itu." Keraguan mulai meneluaup dalam hati Kiki. Lalu dalam beberapa detik, Kiki tersenyum. Senyum yang selama ini dia pelajari seorang diri, senyum ketika merasa bersalah. Calon pembeli itu akhirnya harus rela mendapatkan lukisan yang satunya. "Kok nggak jadi dijual?!" Ryn terkejut, acara mengupingnya sukses tadi. Pembeli itu menawar lukisan Kiki dengan harga yang fantastis. "Saya jadi ragu, Ry! Saya urung jual lukisan ini. Saya melihat jiwa seseorang dalam lukisan ini." "Cowok yang di lukisan itu si Azka kan, mas?" Kiki mengangguk pelan. "Ryn tahu?" "Karena kebiasaan Azka itu pakai jam tangan di sebelah kanan." Kiki menghembuskan udara. Ketika matanya disibukkan dengan fokus cowok dalam lukisannya, hidungnya mencium sebuah aroma. Ryn berbalik dan pergi lebih dulu. Dia mengatakan kalau pacar barunya sedang menunggu di luar gedung. Kiki menoleh spontan dan mendapati seseorang sedang berdiri di sebelahnya. "Mas Azka?" Azka tergagap gugup. "Mas Azka datang juga?" Tanya Kiki sekali lagi. "Kan aku udah bilang kalau aku bakalan ngawasin kamu!" Kiki kembali menatap lukisannya, lalu tangannya menunjuk lukisan itu dalam diam. Azka terusik untuk tidak menoleh ke arah Kiki, memidai wajah cowok absurd ini. "Saya memberi mas Azka lukisan ini." Azka bengong. "Kenapa?" Azka terkejut dengan ucapan Kiki. Meski hatinya senang sekali. Ketika melihat lukisan itu, Azka ingin sekali memilikinya. Namun waktu itu Kiki mengatakan kalau lukisan tersebut untuk dijual pada pameran. Sekarang ini Azka sengaja datang untuk membelinya dan ternyata nasibnya muji. Lukisan itu belum dibeli orang. Terlebih lagi, Kiki memberikannya langsung padanya tanpa dia minta. "Serius?!" Kiki mengangguk. "Saya harus menyerahkan lukisan ini pada orang yang berhak." Kiki meletakkan tanda sold di lukisan itu. Lalu bibirnya kembali bergerak, membuat Azka makin gemas dibuatnya. "Mas Azka kalau tidak punya urusan segera pergi saja. Mas jadi pusat perhatian sekarang." Kiki berlalu dengan wajah datar. Azka melongo. Lihat itu, Azka! Lihat itu! Secepat itukah seseorang mengubah sifatnya? Bahkan hanya dalam hitungan detik? Azka mencoba menyusul Kiki. Ketika dilihatnya cowok absurd itu sedang bicara dengan cewek-cewek, Azka memutuskan untuk menghampiri. Azka tidak tahu kalau Kiki juga bisa dikelilingi cewek seperti itu. Padahal kalau Azka tahu, cewek-cewek itu adalah teman-teman Ryn. Ryn sedang memperkenalkan sepupunya sekarang. Sekaligus memperkenalkan pacarnya. "Azka?!" Ryn terkejut melihat Azka. Azka juga tidak kalah kaget, namun mendengus ketika melihat cowok di sebelah Ryn. "Kita harus bicara!" Ryn menarik lengan Kiki, lalu mengisyararkan Azka untuk mengikuti mereka. Mereka bertiga berkumpul di belakang gedung. "Kenapa kamu datang kesini?!" Suara Ryn naik. Kiki bungkam. Azka menatap Kiki yang juga sedang malas bicara sepertinya. ""Lihat pameran," "Nggak usah bohong, Azka!" "Itu memang faktanya!" Kiki jadi obat nyamuk di antara mereka. Lantas karena sudah bingung harus bereaksi seperti apa, akhirnya cowok absurd itu menyahut pelan. Tapi sahutannya membuat dua orang itu melotot tak terima. "Kalian mau balikan? Aku bisa bantuin kalian bersatu lagi kalau kalian memang masih saling cinta." Kiki itu... bodoh! "Aku nggak gila ya mas mau balikan sama dia!" Ryn marah, menunjuk wajah Azka emosi. "Aku udah punya pacar baru dan aku sayang sama dia!" "Aku juga nggak sudi balikan sama cewek kayak kamu!" Kali ini Azka bereaksi. Azka sungguh-sungguh tidak ingin melakukannya. Entah kenapa. ──────── Bersambung ──────── Description: © MinRenjiZ
Title: Why You Category: Adult Romance Text: 1. Hukuman "Pagi mah."sapa perempuan mungil itu. "Pagi sayang, mau sarapan dulu?."tanya wanita paruh baya. "Engga deh ma, udah siang nanti Ara dihukum kalo telat." Ya... Perempuan itu ialah Aura Putri Chantika. Perempuan mungil yang sering disapa Ara itu kini, telah tumbuh menjadi gadis cantik dengan rambut hitam nan tebal sebahunya berikut dengan bola mata berwarna hitam pekat, dilengkapi bulu mata yang begitu lentik. Kecantikan Ara memang nyaris sempurna. jangan heran jika pria mana pun mampu terpikat olehnya, dan juga banyak perempuan lain yang iri dengan kecantikannya. Yap, hari ini adalah hari pertama Ara mengikuti MOS di sekolah barunya, ia memakai pakaian sesuai dengan peraturan yang berlaku; rok berwarna hitam diatas lututnya, dan kemeja lengan pendek berwarna putih, tidak lupa ia pun mengalungkan nametag di lehernya yang bertuliskan namanya. "Ya sudah ara berangkat ma."ucapnya sembari mencium punggung telapak tangan Vina (mama Ara). "Hati hati sayang." 💞💞💞💞 Setelah berpamitan, Ara langsung pergi menuju kompleks depan rumahnya. Ia pergi ke sekolah tidak mengendarai mobil atau diantar jemput oleh sopir pribadinya, alasannya simpel bahwa ia tidak ingin merepotkan orang lain walaupun ia tahu bahwa sopir bekerja untuk mengantar jemput dirinya di sekolah. Ara lebih memilih menaiki angkutan umum walaupun ia tahu akan berdesak desakan dengan penumpang lain dan harus rela menunggu ditepi jalan. Seperti sekarang ini, ia sedang menunggu angkot tepat ditepi jalan, sudah lebih dari Lima menit ia menunggu,akhirnya tak lama kemudian datang angkot tujuannya. Dan benar saja angkot tersebut sudah di penuhi oleh para penumpang, tapi untung saja masih ada ruang untuk Ara duduk di dalamnya walaupun berdesakkan. Selang beberapa menit, angkot yang ia tumpangi sampai didepan sekolah barunya. Di SMA Nusa Bangsa. Beruntung jalanan pagi ini tidak terlalu macet hingga ia cepat tiba disekolah. Setelah menuruni angkot yang ia tumpangi, Ara melihat jelas semua orang yang memakai pakaian sama seperti dirinya lengkap dengan atribut yang sama sedang berbaris didepan gerbang sekolah. Ia sudah menduga bahwa mereka yang berbaris itu datang terlambat ke sekolah dan Ara termasuk seperti mereka. Melihat keadaan seperti itu, Ara langsung berlari memasuki barisan tersebut dan ia berada dibaris paling belakang. "Maaf Ara mau tanya, ini yang baris disini karena telat ya?." Tanya Ara pada siswi yang baris didepannya. Perempuan itu pun menoleh kearah Ara. "Iya kita telat, makanya baris disini dan gak dibolehin masuk."jawabnya. Ara langsung melihat arloji putih ditangan kirinya dan dilihatnya waktu masih menunjukan pukul 06.35. "Eh ini tuh jam tujuh aja belum tau."tanya Ara heran. "Iya tapi, tadi kakaknya bilang kita harus tiba disekolah pukul 06.30." "Ya ampun, pasti dihukum nih,."ucapnya pada dirinya sendiri 💞💞💞💞Semua senior yang mengenakan almamater berwarna putih gading itu berbaris didepan peserta MOS, lalu tiba-tiba suara bariton laki-laki seketika menggema ditelinga para peserta MOS. "Teruntuk kalian yang berdiri di hadapan saya sekarang ini. Saya ingin bertanya kepada kalian, apakah kalian tidak memiliki jam di rumah atau tidak memiliki arloji di tangan kalian? bisa-bisanya kalian datang ke sekolah sampai telat seperti ini. Kami sudah memberitahu kalian untuk tiba disekolah pukul 06.30 ini sudah lewat Lima menit tidak disiplin sekali kalian, tidak tahu cara menghormati aturan!" ucap senior laki-laki yang diketahui bahwa ia adalah ketua panita MOS tahun ini. Ia bernama Fikran Saputera berpostur tubuh tinggi berkulit kuning langsat mempunyai satu lesung pipi tepatnya dipipi kirinya, serta dilengkapi dengan kacamata yang terpampang diwajahnya membuat ia semakin mempesona. namun sayang ia termasuk kategori senior tergalak. "Karna kalian telat lima menit, Sekarang kalian lari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali!" ucap senior perempuan membuat para peserta tercengang mendengarnya. Ya dia bernama Putri Lestari berpostur tinggi putih serta rambut bergelombang semampainya. ia juga termasuk senior tergalak disekolah ini mungkin karena ia wakil ketua osis tahun ini. "Kenapa diam cepat lakukan."ucap Putri lagi. Seluruh peserta langsung berlari memutari luasnya lapangan. Selang beberapa menit mereka selesai melaksanakan hukuman. Akhirnya, mereka diperbolehkan bergabung dengan peserta MOS yang lain yang sedang berbaris di lapangan. Ara memperhatikan satu persatu senior yang berbaris didepan peserta MOS. Menurut pandangan Ara,dari sekian banyak senior yang ada, hanya ada satu senior laki-laki yang berwajah datar yang sama sekali tidak memarahi para peserta bahkan untuk sekedar tersenyum saja rasanya ia tak ingin apalagi untuk berbicara. Banyak yang mengagumi ketampanan dan kewibawaan senior datar ini tapi tidak untuk Ara. baginya lelaki seperti itu hanya bisa cuek datar tanpa ekspresi tanpa bisa memperhatikan sekitarnya karena terlalu cuek, dan bahkan mungkin lelaki seperti itu tidak pernah peduli dengan apapun yang terjadi disekitarnya. Ara sangat tidak menyukai lelaki seperti itu. Memang Ara mengakui dia lelaki yang tampan mempesona, tapi itu semua tidak ada harganya sama sekali jika hatinya tertutup oleh es yang membeku apalagi ia kasar pada perempuan, tidak bisa menghargai perempuan, sungguh lelaki macam apa dia itu. Ada rasa cemas didalam dirinya, Ara teringat bahwa ia belum sempat sarapan tadi pagi, bukan hanya itu yang membuatnya cemas, ia pun cemas jikalau ia akan di hukum kembali oleh seniornya karena pasalnya ia merupakan orang yang berada di urutan paling terakhir datang terlambat ke sekola. Semua pikirannya beradu di kepalanya membuat ia merasa penat. Tiba-tiba saja terdengar suara bariton senior laki-laki yang menyebut namanya begitu nyaring. "Aura Putri Chantika silakan maju ke arah sumber suara" Degggggggg Jantungnya mendadak berdetak begitu cepat dari sebelumnya bagai terkena hambaran petir. ia begitu ketakutan, ia takut pada hukuman yang akan ia dapati ditambah lagi ia takut jika ia akan pingsan nanti. "Gimana ini aduhh gimana dong maju gak ya ihh kalo maju pasti dihukum lagi tapi kalau gak maju pasti hukumannya ditambah lagi."batinnya. Kembali terdengar suara senior itu menyebut namanya dengan begitu nyaring. "Aura Putri Chantika saya hitung sampai tiga kalo kamu tidak maju jangan harap kamu bisa masuk kesekolah ini."ancamnya. Perkataan yang begitu menohok membuatnya berpikir dua kali untuk tidak maju. "Satu... Dua... Tig——" Dengan kaki gemetar ia memberanikan diri langsung maju menghadap sumber suara. "Balik kanan! hadap pada teman-temanmu yang sedang berbaris!" Ara pun mengikuti perintah senior itu, dengan rasa takut yang mengembara dihatinya membuat Ara hanya mampu menunduk. "Kamu kenapa telat? kamu lho yang terakhir telat. perempuan lagi."ucap Fikran. "....." Ara tidak menjawab ia terus menunduk. "Jawab! saya butuh penjelasan kenapa kamu telat bukan alasan kamu telat!"ucap Fikran lagi. Ara bergidik ngeri mendengar perkataan Fikran barusan. dengan lantang dan penuh rasa percaya dirinya ia pun menjawab. "Ara berangkat ke sekolah menaiki angkutan umum kak, dan Ara bisa telat karna tadi angkotnya lambat jalannya nyari penumpang terus padahal ara udah berangkat pagi, tadi."polos Ara. "Klise banget penjelasannya, penjelasan seperti yang kamu utarakan itu sudah sering kami dengar! Sudah sekarang kamu kembali lari mengelilingi lapangan sebanyak Lima putaran." kini suara putri yang menggema ditelinga semua yang mendengarnya. Benar saja dugaan Ara, ia kembali mendapatkan hukumannya. "Maaf kak bukankah Ara sudah mejelaskan apa yang membuat Ara telat tapi kenapa Ara dihukum kak?"tanyanya polos. "Memang kamu sudah menjelaskan kenapa kamu telat. tapi itu bukan berati kamu tidak mendapat hukuman."ucap Fikran. "Sudah cepat lakukan saja, tidak usah banyak bicara!"sambung Fikran lagi. Tidak ada pilihan lagi, Ara harus mengikuti perintah seniornya itu, karena toh memang semua kesalahannya datang terlambat ke sekolah. Ara tahu keadaan tubuh nya sudah mulai merasa lemas dan wajahnya mungkin sudah terlihat pucat, namun ia tetap menjalani hukuman itu. Lapangan SMA Nusa Bangsa begitu luas, dan hanya Ara sendiri yang sedang memutari lapangan tersebut di depan semua peserta MOS yang sedang menontoni dirinya. Dari kejauhan, ada sepasang mata itu sedang memperhatikan kondisi Ara yang sedang berlari kelelahan. Sudah hampir selesai hukumannya, Ara sudah lari memutari lapangan sebanyak empat kali putaran membuat ia benar benar kelelahan, ia dehidrasi, dan pusing dikepalanya pun semakin terasa, kini penglihatannya pun sudah mulai terasa samar-samar. "Satu putaran lagi ra, harus bisa satu lagi satu lagi satu lag—"ucapnya, dan setelah itu Ara kehilangan kendali ia langsung jatuh pingsan. Namun siapa sangka lelaki berwajah datar tanpa ekspresi nan dingin itu menghampiri Ara dan langsung membawanya pergi dari lapangan. Ya sepasang mata yang sudah sedari tadi memperhatikan Ara dari kejauhan menolong Ara segera. Seluruh peserta tecengang melihat kejadian langka itu begitu pun dengan para senior yang ikut tercengang melihatnya. Pasalnya yang membawa ara adalah Arkano Danendra cowok super duper yang dinginnya kebangetan dan Arkan juga cowok yang sangat anti dengan perempuan, ia selalu cuek pada perempuan. Arkan menyadari semua mata kini tertuju padanya. namun hal seperti itu tidak ia pedulikan. ia terus saja berjalan meninggalkan lapangan dengan membawa gadis cantik yang sedang terpejam pingsan. Description: Arkan adalah siswa yang sangat terkenal disekolahnya dari sudut mana pun semua orang mengenalnya. Namun sikapnya yang dingin terhadap semua orang hingga dia dijuluki "Kutub Utara". Entah apa yang membuatnya menjadi seperti itu, tak ada satupun perempuan yang mampu mencairkan es di dalam tubuhnya, sampai suatu saat perempuan itu datang dan merubah segalanya.
Title: Wonosalam Kilometer Dua Belas Category: Cerita Pendek Text: (1) “Just for today, how about we forget about tomorrow, and go somewhere?” (Shinichiro Watanabe) *** Sedari tadi jam istirahat belum berakhir juga. Entah mengapa waktu berjalan dengan lamban hari ini. Mungkin waktu telah ditubruk oleh truk dan kakinya hanya bisa berjalan tertatih-tatih. Atau mungkin ia sedang belajar berjalan dengan kursi roda, siapa tahu? “Icha?” “Eh. Iya? Ada apa?” Tumben sekali Doni menegur, pikirku. “Yuk, pergi ke suatu tempat.” “Kemana?” “Kemana aja.” “Sekarang?” “Iyalah.” “Maksudnya... Membolos?” “Tepat sekali!” Doni mengatakannya seperti pembaca acara kuis menebak lagu itu, hanya saja rambutnya tidak dioles pomade. “Kenapa.. maksudku, beri aku alasan kenapa harus membolos?” “Aku ingin sesekali ingin tahu bagaimana rasanya membolos.” Dan di sinilah kita berdua berjalan sambil menenteng tas sekolah masing-masing menyusuri trotoar dengan rumput liar menghiasi sepanjang jalan, entah apa yang dilakukan Dinas Kebersihan Pemerintah selama ini. Karena pada jam sekolah gerbang sekolah selalu terkunci, maka Doni mengajakku keluar melompati pagar beton sekolah yang cukup tinggi. Aku tampak ragu, namun Doni terus merayu, akhirnya aku berhasil melewatinya disertai hati yang berdebar-debar. Menaiki satu persatu anak tangga kayu yang cukup curam, lalu setelah sampai di atas beton yang sedikit berlumut (beruntung tak beling-beling tajam yang disusun di atasnya!), aku melompatinya dengan berteriak histeris. Aku terjatuh di sebuah gundukan pasir yang tercampur dengan debu dan tanah, Doni tersenyum geli melihatku seraya membantuku berdiri. Kini kami berdua berada sebuah tanah kosong yang tak terawat, sebenarnya tidak kosong-kosong amat, ada kerangka rumah yang telah habis dilalap api, rumput-rumput liar yang kering dan papan yang bertuliskan “TANAH MILIK NEGARA. DILARANG MASUK.” Kami berdua melewati tanah kosong itu dengan mudah karena ada jalan setapak kecil menuju jalan raya di depannya, dan menyusuri trotoar di depannya. Doni bercerita bahwa ini adalah jalan keluar favorit teman-temannya ketika membolos. (2) Doni adalah temanku sejak kecil. Jarak rumahku dan rumahnya hanya dipisahkan oleh sebuah rumah milik seorang pensiunan tentara. Waktu kecil kami berdua bersama anak-anak kompleks rumah sering bermain bersama di halaman rumahnya. Selisih umur kami berdua cuma setahun, namun aku selalu menganggapnya lebih tua, begitu juga dengan teman-teman masa kecil kami yang lain terhadapnya. Ditambah sifatnya yang aktif sekali, jiwa kepemimpinannya bersinar diantara kelompok bermain. Kedua matanya memancarkan sorot mata yang penuh semangat dan bahagia. Hal inilah yang membuatku kagum terhadapnya sejak kecil. Ketika aku beranjak remaja, aku disibukkan oleh les-les yang didaftarkan oleh ibuku. Hal ini membuat kami berdua hampir tak pernah bertemu satu sama lain. Namun aku selalu terbelenggu oleh perasaan rinduku. Kadang saat aku hendak berangkat les sore, aku masih melihatnya duduk-duduk santai bersama salah satu temannya di depan rumah. Momen-momen inilah yang sangat aku tunggu. Kadang ketika ia melihatku, ia menegurku dan melambaikan tangan dengan tersenyum, namun seringkali ia tak berada di sana. Apalagi sejak ayahnya meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena kecelakaan bermotor (pembunuh nomor satu di jalanan!), aku hampir tak pernah melihatnya. Namun saat aku melihatnya, ada sorot mata yang berubah dari dirinya. “Kau tau.. Kukira kau anak yang tidak biasa melakukan hal-hal seperti ini.” “Tidak salah,” jawab Doni. “Aku memang tidak pernah membolos.” “Memang kita akan kemana?” “Kau mau kemana?” “Menonton bioskop mungkin?” Dia tertawa. “Terlalu mainstream.” “Kau ingin yang tidak mainstream? Membom istana presiden!” jawabku ketus. “Ya, sepertinya ide bagus,” ia tergelak. “Eh, aku tahu suatu tempat!” seruku padanya. “Kemana?” “Ada sebuah gua yang sering dibicarakan orang-orang saat ini. Letaknya di sebuah kecamatan di bagian utara kota ini.” “Arah ke Surabaya?” “Iya.” Setelah cukup lama menunggu bis yang menuju ke Surabaya, kami berdua berhasil mencegatnya dan masuk ke dalamnya. Sampai Selamat, nama bis itu. Udara AC langsung menyeruak menabrak wajahku menghasilkan rasa yang tak nyaman. Setelah berhasil mengendalikan diri, aku mengikuti Doni dari belakang dan duduk salah satu kursi yang terlihat empuk. Tak lama kemudian kondektur bis menghampiri kami berdua dan memasang tarif. Setelah itu beberapa kali pengamen masuk bis dan melewati kami dengan bungkus plastik bekas air mineral berisi beberapa lembar uang dan koin serta beberapa batang rokok. Salah satu pengamen yang menarik perhatianku adalah sepasang suami-istri yang cukup tua. Suaminya berkacamata hitam, bertopi pemancing yang pudar, berkumis lebat, terlihat tidak bisa melihat, menenteng perangkat sound system portable dan bertugas bernyanyi. Sedangkan istrinya selain menuntun suaminya berjalan juga bertugas berkeliling membawa bungkus plastik kepada para penumpang bis. Ia memakai topi yang sama dengan suaminya, hanya saja warnanya berbeda dan memakai kaos partai yang berwarna merah pudar. Yang membuat aku kagum adalah bahwa mereka seperti sudah tahu tugas mereka masing-masing, seperti melakukan repetisi-repetisi seperti itu sebelumnya. Namun apa kerja keras mereka terbayar? Musik dangdut klasik mengalun dan sang suami mulai bernyanyi dengan penuh penghayatan. Tidak buruk, nilaiku. Maka ketika si istri menghampiri kami berdua, aku merogoh tasku, mencari koin-koin kembalian saat membeli minuman mineral saat di sekolah tadi dan memberikan semuanya. Tak lupa memberi senyum ketika aku bertatapan dengan si istri. Namun ia cepat menunduk dan berlalu begitu saja meninggalkan ucapan terimakasih yang datar. (3) Kami berdua turun di sebuah pertigaan yang cukup besar. Kami berdua harus mencari angkutan untuk pergi ke arah barat, dan Doni sedang bertanya kepada seorang tukang becak cara untuk mencapai tempat yang bernama Wonosalam. Dan ia kembali dengan hasil nihil. “Tidak ada angkutan pada jam seperti ini.” Aku memberinya sebuah botol air mineral, Doni membukanya dan meneguk air di dalamnya. “Kita jalan kaki saja dulu, barangkali nanti ada tumpangan untuk ke sana.” Kami berdua berjalan cukup jauh, menjauhi keramaian jalan raya dan masuk ke jalan sepi yang dipenuhi oleh sawah dengan kehijauan padi yang berusia sebulan. Kendaraan hilir mudik, namun tak ada yang menghiraukan kami. Lalu tiba-tiba Doni memiliki ide yang cukup ekstrim. “Ada sebuah sepeda kayuh di sana, aku akan mencoba mencurinya.” Lidahku seketika tercekat. Ketika ia mulai berbicara mengenai rencanya lebih lanjut, aku meneguk liurku. “Pikirkanlah lagi, Don,” sahutku. “Tidak ada cara lain. Kamu mau bertelanjang dan mencegat sebuah mobil di tengah jalan?” Aku hampir menyetujui ide yang lebih ekstrim itu, namun ia sudah berlalu menghampiri sepeda kayuh yang tergeletak di pinggir sawah, kemungkinan itu milik petani yang sedang terlelap tidur siang. Aku memutuskan mengikutinya. Aku pun diarahkannya untuk memperhatikan sekeliling, sedangkan ia beraksi mengambil sepeda itu dari tempatnya. Dengan tergesa-gesa, Doni kemudian memboncengku menyusuri. Matahari sudah melewati tengah hari, meskipun panasnya hampir tidak berkurang sedikitpun. Apakah aku sudah gila mendukung pencurian berencana? Entahlah, aku hanya lelah berjalan kaki, dan Doni melakukan hal yang tepat dengan memboncengku. Bila Doni merasa lelah ia berhenti dan kami beristirahat barang sejenak. Sekali ia mencoba memegang tepian mobil berbak terbuka yang melewati kami sehingga roda sepeda tak perlu ia kayuh, namun dewi keberuntungan bersama kami ketika sang pengemudi mobil berhenti dan mengajak kami untuk naik ke bak mobilnya. Beruntungnya kami bertiga punya tujuan yang sama, Goa Sigolo-Golo. (4) Pengemudi mobilnya adalah seorang lelaki separuh baya yang pendiam. Setelah mengijinkan kami berdua untuk menumpang di mobil pick-up-nya, ia tak banyak bicara lagi setelah itu. Lagipula kami berada di bak terbuka mobilnya, sedangkan ia bersama seorang pemuda berada di belakang kemudi. Doni bersandar sebisanya di bak mobil, terlihat mukanya penuh lelah. Langit semakin gelap, senja terlihat semakin menjingga, angin berhembus melayangkan tiap-tiap helai rambutku dan suara adzan sayup-sayup terdengar di setiap masjid. Aku tak mendengar jelas apa yang dikatakan Doni, aku pun sedikit mendekat dan ia mengulangi ucapannya sekali lagi, kali ini lebih keras. “Kau tidak masuk les hari ini?” “Aku sudah bosan dengan les,” jawabku sekenanya. Ia nyengir. Lalu aku bertanya padanya, apa dia pernah mengikuti sebuah les dan ia menjawabnya, iya, tentu saja. “Serius?? Memangnya kau ikut les apa?” “Gitar.” “Kau bercanda. Kok aku tidak pernah tau kau bisa bermain gitar,” jawabku tak percaya. “Aku tidak semahir itu. Hanya bertahan sebulan.” “Tidak bisa satu lagupun?” “Mungkin hanya 1-2 lagu pop.” “Raisa?” “Bukan. Maudy Ayunda.” “Coba mainkan untukku.” “Sekarang??” “Iya, sekarang.” Ia nyengir dan menjanjikan kapan-kapan saja Maudy Ayunda-nya. Sejenak ku berpikir tentang penyanyi muda itu. Sepertinya aku pernah menghafal salah satu lagu hits miliknya. Mencoba menyanyikan bagian reffrain-nya dan mengulanginya sebanyak dua kali. Dan aku tersadar bahwa semuanya kini terasa hening dan Doni memperhatikanku bernyanyi sejak tadi. Oh, Tuhan. “Aku tak tau kamu punya suara emas,” pujinya. “Bukan. Hanya suara penyanyi kamar mandi,” jawabku. Kita berdua harus berduet, ajaknya kemudian yang aku iyakan saja. Seketika itu pula mobil memelankan lajunya dan akhirnya benar-benar berhenti. Kami berdua tersadar telah sampai di lokasi dan memutuskan untuk turun, tak lupa sepeda kayuh Doni giring turun juga. Sang pengemudi, seorang lelaki paruh baya dengan kumis tipis menjelaskan bahwa kami hanya punya dua jam sebelum lokasi wisata ini tutup. Setelah mengucapkan terimakasih pada bapak pengemudi baik hati itu, kami bergegas untuk masuk setelah sebelumnya menitipkan sepeda kayuh pada tukang parkir di depan lokasi dan membayar tiket. Kami menuruni sebuah lereng bukit dengan melewati satu-persatu anak tangga. Penerangan jalan benar-benar membantu kami melewati ini. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang yang kembali untuk pulang, saat itu aku sadar bahwa kami berdua masih mengenakan seragam sekolah. Setelah itu kami menemukan sebuah sungai kecil dengan kerikil-kerikil yang hampir tak terlihat. Lalu kami naik ke atas menaiki tangga menuju tempat yang disebut Bulu View. Beberapa orang terlihat mengerumuni warung-warung kecil yang berjejeran, sebagian bercengkerama di dekat pagar hitam yang kelihatannya merupakan pengaman bagi pengunjung agar tidak terperosok ke bawah, lagipula ada tulisan “Dilarang Melewati Pagar” di sana. Doni mengajakku mendekat ke pagar. Ada sebuah bangku panjang dari besi bercat hitam, dan ia mengajakku duduk di situ. Tak ada pemandangan alam yang bisa disaksikan karena malam, hanya ada suara gemericik air mengalir yang terus menerus menggema dari sungai kecil yang kami lewati tadi, juga sayup-sayup terdengar suara-suara obrolan manusia dan seseorang yang sedang menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dengan sebuah gitar buluk. “Sayang sekali sudah malam, harusnya kita dimanjakan oleh pem..” Ucapan Doni terputus ketika kami berdua dikejutkan oleh suara tembakan. Ternyata sekelompok pemuda menerbangkan kembang api ke udara. Kembang api itu meledak kembali di udara dan memecah menjadi puluhan percikan api yang melompat kesegala penjuru, lalu kemudian menghilang ditelan angin malam. Ledakan pertama disambut ledakan kedua dan seterusnya hingga semua kembang api telah ditembakkan ke langit. Langit pun selama beberapa saat dihiasi oleh indahnya warna-warni kembang api yang istimewa. Perasaanku kemudian menjadi hangat, mataku berbinar-binar dan senyumku merekah memandangi kembang api di langit. “Kau mau lihat lagi?” Aku mengangguk. “Aku akan ke sana untuk membelinya.” Ternyata ada kelompok yang memang khusus menyalakan kembang api di sana (“Sudah kebijakannya warga di sini,” kata mereka). Doni hanya membeli kembang apinya lalu mereka yang akan menyalakannya. Dan ternyata tidak Doni saja yang tertarik, namun seluruh pengunjung pada saat itu membelinya serentak. Tak ayal puluhan kembang api menghiasi langit malam silih berganti selama setengah jam. Aku tiba-tiba bertanya-tanya, kapan terakhir aku melihat kembang api di langit terbuka seperti ini. Sepertinya hanya hari-hari istimewa aku melihat kembang api dinyalakan, tetapi apakah hari ini hari yang istimewa? Adakah alasan untuk menyebut hari ini hari istimewa? “Apa alasanmu sebenarnya membawaku kemari, Don?” tanyaku tiba-tiba. Doni terdiam sebentar sebelum mengejutkanku dengan jawabannya. “Aku akan pindah besok,” aku menoleh padanya. “Bersama orang tuaku. Ke pulau Kalimantan.” Baiklah, kau akan pergi ke Kalimantan. “Kau tau, seringkali orang yang berpindah tempat tinggal gampang sekali dilupakan,” Doni menunduk memperhatikan sepatu hitam yang dikenakannya, atau mungkin tanah berembun yang dipijaknya. “Beberapa waktu yang lalu temanku pindah ke luar kota, dan sekarang aku sulit sekali mengingatnya.” Aku terus menatapnya. “Barangkali jika aku membawamu ke sini, kau mungkin bisa..” Kau ingin aku mengingatmu. Doni tak meneruskan kalimatnya. “Kau tau, karena kita tinggal bertetangga, sebenarnya sejak kecil aku selalu.. mengagumimu.” Aku menunduk malu. “Tapi sekarang..” “Kau sudah punya kekasih kan, anak kelas tiga.” ucap Doni. “Kau sudah tahu ternyata..” “Yah. Aku sering melihat kalian berdua.” Apakah aku terkejut bahwa Doni sejak lama menyukaiku? Sangat. Ia pernah mematahkan hatiku saat aku tau seorang kakak kelas yang rupawan, idola satu sekolah waktu itu menjadi kekasihnya. Beberapa saat aku melihat mereka berjalan berdua, namun itu hanya beberapa saat sebelum satu sekolah kembali dikejutkan oleh kekasih baru kakak-kelas-yang-rupawan itu yang ternyata bukanlah Doni lagi. Aku berencana melupakan Doni dengan segala luka yang tak sengaja ia goreskan cukup dalam di hatiku. Saat itulah seorang kakak kelas rupawan, salah satu mantan dari kakak kelas rupawan yang tadi aku ceritakan, kapten tim basket sekolah, ketua Rohis, sering menjadi imam di masjid, dan berderet-deret hal kepemimpinan yang lain lekat dengannya. Ia mendekatiku dan memberikan semua kebahagiaan sebagai seorang kekasih. “Ayo pulang,” ajakku pada Doni. (5) Di dalam bis antar kota dalam provinsi, kami berdua duduk sedikit berjauhan sebelum ditegur oleh kernet bis yang meminta kami duduk bersebelahan karena bis akan mulai penuh sebelum memasuki kota Jombang. Suara Via Vallen mengalun dari pengeras suara menemani pembicaraan kami berdua. “Kau sudah tahu apa yang akan kau katakan pada orang rumah?” tanya Doni. “Aku sudah bilang bahwa ada teman yang kecelakaan saat sekolah, dan aku sedang menemaninya.” “Cerdas sekali. Padahal aku tidak mengalami kecelakaan apapun.” “Jam berapa kau akan berangkat besok?” tanyaku. “Sekitar jam 10 siang kira-kira. Kau tidak perlu datang kok.” “Oh. Baiklah.” Meskipun aku tak khawatir dengan apa yang akan aku jelaskan kepada orang tuaku tentang hari ini, kami berdua tak tidur rumah malam itu. (6) Pengakuan: aku dan Doni diciduk Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat perjalanan pulang. Ini terjadi setelah kami sampai di jantung kota Jombang. Setelah kami berdua turun dari bis antar kota dalam provinsi, kami berdua menyusuri jalanan menuju ke arah stadion tanpa tahu bahwa ada bentrok antara aparat Satpol PP dengan pedagang kaki lima menghadang kami di depan. Asal kau tahu, lingkungan stadion di pulau Jawa selalu dipenuhi dengan pedagang kaki lima. Aku akan menggambarkan keadaan pada malam itu. Jalanan sepi dari kendaraan bermotor, namun ramai dengan orang-orang yang tumpah ruah ke jalan sibuk melempari batu ke arah pagar betis polisi anti huru-hara. Batu-batu berbagai ukuran berserakan di tengah jalan, truk-truk polisi berjejeran parkir. Di pihak massa, sekumpulan lelaki separuh sebaya dan bertelanjang dada menghadang para polisi dengan berucap kata-kata kasar dengan fasih berkali-kali. Ada yang kelihatan membawa sebuah pedang samurai, namun beberapa ada yang membawa balok kayu dan melempari polisi dengan batu. Lalu yang paling mencolok adalah sekumpulan massa dengan berkostum hitam dengan tudung jaket hitam menutupi kepala dan bandana hitam menutupi wajah, namun ada beberapa orang yang memakai topeng tokoh V dalam film V for Vendetta. Mereka berdekatan satu sama lain sehingga tampak mencolok dari massa yang lain, massa barisan depan membawa sebuah spanduk besar bertuliskan jargon anti-kapitalisme yang hampir menutupi tubuh mereka. Beberapa dari mereka membawa balok kayu dengan bendera hitam di atasnya, suatu kali ketika sekumpulan polisi mendekati dan berusaha membubarkan mereka, balok kayu itu dipakai untuk membalas pukulan-pukulan dari tongkat besi polisi. Massa-berpakaian-hitam inilah yang paling merepotkan polisi anti huru-hara. Itu karena selain mereka melempari polisi dengan batu, mereka juga melempari polisi dengan kembang api, mercon atau beberapa peledak dengan daya kecil berkali-kali. Hal ini membuatku tak bisa membedakan antara kerusuhan dengan perayaan tahun baru. Pihak aparat negara sendiri terdiri berbagai unsur. Pihak Satpol PP yang gagal mengusir pedagang kaki lima berada di barisan paling belakang. Satpol PP sendiri berjumlah kecil dengan polisi anti huru-hara yang didatangkan kemudian. Tiga truk polisi berisi satuan polisi anti huru-hara datang dan bersiap-siap dengan peralatan mereka masing-masing. Pelontar gas air mata, senjata api dengan peluru karet, helm polisi, tameng polisi, pelindung lutut dan kaki, serta rompi anti peluru. Karena terlalu asyik mengamati pertempuran jalanan itu, aku dan juga Doni tak tahu bahwa Satpol PP yang tampak menganggur sedari tadi menyisir daerah tempat aku dan Doni memperhatikan bentrokan. Kami berdua diinterograsi sebentar dengan wajah kebingungan, lalu diangkut ke mobil Satpol PP dan dibawa ke kantor mereka. (7) Apa yang terjadi di kantor Satuan Polisi Pamong Praja sesungguhnya tidak begitu mengkhawatirkan. Aku dan Doni, kami berdua sama-sama lelah karena seharian beraktivitas di tengah terik siang hari. Doni yang terlihat lelah (ia telah menghabiskan energinya dengan mengayuh sepeda dan memboncengku, tentu saja) dan menahan kantuk berat bahkan hampir tak peduli bahwa ia berada di kursi pesakitan Satpol PP, bahkan ia sempat tertidur di mobil saat perjalanan kemari. Aku pun sama saja. Pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan oleh petugas yang mendata kami berdua harus diulang beberapa kali karena aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan akibat menahan kantuk. Petugas yang meladeni kami pun sama-sama tak pedulinya. Seorang bapak separuh baya dengan kepala pelontos dan badan tambun. Ia terlihat ogah-ogahan mencatat jawaban-jawaban dari kami berdua sejak awal. Entah karena mengantuk, kelelahan karena harus bentrok selama berjam-jam sejak sore, aku tak bisa menduganya. Lagipula aku juga tak peduli. Seteah pendataan, kami sebenarnya diperbolehkan pulang namun harus dijemput oleh orang tua. Aku terpaksa menelepon rumah, ibu yang mengangkatnya. Setelah berusaha tetap terjaga dengan mendengarkan suara keras yang berasal dari kemarahan ibu, aku menutup telepon kantor yang dipinjamkan petugas. Sebelum bapak-berkepala-pelontos-berbadan-tambun meninggalkan kami berdua, ia sempat berceletuk: “Kalau mau membolos, usahakan jangan memakai seragam sekolah.” Malam semakin larut. Ketika aku meliriknya, jam menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana kantor Satpol PP sangat sepi, karena aku bisa mendengar suara acara televisi dengan sangat jelas. Kami berdua dititipkan kepada petugas piket jaga malam itu. Ruang piket jaga cukup lengang, Doni bahkan sudah menemukan tempat berbaring dan tertidur pulas setelahnya. Aku cukup duduk di sebuah kursi dengan kepala bersender pada sebuah dinding, memandang kosong jalanan menanti ayahku datang. Acara televisi menampilkan film horror Susana. Entah berapa kali film itu ditayangkan kembali, namun orang-orang sepertinya tidak menampakkan tanda-tanda kebosanan untuk melihat sosok Susana dalam layar kaca. Suaranya yang khas dan tatapannya yang menusuk, dia memang tak tergantikan. Layar televisinya padahal cukup kecil, namun bapak petugas piket jaga terlihat sangat khusyuk menontonnya. Aku sibuk mengusir nyamuk-nyamuk yang mencoba menghisap darah perempuan ini, namun sepertinya sia-sia belaka. Tiba-tiba aku jadi ingin membasuh muka. Bapak petugas piket jaga berbaik hati dan rela terganggu acara menontonnya untuk mengarahkanku letak kamar kecil kantor setelah aku bertanya padanya. “Lurus aja, mbak. Ada lemari hitam, di sebelahnya.” Tak lupa aku mengucapkan terima kasih sebelum aku melangkah sesuai arahannya. Tidak terlalu sulit menemukannya, ada sebuah lemari hitam berbahan besi berada tepat di sebelah lorong masuk kamar kecil. Aku berdiri menatap cermin yang cukup besar menempel di dinding. Sedikit terkejut melihat tampilanku yang begitu kusut namun aku cukup bisa menjaga kesadaranku. Sempat-sempatnya aku teringat Chairil Anwar, si pujangga. Ini muka penuh luka, siapa punya? Teman-temanku dalam seminggu terakhir asyik mempelajari puisi Chairil Anwar berjudul Selamat Tinggal. Ini tak diayal akibat salah seorang musisi indie favorit kami mengunggah rekaman terbarunya di kanal platform musik gratis miliknya, menggubah puisi si pujangga menjadi lagu favorit baru bagi kami semua. Akhirnya kami menyetelnya berulang-ulang hingga hafal di luar kepala. Aku memutar kran pada wastafel dan air segera mengalir terkumpul di kedua telapak tanganku. Genangan air itu langsung saja kubasuhkan ke wajah. Aku mengulangi kegiatan itu berulang kali hingga aku merasa cukup untuk membuatku terjaga sampai ke rumah. Setelah itu aku menutup kran lalu merapikan penampilanku seperlunya dan keluar dari kamar kecil. Ayah ternyata datang sendirian. Ia kemudian menjelaskan padaku bahwa ia melarang ibu untuk ikut karena cuaca malam tidak baik untuk kesehatannya. Aku sedikit bersyukur mendengarnya sekaligus bergidik membayangkan apa yang akan terjadi sesudah tiba di rumah. Ayah ternyata tau kekhawatiranku, ia berusaha menenangkanku dengan mengatakan semuanya-baik-baik-saja-tidak-perlu-ada-yang-dikhawatirkan-ayah-tidak-marah-padamu berulang kali kepadaku. Mau tidak mau, ayah harus mengantarkan Doni pula, karena orang tua Doni sudah berada di Kalimantan. Doni kini menjawab bercakap-cakap dengan ayahku dengan sikap sigap dan jelas, seolah-olah kesadarannya dan staminanya tidak hilang sama sekali. Aku duduk di kursi depan, di samping ayah yang berada di belakang kemudi, sedangkan Doni berada di kursi belakang. Posisi ini membuat aku tak bisa menatap wajah Doni dan segan pada ayah untuk mengajak Doni bercakap-cakap. Namun akhirnya aku bisa mengendalikan keadaan dan bertanya padanya. “Don, kau jadi berangkat besok siang?” “Antara iya dan tidak sebenarnya,” jawabnya ragu. “Aku lebih ingin istirahat total besok.” Lalu ayah bertanya pukul berapa Doni berangkat, dan Doni menjawab persis dengan yang ia sampaikan padaku. “Apa tiketmu tidak hangus?” “Hanya tiket keretaku yang hangus, karena aku belum membeli tiket kapal.” Percakapan kemudian diisi dengan hal-hal teknis mengenai dunia per-kereta-api-an di Indonesia. Ayah juga sempat bercerita pengalamannya memakai transportasi umum seperti kereta api dan kapal. “Rencanamu berangkat kapan, Don?” tanyaku. “Belum tahu,” jawabnya. “Tapi aku akan memberitahumu bila aku berangkat.” (8) Ketika masuk sekolah, adalah Indah yang pertama kali memberondongku dengan pertanyaan tentang kegiatan membolosku. Ia satu-satunya temanku yang mengetahuiku membolos bersama Doni. Ia sempat merengek-rengek untuk ikut membolos, namun aku melarangnya. Sepertinya Indah memutuskan membalas laranganku sebelumnya dengan meminta ceritaku dengan sedetil-detilnya, tentunya aku meladeninya ketika kami berdua sedang berdua saja. Aku menceritakan semuanya pada Indah, tentang pencurian sepeda, tentang kepindahan Doni yang mendadak, juga tentang kerusuhan dan kantor Satpol PP. Ia khusyuk menyimak seperti mendengarkan seorang nabi yang sedang menyampaikan wahyu, atau mungkin gaya berceritaku yang sungguh nikmat untuk didengarkan. Aku sebenarnya masih lelah dan mengantuk berat. Meladeni Indah pun dengan konsentrasi yang rendah, banyak omonganku yang tak nyambung. Namun terpaksa aku meladeninya, karena bila tidak, ia akan menuntutku seterusnya. Ngomong-ngomog, aku tidak menemukan Doni di sekolah selama tiga hari selanjutnya. Seluruh teman-temannya yang aku kenal tidak melihatnya dimanapun. Bagaimana bisa seorang Doni bisa menghilang tanpa memberi kabar pada teman-temannya? Ini aneh. Tapi mungkinkah Doni yang kukenal masa kecil bukanlah Doni yang sekarang yang seringkali menutup dirinya? Rumahnya pun tertutup rapat dan kelihatan sangat sepi. Aku dengar dari ibu bahwa rumah itu akan dijual oleh ibunya Doni. Ternyata ibunya Doni sempat berpamitan dengan ibuku, beliau bilang bahwa beliau akan menyusul suami barunya yang masih berdinas di pulau Kalimantan. Entah kemana Doni pergi. Jika dia sudah menyusul ibunya, untuk apa dia berjanji padaku akan memberitahuku kapan ia akan berangkat? Indah adalah satu-satunya temanku yang paling kupercaya. Sudah dua tahun ini kami mengenal, saling bercerita dan berbagi suka dan duka sebagai orang remaja. Tentunya tak ada hal yang dapat kututup-tutupi darinya, ia selalu bisa mendapatiku ketika berbohong padanya. “Cha, kau jelas ada perasaan dengan si Doni ini kan?” tuduh Indah tiba-tiba. “Tidak mungkin,” jawabku menampik. “Aku sudah punya kekasih, Indah.” “Nah, itu maksudku. Kau berlaku tak adil pada Arman,” tuduh Indah kembali. “Kau tak bisa membohongiku, Icha.” “Sebenarnya, aku bertengkar dengan dia,” akuku pada Indah. Pertengkaran aku dan Arman terjadi di sekolah. Kalau bisa dibilang, ini pertengkaran pertama kami berdua sebagai kekasih. Sekembalinya aku dari interograsi Indah, tak sengaja aku bertemu Arman. Ia ternyata sejak jam istirahat mencariku. Kami berdua berbicara di sudut sekolah. Arman tau bahwa aku membolos bersama Doni di hari sebelumnya, dan waktu itu aku terlalu mengantuk sehingga aku malah balik marah kepada Arman. Kami berdua pun tak bisa mengontrol emosi kami yang meledak. “Aku tau kamu pergi sama Doni kemarin, Cha,” ujar Arman. “Jelaskan kepadaku.” “Nggak ada yang perlu dijelasin,” jawabku datar. “Kita berdua nggak ada hubungan apa-apa.” “Apanya yang gak ada?! Jangan bohong kamu, Cha,” nada bicara Arman meninggi. “Kamu jangan teriak-teriak gitu dong,” jawabku ketus. “Aku berhak marah dong sama kamu,” ia tak mau kalah. “Pembicaraan ini selesai. Aku kecewa sama kamu.” Aku berbalik pergi meninggalkan Arman yang masih tak percaya dengan perlakuanku. “Eh, Cha. Kamu mau kemana??” Dan ia terus memanggil namaku berulang kali, namun aku tak bergeming dan berjalan lurus ke depan. (9) Di hari keempat sejak ‘hilang’nya Doni, Teguh, salah satu teman Doni yang paling dekat dengannya sejak kecil menemuiku di sekolah. Ia mendatangi kelasku saat jam istirahat pertama. Ternyata Teguh membawa kabar dari sahabatnya itu. Awalnya ia bertanya, apa Doni sudah menemuiku, namun aku menggeleng. “Karena sedari kemarin kamu mencari-cari Doni, aku kayaknya harus mengakui sesuatu denganmu,” terang Teguh. “Tadi malam aku bertemu dengannya, dan ia bilang akan berangkat ke Surabaya lewat kereta siang ini.” Sebelum aku menyahut, Indah sudah menimpali, “Dia berangkat pukul berapa, Guh??” “Kalau tidak salah, pukul sepuluh ini.” Aku dan Indah melirik jam dinding kelas. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Masih ada satu setengah jam sebelum kereta Doni mampir ke stasiun Jombang dan berangkat ke Surabaya. “Kamu masih bisa nyusul dia, Cha!” seru Indah menyemangatiku. Aku tidak menghiraukan ucapan Indah. Aku masih terkejut Doni tidak memberitahuku, padahal ia sudah berjanji padaku. Teguh pamit undur diri, tak lupa aku mengucapkan terimakasih padanya. “Kamu tunggu apalagi, Cha??” tanya Indah tak sabaran. “Aku malas berangkat, Indah,” timpalku. “Jangan gitu. Kamu mungkin enggak akan ketemu Doni lagi,” Indah masih merayuku. “Aku antar deh ke stasiun.” Maka dengan malas-malasan aku mengikutiku Indah ke tempat parkir untuk mengambil sepeda motor matiknya. “Eh. Kita keluar lewat mana??” tanyaku tiba-tiba. “Ya lewat depan dong, Cha,” jawab Indah enteng. “Kalau dicegat satpam gimana??” “Udah deh, beres. Serahin sama Indah.” Dan seperti dugaanku, satpam sekolah mencegat kami berdua. “Berhenti, berhenti,” cegat Pak Burhan, satpam sekolah. “Mau kemana, dek??” “Ada urusan keluarga, Pak Burhan,” jawab Indah. “Udah ijin sama kepala sekolah??” “Sudah pak. Sudah diijinkan,” jawab Indah bohong. Lalu Pak Burhan membuka gerbang jalan dan mempersilakan kami berdua melewatinya. “Jangan ngebut di jalan, Dek!” pesan Pak Burhan. (10) Dari kompleks sekolah kami, jarak yang ditempuh untuk mencapai Stasiun Jombang sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja kami terjebak macet. Indah pun terpaksa mengendarainya pelan-pelan meskipun seringkali sepeda motor matiknya tidak bisa berjalan keman-mana. Belakangan kami ketahui bahwa jalan-jalan utama ditutup oleh polres Jombang karena adanya unjuk rasa besar oleh serikat buruh sebagai solidaritas terhadap pedagang kaki lima yang akan digusur oleh pemerintah daerah yang kemarin sempat terlibat bentrok dengan polisi. Pukul setengan sepuluh kami berdua akhirnya tiba di depan Stasiun Jombang. Indah cepat-cepat menyuruhku masuk ke dalam, sedangkan ia mencari tempat untuk memarkir sepedanya. Aku pun berlari ke dalam ruang tunggu, lalu berhenti untuk mencari-cari sosok Doni di dalamnya, namun hasilnya nihil. Hatiku pun diliputi keresahan, khawatir takkan menemukan Doni di stasiun ini. Setelah Indah masuk ke dalam ruang tunggu, kami berdua memutuskan mencari bersama-sama di segala sudut. Dan dengan kedua mata Indah yang lebih awas, ia yang pertama kali menemukan sosok Doni. Doni ternyata sudah berada di dalam ruang tunggu kereta. “Cha, itu dia!” seru Indah. “Ayo kita hampiri!” Kami berdua pun berteriak memanggil Doni, namun yang bersangkutan tidak bergeming sama sekali. Aku pun mencari-cari akses masuk ruang tunggu kereta. Hanya ada satu akses masuk ke sana, dan dijaga oleh seorang satpam muda. Ketika aku mencoba masuk, satpam muda itu menghalangiku. “Kalau mau masuk harus tunjukkan tiket dulu,” terang satpam muda itu. “Wah kita bukan penumpang, Mas,” seruku. “Kita cuma mau ketemu sama dia,” timpal Indah sambil menunjuk Doni yang sedang duduk di kursi tunggu. Terlihat semakin jelas Doni memakai headset berwarna putih di telinganya. “Ya tetap enggak bisa, mba,” larang satpam muda. “Harus beli tiket dulu.” Aku pun berteriak-teriak memanggil nama Doni, dan satpam itu melarangku berteriak dengan hardikan cukup tegas. Semua orang yang mendengarnya melihat ke arah kami. “Mas, boleh bicara sebentar?” ujar Indah pada satpam muda itu. Satpam muda itu mengangguk dan mengikuti Indah. Mereka berdua terlibat percakapan yang tak terdengar olehku di sudut stasiun. Dan mereka berdua pun kembali. “Ya sudah, kalian berdua boleh masuk,” kata satpam muda itu. “Terimakasih, Mas!” sahut aku dan Indah berbarengan. Kami pun menghampiri Doni dan Doni terlihat terkejut tak percaya melihat kami berdua. Ia pun berdiri dan mendekat ke arah kami. “Icha?!” serunya tak percaya. “Doni,” timpalku dengan senyum yang penuh kelegaan. “Kamu kok enggak bilang....” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba Doni memelukku. Waktu seperti berhenti ketika ia mendekapku. Aku bisa merasakan tubuh Doni yang hangat dan debaran jantungku yang tiba-tiba menjadi cepat. Lalu tanpa ada perintah, tubuhku bergerak otomatis untuk membalas dekapannya. Tubuhku menarik tubuhnya lebih dekat. Mataku terpejam merasakan bulih-bulih air mata keluar semakin deras. Aku tak tau berapa lama ia mendekapku, rasanya ingin terus saja seperti ini selamanya. Ketika Doni akhirnya melepas dekapannya, tangisku pun pecah merajuknya untuk jangan pergi. Ia hanya diam saja melihatku dengan perasaan serba salah. Kereta yang ditunggu-tunggu telah datang. Gerbong-gerbong berbaris rapi di atas rel. Penumpang yang berniat turun di Jombang segera berdesakan keluar gerbong menuju jalan keluar stasiun. Lalu penumpang yang akan berangkat pun juga berdesak-desakan memasuki gerbong. Pengumuman dari pengeras suara semakin membuatku menyadari Doni harus masuk ke gerbong juga mengikuti yang lain karena kereta akan segera berangkat. “Don, kumohon, jangan pergi...” pintaku padanya. Ia hanya membalas permintaanku dengan tatapan aku-gak-bisa-gitu-cha. Kemudian wajah Doni seperti teringat sesuatu. Lalu ia merogoh saku belakang tas punggungnya dan mengeluarkan sebuah flashdisk kemudian memberikannya padaku. “Apa ini, Don?” kataku seraya menahan isak tangisku. “Kamu lihat pas di rumah aja,” jawabnya misterius. “Oke, aku harus berangkat nih, Cha. Jaga diri kamu baik-baik ya.” Ia pun memelukku sekali lagi, kali ini lebih singkat. Lalu menyalami Indah dan memasuki gerbong kereta. Ia masih berada di pintu gerbong untuk bisa melihatku dan melambaikan tangannya. Aku pun melambaikan tangannya. Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya. Aku pun ikut tersenyum dan melambaikan tangan lebih bersemangat lagi kepadanya. Klakson panjang kereta dibunyikan, lalu kereta pun perlahan-lahan bergerak ke arah utara membawa orang-orang pada harapan baru. (11) Saat perjalanan pulang, aku dan Indah memutuskan untuk kembali sekolah. Setelah aku memberitahu Indah tentang flashdisk yang diberikan oleh Doni kepadaku, Indah menyarankan untuk membukanya di lab komputer sekolah. Kami pun berhadapan dengan macet kembali, dan kali ini kami berdua melihat beberapa pecahan massa yang berunjuk rasa berkumpul-kumpul di pinggir sepanjang jalan yang kami lewati. Sesampainya di sekolah, kami bertemu kembali dengan Pak Burhan yang membukakan gerbang jalan dan menginterograsi kami sebentar sebelum Indah menjawab dengan jawaban bohong yang lebih masuk akal. Aku juga berusaha menutupi wajahku yang masih sembab karena isak tangis tadi. Setelah berhasil membohongi Pak Burhan kembali, Indah mengembalikan sepeda motor matiknya kembali di tempat parkir sekolah lalu kami berdua menuju ruang lab komputer. Sekolah cukup lengang karena seluruh siswa sedang berada di dalam kelas untuk menerima pelajaran. Kami berdua mengendap-ngendap melewati beberapa ruang kelas hingga akhirnya sampai di depan ruang lab. Cukup mudah memasuki ruang lab komputer karena pintunya yang tak terkunci. Ruangannya cukup gelap. Aku pun memilih-milih beberapa komputer untuk dipakai, dan akhirnya memilih sebuah komputer di depan yang biasa digunakan oleh para guru untuk mengajar. Beruntungnya tak ada sandi khusus untuk menjalankannya, jadi aku bisa leluasa menggunakannya dan tak lupa menancapkan flashdisk yang diberikan Doni di lubang USB untuk dibaca oleh komputer. Indah menarik sebuah kursi dari sudut ruang lab, menaruhnya persis di sebelah kursiku, duduk di atasnya dan memperhatikanku membuka sebuah berkas video yang berada di dalam flashdisk Doni. Lalu sebuah pemutar video terbuka dan menampilkan video berdurasi sepuluh menit. Di dalam video itu terlihat Doni sedang duduk di sebuah ruangan, kemungkinan besar ruangan itu adalah kamarnya. Ia membawa sebuah gitar dan mulai berbicara di depan kamera. “Halo, Cha. Pertama, aku mau ucapkan terimakasih karena kamu sudah mau menemaniku seharian kemarin. Dan yang kedua,”—Doni mendehem—“kamu ingat kan waktu itu kamu memintaku untuk bermain gitar? Nah kali ini aku akan bermain buat kamu.” “Ciyeee,” seru Indah tiba-tiba yang aku balas dengan tatapan apaan-sih-kau. Kemudian Doni memainkan gitarnya. Gitar akustik bersenar nilon seperti yang sering dipakai oleh pemain-pemain gitar klasik. Ia memetiknya satu persatu menciptakan harmoni bunyi yang indah. Memainkannya pun dengan mengikuti sebuah irama suasana yang teratur dan berganti-ganti, kadang seperti diperlambat lalu iramanya dipercepat tiba-tiba. “Ini lagunya siapa, Cha? Sepertinya pernah dengar,” tanya Indah pelan. “Maudy Ayunda,” jawabku pelan, tak mau terganggu fokus mendengarkan bebunyian yang dimainkan Doni. Doni memainkan Perahu Kertas yang dinyanyikan oleh Maudy Ayunda lengkap tanpa vokal, namun suasana yang dihasilkan tak kalah jauh dengan aransemen aslinya bahkan berhasil membuat hatiku tentram mendengarnya. Aku pun memutuskan untuk memutar kembali permainan gitar Doni hingga beberapa kali, tak menghiraukan godaan-godaan yang disampaikan Indah. Baru kusadari bahwa di menit setelah permainan gitar Doni berakhir, ternyata ia kembali berbicara lagi di dalam video itu. Aku pun memutuskan untuk fokus mendengarkannya. “Oh iya, Cha. Ada yang lupa aku sampaikan,”—Doni berdehem kembali—“sebenarnya kemungkinan besar aku akan kembali ke pulau Jawa lagi setelah lulus SMA. Jadi..”—ada jeda sebelum Doni melanjutkan kalimatnya—“maukah kamu berkenan untuk menungguku saat itu datang? Bila iya, hubungi aku ya Cha.” Lalu video itu pun berakhir. Aku diam tak percaya dengan pesan yang disampaikan oleh Doni. Perasaan campur aduk antara terkejut, lega dan bahagia menjadi satu. Tiba-tiba saja Indah memelukku dan aku membalas pelukannya. Tentu saja, aku akan menunggumu.*** Description: "Just for today, how about we forget about tomorrow, and go somewhere?" (Shinichiro Watanabe). Suatu hari, teman masa kecil Icha yang sudah lama tak bertegur sapa, mengajaknya untuk membolos sekolah. Selain hal-hal yang mereka temui selama perjalanan hari itu, ada pesan yang mengejutkan yang disampaikan oleh Doni kepada Icha secara pribadi.
Title: Warisan Ilmu leluhur Category: Misteri Text: Ch 01. Penampakan. Aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana dari pedesaan, sejak masa kanak kanak Aku sudah hidup terpisah dari orang tua yang merantau di ibu kota, tinggal bersama nenek, sepupu dan adik Ku. Sejak kecil dan yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), Aku sering melihat sosok hantu atau sosok kasat mata, entah itu secara kebetulan atau memang tidak kebetulan. Waktu itu Aku dan nenek beserta sepupu dan adik Ku di minta untuk sementara waktu tinggal dan tidur di rumah paman, rumah paman yang cukup besar dan berada di halaman musholah di kampungnya. Pada malam itu masih terdengar dengar suara anak anak bermain, Aku lalu melihat jam dinding dan waktu menunjukan pukul 21:05, Aku pun keluar rumah untuk bermain. Tetapi suasana halaman mushola dan rumah (satu lahan) sepi tidak ada anak anak yang bermain, Aku lalu pergi ke luar pagar halaman rumah dan menengok kanan dan menengok ke kiri tetapi tidak ada anak anak yang bermain. " mungkin teman teman sudah pada pergi." Aku pun berbalik arah dan ingin kembali ke pulang ke rumah untuk kembali tidur dan melihat acara tv dan tidur kembali. Namun tanpa Aku sadari, mata ini melihat sendiri tanpa kendali, dari kejauhan Aku melihat sesuatu dan Aku pun memperhatikan dengan baik dan cermat. " Apa itu." terus saja Aku memperhatikannya tanpa mengedipkan mata Ku. Lama kelamaa memperhatikan, sesuatu yang samar berubah seperti tanduk rusa hitam berjalan dan terdengar suara " dug dug dug." suara yang pelan namun berat terdengar seperti suara monster yang berjalan di acara tv anak anak saat itu. " Astagfirullah, apa itu see..see..seetaaan." Lidah yang kaku dan tidak mampu berucap kata kata dan berteriak, kaki dan tangan tak bisa di gerakan dengan rasa ketakutan yang sangat dalam. Aku melihat nenek dan paman sedang berbicara berdua, ingin Aku teriak tapi lidah seperti kaku dan terkunci, kaki dan tangan menjadi kaku seperti tidak berdaya lemas dan lemah. Sekuat Tenaga Aku gerakan kaki dan tangan untuk bisa berlari masuk ke dalam rumah namun tidak bisa. " Astagfirullah..ya Allah..ya Allah." sebuah latunan ayat ayat suci Aku ucapkan, untuk bisa terlepas dari keadaan yang membuat Aku sangat ketakutan. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa melepaskan diri dari rasa ketakutan dan langsung saja masuk ke dalam rumah, melewati nenek dan paman yang sedang bincang bincang di teras rumah sambil berteriak. " Setaaaaaannn...!!!" Aku pun langsung mengambil selimut dan bantal, dan langsung tidur di samping adikku seperti mengumpat dalam ketakutan yang sangat. " Ternyata bukan di film saja, ternyata benar bila melihat hantu semua sekujur tubuh kaku tidak bisa di gerakan." keluh Ku yang dalam ketakutan. Bukan hanya itu saja, ketika Aku tertidur dan bermimpi, sosok itu hadir dengan wujud yang sangat menyeramkan dan mengejar ngejar Ku, Aku pun lari sangat kencang dan masuk ke dalam kabut yang sangat tebal mengisi setiap ruangan. Aku kebingungan dan kehilangan arah di dalam kabut tebal yang mengelilingi Ku, tiba tiba Ku melihat sebuah istana yang sangat megah dan indah, istana yang muncul dari tanah dan perlahan lahan kabut tebal pun mulai hilang bersamaan dengan munculnya istana. " Sebuah istana !!!" bertanya tanya dengan ke heran heranan pada diri Ku sendiri. Aku pun tiba tiba berjalan menghampiri istana, berjalan seperti ada yang menuntun dan terhipnotis melangkah menuju istana. Ketika sampai di pintu gerbang yang sangat besar, tiba tiba dia di tahan oleh dua penjaga yang sangat seram dengan pedang besar dan perisainya. " Tunggu." tanya penjaga itu. " Siapa kamu dan apa keperluan kamu." Tentu saja membuat Ku kebingungan atas pertanyaan pertanyaan itu. " Aku tidak mengerti, Aku di kejar oleh sosok hitam yang menyeramkan, hingga saya sampai ketempat ini." jawab Ku kepada penjaga tersebut. Tiba tiba terdengar suara seperti dari langit yang sangat berwibawa hingga membuat merinding dan bergetar isi langit dan bumi. " Biarkan dia masuk ke dalam istana." suara dari langit yang berwibawa itu." Iya putri ratu." jawab sang penjaga itu. " Putri ratu, siapa dia?" Aku pun bertanya tanya kepada diri Ku sendiri. Lagi lagi seperti ada yang menuntun, Aku pun berjalan masuk ke dalam istana itu, sebuah istana yang sangat megah dengan hiasan emas di dindingnya, dan mempunyai pengawal di setiap sudut istana tersebut. Tanpa di kenalnya datang sosok seorang pria tua dan berjanggut putih memakai pakaian panjang seperti wali wali di film walisongo. " Ikuti saya di belakang." sahut sosok misterius pria tua berjanggut putih. Aku melangkah tanpa bisa bertanya tanya bagai kerbau yang di ikat hidungnya, hingga nuruti apa yang di katakan oleh sosok misterius pria tua berjanggut putih tersebut. " Begitu indah istana ini, baru kali ini Aku melihatnya sebuah istana yang megah." sembari mengikuti langkah sosok misterius sosok pria tua berjanggut putih tersebut kemana pun dia pergi. Lalu sosok misterius pria berjanggut putih mengatakan. " Dialah Ratu penguasa istana ini, Ratu sekaligus seorang Raja." kata sosok misterius itu. Aku hanya bisa mengaguk ngaguk tanpa kata kata yang keluar dari lisan dan bibir, seperti terhipnotis kemanapun sosok misterius itu pergi, Aku mengikuti dari belakang tanpa bisa menanyakan sesuatu. Sosok misterius itu lalu membawa Aku keatas terbang di langit dengan menariknya tangan kirinya. " Pegang erat tanganku anak muda." kata pria misterius dengan sangat berwibawa. Aku hanya mengaguknya dan cepat cepat meraih tangan pria misterius tersebut dengan eratnya, Aku ketakutan dan memegang tangan pria misterius tersebut dengan sangat kuat seakan akan takut terjatuh ke bawah. Ketika melihat lihat pemandangan dari ketinggian, tiba tiba saja tangan Ku di lepaskan begitu saja hingga membuat Aku sangat kaget dan teriak histeris. " Tolooong...!!!" Berteriak dengan kerasnya dan histeris jatuh dari ketinggian melayang di udara, membuat Ku bingung harus berbuat apa dan bagaimana yang akhirnya hanya ada rasa ikhlas dan pasrah. " Kalau Aku memang harus mati di sini pada hari ini saya ikhlas." sambil memejamkan mata. Akhirnya terjatuhlah pada daratan " braaakkkk." matanya pun terbuka dan terjatuh dari ranjang. " Ternyata hanya mimpi." ketika mengetahui hanya mimpi, Aku pun lalu bangun dari tempat tidur dan merenungnya kembali dengan bersandar bantal. " Mimpinya seperti nyata, yang sangat membuat Aku penasaran tentang mimpi yang barusan terjadi?" Tiba tiba terdengar teriakan suara. " Satrio...Satrio cepat kamu sarapan dan pergi ke sekolah." Bergegaslah Aku terbangun dari tempat tidur untuk mandi dan langsung menuju tempat makan, di meja makan sudah menunggu nenek, paman, sepupu dan adik. Di sela makan Aku menceritakan kejadian semalam kepada nenek dan paman, namun paman justru menertawakannya. " Satrio tidak ada hantu, Kamu terlalu banyak melihat acara tv hingga berhulusinasi dan itu hanyalah bunga tidur." kata paman. Aku pun hanya terdiam dan malu, lalu melanjutkan sarapan pagi dan berangkat sekolah bersama teman teman. Ch 02. Wanita bergaun putih. Waktu terus berjalan sejak kejadian di malam itu, kejadian yang sangat aneh dan sulit terlupakan dan hanya meninggalkan sebuah rasa penasaran yang tinggi di dalam hati. Suatu malam Aku yang masih usia kanak kanak, bermain dengan teman teman di halaman rumah haji nasir. ketika itu sedang bermusim bermain genggong, atau sejenis jangkrik yang sedikit besar dari jangkrik biasa dengan ciri khasnya ada garis kuning pada lehernya. Aku dan bersama teman teman, bermain jangkrik bersama dan saling mengadu jangkriknya satu sama lainnya. ada yang kalah dan ada yang menang, pemilik jangkrik yang menang akan tertawa bangga atas miliknya. namun sedih dan galau, untuk jangkriknya yang kalah di medan pertarungan. Salah satu dari teman celetuk dan bercerita. " Kata ibu aku, bunyi jangkrik genggong bila di malam jum'at nanti akan datang se'ekor ular besar." kata Arman bercerita. " Jangan bohong kamu Arman." balas Jahidi sambil menepuk pundak si Arman. Aku pun terdiam dengan berhalusianasi, se'ekor ular besar akan datang di saat jangkrik berbunyi di malam jum'at. rasa takut itu lama lama bermuculan di dalam benak Ku, terdiam dan membayangkan sesuatu yang menyeramkan sedang terjadi. " Bagaimana kalau itu benar?" Lalu Arman mengajak untuk pulang, karena malam yang sudah semakin larut dan suasan yang semakin gelap. " Ayo kita pulang, malam sudah semakin larut." ajak Arman. Aku dan teman teman, pulang ke rumah masing masing dan saling bercanda di perjalanan pulang ke rumah. " Tok Tok Tok." suara pintu di ketuk. " Assalamualaikum." sahut Ku, meminta di bukakan pintu. " Habis bermain dimana kamu Satrio?" tanya nenek yang sudah menunggu di rumah. " Bermain di halaman rumah haji Nasir nek." jawab Ku pada nenek. Setelah masuk rumah, dan ikut bersama sepupu dan janoko melihat acara tv. sambil tiduran melihat acara televisi dan menonton paling depan, bersandar bantal yang empuk membuat mata Ku mengantuk. Tak terasa mata pun terpejam, tiba tiba Aku di bangunkan oleh nenek. " Satrio ayo bangun tidur, jangan tidur di lantai nanti kamu bisa sakit." kata nenek membangunkan. " Iya nek." balas Ku, dengan mengucek ngucek mata karena masih mengantuk. Ketika sampai di tempat tidur, Aku lalu melihat kandang jangkrik milik sepupu yang di letakan di atas jendela samping ranjang tempat tidur. teringat perkataan si Arman, membuat Aku takut untuk tidur di ranjang dekat kandang jangkrik milik sepupu. " Nek, Aku tidur di sebelah sini saja ya." tanpa memberi alasan kepada nenek. " Iya udah cepat kamu tidur nanti bangun terlambat ke sekolah." kata nenek. Aku pun tidur di ranjang paling ujung yang menjauhi dari kandang jangkrik sepupu Ku, sesekali mata Ku melihat kandang jangkrik itu. dan berhayal tentang ular besar, yang akan datang menemui panggilan sang jangkrik. Hati gelisah tidak menentu, selalu saja mata tertuju pada kandang jangkrik itu. dan tidak bisa memejamkan mata untuk beberapa waktu, Aku lalu berusaha untuk memejamkan mata untuk bisa tidur. Entah dalam mimpi tidur atau tidak, atau tidak diantara keduanya antara tidur dan tidak tidak tidur. ketika Aku memalingkan wajah menghindari pandangan kandang jangkrik, tiba tiba terlihat sosok yang menyeramkan di samping Ku. " Ya ampuuun." teriak Ku dalam hati. sosok putih berambut panjang terurai dan dengan wajah pucat, sosok seorang wanita membawa sebuah kembang melati sangat harum tercium aroma dari bunga melati. " Sundal bolong." teriak Ku dalam hati. jantung berdebar sangat kencang dan kuat, sosoknya seperti pada film film suzanna pemeran sundel bolong. keringat bercucuran sangat deras ingin berteriak, lagi lagi lisan dan bibir seperti terkunci kembali. Sekujur tubuh kaku tidak bisa di gerakan dan lagi lagi hanya bisa melihat, mencoba membangunkan nenek dengan mencoba menggerakan kaki dengan sekuat tenaga. menggerakan tangan untuk membangunkan nenek, tapi nenek hanya mengipas ngipas dengan kipasnya yang selalu di pegangnya. Lalu Aku mencoba lagi untuk memejamkan mata tetapi tidak bisa terpejam, seakan akan selalu terbuka dan hanya bisa melihat sosok seorang wanita bergaun putih dengan rambut panjang terurai. Dalam hati Ku, selalu menyebut ayat ayat suci untuk mengusirnya. tetap saja sosok wanita sundal bolong itu tidak mau pergi, bingung bercampur ketakutan yang sangat ketakutan. sosok wanita itu lalu melihat ke arah Ku, dan menatapnya dengan tajam lalu membalikan tubuhnya dengan suara tawanya yang khas. " hiii...hiiii...hiii...hiii." " Sundel bolong!" Aku terkejut. Anehnya semua tidak ada yang mendengarnya, bahkan nenek Ku yang tidur persis di samping aku pun tidak mendengarnya. dan hanya aku yang mendengarnya suara tawanya, suara tawa yang sangat menyeramkan membuat bulu kudu berdiri dan merinding. Sosok putih wanita sundal bolong itu lama lama mendekati Ku, dan mendekat semakin dekat saja. ingin lari tapi tidak bisa dan ingin teriak pun tetap tidak bisa seperti terkunci, lama lama sosok putih sundal bolong itu ada tepat di hadapan wajah Ku dan sangat dekat seperti tatap wajah. Seperti masuk ke dalam raga, sosok wanita sundal bolong itu semakin dekat hingga terasa masuk ke dalam tubuh. tiba tiba saja mata Ku menjadi berat dan gelap seperti tertidur, Aku bermimpi di kejar batu kecil yang kemudian lama lama batu itu menjadi besar dan menggelinding ke arah Ku, Aku pun berlari sangat kencang untuk menghindari kejaran dari batu besar yang siap menggilas tubuh Ku. Sekian berlari cukup lama akhirnya Ku terjatuh dalam jurang yang dalam, dan batu besar itu ikut terjatuh dan menimpah tubuh Ku. terasa sangat berat terjatuh batu besar itu dan seiring jatuhnya batu besar itu yang menimpa Ku, tiba tiba Aku terbangun dari tidur kaget. dan sesa'at tubuh Ku tidak bisa di gerakan, orang jawa bilang terkena rep repan atau ketindihan setan atau jin. Hanya sesa'at tubuh Ku tidak bisa di gerakan, dan akhirnya bisa di gerakan lagi dan bangun dari tempat tidur. seperti tidak terjadi apa apa pada malam itu, Aku kemudian beranjak dari tempat tidur lalu pergi mandi dan sarapan pagi. Setelah pulang dari sekolah, Aku pun bermain bersama teman teman dan kejanggalan itu terjadi. dari setiap kata kata yang keluar dari mulut Ku, selalu keluar kata kata kotor dan membodohi orang lain hingga sering membuat orang lain marah. " Goblok kau arman." kata Ku yang tanpa di sadari. " Bicara apa kamu sat!" balas Arman dengan nada marah. Bukan hanya pada Arman saja, yang lebih gilanya pada orang dewasa kata kata " Goblok." selalu keluar dari mulut Ku, hingga sering terkena marah dan di tinggalkan teman teman. Aku teringat pada kejadian malam itu, dimana sosok wanita sundal bolong itu yang mendekati dengan sangat dekat hingga seperti tatap muka dan masuk ke dalam tubuh. " Apa ada kaitannya dengan mimpi semalam ya?" " Apa aku ini kerasukan sundel bolong?" Terdiam dalam lamunan penuh tanda tanya, hari pun sudah sore dan waktu maghrib sudah datang. Aku dan teman teman berangkat ke mushola, untuk menunaikan sholat maghrib berjamaah. Anehnya, ketika itu setelah sholat maghrib. ucapan Ku kembali normal, dan tidak pernah mengatai orang lain ataupun mengeluarkan kata kata " bodoh." kepada orang lain. Ch 03. Pria Tua Misterius. Sejak kejadian itu berlalu, hari demi hari dan tahun berganti tahun Aku pun beranjak besar dan telah lulus sekolah dasar (SD). Ayah Ku lalu pulang dari perantauannya, untuk mendaptarkan Aku di pendidikan lanjutan ke SMP ( sekolah menengah pertama ) ketika itu. " Satrio, Ayah dan Ibu ingin kamu masuk ke pesantren, seperti saudara yang lainnya?" kata Ayah suatu hari. Aku lalu terdiam, seperti tidak bisa menolak permintaan kedua orang dan hanya terdiam dan mengaguk saja, walau dalam hati ingin sekali menolaknya. Hari itu pun telah tiba, Aku di ajak ayah pergi dan melihat pesantren yang akan menjadi tempat Ku menimba ilmu agama. Dengan menggunakan sebuah sepeda motor Aku berbonceng dengan Ayah, Aku duduk di belakang Ayah dengan motor honda grand impressa, melewati persawahan dan perkebunan dan akhirnya pun sampai pada pondok pesantren di daerah jawa tengah. " Tok...Tok...Tok." suara Ayah mengentuk pintu. " Assalamualaikum wr.wb." Sahut Ayah Ku, mengentuk pintu rumah. " Krekkk...krekkk...krekkk." terdengar suara pintu terbuka. " Walaikumsallam wr.wb." jawab seseorang yang membuka pintu. Akhirnya ayah Ku dan seseorang yang membukakan pintu bersalaman. " Pak kyainya ada?" tanya ayah Ku. " Ada pak, silakan masuk dan duduk dulu." balas orang itu yang di kenal ustadz irfan. Lalu ayah dan Aku pun duduk menunggu duduk di sebuah kursi untuk menunggu sang kyai dari pesantren keluar. " Satrio kamu nanti di sini akan mondok untuk menimba ilmu agama, seperti saudara saudara kalian yang lainnya." kata ayah Ku. " iya pak." jawab Ku tidak semangat. Dan yang di tunggu tunggu pun akhirnya datang, pria tua dengan peci putih bersorban dan sangat berkharismatik dia lah kyai pimpinan pesantren yang akan satrio tempati untuk menimba ilmu agama. Kyai pun duduk di hadapan kamk, membuka sebungkus rokok dan mengambil sebatang rokok lalu membakarnya dan menghisapnya berulang ulang. Kemudian Ayah Ku memberikan dua bungkus rokok kepada kyai tersebut dan memulai perbincangannya, Aku hanya duduk mengagguk dan terdiam sembari mata melihat lihat pemandangan sekitar lingkungan pesantren tersebut. Setelah perbincangan antara Ayah Ku dan Kyai pesantren selesai, lalu kami pun pamit pulang untuk persiapan nanti. " Ayo Satrio, kita pulang." ajak ayah, Aku pun naik motor di belakang ayah dan memegang erat ayah. "Jangan lupa helmnya di pakai." kata ayah mengingatkan. " gleekk..gleekk..bem..bem." suara mesin motor ayah yang masih orsinil honda. Kami keluar perlahan lahan dari rumah pak kya menuju pintu gerbang pondok pesantren, dan menelusuri jalan perkampungan dan perkebunan yang masih sepi dan masih tanah belum beraspal seperti jalanan pada kota kota besar atau dess desa yang sudah maju lainnya. Setelah melewati perjalanan yang cukup jauh, akhirnya sampai juga di rumah Aku pun turun dari motor Ayah. " Ayah, Aku mau main dulu." teriak Ku. " Iya tapi jangan lama lama mainnya." jawab Ayah Ku. Lalu Aku pun pergi dan bermain bersama teman teman, seperti ingin menghabiskan waktu bermain mereka bersama teman teman yang akan Ku tinggal sebelum masuk ke pesantren, yang sudah tentu tidak bisa lagi bermain. " Satrio, kalian dari mana baru datang." Kata rohman, salah satu teman Ku. " Aku habis pulang dari pesantren, setelah lulus sekolah dasar ( SD ), orang tua Ku menyuruh masuk ke pesantren." jawab Ku. " oh semoga betah ya." sahut si Arman. " Ayo kita ke sawah." ajak Rohman. mereka pun pergi dan berlari lari ke persawahan untuk bermain bersama sama. Satrio dan Janoko pulang dulu karena mereka di panggil mereka melalui salah seorang teman mereka. " woiiii Satrio kamu di suruh pulang oleh ayah mu." teriak si wahid dengan lantangnya, Aku pun berlari pulang menuju rumah. " Satrio, cepat ikut ayah kita akan pergi ke tukang jahit." perintah ayah Ku." iya pak." jawab Ku. Aku cepat cepat naik motor dan berbonceng dengan ayah, motor pun melaju santai ke tukang jahit pakaian langganan ayah, setelah sampai dan mengukur ngukur pakaian yang akan di jahit. " Kamu mau model apa celananya." kata tukang jahit. " Mau model cutbray ya om." balas Ku. Setelah selesai pengukuran setelan seragam sekolah untuk nanti di pondok pesantren, kami pun pulang. Setelah sampai rumah, hari sudah mulai sore Aku dan Ayah pun kelelahan dari dua perjalanan yang cukup melelahkan itu, hari itu tidak seperti biasanya Satrio tidak bermain dan memilih untuk di dalam rumah saja. Hari menjelang malam dan semakin larut, Aku pun beranjak tidur lebih cepat. " Satrio ,ayo cepat tidur sudah malam." teriak Ayah. "Iya Ayah." jawab Ku. Aku pun langsung pergi dan masuk ke dalam kamar, membaringkan tubuh yang kelelahan di kasur empuk membuat nyaman sekali. "Kenapa harus masuk ke pesantren, kan masih ada sekolah madrasah." renungan Ku sebelum tidur. Mata sulit terpejam seperti tidak nyaman dalam tidur, lalu Aku terbangun dari tempat tidur dan keluar dari kamar untuk mengambil air minum, setelah meminum air putih lalu kembali lagi ke kamar dan berusaha untuk tidur kembali. Ketika mata terpejam dan antara sadar dan tidak sadar, tiba tiba datangah seorang kakek kakek berjubah putih di samping Ku, Aku sangat kaget dan bingung kenapa ada orang lain di dalam kamar Ku. "Satrio." kata sosok kakek berjubah putih tersebut, dengan mata tajam yang memandang ke arah Ku. Aku pun sempat Kebingungan bagaimana dia bisa mengetahui nama Ku dan dari mana sosok misterius itu mengetahuinya. " Bagaimana bisa tahu nama saya?" tanya Ku " Kamu jangan takut kepada saya." kata sosok misterius itu. " siapa kamu." sahut Ku. " Kamu tidak perlu tahu siapa aku, kelak kamu akan mengetahui siapa saya ketika sudah waktunya." balas sosok misterius itu. Belum sempat Aku menanyakan sesuatu, tiba tiba sosok misterius itu menghilang dalam sekejab seperti di telan bumi tanpa jejak, semakin penasaran dan kebingungan yang sangat tersimpan di dalam hati. " Kemana kakek itu pergi." desis Ku. " tok..tok..tok." suara pintu si ketuk. " Satrio Ayo bangun, hari sudah pagi." teriak ayah memanggil manggil dari luar kamar. Aku pun terbangun sambil mengucek ngucek mata," iya Ayah." jawab Ku dari dalam kamar. Sebelum bangun keluar kamar, Aku merapikan tempat tidur yang berantakan oleh Ku yang tidur tidak pernah anteng dan kemana kemana posisi tidurnya. Setelah selesai merapikan tempat tidur, Aku pun duduk di sisi ranjang tempat tidur Ku. " siapa sosok misterius itu, selalu datang dan pergi tiba tiba." renung Ku, di dalam kamar. Aku pun keluar kamar dan sarapan sudah di siapkan Ayah di atas meja makan. Ch 04. Permainan Malam Hari. Hari yang tidak di tunggu tunggu pun telah tiba, hari pertama masuk ke dalam lingkungan sebuah pesantren yang menjadi pilihan kedua orang tua Ku. Pagi pagi sekali Aku sudah membereskan pakaian pakaian yang akan di bawa, semua pakaian Aku masukan ke dalam koper dan sebagian di masukan ke dalam kardus kecil. Ayah Ku pun tidak ketinggalan sibuknya, Ayah pun pagi pagi sekali sudah menyiapkan berkas atau dokumen yang akan di gunakan untuk pendaptaran masuk ke pesantren, dan sekolah baru Ku. " Satrio, semua pakaian kamu jangan sampai ada yang tertinggal." Kata Ayah Ku, mengingatkan. " Iya Ayah." Ujar Ku dengan wajah sedikit murung. hati Ku, tidak ingin pergi ke pondok pesantren. dan ingin melanjutkan sekolah di kampungnya bersama teman temannya, tapi terpaksa seperti sebuah tradisi dalam keluarganya. " Kenapa harus di pesantren, padahal ingin di rumah saja sekolahnya." keluh Ku dalam hati. " Cepat Satrio nanti terlambat...!!!" teriak ayah dari luar, yang sudah menunggunya di atas sepeda motor honda grand impressa miliknya. " Iya ayah." jawab Ku, dengan wajah lusuh dan berjalan menuju ayahnya. Akhirnya Aku dan ayah berangkat pagi pagi sekali pukul 06:10, menelusuri jalan jalan perkampungan yang masih tanah dan belum beraspal seperti jalanan kota. Setelah melewati perjalanan yang cukup jauh, melewati jalanan perkampungan dan perkebunan, akhirnya mereka sampai juga di pintu gerbang pondok pesantren. ayah pun masuk dengan memperlambat laju sepeda motornya, menuju kantor sekertarian pondok pesantren. Sampai di depan kantor sekertariat pondok pesantren, ayah lalu turun dari motornya. dan masuk ke kantor sekertariat ponpes, dengan membawa map merah berisi dokumen yang akan nanti di butuhkan saat pendaptaran. Aku mengikuti ayah dari belakang. " Tok..tok..tok." " Assalamualaikum wr wb." ayah mengetuk pintu kantor sekertariat ponpes. " Walaikumsalamm wr wb." jawab seseorang di belakang pintu dan membukanya. Setelah ayah menyelesaikan administrasi, dan menyerahkan dokumen yang di butuhkan untuk pendaptaran. " Mari Nak ikut kakak ,kita menuju kamar kamu. dan menemui teman sekamar kamu." kata salah satu orang yang ada di dalam kantor sekertariat ponpes. Aku pun berpamitan sama ayah, mencium tangan ayah dan memeluk ayah. " Iya, Kak." jawab Ku, Aku pun kemudian mengikuti kakak yang berjalan keluar kantor dan menuju kamar asrama. " Ini kamar kamu, dan teman teman satu kamar kamu, nanti kamu bisa berkenalan dengan mereka." kata kakak tersebut, mengenalkan teman teman baru Ku. Lalu Aku, di tinggal kakak itu di dalam kamar bersama teman teman baru Ku. di dalam kamar sudah terdapat 4 santri, yang lebih dulu menepati kamar tersebut dan salah satunya senior Wahid. " Ayo masuk satrio, Saya Wahid." Wahid mengenalkan dirinya dan di lanjut santri lainnya Jono, Sidik dan Sapto. Setelah saling mengenalkan diri masing masing, lalu Aku menaruh koper yang berisi pakaian di lemari yang sudah di siapkan oleh pihak asrama. Hari pertama di ponpes, masih terasa teringat di kampung halaman rumah. dan teringat teman teman di kampung dan teringat ayah dan ibu. Beberapa hari setelah hari pertama Aku masuk pesantren, senior dari mereka mengajak santri santri satu kamar untuk pergi ke suatu tempat. " Satrio, Jono, Sidik dan Sapto." Ayo ikut bersama santri yang lainnya. " Ikut kemana kak wahid, bukankah ini waktu kita istirahat dan sudah malam." jawab Jono " Iya, justru permainan ini di lakukan di malam hari, setelah aktivitas kita di pagi hari." jawab senior Wahid. Aku dan teman lainnya pun ikut bersama seniornya, keluar dari asrama. dan berjalan menuju sebuah persawahan, di malam hari tanpa lampu penerang satu pun. Suasana yang gelap membuat Akj, Jono, Sidik dan Sapto ketakutan, yang berjalan seperti tidak ingin tertinggal dari rombongan. " Gelap gulita dan tidak ada lampu." gerutu Jono. " Sudah cepat jalannya, jangan sampai tertinggal." jawab Ku, yang mendengar gerutuan Jono. Aku pun memperhatikan sekitarnya yang gelap gulita, hingga tidak ada yang bisa di lihat oleh mata. " Sebenarnya apa yang akan di permainkan di tempat gelap seperti ini." bertanya tanya dalam hati Ku. Setelah perjalanan yang tidak begitu jauh, melewati gelapnya malam. akhirnya sampai juga di lokasi yang sangat luas seperti sebuah lapangan, dan sangat gelap gulita tanpa lampu penerang jalan. Sebuah lapangan, yang di kelilingi kebun tebu yang siap panen. dengan daun tebu yang menjulang ke atas, hingga menambah suasana menjadi seram dan mistik. " Kalau nanti ada hantu gimana jon." bisik sidik. " tidak tau mungkin kita lari." jawab jono yang masih ketakutan. Satu persatu, santri melompati sungai kecil. yang menjadi pembatas, antara lapangan yang menjadi lokasi permainan dengan sebuah jalan. Setelah semua melompati pembatas itu, mereka pun berkumpul dan ada yang duduk duduk berkelompok, terlihat beberapa senior dari santri sedang berdiskui atau musyawarah. " Kalian duduk di sini saja, jangan terpisah!" senior wahid, kepada Aku, Jono, Sidik dan sapto. " Iya kak." jawab Ku. Suasana terlihat semakin seram dan menegangkan, ketika salah seorang senior. seperti membacakan sesuatu, di kedua telapak tangannya. " Satrio, kira kira apa yang akan di lakukan oleh senior kita." tanya Sidik. " Aku tidak tahu, karena ini pertama kalinya saya melihat dan mengikutinya." jawab Ku. Kita duduk saling berdekatan se'akan akan tidak mau terpisah dan takut tertinggal di malam yang gelap di sebuah persawahan. " stttt...diam jangan berisik, lihat kakak itu." kata sapto kepada Kita. " iya..iya..ya ya." ketus Sidik. Tiba tiba senior Wahid datang menghampiri Kita dan meminta menjulurkan telapak tangan Kita masing masing. " Coba kalian buka telapak tangan kalian." Kata wahid. " Untuk apa kak." Jawab Jono yang kebingungan. " Sudah, buka saja telapak tangannya seperti ini." balas wahid. Kita pun akhirnya mejulurkan dan membuka telapak tangan, senior wahid seperti membacakan sesuatu. yang kemudian meniupkannya, di telapak Kita satu persatu. Setelah meniupkan ke telapak tangan Kita, lalu senior Wahid membuat garis melingkar mengelilingi Kita. " Apa yang di lakukan kak wahid ya?" kata Ku, bertanya tanya. " Kalian di sini saja, apa pun yang terjadi." Kata wahid. " Iya kak." jawab Kita bersama sama. Senior Wahid pun pergi menuju tengah tengah lapangan,di sana sudah berdiri 2 orang yang sedang menunggunya datang. " Apa sudah siap?" tanya wahid kepada dua orang tersebut. " Insya Allah." jawab salah satu dari mereka. Kedua orang tersebut lalu mundur dua langkah, dan masing masing memegangi telapak tangan senior Wahid seperti bersalaman. Seperti sedang membacakan doa doa, dan Senior wahid memutar mutarkan kedua orang tersebut searah jarum jam. " wuuzzzz..wuzzzz ..wuzzzz." Senior wahid melepaskan genggaman kedua orang tersebut, dan terlempar cukup jauh dan berguling guling di tanah. " bruaaaakkkkk!!!!" kedua orang tersebut terjatuh secara terpisah, cukup jauh di semak semak lapangan. Lalu Senior wahid mudur tiga langkah, dan membuat lingkaran mengelilingi dirinya sendiri, kedua orang tersebut masih terkapar dan belum bangkit. Tidak lama kemudian, kedua orang itu mulai bangkit perlahan lahan sampai berdiri kembali dengan kokoh. " Auuuummmmmm ..." terdengar suara harimau dari mulut kedua orang itu. Ch 05. Manusia Harimau. Angin dingin bercampur kabut malam mulai turun, dan menyimuti suasana malam yang gelap gulita. dan mulai masuk menyentuh tulang dalam, hingga membuat menggigil siapa saja di malam itu. Kedua orang itu bangkit, dan seperti orang kesurupan. meraung dan berprilaku seperti layaknya se'ekor harimau, dan menjadi manusia harimau yang siap menerkam siapa saja yang ada di hadapannya. Berlari dan mengejar ngejar siapa saja yang di lihatnya, salah satunya lalu menghampiri senior Wahid. manusia harimau itu hendak menyerangnya. Suara harimau, " Auuuuuunmmmmm!" melompat dan siap menerkam senior Wahid dengan cepat. Dengan tenangnya, Senior wahid memasang kuda kuda berdiri dengan sebuah jurus. dan dengan tenangnya senior Wahid menghadapi manusia harimau itu, seperti ada yang menahannya. manusia harimau itu tidak bisa menyentuh senior Wahid. Dan di hentaknya manusia harimau tersebut, dengan satu pukulan yang tidak tersentuh. " Allahu Akbar!!!" Teriak wahid bersamaan dengan pukulannya. Manusia harimau itu pun terpental jauh dan berguling guling di tanah, bangkit lalu mencoba menerkamnya lagi dan lagi lagi terpental lagi. " Waaahhh ..hebat senior kita." Teriak Jono dengan tepuk tangannya. " Jono, diam nanti manusia harimau itu mendengar dan datang ke sini." sahut Ku dan menepuk pundak jono. Benar saja salah satu manusia harimau itu menghampiri kita yang sedang menyaksikan kehebatan senior Wahid. " Gimana ini satrio, salah satu dari mereka datang ke sini?" tanya Sidik. "Kamu sih Jon, pakai teriak teriak. jadi terdengar mereka, bagaimana ini." kata Sidik, yang sedang kepanikan. Sambil meraung raung, manusia harimau itu datang menghampiri kita berempat, dengan pandangan mata tajam, dan raungan seperti harimau yang sedang kelaparan dan siap menerkam mangsanya. " Auuuummmmmm...!!!" " Sttt...diam, ingat kata kak wahid apa pun yang terjadi tetap di tempat." Kata Ku, menenangkan mereka. Pelan pelan dan berlari manusia harimau itu, menuju ke kita berempat. dengan auman yang membuat merinding yang mendengarnya, dan membuat kita takut. Manusia harimau pun melompat dan siap menerkam kita, tiba tiba manusia harimau seperti tertahan sesuatu dan jatuh di hadapan kita. " Manusia harimau itu jatuh." kata Sidik. Setelah terjatuh dan bangkit lagi untuk berusaha mendekati kita, namun langkah manusia harimau itu seperti tertahan dan terhalang oleh sesuatu. " Apa yang membuatnya terjatuh." desis Ku dalam hati. Tidak lama kemudian senior Wahid datang, dan langsung membuat garis panjang. yang memisahkan antara Aku dan teman teman, dengan manusia harimau itu. Senior Wahid lalu memukul manusia harimau tersebut, hingga terpental cukup jauh dan terguling guling sambil meraung raung. " Sukurlah Kak Wahid datang." Kata Ku." Hehe tenang saja, kalian sudah di pagari hingga tidak bisa tersentuh." balas Wahid dengan senyuman. " Pageran apa kak, saya tidak paham?" tanya Ku. " Nanti saya jelaskan, setelah ini semua usai." jawab Wahid. Senior Wahid pun kembali berjalan dan berlari, menuju tengah lapangan yang sangat gelap dan melanjutkan permainannya. Tidak lama kemudian, permainan di sudahi karena malam sudah semakin larut. dua manusia harimau di tangkapnya satu persatu, dan di kumpulkan menjadi satu. Setelah tertangkap, lalu di sadarkan kembali oleh salah satu senior santri. ketika sudah di sadarkan semuanya, lalu mereka bersiap siap untuk pulang ke asrama masing masing. " Ayo, kita pulang." Ajak wahid. " Iya, kak." jawab kita serentak. Dalam perjalanan pulang, Aku merasa semakin penasaran yang barusan tadi di lihatnya dengan kedua mata ku sendiri. " Bagaimana itu bisa terjadi, menjadi manusia harimau dan tidak tersentuh, hmmm..." hati Ku bertanya tanya. Santri santri yang lainnya pun berjalan beriringan di gelapnya malam, sambil bercanda satu sama lainnya. sesampai di asrama, dan mereka langsung menuju kamar masing masing. Aku dan teman teman berada di kamar paling ujung, di sebelah wc umum untuk santr.i dan di belakangnya tempat pembuangan sampah. dan kuburan umum yang sangat luas. Kita pun masuk kamar dan langsung beristirahat setelah kelelahan, setelah permainan yang pertama kalinya kita melihatnya. " Satrio, kamu lihat orang tadi berubah menjadi manusia harimau." kata si Sapto. " iya aku melihatnya." balas Satrio. "Ayo kita tidur" ajak Jono. Mereka pun berangkat tidur membaringkan tubuh mereka secara sejajar yang hanya beralaskan tikar. Jono, Sidik dan Sapto sudah tertidur pulas, tapi Aku masih belum tertidur seperti ada yang mengganjal di hati Ku. " Sangat aneh permainan itu." keluh Ku. " Krekkk...kreeekkk...kreekkkk." suara pintu kamar terbuka, tenyata senior Wahid yang datang masuk ke kamar. "Kamu belum tidur Sat?" Tanya Wahid. " Belum kak,masih penasaran, koq bisa orang itu menjelma menjadi manusia harimau." balas Satrio. Senior Wahid lalu duduk di hadapan satrio dan menjelaskannya." Adalah sambatan/Siker, atau memasukan sesuatu yang ghaib ke dalam raga seseorang sebagai wadahnya." Wahid menjelaskan. " Lalu kenapa manusia harimau tidak bisa menyentuh kita." balas Ku. " Pagar ghaib." jawab Wahid dengan santainya. " Hemmmmzz.." desis Ku. "Ayo tidur sat." ajak Wahid. Aku hanya terdiam dan termenung dengan memandang langit langit atap kamar, sedangkan Wahid sudah tertidur pulas. Antara sadar dan tidak sadar tiba tiba suasana lingkungan menjadi penuh dengan kabut asap, hingga menutup pandangan mata Ku. " Apa ini, kenapa ruangan tiba tiba penuh dengan asap." kata Satrio dalam hati. Aku pun beranjak dari tempat tidur, dan berjalan di dalam kabut asap yang memenuhi ruangan kamar, Aku berjalan mencari pintu keluar, dan tetap tidak menemukannya. Seperti ruangan tanpa batas berjalan tanpa ujung, tiba tiba muncul seorang wanita bergaun hijau di hadapan Ku. " Siapa kamu...?" tanya Ku. Sosok itu hanya diam dan tersenyum kepada Ku, tanpa satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Dia pun berbalik arah dan berjalan menjauhiKu, Aku lalu mengejar sosok misterius itu. tapi sosok itu telah hilang, dalam kabut yang tebal. " Siapa dia sebenarnya...?" tanya Ku bertanya tanya. Ada cahaya dalam kabut dan Aku lalu mengejarnya, namun cahaya itu justru semakin menjauh saat di kejar. lalu tiba tiba muncul sosok pria tua berjanggut memakai pakaian serba putih di balik cahaya tersebut, dengan cahaya yang menerengi tubuhnya. Aku berhenti menghentikan langkah dan terkejut saat melihat sosok pria tua itu, Aku teringat mimpi saat masih di rumah. sosok yang selalu hadir, di dalam mimpi Ku. " Sosok itu lagi " desis Ku. Sosok yang sama yang pernah hadir di mimpi sebelumnya, sosok pria tua berjanggut dengan pakaian putih yang penuh wibawa dan bercahaya. Kabut tebal yang tadinya hampir menutupi seluruh ruangan kamar, perlahan lahan hilang bersamaan sosok misterius tersebut. " Sat..Sat..Satrio bagun, waktu sholat subuh" Terdengar di telinga Satrio lalu tiba tiba seperti ada yang menariknya. " Astagfurullah, ternyata kamu Sidik." kata Ku, yang masih mengucek ngucek matanya yang masih mengantuk. " Cepat kamu ambil air wudhu, sebentar lagi waktu subuh." balas Sidik. Beranjak dari tidur, dan bergegas mengambil air wudhu bergantian dengan santri lainnya Setelah mengambil air wudhu, Kita pun bergegas ke masjid untuk melakukan sholat berjamaah dengan santri santri lainnya. " Tunggu aku." Teriak Jono yang tertinggal paling belakang. " Cepat jon." sahut Sidik. Ch 06. Gangguan makhluk halus. Waktu terus berlalu hari berganti hari dan bulan berganti bulan, kegiatan yang padat membuat hari hari berlalu begitu cepatnya. Malam itu Aku, Sidik, Jono dan Sapto mempunyai rencana untuk tidur di musholah ponpes. " Bagaimana, jadi kita tidur di musholah malam ini? tanya Ku. " Hmm..oke oke." balas jono. Di dalam lingkungan ponpes, santri santri yang lainnya mempunyai kegiatan belajar bersama di dalam atau pun halaman musholah. Terkadang, ada yang sampai tidur dan menginap di musholah ponpes sampai waktu subuh tiba. Musholah ponpes berada di lingkungan asrama santri putra, yang terbagi menjadi beberapa blok atau bagian. Aku dan teman teman berada pada blok B no.24, kamar paling ujung yang bersebelahan dengan kamar mandi santri dan wc. Waktu malam pun telah tiba, Aku dan yang lainnya sudah bersiap siap untuk tidur di musholah setelah belajar bersama selesai. " Kalian mau kemana?" tanya Wahid. " Kita mau tidur di musholah kak" jawab Jono yang penuh semangat. " Hati hati ya, di sana banyak gangguannya." Balas Wahid menakut nakuti jono. " hahaa..haaahaaa." jawab serentak Aku dan Sidik. Kita pun berangkat ke musholah untuk tidur bersama santri santri yang lainnya, masing masing dari kita membawa sarung untuk menyelimuti dari angin malam yang dingin. Sesampai di musholah, lalu mencari lokasi yang cocok untuk kita berempat, akhirnya di temukan lokasi yang cocok dan berada di samping musholah yang bersebelahan dengan asrama blok A. " Sini saja lumayan bisa buat kita berempat." kata Ku. Malam semakin larut, mata pun sudah mulai terasa berat dan mengantuk. satu persatu kita pun tertidur pulas, tapi mata Ku masih juga belum terpejam dan terjaga. Tiba tiba. " Aaaaaaaahhhhhh....!!!" teriak keras seorang santri dan berlarian keluar halaman komplek pondok pesantren mengarah ke kuburan yang berada tepat di belakang asrama blok B. Semua santri terbangun dan terkejut mendengar teriakan yang mengganggu tidur mereka. " Ada apa sat." tanya Sapto. " Ada yang berteriak dan lari keluar komplek." jawab Ku, yang sudah berdiri dan melihat arah lari santri itu. Santri yang lari dengan teriak keras, akhirnya di tangkap oleh salah satu santri senior. dan di bawanya kembali masuk ke dalam komplek asramanya. " Kenapa dengan dia ya." guman Ku dalam hati, " Ah sudahlah sebaiknya tidur kembali." Lingkungan ponpes terkenal cukup seram, dari cerita cerita santri senior lainnya. di kamar mandi dan wc santri, sering terlihat pupu atau sepotong paha yang meneteskan darah. Begitu juga pada tempat wudhu santri pria, yang berada di samping mushola. sering terlihat suatu penampakan sosok seseorang yang sedang berwudhu dengan wajah rata. dan yang menyeramkan sering terlihat sosok yang tidak berkepala berjalan di depan mushola. Sebuah ponpes yang berada di perkampungan, yang masih cukup lestari alamnya. masih terdapat pohon pohon besar, hingga menambah kental kesan mistik dan seram terlihat. Begitu juga dengan Aku sendiri, yang pernah di ganggunya di dalam kamar, ketika itu malam jum'at. yang sebelumnya kita saling bercerita horor, dan akhirnya dari kita tidur satu persatu dan tinggal Aku seorang diri yang belum tidur. Tiba tiba tedengar bunyi bambu, yang di getok getokan di lantai terdengar. "Tok..tok..tok." yang di susul dengan terbukanya pintu kamar, Aku pun menutupnya kembali dan terbuka kembali hingga terulang ulang. Saking kesalnya dan bercampur rasa takut, pintu kamar tidak di tutupnya kembali, angin malam yang dingin pun masuk ke dalam kamar. rasa dingin mulai menyelimuti sekujur tubuh, hingga terasa menusuk tulang. Tiba tiba telapak kaki Ku, seperti ada yang memegang dan di elus elus, sontak membuat Aku terkejut. dan rasa takut bercampur cemas yang semakin dalam hingga menjelang subuh. Aku hanya bisa berdiam saja, rasa takut menyelimuti diri Ku dan membuat Aku tak bisa berbuat apa apa.hanya bisa menunggu dan menunggu waktu subuh, keringat bercucuran di malam yang dingin. Suara adzan pun berkumandang, kita yang masih tertidur. lalu di bangunkan untuk ambil air wudhu, dan melaksanakan sholat subuh berjamaah di musholah. Kejadian semalam masih teringat dan tersimpan dalam benak Ku, kejadian kejadian yang belum pernah di lihat dan Aku alami. dari sebuah permainan yang menyeramkan, hingga seorang santri yang berteriak dan berlari ke arah kuburan umum. " Sangat aneh, yang aku temui dan alami di sini." ujat Ku dalam hati Rasa penasaran semakin tinggi tentang sesuatu yang ghaib, dan perasaan itu sangat kuat di batin Ku. di tambah sosok pria tua misterius, yang selalu hadir di mimpi Ku. Akhirnya aku pun bertekad, dan berniat ingin mempelajari sesuatu yang membuat Aku penasaran. keinginan itu murni datangnya dari hati nurani, yang timbul dan datang seiring dengan kejadian kejadian yang tidak bisa di pahami oleh diri Ku sendiri. Dari penglihatan sosok hantu, dan kedatangan sosok pria tua misterius yang selalu datang dalam mimpinya. sosok yang sama dan wajah yang sama, di tambah lagi sosok wanita bergaun hijau. Semua seperti sebuah teka teki yang harus di pecahkan, dan mencari jawaban atas semuanya. di tambah lagi pengalaman pengalaman di ponpes tempat menimba ilmu agama Ku, semakin tinggi rasa penasaran.. Tidak terasa waktu sudah masuk tahun ke 3, dan kelulusan sekolah segera datang. hari itu, hari pengumuman nilai akhir dan Aku di nyatakan lulus sekolah. " Horeeeee...aku lulus!!!" teriak Ku kegirangan, setelah melihat namanya. tertulis di papan pengumuman, yang terpasang di dinding sekolah. Setelah lulus akhirnya Aku pun pulang ke kampung halaman kembali dan melanjutkan sekolah di jakarta. " Jono, Sidik dan sapto, Aku akan melanjutkan sekolah di jakarta, karena nenek sudah tidak ada jadi, aku ikut orang tua di jakarta." kata Ku. " kalau aku di suruh melanjutkan sekolah di sini sat." ujar Sapto" Semoga sukses ya sat." balas Jono dan Sidik. Aku pun lalu merapikan dan memasukan pakaiannya di dalam koper, lalu berpamitan kepada ke tiga teman Ku dan senior Wahid. Mereka mengantar Ku di depan halaman ponpes, menunggu delman alat transportasi favorit di desa. " Sat, jangan lupa sama kami ya." kata jono. " jon, bukannya kamu juga akan pulang ke kampung." sahut Sapto. " Iyaa tapi nanti minggu depan, hee hee." jawab Jono. Yang di tunggu tunggu sudah datang, Aku lalu menaiki delman menuju jalan raya untuk menaiki bus yang akan mengantar ke terminal bus. " Selamat tinggal jono, Sidik dan Sapto." Aku lalu melambaikan tangan kepada mereka. " Sampai jumpa lagi Satrio." jawab mereka serentak. Sesampai di jalan raya utama, tidak lama kemudian datang sebuah bus mini. yang menuju arah terminal bus antar kota antar provinsi, tidak sampai 1 jam Aku pun sampai di terminal bus. Aku lalu turun dari bus mini, dan masuk ke dalam terminal bus, setelah melihat lihat papan jurusan yang Aku tuju. akhirnya Aku menemukan papan jurusan dari tujuan Ku, Aku lalu berjalan menuju bus tujuan Ku. Dalam perjalanan ke papan jurusan, sesekali Aku melihat lihat orang orang yang membuka lapak dagangannya. tapi ada satu yang membuat Aku tertarik untuk melihatnya. Di lapak itu di perdagangkan benda benda aneh dan mistik, selain itu juga si pelapak menawarkan jasa pengecekan tubuh seseorang,pengecekan apa ada sebuah keilmuan, atau tidak dan benda benda bertuah lainnya. Ch 07. Teka teki Waktu terus berlalu hari berganti hari dan bulan berganti bulan, kegiatan yang padat membuat hari hari berlalu begitu cepatnya. Malam itu Aku, Sidik, Jono dan Sapto mempunyai rencana untuk tidur di musholah ponpes. " Bagaimana, jadi kita tidur di musholah malam ini? tanya Ku. " Hmm..oke oke." balas jono. Di dalam lingkungan ponpes, santri santri yang lainnya mempunyai kegiatan belajar bersama di dalam atau pun halaman musholah. Terkadang, ada yang sampai tidur dan menginap di musholah ponpes sampai waktu subuh tiba. Musholah ponpes berada di lingkungan asrama santri putra, yang terbagi menjadi beberapa blok atau bagian. Aku dan teman teman berada pada blok B no.24, kamar paling ujung yang bersebelahan dengan kamar mandi santri dan wc. Waktu malam pun telah tiba, Aku dan yang lainnya sudah bersiap siap untuk tidur di musholah setelah belajar bersama selesai. " Kalian mau kemana?" tanya Wahid. " Kita mau tidur di musholah kak" jawab Jono yang penuh semangat. " Hati hati ya, di sana banyak gangguannya." Balas Wahid menakut nakuti jono. " hahaa..haaahaaa." jawab serentak Aku dan Sidik. Kita pun berangkat ke musholah untuk tidur bersama santri santri yang lainnya, masing masing dari kita membawa sarung untuk menyelimuti dari angin malam yang dingin. Sesampai di musholah, lalu mencari lokasi yang cocok untuk kita berempat, akhirnya di temukan lokasi yang cocok dan berada di samping musholah yang bersebelahan dengan asrama blok A. " Sini saja lumayan bisa buat kita berempat." kata Ku. Malam semakin larut, mata pun sudah mulai terasa berat dan mengantuk. satu persatu kita pun tertidur pulas, tapi mata Ku masih juga belum terpejam dan terjaga. Tiba tiba. " Aaaaaaaahhhhhh....!!!" teriak keras seorang santri dan berlarian keluar halaman komplek pondok pesantren mengarah ke kuburan yang berada tepat di belakang asrama blok B. Semua santri terbangun dan terkejut mendengar teriakan yang mengganggu tidur mereka. " Ada apa sat." tanya Sapto. " Ada yang berteriak dan lari keluar komplek." jawab Ku, yang sudah berdiri dan melihat arah lari santri itu. Santri yang lari dengan teriak keras, akhirnya di tangkap oleh salah satu santri senior. dan di bawanya kembali masuk ke dalam komplek asramanya. " Kenapa dengan dia ya." guman Ku dalam hati, " Ah sudahlah sebaiknya tidur kembali." Lingkungan ponpes terkenal cukup seram, dari cerita cerita santri senior lainnya. di kamar mandi dan wc santri, sering terlihat pupu atau sepotong paha yang meneteskan darah. Begitu juga pada tempat wudhu santri pria, yang berada di samping mushola. sering terlihat suatu penampakan sosok seseorang yang sedang berwudhu dengan wajah rata. dan yang menyeramkan sering terlihat sosok yang tidak berkepala berjalan di depan mushola. Sebuah ponpes yang berada di perkampungan, yang masih cukup lestari alamnya. masih terdapat pohon pohon besar, hingga menambah kental kesan mistik dan seram terlihat. Begitu juga dengan Aku sendiri, yang pernah di ganggunya di dalam kamar, ketika itu malam jum'at. yang sebelumnya kita saling bercerita horor, dan akhirnya dari kita tidur satu persatu dan tinggal Aku seorang diri yang belum tidur. Tiba tiba tedengar bunyi bambu, yang di getok getokan di lantai terdengar. "Tok..tok..tok." yang di susul dengan terbukanya pintu kamar, Aku pun menutupnya kembali dan terbuka kembali hingga terulang ulang. Saking kesalnya dan bercampur rasa takut, pintu kamar tidak di tutupnya kembali, angin malam yang dingin pun masuk ke dalam kamar. rasa dingin mulai menyelimuti sekujur tubuh, hingga terasa menusuk tulang. Tiba tiba telapak kaki Ku, seperti ada yang memegang dan di elus elus, sontak membuat Aku terkejut. dan rasa takut bercampur cemas yang semakin dalam hingga menjelang subuh. Aku hanya bisa berdiam saja, rasa takut menyelimuti diri Ku dan membuat Aku tak bisa berbuat apa apa.hanya bisa menunggu dan menunggu waktu subuh, keringat bercucuran di malam yang dingin. Suara adzan pun berkumandang, kita yang masih tertidur. lalu di bangunkan untuk ambil air wudhu, dan melaksanakan sholat subuh berjamaah di musholah. Kejadian semalam masih teringat dan tersimpan dalam benak Ku, kejadian kejadian yang belum pernah di lihat dan Aku alami. dari sebuah permainan yang menyeramkan, hingga seorang santri yang berteriak dan berlari ke arah kuburan umum. " Sangat aneh, yang aku temui dan alami di sini." ujat Ku dalam hati Rasa penasaran semakin tinggi tentang sesuatu yang ghaib, dan perasaan itu sangat kuat di batin Ku. di tambah sosok pria tua misterius, yang selalu hadir di mimpi Ku. Akhirnya aku pun bertekad, dan berniat ingin mempelajari sesuatu yang membuat Aku penasaran. keinginan itu murni datangnya dari hati nurani, yang timbul dan datang seiring dengan kejadian kejadian yang tidak bisa di pahami oleh diri Ku sendiri. Dari penglihatan sosok hantu, dan kedatangan sosok pria tua misterius yang selalu datang dalam mimpinya. sosok yang sama dan wajah yang sama, di tambah lagi sosok wanita bergaun hijau. Semua seperti sebuah teka teki yang harus di pecahkan, dan mencari jawaban atas semuanya. di tambah lagi pengalaman pengalaman di ponpes tempat menimba ilmu agama Ku, semakin tinggi rasa penasaran.. Tidak terasa waktu sudah masuk tahun ke 3, dan kelulusan sekolah segera datang. hari itu, hari pengumuman nilai akhir dan Aku di nyatakan lulus sekolah. " Horeeeee...aku lulus!!!" teriak Ku kegirangan, setelah melihat namanya. tertulis di papan pengumuman, yang terpasang di dinding sekolah. Setelah lulus akhirnya Aku pun pulang ke kampung halaman kembali dan melanjutkan sekolah di jakarta. " Jono, Sidik dan sapto, Aku akan melanjutkan sekolah di jakarta, karena nenek sudah tidak ada jadi, aku ikut orang tua di jakarta." kata Ku. " kalau aku di suruh melanjutkan sekolah di sini sat." ujar Sapto" Semoga sukses ya sat." balas Jono dan Sidik. Aku pun lalu merapikan dan memasukan pakaiannya di dalam koper, lalu berpamitan kepada ke tiga teman Ku dan senior Wahid. Mereka mengantar Ku di depan halaman ponpes, menunggu delman alat transportasi favorit di desa. " Sat, jangan lupa sama kami ya." kata jono. " jon, bukannya kamu juga akan pulang ke kampung." sahut Sapto. " Iyaa tapi nanti minggu depan, hee hee." jawab Jono. Yang di tunggu tunggu sudah datang, Aku lalu menaiki delman menuju jalan raya untuk menaiki bus yang akan mengantar ke terminal bus. " Selamat tinggal jono, Sidik dan Sapto." Aku lalu melambaikan tangan kepada mereka. " Sampai jumpa lagi Satrio." jawab mereka serentak. Sesampai di jalan raya utama, tidak lama kemudian datang sebuah bus mini. yang menuju arah terminal bus antar kota antar provinsi, tidak sampai 1 jam Aku pun sampai di terminal bus. Aku lalu turun dari bus mini, dan masuk ke dalam terminal bus, setelah melihat lihat papan jurusan yang Aku tuju. akhirnya Aku menemukan papan jurusan dari tujuan Ku, Aku lalu berjalan menuju bus tujuan Ku. Dalam perjalanan ke papan jurusan, sesekali Aku melihat lihat orang orang yang membuka lapak dagangannya. tapi ada satu yang membuat Aku tertarik untuk melihatnya. Di lapak itu di perdagangkan benda benda aneh dan mistik, selain itu juga si pelapak menawarkan jasa pengecekan tubuh seseorang,pengecekan apa ada sebuah keilmuan, atau tidak dan benda benda bertuah lainnya.. Ch 08. Kegagalan. Rebahan dengan memandang langit langit kamar, dan masih merenungkan kembali sesuatu yang sulit di temukan jawabannya. Sudah bertahun tahun rasa penasaran yang tidak juga menemukan jawabannya dan Aku pun tertidur. " Di mana ini." Suasana yang gelap tanpa cahaya satu pun hanya kegelapan tanpa batas yang terlihat, Aku melihat sebuah lingkaran putih di antara kegelapan dan Aku pergi mengikuti arah lingkaran putih itu. Kaki pun melangkah masuk ke dalam lingkaran putih, sangat takjub di balik lingkaran terlihat pemandangan yang berbeda dari sebelumnya yang penuh kegelapan. Menelusuri jalan dan melihat lihat, suatu ke anehan pun terjadi dan berubah, dalam sekejap saja terjadi keramaian dan kerumunan seperti di pasar. Anehnya wajah orang orang tersebut pucat, dan tidak ada yang mendengarkan atau pun melihat Aku. " Maaf paman, ini dimana ya ?" tanya Ku pada salah satu penduduk. Namun pertanyaannya seperti tidak terdengar, dan penduduk itu pun berlalu saja seperti tidak melihat apa apa, tentu saja Aku terkejut dan kebingungan dengan semua kejadian ini. Aku pun berjalan jalan dan melihat lihat sekelilingnya, semua pemandangannya tidak seperti biasanya dan seperti pada kehidupan manusia pada umumnya. Setelah berjalan jalan dan hanya seperti memutar mutar saja di satu lokasi, tiba tiba kerumunan itu menghilang begitu saja seperti di telan bumi. Seperti ada yang memanggil Ku. "Satrio...Satrio...Satrio !!!" Aku mencari dan terbangun dari tidur. " Ternyata kau Janoko." " Ternyata hanya mimpi aneh lagi." Janoko memanggil manggil Aku, dan berniat mengajak untuk berlatih tarik pusaka nanti malam di daerah bintaro bersama mas Darma dan herry. " Sat, nanti malam kita mau ke bintaro. di sebuah makam kramat." ujar Janoko. " Kapan." balas Ku, yang masih mata mengantuk. "Nanti malam." jawab si Janoko. " ok." Sebelum berangkat kita terlebih dahulu, mencari perbekalan yang di perlukan dan di bagi tugas masing masing. " Sat...kamu beli kembang telon dan dupa di pasar, aku dan hery akan mencari jajanan pasar dan minyaknya." kata janoko. " Siaap." jawab Ku. Aku dan mereka berdua pun terpisah, mencari dan membeli yang di butuhkan untuk nanti malam. Setelah semuanya sudah di dapat dan di beli kita pun berkumpul kembali di rumah Janoko, semua bahan bahan di kumpulkan menjadi satu supaya tidak ada yang tertinggal. Jam menunjukan pukul 19:30, Kita sudah bersiap siap menuju lokasi di daerah bintaro, yang terdapat sebuah makam kramat yang di sepuhkan orang orang sana. Aku dan herry berboncengan, sedangkan Janoko seorang diri mengendarai sepeda motornya yamah jupiter z. motor berjalan beriringan, dan di suatu tempat janoko menepi untuk menelpon mas Darma untuk bertemu di mana, setelah menelpon kita pun melanjutkan perjalanan menuju titik lokasi pertemuan. Dalam perjalanan. " Satrio, aku seperti ada yang mengawasinya sejak dari rumah." kata herry. " Maksut kamu apa her." balas Ku. " Seperti mata yang sangat besar mengawasi kita." sahut herry. Aku bingung dengan apa yang di maksud herry dengan mata besar yang mengawasinya sejak di rumah. Akhirnya sampai juga di titik lokasi pertemuan dengan mas Darma, lalu kita pun langsung berangkat ke tempat lokasi untuk belajar menarik sebuah pusaka. Sesampai di lokasi kita mencari parkiran untuk kendaraan, dan kendaraan kita parkirkan di rumah salah satu warga sekitar. " Maaf pak, boleh saya izin parkir kendaraan di sini." kata mas Darma. " Silakan, lagi pula toko sudah tutup." balas warga tersebut. " Terima kasih pak." Sahut kita berempat. Kita lalu berjalan ke area makam yang terletak di atas jalan raya, seperti perbukitan menaiki tanah yang menjulang dan terdapat sebuah makam. Aku melihat lihat sekitarnya dan merasa sedikit ketakutan akan sesuatu yang menyeramkan datang menghadang. " Duh, kenapa harus di kuburan dan seram lagi." Lalu mas Darma pun menyuruh janoko untuk menyiapkan bahan bahan yang di butuhkan untuk tarik pusaka yang sudah di amanahkan. " Jan, apa sudah di bawa kebutuhan semuanya ." kata mas Darma. " Iya mas." jawab Janoko. Lalu mas Darma mencari lokasi sebagai tempat penarikan pusaka, dan di pilihlah pohon yang besar di samping pohon bambu. pohon yang sangat besar dan kokoh, namun sangat bersih dan bau wangi. " Perhatikan baik baik, pohon atau apa pun yang menyimpan pusaka mempunyai ciri ciri. salah satunya, terlihat bau harum dan bersih dari sampah." mas Darma menjelaskan. Semua bahan bahan lalu di taruh di bawah pohon besar dan membakar dupa untuk wewangiannya. " Hery, apa yang kamu lihat di pohon bambu itu." kata mas Darma sambil menunjuk ke pohon bambu. " Seperti seekor naga." jawab herry. " Kamu emang seorang indigo her." balas mas Darma. Sambil menunggu tengah malam untuk penarikan pusaka, mas Darma mengajak kita ke pohon bambu yang lebat dan menjulang tinggi ke langit. " Kenapa ke pohon bambu, apa yang di cari?" tanya Ku. " Nanti kamu akan tahu, kalau sudah ketemu." balas mas Darma. Mas Darma lalu mengeluarkan senternya, dan menyoroti bagian bawah pohon bambu yang besar besar. " Jan, ambil gergaji di mobil dan cepat kemari." kata mas Darma. Janoko pun mengambil gergaji yang ternyata sudah di siapkan, lalu kembali dan menghampiri mas Darma. Mas Lintang lalu menyoroti pangkal dari pohon bambu yang terbilang sangat aneh,yang mempunyai tiga ruas yang saling berdekatan. " Cepat kamu potong." perintah mas Darma. Janoko pun memotong bambu dengan gergaji yang sudah di persiapkan, yang sebelumnya bambu itu sudah di ikat dua benang oleh mas Darma. Setelah terpotong lalu di masukan ke dalam plastik dan di masukan ke dalam tas, ternyata Janoko dan mas Darma sudah mempunyai rencana sendiri tanpa di ketahui Aku dan hery. Waktu tengah malam telah tiba dan Kita berkumpul di bawah pohon besar, jajanan pasar sudah di siapkan begitu juga dua buah minyak khusus, Aku di perintahkan menyalakan dupa sebanyak 3 batang. Atas arahan mas Darma, Aku, Janoko dan Herry. lalu membaca mantra mantra khusus penarik pusaka yang di ajarkan mas Darma. dan di pukul kan di tanah pun dengan keras dan berulang ulang. " Mana pusakanya ?" Mas Lintang lalu menyuruhnya kembali membaca mantra dan memukul tanah dengan lebih fokus, tetap saja tidak ada pusaka yang terjatuh dari langit. " Mana pusakanya, tidak ada." Sepertinya kita gagal pada hari pertama, namun lagi lagi hery merasa ada yang jatuh seperti bintang jatuh dari langit. " Aku seperti melihat cahaya jatuh." kata hery. " Cahaya apa, aku tidak melihat apa apa." sahut Ku. Mas Lintang lalu menyuruh kita untuk mencari di antara semak semak, siapa tahu ada yang jatuh dan nyempil di antara semak semak. Lalu Aku di suruh mencarinya di semak semak pojok yang gelap tanpa lampu dan sangat menyeramkan bagi Ku. " Satrio, kamu cari di pojok sana." perintah mas Darma. " Kenapa harus aku." gerutu Ku."Kenapa, takut ya." Sahut janoko sambil tertawa. " Siapa takut." balas Kum Aku pun berjalan menuju semak semak yang tinggi di pojok kuburan itu, mata Ku dengan sendirinya melihat lihat dan timbul rasa ketakutan di diri Ku. " kreseeeekkk....kreseeeekkkk." Mendengar suara di kegelapan, Aku langsung lari menjauh dari asal suara tersebut dan si sambut tertawa terbahak bahak janoko dan hery. Ch 09. Mediumisasi. Setelah malam itu terasa gagal dalam latihan menarik pusaka, kita tidak langsung pulang. namun menuju sebuah makam yang di tembok keliling dan beratap. " Mau kemana lagi kita." tanya Ku. " Kita nyekar dulu di makam kramat." sahut mas Darma. Setelah masuk ke dalam area makam, lalu kita pun duduk bersila dan saling berdekatan satu sama lainnya. Aku melihat lihat area makam kramat tersebut secara seksama, dan berharap cepat cepat pulang ke rumah dan tidur. Sebuah makan yang cukup panjang pada umumnya dan nisan yang terbungkus kain hijau, dengan di lapisi kramik yang mengelilingi makam itu. Mas Darmam lalu memimpin doa doa yang di panjatkan untuk yang ada di makam itu dengan doa doa tahlil, kita pun secara khusus mendoakan jasad yang bersemayam di makan itu. Suasana semakin menyeramman dan malam pun semakin larut, suara jangkrik berbunyi berirama menambah suasana semakin seram dan mistik semakin terasa. " Kapan pulangnya." tanya Ku, dalam hati yang berharap cepat cepat pulang. Setelah selesai memimpin doa doa, masa Darma pun menceritakan siapa yang ada di dalam makam tersebut. " Yang ada di dalam makam ini, dia adalah pejuang syiar agama islam di masa hidupnya dan di kenal sebagai mbah Sadian." kata mas Darma menjelaskan. " Aku kira makam makam kramat hanya ada di daerah luar jakarta, ternyata di jakarta pun banyak terdapat makam makam kramat." " Malam sudah semakin larut, apa tidak sebaiknya kita pulang dulu?" tanya Ku. " Nanti pulangnya." balas mas Darma. Aku pun hanya bisa mengaguk ngaguk saja dan pasrah pada keadaan, dalam hati masih penuh rasa ketakutan yang tidak di tunjukan kepada mereka. " Hery, coba kamu mediumisasi dan berbicara dengan makam ini." perintah mas Darma. " Aku coba ya." jawab herry. Herry pun bergeser dari tempat duduknya dan merapat pada nisan makam kramat itu, di pegangnya batu nisan itu dan memejamkan matanya dengan membaca doa doa seperti sebuah mantra khusus. " Herry mau apa ya?" Tiba tiba saja herry seperti orang kerasukan, dan berbicara sangat berwibawa dan pita suara yang berbeda dari biasanya. Herry mengoceh tidak jelas dan berdiri seperti sosok bukan hery namun sosok lain, Aku sangat terkejut dan sedikit merapatkan tempat duduknya ke mas Lintang. Lalu mas Darma pun mengajak hery berbincang bincang, Aku dan janoko hanya menyaksikan saja dan diam di tempatnya tanpa mengeluarkan satu kata pun. " Ya ampuuun apa lagi ini, tambah semakin menyeramkan saja." " Tadi itu apa mas Darma?" tanya ku. "Itu tekhnik dari mediumisasi, dan hery sebagai moderatornya." balas mas Darma. "Oh." Setelah terjadi pembicaraan antara mas Darma, dan sosok yang bersemayam di herry selesai. akhirnya mas Darma mengajak kita untuk pulang karna sudah mendekati waktu subuh. " Rapikan dan beresi semuanya jangan sampai ada yang tertinggal satu pun." perintah mas Darma. Kita lalu membersihkan dan membawa kembali apa yang kita bawa, dalam tas masing masing dan bersiap siap untuk pulang. " Her, tadi kamu kesurupan ya." tanya Ku. " Ya bisa di bilang begitu sih." jawab herry. Setelah memeriksa bawaannya masing masing, mereka berkumpul dan pulang menuruni area makam yang letaknya di atas jalan raya. Di tempat parkiran, lagi lagi hery melihat sosok hantu di pojok kuburan yang selalu mengawasi sejak kedatangannya. " Kenapa dia selalu mengawasi kita ya." kata hery. "Dia siapa hery, ngaco aja kamu itu." balas Ku, dengan wajah ke heran heranan. " Dia adalah salah satu penunggu makam kramat itu." jelas mas Darma dengan meyakinkan. " Ayo kita pulang!" ajak Janoko. Kita pun pulang di malam yang semakin larut, Janoko menaiki motor sendirian yang mengetahui jalan pulang, sedangkan Aku bersama herry di belakang mengikuti dia. Di dalam perjalanan pulang, Janoko menghentikan motornya di tepian jalan. "Laper, kita makan dulu." ajak Janoko. Lalu kita pun mencari makanan dan tidak lama kemudian terlihat nasi goreng di pinggir jalan, janoko pun menepikan motornya di nasi goreng tersebut. " Nasi goreng 3 porsi pak, yang sedang ya." teriak Janoko yang sedang kelaparan. Tidak lama kemudian nasi goreng siap di makan dan di siapkan oleh abang nasi goreng. " Ayo makan dulu." ajak Janoko. Mereka pun makan dengan lahapnya dan saking laparnya sampai cepat menghabiskan hidangan nasi gorengnya. " Her, aku masih penasaran? kan kamu bisa, kenapa harus mencari seorang guru ?" tanya Ku, melirik hery yang sedang makan nasi goreng. "Justru itu ,aku penasaran dan tidak ingin tersesat dalam hal hal ghaib." balas hery. Aku semakin bingung dengan jawaban hery, apa yang di maksud dengan tersesat dan kenapa harus belajar kalaupun dia bisa. Selesai makan, kita pun melanjutkan perjalanan pulang yang di dahului Janoko sebagai petunjuk jalan pulang, jalanan yang sepi, membuat perjalanan tidak terlalu lama untuk sampai di rumah. Setelah sampai di rumah dan kita berencana untuk istirahat dan tidur karena besok harus beraktivitas kembali. " Her, kamu tidur di rumah aku saja, kebetulan aku ada kamar kosong di atas." ajak Ku dan menepuk pundak hery. " Iya." sahut hery. Sebelum pulang Hery di panggil oleh janoko ke dalam rumahnya, dan tidak lama kemudian hery pun keluar dan langsung pulang bersama Ku. Sesampai di rumah Ku, hery pun masuk ke kamar atas setelah di tunjukan kamarnya oleh Ku. " Her, kamu langsung tidur saja di atas." kata Ku. " Iya, lagi pula harus bangun pagi." balas si hery. Tidak lama kemudian mereka pun tertidur di kamar masing masing, namun Aku masih belum tertidur mengingat pengalaman pertamanya dalam dunia supranatural. Aku merasa hery juga tidak bisa tidur seperti diri Ku, terdengar suara. "kreseeek...kreseeek." seperti orang yang susah untuk tidur dan tidak nyenyak. Pagi harinya Satrio terbangun melihat si hery sudah tidak ada di kamarnya. " O, iya pah. tadi temannya sudah pamitan pulang pagi pagi sekali." kata istri Ku. " iya mah, gpp." balas Ku dengan masih rasa mengantuk. Kejadian semalam membuat hati semakin penasaran dan malam kegagalan pertama dalam dunia supranatural. " hery mengalami apa yang aku alami dengan mimpi mimpi yang hampir sama." " Tapi apa, apa mungkin saya bisa seperti hery." Jawaban yang harus di cari tentang diri Ku dan mimpi mimpinya yang selama ini menjadi sebuah teka teki. Di saat dewasa mimpi tersebut tidak pernah lagi di jumpainya, hanya saja meninggalkan jejaknya dan niat yang begitu besar di dunia supranatural dan indigo. Niat yang sangat ingin di ketahui sangat besar dan penuh ambisi, walaupun dengan segala cara mengungkap misteri tentang diri Ku. hanya meninggalkan penasaran dan menjadi ganjalan dalam hati. Pahi harinya, Aku pergi ke rumah Janoko sekedar bermain dan bertanya tanya kepada dia. sesuatu yang ingin sangat di tanyakan ke dia tentang hery yang tidak bisa tidur semalaman. " kemarin malam kamu kasih apa ke hery?" tanya Ku. " memang ada apa Sat." balas Janoko. " Tidak apa apa, hanya kemarin malam hery seperti gelisah saat tidur." jawab Ku, dengan menghisap rokok dalam dalam. Ch 10. Pusaka singo barong Aku lalu pulang ke rumah dan melanjutkan aktvitasnya bersama istri mengelola kedai makanan yang di rintis bersama istri. Tiba tiba saja suara suara handphone Ku berbunyi dan segera. Aku angkat. " Assalamualaikum, wr, wb?" " Satrio, ini saya herry." jawab hery. " oh kamu her, ada apa tumben pagi pagi sudah nelpon." sambung Ku. Hery menceritakan kejadian sewaktu menginap di rumah Satrio, bahwa sebuah keris yang di berikan oleh Janoko bergerak gerak. dan dia pun di datangi sosok pria misterius dan mengenalkan dirinya sebagai Singo Barong, penghuni keris yang di berikan Janoko. Cerita hery membuat rasa penasaran Ku semakin besar, dalam hati ingin sekali seperti hery dan Aku pun berencana ingin mendalami dunia supranatural. " Aku harus bisa seperti hery." Aku pun mencari cari informasi di setiap majalah atau pun media media sosial lainya, hingga pada akhirnya mengenal dunia facebook dan masuk di grup grup spiritual dan supranatural. Berkecipung di dunia maya dan berkenal dengan teman teman indigo, yang bernasib sama seperti Aku yang selalu di datangi sosok misterius dalam mimpi. Suatu hari Aku melihat sebuah setatus seseorang di salah satu grup berbau metafisika, membuka postingan yang ingin di terawang tubuh atau buka lapak. Lantas aku coba coba mendaptar untuk di lihat atau di terawang oleh si pemilik setatus itu. dan hasilnya membuat Aku sangat terkejut dalam balasan si pembuat setatus. " Satrio, kamu mempunyai sebuah mata dengan garis petir dan bakat bakat khusus supranatural, keingintahuan kamu sangat tinggi akan dunia spiritual." kata si pembuat setatus lapak itu. " Tapi, Aku tidak bisa apa apa dan tidak punya kemampuan apa pun." balas Ku. " Suatu saat nanti kamu akan tahu sendiri." sambung si pembuat setatus lapak itu. Tentu saja itu membuat Aku semakin heran dan bertanya tanya tentang semua itu, Aku nekad inbok si pelapak itu. untuk bisa mendapatkan penjelasan lebih, Aku inbok dia. Jawaban pun sama dan ada yang sangat terkejut bagi Ku. " Kamu termasuk indigo crystal, indigo dengan aura perak dengan segala kemampuan." balas si pembuat setatus lapak itu via inbok. Lalu Aku pun mencari cari info tentang keterangan dari makna indigo crystal, semua jawaban berbeda beda dari satu orang ke orang lain. hanya membuatnya semakin bingung saja, dan kemana lagi harus bertanya. " Kalau Aku indigo seperti yang mereka katakan, berarti aku bisa seperti herry." Tidak ada angin dan kabar, tiba tiba Janoko datang ke rumah, di saat Aku yang sedang mencari info tentang indigo crystal, lalu Janoko duduk di samping Ku dan menyalakan rokoknya yang hanya sebatang. " Satrio, kamu sedang apa seperti orang kebingungan begitu?" tanya Janoko. " Lagi cari cari keterangan Indigo Crystal di google." balas Ku. Janoko lalu mengeluarkan sebuah benang di sakunya, dan melepaskan satu buah cincin di jarinya. lalu dia mengikatkan benang pada cincinnya dengan kencang, dan di gantungkan di jari jarinya. " Lihat !!!" kata Janoko. Aku lantas memperhatikannya dan terkejut,melihat cincin yang tadinya diam lama kelamaan bergerak memutar mutar sesuai perintah Janoko. " Wah bagaimana bisa !!!" kata Ku. " Nah itu bisa." balas Janoko dengan tersenyum. Bahwa itu adalah sebuah pendulum atau alat yang bisa mendeteksi suatu enerji atau pun untuk mendeksi keberadaan makhluk ghoib lainnya. Sungguh Aku sangat terpukau dan mencoba untuk membuatnya, Janoko pun lalu memberitahukannya tata caranya. " Wah !!! termyata aku bisa." terak riang Ku. " Berarti ada bakat dan kemampuan rahasia di diri kamu." terang Janoko. Aku pun mencobanya berkali kali dan semakin mahir dengan kemampuan membuat pendulumnya dalam waktu yang sangat singkat. " Apa ini yang di namakan sebuah kemampuan dan bakat." Namun aku teringat akan hery dan keris pemberian Janoko yang bernama singo barong, seseorang yang mampu berkomunikasi dengan khodamnya hingga kemampuan untuk memerintahkannya. merambat Aku mulai tertarik dengan sebuah pusaka dan penasaran apa semua pusaka terutama keris demikian, seperti yang di ceritakan hery. khodamnya mampu berkomunikasi dengan pemiliknya, atau tidak semuanya seperti hery. Sedikit demi sedikit Aku mulai memahami diri Ku yang selama ini aneh, dan terjadi bukan hanya pada diri Ku saja namun beberapa orang mengalami hal yang sama dengan diri Ku. Selang beberapa waktu kemudian, mas Darma bermain di tempat janoko dan Aku di hubunginya untuk datang oleh Janoko. " Ada apa ya? sebaiknya aku ke sana saja." Aku pun bersiap siap menutup kedai makannya, dan pergi ke rumah Janoko untuk menjumpai mereka berdua. Tidak lama kemudian, Aku sampai di rumah Janoko yang tidak begitu jauh dari rumah Ku. " Wah, Sudah pada kumpul semua dan ternyata ada kau juga her." Setelah berkumpul dan berbincang bincang, lalu kita berempat duduk saling berhadapan satu sama lainnya. " Roman romannya seperti ada seseuatu yang baru." kata ku. " Itu mas Darma mau share tentang mediumisasi katanya." balas Janoko. Mas Darma lalu memberikan mantra khusus yang harus di hapalnya malam itu juga, lalu aku berusaha menghapalnya. dan dalam bebarapa jam, Aku, janoko dan hery sudah menghapal mantra yang cukup pendek dan mudah di hapal. Setelah menghapalnya, lalu kita di perintahkan untuk mempraktekannya di waktu itu juga di hadapan mas Darma. Pada sesi pertama Janoko berhasil dengan baik dan bisa mempraktekan tekhnik dari mediumisasi. Di susul Aku, namun Aku membutuhkan 2 sesi untuk keberhasilan menguasai teknik mediumisasi ini dengan benar. " Wah, ternyata Aku bisa...!!!" teriak Ku. Di malam itu hery melakukan mediumisasi atas leluhurnya di hadapan Aku, Janoko dan mas Darma. Hery mulai beraksi dan menghadirkan leluhurnya dengan bersikap dan berbicara berat. " Hmmm...ternyata hery datang untuk ini." Setelah Hery berhasil menghadirkan leluhurnya di dalam tubuhnya, lalu Lintang pun berdialog dengan leluhurnya hery. " Ternyata benar, kalau si hery adalah seorang indigo murni." mas Lindang " Indigo murni, maksutnya." sahut Ku. Tanpa menjelaskan Lintang, lalu meminta leluhurnya untuk segera meninggalkan tubuh hery dan tidak lama kemudian hery pun tersadar kembali. " Indigo murni yang mempunyai kekuatan supranatural dari para generasinya dan tanpa belajar." kata mas Darma. Konon Khodam leluhur akan selalu mendampingi dan mengayomi beberapa pusaka mereka. " Satrio, kamu harus sering melatihnya di rumah." kata mas Darma. "Iya, Aku akan melatihnya di rumah nanti." balas Ku. Di malam itu Aku merasa sangat senang dan ternyata akhirnya Aku bisa melihat, atau menguasai mediumisasi dan pendeksian dari sebuah pendulum. Sedikit demi sedikit Aku sudah mulai memahami misteri supranatural bagi diri Ku, seperti orang orang yang sering mengatakannya. Dan seperti tidak puas, Aku masih ingin mempelajari dan berburu yang lain dan tidak cukup hanya 2 kemampuan tersebut. " ingin lebih dari ini." Malam pun telah larut dan Aku pun pamit untuk pulang untuk istirahat. " Her, ayo nginap lagi di rumah Ku.." ajak Ku. " Aku di sini saja." balas hery. " Iya sudah, Aku balik dulu ya." jawab Ku. Hery sepertinya tidak mau lagi tidur di rumah Ku, menurut si hery di kamar atas rumah Ku terlalu banyak penghuni kasat mata yang membuat dia tidak bisa tidur. Aku menepati rumah yang oleh orang bilang tidak ada yang bertahan lama, rata rata dari mereka hanya beberapa bulan menepati bahkan hanya beberapa minggu saja. Banyak cerita rumah yang di tempati Aku sekarang ini, sering terlihat sebuah kerajaan besar di balik rumah dan di belakang rumah Aku merupakan sebuah kebun pohon pisang. Kebun pohon bisa ini tidak begitu luas, hanya 5X5 meter. namun di kenal angker dan seram, sehingga sering terlihat penampakan sosok genderuwo dan anak kecil di kebun pisang tersebut. Itu yang membuat orang orang sekitar heran, melihat Aku dan keluarga Ku bertahan. tidak takut tinggal di rumah tersebut, dan pernah suatu hari ada yang menanyakan. " Kamu tinggal di sini apa ada yang mengganggu?" kata seseorang yang sedang makan di kedai makan Ku. " Di sini aman pak dan tidak ada pengganggu, tapi pengganggu apa ya pak." balas Ku. " Apa kamu tidak tahu." sahut temanya yang sedang makan bersamanya. Orang makan tersebut tidak melanjutkan pembicaraannya seperti menutupi sesuatu atau merahasiakan sesuatu dari Ku. Ch 11. Terawangan. Hingga malam berikutnya sosok misterius pria tua berjangggut hadir kembali ke dalam mimpi Ku, setelah sekian lama tidak pernah hadir di setiap mimpi mimpi sebelumnya. Sosok misterius pria berjanggut itu lalu membawa Ku berkeliling kembali ke sebuah gunung berapi yang panas dan tandus, dia sana dia memperlihatakan setiap makhluk makhluk penghuni maupun raja dari wilayah gunung itu. Seekor naga yang besar dan berwarna hijau yang sangat panjang terus memperhatikan Aku dengan tajam. " Dia adalah sosok naga salah satu penunggu gunung ini." kata sosok misterius pria tua berjanggut itu. Aku hanya bisa melihat dan memperhatikan saja seperti biasanya, bibir dan lisan seperti terkunci dan hanya bisa untuk mendengar saja. Sosok misterius lalu mengajak Satrio ke puncak gunung dan menunjukan sosok hitam yang menyeramkan dengan sebuah mahkota di atas kepalanya. " Dia adalah salah satu raja jin dan raja di wilayah ini." kata pria misterius pria tua berjanggut itu, sosok dengan wujud hitam dan besar dengan sebuah mahkota di kepalanya. Sosok misterius kakek berjanggut putih itu tiba tiba memasukan seberkas cahaya biru ke dalam tubuh Ku, Aku kaget dan merasakan hawa dinging langsung menyelimuti tubuh Ku. Aku merasa sangat kedinginan dan menggigil sesa'at, yang kemudian menghilang hawa dingin itu dengan sendirinya. " Aneh, apa ini sangat dingin sekali?" Sosok misterius pria tua berjanggut itu seperti, membelah dimensi lain dan di balik jendela yang terbuka terlihat sebuah istana yang sangat megah. Aku pun berjalan menuju ke arah istana megah tersebut, jalan menuju ke istana seperti berada di antara belahan lautan yang terbelah menjadi dua bagian. Setiap sudut istana terlihat sosok pengawal kerajaan berseragam dengan senjata, mulai dari jalan yang menuju istana hingga pada gerbang istana terlihat pengawal kerajaan berdiri di setiap sudut. Akhirya Aku dan sosok misterius telah sampai dan berdiri di depan pintu gerbang yang sangat besar dan kokoh, pintu gerbang lalu terbuka sedikit demi sedikit hingga terbuka secara penuh. " Ini seperti sebuah istana di waktu mimpi ku dulu." " Betul Satrio, ini istana yang pernah kita kunjungi semasa kamu masih kecil." Sahut sosok misterius pria tua berjanggut tersebut menggelengkan kepalanya ke arah Ku. Terkejut Aku mendengarnya, bagaimana bisa sosok misterius itu bisa mendengarkan kata hati Ku dengan benar. Aku pun berjalan menuju sebuah tempat, di mana sang ratunya yang sangat anggun dan duduk di singgasananya yang sangat megah seperti di lapisi emas sangat berkilau. Sosok ratu dengan gaun hijau dan berselendang kuning, menyambut kedatangan kita dengan sebuah senyuman yang sangat manis dan menawan. Sang ratu lalu berdiri dan berjalan mengarah ke arah Ku, dan menempelkan telapak tangannya di kepala Ku. Setelah menempelkan telapak tangannya, Aku merasakan getaran yang sangat hebat di tubuh Ku dan terguncang sangat kencang. Aku terbangun dari mimpi, dan seperti nyata dengan bergetarnya tubuh Ku yang masih terasa. " Ternyata sebuah mimpi, tapi seperti nyata tubuh aku masih merasakan guncangannya." Entah apa yang terjadi, dalam hati Ku tiba tiba muncul keinginan ingin mempelajari ilmu terawangan, persaan itu sangat kuat setelah berlalunya mimpi itu. " Kenapa tiba tiba batin ini menginginkan ilmu terawangan dan keinginan itu sangat kuat, sungguh aneh". Hari berikutnya Aku berniat mencari sosok guru yang mau mengajari ilmu terawangan dan mau membimbing Ku untuk mempelajari ilmu terawangan. Dan tidak lama kemudian Janoko datang dan mengajak Ku, nanti malam untuk ikutan belajar trawangan bersama mas Darma. " Wah kebetulan sekali." Aku tidak mengira dari tadi Aku mencari cari info untuk seorang guru yang mau mengajarkan ilmu terawangan, dan tidak di sangka Janoko menawarkan belajar bersama sama dengan dirinya. " Nanti di mana jan?" kata Ku. " Datang saja ke rumah nanti malam." balas Janoko. Malam pun tiba, Aku bersiap siapa pergi ke rumah Janoko seperti biasanya setelah menyelesaikan aktivitasnya menjaga kedai makan dan menutupnya. Setelah izin kepada istrinya, lalu Aku pun pergi menuju rumah Janoko dengan berjalan kaki. karena rumah Janoko dan Aku tidak begitu jauh, hingga untuk ke rumah Janoko hanya berjalan kaki saja. Tidak lama kemudian,Satrio sampai di rumah Janoko dan langsung duduk di bangku untuk istirahat sejenak dari aktivitasnya sebagai pelayan kedai makanan. Sambil mengeluarkan rokok dari sakunya dan menghisapnya dalam dalam dengan sepotong roti dan air hangat teh manis yang sudah di siapkan istrinya Janoko. " Kapan kita latihannya," tanya Ku. " Tunggu mas Darma datang, nanti dia yang akan mengajarkannya." balas Janoko dengan santai. Tidak lama kemudian mas Darma pun datang yang sejak tadi sudah di tunggu tunggu oleh Janoko. "Gimana mas,kapan kita latihannya?" tanya Janoko, yang sudah tidak sabaran. " Sabar dulu, aku kan baru nanti malaman kita akan mulai latihannya." balas mas Darma. " Baiklah." sahut Janoko. Setelah larut malam, acara pun di mulainya. dan semua lampu di matikan kecuali lampu kamar, kita berada di ruang tengah dan hanya lampu ruang tengah yang di matikan saja. Mas Darma lalu menyalakan sebuah lilin dan menerangi ruangan yang gelap, tapi lilin itu bukan untuk menerangi ruangan yang gelap. " Lilin itu untuk apa mas?" tanya Ku. " Untuk latihan kalian berdua, kalian pandangi api lilin itu dengan fokus. sampai terlihat api lilin tidak bergoyang, dan jangan berkedip semampu kalian." jawab mas Darma. Aku dan Janoko lalu menjalankan perintah dari mas Darma, untuk menatap api lilin dan tidak berkedip semampunya. Aku terus saja memandangi api lilin hingga tidak terpecah dan tidak berkedip, dan membuat mata menjadi perih seakan akan tidak kuat untuk terus memandanginya. " Apa begini cara melatih terawangan?, apa tidak ada amalan atau mantranya." Aku pun tetap melanjutkan perintah mas Darma walau dalam hati Ku timbul rasa keraguan, karena tidak seperti dugaan Ku. terawangan dengan amalan dan mantra khusus, seperti orang bilang. " Mas Darma, setelah ini lalu apa dan bagaimana cara menerawangnya?" tanya Ku, untuk mengakhiri rasa keraguan aku. " Fokus saja dulu." jawab mas Darma. Lalu Lintang meminta Janoko untuk mengeluarkan pusakanya, dan memerintahkan kembali untuk memandangi pusaka tersebut sampai melihat khodamnya. Tapi tetap saja Satrio tidak bisa melihat sosok yang di harapkan dan hanya gambar pusaka yang terbayang bayang efek kelelahan mata. " Mas Darma, Aku masih tidak bisa melihat sosok khodam?" tanya Ku. " Sebentar." balas mas Darma. Lalu mas Darma membacakan rapalan dari aji suket kalanjana di kedua mata Ku, akan tetapi tetap mata Ku tidak bisa melihat sosok ghoib atau apa pun. " Tetap saja tidak bisa untuk melihat khodam dalam pusaka itu!!!" Karena jengkel tidak bisa bisa, Aku pun menyudahi latihannya dan timbul rasa keraguan dalam hati Kuakan latihan saat ini, entah kenapa batin Ku, merasa ragu terhadap mas Darma. Sampai mata Ku perih dan pegal, tetap masih tidak bisa memiliki kemampuan terawangan seperti orang orang yang memiliki dan kemampuan menerawang. " Apa aku gagal ya dan tidak berbakat." Aku memilih untuk beristirahat sejenak, untuk mengistirahatkan mata Ku yang perih akibat menahan kedipan yang cukup lama. " Satrio ayo lagi." teriak Janoko. "Kamu aja jan, mata ku perih." balas Ku. Dalam hati Ku timbul rasa keraguan semakin meningkat atas cara pelatihan yang di terapkan lintang tersebut, keraguan itu meningkat di saat Aku gagal dalam mempraktekan ilmu terawangan yang di ajarkan. sampai mata Ku perih dan pegal, hingga di rapal aji suket kalanjana sekalipun tetap saja sama hasilnya gagal. " Aku yakin pasti ada cara khusus untuk bisa mempelajari ilmu terawangan." Lalu Aku ijin untuk pulang ke rumah karena sudah mulai masuk waktu subuh dan mau istirahat dan tidur. Ch 12. Mata batin Kegagalan yang sering Aku alami tidak membuat Aku putus asa, dan hanya menambah rasa penasaran diri Ku justru meningkat. dan ingin selalu belajar dan berburu keilmuan lagi, sepertinya Aku tidak ada kapok kapoknya. Dan suatu ketika Aku jatuh pada sebuah kebingungan harus melangkah dan mencarinya di mana lagi, kepada mas Darma sudah tidak mau lagi. Semakin hari semakin jauh Aku mencari cari jawaban akan teka teki diri Ku dan supranatural yang di katakan oleh orang orang akan diri Ku. " Berarti aku seharusnya mempunyai kemampuan dan bisa seperti mereka, kalau tidak memiliki. kenapa mereka mengatakan aku memiliki kemampuan?" Aku mulai meragukan mas Darma akan semua yang Aku pelajari darinya, yang Aku pelajari darinya tidak dapat menemukan jawaban dari teka teki selama ini dan sia sia saja. Lalu aku berniat mencari yang bisa membantu dan membimbingnya seperti yang hery katakan tempo dulu. Suatu hari Aku masuk ke dalam salah satu pengurus grup yang bertemakan kebatinan, dan grup ini di ketuai oleh mbah sumo, bahkan Aku pun tidak tahu kenapa diri Ku di jadikan salah satu pengurus. apa lagi grup yang bertemakan kebatinan dan supranatural, apa yang mereka lihat dari ku. Dengan terpaksa Aku menerimanya walau dalam diri aku tidak bisa apa apa, apa lagi bila melihat satu rekannya yang semuanya mempunyai kelebihan masing masing di bidangnya dan hanya membuat Ku down hilang rasa percaya diri. Seiring dengan waktu berjalan, Aku mengenal dekat beberapa sesepuh dari grup tersebut dan salah satu nya ketua grup mbah sumo. beliau selalu memperhatikan Ku dan mendukung Ku di dalam kepengurusan grupnya. Mencoba mendekatinya hingga pada satu kesempatan. " Mbah sumo, ajari saya terawangan supaya bisa seperti mereka?" Hari pertama tidak di gubrisnya dan di abaikan hingga membuat diri Ku sempat putus asa, tapi terus saja aku berusa dan selalu meminta di bimbingnya. dan di suatu hari Aku tersenyum senyum sendiri ketika mbah Sumo merespon permintaannya tapi, ternyata perjuangan Ku tidak sia sia meminta bimbingannya. " Coba kamu belajar ke mas har, bukan kah kamu pernah bertemu dan dia salah satu terbaik terawangannya." balas mbah sumo. Aku sempat lemas dan hilang rasa percaya dirin, namun Aku tetap menjalankan nasehat dari mbah Sumo untuk mempelajarinya dari mas Har, bagaimana Aku tidak lemas. malah justru di sarankan ke mas har. Namun tetap saja aku turuti saran dari mbah sumo, mungkin beliau sibuk dan merekomendasikan ke mas har. mungkin ini baik untuk saja, atau mungkin ini jalan bimbingannya. Setelah mencoba menghubungi Mas Har, dan menyampaikan amanah dari mbah sumo untuk bisa belajar dengan dirinya, mas Har pun menyanggupi tapi dengan satu syarat. " Apa kamu sanggup syarat yang nanti aku berikan." kata Mas Har. " syarat apa?" tanya Ku. " selama satu minggu minum dengan air putih." balas Mas Har. " baiklah, Aku akan mencobanya." jawab Ku. Syarat dari Mas Har Aku penuhi, Aku kira ini sangat mudah. hanya minum air putih selama 1 minggu saja, dan sejak hari itu pun selama tujuh hari berturut turut tanpa hentinya Aku hanya meminum air putih saja tanpa meminum air minum lainnya. Namun saat hari ke 5 syarat itu pun gagal, siang hari yang sangat panas dari terik matahari membuat Aku merasa haus yang sangat, hingga Aku lupa pada syarat tujuh hari minum air putih. " Lupa, ternyata sulit juga tidak seperti di bayangkan dengan mudahnya syaratnya." Sa'at teringat syarat yang sedang di jalaninya itu, ternyata syarat itu tidak mudah di jalani meminum air putih biasa membuat lidah dan mulut menjadi ambyar tanpa rasa. Dengan terpaksa semua di ulangi lagi dari hari pertama sampai hari ke tujuh tanpa terputus, hanya meminum air putih tawar tanpa rasa. di ulanginya dengan semangat tinggi, hanya untuk bisa mempelajari ilmu terawangan dari mas Har. " Alhamdulillah, akhirnya lulus juga tujuh hari minum air putih." Aku lalu segera menghubungi Mas Har atas keberhasilan ini, dan menantikan langkah selanjutnya dengan harapan segera membimbingnya. Tapi tidak sesuai harapannya dan ternyata masih ada syarat lainnya yang harus Aku jalani, dan syarat ini sangat berat bagi Ku tetapi tetap di jalani yaitu syarat puasa ngerowot. Puasa ngerowot yaitu puasa yang tidak memakan makanan yang bernyawa dengan begitu setiap hari harinya menghindari makanan seperti daging dan telor. Dengan berat hati syarat itu pun Aku sanggupi, karena tekad Ku yang sudah kuat untuk mempelajari ilmu terawangan supaya terpenuhi rasa penasaran tentang menerawang itu. " Wah, lidah terasa pahit dan ambyar? semoga bisa sampai tujuh hari." Aku baru merasakan puasa ngrowot sangat menyiksa lidah Ku, dengan hanya memakan makanan yang tidak mengandung nyawa dan hanya memakan tempe dan tahu setiap harinya. Hari yang di tunggu tunggu pun telah tiba. " Alhamdulillah akhirnya selesai juga." Segera aku menghubungi mas Har ketika menyelesaikan syarat yang ke dua yang di berikan beliau. Namun lagi lagi ada syarat yang ke tiga yang tidak mungkin di sanggupi dan di jalani saat ini bersamaan aktivitasnya. " Mas Har, syarat ke dua sudah saya jalani. setelah itu apa lagi?" tanya aku, dengan harapan sudah lulus dari ujian dan syaratnya. "tunggu masih ada lagi satu syarat akhir yang harus di jalani yaitu pati geni." ucap Mas Har. Sontak saja membuat Aku terkejut, syarat itu sangat berat dan tidak memungkinkan di jalani bersamaan aktivatas Ku sebagai penjual di kedai makanan, bagaimana harus di lakukannya bila dalam aktivitasnya membutuhkan stamina yang cukup. Mendengar jawaban atas syarat ke tiga membuat Aku ciut dan menyerah di tengah jalan. "saat ini tidak bisa menjalani syarat ke tiga karena aktivitas ku sendiri,mungkin di rumah aku coba." jawab Ku dengan lesu dan tidak bersemangat lagi. Syarat ke tiga tidak lain, Aku harus menjalani pati geni yang sebelumnya harus berpuasa terlebih dahulu, pati geni tidak makan dan minum di sambung tidak tidur sehari semalam. " Ternyata sangat sulit ujian dan syarat syarat dari Mas Har." Perlahan lahan Aku mundur dari Mas Har, karena ketidaksanggupan atas syarat yang ke tiga atau akhir yang menurut Ku sangat sulit di jalani itu. beberapa hari kemudian, di tengah hilangnya rasa semangat untuk belajar trawangan, Jonoko datang ke rumah Ku dan memamerkan kemampuan barunya di hadapan Ku. kemampuan berkomunikasi dan kepekaan atas kehadiran makhluk ghaib. " Wah, Janoko sepertinya sudah berhasil dan selangkah lebih maju." Janoko dengan kemampuan barunya langsung mempraktekannya, telapak tangan Janoko seperti merayap rayap mencari sesuatu. "Satrio, aku merasakan leluhur kamu ada di sini dan tepat di belakang kamu, sosok pria tua berjanggut putih." ucap Janoko yang memejamkan matanya. Aku sangat terkejut dengan apa yang di katakan oleh janoko, karena sama persisnya. yang selama ini selalu hadir di alam mimpi Ku, sosok misterius pria tua berjanggut putih. " Apa mungkin sosok itu leluhur saya." Aku yang terheran heran, "kalau iya, artinya aku berarti...?" penasaran dan menduga duga. " Jan, kamu belajar dari mana itu?" tanya Ku. " Entahlah, aku seperti mendapati bisikan dau hati." balas Janoko. " Bisikan!!!" sahut Ku. Setelah kejadian itu Aku semakin antara yakin dan tidak yakin, namun Aku memilih untuk yakin di karenakan tidak satu orang yang mengatakan demikiam namun sudah beberapa orang mengatakan yang sama. Artinya diri Ku ada misteri yang tersembunyi dan menjadi sebuah teka teki besar yang harus di pecahkan. " Aku tidak bisa kalah dari Janoko, aku harus bisa menguasai apa pun walaupun hanya satu keilmuan dan harus bisa!!!" Semangatku akhirnya bangkit kembali. Ch 13. Keseriusan. Ke esok harinya Aku pun mencari mbah sumo, untuk melaporkan hasilnya akan kegagalan mempelajari trawangan dari Mas Har. " Mbah sumo, syarat yang ke tiga atau terakhir yang di berikan mas Har, tidak bisa Aku jalani karena terbentur aktivitas sehari hari Aku." ucap Ku. " Bila kamu ingin mempelajari trawangan memang seperti itu lelakunya, tidak semudah membalikan telapak tangan. dan ada cara lain yang sangat mudah, namun harus konsisten selama 41 hari." balas Mbah sumo. " Apa itu syaratnya mbah sumo ?" tanya Ku yang penuh penasaran. " Aku akan memberikan amalan untuk mempertajam mata batin kamu, dan ini bukan ilmu terawangan." jawab Mbah Sumo. " Bukankah trawangan dan mata batin itu sama mbah sumo?" tanya Ku yang tambah penasaran. "Jelas sangat berbeda dari segi kinerja atau pun dari cara kita mengamalkannya, ilmu trawangan memakai panca indera penglihatan. sedangkan mata batin memakai panca indra perasa atau kepekaan batin." balas mbah sumo. Tidak lama kemudian, Mbah Sumo memberikan sebuah amalan pendek yang harus di amalkan secara konsisten selama 41 hari berturut turut tanpa putus, kalau putus satu hari saja. maka, harus di ulangi dari hari pertama sampai 41 hari. Akhirnya Aku mendapatkan juga dari Mbah Sumo, amalan khusus penajam mata batin dan mendaptkan bimbingan langsung dari beliau. Amalan yang di berikan Mbah sumo tidak Aku sia siakan, dan Aku pun langsung mengamalkannua selama 41 hari tanpa terputus secara konsisten. hari demi hari, Aku mengamalkan amalan dari Mbah Sumo dengan konsisten pada waktu dan jam yang sama. Setelah genap 41 hari mengamalkan amalan yang di berikan Mbah Sumo, Aku pun bingung dengan cara penggunaannya dan mempraktekannya. " Hmm, cara menerawangnya bagaimana?" mata ku masih seperti biasa, tidak bisa melihat sosok ghoib. Aku langsung menghubungi Mbah Sumo dan mengatakan telah selesai amalan yang di berikannya dan sudah di jalani genap 41 hari secara terus menerus tanpa putus. " Mbah Sumo, semua sudah saya jalani genap 41 hari." tanya Ku," lalu apa yang harus saya lakukan?" " Hmm, coba kamu praktekan ilmunya di setiap pojok rumah, kamu ulurkan telapak tangan kamu dan kamu rasakan di batin kamu." balas Mbah sumo," tangkap apa yang kamu bisa tangkap dan rasakan." Aku pun langsung mencobanya dan menuju pojok rumah, lalu mengulurkan telapak tangan sesuai perintah Mbah Sumo. " saya merasakan telapak tangan saya seperti kesemutan dan ada yang menjalar, dan batin saya pun merasakan sesuatu keberadaan yang tidak terlihat di pojok rumah." ungkap Ku. " Itu lah mata batin yang bisa merasakan enerji atau sesuatu sesuai tingkat kepekaan seseorang." jawab Mbah sumo," sebelum mempelajari mata batin, pahami dahulu apa itu mata batin itu sendiri, sekarang kamu berlatih terus untuk mempertajam mata batin kamu dengan cara sering di gunakan dan meditasi malam hari." Dari yang di jelaskan secara detail dari Mbah Sumo, Aku sedikit demi sedikit mulai memahaminya namun tetap saja Aku masih tidak puas dengan hanya mata batin saja. tuntuan ini seperti datang dari hati serasa meminta Ku, untuk terus belajar dan jangan puas dengan satu keberhasilan saja. Lalu Aku pun langsung mengujinya dan mengasahnya, supaya terasah dan semakin tajam mata batin Ku dengan cara meraba raba di setiap area rumah sebagai latihan. " Tapi Aku belum mempunyai keilmuan khusus untuk bisa membantu orang lai." dimana aku bisa menemukannya, sedangkan mas Darma tidak memberikannya dan bertele tele." Seperti biasa, aku mencarinya di surat kabar dan majalah dan membacanha untuk mendapati info info yang Aku butuhkan, Aku pun merasa tertarik pada satu wacana atau artikel. dan tertantang untuk mempelajari kundalini reiki, sebuah keilmuan berbasis metafisik dan tanpa amalan ataupun puasa yang memberatkan. " Apa aku bisa mempelajari kundalini reiki?" tidak salahnya mencoba dulu." Lalu Aku menjatuhkan pilihannya untuk mempelajari kundalini reiki dari salah satu seorang master yang di kenalnya dari surat kabar. Satrio harus merogoh sakunya untuk bisa mempelajarinya, setelah di cari carinya tidak ada yang gratis dan harus membayar biaya pelatihan untuk tingkat masternya. Karena penasaran dan keseriusan, Akhirnya Aku pun ikut pelatihan kundalini reiki walaupun harus merogoh saku yang cukup lumayan dalam. Ajaib Ku mampu menguasai kundalini reiki hanya dalam beberapa hari saja, seperti mustahil bagi Aku yang jauh jauh sebelumnya selalu gagal dalam mempelajari apa pun itu di waktu remaja. dan Aku pun langsung mempraktekannya, dan teman teman yang pertama sebagai uji cobanya. Sejak saat keberhasilan mempertajam mata batin, Aku seperti haus akan keilmuan apa pun dan semuanya ingin Aku lahap semua dan Aku pelajarinya dengan cepat. Hingga Aku mempunyai ide dan pemikiran yang tidak masuk akal. Aku ingin menggabungan dari tiga basic keilmuan menjadi satu dan membuat terobosan di dalam supranatural, ambisi yang sangat kuat dan liar tak terbendung. Namun Aku belum memiliki dan mempelajari dari kejawen, kalau alhikmah dari asma sirr yang pernah Aku pelajari sebelumnya. lalu aku mempelajari kejawen dari seorang teman, setelah menguasai dan siap untuk memenuhi ambisi Ku. Keinginannya sangat kuat dan tidak bisa di bendung, untuk bisa menggabungkan tiga aliran basic keilmuan itu dan menciptakan terobosan dari ambisi Ku. Aku pun mencobanya dan mencobanya namun hasil yang di dapat tidak seperti harapan Ku, terjadi ketidakseimbangan pada diri Ku dan menciptakan emosional yang berlebihan terhadap Ku. Aku sering marah marah tanpa sebab, dan selalu gelisa namun sangat berambisi. Aku pun merasakan sesuatu yang janggal dalam diri Ku, Aku meminta bantuan kepada Mas Har untuk bisa mengetahuinya apa yang sedang terjadi pada diri Ku. " Mas Har, apa yang terjadi sama Aku, Aku seperti bukan diri Aku lagi, ada sesuatu yang aneh yang tidak bisa Aku jelaskan?" tanya Ku yang sangat membutuhan jawaban dari Mas Har. " Sa'at ini apa yang sedang kamu lakukan." balas Mas Har. " Saat ini, saya mencoba menyatukan tiga basis keilmuan." jawab Ku. " Pantas saja, itu tidak bisa di lakukan bila kamu hanya atau baru mempelajari setengah setengah dari tiga itu." jawab Mas Har enteng," enerji kamu sangat tidak sinkron dan berantakan hingga membuat kamu mudah emosional dan terbawa oleh ilmunya." " Lalu apa yang harus saya lakukan Maa Har?" tanya Ku kembali. " Hentikan dan kuasai satu persatu secara penuh." ucap Mas Har. " Iya Mas Har." jawab Ku dengan lesu. Iya aku menjadi lesu karena ambisi Ku gagal dan tidak tercapai sesuai harapan, tapi Aku menyadari bila impiannya sirna dan tidak mungkin bisa terwujud, dan hari itu juga Aku menghentikan niatnya setelah mendapati nasehat dari seniornya Mas Har. Keinginan Ku seperti tidak terbendung, dan mulai membawa Aku kembali pada ambisius lebih dalam lagi dalam dunia supranatural. Sepertinya ilmu leluhur telah membawa dan menuntun diri Ku dalam melangkah dan berjalan pada jalan takdir hidup Ku. Perjalanan Spiritual Ku semakin hari semakin kencang, dan mempertemukan diri Ku pada orang orang spiritual dan supranatural lainnya. Satu persatu keilmuan keilmuan Aku kuasi dengan cepatnya hingga tanpa di sadari sudah begitu banyaknya yang aku pelajari. " Apa ini ilmu leluhur seperti yang mereka katakan?" Aku bertanya tanya pada diri Ku sendiri, yang sering keheranan begitu cepatnya dan tidak seperti masa remaja dulu yang selalu mengalami kegagalan," apa mungkin faktor usia, aku harus bisa membuktikannya di lapangan untuk memastikannya." Beberapa hari kemudian di rumah janoko sedang berkumpul anak anak indigo yang datang dari berbagai kota, Janoko sering mengajakan kopdar di rumahnya bagi anak anak indigo lainnya untuk sekedar berbagi dan saling mengisi satu sama lainnya. Ch 14. Fakta. Beberapa hari kemudian, di rumah Jonoko sedang berkumpul anak anak indigo yang sedang bercerita satu sama lainnya. Aku pun pergi ke rumah janoko untuk ikut berkumpul bersama mereka, untuk bisa saling berbagi pengalaman dengan mereka. Di rumah janoko sudah berkumpul ramai dan dia pun berjalan dan duduk di tengah tengah antara mereka Putra, Sony, Dimas, Janoko dan David. Se'sampai di rumahJanoko, Aku langsung duduk dan mengenalkan diri Ku kepada mereka. begitu juga dengan mereka, yang saling mengenalkan dirinya masing masing. Obrolan pun berlangsung tanpa syarat dan terlihat langsung akrabnya hingga kita saling menceritakan pengalaman pengalamannya yang sangat sulit di jelaskan kepada khalayak umum. Mungkin dunia mereka hanya hayalan bagi mereka yang tidak mengenali mereka, namun bagi mereka ( anak indigo ) merasa seperti ingin ada yang bisa memahami. walaupun sebatas menceritakan, apa yang pernah terjadi pada dirinya dan pengalaman pengalamannya yang sulit di mengerti. "kamu dari mana?" tanya ku kepada salah satu orang yang berkumpul di rumah Janoko, dengan perawakan yang sedikit gendut itu. " Oh, aku dari jakarta utara." balas yang di ketahui bernama Dimas. " Wah jauh juga ya, koq bisa kalian sampai kemari." balas Ku. "Untuk menjalin silaturahmi dan shering dengan yang lainnya." jawab Dimas. Dari sebuah perbincangan mereka, ada seseorang yang datang dengan tujuan. untuk meminta untuk di bersihkan dari enerji negatip dari dalam dirinya, dan itu adalah Putra. " Janoko, mau kah kamu membersihkan negatip di tubuh aku?" tanya Putra. " Nanti dulu, kita ngopi dulu aja lagi pula hari masih sore." balas Janoko. " Putra, kamu tahu dari mana itu negatip." tanya Ku," apa kamu mengetahui sendiri atau dari orang lain." " Dari orang orang." jawab Putra. Malam pun semakin larut dan sebagian dari mereka ada yang menguap dan mengantuk, janoko lalu pergi ke belakang dan membuatkan kopi tambahan untuk mengusir rasa ngantuk. " Putra gimana? apa jadi di lakukan penetralisiran negatip di tubuh kamu?" tanya Janoko. " Iya, tapi sama siapa." balas Putra. Mereka yang berada di rumah Janoko tidak ada yang mau melakukannya, bukan karena tidak bisa namun karena kurang percaya diri dan minder pada teman teman yang lain. Aku melihat sebuah kesempatan untuk bisa membuktikan kemampuan leluhur itu, apa benar ada di dalam diri Ku atau hanya khayalan. " Putra, bagaimana kalau aku saja yang melakukannya." kata Ku," tapi tidak janji bisa ya, anggap aja coba coba." " iya, tidak apa apa dan kita bisa belajar bersama sama." balas Putra. " OK, coba kamu ambil sikap meditasi dan memejamkan mata." sambung Ku. Antara yakin dan tidak yakin, Aku melakukannya hanya ingin membuktikan. apa kemampuan leluhur memang itu ada atau tidak, dan yang selama ini menjadi misteri bagi diri Ku ingin segera terungkap. Putra lalu duduk bersila dan memejamkan matanya, lalu Aku duduk di hadapannya dengan membaca doa doa yang di ajarkan, tangan Ku bergerak gerak seperti mengusap ngusap dengan. beberapa kali menarik nafas dalam dalam yang kemudian di hentakannya, dan menarik kembali nafas yang dalam dan di hentakan kembali. " Aku, harus kosentrasi penuh." Hampir seperti kelelahan se'sekali nafas Ku tersendak sendak dan berkeringat. Aku terkejut dan cemas, ketika melihat Putra lama lama bergerak dan meraung raung tidak jelas seperti ( kesurupan ), seketika Aku bingung harus melakukan apa. karena Aku tidak mempunyai pengalaman menangani orang kesurupan, dan ini pun hanya coba coba saja. "Janoko, Sony, Dimas, david gimana ini, koq malah putra kesurupan." teriak Ku yang dalam kecemasan. Dengan sigap mereka langsung membantu ketika mendengar teriakan Ku, Sony lalu langsung mendekap Putra. dan tidak lama kemudian Putra tersadar kembali, keadaan lalu terkendali kembali. Panik dan cemas masih di rasakan oleh Ku, dan timbul rasa takut di dalam hati Ku seperti rasa trauma. " Berarti aku gagal dan tidak bisa." keluh Ku. " Itu bukan gagal, berarti kamu memang mempunyai kemampuan tersembuny, hanya saja kamu belum tahu caranya." jelas Sony. " Tapi, putra malah kesurupan." balas Ku. " Artinya setiap gerakan kamu itu mempunyai efek dan bereaksi pada Putra, mungkin saja apa yang ada di dalam tubuh Putra menolak dan melawan hingga negatipnya mengambil sebagian alam bawah sadarnya. dan kalau kamu tidak bisa, maka putra tidak akan kesurupan." jelas Janoko. " Putra, kamu tidak apa apa dan apa yang kamu rasakan saat kesurupan tadi?" tanya Ku. " Terasa gelap dan berat terus seperti orang tidur." jawab Putra. Kita pun melanjutkan obrolan masing masing dengan dunianya yang tidak semua orang bisa memahami dunia mereka. " Lalu kamu Sony, koq bisa si putra tersadar saat kamu membekapnya?" tanya Ku. " Ada yang bilang kalau di tubuh saya ini terdapat titik titik hitam dan menyerap semua negatip atau menyedot semua negatip yang menempelnya." jawab Sony. "Ooh." gumam Ku. Tiba tiba saja terasa sedikit kepala berat, pusing dan perut mendadak mual, se'sekali Aku memuntahkan cairan dari mulut. " Kenapa tib tiba kepala pusing dan mual hendak muntah ya? tadi biasa biasa saja." tanya Ku, sambil memegang lehernya yang terasa mual. " Itu berarti masih tersisa sisa negatip di tubuh kamu, bukankah tadi habis membersihkan Putra dan sudah pasti akan meninggalkan sisa negatip di tubuh yang membersihkannya." Sahut David yang mendengar gumaman Ku. " oh, begitu ya." balas Ku, sambil memegang dagu. " Hari sudah larut malam, aku pamit pulang dulu karena besok harus ke pasar pagi pagi sekali." kata Ku dan berpamitan menyalami satu persatu. " iya." jawab mereka. Satrio lalu pulang setelah mengambil sisa rokoknya yang tinggal dua batang di dalam bungkusnya bersama korek apinya. Rasa percaya diri yang dulu sempat hilang, kini bangkit dan timbul lagi setelah dengan mata sendiri, pembuktian itu berhasil dan nyata kemampuan itu benar benar ada di dalam diri Ku. " Sekarang aku yakin dan inilah jawaban dari semua teka teki yang selama ini aku cari cari." renungan Ku di sa'at sedang berjalan pulang ke rumah untuk tidur dan istirahat sejenak. Sesampai di rumah, istrinya lalu membuka pintu rumah dengan mata yang masih mengantuk dan menguap sesekali. " Abis dari mana pa? pulang koq malam malam terus." kata istri Ku. " Dari rumah Janoko ma." jawab Ku. Langsung menuju kamar tidur yang sangat kelelahan dan mengantuk yang di susul istri Ku, istri Ku lalu tidur lebih dulu di samping Ku dan Aku yang masih mengingat ngingat kejadian semalam di rumah Janoko. " Ternyata seru juga dan ternyata aku memiliki sebuah kemampuan rahasia, kenapa dulu selalu gagal dan sekarang yang tidak belajar malah berhasil," Dan aku pun tertidur dengan pulasnya, namun? Seorang kakek kakek dengan jubah putih memegang sebuah tongkat mendatangi Ku, dan menyuruh mengikuti dirinya dari belakang. Berjalan cukup lama dan tidak tahu kemana membuat Ku ingin bertanya, namun aneh kali ini Aku bisa bertanya dan tidak seperti yang sudah sudah tidak bisa bertanya dan hanya mengikuti saja. " Kita mau kemana kek, dari tadi kita berjalan cukup lama?" tanya Ku. " Ikuti saja aku dan jangan sampai tertinggal." balas kakek misterius tersebut. Hingga di suatu batu yang besar kakek itu berhenti dan membalikan tubuhnya dan melihat Ku dengan sangat tajam yang membuat diri Ku sedikit ketakutan. "Kakek siapa?" " Kamu tidak perlu tahu siapa aku, nanti kamu akan tahu siapa aku ini, sekarang kamu mempunyai amanah yang harus kamu jalani." ucap kakek misterius tersebut. " Sebuah amanah apa kek ?" tanya ku. "Pah, bangun sudah pagi." kata istri Ku, membangunkan Aku yang tertidur pulas. " Ah, sosok misterius itu lagi." " Cepat ke pasar nanti kesiangan!!" teriak istri Ku, yang sedang di dapur untuk memasak warung kedai makannya. Cepat cepat bangun dari tidurnya dan melihat jam dinding. " Astaga." terkejut melihat jam dinding yang sudah menunjukan pukul 07:12 WIB, seketika langsung menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan mengeluarkan motornya untuk ke pasar. Ch 15. Kejawen. Pagi hari yang cerah dengan kicauan burung kenari yang sangat merdu dan nyaring di telinga siapa saja yang mendengarkannya. " plaakkk." pundak Ku ada yang mengepuk dari belakang sa'at Aku sedang menikmati kicauan burung kenari peliharaan kesayangan. " Ah, kau jan." kata Satrio," ada apa pagi pagi kemari." " Kamu mau ikut belajar lagi ga." sahut Janoko. " Sama mas Darma ya, gak ah!" balas Satrio. " Bukan tapi sama orang lain." kata Janoko. "Kalau itu aku mau," Ku, " asal tidak sama mas Darma lagi." Aku sangat kecewa dengan mas Darna yang di anggapnya hanya memanfaatkan dan mempermainkan Aku saja, dan merasa ada ketidakcocokan dalam hatinya. " ok, nanti aku tunggu di rumah nanti malam." kata Janoko dan pergi meninggalkan Aku yang sedang menikmati kicauan burung kenari di rumah. " Yang di maksud Janoko siapa ya?" Tanpa terasa melakukan aktivitas sehari harinya, malam pun telah tiba dan Aku pergi ke rumah Janoko setelah menutup kedai makanan seperti biasanya. Seperti biasa Aku berjalan menuju rumah janoko yang tidak jauh dari rumah Ku, hingga tidak membutuhkan kendaraan untuk sampai di rumah Janoko. Ternyata Aku sudah di tunggu Janoko yang sedang duduk dengan menikmati sebatang rokok di depan rumah kontrakannya. " Gimana Jan, jadi malam ini?" tanya Ku, yang baru saja sampai di rumah Janoko. "Jadi, ini dari tadi menunggu kamu." balas Janoko. " Terus langkah selanjutnya?" tanya Ku. Lalu Janoko mengeluarkan secarik kertas di dalam sakunya, yang sudah di persiapkan untuk Ku. " Kamu hapalkan dulu mantra yang ada di kertas ini dulu." ungkap Janoko yang kemudian memberikannya ke Aku. " Mantra apa ini?" tanya Ku kembali, setelah membuka secarik kertas yang di berikan oleh Janoko. "mantra untuk pondasi sebelum mempelajari yang lainnya dan tertulis sebuah sanadnya, Aji inti bumi." terang Janoko. "Jadi?" tanya Ku kembali. "Jadi ya kamu hapalkan dulu di luar kepala." balas Janoko. " oh, jadi harus di hapalkan dulu di luar kepala." ungkap ungkap Ku," iya sudah, aku pulang dulu untuk menghapalnya di luar kepala." "Iya." jawab Janoko. Aku pun pulang ke rumah, tapi sebelum ke rumah Aku mampir terlebih dulu di warung kopi sekitar untuk mengisi perut yang lapar. " Bang, satu indomie rebu pakai telor ya!!!" Sambil menunggu pesanan di sajikan,Satrio membuka secarik kertas yang di berikan oleh Janoko kepadanya. " Mantra kejawen." Sesa'at setelah membaca mantra dan sanadnya. Ketika membacakan mantranya satu baris, Aku merasakan sesuatu yang aneh dan merinding di seluruh tubuh Ku. " Aneh, perasaan apa ini tubuh seperti merasakan getaran?" " bang, ini pesanannya indomie rebus pakai telornya." kata pedagang warkop itu. Setelah tersaji indomie rebusnya, Aku masukan kembali secarik kertas yang berisikan mantra itu kembali di saku dan menyantap hidangan siap saji indomie rebus pakai telor kesukaan Ku. Selesai menyantapnya tidak lama kemudian, Aku membayar makanan dan melanjutkan pulang ke rumahnya untuk mencoba menghapal mantranya. Setelah sampai di rumah, Aku tidak langsung tidur. melainkan duduk duduk dan mencoba menghapalkan mantranya dengan membaca bacanya secara berulang ulang. " Ternyata mudah di hapal mantranya." Ternyata mantra mantra itu mudah di hapal di kepala Ku, dan dalam beberapa jam saja sudah di hapal di luar kepala. Tidak lama kemudian setelah menghapal mantra itu, tiba tiba mata Ku mendadak menjadi sangat mengantuk. yang tidak bisa tertahan. dan tidak biasanya mengantuk di waktu malam masih sore. Aku pun lantas pergi ke kamar untuk berbaring dan tidur karena rasa kantuk yang tak bisa tertahankan lagi, biasanya aku bisa tidur di atas jam 12 malam setiap harinya hampir tidak pernah tertidur sebelum jam 12 malam. " Tumben, jam segini mata sudah ngantuk berat." Pagi harinya Akumengabari Janoko, bila dia sudah berhasil menghapal mantranya di luar kepala dalam 1 hari saja dan Janoko memintanya untuk datang di hari rabu mendatang. " Hari rabu,mau ngapain lagi ya?" tanya Ku. " Sudah datang saja." jawab Janoko. Hari rabu malam kamis telah tiba, Aku menemui Janoko di rumahnya karena sudah janjian terlebih dahulu untuk tujuan yang sama. Setelah bertemu, Janoko mengajak pergi ke sebuah lapangan yang luas di malam hari yang cukup gelap karena tanpa lampu penerangan. " Kenapa ke lapangan?" tanya Ku. " Saran guru kita untuk memantapkan ilmunya, harus di lapangan dan terhubung dengan tanah langsung." balas Janoko," kita ambil sikap meditasi dan duduk di tanah tanpa alas dan kita rapalkan mantranya." " baiklah." sahut Ku. Kita pun lalu duduk menempel tanah, dengan posisi orang sedang bermeditasi dengan mata terpejam dan merapalkan mantranya berulang ulang. " Hmm, hatiku semakin peka saja." Aku yang bermeditasi merapalkan mantranya di tengah lapangan bersama Janoko. Aku merasakan sekujur tubuh kedinginan karena angin malam yang menerpa, namun bukan rasa kedinginan yang menggaggu Ku. melainkan perasaan batin seperti ada yang berbicara dengan Ku, namun masih terdengar sangat samar. " Jan Jan, seperti ada orang yang bicara di sini?" tanya Ku. " Di sini tidak ada siapa siapa cuma kita berdua, berarti mata batinmu semakin tajam saja." " Hemm." " Kita pulang." ajak Janoko. Kita pun lalu pulang bersama sama dari tempat melakukan penyelarasan di tengah lapangan itu, di perjalanan pulang. " Apa ilmu ini membuat kita semakin tajam mata batinnya?" tanya Ku. " Mungkin sepertinya, setelah ini kita lakukan di rumah masing masing seperti yang barusan kita lakukan di tengah tengah lapangan barusan." balas janoko. Di rumah, Aku melakuannya seperti ketika penyelarasan di tengah lapangan hingga pada setiap malam hari. " Aku seperti merasakan ada yang berbicara di dalam hati." di saat melakukan penyelarasan kembali di rumah, seperti seorang kakek kakek yang berbicara tetapi masih samar dan tidak begitu jelas. " Mungkin hanya perasaan aku saja." Tidak mau menunggu lagi, pagi harinya Aku langsung menanyakan keganjilan atas diri Aku ketika mengamalkan ilmunya itu. " Guru, maaf boleh saya bertanya ?" tanya Ku. " Ada apa Satrio." balas guru. " Ketika mengamalkan inti bumi, kenapa seperti ada orang yang sedang berbicara dengan dirinya?" tanya Ku kembali. " Inti bumi merupakan ilmu dasar sebelum melangkah pada ilmu ilmu lainnya sesuai tradisi sebelum kita, salah satu manfaatnya memperkuat wadah,menambah residu enerji dan menambah kepekaan kita." penjelasan ringkas guru. " lalu suara suara itu guru ?" tanya Ku, kedua kalinya. " lebih pada ketajaman kepekaan seseorang, salah satu keunggulan kepekaan mata batin mampu berkomunikasi dengan bangsa ghoib." jawab guru. " berarti itu suara dari bangsa ghoib." Aku pun sangat terkejut. " Betul." balas guru," dan inti bumi akan mudah dalam penyerapan ilmu ilmu yang di pelajari ataupun mendatangkan ilmu ilmu yang lainnya." Penjelasan dari gurunya, membuat Aku tidak lagi kebingungan dan sedikit paham, menjadi semangat baru dalam menimba ilmu ilmu lainnya, tidak menyangka diri Ku telah berhasil yang dulunya selalu dalam kegagalan terus menerus. Ch 16. Misi part 1. Setelah mendapat penjelasan dari guru, Aku semakin yakin dan mantap menjalani sebuah takdir yang telah di tentukan dan di gariskan. " Dua ilmu sudah Aku kuasai, dan selanjutkan tinggal prakteknya." kata hatiku yang semakin yakin dan mantap. Dan apa yang di katakan guru benar adanya, bila Aku sudah menguasai inti bumi maka akan lebih mudah menyerap atau mendatangkan ilmu apa pun. Hati dan batin ini seperti masih belum puas akan hasil yang sudah di dapat, seperti ingin terus dan terus lagi mempelajari ilmu ilmu yang lainnya. Aku pun masih aktif berkumpul kumpul dengan mereka di rumah Janoko ataupun sesekali di rumah Aku. Seringnya berkumpul membuat kami menjadi lebih akrab, kami pun secara tidak langsung membentuk sebuah komunitas seiring seringnya saling jumpa dan tatap muka. Bisa di katakan kami sekumpulan anak anak indigo, atau anak anak yang mempunyai kemampuan di bidangnya masing masing dan saling berbagi satu sama lain. Hingga suatu hati, Aku mendapati seseorang yang meminta bantuan dan menjanjikan sebuah nominal bila berhasil. Pekerjaan itu adalah mempercepat penjualan sebuah tanah yang cukup luas di daerah jawa barat. Pekerjaan ini berasal dari seseorang yang bernama Rahman, dan bisa di katakan juga seorang spiritual yang di mintai bantuan oleh yang mempunyai hajat. Aku pun tidak tahu, kenapa dia meminta bantuan Aku. dan apa yang di lihat di Ku hingga meminta bantuan, sedangkan dia saja lebih senior dan lebih berpengalaman. " Satrio, boleh saya meminta bantuan kamu ?" tanya rahman. " Bantuan apa kang." balas Ku " Bantu saya dalam mempercepat penjualan tanah yang cukup membuat saya kesulitan, nanti akan ada bonus buat kamu." kata Rahman. " Insya Allah,tapi tidak janji namun aku usahakan." jawab Ku. Dengan percaya dirinya Aku pun bersedia. " Tak apa lah, buat latihan dan praktek saja." pikiranku saat itu. Padahal waktu itu Aku tidak mempunyai pengalaman dan jam terbang yang cukup untuk praktek di lapangan, namun tekad Ku sudah bulat dan mantap apa lagi di iming imingi uang yang cukup besar. Beberapa hari Aku mengerjakannya dengan cara yang Aku pelajari bersama mereka, dari grup privasi jati diri dari media sosial. Tapi Rahman ingin cepat cepat segera terjual, karena di tekan sama si pemilik hajat untuk segera terjual tanahnya. " Kang, ada yang aneh dengan tanahnya ?" tanya Ku saat itu. " Aneh bagaimana Kang." jawab Rahman. " Aku merasakan ada yang ganjil dan ada yang mengganggunya supaya tidak terjual." jawab Ku. Aku merasakan sesuatu yang aneh seperti ada penghalang dan masalah intern keluarga besarnya. " Iya kang, memang demikian," kata Rahman," maka dari itu aku minta bantuan, karena sudah bermain black magic." Karena ada unsur black magic, maka aku pun meminta bantuan ke mereka. Aku pun pergi ke rumah janoko dan secara kebetulan seperti biasanya, selalu berkumpul setiap minggunya di rumah Janoko. Dengan harapan bisa di bantu dan cepat terselesaikan kasus pertama Aku, di sana sudah ada Janoko, Sony, Dimas dan david. Ketika di rumah Janoko, Aku pun langsung mengutarakan niat Ku untuk meminta bantuan mereka. "Teman teman, aku punya kasus yang harus di selesaikan dengan cepat." kata Ku kepada mereka. "Kasus apa Sat?" tanya David. " Wah, mantap kamu sat." kata Dimas. " Pekerjaan mempercepat penjualan tanah, tapi nanti akan ada bonusnya bila berhasil terjual." jawab Ku. Mendengar ada bonusnya, membuat mereka semangat. dan langsung berdiskusi sebuah strategi yang akan di ambilnya, apalagi si David yang sangat bersemangat sekali. " Kalau seumpama berhasil, nanti duitnya buat apa." cetus David di sela sela penyusunan strategi. " Kita bikin kemeja saja, biar kita semakin kompak menjalin silaturahmi." jawab Dimas. Akhirnya sebuah keputusan sudah di ambil bersama dan bonus akan di belikan sebuah kemeja, supaya silaturahmi semakin erat. Pekerjaan pun langsung di mulai, pekerjaan yang tidak lazim dan sulit di percaya. tidak seperti pekerjaan yang pada umumnya, mempercepat penjualan tanah secara ghoib bukan secara marketing. Kita saling mengeluarkan kemampuan kemampuannya dalam menyelesaikan misinya dan penuh semangat sebagai sebuah tim yang solid. " Aku akan memasukan enerji positip ke dalam tahan, supaya cepat terjual dengan cepat." kata Dimas. "Aku akan membuat pagaran dari hal hal yang mengganggu pekerjaan kita." sahut Janoko. " Dan aku akan mengebom semua makhluk ga jelas di tanah itu." kata David. Pekerjaan di lakukan dalam beberapa hari lamanya, hingga batas waktu yang tidak di tentukan. Dan tidak di sangka keberhasilan dan keberuntungan ada di pihak kami, kami berhasil menyelesaikan pekerjaan mempercepat penjualan sebidang tanah dalam beberapa hari saja. Kami pun mendapatkan sebuah bonus dari hasil pekerjaan itu, tidak lama kemudian rahman memberikan sebuah kabar akan datang ke jakarta untuk memberikan bonusnya. " Tidak di sangka, berhasil juga." kata David. " Alhamdulillah, kita bisa beli seragam." sahut Dimas dengan tawa kecilnya. " Terus gimana sat, apa rahman nanti akan ke sini?" tanya Sony. " Insya Allah, kita tunggu aja." jawab Ku. Terkadang Aku sempat berpikir begitu mudahnya, hanya bermodal sugesti dan visual visual yang kami lakukan, tapi semua pekerjaan di selesaikan sesuai harapan. Tidak dalam 1 minggu, rahman memberikan kabar akan datang pada hari ini dan minta di jemput di terminal. " Satrio, aku berangkat dari garut hari ini." kata Rahman, " kemungkinan sore aku tiba." " Ok, kang." jawab Ku. Aku pun lantas mengabari mereka, bila Rahman akan datang sore ini dan minta di jemput di terminal, karena dia tidak tahu jalan di sini. Satu persatu mereka tiba di tempat Ku, dan menunggu Rahman datang dan di jemput di terminal. " Kira kira kita dapat bagian berapa ya?" tanya Sony. " Mungkin 100.000." jawab Janoko tertawa. Tiba tiba handphone aku berdering," Wah, dari Rahman." kata ku, lalu Aku angkat teleponnya. " Satrio, aku sudah sampai tolong di jemput di depan pintu terminal ya.." kata Rahman yang sudah sampai. " Baik, tunggu saja nanti di jemput sama David." balas Ku di telepon. " Rahman sudah sampai dan jemput di depan pintu terminal." kata Ku, meminta David untuk menjemput Rahman. " Melunjur." sahut David dan menyalakan motor honda mega pronya. Mereka yang menunggu sangat berharap harap kejutan dari Rahman yang akan memberikan bonusnya. Bisa jadi ini adalah pertama kalinya mendapatkan bonus dari sebuah kemampuan kemampuan mereka, yang tidak pernah di anggap orang sekitar lingkungannya. Rahman dan David akhirnya datang juga yang di tunggu tunggu, Rahman lalu turun dari motor David dan bersalaman mengenalkan dirinya, karena sebelumnya tidak pernah bertemu. Rahman pun lalu duduk di antara mereka, Satrio menyiapkan minuman untuk Rahman yang baru sampai dari perjalanan jauhnya. Ch 17. Komunikasi Ghoib. Setelah keberhasilan menjalani misi dan pekerjaan pertama, kami masih aktif saling bertemu dan berkumpul di rumah Janoko. Ssmakin hari, semakin banyak yang bersilatuhrahmi ke tempat kami dan menjadi lebih banyak anggota dari berbagai daerah. Rasa percaya diri Ku semakin meningkat dan semakin yakin dan memahami tentang diri Ku yang selama ini selalu membuat Ku penasaran dan menjadi sebuah teka teki dalam kehidupan Ku. Perlahan Aku mulai memahami, siapa sosok misterius pria tua berjanggut putih yang selalu hadir dan datang ke dalam mimpi Ku. Suatu malam di saat menjalani kerutinan dalam meditasi spiritual, sering terdengar suara yang berusaha mengajaknya untuk berkomunikasi, perlahan dan pasti Aku pun mulai mendengarnya dengan sedikit jelas. Aku dan sosok misterius itu akhirnya sering berkomunikasi dalam batin, hingga pada akhirnya Aku pun mulai terbiasa berkomunikasi dengan sosok kasat mata atau sebangsa makhluk halus dari golongan jin. Berkat dari kepawaian berkomunikasi dengan bangsa atau makhluk ghaib, suatu ketika Aku seringnya dan usil mengajak komunikasi leluhur leluhur yang sering di sebut anak indigo. Kebiasaan itu pendapati sesuatu yang sangat bermanfaat, yang di berikan oleh salah satu leluhur dari etnis China. Suatu hari Aku di mintai pertolongan atau bisa di katakan membantunya, namanya Meli dia seorang indigo dari etnis China yang sedang di ganggu atau di serang secara ghaib oleh seseorang. Dengan kemahiran memerintahkan bangsa Khodam yang di dapat dari ketajaman mata batin ku ketika menguasai Aji inti bumi, Aku pun mengirim khodam macan yang ada di diri Ku untuk menjaga Meli dari serangan serangan Ghaib. " Mel, aku mengirim khodam macan ke kamu untuk berjaga jaga saja." kata Ku. "Iya kang, pantas aku mendengar suara auman harimau di luar pintu." balas meli. Namun kejanggalan terjadi, mata Ku seperti singkron dengan khodam macan yang aku kirim ke Meli, mata ini seperti melihat keadaan di sana. Mata harimau Ku tertuju mata sebuah patung, lalu patung itu lama kelamaan berubah wujud yang menakutkan. " Siapa kamu, dan ataa keperluan apa datang kemari," kata dari perwujudan patung itu. " Aku satrio teman dari Meli, dan datang kemari untuk membentengi dari musuh. " jawab Ku, karena mata dan batin Ku tersingkron oleh khodam harimau. Tiba tiba sosok yang menyeramkan itu lalu berubah menjadi sosok wanita cantik yang anggun, kalau di tv mirip dewi kwan im. " Hah, dia berubah wujud menjadi wanita anggun." kata Ku lirih. " Iya, aku akan berubah menjadi sosok yang mengerikan bagi manusia yang berhati jahat, tapi akan menjadi aku bagi manusia yang berhati baik dan bersih." sahut sosok yang di ketahui adalah leluhur dari Meli. Ternyata Meli dan leluhurnya masih mempunyai darah Laksmana Ho, seorang mualaf pedagang besar dari negeri China yang sempat tinggal di indonesia dan mempunyai istri dari indonesia. " Aku akan memberikan kamu sesuatu yang sangat penting, sebagai pengetahuan dalam aura tubuh." kata leluhur meli. " Aku sangat berterima kasih bila di percaya." kata Ku, dalam perwujudan se'ekor harimau. " Dengarkan baik baik dan hanya sekali ku sampaikan." lanjut leluhur meli, " Dalam keluarga kami memiliki ilmu rahasia pengobatan tiongkok dan ilmu aura merubah nasib, saya hanya akan menjelaskan ilmu aura rahasia keluarga kami." Aku pun akhirnya mendapatkan rahasia itu yang belum atau jarang di ketahui se'seorang dalam bidangnya. " Oh, itu rahasianya kenapa sering terjadinya kegagalan." Akhirnya Aku pun mengakhiri mediumisasinya dan izin untuk kembali, Ku suruh khodam harimau untuk pulang bersama Ku. " Mel, barusan aku berbicara dengan leluhur kamu, dan memberikan suatu rahasia." kata Ku. " Rahasia apa ?" balas Meli. " Rahasia tentang ilmu aura." Kata Ku kembali. " Tolong jaga rahasia itu kang, karna itu rahasia dari keluarga kami dan benar adanya." seru Meli. " Iya." jawab Ku. Aku pun menyudahi kegiatan supranatural , dan pergi ke bawa untuk membuat teh manis panas kesukaan Ku, karena kamar atas tempat dimana aku seringnya untuk bermeditasi dan kegiatan supranatural lainny. Di saat Aku sedang menikmati satu gelas teh manis panas, dalam batin Ku ingin membuktikan rahasia itu tapi di mana aku bisa mempraktekannya. " Apa aku praktekan kepada mereka ya." pikir Ku sembari senyum senyum. " dan memamerkan kepada mereka hehe." Ke'esok harinya seperti biasanya,kami saling berkomunikasi pada chat grup whasapp, di sela sela obrolan grup. " Apa ada yang mau jadi kelinci Ku." kata Ku. " Wah, buat apa Sat?" tanya Dimas. " Semalam, Aku baru dapat sebuah rahasia tentang aura dari lelulur orang." balas Ku, " makanya mau aku buktikan sekaligus mempraktekannya kebenarannya atau hanya tipu muslihat saja." " Aku mau." sahut anjar, salah satu anggota grup whastapp. Aku pun memberikan sebuah instruksi kepada Anjar untuk melakukan yang aku inginkan, setelah anjar terlihat sudah siap untuk jadikan bahan praktek. Sebuah aba aba Aku berikan, siap dan konsentrasi penuh dalam beberapa menit, hingga merasa sudah cukup. " Anjar sudah selesai." kata Ku. " Koq kepala Aku tiba tiba terasa berat tapi badan terasa ringan." balas Anjar dengan respon cepat. " Hemm." " Tak apa itu, berarti proses pembuangan enerji negatip di tubuh kamu berjalan sukses Anjar." sahut Janoko. " berarti benar rahasia itu," " Satrio, tadi itu apa ?" tanya Anjar. " Oh, itu di katakan atau bisa di bilang sebagai praktek supranatural bedah aura." balas Ku menjelaskannya kepada mereka semua. Lalu aku pun menyumbang salah satu rahasia itu, dan tersimpan di grup belajar secara daring tempat kami belajar bersama sama dengan pembimbing banaspati kembar. Aku bangga dan Aku pun senang bisa menyumbangkan salah satu ilmu rahasia di grup kami belajar bersama sama dengan mereka. Di kemudian hari Aku sering mempraktekannya, sebenarnya masih ada satu rahasia yang aku sembunyikan dari mereka. Bila bedah aura itu bisa menutup aura se'seorang dan menghancurkan kehidupannya hingga sampai pada keluarganya. "Aku tidak mungkin memberikannya, biar saya yang positip yang aku share dan save di grup pembelajaran kami. Di kenal sebagai spesialis aura membuat Aku waktu itu semakin bangga dan percaya diri meningkat tajam. " Sat, kamu berkembang sangat cepat ?" tanya Janoko. " Aku juga tidak tahu, sejak memahami diri dan mempelajari inti bumi banyak yang datang." jawab Ku. Guru Arya pernah mengatakan " bila sudah menguasai inti bumi, maka berbagai ilmu akan datang dan memyerap dalam mempelajari sebuah keilmuan." " Benar juga ya." gumam Janoko yang mendadak teringat akan pesan gurunya. Satu persatu Aku menguasai beberapa keilmuan dan menambah bendahara keilmuan,l Aku mencatatnya di dalam buku seperti yang di katakan guru Arya. " Catat di dalam buku dan ikat supaya tidak terlepas atau lupa." kata guru saat itu. Ch 18. Misi part 2. " Ping, Ping, Ping !!!" Dering handphone Ku yang rame dan selalu bunyi, Aku pun penasaran dan mengambilnya dan ternyata grup whastapp kami rame. " wah ternyata ada yang mau datang dari Irian Jaya." kata ku, ketika melihat isi whastapp grup kami. Ada yang mau datang di tempat kami biasa berkumpul, biasanya kami berkumpul di tempat Janoko atau tempat Ku. Malam harinya kami sepakat untuk berkumpul di rumah Janoko untuk membahas se'seorang salah satu anggota grup datang ke tempat Janoko. Jamal orang yang datang dari Irian Jaya memgatakan akan datang dalam waktu minggu ini untuk berkunjung ke tempat kami, dan meminta untuk di jemput dan di arahkan jalan atau rutenya. Satu persatu datang ke rumah Janoko, Aku yang datang sedikit terlambat karena harus menutup kedai warung makan dan menutup pintunya baru bisa pergi keluar. Ketika Aku sampai di rumah Janoko, di sana sudah ada Sony, david, dan Dimas yang sedang menunggu Aku dari tadi. " Kemungkinan Jamal akan datang ke jakarta hari sabtu depan." kata david. " Dia asli mana vid?" tanya Dimas. " Dia asli jawa tapi bekerja di Irian Jaya dan datang kemari dengan satu tunjuan." balas David. " Hmm, tujuan apa memangnya." sahut Ku, di sela pembicaraan mereka. " Sebuah proyek besar." Jawab David kembali. Ternyata Jamal dan David sangat dekat dan sering mengobrol di chatt pribadi mereka berdua, hingga David lebih memahami kasus dan keperluannya. Kami pun sepakat dan menunggu kedatangan Jamal ke Jakarta dan berkumpul di rumah Janoko yang selaku tuan rumahnya. " Nanti Jamal akan memberikan sumbangan uang untuk membuat jaket grup whastapp kita." kata David. " Serius." sahut Jonoko. " Iya tapi kita sebelumnya membantunya dulu." balas David. " Tunggu, kita ini membantu apa ?" tanya Ku. " Menggolkan sebuah proyek di Irian Jaya." jawab David santai. " Wah kita akan bikin jaket." sela Sony yang tersenyum senyum. Pembicaraan pun selesai, rasa lapar mulai datang seiring malam yang semakin larut dan memasuki tengah malam. Aku berpamitan untuk pulang untuk istirahat sejenak di rumah dan paginya beraktivitas kembali. Di tengah perjalanan pulang," dari irian jaya, datang ke jakarta hanya sebatas silaturahmi." pikir ku, " serasa tidak mungkin dan pasti ada tujuan tertentu." Sesampai di rumah, Aku pun langsung tertidur karena rasa kantuk yang tak tertahankan lagi untuk menjaga mata untuk terbuka. Tidak lama kemudian terdengar kabar bila Jamal akan berangkat dari Irian Jaya pagi hari, kemungkinan mendarat di bandara soekarna-hatta pukul 15:00. David chatt Aku, kalau dia akan menjemput Jamal di bandara dan mengajak Aku tuk ikut bersamanya menjemput Jamal. Jamal seperti datang tidak sendiri, dia datang bersama temannya karena David mengajak orang lain dengan sepeda motor. " Satrio, ayo ikut menjemput Jamal." kata david. " Aku mana bisa, jam segini harus menunggu warung." jawab Ku. " Iya udah, nanti sama si Sony saja menjemputnya." balas David. David dan Sony pun pergi menjemput Jamal di bandara soekarna-hatta dengan dua sepeda motor. kami dan yang lainnya menunggu di rumah Janoko, yang asik mengobrol dan meminum secangkir kopi dengan sebatang rokok. " tidak sangka, dari Irian Jaya datang ke Jakarta hanya untuk menemui kita." kata Dimas mengisi pembicaraan. " Mungkin saja mempunyai tujuan dan hajat khusus." jawab Janoko. " Pastinya," sahut Ku. Janoko sudah menyiapkan hidangan buat menyambut si Jamal yang datang dari jauh jauh ke jakarta. " Lama mereka sampainya? tanya Dimas. " Sabar aja mungkin macet di perjalanan." balas Ku. Tidak lama kemudian mereka datang bersama Jamal dan seorang wanita, ternyata wanita itu salah satu anggota grup namanya selvi berasal dari jawa tengah. " Itu mereka sudah datang." teriak Ku. Mereka pun turun dari motor dan di sambut oleh kami dengan beberapa hidangan yang siap di santap dan di nikmati bersama sama. " Apa kabar Jamal, bagaimana perjalanannya." sapa Dimas. " Alhamdulillah, cukup melelahkan." jawab Jamal yang kemudian menyalami kami satu persatu. " Iya udah kita makan dulu hidangan yang sudah di siapkan." balas Janoko. Kita pun lalu makan bersama sama di rumah Janoko, hidangan yang telah di siapkan oleh istri Janoko. " selvi, kamu juga ikut makan bersama kami." ajak Janoko. Suasana yang seperti keluarga besar dan terlihat kebersamaan yang sudah terjalin begitu lamanya, tertawa, bercanda dan bergurau bersama sama. " Teman teman, saya datang ke sini mau meminta tolong kepada kalian." kata Jamal, dalam membuka obrolan. " Apa yang bisa di bantu, Jamal." balas Ku. " Begini, saya mau minta tolong supaya mendapatkan sebuah tender dari salah satu. perusahaan plat merah." kata Jamal. " Kamu main tender ya." sahut tanto. " Lalu apa yang bisa aku bantu?" tanya Ku. " Iya tanto, awalnya saya pekerja tapi mau coba coba peruntungan di tender ini." jawab Jamal. Kami semua mendengarkan Jamal yang sedang menjelaskan tujuan utama datang ke jakarta di sela sela makan bersama. " Ini proyek cukup besar namun sangat beresiko, pembuatan jalan di Irian Jaya tentu akan banyak hambatan dan rintangan, dan pastinya tidak lepas dari persaingan ataupun tetua adat di sana yang pro dan kontra atas proyek ini." penjelasan Jamal, " dan sudah pasti mistik di sana sangat kuat dan masih kental." " Wah misi yang berat." sahut David. " Tapi bila nanti berjalan lancar, nanti aku berikan nominal untuk pembuatan jaket bersama sama dan saya yang akan bayar semuanya." lanjut Jamal. Setelah melalui perdebatan dan musyawarah yang cukup panjang, akhirnya kami pun bersedia membantunya dalam melancarkan proyeknya berjalan tanpa halangan. Tidak terasa malam datang begitu cepatnya, dan Jamal pun merasa kelelahan akibat perjalanan yang cukup jauh di tambah belum istirahat. " Jamal dan selvi nanti mau tidur di mana." kata janoko. " Nanti aku tidur di hotel saja bersama Selvi" jawab Jamal. " David, apa ada hotel di daerah sini yang tidak jauh? tanya Jamal. " Ada tapi cukup jauh di dekat terminal." balas David. " Saya pernah lihat hotel di daerah sini tapi bukan hotel, kemungkinan losmen." sahut Janoko. " O iya, maksut kamu pasti yang di depan kolam renang ya Jan." Sambung Ku. " Iya udah kita antar saja sekarang." seru Tanto. Karena malam sudah semakin larut dan jamal terlihat sangat kelelahan, kami pun mengantar Jamal dan selvi ke tempat penginapan bersama sama. Bersama sama kita mengantarnya dan pawai bersama sama ke penginapan yang di katakan Janoko. " Jan, apa kita bisa? tanya Ku, yang ikut berbonceng di Janoko. " Jalani saja dulu, kalau gagal itu sudah terbiasa." jawab Janoko. Tidak lama kemudian sampai di penginapanan, dan setelah Jamal mengurus admin di penginapan, kami lalu pulang kembali. Ch 19. Teror. Tugas sudah di depan mata, misi yang sangat berat harus berhadapan dengan mistik Irian jaya yang sangat kenal dengan black magicnya. Sedangkan kami hanyalah sekumpulan anak anak indigo dengan kemampuan yang belum di pahami 100%. Misi dan tugas tetap di jalani, seperti biasa kami membagi bagi tugas dan bekerja dalam whastapp grup pribadi kami. Davis sebagai penghubung, Aku dan Janoko memberikan kenyamanan penduduk dan sesekali membantu Sony dalam pemagaran ghoib sedangkan Dimas dengan kemampuannya sebagai penghubung dua dimensi. Setelah Jamal terbang kembali ke Irian jaya, kami pun langsung bergerak pada langkah pertama menggolkan tendernya atau memenangkan tendernya dari para pesaingnya. Dan anggota baru kami denny bersama murid muridnya melakukan zikir bersama untuk membantu kelancaran semua urusan Jamal. Hari pertama sangat alot, dan beberapa kali Aku dan Janoko sering kewalahan dan gagal dalam hari hari pertama. Ternyata tidak semudah dulu, dalam tender para pesain juga memakai jasa jasa paranormal yang sudah tentu kemampuannya di atas kami semua yang masih mengandalkan ilmu ilmu leluhur. Di Kabarkan posisi Jamal sangat sulit dan hampir kalah dengan para pesaingnya, pesaing yang lebih profesional dan lebih berpengalaman. Kami pun tetap berusaha semampu kami untuk bisa membantu Jamal meraih tender harapannya itu. Setelah beberapa hari, akhirnya mendapati kabar bila Jamal sudah berhasil memenangkan tendernya dengan mulus, sudah tentu itu membuat kami senang dengan keberhasilan ini. " Alhamdillah, kita berhasil meloloskan tender jamal." kata David. " yesss." sahut Ku. " Setelah ini, apa lagi." balas ku. " Ya pastinya dapat kemeja lah." sahut Janoko dengan tawa kecilnya. Ternyata perjalanannya masih sangat panjang, keberhasilan itu hanya awal saja dan bukan akhir dari misinya. Beberapa hari kemudian Jamal memberikan kabar, dia kesulitan dalam bernegoisasi para tetua adat setempat perihal pembebasan lahan untuk proyeknya. Sebagian dari tetua adat tidak setuju pembesan tanahnya dan sebagaian ada yang tidak cocok dengan harga yang di tawarkan pihak perusahaan Jamal. " Haduuuh...tambah berat lagi tugasnya." kata Ku sembari menepuk jidat. " Sabar lah, sebentar lagi juga selesai." Sahut Dimas. Di malamnya kami memutuskan melakukan pekerjaan masing masing dan saling memantau, Aku lalu menggunakan Aji banyu yang di ajarkan guru Aku untuk menetramkan suasana di Irian Jaya, dan yang lainnya pada tugasnya dan kemampuan masing masing. Ritual di lakukan selama 3 hari berturut turut tanpa henti dan di lakukan di tempat khusus dan harus dengan kosentrasi tinggi. " Gimana ini, Jamal butuh uang untuk pelicin jalannya proyek." kata David pada chatt grup kami. " waduuh." balas Sony. " Koq, pakai pelicin segala?" tanya Dimas. " memang butuh berapa?" tanya Ku. " katanya 5 juta." jawab David. "Busyeeeeetttt..." sahut ku kaget. " Iya sudah kita patungan membantunya, gimana ?" balas Dimas. " Tapi itu uang yang cukup besar, uang dari mana kita." kata Janoko. " Tapi nanti akan di ganti, bila dana sudah cair di awal bulan, saat ini Jamal tidak punya uang." sambung David. Akhirnya kami pun sepakat membantunya dengan cara patungan hingga terkumpul uang 5 juta. Setelah beberapa hari kemudian, lalu terkumpul juga uang sebesar 5 juta yang akan di gunakan Jamal untuk pelicin jalannya proyek dalam pembebasan lahan. David lalu menyerahkan uangnya ke Jamal melalui via transfer dan akhirnya dua misi terselesaikan dengan baik, kami pun senang mendapat kabar sudah ada kontrak pembebasan lahan tersebut. " Alhamdulillah akhirnya gol juga." kata Ku pada sebuah chatt obrolan grup kami. " Alhamdulillah." sambut Janoko. Tapi itu bukan pula akhir dari misinya, masih ada lagi yang sangat memberatkan bagi kami semua. Dalam rute jalan yang akan di bangun nantinya, terhalang pohon besar yang menurut warga sekitar sangat saklar dan kramat. Beberapa kali sering meminta tumbal manusia, dan beko seringnya mati mendadak hingga membuat macetnya jalan proyek Jamal. Di sini tantangan yang sesungguhnya dan teror teror penunggu pohon besar yang hampir mengambil tumbal nyawa dari salah satu anggota team kami. " Apa !, pohon tua dan kramat." kata Ku, kaget. " Iya, pohon besar menurut warga sangat kramat dan sering mengambil tumbal pekerja proyek, tidak lama keajadian, salah satu pekerja proyek meninggal secara mendadak." kata Jamal, melalui chatt obrolan grup kami. " Trus apa yang akan kita lakukan." sahut Dimas. " Kita harus menumbangkannya." balas Jamal. " Berarti ?" tanya David. " Berarti harus menebang tanpa tumbal lag." kata Jamal. " waduuuh!" keluh Ku. " Tanggung kita sudah di tengah jalan." sahut Sony.. Kesepatakan pun terjadi, kami akan melakukan misi yang sangat berat dan belum pernah kita alami sebelumnya sebuah pertarungan ghaib dengan sosok ghaib. Sudah pasti membuat kami kebingungan dan ada rasa takut melanda, bagaimana tidak, kami tidak punya pengalaman dan selama ini mengandalkan keindigian ilmu leluhur yang tak pernah di pelajari. Di atas kertas kami tumbang dan kalah telak, pertarungan ghaib, apa yang harus kami lakukan. Aku pun lalu menghubungi guru, dan menceritakan semuanya apa yang sedang Aku hadapi bersama teman teman.. " Apa kamu sudah gila dan ingin mati." kata guru Ku sedikit emosi. " Tapi sudah terlanjut." jawab Ku memelas. " Iya sudah, kamu harus mempelajari Aji Segoro geni untuk bisa mengatasinya." balas guru Ku. " Asiiik." teriak Ku kegirangan, karena mendapati sesuatu yang baru. Guru Ku selalu memberikan solusi dan selalu memberikan yang baru sesuai apa yang sedang aku hadapi saat ini. Sebelum memulai misi yang berat, melakukan pertarungan ghaib Aku pun memperlajari Aji kanoragan segoro geni, untuk bekal dan senjata Ku dalam pertarungan nanti. Selama beberapa hari Aku pun melakukan penyelarasan Aji segoro geni di rumah, dan beberapa hari itu aku pun tidak aktip dalam obrolan grup kami. Hingga Aku pun berhasil dalam mendalami Aji Segoro geni, wadah Ku mempunyai kelebihan dalam cepat menyerap ilmu ilmu jawa. Waktu pun sudah di mulai, seperti biasa semua mendapatkan tugasnya masing masing sesuai kemampuannya, dan kali ini Aku yang menjadi ujung tombaknya. Aku ingat pesan guru, jangan gegabah dan lakukan diplomat terlebih dahulu, Aku pun melakukan negoisasi dengan ilmu mediumisasi yang Aku pelajari dari mas Darma dulu. Di kamar yang aku matikan lampunya, 3 tangkai dupa aku nyalakan dengan bau wanginya yang khas meningkatkan daya kosentrasi, mantra pun aku bacakan perlahan lahan dan pasti. Aku serasa pergi melintas ruang dimensi, dan tepat di depan sebuah pohon yang sangat besar yang sangat kokoh. Tiba tiba seperti gerbang yang terbuka dan begitu banyak sosok kasat mata yang bermukim di pohon itu, mirip sebuah perkampungan atau bahkan sebuah kerajaan kecil. Dari sekian ratus sosok astral, terlihat satu sosok yang sangat berwibawa dan berpengaruh di lingkungannya. Ch 20. Tumbal. Dia pun datang kepada Ku, dengan wajah yang sangat menyeramkan dengan dua tanduk di kepalanya. sosok yang sangat menyeramkan dan menakutkan, dengan bau busuk yang sangat menyengat. Ketegangan pun terjadi dan berdebatan yang sangat alot, dia tidak mau di pindahkan, karena dia sudah ribuan tahun menempati pohon itu " Apa mau kamu datang ke sini." gertak sosok ghaib dengan wajah yang marah. " Aku datang ke sini, ingin bernegosiasi." jawab Ku. " Tidak ada negoisasi, kami telah menempati pohon ini sudah ratusan tahun." balas sosok ghaib penunggu pohon. " Tapi ini harus di jalankan, untuk kepentingan warga di sini." sahut Ku. " Tetap tidak bisa." gertak sosok ghaib penunggu pohon. Aku pun diam sejenak, dan berpikir dengan cara apa supaya berhasil membujuk dan menghindari perang ghaib. " Bagaimana kalau kami akan memberikan tempat baru untuk bangsa kalian." tawaran Ku. Terlihat pimpinan sosok penunggu pohon, sepertinya sedang merenungkan kembali tawaran Ku. " Baiklah kalau begitu, berikan saya tempat yang layak untuk bangsa kami." jawab sosok penunggu pohon, " dengan satu syarat, potong darah ayam cemani." " Baiklah, syaratnya kami terima." balas Ku. Tidak lama, Aku pun langsung mencari tempat penggantinya untuk memindahkan mereka dari pohon itu ke tempat lain. Aku pun memilih sebuah lautan di pesisir pulau Irian Jaya, yang tidak jauh dari lokasi asal mereka di sebuah pohon tua. setelah mengamati lautan, dengan posisi masih mediumisasi mencari lahan yang masih kosong untuk di tempati. Akhirnya aku menemukannya, sebuah lahan di lautan yang belum berpenghuni sosok ghaib yang cukup luas. " Aku akan memindahkan kalian di sebuah pesisir pulau ini." kata Aku. " Baiklah." balas sosok penunggu pohon itu. Akhirnya aku membuat jalur lalu lintas dimensi untuk penyebrangan mereka, dengan Ilmu Banyu Biru. yang menempatkan dan menghubungkan lautan dan pohon tua itu. Setelahnya Aku undur diri dan berpamitan kembali ke raga Ku. " Alhamdulillah, akhirnya bisa menghindari perang ghaib dengan bangsa lelembut." Ke'esok harinya, Aku mengabari David tentang hasil diplomasi dengan pimpinan sosok ghaib pohon itu. David lalu melanjutkan kepada Jamal yang sedang menunggu kabar dari kami, Jamal pun tidak keberatan dalam menerima syarat yang di minta sosok penunggu pohon. Beberapa hari kemudian, Jamal melakukan syarat yang di minta oleh sosok penunggu pohon. pemotongan ayam cemani sebagai tumbalnya pun di laksanakan di bawah pohon itu, dan akhirnya penebangan pohon besar bisa berjalalan dengan baik tanpa tumbal dari pihak Jamal. Kami yang di Jakarta bersorak senang, akhirnya semua berjalan dengan sukses dan keberhasilan ke dua kami " Yeeee, kita berhasil lagi." teriak tanto riang. " Alhamdulillah." sahut Ku. " Kita tunggu kabar selanjutnya." ujar Janoko. Beberapa hari kemudian, David memberikan sebuah kabar yang menggembirakan kita semua. dan kabar itu datang dari Jamal yang akan mentranafer uang buat mengganti uang kami. " Aku dapat kabar, besok uang kita akan di ganti dan beserta bonusnya." Kata david, di sela obrolan grup chat kami. " Wah ada bonusnya juga ?" tanya Ku. " kita nanti kumpul di rumah Janoko untuk membahasnya, supaya enak dan transfaran nantinya." balaa David. " ok." kata Janoko. Semakin hari, Aku semakin memahami tentang takdir jalan hidup Ku dengan kemampuan yang dulu pernah aku inginkan. " Ternyata seperti ini kemampuan itu." Anggota grup chat kami, semakin hari semakin bertambah dan semakin ramai. mereka datang dari berbagai daerah dan mempunyai keterbelakangan seperti kami. Beberapa hari kemudian, dan waktu yang di jadwalkan sudah tiba pertemuan di rumah Janoko untuk membahas bonus yang akan kami terima. Seperti biasanya, setelah menutup warung dan beres beres. Aku pun pergi ke rumah Janoko dengan berjalan kaki, di sana sudah ada David dan yang lainnya. Setelah sampai di rumah Janoko, Aku kaget. ternyata di sana bukan hanya David, nopi dan tanto saja. tapi ada om denny beserta rombongannya. " Wah, ramai sekali." kata Ku. " Satrio, cepat sini ada yang mau kita bicarakan dan penting." teriak David. " Iya ya, sabar." balaa Ku. Aku pun duduk di antara teman teman yang sudah berkumpul terlebih dahulu, di sana sudah lengkap dengan kopi dan hidangan lainnya. David lalu membuka obrolan, yang di dengarkan oleh teman yang lainnya. " Misi sudah selesai, dan Jamal akan mengganti uang kita yang pernah di pinjamnya. nah kita kirim no rekening kita masing masing ke dia." kata David, membuka obrolan kami. " David, aku titip rekening saja. karena tidak punya rekening." sahut Janoko. " ok." balas David. " Untuk bonus yang di janjikan, kita akan membuat jaket untuk 40 orang yang ada di grup chat kita. di sini kita akan membicarakan model dari jaketnya, siapa tau ada yang punya usul? tanya David. " Kita buat jaket yang bahannya dari kulit." kata denny, memotong pembicaraan. " Itu terlalu mahal harganya, bisa di hitung sendiri 200.000 × 40 berapa." jawab David. " Aku ikut saja, karena tidak tahu bahan dan model jaket." sahut Ku. " Jaket yang dari bahan standart, dengan logo burung merpati putih. sangat simple dengan nama MENCARI JATI DIRI, nama yang singkat namun menceritakan diri kita." sambung David. " Wah, kemeja sudah ada dan sekarang jaket." sela Dimas. " Mantap, mantap". sahut Sony. " Setuju." teriak Ku. " Setuju." sahut janoko. Akhirnya di setujui, bonus kali ini untuk pembuatan jaket. dan David yang membuat dan mendesainnya, dan yang bertanggung jawab atas pembuatan jaket secara massal. Setelah kesepakatan di capai, kami pun membubarkan diri. pulang ke rumah masing masing, begitu juga Aku pulang lebih dulu karena kelelahan setelah beraktivitas sehari harinya di warung makan. Sampai di rumah, Aku langsung rebahan di dalam kasur kamar. perjalanan yang sangat melelahkan dan penuh misteri, satu persatu misteri tentang selama ini akhirnya terpecahkan. Sosok misterius pria tua berjanggut putih, yang selalu datang di dalam mimpi Ku. ternyata sosok leluhur yang selalu mendampingi Ku selama ini, begitu juga kemampuan kemampuan Ku yang aktif di saat usia dewasa. Sejak saat itu, sejak mata batin Ku semakin tajam yang di ajari Mbah Sumo. dan saat itu, Aku rajin berkomunikasi kepada beliau yang selalu membantu. Hingga akhirnya aku pun tahu siapa beliau dan sejarah beliau, ternyata Aku masih memiliki darah keturunan dari sosok misterius pria tua berjanggut itu. " Akhirnya aku tahu siapa Aku dan sosok misterius itu yang selalu datang dalam mimpi, dan perjalanan yang sangat panjang. penuh jejak jejak yang harus di lalui dan temui, apa yang aku inginkan akhirnya terwujud, memiliki kemampuan untuk bisa membantu orang lain." renungan Ku di malam hari menjelang tidur. Description: Aku yang sejak masih kanak kanak sudah terbiasa atau mengalami sesuatu yang sulit di ceritakan. kejadian dan penampakan hantu sudah menjadi makanan sehari hari. sebuah misteri pun terjadi, di saat sosok pria tua misterius yang datang di setiap mimpi Ku. dia sosok misterius selalu ingin mengajak dan membawa ku ke alam lain. Aku pun menjadi penasaran. siapa pria misterius itu ? Perjalanan menguak tabir pun di mulai dalam mencari kebenaran akan semuanya.
Title: Water Drops Category: Cerita Pendek Text: Part O1 : Hyunjae & Eunbin Ding ... Dong! 🔔 🔎 SMA Musik Hwarang 📅⌚ 7 Desember 2020, 7AM Bel masuk berbunyi. Siswa-siswi kelas tiga SMA memasuki kelasnya. Terlihat perempuan asal Daegu, Kim Eunbin, berjalan bersama teman laki-laki masa kecilnya, Park Hyunjae. Mereka berumur sembilan belas tahun. Tentu saja, mereka berseragam musim dingin karena saat itu sedang turun salju. Akan tetapi, mereka tampak serasi seperti sepasang kekasih, padahal mereka tidak pacaran. "Eh, itu trainee Z Ent? Wah, ternyata aslinya jauh lebih tampan! Kukira foto tampannya hasil editan agensi." "Terus, cewek di sebelahnya itu siapa?" "Masa tidak tahu? Kim Eunbin, yang bakal debut jadi soloist itu loh." "Hah? Kirain bukan dia. Aslinya juga lebih cantik. Tadi kupikir pacarnya Hyunjae, haha." Kim Eunbin melirik ke arah mereka, berbisik kepada Park Hyunjae, "Itu mereka lagi menggosip tentang kita, ya?" Park Hyunjae membalas, "Udahlah, biarin saja. Toh kita kan memang teman seagensi." Kim Eunbin mengangguk lalu berkata, "Tapi kalau kita dikira pacaran beneran? Bisa kacau nanti." Park Hyunjae menjawab, "Tidak mungkin lah." Namun jauh di dalam lubuk hati Park Hyunjae, dia berharap bisa berkencan dengan Kim Eunbin. Dia memalingkan suasana hatinya dengan menyapa orang-orang yang sepertinya merupakan fans mereka. Park Hyunjae tersenyum sambil melambaikan tangannya. Begitu pula dengan Kim Eunbin. 🔎 Z Ent 📅⌚ 8 Desember 2020, 6PM 🎹🎶~ Tampak seorang laki-laki sedang bermain piano di ruang musik tersebut. Dialah Park Hyunjae. Alunan pianonya menenangkan. Kriit! Suara pintu terbuka dan masuklah seorang perempuan cantik, Kim Eunbin. "Wah, indah sekali permainan pianomu!" katanya sambil tersenyum manis pada Park Hyunjae. Tentu saja, hati Park Hyunjae sedang berbunga-bunga karena dipuji orang yang dia sukai. Alih-alih menutupi salah tingkahnya, dia mengajak Kim Eunbin untuk bernyanyi diiringi permainan pianonya. "Suaramu makin bagus, Eunbin-ah. CEO tidak salah memilihmu untuk debut solo." Kim Eunbin tertawa mendengarnya, manis sekali. ⌚8PM Kelas A Trainee Z Ent sedang latihan dance. Di sana ada Kim Eunbin, Park Hyunjae, Lee Byunggi, Ahn Mark, dan beberapa orang lainnya. Mereka berlatih dengan keras agar dapat lebih memantaskan diri dan segera debut menjadi idola. Keringat bercucuran dari wajah dan menetes dari rambut mereka masing-masing. Napas terengah-engah juga terdengar samar-samar di seluruh ruangan tersebut. 'Apa ini? Kenapa penglihatanku tiba-tiba buram? Kepalaku pusing ....' Gubrakk ...! Kim Eunbin jatuh pingsan. Park Hyunjae langsung menggendongnya dengan sigap dan membawanya ke rumah sakit. Park Hyunjae duduk di samping perempuan itu, mengamati wajahnya yang cantik dan imut. Dia mengenggam tangan perempuan tersebut dan mengelus pelan punggung tangannya. Tanpa sadar, dia menangis karena melihat Kim Eunbin seperti ini. Tak berapa lama, kesadaran perempuan itu pun kembali. "Aku kenapa?" tanyanya kepada Park Hyunjae. "Ohh, tadi kamu pingsan." Park Hyunjae langsung menghapus air matanya. "Kenapa kamu menangis?" "Bukan nangis, aku mulai merasa ngantuk." "Kalau gitu, pulang saja," kata Kim Eunbin sambil tersenyum. Tak bisa melakukan apa-apa selain menuruti perkataan Kim Eunbin, Park Hyunjae pun memilih pulang ke rumahnya. "Istirahat, jangan bandel. Cepat sembuh biar bisa ketemu di ruang latihan lagi," ujar lelaki itu sambil melangkah keluar ruangan. Part O2 : Jiseok & Jisoo 🔎 SMA Musik Hwarang 📅⌚ 9 Desember 2020, 7AM Lee Jiseok, laki-laki yang tampaknya kalem dengan rambutnya yang berponi. Dia tidak mempunyai teman karena dia merupakan siswa pindahan. Selain itu, mungkin disebabkan oleh sifat misteriusnya, dia hanya duduk membaca buku setiap harinya. Namun, seorang gadis cantik bernama Park Jisoo mulai menghampirinya dan mengajaknya bicara. "Hai!" sapanya disertai senyuman dan lambaian tangan kecil. "Hm," ujar Lee Jiseok sambil mendongakkan sedikit kepalanya. "Ada apa?" "Nothing, cuma mau kenalan, hehe." Park Jisoo mulai mengulurkan tangannya hendak bersalaman. "Kita udah sekelas cukup lama, tapi aku belum mengenalmu. Namaku Park Jisoo, salam kenal." Lee Jiseok tampak malas bersalaman, tapi dia menyambut salaman itu. "Lee Jiseok." Park Jisoo hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Tak berapa lama kemudian, Park Jisoo bertanya, "Nanti pulang kamu ke mana?" "Perpustakaan." "Ohh, kamu suka sekali membaca, ya." "Iya." "Nanti aku boleh ikut ke perpus?" "Boleh." Astaga, sejujurnya Park Jisoo tersentak dengan segala jawaban singkat yang dilontarkan Lee Jiseok. Walaupun demikian, ternyata Park Jisoo mulai tertarik dengan Lee Jiseok. Setelah beberapa hari Park Jisoo mengikuti Lee Jiseok ke perpustakaan, mereka mulai bisa membicarakan banyak hal walaupun Lee Jiseok tampak cuek. Park Jisoo mulai memberanikan diri bertanya sesuatu hal yang sangat ingin dia ketahui. "Jiseok-ah, kenapa kamu sekolah di sini? Alasannya apa?" "Aku suka bermain gitar. Itu saja." "Kamu juga suka membaca buku, pastinya kamu pintar, 'kan? Kenapa tidak bersekolah di sekolah biasa saja yang mengajarkan ilmu sains atau sosial?" "Malas." "Hmm," gumam Park Jisoo sambil mengangguk. "Kamu?" balas Lee Jiseok. "Hah?" ujar Park Jisoo kebingungan. "Kamu kenapa sekolah di sini?" Park Jisoo tidak menyangka akan ditanyai balik oleh seseorang yang cuek seperti Lee Jiseok. "Oh, aku suka bernyanyi. Suka banget!" "Ohh ...." "Iya. Eh, aku boleh pinjam lihat tugas analisis musik klasikmu?" tanya Park Jisoo. Tanpa bersuara sedikit pun, Lee Jiseok mengeluarkan makalah tugasnya dan menyerahkannya kepada Park Jisoo. "E-eh, makasih ...." Part O3 : Moments 🔎 Taman Bunga Gwangju 📅⌚ 19 Desember 2020, 1PM "Jisoo," kata Lee Jiseok membuka pembicaraan. "Iya? Kenapa?" balas Park Jisoo sembari melihat bunga di sekelilingnya. "Kenapa kamu mau temenan sama aku?" "Hah?" Park Jisoo kaget, lalu menoleh ke arah lawan bicaranya. "Jawab aja," ujar Lee Jiseok. "Hmm, tidak ada alasan apapun. Aku hanya ingin berteman!" serunya tanpa keraguan. Lee Jiseok hanya mengangguk pelan mendengar jawaban dari Park Jisoo. Mereka telah sampai di rumah Park Jisoo, lalu Lee Jiseok berkata, "Bye." "Iya, Bye! Makasih udah antarin aku pulang." Belum lima menit mereka berpisah di depan rumah Park Jisoo, Lee Jiseok mengirimkannya pesan. Jisoo, besok ada waktu? Mau ketemuan di XStar Cafee? Besok aku free nih. Boleh! Jam berapa? Jam 12 siang. Okay! See you~ (read) 🔎 XStar Cafee 📅⌚ 20 Desember 2020, 12PM Kring ... Kring! Begitulah bunyi lonceng ketika pintu XStar Cafee dibuka. "Selamat datang di XStar Cafee. Silakan, meja 011. Akan saya antarkan Anda ke meja pesanan Anda." Pelayan tersebut tersenyum ramah kepada Lee Jiseok dan Park Jisoo. Sebenarnya Park Jisoo agak bingung kenapa Lee Jiseok mengajaknya ke kafe yang tampaknya cukup mewah ini. Park Jisoo hanya bisa melangkahkan kakinya mengikuti Lee Jiseok dan pelayan tadi yang sudah mendahului mereka. "Silakan, ini menunya," ujar pelayan tersebut sembari memberikan dua buku menu. "Okay, terima kasih!" kata Park Jisoo. Sementara Lee Jiseok, dia hanya tersenyum tipis ke arah pelayan tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Setelah memesan makanan dan minuman, suasana tampak hening. Belum ada yang membuka pembicaraan di antara mereka berdua. Posisi meja mereka juga lumayan jauh dengan pengunjung lain. Lee Jiseok berdeham. "Jisoo?" Akhirnya dua pasang netra itu bertemu satu sama lain. "Mau bilang apa, Jiseok? Bilang aja." Lee Jiseok memainkan rambutnya, sepertinya dia gugup. Park Jisoo memahami situasi tersebut, sehingga dia berpura-pura pamit ke toilet. "Hmm, maaf, aku ke toilet sebentar, ya." Menyingkir ke sudut ruangan kafe tersebut, Park Jisoo memikirkan apa yang akan dibicarakan Lee Jiseok sampai harus mengajaknya ke kafe ini. "Masa dia mau confess?" batinnya. Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat, pikirnya hal itu tidak mungkin, tapi Park Jisoo memilih untuk segera kembali ke meja mereka. "Udah, hehe. Mau bilang apa tadi? Maaf, aku kebelet." "Hmm." Rasanya seperti ada yang menahan suaranya untuk keluar dari pita suara. "Itu ...." "Itu apa?" tanya Park Jisoo kebingungan. "Mau jadi pacarku?" Tempo ucapannya terlalu cepat, saking gugupnya seorang Lee Jiseok itu. Park Jisoo terdiam sejenak sebelum akhirnya berhasil mencerna maksud perkataan Lee Jiseok. Park Jisoo pun mengangguk sambil berkata, "Mau." Lee Jiseok tersenyum bahagia, baru kali ini Park Jisoo melihatnya tersenyum lebar seperti itu. Mungkin si empunya senyum sangat bahagia saat ini. Benar-benar bahagia. Park Jisoo pun membalas senyum tersebut dengan senyuman yang manis, bahkan matanya juga berubah bentuk menjadi bulan sabit. Sebuket bunga mawar menjadi saksi hari ini. Lee Jiseok ternyata menitipkannya kepada pelayan sebelum ke sini bersama dengan Park Jisoo, supaya pengakuannya ini tidak langsung dicurigai. Semuanya berjalan sesuai keinginan Lee Jiseok. Part O4 : Love 🔎 SMA Musik Hwarang 📅⌚ 22 Desember 2020, 8AM "Jiseok, ajarin aku bermain gitar dong." Gadis itu tidak lain dan tidak bukan adalah Park Jisoo, meminta kekasihnya untuk mengajarinya cara bermain gitar. "Boleh, sini." Lee Jiseok mengambil gitar miliknya dan mengajak Park Jisoo untuk duduk lebih dekat dengannya. "Ini kunci C," ujarnya sambil memperagakan letak kunci C dan menggenjreng gitar itu sekali. "Sekarang kamu coba, ayo." Park Jisoo menerima gitar tersebut dan mulai memposisikan jemarinya, "Begini?" Lee Jiseok menggelengkan kepalanya lalu membenarkan posisi jemari mungil gadis itu. "Nah." Park Jisoo tersenyum senang saat mendengar bunyi gitar setelah dia menggenjrengnya. "Lagi, lagi," ujarnya bersemangat. "Kunci lain lagi?" tanya Lee Jiseok Park Jisoo mengangguk dengan cepat, tanda dia antusias. "Ini kunci G," kata Lee Jiseok sambil memindahkan posisi jemari kekasihnya tersebut. Lee Jiseok terus mengajari kekasihnya dengan penuh kesabaran. Sampai akhirnya, kelas Pak Kim akan segera dimulai. "Makasih, hehe. Nanti lanjut lagi, ya?" "Sama-sama. Oke." Mereka bergegas menuju ruang kelas dan menunggu jam pelajaran Pak Kim. 🔎 Taman Bunga Gwangju 📅⌚ 25 Desember 2020, 2PM Saat itu sedang turun salju, momen yang tepat untuk sepasang kekasih Lee Jiseok dan Park Jisoo merayakan natal bersama dengan bermain salju. Mereka membuat boneka salju, lalu saling melemparkan salju satu sama lain. Mereka tertawa bersama, menghabiskan hari berdua sampai hari mulai gelap dan mereka pulang ke rumah masing-masing. 🔎 Rumah Lee Jiseok 📅⌚ 14 Februari 2021, 9AM Hari ini adalah hari valentine. Lee Jiseok telah mempersiapkannya dengan baik. Dia baru saja membeli sebuah kalung berliontin hati dan sekotak cokelat. Lee Jiseok juga menyulap ruang tamu rumahnya menjadi penuh dengan warna merah. Lilin-lilin berwarna merah dan bunga mawar merah yang bertebaran di lantai, serta beberapa balon merah yang ditempelkan pada dinding. Mereka saling mencintai, mereka tampak sangat bahagia di hari valentine tersebut. Apalagi saat Lee Jiseok menggoda Park Jisoo dengan berkata, "Mau jadi istriku kelak? Hehe." Park Jisoo tersipu malu dan menjawab, "Tentu mau." Lee Jiseok menggenggam erat tangan perempuan itu selama beberapa menit, lalu mengelus kepalanya pelan. Dia segera berdiri dan mendekati Park Jisoo untuk memakaikan kalung liontin hati tersebut di lehernya. "Cantik." Park Jisoo tersenyum dan berkata, "Makasih, I love you. Aku juga suka kalungnya." "I love you more, Jisoo," balasnya. Part O5 : Blood ⚠️ blood, psychopath [mohon lewatkan part ini, jika dirasa tidak nyaman dengan bahasan berbau darah & psikopat] 📅⌚ 16 Februari 2021 Sayangnya, hubungan kekasih ini tidak berlangsung lama. Park Jisoo mengakhiri hubungannya bersama Lee Jiseok dengan alasan tidak disetujui orang tuanya. Marah, tentu saja marah. Namun Lee Jiseok tidak dapat menunjukkannya di depan Park Jisoo. Beberapa hari setelah mereka mengakhiri hubungan tersebut, Lee Jiseok mengajak Park Jisoo untuk bertemu di gang sempit samping toko roti. "Jiseok." Park Jisoo memanggilnya pelan. "Ah, sudah datang rupanya," ujar Lee Jiseok menoleh ke belakang, di tangannya terdapat sekantong plastik hitam yang entah apa isinya. "Iya. Maaf, handphone-ku lowbatt. Jadi tidak bisa kasih kabar." Lee Jiseok tersenyum. Namun, senyumannya terlihat aneh. Seperti mengisyaratkan bagus jika handphone-nya lowbatt. "Ayo, ikut aku." "Ke mana?" "Ikut aja." Park Jisoo melangkahkan kakinya mengikuti lelaki yang merupakan mantan kekasihnya itu. Mereka sampai di bagian gang yang lebih sempit dan jauh lebih sepi daripada gang tadi. "Mau ngapain?" tanya Park Jisoo kebingungan. "Diam kamu." Dengan cepat, Lee Jiseok menahan tubuh Park Jisoo agar tidak dapat melarikan diri dan Lee Jiseok segera mengeluarkan sebuah benda dari dalam kantong plastik hitam tadi. Pisau. Betapa kagetnya Park Jisoo melihat benda tersebut. Ingin berteriak, tapi Lee Jiseok sudah menodongnya dengan pisau tersebut dan menyuruhnya untuk bungkam. "K-Kamu ... mau apain a-aku?" ujarnya gemetaran diiringi tangisannya. "Diam, sayang." Wajah Lee Jiseok kini menyeramkan, seperti seekor singa yang hendak menyerang mangsanya. "Aku tidak ikhlas. Beneran tidak ikhlas. Hahaha." "A-apa?" "Kalau aku tidak bisa memilikimu, orang lain juga tidak boleh memilikimu." "T-tolong jangan ... l-lakuin hal b-bodoh. L-lepasin a-aku." "Hahaha. Lepasin? Enak saja." "A-aku m-mohon." "Trus kamu pikir aku peduli? Tidak. Mana mungkin aku peduli." "P-please ... lepasin a-aku." "Jangan harap. Sampai jumpa Park Jisoo-ssi. Aku sayang kamu." Tanpa menunggu respons apapun, pisau itu sudah tertancap di perut gadis itu. "U-uhuk!" Tentu saja Park Jisoo terbatuk ketika ditusuk pisau itu. Beberapa detik kemudian, tubuhnya ambruk dan jatuh ke tanah. "Maaf, haha." Park Jisoo berusaha agar tetap dalam kondisi sadar, ia mengeluarkan suara pelan. "T-tolong ...." Gelap. Semuanya gelap bagi Park Jisoo. Ia kehilangan kesadaran, ia pingsan dan sekarat. Banyak darah bercucuran dari perutnya, cairan merah tersebut membasahi seluruh tanah di sekitar tubuh gadis itu. Lee Jiseok berjongkok untuk mendekati gadis tersebut, menyingkapkan rambut yang menutupi wajah cantiknya, dikecupnya kening gadis itu beberapa kali. Ia mencabut pisau itu dari perut Park Jisoo, didekatkan wajahnya ke arah perut yang mengeluarkan banyak darah tersebut dan menjilatnya sedikit. Kenikmatan yang luar biasa dirasakan oleh Lee Jiseok. Kemudian, Lee Jiseok bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, membawa pergi pisau tersebut jauh-jauh untuk menghilangkan jejak pelaku. Park Jisoo tewas, tidak dapat diselamatkan. Sudah pukul sebelas malam saat kejadian itu terjadi, sehingga tidak ada yang langsung menyadari Park Jisoo tergeletak lemah di sana. "CBN News melaporkan bahwa pada tanggal 21 Februari 2021, ditemukan mayat seorang gadis yang diduga tewas akibat ditusuk pisau. Para ahli medis memperkirakan bahwa korban terbunuh tanggal 20 Februari tengah malam. Berikut beberapa cuplikan yang dapat kami ambil di lokasi kejadian ...." Lee Jiseok diam-diam tersenyum saat mendengar berita tersebut di televisi. "Jiseok-ah?" Ibu Jiseok pun memanggilnya. Karena Lee Jiseok tidak menyahut, ibunya memanggil lagi. "Jiseok." "Ohh? Iya, Bu. Maaf." "Kamu ngapain aja? Kenapa melamun?" "Tidak apa-apa, Bu." "Itu gadis yang diberitakan tewas di televisi, mirip Park Jisoo, mantan pacarmu itu. Jangan-jangan dia?" "Masa iya, Bu? Mirip postur tubuhnya saja." Tidak melanjutkan obrolan, ibunya memilih untuk kembali ke dapur menyelesaikan tugasnya yang belum selesai. Lee Jiseok tertawa pelan, berbisik pada dirinya sendiri, "Iya, Bu. Yang di televisi itu memang Park Jisoo. Dan akulah pembunuhnya." Part O6 : Mystery 🔎 Rumah Lee Jiseok 📅⌚ 21 Februari 2021, 5 PM "CBN News. Kembali lagi bersama kami yang akan melanjutkan pembahasan mengenai kasus pembunuhan seorang gadis tengah malam kemarin. Kini diketahui nama gadis tersebut bernama Park Jisoo, siswi SMA Musik Hwarang, kelas tiga." Lee Jiseok hanya diam mendengarkan berita di televisi tersebut. Menurutnya ini sangat menarik. "Sama sekali tidak ada jejak pelaku yang ditemukan. Korban yang merupakan siswi SMA Musik Hwarang ini pun memang ditemukan sudah tidak bernyawa di tempat kejadian, dengan luka tusukan di perutnya. Saat ini, tim wartawan kita akan mewawancarai orang tua korban." Kamera mulai menyorot sepasang paruh baya yang diduga merupakan orang tua korban dan seorang perempuan, wartawan CBN News. "Selamat sore. Saya Choi Kyulhee, wartawan CBN News, akan mewawancarai orang tua korban." Perempuan tersebut menoleh dan menatap orang tua Park Jisoo, menyapa mereka dan meminta izin untuk memulai wawancara. "Baik, Bapak dan Ibu. Izinkan saya untuk menanyakan pertanyaan pertama, apakah Anda tahu alasan Park Jisoo keluar malam itu?" Tuan dan Nyonya Park menatap satu sama lain, lalu Tuan Park mulai membuka suaranya. "Kami tidak tahu pasti kenapa, dia bilang ingin menemui seseorang." Wartawan itu bertanya lagi, "Lantas, siapakah seseorang yang ditemui Park Jisoo itu?" "Kami kurang tahu tentang itu." "Apakah Park Jisoo terlihat seperti mempunyai musuh?" "Tidak, dia anak yang baik." "Ohh begitu ... bagaimana perasaan Bapak dan Ibu saat mengetahui bahwa anak Bapak dan Ibu meninggal dengan cara seperti ini?" "Tentu saja kami kaget, walau dia bukan anak kandung kami. Kami mengadopsinya saat dia berumur sekitar 6 tahun. Saat itu, dia mengalami amnesia. Suami saya tidak sengaja menabrak anak itu di persimpangan jalan Jacheol. Kami hendak mengembalikannya ke rumah orang tua kandungnya, tapi berhubung tidak ada kartu identitas ... hanya terdapat nama 'Lee Jisoo' di baju atasan sekolahnya dan dia amnesia, kami berinisiatif untuk mengadopsinya. Kami menyayangi dan merawatnya seperti anak kandung kami sendiri, karena kami tidak bisa mempunyai anak," ujar wanita paruh baya itu. Samar-samar terdengar tangisan seorang wanita, apa mungkin berasal dari televisi? Tidak, wanita paruh baya yang di televisi itu hanya berkaca-kaca matanya, belum menangis. Lee Jiseok yang tadinya fokus ke layar televisi mulai melihat ke sekelilingnya. Betapa kagetnya dia melihat ibunya menangis. "Ibu?" Dengan segera, Lee Jiseok mendekati dan memeluk ibunya. "Kenapa, Bu?" tanyanya kebingungan. "L-lee Jisoo, adikmu ... hilang saat berumur 6 tahun." Isak tangis wanita paruh baya itu terdengar menyedihkan. Lee Jiseok yang di sebelahnya juga tampak syok dan terdiam. Langit seperti baru saja runtuh dan semesta telah mempermainkannya. Lee Jiseok kehilangan adiknya belasan tahun yang lalu, dan ternyata dia merupakan pembunuh adiknya. Bagaimana bisa dia tidak menyadari bahwa nama mantan pacar dan adiknya adalah sama, Jisoo. Bedanya, satu bermarga Lee dan satu bermarga Park. Ternyata selama ini, adiknya telah diadopsi oleh keluarga Park. Frustasi, tentu saja dia frustasi. Dia berlari ke kamar dan mengunci pintunya. "Arrgh!" teriaknya sambil mengusak rambutnya dengan kasar. "Kenapa?!" Dia menutupi wajahnya dengan telapak tangannya, bulir-bulir air menetes dari sela-sela jarinya, dia menangis. Menangis sesenggukan mengetahui fakta bahwa dia telah membunuh adiknya sendiri. Part O7 : New Rintik-rintik hujan turun dengan derasnya, seperti mengetahui perasaan Lee Jiseok saat ini. Tetesan air tersebut sepertinya memahami isi hatinya. Lee Jiseok merasa kacau dan sangat bersalah. Bagaimana tidak, dia baru saja membunuh adiknya sendiri. Lee Jiseok berlari keluar rumah dan berhenti di tengah jalan, menangis bersama hujan. Tidak ada yang menyadari keberadaan air mata pada kondisi seperti itu. Dia terduduk di tanah dan menundukkan kepalanya, dia sangat menyesal. "Tuhan, aku mohon. Kembalikan adikku padaku." Esok paginya, dia membuang semua pisau simpanannya ke tempat sampah. Dia juga menghindari wilayah dapur agar netranya tidak melihat benda tajam milik ibunya. Dia bertekad untuk berubah dan tidak menyakiti siapapun lagi. Kejadian seperti ini diharapkan tidak akan terulang kembali. Lee Jiseok menjalani hari-harinya dengan penuh kesedihan. Namun, dia akhirnya memilih masuk ke dalam sebuah barbershop untuk merapikan rambutnya, terutama poninya yang sudah menutupi matanya. "Rambut baru, hidup baru. Aku akan memulai kembali lembaran baru kehidupan. Maaf, Lee Jisoo." Benar, dia menyebutkan nama 'Lee Jisoo' dan bukan 'Park Jisoo', yang artinya dia sebagai kakak meminta maaf kepada adiknya. Entah ada yang menyadari atau tidak, bagaimana perubahan seseorang bernama Lee Jiseok ini. Dia tampak lebih segar dan menawan, tidak semisterius biasanya. Dia mulai bisa bergaul dan mencari teman. Dia menjadi lebih komunikatif dan ramah daripada sebelumnya. Dia juga menjadi lebih sering membantu ibunya dalam melakukan pekerjaan rumah. Lee Jiseok mengikuti beberapa perlombaan pidato dan debat, yang bahkan belum pernah dia coba. Teman-teman barunya sangat mendukungnya dengan menghadiri semua perlombaan yang diikutinya, menyorakinya saat namanya disebut sebagai pemenang lomba tersebut. Beberapa hari kemudian, Lee Jiseok melihat ada seorang gadis bertubuh gemuk yang di-bully oleh beberapa laki-laki, yang merupakan preman sekolahnya. Tanpa pikir panjang, Lee Jiseok langsung menghantam salah satu lelaki dengan tinjunya. Dianggap remeh, Lee Jiseok mulai murka. Mereka saling menghajar satu sama lain. Lee Jiseok melawan lima orang sekaligus. Tidak ada yang mengetahui bahwa pada akhirnya Lee Jiseok malah membunuh lima orang tersebut dengan kepalan tangannya. Walaupun begitu, gadis yang ditolong tidak serta merta takut kepada Lee Jiseok, melainkan menjadi temannya. Dia berterima kasih sekali padanya. Beberapa bulan telah berlalu, sepertinya dia masih sulit untuk melupakan kejadian hari itu. Beberapa memori bersama Lee Jisoo ataupun Park Jisoo terputar di dalam pikirannya. Akhirnya, dia pun memberanikan diri untuk menceritakan semuanya kepada beberapa temannya. Mulai dari kisahnya yang di-bully saat masih SMP membuatnya menjadi pribadi yang sadis, sampai dengan kejadian dia membunuh adiknya sendiri. Mendengar semuanya, tidak membuat teman-teman Lee Jiseok langsung menjauhinya. Mereka malah menepuk pelan pundak Lee Jiseok dan menyemangatinya dengan kata-kata yang membangun. Mereka bilang, "Masa lalu biarkan berlalu. Yang terpenting, kamu harus berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Semangat!" Di kondisi terpuruk pun, Lee Jiseok sadar bahwa dia tidak sendiri. Sebenarnya dia punya banyak teman yang akan selalu mendukungnya, tapi dahulu dia sangat menutup diri. Teman-temannya selalu menyemangatinya. Lee Jiseok berharap agar dia dan teman-temannya selalu diberi kebahagiaan. Writer's Talk Halo! Perkenalkan namaku Angeline, gadis berumur delapan belas tahun. IG-ku @aangln8novv Sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih kepada kalian yang sudah berkenan untuk membaca ceritaku ini. Cerita ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi Storial x Rahasia Gadis : Kamu Tidak Sendiri. Sungguh sebuah kehormatan bagi saya, boleh mengikuti kompetisi ini sampai akhir. Semoga para pembaca, terutama para juri yang saya hormati, menyukai cerita sederhana saya ini. Water Drops, terdiri dari dua kata, yakni : a) Water (air) : melambangkan air mata, hujan, dan keringat hasil kerja keras seseorang. b) Drops (tetesan-tetesan) : melambangkan tetesan air yang menetes ke bawah, jatuh ke tanah. Maknanya, masa lalu seseorang yang kelam atau terjatuh akan membuahkan keindahan di masa depan. Pelangi sehabis hujan. Hasil tidak akan mengkhianati usaha. Mohon maaf apabila cerita ini terkesan terlalu cepat dan terburu-buru, sebenarnya cerita ini akan saya tulis versi panjangnya (extended version) untuk diterbitkan menjadi novel di masa depan. Ini hanya beberapa bagian dari kerangka novel saya. Bisa dibilang versi pendek (short version), semoga tidak terlalu pendek. Jika kalian berkenan untuk menunggu, saya akan mulai menulis extended version dalam kurun beberapa bulan yang akan datang. Saya juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam penggunaan kata maupun frasa, menyinggung seseorang atau sekelompok orang. Cerita ini murni adalah hasil pemikiran saya pribadi, tanpa maksud menyinggung pihak manapun. Kritik dan saran sangat dibutuhkan. Tentunya karya saya ini masih jauh dari kata sempurna, saya akan terus mengevaluasi kemampuan menulis saya agar bisa menciptakan karya yang lebih baik lagi. Sekali lagi, mohon maaf dan terima kasih. ^^ PS : Ohya, mengenai tokoh Kim Eunbin dan Park Hyunjae di part O1 memang tidak disinggung lagi di part selanjutnya dalam versi pendek ini, tapi kemunculan mereka bakal sangat banyak di versi panjangnya nanti. Anggap saja ini sebagai spoiler, hehe. Maaf apabila ada yang terganggu atau kurang nyaman dengan alur cerita yang agak jomplang akibat kedua tokoh tersebut hanya muncul sebentar kali ini. Special thanks to : Jessica Patricia, for making the cover. ❤ Description: Angeline, IG : @aangln8novv Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #KamuTidakSendiri
Title: Waktu cerita Category: Cerita Pendek Text: Peran pengganti Sedih? Kecewa? Marah? Kalian pantas kok ngelakuin itu, saat kalian tau kalian hanya bertugas sebagai pengganti. Pada saat bahagia ny dia menerbangkan kalian setinggi langit, membuat kalian menjadi wanita yang paling beruntung dimuka bumi,membuat kalian bercerita kepada dunia bahwa dia adalah orang yang sangat sempurna. Walaupun sudah berfikir bahwa orang ini tidak akan bisa menjadi apapun bagi saya, tpi berjalan ny waktu perasaan yang tidak bisa kita kendalikan mulai muncul. Seakan akan dunia membuat kita menjadi orang yang paling beruntung saat itu. Dia membuat kita nyaman, menemani kita setiap hari walaupun tidak ada status diantara hubungan ini. Tapi kita masih bisa berfikir mungkin dia akan memberikan hubungan yg nyata, hubungan yg bisa kita umumkan kepada semua orang bahwa "dia adalah milik saya dan tidak ada siapapun yang boleh mengambilnya dri saya" . Dan saat berjalan ny waktu dia mulai membuat kita bingung akan sikap nya yang perlahan mulai berubah, dia mulai cetus mulai jutek mulai tidak perduli, seperti bukan dia yang asli. Tiba tiba dia mengatakan "maaf saya tidak bisa melanjutkan ini lagi saya takut membuat hati mu sakit" Dan pasti kalian akan bertanya tanya kepada dia kenapa ini tidak bisa dilanjutkan, kita sudah sejauh ini, kita sudah senyaman ini. Selanjutnya dia berkata "saya tidak bisa melupakan dia, saya melakukan segala cara untuk melupakan dia tapi tidak bisa" Dan disini kita akan sadar, kita hanya peran pengganti saat peran utama tidak ada. Dan yang akan menang selalu peran utama. Jadi berfikir la dalam membuka hati, dan dari awal kalian harus jujur jika kalian suka atau tidak dengan lawan jenis kalian. Description: Cerita yang salah satu nya pernah kalian alami
Title: War of Zodiac Category: Fantasi Text: Act 1: The new era | Prolog -00 The new era -eloh gaes, akhirnya kembali lagi bareng author TwT Dah lama gak update cerita yawloh Lagi banyak tugas TwT, tapi tenang Cerita baru telah kembali dengan wajah baru, baju baru, hp baru (tapi boong iye gaak, tapi booongg wkwkwkwk) ✨✨So, always respect and happy readings✨✨ ****************************** UNKNOWN POV Dulu, manusia di bumi hidup dengan damai. Kebahagiaan tumbuh di mana mana. Hingga suatu hari, kedamaian mereka terusik. Sebuah pohon raksasa tumbuh di daerah Batavia, Indonesia. Tidak ada yang mengetahui dari mana tumbuhnya pohon sebesar itu. Yang membuat kedamaian mereka terusik adalah, akar raksasa dari pohon ini menjalar ke mana mana, hingga menhancurkan beberapa rumah warga. Banyak ilmuwan yang mencoba untuk meneliti pohon apakah ini? Apakah ini pesawat alien yang menyamar menjadi pohon untuk memusnahkan bumi ? Lalu, lambat laun pohon ini semakin tumbuh membesar hingga hampir mencapai langit langit bumi. Awalnya mereka hanya membiarkan pohon itu tumbuh. Mereka mengira jika pohon ini sudah semakin membesar mereka hanya tinggal menebang pohon ini. Tetapi semua itu sia sia pohon ini sama sekali tidak bisa ditebang atau dihancurkan. Membuat sebagian besar kota Batavia hancur dan membelah daratan kota Batavia hingga menjadi beberapa daerah yang terpisah. Kejadian ini memang sangat aneh bagi mereka. Bagaimana mungkin pohon ini bisa tumbuh hingga menjadi sangat besar seperti ini, tetapi itu semua sudah terjadi sekarang. Manusia mulai mencari tahu dari berbagai sumber tentang pohon aneh ini. Banyak teori yang bilang bahwa pohon ini adalah pesawat alien, bahkan ada yang bilang ini adalah siluman pohon. Yahh... Sampai sekarang mereka masih belum menemukan informasi yang jelas tentang keberadaan pohon raksasa ini. satu masalah belum selesai, muncul masalah baru. Tidak lama dari kejadian tersebut, Tiba - tiba ada sebuah telur raksasa yang muncul dari salah satu akar pohon tersebut. Kejadian - kejadian aneh yang terus menimpa manusia saat itu membuat para pemimpin negara dan para peneliti menjadi sangat sibuk meneliti apa yang terjadi saat ini. . . . Hingga suatu malam, telur tersebut menetas dan keluar sebuah bola cahaya yang sangat besar. Didalam bola tersebut terdapat berbagai macam simbol simbol rasi bintang, atau yang kita kenal dengan Zodiac. Bola raksasa tersebut langsung terbang ke langit dengan kecepatan penuh dan membelah dirinya menjadi dua belas serpihan, belasan serpihan ini terlempar ke sepenjuru nusantara. Para manusia yang terpilih oleh sang pohon raksasa ini akan mendapatkan kekuatan yang sangat besar dari bola cahaya tersebut. Para manusia yang memiliki sifat yang sama persis dengan ke dua belas zodiac yang ada didalam bola cahaya tersebut. Sekarang, mereka yang terpilih sang pohon raksasa yang kini dinamai star tree disebut ZODIAC. Para Zodiac bertugas untuk menjaga kedamaian nusantara. Dan aku akan menjadi salah satu dari mereka! TO BE CONTINUED ------------------------------ Atzeeeqqq, gimana gimana Penasaran gak? Komen ya gaes kalo penasaran, mungkin bisa makin cepet nih updatenya Kuylah langsung aja Subscribe, like, komen, dan share Oke canda:"v Jangan lupa vomentnya ditunggu gaes, gopud dateng BABAYY, KEEP RESPECT AND HAPPY READING PAAAWWWW Act 1: The new era | -01 ✨✨✨ JANGAN LUPA VOMENT DITUNGGU KEHADIRANNYA . . . . Naruto sad soundtrack~ ------------------------------ UNKNOWN POV Ya, inilah kisah hidupku. Lahir di bumi,hidup sebagai manusia biasa,dan hanya tinggal bersama mbah... Hahh. Oh iya, di mana tata kramaku. Perkenalkan, namaku Jaka Ardinata, dan aku saat ini sudah berumur 21,ya... Ga terlalu tua juga lah. Aku tinggal bersama mbahku disebuah desa di dekat kota Batavia. Sejak kecil aku selalu bermimpi untuk menjadi seorang Zodiac. Haha jadi ingat dulu aku sangat menyukai Zodiac Leo. Ya..., walau aku tau, hal itu tidak mungkin terjadi dengan semudah itu. Sudahlah, aku ingin menceritakan kisahku yang sekarang, bukan masa laluku. Jadi, ayo simak saja ceritaku JAKA POV "Jaka, ayo sarapannya udah ada nih. Mbah mau langsung ke sawah dulu ya jak" "Kamu langsung aja bawa kayu ya 'aduh pinggangku' mbah berangkat ya jak" Ujar mbah sambil memegangi punggungnya. Aku menguap "Iya mbah, Jaka turun dulu." Ya, yang seperti kalian ketahui. Dia mbahku atau kalau kalian biasa memanggilnya nenek, namanya mbah Pujiasti. Yahh... Dia yang sudah menjagaku sejak kecil. Sejak kecil aku terpisah dari orang tuaku kata mbah mereka berdua ter- akh sudahlah, aku tidak ingin mengingat hal itu lagi. Inilah kebiasaanku sehari hari, membantu mbah di sawah lalu menjual kayu bakar di kota. Rumahku juga berada di kaki gunung, ya memang cukup jauh dari sini ke kota, tapi yah mau bagaimana lagi. Aku pun langsung menghabiskan sarapanku dan menyiapkan kayu bakar untuk nanti. "Oke deh, semuanya sudah siap. Kio, ayo kita berangkat!" Kio adalah salah satu hewan peliharaanku sejak kecil, ntah kenapa aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas kapan kita bertemu. Mbah hanya memberitahuku bahwa kio adalah pelindungku. Aku tetap tidak mengerti apa yang mbah maksud sampai sekarang. Setiap kali ku pergi menuju kota, pasti akan selalu melewati daerah perbatasan antara kota Batavia dan daerah pegunungan. Disitu juga tempat mbah bekerja. . . . "Ah iyah, kenapa aku bisa lupa. Hari ini adalah hari ulang tahun mbah, kio ayo kita ke toko bunga disana." Untung saja di dekat perbatasan terdapat toko bunga. Bunga mawar mungkin cocok untuk mbah, baiklah. "Assalamualaikum bu'dhe" "Waalaikumsalam, eh ada Jaka. Sini dong peluk dulu sama bu'de,tumben nih kesini ada apa?" Bu'dhe Sumiarti, salah satu kakak tertua di keluarga mbahku, dan aku adalah keponakannya juga. "Ah, maap bu'dhe lagi buru buru, gak sempet peluk dulu deh." "Buru buru kemana emang sih Jaka?" "Mau beliin bunga buat mbah hehehe, spesial ulang tahun nih bu'dhe" "Wiiss, romantis banget nihh keponakan bu'dhe mah" Ucap bu'dhe sambil mengusap "Iya dong, Jaka gitu loh" "Hilh, masa romantisnya sama mbahmu doang, tapi belum ada gandengan juga ampe sekarang. Oiyah, kamu sama Kayla kapan jadiannya nih, masa cuman jadi TTMan doang" "Ih bu'dhe apaan sih, kita cuman temen doang bu'dhe. Gak ada perasaan apa apa" "Uuhhh gada perasaan nih, tapi kok pipinya merah gitu sih, utututuuu calon menantu bu'deee sini peluk dulu" "//// udah ah bu'dhe, Jaka cuman mau beli bunga mawar doang" Ish, kebiasaan bu'dh e nih, padahal gua sama kayla cuman temen doang. Tapi si, makin lama sih ya jadi... Akh sudahlah//// *Note:Jaka mulai sini udah pake lu gue, karna yaa... Bisa dibilang jadi terlalu absurd kalo disini pake aku kamu, karna tadi pembukaan jadi pake aku kamu okeh;) "Yaudah deh nih ya bunga nya, sama bu'dhe juga titip bekelnya si Kayla ya Jak" "Lah kok Jaka bu'dhe?" "Udaah kamu anterin aja ke dia, Kayla juga lagi nemenin adek adeknya di taman tuh. Sekalian pdkt gitu Jak" "Iya... Iya udah deh, iya Jaka anterin 'huh' oya, jadi berapa bu'dhe?" "Gapapa gratis kok, tapi asal kalo Jaka mau bu'de jodohin sama Kayla tiap hari bu'de kasih diskon deh. Hihihi" "Jangan diskon doang dong bu'dhe, gratis gituh" "Hee... Berarti mau dong kalo bu'dhe jodohin sama Kayla? Hihihi" "Ih udah ah, Jaka berangkat dulu bu'de. Assalamualaikum" "Waalaikumsalam. Hati hati dijalan Jakaa!" "Tenang bu'dhe, ayo Kio" "hehe, Jaka Jaka, kamu sekarang udah tambah dewasa yah. Gak sabar bu'de punya cucuk, haduuuu" . . . "Hadehh... Tadinya cuman pengen beli kado buat mbah,ini malah jadi nganterin makanan ke Kayla. Hahh... Tapi mayan sih,heh udah ah gua mikirin apaan sih." Kayla itu temen gua sejak kecil, ya emang bisa dibilang dari gua masih kecil emang dah deket banget sama kayla. karena sekarang kita masih deket banget orang suka bilang kita pacaran, padahal kagak. Emang sih dia tuh kelakuannya sweet banget. "miaauuw" "Kenapa Kio? Laper? Kita dikit lagi udah mau sampe taman kok entar aku beliin ikan disana" "Miaaaa" . . . "Nah itu tamannya udah didepan kio, hm tapi si kayla dimana ya?" "Miaaw?" "Jakaaaa, disini" Wah bidadari manggil, stop Jaka stop! "Ah iyah, ini Kay titipan dari bu'de, katanya sarapan buat lu sama yang lain." "Ah iya, makasih Jaka." "iya sama sama..." Gara gara dah lama gak ketemu, dia jadi tambah cantik dah... "Chup~" Kayla tiba tiba ngenyium pipi gua. "he, heee... Ngapain Sih nyium nyium???" sontak gua kaget. "Kenang - kenangan" Jawab Kayla enteng sambil terkekeh halus, liat dia ketawa aja dah bikin meleleh. //plak //plak sadar Jak "Hah???" "Hihihi,enggak enggak, lagian kamu bengong aja,tapi untung berasil, 'kan?" Ujar Kayla sambil mengedipkan matanya. Hahkk napa dia jadi imut imut banget sih? "Ya gak digituin juga kali!;-;" geran gua, tapi dihati ada seneng juga tau dah ah. "Hihihi, iya iya maaf" "Kak kaylaa... Laper nihh" "Eh, itu yang lain dah pada mau makan, aku kesana dulu yak" "Oke deh" "Miaaaaauuww_-" "Ah iya, tunggu sebentar ya Kio, aku ke warung situ bentar, kamu tunggu disana aja" "Miaah~" "Waa... Kak Kayla, ada kucing" "Iyah, jangan digangguin dia peliharaannya kak Jaka. Ayo sini makan lagi." "iya iyaa, huh kak Kayla pelit." . . . "Nah ini dah ada Kio" "Miia~" "Kayla, aku bisa numpang duduk disini dulu kan? Si Kio ini udah kelaperan katanya, hehehe." "Oh, iya gapapa. Duduk disini aja." "Oiya Jaka..." "Iya?" Kenapa nih Kayla, tumben tiba tiba ngajak ngomong begini? "Mmm... Gimana yah? Aku cuman mau bilang, kalo aku--" "KYAAAA, ADA SILUMAAN!!!" "Hah? Siluman? Apa jangan jangan? Kay tunggu disini AJA yang lainnya, gua mau ngecek disana dulu!" "Kio, ikut aku!" Hah, kenapa aku bisa lupa. Taman ini itu dekat dengan sawah tempat mbah bekerja, apa jangan jangan siluman itu berasal dari sana? Ku mohon tidak terjadi apa apa dengan mbah. "Hosh, hosh, sawah sudah dikit lagi didepan." . . . "Hah... Hah... Hah... Sawah ini sudah berantakan sekali, mbah, dimana kamu mbah" "Grrrr... Mraawww..." (Kayaknya sih gitu suara kucing kalo lagi marah). "Ada apa Kio?" Sontak, aku langsung lari menuju tempat yang Kio beritahu. Aku terus menggali semua bebatuan, satu persatu aku melemparnya untuk mencari mbah. Tetapi hasilnya nihil, yang kutemukan hanya sebuah selendang yang biasa mbah pakai untuk pergi. "Tidak mungkin, ini semua tidak mungkin" "Kenapa huhuu kenapa tidak ada seorang pun yang membantunya, APA GUNA MEREKA PARA ZODIAC JIKA TIDAK BISA MENJAGA KEDAMAIAN DISINI!" Aku tidak bisa menghentikan teriakanku, isi kepalaku sekarang campur aduk semua. Kenapa? kenapa semuanya terjadi secepat ini?! "Huwaaaaaaa...." Air mataku perlahan lahan mulai keluar, aku sudah tidak sanggup menahannya. Kenapa? Seharusnya tadi aku langsung menuju ke sawah, tetapi kenapa harus mbah yg dibunuh olehnya??!!! AUTHOR POV "Huwaaaaaaa...." Rintik rintik hujan turun deras dan membasahi bagian punggung Jaka. Sedangkan dibalik hutan ada sesuatu yang sedang mengintainya. "Jaka, kamu gak apa apa?" Tiba tiba Kayla mendekati Jaka. "Kayla, mengapa dia kesini?" "Kayla jangan kesini! Disini Berbahaya!" "A-aku hanya ingin memban---" GRAAAAAA.... Sebuah auman yang kencang dari arah hutan. seekor monster yang sangat besar, besar badannya kira kira dua kali lipat dari pada sing. Monster itu langsung mencoba menergap kayla dari belakang. "Kayla AWAAAAS!!!" Jaka langsung lari dan mencoba melindungi Kayla. TRANGG... . . . . Penasaran bagaimana kisah selanjutnya? Apakah Jaka dan Kayla akan selamat? Atau Kayla akan mati? Ikuti terus kami di UANG KEJUT! TO BE CONTINUED. >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> jangan lupa, selalu tunggu kehadiran Jaka yah Jangan lupa tekan tombol Bintang dibawah yaww Dan share juga ke teman teman kalian, KEEP RESPECT, AND HAPPY READING. PAAAAWWW✨✨✨ Act 1: Legend has return | -02 oke lah langsung lah ya:)Jangan lupa vomentnya Ditunggu kehadirannya ✨✨✨ ------------------------------ Episode sebelumnya. " Huwaaaaaaa...." Rintik - rintik hujan turun deras dan membasahi bagian punggung Jaka. Sedangkan dibalik hutan ada sesuatu yang sedang mengintainya. "Jaka, kamu gak apa apa?" Tiba tiba Kayla mendekati Jaka. "Kayla, mengapa dia kesini?" "Kayla jangan kesini! Disini Berbahaya!" "A-aku hanya ingin memban---" GRAAAAAA.... Sebuah auman yang kencang dari arah hutan. seekor monster yang sangat besar, besar badannya kira kira dua kali lipat dari pada singa. Monster itu langsung mencoba menergap kayla dari belakang. "Kayla AWAAAAS!!!" Jaka langsung lari dan mencoba melindungi Kayla. TRANGG... Episode sekarang AUTHOR POV TRANGG... Tiba - tiba sebuah aura biru terpancar dari tangan Jaka. Membentuk sekumpulan bulatan padat yang mengelilingi Jaka dan Kayla. Aura tersebut berhasil menahan serangan monster raksasa itu. "J-jaka?" Kayla terdiam duduk disitu, entah karena syok atau apa. "K-kayla..., Ce-cepat lari. Aku-kh aku sudah tidak kuat lagi!" GRR.... BRAKK!!! Monster itu langsung memberikan serangannya lagi, PYASSHH..., Perlindungan milik jaka pun hancur hingga berkeping - keping. "Haa.... Ha," Kayla langsung terdiam ditempatnya, ia sama sekali tidak dapat melakukan apapun saat ini. BUAAGH..., Monster itu langsung menampar Jaka hingga dia terlempar hingga ke pohon yang berada di ujung sawah ini. "JAKAAAAA!!!" Teriak Kayla dari kejauhan, ia sudah tidak kuat lagi untuk menahan tangisannya. Air matanya perlahan lahan mulai Dilain sisi, sang monster tersebut seakan sudah siap untuk meluncurkan serangan keduanya. Grrrr.... Geraman monster itu seakan mengatakan 'Kau akan menjadi santapan ku hari ini' Monster tersebut langsung melompat ke arah kayla, sambil membuka mulutnya lebar lebar. "PANAH DEWA KEGELAPAN, PASOPATI GANDIWA!" TRAK TRAK TRAK TRAK.... Ribuan anak panah turun dari langit dan menghujani monster itu, layaknya sebuah hujan kematian. "Cih, dia masih bisa berdiri ternyata. Hey, kau! bawa temanmu itu kepada tante Gemini, aku dan Leo yang akan membereskan monster yang satu ini" "Ha-hah, T-tuan Sagitarius?" "Cih, lagi lagi kau berlagak seperti seorang arjuna, padahal kau hanyalah seekor kuda. Dan apa maksudmu dengan Tante hah?" Muka Zodiac Gemini nampak seperti mengatakan 'mau perlahan atau langsung dalam sekejap?'. "Sudah jangan cerewet Gemini, cepat bawa mereka ke istana untuk dirawat. Ikuti saja perintah Raja Taurus." "Haah..., ya baiklah. Hey kamu, ayo cepat naik ke kuda ku." Tidak lama setelah itu, sebuah kereta kencana yang di tunggangi oleh enam ekor kuda suci. Ke enam badan kuda itu di kelilingi oleh sebuah api biru, dan ditutupi oleh sebuah zirah berlapis emas dan perak. "Baiklah, kita akan menuju kerajaan Zodiac, ku serahkan sisanya pada kalian!" "Kekeke, sekarang giliranku untuk menunjukkan kekuatanku..., YOOOSHAAA...." "Cih, jangan terlalu gegabah." "Yayaya, aku tidak butuh ceramahan mu itu." "ALIRAN TAPAK PEMECAH BUMI! OTOT KAWAT TULANG BESI!" Bagian telapak tangan Leo seketika berubah menjadi batu, tidak lama kemudian batu tersebut retak dan pecah. Lalu muncul semacam sarung tinju di telapak tangannya yang terbuat dari lapisan emas dan logam, berbentuk seperti bagian kepala barong. "HUWAAAA ..., akan ku hancurkan kau dalam lima detik!" GRAAAAAAAA.... monster itu langsung lari sambil mencoba menerkam Leo. "Hyeaaaaaaa..., BUAGH" Leo memberikan Uppercut yang sangat indah. 1 GRAAAAA..., TRANGG..., monster itu mencoba untuk mengigit tangan Leo, tetapi giginya malah retak akibat sarung sarung tangan yang masih di pakai oleh Leo 2 GHAAAAAAA... Tiba tiba monster itu berteriak sangat keras, suaranya bahkan hampir membuat gendang telinga Leo pecah. 3 "Ck, TUTUP MULUTMUU!!! BAGHHH." Leo menghantam tepat di muka monster tersebut. 4 GRR..., GRRRRAAAAAAAA.... Monster itu langsung menggigit lengan Leo, dan kali ini ia berhasil menangkapnya. 5 "Cih, DASAR MONSTER SI*L*N. MAKAN INI BUAGH ..., KRAK." Leo langsung melempar monster itu kelangit dan memukulnya tepat di perutnya. Monster itu langsung terkapar lemah di tanah. "Hah ..., hah ..., betulkan, hah .... Aku bisa menyelesaikannya dalam 5 detik." Ujar Zodiac Leo yang perlahan sarung tangannya menghilang sedikit demi sedikit. "Ya ya, aku mengakui kekuatanmu. Cepatlah, kau duluan menuju kerajaan. Aku akan membersihkan daerah ini dulu." Ujar Zodiac Sagittarius sambIl memanggil para Carrier. Carrier adalah semacam makhluk Zodiac berjenis yang berasal dari kerajaan Zodiac, yang mengangkut bangkai para siluman menuju pembakaran di dekat kota Batavia. Kingdom Hospital Kingdom Hospital, adalah salah satu rumah sakit terbesar yang ada di Batavia. Tidak sembarang orang yang bisa memasuki rumah sakit ini. Jaka saat ini sedang dirawat di rumah sakit ini, ia diberi akses gratis untuk memasuki rumah sakit ini oleh kerajaan. Karena ada beberapa hal dari Jaka yang membuat Raja Zodiac penasaran, dan akhirnya membiarkan Jaka untuk beristirahat disana. (bkn istirahat selamanya ya) Diruang tunggu rumah sakit, Kayla sedang duduk disana sambil menunggu keadaan Jaka. "Apa anda nona Kayla?" Seorang dokter menghampiri Kayla dari salah satu kamar disitu. "A-ah iya" Jawab Kayla sambil sedikit kaget kegirangan. "E-iya, sepertinya Tuan Jaka masih dalam keadaan tidak sadar karena sebagian energi tubuhnya habis, saat ini ia sedang dalam masa pemulihan. Mungkin besok ia sudah bisa pulih dengan total." Jelas dokter itu. "terima kasih tuan ...," "Ah, perkenalkan saya Dr. Centras, anda bisa memanggil saya Centras." Dokter Centras adalah salah satu dokter terbaik yang dimiliki oleh kerajaan Zodiac. Dia termasuk dalam jenis kaum Centaurs, manusia dengan badan setengah kuda. "Baiklah, terima kasih Tuan Centras." Setelah itu dokter Centras pun langsung meninggalkan Kayla, dan Kayla langsung masuk ke kamar Jaka. Kayla langsung duduk di sebelah kasur Jaka, mungkin ia ingin menunggu Jaka sadar kembali. Beberapa jam setelahnya AUTHOR POV Tidak lama kemudian, Kayla diberitahu oleh salah satu pelayan kerajaan, bahwa ia dipanggil oleh Zodiac Leo untuk segera menemuinya. Kayla pun menurutinya dan ia langsung bersiap siap. Kayla langsung meninggalkan Jaka, dan menuju pintu keluar untuk menemui Zodiac Leo. Tapi..., "Huaah...," Kayla berjalan keluar sambil stretching. "udara yang menyegarkan." Lanjutnya. "Hm ..., tapi ada apa yah? Sampai Tuan Leo memanggilku?" kegembiraan Kayla yang tadi sedang berkobar sekarang tiba - tiba terhenti, dan mulai bingung. "Ah sudahlah, aku harus bergegas ...." Kayla langsung terhenti sejenak. "Tunggu..., akhh aku lupa bertanya kepada pelayan itu dimana tempatnya." "Hoooooi!!" Teriak seseorang memanggil Kayla dari kejauhan sambil berlari. Kayla pun langsung menoleh ke arah orang itu, dan terkejut. "AH! I-iya?" "Hua cepat sekali...," batin Kayla "Hosh..., hosh..., ayo cepat ikut aku, kau sudah mau telat." Pria itu langsung menarik lengan Kayla. "A-akh tunggu, kita mau KE-AAKKKKHHH...," Pria itu langsung berlari dengan sangat kencang. Dan sepanjang perjalanan pun Kayla terus terusan berteriak. Sesampainya di tempat Zodiac Leo. "Hee eee...." sesampainya Kayla disana ia langsung tersuruk ke lantai, badannya seolah - olah seperti berputar pada porosnya. Ia pun langsung menggeleng - gelngkan kepalanya agar bisa kembali sadar, saat ia sadar mata Kayla langsung bersinar. Lalu ia berkata, "Huwaaa, apakah ini perpustakaan kerajaan?!" Kayla dengan genjutsunya, secara cepat berpindah pindah tempat sekeliling. Kayla memang senang senang sekali saat membaca buku, perpustakaan kerajaan salah satu dari banyaknya tempat yang ingin sekali ia kunjungi. Disana terlihat sang Zodiac Virgo, ia tertawa kecil saat melihat tingkah Kayla dan mengatakan, "Hm, sepertinya kau suka sekali membaca buku ya?" Ujarnya. "Kau mirip sekali dengan Capricorn," Ledek Virgo "Hem hem, betul...," Jawab Capricorn dengan pdnya sambil membenarkan kacamatanya ala detektif chibi. "HEEE?! APA MAKSUDMU!...." Gerutu Capricorn karena tau maksud dari ejekan Virgo. (Capricorn tidak suka jika di ejek kutu buku (padahal faktanya begitu)) "Huwa Dewi Virgo, tuan Leo?" Karena tadi terlalu bersemangat berkeliling, Kayla lupa bahwa ada Zodiac Leo dan Zodiac virgo. "Akh aku lupa kalo tadi dipanggil oleh Tuan Leo," Batinnya. Kayla pun langsung menunduk hormat kepada Zodiac Leo dan Dewi Virgo. "Ma-mafkan saya atas kelancangan saya tadi" Ujarnya. "Ah tidak apa apa, tidak usah terlalu formal. Berdirilah" Suruh Zodiac Leo. "Ba-baik" Kayla pun langsung berdiri kembali. Lalu dia ingat akan pertanyaannya tadi, kenapa Zodiac leo memanggilnya. Ia pun bertanya " Ah, mm..., anu, Tuan Leo. Kenapa anda memanggil saya? Apakah ada sesuatu?" keringat di wajah Kayla tampak ber-cucuran "uakh, apakah aku melakukan kesalah? Tetapi seingatku aku tidak membuat kesalahan apapun, apa karena aku sempat mengambil beberapa mangga tetanggaku? Semoga saja ia tidah tau" Seisi kepalanya dipenuhi kepanikan yang tidak jelas. "Ahaha, pertanyaan yang tepat. Ya! Aku ingin bicara sebentar denganmu." Ujar Zodiac Leo, tatapan mukanya saat mengatakan itu terasa seperti kepalamu akan menghilang, gitu. "Hiii" Kayla pangsung terkejut takut. Bletak! Zodiac Virgo langsung memukul kepala Leo menggunakan buku yang tiba tiba muncul entah dari mana. "Ohokk!!" "Apaan seh?!" Teriak Zodiac Leo. "Jangan membuat orang ketakutan dengan wajahmu itu." Ujar Zodiac virgo "Dia lebih menyeramkan...." Batin Kayla. "Iyaiya, ah baiklah. Maafkan atas kelalaian pelayan kerajaan tadi yah, dia memang ceroboh. Karena aku sudah bisa mengetahuinya kalau dia akan melupakan suatu hal yang penting, makanya aku mengirim pengawal ku untuk menjemputmu." Jelas Zodiac Leo. Saat namanya diapanggil, pengawal Zodiac Leo itu langsung berlagak sok tampan sambil membenarkan kacamatanya ala detektif nyusut. (lagi) "Ah, iya tidak apa apa. Itu juga memang salahku karena tidak menanyakannya." Ujar Kayla, sambil menarik kursi yang ada dimeja itu dan langsung duduk. "Baiklah aku akan langsung kepada intinya. Apakah kau tau tentang legenda 'Badarasmi'?" Tanya Zodiac Leo sambil memangku dagunya di tangannya. "Hmm..., ah iya aku tau. Saat aku kecil nenekku sering menceritakan dongeng itu, ku kira itu hanya dongeng. Ada apa?" Tanya Kayla Zodiac Leo mulai memasang muka seriusnya, "Hahh..., kalau begitu," Zodiac Leo langsung berdiri dari Kursinya, "Ayo, ikut aku," Lanjutnya. Kayla merasa agak takut, tetapi ia memberanikan dirinya dan menuruti Zodiac Leo. TO BE CONTINUED Kemana mereka bertiga pergi? Apa yang akan terjadi dengan Kayla dan Jaka? Kalau kalian penasaran boleh di bintangin, dan author juga butuh beberapa saran kalian mengenai yang dibawah ini?? ?------CHARACTER INFO------? Zodiac Leo ♌ Nama:(pilih) Aditya Agni/ Arakata Umur: 24 Asal: Batavia Atma: -ALIRAN TAPAK PEMECAH BUMI, OTOT KAWAT TULANG BESI. Leo melakukan pembatuan pada bagian telapak tangannya. Selama pembatuan, di telapak tangannya membuat semacam sarung tangan besi berbentuk seperti bagian kepala barong. Sarung tangan itu dilapisi oleh emas dan logam dan memiliki banyak sekali atma yang terkumpul didalam situ. Sarung tangan itu layaknya sebuah perisai yang tidak bisa ditembus (Saran di komen) ♌♐------ATMA INFO------♌♐ *♌ 'ALIRAN TAPAK PEMECAH BUMI, OTOT KAWAT TULANG BESI.' Sebuah serangan milik Zodiac Leo, ia melakukan pembatuan pada bagian telapak tangannya. Selama pembatuan, di telapak tangannya membuat semacam sarung tangan besi berbentuk seperti bagian kepala barong. Sarung tangan itu dilapisi oleh emas dan logam dan memiliki banyak sekali atma yang terkumpul didalam situ. Sarung tangan itu layaknya sebuah perisai yang tidak bisa ditembus *♐ 'PANAH DEWA KEGELAPAN, PASOPATI GANDIWA!' Sebuah serangan milik Zodiac Sagittarius yang dapat menghujani ribuan anak panah kematiannya ke arah targetnya. Target serangannya maksimal satu sampai tiga target. Serangan mematikan ini dapat melelehkan apapun yang disentuhnya, serangan ini pun dinamakan 'Hujan Kematian'. Saran dikomen ya gais Kalo ada yang typo boleh dikomen nyak Babay, see you guys next time KEEP RESPECT, AND HAPPY READING PAAAAAWWWWW✨✨✨ Description: "Cih apanya yang penjaga kedamaian, kalian semua hanyalah manusia lemah! Kalian semua tidak tahu apa apa tentang kekuatan yang luar biasa dari batu batu itu." JRASH... Iblis itu langsung memutuskan lengkan Raja Taurusu. "AAAAAAKKKKHHHHHHH!!!!" Jerit Zodiac Taurus sambil memegangi tangannya. "TIDAAAAKKKK!!"Teriak Gemini, dan mencoba untuk lari ke tempat Zodiac Taurus "Tunggu Gemini, kita tidak bisa gegabah saat ini. Kita harus tetus mengulur waktu untuk Jaka." Ujar Leo sambil menahan bahu Gemini. "Ck sial, cepatlah bocah!" gerutu Gemini ---------------------------------------------------------------------- Dulu, di bumi ini. Manusia hanyalah makhluk biasa yang tidak punya kekuatan apa apa, mereka hidup dengan damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Suatu hari di kota Batavia, tumbuh sebuah pohon yang sangat besar. Tidak ada yang mengetahui dari mana tumbuhnya pohon tersebut, tidak lama dari munculnya pohon aneh itu. Keluar sebuah telur raksasa dari salah satu akar pohon itu, hingga suatu saat telur itu menetas dan mengeluarkan sebuah bola bercahaya yang sangat menyilaukan. Di dalam bola itu terdapat batu batu yang di tengahnya terpahat simbol simbol dari ke dua belas zodiac . . . . . Penasaran seperti apa para zodiac ini Kalo iya boleh dong mampir bentar:) Jangan lupa li ke, subrek, ser, dan komen Tinggalkan jejak ya gaes Jangan kayak dia yang udah sayang sayangnya, maen pergi aja Dasar, datang tak dijemput pulang gak dianterin KEEP RESPECT AND HAPPY READING PAAAWWWW~ kalian bisa baca cerita ini di: -Wattpad -Noveltoon stay toon terus yaw^^
Title: When I See You Again Category: Flash fiction Text: When I See You Again Sesungguhnya dia masih ingin dikejar oleh sang fajar, menjadi buron untuk berlari mengusap telaga yang dipenuhi oleh peluh. Kemudian berhenti sejenak untuk berpegang pada sang senja, saat lelah dengan kurang ajarnya datang menerjang. Tapi tidak, karena Tuhan tidaklah sempat berdiskusi untuk mendengar harapan egoisnya. Lama sebelum semesta diciptakan, para malaikat atas kuasa-Nya mencatat rentetan takdir sang kerdil seperti manusia. Kelahiran dan kematian adalah dua kuasa mutlak yang tidak bisa diubah Seorang wanita bermandikkan sisa cahaya rembulan, yang mengintip masuk pada celah terkecil. Saat langit memberi izin pada salah satu subjek lukisannya, bintang. Meminjam sebentar kehangatan dalam keheningan yang mencekam. Malaikat telah menunggu di sisi kanan sembari mengusap ubun-ubunnya.”Tuhan telah memerintahku untuk segera menjemputmu.” “Aku tahu, karena beberapa hari kebelakang kau selalu hadir di sudut ruangan menunggu waktu untuk membawa jiwa ini pada raganya. Waktuku sudah habis, maka jangan sia-siakan perintah yang telah diberikan oleh Tuhan. Bawa aku!” “Aku akan memastikan jika jiwa yang merekat dalam tubuh itu tidak akan diperlakukan semena-mena. Selayaknya selembar rambut yang tertinggal pada tepung terigu yang lembut.” Kedua kelopak mata selayaknya mawar layu namun tetap merah itu berjatuhan di atas lantai beralaskan keramik kokoh. Beberapa suara sayup-sayup terdengar, membuat bibirnya dengan sekuat tenaga bergerak untuk mengucap pengakuan keberadaan Tuhan. “Wahai manusia yang selama hidupnya memerangi dosa, Tuhan telah memastikan jika ada satu tempat untukmu tinggal dan sifatnya kekal. Tidak seperti bumi fana yang sesungguhnya hanyalah ladang ujian bagi kalian. Surga telah memanggilmu secara terbuka; selamat datang.” Saat itu belum ada fajar. Hanya berupa lautan biru tua pekat, memudarkan cahaya bintang yang ingin temani dia pulang. Beberapa manusia terjaga, salah satunya seorang gadis yang selama ini ikut berjuang. Dia berusaha untuk menahan jerit juga menekan luka. Air mata yang selama ini tersembunyi lantas memberontak meminta untuk tumpah. Tubuh mungil ringkih miliknya dibuat melengkung, menggapai dahi untuk dia kecup. Kedua matanya memejam, terbayang ukiran indah dibibir yang telah pucat itu. Dengan lirih gadis itu berkata, “Selamat pulang Mah, aku ikhlas. Hingga Tuhan mempertemukan kita kembali di surga kelak, sampai saat itu aku akan terus berusaha. I love you, see you later.” Fin. Description: Baginya kau adalah sosok tak sempurna penuh cinta dan juga penuh kehangatan. Ma... sampai saat ini dia berusaha untuk menemukan kata ikhlas tanpa mengucapkannya kembali. Selamat pulang Ma... walau raga itu tak lagi terasa detak maupun denyut nadi, tapi namamu akan tetap tinggal sampai kamu dan gadis itu berjumpa lagi. Notes : Special untukmu Ma... sosok yang menjadi damba, namun belum sempat kita berjumpa.
Title: Wanita Dalam Duka Category: Puisi Text: Puisi Tentang Wanita Wanita Dalam Luka Oleh Deis Ismayanti Derita tiada akhir Perkara dapur menjadi petir Hiruk pikuk tanpa getir Tak nampak sekalipun angin semilir Setiap hari memasak jantung tanpa talenan Tuan seret puan dalam keserakahan Dalam mulut busukmu di baluti penderitaan Cerita indah hanya sebagai ingusan Ruas jari tuan menjambak sampai terlepas Tonjokan tangan seakan tak bisa napas Tubuh puan terseret terhempas Sering kali tuan mengucap kata ikhlas Jeruji, 27 Maret 2021 Wanita dijajah Pria Oleh Deis Ismayanti Wanita dijajah Pria sedari dulu Berita Tiongkok Ying yai Sheng-ian (1416 M) Emas keping menjadi buah tangan para lelaki hidung belang Songgokan mata merayu berulang Seakan batin dan raga menjadi ilalang Jeritan derita ingin menghilang Sodoran senjata menembus pipi Tak berkutik tak bertepi Wanita dianggap hina tak ada yang mengasihi Wanita bisa ditukar dengan materi Wanita dulu... Wanita buta ilmu buta aksara Seakan kodratnya tak berdaya Ingin meronta tapi tak kuasa Beribu tahun wanita dijajah Pria Seakan kenangan masih melekat Atma semakin tumbuh Ada saja, wanita dijajah Pria Kolong langit, Maret 2021 Bagai Burung Dalam Sangkar Emas Oleh Deis Ismayanti Terkurung dalam ruang dan waktu Merenung menekuk lutut terpaku Di Sudut ruang tanpa lampu Inginku melihat dunia tapi tak mampu Bagai Burung Dalam Sangkar Emas Kilauan harta yang ku punya Tak berarti apa-apa Tuan itu membuatku tak berkutik Lorong hampa di bawah ranjang Bagai burung Dalam Sangkar Emas Suara detikan jam seakan dekat ditelingaku Sepi membungkam pelana risau Matahari terbit dan terbenam tak aku tahu Hari panas tapi membeku Tapi burung dalam sangkar Emas Tak khawatir akan jahatnya dunia luar Tak ada rasa iri dengan uang miliar Karena aku hanya ada dalam sangkar Walaupun sunyi aku tetap bersabar Kursi, Maret 2021 Description: Wanita yang dihianati
Title: With Time Category: Cerita Pendek Text: With Time Aku mempercayainya. Sampai saat ini. Tiga tahun. Rasanya baru kemarin. Aku melihatnya, duduk dibangku depan sambil menatapku di bangku belakang. Saat itu, aku bersemu. Luar biasa berdebar. Dia hanya seperti itu. Sampai kurasa bermenit-menit dia hanya begitu. Aku melipat bibir, susah payah menahan senyum. Pernah saat itu hariku buruk. Aku bangun kesiangan dan belum sempat sarapan sebelum berangkat sekolah. Aku juga melupakan uang sakuku. Tapi Glen tahu, dia membelikanku soto ayam kesukaanku dikantin. Pernah juga saat itu aku lupa mengerjakan pr, Glen tahu. Aku sudah heboh mencari contekan tapi Glen dengan santai menghampiriku sambil mengatakan pakek aja bukuku. Dia menggantikanku dihukum. Apa yang kurasakan? Dia melengkapiku. Aku merasa sempura. Hanya begitu. Lalu semua berakhir ketika Glen pindah sekolah. Aku merasa itu bukan sesuatu yang harus kutakuti. Kupikir semua rasaku ini akan hilang ketika Glen pergi, tapi nyatanya semua itu salah. Setahun setelah Glen pindah. Aku menyadari ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Itu kamu. Aku menjerit. Aku menangis. Kurasa hari-hariku selalu buruk sejak saat itu sampai saat ini. Aku tidak pernah lagi menemukanmu. Aku mendongak. Seorang pelayan memberiku kopi panas yang masih mengepul. Kuberikan senyum tipis sebagai ucapan terimakasih. Lalu aku menyeruputnya sedikit. Panas kopi itu terasa membakar lidahku. "Dude! Cewek baru nih!." Pelayan itu berseru, pada seseorang dibelakangku. "This is my wife." Kata orang itu dibelakangku. Aku mendadak membeku. Seperti ada sesuatu besar yang menghantam dadaku. Aku jelas baru saja mengingatnya. Aku baru saja membayangkan wajah tampannya. Aku tidak mungkin salah. Itu dia, laki-laki itu. Yang tidak berhasil kulupakan bahkan setelah tiga tahun ini. Glen Pamungkas. Aku masih mengingat suaranya. Aku yakin itu dia. Susah payah kuberanikan diri menoleh kebelakang. Aku tersenyum luar biasa sakit untuk diriku sendiri. Itu Glen. Bersama yang dia katakan istrinya. Perempuan itu cantik. Tinggi putih seperti model. Dia sedang hamil. Glen tidak melihatku. Dia mencium kening istinya. Mungkin istrinya yang melihatku mengatakan sesuatu padanya. Dia mendongak dan melihatku. Mata sipit yang dulu sangat kusuka itu membelalak. Dia terkejut. Apa hanya aku yang merasa seperti menemukan laki-lakiku berselingkuh? Aku menelan ludah, kukeluarkan dompet dan kutinggalkan beberapa lembar rupiah di mejaku. Toh pelayan itu masih berdiri didepan mejaku. Aku berdiri dan keluar dari situ dengan tergesa. Kupasang wajah paling tenang yang kupunya ketika melewati mereka. Tapi setelah aku berhasil mendorong pintu kaca cafe itu, air mataku meleleh. Aku menabrak seseorang, bukan. Lebih tepatnya dada seseorang. Kupikir dia pria, aku merasakan dadanya keras. Aku mendongak, mata coklat terang milik pria itu langsung menyambutku. Aku terkesiap sebentar kemudian ketika tersadar cepat-cepat meminta maaf. Tanpa memperdulikan respon pria itu, aku terus saja menangis, berlari sambil menjangkau pintu mobil. Didalam mobil, aku menangis luar biasa hebat. "Mau minum kopi denganku, nona." Aku terlonjak. Suara bariton yang seksi. Berat dan penuh penekanan. Aku menoleh melihat jendela mobil. Pria bule yang tadi kutabrak. Aku masih mengingat mata coklatnya yang terang. Mata itu jadi berkali-kali lebih terang karena terkena matahari. Dia yang sangat tampan. Kurasa dia pria paling tampan yang pernah kulihat. Garis wajahnnya tegas. Dia punya alis yang melengkung tajam. Sorot matanya sangat intens. Rahangnya tegas dan ditumbuhi beberapa brewok tipis. Dia tinggi, kurasa lebih dari 180 tingginya. Dengan tubuh proposional seperti model. Jangan lupakan pria itu juga punya badan yang sangat atletis. Otot bisepnya tercetak jelas dari balik jas mahalnya ketika dia mengetuk kaca mobilku beberapa kali. Aku menggeleng dengan mata yang terpejam dan kedua tangan yang memijat kening. "Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja." Katanya santai. Aku tidak memperdulikannya. "Laki-laki itu pacarmu?." Aku mendongak dengan kening mengerut. Diam sebentar. Apa dia tahu? Aku mengeleng sedikit untuk diri sendiri. Dia tidak mungkin tahu. Lagain dia cuma orang asing. Kuambil tissu dari jok belakang sebanyak yang kubisa. Aku menghapus air mataku yang membanjiri pipi dengan kasar. Sekalian kukeluarkan ingus yang membuat hidungku penuh. Lalu setelahnya kuusap dengan punggung tangan. Aku mendengar suara kekehan. Lalu mendadak melotot. Pria itu masih berdiri disamping mobilku. Mata coklatnya lurus memperhatikanku. Apa dia tahu aku baru saja mengeluarkan ingus dengan jorok? "Anggap saja aku tidak melihatmu barusan." Ekspresinya serius. "Kalau kamu mau, aku bisa kesana ... dan kamu ingin aku melakukan apa?." Apa sih pekerjaannya? Apa dia tidak punya pekerjaan. Setelannya bagus. Jas formal yang sepertinya mahal. Kurasa dia bukan orang sembarangan. Aku menggeleng. Dia malah mengangguk. "Baik. Aku akan kesana dan menghajarnya." Dia berbalik dan betulan kesana. Aku terburu-buru keluar mobil. Kulepas sebelah sepatuku. Kulempar kearahnya. Tepat. Mengenai punggungnya. Dia menoleh kebelakang, kepadaku. Kuberikan tatapan paling kesal yang kupunya. Dia memungut sepatuku lalu berjalan kearahku. Dia berjongkok didepanku. Orang-orang melihat kami. Kami masih didepan cafe. Disekitar kami orang-orang lalu lalang berjalan diatas trotoar. Dia memakaikan sepatuku. Seperti adegan difilm-film. Tapi ini sungguhan. Aku yang mengalaminya. Dia bangkit berdiri. Tersenyum sangat mempesona. Lalu berkata dengan lembut. Aku merasa berbeda. Dia bukan Glen. Selain Glen tidak pernah ada yang memperlakukanku seperti ini. Rasanya berbeda. Glen sangat peka dan tahu apa yang kumau. Tapi pria itu memaksakan kehendaknya dan melakukan apa yang dia mau. Yang sialnya aku tertarik. Bukan menyukainya. Aku hanya tertarik. Dia sangat tampan, mustahil aku tidak tertarik. Tanpa menunggu persetujuanku. Dia menggandengku memasuki cafe. Iya, cafe yang sama. Kami duduk dikursiku yang tadi. Dia memesankan pesanan kami tanpa persetujuanku. Dia melakukan semuanya seperti maunya. Otoriter. Rasanya seperti aku baru saja diselamatkan dari kematian. Baru saja aku duduk dimobil, menangis hebat. Lalu sekarang aku duduk disini bersamanya. Munafik jika kukatakan aku tidak lebih baik. Entah bagaimana caranya dia membuatku merasa lebih baik. Seorang laki-laki bule berjas rapi menghampiri meja kami. Dia membawa tumpukan kertas beserta Ipad. Kukira mereka berteman. Tapi setelah melihat laki-laki itu membungkuk sopan pria itu. Kusimpulkan laki-laki itu bawahannya. Kuperhatikan saat dia membaca beberapa tumpukan berkas. Ekspresinya terlihat serius. Alisnya menukik semakin tajam. Dia benar-benar serius. Sesekali dia mendongak untuk memastikan sesuatu diIpadnya. Lalu kembali serius lagi pada berkas yang dia baca. Begitu terus sampai beberapa lama. Rasanya menyenangkan melihatnya bekerja sekeras dan seserius itu. Dia terlihat sangat keren. Aku penasaran, apa sih pekerjannya? Apa dia bos? Suara keributan. Dua orang perempuan dibelakang meja kami seperti bertengkar. Terdengar suara benda dibanting. Suara seretan kursi. Orang-orang sudah penasaran melihat dua orang perempuan itu termasuk aku. Tapi dia sama sekali tidak berpaling. "Awww!." Aku menjerit. Siku salah satu perempuan yang bertengkar itu mengenai kepala belakangku. Dia langsung mendongak melihatku. Lalu cepat-cepat berdiri dan berjalan ketempatku. Dia memelukku sambil berdiri. Kepalaku bersandar diperutnya. Dia mengusap kepala belakangku lembut sekali, seolah aku ini bayi. Kuperhatikan orang-orang melihat kami, termasuk Glen. Suasana langsung hening seketika. Sampai beberapa lama dia baru melepasku. Dia berpaling pada dua perempuan itu. Mereka bukannya ketakutan malah melongo sepertinya terpesona dengan ketampanannya. "APA YANG KALIAN LAKUKAN!." Dia marah. Suaranya menggelegar luar biasa. Urat-urat dilehernya menyembul dan tatapannya tajam sekali. Aku tidak pernah melihat kemarahan semenakutkan itu. "Dia kesakitan karena kalian!." Aku tidak tahu apa yang membuatmu marah. Tapi ini hanya ketidaksengajaan. Apa sih yang membuatnya sampai semarah itu? Aku berdiri, kutarik lengannya yang besar. Dia berpaling melihatku. Tatapanmu langsung berubah lembut. "Udahlah, dia nggak sengaja." Kukatakan dengan selembut mungkin, berharap emosinya mereda. Dia menghembuskan nafas. Tatapannya mendadak berubah menyesal. "Maafkan aku." Aku mengangguk. Bawahannya mendekatinya. Ekspresinya sangat khawatir. "Kapal kita dibajak di laut Somalia, Mr." Dia diam sebentar seperti mempertimbangkan sesuatu. "Berapa yang mereka inginkan?." "Tiga juta dolar." "Siapkan pesawat. Saya akan terbang, sekarang." Dia berpaling melihatku. Aku menelan ludah. Kali ini, kurasa dia betulan bukan orang sembarangan. Fisiknya, setelannya. Semua itu terlalu memukau. "Kalau butuh sesuatu, teman ngobrol misalnya, kamu bisa menghubungiku disini." Dia memberiku kartu namanya. Drake Justin, namanya. Seorang pimpinan sebuah perusahaan di Jerman. "Aku single, belum punya anak, tidak pernah menikah sebelumnya." Dia tersenyum. Senyum yang menggoda. "Tapi sangat ingin menikahimu. Kita akan bertemu lagi. Aku akan menjemputmu. Tunggu aku." Munafik jika kukatakan aku tidak meleleh. Dia hanya mengatakan itu, tersenyum sedikit lebih lama. Lalu berlalu pergi bersama bawahannya. Kurasakan sesuatu menggelitik perutku. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan saat bersama Glen. Hari itu, aku pulang dengan perasaan luar biasa bahagia yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Kubaca kartu namanya berulang-ulang, aku tidak pernah bosen membacanya sampai aku ketiduran. Lima hari setelah hari itu, dia datang. Dia menjemputku di kampus. Dengan setelan resmi yang mahal. Dia keluar dari Mercedez hitam begitu melihatku keluar dari kampus. Teman-temanku menjerit melihatku dijemput pangeran setampan dia. Siang itu, kami hanya berkendara, tanpa tujuan, membicarakan banyak hal baru dan pulang ketika hari benar-benar gelap. Keesokan paginya dia menjemputku. Kami berkencan lagi sepulang kuliahku. Seminggu setelah hari itu, kami LDR. Dia harus kembali ke Eropa. Tapi hari-hariku rasanya tetap menyenangkan, seperti dia tidak pergi jauh, seperti dia tidak kemana-mana. Kami berkirim pesan, menelfon dan video call setiap hari. Tidak ada satu haripun yang membosankan saat itu. Lalu dia datang, menjemputku di cafe. Karena dia harus meeting di Singapura, dia membawaku kesana. Dia tidak malu mengajakku bertemu orang-orang penting dibelahan bumi ini. Dengan bangga dia memperkenalkanku sebagai pacarnya, padahal penampilanku apa adanya dan acak-acakan. Lalu dari Singapura dia membawaku pulang dengan kapal pesiar. Aku melayang. Tidak pernah kurasakan menjalani hari-hari semenyenangkan ini. Hanya dengannya. Aku selalu bersemangat menantikan hari esok dengan berdebar-debar. Tujuh hari setelah hari itu dia harus kembali ke Eropa. Tidak masalah, kita bisa LDR. Rasanya tidak ada yang berbeda. Aku selalu merasa dia masih disini. Lalu dia datang lagi di cafe tempat pertama kali kita bertemu, tepat dihari ulang tahunku. Dia acak-acakan dan sangat kelelahan. Matanya merah, dia baru saja melakukan pertemuan yang alot di Sydney tapi dia masih menyempatkan diri menemuiku. Dia memberiku cincin. Cincin sederhana yang indah. Dia hanya menemuiku sebentar lalu kembali lagi keSydney. Masih kuingat dengan jelas hari itu. Dia mengatakan akan kembali lagi secepatnya, memberikanku cincin yang lebih besar dan lebih bagus. Apa itu lamaran? Aku menantikannya sampai tidak bisa tidur dengan jantung yang berdebar. Berdebar luar biasa seolah tidak pernah berdebar sebelumnya. Sampai satu Minggu setelah hari itu, dia tidak juga datang. Berkali-kali kuhubungi nomernya, hasilnya nihil. Aku menangis seperti tidak pernah menangis sebelumnya. Aku menjerit, tidak peduli aku ada dimana. Aku berteriak marah kepada siapa saja. Setiap hari aku selalu bangun dengan harapan hari ini dia akan datang menjemputku. Lalu kami akan berkencan sampai lelah. Aku masih duduk di cafe, berharap dia datang. Tapi seberapapun aku menunggu, dia tidak juga terlihat. Kucoba menghubunginya lagi, tapi semuanya tidak membuahkan hasil. Satu hari lagi, aku bertahan dengan harapan dia akan datang. Tiga Minggu setelah hari itu aku masih duduk di cafe berharap dia datang. Tapi sama seperti kemarin-kemarin aku tidak melihatnya datang. Dua bulan setelah hari itu, aku juga tidak menemukannya. Sampai enam bulan setelah hari itu, aku bangun dengan harapan dia akan datang tapi dia tidak juga datang. Aku hampir menyerah, ketika sebuah solusi terlintas dipikiranku. Aku akan menjadi pengusaha. Kukumpulkan uang yang banyak untuk menemuinya di Jerman. Diam-diam menjadi pengusaha sudah menjadi impianku kini, setelah melihatnya bekerja sekeren dan seserius itu. Sejak saat itu aku bekerja terlalu keras untuk mewujudkannya. Ayahku yang seorang PNS mengutukku berkali-kali, katanya aku pembangkang karena tidak menuruti orang tua. Ayah ingin aku jadi PNS sama dengannya. Mama, juga membela Ayah dan selalu mengomel jadi pengusaha itu suatu pekerjaan yang tidak pasti dan butuh bertahun-tahun untuk mengumpulkan modal. Aku tidak memperdulikan mereka. Adikku juga selalu mengejekku, katanya aku terlalu kurus. Terlalu acak-acakan dan masa bodoh dengan penampilan. Aku bekerja terlalu keras sampai tidak peduli pada diri sendiri. Teman-temanku juga banyak yang meninggalkanku, katanya aku sombong, tidak asik diajak nongkrong dan selalu sibuk dengan pekerjaan. Tidak kuperdulikan mereka. Setelah aku bersumpah atas mimpiku, aku galau selama seminggu apa yang harus kulakukan. Tabunganku benar-benar mengenaskan. Aku tidak mungkin harus bekerja bertahun-tahun untuk mengumpulkan modal. Semua itu membuang waktu. Kuputuskan melakukan sebisaku dengan uang seadanya. Aku mulai mencoba bisnis online. Lumayan. Tidak terlalu repot dan tidak banyak modal. Aku kuliah pagi lalu setelah kuliah aku bekerja membuat iklan semenarik mungkin, menulis deskripsi produk yang menarik, memasang foto yang cantik sampai melayani orderan sendiri. Semua itu membuatku tidak punya waktu mengurus diri apalagi mengurus orang-orang disekitarku. Mereka kebanyakan mencemoohku. Sampai akhirnya Enam bulan aku melakukan itu. Lumayan rekeningku jadi gendut. Sekarang setelah bisnis tas mulai bisa kutangani, aku memperkerjakan Lita, saru-satunya teman yang kupunya. Semua tugas kuserahkan padanya. Aku akan membangun bisnis lagi, kupikir bisnis sepatu sepertinya cocok denganku. Dengan bodoh, aku memesan berkarung-karung sepatu. Semua tabunganku ludes untuk itu. Saat pesanan sepatuku datang. Sesuatu membuatku membelalak, berkarung-karung sepatu itu hanya sebelah. Semua karung punya isi yang sama. Aku menangis selama seminggu. Semua jerih payahku jadi rongsokan. Tabungan yang susah payah kukumpulkan ludes karena sepatu itu. Aku hampir stress karena putus asa. Ayah mengomel setiap hari, Mama memperparah keadaan. Adikku menggolokku karena katanya aku semakin tua, semakin tidak bisa merawat diri dan acak-acakan. Hanya Lita yang berdiri dipihakku. Semua teman-temanku juga meninggalkanku. Rasanya duniaku yang baru saja kubangun runtuh. Aku? Apa aku menyerah saja? Dengan bodoh aku menyerah. Aku berhenti memperkerjakan Lita. Tiga hari setelah itu. Aku mulai menyadari aku seperti orang gila yang tidak punya pekerjaan. Dengan labil, kupanggil Lita kembali. Kuminta bekerja lagi denganku. Kami sama-sama bekerja keras lagi, kali ini harus bekerja lebih keras. Sejak saat itu, keadaanku menjadi makin buruk. Setiap hari aku bekerja 16 jam. Sisanya untuk istirahat dan kuliah. Sampai di suatu pagi yang seharusnya cerah malah jadi petaka. Suasana meja makan pagi itu mencekam. Mama terlihat menahan amarah. Ayah membanting cangkir kopinya. Adikku melihatku seperti aku baru saja melakukan kesalahan besar. "Papa baru aja dapet kabar dari om Danu, papa malu! Om Danu temen papa, dia jadi dosen kamu. Dia bilang kamu harus mengulang semester. Apa sih yang kamu lakukan selama ini? Jualan! Apa itu menjamin masa depan kamu?!." "Aku sedang berusaha untuk itu." Ayah semakin berang. "Ayah nggak melihat hasil apapun dari usaha kamu!!!." "Aku akan berusaha secepatnya menyelesaikan proses itu." "Sampai kapan?!." Ayah berteriak. Aku memejamkan mata. Mama melihatku seolah ingin membunuhku. "Pergi dari sini, Jena!." Aku mengangguk dengan perasaan luar biasa hancur. Setelah hari itu seisi rumah mendiamkanku. Rasanya rumah seperti neraka. Didiamkan orang terdekat adalah hal paling buruk yang pernah kualami. Melihat Glen bersama istrinya waktu itu, kini seperti bukan apa-apa. Suasana diperburuk setelah teman Ayah datang ke rumah dan mengatakan anaknya baru saja lolos jadi PNS. Ayah mengebrak meja, tanpa mengatakan apa-apa dia mengemasi barang-barangku, menyuruhku pergi dari rumah. Aku menurut. Kali ini aku lebih siap. Hari itu juga aku menemukan rumah yang layak kutinggali. Kubawa Lita ikut denganku. Hanya berdua dengan Lita, aku jadi semakin gila bekerja. Setahun setelah hari itu bertepatan dengan hari kelulusanku, kuputuskan untuk membuat brand pakaian sendiri. Sudah kurancang sedemikian rupa. Sudah kuhitung uang tabunganku. Kutemui beberapa penjahit, penjual kain sampai beberapa desainer yang kupikir akan cocok denganku. Tapi sepertinya saat itu bukan untukku. Tabunganku masih belum cukup. Aku harus mengumpulkan lebih banyak lagi. Kupikir itu akan memakan lebih banyak waktu. Kuputuskan untuk berserah pada Allah yang maha baik. Kusedekahkan seluruh modal yang kupunya. Satu tahun setelah hari itu, sebuah perusahaan pakaian kenamaan mengajakku bekerja sama. Hari itu, aku menangis saking senangnya, kukabari Mama, tapi Mama masih mendiamkanku. Dari situ, untuk pertama kalinya aku punya brand pakaian sendiri. Setelah kurasa aku cukup mahir mengembangkan produk. Satu setengah tahun setelah aku punya produk pakaian sendiri, kudirikan sebuah perusahaan fashion. Setelah bertahun-tahun bekerja dan berdo'a tanpa henti aku berhasil mendirikan perusahaan pertamaku. Aku menangis sejadi-jadinya saking bahagianya. Sampai suatu malam yang melelahkan seperti biasa setelah seharian bekerja, untuk pertama kalinya setelah tiga tahun aku pindah rumah, Mama mengunjungiku. Kupikir itu kabar bahagia tapi ternyata aku salah, Mama mengunjungiku untuk membawa kabar yang lebih buruk. Adikku yang dulu menggolokku sekarang mencoba bisnis yang sama denganku, bedanya dia membangun bisnis dengan temannya. Melihat aku berhasil membeli rumah, Ayah menyuruh adikku berbisnis yang sama denganku. Tapi naas itu bukan sesuatu yang baik, Ayah meminjam dua ratus juta dari bank untuk modal bisnis adikku, karena kecerobohannya memilih partner, uang dua ratus juta itu raib dibawa kabur oleh partner bisnisnya. Mama mendatangiku untuk memintaku melunasi hutang itu, aku menyanggupi. Kutransfer dua ratus juta itu dengan dana cadangan yang kutabung selama ini. Sejak saat itu hubungan kami mulai membaik. Semakin membaik ketika Ayah tahu aku diundang sebagai salah satu pembicara di universitas terbaik negeri ini sebagai seorang pebisnis muda wanita terbaik. Ayah mengundangku ke rumah dan memintaku untuk kembali pulang ke rumah. Aku menurut. Setelah dua tahun sejak aku kembali pulang ke rumah, dengan jantung yang serasa mau pecah. Kuberanikan diri terbang ke Jerman. Aku masih menyimpan kartu namanya. Disitu tertera alamat perusahaan Drake. Didalam pesawat dalam penerbangan menuju Berlin, kuremas jantungku. Aku masih merasakannya, sesuatu mengelitik perutku ketika dia memberiku senyum, itu enam tahun yang lalu. Kubanyangkan wajah tegasnya yang punya senyum memukau. Kuingat tatapannya yang intens. Aku membayangkannya menyambutku dengan mata tajam yang membulat karena terkejut. Kubayangkan wajah tampannya yang mungkin punya garis-garis halus atau rambut putih, mungkin sekarang dia sudah 42. Tidak masalah, aku tidak pernah mempermasalahkan umur. Aku tiba di Berlin pukul satu siang, kupesan taksi dan langsung menuju alamat perusahaannya itu. Aku menganga begitu sampai didepan gedung perusahaan itu. Ini jauh lebih sepektakuler dari yang kubayangkan. Kurasa aku tidak pernah melihat gedung setinggi ini sebelumnya. Dengan perasaan terintimidasi karena kemewahan lobi gedung itu, aku mendatangi resepsionis. Ini agak gila kurasa, seorang warga asing tau-tau mendatangi resepsionis dan mengatakan ingin bertemu pimpinan perusahaan ini secara langsung. Tapi apa peduliku, aku tidak memiliki koneksi disini. Satu-satunya cara melalui resepsionis ini. Kukatakan ingin bertemu Drake Justin, resepsionis itu melihatku seolah aku ini alien. Dia terlihat gemetar, melihatku sebentar lalu menghubungi seseorang, aku diminta menunggu. Lima menit kemudian seorang laki-laki yang enam tahun lalu datang bersama Drake, Nande namanya turun dari lift dan langsung menuju tempatku. Aku langsung berdiri dan meyambutnya sopan. Aku dibimbing menuju lift untuk sampai kelantai tertinggi gedung ini. Ruang kerjanya. Aku menganga untuk kesekian kalinya melihat keindahan arsitektur ruang kerjanya. Aku diberi Nande sebuah surat. Air mataku meleleh. Aku menangis sejadi-jadinya membaca surat itu. Itu surat lamaran untukku bersama cincin berlian yang indah sekali. Kata Nande cincin itu dirancang khusus untukku. Aku menangis bahagia sampai tidak bisa berhenti. Enam tahun, kerja keras dan penantianku tidak sia-sia. Sampai Nande memberiku surat kedua. Aku membacanya, kupikir itu kejutan lagi tapi ternyata aku salah. Itu adalah akhir dari semua kerja keras dan penantianku. Surat perpisahan. Ditulis enam tahun yang lalu. Lalu Nande memperjelas pemahamanku, dia sudah meninggal enam tahun yang lalu. Dalam sebuah kecelakaan mobil ketika ingin menemuiku untuk melamarku. Seseorang berencana membunuhnya, dan dia tahu akan berakhir seperti ini. Pesannya disurat itu, seluruh asetnya termasuk perusahaan akan jatuh ketanganku. Lima belas tahun setelah hari itu, sekarang, aku berdiri didepan dinding kaca besar lantai tertinggi perusahaanya. Memandangi kota Berlin dari atas gedung ini sambil mengingatnya. Dua puluh satu tahun yang lalu, sampai aku semakin menua, yang kurasakan masih sama. Seperti dia masih disini. Ada bersamaku. Masih kuingat senyumnya. Masih kuingat aromanya. Masih kuingat suara tawanya. Masih kuingat perlakuan manisnya. Seperti dia tidak pernah pergi jauh. Seperti dia tidak kemana-mana. Dua puluh satu tahun yang lalu sampai kini, aku berterimakasih telah dipertemukan pada laki-laki sepertinya. Rasanya syukurku tidak pernah berhenti kupanjatkan. Aku, Jena Sema Bachtiar akan selalu mencintaimu, laki-lakiku, Drake Justin. Terimakasih. "Mrs, kapal kita dibajak di Somania." Nande mendatangiku dengan khawatir. Aku menoleh dengan marah. "Kenapa sih mereka selalu menganggu kita selama bertahun-tahun." Lalu berjalan terburu-buru keluar ruangan sambil mengingatmu, dua puluh satu tahun yang lalu, ketika pertama kali kita bertemu, Nande juga mendatangimu sambil mengatakan kapal kita di bajak di Somalia. Aku selalu mengingatmu, setiap saat, setiap detik, setiap helaian nafasku. Karena aku bersikeras membiarkan waktu menjaga perasaanku. Description: Aku menangis hebat, seluruh tubuhku berguncang. Kucengkram kuat-kuat ujung bajuku sampai rasanya tanganku perih. Rasanya duniaku seolah runtuh. Rasanya mimpiku tiba-tiba saja hancur dalam sekejap. Rasanya aku nyaris mati. Lalu dia datang. Dia datang untuk menolongku. Dia datang untuk menyelamatkanku. Dia menarikku kuat sekali dari kegelapan itu sekalipun aku bersikeras menolaknya. Dia datang untuk menyelamatkanku dari kematian. Apa ini yang disebut takdir? nurmaaa_taaann ig: nurma_mawaddah02 cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #DreamJob 2020
Title: When The Light Shatter Category: Fantasi Text: Nightmare The Fairy “will you come with me? Come i’ll show you something” said a glowing fairy to me. She invites me to a massive size of tree “is this your house?” i asked “this tree contains all power source for living being, and i am the only one who can manage the longevity of this tree” she replied. Suddenly the situation is changing. The tree is under fire the fairy is wounded with broken wing. I’m scared, i don’t know what is happening. I see a black hooded person covered with mask. Along with him a group of witch-like. The Fairy calls me “go... kagura... bring the crystal save” the masked man grab the fairy then grasp her till die. She is groaning “i’m sorry kagura... i can’t be with you... stay alive... ok...” then she explodes to pieces. I shout while trying to reach her “ Aororaaa...” Crystal I’m in panic. For a moment i realize it was just a dream. It gives me creap. I’m sweating and breathing hard for it. While my sister whose sleeping next to me is holding my hand. She looks so pale as if she just saw a ghost. I ask “what is wrong kana-chan? You’re not sleep yet?” “i just had a nightmare” she replied. To comfort her, i ask“hmm... what kind of nightmare, do you mind to tell me?” “a fairy” she answered. The moment i heard that, i thought it was just a coincidence we have a same dream. We decide to go for mom in her room. We find her sitting in front of fireplace. We approach her. Then i see that she is holding the same crystal i saw in my dream. “Onii-sama... (pulllng my shirt) it’s the crystal” i don’t expect all this going to happen, even Kana saw the same crystal. There’s must be explanation for this. I tell mom our nightmare and about the crystal. She is silent for a few moment. “do you ever heard a story? The war of walpurgis, which shake the world long ago” my mother asked us. “walpurgis war? No, what’s up with it?” i replied. Then she tells us, the forgotten history. A war which took million of lives including my father. next, Walpurgis war Walpurgis War The Queen of the Witch This world once a peaceful one, the forest is still safe, there was no dark creature lurking on the land. Races among kingdoms are friendly. We used to work together in creating medicine, music, history. All were perfect. But everything changed when a witch came out of nowhere. Her origin is still in mystery until now. She declared herself as The Queen of Witch who would rule this world. But, we didn’t take it so seriously giving her chance to spread her corruption throughout the land. She gripped all the hearts of all who wished for power and wealth. She corrupted any kind of living being by her dark magic such as Trees, animals, and elemental natures. We knew she was beyond logic and had to be stopped. For the First time, all major kingdoms in the world formed an alliance just for this one enemy. The Queen of Ocean in the west who ruled the water with her pure pearl namely Oceanis Neptune. From the east, the one who watched over the sky, The Heaven Kingdom of Ascarion led by Raphael. From the middle-land, as our past ancestor, The Luverus Kingdom led by the Imperial Household Knights. If i’m not mistaken there should be 12 of them. And the last came from the Icelon Citadel, located between The Ocean Kingdom and Luverus on an icy continent led by the frost-hearted princess namely Yukino hime. Then followed by other minor kingdoms. The Empire of Irandil, The Sultanite of Babylon, The Republic Region of Kanjarou and others. Even The Underworld Cult of Ereshkigal joined up with the alliance. Under the direct command of Saint Walpurga, the one who possessed the Angelic Sword of Archangel, all put their hope together to save this world from the destruction of The Queen, Queen Alice Kyteler. She knew it was not easy to face such a big alliance by herself so she built her own Castle to maintain her first coverage in the continent of Isiel, known as the Castle of Isiel. Over there, she summoned 4 great Demon Lords to deal with each kingdom. First was Ifrit who mastered the inferno flame, second was Irish the elder succubus, third was Laplace who could trascend the physic laws of space and time, and the fourth was Sovereign who was the king of Vampire at that time. i don’t know the detail of the War, but legend said that we pushed back the evil forces to it’s mainland in Isiel. Three of the Demon Lord was Killed, the last one was still unknown. As for Queen Alice Kyteler, she was sealed off in her Castle under the supervision of the Ascarion Kindom. And so it was named Walpurgis War, to honour the Hero who have fought for Peace, and in memory of the great commander of Saint Walpurga. The renewed world now where you live in is the remnant of the war. “Our Father? What was his role in the war?” i asked. “you’ll find it out later” my mother answered. “aaa.... what was that? It’s unfair... hmph!” Kana sulks while turning her face. “ah...hmm... my beloved children, come... it’s your time to sleep” my mother hugs us to comfort us. “how about if i sing a song for you as the return for your father story?” she offers us. We are delightful to hear a song. Dream and A Cherry tree as the river flows i can hear a gentle tone the wind caresses my cheeks those good memories get blurred the distant sky as if tearing my chest awakens forgotten memories my tears overflow the season of white cherry blossoms only exists in the distant dream the dancing, scattered petals whsipered to me words i can never forget those nights i can't sleep, alone i begin to walk in the lukewarm wind while i tried in vain to cheer up when i noticed it, it turned into memory the moon has disappeared the humid days the memory that i want to erase is in vain and tears won't stop the time engraved in the cruelly binds people and play the growing cherry blossom leaves tell no more the season of white cherry blossom only exist in a distant dream the dancing, scattered petals whsipered to me words i can never forget “oh... Sora... i miss you... if only you had not gone, our children would have never asked to me...” she is tearing up with a soft voice. “mom?... i love you mom... we will never gone from you side, i promise” i said. “i wish so Kagura, Kana. You’re my only treasure i have now” Next, Sora Description: Aozora Kagura and Aozora Kana are both a happy brother-sister who live together along with their mother. Despite having no father, it doesn’t burden their lives. They are quiet a skillful in surviving in the wild. They know how to hunt, collect herb and how to process it into a medicine. While their mother supports them always in a good way. She can use a small portion of magic too. But a happiness won’t last forever. They will face trials that will test their will to live in a bitter world of Walpurgis. They will know what it feels like to be left by their beloved ones They will find out their true origin, the truth of Walpurgis World and what threat lies beyond the outskirt of d’continent They are not just an ordinary sibling, they are destinied for something greater. Will they choose to face challanges... or will they run of the reality?
Title: Wanita Yang Kuat Category: Novel Text: 1. Diusir Dari Rumah [KEDIAMAN KELUARGA ALARIK] [Ruang Tengah] 'Sudah saat kau pergi adik manis' kata-kata itu selalu terngiang-ngiang dipikiran Alana. Itu bertanda akan berakhirnya kehidupan mewahnya. Alana tidak tahu apa yang sudah salah pada takdirnya? Kenapa ada wanita lain yang merebut kebahagiaannya, kasih sayang orang tuanya, merebut cinta pertamanya dan perlindungan dari neneknya? Semua orang membencinya. Semua yang dilakukan Alana selalu salah dimata keluarganya serta tunangannya. Alana sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk keluarganya. Alana berhasil masuk kesekolah terbaik dikotanya. Alana selalu menang dalam setiap perlombaan disekolahnya. Namun semua itu tidak berguna bagi keluarganya. Bagi ayahnya, itu seperti menjatuhkan harga diri kakak angkatnya. Bahkan mereka menyebut Alana Anak yang sombong karena memiliki tingkat IQ yang tinggi. Alana tidak tahu, permainan apa yang sudah dimainkan oleh wanita itu untuk membuat keluarganya menjauhinya. Masalah ini mulai terjadi saat lima tahun yang lalu ayahnya tak sengaja membawa seorang anak perempuan yang tua dua tahun darinya. Ayahnya mengatakan bahwa anak itu yatim piatu dan hampir diperkosa. Dan saat itulah seluruh anggota keluarganya mendekatinya dan menghiburnya. Setelah itu, penderitaannya dimulai. Berlahan-lahan kasih sayang kedua orang tuanya berkurang padanya. Mereka selalu memprioritaskan anak angkat mereka dan meninggalkan anak kandungnya sendiri. Hanya kakeknya yang selalu menyayanginya dan mendukungnya. "Kau wanita jahat." Alana mendorong tubuh Olivia. Tapi Olivia dengan sengaja menjatuhkan tubuhnya kelantai dan menangis disana. "Aku tahu dan aku sadar. Aku hanya anak angkat disini. Maafkan aku adik. Aku akan pergi." Olivia berteriak dan menangis saat seluruh anggota keluarga menghampirinya "Apa yang kau lakukan pada kakakmu, Alana?" Bentak Leyla Alarik "Aku ti...!!" PLAKK Leyla langsung menampar putri kandungnya dengan keras sehingga membuat sudut bibir putrinya terluka dan berdarah. Dalam detik itu juga, dunianya berhenti sesaat. Ibunya menampar demi anak angkatnya. Alana kecewa dan marah. Hatinya mati dan kehidupannya mulai memasuki zona hitam. Alana tidak akan pernah melupakan kejadian hari ini. Sudah bertahun-tahun dan baru hari inilah yang paling menyakitkan. "Ibu menamparku hanya gara-gara wanita murahan itu." ucap Alana sembari menunjuk kearah Olivia. Air matanya mengalir membasahi pipinya "Kau memang pantas mendapatkannya. Aku menyesal telah mengandungmu dan melahirkanmu karena pada akhirnya kau berubah menjadi monster yang mengerikan. Kalau aku tahu dari dulu aku hanya memelihara anak monster, kenapa tidak dari dulu aku membuangmu?" Bentak Leyla "Ibu sudah. Alana tidak salah. Aku yang salah. Aku yang sudah keterlaluan. Aku sudah merampas kasih sayang kalian darinya." ucap Olivia sembari menundukkan kepalanya dan memegang lengan ibu angkatnya dan tersenyum jahat melanjutkan sandiwaranya. "Biarkan aku pergi. Biarkan aku kembali kekehidupan ku yang lama. Aku tidak mau Alana membenciku." ucap Olivia. Inilah rencananya selama ini untuk hidup mewah dan mewah dan mengusir Alana. "Tidak sayang. Kau tidak akan pergi kemana-mana. Diluar sana sangat kejam. Ibu tidak mau terjadi sesuatu padamu.." ucap Leyla "Tapi Ibu..." Olivia menggantungkan perkataannya "Kau tidak akan pergi sayang." Itu suara ayah angkatnya, Robert Alarik "Ya, kau tidak akan pergi. Yang akan pergi dari rumah ini adalah dia." ucap Leyla sambil menunjuk kearah putri kandungnya. Leyla menatap Alana dengan tatapan benci. "Aku tidak akan pernah mengakuinya sebagai anak yang pernah aku lahirkan." ucapnya Saat itu juga, hidup Alana sudah menjadi hitam. Rasa marah dan rasa dendam kini telah merasuki hati dan pikirannya. Tidak ada lagi kebahagiaan, tidak lagi kata maaf. Tidak ada kata kepercayaan lagi dalam hidupnya. Dirinya baru berusia delapan belas tahun, tapi hidupnya sudah harus dibuang. "Mulai hari ini kau bukan lagi putriku kandungku. Aku akan umumkan pada orang-orang diluar sana dan mengarang cerita bahwa kau adalah anak angkatku yang tertukar dengan Olivia saat masih bayi." teriak Leyla di depan Alana. "Cepat. Ambil surat keluarga. Aku akan menghapusnya. Dan jangan ada yang menyebut namanya lagi dirumah ini," ucapnya Olivia tersenyum puas akan penuturan dari ibu angkatnya. Akhirnya, Olivia sah menjadi anak angkat mereka dan hidupnya akan bahagia. Serta Olivia juga mendapatkan cinta dari tunangannya Alana. "Memangnya aku salah apa, Bu? Kenapa ibu bersikap seperti ini padaku?" tanya Alana dengan tatapan tajamnya "Kau bukan anakku lagi. Dan berhenti kau memanggilku Ibu. Kau sudah menyakiti putriku yang berharga." "Sudahlah, Kak. Kalau aku menjadi dirimu, aku pasti sudah pergi dan bunuh diri." sindir adik kandungnya yaitu Lucy "Menjauhlah dari cucuku. Kau tidak pantas memakai nama kami." Itu Suara neneknya "Alana. Mulai hari ini kita tidak lagi bertunangan karena sampai kapanpun aku tidak bisa mencintaimu. Jadi aku harap kau menerimanya," ucap Derrick Jareda Ungkapan itu sangat sederhana. Tapi sangat amat menyakitkan untuk Alana. Semuanya telah memutuskan hubungan dan satu lagi laki-laki yang dianggap sebagai Kekasihnya meninggalkannya. Alana sudah membantu banyak hal, sehingga Derrick bisa menjadi CEO yang sukses. "Apa ini yang kau harapkan, hah?" teriak Alana. Sudah tidak ada kata lembut lagi dari Alana "Aku membantumu siang dan malam. Kadang aku tidak bisa tidur dan fokus pada pendidikanku. Dan sekarang kau seenaknya mengatakan bahwa kau tidak bisa mencintaiku. hahaha! Dasar laki-laki murahan dan menjijikkan." ucap Alana menatap tajam kearah Derrick "Jaga ucapanmu, Alana!" bentak Derrick "Kenapa? Tidak terima? Mau marah? Kau itu laki-laki murahan, menjijikkan, tidak tahu berterima kasih dan juga penjilat," ucap Alana tajam "Alana!" teriak Derrick dan tangannya terangkat ingin menampar Alana. Tapi Alana dengan gesitnya langsung menahan tangan Derrick. "Jangan coba-coba kau menamparku. Kau bukan siapa-siapaku, bajingan. Ingat baik-baik kata-kataku, Derrick Jareda yang terhormat. Kau seperti ini itu berkat usahaku. Kau maju dan perusahaanmu berkembang pesat itu juga berkat usahaku. Aku tahu titik lemah dari perusahaanmu itu. Hari ini aku akan membiarkanmu bersama dengan pelacurmu itu untuk bersenang-senang. Tapi disaat waktunya telah tiba, aku akan kembali lagi untuk menghancurkanmu dan juga perusahaanmu, beserta dengan pelacurmu itu. Dan aku akan membuatmu tidak memiliki apa-apa lagi." Alana berucap dengan tatapan tajamnya. DEG! Derrick benar-benar terkejut akan ucapan Alana. Memang benar apa yang dikatakan Alana. Perusahaannya berkembang sampai saat ini itu semua berkat Alana. Tapi Derrick berusaha untuk tidak mempercayai semua ucapan Alana. "Kau jangan mengancamku. Kau pikir aku bakal takut dengan ancaman murahanmu itu," ucap Derrick. Padahal di dalam dirinya, Derrick berusaha membuang jauh-jauh rasa takutnya itu. Alana tersenyum menyeringai. "Kita lihat saja nanti. Kali ini kau dan pelacurmu itu menang. Tapi nanti kalau saat itu tiba. Akulah yang akan menjadi pemenangnya. Aku akan menghancurkanmu bahkan keluargamu juga. Aku akan membuatmu dan seluruh anggota keluargamu jatuh miskin dan menjadi gembel di jalanan. Tunggu saja. Dan tidak akan ada satu orang pun yang akan mengasihanimu dan keluargamu. Dan aku pastikan kau akan memohon padaku untuk kembali lagi padamu. Jika hal itu terjadi, aku tidak akan sudi menerima pria menjijikkan sepertimu di dalam kehidupanku." Alana menatap tajam satu persatu wajah anggota keluarganya. "Baiklah. Kalau ini yang kalian inginkan. Aku akan mengabulkannya." Aku Quenza Alana. Aku membuang marga Alarik dibelakang namaku. Dan aku tidak akan menggunakan marga brengsek itu lagi. Aku anak yatim piatu. Kedua orang tuaku sudah meninggal. Aku bukan bagian keluarga Alarik dan kalian juga bukan keluargaku lagi. Sampai kapanpun. Sampai ajal menjemputku." Alana berbicara dengan lantangnya. Kini yang ada di hati dan pikirannya hanya dendam dan kemarahan. Mereka yang mendengar ucapan Alana merasa takut. Mereka seakan-akan tidak percaya atas apa yang diucapkan oleh gadis yang berusia delapan belas tahun. Mereka dapat melihat dari raut wajahnya. Terlihat wajahnya yang penuh amarah dan dendam. "Baguslah kalau kau sadar. Sekarang pergi dari rumah ini." Leyla tidak peduli lagi dengan putri kandungnya. "Ibu, jangan lakukan itu. Alana itu putri kandungmu," ucap Olivia. Sedangkan di dalam hatinya sudah tersenyum bahagia. "Kau anakku, Olivia. Sedangkan dia bukan siapa-siapaku. Dia hanya seorang monster. Dia tidak pantas mendapatkan kebaikanmu," tutur Leyla. Alana tersenyum sinis kearah Olivia. Dirinya berpikir dan merencanakan sesuatu. "Silahkan kau bermain dengan permainanmu, jalang. Tunggu saja saat aku meraih segalanya. Aku akan membalasnya," batin Alana. Alana menatap tajam wajah ibunya. Lalu mendekatkan wajahnya tepat di hadapan wajah ibunya. "Dengan senang hati aku akan mengabulkan keinginanmu, Nyonya Leyla. Dulu kau adalah ibuku. Wanita yang sangat aku hormati, aku sayangi dan aku banggakan. Tepat hari ini hubungan kita sudah tidak ada lagi. Kau bukan ibuku dan aku bukan anakmu. Kau sudah memilih perempuan jalang itu sebagai anakmu dan membuangku anak kandungmu sendiri. Ingat!! Tuhan melihat semua apa yang kau lakukan padaku hari ini. Aku akan kembali lagi dan membalaskan sakit hatiku padamu, Nyonya Leyla. Saat hari itu tiba, kau adalah musuhku. Dan aku akan menghancurkan semua musuh-musuhku, termasuk kau. Aku akan pastikan kau akan mengemis maaf padaku sembari bersimpuh di hadapanku dan bahkan mulutmu itu akan menyebut kata ibu untukku, serta memohon agar aku memanggilmu dengan sebutan ibu. Kalau sampai hal itu terjadi. Aku Quenza Alana tidak akan sudi memanggilmu dengan sebutan ibu dan aku juga tidak akan pernah sudi memaafkanmu dan juga anggota keluargamu lainnya. Camkan itu Nyonya." Alana berbicara dengan penuh penekanan. Sedangkan Leyla hanya diam ditempat. Tubuhnya bergetar saat mendengar ucapan dari Alana. Alana menatap tajam wajah anggota keluarganya yang lainnya. "Dan untuk kalian semuanya. Aku Alana tidak akan pernah melupakan kejadian hari ini. Aku tidak akan pernah melupakan penghinaan yang kalian berikan padaku hari ini. Aku tidak akan pernah melupakan tamparan yang diberikan padaku hari ini. Selama aku hidup, selama itulah aku akan terus mengingatnya. Tunggu saja pembalasanku. Dan aku akan kembali untuk membalaskan sakit hatiku pada kalian semua. Aku akan menghancurkan kalian sampai keakar akar nya. Aku akan buat kalian semua menangis darah atas perbuatan kalian padaku. Aku akan membuat kalian semua tidak bisa menegakkan kepala kalian lagi didepan semua orang. Aku akan membuat semua orang diluar sana mengetahui kebusukan kalian yang sebenarnya dan membuat mereka mengetahui siapa yang anak kandung dan siapa anak angkat dikeluarga Alarik?!" teriak Alana dengan lantangnya sembari menunjuk satu persatu wajah anggota keluarganya. Lalu tatapan matanya tertuju pada Olivia. "Dan kau pelacur sialan. Bersenang-senanglah. Aku memberikan kesempatan untukmu merasakan kebahagiaan atas apa yang kau raih hari ini. Disaat kesempatanmu habis. Bersiap-siaplah. Aku akan membuatmu merasakan apa yang aku rasakan hari ini. Aku akan membuatmu kehilangan segalanya. Salah satunya adalah aku akan membuat orang-orang diluar sana memandangmu rendah, jijik dan juga hina." Alana berucap dengan senyuman sinisnya. Setelah puas mengatakan rasa sakit hatinya. Alana pun pergi meninggalkan rumahnya yang sudah ditempati olehnya selama delapan belas tahun. Tapi sebelumnya, Alana melangkah menuju sebuah dinding yang tak jauh dari mereka semua berdiri. Dimana didinding itu terpasang sebuah kamera kecil. Kamera itu terpasang apik disebuah jam dinding, yang kebetulan warnanya senada dengan kamera tersebut. Alana mengambil kamera tersebut. CUP! Alana mencium kamera tersebut. "Kau akan membantuku untuk membalaskan dendamku suatu saat nanti," batin Alana menyeringai. Lalu memasukkan kamera itu kedalam saku celananya. Dan Alana pun pergi meninggalkan rumah neraka itu. Dengan bermodalkan uang tabungan nya selama ini, Alana akan pergi ke Jerman. Dan memulai hidup barunya disana. Setelah lama menunggu, sebuah taksi melintas didepan nya dan Alana pun menaiki taxi itu. 2. Memulai Hidup Baru [BANDARA] Lamunan Alana seketika sadar oleh suara sang sopir. Alana langsung turun dari mobil setelah membayar tagihan taxinya. Lalu Alana bergegas masuk ke dalam Bandara untuk membeli tiket. Orang-orang di bandara itu memperhatikan dirinya. Tapi Alana tidak menghiraukan tatapan tersebut. Alana langsung memesan tiket pesawat menuju Jerman. Alana berharap di negara tersebut, hidupnya akan menjadi lebih baik. Alana bertekad untuk menjadi lebih kuat sehingga bisa kembali ke negaranya yaitu Singapura untuk membalaskan dendamnya. Sesampainya di negara Jerman. Alana langsung membeli rumah mewah yang cukup besar melalui situs online. Alana juga tidak lupa membeli keperluannya seperti pakaian dan keperluan lainnya sehingga Alana menjalani hidup yang bebas seperti yang diinginkannya. *** [JERMAN] Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah enam bulan Alana berada di Jerman. Dan kehidupannya pun mulai membaik. Tidak ada satu hari pun yang Alana lewati dengan bersantai. Banyak hal yang Jungkook alami selama hidup disana. Akhirnya, Alana mengetahui cara untuk melindungi diri dari kerasnya hidup di negara yang tingkat kejahatannya tinggi, terutama untuk gadis kecil sepertinya. Kesulitan dan kekejaman itu membuatnya tidak ingin menyerah. Baginya, makin sulit kehidupan itu makan semakin kuat dirinya menghadapinya. Bukannya kehidupan yang menyenangkan adalah kehidupan yang penuh kebebasan dan sekarang ini Alana menikmati kehidupan bebasnya tanpa ada yang bisa menyakitinya dan membuatnya sedih. Alana sudah menutup lembaran kelamnya dan memulai hidup barunya. "BUNUH DIA." Tiba-tiba telinga Alana mendengar suara di sudut bangunan yang gelap dan jarang dilalui orang-orang. "Keponakanku yang malang." Suara itu semakin terdengar dan semakin mengerikan. Entah mengapa kakinya semakin melangkah mendekati kearah suara itu. "Andai saja kau tidak keras kepala. Mungkin kau tidak akan mati seperti ini." Lawan bicara pria tersebut sudah tidak mampu lagi membalasnya. Seluruh tubuhnya penuh dengan luka dan darah. Anehnya, hanya ada dua orang yang berusaha membantunya dan selebihnya mereka dikelilingi oleh pria-pria yang berpakaian hitam yang jumlah yang banyak. "Bereskan dia. Aku tidak ingin kalian gagal lagi kali ini," ucap pria tersebut lalu pergi meninggalkan kerumunan, lalu memasuki mobil dan pergi meninggalkan tempat itu. "Bos maafkan kami," sungguh mereka sudah dijebak dan berakibat seperti ini. "Sudah cepat bereskan mereka. Kita akan merayakan dan berpesta dengan para gadis-gadis cantik." Hati Alana tidak bisa membiarkan tiga pria itu dibunuh. Walau pun Alana tidak mengenali mereka, namun hatinya memaksanya untuk membantu mereka. Bagaimana pun jika Alana berada diposisi ketiga pria itu, Alana pasti tidak akan tahu harus berbuat apa-apa. Alana merasa bahwa ketiga pria itu adalah orang-orang yang baik dan pria yang menyebut dirinya Paman adalah seorang pria jahat yang ingin menguasai harta dari pria tersebut. Jadi Alana memutuskan untuk membantu mereka. "Apakah kalian masih bisa disebut pria sejati yang mengeroyok tiga orang pria. Bahkan aku yang melihatnya malu." Alana menatap ketujuh pria yang mengelilingi tiga pria tersebut. "Hahahaha!! Kau hanya seorang wanita. Tapi cara bicaramu sungguh sangat berani. Apakah kau ingin bertindak sebagai pahlawan disini?" "Bos. Wanita itu cukup cantik. Bagaimana kita mengurusnya setelah kita membunuh ketiga pria ini." "Iya, Bos. Itu ide yang bagus." "Baiklah! Kalian segera urus tiga pria ini dan setelah itu aku akan memberikan wanita itu pada kalian." "Terima kasih, Bos." Saat keenam pria itu ingin menyerang ketiga pria tersebut, tiba-tiba saja dengan cepat pria pertama yang maju ke depan tersungkur ke tanah karena sebuah tendangan kuat dan cepat. Setelah itu semua pria-pria yang lainnya juga bernasib sama seperti pria pertama tersebut. Pria yang berstatus sebagai Bos terperangah dan tercengang melihat bagaimana lihainya dan kuatnya Alana. Pria itu tidak mengira bahwa gadis muda itu bisa mengalahkan anak buahnya. Ini membuatnya malu. Ketiga pria itu juga menatap Alana dengan tatapan tidak percaya. Ini pertama kalinya mereka melihat sebuah kekuatan yang sangat luar biasa dari seorang wanita muda. "Kurang ajar. Beraninya kau menyerangku. Aku akan membunuhmu malam ini." Namun, sebelum pria itu bergerak maju. Alana langsung menggerakkan kakinya kedada pria tersebut dan Alana langsung menendang pria itu sehingga pria itu muntah darah. Suasana semakin mencekam setelah kejadian itu. Siapa yang akan percaya jika seorang gadis yang cantik bisa mengalahkan pria yang berbadan besar dan kuat dengan sendirinya? "Brengsek! Kalian bahkan tidak bisa mengalahkan satu gadis saja," teriak pria itu. Pria itu adalah ketua dari organisasi pembunuh yang disegani. Namun, sekarang dirinya dipermalukan oleh seorang gadis yang berumur delapan belas tahun yang menghajar anak buahnya. "Gadis itu sangat cepat, Bos." sudah babak belur, tapi masih bisa menjawab "Cepat habis dia. Kita tidak punya waktu lagi. Jangan sampai pria itu marah lagi hanya karena kita gagal." Dengan sigap mereka semua mengelilingi Alana. Mereka mulai menyerangnya. Namun tidak ada satu orang pun yang mampu menyentuhnya karena gerakannya yang lincah dan cepat. Alana terus memukul dan menendang pria-pria tersebut dengan gerakan yang sangat baik. Setelah tiga puluh menit, semua pria itu terbaring ditanah dengan tubuh yang sudah habis babak belur. Sedangkan Alana masih tetap berdiri, walau ada sedikit bekas luka di lengan dan di wajahnya. "Kalian semua sampah!" teriak pria itu pada anak buahnya. "Dan kau gadis. Karena kau sudah ada disini. Maka sekarang kau harus mati," ucap pria itu dengan menggenggam sebuah pistol lalu mengarahkan pada Alana. Namun sebelum itu terjadi, Alana sudah berdiri tepat di belakang pria itu. Satu pukulan pria itu jatuh ke tanah dengan memuntahkan darah dari mulutnya. Gerakan Alana sangat cepat. Tidak ada satu pun dari mereka yang melihatnya. Setelah semuanya selesai. Alana pun langsung bergegas pergi. Tidak mau berurusan lebih banyak lagi dengan orang yang tidak dia dikenali. "Nona tolong tunggu." salah satu dari pengawal tersebut menghentikan Alana. Mereka sangat beruntung karena kehadiran Alana, mereka selamat. "Tolong sebutkan namamu dan dimana kau tinggal? Aku akan membalas kebaikanmu saat aku pulih nanti." ucap pria yang tak lain adalah keponakan dari pria yang sudah membayar seseorang untuk membunuhnya. Tanpa melihat ke belakang dan menjawab pertanyaan pria itu, Alana langsung pergi jauh dan tak terlihat lagi. Pria tersebut melihat Alana pergi berlalu begitu saja. "Tuan. Aku sudah menghubungi tuan Alfin. Mereka akan segera sampai." "Hm!! Aku ingin kau menyelidiki gadis itu," ucapnya. Dirinya sangat penasaran akan gadis tersebut. "Baik, Tuan." *** Pagi ini Alana memutuskan untuk pergi keluar untuk mencari orang yang bisa diajak kerja sama. Sudah saatnya Alana melanjutkan mimpinya membangun perusahaan. Dengan pakaian sederhana tanpa riasan dan perhiasan, Alana berjalan dengan santai menelusuri kota yang padat dan sibuk. Sesekali Alana mendapati pandangan memuja para pria pada dirinya dan tatapan iri para wanita yang melihat penampilannya. Cantik!! Sudah sering kali para pria mengatakan hal itu padanya. Namun Alana hanya menatap mereka sekali, lalu pergi begitu saja. Sikapnya yang acuh tak acuh dan tempramennya yang dingin membuatnya terlihat seperti tak mudah untuk didekati. Saat berjalan tak sengaja, mata Alana melihat tindakan pencurian yang dilakukan oleh seorang pria. Pria itu dengan hati-hati memasukkan tangannya ke dalam tak wanita tersebut. Gerakan sangat halus dan rapi. Hanya orang yang benar-benar sadar sepertinya yang bisa melihatnya. Setelah beroperasi pria itu langsung pergi melarikan diri tanpa sadar oleh orang-orang sekelilingnya, termasuk korban yang dompet diambil. Tanpa pria itu sadari. Dirinya diikuti oleh seseorang dan terus berjalan masuk ke gang sempit dan jarang dilalui orang-orang. Setelah berjalan lama dan jauh, pria itu berhenti dan melihat hasil curiannya. "Apakah itu banyak?" tanya Alana. Kini Alana bersandar ditembok tepat di belakang pria itu dan menatapnya. DEG! Pria itu terkejut lalu membalikkan badannya. "Siapa kau?!" teriak pria itu saat melihat seorang wanita didekatnya. Pria itu tidak menyadari bahwa tindakan dan perbuatannya diketahui oleh seseorang. Namun melihat yang mengikutinya hanya seorang wanita. Pria itu tidak perlu khawatir. "Apa itu cukup?" "Sebaiknya kau pergi." "Berapa yang yang kau butuhkan?" Pria itu tidak mengerti apa yang dikatakan oleh wanita itu. Pria itu tidak menjawab Alana, malahan pria itu mengajukan pertanyaan balik pada Alana. Ini sangat menyebalkan untuknya. "Apa urusanmu? Kau hanya gadis kecil yang kaya dan sombong. Bahkan kau tidak mengetahui apa yang dirasakan oleh orang sepertiku." "Aku bisa membantumu dengan uang, tapi kau harus menjadi orangku." Alana bukan tipe orang yang banyak bicara percuma dan menghabiskan waktu untuk satu tujuan. "Itu hanya ada didalam mimpimu." Pria itu mendekati Alana untuk memberikan pelajaran atas sikap sombong dan dinginnya. Dengan cepat Alana melawan setiap pukulan pria itu dengan cepat sehingga membuat pria itu kelelahan dan berhenti. Pria itu sadar kalau gadis itu bukan orang yang bisa dilawan. "Apa yang kau inginkan?" tanya pria itu. 3. Menciptakan Perusahaan Baru "Apa yang kau inginkan?" tanya Pria itu "Aku ingin kau menjadi orangku dan melakukan apa yang aku perintahkan. Dan sebagai balasannya aku akan membantumu. Berapa pun yang kau inginkan aku akan memberikan uang yang banyak untukmu," ucap Alana. Suara Alana mantap tanpa ada cela sedikit pun. Pria itu melihat kemata Alana yang ada di hadapannya. Pria itu masih belum mengerti apa tujuan Alana. Pria itu adalah pria tanpa pekerjaan dan sudah menjadi pencuri selama dua tahun terakhir. Setelah pria itu dipecat dari kantornya dengan tuduhan yang tak pernah dilakukannya. "Apa kau yakin dengan ucapanmu?" tanya pria itu. Pria itu mulai terpengaruh oleh ucapan Alana. "Tentu. Kau bisa sebutkan jumlahnya dan aku akan segera memberikannya. Tapi kau harus melakukan janjimu dulu. Jika tidak, aku akan memastikan kau tidak akan bisa merasakan dunia yang indah ini lagi." Ini seperti lelucon untuk pria tersebut. Dia seorang pria yang lebih dewasa dari pada Alana yang hanya seorang gadis. Namun, Alana memperlakukannya seperti mereka adalah teman. "Baiklah. Berikan aku 1 juta dolar. Aku harus membawa adikku ke rumah sakit." "Berikan aku nomor rekeningmu dan aku akan segera mengirimkannya padamu." Setelah pria itu memberikan nomor rekeningnya pada Alana. Alana langsung mengirimkan uang tersebut. Setelah selesai, Alana menyimpan kembali ponselnya. "Aku sudah mengirimkannya. Dan ini alamat rumahku. Datanglah jika urusanmu sudah selesai." Setelah itu, Alana langsung pergi tanpa menunggu pria itu menjawab. Hari ini cukup untuk pencariannya. Alana bersyukur karena bisa bertemu dengan pria itu. Namun, Alana tidak mengira jika pria itu akan berubah menjadi seorang pencuri. Seminggu setelah kejadian itu. Alana mendapatkan tamu istimewa di rumahnya. Pria itu menatapnya dengan penuh tanda tanya mengenai sikap dinginnya. "Baiklah. Apa kita akan melakukan sesuatu tindak kriminal?" "Aku ingin membangun sebuah perusahaan. Aku ingin kau menjadi wakilku. Aku akan memberikanmu tanggung jawab untuk mengelola keuangan dan seluruh kegiatan operasional perusahaan ada ditanganmu." Perkataan itu bagaikan petir disiang hari, tanpa ada hujan didalamnya. Terdengar aneh dan tidak memungkinkan. "Apa kau yakin?" Pria itu mulai ragu dengan keputusannya untuk mengikuti Alana yang hanya seorang gadis kecil. Jika dia diperintahkan untuk membunuh, itu terdengar normal di telinganya. Namun, mendirikan sebuah perusahaan dan memberikan posisi yang sangat tinggi, membuatnya terdengar seperti lelucon untuknya. "Aku sudah membuat sebuah aplikasi anti virus yang bernama Protective Of The Virus. Aplikasi ini akan melindungi setiap komputer atau ponsel dari virus. Dari virus yang biasa hingga virus yang tidak bisa diatasi." Alana tidak perlu menjawab setiap pertanyaan pria tersebut. Misinya adalah untuk mendirikan perusahaan, bukan membual. "Seberapa besar keyakinanmu pada aplikasi itu?" tanya pria itu. "Aku sangat yakin. Hanya aku yang bisa menciptakan aplikasi ini," jawab Alana. "Baiklah. Aku percaya padamu. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya, aku bisa meyakinkan para pelanggan. Kau tahu aku sudah lama dipecat dari perusahaanku. Dan tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerimanya karena masalah itu." Pria itu memang jenius dalam memajukan perusahaan. Pria itu mampu membuat perusahaan biasa menjadi perusahaan terkenal dengan waktu singkat. Namun semuanya tinggal kenangan karena pri itu sudah dijebak oleh rekannya dan kekasihnya. Mereka memintanya untuk mengelola bisnis bersama. Dan pada saat semuanya sudah terkendali, pria itu dibuang begitu saja seperti sampah dengan fitnah dan berakibat tidak bisa bekerja diperusahaan manapun. "Aku tahu kau tidak seperti itu. Sekalipun kau seperti itu, aku tidak peduli," ucap Alana. Tiba-tiba hati pria itu tersentuh dengan ucapan Alana. Baru kali ini dirinya bertemu dengan gadis kecil yang baik hati seperti Alana. Alana sudah membantu hidup adiknya dan sekarang Alana menjadikan dirinya sebagai Direktur utama diperusahaannya. Itu bahkan lebih tinggi dari posisinya diperusahaan terdahulu. "Jika kau bersedia. Maka yakinlah pada perkataanku bahwa kau tidak akan menyesal saat mengikutiku," tutur Alana. Alana tidak pandai dalam membujuk atau meyakinkan dengan kata-kata manis. Alana lebih suka mengatakan kejujuran dari hatinya. "Baiklah. Aku akan mengurusnya dan berjanji akan menjadikan perusahaan ini menjadi satu-satunya perusahaan yang hebat," kata pria itu. Walau pria itu tidak tahu apa alasan dibalik sikap Alana. Namun, Pria itu dapat melihat bahwa hal itu tidak semua yang Alana bayangkan. Ada tekat yang kuat dan keinginan yang harus segera tercapai dari setiap pandangan dan nada bicaranya. "Bagus. Aku akan membantumu untuk membalaskan dendammu," kata Alana. Alana tahu jika pria itu tidak sejahat yang dia baca disetiap berita yang ditemukannya. Kehidupan pria itu hampir sama dengan kehidupannya. Sama-sama dijebak dan dibuang saat tidak dibutuhkan lagi. Hanya saja kehidupan Alana lebih mengerikan. Dirinya dibuang oleh kedua orang tuanya hanya untuk seorang anak angkat. "Aku akan menunggu saat itu," ucap pria itu. Setelah mendengar janji Alana. Pria itu tersenyum dan mengucapkan rasa terima kasih pada Tuhan yang sudah mempertemukannya dengan Alana. Sekarang pria itu yakin bahwa hidupnya akan segera membaik setelah bergabung dengan Alana. "Karena kita akan bekerja sama. Perkenalkan namaku Alana." Alana mengulurkan tangannya pada pria itu. "Namaku Ronald. Ronald Mourella. Kau bisa memanggilku Ronald." Ronald menyambut uluran tangan Alana. Ronald tertegun saat menyentuh tapak tangannya. Begitu lembut dan halus. "Aku akan memanggilmu kakak Ronald," ucap Alana. Ronald tersenyum saat mendengar panggilan dari Alana. Sekarang Ronald sadar bahwa Alana bukanlah gadis yang sombong. Hanya saja Alana memang sedikit sulit untuk didekati. Alana sepertinya memiliki sebuah tembok transparan yang melindunginya dari orang-orang. "Aku akan memanggilmu, Ana." "Dimana kalian tinggal, Kak?" Setelah mendengar perkataan Ronald. Ronald menjadi sedih. Ronald dan adiknya akan segera diusir oleh pemilik kontrakkan karena belum membayar kontrakkan selama dua bulan. "Aku belum tahu, Ana. Kami akan segera diusir. Jadi aku harus mencari kontrakkan yang murah untukku dan adikku." "Bagaimana jika kalian berdua tinggal disini? Rumah ini cukup besar. Hanya ada aku dan pembantuku saja yang tinggal disini." "Apakah tidak apa-apa jika aku dan adikku tinggal disini? Aku hanya tidak ingin merepotkanmu. Akan ada banyak fitnah nantinya jika seorang pria tinggal dengan seorang wanita tanpa ikatan pernikahan." Walau Ronald akan sangat berterima kasih atas penawarannya. Ronald juga tidak ingin menyusahkan Alana. Ronald juga merasa menjadi beban untuk Alana jika dia dan adiknya tinggal dengan Alana. "Kakak Ronald bisa tenang dan tidak usah khawatir. Bibi akan memberitahu orang-orang bahwa kalian berdua adalah saudara jauhku." "Terima kasih, Ana. Aku akan membawa adikku nanti sore." "Iya, Kak." Setelah Ronald pergi. Alana mencari Bibi yang bekerja di rumahnya untuk mempersiapkan dua kamar untuk di tempati malam ini. Setelah pukul 5 sore. Ronald dan adiknya sampai di rumah Alana. Mereka tidak membawa banyak barang karena mereka tidak memiliki barang yang berharga. "Selamat sore, Bi. Aku Ronald dan ini adikku Rosita." "Selamat sore Tuan Ronald dan nona Rosita. Ayo, masuk! Nona Alana sudah menyuruhku untuk menyiapkan dua kamar untuk kalian." "Terima kasih, Bi." Setelah itu Ronald dan adiknya Rosita mengikuti sang Bibi menuju kamar yang sudah disiapkan untuk mereka berdua. Ronald dan Rosita mengikuti dari belakang tanpa suara. Mereka bersyukur akhirnya bisa hidup ditempat yang layak. "Ini kamar Tuan Ronald dan di sebelahnya adalah kamar nona Rosita." Saat mereka membuka pintu kamar, betapa terkejutnya mereka saat melihat isi kamar tersebut. Isi kamar yang begitu mewah dengan tempat tidur yang berukuran besar dan beberapa perabotan yang mendukung. "Mulai saat ini kalian tinggal disini. Dan panggil saya Bibi Hana." "Baik Bibi Hana," jawab mereka. "Baiklah. Kalau begitu bibi tinggal dulu. Bibi akan menyiapkan makan malam untuk kalian." Ronald dan Rosita pun masuk ke kamar masing-masing dan bersiap-siap untuk membersihkan diri. Setelah selesai mereka pun membereskan barang-barang mereka di lemari yang sudah tersedia. Ronald dan Rosita sangat bersyukur akhirnya bisa terbebas dari rumah kumuh dan tidak lagi menahan lapar saat mereka tidak memiliki uang untuk membeli bahan-bahan makanan. 4. Mulai Berkerja [Meja Makan] Saat makan malam tiba. Ronald, Rosita, dan Bibi Hana sudah duduk di meja makan untuk menunggu kedatangan Alana. "Kenapa kalian masih belum makan?" Mereka bertiga langsung melihat kearah suara itu berasal. Dapat mereka lihat Alana yang sedang menuruni tangga untuk bergabung makan malam. Saat ini Alana sedang memakai piyama berwarna putih dengan rambut diikat asal-asalan membuat dirinya terlihat cantik dan manis. Kehadiran Alana yang sangat menakjubkan. Ronald dan Rosita yang baru pertama kali melihatnya menatap takjub padanya. Mungkin mereka telah banyak melihat wanita cantik. Namun kecantikan yang dimiliki oleh Alana adalah jenis kecantikan yang langkah. "Kami menunggumu, Ana." Ronald berucap. Bibi Hana sudah terbiasa dengan penampilan dan sikap acuh Alana, menanggapi pertanyaan itu dengan suara biasa-biasa saja. "Kalau begitu mari kita makan," ajak Alana. Lalu mereka semua pun makan dalam diam. Ronald dan Rosita sangat menikmati makanan lezat yang sudah dimasak oleh Bibi Hana. Bagi Ronald dan Rosita ini adalah makanan terlezat setelah lima tahun hidup tanpa kepastian dan mereka sangat menikmatinya. Setelah selesai makan malam, Alana mengajak Ronald dan Rosita di ruang tengah untuk saling memperkenalkan diri. "Perkenalkan ini adikku," ucap Ronald. "Hallo, aku Rosita. Rosita Mourella. Anda bisa panggil Rosita," ucap Rosita. Rosita tersenyum pada Alana, walau dirinya tahu mengapa ekspresi Alana terlihat dingin dan tanpa ada senyuman sama sekali. Namun Rosita harus melakukan hal yang terbaik untuk tidak membuat marah sipemilik rumah. "Namaku Alana. Tidak perlu terlalu sopan dan formal padaku. Panggil saja aku Kak Alana. Bibi Hana akan memberitahu tentang rumah ini besok. Aku juga ingin mengatakan pada Kak Ronalf bahwa besok kita akan pergi keperusahaan." Setelah mengatakan hal itu, Alana langsung pergi meninggalkan ketiganya menuju kamarnya di lantai dua. "Aku harap kalian tidak tersinggung akan sikap dingin dan acuhnya. Saat pertama kali nya Bibi bertemu dengannya, dia juga seperti itu. Tapi percayalah, nona Alana itu adalah gadis yang baik. Hanya saja dirinya memiliki dinding pembatas agar orang-orang tidak menyentuhnya," tutur Bibi Hana. Saat Bibi Hana pertama kali bertemu dengan Alana. Alana hanya meminta Bibi Hana untuk menjadi asisten rumah tangganya dan menawarkan gaji yang tinggi serta tempat tinggal yang nyaman. Pada awalnya Bibi Hana tidak yakin akan gadis kecil yang tanpa orang tua. Namun entah mengapa, Bibi Hana tetap mengikutinya. Semakin Bibi Hana hidup dengan Alana, semakin Bibi Hana tahu bahwa Alana adalah gadis yang jenius dan mampu mendapatkan uang tanpa harus melakukan hal yang kotor. Setelah tiga bulan bekerja, Bibi Hana bisa menghidupi keluarganya dengan uang yang cukup. "Kami bisa mengerti, Bi. Saat pertama aku bertemu dengannya, Alana adalah tipe gadis yang sulit untuk didekati. Namun setelah aku mengenalnya, aku tahu Alana memiliki alasan atas semua sikap dingin dan acuhnya," sahut Ronald. "Itu benar. Bibi bahkan bersyukur bisa bekerja dengan nona Alana. Nona Alana bisa membantu perekonomian keluarga Bibi." "Seperti itu juga yang terjadi pada kami, Bi. Karena pertemuan kami, adikku bisa sembuh dengan baik." Ronald mensyukuri atas pertemuan mereka. "Kakak. Aku berhutang budi pada Kakak Alana. Aku akan membuatnya tersenyum suatu hari nanti dan menganggap Kak Alana seperti Kakak kandungku sendiri," kata Rosita. Rosita berjanji pada dirinya bahwa dirinya akan selalu ada disisi Alana dalam suka maupun duka. Saat senang maupun sedih. Rosita ingin menjadi sahabatnya Alana. Rosita tahu bahwa Alana pasti sudah mendapatkan pengalaman buruk sehingga hidupnya menjadi tidak berwarna. "Kita akan membuatnya tersenyum dan membalas kebaikannya suatu hari nanti," ucap Ronald. Mereka tidak saling mengenal. Namun berkat kebaikan seorang Alana, mereka berjanji akan melindunginya dan membuatnya tersenyum untuk hidup yang bahagia. *** Ini adalah hari pertama Alana membuka perusahaan baru dengan resmi dan hari pertama Ronald bekerja di perusahaan semenjak kejadian 5 tahun yang lalu. Ini terlihat sulit untuk keduanya. Bagaimana pun, ini adalah pengalaman pertama Alana menjadi pemilik Perusahaan yang baru saja dirinya ciptakan dan akan sulit untuk mencari seorang investor karena Alana masih baru di negara Jerman. Disisi lain dimasa lalunya, Ronald sedikit kesulitan saat akan pergi mencari seorang investor yang mau menanamkan modalnya kepada mereka. Perusahaan yang baru saja berdiri dan hanya memiliki dua karyawan yaitu dirinya dan Alana. Mereka masih belum bisa mengangkat karyawan karena masih baru memulai dan belum banyak pekerjaannya yang harus mereka kerjakan. Fokus mereka saat ini adalah mencari Perusahaan yang bersedia bekerja sama dan mempromosikan Aplikasi Anti Virus mereka kepada perusahaan dan kantor-kantor pemerintah dan non pemerintah. "Aku akan menawarkan Aplikasi ini pada perusahaan-perusahaan kecil terlebih dahulu karena kita masih baru membuka perusahaan. Akan sangat sulit jika kita menawarkannya pada perusahaan yang sudah berkembang," kata Alana. "Baik," jawab Ronald. Hari ini Ronald berusaha untuk masuk ke Perusahaan keluarga Ernest yang terkenal hebat dan berpengaruh. Saat Ronald menuju meja resepsionis, Ronald mendengar suara mengejek yang sangat dirinya kenal. "Yo, Tuan Ronald. Apa yang kau lakukan disini?" "Saya ingin bertemu dengan tuan Felix." Ronald memutuskan untuk mengabaikan suara-suara itu. Dirinya hanya fokus pada tujuannya datang ke Perusahaan Ernest. Ronald menatap wanita resepsionis itu dan menunggu jawaban darinya. "Apa anda sudah membuat janji?" Sang resepsionis tentu sudah mengenal dan mendengar rumor tentang keburukan Ronald. Dengan wajah tidak suka, wanita itu menatap Ronald dan menunjukkan sikap tidak pedulinya. Ronald yang mengetahui hal itu hanya bisa diam dan tetap profesional dalam tugasnya. "Belum." "Hei, kau belum membuat janji. Tapi kau sudah lancang ingin bertemu dengan tuan Felix." Pria tersebut terlihat tidak menyukai kehadiran Ronald. Dirinya berusaha untuk mempermalukannya dan membuat reputasinya semakin buruk. "Lalu apa yang ingin anda sampaikan pada Direktur?" "Saya ingin memperkenalkan produk baru kami pada Direktur Felix." "Maaf. Karena anda belum membuat janji. Kami tidak bisa membawa anda untuk bertemu dengan tuan Felix," sahut wanita resepsionis itu. "Saya akan menunggunya jika diizinkan." Ronald berusaha mencoba segala cara agar dirinya bisa bertemu dengan Direktur perusahaan Ernest. "Kau sangat tidak tahu malu! Kau bahkan sudah melecehkan seorang karyawan saat masih bekerja dulu dan sekarang kau datang untuk bertemu dengan pemimpin perusahaan ini. Jika aku jadi kau. Aku tidak akan berani keluar untuk menunjukkan wajahku ke pada masyarakat." Jerry berucap ketus dan kasar. Mendengar perkataan kasar itu, Ronald sedikit kesal. Dia tidak tahu mengapa dirinya harus bertemu dengan mantan sahabatnya dan lebih parahnya lagi Jerry berniat mencoreng reputasinya sekali lagi. "Tuan Jerry yang terhormat, aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Aku tidak pernah melakukan apa yang kau sebutkan barusan," kata Ronald. "Cih! Semua orang mengetahui apa yang sudah kau lakukan. Dan kau masih berpura-pura tidak pernah melakukannya. Sungguh kau pria yang tidak tahu malu," ucap Jerry. Mendengar pembicaraan Jerry dan Ronald. Para karyawan yang ada disekitar mereka mulai berbisik-bisik dan memandang Ronald dengan tatapan jijik dan benci. "Kenapa pria itu masih bisa bebas berkeliaran jika sudah melakukan hal menjijikkan itu." "Seharusnya dia dihukum seumur hidup dan tidak bisa keluar." "Apa dia ingin melamar pekerjaan disini?" "Apakah perusahaan kita mau menerima karyawan yang reputasinya bahkan sudah hancur." "Aku tidak menyangka pria jenius seperti dirinya akan melakukan hal menjijikkan seperti itu." Walau suara-suara mereka tidak terlalu besar. Namun Ronald masih bisa mendengar percakapan mereka dan hatinya mulai panas serta emosi mulai tak stabil. "Apa kau tidak mendengar. Sebaiknya kau pergi dari sini. Nona tolong panggilkan securty untuk mengusirnya keluar," kata Jerry. Jerry adalah karyawan dan juga salah satu sahabatnya di perusahaan yang Ronald dirikan bersama sahabatnya yang bernama Marco. Banyak hal yang sudah Ronald lakukan untuk mereka berdua. Namun inilah yang didapat olehnya dihina dan difitnah sehingga reputasinya menjadi buruk. "Maaf tuan. Anda harus pergi atau saya akan memanggil security dan membawamu secara paksa," kata Wanita resepsionis itu. "Tapi saya datang kemari untuk memperkenalkan produk kami. Dan ini tidak ada hubungannya dengan reputasi saya nona. Tolong pertimbangkan hal ini nona. Produk kami sangat bangus dan hanya QA CORP yang memilikinya," sahut Ronald. "Tolong security," panggil Jerry. Saat pihak keamanan akan membawanya keluar Ronald, seorang asisten tiba-tiba muncul dan meminta Jerry untuk mengikutinya menemui sang Direktur. "Tuan Jerry. CEO mempersilakanmu masuk." Lalu sang asisten tersebut melirik kearah Ronalf yang akan dibawa oleh pihak keamanan, alisnya berkerut melihatnya. Lalu detik kemudian si asisten tersebut memalingkan pandangannya. Saat asisten dan Jerry akan pergi, tiba-tiba Ronald memanggilnya. "Tuan Theo tunggu sebentar." Pria itu hanya membalikkan badannya dan Ronald dalam diam. "Saya ingin menawarkan produk perusahaan QA CORP kami. Saya berharap anda mengizinkan saya bertemu dengan Direktur Felix." Ronald sudah tidak peduli dengan imagenya saat ini. Jika mereka meminta dirinya untuk bersujud, Ronald akan melakukannya. "Maaf. Tapi Direktur Felix hanya memiliki janji untuk tuan Jerry," jawab Theo lalu pergi meninggalkan Ronald. "Tuan. Tolong pertimbangkan," mohon Ronald. "Ronald. Betapa tidak tahu malunya kau." kali ini Jerry sudah habis kesabarannya melihat perilaku Ronald. "Security. Seret pria ini keluar dari Perusahaan ini," ucap Jerry lantang. "Mari tuan Jerry." Theo dan Jerry bergegas meninggalkan Ronald. Pada akhirnya, Ronald harus pergi dibawa oleh keamanan. Seluruh karyawan melihatnya dan mencibirnya atas sikap tak tahu malunya itu. *** Sudah 6 bulan perusahaan QA CORP berdiri. Dan sudah banyak karyawan yang diperkerjakan oleh Alana. Bahkan keuntungan pun sudah terlihat. Ditambah lagi Alana juga sudah menyelesaikan produk kedua mereka yang mungkin akan sangat dicari oleh banyak perusahaan. Sekarang Perusahaan Alana sudah lumayan maju dan bekerja sama dengan beberapa Universitas dan beberapa Kantor Pemerintahan. Dan Alana berencana bergerak dalam jaringan perkantoran yang lebih besar. Walaupun pada awalnya itu adalah pekerjaan yang sulit untuk Ronald. Tak jarang, setiap Ronald akan menawarkan produk Perusahaan, Ronald akan dihina dan diusir. Terkadang dirinya akan mendapatkan perlakuan kasar dari mereka. Namun Ronald tetap optimis dan terus bekerja dan pada akhirnya, Perusahaan mereka sudah mulai berkembang dan dihargai oleh mereka yang mencela. 5. Ikut Kompetisi [PRATAMA GRUP] Saat ini Jerry berada di ruang kerjanya Marco. "Bagaimana? Apakah Ernest Grup mau bekerjasama dengan kita?" tanya Marco pada Jerry. "Mereka mengatakan jika kita bisa memenangkan kompetisi dengan Aplikasi yang telah kita siapkan, maka mereka akan menerima kerja sama yang kita ajukan," jawab Jerry. "Bukankah setiap tahunnya kita selalu menjadi pemenang dari kompetisi itu," ucap Marco bangga. Mereka memang selama ini sudah mengerahkan segala kemampuan untuk memenangkan setiap kompetisi setiap tahunnya. "Tapi mereka hanya ingin kita yang harus memenangkannya tahun ini. Maka setelah itu, mereka akan percaya pada kita," jawab Jerry. "Baiklah kalau begitu. Kerahkan semua sumber daya kita agar kita memenangkannya. Perusahaan itu sangat menguntungkan untuk perusahaan kita," kata Marco. "Tentu. Apa kau tahu saat aku datang ke perusahaan Ernest? Ronald juga ada disana dan berniat menawarkan produk perusahaan mereka," kata Jerry. "Apa? Bagaimana bisa dia bekerja lagi? Bukankah kita sudah menyebarkan rumor itu. Perusahaan mana yang berani menerimanya," emosi Marco. "Perusahaan baru yang bernama QA CORP. Aku sudah memerintahkan orang untuk menyelidikinya dan mereka bergerak dibidang yang sama dengan kita. Perusahaan mereka baru 6 bulan berdiri dan sudah bekerja sama dengan Universitas dan kantor Pemerintahan dengan aplikasi yang bernama Protective Of The Virus. Aplikasi itu sangat kuat bahkan virus kita tidak bisa menembus mereka," kata Jerry. Kemenangan yang diraih oleh Marco dan Jerry juga dari hasil tindakan yang curang. Saat mereka akan berkompetisi. Mereka akan merusak pertanahan lawan dengan virus yang tidak terdeteksi. "Apakah kau sudah menyelidikinya dengan benar, Jerry?" tanya Marco. Marco benar-benar takut dan merasa terancam dengan perusahaan baru itu. Mungkin saja kompetisi tahun ini akan dimenangkan oleh perusahaan baru itu. "Sudah. Bahkan aku meminta peretas terhebat kita untuk mencuri data mereka, tapi hasilnya tidak ada satupun dari mereka yang mampu untuk masuk," jawab Jerry. "Brengsek. Kita harus cepat mengatasi mereka. Aku takut mereka akan ikut kompetisi itu dan merusak nama baik kita," kesal Marco. "Baik. Akan aku lakukan," balas Jerry. Setelah mengatakan hal itu. Jerry langsung pergi meninggalkan ruang Marco dan menuju ke ruangan miliknya dan memikirkan cara untuk menghadapi Perusahaan baru itu. Mereka tidak bisa kalah dan tidak mau kalah dengan perusahaan baru itu. Kalau mereka sampai kalah, Marco akan memecatnya dan dirinya akan menjadi sampah sama seperti Ronald. *** [QA CORP] Ronald kini sudah berada di kantor. Dirinya tampak sedikit kacau setelah sepulangnya dari kantor Ernest Grup. "Maafkan aku. Aku gagal," ucap Ronald sedih dan menyesal. "Aku tidak menyalahkanmu. Mereka belum mengenali kita," balas Alana yang berusaha menghibur Ronald. "Tapi aku merasa gagal untuk menepati janjiku," lirih Ronald. "Sudahlah. Mari kita buat mereka menyesal dengan memenangkan Kompetisi pembuat Aplikasi terbaik yang akan diselenggarakan oleh perusahaan Ernest. Aku juga mendengar bahwa perusahaan Pratama juga ikut serta. Sudah waktunya untuk membalas dendammu." Alana berbicara mantap sambil menatap wajah Ronald. "Tapi kita belum memiliki Aplikasi baru untuk dijadikan bahan pertandingan," kata Ronald. "Tenanglah. Serahkan semuanya padaku," sahut Alana. "Baiklah. Aku akan mendukungmu," ucap Ronald. Setelah berbicara dengan Alana. Ronald pun pergi meninggalkan ruang kerja Alana. Dan menuju ruang kerja miliknya berada di sebelah ruangan Alana. Alana sudah menyelesaikan Aplikasi P01H. Tugas dari Aplikasi itu adalah mengunci semua data yang ada di dalam komputer yang sudah dipasang Aplikasi. Tidak ada yang bisa menembusnya kecuali Alana dan beberapa peretas hebat lainnya yang selevel dengannya. Kali ini Alana akan maju dikompetisi dan membuktikan kemampuannya sebagai pencipta Aplikasi terbaik. Alana bertekad untuk menjuarai Kompetisi tersebut serta membalaskan dendam Ronald. Alana juga berniat untuk memperkenalkan perusahaannya kepada dunia dan Alana juga akan membuat para karyawan Ernest Grup yang sudah menghina Ronald menjadi sengsara. Alana juga menyelidiki setiap gerak gerik perusahaan Pratama. Hasilnya sungguh luar biasa membahagiakan untuknya. Ada begitu banyak tindak kecurangan perusahaan itu. Alana juga sudah mencari bukti tentang tuduhan mereka berikan pada Ronald. Semuanya hanya omong kosong. Wanita itu sengaja dibayar untuk merusak reputasi Ronald dan uang yang disebut katanya masuk kerekening Ronald, ternyata hasilnya sama sekali tidak ada. Semua uang itu masuk ke rekening palsu Marco. Bukannya aneh, jika tindak kejahatan yang mereka ceritakan tidak dilaporkan kepihak kepolisian. Mereka hanya mengusirnya dan menghasut setiap perusahaan untuk tidak memberikannya pekerjaan. Kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan. Hanya cukup merusak citra dan menolak untuk diselidiki dengan alasan persahabatan. Alana masih belum mengerti. Mengapa Marco mengkhianati Ronald yang sudah berjasa mendukung dan mengembangkan perusahaannya. Apakah ini murni karena rasa cemburu atau mungkin karena wanita lain. Alana tahu kalau wanita itu juga ada sangkut-paut nya dengan masalah Ronald. Alana seperti menyesal telah dilahirkan sebagai seorang wanita dengan melihat kejahatan yang dilakukan oleh kedua wanita itu. Yang satunya anak angkat dan yang satunya lagi adalah kekasihnya Ronald. Alana masih merasakan sakit di hatinya saat mengingat kejadian itu. Alana tidak akan pernah bisa dan tidak akan pernah sudi memaafkan semua yang mereka lakukan padanya. Tekadnya sudah bulat untuk membalas mereka satu persatu. Alana bukan orang suci yang bisa memaafkan dan melupakan semua. Dan Alana juga bukan orang yang penuh dendam. Namun, Alana hanya ingin memberi mereka rasa sakit yang sama seperti yang dirasakan olehnya. Masih ada 3,6 tahun lagi untuk kembali dan membalaskan dendam. Saat ini Alana lebih fokus untuk memperluas perusahaannya dan membuktikan bahwa dia masih bisa hidup dengan baik tanpa mereka. "Oh, kembaranku. Kenapa tidak menjawab teleponku?" Tiba-tiba saja Alana tersentak dari lamunan oleh suara tinggi Rosita. Pada akhirnya sikap dingin Alana sudah mulai menipis, dikarenakan sikap ceria Rosita yang selalu mengatakan bahwa mereka adalah kembar. Tentu saja itu hanya ada di dalam mimpi Rosita saja. Siapapun yang melihat mereka akan sangat berbeda. Alana cantik seperti dewi. Namun sikapnya yang dingin. Dirinya perpaduan antara malaikat dan iblis. Sedangkan Rosita yang manis dengan sikap periangnya. Jika mereka bersatu akan terlihat seperti air dan minyak. Tidak bisa bersatu, namun saling melengkapi. "Aku sedang sibuk," jawab Alana. "Aku lapar. Kita harus makan," ucap Rosita dengan menggembungkan kedua pipinya berpura-pura marah. "Kau bisa mengajak kakakmu." "Kak Ronalf sudah makan. Sekarang giliran kita. Ayolah, aku mulai mati kelaparan," ucap Rosita sembari menyentuh perutnya. "Kau bisa kembali dan meminta Bibi Hana untuk memasak." "Ooh. Betapa malangnya nasibku memiliki saudara kembar yang tidak peduli denganku," Rosita memasang wajah sedihnya. "Berhentilah mengeluh." Suara Alana kembali dingin. "Aku akan tetap disini dan kembali mengeluh sampai kau mau makan bersamaku," lalu Rosita pun duduk di sofa yang tak jauh dari meja kerja Alana. Bahkan Rosita tak peduli dengan tatapan dingin Alana. "Oke." Alana sudah mulai lelah dengan tingkah laku adiknya Rosita ini. Rosita tidak pernah takut dengan wajah dingin dan tatapan membunuh dari Alana. Semua yang dia lakukan hanya hal yang tak terlihat oleh Rosita. "Terima kasih saudara kembarku." Rosita berucap sumringah, lalu Rosita mengkaitkan lengannya di lengan Alana dan membawanya pergi melalui Lift khusus CEO dan Direktur. *** [KEDIAMAN RICHARD ALARIK] Saat ini Richard sedang berada di ruang kerjanya bersama anak buahnya. Dirinya kini sedang memikirkan seseorang yang sangat amat disayanginya. "Apa kalian sudah mendapatkannya?" "Belum Tuan." "Ini sudah hampir 2 tahun, tapi kalian masih belum tahu dimana keberadaannya." "Maafkan kami, tuan. Kami sudah memeriksa semua penerbangan tepat saat Nona pergi. Dan kami mendapatkan info jika Nona pergi ke negara Jerman. Namun Nona hilang di sana dan tidak diketahui keberadaannya." Kehilangan cucu kesayangannya adalah penyesalan terbesarnya. Richard sudah pernah kehilangan putra kesayangannya dan sekarang cucu perempuannya yang paling dia sayangi juga ikut pergi meninggalkannya. Richard menyesal pergi saat itu. Jika saja markasnya yang berada di luar kota tidak ada masalah, maka dirinya tidak akan kehilangan cucu kesayangannya. Saat Richard tahu bahwa cucunya diusir oleh menantunya, dirinya sangat marah. Richard tidak mengerti, mengapa seorang ibu tega menyakiti dan mengusir putri kandungnya sendiri demi anak angkat. Richard juga marah pada istrinya Victoria Alarik dan juga putranya Robert Alarik yang membantu menantunya Leyla Alarik. Bahkan sekarang ini dan seterusnya Richard sudah tidak mau mengakui mereka lagi sebagai anggota keluarganya disaat putranya Robert dan menantunya Leyla membuat keputusan untuk memperkenalkan anak angkatnya sebagai anak kandungnya dan cucu kesayangannya sebagai anak angkat. Richard pergi meninggalkan keluarganya dan tinggal di rumah leluhurnya. Dirinya tidak ingin dan tidak sudi lagi melihat wajah manusia-manusia menjijikkan itu. Robert adalah seorang pensiunan militer yang ditakuti oleh musuh. Walau dirinya sudah tidak menjabat lagi, tapi dirinya masih diakui oleh negara. Robert juga memiliki prajurit sendiri yang dilatihnya serta markas tempat mereka tinggal. Description: Alana seorang gadis cantik, baik, ceria, polos dan supel. Karena sebuah fitnah Quenza Alana diusir dari rumah oleh kedua orang tuanya. Bahkan anggota keluarganya sudah tidak menganggapnya lagi dan menghapus namanya dari daftar keluarga. Alana memutuskan untuk pergi keluar negeri yaitu Jerman. Selama hidup disana, Alana berhasil membangun sebuah perusahaan dan mendapatkan keluarga baru yang sangat amat menyayanginya. Disana juga Alana bertemu dengan seorang pemuda tampan yang pernah ditolong nya. Pemuda itu bernama Devan Alexander.
Title: Warrior Crochoniles Flower Blossoms Category: Fantasi Text: 0.5 Namaku Sakata gintoki Seorang bocah tengilnya berjuang menghadapi apapun didepannya dan tak pernah menyerah walau sedalam apapun aku jatuh. Dan inilah kisahku..... 1. Malam itu... Angin berhembus sangat kencang Di tengah gubuk kecil dalam kegelapan hutan... Seorang wanita lari tergesa-gesa Ia dikejar oleh sekumpulan makhluk... Ditengah rembulan yang bersinar terang... Wanita itu terus lari walaupun kakinya berkata cukup... "dewi...lindungilah aku..." Ia berkata dalam hatinya Makhluk-makhluk tersebut mulai mendekati wanita itu Satu dari mereka berhasil mencakar Punggung wanita itu Lalu terdengarlah suara tangisan bayi Para makhluk itu terkejut Pikir Mereka mendapat kudapan lezat malam ini Dan karena itu mereka menjadi lebih bersemangat Wanita itu mulai kehabisan tenaganya Tetapi.... Demi anaknya ia rela membuat kakinya sendiri membenci dia Alhasil kakinya pun berhenti begerak Dan wanita itu terjatuh dan langsung memeluk anaknya Ia tak mempedulikan tubuhnya sendiri yang sudah dalam kondisi yang mengenaskan "dewi...kurasa hanya sampai disini... Jadi... Tolong.... (ia mulai merintikan air mata)..." Para makhluk mendekat Semakin dekat "jadi... Tolong rawat anak ini..." Tangisnya pecah saat melihat tamaong makhluk itu berada tepat di atasnya Untuk terakhir kali ia melihat anaknya "jadilah seorang anak yang baik seperti ayahmu..." Lalu kilatan cahaya datang dari dengan cepat dan memisahkan anak itu dengan ibunya Dan Malam itu para iblis di hutan itu mendapatkan makan malam istimewa 2. Di sebuah desa di timur Kyoto Pagi itu Di kuil Amateratsu Sebagai seorang pendeta... Hachigoro datang untuk membersihkan halaman depan kuil Saat ia mulai menyapu setiap daun yang gugur... Angin berhembus halus menerbangkan semua dedaunan itu Hachigoropun merasa kesal Saat itu coba mengumpulkan dedaunan itu kembali Dekat kolam ikan di halaman belakang kuil itu ada sebutal kain halus Ia yang penasaran apa itupun Mendekati butalan tersebut Saat membuka butalan tersebut ia terkejut... Seorang bayi kecil nan imut terbungkus manis seperti hadiah dari dewi Batu itupun tersenyum kepada Hachigoro Dengan lembut Hachigoro mengendongnya Ia menatap langit yang cerah itu.. Dan berkata "Akan kujaga..." Lalu angin berhembus kembali sehingga memaksanya bekerja kembali. .... Edo, pusat keshogunan "beri jalan! Untuk Shogun kita!..." Teriak seorang prajurit... Rakyat menyambut kedatangan kembalinya Shogun mereka yang kembali dari medan perang Konvoi itu membawa banyak rampasan perang "Tinggal 5 daerah lagi dan Jepang akan bersatu!" seru sang Shogun Rakyat sontak gembira mendengar itu Impian mempersatukan daratan Jepang sudah dekat! ... Dekat dari situ Seorang samurai lewat Dengan topi jeraminya Dan sebuah pedang yang panjangnya setinggi orang dewasa Ia memasuki "lima buah dango dan segelas ocha... Seperti biasa bibi!" "ohh... ahkirnya kau kembali lagi... Miura!" "aku bakalan mati jika tidak mengicipi dango buatanmu Ueki-obasan" Lalu ia duduk di sudut kedai itu Setelah melahap dango ketiganya Ia menyeruput ocha Terdengar keributan diluar... Seorang berteriak "Tolong suami ku berubah menjadi iblis..!" Mendengar itu maka Beranjaklah Miura dari kursinya Sekilas ia tersenyum Dan berkata "Nah... Aku sangat merindukan ini.." 3. Di bagian barat kastil Edo Para warga berlarian Mereka menjauh dari sebuah osen(pemandian air panas) Lalu segera para pasukan keamanan(polisi) kota mengepung osen tersebut Para polisi tersebut memasang barikade dan mulai merapat ke osen Dari osen terdengar sebuah teriakan Lalu disusul sebuah ruangan keras "kenapa mereka terus berdatangan!?" Ucap gemetar para polisi "tetap maju... Kepung dia... Dan bawahkana kepalanya kepadaku!" Perintah sang kapten Segera mendengar itu para polisi itu pun masuk ke osen tersebut dan terbagi menjadi 3 kelompok Setalah Miura sampai kelokasi Ia mencium bau darah yang sangat menyengat Tidak seperti para polisi yang sudah duluan masuk ia mengitari osen tersebut Setelah sampai ke belakang osen Ia melihat ke tembok batas tersebut dan melompatinya Saat Miura sampai kedalam Ia melihat jejak darah dimana-mana "sepertinya yang kucari ada disini..." Lalu pun mulai menyusui oden tersebut Dan saat ia membuka pintu pertama Yang benar saja Ia melihat para polisi dipenggal dan terbagi dua Saat iblis itu melihat Miura Ia lari secepat kilat Miura pun melangkahkan kakinya dan sekejap ia berada tepat didepan iblis itu Dalam kedipan mata kepala iblis itu jatuh ke lantai Saat grup kedua masuk kerungan tersebut Mereka hanya melihat mayat iblis itu beserta teman-temannya yang gugur "pasukan! Bersihkan TKP dan bubar!" Kata sang kapten "jadi benar... Seorang pembasmi iblis datang kesini... Menarik sekali..." Kapten tersebut itu tersenyum sinis dan menampakkan gigi-gigi runcingnya yang berlumuran darah 4. Miura bersiul Lalu seekor gagak terbang menujunya Lalu ia mengikatkan sepucuk kertas pada kaki gagak tersebut dan gagak itu pun terbang. "sampaikan kepada guru tentang keadaan edo!" *** Edo yang kini dikuasai oleh fraksi Hitam yang dipimpin oleh Nobunaga Oda sedang gencar-gencarnya meluaskan pengaruh mereka ke seluruh Jepang. Jepang kini dikuasai oleh lima fraksi Fraksi merah, Fraksi Biru, Fraksi Putih, Fraksi Hitam dan Fraksi Hijau . Mereka terbagi di kelima wilayah: Fraksi merah menguasai Jepang bagian barat. Fraksi biru menguasai bagian pesisir Jepang Fraksi Hijau menguasai bagian selatan Jepang. Fraksi Putih menguasai sebagaian kota- kota besar di Jepang sperti Kyoto dan Kobe. Fraksi Hitam berkuasa di Edo dan sekitarnya. Kelima fraksi itu mempunyai musuh yang sama yaitu para iblis. *** Edo lima hari kemudian... Di pagi itu Miura sangat ingin berbaring lebih lama lagi... Tapi itu tak mungkin karena dia akan melanjutkan perjalanannya ke barat. Ia pun turun dari kamarnya dan membayar penginapan itu. Setelah selesai memberi minum kudanya, ia pun mulai berjalan. Dan ia mencium bau darah yang sangat tajam di samping penginapan itu... Dengan rasa penasaran ia pun mengikuti bau darah itu. "....." Miura tercengang... Jalan utama edo dipenuhi darah... 5. Seekor gagak terbang melintasi Beberapa kota... Lalu berhenti di sebuah kuil... Lalu ia dihampiri oleh seorang biksu muda... Bilsu itu pun memberinya minum dan beberapa biji-bijian. Biksu itupun mengambil surat yang terikat di kaki burung itu... Ia membuka dan mulai membacanya Dan matanya terhenti di satu kata dalam surat itu.... Tertulis: "Edo akan segera runtuh!" Lalu biksu muda itu berlari menuju tempat tetua kuil... Sesampainya ia menunjukan surat itu kepada gurunya. "ini buruk..." Lalu sang tetua berpikir sejenak sambil mengelus-elus jenggot putih panjangnya. "Hmmm... Sho(nama biksu muda) panggilkan putri Chiwa kesini..." Sang biksu mudah segera menuju villa sang putri Tak lama sang putri menghadap "Ada apa guru sampai kau memanggilku?" "Bisa kau membantuku untuk terakhir kalinya...? " "Apapun akan kulakukan guru? Tapi terakhir kalinya? Apa maksudnya perkataan itu guru?" sang putri kebingungan "Jagalah kuil dengan segenap tentaramu karna aku akan berangkat membasmi iblis... Kutitip kan Sho kepadamu..." "Tapi... Guru...?" "Miura dalam bahaya... aku harus membantunya..." "Miura??? Guru... Suamiku akan baik-baik saja..." ucap tegas sang putri tapi air matanya menetes... "Kuatkan hatimu putri... Aku melihat kedepan bahwa anakmu dan seseorang akan membunuh membasmi semua iblis di Jepang..." kata guru itu sambil mengambil sebuah tongkat dam berdiri... Ia berjalan menuju sebuah katana usang... Ia mengambilnya dan berjalan menuju keluar kuil... " Guru...! "panggil Sho Sang Guru pun hanya tersenyum kepada mereka berdua... Lalu ia menghilang ditengah guguran daun... Angin sejuk itu menandakan perpisahan yang tak terhindarkan... Air mata Sho pun tak terbendung begitu pula sang putri... 6. Sudah cukup dengan cerita masa lalu Bahkan aku tak ingat itu cerita masa lalu siapa.... Dan perlu kalian ketahui semua yang ada sebelumnya adalah Mimpi yang selalu datang setiap kali aku memejamkan mata Ini aku Sakata gintoki Ya anak yang ditemukan di sebuah kuil dan Di besarkan oleh biksu sho(nama asli: Hachigoro) Aku tak begitu ingat tapi selama 16 tahun aku dirawat oleh beliau dan dijari sebuah teknik pedang yang sangat indah... Sekirei Teknik yang seindah bunga Sakura Guru sho berkata bahwa Sekirei adalah teknik pedang yang diciptakan untuk melindungi segala keindahan alam ini... Dan selama 16 tahun itu aku (menurutku) sudah menguasainya Suatu hari... Aku ditugaskan membantu warga desa Ine memanen padi. Sepanjang perjalanan aku disuguhi keindahan Jepang Kau harus datang kesini sendiri jika kau mau melihatnya Dewa telah menciptakan lukisan indah yang tak pernah bosan kupandang Sesampaiku di desa Aku pun langsung menuju rumah kepala desa dan bergabung dengan para warga lain... Kemudian pun kami memanen sawah dengan giat dan bersemangat Panen kali ini termasuk yang paling sukses karena para dewa dan dewi tersenyum kepada kami Tetapi Suasana sukacita itu berubah Susara teriakan terdengar dari dalam hutan Suara perempuan cantik Ya menurut pendengaranku sih Segera aku berlari dan mengambil sebuah sabit Saat perempuan itu keluar dari hutan di samping ladang Wanita itu pun langsung terjatuh... Dan Aku menangkapnya Pikirkan adegan-adegan dimana sang pangeran menangkap putri yang hampir jatuh... Ya begitulah kiranya Mata kami saling bertemu Dan secara instingku berkata "tenang saja Tuan Putri aku akan mengurus mereka..." Dan benar saja sesuai dugaanku ada iblis yang mengejarnya Di perjalanan menuju desa tadi aku mencium bau darah di sebuah persimpangan jalan sebelum desa Lalu kulirik lengan yang mulus itu terluka Kau tau kemudian apa yang kulakukan? Aku memburu para iblis itu... "keluarlah makhluk jahanam yang telah berani melukai tangan seorang wanita cantik" Dan hal terbodoh yang kulakukan kemudian aku menerjang para iblis yang mengejar wanita itu. 7. Aku berlari jadi-jadian menuju ke arah para iblis Wajah mereka terlihat kebingungan karena ada seorang yang cukup bodoh menghampiri mereka Lalu dengan sabit itu pun Aku menebas leher satu dari mereka Tetapi malah sabitku yang patah... "Oiya... Aku lupa tak membawa katana ku.." ucap ku tersenyum kepada mereka Dan mereka menatapku dengan pandangan 'kurang ajar ini anak' lalu aku berlari menuju desa untuk mengambil katana ku... Tak sampai ke ladang aku berhasil disusul "Teman... Jangan paksa aku..." ucap ku kesal Mereka menerjangku Dan dengan santainya aku menghindar dan memukul mereka Mereka tercampak setelahku pukul Ya asal kau tau walau tak kelihatan berotot tapi gini-gini aku bisa bela diri lohh Tapi seni bela diri tak cukup untuk mengalahkan mereka... Dan sejenak kupikir... Bagaimana jikalau aku menggabungkan gerakan sekirei dengan bela diriku? Lalu tanpa berpikir lebih lanjut Aku mencobanya Kuambil langkah panjang dan mulai bergerak ke sisi iblis itu Dan Sedetik kemudian gigi iblis itu sudah didepan wajahku Wow aku akan mati karena melindungi gadis cantik dari serangan iblis pikirku Terima kasih dewi... Lalu kepala iblis itu terbagi dua! Dan wajah ku dipenuhi darah Lalu kubuka mataku Dan kulihat seorang samurai menebas para iblis sendirian Lalu ia menoleh kebelakang dan berkata "Kau memang adik yang menyusahkan!" Dan aku membalasnya dengan senyum 8. "syukurlah... Kau datang... Kunisida-senpai..." Lalu dia melemparkan sebuah katana kepadaku "jangan diam saja bantu aku!" Sejenak kulihat katana itu Dan ternyata itu milikku yang kutinggal di Balai desa. "hehe... Ayo kita lakukan.." Sekirei Hembusan pertama Kami menghunuskan pedang dengan indah sehingga bunga-bunga yang ada di hutan tersebut ikut bersama katana kami. "disampingmu senpai!" Dengan cepat Kunisida-senpai mengelak dan membalas Sekirei Hembusan kelima Senpai memutar bila pedang nya dan menancapkannya di kepala salah satu iblis Lalu Kunisida-senpai menari sambil menebas leher para iblis "Sakata, ada satu gerombolan menuju desa!" "akan aku tangani" jawabku singgap Aku pun berlari menuju desa Secepat angin... Setelah ku lihat para warga yang terpojok di pinggiran saru rumah Aku datang menyambut para iblis dengan tebasan katanaku yang membuat salah satu tangannya terputus Benar saja ia menatapku dengan sorotan tajam bermaksud membunuhku Tapi mana mungkin sebelum dia melakukan itu... Sekirei Hembusan ketiga "inilah hukumanmu iblis!" teriakku Sambil memengal kepalanya Sarah iblis itu muncrat kemana-mana Setelah kuayunkan katanaku lagi untuk membersihkannya dari darah najis itu Aku menyarungkannya Lalu para warga pun bersorak Dari kejauhan kulihat Kunisida-senpai datang dengan senyum Lalu kami berpesta merayakan hasil panen! 9. Pesta itu berlangsung dengan meriah Tak terasa saja matahari hampir terbenam Aku coba untuk mencari cara bertemu dengan wanita yang kuselamatkan tadi Tapi aku tak kunjung mendapatkan kesempatan itu Terakhir kali aku melihatnya Ia sedang membuat sepiring makanan Dan kesibukan membantu para warga membuat dekorasi di kuil desa membuat kami terpisah Setelah bercengkrama dengan para warga desa Aku pun menepi dari keramaian dan duduk di pojok balai desa itu Kutatap langit merah nan indah Lalu Kunisida-senpai memeluk punggungku "Wahai bujangan.." Lalu kamipun tertawa "he... Senpai... Bukanya akan indah jika iblis itu tidak menyerang manusia...?" tanya ku "hmm... Itu hal mustahil Sakata..." "dahulu kala saat penciptaan iblis sudah iri dengan manusia yang di sayangi para dewa dan dewi mereka takut menyerang manusia karena tidak mungkin mereka memasuki surga tanpa sepengetahuan para dewa atau dewi.... Bahkan sang raja iblis pun tak pernah menginjakkan kakinya di surga... Tapi setelah manusia turun ke bumi... Para iblis itu nekat menyerang mereka dan tidak tinggal diam para manusia itu melawan balik... Nah permusuhan ini sudah ada hampir ribuan tahun yang lalu... " Cerita senpai " suatu saat dengan katanaku aku akan memengal kepala raja iblis itu dan mempersembahkannya kepada dewi(Amateratsu) " kata-kata ini terucap dari dalam hatiku Senpai terkejut melihatnya dan memukul kepalaku " Kau ini.... Menguasai Hembusan keenam saja belum bisa apalagi mengalahkan raja iblis...hadeuh....dasar..."senpai berceloteh Lalu kami kembali tertawa terbahak-bahak Pesta mencapai puncaknya Di alun-alun desa di buat api ungun yang sangat besar dan tebak aku melihat sang primadaniku... Hehe mungkin ini pertanda dari sang dewi Jadi kudekati dia dan mengajaknya menari "maukah kau menari denganku, cantik?" Rayuku "Kau... Ohh aku ingat! Tentu saja tuan samurai..." dia membalasnya dengan senyum yang sangat manis Lalu alunan musikpun menjadikan suasana ini semakin lengkap Di bawah rembulan itu "siapa namamu, samurai...?" "aku..? Sakata...." "Sakata? Sakata apa?" "Sakata Kintoki! Ingatlah itu aku akan menjadi samurai terhebat di tanah Jepang!" "hahaha... Namaku Kagura... Aomine Kagura" "baiklah Kagura kita lihat apakah lau pandai dalam menari!" Dan aku mengeluarkan segala gerakan yang kuketahui untuk memikat hatinya Sekali kulirik dia hanya tertawa kecil Dan menunjukan kemanisannya di tubuhnya yang sempurna itu Bagaimana tidak dengan tinggi sebahuku Dan rambut hitam panjang berbalut dengan kimono putih nan elegan membuat tubuhnya bak seorang dewi yang turun dari surga "matamu indah ya Sakata... Dari dalamnya aku dapat melihat api yang membara..." Kembali dia tertawa kecil aku tersenyum Ohhh dewi.... Terima kasih .... 10. Fajar menyinsing "saatnya kembali ke kuil dasar pemalas...." Goda senpai Setelah kuhabiskan tidurku di Balai desa tersebut aku mencuci mukak di sumur dekat situ "senpai?" "iya kenapa...? Mau bertanya kenapa tiba-tiba aku ada disini?" jawab senpai dengan nada mengejek "hehe... Kau tau saja"jawabku dengan muka kesal " kemarin aku sedang dalam misi untuk mengawal putri dari fraksi merah dalam perjalanan diplomasi ke Kyoto jadi kami melewati desa dan sebelum kami memasuki desa kami di serang di lembah itu... " Senpai menunjuk arah lembah yang terdapat sebelum desa "jadi akupun mencari sang putri serta menghabisi beberapa iblis itu lalu kita bertemu..." jawabnya santai "dan senpai.... Siapa putri yang kau bawa itu?" "Kagura-hime..." "heeeeh..... !!!" Aku terkejut mendengarnya Jadi semalam aku menari dengan sang putri..?! Betapa memalukannya itu Aku pasti akan dihukum guru sho "dan... Kurasa..." perkataan itu hilang saat putri Kagura datang dan menyapa kami "selamat pagi para samurai... Ayo cepat kita akan menuju Kyoto..!" Masih dilanda badai kejut yang dahsyat aku diseret senpai keluar dan menaiki gerobak Dalam perjalananpun aku masih syok Hingga tak kusadari bahwa ada sesuatu yang aneh "senpai... Kemana semua para penjaga tuan puteri?" aku bertanya kepada senpai yang ada di kursi kemudi "mereka semua... Sudah mati..." Tiba-tiba suasana mencekam... Dari kejauhan kami melihat seorang berkuda datang Dengan Insting ku kugengam katanaku untuk bersiap untuk sesuatu yang buruk Ia datang dengan cepat dan senpai pun Kulihat memegang katananya Dan " Kunisida... Ikuti kami...!" Heh ... Ternyata itu paman Honzo Sang penjaga kota Ia dengan tubuh kekarnya serta zirah lengkapnya menunggangi kuda hitam yang besar Ia pun menuntun kami melalui jalan lain "jalan itu akan berujung ke jembatan yang sedang dalam perbaikan... Jadi kita ambil rute lain ya.." ucapnya Tak lama kemudian kami pun dapat merasakan nuansa kota Kyoto Ya kota Kyoto yang indah penuh dengan pohon Sakura dan dari sini dapat kelihatan kuil tempat dimana aku tinggal di bukit yang terdapat disebelah kota Saat memasuki kota pada umumnya kau akan disambut dengan gerbang lalu kerumunan orang yang berjalan Kami melewati beberapa kedai Dan aku menyapa beberapa orang yang ku kenal misalnya bibi Asa, kakek Kano, paman itu, si anu dan banyak lagi... Dan kamipun berhenti di depan sebuah villa Dari pintunya muncul Sang pemimpin fraksi putih Minamoto no Yoshitsune Description: Hanya Angin Satu-satunya yang kuingat.....
Title: WanodyaCandala Category: Fantasi Text: Malam Kutukan "Kau tidak bisa Lari dari Kenyataan!" Suara Doa panjang terlantur dari mulutnya sambil sesekali ia melihat kearah balkon kamarnya Beberapa kali ia selalu bertanya kepada dayangnya apa kah perang sudah usai tapi jawabannya masih nihil Sudah 3 hari sejak perang berlangsung tapi Bopo masih belum juga kembali keistana sebagai pemenang. "Apakah menurutmu Bopo akan menang Sumbi?" "Tentu saja putri,raja Boko adalah yang terbaik di seluruh negri dan tidak mungkin untuk mengalahkan beliau" Jawaban itu cukup menambah keyakinan jika nanti Boponya itu akan pulang setelah perang. *** Masih terus memandang kearah balkon tiba tiba saja terdengar berita jika gerbang benteng istana sudah terbuka Mendengar berita itu ia langsung menyuruh para dayangnya untuk menyiapkan penyambutan yang meriah untuk Boponya itu "Aku sudah tidak sabar lagi jika harus bertemu Bopo"ucapnya bahagia sambil membawa beberapa nampan penyambutan Ia sudah menunggu di depan pintu istana bersama dayang dan pengawal yang bersiap menyambut Tapi kenapa yang terlihat bukan Boponya? *** Kuda hitam legam mulai memasuki area dalam benteng kerajaan,ia memasuki area itu sebagai raja baru kerajaan perambahan. Dengan ratusan prajurit ia menjalankan kudanya dengan sangat bangga sedangkan disisi kiri tangannya ia membawa sebuah penggalan kepala. "Siapa nama gadis cantik ini?"tanya nya kepada salah satu prajuritnya "Dia adalah Putri Roro jonggrang,anak dari raja dan ratu Boko"jelas prajurit itu Pria dengan tubuh tinggi kulit sawo itu turun dari kudanya dan mendekati wanita itu "Apakah kau tidak ingin memberikan ku salam putri?"tanya nya "D-dimana ayahku!"tanya Roro Jonggrang dengan Nanda keras "Apa kau sudah siap bertemu ayah mu itu?" "Sudah kubilang mana ayah ku!"ucapanya semakin keras bahkan ia mulai melempar nampan yang ia bawa tadi "Hei kau jaga bicaramu kepada Baginda raja Bandung Bondowoso!" "Sudah tidak apa Widana,tidak ada yang salah jika seorang putri ingin menemui ayah nya" Bandung Bondowoso menunjukan tangan kirinya sambil mengangkatnya setinggi tinggi mungkin agar semua orang melihat dan mengerti "Ini yang ingin kau temui kan?,ini bawa dia"dengan sangat kejinya ia melemparkan potongan kepala itu kepada Roro betapa terkejutnya ia ketika melihat Boponya itu hanya tinggal kepalanya saja, hati yang hancur dan rasa amarah yang besar bergemuruh di dalam hatinya Tanpa pikir panjang ia mengambil pedang dan langsung menaruh tepat dileher Bondowoso "Aku akan mengingat semua ini dan aku bersumpah akan membunuhmu saat ini juga!" Hampir saja pedang itu melesat menuju leher Bandung Bondowoso,tangan Roro langsung ditarik para pengawal dan menyeretnya menuju penjara bawah tanah *** Tangisan dan rasa dendam terus mengalir dan bergemuruh didalam hatinya "Keluarlah putri"printah salah satu ketua penjaga "Apakah kau tidak ingin keluar?"perintah sekali lagi ketua penjaga tapi tetap saja tidak ada respon "Seorang ningrat tidak menerima perintah dari kaum sudra" "Hahaha...ucapanmu masih angkuh putri,apakah kau lupa kau sudah bukan putri lagi!"ucapan itu langsung membuat Roro berhenti berkata bata lagi. Penjaga penjara langsung menarik Roro menuju balai pertemuan raja,sedikit demi sedikit Roro masih terus membrontak kepada para penjaga tapi sepertinya itu sia sia *** "Kau menikahlah dengan ku"ucap Bandung Bondowoso "Cih apa kau sudah kehabisan pilihan hingga kau ingin menikahi anak musuh mu sendiri?" "Aku tidak menerima penolakan,apakah kau ingin ku habisi sekarang juga?"ucapnya mengancam "Bunuh saja aku,aku sudah tidak peduli"ucap Roro menantang "Sepertinya membunuh kerabat terdekatmu lebih menyenangkan"dengan angkuhnya dia berbicara seperti itu seolah olah nyawa tidak ada harganya "Mereka tidak terlibat dalam masalah ini,jika kau ingin membunuh ku bunuh saja aku!" Percuma saja Roro berkata seperti itu karena Bandung Bondowoso sepertinya memang sudah tak peduli dan malah menyuruh para antek anteknya untuk mengumpulkan seluruh kerabat terdekat dari Roro Jonggrang. Roro yang mengetahui nyawa kerabatnya sedang dalam bahaya mau tidak mau harus menerima permintaan itu dengan satu syarat "Baik aku akan menikah dengan mu hanya dengan satu syarat" "Apa syarat nya?" "Aku ingin kau buatkanku seribu candi dan 2 sumur dalam satu malam,jika gagal aku tidak akan menikah dengan mu!" Syarat itu langsung di sanggupi oleh Bandung Bondowoso tanpa berfikir panjang *** Disebuah tanah yang sangat lapang Bandung Bondowoso mulai mengucapkan suatu mantra untuk memanggil teman jin nya Seluruh jin yang ia panggil telah berkumpul dan langsung diperintahkan untuk membangun 1000 candi Kerja para jin itu dalam membuat candi sangatlah cepat bahkan mereka sudah mencapai 660 candi saat ini Langit sudah menunjukan larut malam candi yang dibuat Bondowoso sudah mencapai 999 candi Mendengar candinya akan selesai dibuat,Roro Jonggrang merasa takut dan langsung membuat siasat bersama beberapa dayang setianya Roro menuju sebuah lumbung padi dan mulai menumpuk padi didalam lesung sambil menghidupkan perapian Ketika lesung itu di tumbuk suara kokok ayam jantan mulai berbunyi nyaring yang membuat para jin ketakutan saat membangun candi Siasat nya ini berhasil menipu para jin tapi tidak untuk Bandung Bondowoso yang sudah menyadari siasat ini "RORO!Aku akan menghukumu atas tindakanmu ini,aku Bandung Bondowoso mengutukku menjadi candiku yang ke seribu!" Suara kutukan itu terdengar sangat nyaring sampai sampai langit malam yang cerah menjadi sangat suram Roro yang menyadari tubuhnya akan berubah menjadi batu langsung mengeluarkan sebuah doa meminta kepada sang hyang agung "Dengarkan aku Bondowoso Aku Roro Jonggrang putri raja Boko akan membunuhmu di kehidupan selanjutnya dan kau tidak akan pernah bisa lari dari takdir itu!" Itu adalah ucapan terakhir nya sebelum ia menjadi batu arca seutuhnya. -bersambung- Perhatian!Cerita ini hanyalah fantasi dan tidak bermaksud untuk mengubah sejarah atau menjelekan pihak manapun Suara Doa panjang terlantur dari mulutnya sambil sesekali ia melihat kearah balkon kamarnya Beberapa kali ia selalu bertanya kepada dayangnya apa kah perang sudah usai tapi jawabannya masih nihil Sudah 3 hari sejak perang berlangsung tapi Bopo masih belum juga kembali keistana sebagai pemenang. "Apakah menurutmu Bopo akan menang Sumbi?" "Tentu saja putri,raja Boko adalah yang terbaik di seluruh negri dan tidak mungkin untuk mengalahkan beliau" Jawaban itu cukup menambah keyakinan jika nanti Boponya itu akan pulang setelah perang. *** Masih terus memandang kearah balkon tiba tiba saja terdengar berita jika gerbang benteng istana sudah terbuka Mendengar berita itu ia langsung menyuruh para dayangnya untuk menyiapkan penyambutan yang meriah untuk Boponya itu "Aku sudah tidak sabar lagi jika harus bertemu Bopo"ucapnya bahagia sambil membawa beberapa nampan penyambutan Ia sudah menunggu di depan pintu istana bersama dayang dan pengawal yang bersiap menyambut Tapi kenapa yang terlihat bukan Boponya? *** Kuda hitam legam mulai memasuki area dalam benteng kerajaan,ia memasuki area itu sebagai raja baru kerajaan perambahan. Dengan ratusan prajurit ia menjalankan kudanya dengan sangat bangga sedangkan disisi kiri tangannya ia membawa sebuah penggalan kepala. "Siapa nama gadis cantik ini?"tanya nya kepada salah satu prajuritnya "Dia adalah Putri Roro jonggrang,anak dari raja dan ratu Boko"jelas prajurit itu Pria dengan tubuh tinggi kulit sawo itu turun dari kudanya dan mendekati wanita itu "Apakah kau tidak ingin memberikan ku salam putri?"tanya nya "D-dimana ayahku!"tanya Roro Jonggrang dengan Nanda keras "Apa kau sudah siap bertemu ayah mu itu?" "Sudah kubilang mana ayah ku!"ucapanya semakin keras bahkan ia mulai melempar nampan yang ia bawa tadi "Hei kau jaga bicaramu kepada Baginda raja Bandung Bondowoso!" "Sudah tidak apa Widana,tidak ada yang salah jika seorang putri ingin menemui ayah nya" Bandung Bondowoso menunjukan tangan kirinya sambil mengangkatnya setinggi tinggi mungkin agar semua orang melihat dan mengerti "Ini yang ingin kau temui kan?,ini bawa dia"dengan sangat kejinya ia melemparkan potongan kepala itu kepada Roro betapa terkejutnya ia ketika melihat Boponya itu hanya tinggal kepalanya saja, hati yang hancur dan rasa amarah yang besar bergemuruh di dalam hatinya Tanpa pikir panjang ia mengambil pedang dan langsung menaruh tepat dileher Bondowoso "Aku akan mengingat semua ini dan aku bersumpah akan membunuhmu saat ini juga!" Hampir saja pedang itu melesat menuju leher Bandung Bondowoso,tangan Roro langsung ditarik para pengawal dan menyeretnya menuju penjara bawah tanah *** Tangisan dan rasa dendam terus mengalir dan bergemuruh didalam hatinya "Keluarlah putri"printah salah satu ketua penjaga "Apakah kau tidak ingin keluar?"perintah sekali lagi ketua penjaga tapi tetap saja tidak ada respon "Seorang ningrat tidak menerima perintah dari kaum sudra" "Hahaha...ucapanmu masih angkuh putri,apakah kau lupa kau sudah bukan putri lagi!"ucapan itu langsung membuat Roro berhenti berkata bata lagi. Penjaga penjara langsung menarik Roro menuju balai pertemuan raja,sedikit demi sedikit Roro masih terus membrontak kepada para penjaga tapi sepertinya itu sia sia *** "Kau menikahlah dengan ku"ucap Bandung Bondowoso "Cih apa kau sudah kehabisan pilihan hingga kau ingin menikahi anak musuh mu sendiri?" "Aku tidak menerima penolakan,apakah kau ingin ku habisi sekarang juga?"ucapnya mengancam "Bunuh saja aku,aku sudah tidak peduli"ucap Roro menantang "Sepertinya membunuh kerabat terdekatmu lebih menyenangkan"dengan angkuhnya dia berbicara seperti itu seolah olah nyawa tidak ada harganya "Mereka tidak terlibat dalam masalah ini,jika kau ingin membunuh ku bunuh saja aku!" Percuma saja Roro berkata seperti itu karena Bandung Bondowoso sepertinya memang sudah tak peduli dan malah menyuruh para antek anteknya untuk mengumpulkan seluruh kerabat terdekat dari Roro Jonggrang. Roro yang mengetahui nyawa kerabatnya sedang dalam bahaya mau tidak mau harus menerima permintaan itu dengan satu syarat "Baik aku akan menikah dengan mu hanya dengan satu syarat" "Apa syarat nya?" "Aku ingin kau buatkanku seribu candi dan 2 sumur dalam satu malam,jika gagal aku tidak akan menikah dengan mu!" Syarat itu langsung di sanggupi oleh Bandung Bondowoso tanpa berfikir panjang *** Disebuah tanah yang sangat lapang Bandung Bondowoso mulai mengucapkan suatu mantra untuk memanggil teman jin nya Seluruh jin yang ia panggil telah berkumpul dan langsung diperintahkan untuk membangun 1000 candi Kerja para jin itu dalam membuat candi sangatlah cepat bahkan mereka sudah mencapai 660 candi saat ini Langit sudah menunjukan larut malam candi yang dibuat Bondowoso sudah mencapai 999 candi Mendengar candinya akan selesai dibuat,Roro Jonggrang merasa takut dan langsung membuat siasat bersama beberapa dayang setianya Roro menuju sebuah lumbung padi dan mulai menumpuk padi didalam lesung sambil menghidupkan perapian Ketika lesung itu di tumbuk suara kokok ayam jantan mulai berbunyi nyaring yang membuat para jin ketakutan saat membangun candi Siasat nya ini berhasil menipu para jin tapi tidak untuk Bandung Bondowoso yang sudah menyadari siasat ini "RORO!Aku akan menghukumu atas tindakanmu ini,aku Bandung Bondowoso mengutukku menjadi candiku yang ke seribu!" Suara kutukan itu terdengar sangat nyaring sampai sampai langit malam yang cerah menjadi sangat suram Roro yang menyadari tubuhnya akan berubah menjadi batu langsung mengeluarkan sebuah doa meminta kepada sang hyang agung "Dengarkan aku Bondowoso Aku Roro Jonggrang putri raja Boko akan membunuhmu di kehidupan selanjutnya dan kau tidak akan pernah bisa lari dari takdir itu!" Itu adalah ucapan terakhir nya sebelum ia menjadi batu arca seutuhnya. -bersambung- Perhatian!Cerita ini hanyalah fantasi dan tidak bermaksud untuk mengubah sejarah atau menjelekan pihak manapun Freedom "Kebebasan itu Milik Semua Orang!" Tahun 1733 Seorang pria berkebangsaan Belanda telah menemukan sebuah puing puing candi yang sepertinya sudah sangat lama di telantarkan CA. Lons dia adalah penemu candi ini untuk yang pertamakali sebelum melakukan penyeledikan lebih lanjut oleh "Thomas Stamford Raffles" "Kamoe inheems!kom hier!"Tunjuk menir itu kepada salah satu pribumi yang sedang ikut menggali candi "Enggih saya ndoro?"tanyanya dengan bahasa yang sangat halus serta ketakutan akan salah dalam berbicara Menir itu dengan sangat angkuhnya menendang tubuh pria paruh baya itu dengan sangat kuat seakan akan hanya ia yang paling kuat disana "A-ampun ndoro jangan aniaya saya,S-aya-" Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya sebuah tendangan sudah melesat kembali tepat di bagian perutnya itu "Jij bent dom!,uw werk is incompetent!" Sepertinya pria paruh baya itu tertangkap basah saat sedang bergunjing dengan teman pribuminya "Kalian bawa inheems ini menuju lapangan!" Dengan sedikit terpaksa mau tidak mau para pribumi itu harus membawa pria paruh baya itu menuju lapangan untuk dicambuk sebanyak 20 kali sebagai hukuman atas kelancanga nya. Raut wajah ketakutan dan takut akan hukuman itu membuat pria itu langsung berlari tanpa pikir panjang menuju salah satu arca trimurti yang dipersembahkan untuk tiga dewa suci "achtervolg hem verdomme voordat het te ver gaat!"sepertinya menir ini tidak ingin melepaskan pribuminya untuk di hukum***Langkahnya tersengal sengal sambil sesekali ia bersembunyi dibalik arca arca yang ada di kompleks candi itu Rasanya ia belum pernah melihat arca ini saat pembangunan ulang candi? Pria paruh baya itu terus melihat wajah arca itu sambil bersembunyi dibaliknya agar tidak ketahuan para pribumi lainya yang sedang mengejar dirinya "Apakah kau takut?" Suara itu muncul entah dari mana membuat pria paruh baya itu menjadi takut untuk berlama lama disana tapi jika ia keluar sekarang ia akan langsung di hukum habis habisan oleh menir "Apakah kau ragu?" Langi lagi Sura itu terdengar nyaring di telinganya "Apakah kau ingin pergi dari sini?" Kali ini suaranya seperti sedang mencoba menghipnotis pikiran pria tua itu yang sedang kebingungan Hingga"ya...aku ingin segera pergi dari sini!" Setelah mengatakan kata itu tiba tiba saja arca didalam candi itu mulai bergetar sangat kencang hingga rasanya seperti sedang terjadi gempa bumi Dan setelah 2 menit guncangan itu pria paruh baya itu hilang seketika seperti hilang dilenyapkan bumi tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Sedangkan arca yang tadinya diam dan tidak bergerak tiba tiba saja mengeluarkan sebuah asap bewarna hitam pekat yang keluar dari area arca trimurti Merubah wujudnya yang semula hanya berupa asap hitam pekat menjadi sosok wanita cantik jelata dengan tubuh yang beraroma sangat wangi dibalut dengan kebaya khas ningrat "Argh sudah berapa tahun aku terkurung didalam patung sialan itu?"batin Roro kepada dirinya sendiri sambil terus berjalan menuju pintu keluar area candi. ⁴"Pardon nyai!,boleh saya berkenalan?"Sapa pria tampan bertubuh gagah dibalut dengan jas dan topi ala ala kolonial Belanda,tapi wajahnya bukan termasuk tipikal orang Eropa atau Belanda. "Pardon?"tanya Roro kebingungan dengan bahasa yang diucapkan laki laki itu tadi."oh..maaf,maksut saya apa saya boleh berkenalan dengan nyai?"jelas laki laki itu kepada Roro yang terlihat mengangguk paham. "namaku Roro"ucap Roro memperkenalkan namanya."Roro saja?"tanya pria itu lagi mengenai nama asli Roro. Pada zaman seperti ini memang rasanya jika tidak memiliki nama belakang bisa dibilang bukan orang ningrat alias pribumi."hanya Roro saja"jawab Roro singkat sambil sesekali melihat ke sekelilingnya agar bisa sedikit terbiasa dengan suasana yang ia alami saat ini. "Jadi kau bukan ningrat?,ah-maaf lupakan apa yang aku katakan tadi.Perkenalkan namaku Jofts Hardo"jelas Hardo memperkenalkan dirinya itu kepada Roro. "Tentu saja aku seorang ningrat hanya saja aku tidak bisa memberikan namaku begitu saja kepada orang yang tidak ku kenal"ucap Roro membela diri yang kemudian langsung meninggalkan Hardo sendirian. Langkah Roro masih sedikit terbata bata mungkin ini adalah efek terkurung belasan tahun atau bahkan ribuan tahun di dalam patung arca tuaitu"cih kenapa orang orang melihat ku seperti itu hah?"grutu Roro merasa tidak nyaman dengan pandangan orang orang terhadapnya. Didalam pikirannya masih terus berputar-putar dimana Bandung Bondowoso kaliini berengkarnasi?,disamping itu Roro juga kebingungan untuk tinggal dimana karena tidak mungkin juga jika dia harus tidur dipinggir jalanan pada saat seperti ini?. "Sudah Roro kini fokuslah dulu untuk mencari Bondowoso sialan itu dan bunuh dia sekarang juga lalu matilah dengan damai!"ucap Roro menyemangati dirinya sendiri. Sudah berapa banyak jalan yang dia lalui tapi kenapa dia masih belum bisa menemukan satu pertanda mengenai Bandung Bondowoso,bahkan meskipun kini Roro berubah menjadi roh untuk mencari Bondowoso tenaganya tidak akan kuat untuk melakukanya. ⁵"Hallo mevrouw!"sapa Hardo dari samping tubuh Roro yang sedang meneduhkan dirinya dibawah bangunan toko yang sudah tutup."H-emrow?"lagi lagi Roro tidak paham dengan bahasa apa yang digunakan laki laki itu,terdengar sangat aneh. "mevrouw yang benar,bukan Hemrow"ucap Hardo membenarkan kata kata Roro yang salah dalam pengucapan bahasa Belanda yang artinya "nona". "Jangan gunakan bahasa seperti itu di depan ku,gunakan bahasa yang benar saja dan mudah untuk kumegerti"jelas Roro kepada Hardo yang selalu menggunakan bahasa campuran saat berbicara dengannya,terlihat menyebalkan. "ah..maaf atas ketidak tahuan saya,nona ingin pergi kemana?"tanya Hardo kepada Roro."bukan urusan anda,kalau begitu saya pergi dulu selamat tinggal!"ucap Roro cuek yang langsung meninggalkan Hardo sendirian lagi,"seharunya anda mengucapkan sampai jumpa lagi Nona!"teriak Hardo dari kejauhan menatap kepergian Roro dari jauh. Langit sudah menjelma menjadi sore hari dan Roro masih belum juga menemukan tempat yang cocok untuk dia tinggali selama beberapa waktu kedepan, Apakah mungkin kaliini dia harus menggunakan kekuatannya untuk mencari tempat tinggal tapi pastinya itu akan membutuhkan sedikit banyak tenaga sedangkan teganya untuk berjalan saja sudah mulai hilang. "argh sulit dipercaya seorang ningrat sepertiku sulit untuk menemukan tempat tinggal,dan lagi pula ini sebenarnya dimana?"lagi lagi mengeluhlah yang bisa dilakukan Roro dalam keadaan seperti ini. disela sela mengeluhnya itu tiba tiba-tiba saja seorang nenek tua datang menghampirinya sambil membawa beberapa makanan dan minuman yang sepertinya dia dapatkan dari hasil kerja kerasnya saat berjualan di pinggir jalan. nenek tua itu lantas berhenti didepan Roro dan mengulurkan tangannya yang menggenggam makanan dan minuman itu"ambilah dan makanlah dengan tenang, sebelum para tentara Londo itu datang"ucap nenek tua itu. "ada apa dengan tentara Belanda nenek tua?"tanya Roro penasaran dengan yang dimaksud oleh nenek tua itu tadi."Pada setiap malam para tentara Londo akan melakukan patroli keliling disini,jika kau nanti tertangkap kau nanti bisa dalam bahaya!"jelas nenek tua itu kepada Roro yang mulai meneguk minuman yang diberikan nenek tua itu tadi. "Tenang saja nenek tua.aku ini bukan wanita biasa,aku bisa pergi dan menghilang begitu saja jika tenagaku sudah terkumpul"ucap Roro sangat percaya diri seakan akan dia pasti bisa melawan tentara itu dengan kekuatannya yang belum seberapa itu. Nenek tua itu segera meninggalkan Roro setelah memberikan beberapa saran kepada Roro untuk segera pulang"terserah dirimu saja,aku akan pergi dari sini dan kau segeralah pulang".jika Roro memang sudah memiliki rumah untuk apa dia disini duduk didepan toko seperti gembel?. ***Hardo mengganti pakainya bersiap pergi menuju batalion infanteri IV untuk melakukan pergantian jam jaga disana,akibat banyaknya pribumi yang sering mencuri senjata akhir akhir ini membuat para petinggi tentara VOC memperketat penjagaan batalion IV. Pria dengan tubuh gagah kulit kuning Langsat ini sepertinya mendapatkan Gennya itu dari ibunya yang seorang pribumi biasa,sedangkan wajah dan hidung mancungnya itu sepertinya dia dapatkan dari ayahnya yang merupakan salah satu petinggi tentara Belanda. ⁶"Hallo gezagvoerder Hardo!"sapa Kenny Roberts,"jangan panggil aku kapten disini Kenny,oh iya bagaiman rencananya?"tanya Hardo kepada Kenny sambil masuk kedalam kereta kudanya itu. didalam kereta sudah terdapat Badong,Alert,dan jiken yang sudah masuk terlebih dahulu didalam kereta kuda.Mereka berempat memang sudah seperti sodara sendiri meskipun memiliki Darah yang berbeda tapi satu tujuan yang ingin mereka gapai lah yang mendorong mereka sampai seperti ini. setelah menempuh beberapa jarak yang memakan waktu cukup lama akhirnya mereka telah sampai di batalion kesayangan para tentara Belanda yang bekerja disana."Cih entah apa yang membuatku kembali lagi kesini"decak Hardo kesal. seperti biasanya setiap memasuki lobby pasti ada saja pribumi yang diintrogasi dari yang tua hingga yang muda pasti ada saja yang mereka introgasi.tapi disetiap mata memandang mata Hardo tertuju kepada satu wanita dengan aroma wangi"Hallo mevrouw kenapa anda ada disini?"tanya Hardo. "sudah kubilang jangan gunakan bahasa yang aku saja tidak mengerti"Roro terdengar lesu.⁷"Patrick laat hem gewoon gaan,dia adalah temanku dan aku akan menjamin tingkahlakunya disini"kata Hardo kepada bawahannya itu yang terlihat sepertinya sedikit tertarik dengan kehadiran Roro. Hardo membawa Roro menuju ruangannya tak lupa sambil membawa beberapa makanan karena terlihat jika Roro kelaparan "jadi nona kita bertemu lagi bukan?". Roro memang sedang lapar saat ini apalagi makanan yang ada didepannya ini terlihat sangat menggoda seleranya"sebut saja apa mau mu?,kenapa kau selalu bertemu dengan ku?"tanya Roro kepada Hardo,"sudah kubilang nona kita akan bertemu lagi.jadi kenapa kau bisa sampai disini?". -Bersambung-Kamus: ¹"Kamoe inheems!kom hier!"(Kamu pribumi,kesini!" ²"Jij bent dom!,uw werk is incompetent!"(dasar bodoh,kerjamu benar benar tidak becus!" ³"achtervolg hem verdomme voordat het te ver gaat!"(cepat kejar dia sebelum semakin jauh!" ⁴"Pardon nyai!,boleh saya berkenalan?"(Permisi nyai!,boleh saya berkenalan?" ⁵"Hallo mevrouw!"(Hallo nona!) ⁶"Hallo gezagvoerder Hardo!"(Hallo kapten Hardo!) ⁷"Patrick laat hem gewoon gaan,dia adalah temanku dan aku akan menjamin tingkahlaku Nya disini"(Patrick lepaskan saja dia,dia alah temanku dan aku akan menjamin tingkahkunya disini) Peringatan!Cerita yang saya buat disini hanyalah sebuah karangan fiktif dan tidak bermaksud menyinggung atau merubah sejarah yang ada.sekian terimakasih semoga menikmati cerita yang saya buat. Description: Hai namanya Rara gadis cantik jelita putri dari kerajaan perambahanan,tidak ada yang mampu menandingi kecantikan yang dimiliki Roro diseluruh Nusantara. Sayang suatu hari hidupnya berubah360° yang awalnya sebagai putri berubah menjadi budak akibat kekalahan perang ayahnya. Dipaksa menikah dengan Bandung Bondowoso pembunuh ayahnya dengan syarat 1000 candi satu malam,tapi kelicikan yang Roro buat membuatnya dikutuk oleh dewa. Terkurung didalam patung selama belasan tahun menunggu pembalasan dendamnya yang akan berlaku setelah Bandung Bondowoso berengkarnasi. Tapi satu hal yang aneh keberadaan Bandung Bondowoso yang dinanti ternyata hanya membawa Mala petaka dikehidupan Rara. Jadi apakah Roro bisa membalaskan dendam nya itu? atau dia malah terjebak didalam permainan takdir? yok baca yok! wkwkwkwk :)
Title: Woman For the Lord Millionaire Category: Adult Romance Text: PERTEMUAN PERTAMA Teba, Musim Semi 2012. Elena sedang duduk di kereta yang sedang melaju dari pedesaan suijuku menuju ke perkotaan Teba. Saat umur Elena masih empat belas tahun dia dikirim oleh kedua orang tuanya ke pedesaan, dan menghabiskan hidupnya sampai sekarang di pedesaan, hari ini dia akhirnya kembali lagi ke ibukota setelah sekian lama di pedesaan. Hanya ada satu alasan. Keluarga Prodigit ingin menikahkan putri mereka ke Keluarga Verlond. Banyak rumor beredar tentang Keluarga Verlond terutama bagi sang mempelai pria dalam keluarga itu. Katanya dia sedang berada di ambang kematian, makanya harus segera di nikahkan sebelum akhirnya mati. Sebelumnya, Keluarga Prodigit memiliki dua anak perempuan yang telah dikirimkan ke perjodohan itu. Namun, dua anak perempuan itu kembali lagi karena mereka tidak mau menikah dengan pria yang sedang sekarat itu. Jadi, keluarga prodigit menyuruh Elena yang telah diasuh di pedesaan itu diminta bergegas kembali untuk menikah. Elena yang saat itu sedang duduk di tempat tidur nya sambil membaca buku di tangannya cukup terkejut, saat pintu tiba-tiba terbuka, dan angin dingin dari luar menyerbu masuk dengan bau darah yang mengerikan. Elena menatap heran saat seorang pria berbaju putih yang berdiri tepat di pintu kamar nya. Pria itu berlumuran darah di sebagian tubuhnya. Entah apa yang terjadi pada pria itu, tapi itu cukup membuat Elena takut. Sesaat setelah pria itu masuk kedalam kamar Elena, beberapa orang berpakaian hitam bergegas masuk pula, "Bos, tidak ada siapa-siapa sekarang, jadi mari kita kirim dia ke neraka secara langsung." "Siapa bilang tidak ada seorang pun? Apa kau buta?" Pria berbaju coklat dan berkepala besar memandang Elena. Elena tidak menyangka tatapan tajam pria yang penuh intimidasi itu tertuju padanya. Pria yang entah dari mana rimbanya yang tiba-tiba jatuh ke gerbongnya telah membawa bahaya fatal baginya. Pria berbaju coklat yang menatap tajam padanya memiliki niat membunuh yang kuat di matanya, dan dia jelas ingin membunuh Elena saat itu. Elena dengan bersusah payah berusaha tetap tenang menatap senjata di tangan mereka, dan dengan cepat memohon belas kasihan pada mereka, "Jangan sakiti aku, aku tidak melihat apa-apa." Pria berjau coklat melangkah maju dan menatap wajah kecil Elena. Dia mengenakan sebuah kerudung untuk menutupi wajahnya, yang membuat pria itu tidak bisa melihat wajah aslinya. Mata berwarna biru terang yang seperti air laut menatap pria itu menunggu, mengharapkan belas kasihan baginya. Pria itu belum pernah melihat sepasang mata yang begitu indah sebelumnya. Tatapan wanita yang sedang memohon belas kasih padanya, membuat perasaan yang benar-benar berbeda di hati nya dalam sekejap. Selain itu, dia tidak menyentuh seorang wanita akhir-akhir ini, dan pikirannya langsung lahir dengan pikiran jahat. “Gadis kecil, kami tidak akan menyakitimu, tapi kamu harus menuruti permintaan ku.” Tubuh kecil Elena bergetar, dan dia berkata dengan sedih, "Aku tidak ingin mati, aku sangat takut, selama kamu tidak menyakitiku, aku akan menurutumi." Permohonan gadis yang lembut membuat pria berbaju coklat itu tidak dapat lagi menahan gejolak yang tertahankan. Dia menekan Elena di bawah tubuhnya. "Bos, mari selesaikan masalah ini terlebih dahulu, kita akan mengirim orang ini ke neraka dan kemudian bersenang-senang bersama." Di dalam kamar yang penuh dengan tawa vulgar dan wanita lembut yang gemetar ketakutan. Pria itu mengeluarkan senjatanya dan mengulurkan tangan nya membuka paksa mulut Elena untuk bermain bersama senjatanya. Tapi, sedetik berikutnya, sebuah tangan putih kecil muncul dan memukul tangan pria itu. Pria yang berbaju putih tadi yang pinsan tepat di sebelah Elena, tiba-tiba saja terbangun dan langsung memukul tangan nakal yang menyentuh Elena. Namun, sedetik kemudian dia pingsan lagi. "Kamu!" Saat pria berbaju coklat ingin berbicara lebih lanjut lagi, dengan sigap Elena mengangkat tangannya dan menancapkan sebuah besi kecil runcing yang di genggamnya ke kepala pria berbaju coklat dengan tepat sasaran. Pria itu perlahan menutup matanya dan pingsan ke tanah. "Bos!" Semua pria berbaju hitam terkejut saat melihat bos mereka jatuh membentur lantai papan kamar itu dengan darah yang mengalir dari kepalanya. Saat mereka ingin melangkah maju, tiba-tiba saja pria berbaju putih yang tadinya jatuh ke tanah dan terbaring tidak sadarkan diri membuka matanya, mengambil dengan cepat senjata dari bos mereka yang telah jatuh menyentuh papan kamar dan menembaki mereka dengan penuh amarah. Satu demi satu pria berbaju hitam itu mulai berjatuhan menyentuh lantai. Elena duduk terdiam, mematung seperti layaknya sebuah karya seni sembari menunduk. Kepalanya masih berusaha mencerna apa yang barusan terjadi. Apa itu nyata atau hanya khayalannya saja? Elena mengangkat kepalanya mencoba melihat pria itu, dan pria itu juga menatapnya. Pria itu memiliki sepasang mata yang sangat dalam dan sipit, setajam elang, dan ada dua jurang kecil di dasarnya. Siapapun yang melihatnya akan tersedot ke dalam lubang hitam ini. "Tuan, kami terlambat. Maafkan kami" Sekumpulan orang berbaju hitam dengan memakai kacamata hitam muncul dan menyapa pria itu. Menunduk memberi salam seperti seorang pengawal. Seperti nya pria itu orang yang sangat penting. Mereka segera membersihkan kekacauan yang terjadi. Salah satu orang di antara para pengawal itu menyerahkan sebuah handuk bersih kepada pria berbaju putih itu. Pria itu menyeka tangannya dengan anggun, dan kemudian berjalan berbalik kembali ke kamar Elena. Pria itu menjepit rahang kecil Elena dengan jari-jari nya yang panjang layaknya jari-jari wanita. Bedanya jari-jari pria itu kasar. Pria itu menyipitkan mata sipitnya dan menatap Elena sambil bercanda, suaranya yang dalam dan berserak-serak namun seksi akan membuat wanita yang mendengarnya pasti akan terpana. "Menurutmu apa yang akan aku lakukan pada mu?" Bibir Elena di usap perlahan oleh jari telunjuk pria itu, dan Elena terpaksa menatapnya. Pria itu tinggi dan mempunyai badan yang tegap, tampan, dan memiliki aura sekuat dan sedingin malam. Padahal beberapa detik yang lalu pria itu baru saja menyeka tangannya, tetapi Elena masih bisa mencium bau amis yang ada di tangannya. Terlihat dari ekspresi pria itu dia adalah orang yang menakutkan dan juga memiliki temperamen dingin dan kasar. Pria ini cukup berbahaya. Plaakk! Tepis Elena langsung menjatuhkan tangan pria itu, dan berkata dengan wajah serius, "Apa yang akan kau lakukan? Jangan berpikir yang aneh-aneh, aku akan menikah dengan pria dari Keluarga Verlond!" Pria itu mengangkat alis nya saat Elena mengucap Keluarga Verlond! “Apa kau berasal dari ibukota? Maka kau harus tahu bahwa aku putri dari keluarga Prodigit akan menikah dengan putra dari keluarga Verlond. Pernikahan ini membuat seluruh kota menjadi sensasional. Aku adalah calon pengantin. Jika sesuatu terjadi padaku, apakah kau pikir kau akan selamat? Biarkan aku pergi, aku tidak melihat apa-apa, aku tidak akan mengatakan apa-apa! ” Putri dari keluarga prodigit akan menikah dengan keluarga Verlond yang merupakan keluarga paling berpengaruh di ibukota. Ini adalah gosip terbesar di Ibukota. Elena bertaruh bahwa pria ini tidak ingin mendapat masalah setelah dia menyebut nama Keluarga Verlond. Pria itu menatapnya dengan penuh minat. Hari ini, dia diculik dan hampir dibunuh oleh lawan bisnis. Itu adalah kecelakaan ketika dia bertemu gadis ini Untuk seorang gadis yang baru berusia 18 tahun, meskipun wajahnya pucat dan pakaiannya berantakan, matanya yang jernih dan cerdas bersinar terang. Pria itu melihat ke belakang dan mengalihkan pandangannya. Segera melepaskan tangan nya dari pipi wanita itu. Pada saat bersamaan, pria itu menatapnya dengan lemah, dan perlahan mendekatkan wajahnya ke arah wajah wanita itu sambil berkata. "Kita akan segera bertemu." … Hotel The Peninsula teba, Pernikahan keluarga diadakan di sini. Di ruang pengantin, Aslin Kasley memandang saudara tirinya, Elena, “Elena, ibumu meninggal pada saat kau berusia sembilan tahun, dan kemudian kamu mendorong kakek menuruni tangga dengan tanganmu sendiri. Setelah ayah mengetahui kau yang mendorong kakek, kau dikirim ke pedesaan oleh ayah mu. Jadi, Jika kau kembali mengacaukan kegembiraan kali ini, kau akan tinggal di pedesaan selama sisa hidup mu. Bersikaplah baik. Kamu bukan lagi putri dari keluarga Prodigit, tapi seekor anj*ng dari keluarga Prodigit! ” Elena duduk di depan meja rias dan berkata dengan ringan, "Siapa anj*ng itu?" Aslin mencibir, "Kamu adalah anj*ngnya!" Elena mengerutkan bibirnya. "Aku tahu, jadi kamu tidak perlu memanggilku seperti itu lagi." Aslin baru tahu bahwa dia telah diledek oleh Elena. Dia menatap mata cerah Elena. Elena kembali mengenakan kerudung sepanjang waktu, tetapi hanya memperlihatkan sepasang mata, sepasang mata itu membuat orang berpikir bahwa dia adalah wanita yang cantik. Aslin begitu cemburu sehingga dia tidak sabar untuk menggali bola mata Elena. Bagaimana mungkin tanah parit dari pedesaan ini menjadi wanita cantik? “Elena, hari ini adalah kesempatan yang baik, hari yang besar bagimu”. Saat itu, Sasha Muren dan suaminya Marko Verlond datang untuk memberi salam pada Elena. Description: Siapa dia? Elena dengan cepat menekuk lututnya dan mendorong ke arah bawah kakinya Tetapi pria itu bahkan lebih cepat lagi, dia dengan mudah menghindari serangannya, menekuk lututnya dan menekannya secara langsung sehingga dia tidak bisa bergerak. Tindakannya cepat, akurat, dan kejam. "Kamu siapa? Lepaskan aku!" Elena berjuang keras, dan kedua tubuh itu saling bergesekan dipisahkan oleh kain tipis. Segera suara yang dalam dan serak-serak terdengar di telinganya, "Pengantin wanita sangat bersemangat, apakah kau menginginkan sesuatu yang istimewa malam ini?"
Title: WORLD OF TANK REVOLUTION Category: Fan Fiction Text: Awal "Ah... gila! banyak bener pemain gak masuk akal skillnya." Merebahkan badan sembari menatap layar monitor, terlihat samar dari kejauhan tuliskan 'DEFEAD' muncul. "Duh... kalau saja tadi cukup tank untuk serangan dadakan mungkin menang." Henzi bangkit menghampiri meja melanjutkan game lawas bernama world of tank, game mmo arcade bertemakan tank perang dunia kedua yang masih bertahan meski sudah 14 tahun semenjak kemunculanya pada tahun 2009. ~~paket terdengar suara samar dari luar rumah hingga membuat Henzi pergi untuk melihat. "Owalah ada paket toh." Membawa masuk sebuah box besar loreng dengan cetak timbul bertuliskan 'world of tank revolution' sungguh box yang cukup keren untuk dipajang. Henzi membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah alat mirip seperti helm namun hanya memiliki bagian belakang dan 2 buah lengkungan melingkar. "Hem... jadi ini yang namanya full dive Vr." Karena ia masih awam dengan teknologi baru itu, tidak ada salahnya membaca buku panduan terlebih dahulu. "Simpel juga, ah bagaimana yah rasanya bermain game seperti di dalam mimpi?" Seteleh dirasakan paham ia berbaring di tempat tidur sebari menutup mata. "Dive started" Operasi 1: Jendral Ford 'Dive started' Saat mata terpejam, dalam kegelapan tiba-tiba muncul ledakan yang menyilaukan, perlahan cahaya memudar dan mendapati aku telah berdiri di sebuah hutan lebat dengan banyak tenda hijau. Banyak orang berlalu lalang dengan tag nama di atas kepala mereka menandakan kalau mereka seorang player. [Prajurit bersiap!!!] Suara keras terdengar dari belakang ketika seorang pria besar dengan luka di wajah menatap ku dengan tajam. "Eh siapa yah ?"tanyaku padanya. [Jaga sopan santunmu prajurit sebutkan namamu!!!!] Lalu di hadapanku muncul sebuah hologram berbentuk keyboard dan kotak bertuliskan 'Your name', aku baru tersadar teryata pria itu adalah 'Non Playable Character' karakter yang muncul dalam game untuk menghidupkan suasana dalam game. Karena bingung akhirnya aku menggunakan nama lama 'Shedow_revan', lagi pula jika ada temanku mereka akan mudah menemukanku. [Baik Shedow revan dari mana asalmu] Awalnya aku bingung dan ingin menjawab Indonesia namun muncul menu dengan 5 bendera, Uni Soviet, Amerika, Jepang, Prancis, Inggris. Untung ada tanda tanya di pojok menu itu yang memberitahukan kalau kita harus memilih salah satu negara produsen tank awal kita. "Stanlinium kayanya lebih menjanjikan." Seketika diriku dan NPC itu bertelepon ke sebuah gudang besar dengan banyak berderet tank buatan Uni Soviet dengan bandrol harga yang berbeda-beda. ohyah hampir lupa NPC garang tadi sebenernya memiliki nama yaitu jendral Ford. [Baiklah prajurit kamu akan diberikan credit sebanyak 1 juta namun karna perintah khusus dari atas untukmu akan diberikan bonus 1 juta lagi silahkan pilih tankmu] "Teryata close Beta tes sepertiku mendapatkan credit tambahan, Hem apakah ada keterangan lagi?" [Baiklah prajurit sepertinya kamu kebingungan, ya benar jika kamu sendirian tidak mungkin kan ke medan tempur tanpa rekan ? ya kamu dapat menyewa seorang kru dengan 200 ribu credit untuk 10 bulan atau kamu bisa mencari prajurit lain di barak yang ingin bergabung denganmu] "Apa maksudnya aku tidak bisa sendiri?" [Baiklah prajurit wot R telah berkembang menjadi mmorpg jadi kamu bisa mencari uang dengan mencari berbagai sumber daya dari hewan, tanaman dan juga mineral lain untuk dijual atau kamu bisa membeli credit seharga 10 dolar untuk 100 ribu credit. Namun jangan khawatir atasan akan membayarmu jika kamu menukarkan 1juta credit menjadi 1 dolar tampaknya adil bukan ?] "Ah sial NPC berengsek aku tanya apa malah menerangkan hal lain meski berguna juga sih, tapi yang ku tanyakan apakah aku tidak bisa sendiri menggunakan tank ?" [Baiklah prajurit karna ini survival first person kamu harus memilih untuk menjadi komander, pengemudi, loader, driver, operator radio. Jumlah tiap Kru dalam tank tidaklah sama dan juga skill kru sewaan tidak se bebas prajurit. Adapun kelebihan lain dari merekrut prajurit kamu dapat menggabungkan credit kalian untuk membuka tank yang lebih baik. Jadi semoga kamu bisa menemukan rekanmu] "Akhirnya nyambung juga, begitu toh. Aduh aku harus mencari teman supaya mempermudah hidup. Baiklah jendral Ford bisakah kembalikanku ke tempat semula?" Aku dan jendral Ford kembali berteleport ke tempat semula hingga sebuah tas muncul di hadapanku. [Bekal dan hal lain kamu bisa simpan di atas tank atau di dalam tas, saat kamu mengenakan tas ia akan hilang supaya tidak merusak penampilan namun jika kamu ingin membukanya tinggal sebutkan 'bag' jika dirasa keren kamupun bisa melepas centang di kotak hiden dalam menu pojok inventory untuk menampilkan tasmu. Baiklah itu saja prajurit selamat berjuang!] Jendral Ford pergi begitu saja. Teryata yang tadi itu tutorial awal pendaftar meski kurang jelas tapi sisa informasi harus di cari oleh pemain itu sendiri adapun isi bag lumayan juga ada makanan, obat dan buku panduan, tidak buruk untuk permulaan. "Baiklah saat aku mencari teman Hem... seperti aku harus ke barak deh, semoga aku gak dapan rekan aneh-aneh deh." Description: Sebuah gebrakan baru dalam dunia games dimana World Of Tanks memperkenalkan Sistem unik yang memberikan pengalaman pertarungan sesungguhnya..... Revan pun tertantang untuk mencoba dengan judul baru World of Tanks Revolution...... Dengan konsol khusus "fulldive" yang mulai dikembangan untuk membuat game ini lebih Realistis lagi......
Title: Who Is The Hunger Category: Misteri Text: Prolog Hitam, tanpa cahaya, di bawah sinar bulan yang takut-takut, tergelantung sebuah tubuh tak lagi bernyawa. Gedung sekolah tampak mengabaikan, dahan pohon membisu, seolah semua saksi mati malam ini. Sebuah tag nama bercetak nama 'Vera' melekat rapi pada seragam milik sekujur tubuh kaku yang sudah ditinggalkan jiwanya. *** 1. Yera 1 bulan kemudian.. Hujan itu turun dari langit (makhluk apapun tahu kalo hujan turun dari langit), air yang turun sangat bersih, sampai mereka terhempas ke tanah, jadilah air comberan. Beda lagi ceritanya kalau mereka meluncurnya ke laut, danau, sungai, atau got penuh sampah di gang terpojok perumahan. Aku nggak pandai main kata, langsung intinya aja. Pokoknya kita manusia melecus dari perut emak terus nangis oek-oek, masih suci, dan melalui cara hidup yang kita pilih, membawa kita jadi orang baik atau jahat, orang benar atau kotor. Dan sesadar-sadarnya, semua itu ada dibawah kendali kita sendiri. Yera, Yera Pertama, Itu namaku. Pertama ya, bukan Permata. Bukannya aku sewot atau apa, masalahnya guru-guru disini (walaupun sudah sebulan aku nangkring di sekolah ini) suka salah baca nama keramatku itu kalau lagi ngabsen. "Yer, rambut lo nggak santai amat dah, iketnya yang bener dong! Lo nggak tahu si Beka itu kutuan dan ngomong-ngomong kutunya lagi nyari rumah baru! Nah, rambut model gini nih yang cocok!" "Eh, silku, lo gak tau tren banget! Ini nih namanya messy bun!" "Apaan tu silku?" "Siluman kutu!" Perkenalkan, dia Herga Graham. Temanku (baru sebulan sih). Perawakannya tinggi, sekitar 180 cm kira-kira. Badannya padat, kulitnya yang agak putih menambah kesan anak manja. Ditambah lagi rambutnya yang rapi dan mukanya yang bersih, pokoknya Herga tampangnya lumayan deh, tapi suka kentut sembarangan. Pernah sekali pelajaran sempat dihentikan selama 5 menit lantaran ada suara meledak yang dahsyat, waktu itu aku yang tahu langsung berteriak, "Herga kentuuuuuttt!!" Sambil lari keluar. Tahu-tahu sekelas pada ikutin keluar. Jadilah jelek imej Herga. Kalau kalian penasaran, aku ini adalah seorang cewek yang nggak cewek-cewek banget. Bukan waria. Si rambut hitam panjang tengah punggung yang hobi taekwondo. Nggak tahu, rasanya enak aja nendang-nendang orang gitu. Padahal kakiku nggak termasuk panjang dari hitungan tinggi tubuhku yang hanya 158 cm. Aku pindah ke Jakarta sebulan yang lalu karena Papa tercinta dipindah tugaskan dari kantor cabang ke kantor pusat oleh perusahaan tempat ia mengais rejeki untuk anak satu-satunya yang ngangenin ini, dan buat Mama tersayang yang super genit. Jadilah aku harus pindah ke sekolah yang lebih elit dari sekolah lamaku di Bogor. Sebenarnya ada alasan lain juga. Tapi nanti aja ceritanya. "Yer-yer!!" "Apaan, May?" "Ke toilet yok!!" "Ngapain?" "Nyongkel jamban!-- Membuang yang perlu dibuang lah!" "Boleh bawa Herga nggak? Mau dicemplungin ke jamban." Herga yang sedari tadi hanya bengong mendadak tambah melas. "Emang muat?" Ku pikir-pikir lagi. Ya enggak sih, kecuali jambannya sebesar yang punya raksasa. Tapi pikir-pikir singkatku harus berakhir kala kudapati wajah Maya sudah memucat. Nampaknya dia sangat butuh membuang apapun itu sekarang juga. "Yok lah, May." Maya Genasha. Cantik 'kan namanya? Secantik orangnya. Maya berambut cokelat tua sebahu dan berkacamata, agak tinggi dariku sekitar 5 cm. Tubuhnya langsing, kulitnya putih, matanya agak sipit. Mirip-mirip wanita Jepang. Tapi sayang Maya masih jomblo, analisisku belum menemukan sebabnya karena umur pertemanan kami sama halnya seperti umur pertemanan antara aku dan Herga. Yang aku suka dari Maya adalah cara ngebacotnya yang blak-blakan, aku jadi punya teman seru-seruan. "Yer, lo pasti penasaran 'kan, kenapa bangku paling depan pojok kanan selalu kosong dan nggak ada yang berani dudukin? Bahkan Klen yang duduk disebelahnya aja nggak berani dudukin itu bangku." Memang benar dikelasku ada bangku kosong, tapi aku nggak pernah penasaran masalahnya. Hmm-- Dari wajah Maya yang serius mau nggak mau membuatku jadi penasaran juga. Gimana enggak? Lihatlah mata sipit cewek itu yang sampai membulat kurang lebih layaknya jengkol. Ajaib. "Pemiliknya bakal marah besar kalau tahu ada yang ngutak-ngutik bangkunya!" "Hidung lo nggak usah kembang-kempis gitu, santaiii--- aduhh!!" Cewek itu mencubit lenganku. Rasanya sakit, tapi lebih sakit cubitan mama. Tapi kayaknya lebih sakit lagi Maya yang terlihat setengah tersinggung tapi tetap melanjutkan ceritanya. "Hari ini dia balik!" "Siapa?" "Pemilik kursi itu!!" Sumpah. Muka Maya kalau lagi serius lucu banget, kayak lagi ngelawak. Hidungnya terutama, suka bikin salah fokus, heran kadang. "Pemilik kursi itu ya pemilik sekolah ini! Gimana sih, May?" "Ih, makanya dengerin dulu! Nyablak melulu!-- Sky!--" "Langit?" "Bibir lo bisa dipindah ke dubur nggak?" Muka May sudah masam, agak memerah juga. Sepertinya sudah terjadi pendidihan air di ubun-ubun kepalanya. Aku mengulum bibir, mengisyaratkan aku akan diam. "Gue mau kasi tau lo, lo harus hati-hati sama setan satu ini! Dia kalo lagi diem jadi serem, pas lagi nyablak lebih serem! Pokoknya lo jangan bikin dia kesel apalagi dendam sama lo, lo bisa-bisa berakhir tragis!" "Tragis seperti?" Oke. Aku akui aku makin tertarik, kalau memang yang namanya Sky sehebat itu. Akibat separah apa yang di dapat seseorang yang sudah membuatnya kesal bahkan dendam? "Vera, dia sampai bunuh diri karena di-bully satu sekolahan!" "Budir?!" Kali ini aku agak kaget, namun aku juga tidak bisa mengenyampingkan kenyataan bahwa wajah May menyiratkan kengerian yang luar biasa. Ia mengangguk-angguk dengan bibir yang geram. Berarti cerita itu bukan main-main. "Tadi lo bilang, kapan dia balik?" "Hari ini!!" Maya berteriak, seolah-olah bagian ini adalah sebuah klimaks dari sinetron yang sebentar lagi bersambung dengan latar musik yang berderang-derang ditambah guntur yang nggak jelas dari mana, dan ditutup dengan closeup ke lubang hidungnya itu. "Lo jadi masuk toilet apa enggak?" Tanyaku. Karena kami masih berdiri di depan pintu toilet cewek dari tadi. "Oh iya, gue lupa. Bentar ya, Yer." Dengan wajah linglung Maya masuk dalam toilet. Sementara aku memilih menunggu di luar. Aku nggak menyangka sekolah ini juga ada cerita bunuh diri segala, malah penyebabnya adalah orang yang akan satu kelas dengan kami. Tapi jujur aku menjadi penasaran akan kisah budir Vera. Apa yang telah dilakukan Vera?Hal apa yang bisa menyebabkan seorang Sky mendendam? Sekejam apasih Sky itu? Keturunan setan mana dia? Coba kita lihat nanti, setanan mana? Aku atau dia. "Lo kenapa senyum-senyum tengik gitu?" Kemunculan May yang mendadak membuatku terhentak. Padahal baru enak-enak membayangkan adegan menendang-nendang cowok yang namanya Sky itu (belum tahu mukanya sebenarnya). Nggak tahu sih, dari cerita May aku jadi agak sensitif, ada panggilan dalam hati yang menjerit menyuruhku menjadi pahlawan, rasanya. "Yok, kelas!" *** 2. Sky Manusia berkehendak bebas. Aku yang menentukan mau menjadi manusia seperti apa dalam kehidupanku. Maka itu, dikekang bukanlah hal yang membuatku bakalan tenang saja. Aku Sky, anak bungsu dari pemilik Sekolah Harapan Utama. Aku ganteng, bukan sombong, memang kenyataan. Tanya saja pada setiap siswi disekolahku. Selain itu aku juga terkenal kejam. Tapi bukan berarti aku tidak punya teman. "Ajeb-ajeb, oke nggak?!" Faril Destawan, tukang ngajak dugem yang tak tahu malu, buktinya dia teriak-teriak di kantin yang memang belum seberapa ramai. Tetapi tetap saja beberapa pasang mata dari seluruh penjuru menembakan lasernya pada perkumpulan kami. Mentang-mentang kami baru buat KTP, Faril tak mau membatasi kebebasannya sebagai anak yang baru 17 tahun. Bahkan ketahuan dugem satu sekolahan pun sepertinya tidak akan jadi masalah bagi Faril. Aku setuju sekali sebenarnya, untuk apa jaga imej. "Oke." Jawabku. "Yang lain?" Tanya Faril lagi. "Oukehh!!" Seru kedua temanku yang lain berbarengan. Perkumpulanku diisi dengan 4 cowok (termasuk aku) yang tampangnya pada di atas rata-rata, alias tertampan di sekolah ini. Pastinya aku nomor satu. Faril yang kedua, gosip-gosip orang, dia mirip keturunan arab. Tak heran sudah berapa kali dia gonta ganti cewek. Dia paling playboy, aku tak mengerti apa kelebihannya selain wajah bagus dan tajir. Cewek-cewek memang buta, padahal sikap Faril paling minus diantara kami semua. Ben yang ketiga, boleh ku akui, Ben bisa jadi solusi yang baik bagi cewek yang suka cowok ganteng, tajir, tapi kelakuan tidak minus, plus pintar. Bisa dikatakan Ben adalah sosok yang nyaris sempurna, kalau saja dia lebih memperhatikan lagi penampilannya. Entah kenapa, aku sering melihat diriku dalam diri Ben. Sikap kami hampir serupa. Bahkan aku dan Ben baru saja balik dari lomba olimpiade Sains di Negara Singapura, walaupun cuma menyabet juara 3 ya sudah lumayan buat prestasi internasional. Yang terakhir, Vano Kenandar. Temanku yang satu ini, lebih bisa dibilang manis dari pada ganteng. Senyumnya paling mencolok dan menawan, tapi aku tidak merasa begitu sama sekali. Dia kapten tim basket. Iya, dia paling suka olahraga, karena dia tak berbakat di bidang akademik. Kadang aku ingin menjadi seseorang yang seperti itu dibanding menjadi seseorang yang berkutat dengan buku-buku tebal. Tapi anugrah di otak tidak mungkin juga aku sia-siakan, lagi pula tak susah menjadi juara kelas, juga tak perlu keringatan dan mati-matian menyiksa jantung (bukan berarti aku nggak suka olahraga). "Eh, Ky. Ngomong-ngomong, gue denger ada anak baru di kelas lo." Celetuk Vano tiba-tiba. "Anak baru?" "Iya, 'kan sekolah nggak nerima anak pindahan. Nyogok pasti tuh. Tajir, men!" Selain playboy, Faril hobi berspekulasi, ke arah menuduh sebenarnya. "Cewek apa cowok?" "Nggak juga. Kalau dia bisa lewatin tes yang kabarnya tingkat kesulitannya tinggi itu, ada pengecualian dari sekolah." Jawaban orang pintar emang berbeda. Sudah jelas itu jawaban dari Ben. Selain pintar, Ben juga rendah hati. Bedanya aku dengan dia, aku tinggi hati. "Supaya apa kayak gitu?" Ckck. Otak cetek emang susah nangkap. "Gini ya, Van. Sekolah nggak mau ambil risiko nerima sembarang murid pindahan. Kenapa?-- Bisa aja murid pindahan itu bermasalah dan parahnya lagi otaknya lebih cetek dari elo, nah nanti 'kan sekolah gue ini juga yang namanya bakal tercemar. Tes dengan soal tingkat dewa itu sebagai jaminan, bahwa yang mau pindah itu pintar, jadi sekolah nggak perlu khawatir dengan persentase kelulusan nantinya." "Oohhh--" Vano mengangguk-angguk, tapi wajahnya ahh-- "Ngerti nggak?" Aku memastikan. "Bodo ah, nggak ngerti gue!" "Belum dijawab, cewek apa cowok?!" Protes Faril setengah membentak, ekspresi wajahnya seperti orang yang siap melakukan tindak kejahatan. "Santai ae itu mulut comberan–" sergahku sambil menamplok mulut Faril. "Gue udah lihat wujudnya pasti cewek, tapi kelakuannya kayaknya minus deh tuh anak. Baru satu bulan masuk aja dia udah berani sembur guru piket." Celetuk Vano cuek, lalu berubah serius, mata dengan bulu lentik itu membesar, "Tapi cantiknya boleh juga. Kalau disamain sama lagu tuh, kayak lagunya 1D yang What Makes You Beautiful." "Maksudnya?" "Lo tuh Ky, makanya jangan buku membosankan itu-itu aja yang lo baca! Dengerin lagu juga, suram bener hidup!" Dari garis-garis di kening Vano, kayaknya anak ini mulai kesal. Tapi aku juga tak mengerti apa maksudnya. Faril melanjutkan, "Oh, jadi dia tipe cewek cantik yang nggak mengumbar-ngumbar kecantikannya kayak si Fena?" Soal beginian memang cepat nangkap si Faril. Otak anak pintar seperti aku dan Ben saja kalah. Omong-omong tentang Fena, dia adalah cewek yang katanya meratui tangga teratas cewek cantik disekolah ini. Tapi bagiku, cantiknya palsu semua, dan dibuat-buat. Bukannya aku suka koleksi makeup, orang awam sekalipun bisa melihat polesan cewek itu yang berlebihannya minta ampun. Terlalu heboh untuk takaran anak sekolahan (bukannya dia tidak pandai makeup, hanya saja sangat menor). "Hmm–" Dehaman Ben membuat kami semua mencurahkan seluruh perhatian padanya. Diantara kami semua, Ben memang paling terhormat dari tingkah lakunya, dan paling serius. Makanya kami semua langsung seperti ini dikala dia berdeham, menandakan dia ingin ngomong sesuatu yang serius. "Ngomong-ngomong anak baru, itu dia 'kan? Yang di depan toilet?" "Itu yang lo bilang cantik? Lo lihatnya pake apa? Pake lobang jarum?" Sergah Faril sambil menjitak Vano yang langsung menjitak dia balik. Dia nampaknya gerah di pagi hari yang masih sejuk ini. Padahal sekolah ini sejuk selalu, karena pohonnya rindang dan banyak, serta tukang kebunnya juga banyak dan terlatih. Aku yakin dia gerah karena cewek itu tidak sesuai ekspektasinya. "Lumayan tahu, kalo dipoles dikit aja, gue jamin posisi Fena bakal tergantikan!" Ucap Vano menggebu-gebu, entah dia sungguh-sungguh atau tidak. Tapi matanya berapi-api, seolah-olah ingin menjatuhkan Fena saat ini juga. "Menurut lo gimana, Ky?" Ada angin apa pula anak ini tiba-tiba menanyaiku, akan aku coba memikirkan jawaban yang pas secepat mungkin. "Em–B aja sih menurut gue. Malah rambutnya lebay." "Kenapa ya gue dianugrahi teman-teman yang nggak pernah sehati, sejiwa, sependapat?" Keluh Vano frustasi. Sepertinya tidak dibuat-buat. Cewek baru itu nampak cuek dengan penampilannya, itu kesan pertamaku. Dia pendek, mendekati kata mungil (bagi cowok tinggi sepertiku). Dari seragam yang dikeluarkan tanpa rompi rajut kebanggaan sekolah ini, sudah ku tebak anak ini pasti kelakuannya juga tidak baik-baik. Ya, nantilah aku lihat lagi, kami 'kan berada di kelas yang sama. *** 3. Yera Sehabis dari toilet, aku dan May langsung menuju kelas. Terburu-buru? Ya enggak lah! Biarin aja guru itu masuk duluan, kalau nanti dia nyumprat, baru aku sumpratin balik. Kalau kalian bertanya-tanya, siapa sih aku, seorang Yera Pertama? Aku bukan anak pemilik yayasan, anak kepala sekolah, anak direktur, atau pun anak tukang sapu di sekolah ini. Aku cuma anak biasa yang pemberani. Nggak ada istimewa-istimewanya selain aku lumayan pintar. Berbarengan dengan aku masuk melalui pintu kelas, saat itu juga aku mendapati kursi kosong yang katanya nggak boleh di ganggu itu masih seperti keadaan awal aku pertama kali melihatnya, masih kosong melompong. Mana si Sky? Bikin penasaran juga. Dalam bayanganku sih, dia anaknya tampang-tampang badung dengan bekas luka di wajah dan badan besar yang menakutkan. Mungkin aku agak lebay juga. "Heh, kecoak! Awas!" Tau-tau ada suara nge-bass menggeloyor dari belakangku. Aku otomatis melangkah menghindar, yang sekarang sangat aku sesali karena aku mirip anak cupu yang takut dengan bentakan murahan seperti itu. Tubuh menjulang tinggi (kurang lebih Herga) mendahuluiku berjalan memasuki kelas. Enak aja tuh anak melenggang begitu saja. "Siapa yang lo bilang kecoak?!"Heh? Aku dicuekin. Sialan. "Ups, pantes nggak nyahut, gue lupa simpanse nggak bisa ngomong." Biar berang si simpanse. Kurasakan May mencolek-colek lenganku, sangat tidak tepat waktu sama sekali dia, main gelitikan di saat-saat menuju klimaks seperti ini. Aku menepis jarinya dengan tampang garang. Padahal aku mengharapkan sekali May melakukan improvisasi caci maki terhadap cowok sialan itu. "Klen?" Cowok cupu yang nggak berani nyentuh kursi kosong itu seperti tersengat listrik, mungkin sekarang dia merutuk dalam hati kenapa dia tiba-tiba dipanggil begitu dingin oleh cowok sialan. "I–i–iya?" Dia memang gagap atau gara-gara cowok sialan yang tampaknya mengintimidasi dimatanya itu? "Lo manusia 'kan?" "Hah? I–i–iya!" "Semua disini manusia, kecuali satu simpanse yang ngira kita semua satu jenis sama dia!" Si cowok sialan berbalik, melayangkan tatapan tajam dari mata sipitnya. Cowok sialan itu lumayan modis rupanya, potongan rambut shaggy pendeknya yang aku yakin hasil dari tangan professional itu lumayan keren. Dia kurang-lebih mirip Taeyang-Big Bang. Tapi kutegaskan dulu, aku tidak terpesona sama sekali. Cowok ganteng banyak, yang beriktikad baik langka. Banyak dari mereka semua itu sialan, sok ganteng, dan suka nyortir cewek seenaknya. Yang cantik sekalipun selalu ada kekurangan di mata mereka. "Oh ya?" Aku melangkah ke depan selangkah demi selangkah, menyisakan sedikit jarak diantara kami. Dia terkekeh meremehkan, "Gue tau gue ini diatas cowok rata-rata pada umumnya, tapi lo nggak usah modus gitu." Lalu dia mendorong bahuku dengan jari telunjuknya, yang tentu saja langsung membuatku naik tensi. Tapi bukan Yera namanya kalau langsung kalap dan ngamuk-ngamuk emosional kayak cewek yang lagi dapet. Air mataku juga cukup berharga, meskipun kalah berharga dari air mata mutiara putri duyung. Karena itu, hanya untuk orang layak dengan harga yang sangat tinggi saja air mataku bisa mengalir. Sekarang malahan aku tidak bisa menangis, herannya aku merasa ada sesuatu yang bangkit kembali di dalam diriku. Yang sebulan ini sudah kukira mati terkubur di dalam sana. Aku melangkah lagi, "Kenapa lo bisa ngomong sama simpanse, wahai siluman manusia?" Rahang cowok itu sedikit mengeras, sepertinya kemenangan sedang berlari ke dalam genggaman tanganku. Tetapi dia bisa menahannya, terlihat dari seringainya yang kini terlihat agak menyeramkan. Pasti dia sudah menemukan satu balasan untuk kalimatku di balik otaknya yang nampaknya lumayan cemerlang dari cara kami berdebat tadi. Suasana semakin seru sampai akhirnya Bu Hani muncul dan mengetukan penggaris kayu panjang di meja paling dekat pintu kelas. Nggak jadi deh si sialan itu menjawab omonganku, padahal aku penasaran dan ingin tahu seberapa bengisnya dia. Tentunya aku tahu, dia pasti Sky yang disebut-sebut May itu. Karena belum ada muka itu semenjak sebulan belakangan sampai tadi pagi. Dan benar saja, dia langsung duduk di kursi kosongnya dengan sangat sombong. Dagunya selalu dinaikan ke atas seolah dialah penguasa dunia. Cara duduknya santai, seolah dia sedang duduk di singgasana kerajaannya. Tidak benci atau apa, aku malah jadi prihatin. "Gue udah bilang jangan cari masalah sama dia!" Bisik May setengah menjerit seraya kami berlaih ke tempat duduk masing-masing. Karena Bu Hani sudah mulai menilik kami satu-persatu, aku jadi tidak bisa membalas peringatan May. Aku ingin sekali membela diri bahwa si Sky itulah yang memulai pertama! Dia yang panggil aku kecoak duluan. Dia yang cari masalah, padahal aku adem-adem aja awalnya. Aku nggak bisa jadi pihak yang salah, dong. "Apaan lo lihat-lihat?!" Kupelototi Herga yang memperhatikan wajahku dengan malas. Kalau begini pengin sekali aku minta dipindah dudukan dengan orang lain. Cowok ini, ekspresi mukanya selalu seperti minta di hajar habisnya. Dia menggeleng. "Rambut lo nggak bisa dibagusin lagi ya?" Aku menghentaknya dengan kepalan tanganku. Lalu dia berkedip, "Ampun budhee–" "Budhe-budhe kepala lo peyang!" "Gue acungin jempol buat action lo barusan, tapi sebagai teman yang baik gue mau kasi saran sama lo, Yer." Kini lagak Herga sok-sok serius, membuatku tambah malas. Aku berusaha memberinya ekspresi wajah melas yang selalu ia tunjukan. Nggak tahu berhasil apa enggak, yang penting aku coba dulu. Tapi nampaknya Herga nggak peduli karena dia melanjutkan kata-katanya. "Sky itu untouchable–" "Setan gitu maksud lo?" "Tuh mulut emang bener-bener ya–maksud gue, dia itu gaboleh di ganggu walaupun dia yang ganggu lo duluan. Karena, prinsipnya, lo nyenggol dia, satu sekolah rame-rame bacok elo!" Penutup yang histeris, Herga mirip artis sinetron yang lagi melotot-melotot nggak jelas karena putrinya tertukar. "Lo juga bacok gue?" Dia menggeleng. "Tapi gue nggak bisa bantu lo kalo ada apa-apa, gue nggak punya kuasa apa-apa disini. Maaf, Yer." "Kuasa? Emang ada siswa yang bisa berkuasa atas sekolah? Bukannya kita ini setara, punya hak dan kewajiban yang sama? Apaan dah, Ga?" "Permata!!" Ini lagi satu, Bu Hani yang menyergap ditengah-tengah obrolan asikku dengan Herga. Udah gitu, salah sebut nama lagi. "Pertama, Bu. Panggil saya Yera aja, Bu." "Oh iya, Yera. Tolong ambilkan buku absen ya, Ibu lupa." "Oke siap, Bu!" Begini-begini aku anaknya sopan terhadap orang yang lebih tua, lho. Kecuali orang itu main kurang ajar duluan, ya pasti aku semprot juga. Seperti pada guru piket tempo hari, masa lima menit sebelum bel udah dibilang telat. 'Kan salah. Nah, gara-gara itu keberadaanku jadi terekspos ke segala penjuru sekolah. "Shanan, bagaimana olimpiadenya? Hebat lho kamu, bisa mengalahkan sekian banyak dari seluruh ASEAN!" Seru Bu Hani kemudian sebelum aku keluar sepenuhnya dari kelas. Siapa itu Shanan? Belum pernah terdengar nama seperti itu. Aku agak penasaran, jadi aku berjongkok, pura-pura membenarkan tali sepatu. "Sky–" Sahut suara yang ku kenali sebagai cowok sialan. "Oh, iya maaf, Sky." Respon Bu Hani gelagapan. Aku hampir saja ingin melompat dan menjotos pipi si Sky-Sky ini. Sok sekali namanya. Shanan sama Sky beda jauh! Lagi pula, langit itu baik, pelindung manusia di kerak bumi, tempat pemrosesan hujan, juga karya Tuhan yang sangat indah. Nama langit jadi tercemar gara-gara cowok kurang ajar sialan ini. Malas melanjutkan kegiatan menguping yang tak ada faedah ini, aku buru-buru keluar kelas. Kasihan. Bu Hani termasuk seorang guru yang masih muda, berumur 28 tahun dan masih belum menikah. Secara tampang, jelas cantik. Dibalik sikap feminimnya, ia tegas dan galak kalau kami cari masalah. Namun, ia baik. Karena ia sangat adil. Setidaknya itu kesanku padanya selama sebulan ini. Tapi, gara-gara Sky, aku jadi sedikit memberi nilai minus padanya. Apa sikap semua guru kepada Sky selalu sepeti Bu Hani tadi? *** 4. Sky Baru saja emosiku dipancing cewek aneh berambut seperti kecoak, sekarang Bu Hani (Guru Fisika) mulai memancing lagi. Aku benci Bu Hani, dia adalah penggoda yang sangat handal. Bukannya aku tidak tahu hubungannya dengan Papa, aku hanya tak ingin membuat sedih Mamaku yang sudah berkorban mati-matian demi mempertahankan keutuhan keluarga kami. Jadi kutatap saja guru tak tahu diri itu setiap kali kami bertemu. Namun, seperti serigala berbulu domba, dia tetap tersenyum kepadaku seperti kepada siswa yang lainnya. Dia seharusnya berlutut! Dia tak berhak bersikap seperti itu kepadaku, karena dia tidak menggoda papa-papa dari siswa yang lainnya. Bisa kurasakan seluruh kelas menatapku dengan tuduhan-tuduhan yang intinya pasti karena sikapku yang kurang ajar ini. Tapi mereka tahu apa? "Oh, iya maaf, Sky." Jawabnya dengan suara bergetar yang dia sembunyikan dibalik wajah canggungnya. Bersamaan dengan itu, si cewek rambut kecoak (yang kebetulan adalah siswi baru yang diungkit-ungkit Vano) lolos keluar dari ruang kelas. "Bagus kalau bisa minta maaf." Akhirnya, Bu Hani hanya bisa mengangguk dan melanjutkan dengan membahas soal-soal fisika yang dikeluhkan beberapa siswa pintar di kelas ini. Kalau aku sih nggak mengeluh, mengerjakan soal fisika adalah yang termudah dibanding semua mata pelajaran yang ada. Ngomong-ngomong si rambut kecoak yang kudengar namanya Yera tadi. Nggak ada cantik-cantiknya sedikit pun! Wajahnya kecil namun agak bulat, pipinya tembem bersemu merah (mungkin karena sedang emosi), sisa-sisa anak rambutnya menjuntai halus di sisi-sisi wajahnya. Pokoknya rambutnya berantakan sekali. Semuanya biasa saja. Sepertinya dia cewek yang lumayan cerdas mengingat perang kata tadi, aku hampir saja kalap lantaran kata-kata yang dikeluarkan dari bibir kecilnya. Rasa remeh yang dia pancarkan dari kedua matanya yang lebar dan nampaknya polos itu mampu membuat aku merasa sangat marah. Aku paham, bahwa dia adalah siswi baru, dia pasti tidak tahu siapa aku sebenarnya. Maka kali ini aku maafkan. Seperti biasanya, setelah belajar selama dua sesi pelajaran, para siswa-siswi akan menuju kantin. Ada yang memang benar-benar lapar dan bertujuan untuk mengisi perut mereka yang sudah ber-drumband ria, ada juga yang sekedar jajan untuk memuaskan nafsu nyemil. Aku adalah yang kedua. "Es kelapa enak, nih." Seru Vano seperti seorang ibu hamil yang ngidam es kelapa. "Boleh juga." Heran, aku juga jadi pengin es kelapa. "Gue denger gosip, lo berantem sama si murid baru ya?" Tanya Faril tiba-tiba. "Gitu doang dibilang berantem?" Tak heran kalau yang satu ini, gosip mengalir sangat cair dan lancar, sampai anak tercupu dan terkudet sekalipun bakal tahu. Apalagi orangnya aku, penguasa sekolah ini. Ganteng pula. Subjek yang cocok sekali untuk jadi bahan omongan yang seru. "Kok bisa?" Kali ini Ben yang biasanya normal, ikut-ikutan penasaran. "Gue suruh dia minggir, eh marah–" "Nggak mungkin lo nyuruh doang." Dasar Faril, wajahnya tampak menyelidik, seperti aku baru saja melakukan kejahatan besar merampok sebuah bank. "Dia pasti nyebut-nyebut yang ada di kebun binatang." Ini lagi, Vano ikut-ikutan dengan ekspresi sok tahu. "Kalau gue tebak, lo pasti nyebut dia kecoak." Semua perhatian lalu terarah pada Ben, aku tak menyangka tebakannya benar begitu. Lalu ia melanjutkan, "Kalian pasti sempat bilang-bilang simpanse, dan lo berakhir jadi siluman manusia." Tunjuknya padaku seperti seorang detektif yang menganalisa sebuah kasus. "Gitu sih, gosipnya." Aku kira dia benar-benar sekedar menebak. Bodoh sekali sampai ternganga mendengarkan penjelasan Ben yang terputus-putus itu, sekarang anak itu malah terkikik geli. Kami bertiga otomatis menonjok bagian mana saja yang bisa ditonjok. Tandanya, kami bertiga sama-sama menyangka Ben bisa nebak dengan benar. Ben mengaduh kesakitan, yang kutahu pukulan kami tidak terlalu sakit, itu pasti hanya refleks saja. "Lo dapet gosip dari mana? Padahal kita sekelas, tapi gue nggak dapat selengkap itu." Faril mengangguk, mengiyakan pertanyaan plus pernyataan Vano. "Di toilet cowok." Kali ini aku yang tersedak udara. Nggak bisa membayangkan seorang Ben ngumpet di dalam salah satu kamar toilet dan mendengarkan gosip dari siswa lain yang sedang ngucur diluar. "Najis lo kuncrut! Diem-diem ternyata!" Maki Faril. Aku pun geli membayangkan wajah kepo Ben yang pastinya akan menempelkan kupingnya di pintu toilet karena suara gosipnya terlalu kecil atau karena tertutup suara air mancur yang sangat deras. "Siapa namanya, Ky?" Tanya Vano tiba-tiba. "Yera." Jawabku. Vano mengangguk-angguk mengerti. Aku diam-diam agak terganggu dengan sikapnya yang lumayan miring, maksudku lumayan bermaksud lain. Tadi pagi, Vano duluan yang menyinggung soal anak baru dikelasku (yang aku nggak tahu-menahu soal itu). Dia juga bilang-bilang kalau rambut kecoak itu cantik dibanding Fena. Sekarang dia nanya-nanya soal nama. Mencurigakan. Sepertinya Vano ada ketertarikan pada anak cewek aneh itu. "Nanti jadi?" Tanya Ben serius, kali ini topik sudah berganti. Dan semuanya menyadari hal yang jadi penghibur hidup kami semasa remaja yang agak memuakan ini. Aku mengangguk. "Klien dan target, udah oke?" Vano mengacungkan jari jempolnya. Aku lupa bilang, cowok manis yang sedang menampilkan ekspresi bangga ini tidak hanya jago basket, tapi juga ahli dengan komputer dan jaringan. Kami membutuhkan jaringan rahasia yang bukan main kerahasiaannya untuk urusan ini, dan Vano sangat bisa diandalkan. "Kostum dan peralatan, oke Ril?" Tanyaku lagi. "Berrrress!!" Oke, itu artinya kami tinggal beraksi. Disaat hari sekolah sudah selesai, dan matahari sudah tenggelam, disanalah hasratku yang sesungguhnya bernaung (meskipun nggak menutup kemungkinan kami beraksi di saat matahari masih bersinar ceria, hanya saja jarang). *** 5. Yera Bel pertanda pulang sekolah baru saja berbunyi, aku langsung ngegas ke tempat ini, dimana sebuah pohon besar tumbuh di tengah-tengah tanah luas berumput hijau terawat. Aku menemukan tempat ini setelah iseng-iseng tur sendirian ke belakang gedung sekolah. Setelah browsing dengan kata kunci 'nama pohon besar berbentuk payung', aku menemukan nama 'Trembesi' atau 'Pohon Hujan' yang berasal dari Amerika. Katanya, pohon ini bisa menciptakan tetes air sendiri karena punya kemampuan berpuluh kali lipat menyerap air. Aku awalnya sangat terpesona dengan jejeran pohon mahoni yang menghiasi bagian depan sekolah, namun bagian belakang sekolah ini lebih mengesankan lagi. "Ngapain lo disini, kecoak?" Rupanya Herga nguntitin aku. Memang dasar manusia malas kurang kerjaan. "Meneliti." "Nggak usah sok pinter." "Iya deh, on." "Apaan tuh on?" Lagi-lagi wajah melas yang sangat bodoh itu. "O'on!" Herga menjitak kepalaku ringan, jadi nggak sakit, serasa belaian. Lalu dia menatapku serius, "Lo nggak merasa horor atau apa gitu?" "Iya, horor. Sampai gue merinding, 'kan hantunya elo!" Tunjukku padanya sambil menoyor pipinya. Dia nampak mau memprotes, tapi keburu ada kejadian diluar dugaan. "Eh–lari, Ga!" Cuaca tahun-tahun terakhir ini memang sering nggak menentu, seperti sekarang, yang tadi pagi cerahnya luar biasa dan sekarang rintik-rintik turun dengan luar binasa. Herga entah lari kemana setelah aku berhasil berteduh di tepi lapangan. Mungkin dia sudah pulang. Air jatuh ke genangan air jernih di tengah-tengah lapangan sekolah, menciptakan cipratan-cipratan kecil yang sedikit-sedikit tambah membasahi ujung sepatuku. "Ups–sori–" Kini, tak lagi ujung sepatuku yang basah, tubuhku juga ikut-ikutan kena air hujan. Cepat-cepat aku kembali melangkah ke tepi lapangan yang beratap. Sialan. "Heh, lo! Jangan kabur dong, kalau lo nggak bisa kena hujan dan sampai dorong gue karena keegoisan lo, minimal minta maafnya tulus dong! Gimana, sih?!" Dia yang semula berjalan santai lalu berbalik. Sialan (untuk yang kedua kalinya). Dari banyaknya orang di sekolah ini, yang selalu nyari masalah harus si Sky melulu ya? Bukannya takut, bosan tahu. "Diem lo, kecoak." "Lo bilang apa?" Kuhampiri dia dengan cepat sampai aku tak bisa mendengar derap langkahku sendiri. "Sialan!" Makiku, lalu kulanjutkan dengan menarik kedua kerah bajunya dan melemparkan dia ke luar lindungan genting. Berat sekali, tanganku sampai bergetar seperti tersengat listrik. Setidaknya agak berhasil karena badan cowok itu sedikit basah. Dia kini sudah berlindung di genting yang sama denganku lagi, dihadapanku malah. Dengan tatapan bengis yang nampaknya ia ingin sekali membunuhku saat ini juga. Ku tatap dia, berusaha lebih bengis. Tak ku sangka-sangka, cowok sialan itu berani menarik kerah bajuku. Omegad! Nggak gentleman sekali. Tapi justru bagus, aku juga malas diperlakukan sebagai cewek yang lemah dan tak berdaya. "Lo mau apa? Lempar gue?–Lempar! Lempar setinggi-tingginya!" "Wewewew–ada apa, nih?" Seorang cowok jangkung agak kurus tiba-tiba datang menengahi aku dan Sky. Aku belum penah melihat cowok dengan rambut sasak mohawk ini di sekolah. Disusul pula dengan satu cowok jangkung dengan tubuh atletis berambut jabrik pendek, sempat-sempatnya dia senyum-senyum manis padaku. "Hai, Yera?" Satu lagi, seorang cowok bertubuh yang juga tinggi, bertubuh padat yang nampak kuat, dengan rambut yang tidak modis-modis banget, tapi nampak dari senyumnya dia adalah orang yang meyakinkan (mungkin cerdas). "Hai." Balasku dingin, tanpa senyum sedikit pun. Aku kembali menatap Sky, berusaha meluncurkan api-api kekesalan yang tak terbendung lagi. Sky diam, nampak sangat murka. Walaupun dia hanya menarik kerah bajuku, aku masih bisa merasakan getaran-getaran ledakan emosi pada kepalan-kepalan kuat tangannya. Entah kenapa, aku merasa cowok ini sanggug-sanggup saja melayangkan tinjunya pada wajahku. "Udahlah, Sky. Lagi hujan, lepasin aja karena langit lagi bermurah hati sama bumi." Celetuk cowok yang muncul ketiga, sementara ku juluki dia si cerdas. Si cerdas itu merangkul Sky. "Awas, Ben–lo berdua juga awas." Perintah Sky pada ketiga orang yang aku simpulkan adalah teman sekongkownya lantaran mereka berani masuk ke medan perang yang sedang aku dan Sky buat. "Sky–" Panggil salah satu yang berambut sasak mohawk, si narsis (karena dia tampak modis daripada yang lainnya). Sky tak mengindahkannya. Lalu aku diseretnya ke tengah lapangan. Sakit? Enggak. Malu? Iya. Karena semua mata di tepi lapangan sekolah ini sedang menujukan pandangannya padaku dan Sky. Sial. Kalau tahu begini, aku lebih memilih hujan-hujanan dari tadi. Basah-basahan di bawah pohon belakang sekolah itu lebih menyenangkan dibanding harus mandi hujan dengan cowok sialan nggak punya hati ini. Malah suasana hujan seperti ini, dimana kebayakan terjadi adegan romantis. Tapi nggak menutup kemungkinan adegan pembunuhan bersimbah darah juga, karena si pembunuh nggak mau repot-repot bersihin darah jadi dia pilih waktu lagi hujan lebat-lebatnya. "Lo kenapa? Hah?" Tanya Sky beringas. Dia seperti serigala yang siap menerkam gadis bertudung merah. Padahal baru tadi aku lihat dia senyum-senyum, ketawa-ketiwi bareng teman-temannya di kantin. Dia manusia normal. Tapi kenapa sikapnya sangat berbeda ketika berhadapan denganku? Dan ketika berhadapan dengan Bu Hani? Oke, kalau dengan Bu Hani, ada kemungkinan mereka pernah ada masalah di tahun lalu sebelum aku datang kesini, yang mungkin juga belum ditemukan titik penyelesaiannya hingga sekarang. Namun, denganku? Aku kenapa? Apa sikapku yang salah? Setahuku dia yang suka mencari masalah duluan. "Gimana bisa ada orang yang sangat bodoh, kalimat 'Heh, kecoak! Awas!' bisa aja di ganti dengan 'permisi.' Kata 'Ups–sori–' juga nggak akan keluar kalau aja lo bilang 'permisi'. Lo tanya gue kenapa? Gue nggak tahan lihat manusia o'on!" Oke. Aku sedikit sesak. Ditambah lagi rintik hujan yang mulai membuat perih mataku dan juga membuat menggigil tubuhku. Sialnya lagi si Sky ini semakin menarik aku ke atas hingga aku berjinjit. Dengan sok kuat, dengan bibirnya yang tampak memucat, ia tersenyum miring. Giginya berbaris rapi dan bersih (sebenarnya nggak terlalu jelas kelihatan karena kabur kena hujan). "Lo mau apa?" Aku terkekeh, dengan tujuan menyulut emosinya lebih lagi. "Gue? Gue mau hujan berhenti, wahai langit." *** 6. Sky (1) Gila! Satu kata yang pas buat cewek aneh ini. Aku sudah mencoba segarang mungkin agar dia ciut. Tapi kayaknya cewek ini tak gentar sedikit pun. Mungkin sekarang kalian bertanya-tanya, kenapa aku sok-sok marah. Aku punya alasan tersendiri. Aku adalah Shanan Kendra Yudira, anak dari pemilik tunggal Yudira Group, yang sudah merajai seluruh bidang usaha yang ada. Tak ada yang boleh berani terhadapku, karena sama saja mereka bermain dengan api, yang akhirnya akan membakar habis diri mereka sendiri. Awalnya aku lebih kejam dari ini, tetapi tidak sampai sebuah insiden mengerikan terjadi sebulan yang lalu. Aku mulai belajar, diriku dan hidupku memang sepenuhnya ada digenggamanku, tapi kehidupan luar selain diriku selalu berada diluar kendali. Ditengah kebingunganku yang berusaha untuk menakut-nakuti Yera (berharap dia akan takut dan menyerah), cewek ini malah meminta hal yang tak masuk akal. Sambil berusaha menunjukan kekehan jahatnya, Yera menjawab, "Gue? Gue mau hujan berhenti, wahai langit." Lagit? Seandainya aku bisa sebebas itu. Sky hanyalah gabungan dari ketiga inisial namaku, yang bagusnya, setelah digabung malah jadi keren. Jadi kuputuskan memakai nama itu. "Minta sama Tuhan, dan gue bukan Tuhan." Kuhempaskan kerah bajunya sekeras mungkin tapi berusaha tidak membuatnya terjatuh. Setidaknya aku harus menjadi cowok jantan yang tidak melukai cewek. Kasihan. Bibir merah muda yang mengkilap natural itu kini jadi abu-abu kupek. Melihat cewek itu geram sekian rupa, aku simpulkan aku sudah berhasil akting marah-marah, walaupun deru napasku ini adalah asli. Mungkin kalian heran, semua konflik yang terjadi memang karena aku yang mencari masalah duluan. Aku adalah Sky, si pencari masalah yang harus selalu menang. Itulah moto hidupku. Dan kini, aku tertarik, untuk mencari masalah dengan Yera. Cewek yang sepertinya sangat sensitif soal keadilan. Padahal aku sudah memberikan dia keadilan, aku bersikap jahat, sama seperti terhadap yang lainnya (kecuali teman sekongkowku). Hujan masih membasahi sebagian kecil daerah bumi ketika aku sudah sampai dirumah. Pikiranku masih saja mengingat-ingat bagaimana tatapan Yera yang ku tinggal sendirian di lapangan, ia anehnya seperti mengasihaniku. Seperti tatapan Vera, setahun yang lalu, saat aku meninggalkannya di tengah hiruk-pikuk kantin sekolah. Aku masih ingat percakapan terakhir kami. "Cowok belagu kayak elo, mestinya sadar! Nggak ada yang bisa dibanggain dari diri lo selain tes DNA yang hasilnya bakal 99.9% cocok sama pemilik sekolah ini! Papa lo emang hebat, tapi lo cuma parasit!" "Gue harap setelah ini lo bakal sadar, lalu menyesal, gue nggak akan maafin lo sebelum lo gantung diri di pohon belakang sekolah!" Aku tak menyangka dia benar-benar melakukannya. Aku tahu, Vera bukan orang yang akan menyerah begitu saja. Karena itu aku menyukainya (dia tak tahu). Dan saat itu aku memang sedang pada titik mendidih (mungkin dia juga), hingga kami berantem di depan umum. Tetapi aku yakin seorang keparat tersembunyi membuat seolah dia yang menggantung dirinya sendiri. Kematian yang divonis sebagai bunuh diri itu masih menjadi misteri bagiku. Seberapa gigih aku mencari bukti, hasilnya nihil. Tak ada daftar tersangka. Semuanya buram. Vera tak meninggalkan tanda apa-apa, seperti surat bunuh diri atau semacamnya. Tapi ia sempat mengirimiku sebuah jar dengan isi lipatan-lipatan origami burung warna warni dalamnya, yang kini bertengger di meja belajarku, sebagai hiasan. Kuraih ponselku yang bergetar. "Siap?-- Udah di lokasi?-- Gue otw." Aku melesat keluar rumah, dengan pakaian serba hitam. Aku mengendarai motor ninjaku dengan kecepatan tinggi, menuju tempat rahasia kami. "Jadi--rencananya gini, gue sama Sky bakal masuk ke dalam buat ngelindungin klien. Ril, lo bertugas amankan semua orang buat keluar bar kalau misalnya klien kita udah terdeteksi sama target alias rencana B. Vano, lo nunggu di mobil." Jelas Ben, si perancang strategi. Sebenarnya itu tugas kami berdua, tapi aku sedang malas, lebih baik aku serahkan kepada Ben saja. "Gue harap rencana B aja, sih. Lagi pengen ngejotos orang." "Kenapa? Karena nggak kesampaian ngejotos Yera?" Tanya Faril, aku curiga temanku ini benar-benar berkepala kosong alias nggak ada otak. "Lo yang dijotos aja gimana?" "Nggak deh Sky, makasih." "Oke, ambil aja kembaliannya." Yang dari tadi tak bersuara adalah Vano, karena dia sedang berada dalam mobil, sedang memastikan semua benda pelacak dan cctv bar yang dia hack. "Beres, woi! Let's go!" Lalu kami semua masuk ke dalam mobil hitam model sedan yang sengaja kami buat tak mencolok, deru mesinnya pun sangat halus. Agar tak mencuri perhatian. "Lo yang nyetir?" Tanyaku pada Vano. "Oh iya, lupa." Wajahnya nampak benar-benar linglung, dia kelewat serius dengan laptopnya. Vano memang bertugas menyetir, tapi nanti, saat kami selesai melancarkan aksi. Kalau sekarang, aku dulu. Selain kejam, aku juga pengemudi handal. "Anjirr! Target sampai lebih cepat dari dugaan!" Seru Vano ditengah kegiatan kebut-kebutanku. "Anjirr!" Sambung Faril. "Percepat, Ky!" Perintah Ben yang terdengar seperti membentak, sepertinya ia harus membuat strategi baru, alias rencana C. Disaat kondisi sedang kacau begini, tiba-tiba muncul mobil sport merah menyala sok kaya disampingku. Kayaknya si pengemudi kurang piknik lantaran dari gaya nyetirnya seperti ngajak aku balapan. "Siapa sih si mobil kampret ini?" Faril tampaknya sadar akan kenarsisan tak beralasan si mobil merah. "Hajar, Ky. Belum tau dia lagi berhadapan sama siapa!" Vano memprovokasi. Untung jalan yang kami lalui bukan jalur dua arah, melainkan jalan tol, jadi agak luas untuk main salip-salipan. Si mobil merah terus berada di sisi mobil kami, sementara tak jauh lagi ada sebuah truk besar mengemudi dengan kecepatan rendah, karena muatannya yang berat. Pilihanku ada dua, membiarkan si mobil merah duluan baru aku pindah kebelakangnya. Atau melaju sekencang-kencangnya melewati mobil merah itu lalu menyalip didepannya menghindari truk besar. Aku menginjak pedal gas sedalam-dalamnya, kalian tahu pilihanku 'kan? "Anjir! Si kampret merah ikut laju jugak!" Teriak Faril. Aku melirik ke sisi kiri, mobil sok kaya itu memang sengaja ingin mensejajarkan posisinya dengan kami. Aku memperlambat laju mobil, si mobil sok kaya juga! Siapa sih dia?! Aku harus ambil risiko kalau begini, sebelum klien kami benar-benar tertangkap oleh target. "Lakukan aja ada yang ada di benak lo, Ky. Gue berserah sama Tuhan--" Suara Ben sok pasrah. Aku memperlambat laju mobil sampai penunjuk kecepatan menunjuk angka 20km/jam. Agak lama kubiarkan seperti itu. Dan pas dengan dugaanku, si mobil merah sok kaya itu melambat juga. "Emang aneh tuh mobil kampret, ngapain coba mau samping-sampingan terus? Dia kata mau nikahan gitu ini mobil sama mobil merah cengengnya?!" Dari nada suaranya, nampaknya Faril mulai tambah kesal. "Ril, lo bawa telor mentah?" "Bawalah! 'Kan tadi lo yang bantu masukin ke mobil!" "Iya ya? Keluarin satu." "Buat apa, Ben?! Emak gue titip beli sepuluh, kalau gue bawa pulang sembilan bisa-bisa punya gue yang direbus!!" "Kalo sampe itu terjadi, gue rela punya gue direbus juga! Cepat keluarin!" Lalu tiba-tiba terdengar suara kaca mobil dibuka. Tak lama, kaca mobil ditutup. "Laju, Ky!!" Perintah Ben. Aku pun memacu kecepatan tinggi secara mendadak, sehingga kami merasakan sensasi kapal terbang. Akhirnya mobil sok kaya tadi terlambat mengejar, hingga mobil kami dapat menyalibnya. Kami bebas!! "Lo apain sampai mobilnya bisa buyar?" Tanyaku penasaran. Vano yang daritadi melirik ke bangku belakang akhirnya menjawab geli, "Dilempar pakek telor!!" "Serius lo? Ada telor? Telor siapa?" "Telor emak Faril." Jawab Ben. "Hah? Emak Faril ada telor?" Kali ini Vano nyeletuk dengan tak tahu malu, yang langsung dijawab beringas oleh Faril. "Lu kata gue bisa 'jadi' kalau telor ketemu telor?!!" Kami ketawa ngakak sebentar sebelum aku membelok di persimpangan dan memarkirkan mobil di deretan gedung-gedung gagal bangun, yang belum selesai sudah nggak laku (dan terpaksa dihentikan proses pembangunannya karena dana minus). Bar di balik gedung reyot inilah yang menjadi highlight dari daerah yang sudah menyerupai kuburan ini, yang menjadi tempat target operasi kami. Aku keluar mobil, sementara Vano langsung meloncat dari kursi penumpang ke kursi pengemudi lalu mengutak-atik sesuatu dilaptopnya. "Goodluck my broossss!!" Vano menyemangati dengan wajah menjijikan yang minim akan deskripsi, aku tak bisa memikirkan kata lain selain 'bebek'. Pasukanku (Ben dan Faril) pun keluar dari mobil dengan gaya sengak sok hebat, padahal masih sepi, belum ada siapa-siapa. Aku pun memasang tampang senakal mungkin layaknya anak yang suka dugem, begitu juga dengan Ben. Namun beda dengan Faril yang sesudah masuk bar malah celingukan dan melempar kedipan mata pada cewek mana saja. Anak itu lalu mengambil posisi di dekat pintu masuk seraya sok-sokan menggoda cewek yang nggak cantik-cantik banget. Aku dan Ben terus berjalan, harus aku akui kemampuan mempertahankan muka datar ala Ben memang sangat profesional. Dia tidak terlihat seperti orang keren, melainkan orang polos yang tidak tahu apa-apa. Profesional tapi salah tujuan, mungkin seperti itu. "Ky–" "Apa?" "Nggak ada." Masih dengan muka datarnya, tak merasa bersalah sama sekali karena membuatku kesal dengan tingkah bodohnya barusan. Namun tak ku gubris, karena sibuk memindai, untuk menemukan klien kami secepatnya. "Agen Handsome, target berkumpul di samping kiri panggung. Over." *** 7. Sky (2) "Agen Handsome. Target berkumpul di samping kiri panggung. Over." Benar saja. Di depan panggung, tepatnya sebelah kiri, berkumpul kurang lebih 15 cowok berbagai bentuk yang nggak keren dan berwajah brutal. "Agen Red. Target terdeteksi. Bagaimana dengan klien? Over." Sekedar info saja, agen handsome tadi adalah julukan si Faril, dia yang ngotot minta dipanggil handsome. Dan sebagai sohib-sohibnya yang baik hati, kami mengiyakan (walaupun terpaksa). "Agen Genius. Klien terpindai. Lokasi di sudut kanan panggung, tertutup bapak-bapak kribo berbadan gembul. Over." Dia Ben. Sekali lagi, teman-temanku memang tingkat kepedeanya luar biasa mematikan. Agen Genius adalah pilihan Ben sendiri. "Agen Six Pack. Rencana A, laksanakan! Over." Aku mencari ke sudut kanan panggung dan menemukan seorang cewek berambut ombre pelangi dengan baju yang eh-- agak mengekspos bagian tubuh secara berlebihan. Dia nampak takut-takut dan mencuri-curi pandang kepada kelompok yang tak keren tadi. "Agen Red. Mencoba mengambil langkah mendekati klien. Over." "Agen Genius. Melindungi pergerakan Agen Red. Over." Ini adalah kegiatan rutin kami selama 6 bulan terakhir, mengasyikan, dan menguji adrenalin. Sebagai seorang cowok yang kepingin jantan sejati, kami sepakat untuk melatih kemampuan otak (logika) dan kemampuan bela diri (otot). Caranya, lewat jasa agen bodyguard rahasia ini. "Agen Red. Sejauh tiga langkah dari target. Over!" "Agen Genius. Target mulai bergerak ke arah Agen Red. Over." Kelompok kurang keren tadi entah kenapa tiba-tiba mulai celingak-celinguk kearahku. Nampaknya mereka baru menyadari keberadaan si klien yang sudah nampak bergetar itu. Aku tak tahu aku sedang terlibat dalam konflik apa, yang jelas job kami hanyalah mengantarkan klien dengan selamat ke tempat yang sudah dijanjikan. Ternyata tidak semudah yang kami bayangkan, jumlah target terlalu banyak. Salah satu cowok berbadan tinggi besar dengan rambut mohawk lebay yang di cat hijau mendadak mempercepat langkahnya kesini. "Agen Red. Rencana B, laksanakan! Over!" "Agen Handsome. Anjirr! Over!" Seketika langsung terjadi keributan, sepertinya Ben memilih memecahkan gelas kaca ditengah-tengah bar. Mungkin dia terinspirasi puisi yang dibacakan Young Dian Sastro yang legendaris itu. (Pecahkan saja gelasnya biar ramai). Saat itu juga aku langsung memberi aba-aba pada cewek rambut pelangi itu, nampaknya ia sudah mengerti. Maka ia menyambut uluran tanganku. "Agen Red. Mendapatkan klien. Over." "Agen Handsome. Mempersiapkan jalan keluar. Over!" Aku sudah siap menggiring cewek itu ke pintu. Bagus juga si Ben, sekarang dia lagi bertekak dengan seorang cowok tampang kepala tiga, dan itu mengalihkan perhatian kelompok nggak keren. Kukira semua berjalan lancar, sebelum terdengar kalimat ini di headset. "Woii, rencana C!! Lewat pintu belakang, di belakang panggung! Gue nggak mau tahu, satu menit lagi gue udah nunggu di pintu belakang!" "Kenapa lu, Van?" Tanyaku. Suara anak itu seperti anak yang tak siap di sunat saja, histeris, dan mengesalkan. "10 motor, stiker api merah-merah pedang baru aja masuk tempat parkir! Mending cepat keluar sebelum mereka tawuran terus kalian jadi terjebak!!" "Agen Handsome. Anjiirr!! Over!" Aku melirik Ben. Dia juga melirikku. Saat itu juga Faril melintas menuju belakang panggung dengan sangat tidak mencolok. Aku pun menyusulnya perlahan dengan menyembunyikan si cewek pelangi di bawah rangkulanku. Aku sudah lega karena kami sudah berada di dekat panggung, hingga seseorang mencekat kami. "Heh, bocah! Stop lu!" Cowok bermuka tengik, dengan tanktop dan celana gembrong, si hijau mohawk menyunggingkan tongkat baseball padaku. Lalu ia mencoba melihat wajah klien, namun si klien semakin mengumpet ke bawah ketiakku. Untung saja, selain ganteng, aku wangi juga. "Ngapain lu bang? Jangan gituin cewek gue dong!" Aktingku. "Jangan banyak bacot lo kalo masih mau hidup!" Bentaknya garang. Membuat aku penasaran seberapa hebat si hijau ini. "Gue udah sampe di pintu, mana kalian elah?!" Si hijau mencoba melakukan aksi mau melihat wajah klien. Aku pun sok-sok kalap. Lalu memindahkan klien kebelakang punggungku. "Lo jangan gitu dong, Bang! Emang cewek cuma satu di dunia? Oh iya, Bang sebaiknya ngaca dulu, kalau gue dapat cewek cantik ya wajar. Nah, Abang? Mpok Omas aja mungkin masih selevel diatasnya. Sadar dong! Jangan ganggu cewek gue gini!" "Cari mati lo ya?! Hah?!" Dalam waktu bersamaan si hijau melayangkan tongkat baseballnya. Otomatis aku menghindar sambil menyeret klien juga, lalu ku lempar klien ke pelukan Faril yang langsung melecos melarikan diri. Sementara Ben tetap setia menemaniku, entah sejak kapan anak itu sudah meloncat kesampingku, good boy. "Apa rencana lo?" Tanyanya sambil menendang perut si hijau hingga terpelanting ke belakang. Gerombolan si hijau nampaknya baru sadar, karena mereka kini menunjuk-nunjuk kami dengan wajah berang. Mereka tak berani langsung maju, melainkan masih memanggil-manggil yang lain agar berkumpul, mau main keroyokan, memalukan. "Lari!!" Teriak Ben lalu melecos pergi. Aku melemparkan dua buah kursi pada gerombolan yang mulai mendekat lalu ikut melecos. Diluar, kudapati Ben berdiri dengan tatapan kosong. Aku menganggapnya orang linglung sampai aku menemukan jalan kosong melompong. Tak ada mobil kami, sepertinya Vano sudah melaju membawa klien dan Faril. "Gue dikejar gemo api-api sialan, bangsat!" Teriak Vano di headset. Aku dan Ben saling tatap, sementara gerombolan si hijau mulai berteriak-teriak mengesalkan. Kami mengambil posisi di jalan luas kosong antara gedung reyot dan belakang bar, bersiap menghabisi apa saja yang mengganggu aksi kami. "Agen Handsome. Laporan kondisi! Sekarang juga! Over!" "Agen Red. Lawan gempil, dipastikan lumpuh dalam dua menit. Over!" Empat orang bertubuh tinggi tak terlalu kekar berhasil menyusul kami, aku tebak mereka diloloskan gerombolan untuk menangkap klien. Hanya mereka, karena sisanya pasti sedang tawuran dengan geng motor Fire Sword di dalam bar maupun di parkiran. Dan tak menutup kemungkinan tawuran tersebut bisa sampai disini, berarti kami harus melarikan diri secepat kilat. Empat orang itu membelah menjadi dua kelompok, dua orang menyerang Ben, dan sisanya menyerangku. Orang pertama melayangkan tinjunya, aku menunduk lalu berputar ke bawah untuk menyapu kakinya dengan kaki panjangku hingga dia terjatuh. Namun, baru saja berdiri, tanganku sudah di tangkap dan di kunci dipunggung oleh si penyerang kedua. Tapi beruntung aku berada dekat dengan tembok, jadi aku meloncat ke tembok tersebut untuk memanfaatkannya sebagai jungkat-jungkin yang akhirnya memantulkanku hingga si penyerang kehilangan keseimbangan. Kelengahannya cepat-cepat aku manfaatkan untuk membebaskan diri, lalu ku pungut pasir dalam dua genggam tanganku. Aku tembakan pada wajah penyerang pertama yang baru saja ingin mulai menyerang, kini ia mengerang kesakitan. Lalu aku tembakan juga pada wajah penyerang kedua hingga ia memaki-maki. "Pantek lo, anjengg!!" "Agen Six Pack. Agen Genius masih hidup? Over." "Agen Genius. Bless the Lord, masih bersahaja--agh!! Mampus lo!" Ben menendang lawan keduanya, yang pertama sedang berusaha berdiri. "Ben! Cepetan!" Sedetik kemudian aku melihat Ben juga melempar pasir ke wajah lawan-lawannya. Rupanya dia melihat teknik jeniusku tadi dan langsung mempraktekannya. Bukan main curang, hanya saja kami mengejar waktu. Kalau tak ada batas waktu, aku mau-mau saja meladeni kedua lawanku secara benar-benar jantan sampai besok pagi. Baru ingin merasa lega, gerombolan lebih banyak (kira-kira 10 orang) keluar lagi dari pintu bar. Sedikit ku sesalkan kenapa aku tidak mengunci pintu itu dahulu. Aku dan Ben bertemu tatap lagi. Lalu ia berbisik, "Agen Genius. Mencar, bazengg!! Over!" "Agen Anjir-- eh salah! Ditunggu di simpang depan. Over!" *** 8. Yera Aku harus berakhir disini, di sebuah daerah asing yang sepi dan horor, bersama mobil merahku yang bau amis. Sialan. Karena rasa penasaranku dengan penampakan seorang cowok menyebalkan yang aneh ala-ala agen itu, aku tertutun hingga kesini. Mungkin sekarang saatnya aku harus mengutuk dan mengusir rasa ingin tahu yang langsung kena batunya ini. Bukan salahku juga, Sky muncul di depan gerbang akademi balet tepat saat aku siap latihan dan ingin pulang ke rumah. Saat itu terpintaslah sebuah rancangan balas dendam yang nggak sadis-sadis banget. Awalnya aku ingin mengerjainya saja, tapi siapa sangka ia pergi dengan ketiga teman sekongkownya. Jadilah aku putuskan mengusili dengan mengganggu jalur mobil hitam butut yang mereka kendarai. Namun sial, diluar dugaan, mereka yang gayanya seperti agen kelas atas, yang seharusnya mengangkat pistol, malah memilih menembakan telur dibanding peluru keren. Jadilah nasib mobilku harus berparfum aroma telur mentah begini. Kini aku harus berputar-putar mencari jalan keluar dari tumpukan ruko-ruko rongsokan tak siap bangun ini. Lalu mendadak ponselku berdering. "Halo?" "Hola, my bae, Yera Pertama! Gue bosen!" Dia Frilly, teman satu akademiku di Bogor. Kami harus berpisah lantaran aku pindah ke Jakarta, dialah yang lumayan membuat aku sedih hingga sempat ngotot nggak pengin ikut pindah kota waktu itu. Awalnya aku mengarang alasan bahwa aku nggak mungkin berhenti dari kegiatan baletku, secara aku sudah ikut kelas balet sejak balita. Tapi mamaku yang selain genit juga pintar, ia sudah mempersiapkan semuanya dengan memindahkan aku ke cabang akademi yang juga aku baru tahu ada di Jakarta. Karena itu, habislah alasanku. "Kenapa bosen?–eh, gue juga deng! Malah anak balet disini mukanya songong-songong semua, ketebalan make up tapi keahlian tipis!" "Hmm–gue juga pengen pindah Jakarta jadinya. Pasti seru gosipin mereka nih!" "Ngegosip mulu–eh, ntar, Pil! Nanti malam gue telpon lagi yah! Muahh!" Pemandangan tak sedap dari kaca spion menyambut ketika aku memutar setir masuk ke belokan sebelah kiri gang, si cowok nyebelin sialan itu sedang berlari tunggang langgang sambil melepas sesuatu dari telinganya. Dia dikejar segerombolan beranggota sekitar lima orang. Aku memang benci cowok itu, tapi aku nggak bisa mengesampingkan hati nurani yang terus-terusan meneriakan sensasi pri-kehewanan. Kalau aku tinggalin dia yang kayaknya udah setengah mampus itu, aku jadi orang jahat dong. Sebagai manusia yang diciptakan lebih berakal dari hewan manapun, aku membuka kaca mobil lalu menoleh ke belakang. "WOI SIALAN!! CEPETAN MASUK!!" Wajah cowok itu nampak sedikit lega, entah perasaanku saja atau nggak, kecepatan Sky bertambah, hingga dalam waktu singkat saja dia bisa masuk ke dalam mobil di kursi belakang. "JALAN!" Perintahnya sambil ngos-ngoshan nggak tahu diri. "Pindah ke depan! Enak aja, lo kira gue supir?!" "Lo mau jalan atau mobil sok kaya ini bakal hancur dipukulin pake tongkat baseball?!" Mau tak mau aku menginjak pedal gas sedalam mungkin, aku juga ingin secepatnya ngibrit dari sini. Sudahlah malam, minim akan cahaya pula, gelap gulitalah seperti aura Sky. "Oh, jadi elo orang sinting yang suka mejengin mobil orang di jalan tol?" "Sori? Lo ngomong apa? Gue nggak mengerti perkara gembel." "Oh ya? Tapi noda telor ini dilempar salah satu gembel yang lo mejengin." Sialan. Aku menyesali keputusan memungut Sky, kenapa pula nggak terpikir bahwa cowok ini akan mengenali mobilku? Aku juga nggak sempat membersihkan noda telur yang menempel mesra di kaca mobil kursi belakang. "Oh, mereka benaran gembel? Pantes, gaya-gaya kayak orang bawa pistol tapi pelurunya telor." Sky tak membalasku lagi. Nampaknya dia memilih untuk menyudahi kemarahan yang selalu dia paksakan, seolah-olah dia harus marah dan menindas disetiap waktu. Hey!! Itu salah satu kelebihanku! Aku bisa menilai orang dari tatapan matanya. Pergerakan Sky saat melepas cengkramannya pada kerah seragamku juga dia kontrol, dia takut membuatku terpelanting. Makanya setelah berantem dengannya di sekolah tadi sore, aku nggak benar-benar menyimpan dendam padanya. Aku mengerti, ia pasti melakukan hal konyol itu atas dasar sebuah alasan yang nggak bisa aku tebak untuk saat ini. Untuk itu, aku akan terus melawannya jika ia berlaku semena-mena. Karena tatapan mata Sky tidak menyiratkan sorot mata seorang psikopat yang akan membunuh orang, apa lagi memukuli cewek. Pribadi manusia memang sulit di tebak, bahkan orang terdekat kita sekalipun. Kita nggak bisa mengenali orang 100%, bahkan orang terdekat kita sekalipun. Diantara semua yang kuamati tentang Sky di hari pertama aku bertemu dengannya hingga sekarang, hanya satu hal yang aku yakin, sikap songongnya adalah alami (tidak dibuat-buat dan berasal dari hati). "Turunin gue di simpang depan." Enak saja dia menyuruh-nyuruh seenak jidat. "Bentar lagi sampe simpang depan 'kan ya?" "Iya." Jawabnya enteng. Asal kalian tahu, yang membuatku kesal sekarang ini adalah karena cowok sialan nggak tahu diri itu masih duduk di kursi belakang. Aku? Ya kayak supir!! Jadilah aku berpikir untuk mengusilinya, aku menghentikan mobil. "Punya kaki 'kan?" "Gue nggak makasih!" Bentaknya sebelum ia keluar dari mobil dan membanting pintu keras-keras. Sialan. Kali ini aku yakin, kemarahannya nggak dibuat-buat. Dalam waktu singkat saja, cowok itu sudah lenyap entah kemana. Lalu ponselku berdering, ada telepon dari nomor yang nggak ku kenal. "Halo?" "Selamat malam, saya Gloria dari Akademi Blue Balley, benarkah saya sedang tersambung dengan Miss Yera?" "Iya benar." "Begini, Miss. Tadi cleaning service kami menemukan kunci loker dengan gantungan berwarna pink yang diantaranya ada sebuah tag bertuliskan nama Yera Pertama. Apakah anda Miss ingin mengambilnya sekarang atau saya simpankan dulu di akademi, supaya nanti Miss sempat baru diambil?" "Oh, saya kebetulan nanti lewat sana, jadi saya ambil sekarang ya. Terima kasih, Gloria." Aku melaju menuju ABB (Academy Blue Balley), dalam waktu 15 menit mobil amisku sudah terparkir rapi di lapangan parkir yang nampak romantis dengan tiang-tiang lampu bulat setinggiku yang memancarkan cahaya warm white. Kalian masih ingat 'kan? Pertama kali aku bilang, aku adalah cewek yang nggak cewek-cewek banget. Balet adalah salah satu dari sedikit banyak hal yang menjadikanku cewek. Aku salut pada mama, beliau bilang padaku, ia mempersiapkan sebuah rencana yang ia sebut 'Plan B' dengan gaya norak. Di 'Plan B' tersebut, aku bisa menjadikan penari atau pengajar balet sebagai profesi kalau-kalau aku belum nemuin cita-cita atau malas sekolah. Jadilah hidupku tak akan melarat nanti. Bangunan akademi ini serasa familiar karena segala corak dan dekorasi serta bentuk ruang-ruangnya nampaknya sengaja disamakan dengan akademi cabang di Bogor. Tak usah mencari-cari dimana Gloria berada, karena hanya satu ruangan yang menyalakan lampu, maka kusimpulkan disanalah dia. Aku menghampiri resepsionis dan menemukan seorang wanita paruh baya dengan rambut blonde yang disanggul rapi. Dari kerutan-kerutan wajah tak kencang lagi, aku mengerti, mungkin ia mengecat rambutnya untuk menyamarkan uban-uban yang nakal. "Madam Gloria?" Aku sisipkan sedikit senyum. "Miss Yera? Here's your key, be carefull next time." Apa ini? Wajah Madam Gloria nampak ngeri, ia seperti mengancam 'awas saja kalau lain kali kuncimu ketinggalan lagi, ku penggal nanti'. "Thank you so much. Madam." Bibir berpoles lipstick merah itu lalu tersenyum terpaksa. Aku cepat-cepat ngacir dari sana dengan kunci loker bandel yang menimbulkan bunyi gemerincing karena gantungan imut-imutnya. Hari yang melelahkan, hanya karena satu orang, Sky. *** 9. Sky Satu hari yang sangat panjang. Aku sangat lelah karena tugas dari agen bodyguard rahasia, tapi tambah lelah lagi karena harus bertemu si cewek kecoak. Dia memang sedikit membantu, tapi kali ini benar-benar mengesalkan, seolah-olah dia bisa mengontrol aku. Aku benar-benar emosi dibuatnya. Di tambah lagi satu makhluk menyebalkan yang tadinya menghilang, lalu tiba-tiba muncul di dalam kamarku. Makhluk yang membuat heboh satu mobil dan juga makhluk paling berakal. Ben tidak menyusul kami di simpang. Katanya ia meng-uber salah satu anggota Fire Sword dengan upah Rp 200.000,00 untuk sebentar berhianat pada ketuanya, agar mengantarkan Ben ke tempat ini. Dengan alasan mobil kami terlalu kecil untuk mengangkut lima orang, dia juga merasa jijik melihat gaya dari si klien pelangi. Dia tak tahu, hal yang paling menjijikan adalah kenyataannya anak ini, dengan celana pendek dan kutang, rebahan di tempat tidurku. "Ky, gue keinget hal ini--" Celetuknya dengan air muka serius yang tak dibuat-buat. Matanya tertegun pada satu benda di atas meja belajar. "Apa? Jangan bilang 'nggak ada' kalo lo gak mau gue usir." Muka Ben tetap serius. "Yera mengingatkan gue sama pemilik origami burung itu. Degil, pemberani, sepertinya dia juga maniak keadilan melihat dia selalu ngelawan sama lo yang terkenal suka semena-mena." "Semoga dia nggak serapuh Vera." Refleks saja aku mengenang betapa rapuhnya cewek itu sampai memutuskan menyerah (atau dipaksa menyerah). "Dulu Vera juga ngelawan lo habis-habisan, terus akhirnya kalian temenan 'kan?--" Aku mengangguk seraya memilih duduk di kursi putar hitam milik meja belajar. Lalu Ben melanjutkan. "Gue nggak yakin Vera benar-benar bunuh diri karena dibully, Ky. Lagipula lo udah bikin pengumuman, siapa yang berani bully dia bakal berurusan sama kita. Dan terakhir kali gue ketemu dia, cewek itu masih ceria-ceria aja ngelukis di pohon belakang sekolah." "Gue juga. Gue ngerasa ada orang dibalik kematian Vera." Aku dan Vera sering bertengkar, tapi kami selalu kembali berteman, cewek itu tak pernah memendam perkataan busukku saat kalap ke dalam hatinya. Dia pernah bilang begitu. "Kalau pun ada, apa dia bakal muncul lagi ke permukaan?" Pertanyaan Ben langsung saja membuat bulu kudukku berdiri. "Maksud lo?" "Kemungkinan ada dua akar masalah dan motif pelaku. Pertama, mungkin pelaku memang ada masalah pribadi sama Vera." Aku langsung menepis pendapat Ben yang sok serius dengab garis-garis didahinya itu. "Kita tahu keluarga Vera baik-baik aja, pengakuan teman-temannya juga mengatakan kalau Vera nggak ada musuh." "Oke. Kemungkinan kedua, pelaku ada dendam sama lo dan balasin dendamnya lewat melukai orang terdekat lo atau--" "Atau apa?" Ben memandangku, meluncurkan tatapan tuduhan yang membuatku agak kesal. Lalu ia memperagakan tanda peace dengan jari telunjuk dan tengah. "Pelaku iri sama posisi Vera dan memilih melenyapkannya." Selesai berspekulasi, Ben melipat jari telunjuk dan menyisakan jari tengah. "Tinggallah lo sendirian." "What the?" "Siapa tahu 'kan? Coba lo pikirin siapa yang bakal iri sama Vera. Pastinya cewek, kecuali pelakunya gay." "Maksud lo, si muka bedak?" "Yes! Fena! Dia suka sama lo semenjak MOS." Tiba-tiba aku terpikir hal ini. "Lo mau nyelidikin ulang?" Tak ada salahnya sekedar menyelidiki, karena insiden ini terasa janggal dan terlalu dipaksakan sebagai bunuh diri. Jelasnya, tak ada alasan bagi Vera untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Aku ingin membersihkan nama baik Vera, begitu juga nama baikku, aku tak akan membiarkan pelaku bangsat itu berongkang-ongkang kaki gembira. Tunggu saja, sebentar lagi. Walaupun aku terkenal kejam dan semena-mena, aku tidak sebusuk itu hingga tak peduli kematian Vera yang notabene sudah menjadi temanku (sebenarnya kami tak sedekat itu). "Gue oke-oke aja." Ben menguap sambil mengangguk seperti orang tak niat, tetapi mungkin itu hanya faktor kelelahan akibat tugas agen bodyguard rahasia tadi. Lalu aku berjalan ke lemari dalam kamar, tentunya bukan sekedar untuk mengganti pakaian. "Lo pasti mau ngeliat ini–" Aku menggeser dinding dalam lemari yang pastinya orang awam akan mengira ini adalah lemari biasa daripada pintu rahasia. Ben yang awalnya sudah mau terlelap matanya langsung mengap-mengap. "Mau-mau–" Ini adalah ruang rahasia yang tak terlalu besar, berukuran 3 x 3 meter, lengkap dengan meja berkomputer dan hasil penyelidikan yang memenuhi dinding, serta sampah-sampah cemilan yang belum sempat dibuang atau lebih tepatnya selalu terlupakan. "Kalo firasat gue nggak salah, sebentar lagi foto Yera bakal nangkring disini." Selidik Ben dengan tampang detektif celana boxer dan kutang, lebih terlihat seperti orang gila. "Karena pelaku utamanya si Fena?" Memang dialah tersangka yang terlintas saat ini. Karena dia cewek bermulut kejam dan sudah beberapa siswi yang babak belur dibuatnya sampai mereka pindah sekolah. Fena mempunyai kuasa yang cukup bisa diandalkan di sekolah, karena dia anak dari orang kepercayaan papaku. Dan dia juga sepertinya ingin menjadi seperti papanya, lantaran dia selalu membereskan siswa-siswi yang berani melawanku. Semua itu aku biarkan, karena selama ini belum kelewat batas. "Yes! Kalau di pikir-pikir dia berpeluang paling besar. Karena dari semua orang yang ngelawan lo, Vera adalah cewek satu-satunya. Berakhir jadi temen lo pula. Lo tahu sendiri 'kan gimana dia bakal habisin siapa yang berani ngelawan elo? Apalagi ngabisin orang yang mungkin dia pikir merebut posisinya di samping elo?" "Dan motif dia adalah karena dia suka sama gue. Pikirnya hanya dengan cara itu dia bisa ngambil perhatian gue?" "Binggo! Dan karena lo mulai sibuk temenan sama Vera, dia jadi iri dan merasa dicuekin. Jadi dia hanya tinggal membuang sekat yang bikin lo nggak ngelihat dia." Aku butuh waktu untuk mencerna ini semua. Bukannya aku tak kenal Fena, apakah mungkin karena perasaannya padaku, dia bahkan bisa menjadi pembunuh berdarah dingin? "Tapi kita butuh bukti dulu–" "Tenang bro–gue paham lo lagi bingung, secara lo terlibat langsung sama mereka. Tapi lo bisa percaya sama gue, karena gue yang ngamatin kalian." Ben menepuk-nepuk pundakku, dia memang teman yang sangat bisa diandalkan disaat-saat seperti ini. Walapun dengan muka tengik begitu, bulu ketek hutan kematian yang bergelantungan, aku bisa merasa sedikit tenang. Ben memang berhasil menenangkan aku, tapi dia tak butuh penghargaan. *** 10. Yera Pagi-pagi sekali, aku sudah kangen pohon besar belakang sekolah. Jadilah jam 7 pagi aku sudah disini, melatih tendangan tinggi dan tendangan putarku (berhubung hari ini lagi pakai seragam olahraga). Di awal aku pernah mengatakan aku suka taekwondo 'kan? Tapi aku nggak pernah benar-benar fokus pada olahraga satu itu, hanya selama beberapa bulan saat kelas 10. Aku memilih mengimprovisasi gerakan balet indahku menjadi tendangan super keras yang anggun, kuakui itu lumayan keren. Setetes air mengenai pipiku, padahal nggak lagi hujan. Aku mengelap air yang tak seberapa itu, lalu melanjutkan latihanku, mumpung sekolah lagi sepi. Segar sekali rasanya, karena pagi-pagi begini oksigen masih kaya. Aku sangat menikmatinya sampai seseorang dengan wajah sinetron menghampiriku. "Yeraaaa!! Lo ngapain disini?!!" Hidung kembang kempis legendaris itu lagi-lagi memainkan perannya. "Nggak ngapa-ngapain, kenapa?" Aku belum mau jujur soal balet yang menjadi taekwondo. Nanti saja setelah aku siap ditembak dengan atraksi hidung May. "Lo harus lihat ini!" May menarikku kasar, dengan wajah berantakan ia menggiringku ke lapangan sekolah yang sudah ramai, persis pasar loak ditambah bau-bau asem ala-ala remaja puber. Suara-suara percakapan siswa-siswi berkumpul menjadi satu, benar-benar sebuah keramaian. Namun di samping itu semua, aku penasaran dengan hal heboh apa yang tersembunyi di balik gerombolan yang pagi-pagi sudah bau ketek ini. "Ada apaan, May? Siapa yang topeng monyetan?" "Elo!!-- ini lagi serius kalik, Yer! Fena lagi ngebully anak yang baru tabrakan sama Sky dikantin!" Jelas May dengan suara kencang, berusaha meredam suara-suara sekitar. "Lho? Kok gitu?" "Ini emang tugasnya si Fena! Secara dia 'kan suka sama Sky! Caper gitu-- eh, Yer lo mau kemana?!!" Aku kemana? Aku meloncat membelah kerumunan dong! Setelah sampai di barisan terdepan, aku mendapati seorang siswi yang sudah mimisan dengan rambut berantakan ala penyanyi lagu metal. Dan rambut itu masih dalam genggaman cewek yang membully, sepertinya dia Fena. "SKY!! KELUAR LO SIALAN!!" Pendengaranku bahkan tak percaya kalau teriakan cempreng itu adalah teriakanku sendiri. Tanpa peduli aku ngegas lagi, reaksi Fena yang melihat nggak percaya kearahku, seolah-olah aku lagi jualan minyak dengan toa. "YANG BISA PANGGILIN SKY KESINI, GUE KASI DUA RATUS REBU--" aku mengeluarkan dua selembaran merah dari kocek celana, "--CASH TANPA DIPOTONG PAJAK!!" Fena mendecih. Lalu ia melepas kasar rambut cewek yang sudah terkulai lemas. Si cewek yang nggak pandai make up itu melangkah kearahku, disusul dua orang dari belakangnya. "Lo siapa berani sebut-sebut nama Sky?" Tanyanya sambil menggertak yang nggak seram sama sekali, malah nampak lemah. "Gue? Gue Yera, anak XI IPA - 1. Lo mau kita bergulat dimana? Di sini? Di kelas gue? Dimana?-- GUE LADENIN!!" Aku paling nggak suka bully-membully, nggak peduli korban tadi temanku atau bukan, pokoknya aku nggak bisa berdiam diri. Lagi pula otot-ototku juga udah lama nggak berkontraksi menghajar orang. "Sori--gue bukan preman." Balasnya dengan wajah menang seolah dia sudah menohok perasaanku dengan ejekan murahan yang dia kira keren. "Oh? Gitu?" Aku mengangguk-angguk sok mengerti. "Heh, lo? Nama lo siapa?" Tanyaku pada korban bully yang wajahnya sudah mencar-mencar (nggak gitu juga sih). Dia nampak kaget, lalu menjawab. "Gue Jesy." "Yang suka gebukin korban rame-rame, terus sok-sok kuat, sok hebat, semena-mena sampai korban babak belur. Keparat itu kita namakan apa?" "P--p--preman--" jawabnya tiba-tiba gagap, seolah-olah dia adalah turunan dari Aziz Gagap. Aku melayangkan tatapan menang pada Fena yang nampaknya tersulut api kemarahan. Sumpah, aku nggak tahan banget lihat dandanan anak ini. Lebay habis! Kayak penyanyi dangdut yang disawer gocengan di pasar malam. Seragamnya juga, baju olahraga sekolah jenis apa yang ngetat-ngetat seperti kostum superhero begini? Kenapa dia nggak sekalian pakai sempak pink diluar celana lataknya superman? Saat hatiku sibuk mencaci maki Fena, seseorang cowok cebol mirip anak SD menghampiriku. "Mana duitnya? Ini Sky udah datang." Tagihnya dengan tangan menengadah, dengan wajah sombong pula. Heran, padahal dia yang minta uang. "Nih!" "Kok cuma seratus?!" Protesnya ngotot, seperti ikan lohan yang nggak dikasi makan. "Lo lebih lama dari waktu perkiraan." Dan aku juga butuh makan siang nanti, nggak mungkin semua uang jajan aku korbankan. "Ah, lo nipu ini namanya!" Lagi-lagi dia memprotes, sambil pasang muka merajuk menjijikan. "Lo mau duit ini apa gue gamprat lo cebol?!" Aku menghentak dengan gerakan mau menampar, si cebol matanya berkedip-kedip takut. "Yaudah lah mana sini duitnya?!" "Neh! Makasih!!" "Sama-sama!" Bentaknya sambil melenggang pergi. Aku tahu dalam hatinya pasti dia senang dapat rejeki nomplok pagi-pagi, tapi aku nggak tahu kenapa dia harus akting marah-marah dengan menghentakan kakinya yang mirip kurcaci itu. Tapi sekarang ada yang lebih penting, si cowok sialan nggak tahu diri, si akar dari permasalahan ini akhirnya muncul ke permukaan. "Hey, Shanan." Sapaku sok akrab tapi sengaja aku lontarkan tatapan musuhan. Sky saat itu malah menatapku dengan wajah kecut, dia tak suka dipanggil Shanan. Cowok itu tampil keren seperti biasanya, tapi kerennya terkikis habis dengan sikap songong dan semena-mena, apa gunanya lagi penampilannya itu. "Lo mau apa lagi?" Tanyanya sok judes, padahal jatuhnya kayak orang minta perhatian. "Gue tahu langit nggak bisa sembuhin luka fisik karena langit nggak bisa jadi dokter, tapi langit bisa perintahin awan menyambarkan petir pada orang bejat yang ada di muka bumi, dan dia salah satunya." Aku menunjuk pada Fena. Lalu lanjutku, "Seharusnya gitu, kalau lo masih mau dipanggil Sky." Sky menatapku tajam, seolah-olah dari matanya ia bisa menembakan pedang-pedang yang siap menghunusku tanpa ampun hingga nyawaku melayang. "Apa diri lo udah benar? Hidup lo udah sempurna? Apa cara hidup lo udah mencerminkan nama lo? Hah?" Oke. Kali ini Sky marahnya nggak dibuat-buat lagi. Sepertinya semakin kesini, aku semakin membuat cowok itu benar-benar akan membenciku. Kuharap penilaianku padanya kemarin adalah benar. Tapi bukan Yera namanya kalau ciut sebelum kalah perang. "Lo nanya gue? Serius?--Yera sama dengan Year. Pertama? Lo ngerti kata pertama 'kan? Gue lahir di tahun pertama anniv emak bapak gue." Aku menyeringai, merasakan garis finish kemenangan sudah dekat. Ditambah lagi wajah Sky yang nampak semakin berang. Aku tambah bersyukur punya emak dan bapak yang super kreatif, arti namaku sesimpel itu, seperti membalik tutupan panci. "Lo bawa Jesy kerumah sakit, sekarang juga!" Perintahku pada Sky nggak tanggung-tanggung. Tadi pertama kali aku melihat Fena, gadis itu sempat menghantukan kepala Jesy beberapa kali ke tiang bendera. Sekarang Jesy nampak pucat sekali, semoga saja dia tidak mual. Tapi dari kondisi yang ku lihat sekarang, dia butuh perawatan lebih dari sekedar yang ada dalam ruang UKS. Jadi, sikap bossy-ku bukanlah sesuatu yang nggak beralasan seperti sikap Sky yang selalu songong dan sok-sok berkuasa. Padahal dalam tanda kutip berkuasa tidak berarti semena-mena. Dan kini wajah Sky mengkerut, matanya yang sudah dalam berubah lebih dalam lagi. Dalam sekali kedipan, dia bertanya dengan sengak. "Kenapa harus gue?" "Karena Fena ngelakuin hal bejat sampah ini karena tubuh lo yang nggak seberapa mahal itu ditubruk dengan nggak sengaja oleh Jesy--atau jangan-jangan lo yang nabrak?" Aku belajar dari pengalamanku kemarin, aku yang ditabrak tetapi malah aku yang disalahkan, sampai harus pulang ke rumah basah-basahan. Sky terdiam. Dasar cowok sialan mental bobrok. Aku sudah kelewat kesal, jadi aku lanjutkan. "Asal lo tahu, seburuk-buruknya the beast pacarnya si beauty, lebih buruk lagi manusia paras pas-pasan yang nggak mau ngaku salah!" *** 11. Sky Aku tak tahu kejadian di kantin tadi bisa menjadi masalah besar seperti ini, cewek yang baru saja kuketahui bernama Jesy terduduk lemas dengan darah mengalir dari hidung dan memar-memar di wajah, serta rambut acak-acakan. Jesy, tadi cewek itu tak sengaja menubrukku karena sibuk mengurus tumpukan buku yang dibawanya ke kantin. Lagi pula salah cewek itu, yang mau sok-sok multitasking. Seharusnya dia membawa buku tersebut ke ruang guru dulu sebelum dia mengantri untuk membeli sesuatu apapun itu. Alhasil, seragamku jadi tertumpah susu hangat, yang untungnya berwarna putih (sewarna dengan seragam hari ini). Tetapi aku harus jadi cowok ganteng dengan parfum susu bendera, jadi bau tetek sapi. Marah? Ya jelas. Jadi ku bentak Jesy. "Lo kira gue ember susu?! Hati-hati dong!!" Aku sudah menambahkan penutup dengan nasihat baik, 'hati-hati dong'. Ku kira semuanya sudah selesai, tak menyangka Fena menganggap hal itu serius. Bukan hanya Fena, si rambut kecoak juga ikut-ikutan. Dengan berkacak pinggang dan wajah kusutnya dia memerintahku untuk membawa Jesy ke rumah sakit, ngotot pula ingin ikut. Pasti dia hanya ingin sekedar membolos senam, kalau beruntung dia bisa bolos semua mata pelajaran. Cewek tengik itu kini berada di kursi belakang mobilku, bersama Jesy. "Jes, lo mual 'kan?" Pertanyaan itu jelas-jelas nadanya seperti memaksa bahwa Jesy harus mual. "Hah?--eh-- hiyaueek!!" Yera menepuk-nepuk kursiku dari belakang, berkali-kali, dan liar. "Kantong-kantong! Woi, lo ada kantong kresek nggak?" Aku tak bisa memikirkan jawaban lain, kecuali pertanyaan ini. "Lo pikir mobil gue truk sampah?"Tapi kenyataannya mataku juga berkelok-kelok mencari keberadaan kantong kresek. "Rongsok banget sih nih mobil, sok kaya tapi nggak ada kantong kresek, heran." Protes Yera, lebih terasa menghina mobil biru mengkilapku ini. Kalian bertanya tentang mobil hitam? Ya tentu tidak ku pamer kemana-mana, karena mobil itu adalah mobil operasi. Aku tidak bodoh, seperti mengabaikan adanya kemungkinan seseorang menguntit mobil itu. Jadi kami sembunyikan di markas belakang sebuah akademi balet. "Hueeekk!!" "Aduh, Jes! Tahan-tahan-- lo telan lagi aja bisa nggak?" Anak itu entah kelewat bodoh apa kelewat polos, aku tak tahu, yang penting hal yang barusan dia katakan adalah hal paling menjijikan yang pernah disarankan kepada sesama manusia. Dan sekarang bikin aku jadi mau muntah juga. Untunglah, tak lama kami sudah sampai di rumah sakit terdekat, berkat kemampuan mengemudiku yang pastinya luar biasa. "Lo diem aja sih? Gendong! Dia kemungkinan geger otak gara-gara cewek lo yang norak-norak ndeso itu!" Lagi-lagi dengan gaya kenek angkot Yera menepuk-nepuk kursiku dari belakang. Preman banget gayanya. "Papah kek, apa kek! Manjanya kebangetan!" Balasku tak kalah galak. "Huek!" Malah Jesy pakai nyempil-nyempil sok-sok mau muntah. "Diem lo, Jes!" "Heh, sialan! Lo yang diem, lo seharusnya tau saat-saat kayak gini nggak tepat buat ngebacot! Lo cowok apa cowok jadi-jadian sih?" Bacotan Yera membuat aku menoleh ke belakang, lalu bertemu tatap dengan mata yang siap menembakan petir Zeus. Kalau dia mau nembakan petir Zeus, aku punya petir palu Thor. "Cowok jadi-jadian lo bilang?! Nyadar! Lo itu yang cewek jadi-jadian!" "Huek!" Lagi-lagi Jesy dengan wajah separuh jiwanya mengeluarkan suara menjijikan begitu, tapi aku abaikan. "Siluman banget sih, lo! Apa harus gue minta tolong satpam biar lo malu jadi cowok lemah yang nggak bisa ngapa-ngapain?! Hah?" Bentak cewek itu kalap sambil menujuk-nunjuk wajahku dengan tangannya yang nampak lemah dan pastinya cemen. "Tuh, pinter!" Tandasku berharap dapat membuat cewek berisik ini bungkam sejuta bahasa. "Huuueeeeeekk!!" "Jess!!--lo mau gendong dia apa rela mobil sok kaya lo ini dimuntahin?!" Ancamnya dengan wajah tegas, seolah-olah sedang memimpin perang dan mempertaruhkan sekelompok nyawa tak bersalah atas dasar keadilan. Herannya, aku selalu berakhir mengalah. Hari ini sudah dua kali aku kalah, masih pagi-pagi pula. Setelah menggendong Jesy ke UGD dan mengurus administrasi sebentar, kami lalu memilih duduk berjauhan sambil menunggu hasil kondisi Jesy. "Pasien atas nama Jesy Hanura--" Panggil salah satu suster dengan setelan putih-putih yang nampak bersih mengkilap, namun kontras dengan warna tubuhnya yang sawo matang. Aku dan tentunya si cewek kecoak itu beranjak menuju ruang dokter yang ditunjukan oleh suster dengan senyum manis terpampang di wajah. Kontras sekali dengan wajah Yera yang selalu kecut dan meleparkan tatapan permusuhan setiap kami tak sengaja melihat satu sama lain. Dia memelototiku seraya mengambil duduk di depan meja dokter, aku mengambil duduk disebelahnya (terpaksa). Pria paruh baya dengan jas putih kebanggaan dokter, dia nampak berkharisma dan cukup bisa dipercaya sebagai pengobat manusia. "Jadi gimana kondisinya, Dok?" Tanyaku. "Sebelumnya, saya mau tanya, guru adik-adik sekalian dimana?" Dokter berkumis kembaran Pak Raden itu agak mengesalkan, karena diam-diam aku juga ingin tahu keadaan Jesy. Cewek kecoak melipat tangan di meja, lalu menjawab. "Otw, Dok. Mungkin--" Sebuah ketukan pintu lalu menginterupsi, seseorang masuk dengan gaya sok anggun. Diantara banyak guru di sekolah, kenapa harus Hani yang datang? Oh, mungkin dia ditugaskan khusus oleh pria hidung belang yang sayangnya mengalir juga darahnya dalam tubuh suciku. "Jadi, Dok. Gimana kondisi Jesy?" Tanya si Hani sok-sok akting yang kelihatan sekali. Ia menatapku sebentar lalu mengalihkan pandangan dan mengambil kesibukan dengan merangkul bahu Yera, yang dibalas dengan senyum pula. Oh, kecoak bisa senyum, kirain kerjanya cuma suka merintah-merintah bengis. "Puji Tuhan, kondisinya baik-baik saja. Hanya geger otak ringan, Dek Jesy harus banyak istirahat dan belum boleh beraktivitas yang berat-berat dulu." Tak ku sangka perkataan Yera benar-benar menjadi kenyataan. Atau aku yang kelewat cuek sampai tak mengenali gejala geger otak pada Jesy. Ah, aku 'kan nggak ada di lokasi saat pembantaian terjadi. "Kalian sebaiknya keluar dulu ya, Ibu mau ngomong sebentar sama Dokter. Lebih bagus lagi kalau kalian langsung kembali ke sekolah." Aku senang-senang saja keluar dari ruangan ini, tetapi berbeda dengan Yera. Cewek itu menggerutu. Aku akui hari ini tampilan Yera agak berbeda dari kemarin, rambutnya tergerai, berwarna hitam mengkilap yang panjangnya tengah punggung. Tidak seperti kecoak. "Udah selesai 'kan? Udah puas?" "Belum--kalau belum minum." Aku juga baru sadar bahwa dari tadi kami sibuk berantam dan tidak ada minum sama sekali, seketika rasa haus langsung menyerbu tak tahu diri, memaksa aku mengidamkan es kelapa. Namun, daripada harus terus-terusan bersama Yera, aku memilih mengantarkannya ke sekolah sekarang juga. Perkara haus dan es kelapa juga bisa aku selesaikan di kantin sekolah. Maka, aju abaikan dia dengan berlalu, mencari pintu keluar. "Lo mau kemana?! Woi!" Tanya tak santai sambil mengikutiku. "Ke sekolah." Jawabku tanpa melihat Yera, aku jalan terus, seenaknya. "Ikut." Sahutnya datar. Dari nada suara yang nggak ngotot, sepertinya dia sedang tak mau mencari masalah. Namun beda denganku. "Boleh, asal lo udah masuk mobil sebelum gue ngegas." Lalu aku melecos secepat kilat, saat itu juga terdengar makian melengking yang menggunjang-ganjing rumah sakit. *** 12. Yera (1) Sial. Sial. Sial. Aku benaran ditinggal! Orang gila sekalipun bakal tahu aku nggak bisa mengejar makhluk sialan berkaki panjang itu dengan kakiku yang panjangnya tak seberapa, pas-pasan, malah kadang bisa minus. Jadilah aku naik angkot butut yang merupakan sebuah berkat ini, lurus menuju sekolah. Lihat saja kalau ketemu nanti, akan aku tunjukan tendangan berputarku pada Sky sialan itu. Aku benar-benar kesal dengannya hari ini, karena dia tak bisa me-manage kapan harus bersikap songong dan kapan harus mengenyampingkan sifat menyebalkan itu dulu. Tapi, di atas itu semua, aku bersyukur sekarang Jesy baik-baik saja di tempat yang pastinya aman-aman saja. "Eeehh!! Bang! Berenti, Bang. Gimana sih? Udah lewat nih sekolah gue!" "Santai, Neng. Saya yang salah, bukan angkotnya. Jangan di gendang-gendang gitu, Neng." Aku baru saja tersadar aku sudah memukul-mukul badan angkot yang mengeluarkan bunyi seperti drum renyot yang tak berirama. "Iye--maap deh, Bang." Abang angkot lalu tiba-tiba menginjak rem, kami semua terhuyung ke depan. Dan sialnya, aku menubruk kursi depanku dengan telak, dan keras. "Santai dong, Bang! Gue yang salah, bukan badan gue. Jangan di banting-bantingin gini dong!!" "Iye--maap deh, Neng." Aku membereskan tubuhku yang hampir saja renyot juga, lalu melangkah keluar angkot menuju si Abang. "Dimaafin! Nih, ongkos!" "Nggak usah deh, Neng. Ditabung aja duitnya buat beli drum." "Seriusan lo, Bang?" "Ya enggak lah, mana ada yang gratis di dunia ini, Neng-Neng. Ahayy!!" Dasar gila. Habis berkata seperti itu, si Abang mengedip mata genit terus langsung ngacir sok-sok keren, padahal nampaknya kayak orang struk wajah. Dan gara-gara dia aku harus berjalan sebentar untuk sampai di gerbang sekolah ini. Disana, aku langsung melihat May yang duduk di kursi panjang depan ruang kelas lantai pertama. "May!! Udah pulang? Kok cepet banget? Masih jam sebelas juga." Bacotku sambil duduk disampingnya. May terlihat berbeda, bibirnya yang biasa bersemu oranye natural itu kini berwarna putih kayak habis ciumin bedak. Dia menatapku lirih. "Gue takut kejadian sebulan yang lalu terulang lagi, Yer." "Kejadian apaan? Dapat murid baru di kelas?" Dia menggeleng. "Sehari sebelum lo nongol, Vera gantung diri-- di pohon gede belakang sekolah. Tapi gue nggak ngerasa pohon itu angker sama sekali, kayak dia nggak meninggal disitu--" "Hah?! Pohon belakang sekolah lo bilang? Yang gede itu?!" May mengangguk. Aku nggak nyangka, pohon cantik yang jadi satu-satunya tempat paling nyaman bagiku di sekolah ini ternyata salah satu tempat kejadian perkara bunuh diri! Pantas saja selalu sepi. May menatapku sejenak, sepertinya ia ragu-ragu lantaran mukaku yang entah menampilkan ekspresi seperti apa. Hidungnya pun malu-malu sekarang. "Lanjutin, May." "--dua hari sebelum meninggal, dia berantem sama Sky di kantin. Besoknya, dia dibully sama Fena dan pendukung-pendukungnya, Sky dan geng yang biasanya lindungin dia dari Fena nggak masuk hari itu. Setelah itu, besok paginya dia udah ditemukan tewas gantung diri." "Sky dan geng ngelindungin? Kok bisa kumpulan orang songong gitu?" "Dulu Sky lebih songong dan seenaknya. Sekarang dia lebih banyak diam dan membatasi pertemanan. Gue kira dia berubah karena apa yang udah terjadi sama Vera, mungkin dia nggak mau ada korban lain, gue nggak tahu, Yer." Segitunya Sky sayang sama Vera, sampai-sampai dia harus berubah, atau karena 'dia nggak mau dilimpahkan kesalahan atas kematian Vera'. Maka timbulah pertanyaan ini dalam benakku. "Vera itu siapanya Sky?" "Gue nggak terlalu deket sama dia, tapi yang gue dan satu sekolahan tau, awalnya dia kayak elo. Suka ngelawan sama Sky, dan lama-lama ada gosip mereka temenan bahkan pacaran." Jelas May dengan lebay karena dia kini mencengkeram bahuku dan mengguncang-guncang aku. "Terus? Maksud lo kejadian itu bakal terulang lagi?" "Pokoknya lo mengingatkan gue pada Vera!" May akhirnya kembali lagi, muka sok sinetron yang mengembang-ngempiskan dua lubang najis tempat ngupil itu. "Gue 'kan nggak dibully. Kalau berdasarkan keadaan, yang lebih memungkinkan bakal gantung diri ya jelas si Jesy sekarang." Aku menampik. Bagaimana pun juga, dari segi mana pun juga, aku tak bisa menjadi korban selanjutnya (kalau memang spekulasi May benar, seolah-olah Vera nggak bunuh diri, melainkan dibunuh). Malahan Jesy yang bisa menjadi kandidat karena dia baru saja dibully Fena dan kuli-kulinya. Itu pun hanya bisa dikaitkan kalau Jesy benar-benar punya kedekatan seperti Vera dan Sky. "Oh iya, gue tadi nggak sengaja nguping di toilet cewek waktu ngeden. Ternyata Jesy suka sama Sky, dia caper sok nabrak gitu di kantin! Katanya sih nggak sekali ini aja, udah berkali-kali dia nyoba. Cuma ya berhasilnya tadi aja." Oh, jadi Jesy cewek mentel dramatis yang sok-sok sinetron nabrak cowok yang dia suka. Terus nanti kayak di drakor-drakor, bakal terjalin cinta yang romantis luar biasa. Sepertinya dia salah memilih orang. "Tapi ngomong-ngomong, lo bilang Jesy udah suka Sky dari lama terus dia udah coba dekatin Sky juga?" "Iya, kenapa?" Aku memilih untuk mengesampingkan wajah polos dan bingung May sementara. Biar aku pikirkan. May curiga bahwa kematian Vera adalah sebuah manipulasi belaka oleh pelaku, mari kita sebut pelaku itu si Buntau. Bisa jadi motif si Buntau adalah sesuatu yang berhubungan dengan Sky karena kebetulan ia dibully lantaran 'dekat' dengan Sky, yang kusalah artikan sebagai 'musuh' Sky pada saat May bercerita di toilet sekolah. Agak menyebalkan, May bercerita setengah-setengah dan nggak jelas. Seharusnya dia bilang dengan jelas bahwa mendekati Sky a.k.a teman atau musuh, dua-duanya akan berakhir menjadi musuh Fena. Kalau aku sambungkan dengan cerita tragis Jesy yang kebetulan sudah lama memendam rasa konyol terhadap Sky dan sering mencoba menabrakan diri pada Sky, berarti Jesy selalu berada dalam radius yang dekat dengan Sky. Firasatku mengatakan, kalau Jesy bisa saja menjadi korban selanjutnya. Atau Fena bisa saja menjadi si Buntau pembunuh itu. "Mau kemana?!" May mencekat tanganku. "Balik ke rumah sakit. Lo mau ikut?" "Iya, gue ikut. Tapi ambil tas dulu kallik, Yer." "Oh, iya. Yuk lah!" *** 13. Yera (2) Di dalam kelas, hanya terlihat tas merahku dan tas abu-abu May. Entah kenapa aku merasa May sudah menungguku lama di bangku tadi, hanya untuk mengkhawatirkan aku saja. Mendadak bunyi getaran mencuat, aku langsung merogoh tas, rupanya aku tak membawa ponsel dari tadi pagi. Ada pesan masuk dari nomor yang tak ku kenal. Yer, gue butuh lo di RS sekarang. Jesy. "Kenapa, Yer? Kok muka lo kaya abis di balsemin gitu?" Tanya May. "Ini dari Jesy. Kayaknya kita harus cepat kesana, May." Kami cepat-cepat membereskan tas, berencana ngacir sekilat mungkin ke rumah sakit, sampai May menahan tanganku di depan pagar. Ia menunjukan ponselnya yang berdering lalu berjalan menjauh, sepertinya sebuah percakapan yang sangat pribadi. Tak lama, dengan wajah gusar ia menghampiriku lagi. "Sori, Yer--gue--disuruh pulang. Padahal gue pengen banget jenguk Jesy." "Nggak usah merasa bersalah gitu, May. Santai--" Aku menepuk bahu May, setidaknya agar raut wajah suram itu nggak sedih-sedih amat. "Yaudah gue duluan ya!!" Kalau kalian tanya dimana mobilku, aku nggak bawa mobil. Aku ini orang berkecukupan yang nggak songong, orang baik hati yang mau membantu supir-supir angkot dan bajaj. Aku nyempil ke dalam kotak berwarna merah yang nangkring cantik di depan sekolah. "Bang bajaj! RS Yudira ya! Lo ngebut, gue bayar dua kali lipat!" "Oke, Neng!" Respon Bang Bajaj berseri-seri. Setelah melewati berbagai rintangan, mulai dari terik matahari, sampai debu kenalpot, aku tiba dengan pantat hampir bengkor karena bang bajaj nggak santai bawa bajajnya. Nggak sampai disitu saja, kakiku harus berlari melewati taman rumah sakit seluas samudera untuk sampai ke dalam gedung. Cepat-cepat aku menuju ruang Jesy. "Jes? Lo udah baikan?" Tanyaku. Ia mengangguk. Jesy berbalut baju khas pasien berwarna pink, karena dia cewek pastinya. Senyumnya kaku lantaran ada sebuah memar di salah satu sudut bibirnya. "Thanks ya. Oh iya, nama lo siapa?" "Gue Yera." Aku menampilkan sebuah senyum. Meski Jesy kabar-kabarnya adalah seorang cewek mentel, ya sebagai seorang berjenis kelamin sama aku bisa mengerti, bahkan mungkin Jesy adalah salah satu yang paling berani diantara seribu lainnya lantaran ia mau mendekati si Sky. Sementara yang lain cuma bisa diam dan sirik dari belakang. "Oh iya, Jes. Lo kenapa sms gue? Dapat nomor gue darimana?" Jesy menatapku tak percaya, ia seperti mau ketawa. "Apaan sih? Gue nggak ada sms lo. Haha." Lalu tiba-tiba pintu rumah sakit terbuka kasar, orang yang buka seperti ngajak berantem. Aku hanya bisa ternganga setelah melihatnya, faktanya ia adalah orang yang aku kenal. "Mana hp lo?" Sky persis seperti preman nggak jelas yang malak-malak di pasar. Sementara Jesy tampak linglung dan salah tingkah, ia bahkan sempat memegang rambutnya sebelum menyerahkan ponsel yang terletak di meja samping tempat tidur kepada Sky. Cowok itu lebih seperti merampas daripada menerima pinjaman. Sky berpotensi jadi tukang malak yang luar biasa. Sebentar saja ia mengutak-atik hp Jesy, lalu ia kembalikan, dengan lemparan kurang ajar pula. "Gue mau lihat nomor yang sms lo." Katanya padaku. Aku sampai lupa fakta bahwa baru saja Jesy mengaku ia tidak mengirim pesan padaku. Refleks, aku pun langsung memperlihatkannya pada Sky. Tak sampai situ saja, jantungku bahkan hampir lari dari habitatnya selama 17 tahun lantaran menemukan pesan yang sama di ponsel Sky, dikirim oleh nomor yang sama pula. Seolah mengerti kebingunganku, Sky memperlihatkan sebuah nomor berbeda di panggilan masuk semenit yang lalu. "Ini nomor asli Jesy." Saat detik itu juga, aku mulai memikirkan spekulasi-spekulasi mengenai si Buntau. Untuk apa dia menggiring aku dan Sky kerumah sakit? "Van, lo lacak nomor yang gue kirim sekarang juga, GPL!!" Setelah berbicara di ponsel layaknya letnan yang memerintah prajurit, Sky langsung ngacir keluar tanpa kata. "Gue duluan ya, Jes. Kalau ada apa-apa, telepon ke nomer cowok aneh itu, ada di panggilan keluar semenit yang lalu!" Aku langsung ngacir keluar juga, beruntung masih mendapati Sky berdiri di dekat bangku panjang yang kosong. Tangannya masih bertugas menempelkan ponsel ke telinga. "Apa maksud semua ini?" Tanyaku. "Gue harus nangkap orang ini gimana pun caranya!" "Apa hal ini berhubungan dengan Vera?" "Lo-- siapa?" Cowok ini mengkerutkan dahinya sehingga mengingatkanku pada kulit jeruk keriput. Dia pasti bingung kenapa aku tahu menahu tentang Vera, tapi ini bukan saat yang tepat untuk membahas hal itu. "Nanti kita ngobrol panjang, lebih baik kita nangkap dulu pelaku yang udah mainin kita berdua kayak gini." Usulku. "Gimana, Van?--Baru cabut dari rumah sakit--Oke." Sky melakukan percakapan kilat di telepon dengan seseorang yang kudengar namanya adalah Van, si kipas angin. "Dimana dia?" Tanyaku setelah Sky memutuskan sambungan teleponnya. "Baru cabut dari sini, sekarang menuju taman kota." Sky masuk ke kursi pengemudi mobil, aku juga ikut nyusup ke kursi sampingnya. Pokoknya aksiku sekarang benar-benar minim akal lah, tak ada yang terpikir sama sekali selain hasrat untuk menangkap pelaku sms palsu ini. Di atas semuanya, aku bertanya-tanya, apa tujuan si sms palsu itu menggagguku juga? Secara, aku adalah anak baru yang nggak tahu apa-apa, dan nggak terlibat konflik apa-apa. Sementara aku bingung, Sky menyetir dengan kalap, seperti umurnya akan berkurang saat itu juga kalau dia merendahkan kecepatan. Intinya ngebut banget dan bikin jantungku olahraga. Lalu ponselnya berbunyi. Sky memilih menyetir dengan satu tangan sebentar, setelah itu menaruh ponselnya pada speaker sekaligus holder ponsel yang terpasang di dashboard mobil. "Mutar balik!! Lo nggak ada otak?! Gimana kalau itu cuma jebakan?!" Suara histeris di ujung sambungan itu hampir saja membuat mobil kami keluar dari jalur, alhasil suara klakson terdengar bertubi-tubi. "Anjing!!" Maki Sky, saking marahnya, ia sampai memukul setir. "U-turn di depan!" Tunjukku kala melihat rambu putar-balik di kanan jalan. "Gue nggak nyangka kita begok kayak gini, gimana kalau Jesy kenapa-napa?! Bisa aja si Buntau itu mancing kita menjauh dari Jesy karna dia mau beraksi!" "Kita belum terlalu jauh dari rumah sakit!" Sky optimis. Raut wajahnya seperti orang ngeden, serius menyetir sampai urat halus jidatnya nimbul. Aku yang berada di dalam mobil serasa dibolak-balikan om cimol dalam penggorengan ajaibnya, ku akui kemampuan menyetir Sky lumayan. Dia bisa menyusup-nyusup dengan mulus, meski klakson bertaburan. Aku takut? Nggak, dong! Aku malah senang! Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk menikmati balap-balapan asyik ini, aku mengkhawatirkan Jesy. Sudah banyak spekulasi yang berhamburan dikepalaku, kemungkinan adanya pelaku pembunuhan, ditambah lagi Jesy berada dalam kondisi yang kurang-lebih sama dengan Vera. Dari sikap Sky aku juga mengerti, mungkin dia berpikiran sama. *** 14. Sky Aku merinding. Baru saja aku sampai di rumah, baru saja aku melepas sebelah kaus kaki, aku dikejutkan dengan sebuah pesan masuk dari nomor tak ku kenal yang mengaku sebagai Jesy dan menyuruhku datang kerumah sakit saat itu juga. Aku tak berpikir panjang, seperti kalap seketika. Karena bisa saja kejadian bulan lalu terulang kembali. Bukannya aku tak tahu Jesy sudah menyukaiku sejak lama, dia juga berusaha mendekatiku, tetapi saat ini adalah pertama kalinya Fena membully Jesy. Ini adalah sebuah pertanda, bisa saja insiden yang sama akan terulang kembali. Pelaku mungkin bisa muncul lagi. Karena urutannya adalah ; pertama, korban berhubungan denganku ; kedua, korban di bully habis-habisan dua hari sebelum eksekusi. Aku melecos pergi ke rumah sakit seperti orang gila, berharap bisa menyelamatkan Jesy sekaligus meringkuk pelaku. Namun aku malah menemukan Yera di sms dengan pesan yang sama yang mengatasnamakan Jesy. Dengan kebodohan luar binasa aku langsung menyuruh Vano melacak si pengirim sms dan melecos pergi bersama Yera, dengan sangat idiotnya meninggalkan Jesy sendirian. Sekarang tempat tidur Jesy sudah kosong melompong, kamar ini tak berpenghuni seperti lima belas menit yang lalu. Wajah Yera terkejut luar biasa, ada ketakutan dimatanya yang biasa selalu berbinar. "Telpon begok! Telpon hpnya!!" Bentaknya mencak-mencak. Lucunya, aku nurut-nurut saja. "Kecoak--" Panggilku. Aku ingin memberitahukan sesuatu yang fatal. Cewek yang entah sejak kapan sudah mengikat rambutnya persis kecoak itu menatapku penuh harap, dengan binar mata. "Apa? Gimana?" "Nggak diangkat--" "Kalau Jesy kenapa-napa gimana?! Haish!" Si kecoak benar-benar maniak keadilan, atau cuma orang yang suka ikut campur? Sekarang dia berjalan kesana kemari dengan wajah butek, membuatku semakin bingung saja. Kemungkinan Jesy akan dieksekusi adalah 50%, 50% lainnya menunjukan kejadian dia mendekatiku dan pembullian oleh Fena hanya kebetulan sama. "Suster!" Kecoak menjumpai seorang suster, aku lalu ikut menimbrung. "Sus? Temen saya mana? Yang dirawat di ruangan ini!" Yera semacam mau memalak, sementara suster nampak bingung. "Gimana sih rumah sakit ini, katanya punya Yudira Corp yang terkenal itu! Nggak ada spesial-spesialnya, giliran udah bayar malah dibiarin, giliran belum bayar aja dijaga ketat-ketat! Temen saya hilang nggak tahu dimana, rumah sakit mau tanggung jawab nggak kalau ada apa-apa!! Gimana sih, suster ah!!" Aku bingung harus bagaimana, kabur atau menyadarkan kecoak ngamuk itu. Sementara orang-orang sudah mulai menjadikan ia pusat perhatian, aku menjauh, kebetulan ada pesan masuk juga. Hai, Sky kan? Thanks ya udah mau jenguk aku, sekarang aku udah pulang kerumah. Sampein thanks juga ya buat Yera. Jesy 😊 Aku menarik Yera yang mulai gila lantaran ia mulai mengguncang-guncang bahu sang suster dengan maki-makian terhadap rumah sakit milik keluargaku ini. "Mana si Yudira-Yudira itu? Bilang sama dia, rumah sakit ini bakal gue bakar!!" "Sebelum itu, mulut lo yang bakal gue bakar, gue satein kasi simpanse!" Aku menarik cewek itu keluar rumah sakit, lalu memperlihatkan pesan masuk dari Jesy. "Ini bener nomer Jesy?" Tanyanya dengan mata membulat fokus ke layar ponsel, mukanya mirip ikan tongkol. Aku menarik ponselku kasar. Aku tak paham kenapa Yera sangat agresif dari tadi, aku juga ingin tahu alasan ia bisa tahu, alasan ia mempunyai kecurigaan yang sama, dan kenapa dia tak tahu malu. "Lo sebenernya siapa? Kenapa lo bisa tahu tentang Vera, bahkan sampai ke Jesy?" Ia terseyum simpul. "Karena menurut seseorang, gue bisa aja jadi kandidat korban berikutnya." "Emang orang kayak lo bisa di bully?" Tanyaku heran. "Enggak lah, gile lu?" Mukanya kayak orang songong yang baru beli mobil baru, ia merasa bangga sekali. Aku pun bingung harus menginterogasinya apa lagi. Tapi satu hal yang menggangguku dari tadi, aku belum sarapan dari pagi, dan aku benar-benar keroncongan. Drumband maut sudah bermain di dalam sana. "Laperlah, Nan. Gue mau donkatsu, lo 'kan tajir, traktirlah." Cewek itu nyeletuk tanpa malu-malu, membuat aku bertanya-tanya urat malunya sudah putus semua atau memang dia lahir tanpa itu. Terlebih dari itu, ada satu kata yang membuatku janggal. "Nan?" "Shanan, nama itu lebih bagus, menurut gue." Katanya sebelum berlalu ke parkiran. Kami berakhir di restoran cepat saji dengan desain bernuansa merah putih dengan sedikit abu-abu dan hitam. Yera yang awalnya ngidam donkatsu, berubah selera jadi ayam goreng tepung. Aku bingung, lagi-lagi menuruti dia. "Apa yang bikin lo berpikir Vera dibunuh?" Tanyanya dengan mulut penuh, kini mirip marmut rakus yang menyembunyikan makanan di pipi besarnya. "Karena Vera bukan tipe orang yang akan bunuh diri." "Hm--kata seseorang, gue mirip Vera. Gue emang nggak bakalan bunuh diri. Keadilan bagi orang lain aja gue perjuangkan, apalagi keadilan bagi diri gue sendiri--" Yera nampak agak sedih. Aku tak bisa nalar, memang banyak karakter manusia, tapi tak pernah kutemukan yang semacam ini. Yera tak kenal Vera, tapi seakan dia kenal dekat. Aku tak paham kepedulian macam itu. "--jadi gue mungkin mengerti Vera, sedikit--Tapi, Nan, maksud gue tuh, bukti faktual yang menunjukan dia nggak bunuh diri." Lanjutnya sambil menatapku serius, tak penah kulihat ekspresi itu sebelumnya, meskipun saat Yera marah-marah. Mungkin aku bisa membagi bukti ini. "Catatan dokter--gue butuh catatan Papa Herga. Karena waktu itu dia sempat mengutarakan kecurigaannya sama gue, tapi beberapa hari kemudian dengan gampangnya dia bilang dia salah periksa." "Papa Herga? Herga temen sebangku gue itu?" Kini Yera mencomot beberapa kentang dan memakannya dalam sekali lahap, kobelko saja kalah nampaknya. Santai sekali, seolah-olah ini bukan pembicaraan serius. "Gue coba selidikin--Lo nggak bisa nolak karena menurut yang gue denger, pembullian terjadi dua hari sebelum eksekusi. Kita cuma punya besok dan lusa, dan elo nggak mungkin bisa ngatasin ini semua sendirian dalam waktu mepet gitu." Sejenak, ada keraguan, menerima atau tidak bantuan dari Yera. Hanya saja, dia orang asing. Dan mungkin aku belum bisa percaya sepenuhnya, tetapi perkataannya benar. "Terserah lo mau percaya apa enggak sama gue. Tapi sebagai diri gue sendiri, gue mau memberikan keadilan buat Vera seperti dia memberikan keadilan bagi orang lain." Vera layak untuk itu. Baru kali ini aku setuju dengan Yera. Tak disangka cewek bar-bar macam dia punya kelebihan tersembunyi seperti ini. Seolah dia dapat membaca pikiranku, dan juga pikiran Vera. Tak ada salahnya aku beri dia sedikit kesempatan, hitung-hitung ya membantuku juga. "Besok sore gue tunggu di belakang sekolah." "Oke!! Sekarang--" Yera celingak celinguk, menopang dagu dengan kedua tangan sok-sok imut, "--gue nambah kentang lagi ya, eh-- es krim aja deh!" "Lo kira gue bank?!" "Es krim aja pon, kere amat!!" *** 15. Yera (1) "Kakakku, beli bunga krisannya satu, ehh--dua deng!!" Aku mampir ke toko bunga Kak Butet, pagi-pagi sekali. Nggak juga sih, sebenarnya ini juga lagi ngejar waktu biar nggak telat ke sekolah. "Oh iya dekku! Nggak terlalu dikitnya itu dek? Tambahkanlah beberapa tangkai, biar tambah cantik dulu kau!" Ihiy. Kak Butet menggencarkan aksi merayu yang kocak jika disandingkan dengan tubuh gembulnya. Tapi aku nggak kemakan gombalan itu. "Janganlah kakakku, aku gini aja udah banyak mantanku." Akhirnya aku bisa pergi dari toko itu dengan 2 tangkai bunga krisan putih. Memang Kak Butet semangat berjualannya oke, tapi jatuhnya nyebelin. Herannya, sudah tahu begitu, tetap saja toko bunga Kak Butet yang terlintas kalau lagi butuh bunga. Bunga ini untuk seseorang, nanti kalian bakal tahu. Aku agak tercengang waktu tahu papanya Herga terlibat, anak itu tak bercerita apa pun kecuali memperingatiku bahwa ia nggak bisa ngapa-ngapain kalau satu sekolah mau ngebacok aku. Mungkin ini maksudnya, seperti dia hanya bisa diam saja setelah mengetahui fakta bahwa Vera dibunuh. "Herga–" "Tumben, lu bisa manggil nama gue secara benar–ke–kenapa lu mukanya serius gitu?" Tanyanya seraya dengan kurang ajar melibas mukaku yang berharga ini dengan tissue yang kuharap bukan bekas ingus atau ketiaknya. Tapi aku harus sabar, berhubung aku mau menanyakan sesuatu. "Ini mengenai kematian Vera, lo pasti tahu sesuatu 'kan?" Herga manatapku sejenak, seperti orang linglung dia mengeluarkan ponsel, tampaknya ia kurang berminat untuk membicarakan hal ini. Dia menjawab. "Sesuatu seperti?" "Catatan analisa penyebab kematian–dan sejenisnya." Bukan apa-apa, aku ini adalah tipe orang yang suka gamblsng saja, aku nggak pandai basa-basi kalau ada maunya. Walaupun nyebelin, setidaknya semua orang tahu aku jujur, dan nggak munafik. Herga menghela napas, padahal dia tidak sedang capek. Muka Herga nggak melas seperti biasanya. "Ga, gue nggak tahu Vera orangnya gimana, tapi dari yang gue denger, gue ngerasa harus bantu dia bersihin nama baiknya. Apa lagi elo, orang yang udah pernah melihat dia secara nyata, hati lo pasti tau apa yang seharusnya lo lakuin buat dia." Cowok itu lalu menaruh ponselnya di meja, di dekat tumpukan buku matematika keramat yang aku ingin sekali menjambak rambut si pencetus mata pelajaran yang satu itu. Tapi itu bukan hal yang penting-penting amat sekarang. Herga mengusap hidung, seperti kebiasaannya. "Yer, gue nggak bisa cari masalah sama Papa–" Herga menumpukan kedua tangannya pada bahuku, matanya terbuka lebar menatapku lurus, kalau orang melihat mungkin pikirnya kami lagi melakukan adegan romantis ala-ala drakor, "–tapi gue bisa kasi sedikit celah buat lo." Masih memikirkan celah yang dimaksud Herga, memang agak berbahaya, tapi itu yang membuat hidup jadi nggak mainstream. Aku bawa dua tangkai bunga yang ku beli dari toko Kak Butet tadi pagi, ke belakang sekolah, tepatnya di pohon trembesi. Suasana masih sama seperti hari yang lain, walau sudah sebulan insiden itu lewat, tetap saja siswa siswi nggak mau kesini. Padahal aku nggak merasakan hawa angker sama sekali, malah damai, tentram, nggak kayak di pasar kaget. "Vera-- kenalin, gue Yera. Nama kita kayak kembaran ya? Gue janji bakal nemuin siapa pun itu, yang berani bunuh elo. Dunia nggak seharusnya kehilangan orang baik, karena orang jahat udah bejibun." "Kecoak--" Panggil sebuah suara familiar yang dulunya songong, sekarang sudah bertransformasi menjadi teman (sedang proses). "Nih--pegang." Perintahku pada Sky sambil memberinya setangkai krisan putih. "Ini buat lo, dari gue--" Aku menancapkan setangkai di tanah, dempet dengan batang pohon. "Ngapain lo bengong? Kayak orang bolot lu, sini cepetan!!" Sky dengan linglung datang ikut berjongkok, mukanya lesu kayak orang nggak makan seminggu. "Hai, Ve." Sapanya singkat lalu menancapkan bunga tepat di samping punyaku. Sky bukan tipe orang menye-menye yang menyatakan perasaan lewat kata-kata, tapi dalam diam, dia menyalurkan lewat hati. Aku cuma merasa bahwa Sky mempersalahkan dirinya sendiri. Sudah kubilang aku pandai menilai tatapan orang 'kan? Aku menepuk-nepuk punggung atasnya. "Udah ah, letoy amat! Gue jadi males penyelidikan sama orang loyo!" "Penyelidikan? Kalian mau apa?!" Seorang cewek cupu tiba-tiba saja muncul, tanpa suara, seperti makhluk halus. Sampai-sampai aku harus meriksa dia jalan apa melayang. "Ngapain lo disini, Sky? Lo masih inget sama Vera, sementara lo udah sama cewek lain?!" Cewek itu menunjukku seakan-akan aku ada salah. Sepertinya ada sebuah kesalahpahaman. "Jangan sembarangan ngomong lo ya! Cewek lain? Dia?!" Kali ini Sky yang menatapku dengan najis. Ada apa dengan mereka berdua? "Sebentar-sebentar, kalian kenapa natap gue najis gini?" Selaku nggak terima. "Lo emang najisin, rambut lo bahkan benda paling hina yang pernah mata gue lihat! Lo siapa hah mau penyelidikan segala? Adeknya detektif Conan?!" Cewek yang dipanggil Tania ini nggak seperti penampilannya, gaya cupu tapi mulut nyablak. Buat aku emosi. "Kalau iya kenapa?! Lo siapa sih sewot amat? Mata biasa aja!" Kutambahkan sedikit decihan, supaya dia marah. HAHA. "Pokoknya Vera udah tenang, nggak usah kalian ganggu-ganggu dia lagi! Dan lo Sky, lo nggak puas udah buat dia menderita di dunia, dan sekarang lo mau ganggu dia yang udah di alam lain?!" "Heh, gila!! Otak lo ke sumbat kali ya, banyak makan micin lu ya? Mau rasain tonjokan gue?! Hah?!" Kepalanku sudah berancang-ancang, nampak raut wajah Tania berubah was-was. Aku menghentak seperti mau memukul, tujuannya agar Tania takut dan cepat-cepat ngacir. Tapi gagal karena Sky sok-sok jantan nangkap tangan aku, parahnya di lempar aku asal-asal seolah aku menghalangi dia dan Tania. "Stop, Yera!" Memang minta di geprek. "Lo kalau mau jadi sahabat Vera, jadi sahabat yang baik!! Temen lo dibunuh!" Sky rupanya sudah berang, wajahnya mulai memerah. Fakta baru, ada perbedaan pendapat antara Sky dan Tania (yang katanya sahabat Vera). "Terima kenyataan!! Vera stres ngadepin lo, dan si Fena brengsek itu sampai dia menyerah dan bunuh diri! Lo ngga bisa bayangin betapa takutnya dia saat itu!--Gue yang selalu ada buat Vera, gue yang tahu apa yang dia rasain!" Tania menunjuk-nunjuk bahu Sky dengan telunjuk rapuhnya yang nampak bakalan patah sebentar lagi. Kini Sky menahan jari itu, "Apa lo pembunuhnya?" Pertanyaan Sky menimbulkan kengerian baru, suasana menjadi sangat sunyi, sehingga bisa ku dengar suara napas memburu kedua orang itu. Benar-benar adegan yang nggak begitu keren, tapi mencengangkan. Reaksi Tania semakin tenang, dia menghempaskan tangan Sky kasar (seperti pakai tenaga dalam, karena tubuh Sky agak tersentak). "Seharusnya lo nanya sama diri lo sendiri." Lalu Tania meninggalkan kami berdua setelah sesaat memelototiku, dasar mata jengkol. Bukannya keren, malah jatuhnya kayak anak TK yang suka cari musuh dimana-mana. "Kalau lo ada list tersangka, mungkin Tania bisa lo entry." Saranku pada Sky. "Gue udah curiga sama dia, karena dia selalu nggak setuju kalau Vera bukan bunuh diri." "Kita cuma butuh bukti itu buat membungkam dia." Kataku pada Sky yang kini menatapku bingung. Mirip simpanse yang lupa induknya siapa. Aku mengerlingkan mata ke arah gedung sekolah, Sky pun mengikuti petunjukku. Sedikit senyum aku tambahkan biar nampak keren, tapi Sky malah menoel jidatku hingga kepalaku terhuyung. Sialan. Herga yang nampak kecil melambai-lambai dari jauh, padahal aku dan Sky bukannya mau pergi naik kereta ataupun orang yang baru pulang ke kampung setelah sekian lama merantau. "Ngapain dia disini?" Tanya Sky. "Ayok, nge-job." *** 16. Yera (2) Karena beberapa alasan konyol, aku harus menyampiri rumah Herga bersama tambahan satu cowok aneh yang mengaku namanya Ben. Aku sampai membayangkan kalau-kalau cowok itu punya jam tangan yang bisa buat dia berubah wujud setiap saat. Kalau saja bisa, akan lebih baik dia berubah jadi Papa Herga, akan lebih gampang buat ambil buku catatan itu 'kan? Aku nggak tahu kenapa Herga nggak bisa cari masalah sama papanya, tapi sebagai manusia yang pengertian, aku nggak mau protes ini itu selama dia masih mau membantu. Walau caranya kami harus malingin rumah yang lumayan mewah itu. Mungkin dia punya cita-cita nggak mau jadi anak durhaka, siapa tahu? Matahari sudah menunggu di ufuk barat untuk sebentar lagi rehat, lebih tepatnya melanjutkan tugas menerangi bagian bumi lain. Aku, Ben, lalu Sky menunggu dalam mobil hitam buluk yang nggak membanggakan sama sekali. "Kapan keluarnya?" Tanya Sky ketus, ngalah-ngalahin letusan gunung berapi. "Ya sabar kalik! Namanya juga mau makan malam, enggak sore-sore amat kali perginya." "Ini bukan semacam jebakan atau apa 'kan?" Tanya Ben yang duduk di kursi samping pengemudi. "Makanya jaga di depan, kita nggak bisa percaya siapa-siapa sekarang." Sky menimpali dengan sejuta nada tuduhan tersirat. Anehnya dia bisa mempercayaiku yang baru dia kenal dua hari lalu. Dasar nggak konsisten. "Gak, Herga nggak mungkin jebak kita. Kalau iya, gue berani potong lidah!" Aku menjamin Herga nggak bohong, aku tahu tatapannya sungguh-sungguh. "Herga keluar–" Bisik Ben antusias, matanya langsung menyalak ke pagar tempat Herga dan keluarga keluar. Aku melihat cowok itu melirik ke arah kami, aku bersyukur dapat teman yang baik. Sedetik kemudian ponselku bergetar. Ruang kerja papa di ujung lorong sebelah kanan. Pembantu rumah gue cuma satu. Jangan nyuri kolor gue lo ya, haram. Sialan. Iya kali aku nafsu sama kolor, sama ayam goreng baru iya. "Heh, kecoak. Ngapain lu cengar-cengir kayak orang kesurupan?" Sky menginterupsi. "Mulut!!" Pengen aku sekali-sekali menonjok mulut Sky. Tapi waktunya belum tepat, karena kami harus bergegas. Setelah mobil keluarga Herga ngibrit, aku dan Sky mulai melancarkan aksi. "Cepetan!" "Iya santai aja kali, kayak di pantai." Sky menatapku tajam, seperti sebentar lagi dia akan menyantapku mentah-mentah, persis beruang kelaparan. Namun, dengan wajah marah, ia memegang tanganku, ia menuntun aku hingga kami berhasil masuk lewat pagar yang kuncinya sudah diberi Herga kepadaku. Ya maksudnya, situasi seperti ini nggak gawat-gawat amat, Sky nggak perlu gandengin aku. "Lepaslah, gerah gue!" Sky pun melepas kasar. Satu hal yang baru aku lihat dari cowok ini, dia seperti sudah biasa dengan kegiatan menyusup, Sky hanya terlihat seperti pencuri handal. Dia mengintip lewat celah-celah horden jendela, seperti mengecek situasi dalam rumah. Berkat kunci duplikat titipan Herga, kami bisa membuka pintu depan rumah. Aku dan Sky berjingkat-jingkat, supaya nggak ketahuan. Pembantu Herga nggak kelihatan dimana-mana, nampaknya dia lagi memanfaatkan waktu untuk bersantai semaksimal mungkin. Rumah Herga lumayan besar, tapi aku tak punya waktu untuk mengagumi tempat ini. Tepat di pintu, aku dapat melihat sebuah lorong di sebelah kiri. "Nan, kesini!" Sky menahanku. "Lo yakin? Itu nampaknya kayak jalan ke gudang." "Herga yang kasi tahu. Yok lah, cepetan. Gue nggak biasa jadi maling." "Lo kira gue biasa?" Mukanya mulai songong lagi, nggak tepat waktu banget. Lagipula aku nggak ada maksud begitu, sensitif banget. Jadilah aku jawab. "Bukan gue yang ngomong loh, ya." Kami berbisik-bisik di ruang asing ini. Aku tahu kami sedang mengendap-endap secara ilegal, tapi Sky juga nggak usah senempel ini, melebihi permen karet. Jalan saja harus megang bahuku, seakan-akan aku akan membuat masalah kalau di lepas. Emang aku ayam jago yang di adu-adu itu. Tak lama, kami sampai di ujung, di depan sebuah pintu cokelat tua mengkilap. Aku yakin ini ruangannya, karena tak ada pintu lain lagi. Lalu aku membuka pintu tersebut dengan (lagi-lagi) set kunci duplikat yang sangat membantu itu. "Selangkah lagi!" Bisikku pada Sky. "Cepetan!" Dasar Sky, serius sekali. Seenggaknya dia harus senang sedikit karena kami sudah hampir berhasil. Ruangan itu tak seberapa luas, hampir semua bagian dinding ditutupi rak-rak buku yang penuh, membuat aku berspekulasi kalau papa Herga adalah orang yang sangat jenius. Kenapa anaknya bisa jadi tukang tidur begitu? Di tengah ruangan, seperti sebuah singgasana, berdiri sebuah meja kokoh yang nampaknya mahal. Mengkilap, sama dengan pintunya. Ada satu benda yang menarik perhatian kami, sebuah buku jurnal bersampul kulit sintetis cokelat terletak di tengah meja. Sebuah memo kuning tertempel diatasnya. "Apaan nih?" Sky mendahuluiku, ia mengambil kasar memo itu. "Apaan tulisannya?" Aku menjinjit sedikit untuk bisa membaca memo yang dipegang Sky, dia dengan kurang ajarnya nggak berniat merendahkan sedikitpun tangannya yang nggak bagus itu. You late! O.R.G.M Begitu tulisannya. Menyadari hal itu, aku memiliki firasat buruk, langsung aku babat jurnal itu. "Sialan! Ada kertas yang dirobek!" Pada saat yang sama ponsel Sky bergetar, ia mengangkatnya sebentar lalu menutupnya. Terjadi perubahan ekspresi pada wajahnya, yang tadi hanya nyebelin, sekarang jadi nyebelin banget. Pokoknya muka Sky merah padam. "Ada orang baru lari keluar dari pagar." Aku kaget, bagaimana bisa? Orang itu keluar tanpa terlihat oleh kami?! "Lo sebaiknya kejar dia!" Kataku sambil hendak berjalan keluar ruangan, namun Sky langsung menahan dengan memegang lenganku. "Lo ngapain?" "Perasaan gue nggak enak--gue harus ngecek pembantu Herga." Lalu aku berlari meninggalkan Sky yang nampak linglung. Tak lama Sky menyusulku, sambil berlari melaluiku ia berkata terburu-buru. "Kalau ada apa-apa cepat telpon!" *** 17. Sky Aku berlari sekencang mungkin, aku harus menang dari angin, karena aku Sky si songong. Ben sudah lenyap entah kemana, tapi mobil hitam kami masih terparkir ditempat yang sama. Tanpa pikir-pikir lagi, aku melompat ke dalam mobil, lalu aku telepon Ben. "Lo dimana?!" "Gue kejar dia sampai depan komplek, eh dia ngibrit pake dijemput mobil!!" "Begok! Lu punya mobil, anjir!" Teriakku pada Ben yang ngos-ngoshan duduk dirumput. Dia sepertinya kaget, tetapi langsung masuk ke mobil secepat kilat. "Jalan! Ke kiri! Mobilnya belum jauh!!" Aku langsung memutar setir ke kiri, menggas tanpa ampun, dan mencengkeram setir yang tak salah apa-apa. Ben bodohnya tak tertolong lagi, orang normal mana yang lebih memilih melompat keluar dari mobil dan mengejar dengan cara berlari. Dia bisa saja pakai mobil dan mendahului si pelaku lalu menghalangi jalannya 'kan? Pasti sudah terciduk sekarang. Mengesalkan. "Itu! Mobil alay warna biru toska!" Pekik Ben yang wajahnya sudah menyerupai kera tua. Kita abaikan dulu muka Ben. Mobil biru yang tak terlalu jauh itu sebaiknya tak usah sok songong dulu, karena dia tak punya pengemudi sehebat aku. Aku yang awalnya berada di jalur kanan, membanting stir ke kiri untuk melewati mobil lelet didepanku, lalu berputar ke kanan lagi. Jarak mobil kerenku dengan mobil biru alay itu hanya sebanyak dua mobil, seharusnya aku bisa menyusulnya. Seminimalnya aku harus melihat siapa yang berada dalam mobil itu. Sekali lagi, aku memutar setir ke jalur kiri, kesalnya ada motor yang jalannya santai sekali. Aku klakson berkali-kali hingga dia menepi, kasihan sekali, tapi maaf karena aku sedang dalam pengejaran. Aku melalui satu mobil hitam, lalu mobil putih, hingga mobil biru toska itu. Ben yang berada di sisi kiri, mendekatkan wajahnya padaku, aku tahu maksudnya dia ingin melihat siapa yang berada dalam mobil itu. "Nggak nampak anjir!!" Makinya. "Liat yang bener! Seenggaknya kita harus dapat bukti yang tak terbantahkan!" "Kacanya gelap banget anjir!" "Bangsat!" Makiku lewat kendali karena tiba-tiba mobil tersebut melakukan U-turn, aku yang dari sebelah kiri tak dapat memotong langsung ke kanan karena dua mobil tadi melaju lurus dengan kecepatan tinggi. "Sialan!" Maki Ben. Lalu dia terhentak, seperti kesetrum. "Yera mana?" Oh iya, Yera. Kenapa dia belum menelepon? Apa keadaan baik-baik saja? Sebaiknya aku cepat putar balik. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah Herga, namun keadaannya berbeda. Beberapa mobil terparkir asal, beberapa orang bertubuh kekar berlalu lalang keluar masuk rumah. Herga pun ada disana, duduk di sebuah sofa, di samping Yera yang nampak pucat. Sepertinya bukan kabar baik. "Apa yang terjadi, Yer? Kenapa lo nggak nelpon gue?" Yera masih meringkuk, matanya sembab, cewek ini dipastikan habis nangis. Dia tak dalam keadaan bisa menjelaskan sesuatu. Lalu ku pandang Herga, ia tampak mengerti, dan menjelaskan. "Bi Asih dipukul sampai wajahnya hancur--Yera yang nemuin pertama kali, jadi dia langsung telpon gue buat cepat-cepat panggil ambulans. Gue nggak tahu berapa lama dia lihat keadaan Bi Asih dalam kondisi parah begitu sampai dia diam kayak gini." Raut wajah Herga prihatin, cowok itu pun jadi terlihat lebih tua dari biasanya. "Separah apa kondisinya?" Tanya Ben yang tak tahu sejak kapan sudah berdiri disampingku. "Parah banget, dugaannya dipukul pakai ulekan sambel sampai daging pipinya ada yang hancur dan mencuat keluar." Jelas Herga lagi. Wajah Ben berubah ngeri, aku pun bisa membayangkan betapa mengerikan pemandangan itu, dan seorang cewek lemah ini harus melihatnya seorang diri. Aku jadi merasa bersalah. "Gue bawa Yera pulang." Kataku pada Herga. Lalu Ben nyambung dengan sok perhatian. "Kalau polisi mau minta keterangan, seenggaknya tunggu sampai Yera tenang dulu." Tetapi baguslah, Ben mendukung sikapku yang saat ini hanya ingin membawa Yera pergi jauh-jauh dari sini. Aku yang entah kenapa bisa seleluasa ini dengannya, kini aku mengamit tangan Yera, menarik cewek itu keluar rumah. Ben mengikutiku dari belakang, lalu mempercepat langkah mendahului kami dan masuk ke kursi pengemudi, artinya dia akan menyetir. Good job. Ku antar Yere ke kursi belakang, membukakan dia pintu lalu menutupnya lagi, aku berlalu ke kursi depan di samping Ben. Suasana hening, sangat sempurna ditambah wajah datar Ben yang terkesan sangat bodoh itu, sampai akhirnya satu orang bersuara. "Pembantu Herga nggak bersalah sama sekali." Baru kali ini aku mendengar suara bergetar cewek itu. Ben nampaknya juga sama bingungnya denganku bagaimana untuk membalas kalimat Yera, ataupun bagaimana cara untuk menenangkan seorang cewek. Bagi seseorang seperti Yera, masalah ini adalah perkara besar tentunya. Seseorang tak bersalah menjadi korban, sangat tampak ketidakadilannya. Sesuatu yang sangat mengganggu hati cewek itu. "Sori, Yer. Kami nggak bisa nangkap pelakunya." Celetuk Ben tiba-tiba, dengan wajah polos sekali. Aku agak bingung bagaimana Ben bisa memenangkan olimpiade sedangkan dia tak bisa menilai mana waktu yang tepat. "Gue tau–tapi gue bingung kenapa dia bisa masuk dan keluar terus nggak ketahuan sama kita. Lo lihat dia 'kan Ben? Lo lihat mukanya? Atau ciri-cirinya yang menonjol gitu?" "Yang menonjol?" Jeda agak lama, Ben sedang mikir-mikir. "Dia cewek, gue yakin, soalnya nonjol." Baru aku mau menjitak kepala Ben, ternyata Yera sudah mengambil alih peran itu, kini Ben mengaduh kesakitan. "Mesum!" Maki Yera. "Oke–intinya dia cewek." Aku menengahi. "Terus, ada hal lain yang lo tinggalin nggak? Semacam bekas cakar?" "Lo kira gue apaan main cakar-cakaran–" Ben memandangiku ngeri, tapi aku dan Yera lebih ngeri lagi karena Ben yang mengemudikan mobil. Cewek itu lalu mengambil aksi memutar kepala Ben ke depan, lalu Ben berucap, "Makasih–gue emang nggak ninggalin bekas, tapi gue nemu kertas yang kayaknya jatuh dari kocek jaketnya." "Kertas? Kertas apa? Mana?" Yera bertanya antusias, nampaknya dia juga memikirkan kemungkinan yang sekarang juga sedang berkelebat dipikiranku, kertas itu mungkin saja kertas yang coba ia curi dari jurnal papa Herga. Ben mengambil kertas itu dalam kantong celana olahraga sekolah, aku lalu membabat kertas yang dilipat simetris itu. "Ben, Kecoak–ini catatannya." *** 18. Yera (1) Sialan, aku dipanggil kecoak. Nggak tahu kepikiran apa si Sky yang menamakan aku kecoak sesuka hatinya. Mengesampingkan hal itu, aku lumayan terkejut dengan kertas yang terpampang rapi di tangan besar Sky. Tulisan khas dokter mirip cakar ayam menjelaskan sebuah fakta yang kami cari. Aku berusaha menyusupkan mukaku sedekat mungkin, karena susah banget baca tulisan keramat yang nggak keren ini. Ditengah aku sibuk merapalkan kata-perkata, hidungku diam-diam mendengus, wangi juga si Sky ini. Dan diwaktu bersamaan, cowok itu malah menoleh ke kanan, mata kami bertemu. Sialan. Aura apa ini, bikin jantungku dag dig dug. "Hmm–" Sky berdeham, sehingga tatapan pada mata sipit tajam yang seperti magnet itu buyar. Aku langsung menarik diri, duduk bersandar di kursi belakang, intinya jauh-jauh dari Sky. "Apa isinya?" Ben bertanya. "Eh? Em--ini--nggak ada pengeluaran dari ekskresi, mata tidak melotot, lidah tidak menjulur, nggak ada bintiknya, bukan tanda-tanda gantung diri." Sky membaca tulisan keramat itu dengan lancar, berikan tepuk tangan yang meriah. "Jadi, Vera nggak gantung diri. Kita harus cari pelakunya, waktu tinggal sehari lagi sebelum eksekusi Jesy--kalau dugaan kita benar." Jelasku. "Gue nggak nyangka Jesy bakal jadi target kedua." Sergah Ben sambil ngorek-ngorek kuping. "Oh iya, Ben. Ada yang bisa lo inget-inget lagi? Kita butuh petunjuk." Aku sangat berharap ada sebuah petunjuk dari Ben, karena diantara kami, yang pernah melihat si Buntau hanyalah Ben seorang. Sungguh senang kalau misalnya Ben meninggalkan tanda seperti bekas cakar atau goresan dibagian tubuh si Buntau yang terekspos, kayak tangan atau pipi misalnya. Tapi katanya Ben nggak mau jadi kucing garong, padahal sedikit berguna. "Pas gue ngejar, gue denger suara gemerincing lonceng." "Berarti dia antara pakai gelang tangan atau gelang kaki--" Asumsi Sky yang kini mengelus-elus bawah dagunya ala-ala orang berpikir keras. "Mungkin juga gantungan kunci?" Aku tambahkan sedikit asumsi, banyak sekali benda yang bisa dipasangi lonceng kecil yang akhirnya menimbulkan bunyi gemerincing yang menggemaskan. "Plat mobil? Lo udah cek?" Tanya Ben, yang kini membuat aku memutar otak, bagaimana cara mereka mengecek plat mobil orang. "Vano bilang itu plat palsu yang nggak terdaftar." Jawab Sky cepat. "Vano bisa ngecek plat mobil?" "Jangankan plat mobil, pampangin foto lu di berita rcti aja cuma setaik kuku." Ben menggebu-gebu, sambil mempraktekan 'setaik kuku' dengan mempertemukan ujung jari jempol pada ujung jari kelingking. Rupanya Vano sejenis hacker gitu. Lumayan keren, tapi ngomong-ngomong Vano itu yang mana satu ya? Oh iya, aku teringat sesuatu, kertas memo yang aku pungut setelah Sky remukan dan dilempar ke lantai dengan gaya sok ganteng. "Inisial pelaku O.R.G.M, tulisannya bagus, pasti benar cewek. Lipatan kertas dari jurnal Papa Herga juga rapi, berarti dia adalah orang yang rapi, mungkin juga bersih." "Daftar tersangka, cuma Fena dan Tania, dua-duanya cewek dan rapi." Celetuk Sky. "Petunjuknya umum banget, dari sekian banyak orang ya jenis kelaminnya kalau enggak cowok ya cewek." "Kita fokuskan dulu ke cewek yang pake aksesoris lonceng-lonceng alay itu." Kali ini celetukan Sky agak nyebelin. "Lonceng itu nggak alay tau! Muka lo yang alay!" Sanggahku. "Diem lo, Kecoak!" Sialan. "Ngomong-ngomong O.R.G.M, kira-kira singkatannya apa ya?" Tanya Ben tiba-tiba, menarik aku kembali pada topik. Kesunyian memenuhi, seraya dengan melajunya mobil di jalan yang sudah dipenuhi lampu kuning, aku nggak bisa memikirkan apapun yang bisa menjadi singkatan dari tanda narsis si Buntau itu. "Kira-kira, untuk apa dia ninggalin jejak?" "Pamer--" Sky tertawa geram. "Dia pasti ingin mempermainkan, mengetes, atau mungkin nantangin kita buat nangkap dia." Ada benarnya juga asumsi Sky. Aku hanya bisa ngangguk-ngangguk bodoh. "Turunin gue di Blue Baley ya." Ben mengangguk, setelahnya ia bertanya, "Lo sekolah di dua tempat nih ceritanya?" "Iya, soalnya Blue Baley belum ada niat buat jadiin sekolah balet sekalian formal, jadi gue musti sekolah dua kali." "Jadi, kecoak kayak lo hobi nari balet? Bisa?" Dasar sial, malah mengejek. Rambut Sky juga tak kalah aneh, malah rambutku ini idaman semua wanita. Matanya pasti katarak. "Lo diem, siluman!" "Udah-udah--" Ben menengahi, dari suaranya kayaknya dia jengah, ya siapa suruh punya teman yang nyebelinnya tingkat dewa begini. Ia melanjutkan, "Mending sekarang kita pikirin dulu tentang O.R.G.M, kalau memang benar yang dibilang Sky tadi, tanpa dicari lagi pun dia bakal nongol sendiri buat nantangin kita." Hm-- ide bagus. Si Buntau, dengan inisial O.R.G.M, aku mulai menerka kalau dia punya nama panjang yang terdiri dari empat kata. "Eh!! Depan, Bang!" Ben langsung mengerem gila hingga aku terbentur ke kursi mobil, cowok ini mengingatkanku pada supir angkot tempo hari, sama-sama minta ditabok. "Lo nggak apa, Yer?" Tanya Ben tergesa-gesa sambil menoleh ke belakang. "Gue luar biasa, kok." "Tapi kelas balet lo emang malam gini? Sepi banget." Aku baru tahu Ben sekepo ini, aku kira dia cowok yang lebih keren dari Sky, nyatanya ya tahulah. "Hari ini nggak ada kelas, cuma ada barang gue ketinggalan. Ntar ya." "Gue ikut--" Celetuk Sky tiba-tiba. Baru aku mau memprotes, anak itu sudah melenggang keluar, dan dengan santainya memasuki area akademi. Mau nggak mau aku nyusul. "Lo ngapain ikut, siluman?" "Lo bisa aja jadi korban selanjutnya, kecoak." Bisiknya dekat yang sialnya membuat jantungku mau ngacir ke mall. "Iya, tapi 'kan gue belum dibully." "Iya, lo 'kan nggak bisa dibully, kali aja dia mau langsung eksekusi, 'kan suka-suka dia." Benar, bukan hal itu yang aku pikirkan sekarang. Hayalanku terbang ke masa lalu, waktu Sky menggandeng tanganku entah berapa kali hari ini. Dasar gila. Aku sudah gila, otakku lagi ke toilet mungkin. "Lo mau ngambil apa?" Tanyanya setelah sampai di depan gedung. "Leotard." "Apaan tuh?" "Tanya mbah google." Lalu aku ngibrit ke resepsionis, Madam Gloria sudah menungguku dengan muka garang yang dipaksakan tersenyum. Tampaknya dia sebal, karena aku langganan ketinggalan barang. "Kasus yang sama, be careful next time, Miss Yera." Katanya sambil menyerahkan sebuah kantong merah. "Sorry, Madam. Thank you. Hehe--" Aku berbalik, lalu mendapati Sky memandangi lapangan parkir kayak orang mengingat masa lalu. Tinggal tambahkan lagu melow dan air hujan, aku bisa bantu nari-nari kelilingin dia biar tambah dramatis. "Ngapain lu, siluman? Lagi ngegebet siluman lain?" "Mobilnya mirip, yang gue sama Ben kejar tadi." Di parkiran memang ada sebuah mobil berwarna biru toska. Bisa ditebak, mobil itu adalah milik Madam Gloria, karena dia adalah orang yang selalu pulang terakhir (selain satpam, tapi satpam pakai motor). "Mobilnya orang resepsionis mah itu, udah tua juga, nggak mungkin itu mobil tadi." Sky lalu melempar tatapnya padaku, anehnya aku malah merasa rancu menatap matanya. Aku malah menunduk dan melihat tangan besarnya. Sialan, aku ketagihan pengen digandeng lagi. "Ayok, gue anter lo pulang." "Hah?" "Mau pulang nggak?" "Ya mau lah!" "Yaudah, ayok jalan--tetep di dekat gue." *** 19. Yera (2) Hari yang mendung, sangat bertolak belakang dengan keadaan hatiku yang mirip air tenang di danau dalam. Aku bisa tidur nyenyak semalam setelah memastikan Jesy baik-baik saja dari telepon, semoga saja dia bukan korban selanjutnya seperti yang kami duga. Aku telah menyusun rencana dengan Sky serta Ben, kami akan menginterogasi Fena dan Tania hari ini. Akan jadi hari yang panjang dan melelahkan pastinya. Suara deru mesin kendaraan menyalang-nyalang di depan rumah, membuat aku pengen menendang orang nggak sopan yang bertengger disana pagi-pagi begini. Aku membuka pintu. "Siapa itu, Beib?" Mamaku berlarian dari dapur. Aku mencegahnya sebelum dia terlanjur melihat orang itu. "Hm--bukan siapa-siapa, Ma. Tukang ojek! Yera pesen ojek!" "Tumben pesen ojek? Yaudah deh, hati-hati ya kamu, Beib." Mama mencium pipiku lalu berlalu ke dapur lagi. Aku bisa narik napas lega, lalu dengan seragam lengkap, tas, dan sudah memakai sepatu, aku nyamperin dia. "Lo ngapain kesini?" Bisikku seperti orang yang takut ketahuan maling. "Jemput lo lah, kecoak." "Sekali lagi itu mulut, gue listrik pake raket nyamuk!" Lalu tiba-tiba suara mengelegar keluar dari dalam rumah, cempreng sekali suara mama. "Beib!! Leotardmu ketinggalan!" "Iya, Ma!" Aku cepat-cepat lari ke rumah, tapi kakiku kalah sama kaki emak-emak gesit yang satu derajat keturunanku ini. "Eh? Kok ganteng ojeknya, beib!" Aku sampai mau terpelanting di tepuk emak berkekuatan super ini. Nggak berperasaan sama darah daging sendiri. "Ganteng dari hongkong?!" "Halo--bagus-bagus ya bawa anak tengik ini, dia suka lasak." Mamaku mengedipkan mata pada Sky yang kini salah tingkah, seperti senyum-senyum canggung najisin gitu. Lalu mama beralih ke aku, "Nih! Kok tumben-tumben kamu main origami?" "Origami apaan?" "Itu di dalem kantong." Mama menggeleng prihatin. "Yaudah mama masuk dulu ya--masuk dulu ya ojek ganteng." Aku langsung menatap Sky, mengirimkan sinyal-sinyal kecurigaan yang nampaknya langsung ditangkap cowok itu. Sontak, langsunglah aku buka dengan beringas plastik merah motif hati yang agak lebay, saking nafsu sampai robek. Ada sebuah origami berwarna hijau, terlipat bentuk burung. Firasatku mengatakan aku harus membuka kertas lipat itu, kali ini dengan perlaha biar nggak robek. Wah, aku terperangah setelah membaca tulisan horor yang ada disana. Begitu juga Sky. Kini cowok itu menarik tas ranselku, lalu ia memasangkan sebuah helm dengan cekatan. Aku kayak orang bodoh yang nggak pandai pakai helm. "Cepetan naik!!" Aku naik dengan luwes, karena kebiasaan kakiku yang lentur, aku bahkan bisa split di udara. "Pegangan!" Aku mengikuti perintah Sky laksana prajurit perang yang dikomando letnan. Lalu Sky menggas beringas, aku cuma bisa mempercayakan nyawa berhargaku pada tubuh yang aku peluk sekarang. Anehnya aku nggak takut, kebut-kebutan itu hal yang terlalu seru buat ditakutin. Tapi aku nggak bisa seru-seruan sekarang, karena Jesy bisa jadi dalam bahaya. May sudah berdiri di depan gerbang sekolah, aku menepuk bahu Sky agar berhenti, lalu aku menghampiri May. "Lo kenapa, May?" Tanyaku. Wajah May pucat, tubuhnya sedikit bergetar. "Jesy-- di belakang sekolah--" "Hah?!" Nggak, nggak mungkin! Ini masih hari kedua, seharusnya besok! Aku langsung berlari ke belakang sekolah, disana seluruh siswa berkumpul di gedung, tak ada yang berani melihat Jesy yang tergantung di pohon trembesi. Tak lama sirene polisi dan ambulan terdengar makin kencang, ramai dan menggelegar. Lalu Ben nongol, "Kondisinya cocok sama yang ditulis papa Herga, gue yakin Jesy dibunuh." Bisiknya dengan muka penuh misteri. "Gue dapat ini--" Aku menjawab lemah, kuserahkan origami hijau pada Ben. Surprise dibelakang sekolah O.R.G.M "Sinting!" Maki Ben setelah membaca pesan teror bodoh itu. Aku juga emosi, terlebih lagi semalam aku baru bicara dengan Jesy, dia seharusnya baik-baik saja. Seharusnya aku menginap dirumahnya, nempel kemana-mana, bahkan ke toilet. Aku terlalu menganggap remeh si Buntau. Tiba-tiba saja aku teringat lagi kata-kata Sky 'suka-suka dia', si Buntau mengubah jadwal eksekusi! Sky pun lalu nongol, beserta May yang langsung menggandeng lenganku. "Lo ngelihat Fena atau Tania?" Tanya Sky pada Ben yang langsung menggeleng, lalu ia menoleh pada May. "Elo?" May menggeleng. "Gue nggak perhatiin siapa-siapa, tapi dari tadi gue berdiri di gerbang, gue nggak ada ngeliat mereka." Aku mulai mencari-cari wajah Fena dan Tania dikerumunan, tapi nggak ada. Tatapan mereka memang seperti tatapan orang yang berani membunuh, aku nggak bisa memastikannya, karena kadang cewek lebih pandai drama daripada cowok. Sky menepuk bahu Ben, lalu berujar, "Cabut!" Dan seenaknya narik aku buat ikut sama dia, sampai aku terseok-seok, mirip tawanan. "Lo harus sama gue terus." "Kenapa gitu?" "Karena lo udah keburu dekat sama gue, gue nggak tau apa yang akan terjadi sama lo setelah ini, dan gue nggak mau lo kenapa-napa." Sky nggak tahu betapa jantungku langsung disko di dalam sana. Dengan santai ala-ala nongkrong di pantai hawai dia bisa ngomong seperti itu, dimana jiwa songongmu, wahai langit? Aku mencoba menyadarkan diri, sekarang aku harus mencari si buntau! Aku, Sky, dan Ben langsung ngebut kerumah Fena. Rumah cewek itu lumayan besar, tapi nggak mewah-mewah banget. Sky memencet bel, lalu seorang laki-laki paruh baya dengan rambut tipis beruban menyambangi kami, tampilannya ala-ala tukang kebun karena dia lagi pakai sarung tangan. "Cari siapa, Dek?" "Fenanya ada, Pak?" Kali ini Ben yang beralih ke sisi Sky. "Non Fena tadi sudah pergi sekolah, tapi pulang lagi, sekarang kunci diri di kamar. Disuruh keluar nggak mau!!" Aku prihatin lihat wajah si bapak, jelas sekali dia khawatir dengan Fena, kayaknya dia orang lama. "Panggilin, Pak. Bilang Sky mau ngomong." Dengan wajah songong, cowok itu berdiri paling depan, yakin sekali dia Fena mau keluar hanya karena embel-embel nama Sky saja. Bapak itu nampak ragu sejenak, lalu akhirnya ia berlalu. Kami menunggu dalam kesunyian sebelum Ben nyeletuk. "Lo dapet kertas itu darimana?" "Dari kantong leotard gue yang gue ambil di blue balley." "Fena juga ngebalet disana." Kali ini Sky nimbrung. Saat itu juga si bapak yang kami tugaskan mengirim pesan pada Fena kembali dengan setengah napas. "Non Fena nggak mau, katanya dia nggak kenal Sky." Aku nggak bisa nahan buat nggak ketawa, begitu juga Ben yang refleks saja ngajak aku tos-tosan, ya aku ladenin. Muka Ben kayak habis menang lotere, teman sejati adalah teman yang sangat senang saat kita apes. "Awas lo, siluman!" Kali ini giliranku. "Pak, bilang sama Fena, Yera mau minta roti selai stroberi sekalian pinjem kamarnya." Si bapak menganga bingung, lalu ngangguk-ngangguk linglung dan berlalu menghampiri Fena lagi. Nggak beda jauh sama Sky dan Ben yang nggak kalah kebingungan juga. Malah mukanya udah mirip keledai semua, mirip-mirip dungu. Tak lama si bapak keluar, dia ngangguk-ngangguk. "Boleh. Dek Yera saja tapi, orang lain nggak boleh masuk." "Oukey!! Gue ke dalam dulu!" *** 20. Sky Diantara semua alasan yang terpikir, tak terlintas sedikit pun tentang benda aneh seperti roti selai stroberi, lucunya alasan konyol binti tak waras itu bisa menjadi kunci untuk membuka persetujuan Fena. Yera kini berjalan ringan menuju rumah Fena, langkah cewek itu sangat ringan, seperti melayang di udara. Sejak pertama aku sudah menyadarinya. "Origami itu ada di dalem kantong yang Yera ambil semalam, berarti bisa aja pelakunya anak Blue Balley juga." "Dan Fena juga anak Blue Balley." Jawab Ben seolah menang telak. Aku memang tak tahu kalau Fena juga siswa di akademi yang masih ada perjanjian kerja sama dengan sekolahku itu. Bapak tukang kebun menghampiri kami dengan sebuah nampan yang menopang dua buah cangkir putih. Lalu ikut nimbrung di meja bulat berpasangkan tiga kursi dipekarangan rumah. "Non Fena itu dulunya anak baik-baik, tapi semenjak temanan sama cewek yang suka lipat-lipat kertas gitu tingkahnya jadi aneh, dia suka melawan tuan dan nyonya." Cerita bapak tukang kebun dengan raut wajah sedih, keriputnya tambah membuat prihatin. "Lipat-lipat kertas?" "Iya, yang kertas lipat warna-warni ituloh, Den!" Jawabnya setengah frustasi. "Siapa, Pak? Anak sekolahan kita juga?" Tanya Ben kemudian. "Seragamnya beda sih, Den. Tapi sama-sama sekolah balet di mana tuh? Apa tuh namanya? Bulbalyey ya? Bulbal-bulbal gitu deh, Bapak kurang ngerti nama sekolahnya." Daftar tersangka baru! Dia perempuan dan dia suka melipat kertas! Tingkat kecocokan terhadap ciri si Buntau melebihi Fena dan Tania. Tetapi anehnya, dia bersekolah di sekolah lain. "Ciri-cirinya gimana, Pak?" Tanya Ben lagi, kali ini menggebu-gebu, mungkin dia juga penasaran sama cewek yang bisa lolos dari kejarannya. Diantara sekongkow kami, lari Ben yang paling cepat. "Hm--cantik--" "Terus, Pak?" "Pokoknya cantik lah! Lebih cantik dari adek yang rambutnya diikat acak-acakan tadi." Lecos bapak tukang kebun jujur, sangat jujur. "Tapi aneh orangnya, Den." Suaranya berubah ngeri, dengan wajah yang seperti baru saja bertemu sadako. "Aneh gimana, Pak?" Ben si cowok kepo beraksi, aku bertaruh kalau itu adalah reaksi alaminya. "Dia itu, pernah Bapak lihat--alisnya tebal banget, Den!! Kayak lakban!" Ckck. Ku kira bapaknya akan memberi sedikit info berguna, aku sudah membayangkan hal sepsikopat mungkin, seperti suka mencekik boneka atau mungkin pernah coba cekik bapak tukang kebun. "Diminum kopinya, Den. Sekali-sekali rasain pahit, kayak hidup Bapak." Seolah tak memberi pilihan lain, kami harus memberi wajah prihatin pada bapak tukang kebun. Tak lama, Yera keluar. Tak ada yang bisa ditebak dari wajahnya, tenang juga tidak, khawatir juga tidak, intinya datar. "Wihh, pakai jamuan minum segala nih orang, saya nggak dikasi, Pak?" Celetuknya tak tahu malu. Sifat Yera jarang ditemukan pada kebanyakan cewek, dia tak mementingkan imej. "Neng mau? Bapak buatin." "Nggak usah, Pak. Bercandaan--" katanya sambil cengar-cengir. "Yok lah, cabut!" Kali ini beralih padaku. Kami pamit pada bapak tukang kebun, lalu bersiap-siap melecos. "Blue balley, bang!" Yera menepuk pundakku layaknya kenek angkot, mengesalkan. "Pegangan, kecoak." Aku memacu motorku dengan kecepatan tinggi, juga Ben yang mengikuti di belakang. Kecoak dibelakangku diam saja, duduk dengan tenang memegang jaketku di bagian pinggang. Aku sebenarnya penasaran akan apa yang terjadi antara dia dan Fena, dia belum bercerita, dan kami pun belum sempat bertanya. Ben sudah sih, tapi Yera bilang nanti baru dia jelaskan karena dia ingin cepat-cepat ke Blue Balley. Belum sempat aku memarkirkan motor dengan benar, cewek itu sudah melompat saja, dasar gila. Dengan buru-buru dia berjalan, aku dan Ben mengikuti dibelakangnya. "Siapa cewek alis lakban itu? Apa kita kenal atau enggak?" Tanya Ben yang berjalan bersisian denganku. "Gue nggak tahu fans gue ada yang alisnya kayak lakban." "Fans bibir lo gombreng! Kalau memang motifnya karena dia suka sama lo, itu namanya obsesi bego!" Ben lebih mirip seperti orang yang memaki-maki karena aku mencuri potongan kulit kriyuk ayam goreng tepungnya, dibanding seseorang yang mengkhawatirkan temannya. "Obsesi?" "Obsesi agar lo tetap sendiri." Kalimat terakhir Ben membuatku ngeri, aku tak masalah kalau dia mau face to face, tapi kalau makan korban begini aku tak setuju sama sekali. Ini nyawa, bukan gulali, dia benar-benar diluar ambang kewarasan, sangat jauh diluar batas waras. Kami menghampiri Yera di bagian resepsionis, cewek itu menggaruk kepalanya setelah berbalik dari seorang wanita paruh baya berambut blonde. Sekilas aku melihat dia tersenyum horor dengan bibir tebal yang dipoles pewarna merah menyala. "Hani--dia yang anterin kantong gue ke resepsionis." Celetuk Yera. Ben merangkul Yera. "Yaudah, samperin!" Kurang ajar sekali Ben. Aku tak tahu kenapa, yang penting aku tak suka melihatnya, tangan Ben butuh di gergaji. "Gue nggak kenal dan nggak tahu dia yang mana." Jawab Yera yang masih menunduk, dan tak menghempaskan lengan Ben jauh-jauh. "Mata biasa aja, Ky. Laper lo liat tangan gue?" Butuh dihajar memang muka Ben yang nampak lagi mempermainkanku. "Gue ke toilet dulu." Pamit Yera yang langsung berlalu tanpa menunggu jawaban kami. Akhirnya lepas juga, rangkulannya. "Lo suka sama Yera 'kan?" "Diem lo-- urusin aja ketek basah lo yang baunya semerbak itu!" Ben malah merangkulku, aku langsung menepisnya, takut-takut dikira homo. "Lo nggak pernah gandeng-gandeng cewek, nggak Vera sekalipun, cuma Yera." Aku akui, Yera cantik, dia memang cantik dalam kesederhanaan dan keacak-acakan rambutnya. Ada sebuah dorongan yang membuatku harus melindunginya. Aku kagum dengan langkah ringannya, serta suka sikap blak-blakannya, yang paling spesial adalah saat dia menepuk-nepuk pundakku di pohon belakang sekolah. Saat itu aku merasa bisa bersandar pada sesuatu, dan aku ketagihan. "Yera unik." Akuku akhirnya. "Dasar bego!" Ben cekikikan. Ku piting kepalanya, hingga dia mengaduh. Biar saja, sesak, mengap-mengap sekalian. Kini Ben nampak seperti ikan yang terdampar di daratan. Tiba-tiba ponselku berbunyi, begitu juga punya Ben. Ben menatapku, "Faril." "Vano." Aku membalas tatapnya dengan rasa tak enak. Lalu kami berpisah dan mengangkat ponsel masing-masing. Muka pucat Ben menjadi pemandangan pertama yang aku temukan setelah mendengar berita dari Vano yang pasti juga membuatku pucat seperti dia. Muka kami sudah seperti duo yang konser di kuburan, pasti. "Cabut cepetan!" Bentak Ben dengan ancang-ancang mau melecos ke parkiran. "Gue ke Yera dulu–" "Oke, gue duluan!" Jawab Ben tanpa menunggu penjelasanku lebih lanjut, aku rasa dia sudah paham bahwa posisi Yera sekarang juga terancam. Tak membuang waktu, aku langsung berlari, lucunya aku berlari kesana-sini tanpa tahu dimana letak toilet kaum hawa itu. Dari bagian resepsionis, aku menemukan satu ruang tengah yang besar dan beratap tinggi dengan sambungan tiap koridor-koridor di sisi kiri dan kanan, tiap koridor sangat panjang dan berujung sebuah pintu kaca. Dibanding desain modern, akademi ini lebih mirip castil kerajaan, benar-benar mengagumkan dan nampak mewah. Kebetulan ada seorang cewek lagi melintas di koridor yang sama denganku, kuhampiri dia. Eh? Dia tampak seperti seseorang yang aku kenal, wajahnya familiar. Dia si rambut pelangi yang menjadi klien agen bodyguard rahasia tempo hari! "Toilet cewek dimana?" Tanyaku tanpa basa-basi. Cewek rambut pelangi itu nampak bingung sejenak seraya memperhatikan wajahku seksama, pasti dia juga merasa familiar denganku. "Em–" "Gue disini." *** 21. Yera (1) "Fe–" Panggilku pada cewek yang berbalut selimut pink yang mencoba meniru kepompong tapi jadinya kayak lemper basi itu. "Itu panggilan Vera, jangan lo sebut nama gue kayak gitu." Sanggah Fena dingin. Kondisi cewek itu bisa dibilang membuat aku iba, karena dia seperti habis menangis, ada noda maskara di kantung mata dan daerah sekitarnya. "Gue tau lo nggak minta pembalut, apa yang lo mau ngomongin sama gue?" Tanyanya dengan nada mengancam, yang lebih terdengar kayak orang lagi putus asa. "Jesy–" "Kalo lo anggap gue yang bunuh dia, mending lo keluar!" "Gue nggak beranggapan gitu sayangnya, jadi gue nggak akan keluar." Aku menghempaskan pantatku dikasurnya, tepat disampingnya hingga dia agak tergenjot. "Wih–empuk bener!" Fena memandangku curiga, kayak aku mau curi emasnya saja. "Kenapa lo bully dua orang itu? Yang akhirnya gantung diri di pohon." Tanyaku, sebelum dia berniat mengusir. Fena mengacak rambutnya, dia nampak frustasi. "Kenapa semua orang nyalahin gue? Gue udah nahan cemburu gue ke Sky, tapi baik Vera maupun Jesy selalu nyombongin diri pakai ngirim gue surat origami! Mereka yang mulai duluan!!" "Surat origami?" "TUH!!" Tunjuknya pada dua buah origami, satu hijau dan satu merah. "Gue simpen itu sebagai bukti kalau gue nggak salah!" Cewek itu bukan si Buntau, aku yakin. Dari responnya atas kematian Jesy, aku paham dia nggak mungkin membunuhnya, dia tampak sangat frustasi. Tatapannya adalah tatapan orang nggak bersalah yang dipaksa jadi tersangka. Judge dari orang-orang membuatnya mengurung diri dalam kamar, bergulung dalam selimut, berharap setelah sekian lama dia akan bebas seperti kupu-kupu. Kasihan Fena. Maka dari itu, tanpa penjelasan apa-apa pada Sky dan Ben, aku minta segera ngibrit ke Blue Balley, akademi super mewah yang jadi tempatku latihan balet secara rutin. Karena dorongan ingin menemukan si Buntau sekarang juga, aku memberanikan diri mengapel Madam Gloria yang hari ini bibirnya mengkilap merah banget, seperti habis ngemil glitter. Nggak banyak yang aku dapat, kecuali orang yang menitipkan kantongku pada Madam Gloria bernama Hani. "Bagaimana cara mengenal orang? Kamu harus kenalan sendiri, Miss Yera." Jawabnya nyebelin kala ditanya perihal ciri-ciri si Hani. Sialan. Dan setelah membuang hal yang perlu dibuang (seperti kata May) di toilet, aku dikejutkan dengan penampakan Sky di salah satu koridor akademi. Dengan nada songong dia bertanya pada seorang cewek berambut nggak jelas, "Toilet cewek dimana?" Si sialan mencariku, jadilah kujawab. "Gue disini." Kejadian selanjutnya diluar dugaanku. "Ngapain kita lari-lari gini? Kayak syuting film india bego!" Makiku pada Sky yang seenaknya mensosor tanganku. Aku juga tak tahu sejak kapan akademi ini sudah makin ramai saja, jadi semua orang melihat kami semua. "Kok ramai, Kecoak?" Tampaknya Sky juga berpikiran sama. "Ini jam latihan khusus!" Jawabku setelah sadar bahwa hari ini ada latihan khusus untuk acara yang akan digelar besok. "Lo ngapain sih?! Kenapa? Ada yang gawat?!" Tanyaku seraya lekas memakai helm, karena tampaknya cowok itu lagi ada yang gawat. Lagi asyik-asyik makai helm, malah sekarang Sky menahanku. Terus-terus saja menyentuh tanganku, kalau dia mau aku mati kaget dengan lidah terjulur ke depan sekarang juga. Jantungku mau copot, sialan! Sky menatapku. "Lo tau jalan rahasia belakang akademi?" Aku mengangguk, lalu kami berakhir di sebuah terowongan kecil (maksudku semacam tempat pembuangan sampah) yang menembus ke jalan belakang. Jangan tanya kenapa aku tahu, aturan mainku adalah melihat-lihat setiap celah suatu tempat yang akan menjadi kunjungan rutin dalam hidupku (seenggaknya untuk beberapa tahunlah). Dan itu berguna 'kan? "Ini tempat buang sampah, Kecoak!" Maki Sky dengan suara aneh karena ia mengapit hidungnya dengan jari jempol dan telunjuk. Begitu juga aku, bau tau. "Yang bilang kolam renang siapa?" Dalam waktu singkat, kami sudah nembus ke jalan. "Ngapain sih kita? Mau kemana?" Sky diam saja. Dia membawaku mengendap-endap di balik dinding ruko. Kawasan ini cukup sepi untuk keadaan di siang hari, tapi suara bising layaknya tawuran ini membuatku celingak-celinguk untuk mencari asal kerusuhan. "Lo sembunyi disini, kalau perlu masuk tong sampah! Jangan nampakin diri ke siapa-siapa sampai gue dateng jemput lo! Ngerti?" Panjang lebar sekali perintah si sialan ini. "Gue nggak mau ngerti." "Harus. Nanti gue traktir ayam sama--" "Oke, gue ngerti! Ngerti banget gue!" Sky lalu meninggalkanku sendirian, dia berlari seperti orang gila ke balik bangunan ruko ini. Aku harus diam disini buar ditraktir, tapi aku juga penasaran tentang kejadian disana. Sudahlah! Ayamnya kapan-kapan saja, aku bisa malakin Sky. Sekarang aku lari terbirit-birit, seperti Sky tadi. Belum sampai aku dibalik ruko, sudah ada kayu melayang di udara. Tawuran, aku yakin sekali ada tawuran. Sekumpulan motor dengan stiker lambang nggak jelas berwarna hijau terparkir asal, kayaknya anak geng motor. Aku baru tahu Sky dan kawan-kawan bisa juga terlibat dengan geng motor, ku kira mereka sekongkow anak manja yang nongkrong di mall atau bar dan semacamnya. Aku menampakan diri, nggak ada seorang pun dari mereka yang menyadari. Semuanya sibuk berantem, termasuk cowok itu, Sky. Bisa ku lihat geng motor sialan dengan anggota berambut hijau-hijau najis itu main keroyokan. 4 : 12, kalian tahu artinya? Setiap satu orang melawan tiga orang! Sky sedang bergulat dengan tiga orang berbadan sama besar dengannya, dia memanfaatkan sebuah gayung merah yang baru saja diketok ke kepala seorang lawan. Aku nggak tahu dia dapat gayung itu darimana, semoga saja dari tempat yang aman. Sedangkan Ben, cowok itu baru saja memberikan tendangan tinggi pada lawan yang lebih tinggi sedikit darinya. Lalu menjambak dua lawannya lagi, yang kini salah satunya terlempar didepanku. Ada dua orang lagi, yang sama sibuknya dengan Sky dan Ben, si atletis dan si narsis. Ternyata mereka pandai bela diri, lumayan keren. Aku bosan diam saja. Kenapa nggak ku mainkan saja taekwondo baletku? *** 22. Yera (2) Lawan yang tadi tersungkur didepanku berangsur membaik, dia berusaha berdiri, tubuhnya lumayan pendek untuk seukuran cowok. Nggak ganteng banget, mukanya brewokan, najis. Dia juga nggak menyadari keberadaanku, aku bingung cowok disini katarak semua atau apa. Tatapan cowok itu beralih pada Sky yang tampaknya sudah merobohkan dua lawan, kini tinggal satu. Dia mengambil kayu yang tergeletak dijalan, kayu melayang tadi. Kini dia berlari, dasar nggak jantan! Pakai-pakai alat segala. Sky sedang menghadap ke tempat lain, cowok itu ingin menerkam dari belakang rupanya. Sialan. Cowok brewokan najisin itu mengangkan kayunya di udara, dan aku langsung mengambil ancang-ancang berjongkok, menyiapkan kaki terkuatku lalu menyapu kakinya secepat kilat hingga dia ambruk ke aspal. "Yang jantan dong, Bang! Ah! Gimana sih?" Ku pijak 'anu'-nya sekali hingga dia mengapitkan kedua pahanya dan merintih, kedua tangannya melindungi masa depan yang kukira akan hancur berkeping-keping itu. "Kecoak, lo ngapain nongol disini?!" Bentak Sky seraya menarik lenganku. Perhatian cowok berpeluh itu teralih padaku sepenuhnya, dia nggak sadar kondisi itu dimanfaatkan seorang lawan dibelakangnya untuk membuat ancang-ancang gayung di udara. Pasti dalam hatinya ada dendam kesumbat pingin Sky merasakan bagaimana rasanya dipukul pakai gayung juga. Nyeleneh si abang lawan. "Putar gue ke 180 derajat!" "Hah?" Wajah Sky masih kebingungan, tapi aku nggak punya waktu lagi untuk menjelaskan. Jadilah aku langsung melompat dan menumpukan kedua tanganku pada bahu cowok itu, pintarnya Sky menangkap pinggangku lalu memutarku hingga bisa kutangkis gayung dengan menendang lengan cowok bencong itu. "Boleh juga, Kecoak." Ucap Sky kagum, sejak kapan cowok songong itu bisa mengapresiasi orang lain? Nggak ada lawan yang datang lagi, seiring dengan bunyi motor yang dengan nggak tahu malu menderum ramai-ramai, mereka kabur sambil maki-maki. "Awas kalian!" "Tunggu tanggal mainnya!!" "Bangsat!!" Yang terakhir bilang bangsat itu si 'anu' yang aku pijak tadi, sialan. Beraninya pas udah di atas motor. "Lo nggak apa 'kan?" Tanya Sky, aku nggak bisa percaya raut wajahnya, kayaknya dia khawatir. "Nggak apa. Lo gimana? Yang lain?" Aku celingukan, pemandangan depan mata tertutup tubuh Sky soalnya. Aku melihat Ben, si narsis, dan si atletis duduk di aspal kayak tiga onggok daging busuk. Mengap-mengap dan keringatan, kasihan. "Ini kenapa bisa gini?" Tanyaku pada Sky. "Masalah cowok, nggak usah tau!" Bentar. Kok Sky bentak-bentak aku? Dia marah. Mukanya sama beringas kayak pertama kami berantem di kelas, sialan. "Heh, siluman! Kok lu mencak-mencak gitu?" "Yang penting nggak ada hubungannya sama kasus yang kita selidikin." Jawaban itu bisa membuatku bungkam, ya memang kalau nggak ada hubungannya aku nggak perlu tahu. Katanya, kaum cowok itu punya urusan sendiri yang kadang cewek nggak usah tahu. Pokoknya kaum cowok itu aneh dan berbahaya, katanya sih. "Apa yang lo temuin sejauh ini?" Tanya Ben yang barusan gabung dengan kami, beserta kedua temannya. "Hai, Yera!" Sapa si narsis nggak tepat waktu, jadilah aku balas sekenanya. "Hai juga." Lalu langsung ke intinya saja. "Fena bukan pelakunya, dia juga diteror." Aku menunjukan foto dua surat origami itu pada mereka berempat. "Kita punya daftar tersangka baru, si alis lakban. Tadi gue sama Sky dengar cerita dari Bapak tukang kebun, katanya semenjak Fena berteman sama itu cewek, dia jadi pembangkang. Dan fakta yang lebih mencengangkan lagi, si alis lakban ini hobi lipat-lipat kertas." Raut wajah Ben kayak orang kelaparan yang mau makan sesuatu saat itu juga. "Siapa si alis lakban ini?" Tanya Ben. "Kita nggak tahu, kata si bapak seragam sekolahnya beda sama kita." Celetuk Sky. "Mengenai Hani, gue dapat identitasnya." Gabung si atletis tiba-tiba. Kayaknya dia adalah si hacker yang Sky sebut 'Van' itu, rupanya diam-diam Sky minta bantuan Van. Berarti semua sekongkow Sky tahu masalah ini. "Dia salah satu murid di akademi yang nampil besok." "Berarti dia masih ada di akademi dong!" Van mengangguk. "Hani adalah klien kita waktu itu." Kali ini aku nggak ngerti apa yang Van bilang. "Klien apaan?" Sky nyeletuk lagi. "Urusan cowok, itu nggak ada hubungannya sama kasus. Lanjut, Van.!" Cowok ini daritadi bikin aku pusing melulu, urusan cowok apa yang dia maksud itu, sehebat apasih urusannya itu. Pingin aku piting rasanya, untung tinggi, aku malas susah-susah jinjit atau lompat. "Ini foto Hani, buat Yera yang belum pernah lihat." Celetuk si narsis yang aku penasaran siapa namanya, tapi nanti aja tanyanya, soalnya waktu belum tepat. "Ini 'kan cewek tadi, Nan!" Aku tanpa sadar menepuk bahu Sky keras, respon cowok itu malah lebih kaget dari aku. "Kok lo nggak tau? Tapi katanya dia klien dari 'urusan cowok' lo itu?" "Gue jamin, Sky baru tau nama cewek itu sekarang. Karena dia yang paling cuek-cuek monyet." Celetuk si narsis lagi. Jadilah ku tanya, "Nama lo siapa, sih?" Mukanya berubah agak bete, sedangkan ketiga temannya ketawa-ketawa ditahan mengejek dia. "Faril, nama gue Faril." Lecosnya singkat. "Oke, back to topic–tapi mending kita ngomong di dalam." Sela Ben sambil menunjuk sebuah ruko yang sama bobroknya dengan ruko-ruko kiri dan kananya. Kalau dilihat sekilas, ruko ini bisa menghidupkan kesan akan runtuh kapan saja, pokoknya hancur. Faril membuka pintu ruko sesempit mungkin, lalu mempersilahkan kami semua masuk. Dalamnya cukup berantakan, ada tag besar dari kayu menggantung di dinding bertuliskan 'Agen Bodyguard Rahasia'. Rupanya mainan mereka lebih keren, dari covernya sih. Karena aku belum tahu agen bodyguard rahasia itu kayak mana. Sky mengeluarkan papan tulis putih dari balik horden, ia memegang spidol layaknya guru yang mau mengajar. Kami pun spontan duduk di sofa-sofa yang nggak jelas bentuknya itu. "Pertama, cari Hani dan cari tau tentang surat origami yang bisa nyelip di kantong Yera. Kedua, cari si alis lakban temennya Fena dan mata-matain. Ketiga, kita harus lindungin Yera karena ciri tahap pertama korban adalah dekat sama gue. Kita bagi-bagi tugas!" "Keberatan!" Aku mengangkat tangan, ala-ala pengacara saat sidang. "Gue pikir gue nggak perlu dilindungin." Sky nampaknya mengabaikanku. "Tugas pertama, Yera, gue serahin ke elo karena lo salah satu murid akademi. Besok kami bakal ke Blue Balley ecek-ecek nontonin pertunjukan ngebosenin itu." "Besok gue nariin Giselle." Celetukku yang lalu membuat keempat makhluk diruangan ini menatap asing. "Giselle itu salah satu peran dalam kisah romantis tragis yang sangat terkenal dalam dunia balet." Jelasku sesingkat-padat-jelasnya, nampaknya mereka tambah bingung. "Kisah romantis? Berarti lo narinya sama cowok?" Tanya Sky dengan bodohnya. "Ya iyalah, masa gue nari sendirian? Romantisan sama siapa kalau gitu? Sama setan? Namanya juga kisah romantis, ada cintanya, ya antara cowok sama ceweklah!" Aku nggak bisa ngontrol diri rupanya, sampai Faril menganga dan bertanya. "Lo seriusan nari balet?" Yang ini minta disepak lagi. "Nari saman! Besok gue nari saman, lo nontonin baik-baik tari saman gue ya?! Jadi emosi, sialan. "Udah-udah–" Ben menengahi, nggak tahu sejak kapan dia jadi peran permanen buat nenangin perdebatan-perdebatan yang ada. "Fena 'kan juga ada di Blue Balley, si alis lakban juga, nah kita bisa double inspeksi besok!" Ide bagus dan nggak ambur-adul akhirnya keluar dari mulut Ben, seenggaknya dibalik kelakuan kepo nyebelin, dia masih cerdas. "Gue pantau cctv, kalau ada yang mencurigakan gue calling. Siapa tau 'kan?" Usul Van, cowok itu tersenyum manis, nampaknya dia orang yang sangat bisa diandalkan. Aksi dengan hacker sangat memudahkan, lihat saja sekarang, hacker sangat berperan penting. Akhirnya kami masing-masing setuju akan memulai aksi besok, aku baru tahu bahwa mereka memiliki sebuah hobi rahasia yang nggak jelek-jelek banget, malah bisa dibilang bagus daripada harus merokok, nge-vape, atau bahkan nge-drugs. Walau risikonya gede juga. Ben, Faril, dan Van memilih tinggal di markas, sementara aku harus ke akademi untuk latihan sore. Dan si sialan Sky ngotot ikut dengan alasan mau langsung menginterogasi Hani, kalau cewek itu masih bertengger di akademi. *** 23. Sky (1) Pertama, aku tak mau Yera kenapa-napa. Kedua, aku tak mau Yera kenapa-napa. Ketiga, sama seperti dua alasan sebelumnya, aku tak mau cewek itu kenapa-napa. Tetapi sepertinya susah sekali cewek itu memahaminya, sampai-sampai dia harus berjalan didepanku dengan menghentak-hentakan kakinya seolah seluruh dunia harus tahu kalau dia sedang marah padaku. Ia mengunci suaranya, lalu berjalan ke deretan loker berwarna cokelat muda yang masih mengkilap, sepertinya baru dibeli. "Heh, siluman! Lo beneran mau jadi siluman bayangan gue? Duduk ajalah di lobi!" "Suka-suka gue, orang kaki-kaki gue kok." Lagipula sekolahku juga menanam investasi besar disini, aku bebas mau ngapain saja. Kalau mereka melarangku, lihat saja besok, akademi ini akan jatuh miskin. Yera mendecak, ia seperti mau menggigit sekarang juga. Bunyi gemerincing terdengar saat dia mengobok-obok tas ransel cokelatnya, lalu benda kecewekan yang berwarna pink tertambat di genggaman tangan mungilnya. Tunggu. Benda itu– "Gantungan ini–lo dapat dari mana?" Yera dengan wajah acuh menjawab, "Kenapa? Lo mau juga?" Ia memutar kunci lalu membuka lokernya kasar, hingga terdengar bunyi gebrakan. Pintu kecil loker itu kini menutup wajahnya dari pandanganku. "Vera punya satu." "Nan!–" Seru Yera sambil membekap mulutnya sendiri. Lalu ia memasukan tangannya sekilas ke dalam loker dan mengeluarkan sesuatu. "Maksud lo ini?" Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat, Yera memegang sebuah kunci dengan gantungan yang sama persis. Dan name tag-nya jauh membuatku terasa kaku, rasanya aku ingin membunuh siapapun orang itu sekarang juga. "Ini punya Vera, Nan! Sial!" Aku menarik Yera menjauh, kulihat isi loker cewek itu yang kini berlumur tinta merah yang merusakan sepatu baletnya serta sebuah benda berenda yang aku tak tahu apa itu. Terlebih penting lagi, aku menemukan sebuah origami merah yang sengaja diamankan oleh si penaruh agar tak terkena tinta merah. "Sialan, sepatu gue!" Umpat Yera, seolah dia baru sadar bahwa seharusnya dia lebih histeris melihat sepatunya daripada menemukan benda milik Vera itu. Aku membuka kertas origami berbentuk burung itu, perlahan agar tak sobek. Yera menyempil dan menopang tangannya pada bahuku, "Pertunjukan Giselle berdarah, stay tune? Lu kira radio? Banyakan makan micin nih orang, campur ee goreng kali ya?!" Maki Yera berapi-api, bukannya takut, dia malah geram. "Sini kuncinya, gue amankan dulu–"Yera langsung menyerahkan kunci tersebut padaku. "Terus latihan lo gimana?" "Gue pinjem orang aja sepatunya, apa nyikok gitu, gampang gue." Celetuknya asal sambil menutup kembali lokernya, rambut Yera nampak lebih berantakan dari sebelumnya. "Gue temenin lo latihan, tapi ntar lo harus ikut gue, ada yang mau gue tunjukin." Yera lekas bergegas ke sebuah ruangan besar berdinding cermin, studio tari yang bernuansa cokelat muda. Aku duduk di sudut ruangan yang rupanya tak ramai ini, aku kira akan ada banyak orang, nyatanya hanya ada dua orang cowok dengan Yera seorang. Kurasa pilihanku tepat untuk menemaninya latihan. Aku mengambil ponsel lalu menelepon seseorang. "Nanti malam meeting, diruang rahasia gue." "Oke, my bro!" Dia Vano, aku yakin wajahnya pasti mirip bebek disana. Kualihkan lagi perhatianku pada Yera. Cewek itu masuk ke salah satu ruangan dan tak lama ia keluar, dengan sepatu balet merah dan renda-renda putih ngembang yang ia pasangkan dengan stocking hitam serta baju ketat khas penari balet itu. Harus ya nari balet pakai baju seperti itu? Yera melakukan gerakan-gerakan balet, sepertinya ia sedang pemanasan dan juga sedang serius, karena tak sedetik pun ia melihatku disini. Dasar kecoak, mengesalkan. Alunan melodi khas musikal pun mengalun di udara, Yera dan pasangan menarinya yang sok ganteng itu sudah siap-siap untuk memulai tarian. Satu cowok lagi, yang pendek, dia memberikan aba-aba, sepertinya ialah sang pelatih. Geli sekali aku melihat cowok itu memakai pakaian serba ketat, jadinya aneh, aku pun malu sendiri. Yera menari dengan anggunnya, tangannya bermain di udara seperti helaian kapas, kakinya yang kokoh berjinjit-jinjit dan mengikuti alunan musik secara profesional. Dia penari yang handal. Aku menikmati tariannya sampai saat cowok sok ganteng berambut jablay itu masuk ke dalam tarian. Nyemak! Harus ya dia pegang-pegang pinggang Yera dan mengangkat cewek itu kesana-kemari? Sesekali ada adegan mesra seperti Yera menyandarkan kepala di dada cowok itu, aku muak. Tapi aku tahan-tahan sampai Yera siap menari dan membungkukan badan sebagai tanda tarian selesai. "Bravo! Bravo! You're amazing, Miss Yera. So do you, Mister Tony." Puji pelatihnya lebay. Aku lalu beranjak, menimbrungi mereka bertiga. "Excuse me–" Senyumku pada pelatih dan cowok sok ganteng yang namanya tak keren itu, si Tony. Lalu aku beralih pada Yera, "Have you done, Darl?" "Darl? Oh my God, so lucky Mister Shanan. She is yours, hah?!" Pujian si pelatih kini teralih padaku. Bukannya sombong. Semua orang mengenalku, sudah kukatakan dari awal bahwa papa punya konglomerasi bukan? Yudira, Corp. Tak ku lihat lagi bagaimana wajah si kecoak, ia meninggalkan kami cowok-cowok dengan sunyi, ke dalam bilik tadi tempat dia berganti baju. Ini kesempatanku melontarkan tatapan mematikan pada Tony, cowok itu tersenyum kecut, dan aku balas senyum kemenangan bak raja neraka. Kurang tongkatnya saja lagi, biar ku tusuk dubur Tony lalu membuangnya ke lautan api kekal. "Heh, lo sialan! Lu ngapain manggil gue darl-darl?! Depan mereka lagi, haish!" Protes Yera mencak-mencak saat kami sudah tiba diparkiran. "Gue nggak suka Tony." "Yaiyalah, lo harusnya nggak suka! Kecuali lo homo!" Aku menangkap wajah kecil yang bulat tembem itu hingga dia kicep, baru kali ini aku melihat seorang Yera sebagai makhluk imut, aku sudah gila. "Gue nggak suka lo deket-deket sama cowok sok ganteng itu." Aku menepuk-nepuk pipinya lalu membiarkannya kebingungan sendiri, cewek itu diam agak lama. Lagi pula, sudah setiap malam aku mempertimbangkan, menganalisa, dan meneliti perasaanku sendiri. Hasilnya 99.9% aku suka Yera, cewek berantakan dan frontal ini. Kini, anak-anak sudah berkumpul dirumahku, termasuk Yera (yang habis mandi langsung aku jemput). Kami mengumpulkan petunjuk-petunjuk di atas meja, dari jurnal papa Herga, memo 'you late!', origami 'surprise belakang sekolah', foto origami Fena, kunci loker Vera, lalu origami terakhir yang berisi ancaman 'pertunjukan Giselle berdarah'. "Gue yakin si pelaku udah siapin jebakan buat lo, Yer." Spekulasi Ben sambil melempar origami merah. "Kita nggak tahu jebakan apa yang bakal dia buat, sekarang kita harus gerak lebih cepat. Kita harus menangkap pelakunya sebelum dia beraksi." Tumben Faril berkata benar, sepertinya dia ingat minum obat, atau mungkin sudah bertobat. "Mengenai O.R.G.M, gue udah saring seluruh murid dengan nama yang depannya O.R.G.M. Ada yang unik sih." Celetuk Vano yang membuat aku menumbuhkan secercah harapan. "Jelasin, Van!" "Gini, gue nemuin pola yang cocok, tapi ini merujuk pada dua orang. Lo bilang pelakunya cewek? Dia pasti dibantu, karena susah buat fisik cewek kerjain pekerjaan gini sendirian." Mulai Vano serius. "Pelakunya lebih dari satu." Simpulku. "Gue nemuin pola, O.R.G.M itu terdiri atas dua nama murid, yang pertaman O.R dibalik jadi Retta Orina, yang kedua–" Vano mengantungkan kalimatnya. Dia menatap Yera hati-hati. Cewek itu pun merasa ditatap Vano, dia memegang dahinya frustasi, hingga dia menyambung, "Maya Genasha?" *** 24. Sky (2) Aku rasa Yera juga tak menyangka dia akan menyebutkan nama teman sekelas kami yang kutahu dekat dengannya itu. "May yang cerita tentang kejadian Vera, dia juga yang suruh gue hati-hati–nggak mungkin dia–nggak mungkin–" Sela Yera terbata-bata. "Lo meding ke kamar gue dulu, tenangin diri lo disana, tidur kek atau apa." Saranku pada Yera yang sudah bersandar lemas di sofa, aku tak mau dia mendengar lebih lagi tentang asumsi kami, setidaknya sampai dia tenang nanti. Tangan cewek itu gemetaran, hal ini mengkhawatirkan. Membuat aku mengambil keputusan untuk mengantar dia ke atas dan kembali ke bawah. Vano melanjutkan dengan memperlihatkan kepada kami sebuah foto, "Ini Retta, alisnya lakban 'kan?" Aku dan yang lain mengangguk. Faril dengan bingung melecos, "Gue kayaknya pernah lihat anak ini." Jujur, aku juga familiar dengan wajah ini. Ah, wajah ini! "Ini sepupu Herga, anjir! Yang gue ludahin kadonya pas awal kelas sepuluh!" "Kalau memang Retta orangnya, pantes aja dia punya akses ke rumah Herga waktu itu. Bisa-bisa dia udah ada di dalam rumah sebelum Herga dan family pergi makan malam!" Asumsi Ben yang langsung aku benarkan dengan mengangguk-angguk paham. "Gue harus nanya Herga." Aku memutar ingatan pada waktu itu, saat valentine memang banyak kado-kado dan surat-surat lebay nangkring baik di loker, di laci meja, di dalam tas, hingga ada yang pakai jasa kurir diantarin kerumah. Dari antara sekian banyak pemberi kado, hanya Retta, cewek tinggi berambut pendek yang agak gemuk itu yang berani memberinya secara langsung padaku. Aku najis setengah mati saat itu, karena gigi kawatnya sangat kotor. Jadi aku lempar kadonya ke lantai lalu sok-sok meludah, padahal ludahnya tak benar-benar keluar. "Kalau gini, motifnya udah jelas. Dia nggak punya masalah sama korban-korbannya, tapi sama lo!" Ben menunjukku, kurang ajar. "Tapi kenapa nggak si Sky aja yang dibunuh?" Tanya Faril tanpa menjaga perasaanku, sebenarnya dia temanku atau bukan, aku ragu sampai langit ke-tujuh. "Atau mungkin dia iri sama korban-korban ini, karena dia nggak sempat dekat sama gue kayak mereka." "Bisa jadi–" Vano merebahkan tubuhnya di sofa, menatap langit-langit ruang tamu, "Dan bisa jadi juga cara eksekusi Yera bakal lebih parah dari korban sebelumnya. Karena lo suka sama dia." Aku tak bisa membayangkan Yera dieksekusi sama sekali, cewek itu bahkan jago berantem, tetapi tak menutup kemungkinan pelaku akan main curang. Itu yang aku pikirkan. Ada juga satu keraguan dalam hatiku. "Lo yakin G.M itu inisial Maya Genasha?" "Cuma nama dia yang inisialnya gitu di Blue Balley--kok banyak banget anak sekolahan kita ngebalet disana sih?" Ben menjawab Vano. "'Kan sekolah kita udah kerjasama, sekalian mereka sekolah balet, sekalian di convert ke nilai eskul, gimana sih lu? Murid baru?" Vano mengangguk menjijikan, "Iya, tolong bimbing adek, Bang!" "Lu yang paling tua disini, najis!" Aku pengin menggamprat Vano sekali-sekali. Sudah jelas-jelas dia tua setahun dari kami bertiga, dasar tak tahu diri. "Runyam banget masalahnya lama-lama, lebih susah dari dapatin cewek! Heran!" Celetuk Faril mengesalkan, kakiku hampir saja melesat ingin menunjang kepalanya. "Siap-siap!" Perintahku. Mengingat kami tak bisa membuang waktu lebih lama lagi, aku mengusulkan. "Ke bar, kita harus cari Hani! Buat mastiin gimana ceritanya origami itu bisa di dalam kantongnya si Yera." Kami harus mengeliminasi calon tersangka, agar penyelidikan bisa lebih sempit. Fena sudah tersingkir, kali ini aku ingin memastikan Hani. Setelah itu, kami bisa tinggal fokus pada Retta dan May besok pagi. "Buru-buru amat!" Protes Faril. Ckck. Susah memang otaknya. "Sky mau mempersempit penyelidikan dengan mengeliminasi calon tersangka, bego. Makanya otak pindahin, jangan di dengkul lo tarok, 'kan ribet!" Maki Ben sangar, yang percuma saja dilontarkan pada Faril, cowok itu malah mendecak dan menoel pipi Ben, najis. "Waktu kita udah mepet, baiknya kita bagi kelompok aja. Tugasnya interogasi Herga, sama interogasi Hani." "Gue sama Vano bisa ke bar." Usul Faril sambil mengedip sok nakal, padahal kesannya kayak gelandangan genit. Malah Vano juga mengangguk, kayaknya lagi mood. "Oke." "Gue ke Herga, lo nemenin Yera aja disini." Tawar Ben sambil tersenyum penuh arti, dasar iblis. Tak tahu pikiran macam apa yang berterbangan dikepalanya, tapi aku sama sekali tak akan setuju dengan itu. "Oke. Dua jam lagi udah harus ngumpul disini!" Aku melepas kepergian ketiga orang temanku dengan sukacita, akhirnya aku bisa merebahkan diri di sofa yang agak usang tapi empuk ini. Maklumlah, ini bukan rumah utama, ini hanya sebuah rumah sederhana yang menawarkan kenyamanan dengan perabot-perabot dan desain sederhana, namun kaya akan kenangan indah. Dirumah ini, aku, mama, dan ayah (yang pada saat itu belum dihinggapi setan selingkuh) merajut cinta dan asa yang sekarang tinggal debu belaka. "Shanaaaaaaaaaaaaaaaaaaaann!!" "BEGOOOOOOOOOOOOOKKK!!" Suara menggelegar mengangetkanku, Yera si kecoak membuat penuh rumahku yang kosong. Aku harus segera menghampirinya sebelum indera pendengaranku menyerah dan mati untuk selamanya. "Ada apaan? Kenapa teriak-teriak, Kecoak?!" "Sumpah, lo bego banget sampai gue mau nyuruh lo bunuh diri sekarang juga!" Bentak Yera geram sambil menunjuk-nunjuk taburan origami di atas tempat tidurku. "Kenapa lo buka-buka?!" "Ini semua apa?! Jangan bilang lo pelakunya!!" Tuduh si kecoak sembarangan. Aku jadi penasaran kenapa dia berpikiran seperti itu. "Oke. Lo bukan pelakunya, gue tau. Lo cuma manusia yang begoknya kebangetan! Ini teror-teror yang dikasi ke Vera! Dia ngasi ini kapan?" Yera menyodorkan padaku sebuah origami. Morning surprise di loker O.R.G.M Aku, jangan ditanya lagi. Aku kaget setengah nyawa. Aku bahkan lebih memilih melihat muka Yera yang merah padam daripada harus dihadapkan dengan kenyataan seperti ini. Yera yang tak tahu sejak kapan sudah berada didepanku menggoyang-goyangkan tubuhku, "Kapan? Sebelum dia meninggal?" Iya. Aku menggangguk. Perlahan tubuhku semakin lemas. "Vera nggak diem aja--dia takut, Nan. Dia takut saat itu, dan dia ngirimin ini ke elo berharap lo tau dan bantuin dia!" Bukannya aku tak memikirkan kesitu, hanya saja Yera membuatnya semakin jelas. Aku sangat bodoh, aku bahkan tak curiga sama sekali saat tahu si pelaku meneror dengan origami. Aku nggak kepikiran sama sekali untuk mengubek-ubek kotak kaca berisi lipatan-lipatan origami yang dikirim Vera dua hari sebelum dia meninggal itu. Otakku tak jalan, aku bodoh sampai langit ke tujuh. Keadaan pun membuatku jauh dari Vera, saat itu ada sebuah job besar untuk agen bodyguard rahasia sehingga kami harus bolos sekolah beberapa hari. Dan aku menemukan Vera sudah meninggal saat kembali masuk sekolah. Yera menepuk bahuku pelan, ia bersandar pada lenganku, lembut sekali. "Lo nggak salah--cuma agak begok aja. Begok itu bukan sebuah kesalahan." "Lo mau hibur gue apa ngejek?" "Dua-duanya--yang terpenting sekarang kita harus cepat-cepat nangkap pelakunya!" *** 25. Yera "Teror dimulai dari yang paling ringan sampai yang paling sialan--jadi teror loker ini yang pertama. Dia pasti pakai tinta merah juga kayak gue punya kemarin." Nggak semua origami berisi teror, aku dan Sky harus membuka satu persatu dan memastikan, karena sebagian besar dari kertas-kertas itu cuma kertas kosong yang nggak bersalah. Siapa pun pelakunya, pasti dia orang yang bengis banget, dan nggak keren. Setelah mengubek-ubek, totalnya hanya tiga surat teror, dan yang ketiga adalah yang ditulis Vera sendiri. Dengan gaya nulis berbeda dan inisial yang berbeda. "Ini yang kedua." Kata Sky dengan menahan amarah, walaupun mirip orang ngeden, tapi aku tahu sekarang bukan waktu untuk bercandaan. Say hello to the hell! Two days to go! O.R.G.M "Psikopat ini orang!" "Ini yang ketiga–dia pasti nulis ini sesudah dia nerima surat teror yang kedua dan pada hari itu juga dia ngirimin ini kerumah sementara gue lagi ngurusin urusan lain." Sky memaparkan origami tersebut di atas kasur, sejejeran tulisan rapi yang agak bergetar dan inisial V tertambat disana. Loker Blue Balley. V. Origami ini agak berbeda, karena ada inisial V yang tak lain pasti adalah Vera. "Loker? Vera pasti ada nyembunyiin sesuatu dilokernya!" Aku jadi antusias sendiri. "Tapi semua loker udah diganti sama yang baru semua, kita bisa cari loker lama di gudang belakang, karena semua benda bekas Blue Balley teronggok disana. Mereka terlalu pelit buat menghibahkan barang bekas." Nggak sadar, saking jijiknya, aku jadi mendecih. Sky mengangguk, lalu memainkan alisnya. "Oke. Malam ini?" "Iya. Malam ini." Lalu ponselnya berdering, dengan lugas Sky menerima panggilan yang nggak tahu dari siapa itu, yang jelas saat itu ia nggak menempelkan benda eletronik itu ke telinga. Sky memilih untuk mengaktifkan loudspeaker. "Ben udah gabung di bar." Suara itu aku kenali sebagai Vano. "Gue udah nanya Herga, dia bilang waktu itu memang nggak ada siapa-siapa disana selain pembantunya. Terlebih lagi, hari itu Retta lagi pelatihan di Singapura." Itu suara Ben. Lalu yang berbicara diujung sana berganti lagi, si Faril. "Hani bilang, cewek rambut sebahu pakai kacamata, mirip-mirip orang jepang gitu yang nitipin itu kantong. Cewek itu suruh Hani kasi ke Madam Gigolo–siapa sih itu namanya–" "Madam Gloria." Sanggahku agak kesal, gigolo sama Gloria beda jauh, nggak tahu aja kenapa aku jadi nggak terima mereka disamakan. "Nah iya, itulah. Cewek itu bilang gini, 'Tolong titipin ini ke Madam Gloria ya, ini punya Yera.'" "Oke. Good job, langsung pulang aja–kerumah masing-masing." Perintah Sky sebelum menutup telepon. Kata 'kerumah masing-masing' bikin aku geli sendiri, nampaknya ketiga orang itu suka nongkrong disini sampai Sky muak, mungkin sampai muntah kelapa. "Gue nggak mau nyinggung elo, tapi semua petunjuk mengarah ke May." Ujar Sky, dia nampak hati-hati dengan ucapannya, seolah-olah lagi berdiri di tepi jurang dan nggak mengharapkan menginjak tapakan yang salah. Cewek yang dikatakan Hani sudah jelas-jelas merujuk pada May, hanya saja hatiku nggak terlalu yakin kalau ini May. Dia cuma seorang cewek biasa yang hobi gosip dan ngeden di toilet sekolah sambil ngupingin gosip terbaru, aku harap May hanya orang yang seperti itu. "Kita buka dulu lokernya–" "Gue antar lo pulang." Potong Sky cepat. *** Hari ini aku harus manggung, tapi aku nggak bisa tidur semalaman. Bayangkan, betapa capeknya aku saat ini, mungkin memang nggak secapek kuli bangunan, tapi pokoknya semua bagian tubuh lemas. Aku dipasangin benda aneh di telinga, seperti headset, dan telingaku bisa mendengar semua percakapan Sky dan geng. Misi pagi ini adalah menemukan loker Vera dan mengungkap misteri siapa dalang dibalik pembunuhan cewek-cewek yang dikaburkan sebagai bunuh diri. Kami yakin, di dalam loker itu terdapat bukti konkret. "Walaupun kemungkinan bukti itu udah raib, tapi nggak ada salahnya kita ngecek." Ujar Sky yang duduk disampingku. Kami lagi nunggu di parkiran, di dalam mobil. Demi mencari sosok Retta, kami udah nangkring disini dari jam lima pagi. "Gue nggak ngerti kenapa dia kasi kita kunci loker Vera." Aku benar-benar nggak ngerti, apa yang sebenarnya direncanakan sang pelaku. "Agen Genius. Kalau dipikir-pikir, ini semua aneh. Kertas jurnal papa Herga yang jatuh, kunci loker yang dikasi ke Yera, seolah-olah petunjuk ini memang sengaja dikasi ke kita. Over." Ben yang baru ku ketahui memilih nama agen genius itu mungkin memang benar-benar harus diakui kejeniusannya, karena sejauh ini aku nggak pernah berpikiran seperti itu. Akhirnya Ben membuka sedikit celah hingga aku bisa nyambung. "May itu peran protagonis, dia yang ngarahin gue buat nyelidikin kasus ini, dan pasti dia juga yang sengaja jatuhin jurnal papa Herga mengingat hari itu Retta lagi nggak di Jakarta. Mengenai kunci loker–secara May 'kan murid di akademi, dia bebas keluar-masuk bagian inti akademi karena dia punya member card." "Agen Red. Karena orang tanpa member card nggak bisa masuk ke akademi selain di lobby aja. Over." Sambung Sky. Malas sekali aku mengikuti protokol aneh ala-ala agen itu, kesannya kayak main-main, dan bikin geli. Lagi pula aku cewek sendiri, mereka nggak mungkin salah mengenali suaraku 'kan? Kalau iya, budeg banget. "Agen Six Pack. May pasti ada hubungan sama pelaku, entah dia kaki tangan yang nggak setuju atau gimana. Kita juga harus interogasi dia hari ini. Over." Baiklah. Terakhir aku melihat May adalah kemarin, waktu Sky seenaknya menyeret aku pergi. Seandainya aku kemarin menghabiskan waktu bersama cewek itu, mungkin dia bisa memberiku petunjuk lebih (tersirat tentunya). "Pertunjukan Giselle dimulai tujuh jam lagi." Sekarang jam udah nunjuk pukul sembilan, yang artinya jam empat nanti giliranku tampil sekaligus giliran eksekusiku. "Gue gladi bersih jam 2." "Agen Red. Itu artinya kita harus selesaikan semua urusan sebelum jam 2, karena habis itu kita harus ngelindungin si kecoak ini sekaligus nangkap si pelaku. Over." Keadaan lagi sangat serius dan aku nggak berniat nyablak sampai si Faril menyeletuk. "Agen Handsome. Lebih bagus lagi kalau kita udah bisa menciduk si pelaku sebelum si kecoak nampil. Over." "Kecoak kepala lo kecoak!" "Ril, yang boleh manggil Yera kecoak cuma gue." Celetuk Sky nyeleneh dengan senyum seolah-olah menang judi. "Diam lo, siluman!" *** 26. Sky "Agen Red. Retta, target utama baru masuk ke dalam. Over." Kalau kalian bertanya kenapa ketiga cunguk itu dapat masuk ke dalam akademi, alasannya adalah hari ini mereka mengajukan diri untuk part time sebagai pencuci piring dan pramusaji di depan pintu masuk pertunjukan. Mereka sudah menyusup duluan dari pagi, kami nggak perlu, karena aku dan Yera punya akses keluar-masuk. Dan sekarang kami masih nangkring santai di mobil. Ckck. Kasihan mereka. "Agen Genius. Lokasi? Over." "Baru masuk lewat lobby." Jawab si kecoak cepat, padahal tadi dia sedang marah, kecoakku professional juga. "Apa lo liat-liat?!" Matanya sudah menyerupai ikan mata besar, menonjol dan melotot. Tetapi tak seram. "Agen Genius. Mendapatkan target. Target sedang masuk ke dalam kantor Mister George. Over." "Itu pelatih balet gue yang kemarin." Celetuk Yera, dia nampak berkonsentrasi penuh dengan aksi ini. Yera adalah korban selanjutnya, tetapi aku tak menemukan tanda-tanda ketakutan sedikitpun. Entah cewek ini memang tak takut atau dia pura-pura berani saja. Semua tak penting, yang penting aku harus tetap berada disisinya, itu kesimpulan yang paling tepat untuk sekarang. "Agen Red. Gimana? Udah nemu lokasi loker bekasnya? Over." "Agen Six Pack. Agen Handsome jawab! Over." Faril si cetek memang mengesalkan, dia tak menjawab sedari tadi, padahal dia yang ditugaskan ke gudang itu. Seharusnya dia yang banyak laporan dari tadi. Malah May yang ditunggu-tunggu tak muncul-muncul juga. "Lo bisa cek cctv 'kan, Van? Pastiin dulu kalau si Faril masih hidup." Sela Yera frontal, sangat-sangat frontal. "Agen Handsome. Gue masih hidup belegug! Tapi ada masalah–kuncinya ketinggalan di mobil. He-he–Over." Aku langsung mengecek ke kursi belakang mobil, benar saja, kunci loker dengan gantungan gemerincing yang terduduk bosan disana. "Antar sekarang. Kita nggak punya banyak waktu." Perintah Yera tenang, seolah dia sudah profesional sekali dalam aksi-aksi seperti ini. "Gue nggak bisa ninggalin lo sendiri, lo harus ikut." "Nggak, gue harus awasin May disini." Bantah Yera, dasar keras kepala. "Siapa yang mau nyulik gue diparkiran ramai gini? Satpamnya aja ada tiga!" Wajah Yera yang sangat bisa dipercaya itu akhirnya membuat aku harus berlari meninggalkan dia menuju gudang di belakang gedung akademi. Gudang ini terpisah dengan gedung, tapi tak terlalu jauh. Namun, aku tak bisa menemukan dimana Faril berada sampai saat dia keluar dari semak-semak. "Gue kira lo timun emas, bego!" "Maafkan adek, bang!" Jawabnya tak tahu diri dan sok genit, najis. "Ini kuncinya. Mana lokernya?" "Ikutin gue–Agen Handsome. Bersama Agen Red menuju target operasi. Over." Aku mengikuti buntut Faril melewati sebuah pintu berukuran normal namun agak berderit ketika di buka. Untuk menghindari kecurigaan siapa pun yang mungkin lewat (meski kemungkinannya kecil), aku menutup kembali pintu itu rapat-rapat. Seperti layaknya sebuah gudang, sarang laba-laba terbentang dimana-mana. Yang tak layaknya, gudang ini luas sekali, lebih mirip seperti studio tari yang tak terpakai lagi. Dan banyak sekali loker disini. Ada yang berwarna biru, merah, kuning, dan cokelat muda. "Cari loker kode yellow-174." Faril mengangguk, lalu bersama denganku menghampiri loker-loker berwarna kuning. Ditengah pencarian, Faril memprotes. "Berapa banyak sih murid disini?" "Nggak banyak, ini gue udah ketemu." Tanpa banyak cincong, aku langsung membuka loker tersebut. Kami menemukan sebuah origami lagi, berwarna biru dan kali ini dengan nama jelas. Help me! Maya Genasha "Ini dia yang kita curigain sebagai pelakunya, kenapa dia yang minta tolong?" Tanya Faril bingung. Alih-alih menjawab, aku cuma bisa terdiam. Jadi, tulisan siapa yang mengarahkan kami ke loker ini? Kalau bukan tulisan Vera, berarti seseorang telah masuk kerumahku dan menaruh origami bangsat itu ke dalam kotak kaca (tempat Vera menaruh surat teror). Dan orang itu adalah May. Aku melaporkan semua yang aku dapat saat itu juga. "Agen Genius. Benar kata Yera, May itu ibaratnya peran protagonis. Dia memang sengaja buat Yera menyelidiki kasus ini, dan membantu kita lewat petunjuk-petunjuk. Tapi kenapa dia harus sembunyi-sembunyi? Over." "Agen Six Pack. Karena dia dipantau ketat oleh pelaku, nggak ada pilihan lain selain memanfaatkan perintah pelaku dan melakukan penyelewengan dalam tugasnya, yaitu ngasi kita petunjuk diam-diam disetiap kejadian teror. Over." "Yera? Kenapa lo nggak bersuara?" Benar. Walau situasi jadi sangat membingungkan, aku terus dihantui perasaan harus memastikan bahwa cewek itu aman. "Agen Genius. Kecoak lo nakal, dia keluar dari mobil dan masuk ke ruang Mister George tanpa bilang-bilang. Over." "Agen Six Pack. Dan dia matiin headsetnya. Over." Faril menatapku bingung. "Sekarang kita harus nangkap kecoak lo, biar dia nggak diterkam sama kucing." Kata cowok yang bertengger di sofa bekas dalam gudang. Mukanya memang bolot, tetapi arahannya benar. "Agen Red. Gimana perkembangan Retta? Over." "Agen Genius. Lagi latihan balet. Over." "Agen Six Pack. Gue coba cari keberadaan May. Over." "Agen Red. Gue ke Yera sekarang. Over." *** 27. Yera Pertama, aku nggak betah nungguin May nongol. Kedua, aku baru dapat info kalau May ninggalin surat minta tolong di loker Vera. Ketiga, barusan Mister George menghubungi aku, dia menyuruh aku ke kantornya sekarang juga. Begitulah ceritanya hingga aku bisa nangkring disini, di kursi berbantal kurang empuk, duduk berhadapan dengan Mister George. "What? Giselle diganti? Kenapa?" Tanyaku nggak percaya pada Mister George yang bermuka songong. "Karena kamu tidak bisa menarikan bagian klimaksnya dengan tepat, Miss." Ujarnya dengan ekspresi nggak bersalah sedikit pun. Sialan. Bukannya aku terlalu mendambakan jadi peran utama yang disorot semua mata di atas panggung megah Blue Balley, aku menjadi Giselle dengan paksaan Mister George waktu itu. Setelah kerja keras latihanku selama sebulan, kini dia membuangku sembarangan, emangnya aku limbah? "Siapa yang gantiin saya, 'YANG BISA MENARIKAN BAGIAN KLIMAKSNYA DENGAN PAS ITU', Mister George?" "She is Retta, the perfect one." "Okay, thanks, Mister George." Aku nggak bisa terpaku diruangan ini setelah mendengar nama Retta, pentingnya lagi Retta adalah Giselle yang artinya dia adalah korban selanjutnya! Aku mau memberitahu Sky dan geng sekarang juga, tapi bodohnya aku lupa membawa headset yang sok-sok aku matikan dan taruh di dalam mobil. Dan semua yang berkecamuk dibenakku berhenti kala melihat Retta (cewek itu mirip dengan yang ditunjukan Vano semalam), alisnya memang tebal, bagiku, lebih mirip ulat bulu nangkring daripada lakban nempel. "Retta?" "Hm--siapa?" "Kenalin, gue mantan pemeran Giselle yang belum sempat naik ke panggung." Aku pasang senyum, cantik nggak? Retta langsung gelagapan, dia seperti salah tingkah, anak ini nampak culun. "Sori--sori--gue nggak bermaksud--Mister George yang--" "Gue paham. Gue temenin latihan, yuk." Hal yang paling harus aku lakukan sekarang, melindungi Retta dari si pelaku. "Lo kenal May? Maya Genasha?" Tanyaku. Retta tetap fokus melakukan pemanasan disertai muka mikirnya. "Oh, May? Gue nggak begitu kenal, tapi dia anak sini 'kan?" "Iya. Dia temen sekolah gue--ngomong-ngomong lo ada lihat dia nggak?" Retta menggeleng cepat namun santai, lalu tersenyum manis, "Nggak, gue nggak lihat." Dia melanjutkan gerakan-gerakan pointe, ku akui dia memang hebat, walaupun kayaknya hebatan aku sih. Rasa-rasanya gitu. Ah, ponsel! Begoknya, aku sampai lupa kalau aku menyematkan benda itu di kocek celana. Aku lalu berjalan ke ruang ganti, pura-pura mau ganti baju. Masa iya aku terang-terangan memberitakan informasi ini di depan Retta. Aku menelepon orang terdekat yang bertugas memantau Retta daritadi, si Ben, yang aku yakin juga lagi memantau aku sekarang. Mereka mungkin lagi memaki ramai-ramai karena aku tiba-tiba dekat-dekat dengan orang yang dicurigai sebagai pelaku. "Retta gantiin gue jadi Giselle, gimana menurut lo?" "Jadi secara nggak langsung, korban selanjutnya itu Retta? Tunggu–nggak mugkin, polanya nggak sesuai, Yer. Lo mendingan cepat keluar dari ruangan itu, perasaan gue nggak enak–" "Gue harus terus dekat sama Retta, ini satu-satunya cara nangkap pelaku, karena cepat atau lambat dia pasti bakal beraksi!" "Yera, biar gue aja, kita ganti posisi. Gue bisa nyamar jadi balerino–" "Oh, iya-iya. Gue di blue balley kok, yaudah see you yaa–muah!" Bacotku nggak jelas karena seseorang membuka pintu, dan anehnya kenapa ada 'muah-muah' segala, sialan. Dia Retta. Cewek itu masuk tergesa-gesa lalu mengunci pintu, ia menunduk seperti terisak. "Lo kenapa, Re?" Tanyaku, pasti dahiku lagi berkerut bingung sekarang. "Gue takut–" "Takut kenapa?" Cewek itu perlahan menunjukan sesuatu yang rupanya ia sembunyikan dibalik punggungnya, aku sontak langsung mengenali benda itu. "Surat teror! Lo dapet darimana?!" Retta hanya diam saja, kayak mannequin, padahal sekarang lagi bukan waktunya kami main challenge-challenge anak jaman itu. Dia berdiri tegak, persis hantu di film horror korea, mengerikan. Tapi penampilan Retta bukanlah yang terpenting sekarang, aku cepat-cepat memeriksa isi surat teror itu. Welcome home, Miss Yera! O.R.G.M "Ini?" Aku kayak orang linglung sekarang, jelas-jelas namaku yang terpampang disana, bukan nama Retta. "Ini buat gue, kenapa lo yang takut?" Retta melangkah maju dan melingkarkan lengannya pada tubuhku. "Gue takut–gue takut rencana gue gagal, Yer." Oke, hawa mulai nggak enak. Tiba-tiba aku jadi susah nelan air ludah, semoga firasat ini nggak benar. "Rencana apaan?" "Kill you!" Seketika kurasakan sesuatu yang tajam dan kecil, seperti jarum menusuk lenganku. Aku di suntik. Sialan. Rasanya sangat sakit ketika jarum suntik itu menembus kulit, sangat perih waktu cairan itu menyeruak masuk lewat lubangnya. Sialan! Aku nggak bisa berkutik seketika, ini nggak adil. Kepalaku terasa pusing, rasanya kayak berputar-putar di pesawat ruang angkasa yang masuk dalam lubang hitam. Hanya kegelapan dan sisa tawa bergema Retta yang terekam sebelum aku merasa hilang. *** 28. Sky "Agen Six Pack. Yera hilang! Gue nggak lihat dia dalam studio tari lagi, gue coba lacak hp dia. Over." Seharusnya aku tak meninggalkan cewek itu, atau mungkin mengikatnya di kursi mobil dengan simpul mati adalah pilihan terbaik. Padahal baru ditinggal sebentar saja, kenapa dia menjadi lebih mirip kecoak sekarang? "Agen Red. Gue yakin dia di ruang ganti, ruangan itu nggak mungkin kerekam cctv. Agen Genius, cek! Over." Perintahku pada Ben, karena dia yang paling dekat dengan mereka. Di keadaan seperti ini, waktu adalah faktor penentu yang sangat krusial, terlambat satu detik bisa saja mengakibatkan kehilangan selamanya. "Gue coba ke Vano buat cari May, lo mau ke studio 'kan?" Tanya Faril yang sudah berdiri di pintu, walaupun tak bisa dibanggakan, tetapi Faril sangat peka soal ini. Dia tahu sesuatu dengan baik, yaitu kekhawatiran pada sosok spesial dalam hati. "Make it fast! Gue duluan!" Aku langsung melesat keluar dan berlari kala keadaan sekitar sedang sepi, tetapi aku mencoba untuk berjalan biasa saat memasuki lobi, untuk menghindari mencuri perhatian orang-orang. "Ben?! Lo dimana?" "Jawab gue, anjir!" "Gue lagi ganti baju, anjir! Nggak lucu kalau gue masuk studio tari pakai baju pelayan, pasti bakal diusir keluar!" Pintar. Ben pintar. "Dua menit lagi kita ketemuan di studio!" Aku sebisa mungkin menyelip-nyelip antara orang-orang ramai yang berlalu lalang, berjalan fokus ke studio tari yang aku ketahui keberadaannya, membelah orang-orang kelas elit yang memakai pakaian tak mahal-mahal amat itu. Ben baru sampai disana, dengan natural dia berjalan ke dalam studio. Aku tak bisa mempercayai ini, temanku yang satu ini sudah bertransformasi menyerupai si Tony sok ganteng. "Lo nyuri ini baju darimana?" Tanyaku berbisik. "Dari jamban–ya dari ruang kostum lah, bego!" Maki Ben yang juga berbisik. Studio ini kosong melompong, sepertinya bukan studio pilihan untuk latihan para performer. "Gue baru tau kalau gladi bersihnya di aula kanan, jadi gue yakin Retta sengaja nyeret Yera ke ruang sepi ini–dan mereka kayaknya masuk ke salah satu pintu itu." Jelas Ben kala kami sedang fokus berjalan tanpa menimbulkan suara langkah. Ada dua pintu dalam studio ini, aku dan Ben berpencar, masing-masing memilih satu pintu untuk diperiksa. Pilihanku jatuh pada pintu tempat Yera mengganti kostum tempo hari. Perlahan aku menguping, hasilnya sunyi. Aku putar kenopnya perlahan, aku masuk kesana setelah mengintip bahwa ruangan ini memang benar-benar kosong akan makhluk hidup. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatianku, sebuah benda yang terdampar di lantai. Aku mengambil usb itu. "Sky.." Panggil Ben sambil melihat ke sudut ruangan. Dalam waktu singkat, kami berempat berkumpul di gudang. "Gue nemu ini dan artinya apa? Korban selanjutnya udah fixed Yera." Ujar Ben seraya memperlihatkan surat teror yang tadi dia temukan di sudut ruangan. "Gue nemu ini, coba lihat Van!" Nampaknya Yera sengaja menaruh usb itu disana agar menjadi petunjuk untuk kami. Vano menyambut usb itu cepat, kayak orang lapar. "Oke, sebentar." "Kenapa Yera bisa diculik? Lo tau dia bengisnya gimana, pas nginjakin anunya itu." Celetuk Faril yang nampak sedang berpikir keras. "Kemungkinannya ada dua, Retta main keroyokan, atau Yera dibius." Simpul Ben yang aku setujui. "Kalau keroyokan, gue agak ragu. Yang paling memungkinkan adalah cewek itu dibius. Ngelihat belum ada noda darah, dia pasti masih baik-baik aja." Ben menepuk pundakku setelah aku selesai berspekulasi, dia mengangguk tanda setuju. Tiba-tiba aku teringat hal ini, cewek yang mengirim surat minta tolong dalam loker Vera. "May gimana?" Faril menggeleng lesu. "Gue yakin kalau kita nemuin Yera, kita juga nemuin May." "Nggak ada apa-apa, ini usb isinya cuma video nari balet–" Vano bersandar di sofa usang lalu menatap langit-lagit gudang. Aku sedikit khawatir, ada sedikit terbesit rasa takut bagaimana kalau aku tak bisa menemukan cewek itu. Tetapi aku nggak boleh gentar sekarang, rasa takut bisa memudarkan kemungkinan-kemungkinan aku berhasil menyelamatkan Yera. Aku bisa menyelamatkannya, aku harus menyelamatkannya, aku pasti menyelamatkannya. Coba berpikir, Sky! "Yera di culik di dalam ruang ganti studio tari, seharusnya kelihatan cctv kalau mereka keluar dari dalam ruangan itu. Coba lo cek dari jam Yera masuk kesana sampai sekarang!" Lalu Vano mengiyakan. Dalam sunyi kami mengamati video cctv yang diputar dipercepat itu. Aku melihat Yera masuk ke dalam studio bersama Retta keparat, lalu mereka melakukan gerakan-gerakan tarian sebentar, hingga Yera menghilang dan disusul hilangnya juga sosok Retta. "Gue kelewat bagian ini tadi–" Celetuk Vano frustasi. "Gue nggak lihat dia masuk ke pintu itu, sorry–" Aku dan yang lain menepuk bahunya mengerti, kami tahu Vano juga memantau cctv untuk menemukan May dan memonitor ada atau tidaknya hal mencurigakan di akademi ini. Dia pasti lumayan kewalahan. "Mereka nggak keluar dari studio. Anjir! Gue merinding!" Faril mengusap-usap lengannya sendiri. Iya, benar. Mereka tak keluar juga dari pintu itu sampai aku dan Ben tiba. "Ada dua kemungkinan lagi, mereka masih disini, atau mereka tau jalan keluar lain." Ben menatapku, aku pun menatapnya, seolah kami memikirkan hal yang sama. Aku menyambung, "Dan kita nggak akan pernah tau kalau kita nggak ngecek sekarang." Saat kami semua hendak keluar, Ben lalu berujar. "Lo berdua, ganti baju dulu. 'Kan nggak lucu pas mau aksi malah dipanggil buat nyuci piring." Tunjuknya pada Vano dan Faril dengan muka mesum. Di satu sisi aku setuju, di sisi lain aku jijik melihat ketiga temanku sekarang pakai kostum ketat-ketat. Ketiga balerino gadungan itu kini sudah berkumpul bersamaku setelah berpisah beberapa saat buat nyolong kostum. Kami membagi menjadi dua kelompok untuk mengecek dua ruangan mencurigakan dalam studio tari ini. Aku dengan Vano, dan Ben dengan Faril. Aku mengamati sekitar, ruangan ini layaknya ruangan biasa. Dengan langit-lagit, dinding, dan lantai cokelat muda. Sebagian dari ruang ini juga dipenuhi cermin. Saking polosnya ruangan ini, aku dan Vano memutuskan untuk mendorong setiap bagian dinding seperti orang yang urat warasnya raib dicuri tuyul. Siapa tahu ada pintu tersembunyi diantara dinding ini? "Gedung ini tinggi 'kan, Ky?" Tanya Vano. Sebenarnya itu pertanyaan retoris yang sudah dia jawab dengan sendirinya hingga ia menyambung. "Gimana kalau gue bilang kemungkinan ada ruangan di atas plafon?" Masuk akal. Mengingat akademi ini hanya terdiri dari satu lantai, namun ruangan ini atapnya lumayan rendah, tak ada yang tahu diatas sana ada ruangan lagi atau tidak. "Aaaaaaaaa!!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang bukan lain adalah gabungan suara Ben dan Faril. *** 29. Yera Sialan. Bangun dengan kedua tangan diikat di belakang kursi di dalam ruangan remang-remang sudah menyadarkanku pada situasi menyebalkan yang harus aku terima, aku diculik! Nggak lama aku buka mata, terdengar suara langkah kaki. Yang satunya buru-buru dan ringan, yang satunya berat dan terseret, cukup meyakinkanku bahwa ada dua korban disini (termasuk aku). Jadilah aku pura-pura masih pingsan. "Ahh!" Suara mengaduh itu disertai dengan bunyi seonggok manusia tergeleper ke lantai dan menubruk beberapa kursi. Pasti sakit. "Kenapa? Kaget kalo gue udah nyulik temen tersayang elo?" Baiklah. Itu suara Retta sialan. Dari intipan-intipan nggak ketahuanku, aku melihat May terduduk di lantai, dengan luka di sudut bibirnya. Pasti ditampar Retta, sialan. "Gue udah bilang, jangan pernah lo berhianat sama gue kalau lo masih mau lihat emak nggak berguna lo itu kerja dirumah gue! Dasar orang miskin nggak tau diri!" Sebuah gamparan melayang dan menyisakan suara meringis dari May. Benar 'kan? May bukan si pelaku. Dia cuma kaki tangan yang nggak ada pilihan lain. Aku nggak tahu apa yang dimaksud dengan perihal pecat-memecat, yang terpenting sekarang adalah menciduk Retta secepat kilat. Dan dimana empat orang bolot itu? "Jangan bawa-bawa Mama, Ret. Mama nggak salah apa-apa–" Bujuk May sambil terisak, serta beberapa kali menarik ingusnya. "Gue kasi tau, lo itu lahir aja udah takdirnya jadi budak orang, sama kayak Bi Asih!!" Aku nggak tahan lagi. "Lo tau dari mana itu takdirnya dia? Lo udah telponan sama Tuhan dan mastiin hal itu?" "Oh? Giselle udah bangun?" Akting Retta sok imut dan polos. "Giselle-giselle gundulmu? Saraf lo udah putus karena banyak bunuh orang?" Retta menunjukan perubahan emosi, walaupun nggak signifikan, tapi kayaknya dia mulai marah. Namun dia memilih menenangkan diri lagi, menampilkan senyum palsu yang horor. Dengan setelan itu, aku bisa kasih judul 'balerrina in the dark' atau 'phyco ballerina' untuk kisah Retta. "May, gue kasi lo pilihan, gue harus pecat Bi Asih, atau gue bunuh dia?" May nggak berani menatapku. "May, gue nggak marah sama lo, gue masih temen lo. Jadi, jangan anggap gue kayak setan yang nggak bisa dilihat." May lalu melihatku, kami bertemu tatap. Setelah bebas menatap wajahnya, aku baru nampak ada beberapa bekas pukulan yang melebam biru. Sialan si Retta. Nggak akan aku maafkan, gimanapun caranya dia harus diciduk. Kalau kalian mau tahu, aku nggak marah sama May karena : pertama, dia bukan pembunuhnya; kedua, dia jadi kaki tangan karena diancam; ketiga, karena dia teman seperjuanganku. May pasti sedang memperjuangkan hak Vera dan Jesy, makanya dia memutuskan untuk berhianat diam-diam. Kenapa dia diam-diam? Karena ada yang dipertaruhkan juga dibalik itu semua, si Bi Asih yang aku simpulkan adalah mama May. Dan sekarang Bi Asih terancam dipecat, kalau May memilih menyelamatkan aku. Retta berjalan mendekati May, dia berjongkok lalu membelai kepala May lembut. "Waktu kita nggak banyak, May. Lo harus milih sekarang–" Aku sebenarnya muak sekali melihat Retta. "Bebasin May dan Bi Asih–dan lo May, lo pergi darisini sekarang." "Tapi, Yer–" "Gue bakal baik-baik aja, karena gue nggak sendiri. Ada Vera dan Jesy disini." Retta tertawa tiba-tiba, seolah-olah aku lagi ngelawak, aku yakin sarafnya memang sudah benar-benar putus. Coba saja dia buka ikatanku ini dan berantem secara adil, pasti dia udah jadi kentang tumbuk sekarang. "Lo denger? Teman gila lo ini suruh lo pergi karena dia udah siap-siap gabung sama Vera sama Jesy, penghianatan lo sia-sia dong? Gimana?" "Pergi, May–kalau ketemu Sky, bilang gue juga sayang sama dia ya." Aku tambah sedikit kedipan. Dan saat itu juga May berdiri, "Maafin gue, Yer." Lalu dia bergegas pergi dengan pincang. Retta nampaknya nggak tertarik dengan kepergian May dan hubungan pertemanan kami lagi, ia menatapku berang dengan mata yang mulai melotok dan memerah. "Lo bilang apa tadi?" "Yang mana?" "Lo juga sayang sama Sky?" Aku mengangguk lalu tersenyum menang. "Iya, Sky suka sama gue, dan setelah May nyampein jawaban gue tadi, kami bakal resmi pacaran dong? Gimana?" Memangnya dia pikir dia saja yang bisa akting kayak gitu, aku juga bisa. "Lo mau bunuh gue? Silahkan–tapi gimana dong? Kalau lo ngebunuh cewek yang berarti buat Sky, dia bakalan benci sama lo, atau bahkan mau ngebunuh elo! Gimana, Ret?" "DIAM!!" "Bukannya dapat hati Sky, lo malah jadi yang paling dia benci." Retta akhirnya berang, dia mendekatiku lalu menepuk-nepuk pipiku. Makin lama makin keras, sialan. "Gue nggak peduli akan hal itu selama gue bisa mastiin nggak ada satu cewek pun yang dekat sama dia." Lagi-lagi dia mencoba tenang dan memajang senyum terkutuk itu, aku berasa lagi main film misteri. Dan sungguh, pernyataan Retta barusan jadi buat aku pengin ngakak. "Buat apa, Ret? Lo jangan bikin gue ketawa." "Lo yang jangan bikin gue ketawa, Yer." Retta menyeringai, ekspresi ini lebih-lebih horor dari yang pernah ditunjukan sebelum-sebelumnya. Aku kira aku sudah menembus titik kelemahan Retta, tapi kayaknya belum. Dia melanjutkan, "Sky itu cowok kejam, dia pantas buat sendiri seumur hidupnya! Dan gue mengirim cewek-cewek tolol yang suka sama dia ke surga, biar nggak disakiti sama cowok brengsek nggak berperasaan itu!" Oke, kali ini diluar dugaan. Perkiraan bahwa si pelaku adalah seseorang yang memuja Sky adalah salah total. Retta bukan cinta mati--lebih tepatnya pernah cinta. "Lo nggak kenal dia, Ret." Retta menatapku heran, dia nampak sedikit frustasi. Mungkin karena aku nggak sependapat dengannya. Bodo amatlah dengan muka hantu itu, aku melanjutkan saja. "Lebih tepatnya, lo nggak bawa kunci yang tepat untuk pintu hati Sky." "Jangan ngelucu!–Lo seharusnya berterima kasih sama gue, karena gue akan ngirim lo ke surga sebelum lo disakitin sama cowok brengsek itu." Retta mencekik leherku sebelum aku sempat membalas perkataannya. Sialan. Aku sudah kayak lemper yang nggak punya kaki dan tangan, Retta mencekik aku yang nggak berdaya. Curang. Awalnya aku masih bisa tahan, tapi lama-lama aku jadi sesak, aku nggak bisa bernapas. Rasanya dadaku sakit sekali, kepalaku mau pecah. Sial, aku tidak pernah begitu sadar bahwa udara adalah hal paling penting di dunia ini. 30. Sky Aku dan Vano segera berlari ke ruang ganti sebelah, sebagai reaksi dari mendengungnya teriakan Ben dan Faril yang amat memekikan telinga. Kutemukan Ben dan Faril terkapar di lantai dengan wajah pucat pasi, mereka menatap pada satu arah. “Cepetan sebelum semuanya terlambat!!” Teriak May dengan nyaring, matanya merah seperti ikan kehabisan napas. Cewek itu membuka dinding yang rupanya pintu rahasia itu lebar-lebar. “Sky? Lo mau mematung aja disitu? Mau gantiin patung liberty?” Entah kenapa seketika tubuhku terasa kaku, kakiku tak mau melangkah, ada apa ini? Ayolah Sky, langit tak pernah takut bertindak. Ben yang entah sejak kapan sudah berdiri langsung paham situasi dan menepuk pundakku, “Gue yakin lo bisa.” Gayanya sangat sangat jantan, aku tak percaya dia temanku. Aku juga tak percaya cowok berpakaian normal sepertiku kalah jantannya sama cowok yang sedang pakai baju ala-ala balerino gadungan itu. Ben mendahuluiku. May rupanya tak berniat untuk melarikan diri kerumah sakit, cewek itu memilih untuk mengikuti Ben. “Ril, lo susul Ben. Gue mau telpon polisi.” Perintah Vano. “Sky, jangan lupa amankan barang bukti.” Kali ini Vano menepuk pundakku. “Semuanya bakal baik-baik aja, Yera cewek kuat, dan gue yakin sekarang dia lagi nungguin kita, nungguin elo di dalem sana. Semuanya belum terlambat, Ky.” Baiklah. Aku melangkah. Semua akan baik-baik saja. “Ril, ayo.” “Udah?” Oh, rupanya Faril sudah berdiri di ambang pintu rahasia. Tanpa butuh waktu lama dan tambahan adegan tersesat, kami sampai pada satu titik buntu koridor yang berujung pada sebuah pintu. “Mana Sky?!” Teriak seorang cewek yang pastinya bukan Yera. “Lagi otw.” Suara Ben. “Mana Yera?!” Kali ini Ben membalas tak kalah cempreng. Fakta terpenting adalah Yera tak ditemukan di dalam sana. Aku harus mencari cewek itu. Aku harus menemukannya. “Ril.. mencar.” Faril yang paham akan situasi lalu mengangguk, “Hati-hati, Bro.” Peringatnya. Aku mengangguk. Kami mulai berpencar, mencari-cari kemungkinan adanya pintu rahasia di dinding koridor ini. Aku di sebelah kiri, Faril di sebelah kanan. Sementara itu masih terdengar sayup-sayup percakapan Ben dengan seorang cewek yang tak ku kenal, mungkin cewek itu adalah Retta. “Gue nggak tau apa masalah lo sama Sky, temen gue yang gue akuin emang songong itu. Tapi Yera nggak salah apa-apa.” Jelas Ben, yang sialnya juga dijadikan kesempatan untuk menghinaku songong. Dasar teman. “Justru Yera nggak salah apa-apa, gue mau menghindarkan dia dari sakit hati yang bakal dia rasain kalo dia tetep deket sama Sky. Sky nggak pantas buat cewek mana pun di dunia ini, dia itu cuma cowok rendahan yang berlagak pangeran cuma karena papanya bernasib agak beruntung di dunia.” Jawab Retta. “Masa bodoh, Retta. Kalo sampe terjadi apa-apa sama Yera, lo yang gue bunuh.” “Apa?” Faril menyahut. “Nggak, cepat gerak! Lelet amat sih!” Tak perduli sungutan Faril, aku kembali mengetuk-ngetuk dinding koridor dan mencoba membuka, atau menggeser tiap sekat dinding seperti monyet kegatalan. Tapi tak satupun dinding itu nampak seperti sebuah pintu rahasia. “Aduh!” Dan disaat seperti ini pula Faril harus keseleo dan mengaduh seperti pakai toa, kencang banget suaranya! “Sialan!” Umpatnya. “Bisa ya kaki gue ngajak bercandaan disaat-saat genting begini!” Awalnya aku tak menyadari hal itu, tapi nampaknya dinding tempat kepala Faril terantuk itu menampakan celah kecil. Aku mendekat, menghempas kepala Faril yang menghalangi. “Jahanam banget lo, udah jatuh ketimpa tangga lagi. Udah benjol lo tonjok lagi. Sakit hati bego!” “Diem lo, bego!” Aku mendorong dinding itu. “Astaga, ternyata anggota tubuh gue berkonspirasi untuk membuka pintu rahasia ini demi menyelamatkan Yera, cuy!” Kalau bukan teman, sudah ku tonjok sampai pingsan. Entah kenapa Faril bisa terlahir jadi orang super kepo dan super berisik di dunia ini. Aku penasaran mamanya ngidam apa waktu hamil. Yera, yang biasanya nampak segar bugar dan beringas terkapar di lantai. Aku buru-buru menghampirinya. “Kecoak!” “Kecoak, lo bisa denger gue?” Aku angkat tubuhnya, lalu kutaruh dia di sofa yang ada di ruangan itu. “Tadi gue mau teriak, tapi gue nggak sanggup, gue nggak nyangka gue selemah ini.” Ucapnya lemah. Lalu tiba-tiba terdengar derap langkah kaki yang terdengar tegas dan berat. Tanpa ku tanya, Faril sudah menjelaskan, “Polisi udah nyampe, gue ikut gerebekan dulu ya, males gue nonton melodrama.” Pamitnya, dasar aneh. “Sorry, gue telat.” “Iya lelet banget lu! Gue hampir mampus tadi.” “Kecoak bisa nangis juga?” “Sialan lo!” Aku menyesal memancing emosi Yera, karena sekarang cewek itu menatapku galak, rupanya tenaga cewek itu sudah berangsur pulih. “Gue anter kerumah sakit, ayok!” Yera mengangguk, “Faril nggak mau ikut? Dia geger otak nggak gara-gara buka pintu tadi? Lagian buka pintu pake kepala, orang bodoh mana yang kayak gitu coba. Cuma temen lo doang kan?” Nah, cewek ini ngajak berantam lagi. “Otak dia udah konslet dari dulu, jadi biarin aja.” “Shanan..” Tiba-tiba suara Yera berubah menjadi serius. “Kayaknya habis ini lo harus bicara empat mata sama Retta.” Iya, aku juga terpikirkan hal itu sejak tadi, aku tidak sabar ingin memarahi dan memaki cewek kejam itu. “Lo harus minta maaf sama dia.” “Gue nggak salah denger nih?” Aku tak mempercayai pendengaranku sendiri. “Vera adalah korban dari kesalahpahaman yang terjadi antara lo dan Retta, lo harus bersihin semuanya, Nan. Lo harus mengesampingkan sifat songong lo yang menyebalkan itu dulu.” Nah, kalimat itu benar-benar menusuk hatiku. Yera pun menganggapku cowok songong yang menyebalkan. “Kok diam aja? Katanya mau bawa gue ke rumah sakit?” “Untung lo lagi sakit, kalo enggak udah gue ajak duel taekwondo.” Dan dia ketawa. Senang rasanya bisa menyelamatkan cewek ini, tenang rasanya aku sudah bisa melihatnya secara dekat seperti ini, dan sangat sedih rasanya dia harus mengalami ini semua karenaku. “Ntar gue udah sehat, kita adu taekwondo ya.” “Iya, kecoak.” *** Sebulan berlalu setelah tragedi menggemparkan yang terjadi di Blue Balley, Retta di kirim ke pusat rehabilitasi yang jauh dari perkotaan. Dan seperti saran Yera, aku telah menyatakan permintaan maafku yang dia sambut dengan air mata penyesalan. Satu hal yang aku pelajari, kesalahpahaman tidak boleh didiamkan, penyelesaian yang paling tepat dan tidak rumit adalah saling bicara dan mencari jalan keluar. Semua terasa lebih baik sekarang, namun aku tetap tidak bisa menghapus rasa bersalahku pada Vera, semoga ia turut bahagia dengan apa yang sudah diselesaikan sekarang. Dan Yera, dua hari yang lalu kami sudah jadian. Kapan-kapan aku ceritakan detailnya ya. Sekarang aku sedang menyaksikan pertujukan Ballet berjudul Giselle, dimana Yera adalah penari utamanya. Aku bahkan kaget melihat cewek itu bisa lemah lunglai dan elastis seperti itu. Bagaimana bisa dia berantem layaknya besi baja? “Ntar foto bareng ya.” Usul Ben. “Iya, pen foto bareng pengantin baru.” Goda Faril. “Hm, iya aja deh. Biar satu suara.” Celetuk Vano. Ketiga temanku ini pun juga ikut nontonin, bahkan Ben dan Faril pernah menyeletuk kalau mereka ingin mencoba balet, perkara jadi balerino gadungan kemarin mereka jadi penasaran jadi balerino benaran. Yang normal hanyalah Vano, yang menolak mentah-mentah ide yang sama sekali nggak keren itu. “Shanan!” Cewek itu sudah selesai nampil. “Ben, Faril, Vano! Trio kwek kwek!” Ejeknya pada ketiga temanku yang memasang senyum selebar daun kelor. Vano celingak-celinguk, mencegat seorang cowok, “Mas, fotoin boleh ya.” Dia menyuguhkan ponselnya. “Satu, dua, tiga!!” Terjepretlah sebuah foto yang nggak keren-keren amat namun kaya akan makna itu. Sekian cerita dari kami, semoga kita berjumpa lagi :) *** Description: Nama Lengkap : Rosita Santi Media Sosial : Ig (@siitalee) "Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #NulisSukaSuka 2019" Cerita tentang Yera si maniak keadilan yang harus bekerjasama dengan Sky si songong untuk memecahkan sebuah kasus di Sekolah Harapan Utama.
Title: Writing Tips for Dummies Category: Hobi Text: PENDAHULUAN Kalau dipikir, saya sudah gemar menulis sejak masa SMP. Inspirasi bisa muncul di mana saja. Bisa karena dimarahi orang tua, lagu yang saya suka dan tentu saja cowok idola yang terlalu ideal untuk bisa jadi pacar saya. Sumpah, saat itu saya sangat cupu dan memang kutu buku. Apapun yang saya rasakan, akan saya tumpahkan ke kertas. Maklum, dulu cuma ada kertas dan pulpen. Belum ada laptop seperti sekarang. Juga belum ada aplikasi cerita seperti wattpad, storial cabaca atau KBM. Nah buku ini saya persembahkan untuk mereka yang ingin belajar menulis tetapi kebingungan memulai. Setiap bab akan saya buat sesederhana mungkin, sesederhana saya membuat isu konflik Afghanistan. Terus terang saya terpanggil membuat buku kecil ini karena ingin berbagi tips dan pengalaman. Saya percaya, berbagi itu penting dan saya juga selalu berusaha untuk belajar menjadi penulis yang lebih baik. Bukankah hidup ini penuh dengan hal baru yang harus dipelajari? DISCLAIMER Tips dan strategi yang akan saya paparkan ini adalah hasil pengalaman spiritual saya menulis. Kalau ditanya apa bisa dipraktekkan semua penulis, jawabannya bisa ya, dan bisa tidak. So, enjoy gaisss TIPS SATU Untuk tips pertama yang harus dimiliki penulis, baik yang sudah mumpuni atau yang masih newbie adalah TEKAD. TEKAD? Ya, karena tekad adalah tiang dari sebuah buku. Kalau tekad penulisnya kuat, buku atau cerita akan tercipta. Tetapi kalau tekad penulisnya lembek seperti kerupuk kena air, yah buku yang diidam-idamkan tinggal mimpi. Kalau saya pikir punya tekad itu tidak mudah. Apalagi kalau orang itu punya semangat sesaat alias semangat panas-panas tahi ayam. Masalahnya tekad itu harus bulat dan menafikan semua rintangan. Sebentar, saya akan mengubah kata “rintangan” menjadi “tantangan”. Kata “tantangan” akan lebih positif dan memacu semangat ketimbang “rintangan” yang terkesan membuat orang jadi kalah sebelum bertanding. Kembali ke “tekad” tadi, calon penulis harus yakin kalau dia mampu menyelesaikan tulisan dan itu keren. Tekad kalau “saya bisa” penting diulang-ulang. Kalau perlu dilakukan sebelum tidur sehingga memotivasi alam bawah sadar juga. Kalau perlu mimpi juga tentang menulis. Saya yakin kalau tekad sudah ada, tidak akan sulit memulai sesuatu. Termasuk memulai hal yang paling sulit sekalipun. TIPS DUA Selain Tekad yang lebih bulat dari telur ayam dan mulai menulis, calon penulis juga harus SETOP MEMBANDINGKAN DIRI DENGAN ORANG LAIN. Jangan pernah berpikir: “Tulisan dia kok lebih bagus dari gue,” atau “Kok dia bisa sih nulis seperti itu?” Atau lebih buruknya lagi “Kok gue goblok banget dan tulisan gue jelek begini” SETOPPP. Menjadi penulis yang jago itu butuh proses dan waktu. Semua orang mengalami masa menyakitkan ini dengan kecepatan yang berbeda. Ada yang cepat –mungkin dia bakat—ada juga yang super slow. Kalau dia sabar, semua proses akan terlewati dan dia akan menjadi penulis yang matang. Namun ada juga yang memilih mundur karena tidak tahan. Ini jadi alasan kenapa saya meletakkan tips TEKAD di atas semua tips, karena disitulah semuanya bermuara. Menulis memang tricky. Itu juga jadi alasan kenapa banyak yang nyaris depresi saat menjalani tahap skripsi. Menulis akademik dengan menulis fiksi itu berbeda. Menulis surat penawaran dengan surat cinta juga berbeda. Oh ya, dalam proses memulai penulisan ini, pasti akan tercipta style berbeda di tiap penulis. Style yang tidak bisa ditiru orang lain, karena milik pribadi yang telah melewati masa menyakitkan. Jadi intinya, berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Semua punya masa keemasan masing-masing. Ingat film Mulan versi Disney yang jadul. Ketika Mulan pulang bertempur dan mempersembahkan pedang musuh plus kalung emperor, Ayahnya bilang “bunga yang mekar belakangan itu adalah yang terindah.” PESAN MORALNYA? Semua ada waktunya. Jadi jangan pernah putus asa. TIPS TIGA Tips ketiga adalah LATIHAN MENULIS. Setiap orang melatih kemampuan menulis dengan caranya masing-masing. Bagaimana dengan Noy? Kalau saya sih latihan menulis dengan tema apa saja tanpa batasan. Misalnya saya sedang capek, jadi tulisan saya tentang lelahnya tubuh. Nah tulisan itu bisa kemana-mana. Tahu-tahu udah dua halaman ketik. Biasanya saya menulis tanpa peduli soal “jangan-jangan paragrafnya ngga konek” atau “tanda bacanya berantakan” . Iya sih itu penting, tetapi dipikir belakangan aja. Kalau sibuk dengan rambu-rambu dan peraturan, kapan nulisnya. Banyak penulis yang kelamaan persiapan saat menulis. Milih font saja bisa 30 menit, padahal nulis juga belum. Nah, setelah selesai, baru deh self-editing. Saya akan memindahkan paragraf yang dianggap lompat, atau kasih kata penghubung antar paragraf. Terus juga mengecek tanda baca, huruf besar kecil dan lain-lain. Tentu saja self-editing sering membutuhkan bantuan pengeditan dari orang lain. Omong kosong kalau self-editing itu bisa sempurna na na. Sewaktu saya bekerja di koran, proses editing itu bisa lewat tiga editor. Belum lagi ketika mau dicetak, bagian paginasi ikutan ngedit supaya typonya ngga ada sama sekali. Intinya ketika latihan menulis, lepaskan diri dari semua peraturan dan batasan. Be yourself. Hidup ini udah banyak batasan, masak nulis juga ditahan-tahan hehehe. Description: Buku kecil ini berisi tips dan cara menulis sederhana ala Noy15
Title: Whisper Category: Cerita Pendek Text: Whisper Myesha Afshen terlihat mondar-mandir di ruang transit sekolah mereka. Raut khawatir dan takut terlihat jelas diwajahnya. Inilah hari pembuktian kekuatan Tim Paskibra SMA Guardian 26, tempat Myesha bersekolah. Menjelang perlombaan ini, terdengar rumor bahwa akan ada 2 sekolah yang menjadi tim terkuat saat ini, salah satunya adalah SMA Guardian 26. Tapi yang membuat Myesha khawatir adalah salah satu Tim terkuat lainnya yaitu SMA Negeri 78, dimana sekolah yang mempunyai Tim Paskibra terhebat sewaktu angkatan Myesha. Mereka tidak pernah melewatkan satupun lomba yang digelar di Solo bahkan kerap kali mereka mengikuti perlombaan ditingkat provinsi. Mereka selalu membawa tropi juara 1 atau minimal 3 besar dalam setiap perlombaan. Tidak heran jika Myesha khawatir, Myesha di beri amanah untuk menjadi penanggung jawab dalam lomba kali ini bersama Elhanan oleh sekolah. “Kenapa?” Seorang cowo bernama Elhanan Rendra berjalan menghampiri Myesha sambil membawa botol air minum. “Gue gugup banget.” Elhanan menahan gerak Myehsa “Minum dulu.” Elhanan menyodorkan botol yang berisi air minum kepada Myesha “Hmm.” Myesha mencari kursi untuk duduk lalu meminum air minum pemberian Elhanan. “Makasih.” Myesha mengembalikan botol air minum yang sudah diteguk setengahnya kepada pemiliknya. Setelah menerima botol tersebut, Elhanan meletakkannya di atas kursi yang ada disebelahnya. Kemudian Elhanan memutar kursi untuk menghadap kearah wajah Myesha. “Denger, gue tau apa yang ada dipikiran lo saat ini. Gue tau lo khawatir sama perlombaan nanti. Lo pasti takut kalo pas perform nanti gak sesuai sama apa yang lo kira. Tapi, coba buat hilangin semua hal yang ada di otak lo” Elhanan berbicara sambil memukul pelan kepala Myesha, supaya semua pikiran negatif keluar dari otak Myesha. “Aduh,” Myesha mengelus kepalanya yang baru saja dipukul oleh Elhanan. “Tapi, gue takut kalo ntar kita gagal. Gue takut kalo kita kalah.” Myehsa menundukkan kepalanya. “Kalah menang dalam perlombaan itu biasa. Kalo semua peserta menang, ngapain diadakan kompetisi?” Elhanan memutar kursinya jadi berada disamping Myesha, kemudian tangan kirinya mengangkat kepala Myesha dan tangan kanannya menunjuk kearah teman-temannya yang sedang bercanda satu sama lain. “Liat mereka. Mereka itu sama kaya lo, takut gagal, takut kalah, tapi mereka ga ngebiarin rasa takutnya menguasi tubuh mereka. Mereka berusaha nyingkirin rasa takut itu dengan bercanda satu sama lain. Nggak kaya lo.” Sambung Elhanan. “Sekarang gue harus ngapain.” Myesha melepaskan tangan kiri Elhanan yang terus menempel di dagu Myesha. “Lo tau apa yang harus lo lakuin.” Setelah mendengar penuturan dari Elhanan, segera Myesha berjalan menuju kerumunan teman-temannya dan bergabung untuk saling bercanda satu sama lain. Selang satu jam setelah percakapan tadi, suara MC perlombaan menyadarkan mereka, bahwa inilah saatnya mereka harus membuktikan apa yang telah mereka usahakan. “Selanjutnya peserta dengan no undi tujuh dari SMA Guardian 26.” Tepuk tangan yang meriah dan penonton yang antusias menunggu perform dari sekolah yang dirumorkan menjadi lawan terkuat SMA Negeri 78. “Lihat, para penonton seakan nunggu kita buat tampil.” Ucap Elhanan yang berdiri tepat disamping Myehsa. “Jadi--” Ucapan Elhanan terhenti, menunggu Myesha untuk melanjutkannya “Lakukan yang terbaik. Pasti bisa !!!” Teriak Myesha sambil mengepalkan tangannya ke udara. Mendengar suara Myesha, batin Elhanan berkata “Gue tau lo pasti bisa, Sha.” Setelah tampil dengan sempurna selama 8 menit 25 detik, mereka kembali ke ruang transit dengan wajah yang gembira. Suasana bahagia menyelimuti ruang tersebut. Datanglah dua anak manusia ke dalam ruang transit. Mereka adalah Ardhan dan Abriana, murid dari sekolah SMA Guardian 26. Abriana yang merupakan salah satu anggota Paskib dan Ardhan merupakan salah satu anggota Pramuka. Mereka dirumorkan berpacaran, namun rumor tersebut dibantah oleh keduanya, mereka mengaku hanya sebatas teman antar organisasi saja. “Gue tadi nonton.” Ucap Ardhan duduk disamping Myesha. “Gue kira lo gak bakal dateng.” Myesha acuh dengan kehadiran ardhan dan lanjut mengipasi tubuhnya. “Awalnya sih gue males. Tapi tadi ditelfon sama Abriana suruh nemenin nonton. Gue kira nonton film dibioskop, eh taunya malah nonton ini. Yaudah gue pasrah. Gue jadi inget waktu lo mohon-mohon sama gue buat nonton lomba lo. Hahahaha.” Ardhan tertawa mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, waktu Myesha meminta agar Ardhan menonton lomba ini. “Gak usah melebih-lebihkan deh. Gue ga sampai segitunya kali. Kalo diajak sama pacarnya aja langsung mau” Myesha membuang kertas begitu saja di atas lantai lalu menatap wajah Ardhan sekilas. Setelah itu Myesha memalingkan mukanya, kearah lain. Memang diperlukan tenaga yang ekstra jika menghadapi makhluk tuhan yang satu ini. kalo dipikir-pikir kok bisa ya Myesha sahabatan sama makhluk aneh satu ini. “Gitu aja marah.” Ardhan mencubit kedua pipi Myesha. “Iihh, sakit tau nggak sih.” Myehsa berusaha membebaskan pipinya dari serangan tangan Ardhan. “Oh sakit ya. Kalo gini gimana?” Ardhan merubah posisi tangannya seperti sedang menjepit pipi Myesha, sehingga bibir Myesha jadi mengerucut ke depan. “Ooohhh, loposon sosoh ngomong !!” dengan kondisi bibir seperti itu, sangat sulit bagi Myesha untuk berbicara layaknya orang normal. “Apa? ngomong yang jelas dong.” Tak ada habisnya jika Ardhan sudah mulai menjahili Myesha. Tanpa aba-aba, Myesha langsung mencubit pinggang Ardhan dengan keras dan tanpa ampun. “Aduduhh, sakitt. Lepasinn.” Ardhan merintih kesakitan. Akibatnya tangannya yang ada di pipi Myesha terlepas. Dan inilah saat pembalasan. “Nggak bakal gu--.” Belom selesai Myesha berbicara, terdengar suara yang keras dari tengah ruangan. Tampaknya keberuntungan sedang berada di pihak Ardhan. “Perhatian !!” Tampak seorang cowo mengenakan kaos merah berdiri ditengah-tengah ruang, disebelahnya ada seorang cewe berdiri memakai kaos yang sama seperti kaos cowo itu. “SIAP !!” Mendengar kata itu sontak semua anak paskib yang ada diruangan tersebut berdiri dengan posisi siap kecuali Myesha. “Buat yang lagi mesra-mesraan dipojok tolong berhenti dulu.” Senior cowo itu menyindir Myesha yang masih sibuk menyubit pinggang Ardhan. Sontak semua orang yang ada diruangan tersebut mengalihkan pandangannya kearah Myesha dan Ardhan. “Dipanggil tuh.” Ardhan menyuruh Myesha untuk mendengarkan perintah dari cowo itu, alasan lainnya supaya ia terbebas dari cubitan terkutuk di pinggangnya. “Duh males gue. Kali ini lo aman.” Dengan rasa ogah-ogahan, Myesha melepaskan cubitan dari pinggang Ardhan kemudian berdiri dengan posisi siap seperti yang lainnya. Baru saja berdiri selama 5 detik, pundak kanan Myesha ditepuk oleh Ardhan. Sontak Myesha menolehkan kepalanya ke kanan dan saat menolehkan kepalanya ke kanan, pada saat yang sama Ardhan memajukan kepalanya ke pundak Myesha. jika dilihat mereka seperti akan berciuman dengan jarak mereka sekitar 10 cm. “Gue makan siang dulu sama Abriana, kalo udah selesai gue kesini lagi.” Setelah membisikkan kalimat itu Ardhan langsung pergi meninggalkan Myesha. Akibat jarak yang sangat dekat itu, pipi Myesha berwarna merah. *** Saat-saat yang ditunggu oleh para peserta lomba akhirnya sampai juga, pengumuman pemenang dan penentuan siapa yang akan lanjut ke tingkat provinsi. Para peserta tampak sedang berdoa memohon kepada Yang Maha Kuasa semoga apa yang mereka usahakan terbayar tunai dihari ini. Detak jantung para peserta lebih cepat dari detak jarum jam, keringat perlahan mulai menetes kembali tidak sabar menunggu hasil pengumuman perlombaan kali ini. Juara pertama, kedua dan ketiga sudah diumumkan, seperti yang sudah diduga, SMA Negeri 78 keluar sebagai juara pertama, dan SMA Guardian 26 harus puas dengan posisi kedua. Setelah penerimaan piala dan hadiah, Myesha selaku pemimpin dari tim Paskib SMA Guardian 26 mengumpulkan teman-temannya ditengah-tengah ruang transit. Myesha mengucapkan terimakasih dan memberikan motivasi agar mereka tidak mudah menyerah dan terus berusaha. “SMA Guardian 26 !!!” “Yeah !!!” mereka berteriak seraya melemparkan tangan secara bersamaan ke udara. Itulah bentuk semangat mereka, mereka tidak akan menyerah untuk mendapatkan apa yang mereka impikan. Karena waktu yang sudah agak malam, bulan mulai mengusir matahari dari singgasananya dan langit yang sudah berubah menjadi senja. Semua peserta dan para penonton memutuskan untuk kembali kerumah. Begitu pula dengan Myesha yang sedang membereskan tasnya berhenti ketika ada yang mengajaknya bicara. “Mau gue anterin pulang?” Tawar Elhanan yang sudah siap untuk kembali ke rumah. “Gak usah, gue dijemput nyokap. Lo pasti capek abis lomba tadi” Myesha menolak halus tawaran yang diberikan oleh Elhanan. “Yaudah kalo gitu gue pulang dulu ya.” Mendengar penolakan Myesha, Elhanan segera balik badan menjauhi Myesha. “Hati-hati ya.” Mendengar ucapan Myesha, Elhanan mengangkat jempolnya keudara tanpa menoleh kearah Myesha. Kemudian Myesha melanjutkan beres-beresnya yang sempat tertunda tadi. Selang beberapa detik kemudian, rasa sakit menyerang kepalanya. Membuat Myesha meremas tasnya untuk meredam rasa sakitnya yang teramat sangat. “Duh, bego. Gue belum minum obatnya.” Myesha memukul pelan kepalanya akibat keteledorannya. “Kalo bareng akang mau gak neng?” tiba-tiba terdengar suara dari belakang, sontak membuat Myesha balik badan. “Ardhan, ngagetin aja lo.” “Gimana mau gak?” Tawar Ardhan kembali, karena belom mendapat respon dari Myesha. “Iya, bentar gue hubungin nyokap buat ga usah jemput gue.” Karna rumah mereka bersebelahan, Myesha dengan mudah mengiyakan tawaran Ardhan. Segera Myesha mengambil tasnya dan berjalan menuju parkiran bersamaan dengan Ardhan. Saat sedang berjalan menuju parkiran, tiba-tiba Ardhan bicara, “Naik vespa gak papa ya neng, soalnya akang gak punya mobil.” Mendengar godaan Ardhan, Myesha hanya menjawab dengan deheman saja. “Abriana bareng siapa?” tanya Myesha “Katanya mau dijemput temennya.” Myesha hanya ber’oh” mendengar jawaban Ardhan. Sesaat tiba di parkiran, entah mengapa vespa Ardha tidak mau menyala. “Kenapa motornya?” “Nggak tau, tiba-tiba aja gak mau nyala. Padahal tadi waktu buat jalan-jalan sama Abriana aman-aman aja.” Mendengar kata Arbriana membuat hati Myesha panas dingin. “Gara-gara lo jalan-jalan sama Abriana, motor lo ngambek.” “Jadinya yang ngambek motor gue apa elo?” mendengar ucapan Myesha dan raut wajah yang masam, Ardhan berniat menggodanya lagi. “Bodo ah, tau gini tadi gue bareng Elhanan aja. Elo dari dulu emang gak bisa diandelin.” Godaan Ardhan hanya membuat perasaan Myesha tambah panas. Begitu juga dengan Ardhan, mendengar nama Elhanan disebut hanya membuat Ardhan panas. Apalagi harga dirinya baru saja direndahin oleh Myesha. “Yaudah bareng Elhanan aja sana. Gue tau diri kok, gue emang gak bisa diandelin.” “Kok malah lo yang marah sih.” Kemarahan mereka berdua akibat hal yang sepele hanya membuat keadaan tambah runyam. Terlebih karena salah paham antara mereka, dan keegoisan yang menyelimuti perasaan mereka. “Kok gue? lo aja sukanya gak mikirin perasaan orang lain. Egois.” Myesha yang sudah terlebih dahulu terpancing amarahnya, malah diberi minyak tanah oleh Ardhan. “Lo bilang gue egois? Oke.” Setelah mengucapkan kalimat itu sambil menunjuk-nunjuk kearah Ardhan, Myesha pergi begitu saja. “Lah pergi, emang lo yang egois tau gak. Bahas-bahas Elhanan, gak mikirin perasaan gue apa.” Sebetulnya mereka berdua sama-sama salah, menyeret orang lain dalam permasalahan sepele mereka. Maklumlah mereka adalah remaja tanggung yang masih suka labil. “Ah elah, ni motor pake mati segala. Tambah ribet nih urusannya.” Ardhan yang semakin kesal dengan keadaan, menendang-nendang ban vespanya. Setelah 15 menit memikirkan cara supaya ia bisa pulang tanpa mendorong vespanya, akhirnya Ardhan mendapat petunjuk dari Allah atas musibah yang sedang menimpanya. “Eh, inikan deket komplek rumahnya Alvin. Siapa tau gue bisa nitip ni vespa. Duh, pinter banget gue.” Segera saja Ardhan menuntun vespanya menuju rumah Alvin. “Alvin, Gue Dateng !!!” Ardhan berteriak senang sambil berlari mendorong vespanya dengan penuh semangat yang membara. *** Warna langit berada di puncak-pun cak keindahannya, matahari sudah duduk di atas singgasananya membiarkan bulan menggantikan tugasnya. Hal itu menjadi nikmat tersendiri bagi penyuka senja. Beda halnya dengan gadis yang tengah berjalan sendirian di tepi jalan sambil menundukkan kepala meresapi rasa sakit di kakinya akibat perbuatan konyolnya beberapa menit lalu. Setelah perdebatan antara Myesha dengan Ardhan, Myesha memutuskan untuk pergi dari hadapan Ardhan sebab tidak terima atas apa yang diucapkan oleh Ardhan. Saat Myesha mendongakkan kepalanya, ia dikejutkan oleh pemandangan seseorang tepat 5 meter didepannya. Sudah ada Ardhan berdiri tegak seakan sedang menanti Myesha disana. Dari jarak 5 meter tersebut, muka Myesha berubah menjadi horror seakan tak suka akan kehadiran Ardhan. “Ngapain lo disini?” ketus Myesha “Gak tau, tiba-tiba aja bisa disini.” Setelah menitipkan vespanya dirumahnya Alvin. Ardhan khawatir terhadap Myesha dan mulai mencarinya. Untunglah tidak perlu waktu lama Ardhan menemukan Myesha sedang berjalan menunduk dengan kaki pincang. Karena merasa Myesha berjalan ke arahnya, Ardhan hanya berdiri beberapa meter didepannya. “Gue capek, gausah ngajak debat.” Myesha balik badan membelakangi Ardhan sambil terus berjalan menjauhi Ardhan. Merasa diacuhkan, Ardhan berjalan cepat menuju Myesha kemudian berhenti tepat didepan Myesha. Tanpa diduga oleh Myesha, Ardhan menginjak kakinya yang terasa sakit. “Aaaarrrghh.” Teriakan Myesha memecah keheningan di awal malam itu. Myesha terduduk sambil memegangi kakinya. Akibat injakan Ardhan tadi, kaki Myesha menjadi semakin sakit jika digerakkan. Oleh karena itu Ardhan dengan sigap menggendong tubuh Myesha. “Dhan, ini malu-maluin tau gak?” Myesha melihat ke kakinya yang sakit sambil mengayun-ayunkan kakinya pelan-pelan. “Ngapain malu, toh jalannya sepi. Lo jalan gak pake baju nggak ada yang ngeliatin.” “Mesum lo.” Mendengar jawaban Ardhan membuat Myesha memukul kepalanya Ardhan. “Aduuhh, gini-gini banyak yang suka.” Ardhan membalas dengan nada sombong. “Perasaan lo aja kali.” Myesha melihat sekeliling, ada 2 orang yang berjalan berlawanan arah dengan mereka sambil berbisik-bisik dengan arah pandangan ke Myesha dan Ardhan. “Dhan, turunin gue. Malu diliat orang-orang.” Myesha merengek minta diturunkan sambil menarik-narik kemeja Ardhan. “Bisa diem gak sih lo? bentar lagi sampai ke klinik.” Ardhan berhenti sejenak karena berat tubuh Myesha menjadi bertambah akibat polahnya tadi. *** “Gimana?” Melihat Myesha keluar dari ruang dokter, Ardhan langsung berjalan menuju Myesha untuk membantunya berjalan. “Keseleo doang, bentar lagi sembuh.” Myesha memperlihatkan kakinya yang dibalut perban elastis, lalu berjalan keluar dibantu oleh Ardhan. “Eh udah malem aja.” Ujar Myesha sesaat setelah keluar dari klinik dan melihat langit yang sudah mulai menghitam dihias oleh bintang-bintang yang bersinar. Jalan Myesha mulai melambat karena kakinya sudah mulai terasa sakit lagi. “Kok lambat banget sih? Masih sakit ?” Merasa ada yang gak beres sama Myesha, Ardhan berhenti sejenak. “Nggak.” Myesha masih menyembunyikan rasa sakitnya. “Coba jalan sendiri.” Ardhan mulai melepas tangannya dan melihat Myesha berjalan. Baru beberapa langkah saja, Myesha sudah tidak kuat berjalan akhirnya jatuh terduduk. Tanpa banyak berfikir, Ardhan langsung jongkok membelakangi Myesha berniat untuk menggendongnya. Myesha sudah tidak punya alasan lagi untuk menolak tawaran Ardhan, akhirnya mau untuk digendong Ardhan. “Lo itu ya, apa-apa sukanya dipendem sendiri. Lo nahan semuanya sendiri, sampe-sampe lo lupa kalo lo itu manusia bukan robot yang nggak kenal rasa sakit. Lo dari dari dulu gak berubah tau gak?” Ardhan mulai berjalan menggendong Myesha sambil terus berbicara. “Gue berubah ya.” Myesha berkata dengan suara lemah. “Gue sadar diri posisi gue cuma sebagai sahabat lo, temen lo sejak kecil, dan itu gak bakalan berubah.” Batin Myesha. “Gue itu udah kenal lo sejak kecil. Gue tau semua tentang lo. Hari ini biarin gue jadi kakak lo. Waktu gue nangis jatuh dari sepeda terus nyemplung ke got, lo itu gue anggep kayak kakak gue tau gak. Orang yang selalu gue andelin.” Ardhan berhenti sambil terus berbicara. “Karena gue sekarang kakak lo, jadi lo gak perlu nahan semuanya sendiri.” Sambungnya. “Biarin gue jadi orang yang khawatirin lo, orang yang ngelindungin lo, orang yang peduliin lo.” Setelah itu Ardhan berjalan kembali, beberapa detik kemudian keluarlah air mata yang dari tadi ditahan oleh Myesha. mendengar penuturan Ardhan, tangis Myesha pecah, pertahanannya runtuh. “Walaupun kaki gue sakit, walaupun kepala gue pusing, walaupun tim gue kalah, walaupun kemeja lo basah, kenapa gue malah ngerasa hangat?. Wangi sampo lo nggak berubah sejak dulu, terasa menyejukkan saat tak sengaja gue menghirupnya. Gue, orang yang paling dekat dengan lo, yang selalu ada saat lo seneng atau sedih. Tapi, kenapa saat ada orang lain disisi lo, gue seakan-akan tersisihkan, tergantikan, terabaikan? Seakan-akan lo tak tergapai, susah buat gue ngeraihnya.” Myesha menanggung semua beban di hidupnya, mulai dari masalah organisasi sampai masalah hati. Myesha selalu menceritakan semua masalahnya kepada Ardhan, tapi untuk masalah perasaan tidak ada satupun dari merekan yang menyinggungnya. Banyak orang yang bilang, hati-hati dengan hati. Memang sulit mencintai orang yang hatinya gak pernah jadi milik kita. Dibawah langit yang gelap dan hanya berhiaskan bulan dan bintang yang sedang berkilau indah. Diantara hembusan angin malam yang dingin. Ditengah suara jangkrik dan burung hantu yang bersaut-sautan dengan suara isak tangis Myesha. Diatas tanah Kota Bandung ini, mereka membisikkan dua buah kalimat yang sama secara bersamaan. “Cewek dan Cowok, gak ada yang namanya persahabatan. Awalnya gue gak percaya, sampai-sampai hari ini, detik ini, menit ini, gue sadar kalo gue suka sama sahabat gue.” Dua insan manusia tersebut membisikkan kalimat itu dari hatinya kemudian keluar dari tubuhnya dan melayang jauh ke angkasa. Mereka yakin kalau seberat apapun rintangannya, sepedih apapun perjalanannya, kalau berjodoh pasti akan dimudahkan. Description: “Gue itu udah kenal lo sejak kecil. Gue tau semua tentang lo. Hari ini biarin gue jadi kakak lo. Waktu gue nangis jatuh dari sepeda terus nyemplung ke got, lo itu gue anggep kayak kakak gue tau gak. Orang yang selalu gue andelin.” Ardhan berhenti sambil terus berbicara. “Karena gue sekarang kakak lo, jadi lo gak perlu nahan semuanya sendiri.” Sambungnya. “Biarin gue jadi orang yang khawatirin lo, orang yang ngelindungin lo, orang yang peduliin lo.” Setelah itu Ardhan berjalan kembali, beberapa detik kemudian keluarlah air mata yang dari tadi ditahan oleh Myesha. mendengar penuturan Ardhan, tangis Myesha pecah, pertahanannya runtuh.
Title: WAITING Category: Adult Romance Text: WAITING 1 Sayang.. Opo Kowe krungu Jerite atiku Mengharap engkau kembali Sayang.. Nganti memutih rambutku Ora bakal luntur tresnoku Begitulah kebiasaan seorang gadis cantik keturunan Jawa yang sangat menyukai lagu dangdut. Bahkan playlist lagu yang ada di handphone berlogo apel digigit itu hanya ada lagu dangdut, tidak ada lagu pop apalagi hip-hop atau DJ. Wes tak cobo ngelalekne jenengmu soko ati ku Sak tenan e ra ngapusi isih terno sliramu Duko pujane ati nanging koe ora ngerti Kowe wes tak wanti wanti Malah jebul sak iki koe mblenjani janji Jare sehidup semati nanging opo bukti Kowe medot tresno ku demi wedoan liyo Yowes ra popo insyaallah aku isoh, lilo Asek asek Joss... "Dara, kecilin dong musiknya. Musik kamu ganggu konsentrasi Bunda." Suara teriakan Bunda emang tiada tandingannya, walaupun volume musik dari kamar Adara sudah hampir memekakkan telinga. Tapi siapa sangka, suara Bunda tercintanya bisa mengalahkan itu semua. Wahh maha dahsyat nya. "Dara, dibilangin Bunda enggak pernah mau denger ya." Teriak Bunda sekali lagi, yang membuat sang Ayah yang sedang membaca koran didepan dan sang Kakak yang baru pulang dari minimarket hanya bisa menggelengkan kepala melihat kejadian ini setiap hari. Dimana Bunda mereka yang sangat suka teriak-teriak dirumah dan si bungsu yang suka sekali memancing keributan, hingga perang mulut tidak bisa dihindarkan. "Udah Bun, biar Aina yang keatas ya bilangin adek buat ngecilin musiknya. Bunda lanjut aja masaknya." Untunglah ini hari Minggu, jadi Adara bisa terbebas dari jeweran kasih sayang Bunda di telinganya. Karena sudah pasti sang Ayah dan kakak nya akan melindunginya dari amukan singa betina yang kelaparan. (Baca = Bunda) "Yaudah sana cepat kamu keatas. Pusing Bunda tuh dibuat adek kamu. Dengerin musik kok dangdut, gak gaul banget." "Iya Bunda, aku keatas dulu ya." Ucapnya Setelah itu Aina pun langsung berlalu meninggalkan sang Bunda di dapur dan langsung menaiki tangga menuju lantai 2, dimana letak kamarnya dan Adara. Sesampainya didepan pintu kamar Adara, Aina pun langsung masuk tanpa permisi. Karena percuma, pemilik kamar itu tidak akan mendengar suara lembut Aina. "Dek, kecilin volume musiknya ya. Gak enak sama tetangga, mereka kebisingan." Ucap Aina lembut sambil menghampiri adiknya yang sedang duduk di balkon kamarnya. Adara mengerjap, "Eh mbak, kenapa mbak ?" "Itu musik kamu kecilin." "Oh hehe iya, maaf ya mbak. Mbak kebisingan ya." Tanyanya sambil masuk ke dalam kamar menuju meja belajarnya bermaksud untuk mematikan musik nya. Aina tersenyum sambil mengusap puncak kepala Adara penuh sayang. "Bunda dari tadi teriak-teriak masa kamu gak denger." Adara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, " Dara gak denger mbak, maaf ya." Ucapnya sambil meletakkan kedua tangannya didepan dada sambil memasang puppy eyes andalannya. Kalau sudah seperti itu, mau tidak mau Aina pun menganggukkan kepalanya memaafkan kelakuan absurb sang adik. "Yaudah gih sana kamu turun kebawah, tapi itu matiin dulu lagunya." "Siap mbak ku." Setelah itu Adara langsung turun ke dapur tempat sang Bunda melakukan eksperimen untuk sarapan mereka pagi ini. Saat sudah sampai di bagian tangga paling bawah dia sudah bisa melihat punggung Bunda yang sedang memasak sesuatu itu. Dengan tingkat kejahilan tinggi, Adara berniat mengagetkan Bunda nya dari belakang. Pelan-pelan dia berjalan mendekati Bunda agar tidak terdengar suara langkahnya. Tapi sebelum itu terjadi... "Mau ngapain kamu." Ucap Bunda Adara langsung berbalik ke belakang melihat anaknya yang berjalan mengendap-endap persis seperti maling sendal di musholla. "Eh hehe gak apa Bunda, mau ke dapur. Tadi Bunda manggil Dara kan. Kenapa Bun ?" Kilahnya agar tidak ketahuan ingin mengagetkan Bunda dari belakang. "Oh itu. Kamu itu loh kalau dengerin musik jangan kencang-kencang. Kasian itu tetangga baru kita kebisingan nanti." Omelnya kepada Adara tapi sambil memasak nasi goreng nya. "Tetangga baru Bunda ? Siapa ? Kok Adara gak tau ada tetangga baru disamping rumah kita." "Itu loh nak Pak Abraham Achilles, rekan bisnis nya Ayah kamu. Dia baru pindah 2 hari yang lalu. Kamu gak tau kan karena kamu kuliahnya pulang sore terus, kadang malem lagi. Ya mana tau ada tetangga baru pindah." Adara hanya manggut-manggut antara mendengarkan atau menikmati tempe goreng yang ada di meja makan. Plak, Adara meringis. "Apa sih Bun, lagi makan ini. Kok ditampar tangan Dara nya." Protesnya saat mendapat tamparan ditangan nya. "Kamu ini, belum cuci muka gosok gigi udah main comot tempe Bunda aja. Jorok banget jadi anak gadis." Omel Bunda panjang lebar "Iss ntaran aja gosok giginya, sekalian mandi. Kan hemat Bunda." "Terserah kamu deh, gadis jorok. Mending kamu panggilin mbak mu sama Ayah buat sarapan. Cepat" "Siap laksanakan Baginda ratu." Adara pun pergi menuju ruang tengah, titik tengah antara kamar atas dan teras depan. "Ayaaaahhhh, Mbaaaaakk sarapaaannnn." Teriaknya memanggil 2 orang kesayangan Adara. "Adeeekkkk Bunda gak nyuruh kamu teriak." Teriakan Bunda menggelegar dari ujung dapur membuat Ayah dan Aina segera turun dari posisi mereka semula. "Pantes anaknya suka teriak-teriak, lah Bunda nya yang ngajarin." Ayah yang berjalan bersama Aina menuju dapur mengomentari sikap istri dan anaknya yang bisa dibilang dibatas normal. "Hahaha ayah nih, dibelakang aja ngomong gitu. Cobak ada Bunda, mana berani kan yah." Aina menimpali ocehan ayahnya. "Kamu ini mbak, paham aja ckk." Begitulah suasana pagi ceria dikediaman keluarga Abinaya Basupati. Penuh canda dan kehangatan didalamnya. Description: Ada kalanya pertemuan antara dua orang terjadi bukan untuk saling memiliki, tetapi kadang harus saling belajar dari apa yang mereka jalani selama ini. Kisah manis yang kadang terjadi diantara keduanya hanya untuk memberi tahu kalau pada akhirnya perpisahan itu akan selalu ada dalam berbagai bentuk dan waktu yang tak terduga. Dan, Jika aku bukan takdirnya Jika dia hanya ilusi yang ku ciptakan Jika kami tidak bisa bersatu Mengapa rasa ini masih bersemayam didalam kalbu ?? Kadang ada saatnya dimana dua orang yang beberapa hari lalu saling mengenal dekat satu sama lain, namun dihari berikutnya menjadi seperti dua orang yang tidak pernah saling mengenal satu sama lain, yang bahkan tidak pernah bertemu sekalipun. Seperti tidak ada sesuatu yang perlu dipertahankan, apalagi diperjuangkan.
Title: White Thread Category: Fantasi Text: White Thread Sebagian orang percaya kalau jodoh itu terikat benang merah. Mereka akan bertemu kala benang merah di kelingking saling terpaut. Sebut saja benang jodoh itu, red thread. Sejenis benang terkenal yang sering sekali menjadi judul drama dari berbagai negara di Asia Timur. Kekuatan takdir yang mengikat jodoh melalui benang katanya. Aku memiliki satu kepercayaan yang berbeda. Aku percaya kalau sepasang gigi taring yang tanggal di masa kecil akan menyatukanku dengan jodoh yang Tuhan pilihkan untukku. Aku sebut kepercayaan ini, white thread. Semacam kepercayaan gigi ajaib, bisa kalian sebut begitu. “Kau gila, Kev!” Gadis itu menepuk kepalaku dengan segepok buku tebal, membuatku pening seketika. “Berisik!” “Gigi lagi!” jeritnya histeris. Aku memasukan kalung berbandul gigi taringku yang tanggal di masa kecil. Mendengus kesal ke arah gadis yang kini duduk di tepian ranjang. Memulai aktivitas menulis sesuatu di buku. Diary mungkin, mencatat segala jenis kebiasaan seorang pria yang mencuri hatinya. “Dia akan kembali.” Aku membuka buku dibawa olehnya beberapa detik lalu. “Kembali dari galaksi lain, iya,” sahutnya ketus. “Aku benar-benar melihatnya delapan tahun lalu, Lyn.” “Kau melihatnya mengambil satu gigimu delapan tahun lalu. Rambut hitamnya menjuntai hingga pinggang. Mata ungunya bersinar menembus kegelapan. Lalu, dia mengatakan akan kembali. Begitukan?” Lyn mengangkat wajahnya, menggoyangkan pensil mekaniknya ke arahku. “Kau ini tidak senang melihat orang lain bahagia.” “Iya, aku akui kau bahagia. Aku bahkan iri padamu, kau hidup di dalam fantasimu hingga saat ini.” “Hanya orang kreatif yang bisa berfantasi.” “Aku memang tidak kreatif,” sahut Lyn ketus. “Kau hanya tidak membiarkan pikiran kreatif mengambil logikamu.” Cibirku ketus. “Menjadi gila sepertimu?” Lyn tidak mengangkat wajahnya. “Aku pilih tidak. Terima kasih.” Aku mengacuhkannya. Sejak delapan tahun lalu hingga sekarang, tidak ada yang berubah. Tidak ada yang percaya saat aku mengatakan jodohku adalah seorang peri gigi. Beberapa mencibir, mungkin peri gigi yang sering kuceritakan itu nenek-nenek yang tinggal di rumah ujung jalan. Aku tidak menyalahkan mereka tentu saja. Semua orang terdoktrin kalau peri gigi sejenis wanita lanjut usia dengan rambut putih bersanggul cepol kecil di puncak kepala. Membawa tongkat dengan bintang besar yang sering diadopsi menjadi mainan anak perempuan. Kalau dia, jelas bukan. Peri itu bernama Sia. Tinggi semampai, ramping, bertelinga sedikit runcing dan bibir tipis yang tampak tajam. Mata ungunya menawan bersanding dengan rambut hitam legam yang nyaris mencapai pinggang. Dia telah telah berjanji untuk kembali padaku delapan tahun lagi. Sejak saat itu aku hanya miliknya. Hatiku, ragaku, semuanya. Lyn sudah ratusan kali mengingatkanku. Belasan gadis kutolak mentah-mentah. Aku hanya menginginkan peri bermanik ungu itu. Bukan yang lain. “Kau tahu, aku dengar peri itu abadi. Kau akan mati dan menua sementara dia akan tetap muda.” Kata Lyn lagi. Aku tidak peduli tentu saja. Aku lebih penasaran bagaimana rupanya kini. Apakah dia masih muda seperti dulu? Apakah dia cantik? Apakah dia akan mengenaliku saat aku tua nanti? Apakah dia potong rambut? Ataukah dia mengikuti tren dengan membentuk rambutnya menjadi sosis-sosis kecil atau membiarkannya terurai lurus seperti dulu? Ah, membayangkannya saja membuat kerinduanku berlipat ganda. “Di mana kau akan menemukan peri itu?” Lyn bertanya lagi membuyarkanku dari lamunan. “Dia akan menemukanku.” “Aku tahu sih, kau tidak berhasil menemukan sejak teori pertamamu tercetus delapan tahun lalu.” Lyn kembali mengejek. “Dia sibuk.” “Alasan. Padahal kau telah mengintip semua sepupu, adik, anak tetangga bahkan keponakanku ketika gigi mereka tanggal.” Aku tersenyum lagi. “Dia akan menemukanku.” “Kapan?” “Entahlah. Setahun, dua tahun mungkin,” aku mengangkat bahu. “Aku berharap kau punya waktu sebanyak itu, Kev.” “Dia akan datang.” “Aku harap dia datang dan memberikan keajaiban untukmu.” Aku tersenyum lagi. “Semacam itu,” aku menunjuk perutnya yang menggembung. Lyn mengelus perutnya. “Aku selalu berharap melihat doppelganger yang persis sama denganmu.” “Dia tidak akan mirip denganku, dia pasti bermata ungu dan bertelinga runcing. Aku dengar gen peri lebih dominan. Maka jelas semua sifat dalam diriku akan bersifat resesif.” “Meskipun bermata ungu dan bertelinga runcing, aku tidak keberatan. Aku ingin sekali melihatnya.” “Aku harap juga begitu.” Lyn tersenyum. Menepuk punggung tanganku. “Aku pulang dulu. Jaga dirimu, Kev!” “Hati-hati.” Lyn hanya tersenyum sebelum beranjak pergi. Aku kembali menatap kilauan senja di balik jendela. Hanya bunyi tetesan cairan yang mengisi ruangan. Aku mengelus kalung gigi di leher. Delapan tahun aku menunggu. Tidak pernah kehilangan harapan sampai janji satu windu itu terpenuhi. “Apakah kau akan tetap menemuiku saat aku seperti ini,” aku tersenyum tipis sambil mengusap kepalaku yang botak. “Tentu.” Seketika aku menoleh. Mataku membola. Sosok itu muncul dari kepingan senja yang kemerahan. Rambut hitam legamnya masih sama. Sama panjang dan sama bentuk potongannya. Mata ungunya juga tidak berubah. “Sia,” ucapku lembut. “Aku datang untukmu, Kevan.” “Sungguh.” Dia tersenyum pelan. Sepasang sayap mungil dipunggungnya mengepak ringan. Sayap yang memantulkan kilau senja di setiap celahnya. “Untuk siapa lagi?” Aku tersenyum malu-malu, menggaruk kepalaku yang botak. Aku menatapnya. “Aku datang karena memenuhi janji kita untuk bertahan hidup delapan tahun lagi.” Aku tersenyum tipis. Aku bertemu dengannya di sini, delapan tahun lalu. Setelah aku menjalani serangkaian perawatan. Malam itu sepasang gigi taringku tanggal. Sia muncul. Tepat di depan jendela seperti sekarang. Dai menawan dengan warna-warna mencolok yang tidak manusiawi. Warna yang cantik. “Kau siapa?” “Aku peri gigi.” “Sungguh. Kau datang untuk mengambil gigiku?” “Ya.” “Tapi, kenapa kau tidak tua? Kau bukan nenek-nenek peri, Mungkin-” “Kau peri gadungan!” Sia menlanjutkan kalimat yang terpikir di dalam kepalaku. “Kau membaca pikiranku.” Aku buru-buru menutup mata. Mekanisme membaca pikiran pasti melalui radiasi pada bola mata yang saling berpandangan. Sia tersenyum. Menepuk kepalaku hingga pelan-pelan aku membuka kembali mataku. Gadis peri itu tersenyum ramah. Siap mengepakan sayapnya. “Kau mau ke mana?” “Pulang.” “Jangan pergi!” aku menarik kakinya yang mulai melayang beberapa inci dari tanah. “Kau belum membawa gigiku.” “Aku akan kembali lagi nanti untuk mengambilnya.” “Benarkah?” Sia kembali melayang turun. Berdiri dengan dengan kedua kakinya di hadapanku. “Kevan, kau harus hidup dan bertahan hingga delapan tahun lagi aku datang menjemputmu.” “Kita perlu stempel.” “Stempel?” Sia menganggukan kepalanya. “Stempel agar kau tidak mengingkari janjimu untuk datang.” “Peri tidak pernah ingkar janji.” “Aku tidak percaya.” Bibirku mengerucut. Sia tersenyum lagi. Berjongkok di depanku, kepalanya mendongak. Mata kami bersitatap. Dia menarik jemariku. “Kalau begitu, aku ambil ini!” Sia menarik satu gigi taringku yang masih berdarah karena baru saja lepas dari gusi. “Kau bisa menyimpan gigi satunya lagi.” “Kau tidak membawa semuanya?” “Untuk stempel. Perjanjian agar aku kembali lagi delapan tahun lagi. White thread.” “White thread?” aku membeo. Sia menepuk kepalaku yang berambut tipis. “Berjanjilah untuk hidup hingga saat itu tiba, Kevan.” Aku menggangguk. Angin mulai berhembus saat suara gemerisik terdengar. Sayap bening mulai mengepak keluar dari punggung Sia. Sayap yang menjadi cermin pemantul cahaya bulan di wajahku. Malam itu kami menyegel janji satu windu dengan sepasang gigi taring. “Kau melupakan sesuatu?” “Apa?” aku tergagap, lamunanku buyar. Sia kembali membawaku ke dunia nyata. Sia mengangkat bahu. “Kau pasti lupa.” Aku sudah menunggu delapan tahun. Aku tidak boleh melupakan sesuatu. Aku hanya tidak tahu apa yang kulupakan. Aku menatap manik ungu itu, mencari petunjuk. “Saat seorang gadis datang bukankah seharusnya kau melamar?” Sia terkekeh. “Haruskah?” Sia berjalan mendekat. “Tentu saja tidak. Kau sudah melakukannnya delapan tahun lalu. Kau sudah menyegelku dengan ini, white thread,” Sia membuka tangannya. Satu gigi taringku menyembul di sana. Senyuman mengembang di wajahku. Benar, white thread. Aku meraih kalungku dan gigi taring itu kini genap sepasang. Saatnya janji itu terpenuhi. “Kau siap? Aku mengangguk. Menyambut tangannya. Tubuhku terasa ringan. Aku menoleh ke belakang. Tubuh itu terkulai lemas, tak lagi bernyawa. Wajah yang damai menyambut kematian setelah delapan tahun berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuh kurusnya. Aku menatap Sia. Gadis itu menoleh dan tersenyum padaku. Mungkin dia malaikat kematian. Namun, senyuman berkembang di bibir. Aku terbang bersama peri gigi, impian masa kecilku. Jodoh yang dipilihkan Tuhan untukku. Description: Aku percaya kalau sepasang gigi taring yang tanggal di masa kecil akan menyatukanku dengan jodoh yang Tuhan buatkan untukku. Aku sebut kepercayaan ini, white thread.
Title: Wonderkids Category: Novel Text: Book 1, Goal 1: Beginning of the Journey Fritz-Walter-Stadion, Kaiserslautern, Juni, 2033. U-20 World Cup. Atmosfir di tengah lapangan begitu pekat. Sorak penonton mengurai hingga ke langit. Babak kedua dimulai, Indonesia tertinggal 0-2 dari Jerman. Gol pertama diciptakan gelandang serang muda andalan Jerman U-20, Erol AşıroÄŸlu, setelah menerima umpan silang dari sisi sayap kiri ke arah tengah luar kotak penalti. Tendangan jarak jauh AşıroÄŸlu tidak mampu dibendung kiper Indonesia. Sementara gol kedua datang dari kaki Willi Rausch melalui aksi solo run dari tengah lapangan, melewati tiga pemain Indonesia. Wili memanfaatkan serangan balik yang membuat para pemain bertahan Indonesia tidak mampu membendung kecepatannya. Dua gol di babak pertama benar-benar meruntuhkan mental Indonesia. Sayang sekali jagoan yang akan menjadi pusat cerita ini tidak terlibat secara langsung dalam ketegangan pertandingan karena dia tidak benar-benar merasakan apa yang dirasakan sebelas orang yang berjuang menahan gempuran tim panser itu. Adam hanya duduk di bangku cadangan. Empat pertandingan telah dilalui dan tidak satu pun giliran Adam tiba. Adam hanya berharap teman-temannya bisa mengatasi pertandingan ini dan melaju ke semifinal. Peluit berbunyi, bola dikuasai Indonesia dan bersiap membangun serangan. Jerman bermain dengan pressure tinggi dan tidak menyisakan celah yang mampu dimanfaatkan. Wayan Maulana yang bermain di posisi gelandang tengah masih memegang bola, namun tengah menghadapi pressing ketat dari lawan. Wayan mencoba menggiring bola dan melewati gelandang Jerman yang mencoba mentacklenya, namun Wayan berhasil melewati terjangan itu dan melepaskan umpan ke sisi sayap kanan yang diisi Firdaus Benardo. Belum tiga langkah bola digiring Firdaus, bek kiri Jerman sudah berhasil mencolong bola. Serangan tim panser dilancarkan dan Indonesia pun dipaksa bertahan. Ketinggalan dua angka membuat Indonesia mau tidak mau bermain offensive, namun setiap serangan yang dibangun dengan mudahnya diredam oleh Jerman. Dan serangan balik Jerman pun tak kalah bahaya dengan yang dilakukan Indonesia. Sampai menit 70 skor masih bertahan 2-0 untuk keunggulan Jerman dan mereka menguasai ball possession 58%. Pemain Indonesia mulai melonggarkan serangan. Stamina yang terkuras sudah sangat banyak karena permainan offensive yang dilancarkan sejak awal babak kedua dimulai. Celah itu dimanfaatkan lawan. Melalui serangan balik cepat, gelandang Jerman yang terkenal dengan passing akuratnya, Jarno Wiemann, mengirim umpang jauh ke depan, membelah lapangan dan mendarat di daerah pertahanan yang ditinggalkan pemain belakang Indonesia yang bermain terlalu ke depan sehingga lupa untuk menjaga area vital pertahanan. Willi Rausch mendapatkan bola itu dan berlari meninggalkan pemain bertahan Indonesia. Tendangan keras ke sudut kiri gawang tidak mampu dibendung kiper Warta Cendana. 3-0. Indonesia semakin tertinggal. Waktu telah menunjukkan 80 menit pertandingan berjalan. Pelatih Burhanudin Iswantoro dibuat berpikir semakin keras. Lama dia terdiam dan wajahnya berkerunyut. Beberapa detik kemudian dia menghela napas, seakan telah mendapat pencerahan. "Adam, giliranmu tiba. Kamu masuk menggantikan Farel," ucap Pak Bur. 10 menit, menggantikan pemain utama dengan seorang cadangan yang belum pernah mencicipi pertandingan selama turnamen berlangsung, menurut Adam adalah suatu bentuk keputusasaan. Kehadiran Adam di lapangan bukanlah suatu harapan untuk mengubah keadaan. Adam masuk karena pertandingan ini sudah jelas akan berakhir seperti apa. Walau Adam tidak bisa menjadi pengubah keadaan, setidaknya dia diberi 10 menit terakhir. 10 menit terakhir Indonesia berada di turnamen ini. Dan 10 menit Adam bisa menunjukkan kemampuanku. Farel menepuk pundak Adam saat mereka berpapasan di tepi lapangan. "Kamu lebih cepat dariku. Instingmu tajam. Satu gol, Adam yakin kamu bisa melakukannya," Farel berbisik. "Akan kulakukan yang terbaik," jawab Adam mengulas senyum. Adam masuk ke lapangan. Atmosfer yang luar biasa mulai merasuki kulit. Sorak-sorai penonton berkelebat di kepalanya. Di saat seperti ini, seorang debutan akan mengalami demam panggung. Kurasa itu sudah terjadi pada Adam, namun dia tidak membiarkan itu berlangsung terlalu lama. Dia harus bergerak dan mencetak gol. Yang Adam lakukan di daerah pertahanan lawan adalah bergerak mencari ruang kosong, berusaha mengacaukan posisi pertahanan lawan. Indonesia mulai menguasai bola lagi. Sisi kanan yang kini diisi Toni Simanjuntak, menggantikan Firdaus Benardo, mencoba menusuk pertahanan lawan. Toni memiliki keunggulan pada daya tahan dan kekuatan tubuh. Walaupun tidak secepat Firdaus, dia bisa mempertahankan bola selama menyisir sisi kanan. Toni menembus sisi kanan dan berada di sudut pertahanan lawan. Setelah dia melihat Adam yang berlari cepat ke dalam kotak penalti, dia melepaskan umpan silang kuat. Adam mencoba meraih umpan itu dan bermaksud menembak langsung ke gawang. Tetapi usahanya gagal. Max Meyer, si pemain bertahan yang berpostur tidak terlalu tinggi, namun memiliki kemampuan marking yang hebat, berhasil menyapu bola ke luar. Corner kick untuk Indonesia. Riki Nugraha menjadi eksekutor tendangan pojok. Dia melakukan umpan tinggi. David Utama, bek tengah, mencoba menggapai bola dengan kepala, namun kiper lawan berhasil meninju bola. Kulit bundar itu terlempar ke lapangan tengah. Di sana, Yoo Seung-Ryul si gelandang blasteran Indonesia-Korea Selatan, menangkap bola liar tadi. Yoo memiliki visi yang bagus, Adam yakin ini saatnya mencari ruang agar Yoo bisa mengirim bola kepada Adam dan membuat kesempatan untuk menciptakan gol. Terlebih, chemistry mereka sudah kuat karena berada di klub yang sama sehingga ikatan yang mereka miliki sudah tercipta sebelum pemusatan latihan di Timnas. Garis pertahanan Jerman semakin naik. Jarno Wiemann berusaha merebut bola dari Yoo, dan seluruh pemain Jerman bergerak maju, tampak optimis Wiemann mampu merebutnya dan mencoba membangun serangan balik serta menciptakan gol keempat. Namun Yoo tidak membiarkan itu terjadi dan melalui dribble yang tidak mampu dihadang Wiemann, dia mengambil ancang-ancang melepas umpan terobosan. Adam bergerak maju, berada sejajar di garis pertahanan akhir lawan. Bola itu dilepaskan, Adam bergerak maju mencoba menyambut bola yang meluncur seperti peluru. Umpan itu kuat namun terarah. Bola jatuh di kaki Adam. Max Meyer mencoba mengejar. Tackling terukur dilancarkannya, namun bola berhasil diselamatkan dengan punggung kaki dan Adam berlari sekencang mungkin. Sepengamatan Adam, kiper Özkan Demirel si jenius yang telah menjadi pilar pertahanan terakhir raksasa Jerman, Bayern Munich, di umur 17 tahun, memiliki kemampuan one on one yang bagus. Tendangan langsung sepertinya akan mampu diblokir. Kuputuskan untuk menggiring dan melewati kiper. Pada situasi ini, hanya ada Adam, Max Meyer, dan Özkan Demirel yang saling berhadapan untuk merebut bola. Rekan-rekan Adam berada jauh di belakang sehingga dia tidak bisa memberikan umpan. Jika bola ditahan terlalu lama untuk mencari rekan yang bisa dikirimi bola, maka Max akan segera mencapai Adam. Hanya Adam yang bisa menciptakan peluang. Adam berlari menuju kiper tanpa mengurangi kecepatan. Sisi kiri kiper dia eksploitasi karena dia lebih dominan pada kaki kanan. Saat dia rasa jarak tembaknya sudah cukup bagus, Adam mencoba untuk mengarahkan tembakan ke sudut kiri pertahanan kiper. Namun saat sepersekian detik sebelum dia melepaskan tembakan, kelihatannya Özkan telah memprediksikannya. Dalam sekejap tembakan itu dia ubah ke arah berlawanan. Özkan tertipu dan Adam berhasil mencetak gol. 1-3, Indonesia memperkecil kekalahan. "Kita masih bisa mengejar. Kuatkan keinginan kalian. Kita bisa!" teriak sang kapten, Zilliam Raska. Lima menit tersisa, Jerman melakukan pergantian pemain terakhir. Pemain yang ditarik adalah Willi Rausch yang mencetak 2 gol pada pertandingan ini. Pemain yang masuk adalah remaja berumur 15 tahun. Masih sangat muda dan bertubuh kecil. Namanya Markus Schneider. Setelah kick off dilakukan Jerman kembali menguasai bola dengan permainan possession yang rapat dan menekan. Mereka memainkan bola sehingga Indonesia kesulitan merebut dari mereka. Para pemain Indonesia sudah kelelahan dan celah mulai terbuka di setiap posisi. Melalui umpan akurat dan cepat, Jerman melewati gelandang serta bek Indonesia. Permainan satu dua yang baik dilakukan AşıroÄŸlu dan Schneider yang barusan masuk. Tanpa berlama-lama, Schneider melepaskan tembakan dan mendarat di pojok kanan bawah gawang. 1-4, Indonesia semakin terpuruk. Anak itu, si pencetak gol keempat, menghampiri Adam dengan wajah penuh kebanggaan. "Asian football cant reach world level. You all still need a long time to stand before me," ucapnya kepada Adam dengan pongah sesaat setelah mencetak gol. Adam tidak mengambil hati terhadap perkataan Schneider barusan. Dia benar. Levelnya berada di atas Adam. Beberapa menit kemudian peluit berbunyi. Permainan usai. Langkah Indonesia di Piala Dunia U-20 terhenti di quarterfinal. Tuan rumah menghentikan perjalanan Indonesia. Ruang ganti terasa suram. Sisa kekalahan masih bergentayangan di ruang ganti. Semua orang memasang raut kesedihan. Sepertinya hanya Adam yang tidak terlalu larut dalam kesedihan. Dia memang selalu berpikir positif. Apalagi, ini barulah awal dari perjalanan kariernya. Pak Bur, pelatih Indonesia yang selalu bisa memberikan aura baik, mulai bersuara. "Dalam sejarah sepakbola Indonesia, baru kali ini Timnas Indonesia bisa mencapai quarterfinal. Kenapa kalian bersedih? Seharusnya kalian bangga dengan diri kalian. Kalian akan pulang ke tanah air disambut rasa bangga seluruh masyarakat Indonesia," Pak Bur mulai berpidato. Kapten Indonesia, Zilliam, berusaha menenangkan rekan-rekannya. Dia menepuk pundak mereka. Pekerjaannya benar-benar membantu Pak Bur. Setelah pulang dari sini, para pemain akan kembali ke klub masing-masing. Pemusatan latihan selama 2 bulan ini akan berakhir. Bagi Adam, mereka sudah menjadi keluarga barunya. Banyak pengalaman berharga yang telah mereka bangun bersama. Dari posisi kiper, Indonesia punya seorang Warta Cendana, kiper yang mulai mengisi posisi kiper secara reguler di Arema. Kemudian kiper lainnya adalah Kevi Ranggalo yang mulai mendapat menit bermain yang banyak di Mitra Kukar. Dan yang terakhir adalah Dean Jerry Francius, kiper asal Persija. Di posisi bek tengah ada kapten Indonesia, Zilliam Raska, pemain yang sempat beberapa kali memegang ban kapten di klub tempat dia bermain, Villa 2000. Duet mautnya Zilliam adalah Michael Albertus Putra. Sejak umur 17 tahun, Michael telah menjadi pemain reguler di Persipura. Galang Purnama menjadi saingan berat Michael demi mendapatkan tempat di duet maut jantung pertahanan Indonesia. Galang bermain di PSS. Sementara Jaya Pamungkas sesekali dirotasi di area pertahanan. Saat ini Jaya baru saja promosi ke tim senior Sriwijaya FC. Di sektor bek kanan ada Teuku Karim, pemain blasteran Aceh-Algeria yang bermain reguler di Persiraja. Pelapisnya ada Albert Piterson dari Persiwa. Sesekali Piterson mengisi sektor kiri. Di sektor kiri Reza Yahya dari Sriwijaya menjadi pilar penting dalam pertahanan Indonesia. Yoo Seung-Ryul adalah sahabat dan rekan Adam sejak di tim junior hingga promosi ke tim senior Semen Padang FC. Walaupun berdarah Korea, Yoo bisa berbahasa Indonesia karena memiliki darah Indonesia dari sang ayah. Wayan Maulana yang memimpin area tengah Indonesia berperan penting dalam pencapaian Indonesia saat ini. Dia bermain di Bali United. Dua nama lainnya disusul Affan Lubis dari Pusamania dan Riki Nugraha dari Persib Bandung. Sayap kanan secara reguler ditempati Firdaus Benardo dari Persebaya. Sesekali, ketika Firdaus mengalami kebuntuan, maka Toni Simanjuntak menggantikan posisi Firdaus. Toni bermain untuk PSMS. Sayap kiri secara bergantian diisi Odin Ersyadina dari Gresik United dan Ilyas Iskandar dari Persib. Karena kekonsistenan mereka, mereka mendapat jam bermain berimbang. Posisi ujung tombak secara reguler ditempati Farel Sandra Fatahillah. Pemain yang kini menjadi penyerang utama Arema ini di musim lalu menjadi topskorer Liga 1 Indonesia dengan raihan tiga puluh gol. Di Piala Dunia U-20 pun dia berhasil mencatatkan 5 gol dan berada di top three topskorer turnamen itu. Rumor beredar beberapa klub Jerman tengah mengamati Farel. Dan terakhir adalah Adam Altarian. Di Semen Padang Adam dipercaya menjadi striker utama dan berhasil mencatatkan lima belas gol di musim lalu. Terbanyak keempat di Liga. Namun jika dibandingkan dengan Farel, kemampuan Adam masih jauh di bawah dia. Itulah mengapa Adam tidak bermain sesering Farel selama berkostum Timnas U-19 hingga U-20 ini. Hampir semua punggawa Timnas U-20 Indonesia bermain reguler di klubnya masing-masing. Dan setelah performa Indonesia yang terbilang lumayan baik di kancah Piala Dunia U-20 ini, Adam yakin akan banyak klub luar negeri yang memasang mata kepada Indonesia. Ini akan jadi cerita menarik. Kelak, mereka akan bermain di lapangan yang sama membawa bendera merah putih di Piala Dunia. Book 1, Goal 2: Tawaran dari Eropa "Perkenalkan, Saya Alexander Hoffman. Panggil Alex saja." Pria berjanggut tipis itu langsung memperkenalkan diri begitu Adam membuka pintu rumah. Bahasa Indonesianya fasih, namun logatnya bercampur kebarat-baratan. "Silakan masuk," ucap Adam langsung mempersilakan. Dia belum pernah melihat laki-laki ini. Ada apa gerangan seorang asing datang ke rumahnya sambil memperkenalkan diri dengan pakaian dan gaya bicara serba formal? Ibu, Adam dan pria bernama Alex kini duduk di ruang tamu. Setelah memperkenalkan dirinya sekali lagi kepada Ibu, dia menjulurkan sebuah kartu nama. "Saya seorang agen pemain dari Belanda. Salah satu tugas saya adalah mencari pemain-pemain berbakat dari luar yang cocok bermain di Belanda. Saya sangat senang begitu tahu ada pemain berbakat dari Indonesia. Karena salah satu orangtua saya berasal dari Indonesia, ada darah Indonesia mengalir di tubuh saya. Suatu kebanggaan bisa menemukan pemain dari negara leluhur saya." Ibu masih bingung dengan penjelasan Alex. Melihat ekspresi Ibu, Alex langsung bereaksi. "Tujuan saya adalah ingin bekerjasama dengan Adam," kata Alex sambil menatap Ibu, kemudian beralih ke arah Adam. "Kamu memiliki potensi yang bagus untuk bermain di Eropa. Saat Piala Dunia U-20 sebulan yang lalu, banyak agen dan pemandu bakat yang memasang mata pada pemain-pemain muda di ajang itu. Saya tertarik menjadi jembatan agar kamu bisa menimba ilmu di Belanda. Sepertinya sudah ada beberapa klub dari Belanda yang memerhatikanmu. Saya bisa mengurusnya jika kamu berminat pindah ke Belanda. Termasuk persoalan setelah kamu menetap di sana nanti," Alex menyudahi perkataannya. Ibu kelihatan ragu-ragu. "Ini adalah persoalan yang menyangkut masa depan Adam. Dia masih sangat muda. Tetapi saya tahu, kesempatan seperti ini tidak bisa diabaikan begitu saja." "Oh, silakan dipikirkan terlebih dahulu, Bu. Jika sudah membuat keputusan, anda bisa menghubungi saya," sahut Alex. Setelah menyudahi percakapan, Alex pamit dan meninggalkan banyak pertimbangan di kepala Adam. Adam sangat ingin bermain di luar negeri, tetapi sisi kecil di hatinya sempat meragu. Ibu bergegas membuka percakapan. "Bagaimana, Adam? Kamu tertarik bermain bola di Eropa?" Adam tidak langsung menjawab. Belum ada kalimat yang bisa dia keluarkan. Kosong, ditindih banyak pertimbangan. "Akan Adam pikirkan dulu, Bu." Aku segera menelepon Yoo Seung-Ryul. Barangkali dia punya pendapat yang bisa meringankan pikiranku. "Yoo, bisa ketemuan sekarang?" "Bisa, bisa. Ada apa memangnya?" "Penting. Masalah karierku. Satu jam lagi ketemuan di tempat kita biasa makan, ya?" "Oke." Pindah bukan suatu perkara gampang. Adam harus meninggalkan kehidupan sepakbolanya di Indonesia. Dia tidak akan bisa bertemu Ibu dan adik perempuannya jika tinggal jauh di Eropa sana. Selama ini, kebanyakan pemain Indonesia yang mencoba berkarier di Eropa akan kembali ke Indonesia dengan cepat. Sangat sedikit yang mampu bertahan. Ekspektasi pada pemain Indonesia u-20 sangat kuat. Orang-orang memprediksi para pemain muda ini akan menjadi generasi wonderkid yang mampu bersaing di level dunia sekaligus pembuka generasi emas Indonesia. Untuk menjawab ekspektasi tidaklah mudah. Itulah yang kini tengah dipertimbangkan Adam. *** "Jadi, ada masalah apa?" tanya Yoo ketika baru saja datang. "Hei, tidak usah buru-buru, Bung. Pesan dulu makananmu," tukas Adam. Yoo tersenyum, kemudian dipanggilnya salah seorang waitress yang berada di dekatnya. "Nasi goreng spesialnya satu ya, Kak." Kemudian dia memindahkan tatapannya ke Adam, “Mau pesan apa?” “Sama,” sahut Adam. Setelah mencatat pesanan, waitress tadi langsung kembali ke arah dapur. Yoo langsung memusatkan perhatiannya pada Adam. "Nah, ayo ceritakan." "Sebelumnya, aku ingin bertanya. Apa yang akan kamu lakukan jika saat ini ada klub luar negeri yang tertarik merekrutmu?" "Klub luar negeri?" katanya dengan mata terbelalak. "Jika tawaran itu berasal dari Eropa, aku pasti akan menerimanya. Kalau Asia, klub dari Jepang atau Korea Selatan adalah pilihan yang tepat." "Jadi kamu akan langsung menerimanya, ya?" "Of Course," sahutnya. "Oh, iya berhubung lagi membahas tawaran dari luar negeri, sepertinya aku tidak akan menyelesaikan musim ini di Semen Padang deh." "Maksudmu?" tanya Adam heran. "Beberapa hari yang lalu salah seorang scout mendatangiku. Katanya mereka benar-benar serius ingin merekrutku." "Klub apa?" "Jeonbuk FC," jawabnya cepat. "Hah, kamu dapat tawaran dari Korea?" Adam kaget. "Ya, aku akan kembali ke Korea lagi setelah beberapa tahun menetap di sini. Papa memang masih bekerja di sini tetapi Mama sepertinya ingin menetap di Korea lagi. Aku akan menemani Mama di sana," jelas Yoo. "Hei itu hebat. Kamu pasti akan semakin berkembang di sana." "Pasti," ucapnya. Seperti biasa, dia percaya diri. "Oh, iya, memangnya kamu kemari hanya ingin menanyakan itu? Tidak ada masalah yang serius?" tanya Yoo. "Ehm, mengenai tawaran dari luar negeri. Sebenarnya aku juga didatangi seseorang. Seorang agen. Katanya, ada beberapa klub dari Belanda yang tertarik mendatangkanku." "Belanda? Hey, Bro, itu keren. Oh ya, klub apa saja?" Raut wajah Adam langsung pudar. "Aku, tidak tahu. Agent itu tidak menjelaskan dengan rinci. Katanya, ada beberapa. Dan jika aku bersedia, dia akan memastikan klub mana saja yang tertarik padaku." "Lalu masalahnya apa?" "Masalahnya aku masih terlalu muda. Dan Eropa itu benar-benar jauh. Aku khawatir tidak bisa beradaptasi." "C'mon, Bro, kamu pasti bisa," Yoo menepuk pundak Adam. "Belanda adalah tempat yang cocok untuk menempa pemain Asia. Banyak pemain Asia hebat mengawali karirnya dari sana. Jangan ragu lagi." Adam berpikir sejenak. "Ehm, kamu benar. Sepertinya aku harus keluar dari zona nyaman." "Jadi?" tanya Yoo menuntut kepastian. "Aku akan menerima tawaran bermain di Eropa." "Bagus. Sampai ketemu di Eropa beberapa tahun lagi. Aku tidak berniat berlama-lama di Korea. Suatu saat aku juga akan menyusulmu ke Eropa." "Ya, akan kutunggu, Yoo." Seusai pertemuan dengan Yoo, Adam memberitahu Ibu tentang keinginannya pergi ke Eropa. Ibu tidak menghalangi jalan yang ingin ditempuh Adam. Dia mengizinkan Adam dan mendukung sepenuhnya. Adam mengambil kartu nama Alexander Hoffman, si agen paruh baya yang mendatanginya pagi tadi. Ada nomor telepon di sana. Adam langsung menghubunginya. "Halo, dengan siapa?" ucap suara berat dari seberang sana. "Ini saya, Adam Altarian. Mengenai pembicaraan kita tadi pagi, saya tertarik untuk menerima tawaran anda," sahut Adam tanpa ragu-ragu. "Bagus. Sekarang kamu tunggu dengan tenang. Aku akan menemui beberapa klub yang tertarik denganmu. Beberapa hari lagi aku akan menghubungimu dengan beberapa opsi klub yang bisa kamu pilih, dan tentunya aku akan menjelaskan detail klub-klub tersebut agar kamu tidak salah pilih. Ini demi kebaikanmu, kamulah yang menentukan. Tetapi sebagai agen, aku akan membimbingmu. Percayakan kepadaku." "Baik, Pak." Adam benar-benar lega. Semua beban telah lepas. Impiannya sejak kecil, bermain sepakbola di Eropa sepertinya akan segera terwujud. Berkat mengobrol dengan Yoo, dia semakin yakin untuk mengejar cita-citanya. Belanda, aku datang. Akan kutaklukkan kau, jerit Adam dalam hati. Description: Latar waktu, tempat, dan suasana diangkat dari game Football Manager yang sudah mencapai tahun 2033. Telah banyak keadaan yang berubah, berbeda sangat jauh dengan dunia nyata saat ini. Karakter yang mengisi dunia ini merupakan pemain asli saat ini (di dalam cerita mereka telah tua dan pensiun, beberapa menjadi pelatih) dan pemain regen (bukan pemain asli di dunia nyata melainkan pemain yang diciptakan sistem di game) serta pemain baru yang diciptakan oleh penulis (pemain fiksi yang bukan pemain asli di dunia nyata saat ini ataupun pemain regen. Sebagian besar merupakan karakter utama dan pendukung). Menceritakan perjalanan karir sepakbola pemain muda Indonesia yang terlahir dalam generasi emas Indonesia. Skuad U-20 Indonesia di tahun 2033 berhasil melaju ke quarterfinal U-20 World Cup, yang merupakan pencapaian tertinggi selama sejarah sepakbola Indonesia terbentang. Adam Altarian, salah satu punggawa Garuda Muda, berambisi untuk mencapai karir sepakbola ke level yang lebih tinggi. Bukan hanya Adam, para rekan Timnasnya pun memiliki keinginan yang tidak lebih kecil dari apa yang dicita-citakan Adam. Hampir seluruh skuad U-20 Indonesia berkarir di luar negeri seusai gelaran U-20 World Cup berakhir. Wonderkids menyajikan perjalanan karir Adam Altarian serta para wonderkid Indonesia lainnya dalam meraih mimpi menjadi pemain yang berkiprah di level teratas, serta impian membawa Indonesia menjuarai Piala Dunia.
Title: When A Flower Bloom And Die Category: Adult Romance Text: Prolog Apa yang lebih mengejutkan dari sambaran petir? Balas dendam --------- Hal apa yang hanya sekilas? Memiliki hal yang tidak seharusnya kau miliki ------ Siapa yang paling akrab didunia ini? Orang yang memahami dirinya sendiri ----------- Apa rahasia abadi itu? Cinta ------- Dimanakah cinta itu? Tidak dimanapun ------- Perasaan cinta itu seperti monster, jika telah merasukimu, kau tidak bisa mengendalikannya. Hydrangea No matter the darkness, I’ve been searching, for that one and only, light. Hydrangea 1 ------ Hydrangea 1 ------ Sore itu di Penang International Airport, Malaysia. “Okaasan, matte yo[1].” Seorang gadis muda berambut panjang sepunggung meronta pada seorang wanita yang menyeretnya. Koper-koper yang ditarik bergoyang-goyang. Keributan kecil dari ibu dan anak itu menarik perhatian beberapa orang . “Ini demi kebaikanmu.” Ucap wanita yang tidak bisa dibilang muda lagi. Kerut-kerut halus diwajahnya menunjukkan usianya berkisar 45 tahunan. “Okaasan, aku nggak mau ninggalin Chris. Onegai[2].” “Mo, yamete[3]! Kamu ngapain sih masih mikirin cowok itu? Mama nggak suka ya. Sekarang kita pulang ke Jepang.” “Ma, Mama kenapa sih? Aku cinta sama dia. Aku nggak mau pergi.” Ucap gadis itu duduk disalah satu kursi tunggu bandar udara Internasional Penang. Percakapan dengan nada tinggi itu terus berlanjut, tak peduli pada hilir mudik calon penumpang nampak terlihat sibuk dengan urusan masing-masing bagai koloni semut. “Kita baru tiba di Indonesia kemarin dan tiba-tiba kita mau balik ke Jepang? Ma, aku bahkan belum ketemu Chris. Ayolah Ma ada apa?” tak habis pikir dirinya melihat tingkah ibunya yang tiba-tiba, masih ia ingat tadi malam tiba-tiba ibunya memutuskan kembali ke Jepang. Setelah kehabisan tiket terakhir menuju Tokyo, Ibunya lantas memilih transit di Malaysia. Begitu ingin ibunya cepat-cepat kembali ke Jepang sungguh membuatnya bingung. “Kamu sayang sama Mama ‘kan? Kalo kamu sayang Mama, kamu nurut dong. Mama nggak suka kamu masih mikirin dia. Mulai sekarang kamu lupakan dia.” “Okaasan!!!” ia berteriak seolah tak percaya pada apa yang baru saja didengar dari ibunya sendiri. “Aku mau ketoilet. Kamu jaga koper. Jangan coba-coba kabur, dompet, dan passportmu ada ditanganku.” Wanita itu galak. “Doshite[4]?” Gadis itu meruntuk kesal saat mamanya beranjak menuju toilet bandara. Ia benar-benar tak paham apa maksud dan tujuan ibunya. Ibunya seperti puzzle rumit yang begitu sulit untuk ditebak. Hydrangea, ia mendeskripsikan ibunya dengan bunga Hydrangea. Tiba-tiba saja ia berfikir demikian kala matanya menangkap sebuah poster bunga yang berbentuk bintang dan menggerombol berbentuk bulat berwarna campuran putih, ungu dan biru muda dari sebuah majalan yang ada didekatnya. Hydrangea dalam bahasa bunga berarti hati yang dingin dan kesombongan. Cantik dan tegas, menggambarkan jelas tentang ibunya namun ibunya selalu menjunjung tinggi harga dirinya, selalu bersikap dingin, bersikeras dan mendominasi hidupnya. Ia sedikit banyak mengerti alasannya, tentu saja kasih ibu akan terus mengalir tanpa batas pada anaknya namun ia tak mengerti dengan cara ibunya yang begitu mengekangnya. Ia bebas, tapi tetaplah merasa bagaikan burung dalam sangkar. Gadis itu menghela nafas, menatap lalu lintas dari beberapa pesawat yang mendarat dan lepas landas menyisakan bunyi yang memekakkan telinga. Lalu didenganya suara yang begitu heboh, pandangan gadis itu teralihkan pada segerombolan remaja putri yang berteriak histeris. Mereka menyoraki seorang pemuda yang dikelilingi bodyguard berbadan tegap dengan baju berwarna hitam dilengkapi kacamata hitam. Seperti sebuah pagar kokoh tak tertembus mereka berusaha melindungi pemuda berkaca mata hitam dengan rambut blonde yang berjalan cuek dari pintu kedatangan. Peluh nampak membasahi wajah putihnya seolah udara Malaysia semakin menguapkan panasnya. “Rangga!!! Rangga!!! Rangga!!!” Nama itu begitu dielu-elukan oleh para penggemar. Seorang pemuda dengan bakat bernyanyi yang luar biasa. Posternya di angkat tinggi-tinggi oleh seorang gadis yang berteriak histeris tak mampu menahan kekagumannya pada sosok idola. Beberapa bahkan menangis saking terharunya bisa berjumpa langsung. Mungkin bagi sebagian orang remaja-remaja itu memang sedikit berlebihan. Rasa kagum juga rasa suka telah membuat mereka seperti mabuk kepayang. Spanduk bertuliskan nama Rangga juga terpampang disepanjang pintu kedatangan. Keributan sempat terjadi saat seorang fans berusaha menembus blokade bodyguard sang bodyguard nampak mendorong sang gadis hingga jatuh namun tak disangka Rangga berjalan mendekat dan membatu gadis tadi untuk bangun. Fans itu hanya bisa melongo dengan mata berkaca-kaca saat beradu pandang dengan idolanya. Gadis itu menatap Rangga dengan wajah tak tertarik, dare ga ano hito, idol[5]? Ia bahkan bukan orang Malaysia, ia tak kenal artis-artisnya. Tapi ia sadar Rangga bukan dari Malaysia, spanduk yang berbunyi selamat datang di negeri kami, tidak mungkin untuk artis yang memang berasal dari negara ini. Lelah melihat kehebohan itu, Ia lantas mengalihkan pandangannya, ia menghela nafas berat. Ia merogoh saku dan mendapati sebuah liontin berbentuk bunga matahari yang didalamnya terdapat foto sepasang kekasih yang saling berangkulan. “Aku harus bertemu denganmu Chris. Aku ingin menemuimu. Aku ingin sekali, aku tidak tahu kapan lagi bisa datang ke Indonesia dan aku...” Gadis itu terisak sedih. Sekian lama meninggalkan Indonesia dan pergi ke Jepang dan kini ia tak bisa membayangkan harus pergi lagi tanpa bertemu Chris. Ia termenung sejenak. Memikirkan apa yang harus ia lakukan. Apapun yang terjadi ia harus bertemu Chris, dalam pikirannya hanyalah pertemuan itu. Gadis itu bangkit dan menarik kopernya. Ia berjalan cepat. Ia harus melepaskan dirinya sendiri. “Kau mau kemana?” Teriak ibunya yang baru saja keluar dari toilet. Gadis itu tersentak lantas berlari keluar bandara. “Help me! Aku dikejar wanita aneh.” katanya pada seorang satpam. Gomen Okaasan[6]. Lalu ia kembali berlari. Sepatu bot hitam selututnya menapaki lantai bandara dengan keras. Ia menarik kopernya menuju bagian luar bandara. Ia sempat menoleh menyaksikan mamanya yang berdebat dengan petugas bandara, ini adalah kesempatan emas baginya. Ia berlari lebih cepat, nafasnya naik turun, kakinya lelah, tapi ia terus berlari. Ia melihat sekelompok remaja fans idola tadi yang berkerumun di area parkir. Ini kesempatannya untuk membaur dengan puluhan gadis itu. Ia berlari kedalam kerumunan dan BRUKKKK!!!! Suara keras diiringi decitan ban dari sebuah mobil hitam. Orang-orang segera berlari panik. Rangga dan manajernya Reza segera melompat turun dan membawa tubuh lemah itu kedalam mobil sebelum para wartawan berkumpul. Rangga panik melihat darah terus mengucur merembes membasahi celana jeans sang gadis. Kejadiannnya sangat cepat, gadis itu tiba-tiba berlari didepan mobil, kehilangan keseimbangan dan tertabrak dengan begitu keras. “Cepat kerumah sakit!!!” Teriaknya kesal. Mobil itu meluncur cepat meninggalkan bandara. Meninggalkan deru dingin yang berselimut sibuknya kota Penang senja itu. *** [1] Ibu, tolong tunggu [2] Aku mohon [3] Ah, Berhentilah [4] Kenapa? [5] Siapa orang itu? Artis? [6] Maaf ibu Hydrangea 2 ----- Hydrangea 2 ----- Rumah sakit Adventist terlihat sepi pagi itu. Burung-burung gereja terbang disepanjang taman rumah sakit. Mereka seperti bersua menyambut terik mentari hangat pagi. Seorang pemuda duduk disalah satu sofa rumah sakit saat seorang dokter memeriksa pasien didepannya. “koma selama satu minggu dan saat sadar justru amnesia. Oh come on! Sembuhkan dia dok.” Ucap Reza manajer Rangga, pemuda itu meremas rambutnya sendiri saking gemasnya. Sementara Rangga, pemuda itu sibuk mengutak atik ponselnya seolah tak peduli perdebatan yang ada dihadapannya. Ia terus cuek sambil sesekali melirik gadis berambut cokelat yang duduk sambil menatap ruangan dengan bingung. “Aku sudah boleh pergi tidak? Bau rumah sakit membuatku mual.” Gadis yang duduk diatas ranjang menoleh. Wajahnya pucat, perban membalut kepalanya. Dilihatnya pemuda berambut pirang kecoklatan yang baru saja angkat suara. Wajahnya tampan, kulitnya putih bersih, tatapan matanya tajam, ada aura dingin yang terpancar kala mata keduanya bertemu. Hydrangea, entah mengapa dan dari mana asalnya, gadis itu tiba-tiba teringat bunga Hydrangea saat menatap pemuda berpakaian necis itu untuk pertama kalinya. Kali ini ia hanya terdiam, tenggorokannya terasa masam juga sakit, ia tidak bisa berbicara dengan lancar dalam keadaannya. Ia hanya menatap dua pemuda yang tengah berdebat secara bergantian. “Rangga, bukan saatnya menjadi egois begitu. Kita harus bagaimana? Dia tidak ingat nama, alamat, harus bagaimana? Meninggalkannya disini sendiri?” “kau pikir bagaimana lagi? Berikan saja dia setumpuk uang dan urusan beres.” Ucap Rangga tegas. Reza menggeleng kesal pada Rangga. Kau ini picik sekali, memangnya segala sesuatu bisa diselesaikan hanya dengan uang apa? Reza mendekati gadis itu. Wajahnya pucat, matanya yang bening juga raut wajahnya membuat Reza yakin, usianya tak beda jauh dengan Rangga. “Siapa namamu?” Tanyanya. Gadis itu menggeleng bingung. Ia bahkan belum bersuara sedikitpun sejak membuka matanya. “Hah Rangga, gadis ini bisa membuatku gila. Kau pikir aku tidak pusing? Insiden ini harus disembunyikan dari publik. Karirmu bisa rusak kalau kau ketahuan menabrak seseorang sampai hilang ingatan.” “Kau’kan manajerku, kenapa tidak selesaikan dengan baik-baik sih.” “kau itu selalu saja mengampangkan segala hal. Tidak semua hal itu bisa diselesaikan dengan cara mudah.” “Dokter bilang ‘kan amnesianya mungkin tidak permanen.” “Mungkin, itu mungkin.” “Dasar cerewet.” Gadis itu menatap kedua pemuda berusia sebaya itu bergantian, ia tidak terlalu mengerti keadaan ini. Kepalanya masih pening, kaki dan lengannya terasa ngilu. Ia mendengar kembali percakapan keduanya. Ia bingung dan takut. Ia tak ingat apapun. Tapi ia marasa sedikit takut, ia tidak ingin ditinggalkan. “Aku mohon jangan lakukan ini padaku. Aku bingung. Aku mohon jangan tinggalkan aku sendirian.” Pintanya lemah. “Hah, kau dengar itu Rangga? Kau dengar katanya? Kita harus bagaimana?” “Ayo pergi. Sebentar lagi aku harus menyanyi. Hei kamu, Sebaiknya besok pagi kamu sudah harus ingat lagi.” Ucap Rangga galak. Ia menatap kembali kedua pemuda sebaya yang keluar dari pintu rumah sakit sebelum menghilang. Ia menatap sekeliling ruangan dengan tatapan aneh. Ia termenung lama sekali berusaha menggali tambang ingatannya yang lenyap tak bersisa. Ia merasakan pening dan kembali membaringkan tubuh menatap langit-langit rumah sakit. Sekitar dua jam kemudian, seorang suster masuk dan memeriksa keadaannya. Ia tersenyum lalu menyalakan tombol power pada remote televisi dan meninggalkan gadis tanpa nama itu. Suster itu sedikit ingin menghibur pasiennya yang sejak bangun selalu menampakkan wajah murung. Gadis itu menatap bingung sambil sesekali memencet remote televisi. Sesaat televisi menampilkan suasana panggung yang ramai sekali. Seperti ribuan lampu yang menyeruak berebut tampil. Cahaya menari-nari diatas menyinari panggung megah itu. Terlihat ribuan penonton histeris dihadapannya. Begitu sang penyanyi muncul diatas panggung, histeria melipat ganda. Alunan musik mulai terdengar mengiringi suara sang penyanyi muda yang enerjik meliuk diatas panggung yang seolah adalah dunianya. Ia menyanyi dengan penuh penghayatan dan begitu mempesona semua penonton yang rata-rata adalah remaja puteri. Melodi-melodi berpadu dengan apik, membentuk irama yang mampu membangkitkan semangat. Seperti api yang membakar jerami. Acara berlangung hampir satu jam dan gadis itu masih terpaku menatap layar televisi. Ia seolah terhipnotis oleh penampilan Rangga, pemuda yang sudah menabraknya, yang mengambil ingatannya. Rangga yang berada diatas panggung sama sekali berbeda dengan Rangga yang beberapa jam lalu ada di dekatnya. Dia tersenyum dan tertawa, dia bernyanyi dan menari, membawa kebahagiaaan bagi penggemarnya. Seperti membawa ia masuk kedalam dunia yang baru. *** Hydrangea 3 ------ Hydrangea 3 ------ “Mana gadis itu?” Tanya Rangga melihat ruangan yang sudah kosong. Pagi baru menjelang ketika Rangga dan Reza memasuki kamar VVIP yang ditempati gadis itu. Tak berapa lama gadis yang ditabraknya keluar dari toilet seraya menyeret selang infusnya dibantu seorang suster. “Rangga? Rangga Ziacrieve ‘kan?” Teriak suster itu histeris. Reza segera mengambil alih situasi dan membawa suster yang ternyata adalah penggemar Rangga keluar dari kamar. “Sudah ingat?” Tanya Rangga. Gadis itu menggeleng pelan. Ia duduk dipinggir tempat tidur menatap sosok Rangga yang berdiri didepannya sambil bersandar pada tembok putih rumah sakit. “Dengar, aku tidak mengenalmu, aku tidak tahu siapa kau dan aku tidak peduli kau siapa. Reza akan memberimu sisa uang dan kau bisa menghilang dariku.” Rangga meletakkan sebuah amplop cokelat didekat tempat duduk gadis itu. “Semudah itu? Semudah itu kau lepas dari tanggung jawab? Ambil semua ini !!!” Teriak gadis itu melemparkan uang yang diberikan oleh Rangga kemarin. Uang itu menghambur kearah kaki Rangga dan terongok kaku diatas lantai marmer yang dingin. Gadis itu marah juga bercampur takut. Ia tak ingin ditingggalkan. Semalam ia bahkan tak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi padanya. Ia tak bisa mengingat semua yang harusnya ia ingat. Bahkan koper juga ransel yang dibawanya tak memberinya satu informasi apapun. “Heh dengar ya, kau tahu aku siapa hah? Seorang idola yang dikagumi. Aku tidak mau berurusan denganmu.” Ucap pemuda itu marah. Rangga melangkah santai keluar dari kamar. “Pergi sana kau dasar pengecut. Dasar kau laki-laki tidak bertanggung jawab. Kasihan sekali ibumu melahirkan anak pecundang sepertimu.” Teriak gadis itu. Namun Rangga seolah beku. Ia tidak menggubris lagi teriakan gadis itu. Sekarang harus bagaimana? Wakaranai[1]. Batinnya kebingungan. Beberapa tetes air matanya jatuh. Ia merasa tubuh fisiknya sudah sembuh tapi pikirannya juga hatinya, semuanya kosong. Ia takut, amat takut ditinggalkan sendirian. *** Gadis tak bernama itu melangkah keluar rumah sakit seraya menarik koper merahnya. Ia memperbaiki posisi ransel yang menyandang dibahunya. Gadis itu sesekali melirik beberapa kedai makan yang berjejer disepanjang jalan. Ia benar-benar tak percaya telah ditinggalkan begitu saja. Ia masih ingat jelas pecakapan Rangga dan Reza semalam didepan pintu kamarnya. Meraka benar-benar akan meninggalkannya ditempat ini sendirian. Mereka akan pulang ke Indonesia hari ini. Fisiknya sudah pulih, tak ada alasan lagi baginya untuk tetap tinggal di Rumah Sakit itu, berdiam diri didalam kamar hanya akan membuatnya tertekan. *** [1] Aku tidak tahu Hydrangea 4 ------ Hydrangea 4 ----- Sementara itu di Bandara Internasional Penang, “Tenang saja, kita bisa pulang ke Indonesia dengan tenang. Aku sudah meminta Dokter Rosihan mengawasi gadis itu. Jika terjadi apa-apa dia akan segera menghubungiku.” Ucap Reza menepuk bahu Rangga. Pemuda itu diam seolah tak peduli seraya mendengarkan alunan musik dari headset putihnya. Rangga masih termenung, ia terus berfikir tentang gadis berambut cokelat yang ditabraknya, ia merasa kasihan ya, ia merasa bersalah. Pemuda itu tidak tenang, ia terus terbayang wajah yang tak bedosa yang sudah ia celakai. Malaysia saja ia tak mengenal, apa lagi untuk gadis yang baru hilang ingatan. Rangga tak suka dihantui rasa bersalah, ia tak mau lari dari perbuatannya. Ia bukanlah pengecut seperti yang dikatakan gadis itu. Rangga beranjak keluar bandara Bahkan teriakan Reza pun tak ia dengarkan. Pemuda 20 tahunan itu memanggil taksi dan segera meluncur menuju rumah sakit Adventist. Rangga dengan setengah berlari memasang tudung jaket dan kacamatanya memasuki area rumah sakit. Ia berhenti tepat didepan pintu kamar yang sudah ia hapal. Namun sayang, ia tidak menemukan yang ia cari. Kamar itu sudah kosong dengan seprai dan suasana yang sudah rapi. “Kemana pasien yang ada dikamar 305 VVIP?” Tanyanya bingung. “Pasien sudah keluar beberapa menit yang lalu” ucap suster itu ramah. Rangga tersentak kaget bercampur bingung dan panik. Ia membalikkan tubuh dan segera berlari kearah parkiran, entah apa yang ada dipikirannya saat ini tapi yang pasti, ia harus mencari gadis itu. Rangga kembali masuk kedalam taksi sambil mencari-cari sepanjang tepi jalan. Tiba-tiba ia menatap sebuah taman yang masih sepi, ia berlari keluar mendekati sekelompok pria berbadan tegap. “Let Her Go!!!” Teriak Rangga pada sekelompok pemabuk yang mengganggu gadis yang ia cari. Gadis itu duduk bersimpuh dan gemetaran. Ia masih terkejut menghadapi ketegangan atas perlakuan tiga pria menakutkan yang nyaris menyeretnya kedalam semak-semak. Sementara didepannya Rangga tengah berkutat melayangkan tinju kearah tiga pria yang kelihatannya tengah mabuk. “police, police[1]!!!” Teriak gadis itu membuat ketiga pria itu terkejut dan menghentikan aksinya. Kesempatan itu diambil Rangga untuk kabur dan berlari menuju taksi. “Cepat lari, masuk kedalam taksi!” Perintahnya menarik tangan gadis itu. Gadis itu kesulitan berlari karena kopernya yang lumayan besar dan berat. “Buang saja kopernya bodoh.” Teriak Rangga marah sembari membuang koper yang tengah dipegang gadis itu. Keduanya berhasil masuk kedalam mobil sebelum pria-pria mabuk itu berhasil mengejar mereka. Gadis itu masih menatap nanar kopernya yang tergeletak di terotoar jalan. “A.. Arigato, tapi, koperku….” Gadis itu mengeluh bingung. “Hei bodoh, lupakan koper itu, apa yang kau lakukan diluar sana? Harusnya kau dirumah sakit” omel Rangga. “Memangnya kau pikir aku harus bagaimana? Kaukan tidak mau bertanggung jawab.” “Baiklah-baiklah, biar bagaimanapun ini adalah tanggung jawabku. Aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku. Hanya sampai ingatanmu kembali, aku harus mengawasimu.” “Syukurlah, aku sendiri juga bingung kalau harus sendirian, semuanya kelihatan asing dan aneh.” Gadis itu terlihat lega. “Tapi ingat, kau harus mengikuti aturan-aturanku. Paham?” “Um.” Gadis itu mengangguk “Pertama, kita pikirkan siapa namamu.” “Nama?” “Tentu saja, memangnya aku harus memanggilmu apa?” gadis itu terdiam, ia tak keberatan dipanggil apa saja. Untuk saat ini ia sangat tenang, setidaknya ia tidak sendirian. “Aku sedang malas berfikir jadi ku panggil kau Bunga.” Rangga menatap keluar jendela tanpa menoleh. Nama itu muncul tiba-tiba saat ia melihat toko bunga bernama Bloom Florist. Sementara gadis yang ada disebelahnya hanya terdiam. Apa yang akan terjadi pada dirinya dimasa depan, dengan semua kekosongan membuatnya tak tahu harus senang atau takut. Mobil itu terus melaju dan tiba di bandara lima menit sebelum lepas landas. Reza menunggu Rangga dengan cemas, ia tersenyum lega melihat Rangga yang baru keluar dari taksi. “Aku lupa bawa dompet jadi tolong bayar taksinya.” Perintah Rangga sambil menyeret gadis itu masuk. “Di… dia kan?” “Diam dan cepat masuk kedalam pesawat.” Pesawat yang dipakai oleh Rangga adalah sebuat jet pribadi. Bunga duduk didekat Rangga. Pemuda itu, selama perjalanan selalu diam sambil matanya tak lekang menatap indahnya langit yang bersemu biru ditambah gumpalan-gumpalan awan yang indah berbentuk seperti gumpalan kapas yang saling tumpang tindih dengan lembut. “Apa yang harus kita lakukan padanya?” Tanya Reza. “Entahlah, aku belum memikirkannya.” Ucap Rangga santai. “Apa? Kau bertindak sejauh ini dan tidak mempunya rencana? Kau sudah gila? Kita bahkan sudah melakukan tindakan kriminal dengan menyusupkan gadis ini tanpa surat-surat dan identitas. Lalu, apa yang akan dikatakan wartawan melihat kalian berdua. Idola kelas atas Rangga Starsk, terlibat skandal? “Jangan berlebihan begitu, jika tidak ketahuan, tidak ada masalah ‘kan?” Reza memijit kepalanya yang tiba-tiba pening. Bunga hanya terdiam mendapati Reza tengah pusing. Ia tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi seperti ini. “Kamu, sebaiknya jangan melakukan hal yang aneh-aneh. Setelah tiba di Indonesia, jaga sikapmu. Wartawan-wartawan infotaiment disana ganas. Hal-hal sensitif sedikit saja, biasa meledak seperti bom atom.” Reza meningatkan. “Bunga.” “Hah?” “Aku menamainya Bunga.” “Menamaninya, memangnya gadis itu kucing peliharaan?” “Diam!” Rangga jengkel. “Sudahlah, aku sendiri sedang pusing.” Reza lelah. “Pokoknya sampai Bunga mendapatkan ingatannya kembali, dia akan ikut dengan kita.” Ujar Rangga dengan tatapan datar tanpa ekspresi. [1] Polisi Hydrangea 5 ------ Hydrangea 5 ----- Perjalanan dari Malaysia menuju Indonesia cukup memakan banyak waktu, dalam beberapa jam saja, pesawat itu sudah mendarat di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. “Dengar, di pintu kedatangan pasti sudah banyak penggemar dan wartawan yang menunggumu, baiknya harus bagaimana?” “Baiknya? Kaukan manajer, kau yang pikir.” “Kau lihat? Mereka ada banyak.” Ucap Reza mengintip dari jendela pesawat. Ia melihat sekelompok wartawan yang siap dengan kamera serta para penggemar yang menenteng spanduk dan poster seraya berteriak-teriak memanggil nama Rangga. “Pakai ini.” Rangga menyerahkan topi merahnya pada Bunga. Bunga memasangnya pada kepalanya dan Reza memgambil sebuah kacamata pada gadis itu. “Aku dan Rangga akan keluar dan menarik perhatian mereka, kau segera berlari keruang tunggu VIP bandara, para bodyguard pasti masih ada didepan pesawat, jadikan mereka sebagai kamuflase, kau bisa masuk secara diam-diam. Understand?” “Um.” Bunga mengangguk mantap. Rencana itu sepertinya berhasil, sejauh ini Rangga dan Reza berhasil membawa kerumunan itu menjauh dari pesawat sehingga Bunga bisa berlari menjauh dari pesawat menuju ruang tunggu. Ia berhasil masuk dan menunggu kedua pemuda itu. Cukup lama Bunga menunggu hingga gadis itu merasa bosan sendiri. Sesekali Bunga menatap jendela dan menyaksikan geliat liar dari para calon penumpang yang terus-terusan hilir mudik tanpa henti di dalam lobi bandara tersibuk ke-5 didunia itu. Ia merasa seperti pernah mengalami hal ini sebelumnya, jauh didalam pikirannya berkata demikian. Tak lama kemudian, Rangga dan Reza masuk dengan terburu-buru saat Bunga membersihkan baju terusannya yang agak kotor terkena percikan air bandara. “Sekarang bagaimana?” Tanya Reza mengusap peluh didahinya yang lebar. “kita tidak bisa terus-terusan disini. Kita harus keluar dari sini.” “Tapi diluar sana wartawan dan para penggemar masih berkerumun. “Kau, beritahu para bodyguard itu untuk mengamankan jalan, siapkan mobil dan usahan mesinnya tetap menyala. Kau jalan duluan, pakai jaketku.” Rangga melepaskan jaketnya. “Setelah itu kau berlari, seolah-olah kau adalah aku, sementara perhatian orang-orang itu teralihkan, aku akan menyusup diam-diam diantara kerumunan. Tunggu aku dimobil.” Perintah Rangga pada Reza. Pemuda bermata sipit itu keluar dan menjalankan apa yang Rangga minta, beberapa lama menunggu, Rangga mendapat pesan singkat di ponselnya. Mobil dan jalan, siap. “kau bisa berlari kan?” Tanya Rangga. Bunga mengangguk. “Dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga!!!” Rangga membuka pintu dan menarik tangan Bunga keluar ruangan. Tangan Rangga memegang erat jemari Bunga berlari menuju pintu luar bandara. Entah mengapa Bunga menyunggingkan senyum, ia berlari seirama dengan langkah kaki Rangga menghindari kejaran pers dan para penggemar beruntung tak ada seorang pun yang menyadari dan keduanya berhasil ke mobil. Mobil yang terparkir didepan bandara terbuka dan Reza menarik Bunga dan Rangga untuk masuk. Kedua orang itu nampak lelah. Mobil itu berhasil melaju ditengah hiruk pikuknya kota Jakarta. Mobil itu terus meluncur kedalam sebuah kawasa perumahan elit ditengah kota. Rumput-ruput gading tampak menyelubungi setiap jengkal tanah perumahan. Pagar-pagar tinggi dengan taman indah terpampang jelas dari setiap rumah yang berada dilingkungan. Sebuah taman tampak begitu asri dengan bunga-bungan indah yang bersemi. Tak lama mobil pun berhenti didepan sebuah rumah bertaman luas. Ketiganya bergegas turun dari mobil dan masuk kedalam rumah yang bisa dibilang mewah dan cukup membuat Bunga tertegun. Rumah itu memiliki gaya modern yang minimalis dengan ornamen-ornamen kayu berwarna warni yang semakin mempercerah ruangan. Belum lagi beberapa bagian ruangan diberi nuansa klasik dengan motif batu bata yang terasa alami. Reza membawa Bunga menuju balkon dengan menapaki anak tangga kayu yang berbentuk spiral. Balkon itu diisi dengan berbagai tanaman, dan bangku-bangku taman. “Dengar, dirumah ini bukan hanya ada Rangga dan aku, masih ada dua orang lagi yang berada satu manajemen dengan Rangga. Jaga sikapmu dan ingat, jangan mengungkit masalah kecelakaan itu. Mengerti?” ucap Reza galak. “Um, Wakarimashita[1].” Ucap Bunga mengangguk. Keduanya lantas turun dan duduk di ruang santai. Perempuan itu, kadang-kadang dia bicara dengan bahasa yang sulit dimengerti. Dia benar-benar aneh. Bathin Reza. Lalu setelah mengatakan itu, Bunga dan Reza kembali turun keruang tengah. “Wah kak Rangga sudah pulang.” Seru seorang gadis berwajah oriental keluar dari kamar dan langsung memeluk Rangga dengan manja. “Who is She[2]?” gadis bertubuh mungil itu menatap Bunga dengan tatap galak dan aneh. “Bunga.” Ucap Rangga cuek sambil melangkah menuju kulkas. “Kau. Siapanya kak Rangga hah?” “Sora jangan ganggu dia.” Ucap Rangga galak. “Ini Sora, dia seorang model, dia juga tinggal disini.” Reza memperkenalkan. “Tell me, who is she?” tanya Sora merajuk manja. “Dia Bunga, adik sepupu dari kakak teman Rangga.” Ucap Reza agak kikuk dan masih bingung menghadapi Sora. “Hah, siapa? Rumit sekali silsilahnya kakak.” “Pokoknya sampai urusannya selesai, dia akan tinggal disini untuk sementara.” Ucap Reza. “Here? In our house? Hah you gonna be kidding me.[3]” “Sora, kau dengar yang aku katakan? Sekarang antarkan dia kekamar tamu.” Perintah Reza. “no, I won’t.” Sora memalingkan wajah. “tidak apa, aku bisa sendiri,” ucap Bunga menaiki tangga. “Sora, antarkan Bunga.” Perintah Rangga. Sora tak bisa membantah Rangga. Ia segera berjalan dengan ogah-ogahan mengantar Bunga kekamarnya. Bunga mengikuti Sora menuju kamar yang berjejer setelah tangga. Setiap kamar memiliki rumbai-rumbai tersendiri dan kamar yang diberikan untuk Bunga memiliki rumbai-rumbai kerang yang bergantung menutupi daun pintu. Sora membukakan pintu dan mempersilakan Bunga masuk menikmati suasana kamar barunya yang lumayan bagus. Sebuah tempat tidur setengah lingkaran bertahta ditengah ruangan dengan seprai berwarna cokelat muda. dindingnya dihiasi wallpaper dengan corak lingkaran bergaya robotik. Sebuah jendela berukuran besar mempercerah suasana kamar, sebuah pintu toilet tersembul didekat jendela. Bunga melangkah melihat jendela. Menikmati pemandangan yang indah. “Aku turun.” Ucap Sora dengan wajah sinis menutup pintu. Bunga berbalik dan mengangguk dengan senyum kearah Sora namun sora hanya menatap dengan tatapan cuek. Pandangan Bunga kembali tertuju kearah pemandangan jendela. Ia kembali menatap taman yang tadi dilihatnya saat dijalan, ternyata taman itu tidak terlalu besar. tapi bukan itu saja, didekat rumah ini terdapat sebuah danau buatan dengan lampu-lampu dan bangku-bangku panjang yang sangat serasi dengan indahnya suasana danau. Aku merasa asing, aku merasa kosong, aku tidak ingin semua kebingungan ini, sejujurnya aku ingin ingat, siapa aku ini, dari mana aku berasal, seperti apa aku ini dulu. Aku seperti dirampok secara halus dan pelan. aku berusaha menguras otak dan mengingat masa laluku tapi, sakit. Sakit sekali rasanya memaksakan otak ini berpikir. Aku merasakan pening dan lelah. *** [1] Aku mengerti [2] Siapa dia? [3] Disini? Dirumah kita? Kamu pasti bercanda. Amaryllis As I look up to the stars, though we’re so far apart, I know we’re looking up at the same starry sky. Amaryllis 1 ------ Amaryllis 1 ------ Burung camar terbang rendah dicakrawala, warna langit perlahan-lahan mulai merekah jingga hendak memeluk matahari. Perlahan tapi pasti cahaya itu mulai memudar dengan pelan terselubung cahaya menghitam. Kekelaman selama pergantian itu memunculkan kelap-kelip indah yang berkilau malu-malu diatas langit salah satu kota metropolitan terbesar didunia. Suasana itulah nampaknya yang membuat bintang dilangit cemburu, karena ribuan lampu-lampu dibawahnya nampaknya mampu menyaingi gemerlap bintang dialam galaksi raya. lampu-lampu kota menyeruak berlomba berbagi cahaya dengan malam dan bulan. Pada sebuah jendela nampaknya masih sebuah bagian kecil dari komunias elektrik ciptaan james watt. Tok!!!tok!!!tok!!! sebuah ketukan terdengar dari luar pintu kamar Bunga. “Haik[1]!” teriak Bunga dari dalam. Sora melangkah masuk dan melipat tangan didepan dada. “Dinner time[2].” Ucapnya setengah hati. “mungkin sebentar lagi.” “You aren’t hungry[3]?” “Lapar tapi…” Bunga termenung sejenak. “Cepat ganti baju dan turun.” Ucap Sora melangkah pergi. “Cotto mate[4], rasanya tidak baik aku ikut makan malam bersama kalian dengan kostum seperti ini.” Ucapnya memandang baju mandinya. “Dimana bajumu?” tanya Sora. Bunga menggeleng pelan. Sora menghela nafas dan meninggalkan Bunga. Gadis itu duduk dan merasakan perutnya berisik meminta makan. Tak berapa lama Sora muncul dan menyerahkan beberapa potong pakaian pada Bunga. “Ini baju-baju lamaku.” Ucapnya menyerahkan pakaian yang semuanya bermodel gaun kearah Bunga. “ganti dan turun. Kami menunggu.” Ucap Sora beranjak pergi. “Arigato[5].” Teriak Bunga dari kamar. “Yeah, you’re welcome[6]. Jangan merepotkanku lagi!” Teriak Sora lebih keras. “Bunga. Sora jangan teriak-teriak didalam rumah.” Bentak Rangga yang tersedak air mendengar teriakan kedua gadis itu. “Di orang Jepang ya?” tanya Sora bergabung dimeja makan. “Jepang?” Reza memiringkan kepala. “Cara bicaranya itu loh.” Reza pun akhirnya menyadari. Ini adalah sebuah petunjuk baru tentang identitas gadis itu. Reza dan Rangga saling pandang. Tak berapa lama Bunga turun dengan malu-malu ke arah meja makan. “Ayo duduk.” Panggil Reza. “Aku memberinya baju. Lagi pula kalau mau tinggal disini harusnya kau membawa baju.” “Aku bawa tapi tadi auch…” Rangga menginjak kaki Bunga. “Apa?” Sora penasaran. “Dia lupa mengambilnya saat perjalanan.” Ucap Rangga tenang. “Oh.” Keluh Sora. “Aku akan mengambil sup lagi.” ucap Rangga. “Jangan biar aku saja.” Ucap Bunga melangkah turun menuju dapur. Disaat bersamaan muncullah sosok seorang pemuda yang mengendap-endap menuju dapur. Pemuda itu terkejut melihat sosok berbaju putih-putih yang membelakanginya. “Hantu!!!! tolong!!!” teriaknya terkejut. “Hantu? Mana?” Bunga ikut-ikut panik. Pemuda tadi pun berhenti berteriak saat menyadari kehadiran Bunga. “Oh, syukurlah ternyata manusia.” Ucap pemuda berkulit putih itu lega. “Xeno! Kau sudah pulang.” Sambut Reza. “Eh iya, maaf tadinya aku mau buat kejutan tapi malah aku yang terkejut. Siapa dia?” “Orang yang mau numpang disini.” Sahut Sora. “Kamu ini, bisa nggak sih jangan bikin onar?” bentak Rangga galak. “Maa..maaf.” ucap Bunga. “Bukan salahnya kok. Aku yang salah.” “Sebaiknya aku keatas.” Ucap Bunga dengan mata berkaca-kaca. “Heh aku belum selesai bicara.” Teriak Rangga. “Sudah – sudah kalian, hei Xeno, bagaimana Korea?” tanya Reza. “Korea, hmmm baik.” “Hah sepertinya ada banyak oleh-oleh ya.” Teriak Sora mengambil koper dan kantong yang dibawa Xeno. “Aku rasa kau terlalu galak padanya.” Ucap Xeno. “Kak Rangga ‘kan memang galak.” Celetuk Sora ditengah aksinya menggeledah koper Xeno bersama Reza. *** [1] iya [2] Waktu makan malam [3] Kau tidak lapar? [4] Tunggu sebentar [5] terimakasih [6] Sama-sama Amaryllis 2 ------ Amaryllis 2 ------ “Bunga belum keluar?” tanya Xeno di sela sarapan mereka. “Nanti juga turun kalau lapar.” Ucap Sora mengunyah saladnya. “Jadwal Sora dan Rangga hari ini cukup padat, Sora akan menjalani sesi pemotretan untuk majalah fashion La Mode, Rangga ada beberapa wawancara on air di Stasiun MCTI. Dan Xeno kau baru pulang tour jadi kukosongkan jadwalmu hari ini. Kau bisa istirahat selama 24 jam dan besok baru kuatur lagi jadwal shooting yang akan kau jalani. Dan nanti malam T.O.P Entertaiment mengadakan pesta penyambutan untuk Rangga. Kalian bertiga harus datang karena direktur yang meminta langsung.” Terang Reza sedangkan selebritis papan atas itu mengangguk-angguk mengerti kecuali Rangga yang tetap diam tanpa ekspresi. Seperti biasa. Setelah menghabiskan sarapan Xeno membereskan meja, ini adalah jadwalnya mencuci piring, memang benar dirumah mereka yang megah tidak ada pembatu rumah tangga satupun, mereka yang sudah mandiri sejak belum seterkenal sekarang, tak pernah mempermasalahkan hal itu, toh kebanyakan tugas rumah tangga banyak dikerjakan oleh Reza sendiri. Pemuda asal Bandung yang merangkap menjadi manajer itu memang usianya sebaya dengan Rangga dan Xeno tapi dilihat dari segi manapun, Reza selalu lebih dewasa dalam segala hal. Ia sudah bersama-sama dengan ketiga orang itu jauh sebelum mereka menjadi selebritis papan atas. “Sebaiknya kubawakan sarapan untuk Bunga.” Ucap Xeno pada Rangga yang masih membaca koran di meja makan. Xeno mencomot sepotong roti dan membuat segelas susu. “Biarkan aku saja yang membawakan, aku tahu ini modusmu menghindari cuci piring kan?” cegah Rangga. “Apa? Aku bahkan tidak berfikir seperti itu.” “Sudah, kemarikan.” Ucap Rangga setengah memaksa dan naik keatas lantai dua. Terdengar ketukan pintu dan Bunga keluar kamar dengan rambut dan wajah yang berantakan. “Apa kamu masih mau marah-marah lagi. Aku benar-benar minta maaf yang kemarin malam.” “Heh, aku kesini membawakanmu sarapan.” Ucap Rangga masih juga galak. “Kalau tidak ikhlas tidak usah memaksakan diri.” “Aku sudah capek-capek naik tangga dan membawakanmu sarapan tau.” Omelnya langsung masuk kedalam kamar. Sedangkan Bunga masih berdiri didepan pintu memandang tangga. Capek? naik tangga tidak sampai satu menit, udah capek? “Ayo makan.” Perintah Rangga menyuruh Bunga duduk dilantai. “Iya-iya.” Bunga duduk bersila didepan Rangga dan mulai memakan sarapannya. “Kau masih belum ingat apa-apa?” Bunga menggeleng pelan. Kau sering berbicara bahasa Jepang, tapi bahasa indonesiamu sangat lancar. Mungkin dugaanku saja tapi sepertinya kau pernah tinggal di Jepang. Kadang-kadang kau bicara dengan bahasa Jepang.” “Aku masih bingung. Entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja secara spontan. Mungkin itu sudah jadi kebiasaanku.” “Yang jelas ini adalah petunjuk yang bagus, lagi pula kita akan rutin memeriksakanmu ke dokter. Jadi tenang saja, ingatanmu pasti kembali.” Dan kehidupan normalku yang damai akan kembali. Kalimat terakhir itu diucapkannya dalam hati, mungkin lebih seperti doa bagi Rangga. “Hari ini aku sibuk, kalau ada keperluan kau minta saja pada Xeno dia tidak kerja hari ini.” Ucap Rangga beranjak keluar kamar. Dengan mulut penuh roti Bunga mengangguk menatap punggung Rangga sampai menghilang dibalik pintu. Laki-laki itu lebih perhatian dari yang dipikirkannya. Dibalik wajahnya yang menyeramkan, sorot matanya yang dingin, Rangga punya hati yang lembut. Bunga selau berfikir demikian sejak Rangga menyelamatkan tempo hari. *** Amaryllis 3 ------ Amaryllis 3 ------ Pagi itu sebuah kantor majalah ternama di Jakarta, The Artistico tengah sibuk-sibuknya mengejar deadline, semua staf nampak hilir mudik dengan urusan masing-masing, berjalan membawa kertas-kertas, menenteng telpon dan berteriak-teriak. Namun nampaknya hiruk pikuk itu tak terasa sama sekali oleh Leon, seorang wartawan muda yang sedang meneliti foto-foto hasil jepretannya saat ia di bandara ketika Rangga, artis papan atas itu mendarat. “Kau lihat foto ini?” tanya seorang pria berkumis yang duduk dibalik sebuah meja besar. Archie Philip, begitu nama yang tertera didepan papan yang bertahta diatas mejanya. Ia adalah Direktur perusahaan The Artistico tersebut. “Ya, itu pesawat yang ditumpangi oleh Rangga kemarin.” Ucap Lee rekan kerja Leon. “Bukan pesawatnya bodoh, lihat lebih jelas, seorang gadis bertopi merah turun dari pesawat itu sesaat setelah Rangga turun dan membawa kalian menjauh dari pesawat.” “Ya benar, manajer Rangga yang meminta kami berpindah kupikir memang sangat aneh karena permintaan itu tiba-tiba. Selain itu saat Rangga hendak menuju mobil, ia berlari keluar dari waiting room bersama seorang gadis bergaun putih. Kau lihat video itukan?” ucap Leon. Meski yang dilihatnya hanyalah sekelebat saja, mungkin hanya sekitar dua detik namun mata tajamnya mampu mengintentifikasi video rekaman yang diambilnya. “Aku yakin pasti ada yang disembunyikan penyanyi itu, sayang sekali kita tidak mendapatkan gambaran yang jelas dari wajah gadis ini.” “Ya, sayang sekali.” Keluh Lee. “Begini saja, aku akan memberikan kalian bonus 10 kali lipat jika kalian bisa mengungkap apa yang disembunyikan oleh Rangga. Kalian ingat isu kecelakaan di Malaysia? Publik pasti akan suka dan menjadi headline menarik apalagi jika majalah kita ‘lah yang mengungkapnya. Bayangkan berapa keuntungan yang akan didapat perusahaan kita.” “Ya, kami mengerti Pak.” Ucap kedua wartawan muda itu serempak. Kedua pemuda itu lantas keluar dari ruangan dan melaju menggunakan mobil membelah jalanan kota Jakarta. *** Senja kala sudah menghilang sejak tadi, meninggalkan sejumput bercak jingga kelam dilangit barat. Malam dan bintang sudah bersiap sejak tadi mengambil alih langit, menyelubungi dengan cahaya kelam dan percikan bintang. Larik-larik sinar bulan setengah purnama bertahta indah memantul diatas pemukaan sebuah danau buatan dikawasan perumahan elit Jakarta Pusat. Riak-riak pelan tersembul akibat semilir angin dipenghujung musim hujan. Sebentar lagi musim kemarau menjelang dan dedaunan bersemu itu akan layu dan menguning, daun-maun maple pasti akan berguguran dan memenuhi setiap jengkal air danau. Tapi sebelum itu, tetaplah indah setidaknya begitulah yang dirasakan Bunga, ia senang sekali duduk berlama-lama dikursi sambil memandang indahnya panorama langit. Sebuah rangkaian lukisan kehidupan yang dibingkai apik oleh Sang Pencipta. Ia lebih senang berada ditempat setenang ini, dirumah ia pasti akan menjadi bahan pertengkaran Rangga dan Reza, pasalnya Reza mengusulkan untuk mengajak Bunga ke pesta namun Rangga menolak dengan alasan akan merepotkan mereka nanti. Begitulah ia lebih baik duduk-duduk menikmati malam ketimbang menyaksikan kesibukan orang rumah yang hilir mudik berteriak membuat pening kepalanya. “Kau suka disini?” sapa seseorang. “Xeno?” Bunga sedikit terkejut. Ia baru tinggal bersama orang itu kurang dari satu minggu. Tapi dibandingkan dengan Rangga, Xeno adalah sosok yang sangat ramah dan baik hati. Ia tampan, bertubuh tinggi, rambutnya berpotongan sedikit panjang berponi berwana cokelat tua, matanya sipit dibingkai kacamata, perawakan dan tingkahnya sangat dewasa, ia juga idola sama seperti Rangga, namun Xeno lebih menikmati pekerjaannya sebagai aktor ketimbang bernyanyi. “Ya disini tenang, dan indah.” “Kau tidak takut?” “Takut?” Bunga bingung. “Beberapa bulan yang lalu seorang wanita ditemukan tewas bunuh diri ditempat ini. Lagi pula disini gelap dan dingin. Nanti kau masuk angin.” “Aku tidak takut, lagi pula tempat seindah ini mana bisa dikatakan seram. Disini rasanya tenang dan romantis.” Ucap Bunga dengan senyum terkembang. “Tidak mau ikut ke pesta? Reza tadi berniat mengajakmu.” “Nanti aku malah merepotkan.” “Rangga yang bilang begitu?” tanya Xeno. “Ya, begitulah.” “Ayolah, aku yang tanggung jawab. Ayo kita pergi.” Ajak Xeno menggoyangkan kepala. “Dengan pakaian seperti ini? Aku rasa tidak. aku disini saja, kau bersenang-senanglah.” “Oh ayolah, kita buat kejutan untuk orang-orang dipesta.” Ajak Xeno menarik tangan gadis berambut pendek itu. Amaryllis 4 ----- Amaryllis 4 ----- Keduanya meninggalkan area danau dan pergi dengan menaiki mobil mewah Xeno, Xeno menghentikan mobilnya didepan sebuah pusat perbelanjaan besar di kawasan Pondok Indah. Xeno mengajak Bunga kesebuah toko baju, Bunga berkali-kali mencoba berbagai macam jenis dan warna baju. Hingga Bunga akhirnya memilih sebuah gaun berwarna oranye dengan taburan Kristal, mata Bunga berbinar menatap keindahan gaun itu. Namun melihat harganya Bunga terlihat urung dan meletakkan kembali gaun itu. Xeno sepertinya mengerti raut wajah Bunga. ia meraih gaun itu dan menyerahkannya pada petugas kasir. Xeno tersenyum saat Bunga akan protes. “Baju beres, saatnya mendandanimu .” Ucap Xeno tersenyum dan menarik Bunga kedalam sebuah salon. “Aku ingin dia kelihatan lebih dewasa anggun dan menarik.” Ucap Xeno. “Lakukan saja apa yang harus lakukan, rambut, dandanan, aku ingin dia terlihat menawan.” Ucap Xeno. Sementara Bunga hanya bisa duduk diam menyaksikan Xeno berbincang dengan seorang make up artist kenalannya, Bunga tidak bisa ikut berpendapat, ia merasa malu dan grogi. Setengah jam kemudian Bunga telah siap menuju pesta. Gaunnya berenda selutut, berkilauan tertimpa lampu, tidak ada lagi rambut panjangnya, kini rambutnya dipontong pendek hingga bahu juga poni yang menutupi alisnya. Dan Bunga, ia sangat menyukai tampilan barunya dengan rambut pendek yang tergerai. Kakinya yang jenjang bertumpu pada sepasang sepatu putih dengan hak tinggi dan ia menikmati pakaiannya. Ini seolah menjadi pengalaman pertama yang membuatnya amat bahagia. Saking bahagiannya Bunga berjalan cepat dan nyaris tersandung. Untunglah Xeno cepat-cepat menolongnya. Xeno menatap Bunga tanpa berkedip. Dilihatnya gadis itu telah berubah total hanya dengan sedikit sapuan make up dan perubahan gaya rambut. “Amaryllis.”, Xeno tiba-tiba teringat pada bunga putih yang berbetuk terompet seperti bunga Lily. “Hm?” Bunga mendengar ucapan Xeno dan menatap pemuda bermata sipit itu. “Ah, tidak, aku hanya berpikir kalau kau sama seperti bunga Amaryllis.” Xeno tersenyum. “Kenapa?” “Kamu tahu, Dalam mitologi Yunani, Amaryllis adalah seorang gadis cantik yang mendambakan cinta seorang pria tampan bernama Alteo. Sayangnya Alteo tidak menanggapi perasaan Amaryllis. Putus asa karena cinta yang tidak berbalas, Amaryllis menusuk hatinya dengan panah emas, kemudian mengunjungi pondok Alteo setiap hari dan menumpahkan tetesan darahnya di sepanjang jalan yang ia lewati. Pada hari ketiga puluh, bunga berwarna merah bermekaran di sepanjang jalan yang Amaryllis lewati. Alteo menjadi jatuh hati karenanya, dan akhirnya berupaya menyembuhkan jantung Amaryllis.” “Kasihan sekali Amaryllis, cerita yang menyedihkan.” “Dalam bahasa bunga, Amaryllis berarti kebanggaan, kebulatan tekad dan kecantikan yang absolut.” Lanjut pemuda itu. “Sedikit berlebihan jika kamu membandingkanku dengan bunga itu.” Bunga tersenyum malu. Senyum malu itu membuatnya semakin cantik dan mempesona. “Kau bisa jadi ratu dipesta malam ini.” Ucap Xeno menggandeng tangan Bunga ketika mereka akan masuk kedalam gedung pesta. Jantung Bunga berdetak lebih cepat dari biasanya ketika Xeno menggenggam jemarinya. Wartawan dibalik pembatas karpet merah nampak teralihkan saat melihat Xeno bersama Bunga mendekat menapaki lantai berkarpet merah menuju ruang utama. Beberapa pertanyaan terlontar namun Xeno hanya menanggapi dengan senyumnya yang menawan. Leon dan lee juga ada disana memotret artis-artis yang diundang oleh perusahaan entertaiment nomor 1 di Jakarta tersebut. “Jangan gugup, tetap tersenyum dan jangan bicara dengan orang yang tidak kau kenal.” Bisik Xeno, dari jauh nampaknya mereka berdua sangat mesra hingga menarik perhatian para awak media. Beberapa pun mempertanyakan identitas Bunga, namun Xeno tak bergeming ia melangkah gagah memasuki ruangan bersama Bunga. Angel, seorang artis yang menjadi sorotan pun teralihkan. Ia yang awalnya dikerubungi wartawan menjadi kesal melihat kehadiran Xeno dan Bunga yang langsung menjadi pusat perhatian para wartawan. “Lumayan juga.” Puji Sora yang memakai dress berenda berwarna merah muda. Bunga mendadak merasa wajahnya memerah karena pujian itu. “Angel is the best here.” Ucap Angel angkuh. Angel adalah seorang bintang iklan dan pemain sinetron terkenal ia juga adalah kekasih Rangga. Sedangkan Rangga, ia juga harus mengakui kecantikan Bunga malam itu. Namun melihat Angel yang merasa terintimidasi oleh Bunga, Rangga menarik Angel menjauh. Mereka lantas melangkah masuk kedalam ruang utama berlangsungnya pesta. Dan langkah pertama yang dirasakan Bunga adalah atmosfir kemegahan saat melihat konsep pesta yang mewah dan glamor. “Aku haus.” Ucap Bunga melangkah mendekati meja minuman. “Tunggu aku rasa aku juga mau minum.” Ucap Sora menyusul Bunga. “Rambutmu bagus.” Puji Bunga pada Sora. “Benarkah? Angel bilang rambutku kampungan.” Ucapnya mengerucutkan bibir. “Angel?” “Itu loh, pacarnya kak Rangga.” Bunga menatap Rangga dan Angel yang begitu mesra dari kejauhan. “Tapi kau sangat manis dengan pakaian itu.” Ucap Bunga memuji. “Kau terlalu berlebihan tapi aku suka selera fashionmu.” Ucap Sora. “Apa aku sudah katakan pekerjaanku?” tanya kemudian yang dijawab gelengan oleh Bunga. “Aku seorang model, ya mereka memberiku imej yang cute,girlie dan feminim.” “Sangat cocok denganmu.” Bunga tersenyum. “Apa aku sudah bilang kalau rambutmu bagus? Kau cantik dengan rambut pendek itu.” “Terimakasih, Xeno yang memintanya. Dan aku suka sekali.” “Kau juga kelihatan charming.” Puji Sora membuat Bunga kembali tersenyum dan menunduk menyembunyikan rona merah wajahnya karena malu. Lamat-lamat suara musik dari DJ diujung ruangan semakin membahana saja seiring banyaknya tamu yang masuk. Semuanya rata-rata adalah selebritis papan atas mulai dari penyanyi, model, komedian, sutradara juga direktur dan masih banyak lagi. suasana pesta penyambutan Rangga berlangsung sangat meriah dan gemerlap, pesta baru berakhir pukul dua dini hari. Alhasil sepulang pesta semuanya nampak kelelahan. *** Amaryllis 5 ------ Amaryllis 5 ----- Bunga adalah penghuni rumah pertama yang bangun. Dipagi berikutnya. “Ah lapar.” Keluhnya melihat isi dapur. Ada banyak bahan makanan dan ia harus mengolahnya. Jadilah Bunga belajar membuat nasi goreng dengan berbekal resep yang tertera dibalik kemasan tepung bumbu instan. Bunga sama sekali tak kesulitan meracik bahan dan bumbu membuat nasi goreng. “Rasanya aku pernah melakukan ini sebelumnya. Hmmm, aku penasaran keahlian apa yang aku punya dulu. Andai aku bisa ingat ya.” Guman Bunga menuangkan nasi goreng sosis spesial buatannya kedalam piring. “Ada bau yang enak.” Keluah Sora turun sambil menggeliat malas. “Pagi.” Sapa Bunga “Pagi.” Ucap Sora menunggu segelas susu dan langsung menenggak habis. Beberapa menit kemudian Xeno, Reza dan Rangga turun dan ikut bergabung. “Kau bisa masak juga rupanya.” Ucap Reza. “Enak.” Puji Xeno tersenyum dan Rangga, ia seperti biasa, dingin dan cuek. Membuat Bunga mengerucutkan bibir kearah wajah Rangga yang memang selalu tak ramah. “Kau pintar juga, lain kali ajari aku ya.” Sora tersenyum. “Um, tentu saja.” Bunga membalas senyumnya. “Eh, mereka berdua kok jadi akrab begitu?” bisik Reza pada Rangga. Masih diingat olehnya ketika pertama kali bertemu, Sora sama sekali tak suka dengan Bunga. “Bukannya bagus kalau begitu.” Xeno menanggapi. Xeno sendiri tak tahu siapa sebenarnya Bunga, tapi selama tinggal bersama, ia tahu Bunga adalah gadis yang baik dan ia sama sekali tak merasa keberatan. “Good morning everybody!!!” teriak Angel, yang seolah mengacaukan pagi. Reza yang kaget tanpa sengaja tersedak. Angel melangkah mendekat dan memandang Bunga dengan tatapan aneh. “Kamu… kamu yang semalam itu…sedang apa kamu disini?” tanyanya galak. Bunga nampak gugup dan berusaha mengalihkan perhatian dengan mencari tisu untuk Reza. Saat itulah tangan Bunga tanpa sengaja menyenggol gelas milik Rangga hingga jatuh dan pecah. “Heh, kau bisa hati-hati tidak?” Rangga berteriak jengkel. Setiap melihat tingkah Bunga entah kenapa ia selalu saja kesal. “Ma..maaf.” “Memangnya kau pikir dengan minta maaf, kekacauan ini kan lenyap? Kau mengacaukan sarapanku.” Bentak Rangga. Bunga merasa bersalah sekali. Ia menunduk dengan tatap mata yang berkaca-kaca mengujam lantai. “Rangga, kau ini kasar sekali.” “Cih.” Rangga buang muka kesal. Rangga mungkin sudah setuju untuk mengawasi Bunga, tapi ia tetap tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Selama Bunga ada didekatnya ia merasa tak tenang. Bunga menjadi beban baginya yang selalu saja membuatnya emosi setiap melihat gadis itu. “Ayo kita keatas.” Ajak Xeno padanya. Bunga dan Xeno menaiki tangga menuju balkon rumah. Keduanya berdiri dengan tangan bertumpu pada pembatas balkon seraya memandang danau dari kejauhan. Lama sekali tidak ada suara diantara mereka berdua. Hanya kesenyapan dan desau angin yang memecah pagi menyambut mentari yang sudah terbit. “Rangga memang agak kasar dan galak.” Ucap Xeno memecah kebisuan. Bunga masih menunduk tak berminat untuk ngobrol. “Lama-lama kau juga akan terbiasa dengan sikapnya. Rangga itu galak tapi sebenarnya dia baik hati. Ya, terkadang kita harus mengenal seseorang lebih jauh untuk mengetahui siapa dia sebenarnya. Menilai seseorang buruk hanya karena kau baru mengenalnya, itu tidak adil.” “Um, wakatta[1].” “Aku suka masakanmu. Dan juga jus jeruk itu. kau mau membuatkannya lagi? untukku.” “Ya, tentu.” Ucap Bunga tersenyum dan beranjak turun menuju dapur. Ia mengeluarkan beberapa buah jeruk sunkis, membelahnya menjadi dua dan memerahnya menggunakan juicer. Membuat jus rasanya menyenangkan, Bunga bisa lupa kejadian tidak enak tadi. Ia siap membawakan Xeno segelas jus segar buatannya. “Hai, kamu Bunga ‘kan?” Sapa Angel tersenyum mendekati Bunga namun tak disangka Bunga terantuk sesuatu hingga jus itu lepas dari genggamannya dan jatuh lalu pecah ke lantai setelah sebelumnya memerciki sebuah jas putih yang diletakkan di sandaran kursi. “Bunga!, hati-hati.” Ucap Angel. Kakinya ditarik kembali, ia sengaja menghalangi langkah Bunga hingga gadis itu tersandung. “Kamu sengaja ya?” Tuduh Bunga. “Ada apa lagi ini?” Teriak Rangga turun dan demi melihat jasnya ternoda jus jeruk, matanya melotot kearah Bunga dan Angel dengan kesal bercampur marah. “Dia yang melakukannya.” Tunjuk Angel santai. “Rangga, aku tidak sengaja. Sumpah.” Ucap Bunga gugup dan ketakutan. “Bunga!!!” Rangga marah besar. “Kau benar-benar tidak berguna.” Jas untuk menghadiri sebuah pemotretan dan sesi wawancara itu kotor dan tidak mungkin dipakai. Jas itu dilemparkan Rangga kedalam tong sampah dan pergi dengan kesal bersama Angel. Angel menoleh sekilas pada Bunga sambil mengejek dengan lidahnya.. *** Entah sudah berapa lama Bunga duduk termenung dimeja makan memandang jas putih yang sudah kotor itu. ia benar-benar merasa bersalah pada Rangga. Aku selalu saja membuatnya marah, aku selalu membuatnya susah. Aku memang selalu jadi penganggu. Aku harus bagaimana? Harus melakukan apa? Bunga bingung tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia putuskan untuk mencuci jas itu. jas yang sudah bersih dan kering itu dibawa Bunga kedalam kamar Rangga. Tepat didepan pintu kamar Bunga nampak ragu mengingat wajah Rangga yang galak pasti akan marah kalau ia masuk kamar tanpa ijin. Akhirnya jas itu digantung pada pegangan pintu. *** [1] Aku mengerti Amaryllis 6 ----- Amaryllis 6 ----- Semua orang sedang pergi dan baru pasti akan pulang malam ini. Aku takut pulang. Mungkin aku akan pulang setelah mereka semua tidur. Aku, ingin disini saja menikmati malam bersama kalian. Bintang-bintang kecil yang selalu berkilauan riang. Sepertinya menjadi bintang itu enak ya. Bebas dan berkilauan. Indah. Bunga tersenyum menujuk-nujuk bintang yang tertera dilangit malam seolah ia mampu meraih dan memeluk mereka satu persatu. Tak ada awan yang menghalangi untuk menatap keindahan itu meski suhu malam cukup dingin Sementara itu dirumah, Reza, Sora, dan Xeno nampak kebingungan karena saat mereka pulang, mereka tidak mendapati Bunga berada dirumah. Xeno yang biasa mendapati Bunga didanau, tak menemukan gadis itu. Kini suasana rumah semakin panik saja apa lagi Rangga ia sama sekali tidak cemas bahkan cerderung santai. Baguslah kalau dia sudah pergi. Itulah yang dipikirkan Rangga. “Dia pasti pergi. Karena Rangga terlalu galak dan kejam. Aku sudah mencarinya disekitar danau tapi dia tidak ada.” Ucap Xeno kesal. “Kenapa kamu menyalahkanku?” “Itu karena kamu terlalu keras padanya.” “Itu karena ia yang salah.” “Iya dia salah dan sekarang Bunga pergi dan kita tidak tahu dia ada dimana sekarang.” Ucap Xeno. “Mungkin pergi kerumah temannya.” Celoteh Sora. Membuat Rangga dan Reza saling pandang. Teman? Memangnya dia ingat. Batin Rangga. Sebenarnya ia merasa bersalah juga tapi gengsi jika harus menunjukkan kepanikannya didepan semuanya. Rangga bangkit dan keluar rumah. Rangga sendiri tidak tahu harus mencari Bunga kemana. Ia berjalan kaki menuju danau yang dikatakan Xeno. Entah mengapa ia malah berjalan kearah danau padahal Xeno mengatakan dengan jelas jika Bunga tidak ada ditempat itu. Danau malam itu sepi dan senyap tapi indah. “Aku tidak tahu ada tempat indah seperti ini.” Ucap Rangga memandang permukaaan air danau yang tenang. Pantulan sinar bulan seolah berwarna biru kehijauan, berkilau-kilauan. Sejak tinggal dirumah itu, Rangga selalu sibuk dengan aktivitas keartisan hingga ia tidak pernah punya waktu untuk bersantai apalagi melihat danau buatan yang ada disebelah rumahnya. Entah dari mana, mata Rangga menangkap sesosok bayangan putih yang berdiri ditepi danau. Rangga teringat berita disebuah Koran beberapa bulan lalu mengenai kematian tragis seorang wanita yang bunuh diri didanau itu. Sosok itu masih berdiri mematung membuat Rangga sedikit bergidik. Rangga penasaran dan maju mendekat. Ia hanya dalam jarak beberapa meter Rangga menyadari sosok itu adalah Bunga yang sudah membuat panik semua orang. “Oi orang bodoh, sedang apa kamu disini?” teriak Rangga mengagetkan Bunga hingga gadis itu terlonjak dan membuat Bunga kehilangan keseimbangan nyaris jatuh kedalam danau. Untungnya Rangga segera menarik tangan Bunga untuk menjauh dari pinggir danau hingga Bunga terjatuh menimpa tubuh Rangga. “Rangga, kamu sedang apa disini?” tanya Bunga gugup. “Kamu membuat kami semua panik. Kamu dari mana?” tanya Rangga kesal seraya duduk bersila diatas rumput. “Tadi aku bosan karena sendirian dirumah. Bosaaan sekali. Aku hanya berjalan-jalan saja disekitaran kompleks.” “Dasar merepotkan.” “Maaf.” Keluh Bunga sedih, lama gadis itu diam tertunduk. “Aku, sebenarnya tidak ingin merepotkan kalian. Aku tahu, aku selalu membuatmu susah, membuatmu marah dan benci padaku. Aku tidak bermaksud seperti itu, aku sebenarnya ingin pergi ketempat seharusnya aku berada, ketempat asalku. Tapi, aku tidak tahu sebenarnya aku ini siapa dan asalku dari mana, aku bingung, aku ingin pulang tapi aku tidak tahu harus pulang kemana. Aku merasa semuanya kosong dan membingungkan.” Ucap Bunga tanpa sadar meneteskan air mata. “Aku rasa kata-kataku tadi pagi memang agak keterlaluan.” Ucap Rangga menutupi rasa bersalahnya. Ia tahu Bunga seperti ini karenanya jua. “Tidak, ini salahku, aku memang ceroboh dan bodoh.” “Ya, itu benar, tapi kau tidak seharusnya membuat kami semua panik.” “Maaf.” “Kau seperti ini juga karena salahku. Asal kamu tahu ya, aku ini tidak terlalu pintar untuk berbuat baik pada orang lain. Kurasa mungkin aku juga harus lebih banyak bersabar. Itulah yang harus kita lakukan sekarang. Selangkah demi selangkah, dan pelahan-lahan kita kembalikan ingatanmu.” Demi mendengar itu, Bunga tersenyum tipis. Tenang rasanya, entah mengapa rasa itu tiba-tiba datang menghampirinya. Kata-kata tulus yang lontarkan Rangga membuatnya begitu nyaman. Sekali lagi ia tak membantah, Rangga adalah pria yang baik. Dilihatnya Rangga yang duduk tepat disampingnya. Pemuda itu memandang langit malam dengan wajah tenang. Ia tersenyum, merasa sedikit malu melihat kearah Rangga terus-menerus, ia mengalihkan pandangannya pada pantulan bintang dipermukaan danau yang berkilauan indah bagai berlian. Riak-riaknya tenang menyambut desau angin yang tenang, berbisik mesra menyambut malam yang tenang dan panjang. *** Spider Lily In the sky within my heart, your smile, and warmth, are about to come falling down. Heal me Spider Lily 1 ------ Spider Lily 1 ------- “Kau sibuk hari ini?” tanya Sora pada Bunga yang sedang santai menonton televisi. Gadis yang selalu memakai aksesoris pita itu duduk didekat Bunga seraya mencomot popcorn yang ada didalam genggaman Bunga. “Kurasa tidak.” “Aku ingin ke toko buku hari ini. Ada beberapa referensi untuk contoh desain baju. Kak Rangga bilang aku cukup berbakat untuk medesai baju. Kamu mau menemaniku?” “Tentu.” Ucap Bunga sumringah. Ia dengan senang hati menemani Sora berkeliling dari satu toko buku ke toko buku lainnya membeli beberapa buah buku-buku bertema mode. “Kau tunggu disini ya aku mau ke toilet dulu.” Pinta Sora menitipkan beberapa kantong belanjaannya pada Bunga. Gadis itu menggangguk tak keberatan. Bunga memutuskan untuk melihat-lihat sementara ia menunggu. Gadis itu nampak tertarik pada sebuah boneka yang dipajang didepan sebuah toko mainan. Sebuah boneka beruang putih berhiaskan pita dengan mata lucu yang seolah memanggil siapapun yang menatapnya. Seolah meminta pelukan atas bulu-bulu putihnya yang halus nan lembut. Tak berapa lama seseorang pria nampak berlari dari arah belakang dan menabrak Bunga hingga terjatuh. Bunga sebenarnya hendak marah tapi ia urung karena sibuk memungut buku-buku milik Sora yang sempat berantakan. “Mattaku, nani attenda omae[1]? Kiotsukero yo!” dalam bahasa jepang Bunga mengomel-ngomel. “Rangga?” seru Bunga menatap wajah Rangga yang belepotan peluh dan ngos-ngosan. Persis seperti seorang pencopet yang ketahuan oleh korbannya dan dikejar oleh sekelompok massa. Tapi yang jelas Rangga bukan pencopet tapi memang benar ia dikejar massa. Penggemarnya yang fanatik terus mengejar-ngejar Rangga sejak selesai tampil dan wawancara bersama kekasihnya Angel. Ia terpisah dengan Angel saat mengindari kejaran fans. Fans itu keluarga dan itu memang benar. Aku sangat mencintai fansku tapi yah begitulah, beberapa dari mereka terlalu antusias dan fanatik padaku. Persis seperti zombie yang mengejar mangsa. Terkadang mencakar dan mencubit. Tapi aku mengapresiasi kepedulian mereka padaku. Hanya saja ya, aku harus mengindar jika tidak mau terkena luka lebam. Hahahahah. Tapi aku mencintai semua fansku. Semua tanpa terkecuali. Ungkap Rangga saat ditanya seputar fansnya yang tergila-gila padanya. “Sebaiknya kau bantu akau keluar dari sini sebelum para penggemar itu menemukanku.” Pinta Rangga mengatur nafas. “Punya ide?” tanya Rangga “Ya sebenarnya sih ada tapi entahlah apa bisa berhasil.” “Apapun itu akan aku setujui asal aku bisa keluar dari sini. Reza dan Angel pasti bingung mencariku.” Ucap Rangga cemas. Tak lama kemudian Bunga keluar dari mall sambil menggandeng seorang pemuda bertopi dan berkacamata yang menutupi wajahnya dengan sebuah buku. Tentu ia adalah Rangga yang sedang menyamar untuk keluar dari pusat perbelanjaan tersebut. Beberapa fans Rangga sempat melintas dihadapan mereka tapi Bunga dengan cuek menggandeng tangan Rangga keluar dan mereka berhasil. “Hahaha kita berhasil.” Ucap Bunga girang saat mereka berhasil menyetop taksi. Taksi itu berhenti tepat didepan rumah. “Reza!!!” Rangga memanggil sang manajer yang nampak lega melihat kedatangan Rangga bersama Bunga. “Syukurlah kau bisa pulang.” “Sudah jangan cerewet cepat bayar taksi.” Ucap Rangga masuk kedalam rumah. “Sepertinya aku melupakan sesuatu?” Bunga menatap tas belanjaannya. “Akh! Sora!!!” Sementara di Mall Sora sibuk mencari-cari Bunga. *** [1] Ya ampu, apa yang kamu lakuka? Hati-hati dong! Spider Lily 2 ------ Spider Lily 2 ----- Pagi itu, media Jakarta mendadak geger setelah mencuat kabar kematian seorang gadis saat selesai menonton konser Rangga. Saat ini kami sedang berada di Rumah sakit Pelita Kasih dimana Lola, gadis malang yang tewas saat menonton konser penyanyi papan atas Rangga disemayamkan. Gadis itu sempat dirawat di rumah sakit ini selama satu minggu karena mengalami sesak nafas dan gagal jantung. Beberapa waktu lalu Rangga sempat menjenguk Lola namun dini hari tadi, gadis yang sangat mengagumi sosok Rangga ini meninggal dunia. Pihak T.O.P Entertaiment yang memayungi Rangga belum bisa dikonfirmasi. Begitulah kata reporter televisi yang sedang meliput didepan sebuah rumah sakit. Klik! layar televisi hitam pekat setelah Reza menekan tombol off. “Kamu lihat kan sekarang? Bagaimana kita harus menjelaskan kepublik. Gadis itu memang sakit saat menonton dan saat ia tewas kita yang harus bertanggung jawab. Oh man, you gonna be kidding me.” Keluh Reza kesal. Sementara Rangga dengan santai meminum teh yang ada dicangkir tanpa sedikitpun peduli dengan keluhan Reza. “Konfirmasi yang harus di konfirmasi, itu kan tanggung jawabmu sebagai manajerku.” “Rangga!!! Kau mau membunuhku!!! Oh my God, help me.” Keluh Reza keluar dari rumah tentu ia akan segera berangkat ke kantor manajemen untuk menghadiri konfrensi pers. Rangga bukan tipe orang yang mau membuang waktu santainya hanya untuk konfrensi pers. “Apa-apaan itu, ini bukan salahku.” Keluh Rangga sambil berjalan-jalan. Ia kesal juga bingung, masalah datang silih berganti memusingkan kepalanya. Udara segar mungkin bisa membuatnya tenang kembali. Ia melangkah mendekat ketika angin berembus lembut. Membawa sinar kemilau air danau yang bergerak pelan. Dari kejauhan dilihatnya Bunga tengah duduk ditepi danau memandang kearah jauh didepannya. Rambut pendeknya bertiup sejenak sebelum ia menyelipkan beberapa helai dibelakang telinganya. Bunga duduk manis, wajahnya putih pucat dengan bibir merah muda alami, alisnya hitam bertengger rapi membingkai matanya yang bulat. Rangga melihat Bunga seperti berbeda, dilihatnya lagi lebih lama gadis itu, tanpa dandanan namun tetap menawan. Berbeda jauh dengan Angel yang setiap hari tak lepas dari riasan tebal. Ia bingung sendiri, entah dari mana asalnya ia tiba-tiba membandingkan keduanya. “Hm?” Bunga menoleh saat menyadari kehadiran Rangga. Pemuda itu tersentak kaget dan berjalan mendekat. “Kamu sedang apa disini sendiri, anginnya kencang.” “Ah, aku sedang bosan dirumah, semua pekerjaan sudah selesai jadi bingung mau melakukan apa.” Rangga menatap sekitar dan menemukan ide. “Kamu bisa naik sepeda?” “Hm, entahlah, aku lupa.” “Ya ampun aku lupa kau ‘kan hilang ingatan.” Rangga mengambil sebuah sepeda yang terparkir tanpa pemilik. “Kalau begitu, ayo kita pastikan.” “Memangnya kau sendiri bisa?” “Tentu saja.” Rangga menaiki sepeda dan melakukan beberapa putaran. “Wahhh sugoii[1], aku juga mau coba.” Rangga memberikan sepeda pada Bunga, tapi ketika gadis itu mencoba, gadis itu gagal dan hampir terjatuh. “Hahahah dasar payah, benar-benar payah kamu ini.” Tawa Rangga pecah. “Humph, tidak lucu.” Bunga memalingkan wajahnya, cemberut. “Cobalah, jangan mudah menyerah, sini biar aku ajari.” Rangga nampak sangat puas menertawai Bunga. Bunga pun menurut dan terlihat sangat senang diajari bersepeda, meskipun gadis itu benar-benar payah sehingga Rangga harus memeganginya agar tak jatuh. Mereka berdua benar-benar menikmati hingga tak sadar dua orang dari majalah Artistico telah mengambil banyak gambar keduanya dari belakang. “Bos pasti akan senang dengan ini.” Leon menatap Lee dan tersenyum licik. *** [1] hebat Spider Lily 3 ------ Spider Lily 3 ----- Dipagi berikutnya, belum lagi insiden tewasnya fans, pemberitaaan di majalan Artistico menggemparkan fans Rangga. “Rangga-Angel putus, orang ketiga?” begitu headline tertulis besar-besar sembari memperlihatkan gambar pertemuan Rangga dan Bunga ditepi danau. Foto yang menunjukkan Rangga tengah tertawa lepas dihadapan seorang gadis berambut pendek yang membelakangi kamera. “Jangan bercanda! Apa-apaan berita ini!” Rangga berteriak kesal sambil membanting majalah keatas meja. Gelas berisi kopi terguncang dan menumpahkan isinya. Bunga yang duduk di meja makan ikut tersentak kaget. “Semua ini gara-gara kamu. Dasar tidak tahu diri!” teriak Angel sambil menunjuk kearah Bunga. Angel meremas majalah yang dipengangnya dan hendak menghempaskannya diwajah Bunga. “Jangan berbuat kasar begitu.” Cegah Xeno menahan tangan Angel. “Xeno, kamu jangan ikut campur. Aku harus mencakar wajahnya supaya aku bisa puas.” Gigi Angel bergemertak saking marahnya. Wajah cantiknya berbubah seperti nenek sihir saking kesalnya ia pada pemberitaan itu, tapi yang lebih menjengkelkan Angel adalah foto kedekatan Rangga dan Bunga. Ia benar-benar tak suka dengan kehadiran Bunga. Sementara Bunga hanya menunduk tak bisa berkata banyak. “Ini bukan salah Bunga, kamu tahu itu ‘kan. mereka hanya membesar-besarkan saja untuk menarik perhatian publik.” Xeno menengahi. “Reza, cepat atur jadwal konfrensi pers, masalah ini harus segera diselesaikan. Aku tidak mau omong kosong ini semakin melebar kemana-mana.” Tatapan Rangga sangat serius. Reza paham betul maksud Rangga. Ia tak mau kejadian beberapa bulan lalu, tentang kecelakaan Bunga di Malaysia sampai ketahuan publik. Semuan imej yang dibangun Rangga akan rusak, ia tak mau Rangga sampai tersandung skandal yang menghancurkan karirnya. Reza pun segera ambil langkah cepat. “Angel, kita ke kantor direktur sekarang.” Perintah Rangga yang langsung diikuti oleh Angel. “Awas kamu!” ancamnya pada Bunga yang sedikit ketakutan. Selepas Rangga dan Angel pergi, Xeno dan Sora menenangkan Bunga. Beberapa saat kemudian Reza turun dari lantai dua, sepertinya dia baru saja selesai menelepon. “Aku juga harus…” “Reza sebenarnya apa yang sudah terjadi?” Xeno memotong ucapan Reza. Sejak awal Bunga ada dirumah mereka, Xeno selalu merasa Reza dan Rangga seperti menyembunyikan sesuatu. Sementara disisi Reza, ia ingin rahasia Bunga tetap terjaga, namun dengan gosip seperti ini, sulit bagi Reza untuk menyembunyikannya lagi. “Reza, katakan pada kami, kami ingin membantu kak Rangga dan Bunga.” Pinta Sora. “Reza!” panggil Xeno dengan suara lebih tinggi. “Baiklah, aku akan mengatakan yang sebenarnya pada kalian, tapi sebelumnya aku minta maaf karena sudah merahasiakan ini dari kalian berdua. Ini bukan berarti aku dan Rangga tidak mempercayai kalian, tapi kami tidak mau melibatkan kalian.” “Um, aku tahu, kak Rangga memang seperti itu.” “Dua bulan lalu, kalian ingat ketika Rangga mengadakan konser di Penang, Malaysia?” Xeno dan Sora mengangguk menanggapi. “Mobil yang kami tumpangi tanpa sengaja menabrak Bunga. Lukanya cukup parah dan ia sempat tak sadarkan diri beberapa hari. Dan ketika ia bangun, dia lupa segalanya, dia mengalami amnesia. Dokter sudah mengatakan bahwa ingatannnya tidak hilang permanen tapi kami tetap harus bertanggung jawab. Kami juga tidak bisa meninggalkannya sendirian jadi kami membawanya ke Indonesia.” Xeno dan Sora menatap Bunga. Bunga hanya duduk menunduk sembari memainkan jari-jari tangannya. Xeno menepuk kepala Bunga sembari tersenyum. “Tenang saja, kami pasti akan membantumu. Jangan khawatir.” Sora tersenyum dan mengangguk ketika Bunga menatap mereka berdua dengan tatapan berkaca-kaca. “Maaf aku sudah banyak merepotkan kalian, maaf.” Bunga menyesal sudah membuat berbagai masalah pada orang-orang yang sudah begitu baik menolongnya. “Kalau begitu kami pergi dulu, masalah ini harus diselesaikan secepatnya.” Xeno dan Sora pun bersiap-siap pergi. “Um.” Bunga mengangguk, gadis itu menunjukkan wajah muram. “Tenang saja, semuanya pasti akan baik-baik saja. Aku janji.” Xeno tersenyum menghibur, usapnya dengan lembut puncak kepala gadis itu. Ditempat terpisah, satu jam kemudian Rangga dan Angel memberikan keterangan pers mengenai gosip yang beredar. Dihadapan kilauan blitz kamera, juga alat perekam milik awak media, Rangga memberikan keterangan yang singkat dan padat, menegaskan bahwa hubungannya dengan Angel baik-baik saja, tanpa ada masalah. Rangga menambahkan, berita yang berdar hanyalah sebuah kesalahpahaman. Meskipun dirundung banyak pertanyaan, mereka bisa mengatasi semua dan menjawabnya dengan baik, hingga tibalah pertanyaan terakhir, diajukan oleh Leon, wartawan muda dari majalah The Artistico, majalah yang mengungkap dugaan skandal itu pertama kali. Wartawan berhidung mancung dengan rambut pirangnya nampak sama sekali tak puas dengan semua jawaban pihak Rangga. “Untuk pertanyaan terakhir bisakan Rangga menjelaskan siapa sebenarnya gadis yang ada didalam foto? Nampaknya kalian berdua cukup dekat.” Mata tajam Leon menatap dengan penuh penasaran. Ia bahkan seolah menekan Rangga untuk berbicara banyak. Rangga dan Reza saling pandang, mereka bahkan nampak tak siap untuk pertanyaan itu. Mereka belum menrencanakan sejauh itu. Cukup lama suasana senyap tanpa jawaban, membuat awak media semakin penasaran. “Untuk saat ini kami belum bisa mengungkap identitasnya. Gadis ini bisa dikatakan bagian dari agency kami untuk suatu proyek.” Suara Xeno membuat semua mata kini tertuju pada pemuda berwajah oriental tersebut. Kontan para wartawan memberondong Xeno dengan berbagai pertanyaan tambahan. “Untuk detailnya belum bisa kami umumkan sekarang. Kami harap semuanya bisa bersabar dan menunggu waktunya. sekian dari kami untuk hari ini, terimakasih kawan-kawan telah bersedia datang.” Reza memberikan salam perpisahan menutup acara dadakan saat jam telah menunjukkan pukul 12.30 malam seraya berlalu meninggalkan gerombolan wartawan yang jelas masih penuh rasa ingin tahu. Spider Lily 4 ------ Spider Lily 4 ------ Rangga dan rombongannya memutuskan untuk menginap dihotel dan kembali kerumah keesokan paginya. Bunga tengah menyapu halaman belakang ketika Sora menghampirinya dengan senyuman hangat. “Semuanya baik-baik saja, bukan?” Xeno tersenyum. Bunga mengangguk dengan senyum sedikit dipaksakan. Ia telah melihat beritanya tadi pagi. Meski begitu ia masih tidak bisa tenang. Ia tidak berbicara dan melanjutkan kegiatan menyapunya, ia bahkan tak berani menatap mata siapapun. Bunga benar-benar sadar ia telah menjadi beban bagi semuanya. “Tenang saja, wartawan-wartawan itu tidak bisa lagi menyusup kemari, dengan kejadian ini, keamanan lingkungan perumahan semakin diperketat.” Reza menambahkan. Bunga tak banyak berbicara sepanjang hari, Rangga sedikit cemas pada Bunga yang tidak seperti biasanya. “Kamu sudah makan?” tanya Rangga mendapati Bunga tengah berjongkok membersihkan sebuah pot bunga. Bunga hanya mengangguk tanpa kata. “Sedang apa kamu ditempat seperti ini?” tanya Rangga lagi. “Ah, ini, aku tadi sedang menyiram bunga, tapi ada rumput liarnya jadi aku cabut.” “Heh…” Rangga tertarik dan ikut berjongkok. “Ini bunga apa?” “Bunga Daffodil, orang-orang sering juga menyebutnya sebagai bunga Narcissus.” Rangga meraba kelopak bunga Daffodil yang berwarna kuning cerah, mengeluarkan aroma segar yang menyenjukkan. “Tahu istilah narsis? Asalnya dari legenda bunga ini loh?” Bunga menoleh pada Rangga. Sesaat keduanya saling pandang dalam jarak dekat. “Ohya?” Rangga nampak penasaran. “Dalam legenda Yunani, nama Narsis berasal dari kata Narcissus, seorang pemuda yang sangat tampan, sehingga Peri Hutan yang bernama Echo jatuh cinta namun ditolak mentah-mentah secara kasar. Akibatnya Peri Echo patah hati dan sedih tak berkesudahan. Dewi Nemesis pun lantas berniat menghukum Narcissus. Suatu waktu Narcissus berjalan dihutan, Dia menjumpai sebuah danau yang sangat indah, airnya tenang bak cermin, disana ia melihat seseorang yang amat mempesona, ia tak menyadari bahwa itu adalah bayangan dirinya sendiri dan, jatuh cinta. Saat itulah kutukan Dewi Nemesis datang, tiba-tiba Dia menghilang begitu saja, dan di tempat itu tumbuh bunga yang berwarna emas, yang diberi nama Narcis.” “Hm, Narsis berarti mencintai diri sendiri.” “Meskipun ceritanya begitu, dalam bahasa bunga, Daffodil berarti kelahiran kembali, awal yang baru, bisa juga berarti dusta dan cinta bertepuk sebelah tangan.” “Hahah.” Rangga tertawa kecil. “Kok ketawa sih?” “Kamu ini benar-benar suka bunga ya.” Rangga mengusap puncak kepala Bunga. Gadis itu menggembungkan pipi dengan wajah sedikit cemberut. “Kalau membicarakan tentang bunga, matamu bekilau-kilauan, seolah melupakan segalanya.” “Sewaktu aku bangun dirumah sakit, benda pertama yang tertangkap oleh mataku adalah serumpun bunga Daffodil. Didalam vas bening dimeja disamping tempat tidurku. Karena itu melihat bunga, membuatku tenang. Aku berharap ingatanku cepat kembali. Maafkan aku.” Bunga menunduk sedih. “Kamu kok tiba-tiba…” “Aku tahu aku hanya jadi beban untuk kalian, aku minta maaf sebesar-besarnya sudah membuatmu kesusahan.” Mata Bunga terasa panas. “Sudahlah, semua ini bukan kesalahanmu.” Rangga menghibur. Ia mengenggam jemari gadis itu, mencoba memberinya kekuatan, “Kamu bukanlah beban, jangan berpikir seperti itu lagi. Kalau kau bicara begitu lagi, lain kali aku akan marah.” Rangga menunjukkan mimik serius. “Maaf.” “Jangan menyalahkan dirimu terus. Tidak perlu terburu-buru, ambillah waktu sebanyak yang kamu perlukan, lakukan secara perlahan-lahan agar ingatanmu bisa kembali. Aku pasti akan membantumu.” Rangga tersenyum memegang bahu Bunga sembari tersenyum hangat pada gadis itu. Bunga menatap beku pada senyuman Rangga. Mungkin inilah kali pertama ia bisa melihat senyuman lembut dari pemuda itu sejak mereka bertemu pertama kali. Dia benar-benar orang yang baik, pikir Bunga membalas senyuman Rangga. Tidak ada lagi yang diinginkannya selain rasa tenang dan nyaman ini. Ia bersyukur telah bertemu orang sebaik Rangga. *** Spider Lily 5 ------ Spider Lily 5 ------ Sinar mentari Jakarta menyinari dengan terik ketika kedua jarum jam menunjuk kearah sejajar, tepat tengah hari. Rangga baru saja selesai menghadiri sebuah acara musik pagi dan kembali kekantor agency, ketika seorang wanita yang ia kenal sebagai staf agency menemuinya. “Ada gadis SMA yang ingin bertemu denganmu.” “Apa dia fans? Kamu tahu ‘kan aku baru saja selesai shooting dan sedang lelah, bisa kamu suruh datang lain waktu?” “Dia bilang dia bukan fans, dia tidak mengatakan riciannya tapi dia benar-benar bersikeras ingin bertemu denganmu. Dia ada di pos satpam, dia sudah menunggu sejak pagi, katanya datang dari Bandung. Kurasa tidak ada salahnya menemuinya.” Wanita itu berujar lembut. “Ck! Merepotkan.” Rangga mengenakan topi dan berjalan menuju pos satpam. Dilihatnya seorang gadis berseragam putih abu-abu tengah duduk didekat satpam yang sedang berjaga. “Kak Rangga!” gadis itu berseru dan berdiri dengan wajah berseri-seri. “Aku akan memberimu tanda tangan dan foto bersama, itu cukup ‘kan?” “Bukan itu kak.” Gadis itu menggeleng sambil tersenyum. “Aku hanya ingin bertanya tentang gadis yang ada didalam foto ini.” Ia memperlihatkan majalah yang memuat berita dugaan skandalnya tempo hari. Mata Rangga membulat, “Kita bicara didalam.” Rangga menarik tangan gadis itu masuk kedalam gedung. Keduanya duduk berhadapan disebuah meja. Segelas es teh terhidang didepan gadis SMA berambut panjang cokelat yang nampak sudah tak sabar ingin berbicara namun bingung ahrus memulai dari mana. “Namaku, Lucy.” Gadis itu memperkenalkan diri. “Kamu kenal gadis ini?” “Begini, kebetulan aku melihat majalan ini di penjual pinggir jalan, awalnya aku pikir hanya mirip, tapi ini adalah hal yang sangat penting dan bagaimapun caranya aku harus memastikannya.” Lucy membuka ransel dan menyodorkan selembar foto pada Rangga. Pada foto terdapat gambar seorang gadis berambut panjang tengah tersenyum lebar tengah dirangkul oleh seorang pemuda berambut cokelat dan bermata sipit. Bunga, mata Rangga membulat. Ia tak kenal laki-kali disampingnya tapi gadis dalam foto itu tidak salah lagi adalah Bunga. “Siapa dia?” Rangga menunjukkan gadis dalam foto, ia ingin tahu identitas Bunga yang sebenarnya. “Lilly Alstromeria. Dia adalah pacar kakaku. Tolong, bisakah aku bertemu dengannya, ada hal penting yang harus kusampaikan padanya.” Lucy memohon. “Aku bisa mempertemukanmu dengannya, tapi ada sedikit masalah?” “Masalah?” “Gadis ini mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu. Dia mengalami hilang ingatan hingga saat ini.” “Begitu ya, pantas saja semuanya jadi seperti ini.” Lucy termenung sejenak. “Ayo, kita kerumahku, kamu ingin bertemu dengannya, bukan?” “Iya kak. Tolong.” Lucy dan Rangga masuk ke mobil dan segera pulang. Lucy tak banyak berbicara pada Rangga selama perjalanan. Ketika mereka sampai, Bunga tengah menonton televisi, dirumah hanya ada dia seorang, Reza, Sora dan Xebo tengah keluar, menghadiri shooting dan pemotretan. Lucy langsung berlari dan memeluk Bunga. Bunga menatap Rangga dengan sedikit bingung. “Dia siapa?” ucapan Bunga membuat Lucy tersentak kaget. “Ini aku Lucy Kak.” Gadis berseragam SMA itu seolah memohon pada Bunga. Sementara Bunga masih belum mengerti sepenuhnya. “Sekarang kalian duduk dulu.” Rangga membawa keduanya kearah dapur dan duduk berdekatan. Lucy memperlihatkan foto pada Bunga. Foto yang sama yang diperlihatkan pada Rangga. Mata Bunga sedikit membulat. Gadis itu berdiri dan buru-buru berlari kearah lantai atas. Beberapa menit kemudian dia turun sambil membawa sesuatu ditangannya. Sebuah liontin berbentuk bunga matahari berwarna perak. Ketika ia membukanya, ia melihat foto yang sama dengan yang diperlihatkan oleh Lucy. “Kakak ingat nggak siapa ini?” Lucy bertanya dengan lembut dan hati-hati. Bunga menggeleng pelan, ia merasakan kekosongan, tak bisa mengingat apapun. “Ini kak Chris, dia pacar kakak.” “Orang yang bernama Chris, dia dimana sekarang? Mungkin kalau dia ada disini, Bunga bisa mengingat lebih baik lagi.” Sahut Rangga. Lucy menunduk sesaat, sebelum akhirnya ia kembali berbicara. “kak Lilly, eh maksud aku kak Bunga dan kakakku adalah teman satu sekolah dan mulai berpacaran. Tiga tahun lalu kira-kira, selepas lulus SMA, mengalami sakit dan menjalani pengobatan di Jepang. Aku tidak tahu detail penyakitnya apa tapi cukup parah waktu itu hingga kak Bunga harus berobat keluar negeri. Kakakku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jakarta. Tapi setengah tahun kepindahannya, tiba-tiba tidak ada kabar dari kak Bunga lagi.” Lucy mengembuskan nafas berat. “Meskipun seperti itu, kak Chris selalu menunggu kak Bunga. Tapi, satu tahun yang lalu, kak Chris mengalami kecelakaan dan… kakakku meninggal.” Ucapan terakhirnya lebih terdengar seperti meringis menahan kesedihan. Teringat kakak laki-laki satu-satunya yang telah tiada. Bunga mungkin tak mengingat tentang semua itu tapi ia bisa merasakan kesedihan dan rasa sakit dari suara Lucy, air mata gadis itu menetes membasahi pipinya. “Seperti aku sudah melakukan sesuatu yang kejam pada kakakmu.” Suara Bunga terdengar menyesal. Menyesalkan dirinya dimasa lalu, yang mengabaikan orang yang mencintainya. Orang yang selalu menunggu dan mencintainya, ia tak mengingatnya tapi ia jelas bisa merasakan cintanya. Menyadari bahwa dia dulunya adalah orang yang sangat beruntung. “Kak Bunga bukan orang yang jahat, aku yakin kakak pasti punya alasan.” Lucy sejujurnya ingin marah dan memaki-maki pacar kakaknya, tega meninggalkan kakakknya yang setia menunggu hingga ajal menjemput. Ia jauh-jauh datang dari Bandung hanya untuk meluapkan kebenciannya pada Bunga. Tapi melihat keadaan Bunga saat ini, dihadapannya hanyalah gadis yang duduk linglung, bingung dan tak tahu apa-apa, semua kebencian dan amarahnya meluap tak bersisa, sebaliknya Lucy merasa amat bersimpati pada Bunga. “Keluarga kami memutuskan pindah ke Bandung demi melupakan semua kesedihan dari kehilangan kak Chris.” Lanjut Lucy. “Maafkan aku.” Bunga menunduk sedih. Dirinya sadar, dirinya dimasa lalu telah membuat kesalahan dan membawa penderitaan, bagi Lucy dan bagi pria berwajah lembut bernama Chris. “Kak, maukah kakak mengunjungi makam kak Chris? Melihat kakak sehat dan baik-baik saja, dia pasti akan tenang di surga.” Ajak Lucy tersenyum. Bunga mengangkat wajah menatap Rangga yang duduk dihadapannya, menyimak percakapan kedua gadis muda itu. Rangga mengangguk menyetujui usulan Lucy. “Sebelum itu ada yang ingin aku tanyakan.” Rangga menyela. “Apa itu?” “Kamu kenal atau tahu anggota keluarganya. Aku hanya berasumsi bahwa jika dia bisa bertemu keluarganya, ingatannya bisa segera pulih,” Lucy menggeleng, “Tidak, yang aku tahu dia hanya tinggal berdua dengan ibunya. Dulu dia tidak pernah cerita tentang keluarganya. Setelah pindah ke Jepang, kami di Indonesia benar-benar kehilangan kontak.” “Mmmh, begitu ya.” Semakin sulit saja, Batin Rangga. *** Spider Lily 6 ----- Spider Lily 6 ----- Mentari sudah mulai beranjak keperaduannya bersinar jingga kemerahan pada hamparan hijau rerumputan disebuah kompleks pemakaman. Bukit-bukit kecil dengan nisan berwarna perak terhampar, berbaris sejajar. Tulisan-tulisan pudar diatas batu nisan ditambah suasana sepi dan dingin menyelimuti tempat itu. Beberapa pengunjung berpakaian hitam-hitam masih terlihat dibeberapa sudut. Mereka semua tak saling mengenal tapi saling terhubung dalam satu rasa. Rasa sakit, sedih dan juga kehilangan. Kehilangan atas sebuah keberadaan yang tidak mungkin bisa kembali. Suatu garis kehidupan yang telah memutuskan ikatan kebersamaan. Pemakaman adalah sebuah tempat untuk mengenang bahwa seseorang pernah hidup, pernah punya nama dan juga cerita. Disana adalah tempat pulang terakhir dan menjadi penanda bahwa seseorang pernah ada. Bukan menjadi tempat reuni yang layak tapi menjadi jalan menebus penderitaan dari rasa kehilangan akibat kematian. Tak banyak yang bisa dilihat ditempat seperti ini, aroma udara terasa berat. Suhu pun terasa dingin, rasa takut, kesedihan, kemarahan, penderitaan dan kehilangan berbaur memenuhi udara. Gundukan bukit kecil dengan penanda nisan menjadi saksi bisu, berapa banyak rasa sakit dan kematian yang menjelang. Bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Setiap yang pernah ada akan menjadi tiada. Bunga Spider Lily tumbuh liar disepanjang tepi jalan, seperti pada kepercayaan China dan Jepang, ia digambarkan sebagai bunga cantik yang tumbuh di Neraka, seolah menjadi pembimbing bagi jiwa-jiwa yang telah meninggal. Bunga ini berbentuk tidak teratur, dengan segmen sempit melengkung ke belakang dan benang sari panjang. Setiap batangnya terdiri dari kelopak bunga utuh yang tumbuh sendiri. Warnanya merah menyala seperti darah kala tertimpa sinar senja. Bunga ini merupakan simbol penghormatan bagi mereka yang telah meninggal. Ketika ia berbunga, daunnya akan berguguran, dan ketika daunnya tumbuh, bunganya akan layu. Hal ini memunculkan berbagai legenda yang menerangkan penyebabnya. Salah satu yang terkenal adalah legenda tentang dua peri yaitu Manju (penjaga bunga) dan Saka (penjaga daun). Mereka ditugaskan untuk menjaga bunga dan daun itu sendiri-sendiri, namun karena merasa penasaran, mereka pun mencoba untuk menyeleweng dari tugas mereka dan saling bertemu. Keduanya pun saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Karena merasa kesal dengan ketidakpatuhan mereka, Dewa Amaterasu lantas memisahkan mereka dan memberikan mereka sebuah kutukan sebagai bentuk hukuman: bunga-bunga dari Manju tidak akan pernah memenuhi daun Saka lagi. Selanjutnya, keduanya pun bersumpah akan saling bertemu kembali di Neraka setelah bereinkarnasi, namun ternyata tidak terwujud. Beberapa legenda juga mengatakan, apabila kalian bertemu dengan seseorang yang nantinya tidak akan pernah kalian temui lagi, bunga merah ini akan berbunga di sepanjang jalan. Dalam bahasa bunga, Spider Lily memiliki arti, "Tidak akan pernah bertemu kembali","kenangan yang terlupakan", "ditinggalkan". Sebuah makna yang pas menunjukkan kesuraman tempatnya tumbuh. Sebuah tempat sepi bagi jiwa-jiwa yang telah berpisah dari raga, berpisah dari dunia fana kedalam kematian. Melihat bunga ini seolah melihat kesedihan dari balik ceritanya. Bunga menyusuri jalan setapak kecil, disampingnya Rangga mendampingi tanpa banyak bersuara. Lucy memimpin keduanya didepan menuju salah satu bagian sudut kompleks pemakaman. “Disini.” Lucy berjongkok pada gundukan kecil makam bertuliskan nama ‘Christian Michaelist’. Bunga melangkah mendekat. Ia terlihat linglung, ia merasakan kepalanya seperti kosong, tak bisa mengingat meski ia mencoba sekuat tenaganya. Yang ia lihat hanyalah rasa sedih dan rasa sakit dari Lucy. Dia Chris? Orang yang mencintaiku? Orang yang aku cintai? Tapi apa ini, aku tidak bisa mengingatnya, aku tidak bisa merasakan apapun. Bahkan kenyataan bahwa ia telah meninggal, tapi hatiku seperti beku. Aku tidak merasakan apapun. Dia terasa asing. Bunga merasakan dadanya sesak dan kepalanya sakit, ia memaksakan dirinya terlalu keras. “Kamu nggak apa-apa?” Rangga memegang bahu Bunga saat gadis itu hampir terjatuh. “Jangan memaksakan diri terlalu keras.” Pinta Rangga. “Kak, jangan memaksakan diri, terlalu memaksa tidak akan menghasilkan apapun.” Lucy paham betul, wajah Bunga terlihat sangat lelah juga kesakitan. Ia mengerti betapa Bunga tak ingin mengecewakan dirinya, betapa Bunga ingin mengingat semuanya. Ia tahu Bunga merasa bertanggung-jawab. “Ini bukan salah kakak.” Kata Lucy lagi. Setelah bertemu Bunga hari ini ia tak bisa marah, benci ataupun memaki lagi. Bahkan dari pertemuan pertama, saat menatap matanya saja, Lucy sebenarnya sudah tahu, Bunga sangat menderita pada kondisinya sekarang. “Lilly Alstromeria, nama kakak yang sebenarnya.” Lucy angkat bicara. “Dulu kita sangat dekat, aku menganggap kakak seperti kakak perempuanku sendiri.” Lanjutnya menatap Bunga. Aku tidak bisa mengingat apapun, aku seperti orang bodoh saja, Bunga memaki ketidakberdayaannya. “Apa dulu aku mencintai Chris?” “Um, kalian sangat dekat, saling mencintai, terlihat sangat bahagia ketika sedang berdua. Mata kalian, berkilau-kilauan, bahkan melihatnya saja membuatku merasakan bahagia jua.” Bunga menundukkan wajahnya menatap ujung sepatunya. “Tapi itu adalah cerita masa lalu. Sekarang kakak bukanlah Lilly Alstromeria lagi, kakak punya nama baru dan hidup baru sebagai Bunga. Kak, jangan terburu-buru, lakukan dengan perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Dengan begitu semuanya akan berjalan dengan lancar. Aku percaya suatu saat ingatan kakak pasti akan kembali.” Sejujurnya Lucy sedikit lega. Dia tidak bisa seditkitpun membayangkan ekspresi Bunga mendapati Chris meninggal jika saja ingatannya tidak hilang. Ia telah kehilangan kakaknya yang juga sangat dicintainya, tidak bisa bertemu dengannya selamanya. Lucy tahu benar perasaan dari kehilangan karena kematian, rasa sakit yang menusuk seperti dibunuh berkali-kali. Rasa derita dan luka hati itu, ia tak mau Bunga merasakannya. begini lebih baik. Lucy memegang telapak tangan Bunga dan menyerahkan liontin yang sejak tadi dipengangnya. “Tak apa kakak tidak mengingat kak Chris, tapi tolong setidaknya, jangan lupakan dia.” Lucy tersenyum dengan air mata mengalir dipipinya. “Um, aku tidak akan melupakannya.” Bunga mengenggam liontin itu dengan kedua tangannya dan mendekapnya pada dadanya. Air matanya menetes, ia merasa asing tapi juga merasakan ada sakit yang menusuk hatinya tanpa ia tahu dari mana asalnya. Ia ingin tahu tapi tak bisa, ia ingin ingat tapi tak mampu, ia ingin tapi tak berdaya. Ia hanya bisa percaya, apa yang terjadi semuanya punya alasan. Semua penderitaan, rasa sakit, dan kesedihan adalah sebuah alasan yang ada bukan untuk membuatnya lemah, tapi membuatnya lebih kuat lagi. *** Daisy Until I went away and, faced the lonely days, I thought I’d understood, what it meant to love someone. Daisy 1 ----- Daisy 1 ----- Xeno baru saja terbangun dari tidur saat matahari baru saja terbit, matanya terasa berat melangkah turun, langkahnya berat terdengar dari pijakan kakinya pada anak tangga. Ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas dan meneguk air dingin langsung dari botol kaca. Telinganya menangkap suara dari halaman belakang. Dilihatnya Bunga tengah menyiram bunga, rambutnya pendek bergerak-gerak tertiup angin pagi. Bunga tengah tersesat, itulah yang Xeno lihat dari sinar mata gadis dihadapannya. Xeno telah mendengar semuanya dari Rangga, cerita masa lalu Bunga. Ia tahu, Bunga tengah galau, ia tahu Bunga merasa kosong dan bingung setelah semua yang ia dengar dan ia lihat. Sudah beberapa hari belakangan Bunga seperti bunga layu yang kehilangan gairah mekarnya. Ia banyak berdiam diri, tidak banyak bicara bahkan tak berani menatap mata lawan bicaranya. Setelah semua kejadian dan gosip skandal, ia tahu jelas Bunga lelah. “Bunga!” Xeno berjalan mendekat menyapa gadis itu. “Hari ini kamu ada acara nggak?” tanya pemuda itu. Bunga menggeleng tanpa menatap Xeno. Gadis itu menunduk menatap ujung jari kakinya. Xeno tersenyum memegang dagu Bunga dengan lembut. “Bunga, aku disini, didepan kamu, jangan lihat kebawah terus.” Protesnya. “Ma...” “Kalau kamu minta maaf, aku marah nih.” Xeno menyela. Xeno menarik pipi kiri dan kanan Bunga bersamaan. “Bunga, senyum dong, kalau senyum, kamu cantik.” Xeno tersenyum lebar memperlihatkan gigi putihnya yang berderet rapi. “Hari ini aku ada shooting iklan, mau ikut temenin aku nggak? Dirumah terus pasti bosan ‘kan?” “Eh, nggak apa-apa aku ikut? Apa tidak menganggumu?” “Kamu ini bicara apa sih, tentu saja tidak. Tapi jangan bicara sama orang lain ya. Wartawan-wartawan nakal pasti akan terus penasaran.” “Kalau begitu aku tidak usah ikut.” “Jangan begitu dong. Tenang saja, aku akan mengawasimu.” Xeno menepuk puncak kepala Bunga lembut. “Yah?” “Um.” Bunga akhirnya mengangguk setuju. “Ekhem!!!” Sara Sora membuat keduanya menoleh. Rangga sendiri baru saja keluar dari kamar mandi sembari mengelap wajahnya dengan handuk. Sora menatap Xeno dan Bunga dengan tatapan nakal. “Apa-apaan situasi ini, kalian berdua seperti pasangan pengantin baru saja.” Ledek gadis itu. “So.. Sora! Jangan bicara sembarangan!” Xeno merasakan wajahnya merona, ia mengampiri Sora dan mencubit pipi gadis itu. Melihat keduanya Bunga hanya bisa tertawa geli. Rangga menatap Bunga, ia terkejut, belakangan ini ia tak pernah melihat senyum Bunga lagi, dan ketika hal baik itu datang, Rangga merasa lega, Bunga bisa tertawa, Bunga bisa kembali ceria. “Hari ini Bunga akan ikut denganku ke lokasi shooting. Bunga, cepat mandi dan ganti baju.” Perintah Xeno yang langsung dilakukan oleh gadis itu. “Cie… cie… kak Xeno mau pergi kencan. Suit.. suit.. suit…” Sora kembali meledek Xeno. “Sora! Aku itu mau kerja. Kamu bicara gitu lagi aku jitak nih.” Ancam Xeno sembari mendekati Sora. Sora pun memilih kabur ke kamar sembari tertawa puas sebelum Xeno melancarkan aksinya. “Rangga, hari ini kita ada pemotretan untuk majalah fashion, lalu ada wawancara radio jam 12 dan sore harinya ada meeting dengan Direktur rumah produksi Vixion, lalu malam harinya kamu akan menghadiri talk show di JKT-Tv. Kita berangkat jam 8 pagi ini.” Reza melipat buku agendanya menatap Rangga yang tengah menghirup secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Setengah jam kemudian, saat jam dinding menunjukkan angka 8, Bunga baru saja keluar kamar ketika ia berpapasan dengan Rangga. “A!” Bunga berseru, sedikit terkejut. “Bagaimana keadaanmu hari ini?” Rangga bertanya tanpa melihat Bunga, ia merapikan dasi yang dikenakannya. “Aku baik-baik saja.” Katanya dengan suara lembut. “Kalau begitu berhati-hati diluar. Jangan jauh-jauh dari Xeno. Dan jangan membuat masalah.” Rangga melangkah mendahului Bunga menuruni tangga. “Rangga! Ucapanmu itu persis seorang ayah yang mengantarkan anaknya kemah untuk pertama kali.” teriak Xeno. Dibawah ia sudah berpakaian rapi, setelan jaket kaos bertudung, topi hitam dan celana jeans menjadikannya mempesona. Demi mendengar itu Rangga hanya mengerucutkan bibir. “Kami berangkat duluan ya.” Pamit Xeno diikuti Bunga. “Xeno!” Rangga dari dalam rumah memanggil pemuda berwajah oriental itu. “Aku mengandalkanmu.” Ucap Rangga. Xeno tersenyum mengerti lalu masuk kedalam mobil. Ia tahu Rangga masih khawatir pada Bunga. Daisy 2 ----- Daisy 2 ----- “Kita akan kemana? Shooting iklannya dimana?” “Di Dufan. Jadi mereka mau membuat video promosi baru. Pengambilan gambarnya siang tapi para kru perlu banyak persiapan jadi aku diminta datang lebih awal.” “Dufan? Dufan itu dimana?” A, aku lupa, dia ‘kan… Xeno menepuk jidatnya sendiri. “Jadi Dufan itu, singkatan dari Dunia Fantasi. Sekarang kita akan kesana, letaknya di Ancol. Lumayan jauh sih tapi tenang aja, kita terlebih dahulu ngumpul sama para kru dan berangkat naik bus ke sana.” Xeno tersenyum. “Dunia Fantasi ya? “Dulu aku pernah kesana sekali, pas SD kelas 1. Aku masih ingat waktu itu aku pergi bertiga dengan papa dan mama. Tapi tau nggak, gara-gara saking girangnya, aku lari-lari kesana kemari dan tahu-tahu malah tersesat. Waktu itu aku nangis keras banget, untuk ada mbak-mbak petugas disana yang nganterin aku buat ketemu papa mama. Waktu itu tau nggak yang aku pikirinkan apa, aku pikir aku udah ada didunia lain dan nggak bisa ketemu orang tua lagi. Lebay banget ‘kan?” Bunga tertawa cekikikan mendengar cerita Xeno. “Ada banyak permainan yang bisa dicoba, tempatnya ramai dan sangat cocok untuk berlibur.” “Sepertinya seru sekali.” “Um, tempatnya sangat seru, shooting selesainya sore, kalau mau kita bisa menaiki beberapa wahana. Kamu mau?” “Eh, boleh?” “Kami ini bicara apa, tentu saja boleh.” Xeno menusap lembut puncak kepala Bunga. Gadis itu berbinar-binar matanya, ia terlihat tak sabar. Sesuai jadwal, setelah berkumpul dengan para kru dan staf pembuatan iklan dari salah satu rumah produksi, Xeno dan Bunga ikut kedalam rombongan bus yang akan menuju ke Ancol, Jakarta Utara. Pukul setengah 12 siang, Xeno baru saja berganti baju, pemuda itu berjalan sembari membawa script yang harus dihafalkannya. Beberapa menit kemudian sang Sutradara memanggil para kru dan para pemain untuk briefing[1] dan berdoa, lalu shooting pun dimulai saat sang sutradara meneriakkan ‘Action!’. Proses shooting untuk bagian Xeno, berjalan cukup lancar, meski beberapa kali ada pengulangan karena lighting yang kurang, atapun karena letak kamera yang kurang pas. Pengambilan gambar memakan waktu sekitar 3 sampai 4 jam. Bunga menunggu Xeno dibawah tenda tidak terlalau jauh, ia duduk dibelakang sang sutradara hingga layar monitor yang menangkap gambar dari kamera bisa dilihatnya. Ia bisa melihat betapa hebatnya Xeno dalam beradu peran. Sesekali Xeno menghampiri Bunga dan memastikan gadis itu tidak bosan menunggunya. “Aku baik-baik saja, melihat dari sini saja sudah menyenangkan, tapi lebih dari itu, Xeno hebat sekali.” Puji gadis itu. Aku bisa melihat Xeno lebih berbinar-binar dari yang lain, Xeno berbeda, level kemampuannya diatas pemain lain. Xeno keluar dari kamar ganti saat matahari sudah menurun dan jam menunjuk angka 5. “Maaf ya lama.” Xeno mendekati Bunga yang menunggunya. “Tidak apa-apa.” “Jam 7 kita harus kembali kembali kerumah. Tidak ada banyak waktu untuk berkeliling.” Suara Xeno terdengar kecewa. “Masih banyak waktu dilain hari.” “Benar juga, jadi kita naik saja wahana yang paling kamu inginkan. Kamu mau yang mana?” “Eh? Aku yang pilih? Boleh?” “Sebagai ucapan permintaan maaf.” “Kalau begitu aku mau naik itu.” Tangan Bunga menunjuk kearah sebuah kincir raksasa yang menjulang tinggi. “Bianglala? Hm, pilihanmu bagus juga.” Xeno tersenyum. Agak takut Bunga ketika ia berdiri didepan pintu masuk salah satu gondola dari bianglala. Xeno memegang tangan Bunga dan membantunya naik, cukup luas untuk menampung sekitar 6 orang, dan keduanya duduk berdekatan. Jantung gadis itu berdegub kencang, antara takut bercampur antusias. Kincir raksasa dengan tinggi sekitar 30 meter itu berputar. Angin seja berembus lembut saat kincir yang membawa Xeno dan Bunga naik di ketinggian. Perlahan cahaya senja berwarna oranye menyeruak. Xeno mengarahkan telunjuknya yang langsung diikuti tatapan Bunga. Hamparan pemandangan pantai dan laut jawa yang indah berwarna kuning kemerahan dan berkilauan membuat Bunga terpesona betapa indahnya melihat pemandangan matahari terbenam. Tubuhnya seolah merinding karena terpaan angin laut yang berbau wangi khas, mungkin juga keran perasaan senang yang tak mampu ia jelaskan. Pemandangan senja berbaur dengan lampu-lampu yang menyala membawa sensasi indah dan tenang, rasa takut terenyahkan oleh betapa indahnya pemandangan dari kentinggian. Wahana itu berputar lima kali menawarkan pemandangan yang memukau hingga akhirnya berhenti. Bunga masih menyunggingkan senyum lebarnya ketika ia turun. “Seperti melayang diudara, menyenangkan sekali. Terimakasih.” Katanya pada Xeno. “Masih terlalu cepat, untuk berterimakasih.” “Eh?” “Belum sah ke Dufan kalau belum naik komidi putarnya. Ayo.” Xeno meraih jemari Bunga. Mereka berdua berjalan cepat, untungnya letak wahana itu berada dekat dengan pintu masuk sehingga akan lebih memudahkan untuk berkumpul dengan para kru. Xeno mengajak gadis itu menuju sebuah komidi putar yang dilengkapi 40 kuda tunggangan serta dihiasi ribuan lampu yang menambah ramai dan semaraknya malam. Xeno melihat Bunga dari bawah sembari mengambil gambar gadis itu dengan kamera ponselnya. Gadis itu terlihat sangat senang dan menikmati berputar-putar diatas kuda-kuda dibawah sinar lampu-lampu warna-warni. Bunga tertawa lepas, matanya berbinar-binar. “Xeno!” Bunga melambaikan tangan pada Xeno. Pemuda itu membalas lambaian tangan dengan senyum merekah. [1] Pengarahan singkat Daisy 3 ------ Daisy 3 ------ Hari itu, Bunga merasa sangat bersenang-senang. Setelah makan malam, Xeno dan Bunga kembali ke kantor rumah produksi untuk berganti mobil. “Kamu tidur saja kalau sudah mengantuk.” Ucap pemuda itu ketika hanya mereka berdua. Bunga duduk disamping Xeno masih dengan pandangan yang bersemangat. “Terimakasih, hari ini sangat menyenangkan. Aku tidak akan pernah melupakannya. Pemandangannya, anginnya, aromanya, sampai mati pun aku tidak akan melupakannya. Aku bersenang-senang hari ini.” “Padahal hanya dua wahana, masih banyak yang ingin aku tunjukkan padamu. Tapi syukurlah, kamu sudah tersenyum lagi.” “Eh?” “Belakangan ini kamu murung sekali, seperti bunga layu, aku jadi khawatir. Kamu terlalu memaksakan diri untuk mengingat masa lalumu. Jangan memaksakan dirimu, aku yakin akan tiba saatnya semuanya bisa kamu ingat kembali. Aku hanya tidak suka melihatmu terus menerus bersedih. Tapi syukurlah kamu sudah bisa tersenyum.” Bunga tak tahu harus menanggapi apa ucapan Xeno barusan. Ia sadar Xeno melakukan semua itu demi dirinya. Xeno begitu baik dan perhatian. “Daisy.” Tiba-tiba Bunga berujar. Teringat olehnya pada sekuntum bunga yang sederhana bentuknya, memiliki bundaran lebar ditengah berwarna kuning emas dan dikelililingi petal-petal putih yang seperti sinar matahari. “Daisy?” Xeno nampak antusias. “Menurut legenda, daisy berasal dari seorang peri yang berubah menjadi bunga liar yang anggun tapi tidak menawan agar tidak menarik banyak perhatian dan tidak diusik. Bunga ini menampilkan keceriaan, menangkap gelora, kegembiraan, keberuntungan musim semi dan jiwa muda. Ingat waktu itu kamu bilang aku adalah Amaryllis? sekarang aku sedang berfikir, kalau aku adalah Amaryllis, kurasa Xeno adalah Daisy.” “Kenapa?” Xeno bertanya dengan senyum kalem sementara matanya fokus pada jalanan. “Daisy berhubungan dengan kepolosan, kemurnian pikiran, hati, jiwa. Menurutku Xeno adalah orang yang seperti itu, orang yang sangat baik hati.” “Kalau dipuji seperti itu aku jadi malu.” Xeno tersenyum lebar dengan wajah merona. Ia melirik kearah Bunga. “Tidak buruk juga. Aku menyukainya, Daisy.” “Dalam bahasa bunga, Daisy adalah suci, simpati, keceriaan dan kerendahan hati.” Ucap Bunga lagi. “Juga merupakan tanda cinta sejati dan kasih sayang.” “Eh?” “Dalam bahasa bunga, Daisy juga berarti cinta yang mengalahkan segalanya. Kamu tahu, ada legenda terkenal di jaman Victoria yang mengatakan bahwa seorang gadis akan mencabut mahkota Daisy satu persatu untuk meramalkan kisah cinta mereka di masa mendatang.” “Romantis juga.” Bunga menimpali cerita Xeno dengan senyum. Daisy, bunganya kecil, dan betuknya sederhana. Sesuatu yang kecil dan sederhana tidak boleh diremehkan. Ukuran dan bentuk bukan masalah, yang terpenting adalah makna didalamnya. *** Sore menjelang malam, Bunga berjalan santai kembali ke dalam kompleks perumahan. Ditangannya ia mengenggam dua kantong plastik putih berisi berbagai bahan makanan dari sebuah supermarket. Akhir-akhir ini Bunga sudah bisa lebih bebas dan lebih tenang, dengan seiring waktu, gosip skandal yang melibatkan dirinya telah meredup. Bunga amat bahagia kembali mendapatkan hari-hari damainya. “Sudah kukatakan jangan datang kesini lagi.” Suara Reza terdengar meninggi. Bunga bisa mendengar ada nada jengkel dari suara pemuda itu ketika ia mendekati rumah. Bunga urung melangkah masuk, sedikit penasaran ia mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Diatas sofa seorang pria setengah baya tengah duduk sembari mengangkat kakinya keatas meja. Rambutnya mulai memutih disana-sini, Kulitnya sawo matang, cokelat mengilat akibat paparan matahari, kerut-kerut halus diwajahnya terlihat jelas dibarengi dengan kumis dan janggut yang tumbuh sangar serta tangan yang tak henti memasukkan dan menghisap batang rokok, membuat asap membumbung dan sisa punting jatuh mengotori lantai. “Itu karena kau terlambat memberikan jatah bulanan. Cepat berikan saja aku uang, aku juga sudah mau pergi.” “Akhir-akhir ini aku sibuk sekali. Harusnya Bapak sedikit sabar.” “Jangan mengoceh terus, yang sudah terjadi ya terjadilah.” “Pak, Bapak tidak boleh terus terusan seperti ini.” “Berisik, memangnya kenapa kalau aku minta uang, hah? Harta Rangga juga tidak akan berkurang kalau kuminta sedikit. Jangan banyak omong, yang penting itu sekarang uangnya mana?” “Ya Ampun.” Reza mengela nafas berat lagi. Lantas diserahkannya sebuah amplop cokelat dan pria itu tersenyum puas sebelum akhirnya melangkah keluar. Sekilas ia berpapasan dengan Bunga, sempat ia beradu pandang dengan gadis itu sebelum akhirnya menghilang dibalik malam. “Aku pulang.” Bunga melangkah masuk. Dilihatnya Reza tengah duduk sembari memijit pelipisnya. “Ah kau sudah pulang.” “Anu, yang tadi itu siapa?” Reza sedikit terkejut, bingung dan sepertinya tak punya jawaban untuk Bunga. “Bukan siapa-siapa.” Katanya sembari melangkah masuk kedalam kamarnya. *** Bunga sebenarnya masih penasaran dengan pria itu apa lagi setelah mendengar nama Rangga ikut disebut. “Ada apa Bunga?” Xeno menegur Bunga yang tengah melamun. Gadis itu menikmati sorenya di tepi danau seperti biasa. Menikmati angin segar juga wangi bunga-bunga yang tumbuh menyejukkan mata. “Xeno?” Bunga menoleh, pemuda itu baru saja pulang dari rekaman, pakaiannya bahkan belum diganti, karena rumah sepi, Xeno pun menduga Bunga berada ditepi danau dan akhirnya ia menemukan gadis itu jua. “Sepertinya dari semalam kamu sedikit pendiam.” “Aku tidak apa-apa.” “Ayolah, wajahmu tidak mengatakan demikian.” “Begini, Sora pernah bercerita tentang orang tuanya yang tinggal diluar negeri, sewaktu kita ke Dufan, kamu juga menderitakan orang tuamu, tapi aku belum pernah dengar cerita tentang orang tua Rangga sekalipun, makanya akus edikit penasaran.” “Kenapa kamu jadi memikirkan itu?” Xeno mendekat dan duduk dibangku yang sama dengan Bunga. “Hm, entahlah.” “Itu bukan cerita yang menyenangkan.” Ujar Xeno. “Rangga bahkan tak pernah mengungkit hal itu sebelumnya, tidak sekalipun.” Xeno menatap Bunga. “Untuk bisa meraih semua kesuksesan dan keberhasilan, tak terhitung berapa banyak rintangan dan penderitaan yang harus dilalui. Rangga punya jalan hidup yang seperti itu. Kamu mau aku menceritakannya?” “Um.” Bunga mengangguk. “Ayah Rangga meninggal ketika ia masih berusia 2 tahun. Lantas Rangga hidup berdua dengan ibunya. Ibu Rangga, dia dulunya adalah seorang penyanyi hingga karirnya merosot setelah ia menikah dan tergeserkan oleh penyanyi yang lebih muda. Saat Rangga berusia 7 tahun ibunya menikah lagi. Karena gaya hidupnya yang tak berubah sementara penghasilannya tak mencukupi, Ibu Rangga akhirnya terlilit utang. Ibu Rangga lalu pergi meninggalkan Rangga bersama ayah tirinya yang kasar, pemabuk dan penjudi. Oleh ayah tirinya Rangga akhirnya dititipkan disebuah panti asuhan. Dipanti asuhan itulah Rangga menunjukkan bakat menyanyinya yang luar biasa. Setelah lulus SMA seorang produser menawarinya rekaman dan hasilnya sangat luar biasa. Jujur saja aku sangat mengakui kemampuannya, dia berada dilevel yang jauh diatasku. Dengan semua kesulitan yang telah dilaluinya, Rangga telah tumbuh dan berkembang begitu jauh.” Xeno menutup ceritanya. Bunga mengembuskan nafas berat. Dari cerita Xeno ia merasakan dadanya sedikit sesak. Rangga telah melalui banyak hal untuk bisa sampai pada titik ini. Dia adalah orang yang hebat. Kagum Bunga pada Rangga semakin bertambah. Bunga menatap Xeno, mendengarkan dengan seksama cerita pemuda itu. “Sejak dahulu, memasuki dunia hiburan adalah impianku. Bisa membuat orang-orang tersenyum dan bahagia, bisa menghibur dan membawa kebahagiaan semuanya, adalah alasanku memasuki dunia ini. Tapi ada banyak orang-orang hebat, dunia ini tidak adil, mau sekeras apapun kau berlatih, masih akan ada dinding yang sulit untuk dilewati. Mau seterang apapun kau bersinar, selalu ada bintang lain yang lebih berkilauan dari pada dirimu. Selama bertahun-tahun, Rangga adalah sainganku, kejeniusannya, bakatnya, kemampuannya dan kerja kerasnya tak bisa aku lampaui. Sudah sejak lama aku tahu, selama Rangga masih bersinar, aku hanya akan ada dalam bayang-bayang.” Xeno mengembuskan nafas sembari tersenyum kecil. “Aku ini tidak punya bakat, aku sudah tahu semuanya sejak lama. Meski begitu aku tidak menyerah, karena aku tidak berbakat, aku harus lebih kreatif. Aku tidak mau diam dan melihat saja, aku juga ingin berjuang. Demi orang lain dan lebih dari itu saja, aku menginginkan hal ini demi diriku sendiri.” Xeno menatap Bunga dengan senyumnya. “Menurutku Xeno juga adalah orang yang tak kalah hebat.” “Mencoba meledek atau menghiburku?” “Tidak, tidak, aku sungguh-sungguh berpikir seperti itu. Xeno selalu melakukan pekerjaan dengan serius, melakukan semuanya dengan baik. Aku rasa ketika kita ingin melakukan apa yang kita inginkan, mewujudkan apa yang kita impikan, semua itu bukanlah soal kejeniusan, melainkan keseriusan.” “Kata-katamu bagus juga.” Xeno tersenyum dan mengusap kepala Bunga. Wajah Bunga merona, atas perlakuan lembut Xeno. Berbicara dengan pemuda berkacamata itu sedikit melegakan hatinya. *** Daisy 4 ----- Daisy 4 ----- “Bunga, mau temani aku pemotretan tidak, hari ini?” Sora menepuk punggung Bunga. “Eh, pemotretan?” “Iya, Mbak Anna lagi sakit, nggak bisa nemenin aku.” Sora membicarakan asisten pribadinya. “Nanti disana aku sendirian, nggak ada yang bisa diajak ngobrol.” “Boleh saja.” Bunga tersenyum. “Yosh, kalau begitu sudah diputuskan ya.” Lokasi pemotretan Sora ada disebuah taman kota dengan air mancur besar ditengahnya. Dari kejauhan lampu-lampu sorot tengah berdiri, kain-kain putih yang menjadi latar belakang bergoyang-goyang tertiup angin. Beberapa model muda belasan tahun nampak duduk dibawah tenda sembari membereskan riasan. Sora ‘pun ikut berganti baju dan memakai make up. Dia melakukan semuanya sendiri sembari sesekali dibantu oleh Bunga. Suara fotografer dan pengarah gaya beradu dengan jepretan kamera dan lenggak-lenggok gaya model. Satu lagi pengalaman yang dirasakan oleh Bunga. Orang-orang itu melakukan semuanya dengan teratur, bergerak dan bekerja seirama untuk menhasilkan dan menyatukan sebuah hasil karya yang apik. Pemotretan berlangsung dari pagi hingga pukul 2 siang. Sora mengajak Bunga makan siang di restoran yang berada didalam mall yang terletak didepan taman. “Setelah ini kita langsung pulang ya.” Sora mengingatkan Bunga saat keduanya menuruni eskalator. “Oke.” “Eh aku mau ketoilet dulu. Kamu jangan kemana-mana. “Iya. Aku akan menunggu.” “Jangan pergi seperti waktu itu ya?” “Iya, iya.” “Ingat jangan pergi.” Ucapnya lagi. “Aku mengerti Sora.” “Kamu tunggu disana ya.” Sora menunjuk air mancur kecil yang tepat berada didekat ujung eskalator. Bunga mengangguk dan berpisah dengan Sora. Ketika Bunga tengah menunggu, seseorang menyapanya, “Bunga, sedang apa kamu disini?” suara yang kenal Bunga membuatnya menoleh. “Rangga?” Bunga sedikit memekik terkejut. “Dasar bodoh, jangan teriak begitu.” Rangga buru-buru menutup mulut Bunga. Beberapa pengunjung mall yang mendengar nama Rangga disebut langsung menoleh kearah keduanya. Mereka mendekat, mengeluarkan kamera ponsel dan nampak sangat antusias. Rangga menghela nafas berat, ditariknya tangan Bunga agar menjauh dari tempat itu. Keluar dari mall, Rangga berlari sambil menggandeng tangan Bunga, ditujunya taman kota. Beberapa penggemar masih berusaha mengejar Rangga, meminta foto bersama dan tanda tangan. Rangga dan Bunga memilih bersembunyi dibalik semak-semak. Beberapa langkah kaki terdengar melewati tempat keduanya bersembunyi sebelum akhirnya semunya senyap. “Kenapa kita kabur? Mereka kan hanya ingin tanda tangan dan foto. Lagi pula, tidak perlu melibatkan aku, bukan?” “Diam, ini semua ‘kan salahmu.” Rangga melihat keadaan dan sudah aman. Pemuda itu membalikkan tubuh menghadap Bunga. “Iya, Iya maaf.” Bunga tak mengira Rangga tiba-tiba berbalik badan, wajah mereka sangat berdekatan, dua pasang mata itu saling beradu dalam beberapa detik. Bunga merasa jantungnya berdegup kencang dan wajahnya memanas. Gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangan kearah lain. Disisi lain, Rangga juga tak kalah, pemuda itu tiba-tiba salah tingkah. Aku ini kenapa sih. Runtuknya bingung. Rangga meletakkan punggung tangan didepan wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. “Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi.” “Pertanyaan?” “Tadi kamu sedang apa disana?” “Aaa!!yabaii[1], Sora! Tadi aku disuruh oleh Sora untuk menunggunya. Bagaimana ini? Dia pasti marah, aduh.” “Ya sudah telepon saja. Bilang aku yang mengantarmu pulang. “ “Eh?” “Sudah telepon cepat, Sora itu tipe yang mudah panik.” “Iya telepon sih telepon, tapi pake apa, aku ‘kan nggak punya ponsel.” “Tsk, merepotkan banget sih.” Rangga merogoh saku, menekan ponsel layar sentuhnya dan menelepon Sora. “kak Rangga, gawat! Bunga hilang lagi. Maafin aku! Gimana nih? Jangan-jangan dia diculik! Aku lapor ke kantor polisi aja ya?” “Jangan panik, dia ada sama aku. Kamu pulang saja duluan.” “Eehhh! Kok bisa? Haaah! Ya sudahlah, apa boleh buat.” Rangga menutup telepon. “Kamu ikut aku sini.” “Loh arah rumah ‘kan disana.” “Jangan cerewet, ikut saja.” Rangga menunjukkan wajah galaknya hingga Bunga hanya bisa menatap sembari sedikit kesal. Tidak perlu marah juga ‘kan. Rangga dan Bunga berjalan kaki menyusuri terotoar, disisi jalan terhampar deretan toko-toko besar. Rangga membawa Bunga masuk kedalam salah satunya. “Sekarang kamu pilih yang mana yang kamu mau.” Rangga menunjuk puluhan telepon seluler yang dipajang dibalik kaca. “Aku pilih? Buat aku?” “Ya iyalah, kamu itu harus punya satu, kalau tidak kami bisa kerepotan nantinya.” Kerepotan? Entah kenapa aku jadi kesal kalau dia berkata begitu, batin Bunga. Dilihatnya telepon yang terpajang, matanya berbinar-binar senang. “Ng… nggak usah deh.” Ucap Bunga sembari tersenyum kecut. “Loh, kenapa?” “Ha… harganya mahal sekali.” “Ya ampun, kamu ini.” Rangga mengeluh panjang, lantas ia memanggil seorang petugas penjaga toko. “Mbak, saya mau model yang seperti ini.” Rangga menunjukkan ponselnya. “Lengkapi semuanya dengan simcard.” Perintahnya. Sekitar lima belas menit menunggu, pesanan Rangga pun siap. Lantas keduanya bergegas pulang dengan menumpang taksi. “Jangan pasang wajah tidak puas begitu,” Rangga menarik pipi Bunga. “Harusnya kamu itu senang.” “Iya sih tapi…” “Aku juga tidak akan jatuh miskin hanya karena membelikanmu satu ponsel. Tenang saja.” “Terimakasih ya.” “Um.” Rangga mengangguk. Bunga mendekap bungkusan yang dibelikan oleh Rangga. Ia merasa sangat senang. Sesekali diliriknya pemuda yang ada disebelahnya dengan mata berbinar-binar. “Apa?” “Eh?” “Dari tadi kamu liatin aku, memangnya ada sesuatu diwajahku? “Ah, ti… tidak.” Bunga gugup. Namun daris emua itu, hatinya amat riang, senyum bahagia tak mampu ia sembunyikan. *** [1] Gawat Carnation Feeling everything that, was right in front of me – losing the things that are most precious to me, I’ll realize what real love is. Carnation 1 ------ Carnation 1 ------ Bunga mengetuk pintu kayu didepannya. Seorang pemuda lantas membuka dengan wajah lega. “Apa tidak sulit kemari?” tanya tersenyum. Reza, pemuda itu mengambil bungkusan yang dibawa oleh Bunga. “Tadi aku sedikit tersesat tapi untungnya bisa sampai kesini.” “Maaf jadi melibatkanmu. Rangga salah mengambil tas, padahal hari ini ada pemotretan.” “Ohya, Rangga mana?” Bunga melihat diruangan itu hanya ada Reza seorang. “Dia sedang ada diruang latihan. Mau menemuinya?” “Eh, tidak, tidak usah, nanti aku menganggunya. Kalau begitu aku pulang ya.” “Um, terimakasih. Kamu masih punya uang?” Reza membuka dompet. “Masih ada kok, aku tidak boros.” Bunga tersenyum lantas berjalan keluar dari kantor agency. Dari kejauhan nampak pada pandangan Bunga, tiga pria bertato, tubuh kekar dan berkulit legam dengan wajah sangar tengah berkerumun mengelilingi sorang pria setengah baya. “Keluarin duit lu.” Bentak salah satunya. “Oi, berani lu lewat daerah gue hah?” seorang berkepala plontos menarik kerah bajunya. Bunga nampak panik, segera ia berlari kembali ke kantor agency. “Ada apa Neng?” salah satu dari empat petugas security yang berjaga, menghampiri Bunga. “Pak tolong Pak, disana ada pengeroyokan.” Petugas security itu memanggil ketiga kawannya. Melihat petugas keamanan yang datang, ketiga preman itu lantas memilih kabur. “Bapak nggak apa-apa?” Bunga membantu memberdirikan pria yang dikeroyok tadi. Dibawanya pria itu kesebuah taman kecil didekat kantor agency. Bunga menyerahkan sebotol air mineral untuknya. “Sialan preman itu.” Ia meruntuk kesal mengusap wajahnya yang ngilu karena sempat terkena. Bunga membulatkan mata terkejut, “Bapak orang yang waktu itu bicara dengan Reza ‘kan?” “Gue Anton. Oh, lu perempuan yang waktu itu?” “Iya pak.” “Bapak sedang apa disini? Apa ada perlu lagi dengan Reza?” “Gue butuh duit lagi “Baru satu minggu, Bapak mau minta lagi.” “Ini bukan urusan lu.” “Iya sih pak tapi nggak baik meminta-minta uang seperti itu, apa lagi dengan cara memaksa segala.” “Memangnya apa salahnya kalau gue minta uang anak gue sendiri, hah?” pria itu terdengar malah. “Eh, Bapak ini ayahnya Reza? Oh kalau begitu maaf, saya…” “Rangga,” “Eh?” “Gue Bapaknya Rangga.” “A…” tenggorokan Bunga tercekat. Dilihatnya lagi pria bernama Anton itu. Tingginya 170 cm dengan rambut yang mulai memutih, wajah dengan kerut-kerut kasar didekat mata, kulit sawo matang yang mengilat, janggut dan kumis tipis yang tuumbuh tak teratur, tangan besar yang berotot, pakaiannya adalah sepasang kaos lusuh berwarna biru tua berbalut jaket kulit cokelat yang sudah tua juga celana jeans yang robek dibagian lutut. Dimata Bunga, pria itu lebih mirip preman. “Jangan lihat orang hanya dari penampilannya. Gue ini bukan preman, gue wartawan.” Dikeluarkannya kartu tanpa pengenalnya. Benar saja, pria itu adalah wartawan dari majalah Fa Shione. “Tapi, ayah Rangga sudah meninggal dari kecil, berarti Bapak ini ayah tirinya?” “Ho, oh lu tahu banyak juga ya. Berarti lu itu, jangan-jangan cewek yang ada difoto, waktu ada gosip itu ya?” Ah gawat! Bunga merasakan ada sinyal bahaya. “Udah lu kagak perlu takut begitu, ‘kan udah gue bilang jangan nilai orang dari tampilan luarnya aja.” “Pak, dimana-mana, siapun yang lihat Bapak pasti akan waspada, saya saja jadi takut Pak.” “Hahaha! Menarik, lu itu menarik banget, gue suka.” “Eh?” “Tapi lu jangan bilang sama Rangga kalo gue kesini.” “Loh kenapa pak?” “Rangga itu nggak suka sama gue.” Bunga teringat pada cerita Xeno tempo hari. “Yang lalu ‘kan sudah berlalu, Rangga baik kok Pak, kalau Bapak bisa bicara baik-baik sama dia, aku yakin hubungan Bapak bisa membaik.” “Ngomong itu gampang, tindakannya yang susah.” “Bapak cuma cari-cari alasan saja. Jangan menyerah pak.” Anton tersenyum mendengar ucapan polos dari gadis muda dihadapannya. Dilihatnya bening mata gadis itu, berkilau-kilauannya dan menenangkan. Dari cerminan itu ia tahu gadis yang berada dihadapannya adalah gadis yang jujur dan baik hati. “Nama lu siapa?” “Bunga.” Nama yang indah, pria itu tersenyum. “Ikut gue bentar.” Anton menarik lengan Bunga, membawanya masuk kedalam sebuah taksi yang baru saja di hentikannya. “Pak mau kemana?” Bunga panik,. Disangkanya ia akan diculik. “Udah lu diem aja.” Bentak Anton. Sekitar 30 menit keduanya akhirnya berhenti didepan sebuah bangunan yang cukup luas. Pada papan penanda depan yang terbuat dari marmer hitam tertulis ‘Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan’. “Ru..rumah sakit jiwa?” Bunga tersentak kaget. Kenapa dia diajak ketempat seperti ini oleh pria yang baru saja ia kenal. Bunga merasa sedikit takut dengan tempat itu, ia pernah melihat beberapa adegan sinetron yang berhubungan dengan rumah sakit jiwa. Dimana orang-orang didalamnya liar dan senang menarik-narik juga berontak. Pak Anton tersenyum kecil melihat ekspresi Bunga. Ia paham, orang-orang memang biasanya tak nyaman hanya dengan menyebut tempat itu. Bunga melangkah merapat dekat dengan Pak Anton. Didalam sana, ada banyak orang yang tempatkan di dalam sel, dengan terali besi yang menghalangi. Pasien-pasien memakai seragam yang sama, pasien laki-laki rata-rata berkepala botak, tatapan mereka kosong, beberapa diantaranya bahkan melakukan hal-hal yang aneh. “Jangan takut begitu. Mereka itu mungkin tidak normal, tapi mereka tetap manusia. Satu pesan penting yang sangat bermakna adalah jangan menilai orang dari penampilan dan perilaku mereka tanpa kita tahu siapa sebenarnya mereka. Mereka yang mempunyai masalah kejiwaan tidak boleh dijauhi Terkadang kita salah paham dengan orang lain, padahal seringkali mereka cuma butuh satu hal, yakni perhatian dan kasih sayang.” Bunga sekali lagi kagum pada pria yang berjalan dihadapannya, penampilannya tak jauh berbeda dari preman tapi ucapannya sedari tadi berisi nasihat dan perkataan bijak. Mereka terus menyusuri lorong dan akhirnya berhenti dihadapan kamar dengan penanda tulisan ‘Anyelir’. Didalam kamar, dibalik besi penghalang, Bunga melihat seorang wanita tengah duduk sendirian diatas kursi roda, menghadap ke jendela. Tatapannya kosong, mungkin juga pikirannya, ia duduk menatap kupu-kupu yang terbang dibalik jendela berpalang besi yang mengadap kearah taman. Pak anton masuk kedalam lantas menuntun wanita itu keluar dari kamar. Usianya sekitar 40 tahunan, rambutnya hitam legam, pendek sebahu, agak berombak, kulitnya putih bersih, meski kerut-kerut halus membayangi wajahnya, wanita itu tetap terlihat cantik. Carnation 2 ----- Carnation 2 ----- Pak anton membawanya ke taman bunga kecil, membuatnya menikmati siang dibawah rindangnya pohon. Agak jauh disisi lainnya, dibawah pohon, Bunga menatap wanita itu dan merasa tak asing dengan wajahnya. “Merasa pernah melihat wajahnya?” Pak Anton berjalan mendekati Bunga dan duduk dibangku yang sama dengan gadis itu. “Mungkin kamu pernah melihat wajahnya di majalah-majalah lama.” Pak Anton melanjutkan. Mata tuanya tak lepas kearah wanita itu. “Dia siapa?” “Anastasia Ziacrieve, dulunya ketika masih muda adalah penyanyi yang sangat terkenal. Dia istriku.” “I… istri?” itu berarti wanita itu… “Anastasia adalah Ibu kandung dari Rangga.” Dugaan Bunga benar. “Tapi Rangga tidak tahu apa-apa.” “Eh?” “Selama ini yang hanya Rangga tahu adalah ibunya pergi meninggalkannya. Aku merahasiakan ini darinya, dari semua yang mengenalnya.” “Reza juga?” “Ya.” “Jadi Bapak meminta uang itu…” “Um, Aku tidak bisa membiayai pengobatannya dengan kemampuan keuanganku. Aku berpura-pura menjadi pemabuk, pengangguran, mengancam Reza dan hal-hal buruk lainnya. Rasanya sangat memalukan memang, mungkin kamu berpikir demikian, tapi aku tidak punya banyak pilihan. Aku akan melakukan apa saja, bahkan menjadi jahat sekalipun demi orang yang kucintai.” “Jadi Rangga tidak tahu tentang semua ini?” “Begitulah, Rangga sekarang adalah seorang bintang, ia sudah melalui banyak rintangan dan penderitaan untuk bisa seperti sekarang ini, aku tidak mau menghancurkan semua yang sudah diraihnya dengan susah payah. Karena itu aku merahasiakan ini darinya. Aku masih berusaha untuk menyembuhkan Anastasia, dan jika ibunya sudah sembuh baru aku akan mengungkapkan semuanya pada Rangga.” “Tapi Bapak bisa mengatakannya padaku, bukan? Padahal kita baru kenal, tapi Rangga…” “Itu karena dari melihatmu saja, aku bisa tahu, kamu adalah gadis yang baik. Aku percaya kamu tidak akan mengatakan rahasia ini pada Rangga.” “Bapak yakin sekali. Kalau aku mengatakannya pada Rangga, bagaimana?” “Kamu tidak akan mengatakannya. Kuberitahu alasannya, itu karena kamu dan Rangga punya sebuah ikatan.” Ucapan pria itu sedikit membuat Bunga terkejut. Sementara ikatanku dengan Rangga sudah lama terputus. Aku tidak bisa jujur padanya.” “Tidak boleh, Bapak tidak boleh menyembunyikan hal sepenting ini dari Rangga. Itu artinya Bapak memutus ikatan Ibu dengan anaknya.” Nada suara Bunga terdengar meninggi. “Saya permisi.” Gadis itu merasa tak senang dan memutuskan untuk pulang. “Kami sudah melukai hatinya, kami membuangnya, meninggalkannya, mencampakkannya, menjadi sumber penderitaannya. Menurutmu Rangga akan memaafkan kami? Dia akan menerima kami?” Bunga berdiri mematung, mendengar dengan baik, “Kalau tidak dicoba, siapa yang akan tahu, menurutku Bapak hanya mencari-cari alasan untuk melarikan diri. Kalau kita tidak berusaha berubah diri kita sendiri, maka sampai kapanpu, tidak akan ada yang berubah.” Gadis itu melangkah pergi tanpa berbalik. Ya, dia hanya mencari-cari alasan. Setidaknya begitulah pikir Bunga. Alasan mengapa pak Anton dengan mudahnya memberi tahukan hal sepenting itu pada dirinya adalah bukan hanya karena ia dekat dengan Rangga, tapi pak Anton sedang meminta tolong padanya. Pak Anton sudah memendam rahasia itu cukup lama, mungkin kini ia telah sampai pada batasnya. Bunga tidak menyukai cara berpikir pak Anton tapi diluar dari semua itu ia ingin membantu pria itu kembali berkumpul dan berdamai dengan Rangga. *** “Kita mau kemana sih?” tanya Rangga sedikit gusar, pagi itu ia ingin tidur lebih siang, mumpung dua hari ia memiliki libur. Rutinitas keartisannya membuat libur beberapa hari saja cukup membuatnya senang. Namun liburnya yang damai pecah saat Bunga tiba-tiba membangunkannya dan memaksanya ikut ke pinggir danau yang tak berada jauh dari rumah. Dari kejauhan dilihatnya seseorang telah terlebih dahulu duduk diatas bangku yang menghadap kearah danau. Sedikit Rangga memicingkan mata mencoba menebak. Merasa ia pernah melihat postur tubuh itu sebelumnya. “Maaf sudah menunggu.” Bunga mempercepat langkah dan berjalan mendekat. Pria yang tadinya duduk itu perlahan bangkit dan memutar tubuh, berhadapan dengan Rangga. Tak mampu sepatah kata pun terlontar dari mulut pak Anton saat bertatap muka dengan Rangga. Banyak kata yang ingin ia ucapkan tapi semua hanya tertahan dalam benaknya. Seperti angin pagi yang berhembus, lewat begitu saja dan terurai diudara. Kata-kata yang sedari tadi dirancangnya berhambur seperti manik-manik yang putus dari talinya. Ia hanya bisa menatap mata putranya, tak ada kata yang bisa keluar sekuat apapun ia memaksa. Ini terlalu tiba-tiba, ia tidak siap, mustahil, dan hal-hal negatif lain yang menghantui, menambah ketakutan yang tiba-tiba menyeruak kedalam batinnya. “Bunga! Apa-apaan ini?” Murka Rangga. Wajah pemuda itu memerah, matanya melotot dan giginya bergemertak. Jelas ada rasa amat terkejut juga kekesalan memenuhi ekspresi wajahnya. Ia tak senang, dengan pria yang berada tepat dihadapannya. “Anu, pak Anton ingin berbicara denganmu, jadi aku mengusulkannya datang kemari.” Bunga sedikit gugup dan takut salah berbicara. “Sejak kapan kamu kenal dengan laki-laki ini? Hah!” bentak Rangga marah. “Rangga, ini bukan salah dia, dia…” “Bunga, ayo pulang.” Rangga dengan kasar menarik lengan Bunga dan pergi meninggalkan tempat itu. Bunga hanya bisa menatap pak Anton dengan tatapan sayu. Bunga meringis kesakitan namun Rangga tetap menyeretnya. Rasa takut, bercampur cemas memenuhi kepala Bunga. Ia hanya ingin membantu pak Anton untuk bisa berdamai dengan Rangga, itu saja yang ingin dia lakukan. Tapi sifat keras kepala Rangga telah memupuskan harapannya. Dihempaskannya tubuh Bunga dengan kasar diatas sofa. “Sejak kapan kamu kenal dengan laki-laki itu? Jawab aku!!!” teriak Rangga marah. Bunga bergidik takut dengan suara keras pemuda itu. Ini adalah kali pertama Bunga melihat betapa marahnya Rangga. Bunga tidak punya maksud sedikitpun membuat Rangga sampai semarah itu. “Ka.. kami tidak sengaja bertemu di kantor agency. Rangga jangan marah dulu, aku hanya ingin membantumu.” “Jangan ikut campur urusanku lagi.” Bentaknya. “Kamu harus bicara dengannya Rangga. Pak Anton punya hal penting yang harus dia katakan padamu.” “Hah? Hal penting, memangnya dia belum puas terus-menerus meminta uang dariku? Laki-laki tua itu, kali ini apa lagi yang ia inginkan?” “Rangga pak Anton tidak seperti itu dia hanya…” “Tahu apa kamu? Hah!” Rangga menimpali dengan teriakan marahnya. “Dia hanya ingin berbicara sebentar denganmu.” “Kamu bertingkah seolah-olah sudah mengenal pria tua itu, aku ini lebih mengenal dia dibanding kamu. Kamu itu tidak tahu apa-apa.” “Kamu salah, kamu yang tidak tahu apa-apa.” “Apa katamu?” Bunga menunduk, merapatkan bibirnya dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Hampir saja ia keceplosan, berbicara tentang ibu kandung Rangga. Bunga ingin Rangga tahu kebenarannya tapi ia tidak punya hak untuk memberitahu Rangga. Pak Anton lah yang harus memberitahu Rangga dengan benar. Karena itu Bunga hanya menunduk tak bisa membalas perkataan Rangga. Carnation 3 ------ Carnation 3 ----- “Cih, jangan ikut campur lagi! Urus saja urusanmu sendiri!” Rangga amat kesal, ia melangkah kelantai dua, meninggalkan Bunga sendirian diruang tengah. Sementara Rangga masuk kedalam kamar dan membanting pintu dengan kasar. Dadanya sesak, wajahnya panas dan jantungnya berpacu dengan cepat. “Apa lagi maunya laki-laki itu, aku sudah memberikan uang padanya, berapapun yang dia mau, tapi dia berani-beraninya muncul dihadapanku. Dasar bajingan.” Rangga mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Tok!Tok!Tok! suara pintu kamarnya diketuk, membuat Rangga sedikit terperanjat. “Rangga, maafkan aku.” Suara Bunga memelas terdengar dibalik pintu. Rangga sedikit tersentuh dengan ucapan tulus dari Bunga. Ia sadar, tak seharusnya ia bersikap kasar pada gadis itu. Ia marah pada ayah tirinya, tapi semua kekesalannya justru ia lampiaskan pada Bunga. Rangga sepenuhnya sadar, bukan kesalahan Bunga. Gadis itu tidak tahu apa-apa. “Sejujurnya aku hanya ingin membantu ayahmu. Bagaimanapun juga ia perlu berbicara denganmu. Ada hal penting yang harus disampaikannya padamu. Aku bukan ingin ikut campur urusanmu. Aku hanya ingin membantumu menyambung kembali ikatan yang tercerai-berai itu. Rangga, kupikir tidak ada salahnya mendengarkan ucapannya. Sudah sejak lama ia ingin melakukannya, namun tidak memiliki keberanian yang cukup untuk berhadapan langsung denganmu. Bukan hanya kamu saja yang merasakan masa-masa sulit dan penderitaan, aku yakin ayahmu juga merasakannya, bukan hanya kamu yang menderita, kamu harus tahu itu. Jadi menurutku, kalian bisa merasakan rasa sakit yang sama, berbagi penderitaan yang sama hingga pada akhirnya bisa saling mengerti satu sama lain. Semua hal-hal buruk yang terjadi, pasti akan berlalu berganti hal-hal yang baik. Kamu harus percaya.” Bunga menarik nafas sesaat. Rangga hanya mendengar tanpa banyak berkomentar. “Maaf aku sudah berbicara seenaknya, tapi terus menerus melarikan diri tidak akan menyelesaikan masalah. Ini adalah saat yang tepat bagimu untuk berhenti melarikan diri.” Selepas mengatakan itu, suara langkah kaki Bunga semakin menjauh, suaranya tak terdengar lagi. Rangga sedikit terkejut dengan ucapan terakhir Bunga. Ia benci, ia sangat benci mengakuinya. Apa yang dikatakan gadis itu adalah kenyataan besar yang selalu ia sembunyikan. Adalah hal-hal yangs ekuat tenaga ia pungkiri. *** Sore itu Bunga kembali menjenguk ibu Rangga dirumah sakit. Beberapa minggu belakangan gadis itu sangat rajin melakukannya. Mengajaknya berbicara, menyuapinya makan dan mengajaknya berjalan-jalan. Meskipun wanita itu tak banyak memberikan respon, tapi Bunga tetap merasa senang hati melakukannya. “Tante, pagi ini cuaca cerah ya.” Gadis itu menunjuk langit yang biru yang terhampar luas. Meski ibu Rangga sama sekali tak mendongak, Bunga tetap tersenyum. Bunga melirik bunga cantik berwarna putih yang mekar didekat kaki ibu Rangga. Bunga itu adalah sekuntum anyelir dengan tumbuh tinggi sekitar 31 cm dan mengeluarkan wangi yang harum. Gadis itu memetik beberapa tangkai anyelir putih, membuka tangan ibu Rangga agar ia dapat memegang tangkainya. Wanita itu duduk mematung diatas kursi roda, pandangan matanya kosong. “Tante Ana, bunga ini bernama Carnation, orang Indonesia sering menyebutnya Anyelir. Cantik sekali, bukan? Bentuknya mirip dengan bunga mawar. Legenda mengatakan bunga ini muncul dari air mata Perawan Maria dan merupakan simbol dari cinta ibu yang tak pernah mati. Dalam bahasa bunga, Anyelir berarti cinta yang murni.” Bunga menggenggam jemari Tante Ana. Tak disangka, wanita berkursi roda itu menolehkan wajah menatap mata Bunga. Lalu dari tangannya ia menyerahkan satu tangkai bunga anyelir putih pada Bunga. Kontan saja gadis itu terperanjat kaget. Diluar dari semua itu, Bunga merasa sangat senang, ini adalah perkembangan yang besar baginya. Bunga memeluk Tante Ana saking bahagianya. Lamat-lamat, terdengar langkah kaki mendekat. Pak Anton, itu yang ada dipikiran Bunga, gadis itu lantas melepaskan pelukan dan berbalik dengan wajah senang. “Rangga!” Bunga memekik saking terkejutnya mendapati pemuda itu tiba-tiba muncul dihadapannya. Belakangan ini ia dan Rangga jarang berbicara, tentu saja kedatangan Rangga yang tiba-tiba membuat Bunga benar-benar terkejut. Dibelakang Rangga berdiri pak Anton dengan wajah serius. “Ma… Mama.” Rangga berjalan mendekat dengan kaki gemetaran. Ia tak lagi memperhatikan Bunga, tidak lagi peduli pada air mata yang tiba-tiba menetes deras. Tangannya bergetar ketika ia mengulurkan dan memeluk ibunya. Tante Ana bergeming, wanita itu masih diam dengan tatapan kosong. Pagi itu Rangga sengaja meminta bertemu dengan ayah tirinya. Rupanya kata-kata Bunga tempo hari terlanjur membekas dalam hatinya. Dari sana ‘lah Rangga mengetahui kebenaran tentang ibu kandungnya. Selama lebih dari 12 tahun tak bertemu, jelas Rangga tak sedikitpun lupa dengan rupa ibu kandungnya. Meskipun raut menua telah terpancar dari wajahnya, Rangga takkan pernah melupakan wanita yang sangat dikasihinya. Wanita yang sejak dahulu ia rindukan, yang selalu ia cari-cari tak peduli berapa lama waktu berlalu. Ia tak pernah sedikitpun melupakan ibunya. “Ma, mama kemana aja? Rangga kangen sama mama.” Pemuda itu meneteskan air mata, merengek seperti anak kecil memegang tangan ibu yang dirindukannya. “Ma, ini Rangga, anak mama. Mama jangan pergi lagi ya, mama temani Rangga disini. Jangan tinggalkan Rangga sendirian lagi.” Lanjut pemuda itu mencoba tersenyum disela tangis yang membanjiri pelupuk matanya. “Ma, jangan diam saja, jawab Rangga ma.” Rangga memegang pipi ibunya. Wanita itu tetap diam. Namun beberapa saat kemudian, “Rangga? Rangga!!! Rangga!!! Anakku!!!” tiba-tiba Tante Ana menjerit histeris dan berontak. Rangga dan Bunga kontan terkejut dan berusaha menenangkan. Namun semakin berusaha, Tante Ana semakin meronta-ronta hingga terjatuh drai kursi roda. Barulah setelah dokter datang dan memberikan suntikan penenang, tante Ana kembali tenang dan tertidur. Rangga duduk disalah satu bangku taman sambil menutup wajah dengan kedua belah tangannya yang masih bergetar. “Aku akan bicara dengan dokter, tolong tenangkan Rangga.” Pinta Pak Anton. Bunga mengangguk dan berjalan pelan kearah Rangga yang masih menunduk. Pemuda itu nampak begitu sedih dan putus asa. Akhirnya ia bisa melihat ibunya lagi, tapi melihat keadaan ibunya yang demikian, Rangga amat terpukul. “Rangga, semuanya pasti akan baik-baik saja.” Bunga memegang bahu pemuda itu. “Bunga, apa yang harus aku lakukan?” Rangga menatap Bunga dengan mata yang masih merah. Sorot mata pemuda itu cemas dan takut. “Bersabarlah, kita tidak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan, karena itu bersabar dan percayalah. Semuanya pasti akan baik-baik saja, aku yakin itu.” Bunga mengenggam tangan Rangga yang gemetar. Rangga memeluk Bunga, berusaha mencari ketenangan dari kehangatan gadis itu. Dalam pelukan itu Rangga menangis, bahagia karena setelah sekian lama akhirnya bisa bertemu ibunya, sedih sekaligus mendapati ibunya menderita sakit dan tak mengingatnya. Bunga mengusap punggung Rangga. “Jangan cemas, Tante Ana pasti akan sembuh, beliau akan pulih dan kembali berkumpul denganmu.” Suara lembut itu menenangkan Rangga. Dalam pelukan itu, Rangga merasa sejuk nan nyaman. Ini adalah takdirnya, ketika ia dipertemukan dengan Bunga, semua berantakan pada awalnya, tapi semakin hari semuanya semakin jelas bagi Rangga, Bunga datang kedalam hidupnya dan mengubahnya. Sejak kecil bagi Rangga dunianya hanyalah hitam dan putih, sejak ia ditinggalkan oleh ibunya, semuanya berubah dalam pandangannya, ia menjadi orang yang tak peduli pada apapun dan siapapun. Bunga hadir mewarnainya, bagai palet 24 warna, semua warna itu merubah dunianya menjadi indah. Aku bersyukur bertemu denganmu. Aku bersyukur kau ada disisiku. Kalimat itu muncul dari lubuk terdalam hati Rangga. Dipeluknya gadis itu lebih erat. Tak masalah baginya, jika Bunga melihat sisinya yang lemah, tak masalah baginya jika ia terus menangis, tak masalah jika itu Bunga. *** Rose Let me know that you’re all right – just keep smiling, despite those pains, That will never heal. Rose 1 ------ Rose 1 ----- “Pagi.” Rangga menyapa dengan senyum diwajahnya. “Pagi juga.” Sora dan Bunga serempak. Xeno dan Reza hanya saling pandang sembari tersenyum. Sejak mengetahui keberadaan ibunya, Rangga yang selalu menampakkan wajah marah ataupun ekspresi datar telah berubah. Ia lebih banyak tersenyum dan ceria. Meskipun ia sibuk dengan pekerjaan tapi sesekali ia menjenguk ibunya dirumah sakit. Sebagai gantinya Bunga adalah orang yang sering menjenguk ibu Rangga. Tentu saja hal-hal kecil itu rupanya berdampak baik pada kondisi kejiwaan Tante Anastasia. Namun hal-hal yang baik tentu tak selamanya berjalan lancar, sibuk dengan pekerjaan juga ibunya membuat Rangga mulai mengabaikan kekasihnya Angel. Gadis cantik yang wajahnya sering menghiasi layar kaca itu mulai kesal dengan sikap Rangga. “Bisa nggak hari ini kita makan malam?” ajaknya saat keduanya baru saja selesai pertemuan dengan direktur agency. “Ah, maaf, hari ini aku tidak bisa.” Rangga tersenyum dan segera berlalu. Angel hanya menatap Rangga sambil melengos kesal. Tatkala dilihatnya Bunga berdiri diruang tunggu dan dihampiri Rangga, kontan saja gadis itu naik pitam. “Perempuan itu lagi.” Angel mengepalkan tangannya dengan gemas. Wajah cantinya berubah tegang dengan tangan terkepal kuat. “Dia nggak pernah punya waktu buat aku, tapi malah jalan sama perempuan norak itu. Sialan!” umpatnya jengkel. Bruk!!! Angel yang berbalik tak menyadari seseorang tengah lewat didekatnya. Kontan saja mereka berdua bertabrakan. “Oi punya mata nggak? Kalau jalan tuh liat-liat.” Bentaknya kesal.” “Sory-sory.” Luna membantu Angel berdiri. Luna adalah Manajer Angel. “Lagian kamu kenapa sih kok marah-marah gitu.” tanya Luna sembari membawakan tas milik Angel. Keduanya lantas berjalan ke area parkir dan masuk kedalam sebuah mobil sedan silver. “Sialan tuh si perempuan norak, dia mau ngerebut Rangga dari aku. Nggak punya kaca apa dia! Huh!” “Mm? maksud kamu cewek yang namanya Bunga itu?” “Iyalah, siapa lagi kalau bukan dia.” Angel mengambil botol bermerek Jack Daniel dibawah jok belakang dan menenggak isinya sampai setengah. “Jangan minum terlalu banyak. Besok kamu shooting.” Luna merebut botol berisi minuman beralkohol yang dipegang Angel. “Sebotol, dua botol nggak bakal bikin aku mabuk.” Angel mengambil kembali botol minuman dan menenggaknya.”Pokoknya gue harus cari cara biar bisa menyingkirkan si cewek norak itu.” Asap rokok mengepul, keluar dari sela-sela bibir merahnya. *** Wajahnya cantik, kaya raya, terkenal, karirnya cemerlang, berbagai jenis iklan, judul sinetron sampai model video klip, wajah Angel Zwart selalu meramaikannya. Diusianya yang masih 19 tahun ia telah menjadi selebritis Indonesia dengan segudang prestasi. Dimanapun ia berada, ia selalu menarik perhatian banyak orang. Karena itu, ketika ingin menikmati waktu pribadi, tak jarang Angel harus menyamar agar tak dikenali banyak orang. Seperti hari ini, Angel yang selalu lekat dengan imej feminim merubah sedikit penampilannya. Dengan celana jeans hitam, jaket cokelat bertudung, topi hitam dan kacamata hitam, Angel tengah duduk didalam sebuah kafe yang cukup sepi. “Maaf sudah menunggu, aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah dahulu.” Seorang gadis berambut pendek dengan dress biru muda berenda selutut berdiri dihadapannya. Angel mempersilahkan gadis itu duduk. Bunga, ia adalah orang yang sejak tadi ditunggu oleh Angel. “Aku sangat senang karena tiba-tiba diajak bertemu olehmu. Ohya aku sudah melihat sinetron terbarumu. Kamu sangat cantik, acting-mu juga sangat bagus.” Bunga memuji. “Berisik.” Suara Angel terdengar jengkel. “Eh?” “Kamu itu nggak tahu diri ya?” Suara pelan Angel jelas membuat Bunga terkejut. “Maksudmu apa?” “Hah, maksudku apa? Tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Dasar murahan.” Bunga mengeryitkan kening bingung. Kemarin masih ingat dirinya ketika Angel menelpon dengan suara lembut dan kata-kata manis bahwa ingin bertemu dirinya untuk mengobrol. Tapi dihadapannya kini, Angel tak seperti yang dibayangkannya. Gadis itu menatapnya dengan tatapan marah juga bahasa tubuh yang angkuh. “Kamu itu tidak tahu diri.” Ucapnya lagi. “Jujur saja kukatakan, aku tidak suka kalau kau selalu berada disekeliling Rangga seperti lalat yang mencari makan. Dasar sampah.” Ejeknya. “Angel, kamu sudah salah paham, aku tidak seperti itu, apa yang kamu pikirkan itu salah. Aku…” Angel mendengus kesal dan memotong pembicaraan Bunga. “Kamu suka sama Rangga ‘kan?” ucapan Angel menyentak Bunga, ada rasa sesak ketika pertanyaan itu dilontarkan. “Aku ini juga perempuan, aku juga pernah jatuh cinta, aku juga jatuh cinta pada Rangga, aku bisa tahu hanya dengan melihat sekilas saja. Kalau kamu menyukai dia. Iya ‘kan?” pertanyaan itu membungkam Bunga. “Sadar dong! Kamu itu jelek, kampungan, norak, murahan, dan tidak tahu malu. Kamu tidak bisa berkaca ya? Kamu itu hanya gadis kelas bawah, tidak sepadan dengan Rangga. Kamu lupa aku ini siapa? Aku ini pacarnya Rangga. Bersaing denganmu benar-benar membuatku terhina. Aku ini lebih baik, lebih dari segala-galanya darimu. Gadis kelas atas sepertiku tidak pantas bersaing dengan rumput liar sepertimu.” Lanjutnya. Ucapan Angel yang kasar dan penuh hinaan itu membuat darah Bunga seolah mendidih. Gadis itu hanya duduk sambil menggenggam kedua belah tangannya. Bunga berusaha tenang, ikut-ikut memaki akan membuatnya tidak beda jauh dengan Angel. Mawar, dalam diamnya mendegarkan umpatan, cacian, makian dan hinaan dari Angel, Bunga bisa membayangkan Angel adalah bunga mawar. Angel sangat cantik, dia benar, dia lebih segala-galanya dari dirinya. “Bunga mawar.” Ucapan itu keluar dari bibir Bunga setelah lama terdiam. “Dalam bahasa bunga, mawar adalah cinta. Cantik, anggun, dikagumi banyak orang kamu seperti bunga mawar. Meskipun punya banyak kelebihan, tapi bunga mawar itu berduri. Meskipun dia adalah perlambang cinta tapi dia bisa menyakiti. Kamu memang cantik, anggun dan punya banyak kelebihan lainnya, tapi hatimu itu seperti duri yang berisi kebencian dan kemarahan. Semua kelebihan yang kamu punya itu tidak ada gunanya jika hatimu itu berduri seperti mawar.” “Apa katamu!” Angel mengambil gelas dihadapannya dan menyiram Bunga dengan air saking kesalnya dengan kata-kata gadis itu. “Aku mungkin tidak sepadan denganmu, kamu adalah mawar sementara aku hanya rumput liar, tapi aku tidak menyakiti siapapun. Walaupun aku jelek, aku tidak anggun, aku tidak dikagumi, tapi aku tidak pernah sekalipun memandang rendah orang lain. Orang dengan sejuta kelebihan sepertimu harusnya lebih rendah hati. Wanita yang berkelas bukan hanya dilihat dari fisik dan status sosialnya tapi juga dari caranya bersikap, dan berkata-kata. Dengan kesombonganmu itu, harusnya kamu malu mengakui diri sebagai gadis kelas atas. Aku permisi.” Bunga berdiri dan melangkah pergi begitu saja meninggalkan Angel. Mata Angel membulat, rahangnya mengatup. “Kurang ajar! Kurang ajar sekali dia, berani menghinaku seperti itu.” Angel mengepalkan tangannya kuat-kuat. Gadis itu berjalan cepat menyusul Bunga. Didalam mobil, dari balik kemudi ia menatap jalanan dan mencari gadis itu. Ditenggaknya sebotol Vodka, ia ingin menenangkan diri dengan minuman itu namun, rasa marahnya, kebenciannya semakin besar saja. Mungkin itulah yang membuatnya hilang akal, kakinya menginjak pedal gas. Bunga yang berjalan dan tak menyadari adanya bahaya dibalik punggungnya. Untuk sesaat, Bunga merasa tubuhnya sangat ringan, ia seperti melayang diudara. Pemandangan disekitarnya perputar, tak ada suara yang tertangkap ditelinganya. Lalu ia terjatuh dan menggelinding diatas aspal panas. Tubuhnya serasa remuk, perih, sakit. Dadanya sesak dan sulit baginya bernafas, kepalanya amat berat bahkan matanya juga seperti mengantuk. “Bunga!!!” suara itu mengembalikan sedikit kesadaran Bunga. Samar-sama dilihatnya wajah Rangga dengan tatapan ketakutan. Rangga, jangan lihat aku dengan wajah itu. Aku sangat menyukai wajahmu yang tersenyum. Bunga ingin mengatakan itu tapi suaranya tak keluar. Mulutnya hanya terbuka dengan nafas yang terpotong-potong. Lalu semuanya mendadak kabur, suara-suara menjadi senyap, lalu gelap. *** Rose 2 ------ Rose 2 ----- Beberapa jam sebelumnya, Sejak pagi, perasaan Rangga seperti gelisah. Ia tak tahu sebabnya tapi jantungnya berdegub lebih cepat dari biasanya. “Kamu kenapa kak, kok pucat begitu?” tanya Sora saat pemuda itu ikut bergabung diruang tengah, menikmati hari minggu yang santai sambil menonton televisi. “Nggak tahu nih, jantungku kok deg-degan begini.” “Lagi jatuh cinta tuh, cie-cie.” “Nggak lucu, ini rasanya nggak nyaman banget.” “Jangan-jangan kakak kena penyakit jantung lagi.” “Hush jangan ngawur kamu. Rangga itu rajin olahraga, makan makanan yang bergizi, masa iya kena penyakit jantung.” Bantah Reza. “Xeno mana?” tanya Rangga sejurus kemudian. “Dia hari ini jadi bintang tamu diacara musik TV-J.” “Bunga?” “Hm, kurang tahu juga kak. Sejak pagi dia udah nggak ada. Coba ditelepon deh.” Rangga mengangguk dan mengambil ponselnya, mencoba menelepon Bunga. Tapi ia sedikit terkejut ketika didengarnya suara dering ponsel dari atas kulkas. “Itu hapenya Bunga, kok tumben banget nggak dibawa.” “Dia dimana sih?” Rangga merasakan firasat tidak enak. Diambilnya ponsel Bunga. Ketika layar ponsel itu menyala, Rangga mendapati ada satu pesan masuk yang belum dibaca. Kamu dimana? Aku sudah menunggu dari tadi. Angel Rangga mengerutkan kening, Angel? Sejak kapan dia sms-an dengan Bunga? Karena penasaran Rangga membuka kotak masuk pesan dan mendapati beberapa pesan dari Angel. Rupanya kekasihnya itu meminta bertemu dengan Bunga disuatu kafe. “Rangga, mau kemana?” “Mau keluar sebentar.” Katanya, lantas ia mengeluarkan mobil dan menuju kafe yang disebutkan Angel dalam sms-nya. Sayangnya ketika ia bertanya pada salah satu karyawan, rupanya Bunga baru saja meninggalkan kafe beberapa saat yang lalu. Rangga buru-buru keluar dan menoleh ke arah jalan raya. Dari kejauhan dilihatnya Bunga tengah berjalan kaki, menyeberang pertigaan menuju halte bus terdekat. Namun yang membuat matanya membulat adalah ketika ia menyadari sebuah mobil yang datang dari arah samping dengan kecepatan penuh mendekati tubuh gadis itu. Dan apa yang terjadi kemudian membuat Rangga seperti tersengat listrik. Kejadiannya begitu cepat, ketika ia berlari memperingatkan Bunga, dilihatnya gadis itu sudah terkapar diatas jalanan dengan bersimbah darah. “Bunga!!!” Rangga memanggil nama gadis itu. Bunga terlihat berusaha menjaga dirinya tetap sadar. “Bunga, kamu dengar aku? Bunga bertahanlah!” teriak Rangga dengan tangan gemetar. Tiba-tiba pemuda itu merasa takut. Ia menyadari tangannya telah basah dan hangat oleh darah dari kepala Bunga. Tidak dipedulikannya bajunya yang kotor, atau teriakan panik dari orang-orang yang memanggil ambulans, Rangga terpaku pada Bunga menjaga agar gadis itu tetap sadar. Bunga seperti kesulitan bernafas, gadis itu membuka mulut dan mencari udara dari sana, suara rintihan kecil terdengar dari gadis dalam dekapannya. Sementara itu, didalam mobil yang berhenti setelah menabrak terotoar, Angel seolah sadar dari gelap mata. Ia menoleh kesamping, dan ketika dilihatnya Bunga telah berlumuran darah, Angel merasakan tubuhnya bergetar dan merinding takut. “A… apa yang sudah aku lakukan?” Angel menatap kedua telapak tangannya yang berkeringat. “Aku yang melakukannya? Ti.. tidak… aku tidak bersalah, aku tidak melakukan kesalahan. Semua itu salahnya, ya itu salah dia.” Angel berbicara sendiri, berusaha meredam ketakutannya. “Apa yang harus aku lakukan sekarang? Semuanya, karirku, penggemarku, jika semua orang tahu aku telah membunuh… ti… tidak! Tidak!!!” Angel berteriak menutup kedua telinga dengan kedua belah tangannya. Wajah cantiknya berubah pucat, keringat membasahinya, jantungnya berdegub sangat kencang. “Aku tidak bersalah… Aku tidak bersalah…” *** Sudah tiga jam Rangga duduk diruang tunggu tepat didepan Unit Gawat Darurat UGD Rumah Sakit Pelita Kasih. Pemuda itu membenamkan wajah pada kedua telapak tangannya. Lalu tiba-tiba Rangga tersentak, Angel! Mobil silver itu adalah mobil Angel. Jangan-jangan, jangan jangan… Rangga berlari keluar dari rumah sakit dan ketika ia masuk ke area parkir, sebuah mobil van hitam berhenti, dilihatnya Luna, manajer Angel keluar dari mobil. Rangga berjalan mendekat dengan kedua tangan terkepal. “Angel mana?” tanya Rangga tak bisa menahan kekesalannya. Luna membuka pintu belakang, Angel duduk menunduk berselimut dengan wajah kusut. “Semua ini perbuatanmu ‘kan?” Rangga menarik selimut dileher Angel hingga wajah keduanya saling berhadapan. “Kenapa kamu melakukan ini? Kamu mau membunuh dia? Hah! Jawab aku! Jangan diam saja.” “Bukan salahku.” Lirih Angel berbicara. “Hah!!!” “Ini salahmu!!!” Angel histeris. “Apa katamu!!!” Rangga menggeram. “Iya ini salahmu. Aku ini pacarmu Rangga, tapi kamu tidak pernah ada waktu untukku. Kamu bersama dengan perempuan itu, kamu selalu bersama dia, bersenang-senang dengan dia. Aku muak.” Rangga melepaskan tangannya dan menatap Angel dengan tatapan tak percaya. “Caramu melihat dia, kamu tersenyum, tertawa, marah, jengkel, bahagia, semua ekspresi itu kamu perlihatkan didepan dia, sementara denganku, apa? Kamu selalu dengan wajah datarmu. Walaupun aku melakukan hal-hal yang hebat, meraih banyak pernghargaan tapi tatapanmu padaku dan tatapanmu padanya itu berbeda sekali. Aku benci itu Ali!!!” Teriak Angel dengan mata berkaca-kaca. “Apa karena aku yang menyatakan cinta duluan, apa karena aku selalu mengemis cinta padamu, jadi kamu memperlakukanku sekejam ini? Aku tahu kamu tidak pernah sekalipun melihatku sebagai kekasihmu, tidak sedikitpun mencintaiku, tapi aku ini punya perasaan, setidaknya kamu bisa menghargai itu.” Wajah Angel basah, menatap Rangga dengan tatapan memelas. “Menuntut untuk dicintai. Lalu kenapa kamu tidak membuat dirimu menjadi pantas untuk dicintai?” tanya pemuda itu. Angel menangkat wajah menatap Rangga dengan mimik terkejut. “Eh?” “Kalau kamu ingin dicintai, maka buat dirimu menjadi layak untuk dicintai. Dengan semua kejahatanmu dan kebusukan hatimu, kamu bukan hanya sekedar bunga mawar berduri, kamu adalah bunga mawar beracun yang dikagumi tapi tak dicintai. Kalau kamu merasa pantas untuk dicintai, untuk apa kamu menjadikan dirimu seperti bunga mawar yang sulit dijangkau, kenapa kamu tidak berubah menjadi dandelion, meskipun hanya bunga ditepi jalan, tapi menyejukkan hati siapapun yang melihatnya.” Rangga mengembuskan nafas berat. “Aku sudah cukup berurusan denganmu. Mulai saat ini jangan tampakkan wajahmu didepanku lagi. Jangan sakiti orang yang ada disekitarku lagi, jika kamu masih melakukannya, aku akan membuatmu menyesal.” Suara Rangga terdengar berat, ada nada marah dari sana. Angel bergidik mendengar Rangga mengucapkan itu sambil menatapnya dnegan tatapan benci. “Maafkan aku. Hiks… hiks…” Angel menutup wajahnya dan terisak. Rangga tak mau lagi peduli. Ia tak mau lagi tahu, apapun tentang Angel. Namanya yang berarti malaikat, wajahnya yang cantik, tapi kedua hal itu jelas tak mencerminkan dirinya sama sekali. Rangga sangat kecewa, pada Angel, juga pada dirinya sendiri yang tidak bisa melindungi Bunga. *** “Rangga! Bagaimana keadaan Bunga?” suara panik Xeno terdengar saat pemuda itu berjalan mendekat disusul oleh Sora dan Reza. Xeno amat terkejut, ketika Sora dan Reza datang ke lokasi shooting dan menjemputnya, mengatakan bahwa Bunga mengalami kecelakaan. “Tim dokter baru saja selesai melakukan prosedur operasi. Sampai saat ini belum sadarkan diri. Bagaimana ini? Ini salahku.” “Angel yang menabrak Bunga, ini bukan salah kak Rangga.” Demi mendengar penuturan Sora, Xeno kembali dikejutkan. “Angel menabrak Bunga? Apa itu benar?” “Ya,itu benar.” Sahut Reza. “Kalau begitu ini memang salahmu.” Suara Xeno terdengar serius. Ada marah dari nada suaranya ketika ia menatap Rangga. Sementara Rangga hanya menunduk dan terdiam. “Xeno.” Sora memekik pelan. “Biar kutebak, Angel pasti merasa cemburu pada Bunga, bukan? Karena itu dia sampai tega melakukan ini pada Bunga.” Rangga hanya terdiam, apa yang dikatakan oleh Xeno adalah benar. Memang seperti itulah kenyataannya dan ia tak mau membantah kebenaran itu. “Kalau sampai hal buruk terjadi pada Bunga bagaimana? Hah? Kamu sudah pernah melakukan ini sebelumnya, menabraknya sampai hilang ingatan. Setelah itu kamu terus menyalahkannya, memojokkannya, membuatnya bersedih, memangnya kamu tidak sadar, selama ini kamu sudah membuatnya menderita. Tapi dia, dia selalu tersenyum padamu, selalu terlihat kuat didepanmu, iya ‘kan? Setidaknya kamu bisa menjaganya dan memperlakukannya dengan baik, bukan? Kejadian ini bukan hanya maian-main, kalau Bunga sampai mati, bagaimana? HAH!” Xeno berteriak sambil menarik kerah baju Rangga. “Tsk! Memangnya aku ini terlihat menikmatinya? Memangnya selama ini aku tidak mengusahakannya? Aku mungkin masih jauh, tapi aku tidak pernah sekalipun senang melihatnya menderita, harusnya kamu tahu itu, Xeno.” “Sudahlah kalian berdua, ini rumah sakit, bukan tempatnya kalian berteriak dan bertengkar.” Reza menengahi. Sora menepuk bahu Xeno. “Bunga pasti akan sedih melihat kalian berdua saling menyalahkan seperti ini. Baiknya kita berdoa agar Bunga cepat pulih. Yah?” Sora tersenyum menghibur. *** Sun Flower Being so close to your heart, I can feel you; that alone, is my light. I see you! Sun Flower 1 ------ Sun Flower 1 ----- Embun pagi perlahan menguap seiring dengan semakin meningginya matahari. Bunga mendapatkan kesadarannya kembali. Hal pertama yang dirasakan oleh gadis itu adalah sekujur tubuhnya yang terasa sakit. Matanya terasa perih ketika ia mencoba membukanya. Butuh beberapa saat sampai pemandangan buram itu menjadi semakin jelas. Tenggorokannya sakit, ia merasa amat haus. Tangannya berusaha menggapai gelas yang berada dimeja dekat ranjangnya. “Bunga! Bunga sudah sadar!” suara seorang suster mengalihkan pandangannya. Bunga? Gadis itu sedikit merasa asing dengan dirinya sendiri. Tak berapa lama suster tadi kembali diikuti seorang pria burumur 40 tahunan dengan jas putih dan stetoskop yang menggantung dilehernya. Setelah memeriksa denyut jantung dan tekanan darahnya, kedua petugas medis itu saling pandang dan tersenyum. “Syukurlah.” Dr. Marlo, begitu nama yang tertulis dari tanda pengenal dokter itu. Lantas setelah beberapa pemeriksaat itu kedua orang itu meninggalkan Bunga sendirian dikamar. Bunga merasa tubuhnya sakit, kepalanya pusing dan kesendirian membuatnya tak nyaman. Bunga mengalihkan pandangannya pada bunga dibalik jendela. Kelopaknya besar berwarna kuning terang dengan kepala bunga yang besar dan menghadap kearah matahari. Mungkin karena sifat inilah ia dinamakan bunga matahari. Bunga matahari memang identik dengan pesona keindahannya. Bunga ini sering ditanam di halaman rumah karena sedap dipandang. Banyak orang yang meminati bunga berwarna kuning dengan kelopak di sekelilingnya ini. Bahkan sebagian orang percaya bahwa bunga matahari bisa mendatangkan keberuntungan. Konon, jika menanam tumbuhan ini di halaman rumah, keluarga akan menjadi tentram, bahagia dan harmonis. Meskipun bunga ini punya sejuta pesona tapi ia memiliki kisah tragis dan romantis akan kesetiaan seorang wanita terhadap orang yang dicintainya. Menurut legenda Yunani, bunga matahari berasal dari wujud seorang Nimfa yang jatuh cinta terhadap dewa matahari. Dalam mitologi Yunani, nimfa merupakan salah satu kaum dari makhluk legendaris yang diidentikkan dengan peri ataupun bidadari. Nimfa juga dianggap sebagai roh alam – yang digambarkan sebagai gadis cantik yang senang bernyanyi dan menari – dan menyatu dengan alam. Dikisahkan, seorang nimfa yang bernama Clytie jatuh cinta kepada Helios, seorang dewa matahari. Setiap hari Helios selalu menjelajah angkasa dengan segala kegagahannya, tanpa mempedulikan Clytie yang mencintai dirinya dan selalu memperhatikannya baik di pagi, siang, maupun malam hari. Kesetiaan cinta Clytie terbukti dengan dirinya yang tak pernah berpindah tempat dari pagi hingga malam menjelang hanya untuk terus memandangi Helios dan tak ingin berpaling darinya. Ia terus menunggu lagi dan lagi untuk dapat melihat Helios kembali mengarungi angkasa. Selama delapan hari Clytie melakukan hal itu, selama itu pula ia tak makan, minum, bahkan meluangkan sedikit waktu untuk tidur. Clytie hanya ingin Helios mengerti akan ketulusan cintanya. Sayang, Helios tak pernah sedikitpun menoleh dan menyadari kehadiran Clytie. Tiba-tiba keajaiban muncul di hari kesembilan. Akar mulai tumbuh di kaki Clytie. Tubuhnya pun berubah menjadi batang tanaman. Kecantikan di wajahnya menjelma menjadi keanggunan dari sebuah bunga yang selalu menghadap matahari. Oleh karena asal usulnya tersebut, dalam bahasa bunga, bunga matahari berarti kesetiaan. Bunga merasakan dadanya sesak, ketika dilihatnya bunga itu, perlahan matanya semakin perih dan meluruhkan air matanya. Tangannya menyentuh liontin yang tertambat dilehernya, dilepaskannya dari pengaitnya dan dipandangannya, bentuknya seperti bunga matahari berwarna perak. Ketika ia buka, dilihatnya foto dan ketika itu air matanya semakin deras. “Chris…” sepatah kata itu keluar dari sela tangisnya. Dadanya semakin sakit, kepalanya pun demikian. Bunga mengingat semuanya. Memori-memori itu terputar seperti film didalam bioskop tua, bercampur dan berpadu membuat kepalanya seolah berpusing dan sakit. Ketika usianya 18 tahun, selepas SMA dirinya pindah ke Jepang. Hal itu terjadi karena beberapa bulan menjelang kelulusan, gadis itu didiagnosa menderita penyakit kanker tulang yang disebut osteosarkoma. Untuk mendapatkan kembali kesembuhan secara total ia harus berobat ke dokter terpercaya dinegeri Sakura. Namun apa yang direncanakan tak semua berjalan baik, enam bulan dirawat dirumah sakit Tokyo, keadaannya sangat buruk, ia mengalami koma dan tak sadarkan diri tepat setelah menjalani operasi pengangkatan sel kankernya yang ke-10. Karena alasan itu hubungan komunikasinya dengan Chris terputus. Lalu tiga tahun setelah ia benar-benar pulih ia akhirnya kembali ke Indonesia. Gadis itu kini mengerti, alasan mengapa ibunya dahulu begitu kukuh tak membiarkannya kembali ke Indonesia. Ibunya bukannya ingin memisahkan ataupun menyakiti hatinya, ibunya justru ingin melindunginya. Kini kenyataan bahwa Chris telah pergi untuk selamanya jelas amat menyakitkan bagi Bunga. Gadis itu hanya mendekat liontin itu kuat-kuat sambil merintih dalam tangisnya yang menyayat. Ia merasa seperti orang bodoh, rasa sakit kehilangan orang yang amat berharga telah membuatnya begitu terluka. Aku sendirian sekarang, Chris, kenapa kamu pergi secepat ini? Kenapa kamu meninggalkanku sendirian. alasanku untuk tetap hidup, alasanku untuk sembuh adalah kamu. Sakitnya jarum suntik, pahitnya ratusan obat-obatan, luka karena operasi, semuanya aku lalui demi kamu. Tapi kenapa? Kenapa setelah semua penderitaan dan rasa sakit itu, kamu pergi begitu saja? Kenapa kamu berani meninggalkanku sendirian, Chris? Padahal aku berjanji padamu pasti akan kembali, padahal kamu benjanji akan setia menugguku, kenapa Chris? Kenapa? Ya Tuhan kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Apa salahku Tuhan sampai Engkau menghukumku dengan cara ini? Rasanya sakit, sangat sakit. Harusnya waktu itu aku mati saja, harusnya aku tidak perlu sembuh, kalau akhirnya apa yang menjadi tujuanku tak bisa aku raih. Harusnya tidak seperti ini, lebih baik aku mati saja. “Bunga!” suara itu samar terdengar, ketika gadis itu mengutuki dirinya sendiri, mengutuki nasibnya. Saat itu ia merasa dirinya tenggelam dalam lautan yang dalam dan gelap, namun suara itu, suara yang tak asing baginya datang seperti titik cahaya. Ia mengalihkan pandangan dan ditatapnya seorang pemuda bertubuh tinggi dengan rambut cokelat dan mata cokelat berjalan dengan wajah cemas. Tak ia duga pemuda itu langsung memeluk tubuhnya. “Syukurlah, syukurlah kamu sudah sadar.” Pelukan itu, suara penuh rasa lega itu seolah mendinginkan tubuhnya. “Bunga maafkan aku.” Begitu katanya. Bunga? Ah Bunga adalah aku. Dan dia, dia adalah Rangga Ziacrieve. Ia kini mengingat apa yang telah ia lalui setengah tahun belakangan ini. Bunga untuk sesaat merasa seperti orang bodoh yang hanya bisa tertegun. “Kenapa kamu menangis? Apa terasa sakit? Mana yang sakit?” Rangga memegang bahu Bunga dengan tatapan penuh khawatir. “Iie, daijoubu desu[1], ah maksudku aku baik-baik saja.” Senyum yang dipaksakan itu kembali membuat air matanya luruh. Bunga cepat-cepat menyembunyikan liontin dibalik selimut. “Kebiasaan lamamu kembali lagi.” Maksud Rangga adalah kebiasaan Bunga berbicara bahasa jepang. Meskipun belakangan Bunga telah terbiasa dengan bahasa Indonesia, ia sedikit terkejut ketika gadis itu berbicara seperti ketika mereka pertama kali bertemu dahulu. “Ma... maaf.” Rangga duduk ditepi ranjang dan tersenyum, “Kenapa kamu meminta maaf.” Tangan Rangga mengusap air mata Bunga. Dia, apa sebelumnya dia punya tatapan selembut ini. Sedikit Bunga terpaku ketika tangan Rangga dengan lembut menyentuh kulitnya. Perasaan sakit, juga rasa kecewanya perlahan sirna. Kehadiran pemuda itu telah menenangkan hatinya yang kacau. “Ah, bunga matahari, lihat!” Rangga berseru sambil menunjuk bunga dibalik jendela. “Aku…aku sangat suka melihatmu tersenyum, rasanya hangat dan nyaman. Menurutku, kamu itu seperti bunga matahari.” Rangga menatap Bunga dan tersenyum. Gadis itu hanya menatap dengan terpaku, sedikit darahnya berdesir ketika Rangga berkata semanis itu padanya. Sementara diluar pintu, Xeno hanya berdiri mematung sambil memunggungi tembok, ia tadinya ingin masuk, namun ia urungkan ketika ia menyadari Rangga telah mendahuluinya. Entah mengapa, Xeno merasa tak senang, ia tak nyaman melihat Rangga dan Bunga yang bergaul amat dekat. Apa ini? Rasanya sangat menyebalkan, kenapa aku merasa jengkel begini? Xeno menanyai dirinya sendiri. *** [1] Aku baik-baik saja Sun Flower 2 ----- Sun Flower 2 ----- Berita kecelakaan yang melibatkan Angel menyebar dengan sangat cepat seperti api dalam jerami. Belum lagi hal itu dikaitkan dengan kandasnya hubungan asmaranya dengan Rangga. Beruntung bagi Angel, Bunga yang telah pulih dan pulang kerumah, ia memutuskan untuk tidak menempuh jalur hukum dan mengatakan bahwa kasus ini adalah murni kecelakaan hingga Angel tak perlu ditahan. Kebaikan apapun yang kau lakukan, orang yang membencimu tidak akan pernah melihat itu, kata-kata itu patut menggambarkan Angel. Hatinya telah sepenuhnya berisi kebencian dan kemarahan. Kebaikan yang ditunjukkan oleh Bunga malah dia anggap sebagai penghinaan. “Mau apa lagi kamu!” suara teriakan itu terdengar dari pintu depan. Rangga berteriak kesal ketika Angel telah berdiri didepan pintu sambil menenteng sekeranjang buah. “A… aku minta maaf.” Katanya menunduk. Sialan kamu Rangga, berani-beraninya membentakku. Semua ini gara-gara perempuan sial itu. Awas saja dia. “Sudah pulang sana.” Usir Rangga sembari hendak menutup pintu. “Tunggu,” Bunga mencegah. Gadis itu berjalan menuju pintu dan berhadapan dengan Angel untuk pertama kalinya sejak terakhir kali bertemu di kafe beberapa minggu lalu. “Maafkan aku, Bunga.” Huek! minta maaf sama kamu itu membuatku mual. Kalau bukan demi bisa dekat lagi dengan Rangga, nggak akan deh aku mau minta maaf sama kamu. Najis. “Terimakasih.” Kata Bunga tersenyum. Ia tak tahu seperti apa sebenarnya niat Angel. Angel mengernyitkan kening. “Eh?” “Buahnya, untukku ‘kan?” Bunga meraih keranjang buah yang langsung disodorkan oleh Angel. “Ah iya, bagaimana keadaanmu?” heh sok senyum-senyum, dasar munafik. Kenapa masih hidup sih? “Um, masih sedikit sakit tapi sudah lebih baik.” “Ka… kalau begitu syukurlah.” Angel tersenyum pahit. Harusnya waktu itu kutabrak lebih keras lagi. “Ya sudah, ini sudah malam, aku pulang dulu ya.” Bunga mengangguk. “Um, hati-hati dijalan.” “Bunga kamu itu nggak usah baik begitu sama Angel.” Tegur Sora. “Apa yang sudah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi, kalau sudah begitu hanya perlu melihat ke depan saja, bukan?” Bunga tersenyum. “Uhuk… Uhuk…” Bunga mendadak batuk. Belakangan ini dadanya kadang-kadang terasa sakit hingga ia sulit bernafas. Ketika ia kembali kerumah itu hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa ranselnya yang sudah lama ia simpan dalam lemari. Didalam ransel itu ada sekantong obat-obatan yang harusnya ia minum rutin. Namun ketika ingatannya hilang, Bunga tak pernah meminum obatnya lagi, karena itu ia sedikit cemas. “Kamu tidak apa-apa?” Xeno mendekati Bunga dan mengusap punggung gadis itu. Bunga tersenyum, “Aku baik-baik saja. Aku kekamar dulu ya.” Pamitnya. Rangga yang melihat Bunga pucat, tentu saja tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Bunga naik kelantai dua dan masuk kedalam kamarnya yang gelap, ia tak menyalakan lampu hingga cahaya purnama menelusuk masuk lewat jendela yang tirainya terbuka. Bunga tidak bisa jujur, ia tak bisa mengatakan pada Rangga, bahwa ingatannya telah kembali. Ada rasa takut yang menyeruak entah dari mana setiap kali ia berpikir ingin mengatakan yang sebenarnya. Ia takut. Bunga memegangi dadanya yang sesak. Ia mengambil obat dilaci meja rias, ada lima butir dengan ukuran dan warna berbeda yang ia tenggak sekaligus. Namun meski seperti itu hatinya tetap saja tak tenang. “Bunga,” suara Rangga terdengar ketika pemuda itu membuka pintu kamar. Dilihatnya gadis itu tengah berdiri menghadap jendela. Dibawah pantulan sinar rembulan, wajahnya terlihat bercahaya. “Sedang apa kamu?” “Lihat, bulannya indah.” Bunga menatap temaramnya bulan. Lama mereka berdua dalam diam dikamar yang cahayanya remang. Bunga merasakan ada yang hangat dibalik punggung dan terus kearah bahunya. Tangan yang kekar memeluknya dari belakang. Sedikit terkejut ketika ia tahu, itu adalah Rangga. Bunga hafal betul dengan wangi parfum dari Rangga yang khas. Jantung Bunga mendadak berpacu dengan cepat. Bunga merasa wajahnya seperti kepiting rebus, pipinya memerah malu, ia bingung, tak tahu harus berkata dan bersikap seperti apa ketika Rangga tiba-tiba melakukan hal itu padanya. Ia bisa mendengar nafas Rangga dibalik telinganya, juga merasakan rambut Rangga yang menyentuh lehernya. Pemuda itu meletakkan kepalanya dibahu Bunga, memeluknya tanpa berkata-kata. Sepi merayap, yang ada hanya desah nafas keduanya. Lama setelahnya, Rangga melepaskan pelukannya, wajahnya terasa panas dan merona. Ketika Bunga hendak berbalik, “Jangan berbalik dulu.” Rangga menahan bahu Bunga. Ia tak mau Bunga melihat wajahnya yang tersipu. “Jangan berbalik sampai aku keluar.” Kata Rangga berjalan mundur kearah pintu, lalu menutupnya dari luar. Rangga menutup wajah dengan punggung tangannya, nafasnya memburu dan jantungnya berdegup kencang. “Loh, kak Rangga kenapa? Kok wajahnya merah begitu?” Sora yang tiba-tiba muncul dari tangga mengejutkan pemuda itu. “Ah, tidak aku hanya merasa sedikit kepanasan.” Katanya sambil masuk kedalam kamarnya. “Kepanasan? Aku malah kedinginan.” Sora heran sendiri. *** “Ah kamu sudah bangun?” suara lembut itu menyapa Bunga ketika ia turun dari lantai dua. Xeno tersenyum sambil menyeduh sepasang cangkir berisi teh hijau. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya lagi. “Aku baik-baik saja,” Bunga ikut duduk. “Yang lain mana?” “Biasa, ada shooting. Kalau aku sedang libur.” “Heh begitu ya?” “Ada apa? Sepertinya kamu gelisah.” “Anu, aku boleh bertanya?” “Heh apa itu? “Xeno, apa kamu pernah menyukai seseorang?” “Eh, kenapa tiba-tiba begini?” “Ah, tidak, aku hanya ingin tahu saja, bagaimana kamu bisa tahu kalau kamu sedang jatuh cinta pada seseorang.” “hmm… menurutku, jatuh cinta itu adalah saat kamu sedang memikirkan seseorang dan ada rasa ‘sesak’ dalam dada.” “Sesak?” Bunga bingung dengan ucapan Xeno. “Um, perasaan yang kamu juga tidak bisa menjelaskannya.” Xeno menatap Bunga penuh arti. Diletakkannya sebelah tangannya guna menyanggah dagunya. Senyum Xeno mengembang, memandang wajah Bunga lekat-lekat. Ditatap sedemikian rupa membuat Bunga sedikit gugup. “Aku menyukaimu.” Ucapan itu menyentak Bunga. Ia membulatkan mata menatap Xeno yang baru saja berucap itu padanya. Bunga menatap ke kiri dan ke kanan, bingung harus bersikap seperti apa menanggapi ucapan Xeno yang tiba-tiba “Eh?” Xeno tertawa kecil melihat tingkah Bunga. “Hahaha, tidak perlu sebingung itu, Aku tidak menuntut jawaban darimu. Kamu tahu, setiap pernyataan cinta itu, dibuat untuk menyatakan isi hati, mengatakan bahwa kamu adalah orang yang dicintai. lagi pula itu adalah pernyataan cinta, bukan pertanyaan cinta, jadi tidak memerlukan jawaban.” Bunga bangkit hendak mencuci cangkirnya, “Ma..maaf aku hanya kaget, tiba-tiba Xeno bicara seperti itu, hehehe.” Bunga merasakan tubuhnya tiba-tiba berat, cangkir yang dipengangnya lolos begitu saja, jatuh dan pecah berkeping-keping didekat kakinya yang jatuh bersimpuh. “Bunga!” Xeno berseru bangkit mendekati Bunga yang tiba-tiba jatuh. “Ah, maaf aku sedikit terpeleset.” Bunga tersenyum. “Kamu yakin tidak apa-apa?” “Um, aku baik-baik saja, lihat.” Bunga berdiri dan menepuk-nepuk lututnya pertanda ia tak apa-apa. “Biar aku yang bersihkan cangkirnya, kamu istitrahat saja dikamar.” Bunga mengangguk, berjalan sambil berpegangan pada benda yang ada dalam jangkauannya. Entah mengapa lututnya seperti kesemutan dan langkahnya amat berat. *** Sun Flower 3 ------ Sun Flower 3 ------ Disebuah restoran, dilantai dua yang sepi, tiga orang tengah duduk saling berhadapan dengan mimik serius. “Pesanlah yang kalian mau.” Angel tersenyum menawarkan. Dihadapannya duduk dia orang wartawan dari majalah The Artistico, Lee dan Leon. “Tidak, tidak perlu.” Leon menolak. Bunga kembali tersenyum dan mengerti maksud keduanya. Dari dalam tas Hermes merah mudanya, ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang cukup tebal. Disisi lain, Lee mengeluarkan beberapa lembar kertas yang dijepit dengan penjepit kertas hitam dibagian tengah atasnya. “Aku sedikit heran kamu meminta informasi enam bulan yang lalu ini. Berita ini sudah basi, kalau dipublikasikan, tidak akan mendapat banyak respon.” Ujar Lee. “Ditambah lagi, kamu sudah putus ‘kan, dengan Rangga Ziacrieve.” Leon menambahkan. “Yah, ada banyak hal yang harus aku lakukan, sampai aku puas.” Gadis itu mengambil sebatang rokok dan menyulutnya, lalu menghisapnya dalam-dalam. Hasil pembakaran benda itu menjadi asap yang membumbung ketika ia menghela nafas. “Hm, yang kami butuhkan hanya ini.” Pemuda itu mengacungkan aplop yang diterimanya dengan wajah puas. “Senang bekerja sama denganmu.” Lee menjabat tangan Angel. “Jika ada lagi yang perlu kamu ketahui, jangan sungkan menguhubungi kami.” Leon melakukan hal yang sama, dan melangkah pergi. Angel menatap lembaran kertas-kertas didepannya dengan wajah puas dan senyum licik. *** Bunga melangkah keluar dari kompleks pemakaman. Berjalan kearah jalan raya dan memanggil taksi. Gadis itu setiap minggu datang kesana dan mengunjungi makam Chris. Malam itu Bunga bermimpi, dalam tidurnya ia berdiri didepan makam Chris gelap dibawah langit berbintang dan ditemani kunang-kunang yang bersinar kuning kehijauan. Namun bukan hanya ada makam, Chris berdiri dihadapannya dengan tatapan teduh. Pemuda bertubuh tinggi, berwajah tirus dengan hidungnya yang mancung, berambut cokelat dengan mata hitamnya itu masih tak berubah dengan senyuman hangatnya. “Chris, kurasa aku sudah mengkhianatimu. Kenapa aku selalu saja menempatkan Rangga Ziacrieve diotakku. Ketika aku melihatnya, berbicara dengannya, rasanya sangat nyaman, sangat menyenangkan, bahkan setelahnya aku terus mengingat dirinya hingga aku jatuh tertidur. Apa yang harus aku lakukan?” “Apa yang harus kamu lakukan?” “Aku tidak tahu.” “Setiap pertemuan dan setiap perpisahan adalah sebuah jalan yang harus dilewati oleh setiap manusia. Ketika kita bertemu seseorang, pada akhirnya akan ada persimpangan dimana kita akan berpisah, lalu dipersimpangan berikutnya kita akan bertemu dengan orang lain lagi dan akan berpisah dipersimpangan lainnya. Orang-orang yang kita temui akan berlalu, datang dan pergi, pada akhirnya, baik ataupun buruknya mereka, tak akan terbantahkan adalah mereka yang akan membuat kita semakin kuat. Jalan-jalan kehidupan penuh dengan kerikil, kubangan lumpur bahkan jurang yang dalam tapi, itu adalah semua hal tentang kehidupan. Apa yang telah berlalu tidak bisa dikembalikan lagi, melangkah mundur dan terus memikirkan masa lalu hanya akan membuat langkah kita semakin tersesat.” “Tapi meskipun kamu adalah masa lalu, aku tidak mau melupakanmu Chris.” “Melangkah maju, bukan berarti melupakan semua yang tertinggal dibelakang. Hal-hal yang telah kita lewati adalah sebuah pijakan yang akan membuat kita semakin kuat. Semua kenangan itu, baik yang sedih, maupun yang senang, semuanya adalah hal-hal yang penting. Dan hal yang penting itu harusnya tetap dijaga.” “Chris, kenapa semuanya harus seperti ini, kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?” “Ketahuilah, semua yang telah terjadi, adalah sesuatu yang selalu diiringi dengan alasan. Pertemuanmu denganku, bukankah adalah hal yang berharga bagimu hingga kamu bisa melangkah sejauh ini? Karena itu jadikan hal ini sebagai penguatmu. Jangan menyerah, teruslah melangkah, setahap demi setahap hingga kamu tiba ditujuan akhirmu. Bukankah kamu sudah merasakannya?” “Eh?” “Kamu merasakan telah menemukan seseorang, dia yang akan menemanimu melangkah maju, yang meskipun ada banyak rintangan, ada banyak persinggahan, dia akan selalu disampingmu selamanya. Perasaan seperti itulah arti cinta yang sesungguhnya. Menghadapi semua penderitaan akan membuatmu semakin kuat, kehilangan hal-hal yang berharga, akan mengajarkanmu apa arti memiliki yang sesungguhnya.” “Chris…” “Kita tidak bisa lagi kembali ke hari-hari yang lalu, maka teruslah melangkah maju. Aku akan mengatakan padamu, bahwa aku selalu dekat denganmu, aku akan selalu disisimu dan mendukungmu.” Bunga meneteskan air mata, tersentuh dengan semua ucapan chris. “Maafkan aku, terimakasih.” “Tuhan telah memberikanmu kesempatan sekali lagi, maka buatlah menjadi berharga. Ketika kamu bertemu orang yang penting dalam hidupmu, buatlah ia tersenyum dan bahagia. Aku akan selalu mendukungmu.” Bunga merasakan air matanya semakin jatuh ketika bayangan Chris semakin memudar dari pandangannya. “Oops, It’s time to say good bye.” Pemuda itu tersenyum. “Chris!!!” Bunga memekik. Ketika ia membuka mata, pandangannya menangkap lampu kamar yang mati juga sinar bulan yang samar dibalik tirai. Gadis itu merasakan dadanya sesak dan keringat membasahi wajahnya. Meskipun hanya sekedar mimpi, ia merasa semuanya terlalu nyata ketika dilihatnya seekor kunang-kunang terbang keluar melewati ventilasi dengan cahaya redupnya yang indah. “Loh, apa ini? Air mata? Aku menangis?” Bunga menyadari matanya sedikit bengkak. Ketika ia menoleh, dilihatnya liontin berbentuk bunga matahari itu terbuka. Dibawah sinar rembulan menyinari foto kecil itu, Chris tersenyum, sebuah senyum yang entah mengapa Bunga merasakan senyum Chris lebih hangat dari biasanya. Stupid! I don’t like saying ‘good bye’ because there is nothing ‘good’ in saying ‘bye’. *** Lily Until I went away and, Faced the lonely days, Somehow I wasn’t even able to say, “I want to see you”… Lily 1 ----- Lily 1 ----- Senja kala baru saja mulai ketika Bunga tengah menyiram bunga dihalaman belakang. Dirawatnya bunga-bunga itu dengan penuh perhatian satu persatu, penuh kasih sayang dan kelembutan. Ting! Tong! bel rumah berbunyi, membuat keasyikan Bunga beralih. Bunga sedikit terkejut ketika pintu rumah terbuka dan Angel tengah berdiri dihadapannya dengan sebuket bunga besar dibungkus kertas dan renda putih. Bunga sedikit cemas, ia takut Angel akan melakukan hal yang buruk padanya apa lagi ia tengah sendirian dirumah. Angel melangkah masuk tanpa disuruh. “Ah sepertinya yang lain belum pulang ya?” “I… Iya.” “Kamu tadi sedang apa?” dilihatnya tangan Bunga masih memegang alat penyiram. “Aku sedang menyiram bunga.” “Heh, kamu itu suka sekali dengan bunga ya.” Angel pergi ke halaman belakang. Dilihatnya ada banyak bunga yang tertata rapi dalam pot besar dan kecil, juga beberapa yang tergantung disebuah pagar kecil. Diatas tanah yang dikelilingi batu warna-warni tubuh bunga mawar yang masih kuncup. “Bunga mawar ya?” Angel tersenyum kecil. “Kalau mencari Rangga, mungkin sebentar lagi dia akan pulang.” “Aku tidak sedang mencarinya, aku datang kesini untuk bertemu denganmu.” Angel tersenyum, diraihnya sebatang rokok lalu ia menyulutnya. Dalam tarikan nafas, Angel mengembuskan asap rokok tepat diwajah Bunga hingga gadis itu terbatuk-batuk. “Hahaha!” Angel tertawa puas, ia duduk disebuah bangku besi yang berada dekat dari pintu. “Untukmu.” Angel menyerahkan buket bunga yang sedari tadi dipengangnya untuk Bunga. Dua puluh bunga Lily berwarna kuning yang diikat dengan pita putih. “Te.. Terimakasih.” “Kamu tahu cerita tentang bunga Lily? Tadi ketika aku membelinya, pemilik toko itu menceritakannya padaku.” “Ah, iya aku tahu.” “Bagaimana?” Angel ingin mendengarnya. “Diceritakan ketika Dewa Zeus jatuh cinta pada wanita Bumi bernama Alceme dan melahirkan putranya yang bernama Hercules. Dewa Zeus menginginkan agar Hercules menjadi dewa seutuhnya, maka Hercules dibawa ke Surga untuk disusui oleh Hera, istri Zeus. Zeus memperkirakan Hera tidak akan mau menyusui Hercules, maka Hera dibius hingga ia tertidur. Pada saat Hera tertidur, Hercules diletakkan di bawah payudara Hera, dan Hera pun menyusui Hercules tanpa Hera sadari. Namun, karena pengaruh obat yang membius Hera habis, Hera seketika terbangun dan kaget menemukan ia tengah menyusui Hercules. Dengan ketakutan, Hera melempar bayi Hercules. Air susu pun menyembur dari payudaranya. Yang menyembur di langit berubah menjadi bintang yang akan disebut Galaksi Bima Sakti, sementara yang menyembur ke Bumi, menjadi bunga Lily putih yang anggun yang pertama yang tumbuh di Bumi. Dalam bahasa bunga, Lily putih berarti kesucian dan kebajikan.” “Hmm, tepat sekali. Tapi aku tidak memberimu Lily putih, aku memberikanmu Lily kuning.” “Ini…” “Dalam mitologi Romawi dikisahkan bahwa pada saat Dewi Venus yang dikenal sebagai Dewi Kecantikan meniti buih lautan, ia melihat setangkai bunga Lily putih bersih yang cantik nan anggun. Dewi Venus merasa tak senang, karena ternyata ada yang menyaingi kecantikan dan keanggunannya, Venus lantas memercikan warna kuning pada putik bunga, dengan maksud menodai keputihannya. Dari kisah itu, dalam bahasa bunga, Lily kuning berarti, kecemburuan dan kebencian.” Bunga kini mengerti alasan Angel memberikan bunga Lily berwarna kuning kepadanya. Angel bangkit dan memegang dagu Bunga dengan kasar, wajah kedua gadis muda itu saling pandang dalam jarak dekat. Dari jarak itu Bunga bisa melihat tatapan kebencian dari Angel. “Aku tidak akan bisa menerimanya, aku tidak terima Rangga meninggalkanku. Aku sangat membencimu, karena kamu ada disini, karena salahmu, Rangga mencampakkanmu. Aku sangat membencimu Bunga!” Angel mendorong Bunga hingga gadis itu jatuh kebelakang. “Bunga, aku akan membuatmu menyesal telah berurusan denganku, aku akan…” kaki Angel terangkat hendak menendang Bunga. “Angel, hentikan!!!” suara teriakan itu membuat Angel tersentak kaget. “Ra…Rangga!” “Bunga kamu tidak apa-apa? Rangga berlari dan menolong Bunga. Dari belakang, Reza, Sora dan Xeno menyusul setelah mendengarkan teriakan Rangga. “Cih!” Angel buang muka. “Pergi dari sini!” usir Rangga. Angel melotot tak terima perlakuan Rangga. “Hah?” “Cepat pergi dari sini.” Bentak pemuda itu. “Oi Bunga berhenti ber-acting kesakitan!” teriak Angel menunjuk Bunga yang memegangi dadanya. “Angel!” Rangga mencengkram lengan gadis itu dengan kasar. “Rangga kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini sih?” “Itu karena kamu adalah mawar beracun.” “Hah mawar beracun? Kalau aku kamu sebut mawar beracun, lalu perempuan munafik itu kamu sebut apa? Hah? Bunga bangkai?” “Apa maksudmu?” Sora angkat bicara. “Kalian semua sudah ditipu olehnya.” Teriak Angel dengan wajah licik. Reza menatap Bunga, “Ditipu?” “Aku sudah tahu semua tentangnya, bahwa Rangga menabraknya dan membuatnya hilang ingatan, karena itu kamu bertanggung jawab dan membawanya kemari, iya ‘kan?” “Kamu, kamu tahu itu dari mana?” Xeno, dan semua yang ada disana termasuk Bunga dibuat terkejut. “Memangnya itu penting? Biar aku beritahu pada kalian, Ingatan perempuan munafik ini sudah kembali, dia sudah sembuh. Kalian itu bodoh sekali ditipu olehnya. Dia berpura-pura hilang ingatan agar bisa tinggal disini. Agar bisa mendekatimu. Kamu pikir aku ini jahat? Lalu dia itu kamu sebut apa? Hah?” Angel menatap Rangga yang masih tak percaya. “Bunga, apa itu benar?” Rangga menatap Bunga. Gadis itu menunduk tak berani menatap mata Rangga. Perlahan gadis itu menganggukkan kepala. Angel tersenyum licik, Bingo! Tebakan ku benar ‘kan? setelah membaca riwayat tentangnya, informasi yang berhubungan dengan masa lalunya, kebiasaannya, semua akhirnya jelas, aku bisa tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu, dan sesuatu itu ternyata benar, ingatannya telah kembali. Dasar munafik! “Sejak kapan?” Rangga memegang bahu Bunga menuntut jawaban. “Ketika aku sadar dirumah sakit, setelah kecelakaan dua bulan lalu.” “Selama itu? Selama itu kamu menyembunyikannya? Selama itu kamu berpura-pura? Kamu membohongi kami semua?” “Maafkan aku, aku hanya…” tatapan mata Bunga seperti memelas. “Huh!” Rangga menatapnya gusar lalu melangkah pergi. Semuanya, Angel, Xeno, Sora dan Reza juga meninggalkannya sendirian. Air matanya jatuh, Maafkan aku, aku hanya ingin tetap disini, aku hanya ingin tinggal disini. Aku tidak mau pergi. Maaf. *** Lily 2 ------ Lily 2 ------ Rangga merasa sangat marah, ia benar-benar kesal ketika mengetahui kenyataan Bunga telah membohonginya. Pemuda itu mengurung dirinya didalam kamar. Ia baru keluar ketika hari telah telah berganti dan langit terang sepenuhnya. Pagi itu, ketika ia turun ke ruang makan, Sora dan Reza tengah duduk menghadap dua cangkir kopi dan tak berkata apapun. Rangga melangkah menuju kulkas tanpa bertatap muka dengan kedua orang itu. “Dia sudah pergi kak.” Ucapan itu membuat Rangga sedikit terkejut. Ia menatap Sora menuntut penjelasan dari gadis itu. “Bunga pamit padaku, kemarin malam. Dia bilang tidak bisa lagi tinggal disini, jadi dia pergi. Dia akan kembali ke kehidupan lamanya.” Ucap gadis itu menjelaskan. “Oh, begitu ya. Baguslah.” Suara Rangga terdengar dingin. Pemuda itu melangkah cuek kembali ke kamarnya. “Kakak yakin?” “Apanya?” “Kakak tidak mau mencari Bunga?” “Dia bukan Bunga lagi. Biarkan saja dia melakukan apa yang ingin dia lakukan. Bukan urusanku.” Nada suara dingin dan ketus itu membuat Sora bungkam. *** Ditempat lain, Bunga semalam menghabiskan malamnya di dalam sebuah taman, pagi itu ia barus aja terbangun ketika mendengarkan riuh jalanan yang ramai. “Uhuk! Uhuk! Untuk kesekian kalinya gadis itu terbatuk. Dadanya sakit, dan nafasnya sesak, sekujur tubuhnya terasa ngilu. Bunga merasakan ada yang hangat dari tangannya ketika ia menutup mulutnya. Ketika Bunga menjauhkan tangan dari bibirnya, bercak merah tua kental menodai tangannya yang bergetar. Ada rasa takut yang menyelimunya, cepat-cepat Bunga mengelap darah itu dengan menggosoknya pada celananya. Gadis itu melangkah kearah air mancur untuk minum dan mencuci wajahnya. Ketika ia akan meneguk air itu lah, tiba-tiba ia dikejutkan. Tangan Xeno menyambar tangannya, “Apa yang kamu lakukan disini?” Xeno setengah berteriak. Ditariknya tangan Bunga namun gadis itu menahan dirinya. “Apa kamu tidak tahu, aku semalaman mencarimu. Kamu tiba-tiba pergi, aku benar-benar panik.” Ucap Xeno. Mendengar ucapan itu Bunga merasa terharu, matanya berkaca-kaca. “Ke… Kenapa?” “Kamu tidak boleh pergi begitu saja, aku tidak mengijinkanmu.” “Tapi, aku ini penipu, aku ini…” air mata gadis itu menetes. “Kamu melakukan ini karena kamu tidak mau pergi ‘kan? kamu ingin berada dekat sengan Rangga, iya ‘kan?” Bunga tersentak ketika Xeno mengucapkan itu. Seolah Xeno telah membaca semua isi hatinya. Yang dilakukan gadis itu selanjutnya adalah menunduk. “Kalau kamu tidak mau pergi, kamu harus mengatakannya dengan jelas.” “A… aku tidak bisa. Aku…” “Kamu menyukai Rangga, bukan? Kamu harus mengatakan perasaanmu padanya. Kalau kamu mengatakannya, Rangga pasti akan mengerti. Kalau kamu diam saja, tidak akan ada yang berubah.” Xeno memotong ucapannya. “Ta…tapi…” “Ayo kita pulang.” Xeno membantu membawa tas Bunga. Bunga amat tersentuh dengan ucapan Xeno. Punggung kokoh dihadapannya begitu dekat, begitu hangat, membuatnya merasa tenang. Bunga mengikuti langkah Xeno, ketika tiba-tiba Bunga merasakan kakinya tidak bergerak dan terasa berat, pandangannya mulai kabur dan berubah gelap. Brukk! Suara benda terjatuh itu mengagetkan Xeno. Dilihatnya Bunga terjatuh dan tak sadarkan diri dengan hidung yang mengeluarkan darah segar. “Bunga! Bunga!” pemuda itu menepuk pipi Bunga tapi Bunga tak jua bangun. Xeno panik dan membopong Bunga ke adalam mobil lalu ia menuju rumah sakit Pelita Kasih. Bunga akhirnya siuman dua jam kemudian. Xeno begitu berseri-seri ketika Bunga membuka mata. Bau, cahaya, suara dan warna ruangan itu begitu akrab bagi Bunga. Ia sudah berulang kali merasakannya, maka berada ditempat itu sekali lagi membuat gadis itu benar-benar sudah terbiasa. “Xeno?” Bunga memanggil Xeno yang nampak melamun. “Bunga, dokter ingin memeriksamu lebih intensif lagi. Apa kamu tidak keberatan?” “Eh?” “jangan khawatir, ini hanya untuk berjaga-jaga saja.” Xeno tersenyum menenangkan. Bunga mengangguk menyetujui. Ada perasaan aneh ketika ia mendengar ucapan Xeno. Beberapa jam kemudian Bunga menjalani serangkaian pemeriksaan. Gadis itu mengeluh sakit ketika dokter menyuntikkan jarum guna mengambil sampel darahnya. Lalu ia masuk kedalam sebuah ruangan untuk menjalani CT Scan, dengan sinar X. Selanjutnya Bunga menjalani pemeriksaan yang disebut MRI Scan, yaitu metode yang menggunakan medan magnet yang kuat dan gelombang radio untuk melihat tulang dan organ tubuh. Setelahnya lagi-lagi Bunga harus menahan sakit ketika ia harus menjalani scan tulang dimana sejumlah kecil bahan radio aktif disuntikkan kedalam pembuluh darah lengannya. Bunga seperti mengalami dejavu, ia pernah mengalami test seperti itu beberapa tahun yang lalu. Rasa takut kembali menyelimutinya. Akhirnya setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, Bunga pun beristirahat dikamarnya. Diruangan lain, Xeno tengah bertatap muka dengan Dokter Marlo. “Ketika aku memeriksanya beberapa waktu lalu, Bunga mengatakan, ketika ia berusia 18 tahun ia menderita kanker tulang, Osteosarkoma.” “A.. apa? Kanker?” “Namun, setelah menjalani pengobatan di Jepang, sel-sel kanker berhasil diangkat melalui jalan operasi. Normalnya setelah menjalani serangkaian operasi besar, pasien kanker harus rutin mengonsumsi obat-obatan sebagai bagian dari proses penyembuhan. Obat-obatan pendukung itu harus diminum rutin selama dua tahun pasca operasi. Dan dalam kasus Bunga, Bunga tidak melakukannya.” “Jadi maksud dokter penyakit Bunga kambuh lagi?” “Hasil dari serangkaian test yang dialaminya, Bunga menderita kanker langka jenis baru, Kanker tulang belakang Jenis Myxopapillary ependymoma.” Xeno seperti tersambar petir mendengar apa yang barus aja dikatakan dokter. Lututnya seketika lemas, untuk sesaat pikirannya kosong. “Dokter, Bunga masih bisa disembuhkan, iya ‘kan? bisa ‘kan?” “Sepertinya selama ini dia menahan dirinya begitu lama. Penyakitnya telah menyebar hingga stadium lanjut. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah menjalani perawatan paliatif. Perawatan paliatif adalah perawatan yang tidak lagi ditujukan untuk penyembuhan, tetapi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien disisa usianya. Perawatan ini diberikan ketika tidak ada lagi peluang kesembuhan secara medis. Perawatan ini ditujukan untuk memperpanjang umur, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi penderitaan sebanyak mungkin. *** Cukup lama Xeno duduk dibangku didepan kamar Bunga. Apa yang harus dikatakannya, apa yang harus dijelaskannya, bagaimana ia bersikap, bagaimana ekspresinya ketika bertatap muka dengan Bunga, Xeno tak tahu lagi. Xeno merasa dadanya sakit, tangannya gemetar, ia takut, ia amat takut mendengar kenyataan mengerikan itu. Bunga tak bisa disembuhkan, Bunga saat ini tengah sekarat. Xeno hanya bisa menutup wajahnya yang panas, ketika air mata perlahan keluar seiring dengan rasa sakit dalam hatinya. Tak bisa ia bayangkan kenyataan yang akan terjadi dimasa depan. Ia tak mau kehilangan Bunga, ia ingin gadis itu tetap hidup, ia ingin Bunga ada disisinya. Memikirkan semua harapannya yang akan pupus membuat dadanya begitu sakit. Tangisnya yang senyap semakin menjadi-jadi. Ia tak mau mengetahui kenyataan pahit ini, ia tak mau kehilangan Bunga. Xeno berdiri didepan pintu kamar ketika jam telah menunjukkan pukul 8 malam ketika ia baru kembali dari toilet selepas mencuci wajahnya. Xeno tak perlu khawatir lagi tentang pembatasan jam besuk, pasien dengan perawatan paliatif memiliki hak dan perlakuan khusus. Xeno bukan senang dengan hal itu. Tangan pemuda itu bergetar ketika ia memegang gagang pintu dan mendorongnya. Perlu keberanian besar untuk melangkahkan kakinya. Bunga duduk diranjang dan menatap keluar jendela yang tirainya terbuka. Ketika ia menyadari Xeno masuk Bunga mengalihkan pandangan. “Xeno.” Bunga tersenyum, ada rasa senang ketika pemuda itu menemuinya. Ia merasa bosan sendirian. Namun senyum lembut dari Bunga seperti belati yang menusuk Xeno. Ia benar-benar merasa sakit ketika harus melihat senyum itu dari Bunga. Gadis yang kini tengah menderita. “Mmm? Ada apa?” tanya Bunga, “Bagaimana kata dokter?” Xeno melangkah masuk dan duduk dikursi dekat ranjang. “Tidak apa-apa, semuanya baik-baik saja. Kamu akan pulang secepatnya.” Tangan Xeno gemetaran, ketika ia harus berkata penuh kebohongan seperti itu. Bunga mengangguk, yang paling mengerti kondisi tubuhnya adalah ia sendiri. Bunga sudah tahu semuanya. Waktunya sudah tidak banyak lagi. Ia tak bisa menangis lagi, dulu ia telah banyak menangisi nasibnya, mengutuki takdirnya, kini Bunga tak mau melakukan itu lagi. Apapun yang kini ia alami, ia hanya perlu mensyukurinya. Baik ataupun buruknya hal itu, ia akan menerimanya. “Xeno, aku punya permintaan padamu.” “Katakan saja. Aku akan melakukan apapun.” Xeno mengenggam jemari Bunga. *** Anemone Feeling everything that, Was right in front of me – losing the things that are most precious to me, I’ll realize what real love is. Anemone 1 ----- Anemone 1 ----- Xeno tiba dirumah ketika malam telah sepenuhnya larut, jalan-jalan Jakarta yang ramai berangsur sepi. Ketika Xeno membuka pintu, Sora melompat dari kursi dan menunggunya. “Xeno, kok sendiri?” Sora melihat kearah belakang dan tak dilihatnya siapapun. “Bunga mana?” Xeno menarik nafas dan mencoba tersenyum meski getir. “Dia sudah kembali ke Jepang. Aku berhasil menghubungi ibunya. Dia sudah pergi.” “Eh? Bunga benar-benar pergi.” Wajah Sora berubah sedih. Xeno mengusap puncak kepala Sora. “Um. Dia pulang ketempatnya berasal. Itu bagus, bukan?” Sementara itu dilantai dua, Rangga merasa tak percaya dengan pendengarannya. Ia tak percaya Bunga benar-benar pergi. Ada rasa penyesalan yang ia rasakan ketika ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia tak lagi bisa bertemu gadis itu. Rangga merasa dadanya sakit, ia merasa hatinya terluka. Harusnya ia bisa mencegah Bunga pergi, harusnya ia bisa membuat Bunga tetap tinggal. Rasa penyesalannya membuat Rangga semakin pedih. Xeno naik kelantai dua, disaat itulah ia berpapasan dengan Rangga. Kedua pemuda itu tak saling pandang, mereka diam dan saling berlalu begitu saja. *** Bunga menikmati malam sembari menatap bintang dilangit yang berkilau bagai berlian. Disamping kirinya, ia menatap kembali siapa berjaga dan menunggui dirinya. “Mama.” Bunga memanggil nama itu pelan sambil membetulkan letak selimut yang menyelimuti punggung wanita itu. Xeno benar-benar berhasil menghubungi ibunya. Bunga tak tahu harus berterimakasih seperti apa lagi pada Xeno. “Lilly!” kembali bagi gadis itu teringat kejadian beberapa jam lalu. Ibunya yang cantik dan berwajah tegas datang kepadanya dengan wajah penuh cemas. “Mama.” Ibu dan anak itu saling berpelukan. “Lilly, mama sudah mencarimu kemana-mana, tapi tidak juga menemukanmu. Mama no koto yurushite kudasai[1]. Sugoku aitakatta[2].” “Watashi mo.[3]” “Sayang ayo kita pulang ke Tokyo. Disana kamu bisa menjalani perawatan lagi. Mama yakin kamu pasti bisa sembuh lagi sayang.” Ucapan itu diiringi dengan derai air mata. Ia tahu kenyataannya, ia telah berbicara dengan dokter yang merawat putrinya. Tapi ucapan itu bukanlah sesuatu yang harus ia terima begitu saja. Sebagai seorang ibu, ia tak mau kehilangan harapan, apapun akan dilakukannya, apapun akan dipertaruhkannya agar putri kesayangannya bisa terus tersenyum dan hidup bahagia. Baginya dokter hanyalah manusia, dokter bukan Tuhan yang menentukan batas hidup seseorang. “Ma, aku mau disini saja.” Pinta gadis itu lembut. “Lilly, jangan keras kepala begitu.” Wanita itu menatap dengan mata penuh permohonan. “Sekarang, disini, aku bukan lagi Lily Alstromeria. Saat ini aku adalah Bunga.” “Kamu ini bicara apa sih sayang?” “Ini permintaanku yang terakhir, biarkan aku disini, menikmati waktuku sebagai Bunga.” Gadis itu tersenyum. Dengan tatapan penuh luka, ibunya mengusap sisa air mata yang terus menerus luruh tak mampu dibendung. “Jangan bicara seperti itu lagi, Lilly. Mama tidak suka kamu bicara seperti itu lagi.” Kata-kata tentang permintaan terakhir, membuatnya takut. Takut sekali. “Mama akan mengabulkannya, bukan?” dengan sebaris senyum yang selalu ditunjukkan diwajah pucatnya, ibunya tak lagi bisa membantah. “Arigato, Mama.” Bunga mengusap lembut rambut ibunya yang jatuh tertidur. Ia tersenyum, meski begitu air matanya turun, bagai hujan pertama setelah kemarau, deras, membawa luka dan rasa sakit. Dalam kesendiriannya, Bunga menangis sesuka hatinya. *** Hari-hari Bunga tak banyak berubah. Ia masih rutin meminum banyak obat untuk mempertahankan kondisi tubuhnya. Tak peduli rasa pahit atau ingin muntah, meskipun tangannya telah ditusuk puluhan kali jarum suntik, semua itu tetap dijalaninya. Ibunya selalu disisinya, apapun yang ingin ia makan, selalu dituruti, kamar rumah sakit itu diubah seperti ruangan pribadinya. Bunga-bunga dalam pot kecil didekat jendela yang selalu ia sirami setiap pagi, boneka-boneka beruang yang dibawakan oleh Xeno, kertas dinding berwarna warni, juga tak lupa poster besar bergambar Rangga melekat didinding. Meski begitu, bau rumah sakit, suara-suara khasnya, suasananya, semua tak banyak berubah. Waktu bergerak lambat bahkan mungkin telah berhenti, bagi Bunga. Dengan semua itu, hal-hal berat yang harus dilewatinya, Bunga selalu tersenyum. Pada ibunya yang selalu menjaganya, pada Xeno yang selalu datang menjenguk. “Bunga!” Suara itu membuat Bunga menoleh. Gadis itu sedari tadi tengah membaca buku seketika menghentikan aktivitasnya. “Mama, keluar sebentar ya.” Ibunya berjalan keluar dan meninggalkan mereka berdua saja. “Bagaimana hari ini?” tanya Bunga tersenyum. “Um, aku baru saja selesai pemotretan. Sungguh melelahkan, tapi karena aku tahu kamu menungguku, rasa lelahnya jadi hilang.” Bunga merasa wajahnya sedikit merona ketika Xeno mengucap kalimat itu. “Itu…” Bunga menunjuk kearah seikat bunga yang dibawa oleh Xeno. “Um, Anemone.” Xeno mengambil vas kaca dan memindahkan bunga itu. Bunganya tunggal besar dengan kelopak berbentuk lonceng berwarna ungu dan kuning dibagian tengah, memanjakan mata, dengan kucup yang indah, juga wangi yang semerbak “Indah sekali.” Bunga mengambil satu tangkai dan menciumnya. “Bunga Anemone dianggap sebagai penyembuh dan pelindung secara medis. Berasal dari bahasa Yunani yang berarti anak dewa angin. Menurut mitologi Yunani, Aphrodite, dewi kecantikan jatuh cinta pada Adonis, seorang manusia yang hidup sebagai pemburu. Dewi Aphrodite dan Adonis hidup bersama dalam sebuah gubuk di tengah hutan. Mereka senang berburu bersama. Mengetahui hal ini, Dewa Ares, dewa perang merasa cemburu. Untuk itu, Dewa Ares turun ke Bumi dan menyamar sebagai babi hutan dan menyerang Adonis hingga terluka dan meninggal. Aphrodite merasa sedih dan menitikkan airmatanya mengenai luka Adonis. Darah yang mengalir dari luka Adonis inilah yang akhirnya berubah menjadi bunga Anemone. Dalam bahasa bunga, Anemone berarti harapan.” Bunga tersenyum, kisah yang diceritakan Xeno sedikit menenangkan hatinya. “Bunga,” “Iya?” “Apa tidak apa-apa?” “Apanya?” “Tidak mengatakan pada Rangga tentang semua ini. Kamu ingin bertemu dengannya, bukan?” Bunga tertawa kecil. “Aku malu kalau bertemu dengannya. Apa lagi keadaanku seperti ini.” “Bunga…” “Rasanya memang sedikit merasa bersalah harus membohonginya, tapi apa boleh buat, aku belum punya keberanian untuk menemuinya.” [1] Maafkan mama [2] Aku sangat merindukanmu [3] Aku juga Anemone 2 ------ Anemone 2 ----- Xeno menangkap ada raut sedih, meskipun gadis itu mengatakan perasaannya sembari tersenyum. Xeno tahu, Bunga merindukan Rangga, jika tidak mana mungkin ia meminta poster besar bergambar Rangga ditempel didinding, setiap hari, sinetron yang dimainkan Rangga tak pernah ia lewatkan, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Rangga tak pernah bosan ia dengarkan, meskipun sudah puluhan kali ia dengarkan, berita-berita tentang Rangga yang diceritakan oleh Xeno selalu ia ingin tahu, tentang keadaan pemuda itu, tentang apa yang dilakukannya seharian. Bahkan hal-hal kecil seperti itu selalu membuat Bunga begitu hidup, senyumnya merekah seperti bunga Anemone. Alasan mengapa Bunga bisa terus bertahan meskipun penyakit menggerogoti tubuhnya setiap hari, adalah perasaannya yang begitu kuat pada Rangga. “Uhhuk! Uhhuk!” Bunga batuk-batuk. “Arghhh!” Bunga memegang dadanya dengan wajah kesakitan. Nafasnya terasa berat, Bunga kesulitan bernafas. Ia seperti ikan yang dikeluarkan dari air, menggelepar kesakitan. “Bunga!” Xeno panik dan memanggil suster dengan tombol pemanggil. “Bertahanlah, Bunga.” Teriak Xeno. Tangannya menganggam erat tangan Bunga. Bunga meremas seprai dengan erat menahan rasa sakit dikepala, dada dan tulang punggungnya. Kaki dan tangannya saling berkontraksi, melengkung dan lurus, menandang-nendang ranjang dengan diiringi teriakan. Ketika rasa sakit itu menyerangnya, Bunga hanya bisa menangis berusaha menahan derita yang dideranya. Dokter datang bersama beberapa suster, mereka memasangkan alat bantu pernafasan. Dokter memanggil-manggil namanya berusaha menjaga agar Bunga tetap sadar. Barulah setelah dokter memberikan suntikan penahan rasa sakit, gadis itu kembali tenang. Xeno hanya bisa berdiri membelakangi tanpa sanggup untuk melihat bagaimana perjuangan Bunga menahan kesakitan. Hal itu memang sering terjadi dalam beberapa waktu pada Bunga, serangan rasa sakit datang tiba-tiba dan keadaannya kembali memburuk. Setelah Bunga tenang, dokter akhirnya meninggalkannya bersama Xeno. Gadis itu terbaring lemah masih dengan alat bantu pernafasan, rambutnya kusut, keringat membanjiri wajahnya, dengan nafas yang naik turun, ia seperti habis berlari jauh. Bunga menatap wajah Xeno yang mendekat kearahnya. Bunga tersenyum, “Maaf kamu harus melihatku seperti ini lagi.” Katanya. Dalam keadaan seperti ini, kenapa kamu masih bisa tersenyum? Xeno menarik nafas berat, wajah ketakutannya masih belum hilang. Digenggamnya tangan Bunga yang sedikit kurus dan lemah. “Tak apa. Tenang saja, semuanya akan segera berakhir, kamu akan segera membaik dan kembali sehat.” Xeno berusaha tersenyum. Ia ingin menenangkan Bunga, tapi ia sendiri tak bisa tenang. Ia begitu kagum pada gadis itu, betapa ia berusaha untuk kuat, selalu berusaha tersenyum apapun keadaanya. Sesulit apapun penderitaan yang ia alami, tak pernah sedikitpun ia mengeluh. Dia gadis yang sangat kuat. Karena alasan itulah, setiap hari, perasaannya pada Bunga semakin kuat. *** Tepuk riuh, teriakan kagum, blitz kamera, menghujani Rangga kala pemuda itu baru saja turun panggung. Disebuah acara musik siang pemuda itu membawakan beberapa lagu dari albumnya. Penonton-penonton yang datang hanya untuk melihat dirinya begitu terpesona, berteriak-teriak penuh takjub pada pemuda itu. “Kerja bagus.” Reza memberikan handuk dan sebotol air dingin pada Rangga. Pemuda itu mengusap peluh yang membanjiri wajah dan lehernya. Ia tak berkata apapun, tak berekspresi sedikitpun. Rangga menjadi orang yang lebih diam dari biasanya. Tentu saja karena Bunga. Rangga terus dihantui rasa penyesalan tak bisa mencegah kepergian gadis itu. Setiap hari ia terus mengingat Bunga bahkan hingga larut malam hingga ia jatuh tertidur. Setiap pagi ketika ia bangun dari tidur, Rangga selalu masuk kedalam kamar yang dulunya ditempati Bunga, hanya untuk mencium aroma yang mungkin masih tertinggal, mengenang senyum yang selalu menyejukkan hatinya. Setiap hari perasaannya kian beku. Rangga seperti kehilangan sesuatu yang berharga, hatinya seperti kosong. Ketika ia mengunjungi ibunya dirumah sakit, menceritakan keluh kesahnya, rasanya sedikit ia tenang. Namun ketika ia pulang kerumah, menatap pintu kamar Bunga yang tertutup, rasa sedih kembali menyelimutinya. Seperti harta berharga yang direbut dari hidupnya, Rangga seolah kehilangan semangat. Hari-harinya sebelum mengenal Bunga, hanyalah warna hitam putih, hingga gadis itu datang dan mewarnainya dengan palet 24 warna. Waktu-waktu yang terasa suram berubah berkilau-kilauan. Namun semua itu seolah menghilang bersamaan dengan hilangnya Bunga dari penglihatannya. Hal-hal yang menyenangkan, suara-suara yang menghibur, dimata Rangga, semuanya kembali monoton. Rangga tak banyak bicara, pada Reza, Sora, maupun Xeno. Melihat keadaan Rangga yang seperti itu Xeno pun merasa bersalah. Melihat dua orang yang saling merindukan, saling membutuhkan dipisahkan dengan cara yang seperti itu, Xeno merasakan perih dihatinya. Sebagai seseorang yang memiliki perasaan yang sama seperti Rangga, Xeno begitu mengerti apa yang dirasakan sahabatnya itu. Rangga, pulang kerumah sekitar pukul 5 sore. Rangga tak berkata apa-apa, dan langsung menuju lantai dua. Ia tak pergi kekamarnya, tapi masuk kekamar Bunga. Kamar itu sedikit gelap karena tirainya tertutup. Rangga membuka tirai dan membiarkan cahaya senja masuk. Dilihatnya pemandangan danau dari kejauhan. Membayangkan dulu Bunga begitu suka duduk dipinggiran danau. “Rangga,” suara memanggil itu membuat Rangga menoleh. Didapatinya Xeno berdiri dibibir pintu. Rangga hanya menatap tanpa menyahut. “Kamu ingin bertemu dengan Bunga, bukan?” “Ha?” “Kamu menyukai Bunga, iya ‘kan?” “Kenapa tibat-tiba…” “Katakan padaku, apa arti Bunga untukmu?” “Itu bukan urusanmu.” “Kukatakan sejujurnya padamu, aku mencintai Bunga.” “Apa?” “Bagaimana denganmu?” Rangga terdiam, menatap Xeno dengan tatapan tajam. Ia merasa tak senang dengan pengakuan pemuda berambut cokelat itu. *** Anemone 3 ------ Anemone 3 ------- Bunga duduk, diatas ranjang sendirian. ia meminta ibunya pulang he hotel karena merasa kasihan, ibunya terlihat kelelahan terus menungguinya. Didalam kamar perawatan yang sepi, Bunga menikmati kesendiriannya. Ketika pintu kamarnya terbuka, Bunga memasang wajah senyumnya. Ia tahu setiap jam 7 malam Xeno selalu datang mengunjunginya. Xeno benar-benar datang. Tapi ia tak sendiri, Rangga berdiri mendahului Xeno. Untuk sesaat Rangga hanya terdiam. Dilihatnya lekat-lekat gadis berkulit pucat yang ada dihadapannya. Rambutnya telah tumbuh panjang hingga kepunggung, tubuhnya sedikit kurus, namun dengan perubahan itu, hal yang tidak pernah hilang adalah sinar matanya yang selalu berkilau-kilauan, penuh senyum dan semangat. “Y.. Yo!” Bunga menyapa Rangga. Gadis itu tersenyum lembut. Xeno melangkah mundur, menuntup pintu dan membiarkan mereka berdua diruangan itu. Xeno menunggu dikursi didepan ruangan. Rangga tak tahu harus memulainya. Tangannya ia kepalkan kuat karena ada gemetar yang tak biasa ia tahan. “Bunga sedang sakit.” Ia teringat kembali ucapan Xeno. “Bunga memintaku merahasiakan ini tapi kurasa sebagai orang yang sama-sama mencintainya. Tidak adil jika aku menyimpan semuanya untuk diriku sendiri.” “Dia ada dimana sekarang?” tanya Rangga. “Dia dirawat dirumah sakit Pelita Kasih. Aku memberitahu ini bukan demi dirimu, tapi demi Bunga, waktunya tinggal sedikit lagi, Bunga membutuhkanmu.” Waktunya tinggal sedikit? Rangga terus terngiang kata-kata itu. Dadanya sakit, matanya terasa pedih, ketika dilihatnya Bunga tengah duduk diatas ranjang dengan tangan yang terinfus dan selang pernafasan, air mata yang ia tahan hampir saja tumpah. Pemuda itu mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ini pasti bohong, ini tidak benar. Ia menyangkal semuanya, apa yang dilihatnya mungkin hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Ketika mata mereka saling bertemu, tak satupun suara yang mampu terucap. Semuanya hanya ada dalam kepala Rangga, hilang dalam gelap dan ia hanya bisa berdiri mematung. “Kamu datang juga akhirnya.” Suara lembut itu membuat ia tersentak. Seraut wajah dengan senyum hangat yang selama ini ia rindukan kini ada didepan matanya, tapi ia tak bisa melangkah, ada rasa takut yang menahan kakinya. “Um.” Rangga mengangguk. “Sendiri saja? Sora dan Reza?” “Mereka sedang beristirahat.” “Oh, begitu ya.” “Bunga…” panggilan Rangga terdengar begitu putus asa. “Kamu nggak bawa apa-apa?” Bunga memotong ucapannya. “Eh?” “Biasanya kalau menjenguk orang sakit, maka akan membawa buah tangan. Xeno saja sering membelikanku es krim, kamu nggak bawa apa-apa?” “Ah, maaf aku buru-buru. Jadi aku…” “Lain kali jangan lupa ya.” Bunga tersenyum. “Aduh aku jadi malu, kamu melihatku berantakan seperti ini.” Bunga berusaha merapikan rambutnya yang kusut dengan jarinya. “Kalau kamu mau datang, harusnya kamu bilang-bilang, jadi aku bisa bersiap-siap.” Bunga mengomel. Kepala gadis itu terasa hangat, Rangga memeluknya dengan lembut. “Tidak apa-apa, hal seperti itu tidak perlu kamu cemaskan.” Suara Rangga terdengar bergetar. “Um.” Bunga diam dan mengangguk. Dirasakannya nafas pemuda itu dipuncak kepalanya. “Aku minta maaf, sudah begitu keras padamu. Aku minta maaf sudah membiarkanmu pergi. Aku tidak akan melakukannya lagi.” “Aku juga minta maaf sudah berbohong padamu.” “Kenapa kamu harus berbohong?” “Eh?” “Aku ingin mendengar alasanmu.” Wajah Bunga terasa sedikit panas. “Aku ingin selalu dekat denganmu.” Ucapan itu dikeluarkannya malu-malu. “Aku juga.” Ucapan Rangga menyentak Bunga. Gadis itu tak percaya dengan yang baru saja dikatakan Rangga. “Um.” Bunga tersenyum dan mengangguk. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi.” I don’t care about your past, I just want to now if I have a place in your future. Batin Rangga. “Um.” Senyumnya mengembang, namun air matanya jatuh tanpa mampu ia tahan. Bunga membalas pelukan Rangga, kehadiran pemuda itu memberinya kekuatan yang begitu luar biasa. Rasa bahagianya membuncah tak mampu ia tahan. *** Kehadiran Xeno dan Rangga, membuat Bunga begitu bahagia. Xeno pun merasa amat lega, keputusannya tak salah, ia telah melakukan hal yang benar. Pedih memang, melihat orang yang dicintainya berbahagia dengan orang lain, tapi ini adalah hal yang benar. Mencintai bukan hanya tentang memiliki. Mencintai berarti merelakan. Ia bukanlah Rangga. Jika ia bukanlah pensil warna yang melukis kebahagiaan, maka ia memilih menjadi penghapus yang akan menghapus kesedihan. Jika Bunga adalah buku bergambar polos, maka Rangga’lah yang akan menjadi pensil warna, melukiskan warna-warni kebahagiaan. Tak apa baginya menjadi penghapus, dengan bergitu Bunga akan menjadi buku gambar yang berisi hal-hal yang menyenangkan. Dan menjadi bagian kecil dari kebahagiaan itu sudah lebih dari cukup baginya. Xeno tidak akan pernah menyesali keputusannya. Mungkin memang bisa memiliki semua untuk diri sendiri, tapi kebahagiaan akan menjadi kebahagiaan jika hal itu dibagikan. Memiliki semua untuk diri sendiri bukanlah kebahagiaan melainkan keserakahan. *** “Bagaimana keadaan ibumu?” Bunga duduk santai, roda-roda dari kursi yang didudukinya didorong dengan lembut oleh Rangga. Bosan ia berada dikamar hingga beberapa waktu gadis itu ingin berjalan-jalan diluar, menikmati langit yang cerah. “Keadaannya semakin membaik, terkadang dia berbicara dan merespon ucapanku.” “Heh? Syukurlah, aku yakin Tante Ana pasti akan segera pulih.” “Um, aku juga yakin.” “Ohya, aku melihat beritamu ditelevisi loh. Tiket untuk konsermu terjual habis, hebat sekali.” “Ya, semuanya ini berkat para penggemarku.” Rangga tersenyum. “Maafkan aku belakangan ini jarang menjengukmu. Latihan dan persiapan konser sangat banyak. “Bukan masalah. Aku justru akan marah kalau kamu bolos latihan. Lakukan yang terbaik.” Bunga tersenyum. “Terimakasih.” “Aku ingin sekali melihat konsermu.” “Jangan, jangan memaksakan dirimu. Kamu harus tetap menjaga kondisi agar keadaannya membaik, aku yakin kamu pasti akan segera sembuh.” Bunga tersenyum, ucapan tentang kesembuhan itu, entah sudah berapa kali didengarnya, membuatnya hanya bisa tersenyum kecut. “Kemungkinannya kecil sekali. Kamu sudah tahu tentang kenyataannya, bukan?” “Bunga, kemungkinan yang kecil itu, bukan berarti 0, ‘kan? jadi jangan pernah menyerah.” Bunga berbinar matanya, ada rasa lembut yang menyusup ketika matanya bertemu dengan mata Rangga. Seketika ia merasakan jarinya disentuh dengan lembut. Matanya membulat ketika dilihatnya sebuah cincin berlian perak tiba-tiba melingkar dijari manisnya. “Ini…” “Ayo kita menikah.” “Eh?” lagi-lagi Bunga dibuat terkejut. “Setelah konserku, ayo kita menikah.” Anemone 4 ------ Anemone 4 ------ “Rangga, ka… kamu jangan bercanda.” Rangga mengerucutkan bibir. “Memangnya sejak kapan aku ini suka bercanda, hah?” “Tapi ‘kan…” “Jadi kamu tidak mau menikah denganku?” “Bukan, bukan begitu hanya saja ini terlalu mendadak. Aku benar-benar bingung sekarang, aku tidak pernah berpikir kamu akan melamarku, jadi aku sedikit gugup.” “Hahaha, kamu ini bicara apa sih.” Rangga mengusap puncak kepala Bunga. “Aku menemukan gereja yang bagus, tempatnya sederhana tapi romantis. Kita tidak perlu pesta pora, yang akan datang adalah sahabat-sahabat terdekat dan keluarga saja. Tidak perlu ada wartawan atapun kamera. Aku ingin momen berharga ini hanya untuk kita berdua. Hal-hal yang berharga adalah sesuatu yang tak diumbar dimuka umum.” Bunga menitikkan air mata, tak mengira Rangga sampai memikirkan semuanya sejauh itu. Senyum yang diiringi tangis bahagia itu mengembang, “Terimakasih.” Katanya. *** Bunga merasakan hari-harinya semakin bergairah, hal-hal menyakitkan dirumah sakit, semuanya seolah terhapus begitu saja. Hari-harinya lebih berwarna, bahkan hal-hal sederhana sekalipun selalu mampu membuatnya bersemangat. Seiring dengan tibanya konser Rangga, Bunga mendapatkan izin dari dokter untuk bisa melihat meskipun hanya dari balik panggung. Ibunya bahkan membelikannya sebuah gaun putih gading agar ia bisa tampil cantik dimalam itu. Setiap hari ia berbicara penuh gairah tentang rasa antusiasnya menonton konser. Dan Rangga pun tak kalah bersemangatnya. Satu jam sebelum konser ia menyempatkan menjenguk Bunga. Bahkan dengan kostum panggungnya, menjadi pusat perhatian seisi rumah sakit, Rangga terlihat cuek. Tapi, alangkah terkejutnya ia ketika ia membuka pintu. Dihadapannya sesosok gadis cantik bergaun putih gadisng tengah duduk anggun. Warna merah pipi, bibir dipoles merah muda, juga rambut yang digelung keatas dihiasi pita biru muda, ia mungkin hampir tak mengenalinya. Bunga tersenyum malu-malu. “Ba.. bagaimana? Aneh ya? Aku tidak biasa make up dan kali ini dibantu mama. Aku…” “Cantik.” Rangga tersenyum. Tiba-tiba pemuda itu melangkah mundur. Bingung dengan sikap Rangga, “Kenapa mundur? Ternyata memang aneh ya?” “Kalau terlalu dekat, nanti aku jadi tidak tahan untuk tidak memelukmu.” Ucapan itu dilontarkannya dengan wajah memerah malu. Demi mendengar itu, tawa Bunga pecah. “Kenapa kamu malah ketawa? Aku ini serius.” “Iya… iya… maaf deh.” Katanya dengan tawa yang masih berderai. Rangga melihat kearah jam tangannya. “Ah, gawat, sebentar lagi, aku harus kembali kepanggung.” “Um, semoga beruntung, lakukan yang terbaik.” Rangga mendekat kearah Bunga, lalu mendaratkan kecupan lembut didahi gadis itu. Bunga merasakan jantungnya berdegup kencang dan wajahnya memerah. Rangga akhirnya berjalan kearah pintu. Ketika ia membuka pintu hendak keluar, Rangga membalikkan tubuhnya, ditatapnya sekali lagi Bunga yang terus tersenyum hangat nan lembut, melambaikan tangan kearahnya. “Aku mencintaimu.” Kata-kata itu meluncur lancar, dan terucap begitu saja. Tanpa harus mendengar jawaban, ia menikmati ekspresi wajah Bunga yang terkejut. Rangga menutup pintu dengan senyum yang mengembang. Aku berhasil, aku berhasil mengatakannya. Pertama kali dalam hidupnya ia mengatakan kata itu pada seorang wanita. Ia malu, wajahnya panas, tersipu, ia amat gugup, tangannya mengepal kuat, dibutuhkan sejuta keberanian untuk mengucapkan kata-kata itu dan ia berhasil. Ia melangkah seolah menapaki kemenangan terbesar dalam hidupnya. Ketika ia tiba ditempat konser, para kru, dan timnya nampak terheran heran, mungkin ini adalah kali pertama mereka melihat Rangga tersenyum begitu lebar, begitu ceria dan begitu berkilau-kilauan. Rangga naik kepanggung, rasa bahagianya terbagi pada ribuan penggemar yang telah menunggu, teriakan yang memuji, light stick yang diangkat tinggi-tinggi, poster-poster berpotret dirinya, semuanya berubah menjadi lebih indah. Rangga bernyanyi dengan penuh semangat. Dan penonton di stadion itu menangkap rasa yang ditabur olehnya. Satu jam berlalu, setelah menyanyikan 8 lagu nonstop, Rangga turun panggung, satu lagu lagi yang tersisa untuk menutup konser malam itu. pemuda itu mengambil handuk dan mengusap peluh. Rangga menatap sekeliling, namun betapa kecewanya ia, ketika apa yang dicarinya tak nampak dalam penglihatannya. “Reza, Bunga mana?” “Ah, maaf jalan masuk sangat penuh. Karena itu Bunga dan ibunya hanya bisa melihat dari bangku penonton. Mereka mungkin ada dibagian belakang disalah satu sudut stadion. Jangan cemas.” Katanya meyakinkan. Ada raut kecewa dari wajah pemuda itu ketika ia tak bisa melihat Bunga. “Bunga sedang melihatmu, untuk lagu terakhir, kerahkan semua padanya, kamu pasti bisa kerahkan semuanya dan gapailah dia. Tampilkan kemampuan terbaikmu. Bunga pasti akan sangat bangga.” Rangga tersenyum menanggapi ucapan Reza. “Bodoh, aku ini sedari tadi bernyanyi dengan kekuatan penuh. Untuk lagu terakhir aku akan bernyanyi habis-habisan.” Rangga sekali lagi melangkah kepanggung. Lampu-lampu sorot yang mengarah padanya terasa menyilaukan panas. Ditatapnya seisi stadion, mustahil baginya untuk menemukan Bunga diantara ribuan penonton. Namun mata Rangga sedikit terkejut, dari arah kanan, diantara para penggemar-penggemarnya yang berteriak girang, Bunga melambaikan tangan padanya, dari kejauhan memang tapi Rangga bisa melihat gadis itu tersenyum. Pakaian putih gadingnya seperti berkilau-kilauan. Seperti bintang dilangit, ribuan pun jumlahnya, pasti akan selalu bisa melihat, bintang yang bersinar lebih indah, seperti galaksi Andromeda, galaksi terindah dialam semesta. Sinar Bunga yang begitu teduh dan menenangkan hatinya. Rangga melambaikan tangan membalas dan seketika teriakan para penonton pecah. Rangga melantunkan lagunya dengan penuh perasaan, lagu yang diiringi biola dan piano, mengeluarkan nada penuh denyut romantis. Suara indahnya mengalun penuh warna, seperti angin musim semi yang menyejukkan. Semua perasaan ia tuangkan dalam melodinya. Perasaan untuk bisa menggapai hati orang yang ada didalam diri dan pikirannya. Semua kemampuannya, kekuatannya, perasaannya ia curahkan. Lagunya menjadi karya seni yang tercipta dari suara dan perasaan yang berpadu. Bahkan penonton pun meneteskan air mata, tak ada teriakan, yang ada hanya senyap, mendengarkan dengan begitu khidmat seolah menginginkan tak akan ada akhir, seolah ingin terus mendengar suara itu selamanya. Suara indah yang terdengar seperti doa yang menggapai langit. **** Forget Me Not No matter if we’re apart, or journeying different paths, I’ll walk on, believing, ‘cause you and I are connected. Forget Me Not 1 ----- Forget Me Not 1 ------ “Kamu tahu tentang bunga Forget Me Not?” Rangga menggeleng, “Apa ada cerita unik dibaliknya?” ia memandang Bunga yang duduk diatas kusi roda, menikmati senja didalam kamar di dekat jendela. Tangannya dengan lembut dan penuh perhatian menyirami sekuntum bunga kecil didalam pot hitam mungil. Tanaman dengan tangkai bercabang dihiasi kelopak bunga dengan diameter 1 cm dengan 5 buah mahkota bunga berwarna biru serta bagian tengah berwarna kuning terang. “Nama bunga ini, agak aneh menurutku.” Lanjut Rangga. “Ada legenda yang berbunyi seperti ini, ketika Tuhan menciptakan bumi dan menghiasinya dengan bunga-bunga, lalu Tuhan menamai mereka, Mawar, Daisy, Lily, Tulip, semua bahagia. Namun setangkai bunga lugu nan mungil yang tumbuh dibawah mawar liar merasa khawatir karena belum mendapatkan nama. Ia lalu berteriak “forget me not, my lord! Forget me not.”, Lalu Tuhan tersenyum dan berkata “Shall it be your name.” “Heh, aku tidak tahu ada cerita semacam itu.” “Kisah lain mengatakan, pada abad pertengahan, seorang kesatria dan istrinya sedang berjalan ditepi sungai, lalu kesatria itu melihat setangkai bunga biru yang indah dan hendak menghadiahkannya pada sang istri. Ketika ia berhasil memetik bunga terakhir, baju besinya terlalu berat dan ia terjatuh kesungai. Sebelum tenggelam sang kesatria melemparkan karangan bunga pada wanita yang dicintainya dan berteriak “Forget me not”. “A! yang itu agak tragis.” “Menurut mitos, jika seseorang berhasil menumbuhkan bunga Forget Me Not, maka orang yang selalu ia ingat saat menanam bunga ini, takkan melupakannya. Seperti namanya, dalam bahasa bunga, Forget me not berarti ‘jangan lupakan aku’. Bunga ini adalah lambang untuk tidak dilupakan dan tidak melupakan.” Senyum gadis itu merekah. Masih teringat jelas permbicaraan itu dalam ingatan Rangga. Ketika dihadapannya, tumbuh serumpun kecil bunga Forget Me Not. Tangan dan sekujur tubuhnya bergetar, tangannya bergerak menyusuri lekuk-lekuk gundukan tanah berumput dihadapannya. Empat puluh Sembilan hari telah berlalu. Ia duduk terpekur didepan makam yang didekat nisannya tumbuh bunga Forget Me Not yang tengah mekar sempurna, makam yang masih hangat itu dikelilingi bunga Spider Lily yang merekah berwarna merah darah. Air mata pemuda itu jatuh sekali lagi, setiap kali ia datang ke makam itu dan mencium batu nisan dihadapannya dengan penuh perasaan. Bunga Lilly Alstromeria, itulah nama yang terukir dengan tinta perak diatas batu nisan pualam yang dingin nan beku. Disana tiada yang lain selain kesedihan yang kental. Menjadi saksi bisu, berapa banyak air mata yang telah jatuh, menangisinya. *** Malam 49 hari sebelumnya, “Aku Mencintaimu.” Rangga mengucapkan kelimat itu dengan wajah malu-malu. Bunga amat bahagia mendengarnya. Pintu telah tertutup rapat, meninggalkan Bunga sendirian dikamar. Senyum yang sedari tadi ia tampilkan berubah menjadi ekspresi kesakitan. Bunga memegangi dada yang sesak. “Sayang kita juga harus berangkat, Xeno sudah datang menjemput.” Suara ibunya mengalihkan perhatian Bunga. Namun demi dilihatnya putri kesayangannya meringis kesakitan, wanita itu begitu takut. Xeno yang ikut dibelakangnya ikut panik. Pemuda berjas hitam itu segera menghampiri Bunga ketika ibunya berlari keluar memanggil dokter. “Ah, Xeno, ka… kamu sudah da.. datang ya. Ayo ki… kita berangkat.” Suara Bunga putus putus disela nafasnya yang berat. Xeno membopong Bunga ketempat tidur ketika gadis itu mulai kehilangan kesadaran. Setelah dokter memberikan alat bantu pernafasan, satu jam kemudian, Bunga bisa sedikit tenang. Gadis itu mencoba tersenyum menenangkan. Namun melihat keadaan Bunga yang melemah, dokter pun tidak mengijinkan gadis itu keluar rumah sakit. Gadis itu terbaring diatas ranjang dan perlahan kesadarannya pulih. “Xeno, tolong antarkan aku keluar.” Bunga mengangkat tangannya, meminta tolong. Tubuhnya terasa berat, kakinya seolah mati rasa, bahkan untuk mengerakkan tangannya ia mengerahkan semua tenaganya. Xeno yang duduk didekat ranjang menggenggam tangan Bunga yang lemah. Wajah gadis itu amat pucat, nafasnya lemah dan keringat membanjiri wajahnya. “Aku sudah berjanji akan menonton, aku harus memenuhi janjiku.” Bunga memohon dengan tangis yang berderai. “Bunga, bersabarlah, kamu tidak perlu datang, jangan memaksakan dirimu.” Bunga merasakan hatinya begitu sakit, tubuhnya tak mau menuruti keinginannya. Tubuh lemahnya takluk pada penyakit yang semakin menggerogotinya. “Tapi Rangga pasti akan kecewa, kalau aku tidak datang, dia akan mengacaukan konser yang sudah ia usahakan sekuat tenaga, aku tidak mau.” “Bunga aku mengerti perasaanmu. Tapi aku mohon bersabarlah.” “Katakan pada Rangga,” “Eh?” “Katakan padanya a… aku melihat dari bangku penonton. Aku selalu me… mengawasinya. Ka… katakan padanya untuk terus bernyanyi.” Dengan nafas yang terputus Bunga mengucapkan kalimat itu. Karena itu Xeno berlari keluar dan menelepon Reza. Beberapa saat Xeno kembali, gadis itu masih berusaha bernafas dengan sisa-sisa tenaganya. Ketika Xeno menatapnya, senyumnya tak pernah pudar. Xeno meletakkan ponselnya didekat telinga Bunga. Sambungan teleponnya dengan Reza belum terputus. Bunga memejamkan matanya ketika suara Rangga mulai mengalun begitu lembut, mengalir seperti air kedalam sanubarinya. Gadis itu berbaring tenang, dengan nafas yang mulai teratur, matanya terpejam dan senyum merekah. Suara Rangga begitu hangat, menyentuh hatinya, rasa bahagia itu terpancar. Dari lagu yang diiringi piano dan biola, ia seolah berdiri diantara ribuan penonton, melambaikan tangan kearah Rangga yang berdiri gagah diatas panggung yang megah. Suara lembut nan syahdu menghangatkan hatinya. Melodi-melodi seolah saling berkejaran, menggapai dirinya, membawanya terbang jauh menembus langit biru dan awan lembut. Wangi bunga dan aroma tanah yang segar, rasa bahagia, seperti not-not yang saling berirama dalam ritme yang halus. Bahagianya tak kurang, tidak akan lagi ia meminta lebih dari itu. Bunga menangis, air matanya jatuh mengalir disela matanya yang menutup, tapi senyumnya mengembang, bahkan ketika tubuhnya takluk oleh penyakit mematikan, ia bersyukur, bahkan hingga lagu itu belum berakhir, bahkan hingga nafasnya yang terakhir, Bunga tetap tersenyum. *** Forget Me Not 2 ------ Forget Me Not 2 ------ Upacara pemakaman yang diselenggarakan bergaya Jepang, tidak terlalu ramai, yang datang hanyalah keluarga Bunga, keluarga Chris yang diwakili adik dan ibunya, beberapa teman SMA Bunga, juga Sora, Reza dan Xeno. Rangga tak tampak disana. Gadis itu terbaring didalam peti kaca, pada jari manis kanannya terselip cincin perak yang mengilap. wajahnya tenang, senyumnya masih terlihat hangat, dengan ditutupi bunga matahari ia seolah tertidur lelap. Suram, begitulah keadaan rumah, selepas pemakaman Bunga. Rangga terus mengurung diri didalam kamar. Ia tak datang ke pemakaman Bunga. Rangga seperti orang bodoh yang tak kuat menerima kenyataan. Bahkan disaat terakhir Rangga tak sanggup melihat jasad Bunga yang dikebumikan. Rangga duduk ditepi tempat tidur, tangannya menggam erat kalung berbentuk bunga matahari berwarna perak. Rambutnya berantakan, air matanya tak berhenti menetes. Mata pemuda itu memerah, perih, dadanya sesak setiap kali mengingat kenyataan pahit, wanita yang dicintainya pergi selamanya. Tak bisa lagi melihatnya, tak bisa lagi mendengar suaranya, tak bisa lagi melihat senyumnya, hati Rangga tertusuk semakin dalam dan semakin sakit. Bunga telah pergi selamanya dan tidak akan pernah kembali, kenyataan itu terus-menerus membuat hatinya pedih. Ia ingin Bunga terus ada disisinya, ia ingin menikahinya, tapi Bunga pergi. Selamanya ia telah pergi. Rangga hanya bisa terisak, rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Tangisnya tak bisa ia tahan, ia seperti anak kecil yang tersesat. Air matanya jatuh, menetes dengan deras, tapi Rangga tak peduli. Kenyataan bahwa ia tak akan lagi bisa mewujudkan impiannya untuk terus bersama gadis yang dicintainya, membuat hatinya begitu terluka. Sora, sepulang dari pemakaman, dibalik kacamata hitam, ia tak mampu menyembunyikan matanya yang bengkak. Kesedihan tak mampu ia sembunyikan. Begitu pula dengan Xeno. Sepulang dari pemakaman, pemuda itu duduk sendirian ditepi danau. Matanya tak lagi meneteskan air mata meski masih bengkak dan memerah. Ia menatap layar ponselnya. Ada ratusan foto-foto Bunga yang ia ambil ketika dirumah sakit, beberapa video ia tonton kembali. Kesedihan kembali meliputinya ketika ia memutar kembali video lama, ketika Bunga tengah melambai kearahnya dibawah kelip-kelip lampu komidi putar. Bunga begitu berbinar, suaranya yang ceria, senyumnya yang hangat. Xeno masih merasa Bunga ada didekatnya. Rasa rindunya semakin menjadi, namun kenyataan yang harus ia lihat membuat hatinya terluka. Ketika akhirnya kematian itu datang, yang tersisa darinya hanyalah rasa sakit dan penderitaan. Tak akan ada lagi yang sama. Dan ketika tak ada lagi yang bisa dilakukan, maka merelakan adalah pilihan terbaik. Kematian juga berarti awal yang baru. Awal untuk melangkah menuju jalan selanjutnya. *** 49 hari kemudian, disebuah pemakaman, Rangga merogoh sakunya, mengeluarkan sepucuk surat yang ia terima dari Xeno. Surat yang baru boleh ia baca empat puluh sembilan hari setelah kematian Bunga. Dear Rangga Ziacrieve Hai, Apa kabarmu, Rangga? Rasanya sedikit aneh karena ini kali pertama aku menulis surat untukmu. Aku bingung harus berkata apa, ah maaf tulisan tanganku jelek. Aku tidak begitu pandai dalam hal-hal semacam ini. Apa kamu makan dengan teratur? Apa istirahatmu cukup? Pekerjaanmu mungkin melelahkan, tapi aku percaya kamu pasti bisa. Kenapa? Karena itu kamu. Ingat ketika kita pertama bertemu? Dimataku kamu seperti monster berwajah besi, dengan tatapan sedingin es. Kasar, pemarah, emosional, menyebalkan, kamu adalah orang yang seperti itu. Tapi satu hal yang selalu aku tahu, kamu adalah pria yang baik. Bunga, begitu kamu memanggilku, apa kamu percaya, itu adalah hal terindah yang kualami. Nama itu menjadi harta yang amat berharga bagiku. Aku seperti dilahirkan kembali. Setelah kecelakaan itu, ketika ingatanku kembali, sekali lagi aku tersadar, kondisi tubuhku terasa aneh, buruk tepatnya. Ketika itu aku sudah sadar, ini pernah terjadi sebelumnya, dan waktuku tak akan lama lagi. Aku sudah berbohong padamu, maaf. Jangan salahkan Xeno, akulah yang memintanya. Sejujurnya aku tak pernah berfikir kita bisa bertemu lagi. Ternyata aku memang harus berterimakasih pada Xeno. Aku tidak bisa membalas perasaannya, kupikir aku adalah orang yang kejam. Tapi Xeno memperlakukanku seperti biasa, dengan lembut, seperti bunga rapuh dalam kotak kaca. Ketika aku bersama, aku selalu berfikir, beginilah rasanya jika punya kakak laki-laki. Ah, maafkan aku, ini surat untukmu, harusnya aku berbicara tentangmu. “Jangan minta maaf. Bodoh.” Rangga berujar menjawab kata-kata yang tertulis, seolah bukan surat yang ia baca, tapi Bunga yang berbicara langsung padanya. Ingat ketika kau bertanya, kenapa aku selalu tersenyum, meski hal-hal berat menimpaku. Kukatakan padamu alasannya,karena aku ini lemah. Karena aku lemah, semua orang melakukan apapun untukku. Mereka merawatku, menghiburku, menyemangatiku. Aku tak punya apapun, tak punya kekuatan untuk membalasnya. Karena itu satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah tersenyum untuk mereka. Tidak peduli seberapa sakit dan deritanya, aku akan selalu tersenyum. Apapun yang terjadi aku tidak akan menangis. Karena jika aku melakukan itu, itu artinya aku telah menghina kebaikan mereka. Ketika kita bersama, berbicara dan tertawa, rasanya begitu romantis. Bagai gula manis yang meleleh dalam teh. Enam puluh miliar sel dalam tubuh berlipat ganda bersama kebahagiaan. Karenamu aku tidak menyerah. Aku berusaha sekeras mungkin. Tolong jangan lupakan aku. Kamu tidak akan melupakanku, bukan? Rangga mengembuskan nafas berat. “Tidak akan pernah.” Apakah pertemuan kita hanyalah kebetulan? Ataukah takdir? Jalan yang kita pilih adalah takdir kita. Apakah aku hanya seseorang yang bertemu dipersimpangan, lalu berpisah dipersimpangan berikutnya? Because, some people are just companion on the way to their true goal. Meskipun aku aku hanyalah bagian kecil dari perjalananmu, aku ingin menjadi cahaya yang membimbingmu dalam melangkah. Aku ingin hidup, aku ingin terus berada disampingmu, aku ingin melihatmu setiap hari. Aku ingin mengetahui segala tentangmu. makanan yang kamu sukai, makanan yang kamu benci, bunga yang kamu sukai, acara yang kamu tonton, lelucon yang membuatmu tertawa, aku ingin lebih dan lebih tahu banyak tentangmu. Aku takut, takut ketika aku sadar aku tidak punya banyak waktu lagi. Aku takut mendapati kenyataan tak bisa terus disisimu. Aku ingin melihatmu tersenyum, marah, cemberut, jengkel, aku ingin melihat semua ekspresimu. Aku ingin dan ingin tinggal lebih lama disisimu. Ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu. Surat ini tidak cukup. Air mata Rangga jatuh, menetes begitu deras. Tubuhnya bergetar. Ia menahan diri sekuatnya tapi tangisnya pecah begitu saja. Dilanjutkannya membaca. Aku adalah orang yang lemah, maafkan kelemahanku. Karena itu jadilah kuat, demi bagianku. Hiduplah bahagia, tersenyumlah, jalani hidupmu dengan baik. Jalanmu masih panjang, karena itu teruslah melangkah kedepan, teruslah maju dan lanjutkan hidupmu. Aku yakin diantara jalanmu, yang berliku, akan sekali lagi kamu termukan kebahagiaanmu. Karena itu jangan pernah mengeluh dan jangan pernah menyerah. Aku percaya, kamu pasti bisa melakukannya. Kamu akan melakukannya, bukan? Rangga, aku akan selalu tinggal dekat dengan hatimu, senyumanmu, dan kehangatanmu telah menyembuhkanku. Meskipun kita terpisah jauh, meskipun jalan yang kita tempuh telah berbeda. Kita melangkah ke persimpangan yang berbeda, percayalah aku selalu dekat denganmu, aku selalu mengawasimu. Karena aku dan kamu saling terhubung. Rangga, aku sangat bersyukur telah bertemu denganmu, bersyukur memilikimu dalam hidupku. Hari-hari yang kita habiskan bersama adalah hari-hari terindah dan tak tergantikan dalam hidupku. Aku akan terus menjaga kenangan itu selamanya. Terimakasih karena selalu ada untukku, terimakasih karena selalu mempercayaiku, terimakasih untuk segalanya. Aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu, aku sangat bahagia kamu datang kedalam hidupku. Aku tidak akan pernah menyesali hari dimana kita bertemu. Dan aku akan selalu merindukanmu. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Jadi jangan lupakan aku, mengerti? Aku akan selalu mencintaimu. Selamanya. Bunga *** Petang telah menjelang ketika Rangga melangkahkan kakinya keluar area pemakaman. Di gerbang depan ia mendapati seorang pria berjaket kulit hitam dan kacamata hitam tengah berdiri bersama seorang wanita. Rangga mengembuskan nafas sedikit kesal. “Sudah kubilang aku akan pulang naik taksi. Kenapa harus menjemputku segala.” “Memangnya kenapa kalau aku mau menjemput anakku sendiri? Hah?” wanita itu mengusap puncak kepala Rangga. “Memangnya aku ini anak SD?” “Sudah-sudah, ayo kita pulang, mamamu sudah menyiapkan makan malam kesukaanmu.” Pak Anton merangkul bahu Rangga. “Apa-apaan pula pakaian itu, papah mau kelihatan keren, umurmu udah lanjut.” Sindir Rangga dengan tatapan nakal. Anastasia tertawa geli mendendengar hal itu. “Memangnya apa salahnya kalau bergaya, aku ini tidak kalah darimu.” Balas pak Anton yang langsung dipelototi Rangga. “Kalian berdua jangan bertengkar. Ayo kita pulang.” Wanita itu merangkul lengan keduanya. Berjalan menjauh dari pemakaman. *** Langit senja bersinar merah seperti darah, kelopak Spider Lily merekah, indah dan mekar sempurna, diantara dua makam yang saling berdekatan, Christian Michaelist dan Bunga Lilly Alstromeria, begitu nama itu terukir. Dan ketika malam menjelang, sekali lagi kunang-kunang kecil terbang rendah diatasnya, indah seperti cahaya ribuan bintang digalaksi yang maha luas. Kebahagiaan akan terus ada dihati yang mempercayainya. Sesulit apapun jalan yang dilalui, selalu ada cahaya, jangan mengeluh, jangan menyerah, teruslah melangkah. -TAMAT- Description: Gadis itu tidak punya apa-apa bahkan ingatan sekalipun. Satu-satunya hal yang ia lihat pertama kali ketika siuman adalah wajah dingin dari seorang Rangga. Rangga adalah super idola, kaya raya, jutaan penggemar, karir yang cemerlang, dan dipuja banyak orang. namun dimata Gadis itu, Rangga hanyalah sosok tengil yang kasar, pemarah, emosional yang ia juluki ‘si wajah besi’. hal-hal mulai banyak terjadi ketika Gadis itu bertemu dengan Rangga, dari hal-hal yang menyenangkan, hal-hal yang menyebalkan sampai hal-hal yang menyedihkan. Apalagi keduanya tinggal dalam satu atap yang sama. Gadis itu adalah sosok yang ceria, namun dibalik lembut senyumannya ia menyimpan rahasia. Apakah rahasianya? Andi Tenri Ayumayasari - Lilyht . Instagram @Lilyht.author. facebookpage: Melody Spiderlily (spiderlilyofficial) “Novela ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #LoveYourself 2020.” @cover.by.lilyht
Title: When I'm Pregnant Category: Adult Romance Text: Terpaksa Resign Hari ini adalah hari di mana Laura Smith memutuskan untuk resign dari Newton Group. Napas berat bergemuruh di dadanya. Tangan bergetar memegang amplop surat resign. Terasa berat melakukan itu, namun Laura tidak ada pilihan lain selain terpaksa resign. Laura terdiam memandangi sejenak ruangan kerjanya. Ia bernostalgia dengan kenangan selama bekerja di Newton. 5 tahun Laura membangun karirnya sebagai sekretaris. Namun, hidupnya seketika berubah 180 derajat ketika mengetahui dirinya berbadan dua. Air mata menetes di wajah cantiknya mengingat semua kenangan di kantor. Bahkan keputusannya untuk resign tidak ada yang tahu selain dirinya. Barang-barang sudah ia bereskan di kotak box. Laura meletakkan amplop putih di meja kerjanya. "Selamat tinggal Newton." Laura menenteng box dan berlalu meninggalkan ruangan seraya menyeka wajahnya. Laura melangkah kakinya dengan cepat agar tidak ada yang mengetahui dirinya meninggal Newton. Ia sengaja datang jam 7 pagi agar bisa mengepaki barang-barang. Laura keluar dari gedung Newton Inc dan memanggil taksi. Taksi datang, Laura masuk ke dalam taksi meninggalkan Newton Group selamanya. "Kenapa aku seperti maling di kantorku sendiri?" Laura membuang napas dalam-dalam. Melelahkan rasanya seperti orang ketakutan yang mengendap-endap di rumah orang. Untung saja satpam kantor tidak banyak bertanya ketik melihatnya ke kantor pada pagi buta Laura turun dari taksi dan masuk ke apartemennya. Setiba di apartemen Laura langsung beristirahat di kasur empuk miliknya dan tidur hingga sore. **** Sore hari, pukul 16.00 "Apa aku harus ke dokter kandungan ya?" Laura mondar-mandir kebingungan, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Ia memang sudah mengecek kehamilan dengan alat testpack. Namun, masih ada rasa penasaran dan tidak tenang.Laura ingin memastikan berapa usia kandungannya saat ini. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke dokter kandungan. "Ya! Aku harus tau berapa usia kehamilanku sekarang." Laura mengambil tas selempang mininya di meja. Ia keluar dari apartemen dan pergi ke klinik kandungan dengan taksi. Setiba di klinik, Laura langsung mendaftar di bagian administrasi dan menunggu giliran antrian masuk. Ia memandangi sekeliling nampak iri melihat ibu-ibu didampingi oleh para suaminya. Sedangkan dirinya hanya tersenyum kecut sambil menunggu namanya dipanggil. "Halo," seorang wanita menyapa Laura usia sekitaran kepala 3. Laura tersenyum kecil dengan wanita tersebut. "Apa ini anak pertama?" tanya wanita itu menebak-nebak. "Iya Bu."Laura bersikap ramah seraya tersenyum. "Wah, selamat ya. Saya dulu waktu anak pertama parnoan loh. Tapi kamu gak usah khawatir, itu sudah biasa buat wanita. Semua dilewatin dengan rasa bahagia." Wanita tersebut mengoceh membaca kegelisahan di wajah Laura dan seperti tahu apa yang dirasakan Laura saat ini. Laura hanya mendengarkan wanita di sampingnya itu dan membalas senyum kecil. Ia tidak tahu harus berbicara apa selain diam. "Oh ya suami kamu di mana?" Wajah Laura seketika berubah tidak suka dengan pertanyaan tersebut. "Saya hanya sendiri." Laura menjawab singkat. "Pasti suami kamu sibuk ya? Padahal peran suami itu dibutuhkan selama kehamilan." Laura rasanya ingin berteriak pada wanita di hadapannya ini. Apa dia tidak mengerti dengan suasana hatinya sekarang yang sedang kacau? "Bahkan aku saja tidak tau dia mau mengakui anak ini atau tidak." Laura malas menanggapi Ibu-ibu menyebalkan disampingnya ini. Laura diam dengan wajah yang dingin, hingga suami wanita tersebut menghampiri dan pamit pulang bersama suaminya. Akhirnya perawat wanita keluar dan ternyata nama Laura yang dipanggil masuk ke ruang dokter. Laura pun masuk ke dalam dan duduk "Selamat sore Ibu Laura." "Selamat sore Dok." "Saya Sandra. Bagaimana hari Ibu Laura hari ini?" Dokter Sandra tersenyum hangat dengan pasiennya. Laura membalas senyum kecil. Melihat aura wajah Laura yang nampak muram, dokter Sandra tidak bertanya banyak. "Sepertinya Ibu Laura belum tau ya usia kandungan, Ibu?" "Belum, Dok." "Ok, mari kita cek. Silahkan, Ibu Laura berbaring ya." Laura mengangguk dan mengikuti instruksi dibantu oleh asisten dokter. Laura berbaring di bed ranjang. Dokter membuka baju Laura setengah dada sambil mengolesi gel di perut Laura. "Kita cek sekarang ya, Bu." Dokter menempatkan alat USG di perut Laura dan memutar-mutar pada permukaan perut untuk mencari keberadaan letak sang janin. Nampak gambar kantung janin sebesar biji di layar USG. "Ini ya Bu janinnya sudah kelihatan. Masih sekepal tangan ukurannya." Laura melihat tak percaya, janin tersebut bergerak. Air matanya menetes haru melihat calon buah hatinya. "Benarkah itu kamu, nak?" "Iya Bu benar. Selamat ya Ibu Laura, anda sekarang sudah menjadi seorang Ibu." "Berapa kira-kira usia janin saya Dok?" "Dilihat dari ukuran janin Bu Laura sudah 1 bulan. Dijaga ya Bu kandungannya, karena hamil trisemester pertama sangat rawan." "Iya Dok, terima kasih. Pemeriksaan USG sudah selesai. Laura turun dari bed ranjang dan merapikan pakaiannya kembali. Dokter Sandra sedang membuatkan resep vitamin dan obat untuk ditebus di apotik. "Ini ada vitamin untuk menguatkan kandungan. Ibu Laura silahkan tebus di apotik ya." "Iya Dok." "Ingat ya Ibu Laura harus hati-hati menjaga kandungan. Jangan sampai stress dan kecapekan." "Terima kasih, Dok." Dokter pun memberikan resep tersebut dan Laura permisi pamit. Laura langsung menebus vitamin dan obatnya di apotik. Setelah itu, ia langsung pulang dari klinik. Selama diperjalanan pulang, Laura terus mengusap-usap perutnya. Ia terus memikirkan nasib sang anak di perut tanpa sang ayah. "Aku harus kuat dan gak boleh nyerah! Aku harus jadi Ibu yang hebat buat anakku." Ia menyemangati dirinya sendiri dengan air mata yang menggenang di pipi. Laura tidak ingin menjadi manusia iblis yang menggugurkan bayi tak bersalah. Bagaimana pun juga. Bayi diperutnya ini tidak bersalah. Bersambung... Kedatangan Bentley Hari sudah pagi, mentari menyinari cahaya nya di balik jendela. Kilauan mentari mengganggu wajah Laura yang terlelap tidur. Mata Laura sakit dan jengkel dengan pantulan itu. Ia merenggakan badannya sambil menguap bebas. "Ya, Tuhan kenapa matahari ganggu banget sih!" ocehnya kesal. Laura turun dari ranjang dan memakai sendal. Ia melangkah ke dapur. "Kenapa seperti ada orang di dapur?" Curiga ada suara di dalam dapur. Laura langsung was-was. "What the hell! Psikopat mana yang berani mencuri pagi-pagi begini?" Dengan gesit Laura langsung mengambil sapu dan bersiap-siap untuk memukul si pencuri. Laura berjalan pelan-pelan sambil mengintip ruang dapur. KYAAAAA!!!! Tanpa ampun Laura memukul si pencuri dengan sapu yang ia pegang. "DASAR PENCURI SIALAANN!! SIAPA KAAUU!!!" "Aaaawww! Apa kau gila Laura?" Mata Laura terbelalak syok melihat pria di hadapannya. "Ben? Kenapa kau di sini?" "Begini caramu menyambut saudaramu sendiri, hah?"omel Bentley. Laura tak menyangka ternyata Bentley yang ia pukuli. Bentley adalah kakak kandung Laura, mereka hanya terpaut usia 2 tahun. Bentley merintih kesakitan sambil mengelus-elus lengannya. Laura menjatuhkan sapunya dan langsung memeluk Bentley. "Bentleeyy aku merindukanmu," ucapnya dengan manja. "Kau merindukanku? Tapi kau tidak mengenali kakakmu sendiri!" Bentley cemberut dengan tingkah adiknya itu. Laura nyengir tanpa dosa memandangi Bentley yang masih merintih kesakitan. "Salahmu sendiri mengendap-endap di apartemenku. Aku pikir kau pencuri atau psikopat gila yang masuk." Bentley menyeringai konyol. "Untung saja kau adikku, kalau bukan sudah ku lempar kau dari apartemen ini." Laura mengerucutkan bibir. Memang Bentley selalu datang ketika Laura sedang sedih. Laura tahu jika kakaknya ini memiliki ikatan yang kuat dengan adiknya. "Kenapa kau tidak mengabariku kalau mau pulang?" "Ini kejutan! Eh tapi sayangnya aku mendapat pukulan mengerikan," decak Bentley. Laura terkekeh. "Okay, maafkan aku ya kakak. Apa masih sakit?" ucap Laura cengengesan. Bentley menghela napas panjang. "Cepat mandi! Dasar bau!" Bentley mengambil roti panggang di pemanggangan dan meletakkan di meja makan. "Aku sudah membuatkan roti panggang untuk sarapan." "Ini masih pagi Ben, nanti saja. Aku sudah kelaparan sekarang." Bentley langsung melototi adiknya itu yang tidak pernah berubah dengan kemalasannya. "Okey, okey!" Laura bergidik ngeri dan bergegas mandi. Meskipun Laura sangat manja dengan Bentley. Tetapi, jika sudah melihat Bentley melotot Laura langsung bergidik ngeri. Bagi Laura, Bentley jika sudah marah bak singa yang ingin memakan daging manusia. Namun, mana mungkin Bentley bisa marah ataupun emosi dengan adik kesayangannya itu. Bentley sangat menyayangi Laura. Di mata Bentley, Laura masih seperti anak bayi yang harus diasuh. Setelah selesai mandi, Laura menghampiri Bentley kembali. Laura menarik kursi dan duduk. Mereka berdua menikmati sarapan dengan nikmat. "Apa hari ini kau Libur?" "Tidak." Laura mengunyah rotinya dengan lahap. Bentley mengerutkan dahi dengan curiga. Tidak biasanya Laura berada di rumah. "Terus kenapa kau tidak bekerja hari ini? Apa kau sakit?" "What??" Laura memakan rotinya dengan tenang. Ia tidak ingin Bentley khawatir. "Aku baik-baik saja, Ben." Bentley menatap Laura dengan tatapan menyelidik. "Lau, tidak mempan kau membohongi kakakmu ini." Laura diam tidak tahu harus menjawab apa. Merasa ada yang tidak beres. Bentley tahu Laura menyembunyikan sesuatu darinya. Maka itu Bentley sengaja datang dari Spanyol ke New York untuk memastikan keadaan Laura baik-baik saja. "Hey Liliput, aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku. Kau tahu tujuanku datang kemari hanya memastikan adik kecilku ini. Tapi, aku tidak memaksakan kau bercerita sekarang." Dengan lembut Bentley berbicara. Bentley tersenyum hangat agar Laura tidak tertekan dan siap bercerita padanya. "A,a, aku hamil," ucap Laura terbata-bata. "Apaaa?" Bentley syok berkecamuk emosi mendengarnya. "Bajingan mana yang berani menghamilimu, LAURA?!"pekiknya geram. Laura menangis. Ia tidak bisa menahan lagi beban yang ia pikul. Terasa sangat berat menghadapi semua sendiri. Laura meluapkan semua kesedihannya. "Ku mohon Ben jangan bertanya itu. Aku hanya butuh kau sebagai kakakku." Tangis Laura pecah. Ia sesenggukan mengingat ayah dari bayi yang ia kandung. Laura tidak tahan mengingatnya, dadanya sangat sakit. Melihat adiknya sangat sedih dan tertekan, Bentley rasanya ingin membunuh pria bajingan itu. Bentley memeluk Laura dan menenangkannya. "Apa dia tahu kau mengandung anaknya?" Laura sesenggukan di bahu kakaknya. "Tidak," ucapnya lirih. Dengan lembut Bentley mengusap-usap rambut sang adik dan bersikap tenang."Lalu bagaimana nasib anakmu nanti, Laura?" "Aku akan membesarkannya sendiri." Dengan napas berat Laura mengambil keputusan. "Apa kau yakin?" Laura mengangguk. Bentley menghela napas panjang, ia menghargai keputusan adiknya. Meskipun Bentley tidak terima sang adik diperlakukan seperti ini. "Baiklah, apapun keputusanmu akuakan mendukungmu." Laura mengeratkan pelukan pada Ben."Terima kasih, Kak," ucapnya sedih bercampur bahagia sang kakak mendukungnya. "Kau adalah adikku. Tugasku menjagamu." Bentley tersenyum. Bersambung... Tamu Tak Terduga Sudah satu minggu Bentley berada di New York. Kedatangan Bentley sedikit membuat Laura tenang. Ya, setidaknya Laura tidak merasa sendiri menghadapi situasinya kini. "Lau, sepertinya aku harus pergi. Ada pekerjaan yang tidak bisa ku tolak." Bentley menghela napas panjang dengan berat mengatakan. Laura mengunyah sarapannya dan tersenyum santai. "Okey. Kapan kau berangkat?" "Jam 10 aku berangkat ke Nevada. Tapi aku tidak tenang meninggalkan adik bodohku disini." Laura melototi Ben. "Heeiii!" Tangan Laura sudah siap melayangkan garpu ke wajah Ben. Ben terkekeh. "Bagaimana kalau kau ikut saja? Daripada kau terus tidur, kasihan nanti keponakanku jadi anak malas seperti ibunya." "Lebih baik aku di apartemen, tidur dan nonton film sepuasnya sambil makan es krim." Ben geleng-geleng kepala. "Dasar pemalas! Bisa-bisanya Newton memungutmu menjadi sekretaris." "Tentu saja bisa! Aku ini hebat dan pintar," oceh Laura tersenyum lebar dengan bangga. Ben memutar bola matanya malas menanggapi adiknya itu. "Aku kerja sekitar 2 hari. Kau yakin tidak ingin ikut denganku?" "Yap!" jawab Laura dengan santai memakan serealnya. "Kau kerja saja Ben. Aku akan baik-baik saja!" Ben menghela napasnya pelan. "Baiklah, jangan membuatku khawatir ok Liliput?" "Jangan memanggilku Liliput, Ben!" jerit Laura jengkel. Ben menyeringai konyol. "Pisss! Ingat pesanku jangan membuatku khawatir." Ben melihat jam tangannya dan berdiri bergegas untuk pergi. "Kau mau pergi sekarang?" "Yap, aku harus berangkat sekarang." "Bagaimana kalau aku ikut mengantarkanmu ke bandara?" pinta Laura. Ben mendesah menyetujui permintaan adiknya itu. "Baiklah." Laura pun beranjak bangun dan bergegas. Ia ganti pakaian dan berdandan sedikit. "Ben, kau tidak membawa koper atau tas?" Laura keheranan melihat Ben tidak membawa barang apapun pergi ke luar kota. "Tuuuuh." Ben menunjuk ke pojok TV keberadaan tasnya itu. Laura mengerutkan dahi. "Dasar kau! Ternyata sudah menyiapkan semua, pakai segala khawatir denganku." Ben terkekeh. "Hahaha, ayooo jalan." Mereka pun keluar dari apartemen dan bergegas pergi ke bandara dengan taksi. Pesawat tujuan Bentley siap untuk berangkat. Dengan berat Bentley bergegas masuk. "Heh Lili, aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa kabari aku ok?" oceh Bentley sambil mengacak-acak rambut adiknya. Laura tersenyum lebar memberikan simbol ok di tangannya. "Siap, Boss!" Bentley pun memeluk adiknya melepas pergi. "Apa yang ingin kau minta saat aku pulang?" tanya Ben yang selalu mengingat adiknya itu. "Chris Hemsworth," jawab Laura sambil tertawa. Ben berdecak malas. "Kau ini!" ucapnya seraya mengacak-acak rambut Laura. Laura terkekeh. "Sudah masuk sana. Jangan lupa telepon saat kau sampai." Bentley tersenyum, kemudian masuk ke dalam pesawat. Setelah mengantar Bentley lepas landas ke Nevada. Laura pun meninggalkan bandara. Rasa malas menyelimuti dirinya untuk pulang ke apartemen. Selama satu minggu, ia hanya di apartemen saja. "Bosan sekali di apartemen. Baru satu minggu di apartemen tapi seperti sudah setahun,"ocehnya kesal. Laura ingin sekali pergi ke kafe. Namun, tidak mungkin pergi ke sana mengingat ibu hamil tidak boleh minum kafein. Ingin pergi menonton film ke bioskop sudah seperti jomblo kesepian tidak ada gandengan. Lebih baik maraton Drama Korea atau serial di apartemen saja. Laura pun mempunyai ide untuk singgah sejenak ke supermarket membeli camilan. Tidak seperti wanita hamil pada umumnya yang sering mual. Laura justru kebalikannya, ia terus kelaparan dan banyak makan. Laura pergi ke supermarket dan membeli beberapa camilan yang ia inginkan. Setelah belanja, ia pun kembali ke apartemennya. Laura menenteng-nenteng plastik besar belanjaannya memasuki lift apartemen. "Huft, begini nih kalau tidak punya pasangan. Kalau ada Ben sudah kusuruh membawa belanjaan ini." Di dalam lift Laura terus menggerutu. Memilik bangunan apartemen di lantai 30 ada tidak enaknya juga. Jika di lantai satu tidak perlu repot-repot naik turun pakai lift. Kling Pintu lift terbuka, Laura bergegas ke luar dengan keberatan membawa plastik yang penuh di tangannya. Laura melangkah ke apartemennya dan masuk ke dalam. "LAURA." Suara berat memanggil Laura. Sepasang mata mengamati Laura dengan wajah dingin dan murka. Bruk Laura terkejut dan menjatuhkan belanjaannya di lantai. "Kenapa? Kau terkejut melihat saya?" tanyanya dengan suara yang mengerikan. Laura memasang senyum palsu. "Pak Jared. Selamat pagi, Pak." Laura bersikap tenang menyapa lelaki di hadapannya itu. Lelaki di hadapannya Laura tersebut ialah Jared Massimo yang tak lain mantan bossnya di Newton. Jared berdiri melihat Laura dengan wajah murka. Matanya bak singa yang ingin menerkam mangsanya. Jared berjalan mendekati Laura dan menjatuhkan amplop putih di meja. "Beraninya kau lancang membuat surat resign sampah seperti ini!" Glek Laura menelan salivanya, ia tidak tahu harus menjawab apa. Bersambung... Gugurkan Kandungan Itu! Lanjutannya... Laura terbeliak melihat Jared berada di apartemennya. Wajah tampan dan tubuh maskulinnya itu membuat Laura terpana, aroma parfum aftershavenya tercium hingga ke hidung Laura. Laura masih bisa melihat jelas bola mata coklat indah milik Jared dari pintu ia berdiri. Laura tidak memperhatikan mata tajam sedang memandangnya. Jared menatapnya tajam. Namun, tidak menghilangkan aura maskulin dan ketampanannya itu. "JELASKAN LAURA! APA KAU BISU?!" Jared meninggikan suaranya yang geram tak mendapatkan jawaban dari Laura. Lidah Laura kelu untuk menjawab. Bibirnya gemetar, terpaku dengan semua ucapan Jared. Laura memandangi amplop putih yang diletakkan Jared di atas meja. Laura rasanya ingin bertanya bagaimana Jared bisa masuk ke apartemennya? Namun, lagi-lagi bibirnya getir untuk mengatakan sepatah katapun. Jared memandang tajam Laura. Ia emosi dan murka dengan ketololan Laura yang mempermainkannya. Jared tidak terima seakan ia seperti dibuang oleh wanita tanpa rasa hormat. Laura hanya seorang sekretaris. Tetapi dengan seenaknya Laura meninggalkan amplop putih di atas meja kerjanya. Laura resign seenak jidat tanpa permisi. Ditambah Jared melihat alat tespack di kolong meja kerja Laura yang ia temukan. Otak Jared tidak bisa berpikir saat melihat dua garis merah terpampang di alat kehamilan itu. Jared terus bertanya-tanya, mengapa alat tespack itu terjatuh di sana? Dan kenapa Laura mendadak resign? Apa ada hubungan dengan semua itu? Dan kenapa Jared sangat ingin tahu? Laura masih membisu. Jared melipatkan tangan, masih mengamati wanita di hadapannya ini. Laura mengigit bibir seperti orang ketakutan dan seperti tidak ingin menjawab pertanyaan Jared. Jared dapat melihat jelas wajah Laura yang menyembunyikan sesuatu darinya. Kegelisahan yang tergambar dari wajah Laura semakin membuat Jared penasaran dan frustasi. "Aku—" Jared mengangkat alisnya. "Katakan!" desak Jared. Laura meremas tangannya yang gemetar. Laura menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba saja terasa kering. Tatapannya nanar memandang Jared. Rasa gusar mencekam hatinya. Bibirnya getir untuk menjawab. Ya! Seharusnya ini adalah kesempatan Laura untuk mengatakan semuanya. Tetapi, kenapa terasa sangat memilukan? Jared mendesah kesal. Laura hanya diam dan membisu memandangnya. "Jangan membuatku emosi, Laura. Cepat katakan!" Jared mendesak Laura tanpa mempedulikan keresahan di wajah wanita itu. "Aku hamil," jawab Laura dengan suara mengambang nyaris tak terdengar. "APAAAA!!!" Jawaban Laura menusuk jantung dan telinga Jared. Apa tidak salah dengar Laura mengatakan hamil? Pikiran Jared sudah melayang tak karuan. Jared menepis pikiran konyolnya itu dan tetap tenang. "Kalau kau hamil kenapa sampai resign?" tanya Jared menahan emosinya. Laura menundukkan kepala. Ia tidak tahan terus melihat wajah Jared. Air mata terjatuh di pipi Laura. Pertanyaan Jared membuat udara paru-parunya terasa kosong. Laura terbakar amarah dan rasanya ingin memaki sepuasnya lelaki di hadapannya itu. Tidakkah itu konyol sampai tak tahu kenapa dirinya resign? Jared sudah menduga bahwa Laura hamil. Melihat Laura tiba-tiba menangis membuat Jared frustasi. Jared seakan diterpa masalah yang dahsyat. Padahal untuk apa juga Jared memusingkan kehamilan Laura? Tidak ada urusannya dengan dirinya. Namun, Jared kini penasaran. Anggap saja itu rasa kepeduliannya terhadap bekas karyawannya. "Ok, kau hamil. Tidak bisakah kau resign dengan baik-baik, Laura?" Jared mencoba menenangkan Laura sebagai bentuk kepeduliannya terhadap bekas karyawannya itu. "Maksudku kau sudah bekerja lama di Newton dan sekarang tindakanmu tidak bisa memberikan rasa hormat kepada perusahaan." Laura terpaku dengan ucapan Jared. Laura sudah menduga Jared tidak peduli. Jared tidak menanyakan dengan siapa dirinya hamil. Sebaliknya Jared berpikir wewenangnya sebagai boss. Lalu, untuk apa Jared datang ke apartemennya? Laura pikir Jared sudah menyadari perbuatan brengseknya itu. Laura mendesah pelan. Ia mendongak menatap Jared dan bertekad memberitahu lelaki sialan di hadapannya ini. Tidak peduli apapun reaksi Jared. Laura sudah terbakar emosi dan rasa sedih yang mendalam. "Saya hamil dengan anda, Bapak Jared Massimo. Apa belum jelas dan puas anda melihat surat resign dan alat tespack yang anda temukan?" jelas Laura dengan suara membara menegaskan Jared. Dengan mengepalkan kedua tangannya, Laura tegar dan memberanikan diri menatap Jared. Kali ini jantung Jared ingin lepas. Jared terpaku mendengar pernyataan Laura. Jantungnya bak dihantam ribuan panah api yang menusuk hingga ke rongga paru-paru. Jared tidak salah dengar dengan ucapan wanita di hadapannya ini? Laura hamil dengannya? Otak Jared berfungsi mengingat-ingat kembali kejadian di luar batas tersebut. Namun, Jared tidak mengingat apapun. Tunggu! Ini hanya akal-akalan Laura. Tidak mungkin Jared menghamili wanita ini. Jared merasa Laura mempermainkannya dan merencanakan sesuatu. Jared menyeringai sinis. "Kau yakin itu anakku?" tanya Jared dengan ekspresi dingin. Laura membelalakkan matanya lebar penuh amarah. Sel-sel darahnya berjalan lambat mendengar Jared. Ia tak percaya Jared meragukan anak yang ia kandung. Jared lupa begitu saja setelah apa yang semua terjadi. Setelah peristiwa malam Anniversary Newton yang ke 50 th, mereka melakukan hubungan terlarang tersebut. Laura tersenyum getir menatap Jared penuh amarah. "Andaaa—," Laura mendekat pada Jared. Ia tak tahan, tangannya terangkat dan... PLAKK Satu tamparan keras mendarat di wajah tampan Jared. Jared sontak terkejut dan meringis. "Apa yang kau lakukan Laura? Apa kau sudah gila, hah?" maki Jared sambil mengusap pipi kanannya yang perih. "Silahkan anda pergi dari apartemen saya!" erang Laura mengusir sambil menunjuk ke arah pintu keluar. Laura berusaha menahan tangisnya, menatap tajam Jared. Jared mematung seakan ucapan Laura bak hukuman untuknya. Ia tidak menggubris usiran dari Laura. Rasa panik mulai mencekam hati Jared. Namun, Jared ahli dalam mengendalikan ekspresi tetap tampak tenang dan dingin. Jared memandangi Laura dengan tenang, sementara wanita itu matanya berkilat merah. Jared menghela napas panjang. "Kau mengusirku?" tanyanya sambil tertawa getir. "Kenapa pertanyaan saya tidak kau jawab?" Jared melipatkan tangannya dengan santai. Laura frustasi menghadapi Jared. Terhina dan geram. Ia sadar memang ini bukan pertama kalinya ia melakukan hubungan intim kepada lelaki. Namun, ucapan demi ucapan Jared yang terlontar jelas sangat menghinanya. "Saya tidak meminta anda untuk tanggung jawab. Tapi, terima kasih untuk penghinaan dari anda. Jika sudah selesai anda silahkan keluar dari apartemen saya, Bapak Jared," ucap Laura tampak tenang menahan tubuhnya yang gemetaran. "Gugurkan kandungan itu!" sela Jared tak menggubris ucapan Lily. Jared bangkit dari sofa dan mendekat pada Laura dengan mata yang mengkilat murka. "Atau kau tanggung akibatnya! Kau tahu Laura jika berani melawanku?" Jared dengan tatapan tajam yang menusuk hingga jarak padangan mereka hanya satu cm. Tubuh Laura gemetaran menatap mata Jared. Bola mata coklat Jared terpampang jelas hingga aura kharisma lelaki itu membuat bulu-bulu Laura berdiri. Tatapan tajam dan dingin tak bisa dilawan. Laura mengendalikan ketakutan dan kegusarannya tampak tenang. Ia tak ingin dianggap sepele. "Saya tidak peduli dengan ancaman anda," Laura menyeringai mencodongkan tubuhnya, menatap Jared dengan tegas. Jared gusar, memberikan seringai jahat. Ia mendesah kesal. "Ok, kau tunggu saja!" ucapnya memutarkan tubuhnya berjalan ke arah pintu. Jared membanting pintu dengan kencang hingga Laura tersentak kaget. Laura memandangi bahu tegap itu menghilang dari apartemennya. Ia resah menjatuhkan pantatnya di sofa. Air mata Laura langsung mengalir deras. Sekuat tenaga mengendalikan kesedihannya, tetap saja ia hanyalah wanita rapuh yang cengeng. Laura menangis sesenggukan mengeluarkan semua emosinya. Bersambung... Flash Back Satu Bulan Kejadian Lanjutannya... Laura menyandarkan tubuhnya di sofa. Ia menarik napas dalam-dalam sambil memijit kedua pilipis kepalanya. Kedatangan Jared benar-benar membuatnya gusar dan panik setengah mati. Pikiran Laura sudah melayang tak karuan. Ia takut dengan ancaman Jared. Terlebih Jared ialah orang yang sangat nekat. Bagaimana jika Jared melakukan sesuatu dengan anak yang Laura kandung? Laura tak ingin semua itu terjadi. Laura takut Jared akan menyakiti bayinya.Laura benar-benar takut. Apa yang harus ia lakukan sekarang. Isak tangis Laura tak juga berhenti. Laura terus menangis hingga ia sudah tidak bisa berpikir jernih. Kehamilannya memang bukanlah harapan yang Laura inginkan. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk menggugurkan saja, tetapi ia urungkan niatnya itu. Tidak peduli aborsi yang dilakukan oleh orang lain. Baginya, aborsi terlalu keji dan tidak manusiawi. Laura juga tidak ingin mengugurkan kandungannya. Ia masih manusia yang punya hati. Bayi ini tidak bersalah. Bayi ini hanyalah korban dua manusia yang bodoh. Bayi ini berhak hidup dan punya masa depan. Apa yang harus Laura lakukan sekarang? Meminta Jared menikahinya? Kedatangan lelaki itu tadi saja sudah membuat Laura naik pitam. Tidak mungkin juga Laura meminta hal bodoh itu. Jared sudah bertunangan. Atau Laura datang ke rumah Jared, memberitahu orangtuanya dan meminta perlindungan? Itu lebih tidak mungkin. Jared pasti akan membuat hidup Laura sengsara, nyawa Laura yang akan dipertaruhkan. Sekarang Hanya ada dua pilihan. Melahirkan dan membesarkannya sendiri. Lelah terus berpikir. Laura akhirnya memutuskan untuk pergi jauh dari lelaki brengsek itu. "Ya! Aku harus menjauh dari, Pak Jared. Aku tidak bisa membiarkannya membunuh anakku." Laura harus pergi sejauh mungkin. Ia tidak ingin berhubungan lagi dengan Jared. Ia ingin hidup tenang dengan anaknya. **** *Flash Back* Satu bulan yang lalu. Acara anniversary Newton Group yang ke 50 tahun. Sebagai sekretaris dan kaki tangan Jared Massimo. Laura harus berpenampilan sempurna dalam segala hal. Bukan wajah saja yang diutamakan, tapi otak harus lebih unggul. Laura gugup setengah mati. Bagaimana tidak, Anniversary Newton yang ke 50 tahun disiarkan di TV secara live. Laura mempersiapkan segalanya untuk acara anniversary perusahaan benar-benar detail dan sempurna. Bahkan demi acara itu, Laura sampai kurang tidur selama satu minggu untuk mempersiapkan semuanya. Dari gedung, dekorasi, host, artis dan para tamu. Laura semua yang menghandle. Ada rasa senang dan bangga dapat dipercaya mengurus itu semua oleh Williams Massimo. Pendiri Newton Group sekaligus ayah dari atasannya, Jared Massimo. Namun, dibalik rasa cemas dan gugup Laura. Ia juga takut jika tidak sesuai dengan prediksinya dan membuat malu perusahaan. Tetapi Laura yakin saja, semua dapat ditanganinya dengan baik. Dengan mengenakan long dress merah dan rambut disanggul sederhana. Laura sangat percaya diri menyambut para tamu. Laura berdiri di pintu masuk menyambut para tamu dari kalangan pesohor, pejabat, artis, yang jelas semua kalangan elit. Laura terus memamerkan senyum terbaiknya. Laura bak manekin yang dipajang di pintu. Bibirnya rasanya kaku untuk berhenti sejenak.Tangannya mulai kesemutan. Selain menyambut tamu, Laura juga berbincang-bincang sedikit untuk basa-basi. Lelah! tetapi Laura tetap bersikap profesional. "Laura, apa kamu melihat Jared?" Wanita cantik dengan rambut bergelombang menghampiri Laura. Kerutan di wajahnya tidak menghilangkan keanggunannya itu. Siapa lagi jika bukan Ibu Masaayu Massimo. Yang tak lain ibu dari atasan Laura, Jared Massimo. "Tidak. Bu," jawab Laura setengah bingung. Ia juga sebenarnya tidak melihat Jared sejak tadi. Massayu tampak khawatir dan kebingungan. Ia memandangi seluruh ruangan berharap menemukan anaknya itu. "Haduh, Jared ini kemana ya? Acara penting seperti ini kok malah hilang." Massayu mengerutkan kening tak menemukan keberadaan Jared. Laura tersenyum simpul, juga tidak tahu. "Memangnya, Pak Jared tidak memberitahu, Ibu?" "Tidak, haduh kemana itu anak?" Massayu mendesah. "Tamu penting semua begini kok ditinggal begini." "Ibu sudah coba hubungin, Pak Jared?" tanya Laura. "Sudah, tapi HP Jared tidak aktif." "Mungkin Pak Jared sedang menelepon Celline, Bu." Laura mencoba menenangkan Massayu. Mungkin saja bossnya sedang galau dengan pacar modelnya itu. Karena mereka LDR sudah lima tahun lamanya. Massayu menghela napas panjang. "Yasudahlah, kamu tolong cari Jared ya Laura. Jangan deh sampai papinya ngamuk," kata Masaayu mulai gusar. "Baik, Bu." Laura mengangguk mengiyakan. Massayu pergi dengan wajah cemas dan setengah kesal. Kini Laura yang kebingungan harus mencari kemana bossnya itu? Laura menggaruk kepalanya yang tidak kegatalan. Sudah lelah terus berdiri, sekarang diminta mencari Jared. Rasanya Laura ingin berteriak pada bossnya itu. Kenapa keadaan seperti ini, ia juga yang harus turun tangan. Laura seperti tidak diberikan ruang bernapas. Jika bukan bossnya, sudah ia abaikan. Laura menghela napas panjang. "Oke, Lau sekarang waktunya cari Pak Jared!" Laura permisi meninggalkan para tamu. Ia melangkah keluar ballroom. Kakinya sangat pegal. Ia berjingkat merenggangkan otot-otot kakinya sejenak. Laura kembali berjalan menyusuri hotel lagi. Terutama balkon tak luput dari penyusurannya. Namun, ternyata di balkon pun Jared tidak ada. Laura mencoba lagi menyusuri hotel. Kali ini rooftoop. Tetap sama tidak ada juga. "Pak, Jared anda sebenarnya di mana?"Laura berteriak kesal berjalan menyusuri koridor. Tiga puluh menit Laura mencari, tidak juga menemukan bossnya itu. Laura menarik napas panjang. Ia menjatuhkan tubuhnya di bangku koridor. Laura menyerah. Kenapa bossnya sangat menyusahkan. Sambil istirahat sejenak, Laura memijit betisnya yang pegal. Drrttt... Drrttt... Ponsel Laura bergetar. Laura mengambil ponselnya di dompet dan mengeceknya. Ternyata Jared, atasannya yang menelepon. Laura membuang napas lega mendapatkan nama bossnya yang telepon. Ia langsung mengangkat telepon tersebut. "La, lau—" Suara Jared terdengar parau, nyaris tak terdengar. Laura panik. "Pak, apa anda baik-baik saja?" Anda sekarang di mana Pak?" Laura menodongkan pertanyaan. Terdengar dari telepon suara gaduh musik yang kencang. Mendengar suara Jared parau seperti itu membuat Laura cemas. Laura mengira-ngira Jared ada di bar. Bagaimana bisa sedang ada pesta perayaan perusahaan, bossnya itu melalang ke diskotik. "Kemarilah sayang, aku berada di Hotel Longe." Belum sempat Laura menjawab, sambungan telepon langsung terputus. Laura mengusap dahinya, ia khawatir terjadi sesuatu dengan bossnya itu. Suara Jared mengkhawatirkan, terlebih dengan ucapannya yang tak jelas menyebut Laura sayang. Dari awal Laura sudah menduga bahwa Jared sedang kacau karena pacarnya, Celline. "Pasti dia mabuk sampai mengigau begitu." Laura langsung sigap, memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas dan bergegas pergi. Tanpa pikir panjang, Laura meninggalkan hotel dan naik taksi ke Hotel Longe tempat Jared berada. Setiba di Hotel Longe dengan cepat Laura melangkahkan kakinya menuju bar di lantai lima. "Ya, Tuhan ramai sekali di sini. Di mana Pak Jared?" Laura frustasi melihat bar yang sangat ramai dan sangat berisik, membuatnya kepalanya semakin bertambah pening. Laura mengitari pengamatannya ke seluruh ruangan bar. Nampak, Jared duduk di kursi belakang dengan keadaan memprihatinkan. Jared lemas dan tak berdaya. Ia tertidur di meja dengan botol penuh alkohol yang berjejer di atas meja. Laura berlari menghampiri Jared. "Pak, apa anda baik-baik saja?" tanyanya panik.Keadaan Jared sangat berantakan. Jared setengah pingsan dan sadar. "Pak, ini saya Laura." Laura menepuk tangan Jared untuk membangunkannya. Namun, Jared tak bergeming sama sekali. Ia hanya menyeringai memandang Laura. Laura prihatin melihat bossnya kacau seperti itu. Meskipun sedang tidak sadar, tetapi ketampanan Jared tidak hilang. Yang Laura lihat kini, Jared seperti kehilangan kewarasan. Entah masalah apa yang bossnya miliki, tetapi nampak jelas kesedihan yang tergambar dari wajahnya. Laura bingung dan panik. Tidak mungkin membawa Jared pulang ke tempat acara dengan kondisi mabuk. Membawa pulang ke apartemennya juga tidak mungkin. Akhirnya Laura memutuskan untuk memesan kamar hotel saja. Laura melambaikan tangan kepada bartender bar untuk meminta bantuan.Bartender pun menghampiri Laura. Laura memberitahu bartender itu agar membantunya membopong Jared ke hotel. Mereka berdua keluar dari bar sambil memapah Jared yang tak sadar. Laura dengan cepat langsung memesan kamar di receptionist untuk Jared. Lalu mereka membawa Jared ke kamar yang sudah dipesan. Setiba di kamar, bartender membaringkan badan Jared pelan-pelan di ranjang. Laura ikut membantu membuka sepatu dan melepaskan jas Jared. Laura meletakkan itu di nakas. "Apa ada lagi Bu yang bisa saya bantu?" tanya si bartender. "Tidak. Terima kasih sudah membantu saya." Laura memberikan uang pada bartender sebagai ucapan terimakasih, dan bartender itu permisi pamit. Laura duduk di tepi ranjang seraya memandangi Jared yang tak sadarkan diri. Entah apa yang harus Laura lakukan sekarang, memberitahu Massayu juga rasanya tidak mungkin melihat kacaunya kondisi Jared. Pandangan Laura tak berhenti memandangi sosok Jared. Laura sendiri pun sebenarnya terpesona dengan bossnya itu. Wajah yang tampan, rahang yang tegas, alis tebal dan dagu agak berbelah membuat wanita terpana. Wanita mana yang tidak terpesona dengan Jared? Laura mengalihkan pandangannya. Ia menepis pikirannya konyolnya itu. Laura hanya kagum dengan ketampanan Jared. Tak ada terbesit pun dibenaknya memiliki Jared. Jared memang tampan, tetapi lelaki itu juga keji dan sangat dingin. Laura menarik napas dalam-dalam. Tak ingin gila terus memandangi wajah Jared. Laura beranjak berdiri untuk kembali ke pesta perusahaan. Ia akan mencari alasan kepada Massayu tentang anaknya itu, Jared. Baru ingin melangkah, langkah kaki Laura terhenti. Jared menarik tangannya dan mencengkeram erat. "Mau ke mana?" tanyanya setengah sadar. Laura membalikkan badan."Saya mau kembali ke acara pesta perusahaan, Pak." "Jangan!" Jared menarik tangan Laura hingga Laura terjatuh di ranjang dalam posisi berhadapan dengan wajah Jared yang berjarak satu centi. "Kamu di sini saja temani aku," ucapnya tersenyum sambil mengedipkan mata. Laura menelan ludahnya. Ia tahu bossnya itu mabuk. Tetapi, kenapa memberikan tatapan menggoda. Jared tersenyum nakal menatap Laura. Jared membelai bibir Laura yang tipis. Membelai wajah Laura sambil tersenyum nakal menggodanya. Dibayangan Jared, Laura ialah Celline. Tangan Jared memainkan rambut Laura. Melepaskan sanggulannya dan membiarkan rambut Laura tergerai. "Kamu kalau begini cantik," ucapnya masih memainkan rambut Laura yang panjang. Jared masih terhanyut dengan pikirannya. Ia benar-benar merindukan wanitanya itu. Jared memandangi wajah Laura yang cantik. Terpesona. Mata bulat yang mengkilat, hidung mancung simetris, bibir yang tipis. Seksi! Itulah yang tergambar dipikiran Jared. Sudah lama sekali Jared ingin mencium wanitanya itu. Tetapi, Jared hanya bisa menahan rasa rindu. Jared sudah tidak bisa menahan lagi hasratnya. Ia tak tahan melihat wanita di hadapannya yang cantik dan seksi. Melayang, rasa ingin bercinta dengan wanita pujaannya begitu besar. "Celline. Aku merindukanmu sayang," ucap Jared membelai bibir Laura. Laura terpaku. Sentuhan Jared seperti aliran listrik yang menjalar ke tubuhnya. Laura menikmati setiap sentuhan Jared. Tubuh Jared yang merapat pada tubuhnya, membuat jantung Laura berdegup kencang. Jared sangat mempesona. Melumpuhkan seluruh saraf Laura hingga Laura tidak bisa mengalihkan pandangannya. Terus menikmati sentuhan Jared, membuat Laura dilema. Laura tersadar dengan suasana mereka yang salah. Jared hanya mengiranya sebagai Celline, bukan Laura. Laura tidak ingin terbuai dengan situasi yang salah kaprah tersebut. "Pak, saya Laura. Bukan Celline. Anda saat ini sedang mabuk." Jared tak menggubris, ia menempelkan jari telunjuknya di bibir Laura untuk membuat wanita itu diam. "Apa kau tidak merindukanku? Aku menginginkanmu, sayang." Laura menelan salivanya. Akward dan dilema! Itu yang Laura rasakan. Jantungnya semakin berdegup cepat. Jared mengeratkan tubuh Laura hingga tubuh mereka sudah menempel rapat. Laura tidak bisa berkutik, Jared semakin mengeratkan tubuhnya. Jared mulai memainkan sentuhannya dan membelai Laura penuh cinta dan kasih sayang yang mendalam. Laura akhirnya terbuai dan menikmati setiap sentuhan itu. Dan terjadilah peristiwa hubungan terlarang tersebut tanpa Jared sadari dengan siapa dirinya bercinta. 2 Hari Sebelum Resign Dua Hari sebelum resign. Sudah setengah jam lebih Laura berada di kamar mandi apartemennya. Perasaannya kacau. Hampir lima belas menit lebih Laura memegang alat tes kehamilan itu, ia memejamkan matanya rapat-rapat. Ia menarik napas dalam-dalam, tidak berani melihat alat tes tersebut. Ia takut pada kebenaran yang akan terpampang di depan matanya. Tangannya bergetar. Tubuhnya panas dingin memegang alat tes itu. Perasaannya kacau mengetahui dirinya telat datang bulan hampir empat puluh hari lamanya. Laura selalu menghitung dan mencatat rutin kesuburannya di kalender. Rasanya tidak percaya mengetahui ketelatan menstruasinya itu. Awalnya Laura berpikir itu hanya kesalahan saja. Laura mungkin hanya lelah dan terlalu banyak kerja sehingga mengakibatkan dirinya telat datang bulan. Namun, ia tidak yakin mengingat kejadian malam itu ketika pesta ulang tahun perusahaan tempat dirinya bekerja. Laura menguatkan hatinya untuk membulatkan keputusan membeli alat tes kehamilan. Ia masih memejamkan matanya berharap perasaannya salah. Semua yang terjadi hanya kesalahan pada penyakit yang dimiliki wanita. Ia mengangkat tangannya yang memegang tespack. Perlahan, matanya terbuka, dan pandangannya terarah pada alat tes di tangannya. Napasnya tercekim di tenggorokan, tidak bisa ke luar dari bibirnya. Matanya terbeliak, jantung berdetak sangat kencang. Tangannya gemetaran memegang alat tes itu. "Ini tidak mungkin," ucapnya parau. Laura masih tidak percaya apa yang ia lihat. Sebelumnya, ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Tetapi, hatinya terus menyangkal kemungkinan itu. Namun, kali ini tanda positif terlihat sangat jelas. Dua garis merah terpampang nyata di depan matanya. Ia hamil! Perasaan Laura tidak karuan. Takut, panik dan bingung bercampur jadi satu. Ia masih berharap bahwa tanda positif yang tertera ditespack hanyalah khayalannya. Apa yang harus dilakukannnya sekarang? Ia tidak mungkin hamil di saat seperti ini. Ini pasti sebuah kesalahan. Alat testpack itu pasti tidak bekerja dengan baik. Ia berharap semua ini hanya sekedar mimpi. Hatinya semakin gelisah. "Pasti alat ini ada yang salah," jeritnya tak kuasa. Laura memejamkan matanya berharap ini hanya mimpi. Ia memberanikan dirinya kembali menatap alat tespack itu lagi. Namun, alat tespack itu semakin jelas terlihat di depan matanya. Laura kini sadar ia tidak sedang bermimpi. Ini kenyataan!Tangannya gemetar hebat tak terkendali hingga tespack lepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai kamar mandi. Hatinya semakin kacau. Bagaimana ini? Laura belum siap memiliki anak. Masih banyak cita-cita yang ingin ia gapai. Ia masih sangat muda, tidak mungkin Laura menjadi seorang ibu. Umurnya baru dua puluh lima tahun, masa depan masih menantinya. Ia ingin menjelajah hidupnya lebih luas. Hamil? Memanglah impian setiap wanita. Tetapi, tidak pada saat ini! Saat dirinya sedang bersemangat dan bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya. Laura adalah sekretaris dan wanita yang mapan dan pintar. Laura masih ingin berkarir dan membangun impiannya menjadi pengusaha, memiliki toko kue dengan banyak cabang. Jika ia melepaskan pekerjaannya hanya karena hamil, ia tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Bagaimana caranya membesarkan anaknya seorang diri? Selama ini Laura hanya memiliki saudara laki. Kedua orangtuanya sudah tiada sejak mereka di bangku sekolah dasar. Laura dan kakaknya besar di panti asuhan tanpa memiliki sanak saudara. Tujuan hidup Laura hanya satu, dapat hidup layak dengan hasil keringat sendiri. Air mata Laura mulai mengalir deras. Ia menangis sesenggukan tak berdaya. "Tuhaaan! Kenapa engkau tidak adil denganku," lirihnya kecewa. Laura tidak sanggup. Ia terus menangis sesenggukan. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" ucapnya emosi dalam kesedihan. Ia tak kuasa. Emosi tangisnya pecah. Laura merenung. Ia tidak mungkin aborsi. Aborsi sangat keji dan tidak manusiawi. Sama saja Laura pembunuh jika melakukan perbuatan biadab tersebut. Mengatakan kepada lelaki yang sudah menghamilinya lebih tidak mungkin. Lelaki itu sudah bertunangan, bahkan wanita tunangannya pun Laura sangat mengenalnya. Laura merutuki kebodohannya! Kenapa ia bisa terlena terperangkap tidur satu malam dengan lelaki itu. Kalaupun Laura terpaksa mengatakan dirinya hamil. Laura juga sudah menduga, lelaki itu tidak akan mengakui bayi ini, apalagi untuk bertanggung jawab. Pasti lelaki itu akan meminta Laura untuk menggugurkan kandungannya. "Aku tidak mungkin menggugurkan bayi ini. Dia tidak bersalah. Aku harus menjauh dari orang-orang yang mengenalku." Laura mulai berpikir jernih. Laura bangkit dari toilet dan ke luar dari kamar mandi, sambil mempertimbangkan keputusannya. Ia melangkah ke dapur, mengambil segelas air es, dan menengguk perlahan. Laura berjalan mondar-mandir dengan resah dan gusar. Laura menarik napas dalam-dalam. Mungkinkah ini takdir Laura? Mungkinkah rencana Tuhan untuknya ini? "Ya! Keputusanku sudah bulat. Aku resign dari Newton dan membesarkan bayi ini. Mau tidak mau aku harus melakukan itu. Tidak ada pilihan lain. Lebih baik aku pergi menjauh darinya daripada nyawaku berbahaya." Keputusannya sudah bulat untuk resign dari kantor. Mempertahankan bayi ini pada lelaki itu sama saja Laura memberikan nyawanya digadaikan. Laura mencoba menerima keadaannya saat ini, meskipun ia belum menerima secara lapang dada. Namun, untuk apa Laura larut dengan rasa kecewa dan kesedihannya terlalu lama? Tidak ada gunanya juga. Pada akhirnya kenyataan yang ia terima ialah mempunyai anak dan menjadi seorang ibu. Menyingkirkan Laura Lanjutannya.... Jared masih tidak percaya dengan ucapan Laura. Rasanya tidak mungkin, ucapan Laura menusuk otaknya hingga Jared tidak mampu berpikir jernih. Kepalanya begitu sakit. Tubuhnya berkeringat, gelisah. Jantungnya berdegup kencang melanda hatinya. Ia terus teringang-ingang ucapan wanita itu. Bagaimana bisa Laura hamil? Menyentuh wanita itu saja tidak pernah. Selama ini hubungan mereka hanya lah boss dan sekretaris saja, tidak lebih. Mana mungkin dirinya berani menyentuh wanita lain selain Celline, sang kekasih. Jared dan Celline sudah bertunangan dan hubungan mereka sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan. Jared yakin semua hanya akal-akalan Laura! Wanita itu pasti punya rencana licik dan sengaja menjebaknya. Jared menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kedua tangan yang melipat sambil menopang kepalanya. Ia mendesah resah. Pikirannya kacau dan tak karuan. Hatinya berkecamuk, murka, panik, gelisah dan takut jika semua itu adalah benar. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Jared mengingat jelas sudut mata Laura ada kebenaran disana. Jared berusaha mengenyahkan kenyataan tersebut bahwa semua tidak benar. Namun, lagi-lagi hatinya ragu seakan menjawab kebenaran tersebut. Sulit sekali mengenyahkan wajah wanita itu dari pikirannya. Jared mengacak-acak rambutnya, frustasi! Bagaimana jika benar Laura hamil dengannya? "AH, SIAAALL!! TIDAK MUNGKIN WANITA ITU HAMIL DENGANKU!!" Jared berteriak dengan emosi yang berkecamuk. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Jared tidak ingin rencana pernikahannya dengan Celline gagal karena wanita itu. Ia tidak ingin hubungan yang selama ini ia jalin bersama Celline kandas begitu saja. Pernikahan mereka adalah penantian terbesar dihidup Jared. Ia mencintai Celline, tidak ada wanita lain selain Celline yang dicintainya. Jared berpikir, mencoba menjernihkan otaknya. Ia menarik napas dalam-dalam sambil memijit pelipis kepalanya. Benar atau tidak Laura hamil dengannya. Ia harus mencari cara menyingkirkan Laura dari hidupnya. Jared tidak ingin wanita itu menjadi benalu bagi hidupnya. Jared mengambil ponsel di saku celana. Ia langsung menelepon orang suruhannya untuk membereskan masalah ini. "Saya tidak peduli bagaimanapun caranya, kalian harus membereskan wanita itu. Seret dia untuk mengaborsi janinnya!" titah Jared geram, cepat. Volume suaranya tinggi. Tak peduli dengan kondisi Laura. Wanita itu hanya sumber masalah dan benalu. Jared memasukkan kembali ponselnya di saku celana. Jared bangkit dari sofa. Resah dan gelisah, ia akan langsung turun tangan, membawa Laura ke tempat aborsi. Apapun caranya janin tersebut harus dimusnahkan. Jared tidak ingin masuk keperangkap wanita sialan itu. Dengan cara itu, Laura tidak bisa berkelit dan tidak ada bukti untuk menuntutnya. "Kita lihat saja Laura! Siapa yang akan menang! Aku tidak akan masuk ke jebakan bodohmu itu." Jared terkekeh sinis, menantang permainan Laura. Jared melangkahkan kaki ke arah pintu. Ia mencengkeram keras gagang pintu. Jared membanting pintu, begitu murka. Dengan cekat ia meninggalkan apartemen dan pergi menangani masalahnya. **** Laura mengeluarkan koper dan mengepaki seluruh pakaiannya. Keputusannya sudah bulat untuk menjauh dan pergi sejauh-jauhnya dari Jared. Isak tangisannya tidak juga berhenti. Air mata terus mengalir di pipinya hingga membuat matanya bengkak dan wajahnya bengap. Dadanya sangat sakit bak dihantam tombak api. Laura tidak ingin berurusan dengan lelaki keji itu lagi. Laura memang tidak menginginkan bayinya, tetapi ia juga tak sudi anaknya memiliki ayah saiko seperti Jared. Rencana hidupnya sudah hancur. Sekian lama menata hidupnya, pupus seketika. Memang lelaki itu siapa berani menginjak-injak harga dirinya? Apakah karena sudah bisa menghamili dirinya, lantas berkuasa dengan hidupnya juga? Jared lelaki keji, angkuh dan biadab. Ia tidak pantas menjadi ayah dari bayinya. Ya! Apapun yang terjadi Laura harus bertahan dengan hidupnya. Ia tidak boleh menyerah hanya karena ancaman bodoh lelaki keji itu. Laura menutup koper, mengunci kopernya. Ia menarik gagang koper dan beranjak bangun. Ia menyapu pandangannya ke seluruh apartemen, mengingat semua kenangan selama berada di New York. Apartemen kecil ini ialah saksi hidupnya berjuang hidup. Laura menyibakkan poninya, menarik napas dalam-dalam sambil menyeka matanya. Dengan kaki yang begiru berat untuk pergi, Laura menyeret kopernya berjalan ke arah pintu. Tangannya mencengkram erat gagang pintu seakan tidak ingin meninggalkan apartemen tercintanya itu. Laura menarik gagang pintu, menghela napas panjang dan mengunci pintunya. I melangkahkan kakinya menuju lift sambil menyeret satu koper besar. Langkah kaki Laura cekat meninggalkan apartemen. Laura tidak tahu sekarang harus ke mana? Ia mengambil keputusan cepat tetapi tidak tahu arah tujuannya saat ini. Laura membuang napasnya, menyandarkan punggungnya di jok mobil. "Maaf, Ibu mau diantar ke mana?" tanya supir taksi menolehkan kepala pada Laura. Laura terdiam, ia berpikir sejenak. Pergi tanpa tujuan dan tidak ada Ben yang mendampinginya membuat ia bingung. Laura gusar, mengusap keningnya. "Kita ke stasiun saja, Pak," jawab Laura. Supir taksi mengangguk paham. Taksi melaju ke tempat tujuan. Sambil menunggu perjalanan, Laura memejamkan matanya untuk istirahat sebentar. Ia sangat lelah dan frustasi. Perasaannya berkecamuk. Sedih, kecewa, benci, murka bercampur menjadi satu. Pikirannya kacau, kepalanya sakit. Kenapa hidupnya seketika berubah 180 derajat seperti ini? Lelah rasanya terus merutuki keadaannya kini. Apakah bisa dirinya menghadapi kehamilan seorang diri tanpa pendamping? Laura berandai-andai seperti wanita lain di luar sana. Betapa beruntungnya mereka menjadi ibu hamil dan mempunyai suami yang sangat mencintai mereka. Sedangkan Laura? Nyawanya masih bisa selamat saja ia sudah sangat bersyukur. Tidak beberapa lama kemudian, taksi berhenti di Grand Central Terminal. Supir taksi menatap Laura yang terlihat tidur, tidak tega memberitahunya. "Bu, kita sudah sampai," kata supir yang sungkan membangunkan si penumpang. Laura membuka matanya. Ia masih bisa mendengar jelas supir taksi berbicara. Karena Laura tidak benar-benar tidur. Ia mengambil selembaran uang dari dompetnya dan memberikan uang itu pada supir taksi. Laura membuka pintu taksi, ia segera mengambil koper dan travel bag-nya di bagasi, yang dibantu supir. "Makasih, Pak." "Sama-sama, Bu." Taksi berlalu pergi. Laura menyeret kopernya dan masuk ke dalam stasiun. Ia langsung cekat membeli tiket kereta. Tanpa pikir panjang Laura masuk ke dalam kereta yang ia tuju. Untung saja setelah membeli tiket, keretanya langsung datang sehingga ia tidak perlu menunggu lagi. Laura meletakkan travel bag-nya di keranjang khusus barang-barang bawaan. Ia berjinjit menaruh tasnya di tempat yang sudah disediakan. Lumayan cukup tinggi tempatnya, atau dirinya yang terlalu pendek. Laura mendesah lelah. Koper besarnya berada ia letakkan di sampingnya. Karena tidak mungkin di letakkan di keranjang tadi. Laura menyandarkan punggungnya di kursi. Ia menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan matanya. Tujuan Laura kini ke Copperstown. Ia sengaja memilih tempat tersebut. Selain kota terpencil di New York dan juga pemandangannya masih sangat asri. Sehingga dapat menjauh dari Jared, dan kemungkinan lelaki brengsek itu tidak tahu keberadaan Laura. Laura sudah memikirkan matang-matang setelah tiba di Copperstown. Ia akan menyewa rumah atau apartemen yang kecil, yang jelas sesuai dengan tabungan yang ia miliki. Laura harus berhemat, ia akan mencari pekerjaan atau berencana membuka toko roti kecil di sana. Itulah rencana yang sudah ia buat saat ini. Selama bekerja, tabungannya kira-kira cukup untuk hidupnya selama beberapa bulan di sana sampai mendapatkan pekerjaan baru. Semoga saja setelah ini tidak ada lagi yang mengganggu hidupnya. Laura benar-benar sudah lelah. "Lebih baik aku tidur saja sekarang. Luamayan sambil menunggu tujuan tiba," ucapnya, memejamkan mata berusaha tidur. Bersambung... Description: Kenyataan pahit dihadapi Laura Smith, hidupnya berubah 180 derajat saat mengetahui dirinya berbadan dua. Diusia yang baru 25 tahun, ia harus menjalani kehamilannya seorang diri. Bagaimanakah nasib hidup Laura selanjutnya?
Title: WHERE; Sweven Category: Teenlit Text: PROLOG Aku berjalan menunduk sambil menatap sepasang sepatu hitam yang tengah kukenakan. Langkahku terhenti, terheran dengan sesuatu yang saat ini tengah kupijak. Sejak kapan trotoar berwarna hitam layaknya aspal? Aku menengok kebelakang, melihat beberapa orang berdiri beberapa meter di belakangku tengah melambai-lambaikan tangan dengan wajah yang panik. Mulut mereka terlihat terbuka lalu tertutup seolah sedang berbicata tetapi aku tidak mendengar kata apa yang keluar dari mulut mereka. Ada apa dengan mereka? Sebuah suara yang cukup nyaring mengalihkan atensiku dari orang-orang itu menuju asal suara. Ah, begitu, ya. Alasan mengapa trotoar yang kupijak berwarna hitam layaknya aspal adalah karena sesuatu yang kupijak ini bukanlah trotoar, melainkan jalan raya. Dan mungkin orang-orang yang berdiri beberapa meter di belakangku itu sedang memberikan isyarat agar aku segera pergi dari tempatku saat ini berpijak. Tubuhku terpental bersamaan dengan telingaku yang akhirnya kembali bisa mendengar suara mereka yang saat ini tengah berteriak histeris. Rasanya semua tulang-tulangku remuk. Mataku terasa memberat. Nafasku yang awalnya teratur mulai terengah-engah. Detak jantungku juga mulai tidak terasa. Beginikah rasanya diambang kematian? *** 08 Juni 2021Regards, Haila. BAB 1 Aku tersentak kaget dari tidurku. Tadi aku bermimpiku tentang suatu hal yang terasa seperti kenyataan. Kutatap buku yang baru saja kujadikan bantal lalu mengusap peluh di dahiku. Aku bersyukur memilih duduk di pojok perpustakaan, jadi ketika tertidur tadi aku tidak ditegur oleh penjaga perpustakaan. Aku datang ke perpustakaan karena diusir oleh guru yang mengajar di kelasku akibat ketahuan tertidur di mata pelajaran beliau. Jarum pendek pada jam tangan yang melingkar di pergelanganku menunjuk angka sepuluh lebih sementara jarum panjangnya menunjuk angka lima. Jam istirahat pertama tersisa 5 menit lagi sebelum jam selanjutnya dimulai. Kuambil buku yang baru saja kujadikan bantal ketika tertidur tadi untuk kusimpan di tempat semula dan seketika terkesiap saat mendapati seorang laki-laki dengan wajah menawan sedang fokus membaca buku di kursi yang berada tepat di sebelahku. Siapa laki-laki ini? Sejak kapan dia duduk disini? Apakah sejak aku tertidur? Aku berdehem pelan untuk menghilangkan pikiran-pikiranku itu baru kemudian berjalan menuju ke arah rak dimana aku mengambil buku yang saat ini sedang kupeluk. Perpustakaan benar-benar sepi. Tidak ada seorang pun di perpustakaan selain aku dan laki-laki asing itu. Penjaga perpustakaan juga tidak ada. Mungkin pergi ke WC atau kantin. Aku berjalan keluar perpustakaan dengan pikiran yang dipenuhi mengenai laki-laki itu. Wajahnya terasa asing. Selama satu tahun lebih bersekolah di sini, aku sama sekali belum pernah melihatnya. Mungkin dia siswa baru atau mungkin aku yang kurang bersosialisasi atau bisa juga laki-laki itu yang terlalu sering berada di perpus sehingga diriku yang hampir tidak pernah menginjakkan kaki di perpustakaan ini merasa asing dengan wajahnya. Tepukan di bahuku membuatku tersadar dari lamunan. Aku menoleh dan mendapati Jihan, teman sekelasku yang baru saja menepuk bahuku. "Kamu darimana, Lis?" tanyanya. "Aku ketiduran di perpus." "Pantesan aku cari-cari di kantin gak ketemu." Aku kembali melanjutkan langkahku yang sempat tertunda bersama Jihan yang juga ikut melangkah disampingku. "Ta-." Aku hendak bertanya mengenai apa saja yang diajarkan oleh Bu Dewi, guru Bahasa Indonesia yang mengusirku dari kelas. Tapi begitu aku menoleh, aku tidak mendapati Jihan berjalan disampingku. Ternyata ia berjongkok untuk memperbaiki ikatan tali sepatu hitamnya. Aku menghentikan langkahku untuk menunggunya. Tapi mataku tidak sengaja mendapati laki-laki yang tadi duduk di sampingku saat di perpustakaan tengah berjalan beberapa meter di belakang Jihan. Laki-laki itu terlihat sibuk dengan ponsel genggamannya dengan sebelah tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. "Lis, kamu lihatin apa?" tanya Jihan yang membuatku tersadar jika ia telah selesai mengikat tali sepatunya. "Han, kamu kenal cowok itu?" tanyaku masih dengan menatap laki-laki itu. Jihan mengerutkan keningnya, "Yang mana?" tanyanya. "Cowok yang lagi jalan ke arah sini sambil mainin HP-nya." Jihan kembali memicingkan matanya, "Yang mana?" Aku menatapnya kesal lalu menunjuk ke arah laki-laki itu, "Itu yang-." Jari telunjukku seketika mengambang di udara begitu mendapati laki-laki tadi sudah tidak ada di koridor. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru dan tidak mendapati sosoknya di sisi manapun. Padahal aku hanya mengalihkan tatapanku sebentar, tetapi kenapa dia bisa langsung menghilang layaknya ditelan angin? "Cowok yang mana, Lis?" Aku menurunkan jari telunjukku lalu kembali berjalan menuju kelas, "Gak jadi, dia udah pergi." Jihan ikut berjalan disampingku, "Tumben kamu nanya tentang cowok, kenapa?" "Gak kenapa-napa," ucapku lalu mempercepat langkahku karena bel sudah berbunyi. *** Jam pulang sekolah. Aku sedang duduk di halte bus, menunggu bus yang akan megantarku sampai di rumah. Biasanya Zein, adik laki-lakiku yang sudah duduk di bangku terakhir sekolah menengah pertama akan menjemputku. Namun, hari ini dia sedang ada pertandingan basket jadi tidak bisa menjemputku. Aku duduk di halte bus bersama beberapa teman sekolahku yang tidak kuketahui namanya, hanya wajah mereka yang tampak familiar. Tiba-tiba aku merasakan seseorang duduk di sampingku, membuatku yang awalnya menatap sepatuku langsung mendongakkan kepala dan mendapati seorang gadis dengan seragam sekolah yang sama denganku. Tatapan kami bertemu, dia tersenyum dan kubalas dengan senyuman canggung. Aku sepertinya mengenal wajahnya tapi aku tidak tahu siapa namanya. Gadis itu sibuk dengan ponselnya. Tanpa sadar aku terus memperhatikan wajahnya. Dia cantik dengan rambut hitamnya yang sedikit bergelombang di ujung ditambah dengan kulitnya yang putih juga hidungnya yang mancung. Aku gelegapan dan langsung mengalihkan tatapan ke kendaraan yang berlalu lalang ketika dia tiba-tiba saja menatapku. Dia hanya tersenyum tipis lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Suara ponsel yang berbunyi membuyarkan kefokusanku. Itu suara ponsel gadis di sebelahku. Dia menatap ponselnya sebentar lalu menolak panggilan yang masuk. Aku kembali menatap ke depan. Seorang pengendara motor sport hitam berhenti di seberang halte bus. Pengendara itu membuka helm yang tengah dikenakannya. Menyugar rambutnya lalu meletakkan helmnya di kaca spion motornya. Dia turun dari motornya, membiarkan motor besarnya itu terparkir di pinggir jalan. Perlahan, kaki jenjangnya yang terbalut celana abu-abu panjang berjalan mendekati halte. Hanya butuh beberapa menit hingga ia tiba di depan gadis yang duduk di sebelahku. "Kenapa gak diangkat?" Dia berbicara dengan nada datar. Tatapan mata tajamnya tertuju kepada gadis di sampingku. Gadis itu diam saja, ia mengalihkan pandangan dari laki-laki itu, seolah-olah tidak ada seseorang yang sedang berdiri di depannya. "Ayo pulang." Laki-laki itu menarik pergelangan tangan gadis itu untuk berdiri tetapi cepat-cepat ditepis oleh gadis itu. Hening, halte yang tadinya ramai berubah sunyi. Suara tiga orang gadis yang sedari tadi asik bercerita dan tertawa tidak lagi terdengar. Apakah aku sedang berada di antara sepasang kekasih yang tengah bertengkar? Jika benar, seseorang tolong selamatkan aku. Aku tidak suka suasana mencekam ini. "Gue bisa pulang sendiri." Laki-laki itu mendengus kesal, "Pulang bareng gue, Bella." "Gue gak mau, Arnesh." "Jangan buat gue marah, Reina Sabella Wijaya." Perkataannya terdengar biasa saja tapi mampu membuat atmosfer di sekitar kami semakin memanas. Mungkin sebaiknya aku menaburkan biji jagung di sekitar halte, siapa tahu biji jagung itu berubah menjadi popcorn yang bisa kami santap sambil menonton drama pertengkaran pasangan kekasih ini. Gadis bernama Bella itu menghela napasnya. Dia berdiri dari duduknya lalu kembali memakai tas yang tadinya ia pangku. Sepasang kekasih itu berjalan menuju motor si laki-laki yang bernama Arnesh. Si Arnesh memberi helm kepada Bella lalu memakai helm yang tadi ia simpan di kaca spion motornya. Bella terlihat kesusahan mengaitkan pengait helm-nya. Untungnya, selain tampan, Arnesh ternyata juga lelaki yang peka, jadi dia langsung mengambil alih untuk mengaitkan pengait helm Bella. *** 09 Juni 2021 Regards, Haila. BAB 2 Bus yang kutunggu akhirnya datang tidak lama setelah kepergian Bella dan Arnesh. Aku dan beberapa calon penumpang lain segera menaiki bus. Seperti biasa di jam pulang sekolah, bus akan sangat ramai diisi oleh anak-anak sekolah sepertiku. Mendapatkan tempat duduk di bus pada jam ramai seperti ini adalah sebuah keburuntungan. Jadi bisa dikatakan saat ini aku sedang beruntung karena bisa mendapatkan tempat duduk. Aku duduk di pinggir kursi bus, di samping salah seorang siswi dari sekolahku. Tas ranselku kupangku agar aku bisa bersandar dengan nyaman. Baru beberapa menit bus yang kutampangi berjalan ketika kurasakan tasku yang sedikit bergetar. Aku segera membuka resleting tasku, mencari ponsel yang kuyakini menjadi penyebab tasku bergetar di antara isi tasku yang tidak beraturan. Akhirnya aku bisa bernapas lega ketika berhasil mendapatkan ponselku dengan tulisan ‘Zein is calling’ tertera di sana. Segera kugeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan darinya. “Kakak udah di rumah?” tanya Zein begitu sambungan telepon terhubung. “Belum, ini baru aja naik bus. Kenapa?” “Mama minta dibeliin sotonya Mang Deno.” “Oke, nanti Kakak beliin.” aku menaikkan kedua alia ketika mendengar suara-suara teriakan dari seberang telepon sana disusul dengan suara seseorang yang memanggil nama Zein, “Kamu masih tanding basket?” tanyaku. “Iya, ini lagi istirahat sebelum quarter ketiga,” ucap Zein setelah menjawab panggilan dari orang yang tadi memanggil namanya, “Yaudah kalau gitu, bentar lagi quarter ketiga udah mau dimulai. Kakak jangan lupa beliin Mama sotonya Mang Deno.” “Iya. Semangat tandingnya.” “Hm. Take care, sister.” Aku memutus sambungan telepon lalu kembali memasukkan poselku ke dalam tas. Mama melarangku untuk menyimpan ponsel di dalam kantong baju atau kantong rokku jadi aku selalu meyimpan ponselku di dalam tas kecuali ketika harus pergi ke kantin. Bus berhenti, membuat tubuhku sedikit terhuyung ke depan. Beberapa orang naik ke bus, membuat bus yang padat semakin bertambah padat. Seorang wanita hamil berdiri di dekat seorang pria yang duduk di depanku. Tangan kanan wanita itu memegang pegangan bus dengan susah payah karena keterbatasan tinggi badan, sementara tangan kirinya memegangi perutnya yang membuncit. Aku mendengus kesal melihat sikap masa bodoh pria yang duduk di depanku. Bukannya berbaik hati menawarkan tempat duduk kepada wanita hamil itu, dia malah sibuk memainkan ponselnya. Aku berdiri dari dudukku sambil memeluk tas lalu mendekati wanita itu dan menepup bahunya. Wanita itu tampak keheranan tetapi keherananya terganti dengan senyuman ketika aku menunjuk kursi yang beberapa detik lalu kududuki. Dia berjalan ke kursi itu setelah mengucapkan terima kasih kepadaku yang hanya kubalas dengan senyuman singkat. Setelah memastikan wanita itu duduk dengan nyaman, aku berjalan sedikit pelan mendekati pintu masih sambil memeluk tasku. Halte selanjutnya yang akan disinggahi oleh bus ini adalah halte yang berada cukup dekat dengan kompleks perumahanku, jadi lebih baik aku berdiri sedikit dekat dengan pintu agar gampang untuk turun nanti. Bus kembali berhenti, membuatku yang sedang berjalan mendekati pintu hampir terjatuh mencium lantai jika saja tidak ada orang baik yang menahan perutku. Refleks aku menatap kedepan. Pantas saja bus berhenti, lampu lalu lintas menyela pada warna merah. Aku terkejut ketika kurasakan tangan yang menahan perutku menarik tubuhku kebelakang. Membalikkan tubuh ke belakang, aku hendak mengucapkan terima kasih kepada orang baik itu. Namun ucapan terima kasihku terhenti di tenggorokan ketika mataku bertatapan dengan sebuah dada bidang. Kupikir orang baik itu perempuan, ternyata laki-laki. Aku mendongakkan kepala guna menatap matanya namun lagi-lagi ucapan terima kasihku kembali tertahan di tenggorokan ketika mendapati orang baik yang baru saja menolongku adalah orang yang sama dengan laki-laki yang duduk di sebelahku saat di perpustakaan tadi. Bus kembali berjalan, membuatku terhuyung ke belakang untung saja laki-laki itu menahan punggungku. “Hati-hati.” Suara bariton laki-laki itu memasuki gendang telingaku. Segera kutegakkan tubuhku sebelum dia yang menegakkan tubuhku, lagi, “Terima kasih.” Kali ini ucapan terima kasihku tidak tertahan lagi di tenggorokan. Aku terkesiap ketika kurasakan sebuah tangan besar menyentuh tangan kiriku. Kutolehkan kepalaku kepada laki-laki itu yang kini telah menggenggam tanganku lalu menaikkannya ke atas, membuat jemariku menggenggam pegangan bus. Entah kenapa aku merasa suasana bus terasa memanas hingga permukaan wajahku pun ikut terasa sangat panas. *** Aku turun dari bus bersama beberapa penumpang lain. Kulangkahkan kakiku menuju ke sebuah warung tenda seorang penjual soto yang berada cukup dekat dengan pintu masuk kompleks perumahan yang sudah kutinggali sejak lahir. "Mang." Berdiri disamping gerobak yang dijadikan tempat meracik juga menyimpan bahan-bahan untuk membuat soto, aku memanggil pria yang sedang sibuk menyiapkan dua mangkok soto. Pria itu berbalik lalu tersenyum kearahku, aku terheran ketika pria itu bukanlah Mang Deno, melainkan putranya yang sedang mengenyam pendidikan di bangku kuliah. "Mau pesen soto?" Kak Radit, putra sulung Mang Deno bertanya sambil melemparkan senyum ramah yang mirip dengan senyuman Mang Deno. Aku mengangguk, "Sotonya dua, Kak. Dibungkus." "Tunggu sebentar, ya. Kamu duduk aja dulu," ucap Kak Radit ramah sambil membawa nampan berisi dua mangkuk soto ke arah dua orang pelanggan. Aku mengangguk lalu memilih duduk di sebuah meja yang berada cukup dekat dengan gerobak. "Kak Radit gak kuliah? Mang Deno kemana?" Tanyaku begitu Kak Radit sudah kembali ke gerobak soto. "Bapak sakit, makanya hari ini aku gantiin. Kebetulan jadwal kuliahku cuman tadi pagi doang." Aku kembali diam sambil menatap Kak Radit yang dengan ceketan menyiapkan soto pesananku. Tidak berselang lama kemudian, Kak Radit telah selesai menyiapkan soto pesananku. Ia menyerahkan sebuah kantong kresek hitam berisi dua bungkus pesanan sotoku. Aku menerimanya lalu menyerahkan selembar uang limapuluh ribu, "Makasih, Kak. Semoga Mang Deno cepet sembuh." Kak Radit kembali melempar senyum, "Terima kasih. Hati-hati di jalan." Aku mengangguk sebagai jawaban lalu berjalan menuju pintu perumahan sementara Kak Radit kembali menyiapkan soto untuk seorang pelanggan yang baru saja tiba. *** Mahari sudah condong ke arah barat, aku sedang duduk di ujung sofa sambil menonton TV ditemani snack yang selalu tersedia di rumah. Di rumah hanya ada aku. Mama sedang pergi arisan, Papa masih bekerja, sementara Kak Naomi dan Zein belum pulang. Sebuah benda tiba-tiba saja menimpa sofa diujung yang lain. Kudapati seorang anak laki-laki yang dengan tidak sopannya langsung meminum sirup yang kusimpan di atas meja depan sofa. Aku tidak sempat mencegahnya karena anak laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah menengah pertama itu meminum sirupku hingga tandas dalam sekejap. Dia dengan tidak tahu malunya juga bersendewa dengan keras. Anak laki-laki tidak sopan itu adalah Zein yang sialnya adalah adikku. “Mama kemana?” tanyanya setelah menyimpan kembali gelas yang telah kosong itu ke atas meja. “Arisan,” jawabku singkat dan kembali fokus ke TV. Tiba-tiba saja Zein merebut bungkus snack yang sedang kupegang. Aku menatapnya kesal yang kini sedang menikmati snack-ku. Aku mencoba merebut kembali snack itu tapi dengan kurang ajarnya Zein menjauhkan snack itu dariku. “Kembaliin! Itu punya kakak!” kataku kesal. Aku tidak masalah berbagi snack dengan Zein, tetapi masalahnya snack itu tersisa satu di rumah, belum lagi isinya yang tinggal sedikit. “Kakak ‘kan bisa ambil yang baru.” “Kamu aja. Kakak maunya cuman snack itu.” Zein itu terkadang bisa jadi adik baik idaman semua orang tetapi juga bisa jadi adik yang benar-benar menjengkelkan seperti saat ini. Dia dengan sengaja berdiri dan mengangkat snack itu tinggi-tinggi. Aku yang tingginya hanya sampai di hidung Zein mana bisa merebut snack itu. Padahal dulu aku lebih tinggi dari Zein, tetapi sekarang Zein yang masih kelas sembilan sekolah menengah pertama sudah lebih tinggi dariku yang sudah kelas sebelas sekolah menengah atas. Zein terlalu banyak mewarisi gen tinggi dari Papa dan Mama sedangkan aku hanya mendapat sedikit gen tinggi dari kedua orangtua kami. Aku naik ke atas sofa agar bisa meraih snack itu. Tetapi Zein malah berlari menjauh dan berdiri di dekat pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan ruang tamu. “Pendek,” ejeknya yang membuatku berdecak kesal lalu turun dari sofa dan segara berlari ke arahnya yang kini tersenyum meremehkanku. Aku berjinjit agar bisa meraih snack itu, dia ikut berjinjit. Kutarik tangan kanannya yang sedang memegang snack tetapi tangan itu tak kunjung turun ke bawah. Leherku terasa pegal karena terlalu lama mendongak. Aku menundukkan kepala lalu memijit tengkukku, berharap rasa pegal itu bisa sedikit berkurang. “Udah nyerah aja, Kakak ambil snack yang lain aja.” Aku kembali mendongak menatap sengit Zein yang tersenyum meremehkanku. Aku melompat guna meraih snack itu tapi tidak juga berhasil. Kesal, aku menyerang Zein dengan membabi buta. Berusaha membuatnya terjatuh, tetapi tubuh Zein tidak goyah sedikit pun. Entah apa yang telah dimakan oleh anak tengil ini. Mungkin selama ini dia diam-diam memakan besi ketika berada di kamar sehingga membuat tubuhnya jadi susah di jatuhkan seperti saat ini. “Makanya rajin olahraga biar tinggi, jangan males-malesan di rumah terus.” Aku semakin kesal ketika dia menahan kepalaku dengan tangannya, membuat tanganku yang sedari tadi memukulnya tidak sampai di tubuhnya. Kutarik tangan kirinya yang sedang menahan kepalaku lalu kugigit dengan keras. Zein berteriak keras, dia melemparkan snack yang ada di tangan kanannya ke belakang bersamaan dengan seseorang yang masuk ke dalam ruang keluarga. *** BAB 3 Aku terpaku di tempatku, menatap isi snack yang berhamburan juga seseorang yang berdiri mematung di pintu yang menghubungkan ruang keluarga dan ruang tamu, sementara Zein merintih kesakitan memegangi tangan kirinya yang baru saja kugigit. Aku menarik tangan kiri Zein agar adikku itu berdiri disampingku. Dia menatapku dengan tatapan kesal yang tentu saja kuhiraukan karena yang harus kami khawatirkan sekarang adalah seseorang yang baru saja dihujani oleh isi snack yang kuperebutkan dengan Zein. Aku melirik ke depan, berusaha memberi Zein kode agar menatap ke depan. Untungnya cepat untuk mengerti kode yang kuberikan. Kami berdua berdiri tegang menatap seseorang yang berdiri di depan kami yang sedari belum mengeluarkan suara. Sementara orang itu –Kak Naomi, anak tertua di keluargaku– hanya terdiam memperhatikan snack yang berserakan di lantai. Dia mengangkat kepalanya menatap kami dengan tatapan tajam penuh intimidasi. Zein menundukkan kepalanya takut sementara aku masih menatap Kak Naomi. Kulihat ia menghela napas kasar lalu membersihkan snack yang menempel di rambut panjang tergerainya. “Bersihkan sebelum Mama pulang,” kata Kak Naomi singkat sebelum kembali memutar tubuhnya meninggalkan ruang keluarga. Helaan napas lega keluar dari Zein begitu Kak Naomi pergi, “Kakak ngapain sih pake gigit tanganku segala, untung gak kena marah.” Dia beralih menatapku yang juga tengah menatapnya. Aku menghela napas, “Ayo bersihin,” ucapku sambil memunguti isi snack yang bertebaran. Rasanya tidak rela melihat snack kesukaanku kini berserakan di lantai. “Kakak aja, ‘kan ini semua gara-gara Kakak gigit tanganku.” Aku kembali berdiri lalu berbalik menatapnya tajam yang tengah bersedekap, “Kakak cuman mau ambil snack Kakak yang kamu ambil. Jadi bukan cuman salah Kakak tapi juga salah kamu yang ambil snack Kakak dan gak mau ngembaliin.” “Tapi ‘kan Kakak bisa ambil snack-nya tanpa gigit tanganku. Jadi ini tetap salah Kakak sepenuhnya.” “Emang kalau Kakak minta baik-baik kamu bakal ngasih?! Enggak ‘kan?!” Emosiku benar-benar tersulut. Aku menarik napas singkat untuk meredakan emosi, “Udah sana ambil sapu sama skop sampah,” ucapku kembali berjongkok memunguti snack yang berserakan. Amarahku sedang tersulut dan biasanya jika emosiku tidak stabil, aku akan kesusahan mengontrol diriku sendiri. Aku tidak ingin mengeluarkan kata-kata kasar ataupun melakukan tindakan kasar kepada Zein. Bagaimana pun juga dia adalah adikku. Kudengar langkah kaki Zein menjauh. Aku menarik napas lalu menghembuskannya secara konstan. Ini adalah cara yang biasa kulakukan untuk meredam kemarahan. Tidak berselang lama kudengar langkah kaki yang kembali mendekat. Zein menyerahkan sebuah sapu dan skop yang sama-sama berukuran kecil. Aku mulai menyapu remah-remahan kecil snack lalu memasukkannya kembali ke dalam pembungkus snack. Setelahnya, aku berjalan ke dapur untuk membuang snack itu juga menyimpan sapu dan skop yang diberikan oleh Zein. Kemudian mencuci kedua tangan di wastafel lalu mengeringkannya. “Maaf,” kata Zein yang sedari tadi mengikutiku dalam diam. Aku tersenyum tipis, “Kakak juga minta maaf udah gigit kamu.” Zein hanya mengangguk. Aku mengusap rambutnya, hal yang paling kusuka lakukan kepada Zein sejak kecil. Rambut Zein sangat halus untuk ukuran laki-laki yang jarang merawat rambutnya dengan berbagai produk hair care. “Kamu ganti baju, gih,” perintahku yang langsung dituruti Zein. Walaupun Zein lebih muda dua tahun dariku, tetapi dia terkadang bersikap seperti seorang kakak, terkadang bersikap layaknya pacarku, bahkan dia terkadang bersikap seperti teman perempuanku. Dia benar-benar adik yang sempurna, minus sikap jahilnya tentu saja. *** Aku mematikan musik yang kuputar melalui ponselku begitu mendengar suara ketukan di pintu kamarku. “Siapa?” tanyaku sedikit mengeraskan suara. “Makan malam udah siap, Non.” Itu suara Mbak Lastri, pembantu di rumah. Aku beranjak dari ranjang empukku menuju pintu kamar, kudapati Mbak Lastri berdiri di depan kamarku dan seperti biasa, Mbak Lastri mengenakan daster katanya sangat nyaman digunakan ketika beraktivitas di rumah. Tiba di ruang makan, aku mendapati Papa yang sudah duduk di kursi paling ujung dengan Mama yang duduk di kursi sebelah kanan Papa, sedang menyendokkan nasi ke piring yang kuyakini adalah piring Papa. Di Samping Mama juga sudah ada Zein. Aku langsung duduk di kursi yang biasa aku tempati ketika makan, kursi yang berada tepat di depan Zein yang asik memilih-milih lauk yang akan ia jadikan santapan malam ini. Aku baru mengambil nasi setelah Mama selesai memindahkan dua centong nasi ke piring yang di letakkannya di sampingku, di depan sebuah kursi yang masih kosong. Aku sedang sibuk memandangi lauk yang tersaji, menimbang-nimbang yang mana yang akan kunikmati malam ini ketika suara kaki kursi yang bergesekan di lantai terdengar. Tidak perlu repot-repot mengalihkan perhatian dari lauk yang tersedia di meja makan, aku sangat tahu jika pelaku dari penarikan kursi tersebut adalah Kak Naomi. “Bagaimana pekerjaan kamu hari ini?” tanya Papa kepada Kak Naomi yang tengah menyendokkan lauk pauk yang telah tersedia ke piringnya. “Seperti biasa, berjalan lancar.” Setelah itu hening, kami berlima sibuk dengan santap malam kami. Papa yang terbilang tegas melarang kami untuk berbicara ketika tengah makan. Beberapa menit kemudian, kami telah selesai melakukan santap malam. Mama tengah memindahkan piring-piring kotor ke dapur untuk nantinya akan dicuci oleh Mbak Lastri. “Bagaimana sekolah kamu?” aku diam saja karena aku tahu dengan pasti, pertanyaan itu tidak ditujukan kepadaku. “Baik,” jawab Zein. “Bagaimana pertandingan basketnya?” “Timku menang.” “Itu pertandingan terakhir kamu ‘kan?” “Iya. Kelas sembilan udah enggak boleh ngikutin kegiatan oraganisasi ataupun klub lagi.” “Sebaiknya kamu mulai fokus belajar untuk UN tahun depan.” “Iya. Yaudah, Zein mau belajar dulu,” ucap Zein sambil beranjak. “Belajar yang rajin, jangan main game mulu,” pesan Papa. “Iya,” jawab Zein kemudian berjalan keluar dari ruang makan. “Aku mau ke kamar juga,” ucap Kak Naomi. “Besok kamu masih ada pemotretan?” “Iya.” Papa tersenyum tipis lalu mengusap kepala Kak Naomi dengan sayang, “Istirahat yang cukup,” pesan Papa yang dibalas anggukan singkat oleh Kak Naomi. Kini tersisa aku dan Papa di ruang makan. Aku menghela napas ketika beberapa menit telah berlalu namun belum ada percakapan diantara kami. Kulirik Papa yang tampak sangat sibuk dengan tablet-nya. Pada akhirnya, malam ini aku kembali beranjak pergi dari ruang makan tanpa ada percakapan antara aku dan Papa. Aku kembali menghela napas ketika telah merebahkan diri di ranjangku yang empuk. Selalu seperti ini, padahal aku juga ingin ditanyai Papa mengenai keseharianku tetapi hal itu belum pernah terwujud atau mungkin... tidak akan pernah terwujud. *** BAB 4 Buram, semua hal yang kulihat terlihat tidak jelas. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, tetapi penglihatanku tidak ada yang berubah, semuanya masih tampak buram. Padahal aku tidak mengidap miopi bahkan kedua orangtuaku pun juga tidak. Tapi kenapa penglihatanku menjadi seperti ini? Cahaya yang menyilaukan membuatku tidak bisa membuka mataku dengan sempurna. Aku berada dimana? Walaupun penglihatanku buram, tetapi aku yakin tempat ini bukan kamarku. Lampu kamarku berada di tengah ruangan, bukan tepat di atas ranjangku seperti ruangan ini yang memiliki sebuah lampu tepat di atasku dengan cahaya yang super menyilaukan mata. Samar-samar, aku dapat melihat beberapa orang berpakaian hijau dengan sesuatu yang membungkus rambut dan masker hijau yang menutupi wajah mereka sedang berdiri mengelilingiku. Mereka sangat aneh. Tak lama kemudian ku rasakan detak jantungku yang terpacu dengan cepat. Apa yang sedang terjadi? Suara alat pendeteksi jantung yang berbunyi nyaring memenuhi indera pendengaranku. Orang-orang aneh itu terlihat panik. Mataku terasa memberat, sepertinya aku sangat mengantuk, tetapi aku tidak ingin tertidur sebelum keadaan ini tergambar jelas. Kurasakan dadaku yang seperti ditarik sebelum akhirnya semuanya benar-benar berubah menjadi gelap. *** Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Jantungku berdetak kencang seolah aku baru saja berlari. Kulihat sekelilingku untuk memastikan jika aku terbangun di kamarku, bukan di ruangan aneh itu. Debaran di jantungku masih terasa. Mimpi itu sangat aneh. Aku bahkan masih ingat perasaan ketika tubuhku seolah terjatuh dari ketinggian sebelum akhirnya terbangun. Alarm dari ponselku yang kusetel pukul enam berbunyi membuatku sedikit kaget. Kumatikan alarm itu sebelum beranjak menuju kamar mandi begitu kurasakan jantungku sudah kembali berdetak normal. *** Proses belajar mengajar masih berlangsung. Tidak ada seorang murid pun di koridor selain diriku yang sedang dalam perjalanan menuju toilet. Aku tidak bisa fokus saat berada di dalam kelas tadi, jadi kuputuskan untuk ke toilet guna membasuh wajah agar segar kembali. Kilasan-kilasan mimpiku mengacaukan pikiranku. Mimpi itu benar-benar terasa nyata hingga membuatku takut, takut jika mimpi itu menjadi kenyataan seperti beberapa mimpi-mimpiku yang lalu. Aku masuk ke dalam toilet, bersamaan dengan salah satu pintu bilik toilet terbuka. Seorang siswi keluar dari bilik tersebut dengan ekspresi menahan sakit. “Udah?” tanya seorang siswi yang tadinya tengah merapikan rambutnya pada cermin besar yang berada di depan wastafel. Aku memilih memutar keran wastafel yang sedikit jauh dari tempat kedua siswi itu berdiri lalu membasuh wajah dengan air yang mengalir dari keran. “Perut lo masih sakit? Mau gue antar pulang?” “Enggak. Gue enggak mau bolos.” “Tapi lo gak bakal bisa fokus belajar kalau keadaan lo kayak gini." "Gue benar-benar gak papa. Ini bu-." Aku tidak lagi mendengar suara siswi itu ketika aku menutup pintu toilet. Koridor sekolah masih hening, tapi keheningan itu malah membuat kilasan-kilasan mimpi itu kembali muncul dan mengganggu fokusku hingga tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Aku hendak meminta maaf, tetapi orang itu sudah lebih dahulu berbicara. “Gue perlu bicara sama lo.” Sepertinya aku mengenali suara orang itu, aku mendongakkan kepala. Tidak salah lagi, orang itu memang laki-laki asing yang kutemui kemarin. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, jadi aku hanya memandangnya kikuk. “Hey, gue bilang gue perlu bicara sama lo.” Aku sangat ingin mengatakan jika dia sudah berbicara padaku, tetapi untuk saat ini itu bukanlah hal penting. Yang terpenting sekarang adalah aku harus tahu siapa lelaki ini. “Maaf, tapi kamu siapa?” Laki-laki itu terlihat terkejut, “Lo gak kenal gue?” Aku menggeleng. Apakah dia sangat terkenal hingga sangat terkejut karena aku tidak mengenalinya? “Lo beneran gak kenal gue? Gak pernah lihat gue?” Aku mengangguk. Laki-laki itu melepaskan kedua tangannya dari bahuku. Dia menghela napas lalu mengacak rambutnya, terlihat sedikit frustasi. “Oke. Pertama-tama kenalin, gue-,” “Kalian!” Mati! Aku sangat kenal dengan suara yang hampir setiap hari kudengar ini. Aku menolehkan kepala ke sumber suara dan benar saja, orang yang tadi berteriak itu adalah Bu Mera, guru BK yang terkenal galak. “Apa yang sedang kalian lakukan di luar kelas?! Ini masih jam pembelajaran!” “Maaf, Bu. Saya baru saja dari toilet,” jawabku agak takut dengan tatapan mata tajam Bu Mera. “Terus, ngapain kamu masih disini? Sana, ke kelas kamu!” Tanpa harus disuruh dua kali, aku segera berlari kecil menuju kelasku sebelum Bu Mera mengeluarkan tanduknya dan malah menghukumku. Aku mengehela napas lega begitu sampai di kelas dan duduk di bangkuku. Pokoknya, aku tidak boleh membuat masalah di sekolah. *** Koridor sekolah ramai oleh murid-murid yang berlalu lalang. Kursi besi panjang yang berada di depan setiap kelas juga ramai diisi oleh murid-murid yang sedang bercengkrama. Aku adalah salah satu dari murid-murid koyang duduk di kursi panjang. Hanya saja aku duduk sendiri di depan ruang guru, menunggu Jihan yang sedang menghadap Pak Rendra, pembina OSIS SMA Prawira. “Hai.” Aku mendongakkan kepala, mendapati laki-laki yang tadi pagi mencegatku saat dari toilet kini berdiri di depanku. “Lo punya waktu sebentar?” Aku menganggukkan kepala, “kenapa?” “Soal yang tadi pagi. Lo beneran gak tau gue?” Aku mengangguk. “Gak pernah liat gue?” Aku mengangguk, lagi. “Gak pernah denger nama gue?” “Emang nama kamu siapa?” tanyaku setelah sekian lama hanya menjawab pertanyaannya dengan anggukan sekaligus mengutarakan rasa penasaranku mengenai laki-laki itu. Dia menghela napas, “Yaudah. Nama gue-.” “Lis?” Ucapan lelaki itu terpotong ketika tiba-tiba saja terdengar suara Jihan. Aku mendongakkan kepala, mendapati Jihan yang telah berdiri di sampingku, di dekat pintu ruang guru. “Kamu nunggunya lama, ya?” Aku menggeleng, “Gak, kok.” “Yaudah. Ayo ke kantin.” Aku menolehkan kepalaku ke samping, hendak berpamitan kepada laki-laki yang belum kuketahui namanya itu. Tetapi aku tidak lagi mendapatinya di sampingku bahkan di sekitar tempatku duduk. Laki-laki itu seolah-olah tidak pernah duduk di sampingku, hilang bak ditelan bumi. “Lis, ayo!” Jihan menarik tanganku dengan tidak sabar sementara aku masih sibuk mencari lelaki itu. Padahal aku sudah hampir tahu namanya tetapi dia malah menghilang. *** Aku berjalan keluar dari ruangan klub musik. Sekolah sudah sepi. Yang tersisa tinggal beberapa pengurus OSIS juga beberapa murid laki-laki yang asik bermain basket masih lengkap dengan seragam sekolah mereka yang sudah acak-acakan. Koridor sekolah yang biasanya ramai sudah lengang sehingga memudahkanku untuk berjalan lebih cepat. “Awas!” Aku menoleh ke sumber suara itu. Sebuah bola basket melayang ke arahku. Tidak ada waktu untuk menghindar, yang sempat kulakukan hanyalah menutup mata, bersiap merasakan rasa sakit dari bola basket ketika mengenai tubuhku. Beberapa detik berlalu tetapi aku tidak kunjung merasakan rasa sakit itu ataupun suara bola ketika mengenai tubuh seseorang, aku malah mendengar suara seseorang yang akhir-akhir ini sering kudengar. “Kalau main hati-hati, anjing!” Aku membuka mata perlahan dan mendapati laki-laki asing itu berdiri di depanku berteriak marah ke murid yang sedang mengambil bola basket yang tergeletak tidak jauh dari kami. “Sorry, enggak sengaja,” ucap murid itu acuh lalu kembali berlari ke arah teman-temannya di lapangan basket. “Lo gak papa?” tanya laki-laki itu kepadaku. “Gak papa. Makasih udah nolongin. Em... Ngomong-ngomong, kamu belum ngasih tahu nama kamu.” Aku menatap wajah laki-laki itu. Mulutnya bergerak seolah mengucapkan sesuatu tetapi aku tidak dapat mendengar apa yang dia ucapkan. Penglihatanku memburam, lalu tiba-tiba saja aku sudah terbangun di dalam kamarku. Ternyata hanya mimpi. Jam menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Masih terlalu pagi untukku bersiap-siap ke sekolah jadi kuputuskan untuk melakukan jogging di taman kompleks yang berada cukup dekat dari rumah. *** Keringat sudah bercucuran di dahi dan leherku setelah memutari taman kompleks sebanyak dua kali putaran. Nafasku sudah terdengar tidak teratur. Tapi aku belum ingin mengakhiri jogging pagi yang sangat jarang bisa kulakukan. “Ohayou Gozaimasu.” Sebuah suara dari samping hampir membuatku melompat karena terkejut. Lagi-lagi kudapati laki-laki yang akhir-akhir ini sering menampakkan wajahnya di hadapanku -tetapi sayangnya tidak kuketahui namanya- kini telah beralih untuk berlari di depanku tetapi dengan posisi menghadapku. Iya, lelaki itu berlari mundur. “Lagi jogging?” tanyanya Enggak, lagi makan. Inginnya aku jawab seperti itu tapi saat ini aku sedang malas bicara jadi kuacuhkan saja pertanyannya tidak bergunanya itu. Lagi pula dia sudah melihatku sedang berlari di pagi hari ‘kan? Jadi kurasa dia sudah tahu jawabannya. “Lo enggak ada keinginan buat berenti lari? Lo udah kayak orang kena asma.” Laki-laki itu benar. Aku sudah lama berlari, hingga menghirup oksigen pun terasa sangat sulit. Jadi kuputuskan untuk beristirahat dan duduk di salah satu bangku taman dengan kaki selonjoran. Tangan kananku kugunakan untuk menutupi mataku dari cahaya redup lampu taman di sebelah bangku yang kududuki. Aku tidak merasakan kehadiran laki-laki itu. Entah pergi kemana. Laki-laki itu sering sekali menghilang. Apa mungkin dia punya kekuatan berpindah tempat? Atau mungkin dia punya kekuatan menghilang? Sebuah benda yang sedikit terasa dingin tiba-tiba saja mengenai pipiku. Aku refleks membuka mata dan mendapati sebuah tangan tengah mengulurkan sebuah botol air mineral. Laki-laki itu meraih tanganku lalu meletakkan botol air mineral itu di sana. “Minum. Lo pasti haus.” Aku melirik botol air itu lalu kembali menatap laki-laki itu. Minimarket yang paling dekat dari taman harus ditempuh sekitar sepuluh menit dengan jalan kaki dan sekitar lima menit berkendara. Jadi darimana dia mendapatkan minuman ini dalam waktu sebentar? Aku menatapnya curiga. “Tenang, air itu gue beli di warung dekat sini,” ucap laki-laki itu seolah bisa membaca pikiranku. “Airnya udah kamu minum?” tanyaku dengan napas yang masih sedikit terengah-engah. “Belum. Lo bisa liat kalau botol itu masih kesegel.” Aku menatap botol air itu yang memang masih tersegel “Kamu enggak mau minum?” Laki-laki itu menggeleng, “Gue lari baru sebentar, jadi belum haus.” Aku mengangguk mengerti, membuka tutup botol itu lalu meminumnya. Rasanya sangat melegakan saat air mengalir di kerongkonganku yang terasa sangat kering. “Terima kasih,” ucapku setelah meminum seperdua isi botol air itu. Suasana menjadi lengang. Aku berdeham untuk memecah keheningan di antara kami. “Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?" Aku akhirnya mengutarakan pertanyaan yang selalu hilir mudik di otakku sejak pertama kali melihatnya di perpustakaan. Kuharap kali ini tidak ada lagi gangguan seperti yang telah terjadi sebelum-sebelumnya. Laki-laki itu terlihat berpikir sebentar lalu tersenyum, “Nama gue...” *** BAB 5 “Nama gue....” “Nama kamu siapa?” tanyaku tidak sabar karena dia tidak kunjung mengucapkan namanya malah memanjangkan pengucapan kata ‘gue’-nya. “Terserah.” “Hah?” Aku menatap laki-laki itu heran, “Nama kamu Terserah?” “Iya, nama gue Terserah.” “Kamu bercanda?” “Enggak, gue Terserah.” Aku mendengus kesal lalu menyandarkan tubuhku di sandaran kursi taman. Jika saja laki-laki ini adalah Zein mungkin sekarang aku sudah memukulinya, menjambak rambut hitamnya dan mencakar-mencakar wajahnya. Intinya, aku akan menyiksanya. “Nama kamu siapa, sih?” tanyaku kesal. Kudengar dia terkekeh, entah karena apa. Mungkin tadi dia enggak sengaja lihat gajah terbang. “Terserah. Lo bebas mau manggil gue apa. Mau manggil sayang juga enggak papa.” “Jangan bercanda,” ucapku masih kesal. “Gue enggak bercanda. Lo boleh manggil gue apa aja sesuai keinginan lo.” Aku menatapnya tidak percaya, “Beneran?” Dia mengangguk. “Kalau gitu aku panggil Guguk, mau?” Dia terbelalak, “Enggak!” katanya setengah berteriak. “Katanya tadi terserah aku mau manggil apa.” Dia meringis, “Iya, terserah lo. Tapi seenggaknya panggil gue dengan nama yang manusiawi.” “Heli?” “Enggak. Gue bukan anjing.” “Cogaka?” “Nama apaan tuh? Aneh banget.” Ia mengerutkan keningnya. “Singkatan dari ‘Cowok Gak Peka’.” Dia mendengus, “Siapa yang bilang gue enggak peka?” tanyanya. Aku mengangkat bahu, malas menjawab pertanyaannya. Lagi pula itu singkatan yang datang tiba-tiba di otakku. “Nama yang lain. Yang manusiawi dan bukan dari singkatan.” “Yanto?” “Enggak, yang keren, dong.” Dasar laki-laki banyak maunya. “Kepin?” “Enggak.” Aku mendengus kesal. Untuk apa dia memintaku memanggilnya dengan nama apa saja jika dia tetap menolak semua nama yang kuusulkan? Buang-buang waktu. Lebih baik dia langsung saja memberitahukan namanya. Dasar menyebalkan. Getaran dari ponsel yang kusimpan di saku celana membuatku segera mengambil ponsel itu. Ada pesan masuk dari Zein yang menyuruhku untuk segera pulang. Tadi sebelum ke taman, aku tidak sengaja bertemu Zein yang baru saja dari dapur. “Dewa.” Aku menoleh untuk menatapnya yang menatapku dengan tatapan heran. “Aku boleh panggil kamu Dewa?” Ia terdiam sejanak, tampak sedang menimbang-nimbang nama yang kuajukan. “Boleh. Dewa kayaknya enggak terlalu buruk,” ucapnya setelah beberapa saat hening. Dewa itu... Nama tengah Zein. Zein Dewa Gantari, itu nama lengkapnya. Waktu masih di sekolah dasar, Zein memaksa kami sekeluarga untuk memanggilnya Dewa. Tentu saja kami sekeluarga tidak menuruti permintaannya. Dia tidak mau dipanggil Zein karena teman-teman sekolahnya mengejek dengan memanjangkan nama Zein menjadi Zeinab. Tetapi seiring berjalannya waktu, Zein sudah menghiraukan nama panggilannya. Terkadang aku juga ikut memanggilnya Zeinab jika sedang kesal kepadanya. “Yaudah. Aku mau pulang.” Aku berdiri lalu kembali memasukkan ponselku di saku celana. “Mau gue antar?” tawar lelaki yang dari beberapa detik yang lalu akan kupanggil Dewa. “Enggak usah,” tolakku kemudian berlari kecil menuju rumah. *** “Lis, kamu tau enggak?” tanya Jihan begitu aku duduk disampingnya. Kelas masih sepi, hanya ada aku dan Jihan juga delapan orang lainnya yang sibuk dengan urusan masing-masing. Padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang duapuluh menit tetapi kelas masih sepi. “Tau apa?” tanyaku penasaran. “Katanya bakalan ada murid baru di kelas duabelas IPA satu.” Aku menaikkan alis, “Terus?” “Murid barunya cowok!” Jihan berteriak tertahan lalu senyum-senyum sendiri, “Katanya juga, dia ganteng.” “Ya jelaslah ganteng ‘kan cowok, kalau cantik berarti cewek.” Jihan memutar mata malas, “Terserah kamu deh. Yang jelas stok cogan di SMA Prawara bakalan nambah.” Jihan kembali senyum-senyum sendiri. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh otaknya itu tetapi aku yakin pasti tidak jauh-jauh dengan adegan yang biasa terjadi di novel-novel fiksi remaja. “Lis, kemarin-.” Dan aku menghabiskan waktu duapuluh menit sebelum jam pertama dengan mendengarkan celotehan Jihan mengenai kegiatannya kemarin sampai pagi tadi sebelum berangkat sekolah. Dia sesekali tertawa ketika menceritakan sesuatu yang menurutku sama sekali tidak lucu. Humor Jihan memang se-receh itu. Bel masuk akhirnya berbunyi. Teman-teman sekelasku berbondong-bondong keluar dari kelas dengan membawa baju olahraga. Jam pelajaran pertama di kelasku hari ini adalah olahraga, dan seperti biasa kami akan berganti baju terlebih dahulu di toilet. “Lis, ayo.” Jihan berdiri dengan pakaian olahraga dipelukannya, menungguku yang sedang sibuk mengobrak-abrik tasku. “Kamu nyari apasih?” tanyanya kesal. Teman-temanku yang lain sudah berangkat ke toilet untuk ganti baju, menyisakanku dan Jihan di kelas. “Han.” Aku menatap Jihan dengan sorot memelas, “Kayaknya bajuku ketinggalan.” “Hah? Coba kamu periksa tas kamu lagi, deh." Aku menggeleng, “Enggak ada.” “Pak Fery bakalan hukum kamu kalau tau kamu enggak bawa baju olahraga.” Aku semakin menatap Jihan dengan tatapan memelas dan juga panik. Tidak, aku tidak mau dihukum oleh Pak Fery yang termasuk jajaran guru killer. Pak Fery itu GGS —Ganteng-Ganteng Sadis. Jika guru lain akan menghukum siswa dengan membersihkan toilet atau membersihkan perpustakaan, maka tidak dengan Pak Fery, guru olahraga kelas sebelas itu akan menghukum siswanya dengan cara menyuruhnya berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima kali ditambah dengan menulis tangan materi olahraga saat itu di kertas HVS minimal lima lembar. Baru membayangkan saja aku sudah lelah, bagaimana jika melaksanakannya langsung? “Yaudah, aku bakalan bilang kalau kamu lagi sakit.” Aku mengangguk setuju. “Aku duluan, ya.” Jihan berjalan keluar kelas meninggalkanku yang hanya bisa meratapi nasib. *** Bosan. Aku sangat bosan. Menyangga dagu di pembatas koridor dengan mata mengarah kepada rombongan siswa laki-laki yang sepertinya adalah kelas sepuluh yang sedang bermain bola. Tidak ada teman sekelasku di lapangan. Mungkin mereka sedang ada di lapangan basket indoor karena materi kami saat ini adalah basket. Mataku memandang malas bola berwana hitam putih yang digiring oleh kaki yang satu ke kaki yang lain. Seorang siswa berkaos hitam yang sedang menggiring bola putih itu tiba-tiba saja dikepung. Dia dengan cepat mengoper bolanya ke seorang siswa berambut cepak tapi bola itu malah melambung tinggi melewati siswa itu hingga mengenai seorang siswi yang sedang duduk bersama seorang temannya beberapa meter di belakang siswa berambut cepak hingga menyebabkan siswi itu pingsan. Ini semakin menarik. Aku menegakkan punggungku ketika tiba-tiba saja seorang siswa dengan seragam acak-acakan –sepertinya dia siswa dari kelas lain atau mungkin dia juga adalah siswa yang bernasib sama denganku—menghampiri siswa berkaos hitam dan menghadiahkan sebuah bogeman di wajahnya. Siswa-siswa yang berada di sana segera melerai keduanya, mereka menarik siswa berseragam menjauh dari siswa berkaos hitam yang sudah terbaring di lapangan dengan wajah babak belur setalah mendapatkan bogeman dari siswa berseragam tanpa bisa membalas. Siswa berseragam tampak memberikan ancaman ke siswa berkaos hitam sebelum menghampiri siswi yang pingsan kemudian menggendongnya menuju ke UKS, mugkin. Aku terus mengamati siswi pingsan itu hingga hilang dari pandanganku. Sepertinya aku pernah melihat siswi pingsan itu, wajahnya terlihat tidak asing. Ah, iya! Siswi itu adalah siswi yang kutemui di toilet tempo hari. Bukan, bukan siswi yang merapikan rambut, melainkan siswi yang keluar dari bilik toilet dengan wajah pucat. Hah. Aku kehilangan tontonanku. Tidak ada hal menarik lagi yang dapat kulihat di lapangan jadi kuputuskan masuk kembali ke dalam kelas. Aku merebahkan kepala di meja. Mengedarkan pandangan dan mendapati sebuah buku yang sepertinya buku novel tergelatak di salah satu bangku teman sekelasku. Novel itu mungkin bisa membunuh rasa bosanku andai saja aku suka membaca buku novel. Hanya dengan melihat tebal novel yang melebihi kamus bahasa Inggris-Indonesia saja sudah membuatku merasa kalau buku itu akan membosankan. Aku dan buku bukan lah teman baik. Aku memilih menolehkan kepalaku ke arah dinding kelas yang berwarna biru muda, masih dengan posisi kepala yang menempel pada meja. Aku mengayun-ayunkan kedua kakiku sambil bersenandung pelan. “Konnichiwa.” *** BAB 6 “Konnichiwa.” Aku tersentak kaget dan refleks menegakkan punggungku. Lagi-lagi kudapati Dewa yang tiba-tiba telah duduk di hadapanku lengkap dengan senyum menyebalkannya. Kapan dia masuk ke kelas? Aku sama sekali tidak mendengarkan langkah kaki, aku juga tidak mendengarkan suara kursi yang ditarik. Apa jangan-jangan dia ... hantu? Aku refleks menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran anehku itu, “Kamu ngapain disini?” “Lo juga ngapain di kelas sendirian?” Bukannya menjawab pertanyaanku, Dewa malah balik memberikan pertanyaan. “Aku enggak bawa baju olahraga.” Dewa menganggukkan kepalanya mengerti. “Kamu belum jawab pertanyaanku.” “Yang mana?” Aku menghela napas, malas mengulang perkataanku lagi, “Kamu ngapain disini? Enggak belajar?” Laki-laki itu mengangkat bahunya, “Kaki gue tiba-tiba aja ke sini, kayaknya kangen sama lo.” Dia mengedipkan sebelah matanya dan kembali tersenyum menyebalkan yang membuatku memutar mata malas. Kami terdiam sebentar hingga aku tiba-tiba saja mengingat sesuatu. “Kamu kelas berapa?” “Dua A.” Aku mengerutkan dahi, “Sebelas satu?” Dia mengangguk, “Mungkin.” “IPA?” Dia tampak berpikir, “Kayaknya.” Aku menatapnya heran. Bagaimana mungkin siswa dari kelas unggulan bisa berkeliaran di tengah jam pembelajaran seperti ini? Apalagi sampai di Gedung IPS yang letaknya berseberangan dengan gedung IPA dibatasi oleh lapangan yang tidak bisa dikatakan sempit. Dan yang paling membuatku heran adalah dia yang seperti tidak mengenali kelasnya sendiri. “Kamu beneran dari kelas sebelas IPA Satu?” “Bisa jadi.” Aku mengerutkan kening. Kerutan itu menghilang ketika suatu pemikiran tiba-tiba saja terlintas di otakku “Ah! Kamu murid baru yang lagi nyasar, ya?” Dia menatapku dengan pandangan sedikit terkejut. Mungkin kaget karena aku yang tiba-tiba saja berbicara dengan volume yang sedikit tinggi. “Beberapa hari yang lalu kamu datang ke sekolah untuk bawa berkas-berkas yang berkaitan dengan kepindahan kamu sekaligus untuk melihat-lihat keadaan sekolah baru kamu, makanya waktu itu kamu bisa ada di perpus, iya ‘kan?” Dia diam saja dengan ekspresi heran. Bibirnya terkatup rapat dengan pandangan lurus menatapku. “Sekarang kamu lagi dalam perjalanan ke sebelas IPA satu tapi karena ga tau letaknya di mana, kamu malah nyasar ke gedung IPS.” Aku tiba-tiba saja sok tahu mengenai alasannya berada disini. Aku tidak peduli, yang kuinginkan saat ini adalah dia pergi dari kelas ini dan membiarkanku sendiri. Aku berdiri dari dudukku, “Ayo, aku antar ke IPA satu.” Dewa tiba-tiba saja menarik tanganku hingga membuatku kembali duduk di kursiku. “Enggak perlu.” Kenapa dia tidak peka?! Tidakkah dia mengerti jika aku sedang berusaha untuk mengusirnya dari kelas? “Kenapa?” tanyaku. “Enggak perlu. Gue enggak butuh ke kelas.” “Ah, iya. Kamu udah terlalu pintar makanya enggak perlu masuk kelas lagi. Kalau gitu mending kamu ke perpus aja, disana kamu bisa baca buku sepuasnya sekalian ngadem dan juga nge-wifi.” Semoga dia peka dengan ucapanku kali ini. “Disini juga adem dan tambah adem karena lo juga disini.” Dia kembali mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Dasar tidak peka! Jika ada kontes manusia tidak peka aku akan langsung mencalonkan Dewa dan dengan senang hati memberinya vote sebanyak-banyaknya. Ingin rasanya kutampol mulutnya yang saat ini tengah tersenyum menyebalkan. “Dari pertama kita ketemu, lo enggak pernah senyum. Coba deh sekarang lo senyum, gue suka cewek yang sering senyum.” Aku mendengus, sama sekali tidak peduli dengan tipe perempuan yang disukainya. “Ayo senyum. Sekali aja, nanti gue kasih permen.” Memangnya aku anak kecil yang bisa disogok dengan permen? Aku terkejut ketika dia tiba-tiba saja meletakkan kedua telunjuknya di ujung bibirku lalu menariknya ke atas. “Kayak gini.” Aku menepis tangannya, “Enggak sopan.” Dia menaikkan alisnya, heran, “Bagian mananya yang gak sopan?” “Menyentuh wajah orang lain tanpa izin dari orang itu adalah tindakan tidak sopan. Aku bisa laporin ini ke Komisi Perlindungan Anak dan Wanita sebagai salah satu tindak pelecehan,” ucapku dengan nada datar. Dia menaikkan sebelah alisnya, “Oke, oke, gue minta maaf untuk itu. Gue cuman mau liat lo senyum ke gue.” “Kenapa aku harus senyum ke kamu? Apa hak anda meminta saya melakukan tindakan yang tidak saya inginkan?” “Err...” Aku berusaha menahan senyum puasku ketika melihatnya yang tiba-tiba menggaruk tengkuknya salah tingkah. Rasanya sangat menyenangkan membuat dia tidak bisa berkata-kata lagi. Tidak sia-sia aku mengamati sikap dan kata-kata Zein ketika mengusir perempuan yang datang ke rumah ataupun perempuan yang menghampirinya ketika kami sedang keluar bersama. “Jadi, Tuan Dewa yang terhomat. Bisa anda kembali ke kelas anda?” usirku. Jika dia tidak peka dengan pengusiran halusku tadi maka satu-satunya cara agar ia bisa pergi adalah mengatakannya langsung. Dia hendak berbicara lagi tetapi langsung kusela, “Sekarang juga. Sebelum saya menyeret anda ke ruang BK dan melaporkan jika anda sedang membolos.” Aku menatap lurus kedepan, menatap tajam matanya yang juga tengah menatapku. Jika saja ini film kartun, mungkin akan ada kilatan petir yang tercipta di antara kami. Keheningan terjadi selama beberapa saat sebelum seseorang tiba-tiba saja memecahkan keheningan itu dengan suara melengkingnya. “Assalamualaikum!” “ASTAGFIRULLAH, MATA UCUP TERNODA! YA ALLAH, MAAFKAN UCUP! UCUP GA SENGAJA!” Kami berdua sontak menatap ke pintu kelas. Disana berdiri Ucup -teman sekelasku, si biang kerok yang hobi bikin orang kesal- yang kini tengah menutup mata dengan mulut yang terus berkomat-kamit. “Woy, Cup! Kalo mau berenti pake sen, dong!” itu sepertinya suara Tian, ketua kelasku. Ucapan Tian itu langsung mendapat suara persetujuan dari teman-temanku yang tidak kuketahui siapa saja. “Sorry, Yan. Soalnya gue kaget liat orang pacaran di kelas, lo tau sendiri lah gimana perasaan gue yang jomblo dari lahir ini kalau liat orang pacaran,” ucap Ucup sambil berekspresi sedih menghadap Tian. “Serah lo. Minggir, gue mau lewat.” Ucup menyingkir dari pintu kelas dan membiarkan Tian dan teman-teman sekelasku yang lain masuk ke dalam kelas. Sontak semua atensi mereka terarah ke Dewa dengan pandangan heran. “Gue pergi dulu.” Dewa berdiri dari duduknya lalu berjalan keluar kelas yang diikuti oleh lirikan mata teman-temanku. “Eh-eh, cowok tadi siapa Lis?” tanya Alya tanpa bisa menyembunyikan ekspresi keingin tahuannya setelah Dewa benar-benar meninggalkan kelas. Dia berdiri disamping mejaku bersama Akila dan Ami. Dari info yang kudapat dari Jihan, tripple A alias Alya, Akila, dan Ami adalah tiga trio pencari cogan alias cowok ganteng. Mereka menyebut diri mereka Cogan Hunter’s. Aku mengidikkan bahu acuh, “Gak tau.” Aku malas menjawab pertanyaan mereka yang pasti akan sangat panjang mengenai Dewa. “Woy, Al! Lo enggak mau ganti baju?!” Teriak Risa dari ambang pintu kelas dengan seragam putih abu-abu di pelukannya. “Eh, jangan pergi dulu! Tungguin!” seru Alya panik sambil berjalan ke bangkunya. Aku menghembuskan napas lega ketika mereka bertiga sudah keluar dari kelas dengan memeluk seragam putih abu-abu masing-masing. *** “Kata teman-teman, tadi waktu jam olahraga kamu berduaan sama cowok ganteng. Beneran?” tanya Jihan begitu kami duduk di salah satu bangku kantin yang kosong setelah sebelumnya memesan soto dua porsi plus jus jeruk. Aku mengedikkan bahu dan lebih memilih memperhatikan kantin yang sangat ramai. “Cowok itu siapa, Lis?” “Murid baru.” Aku menjawab acuh. “Beneran?!” tanya Lisa bersemangat. “Murid baru dari kelas duabelas IPA satu itu? Ganteng gak?” Aku menggeleng, “Bukan, dia murid baru dari kelas sebelas IPA satu.” “Eh? Bukannya murid barunya itu kelas duabelas IPA? Kok cowok itu murid baru di kelas sebelas IPA? Kamu enggak bohong ‘kan?” Dia bertanya dengan mata memicing. Setelah hampir dua tahun duduk sebangku, sepertinya Jihan sudah sangat mengenali kebiasaanku ketika sedang malas menjawab pertanyaan yaitu menjawab pertanyaan dengan asal-asalan dan terkadang mengucapkan hal yang berkebalikan dengan kenyataan. “Cowok itu sendiri yang bilang kalau dia kelas sebelas IPA satu.” “Tapi di ISPRA bilang murid barunya kelas dua belas. Di LATUSPRA juga bilang gitu.” Sekedar informasi, ISPRA itu singkatan dari Info SMA Prawara, akun Instavolt yang berisi mengenai info-info di SMA Prawara yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan di sekolah atau info-info terbaru seputar sekolah dan seisinya. Sementara LATUSPRA itu adalah akun instavolt yang tidak bermanfaat singkatan dari Lambe Turah SMA Prawara. Dan seperti namanya, akun itu isinya gosip semua. Mulai dari gosip si A yang putus dengan si B sampai kucing si C yang ternyata hamil anak dari kucing si D juga dibahas di akun itu. Benar-benar unfaedah. Entah siapa orang kurang kerjaan yang membuat akun itu. Andai saja bukan karena peraturan untuk mengikuti akun LATUSPRA, aku pasti tidak akan mengikuti akun unfaedah itu. Ah iya, ada satu akun lagi. KASPRA, Kantin SMA Prawara. Isinya tidak jauh-jauh dari isi jajanan di kantin. “Mungkin info mereka enggak akurat.” Aku menjawab acuh. “Atau mungkin juga murid barunya bukan cuma satu orang.” *** Description: Genre: Teen Fiction - Drama Blurb: Pertemuan pertama mereka adalah di perpustakaan. Saat itu Lisa tertidur di perpustakaan dan saat terbangun, seorang laki-laki yang sudah duduk di sampingnya. Pertemuan kedua mereka terjadi di bus ketika laki-laki itu menolong Lisa yang hampir saja mencium lantai bus. Sejak saat itu, Lisa sudah tidak tahu seberapa banyak pertemuan yang sudah mereka lalui. Dia selalu muncul dimana-mana dan menghilang secara tiba-tiba. Tapi yang Lisa tahu, kehadirannya memberikan warna baru di kehidupannya. Jika momen-momen yang mereka lalui bersama adalah mimpi, Lisa harap dia tidak akan pernah bangun dari mimpi indah ini. "Yang telah pergi tidak akan pernah kembali, tapi yang hampir pergi masih bisa kembali." Publish: 08 Juni 2021 Penulis: Haila_nr