text
stringlengths 478
2.18M
|
---|
Title: Rumah Impian
Category: Teenlit
Text:
BAB 1
Gerimis. Tetapi anak kecil itu masih saja bergulat dengan asap kendaraaan yang berlalu lalang di perempatan lampu merah yang terkenal dengan nama Blok O. Tangannya mengayun-ayunkan alat musik sederhana yang terbuat dari tutup botol minuman rasa-rasa yang dipakukan pada sebuah batang kayu pipih, sambil mulutnya menyanyikan potongan lagu yang sedang popular saat ini. Hanya beberapa kata saja, kemudian ia mengulurkan tangan pada pengendara yang sedang menunggu lampu menjadi hijau. Kadang ditolak, kadang diberi. Sudah biasa batinnya, ketika menemui pengguna jalan yang memberi tanda “tidak” ketika tangannya terulur meminta apresiasi berupa receh.
Gerimis sudah berubah menjadi menjadi sedikit deras ketika anak sembilan tahun itu memilih beristirahat di emperan toko, menghitung hasil dari nyanyian sumbangnya di jalan siang ini. Dua puluh satu tujuh ratus. Jumlah yang cukup banyak, mengingat belum ada satu jam ia melancarkan konser kecilnya di depan pintu-pintu mobil mewah yang melewatinya. Ia tidak sendiri, beberapa temannya yang lain juga sedang melakukan hal yang sama dengan alat musik yang berbeda. Ada yang menggunakan ukulele, botol bekas air mineral yang diisi beras, bahkan ada yang hanya dengan tepukan tangan saja. Ia memasukkan hasil ngamennya hari ini ke dalam kantong celana lusuhnya, tidak lupa ia menyisakan dua ribu rupiah, membeli es teh di warung tempatnya berteduh saat ini, meredakan hausnya. Ia menyerahkan empat keping lima ratus rupiah kepada penjual es teh yang dikenal dengan nama Mak Yatmi.
“Es Teh satu mak, dibungkus, yang manis,” katanya. Mak Yatmi membalas dengan senyum, “Iya le,” lanjutnya sambil tangannya sibuk meracik es teh yang dipesan si bocah tadi.
“Kamu nggak pulang Ma? Sudah tiga hari to kamu nggak pulang?”, tangan Mak Yatmi mengulurkan es teh dalam plastik kepada Rama, nama bocah itu.
“Nggak Mak, buat apa pulang,” Rama menyeruput tehnya cepat-cepat, seperti sangat kehausan, dan beranjak dari duduknya, sepertinya enggan melanjutkan pembicaraan. Mak Yatmi hanya menggelengkan kepalanya. Ia merasa geregetan tetapi juga kasihan, tidak tega. Bocah seumur jagung sudah harus mencari penghidupannya sendiri. Walaupun Rama tidak sendiri dijalanan, tetapi tetap saja, mereka, anak-anak itu seharusnya masih bisa menikmati waktu mereka di sekolah atau ditempat-tempat ramah anak. Bukan di jalan seperti saat ini.
Setelah sebungkus es tehnya tandas ia kembali lagi pada rutinitasnya. Sesekali ia beristirahat dan bersenda gurau dengan teman-temannya. Saling mengolok, bahkan terkadang keluar kata-kata kotor dan makian. Sudah biasa. Jalanan telah mengajarinya banyak hal walaupun belum lama ia memasuki dunia jalanan bersama satu temannya yang bernama Faisal. Mereka tidak saling mengenal sebelumnya, tetapi dunia jalanan lah yang mempertemukan mereka, Faisal datang ke perempatan tempat Rama biasa ngamen, dimana saat itu Rama baru tiga hari datang ketempat itu. Teman-teman ngamen yang sebelumnya disitu pun menyambut dengan gembira ketika ada Rama dan Faisal yang setelahnya datang, tidak merasa tersaingi dengan adanya orang-orang baru.
Hari sudah semakin malam. Hujan yang sedari tadi deras, sekarang hanya tinggal menyisakan kubangan-kubangan di jalan-jalan berlubang. Mereka berdua berjalan pelan sambil sesekali bergurau dan memainkan ukulele. Melewati remang jalanan yang sepi dan menyisakan sunyi. Mereka mencari tempat untuk berteduh malam ini. Keduanya tidak pernah berteduh di tempat yang sama setiap harinya, selalu mencari emperan toko yang baru dan belum pernah mereka tempati. Namun, sesekali mereka pulang untuk sekedar berganti pakaian ataupun menengok adik-adik mereka yang masih kecil.
“Rima apa kabar?” tiba-tiba Faisal bertanya dengan masih memainkan ukulelenya.
“Baik kayanya,” jawab Rama enteng, sambil menatap kebawah, menendang-nendang kerikil di trotoar.
“Lo nggak pengen pulang Ram, paling enggak nengokin adek lo lah, kasian dia sendirian di rumah.”
“Ah, dia juga udah gedhe Sal, cuma beda setahun sama gue,”
“Wah, parah lo nyama-nyamain, beda lah, gimanapun dia cewek bro.” Faisal kini sudah menghentikan permainan ukulelenya, “udahlah, malem ini lo pulang aja, jangan karena emak bapak lo, lo malah nyalahin Rima,” jelasnya dengan pemikiran yang lebih dewasa dari temannya itu.
Rama berpikir sejenak, sebenarnya ia juga rindu pada adiknya yang sudah tiga hari ini tidak ia temui. Tapi bagaimana lagi, suasana hatinya sedang tidak ingin pulang, jika mengingat keluarganya saat ini.
“Lah, lo gimana dong, sendirian di emperan,” katanya, berusaha mencari alasan agar tidak pulang malam ini.
“Bodo amat, nggak usah ngurusin gue, lo harus pulang Ram,” langkah Faisal terhenti di salah satu toko yang sudah tutup, “gue disini, lo pulang aja, sumpah kasihan si Rima, lo nggak tau kan dia bisa makan apa enggak hari ini,” imbuhnya.
Rama menghela nafasnya, memikirkan perkataan Faisal yang ada benarnya. Bagaimana jika adiknya tidak bisa makan selama ia pergi, bagaimana jika adiknya menangis karena keadaan keluarganya, bagaimana jika… Semakin lama berpikir justru semakin pertanyaan dalam kepalanya, dan itu membuatnya khawatir. Ia menatap Faisal sebentar, bergumam, “Oke, gue pulang,” dan melangkahkan kakinya menjauh dari emperan toko tempat Faisal bermalam hari ini. Akhirnya ia memutuskan pulang, untuk menjawab semua pertanyan di otaknya yang membuatnya khawatir.
Faisal benafas lega, dan mulai memposisikan diri untuk tidur, beralaskan koran yang sudah ia persiapkan, ukulele kesayangannya pun setia menjadi guling disetiap malamnya.
***
BAB 2
Siang ini jalanan ramai sekali, seperti hari Minggu biasanya, jalanan penuh dengan kendaraan bermotor dan mobil-mobil mewah. Kesempatan bagus bagi anak-anak yang mengamen hari itu, bisa mendapat banyak pemasukan. Faisal misalnya, dua jam sudah ia memainkan ukulelenya, walaupun sesekali berhenti untuk berteduh. Ia menghitung penghasilannya malam ini. Seratus lima puluh tujuh dua ratus rupiah. Jumlah yang sangat menggiurkan. Pantas saja anak-anak itu betah berada dijalanan, ternyata memang prospek dan hasilnya sangat memuaskan. Hanya dengan bermodalkan alat musik abal-abal, dan suara sumbang namun lantang, bisa menghasilkan sekian rupiah dalam dua jam. Ia mengumpulkan kumpulan recehnya dalam satu wadah yang kemudian ia kantongi.
Faisal Wibowo, nama lengkap yang diberikan oleh orang tuanya. Dia berusia setahun lebih tua dari Rama, yaitu 10 tahun. Keadaan keluarganya hampir sama dengan Rama, hanya saja ibunya sudah meninggal dan ayahnya penjudi dan pemabuk parah, berbeda dengan Rama yang orang tuanya masih utuh hingga saat ini, walaupun sudah diambang perpisahan. Hal itulah yang membuat bocah semuda itu memutuskan untuk lebih memilih tinggal dijalanan bersama dengan “keluarga” barunya yang lebih membuatnya nyaman.
Faisal bangkit dari tempatnya berteduh, ketika melihat Rama yang kali ini tidak sendiri berjalan menghampirinya. Rama bersama si Rima adiknya yang jelita. Dengan rambut lurus panjang sebahu, kulit kuning bersih, dan gingsul di deretan giginya menambah kesan manis pada diri Rima. Faisal menatap Rama penuh tanya, dahinya berkerut dalam, dan Rama hanya menjawab dengan bahunya yang terangkat isyarat bahwa, “Iya gue salah, tapi gimana lagi.”
Rima menatap bingung kedua lelaki yang ada di depannya saat ini. Beberapa detik Rama dan Faisal masih saling bertatapan, namun detik selanjutnya Faisal mengalihkan pandangannya pada Rima, sudut-sudut bibirnya tertarik dan membentuk sebuah senyuman. Hangat.
“Jangan mau Rim kalo di ajak Rama ke jalan. Lo dirumah aja sana,” tutur Faisal masih dengan senyum di wajahnya.
“Rima cuma mau bawain baju ganti buat Bang Rama kok, abis ini pulang lagi.”
Rima mengangkat tas yang ia bawa sedari tadi, berisi pakaian-pakaian abangnya dan menunjukkannya kepada Faisal seakan memberi bukti bahwa ia tak minat berlama-lama dijalanan dan mengikuti jejak sang abang.
“Yaudah, sana lo pulang dek, gue mau cari duit dulu,” belum sempat Faisal menjawab perkataan adiknya, Rama sudah lebih dulu menyuruh Rima untuk pulang.
“Iya, ini baju abang. Jangan buang-buang baju lagi, kalo kotor dibawa pulang.”
Sudah seperti ibunya saja, Rima menasehati Rama, karena salah satu kebiasaan buruk Rama adalah membuang baju-bajunya jika sudah kotor, dan berganti pakaian bersih yang biasa diantarkan oleh adiknya.
“Iya, udah sana jangan berisik. Ati-ati lo dek.”
Tetap saja ada senyum tipis yag tersungging di bibir Rama untuk adiknya, walaupun ia terkesan cuek, tapi tetap saja ada sebagaian kecil dari dirinya yang merasa khawatir.
Rima pun berlalu, berjalan sendiri, pulang ke rumah.
***
Hari berlalu seperti biasa bagi Rama dan Faisal. Ngamen – Istirahat – Makan – Ngamen – Mandi – Ngamen lagi. Sudah seperti itu saja keseharian mereka, kecuali jika pulang ke rumah.
Kali ini Rama ngamen sendirian, Faisal masih sibuk dengan es tehnya di warung Mak Yatmi. Ia berpindah dari satu mobil ke mobil lainnya, dan berhenti pada satu mobil mewah berwarna putih, berharap di beri recehan. Bukan kaca jendela depan yang terbuka, tetapi justru kaca belakang, yang di susul dengan munculnya wajah seorang gadis kecil seusia Rama, masih menggunakan seragam sekolah berwarna biru. Matanya yang bulat memandang Rama, dan memanggil namanya antusias.
“Natan!”
Rama sedikit terkejut, karena selama ini hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama Natan, dengan alasan lebih menyukai nama Natan, daripada Rama.
Rama menghentikan permainan ukulelenya. Belum sempat Rama menjawab, gadis kecil berambut keriting itu sudah menghujaninya dengan banyak pertanyaan.
“Natan ngapain disini? Kenapa nggak sekolah lagi? Sekarang nggak ada yang nemenin aku makan bekal loh.”
Belum ada jawaban selain cengirannya yang serba salah. Rama tidak tahu harus menjawab seperti apa. Saat baru hendak membuka mulutnya, seorang wanita berusia 30an yang berada disisi gadis kecil itu tersenyum pada Rama kemudian menatap gadis itu.
“Udah Sienna, besok lagi ngobrolnya, udah di klakson-klakson dari belakang itu loh.”
Tanpa sadar lampu merah sudah berubah menjadi hijau, dan suara klakson dari para pengemudi dibelakang yang tidak sabaran membuat jalanan padat itu menjadi bising.
Sienna, nama gadis itu. Ia menatap wanita yang merupakan mamanya itu, meminta sedikit tambahan waktu untuk bisa mendengar jawaban Rama.
Mamanya hanya membalas dengan gelengan kepala.
“Ayo jalan Pak,” putus mamanya.
Mobil putih itu perlahan berjalan, meninggalkan Rama yang masih terdiam di tempatnya. Detik selanjutnya ia tersadar kemudian meninggalkan jalanan dan menepi, menghampiri Faisal.
“Siapa?”
“Temen sekolah gue dulu.”
“Oh..”
Sienna Debora. Gadis itu adalah sahabat Rama, ketika ia masih berada dibangku sekolah. Gadis kaya yang tidak pernah memandang status sosial Rama, berbeda dengan teman-temannya yang lain yang selalu mengejeknya karena keadaan ekonomi keluarganya, dan juga karena lingkungan rumah Rama yang berada di daerah kumuh, orangtuanya pun tidak pernah melarang untuk berteman dengan Rama.
Gadis itulah yang membuatnya untuk pertama kalinya merasa diterima.
***
Description: Bionerges May Langga Janji | IG : @ennomlj | "Novela ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #Pulang 2020."
Kalau rumah hanya berbicara tentang dinding dan atap saja, maka seindah apapun tidak akan membuatnya nyaman untuk ditinggali.
Berbeda ketika rumah berbicara tentang hubungan siapapun yang tinggal didalamnya, maka damai sejahtera pun akan tetap tinggal hingga dindingnya tak lagi kokoh dan atapnya tak lagi bisa melindungi.
Aku hanya ingin kembali, katanya. Ke rumah yang benar-benar rumah, dimana aku bisa pulang.
|
Title: Rindu Untuk Mesir
Category: Cerita Pendek
Text:
“RINDU UNTUK MESIRâ€
RINDU UNTUK MESIR”
Oleh: Sisca Dwi Nurhayati
“Nah, jadi sebenarnya dimana yang salah? Aku atau mereka?” … .
Bandung, kota yang dengan begitu banyak cerita tua penuh cinta katanya. Seorang gadis yang jauh dari kata istimewa itu tengah sibuk berdebat dengan salah satu teman dekatnya, Naryo diantara orang-orang sibuk ngerjakan tugas. Nil, begitu banyak teman memanggil perempuan sederhana itu. Tiba-tiba satu pesan masuk ke ponsel jadulnya. “Nil, ada sms tuuh..ciiie pasti dari oprator.” ejek Naryo. “Yalaah..nanti aja di bukanya.”. “Okay, lanjut lagi pada pembahasan tadi. Bukan siapa yang salah dan siapa yang bener Yo, tapi siapa yang mau lebih dulu meminta maaf dan memperbaiki kesalahan yang sudah terjadi. Bukan hanya kita yang butuh didengar, tapi mereka juga.” .- “Ya, yaudah do’ain aja biar semua baik-baik aja. Yuk pulang.”
Selepas perkuliahan, pulanglah Nil ke kosan terpencilnya. Jauh dari peradaban dan pengelihatan katanya, tapi Nil tetap betah dan tidak mau pindah karena sudah nyaman. Begitulah ia, sekali nyaman terhadap apapun tidak akan pergi meninggalkan. Sesampainya di kosan dan selesai membersihkan diri barulah ia membaca pesan yang sudah ada sedaritadi siang. Pesan itu ternyata dari Madina, teman kecilnya sewaktu dulu yang berisi ajakan pertemuan bersama liburan minggu ini. Setelah dipikirkan dengan segala pertimbangannya akhirnya berangkatlah Nil ke tempat masa kecil dan remajanya yang menurut Nil teramat kelam ceritanya. Ya memang, Nil yang sekarang benar-benar jauh berartus-ratus derajat bedanya dengan Nil yang dulu. “Sungguh, aku tidak tau apakah aku bisa seperti sekarang ini, jika dulu Allah tidak membelokkan jalanku. Melepas segala harapan yang telah kubangun susah payah dan terhempas jauh dari tempatnya. Tapi benar, Allah tau yang terbaik untuk jalan cerita hidupku dan hamba-hambaNya.” Begitu kurang lebih pikir Nil tiap kali teringat segala hal yang ia alami dalam kehidupannya yang benar-benar jauh dari kata sempurna bahkan jauh dari kisah hidup orang-orang kurang beruntung lainnya. Nil benar menganggap ia teramat beruntung dilempar jauh dari Ibukota dan bertemu dengan sahabat-sahabat pengingat dan penguat imannya.
Di tempat pertemuan, haru biru kerinduan terhampar diantara seluruh yang datang. Nil lebih banyak bercerita dengan Madina, karena Madinalah satu-satunya teman terdekat Nil sedang yang lain mulai menjauh. Seperti Ria, dan Kia yang mulai benar menjauh dari Nil dan Madina. “Nil, kamu beda banget sekarang seriusan. Baytheway sekarang lagi deket sama siapa?” tanya Madina yang mulai menggelitik. “Alhamdulillah, diberi kesempatan untuk berhijrah.hihi. yang deket dalam arti apa nih? Kalo deket dalam arti khusus sih gaada Din. Belum tertarik lagi.” Jawab Nil. -“Hehe. Yaa emangnya kenapa?”. -“simpel sih Din, terakhir kali aja dua tahun yang lalu diselingkuhin Cuma gara-gara jarak beberapa kilometer. Dan terlebih lagi kan aku sering diingetin sama temen kalo orang yang beneran serius dan satu-satunya jalan untuk cinta itu bukan pacaran tapi nikah. Nahloh kan, kalo nikah mana siap. Yang ada pada kabur laki sekarang kalo dibilangin begitu.haha.” –“ciiiee.. bener juga sih Nil. Eh iya, kamu tau Mesir kan? Mantannya Ria itu looh.. dia nanyain kamu semalem. Katanya ngefans sama senyum kamu.ciiiee haha.” Ledek Madina lagi. “Ooh.. iya kenal. Masa sih? Waah.. ko bisa sama yah, tapi bukannya dia udah punya pacar ya?” jawabnya Nil dengan muka memerah. -“Ciiee seneng juga kaan.. dia udah putus ko Nil.” -“Ooh.. gituuu”.
Sepulang pertemuan itu sudah saatnya berlibur panjang akhir semester dan itu artinya Nil kembali ke kampung halamannya di Limbangan, Garut. Disitulah tempat yang dulunya Nil kira tempat pembuangan dirinya dan membuat Nil marah sampai tidak berbicara selama seminggu karena benar Nil merasa seperti seluruh impian yang dirangkainya itu sudah direnggut oleh keadaan. Baru beberapa menit Nil berselonjor karena lelah dengan macetnya jalanan, sambil membuka akun Facebooknya Nil melihat ada satu pesan masuk. Nil kira itu dari Naryo atau Maryam jadi tidak terlalu diperhatikan. Setelah makan dan cukup bugar lagi barulah ia buka pesan diFacebooknya itu dan ternyata berasal dari seseorang bernama Mesir yang beberapa hari lalu dibicarakan dengan Madina.
“Mata dan hati aku ada sesuatu yang belum boleh untuk diungkapkan… .”
Pesan demi pesanpun terkirim dan terbalas oleh keduanya, Nil dan Mesir. Ada banyak hal yang ingin Nil tau tentang Mesir, namun pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah terlontar dan begitupun Mesir yang tidak melontarkan dengan sengaja apa yang ingin Nil tau. Tidak banyak kata memang yang terlempar panjang dari Mesir untuk Nil atau dari Nil untuk Mesir tentang apa yang mereka rasakan. Tapi benar ada banyak ketakutan dalam hati Nil, “Bolehkah aku merindukannya?” “Sampai kapan akan bahagia seperti ini dengannya?” “Mampukah aku mengalahkan masa lalunya?” “Akankah hatinya berubah? Atau hatiku yang berubah?” Ya, Nil merasa takut seperti itu, karena diantara laki-laki yang mendekat hanya Mesirlah yang mampu membuatnya merasa ingin menjadi seseorang yang lebih baik untuk bisa pantas mendampinginya. Nil benar berharap kisah ini menjadi yang terakhir, tidak menyakiti lagi, atau tidak meninggalkan lagi hanya karena jarak yang bahkan kali ini jutaan mil jauhnya atau lebih. Dan pada akhirnya, Nil hanya bisa menyerahkan segalanya pada pemilik hati yang mampu membolak-balikkan hatinya dan hati Mesir.
Tahun demi tahun sudah terlewati, semakin sedikit dan jarang sekali pesan diterima dan terkirim antara Nil dan Mesir. Tapi Nil masih tetap menggapai impian-impiannya sambil menunggu Mesir pulang meskipun belum tentu pulangnya untuk Nil. Rindunya sungguh tidak tertahan terhadap Mesir yang bahkan entah merasakan yang sama atau tidak. Hanya bait-bait puisi dan do’a yang tertulis dan terucap ditiap harinya. Sampai satu persatu impian Nil tercapai, mendaki puncak-puncak tertinggi Indonesia; mengabdi pada Indonesia dengan mengajar diantara pulau-pulau tak tersentuh pemerintah; sampai memenuhi segala keinginan keluarganya. Semua sudah tercapai dalam waktu menunggunya.
“Assalamu’alaykum, Nil. Apa kabarmu saat ini? Masihkah engkau sendiri? Aku merasa sudah siap untuk bertemu dengan kedua orangtuamu dan mempertemukanmu dengan kedua orangtuaku.”
Sungguh pesan yang membuat Nil bahagia tanpa tepi diantara deburan ombak dan siswa-siswa disekelilingnya. Pesan dari seseorang yang telah lama dinantinya, Mesir. Sayangnya pesan itu dikirim sudah sebulan lebih, dan itu membuat Nil khawatir apakah pesan itu masih berlaku sampai hari ini atau tidak. Karena memang keadaan tempat Nil tidak memudahkannya untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Dengan penuh ragu dan harap Nil membalas pesan itu.
“Wa’alaykumussalam warahmatullah. Aku sungguh dalam keadaan beruntung karena masih diberi kesempatan bernapas dan membaca pesan darimu Mesir. Saat ini aku tidak di pulau Jawa. Kiranya kau sudi untuk menungguku kembali beberapa bulan lagi setelah masa mengabdiku selesai, sungguh itu menjadi hal yang aku rindukan.”
Ya begitulah.. pada akhirnya penantian Nil dan tumpukan rindunya untuk Nil terbayarkan sudah.
“RINDU UNTUK MESIR†- Bagian Dua
“RINDU UNTUK MESIR”
Bagian Dua
Oleh: Sisca Dwi Nurhayati
“Bukan gitu caranyaa!!.. Gimana sih, apa-apa ga bisa!!”
Setiap hari hanya cacian, makian dan omelan yang di dapat oleh Nil setelah pernikahannya bersama Mesir. Nil dan Mesir masih tinggal di rumah yang sama dengan orang tua Mesir, masih mencari modal katanya. Tapi ya seperti itu yang harus di alami oleh Nil, kaya akan makian mertuanya yang memang kurang setuju dengan pernikahan mereka. Katanya karena perbedaan suku, perbedaan derajat keluarga. Nil hanya bisa bersabar menghadapi semuanya.
“A ..uang kita sudah ada berapa? Kalau sudah cukup untuk mengontrak, rumah kecilpun Nil tak apa. Nil ingin kita belajar mandiri.” – “Maafkan Ibu yaa Nil, dengan sikap Ibu yang seperti itu pasti melukai hatimu. Uang kita sudah cukup jika hanya kontrakan kecil, tapi apa kau benar tidak masalah?”- “Nil gapapa ko A kalo soal Ibu, Nil tau maksud Ibu baik biar Nil belajar lagi. Benarkah A?”.- “Ya, Insya Allah bulan depan kita pindah ke kontrakan ya sayang.” –“Iya, makasih yaa A”.
Perpindahannya dari rumah mertua, malah membuat Ibu mertuanya itu semakin marah. “Sok banget sih kamu Nil, make acara minta pindah pindah segala. Ke tempat yang kecil seperti ini, kalo kamu sih udah biasa kali di tempat kecil kaya gini karena emang dasarnya miskin. Lah kalo Mesir, kamu kira dia bisa tinggal di tempat kaya gini? Bisa sakit dia.” Hujat Ibu mertua Nil saat mendatangi kontrakan baru Nil dan Mesir yang membuat Nil hanya bisa tertunduk. “Sudah Bu, malu kalo di dengar tetangga.” Ujar Mesir yang mencoba menenangkan Ibunya. –“Hah, biarin aja. Apa peduli mereka, yasudah Ibu gak mau lama-lama di sini. Kamu juga kalo udah ga tahan, pulang ke rumah.” Lantas pulanglah Ibu mertua Nil.
Nil hanya langsung masuk ke kamar kontrakan barunya sambil menangis tersedu. “Maafkan Nil A, kalau Nil membuat Aa merasakan derita seperti saat ini. Tapi sungguh A, Nil tidak akan meninggalkan Aa sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun.”. –“Tidak Nil, bukan kamu yang salah, ini memang jalan cerita kita harus seperti ini. Aku tau kau tidak akan meninggalkanku, dan Aku akan berusaha membahagiakanmu selama kau menemaniku.” Memang saat ini kondisi Nil dan Mesir masih belum stabil, karena sekarang Nil hanya mengajaar di satu Sekolah Dasar dan Mesir hanya menjadi Asisten Dosen. Tidak kurang, tapi tidak berlebihan. Hanya tetap saja di mata orang tua Mesir itu adalah penderitaan untuk Mesir karena memilih Nil.
Tahun pertama dilewati dengan sama oleh mereka, dengan setiap harinya selalu Nil menyiapkan sarapan dan the hangat untuk Mesir sebelum berakngkat mengajar sampai menanti datangnya Mesir kembali pulang dan menyiapkan segala keperluan Mesir hingga Mesir tidur, tidak ketinggalan rentetan semangat dan dukungan untuk Mesir dari Nil yang selalu mampu membangkitkan semangatnya untuk membahagiakan Nil. Sampai pada suatu malam, “Assalamu’alaykum, Nila.. Aku pulang..” sambil berlari kecil dari kamar mandi Nil menjawab “Wa’alaykumussalam warohmatullah, maaf ya A Nil dari kamar mandi, mual daritadi pagi.” –“Kamu ga kenapa-kenapa Nil? Kita ke dokter ya. Harus.” Berangkatlah mereka ke dokter, dan hasilnya adalah Nil mengandung buah cintanya bersama Mesir.
Tahun kedua pernikahannya merupakan kado terindah bagi Nil karena di karuniai seorang anak laki-laki yang di beri nama Muhammad Cassaffa(Saffa), terlebih kondisi ekonomi keluarganya semakin berkembang karena Mesir kini diangkat menjadi Pegawai Negeri di tempatnya mengajar, dan di tambah pula kebahagiannya karena Ibu mertuanya sangat menyayangi Saffa, meskipun masih tetap sama jika terhadapnya. Tahun itu benar-benar dipenuhi kebahagiaan bagi Nil.
Bertahun-tahun berlalu dengan bahagia bersama keluarga kecilnya, kontrakan yang kecil itu kini menajdi rumah miliknya sendiri yang tidak hanya berkamar satu, tapi banyak. Halaman rumah yang luas dan kebun di belakang rumah. Ya, perjuangan Nil dan Mesir kini berbuah manis bersama manisnya kedatangan buah hati keduanya yang diberi Nama Orizza Satifa(Izza). Tapi itu tidak berlangsung lama, badai siap datang untuk mengusik bahagianya Nil. Karena sudah beruang dan makmur, entah kenapa Mesir sering pulang terlambat dan terlihat pucat. “Maafkan Aku Nil.” Begitu yang hampir setiap harinya Mesir katakan pada Nil tanpa memberi alasan maaf untuk apa yang ia pintakan itu.
Mesir adalah seorang yang berbakti kepada orangtuanya. Orangtua Mesir yang memang tak puas dengan pilihan Mesir, mencarikan lagi wanita untuk Mesir. Mesir selalu menolak, namun Ayahnya yang sudah tidak bisa bangun itu memintanya sebagai permintaan terakhir katanya. Dengan terluka dan berat hati ia menyanggupinya dan menikahlah dia dengan wanita lain pilihan Ibunya, Ayuni. Tanpa terlebih dahulu mengatakannya pada Nil, karena ia tahu itu akan melukai Nil. Tapi bagaimanapun bangkai yang disembunyikan akan tercium baunya. Nil merasa Mesir dipenuhi pendritaan yang ia tidak tau darimana datangnya.
“A ..maukah kau menjawab setiap pertanyaanku seperti dulu?” tanya Nil dengan tatapan lembutnya yang membuat Mesir tertunduk dan meneteskan airmata. “Maafkan aku Nil, Aku telah menikah dengan wanita lain pilihan Ibuku. Maafkan aku Nil, sungguh maaf karena aku mengingkari janjiku membahagiakanmu selama kau disampingku. Maaf karena aku harus melukaimu, aku tidak tau harus bagaimana. Tolong katakan padaku apa yang harus aku lakukan.” Seketika terasa luruh seluruh hati dan jiwa Nil, hujanpun turun sangat deras dari matanya yang teduh itu. Hancur hatinya sehancur-hancurnya. Mesir hanya mampu bersimpuh sambil menangis karena tau ia membuat hancur hati wanita yang ia cintai. “Ceritakan padaku, kenapa kau harus seperti itu?” tanya Nil lagi dengan airmata yang mengalir. Mesirpun menceritakan semuanya, kemudian Nil mengusap airmatanya juga airmata diwajah suami tercintanya dan tersenyumlah ia. “Baiklah, itu sudah menjadi keputusanmu untuk tetap berbakti kepada orangtuamu. Aku tidak apa-apa selama kau tidak berubah. Aku akan baik-baik saja.” –“tidak mungkin kau tidak apa-apa Nil, aku tau kau terluka.” –“benar, aku terluka. Sangat terluka, tapi asal kau tidak berubah dan kau ikhlas dengan ini semua akupun ikhlas Mesir. Karena bagiku, kau tetaplah Mesir yang aku cintai dan mencintaiku. Kau tetaplah Mesir, ayah dari anak-anakku. Kau tetaplah Mesir yang memberikan beribu kebahagiaan di tiap hariku, kau tetap Mesir yang akan selalu aku tunggu datangnya. Dan kau akan tetap menjadi Mesirku, Mesir yang aku rindu. Ingat, bahwa aku akan selalu menemanimu bagaimanapun keadaanmu. Mungkin saat ini adalah saat bagiku untuk membagi kebahagiaanku denga wanita bernama Ayuni itu.” Bertambah jadilah tangis Mesir mendengar istri tercintanya berkata seperti itu. “Benar, aku akan tetap menjadi Mesirmu.”
Mesir tidak berubah terhadap Nil, justru semakin menjadi cintanya pada Nil itu. Setiap hari selalu ada kiriman bunga untuk Nil dan mainan atau makanan untuk Saffa dan Izza tiap kali Mesir pulang. Mesir lebih sering datang untuk Nil dibandingkan untuk Ayuni. Kalian taulah, cintanya untuk Nil bukan Ayuni. Hanya raganya saja jadi milik Ayuni. “Ayah, kenapa kau lebih sering mendatangiku?” tanya Nil pada Mesir. “Karena kau adalah satu-satunya tempatku untuk pulang.” –“Tapi kau melukai Ayuni juga yah.” –“Aku tau itu, tapi aku lebih terluka saat bersamanya. Membayangkanmu tidur sendiri dirumah ini dengan anak-anakku. Bukankah aku lebih jahat kepadamu?.” Nil hanya tersenyum dan memeluk Mesirnya itu.
Saffa dan Izza mulai tumbuh besar, Saffa memasuki kelas lima Sekolah dasar dan Izza kelas tiga Sekolah Dasar. Badai siap datang lagi menerpa bahagianya Nil yang sudah separuh luruh. Mesir sakit parah dan sulit untuk bangun, namun Nil tidak pernah lelah menemani Mesir, menyuapi, bercerita tentang harinya, membersihkan Mesir dari segala hajatnya, seluruhnya Nil yang melakukan. Sampai suatu hari Ibu mertuanya datang dan menjemput Mesir. Tapi sejak saat itu, Nil dilarang menemui Mesir dan anak-anaknya. “Kamu tak perlu lagi datang kemari. Mesir sudah punya Ayuni yang jauh lebih baik dari kamu. Pergi sana, biar anak-anak Mesir diurus oleh Ayuni.” –“Tidak bu, anak-anakku adalah milikku. Kau tidak berhak membawa mereka, mereka satu-satunya yang aku punya. Dan aku tidak akan pernah meninggalkan Mesir.” Tangis Nil terdengar ke kamar Mesir, dan ia yang tidak bisa berbuat apapun hanya menangis dalam ketidakmampuannya. Sungguh menjadi hal yang menyakitkan bagi keduanya. Nil kalah dalam pertengkaran dengan mertuanya yang dibantu dengan Ayuni, ditendang dan diusir dia dari tempat suami dan anak-anaknya berada. Tangis benar-benar membanjiri hari itu, Mesir, Nil, Saffa, Izza. Seluruhnya. Rumah besar hasil jerih payah Nil dan Mesir itupun akhirnya dijual oleh sang mertua. Dan itu membuat Nil harus kembali tinggal di rumah kontrakan kecilnya.
Tiap harinya selama bertahun-tahun selesai mengajar, Nil selalu datang ke sekolah kedua anaknya. Dan secara sembunyi-sembunyi menemui atau makan bersama anak-anaknya, meski selalu berakhir pada perpisahan yang menyakitkan ketiganya. Saffa dan Izza yang tumbuh dewasa dan mengerti keadaan Ibunya, selalu berusaha secara sembunyi mempertemukan Ibu dan Ayahnya. Mesir hanya mampu menangis sejadi-jadinya karena tak mampu berbuat apapun. Dan Nil hanya mengatakan “Aku merindukanmu Mesir, sungguh merindukanmu. Maafkan aku karena tak bisa menemanimu disaat kau seperti ini. Aku ingin berada di sisimu, sungguh. Tapi orang-orang diluar sana melarangku. Maafkan aku Mesir, tak mempu memenuhi janjiku.” Tau akan kedatangan Nil, mertua dan Ayuni langsung masuk ke kamar tempat mereka sekeluarga membongkar tabungan rindunya. Siapa sangka, hari itu adalah hari terakhir Mesir menghembuskan nafasnya. Mesir hanya menunggu datangnya Nil. Airmata lagi-lagi membanjiri hari itu, Nil dan anak-anaknya hanya mampu menangisi kepergian Mesir. Ditambah lagi sakitnya hati Nil dengan tuduhan-tuduhan mertuanya bahwa karena dialah Mesir seperti itu. Semakin bertambahlah kebencian di hati mertuanya untuk Nil dan itu membuatnya semakin sulit menemui kedua anak-anaknya.
Bertahun menahan penderitaan dan menabung kerinduan-kerinduan pada cintanya, Mesir dan anak-anaknya membuat tubuh Nil rapuh dan sakit-sakitan. Sampai pada suatu hari anak-anaknya secara sembunyi datang ke rumah kecil tempat Nil tinggal. Mereka meluapkan seluruh kerinduannya dalam tangis yang tidak terhenti. “Saffa, Izza, ibu rindu sekali pada kalian. Pada ayah kalian, ibu sudah lama menunggu kalian. Hari ini ibu merasa tabungan rindu ibu pada ayah kalian sudah cukup banyak dan tidak cukup lagi. Ibu ingin pulang, ayah kalianpun sudah menanti kedatangan ibu. Kalian harus menjadi anak yang baik, jangan pernah menyerah dengan apapun yang kalian inginkan. Belajarlah ilmu sabar, maka kalian akan tau bahwa cinta sang Pencipta itu benar adanya. Aku menyayangi kalian. Sungguh.” Maka menangislah sejadi-jadinya seluruh yang ada dalam kamar. Tak bersua. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, pergilah Nil dengan membawa tabungan rindunya untuk Mesir.
Tamat.
Description: Campuran dari sedikit kenyataan dan banyak hayalan tingkat tinggi.
|
Title: Rinai
Category: Novel
Text:
Poligami Pekerjaan
Ruangan itu sempit. Berisi sebuah meja kayu berwarna coklat keemasan dan tumpukan berkas dan dokumen penting. Dindingnya berwarna putih dan pudar, menunjukkan kalau ruangan itu sudah lama tak dapat perawatan. Sebuah lemari panjang berdiri dibelakang, berisi beberapa buku, katalog, dan miniatur motor yang serupa dengan motor-motor yang mereka jual.
Pak Daniel duduk di kursi kebesarannya. Ia berusia paruh baya dengan semangat tinggi. Dia adalah Kepala Dealer, atasan Rinai yang sudah menjabat di dealer setahun terakhir.
Rinai sendiri duduk di hadapan Pak Daniel. Matanya jelalatan dengan lutut yang bergoyang pelan. Mendadak pagi ini Pak Daniel memanggil dia, tapi sampai sekarang yang bersangkutan malah sibuk sama kacamatanya, dan membuat Rinai menunggu dengan kebingungan.
Rinai menerka-nerka apa yang mau dibicarakan oleh Pak Daniel. Apa mungkin Pak Daniel mau naikin gaji Rinai? Duh… jadi terharu. Pak Daniel baik banget, sih! Tisu mana tisu? Rinai mau nangis.
"Kamu admin penjualan, kan?" Pak Daniel mengakhiri kebisuan mereka.
"Iya, Pak," jawab Rinai.
"Sejak kapan kamu bekerja di sini?"
"Udah setengah tahun lebih, lah, Pak."
"Udah lama, ya." Pak Daniel mengangguk-angguk. Ia mengambil saputangan dan mulai melipat-lipat. "Nah, kan kamu tau ya, kalau dealer kita ini sekarang dipegang sama Pak William. Karena penjualan kita akhir-akhir ini juga turun, jadi saya dapat perintah dari Pak William untuk mengurangi jumlah karyawan," Pak Daniel mendesah lelah, "Karena itu, untuk sementara kamu merangkap, ya, jadi CS."
Eh, tunggu!
Gimana-gimana?
Kok, kayak ada yang beda?
Mana kata gajinya?
"Gimana, Pak?" Rinai bertanya ulang. Ia mungkin salah dengar.
"Kamu ngerangkap mulai besok jadi Counter Sales," ulang Pak Daniel.
Loading …
1 ...
2 ...
3 ...
APAAA?!
DEMI APA ITU GAK SESUAI DENGAN APA YANG RINAI PIKIRKAN TADI?!
Tunggu-tunggu, harusnya kan skenarionya kayak gini:
(Khayalan Rinai)
Pak Daniel: Rinai, kamu udah bekerja keras begitu banyak selama ini.
Rinai: Iya, Pak. (Malu-malu)
Pak Daniel: Saya mau kasih kamu hadiah.
Rinai: Hadiah apa, Pak?
Pak Daniel: Iya. Karena kamu udah bekerja keras, saya mau kasih kenaikan gaji 3x lipat!
Rinai: (Sok nolak) Gak-gak usah Pak. Saya kerjanya ikhlas, kok.
Pak Daniel: Gak pa-pa, Nai. Saya juga ikhlas
Rinai: Tapi saya sungkan. Kan dealer lagi krisis.
Pak Daniel: Jangan khawatir! Saya ini kan kaya, jadi hobinya riya dan foya-foya. Kalo nanti habis, ya tinggal kita cari lagi. HAHAHAHAHA (Ketawa setan)
Rinai: HAHAHAHAHAHA (Ikut ketawa setan)
Dan kemudian mereka berdua menguasai dunia!
The end.
Ta-tapi ...
KENAPA TIDAK SEDIKIT PUN MENDEKATI DENGAN APA YANG RINAI KHAYALKAN?!
"Jadi, ya, kamu bantu-bantu dulu lah, ya. Kan penjualan juga turun, harusnya gak terlalu sibuk lah," sambung Pak Daniel lagi, memutuskan lamunan Rinai.
Rinai menarik napas panjang. Sebenarnya, ia bukan lah yang pertama. Hampir semua karyawan dealer merangkap kerja sejak Pak William mengambil alih dealer. Alasannya sederhana, supaya bisa menghemat biaya, tapi sudah menjadi rahasia umum kalau dealer sedang krisis. Satu per satu karyawan dirumahkan. Rasanya begitu pilu setiap kali mereka pamit. Karena semua tahu mereka tak akan kembali lagi. Itu adalah pemecatan secara halus. Dan Rinai yakin, cepat atau lambat akan datang gilirannya. Pilihan hanya ada 2; rangkap kerja atau dirumahkan.
Setelah kedatangan Pak William, begitu banyak aturan yang berubah. Dimulai dari menghilangkan reward untuk karyawan yang rajin, mengurangi jatah uang makan, sampai insentif untuk marketing yang diperkecil.
Sebulan sejak aturan baru diberlakukan, banyak marketing yang mendadak hilang dari peredaran. Tentu saja hal itu memberikan dampak besar untuk perusahaan, tapi Pak William berkilah bahwa turunnya penjualan bukan karena aturan barunya, namun karena memang Pak Daniel yang tidak mampu menjadi Manajer.
Pak Daniel tentu berusaha untuk mempertahankan marketingnya, karena bagi perusahaan retail seperti mereka, marketing adalah ujung tombak perusahaan. Namun, meskipun mereka merasa betah memiliki bos seperti Pak Daniel, bukan berarti itu akan membuat penuh penanak nasi di rumah. Beberapa dari mereka tetap pindah ke dealer sebelah, yang lebih royal.
Sebagian lagi ada yang tinggal, namun tentu saja tidak membawa banyak perbedaan. Jualan bulanan masih diangka 100, hanya satu per tiga dari penjualan yang biasanya. Dan juga adanya kabar yang beredar bahwa beberapa karyawan yang tinggal lebih memilih melakukan kecurangan. Mereka sih bilangnya OD, tapi Rinai tidak benar-benar mengerti apa itu OD.
"Karena kamu Admin Penjualan, saya rasa bisalah kerja merangkap jadi Counter Sales. Nanti kalau bisa jual unit, kamu bisa dapat insentif. Lumayan, menambah gaji," bujuk Pak Daniel lagi. "Jadi, mulai besok kamu turun ke bawah, ya. Biar bisa bantu Sutan. Itu lah, udah hampir dua minggu dia sendirian merangkap jadi counter sales, kasian juga dia."
GAK-MA-U!
Rinai gak mau!
Rinai kan tipe setia, cukup satu saja, gak mau mendua. Sekarang malah disuruh poligami pekerjaaan, moh lah!
Kerjaan Rinai sudah cukup banyak tanpa harus disuruh ikut jualan unit! Meski Rinai juga gak nolak naik gaji.
"Tapi Pak, kalau saya juga jualan unit, nanti pekerjaan saya sebagai Admin Penjualan gimana? Kan komputernya khusus, letaknya di lantai 2." Rinai mulai berargumen. Berani mati! Ia harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Ini demi kesejahteraan dan kedamaian di masa depan. Ia gak keberatan kerja banyak, tapi harus masuk akal. Bagi Rinai, kerja merangkap itu gak masuk akal, kecuali kalau gajinya juga ikut rangkap.
Ini gak boleh dibiarkan.
Rinai harus menolak mati-matian!
Pak Daniel tertegun sejenak, membuat Rinai merasa menang karena sudah berhasil mematahkan niatnya. Mungkin ia tidak menduga masalah ini sebelumnya. Ia tampak berpikir dengan serius. Dalam hati, Rinai berharap Pak Daniel kehabisan akal dan menyerah, terus Rinai gak jadi kerja rangkap, terus gak perlu jadi Counter Sales, horeee!
Tapi sayangnya, Pak Daniel bisa menjadi Kepala Dealer bukanlah tanpa alasan, dia bukan orang bodoh. Ia adalah orang yang diminta langsung oleh pemilik sebelumnya untuk mengurus dealer. Meski masih muda, ia cakap dan cerdas.
"Kalo komputer kan gampang, tinggal di pindahkan aja ke counter. Nanti minta Dewa bantu angkatin. Bisa tu, gampang, lah." Pak Daniel mengangguk-angguk, tampak bangga pada dirinya sendiri karena bisa menemukan solusi. Beda jauh dengan Rinai yang mulai menangis di dalam hati.
Kenapa sih, Tuhan nggak bikin aja Pak Daniel telmi (telat mikir) sejenak, jadi Rinai kan gampang bersilat lidah. Seenggaknya sampai dia menemukan orang lain yang bisa ngerangkap jadi counter sales.
Rinai gak bisa diginiin!
"Mulai besok kamu udah mulai di counter, ya! Nanti setelah pulang, saya suruh Dewa mindahin komputer kamu. Jadi kalau lagi gak ada konsumen kan kamu bisa input penjualan."
Rinai sudah membuka mulut hendak bicara, yang langsung dipotong pak Daniel. "Ha-ah, pusinglah. Pak William mintanya setengah dari karyawan di pangkas aja. Karyawan kita dinilai terlalu banyak. Ini aja masih ada beberapa karyawan yang harus saya rumahkan. Sebenarnya saya gak mau, tapi mau gimana lagi. Terpaksalah." Pak Daniel memijat-mijat keningnya. "Gak apa lah ya, kamu rangkap jadi CS dulu. Nanti kalau penjualan kembali naik, kita coba bujuk Pak William lagi untuk nambah CS."
Dengan berat hati, Rinai mengangguk sedih. Ia gak bisa melawan. Mending kerja rangkap dibanding dirumahkan. Setelah Pak Daniel mengakhiri pembicaraannya, Rinai kembali ke ruang admin penjualan yang terletak di lantai dua dengan lemas.
Rinai rasanya ingin menolak dengan tegas, tapi masa depan suram yang menantinya alias jadi pengangguran lebih mengerikan dibandingkan harus rangkap kerja.
Jadi admin STNK saja sudah sangat sibuk. Ia memiliki banyak jobdesk, laporan, dan tetek-bengek lainnya yang harus diurus. Rinai khawatir ia akan mati muda karena kelelahan bekerja.
Walaupun saat ini dealer mengalami penurunan penjualan, itu tidak berlaku untuk pekerjaannya sebagai admin. Tetap banyak seperti biasa. Bahkan lebih banyak dari sebelumnya, karena Pak Daniel juga memintanya untuk merekap penjualan tahun-tahun lama, membantu marketing membuat rencana program kerja, dan hal-hal lainnya.
Rinai juga merasa tidak siap menjadi Counter Sales. Ia menjadi admin karena kurangnya kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Ia merasa kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain, dan menjadi CS ( Counter Sales ) sendiri akan menuntutnya untuk dalam mengambil hati konsumen.
Ini sama saja dengan bunuh diri. Ia akan berakhir kena pecat juga, cuma sedikit lebih lama dan lebih berwarna jalannya. Rangkap CS dulu, turun ke lantai 1 dulu, gabung sama tim counter dulu, habis itu baru deh, duarrr ... dipecat. Yey, selamat Rinai! Selamat ya, Rinai!
Ishhh!
Rinai pengen nangis aja!
Naik ke lantai dua, Rinai langsung masuk ke ruangan berukuran 3x3 meter. Itu adalah markas kerja Rinai yang sudah ia tempati selama 6 bulan terakhir. Tempat itu bisa menampung beberapa karyawan dan lemari arsip. Di dalam ruangan ada 4 buah kursi, yang biasanya ditempati Rinai, Bang Dewa, dan 2 orang rekan lainnya. Tapi sekarang, 2 kursi itu kosong, ditinggalkan pemilik yang sudah menempati mereka bertahun-tahun karena dirumahkan. Saat ini, hanya dia dan Bang Dewa yang masih dipertahankan Pak Daniel.
Melirik kedua kursi itu, sejujurnya Rinai merasa tidak enak hati. Dua rekannya dirumahkan tak lama sejak Pak William datang. Pak William berpikir kalau pekerjaan mereka bisa di handle oleh admin lain, jadi langsung memangkas mereka begitu saja. Sejujurnya, Rinai beruntung masih bisa bertahan saat yang lain bahkan tidak diizinkan berjuang.
Ya … mungkin Rinai harus mencoba menerima dengan ikhlas tugas baru ini. Bagaimanapun, ini bukan sesuatu yang bisa ia tolak dan abaikan begitu saja. Jika dia tidak berdamai dengan situasi dari awal, itu akan berpengaruh pada kinerjanya.
"Dikasih tugas siapa, Nai?" Itu Bang Dewa. Ia menatap Rinai dengan pandangan 'Pekerjaan admin yang dirumahkan mana yang dilimpahkan ke kamu?' Soalnya sudah hampir setengah karyawan pada kena PHK. Jadi mudah untuk menebak itu.
Rinai tersenyum miris. Ia tidak mau pindah sama sekali! Meski ruangan ini begitu sempit dan penuh dengan dokumen, tapi Rinai sudah di menetap di sini sejak pertama kali kerja. Ibarat rumah, ruangan ini sudah seperti kamar, tempat paling nyaman dan paling bebas.
"Jalanin aja dulu, nanti kalau nggak sanggup, coba ngomong lagi," sarannya.
Rinai mengangguk pelan. Ia memang tidak begitu dekat dengan Bang Dewa meski sudah satu markas selama setengah tahun. Mereka jarang mengobrol. Rinai pendiam, dan Bang Dewa tidak begitu memperdulikannya. Sekarang hanya tinggal mereka berdua, mau tak mau Bang Dewa akhirnya sadar kalau di dalam ruangan itu, ada makhluk hidup yang bernama Rinai.
"Kenapa, heh?" Desak Bang Dewa lagi, gagal sok bersikap 'Ceritain nanti aja pas kamu udah siap'.
"Jadi Counter Sales," kata Rinai, akhirnya. Ia merasa malas untuk curhat pada Bang Dewa, tapi saat ini dia adalah satu-satunya rekan Rinai dan satu-satunya orang yang memiliki banyak interaksi dengan Rinai selain Pak Daniel.
"Hah? Serius?"
"Iya. Katanya nanti aku pindah ke bawah."
"Kok jadi Counter Sales pula? Kan ada Sutan sama Rhea di sana?" Bang Dewa gak terima. Ia terancam kehilangan rekan kerja, jadi wajar kalau kesal.
"Kak Rhea kan udah dirumahkan."
Bang Dewa langsung tepuk jidat. Dia lupa.
"Apa pula orang tu, aneh-aneh aja. Udah jelas kerjaan admin juga banyak, malah disuruh jualan. Apa susahnya pertahanin satu orang CS. Ini Sutan juga disuruh rangkap, padahal kerjaanya juga banyak. Laporan aku yang berurusan sama Sutan jadi sering telat kirim."
Rinai hanya memutar mata. Orang Rinai yang dipindahkan ke counter , kok malah Bang Dewa yang ngomel, sih? Dia bahkan gak di suruh rangkap tugas sama sekali!
Tanpa merasa tersentuh melihat Bang Dewa yang membelanya di setiap omelan, Rinai memutuskan menidurkan kepalanya di atas lipatan tangan di atas meja, dan menutup mata.
Kalau boleh, semoga pas bangun nanti, kedua bangku kosong itu masih terisi oleh dua orang rekannya yang menyebalkan tapi ia sayangi. Seandainya, pas bangun nanti, ini semua cuma mimpi dan Rinai tidak perlu terjebak dalam situasi yang tidak dapat ia kendalikan. Atau saat bangun nanti, ada yang ingat kalau hari ini hari ulang tahunnya dan ia hanya dikerjai.
Ha-ah, Rinai capek.
Bersambung.
Emang Situ Artis?!
Peralatan tulis sudah dibereskan. Dokumen ditumpuk di dalam kardus. Meja dikosongkan. Komputer sudah dipindahkan.
Rinai siap untuk turun gunung!
Dibantu oleh Bang Dewa, Rinai memboyong semua barang-barangnya ke lantai satu. Hari ini ia mulai bekerja menjadi Counter Sales. Saat hendak pergi tadi, Bang Dewa menatapnya lama. Seakan mereka tak akan bertemu dalam beberapa waktu. Padahal kan jaraknya cuma satu tangga. Bang Dewanya aja yang lebay. Mungkin masih galau karena menjadi satu-satunya penghuni ruangan lama mereka.
Kemarin sore Bang Dewa sudah memindahkan komputer Rinai ke bawah atas suruhan pak daniel. Itu komputer khusus yang dipegang admin penjualan seperti Rinai. Ada aplikasi yang hanya ada di sana, dan tidak ada di komputer lain. Meski Rinai bingung, lah, kan tinggal copy-paste aja loh aplikasinya, tapi Pak Daniel benar-benar berniat membungkam rinai tanpa bisa membantah lagi.
Ia meletakkan kardus-kardus itu di belakang meja. Celingak-celinguk ke kiri dan kanan mencari tempat yang cocok untuk menyimpan semua dokumen.
"Ngapa, Nai?" Bang Sutan bertanya sambil memperpendek jarak. Ia admin faktur yang juga terpaksa merangkap menjadi CS, dan salah satu karyawan senior di sana. Ia memiliki tubuh gendut dan mata sipit. Sedikit agak rese dan jahil, tapi selalu ada di posisi depan kalau CS dan marketing mulai bertengkar. Dia selalu bisa diandalkan dalam rebutan unit. Kalau konsumen cari motor, unitnya nggak ada, kasih tahu saja dia, simsalabim! Besoknya ada. Nggak tahu dia curi punya siapa. Yang penting, jangan lupa makan-makannya.
Dari 4 counter sales yang dulu pernah ada, hanya mereka berdua yang dipertahankan. Yang lainnya di rumahkan. Karena itu lah Rinai jadi diperintahkan untuk turun gunung mengisi kekurangan. Padahal Rinai sama sekali tidak mengerti dan tidak pernah training menjadi counter. Bisa-bisanya diserahi tanggung jawab untuk membantu mencapai target dealer.
"Ini Bang, mau nyimpan dokumen dimana, ya? Data untuk pengurusan STNK konsumen," tanya Rinai.
"Ohhh, di lemari yang itu aja, yang di belakang meja kamu! Itu emang lemari kamu, tu. Buku servis, STNK fisik, dan kebutuhan lain kamu di sana semuanya."
Alis Rinai berkedut. Apa tuh maksudnya?
"Buku servis sama STNK fisik konsumen Rinai juga yang pegang, Bang?"
"Iya lah! Sama plat juga. Tapi kalau plat letaknya di lantai dua. Tau kan, yang di sebelah ruangan kamu dulu?"
"Tapi kan Rinai sales counter, Bang!"
"Ya, kan itu emang kerjaan kamu juga. Kan kamu ngerangkap, Nai. Jadi kamu juga bertugas buat menyerahkan kelengkapan kendaraan konsumen juga."
"Bukannya sales counter tugasnya cuma jualan ya?" Rinai mencoba konfirmasi.
"Iya. Tapi itu dulu, sebelum negara api menyerang," balas Bang Sutan sambil ketawa rese.
Rinai terdiam. Kan Rinai cuma disuruh jualan unit sama Pak Daniel, masa jadi triple gini sih tugasnya.
Dengan menahan kesal, Rinai mulai menyusun dokumen ke dalam lemari. Ia menumpuk-numpuk setiap dokumen dengan tanggal yang urut.
Apes banget sih Rinai. Baru saja enam bulan lalu ia bersyukur diterima di dealer ini, tapi siapa sangka kedatangan Pak Daniel yang menggantikan posisi Pak William akan membawanya ke situasi menyebalkan seperti ini.
"Dek, bisa minta buku servis?" Saat Rinai masih sibuk dengan dokumen, seorang konsumen berdiri di balik meja datang menyela.
Rinai menatap konsumen itu, dan konsumen balas menatap.
Tatap.
Tatap.
Tat-
"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" Bang Sutan datang mengambil alih, memutuskan acara tatap-tatapan antara rinai dan konsumen.
Rinai menghentikan pekerjaan dan memutuskan untuk mendekat. Bagaimanapun nanti ini akan menjadi tugasnya, jadi ia harus memperhatikan agar cepat paham.
"Servis gratisnya ada 4 kali ya, Pak," jelas Bang Sutan, "terus ada oli gratis juga. Jadi jangan sampai tanggal jatuh temponya lewat, nanti hangus pula kuponnya, Pak."
Konsumen itu mengangguk puas. Setelah berterimakasih, ia berlalu pergi.
"Paham kan cara kasih buku servis ke konsumen?" Bang Sutan menatap Rinai seringai menyebalkan.
"Ngerti, Bang," jawab Rinai singkat.
"Tinggal tanya namanya aja, atau liat surat jalannya. Terus ambil buku atas nama konsumen di dalam lemari. Suruh taken. Selesai. Gitu aja. Gampang, kan? STNK juga gitu ngasihnya. Yang penting ingat, jangan lupa taken!" tandas Bang Sutan.
"Iya, Bang," jawab Rinai lagi sembari mengangguk-angguk pelan.
"Nanti kalau nggak ada yang ngerti tanya abang lagi aja. Yang penting, kamu pahami aja dulu kerjaan yang ini, yang jualan unit nanti aja kalau udah ngerti. Nanti keteteran pula, semua dikerjain tapi nggak selesai," lanjutnya.
"Siap, Bang!" Kali ini Rinai menjawab dengan semangat.
Wah, senangnya punya senior pengertian seperti ini.
Apa gak selamanya aja, Bang, Rinai gak usah jualan unitnya? Nanti Rinai doain masuk surga, deh. Rinai kan baik!
Bang Sutan kemudian pergi. Rinai kembali menyusun dokumen dengan perasaan yang lebih ringan. Ia merasa begitu lega bahwa tak perlu buru-buru. Ia diberi waktu untuk belajar, dan itu benar-benar sangat membantu.
Beberapa hari berlalu begitu saja. Rinai sudah mulai memahami pekerjaan barunya meski masih sering kewalahan.
Tugas Rinai sebagai admin penjualan butuh fokus, soalnya Rinai harus menginput data konsumen untuk pengurusan STNK. Sedangkan menjadi sales counter membuat Rinai juga harus melayani banyak konsumen yang datang di waktu yang tak diduga-duga, terutama yang meminta kelengkapan kendaraan seperti STNK fisik, buku servis, dan plat. Belum lagi harus jualan unit, semakin tak ada waktu. Mana Rinai masih juga belum mampu jualan karena belum begitu paham.
Tapi, kata Bang Dewa, lama-lama Rinai pasti bisa kok! Yang penting mau usaha. Asiaaap!
#RinaiCemangat!
#RinaiKuat!
#RinaiNakzCounterSales!
o-O-o
Siang itu, menjelang pukul 12 menjadi jam sibuk di mana Rinai sangat benci diganggu. Ia akan berpacu dengan waktu untuk menginput penjualan dan berharap tak ada satu konsumen pun datang untuk
meminta kelengkapan kendaraan. Dia sedang mengejar beberapa inputan yang hampir selesai bersamaan jam tutup kantor selama sholat Jumat.
Dealer Rinai kalau hari Jumat itu memang bakal tutup selama 2 jam, yang artinya jatah istirahat lebih lama dibandingkan dengan hari biasa. Jadi Rinai lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya sebelum dealer tutup sementara, supaya nanti habis istirahat dia bisa mulai mencetak buku servis yang sudah menumpuk lama.
Tapi ...
"Dek, kalau mau ambil buku servis di mana ya?" Rinai mendelik kesal. Tangannya yang tadi sibuk menginput data konsumen mendadak berhenti. Di depan Rinai, berdiri seorang laki-laki menggunakan baju kaos hitam dengan sebuah jaket hijau yang menggantung di lengannya.
"Selamat Siang. Atas nama siapa, Bang?" tanya Rinai, setengah hati, tapi tidak melupakan sopan santun sebagai karyawan dealer.
Tangannya mulai menggerakkan mouse untuk mencari data konsumen. Mengambilkan buku servis adalah yang paling tidak Rinai sukai selain mengambilkan plat motor. Jika untuk mengambil plat Rinai harus bolak-balik naik-turun tangga berkali-kali sebanyak konsumen yang datang untuk minta plat, sedangkan untuk mencari buku servis Rinai harus memeriksa satu persatu nama konsumen di tumpukan besar di dalam lemari. Itu juga kalau ada. Kalau nggak ada, Ia harus mencetaknya terlebih dahulu.
Rinai lagi kejar setoran, tahu! Nggak bisa gitu ambil lepas sholat Jumat aja? Kan cuma 2,5 jam lagi.
"Atas nama saya sendiri," sahutnya, kalem. Ia kemudian menghempaskan dirinya ke kursi di depan meja Rinai. Rinai menahan diri untuk tidak melotot. Memang Rinai kenal sama dia?!
Oke, tarik napas ... lepaskan.
Tarik lagi.
Lepaskan.
"Nama saya siapa ya, Bang?"Tanya Rinai, mendadak ngaco! Gak nyambung banget gitu pertanyaanya. Kening laki-laki itu berkerut. Dia mengedipkan matanya beberapa kali seakan terpesona melihat Rinai.
"Lah, mana tahu saya," kekehnya. Tatapannya berubah geli, seakan Rinai sedang mengajaknya bercanda. Padahal kalo bisa mah, Rinai pengennya ajakin dia baku hantam di depan dealer.
Ini orang paham gak sih, kalau Rinai lagi ngejar waktu? Malah memperlambat 5 detik dengan mengulur-ulur memberitahu namanya.
Iya, waktu.
Kalo dikejar jodoh sih, Rinai ikhlas diganggu.
Kesel!
"Loh, kok bisa nggak tau sih, Bang? Saya kan pakai nama saya sendiri!"
Kali ini laki-laki itu terdiam. Ia melirik karyawan lainnya yang sama tampak bingungnya. Mereka sampai berhenti bekerja dan menatap Rinai terang-terangan.
"Ya... Tapi kan saya nggak tau nama kamu siapa?" jawabnya ragu.
"Nah, itu ngerti! Emangnya saya juga tau nama Abang siapa? Abang ini artis? Terkenal? Datang minta buku servis ditanyain nama malah jawabannya 'Nama saya sendiri'. Ya, saya mana tau nama abang siapa!? Apa susahnya sih kasih tau aja namanya, kan saya gak jadi gondok kayak gini!" Bentaknya.
Suaranya menggema ke seluruh dealer, menghentikan aktifitas apapun di sana. Dadanya naik turun dengan cepat. Ia berdiri dan menatap laki-laki itu tanpa menyembunyikan rasa kesal sedikitpun.
Laki-laki itu terhenyak. Wajahnya pias dan merah padam. Sedangkan karyawan lain menatap rinai jengkel.
Kan bisa di omongin baik-baik loh, Nai! Gak pake ngegas! Pikir mereka, kompak..
"Dek! Dek!" Seseorang mengibaskan selembar kertas di depan wajah Rinai.
"Ya, Bang?" Rinai tersentak.
"Ini surat jalannya,dia mengulurkan sebuah kertas.
"O-ooh ...."
Rinai mengambil cepat kertas itu dan melihat isinya. Surat jalan adalah selembar kertas yang diberikan dealer pada konsumen saat STNK dan surat-surat penting lainnya belum keluar. Bisa digunakan sebagai pegangan sementara dengan batas waktu tertentu Rinai melirik namanya. Birai Angkasa.
Rinai kemudian beranjak menuju lemari tempat penyimpanan buku servis. Suasana dealer masih sama seperti sebelum laki-laki itu datang. Karyawan yang lain masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dan laki-laki itu masih duduk dengan nyaman di depan meja kerja Rinai. Yah, tadi memang cuma khayalan Rinai aja. Mana berani dia! Nyali Rinai kan lembek kayak permen kapas. Tapi … Dongkolnya nyata!
Lagi-lagi, Rinai cuma bisa memendam isi hatinya dan terus menunjukkan wajah datar sebagai perlindungan terkuat. Agar tak salah langkah. Agar tak salah mengambil tindakan.
Iya, Rinai bego!
.
Bersambung.
Serangan Panik
Hari ini hujan turun dengan lebat. Rinai mencebik di depan jendela dengan memakai seragam dealer. Mata coklatnya menatap lurus ke langit. Di atas sana, awan hitam masih bergelayut tebal seakan menolak untuk pergi dalam waktu dekat.
Ia menatap setiap butir yang terjun bebas ke bumi. Lalu mengira-ngira berapa lama rentang waktu sebuah tetesan hujan? Meski hanya memiliki waktu yang singkat, entah kenapa Rinai merasa kalau hujan selalu tampak bersemangat.
Ada untuk kembali hilang. Mereka selalu meninggalkan kesan dalam.
Rinai artinya gerimis kecil. Ibu bilang, dia memberi nama itu karena gerimis kecil adalah bagian dari hujan, dan hujan sendiri adalah berkah. Menyimpan filosofi yang dalam tentang harapan, kebahagiaan, kesederhanaan, rela berkorban, kesejukan, dan kebebasan. Ibu berharap, Rinai tumbuh dengan bahagiaan dan penuh harapan layaknya hujan.
Rinai suka hujan. Bukan karena namanya merupakan bagian dari hujan, tapi memang suka begitu saja. Ia selalu merasa lepas dan bebas setiap kali hujan datang. Seperti menemukan kebahagiaan. Meski di sisi lain, terkadang ia juga merasakan kesepian yang mendalam saat hujan. Seakan air deras yang mengguyur bumi itu mengingatkannya akan kenyataan, bahwa ia hanya sendirian. Tanpa ada kawan untuk berbagi kesedihan. Tidak seperti hujan yang selalu datang berombongan.
Kesadaran Rinai kembali saat matanya tak sengaja melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang. Ia mengintip embun di kamar yang masih tampak sibuk berdandan. Rinai kemudian melirik jam dinding, dan membuang napas saat mendapati 5 menit lagi batas toleransi keterlambatannya akan habis, dan itu artinya Rinai akan terlambat, atau bahasa kerennya, Rinai potong gaji! 50 ribu untuk 1 kali keterlambatan.
Mampus!
Rinai terancam kehabisan uang sebelum gajian. 50 ribu kan lumayan. Bisa dibelikan ke bakso, paket internet, jus alpokat, atau buku. Salahkan saja Pak William membuat kebijakan tak pengertian sep erti itu.
Tak lama, Embun melangkah keluar dari kamar. Ia berdiri di tempat Rinai sebelumnya dan mulai menggerutu.
"Kak, Kakak naik ojek online sajo lah! Gerimisnya lebat kali, nanti basah pulo," kata Embun.
Rinai terbelalak. Ini serius embun menyuruh rinai untuk pesan ojek online? Jam segini?! Setelah semua pengorbanan Rinai untuk menunggunya. Setelah Rinai mulai mengikhlaskan 50 ribu dari gajinya untuk denda keterlambatan?
Mantap!
Demi apa dia punya adik kayak Embun?! Bisa ditukar tambah gak, ya, adik kayak begini?!
Embun sendiri malah bersikap cuek dan mulai menyamankan diri duduk di seberang Rinai. Ia mengambil remote dan mengganti siaran beberapa kali.
Rinai doain baterai remotenya rusak!
Dongkol!
Dia kesal sampai ubun-ubun sama sikap seenaknya Embun. Mentang-mentang bisa bawa motor, sombong! Tapi mau bagaimana lagi?
Pertama, Rinai nggak bisa bawa motor. Kedua, hujan masih cukup lebat. Dan ketiga, kalo masih kebanyakan mikir, Rinai beneran bakal telat. Tapi... Memang pasti bakalan telat sih.
Rinai meraih HP dan membuka aplikasi ojek online. Setelah mengatur lokasi jemput dan lokasi tujuan, ia menekan tombol 'Pesan'. Tak lama, HP Rinai berdering. Nomor tak dikenal, tapi Rinai sudah firasat kalau itu driver ojeknya.
"Halo, Bang!"seru Rinai cepat, mengabaikan ucapan selamat pagi dari abang ojek. Padahal mah, harusnya Rinai gak perlu buru-buru, toh bakal telat juga ini. Nikmati saja dulu ucapan selamat-selamat kayak gitu, kan Rinai jomblo gitu loh, jadi seenggaknya bisa diselamatin abang ojek, jadi gak ngenes-ngenes banget.
"Iya, Dek, halo ..." sahut Abang Ojek, nggak kalah cepat.
"Ini Abang Ojek?"
"Iya Dek, Adek tadi pesan Ojek Online ya?"
"Iya Bang, cepet ya Bang, saya buru-buru nih!"
"Iya, mohon ditunggu ya Dek."
Tuuut!
Panggilan terputus, bersamaan dengan itu omelan ibu muncul.
"Kalau memang gak bisa kau antar kakak kau, kan bisa kau bilang sejak tadi. Ini udah ditunggu sama kakaknya dandan seabad, baru dibilang."
Rinai melirik ke arah dapur yang tertutup gorden. Tampak siluet ibu sedang sibuk memasak di sana.
"Jelas gerimis kayak gini, lebat mah, nanti habis ngantar Kak Rinai, sampai di kantor, Embun pulo yang basah kuyup," bantah Embun, nggak mau disalahin.
"Ya, yang ku masalahin kan, kenapa ndak sejak tadi kau bilang? Kan ndak perlu kakak kau nunggu. Bisa kakak kau berangkat sejak tadi, ndak perlu terlambat do. Jam segini baru kau bilang, lah selesai pulo kau ditungguinya berdandan."
Embun mendelik. Ia lalu mengatupkan lutut dan masih sibuk mengganti saluran TV, mengabaikan omelan ibu. Namun di dapur, ibu masih melanjutkan omelan.
Meski Rinai gak bilang apapun, ia setuju sama ibu. Ia sudah menunggu sejak setengah jam yang lalu. Kalau memang bakal naik ojek, bilang! Kan Rinai bisa pesan sejak tadi. Jadi nggak perlu telat. Nggak perlu potong gaji. Dan nggak perlu kena tegur sama Pak Daniel lagi.
Duh!
Rinai lupa sudah pernah dapat peringatan dari Pak Daniel karena satu minggu lalu terlalu sering telat. Alamat kena marah lagi ini. Diam-diam Rinai berdoa sepenuh hati Pak Daniel belum datang.
Tiiin! Tiiin!
Rinai tersentak, ia menjangkau tas dengan cepat dan berlari keluar. Ojek online pesanan Rinai sudah datang. Si Abang Ojek kelihatan masih kayak anak kuliahan yang kerja sambilan. Saat Rinai mendekat, ia langsung tersenyum kepada Rinai.
"Helm sama jas hujannya, Dek." kata si Abang Ojek sambil mengulurkan helm yang sewarna dengan jaketnya.
Rinai merebutnya. Ia memasang kilat jas hujan dan helm, lalu langsung naik di boncengan. "Ayo Bang, saya udah telat!"
Tapi si Abang Ojek bukannya hidupin motor, malah menatap Rinai. Rinai kan ga kuat diliatin cowok cakep pagi-pagi gini. Lemes duh, lemes.
"Dek, helmnya tolong dicetekin ya, demi keselamatan."
Rinai melongo. Oh iya, lupa! Tapi karena Rinai udah panik duluan memikirkan kalau dia bakal telat, dan bakal kena tegur lagi sama Pak Daniel, cetekannya nggak mau tersangkut.
"Sini Dek, saya bantuin," kata si Abang Ojek sambil tersenyum geli, "Maaf ya."
Rinai terpaku. Udah cakep, baik, perhatian, sopan lagi. Lulus seleksi deh, kalau mau pedekate-in Rinai. Ikhlas, ridho.
Setelah cetekannya tersangkut, si Abang Ojek tersenyum puas banget. Seakan baru saja lulus sidang kompre. Sesudah itu ia langsung menghidupkan motor dan berangkat mengantar Rinai ke dealer.
Jarak dealer dan rumah Rinai tak begitu jauh. Hanya 15 menit saja. Kalau hujan begini ... yaaa, lebih dari 15 menit lah. Macet, Cuy! Rinai males mikir. Memangnya lagi ngerjain soal matematika? 'Soal 1. Berapa lama perjalan dari rumah Rinai ke dealer di pagi hari saat hujan sambil meluk abang ojek ganteng?'
Nggak, nggak meluk kok! Bercanda doang! Emang Rinai cewek apaan?! Ini aja dia pegangan ke besi bagian belakang motor.
Ngenes!
*****
CKIIITTT!!!
Abang Ojek berhenti tepat di depan dealer. Suara motornya yang berdesing menarik perhatian karyawan yang ternyata sudah cukup banyak yang datang. Malu-maluin coba, padahal rumah Rinai kan termasuk dekat, malah Rinai yang paling hobi telat.
Rinai turun dari motor dan buka jas hujan, lalu menyerahkannya ke Abang Ojek."Berapa, Bang?" tanya Rinai basa-basi.
Sebenarnya ia tahu sih ongkosnya berapa, lah pas dia mesan tadi udah ada kok argonya. Tapi supaya nggak canggung aja.
"Enam ribu, Dek," jawab Abang Ojek sambil sibuk sama androidnya. Kayaknya dia lagi konfirmasi sudah menyelesaikan pesanan. Rinai langsung merogoh tasnya. Mengulik kantong pertama, kosong. Kantong kedua, juga kosong. Kantong kecil di dalam kantong kedua, kosong juga!
RINAI SALAH BAWA TAS!!!
Tas ini tuh tasnya Embun! Warnanya coklat, hampir mirip sama tas Rinai, Deaain depan aja yang sedikit beda. Tas ini sudah seminggu dipakai Embun, sampai dia merasa bosan dan mindahin isinya ke tas lain yang ia bawa hari ini. Dan masalahnya, tas ini dan tas Rinai sama-sama terletak di atas meja di ruang depan. Dan saking paniknya, saat Abang Ojek datang Rinai langsung main jangkau aja tasnya tanpa memastikan terlebih dahulu.
Duh! Rinai panik! Gimana ya? Mana lagi Ojol-pay Rinai saldonya nol. Rinai bayar pakai apa nih? Minta belas kasihan sama Abang Ojeknya, atau Rinai kasihin aja HP-nya sebagai jaminan? Secara HP-nya itu lah satu-satunya barang berharga yang ia bawa. Gimana dong!?
"Dek, nggak apa-apa?"
Kayaknya kepanikan Rinai udah jelas banget sampai Abang Ojeknya sadar ada yang salah dari sikap Rinai saat itu. Rinai menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. Kalo bilang uangnya tinggal trus janjiin bakal bayar nanti nggak apa kan? Dia bakal marah nggak ya?Rinai makin panik. Nggak bisa mikir.
"Kenapa Dek?" lagi, si Abang Ojek bertanya. Ia makin nggak enak hati ngeliat Rinai yang kayak habis dizalimi ibu tiri. Padahal dia udah ngebut gitu ngantarnya, masa Rinai nangis sih? Emang telat banget ya? Pikirnya, gak peka.
"Bang,"ucap Rinai, memulai peruntungan, "Saya kayaknya salah ambil tas, yang ini kosong," Rinai membuka tasnya lebar-lebar nunjukin kalo dia nggak bohong, "terus uang saya ketinggalan di tas yang seharusnya." Rinai menunduk, nggak berani natap wajah Abang Ojek, "Boleh nggak saya bayarnya nanti aja. Janji! Pasti saya bayar kok! Kan saya ada nomor HP Abang, nanti saya telpon. Abang kan juga udah tau tempat saya kerja, nggak perlu takut saya lari kok. Pasti saya bayar. Bener. Saya janji. Tolong ya, Bang, saya beneran salah bawa tas. Bener."
Abang Ojek melongo.Sedetik kemudian dia kembali bisa menguasai diri. Ia menatap Rinai yang udah berkaca-kaca, lalu tersenyum canggung. "Ya udah lah Dek, nggak apa-apa. Nggak usah nangis, nggak masalah kok."Ia nampak salah tingkah, "Saya ikhlas kok. Nggak di bayar juga nggak apa-apa. Anggap aja saya sedekah."
Rinai tersentak. No way! Enak aja sedekah! Emang Rinai cewek apaan?! Meskipun kalo abangnya sedekah agak cepek Rinai pasti terima dengan senang hati.Tapi ... Masaan iya, udah si Abang Ojek mau nganterin hujan-hujanan, kebut-kebutan, sekarang malah harus rela nggak di bayar sama Rinai.
Nggak bisa!
Emang Rinai seenggak punya hati gitu apa!?
"Nggak Bang, saya pasti bayar kok. Bener deh. Nggak bohong. Nanti saya telpon Abang ya, kalo uangnya udah ada," paksa Rinai.
Abang ojek yang melihat Rinai kekeuh, akhirnya menyerah. Ia mengangguk-angguk canggung sambil tersenyum maksa.
"Iya deh, Dek, terserah aja," ucapnya pasrah.
Rinai akhirnya lega. Seenggaknya ini adalah hasil terbaik dibanding harus menggadaikan HP satu-satunya ke Abang ojek hanya demi ongkos 6 ribu rupiah aja.
"Makasih ya, Bang. Saya masuk dulu Bang, udah telat banget, belum absen."
Si Abang Ojek mengangguk. Rinai melangkah masuk ke dalam dealer dengan perasaan malu, tapi cukup lega juga. Ditambah lagi Pak Daniel belum datang. Syukur-syukur!
"Dek, tunggu!"
Rinai mendadak berhenti. Ia berbalik menatap Abang Ojek yang berteriak dari teras dealer. Jantungnya kembali berlomba. Duh, jangan bilang Abang Ojek berubah pikiran dan lebih milih maksa Rinai buat menggadaikan handphone?!
Rinai mendadak tegang, nggak rela kalau masalah utang piutang ini harus melibatkan satu-satunya barang berharga miliknya. Karena Rinai tak kunjung sadar meski ia sudah memberi isyarat untuk mendekat, Abang Ojek akhirnya memilih untuk bicara. Akan kenyataan yang membuat ia kembali memanggil Rinai meski sebenarnya enggan. "Helmnya belum di lepas Dek!" serunya, nggak mengira-ngira menyetel volume suara sama sekali sampai satu dealer dengar. Mana ada konsumen juga lagi! Issshhh!!! Rinai kan jadi tengsin!
Beberapa menit kemudian, setelah Abang Ojek pergi dengan helmnya dan Rinai akhirnya berhasil absen. "Nai," panggil Bang Dewa yang berjalan dari arah bengkel.
"Ya Bang?"sahut Rinai tanpa melirik sama sekali.
"Kalo ongkosnya cuma 6 ribu, kan bisa pinjam ke kami loh!"
Rinai terpaku.
I-iya ya!?
Kok nggak kepikiran sama sekali sih!? Kan dia gak perlu malu-maluin kayak tadi! Duh, Gusti! Salah apa Rinai sampai otaknya dangkal banget gitu? Rinai cuma menghembuskan napas, tak sanggup berkata-kata, lalu menenggelamkan diri ke dalam tumpukan pekerjaan. Gak mau ingat-ingat lagi!
Malu!
Bersambung.
Akhirnya Kumenemukanmu!
Rinai berbaring di atas kasur dengan gelisah. Balik ke kanan, balik lagi ke kiri. Putar ke atas, balik lagi ke posisi semula, sampai alas kasur berantakan dan menampakkan sebagian busa.
Suasana rumah sepi. Embun sudah pergi kerja sedangkan ibu sudah pergi jualan. Rinai nggak masuk kerja hari ini. Alasannya sih sakit, tapi sebenarnya cuma kurang tidur dan terlalu stres. Kerjaannya menumpuk menunggu diselesaikan, padahal dia bahkan sampai absen istirahat dan makan siang demi kerja, tapi bukannya berkurang, kerjaannya malah bertambah.
Rinai tidak menyangka kalau pekerjaannya mendadak menjadi begitu banyak. Inputan penjualan yang menggunung terlebih dengan konsumen yang tak berhenti datang untuk meminta kelengkapan kendaraan. Menjelang akhir bulan seperti ini, ia bahkan belum mampu menjual 1 unit pun. Sejauh ini belum kena tegur sih, meski Pak Daniel terus menerus menanyakan perkembangannya.
Walau Rinai belum mampu jualan unit, tapi beberapa minggu ini Pak Daniel berhasil menaikan kembali penjualan dealer. Dia merekrut beberapa marketing tambahan yang katanya memang orang-orang Pak Daniel dari tempat kerja lamanya. Marketing-marketing baru itu begitu arogan dan menyebalkan. Mereka suka bersikap seenaknya dan berlagak sok orang penting.
Mentang-mentang dekingannya Pak Daniel!
Rinai berguling-guling di atas kasur, mencari posisi yang nyaman. Tak sengaja, ia melirik uang 6 ribu yang terletak di atas nakas, uang yang sudah ia pisahkan jauh-jauh hari untuk bayar hutang sama Abang Ojek, tapi sudah beberapa minggu terlewati ia belum sempat melunasinya. Gara-gara ia terlalu sibuk sih, sampai jadi lupa buat nelpon Abang Ojek. Oh, ya udah, biar telepon sekarang aja kali ya!
Tapi...
Telepon nggak ya?
Telepon nggak ya?
Rinai mendadak ragu.
Gimana yaaa?
Tapi kan, Rinai yang punya hutang. Masa dia suruh Abang Ojek jemput ke rumahnya? Iya, suruh jemput dong! Rinai mana bisa bawa motor kalo di suruh anter. Minta tolong anterin sama Embun juga ga bisa, orang dia lagi kerja gitu.
Ya telepon dulu aja deh, kali aja Abang Ojek masih di daerah panam.
Tapi, gimana kalo abangnya lagi di daerah Kampar? Atau Bangkinang? Atau lagi pulang kampung? Eee… masa sih pulang kampung?!
Duh!
Rinai bingung!
Tapi kan...
Hutang harus dilunasi secepat mungkin.
Ahhh, bingung!
Nggak sih, Rinai sebenarnya cuma grogi. Abangnya cakep banget gitu. Pake acara pasangin cetekan helm lagi. Isssh, Rinai kan nggak pernah di perlakukan gitu.
Jadi malu.
Tapi, nggak boleh! Rinai harus hubungi sekarang juga. Sekarang atau enggak sama sekali. Soalnya kalo besok, paket nelponnya Rinai abis.
Kan sayang.
Akhirnya dengan penuh keyakinan, Rinai menghubungi nomor Abang Ojek.
Tuuut... Tuuut... Tuuut...!
Nada tunggunya membuat jantung Rinai berpacu. Teleponnya masuk! Duh... Rinai makin gak tenang.
Dia marah nggak ya karena Rinai kelamaan ngutang?
"Halo?" sapaan yang datang dari seberang telepon membuat Rinai langsung terduduk.
"Halo?" balas Rinai.
"Ini siapa ya?"
"Saya Rinai, Bang. Ini saya mau bayar ongkos ojek kemarin." kata Rinai cepat. Ia memelintir selimutnya sambil menggigit bibir.
"Hah? Rinai siapa?" terdengar nada heran dari seberang.
"Itu loh Bang, yang kemarin pesen Ojek Online pas hujan, terus pas sampe di tempat kerja saya, uang saya ketinggalan." jelas Rinai panjang lebar.
"Ojek Online?"
"Iya Bang."
"Saya bukan tukang ojek Dek, saya tukang bubur ayam. adek mau pesen nggak? Bisa delivery kok?"
Rinai mengernyit.
Hahhh?
"Ini Abang Ojek kan?"
"Bukan Dek, saya Abang bubur ayam. Jadi mau pesen berapa porsi, Dek? Gratis ongkir selama jaraknya masih satu kilo."
Rinai menjauhkan handphonenya dan memandang nomor yang tertera di layar. Nomornya nggak ada nama. Nomor yang tadinya Rinai yakini sebagai nomor Abang Ojek, tapi kok, sekarang Rinai ragu?
Bukan ragu, Nai! Emang salah sambung!
"Oh, enggak Bang. Saya kayaknya salah nomor! Maaf ya."
"Oh, gapapa kok Dek. Tapi, beli bubur ayamnya jadi, kan?"
"Enggak, Bang, makasih."
Tuuuut!
Rinai langsung memutuskan panggilan. Ia menghela napas kasar dan merebahkan kembali tubuhnya. Ingatannya kembali pada kenyataan bahwa nomornya memang suka di telepon konsumen yang menanyakan kelengkapan kendaraan mereka sudah siap atau belum. Dan begonya, Rinai lupa simpan nomor Abang Ojek.
Rinai mengotak-atik panggilan masuk di handphonenya. Mengira-ngira bahwa nomor yang ia pilih itu adalah nomor Abang Ojek yang asli, Rinai kembali menekan tombol dial.
Tuuut... Tuuut... Tuuut...!
"Halo?"
Rinai terdiam.
Loh, kok suara cewek?
"Halo, ini siapa ya?" balas Rinai.
"Loh, kan Mbak yang hubungin saya, kok malah Mbak yang nanya!? Heran ya, padahal saya udah putus sama dia masih aja ada cewek yang nelponin saya!" suaranya melengking dengan nada kasar disetiap kalimatnya. "Denger ya Mbak, Mbak itu cewek kesekian yang dia jadiin selingkuhan. Lagian, harusnya saya sebagai pacar pertama yang marah, ini malah saya yang terus di teror!" lanjutnya.
Rinai membeku. Se-selingkuhan?! Gimana Rinai mau jadi selingkuhan, punya pacar aja enggak!
"Jadi berhenti hubungi saya! Mbak nggak akan dapat apa-apa! Dia udah saya buang jauh-jauh! Ngerti!"
"Ta-tapi Kak, saya-"
Tuuut!
"-nggak punya pacar! Issshh!!!"
Rinai mengacak-acak rambut, stres. Ga punya pacar aja dapat caci maki. Ngenes amat jadi jomblo!
Dengan perasaan keki tak terbendung, Rinai mencoba kembali peruntungannya. Bisa aja sih dia pura-pura lupa sama hutangnya, atau saat Abang Ojek nagih ke dealer suatu hari nanti, dia bilang aja kalo dia kehilangan nomor abang itu. Kan gampang.
Tapi, ga masalahkan coba peruntungan? Mumpung paket nelponnya Rinai masih banyak. Besok kan masa aktif paketnya sudah habis.
Rinai mendial nomor ketiga yang ia yakini sebagai nomor Abang Ojek. Tapi nggak diangkat.
Rinai mendesah. Membalik tubuhnya sambil memeluk guling. Mau bayar utang aja banyak banget halangannya. Tapi Rinai nggak pantang menyerah. Ia kembali men-dial nomor itu.
"Ya?" suara cowok!
Seenggaknya Rinai nggak perlu khawatir dituduh selingkuhan kayak tadi.
"Halo, saya Rinai. Ini Abang Ojek? Saya mau bayar utang." balas Rinai cepat, segera menjelaskan sebelum disalahpahami lagi kayak tadi.
"Apaan sih, saya bukan tukang ojek! Orang lagi war diganggu! Pesen lewat aplikasinya, Bego! Dasar nggak punya otak. Bodoh! Kampr-"
Tuuut!
Tanpa basa-basi Rinai langsung matiin teleponnya.
Nggak baradab banget sih!?
Rinai mendesah keras kesekian kalinya. Rinai jadi males nelpon lagi. Udah 3x kena sial mulu.
Rinai melempar handphonenya ke kasur. Berguling-guling lagi di atas kasur. Dari ujung satu ke ujung satunya, membuat alas kasur jadi makin berantakan.
Haah, males ah nelpon lagi!
Kan bukan salah Rinai. Rinai kan udah usaha mau bayar. Udah punya niat, tapi emang banyak halangan. Pokoknya bukan salah Rinai!
Tapi...
Rinai kembali melirik ke meja nakas. Uangnya masih tersimpan di sana.
Ini bukan tentang nominal, tapi tentang hutang. Berapapun jumlahnya, hutang tetap hutang. Dibawa mati.
Lagian, ini bukan sekadar 6 ribu rupiah, tapi tentang hak seseorang. Kata ibu, hak seorang tetaplah hak seseorang berapapun nilainya. Dan makan hak orang lain hanya akan menjerumuskan hidup sendiri.
Dengan setengah hati, Rinai kembali meraih teleponnya. Bodo, ah, kena caci maki lagi. Yang penting dia usaha dulu aja. Niat! Niat!
Tuuut! Tuuut! Tuuut!
Sambil menarik-narik bulu boneka beruang kepunyaan Embun, ia menggoyangkan kakinya dan melirik malas ke sekeliling kamar.
Di dering ketiga, teleponnya akhirnya diangkat.
"Halo?" sapa dari seberang.
"Halo." balas Rinai.
"Ini siapa?" tanya orang dari seberang.
"ini Rinai. Admin dealer motor."
Hening sejenak.
"Ohhh, cewek yang panikan sampe lupa lepas helm itu, ya?" tutur orang dari telepon, nggak basa-basi.
Rinai terduduk kedua kalinya.
"Ini Abang Ojek?" tanya Rinai lamat-lamat, memastikan pemikirannya.
"Bukan, Ini Birai. Tapi saya emang sambi jadi ojek online sih hehe..." jawabnya ringan.
Rasa-rasanya Rinai mau teriak 'Abang, akhirnya ku menemukanmu!!' sambil selebrasi. Nggak sia-sia kesabarannya dicaci dan dimaki. Mantul langsung ke nomor Abang Ojek.
"Bang, ini saya mau bay-"
"Dek, Dek! Udah ya, dosen saya masuk nih! Saya lagi kuliah hehe... Dahhh."
Tuuut!
Rinai cengo.
Udah?
Gitu doang?
Setelah Rinai dapat semua caci maki dari orang-orang yang nomornya salah sambung, Abang Ojek matiin gitu aja panggilannya bahkan tanpa memberi Rinai kesempatan menyelesaikan ucapannya?
DE-MI TU-HAN!!!
Dia nggak tau apa pengorbanan Rinai?
Nggak tau?!
NGGAK TAU?!!
Tapi-
Diakan emang nggak tau!
Isssh!
Rinai kesel!
Dongkol!!
Sebelll!!!
Rinai melempar handphonenya dan menghentak-hentakkan kaki, lalu berguling dari ujung kasur ke ujung satunya berkali-kali.
Argh!!!
Rinai gondok!!!
Bersambung.
Keputusan Kecil Membawa Perubahan Besar
“Gimana ni, udah hampir sebulan tapi STNK saya masih belum selesai juga!” suara lantang memecah keheningan di dealer pagi itu, menarik atensi banyak orang. Seorang konsumen laki-laki paruh baya mengamuk tak lama setelah mereka membuka pintu rolling dealer.
Ia protes ke semua orang sampai akhirnya mereka mengarahkan bapak itu kepada Rinai. Namanya pak Slamet. Dia adalah konsumen reguler yang melakukan pembelian tunai beberapa bulan yang lalu.
“Iya pak, tapi KTP bapak itu kan KTP di luar kota. Kalo KTP-nya kabupaten, pengurusan STNK-nya memang agak lama, Pak,” jelas Rinai.
“Tapi kan surat jalan keterangannya cuma 2 minggu, ini udah lewat tapi belum juga selesai. Katanya mau dihubungi kalau selesai, sampai hari ini nggak ada dihubungi sama sekali. Susah saya mau pergi-pergi! Motor nggak ada surat-surat kayak gitu, nanti malah disangka motor bodong.”
“Tapi memang prosedurnya kayak gitu, Pak. Memang prosesnya agak lama. Makanya, karena STNK Bapak belum selesai, belum ada kami hubungi.”
“Tu sekarang gimana? Surat jalan saya sudah nggak berlaku! Kemarin saya hampir kena tilang, untung polisinya kenalan saya, bisa dia ngerti.”
Rinai mendesah. Gini nih yang bikin kesel, kalau pengurusan surat-surat motor lama, konsumen pasti marahnya ke Rinai. Salah Rinai apa coba? Emang dia yang keluarin STNK?
“Nggak mau tau saya pokoknya! Udah cukup sabar saya, ya Dek. Di surat jalan ditulis 2 minggu, udah sabar saya, udah lebih dari sebulan saya tunggu nggak juga selesai, nggak salah kalau saya marah kayak gini ya!”
“Belum lagi sebulan, Pak. Baru tiga minggu. Makanya surat-suratnya lama keluar."
“Terus, harus saya tunggu sebulan? Kena tilang dulu saya baru keluar STNK-nya?!”
“Tapi kalau KTP-nya luar kota, Pak, pengurusan STNK-nya memang lama." Rinai sampai bosan mengulang-ulang penjelasannya.
“Adek ni nggak ngerti! Nggak mau tau saya, STNK saya harus selesai minggu ini juga! Kalau nggak selesai minggu ini, saya pulangkan motornya ke sini!”
Rinai ngerti Pak, Bapak yang nggak ngerti!
“Lagipula di dealer lain saya ambil motor bisa cepat kok! Di sini aja yang lama,” Pak Slamet mulai merepet lagi.
“Iya, Pak. Tapi memang sudah prosedurnya seperti itu.”
“Itu bukan urusan saya! Saya kan menuntut hak saya. Udah kurang baik apalagi saya? Udah hampir sebulan, STNK sama BPKB belum juga keluar. Saya ini beli tunai! 20 juta lebih ni saya bayar, jangan sekarang kalian lepas tanggung jawab gini!”
Rinai mengkerut. Susah banget sih ngejelasin sama konsumen kayak gini! Dengan gondok, Rinai memutuskan menemui Pak Daniel.
“Permisi, Pak,” sapa Rinai. Pak Daniel tampak tenggelam dibalik tumpukan berkas di mejanya.
“Hah, kenapa?”
“Ini Pak, ada konsumen yang ambil motor udah hampir sebulan, tapi KTP-nya luar kota.”
“Sudah kamu beri tahu kalau mengurus STNK untuk konsumen dengan KTP luar kota itu lebih lama prosesnya?”
“Udah Pak, tapi konsumennya nggak mau ngerti. Malah ngancam, kalau minggu ini nggak selesai motornya mau dibalikin.”
“motornya mau dibalikin? Mana bisa!” pak daniel langsung heboh.
“Iya Pak, gimana tu Pak? Konsumen tu marah-marah aja, nggak mau dengerin penjelasan saya.”
Pak Daniel bangkit dan melangkah ke counter dengan langkah panjang-panjang. Di sana, konsumen yang tadi masih menyalurkan amarahnya ke semua karyawan dealer.
“Bapak ya yang nanya STNK?" Pak Daniel tersenyum ramah. "Nah, ini Pak, haha, jadi untuk STNK, kalau KTP luar kota memang lama. Yaaa... nanti kami usahakan agar bisa lebih cepat haha,” jelasnya, tetap cengengesan meski konsumen masih tampak emosi.
“Ya nggak peduli saya mau luar kota atau bukan! Biasanya STNK seminggu, dua minggu udah keluar. Ini udah hampir sebulan belum juga selesai. Percuma saya punya motor, nggak bisa juga dibawa kemana-mana!”
“Iya, kami janjikan secepatnya. Dalam minggu ini lah. Nanti kami utamakan.”
“Masa selama itu? Kalau nanti saya kena tilang gimana? Motor saya kayak motor bodong, nggak ada surat-suratnya!”
“Lagipula, biasanya kan ada STNK sementaranya, Pak,” kata Rinai, ia mulai jengah jadi tontonan konsumen yang lain.
“Mana ada! Saya cuma dikasih surat jalan aja!” tukas konsumen.
Pak Daniel menatap Rinai.
“Kamu gak ada kasih STNK sementara?”
“Kalau STNK sementara bukan saya yang pegang Pak, Kak Julita yang pegang,” jawab Rinai.
“Ha? Julita? Sutan, Julita mana?”
“Ada, Pak, lagi sarapan di pantry," sahut Bang Sutan.
“Kalau konsumen ambil motor ada gak dibikinin sama Julita STNK sementaranya?”
“Harusnya ada sih, Pak,” kata Bang Sutan.
“Panggil, panggil dia!” Bang Sutan dengan sigap langsung berlari ke pantry.
“Udah, kamu selesaikan aja kerjaan kamu. Ini biar saya aja yang urus,” kata Pak Daniel ke Rinai. Rinai mengangguk dan kembali ke kursinya.
Untung deh, Rinai lelah menghadapi konsumen kayak gitu. Mana tumpukan kerjaan masih banyak lagi, moodnya Rinai udah turun duluan. Rinai mendesah lelah, ia bangkit dan mengambil gelas lalu berjalan menuju pantry. Rinai butuh minum!
“Kalau kayak gini kan saya nggak perlu marah-marah! Ini sama sekali nggak ada pegangan. Surat jalan juga udah mati masa berlakunya,” Saat Rinai balik, suasana lebih adem dari tadi. Wajah konsumen pun tampak lebih ramah.
“Iya. Nanti untuk surat-suratnya yang asli kami usahakan secepatnya. Itu lagi kami urus,” kata Pak Daniel.
Konsumen itu mengangguk. Setelah menyimpan STNK sementara itu ke dalam tasnya, dia pun bergegas pergi.
“Sutan, tolong penjualan untuk konsumen dengan KTP luar kota itu di stop dulu. Terlalu banyak. Susah mengurusnya. Nanti kalau surat-surat kendaraan lama keluar konsumen marah-marah. Kita bingung menjelaskannya gimana. Mereka mana paham "Pelanggaran Wilayah",” intruksi Pak Daniel ke Bang Sutan.
Pelanggaran wilayah sendiri adalah situasi di mana di mana dealer melakukan penjualan motor di luar wilayah yang sudah ditentukan oleh Main Dealer. Perbatasannya biasanya per wilayah. Seperti dealer Rinai yang terletak di Pekanbaru, tidak diijinkan untuk menjual unit ke luar kota. Hal ini dikarenakan dealer dengan merek sama sudah ada di sana. Kecuali, si konsumen menetap di Pekanbaru, barulah surat-surat kendaraan bisa diurus dengan bukti surat domisili atau keterangan kerja.
“Susah lah pak, penjualan kita lebih banyak ke konsumen ber-KTP luar kota. Kalo kita stop, nggak jualan kita Pak. Nanti anjlok lagi penjualan kita kayak bulan sebelumnya,” tolak Bang Sutan.
Pak Daniel diam, tampak berpikir. Ia kemudian mendekati Rinai.
“Rinai, nanti semua data penjualan luar kota kamu pisahin ya, kasih ke saya! Biar saya bedakan pengurusannya, biar lebih cepat!”
“Iya, Pak.”
Sepeninggalan Pak Daniel, Rinai membuang napas. Alamat nambah kerjaan ini. Inputan aja masih menggunung, ditambahin satu lagi. Lama-lama Rinai nggak kuat kerja kayak gini!
Rinai merebahkan badan di atas kasur. Mata terpejam rapat dengan napas yang tenang. Tampak begitu damai. Meski begitu, gurat lelah tertera dengan jelas di setiap jengkal wajahnya.
Pagi ini, ia berencana mencicil inputan yang sudah menggunung. Dokumen itu terus tumbuh tinggi tanpa bisa dihentikan. Ia sudah membagi waktunya dengan baik dan yakin akan bisa menyelesaikan semua dalam waktu 2 hari ini. Tapi semua rencananya kandas saat pak daniel seenaknya memberi perintah untuk memilah penjualan dalam kota dan luar kota. Ia malah berakhir dengan setumpuk besar faktur penjualan.
Rinai lelah lahir dan batin. Penghujung bulan sudah di depan mata, tapi kerjaan masih segunung. Jangan bilang Rinai harus lembur pas tutup buku nanti. Isssh.
Ting!
Sebuah pesan masuk. Dengan ogah-ogahan Rinai menjangkau tas dan mengeluarkan HP.
[From: Bang Jack
Rinai, mau ikut lomba?]
Rinai mengernyit. Hah? Tumben banget Bang Jack ngajakin ikut lomba?
[To: Bang Jack
Enggak Bang, Rinai nggak sanggup panjat pinang.]
Kirim.
Ting!
[From: Bang Jack
Lomba menulis, Rinai. 17 agustus masih lama.]
Rinai mengernyit. Lomba menulis?
[To: Bang Jack
Lomba menulis gimana, Bang?]
Ting!
[From: Bang Jack
Lomba menulis novel. Diadakan BOB Publishing. Coba aja, soalnya lombanya gratis. Total hadiahnya juga lumayan. Kabar paling bagusnya, nanti kalau menang langsung dikontrak sama penerbit.]
Rinai mikir. Mau sih … Mau banget malah!
Tapi, emang Rinai ada waktu? Apalagi, pasti banyak yang ikutan juga. Iya kalau menang, kalau kalah? Lagipula, selama ini walau Rinai pernah ikut kelas menulis, dia nggak pernah benar-benar bikin novel. Hanya diberikan teori, challenge, dan diminta buat cerpen aja. Belum sampai ke novel. Soalnya kalau mau dibimbing sampai bikin novel, harganya beda!
Selain itu, Rinai tidak memiliki pengalaman apapun dalam mengikuti lomba menulis. Pernah beberapa kali sih mengirim cerpen untuk ikut lomba, tapi nggak pernah menang. Dia sama sekali tidak tahu bagaimana cara memulai sebuah novel dengan benar.
[To: Bang Jack
Rinai nggak pernah bikin novel, Bang. Nggak yakin juga bakal menang. Mana kerjaan lagi banyak-banyaknya. ???]
Rinai memang sering menulis, tapi hanya sekadar coretan iseng. Palingan dia posting di FB atau Wattpad. Itu juga yang like cuma sedikit, apalagi yang baca.
[From: Bang Jack
Lombanya kan gratis, coba saja ikut. Anggap sebagai latihan. Anda kan sudah paham teorinya, kalau nggak dipraktekan, ya nggak bakal maju. Tahunya hanya sebatas teori saja.
Katanya mau jadi penulis hebat, masa sama kerjaan menumpuk aja kalah?
Anda kan bisa sediakan waktu 1-2 jam sehari buat menulis. Deadline-nya panjang kok, bisa dicicil tulisannya.
Kalau sehari bisa selesai 5 lembar, sebulan 150 lembar, 3 bulan 350 lembar. Udah jadi. Kan tidak sulit nulis 5 lembar sehari. Asal ada niat dan konsisten. Kalau untuk edit, biar Bang Jack yang bantu. Rinai fokus menulis saja.]
Rinai menggigit bibir. Serasa dihantam telak ke ulu hati membaca pesan dari Bang Jack. Rinai emang nggak sanggup kalau impiannya sudah dibawa-bawa gini, apalagi yang dibilang Bang Jack benar.
Rinai memang bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Sejak teman-temannya lebih memilih jadi polisi, pilot, atau dokter. Atau bahkan jauh sebelum dia mengerti jadi penulis itu maksudnya apa. Dan sampai detik ini, dia masih ingin jadi penulis. Masih ingin jadi penulis saat teman-temannya yang lain sudah berganti cita-cita. Masih memperjuangkan walau kadang ia tidak cukup percaya diri dengan hasil tulisannya.
Rinai menarik napas dalam, dan menghembuskannya. Kalau Bang Jack sampai mau jadi editor buat tulisan Rinai, ya nggak boleh ditolak dong, kapan lagi ada penawaran menarik kayak gini.
Dan Bang Jack benar, Rinai harus memanfaatkan lomba ini untuk mengasah kemampuannya. Menang, syukur. Nggak menang, juga nggak rugi apa-apa. Malah, mungkin saja dengan berani mengambil tindakan seperti sekarang, akan menciptakan perubahan besar untuk hidup Rinai. Ya, bisa aja kan!
Tekad Rinai sudah bulat. Ia mengetik pesan balasan untuk Bang Jack
[To: Bang Jack
Jadi, gimana cara daftarnya, Bang?]
Bodo amat dengan segunung inputan yang nggak kelar dan target jualan yang belum tercapai, Rinai punya hak mengejar impian!
Bersambung.
Penculik, Bukan?
Rinai bergegas turun dari oplet. Ia mengenakan kemeja lengan panjang yang dipadukan dengan celana levis dan sebuah tas selempang kecil. Setelah membayar, ia menyeberang jalan, menuju ke sebuah toko buku bekas.
Pagi ini, Rinai sudah meminta tolong Embun untuk mengantarnya ke tempat ini, tapi Embun malam ngomel-ngomel sambil lanjut tidur. Jadi dengan terpaksa, ia memutuskan untuk naik angkutan umum.
Derita orang yang gak bisa bawa motor ya ini, nih. Sedih!
Toko itu sangat luas. Memiliki banyak rak yang menjulang ke langit-langit. Berbagai buku dengan berbagai judul tersusun rapi di setiap ruang, dibedakan sesuai kategori.
Rinai menjelajah. Semangatnya menggebu-gebu. Ia tampak layaknya anak kecil, berlari pelan ke sana ke sini hanya untuk kegirangan melihat betapa banyaknya buku-buku bagus yang bisa dibeli dengan harga yang murah.
Untuk manusia berdompet tipis seperti rinai, toko buku bekas ini bagaikan bagian kecil dari surga. Ia merasa seperti… di sini ada dunia dan seisinya. Bibirnya tak bisa berhenti mengembang. Dalam beberapa jam, di tangannya penuh dengan tumpukan buku.
Hari ini pengunjung begitu ramai. Rinai bahkan tak sengaja menyenggol beberapa orang saat berjalan dari rak yang satu ke rak yang lainnya. Mungkin juga dipengaruhi karena toko ini baru saja buka di sini. Mereka bahkan memberikan diskon yang cukup besar untuk pembelian dalam jumlah banyak.
Malam itu, setelah Bang Jack mengirimi info tentang lomba, mereka chatting sampai larut. Membicarakan tema apa yang akan diambil untuk tulisan Rinai. Ia sangat bersyukur karena BOB Publishing membebaskan peserta untuk mengambil tema apapun. Dan dia sudah memutuskan untuk mengambil tema tentang pembunuh bayaran.
Tema pembunuh bayaran sendiri sangat sedikit di Indonesia. Mungkin karena minat pembaca terhadap tema ini begitu rendah, atau mungkin karena kurangnya penulis yang menuliskan cerita dengan tema ini. Tapi Rinai tetap percaya diri. Ia merasa yakin kalau cerita dengan tema seperti itu akan lebih menarik. Selain itu, ia juga yakin kalau sedikit sekali penulis yang akan membuat tema serupa, sehingga tulisannya akan kelihatan lebih mencolok dan mencuri perhatian. Hal itu bisa membuat peluang Rinai menjadi semakin besar, kan?
Rinai mendekat ke bagian rak novel. Niat Rinai hari ini mau membeli beberapa novel dengan tema yang sama dengan yang ingin ia tulis sebagai referensi. Beberapa hari kemarin, ia sudah menonton banyak film atas saran Bang Jack. Tapi film saja tak cukup, ia butuh referensi dalam bentuk tulisan supaya lebih paham dan mantap.
Rinai tersenyum senang. Buku-buku itu dibiarkan terbuka tanpa pembungkus sama sekali. Seakan memang mengizinkan pengunjung untuk membaca sepuasnya. Tak menunggu lama, Rinai langsung tenggelam dalam dunianya sendiri. Orang-orang disekitarnya bagaikan kilatan bayangan cepat yang tidak berarti. Sekelilingnya buram. Hanya ada satu titik fokus. Dirinya.
Hal ini juga yang membuat Rinai tidak menyadari bahwa sejak dia masuk, ada seseorang yang memperhatikannya. Seorang laki-laki yang Rinai panggil Abang Ojek. Ia mengikuti Rinai dengan matanya dari sudut lain rak buku. Berpikir sejenak, ia memutuskan untuk menyapa. Menolak dianggap sombong.
“Lagi cari buku apa, Dek?” sapa Birai.
Rinai tersentak. Ia menoleh cepat dan langsung mengambil satu langkah mundur mendapati di sebelahnya mendadak ada orang. Rinai menatap lamat-lamat. Kok rasa nggak asing, ya?
“Lupa, ya? Saya Birai!”
Oh, iya! Hutang 6 ribu!
“Lagi cari buku apa?” Birai menatap tumpukan buku di gendongan Rinai dengan takjub. “Banyak kali, mau ngeborong?!” serunya sambil tergelak.
Rinai malah gak mendengarkan sama sekali. Ia membuka tas dengan satu tangan dan mengambil pecahan uang 10 ribu.
“Utang saya, Bang,” kata Rinai sambil menyodorkan uangnya. Birai melongo.
“Bukan saya yang jual, Dek. Kasirnya di sana.” Emang Birai kelihatan kayak penjaga toko ya? Orang dia udah dandan keren juga.
“Eh, bukan! Ini buat utang yang kemaren, Bang.”
“Yang mana?”
“Yang pas anterin saya ke dealer ujan-ujan itu loh!”
"kok bisa?"
"kok bisa apa?"
"Hujan-hujanan."
"Lah, kan kemarin emang hujan, Bang."
"Gak hujan, kok. Orang panas gini," kata Birai sambil melihat ke arah langit.
“Bukan hari ini Bang, kemaren." Rinai mendadak kesal.
“Kemaren juga panas, kok. Jemuran saya aja kering."
Demi, Rinai nggak paham lagi! Nih orang nyebelin banget!
“Kan beberapa minggu yang lalu saya pesan ojek online, terus abang yang jemput. Waktu saya mau bayar, uang saya tinggal, jadi saya ngutang ongkosnya sama abang. Kalau nggak salah 6 ribu. Ini mau saya bayar.”
"Saya lagi ulang tahun loh, dek. Minum es dawet ayu yok, saya traktir!"
Rinai mengernyit.
SIAPA JUGA YANG NANYA?!!
Nih cowok aneh banget sih. Stres gitu kayaknya. Tinggalin aja deh, nggak usah dekat-dekat. Kali aja dia penculik yang menculik orang buat diambil organ dalamnya, terus di jual. Kan sekarang lagi marak berita yang kayak gitu. Modus ngedeketin, terus di preteli deh organ korban. Ngeri!
“Ini Bang,” Rinai menarik paksa tangan Birai dan menyerahkan selembar uang di sana, “Makasih ya, Bang.” Tanpa menunggu jawaban, Rinai berlalu menuju kasir. Bodo amat dianggap nggak sopan, Rinai udah takut duluan.
Setelah beres belanja, Rinai berencana untuk langsung pulang dan menghabiskan stok bacaan super banyak ini dalam waktu singkat. Bukan ngejar deadline lomba, tapi Rinai emang suka kalap kalau sudah berurusan sama buku. Sama kalapnya kalau lagi ngiler makanan enak. Kayak sekarang, niat pulang tinggal niat doang, Rinai malah berakhir di tukang es dawet ayu yang jualan nggak seberapa jauh dari toko buku bekas. Gara-gara Abang Ojek nih, yang tadi ngajak Rinai buat minum es. Kan, jadi pengen!
Sedang asik menikmati es dawet ayu sambil balas-balasan pesan sama Bang Jack, seseorang duduk di sebelah Rinai. Awalnya sih Rinai cuekin, paling juga pembeli lain. Tapi Rinai langsung menoleh dengan cepat saat orang itu mengeluarkan celetukan.
“Adek penulis, ya? Keren!”
Rinai melotot. Apaan sih, nggak sopan banget baca pesan orang lain!
“Mau ikut lomba apa tadi itu? Makanya ya beli banyak buku? Pantes sih, penulis kan nyawanya setengah ada di buku.” Birai tersenyum lebar.
Rinai masih nggak merespon. Ia mematikan layar HP dan minum es cepat-cepat, biar bisa cepat pulang, dan membatalkan rencana buat sedikit berleha-leha di sana.
Birai, entah gak peka entah emang gak waras, tidak menyadari sama sekali tingkah Rinai yang tampak antipati sama keberadaannya. Ia malah menatap Rinai dengan jenaka.
“Nggak usah buru-buru minumnya, santai aja. Nggak bakal diminta kok, saya udah pesan juga barusan.”
Siapa juga yang peduli dia mau minta apa enggak?
“Oya, ini juga, uang kamu,” Birai menyodorkan uang Rinai tadi di atas meja.
“Ini kan utang saya, Bang.” Rinai baru bersuara saat uang itu berada di sebelah mangkoknya, ia pun kembali menggeser uangnya ke arah Birai.
“Nggak apa, lagian lebih juga.”
“Nggak bisa gitu lah, utang dibawa mati, jadi Abang harus terima!”
Birai kicep. Dengan agak terpaksa ia mengeluarkan dompet dan menarik 2 lembar 2 ribuan dan balik menyodorkan.
“Ya udah, ini kembaliannya. Kan cuma 6 ribu.”
Rinai nggak membantah. Ia nggak mau berurusan lebih lanjut sama orang ini.
“Ya udah, sebagai gantinya, saya traktir ya! Anggap aja buat perayaan pertemanan kita.” Birai tersenyum senang. Rinai mengernyit, sejak kapan mereka temenan?!
“Nggak usah Bang, udah dibayar kok tadi,” tolak Rinai. Untung aja dia langsung bayar tadi, kayaknya Tuhan masih sayang sama Rinai.
Pemuda di depannya langsung memelas.
“Serius? Yahhh, sayang banget. Jarang-jarang loh saya mau foya-foya buat traktir orang."
Rinai cuma melempar senyum canggung.
"Kalo gitu kapan-kapan aja lah saya traktir, ya!” Birai melanjutkan.
“Nggak usah, Bang.”
“Nggak apa, do! Kata orang, persahabatan itu dimulai dari sebuah traktiran!”
Tapi Rinai nggak mau sahabatan sama kamu, Bang! Ngeri!
“Emang kamu sejak kapan jadi penulis? Udah nerbitin berapa novel?” Birai menyeruput es dawet ayu miliknya yang baru saja datang.
“Masih pemulanyo, Bang, belum pernah nerbitin novel,” jawab Rinai, lupa kalau dia nggak mau berurusan banyak sama cowok satu ini. Habisnya, dia tanya-tanya impian Rinai sih, kan Rinai jadi semangat menjelaskan.
“Masa iya? Terus tadi mau ikut lomba apa tu?”
“Baru mau ikut lomba. Belum buat novel.” Rinai jadi kesel lagi pas ingat orang aneh ini mengintip chat-nya dengan Bang Jack.
“Ohhh, gitu! Tapi udah jago lah ya?!”
“Belum lah, kan masih pemula.”
“Oya, saya punya kenalan, dia penulis juga, tetangga saya. Novelnya udah banyak. Beberapa karyanya bestseller!”
Rinai menatap tertarik. Serius nih?
“Serius, Bang?”
“Iya! Rumahnya dekat kos-kosan saya. Mau saya kenalin?”
Mau sih. Tapi ini bukan modus, kan, ya?
“Emang kos-kosannya Abang dekat mana?”
“Ini, dekat jalan Soekarno-Hatta. Nggak jauh do! Gimana? Mau ke sana sekarang?”
Rinai ragu. Masa sih ada orang sebaik ini di dunia? Kenal aja belum, udah mau bantu sampai sebegitunya. Mana sejak tadi SKSD lagi kayak lagi cari korban.
“Ndeh… kalau sekarang nggak bisa do Bang, habis ini ada perlu.” Rinai bohong.
“Oh, ada perlu? Ya udah besok aja kalau gitu! Nanti biar saya antar. Jadi malam ni, biar saya kasih tau dulu Pakciknya. Biar nggak terkejut pula Pakcik tu didatangin sama kita haha…”
Rinai mesem-mesem, memutar otak buat nolak. Bukan nggak mau dapat ilmu baru, tapi Rinai ragu sama cowok di depannya ini. Lagipula Rinai udah punya Bang Jack kok yang mau editorin. Untuk sementara, cukup sih kayaknya!
“Nggak bisa mastiin jugak do Bang, soalnya saya juga kerja, sibuk kali soalnya.”
“Oh, kapan ada waktu luang aja kalo gitu?”
Nih orang kok gak peka sih, kalau Rinai merasa terganggu?!
Rinai mendadak berdiri setelah es dawet ayu tandas dari gelas. Ia tersenyum canggung pada Birai yang tampak kaget sama gerakan tiba-tiba Rinai.
“Saya duluan ya, Bang." Tanpa menunggu jawaban Birai, Rinai beranjak. Ia langsung memberhentikan oplet yang sedang mendekat dan naik, mengabaikan Birai yang untuk kedua kalinya ditinggal begitu saja.
Sesaat oplet berjalan, Rinai merutuki sikap tidak sopannya. Ia gak enak hati sih, tapi mau gimana lagi? Siapa suruh tuh cowok SKSD segala sama Rinai. Rinai kan takut!
Bersambung.
Babak Baru
Rinai duduk di balik meja counter sembari menatap karyawan lain yang sedang bergotong royong menurunkan unit yang baru saja datang. Unit masuk hari ini cukup banyak sampai memenuhi mobil box terbuka bertingkat dua. Kebanyakan yang datang motor bebek. Setiap dealer punya jatah masing-masing yang nggak bisa di nego. Harus terima unit apapun yang datang, dan nggak bisa request.
Sejak jadi sales counter, Rinai baru sadar kalau menjual unit nggak segampang kelihatannya. Nggak semua jenis motor selalu ready di gudang dealer. Beberapa motor yang laku keras selalu jadi bahan rebutan. Siapa yang pesan lebih duluan, dia yang dapat!
Primadonanya dealer Rinai sendiri ya motor matic. Permintaan untuk motor matic cukup tinggi sampai kadang melebihi stok yang ada. Imbasnya, sesama marketing jadi sering ribut. Yang pesen unit si A, yang keluarin unit ke konsumen malah si B. Endingnya mereka berantem sampai masuk ruangan Pak Daniel.
Rinai sih udah bosan sama drama mingguan dealer, jadi udah nggak terlalu peduli. Mereka saling ngadu-ngadu sama bos, mentang-mentang Pak Daniel yang ajakin kerja di sini. Paling juga cuma kena tegur. Terus , besoknya berantem lagi. Kena tegur lagi. Gitu aja terus sampai Nobita lulus SMA! Bang Sutan sering jadiin itu objek candaan. "Kelakuan marketingnya Pak Daniel kayak anak SD!", gitu kata mereka.
Hari ini Rinai berencana untuk menyelesaikan laporan penerimaan buku servis, tapi batal gara-gara Pak Daniel yang datang bawa sebundelan besar STNK baru yang sudah selesai. Ia meletakkan bundelan itu di atas meja Rinai dan juga menyerahkan beberapa dokumen.
“Ini, kamu hubungi konsumen ya! Kabarin STNK-nya udah datang. Nanti ribut-ribut lagi mereka ke sini. Sakit kepala saya!”
“Iya, Pak.”
Rinai mengambil STNK dan mulai mengirim SMS ke seluruh konsumen. Rinai lebih memilih mengerjakan ini terlebih dahulu supaya nggak ada lagi konsumen yang datang sambil marah-marah. Ini lumayan makan waktu, karena Rinai harus mengerjakannya secara manual, yaitu melihat satu per satu nomor telepon konsumen di komputer.
Ini awal bulan yang baik. Rinai merasa sangat lega karena Pak Daniel tampaknya tak bermasalah sedikitpun dengan fakta bahwa Rinai belum berhasil jualan meski hanya 1 unit. Rinai keteteran, pekerjaannya menumpuk. Pas tutup buku kemarin Rinai jadi terpaksa lembur sampai malam banget. Ditungguin sih sama Bang Dewa dan Pak Daniel, tapi tetap aja ini pertama kalinya Rinai lembur selama itu setelah kerja di dealer.
Sejak terpaksa lembur, Rinai jadi bertekad untuk menyiasati pekerjaan agar lebih cepat kelar. Ia mulai mengelompokkan beberapa pekerjaan yang bisa dikerjakan sekali waktu dan memisahkan yang harus dikerjakan dengan fokus. Meski tidak membuat perubahan besar, tapi gunung tugas di atas meja Rinai tak setinggi bulan lalu.
Ting!
Sedang sibuk mengabarkan konsumen, HP Rinai berbunyi. Pemberitahuan pesan masuk. Rinai menghentikan sejenak pekerjaannya dan membuka pesan.
[From: Bang Jack
Rinai punya kenalan orang yang punya pengalaman menulis novel, tidak?]
Rinai mengernyit. Kenalan… penulis?
[To: Bang Jack
Kalau cuma sekadar menulis sih, ada Bang. Tapi kalau menerbitkan novel … belum ada Bang, rata-rata masih pemula kayak Rinai.]
Rinai kembali melanjutkan kerjaan.
Ting!
[From: Bang Jack
Belum menerbitkan novel juga gak apa. Yang punya pengalaman menulis novel saja.
Tulisan Rinai bagus, tapi masih kurang. Waktu ikut Kelas Menulis Online gak disuruh langsung buat novel ya?]
Rinai kembali mengetik balasan.
[To: Bang Jack
Cuma dikasih challenge sama teori. Prakteknya disuruh bikin cerpen doang, Bang. Gak sampe sejauh dibimbing buat novel. Ongkosmya beda, hehe.
Parah banget ya Bang, tulisan Rinai?]
Ting!
[From: Bang Jack
Tulisan anda sudah cukup bagus, tapi tidak cukup kalau diikutsertakan lomba. Butuh ada yang mentorin.
Bang Jack kan bukan anak fiksi, jadi tidak begitu paham cara membuat novel yang bagus itu gimana. Lebih baik belajar sama yang lebih berpengalaman.]
Tuh kan, ini nih yang bikin Rinai ragu kemarin! Lagian, Bang Jack juga, kemarin omongannya meyakinkan banget, sekarang malah jadi kayak ragu gitu!
Gimana dong? Rinai belajar sama siapa ini? Kenalan Rinai kan rata-rata ya sama kayak dia, pemula!
Kira-kira mentor Rinai di kelas menulis online mau nggak ya kalau Rinai mintai tolong untuk bantu? Bantu kasih kritik dan saran aja oke lah. Dibanding nggak sama sekali.
Oya, bukannya semalam Abang Ojek bilang kalau dia punya tetangga penulis best seller?! Apa Rinai coba hubungi aja dia, minta tolong anterin ke rumah si penulis? Tapi, gimana kalau itu cuma modus? Terus, Rinai jadi korban mutilasi! Kan, Abang Ojek mirip tukang modus kejahatan. Apa lagi coba alasannya deketin Rinai?!
Dih, ngeri!
Atau Rinai cari sendiri aja rumahnya? Kalau di penulis best seller, pasti banyak kan yang kenalin. Nanti Rinai bisa tanya-tanya tetangga, jadi nggak perlu minta tolong Abang Ojek segala.
Cumaaa… jalan Soekarno-Hatta kan luas banget! Ya kali Rinai cari dari pangkal sampai ujung! Belum lagi banyak gang. Alamat sampai lomba kelar tuh penulis best seller belum juga ketemu!
Jadi, apa yang harus Rinai lakukan?
Cari alamatnya sendiriTelpon abang ojekBilang sama Bang Jack kalau dia nggak punya kenalan penulis sama sekali, wong Bang Jack juga gak bakalan tau ini!
Tapi… kalau Rinai bohong, nggak ada juga yang rugi selain diri Rinai sendiri. Kalau dia gagal, paling bang jack menyemangati kayak biasanya. Terus, disuruh ikut lomba yang lain lagi.
Lah, kan Rinai yang udah korbanin waktu, tenaga, dan pikiran. Masa kalah hanya gara-gara takut dimutilasi!
Memangnya siapa juga yang nggak takut dimutilasi?!! Rinai masih pengen hidup!
“Dek.”
Rinai terlonjak. HP-nya terlempar tanpa sadar ke atas meja dan ia terbelalak seperti melihat penampakan.
Tapi ini lebih gawat dari penampakan!
Gimana nggak sekaget itu, secara orang yang jadi objek pikiran Rinai mendadak ada di hadapan.
Nih orang datang dari mana sih? Jangan bilang dia bisa datang hanya karena Rinai pikirin! Oya, katanya orang-orang pelaku mutilasi kan punya ilmu yang bisa bikin korbannya linglung. Jangan-jangan ilmunya juga bisa menyadari dimana keberadaan Rinai hanya karena selintas kepikiran.
Duh, nyesel nih Rinai mikirin dia tadi!
“Ngapain, Bang?” Rinai menggeser kursinya mundur. Ia melirik sekeliling, kali aja ada yang bisa dimintai bantuan kalau-kalau Rinai dibawa paksa. Tapi semua orang sedang sibuk.Bang Sutan lagi melayani konsumen, dan Bang Dewa lagi ikut gotong royong menurunkan unit.
Kalau Rinai teriak pasti kedengaran kan, ya?
Tapi gimana kalau Rinai dibius, terus pingsan sebelum sempat teriak? Dan nggak ada yang sadar Rinai hilang? Lalu ibu dan ayah bakal nangis-nangis di rumah, sedangkan Embun bersyukur gak perlu jadi tukang ojek pribadi Rinai lagi, konsumen nggak bisa ambil STNK, dan Pak Daniel keteteran cari admin baru.
Rinai nggak boleh sampai diculik!
“Kan kamu yang minta saya datang, kok malah nanya ngapain pula?” Birai tergelak. Ia mengenakan kemeja rapi dan menyandang tas ransel. Ia langsung duduk tanpa permisi di kursi di hadapan Rinai.
Tuh kan, benar! Dia punya ilmu gitu-gituan! Bisa tau Rinai mikirin dia, terus datang!
Demi apa Rinai beneran takut!
Kabur gak ya? Lari ke ruangan Pak Daniel terus kunci pintunya dari dalam. Kalau Pak Daniel nanya, bilang aja Rinai lagi dicari sama Pelahap Maut, jadi harus disembunyikan demi masa depan dunia sihir. Kali aja Pak Daniel percaya! Orang marketing tipu-tipu aja dia percaya kok! Ups!
“Dek, kok melamun pulak? Nanti kesambet! Masih pagi, ni!” Birai tersenyum geli.
Rinai hanya menatap mencela cowok di depannya. Apaan sih! Rinai paling benci deh kalau ada orang sok tau yang bilang dia melamun gitu. Padahalkan Rinai nggak melamun, tapi mikir! Emang mereka nggak bisa bedain ya?
Seketika, ketakutan Rinai lenyap dan berganti dengan kesal. Dengan hati mangkal, Rinai memperbaiki duduknya dan memindahkan HP ke laci meja.
“Ada yang bisa dibantu, Bang?” wajah dan suara Rinai langsung datar, tak mau menunjukkan sedikit ekspresi pun. Bodo amat dengan SOP.
Rinai memang suka mendatarkan ekspresi dan nada suara saat marah. Bagi Rinai yang pendiam dan suka memendam perasaan, itu adalah pilihan terbaik saat marah. Karena kalau Rinai sampai marah dengan meledak-ledak, selain dia memang gak mampu, dia yakin kalau pasti akan menyesal setelah melakukannya.
“Ini,” Birai menyerahkan surat jalan, “mau ambil STNK. Tadi udah di SMS kalau STNK-nya udah datang.”
Rinai mencelos. Oh! STNK, yaaa?! Kirain dia beneran bisa baca pikiran!
Tuh, kan! Kebiasaan nih, Rinai suka mikir jelek sama orang baru.
Lagipula, sejak kapan juga dia ambil motor di sini? Kok, Rinai gak sadar?
Rinai membaca surat jalan yang tadi Birai serahkan dan ingatannya melayang pada beberapa minggu yang lalu, pada seorang laki-laki sok ngartis yang membuatnya jengkel. Oh, iya dia! Namanya sama! Orangnya juga hehehe ... Jelas lah, orang mereka memang satu orang yang sama.
Kok Rinai bisa lupa ya? Gak usah bingung! Kan Rinai emang tipe manusia nggak peka! Dia mana ingat kalau cuma sekali jumpa. Ingatan Rinai kalau menyangkut urusan mengingat manusia emang pentium 1. Nggak begitu bisa diandalkan.
Rinai langsung menyisihkan STNK milik Birai dan menyiapkan daftar pengambilan surat-surat kendaraan.
“Tanda tangan di sini, Bang,” Rinai menunjuk buku serah terima. Birai mengambil pena dan membubuhi tanda tangan di sana.
“Udah ya Bang, ini STNK-nya. Silahkan diperiksa lebih dulu nama dan alamatnya. Terima kasih.”
Rinai menyimpan buku serah terima kembali ke dalam laci dan melanjutkan mengirim SMS, tapi ia mendadak berhenti saat menyadari Birai tak kunjung pergi walau SNTK sudah ia terima.
“Ngapa bang? Ada yang salah nama atau alamatnya?”
Birai tersenyum lebar. Ia memajukan wajah dan berbisik pelan,
“Jadi nggak ke rumah Pakcik, penulis yang saya ceritain kemaren?”
Deg!
Nih cowok emang punya ilmu!
Rinai kembali bersikap awas.
“Kamu kok kayak takut gitu sih sama saya? Ngapa? Takut saya culik?” Birai tergelak. “Lagi pula, kalau saya penculik, ya saya pilih-pilih juga! Tipe cemberut kayak kamu ini mana laku kalau dijual!”
Rinai emang nggak mau di jual atau diculik, tapi jangan pake ngehina dong! Habis deh kesabaran Rinai!
“Gimana? Jadi?” Birai mencoba meredakan tawa, “Kemaren udah saya bilangin sama Pakcik, mau dia! Katanya sih, ayuk aja. Tapi dia lumayan sibuk, nggak selalu bisa diganggu. Kalau mau, hari ini kita ke sana. Soalnya lusa dia ada kerjaan keluar kota. Baliknya baru minggu depan. Kalau udah jumpa kan enak, kali aja bisa sekalian minta ilmu atau saran.”
Kalau Birai orang baik, mungkin dia adalah refleksi nyata akan pertolongan Tuhan terhadap Rinai. Cuma masalahnya, dia nggak jelas baik atau enggak! Kadang baik, kadang modus kayak penculik, kadang nyebelin banget nggak ngira-ngira!
Rinai coba percaya gak ya?
Rinai masih ragu sih!
“Gimana? Mau nggak? Mumpung saya lagi luang sore ini,” kata birai lagi.
Ikut? Enggak? Ikut? Enggak? Ikut? Enggak!
Enggak ikut!
Diam-diam Rinai hitung kancing baju, soalnya dia bingung mau pilih ikut dan percaya, atau tolak demi mempertahankan nyawa. Meski Rinai sendiri merasa bego sih, bisa-bisanya dia mempercayakan keputusan sama kancing baju yang gak bernyawa.
Tapi tadi kan, hasil akhirnya tolak! Apa Rinai tolak aja? Tolak bala. Tolak linu. Tolak peluru. Bukan! Tolak tawaran abang ojek buat ikut ke rumahnya. Eh, bukan, rumah Pakcik ding! Tapi kan sama aja, orang mereka tetanggaan gitu kok!
“Ha! Tumben kemari?”
Rinai tersentak dari pikiran panjangnya. Bang Dewa mendekat dengan sebotol air mineral di tangan. Ia berkeringat dan tampak lelah setelah menurunkan banyak unit yang datang hari ini.
“Iya! Ambil STNK, Bang.”
Mereka bersalaman, dan kemudian berbincang akrab. Kok Bang Dewa kenal sih sama abang ojek?!
“Oh, udah keluar STNK-nya?” Bang Dewa menatap Rinai.
“Udah kok Bang, ni udah aku ambil,” sahut Birai cepat sebelum Rinai sempat buka mulut.
“Ohhh, baguslah,” kata Bang Dewa lagi.
“Rinai, dipanggil ke ruangan Pak Daniel!” Kak Julita yang baru saja keluar dari ruangan Pak Daniel memberitahu sambil lewat. Tanpa basa-basi, Rinai langsung beranjak. Biar deh, kan ada Bang Dewa di sana yang ajakin ngobrol Abang Ojek.
****
Kali kedua untuk Rinai duduk di sofa merah menyebalkan ini. Gimana nggak menyebalkan. Setiap kali duduk di sini, pasti ada sesuatu yang serius. Meski di sofa ini juga dia pernah di tes dan diterima sebagai karyawan. Tapi, itu kan dulu, sebelum negara api menyerang. Sekarang zaman udah berubah menjadi zaman kerja paksa. Iya, Rinai terpaksa turun gunung! Masih gak ikhlas ninggalin ruangan yang udah dianggap kamar sendiri di lantai 2.
Pak Daniel masih sibuk menelepon di balik kursi kebesarannya. Rinai mengira-ngira apa yang membuat Pak Daniel memanggil dirinya. Masalah STNK lagi ya? Atau inputan penjualan? Atau masalah beberapa marketing yang datanya masih pending sehingga Rinai nggak bisa input?
Atau… Mau naikin gaji Rinai?!
Duhhh… mau banget! Kan Rinai udah sebulan ini kerja ngerangkap. Lesu, lelah, lunglai! Jadi wajar aja kalau Pak Daniel mau naikin gaji Rinai! Ternyata Pak Daniel pengertian banget yaaa!
Jadi terharu!
Tisu… mana tisu? Rinai mau buang ingus!
“Rinai,” Pak Daniel meletakkan HP, “Kamu bulan kemarin belum ada jualan sama sekali, ya?”
Rinai tertegun. Kok gak ada kata gajinya yaaa?
Rinai pasti salah dengar nih!
Coba ulang, deh.
“Gimana, Pak?” Rinai coba konfirmasi.
“Iya, kamu bulan kemarin belum ada jualan unit sama sekali, ya?” ulang Pak Daniel.
Lantai yang Rinai injak serasa retak dan membawa tubuhnya terjun bebas ke bawah.
Kok, kayaknya ada yang gak asing dengan beberapa adegan di atas?! Serasa pernah terjadi gitu, tapi Rinai lupa kapan.
Ini topik yang Rinai hindari berminggu-minggu. Kalau bisa mah, seumur hidup!
“Belum Pak, saya mau fokus dulu sama inputan dan melayani konsumen yang mau ambil kelengkapan kendaraan. Lagipula, saya masih belajar buat jualan.”
Pak Daniel merebahkan tubuh ke sandaran kursi. Kursi empuk itu berputar-putar seiring gerakan Pak Daniel.
“Iya, Sutan juga udah bilang gitu sama saya. Kalau gitu mulai bulan ini harus bisa jualan ya! Biar penjualan counter bisa naik.”
“Iya, Pak.”
“Sejauh ini kamu ada masalah? Kalau ada masalah sama yang lain atau marketing, kasih tau saya! Kadang mereka kan suka bertingkah.”
“Sejauh ini nggak ada masalah, Pak.”
“Oya, ini, kamu dapat undangan training buat sales counter. Kamu ikut ini ya, biar makin paham.” Pak Daniel menegakkan badan dan menggeser selembar kertas di atas meja.
Rinai beranjak dan mengambil kertas undangan. Ia membaca detail waktu training dan mendapati kalau training 2 minggu lagi.
“Berarti saya nggak perlu ke dealer kan Pak? Trainingnya kan dari pagi sampai sore?”
“Iya, nggak perlu. Jangan sampai telat ya!”
“Iya Pak.”
Setelah berterima kasih, Rinai beranjak keluar sambil membawa undangan training. Ia terheran-heran melihat Abang Ojek dan Bang Dewa masih asik bercerita. Ia masuk ke balik counter dan menyimpan undangan training ke dalam laci.
Karena merasa aneh, Rinai melirik kepada 2 orang yang mendadak diam sejak kedatangannya. Kenapa lagi nih? Jangan bilang mereka tadi gosipin Rinai! Kan biasanya gitu, kalau kita lagi ngomongin orang, pas orangnya datang kita langsung diam.
“Iya mau belajar nulis sama Pakcik, Nai?” Bang Dewa memastikan.
Rinai melongo. Lah, kok Bang Dewa tahu?
“Kok Abang tau??” Rinai merenggut. Itu kan rahasia!
“Nih, si Birai yang bilang.”
Rinai melemparkan tatapan mematikan pada Birai, yang langsung meringis di tempat.
“Hehehe… cuma mau silaturahmi aja, Bang.” Rinai nggak nyaman, ia berpikir cepat mengalihkan pembicaraan, “Abang kenal sama Pakcik?”
“Kenal lah! Kan tetanggaan.”
“Serius?! Berarti juga tetanggaan sama abang ni?” Rinai menunjuk Birai yang cengar-cengir.
“Tetangga apaan! Orang kami satu kos juga, kamar sebelah-sebelahan di batas triplek doang hahaha…” Bang dewa tertawa diikuti Birai yang meringis.
Bang Dewa satu kos sama Abang Ojek? Berarti Abang Ojek bukan tukang mutilasi dong ya? Beneran baik ya?
“Kau pun, akhir-akhir ni sok sibuk kali! Seminggu ni pulang tengah malam terus,” kata Bang Dewa.
“Maklum lah, Bang. Kalau mau kaya, ya butuh usaha."
"Gaya kau lagi mau kaya - mau kaya, kayak apa aja lah. Kerja sampe malam makan tetap indomie juga tu." Mereka berdua terbahak. Rinai ikutan senyum, kurang lebih Rinai yakin mereka lagi ngomongin masalah anak kos.
“Capek-capek bayar, di tahun terakhir ditarik leasing pula. Memperkaya leasing namanya tu!” Birai menggeleng-gelengkan kepala masih sambil tergelak.
“Kuliah gimana? Lancar?”
“Lancar bang!”
“Mantap tu!” Bang Dewa mengacungkan jempol buat Birai, “Udah ya, ke atas dulu, mau rutinitas. Kali aja bisa jadi karyawan teladan, bisa naik gaji!”
“Emang di sini aja pemilihan karyawan teladan Bang?” alis Birai naik setengah.
“Enggak!! Hahahaha …”
Rinai mendesah. Mereka bercanda mulu. Kayak nggak ada beban. Apa cuma Rinai yang punya beban di dunia ini? Ya nggak mungkin lah! Semua orang juga pasti punya!
Tanpa sadar, Rinai menggigit bibir. Dia masih belum menjual satu unit pun bulan ini, inputan menumpuk, kerjaan begitu banyak, belum lagi dia juga harus buat novel. Mana Bang Jack suruh Rinai cari mentor lagi! Rinai nggak tahu harus cari kemana? Emang kalau Rinai cari ke pasar, ada yang jual gitu?
Mentor menulis! Mentor menulis! 10 ribu 3! Dek, Dek, cari mentor yang gimana dek? Lengan panjang? Lengan pendek? Silahkan pilih! Silahkan pilih!
Isssh!
Apaan coba, pake lengan panjang atau lengan pendek, emang jualan baju?!
Cari mentor menulis kemana yaaa?!
“Lah, kan udah dibilang, Pakcik tinggalnya di jalan tobek godang. Deket sini kok! Jadi pergi ke sana sore ni?”
Rinai terkesiap. Perasaan tadi ngomomg dalam hati deh, kok dia bisa tau? Nih orang beneran bisa baca pikiran kali ya? Indigo, gitu! Tapi… bukannya indigo itu cuma bisa liat makhluk astral? Atau bukan? Tau deh, Rinai nggak paham!
Rinai kembali menimbang-nimbang, ikut nggak ya? Lagi pula, kan dia juga temannya Bang Dewa, jadi aman, jadi baik, jadi nggak apa-apa kalau Rinai terima ajakannya.
“Oke?”
“Oke!” Rinai nyerah. Dia memang butuh mentor atau seseorang yang mampu untuk membimbingnya menyelesaikan sebuah novel dengan baik.
Rinai gak mungkin berjalan di kegelapan dengan mengandalkan keyakinan kalau di depan ada jalan keluar, kan?
“Tapi jangan nanti sore bisa nggak, Bang?”
“Loh, kenapa?”
“Ada perlu!”
“Gitu yaaa? Tinggal besok berarti.”
“Besok aja boleh ya?”
“Oke deh. Sore saya jemput ya!”
“Saya ke sana sama Bang Dewa aja, Bang.”
“Nggak usah, saya jemput aja. Besok saya kelar kuliahnya sore, jadi sekalian lewat sini kan!”
“Iya lah.”
Setelah mereka berdua sepakat, Birai pamit. Katanya masih ada kuliah lagi, jadi mau ke kampus. Sepeninggalan Birai, Rinai mengambil HP dan mengirim pesan,
[To: Bang Jack
Rinai udah ketemu mentornya, Bang!]
Bersambung.
Arah Haluan
Sore ini Rinai ada janji sama Birai buat pergi ke rumah Pakcik. Ia mengerjakan pekerjaan secepat mungkin dan menyisihkan sedikit buat besok. Bukannya Rinai pemalas loh sampe nyisain pekerjaan segala, orang kerjaan Rinai banyak banget, mana selesai satu hari. Untung aja ini masih awal bulan, jadi gak harus buru-buru.
Rinai melirik jam di HP, udah setengah 6 alias udah setengah jam Birai telat. Dealer sudah tutup sejak tadi, sudah tergembok, terkunci rapat. Rinai jadi duduk lesehan di teras dealer menunggu jemputan. Tau gini mending tadi Rinai nebeng Bang Dewa aja kali ya, pasti sudah sampai di rumah Pakcik.
Rinai membuka tas dan mengintip ke dalam salah satu saku. Di dalam sana Rinai sudah menyimpan sebuah penyemprot yang isinya air lada. Bukan buat makan, tapi buat jaga-jaga! Rinai sengaja membawa satu garpu dari rumah, siapa tau Birai bukan orang baik. Siapa tau dia mau culik Rinai, terus dijual! Meski suka cemberut dan berwajah datar gini, organ tubuh Rinai kan bisa aja dipreteli, terus dijual deh ke pasar gelap, atau Rinainya yang bakal dijual ke mucikari!
Ngeri!
Pokoknya Rinai nggak boleh sampai lengah. Bahkan kunci HP pun udah dinonaktifkan, jadi kalau mendesak, gak perlu masukin password dulu, bisa langsung nelpon buat minta tolong.
Tapi, kan Rinai nggak punya paket nelpon! Nggak punya bonus SMS juga, kuota internet juga modal gratisan dari dealer, ini!
Demi apa Rinai gak modal!
Apa Rinai pinjam HP kantor yang biasa dia pake aja kali ya? Kan gak ada yang tau ini bakal dibawa. Lah, dealer aja udah digembok gitu! Kuncinya kan sama Bang Sutan.
Gak apa-apa deh, yang penting Rinai udah bawa penyemprot air lada. Kalo dia macem-macem, liat aja, Rinai langsung semprot terus kabur!
Dari kejauhan, motor Birai tampak mendekat. Cowok itu memasang wajah bersalah dan senyum gak enak.
“Maaf ya, tadi ditahan dosen bentar. Udah lama nunggu?”
Rinai manyun.
“Maaf kali, lah!”
“Gak apa, Bang,” kata Rinai sembari bangkit.
“Yok, kita langsung ke sana aja!”
Rinai mendekat dan naik ke atas motor. Ia berpegangan pada besi bagian belakang saat motor mulai melaju.
Dalam hati, Rinai masih was-was. Dia benar-benar takut kalau Birai bukan orang baik. 1001 rencana mulai tersusun di otaknya.
Khayalan 1:
Kalau nanti Birai coba bawa Rinai ke tempat sindikatnya, ia bakal langsung kabur. Terus tangannya bakal ditarik, tapi Rinai bakal ngelawan. Ia ambil penyemprot air lada yang di letak di saku paling luar tas dan semprot wajah Birai. Wajah Birai bakal pedes dan pegangannya terlepas, terus Rinai lari sekencang-kencangnya sambil teriak keras minta tolong, terus selamat!
Selamat ya Rinai!
Cieee, selamat yaaa! Udah makin tua nih!
Selamat ya! Umur berapa? Ke-23 ya?
Dih, bukan!
Bukan selamat ulang tahun kayak gitu!
Tapi selamat dari bahaya!
Keseel!
Khayalan 2:
Rinai sampai di rumah Pakcik, tapi yang menunggu di sana malah teman-teman Birai yang ternyata pada psikopat dan lagi cari mangsa. Ia kemudian dibunuh. Mati! Masuk TV! Lalu satu-satu keluarga dan kenalan bakal di wawancara,
Wartawan: Bagaimana perasaan ibu setelah tau anak ibu dibunuh?
Ibu: Sedih, Dek (ibu meraung). Ha-harusnya saya paksa adeknya buat jemput! Huaaaa… (histeris)
Wartawan: bagaimana korban di mata kamu sebagai adiknya?
Embun: Hiks! Hiks!! Huaaaaaa…. (ikut meraung) Kakakkkk! Kasih tau dulu di mana simpan remote TV! KAKAKKKK!!!
Wartawan: Ikhlasin ya, ikhlasin… Nanti saya sedekahin remote TV satu. Di rumah saya ada 2 soalnya. (ikut nangis)
(kemudian, kamera pindah tempat. Tampak dealer tempat Rinai kerja yang terlihat lebih sendu dan gelap)
Wartawan: Apa yang bapak paling ingat tentang korban?
Pak Daniel: Saya ingat, dia terpaksa turun gunung. (buang ingus pakai saputangan) Tapi apa boleh buat, kami terpaksa, kami lagi hemat. Harusnya saya pura-pura nawarin kenaikan gaji biar dia senang di akhir hidupnya.(wajah melas).
Wartawan: Ada hal terakhir yang paling kamu ingat dari korban?
Bang Dewa: Harusnya saya ngelarang dia buat ke sana! (tampang syok) Ini salah saya! Ini salah saya! (histeris sambil guling-guling di lantai)
Wartawan: Tampaknya dealer sangat berduka ya, sampai suasana tampak lebih redup dari pada biasanya?
Bang Sutan: Oh, itu… emang lagi mati lampu sih, Pak. Hehehe...
Wartawan: O-ohhh, gitu yaaa?
Rinai mengulum bibir, mau tak mau senyum-senyum sendiri sama hayalan konyolnya. Demi apa Rinai merasa bodoh!
Mengerjapkan mata, Rinai akhirnya sadar kalau motor yang ia tumpangi sudah tak bergerak lagi. Di depan, Birai memperhatikan Rinai dari kaca spion sambil mengulum senyum. Rinai mati gaya!
“Udah sampe,” kata Birai sembari menahan tawa. Gak paham kenapa Rinai senyum-senyum sendiri.
Birai memarkirkan motor tepat di depan sebuah rumah sederhana nan asri. Rumah itu tanpa pagar dengan warna cat hijau muda, mengingatkan Rinai pada daun kelapa yang suka digunakan ibu untuk membuat ketupat setiap kali lebaran datang. Di sisi rumah ada beberapa bunga; anggrek, lili, mawar, dan lain-lain yang tersimpan rapi di dalam pot. Ada yang disusun di atas rak di lantai, ada juga yang digantung di langit-langit rumah. Dan seekor burung cantik berbulu hijau dan hitam dengan kicauan merdunya yang sedang asik bermain di dalam sangkar masing-masing.
Rinai turun dari motor dan masih sedikit was-was, meski dia mulai yakin kalau Birai memang orang baik, gak ada niat jahat. Ia menatap ke sekeliling rumah dan mendapati mereka berada dalam kompleks perumahan padat. Di ujung gang, sekelompok anak kecil bermain-main, di sisi lain ada sekelompok ibu-ibu yang asik merumpi, dan di warung dekat yang tak jauh dari sana beberapa orang bapak-bapak tampak bercengkrama.
Rinai menatap pemandangan itu dengan penuh perasaan. Entah kenapa, terkadang di saat ia melihat pemandangan seperti ini, ia merasa sedang menonton film secara live. Film hidup orang lain.
Ada kalanya saat ia berjalan di depan deretan ruko di pinggir jalan raya dekat rumah mereka setiap kali ia ke supermarket, dari satu sisi ke sisi lain, dari satu toko ke toko lain, dari satu ujung ke ujung yang lain, ia merasa sudah menyaksikan banyak kehidupan.
Dalam satu pintu ruko, ada kakak-kakak yang jualan baju dengan 1001 permasalahan hidup. Entah tentang cinta yang telah usai, perjuangan menahan tekanan dari bos mereka yang galak, atau kesedihan karena tak bisa lanjut kuliah layaknya teman-temannya yang lain. Di ruko selanjutnya ada koko-koko yang sibuk memerintah karyawannya untuk menyusun barang-barang yang baru masuk. Satu, dua orang tampak meringis menahan kardus berat dipunggung, yang lain terlihat pasrah. Pada nasib. Pada takdir. Pada hidup yang tak adil. Dan di ruko lain, ada kehidupan lain. Cerita lain. Dan permasalahan lain.
Terkadang, saat melihat hal itu, ia merasa tersesat. Itu membuat dia berpikir ulang ke mana sebenarnya ia hendak pergi? Ke mana harusnya ia kembali? Kadang, hal-hal seperti ini mencubit hatinya, seakan berkata “Ini bukan tempat ku yang seharusnya!”
Ada saat ia berpikir bahwa tempatnya yang sebenarnya adalah sebuah perjalanan panjang. Berisi 1001 pengalaman, pengamatan, dan kebebasan. Ia ingin berjalan dari satu ujung dunia ke ujung dunia lainnya. Ke balik bumi, ke tempat yang berada di belakang gambar Indonesia di globe. Atau… ke sisi lain di peta dunia.
Rinai ingin pergi. Terbang. Bebas. Dan lepas.
Dan kemudian, dia akan menuliskan semuanya di dalam tulisannya. Sedihnya, sakitnya, pahitnya, bahagianya, dan… pulangnya.
Hal ini semakin membulatkan tekadnya untuk menjadi penulis pro. Untuk membuka peluang dan kesempatan dirinya... terbang sebebas mungkin.
“Dek. Malah diam aja?” Birai mengintip dari balik pintu. Rinai tersentak. Ia serasa ditarik ke dunia nyata.
“Melamunnya ditunda dulu, ya. Yuk, masuk!”
Rinai gak suka dibilang melamun! Nih orang nyebelin banget sih!
Sambil meringis, Rinai akhirnya mengikuti Birai masuk ke dalam rumah. Ia tersenyum canggung pada sosok lelaki paruh baya yang duduk di sofa tunggal seakan sengaja menunggu mereka. Di atas meja tamu ada beberapa minuman kaleng, air mineral gelas, dan makanan ringan.
Namanya Agus Salim. Orang-orang kebanyakan memanggilnya Pakcik, soalnya dia orang melayu asli. Lelaki itu bertubuh gendut dengan sebagian rambut sudah memutih. Ia memiliki garis wajah kebapakan yang penuh pengertian dan tanggung jawab. Namun, binar matanya menunjukkan dengan jelas wibawa dan kecerdasan yang sudah terasah.
“Pakcik,” sapa Birai. Beliau mengangguk perlahan.
“Oh, ini orangnya Birai?” Suara Pakcik terdengar ramah dan lembut, mengingatkan Rinai pada hari mendung dengan semilir angin sepoi-sepoi. Dia tersenyum ramah sambil menatap Rinai, yang Rinai balas dengan canggung.
“Iya, Pakcik,” sahut Birai.
“Rinai, Pakcik,” kata Rinai memperkenalkan diri sambil menyalami tangan Pakcik. Ia mengikuti Birai duduk di sisi sofa yang lain.
“Sejak kapan suka menulis?” Pakcik menatap Rinai dengan pandangan tertarik, jarang-jarang dia menemukan anak muda Pekanbaru yang sampai menyambangi rumahnya hanya untuk dimentori menulis.
“Sebenarnya sejak SD udah bercita-cita pengen jadi penulis Pakcik, tapi mulai nulisnya baru pas SMP,” jawab Rinai.
“Sejak SD udah niat jadi penulis? Hebat betul! Kenapa tak jadi dokter saje? Atau guru? Kan anak kecil biasanya macam tu lah, kalau nggak dokter, ya guru.” Mereka terkekeh.
“Iya ya, Pakcik. Dulu Birai waktu SD ngebet kali jadi polisi,” sahut Birai.
“Iye lah, anak kecilkan cita-citanya pada sama. Cita-cita 1000 umat lah tu hahaha....” Pakcik kembali terbahak.
“Nah, Rinai kenapa cita-citanya tak ikut cita-cita 1000 umat?” Pakcik dan Birai menatap Rinai.
Kenapa ya?
Ingatan Rinai kembali pada 17 tahun yang lalu, saat dia masih berstatus murid kelas 1 SD.
Rinai kecil di kampungnya di Sumatera Barat. Tinggal bareng nenek, kakek, dan adik perempuan ibu yang ia panggil Ande. Kampung Rinai asri dan hijau, dekat laut dan dari teras rumah bisa kelihatan puncak gunung.
Kampung Rinai masih asing dengan yang namanya TK, jadi saat sudah cukup umur, mereka bisa langsung mendaftar ke SD. Mereka hanya memiliki seorang wali kelas yang hanya akan masuk ke kelas yang ia walikan saja dan mengajar semua mata pelajaran.
Rinai tak memiliki bayangan sedikitpun akan menjadi apa saat besar, ia bahkan juga tak cukup paham menjadi besar itu maksudnya seperti apa? Ia hanya mencoba melakukan yang terbaik dengan semua rasa ingin tahu yang dimiliki oleh anak SD pada umumnya.
Di sekolah, selain berhitung Rinai juga diajari membaca. Tapi Rinai termasuk dalam kelompok anak yang masih mengeja saat teman-teman yang lain sudah mulai lancar. Hal itu membuat Rinai bekerja 2x lebih keras agar tak tertinggal jauh.
Disuatu sore yang mendung, Rinai memutuskan untuk membaca buku dibandingkan main bersama teman-teman di lapangan desa. Di atas sofa berwarna abu-abu, Rinai menelungkupkan badan dengan sebuah buku. Seretnya kulit sofa yang menggesek di sepanjang lengan tak membuat semangat Rinai surut, ia tetap fokus belajar membaca.
“Ha, tumben kau nio belajar membaca?” Ande datang dari dalam mengunci pintu depan. Rambutnya tampak disanggul sederhana seperti biasa. Dia menggunakan baju tidur seadanya dan tampak bersiap-siap memasak untuk makan malam.
Rinai hanya tersenyum. Biasanya kan ia lebih memilih untuk main dibanding belajar, ketangkap basah kayak gini membuat pipinya bersemu merah.
“Rajin-rajin lah kau belajar, biar lebih dulu kau pandai dari pada si Santi. Dia pun pas ande dengar waktu membaca masih patah-patah juo.” Tanpa menunggu jawaban Rinai, Ande berlalu menuju dapur.
Rinai tercenung. Santi… masih patah-patah kalau membaca? Padahal selama ini Rinai selalu minder kalau sama Santi. Dia selalu menganggap Santi itu hebat dan pintar.
Dengan sumringah, Rinai makin semangat melanjutkan membaca. Dia akan membaca semua buku, terlebih ini pertama kalinya Rinai dapat semangat dari Ande. Ini pertama kalinya ada yang menyemangati Rinai sejak masuk sekolah.
Tekad ini lah yang secara tidak sadar tertanam dalam di sanubari, di jiwa yang terdalam. Mungkin bagi Ande saat itu ucapannya hanya sepintas lalu, tapi siapa sangka hal itu lah yang membawa perubahan besar terhadap hidup Rinai, termasuk masa depannya.
Sejak hari itu Rinai memakan semua buku. Rinai gak peduli dia paham atau tidak isinya, yang penting baca! Dan hanya berselang beberapa hari, Rinai jadi lancar membaca! Di saat yang sama Santi masih terpatah-patah seperti biasanya.
Rinai senang! Bangga! Meski tak pernah terucap, ia sangat berterima kasih kepada Ande yang menyemangatinya. Sejak saat itu Rinai jadi rajin membaca di rumah dengan suara keras, berharap Ande mau memuji. Dipuji sih, tapi cuma sekali!
Dari kebiasaan ini, di hati Rinai tumbuh kecintaan besar terhadap sastra, terhadap buku. Perlahan-lahan ia mulai memutuskan bahwa ia ingin menulis buku sendiri suatu saat nanti. Dan saat ia sudah cukup mengerti apa itu impian, ia dengan lantang mengumandangkan ke seluruh penjuru semesta cita-citanya jadi untuk penulis! Cita-cita besar yang akan ia perjuangkan di saat ia besar. Sesulit apa pun itu, seberat apa pun nantinya.
Ya… sesulit atau seberat apa pun, Rinai akan perjuangkan!
Rinai mengangkat pandangan, sedetik kemudian ia sadar Pakcik maupun Birai sedang menatapnya.
Duh, pasti mereka pikir dia melamun, nih!
“Premisnya apa?”
Rinai melongo.
Haaah? A-apaan?
“Premis Rinai apa?” Ulang Pakcik, mengerti bila Rinai masih tak paham.
Rinai menatap Birai minta bantuan, yang dibalas tatapan bertanya yang sama dari Birai.
“Maaf Pakcik, premis apa ya?” Rinai bertanya dengan sungkan.
“Premis itu ide awal. Ada dasar dan tujuan cerita di dalamnya. Nanti, novel yang kamu buat tak boleh lepas dari premis. Kalau kamu nak buat novel, kamu harus tau jelas premisnya seperti apa, tujuannya apa?” Pakcik menatap Rinai. “Premis itu penting sekali. Dia adalah penyangga cerita, pondasinya. Nah, nanti kalau udah dapat premisnya, barulah kita buat sinopsis, baru habis itu kita kembangkan outline,” jelas Pakcik.
Rinai manggut-manggut, paham gak paham. Rinai pernah ikut kelas menulis online, tapi semua pembahasannya adalah materi dan teori yang secara garis besar sudah ia ketahui dan biasa ia baca di internet, seperti POV, setting, tema dan-lain yang sangat mainstream, bedanya dia memiliki seorang mentor di sana.
Jadi, bisa dibilang ini pertama kalinya Rinai mendengar kata premis. Kok, dulu dia nggak diajarin ya di kelas menulis online? Cuma seratus ribu rupiah doang sih, itu pun pakai diskon 25%, beda sama kelas lain yang setengah juta. Bahkan ada yang lebih dari sejuta.
Pantes ilmunya beda!
“jadi macam mana? Tujuan tokoh utama yang Rinai nak buat apa?”
Rinai rada segan buat ungkapin ide cerita yang ia tulis. Baginya, ide yang ia buat terkesan konyol dan mengada-ada. Dia juga belum begitu paham cara mengeksekusi ide yang ia punya.
Semalam, ia sengaja menunda kedatangan ke tempat ini agar bisa menulis beberapa bab terlebih dahulu. Rinai gak punya teknik menulis, ga paham menulis yang baik itu seperti apa? Yang dia tahu, menulis ya menulis! Tulis aja dulu, seiring waktu cerita akan mengalir begitu saja. Terus ending. Udah.
Sebenarnya Rinai masih gak paham premis apaan, tapi dia segan buat bertanya. Ia memutuskan untuk mengeluarkan kertas hasil print-an yang tulis semalaman sampai begadang dan menyerahkannya kepada Pakcik.
“Ini Pakcik. Baru selesai 3 bab sih, hehe…”
Pakcik membuka setiap halaman. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun sampai Rinai tak mampu mengira-ngira apa yang sedang ia pikirkan. Apa Pakcik terkesan dengan tulisannya? Atau malah Pakcik merasa dia begitu payah?
“Bagus.” Pakcik membuka lembaran-lembaran berikutnya dan membaca sekilas lalu. “Rinai punya kemampuan, ya.”
Rinai mengulum senyum, dadanya membuncah begitu saja.
“Jadi, premis cerita kamu ni apa? Dasarnya apa? Tujuan tokoh utamanya apa?”
“Tujuan si tokoh utama buat cari pembunuh ayahnya. Dia mau balas dendam.”
“Coba buat dalam premisnya. Pakcik tunggu."
Rinai mikir. Ia bingung. Butuh pertolongan. Tapi di sini cuma ada Birai, mana paham masalah sastra. Dengan memaksa otak, Rinai mulai menulis di buku catatan kecil yang selalu ia bawa kemana-mana.
Setelah di rasa cukup, Rinai menyerahkan buku itu ke Pakcik.
Premis Selasa:
Selasa bingung saat ia terjebak dalam situasi yang membuat dia harus bergabung dengan kelompok pembunuh bayaran yang mengaku bahwa ia ayahnya sudah dibunuh oleh para polisi. Ia dibawa ke markas mereka dan diajarkan balas dendam. Bertahun-tahun setelah itu, ia kembali dan meneror para polisi untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Dengan banyak pertengkaran, masalah baru, dan kebenaran yang akhirnya terungkap, Selasa berhasil menemukan kebenaran dari kematian ayahnya yang sesungguhnya.
“Itu cukup gak, Pakcik?”
Kening Pakcik tampak mengernyit saat membaca. "Premis itu tak perlu mendayu atau puitis. Juge tak lah perlu panjang-panjang, macam blurb. Cukup ditulis dengan kalimat yang solid. Di dalamnya harus ada karakter utama, masalah, dan goal cerite.” tutur Pakcik.
"Oke lah, untuk sekarang, PR Rinai buat premis lah tu ye. Nanti Pakcik cube carikan beberapa buku untuk membantu, biar lebih paham."
"Kalau di google, ada Pakcik?"
"Ade lah tu. Malah di google lebih banyak contohnye."
Rinai mulai menyusun rencana untuk mengobrak-abrik google setelah kembali ke rumah nanti.
Pakcik kemudian mengambil kembali tulisan yang sudah Rinai Print, dan membolak-balik setiap halaman seakan mencari sesuatu, tapi berakhir dengan menatap judul lama-lama.
“Apa alasan Rinai mengangkat cerita macam ni sebagai karya perdana? Ditambah lagi, untuk ikut lomba? Saran Pakcik, seorang penulis harus tau ke arah mana layar kapalnya mengembang. Dimana haluannya,” Pakcik menumpukan kedua siku di lengan kursi dan menatap gadis di depannya makin intens. “Awak nak ikut lomba apa? Sasarannya seperti apa? Penerbit mana yang mengadakannya? Harus paham tu! Karena penerbit pun punya aturan lah dalam menerbitkan karya. Kalau kamu nak buat cerita pembunuh bayaran macam ni, apa penerbit yang kamu sasar ni pernah menerbitkan buku dengan tema yang serupa? Kalau belum pernah, maka peluangnya kecil. Semakin kecil kalau saingan di lomba malah menembak tepat sasaran. Habis kesempatan.”
"Tapi kalau cerita ni Rinai bikin bagus, tulisannya rapi, plotnya menarik, dan ada hal lebih dibandingkan yang lain, bisa jadi hebat ini. Bisa menarik atensi lebih dari cerite yang lain."
"Rinai kurang tau Pakcik," jawab Rinai dengan lirih.
"Nah, jadi penulis itu tugasnya bukan cume menulis saje. Juga harus cari tahu mau menerbitkan di mana. Setiap penerbit punya standar, syarat, dan pangsa pasar masing-masing. Tengok novel-novel yang diterbitkan penerbit A. Lalu tengok penerbit B. Pelajari. Apa saje tema dan genre yang mereka terbitkan. Baca bukunya. Dari sana kita bisa tahu standarnya apa. Karya seperti ape yang mereka mau ini."
Rinai tercenung. Tak pernah sekalipun ia memikirkan itu. Bagi Rinai menulis ya menulis. Emang ada alasan lain?
Masalah apakah penerbit ini pernah menerbitkan cerita tentang pembunuh bayaran atau sejenisnya kan masalah lain. Orang dia bebasin genre dan tema kok. Berarti penerbit memang hanya mencari karya terbaik, kan? Bukan hanya karya yang sesuai?
Eh, bener kan yah?
Duh, kok Rinai jadi ragu.
Tapi, tekad Rinai udah kuat banget buat bikin buku dengan tema ini. Dia suka banget tema yang kayak gini, dibandingkan cinta-cintaan. Rinai anti. Soalnya Rinai jomblo.
Enggak sih, Rinai emang kurang tertarik aja. Soalnya jadi ngenes tiap selesai baca.
Enggak kok, biasa aja. Paling habis itu baper liat orang pacaran.
ENGGAK!
RINAI GAK NGENES KARENA JOMBLO DAN GAK MASALAH SAMA NOVEL CINTA, ASAL CINTA-CINTAANNYA DIKIT KAYAK KARTUN TOM AND JERRY!
“Macam mana?” Pakcik setia banget nunggu jawaban Rinai.
Rinai masih dengan tekad yang sama. Tema dan idenya cucok kok! Kenapa harus ganti ikuti selera pasar? Pasar lah yang harus ganti selera!
“Saya tertariknya itu Pakcik, gak kepikiran cerita yang lain. Lagipula lombanya bebasin peserta kok, yang penting gak SARA.”
“Biasanya, kalau penulis pemula rata-rata untuk novel perdana selalu membuat cerita yang pasti memasukkan sedikit unsur dirinya sendiri. Kamu kenape tak buat cerita tentang diri kamu sendiri dulu saje? Atau lingkungan sekitar kamu. Ambil dari yang paling mudah, cerita tentang pekerjaan. Atau tentang usaha kamu mencapai sesuatu.”
“Saya gak punya cerita yang menginspirasi pakcik, makanya susah….”
“Inspirasi itu bukan dibentuk, tapi terbentuk. Selama tulisan kamu niatnya baik, inspirasi itu akan hadir dengan sendirinye.”
“Hehehe…” rinai ketawa canggung.
“Lagi pun, tema yang kamu angkat ini cukup sulit. Peminatnya di indonesia juga sedikit. Apa kamu sudah mempersiapkan segalenye?”
“Emangnya gak bagus ya pakcik, ambil tema yang jarang kayak gini? Kayaknya pasarnya tetap ada kok, meski gak sebanyak genre romance.”
“Ya, bukan tak bagus. Ide kamu bagus. Saye ka cume sarankan saje. Kalau kamu yakin, ya ayolah kita eksekusi.” pakcik mengambil buku catatan kecil. “Terus, sejauh mana kamu menguasai tema yang nak di tulis?”
“Saya suka nonton film atau baca novel dengan tema serupa, jadi bisa lah dijadiin referensi.”
“Berarti sebelumnya belum pernah buat cerita dengan tema macam ni, lah, ya?”
“Belum Pakcik, nulis novel dengan serius juga baru ini perdana.”
Pakcik menatap Rinai lama, seakan menguliti isi pikiran Rinai. Rinai hanya mendesah pasrah kalo Pakcik sampe berubah pikiran. Pupus deh harapan. Tapi, siapa sangka kalimat selanjutnya yang dilontarkan Pakcik,
“Oke. Biar saye bantu, karena saya liat pun kamu punya niat. Jadi, sudah sampai mane saje yang Rinai tulis?”
Bersambung
Benang Kusut
Seminggu kemudian, Rinai sudah duduk dengan cantik di sofa ruang tamu rumah Pakcik. Di atas meja ada laptop yang sengaja ia bawa, buku catatan, air jeruk, dan beberapa kudapan. Pakcik sendiri duduk nyaman di sofa tunggal sambil melihat hasil dari PR yang ia berikan sebelum berangkat ke luar kota kemarin.
"Jadi, premis cerita kamu ini, tokoh utamanya mengejar pembunuh ayahnya?"
"Iya, Pakcik."
Pakcik mengangguk-angguk. Ia membalik halaman lain dan kembali membaca dengan seksama.
"Berarti udah paham lah ya, premis itu apa?"
"Udah, hehe…." Rinai meringis.
"Tapi, ada yang saye pikirkan sejak kemarin. Kenapa nama tokoh utamanya 'Selasa'?"
Rinai tergelak pelan. "Bukan, Pakcik," katanya, "itu codenamenya sebagai pembunuh bayaran."
Pakcik manggut-manggut. "Terus, kenape tak pilih yang lebih keren aja? Pakai bahasa inggris. Kayak James Bond, Double M, gitu?"
Rinai menggeleng. "Gak pa-pa, Pakcik, biar lebih lokal," lontarnya sambil tersenyum jenaka.
Pakcik akhirnya tersenyum geli "Yaudah, kalau kamu maunya gitu. Kalau sinopsis, tau gak? Jangan-jangan malah masih mikir itu bagian belakang cover buku?"
"Bukan, itu blurb. Sinopsis itu lebih keringkasan cerita. Dari awal sampai akhir," jawab Rinai dengan semangat. Ia tersenyum lebar layaknya anak kecil yang berhasil menjawab perkalian.
"Pintar. Nah, ini sinopsisnya sudah ada?"
"Udah Pakcik, tapi belum Rinai print. Atau… Rinai kirim lewat email aja, gimana?"
"Oh, boleh. Coba kirim je, biar Pakcik baca."
Rinai langsung mengirim sinopsis yang sudah ia persiapkan sejak kemarin. Bukan hanya sinopsis, ia sekalian mengirimkan outline ceritanya.
"Oh, udah sekalian sama outline ya?" Pakcik mengotak-atik tablet-nya.
"Iya, Pakcik. Tapi outlinenya asal jadi aja."
"Ohhh… biar Pakcik baca dulu."
Sejenak, suasana menjadi hening. Pakcik sibuk dengan tablet-nya, sedangkan Rinai melihat ke sekeliling ruangan, mengusir bosan. Jauh dilubuk hati, Rinai berharap Pakcik terkesan dengan cerita yang ia buat.
"Gimana?" Birai datang dari pintu depan. Bajunya sudah ganti dari saat tadi dia menjemput Rinai. Rambutnya agak basah dan bau parfum menguar dari tubuhnya. Ia memang sempat izin buat ke kos sebentar setelah mengantar Rinai ke rumah Pakcik.
Rinai angkat bahu. Ia kembali menatap Pakcik. Birai sendiri memilih duduk di sisi sofa yang lain. Ia dengan santai mengambil makanan di atas meja dan bersikap seolah-olah sedang dirumah sendiri.
"Jadi, apa gunanya outline?" Pakcik menatap Rinai kembali.
"Outline itu kerangka karangan, gunanya supaya cerita gak melebar dan bertele-tele."
"Selain itu?"
"Supaya gak ada plot hole?"
"Benar, plot hole. Plot hole sendiri adalah lubang atau nggak konsistennya suatu cerita yang tak relevan dan tak masuk akal." Pakcik tersenyum sejenak, "Kadang saat kita asyik menulis, kita mengabaikan hal-hal kecil yang membuat cerita terasa janggal dan tak nyambung. Hal kecil sepele seperti itu bisa merusak cerita, menciptakan lubang pertanyaan untuk pembaca. 'Selasa gak punya basic kedokteran atau pengalaman di bidang semacam itu kok bisa operasi Daffa yang kena tembak ya?' atau 'Kok polisinya bisa tau identitas Selasa ya, padahal mereka nggak punya clue sama sekali sebelumnya?' atau 'Lah, masa kakinya patah, tapi 3 hari kemudian udah bisa lari dan loncat-loncat gedung?'. Itu termasuk plot hole!"
Rinai mengangguk-angguk.
"Cerita kamu sendiri sejauh ini sudah cukup bagus. Tapi terlalu datar. Tau kenape?"
"Karena konfliknya cuma satu? Nggak ada konflik sampingan?"
"Nah, itu juga! Cerita kamu terlalu fokus dengan konflik utama. Tokoh utama, Selasa, mengejar pembunuh ayahnya. Dia membunuh si A, si B, dan akhirnya menguak pelaku pembunuh ayahnya. Selesai. Sejujurnya, menurut Pakcik ini agak membosankan, ya…."
"Tapi kan selama dia mencari pelaku, dia juga dapat kesulitan memprediksi siapa pelaku yang tepat dengan petunjuk yang tersedia?"
"Lalu, apa dia tidak memiliki masalah pribadi?"
"Maksud Pakcik?"
"Misalnya, saat sedang sibuk mencari dalang dari pembunuhan ayahnya, dia juga memiliki masalah sama pacarnya atau sahabatnya. Atau dia memiliki perdebatan dengan batinnya. Dengan sisi baiknya. Dengan kemanusiawiannya? Membunuh seseorang itu kan nggak gampang. Ditambah lagi pemicunya jelas, balas dendam. Pasti dia akan memiliki konflik batin yang hebat di sini, tinggal mencari 'hal apa yang bisa membuatnya tersadar?'."
Rinai diam. Ia berpikir dalam. Menyelesaikan satu konflik saja sudah cukup berat, masa harus membuat masalah lain juga? Rinai takut dia tak bisa mengendalikan diri dan kehilangan fokus.
"Konflik sampingan itu ibarat garnish. Ibarat penyedap rasa. Ibarat rumbai-rumbai baju. Kalau ada akan lebih menarik," kata Pakcik menyadari keraguan Rinai.
"Tapi Rinai belum tau harus bikin konflik sampingan apa, Pakcik?"
Pakcik menurunkan kacamata baca dan tersenyum dengan penuh pengertian.
"Kenapa harus dibuat? Rinai cuma perlu memahami tokoh utama. Bagaimana karakternya, phobianya, zodiak, golongan darah, gaya hidup, pandangan hidup, respon, dan sebagainya. Kalau Rinai sudah menjiwai, akan ada banyak sekali ide dan konflik yang akan muncul dengan sendirinya."
Dahi Rinai berkerut.
"Misalnya, Selasa, sebagai tokoh utama, memiliki karakter agak bodoh dan teledor. Dari sini, banyak sekali konflik yang bisa dikembangkan. Entah dia tak sengaja menjatuhkan barang bukti, tak benar-benar paham misi, atau yang lain." Pakcik menyandarkan punggung secara perlahan. "Dia bisa saja kan tak sengaja menjatuhkan bukti atau sidik jari, dan ketahuan. Tapi, polisi yang mendapatkan bukti itu malah menyimpannya sendiri karena dia ingin menggunakan Selasa untuk kepentingan pribadi. Bukti itu pun ia gunakan untuk mengancam Selasa. Itu sudah termasuk konflik sampingan." Pakcik bersandar dengan nyaman. "Atau... buat Selasa naksir sama polisi yang ditugaskan menangkapnya. Dia akhirnya jadi ragu mau lanjut balas dendam atau tidak. Terus kasih benang merah antara Selasa, polisi itu, masa lalunya, dan dalang pembunuhan ayahnya."
"Tapi, kalau bikin kayak gitu kan jadi cerita romance, Pakcik. Sedangkan Selasa sendiri bertema pembunuh bayaran."
"tak ape lah tu. Yang penting cerita kamu gak melebar jauh. Kalau cuma kasih sedikit adegan romance sebagai konflik sampingan, kan bagus juga."
Rinai menunduk menatap cangkir teh. Otak dan hati berdebat dalam diam.
Denger tuh! Pakcik cuma memperhalus bahasa aja. Intinya, cerita kamu masih minus!
Siapa bilang, yeee! Orang pakcik cuma kasih saran aja, kok ribet!
Saran tapi rada maksa. Peka napa peka?! Masa Pakcik harus terang-terangan bilang kalau outline kamu masih payah?! "Rinai, outline kamu sampah!" gitu???
Jadi orang jangan baper dong! Masa dikasih saran dimasukin ke hati. Apa-apa jangan dibawa perasaan. Anti baper-baper club!
Susah deh kalo udah gak peka bawaan lahir. Serah deh. Kalo pakcik sampai bosan, mampus gak dimentori lagi!
Pakcik bilang bagus kok tadi! Bilang bagus, loh! Jadi manusia jangan berburuk sangka gitu sama orang lain, terlebih orang tua, dosa!
Rinai galau!
"Jangan berpikir terlalu keras. Nanti pasti ketemu kok jalan keluarnya. Saat menulis, kadang kita suka lupa diri. Tanpa sadar, cerita yang kita tulis lebih baik dari yang kita bayangkan. Asal, tetap menulis!"
Rinai menangguk. Ia masih menunduk menatap teh.
"Sekarang, kita nikmatin aja prosesnya. Nah, kan Pakcik mentor kamu. Nanti Pakcik bantu. Kamu tenang saja, Pakcik pasti berusaha keras bantu kamu menang. Asal, kamu juga berusaha keras buat berkembang."
"Iya, Pakcik."
"Nah, sekarang, apa rencana kamu untuk bab pertama? Ingat, bab pertama itu segalanya. Ada beberapa penerbit yang menilai bagus tidaknya naskah dari beberapa kalimat pembuka di bab pertama. Ada yang keseluruhannya. Ada pula yang melihat dari 3 bab pertama. Tapi pada intinya, pertama. Itu harus bagus! Awal yang bagus akan menarik pembaca untuk betah menyelesaikan novel kita."
"Rinai sih rencananya maunya bab pertama di mulai dari masa lalu."
"Masa lalu? Apa alasannya?"
"Ya, kan ayah tokoh utama terbunuh, nah dari situ dia lagi mengingat ayahnya. Nostalgia gitu. Terus pas kembali ke masa sekarang, dia lagi dalam misi pembunuhan. Jadi sekilas kayak dia mengingat ayahnya gitu, Pakcik. Untuk mengisyaratkan ke pembaca kalau dia melakukan itu ada alasan kuat di baliknya."
Alis Pakcik berkerut. Ia menatap Rinai dalam-dalam dengan pandangan mengambang. Kemudian, ia mengangguk-angguk pelan.
"Tapi kalau menurut Pakcik, akan lebih baik kalau masa lalu di simpan di tengah cerita. Selain akan membuat pembaca penasaran alasan tokoh utama menjadi pembunuh bayaran, juga pembukaannya lebih menarik. Dibuka dengan terbunuhnya seseorang penting di pemerintahan, 'Alasannya apa?' 'Ketahuan nggak ya?' 'Cara kaburnya gimana?' pembaca pasti akan lebih penasaran."
Rinai terdiam.
Pakcik kok jadi kebanyakan ngatur, sihh?!
Ia yakin kalau idenya lebih baik, ia sudah memikirkan berkali-kali dan rasanya itu adalah yang paling tepat. Tapi kan, kalau dia bersikeras sendiri nanti Pakcik jadi tersinggung.
Kamu beneran mau saya mentori apa enggak?
Mampus!
Rinai kan butuh banget mentor. Bang Jack bahkan sampai menyarankan.
Tapi kan-tapi kan… Rinai yang punya ide. Yang punya cerita. Yang melihat ceritanya di dalam kepala setiap hari. Berulang-ulang kayak film rusak. Pakcik kan cuma pembaca yang melihat dari sudut berbeda. Kalau ide Rinai lebih baik, gimana?
Lagian, Pakcik itu penulis tua. Pasti cara pikirnya akan sebuah sastra yang bagus jauh berbeda dengan Rinai. Rinai lebih ke penulis kekinian. Gaya berceritanya dan sudut pandangnya pasti beda.
Duh, otak Rinai mendadak jadi benang kusut!
Masih bertahan dengan pemikirannya yang ia anggap benar, Rinai mendengarkan saran-saran tambahan dari Pakcik setengah hati.
Mending sama Bang Jack aja deh, yang bisa menerima semua gaya menulis Rinai. Gak pernah mengatur-atur dan menerima semua dengan 'Bagus', 'Rinai hebat', 'Ok'.
Tanpa sengaja manik Rinai bertatapan dengan mata birai,
Kok… jadi kesel, yaaa?!
Bersambung.
Semangkuk Bakso Yang Penuh Pengertian
Dari balik meja, Rinai mengotak-atik HP sambil sesekali melirik ke arah Birai yang sedang memesan bakso langsung ke Mamangnya.
Karena sudah malam, setelah berdiskusi panjang dengan Pakcik, Rinai akhirnya memutuskan untuk pamit dengan diantar Birai. Tapi bukannya langsung mengantar pulang, Birai malah membelokkan motornya ke warung bakso satu ini. Katanya sih lapar, jadi mau makan dulu. Soalnya rumah Rinai jauh. Nanti kalau dia mendadak pingsan di jalan karena kelaparan, gimana?
Gaya banget!
Orang rumah Rinai cuma selemparan batu kok!
Batu meteor.
Nggak ding, bercanda. Tapi gak sejauh itu juga sampai buat Birai pingsan.
Sebagai tebengers, Rinai manut-manut aja. Mau gimana lagi, kalo nolak nanti malah disuruh pulang jalan kaki. Makasih deh, Rinai lelah.
Tak lama, Birai berjalan mendekat dan langsung menghempaskan diri pada kursi di samping Rinai sambil tersenyum kecil.
"Udah, Bang?" Rinai basa-basi
"Udah. Semuanya 50 ribu ya, Neng."
Rinai menahan senyum, "Iya, Mang. Ngutang dulu tapi yak," balas Rinai. Kemudian mereka tertawa bersama.
Birai duduk di sebelah Rinai yang kembali menyibukkan diri dengan ponselnya. Ia melirik ke kiri, ke kanan, ke depan, lalu ke Rinai. Yang dipandangi malah sibuk dengan ponselnya.
"Kenapa, Bang?" tanya Rinai. Ia merasa tak nyaman ditatap lekat-lekat.
"Gimana? Nyaman gak dimentorin sama Pakcik?"
"Gimana apanya?" Rinai balas bertanya heran. Lah, kan dia juga di sana loh, meski cuma jadi penonton doang.
"Yaaa... gimana…? Maksudnya, gak ada masalahkan sama cara Pakcik membimbing?"
Rinai terdiam. Mau bilang kurang nyaman, nanti dibilang gak bersyukur. Mau dibilang nyaman, tapi ada sengklek-sengkleknya gitu.
Gimana dong?
"Lumayan lah. Dibanding nggak punya mentor sama sekali, jadi nggak ada yang kasih masukan."
"Ohhh…"
Birai mengangguk-angguk pelan. Ia kemudian memainkan wadah tusuk gigi dengan memutarbalikkannya berkali-kali. Di sisi lain, Rinai merasa nggak enak hati. Kurang lebih, ia sedikit kurang nyaman dengan saran-saran yang Pakcik berikan.
Sedikit banyak, Rinai tahu, menulis bukan hanya tentang apa yang ingin kamu tulis, tapi juga tentang selera pasar dan teknik yang baik.
Tapi Rinai adalah seorang penulis pemula dengan tingkat kekeraskepalaan yang tinggi, ketidaktahuan yang besar, dan kearoganan yang selangit. Baginya, bukan seorang penulis yang harus mengikuti selera pasar, tapi kalau bisa pasar lah yang harus mengikuti selera penulis.
Lagipula, kalau dia bisa menulis cerita hebat, meski bukan selera pasar sekalipun, pasti akan tetap laku, kan? Kenapa harus terlalu menjunjung tinggi selera pasar?
Dan teknik… kenapa harus ribet memikirkan teknik ini dan itu?!
Dulu saat masih SMP, masih belum mengerti apapun tentang teknik menulis, premis, outline dan lain-lain, ia tetap bisa menulis cerita dari prolog sampai epilog. Dan dari tanggapan teman-teman yang membaca hasil cerita amatir miliknya, itu sudah cukup bagus. Malah ada yang minta di buatkan lagi, biar bisa baca lagi.
Jadi, kenapa harus merepotkan diri dengan hal-hal seperti itu?
Penulis ya menulis. Cerita yang bagus akan tetap menjadi cerita yang bagus, begitu pun sebaliknya. Bagus tidaknya sebuah cerita tentu saja ditentukan oleh isi ceritanya, bukan hanya teknik.
Intinya, Rinai nggak mau mengikuti saran Pakcik!
Bukan sok pintar dan jago, tapi ia punya gaya sendiri. Kalau Rinai mengikuti saran yang Pakcik berikan, bukankah itu hanya akan membatasi kemampuannya? Bagaimana kalau ternyata setelah mengikuti saran Pakcik, dia malah kalah? Bagaimana kalau ternyata gaya menulis Rinai sudah cukup bagus? Dan juga, bukankah penulis harus punya karakter? Apakah dengan mengikuti saran Pakcik, karakter Rinai akan keluar? Atau malah makin tertutup?
Rinai benar-benar ingin memberi ruang untuk dirinya sendiri berkarya sesuai kata hati.
Ini karyanya, ini tulisannya.
Rinai memiliki hak 100% untuk memilih seperti apa gaya cerita yang ia mau!
Namun, Rinai masih pemula. Ibarat anak kelas 1 SD, sudah bisa berhitung dan membaca, tahu yang benar dan yang salah, tapi belum bisa dilepas di keramaian. Masih akan tersesat dan salah jalan. Masih akan ketakutan dan goyah. Masih perlu dibimbing.
Tapi yang Rinai butuh hanya diperhatikan dari kejauhan, bukan diarahkan. Meski itu arah yang benar, bagaimana bila itu bukan arah yang tepat untuknya? Siapa yang akan tahu bila Rinai memilih sendiri, mungkin itu akan menjadi lebih baik?
Bukanlah sebuah dosa, kan, jika Rinai memilih sendiri jalan yang ingin ia tapaki?
Rinai mendesah. Ia mau bercerita banyak ke Birai, tapi ia tak cukup yakin kalau itu pilihan yang benar.
Begini, bagaimana pun, Birai lah yang merekomendasikan Pakcik pada Rinai. Lantas, apa yang akan ia pikirkan kalau Rinai mengeluh nantinya? Rinai tidak enak hati.
Lalu, kalaupun Birai tidak masalah dengan sikapnya yang kurang menyukai cara Pakcik mementori dirinya, apa yang akan mahasiswa itu pikirkan? Sombong? Sok hebat? Masih amatir tapi angkuh!
Rinai nggak sanggup!
Diam aja deh, biar aman!
"Kalau emang ada yang ngeganjel, kasih tau aja. Pakcik orangnya selow kok, dia gak pemaksa. Kalau kamu aja sharing, dia pasti bakal dengerin kamu."
Rinai tersentak. Ia dengan cepat melirik Birai yang juga sedang menatapnya.
"Nggak do, Bang. Aman hehehe…" Rinai masih keukeh memendam.
"Yakin? Tapi wajahnya kurang nyaman gitu tadi" Birai memasang wajah meledek. "Gak usah dipendam. Bang Dewa cerita, katanya kamu anaknya kalau ada masalah suka dipendam. Makanya saya tanya. Kalau disimpan kayak gitu, gimana coba orang lain bisa nolong?"
HAH?!!
MEREKA BERDUA GOSIPIN RINAI?!!
DASAR, COWOK-COWOK HOBI RUMPI!
NGOMONGIN APA LAGI TUH? JANGAN-JANGAN BANG DEWA CERITA YANG ENGGAK-ENGGAK LAGI TENTANG RINAI.
MAMPUS!
Rinai jadi pengen menenggelamkan diri dalam lautan luka dalam aja, deh!
Atau tersesat aja, dan sekalian tak tahu arah jalan pulang!
ARGHHHH!
MALUUU!!!
Rinai menarik napas panjang. Ha-ah, kalau udah kayak gini, apa coba yang perlu disembunyiin?! Orangnya udah peka gitu kok.
"Ngomong aja lah. Apa susahnya tinggal ngomong doang. Kenapa? Pakcik terlalu keras tadi ngajarinnya?"
"Bukan gitu," Sahut Rinai cepat, "cuma yaaa… kayak kurang klop aja rasanya."
"Klop gimana?"
"Kayak, kami… gimana yaaa? Kayak… kami memiliki cara pikir yang beda, gitu."
"Beda gimana? Bukannya Pakcik oke-oke aja sama cerita kamu?
"Bukan itu! Cuman kan kayak tadi, aku udah punya rencana sendiri bikin ceritanya gimana, nulisnya gimana, tapi Pakcik kayak kurang suka ya?"
"Oh. Kamu nggak suka sama saran Pakcik tadi ya?"
"Bukan nggak suka, cuma yaaa… kan aku berharapnya bisa nulis sesuai dengan apa yang udah aku susun di kepala. Pakcik mendadak minta ganti kayak gitu rasanya sulit. Nanti malah ada plot hole."
"Apaan plot hole? Temennya Black hole?"
"Bukan, plot hole."
"Benda di luar angkasa?"
"Bukan! Plot hole, lubang dalam cerita!"
"Hah, cerita kamu tentang bencana alam?"
"Bukan, Bang. Plot hole itu kayak gak relevannya sebuah cerita. Yang tadi kami bahas, loh!"
"Yang mana?"
"Ya, yang tadi pas pertama kami bahas."
"yang mana, nih?"
"Ya... itu lah pokoknya!" Rinai gondok. Ia buang muka dengan bibir manyun. Birai kicep.
Paling males deh lagi badmood gini di ajak ngomong muter-muter. Ish!
Disisinya, Birai terkekeh tanpa suara. Tampak puas mengerjai Rinai.
Seorang karyawan warung bakso mendekati mereka dengan sebuah nampan. Setelah menyajikan semangkuk bakso yang masih panas dengan segelas es teh, ia berlalu pergi.
"Lalu, bagian mana yang kamu kurang suka sama saran Pakcik?"
Rinai berdecak. "Ah, tau ah, Bang!" Rinai udah gondok. Nih orang baiknya cuma sebentar, lebih sering gak warasnya.
Melihat respon dan wajah gadis di sampingnya yang mendadak berubah, Birai memutuskan untuk menunda pembicaraan dan mulai menikmati baksonya. Ia bukan mau sok perhatian, tapi ekspresi Rinai mengingatkannya pada teman-temannya di saat tanggal tua. Mau pinjam uang buat beli makan, tapi sungkan dan berakhir memasang tampang memelas di sampingnya dan berharap ditanyain. Kurang lebih, ia pikir ingin membuat Rinai membicarakan kegelisahannya, dan berhenti memasang tampang anak anjing kejepit. Kasian, pas mau ditolong, eh digonggongin. Ngeselin, gak tuh!
Setelah mangkuk mereka berdua kosong, Rinai mulai mencari dompetnya dan mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribu.
"Tadi udah langsung dibayar kok," ucap Birai cepat.
Gerakan Rinai terhenti mendadak. "Oh, kalau gitu punya aku kena berapa?" tanyanya cepat.
"Biar aja, saya yang traktir."
"Nggak usah, Bang, biar aku bayar aja."
"Nggak apa."
"Ehhh… nggak usah lah, Bang." Rinai menarik dua lembar sepuluh ribu dari dompet dan meletakkannya di hadapan Birai.
"Udah, nanti aja kalau novelnya udah jadi kamu ganti traktir saya. Sekarang simpan dulu aja." Malas cekcok karena suasana hatinya sedang buruk, Rinai akhirnya mengalah. Yang penting masih ada kesempatan buat bayar utangnya lain kali, jadi nggak apa deh.
Sedikit banyak, Rinai juga nggak enak hati. Ia merasa sudah bersikap jahat ke Birai tadi. Harusnya kan ia senang ternyata Birai peduli kayak gitu, tapi ia malah bersikap kasar.
Udah deh, pasti sekarang Birai menyesal udah nolongin dia.
Orang Birai udah baik kayak gitu tapi Rinai malah gak tahu diri.
Harusnya Rinai nggak perlu terima tawaran Birai buat ketemu Pakcik. Jadi, dia tidak akan terlibat dalam perasaan rumit seperti ini. Tidak akan merasa dongkol dengan saran baik Pakcik yang tidak sesuai dengan yang ia mau, dan hatinya tak perlu merasa terhimpit seperti sekarang. Ia juga tak perlu merasa bersalah karena tak bisa menerima semua masukan baik dari Pakcik dan tak perlu merasa sungkan pada Birai karena ia tidak klop dengan mentor barunya itu.
Rinai memang bukan orang baik. Tapi bukan berarti dia jahat. Hanya saja, orang-orang disekitarnya selalu memperlakukannya secara berbeda. Hal itu yang membuatnya jadi sangat perasa. Ia takut melakukan kesalahan. Meski hanya sekadar tak bisa tampak baik di mata orang lain.
Seharusnya waktu itu Rinai bilang saja pada Bang Jack bahwa dia tidak menemukan satupun mentor, mungkin akan lebih baik. Saat ini ia pasti sedang mengurung diri di dalam kamar dengan setumpuk novel, laptop, dan berbagai tips menulis yang ia print dari internet.
Jika ia kurang paham atau kurang yakin dengan apa yang ia tulis, ia akan membombardir Bang Jack sampai tengah malam dengan pesan lewat aplikasi chatting. Ia tak perlu mengenal Pakcik, tak perlu menerima kebaikan hati Birai yang ia sendiri tidak tahu apakah bisa membalasnya suatu hari nanti atau tidak, dan tidak akan ada rasa tak nyaman yang bercokol di hatinya seperti sekarang.
"Pakcik itu… walaupun udah punya banyak pengalaman tapi dia manusia biasa kayak kita," kata Birai tiba-tiba, memutuskan lamunan Rinai.
Lah, kenapa nih tiba-tiba?
"Pasti sebagai manusia dia juga punya kekurangan, tapi seenggaknya dia udah berusaha memberikan yang terbaik yang dia bisa buat membantu kamu," kata Birai. Ia kemudian menatap Rinai, "Kalau memang ada yang kamu kurang setuju, kan bisa diomongin. Jangan di pendam aja." Birai kembali menatap ke depan. "Nggak ada yang bisa mendengarkan kamu, kalau kamu hanya diam. Apapun yang kamu inginkan, nggak inginkan, kalau nggak kamu ungkapin, mana ada orang yang tahu."
RINAI FIX GAK ENAK HATI!!
SESEORANG… TOLONGIN RINAI DUNK!
RINAI GAK SUKA DIGINIIN!!
Rinai benci saat seseorang bisa memahaminya dengan mudah. Isi hatinya. Isi kepalanya.
Rinai benci ada yang mau merepotkan diri untuk mengerti seperti apa dirinya sesungguhnya. Bersikap baik tanpa diminta. Mendengarkan bagian yang tak pernah terucap dari mulutnya.
Rinai benci!
Rinai benci orang seperti Birai!
Rinai lebih memilih dianggap nakal, keras kepala, susah diatur, dan dijauhi dibanding dimengerti seperti sekarang.
Karena kalau seseorang mencoba mengerti Rinai, entah kenapa Rinai jadi membenci dirinya sendiri.
Benci, karena tak cukup baik, dan benci, karena tak cukup berharga untuk menerima semua itu.
Di sisi lain, Birai benar. Itu adalah hal yang sudah sangat ia pahami. Ia sudah cukup dewasa, bagaimana mungkin tidak mengerti. Tapi… bagi beberapa orang, membuka mulut untuk menyampaikan pemikirannya atau isi hatinya terasa sangat berat. Itu seperti meletakkan beban berton-ton beban di mulutnya. Dan yang paling sulit adalah, terkadang ia akan menyesal setelahnya. Karena bagi Rinai, tidak semua hal yang ia pikirkan bisa ia bicarakan. Tidak semua orang memiliki sikap layaknya Birai.
Lagipula, bukankah diam adalah emas?
Itu adalah pilihan terbaik untuk orang seperti Rinai.
"Gimana pun juga, gak gampang kan nemu mentor yang udah pro kayak Pakcik di Pekanbaru. Kalo ada yang ilmunya lebih tinggi, kan lumayan juga. Pasti lebih paham. Lebih tahu banyak. Jadi mending, kamu omongin lagi sama Pakcik. Pakcik kan udah dewasa, mungkin seumuran bapak kita, pasti lebih bijaksana. Dia pasti juga gak bakal maksa lah kalo kamu nggak setuju. Jangan cuma gara-gara ini jadi males buat dimentorin Pakcik lagi. Kamu yang rugi." tutur Birai.
Tuh kan, Birai pasti mikir Rinai angkuh! Makin menyesal dengan keputusannya yang sudah mengiyakan ajakan Birai buat ketemu Pakcik.
Harusnya gak perlu cari mentor segala.
Semua orang pada akhirnya pasti akan kecewa pada dirinya.
"Saya nggak menyudutkan kamu, hanya memberi saran sebagai kawan. Sayang kan, udah sesemangat ini jadi lemes cuma gara-gara kurang klop doang. Jangan tersinggung ya…" pinta Birai.
Semua perkataan Birai meresap ke hati Rinai. Iya sih, dari segala timbang-tindihnya, emang dirinyalah yang akan menjadi pihak yang akan rugi kalau masih bertahan dengan sikap seperti ini.
Rinai menatap wajah samping Birai. Nggak nyangka ya, cowok gak jelas gini bisa sangat peka tentang apa yang ia rasakan. Ini pertama kalinya Rinai merasa benar-benar dipedulikan.
Sambil tersenyum, ia mengangguk pelan dan berkata, "Iya, bang."
Dan sepanjang perjalanan pulang, hati Rinai menghangat seperti mangkuk bakso yang tadi ia genggam.
Embun
Setelah mengucap salam, Rinai masuk ke dalam rumah. Rinai tinggal di sebuah rumah petak yang berbentuk persegi panjang, dengan sebuah ruang serbaguna di bagian depan yang mereka gunakan untuk menonton dan menerima tamu, 2 kamar tidur, dan sebuah dapur terjepit dibagian belakang rumah.
Rinai langsung masuk ke dalam kamarnya yang ia tempati bersama Embun. Dari balik triplek tipis sebagai dinding, ia dapat mendengar suara ibu dan Embun yang sedang bercakap-cakap di luar. Rinai memilih untuk tidak peduli. Ia melempar tas ke sudut kasur dan melemparkan badan ke atas kasur.
“Aduh!” Ringisnya.
Ia lupa kasur keras dan jeleknya itu bisa melukai tubuh manusia. Kepala Rinai yang menghantam kasur langsung berdenyut.
Sambil meringis, ia kembali membaringkan badan. Ia kembali ingat dengan percakapannya dengan Birai barusan. Dengan malas-malasan, ia menjangkau ponsel dari dalam tas dan mengirim pesan kepada Bang Jack.
[To: Bang Jack
Bang Jack sibuk?]
Rinai mau minta saran dari Bang Jack terlebih dahulu. Apa tanggapan Bang Jack bakalan sama dengan Pakcik? Sambil menunggu balasan dari Bang Jack, Rinai melanjutkan bacaan novel yang kemarin ia beli di toko buku bekas.
Dua jam berlalu, tak ada balasan sama sekali. Rinai menutup buku dipangkuannya dan meraih ponsel untuk memeriksa kembali pesan yang iakirim. Centang duanya belum berubah menjadi biru, yang mengisyaratkan orang diseberang belum membaca sama sekali.
Rinai mencoba buka media sosial, tempat grup menulis yang ia dan Bang Jack ikuti. Di sana juga tak kelihatan tanda-tanda keberadaan Bang Jack.
Bang Jack dimana yaaa? Tumben hilang pas dicari? Apa udah tidur? Tapi kan, baru jam 10 malam. Biasanya dia begadang terus.
Sedang sibuk dengan dunianya, Rinai dikagetkan dengan suara ibu di luar kamar. Ia meletakkan buku di atas kasur dan beranjak keluar.
“Tu gimana? Kau ikut diberhentikan?” Dari luar, suara ibu menggema dengan nada tinggi. Rinai mengerutkan kening dan bergegas mendekat.
Di ruang TV, Embun duduk di sofa butut kusam milik mereka. Sofa itu berumur sama dengan kasurnya Rinai. Di sebelah Embun, ada ibu dengan pandangan putus asa.
“Ndak do, Bu. Cuma anggota yang nggak produktif yang dipecat. Embun enggak,” jelas Embun, mencoba menenangkan ibu.
Rinai mengernyit tidak mengerti. Ada apaan sih? Apa yang terjadi?
“Dipecat kenapa? Siapa yang dipecat?” Rinai tak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Ndak ada. Perusahaan cuma lagi kesulitan aja. Beberapa produk mau ditarik sama Babe.” Embun menjelaskan.
"Ditarik sama Babe gimana ni maksudnya?"
"Kan untuk produk food itu masih punya Babe. Babe ini tu paman dari bos kami yang di sini. Untuk produk food Pekanbaru dia yang pegang, tapi karena dia tinggal di Jakarta, Bos kami lah yang dikasih kepercayaan buat urus. Jadi, Babe mau tarik food, terus buat perusahaan distribusi baru."
Embun bekerja di perusahaan distribusi. Produk yang mereka pegang tidak cukup banyak yang terkenal, sehingga sering mengalami kesulitan penjualan.
“Ngapa emangnya, kok sampai mau buat perusahaan baru segala?” tanya Ibu.
“Soalnya bos kami ni udah pegang produk baru. Minuman energi. Dan lumayan laku. Jadi dia lebih sibuk urus produk baru. Itu lah makanya Babe jadi marah, bos dianggap menelantarkan kepercayaannya. Jadi produk food mau ditarik sama dia," tutur Embun.
“Tu kau gimana? Nanti malah kau pulo yang dipecat,” sahut Ibu dengan cemas.
"Belum tau lagi. Mudah-mudahan gak sampai dipecat. Kan selama ini juga kerja dengan benar,” kata Embun.
"Terus, kau di situ sekarang ngurus apa?"
"Masih Admin Piutang, cuma sekarang pegang minuman yang baru itu. Jadi insyaallah, posisi aku aman."
Rinai dan ibu menghela napas lega bersamaan. Hampir aja jantung mereka berdua copot. Kalau sampai Embun dipecat, itu bukan gawat lagi. Udah darurat. Ibaratnya nih ya, udah siaga 1. Harus menurunkan tim khusus untuk melakukan penyelesaian kasus.
Dengan gontai Rinai kembali ke kamar, meninggalkan ibu dan Embun yang masih membahas tentang pemecatan.
Biaya hidup yang semakin mahal, gaji yang kecil, dan hutang yang menumpuk.
Rinai mendesah. Ia melirik foto yang terpasang di dinding kamarnya. Itu fotonya bersama Embun, ibu, dan ayah dengan latar pantai. Foto sewaktu dia masih berumur 7 tahun, sebulan sebelum ayah meninggal. Sejak itu, ibu terpaksa banting tulang sendiri untuk menghidupi mereka. Berhutang sana-sini agar mereka bisa tetap sekolah.
Ha-ah. Seandainya ayah masih ada, mungkin hidup mereka tidak akan sekeras ini. Ibu tidak perlu kerja sampai jatuh sakit, tidak perlu mengutang untuk bayar SPP, atau mungkin, mereka tidak perlu terjebak dalam situasi ini sama sekali.
Yah, gak ada juga sih guna berandai-andai.
Ibu sendiri saat ini bekerja sebagai penjual es tebak di pinggir jalan. Awalnya, dagangan ibu banyak pembeli, tapi kemudian, ibu kena gusur karena yang punya tanah mau membangun ruko. Ia pindah tempat, tapi di tempat yang baru malah tidak laku. Akhinya ibu buka warung sarapan di depan rumah, hanya ada beberapa pembeli, tapi masih bisa mengcover biaya makan mereka meski tidak ada sisa yang bisa ditabung.
Itulah kenapa, mereka merasa terguncang kalau Embun sampai dipecat. Hanya mengandalkan gaji Rinai saja mana cukup. Jualan ibu bahkan tidak laku.
Kadang rasanya, Rinai benar-benar tak kuat. Pengen kaya aja! Yang instan gitu, gak perlu kerja keras.
Dapat uang kaget kek, uang nomplok kek, diwariskan uang yang banyak dari kakek kaya raya yang kelebihan uang, kek.
Serah!
Yang penting kaya, mah. Kaya Raisa! Enggak ding, bercanda! Hehehe….
Apa daftar ikut ‘Want To Be Millionaire’ aja kali ya?
Kan nanti pas ditanya, Rinai bisa googling dulu diam-diam.
Oke Google, apa arti dibalik kata ‘Terserah’ yang sering diucapkan cewek?
Atau…
Oke Google, siapa yang mengesahkan pasal 1 yang berisikan “Wanita selalu benar”?
Duh, Rinai malah jadi makin stres!
Mencoba mengalihkan pikirannya, ia meraih ponsel. Cek pesan masuk dulu deh, kali aja ada balasan dari Bang Jack. Dan benar saja, ada sebuah pesan di sana.
[From: Bang Jack
Tidak.]
Rinai langsung membalas.
[To: Bang Jack
Bang, tadi Rinai habis bimbingan sama Pakcik.]
Ting!
[From: Bang Jack
Wah, bagus. Semoga cepat wisuda ya, Rinai. ???]
Rinai mendadak gemas. Bang Jack bercanda aja nih!
[To: Bang Jack
Bukan, Banggg.
Tadi Rinai habis dimentori lagi sama Pakcik Agus Salim.]
Ting!
[From: Bang Jack
Bagus. Jadi gimana? Sudah sampai mana progresnya?]
Nah, ini! Rinai bingung nih. Dia jadi mendadak ragu. Cerita, gak, ya? Cerita, gak, ya?
Tapi Rinai butuh teman buat bertukar pikiran. Ia tidak bisa melakukan itu dengan Birai tadi, soalnya mereka berdua tidak cukup akrab. Mana baru kenal.
Dengan membulatkan tekad, Rinai mulai mengadu.
[To: Bang Jack
Bang, Rinai merasa kurang cocok deh sama Pakcik.]
Ting!
[From: Bang Jack
Ada masalah apa?]
Rinai kembali mengetik.
[To: Bang Jack
Jadi Bang, tadi Pakcik ngasih Rinai saran. Tapi, sarannya gak sama dengan apa yang kita bicarain kemarin.]
Ting!
[From: Bang Jack
Saran seperti apa?]
Dengan menggebu-gebu, Rinai menceritakan segalanya. Dia yakin kalau Bang Jack akan berada dipihaknya. Beda dengan Pakcik, Rinai sudah mengenal Bang Jack sejak lama, jadi Bang Jack pasti sangat paham cara berpikirnya.
Tapi… setelah panjang lebar chatting dengan Bang Jack, Rinai merasa menyesal. Karena apa yang dia pikirkan tidak sesuai dengan kenyataan.
F[rom: Bang Jack
Anda memang lah penulisnya, dan tugasnya memang untuk menulis.
Tugas Bang Jack mengeditori tulisan anda, jadi selama menulis, gak usah membebankan diri dengan memikirkan masalah typo dan sejenisnya. Terus saja tulis. Nanti Bang Jack yang akan membersihkan typo dan saudara-saudaranya.
Nah, tugas Pakcik sebagai mentor adalah mengarahkan. Memberi masukan. Memberikan saran.
Pakcik itu kan asam garamnya udah banyak, sarannya itu seharga puluhan buku yang sudah ia terbitkan. Untuk penulis pemula seperti anda, akan lebih baik mendengarkan saran dari beliau. Kalau ada yang tidak anda suka atau kurang setujui, anda bicarakan langsung dengan beliau. Beliau pasti bisa berpikir bijaksana.
Jangan sampai gara-gara merasa kurang cocok, anda melewatkan kesempatan emas menjadi murid penulis pro seperti beliau.
Hal-hal yang bisa dibicarakan, sebaiknya dibicarakan. Jangan dipendam. Nanti anda lah yang rugi.
Untuk sekarang, TULIS DULU SAJA.
Jangan biarkan hal lain mengganggu konsentrasi anda untuk menulis.
Nah. Sekarang sudah menulis belum?
Kemarin baru kirim sampai bab 4 ke Bang Jack.
Apa harus menunggu minggu depan baru bisa jumpa “Selasa” lagi, ya?? ????]
Hati Rinai serasa dicubit. Bang Jack tidak memihaknya, tapi bersikap netral. Ya, harusnya dia tak perlu heran, sejak dulu Bang Jack memang seperti itu.
Dengan sedikit perasaan pilu, Rinai kembali membalas.
[To: Bang Jack
Iya, Bang. besok Rinai coba bilangin sama Pakcik.
Hehehe… ampun, Bang. Belum selesai. Tadi cuma diskusi sama Pakcik, jadi belum sempat nulis ???]
Kirim!
Rinai menarik selimut untuk menutupi kepala. Selimutnya adalah seprai kasur yang sudah lama tak digunakan. Berbahan dasar dingin dan lembut, hingga saat menutupi wajahnya, terasa amat sejuk.
Rinai mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya. Ia melakukan itu beberapa kali, hingga tanpa sadar, ia jatuh ke alam mimpi.
Pertengkaran
“Rinai, dalam bulan ini harus bisa jualan, ya!”
Ucapan Pak Daniel beberapa menit yang lalu berputar terus menerus bagaikan kaset rusak di dalam kepala Rinai. Dia pusing 7 keliling! Ia paham sih, kalau bulan ini harus berhasil menjual 15 unit, tapi tolong… jangan berharap itu terjadi dalam beberapa hari, dong!
Rinai duduk di balik meja dengan otak kusut. Ia cemas. Walaupun sudah sempat diajari Bang Dewa buat jualan, tapi tetap saja, pertanyaan dari konsumen selalu membuat dia merasa bego.
“Kak, lebih enak naik motor matik atau bebek?”
“Kak, kalau aku beli motor sport, kira-kira bisa gak ikut MotoGP?”
“Kak, kapan keluarin motor tipe amfibi? Biar kalau banjir kan tinggal menyesuaikan.”
Demi apa Rinai mau resign aja!
Jantungnya berdebar kencang dengan pikiran yang kemana-mana. Entah kenapa, ia merasa sangat cemas.
Ia harus jualan!
Ia harus jualan!
Ia harus jualan!
Tapi, dia gak bisa jualan sama sekali!!!
Apa yang akan terjadi kalau dia tidak menjual satu unit pun sampai akhir bulan?!
Sejauh ini, Rinai memang belum melayani konsumen hampir sama sekali. Dulu pernah sih, coba jualan. Tapi, tiap kali ia malah ditinggal sama konsumen yang lebih memilih dilayani Bang Sutan yang lebih paham, jadi Rinai memilih untuk tidak peduli lagi. Jadi, setelah hari itu, setiap kali konsumen datang ke mejanya dan bertanya brosur motor, ia akan mengarahkan konsumen menuju meja Bang Sutan.
Rinai belum pernah benar-benar jualan, itu masalahnya!
Udah dicoba, gagal, menyerah!
Harusnya Rinai gak menyerah, kan?!
Kalau Rinai tetap konsisten belajar jualan, paling kurang ia pasti akan cukup paham.
Ish!
Rinai memukul kepalanya sendiri dengan pelan.
Bodoh banget, sih, diriku ini!
Menarik napas, ia memutar mata ke seluruh dealer. Dealer mereka cukup ramai pagi ini. Cukup banyak konsumen yang keluar masuk sejak tadi. Ada yang cuma sekadar minta pricelist, cuma bertanya motor yang ready, dan ada juga yang deal buat beli. Sekarang aja Bang Sutan tampak sibuk melayani konsumen.
Dealer Rinai lumayan luas. Berdiri di atas ruko 3 pintu dengan 4 lantai. Dua pintu menjadi khusus showroom, satu pintu sisanya untuk bagian bengkel. Lantai dua ada ruang PDI, rapat, dan ruangan kerja lainnya. Lantai 3 dan 4 digunakan sebagai gudang untuk motor-motor yang mau dijual.
Meski mereka menjual motor, tapi dealer juga menjual aksesoris dan kelengkapan pengendara lainnya, seperti jaket ori atau helm, dan lain-lain.
Dealer ini terletak di daerah sibuk dan strategis. Di bagian depan dealer, terpampang besar dengan penuh bangga nama dealer mereka, “Utama Motor Pekanbaru”. Atau sama karyawan, suka disingkat 'UMP' alias Upah Minimum Pekerja. Setiap gajian akan ada celetukan "Kerja di UMP, gaji di bawah UMR".
Iya, gaji pokok Rinai dan yang lainnya belum UMR. Mencapai UMR setelah ditambah bonus dan lain-lain. Sekarang bonus dan lain-lain itu udah dipotong sama Pak William, makanya semua karyawan jadi kalang-kabut.
Sebulan sejak masa kepemimpinan Pak Daniel, semua berubah. Ia mengganti banyak kebijakan, merumahkan hampir sebagian karyawan, dan memberlakukan sistem kerja paksa. Iya, kerja paksa! Pokoknya sampai detik ini Rinai masih terpaksa turun gunung. Gak ikhlas!
Rinai adalah seorang anak introvert yang tidak memiliki jiwa persaingan, membenci keramaian, dan tanpa ada ambisi. Tidak ada semangat, tidak ada minat, dan tak ada hal yang bisa menarik perhatiannya selain literasi. Sekalipun ia ingin sekali menjadi penulis, namun ia belum pernah benar-benar menulis. Entah sekadar posting di blog atau untuk diikutsertakan lomba. Namun, meskipun begitu, hampir seluruh hidupnya ia habiskan untuk berkhayal. Berkhayal menjadi penulis.
Pagi ini, Rinai cuma mau hidup tenang!
Iya, tenang.
Setelah kemarin dia berdebat dengan hatinya sendiri keputusan seperti apa yang akan ia ambil, ia hanya ingin menenangkan otak.
Ia sudah meyakinkan diri untuk bicara pada Pakcik beberapa usulan yang tidak ia setujui. Tidak masalah, itu hal mudah. Ia hanya perlu bicara terus terang tentang isi hatinya. Itu hanya sekadar bicara. Yang perlu ia lakukan hanyalah meneguhkan hati dan membuka mulut, lalu mulai bersuara. Ia yakin, semuanya akan berjalan lancar sesuai rencana.
Manik Rinai bergulir memandang langit yang terhampar di kejauhan. Pagi ini begitu cerah. Bahkan, tak ada selembar awan pun. Biru sepenuhnya, kesukaannya.
Karena ini pagi yang baik, pasti ini hari yang baik pula. Jadi, Rinai tak perlu mengkhawatirkan apapun. Semua pasti baik-baik saja.
Tapi…
“Selalu ada badai setelah hari yang cerah.”
Rinai tersentak. Entah pikiran macam apa yang tak sengaja terlintas di kepalanya. Itu hanya sebaris kalimat yang pernah ia baca di suatu tempat.
Rinai menatap langit lagi. Pikirannya kembali kacau. Ia mulai memikirkan hal buruk apa yang akan terjadi?
Hal buruk apa?
Itukah alasan kenapa jantungnya sampai kini tak tenang?
Apa ia tak akan mampu menjual satu unit pun dan berakhir dengan dirumahkan?
Atau Pakcik tersinggung karena Rinai tak setuju dengan idenya dan menolak menjadi mentornya lagi?
Atau… apa Embun akan kena PHK?
Duh!
Apaan sih jadi mikir buruk gini?!
Gak boleh! Gak boleh!
Nanti malah dikabulkan Tuhan jadi kenyataan.
Rinai terlalu parno, ih!
“Dek, ambilkan Kakak STNK atas nama ini.”
Rinai mendongak dari buku penjualan yang sedang ia isi. Di depannya, duduk seorang marketing rekrutan Pak Daniel yang ia bawa dari perusahaan lamanya. Namanya Kak Maya. Umurnya sudah 36 tahun sehingga menjadi salah satu marketing paling senior di sana. Ia tinggi, dengan tubuh kurus dan wajah yang runcing. Ia lalu menyodorkan buku catatan yang berisi nama konsumen.
"Ini semuanya, Kak? Banyak loh, 7 orang."
"Iya," jawab Kak Maya.
"Surat kuasanya bawa kan?"
Kaka Maya menggeleng. "Gak ada."
Rinai mengernyit. "Kalau gitu suruh konsumennya aja, Kak, yang jemput,” kata Rinai akhirnya.
“Nggak bisa do Dek, rumah konsumennya jauh.”
“Tapi kalau STNK emang gak bisa di wakilkan Kak, kecuali Kakak ada surat kuasa.”
“Rumah konsumennya jauh. Masa Kakak jemput dulu surat kuasanya ke sana. Mending sekalian aja. Nanti Kakak mintain sama konsumennya pas ngantar."
“Tapi tetap ga bisa, Kak. Soalnya ini STNK. Ga bisa serahkan sembarangan.”
“Kenapa pula gak bisa? Di dealer Kakak yang lama bisa kok. Lagian kan kasian juga konsumen jemput jauh kayak gini.”
“Beda dealer kan beda aturan, Kak. Kalau tetap mau wakilin, harus ada surat kuasa yang udah ditandatangani pakai materai, dan berisi pernyataan bahwa konsumen memberikan kuasa untuk kakak mengambilkan STNK-nya."
“Ya gak mungkin pula lah jemput surat jalan doang ke sana. Bolak-balik kayak gitu.”
Rinai mendesah. Nih orang susah banget sih dibilangin.
“Tapi emang gak bisa kalau diwakilkan, Kak. Ini STNK soalnya. Surat berharga.”
“Masa gak bisa?! Orang di tempat lain bisa-bisa aja. Gak cuma di dealer ini aja saya pernah kerja, ya!”
“Harus ada surat kuasa atau harus konsumennya yang jemput. Gak bisa di wakilkan gitu aja. Mana Kakak mintanya lebih dari satu konsumen.”
“Ya, kan nggak saya salahgunakan. Saya serahkan langsung ke konsumen hari ini juga.”
“Tetap gak bisa, Kak. Kakak harus bawa surat kuasa dulu. Udah itu aturannya,” ucap Rinai. Final. Dia gak mau berdebat lagi. Ia berdiri dan memutuskan melangkah pergi ke pantry untuk ambil air minum. Tapi sayangnya, cuma Rinai yang berpikir demikian.
BRAK!
“APA PULAK GAK BISA?! KAN CUMA AMBIL STNK AJA INI!” Kak Maya berteriak marah. Ia melempar buku catatannya ke atas meja dengan kuat dan menarik perhatian semua orang yang ada di sana.
Rinai terlonjak. Jantungnya serasa mau copot. Ia langsung membeku di tempat. Demi apa tu orang mendadak kesambet!
“Kenapa nih?” Bang Dewa yang baru saja keluar dari pantry langsung bertanya. Wajahnya agak kesal dan bingung.
“INI, NGAMBIL STNK AJA NGGAK BOLEH! KAYAK MAU SAYA LARIKAN AJA STNK TU!” Suara marketing itu menggema dengan keras ke sepenjuru dealer. Matanya menatap Rinai dengan nyalang.
“Tapi kan emang gak bisa loh, Bang.” Rinai membela diri. “Nggak bisa kan bang STNK konsumen diwakilkan?” Rinai beralih ke Bang Sutan yang datang mendekat.
“Bisa diwakilkan, tapi harus bawa surat kuasa atau KTP asli. Soalnya itu kan surat berharga,” jelas Bang Sutan.
“Nah, kan udah saya bilang. Kakak gak bawa apapun, cuma minta gitu aja. Banyak lagi, 7 konsumen. Mana bisa!"
“KAN UDAH DIBILANG RUMAH KONSUMEN JAUH! KALAU NGGAK, KAU AJA YANG ANTAR KE SANA!”
Darah Rinai mendidih. Otaknya serasa ingin meledak.
APA URUSANNYA SAMA RINAI SAMPAI HARUS ANTERIN KEPERLUAN KONSUMEN SAMPAI KE RUMAHNYA?!
“Ya kalau nggak ada surat kuasa atau KTP asli, gak bisa lah diambil, Kak. Nanti kalau hilang dan segala macam, siapa yang mau tanggung jawab?!” Bang Dewa ikut bersuara.
“Gak mungkin pulak lah kuhilangkan! Ada-ada aja otak kau, ni!”
"Dulu pernah ada kejadian kayak gitu masalahnya, Kak. Makanya sejak itu gak diizinkan lagi diwakilkan kecuali ada pegangan buat kita," jelas Bang Sutan.
"Kakaknya gak ada bawa surat kuasa, Bang. Cuma ditulis di buku catatannya aja," ujar Rinai.
“Kalau gitu tetap gak bisa. Kalau konsumen gak bisa ngambil, seenggaknya harus ada KTP atau surat jalan," kata Bang Sutan lagi.
“Aneh-aneh aja lah dealer ni! Baru kali ini aku minta STNK gak dibolehin. Dah kayak hebat kali kalian jualan.”
“Ya, emang gak bisa, Kak. Udah aturan dealer kami kayak gini. Nggak bisa lah Kakak banding-bandingin sama tempat sebelumnya,” balas Bang Dewa, tampak tersinggung.
"Kalau mau mewakili untuk ambil surat-surat kendaraan, kan udah ada syaratnya. Kalau gak ada syaratnya yang dibawa, kami gak bisa ngasih. Udah aturan kami di sini kayak gitu, gak bisa dinego lagi,” tegas Bang Sutan.
Marketing itu menatap nyalang ke mereka bertiga, dengan wajah yang masih merah padam, ia berbalik pergi.
Di sisi lain, napas Rinai terasa sulit dan sesak. Jantungnya seakan diremas kencang dan menyakitkan. Ini pertama kalinya ia diperlakukan seperti ini.
“Udah Nai, lanjutin aja kerja. Dia kok yang salah, bukan kita. Nanti kalau berulah lagi dia, laporin aja ke Pak Daniel.”
Rinai mengangguk, kaku. Ia kembali melangkah ke pantry dengan gamang. Pikirannya mendadak kosong. Ia butuh waktu untuk akhirnya mengerti bahwa barusan ia dipermalukan di depan umum oleh seorang marketing. Ia akhirnya sadar, kalau saja tadi Bang Sutan dan Bang Dewa tidak membantunya, ia pasti sudah habis dicaci maki.
Sial! Sial!! Sial!!
Dia kesal! Marah! Benci!
Matanya mendadak panas dan mulai berair. Dalam diam, ia tergugu. Ia lalu berjongkok dan memeluk dirinya sendiri, sembari menyandarkan tubuh ke dinding pantry.
Dari balik tembok yang memisahkan bagian depan dan belakang dealer itu, Rinai masih bisa mendengarkan percakapan di luar sana.
“Kenapa dia, Bang?” Itu suara Kak Julita, admin AR. “Kaget aku loh, main gebrak-gebrak meja gitu. Mana suaranya kenceng lagi, kedengeran lo sampe ke atas." Ruangannya di lantai dua, bersebelahan dengan ruangan lama Rinai.
“Manusia gak punya etika emang gitu. Aku lagi ambil air di pantry aja terkejut. Kupikir motor jatuh pas nurunin unit.” Bang Nandra terdengar masih kesal.
“Bikin malu aja. Jelas lagi ada konsumen. Konsumen aku sampe bilang ‘Kok gak ada etika, gitu dia?’. Malu aku jadinya,” Bang Sutan menahan kesal. "Untung aja Pak Daniel lagi di luar. Kalau gak, habis dia tu."
“Marketing yang dibawa Pak Daniel ni kayak gak ada yang beres. Sesama mereka aja saling licik,” sahut Kak Julita lagi.
“Hati-hati aja lah. Perasaan aku gak enak sama marketing-marketingnya Pak Daniel ini. Data-data konsumen kau amankan, Sutan. Nanti dicuri pulak konsumen dealer sama mereka,” kata Bang Dewa.
"Aman. Aku juga udah hati-hati kok dari awal."
Percakapan itu terputus di sana. Rinai memilih untuk mengabaikan obrolan mereka.
Ia menarik napas dalam. Jantung berdebar kencang dan terasa sesak. Tangannya bergetar. Ini pertama kalinya Rinai diperlakukan seperti itu. Dipermalukan di depan umum.
Rinai mendekap mulut dengan kepalan tangan. Tanpa bisa dihentikan, air mata menganak sungai di pipinya.
Counter Sales
Sore itu, dengan tumpukan file yang hampir menutupi jarak pandang, Rinai berjuang menaiki tangga. Walau sedikit oleng, ia berhasil mendaratkan semua file itu di atas meja lamanya.
“Ha, tumben berkunjung?” Sapa Bang Dewa. Ia cengengesan di balik komputer.
“Iya, takut abang diculik, soalnya kan sendirian doang di atas,” ledeknya. Ia kemudian terbahak melihat wajah Bang Dewa yang merenggut. Lalu, ia mulai menyusun file-file tadi di lemari. Itu file yang berisikan data konsumen yang sudah diinput.
“Kamu kali yang diculik. Tiap hari bengong doang.”
“Nggak bengong, ya!”
“Iya, gak bengong, tapi melamun.”
Rinai nggak membalas. Nanti malah panjang perkara. Tapi, dia memang nggak bengong kok. Cuma melamun. Atau lebih tepatnya menghayal. Otaknya selalu dipenuhi dengan hayalan-hayalan berbagai macam cerita. Tapi akhir-akhir ini didominasi oleh Selasa. Soalnya dia kan lagi progres nulis Selasa, jadi tingkat khayalannya jadi lebih intens.
“Rinai kesel lah sama Kak Maya tadi.. Kayak gitu kali dia,” adu Rinai.
“Abang juga kurang suka sama orang-orang baru ni. Kayak… gak enak jadi perasaan Abang nengoknya.” Bang Dewa menghentikan pekerjaannya, “Tengoklah, sesama dia aja saling tikam dari belakang.”
"Padahal masih pada baru sebulanan gabung di sini, berani dia buat keributan kayak tadi." Rinai geleng-geleng. “Kok mau Pak Daniel nerima orang kayak gitu? Pak Daniel gak tau apa sifat orang tu?”
“Entah lah ya, gak tau juga Abang do. Cuma ya, kan orang tu penjualannya emang lumayan banyak. makanya didiamin aja sama Pak Daniel.”
“Jadi gak enak suasana dealer rasanya, kan ya?”
“Ya gimana lagi, kita cuma bawahan. Entahlah kita yang bakal dirumahkan habis ni.”
Rinai terdiam. Dirumahkan adalah hal yang paling ia takuti. Dengan kondisi ekonomi seperti sekarang, Rinai harus mampu bertahan. Cari kerja kan nggak gampang.
“Pokoknya, kalau dia minta-minta gitu aja, jangan di kasih. Nanti kenapa-napa malah mu pula yang kena,” kata Bang Dewa memperingati.
“Iya, Bang.”
Rinai kembali fokus menyusun file ke dalam lemari.
“Udah ada jualan, Nai?”
Rinai terhenti. Ia menatap Bang Dewa dengan wajah yang memelas dan menggeleng pelan.
“Udah ada coba melayani konsumen, kan?”
“Udah, Bang. Tapi kadang konsumen tu datang cuma nanya-nanya aja.”
“Datanya ada di minta kan? Nanti kamu follow up lagi. Pastikan kalo dia emang mau ambil motor, dia ambilnya ke sini. Jangan sampai lepas ke dealer lain.”
“Iya, nanti di follow up lagi.”
“Ada kesulitan gak?”
“Kesulitan?”
“Iya. Ada masalah atau apa gitu?”
“Sejauh ini, aman sih. Paling cuma agak keteteran aja nginput data. Banyak kali pun. Terus sama belum jualan. Takut gak bisa jualan sampai akhir bulan.”
“Bisa tu. Gak mungkin satu aja gak dapat.”
“Tapi kan ada target, Bang.”
“Iya. Tapi kan Pak Daniel pasti paham lah kerjaan kamu banyak. Kamu pun baru jadi Counter Sales.”
Rinai menutup lemari dan duduk di hadapan Bang Dewa. Wajahnya tampak suram dan penuh pikiran.
“Bang …” panggil Rinai.
“Hm?” Bang Dewa masih sibuk dengan komputernya.
“Kalau Rinai gak mampu jualan sampai akhir bulan, Rinai bakal dirumahkan ya?” Rinai bertanya pelan, dengan nada suara yang mungkin akan hilang bila tertiup angin.
“Nggak, lah. Kalo kamu sih..., Abang yakin gak bakal berani Pak Daniel pecat kamu.”
“Kenapa gitu?”
“Ya, kalau kamu dipecat siapa yang input data STNK dan segala macam.” Bang Dewa menatap Rinai sekilas sambil menyeringai. “Cari orang baru? Ajarin lagi. Training lagi. Sebulan, dua bulan paling masih sibuk beradaptasi.”
Rinai manggut-manggut, merasa alasan yang Bang Dewa kemukakan cukup masuk akal.
“Tenang aja lah. Gak perlu khawatir.”
Rinai mengangguk. Ia merasa merasa sedikit bebas berbicara apapun pada Bang Dewa, soalnya beberapa waktu terakhir mereka coba mengakrabkan diri setelah ditinggal anggota lain ruangan ini. Mau bagaimana lagi, namanya cuma tinggal berdua, ya kali diam-diaman. Sedikit banyak, hatinya cukup tenang mendengar penjelasan Bang Dewa. Merasa kalau sudah tak ada lagi yang perlu ia lakukan di sana, ia beranjak pergi.
Turun dari lantai 2, Rinai mendapati seorang konsumen sedang tampak kebingungan. Ia melirik Bang Sutan yang sedang mengurus konsumen lain. Akhirnya, Rinai memutuskan untuk mendekati konsumen yang kebingungan itu.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?” Sapa Rinai dengan ramah.
“Oh, iya. Ini… saya mau ambil motor, berapa ya harganya?”
“Oh!” Rinai langsung cepat tanggap. Ia menuntun konsumen untuk duduk di meja tamu. “Silahkan duduk dulu, Pak.”
Setelah Bapak itu duduk, Rinai mengambil Selembar price list dari kotak price list yang sudah disediakan di atas meja. Ia menyerahkan price list itu kepada konsumen.
“Ini, Bapak bisa lihat harga dan jenis motornya. Kalau Bapak mau kredit, ini juga sudah ada jangka waktu dan jumlah angsuran perbulannya,” jelas Rinai.
Bapak itu menatap seksama price list yang ia pegang.
“Bapak mau motor yang seperti apa?”
“Saya mau beli motor buat anak saya. Dia cewek, kuliah. Maunya yang matic ini. Harganya berapa ya?”
“Oh, iya Pak, kalau cewek pasti sukanya matic ya. Ini harganya ada ya Pak,” kata Rinai sambil menunjukkan harga motor. “Bapak mau beli motor kredit atau tunai?”
“Saya ambilnya kredit aja. Kalau kredit angsuran perbulannya berapa?”
“Bapak mau berapa bulan dulu?”
“Dua tahun lah. 3 tahun kelamaan. Satu tahun kemahalan.”
“Oh, ini ada jenis angsuran untuk 2 tahun beserta DP.” Rinai menunjuk Pricelist tadi.
“Bedanya apa ini? Kan sama-sama 24 bulan?”
“Yang membedakan DP-nya pak. DP mempengaruhi biaya angsuran bapak tiap bulan. Makin tinggi DP yang bapak bayar, makin kecil angsuran tiap bulannya.”
“Oh, gitu.” konsumen mengangguk-angguk.
“Iya, Pak.”
“Terus, kalau saya ambil motor di sini kan, berapa saya dapat cashback? Terus, bonusnya apa aja?”
“Kalau cashback nggak ada, Pak. Tapi ada potongan DP dari kami 200 ribu, san juga bonus lain kayak helm, jaket, atau mantel.”
“Masa gak ada cashback?”
“Memang gak ada, Pak.” Rinai tersenyum canggung. "Tapi kan ada potongan voucher, Pak."
"Iya, tapi cuna 200 ribu. Kecil kali lah."
Rinai tersenyum canggung mendengar komentar Bapak itu. Bapak itu berpikir lama. Rinai harap-harap cemas. Jangan sampai dia kayak konsumen lain ya, ujung-ujungnya malah ‘Nanya dulu aja’.
“Ya udah lah. Ini karena saya butuh cepat aja. Jadi gimana cara ngambilnya ni?”
Dada Rinai membuncah. Senyumnya mekar bak musim semi.
“Bentar ya, Pak. Biar saya siapkan dulu berkas-berkasnya. Sebelumnya bisa minta data Bapak?"
"Bisa."
"Nama Bapak siapa? Ada bawa KTP?"
"Nama saya Suwanto." Ia mengeluarkan KTP. "Nih," ucapnya sembari menyerahkan ke Rinai.
Rinai berjalan ke balik counter, mengambil faktur penjualan, dan mempersiapkan segalanya.
“Ini, Pak. Silahkan diisi dulu.”
Rinai menyerahkan formulir data konsumen dan menerangkan apa saja yang harus diisi. Saat konsumen cukup mengerti, ia mendekati Bang Sutan.
“Bang, Kak Risa mana?”
Kak Risa itu orang leasing yang sengaja ditempatkan di dealer mereka. Biasanya, kalau ada konsumen yang membeli secara kredit, mereka akan langsung di data Kak Risa, sampai akad dan bisa selesai hari itu juga. Tapi hari ini Kak Risa belum kelihatan sama sekali.
“Oh, dia gak datang hari ini. Ada urusan katanya.”
“Ada konsumen mau ambil motor secara kredit.” Rinai menginformasikan. Ia bahkan tak berusaha menutup nada bahagia di suaranya.
“Serius?” Mata Bang Sutan berbinar. “Good!” Ia memberikan jempol untuk Rinai.
Rinai hanya membalasnya dengan senyum. “Gimana dong, Bang? kak Risa gak ada.”
“Oh, yaudah. Kan nanti mau disurvey dulu. Suruh aja konsumen tunggu di rumah. Nanti dihubungi sama orang leasing.”
“gitu aja?”
“Iya. Survey dulu.”
“Oh, oke.” Rinai mulai beranjak tapi dihentikan oleh suara Bang Sutan.
“Tapi telpon dulu si Risa. Kasih tau dia ada konsumen yang mau disurvey."
Rinai langsung mengambil HP dan menelpon Kak Risa. Di dering ketiga, Kak Risa akhirnya menjawab panggilannya.
“Ya, Nai?”
“Kak, besok datang gak? Ada konsumen Rinai nih yang mau ambil motor secara kredit.”
“Konsumen Rinai? Wih, mantap! udah pande jualan ya!”
“Hehehe…”
"Kirim aja ya datanya, nanti aku kasih ke surveyor.”
“Oh, oke! Makasih kak... “
Rinai mendekati konsumen yang tampak sudah selesai mengisi datanya dan menjelaskan prosesdur kreditnya.
"Berarti disurvey dulu, ya?"
"Iya, Pak."
"Nanti kalau saya mau gamyi DP atau mau gantu motornya ke mereka lain bisa gak? Atau ganti jadi motor bebek?"
"Bisa, Pak. Nanti sampaikan aja ke orang leasingnya pak survey. Selama belum keluar faktur pembelian, masih bisa diganti."
Bapak itu tampak berpikir, membuat Rinai kembali harap-harap cemas. “Oke lah. Tapi besok udah pasti keluar ya, Dek, ya?”
"Kalau surveynya lancar, bisa keluar besok."
Pak Suwanto berdiri diikuti Rinai.
“Ya lah dek, Makasih, ya.” Ia menjabat tangan Rinai yang dibalas oleh Rinai dengan sedikit erat.
"Sama-sama Pak, makasih juga."
Setelah konsumen pergi, Rinai membereskan meja tamu dan beranjak menuju counter, tapi langkahnya tertahan sejenak saat matanya bertemu pandang dengan Kak Maya, yang baru saja keluar dari ruang Pak Daniel. Kak Maya melengos saat menatapnya, tapi Rinai tak peduli. Rinai memutuskan untuk mengabaikannya dan kembali ke meja counter.
Bodo amat, ah.
Rinai lagi bahagia.
Dan gak ada yang bisa merusak suasana hati Rinai saat ini!
Description: Rinai seorang admin STNK di sebuah dealer motor. Ia memiliki sifat aneh dan pendiam. Pagi ini, ia baru saja diberitahu untuk merangkap kerja saat Bang Jack mengirim pesan mengajaknya untuk ikut lomba menulis.
Dibantu oleh Birai yang menyebalkan, Pakcik yang cerdas, dan Bang Jack yang optimis, Rinai mencoba melewati batas-batasnya, memulihkan nama baik, dan dan memperjuangkan impiannya.
Cover by : Bang Zul
|
Title: Rintik Senja
Category: Slice of Life
Text:
Biarkan Mereka Menilai
Setiap orang melihatmu dengan cara berbeda. Jangan berharap!Jangan memaksa! Biarlah dirimu apa adanya. Jangan mau menampakkan keindahan hanya agar orang-orang menyukaimu. Biarlah mereka melihat dan menilaimu. Yakinlah Allah yang lebih memahamimu
BENCI dan CINTA
JIka BENCI maka BENCI lah seperlunya, jangan sampai membenci sesuatu dengan berlebihan karena cinta biasanya bermula dari BENCI. Jika CINTA maka CINTAilah seperlunya, jangan sampai mencintai sesuatu begitu berlebihan, karena banyak yang terlalu cinta mendalam hingga akhirnya mereka saling membenci
Memantaskan
Ingatlah ini :
Jika sekarang kamu sedang memperbaiki diri, maka sesungguhnya aku disini pun sedang memperbaiki diri. Jika sekarang kamu mulai belajar taat padaNya, maka sesungguhnya aku disini tengah belajar taat padaNya. Aku adalah cerminan dari dirimu
Terima Kasih
Untukmu yang telah menghiasi hari-hariku saat itu
Untukmu yang pernah menggangapku istimewa
Untukmu yang pernah berjalan beriringan denganku
Perpisahan ini terjadi bukan karena kita saling membenci,
Bukan pula karena kita tidak saling peduli
Hanya saja ini adalah sesuatu yang lebih baik
Karena ini adalah pilihanNya
Untukmu
Masih Tentang Kamu : Kamu yang rupanya belum bisa kupandangi ! Ku yakin, dirimu tak kalah indah dari hamparan pasir yang memenuhi pantai. Ku yakin, dirimu tak kalah menggagumkan dari ciptaanNya yang lain. Hari ini ku meyakini satu hal, yaitu "Aku dan Kamu" sedang berucap hal yang sama padaNya
Bidadari Letak Syurgaku
Ada senyum di sudut matanya
Dia terlihat begitu tegar, meski ku tau bahwa sesungguhnya dia sedang menyimpan rindu
Dia terlihat begitu kuat, meski ku tau bahwa sesungguhnya tubuhnya tidak sekuat dulu
Dia terlihat begitu bersemangat, meski ku tau bahwa sesungguhnya dia sedang lelah
Dan segelas kopi panas yang ku buatkan untuknya sudah mampu menciptakan senyum indah
di sana, sungguh sederhana dirinya
Description: Ada sebagian orang yang menantikan rintik di waktu senja, entah itu mengingatkan sahabat, pasangan, orang tua, keluarga, lalu menghantarkan bait-bait rindu.
|
Title: Requiem of Enigma
Category: Cerita Pendek
Text:
KIA [1]
“Ambil cek ini.” Mama Nathan menyorongkan selembar cek di atas meja.
Tidak sekali pun aku tergoda untuk melirik cek itu. Aku menahan mata yang terasa panas dan memaku pandangan pada Mama Nathan.
“Keluarga besar kami tidak bisa menerima latar belakangmu, Kia. Saya mohon mengertilah. Tolong pergi dari Nathan.” Raut wajahnya memelas. Tidak ada kesombongan atau ekspresi merendahkan. Yang ada hanya kekhawatiran dan keputusasaan.
Jemariku terasa dingin. Aku bergeming hingga dia pergi. Aku meremas jemariku sendiri hingga sakit. Menggigit bibirnya hingga perih. Tapi tidak sesakit hatiku.
Aku tidak menyangkali masa laluku yang kelam atau latar belakang keluarganku yang mengerikan. Mengenal Nathan membuatku ingin berubah. Nathan tidak pernah mempermasalahkan masa laluku. Yang luput dari pikiranku justru keluarga Nathan. Keluarga besar terhormat, jelas tidak sudi dinodai oleh jejak wanita petualang seperti diriku.
Air mataku menetes. Hatiku tergores. Bukankah aku memang bukan wanita baik-baik? Tidak ada gunanya menegakkan kepala dan berlagak menyobek cek seperti tokoh-tokoh sinetron. Aku mengambil cek itu, menelan sisa air mata, lalu bersiap pergi untuk menghambur-hamburkan nominal dalam cek.
Dan di sinilah aku sekarang. Sebuah diskotek ternama di Jakarta. Tempat kaum menengah atas menguras kantong demi kesenangan sesaat.
Aku duduk di meja depan bartender. Aku petualang, tapi aku bukan jalang yang akrab dengan tempat seperti ini. Bisa dihitung dengan jari berapa kali aku minum.
“Mau minum apa, my lady?” tanya bartender di depanku.
“Apapun.”
Bartender itu tersenyum kemudian tangan terampilnya bermain dengan shaker, jugglingsejenak sebelum membubuhi gelasku dengan flamming. “Cocok untuk my ladyyang sedang gundah.”
Aku tersenyum miris sebagai ucapan terima kasih. Cocktailitu tandas dalam satu sesapan. Lidahku terasa pahit dan tenggorokanku terasa terbakar.
Bartender itu menahan tawa melihat ekspresiku. Dia menawarkan minuman yang lebih ringan, tapi kutolak. “Aku butuh yang lebih kuat.”
“My lady, kamu sama saja seperti dia.” Bartender itu menunjuk seorang pria di sudut ruangan. Duduk sendirian dengan minuman yang tersisa setengahnya.
Suara bartender itu terdengar samar-samar di telingaku. Aku tidak terbiasa minum dan kepalaku pusing. Mataku masih terpaku pada pria yang ditunjuk si bartender. Rasanya aku mengenal pria itu. Wajahnya familiar. Tahu-tahu, aku sudah menggiring langkah dan duduk di kursi kosong sebelah pria itu. Aku menegak minuman yang tersisa dan menulikan telinga dari ceracaunnya yang menyuruhku menyingkir.
Aku tergelak. “Kamu Kai Sagara Harsa yang terkenal itu, kan?” Kepalaku menggeleng-geleng. Antara pusing dan keinginan untuk menajamkan mata yang berkunang. “Kai Sagara Harsa tidak mungkin sendirian tanpa selusin wanita di sisinya. Jangan dikira aku tidak tahu prestasimu sebagai skrit chaser, Bung. Aku idolamu, by the way. Mungkin versi wanita dari prestasimu sebagai petualang.” Aku tergelak lagi, meski separuhnya masih terasa sesak oleh rasa sakit.
“Jangan mimpi. Pergilah. Gue nggak tertarik one night stand. Insaf.”
Tawaku makin jelas. “Apa insafmu membuahkan hasil?”
Untuk pertama kalinya, Kai mengalihkan tatapan dari gelas di tangannya. Dia mengangkat kepala dan mendapati aku yang tertawa tapi setetes air mata meluncur ke pipi.
“Apa lihat-lihat? Nggak pernah lihat perempuan menangis?!”
Kai meringis. “Jadi kita sama? Playeryang gagal insaf?”
oOo
Aku tergeragap bangun di sebuah kamar yang asing. Mataku memindai ruangan dan mendapati seorang pria telungkup di sofa. Sial!
Aku spontan mengangkat selimut. Pakaianku lengkap. Aku mengempaskan napas lega tapi kepalaku berdenyut sakit ketika mencoba mengingat kejadian semalam. Kai Sagara Harsa! Astaga! Jadi aku bermalam bersama artis umpan gosip itu? Bahaya kalau ada kamera gosip onlinemengintai kami!
Dengan kepala berdenyut, aku memaksakan diri bangkit dari tempat tidur agar bisa segera pergi. Tapi begitu bangun, perutku memberontak mual. Kuseretlangkah ke toilet dan jackpot habis-habisan.
oOo
KAI [1]
Siapa sih, yang jackpot pagi-pagi sampai ganggu tidur gue? Eh? Gue tersentak dan langsung melompat dari sofa. Hotel?! “Sial! Siapa lagi yang jebak gue!” Gue menyeret langkah ke kamar mandi. Tangan gue menggedor pintu.
“Pergi, Kai!” suara wanita menyahut tanpa membuka pintu. “Jangan sampai ada wartawan melihat kita barengan keluar kamar!”
“Buka pintunya dulu!” Gue berkeras menggedor tanpa ampun. “Aku harus memastikan sesuatu.”
“Aku baik-baik saja dan kita nggak ngapa-ngapain. Clear!”Terdengar suara muntah lagi. Bodo amat. Gue harus ketemu dulu. “Apa sih?” Pintu akhirnya dibuka.
Gue mendapati sesosok perempuan berkulit pualam, bermata sayu, rambut lembutnya dipangkas sebatas bahu, bibir ranumnya tipis dan suara seraknya seksi banget. Sial! Kenapa gue jadi meneliti dia. Gue mengulurkan tangan. “Ponsel. Kemarikan ponselmu.”
“Buat apa?”
“Memastikan lo nggak nyimpan nomor gue atau bikin foto-foto nggak senonoh padahal kita nggak ngapa-ngapain.”
“Sinting!” Perempuan itu hendak menutup pintu tapi gue tahan. Gue ambil paksa ponselnya sementara dia protes keras. “Imajinasimu menjijikkan Bapak Aktor!”
oOo
KIA [2]
Dengan wajah kuyu aku memaksakan diri ke kantor. Meetingdengan klien, pertemuan dengan vendor, rapat mingguan, semua berlalu begitu saja. Pikiranku tumpang tindih antara peristiwa semalam dengan Kai dan Mama Nathan. Uang yang diberikan wanita itu belum terpakai barang sepersepuluhnya dan semalam ...
“Apa saranmu, Kia?”
Lamunanku baru buyar ketika Romi–rekan sebelah meja menyenggol lenganku. Bos besar sedang menatapku dengan sorot tajam.
“Eh, maaf Pak?”
“Usulkan satu KOL–key opinion leader?”
“Ka-Kai?” Entahlah. Hanya itu yang terlintas di otakku. Aku bahkan tidak ingat KOL untuk produk apa yang sedang mereka bahas.
“Kai Sagara Harsa?” tanya Bos.
Aku menatap Bos. Berusaha yakin. “Iya, Pak.”
“Boleh juga. Coba kontak managernya Kai. Cek availability-nya.”
Mati aku.
oOo
KAI [2]
Gue mengusap wajah dengan kasar. Mengacak rambut dengan gemas. Gue pensiun jadi petualang sejak berkomitmen sama Kania. Dia menghilang setahun yang lalu, tapi sampai sekarang gue masih betah sendirian. Tapi kemarin, otak gue mendadak keruh. Ada cewek yang ngaku punya anak sama gue. Gosip memang resiko jadi selebriti, tapi gue sudah setahun lebih nggak kencan dengan siapa pun. Jadi mana mungkin?
Saking keruhnya otak, gue memutuskan untuk menyambangi klub langganan gue dulu. Selain berhenti menjadi petualang, gue juga berhenti minum. Dan kunjungan semalam berakhir buruk–kalau nggak mau dibilang terkutuk.
“Kai!” Saski, manajer gue, memanggil. “Ngelamunin apa lo? Masih mikirin anak lo?”
“Dikit.” Gue terkekeh menyembunyikan kejadian semalam dari endusan Saski. Dia sedang mengusut rumor soal wanita yang mengaku punya anak sama gue. Kalau sampai kejadian semalam tertangkap kamera paparazzi gadungan, tamat sudah riwayat gue. Saski bisa mengamuk habis-habisan. Masalah satu belum selesai, masalah baru sudah dimulai.
“Palingan cuma pansos, Kai. Santailah sedikit.” Saski menepuk bahu gue. “Yuk, jalan sekarang. Ada tambahan agenda buat hari ini. Tawaran iklan nih.”
Kita pergi ke sebuah restoran untuk ketemu klien. Sampai di sana, tiba-tiba mata gue menangkap bayangan cewek semalam duduk di salah satu kursi. Sial! Ini gue kebanyakan mikirin dia, halusinasi, atau emang nyata? Gue nggak bisa mikir apa-apa. Satu-satunya yang gue inginkan cuma segera kabur dari tempat ini.
“Saski, sori, pikiran gue beneran kacau. Kayaknya gue butuh cuti sampai segala keruwetan ini teredam.”
oOo
KIA [3]
Aku bernapas lega ketika manajer Kai mengatakan bahwa pria itu tidak bisa datang. Otakku sudah cukup kacau karena masalah Mama Nathan. Tambah kacau karena gara-gara spontanitas menyebut nama Kai saat rapat dan secara ajaib bos setuju. Jangan lagi ditambah pertemuan dengan Kai langsung.
“Gimana? Aman?” tanya Romi begitu aku kembali ke kantor.
“Aman.” Aku mengulas senyum sambil mengempaskan diri ke kursi.
“Terus kenapa tampang lo lecek begitu?”
“Nggak ada, Rom.” Aku menyalakan desktop. Berpura-pura sibuk supaya Romi tidak terus bertanya.
“Nathan?”
Gerakanku mengambil box fileterhenti. Hanya satu kata, satu nama, tapi sukses meruntuhkan segalanya. Menyakitkan bagaimana aku berusaha terlepas dari ketergantungan mematahkan hati lawan jenis, sekuat tenaga meyakinkan diri bahwa Nathan adalah tambatan terakhir, dan ketika segalanya berhasil dilewati, badai itu datang. Menggulung harapan tanpa sisa.
“Kia...” panggil Romi.
Aku bergeming dari Romi. Nama Nathan muncul di layar ponsel. Rasanya dering itu menyakiti telinga, menggores luka, dan menikam berulang. Nathan tidak tahu soal ibunya, tapi aku cukup tahu diri. Mama Nathan benar. Jika suatu hari cintaku untuk Nathan tidak sekuat yang kukira, hubungan kami pasti gagal. Aku hanya akan melukai Nathan-ku yang baik.
Tiba-tiba mataku terasa panas. Pandanganku buram dan dunia berjalan di tempat. Pria baik ditakdirkan untuk wanita yang baik. Kami tidak sepadan.
“Lo kenapa?”
“Gue butuh liburan, Rom.”
oOo
Aku memesan penerbangan dengan maskapai terbaik negeri ini menuju ujung timur Indonesia, Sorong. Duduk di first classdengan jadwal penerbangan fleksibel. Sekedar berjaga-jaga kalau Nathan mengendus usaha pelarianku, aku bisa langsung terbang ke tempat lain sebelum dia sampai di sini. Tidak mau pusing-pusing dengan urusan akomodasi, aku memesan paket perjalanan ke Raja Ampat.
Alasan pertama mengapa aku memilih ujung timur Indonesia karena aku punya banyak uang untuk dihabiskan. Raja Ampat masuk dalam salah satu destinasi termewah negeri ini. Air hijau dan biru, samudera, ombak, ikan, karang, tebing, sunyi, rimba luas, bisikan pasir, aku bisa melakukan apapun yang kumau tanpa seorang pun mengenalku. Bahkan jika kelewat frustasi, aku bisa memilih cara mati paling dramatis tanpa ada yang menghalangi. Menenggelamkan diri di laut, terjun dari tebing, atau minggat ke hutan rimba.
Kedua, aku tidak bakal bertemu dengan makhluk bernama ‘sinyal’. Jadi kalau aku mulai merindukan Nathan, aku tidak akan bisa menelponnya. Sialnya aku salah. Di villa malah menyediakan hotspotberkecepatan tinggi.
Liburan ini kujalani sesuka hati. Kadang aku pergi dari pagi sampai malam. Kadang hanya diam meratap di kamar. Ada kalanya aku mengungkung diri di laut seharian atau memanjat tebing karst menantang kematian. Semua terserah aku. Memangnya ada yang berani melarang wanita patah hati? Silahkan kalau mau mati.
Pagi ini, selesai sarapan, aku berjalan menuju dermaga. Pian, tour guide-ku sudah menunggu. Dia mengulurkan tangan untuk membantuku naik ke speedboad dan membawakan drybag-ku. Speedboat segera dinyalakan begitu aku masuk. Hanya ada tiga orang, selain aku. Pian dan dua orang operator speedboat. Aku mengambil privat tour. Mahal dan bisa kuatur sesuka hati.
“Kita ke mana?” tanyaku pada Pian. Speedboat yang kunaiki tertutup. Tapi aku memilih duduk di sisi belakang yang terbuka. Mumpung matahari belum terik.
“Arborek lalu ke Yenbuba Reef,“ jelas Pian. “Kita mampir ke Goraga dulu Kakak, ambil alat selam. Tidak apa-apa to?”
Aku mengangguk. Memasang kacamata lalu duduk menekuk lutut. Memandangi lautan luas yang jadi mirip hamparan layar raksasa.
Speedboat yang kutumpangi mengurangi laju. Ternyata jarak antara Waigeo–pulau tempatku menginap tidak begitu jauh dengan tempat yang dimaksud Pian. Speedboat perlahan menepi, bergantian dengan speedboat lain yang...
ASTAGA! Punggungku mendadak tegak. Apa aku berhalusinasi? Dalam speedboat itu ada Kai. Dia sedang melambai pada orang-orang di atas dermaga sementara speedboat-nya bergerak menjauh. Lambaian itu kemudian berhenti dan tatapannya beralih ke arah speedboat kami. Tidak! Tidak! Tatapannya ke arahku. Tidak! Ini pasti cuma halusinasi.
oOo
Kami tiba di dermaga Arborek. Perairan di sini sungguh jernih. Kayu-kayu panjang terpancang di atas perairan. Karang warna-warni tumbuh memeluknya. Berbagai jenis ikan berkejaran di antara karang. Aku menjejakkan kaki di atas bilah-bilah papan kayu yang berjajar sepanjang dermaga. Cuaca mulai panas. Kukenakan topi sambil duduk menggantungkan kaki di ujung dermaga.
Aku jadi teringat liburanku di Kamandalu. Aku duduk di tepi kolam sambil memandang hamparan alam menghijau lalu Nathan... ah! Kenapa jadi begini!
“Pian, aku bisa turun sekarang?” tanyaku pada Pian yang sedang menyiapkan peralatan selam. Aku harus segera mengalihkan pikiran. Tidak ada lagi nama Nathan.
“Sambil saya siapkan, Kakak bisa pakai wetsuit-nya dulu.”
Aku menerima wetsuit dari Pian dan bergegas masuk ke toilet dalam speedboat. Begitu keluar, suara gaduh memenuhi telingaku. Aku keluar speedboat dan menemukan rombongan tour entah darimana sudah memenuhi dermaga. Beberapa sudah menceburkan diri sekedar berenang, bermain air atau snorkeling. Suasana tawa memenuhi dermaga.
“Apa harus seramai ini?” Aku berkacak pinggang di depan Pian. Hilang sudah mood-ku untuk menemukan ketenangan.
“Mau bagaimana lagi, Kakak? Kita tidak kasih bookingtempat ini untuk pribadi to?” sahut Pian sambil memasangkan tabung ke BCD. Beberapa hari bersama cewek patah hati membuatnya paham emosiku kadang tidak stabil dan dia tidak perlu menanggapi serius. Sayangnya, aku serius ingin ketenangan dan tidak mau melihat pasangan berfoto dengan pose mesra di atas boat mereka–sialan!
“Aku mau ganti lokasi!” kataku dingin sambil masuk ke dalam speedboat.
Pian ternganga. Aktivitasnya terhenti. Dia bertukar pandang dengan nahkoda kapal. Sabar Pian, anggap saja ujian. Ini belum seberapa dibanding ujian putus cinta.
“Mau ke Manta Point saja? Tidak jauh dari sini to?” Nahkoda kapal bergantian memandang aku dan Pian tapi kami sama-sama diam. Akhirnya dia yang memutuskan. Putar haluan ke Manta Point.
Sejujurnya aku bukan penggila diving. Bukan diversyang keranjingan memburu momen berenang bersama manta atau bertemu dengan whale shark. Tapi kesunyian ketika divingini yang kugilai. Membenamkan diri di kedalaman laut membuat suara-suara bising di atas sana teredam habis. Tinggal suara dalam kepalaku yang menggila. Berdentam berulang menceritakan segala kebusukan hidupku yang berakhir pada karma asmara–istilah yang menggelikan.
Aku sudah menjelajah ke sana ke mari. Pian sudah menarik-narikku agar tidak tergesa. Hasilnya, NOL BESAR. Tidak seekor Manta pun kutemukan. Benar-benar sial. Bahkan Manta takut pada cewek yang putus cinta–lelucon garing orang sinting.
Aku duduk di buritan kapal. Pian membantuku melepas tabung, lalu menanggalkan peralatannya sendiri. Ketika sampai, aku tidak sempat melihat bagaimana pesona Yenbuba, perairan, pemandangan atau apapun. Yang aku tahu, dermaga padat sekali. Bahkan rombongan tour yang tadi kutemui di Arborek juga ada di sini–tentu aku hafal, karena aku melihat pasangan yang berfoto sok mesra itu lagi. Gila! Apa semua tour operator menyediakan rute perjalanan yang sama?
Suasana di sini bahkan lebih riuh daripada di Arborek. Orang-orang ini lebih mirip peserta pembagian sembako daripada wisatawan yang ingin menyelam. Berdesakan dan berebut untuk... BERFOTO BERSAMA KAI SAGARA HARSA!?
Sinting! Apa halusinasiku sudah kronis?
“Pian! Kita pulang sekarang!!!”
Besoknya aku membatalkan semua agenda. Termasuk jadwal kepulanganku. Cutiku belum habis. Aku masih mau berdiam di Raja Ampat, menyepi, berkontemplasi–tapi bukan berhalusinasi–karena perjalanan kemarin menghancurkanmood-ku.
oOo
KAI [3]
Speedboat gue belum merapat. Tapi wetsuit sudah melekat di badan gue. Tabung lengkap dengan regulator juga sudah terpasang ke BCD. Tekanannya sudah dicek. Masker, weight belt, fin, pokoknya semua siap. Jadi nanti begitu sampai, nggak perlu berlama-lama gue tinggal pilih posisi entrydan gue bakal berada di tempat paling tenang di dunia. Cuma ada gue dan suara nafas gue sendiri.
Lebih kerennya, ini Mike’s Point, man! Saksi bisu bombardir US Air Force waktu ngira kapal Jepang kemari jaman PD II. Seiring berjalannya waktu, cekungan dan bekas-bekas kehancuran yang kena bom itu kembali ditumbuhi karang dan malah jadi keren banget. Coba tanya deh, ke diversdunia. Siapa yang nggak kenal tempat ini.
Speedboat gue mulai bergerak perlahan. Kami hampir sampai. Adrenalin gue memacu. Lalu, dengan tiba-tiba dan tanpa dinyana–apalah bahasa gue. Gue lagi-lagi melihatnya. Dia bertengkar di atas speedboat. Melihat serunya perdebatan, gue sampai ngira mungkin sebentar lagi ada yang dijongkrokin sampai jatuh ke laut.
Gue pingin menertawai diri gue sendiri. Ke sini buat nyari ketenangan, jauh dari orang-orang yang gue kenal–gue bahkan milih awak kapal dan tour guideyang nggak biasa gue pakai jasanya. Tapi kenapa malah ketemu cewek itu lagi?
Oke, kalau ini ibukota. Tapi ini RA-JA-AM-PAT. Masih bisa diterima kalau ketemunya di Arborek, Yenbuba, Wayag, Piaynemo, dan beberapa destinasi yang jadi langganan tour operator. Tapi ini Mikes Point man! Langka ada tour operatorbawa orang Indonesia ke sini. Gue aja requestsendiri. Jadi, dia paparazi atau fans psiko?
Gue minta nahkoda buat mendekatkan speedboat kami. Sengaja nyari posisi supaya dia lihat gue. Tapi ternyata, dia mengabaikan gue. Pria yang membelakangi gue itu lebih menarik rupanya. Dia berkacak pinggang sambil memanggul tabung di bahunya–aduh, pertengkaran macam apa yang bikin seorang cewek kuat manggul tabung, hahaha, menarik. Tunggu! Cowok itu kan, Pian.Guide langganan gue.
“Aku membayar kamu sebagai diver guide. Kenapa tidak mau nemenin turun?”
“Arus bawah sedang kencang, Kakak. Kita tidak bisa kasih Kakak turun. Berbahaya to. Kalau ada apa-apa siapa kasih tanggung jawab?” Pian belum lihat gue.
“Hidup gue tanggung jawab gue!” Well, cewek ini kalau ngamuk ngeri juga. “Kalau lo nggak mau nemenin, gue bisa sendiri!” Dia membenarkan letak tabung di bahunya.
“Biar aku yang mendampingi kalau begitu,” kata-kata itu meluncur begitu saja. Gue paham sih, gimana seseorang penasaran dengan pesona Mikes Point tapi cuma bisa lihatin foto sambil ngiler. Nyiksa!
Dua orang itu lalu menoleh. Pian langsung sumringah menyapa gue. Sedangkan cewek itu, sisa emosi yang terpancar di wajahnya berubah jadi keterkejutan. Cuma sekilas, tapi gue menangkapnya. Terus wajahnya balik datar. Dia menuju salah satu bangku sambil menyiapkan peralatan selam. Dua kali, gue diacuhkan kayak kacung kampret. Sial! Beneran dia nggak ngenalin gue atau bagaimana?! Kalau pun nggak ingat malam itu, paling nggak dia tahu gue seleb. Kurang keren bagaimana didampingi nyelem sama artis?
Gue sedang bertukar kabar dengan Pian ketika tiba-tiba cewek sinting itu sudah dalam posisi siap back-roll. Gue berjingkat ke arahnya untuk menghentikan aksi sinting cewek itu. Dia ingin menyelam atau mau bunuh diri? Buru-buru banget!
“Hei, kita ditakdirkan buat ketemu terus. Bahkan di timur Indonesia. Aku pikir kita harus saling menyapa.” Gue pasang senyum manis buat menyembunyikan usaha gue menggagalkan usahanya terjun ke air.
Dia memandang gue dengan dingin. Jenis tatapan yang sulit diartikan buat menjawab pertanyaan, ‘apa dia ingat gue?’. Di luar dugaan dia malah bertanya, “Kamu benar-benar ingin menemaniku menyelam atau sekedar berbasa-basi agar aku lupa ingin menyelam?”
Ah, dia mentahin strategi gue lagi. Bahkan kalau kami nggak saling kenal, harusnya dia terpukau sama seorang Kai Sagara Harsa yang berkenan menemani. Romantis sadis! Tapi dia tetap menatap gue sinis. Pikiran norak soal paparazi dan fans psiko minggat seketika.
“Percayalah, pesona selebriti nggak lebih menarik dibanding koral dan ikan di bawah sana,” bibir tipisnya berujar sinis. Kan kampret!
“Kenakan BCD-mu dengan benar kalau ingin cepat turun!” Gue tinggalin gadis bermulut sinis itu lalu gue tarik Pian. “Aku tahu arus tidak sedang kencang. Jadi kenapa kamu nggak ngasih ijin dia menyelam?” tanya gue begitu yakin suara kami nggak bakal kedengeran.
“Saya tak tahu. Dia melonglong seperti orang sakau ingin menyelam. Lalu emosional di dalam air. Jadi saya tidak bisa kasih dia turun.”
“Panik?” koreksiku.
Pian menggeleng. “Emosional, tak bisa dia tenang. Seperti orang marah-marah sama air. Apa pula air punya salah, dia marahi. Buru-buru sekali mau terjun ke air lalu tinggalkan saya. Tidak tahu buddy systemdia.” Pian menepuk kening. “Saya punya tamu merepotkan sekali. Takut dia mati nanti saya dipenjara to.”
Gue ketawa. Satu hal yang bikin gue mencintai kedalaman samudra, melepaskan emosi. Dengan begitu segalanya luruh dan terlepas dari pikiran gue. Tapi kalau nggak bisa mengontrol emosi, sama saja cari mati. Udara dalam tank cepat habis, bahkan sebelum mencapai keindahan di bawah sana.
“Saya tidak sarankan Kai menemaninya turun.”
Gue cuma tersenyum sambil menepuk bahunya, berbalik menghampiri gadis itu.
oOo
KIA [4]
Apa aku mencintai Nathan?
Pikiran itu tiba-tiba menyeruak begitu aku menyentuh air dan tersapu ombak. Aku masuk ke kedalaman laut. Suara-suara di atas sana seketika bungkam, namun suara dalam kepalaku menjerit seperti orang gila.
Bahagia. Itu yang kurasakan waktu Nathan melamarku.
Letupan kebahagiaan yang lebih dari sekedar kupu-kupu berterbangan di dalam perut atau gelegak yang membuncah di dada. Itukah cinta? Rasanya seperti... aku tidak pernah punya air mata. Apa itu cukup diartikan sebagai cinta? Mendadak mematahkan hati tidak menarik lagi. Apa ini cinta?
Aku sudah berpindah dari Anita’s Garden, Alex’s Rock, Edis Black Forest, Cape Kri dan pertanyaan-pertanyaan itu masih mengejar di kedalaman samudra. Kejaran pertanyaan mereka lebih mengerikan daripada white tip, black tipatau whale sharksekali pun. Aku turun dengan cepat, berharap kedalaman menghentikan aksi pengejaran pertanyaan itu.
Tiba-tiba, lenganku terasa sakit. Kai mencengkeram dan menyeretku naik secara paksa. Sampai di permukaan, dia menarik regulatorku–membuatku ingin memaki karena aku jadi gelagapan. Tidak cukup sampai di situ, dia menggiringku kembali ke speedboat.
“Lo mau nyelam atau mau bunuh diri?!” bentak Kai begitu kami berada di atas speedboat. Dadanya naik turun mengatur napas. Dia ber-lo-gue, pasti dia marah besar. “Kalau lo turun buru-buru, gendang telinga lo itu bisa pecah! Kalau lo nggak peduli sama diri lo sendiri, PEDULIIN KARANG DI BAWAH SANA!”
Pian dan awak kapal lain buru-buru mendekat melihat pertengkaran kami. Tidak ada yang ikut bicara. Mungkin dalam hati mencak-mencak mengucap syukur, ‘rasain lo!’ Pian membantuku melepas satu persatu peralatan.
“Kalau lo keseret arus terus pegangan sama karang, lo bisa merusak semuanya! Buat tumbuh sekian mili saja mereka butuh waktu puluhan tahun, terus lo mau merusaknya dalam hitungan detik?!” emosi Kai masih terus meledak.
Aku selesai melepas peralatan. Jari-jari tanganku terasa dingin sekarang.
“Kalau mau mati, mati sendiri sana! Jangan bawa-bawa ikan sama karang!”
Aku melepas masker, mengabaikan kata-katanya yang menyakitkan. “Sepertinya maskernya bocor. Mataku perih terkena air laut,” kataku sambil meninggalkan Kai.
oOo
KAI [4]
Bohong. Gue tahu dia nangis.
oOo
KIA [5]
Aku masuk ke toilet dan menyelesaikan tangis. Jelas ini bukan karena Kai. Air mata ini merembes sejak aku masuk ke air. Pikiran-pikiran buruk menyeruak seperti kantong sampah yang ditimpakan di atas kepalaku. Bagaimana mungkin petualang sepertiku patah hati demikian dalamnya. Terkutuk!
Tidak. Tidak! Aku tidak patah hati. Mungkin tidak sampai patah, hanya retak. Aku cuma sakit hati. Parah-parahnya retak hati yang masih bisa direkatkan lagi. Sama sekali bukan patah hati. Ah! Sama saja ini soal hati.
Begitu keluar dari toilet, tahu-tahu Kai sudah berada di speedboat-ku. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Speedboat-ku kehabisan bahan bakar. Sementara mereka membeli, biar aku menumpang di sini. Aku sudah ijin Pian kok.”
Aku melotot. “Aku tamu tunggal di sini! Aku membayar untuk privat tour!” Aku berbalik pada Pian yang sedang merapikan alat selam yang kutinggalkan begitu saja tadi. “Pian, aku laporkan kamu ke bosmu!”
“Bos Pian temanku,” sahut Kai enteng. “Kita ke Pasir Timbul, ya!” perintahnya pada nahkoda.
“Hei! Kenapa kamu seenaknya!” Sumpah benar-benar sialan artis ibukota satu ini. Dia tidak tahu apa, ikan dan karang di sini jauh lebih terkenal dari dirinya!
“Pasir Timbul bagus buat foto-foto, Kakak,” sahut Pian serta merta.
Bedebah kamu Pian!
oOo
Pasir Timbul adalah hamparan pasir putih luas di tengah laut membiru. Tidak ada apa pun di sini. Hanya jejak langkah yang perlahan hilang tersapu ombak.
“Kak, ayo kita pulang. Sebelum malam kita harus sampai di Sorong to.” Pian mengusik keasyikanku berjemur.
“Aku belum mau pulang. Aku mau di sini beberapa hari lagi,” jawabku sambil membenarkan letak kacamata. Agak sinting memang berjemur di sini cuma beralaskan handuk sementara cuaca terik. Tapi apalagi yang bisa kulakukan untuk menghindari interaksi dari si artis gila itu.
“Tapi Kakak sudah mundur sehari dari jadwal. Besok saya ada tamu lagi. Sore ini dia datang. Saya harus jemput ke Sorong sekalian antar Kakak.”
“Nanti saya bayar tambahannya.”
“Nona Kaya Raya, tidak semua hal bisa dibeli dengan uang.” Tiba-tiba Kai menyela di antara percakapanku dan Pian. “Patuhi jadwalmu. Jangan mempersulit orang lain.”
“Aku tidak minta pendapatmu,” sungutku pada Kai. Kacamata hitam yang dia pakai sama sekali tidak menyembunyikan ekspresi tengilnya. Aku bangkit menyusuri pasir. Menenteng kamera dan bersiap swafoto.
“Nona Kaya Raya, kurang baik apa Pian sudah mau mengantarmu?” Kai menyusul di sebelahku. “Kalau orang lain pasti sudah ditinggal di sini. Sendirian.” Kai mencondongkan punggung untuk berbisik di sebelahku. “Pasir Timbul tenggelam waktu pasang. Lalu, kamu ditemukan tinggal tulang. Itu juga nunggu laut surut.”
Sialan! Aku mendelik padanya.
“Pian, kamu berangkat ke Sorong saja. Biar dia numpang speedboadku. Salam sama bosmu, ya!” Kai menepuk Pian lalu kembali menyusulku.
“Hei! Bagaimana bisa begitu?! Aku ini tamumu!” teriakku kesal waktu Pian benar-benar menuruti perkataan Kai. Dia berjalan menuju speedboat dan menurunkan drybag-ku. Aku berteriak-teriak sambil menyusulnya, tapi speedboat sudah melaju. Meninggalkanku dan Kai di pulau kosong. Keparat! Laknat!
oOo
KAI [5]
Mungkin omongan gue ke Kia tadi keterlaluan. Tapi gue yakin, dia bukan nangis gara-gara itu. Sama kayak gue, dia pasti minggat dari masalah. Gue berani bertaruh.
Magical moment. Gimana gue selalu ketemu dia waktu punya masalah dan gimana kita terus dipertemukan lagi, meski udah berusaha menghindar. Rasanya aneh? Iya. Tapi kejadiannya emang gitu. Well, gue mau lihat seberapa banyak takdir memainkan gamebernama kebetulan ini.
Kia mengambil jarak dari gue. Duduk di tepian pantai dan sama sekali tidak risau waktu ombak datang mengguyurnya. Dia cuma anteng gitu aja sejak speedboat minggat tadi. Cuma kami berdua dan dia masih tidak mau buka suara.
“Mau lihat foto orang lagi galau nggak?” Gue ambil posisi duduk di sebelah dia. Memamerkan foto candid-nya yang gue jepret.
Dia berpaling. Matanya mendelik tidak suka. Cuma sekilas melirik layar ponsel gue sebelum bilang, “Apa lo terlalu skeptis dapetin cewek di sini sampai harus mepetin gue?”
Sumpah ya, mulutnya cewek ini. Minta disumpal pakai ciu–ah, stop Kai! Stop!
“Kita sama-sama petualang. Nggak bakal ngaruh.”
Gue langsung mengerjapkan mata. “Jadi lo masih ingat?”
Dia tidak menjawab. Malah membuang pandangan ke kejauhan.
“Kai.” Gue mengulurkan tangan. “Gue yakin waktu itu kita nggak sempat kenalan.”
Dia menoleh tapi tidak balas uluran tangan gue.
“Kesedihan bisa diatasi kalau seseorang nggak terlalu kesepian,” kata gue, tapi dia tetap bungkam. Dikira gue batu karang. “Tiap lagi banyak masalah, gue ketemu lo terus. Bahkan sampai sini. Hmm... mungkin kita jodoh.”
Dia mendenguskan senyuman. “Rayuan lo kelewat receh buat petualang sekelas gue.” Jokegue berhasil bikin dia ngomong dan membalas uluran tangan gue. “Kia.”
Tangan gue langsung kaku. Takdir mainin satu kebetulan lagi. Kemiripan nama.
oOo
KIA [6]
“Kesedihan bisa diatasi kalau seseorang nggak terlalu kesepian?”
Quoteyang bagus.
“Tiap lagi banyak masalah, gue ketemu lo terus. Bahkan sampai sini.”
Aku pun.
“Hmm... mungkin kita jodoh.”
Kalau ini sih, trik sialan. Aku tidak bisa menahan senyum. Memangnya, aku punya pilihan selain menumpang speedboat dan menerima uluran tangannya? Ada. Mati tenggelam karena pasang. Ditemukan tinggal tulang-belulang saat surut. Aku memang patah hati. Tapi ternyata, aku tidak sedepresi itu untuk mati.
“Kok lo tahu gue nginepnya di sini?” tanyaku waktu Kai meminta speedboat berhenti di dermaga depan Waigeo Villa. “Jangan-jangan kamu di sini juga?”
“Gue beberapa kali pakai tour operator tempat Pian kerja dan selalu nginep di sini. Sekarang gue nginep di Raja Ampat Dive Resort.”
“Oh.”
“Apa rencana lo besok?”
Pertanyaan itu membuatku tersulut. “Menurut lo apa yang bisa gue lakukan kalau tour guidegue lo suruh minggat?”
Kai mengulum senyum. “Mau ikut gue ke Arborek?” Dia mengulurkan tangan membantuku melompat dari speedboat ke dermaga.
“Udah pernah.”
“Tapi kan, cuma sampai di dermaga.”
Seketika mataku membulat. Langkahku menyusuri dermaga terhenti. “Jadi...”
“Gue lihat lo di Arborek, Yenbuba, sampai Goraga.”
Aku tertegun. Jadi dia melihatku kemarin.
“Gue tahu kebetulan ini terdengar aneh,” kata Kai waktu dia mengantarku menuju vila. “Tapi gue juga lihat lo di Jakarta beberapa waktu lalu. Takut jadi sumber gosip, gue kabur duluan.”
Deg!
oOo
KAI [6]
“Kayaknya kemarin gue nggak bilang setuju buat ikut lo. Kenapa lo jemput gue ke sini?”
Seketika konsentrasi gue menggulung papeda buyar. Gue menengadah dan menemukan Kia berdiri di sebelah gue. Mata runcing bersorot sayu itu menatapi gue sedemikian rupa. Rambutnya digelung ke atas asal-asalan meninggalkan anak-anak rambut yang terlepas. Blouse beigi tanpa lengan yang dia pakai cocok buat kulitnya yang sepucat pualam. Cewek ini kenapa...
Pluk! Gulungan papeda gue yang nggak sempurna meluncur bebas ke mangkok ikan kuah kuning. Kuahnya menciprat ke mata gue. “Arrghh!” Refleks gue mengucek mata.
“Nggak usah terpesona gitu,” kata Kia lalu duduk di depan gue.
Crap! “Pertama, gue nggak jemput lo. Gue ke sini mau makan ini.” Telunjuk gue mengarah pada mangkok papeda dan ikan kuah kuning.
“Kai selalu ke sini minta kami masakan ikan kuah kuning, Kakak.” Seorang pramusaji menyela. Membawakan kopi buat Kia, setelah itu dia pergi lagi. Udah kayak commercial break.
“Kedua, jangan GR. Ikan dan karang di sini jauh lebih memesona dari lo.”
Bibir Kia membentuk segaris senyum tipis waktu gue membalikkan kata-katanya kemarin. Dia ninggalin gue sebentar dan kembali dengan piring berisi roti tawar. Banyak kursi kosong di resto, tapi Kia memilih duduk di depan gue.
“Lo liburan ke sini sendirian?” tanya gue basa-basi.
“Kalau sama pasangan nggak sudi gue dipepetin sama lo.”
Kenapa cewek ini defensif banget. Dia bahkan nggak mandang gue yang lagi ngajakin ngobrol. Okay, one shoot, please.
“Dalam menyelam, ketenangan itu nomor satu. Kepanikan adalah dosa besar. Penyelam dituntut tidak emosional. Divingadalah olah raga yang pas buat ngelepasin stres.” Gue berdehem. “Kalau gue tebak, lo pasti lagi patah hati. Cuma orang minggat yang ke sini sendiri.”
Dia menoleh cepat ke gue. Terlihat kaget, tapi buru-buru buang muka lagi. Nah! I got you! Gue senyum-senyum sambil menyilangkan tangan di dada. Kemenangan ini menyenangkan.
oOo
KIA [7]
“Jadi, lo ke sini buat nyembuhin patah hati?” Kai menopang dagu dengan telunjuk dan ibu jari. Sudut matanya menyembunyikan ledekan.
Damn it! Apa aku jadi mudah ditebak gara-gara patah hati–ralat, retak hati? Whatever-lah. “Jadi, lo ke sini karena kabur dari wartawan atau dari cewek yang minta pertanggung jawaban lo?” Tiba-tiba aku teringat cerita Romi waktu dia mengusulkan Kai sebagai KOL beberapa waktu lalu.
“Kasusnya udah selesai kemarin. Bukan anak gue. Lo nggak ngecek berita?” Dia menyeringai. Tampan, tapi wajah tengilnya menyebalkan.
“Apa kehidupan lo berpengaruh sama harga saham sampai gue harus updateterus?”
Dia tertawa lepas. “Sekarang gue percaya ada orang yang nggak tertarik sama gue. Thanks, God.” Dia bicara pada langit dengan tangan menengadah lalu mengerling padaku. “Lewat layar kaca, mungkin lo bisa lolos dari pesona gue. Tapi nggak bakalan dalam jarak sedekat ini.” Kai mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Bibirnya menyunggingkan senyum menggoda. Kedua matanya mengunciku. Aku bisa mencium aroma parfumnya, juga hembusan napasnya.
Kami membeku selama beberapa saat. Adu pandang dalam diam.
Aku mendekatkan wajah padanya. Memiringkan kepala dengan bibir yang terbuka perlahan. Membiarkan Kai mengerjapkan mata perlahan, sebelum celah di bibirnya terbentuk. Aku menikmati keterkesimaannya.
Detik berikutnya yang kulakukan justru mendesiskan kalimat bernada ancaman. “Lo mau foto ini jadi gosip baru atau bertanggung jawab sama hancurnya agenda liburan gue kemarin?” Kusodorkan foto yang kubidik diam-diam lewat ponsel.
Kedua alis Kai terangkat. Berkat anglekamera, foto kami tampak seperti sedang ‘berciuman’.
Perjalanan menyembuhkan hati yang patah ini menemukan hiburan yang menarik. Dua petualang bertemu dan bersekutu. Semoga tidak ada perang penaklukan di antara kami, karena aku ingin berhenti.
oOo
KAI [7]
Bedebah nih, cewek. Kirain beneran kena flirtgue langsung jadi agresif. Malah ngerjain dan tololnya gue malah membeku kayak kena sihir. Gue segera menegakkan punggung–semoga sisa gengsi gue masih ada.
“Nggak usah mengancam pun gue udah nawarin, kan? Lo sendiri yang sok-sokan nggak mau.”
Kia menggeleng dengan sisa senyum kemenangan di wajahnya. “Kalau nerima tawaran lo, gue pasti cuma jadi penumpang yang ngikut kemauan lo ke mana saja. Tapi dengan foto ini, gue bisa punya hak buat menentukan ke mana kita pergi.”
Gue menghela napas gusar. Kan, kurang ajar. Udah numpang, banyak maunya. “Terserah. Tapi pastikan foto itu nggak nyebar!”
Dua petualang yang pernah dan tengah patah hati melakukan perjalan bersama. Menarik. Semoga perjalanan ini tetap jadi proses perenungan–seperti niatan gue waktu ke sini, dan bukannya jadi perang penaklukan antar dua petualang.
Gue nggak sendiri. Gue punya kawan untuk menaklukkan ego ini.
oOo
Description: Mantan playboy dan playgirl dipertemukan ketika keduanya sama-sama patah hati. Tampaknya, takdir sedang bermain dengan magic moment bernama 'kebetulan'. Mulai dari Jakarta hingga Raja Ampat, keduanya terus dipertemukan secara tidak sengaja. Apakah karma sedang bekerja pada keduanya? Saling menaklukkan sebelum saling mematahkan?
oOo
“Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #KamuTidakSendiri”
Aya Widjaja bisa ditemukan di Instagram @ayawidjaja
|
Title: Rewrite
Category: Teenlit
Text:
Prolog
Aku memandang kue tart cokelat di tangan Mami dengan antusias. Ia meletakannya perlahan di atas kasur. Aku menahan diri untuk tidak melonjak-lonjak. Mami tersenyum simpul saat kami duduk berhadapan di dipan, terpisahkan kue tart cokelat yang lilinnya bercahaya.
“Buat permohonan sebelum meniup lilin,” kata Mami.
Aku mengangguk dan memejamkan mata. Permohonanku singkat saja. Semoga kami sekeluarga selalu bahagia dan sehat. Sekaligus nilai ulangan bahasa indonesiaku di semester selanjutnya membaik. Aku tidak pandai dalam bahasa Indonesia. Tapi, nilai bahasa Inggrisku lebih baik. Aku meniup lilin setelah usai berdoa.
“Terima kasih, Mami,” ujarku sambil nyengir.
Mami mengangguk dan tersenyum miring. Ia mengeluarkan kotak kecil berwarna cokelat dari saku blazernya. Aku memandangnya masih dengan tersenyum. Walau ekspresi Mami semakin sulit terbaca. Ia tersenyum, tapi terlihat aneh.
“Umurmu sudah dua belas tahun,” kata Mami perlahan sambil membuka kotak tersebut.
Aku mengangguk.
“Ada rahasia yang ingin Mami sampaikan padamu.”
“Apa?”
“Kamu bukan anak Mami.”
Mami mengatakannya dengan datar. Nyaris tanpa ekspresi. Aku melongo. Ia pasti bercanda. Tapi, mimik Mami serius. Lalu, ia mengeluarkan jam tangan kayu dari kotak berwarna cokelat itu dan memakaikan jam tersebut ke pergelangan tanganku.
“Kamu bukan anak kandung Mami. Itu kesalahan Ayahmu. Ia berselingkuh dan membawa serta kamu ke kehidupan kami. Sejak kecil, Mami dan Ayahmu sepakat untuk memberitahu kelak. Mami pikir ini lah waktu yang tepat. Jadi, kamu boleh berbuat apa pun, asalkan tidak merusak reputasi yang telah Mami bangun. Jam tangan ini akan menjadi bukti ikatan. Kamu tetap anak Mami. Jadi, jangan pernah mengecewakan Mami.”
Satu
Max Atau Maxim?
“Rubik Guest Star di halaman dua belas sampai empat belas akan sangat bagus jika diisi oleh Max. Karirnya sebagai aktor di sinetron Senja yang Kuingat sedang banyak sorotan. Semua anak akan antusias menyambut edisi majalah Kaleidoskop bulan depan. Itu bisa membantu meningkatkan minat membaca juga.”
Pak Fery mengatakannya dengan penuh percaya diri, lengkap bersama tangan yang ekspresif menjelaskan. Aku yang duduk di sebelah kirinya mencoba sebisa mungkin menghindar dari tangannya yang bergerak ke atas, tengah, kanan, kiri dan kombinasi acak tak terprediksi. Karena kadang dia menggerakkan tangan secara acak, kepalaku jadi kena sasaran. Dan seringnya Pak Fery tidak menyadari kesalahannya.
Aku menggosok kepalaku yang tidak sengaja kena pukul guru pembimbing Majalah Kaleidoskop itu sambil bertanya. “Max itu siapa?”
“Serius kamu enggak tahu Max?” tanya Caca yang duduk di seberangku. Dia bagian penyunting di eskul ini.
Aku mengangguk bego. Bukan sengaja tidak mengikuti berita. Tapi di rumah, televisiku rusak. Mama terlalu hemat dalam mengalokasikan uang dari Ayah sehingga tidak ada anggaran untuk memanggil tukang service televisi. Hasilnya, aku nyaris ketinggalan semua berita. Aku bahkan tidak lagi ingat kapan tepatnya televisi itu rusak.
“Ya ampun, Max itu aktor terkenal. Aku sudah memberitahumu,” seru Ola yang duduk di samping kananku.
Segala informasi aktual biasanya aku dapat dari Ola, sahabatku yang kukenal sejak MOS. Ia seperti Google berjalan. Kadang aku bersyukur berkawan dengannya.
“Bukannya kamu memberitahuku soal Maxim?”
“Ya, itu.”
“Tapi, kita lagi bahas Max.”
“Max itu panggilan Maxim.”
“Sejak kapan?”
“Sejak cowok itu lahir. Mungkin. Mana aku tahu!”
Aldino berdeham mengakhiri perdebatanku dengan Ola. “Ola, kamu kan bukan bagian eskul. Kenapa kamu di sini?”
“Aku menemani Ryska di sini,” sahut Ola sambil menepuk-nepuk bahuku sok keren.
“Sudah-sudah. Kalian jadi bertengkar sendiri,” kata Pak Fery menengahi. “Bapak pikir Ryska bisa mewawancarai Max. Yang lainnya juga bisa membantu Ryska. Bapak sudah mengatakan hal ini ke Max. Tapi, dia agak kurang setuju. Hei. Tampang kalian jangan langsung muram begitu, perasaan orang bisa berubah. Bapak yakin Ryska bisa.”
“Belum apa-apa. Max udah nolak. Sangat arogan,” cetus Ken.
Aldino mengangkat tangan. “Pak, kenapa harus Maxim? Bagaimana kalau pelajar berprestasi di sekolah kita aja? Kaya Adit yang kemarin berhasil lolos Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten.”
“Adit sempat masuk rubik Question & Answer edisi bulan lalu. Masa sekarang masuk rubik Guest Star? Apa tidak membosankan? Dibanding kalian fokus mencari dan memikirkan tokoh lain di rubik Guest Star, lebih baik Max,” sahut Pak Fery.
Ruangan eskul Majalah yang luasnya 6 x 7 meter itu hanya diisi gumaman. Ada beberapa yang setuju, tidak setuju dan sisanya tidak merespons. Aku sendiri menurut saja dengan kata Pak Fery. Bukan hanya karena ia guru. Tapi beliau juga tetangga sekaligus teman Ayahku. Apa jadinya kalau aku menolak pendapat Pak Fery dan Ayah mengetahui hal tersebut? Bisa-bisa uang sakuku dipangkas Ayah secara sadis tanpa ampun.
“Sekarang, kalian bisa mendiskusikan soal ini. Omong-omong, Ryska enggak keberatan, kan? Ah, saya yakin Ryska mau. Anak-anak, Bapak tinggal ke kantor, ya?”
Tanpa menunggu jawabanku, Pak Fery beranjak berdiri dan keluar ruangan. Aku hanya bengong. Otakku blank. Sikutan dari Ola menyadarkanku. Diiringi dengan celotehan ribut anak-anak redaksi majalah yang tumpang tindih membahas Max.
Max adalah Maxim
Max dan Maxim ternyata orang yang sama, lalu apa? Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Seumur hidup, aku belum pernah mengobrol dengan aktor terkenal. Sejujurnya, aku sudah tahu tentang Maxim ada di sekolah ini dari Ola. Aku hanya baru tahu nama panggilannya adalah Max.
Namun, aku belum pernah bertemu dengannya. Selain beda kelas—menurut pendapat Ola yang absolut dan tak terbantahkan—Max juga sering bolos dan sangat sulit bertemu dengannya di sekolah. Terus bagaimana caraku mewawancarainya coba?
“Ry, gimana cara kamu mewawancarai Max?” tanya Caca. Wajahnya tampak prihatin. “Cowok itu terkenal dingin dan cuek ampun-ampunan. Tapi, dia ganteng, loh.”
“Wah, enggak usah disebut itu mah. Max itu emang idola cewek-cewek zamans sekarang,” timpal Ola antusias sambil memainkan ujung rambutnya.
“Alah, cowok arogan dan sok gitu aja dibelain,” sahut Ken sambil menyadarkan tubuh ke kursi. “Udahlah. Cari orang lain aja. Emang majalah kita ini majalah gosip apa?”
“Nah, Ken ini sekelas sama Max. Dia pasti tahu sisi positif Max. Ya kan, Ken?”
“Sisi positif? Haha. Yang ada sisi negatif semua,” sahut Ken pedas. “Dia nolak cinta temanku secara kejam. Huh. Cowok kaya gitu disukain. Heran.”
“Aku rasa tidak ada salahnya memasukkan Max sebagai Guest Star di majalah. Karirnya cemerlang dan dia tetap memilih di sekolah umum. Menarik, kan?” Aldino tersenyum menenangkan.
Anggota redaksi majalah langsung mengangguk sepakat. Aku juga baru terpikir hal tersebut. Aldino memang cowok cerdas. Harusnya ia yang masuk rubik Guest Star, walau profilnya sudah pernah masuk semester satu lalu.
“Tanteku MUA artis, coba nanti aku tanya dia. Mungkin bisa membantu kita terutama Ryska mengenai Max dan lokasi syutingnya sekarang,” sambung Aldino lagi.
Aku tersenyum. “Terima kasih, ya.”
Konyolnya hanya dengan mengatakan tiga kata saja sudah membuat aku lemas. Aldino memang bisa membuat semua cewek di dunia meleleh. Oh, mungkin seluruh dunia terlalu hiperbolis. Karena Ken tidak suka sama Aldino. Mungkin sebenarnya, Ken tidak suka cowok mana pun.
Ide Ola Setelah Pulang Sekolah
Ola lebih cocok mewawancarai Max dibanding aku. Ia sangat up to date dengan berita artis dari nasional sampai internasional. Ia juga langsung tahu hal-hal yang terjadi di sekolah. Seperti Gerna yang tomboy, ternyata punya pacar. Bakso Mak di kantin yang harganya naik seribu. Atau hal yang tidak penting sekali pun. Kayak kucing orange di taman sekolah yang sudah melahirkan empat anaknya sekaligus.
Aku duduk membonceng motor Ola. Ia membawa motornya santai karena kami sedang mencari somay yang lewat di pinggir jalan. Dan kehebatan Ola selain sebagai informan, ia bisa mengoceh panjang lebar dan tetap fokus mengendarai motor.
“Mewawancari Max akan menjadi tantangan buatmu,” kata Ola.
“Ya, betul banget. Aku juga belum tahu mau mewawancari topik apa ke dia,” sahutku sambil memerhatikan setiap abang-abang gerobak di tepi jalan, memerhatikan apa salah satunya penjual somay atau bukan.
Ola terkekeh. “Banyak banget topiknya kali. Kamu bisa tanya resep jadi terkenal dan rasanya jadi aktor. Oh, atau kamu bisa tanya soal pacarnya. Dia masih sama Shella atau enggak? Soalnya pasangan Max di sinetron Senja yang Kuingat itu Ana dan mereka keliatan cocok banget.”
“Bagus dong kalau keliatan cocok? Berarti akting mereka berhasil,” responsku bingung.
“Nah, netizen lebih dukung Max pacaran sama Ana dan putus dari Shella. Lagian juga Ana kaya bule, cocoklah sama Max.”
“Ribet banget, sih?”
“Siapa yang bilang hidup aktor itu gampang? Eh, itu ada kang somay di dekat lampu merah.”
Catatan #01
D,
Jurnal hadiah darimu akhirnya aku pakai setelah sekian tahun kuabaikan. Apa kabar kamu? Kamu memberikannya tak lama setelah aku menceritakan tentang rahasia ‘itu’. Kamu bilang, jurnal bisa sebagai sarana penyembuhan.
Apa kamu berpikir aku sakit? Aku pernah bertanya begitu padamu. Tapi kamu tak menjawab pertanyaanku, justru memeluk.
Aku berharap kamu di sini. Menemaniku. Seperti yang biasanya kita lakukan saat malam. Berbincang. Atau mungkin kamu yang banyak bicara, aku mendengarkan.
Aku masih kesulitan tidur. Tentu saja di pagi hari, aku bisa tersenyum pada seluruh dunia. Sayangnya kala tidur malam, kecemasan melumatku tanpa ampun. Seperti yang kualami sekarang. Aku bisa saja minum obat tidur agar lekas terlelap. Tapi, hari ini aku sedang tidak ingin. Aku ingin mencoba tidur tanpa obat.
Akhirnya aku mencari kesibukan dengan membongkar lemari. Lalu, menemukan jurnal berwarna navy dengan tali pembatas biru ini. Aku tidak tahu alasan tanganku menuliskan sesuatu di sini dan mengisi lembar pertama. Barangkali karena aku ingin kamu tahu hal terkini tentangku. Aku sesekali melihat dia diam-diam di sekolah selama ini. Tentu saja orang itu tidak menyadari. Tak masalah.
D, dia masih sama cantiknya seperti dulu ketika kita mengamatinya. Hanya saja, orang tersebut tak lagi mendengarkan musik sendirian di halte. Dia sudah punya sahabat dan mereka sering mengobrol. Memiliki sahabat itu memang menyenangkan.
D, ucapanku tempo dulu benar. Dunia tidak akan terasa kacau jika saja memiliki sahabat. Aku masih berharap kamu di sini, D. Sungguh.
A
Dua
Kebaikan Aldino
Aku membaca artikel tentang Max di ponsel Ola. Jangan tanya aku punya gawai atau tidak. Karena jelas sekali jawabannya tidak! Menurut Mama, aku tidak terlalu membutuhkan ponsel. Karena, jika ingin mengetahui ada PR atau tugas apa pun di sekolah bisa bertanya pada Ola. Opini yang ngawur banget, kan?
Rumah Ola di seberang rumahku persis. Kami suka saling mampir ke rumah masing-masing. Saking seringnya sampai kami hafal isi kamar satu sama lain.
Kalau Ola juga ketinggalan informasi, aku tidak perlu khawatir, kata Mama. Ia bergabung di grup WA guru dan orangtua kelas XI MIPA 1. Di grup itu membahas kegiatan anak-anak di sekolah, informasi libur, jadwal pembayaran spp dan sebagainya. Kayak anak SD saja, celutukku waktu mengetahui hal tersebut. Sayangnya, Mama tidak peduli.
Mama juga tidak mengerti posisiku. Aku kan tidak ingin membahas PR atau tugas sekolah doang. Aku juga ingin sibuk nge-chat ngobrolin hal lain dengan teman-temanku. Karena, hampir satu kelas sudah memiliki gawai di tangan mereka.
Aku bisa saja menabung untuk membeli ponsel. Tapi, aku khawatir kalau Mama akan menyitanya. Jadi, kupikir sia-sia juga.
Sekarang pada Sabtu pagi ini, aku sudah nongkrong di kamar Ola. Ia tidak keberatan aku meminjam gawainya untuk browsing tentang Max. Sementara Ola memutuskan tetap selimutan di atas dipannya. Aku bersandar di tepi ranjang sambil mengulirkan layar ponsel Ola ke atas.
Aku baru membaca setengah artikel tentang Max ketika ada panggilan masuk. Tertulis: Aldino Pacar Ryska. Ola benar-benar sembarangan memberikan nama pada kontak orang. Eh, sebentar. Ini Aldino yang nelpon! Woah. Seketika aku bangkit berdiri, bergerak ke arah kasur dan mengguncangkan tubuh Ola.
“Ola, bangun woy! Aldino nelpon, nih,” seruku.
“Hm,” gumam Ola enggak jelas, masih dengan mata tertutup.
Aku pernah dua kali menjawab telepon dari Aldino lewat ponsel Ola waktu kelas satu SMA. Dan perasaan itu masih sama sampai sekarang. Perasaan deg-deg an, panik dan salah tingkah. Aku sudah mencoba stay cool jika berhadapan dengan Aldino baik langsung atau tidak langsung. Tetap saja dengkulku lemas dan mual sesudahnya.
“La, bangun dong,” kataku sambil menarik kelopak matanya supaya terbuka. Lalu, menyodorkan layar ponsel ke mukanya. “Aldino nelpon.”
Ola menepis tanganku dan memutar tubuh ke arah lain. Sekarang, ia memunggungiku. Aku berusaha menguncangkan bahunya lagi.
Dengan mata yang masih terpejam, Ola berkata, “yaudah angkat aja. Ganggu aja, ih.”
“Beneran enggak apa-apa?”
Ola tak menjawab. Malah asyik mendengkur. Aku berpaling darinya ke gawai. Menekuri benda itu sambil menimbang-nimbang. Satu layar penuh dengan tampilan panggilan dari Aldino. Foto profilnya pemandangan langit sore yang berwarna jingga kemerahan. Tidak berubah sejak kelas satu.
Aku bilang apa, ya? Lidahku terasa kelu. Dadaku berdebar tak karuan. Ola masih tidur dan sama sekali tidak membantu. Dengan tangan bergetar, aku menekan tombol hijau di layar tersebut dan mendekatkan ponsel ke telinga.
“Hai, Ryska. Lama banget. Apa kamu keliling dunia dulu baru menjawab telepon?”
“Eh?” Dari mana cowok ini tahu kalau aku yang menjawab?
“Aku tahu kamu yang jawab telepon dariku. Karena kalau aku melakukan panggilan sampai lama dan ujungnya enggak dijawab itu pasti Ola. Sementara kalau kamu, lama sekali baru merespons panggilanku. Hihi. Aku sudah belajar dari pengalaman sebelumnya. Enggak apa-apa. Aku emang ada perlu ngobrol denganmu, Ry.”
Astaga, sejak kapan Aldino bisa membaca pikiran orang? Aku tak habis pikir. Tunggu. Apa maksud perkatan Aldino belajar dari pengalaman sebelumnya? Ia masih ingat dulu aku pernah menjawab teleponnya, kah? Sebelum aku sempat merespons, Aldino sudah angkat suara lagi.
“Tanteku bilang, Max sekarang sedang di Kota Tua. Ia di sana sedang pengambilan foto untuk iklan minuman bersoda. Kamu mungkin bisa ke sana kalau mau. Apa perlu kuantar?”
Diantar? Aku menenguk ludah. Maksudnya berdua di motor dengan jarak kurang dari tiga puluh sentimeter di belakang Aldino? Wah! Pikiranku benar-benar kacau.
“Kamu kenapa langsung batuk-batuk, Ryska? Kamu lagi sakit? Kalau sakit, kamu enggak perlu ke sana. Bisa lain waktu,” seru Aldino lembut di seberang sana.
“Oh, bukan,” kataku. Sial. Aku menekan dadaku dengan telapak tangan kanan. Degupnya liar. “Kamu enggak perlu antar. Aku akan ke sana sekarang. Terima kasih, Aldino.”
“Sama-sama. Kabari aku jika perlu bantuan.”
Kata Ola Setelah Bangun Tidur
Aku langsung menjauhi ponsel dari telinga tanpa kata, dan beruntung Aldino langsung mengakhiri panggilan. Dadaku seperti mau meledak. Berbicara dengan Aldino, benar-benar enggak baik buat kesehatan jantungku.
“Kenapa mukamu merah betul? Hey, jangan meremas HPku dong! Kayak kamu mau mematahkannya saja,” kata Ola sambil mengucek-ucek mata.
“Aldino nelpon,” laporku.
“Lalu?”
“Dia bilang, Max ada di Kota Tua.”
“So? Apa hubungannya Max di Kota Tua dan mukamu merah begitu?”
“Kabari aku jika perlu bantuan, kata Aldino,” sahutku sambil tersipu-sipu.
“Kamu senang karena Aldino bilang begitu? Ya ampun, kamu lebay banget,” ejek Ola sambil merebut ponsel dari tanganku.
Aku cengegesan.
Ke Kota Tua
Ola meminta maaf karena tidak bisa menemani aku ke Kota Tua. Hari ini, ia sudah berjanji ke Ibunya untuk menjemput sepupunya di bandara. Aku mengerti dan tidak mendesak. Lagi pula, pergi ke Kota Tua sendiri itu bukan ide buruk.
Nyatanya, ke tempat wisata sendiri adalah ide paling buruk sedunia. Aku naik bus TransJakarta, transit di beberapa halte dan sesekali melihat keluar jendela. Gabut banget. Sementara orang-orang asyik menunduk menatap layar ponselnya. Harusnya aku pinjam ponsel Ola. Eh, tapi itu enggak mungkin. Ola pasti membutuhkannya saat menjemput sepupunya nanti.
Lalu, saat aku turun dari bus TransJakarta dan berjalan sedikit ke arah pintu masuk Kota Tua, aku kembali bengong. Bingung harus menuju arah mana. Kota Tua itu luas banget. Dan di mana tepatnya Max itu? Apa aku perlu cari cowok itu dengan mengelilingi tempat ini? Wah, PR banget.
Jika ada Ola mungkin aku tidak perlu pusing. Ada teman mengobrol. Tidak sendiri di keramaian. Bisa makan es potong sama-sama. Atau patungan beli bakso kalau kurang. Di tempat wisata biasanya harga minuman dan makanan mahal. Itu fakta tak bantahkan.
Tanpa Ola, aku kini memelotot mengamati orang lalu lalang. Mencoba sejeli mungkin. Siapa tahu aku menemukan Max.
Aku sudah melihat beberapa kali wajah Maxim dari Ola dan juga dari artikel yang kubaca tadi. Cowok itu berkulit putih bersih tanpa cela. Wajah perseginya terlihat jelas karena potongan rambutnya rapi dengan gel rambut. Dalam beragam pose apa pun di foto, Max pasti tersenyum. Ia pasti sebahagia itu jadi aktor dan hidup berkecukupan.
Bergegas aku berjalan menuju Museum Fatahillah yang catnya berwarna putih gading mencari Max. Di sekitar museum, ada patung Bung Tomo. Beberapa orang berfoto di area tersebut. Ada juga patung meriam. Anak berumur delapan tahunan kembar memanjat dan duduk di atas patung itu. Untung saja ada orangtuanya yang langsung mengurus sebelum petugas keamanan turun tangan.
Di terik matahari, beberapa pedagang minuman sachet dengan sepeda terus berkeliling mencari konsumen. Orang-orang sibuk sendiri. Sesekali aku melihat pengamen menjual suara. Bukan hanya satu, tapi banyak pengamen hilir mudik.
Karena lelah, aku akhirnya memutuskan mencari tempat berteduh dekat Kafe Batavia yang pohon sekitarnya rimbun. Lalu, suara histeris perempuan menarik perhatianku. Aku menoleh ke arah suara dan baru sadar satu hal saat berjalan mendekat. Itu Max dengan kacamata hitam. Mereka memanggil-manggil dan terkesan memuja cowok itu.
Aku menepuk kening. Sangat mudah bertemu Max jika jeli. Cari saja kerumunan orang banyak yang suara perempuannya histeris. Ya ampun. Sekarang, Max sedang berjalan sambil dikawal oleh bodyguardnya. Beberapa cewek mencoba mendekatinya. Cowok itu sesekali melambaikan tangan kepada penggemarnya.
Max terlihat ramah. Aku pun membaur. Mencoba mendekati cowok itu sebisa mungkin.
“Max! Maxim!” panggilku sekeras mungkin.
Cowok itu menoleh. Gayangnya sok banget sambil menaikkan kacamata hitam ke atas. Aku nyengir.
“Max, aku teman sekolahmu. Kamu mau kan wawancara untuk majalah sekolah Kaleidoskop?” tanyaku setengah berteriak supaya ia mendengar.
Cewek-cewek dari lintas usia terus meneriakkan namanya. Sesekali meminta tanda tangan atau sekadar swafoto. Aku tidak melakukan hal-hal tersebut, hanya fokus bertanya pada Max. Ia melihatku dengan alis terangkat dan mata lebar. Hanya beberapa detik hingga wajahnya kembali datar. Meski begitu, ekspresi keterkejutan Max layak diingat. Aku berpikir ia akan mengiakan. Tapi, respons Max sangat kontradiksi dengan anganku.
“Enggak,” jawabnya telak.
Nasihat Mama
Jika ada mobil melintas tiba-tiba ketika kita berjalan kaki, maka reaksi alami tubuh hanya dua. Sigap menghindar atau bergeming sejenak. Opsi kedua yang aku rasakan ketika Max menabrakku dengan jawaban singkatnya. Aku bergeming lima detik. Sebelum tubuhku terdorong oleh kerumunan cewek-cewek yang histeris mendekati Max.
Aku terlempar dan tersisihkan dari kerumunan. Mereka berbondong-bondong masih mengikuti Max. Sementara aku tertinggal di belakang. Sendirian.
Aku sudah melakukan perjalanan dari Jakarta Timur ke Jakarta Barat. Bengong karena gabut. Berdesakan. Transit perjalanan. Dan Max menolak begitu saja. Tanpa basa basi. Seperti, maaf saya enggak bisa hari ini. Atau kita bisa mendiskusikannya nanti. Atau kalimat apa pun, selain jawaban singkat; enggak.
Maka di perjalanan pulang, aku menggerutu. Tapi di rumah, aku langsung menumpahkan semuanya. Mama memang orang paling hemat sedunia. Namun soal memberi nasihat, ia selalu membantuku melihat dari sudut pandang lain yang lebih bijak.
“Wajar kalau dia menolak. Kalian aja tidak saling kenal,” ujar Mama langsung.
“Tapi kita satu sekolah.”
“Satu kelas?”
“Enggak, sih.”
“Kalau gitu kamu harus kenalan dulu. Perkenalan awal pembuka semua jalan. Kamu baru mencoba sekali, tapi sudah mengeluh. Supaya berhasil, kamu harus mencoba berkali-kali.”
Aku terdiam sambil memikirkan kalimat Mama. Betul juga. Max dan aku tidak saling mengenal makanya ia ketus begitu. Amarahku mereda seketika.
“Siapa tadi namanya? Maxim? Teman SD kamu dulu ada yang namanya Maxim juga. Apa orang yang sama?”
“Dulu aku enggak punya teman sekelas yang namanya begitu,” kataku.
“Beda kelas sama kamu. Tapi dia selalu berdiri di halte yang sama kayak kamu menunggu. Dulu Mama sesekali lihat dia dijemput orangtuanya pakai mobil Honda MPV. Bentuk mobilnya mencolok jadi Mama ingat. Ah, mungkin beda orang.”
“Mungkin,” sahutku.
“Kamu tenang saja. Dia nanti juga mau diwawancarai kamu, kok.”
Aku mengangguk-angguk. Sikap optimisku tumbuh kembali. Dalam hati, aku berharap ia masuk sekolah minggu depan jadi bisa bertemu dengannya lagi.
Catatan #02
D,
Kamu pasti tidak akan menyangka. Dia menyapaku. Jangan membayangkan obrolan kami lancar. Kamu bilang, aku sama kakunya dengan kanebo kering. Tapi, sikapku kali ini beralasan. Dia mengajakku mengobrol untuk kepentingannya sendiri. Apa bedanya dia dengan semua orang kalau begitu?
Biar aku tebak. Pasti kamu akan menjabarkan segala keunikannya. Oke. Cukup. Aku mengerti. Jangan lakukan. Bisa-bisa aku semakin jatuh cinta padanya.
Kamu tahu, mengagumi seseorang dari jauh lebih mudah dilakukan. Itu ucapanku tempo dulu. Dan pemikiran tersebut mulai berkarat. Karena terkadang ada hasrat untuk menyampaikan kasih sayang secara terang-terangan, sebelum orang lain melakukannya.
A
Tiga
Kurang dari Tiga Puluh Sentimeter
Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan umatnya. Max datang ke sekolah minggu depannya. Aku tentu saja tidak menganggap mewawancari Max adalah cobaan. Tapi kurasa tugas ini akan lebih gampang kalau Max seperti Aldino yang ramah pada siapa pun.
Kehadiran Max disambut Ola dengan antusias. Ia sampai meninggalkan aku dan motornya di parkiran begitu Caca memberitahu Max masuk sekolah hari ini. Ola tidak perlu menyuruhku secara langsung untuk memakirkan motornya. Tapi sudah jelas begitu. Karena kunci motor Ola masih tersangkut di kontaknya.
“Pagi, Ryska!”
Aku menoleh ke arah suara dan tergugu. Panjang umur. Itu Aldino dengan senyum menawan.
Seragam Aldino tampak rapi, licin dan bersih. Seragamku juga sama rapinya tapi tak selicin itu. Aku menyetrika jika seragamku terlihat lecek. Tapi itu jarang terjadi karena saat menjemur, aku mengibas seragamku ke udara dulu. Baru mengantungkannya ke hanger. Sehingga tidak ada lekukan saat kering. Hanya kerut samar.
Sayangnya Ola tak sepaham denganku. “Itu alasanmu saja. Emang dasar pemalas,” ejeknya. Tapi terkadang, aku melihatnya menjemur seragam seperti caraku. Sangat kontradiksi antara ucapan dan perbuatannya.
“Eh… pa… pagi juga,” kataku tergagap. Kaget sekaligus senang.
“Kamu kok sendirian? Ola mana?”
“Oh. Itu… dia udah duluan. Ada Max datang hari ini,” jawabku sambil mengunci stang motor Ola, mencabut kuncinya dan menyimpan di saku seragam.
“Bagus kalau ada Max hari ini. Kita bisa wawancara dia,” seru Aldino antusias.
“Iya, kurasa itu ide bagus.”
“Mungkin hari ini, dia enggak nolak lagi.”
Aku sudah menceritakan ke Aldino—lebih tepatnya aku menjawab pertanyaan cowok itu ditelepon saat bertanya hasil usaha ke Kota Tua—dan kujelaskan dengan jujur bahwa Max menolak. Tapi, aku akan mencobanya lagi. Aldino mendukung.
“Iya. Aku harap juga begitu,” jawabku sambil beranjak keluar parkiran.
Aku dan Aldino beriringan berjalan menuju lorong kelas. Betul, kami beriringan. Jarak kami kurang dari tiga puluh sentimeter. Aku bisa menghidu aroma paper mint yang segar dari tubuhnya. Meski aku mencoba stay cool, jantungku tetap berdebar tak karuan. Padahal Aldino terlihat santai. Ia tampak biasa saja. Tangannya melambai pada beberapa orang yang menyapa cowok tersebut.
Aldino mungkin bukan ketua OSIS, hanya ketua eskul majalah di sekolah. Tapi, semua orang mengenalnya. Everybody loves Aldino. Keramahannya, keuletan dan kecerdasan Aldino bagai perpaduan yang harmonis.
Ia juga memiliki suara yang bagus. Aku pertama kali mengetahui eksistensinya saat Aldino bernyanyi di acara penutupan MOS. Sejak itu aku jadi sering mengamatinya. Semesta seperti mendukungku, aku dan Aldino sekelas.
“Di kelas dan di luar kelas kamu mengamati Aldino, apa tidak bosan?” celutuk Ola sambil tertawa kecil.
Aku tersenyum. “Apa seseorang bisa jenuh melihat pujaan hatinya?”
Ola hanya tertawa. Ia memang selalu mengejekku untuk sekadar bercanda. Pernah Ola mendorongku untuk mengatakan perasaan ke Aldino. Tapi, aku malu dan takut. Takut jika Aldino menolak, maka hubungan kami akan merenggang. Mungkin itu risiko mencintai dalam diam. Memendam perasaan jadi jalur yang dipilih, dibanding kedekatan yang ada berubah berjarak.
Percobaan Kedua
Barangkali gerakanku terlalu lamban, sehingga Max nyaris lolos dari pandanganku lagi. Untung saja Ola dan Ken banyak membantu. Padahal aku tidak berpikir sampai situ.
“Max lagi izin pulang cepat,” kata Ola memberitahuku.
“Hah? Kamu ngomong apa?” tanyaku linglung.
Aku sedang mengaplikasikan angka ke rumus dan menuliskannya di halaman belakang buku tulis. Pelajaran matematika memang bukan keahlianku. Tapi aku juga tidak begitu cerdas fisika. Kurasa sulit menemukan keahlian yang tepat saat di bangku SMA, kecuali Max. Ia sukses dan tampak bahagia sebagai aktor. Mungkin jika aku adalah Max, senyumku akan selebar cowok tersebut.
“Ken memberitahuku lewat WA. Max sedang izin pulang duluan,” lapor Ola setengah berbisik.
Detik berikutnya, aku meletakkan pensil. Seluruh perhitungan matematika yang tadi kukerjakan langsung menguap. Berfokus pada ucapan Ola saja. Wajah sahabatku tidak terlihat bercanda. Ola menjelaskan kalau ia meminta tolong Ken memantau Max, karena Ryska mau mencoba menanyakan kesediaan Max untuk diwawancara. Ken setuju. Itu memang untuk kepentingan eskul. Wow. Aku bahkan tidak berpikir sehebat itu.
“Kamu izin ke kamar mandi saja,” kata Ola sambil mendorong bahuku pelan.
Tentu saja aku menggunakan ide Ola untuk izin keluar kelas ke guru mata pelajaran. Guru itu mengizinkan tanpa curiga. Aku langsung melesat ke arah kelas Max. Cowok itu baru saja keluar kelas sambil mencangklongkan tas ke bahu kanan. Wajahnya jutek. Tanpa ekspresi. Ya, memang buat apa juga tersenyum di lorong sekolah yang sepi? Ini jam pelajaran, tidak ada yang berkeliaran sepertiku.
“Max,” seruku menghampirinya.
Kali ini tidak ada keterkejutan di wajahnya. Bahkan Max seolah tidak menganggap aku ada. Seperti aku kuman di udara, kasat mata. Ia berjalan melewatiku begitu saja tanpa melirik sedikit pun. Wah, sangat ramah sekali!
Aku bergerak mengejarnya dan memegang pundak cowok itu langsung. “Max, aku bicara denganmu.”
Untunglah langkah panjangnya itu terhenti. Tubuhku satu kepala lebih pendek dari Max. Tapi aku tetap penuh percaya diri melihat dirinya langsung. Ekspresi Max terlihat kesal. Aku melepaskan tanganku dari pundaknya dan berdeham.
“Max, aku ingin mewawancaraimu untuk edisi Majalah Kaleidoskop bulan depan. Waktunya hanya beberapa minggu lagi. Pak Fery ingin profilmu masuk di rubik Guest Star,” kataku lantang penuh tekad.
Max menatapku seolah melihat anak ayam sedang berbicara. Karena aku tidak menyukai caranya melihatku maka aku tidak menurunkan pandangaku dari wajahnya. Kami bertatapan beberapa detik dan diselimuti keheningan yang terasa lama. Atau mungkin perasaanku saja.
“Bukannya aku sudah bilang enggak?” tanya Max memecah keheningan. Ia menekankan kata enggak seakan untuk mempertegas pertanyaannya.
Aku tersenyum. “Jangan membuat keputusan implusif begitu. Hanya lima menit saja untuk wawancara. Tidak ada pertanyaan yang menyudutkan. Hanya tentang sekolah dan karirmu. Profil kamu akan terpajang di Majalah Kaleidoskop dengan sangat indah. Ken cerdas soal layout. Aku selalu suka hasil pekerjaannya. Kamu pasti juga akan suka.”
Kadang aku harus memuji kepiawaian lidahku dalam improvisasi. Mungkin itu bentuk keahlian. Berbicara. Tapi, lidahku juga cerdas mengada-ada. Aku bahkan belum membuat daftar pertanyaan. Bagaimana aku bisa tahu pertanyaanku nanti menyudutkan atau tidak? Aku juga tidak tahu harus bertanya apa pada Max.
“Keuntungan apa yang kudapat?”
“Maksudnya?”
“Majalah di luar sekolah membayarku mahal untuk keperluan mereka. Aku penasaran, apa Majalah Kalaidoskop juga membayarku usai wawancara nanti?”
Hah? Aku tidak pernah memikirkan pertanyaan tersebut. Jujur saja, temanku di sekolah selalu ikhlas jika profilnya dimuat di majalah. Karena biasanya mereka akan terkenal untuk jangka waktu tak tertentu. Anak lain akan mencari tahu orang aslinya usai membaca rubik Guest Star di majalah.
Namun, aku rasa itu tidak berlaku untuk Max. Semua orang sudah mengenalnya, dengan atau tanpa profilnya masuk majalah. Aku terlalu fokus ingin mewawancari Max tanpa memikirkan keuntungan yang didapatkan Max. Kupikir aku sudah egois memikirkan diri sendiri, tanpa memerhatikan Max.
Max tersenyum ke arahku. “Tidak ada bukan?”
Usai mengatakan hal tersebut, Max berbalik badan dan beranjak pergi. Kemudian, suatu pemikiran menggelitik otakku. Barangkali dari semua cerita Ola dan hasil artikel yang kubaca, aku akhirnya bersuara. Cukup keras untuk membuat Max berhenti berjalan.
“Apa tidak sulit hidup seperti itu? Selalu tersenyum saat sebenarnya kita tidak ingin. Mengapa kamu selalu memberikan senyum ke semua orang jika sesungguhnya hatimu enggan melakukannya?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
Jarak kami satu meter setengah. Tapi jarak yang cukup untuk kami saling melihat dan menilai. Aku menunggu jawabannya. Max bergeming sambil menatapku.
“Di TV atau disaat wawancara majalah besar mungkin kamu harus selalu tersenyum. Tapi wawancara denganku kamu bisa melepas topeng senyum itu,” tambahku dengan lembut.
Kemudian, segalanya terjadi begitu cepat. Ada seorang cewek yang berjalan menuju Max dan meremas pundaknya. Mereka seolah akrab meski gestur Max sedikit kaku.
“Ax, mobilnya sudah menunggumu dari tadi. Kita bisa terlambat,” kata cewek itu. Entah siapa namanya.
Max menoleh ke arah cewek tersebut dan menangguk. Mereka sama-sama melihatku sekilas sebelum beranjak pergi. Aku menatap punggung keduanya yang bergerak menjauh. Lalu, terjadi hal yang tidak pernah kuprediksi. Max menoleh ke arahku lima detik. Aku yakin tidak salah melihat. Sorot mata Max sendu.
Catatan #03
D,
Menurutku, segalanya membutuhkan buku manual agar memiliki panduan apa yang harus dilakukan. Merakit lemari. Televisi. Ranjang. Meja. Mungkin juga cewek.
Aku bertemu lagi dengannya. Apa yang harus kulakukan coba, D? Aku rasa perlu buku manual khusus menghadapi cewek. Maksudku… kamu tahu kan? aku hanya tidak ingin merusak situasi saat dengannya.
A
Empat
Bakso
“Ryska, apa kamar mandi sudah berubah tempat di tengah lorong sekolah?”
Aku menoleh ke arah suara dan meringis. Sial. Guru matematika itu seperti melihat mangsa terjebak di sudut ruangan. Aku sudah pasrah menerima hukuman saat digiring ke kelas. Lebih sial lagi. Guru tersebut mengumumkan kenakalanku di depan kelas dan menurutnya sikapku tidak patut ditiru. Itu semua disaksikan Aldino. Aku sama sekali tidak berani melihat ke depan.
Hukuman membersihkan WC mungkin lebih bisa dikerjakan asal-asalan dibanding mengerjakan integral di papan tulis yang jawabannya pasti. Aku nyaris ingin pingsan saking tidak pahamnya. Untunglah Ola membantu lewat kode, bisikan dan gumaman. Hingga akhirnya jam istirahat semua bubar, menyisakan aku sendiri di depan papan.
Setelah waktu yang cukup lama sejak bel istirahat berdering, aku akhirnya selesai mengerjakannya. Guru matematika tersebut memperbolehkanku ke kantin. Saat perjalanan ke kantin aku melirik jam tanganku. Oh, bagus sekali. Lima menit lagi jam masuk kelas.
“Ry, sini!” panggil Caca di arah barat kantin.
Aku langsung bergegas menghampiri. Caca, Ken dan Ola sedang duduk bersama. Meja terisi piring kotor dan gelas separuh terisi. Ada satu mangkok berisi bakso utuh, mienya membengkak dan bawang gorengnya tenggelam ke kuahnya. Entah milik siapa. Baru saja aku ingin bertanya, Ola sudah angkat suara.
“Aku pesan seporsi untukmu. Sebelum baksonya habis duluan.”
“Terima kasih. Kamu sahabat yang baik.”
“Yeah. Sahabat yang baik juga membayar baksonya sendiri.”
Aku terkekeh. Ketika aku hendak menyahut, Aldino datang. Tangannya memegang mangkok bakso dan berdiri di dekat tempat dudukku. Sedang apa ia coba? Aku melongo. Caca, Ken dan Ola yang tadi berisik, langsung bergeming.
“Kamu masih kebagian bakso, Ry? Aku pikir kamu kehabisan karena lama ke kantinnya. Tadi, aku sudah booking seporsi bakso untukmu,” jelas Aldino.
Aku membuka dan menutup mulut untuk menjawab, tapi tidak ada kalimat yang meluncur. Terlalu terkejut untuk merespons. Terlalu bahagia untuk berkomentar.
“Makasih ya, Aldino. Kebetulan Ryska satu porsi nggak cukup. Lagi laper dia,” seru Ola memecah kesunyian.
“Kebetulan, ya,” kata Aldino sambil meletakkan bakso di hadapanku tepat.
“Kamu beliin ini buatku?” tanyaku memastikan.
“Iya. Kamu enggak mau, ya?”
“Mau, kok. Aku dua mangkok bakso juga habis dimakan sendirian,” kataku terkekeh.
Ya ampun. Apa yang baru aku katakan tadi? Dua mangkok untuk dimakan sendiri? Aku benar-benar mempermalukan diri sendiri depan Aldino. Apa yang cowok itu pikirkan sekarang? Ryska ternyata cewek rakus yang doyan makan. Astaga. Seandainya lantai keramik bisa dicukil, aku akan bersembunyi di sana.
“Bagus. Makan banyak memang perlu untuk pertumbuhan remaja. Begitu kata artikel yang kubaca di majalah,” sahut Aldino riang.
Aku menghela napas. Lega. Baguslah Aldino tidak berpikir macam-macam. Aku mengangguk sebagai tanda menyetujui ucapan Aldino. Ketika cowok itu hendak berpamitan, aku mengucapkan terima kasih atas baksonya.
Curhat
Setelah Aldino pergi, Ola langsung meledekku. Sahut-sahutan cie menjalar dari Ola ke Caca dan berakhir ke Ken. Aku menendang kaki mereka satu-satu di kolong meja. Tapi, usaha itu tampaknya tidak membuat mereka berhenti mengolok-olokku.
“Kamu masih kebagian bakso, Ry? Aku pikir kamu kehabisan karena lama ke kantinnya. Tadi, aku sudah booking seporsi bakso untukmu,” ejek Ola mengulangi kalimat Aldino sambil memonyongkan bibirnya. Suaranya jadi sumbang.
Caca langsung sigap menyambar. “Booking? Dikira bangku di pesawat kali, ah.”
“Itu cuma dipesan baksonya. Tapi suruh bayar sendiri,” tambah Ken sambil nyengir.
“Yah, tahu gitu aku tolak,” sahutku sok dramatisir.
“Tenang aja, aku buka jasa meminjam dana. Tapi bunganya dua kali lipat,” kata Caca konyol.
“Dasar rentenir,” kataku sambil melahap juga bakso yang dibeli Ola dan Aldino. Kepalang tanggung deh. Nanti aku bayar dua-duanya. “Omong-omongan, tadi aku udah ketemu Max. Suram, deh. Dia nolak diwawancara mulu.”
“Kalau gampang, semua cewek di sekolah ini pasti udah sering nanya-nanya ke dia,” kata Ola jengkel.
“Sok ngartis banget, kan? Udahlah, enggak usah wawancara tuh cowok,” timpal Ken sambil mengibaskan tangan.
“Eh, aku dengar-dengar dari infotaiment. Hidupnya dia cuma drama. Settingan. Keluarga sesungguhnya tidak seperti yang ditampilkan di TV. Max cuma menurut karena tidak ingin ribut dengan orangtuanya,” sambar Caca.
“Ah, paling berita itu sengaja dibuat untuk menaikkan popularitas Max. Infotaiment kadang berlebihan dan lebay. Sering juga memutar balikkan fakta demi rating acara mereka,” keluh Ken.
“Tapi, ada berita yang memaparkan fakta,” debat Caca.
“Yeah. Banyak hoaxnya juga.”
“Udahlah. Sekarang yang penting cara untuk wawancara Max. Majalah harus terbit bulan depan. Sudah mau seminggu belum ada progress apa pun,” sergahku melerai pertikaian mereka.
Ken langsung menjentikkan jarinya, wajahnya seketika cerah. “Aku nggak sengaja dengar tadi percakapan Max dan guru pengajar di jam kedua. Dia izin mau ada syuting di SMA Tarumanegara. Berarti sekarang dia di sana. Itu enggak jauh dari rumahku, loh.”
“Kita ke sana habis pulang sekolah, yuk!” ajakku antusias.
Gara-Gara Ola
Setelah jam pelajaran yang menurutku mengelisahkan, akhirnya selesai juga. Aku nyaris melompat saat bel berdering. Dengan sigap, aku merapikan dan memasukkan buku serta alat tulis ke dalam tas. Ola seolah tampak lupa alasan aku buru-buru ingin pulang.
“Kita jadi ke sana?” tanya Ola polos.
“Kalian mau ke mana?” tanya Aldino yang mejanya di depanku dan Ola jika di mata pelajaran Pancasila.
Aku menoleh ke arah Aldino. “Oh. Kita mau ke SMA Tarumanegara, ada Max di sana. Semoga aja dia belum pulang.”
“Aku anterin ajak, yuk. Searah jalan aku pulang, kok.”
Aku terperangah dan menatapnya tak percaya. Wajah Aldino datar. Ia tampak serius dengan ucapannya. Ketika aku menggeleng untuk menolak. Ola menginterupsi tanpa bisa dicegah.
“Kebetulan banget. Aku juga ada keperluan lain jadi nggak bisa langsung pulang. Syukurlah Ryska ada barengan buat pulangnya nanti,” kata Ola.
Aku memelotot ke arah Ola untuk memberi kode supaya ia bungkam. Sayangnya cewek itu cuma nyengir tak berdosa. Di sampingku, Aldino menunggu. Tampaknya tidak ada pilihan untuk menolak. Dengan berat hati, aku merogoh kantong dan mengembalikan kunci motor Ola ke pemiliknya dengan menekuk wajah sebal.
SMA Tarumanegara
Setelah menit-menit yang menyiksa di motor, akhirnya aku sampai di pintu gerbang SMA Tarumanegara. Pahaku terasa sakit karena terlalu lama menahan diri di jok motor supaya tidak menubruk Aldino di depan. Meski kami terpisahkan tas ranselku, aku tetap saja gugup.
Aldino mencangklongkan tasnya ke bagian depan dadanya dan itu membuat segalanya kacau. Aku tahu tujuannya baik supaya aku tidak kesempitan membonceng padanya. Tapi parfum cowok itu dan kenyataan jarak kami tak lebih dari tiga puluh sentimeter membuat aku panik.
Aku baru bisa berpikir jernih saat melompat turun dari motor. Aldino tampak terkejut dan motornya sedikit oleng.
“Aku ke dalam sendiri saja,” kataku langsung.
Bukannya aku tidak mau berlama-lama dengan Aldino. Tentu saja aku senang berada di dekatnya. Hanya saja aku merasa malu dan terlalu gugup jika terus dengan cowok itu.
“Baiklah. Panggil aku jika perlu bantuan,” respons Aldino.
Aku mengucapkan terima kasih dan berlalu pergi. Pagar utama sekolah dikunci. Aku lekas mencari pagar belakang sekolah. Biasanya sekolah punya dua pintu untuk jalur masuk-keluar. Di depan itu jalan masuk pada umumnya. Di belakang biasanya jalan keluar-masuk untuk petugas sekolah patroli atau penjaga kantin yang rumahnya di belakang sekolah.
Betul dugaanku. Pagar belakangnya tak terkunci. Aku menyelinap secepat kilat. Berusaha tidak membuat kegaduhan. Suara riuh percakapan baru terdengar saat di selasar sekolah. Aku lihat dua pria sedang bercakap. Si pria bertopi mondar mandir gelisah. Sedangkan pria satunya yang berkacamata berbicara, ekspresinya tampak merasa bersalah.
Aku mencari Max di antara orang lalu lalang. Nah, itu ia. Cowok itu sedang duduk bersandar sambil membaca naskah. Wajahnya arogan. Tangan cowok itu mengambil cangkir di meja sampingnya dan menyesap isi cangkir tersebut. Gesturnya kaku. Seolah ia robot atau semacamnya.
“Saya pikir Ana akan datang terlambat. Ia dari Kebon Jeruk selepas menghadiri launching pembukaan kosmetik baru temannya. Managernya sudah menghubungi dan meminta maaf,” kata pria berkacamata.
Si pria bertopi menepuk kening. “Kita sudah menunggu dari pagi dan baru dapat kabar sore. Sangat tidak profesional. Sesuai perjanjian kita menyewa tempat ini sampai azan Magrib. Lebih baik cari pengganti sementara.”
Ide cemerlang langsung terlintas di benakku. Aku keluar dari tempat persembunyian dan mengajukan diri. Dua pria itu tampak terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Sebelum mereka sempat bertanya dari mana aku bisa tahu-tahu muncul, aku berdusta sebagai anak petugas kebersihan di sekolah. Peduli amat. Mereka kan tidak setiap hari di sini. Tidak akan ada yang tahu aku berbohong
“Apa yang membuatmu layak menggantikan Ana?”
“Aku memiliki bakat terpendam untuk akting. Try me,” jawabku percaya diri.
“Tapi, hanya mengambil adegan saat kepala Ana terantuk bola basket. Dengan tampak belakang Ana saat berjalan. Apa oke?”
Aku mengangguk.
Dua orang itu langsung mengambil posisi. Si pria bertopi bergerak ke bagian kamera dan mengarahkannya ke lapangan. Sementara pria berkacamata menggiringku untuk mengambil atribut seragam SMA yang lebih bersih dan menyuruhku berganti pakaian. Max berdiri bersandar salah satu pilar bangunan dan mengamatiku tanpa kata.
Ketika aku usai berganti pakaian, seorang cowok yang tidak kukenali sudah berdiri di lapangan sambil mendribble bola basket. Ia memakai pakaian olahraga dengan celana selutut. Cowok itu seperti Daniel Wenas dengan hidung mancung dan bibir tipis. Kemudian perhatianku teralihkan ketika pria berkacamata tadi menjelaskan posisiku di adegan. Tidak sulit, bukan berarti mudah.
Aku diminta berjalan di lorong sekolah. Lalu cowok berseragam olahraga itu akan menimpukku dengan bola basketnya. Di skenario itu adegan tidak sengaja yang menjadi awal mula pertikaian tokoh utama cewek dan cowok. Klasik tapi masih relevan di masa kini.
Risikonya sudah kuprediksi, pusing dan sakit kepala. Tapi, itu tidak masalah. Ini tekadku untuk membuktikan ke Max bahwa aku serius untuk mewawancarinya. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi. Buktinya, aku mau susah payah begini.
“Oke. Siap? Action!”
Aku berjalan di selasar sekolah dan cowok berseragam olahraga tersebut melempar bola basket ke arah kepalaku. Apa ia semacam Michael Jordan? Lemparannya tepat dan kepalaku tersentak. Rasa pening melanda tapi meski kukendalikan supaya tak terlihat lemah.
“Oke. Kerja kalian bagus sekali. Kita coba lagi agar hasilnya lebih halus. Action!”
Kali kedua, kepalaku mulai pengar. Beruntung di pengulangan adegan ketiga si pria bertopi akhirnya puas. Mungkin pria tersebut produsernya. Nasib baik, ia membiarkan aku duduk di selasar sekolah dulu untuk istirahat. Sementara pria berkacamata menyuruhku untuk ambil minum sendiri. Aku mengiakan. Sedangkan replika si cowok Daniel Wenas tadi melambaikan tangan menyuruh bergabung. Aku mengabaikan.
Ketika aku mengedarkan pandangan, aku melihat Max berdiri. Jaraknya cukup dekat dari tempatku duduk. Ia lebih maju dari posisinya tadi. Aku berdiri menghampirinya.
“Aktingmu pasti lebih bagus dariku. Hal positif ini pasti bagus jika ditulis di majalah. Apa kamu tetap tidak ingin diwawancarai?”
Lima detik terlewati tanpa jawaban. Cowok tersebut tetap mematung di tempatnya. Hal itu memperjelas jawabannya: Aku tetap tidak mau. Sampai akhirnya aku memilih pergi.
Aku mengembalikan atribut seragam mereka dan memakai seragamku lagi. Lalu, aku berpamitan ke pria berkacamata. Diluar dugaan, ia memberikan uang dan menyuruhku minum parasetamol. Aku terkekeh dan bergegas pulang.
Kepalaku berdenyut pening, seperti dihantam mjolnir milik Thor. Aku memijat kepala dengan dua tangan. Rasanya lebih enak, tapi tidak mengurangi rasa sakitnya. Dengan lamban, aku berjalan keluar pagar. Terdengar langkah kaki menginjak aspal dari belakang, aku mengabaikannya. Fokus menghampiri Aldino yang duduk di jok motornya.
“Kamu kenapa?” tanyanya langsung.
Ketika aku hendak membuka mulut, Max muncul dari arah samping. Aku menjengit. Wajah Max masih sama datarnya dengan di dalam sekolah. Tapi matanya menatapku intens.
“Aku antar kamu pulang,” katanya.
“Aku bisa sendiri,” sahutku sengit. Nadanya lebih tinggi dari yang kumaksud. Max bergeming.
Jika aku hanya mampu merangka dan mencari jalan pulang sendiri, akan kulakukan. Dibanding harus diantar Max. Cowok itu begitu sombong. Ia bertindak dan berucap sesuai keinginannya. Tadi di dalam, ia tidak mengatakan apa pun saat aku berbicara dan berada di dekatnya. Kini, saat aku pergi, baru Max bereaksi. Harga diriku masih tersisa untuk menolaknya. Max berdiri menjulang di dekatku tampak tak senang.
“Aku antar kamu pulang sekarang—“
“Enggak. Dia pergi bersamaku ke sini, maka Ryska pulang bersamaku juga,” kata Aldino memotong ucapan Max tegas.
Aku melongo. Merasa diperebutkan dua cowok keren. Apa yang dipikirkan Ola jika melihat adegan ini? Tepatnya mungkin… apa yang dilakukan Ola saat seperti ini? Tanpa pikir panjang, aku melompat naik ke jok motor Aldino. Membuat keputusan tepat. Max mengerutkan kening. Ia tidak mengatakan apa pun.
“Aku pulang dengan Aldino,” kataku.
Catatan #04
D,
Aku harus menancapkan kakiku dipijakan sekadar untuk tidak menghampirinya, D. Kamu tahu betapa sulitnya, kan? Seperti gatal tapi tidak boleh digaruk. Lapar tapi tidak boleh makan. Aku harus menahan diri untuk tidak menolongnya kala kepala cewek itu berbenturan dengan bola basket. Aku tahu sakitnya karena pernah merasakan.
Yeah. Si Willy yang mukanya mirip Daniel Wenas—setidaknya menurutku—dia pernah melempar bola ke arahku untuk bermain-main. Dia berpikir aku bisa menangkapnya. Tapi bola itu bergerak begitu cepat, mengalahkan segala perhitungan fisika tentang laju bola dan tahu-tahu kepalaku terhantam bola tersebut. Willy minta maaf. Aku mengabaikan karena kesal.
Hati tidak bisa didustai. Nyatanya kakiku maju 2 langkah sehingga jaraknya lebih dekat dengan cewek tersebut. Awalnya dia tidak sadar. Aku melihatnya duduk sambil menggusapkan tangan ke kepala. Lama-lama dia tahu aku mengamatinya dan beranjak berdiri menghampiriku.
Dia bertanya….
Ah, D. Bagaimana bisa dia masih menanyakan soal rencana mewawancaraiku untuk keperluan majalah sekolah saat terlihat pusing begitu? Aku tidak habis pikir. Cewek tersebut terlihat berdedikasi dan penuh tanggung jawab pada pekerjaannya.
Namun, baru saja aku kagum. Di detik berikutnya, dia melengos pergi. Aku tidak tega membiarkannya pulang dalam keadaan pusing begitu. Maka saat cewek itu berjalan keluar pagar belakang, aku mencoba mengejarnya. Betapa menyebalkannya, D! Dia menolak diantar pulang. Lebih suka berboncengan dengan cowok lain. Oh, aku tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja.
A
Description: Ryska mendapat tugas untuk mewawancari aktor sinetron ternama sekaligus teman sekolahnya, Max. Cowok itu memang ganteng. Tapi cuek dan dinginnya luar biasa. Max juga terang-terangan menolak diwawancarai oleh Ryska.
Wah, bukan Ryska namanya jika pantang menyerah. Dengan beragam siasat, Ryska mencoba membuat Max luluh. Sayangnya, cara Ryska membuatnya tergelincir dalam drama kehidupan Max sesungguhnya. Hingga ia mengetahui masa lalu cowok tersebut yang membuatnya luluh lantak.
Masih perlukah Ryska memuat profil Max di majalah sekolah?
Nama: Carroll
media sosial: Twitter @carroll132
“Novela ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #LoveYourself 2020.”
|
Title: Rindu Hujan
Category: Cerita Pendek
Text:
Rindu Hujan
Dulu adalah waktu yang indah untuku. Waktu saat musim hujan menggeser kemarau. Waktu dimana semua harapan untuk bersama seseorang masih ada. Waktu itu aku adalah remaja polos yang suka memegang pena dan tumpukan kertas. aku adalah anak pindahan dari tempat yang sangat jauh dari sekolah ini. Menjadi salah seorang senior di sekolah baruku ini, membuatku canggung, bingung tak karuan. Layaknya seorang yang datang lalu pergi kemudian. Yahh..., memang 3 bulan lagi adalah kelulusan angkatanku. Namun itu takkan berarti tanpa seorang teman atau seorang apalah yang akan ada disampingku.
Berada bersama teman tak sapa di kelas sebelah perpustaka membuatku mudah berjumpa dengan ratusan bahkan ribuan buku sastra di ruang sebelah. Aku adalah seorang penulis puisi, penulis cerpen, bahkan aku adalah penulis tinta kehidupanku yang akan kupegang nanti. Ratusan puisi dan cerpen banyak yang kutulis hingga habis berapa ratus kali lusin kertas. Namun, hanya satu lembar kertas harapanku. Aku tak tau apa yang harus kutulis, tapi ada satu coretan membentuk kalimat yang bertulis, "Aku ingin punya pendamping hidup."
Kini hujan datang mengundang hening yang terkandang oleh musim gesang. Berapa kali ku baca puisi dan cerpen dari yang tak bermakna hingga yang bermakna ganda sekalipun di depan kelas disamping meja guru dengan guru yang memandangiku tajam, namun tetap saja tak berarti. Namun ada yang berbeda saatku bacakan puisi cinta yang kubuat dengan penuh rasa. Yaa, ada seorang wanita di arah jam 10 dariku yang memandangku aneh dengan senyum-senyum samar. Ia seperti menahan senyuman karena malu ketahuan oleh tatapanku. Setelah selesai berpuisi, dengan ge-ernya aku tulis surat semi puisi yang kuberikan untuknya. Aku tau dia adalah perempuan terpandang bagi kaum pria.
"Apa yang telah aku lakukan dengan seisi amplop kepadanya? Duhh... apa yang harus aku lakukan, laki laki lain kan banyak yang sudi dengannya, ngaca!!! Ngacaa!!" pikirku saat malam sunyi di kamar. Tiba - tiba surat elektronik kudapat dari handphone. Aku tak menyangka dia yang biasa dipanggil Tina merespon surat model lawasku. "Hai..? Dia menyapaku dengan hai?" Kubalas dengan gugup dan dia merespon kembali. Aku merasa aneh dengan semua ini. “Apa aku salah?” tanyaku dalam hati. Balas saling balas pesan diantara aku dan dia terus berlanjut sampai tak terasa kita sudah saling membahas pribadi masing. Sampai akhirnya kutanyakan satu pertanyaan, "Apakah kau sudah punya pacar?" Dengan bodohnya aku bertanya seperti itu. Dia tak merespon hingga esok datang.
Hujan turun di pagi yang sunyi dan gelap remang - remang. Sudah hampir jam 7, aku harus cepat berangkat dan tak mau telat. Hujan membasahiku yang sedang memeluk tas yang takut hujan sembari berlari kencang. Aku tak terlambat, namun aku tak masuk kelas karena basah baju masih menjerat. Bel berbunyi sembari melantunkan suara seakan memanggil seseorang tuk keluar dan menyapaku. "Hei kamu..," seorang wanita memanggilku yang sedang duduk kedinginan di sebelah tembok penyangga. Ku tolehkan kepala dan dengan terkejutnya diriku yang menahan malu karena pembicaraan tadi malam. Aku pun terdiam tak membalas. Dia mendekat dan menanyakan keadaanku seakan-akan dia peduli denganku. "Ya, aku baik-baik saja, hanya sedikit dingin," jawabku. Dia menanyakan bagaimana aku bisa basah kuyup seakan dia ingin aku bercerita untuknya. Kukatakan semua yang terjadi dengan singkat. Dan lalu, "Aku belum punya, kok," dia berkata tanpa penjelasan. "Maksudmu?" tanyaku. "Jangan pura-pura tak tahu dengan yang tadi malam," dia membalas keterbingunganku. Pada saat itu juga aku teringat pertanyaanku yang belum terbalas dalam percakapan tadi malam. Kemudian, dia bercerita tentang kehidupannya sembari ditemani percikan hujan yang belum juga lelah. Ini adalah awal ceritaku dengannya.
***
Hari berganti, namun hati masih sendiri. Aku yang selalu menghabiskan waktu sekolah di perpustakaan sendiri, namun tidak untuk hari ini. Tina, wanita yang kemarin mengejutkanku dengan percakapan kecilnya, kini ia datang lagi. “Hai, ehmm…, aku mau baca buku, tapi semua tempat penuh, jadi…,” tanya Tina setengah ragu. “Di..disini kosong, kalau mau si..silahkan,” jawabku dengan gugup. Bahkan omongannya saja belum selesai diucapkan. “Hahaha, kamu lucu kalau gugup, gak seperti waktu baca puisi di kelas.” dengan tenangnya dia tertawa di perpustakaan. “Sssstttt, maaf ini perpus, jangan berisik, nanti dimarahi yang jaga,” Spontan tanganku menunjukan jari telunjukku ke depan mulutnya. Apa yang aku lakukan? Sampai-sampai pusat perhatian tertuju kepadaku. Kami pun duduk dengan menutupi rasa malu. Seketika kondisi meja bundar yang kutempati hening tanpa basa basi bahkan tanpa suara lembaran kertas, hanya suara bisik-bisik orang yang baru saja melihatku. Kulihat ke arah Tina, dia pun tersenyum lalu menutupinya dengan buku yang mulai ia baca. “Mungkin malu,” pikirku. Lembar demi lembar ku balik, hening demi hening ku dengar dan lirik demi lirik ku intip matanya yang sedang memperhatikan banyak tulisan. Seketika tulisan yang kubaca berubah bentuk menjadi kata, “CANTIK” Mungkin saja itu sihirnya. Hampir dua jam pelajaran kosong dan kita membaca buku tanpa saling tanya. “Hmmmm…, sudah bosan melirikku ya?” Nampaknya dia sadar dengan yang aku lakukan. Muka merah, keringat dingin dan jawaban tak tentu arah, itulah yang terjadi padaku. Semua jawaban gugupku selalu mencari alasan yang tak logis. Tapi, tetap saja dia mengetahuinya. “Kamu beda ya sama cowok lain, gak pinter buat alasan yang bagus, syukurlah.” Tiba-tiba dia menyela. “Karena kamu sudah lirik-lirik aku tanpa izin, jadi kamu harus diberi hukuman! Sebagai hukumannya, sehabis pulang sekolah kamu harus temani aku pulang! Oke, aku tunggu ya, bye,” tambahnya. Bel sekolah berbunyi dan mengagetkan pikiran kosongku yang terheran-heran oleh ucapannya.
Bel sekolah kembali berbunyi untuk mengusir pulang semua siswa. Baru beberapa langkahku keluar dari kelas, Tina sudah menunggu seraya berbincang dengan kawannya. Kemudian kawannya pergi meninggalkannya karena kedatanganku. Saat aku berada didepannya, tatapannya membuat dunia sekitar mengembun tak terlihat jelas. Lalu ia tersenyum lebar dan mulai membuka mulutnya itu, “Ayo berangkat! Keburu hujan.” Cuaca sangatlah mendung, cahaya mentari juga kalah tertimbun awan. Di waktu ini juga aku berdoa agar cuaca berubah cerah dan tak datang hujan lagi. Kemudian kita berjalan berdua. baru saja kita lewati tempat parkir, sambutan dari banyak laki-laki terdengar. Sorak-sorak terdengar seperti suara cemburu dengan keadaan. Entah mereka berfikir baik atau buruk, tetap saja didalam pikiranku hanya terpikirkan bagaimana cara menemani Tina dengan baik dan benar. “Sudah biarkan mereka! Awannya tambah gelap, loh,” katanya sambil menarik tanganku supaya berjalan lebih cepat.
Sesampainya di depan salah satu toko, hujan datang mengguyur. Suasana semakin gaduh oleh tetesannya. Tak ada payung, tak ada jas hujan, akhirnya kita terpaksa meneduh disini. “Bagaimana?” tanyaku sambil menatap Tina yang mulai kedinginan. Seketika itu juga aku melepaskan dan menyelimutkan jaketku di tubuhnya yang hanya berseragam. “Terimakasih. Hmmm..., kenapa kamu suka membuat puisi atau cerpen?” tanyanya. Pertanyaannya sangatlah sederhana, namun jawabannya agak sedikit rumit. “Karena kadang puisi atau cerpen bisa menggambarkan kisah yang tak terbatas, terkadang juga itu semua memiliki makna yang sangat banyak dan makna itu bisa diartikan sama atau bahkan bisa bermakna ganda. Itu semua tergantung orang yang memaknainya. Memberi suatu makna tersirat didalamnya, itu lah hal yang membuatku suka membuatnya.” Jawabku se-sederhana mungkin. Ia berjalan ke arahku, kemudian melebarkan bibirku dengan jari mungilnya dan berkata, “Senyumlah!” Entah apa makna yang ia lakukan, tetapi aku merasa tenang. Batu, kerikil dan tembok bangunan yang basah terkena hujan, tak lain sebagai salah satu saksi kita berdua. semakin deras hujan, semakin deras juga percakapan. Membicarakan tentang ini atau itu sambil menunggu perginya hujan, sangatlah terasa menghangatkan.
***
Hari ini, hujan kembali menyapa semua orang di kota ini. Padahal mentari yang tersenyum di pagi hari ini sangatlah terang. Coretan papan tulis lagi-lagi tak terdengar. Lukisan alam di luar jendela kelas pun terkena sensor tebalnya embun. Setiap sudut kelas terlihat biru dan dingin, hanya saja ada satu sudut yang menolak berwarna biru. Ia lebih memilih warna merah. Hangat, membara dan sangat cerah. Lagi-lagi dia. Setiap sudutnya terlihat sempurna, sangat cantik. “Hei kamu yang duduk di meja baris 3 paling pojok kiri sebelah jendela! Apa kamu tidak memperhatikan pelajaran yang ibu terangkan? Sudah merasa pintar ya? Kok dari tadi lihatnya ke arah kanan terus? Melihat apa? Pintu? Kamu sehat, kan?” tiba-tiba saja guru fisika yang termasuk kategori killer meneriakiku dan mengancam akan memberikan nilai jelek jika tertangkap basah mengacuhkannya lagi. Yah..., syukurlah kali ini lirikanku tertangkap oleh orang lain dan bukan dia. Namun dia tersenyum dan mungkin dia tahu apa yang aku pandangi sedari tadi.
Jam menunjukan pukul 14.00, waktunya untuk kembali ke rumah. Untunglah tidak lupa ku bawa sebuah payung ukuran sedang. Di bawah teras gedung terluar, ku buka payung dan terasa seperti jeratan payung yang terlepas dari belenggu yang mengekangnya. Ku tarik nafas dalam-dalam sebelum benar-benar menyambut kembali jalan yang ikut terendam. Ku langkahkan kaki kanan, seketika itu juga seseorang menarik tasku yang tertahan. “Tunggu! Apa kamu tega membiarkan seorang gadis menunggu perginya hujan sendirian?” tanya seorang gadis. “Ternyata kamu Tina. Hampir saja.” Jawabku sambil menghela nafas karena hampir terpeleset. Menyedihkan, hampir saja aku lupa untuk memastikan seseorang yang ku suka pulang dengan selamat. “aku lupa gak bawa payung, jadi...,” Melihatnya yang memasang wajah melas dan berkata seperti itu, akhirnya kuberikan payungku kepadanya. “Dasar gak peka. Terus kamu gimana dong?” balasnya. “Aku bisa hujan-hujanan, yang penting kamu tidak, supaya kamu tidak sakit.” Jawaban yang sangat bodoh. Tanganku yang kedinginan, cubitan pun menyentuhnya kemudian. Sakit. “Jangan bodoh! Terus kalau kamu yang sakit gimana? Siapa yang mau melirik-liriku lagi? Siapa yang mau menemaniku pulang? Siapa yang mau jagain aku? Kan cuma kamu.” Seketika perkataannya membiusku lagi. Tak bisa mencari jawaban lagi. Jawabannya sudah jelas, memanglah aku. Lalu kami berbagi tempat dibawah rangkaian payung yang kami pegang bersama sambil sedikit bersenggolan. Ketidak sengajaan selalu saja terjadi. Di bawah payung hitam ini kemesraan kembali terjadi. Seketika itu juga aku sadar, bahwasanya payung bukanlah alat yang hanya bisa diperbudak penggunanya saja, namun juga bisa berperan sebagai pengikat kebersamaan dan kemesraan sepasang manusia. Setelah hari ini ataupun kemarin, entah kenapa ia selalu mengajaku seperti ini. Besok, besok dan besoknya lagi, masih sama seperti ini. Terasa seperti dalam mimpi. “Sangat indah.”
***
Berdua menghabiskan tinta kehidupan bersamanya sangatlah indah, tak tertandingi. Setiap akhir pekan yang dulu suram, kini berubah menjadi lebih terang, sangatlah berwarna. Seperti ada pelangi yang memaksa datang saat bumi sedang gelap-gelapnya. Coretan puisi pun terasa lebih bermakna. Rencana yang kami buat untuk akhir pekan ini sudahlah matang. Dan kini, sembari kutunggu panggilan seluler darinya, untuk kesekian kali jariku menulis puisi untuk Tina. Entah makna yang tersirat akan tersampaikan atau tidak, tapi tanganku selalu meyakinkan hatiku yang sedikit takut untuk menapak. “Drrrr.., drrr...,” panggilan seluler darinya datang. Nampaknya dia mulai menuju jembatan, tempat yang direncanakan untuk bertemu. Akhir pekan ini memang dia memaksaku untuk menemaninya.
Sesuatu yang bersinar dan berwarna, itulah yang kulihat dijembatan yang sudah dijanjikan. Lagi dan lagi itu adalah Tina. Padahal langit selalu gelap. Dia bagaikan mentariku, selalu menyinari hari-hariku. “Hari ini mau kemana?” tanyaku. “Gak kemana-mana, kok.” Jawabnya. Ada yang aneh dari jawabannya, seperti ada makna didalamnya. Senyumannya juga sedikit meredup. “Hari ini, aku Cuma mau ngomong sama kamu. Hmmmm...., kok ekspresimu seperti orang yang curiga? Sebelumnya, jangan lupa ya, senyumlah!” benar-benar jawaban yang merubah ekspresiku seketika. kata, frasa dan kalimat mulai terucap diantara kita, hingga sampai pada waktunya kata, frasa dan kalimat mulai menipis. Di saat hampir kehabisan kata, kalimat kembali terucap dari mulutnya, “Aku sangat bahagia saat berada disampingmu, walaupun kamu orang yang sangat dingin, tapi ada sesuatu yang bisa membuat hatiku lebih tenang dan bahagia. Terimakasih. Apa kamu juga merasakan kebahagiaan yang sama?” Hati terasa tentram mendengar perkataannya. “Maaf, aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata yang rumit. Jawabannya sangat sederhana. Tina, aku sangat bahagia.” Jawabku dengan rasa ketentraman yang teramat sangat. “Hmm.., anu.., kamu tahu kan kalau masa depan kita....,” ia berkata dengan rumpang. “Kenapa, Na?” tanyaku. “Eh, gak jadi. Kalaupun itu terjadi, mau atau tidak, kita tetap harus mau. Gak usah dipikir ya! Sebaiknya kita mebuat kebahagiaan kita saat ini se-bahagia mungkin! Iya kan?” lanjutnya dengan kata kata yang semakin ambigu. Tak ada kesimpulan yang pasti dari kata-kata ambigunya. Aku pun beranggapan bahwa memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari perkataannya.
Kulihat sungai yang dulu kering, sekarang sudah mengalir deras. Rumput sebagai tetangga sungai juga ikut subur menghijau. Tak kalah senangnya penduduk pinggir sungai juga merasakan ketercukupan makan harian karena ikan yang melimpah. Hati terasa ikut bahagia merasakannya. Hujan kadang dianggap simbol kesedihan dan suatu hal yang gelap. Padahal, tidak selamanya orang merasakan kesedihan saat hujan, karena hujan seseorang juga bisa merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan itulah yang selama ini ku rasakan, “kebahagiaan musim hujan.”
***
Dua setengah bulan kujalani sudah. Kehidupanku berubah setelah dia selalu ada disisiku. "Selalu ada disisiku? Apa artinya semua ini? Apakah ini wujud dari coretan pada selembar kertasku?" Aku masih tak percaya. Musim hujan selalu mengguyur sejuknya hari dan slalu menjadi yang ketiga saat aku dan dia sedang berdua. Sekolah, perpustakaan, taman, jalanan kota bahkan lorong kota pun sudah menjadi saksi tempat kita berdua berbagi cerita baik senang maupun duka. Layaknya sedang bermain petak umpet dengan hujan, tempat kumuh sekalipun akan kita tempati untuk bersembunyi agar tak ketahuan oleh hujan.
Kemarin, sekarang ataupun besok akan tetap hujan seperti ini. Karena memang musim hujan kali ini tidaklah pasti. Entah kenapa, diantara percikan hujan yang dingin, selalu terasa hangat untukku. Apa mungkin karena ada Tina bersamaku? Aku rasa begitu. Dia seperti matahari yang selalu memberi kehangatan orang sekitarnya. “Tersenyumlah!” Penggalan kata yang selalu diucapkannya kepadaku sambil melebarkan bibirku dengan jari mungilnya. Setiap aku murung dia selalu melakukannya dan saat aku senang sekalipun dia tetap melakukannya. Siapa yang tak senang berada disampingnya? Pantas saja hujan cemburu kepadaku karena mentari tak kunjung menyapa dan mencoba menggantikanku untuk menemani Tina dengan membuat gaduh atap sekolah. Tapi maaf saja, dia selalu memilihku untuk mengisi hati kosongnya. Namun aku sadar, aku dan dia masih terikat dengan tujuan masa depan yang berbeda, walaupun masa depan itu masih sama buramnya dengan embun kaca di sebelah bangku kelasku. Sambil ku tatap dalam-dalam, “Akankah aku bisa terus bersamanya?” Namun hanya percikan hujan yang menjawabnya.
***
Hari terus berganti. Kini pinggiran danau yang kami kunjungi. Bau aroma khas tanah yang diguyur hujan sangat menyengat, namun aroma wangi khas Tina terasa lebih pekat. Aromanya yang menyengat menarikku untuk lebih dekat dengan lengan kecilnya. "Apa kita akan kuat berpisah?" Pertanyaan yang licik, aku dan dia bahkan belum resmi berpacaran. "Tunggu saja nanti," jawabnya sembari tersenyum. "Tina, kamu tahu apa yang membuat hati sejuk saat dunia menekanku? Itu adalah hujan dan kamu." Dia pun tersenyum malu. Aku merasa momen seperti ini salah satu momen terindahku. Namun kebersamaan ini tidaklah abadi, namun harus diselingi dengan perpisahan yang berganti. Dan saat itu terjadi, sangatlah terasa perih di hati bagai tetes hujan yang hancur terkapar karena terbentur aspal.
***
Hari ini..., ya memang haruslah hari ini. Angin semilir berhembus menggoyah pohon dan tiang bendera. Matahari masih tak mau menunjukan diri untuk hari yang mendung. Kini tiba saatnya aku dan dunia putih abu-abu berpisah. Begitu juga dia. Aku dengannya punya cita-cita berbeda, entah ada tidaknya yang sama. Aku tak tau akankah tetap berjalan lancar seperti ini atau sebaliknya. Tak habis pikir akan secepat ini. Padahal aku ingin berjalan bersamanya lagi sebelum momen ini terjadi. Tapi nahas, waktu tak pandang bulu kepada siapapun.
Kuhampiri Tina yang akan masuk mesin beroda empat dengan wajah gelisah seperti ada yang hilang. Tetesan hujan turun bersamaan seperti akan mengeroyoku yang sedang dilanda kesedihan. "Inikah ujungnya? Berat na." Dia pun tak bisa menahan tangis perpisahan ini. "Yakinlah, kita akan bertemu kembali nanti." dengan pelukan perpisahan kuyakinkan dia dan kuselipkan selembar kertas keinginanku waktu itu kedalam saku tasnya. Mungkin saja dia sudi membacanya dan aku berharap dia paham dengan yang kumaksud. Pelukan ini mungkin tak akan bisa menahan rinduku nanti. Ini semua adalah ulah waktu yang mengusir kemarau dan wanita dalam pelukanku. "Selamat tinggal penyejukku." Dia pun masuk kendaraan dan bersegera pergi dengan membendung tumpah tangisannya. Kini, disini ku bersilir sepi. Basah kuyup, namun tidak dingin, mungkin setelah perpisahan ini.
***
Setengah tahun kemudian...
Dan disinilah keadaanku sekarang. Matahari mulai berani tampak dengan gagah. Kota saat ini yang kutempati adalah kota yang teramat bising, tak ada kesunyian sedikitpun dan penuh dengan tekanan, ditambah lagi musim gesang yang datang menggusur hujan. "Aargh dasar sialan, kenapa begini jadinya!" Ku mencoba mengambil nafas panjang. "Tak ada hujan dan tak ada kamu Tina." Aku tersadar bahwa hidup akan penuh dengan cobaan dan akan slalu begitu. Kucoba menahan diri sendiri di ruang tepi dengan hati perih. Kubuka jendela dan mencoba membaur dengan dunia yang gila dan merana. "Tina, aku ingin senyummu saat hujan, aku ingin tangismu saat hujan, dan aku ingin kamu disisiku saat hujan. Aku rindu, Na, rindu kamu dan hujan."
Description: Hujan kadang dianggap simbol kesedihan dan suatu hal yang gelap. Padahal, tidak selamanya orang merasakan kesedihan saat hujan, karena hujan seseorang juga bisa merasakan kebahagiaan.
|
Title: Remedy
Category: Cerita Pendek
Text:
1
“Dia seorang guru dansa, saat itu mereka berdansa dengan temannya yang merupakan warga negara asing.”
Lelaki bertubuh tegap dengan kumis tipis itu nampak mendorong kacamatanya, memberi keterangan pada awak media tentang kronologi penyebab dua warga negara yang telah terjangkiti virus. Menteri Kesehatan. Sudah sebulan wajahnya ada dimana-mana. Di surat kabar, di layar ponsel tak terkecuali layar televisi ruang tunggu antrean rumah sakit. Sejak itu pula orang-orang ramai membicarakannya.
Dari koridor seorang pemuda berseragam putih bermasker lantas menghentikan langkah. Sesekali terdengar suara helaan napasnya. Baru dua bulan lalu ia bekerja di rumah sakit swasta kota Jakarta. Setelah menempuh empat tahun kuliah di salah satu Universitas swasta di kota Bandung. Yongki harus merasakan emosi yang lebih membuat perasaan tak nyaman daripada kesepian tinggal sendiri di perantauan.
Demi cita-citanya Yongki rela menahan rindu pada kedua orangtuanya. Minatnya terhadap dunia medis sudah ada sejak dibangku sekolah menengah. Yongki selalu aktif dalam organisasi PMR disekolahnya, meskipun menyita waktu dan tenaga remaja seusianya. Yang kebanyakan hanya bermain dan bersenang-senang saja.
Rumah sakit ibukota itu tidak seperti biasanya. Dengan situasi akhir-akhir ini sungguh aneh jika duduk saling berhimpitan dan berkerumun. sehingga pemerintah menganjurkan pembatasan jaga jarak sampai penganjuran mencuci tangan sesering mungkin.Pergerakan mereka dibatasi oleh wabah yang memematikan, hingga mengubah ritme serta pola hidup.
Ruang tunggu antrean dari tempatnya berdiri terlihat lengang. Tatapan kosong serta rasa putus asa mereka yang mengantre tergambar jelas dimata. Kini serasa setiap langkah mereka berat, virus meneror. Sementara kecemasan selalu memenuhi isi kepala. Kengerian baru saja dimulai.
Teddy yang membawa secangkir kopi buru-buru mendekati Yongki, merangkul bahunya sambil berkelakar dari balik maskernya. Yongki tersentak.
“Minum es teh anget dulu sono, itu virus bakal mati kalau kena panas. Paling sebulan dua bulan juga akan hilang karena kena suhu panas kota Jakarta.”
Yongki menoleh pada teman sekaligus seniornya itu. Kemunculan Teddy yang tiba-tiba membuatnya lupa akan rasa merinding sesaat. Yongki mengangkat kedua bahunya,tidak ingin berdebat dengannya.
Di dalam ruangannya, Teddy sedang sibuk menerima telepon. Dari seberang sana seseorang berkata dengan serius. Teddy meletakkan ponselnya, wajahnya berubah menengang. Yongki menatap Teddy sedikit takjub. Selama bekerja di rumah sakit Sumber Sehat jarang sekali dirinya melihat seniornya itu memasang wajah serius. Mengisyaratkan penyesalan atas candaannya tadi.
“Pasien baru aja masuk dan sekarang baru dijemput ambulans.”
Yongki terdiam cukup lama. Tidak tahu harus berkata apa pada seniornya itu. Dan Yongki sangat tahu pada saatnya hal ini akan terjadi juga.
Sementara Teddy masih membeku. Meskipun rasa was-was teramat muncul, Yongki sadar akan perannya yang beresiko tertular cukup tinggi dirinya berjanji siap dengan segalanya.
“Ya udah nikmatin aja,” bisik Yongki.
2
Di kejauhan, suara sirene meraung-raung. Tim evakuasi penjemput pasien telah tiba lantas membawa pasien menuju kamar isolasi khusus. Sementara Yongki sudah berpakaian mirip astronot lengkap pelindung mata membuntuti dokter Agnes membantu membawa beberapa perangkat uji serta ventilator.
Pasien sudah berbaring diatas bangsal UGD, batuk-batuk serta napas berat entah mengapa membuat Teddy ikut menaik turunkan bahunya juga. Suhu tubuh tinggi disertai rasa sakit ditenggorokan membuat pasien wanita itu semakin tidak nyaman.
Kekaguman justru terpancar dari mata Yongki, ketika menatap mata si pasien. Irisnya berwarna biru, sebening air laut. Yongki baru menemukan bola mata berwarna seperti itu. Sebuah keajaiban atau sebuah kelainan gen. Untung saja ekspresi wajahnya tak terlihat, sebab dibalik masker pipi Yongki sudah bersemu.
Dokter Agnes meminta pasien melepas masker kemudian mendongak. “Tarik napas ya, rileks saja!” dokter Agnes menggenggam sebuah alat.
Pasien wanita itu kini terlihat gugup. Alat menyerupai cotton bud panjang perlahan masuk ke hidung. Sekitar lima belas detik dokter Agnes menarik kembali alat tadi secara perlahan keluar dari lubang hidungnya. Setelah proses pengambilan sampel lendir, dokter Agnes memasukkannya ke dalam tabung plastik lalu ditutupnya rapat.
“Istirahat yang banyak ya, mas Yong akan memasangkan infusenya” ucap dokter Agnes.
Yongki disamping dokter Agnes masih terdiam, mengaggumi mata sebening air laut. Kesadarannya mulai dibuyar ketika Teddy menepuk bahunya.
“Woi, buruan dipasang” seru Teddy.
Yongki kembali menatap pasien dengan senyuman lembut yang menenangkan dari balik masker.
“Saya tinggal dulu ya, jika ada keluhan pencet tombol saja. Mas Yongki akan membantu!” kata dokter Agnes.
Dokter Agnes melangkah keluar diikuti Teddy mengekor dibelakang seperti anak itik mengikuti induknya.
Wanita yang berbaring di atas bangsal itu hanya mengangguk, paham. Mendengar ucapan dari dokter Agnes, Yongki sudah tersenyum simpul dari balik maskernya. Dalam hati pun dia berteriak kegirangan mendapat tugas untuk mengawasi si pasien cantik.
Elli pasien pertama di rumah sakit Sumber Sehat. Wanita muda itu terpapar virus akibat aktifitas kerja yang mengharuskannya menaiki transportasi umum menuju kantor agar lebih cepat sampai. Bogor berubah menjadi kota dalam pengawasan ketika hanya dalam hitungan hari ratusan warganya mulai terinfeksi. Maka tidak heran jika Elli terkena saat menaiki kereta jurusan Jakarta-Bogor.
Elli menatap Yongki, memperhatikan lelaki yang sibuk memasangkan infuse lalu alat bantu pernapasan untuknya.
“Memangnya aku setampan itu ya?” celetuk Yongki.
Elli mengernyitkan kening mendengarnya, secepatnya mengalihkan pandangan. Elli sempat mengakui bahwa perawt didepannya ini memang tampan, dari foto identitas tergantung di lehernya. Akan tetapi kedua mata elang Yongki memang sihir tersendiri bagi kaum hawa, meskipun wajahnya tertutup rapat oleh masker. Lelaki itu selalu percaya diri dengan ketampanan sejak didalam embrio.
Ia berusaha membuat suasana lebih rileks, lewat bercakap-cakap santai. Seperinya ini bukan situasi yang menyenangkan, siapa pula yang akan tertarik bicara basa-basi jika untuk bernapas saja si gadis harus terengah-engah.
“Tarik napas” titah Yongki, jarum suntik mulai menembus urat nadinya.
Elli hanya mengangguk singkat, memejamkan mata.
“Jika ingin ke kamar mandi pastikan selalu cuci tangan dan gunakan hand sanitezer yang telah tersedia! Kita pasti bisa hadapi ini semua.”
Yongki berusaha membangun harapan pada pasien serta pada dirinya sendiri. Yongki menyeringai dari balik masker kemudian berlalu, pamit.
Sementara Elli bergelung di atas bangsal, sesekali memeluk boneka kelinci yang dibawanya dari rumah. Ruangan teramat luas ini sayangnya bukan kamarnya.
Yongki meliriknya dari ruangan tempatnya beristirahat, kebetulan beradu sudut dengan ruangan isolasi. Kehadiran Elli ternyata membawa pengaruh positif bagi Yongki. Lelaki itu sedikit melupakan rasa kekhawatiran atas ancaman virus yang kapan saja dapat menular. Akan tetapi Yongki sadar akan perannya tentu dengan segala resiko, Yongki siap.
Hampir dua minggu berlalu semenjak Elli dirawat, pasien terjangkiti virus semakin bertambah. Selama itu pula Yongki tak lelah untuk sekedar memberi motivasi terhadap Elli serta pasien lain agar tidak terlalu panik. Tak hanya mengganti infuse bahkan tak tanggung-tanggung, Yongki sering membawakan satu sisir buah pisang pada setiap pasien. Kata orang, pisang mampu membuat suasana hati menjadi gembira. Bukan tanpa alasan bentuk rasa perhatiannya pada pasien, agar mereka tak terlalu larut dalam kecemasan lantaran tak diperbolehkannya anggota keluarga untuk menjenguk.
Pagi hari tepat pukul delapan, Yongki berjalan ke ruangan paling ujung dengan membawa satu nampan berisi sarapan. Disana Elli berbaring sambil memainkan ponsel, melihat galeri foto Jay. Sarapan Elli memang istimewa diberikan langsung oleh Yongki.
“Kenapa masih berdiri mas perawat ganteng?” celetuk bu Marni, salah satu pasien seminggu yang lalu menambah daftar. Pasien itu bernama ibu Marni, terkonfirmasi sejak dua hari lalu tertular akibat tidak mematuhi protokol. Seenak diri nekad menghadiri acara hajatan tetangga tanpa menggunakan masker dengan dalih alasan masker dapat menutupi makeup nya yang sudah susah payah dirias.
Ruangan isolasi yang tadinya hanya Elli sekarang sudah bertambah menjadi lima orang. Yongki mengangguk, ia berjalan ke arah Elli yang masih sibuk dengan gawai. Yongki menaruh nampan diatas nakas, disamping bangsal Elli. Sudah menjadi hal biasa jika kabar kedekatan itu benar adanya.
Kini giliran Yongki yang dibuat terdiam. Ia memandangi wajah pucat Elli, mencoba membaca pikiran wanita dihadapannya. Elli tiba-tiba berkata.
“Aku merindukan Jay. Dia anakku dan sekarang dia harus tinggal bersama neneknya” ucap Elli tak bis menahannya lagi.ki langsung berubah meskipun
Raut wajah Yongki langsung berubah meskipun masker serta pelindung wajah menutupinya. Yongki terdiam untuk beberapa saat, lebih tepatnya sedikit kecewa mendengar kenyataan bahwa Elli sudah berkeluarga.
“Kenapa dia tidak bersama ayahnya saja?” tanya Yongki.
“Ayahnya sudah meninggal saat umur Jay setahun.”
Wanita itu masih berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Yongki menatap Elli dengan sendu. Yongki menatap wajah Elli menyadari bahwa ada beban berat yang dipikulnya. Menjadi orangtua tunggal bagi anaknya.
“Bagaimana jika kita menghubungi Jay lewat panggilan video? Pasti dia senang melihat ibunya baik-baik saja disini” balas Yongki, untuk sekarang yang ia pikirkan menenangkan Elli agar tak kembali larut dalam kesedihan.
Elli menatap Yongki dengan kedua mata yang sudah basah. Elli menganggukkan kepala, tangannya cergas mengusap bercak air mata di kedua pipinya. Segera meraih ponsel pintarnya diatas nakas.
Dari koridor Teddy melirik juniornya, semakin hari semakin akrab dengan si gadis pasien.
“Memang benar ya rumor itu?” celetuk Teddy.
“Rumor?”
“Ku kira naksir sama pasien hanya ada di sinetron, pacarku pasienku.”
Sementara Yongki hanya menarik kedua sudut bibirnya dari masker. Sejujurnya Yongki membenci masker dengan segala seragam yang nampak membuatnya terlihat seperti astronot. Selain kepanasan akibat pemakaian perlindungan yang berlapis-lapis, dirinya juga kesusahan melihat ekspresi seseorang.
“Yang penting bukan pasien kamar mayat” sergah Yongki.
“Dih..serem dong.”
“Panas banget nggak sih? Rasanya gerah banget pakai seragam begini” keluh Teddy.
“Inget pahalanya, bang.”
Waktu menunjuk pukul lima sore, baru saja Yongki menyandarkan punggung di kursi namun bel dari seorang pasien mengurungkan niatnya untuk beristirahat sejenak. Yongki setengah berlari menuju ruangan 102. Elli terlihat terbatuk-batuk, wajahnya pucat dengan napas tersengal. Dadanya berdegup kencang diikuti rintihan kesakitan.
Yongki segera mendekati Elli. Kesekian kalinya Yongki memastikan keadaan wanita didepannya.
“Kamu baik-baik saja El?” Yongki bertanya.
Sambil meyodorkan obat dari dokter Agnes yang belum diminum, Yongki membantu Elli memperbaiki posisi untuk bersandar. Yongki kembali membantu mengambilkan air putih.
“Lain kali obatnya jangan lupa diminum!”
Selepasnya, Yongki mengajak Elli jalan-jalan mengelilingi taman rumah sakit. Dokter Agnes menyarankan agar pasien sering jalan-jalan dan berolahraga ringan agar tidak terlalu jenuh serta berlarut-larut dalam kesedihan selama menjalani isolasi.
Kondisi Elli memang lumayan membaik namun fisiknya masih terlalu lemah. Maka Yongki menyuruh wanita itu duduk diatas kursi roda sementara dirinya mendorong dari belakang. Elli tersenyum senang, mereka berdua berhenti tepat didepan air mancur taman. Mereka berdua menikmati senja yang tenang sore itu.
Setelah puas menyusuri taman,Yongki mendorong kembali kursi roda Elli. Wanita itu harus menyimpan baik-baik energinya. Elli terlihat menerawang ke depan dengan tatapan kosong.
“Yong, kapan-kapan kamu mau nggak ketemu Jay?”
“Tentu saja.”
Elli menghela napas panjang, “Dari dulu cita-citanya ingin jadi dokter, pasti dia senang ketemu kamu.”
“Tapi aku kan bukan dokter”
“Setidaknya kamu sama-sama menolong.”
Yongki tersenyum, menggaruk kepalanya yang tak gatal.
3
Langit cerah nampaknya tak berpengaruh apapun untuk mengusir virus mematikan. Hampir sebulan justru pasien semakin bertambah hingga pihak rumah sakit harus menyediakan ruangan tambahan untuk isolasi. Semenjak itu pula Yongki mahir membaca ekspresi dari seseorang dari balik masker yang mereka kenakan. Sejujurnya, lelaki itu membenci alat penutup saluran pernapasan ini.
Suasana rumah sakit Sumber Sehat terlihat berbeda daripada biasanya. Semua petugas medis dibuat gugup sekaligus panik akibat semakin bertambahnya pasien hingga kewalahan. Bahkan ada yang tergolek lemas sampai tertidur dilantai. Sesekali mereka terlihat menghela napas panjang.
Mereka harus bersusah payah menahan rasa lapar, kantuk serta sekedar menjeda urusan pertoiletan. Pasalnya sekali membuka pakaian APD berarti mereka harus membuangnya sebab kostum itu tak layak pakai lagi. Tentu saja hal ini menimbulkan pemborosan sementara kostum itu pada saat ini sangat sulit untuk didapat. Maka muncullah ide kreatif disaat terdesak, jas hujan menjadi solusi.
Namun suasana di halaman rumah sakit juga tak kalah, berbagai karangan bunga terus berdatangan. Dukungan serta doa dari masyarakat terhadap petugas medis terus diberikan. Tak tanggung-tanggung bahkan ada yang sampai mengirim catering untuk mereka.
Setelah melepas APD keringat bak air hujan yang tertampung dalam plastik. Saat ini Yongki sedang menahan kantuk di ruang VIP rumah sakit. Wajah kusut dengan kantung mata tebal akibat kurang tidur. Secara khusus ruangan itu diperuntukan tempat menginap para tenaga medis selama menjalankan tugas. Memang semenjak virus corona merebak di tanah air tidak diperbolehkan pulang untuk sementara, mengingat family distancing telah diterapkan. Dikuatirkan mereka beresiko membawa virus bagi anggota keluarga.
Yongki merebahkan tubuhnya diatas ranjang, menatap kosong ponsel digenggaman tangan. Dari banyaknya pesan ada salah satu pesan yang selalu membuat hatinya semakin berkecamuk, sang ibu.
“Yongki sayang, pulang ya nak. Teruskan usaha ayahmu saja nak!”
Perawat tampan itu mulai mendesah pelan. Lagi-lagi sang ibu menyuruhnya berhenti dari pekerjaan mulia. Memang dari dulu ayahnya tak pernah menyetujui dirinya mengambil kuliah jurusan keperawatan. Ayah Yongki ingin dirinya menjadi seorang pengusaha. Masalahnya semakin rumit ketika corona mulai mengancam, siang malam ibunya terus merengek agar dirinya berhenti bekerja. Akan tetapi Yongki terus saja bersikukuh terhadap pendiriannya.
Yongki tidak tahu harus berkata apalagi untuk menjelaskan kepada kedua orangtuanya sedari awal sudah berseberangan dengan jalan pikirannya. Bagi Yongki menjadi seorang pearawat suatu kebanggaan tersendiri, sebagai penolong bagi sesama. Mental sosial telah ada dalam benaknya sejak kecil.
Sementara dari ambang pintu sang senior menemukan si tampan yang dicari. Teddy tahu betul Yongki sedang memikirkan apa.
“Kenapa? Wajah cakepmu udah mirip sama coretan anakku.”
“Hah?”
“Kusut banget”
“Udah ucapin hari ibu belum buat ibumu?”
“Haahh”
“Buruan pasti itu nyokap udah nungguin pesan dari anak tampannya.“
Sudah hampir dua pekan berpisah dengan istri dan anak, Teddy juga merasa berat harus berpisah berhari-hari dengan keluarga kecilnya. Pulang pun tak mungkin bagi mereka, seiring terus bertambahnya pasien. Janji-janji pada keluarga untuk dapat kembali pulang dengan selamat nyatanya abu-abu. Maka di hari ibu ini, Teddy berniat membelikan delivery order bunga tulip untuk sang istri.
Teddy duduk dihadapan Yongki, teringat akan niatnya menenmui Yongki.
“Yong, aku baru saja menerima perintah dari bu Agnes jika kita kekurangan supir ambulans.
“Sedangakan disini kamu yang bisa, ku harap kamu bersedia.” Teddy mulai menepuk bahu juniornya itu, memohon.
Lengang sejenak, hingga akhirnya menganggukkan kepala.
“Aku titip Elli ya!”
“Sip” Teddy mengangguk paham.
###
Teddy membawa kotak makan berwarna biru serta satu bucket besar ditangan kirinya. Baru kali ini dirinya dibuat takjub, jika biasanya seseorang akan memberikan bucket bunga akan tetapi justru bucket berbagai jenis snack. Mungkin saja pengirimnya takut jika disini kelaparan. Teddy terkekeh, sayangnya itu bukan untuk dirinya melainkan untuk seorang pasien ruangan 102.
“Seseorang sepertinya tidak ingin kau kelaparan disini” ucap Teddy.
Elli bangkit dari tidurnya, beranjak duduk di pinggir bangsal. Tangan kirinya terulur menerima kiriman lantas membaca surat kecil dari sang pengirim.
“Itu dari Jay, terima kasih”
“Ok, tapi aku harus memberi tahumu jika mulai hari ini aku akan menggantikan Yongki. Dia beralih profesi sementara, menjadi sopir ambulans” ungkap Teddy.
“Ah..Y-ya, tidak masalah.”
Dua minggu menjadi berat bagi Elli harus terisolasi bak penjara. Pikirannya hanya tertuju pada nasib keluarganya tanpa dirinya sebagai tulang punggung. Terbilang masih muda, Elli harus menjadi seorang janda diusia dua puluh lima tahun. Ia harus menghidupi seorang anak laki-lakinya. Jailani Ahmad atau biasa dipanggil Jay kini dititipkan pada neneknya. Tak bisa dibayangkan bagaimana Jay harus menunggu kedatangannya sambil terduduk di ayunan bawah pohon jambu. Memikirkan semua itu dada Elli bertambah sesak, napasnya tersengal.
Melihat kondisi Elli, Bu Marni yang berada disamping bangsalnya cergas menekan tombol, meminta bantuan.
Baru saja ingin menyenderkan tubuh dikursi, suara bel berbunyi. Tanpa berlama-lama Teddy menuju ruang isolasi 102. Tiba-tiba Teddy dibuat panik dengan kondisi Elli. Wanita itu tengah memegangi dadanya, seperti berusaha meraup oksigen dengan susah payah. Elli kembali mengalami sesak luar biasa. Sambil memasangkan ventilator, Teddy semakin cemas ketika alat bantu pernapasan kali ini tak mampu membantu Elli. Ia lalu berlari untuk meminta bantuan dokter Agnes.
4
Terik matahari mulai menyengat, menyinari sudut kota Jakarta. Jalanan pagi dipenuhi oleh mobil-mobil. Belakangan Yongki merasa situasi pekerjaannya tak seperti biasanya. Salah satu program pemerintah dengan memberlakukan sistem lockdown nyatanya tidak dihiraukan. Menjadi sopir ambulans dadakan sering memacu adrenalin. Lelaki berwajah tampan itu mendengus kesal.
“Kenapa dalam keadaan seperti ini jalanan masih saja macet?”
“Bener mas, rasanya pengen pakai mobil tronton saja supaya pada minggir. Andai saja mereka tahu kalau kita menjemput pasien covid, mungkin mereka memilih berdoa dirumah sebelum mereka gantian jadi pasien” kata pak Pasno geram.
Selain siaga melakukan penjemputan terhadap pasien terjangkiti, tak sadar sebentar lagi mereka juga harus mengantar jenazah.
Drttt! Drttt!
Ponsel Yongki berdering, lantas ia segera mengambil ponselnya diatas dasbor. Ternyata panggilan dari Teddy, tumben sekali seniornya itu menelponnya disaat jam kerja seperti sekarang. Yongki pun segera menerima panggilan tersebut.
“Hallo Yong, kamu dimana?”
“Ada di jalan bang, jemput pasien.”
“Maafin aku ya” ucap Teddy lirih.
Teddy bingung bagaimana menjelaskannya hingga sekujur tubuhnya terasa dingin.
***
Yang ditunggu akhirnya datang. Yongki berjalan santai mendekati Teddy.
“Kenapa rame banget di ruangan 102? Bu Marni nangis lagi nggak dapet kocokan arisan virtualnya?”
Teddy masih terdiam, belum berani menatap Yongki.
“Bang kenapa sih? Laper? Diem aja.”
Teddy yang masih syok, mengusap bahu Yongki.
“Sabar ya.”
Yongki semakin penasaran, masuk ke ruangan 102. Mengarahkan pandangannya pada ranjang Elli yang telah kosong, dengan hampa. Jantungnya berpacu sangat cepat, tubuhnya merosot.
“AAAARGH!!!”
Ia berteriak, meluapkan emosinya bercampur dengan kesedihan yang mendalam atas ketidakpercayaan baru saja terjadi atas Elli. Yongki merasa menyesal, marah pada dirinya sendiri yang tak dapat berada didekat Elli di saat terakhir. Ini merupakan pukulan besar baginya.
Kata kematian seing didengarnya, namun rasanya terlalu perih ketika cinta pertamanya berpulang pada Sang Pencipta.
Dengan segala upaya telah dilakukan untuk menolong Elli, pada akhirnya takdir berkata lain. Elli telah menghadap sang Kuasa. Tak disangka momen chat dengan Elli kemarin lusa merupakan chat terakhir. Chat pernyataan pengakuan rasa sukanya terhadap janda beranak satu itu. Namun Elli tak sempat membalasnya.
###
Beberapa kali Yongki, menghela napas. Ia berjanji tidak akan larut dalam kesedihan lagi. Dua bulan berlalu, bayangan Elli sulit dihapus dari memori otaknya. Yongki butuh penyesuaian yang teramat sulit ditengah profesinya. Namun, satu yang dirinya selalu ingat bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan semua sudah ada yang mengatur dan tugasnya hanya mempercayai rencana Tuhan. Manusia hanya perlu memahami, meyakini dan mensyukuri.
Yongki sudah merelakan dan mengikhlaskan kepergian Elli. Wanita hebat yang mampu membuatnya jatuh cinta dalam lima detik.
Pagi ini senyum Yongki mengembang ketika menatap pusara Elli. Angin sepoi-sepoi menerbangkan bunga kamboja untuk mengikuti arusnya.
“Terima kasih Elli, sudah singgah dalam hidupku. Tidurlah dengan tenang, aku berjanji akan menemui Jay setelah keadaan membaik.”
Tintt…Tintt
Suara klakson berbunyi berkali-kali, pak Pasno didalam sana sudah tidak sabar menunggui Yongki yang terlalu lama dipemakaman. Ada pasien lagi yang harus dijemput.
“Mas Yong, udah belum berdoanya?”
“I-Iya pak, sudah.”
Yongki pun beranjak pamit dari tanah merah pekuburan.
Drttt...Drttt
Yongki meraih ponselnya, senyum sumringah tergambar jelas dalam wajah tampannya yang tertutup oleh masker. Meluapkannya dengan bersenandung lirih. Pak Pasno yang sedari tadi memperhatikan hanya mampu geleng-geleng kepala.
“Kenapa mas? Tadi diem terus sekarang seneng banget kayaknya.”
“Ayah, pak. Beliau baru aja kirim pesan suruh jaga kesehatan.”
Kemarin mungkin hari-hari Yongki sangat menyedihkan, tetapi Maha Penyayang kini membukakan hati ayahnya untuk mendukung pekerjaannya.
Description: Nama pena : Nikenhusna, Instagram @Nikenhusna , Facebook @Okyistiorini
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #Garda Terdepan.
|
Title: RISALAH KEMBANG BEKU
Category: Puisi
Text:
RISALAH KEMBANG BEKU
di halaman belakang setanggal waktu
kita menanam sebenih kembang beku
dengan tangan kita yang bersipegang
di tengah kerontang musim gersang
akarnya lalu tumbuh jadi temu
menjalar di galur-galur minggu
batang-batang hasrat menjulang
menembus batas-batas bulan
merindang menjadi cerita-cerita
meneduhkan lembar-lembar kalender kita
kita sabari setangkai kembang itu
dengan jernih kecup dan pupuk peluk
keras kepala menantang nubuat cuaca:
satu-satunya yang akan mekar
hanyalah selamat tinggal
akhirnya kita hanya bisa bersitatap
saat kelopak-kelopaknya yang merah
simbah mendarah di sekujur tubuh kita
menyisakan ranting-ranting getir
di rentang lengan kita yang gemetar
Ciwidey, Juni 2017
Hantu Masa Lalu
genangan masa lalu mengalir
dari gorong-gorong pada alfabet
deru mesin tik menghidupkan
cekam perang dan perpisahan
"delapan puluh tahun yang lalu
sejarah membelah kau dan aku"
sejak peluru menembus kepala kita
detik-detik dihantui sebuah cerita
yang terbunuh sebelum dikecup titik
menagih genapnya sebuah janji
"di kehidupan selanjutnya
aku akan mencintaimu"
Ciwidey, Juni 2017
Di Sebuah Pantai
Choi Han Gyeol:
Desir ombak menggarami hatiku
yang belah oleh bilah senyummu
pelukku adalah gentar sayap camar
kepaknya kian gagal menggapai bulan
yang jatuh di atas riak laut matamu
Go Eun Chan:
Kuhamparkan sabar di biru lautku
yang tengadah menatap geming matamu
rinduku adalah ombak yang ragu
berjuta kali maju lalu kembali surut
tanpa pernah sampai di dekap sayapmu
BERANJAK
kukemasi perasaan
dalam kardus-kardus
yang telah aku ajari
cara menyimpan rahasia
dapur sampai kamar tidur
berkali-kali kususur
memastikan tak ada harapan
usang yang ketinggalan
bersama segenap cinta
yang tak pernah mengaduh
kuputuskan untuk beranjak
darimu, yang tak pernah tahu
dari hening ambang pintu
kudepkapkan tatapku
pada geming matamu:
tempat jatuh pertamaku
September 2017
Description: Sekumpulan puisi yang terinspirasi oleh adegan-adegan yang saya resapi maupun emosi-emosi yang saya rasakan ketika menonton berbagai judul dan drama Korea.
Buku ini dibuat sebagai sebuah tanda cinta dari saya, seseorang pembelajar puisi yang juga menyenangi drama dan film Korea, untuk semua inspirasi yang saya terima melalui drama dan film-film tersebut.
Semoga karya ini bisa dinikmati terutama bagi sesama pecinta Korea, umumnya oleh sebanyak-banyaknya pembaca.
|
Title: Restrain LOVE
Category: Teenlit
Text:
Siapa Lintang?
Katanya, masa SMA itu menyenangkan. Semalaman gadis bernama lengkap Megan Viska senyum-senyum sendiri membayangkan masa SMA nya. Berharap ada kenangan manis di masa putih abunya, seperti yang terjadi dalam novel-novel yang ia baca.
Megan masih menjadi dirinya yang dulu, masih sama tak berubah sedikitpun. Begitulah kalimat yang ia dengar tiap ia bertemu teman lamanya. Megan sendiri juga merasa ia tak berubah, masih menjadi Megan yang tak mengikuti kegiatan sekolah.
Tapi di SMA, Megan bertekad untuk meyakinkan orangtuanya agar ia diperbolehkan mengikuti kegiatan ekstrakulikuler maupun study tour. Megan akan memastikan dirinya memiliki sahabat di SMA. Ia takkan menyia-nyiakan masa putih abunya dengan terjebak dalam kamar bersama Kuma- kucing gemuk yang sangat Megan sayangi.
Bintang, kakak perempuan yang selalu mengantarnya ke sekolah.
"Kak aku turun disini aja," ucap Megan yang sudah siap membuka pintu mobil.
"Kenapa? Malu ya kakak anter ke sekolah?"
"Bukan malu karena diantar kakak, tapi semua anak SMA kan mandiri, jadi kalo MPLS udah selesai aku gak mau diantar lagi. Nanti kakak harus bantu aku bilang ke Bunda pokoknya!"
Megan pergi setelah tersenyum lebar pada kakaknya. Bintang memastikan Megan masuk ke gerbang sekolah dengan selamat.
Baguslah, Megan udah bisa nyebrang sendiri ternyata.., ucap Bintang dalam hati.
###
Megan tersenyum lebar melihat sekolah barunya, senyuman yang hanya memperlihatkan mata menyipitnya karena ia menggunakan masker.
Lingkungannya nyaman banget Bun, Megan seneng pokoknya. Ucap Mega dalam hati, seolah sedang bicara dengan bundanya yang ada di rumah.
Dengan langkah penuh percaya diri Megan mulai mendekati kerumunan murid baru.
Rasa gugup dan bingung mulai ia rasakan, Megan tak menyapa siapapun yang duduk di kanan kirinya. Mungkin oranglain akan berpikir Megan sombong, terlebih lagi masker yang ia pakai menutupi ekspresi wajahnya.
"Kamu yang pakai masker, berdiri dan buka maskernya. Berlaku juga untuk kalian yang pakai jaket. Berdiri dan buka jaket ataupun masker kalian!" suara panitia membuat Megan terkejut. Ia melihat sekelilingnya, ternyata cuma Megan yang memakai masker.
Megan membuka maskernya,saat itu juga ia melihat ekspresi terkejut orang-orang.
Dagu Megan yang dibalut kain kasa serta luka di pipi kanan kirinya.
"Kamu sakit?" tanya seorang panitia yang berdiri dekat barisan ia duduk.
Megan menggeleng. "Enggak kak," jawab Megan diiringi senyum lebar. Ia kembali duduk, dan berbagai pertanyaan dari murid di sekelilingnya mulai membuatnya bingung.
Ia berusaha berbaur dengan teman barunya, meskipun pada akhirnya ketika istirahat Megan akan makan sendirian.
Sepertinya Megan tak nyambung ketika diajak bicara, kebanyakan dari mereka kerap membicarakan murid laki-laki bernama Lintang. Ia geleng sendiri tiap mengingat antusias murid perempuan tiap membicarakan sosok bernama Lintang.
Sepertinya Megan benar-benar kudet, karena katanya Lintang itu terkenal sejak ia SMP. Bahkan hal yang tak Megan sangka adalah fakta bahwa Lintang satu SMP dengannya.
Megan hanya mengenal beberapa orang di angkatannya saat SMP, padahal ia bukan murid pendiam.
Jadi apa aku termasuk kategori siswi nerd? Harusnya aku pinter dong? Tanya Megan dalam hatinya, ia mencebikkan bibirnya kesal. Pintar? Megan masuk SMA favorit ini saja orangtuanya hampir tak percaya.
Kegiatan MPLS sangat menyenangkan dan Megan langsung menghubungi kakaknya ketika kegiatan berakhir untuk minta dijemput secepatnya.
"Jangan dulu hujan dong," harap Megan ketika mendengar gemuruh dari langit.
Tidak ada yang bisa dihubungi. Orangtua dan kakaknya tak mengangkat panggilan Megan. Ia tak bisa memesan kendaraan karena tak hapal alamat rumahnya sendiri.
Paling gak suka kalo udah kaya gini, kesa Megan dalam hati.
Mau tidak mau Megan harus berteduh dulu di sekolah, dan kembali menghubungi orangtua ataupun kakaknya.
"Lo nunggu jemputan?"
Megan melihat seorang siswi di sampingnya. "Ke aku?" tanya Megan pada siswi itu.
"Iya, by the way nama gue Arin Devira, panggil gue Arin. Dan nama lo?"
Megan tersenyum senang, akhirnya ada yang memperkenalkan diri terlebih dulu padanya. "Aku Megan Viska, panggil Megan."
"Okay Megan. Rumah lo dimana? Dan tadi lo belum jawab, lo nunggu dijemput bukan?"
"Aku gak hapal alamat rumah, dan iya aku nunggu dijemput. Kamu juga?"
Teman barunya itu menggeleng. "Enggak, gue gak dijemput. Gue lagi nungguin si Lintang."
Lagi-lagi nama itu, rasanya Megan bosan mendengar nama itu disebut berulang kali hari ini.
"Lo gak bawa jaket?"
"Katanya kan gak boleh pake jaket pas MPLS."
"Kalo dipake emang gak boleh, tapi kalo bawa jaket gak apa-apa. Sekarang kan musim hujan juga, mendingan lo bawa besok. Emangnya lo gak dingin, hujannya gede banget njir."
Megan melihat Arin yang juga tak memakai jaket. "Kamu juga gak pake jaket."
"Jaket gue disita panitia karena tadi pagi gue pake."
"Kapan disitanya?"
"Gak disita sih, cuman panitia bilang jaketnya kasih ke panitia dulu." Arin diam dan menyadari sesuatu. Megan masih memakai maskernya. "Lo gak kasih masker lo ke panitia?!" tanya Arin terkejut.
"Aku gak tau ada peraturan gitu."
Arin menganga mendengar jawaban tanpa beban dari Megan. "Lo kaya si Lintang dah. Tadi switer dia juga gak disita, dia malah langsung masukin switernya ke tas. Dan sekarang gue suruh dia ambilin jaket gue di panitia."
"Lintang itu pacar kamu?"
Arin tertawa geli, ia meneriaki seorang cowok yang sedang berjalan ke arah mereka. "Woy Lintang, dia ngira gue pacar lo. Parah banget sih, lo gak tau Lintang?"
Megan yang baru pertama kali melihat Lintang cukup terkejut. Dan pertanyaan Arin membuat Megan memperhatikan Lintang dengan lekat kemudian berkata, "enggak, aku baru tau dia."
"Apaan sih! Buruan gua tinggal!" ucap Lintang dan meninggalkan mereka ke parkiran.
Arin yang tak tega meninggalkan Megan langsung menawarkan tumpangan pulang.
"Tapi aku gak tau alamat rumah aku," ucap Megan.
"Gampang, ayo buruan." Tangan Megan ditarik Arin pelan.
Mereka berdua masuk ke mobil tanpa memperdulikan Lintang yang meminta penjelasan pada Arin.
"Kasihan Tang, dia belum dijemput," kata Arin saat melihat tatapan tajam Lintang di kursi kemudi.
Lintang dengan malas berkata, "rumahnya dimana?"
"Nah itu masalahnya! Dia lupa alamat rumahnya, jadi ayo kita cari!"
"Ehh Rin, nyari rumah tanpa alamat itu susah, bakal lama juga. Lo cari sendiri aja deh, gue mau pulang."
Arin memukul bahu Lintang keras hingga cowok itu meringis kesakitan, sedangkan Megan merasa tak enak dan kembali menghubungi kakak dan orangtuanya.
Dering telfon milik Arin membuat gadis itu terkejut. Megan tak sengaja mendengarnya, sepertinya ada yang menjemput Arin.
"Tang, gimana dong? Abang gue jemput, mau langsung ke Batam gue."
"Lah besok lo gak masuk?"
"Bokap udah bilang ke guru."
"Terus dia gimana??" Arin kembali memukul bahunya. "Lo jangan jutek gitu! Jahat banget lo sama cewek! Bantuin dia pokoknya, awas aja kalo enggak. Gue aduin nyokap lo nanti."
"Apa urusannya?!"
"Pokoknya lo harus anterin, dan Megan gue udah dijemput abang gue. Lo pulang dianterin Lintang okay? Bye, hati-hati."
Megan membuatkan matanya, bingung dengan situasi yang ia hadapi.
"Emang lo gak takut apa dianterin cowok yang gak lo kenal?"
Megan diam, ia langsung membuka pintu mobil Lintang dan keluar begitu saja.
Sekarang giliran Lintang yang terkejut, ia melihat Megan yang menunggu di lorong sekolah.
Ckkk, gua mau pulang cepet aja susah banget kayanya.
Lintang keluar dari mobil, mendekati Megan dan memberikan switernya.
"Pake!" jelas Lintang ketika melihat Megan kebingungan.
"Eng... Enggak usah," ucap Megan lalu menjauh dari Lintang.
Lintang bisa melihat bibir Megan yang mulai pucat, gadis itu menahan rasa dingin yang mulai menusuk dirinya.
"Pakai switernya, kalo sakit gak bisa ikut MPLS besok," ucap Lintang sambil memberikan switernya.
Sedang dalam hatinya Lintang merutuki ucapannya yang so manis.
"Udah pake aja, susah amat sih!" Lintang gemas karena Megan tak menerima switer yang ia berikan, lantas Lintang menarik tangan Megan untuk menerima switernya.
"Pake switernya ya.... Anginnya kenceng, kalo lo sakit gue kesel sendiri jadinya."
Description: Masa putih abu yang penuh akan bumbu romansa yang hadir dalam persahabatan Lintang dan Megan.
Lintang, siswa pintar yang selalu mengikuti les saat pulang sekolah serta menjadi bagian dari club matematika di sekolahnya.
Dan Megan, siswi dengan kegiatan yang monoton, datang ke sekolah, belajar, lalu pulang ke rumah. Megan tak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler apapun di sekolahnya, ia anak rumahan yang tak memiliki banyak teman di sekolahnya.
Perasaan Megan tumbuh ketika pesawat sudah terbang membawa Lintang pergi darinya. Hubungan mereka cukup sederhana, dan manis, sosok Lintang mampu membuat pipinya pegal karena senyum dan tawa yang Lintang bawa untuknya.
|
Title: Re: Ka
Category: Cerita Pendek
Text:
Senja dan Cerita Luka
Langit merah menyala, ketika matahari tersangkut di cakrawala. Langit
kemerahan berbalut awan – awan yang bergumul seperti permen kapas di pasar
malam. Halo ! Semoga kamu baik karena disini aku selalu baik. Aku harap kamu
tidak benar – benar memercayainya, karena siapa pula yang percaya kalau
kabarnya selalu baik – baik saja. Kamu masih disana kan ? Maaf ya, aku langsung
bilang kalau kabarmu baik karena menurutku pertanyaan apa kabar adalah
pertanyaan penting paling tidak penting. Kenapa aku bilang begitu ? Ya, karena aku
tidak mau saja orang berkata baik padahal kabarnya sedang tidak baik.
Aku menulis ini saat senja. Ya, senja. Saat matahari tersangkut di
cakrawala dan membuat sebagian dunia menjadi merah menyala. Senja. Apa kamu
menyukai senja ? Hmm aku tidak tahu kamu menyukainya atau tidak, karena saat
bersamamu suaraku jadi kehilangan dayanya. Jangan tanya kenapa, aku juga tidak
tahu penyebabnya. Apa kamu tahu, sepasang manik legammu selalu mengalihkan
pandanganku. Kadang aku bertanya sebenarnya warna hitam itu, warna matamu atau
warna hidupmu ? Hmm kalau tidak mau jawab juga gapapa lagi pula itu pertanyaan
tidak penting. Huh. Senja. Apa kamu seperti Alina ? Apa aku harus jadi seperti
Sukab dan memberimu sepasang senja lalu memasukkannya ke dalam amplop dan memberikannya
padamu ? Bahkan aku tidak tahu kamu menyukai senja atau tidak.
Bagaimana senja di rumahmu ? Apa senja disana juga merah ? Aku melihat
senja di atap rumah, itu pun baru pertama kali aku melihat senja begitu lama
karena teringat padamu. Apa kamu tahu, sayang ? Kenapa senja yang kamu lihat
berwarna merah ? Apa kamu pernah berpikir sekali saja, hanya sekali, bahwa
senja adalah cara langit memberi tahu bahwa dirinya sedang terluka ? Kamu masih
ada disana kan ? Apa kamu tahu sayang, sebab senja berwarna merah ? Kamu tahu
kan saat tangan kita tangan kita tergores pisau lalu muncul darah yang berwarna
merah. Ya kamu pasti tahu. Senja sedang terluka sayang. Itu sebabnya senja berwarna
merah. Dahulu pagi adalah kekasih malam, tapi karena pagi terlalu berisik malam
pun berkhianat pada pagi dengan bercumbu dengan sang purnama. Pagi akhirnya
memilih senja sebagai kekasihnya, tetapi sebenarnya pagi tidak benar – benar
mencintai senja. Itu sebabnya senja memerah. Senja terluka. Senja kecewa. Senja
marah. Senja ingin memberi tahu kepada seluruh dunia bahwa dia sedang terluka,
tetapi manusia tidak pernah bisa memahaminya dan malah menyebut senja sebagai
keindahan.
Apa kamu tahu, apa karma yang pagi dapat karena telah menipu senja,
sayang ? Lihatlah ! Lihat bagaimana orang – orang lebih menyukai sunset daripada
sunrise. Lihatlah, bagaimana orang – orang begitu memuja senja tanpa
pernah tahu apa yang fajar bawa di hari esok. Mungkin... Mungkin karena
kehilangan lebih berbekas daripada kedatangan. Mungkin karena luka lebih bisa
menyatukan beragam perasaan. Mungkin juga karena manusia terlalu larut dalam
sedihnya sampai lupa bahwa hari esok akan jauh lebih baik daripada hari
sebelumnya.
Apa kamu tahu, sayang ? Apa yang ingin senja sampaikan kepada kita,
manusia ? Bahwa hanya orang – orang yang pernah terluka hatinya yang mampu
mencintai senja dengan segenap dirinya. Apa kamu mau aku beritahu satu rahasia
kecil ? Senja yang kamu kenal, berbeda dengan senja yang selama ini aku kenal.
Senja tidak hanya satu di bumi ini, sayang. Karena senja menetap pada diri
setiap orang yang pernah terluka hatinya. Aku adalah senja. Ya. Aku senja yang
telah kamu rampas langitnya. Aku adalah senja sekarang. Sejak salam perpisahan,
kamu hadirkan dengan sebuah pelukan.
Description: Berapa kali pun kamu baca rasanya akan tetap sama: HAMPA
|
Title: RINDU BULAN BERSINAR
Category: Cerita Pendek
Text:
BaB 1
Mika hanya menunduk saat melihat puluhan mata hanya memandang dirinya dari bawah. Tanpa disadari ia berada di sebuah panggung kecil yang berada di sebuah aula. Mika membayangkan wajah kedua orang tuanya yang terlihat marah hingga mengurungkan niatnya untuk menunjukkan bakat terpendamnya.
"Ayo dek, sudah bisa di mulai?" Tanya pengisi acaranya.
Namun perlahan Mika meletakkan mic nya di gagang dan berlari turun ke panggung. Semua menatap dengan heran saat Mika berlari keluar dengan mata berkaca-kaca. Sampai di depan pagar gedung Mika menarik nafas panjang, air matanya mulai menetes di pipinya, ia pun tak kuasa menahan tangis, lalu lalang kendaraan yang melintas pun tak di gubrisnya sama sekali.
"Kamu kenapa dek?" Tanya seorang laki-laki berumur dua puluh tahun saat melewati trotoar jalan. Sementara Mika hanya menggelengkan kepala sambil mengusap air matanya. "Orang tuanya mana?"
"Di rumah kak." jawab Mika dengan nada terisak. Kemudian Mika berlari melewati trotoar. Sementara pria remaja itu bingung melihat keadaan Mika. Pria itu melihat sebuah gedung serbaguna.
Perlahan pria remaja itu mencoba masuk ke dalam halaman gedung itu dan melihat ada beberapa orang sedang berkumpul dan membaca sebuah spanduk. Pria itu mengangguk tanda sedikit memahami keadaanya.
"Eh.. Maaf mas, ini lomba nyanyi ya?" tanya Pria remaja itu.
"Iya Mas, tadi lihat anak laki-laki yang memakai kemeja kotak-kotak gak?" tanya seorang pria bertopi.
"Oh yang tadi itu? Saya lihat... Dia nangis trus pergi, emang kenapa dia mas?" tanya Pria itu dengan rasa penasaran.
"Oh dia tadi perserta, namanya Mika, pas mau nyanyi dia malah turun ke panggung, oh ya mas ini siapanya Mika ya?" tanya pria itu.
"Oh saya kebetulan lewat gedung ini, dan melihat anak itu menangis di depan pagar." jawab pria itu.
"Oh saya panitianya acara ini. Saya pikir mas ini saudaranya atau kerabatnya." tanya Pria itu.
"Oh bukan, saya gak ada hubungannya, oh ya kira-kira ini audisinya sampe kapan ya mas?" tanya remaja itu.
"Sampai empat hari kok." jawab Pria itu yang ternyata panitia acara.
"Oh perkenalkan saya Ridho, kalau begitu saya permisi dulu ya mas." jawab remaja pria itu.
Akhirnya Ridho berjalan keluar sambil melihat kearah sekeliling jalan. Tak tampak anak itu yang bernama Mika. Dengan perlahan akhirnya Ridho meninggalkan gedung itu.
*********
Ridho melangkahkan kaki ke sebuah mall besar, etalase dan dekorasi mall yang terlihat mewah menambah ketertarikan bagi para pengunjung.
Ridho masuk ke sebuah boutique baju yang terletak tak jauh dari hall sebuah mall itu dan bertemu dengan teman-teman kerjanya. Setelah meletakkan tas dan berganti seragam ia mulai aktivitasnya di boutique itu.
**************
Perlahan Mika masuk ke bilik rumahnya yang sepi, suasana yang tampak kosong membuat Mika berjalan menginjak lantai tua yang berwarna abu-abu gelap. Pandangannya melirik ke sekeliling ruang makan dan dapur. Namun tak ada siapun yang ia lihat. Mika perlahan berjalan ke sebuah kamar yang pintunya tidak tertutup rapat, dilihatnya Ibunya sedang beribadah menggunakan mukena. Perasaanya mulai sedikit tenang dan kembali masuk ke kamarnya untuk berganti baju.
Setelah berganti baju, Mika berjalan ke dapur untuk mencuci piring. Terlihat tumpukan peralatan makan dan masak yang tergeletak tak beraturan. Dengan perlahan Mika mengambil sabun cuci dan mulai mencuci piring.
"Mika.. Dari mana kamu?" tanya Ibunya saat masuk ke dapur. Mika pun menoleh ke arah Ibunya.
"Hmm.. Dari rumah temen Bu." jawab Mika dengan senyum kecutnya.
"Kenapa gak pamit sama Ibu? Apa kamu sudah makan siang?"
"Belum Bu, nanti aja, Ibu udah makan?"
"Baru selesai masak, ya udah kita makan sama-sama ya." kata ibunya sambil menyiapkan peralatan makan. Mika pun mengangguk dan kembali menyuci piring.
******
Malam Itu Mika sedang membantu Ibunya menyiapkan makan, tak lama Ayahnya datang sambil membawa peralatan bangunan dan meletakkan di sudut dapur. Kemudian Ayahnya duduk di hadapan Mika. Dengan wajah letih dan hanya terdiam memandang lauk yang ada di atas meja.
"Bu, teh saya mana?" tanya Ayahnya.
"Ini Pak baru selesai dibuat." jawab Ibunya Mika dan meletakkan secangkir gelas berisi teh hangat dan duduk di sampingnya.
"Pak....." kata Mika dengan wajah gugup. Sementara Ibunya sedang menyendok nasi dan lauk untuk Ayahnya. "Mika kapan bisa sekolah?" Sambung Mika dengan wajah sedikit ketakutan.
"Bapak belum ada uang buat sekolahin kamu, nanti kalau sudah terkumpul baru kamu bisa masuk sekolah." jawab Ayahnya sambil menikmati makan malam.
"Atau Mika boleh ikut Bapak kerja?" Tanya Mika dengan wajah menunduk.
"Kamu pikir pekerjaan Bapak tidak berat? Sudah kamu nanti jualan saja, biar Ibu mu yang buat makanan, kamu jualan sana di pasar!"
"Hmm.... Kalau Mika ikut lomba nyanyi boleh Pak? Hadiahnya lumayan. Bisa buat bantu Bapak atau Ibu." kata Mika memberanikan diri.
"BRAAAAAAAKKKKK!!!" Terdegar suara meja yang di pukul. Sontak membuat Ibu dan Mika terkejut.
"Sudah Bapak Bilang! Gak ada gunanya kamu ikut-ikut itu! Masa depanmu mau jadi apa? Artis? Kamu pikir semua gak butuh modal? Pikir sampe di situ! Memang suara kamu bagus? Hah!" kata Ayahnya dengan mata tajam menatap Mika.
"Pak. Sudah sabar Pak, jangan marah, Mika cuma tanya." sahut Ibunya dengan wajah khawatir. Perlahan Ibunya menatap wajah Mika, dengan mata berkaca-kaca Mika berusaha menahan tangis di hadapan Ayahnya.
"Apa kamu! Mau nangis! Laki-laki gak boleh lemah! Gak usah macem-macem sama impian kamu yang gak masuk akal! Sudah besok bantu Ibumu jualan!" kata Ayahnya.
Mika pun menatap Ibunya, matanya berkaca-kaca, hatinya hancur saat mendengar ucapan Ayahnya, bibirnya gemetaran tak kuasa menahan tangis, sampai akhirnya Mika berlari ke kamar dan menutup pintu kamarnya.
"Laki laki kok cengeng! Ini pasti ajaran kamu ya! Anak dimanjain! Sampe lemah!" sahut Ayahnya. Sementara dengan wajah sedih Ibunya Mika beranjak dari duduknya dan mengambil piring Mika dan pergi ke kamar Mika.
*****
Terlihat Mika sedang menangis di kasur, sambil menutup dadanya dengan bantal, perlahan Ibunya masuk ke dalam kamar dan duduk di samping Mika.
"Mika, sabar ya, jangan di masukkan ke hati, maafkan Bapakmu, mungkin Bapak lelah, ayo Ibu suapi." kata Ibunya sambil menyendoki lauk ke bibir Mika. Perlahan Mika mengusap air matanya dan menikmati suapan Ibunya. "Besok Ibu buatkan gorengan, nanti kamu jual ke pasar ya, kalau besok dagangannya habis, Ibu akan membrrikan upah buat kamu ya nak." Sambung Ibunya.
Sementara Mika dengan hati yang mulai tenang mengangguk mendengar ucapan Ibunya.
****
Pagi itu Mika keluar kamar mandi, di lihatnya Ibunya sedang menyiapkan dagangannya dapur. Sementara Ayahnya sedang menikmati sarapan di meja. Kemudian Mika masuk ke kamar untuk berganti baju.
Setelah sarapan Mika pamit kepada Ibunya sambil membawa sekotak dagangan yang telah di tutup rapat.
"Mika, kamu hati-hati ya dijalan, kalau siang kamu lapar kamu boleh kok ambil beberapa kue dagangan. Ibu gak akan mengharuskan dagangan habis terjual, yang penting kamu sudah berusaha. Kalau mau nyebrang hati-hati, uang dagangannya jangan lupa disimpan baik-baik." Kata Ibunya sambil mengusap rambutnya. Mika pun hanya mengangguk dan mencium tangan Ibunya dengan rasa hormat, setela itu Mika berjalan keluar gang rumahnya menuju pasar.
******
Matahari sudah semakin bersinar terang, lalu lalang kendaraan dan orang-orang beraktivitas menghiasi Ibu Kota. Tak lama Mika sampai di sebuah pasar tradisional, dengan suara yang pelan Mika mulai menjajakan dagangannya. Namun tak satupun ada yang menghapiri Mika. Ia mulai berkecil hati, sesekali ia melihat sekeliling yang terlihat ramai untuk menawarkan dagangannya.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Mika duduk di dekat kios penjual beras. Matanya hanya memandang ke sekeliling untuk mencoba terus mencari pembeli.
"Mah.. Aku mau gorengan itu!" kata seorang anak kecil saat melewati Mika.
"Silahkan Ibu gorengannya masih hangat, dan enak." Jawab Mika dengan senyum manisnya.
"Berapaan ini pastelnya? Isinya apa aja?" tanya Ibu itu.
"Dua ribu limaratus bu, ada wortel, kentang dan bihun." kata Mika.
"Ya sudah beli dua saja tolong di bungkus ya." sahut Ibu itu. Dengan semangat Mika mengangguk dan menyiapkan dagangannya. Setelah membayar Ibu itu pergi bersama anaknya.
Mika mulai optimis, hatinya senang saat memegang uang limaribu dan segera mengantonginya di saku celana.
"Mika?" tanya seseorang remaja. Dengan wajah bingung Mika menatap pria itu. "Kamu Mika kan?"
"Iya Kak.. Maaf...Kakak siapa ya?" tanya Mika. Remaja itu duduk di samping Mika.
"Aku kak Ridho."
"Maaf kak Ridho mana ya?" tanya Mika heran.
"Kemarin kamu ikut audisi kan di gedung serbaguna itu, waktu Kakak lihat kamu nangis depan pagar. Apa kamu ingat?" tanya Ridho.
"Oh iya Kak... Ingat..."
"Kamu tinggal daerah sini?" tanya Ridho.
"Hmm..ia kak, Aku tinggal di belakang pasar ini." jawab Mika.
"Kemarin kamu kenapa nangis? Gak jadi ikut audisi nyanyi?" Tanya Ridho, sementara Mika hanya terdiam menunduk. "Ehh.. Maaf kalau buat kamu sedih.... Oh ya kamu jualan apa?"
"Ini Kak, ada pastel, pisang goreng dan bakwan." kata Mikha.
"Wah Aku beli deh."
"Mau beli berapa Kak?" tanya Mika.
"Aku beli dua puluh ribu!" kata Ridho.
"Hah serius Kak?" tanya Mika.
"Iya, serius... Nih uangnya." jawab Ridho sambil memberikan uang duapuluh ribu. Dengan cekatan Mika langsung mengambil plastik dan memasukkan gorengannya ke dalam plastik bening.
"Ini Kak.., mau pake cabai rawit?" tanya Mika tersenyum.
"Hmm.. Mau..." jawab Ridho.
Dengan perasaan senang Mika menerima uang yang di berikan Ridho.
"Kakak mau kemana?" Tanya Mika.
"Aku mau cari kebutuhan dapur." jawab Ridho. "Oh ya besok kamu kemana?"
"Kenapa Kak?" tanya Mika.
"Besok di kampus kakak ada acara, kamu mau gak ngisi acara disana?" tanya Ridho.
"Acara apa?"
"Acara kampus aja, kebetulan Kakak ini panityanya. Kamu mau nyanyi kan?" tanya Ridho. Dengan wajah senang Mika mengangguk tapi tiba-tiba ia terdiam. "Kenapa diam? Kok sedih mukanya?"
"Hmm... Takut gak boleh sama Ayah." kata Mika.
"Hmm.. Gini aja, kamu alesannya datang ke ulang tahum teman, nanti kita ketemu disini ya! Tenang gak lama kok, abis itu kamu boleh pulang, gak jauh kok kampus Kakak dari sini, gimana?"
Dengan wajah bingung Mika terdiam, dan mengangguk.
"Oke deh sampai ketemu besok ya jam delapan pagi!" kata Ridho.
Kemudian Ridho segera beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam pasar. Dengan wajah antara senang namun takut Mika hanya terdiam.
BAB 2
Perlahan Mika berjalan di depan pagar kampus. Namun langkahnya terhenti, sementara Ridho terdiam terlihat Mika yang hanya terdiam. Suasana kampus pagi itu cukup ramai dengan kehadiran para mahasiswa dan mahasiwi.
"Kamu kenapa Mika? Jangan takut, Kakak pasti temani kamu kok. Kita ke ruangan kelas ya, nanti kita ketemu sama memain gitarnya." kata Rodho sambil tersenyum.
Mika menarik nafas panjang dan menggandeng tangan Ridho. Mereka akhirnya berjalan masuk ke dalam kampus.
Terlihat pangung kecil di tengah-tengah lapangan dengan tenda dan hiasan yang bagus. Semua banyak berkumpul di temgah lapangan. Suara pemandu acara sefanf membacakan susunan acara. Mika dan Ridho akhirnya masuk ke dalam. Mereka bertemu pemain gitar yang bernama Fikri.
"Fik, ini namanya Mika, yang kemaren gua ceritain itu loh. Waktu gua mau ke kampus ketemu dia di sebuah audisi." kata Ridho.
"Oh Hallo... Aku Fikri, salam kenal ya Mika, kamu mau nyanyi lagu apa?" tanya Fikri. Sementara Ridho menghampiri bagian konsumsi untuk memberikan sebuah snack dan minuman.
"Mika, mau sarapan dulu? Ini Kakak udah siapin makanan kecilnya ya." kata Ridho.
"Ayo sambil makan biar kaka Fikri cari nada buat lagu kamu ya."
Terlihat Mika dan Fikri sedang berdiskusi masalah lagu untuk penampilan mereka. Sementara Rodho tersenyum dari kejauhan dan berjalan menuju acara untuk mengkoordinasi pada pembawa acara.
Setelah beberapa menit akhirnya pembawa acara memanggil Fikri dan Mika. Tepuk tangan riuh dari para penonton pun terdegar di telinga Mika.
"Saat nya kamu tunjukan bakatmu ya! Kita pasti bisa!" kata Fikri. Dengan megangguk perlahan Mika berjalan menuju panggung kecil.
"Baiklah ini sebuah persembahan kecil dari kami, kenalkan seorang penyanyi berbakat yang bernama Mika, anak yang punya talenta luar biasa." kata Fikri. Kemudan Fikri mulai memetik gitarnya. Semua mata tertuju pada Mika. Dengan wajah gugup Mika menunduk menahan malu.
"Hayo Mika kamu pasti bisa! Boleh tepuk tangannya sekali lagi yang meriah untuk adik jita Mika?" kata pembawa acara. Suara riuh tepuk tangan pun bergemuruh membrtikan semangat pada Mika.
Perlahan Mika memegang mic dan mulai bernyanyi. Semua terkejut dan terkesima saat mendengar suara merdu Mika. Fikri pun takjub dengan suara Mika yang jernih dengan alunan nada yang pas. Sementara Ridho pun tak bisa berkedip melihat bakat Mika. Dengan penuh semangat Rodho menepuk tangan, sontak membuat para penonton ikut bertepuk tangan memberikan apresiasi pada penampilan Mika.
Setelag beberapa menit berlalu akhirnya Mika dan Fikir pamit untuk turun ke panggung. Saat Mika berjalan banyak mahasiswi yang ingin berfoto dengan Mika.
"Ayo Mika gak apa-apa... Kamu hari ini seorang idola di kampus ini." kata Fikri. Akhirnya dengan senyum manisnya Mika menerima tawaran foto dari para mahasiswi dan mahasiswa.
Akhirnya Mika masuk ke dalan kelas, Fikri memeluk Mika dan mengucapkan selamat.
"Wah hebat kamu Mika! Suara kamu membius para penonton! Kamu calon bintang!" kata Fikri.
Tak lama Ridho pun masuk ke dalam kelas melihat wajah Mika dan memeluknya.
"Mika, kaka bangga sana kamu! Gimana perasaan kamu?" tanya Ridho.
"Hmmm.. Grogi awalnya kak tapi akhirnya karena dengar suara tepuk tangan buat Mika semangat."
"Trimakaish ya Mika sudah meramaikan acara." kata Ridho sambil memberika sebuah amplop putih. Mika pun bingung melihat sebuah amplop putih yang diberikab padanya.
"Ini apa Kak?" tanya Mika.
"Ini Hadiah buat Mika karena sudah mengisi acara di kampus ini. Oh ya ini jangan lupa snack untuk orang dirumah." kata Rodho.
Dengan wajah berseri Mika tersenyum dan memeluk Ridho.
*******
Siang itu Mika perlahan masuk ke dalam rumahnya, terlihat suasana sepi. Mika pun berjalan menuju dapur dan melihat Ibunya sedang menyetrika.
"Sudah acaranya?" tanya Ibunya Mika.
"Sudah Bu." kata Mika dan memberikan sekotak makanan dan amplop putih.
"Ini amplop apa Mika?" Tanya Ibunya dan perlahan membuka amplop yang berisi sejumlah uang. "Kamu abis ngapain? Apakah kamu mencuri?"
"Nggak Bu, Mika abis menyanyi di kampus di ujung jalan." kata Mika.
"Hah? Nyanyi? Siapa yang ngajak?" tanya Ibunya heran.
"Ada Bu, namanya kakak Rodho, dia orang baik Bu. Ini upah Mika bernyanyi." kata Mika dengan wajah tersenyum. Sementara Mika melihat mata Ibunya yang berkaca-kaca dan memeluk Mika.
"Mika.. Kenapa harus berbohong sama Ibu kalau kamu mau mengisi acara?" tanya Ibunya.
"Maafkan Mika Bu, hm..cuma takut Ibu marah sama Mika, tapi tolong jangan bilang Ayah ya Bu."
"Iya nak.. Ibu akan jaga rahasia ini." kata Ibunya sambil memberikan amplop kepada Mika.
"Kok amplopnya dikasih ke Mika?" tanya Mika heran.
"Ini hasil usaha kamu, jadi kamu tabung ya Mika, Ibu gak pernah minta apapun dari kamu." kata Ibunya. Dengan mata berkaca-kaca Mika memeluk Ibunya dengan erat.
"Makaish Ibu sudah mengizinkan Mika untuk bernyanyi." kata Mika dengan berlinang air mata. Ibunya pun mengangguk dan mengusap punggung Mika.
BAB 3
Malam itu Mika dan Ibunya sedang duduk di meja makan, terlihat Ayahnya datang setelah mandi dan duduk di bangku. Ibunya pun langsung menyiapkan nasi di piring untuk Ayahnya.
"Wah... Ada ayam, lalapan, martabak.." kata Ayahnya sambil menikmati makan malam.
"Gimana Pak? Enak ayamnya?" tanya Mika.
"Enak kok, hari ini dagangan nya laku keras ya?" tanya Ayahnya. Sementara Ibu dan Mika saling menatap.
"Eehh.. Tadi pagi....." Kata Mika.
"Ehh.. Tadi pagi Mika berjualan sampai di kompek sana Pak... Makannya dagangannya langsung ludes." kata Ibunya dengan wajah gugup dan tetap tersenyum menandang Mika, sementara Mika menggigit bibirnya dengan perasaan cemas.
"Oh yang di komplek orang-orang kaya itu ya? Wah Bapak juga pernah dapet orderan di situ untuk bangun teras rumah. Besar-bedar rumahnya." kata Ayahnya. "Besok yang semangat lagi dagangnya ya!" kata Ayahnya Mika. Dengan perlahan Mika mengangguk dan menikmati makan malam.
********
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, suara radio menggaungkan alunan keroncong terdengar sayup-sayup di ruang tamu. Ibu Mika sedang melipat baju yang sudah kering. Sementara Mika terbaring di dekat Ibunya.
"Bu... Kenapa Ibu berbohong sama Ayah?"
"Hmm.. Mika, kan kamu tau Ayahmu gak suka kalau kamu bernyanyi, karena itu daripada nanti kamu dimarahin Ibu terpaksa berbohong." jawab Ibunya.
"Tapi kan nanti kalau Ayah tau Ibu berbohong Ayah marah sama Ibu."
"Karena itu kita jaga rahasia ini ya, jangan sampai Ayah kamu tau." kata Ibunya Mika sambil memberikan jari keingking. Dengan senyum manis Mika membalas salam jari kelingking tanda janji pada Ibunya. Perlahan Ibunya mengusap rambut Mika. "Ya sudah kamu sekarang tidur ya, besok kan mulai dagang lagi."
"Iya Bu..." jawab Mika sambil merapihkan bantal lusuhnya dan membalikkan badan ke arah tembok. "Bu......" panggil Mika.
"Iya Mika...?"
"Trimakasih ya sudah mengizinkan Mika bernyanyi. Trimakasih atas pengorbanan Ibu menjaga rahasia ini." kata Mika.
"Ia Mika sama-sama... Selamat tidur anak Ibu yang paling Ibu sayang." jawab Ibunya. Namun air mata Ibunya menetes mendengar ucapan Mika yang begitu polos dan tulus. Kemudian Ibunya beranjak dari duduknya dan mematikan lampu kamar. Sementara Mika setelah berdoa ia memejamkan mata, membayangkan saat tepuk tangan dari para penonton, tanpa disadari bibir mungilnya tersenyum bahagia.
******
Pagi itu setelah berpamitan Mika berjalan menuju pasar untuk menjual dagangannya. Dengan semangat Mika menjajakan dagangan Ibunya.
"Hai Mika....." kata dua orang anak remaja dengan memakai kerudung dan membawa seplastik belanjaan.
"Iya Kak... Maaf dengan siapa ya?" tanya Mika heran.
"Aku shifa dan aku Anisa, kemarin kamu kan ngisi acara di kampud kita. Wah suara kamu bagus loh..." kata Mereka.
"Oh trimakasih Kak.." jawab Mika dengan wajah tersipu malu.
"Oh ya kamu kenapa gak ikut audisi aja Mika?" Tanya Shifa.
"Audisi apa kak?" tanya Mika heran.
"Itu lomba karaoke yang di adakan di kecamatan. Hadiahnya lumayan loh. Ayo kamu ikut ya, pendaftarannya gratis kok, nanti kakak bantuin untuk mendaftarkan, gimana?" tanya Shifa, namun Mika dengan ragu hanya terdiam.
"Kenapa kamu diam Mika? Kamu gak mau ikut lomba?" tanya Anisa.
"Hmm.. Bukannya gak mau Kak, tapi..... Takut Ayah Mika tau."
"Oh memang gak boleh ya?" Tanya Anisa dengan wajah sedih. Mika pun mengangguk sedih.
"Tapi hadiahnya lumayan loh, selain ada piala, piagam, dan ada orang-orang bintang radio juga." kata Sifa.
"Iya Kah?" tanya Mika dengan rasa penasraan.
"Kemarin kamu di ajak siapa nyanyi dinkampus?" tanya Anisa.
"Hmm.. Sama Kakak Ridho." jawab Mika.
"Oh Kak Ridho, ya udah gini aja, gimana kalau sekarang kita anterin daftar lomba?" tanya Sifa.
"Hmmm... Tapi Kak...."
"Kenapa?" Tanya Sifa.
"Maaf, Mika gak punya baju baru untuk lomba." kata Mika.
"Oh tenang, nanti Kaka yang akan pinjami kamu baju, kebetulan Kakak punya adik seumuran sama kamu. Jadi besok pagi kita daftar ya!" kata Sifa. Dengan wajah penuh semangat Mika mengangguk.
"Eh Mika kamu dagang apa ini?" tanya Anisa.
"Oh ini dagang Ibu Mika, ada gorengan, ada pastel, pisang goreng dan bakwan." kata Mika.
"Wah kaka mau beli deh, dua puluh ribu ya." kata Anisa.
"Iya Kak." jawab Mika sambil menyiapkan dagangannya. Kemudian memberikan bungkusan plastik kepada Anisa. "Trimakasih ya Kak sudah beli dagangan Mika.
"Sama-sama, yang semangat ya dagangnya, jangan lupa besok kita sama kaka Ridho akan antar kamu untuk daftar lomba ya." kata Sifa.
Akhirnya mereka berpamitan dan Mika menatap kakak-kakak itu dengan senyum manisnya. Kemudian Mika kembali menjua dagangannya.
******
Sore itu Mika pulang ke rumah, dan berjalan ke dapur menemui Ibunya. Telihat Ibunya sedang memasak untuk makan malam.
"Eh sudah pulang, gimana Mika hari ini dagangannya habis?" tanya Ibunya Mika.
"Alhamdulillah habis Bu. Hmm... Bu..."
"Iya Mika?"
"Tadi pagi Mika ketemu sama kakak-kakak kampus, mereka menawarkan lomba di kecamatan, hadianya lumayan katanya Bu, dan ada bintang radio juga yang datang." kata Mika.
"Wah serius? Tapi bayar berapa uang pendaftarannya?"
"Katanya gak bayar Bu, dan kakak itu mau meminjamkan baju untuk Mika. Boleh ya Bu?"
"Memang acara lombanya kapan?"
"Mika belum tau Bu, tapi besok kan baru pendaftarannya." jawab Mika.
"Iya Boleh, tapi abis mendaftar kamu jualan lagi gak apa-apa?" tanya Ibunya Mika.
"Iya Bu.. Beneran Mika boleh ikut lomba?"
"Boleh sayang."
"Tapi.. Kalau Ayah tau gimana?" tanya Mika dengan wajah sedih.
"Tenang, Ibu yang akan bantu buat jaga rahasia kita, kan kita sudah janji." kata Ibu Mika sambil menyodorkan jari kelingking. Mika pun membalas salam jarinkelingking dan langsung memeluk Ibunya.
"Makasih ya Ibu, Mika sayang sama Ibu."
"Ibu juga sayang sama Mika." jawab Ibunya sambil mencium pipi dan kening Mika.
BAB 4
Pagi itu Mika berjala dengan Anisa, Sifa dan Ridho. Mereka mendaftarkan Mika untuk lomba menyanyi. Dengan membawa dagangan Mika hanya terdiam melihat para panitya yang sedang mencatat data.
"Itu kamu bawa apa?" Tanya seorang panitya.
"Eh.. Bawa dagangan Om...." jawab Mika.
"Dagangan?"
"Iya Mas, ini dagangan Ibunya, ada gorengan, enak loh dagangannya, kita pernah beli." Kata Anisa.
"Iya serius, saya juga pernah beli loh mas." sahut Ridho.
Kemudian para panitya melihat dagangan Mika dan mengambil beberapa buah dagangannya.
"Wah ini enak loh pastel nya! Pisangnya juga manis! Okeh, kita borong semuanya ya!" kata seorang panitya.
"Hah serius Om?" tanya Mika.
"Serius! Ayo di hitung berapa semuanya? Oh ya minggu depan kami pesan bisa?" tanya panitya itu.
Kemudian mereka memberikan catatan dan uang kepada Mika. Hampir tidak percaya disaat Mika mendaftarkan diri untuk lomba, akhirnya dagangannya ludes terjual dan mendapat pesanan untuk acara minggu depan. Dengan sangat bahagia Mika mengucapkan trimakasih pada semuanya dan segera membritahukan Ibunya.
***********
Sore itu Mika masuk ke dalam dapur melihat Ibunya sedang mencuci piring. Tiba-tiba Mika memeluk Ibunya dengan erat.
"Eh Mika sudah pulang, gimana dagangannya?"
"Ludes lagi Bu, katanya enak masakan Ibu, trus ini Bu ada uang buat pesanan minggu depan." kata Mika sambil memberikan kertas dan uang pembayarannya.
"Iya.. Waktu Mika mendaftar ditemanik kakak-kaka kampus panitiyanya ada yang bertanya Mika jualan apa, jadinya mereka membantu Mika untuk menjualkan makanan Bu."
"Wah Alhamdulillah kakak-kakak itu baik sama Mika, trus kamu bilang trimakasih gak sama kakak-kakaknya?" tanya Ibunya.
"Bilang Bu, kan Ibu yang mengajarkan Mika untuk selalu sopan santun terhadap orang lain, apalagi dengan orang-orang yang sudah membantu kita."
"Ibu bangga sama kamu Mika.... Ibu bangga!" kata Ibunya sambil memeluk Mika.
"Tapi Bu......"
"Kenapa Mika?"
"Kalau Ayah tau Mika ikut lomba gimana Bu? Mika gak mau Ayah marah sama Ibu." kata Mika dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah tenang saja, nanti biar Ibu yang ngomong sama Ayah, biar kamu boleh ikut lomba." kata Ibunya sambil mengusap rambut Mika yang lurus.
"Kalau Ibu yang di marahin? Mika sedih Bu."
"Hmmm.. Semoga Ayah gak marah, ya sudah kamu mandi ya, Ibu sudah siapkan masakan kesukaan kamu tuh." kata Ibunya Mika. Kemudian Mika kembali memeluk Ibunya dengan erat.
********
Malam itu Mika terbangun saat mendegar suara gaduh, ia tersadar saat Ayah nya berdebat dengab Ibunya di kamar. Perlahan Mika membuka pintu kamarnya dan menghampiri kamar orang tuanya. Dengan menempelkan kupingnya Mika mendengar di balik pintu. Tak kuasa Mika menangis saat mendengar Ibunya menangis. Ingin rasanya Mika menolong Ibunya, tapi Mika sangat takut dengan Ayahnya yang kasar dan suka main tangan. Perlahan Mika berjalan masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Tangisannya tak dapat di bendung. Mika berdo semoga perkelahian kedua orang tuanya terhenti. Mika merasa karena dirinya Ibunya menjadi korban kekerasan Ayahnya. Mika berlari naik ke kasur dan menangis membayangkan wajah Ibunya.
*******
Pagi itu Mika membuka pintu kamarnya, dan berjalan menuju dapur. Terlihat Ibunya sedang menyiapkan dagangannya.
"Eh anak Ibu sudah bangun, ayo mandi dulu trus sarapan." kata Ibunya sambil tersenyum menatap Mika.
"Bu.. Ayah mana?"
"Ayah sudah pergi di proyek, kenapa?"
"Semalem Ibu dimarahin Ayah ya?" tanya Mika, Ibunya pun tersenyum dan membelai rambut Mika.
"Ayo mandi dulu, nih sudah Ibu siapkan dagangannya." kata Ibunya.
Kemudian Mika bergegas pergi ke kamar mandi dan menikmati sarapan yang telah disiapkan Ibunya.
******
Mika berjalan di sisi parkiran pasar dengan tatapan kosong, wajahnya nampak murung, Mika masih kepikiran dengan kejadian semalam. Perasaannya campur aduk.
"Pagi Mika..." kata Anisa saat bertemu di dekat penjual sayur.
"Pagi Kak..."
"Aku mau beli pastel sama pisang gorengnya sepuluh ribu." kata Anisa. Dengan mengangguk Mika mempersiapkan dagangannya. "Kamu kenapa sedih Mika?"
"Kak... Maaf, sepertinya Mika gak bisa ikut lomba deh." kata Mika.
"Kenapa?" tanya Anisa.
"Semalem Ayah marah sama Ibu, Mika takut sama Ayah, Mika gak mau Ibu kenapa-kenapa."
"Oh gitu.. Wah sayang sekali ya, padahal kamu punya bakat yang bagus loh, tapi kenapa ya Ayah melarang Mika untuk bernyanyi?" tanya Anisa.
"Nggak tau Kak, pokoknya Ayah marah kalau Mika ikut lomba menyanyi."
"Tapi pesanan kuenya buat acara lomba gimana?" tanya Anisa.
"Oh, Ibu tetap menyiapkan kok Kak, tapi mungkin Mika cuma anter pesanan aja." kata Mika.
"Oh iya Mika smoga suatu saat nanti Ayah Mika gak akan marah lagi ya kalau Mika ikut lomba." kata Anisa. Dengan wajah sedih Mika hanya bisa mengangguk.
Description: Seorang anak laki-laki yang punya impian menjadi penyanyi namun orang tua nya tak mendukung karena keterbatasan hidup. Mereka berfikir impian anaknya adalah hanya khayalan semata. Namun dengan kegigihannya akhirnya anak itu bisa membuka mata hati kedua orang tuanya dengan perjuanganya yang sangat berat dan cobaan yang tak ada habisnya. #fiksi #ceritasedih #mimpi #impian #novel
|
Title: Ranya's Diary
Category: Teenlit
Text:
1. Hari Sial Ranya
Begini rasanya jadi pengagum rahasia? Oh, sungguh rasanya itu manis–manis pahit. Pernah berpikir untuk mundur teratur, tetapi ada saja hal yang membuat menjadi dekat. Terkadang ketika kita ingin menjauhkan diri dari seseorang yang benar– benar ingin kita jauhi malah didekatkan, begitu juga sebaliknya.
Lagi, Ranya menatap Reno dengan pandangan mata yang berbinar-binar seakan-akan Reno itu makhluk Tuhan yang paling sempurna. Sudah setahun belakangan ini dia mulai mengagumi sosok Reno. Entah mengapa bagi Ranya, Reno mempunyai daya tarik tersendiri.
"Ranya!! Kenapa masih di situ? Ayo cepat ikuti saya!" Teriak Bu Dama galak.
Ya, hari ini memang hari sial bagi Ranya. Bisa– bisanya dia terlambat datang ke sekolah tepat disaat kelas Reno sedang ada pelajaran olahraga. Ranya mengumpat dalam hati dan berharap semoga Reno tak melihat ke arahnya.
"Iya Bu, iya. Sebenarnya kita mau kemana sih Bu?" Tanya Ranya polos.
"Ke lapangan buat hukum kamu!" Kata Bu Dama sambil membenarkan kacamatanya yang melorot.
Sial, kenapa harus di lapangan sih. Kan Reno lagi olahraga. Gimana kalo dia liat gue. Rutuk Ranya dalam hati.
"Kenapa harus di lapangan sih,Bu? Saya mending disuruh bersihin kamar mandi deh Bu daripada ke lapangan sekarang" Kata Ranya dengan suara yang agak keras yang membuat semua murid tak terkecuali Reno yang sedang olahraga pun menoleh.
"Memangnya kenapa?" Kata Bu Dama sambil menarik tangan Ranya.
"Kan ada yang olahraga Bu" Kata Ranya sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar lapangan.
"Malah bagus dong! Biar kamu malu diliatin mereka" Kata Bu Dama yang membuat Ranya kesal setengah mati.
"Ibu mah jahat deh, aku enggak suka!"
"Saya hidup bukan buat kamu sukain kok!" Kata Bu Dama dengan entengnya.
"Udah sekarang kamu lari 10 putaran dan enggak boleh berhenti sebelum selesai! Oh, ya satu lagi, jangan coba-coba kabur ya Ranya Farasya! Kalau kamu ketahuan kabur, hukuman kamu saya tambah" Kata Bu Dama tegas pada Ranya.
"Banyak amat sih Bu? Nanti kalo aku capek gimana?"
"Cepat Ranya! Jangan banyak omong, buruan kerjakan perintah saya!" Kata Bu Dama dengan kedua tangan di pinggangnya.
"Iya Bu, iya" Kata Ranya pasrah sambil berlari mengelilingi lapangan.
Baru mendapat 3 putaran Ranya merasa sangat lelah. Maklum, dia belum sarapan tadi pagi karena terlalu terburu– buru berangkat sekolah. Ranya berlari pelan sekali, malah lebih bisa disebut dengan jalan cepat.
"Ranya! Kenapa kamu malah jalan sih!!!" Teriak Bu Dama dari pinggir lapangan.
"Duh, capek Bu. Gimana kalau yang 7 putaran dibatalin aja?" Tanya Ranya memohon.
"Enak aja kamu! Ini tuh biar kamu jera Ranya. Kamu udah terlalu banyak dapat poin di buku tata tertib kamu. Enggak malu apa sama teman– teman kamu yang lain?"
"Duh, Bu. Janji deh saya enggak akan telat lagi. Ini yang terakhir deh Bu. Ibu Dama baik deh" Kata Ranya dengan wajah memohon.
"Terakhir kali kamu telat, kamu juga bilang seperti itu! Tapi mana buktinya? Kamu mengulanginya lagi." Jawab Bu Dama ketus.
"Kan manusia juga bisa khilaf Bu. Sekarang ini, saya lagi khilaf Bu" Kata Ranya sambil mencari pembelaan.
"Ck, yaudah deh. Berhubung ibu lagi baik, larinya udah aja. Tapi, kamu ke ruang perpustakaan sekarang dan bantu Bu Bre buat bersihin perpustakaan!" Kata Bu Dama
"Gitu dong Bu dari tadi, makasih ya Bu. " Kata Ranya senang. Dengan ransel di punggungnya Ranya berjalan menuju perpustakaan. Ia hampir saja lupa bahwa tadi ia habis lari di lapangan.
"Duh, tadi Reno lihat gue enggak ya? Gimana kalau dia hafal muka gue? Ck, gara– gara Bu Dama sih ini! Awas aja kalo Reno sampek ilfeel sama gue, gue salahin deh tu Bu Dama." Gumam Ranya. Padahal, Reno saja tidak kenal dengan Ranya, bisa– biasanya Ranya berpikiran seperti itu.
Ranya memasuki perpustakaan dengan malas–malasan. Bagaimana tidak, pasti hukumannya tidak lain dan tidak bukan adalah menata buku yang sangat banyak dan meletakkannya di barisan rak buku sesuai dengan nomornya.
"Assalamualaikum Bu Breee!!" Ucap Ranya dengan suara khas miliknya.
"Waalaikumsalam Ranya. Kamu terlambat lagi ya? Kebetulan banget nih, Ibu punya tugas buat kamu." Kata Bu Bre senang.
"Haduh Bu, saya di suruh apaan Bu? Saya capek deh Bu, tadi habis lari. Nih liat nih, keringat saya masih ada." Kata Ranya dengan tangan yang menunjuk ke arah wajahnya.
"Yah, suruh siapa kamu telat mulu kerjaannya. Kan udah Ibu bilangin kalau berangkat itu yang pagi. Perasaan rumah kamu itu enggak jauh–jauh amat deh" Sergah Bu Bre.
"Iya sih Bu, tapi gimana ya? Saya tadi malam liat drakor bagus banget, apalagi aktornya itu ganteng banget Bu" Kata Ranya dengan mata yang berbinar-binar.
"Haduh Ranya, kamu tuh pelajar kewajibannya ya belajar. Bukan nontonin drakor–drakor atau apalah itu. Udah sekarang kamu mau Ibu hukum apa biar kamu kapok?" Tanya Bu Bre sambil melotot.
"Gimana kalau gausah aja Bu?" Pinta Ranya dengan wajah memelas.
"Keenakan kamu dong! Ya udah kamu sekarang ke kelas XI IPA 2 dan panggil ketuanya suruh menghadap ke saya." Perintah Bu Bre.
"Sekarang apa besok Bu?" Tanya Ranya dengan wajah polosnya.
"Tahun depan! Ya sekarang lah. Buruan kerjakan perintah saya. Atau kalau tidak saya laporkan kamu ke Bu Dama biar hukumannya ditambah!" Kata Bu Bre dengan tegas yang membuat Ranya mau tak mau harus menuruti perintah Bu Bre.
"Iya iya Bu, selow gitu loh. Jangan nge-gas terus nanti nabrak." Canda Ranya cengingisan.
"Ranya!!!" Teriak Bu Bre dengan wajah yang sedikit memerah karena naik pitam.
"Iya Bu iya" Kata Ranya sambil berlari keluar perpustakaan.
***
"Sial! Di privat lagi akun IG nya. Padahal kemarin belum deh" Gumam Ranya pelan sambil memandangi ponsel yang ada ditangannya. Dia bimbang, ingin memfollow tapi dia takut diabaikan, tapi jika tidak di follow dia tidak akan mengetahui apapun perihal tentang Reno.
"Kenapa lo, Ran?" Tanya Keisha teman sebangkunya.
"Enggak kenapa kok, cuma lagi bimbang nih hati gue" Kata Ranya.
"Kenapa sih? Cerita dong! Biar gue tahu" Kata Keisha penasaran.
"Gue pengen follow IG doi, tapi kok kesannya gue kayak gimana gitu ya?" Kata Ranya sambil menopangkan dagunya di tangan kanannya.
"Siapa? Reno ya?" Tanya Keisha
"Hm"
"Yaelah Ran. Masa iya sih lo galau cuma gara–gara dia? Ya udah sih kalau mau follow tinggal pencet kok repot banget sih. Lagian nih ya, kalau suka itu ya diperjuangin, jangan cuma diliatin. Mana usaha lo?" Kata Keisha
"Tapi kan gue cewek Kei. Mana ada coba sel telur ngejar sel sperma? Yang ada tuh sel sperma yang ngejar sel telur." Kata Ranya sambil menatap Keisha.
"Ya terus mau lo gimana?
"Gue bingung, gue terlalu gengsi buat ngelakuin hal yang kayak gitu" Kata Ranya sambil mengerucutkan bibirnya.
"Gengsi digedein, lihat tuh nilai lo! Kecil gitu kan, bukanya gedein nilai malah gedein gengsi" Kata Keisha kesal.
"Ah, Keisha ma gitu! Bukanya ngasih solusi malah kayak gitu" Kata Ranya kesal.
"Gue tadi udah kasih lo solusi Ranya sayang! Lo nya aja yang enggak mau dengerin solusi gue. Mendingan ya, lo follow dia terus DM minta follback, selesai deh urusannya" Kata Keisha dengan gemas.
"Iya deh nanti malem aja tapi"
"Kenapa mesti nanti malem?"
"Kalo sekarang takut ditikung sama lo" Kata Ranya yang membuat Keisha mendengus kesal.
"Ran" Panggil Keisha
"Apa?"
"Lo mau tahu enggak?"
"Mau"
"Nih lihat!" Kata Keisha sambil menunjukkan layar ponselnya yang membuat Ranya berteriak nyaring seketika.
"Keisha!!! Awas aja lo kalau enggak ngasih penjelasan ke gue! Gue kesel sama lo" Teriak Ranya yang berlari mengejar Keisha.
BRUK
"Aduh, lo kalo jalan liat–liat dong, sakit nih jidat gue!" Pekik Ranya pada seseorang yang menabraknya.
"Eh, maaf ya. Gue enggak sengaja, abisnya tadi sih lo lari–lari kan gue jadi enggak bisa ngehindar gitu aja" Kata orang yang menabrak Ranya.
"Ya udah deh, iya gapapa. Gue juga salah kok. Maaf ya" Sahut Ranya yang juga merasa bersalah.
"Woi, Ranya! Kenapa lo?" Tanya Keisha yang tiba-tiba sudah ada di belakang Ranya.
"Jangan kepo deh!" Sewot Ranya.
"Ck, yaudah ayo ke kantin"
"Enggak mau! Gue lagi marah sama lo! Sejak kapan lo follow akun dia?" Tanya Ranya sambil melirik Keisha sinis.
"Udah 3 bulan. Sejak masuk kelas XI kok."
"WHATTT!!!! Selama itu??? Dan lo enggak pernah kasih tau gue?" Teriak Ranya semakin keras.
"Dih, lo kira lo siapa gue kok harus lapor-lapor sama lo dulu?" Kata Keisha yang membuat Ranya memutar bola matanya malas. Hati Ranya semakin jengkel saja dengan Keisha.
"Gue males sama lo. Gue mau pergi! Minggir lo!" Kata Ranya yang berjalan melewati Keisha dan dengan sengaja menyenggol bahu Keisha dengan sedikit keras.
"Santai dong buk!!" Jawab Keisha.
Ranya berjalan sambil menghentak-hentakan kakinya. Tanpa sadar dia menggandeng tangan cowok yang menabrak tadi.
"Eh, lo kenapa ngikutin gue?" Tanya Ranya sambil menatap cowok yang ada di hadapannya.
"Siapa juga yang ngikutin lo. Lo aja tu yang gandeng tangan gue. Enggak nyadar lo? Wajar sih, gue ganteng gini" Jawab cowok itu.
"Ganteng dari mana? Dari kolong jembatan sih iya" Jawab Ranya sengit.
"Ck udah deh gue mau pergi. Daripada disini sama orang yang enggak waras. Bisa mati muda gue!" Kata cowok itu. Belum sempat melangkah, Ranya menghentikan langkah cowok itu.
"Eh-eh tunggu dulu, siapa nama lo?" Tanya Ranya penasaran.
"Kepo lo!" Sahut cowok itu sambil pergi begitu saja.
"Dasar cowok sableng! Ditanyain baik-baik malah kaya gitu. Beda banget deh sama Reno" Gumam Ranya dengan wajah yang merona karena mengingat kejadian kemarin.
Description: Mengagumi dari jauh, adalah caraku mencintaimu.
Menjadi pengagum rahasia, tidak semudah yang dibayangkan Ranya. Setiap hari, ia selalu menelan mentah-mentah perasaan cemburu, insecure dan lain-lain.
Memang, realita itu, tak seindah ekspetasi.
|
Title: RED THREAD
Category: Teenlit
Text:
DIA JENNIE
BAB 1
JENNIE ALENIA WIJAYA
Welcomeback to my Youtube Channel Hei Jennie, mijn naam is Jennie sebelum nonton Video haulku dari Bali jangan lupa ya Like, Subsribe dan Share Videoku. Laten we de video starten, Enjoy Lady :).
Hampir 1 jam Jennie berbicara didepan Camera Canon miliknya jam sudah menunjukkan pukul 23.00 Wib ketika Video Haulnya selesai Ia rekam. Sudah 3 bulan Jennie berada di Indonesia, setelah study Junior High Schoolnya Lulus di Belanda ia memutuskan untuk meneruskan Study di Negara tempat ia di lahirkan yaitu Indonesia. Meidian Wijaya akhirnya memilih Star Senior High School untuk anak perempuannya, ia tidak mau anaknya bersekolah disekolah yang tidak berkompeten. Meidian juga bisa lebih lega karena Mino Anak laki — lakinya bersekolah ditempat yang sama.
Besok adalah hari terakhir kegiatan MASA ORIENTASI SISWA di SMA STAR, sudah 3 hari Jennie melakukan kegitan MOS, awalnya ia merasa kegitan itu sangat asing untuk dirinya, di tambah lagi Jennie harus mengikuti peraturan yang sangat tidak masuk untuk dirinya. Contohnya tanpa alasan yang jelas ia harus mendapatkan omelan dari para pengurus OSIS, Apa pun perintah OSIS semuanya harus dilakukan dengan senang hati, Kakak OSIS tidak pernah salah. Di hari pertama MOS Jennie memutuskan bercerita kepada Mino kakak laki — lakinya, Tentang ketidak adilan serta tindakkan seniorritas dari Kakak kelasnya. Walaupun Jennie saat itu cerita dengan penuh rasa amarah, reaksi yang Mino tunjukkan malah tertawa terbahak — bahak, Mino akhirnya menjelaskan kepada adik perempuannya bahwa kegiatan MOS memang seperti itu. Karena penjelasan Mino serta keberadaan teman teman kelompoknya yang baik Jennie akhirnya bisa beradaptasi selama 3 hari ini. Jennie senang karena besok adalah hari terakhir kegitan yang menyebalkan untuknya berakhir.
Awalnya Jennie ingin menyelesaikan edittan Vlognya malam ini agar besok Videonya sudah bisa di upload, tapi karena jam sudah menunjukkan pukul 23.00 wib dan ia tidak mau telat datang pada saat MOS terakhir besok. Jennie memutuskan untuk meninggalkan semua pekerjaannya dan beristirahat.
pagi Di kediaman Kel Wijaya.
Jam sudah menunjukkan pukul 06.00 Wib saat Jennie terbangun dari tidurnya, ia bergegas meninggalkan tempat tidurnya yang nyaman dan menuju ke kamar mandi. Hari ini akhirnya Jennie bisa menggunakan seragam barunya, karena 3 hari kemarin ia hanya diperbolehkan menggunakan Koas putih polos serta celana Running. Jennie mencoba seragam resmi SMA STAR setelah seragamnya di pakai, Jennie bercermin untuk memastikan penampilannya. Jennie sangat terkejut karena pakaian seragam sekolahnya terlihat sangat keren, rok pendek di atas dengkul berwarna coklat susu, serta Cardigan hitam yang jika digunakan membentuk tubuh membuat tubuh Jennie yang tinggi dan memiliki badan seperti model terlihat sangat bagus menggunakan seragam sekolahnya. Jennie memilih tidak berdandan berlebihan untuk hari ini, ia hanya menggunakan pelembab muka, lipstint warna bibir serta blush On berwarna Peach agar terlihat lebih segar. Jennie juga memilih menggerai rambut hitam panjangnya hari ini, namun agar terlihat lebih manis ia menambahkan jepitan Channel kecil diatas rambut hitamnya.
Pukul 07.00 Wib Jennie sudah siap untuk pergi ke sekolah walaupun sebenarnya kigiatan MOS di sekolahnya akan dimulai pada pukul 09.00 Wib tapi karena Jennie tidak mau terkena masalah dihari terakhir MOS ia memilih datang lebih awal.
Jennie turun dari kamarnya menuju ruang makan pada saat itu Jennie melihat Mino sudah duduk manis sambil menikmati makanan serta segelas susu yang disiapkan Mba Iis. Jennie memilih duduk tepat didepan Minho tangan jennie meraih satu potong roti dan mengoleskan selai coklat diatasnya.
Mino : Hari terakhir sekarang ?
Jennie : Yes ! Akhirnya selesai juga hari ini penyiksaan gw kak J
Mino : Hahahaha jangan seneng dulu de, gw kasih tau ya di Indo sedikit beda sama Belanda ! Disini lo harus menghormati kakak kelas lo, lo gak bisa jadi orang yang individul kaya di Belanda de.
Jennie : Lo tenang aja kak, gw udah berusaha kok sosialisasi sama temen temen angkatan gw, malah sekarang gw udah punya 2 temen deket.
Mino : Seriusly i pround of you my little sister, ternyata lo udah gede J.
Jennie : Thanks you so much , my lovely brother hehehe, oh ia kak bokap sama nyokap udah ada di Indo belum sih ?
Mino : I dont know, why ? tumben lo nanyain mereka de ?
Jennie : Gw bingung aja kak, dari gw pindah kesini gw sama sekali belum ketemu sama mereka ber 2. Emang mereka sesibuk itu kak ?? ( tanya Jennie sedikit penasaran )
Mino : Gw rasa mereka emang lagi sibuk banget deh, kalo lo berharap mereka bakal dateng kesini, gw saranin jangan de !! gw aja yang udah tinggal 3 tahun di Indo Cuma pernah ketemu bokap sama nyokap 4 kali.
Jennie : Sesibuk itu ??
Mino : Udah ah gak usah kebanyakkan ngeluh de , toh mereka kerja keras juga buat kita berdua. Lagian juga kita emang udah biasakan dari kecil jarang ketemu Ortu, jadi gak usah cengeng!!
Jennie : Lo kok betah sih?? ini sepi parah asli, jangan jangan lo suka bawa cewek ya kesini ?? ayok ngaku !! gw bilangin bokap lo ya !!
Mino : Apaan si lo ngarang aja !! udah tuh roti makan buru !! lo udah boleh nyetir sendiri hari ini ? mau bareng gw apa gimana ??
Jennie : Kayanya masih belum boleh deh kak, gw dianter pak Seh aja ! ogah gw bareng sama lo !!
Mino : yauds gw jalan duluan !! Lo buruan jangan telat !!
Jennie : Gw juga udah mau jalan kok.
Mino dan Jennie bergegas keluar rumah, mobil Jeep putih milik Mino dan Minicooper Hitam milik kakak beradik ini sudah siap digunakan, Mino masuk kedalam mobil jeepnya Jennie pun melakukan hal yang sama pak Seh juga sudah ada di balik kemudi minicooper yang di naiki Jennie saat ini , Mobil Jeep dan Minicooper itu pun berkonvoi meninggalkan kawan komplek kel Wijaya menuju ke SMA Star di kawasan Pejaten.
Mobil Minicooper yang ditumpangi Jennie sudah memasuki area parkir SMA STAR ia bergegas turun dari mobil. Saat Jennie tiba Fano salah satu anggota OSIS yang bertanggung jawab dalam kegitan MOS hari ini, berdiri seorang diri tepat di depan gerbang utama SMA Star baru terlihat 1 peserta MOS yang sudah sampai saat itu. Jennie yang melihat keberadaan Fano bergegas menemuinya.
Jennie : Siap, lapor !! Selamat pagi kak, saya Jennie dari kelompok 7 ! Laporan selesai.
Fano : Laporan saya terima ! saya minta kamu masuk keadalam barisan !!
Jennie : Siap, laksanakan !! Jennie langsung bergabung dengan barisan yang ada di depan Fano.
Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 Wib, tapi baru kelompok 7 yang semua anggotanya sudah lengkap di barisan saat ini. Fano memberi aba aba untuk kelompok 7, Fano meminta mereka menuju ke lapangan basket SMA STAR. Biru selaku ketua kelompok 7 memimpin teman — teman kelompoknya menuju ke lapangan basket.
Disana mereka sudah di tunggu oleh Kak Tiki dan 2 Anggota OSIS lain dengan wajah yang tidak bersahabat, Biru memimpin teman — temannya di kelompok 7 untuk melakukan laporan.
Biru : Siap Lapor, saya Biru ketua kelompok 7 siap melakukan perintah dari para Kakak OSIS !
Tiki : Saya minta kalian taruh tas kalian di depan saya. Lalu satu persatu maju ke hadapan saya.
Kel 7 : Siap laksanakan kak !
Biru, Jennie, Lisa, Rose, Tami dan Dito meletakkan tas mereka di depan Kak Tiki, setelah itu Fanny salah satu OSIS yang sejak tadi berdiri di samping Tiki mulai membuka tas para peserta MOS memeriksa apakah mereka membawa barang yang tidak diperbolehkan hari ini. Namun Fanny tidak menemukan barang barang terlarang di tas anak — anak kelompok 7. Saat Fanny memeriksa tas Biru dkk, Tiki pun memeriksa satu persatu anggota kelompok 7, Tiki pun tidak menemukan satu orang pun di kelompok 7 yang melanggar aturan yang dibuat saat MOS berlangsung. Setelah semua pemeriksaan selesai Tiki meminta kepada kelompok 7 untuk menuju ke Ruang Aula, Biru selaku ketua kel 7 memimpin teman temannya kembali menuju Aula setelah mendapat perintah dari Kak Tiki.
Biru, Jennie, Lisa, Rose, Tami dan Dito adalah peserta MOS pertama yang berada di Aula saat ini mereka bergegas duduk dibangku yang 3 hari lalu dibagikan oleh kakak — kakak OSIS. Biru dkk berusaha sekeras mungkin untuk tidak membuat kegaduhan saat ini, karena mereka semua sangat menghindari hukuman dari kakak OSIS yang kadang kadang tidak masuk akal.
Skala Ketua OSIS dari SMA STAR melihat 1 kelompok yang sudah ada didalam Aula dari atas podium tempat ia duduk. Skala memperhatikan satu persatu anggota dari kelompok tersebut, tiba — tiba matanya terfokus ke arah salah satu gadis di kelompok itu, wajahnya terlihat sangat cantik walaupun tanpa makeup, dimata Skala gadis itu terlihat sangat imut seperti se ekor kucing. Baru kali ini Skala terlihat tertarik oleh lawan jenis, ia merasa ada yang aneh dengan hatinya setelah melihat gadis itu. “Masa sih gw kejebak cinta pandangan pertama kaya di FTV — FTV !!” gak mungkin gak mungkin !! bantah Skala dalam hati. Skala memalingkan pandangannya secara paksa dari gadis itu, lalu berusaha berkonsentrasi kembali untuk melaksanakan tugasnya saat ini.
Skala bertanya kepada Tia dimana keberadaan Aquin saat ini, namun Tia yang di beri pertanyaan sama sekali tidak tau keberadaan Kak Aquin saat ini, Tia juga sempat bertanya kepada Anggota OSIS yang lain tentang Kak Aquin tapi tetap saja tidak mendapatkan jawaban yang di inginkan Skala.
Walaupun Aquin adalah kakak kelas di SMA STAR bahkan ia adalah mantan ketua OSIS tahun lalu, Skala sama sekali tidak takut dengannya, kalau saja Mr. Wanda tidak meminta Skala bekerjasama dengan Aquin dalam kegiatan MOS ini, Ia tidak akan segan segan untuk memukul wajah kakak kelasnya yang kata para gadis di SMA STAR tampan, Skala benci dengan tingkah Aquin yang selalu meremehkan orang lain, menganggap semua masalah mudah, ditambah lagi kelakuan Aquin dan teman genknya yang sok kaya, yang punya hobby ngebully siswa miskin peraih beasiswa. Skala meminta Bayu mencari keberadaan Aquin, Bilang sama Aquin Kelompok yang dia pimpin sudah berada di Aula.
Aquin berjalan masuk ke Aula dari arah kantin dari wajahnya ia sama sekali tidak menampakkan rasa bersalah, saat ia sudah ada di dalam area Aula Aquin mencari keberadaan Skala. Skala yang melihat kedatangan Aquin pun turun dari podium dan berjalan kearah Aquin berdiri.
Skala : Darimana lo dari tadi ?? (menahan rasa marah dan jengkel)
Aquin : Sans JO !! Gw abis ngerjain tugas dikantin kenapa ?? Lo gak suka ??
Skala : Gw ngehargain lo dari kemaren bukan karena gw takut sama lo !! tapi karena Mr.Wanda. Kalo lo mau nantang gw berantem ayoo , tapi setelah MOS kelar !!
Sebelum Aquin sempat menjawab tantangan Skala, Bayu muncul dan melerai perdepatan mereka.
Biru : Udah — udah kenapa lo ber2 ribut !! gak malu sama peserta MOS !! Skala lo di panggil sama Mr. Wanda, Kak Aquin lo ada tugas bagiin “buku jimat 25” ke kelompok yang jadi tanggung jawab lo !!
Skala dan Aquin pun meninggalkan Bayu yang melerai mereka begitu saja.
Aquin “mengambil buku jimat 25” Ia baru menyadari bahwa di dalam Aula hanya ada kelompok yang dia bimbing saja. Aquin berjalan ketempat kelompok 7 berada setelah Aquin berdiri tepat dimana kelompok 7 duduk , ia mulai menghitung jumlah anggotanya setelah sudah dipastikan lengkap ia meminta Biru membagikan buku yang ia pegang kepada angota kelompoknya, Biru mengambil alih buku dari tangan Aquin dan membagikan kepada teman temannya sesuai arahan yang diberikan Aquin padanya, setelah Biru melakukan tugasnya ia memberkan laporan kepada Aquin.
Biru : Siap ! Lapor! Saya Biru ketua kelompok 7 telah selesai menjalankan tugas !
Aquin : Laporan saya terima, kamu boleh kembali ketempat !
Aquin meminta kelompok 7 untuk memperhatikan arahan yang akan segera ia sampaikan, Biru, Jennie, Lisa, Rose, Tami dan Dito hanya memerlukan waktu kurang dari 10 detik untuk fokus menerima arahan dari kak Aquin penanggung jawab kelompok mereka.
Aquin : Di depan kalian sudah ada buku yang bertuliskan “BUKU JIMAT 25” saya yakin pasti kalian sangat penasaran dengan isi buku yang saya bagikan ! Kalian boleh mebuka halaman demi halaman buku yang ada didepan kalian, Apa yang kalian lihat ?? 25 Nama pengurus OSIS yang bertanggung jawab di acara MOS saat ini ! Pasti kalian bertanya tanya apa yang harus dilakukan dengan buku dengan nama OSIS didalamnya. Kalian hanya perlu mendapatkan tanda tangan dari ke 25 nama yang tertulis dibuku itu. Karena hari ini adalah hari terakhir MOS maka batas waktu pengumpulan adalah pada saat sore hari sebelum acara ini selesai. Ada yang mau ditanyakan ??
Rose : Kak, kapan kita bisa mulai ngumpulin tandatangannya ?
Aquin : Karena hari ini, hari terakhir setelah istirahat kalian sudah tidak ada kegiatan apa apa lagi, kalian bisa mulai menumpulkan pada saat itu. Ada lagi yang masih kurang jelas Rose ?
Rose : Udah jelas kak , terima kasih.
Aquin : Biru , kenapa Cuma kalian yang ada disini ? kelompok lain mana ?
Biru : Kelompok lain masih kejebak di depan sama kak Fano dan Kak Tiki.
Aquin : Kalo gitu dari pada kalian gak ngapa ngapain saya akan memberikan kalian tugas untuk kalian lebih awal. Kalian kemarin diberikan tugas membawa perlengkapan untuk menuliskan suratkan ??
Kel 7 : SIAP IA KAK !! ( kompak )
Aquin : Saya minta kalian taruh diatas meja kalian masing — masing sekarang.
Biru Dkk serempak membuka tas mereka dan meletakkan perlengkapan untuk menulis surat di atas meja sesuai arahan dari Kak Aquin.
Aquin memeriksa satu per satu meja setiap anggotanya , semuanya membawa sesuai perintah laki — laki dengan amplop berwarna Biru, perempuan dengan amplop warna pink.
Aquin : Karena kalian tidak melakukan kegiatan apapun sambil menunggu kelompok yanag lain saya meminta kalian menuliskan surat cinta untuk kakak kakak OSIS yang menemani kalian 4 hari ini. Kalian hanya perlu menulis untuk 1 orang, peserta MOS laki laki harus memberikan kepada OSIS perempuan , peserta perempuan harus memberikannya kepada OSIS laki — laki.
Setelah memberikan arahan Aquin pergi meninggalkan kelompok 7 begitu saja, Biru, Jennie dan anggota kelompok 7 yang lain pun hanya bisa terdiam,namun di dalam otak mereka masing masing sedang sibuk merancang rencana bagaimana mereka bisa mengumpulkan tanda tangan 25 OSIS dengan mudah.
Jennie orang pertama yang tersadar dari lamunannya memperhatikan wajah teman temannya satu persatu, Jennie tidak bisa menahan rasa gelinya melihat ekspresi wajah yang teman temannya buat saat mereka sedang berfikir keras. Untungnya tawa Jennie tidak sampai terdengar ke podium depan tempat dimana kakak kakak OSIS berkumpul. Jennie menepuk pundak Lisa dan Rose secara bersamaan.
Jennie : Rose, Lis lo udah tau mau nulis surat cinta buat siapa ?
Rose dan Lisa :( Ekspresi kaget ) Jennie kebiasaan lo , untung kita gak punya riwayat penyakit jantung !!
Jennie : Sorry sorry, gmn lo mau kasih kesiapa ?
Rose : Emm gw bingung Jen belum menentukan pilihan, Lo siapa ?
Lisa : Gw udah tau guys , gw mau kasih kak Fano J
Biru tiba tiba bergabung kedalam percakapan Jennie, Rose, dan Lisa.
Biru : Lis serius lo mau kasih Fano ?? Cie cie cie Lisa suka Fano !! (muka jail)
Lisa : Bawellllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll lo Biru !!!
Biru : Jen lo mau kasih ke siapa ? ke Fano Juga ??
Lisa : Ih lo ngapain nanya nanya Jennie ?? Cie Biru cie cie
Biru : Apaan si lo Lis , gw Cuma penasaran aja kali, lagian gw juga nanti bakal nanya yang lainnya juga . (berbelit belit)
Jennie : Gw belum tau mau kasih surat kesiapa guys.
Saat Biru dkk sedang asik berbincang bincang kelompok — kelompok lain satu persatu masuk kedalam area Aula, tepat pukul 11.00 wib seluruh peserta MOS sudah berada di dalam area Aula, mereka semua pun akhirnya mendapatkan “buku keramat 25”seperti Jennie dkk. Skala melangkah maju kearah MIC suara yang dihasilkan dari MIC menyebar keseluruh area Aula melalui pengeras suara. Karena suara itu Skala mendapatkan perhatian dari peserta MOS dengan sangat mudah.
Skala : Selamat siang adik adik peserta MOS SMA STAR tidak terasa hari ini adalah hari terakhir kegiatan MOS akan dilaksanakan, karena itu saya dan kakak kakak pengurus OSIS yang lain memberikan kalian kenang kenangan berupa buku yang saat ini kalian pegang. Saya yakin kalian juga sudah diberikan penjelasan oleh penanggung jawab OSIS dikelompok kalian masing masing. Jika diantara kalian ada yang tidak mendapatkan semua tanda tangan yang ada dibuku itu kalian akan mendapatkan hukuman yang pasti akan kalian ingat sampai kalian lulus, jadi saya minta kalian semua harus berusaha semaksimal mungkin. Ada beberapa alasan saya berbicara didepan kalian saat ini yang :
pertama Kemarin kalian diberi arahan untuk membawa satu set kertas serta amplop surat hari ini. Saya meminta kalian menuliskan surat cinta untuk 1 OSIS yang selama 4 hari ini menarik perhatian kalian, surat itu harus sudah selesai ketika jam istirahat selesai. akan ada 2 surat yang beruntung yang akan dibaca langsung oleh penerima di depan kalian semua, sisanya akan di bacakan di siaran radio streaming SMA STAR setiap jam istirahat setiap hari.Kedua Besok kalian tetap berkumpul di Aula sampai kelas kalian semua di umumkan, Ketiga saya ingin meminta kelompok 7 untuk maju kedepan dan membawa buku keramat 25 milik masing — masing.
Jennie dkk awalnya tidak menyadari jika kelompok mereka yang disebutkan oleh Skala, sampai Skala memanggil kami kembali, Dito yang sadar kelompoknya di panggil memberikan aba aba kepada teman temannya untuk mengikuti dirinya kedepan. Kelompok 7 sudah berdiri didepan tepat disamping Skala berdiri.
Skala : Kalian pasti bertanya tanya mengapa saya meminta kelompok 7 maju kedepan ? Saya mengapresiasi tindakkan kelompok 7 hari ini , hanya mereka yang dateng tidak telat hari ini, dan bukan hanya itu hanya kelompok mereka yang tidak melanggar aturan yang kami buat hari ini. Oleh karena itu saya akan memberikan mereka sedikit hadiah, 10 nama di buku kiamat 25 akan memberikan tanda tangan mereka secara sukarela kepada seluruh anggota kelompok 7. Itu saja yang saya ingin sampaikan kepada kalian lebih kurangnya saya minta maaf.
Tepat setelah Jennie dan kelompoknya mendapatkan tanda tangan dari 10 Kakak OSIS secara suka rela bel tanda istirahat berbunyi 3 kali. Para peserta MOS pun berhamburan meninggalkan area Aula Tidak terkecuali Jennie DKK.
Dito : Mau Kekantin apa ke basecamp guys ?
Biru : Gw mah bebas cewek cewek gimana ?
Jennie : Gw bebas si terserah yang lain.
Rose : Gw si ayo basecamp aja , kantin pasti penuh.
Lisa : Gw ikut aja, btw Tami lo maunya gimana ?
Tami : Emm gw ikut aja , enaknya gimana.
Biru : Oke !! karena semua terserah !! Jadi kita ke basecamp aja !!
Biru dan teman temannya sudah berada di gazebo taman belakang SMA STAR yang 4 hari ini seperti Basecamp untuk mereka, Tami menawarkan diri untuk membelikan mereka semua makanan dikantin, dengan senang hati Jennie dkk menerima tawaran Tami.
Tami menerima uang dari teman temannya setelah uangnya sudah terkumpul ia segera berjalan menuju kantin, Biru merasa kasian kepada Tami bagaimana ia bisa membawa makanan yang kami pesan sendirian, akhirnya Biru berlari menyusul Tami. Tami saat itu sedikit kaget karena cowok sekeren Biru mau membantu dirinya, saat tiba dikantin benar saja Tami dan Biru menjadi pusat perhatian, sebenarnya Tami juga tidak bisa disebut Jelek, Tami memiliki wajah oval, badannya tidak terlalu tinggi, berat badannya ideal, kulitnya sawo matang, ia menggunakan kacamata, dan behel digiginya, rambutnya hitam ikal sebahu mirip dengan rambut milik Jennie.
Tami merasa dirinya sedang dihakim satu kantin karena saat ini ia bersama Biru, Tami melirik sedikit kearah Biru untuk melihat apa Biru merasakan hal yang sama dengan dirinya, namun Biru terlihat sangat santai tidak merasa tertekan sama sekali.
Biru : Tami lo kenapa, Kok gelisah banget ? Lo sakit ? Memandang ke arah Tami dengan panik.
Tami :Gak apa apa kok, Biru mending kita antri dari pada nanti penuh (Salah tingkah dengan perlakuan Biru di tambah kawatir karena sudah pasti semua orang memperhatikan dia sekarang)
Biru : Yakin lo gak apa apa ? kalo lo sakit balik aja ke gazebo biar gw yang pesenin makanan anak —anak ? (masih tetap menatap Tami)
Tami : Gw gak apa — apa kok. Biar cepet gw antri minum lo antri makanan gimana ?
Biru : Yaudah oke ! kalo lo udah kelar tungguin gw dulu.
Tami : Oke.
Tami meninggalkan Biru menuju ke tampat penjual minuman ia tidak sanggup terlalu lama menahan tatapan kejam dan merendahkan yang ditunjukkan kepada dirinya. Tami berusaha sekeras mungkin untuk tidak mempunyai masalah dengan siapapun di SMA STAR ia sadar bahwa jika ia terjebak masalah beasiswa yang ia dapat bisa saja dicabut. Tami sudah membeli semua pesanan minuman teman temannya, ia langsung menuju gazebo taman belakang tanpa menunggu Biru.
Jennie, Lisa, Rose dan Dito yang menunggu di Gazebo sedang sibuk membicarakan siapa yang harus mereka kirimkan surat cinta.
Dito : Lo udah tau mau kasih surat kesiapa ?
Lisa : Gw fixx Fano. Dari awal gw tertarik gitu liat dia, gw rasa dia sedikit masuk tipe gw gitu hehehehe.
Jennie : Lisa come on !! lo baru 4 hari loh sekolah masa udah suka sama orang sih ?? Rose , To lo udah nentuin mau kasih siapa ??
Rose : Gw ada 2 pilihan kalo gak Bayu, Vio menurut gw mereka lucu, sebenernya sih kalo boleh jujur ya gw mau kasih surat ke Aquin atau Skala tapi gw gak berani mereka terlalu sempurna pasti banyak yang tulis surat buat mereka. :)
Lisa : Gw setuju sama Rose
DIA JENNIE
Jennie, Lisa, Rose dan Dito menunggu di Gazebo sambil berbincang tentang siapa yang harus mereka kirimkan surat cinta hari ini.
Dito : Lo udah tau mau kasih surat cinta ke siapa guys ? (tanya dito penasaran)
Lisa : Gw fixx Fano deh kayanya. Dari awal gw tertarik gitu liat dia, gw rasa dia sedikit masuk tipe gw gitu, sekalian aja gw utarain perasaan gw siapa tau jadi beneran hehehehe.
Jennie : Lisa come on !! lo baru 4 hari loh sekolah masa udah suka sama orang sih ?? Rose , To lo udah nentuin mau kasih siapa ??
Rose : Gw ada 2 pilihan kalo gak Bayu, Vio menurut gw mereka lucu, sebenernya sih kalo boleh jujur ya gw mau kasih surat ke Aquin atau Skala tapi gw gak berani mereka terlalu sempurna pasti banyak yang tulis surat buat mereka. :)
Lisa : Gw setuju sama Rose Skala sama Aquin menurut gw udah paket lengkap Jen. Ganteng, Pinter, OSIS, Populer, yang satu atlet Basket yang satu atlet Baseball, tapi saking lengkapnya sampe susah digapai.
Jennie : Lisa, Rose kenapa lo ber2 minderan gini sih, lo ber 2 tau gak banyak banget temen — temen satu angkatan kita yang iri sama kalian ber 2. Gw yakin kok Skala atau Aquin pasti suka sama kalian J
Dito : Jenn tapi lo sadar gak sih, Aquin kayanya tertarik deh sama lo. Soalnya 3 ya gw suka ngegappin dia ngeliattin lo diem diem gitu Jen kalo kita lagi ada forum.
Rose : Tuhkan !! lo liat juga To ?? Gw sama Lisa juga berapa kali ngegappin dia lagi natap Jennie dengan tatappan penuh cinta gitu.
Jennie : Apa sihhh. Gak mungkinlah Aquin cowok yang populer diskolah tertarik sama gw, lagian ya gak mungkin menurut gw orang kaya Aquin sama Skala masih jomblo.
Tami tiba dari kantin dan mulai bergabung dipercakapan Jennie, Lisa, Rose dan Dito.
Tami : Temen — temen nih pesenan kalian, sorry ya lama ngantri soalnya.
All : Thanks Tami J
Jennie : Thanks ya Ta, maaf bikin lo repot ya. Oh iya bukannya tadi Biru ikut lo ke kantin dia sekarang mana ?
Tami : Karena dia lama, terus gw takut lo pada keausan jadi gw duluan ( Tami mencari alasan)
Biru yang sedang dibicarakan muncul dengan tangan penuh dengan bungkusan makanan.
Biru : Takan gw bilang tunggu, kenapa lo duluan si ??
Tami : Sorry ya Biru, gw takut anak — anak yang lain kehausan jadi gw duluan tadi.
Biru membagikan pesanan makanan yang ada ditangannya kepada Jennie, Lisa, Dito dan Tami. Hampir 10 menit mereka tidak saling berbincang satu sama lain karena fokus menghabiskan makanan yang mereka beli. Biru yang sudah menghabiskan makanannya terlebih dahulu mulai membuka perbincangan.
Biru : Buru makannya !! emang lo semua udah buat surat cinta ?
Dito : Ini gw baru mau buat, lo mau kasih siapa Ru ?
Biru : Gw sih udah pasti Tikilah, cewek yang paling cantik di angkatannya.
Dito : Gw rasa lo mah naksir beneran sama dia !!
Jennie yang sudah menghabiskan salad buah pesanannya ikut bergabung dalam percakapan
Jennie : To, Bi lo ada saran gak gw harus kasih surat kesiapa ?
Dito : Aquin Je, orang jelas jelas doi tertarik sama lo.
Biru : Jangan Je Aquin keliatan bukan cowok baik — baik, jangan sampe deh lo pacaran sama orang kaya gitu.
Dito : Ru ru , sok sokan bilang orang gak baik, kaya lo baik aja !! Lagian kenapa lo larang larang Jennie !! Jangan jangan !! (tatapan curiga)
Biru : Apaan si lu !! jangan di dengerin Je omongan orang gila.
Jennie : Ta lo udah tau mau kasih surat kesiapa ?
Tami : Kayanya aku bakal kasih ke kak Damar deh Je.
Jennie : Kayanya gw bakal kasih ke Skala aja deh, pasti banyak yang kasih kedia jadi surat gw gak akan mungkin dibaca.
Rose : Yaudah yuk balik ke Aula udah selesaikan makannya ??
Tami : Kalian duluan aja aku mau ketoilet dulu.
Jennie : Gak mau ditemenin Ta ?
Tami : Gak usah Je, aku bisa sendiri kok.
Lisa : Yaudah kita duluan ya Ta, ketemu di Aula ya.
Jennie dan teman — temannya kembali ke Area Aula belum terlalu banyak peserta MOS yang kembali ke Aula karena memang jam Istirahat juga masih panjang, di Aula hanya ada Skala, Bayu dan Fano sedang berbincang diarea depan panggung.
Jennie duduk lalu mengeluarkan kertas surat yang ia bawa dari rumah, ia sudah memutuskan untuk memberikan suratnya kepada Skala. Sebenarnya selama 4 hari ini hanya Skala yang membuat Jennie tertarik, sifatnya yang cuek, dan pendiam membuat Skala terlihat cool di mata Jennie. Jennie mengambil selembar kertas berwarna pink ia sudah siap untuk menulis surat cinta kepada Skala, tapi sudah hampir 5 menit belum ada satu kalimat pun yang mampu ia tulis.
To : Kak Skala
From : Jennie Alenia W
Hai Kak Skala, saya Jennie salam kenal J
Kak Skala dari awal kegitan MOS berjalan sebenernya aku sudah mulai tertarik sama kak Skala. Dihari pertama aku melihat kakak, saat itu kakak sedang berbincang dengan Kak Fano di Pos pertama sifat kakak yang cuek dan dingin kepada saya saat itu malah membuat saya tertarik dengan kak Skala. Pembawaan kakak itu yang membuat kak Skala terlihat cool dimata saya.
Dihari hari berikutnya pun saya Cuma bisa mengagumi kakak dari tempat duduk saya, kak Skala bagai langit yang gak mungkin bisa saya jangkau.
melalui surat ini saya ingin mengakui apa yang saya rasakan terhadap kakak 4 hari ini, terima kasih kak Skala sudah mengorbankan waktu untuk acara MOS angkatan saya. Dan terima kasih karena hadirnya kak Skala 4 hari ini terasa sangat menyenangkan untuk saya.
Jennie sudah menyelesaikan surat cintanya untuk Skala, Jennie langsung memasukkan kertas surat itu ke amplop berwana pink, ia bahkan tidak ingin membaca kembali surat yang sudah ia tulis untuk kakak kelasnya itu. Lisa, Rose, Dito dan Biru pun sudah menyelesaikan surat cinta mereka, sama dengan Jennie mereka semua pun merasa geli membaca tulisan yang mereka tulis sendiri.
Saat itu Aula sangat sepi hanya tersisa Skala, Bayu dan Fano mereka ber 3 memilih tetap di Aula saat istirahat ketimbang pergi ke kantin. Mereka ber 3 pun mulai berbincang mulai dari bahasan musik, konser, film yang bagus, sampai tiba saat mereka membicarakan peserta MOS yang terlihat lucu.
Bayu : Eh kira — kira kita dapet surat cinta berapa banyak ya ?
Fano : Bay bay jangan kebanyakan berharap, dapet 1 aja lo harusnya udah bersyukur. Kalo Skala si pasti bakal dapet surat cinta bertumpuk — tumpuk, ya kalo gw gak beda jauhlah sama Skala.
Bayu : No coba ngaca deh lo sama Skala mah kaya langit sama bumi No !! Ska , No lo merhatiin gak anak anak baru angkatan sekarang banyak yang cantik — cantik.
Skala : Bay gw gak ada waktu perhatiin mereka ! kerjaan gw banyak !
Fano : Eh tapi Ska gw setuju sama Bayu kali ini, banyak yang badan sama mukanya ngedukung buat jadi artis atau model. Tapi ya dari semuanya buat gw ada 3 orang yang cantiknya POLLLLL, Jennie, Rose, sama Lisa 4 hari ini mereka gak ada yang boleh makeupkan ?? tapi mereka ber 3 tetep DAWWW cantiknya.
Skala : Hahahahha yakin se dawww itu, lokan kambing di bedakkin aja pasti bakal bilang tuh kambing cantik no.
Fano : Terserah lo deh !! tanya aja Bayu kalo lo gak percaya. Terus setau gw Aquin juga tertarik sama salah satu dari mereka ber 3. Lo yang paling kenal musuh lokan, mana mau dia dekettin cewek yang cantiknya gak POLLL !!
Bayu : Ska gw yakin 100 % , lo sama Aquin bakal jadi kandidat penerima surat terbanyak, nyet gw penasaran deh lo ganteng banyak cewek yang terang terangan bilang suka sama lo, tapi kenapa sampe sekarang lo masih jomblo ??
Skala : Gw juga mau gila punya pacar, tapi gimana dari semua yang bilang suka sama gw gak ada satu pun yang mendekati tipe idaman gw, rata rata ribet semua gak bisa diajak backpakeran, motoran.
Bayu : Tapi jujur deh Nyet , ada anak baru disini yang lo harepin kasih surat ke lo engga ??
Skala : Gw tanya dulu ke lo be 2, Lo be 2 ngarepin siapa sih ?
Fino : Gw jelaslah kalo gak Jennie, Lisa ya minimal Tamara sama Prillylah.
Bayu : Gw udah pasti Jennie kalo gak Rose. Tapi Jennie berat saingan gw kasanova kls 12 Aquin gak mungkin bisa menang gw. Sekarang lo harus jawab ?
Skala : Emm sebenernya ada sih 1 orang, gw baru liat dia hari ini tapi gw gak tau namanya siapa, mata gw gak bisa lepas dari dia. ( skala sedikit berbohong ia tidak mau jika teman temannya tau bahwa gadis yang ia maksud adalah Jennie)
Fano : Seriusssssssss Ska !! Lo inget mukanya kaya giman ? mau gw bantuin cari tau siapa namanya.
saat Fano, Skala dan Bayu sedang seru — serunya berbincang, Jennie, Lisa, Rose dan 3 temannya masuk ke dalam Aula. Fano memberikan kode kepada ke 2 temannya untuk melihat siapa yang datang. Skala melihat Jennie sedang menulis surat cinta ekspresi yang ia ciptakan ketika bingung terlihat sangat imut dimata Skala, Fano dan bayu melihat Skala yang tidak berkedip menatap Jennie. “Ska jangan diliattin doang samperin ajak ngobrol minta nomer” ledek Bayu. Skala yang mendengar ledekan Bayu tidak dapat berkata apa apa, wajah tampannya memerah menahan malu karena teman temannya secepat itu tau gadis yang ia suka. “Ska muka lo kenapa merah ?” ledek Fano bahagia. Skala akhirnya memilih pergi dari aula dan meninggalkan kedua temannya tanpa bisa bicara. Fano dan Bayu yang melihat kelakuan Skala saat itu tertawa terbahak — bahak, dan mengikuti Skala meninggalkan Aula.
Bel masuk sudah berbunyi 3 menit yang lalu, Jennie, Lisa, Rose, Biru dan Dito merasa sangat lega karena tugas buku keramat 25 mereka sudah hampir penuh hanya tinggal 2 nama yang belum mereka dapat Skala dan Aquin. Jennie dkk tidak mendapatkan tanda tangan kakak kakak OSIS dengan mudah, mereka harus melakukan hal hal yang sangat konyol demi satu buah tanda tangan. Entah apa yang akan Aquin dan Skala perintahkan kepada kami agar bisa mendapatkan tanda tangan mereka, memikirkannya saja Biru dkk sudah tidak berselera.
Tami kembali tepat pada saat bel berbunyi, ia memegang sebuah amplop berwarna pink Tami langsung duduk di kursi miliknya baju yang Tami gunakan terlihat sedikit kotor ada bekas noda Saos dicardigan miliknya, ia juga lebih pendiam dari biasanya, Jennie yang menangkap keanehan dari Tami memberanikan diri bertanya kepada Tami “ Ta kok lo balik ke Aulanya lama banget ? lo gak kenapa kenapakan Ta ?” ( tanya Jennie kawatir ). selama beberapa detik Tami tidak menjawab pertanyaan dari Jennie, ia mengontrol emosinya terlebih dahulu agar tidak menangis “ Aku gak apa — apa kok Je kamu tenang aja” ( sambil senyum memaksa ) Jennie tau Tami berbohong kepada dirinya, pasti ada sesuatu yang terjadi sama Tami tadi ditoilet !! Jennie berncana memberitahu keadaan Tami kepada teman — temannya yang lain nanti setelah pulang sekolah.
Skala, Aquin dan Anggota OSIS yang lainnya memasuki Aula bersama sama, kedatangan mereka bisa membuat suasana yang tadinya sangat gaduh menjadi sangat tenang. Skala meminta para penanggung jawab kelompok untuk mengumpulkan surat cinta dari para peserta MOS, Aquin dan para penanggu jawab kelompok lainnya segera menuju ke tempat duduk dimana kelompok yang menjadi tanggung jawabnya berada. Aquin segera mengumpulkan surat cinta yang di buat oleh Jennie, Lisa, Rose, Tami, Dito dan Biru. Setelah surat cinta dari kelompok 7 sudah semuanya terkumpul Aquin kembali bergabung dengan OSIS lainnya di atas panggung.
Setelah Surat cinta dari seluruh peserta sudah semuanya terkumpul para penanggung jawab kelompok maju satu persatu dan membacakan nama OSIS yang mendapat surat cinta dari anggota kelompoknya. Kelompok 1 dan Kelompok 6 sudah selesai dibacakan, saat ini tiba giliran Aquin selaku penanggung jawab kelompok 7 akan mulai membacakan nama OSIS yang menerima surat cinta dari anggota kelompoknya.
Surat 1 berwarna Biru, untuk Kakak Tiki. Tiki yang mendapatkan surat cinta dari salah satu anggota kelompok 7 maju mengambil surat itu.
Surat ke 2 berwarna Pink, untuk Aquin. Aquin tersenyum kearah kelompok 7 duduk seakan mengucapkan terima telah menulis surat untuk dirinya.
Surat ke 3 berwarna Pink, untuk kak Fano. Fano yang namanya disebut sedikit tidak percaya tapi ia berusaha menyembunyi rasa senangnya.
Surat ke 4 berwarna biru untuk kak Lala, Lala maju mengambil surat dengan percaya diri.
Surat ke 5 berwarna pink untuk kak Skala, Skala dengan cool berjalan mengambil surat yang ditunjukkan untuk dirinya.
Surat ke 6 berwarna pink untuk Aquin ganteng, Thanks udah bilang gw ganteng siapa pun yang nulis ini ucap Aquin.
Semua penanggung jawab sudah membacakan nama penerima surat cinta dari masing masing anggota kelompoknya. Dari 15 kelompok Skala, Aquin, Tiki dan Lala yang mendapatkan surat terbanyak.
Aquin menjadi orang pertama yang mendapatkan kesempatan untuk membacakan surat cinta yang ia dapat dari para peserta MOS. Aquin sudah memilih satu surat dari sekian banyak surat yang ia dapat, ia mulai membaca surat pilihannya :
To : Aquin Adrian
Hai Aquin, salam kenal J
Mungkin surat ini Cuma sekedar lucu lucuan untuk kamu dan anak — anak lainnya, tapi untuk aku surat ini sangat penting. Lewat surat ini aku ingin menyatakan perasaan yang aku rasakan.
Dari awal aku tertarik sama kamu Quin, wajah kamu, bibir kamu, badan kamu selalu muncul di dalam mimpi mimpiku. Awal kita ketemu juga lucu entah takdir atau bukan kamu terpilih menjadi penanggung jawab kelompokku. Aku tau kamu sebenarnya juga punya rasa yang sama dengan aku. Cara kamu menatap aku, cara kamu berbicara dengan ku terlihat sangat berbeda. Tapi aku sadar cowok populer kaya kamu gak akan bisa jalanin hubungan sama cewek kaya aku.
Aku tau betapa tersiksanya kamu menyimpan rasa suka kepada aku, aku tau aku gak mungkin bisa sama sama kamu.
Bagaiman bisa kita sama sama ? kasta kamu dan aku saja berbeda. Bagaimana mungkin seseorang yang sekolah di SMA STAR dengan beasiswa bisa menjadi pacar kamu Aquin Adrian.
Tapi aku gak masalah asal kamu tetep sama aku, aku gak peduli jadi pacar keberapa kamu, aku gak peduli orang lain gak tau kamu pacar aku. asal aku sama kamu tetap sama sama.
Aquin tertawa terbahak bahak setelah selesai membaca surat cinta yang ia dapat, “Sorry sorry gw udah coba tahan tapi susah nahannya, btw buat yang nulis surat ini halu banget asli” sindir Aquin dengan nada yang menyebalkan.
Setelah Aquin selesai membacakan surat yang ia dapat, suasana peserta MOS sedikit gaduh, mereka hampir semua berbisik satu sama lain, membicarakan cewek yang nekat tulis surat halu kaya gitu ke kak Aquin. Peserta wanita dari kelompok 6 yang tetap berada di sebelah kelompok 7 mulai melirik ke arah Tami dengan tatapan sinis dan meremehkan. Lisa, Rose, Jennie, Dito dan Biru sangat kaget ketika Aquin membaca surat cinta yang ia dapat, mereka tau surat itu dari Tami. Tapi Jennie dan teman temannya yang lain sama sekali gak percaya kalo Tami nulis kalimat kaya gitu, ditambah lagi mereka tau Tami ingin membuat surat cinta untuk Kak Damar. Jennie melirik kearah Tami ia ingin memastikan temannya baik — baik saja, sesuai dugaan Jennie, Tami terlihat tidak baik baik saja. Tami menenggelamkan mukanya kedalam lipatan tangannya, Tami sudah tidak berani menunjukkan wajahnya kepada orang — orang, ia tau saat ini semua mata menuju kearah dirinya.
Skala yang melihat keadaan ini meminta peserta MOS tenang, ia juga meminta waktu break selama 15 menit. Skala meminta Aquin menemuinya di luar Aula, Aquin tanpa rasa bersalah mengikuti Skala keluar Aula. Bayu dan Fano yang kawatir Skala akan berkelahi dengan Aquin ikut keluar Aula untuk memastikan Aquin dan Skala tidak berkelahi.
Aquin dan Skala sudah ada di tempat yang lumayan jauh dari area Aula, Skala menarik kerah cardigan Aquin
Skala : “ Maksud lo apaan !!”.
Aquin pun tidak kalah kasarnya ia juga menarik cardigan yang dipakai Skala “ Kenapa ?
Aquin : “Lo gila ya marah sama gw ! Gw Cuma baca isi surat cinta yang gw dapet !! Lo marah karena komen gw ke orang yang nulis surat itu ?? Lo dengerkan isi surat yang tadi gw baca, dia bilang gw suka sama dia, dia bilang gw kesiksa gak bisa nunjukkin rasa sayang gw kedia. Lo pikir masuk akal !! tuh orang halu wajar kalo gw komen kaya gitu !!
Skala : Lo gak mikir gimana nasib orang yang nulis surat buat lo saat lo komen jahat buat dia ! lo tau gimana dia pasti bakal di bully sama fans lo karena buat lo marah !! susah si ngomong sama orang yang gak pernah susah kaya lo !!
Aquin yang mendengar kata kata dari Skala mendadak sangat sangat marah ia mencekram leher Skala tangannya reflek ini memukul muka sok milik Skala, untungnya Fano dan Bayu segera memisahkan mereka berdua.
Fano : Udah udah kenapa lo berdua ribut ( sambil memeluk tubuh Aquin)
Aquin : Diem lo ! gak usah ikut campur ! Minggir lo ! ( mencoba melepas pelukan Fano)
Skala : Sini lo ! lo pikir mentang mentang lo orang kaya gw takut sama lo !!
Aquin : Oke, gw tungguin lo pulang sekolah entar, ditempat biasa ! pingin tau gw omongan lo sesuai engga nanti !! Aquin melepaskan pelukkan Fano dengan kasar lalu Aquin pergi begitu saja meninggalkan Skala dan teman temannya.
Skala mencoba menenangkan emosinya sebelum kembali ke Aula, Fano dan Bayu yang berada didekat Skala pun tidak berani mengajak Skala berbicara dulu sebelum temannya ia benar benar tenang. Setelah Skala sudah merasa lebih tenang ia mengajak Bayu dan Fano kembali ke Aula.
Saat Skala kembali kedalam Aula Tiki sedang membaca surat cinta yang ia dapatkan dari peserta MOS suasana dari peserta MOS pun sudah kembali seperti semula. Tiki selesai membacakan kalimat terakhir dari surat cintanya, Tiki meminta Skala untuk memilih surat yang ia dapat dan membacakannya di depan.
Tiki : Ska giliran lo baca sekarang ?
Skala : Lala dulu aja Ki, gw belum milih suratnya.
Tiki : Lala udah sebelum gw, lo terakhir udah buran pilih asal aja.
Skala : yaudah bentar gw pilih suratnya dulu.
Skala melihat surat cinta yang ia dapat, dari sebegitu banyaknya surat yang ia dapat sebenarnya ia sudah memisahkan 1 surat, surat itu berasal dari kelompok 7 walaupun Skala belum tau siapa dari kelompok 7 yang memberikannya surat cinta, tapi didalam hati kecilnya ia berharap surat yang ia dapat berasalah dari Jennie, cewek yang sejak tadi mengalihkan fokusnya.
Tiki : Ska ! udah belum ? lo milih surat aja lama banget !!
Skala : Ia ini udah.
Skala membawa satu surat yang sejak tadi ia pisahkan dari surat surat lainnya, ia membuka amplop lalu melihat nama pengirim surat cintanya, Skala memastikan berkali kali bahwa nama pengirim suratnya adalah Jennie, Skala mulai membaca isi surat cinta yang ia dapat dengan lantang mengunakan MIC
To : Kak Skala
Hai Kak Skala, salam kenal J
Kak Skala dari awal kegitan MOS berjalan sebenernya aku sudah mulai tertarik sama kak Skala. Dihari pertama aku melihat kakak, saat itu kakak sedang berbincang dengan Kak Fano di Pos pertama sifat kakak yang cuek dan dingin kepada saya saat itu malah membuat saya tertarik dengan kak Skala. Pembawaan kakak itu yang membuat kak Skala terlihat cool dimata saya.
Dihari hari berikutnya pun saya Cuma bisa mengagumi kakak dari tempat duduk saya, kak Skala bagai langit yang gak mungkin bisa saya jangkau.
melalui surat ini saya ingin mengakui apa yang saya rasakan terhadap kakak 4 hari ini, terima kasih kak Skala sudah mengorbankan waktu untuk acara MOS angkatan saya. Dan terima kasih karena hadirnya kak Skala 4 hari ini terasa sangat menyenangkan untuk saya.
Skala membaca surat cintanya dengan rasa bahagia, ia sudah tidak peduli jika orang lain menyadari perasaan yang ia rasakan saat ini. Skala benar benar tidak berdaya untuk menahan perasaan aneh yang muncul dari dalam hatinya saat membaca tiap kata dari surat ini. Skala mengakhiri surat yang ia baca dengan senyuman dibibirnya.
Saat Skala berdiri didepan MIC dan membawa satu surat cinta ditangannya, entah mengapa Jennie yang merasa gugup. Ia mempunyai feeling bahwa surat yang ada ditangan Skala adalah surat pemberian darinya. Saat Skala mulai membaca surat cinta yang ada ditangannya benar saja dugaan Jennie, surat yang dibaca adalah surat miliknya. Rose, Lisa yang juga tau surat yang Skala baca milik Jennie menyenggol nyenggol tangan Jennie. Sampai Skala selesai membaca surat cintanya Jennie sama sekali tidak melihat kearah panggung. Setelah Skala selesai membaca kalimat terakhir dari surat cinta yang Jennie berikan, tanpa sengaja Jennie dan Skala beradu tatap, saat mata mereka berdua beradu Jennie melihat dengan sangat jelas Skala tersenyum kearahnya. Bukan hanya Jennie yang melihat kejadian ini Biru dan Rose pun melihat adegan romantis tersebut.
Setelah Skala selesai membaca surat cinta miliknya, Tiki memberikan pengumuman kepada para peserta MOS, setelah ini para peserta MOS diberi waktu bebas selama 1 jam, di waktu itu kalian bisa mengumpulkan tanda tangan dari anggota OSIS. Setelah jam bebas buku keramat 25 kalian akan kami cek satu persatu, sekian pengumuan dari saya.
Peserta MOS yang lain langsung sibuk mencari cari dimana keberadaan OSIS saat ini, untungnya Jennie dan kawan kawannya sudah hampir mengumpulkan semua tanda tangan semua OSIS yang ada di buku keramat ini.
Biru : Ta, lo udah kumpulin tanda tangan ?
Tami : Udah kok Bi, sisa 3 orang lagi kalo gak salah J
Biru : Serius ? Lo gak apa apakan ?
Tami : Gw gak apa apa kok tenang aja.
Jennie pun bergabung dalam percakapan Biru dan Tami
Jennie : Ta, siapa aja yang tanda tangannya belum lo dapet ?
Tami : Skala, Aquin sama Fano Je
Jennie : Carinya bereng kita aja ya Ta.
Tami : Ia Je makasih ya udah ajak gw gabung sama lo, tapi kayanya aku gak akan minta tanda tangan Aquin deh.
Biru : Biar nanti gw aja yang minta tanda tangannya dia buat lo, gak usah kawatir Ta lo masih punya kita.
Tami : Makasih ya maaf gw nyusahin kalian ber 2 terus.
Rose : Je, Bi mau minta tanda tangan kesiapa dulu Aquin atau Skala ?
Biru : Mending Skala dulu deh gimana, Tami ikut gabung sama kita lo gak masalahkan Rose ?
Rose : Ya gak apa apalah Bi aneh banget pertanyaan lo !
Biru : Yaudah kalo gitu, Lisa sama Dito mana ? Lo tau gak tempat nongkrongnya Skala sama Aquin pas istirahat gini ?
Jennie : Tuh Lisa sama Dito ada di belakang lo, Bi. gw punya ide gimana kalo kita bagi 2 kelompok karena kita gak tau Skala sama Aquin ngabissin waktu dimana kalo lagi istirahat kaya sekarang kita bisa berpencar mencari keberadaan mereka. Kalo salah satu dari kita ada yang nemuin tinggal kabarin via chat, gimana ?
Lisa : Gw setuju, terus nentuin kelompoknya gimana ?
Biru : Gw, Jennie, sama Tami satu kelompok. Lisa, Rose sama Dito satu kelompok gimana ?
Dito : Oke gw setuju, Rose lo gimana ?
Rose : Gw juga sangat sangat setuju J
Biru : Yaudah gw, Jennie sama Tami coba cari Skala diruang musik. Lo, Rose, sama Lisa coba cari Aquin dikantin.
Dito : Oke bos 86 laksanakan.
Biru, Jennie dan Tami mencari keberadaan Skala disekitar ruang musik, benar saja feeling Biru Skala sedang asik bermain gitar seorang diri diruang musik. Di depan pintu ruang musik Biru, Jennie dan Tami berdiskusi siapa yang harus berbicara dengan Skala terlebih dahulu. Jennie dan Tami setuju Biru yang harus melakukan tugas itu, Biru mau tidak mau harus mengetuk pintu ruang musik,
Biru : tok tok tok permisi kak Skala kita boleh masuk ?
Skala yang mendengar ketukkan dipintu menghentikan permainan gitarnya, masuk aja ini tempat umum kok siapa aja boleh masuk jawab Skala dengan nada datar dan dingin.
Biru, Jennie dan Tami yang sudah mendapatkan izin dari Skala akhirnya berani masuk kedalam ruang musik. Skala melihat pintu ruang musik dibuka ada 3 peserta MOS yang masuk kedalam ruang musik diantar 3 orang itu salah satunya adalah Jennie.
Skala : Kalian ngapain kesini mau main musik ? ( Skala iseng mengetes mental dari peserta MOS di depannya )
Biru : Engga kak, kita ber 3 kesini cari kak Skala kita mau minta tanda tangan kakak.
Skala : Kamu yakin saya akan kasih kamu tanda tangan saya dengan mudah ?
Biru : kurang yakin si kak, tapi saya siap melaksanakan tugas yang kak Skala berikan supaya saya dan 2 teman saya bisa dapet tanda tangan kakak.
Skala : Kamu juru bicara mereka ber 2 ? Skala menujuk Jennie dan Tami.
Jennie : Engga kak, saya bisa berbicara kok. saya juga akan melakukan tugas yang kakak berikan supaya dapet tanda tangan kakak.
Tami : Saya juga sama kak.
Skala : (Skala menujuk Biru) Gw mau lo bawain gw daun kering sebanyak 200 lembar, sanggup ? kalo lo sanggup gw tungguin lo disini.
Biru : Sanggup kak. Saya pamit dulu kak.
Biru meninggalkan ruang musik dan bergegas melakukan tugas yang di berikan Skala.
Skala : ( menunjuk Tami) Saya minta kamu kumpulin daun sebanyak 150 lebar. kamu sanggup ?
Tami : Sanggup kak, saya akan kembali membawa daun 150 lembar.
Tami juga meninggalkan ruang musik untuk melaksanakan tugas dari Skala.
Description: Seorang gadis yang bernama Jennie Alenia Wijaya memilih untuk kembali ke Negara asalnya Indonesia untuk melanjutkan kegiatan Studynya di SMA Seni satu - satunya Di Indonesia, alasan utama ke pulangan dirinya adalah untuk menyusul kakak Laki - Lakinya yang sudah lebih dulu kembali, dan untuk lebih dekat dengan kedua orangtuanya.
Namun kehidupan Jennie di Indonesia persis seperti Rolercostter.
Mulai dari masalah pertemanan, percintaan, keluarga, sosial, bullying di sekolah akan menerpa kehidupan Jennie 3 tahun kedepan.
Apa Jennie Bisa melewatinya dengan aman ?
Apa Jennie pada akhirnya akan mendapatkan Sahabat, Pasangan yang sesuai ?
Apa Akhir cerita SMA Jennie akan berakhir dengan happy Ending ??
Menurut ku Hanya Waktu yang bisa menjawab :)
|
Title: Romansa Semenjana
Category: Cerita Pendek
Text:
Romansa Semenjana
LUBANG KUBUR Carmen telah disiapkan orang tuanya. Persis di tengah-tengah, di antara liang kubur papa dan mamanya. Kelak mereka akan terbujur kaku sebelah-menyebelah, seperti layaknya sebuah keluarga.
Namun, bukan fakta bahwa ia telah memiliki tempat peristirahatan terakhir walau usianya belum menyentuh akhir tigapuluhan tersebut yang mengganggunya, melainkan karena orang tuanya percaya, sampai akhir hidupnya pun, Carmen takkan memilikki keluarga sendiri.
"Ah, yang bener, kamu? Ketahuannya gimana?"
"Tukang kuburannya sendiri yang telpon ke rumah kemarin."
"Hah? Dan kamu nggak protes?"
"Protes? Kenapa? Lokasinya bagus, kok. San Diego Hills, persis di depan bungalow. Jadi kalau kamu mau nyekar ke kuburanku nanti, bisa sekalian piknik sambil nikmatin pemandangan."
Marlon melongo mendengar jawaban Carmen.
"Sampai segitunya Papa-Mama kamu," katanya sambil menggeleng tak percaya. "Kamu tahu kan itu artinya apa?"
Carmen tersenyum geli melihat keterkejutan pacarnya.
"Iya-iya, aku tahu. Bercanda, Gila. Pastilah aku protes. Tapi besok protesnya, tunggu mereka mendarat dari Amsterdam."
Iga bakar saus madu menggantung bisu di mulut Marlon. Ia sedang meraba keadaan.
"Tapi, … mungkin mereka begitu gara-gara kamu juga, Men," sindirnya hati-hati, setelah menarik keluar tulang malang itu dari hisapan. Bunyi pop nyaris terdengar.
"Wajar kalau papa-mamamu beranggapan kamu bakal jadi perawan tua, soalnya nggak pernah ada cowok yang kamu kenalin ke mereka."
Marlon benar. Alih-alih membawa laki-laki ke rumah, menyebut nama kenalan seorang kaum adam saja hampir tak pernah. Dalam pendiriannya, pantang mengenalkan pacar pada orang tua jika ia sendiri belum yakin ke mana hubungannya akan berlabuh. Dan setelah dua tahun lebih, Carmen masih belum tahu pasti hubungan macam apa yang dijalaninya bersama Marlon.
Suasana berubah rikuh. Ia tahu ke mana kekasihnya ingin membawa pembicaraan ini. Carmen meletakkan pisau dan garpu di sisi piring, lantas melipat tangannya.
"We've been over this a dozen times, Lon. Mungkin mengenalkan pacar ke keluarga itu bukan big deal buat orang lain atau buat kamu, but it's a huge thing for me. I don't know how many more times I have to explain this."
"Mungkin seribu kali lagi, Men. Soalnya aku nggak pernah paham alasan kamu itu. Masih ada yang belum kamu bilang ke aku. Masih ada yang aku enggak tahu. Dan itu pastilah alasan yang sebenarnya."
Carmen menghela napas dalam kepura-puraan, seolah pacarnya mengada-ada. Padahal, lagi-lagi dugaan Marlon tepat sasaran. Ada yang ia sembunyikan. Ia sedikit salah tingkah karenanya, terlihat ketika perempuan itu mengambil garpu dan membelitkan Spaghetti Alfredo ke sana, tanpa tanda-tanda akan memasukannya ke mulut.
Hiruk-pikuk resto yang masih ramai walau satu jam lagi menuju pergantian hari, tetap tak mampu menyamarkan kegusaran Carmen. Kabut keraguan mengambang di sekeliling. Sedangkan setangkai mawar di tengah meja merunduk dalam-dalam, seolah tak mau terlibat dalam ketegangan antara keduanya. Carmen bimbang. Sebuah pertanyaan mondar-mandir di antara benak dan pangkal lidahnya. Haruskah Marlon tahu alasan sebenarnya?
Memang Carmen pernah beberapa kali menjalin asmara, yang serius di awal lantas galau di akhir, maupun yang main-main di mula-mula lalu bersungguh-sungguh belakangan. Sayangnya, semua berujung perpisahan, secara mutual maupun brutal. Tetap saja pada akhirnya ia kembali sendiri, susah payah berkelit menghindari pertanyaan yang itu-itu saja saat hari raya tiba.
"Apa kamu nggak puas dengan hubungan ini?" Ia berusaha menyerang balik dengan mengubah topik perdebatan. "Kenapa kamu harus cepat-cepat ketemu sama papa mamaku, Lon. Nggak bisakah kita seperti ini dulu?"
"Dua tahun tiga bulan, Men. Selama dua tahun lebih tiga bulan ini kita jalan di tempat. Aku mulai ragu apakah tujuan kita membina hubungan masih sejalan."
Carmen terdiam. Bola-bola matanya menusuk tajam ke arah laki-laki di seberang meja, yang dikenalnya secara tidak sengaja di sebuah pameran mobil. Carmen sedang ingin membeli mobil, sementara Marlon sedang mempromosikan sebuah merk keluaran terbaru dari perusahaan suku cadang otomotif tempatnya bekerja. Dari booth onderdil mobil itulah kisah mereka bermula.
"Sejujurnya, Lon, aku nggak pernah tahu mau dibawa ke mana hubungan kita," tukas Carmen pedas.
Marlon menanggapi dengan setengah melemparkan pisau dan garpunya ke piring hingga membuat bunyi kelontang cukup keras. Ia melesakkan diri dalam sandaran kursi. Emosi mulai membakar kepalanya, membikin dahinya berkerut sambil memandangi wanita yang masih meragukan kesungguhan komitmennya.
"Apa sih mau kamu, Men? Aku harus bagaimana lagi supaya kamu paham seserius apa aku sama kamu? Memangnya selama ini kamu nggak bisa lihat?"
Teh manis panas dihirup Carmen dengan santun. Matanya dialihkan ke water fountain dalam kolam ikan mas di beranda resto. Kepalanya memilin jalinan kata untuk membalas sindiran Marlon.
"Kamu juga nggak bisa menangkap apa yang aku inginkan dari hubungan kita, Lon," ujar Carmen pelan namun tajam. "Pernah nggak kamu kepikiran kalau semuanya terlalu jamak? Seolah hidup ini kehilangan geregetnya jika semuanya hanya berujung pada hidup berkeluarga, beranak cucu, lantas mati. Kamu mau ngejalanin hidup seperti itu?"
Pertanyaan yang didengar Marlon barusan tidak digubrisnya. Waktu dua tahun lebih telah cukup baginya untuk memahami tabiat sang kekasih. Bahkan mungkin jauh lebih paham daripada Carmen memahami dirinya sendiri. Mekanisme pertahanan dalam diri Carmen akan aktif secara otomatis jika ia tersudut dalam argumentasi yang menyangkut masalah sensitif atau terlalu pribadi. Sebuah reaksi defensif yang ditandai dengan pengalihan topik pembicaraan dan berusaha memanipulasi lawan bicaranya dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis tanpa isi.
"Aku tahu soal Kevin," tandas Marlon ketus.
Carmen hampir tersedak ketika mendengar sebuah nama dari masa lalunya keluar dari mulut Marlon. Sia-sia ia mencoba menahan batuk. Marlon yang masih terlihat dingin menyodorkan segelas air mineral ke arah Carmen tanpa berkedip. Air mukanya sulit dibaca.
"Da—dari mana kamu—?"
"Nggak penting dari mana aku tahu. Yang penting aku jadi tahu apa akar kekhawatiran kamu itu."
Bayangan masa lalu datang lagi, membikin Carmen terdiam sejenak. Rasa sakit hati tatkala pertunangannya dengan Kevin dulu harus kandas akibat perbedaan prinsip kembali menghantui. Carmen yang memegang prinsip untuk setia pada Kevin, sedangkan tunangannya itu justru lebih memilih setia pada sifat mata keranjangnya.
"Kamu nggak berhak untuk mengorek masa laluku, Lon. Kali ini kamu kelewatan!" Suaranya meninggi.
"Ingat, Men. Udah dua tahun lebih aku kenal kamu. Itu nggak sebentar. Dan demi memiliki masa depan bersama kamu, aku merasa wajib tahu tentang masa lalumu, serta apa saja yang terjadi dalam hidup kamu dulu." Tekanan suaranya diperlembut. " Aku ingin tahu masa lalu seperti apa yang membentuk seorang Carmen, seorang wanita yang membuat tidurku nggak nyenyak belakangan ini."
Entah mengapa ada yang menggelitik isi kepala Carmen saat mendengar ucapan Marlon tadi. Tetapi buru-buru berusaha ia tepis.
Hening bergentayang di tengah-tengah keduanya, hingga akhirnya Carmen memulai lagi. Rasa penasaran mengalahkan emosinya juga.
"Apa maksud kamu dengan 'belakangan ini'?"
Kekakuan di wajah Marlon mulai terurai. Mungkin kebingungan Carmen adalah pemicunya. Ia menegakkan posisi duduk tanpa menghilangkan keseriusan, lantas menggenggam tangan Carmen yang telah berhenti dengan permainan garpunya.
"Ada yang perlu aku yakinkan ke kamu, Carmen," ujarnya dengan suara tulus. Yang dipanggil malah setengah terkejut, lantaran melihat Marlon keluar dari kursinya dan mendekat satu langkah, sebelum berlutut di samping tempat Carmen duduk.
"You should know that men are not cut from the same cloth. Aku nggak sama dengan laki-laki lain. Nggak sama dengan Kevin."
Kehangatan kata-kata dan genggaman tangan Marlon membuat emosi Carmen menguap entah ke mana. Pun membawa ingatannya berkelana ke masa-masa yang lalu. Masa saat ia pertama kali mengenal kekasihnya itu dan bagaimana mereka melewati tahun-tahun bersama. Hingga lamunannya hinggap pada memori suatu pagi yang kelabu. Langit belum berhenti menggerutu, diperparah oleh hujan lebat sedari malam, dan suhu badan Carmen yang menyentuh 39 derajat. Ia terserang demam. Hanya mampu meringkuk dalam selimut di kamar apartemennya seharian. Marlon pun datang dengan pakaian yang basah kuyup, sambil membawa tupperware berisi bubur ayam hangat kesukaan Carmen. Akibat kehujanan hari itu, Marlon gantian demam keesokannya.
Sekonyong-konyong Carmen sadar akan dalamnya perasaan Marlon, dan perasaannya pada laki-laki itu.
Ia makin kehilangan napas begitu melihat sebuah cincin bermata batu berkilau yang dikeluarkan Marlon dari sakunya. Semua aksara yang biasa berseliweran di kepala seakan menguap. Hanya ada satu kata yang timbul tenggelam dalam benaknya, merayu-rayu ingin diucapkan. Namun, ia tak tahu harus bereaksi seperti apa.
Marlon masih terpaku di tempat, menanti waktu yang tepat untuk memuntahkan sebuah pertanyaan yang telah lama ia pendam dan putar ulang dalam khayalan. Seisi ruangan resto sekarang sunyi tak bersuara. Bukan karena ikut menahan napas menanti apa yang akan dilakukan dua sejoli itu, melainkan karena sibuk mengerumuni televisi yang menyiarkan breaking news tentang jatuhnya maskapai negeri Jiran setelah ditembak rudal militan Ukraina. Mereka tak peduli pada romansa dua anak manusia di sudut ruang temaram itu.
"So, Carmen Agatha," suara Marlon tegas menghipnotis, " maukah kamu dikubur di samping kuburanku nanti?"
Semu merah jambu di wajah Carmen telah mendahului jawabannya.
*****
Description: "Lubang kubur Carmen telah disiapkan orang tuanya. Persis di tengah-tengah, di antara liang kubur papa dan mamanya."
|
Title: Ruang Dialog
Category: Metropop
Text:
Ruang Dialog | Pertemuan
?
Ry ?, 24 tahun - Penikmat arunika
"Semesta mempertemukan saya dengan kamu, setelah saya benar-benar mengikhlaskan kejadian di masa lalu."
_______
?
Zy ?, 29 tahun - Penikmat swastamita
"Semesta mempertemukan saya dengan kamu, setelah saya berusaha meninggalkan titik tergelap dalam hidup."
Ruang Dialog | Part I
?: Di dunia ini nggak semua orang itu baik. Ada beberapa orang yang berpotensi melakukan kejahatan terhadap orang lain. Termasuk saya.
?: Saya tahu, setiap orang punya sisi buruk di dalam dirinya. Tinggal sisi mana yang lebih dominan.
?: Ya, saya cuma mengingatkan saja bahwa kita berdampingan dengan Yin dan Yang.
?: Terima kasih sudah mengingatkan. Yah, semoga saja hal itu tidak dijadikan pemakluman atas tindakan tidak baik seseorang.
?: Sama-sama. Bukan ke arah pemakluman sih sebenarnya.
?: Lalu ke arah mana?
?: Ke arah peringatan.
?: Peringatan untuk diri sendiri?
?: Ya, seperti itu.
?: Pemakluman yang saya maksud juga ke diri sendiri. Bukan ke orang lain. Karena kita nggak bisa mengendalikan orang lain. Jangan sampai diri kita memaklumi tindakan buruk kita kepada orang lain dengan pemikiran "Ah, nggak apa-apa lah, semua manusia pasti pernah melakukan kejahatan. Nggak ada manusia yang benar-benar baik," yang takutnya justru keterusan memaklumi diri kita untuk berbuat jahat ke orang lain.
?: Setuju. Tapi tetap, punya pemikiran harus didukung dengan kesiapan mental juga. Untuk menghadapi kejahatan di luar sana. Karena kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya.
Ruang Dialog | Part II
?: Memangnya mengungkit-ungkit sesuatu yang sudah terjadi itu termasuk sikap yang kekanak-kanakan?
?: Iya, menurut saya. Makanya belajar biar nggak kebiasaan mengungkit-ungkit.
?: Ini lagi proses belajar. Walaupun terkadang masih kebawa.
?: Iya, setiap orang masih akan terus belajar.
?: Dalam prosesnya, sebuah teguran biasanya cukup membantu kan?
?: Yap. Tetapi terkadang, orang yang kepala batu meski sudah ditegur tetap saja nggak berpengaruh.
?: Itu kan malin kundang!
?: Jangan salah, manusia jaman now juga masih ada yg seperti itu.
Description: Berbagai dialog yang terucap dari dua orang yang sedang dalam pencarian
|
Title: RekomeNovel M/S/T
Category: Non Fiksi
Text:
RekomeNovel M/S/T
Sesuai dengan judulnya, karya non fiksi ini lebih memfokuskan pada novel-novel yang punya minimal salah satu dari ketiga genre berikut.
1. Misteri
Kalau bagi saya, cerita tanpa unsur misteri ibarat sayur kurang garam atau masakan kurang bumbu penyedap. Sudah umum kalau misterilah yang menggerakkan kita sebagai penikmat buku atau film untuk lanjut membaca atau menonton.
2. Science fiction (scifi atau fiksi ilmiah)
Sudah lama juga kalau faktor kecanggihan teknologi menjadi daya pikat sebuah karya, baik buku maupun film. Apalagi sekarang ini sudah era teknologi digital jarak jauh.
3. Thriller
Serupa dengan kalimat di poin no. 1 sebelumnya, pernahkah menikmati karya misteri atau aksi/action atau horor tanpa bagian cerita (adegan kalau di film) yang menegangkan?
Kalau seandainya pernah, kagak seru ya?
Nah, jadi novel-novel dengan salah satu atau kedua atau ketiga genre tersebut akan menjadi bahan rekomendasi di sini. Sebagai bentuk dukungan terhadap sejumlah novelis Indonesia khususnya yang memilih beberapa genre itu, saya akan membahas sedikit keunggulan karya-karya mereka yang berkualitas di edisi-edisi perdana. Sewaktu RekomeNovel ini muncul di Storial mulai Sepetember 2020, sudah ada 4 edisi awal di akun Instagram asta12di_sky yang membahas:
1. Pemburu Halimun karya Rezawardhana.
2. Sudut Mati karya Tsugaeda.
3. Clair: The Death that Brings Us Closer karya Ary Nilandari.
4. Dilatasi Waktu karya R.Wahyu.
Edisi di Storial juga akan mengikuti urutan di Instagram, sehingga keempat edisi perdana akan merekomendasi karya-karya 2 cowok dan 2 cewek beken itu. Selanjutnya, waktulah yang akan mengimbangi jarak waktu antara postingan di Instagram dengan bab terbaru di Storial ini. Sebagai informasi, RekomeNovel M/S/T akan muncul lagi setiap 2 minggu dari minggu terakhir Agustus 2020, sedangkan untuk mengejar ketertinggalan, yang di Storial akan dipublish setiap 1 minggu di hari Rabu sebagai pertengahan kelima hari kerja.
Akhirnya, saya ucapkan selamat menikmati karya non fiksi ini. Tentunya tanpa gambar novelnya ya. Kalau mau melihat tampilan bukunya, silakan mengunjungi akun IG asta12di_sky saya. Terima kasih, dan semoga bermanfaat.
no.01 - Pemburu Halimun
Judul : PEMBURU HALIMUN
Genre : misteri thriller detektif
Pengarang : Rezawardhana
Editor : Brahmantio
Penerbit : Dukut Publishing
ISBN : 978-602-97920-4-1
Cetakan : Pertama (Desember 2017)
Ini dia tokoh detektif lokal yang keren, Hilbram Handaru.
Hilbram Handaru, seorang dosen muda yang pernah membantu polisi mengungkap kasus pembunuhan berantai dua tahun lalu, datang atas permintaan seorang teman yang tidak terima adik perempuannya telah dituduh sebagai pembunuh.
Dari halaman pertama cerita hingga akhir, saya dibuat terpesona oleh novel kriminal yang satu ini. Gimana tidak?
Tiga misteri dihadirkan sekaligus di bagian awal, lalu ketika cerita berlanjut ke 'sesi' penyelidikan, berbagai fakta sekaligus serangkaian peristiwa datang bergantian. Semua itu sungguh di luar dugaan, dengan teknik penceritaan misteri. Faktor suspense ini berlanjut terus hingga akhir cerita. Salah satu yang paling berkesan sampai membekas itu berkaitan dengan salah satu tokoh.
Bicara soal berkesan lainnya, adegan yang paling meninggalkan jejak ada di bab klimaks sebelum Epilog. Lalu, kemunculan Hilbram sebagai tokoh utama di kolam renang sedikit mengingatkan saya akan salah satu film yang mengangkat tokoh Robert Langdon (diperankan oleh aktor Tom Hanks) dari karya novelis Dan Brown.
Beberapa unsur intrinsik cerita dikerjakan dengan lugas dan lengkap, berpadu secara harmonis dengan gaya misterinya. Beberapa diksi, terutama pada mayoritas dialog, membuat cerita menjadi membumi. Sama membuminya dengan jarak antara halimun pada daerah pegunungan tertentu di Tanah Air.
Pantaslah kita berterimakasih sekali pada Rezawardhana yang sudah menciptakan serta menulis karya Pemburu Halimun ini. Novel kedua berlatar belakang kota Surabaya yang saya baca sejak aktif di dunia kepenulisan. Apa ya novel pertamanya? Rencana saat ini, akan saya rekomendasikan nanti sebagai novel di urutan keempat.
Pokoknya, bagi kamu yang ngaku fans misteri detektif, wajib baca Pemburu Halimun. Bisa menyesal kalau sampai melewatkan novel misteri thriller yang satu ini.
no.02 - Sudut Mati
Judul : SUDUT MATI
Genre : misteri thriller korporasi
Pengarang : Tsugaeda
Penyunting : Pratiwi Utami, Ika Yuliana Kurniasih & Adham T Fusama
Pemeriksa aksara : Pritameani, Intan & Septi Ws
Penerbit : Bentang Pustaka
Distributor : Mizan Media Utama
ISBN : 978-602-291-037-4
Cetakan : Pertama (September 2015)
Thriller korporasi
Subgenre thriller yang baru saya temukan ketika menonton sebuah siaran live streaming akun Instagram detectives_id di April 2020 lalu. Di sebuah postingannya yang tertanggal 22 Juli, akun ini menjadikan Sudut Mati sebagai salah satu novel fiksi kriminal favorit mereka sepanjang 2010 hingga 2019.
Bagi orang yang awam akan dunia bisnis dan dunia politik, novel ini bisa menjadi potret kecil dua sisi kehidupan itu di lingkup Tanah Air. Hanya saja, karena bergenre thriller korporasi, Sudut Mati lebih dominan bermain di segi bisnis. Banyak istilah serta singkatan yang dihadirkan seperti misalnya COO (Chief Operating Officer) dan CFO (Chief Financial Officer).
Beraneka macam gaya serta pandangan hidup turut mewarnai cerita menjadi amat semarak, dari yang terkesan biasa saja sampai yang 'gila benerr'. Yah, lebih banyak yang terakhir ditulis, sehingga membuat Sudut Mati menarik untuk disimak lebih mendalam. Maka, cerita thriller korporasi ini menghadirkan juga setting luar negeri yang didominasi oleh Amerika Serikat, selain sejumlah tempat di Indonesia. Di sini, si pengarang dengan cerdasnya menciptakan twist pada salah satu tokoh, membuat cerita ini bisa dimasukkan ke dalam genre misteri.
Penggarapan unsur-unsur intrinsik cerita yang sederhana sekaligus lugas mampu memukau semua pembaca. Semuanya itu disajikan dengan utuh dan lengkap, tanpa bertele-tele serta diksi yang puitis, namun tetap tidak kehilangan daya tariknya. Enggak heran, Rizki Ridyasmara yang populer dengan The Jacatra Secret memberikan dua jempol untuk Sudut Mati ??
Memang kita pantas berterimakasih pada Tsugaeda yang sudah menciptakan dan menghadirkan misteri thriller korporasi bagi Indonesia. Semoga bisa bermunculan novel-novel bergenre sejenis mengikuti jejak Sudut Mati.
"Lagi-lagi Tsugaeda memilih genre yang tak biasa untuk novelnya. Penuh intrik berliku. Dua jempol untuk Sudut Mati!"
-Rizki Ridyasmara, penulis novel The Jacatra Secret
"Belum banyak penulis thriller Indonesia yang memilih kejahatan korporasi sebagai latar, dan Tsuageda sukses meramunya menjadi kisah yang mendebarkan."
-Andina Dwifatma, pemenang utama Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012
no.03 - Clair: The Death that Brings Us Closer
Judul : CLAIR: The Death that Brings Us Closer
Genre : drama-romance, misteri-thriller
Pengarang : Ary Nilandari
Editor : Triana Rahmawati
Penerbit : Mahaka Publishing
ISBN : 978-602-5734-86-1
Cetakan : Pertama (September 2019)
Membaca Clair ini jelas akan menjadi pengalaman yang sangat berbeda bagi kita yang sudah terbiasa menikmati cerita misteri pada umumnya. Ya, sebutlah karya-karyanya Agatha Christie, serta aksi-aksi Lima Sekawan, Trio Detektif, dan Sherlock Holmes. Maklum, saya belum tahu cermis lokal. Makanya, saya tulis drama-romance terlebih dahulu, sebelum misteri-thriller.
Beruntung bagi saya karena sudah menikmati lebih dahulu dua (2) karya kak Ary yang sebelumnya, yaitu Write Me His Story dan The Visual Art of Love, sehingga sudah terbiasa dengan karakteristik diksi beliau yang kuat sekaligus unik. Terlebih lagi, beliau memang pantas sekali menjadi penulis kehidupan anak dan remaja, serta idola dan teladan bagi kalangan generasi penerus.
Kembali ke Clair, bagi kamu yang sejak awal membaca sudah merasa cocok, saya peringatkan akan satu hal: siap-siaplah menjadi 'kekenyangan' bahkan sebelum akhir cerita. Harus saya akui, kisah tentang Rhea Rafanda alias Clair ini sungguh luar biasa padat dan berisi. Novel ini sungguh kaya dari berbagai segi, yang tentunya kamu harus cari tahu sendiri dengan membaca keseluruhan ceritanya.
Lantas, siapakah Rhea Rafanda itu?
Mengutip dari blurb di cover belakang buku:
Rhea Rafanda, siswi kelas 12, memiliki kemampuan clairtangency. Ia dapat membaca kenangan melalui sentuhan. Dengan bakatnya, ia membantu polisi memecahkan kasus-kasus buntu dan diberi nama kode Clair. Tapi, kenangan tentang kekerasan dan kematian dapat menyakiti fisik, bahkan memblokir memori Rhea. Itulah sebabnya, Rhea dijauhkan dari kasus-kasus traumatis.
Lebih uniknya lagi, Clair punya bab Prelude dan empat (4) bab Interlude. Untuk versi buku, setiap halaman bab Interlude punya warna yang lebih gelap. Semua itu dihiasi dengan aneka ilustrasi yang artistik sekaligus eye-catching. Sejumlah ilustrasi bahkan berfungsi juga menjadi storyteller yang efektif. Sungguh kreatif bukan?
Itulah yang membuat saya memilih Clair: The Death that Brings Us Closer menjadi novel yang layak direkomendasikan di edisi spesial Merah Putih. Kehidupan serba canggih di era milenial juga diungkap di novel setebal 366 halaman ini, memang pas banget buat generasi penerus masa kini melanjutkan kemerdekaan bangsa kita yang sudah berusia 75 tahun.
Jadi terima kasih ya kak Ary Nilandari yang sudah bersusah payah menciptakan dan mempersembahkan Clair bagi kaum muda Indonesia sebagai salah satu bacaan bermutu.
Semoga dunia literasi Tanah Air selalu maju dan berkembang mengikuti peradaban zaman, seiring dengan sumber daya manusianya.
no.04 - Dilatasi Waktu
Judul : DILATASI WAKTU
Genre : misteri romance
Pengarang : R. Wahyu
Editor : Ananda Nizma
Penerbit : Pustaka Kendra
ISBN : 978-602-74908-0-2
Cetakan : Pertama (Agustus 2017)
Kalau tokoh 'detektif' dalam cermis itu biasanya serius dan kurang doyan humor, dengan santainya Rachmahwahyu menceritakan salah satu tokoh sentral yang menurutnya tengil. Cerita ini memang dibuka dengan bab Cewek Tengil, yang memperkenalkan tokoh Shinta dengan segala karakter uniknya.Kemudian ada Raka yang sepertinya mengingatkan akan sederet karakter/tokoh muda tertentu, yang sayangnya saya kurang mengikuti banyak cerita di situ. Begitu pula dengan sederet tokoh lain, yang terlihat membumi karena banyak kita jumpai di dunia keseharian. Sama kesehariannya sewaktu saya sama sekali tidak menyukai pelajaran fisika ketika masih berada di sekolah lanjutan. Eh tahu-tahu jadi terlihat menarik berkat kehadiran serial Hollywood lawas MacGyver di stasiun tivi swasta sekian era lalu.
Nah, kalau dahulu, dunia dibuat terpikat oleh kisah keseharian MacGyver yang dekat dengan ilmu fisika, di masa kini R. Wahyu membuat versi uni miliknya sendiri dengan membuat Dilatasi Waktu. Dilatasi Waktu sendiri istilah fisika yang dijelaskan oleh tokoh guru SMA yang bernama Pak Beni.
Dari sisi penceritaan, novel ini jelas sederhana dan asik untuk dinikmati, terutama bagi para penggemar cermis dan juga penggemar cerita ilmiah. Jadi, setelah 3 edisi perdana RekomeNovel M/S/T saya merekomendasikan berturut-turut novel cross genre misteri thriller (M-T), kini giliran cross genre misteri scifi (M-S).
Jadi, ada baiknya sebelum kamu tahu seluk beluk teknologi informasi dan komunikasi zaman sekarang, pahami dulu penjelasan konsep dilatasi waktu di novel ini. Plus, di bagian Pengantar, penulis menginformasi para penikmat genre misteri dengan 2 teknik kepenulisan di genre itu. Dan terakhir, karena cerita ini pernah menghuni Wattpad, ada 3 extra chapter sebagai penutup sekaligus 'suplemen' yang jenis misterinya di luar dugaan.
Terima kasih banyak kepada R. Wahyu sudah berbagi ilmu dan pengalaman dengan menerbitkan novel Dilatasi Waktu. Sungguh layak dimiliki remaja zaman now.
Semoga bisa semakin banyak generasi penerus bangsa yang tertarik pada dunia ilmiah, dan pembelajaran semua pelajaran sekolah yang 'berlabel' IPA dapat disajikan secara lebih memikat lagi di masa depan.
no.05 - Dua Dini Hari
Judul : DUA DINI HARI
Genre : misteri thriller detektif-urban
Pengarang : Chandra Bientang
Penyunting : Yuli Pritania
Penerbit : Noura Book (PT Mizan Publika)
Distributor : Mizan Media Utama
ISBN : 978-602-385-958-0
Cetakan : Pertama (Agustus 2019)
Urban thriller
Subgenre thriller yang juga baru saya temukan ketika mengikuti serangkaian siaran live streaming akun Instagram detectives_id beberapa bulan lalu. Di sebuah postingannya yang tertanggal 22 Juli, akun ini menjadikan Dua Dini Hari sebagai salah satu novel fiksi kriminal favorit mereka sepanjang 2010 hingga 2019. Sebelumnya, juga ada info para pemenang Scarlet Pen Award 2020 sebagai Anugerah Fiksi Kriminal Indonesia di postingan tertanggal 6 Januari. Di situ, novel ini memenangkan 2 kategori sekaligus, yaitu Best Novel Major Segment dan Best Crime Drama & Thriller Major Segment, dan Chandra Bientang sebagai Author of the Year.
Saya juga setuju dengan perkataan jurnalis hukum TEMPO, Fransisco Rosarias yang tercantum di kover belakang. Setiap kejadian terasa sangat dekat, seolah si pembaca sendiri yang berada di dalam cerita, khususnya di sejumlah bagian cerita yang terasa bagaikan PoV 1 saja. Banyaknya tokoh tidak membuat kita menjadi bingung, dan kebanyakan tokoh bisa menjadi perwakilan pribadi-pribadi yang kita jumpai dalam keseharian.
Jujur saja, meski warga Jakarta, saya hampir tidak pernah bermain ke wilayah Jakarta Timur seperti kawasan Jatinegara dan sekitarnya. Daerah yang menjadi setting cerita. Dua Dini Hari menjadikan tempat beserta peristiwa kisahnya terjadi di gang sebelah gang rumah saya. Atau di kompleks perkotaan yang dekat dengan kawasan pemukiman tempat tinggal saya. Novel perdana yang digarap dengan luar biasa, sehingga hasilnya bisa dibilang mendekati sempurna.
Memang saya belum membaca karya urban thriller yang lain, tetapi Dua Dini Hari sungguh layak menjadi novel pertama untuk mengenal sub genre yang satu itu dengan baik. Faktor kesederhanaanlah yang menjadi daya pikat urban thriller dibanding sub genre thriller yang lain, opini pribadi saya. Keseruan yang relate dengan jiwa penduduk perkotaan.
Terima kasih buat Chandra Bientang yang sudah menciptakan thriller dengan nuansa dan rasa Ibukota. Di beberapa dialog, bahasa obrolan gaul khas Betawi masa kini dihadirkan serasi sekaligus melengkapi kebahasaan Indonesia.
Bagi kamu warga Jakarta yang ngefans berat sama misteri thriller detektif, Dua Dini Hari ini pantas jadi bacaan wajib. Misteri dan ketegangannya sudah sangat mengusik pikiran pembaca sejak bab pertama.
Bagi para member Storial, cerita Dua Dini Hari sudah ada di platform ini loh.
"Ide cerita dan gaya tulisannya membuat tiap peristiwa terasa sangat dekat. Pencapaian yang baik untuk sebuah karya perdana."
-Fransisco Rosarias, jurnalis hukum TEMPO
"Meneror mental dan pikiran sejak awal. Mengerikan, menuntun pembaca berhadapan dengan misteri yang tak berkesudahan."
-Aprillia Ramadhina, penulis buku Turn on the Radio
no.06 - Heartbeat: The Last Heir
Judul : Heartbeat: The Last Heir
Genre : drama, romance, misteri-thriller detektif
Pengarang : MosaicRile
Editor : Wulan Benitobonita
Penerbit : Benito publisher
ISBN : 978-623-7459-17-0
Cetakan : Pertama (Juli 2020)
Kejadian awal mencekam di bagian Prolog, lalu diteruskan dengan mulainya usaha penyelidikan setelah melewati beberapa bab memang menjadikan cerita ini layak menyandang genre misteri-thriller detektif. Apalagi ditambah hadirnya tokoh detektif bertopi fedora yang digambarkan nyentrik.
Pola misteri-thriller detektif yang berselang-seling dengan kisah asmara, inilah yang diangkat oleh penulis cewek kece bernama pena MosaicRile. Sangat mungkin bagi sebagian orang (terutama penyuka drama) merupakan suatu keunggulan, dan bagi sebagian orang lagi (fanatik misteri detektif) justru sebuah kelemahan. Tentang selera ini, sebagai rekomendator, saya serahkan kepada pribadi masing-masing pembaca.
Ada juga faktor drama lain yang menginspirasi selain kisah asmara. Karena memang pada dasarnya novel ini berbicara banyak segi kehidupan dari sisi drama, jadinya saya menempatkan misteri-thriller di urutan terakhir.
Benua Eropa memang lokasi idaman bagi para pecinta keindahan asmara. Dengan apik, menarik, dan disertai dengan hasil riset yang mencengangkan, Heartbeat: The Last Heir bakal memanjakan para pecinta benua itu, khususnya Venesia. Tidak hanya lokasi, tapi juga tradisi dan kuliner lokal, beserta beberapa istilah Eropa asing dan nama-nama orang di sana. Seorang rekan bahkan menulis "latar Venesia-nya yang apik membuat pembaca benar-benar ada di sana" di cover belakang.
Terima kasih untuk Mosaic Rile perpaduan cermis detektif dengan drama kehidupan dan kisah asmara dengan latar cerita yang indah.
Bagi para pasangan yang ingin berbulan-madu ke Venesia setelah pandemi seluruh dunia berakhir, pertimbangkanlah untuk membeli novel ini.
"Sesuai dengan judulya, Heartbeat, penulis seakan menyisipkan jantung Lucas ke dada pembaca seiring aksinya mengungkap misteri."
-Ary Nilandari, penulis Clair: The Death that Brings Us Closer
"Alurnya enggak ketebak! Sangat menegangkan dan bikin penasaran, ditambah latar Venesia-nya yang apik membuat pembaca benar-benar ada di sana."
-Shireishou
"Sesuai judulnya! Heartbeat akan membuatmu berdebaran! Absolutely, brilliant story!"
-Andhyrama, penulis The Red Affair
no.07 - And Then There Were None (Spesial Agatha Christie #1)
Menyambut satu abad peringatan Agatha Christie, saya dedikasikan 3 edisi terakhir RekomeNovel M/S/T di tahun 2020 ini untuk membahas 3 novel karya beliau yang saya favoritkan. Salah satunya merupakan "cerita detektif tanpa detektif" yang berjudul And Then There Were None.
And Then There Were None
Copyright 1939
Cover yang dibagikan di akun IG asta12di_sky edisi terjemahan cetakan ke-10, Januari 2014
Alih bahasa: Mareta
Desain cover: Satya Utama Jadi
Sudah beberapa judul novel Agatha Christie yang saya baca, dan hampir semuanya punya tokoh detektif. Selain Hercule Poirot yang paling terkenal itu, juga ada Miss Marple yang menarik karena kharisma serta posisinya sebagai orang awam di beberapa judul. Kalau pengalaman baca pribadi, ada 2 judul novel karya sang ratu misteri yang dibuat tanpa ada tokoh detektif di dalamnya. Novel terbaru yang saya baca tanpa detektif ini ya And Then There Were None.
Saya mengamini akhir blurb yang tertulis di cover belakang:
Novel Agatha yang paling mencekam dan menegangkan!
Cerita detektif tanpa detektif!
Usai baca, saya cukup yakin kalau mayoritas pembaca novel ini akan termotivasi untuk membuat cast (daftar) 10 tokoh yang jadi sentral cerita menurut versinya sendiri. Kalau versi saya, mempertimbangkan juga keputusan novelis di bab pertama, urutannya begini:
1. (Tuan hakim) Lawrence John Wargrave
2. Vera Elizabeth Claythorne
3. Philip Lombard
4. Emily Caroline Brent
5. (Inspektur) William Henry Blore
6. (Dokter) Edward George Armstrong
7. (Jenderal) John Gordon Macarthur
8. Anthony James Marston
9. Thomas Rogers
10. Ethel Rogers
Kalau berminat searching judul novel ini di internet, kita akan mendapati beberapa tokoh mengalami pengubahan nama di versi film. Selain itu, masih ada satu dua tokoh kecil dan dua tokoh dari pihak kepolisian, namun sekali lagi, cerita ini memang tanpa detektif.
Jangan tanyakan plot twist jika kita berhadapan dengan cerita-cerita detektif Agatha Christie. Catatan khusus untuk judul ini:
Sebagai pembaca, kita dibuat bingung di mana letak plot twist-nya sampai bagian anti klimaks di akhir yang mengungkap keseluruhan misteri cerita.
Hal ini membuat sebagai seorang penggemar cermis detektif, saya pribadi berpendapat kalau cerita ini sesungguhnya lebih bikin penasaran ketimbang bikin tegang. Bukan berarti unsur thriller-nya tidak mendukung, tetapi yang lebih membuat kita terobsesi untuk lanjut baca ya unsur letak plot twist dan whodunit (siapa pelakunya) daripada ketegangan serta mencekamnya suasana yang berhasil dibangun oleh penulis.
Sepertinya hampir tidak ada kelemahan dalam kepenulisan ceritanya. Yah, saya cukup menyesal cuma bisa menikmati edisi terjemahan khusus novel mengagumkan dari Agatha Christie yang satu ini, jika bicara soal kekurangan.
Bagaimana dengan kamu?
no.08 - Cat Among the Pigeons (Spesial Agatha Christie #2)
Kalau dalam novel di edisi yang lalu, kita bisa terpukau oleh cara mendiang Agatha Christie menyimpan rapat misterinya, kali ini kita akan kagum oleh teknik kepenulisan misteri beliau yang lain.
Cat Among the Pigeons
Copyright 1959
Cover yang dibagikan di akun IG asta12di_sky edisi terjemahan cetakan ke-7, Maret 2013
Alih bahasa: Ny. Suwarni AS
Desain cover: Staven Andersen
Lalu, kalau dalam And Then There Were None, kita akan turut merasakan aura ketegangan di sebuah pulau terpencil, dalam Cat Among the Pigeons kita akan serasa berada di lokasi kejadian perkara. Bagi yang sudah membaca, di mana lagi kalau bukan sekolah asrama putri Inggris yang didirikan oleh Mrs. Bulstrode. Latar tempat yang mendominasi cerita, selain latar tempat lain di awal kisah.
Ya Meadowbank, sekolah sekaligus asrama yang digambarkan terpandang di negara Inggris sana. Terpandang karena cara Mrs. Bulstrode yang tak segan untuk terus berimprovisasi dalam menangani sekolahnya. Bahkan, cara ini sampai membuat sejumlah staf pengajarnya mencintai tempat mereka mengajar ini, tetapi selalu masalahnya tak punya kemampuan untuk mengimbangi sang pendiri.
Itu baru satu kacamata dalam cerita misteri pembunuhan yang menghadirkan sang legenda Hercule Poirot di sepertiga terakhir loh. Ada kacamata lain lagi yang dibicarakan di awal cerita, berkaitan dengan negara fiksi Timur Tengah. Dalam sudut pandang ini, Agatha mengambil sisi dunia politik.
Jadi, dengan kata lain, sang pengarang menggabungkan dua kacamata atau dua dunia yang penuh isi ini ke dalam sebuah kisah misteri kriminal yang sangat menarik. Tidak tanggung-tanggung loh, tiga (3) pembunuhan dihadirkan sekaligus beserta satu (1) penculikan. Penculikan yang dikaitkan langsung dengan peristiwa politik di negara fiktif Timur Tengah, yang dihadirkan di awal novel.
Kehadiran Hercule Poirot di bagian sepertiga terakhir memang meninggalkan kesan tersendiri, seolah mengagungkan tokoh yang sudah ikonik tersebut. Maka, saya lebih memilih Cat Among the Pigeons sebagai novel dengan tokoh Poirot favorit pribadi. Selain tentunya segudang alasan lain; beberapa di antaranya sudah saya jabarkan di semua paragraf sebelumnya.
Bicara soal adaptasi ke layar lebar dan layar televisi, novel ini juga senasib dengan karya-karya Agatha Christie lainnya. Ada pengubahan plot dan penghilangan sejumlah karakter. Memang sayang sekali perihal tokoh ini, karena meski banyak sekali karakter disajikan di dalam kisah ini, mereka semua sungguh berhasil 'dihidupkan' secara fantastis dalam benak dan imajinasi pembaca oleh si pengarang.
Yah, menurut saya pribadi, bagi kamu pelajar atau mahasiswa yang kebetulan mendapat tugas menganalisa novel kriminal Agatha Christie atau detektif klasik Inggris, Cat Among the Pigeons memang pilihan yang tepat untuk dipertimbangkan. Seringkali, sebagai pembaca, rasanya tidak puas jika cuma membaca novel seperti ini cuma satu kali saja dan menyimpannya dalam lemari buku.
no.09 - 4.50 from Paddington (Spesial Agatha Christie #3)
Kalau dalam dua edisi spesial sebelumnya saya hadirkan 1 karya Agatha Christie tanpa detektif (And Then There Were None di Oktober) dan 1 karya beliau dengan tokoh Hercule Poirot (Cat Among the Pigeons di November), kini tibalah saatnya cerita dengan tokoh Jane Marple.
4.50 from Paddington
Copyright 1957
Cover yang dibagikan di akun IG asta12di_sky edisi terjemahan cetakan ke-7, Januari 2014
Alih bahasa: Lily Wibisono
Desain cover: Satya Utama JadiSiapa sosok yang kebanyakan ditulis di sepanjang cerita dengan nama singkat Miss Marple ini?
Publik umumnya lebih mengenal Hercule Poirot dan bahkan mengidentikkan tokoh detektif populer ini dengan nama sang pengarangnya yang melegenda. Ada satu tokoh 'detektif' perempuan dengan sosok seorang nenek Inggris yang terkenal supel, pintar melakukan 'investigasi' dengan teknik paling sederhana (kadang belum terpikirkan oleh orang pada masa itu), dan punya pola pikir paling jitu dalam menyelesaikan suatu masalah atau kasus.
Di dalam kisah 4.50 from Paddington, Miss Marple berkawan baik dengan seorang nenek berkharisma lainnya, Mrs. Elspeth McGillicuddy. Di suatu sore hari menjelang Natal di bulan Desember, secara tak sengaja Mrs. McGillicuddy menyaksikan sebuah aksi pembunuhan di dalam gerbong kereta api yang berjalan sejajar dengan kereta api yang ditumpanginya. Kereta api sahabat Miss Marple ini punya jadwal keberangkatan pukul 16.50 (4.50 sore) dari stasiun di Paddington, maka judul terjemahan bahasa Indonesia tentu saja Kereta 4.50 dari Paddington.
Karena cuma dirinya yang menjadi orang satu-satunya saksi akan aksi pencekikkan seorang perempuan muda asing yang dilakukan seorang laki-laki misterius itu, Mrs. McGillicuddy bersikeras menyatakan bahwa telah terjadi pembunuhan di sana. Pembunuh ini licik karena memanfaatkan situasi kereta api dan stasiun di sore hari jelang Natal yang sudah pasti penuh dengan banyak orang, analisa Miss Marple yang paling gampang diingat di novel ini. Analisa lainnya membawa pembunuhan ini jadi berhubungan dengan keluarga Crackenthorpe yang tinggal di pinggiran kawasan Brickhampton.
Berkat misi pribadi Miss Marple yang punya niat tulus membantu pihak kepolisian, terlibatlah tokoh Lucy Eyelesbarrow. Sosok yang dijelaskan secara keseluruhan di bab keempat. Bab-bab pertengahan 4.50 from Paddington membuat kita menyaksikan 'pentas' keluarga Crackenthorpe yang sungguh luar biasa unik. Supaya pembaca tidak terlena sekaligus diingatkan akan misi pengungkapan pembunuhan di kereta api, mayat yang lolos dari penemuan kepolisian akhirnya ditemukan oleh Lucy di Rutherford Hall, gudang tua di kompleks kediaman keluarga itu. Plus dua pembunuhan lainnya yang berkaitan dengan aksi peracunan yang sama misterusnya. Namanya Agatha Christie, ya tidak jauh-jauh dari yang namanya racun.
Dibandingkan dengan Cat Among the Pigeons yang juga cukup kuat menghadirkan drama, 4.50 from Paddington ini lebih kental lagi unsur dramanya dengan porsi (drama) keluarga Crackenthorpe hampir sebanding dengan porsi misteri pembunuhannya. Bahkan bisa dikatakan juga melebihi.
Dengan kebanyakan unsur drama yang diangkat dari kehidupan sehari-hari di cerita-cerita dengan tokoh Miss Marple, sangat mungkin tokoh 'detektif' nenek ini merupakan sebagian representasi dari pribadi Agatha Christie sendiri. Tentu saja, beliau pasti punya keterbatasan besar untuk mengekspresikan pribadinya ke dalam sosok seorang laki-laki dari Belgia.
Sebenarnya, ada lebih dari 5 loh kisah detektif beliau dengan tokoh Miss Marple. Salah satunya Sleeping Murder. Tentu saja kisah dengan Hercule Poirot jauh lebih banyak. Dalam situs resmi Agatha Christie, ada kelompok cerita lain lagi, yaitu kelompok mistis atau gaib. Untuk lebih lengkapnya, silakan kunjungi saja situs itu.
Membaca cerita misteri di bulan Desember dengan latar menjelang Natal sungguh meninggalkan kesan yang mendalam. Coba saja.
Setahu saya ada 3 novel detektif Agatha Christie yang begitu. Dua judul lainnya selain novel ini adalah Hercule Poirot's Christmas dan The Adventure of the Christmas Pudding. Apa ada judul misteri karya beliau lainnya berlatar waktu yang sama?
RekomeNovel M/S/T 2020
Tanpa terasa, penghujung tahun 2020 sudah di depan mata. Tahun 2021 tinggal hitungan beberapa hari lagi.Jika ditanya apa resolusi saya di tahun yang terberat bagi sebagian besar orang di seluruh dunia ini, judul RekomeNovel M/S/T-lah jawabannya. Judul yang lahir di Instagram sebagai konten, lalu merambah masuk ke Wattpad sini dan akhirnya ke Storial sebagai karya non fiksi.
RekomeNovel M/S/T lahir di akun IG asta12di_sky di postingan dengan picture novel Pemburu Halimun karya Rezawardhana tertanggal 20 Juli 2020. Tanpa logo.
Barulah di edisi kedua yang membahas novel karya Tsugaeda berjudul Sudut Mati, logo RekomeNovel M/S/T diperkenalkan. Jenis font yang dipakai untuk nama RekomeNovel merupakan pertama kalinya, yaitu Yellowtail, sebelum diubah sejak edisi kelima. Maka, edisi kedua menjadi edisi pertama konten ini dilengkapi dengan picture logo sebagai picture pertamanya. Dua (2) hari setelah postingan edisi kedua di IG, RekomeNovel memasuki Wattpad sebagai platform baca tulis pertama sebagai karya non fiksi. Lebih lengkapnya di postingan IG tertanggal 7 Agustus.
Bulan Agustus 2020 menjadi bulan paling produktif bagi konten baru ini. Tiga (3) edisi hadir di bulan peringatan kemerdekaan Indonesia ke-75, dua (2) di antaranya merupakan Edisi Spesial Merah Putih yang membahas karya kak Ary Nilandari dan karya Rachmahwahyu.
Barulah di bulan September, RekomeNovel eksis dengan kehadiran setiap 2 minggu. Diawali dengan Dua Dini Hari karya Chandra Bientang dan diakhiri Heartbeat: The Last Heir dari MosaicRile. Mulai bulan inilah terjadi pergantian wajah serta judul (nama kepengarangan Astardi Sky saya hilangkan), dan RekomeNovel memasuki platform baca tulis terakhir yaitu Storial. Lebih lengkapnya di postingan IG tertanggal 2 September.
Menjelang akhir September, saya merasa ada kendala jika RekomeNovel hadir tiap 2 minggu. Eh kebetulan juga, tahun 2020 menjadi tahun perayaan 1 abad Agatha Christie, novelis cermis detektif favorit pribadi. Jadilah hadir tiga (3) edisi spesial Agatha Christie di 3 bulan terakhir tahun 2020, yaitu Oktober, November, dan Desember. Dari sekian judul koleksi pribadi, ya sengaja dipilih 3 karya favorit untuk setiap bulannya.
Sekitar awal September itu juga, saya baru memesan 2 judul novel Agatha Christie yang belum pernah dibeli dan dibaca. Salah satunya adalah And Then There Were None yang terpilih untuk edisi ke-7, karena keunikannya sebagai cerita detektif tanpa detektif. Disusul cerita dengan tokoh Hercule Poirot untuk edisi ke-8 di November. Akhirnya, berhubung punya latar waktu jelang Natal, kisah 4.50 from Paddington dengan tokoh Miss Jane Marple menutup tahun di edisi ke-9 di Desember.
Beginilah urutan lengkapnya RekomeNovel M/S/T di tahun 2020
No.01: IG (20/07) - Pemburu Halimun (Rezawardhana)
Wp (07/08) - Sudut Mati (Tsugaeda)
Storial (02/09) - Pemburu Halimun
No.02: IG (05/08) - Sudut Mati (Tsugaeda)
Wp (13/08) - Pemburu Halimun (Rezawardhana)
Storial (09/09) - Sudut Mati
No.03 (19/08) - Clair: The Death that Brings Us Closer (Ary Nilandari)
(17/09) di Storial
No.04 (26/08) - Dilatasi Waktu (R.Wahyu)
(23/09) di Storial
No.05 (09/09) - Dua Dini Hari (Chandra Bientang)
(30/10) di Storial
No.06 (29/09) - Heartbeat: The Last Heir (Mosaic Rile)
(01/12) di Storial
No.07 (25) Oktober - And Then There Were None (Agatha Christie)
(17) Desember di Storial
No.08 (30) November - Cat Among the Pigeons (Agatha Christie)
(17) Desember di Storial
No.09 (17) Desember - 4.50 from Paddington (Agatha Christie)
Maka, usailah edisi-edisi rekomendasi di tahun 2020 ini.
Bagaimana dengan tahun 2021 nanti?
Ada sederet novel yang dipastikan masuk ke edisi rekomendasi di tahun 2021 nanti. Dua (2) judul di antaranya sudah saya sebut dan terpampang pula covernya di sela-sela postingan RekomeNovel dan promo 12/12 yang lalu:
1. The Silent War (Perang Senyap) karya Finn R. di postingan tertanggal 29/10
2. Efek Jera karya Tsugaeda di postingan tertanggal 3/12
Selain Tsugaeda, novelis lain yang karya berikutnya juga direkomen di 2021 adalah Rachmahwahyu alias R.Wahyu. Judul novelnya yang mana lagi ya kira-kira?
Uniknya, dilihat dari desain kovernya, ada 2 'pasang' novel yang sama-sama direkomen tahun depan:
1 pasang: karya Finn R. mirip dengan judul 'klasik' dari Amerika.
1 pasang: karya Tsugaeda mirip dengan judul berbau ibukota Indonesia.
Bisa dilihat picturenya di akun IG kepengarangan saya.
Jadi, semua foto lengkap mengenai edisi penutup tahun 2020 sekaligus 'pengintip' tahun 2021 ini bisa dilihat di akun IG khusus kepengarangan asta12di_sky.
Apakah kehadiran edisi-edisi awal 2021 tetap setiap bulan ataukah kembali ke setiap 2 mimggu?
Sepertinya kemungkinan besar hadir setiap bulan, mengingat ada judul DFD Series yang harus saya format ulang sekaligus rampungkan ke dalam bentuk novel fisik. Ya The More Cherlones Mysteries. Belum lagi judul pembuka Seri DDF di Storial yang juga menyertakan genre horor, Misteri Si Rumah Tua.
Akhirnya, sampai bertemu di tahun 2021.
Semoga 2021 bisa menjadi tahun yang lebih baik lagi bagi kita semua, menjadi tahun kebangkitan kita dan pemulihan dunia dari pandemi.
Rencananya seh, di 2021 juga saya mau membawa RekomeNovel M/S/T dari bentuk tertulis di IG, Wattpad, dan Storial ke dalam bentuk lain di media yang berbeda.
Semoga saja tercapai
Edisi Spesial Scarlet Pen Awards 2021
Ketemu lagi kita di tahun 2021 yang belum genap 1 bulan ini. Di awal tahun ini, sayangnya bangsa dan masyarakat kita disambut oleh kehadiran berbagai bencana, yang kebanyakan termasuk bencana alam. Salah satu bencana pembuka adalah tragedi memilukan jatuhnya pesawat Sriwijaya Air di tanggal 9 Januari yang lalu.Di hari Sabtu kedua di 2021 itu, komunitas pecinta misteri detektif Detectives ID menyelenggarakan event Scarlet Pen Awards di Zoom di malam harinya. Sebuah apresiasi menarik terhadap karya-karya penulis Tanah Air di genre misteri dan thriller yang telah terbit dalam bentuk buku novel sepanjang tahun 2020 lalu. Untuk lebih lengkapnya seputar award bikinan Detectives ID ini, bisa dikulik di medsos Instagram-nya, ya tentu aja di akun detectives_id
RekomeNovel M/S/T hadir dan lahir di Juli 2020 sebagai bentuk kecintaan saya akan ketiga genre yang menjadi singkatannya, terutama misteri dan thriller. Caranya dengan mendukung karya-karya di semua genre tersebut, terutama hasil penulis Tanah Air. Meski terkesan 'minor' sebenarnya misteri detektif dan thriller ini cukup mendapat tempat di hati masyarakat kita loh, tapi mungkin aja selama ini para 'pemain utama' industri perbukuan lebih memilih bermain aman dengan genre drama, romansa, dan horor. Hadir di Instagram sebagai konten (karena IG itu medsos), dan di Wattpad serta di Storial tentu sebagai project non fiksi.
Pertama kali RekomeNovel M/S/T mengapresiasi karya pemenang Scarlet Pen Awards di edisi awal September 2020. Edisi kelima yang didominasi warna hijau tua itu mengikuti warna sampul novel Dua Dini Hari karya Chandra Bientang. Di ajang tahun 2020, Dua Dini Hari memenangi kategori Best Novel Major Segment dan kategori Best Crime Drama & Thiller Major Segment, plus Chandra Bientang sendiri menjadi Author of the Year.
Yah, jadinya cukup 1 edisi saja untuk membahas Scarlet Pen Awards 2020 itu. Ditambah lagi, tahun lalu juga menjadi tahun perkenalan saya dengan akun serta komunitas Detectives ID, dan itu tepatnya di bulan April, ya 3 bulan setelah event award yang unik dan menarik ini.
Di tahun lalu juga, saya membahas 1 novel Tsugaeda yang berjudul Sudut Mati di edisi ke-2. Ternyata novel terbarunya Efek Jera masuk nominasi di award 2021 ini dan berhasil memenangi kategori Best Thriller. Jadi, Scarlet Pen Awards kali ini berlangsung saat saya sedang menikmati The Silent War yang akan dibahas di edisi no.10, dan sedang merencanakan untuk merekomen Efek Jera. Lalu, ada suatu momen spesial yang terjadi di ajang itu, yang mendorong saya akan membuatkan 1 atau 2 edisi khususnya di RekomeNovel M/S/T nanti.
Faktor-faktor itulah yang mendorong saya untuk membuat program Edisi Spesial Scarlet Pen Awards 2021 ini tepat setelah berakhirnya Agatha Christie Special di penghujung 2020 lalu. Kalau Edisi Spesial si ratu cerita kriminal dunia punya trilogi (Oktober, November, Desember) penutup 2020, Edisi Spesial kali ini setidaknya punya 4 judul (Januari hingga April jika rutin tiap bulan) pembuka 2021. Untuk Januari dipastikan hanya punya 1 edisi (no.10 yang membahas The Silent War), dan untuk Februari sepertinya juga punya jumlah edisi yang sama.
Melihat kesibukan pribadi di dunia keseharian, kelihatannya memang untuk edisi-edisi awal 2021 bakal hadir setiap bulan. Edisi Spesial Scarlet Pen Awards 2021 diprediksi bisa mencapai April, dan ada kemungkinan edisi 'susulan' di sekitar sesudah pertengahan tahun. Sewaktu part ini ditulis, sudah tersusun jadwal untuk 4 edisi pertama tahun ini:
1. No.10 (Jan '21) untuk The Silent War karya Finn R (nominasi Best Thriller)
2. No.11 (Feb '21) untuk salah satu karya 'klasik' S Mara Gd [???]
(penulis Misteri Terakhir yang bersinar di SPA 2021)
3. No.12 untuk Efek Jera karya Tsugaeda (pemenang Best Thriller)
4. No.13 untuk novel nominasi Best Light Novel dan salah satu cerpennya nominasi Best Short Story [???]
Tanpa buang waktu lagi, yuk simak naskah rekomen pertama di tahun ini.
Termasuk subgenre thriller apa ya karya tunggal kedua milik Finn R itu?
22 Januari 2021
no.10 - The Silent War (Spesial SPA'21 part 1)
Kalau di tahun 2020 lalu, untuk subgenre thriller, RekomeNovel M/S/T sudah menghadirkan setidaknya 3 judul:
1. Thriller korporasi dalam Sudut Mati karya Tsugaeda (no.02)
2. Urban thriller dalam Dua Dini Hari karya Chandra Bientang (no.05)
3. Romance thriller dalam Heartbeat: The Last Heir karya MosaicRile (no.06)
Kini, tibalah saatnya untuk subgenre thriller yang lain.
Judul : The Silent War
Genre : spy thriller-misteri
Pengarang : Finn R
Penyunting : Fernando Simandalahi
Penerbit : One Peach Media
ISBN : 978-623-6516-52-2
Cetakan : Pertama (Oktober 2020)
Prestasi di Scarlet Pen Awards 2021:
nominasi di kategori Best Thriller
Spy thriller
Kalau di dunia perfilman Hollywood, subgenre thriller yang satu ini sudah akrab di benak kita sebagai penonton dengan sosok legendaris James "si 007" Bond. Belakangan, pihak Marvel juga ikutan dengan meramaikan MCU-nya (Marvel Cinematic Universe) dengan kehadiran film Black Widow. Itu salah dua yang jadi ikon pop, tentunya masih banyak lagi judul-judul lainnya seperti Red Sparrow yang juga terkenal dan dibintangi Jennifer Lawrence.
Seperti apa seh dunia mata-mata itu sesungguhnya? Apakah tepat imajinasi yang selama ini dihadirkan oleh industri raksasa Hollywood?
Saya pernah baca suatu artikel yang bilang kalau pantang bagi seorang agen rahasia untuk menyebutkan nama aslinya. Yah jadi mengingatkan pada dialog ikonik si 007 Bond itu hahaha
Untunglah sebagai pengarang spy thriller, Finn R tidak melakukan hal yang sama, yang malah dianggap keren itu. Kalau Inggris dan Amerika Serikat punya sederet tokoh fiksi agen rahasia atau spionase populer, novelis yang saya bahas karyanya ini membawa agen operatif dari Indonesia bernama Issa Respati. Julukannya The Poacher alias Si Penembak Gelap (halaman 100), dan profil lengkapnya diceritakan di Bab 22. Di The Silent War, Issa bekerja pada kepala stasiun CIA di Paris bernama Charlie Tarrant sebagai pengawal pribadi. Perempuan asal Washington ini memilih dirinya dengan alasan "ahlinya perang gerilya, militer Indonesia, Discovery Channel memilihnya pada 2008 lalu sebagai yang terbaik ketiga di dunia, di bawah Inggris dan Israel..." (halaman 53-54). Kisah lengkap proses perekrutannya di Bab 23.
Ketika membaca bagian awal The Silent War, saya sempat menduga kisah ini fiksi sejarah dari Perang Dingin. Ternyata, dugaan pribadi itu ada benar dan ada salahnya. Kelirunya: bukan momen 'perang' antara Uni Sovyet dengan Amerika Serikat kala itu, tapi justru pertemuan tingkat tinggi kelompok G-20 (kelompok 19 negara yang memiliki perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa--Wikipedia) beberapa tahun sebelum novel ini diterbitkan. Tentu ini juga termasuk ke dalam fiksi historis jika dilihat dari keakuratan sejarahnya; itulah bagian yang benar.
Latar tempat bab-bab awal berikut yang bikin saya jadi kepikir ke Perang Dingin:
1. Bucharest, Rumania (bab 1, 2, 4)
2. Vladivostok, Rusia (bab 5 & 6)
3. Kantor Rahasia SVR, Dinas Rahasia Luar Negeri Rusia (bab 7)
Apa yang terjadi kemudian pada sang 'bos' membuat Issa jadi berkelana dari kota Genoa, Italia (13 bab) ke:
1. Bologna, Italia (5 bab), lalu
2. Roma, Italia (6 bab), dan berakhir di
3. Hamburg, Jerman (10 bab).
Sebagai sosok petualang, selain Charlie Tarrant (7 bab) itu, Issa juga berhadapan dengan 8 tokoh penting lainnya:
1. Monica alias Aset sebagai partner aksi heroiknya. (21 bab)
2. Boris Karpov, sang villain utama. (12 bab)
3. Natalia alias Holy, 'assassin' utama Mr.Karpov. (10 bab)
4. Derrick Montana, wakil Charlie. (9 bab)
5. Anita da Costa yang baik hati. (7 bab)
6. Akhmedov. (6 bab)
7. Natasha. (5 bab)
8. Michelle Yee. (5 bab)
Empat poin penting yang saya sukai dari The Silent War:
1. Sejumlah percakapan sehari-hari dalam bahasa Rusia dan bahasa Italia yang dituliskan artinya di catatan kaki. Dari 20 catatan, sejumlah 17 berisi terjemahannya, sedangkan 3 lainnya informasi lain.
2. Alur yang paralel. Seperti karya perdana saya di DFD Series, The Cherlones Mysteries. Bedanya, paralel milik The Silent War bertahan hingga jelang klimaks.
3. Menarik juga loh mendapat info tentang banyak senjata, strategi pertahanan, plus tentunya ilmu-ilmu umum tentang dunia militer dan spionase. Khusus bagi kamu penggemar berat persenjataan, inilah novelmu.
4. Seperti layaknya menonton film thriller saja. Adegan kejar-kejarannya sungguh memikat jiwa penggemar adrenalin, ditambah dengan deskripsi latar tempat, suasana, dan budaya (lebih ke kuliner, kafe, dan hal-hal semacam itu) yang hidup dan menyenangkan. Novel ini memuaskan penggemar thriller yang kepingin romansa sebagai bumbu genre utama.
Untuk menutup tulisan ini, sebagai seorang rekomendator, saya wajib memberi penekanan bahwa spy thriller umumnya harus dinikmati sesuai dengan usia, termasuk yang satu ini. The Silent War termasuk novel khusus dewasa.
Astardi Sky
RekomeNovel M/S/T('21) no.10
23 Januari 2021
For God and my beloved country
*Finn R & Astardi Sky*
no.11 - Misteri Dian yang Padam (Spesial SPA'21 part 2 & Karya Perdana part 1)
Edisi Spesial Scarlet Pen Awards 2021 untuk RekomeNovel M/S/T masih berlanjut, dan kali ini dipadukan dengan Edisi Spesial Karya Perdana. Loh, kok bisa gitu?
Ternyata, di ajang SPA 2021 itu, novel Misteri Terakhir milik novelis senior Tante S.Mara Gd bersinar dengan memenangkan sekaligus 3 kategori. Sesuai dengan judulnya, novel ini merupakan penutup seri duo Kosasih-Gozali, tokoh detektif dengan kearifan lokal yang beliau pertemukan di judul berikut.
Judul : Misteri Dian yang Padam
Genre : misteri detektif, drama-romansa
Pengarang : S. Mara Gd
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 979-511-693-2
Cetakan : Kedua (Februari 1993)
Pertama kali diterbitkan: Januari 1985
Untuk rekomen kali, saya buka dengan 'profil' misteri singkatnya:
Gadis dua puluh tahun asal Ngawi yang bernama Dian Ambarwati datang ke Surabaya sekitar dua bulan sebelumnya. Dia bekerja di Biro Periklanan Ramanda dan tinggal di tempat kos milik Nyonya Narti di Jalan Mawar. Meski disayangi orang-orang di sekitarnya, sepertinya tidak ada yang tahu kehidupan pribadi Dian di Ngawi.
Setiap hari Dian datang ke kantor bersama seorang rekan yang bernama Puji. Awalnya dia juga pulang diantarkan Puji, tetapi setelah berpacaran dengan Insinyur Drajat, si insinyur inilah yang mengantarkannya pulang setiap sore. Saat terakhir rekan-rekan sekantor melihat Dian yaitu pada sore hari sebelum kejadian, ketika sang pacar datang menjemput pulang. Keesokan paginya, dia ditemukan dalam keadaan sudah meninggal oleh seorang gelandangan.
Sebuah tas hitam yang hampir kosong ditemukan tidak jauh dari tempat mayatnya tertelungkup. Di situ ada sehelai saputangan, sebotol minyak angin kecil, sebuah sisir, sebuah kaca kecil, sebatang gincu bibir, dan KTP miliknya dengan alamat Ngawi, serta sebuah anak kunci.
Ya, kalian memang tidak salah baca, novel pertama karya novelis perempuan yang dijuluki sebagai Agatha Christie Indonesia ini lahir di tahun 1985. Saya sendiri baru berusia balita saat itu. Awalnya, beliau berprofesi menjadi penerjemah novel-novel milik Sang Ratu Cerita Kriminal Dunia yang sampai sekarang hak terjemahannya dipegang oleh pihak Gramedia. Selanjutnya ya bisa ditebak. Tokoh-tokoh fiksi detektif mendunia ciptaan Agatha menjadi inspirasinya, dari Hercule Poirot, Hastings, hingga Miss Jane Marple. Sehingga terciptalah duo Kapten Polisi Kosasih dan sahabatnya yang mantan napi yaitu Gozali.
Penggambaran karakter serta pemikiran Gozali di novel perdana cukup menimbulkan kesan mendalam. Sepertinya sosok yang satu ini lebih cocok untuk hidup di masa kini yang lebih mementingkan kehidupan karier atau profesi, serta kesendirian tanpa pasangan hidup. Selain dia, salah satu tokoh perempuan yang mereka wawancarai (saya sengaja mempertahankan istilah ini ketimbang memakai kata investigasi) juga punya pandangan, pemikiran, dan kepribadian yang kuat. Siapa lagi kalau bukan Herlina Subekti, tunangan si Insinyur Drajat, yang juga berpikiran maju dan cerdas untuk ukuran orang sezaman mereka.
Kosasih sendiri, yah mewakili pria (pada umumnya) sezamannya yang hidup 'lurus' dan lebih menyayangi keluarga. Seorang istri dan empat orang anak. Kalau dilihat sekilas di seputar karya-karya berikutnya tentang duo tokoh ini, sang pengarang akan menceritakan salah satu anak Kosasih.
Goodreads Indonesia mencatat ada 30 judul utama untuk seri Kosasih-Gozali ini. Dari semuanya itu ada 2 keunikan:
1. Semua judul diawali dengan kata Misteri, kecuali novel Suami (#9) dan novel Isteri (#15). Setelah kisah si Dian ini, ada Misteri Sutra yang Robek (#2), Misteri Gugurnya Sekuntum Dahlia (#3), dan seterusnya. Ada beberapa judul dibuat lebih dari 1 buku, selain Misteri Terakhir sebagai yang terbaru plus terakhir ini.
2. Biasanya ada halaman Daftar Pelaku.
Terlepas dari kata para pengulas lain di tulisan mereka, memang harus diakui kalau kelebihan novel ini terletak pada:
1. Alurnya yang rapi, dan cara penceritaan yang sistematis. Dari sudut pandang investigasi pun demikian. Ini turut diperkuat oleh kelebihan berikutnya.
2. Gaya bertutur yang sesuai dengan zamannya. Novel yang mewakili era kepenulisannya memang jelas berbeda dari penulis masa kini yang mencoba menulis fiksi historis. Bagi beberapa pengulas lain yang hidup sesudah era 1990, sangat mungkin hal ini tidak sesuai dengan selera mereka.
3. Tokoh-tokoh dengan segala keunikan karakter mereka yang tidak bisa dilupakan. Mungkin bila dibandingkan dengan karya-karya yang lebih modern, akan jadi menimbulkan kesan klise, namun para pembaca dengan perasaan sentimentil dipastikan akan menyayangi (bukan cuma menyukai saja) hampir semua tokoh.
4. Meski porsinya sedikit, saya mau menyoroti hasil dari investigasi forensik. Maklumlah, di era itu, karya-karya serial TV lokal hampir tidak ada bergenre kriminal-detektif. Ini terlihat dari dialog panjang milik Gozali setelah mengaitkan hasilnya dengan keterangan dari salah satu narasumber:
"...kita bisa menganggap bahwa kangkung yang ditemukan dalam perut korban adalah kangkung yang dimakannya sekitar pukul tujuh, antara pukul tujuh kurang seperempat sampai pukul tujuh. Kangkung itu memberikan sedikit keterangan tambahan pula bagi kita. ..."
5. Bagi pembaca yang menggemari karya dengan dialog-dialog dinamis yang berbobot, novel ini sungguh memuaskan. Beberapa di antaranya merupakan penggambaran karakter si tokoh yang mengucapkannya. Sejak awal kepenulisan, saya pribadi sudah memakai cara ini. Saya tuliskan juga sebagai penutup edisi dobel spesial ini.
6. Kover yang menarik dalam kesederhanaan konsep desainnya. Memang sama persis kalau dibandingkan dengan kover lawas novel-novel Agatha Christie terbitan jadul, dan begitu juga dengan keseluruhan desain isi bukunya. Sekali lagi, sangat mewakili zamannya. Kadang saya suka merasa jengah membaca karya lama dengan konsep desain kekinian yang kadang juga suka terasa aneh.
7. Terpenting dari keenam poin sebelumnya, banyak pesan moral klasik yang disampaikan melalui kisah si Dian ini. Semuanya dikemas dengan cara sederhana melalui 'ilustrasi' kehidupan para tokoh yang memang sesuai untuk keadaan segala zaman. Maka, novel ini sangat layak dibaca remaja tahap akhir atau dewasa muda.
Astardi Sky
RekomeNovel M/S/T('21) no.11
10 Februari 2021
"Kalau di dunia ini setiap orang diizinkan berbuat sesukanya, manusia sudah lama punah!" (Herlina Subekti)
"Ia masih muda sekali, masih polos, sehingga memandang segala sesuatu dengan terlalu gampang." (Puji)
"Setiap hari saya mendoakannya, memohon keselamatannya, memohonkan kesempatan agar kami bisa bertemu kembali. Tidak disangka kami harus bertemu kembali dalam keadaan demikian." (Menora)
Gozali:
1."Malam ini kami tidak ada waktu untuk tidur. Kami punya banyak tugas, kami harus segera kembali."
2."...uang bukanlah pangkal segala kejahatan, melainkan ketamakan akan uang itulah yang merupakan pangkal segala kejahatan."
3."Tidak ada manusia yang total baik atau total jahat di dunia ini."
no.12 - Efek Jera (Spesial SPA'21 part 3)
Di edisi spesial ketiga Scarlet Pen Awards 2021 ini, tibalah saatnya untuk membahas novel pemenang kategori Best Thriller. Sebagai karya pemenang Thriller terbaik, yang ada di pikiran saya langsung si pengarang menghadirkan ketegangan pemicu adrenalin seperti yang sudah dilakukannya di judul Sudut Mati.
Ternyata saya agak keliru. Kenapa bisa begitu?
Judul : Efek Jera
Genre : thriller korporasi konspirasi, misteri detektif
Pengarang : Tsugaeda
Penyunting : Fernando Simandalahi
Penerbit : One Peach Media
ISBN : 978-623-7502-69-2
Cetakan : Pertama (Maret 2020)
Thriller korporasi plus konspirasi
Baru di novel Efek Jera inilah, saya melihat kombinasi 2 (dua) subgenre thriller yang memesona dalam versi karya tulis. Kalau di dalam buku keduanya, yaitu Sudut Mati yang saya rekomen tahun lalu, Tsugaeda hanya mengangkat thriller korporasi saja. Meski belum saya baca, dari info yang didapat, Rencana Besar yang menjadi karya perdana pengarang ini juga mengusung thriller korporasi, membuat Ade (panggilan akrab Tsugaeda) identik dengan subgenre thriller yang satu itu
Satu hal yang tak kalah fantastis, Tsugaeda seakan menciptakan semesta karya-karyanya sendiri. Tokoh utama dari Rencana Besar juga hadir di Efek Jera secara utuh sebagai tokoh pendukung, dan numpang lewat di akhir Sudut Mati sebagai cameo. Ya, Makarim Ghanim, dan tokoh ini sudah punya penggemar tersendiri loh di dunia nyata dan di dunia internet. Hebatnya lagi, meski begitu dan meski saya belum baca karya perdana Tsugaeda, Efek Jera bisa dinikmati secara tersendiri dan mencari tahu sosok Makarim ini seperti apa.
Salah satu faktor kenapa Efek Jera bisa dinikmati secara terpisah dari dua karya Ade sebelumnya karena tokoh utama yang bergonta-ganti. Di Sudut Mati misalnya, meski terkesan keluarga Prayogo sebagai tokoh-tokoh utama rombongan, namun tokoh utama sesungguhnya—yang terlihat paling menonjol—adalah si anak ketiga yang bernama Titan. Di Efek Jera ini, peran tokoh utama terlihat jelas sekali. Dio, pemuda yang belum genap 20 tahun, yang di awal cerita terpaksa menjalani hidup jalanan karena sikap keras dan prinsip hidupnya yang terbentuk oleh situasi dan keadaan. Sangat realistis dalam menggambarkan keseharian hidup di Tanah Air.
Bicara soal realita hidup keseharian, Efek Jera sekali lagi menampilkan kepiawaian sajian pengarangnya dalam bentuk karya tulis fiksi. Yang paling mengena ada (2) dua lokasi di sini. Pertama, sebagai seorang warga Jakarta, saya menilai Ade cukup tepat dalam menggambarkan kehidupan keras jalanan Jakarta dan sekitarnya (lebih tepatnya lagi Depok, kota menetap Dio di bab-bab awal). Sebagai info, Dio tinggal di salah satu bedeng ilegal di stasiun kereta api. Lalu yang kedua, kehidupan di Korea Selatan. Kalau di Sudut Mati kita diajak ke Amerika Serikat, kali ini kita dibuat terpana oleh hasil riset mumpuni Ade. Lebih komplit dari Amrik di Sudut Mati, Tsugaeda berbicara banyak hal, dari sekelumit kehidupan sosial hingga apa saja transportasi darat yang ada di negeri ginseng itu. Saya belum pernah ke sana memang, namun pengulangan kalimat yang menggambarkan betapa tidak bersahabatnya cuaca dingin di sana membuat... ya mau tidak mau kita harus ekstra serius dalam berbelanja pakaian musim dingin sebelum berangkat ke sana. Ada istilah beruang kutub segala loh di kalimat pembuka bab Epilog-nya.
Faktor lain kenapa Efek Jera bisa dinikmati secara terpisah dari Sudut Mati tentu saja tema dan kisahnya. Secara sekilas dari berbagai tulisan ulasan di luar sana, meski sama-sama menyoroti korporasi bermasalah, Sudut Mati menceritakan keluarga Sigit Prayogo dengan bisnis raksasa keluarga mereka, dan Rencana Besar mengisahkan kasus sebuah bank. Kini, giliran maskapai penerbangan yang ngakunya berada di kelompok bertarif rendah menjadi sorotan Tsugaeda. Pengarang mengambil nama Penida Airways sebagai maskapai fiksinya dan 'menunjuk' tokoh Bernard Sitanggang sebagai pemilik bisnis besarnya.
Bagi para penggemar (dan juga penulis) fiksi kriminal, Ade menyiapkan kejutan berupa 'bonus' sebuah kasus pembunuhan misterius. Kematian seorang pilot Penida Airways yang bernama Angga Hudaya menjadi pembuka bab 10 secara mengejutkan. Ditambah lagi keterlibatan dari pihak pers (meski bukan dari pihak major) yang diwakili oleh tokoh Primi Restu, juga dimulai dari bab yang sama. Catatan jurnal hariannya ditampilkan secara utuh di bab 22, persis sebelum fase petualangan Dio di Korea Selatan.
Hal lain yang patut mendapat perhatian adalah persahabatan antara Sarjono alias Om Jon dengan Makarim Ghanim. Meski diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga, namun kisah mereka di bab 28 terlihat intim dan pribadi. Oh ya, secara sudut pandang penceritaan, Efek Jera didominasi oleh sudut pandang Dio sebagai tokoh utama. Dari ke-36 bab (Prolog 35 bab), cuma 2 bab yang bukan dari Dio.
Sebagai penggemar cerita dengan dialog-dialog berbobot, di bulan Februari 2021 ini saya sungguh dipuaskan dengan memilih Misteri Dian yang Padam dan Efek Jera sekaligus. Kalau Misteri Dian yang Padam menampilkan pemilihan kata serta konsep di baliknya yang sederhana dan lugas, Efek Jera menyajikan berbagai pemikiran keren dengan pemilihan kata yang humoris dan menyesuaikan zaman. Bahkan di sebuah bab, ada seorang tokoh Korea Selatan yang membahas kecenderungan orang Indonesia dalam membuat singkatan. Banyak kata dan kalimat dalam narasi maupun dialog yang bisa membuat pembaca setidaknya tersenyum. Entah si Dio yang pintar bercanda, atau Ade yang gampang melontarkan pernyataan cerdas plus agak kocak.
Bagi yang awam dengan dunia penerbangan, Efek Jera merupakan novel yang tepat untuk kamu yang kepingin tahu banyak dunia ini. Secara genre, tentu saja lebih ditujukan kepada fans genre thriller, yang cerdiknya menggabungkan penggemar thriller korporasi dan penggemar thriller konspirasi ala Dan Brown. Sajian berupa bentuk investigasi pun sangat menarik dalam penggabunggan dua subgenre ini.
Menutup rekomen ini, saya mengajak kita untuk mempelajari pepatah lama yang dibilang Om Jon kepada sang sahabat. Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Entah apa yang sudah Ade pertaruhkan sehingga Efek Jera bisa menang Best Thriller Scarlet Pen Awards'21 hehehe 😁
Astardi Sky
RekomeNovel M/S/T('21) no.12
27 Februari 2021
"Hidup yang tidak pernah dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan."
(Sarjono alias Om Jon)
no.13 - Project X:The Emergence of Piktadarys (Spesial SPA'21 part 4)
Sebagai penutup edisi spesial Scarlet Pen Awards 2021, saya hadirkan novel yang juga kumcer misteri detektif dari pihak Net Detective Indonesia. Karya keren yang masuk di kategori Best Light Novel dan Best Short Story meski tidak memenangkan salah satu di antaranya.
Novel plus kumcer?
Judul : Project X:The Emergence of Piktadarys
Genre : misteri detektif thriller
Pengarang : Tim Penulis NDI (Net Detective Indonesia)
Penyunting : Daras Resviandira & Indri Yasa Utami
Penerbit : One Peach Media
ISBN : 978-623-6516-07-2
Cetakan : Pertama (Juli 2020)
Tim Penulis NDI di karya ini:
1. Daras Resviandira
2. Andi Walinono
3. Derix Al Kosamby (cerita Agus Daplun)
4. Aida Aruna (Misteri Kakek yang Diculik Alien)
5. Yoan Febrina (One Hour With Nana)
6. Teduh Sukma Wijaya (Kasus Kapucino)
7. Amalia Pratiwi Putri (Pesan Dari Nathan)
8. Khansa Qorirah Satvia (Namanya Ning)
Ya, ada 8 orang yang menulis cerita dalam novel ini. Kecuali Prolog, ceritanya sendiri ada 12, di mana salah satu cerita punya 2 bagian, yaitu Catatan Badai: The Red Lily. Kecuali 4 cerita terakhir, 8 cerita pertama bisa dibaca secara tersendiri, meski punya benang merah yang mengikat semuanya. Itulah sebabnya karya ini saya sebut "novel yang juga kumcer".
Semua penulis tergabung dalam komunitas NDI (Net Detective Indonesia). Mengutip kalimat pertama dari bab Sekilas Tentang NDI:
"NDI merupakan komunitas dunia maya yang menjadi wadah bagi para penggemar dunia perdetektifan."
Info lebih banyak tentang komunitas ini bisa dilihat di salah satu picture postingan RekomeNovel M/S/T edisi no.13 di Instagram.
Sebelum novel ini, Tim Penulis NDI memulai debut kepenulisan mereka dengan kehadiran Project X:The New Beginning of NDI di tahun 2014. Sebuah novel yang memulai perjalanan plus petualangan kedetektifan 5 tokoh utamanya:
1. Badai A. Rashad (Badai)
2. Harsana Loka (Loka)
3. Gilang Wijaya (Gilang)
4. Aimee Dias Vany (Dias)
5. Stefan Valentino (Val)
Di novel perdana bagi tokoh utama dan bagi tim penulisnya, kelimanya baru saja diterima oleh sebuah organisasi detektif swasta skala nasional bernama NDI dengan kepanjangan yang sama di dunia nyata. Beraneka karakter yang didukung perbedaan latar belakang disertai kelebihan serta kekurangan masing-masing menjadi warna cerita sekaligus petualangan dan sepak terjang mereka. Ini juga yang tampaknya terasa sampai novel ketiga karena saya belum membaca tuntas kedua judul pendahulunya.
Setelah The New Beginning of NDI, novel seri Project X yang pada dasarnya mengisahkan kisah-kisah detektif Badai, Loka, Gilang, Dias, dan Val berlanjut ke judul Another Case sekian tahun berikutnya. Judul lengkapnya menjadi Project X:Another Case. Baru karya kedua inilah yang menarik minat Detectives ID untuk membahasnya di blog wordpress mereka di akhir 2018. Rupanya dari sinilah awal perkembangan seri Project X sehingga judul ketiganya Emergence of Piktadarys berhasil menembus 2 kategori ajang Scarlet Pen Awards tahun 2021.
Kalau di The New Beginning, tim detektif baru NDI ini mengurusi berbagai kasus yang juga melibatkan unsur politik dan korupsi, barulah di Another Case muncul sebuah organisasi kejahatan bernama Piktadarys. Cobalah iseng ketik nama ini di kolom pencari internet, apa yang kamu dapatkan? Saya pikir inilah yang disebut dengan faktor kreativitas. Meski menyandang nama organisasi itu, pembuka novel ketiganya justru tidak serta-merta mengenalkan si jahat. Sebuah keunggulan seri Project X (untuk judul Emergence of Piktadarys), yang biasa membuka awal novel dengan mengenalkan para tokoh detektif utama.
Lalu, dilihat dari nama judul setiap cerita/bab, berbeda dengan 2 novel sebelumnya, Emergence of Piktadarys membuat semua cerita/bab-nya menjadi terkesan pribadi. Sembilan cerita dengan salah satu dari kelima tokoh utama itu dan 1 tokoh tamu menjadi tokoh sentral mempunyai nama sang jagoan di judulnya. Lihatlah daftar kisah novelnya setelah Prolog ini:
1. Catatan Dias #1: Ada Hantu di Sekolahku!
2. Catatan Gilang #1: Detektif Agus Daplun
3. Catatan Loka #1: Misteri Kakek yang Diculik Alien
4. Catatan Dias #2: One Hour With Nana (A Murder Case)
5. Catatan Badai #1: The Red Lily
6. Catatan Badai #2: The Red Lily (part) 2
7. Catatan Dias #3: Bayangan dan Cahaya
8. Catatan Detektif Liman: Kasus Kapucino
9. Catatan Gilang #2: Pesan Dari Nathan.
Seperti yang saya bilang di paragraf pertama bagian rekomen, 4 cerita terakhir Emergence of Piktadarys harus dibaca secara berurutan karena ceritanya nyambung satu sama lain:
1. Namanya Ning
2. Akhir dan Awal
3. Sekakmat
4. The Emergence
Setelah membaca review DID (Detectives ID) akan judul Another Case, saya salut dengan Tim Penulis NDI ini. Kalau di karya spin-off dari The New Beginning itu, mereka sukses menjahit 3 cerita pendek dalam sebuah cerita besar tanpa meninggalkan jejak plot hole, di karya sekuel (dari The New Beginning) kali ini, mereka berhasil menjahit 6 cerita pendek dari keenam kontributor dan menambahkan 6 cerita lagi untuk menjadi sebuah cerita novel besar. Juga tanpa ada jejak plot hole. Dilihat dari daftar Penulis NDI, keenam kontributor terhitung dari urutan ketiga.
Jika dilihat dari proses kepenulisan begini, pastilah pengerjaannya memakan waktu yang lama. Unsur ketekunan, kekompakan, dan kerjasama sangat dibutuhkan untuk project kepenulisan ini. Sungguh seri Project X merupakan karya-karya yang patut diapresiasi. Meski belum saatnya untuk menang, masuk 2 nominasi di ajang apresiasi karya misteri detektif skala nasional sudah menjadi sebuah langkah besar.
Astardi Sky
RekomeNovel M/S/T('21) no.13
26 Maret 2021
Kita masih bermain detektif-detektifan, bukan?
Aku harap permainan kali ini kau saja yang menang.
Aku memang lebih cerdas, tapi kau jauh lebih jeli daripada aku.
Sebentar lagi kamu sudah boleh mengambil gelar Ranger Merah.
(Pesan Dari Nathan)
Info penting:
Edisi no.13 ini akan jadi edisi terakhir project rekomendasi novel RekomeNovel dengan nama M/S/T. Selanjutnya, RekomeNovel M/S/T akan berganti nama menjadi RekomeNovel M/T (Misteri/Thriller Plus)
Description: Pengen beli atau baca novel-novel genre misteri, science fiction, thriller khususnya karya para pengarang Indonesia, tapi ga tahu infonya?
Jangan kuatir atau bingung lagi kalau kamu sudah menemukan karya rekomen ini. Semoga bisa menjadi sumber dalam mencari karya-karya berkualitas yang sudah terbit di ketiga genre itu.
No.07-09 >Agatha Christie Special 2020.
No.10-14 >Spesial Scarlet Pen Awards 2021.
RekomeNovel M/S/T created by Astardi Sky (Ka Mistardi di Storial) in 2020
Bersambung ke RekomeNovel M/T+
|
Title: Rahasia Tetaplah Rahasia
Category: Cerita Pendek
Text:
Rahasia Tetaplah Rahasia
“Jika aku menjadi kamu, aku akan memilih pergi,” itu kalimat terakhir yang kuucapkan sebelum ia mengetahui semuanya.
Dia hanya memandangku lugu dan tersenyum polos. Teh hangat yang kusajikan beberapa menit yang lalu mungkin sudah dingin karena terlalu lama mendengarkan ceritanya. Dia menyeruputnya sedikit, kembali bersemangat melanjutkan ceritanya. Rasanya percuma saja, apapun yang kukatakan tak akan mampu menghentikan ceritanya. Sesekali aku tersenyum, sesekali aku ber “waah” atau “hmmm” untuk menanggapi ceritanya. Dia tak memintaku sebuah nasihat, tapi entah mengapa kalimat itu meluncur begitu saja untuk kedua kalinya.
“Kalau aku jadi kamu, Shan... aku akan memilih pergi.”
Kali ini dia menghentikan ceritanya. Semangatnya yang tadi berapi-api seketika padam. Wajahnya seperti orang bingung. Aku mulai ngilu melihatnya terdiam cukup lama. Membiarkan secangkir teh miliknya digenggamnya tanpa tenaga. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Apa aku salah mengatakan demikian? Apa ia sudah tahu semuanya? Tidak mungkin. Bukankah baru saja dia bercerita seolah-olah tak tahu apa-apa?
“Baiklah aku akan membuatkan teh lagi,” kataku mencoba memecah keheningan.
Sekembalinya aku dari dapur, jusru dia terlihat bergegas pergi.
“Aku ada janji, Ta,” mendadak sikapnya berubah hanya dalam waktu sepuluh menit. Apa yang dia pikirkan setelah mendengar ucapanku tadi? Tidak biasanya dia mengakhiri cerita dengan wajah bingung seperti itu. Tidak biasanya pula dia berpamitan dengan wajah sendu. Tidak biasanya juga dia memanggil namaku “Ta”, dia lebih sering menggunakan kata “beb”. Dia meletakkan secangkir tehnya di meja dan segera mencangklong tasnya. Tersenyum sangat sedikit kepadaku dan buru-buru mengendarai motornya.
“Hati-hati Shan!” kataku sambil melambaikan tangan. Dia tak menggubrisnya atau mungkin deru motornya membuatnya tak mendengar suaraku.
***
“Beb, masak ya kemarin aku berpapasan dengannya. Aku keluar dari gedung 2, dan dia akan masuk gedung 2. Aku langsung kaget begitu mataku menatapnya cukup dekat. Hanya berjarak setengah meter waaaaw. Kami hampir tabrakan heeee.... Dia langsung ikut mundur karena juga kaget. Mana pintu gedung 2 sempit lagi kan ya... hanya ada kita berdua oh tidaaaak... dan saat itu aku merasa itu jarak paling dekat yang pernah kurasakan hehehe,” ceritanya begitu membara hingga tak bisa kubedakan mana titik mana koma. Dia menyeruput tehnya sejenak, kemudian buru-buru melanjutkan. “Kamu pasti tak bisa membayangkan betapa memerahnya wajahku saat itu. Mana dia langsung senyum lagi!”
Dia melengkingkan suaranya sebagai efek betapa senangnya perasaannya saat ini. Sesekali aku ikut tertawa melihat wajahnya memerah karena bercerita, atau membayangkan kekonyolan sikapnya ketika bertemu tiba-tiba dengan orang yang disukainya itu atau cerita lain yang membuatku merasa seolah itu jenaka, meskipun dari cara berceritanya yang heboh tersebut, dia terlihat seperti masih kanak-kanak di usia kepala dua.
“Hahaha... terus?” tanyaku menanggapi. Dia menelan ludah kemudian melanjutkan.
“Nggak ada kelanjutan lagi sampai sekarang. Tapi aku merasa dia menyukaiku. Lha wong setiap ketemu dia selalu senyum-senyum sendiri gitu. Terus sepertinya ini memang takdir Tuhan, bukan hanya kebetulan. Setiap hari kami bisa ketemu sampai tiga kali,” ujarnya mulai merangkai khayalan.
Hingga hari berikutnya dan berikutnya, dia rutin datang ke rumahku setiap minggu hanya untuk meluapkan cerita hebohnya tersebut.
“Beb, kayaknya dia udah punya pacar...” katanya mengawali cerita dengan kelabu.
“Gimana emang ceritanya?”
“Dia sering nulis status tentang seorang perempuan. Tentang cinta-cinta gitu...”
“Itu buatmu mungkin? Hahaha...” Dia melempar bantal ke arahku yang tertawa terbahak-bahak.
“Bukan aku. Gadis itu beda sekolah dengan kami. Tapi sepertinya masih di kota yang sama! Aku harus menyelidikinya!” sejak saat itu dia menjelma menjadi seorang perempuan yang penuh dengan curiga dan tanda tanya. Semua hal tentang laki-laki itu mudah sekali ia ketahui. Dia menjalin banyak pertemanan dengan teman sekelas laki-laki tersebut. Hingga suatu hari pencariannya sudah mencapai tahap semifinal.
“Ohiya kamu pernah bilang kan kalau kamu mengajar les di bimbel Pondok Kelapa? Seseorang yang aku sukai juga mengajar di sana. Pasti kalian kenal!” kata sahabat yang sudah sejak SMA tak pernah absen datang ke rumahku tersebut hanya untuk bercerita hal yang tak penting sekalipun seperti cinta.
“Memangnya siapa nama orang yang kamu sukai?” tanyaku sambil menyeruput teh.
“Rio Aprilio.”
Aku hampir tersedak mendengarnya. Aku menelan ludah yang sejujurnya ingin kumuntahkann. Aku seperti menusukkan belati perlahan-lahan kepada Shanen. Tanganku bergetar menggenggam gelas teh milikku. Membuat beberapa tetes meloncat keluar. Mendadak aku menjadi diam dari biasanya. Hanya menanggapi satu dua cerita Shanen. Mendengar nama itu saja membuat hatiku berdentum bagaimana jika Shanen sampai tahu?
“Kamu kenal kan?” aku mengangguk berat.
“Nah pas sekali. Kamu harus menyelidikinya. Cari tahu siapa gadis yang ia sukai. Kamu bisa kan Beb?” dia begitu bersemangat menyelidiki gadis misterius itu. Padahal gadis misterius itu sebenarnya sudah di depan matanya. Aku menjadi bungkam dan lebih banyak berpikiran kosong. Tak tega mengatakan yang sebenarnya. Jauh lebih iba ketika dia masih melanjutkan bercerita tentang Rio dengan semangat. Minggu-minggu berikutnya dia selalu menanyakan bagaimana kemajuan penyelidikanku terhadap Rio. Sejak saat itu aku selalu was-was jika dia mulai curiga. Aku tidak bisa lepas dari rasa khawatirku jika tiba-tiba dia menyadari perubahan sikapku dan mendesakku mengatakan yang sesungguhnya. Tidak, mungkin aku yang terlalu khawatir. Pada kenyataannya Shanen masih datang ke rumahku minggu ini dan bercerita seperti biasa.
“Hmm kalau aku jadi kamu, Shan... aku akan memilih pergi.” kalimat itu meluncur begitu saja dan memotong ceritanya.
Dia menghentikan ceritanya dan terlihat seperti merenung. Hingga tiba-tiba ia meminta pamit. Dia meletakkan secangkir tehnya di meja dan segera mencangklong tasnya. Tersenyum sangat sedikit kepadaku dan buru-buru mengendarai motornya. Dia berubah hanya karena aku mengatakan hal demikian? Apa dia sudah mulai curiga?
“Hati-hati Shan!” kataku sambil melambaikan tangan. Dia tak menggubrisnya atau mungkin deru motornya membuatnya tak mendengar suaraku.
“Dia pasti sudah menyadarinya!” rutukku dalam hati.
Aku tidak menyangka jika Shanen memendam rasa kepada Rio, laki-laki yang juga kusuka. Bahkan Shanen tidak tahu jika selama ini dia bercerita kepada seorang perempuan yang ingin ia selidiki. Persahabatan ini pasti hanya akan menjadi cerita usang sekarang. Aku menghela nafas berat.
“Apa ini?” sobekan kertas yang ditindih gelas teh milik Shanen tadi mengusik pandanganku. Aku mengambilnya dan membaca tulisan Shanen yang terlihat terburu-buru.
~Sepertinya kamu mulai menyukai Rio setelah mendengar cerita-cerita dariku, setelah kusuruh kamu menyelidiki Rio. Seharusnya aku tak mmbiarkanmu mengenalnya lebih dekat dan menyuruhmu menyelidikinya.~
Description: Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi menulis cerita pendek yang diadakan oleh Storial, Nulisbuku, dan Giordano #ALLisWELL
Aku tidak mengerti dengan perubahan sikapnya hanya dalam sepuluh menit setelah aku meluncurkan sepotong kalimat kepadanya. Otakku mampat dan hanya itu yang sempat terpikirkan sebagai solusi. Cerita membaranya mendadak padam atau mungkin kekhawatiranku selama ini mulai terjadi?
|
Title: Rasa Indria
Category: Flash fiction
Text:
Impasto
Entah, aku suka atau tidak, sungguh bukan urusanmu. Aku bisa sangat suka, lalu membencinya pada lain waktu. Segala yang kau pikir meyakinkan, justru sesuatu yang membuatku sangat ragu. Dan saat ini aku tak menyukai bunyi hujan, tapi bukan berarti aku tak menyukaimu.
Kau beringsut ke ruang belakang, seolah mengajakku untuk beradu pendapat. Baiklah, kuberanjak dari kepungan kaleng cat dan meninggalkan aroma tiner dan terpentin yang familiar itu, lalu beralih ke kandang yang bau tai ayam itu. Di situ. Tapi kenapa harus di situ? Kau tahu, yang kudengar di situ justru deru hujan yang menyerbu atap seng rumah kita. Sungguh riuh, gabungan bunyi gemuruh dan tong, plung, dan pletak yang bersahutan. Kau menunjuk-nunjuk atap dan lantai dengan tatapan bengis itu. Aku berusaha mendengar suaramu meski menyakitkan.
Lain waktu, aku bisa begitu menyukai suara hujan. Bunyi tong kali ini berasal dari air yang menetes dari celah atap seng yang pecah. Air itu jatuh ke dalam kaleng-kaleng biskuit yang kau siapkan sejak tadi malam, dan menimbulkan komposisi bunyi tong tong yang berbeda tinggi rendah nadanya di antara perbedaan debit air pada tetesan satu dan tetesan yang lain, di antara kaleng besar dan kaleng yang kecil. Ternyata, hujan, selain menyisakan orkes alam, juga menyisakan penyesalan. Untuk apa kau meletakkan kaleng di seluruh penjuru ruang sejak semalam kalau tetesannya justru baru jatuh pagi ini?
"Atap bocor, bahan makanan habis," ujarmu gemetar. "Ini ayam keempat yang kupotong. Kalau besok terpaksa potong ayam lagi, kita tak punya apa-apa lagi," kau terengah dalam baju basah itu. Kau menggigil dan napasmu menderu seperti singa hendak memangsa rusa. Dan kau tampak lebih mengerikan saat menodongkan pisau pada ayam yang sedang menjelang ajal itu. Apa maumu? Mengapa kau selalu menyalahkanku?
"Cat mahal. Kanvas juga. Lukisan belum laku," balasku, tapi kau tak pernah mengerti. Napsumu hanya perut dan perut. Kau tak pernah mengenalku meski telah lama tinggal di sini. Kau tak paham guratan garis pada cat akrilik yang sudah mengering itu. Kau tak pernah paham bagaimana cantiknya lukisan itu saat sinar matahari pagi menerpa terksturnya yang menonjol kuat. Kau tak mengerti, tak pernah…. Tapi, ah, mana ada matahari musim hujan begini? Aku begitu merindukan cahaya itu. Dan musim ini seolah menelan semua krik krik dan krok krok dari jangkrik dan tonggeret. Tetapi, kau justru bangkit dan merebut pisau palet dari tanganku. Heh, sudah berani-beraninya kau bersikap seperti itu padaku?
"Dengarkan aku," katamu, masih dengan wajah bengis dan deru napas penuh napsu. "Jangan paksa aku hidup begini. Kau harus tanggung jawab, atau aku akan pergi." Kurebut pisau palet kembali dari tanganmu, kurebut juga kata-kata ancaman omong kosong yang keseribu kali dari mulutmu itu. Cuih! Kau masih di sini setelah milyaran hari. Kau masih di sini, bahkan saat kau tak mampu melahirkan bayi. Saat napsu perutmu tak terpenuhi, kau bahkan tak mampu pergi. Omong kosong. Kau terlalu cinta dengan semua lukisanku, dan kau terlalu pengecut untuk menjejakkan kaki ke luar sana dengan lelaki itu!
"Sudah! Tampung darah ayam itu di kaleng!" Kau tersentak mendengarku berteriak. Darah segar segera menetes pada leher ayam itu, pada tanganmu, dan kau menunduk dalam diam. Dengan patuh, kau menggabungkan sekaleng darah itu dengan kaleng-kaleng merah lain di sudut ruangan. Aku puas. Seketika, ancamanmu tadi meruap begitu saja saat bunyi tong tong tetesan air kembali terdengar, disusul riuh derai hujan yang menyerbu atap dapur yang hitam itu. Bau cat bercampur anyir.
"Ton! Ton!" Aku terkesiap dan memasang telinga baik-baik untuk memilah bunyi lain selain hujan yang berisik. Kali ini bunyi tong tong tetesan air pada kaleng diselingi bunyi brak brak yang sangat keras. Apakah ada pohon tumbang? Ah, inilah sebabnya aku tak menyukai bunyi hujan. Derunya menutupi suara lain, dan itu menimbulkan semacam perasaan waswas karena ternyata lelaki tua itu datang lagi dan memanggil-manggil sambil menggedor pintu.
Brak! Pintu terbuka dengan paksa.
"Bayar hutangmu, Ton!" Kudengar suara bentakannya menggelegar dari pintu lorong yang kumuh itu, mengiang sampai ke belakang telingaku, tepat saat aku selesai dengan guratan impasto yang terakhir.
'Ah, apa lagi, lelaki tua?' Kumengutuk dalam hati. Saat aku membalikkan badan, yang kulihat justru komedi wajah badut dengan kumis tebal yang bergerak-gerak tertiup udara napas dari hidungnya sendiri. Cuping hidungnya kembang kempis tak kalah lucu, di tengah-tengah mata merah yang dinaungi alis bergerak naik turun tak karuan.
"Bayar hutang-hutangmu!" Bentak lelaki tua itu sekali lagi. Kulihat kau sudah meringkuk di belakang pintu seperti seonggok rasa sakit yang tak bisa membela. Namun, gemuruh bunyi hujan di atap seng rumah mengalahkan suara apa pun yang terlempar dari mulut peot itu. Terserah, suka atau tidak, itu bukan urusanmu. Tetapi, aku sangat menyukai bunyi hujan kali ini. Orkestrasinya jauh lebih indah dari bentakan lelaki tua penagih hutang itu, juga lebih indah dari suara rengek jerit tangismu. Jadi, biarkan aku selesaikan urusan itu.
Aku segera mencabut pisau yang masih menancap pada ayam mati, juga pisau paletku. Kututup pintu, dan bunyi hujan kali ini begitu sempurna menutup semua suara ngeri itu. Kukumpulkan darah bersimbah pada kaleng-kaleng cat merah, kutunggu mengental dalam dua hari dan aku tak perlu membeli cat lagi. Derai hujan segera membanjiri jejakmu dan jejaknya. Dan saat hujan reda, tak akan lagi kudengar suaramu dan suaranya. Guratan pada teknik impasto akan jadi lebih tegas dan hidup karena sisa dari tubuhmu dan tubuhnya. Sinar matahari akan memancar dari sela-sela atap seng yang retak, menyinari kanvas dan tekstur abadi guratan darahmu dan darahnya. Krik krik dan krok krok, jangkrik dan tonggeret tertawa.
Ketika Kau Tak Mampu Memilih
Aku benci setiap kali Rara menatap tajam pada Agung. Atau mendelik, mungkin menyindIr. Barang itu terlalu besar lah, warnanya terlalu muda lah, ujungnya terlalu lancip lah, bahannya tipis lah…. Atau bahkan terlalu murah, atau terlalu mahal. Terlalu ter-la-lu. Sudah seperti lagu Rhoma Irama. Apa pun alasannya, semua memang keterlaluan. Tetapi, bukan. Sama sekali bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan, melainkan keputusan yang ditunda, entah sampai berapa purnama. Entah berapa keyword, puluhan screenshot yang memenuhi memori gawai Agung, puluhan halaman di 5 aplikasi online shop, belasan proposal, puluhan kertas coretan hitung-hitungan pengeluaran.
Seperti biasa, Agung cuma senyum tipis. Bukan senyum kalah, atau tipikal diam untuk mengalah, bukan, dia terlalu sayang dan gemas dengan perempuan pendek yang kemauannya sepanjang diameter bumi itu.
"Lah, terus, tamu pegang gelas masing-masing gitu? Pegal lah." Agung berargumen.
"Ya sudah, taruh bawah aja."
"Nanti teh-nya disemuti."
"Daripada yang itu. Mau taruh di pojok? Sempit, jelek, enggak cocok."
"Ya udah, fine. Kamu aja deh yang beli.”
"Ogah, lu dong.”
“Ya kalau nggak mau beli, jangan banyak maunya,” ujar Agung setengah merayu, setengah meledek.
“Enggak! Lu yang beli.” Rara melotot. Kaki mungilnya hampir berjinjit maju demi matanya bisa menatap mata Agung lekat-lekat. Kesungguhan yang benar-benar lucu, meskipun tak perlu.
Menegangkan, tapi aku tak pernah khawatir. Ledakan-ledakan emosi dan teriakan semacam itu sering terjadi, pun karena masalah sepele. Semua akan hilang dengan sendirinya karena topik yang sama: obrolan seputar desain interior.
"Drop ceiling di dapur harus lebih tinggi. Kayaknya bagus. Nanti rumah kita bakalan terasa lebih luas. Materialnya kayu ekspos," ujar Rara antusias.
"Kalau bocor, susah diperbaiki. Lagi pula, ini dapur. Kayu jangan dekat dengan api."
"Kalau gitu, drop ceiling kayu di ruang depan. Enak, adem."
"Setuju," Agung menyahut singkat, disusul senyum istrinya yang mengembang seperti bunga matahari.
Ya, beginilah nasibku. Di rumah ini, sehari-hari aku hanya bisa memandangi tingkah polah, tawa-air mata, pahit manis hubungan sepasang suami istri. Kalau kalian menjadi diriku, kalian pasti paham betapa aku iri. Namun, di sisi lain, menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama mereka membuatku paham bagaimana perbedaan membuat segalanya jadi sempurna. Aku tak sempurna dan aku pun ingin memiliki pasangan yang cantik seperti Rara. Tapi sebagai sahabat Agung, aku hanya bisa membatin.
Aku senang melihat Rara gembira. Dia akan menari dan menjatuhkan diri di antara bantal-bantal. Akan kupeluk dia sambil mendengarkannya berdendang, membaca majalah, menonton TV, atau menggambar sketsa desain untuk mempercantik rumah ini. Agung tak habis pikir, ia kerap bertanya pada dirinya sendiri: Yang anak desain aku atau dia sih? Karier Agung selama dua belas tahun membuatnya mampu mengerjakan detil rancangan rumah yang apik sesuai pesanan klien. Dan itu ternyata masih kalah detil dengan perempuan perfeksionis yang ia nikahi. Mungkin ia merasa sedikit tersaingi, tapi kadang ia yakin, istrinya tahu yang terbaik. Kecuali ya... untuk urusan proposal pembelian barang yang satu itu, Agung hampir kehilangan kesabaran.
Aku pun tak sabar. Sudah belasan purnama menunggu, aku tak kunjung punya pasangan. Boro-boro merasakan pahit manisnya berumah tangga. Pasangan pun aku belum punya. Maka, aku dan Agung pun bertaruh. Siapa yang paling sering memeluk Rara, dialah yang berhak memilikinya.
Aku merasakan gelagat yang aneh sejak itu. Selama berhari-hari, ia bisa menghabiskan waktu hingga jam 2 pagi hanya duduk di depan komputernya, atau sambil memegang gawainya. Kadang ia mengambil gawai Rara saat istrinya itu sudah tertidur pulas.
Aku menegurnya dengan usil, “Are you stalking her chat, Bro? Nanti Rara marah, lho. Sudahlah, sesama gentleman tak perlu lah saling menjebak. Yang lebih unggul, dialah yang menang.”
“Sabar. Nih, aku carikan jodohmu. Mau yang putih, atau yang bening? Suka yang lebar, atau yang langsing?” katanya sambil terus menggeser layar android, serius.
“Paling-paling hanya rencana. Meyakinkan istrimu saja kau tak bisa, apalagi-"
"Diam kau!"
Aku mengerti, betapa Agung kecewa saat rencananya ditolak Rara. Dia pikir, dia sudah menggunakan segenap ilmu desain yang ia dapat dari kuliah bertahun-tahun dan puluhan proyek mendesain rumah teman-temannya. Kalimat "Klienku biasanya setuju," sudah tak lagi mempan bagi istrinya itu.
Sehari dua hari menunggu, yang ditunggu tak kunjung memberi respon. Akhirnya Agung memberanikan diri bertanya,
"Sayang, kamu sudah liat di online shop app kamu? Gimana?"
"Perasaan aku enggak pernah browsing ini deh?" Ujarnya heran sambil mencolek-colek layar android. "Kamu pake HP aku ya? Ah! Sudah kuduga…." Kata perempuan itu sambil melengos ke dapur meninggalkan Agung yang membeku sedingin batu.
"Biar kamu lihat sendiri! Lihat dong, atasnya enggak terlalu lebar, motif teak wood, paling 500 ribuan, dan bisa dirakit sendiri."
"Aku enggak mau capek-capek ngerakit! Sudah mahal, harus merakit sendiri pula. Enggak, pokoknya enggak!" Teriakan perempuan itu terdengar sayup dari dapur.
"Mending enggak usah kasih tahu kamu. Kalau kamu tahu, biasanya malah enggak jadi," bisiknya pada dirinya sendiri. Tak disangka, yang di dapur mendengar.
"Apa? Apa? Apa yang baru saja kau katakan?" Rara melongok dari dapur. Kalimat baku seperti itu, biasanya menandakan bahwa ia super serius.
"Eee… enak sekali. Tahu goreng buatanmu ini enak sekali."
"Bohong." Perempuan itu mendekat dan menatap Agung lekat dengan wajah datar yang membuat lelaki jangkung itu hampir terbahak. Namun, Agung segera mampu menguasai dirinya. Ia berucap dengan nada sangat rendah dan serius.
"Sayang, kenapa kamu tak suka pada pilihanku?" Ia menggamit lengan perempuan itu. “Aku malu kalau ada tamu, kita tidak punya meja. Meja apa pun, tak harus sempurna, yang penting fungsinya. Ya kan?” Ia berargumen dengan wajah memelas.
“Tapi kita tidak tiap bulan membeli meja. Jadi, sekali beli meja, harus benar-benar meja yang kita inginkan. Maksudku, aku. Yang aku inginkan.”
“Tapi, syaratnya terlalu banyak. Meja seperti itu tidak ada. Kalau mau, kamu buat sendiri.”
“Tapi kenapa kamu tidak memberi kesempatan aku memilih? Selalu maunya buru-buru beli ini, beli itu. Di sini ‘kan aku menteri keuangannya. Kalau beli meja murah, terus rusak, ‘kan rugi.” Ia kembali ke dapur dengan wajah bersungut-sungut. Kali ini ia bicara lebih lantang. “Kita harus hitung-hitungan! Kalau beli barang itu harus dilihat spesifikasinya. Jangan asal suka, jangan asal ini itu….” Perempuan itu mengomel sendiri di dapur, seperti biasa. Suara denting piring yang bersenggolan terdengar lebih nyaring dari sebelumnya.
Aku prihatin. Tak ada yang mampu memuaskan keinginan Rara. “Sudahlah, Bro, jangan bersedih. Mungkin standar seninya tinggi.”
“Aku desainer! Klienku yang paling picky pun masih bisa dipersuasi. Yang ini tidak. Entah, aku merasa ditolak, seolah-olah harga diriku-”
“Jangan sedih. Kalau ada masalah, kau ingat-ingat lagi sebab kau memilihnya dulu.”
“Alasanku memilihnya? Hahaha! Tak ada yang lain. Siapa lagi yang mau dengan perempuan bogel, bawel, dan pelit seperti dia?”
"Tak ada yang lain? Sebentar. Tak ada yang lain? Itu jenius, Kawan! Kau ingat, kehadiranku yang mendadak tak pernah mengundang perseturuan. Pun Riri si Lemari. Pun Opet si Karpet. Pun dirimu sendiri. Kalau kau terlalu banyak pertimbangan saat memilih, mungkin kau tak akan pernah menikah. Rara akan menerima dirimu apa adanya. Dia juga akan menerima apa pun yang kau berikan! Entah ya, sungguh suka atau pasrah karena telanjur. Tetapi, dia tak pernah mempermasalahkannya. Yang jadi masalah adalah ketika dia harus memilih. Masalah selalu muncul saat banyak pilihan."
Agung menatap ke seluruh penjuru ruang tamu dan ia teringat semuanya. "Benar juga. Sejak masih kuliah dulu, hanya ada dia. Seperti Yang Maha Kuasa, melalui seluruh alam semesta, tak menghendaki diriku tertarik pada siapa pun selain padanya. Bukan karena tak ada pilihan. Lebih tepat karena sudah dipilihkan oleh-Nya. Terima kasih, Kawan, atas pencerahannya."
Dan tibalah hari yang paling kunantikan dalam hidupku. Satu paket besar dikirim dengan sebuah mobil truk saat Rara dan Agung belum pulang dari kantor. Lalu, para tukang itu membongkar paket, merakit kepingan-kepingan itu, dan voila! Dia sungguh bening dan ramping seperti yang kau deskripsikan, Kawan. Dia sangat berbeda, tapi aku merasa cocok dengannya. Rara pasti suka. Dan benar, Rara pulang dan wajah lelahnya segera bersemi sumringah saat melihat meja cantik itu di sudut ruangan.
“Kejutan.” Kata Agung kepada perempuan yang tak mampu menyembunyikan wajah gembira itu.
Akhirnya penantian selama belasan purnama telah berakhir. Terbayarlah sudah segala beban screenshoot yang memakan memori di gawai Agung, juga belasan proposal, puluhan kertas coretan hitung-hitungan pengeluaran.
“Terima kasih, Kawan. Semoga kau bahagia dengan pasanganmu, si coffee table yang cantik,” kata Agung berbaring santai sambil menepukku pelan sebagai tanda persahabatan.
“Sama-sama, Kawan. Akhirnya sofa hitam buluk favoritmu ini punya pasangan."
Description: Ke mana air mengalir, ke mana angin berembus.
|
Title: Rumah di Mars
Category: Cerita Pendek
Text:
1
Suatu hari tak jauh dari sekarang.
Ray menatap dari balik biodome transparan itu, ada padang pasir yang membentang luas. Angin menyeret debu-debu beterbangan. Pemandangan yang sudah ia lihat selama beberapa bulan tinggal di sana. Waktu berjalan tak seperti biasanya bagi Ray, tinggal di sana membuat waktu terseret melambat.
“Kau sudah siap ikut misi ke Mars?” tanya Ahmed yang hari itu membuka penutup kepalanya tapi masih memakai jubah putih.
“Untuk itu aku tinggal di sini.”
“Tak semua orang di sini sepertimu. Ah, aku sebenarnya juga ingin pergi ke sana,” ujar Ahmed, asisten Ray di kota buatan itu.
Di tempat itu, ada sekitar 120 orang yang tinggal. Ada beberapa orang kaya yang hanya ingin mencari suasana baru, namun sebagian besar adalah orang yang punya pekerjaan di sana. Kebanyakan para ilmuwan dan ahli di berbagai bidang yang memang dipilih untuk melakukan misi membentuk koloni di Mars.
Beberapa orang dari keluarga miliuner mendaftar. Namun begitu tahu apa yang harus dipersiapkan dan syarat-syaratnya, satu per satu mulai mundur dan menarik uang mereka. Tak banyak yang sanggup untuk meninggalkan segala kenyamanan dan keindahan yang sudah ada di bumi. Planet untuk manusia.
“Aku senang bisa berkenalan dengan orang hebat sepertimu. Perancang koloni di Mars,” ujar Ahmed tiba-tiba. Sejak Ray tinggal di sana, ia jadi dekat dengan Ahmed. Meskipun hanya pegawai biasa, Ahmed sering membantunya melakukan banyak hal.
Ray tersenyum pada Ahmed. Ia lalu kembali menatap pemadangan padang pasir yang mulai membosankan itu. Pikiran kosongnya kembali terisi saat teringat ia harus pergi menemui orang tuanya sebelum berangkat ke Mars.
Meninggalkan bumi memang bukan perkara mudah. Selain persiapan fisik dan mental, astronaut harus siap meninggalkan orang-orang yang terkait dengannya dalam waktu lama, keluarga misalnya.
Ray sendiri sudah terbiasa hidup jauh dari keluarga besarnya. Ayahnya seorang pensiunan yang tak pernah mencicip duduk di kursi pimpinan. Kehidupan keluarganya sederhana, tak pernah berlebihan tapi tak kekurangan juga. Ia ingat saat masih remaja, saat jiwa pemberontaknya mulai muncul. Saat itu ia merasa orang lain menyebalkan, dan orang tuanya hanya pengekang. Ia sempat kabur dari rumahnya, namun kembali setelah seminggu.
Rumah orang tuanya hanyalah tempat sederhana yang tak bisa ia banggakan. Ia jadi sering menggambar rumah idaman, bahkan di buku sekolahnya. Sebuah rumah yang nyaman, dengan halaman yang luas, kamar tidur untuk masing-masing anak, tangga ke lantai dua dan tiga, dan ruang bermain.
Ray anak kedua dari empat bersaudara. Dulu ia harus berbagi kamar dengan dua saudara laki-lakinya, si bungsu tidur dengan orang tuanya. Mereka bukan saudara yang akur. Ia pernah bertengkar hebat dengan kakak sulungnya, sampai mereka dihukum tidur di teras rumah.
Setelah lulus SMA, Ray akhirnya mendapatkan beasiswa untuk kuliah di jurusan arsitektur. Ia terus melanjutkan kuliah di luar negeri. Sempat beberapa tahun bekerja di perusahaan besar, namun Ray akhirnya memutuskan untuk keluar. Ia bersama beberapa orang rekannya membuka jasa arsitek dan kontraktor yang khusus mendesain rumah ramah lingkungan dan smart home.
Saat itu kemudian ada kompetisi untuk merancang rumah di Mars, habitat untuk manusia. Rumah yang tak biasa, rumah yang harus bisa bersahabat dengan kondisi di planet itu. Bahan bangunannya juga tak bisa sembarangan karena harus menggunakan yang sudah ada di sana.
Ray dan rekan kerjanya akhirnya membentuk tim untuk mengikuti kompetisi itu. Desain rumah mereka menang, terpilih untuk dibangun di Mars dan Ray dapat kesempatan untuk pergi ke sana. Semuanya seperti mimpi, dan Ray bersyukur itu mimpi yang indah. Setidaknya itu yang dikatakan orang-orang, tak semua orang bisa seperti dirinya.
“Aku tak pernah bermimpi bekerja seperti ini saat kecil,” kata Ray di ruang kerjanya. Di depannya ada beberapa layar berisi gambar-gambar dengan rumus yang rumit. Sebuah layar besar menampilkan rekaman video pembangunan habitat koloni oleh para robot otonom di Mars.
“Apa sebenarnya cita-citamu?” tanya Profesor Taishi, rekan satu proyeknya.
“Dulu aku hanya ingin jadi arsitek biasa. Tapi kemudian ada kompetisi membuat rumah di planet lain. Dan lihat sekarang, aku akan pergi ke planet itu. Tak pernah aku ingin jadi astronaut.”
“Sebenarnya aku pernah ingin jadi astronaut, tapi ikut dalam proyek ini malah membuat keinginanku menghilang. Aku mudah depresi.. aku takut bakal menjadi gila di sana.. haha,” Taishi tertawa. Ia sekarang merasa beruntung karena bukan dirinya yang ditugaskan untuk ikut ke luar angkasa. Taishi sendiri ahli dalam bidang tenaga surya dan energi terbarukan. Ia ikut merancang panel-panel surya untuk kebutuhan listrik di proyek itu.
Ray mencoba tersenyum mendengar kata ‘depresi’ tapi ia sempat terpikir hal itu juga. Berada di kota buatan itu saja selama berbulan-bulan mulai membuatnya sering bosan. Namun ia cepat melupakan kebosanan itu dengan bekerja dan bekerja. Masalahnya adalah sang istri yang kerap mengeluh padanya.
Profesor Taishi memeriksa beberapa foto bangunan yang telah didirikan di Mars. Ada bangunan khusus untuk para ilmuwan di sana dan bangunan lain untuk para pelancong yang membayar mahal.
“Ah, ini penampakan kamarnya. Kamar khusus untuk astronaut Mars Life. Sudah siap semua.”
Ray terpaku sejenak menatap beberapa foto itu, belum ada videonya.
“Bisa kau lihatkan hunian 20 E. Apa sudah siap dihuni?” tanya Ray.
“Ah, itu rumah khusus untukmu kan?”
“Benar…”
Tak semua orang bisa mendapatkan rumah sendiri di sana, selain harganya mahal terdapat banyak persyaratan. Menjadi arsitek untuk hunian itu membuat Ray mendapatkan kesempatan istimewa. Ada rumah khusus untuknya di sana, tak jauh berbeda dari yang ditujukan untuk orang-orang kaya itu.
Sudah larut saat Ray kembali ke tempat tinggal sementaranya di kota Martian buatan itu. Seperti apartemen dengan dua buah kamar, ia tinggal di sana bersama sang istri.
“Aku masih tak yakin akan pergi ke sana,” kata sang istri, Lenny. Sudah sepuluh bulan mereka tinggal di kota buatan yang mirip dengan Mars itu. Terkadang ia merasa bosan dan hilang akal, meski ada sang suami bersamanya.
“Kau terlihat semakin mahir mengendarainya,” Ray mengalihkan pembicaraan. Lenny saat itu sedang memainkan simulasi kendaraan yang bisa digunakan di Mars.
“Aku semakin bosan, bagaimana jika di sana… bukannya malah akan semakin membosankan? Aku rasa aku benar-benar akan depresi,” kata sang istri. Keluhan istrinya itu tak disukai oleh Ray, ia bukan orang yang terlalu perasa seperti itu.
“Ah.. rasanya akan berbeda saat kau sampai di sana. Semuanya akan lebih menggagumkan,” kata Ray. Padahal ia sendiri belum pernah pergi ke Mars, hanya merancang saja dan melihat dari kejauhan yang sangat jauh. Sebelumnya, Ray pernah mengikuti pelatihan astronaut dan sekali pergi ke stasiun luar angkasa. Hanya sampai stasiun saja, belum sampai menginjakkan kaki ke planet lain.
“Sudahlah.. katanya kau ingin menulis buku tentang pergi ke Mars. Tulislah mulai sekarang, mungkin akan jadi best seller nanti.”
Ray masuk ke dalam ruang tidurnya. Kasur pribadinya yang terpisah dengan sang istri. Kasur yang mendatar dan empuk seperti kebanyakan kasur di bumi. Di tempat itu, gravitasi bumi masih terasa walaupun di Mars akan berbeda karena hanya punya 38% saja.
“Aku boleh bawa laptopku? Apa harus memakai laptop yang sudah disiapkan?” tanya Lenny menghampiri Ray yang sudah membaringkan tubuhnya.
“Kau sudah diberitahu kan? Sudah disiapkan laptop yang cocok untuk di sana!” kata Ray dengan nada tinggi. Ia sedang kelelahan usai bekerja, itu membuatnya jadi mudah marah.
Lenny tak mau menanggapinya lagi. Ia berbalik ke kamarnya. Ia tak ingin berdebat dengan sang suami, hanya ingin mengeluh saja karena tak bisa membawa benda kesayangannya.
2
Dua bulan sebelum keberangkatan.
“Perutku tak enak, aku mual lagi..” kata Lenny.
“Pergilah ke klinik, nanti juga diberi obat.”
“Ya, aku juga ingin pergi ke tempat psikiater karena sulit tidur akhir-akhir ini.”
“Ya.. ya, pergilah. Kau harus benar-benar sehat sebelum berangkat. Kau tak ingin aku berangkat sendiri kan?”
Ray meninggalkan istrinya untuk bekerja. Mengenakan kemeja putih dengan celana hitam bersabuk cokelat. Sepatunya senada dengan warna sabuknya.
Ia menjalankan kaki di jalan setapak menuju ke ruang kerjanya. Tak begitu jauh untuk sampai di sana. Pemandangan tanah pasir dengan pohon palem itu lama-lama memang membuatnya jenuh. Ia ingin mengubah tanamannya menjadi lebih tropis tapi desain itu sudah diatur oleh pemerintah di sana.
Beruntung di sana masih ada sayur-mayur yang juga ditanam dalam bak penampung. Didesain menjulang ke atas, tanaman yang bisa dimakan itu memberikan rasa segar setiap melihatnya. Tanaman-tanaman ini sudah diuji coba untuk dapat ditumbuhkan di planet Mars, sebagai persediaan makanan. Ada selada, kale, dan sayuran hijau lainnya yang tumbuh dengan baik. Ray sendiri tak suka bercocok tanam, tapi ikut senang melihatnya.
“Pak Ray, sepertinya ada masalah di rumah yang selesai dibangun.”
“Masalah apa?”
“Ada keretakan di dinding luar, ada bahan yang ternyata tidak cocok. Harus dibuat ulang.”
“Aku akan memeriksanya,” kata Ray.
Ray menuju ke ruangannya. Memeriksa beberapa foto penampakan bangunan yang retak. Itu terjadi di rumah dengan desain kubah di atas tanah. Ada beberapa bagian yang retak.
“Ah, ini buruk,” kata Taishi.
“Kita harus segera memperbaikinya. Tinggal dua bulan lagi sebelum orang-orang berangkat.”
“Ada rencana untuk memundurkan keberangkatan,” kata Taishi.
“Benarkah? Aku baru tahu.”
“Sedang dibicarakan, ada beberapa persiapan yang masih harus dimatangkan. Kau tahu berita yang paling baru? Beberapa astronaut yang sudah tinggal di sana katanya sebagian tak betah. Mereka ingin pulang.”
“Kita sudah belajar bagaimana mengatasi depresi, ada banyak hal yang bisa dilakukan,” kata Ray. Ia sebenarnya tahu masalah psikologi memang sulit untuk di kesampingkan, apalagi itu berbeda untuk setiap orang.
“Di sana berbeda.. kau tahu kan? Apalagi ada beberapa fasilitas yang belum selesai dibangun.”
“Makanya kita sudah dilatih untuk mengatasinya. Sepertinya aku tak bisa menemui keluargaku sebelum berangkat jika masih ada masalah seperti ini..”
“Mereka bisa kau undang ke sini..”
Ray kemudian memikirkan hal itu. Sudah lama ia ingin sang ayah melihat kota Martian-C. Sebelumnya ia pernah mengajak keluarga besarnya ke Dubai setelah umrah tapi tak sampai pergi ke tempat kerjanya.
…
…
“Ayah tak mau pergi, tak masalah kau pergi tanpa mengunjungi kami dulu,” kata Pak Baharudin melalui sambungan video call.
“Ayah tak ingin melihat tempat kerjaku, tempat tinggalku sekarang di Kota Martian. Ini seperti simulasi Mars, planet yang nanti akan aku kunjungi dengan istriku.”
“Ayah terlalu tua untuk pergi ke tempat aneh itu.. ah, tapi kami bangga padamu. Kau pergi saja dengan tenang jangan terlalu memikirkan kami,” kata ayahnya lagi.
“Aku ingin pergi!” tiba-tiba muncul adik bungsunya. Namanya Haris, masih kuliah semester 4.
“Kau benar mau? Kau tak ada kuliah?”
“Ah, jangan merepotkan kakakmu,” kata sang ayah. Ibunya terlihat di belakang dan hanya melambaikan tangan.
“Aku libur dua bulan, libur semester.. aku ingin ke sana,” ujar Haris kembali mendominasi layar ponselnya.
“Baiklah, aku siapkan semuanya,” Ray tersenyum.
Ray sebenarnya sudah mengira sang ayah akan menolak saat diajak ke sana. Tapi ia bersyukur karena sang adik ternyata mau untuk pergi menemuinya.
Lima tahun yang lalu, Ray merancang rumah untuk keluarga. Bukan rumah biasa, tapi rumah bergaya futuristik karena itulah keahliannya. Tapi keluarganya menolak, ayahnya menolak. Akhirnya mereka menggunakan jasa arsitek lainnya. Ray hanya membantu dalam hal finansial saja, ia yang paling banyak membantu.
Kedua saudaranya yang lain sudah memiliki rumah masing-masing dengan keluarganya. Saat itu Ray bekerja di luar negeri. Mereka sudah jarang bertemu sejak Ray sibuk dengan proyeknya. Ia kadang pulang tiga tahun sekali, dua tahun sekali, dan itu pun tak lama.
Adiknya Haris sebenarnya juga tak begitu dekat dengannya. Tapi sepertinya ia sangat bangga dengan pekerjaan Ray. Haris sering bercerita pada teman-temannya bahwa ia punya kakak yang bekerja di proyek luar angkasa.
3
Ray menemui istrinya setelah bekerja. Wanita itu sedang mengetik di laptopnya.
“Kau mulai menulis lagi?”
“Aku sendiri tak tahu apa yang aku tulis. Pikiranku sedikit kacau..”
“Olahragalah.. kau harus benar-benar sehat jika mau berangkat denganku. Oh ya, adikku besok akan datang langsung ke sini. Ia akan dijemput Ahmed di bandara. Kau bisa menemaninya sebentar selama aku masih bekerja..”
“Berapa umurnya sekarang?”
“Sekitar 20 tahun, aku sendiri agak lupa tahun berapa ia lahir..”
Lenny mengangguk. Ia tak begitu mengenal keluarga sang suami karena hanya sempat bertemu beberapa kali saja.
Ia mengenal sang suami saat bekerja di perpustakaan kampus. Saat itu Ray sedang menyelesaikan gelar doktornya. Hanya kenalan beberapa bulan saja lalu diajak menikah. Ia berhenti bekerja karena mengikuti sang suami bekerja di proyek Mars Life. Mereka sudah sepakat tidak memikirkan tentang anak terlebih dulu. Pertimbangannya adalah karena Ray ingin mengajak istrinya untuk pergi ke Mars.
Awalnya Lenny senang sekali saat akan diajak pergi ke luar angkasa. Ia juga tertarik dengan astronomi. Namun menjadi penjelajah antariksa sepertinya bukan pekerjaan yang mudah. Pergi ke luar angkasa bukan seperti pergi dengan kapal pesiar lalu tinggal di resor, memakai pakaian santai dan bersenang-senang.
Selama berada di kota Martian buatan itu ia jadi sulit tidur, seperti pikirannya selalu di awang-awang. Padahal banyak fasilitas canggih yang disiapkan di tempat itu, tapi dirinya mulai bosan setelah mencoba semuanya.
Haris melangkahkan kaki dengan gugup. Baru kali ini ia berangkat sendirian ke luar negeri. Ahmed mengantarkannya masuk ke Martian Science City. Tak sembarang orang bisa masuk ke dalam.
Ia tertegun melihat kota buatan itu. Terbangun di dalam kubah besar dengan tanah seperti padang pasir. Di luar juga sama padang pasir, tapi ini sedikit berbeda.
“Haris!” Lenny tersenyum.
Haris senang akhirnya bisa melihat orang yang ia kenal. Meski mereka juga tak begitu dekat.
“Tante Lenny,” ia mencium tangan Lenny.
“Ayo, kuantar ke hunian kami.”
Lenny menyajikan beberapa kue dan es Americano untuk Haris.
“Kata Ray kau suka es Americano..”
Haris tersenyum, ia memang menyukai minuman itu. Tapi sebenarnya ia ingin mencoba minuman yang berbeda jika pergi ke tempat lain.
“Mas Ray sedang bekerja? Dia benar-benar yang merancang rumah di Mars?” tanya Haris.
“Ya, beberapa hunian di sana menggunakan rancangan milik tim yang diketuai Ray. Bahkan ada rumah yang ia miliki sendiri. Kau tahu kan, ia sempat mengajak ayah untuk ikut ke Mars.”
“Hmm.. aku mendengarnya, ayah menolak. Ayah sudah tua, ia tak suka hal-hal seperti itu.”
“Aku paham. Ray juga tak memaksa, ia hanya ingin membuat rumah impiannya di Mars.”
“Kakak selalu ingin rumah yang bagus sejak kecil. Ada banyak gambar rumah yang ia buat saat masih remaja. Itu masih tersimpan di rumah, ayah yang menyimpannya.”
“Ia kecewa saat ayah menolak rancangan rumah dan meminta dibuatkan arsitek lain,” kata Lenny.
“Ah.. ya, ayah bilang tak suka dengan rancangan yang terlalu aneh dan futuristik. Ia ingin Mas Ray merancang untuk rumahnya sendiri, dari dulu ia tinggal di apartemen kan.”
“Ya, sejak terlibat di proyek Mars, impiannya jadi punya rumah di Mars. Ia menggunakan uang hadiah kompetisi untuk membeli tanah di planet lain… terdengar aneh kan?”
Ray membuka pintu. Haris menyambutnya dengan segera berdiri. Mereka berpelukan, Ray menepuk-nepuk punggung adiknya itu. Haris sekarang terlihat lebih tinggi dari Ray, tapi mereka memiliki fitur wajah yang mirip.
“Lama tak bertemu.. kau semakin besar saja,” kata Ray.
“Rambutmu memutih?” tanya Haris tiba-tiba.
“Ah ini, sejak usia 20an ini sudah mulai muncul satu-satu di kepalaku..”
“Bagaimana kuliahmu? Ayah dan ibu sehat?” tanya Ray. Dua pertanyaan langsung.
“Kuliahku berjalan lancar, nilainya lumayan walau tak sebagus kakak hehe… Ayah akhir-akhir ini sering pusing, darah tinggi. Ibu alhamdulillah sehat.”
Ray baru sadar ayahnya mulai menua. Sudah pasti kesehatannya menurun.
“Kalau kau kuajak sendirian ke Mars tanpa ayah, apa kau mau?”
“Aku masih takut meninggalkan bumi.. hehe,” jawab Haris.
“Tapi sekarang kau bisa merasakan seperti tinggal di Mars. Bagaimana menurutmu Kota Martian-C?”
“Bagus.. menawan, rasanya tak seperti di Indonesia. Ah iya ini memang ada di Timur Tengah.”
“Haha, ya memang Mars seperti padang pasir.”
“Ada titipan dari ayah dan ibu,” Haris mengeluarkan beberapa barang dari tasnya. Semuanya terbungkus seperti paket. Isinya bukan benda-benda mahal tapi barang kenangan milik Ray. Ada sebuah buku sketsa yang berisi gambar-gambar Ray saat masih muda. Gambar yang sebagian besar bertema rumah.
4
Mars, Sol 161.
“Terima kasih sudah membantu,” ujar Hannah, ahli botani asal Jerman.
“Ya, sekarang aliran airnya sudah bekerja,” kata Ray. Ia menarik napas lega. Pekerjaannya sebagai satu-satunya arsitek di sana membuatnya menjadi mengurusi banyak hal, salah satunya membantu orang lain memperbaiki pipa air di rumah mereka.
“Kau tak mau minum dulu?” tanya Jonas, suami Hannah yang seorang pebisnis kaya raya.
“Tak usah, terima kasih. Aku akan pulang dulu.”
Saat sampai di dekat pintu, Ray berbalik lagi.
“Aku dengar Hannah sedang hamil?”
“Ya, anak kami akan jadi yang pertama lahir di sini.” Senyum lebar terlihat di wajah Jonas.
“Selamat,” ujar Ray.
Mereka sudah tahu konsekuensi memiliki anak yang lahir di Mars. Namun sepertinya mereka cukup tertantang untuk mendapatkan anak itu. Ada beberapa masalah kesehatan yang mungkin bisa dihadapi anak mereka kelak tapi sepertinya sudah dipersiapkan. Pihak Mars Life juga sangat mendukung anak pertama yang lahir di Mars, sebagai bahan penelitian.
Mobil kecil Ray melewati jalanan berbatu, di bawah langit yang semakin berwarna ungu. Tak lama, ia sudah sampai ke rumahnya yang berbentuk menjulang. Sebuah bangunan yang terbuat dari batuan Mars yang diekstrak menjadi serat basalt. Bangunan itu dikerjakan secara otonomi oleh robot sesuai dengan desain yang diprogram.
Di Mars, orang-orang tinggal di habitat khusus, rumah-rumah yang bisa melindungi dari badai, radiasi, dan udara yang terlalu dingin. Rumah yang dirancang oleh Ray.
Ray membuka baju astronautnya saat sudah berada di dalam rumahnya. Rumah di Mars.
Di depannya ada beberapa tanaman yang berjejer vertikal. Daun-daun yang hijau sedikit kecoklatan, daun tanaman bumi. Ia lalu melangkah melewati tangga tanpa pegangan. Tanaman-tanaman hijau itu seakan memutarinya.
Ray mencari istrinya, seperti biasa. Pulang lalu mencari sang istri.
Lenny sebenarnya tak ada di rumah itu. Ia berada di bumi, tapi mereka berkomunikasi setiap hari. Walau sering delay dan tak tepat waktu tapi semuanya berjalan cukup baik.
“Bagaimana bayi kita?” tanya Ray lewat pesan teks.
“Baik, aku baru membawanya imunisasi ke dokter,” Lenny membalas.
“Kau tak perlu khawatir, anak kita tumbuh dengan baik dan sehat. Anak kita akan bangga padamu.”
Mereka sebenarnya sudah sepakat untuk tidak memiliki anak. Tapi saat itu semuanya tak terduga, sampai akhirnya Lenny diketahui hamil. Ia pun akhirnya tak bisa mengikuti Ray untuk pergi ke Mars. Saat itu Ray merasa bersalah karena seharusnya mereka tak berhubungan badan tanpa pengaman.
Ray menutup komunikasi dengan istrinya. Sebelumnya ia mengirim beberapa foto Mars pada sang istri.
Peringatan badai muncul. Ray melihat ke arah jendela yang memanjang. Tak lama, debu-debu mulai beterbangan memenuhi pemandangan jendela. Ia melihat beberapa orang masih berusaha masuk ke dalam rumah.
“Peringatannya harusnya lebih dini,” ujar Ray.
Ia pergi masuk ke dalam kamar tidurnya. Membaringkan tubuhnya sambil menyalakan laptop. Ia sedang merancang rumah lagi. Kali ini rumah di Bumi, untuk Lenny dan anaknya.
Bukan desain rumah yang canggih, tapi rumah keluarga biasa yang cocok dengan iklim tropis di Indonesia. Itu yang kali ini ia pikirkan. Sebuah rumah yang harus nyaman dan hangat untuk keluarga kecilnya tapi tetap harus ramah lingkungan.
“Tunggulah, aku akan segera pulang.” Ray tertegun setelah mengucapkannya. Kata ‘segera’ sepertinya tak cocok karena masih menunggu ribuan Sol lagi, beberapa tahun lagi.
Ray berencana pulang 5 tahun lagi, tak bisa lebih cepat. Ia tak ingin melewatkan saat anaknya masuk sekolah. Sebelumnya ia berencana tinggal di Mars selama 10 tahun, sekarang ia kurangi menjadi lima tahun saja.
Malam terasa cukup dingin di luar. Tapi manusia-manusia terlindungi di dalam habitat istimewa, rumah yang nyaman. Segala yang awalnya tak mungkin bisa menjadi mungkin karena ilmu pengetahuan.
Ray mematikan laptopnya dan mulai memejamkan mata. Ia tidur dengan nyaman, di rumah yang ia rancang sendiri.
“Selamat malam Mars.”
Sebuah foto duduk di meja dekat tempat tidurnya, foto sang istri yang menggendong bayi. Bayi yang diberi nama Mars.
Description: Nama: Nila
Media sosial: instagram @cerpen101
“Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #DreamJob 2020.”
|
Title: Retta
Category: Teenlit
Text:
Teori Bahagia Retta
Perjalanan hidup seorang manusia tak selalu seperti apa yang diingini. Kadang membosankan, kadang juga menyedihkan lalu tanpa diduga bahagia datang. Tak ada prediksi pasti akan hidup manusia dalam beberapa detik kedepan. Perihal bahagia, hati yang menciptakan. Ingin atau tidak itu kembali pada diri masing-masing. Bahagia tidak harus dicari dengan pergi jauh, tapi bahagia sangat dekat.
Mengucapkan jauh lebih mudah dibandingkan melakukan. Retta faham betul akan hal itu. Sudah sangat banyak buku-buku, motivator berbicara tentang bahagia. Terdengar mudah, tapi prakteknya?
Retta tidak menceramahi mereka yang bersedih, setidaknya untuk saat ini. Gadis berambut panjang itu juga tidak menanyakan alasan mengapa mereka bersedih. Seperti hari ini dia tengah duduk di bangku taman dekat danau.
Sudah dua jam lebih menemani teman sekelasnya, Anita. "Lo beruntung," lirih Anita. Retta menoleh menunggu kalimat selanjutnya. "Cantik, pintar, punya keluarga yang sayang sama lo. Gak kayak gue, sendirian."
Retta tersenyum tipis. Kakinya dia mainkan, menyapu rumput. "Kata siapa lo sendiri? Lo gak lihat dari pulang sekolah gue nemenin lo?" Katanya dengan nada bercanda, tapi juga serius.
"Bukan itu maksud maksud gue,Ta... Lo ngerti kan?"
"Iya gue ngerti," Retta diam mengamati wajah Anita dari samping. "Lo laper gak? Gue laper nih."
"Suruh siapa nemenin gue di sini?"
"Gak ada yang nyuruh sih, tapi pengen aja." Retta berdiri dari duduknya menarik lengan Anita untuk ikut serta bersamanya. Gadis itu mengapit tangan Anita, mesra.
"Ta! Risih ih, geli gue." Ujar Anita berusaha menjauhkan teman sebangkunya itu.
Retta terkekeh, tapi tak berniat melepaskan Anita dari sisinya. Tanpa merasa malu Retta justru menyandarkan kepalanya di pundak Anita tetap dengan kedua tangannya yang mengapit lengan Anita.
Anita yang geli masih berusaha menjauhkan Retta. "Eh! Gue masih normal ya, gak sudi gue mesra-mesraan sama makhluk sejenis."
"Ahahaha.. Gue suka, gimana dong?" Balas Retta dengan wajah jenaka.
Anita menyentil dahi Retta, lalu keduanya tertawa.
Bagi Retta membuat nyaman seseorang lebih dahulu dengannya adalah hal penting. Setelahnya buat mereka percaya, maka tak akan sulit untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengapa mereka bersedih.
Retta mengenal Anita sudah tiga tahun. Anita lebih tertutup dalam segala hal dan Retta tak pernah memaksa Anita untuk menceritakan masalah padanya. Retta menunggu sambil tetap memperhatikan.
Dan Anita bersyukur mempunyai Retta. Gadis jenaka itu mampu membuatnya tertawa. Retta benar bahwa dia tidak sendiri.
***
"Retta anak cantiknya Mia dan Pia pulang!" Teriak Retta begitu masuk ke rumah. Dari dalam seorang wanita datang menyambutnya.
"Duh, sore banget pulangnya," Marina menghampiri putrinya, mencium kedua pipi Retta yang berisi. "Bau asem."
"Tapi, tetep cantik."
"Tapi, jomblo!" Seru Damar yang baru keluar dari kamarnya seraya melangkah menuju dapur.
Retta cemberut, lalu menghampiri abangnya menuju dapur. Marina mengekor di belakang anak-anaknya.
"Retta bawa bakso, mau?"
Damar langsung berbalik menatap Retta. "Mana?" Tanyanya semangat. Bakso adalah favoritnya.
Retta mengangkat tangan kanannya, menyelipkannya pada ketiak kirinya. "Ini, tapi cukanya doang." katanya kemudian lalu membekap mulut Damar dengan tangan kanannya yang sudah diracik dengan aroma ketiaknya. Gadis itu tertawa melihat abangnya yang gelagapan menerima serangan mendadak darinya.
"Jorok!" Damar bersingut kesal dengan kelakuan adiknya itu, tapi juga gemas. Dia mengacak-acak rambut panjang Retta.
Sementara Marina terkekeh geli melihat tingkah keduanya. Marina menyiapkan dua gelas jus untuk anak-anaknya. "Retta, ini jus sayang."
"Makasih, Mia." Retta langsung menerima dan meneguknya hingga tandas. Terlihat sekali gadis itu kehausan.
"Abang proposalnya sudah selesai?" tanya Marina seraya memberikan segelas jus untuk putra sulungnya.
Damar menerima dengan senyum. "Belum di Acc, dosennya lagi pulang kampung."
Retta menarik stool kayu untuknya duduk menyimak percakapan antara abang dan ibunya yang masih berdiri di depan pantry. Dari yang dilihatnya, Damar nampak kesal karena beberapa tugas kampusnya termasuk soal dosen pembimbingnya yang belum kembali dari kampung halamannya.
"Udah abang hubungi, tapi gak aktif terus."
"Mungkin di sana susah sinyal bang." ucap Retta menimpali.
"Kurang tahu juga sih."
Marina mengusap pundak putranya. "Sabar, sambil menunggu dosennya pulang, lebih baik abang bantuin Mia berkebun."
Retta tertawa. "Ide bagus Mia, suruh sekalian tuh abang tanemin toge buat tugas biologi Retta."
"Tanem sendiri!"
Mata Retta menyipit mengamati guratan halus di wajah Damar. "Pantesan banyak kerutan, hobinya ngambek sih. Nih ya bang, cari hobi tuh yang bikin happy. Jangan jadiin marah, benci, nyinyir sebagai hobi. Ganti deh hobinya."
"Ngomong apa sih bocah?" Damar menghampiri Retta menjatuhkan pantatnya pada meja pantry.
"Ngomongin how to see happiness."
Kali ini Damar menatap serius pada adiknya. Marina juga menyimak. "Seperti apa bahagia itu?"
"Here," kata Retta menunjuk hatinya. "Bahagai adalah kemampuan diri untuk melihat hal-hal kecil dan sederhana menjadi sesuatu yang istimewa, yang mampu membuat kita mengulas senyum dan bersyukur."
Irash Adiswara
Bab 2
Irash Adiswara
“La la la aku senang selalu setiap hari..” sepenggal lirik lagu kartun yang diubah sembarangan oleh Retta berhasil menarik perhatian ayahnya, Danu. Lelaki berkepala empat itu tengah menikmati kopinya di ruang tamu. Retta bernyanyi saat menuruni anak tangga. Langah kakinya riang diminggu pagi yang cerah, secerah senyumnya.
“Pia gak ke kantor?” tanya Retta lalu ikut bergabung bersama ayahnya. Gadis itu kemudian mengambil cookies yang tersaji di atas piring dan memakannya nikmat.
“Hari minggu, sayang.” Jawab Danu membelai rambut panjang putri bungsunya.
“Oh iya, lupa.”
Retta mengamati sekelilingnya. Sepi. “Mia sama abang mana?”
“Mia lagi mandi, kalau abang di dapur lagi buat sarapan.”
Mendengar itu Retta langsung beranjak sambil memasukan potongan sisa cookies ke mulutnya. Dia ke dapur untuk melihat atau memakan apa yang Damar masak. Di dapur Damar terlihat mempesona dengan affron hitam melekat di tubuhnya, tapi pandangan Retta bukan tertuju pada abangnya itu. Dia lebih tertarik dengan udang goreng tepung yang sudah tersaji di atas meja pantry siap dipindahkan ke meja makan. Sayangnya belum juga tangan Retta berhasil mengambil incarannya, Damar menepuk tangannya pelan. Melarang Retta mengambilnya.
“Nanti dulu.” Kata Damar dengan gelengan kepala sebagai tanda tidak memberi izin pada adiknya itu.
“Pelit,” Retta bersingut. Gadis itu mencari sesuatu yang lainnya. Dia tahu Damar tidak akan mungkin memasak satu jenis makanan saja. Mata Retta berbinar ketika melihat ayam goreng yang masih berada di tempat penerisan minyak. Dia mengambilnya dengan cepat. “Aduh panas!” serunya.
“Makanya kalau dibilang nanti ya nanti. Itu baru banget diangkat.”
Tapi, yang namanya Retta tetaplah Retta. Gadis itu tetap mengambil paha ayam goreng meletakannya ke piring tanpa nasi. Dengan tenang Retta duduk di meja makan, sedangkan Damar masih sibuk membuat makanan lainnya. Dia hanya bisa tersenyum simpul melihat kelakuan Retta.
“Abang kuliah jurusan tehnik elektro tapi, kok bisa masak?” tanya Retta sembari menikmati ayam goreng buatan Damar.
Damar tersenyum menampilkan lesung pipinya. “Mungkin karena Mia seorang chef. Dari kecil udah biasa juga di dapur sama Mia.”
“Tapi, aku gak bisa masak.”
“Ya itu karena kalau kamu di dapur cuma buat makan aja, bukan bantuin masak.”
Ayam goreng di piringnya sudah tinggal tulang. Menyisakan minyak di kedua tangannya, Retta masih belum kenyang. Dia mengambil dua dadar gulung dan satu ayam lagi. Damar sudah tidak bisa melarang adik manisnya itu. Retta jarang sekali makan nasi, gadis itu lebih suka makan lauknya saja.
“Selama jadi anak Mia sama Pia, abang pernah enggak merasa enggak bahagia?” Retta kembali bertanya tetap sambil makan. Dia ingin tahu saja apa yang ada dipikiran Damar mengenai orang tua mereka.
“Abang selalu bahagia. Mia sama Pia menjaga, menyayangi anak-anaknya dengan sangat baik. Mereka orang tua terbaik di dunia.” Jawab Damar menyelesaikan kegiatan memasaknya. Dia mengambil makanan yang sudah siap dari meja pantry dan memindahkannya ke meja makan. Damar tersenyum bangga karena memiliki orang tua seperti Danu dan Marina. Orang tua yang dia panggil Mia dan Pia, karena ketika kecil dia kesulitan menyebut Mami dan Papi. Hasilnya sekarang sang adik juga menyebut mereka dengan panggilan Mia dan Pia.
Retta kecil pernah bertanya tentang sejarah panggilan Mia dan Pia yang abangnya ucapkan. Marina dengan sabar menjelaskan perihal kesulitan Damar dalam mengeja. Retta hanya mengangguk kecil sebagai tanda bahwa dia mengerti Damar pengidap disleksia.
“Udah kenyang, Retta mau ke toko buku. Abang mau titip sesuatu?”
“Pakai piama gitu?”
“Ih, sekarang udah gak aneh orang ke Mall pake piama.”
Damar hanya menggelengkan kepalanya. Menurutnya Retta itu ajaib. Keajaiban yang tidak boleh disia-siakan. Kadang juga Retta bisa manja dan menyebalkan, tapi Damar begitu bangga pada adiknya itu. Setalah Marina, Retta adalah permpuan yang dia sayang dan tidak pernah ingin menyakiti mereka. Rasa sayangnya selalu ditunjukkan dengan tidak pernah mengecewakan mereka.
Retta berlalu mengabaikan Damar. Gadis itu punya janji dengan temannya untuk ke toko buku, karena penulis novel favorit mereka seminggu yang lalu baru saja menerbitakan karya terbarunya. Tentu saja bagi Retta itu adalah hal yang menyenangkan. Membaca buku bukan lagi menjadi sekedar hobi, tapi juga kebutuhan. Minimal setiap bulannya Retta menyelesaikan tiga sampai lima buku. Tergantung dari jenis buku apa yang dibacanya.
“Ta, kamu sakit?” tanya sang ayah menilik penampilan putrinya ketika melihat Retta yang akan keluar rumah dengan piama.
“Sehat, Pia,” Retta terkekeh melihat ekspresi ayahnya. “Ini tuh pernah in tahun kemarin.”
“Jangan minta Pia anterin kamu ya. Pia masih waras.”
“Ahahaha… Pia lebay, aku pamit. Salam ke Mia kalau mandi jangan lama-lama, air mahal.”
Danu terkekeh, lalu mengusap puncak kepala puterinya saat Retta menunduk untuk menyalaminya.
@@@
Anita bercak pinggang di lobi Mall begitu dia melihat Retta datang. Bahkan Anita menepuk keningnya karena piama yang Retta kenakan. “Ampun deh! Gak ada yang lebih bagus dikit apa, Ta bajunya?”
“Lo gak lihat berita kalau artis-artis juga keluyuran pake piama?”
“Iya Ta, tapi piama yang mereka pakai itu piama bagus, bukan piama lusuh gambar doraemon terus celananya motif bunga-bunga kek punya lo ini.” Tutur Anita kesal sambil menunjuk-nunjuk piama kesayangan Retta.
“Anita ngomel itu gak baik buat kesehatan, ayo mendingan kita belanja aja.”
“Malu gue, malu.” Keluh Anita yang mendapat sambutan tawa dari Retta. Gadis itu benar-benar tidak peduli dengan penampilannya, juga tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang memperhatikannya.
Sesaat sebelum masuk ke toko buku Retta berkata. “Gue ke toilet dulu ya, Nit.”
“Sana, yang lama gak usah balik sekalian.”
Retta tersenyum meninggalkan Anita yang lebih dahulu masuk ke toko buku. Di dalam toilet cukup sepi. Ada dua orang ibu-ibu yang berdandan di depan cermin sambil tertawa, lalu berhenti sesaat ketika melihat Retta masuk. Kedua ibu-ibu itu menelik penampilan Retta dari ujung kaki sampai kepala. Satu yang terlintas dalam benak mereka. Retta bukan tipe menantu idaman mereka. Retta mengabaikan masuk ke dalam bilik dengan santai. Ponselnya tiba-tiba saja bergetar menampilkan popup pesan dari ibunya.
Mia : Selesai beli buku langsung pulang ya, Ada yang Mia mau bicarakan. Penting.
Retta : oke
Kembali menyimpan ponselnya, lalu melakuan apa yang menjadi hajatnya masuk ke toilet. Lima menit cukup bagi Retta untuk menyelesaikan semuanya. Retta segera keluar dan menghampiri Anita yang sudah menunggunya di toko buku. Gadis berwajah dingin itu sudah mendapatkan buku yang diinginkannya, tapi matanya masih mencari-cari buku lainnya yang sekiranya menarik.
“Nit, kayaknya gak jadi nonton deh. Tadi Mia nge-Wa, minta gue langsung pulang habis beli buku.”
“Gak apa-apa lo mau balik sekarang juga. Lama-lama gue malu jalan sama lo.” Balas Anita tanpa melihat Retta yang terkekeh geli.
Retta mendekatkan dirinya merangkul pundak Anita yang langsung menatapnya jijik. Tangan Retta ditepis kasar oleh Anita, tapi itu tidak sedikitpun menyinggung perasan Retta. “Sorry gue gak bisa nemenin lama-lama.”
“Gue kan udah bilang gak apa-apa Retta Ayyana Idzhar.” Balas Anita cuek.
“Ahaha… gemes gue tuh sama judesnya lo.” Ucap Retta mencubit pelan pipi Anita.
“Jijik ih!”
Retta mengambil novel yang diinginkannya, dan buku bacaan lainnya. “Gue udah dapet bukunya, gue bayar dulu ya. Terus mau langsung balik, lo baik-baik di sini. Jangan kangen sama gue.” Kata Retta searaya mengibaskan rambut panjangnya.
“Buruan sana balik!”
“Iya Anita, daah.” Retta segera ke kasir memabayar bukunya. Sebelum keluar dia melirik Anita sesaat. Sahabatnya itu sedang asyik dengan deretan buku-buku pada rak dengan papan bertulikan novel.
Sebenarnya tak enak hati harus meninggalkan Anita. Sebab sebelumnya dia sudah berjanji akan menghabiskan hari libur sekolahnya bersama Anita, tapi ibunya lebih penting.Dengan menggunakan taxi online Retta menuju rumahnya. Perlu lima belas menit untuk sampai. Gadis itu bergegas turun setelah membayar ongkosnya.
“Retta pulang!”
Seperti biasa Marina datang menyambutnya. Wanita itu menyipitkan matanya menatap penampilan Retta. “Kamu ke Mall pakai pakaian ini?”
“Hehe, iya. Lucukan?”
“Ada-ada aja kamu ini. Ayo Mia mau kenalin kamu sama seseorang.”
“Mia gak bermaksud jodohin Retta, kan?” tanya Retta mengikuti langkah Marina menuju ruang keluarga.
“Apaan sih kamu, Mia cuma mau ngenalin aja.”
Marina membawa Retta ke ruang keluarga. Di sana ada Danu dan seorang lelaki yang tidak Retta kenal. Retta mengamati lelaki itu, masih muda dan tampan. Sepertinya usai lelaki itu tidak terpaut jauh dengannya. Atau bisa jadi mereka seusia.
“Nah, Irash ini Retta anak bungsu tante. Retta, dia Irash anak dari sahabat Mia. Dia akan tinggal di sini.”
Baik Retta maupun Irash sama-sama diam saling berpandangan. Retta merasakan tatapan dingin dari Irash. Dengan senyuman Retta mengulurkan tangannya lebih dahulu. “Hai! Aku Retta.”
“Irash.” Balas Irash menyambut uluran tangan Retta. Hanya sesaat.
“Duduk sini, sayang.” Pinta Danu pada Retta untuk duduk di sebelahnya. Marina juga ikut duduk.
Retta menurut. Dia menatap ayahnya penuh tanya. “Jadi?”
“Orang tua Irash baru meninggal dua hari yang lalu, di Jakarta Irash tidak punya siapa-siapa. Sebelum meninggal mendiang orang tuanya menitipkan Irash pada Pia dan Mia. Kamu gak keberatan kan?”
“Enggak, lagi pula di rumah kita banyak kamar kosong.”
“Dan… Irash juga akan sekolah di tempat yang sama dengan kamu.”
“Aduh!” seru Retta menepuk jidatnya.
“Aduh kenapa?” tanya Marina bingung.
“Dia ganteng banget, udah gitu cool lagi. Cewek-cewek genit di sekolah pasti pada kegirangan. Nanti Retta yang setres.”
Danu tertawa begitu juga dengan Marina. Irash hanya diam meski sempat mengulum senyum saat Retta terang-terangan memujinya. “Pia sudah daftarin Irash lusa kemarin, besok kalian berangkat bersama, tapi Pia gak bisa antar.”
Retta mendesah memikirkan nasibnya setelah ini. Teman-temannya pasti akan bertanya banyak hal tentang Irash padanya. Meski begitu dia tetap memasang senyuman, menunjukan rasa bahwa dia tidak keberatan sama sekali. Memang tidak, Retta tak pernah menganggap beban apapun yang ada dalam hidupnya.
“Irash sudah punya SIM?” tanya Marina.
“Udah tante.”
“Kalau gitu besok kamu yang bawa mobilnya, mau?”
Irash mengangguk sopan.
“Nah, kalau gitu sekarang Retta antar Irash ke kamarnya. Di sebelah kamar kamu.” Pinta Marina.
“Oke, yuk.” Ajak Retta. Gadis itu melangkah menaiki anak tangga yang diikuti Irash yang membawa koper dan ransel di punggungnya. Retta nampak tak ingin membantu Irash sama sekali. Dengan cueknya dia melangkah. “Ini kamar kamu,” ucap Retta membukkan pintu untuk Irash. “Di sebelah kamar aku. Kalau yang di ujung perpustakaan, ada alat musik juga kalau kamu suka.”
“Terimakasih.” Ucap Irash seraya masuk ke kamarnya. Terasa berat menginjakkan kaki di tempat asing seperti saat ini. Kamar barunya terlalu besar, membuat ia merasa semakin sepi. Tapi, tak ada pilihan lain. Setidaknya keluarga mendiang sahabat ibunya adalah orang-orang baik.
“Kenapa?” tanya Irash saat menyadari Retta menatapnya lekat.
“Kamu pakai softlens?”
“Hmm.”
“Minus?”
Irash menggeleng tapi, juga tak berniat untuk menjelaskan alasannya menggunakan soflens pada Retta.Mengerti ekspresi yang Irash tampilkan, Retta memilih untuk membiarkan lelaki itu sendiri.
“Oke kalau gitu aku keluar dulu. Kalau perlu sesuatu ketuk aja pintu kamar aku. Jangan sungkan.”
Lalu begitu Retta keluar dan menutup pintu kamar Irash, dia baru menyadari sesuatu. “Aku-kamu? Sejak kapan seorang Retta sok akrab dengan sapaan itu?” katanya pada diri sendiri kemudian masuk ke kamarnya sendiri.
***
Eyes
Bab 3
Eyes
Ada alunan merdu yang menyapa indra pendengarannya. Irash membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan penglihatannya. Suara merdu itu kembali terdengar. Lagu Epilogue milik Keaton Henson kembali mengalun. Salah satu penyanyi folk indie asal Inggris adalah penyanyi favorit Irash. Dengan terus mendengarkan, Irash bangun dari tidurnya. Dia melangkah untuk membuka pintu kamarnya, melangkah mengikuti sumber suara. Kakinya berhenti tepat di depan pintu kamar Retta. Dia diam mendengarkan Retta bernyanyi dari depan pintu kamar gadis itu. Rasanya hampir mustahil remaja seperti Retta tahu lagu Keaton Henson. Kalau dilihat dari penampilannya, Retta lebih cenderung mendengarkan K-Pop.
Klek
“Eh? Irash ada apa?” tanya Retta kaget melihat Irash yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
Irash langsung tergagap. Dia mengusap tengkuknya. “Gak.”
Tentu Retta tak langsung percaya begitu saja. Dia meneliti wajah Irash mencari sesuatu di sana, namun hal yang dia lihat adalah sesuatu yang membuatnya takjub hingga memandang mata Irash untuk beberapa saat tanpa berkedip.
“Kenapa?” tanya Irash bingung dengan Retta yang menatapnya lekat. Sampai Retta berdecak barulah dia menyadari apa yang gadis itu lihat.
“Astaga! Mata kamu kenapa bagus banget!” pekik Retta saat melihat warna mata Irash.
Mata kanannya berwarna biru jernih seperti lautan dalam yang namun mampu menghanyutkan siapapun yang menyelaminya dan mata kirinya kecokelatan terasa begitu hangat bagi siapapun yang memandanginya. Tapi, lelaki itu tak menghiraukan kekaguman Retta akan matanya yang mempunyai dua warna berbeda itu. Irash menjauh kembali ke kamarnya. Sedangkan karena rasa penasarannya Retta mengikuti Irash sampai lupa dengan tujuannya keluar dari kamarnya. Mencari dasinya.
“Itu warna asli mata kamu, bukan softlens kan?” tanya Retta begitu masuk ke kamar Irash.
Seakan tak mendengar pertanyaan Retta, Irash memilih untuk menarik handuknya. Sesaat sebelum masuk kamar mandi dia berkata. “Suara kamu bagus.” Lalu setelahnya mengilang dibalik pintu kamar mandi. Selama beberapa detik Retta berdiri di tempatnya memandangi pintu kamar mandi yang sudah tertutup itu.
“Dasi!” pekik Retta begitu ingat apa yang harus segera didapatnya. Retta segera keluar dari kamar Irash. Langkah kakinya terburu menuruni anak tangga. Seingat dia semalam semuanya sudah ia siapkan tanpa terkecuali.
“Buru-buru amat, Ta.” Ucap Damar yang melihat adiknya begitu tergesa.
“Hari Senin, upacara dan Retta lupa naro dasi dimana?” Retta masuk ke laundry room di belakang rumahnya, dekat dengan dapur. “Bi, dasi Retta enggak ada. Gawat ini.” Katanya pada asisten rumah tangganya.
Bi Warni tertawa renyah. “Kalau gak pakai dasi memangnya kenapa, non?”
“Bisa dijemur sama bendera, terus difoto. Fotonya nanti dipajang di Mading pake tulisan Pelanggar Peraturan Of The Day.” Terang Retta sambil mengaduk-aduk cucian kotor berharap menemukan dasinya di sana.
Bi Warni semakin tertawa tanpa berniat untuk membantu. Tawa bi Warni yang cukup keras mengundang seisi rumah untuk mencari tahu apa yang terjadi di belakang sana.
“Ada apa bi? Ketawanya asyik banget.” Tanya Marina yang berdiri di ambang pintu. Di sebelahnya ada Danu, Damar dan Juga Irash yang baru datang sambil memakai dasinya.
Bi Warni mencoba mengontrol tawanya dan menjelaskan. “Itu bu, non Retta nyari dasi sampai ngacak-ngacak cucian kotor padahal dasinya ada di atas kepala.”
Sesaat mereka diam memandang Retta yang menghentikan gerakannya mengacak-acak cucian kotor. Detik berikutnya mereka kompak tertawa. Retta cemberut menyadari kebodohanyan sendiri. Sedari tadi sibuk mencari dasinya, padahal dasi abu-abu ada di atas kepalanya.
“Ahahaha.” Tawa Damar-lah yang paling keras. “Abang masih gak percaya kalau kamu juara umum, ahaha.”
Danu dan Marina sudah meredakan tawa mereka. Apalagi sekarang melihat Retta cemberut. Gadis itu melepas dasinya dari atas kepalanya. Retta sempat melirik Irash yang tersenyum simpul. Memalukan.
“Lagian gimana ceritanya sih dasi bisa nyasar ke kepala gitu?” tanya Marina.
Ya..ya.. Retta baru ingat kalau setelah mandi tadi dia menggunakan dasi sekolahnya untuk dijadikan bandana saat dia menggunakan skincare agar rambut panjangnya tidak menghalangi wajahnya.
“Pokoknya pulang sekolah Retta mau beli selusin bandana baru.”
Danu mengusap puncak kepala Retta penuh sayang. “Udah nanti Pia yang belikan, sekarang sarapan sana.”
@@@
Retta duduk di samping Irash yang tengah mengemudi. Harus dia akui bahwa Irash tampan. Pahatan sempurna dari Tuhan. Akan tetap wajah tampan itu tidak menyiratkan kebahagiaan. Mata Irash sudah berubah warna menjadi hitam karena warna aslinya tertutup lensa mata. Padahal menurut Retta warna mata Irash itu indah dan unik.
“Kenapa kamu nutupin warna asli mata kamu?” tanya Retta sudah tak mampu membendung rasa penasarannya.
“Belok kiri apa kanan?” tanya Irash mengalihkan pertanyaan Retta. Terlebih dia memang belum tahu jalan menuju sekolah barunya.
“Kiri,” jawab Retta. “Kamu belum jawab pertanyaan aku, Irash.”
Irash hanya melirik Retta.
“Retta gak butuh lirikan matamu, bang. Retta butuh jawaban pasti.”
Lagi, Irash tak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis. Retta menyerah.
“Tuh sekolahnya, berhenti di sini.” Pinta Retta.
“Kenapa? Kan sekolahnya masih di depan.”
“Bisa jadi gosip.”
Tapi, Irash tak mengindahkan permintaan Retta. Sedan hitam itu terus melaju hingga memasuki pelataran parkir sekolah. “Antar aku ke tata usaha ya.” Pinta Retta.
“Iya.”
Keduanya turun dari mobil. Benar dugaan Retta bahwa Irash seperti magnet yang mampu menarik siapapun ke arahnya. Meski dia tidak tebar pesona bahkan cenderung menutupi wajahnya dengan menunduk, tapi mata gadis-gadis di sekolah barunya lebih tajam, lebih bisa membedakan mana wajah yang tampan dan mana wajah standar. Kehadiran Irash mungkin akan menggeser beberapa daftar nama yang masuk kedalam most wanted sekolah.
“Ta, siapa?” tanya salah satu teman Retta yang berjalan bersama gerombolan siswa lainnya.
“Senior baru.”
“Siapa namanya?”
“Kenalan aja sendiri. Ada orangnya.”
Tanpa di duga Irash justru menarik lengan Retta agar gadis itu berjalan dengan cepat. Irash sudah tak nyaman dengan keramaian di sekitarnya. Langkah kakinya cepat melupakan gadis yang berjalan di belakangnya.
Retta kewalahan mengikuti langkah Irash. “Kita mau kemana sih?”
“Tata usaha.”
“Salah jalan bang!”
Langkah kaki Irash terhenti. Dia menatap Retta yang tersenyum padanya.
“Sebelah mana?”
“Makanya anak baru tuh jangan sok tahu. Nurut sama penghuni lama sekolah.”
Kali ini Retta yang memimpin langkah. Irash sedikitpun tak tertarik dengan sekelilingnya. Dia terus berjalan mengikuti Retta. Beberapa siswi berbisik-bisik membicarakannya. Ini adalah hal yang paling Irash tidak sukai. Lingkungan baru. Orang-orang baru dan adaptasi.
“Nah! Ini ruangan tata usaha. Kamu bisa sendiri, kan?”
“Hmm.”
Retta tersenyum. Sebelum pergi dia mengatakan sesuatu pada Irash. “Warna mata asli kamu lebih bagus dari softlens itu.”
Tak menanggapi ucapan Retta, Irash masuk ke ruang tata usaha. Kehadirannya sudah ditunggu oleh bu Anjani. Wanita cantik dengan rambut digelung rapi itu mempersilahkan Irash duduk. Menjelaskan beberapa hal tentang sekolah pada Irash sebelum mengajak Irash ke kelas barunya. Lelaki itu baru menyadari kalau Retta adik kelasnya.
“Kalau kelas dua belas gedung di sebelah utara. Setiap gedung punya kantin masing-masing. Kelas kamu ada di lantai tiga.”
Bu Anjani menjelaskan dengan baik tata letak setiap gedung. Irash menyimak dengan baik. “Oke Irash, ini kelas kamu. Dua menit lagi upacara,” Bu Anjani memanggil salah satu muridnya. “Reno sini sebentar.”
“Iya bu ada apa?”
“Ini Irash teman baru kamu, ajak dia kenalan ya dengan yang lain.”
“Syiaaaap bu!”
“Ibu tinggal ya.”
Irash dengan di temani Reno berkenalan secara singkat dengan teman-temannya sebab bel tanda ucapara bendera sudah dimulai. Para siswa-siswi mulai membentuk barisan rapi berdasarkan kelas, bersiap untuk memulai upacara bendera.
@@@
Matahari sudah bergerak ke arah timur. Waktu menunjukkan pukul Empat sore kurang sepuluh menit. Retta sudah keluar dari kelasnya sejak lima belas menit yang lalu tapi, Irash belum keluar dari kelasnya. Tetap setia menunggu Irash. Duduk pada sebuah kursi di bawah pohon Mangga. Sampai gadis itu merasa bosan menunggu. Matanya menjelajah seluruh parkiran sekolah. Tak ada yang menarik dalam penglihatannya.
“Sorry lama.”
“Iya, gak apa-apa. Ayo pulang!” Seperti sebuah kebiasaan, Retta merangkul lengan Irash sama seperti yang biasa iya lakukan pada Anita.
“Owh ternyata Irash pacarnya Retta,” ucap Reno yang kebetulan lewat hendak mengambil motornya. “Pantesan cewek-cewek di kelas dicuekin. Tahunya udah punya Retta.”
“Jangan asal….” Retta menelan kembali kalimatnya karena Reno lebih dahulu kembali angkat bicara.
“Asal lo tahu ya, Rash. Retta itu jadi inceran temen-temen seangkatan kita, tapi sayangnya mereka pada gak berani deketin Retta.”
Irash melirik Retta yang sudah melepaskan tangannya. “Kenapa?” tanyanya kemudian pada Reno.
“Minder. Retta pinter, cantik dan tajir melintir. Mana berani mereka.”
“Bukan karena gosip yang pernah santer itu ya, ka?” kali ini Retta yang bertanya.
Reno tahu apa yang Retta maksud. Saat awal Retta masuk SMA Cendrawasih ia digosipkan pernah tidur dengan seseorang dan hamil. Apalagi saat itu Retta pernah tidak masuk kelas hampir satu bulan.
“Hehe.. Kakak kurang tahu soal itu.” Balas Reno kaku.
“Owh ya udah, ayo pulang.” Retta menarik kembali lengan Irash. Sebenarnya dia tidak begitu menyukai Reno. Lelaki yang pernah dia tolak.
Diam-diam Irash memperhatikan perubahan ekspresi Retta, tapi dia menahan diri untuk tidak bertanya. Setidaknya sampai keduanya di dalam mobil. “Kenapa tadi kamu sama Reno?”
“Gak apa-apa.”
Irash tak percaya begitu saja. Dia menelisik raut wajah Retta. “Kamu bohong.”
“Emang.”
“Terus kenapa?”
“Mau tahu kenapa?”
“Hmm.”
“Buka dulu softlens-nya, baru aku kasih tahu.”
Alih-alih menuruti permintaan Retta, Irash justru lebih memilih menyalakan mobilnya. Dia akan langsung diam jika disinggung soal matanya. Walaupun Retta tidak mengatakan matanya buruk.
“Ya kecewa deh gak bisa lihat matanya Irash yang bagus itu.” Retta pura-pura merajuk dengan pipinya yang seperti ikan buntal saat terancam.
“Mata cacat kamu bilang bagus, aneh.” Ucap Irash datar tanpa melihat Retta.
Sedikit kaget dengan penuturan Irash karena menyebut matanya sendiri cacat. “Tuhan gak pernah menciptakan sesuatu yang cacat.”
“Oh ya? Terus kenapa banyak orang terlahir cacat?”
“Karena Tuhan punya cara untuk menyempurnakan mereka yang terlahir ke dunia dalam keadaan kurang dengan sesuatu atau seseorang yang sempurna untuk mereka nantinya,” Retta menjadi kalimatnya sesaat. “Pernah lihat atau dengar seseorang yang tidak mempunyai kaki, tangan tapi bisa berpasangan dengan seorang yang sempurna? Itu salah satu contohnya bahwa ciptaan Tuhan itu gak ada yang cacat.”
“Sayangnya gak semua mendapatkan sesuatu atau seseorang yang sempurna. Apa masih disebut bahwa ciptaan Tuhan gak ada yang cacat?”
Retta mengerutkan keningnya. Ucapan Irash terdengar begitu pesimis dan juga tidak menyetujui apa yang Retta jelaskan padanya. Gadis itu menarik nafas, membuangnya perlahan lalu tersenyum dan berkata. “Semoga mereka yang mempunyai kekurangan fisik lebih dari kamu tidak merasa bahwa Tuhan jahat pada mereka. Semoga mereka menyempurnakan kekurangan mereka dengan percaya bahwa Tuhan sayang pada mereka dan juga kamu.”
Sisa perjalanan menuju rumah dihabiskan dengan diam. Retta tak habis pikir mengapa Irash menganggap mata indahnya adalah sebuah kecacatan. Ah, mendadak Retta menjadi sedih saat mengingat nada bicara Irash yang menyebut maranya sendiri cacat. Diam-diam Retta melirik Irash yang fokus menyetir.
Kamu terluka, Rash.
Belajar Memahami
Bab 4
Belajar Memahami
Jika seluruh definisi bahagia dikumpulkan, maka kantong ajaib milik Doraemon pun tak akan sanggup untuk menampungnya. Masing-masing orang mempunyai definisi sendiri-sendiri tentang bahagia mereka. Tidak bisa memaksa seseorang untuk mengartikan bahagia sama seperti diri kita. Jika bahagia bagi Retta adalah sederhana, maka bagi Irash adalah mustahil. Tak ada orang yang benar-benar bahagia. Retta sudah berdiri di depan kamar Irash. Ragu-ragu antara mau mengetuk atau tidak. Percakapannya dengan Irash sepulang sekolah sore tadi menyisakan ganjalan tak nyaman dalam hatinya.
“Ayo Retta!” ucapnya pada diri sendiri meyakinkan untuk mengetuk pintu berwarna putih itu.
Tok tok
Tak ada balasan. Sekali lagi.
Tok tok
“Irash, Retta boleh masuk?” tanyanya dengan sedikit lantang.
Klek
Pintu dibuka oleh si pemilik kamar. Irash mempersilahkan Retta masuk. Mana mungkin dia melarang sedangkan yang dihuninya adalah rumah Retta. Irash duduk di kursi belajarnya, sedangkan Retta duduk di tepi tempat tidur. Aroma kamarnya sudah berubah menjadi aroma Irash.
“Dua hari yang lalu kamar ini masih wangi Vanila, sekarang udah wangi cowok.” Celetuk Retta yang membaui aroma kamar Irash. Sengaja memang tak langsung mengatakan tujuannya menemui Irash, dia ingin menciptakan rasa nyaman dulu. Sayangnya tak ada respon dari Irash. Sebab lelaki berahang tegas itu tengah mengerjakan tugas sekolahnya.
Dari tempatnya duduk Retta memperhatikan Irash yang memunggunginya. Bahu lebar, tonjolan otot lengan yang mengintip malu-malu dari balik kaos putih pendek yang Irash kenakan. Retta terkekeh sendiri mengingat bagaimana cerita teman sekelasnya yang berimajinasi tentang tubuh atletis seorang lelaki. Mereka sering mengelu-elukan bentuk tubuh lelaki yang seakan-akan sudah dipahat sempurna sebelum terlahir ke dunia. Kalau menurut mereka Irash termasuk kedalam katagori pelukable dan sandarable.
“Ckckckc…” Retta kembali tertawa geli mengingat percakapan konyol dengan teman-temannya di sekolah setiap kali ada jam pelajaran kosong.
Mendengar hal itu tentu saja Irash langsung menyimpan penanya dan berbalik menatap Retta yang membungkuk menahan tawanya. “Waras?” tanya Irash.
“Eh? Aku?”
“Siapa lagi di sini yang ketawa tanpa sebab?”
Retta berdiri. Dia mendekati Irash dan mata Irash bergerak mengikuti Retta. Waspada siapa tahu setelah tertawa aneh seperti beberapa saat yang lalu Retta menerkamnya. Tentu saja yang Irash pikirkan tidak terjadi. Retta menarik ottoman untuknya duduk di dekat Irash.
Kali ini Retta serius. “Maaf soal ucapan aku sore tadi. Aku gak bermaksud nyindir kamu, karena jujur aja aku suka warna mata kamu dan aku gak menganggap itu sebuah kecacatan. Sumpah! Mata kamu beneran bagus.”
Irash bungkam tapi, matanya meneliti Retta yang menunduk. “Kalau gitu lihat aku. Lihat mata aku.”
Apa yang Irash pinta dilakukan oleh Retta. Seakan Irash memberikannya banyak kesempatan untuk membaca apa yang tersirat dari bola mata berbeda warna itu.
Kecewa.
Marah.
Dendam.
Putus asa.
“Kenapa?” tanya Retta lirih untuk memastikan apa yang dilihatnya adalah benar.
“Apapun yang kamu lihat dari mataku adalah sepenuhnya kepunyaanku. Kamu tak perlu tahu alasan dibaliknya.”
“Kamu gak mau bahagia?”
“Untuk apa? Toh setelah bahagia pasti akan kembali terluka. Manusia tak ada yang benar-benar bahagia.”
“Ada. Sekalipun terluka kita yang memaknai bahagia dengan sebenar-benarnya maka, akan tetap merasa bahagia.”
“Kamu ngomong kayak gitu karena dari kecil hidup kamu sudah sempurna.”
Retta menggeleng, tidak membenarkan ucapan Irash. Ingin menimpali ucapan Irash tapi, suara Marina membungkam mulut Retta. Gadis itu langsung berhenti bicara.
“Retta! Irash! Turun nak, makan malam dulu.”
“Iya Mia!” balas Retta. Sebelum beranjak sekali lagi Retta menatap luka dalam sorot mata Irash.
@@@
Selesai makan malam keluarga Danu Idzhar berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi. Biasanya mereka membahas apa yang terjadi selama mereka diluar rumah. Danu membiasakan hal itu agar anak-anaknya tidak menyimpan masalah sendiri. Membiasakan anaknya untuk bercerita. Danu dan Marina sebagai orang tua akan mendengarkan dengan baik dan memberi pengarahan saat dirasa tindakan anak-anaknya salah.
“Mia besok sore arisan di sini, iyakan?” tanya Retta memastikan.
“Iya, ada apa memangnya?”
“Pesen kuenya ke temen Retta aja ya, kasihan dia Mia.”
“Teman Retta memangnya kenapa?”
Retta menceritakan perihal teman sekelasnya yang kesusahan. Retta dan yang lainnya sebenarnya ingin membantu dengan memberikan uang secara langsung, tapi Retta tahu bahwa itu akan menyinggung perasaan temannya itu.
“Ibunya jualan kue basah, tapi kan gak setiap hari dapat untung besar. Sedangkan temen Retta itu punya tiga adik yang masih sekolah.” Jelas Retta.
“Owh kalau gitu Mia pesan kuenya. Nanti Retta bilang ya.”
“Oke!” Retta mengambil ponselnya mengirim pesan pada temannya itu. “Kuenya enak tahu, Mia. Retta pernah nyobain.”
“Oh ya?”
“Kue yang Retta bawa pulang waktu Sabtu kemarin, terus dihabisin sama abang itu.” Retta melirik Damar yang menonton televisi. Pura-pura tak mendengar. Marina dan Danu tersenyum simpul.
“Gimana di sekolah, Rash? Nyaman?” tanya Danu sebelum menyeruput kopinya.
“Lumayan om.” Jawab Irash sopan.
Retta yang semula duduk di bawah kini berpindah, duduk di sisi sang ayah. Ingin menyimak cerita pertama Irash di sekolah. Ada banyak hal yang ingin ia ketahui dari sekedar cerita Irash di sekolah. Retta benar-benar dibuat penasaran oleh Irash hanya karena warna mata lelaki itu.
“Terus bagaimana dengan teman-temannya? Pasti banyak perempuan yang naksir kamu ya?” kali ini Marina yang mengajukan pertanyaan, lebih menjurus menggoda Irash. Hanya saja Irash tidak semudah itu dibuat malu-malu seperti kebanyakan remaja yang sedang jatuh cinta. Dia tetap tenang, ingin menimpali tapi kalah cepat dari Retta.
“Ih Mia, Irash di sekolah itu belajar bukan buat cari pacar.” Jawab Retta mendahului Irash.
“Cemburu kalau Irash dapat pacar di sekolah?” tanya Damar.
Pertanyaan itu langsung membuat Retta menatap sengit pada abangnya. “Cemburu itu cuma bikin sengsara, Retta gak mau kali.”Retta mengibaskan rambut panjangnya ke belakang.
Obrolan mereka terus berlanjut. Membicarakan banyak hal. Danu sesekali memberi nasihat. Bagi Irash baru kali ini dia merasakan sesuatu yang tak pernah dia dapatkan dari keluarganya dulu.Bagaimana bijaksananya Danu menasihati. Tidak merasa paling tua, tidak juga menghakimi. Sampai waktu menunjukan pukul sembilan malam Retta beranjak lebih dahulu. Gadis belia itu tidak bisa tidur larut malam.
“Irash kalau udah ngantuk boleh istirahat.” Ucapa Marina.
Meski tidak mengantuk seperti Retta, Irash tetap beranjak. Lelaki itu mengikuti langkah Retta dari belakang. Sebelum Retta masuk ke kamar Irash menghentikan langkah gadis itu. “Ta?”
Retta berbalik. “Iya?”
“Maaf.”
“Buat?”
“Tentang bahagia. Maaf karena aku selalu menyalahkan semua kata-kata kamu.”
Retta mencerna ucapan Irash. Gadis itu memandangi lelaki yang berdiri menatapnya. Sayangnya Retta tak mendapati warna asli kedua mata Irash. Tersenyum kemudian Retta berkata. “Semua orang berhak atas pilihan hidupnya. Hanya saja aku tidak begitu suka dengan orang-orang yang menyalahkan Tuhan atas takdirnya. Dari apa yang Tuhan beri untuk kita, kita hanya perlu menerima dengan syukur. Apapun itu.”
Mungkin benar atas apa yang Retta ucapkan, tapi soal menerima itu hal tersulit apalagi jika hal yang harus diterima adalah hal yang dibenci. Tanpa berkata apapun lagi, Irash masuk ke kamarnya mendahului Retta. Membuat Retta bengong sendiri di tempatnya berdiri.
“Tuh orang maksudnya apa sih? Kok gue ngerasa bego ya?” Tak mengerti dengan jalan pikiran Irash, Retta tak mau ambil repot. Matanya sudah meminta untuk istirahat. Retta memilih masuk kamarnya.
Tak Selalu Sempurna
Bab 5
Tak Selalu Sempurna
Sering kali manusia berpikir bahwa mempunyai paras rupawan dan hidup dengan bergelimang harta adalah kesempurnaan yang selalu didambakan. Mereka rela melakukan apa saja untuk fisik yang sempurna, bahkan sudah hal biasa merubah bentuk semula. Padahal mereka lupa perihal bersyukur. mengenai sempurna atau tidak seseorang menurut Retta adalah terletak pada rasa syukur masing-masing orang itu sendiri.
Jika tidak disyukuri mau serupawan apapun fisik yang Tuhan berikan, tetap tidak akan membuatnya bahagia. Sebab akan selalu merasa kurang. Sama seperti harta sebanyak apapun seseorang memilikinya tetap akan terasa kurang ketika tidak mensyukurinya.
Retta datang menghampiri teman sekelasnya. Jihan. Duduk di meja depan dengan posisi miring menghadap meja Jihan yang berada di belakangnya. Di sebelah Jihan ada Tuti yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Sedikit menarik perhatian Retta.
“Kuenya buat apa, Ta?” tanya Jihan.
“Mia mau arisan.” Retta mengeluarkan secarik kertas pesanan kue ibunya.
“Dua ratus Ta?”
“Iya, dikirim ke rumah aku sore ini. Sekitar jam 4 sore, bisa?”
“Bisa-bisa, aku kasih tahu ibu ya.” Jihan memotret kertas ditangannya untuk kemudian dikirim pada ibunya. Dalam kertas itu ada empat jenis kue basah tradisional yang masing-masing dipesan sebanyak lima puluh buah.
“Ini DP-nya, sisanya sekalian pas nganterin kuenya.”
Mungkin bagi Retta tak seberapa uang ditangannya itu, tapi bagi Jihan murid beasiswa tak mampu itu uang tersebut sangat berarti. Jihan bahkan sampai meneteskan airmata. Retta tersenyum bisa sedikit membantu temannya. Selalu ada kesenangan tersendiri karena bisa membantu seseorang.
“Makasih ya, Ta. Salam ke mama kamu, makasih banyak.”
“Iya, nanti aku bilangin ke Mia.”
“Ta! Bagi otak encer lo dong.” Ucap Tuti siswi bertubuh tambun dengan rambut keriting. Gadis itu tengah sibuk dengan tugasnya yang belum selesai dikerjakan.
“Otak gue bentuknya bukan cairan, Tut jadi gak encer.” Balas Retta terkesan serius, tapi sebenarnya bercanda. Mendengar hal itu Jihan terkekeh, lain halnya dengan tuti yang berdecak kesal.
“Kadang rada-rada gak waras ya,” timpal Tuti. “Eh Ta, murid baru kelas dua belas itu pacar lo ya?”
“Bukan.”
“Masa? Dari kemarin anak-anak sini gosipin lo sama dia.”
Tiba-tiba saja Anita datang. “Gosipin apa mereka?”
“Eeee… emang bener cowok itu tinggal di rumah lo?”
Retta mengangguk. “Bener, kenapa?”
Tuti sedikit mencondongkan tubuhnya. Mereka saling mendekat karena Tuti bicara setengah berbisik. “Gosip soal lo pernah melakukan itu nyebar lagi. Apalagi sekarang diperkuat dengan lo tinggal serumah sama cowok itu.”
Brak!
Anita menggebrak meja sama tiga temannya terlonjak kaget dan beberapa teman sekelasnya langsung menatapnya heran. “Lo denger dari siapa? Kasih tahu gue! Biar gue sobek tuh mulut.” Ucap Anita emosi.
Retta berdiri mengusap lengan Anita. “Udah Nit, gue gak apa-apa kok.”
“Ta! Sekali-kali lo marah kek, atau bilang ke gue kalau sebenernya lo gak baik-baik aja.”
“Aduh Anita, beneran deh gue gak apa-apa. Lagian masih banyak hal yang lebih penting dari gosip sepele ini.”
“Sepele? Lo digosipin gak bener lho, Ta dan lo masih bilang sepele? Waras gak sih lo?”
Anita adalah orang yang berdiri paling depan untuk membela Retta disaat-saat buruk seperti sekarang ini. Retta sudah tahu betul bagaimana tersinggungnya Anita jika ada yang sedikit saja melukainya. Meski Retta mengatakan dia baik-baik saja, Anita tidak akan percaya begitu saja. “Udah bel, duduk yuk.” Ajak Retta menarik Anita ke tempat duduk mereka.
“Kita belum selesai ya, Ta.”
“Iya Nit, debatnya kita lanjut jam istirahat ya.” Balas Retta jenaka sambil mengedipkan matanya genit.
“Jijik gue.”
“Ahaha.”
@@@
Bukan hanya Retta saja yang mendengar gosip tidak mengenakan itu, Irash juga. Dia tahu itu dari teman sekelasnya. Reno. Sekarang Irash tengah makan bersama di kantin. Padahal dia tidak begitu suka keramainnya.
“sorry to say ya Rash, sekarangkan banyak tuh cewek yang kelihatan alim tapi, udah gak perawan,” Tutur Reno menyinggung perihal gosip yang baru saja menyebar. “Kalau lo emang gak punya hubungan apa-apa sama Retta mendingan lo jauhin dia, dari pada nama lo jadi ikutan jelek.”
“Tapi, menurut gue wajar sih kalau Retta sampai melakukan hal itu. Anak orang kaya kan rata-rata begitu.” Timpal Rendi siswa berkacamata tebal itu juga ikut mengompori.
Irash mendengarkan dengan baik. Sedikit tak terima sebenarnya dengan pendapat teman barunya itu. Hanya saja wajah tenangnya itu menipu siapa saja. Begitu santai Irash menyedot es jeruknya. “Sejak kapan ada gosip miring tentang Retta?” tanya Irash seakan-akan dia tertarik dengan topik pembicaraan mereka.
“Dari Retta kelas sepuluh,” Jawab Reno. “Eh Rash, lo beneran gak pacaran sama Retta kan?”
“Sekarang belum, besok mungkin.” Jawab Irash dengan entengnya.
“Kalau pacaran terus tinggal serumah sama Retta itu bakal buat citra Retta makin jelek.”
Kening Irash berlipat. “Kata siapa gue tinggal sama Retta?”
“Gosipnya udah nyebar kali, gak usah ngelak lo.”
Irash tersenyum miring. Dia berdiri. “Ternyata cowok di sini gak ada bedanya ya sama cewek.”
“Maksud lo apa?”
“Sama-sama tukang gosip.”
Reno tersulut emosi, dia langsung menatap nyalang pada Irash. “Tahan No, di sekolah ini.” Cegah Rendi.
Tetap tenang Irash keluar dari kantin menyisakan Reno yang kesal padanya. Muak sebenarnya karena sejak pertama kenal, Reno sudah mengguruinya dengan siapa dia harus berteman dan siapa yang harus dijauhinya. Irash tak suka diatur-atur soal hidupnya. Lelaki itu tak pernah suka dengan mereka yang sok ngatur. Lelaki yang menutupi warna asli matanya itu membawa kakinya ke kelas Retta. Belum juga sampai ia sudah berpapasan dengan Retta. Irash disambut senyuman manis Retta.
“Hai!” sapa Retta riang.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Irash membuat kening Retta mengkerut.
“Ba-baik. Kenapa?”
Tak langsung menjawab pertanyaan Retta, Irash melirik dua siswi yang berbisik membicarakan mereka. Bukan berbisik sebenarnya karena Irash bisa mendengar mereka. Segara Irash menarik Retta menjauh.
“Ini ada apa sih? Irash pelan-pelan dong jalannya.” Pinta Retta saat Irash berjalan terlalu cepat darinya.
Irash memelankan jalannya begitu mereka sampai di koridor sekolah yang sepi. “Kamu gak terganggu dengan gosip murahan itu?”
“Enggak, kan gosip murahan.” Jawab Retta dengan cengiran yang terasa menjengkelkan bagi Irash.
“Kamu,” tiba-tiba saja Irash menarik hidung Retta. Gemas. “Bisa serius gak?”
“Kalau tujuan kamu narik aku sampai ke sini cuma buat ngomongin soal gosip itu, sumpah aku gak tertarik. Udah ya, aku mau ke kantin lapar. Dah Irash!”
Retta segera berlari meninggalkan Irash. Bohong sebenarnya kalau dia bilang baik-baik saja. Retta manusia biasa yang bisa merasa kesal karena terlalu sering digunjingkan, tapi juga dia juga tak mau ambil pusing. Ya… kecuali jika sudah amat sangat keterlaluan, mungkin dia harus bertindak. Kenyataan Retta yang mempunyai segalanya tidak serta merta membuat semua orang menyukainya. Setuju dengan pendapatnya. Retta mengerti bahwa akan selalu ada pro-kontra didalam hidup seseorang.
Bukan hal besar. Setidaknya Retta menganggap seperti itu. Tetap berusaha melihat semuanya dari segala arah. Juga tak perlu mempersulit sesuatu yang sudah sulit.
Dunia Tak Perlu Tahu
Bab 6
Dunia Tak Perlu Tahu
Hujan turun kala sore membuat Retta mengurungkan niatnya untuk keluar rumah. Gadis itu termenung menatap hujan lewat jendela di perpustakaan pribadinya. Ada beberapa hal yang Retta pikirkan seorang diri. Dia tak membiarkan siapapun mengetahuinya. Ada andai-andai yang ingin dia wujudkan nanti. Setidaknya sampai dia berusai cukup matang.
“Ta?” sapa Irash dengan suara beratnya. Lelaki itu melangkah masuk.
Retta menoleh. “Iya?”
Irash menghampiri, duduk di sebelah Retta. Sesaat dia melihat keluar, hujan masih deras. Lalu kembali melihat Retta yang berhadapan dengannya. “Soal gosip itu, kamu benar-benar gak apa-apa?”
“Kamu… khawatir sama aku?”
“Gosip itu kembali ada karena kehadiran aku, jadi aku khawatir.”
Tanpa diduga Retta justru tertawa. Gadis itu tak menyangka kalau Irash akan khawatir padanya. “Kayaknya aku harus seneng deh karena dikhawatirin sama cowok seganteng kamu, ahahaha.”
“Gak ada yang lucu, Ta. Gak usah ketawa.”
“Nih ya menurut teori orang yang awalnya khawatir nanti lama-lama bisa jadi cinta lho.”
Irash dengan netranya yang berbeda itu menatap lekat pada Retta. Mencondongkan badannya hingga Retta terpaksa mundur. “Kalau aku beneran cinta sama kamu, gimana?”
“Eh?”
Retta tak berkedip melihat keindahan yang dipancarkan dari mata Irash. Sorot mata itu seakan sedang menggodanya untuk jatuh dalam pesona seorang Irash Adiswara. Retta merasa dirinya seperti lalat yang terjebak oleh Nepenthes. Entah keberanian dari mana sampai gadis itu mengangkat tangannya untuk mengusap rahang Irash, lalu naik menyentuh sudut mata Irash. Lelaki yang mendapatkan sentuhan itu hanya diam.
“Ada berapa banyak kesakitan yang kamu lewati seorang diri, Irash?” tanya Retta lirih. Ibu jarinya menyentuh bulu mata lentik Irash.
Ditanya seperti itu Irash tersenyum samar lalu menjauhkan dirinya dari Retta. Punggungnya bersandar pada lengan sofa yang didudukinya. “Aku gak nyangka ternyata kamu peka dan pandai membaca mata seseorang. Belajar dari mana?”
“Kebiasaan kalau udah disinggung masalah pribadi pasti kamu ngelak dengan pertanyaan lain atau pergi gitu aja. Itu namanya gak sopan.”
“Enggak semua hal bisa diceritakan, Ta. Beberapa hal tetap dibiarkan menjadi rahasia hanya untuk dinikmati seorang diri saja.”
“Tapi, kalau pada akhirnya sesuatu yang dinikmati seorang diri itu menjadi bibit kebencian bagi penikmatnya untuk apa?”
“Untuk menjaga dia agar tetap tahu mana yang harus dipercaya dan mana yang tidak.”
“Irash, kamu kenapa sih sulit ditebak? Bikin aku pusing.”
Retta kembali mengalihkan perhatiannya pada Hujan yang mulai mereda. Benar dia sedikit tak mengerti dengan jalan pikiran Irash. Menurut Retta sikap Irash cepat sekali berubah. Akan baik-baik saja membicarakan sesuatu, tapi jika pembicaraan itu menyinggung perasaannya pasti Irash akan kembali memasang mode dinginnya yang seakan tak pernah tersentuh kasih sayang.
“Biar gak pusing ya gak usah dipikirin.”
“Gimana gak dipikirin kalau setiap hari aku ketemu kamu.”
“Besok aku mau nge-kost deket sekolah, jadi kamu gak bakal sering-sering ketemu aku.”
Mendengar hal itu Retta langsung kembali memandang Irash. “Kenapa?”
“Aku gak mau jadi beban buat kamu.”
“Beban? Karena gosip itu? Astaga! Irash harus aku bilang berapa kali sih kalau aku tuh baik-baik aja, jadi kamu gak…”
“Ribut lo berdua udah kek suami-istri.” Ucap Damar yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu dengan kedua tangannya yang tenggelam dalam saku celana.
“Ih, abang! Ganggu aja.” Protes Retta.
“Dipanggil Mia, sayang.”
“Iya nanti turun,” Ucap Retta. Sebelum turun Retta menatap Irash. “Obrolan kita belum selesai. Jangan coba-coba lari.”
@@@
Hari ini Retta tidak akan membiarkan Irash bebas lagi seperti biasanya. Hanya saja rencananya ditunda sesaat karena kehadiran Jihan. Hujan sudah reda menyisahkan wangi lembab yang khas. Jihan datang bersama ibunya membawa pesanan Marina.
“Ayo masuk,” ajak Retta pada Jihan yang datang bersama ibunya. Di tangan kanan Jihan dan ibunya ada kotak besar berisi kue-kue basah pesanan Marina. “Masuk tante, Mia udah nungguin.”
Jihan terpana dengan keindahan rumah Retta. Dia dan ibunya tidak berhenti berdecak kagum pada rumah bergaya Eropa klasik itu. Ditambah lagi dengan prabot mahal sebagai pendukungnya.
“Wah rumahnya besar ya, Han.” Tutur ibu Jihan yang tak berhenti mengagumi.
“Iya bu, bagus lagi.”
Mendengar hal itu Retta hanya tersenyum, lalu mempersilahkan mereka duduk. “Jihan sama tante duduk dulu, Retta mau panggil Mia dulu.”
Jihan dan ibunya duduk, sementara Retta berlalu ke halaman belakang rumahnya. Di sana ada gazebo berukuran cukup besar, tempat dimana biasanya mereka bersantai.
“Mia, Jihan udah datang bawa kuenya.”
“Kenapa gak langsung suruh kesini.” Ucap Marina yang tengah menata meja untuk arisan.
“Ya udah kalau gitu…”
“Biar Mia aja yang kesana, kamu rapikan ini saja ya.” Cegah Marina sebelum Retta berlalu.
Retta menurut menata meja yang belum selesai dilakukan ibunya. Tak berapa lama Irash datang, tapi tak berniat membantu Retta. Lelaki itu memilih duduk di atas beanbag, melipat kedua tangannya dengan mata yang tertuju pada Retta.
“Kenapa kamu nolong orang?” tanya Irash tiba-tiba.
Retta menghentikan kegiatannya sesaat menatap Irash. “Gak tahu, tapi selalu ada rasa bahagia disetiap kali aku bisa bantu mereka.”
“Pernah mereka bantu kamu saat kamu sulit?”
Retta menggeleng. Bukan karena mereka tidak ingin membantu Retta, tapi karena selama ini Retta tak mengeluhkan kesusahannya pada siapapun dan terlebih lagi memang tak ada kesulitan yang berarti bagi Retta. Gadis itu meletakan piring-piring pada tempatnya. “Aku bersyukur karena Tuhan gak ngasih jalan hidup aku seberat mereka.”
“Pantas.”
“Pantas kenapa?”
“Teori kamu soal bahagia. Kamu bisa bicara dengan mudahnya karena tak pernah mengalami kesulitan, iyakan?”
Retta menghela nafas. Lagi-lagi Irash bicara seperti itu. “Aku gak tahu sih kesulitan apa yang pernah kamu lewati sampai kamu pesimis soal bahagia yang sebenarnya buat kamu sendiri,” Retta meletakan tisu-tisu yang sudah dilipat di sisi piring. “Gini ya Irash Adiswara, bahagia itu hak semua orang, tapi kalau orang itu gak mau bahagia ya itu juga haknya dia,”
Setelah selesai menata meja Retta menjatuhkan diri di atas beanbag tepat di sebelah Irash. “Sekeras apapun seseorang berusaha membantu orang lain untuk bahagia, jika orang yang dibantu gak mau bahagia ya percuma. Kayak aku sekarang ngomong panjang lebar soal bahagia ke kamu, tapi kamunya sendiri gak mau bahagia ya sudah. Percuma.”
Retta bangkit dari duduknya. “Kamu mau bahagia atau enggak bukan urusan aku, Rash.” Tambahnya sebelum berlalu membantu Marina yang datang membawa kue.
Sebenarnya Retta bohong soal dia yang tak peduli dengan Irash. Dia sengaja mengatakan itu untuk sedikit memberi lelaki itu pelajaran. Berharap Irash mengerti bahwa dipedulikan oleh seseorang itu sangat berarti.
“Jihan masih ada di depan, kamu temui dia saja ya.”
“Iya, Mia.”
Irash juga ikut berlalu bersama Retta. Lelaki muda itu masih nyembunyikan warna matanya dari semua orang. Retta adalah satu-satunya yang tahu warna aslinya tanpa tahu penyebab mengapa Irash menyembunyikannya. Kedua remaja itu memasuki ruang tamu. Jika Retta menghampiri Jihan dan ibunya, lain halnya dengan Irash yang memilih untuk menaiki undakan anak tangga menuju kamarnya.
“Itu kak Irash, Ta?” tanya Jihan penasaran.
“Iya.”
“Jadi dia benaran tinggal di sini?”
“Orang tuanya Irash itu sahabat orang tua aku. Mereka sudah meninggal dan menitipkan Irash pada orang tuaku.”
“Owh,” Jihan mengangguk-angguk mengerti. “Ta sekali lagi makasih ya. Aku sama ibu mau pamit.”
“Hati-hati di jalan ya.”
“Iya.”
Setelah mereka berpamitan Retta langsung naik ke lantai dua. Gadis itu menatap pintu kamar Irash yang terbuka. Keinginannya untuk masuk datang begitu saja. Dengan sedikit mengendap seperti pencuri Retta masuk. Kamar Irash sepi, Retta mendekati jendela melihat ke halaman belakang dimana ibunya sedang beramah-tamah dengan teman-temannya yang baru saja datang.
“Ada perlu apa, Ta?” Pertanyaan yang keluar dari mulut Irash otomatis membuat Retta terlonjak kaget.
“Em.. Anu, itu.. Aku mau pinjem buku Matematiknya dong.”
“Beda pelajaran, Ta.”
Benar juga. Irash seniornya mana mungkin materinya sama, tapi Retta punya alasan lain. “Emang gak boleh kalau aku baca sekarang? Kan biar pas kelas dua belas nanti aku udah punya gambaran gitu.”
Irash tak langsung percaya. Dia berusaha mencari celah kebohongan Retta, tapi gadis itu menatapnya penuh keyakinan. Meski begitu Irash tetap menarik buku Matematikanya dari atas meja belajar dan memberikannya pada Retta.
“Makasih.” Ucap Retta senang memeluk buku itu.
Ingin hati Retta langsung keluar dari kamar Irash, tapi kakinya seakan terpaku ditempatnya saat menyadari betapa Irash menatapnya begitu lekat. Tatapan Irash terasa amat sangat menusuk. Retta tak mengerti arti tatapan itu. “Jangan berusaha mengajari seseorang tentang bahagia kalau kamu belum pernah melewati kesakitan.” Ucap Irash dingin.
“Jadi itu yang kamu mau? Oke, aku gak akan bahas apapun tentang bahagia dengan orang yang jelas-jelas tak ingin bahagia.”
Cerita Dan Cinta
Bab 7 Cerita Dan Cinta
Dunia sudah banyak menunjukkan berbagai kisah kehidupan seseorang. Mulai dari mereka yang kekurangan tapi, tetap berusaha dan bahagia sampai cerita kesedihan yang menyayat hati siapapun yang melihatnya. Retta sudah banyak membaca dan menonton kisah-kisah inspiratif itu.Sering kali membuatnya mengelus dada sampai menangis, tapi membuatnya tetap bersyukur beribu kali karena dia tak mengalami cerita hidup semenyedihkan mereka. Dari itu juga dia ingin membuat siapapun bahagia, setidaknya membuat mereka tetap tersenyum disaat terluka.Tak banyak sebenarnya yang Retta lakukan. Dia hanya duduk menemani, atau bicara seperlunya untuk menenangkan hati mereka. Retta tahu kemampuan dirinya yang terbatas, yang tak mungkin menjangkau semua orang untuk dibuatnya bahagia.Jika hanya dengan mendengarkan cerita mereka sudah membuat satu lengkungan senyum maka, seharian penuh pun akan Retta lakukan. Ah, tak terlalu sulit sebenarnya membuat orang lain bahagia. Tinggal perihal mau atau tidak.Retta mengintip dari pintu kelas yang masih sepi. Di dalam kelas ada Anita yang sedang senyum-senyum membaca selembar surat di tangannya. Melihat hal itu juga Retta ikut tersenyum. Otak cantiknya itu sudah berpikir untuk meledek Anita."Surat cintaku yang pertamaMembikin hatiku melompatSeperti melodi yang indahAda kata cintanya"“Diem deh lo!” seru Anita menghentikan nyanyian Retta. Cepat-cepat dia melipat surat cintanya.Retta terkekeh. “Romantis ya si K. Udah jaman modern gini tapi, dia masih ngirim surat pakai setangkai bunga mawar.”“Tapi, K itu siapa, Ta?”“Di sekolah kan banyak yang inisialnya K. Cek CCTV aja, kita bisa lihat kan siapa yang suka ngirim surat ke lo.” “Terus alasan ke security-nya apa? Masa terang-terangan bilang mau lihat si pengirim surat ini? Emang sekolah ini punya nenek moyang lo?”“Iya juga ya, belum lagi alasan izin ke kepsek. Retta kadang bego ya.”“Emang!”Satu-satu persatu murid berdatangan. Jihan datang bersama Tuti, menyapa Retta dan Anita sambil berjalan. “Pagi double Ta!” sapa Tuti.“Double Ta?” tanya Retta dan Anita bersamaan.Tuti mendekat. “Ta buat Ani-Ta dan Ta buat Ret-Ta.”“Owwwh.”“Dih kompak lagi.”“Sehati mereka.” Tambah Jihan lalu mereka tertawa bersama. Jihan dan Tuti kemudian duduk di tempat mereka membiarkan Retta dan Anita kembali melanjutkan percakapan mereka.“Terus gimana?” lanjut Retta.“Gimana kalau besok datang lebih pagi buat mergokin si K ini?”“Oke! Nanti Retta bangun lebih subuh.”“Anter ke kamar mandi yuk.”Retta menarik Anita yang ogah-ogahan mengantarnya. “Kebiasaan cewek kalau ke toilet pasti berjamaah.”“Emang lo bukan cewek?”“Perempuan gue.”“Sama aja Anita.”“Beda! Perempuan itu lebih dewasa dari cewek.”“Iyalah sebahagia lo.”Mereka berjalan keluar dari kelas dengan bergandengan tangan menuju kamar mandi. Retta lebih dahulu masuk ke salah satu bilik, sebelum Anita masuk ke bilik lainnya.Begitu keduanya sudah menutup rapat pintu, lima orang sisiwi datang. Mereka datang dengan tertawa-tawa.“Eh eh… menurut kalian si Retta masih virgin, gak?” tanya siswi bergadis rambut curly pada bagian ujungnya.“Tipe-tipe kek gitu sih biasanya munafik. Di depan alim, di belakang rusak.” Timpal yang lainnya sambil mencuci tangan.“Tapi, Irash kan deket sama dia tuh. Kira-kira gosip tentang mereka bener gak sih?” tambah yang lainnya lagi.Di dalam kamar mandi mereka bergosip ria membicarakan Retta yang duduk manis mendengarkan percakapan mereka. Tanpa disangka Anita keluar lebih dahulu. Gadis itu menatap murka pada senior-seniornya.“Sayang ya punya muka cantik tapi, gak dibarengi sama hati. Jadi hilang aja gitu cantiknya. Terus yang sekarang kelihatan tinggal buruk rupanya.” Celoteh Anita.“Lo ngomong ke kita?” tanya siswi berambut currly. Anita membaca name tag dengan nama Ashley D. Levine.“Enggak. Gue lagi ngafalin dialog drama, tapi gak nyangka aja dialognya cocok sama kalian.” “Yang sopan kalau ngomong sama senior!” Ashley semakin emosi.Retta yang mendengar itu buru-buru keluar dari dalam bilik. Mereka semua kaget. Terutama Ashley. Kalau Retta sampai mengadu pada orang tuanya, maka habislah dia. Buru-buru Ashley mengajak teman-temannya segera keluar dari toilet. “Ta, lo gak apa-apa?”“Gue gak baik-baik aja sih, tapi gue juga gak mau ngotorin hati gue dengan benci sama mereka. Rugi.”Sementara di luar toilet teman-teman Ashley bertanya. “Kok kita malah pergi sih?”“Gila! Kalian gak tahu siapa bokapnya Retta?”“Enggak?”“Bokapnya itu pemilik dari Rajawali Crops dan bokap gue kerja di sana. Bisa dipecat kalau sampai si Retta ngadu ke bokapnya.” Terang Ashley sebelum berjalan cepat menuju kelasnya.@@@Ada jarak yang sekarang tercipta diantara Retta dan Irash. Keduanya saling diam di dalam mobil saat menuju rumah. Sesekali Irash melirik Retta. Gadis itu menepati janjinya untuk tidak ikut campur urusan Irash.“Hari minggu aku pindah. Aku udah ngomong sama Pia dan Mia. Tadinya mau hari ini, tapi kata mereka tunggu sampai hari Minggu.” Ucap Irash memecah keheningan mereka.“Hmmm.” Hanya gumaman itu yang keluar dari mulut Retta. Irash tak menyangka kalau Retta akan sedingin itu padanya sekarang.Padahal di dalam hati Retta sudah berteriak ingin mencegah Irash pindah dari rumahnya. Gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat agar tak satupun kata yang keluar.“Kamu marah?”Retta menggeleng.“Kok diem aja? Ta, sekalipun kita punya pendapat berbeda soal bahagia bukan berarti kita jadi musuhan, kan?”Retta mengangkat kedua bahunya acuh. Ingin tahu sejauh mana Irash bisa meluluhkan dirinya. “Bukan maksud aku meremehkan kamu, tapi ada satu hal yang harus kamu tahu bahwa kehidupan seseorang yang berbeda-beda berpengaruh juga dengan pola pikirnya. Jika menurutku bahagia itu nyaris mustahil itu karena….” Irash menghentikan kalimatnya. Hampir saja dia menceritakan kelam kehidupannya.Padahal Retta sudah memandang Irash, tertarik dengan apa yang akan lelaki itu bicarakan. Namun begitu Irash berhenti bicara Retta langsung kembali memalingkan wajahnya.“Maaf, Ta.”Kali ini Retta bersuara, tapi tidak menatap Irash. “Kalau mau jadi lelaki dingin tuh sekalian, jangan setengah-setengah.”“Maksud kamu?”Retta menghela nafas menurunkan egonya. “Kamu itu bersikap dingin untuk menutupi masa lalu kamu biar gak ada yang tahu, tapi juga merasa gak enak hati karena sudah bersikap dingin. Jadi sebenarnya kamu itu masih punya hati yang artinya kamu masih ingin seseorang peduli dengan kamu.”“Ta…”“Kamu hanya masih belum tahu apa yang kamu mau. Kamu masih menerka-nerka tentang apa itu bahagia.”Irash diam. Retta pun ikut diam. Sisa perjalanan mereka habiskan dengan pikiran masing-masing. Benar bahwasanya Irash masih mencari, masih belum tahu apa yang dia maui. Masih menerka-nerka tentang apakah benar Tuhan mampu memberikannya kebahagiaan. Irash belum sedewasa Retta dalam berpikir dan menerima takdir Tuhan.
Kepergian Irash
Bab 8Kepergian IrashWaktu berputar dirasa begitu cepat. Rasanya baru kemarin Retta sibuk mencari dasinya untuk upacara hari Senin, sekarang sudah masuk hari Minggu. Irash sudah berkemas sejak semalam.“Kalau ada apa-apa kamu bilang ya ke Mia dan Pia.” Ucap Marina yang duduk di atas tempat tidur Irash.“Iya, Mia.”“Sesekali main ke sini.”Marina sempat kaget saat mendengar keputusan Irash untuk keluar dari rumah dan memilih untuk tinggal di kost-an. Khawatir jika Irash harus tinggal sendiri. Meski pada akhirnya wanita itu mengalah dengan keputusan Irash.Toh Irash hanya pindah tempat tinggal.“Sudah siap, Rash?” tanya Danu memastikan.Irash boleh tinggal sendiri dengan syarat Danu yang memilihkan tempat dimana Irash harus tinggal. Mengingat Irash sekarang adalah tanggung jawabnya. Danu tidak akan menyia-nyiakan apa yang Tuhan titipkan padanya.“Sudah om.” Irash meraih tasnya dan kopernya.“Sini kopernya biar om yang bawa,” Danu mengambil alih koper milik Irash. Dia melihat putrinya yang hanya diam di luar kamar Irash. “Kamu yakin gak ikut ngantar Irash?”“Banyak PR.” Jawab Retta kemudian berlalu masuk ke kamarnya. Pekerjaan Rumah apa? Sedangan ini adalah hari minggu, terlebih lagi tidak ada satu gurupun yang memberikanya pekerjaan rumah.Melihat Retta yang bersikap seperti itu jelas membuat Irash merasa tidak enak hati. Meski hanya tinggal satu atap bersama Retta hanya seminggu, Irash sedikit banyak tahu tentang karakter gadis itu. Sedewasa apapun Retta bersikap di luar rumah, tapi sifat manjanya akan muncul jika berada di dalam rumah. Seperti beberapa hari terakhir ini Retta menunjukan sisi kekanakannya. Ngambek padanya.“Yasudah ayo Rash, berangkat.” Ajak Danu. Marina juga ikut serta mengantar Irash. Retta masih berdiri di tempatnya bersandar pada pintu. Dia mendengar langkah yang kian menjauh. Hatinya masih bimbang memilih antara ikut atau tidak. Semakin menjauh kini langkah kaki itu sudah tidak terdengar lagi.Irash, Danu dan Marina sudah berada di dalam mobil. Bersiap untuk melajukannya dengan Danu yang mengemudi.Dari dalam rumah Retta segera membuka pintu kamarnya belari terburu. “Bi teriakin Pia jangan pergi duluan!” seru Retta pada bi Warni yang berada di ruang tamu. Retta berjalan cepat menuruni anak tangga.Gara-gara Retta yang terburu-buru, bi Warni juga jadi ikutan terburu-buru berlari keluar rumah mencegah mobil Danu agar tidak meninggalkan Retta.“Tuan! Nyonya! Non Retta mau ikut!” suara kencang bi Warni berhasil menghentikan mobil Danu sesaat sebelum keluar gerbang.Dari belakang bi Warni, Retta muncul dengan berlari secepat yang dia mampu. Begitu sampai Retta langsung masuk ke mobil dengan nafas yang terengah-engah. Baik Danu, Marina maupun Irash menahan tawa dengan tingkah Retta.“Untung Pia belum jauh, coba kalau udah sampai pengkolan si bibi teriaknya harus pakai speaker masjid.” Kelakar Danu yang diiringi kekehan Marina di sebelahnya.Merasa dirinya sedikit tersudut Retta berkata pada Irash yang berada di sisinya. “Gak usah geer, aku ikut karena sekalian mau ke mini market bukan buat nganter kamu.”Irash hanya tersenyum penuh arti.@@@Danu memilihkan tempat tinggal baru bagi Irash yang nyaman dan aman lingkungannya. Dari tempat itu Irash hanya perlu berjalan kaki kurang dari sepuluh menit untuk ke sekolah.Tempat kost dengan satu kamar, dapur dan kamar mandi itu terlihat cukup nyaman untuk Irash. Retta meneliti seisi ruangan yang sudah lengkap dengan prabotannya. “Ini kosan cowok semua, kan?” tanya Retta.Marina melirik putrinya curiga. “Emangnya kenapa kalau di sini ada perempuannya?”Danu tersenyum mendengar percakapan anak dan Istrinya. “Gak apa-apa sih, Retta cuma tanya aja.”“Tenang aja di sini khusus buat laki-laki semua kok.” Kata Marina mengusap pundak Retta.Harusnya Retta tak bertanya sebelumnya, sebab sekarang dirinya terkesan tidak rela ditinggal oleh Irash. Ya… sekalipun sebenarnya memang tidak rela.“Rash, kita pulang dulu ya. Ingat kalau perlu sesuatu bilang sama om.” Tutur Danu.“Iya om, hati-hati di jalan.” Irash menyalami Danu dan Marina bergantian. Lalu kini matanya tertuju pada Retta yang memalingkan muka darinya.Irash mengantar keluarga Danu sampai pintu gerbang tempat kostnya. Ada banyak rasa terimakasih yang Irash ingin sampaikan tapi, semuanya tertahan di tenggorokannya. Retta benar soal dirinya yang masih menerka-nerka.“Kami pamit ya,” ucap Marina begitu sudah berada dalam mobil. “Jaga kesehatan, sayang.”Irash tersenyum mengangguk. Dia melihat pada jendela kaca mobil bagian belakang, berharap Retta mau menurunkannya. Namun sampai mobil itu melaju menjauh dia tak mendapati seulas senyum yang selalu Retta perlihatkan. Perlahan semuanya terasa berat.Di dalam mobil Retta gatal untuk menanyakan sesuatu tentang Irash pada kedua orang tuanya.“Mia, Pia tahu soal kehidupan pribadi Irash?” tanyanya.“Kenapa gak tanya langsung ke Irash?” Marina balik bertanya.“Dia gak mau jujur sama Retta.”“Irash itu sebenarnya bukan anak dari mendiang sahabat Mia dan Pia, melainkan anak angkat mereka yang dibuang oleh orang tua kandungnya.” Retta terkejut sampai dia menggeser duduknya ke tengah, sehingga dia berada dicelah antara dua kursi di depannya. “Terus Mia Irash tahu orang tua kandungnya.”“Tahu. Waktu kecil ibunya pernah datang menemuinya. Dia diajak tinggal bersama ibunya, tapi keluarga ibunya tidak menerima Irash terutama kakeknya.”“Kenapa?”“Kata mereka Irash anak haram. Padahal di dunia ini tidak anak haram, yang menjadikan kata haram tersebut adalah dosa orang tuanya.”Marina menceritakan kisah hidup Irash pada Retta berdasarkan fakta yang dia ketahui dari orang tua angkat Irash yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Irash terlahir dari hubungan terlarang kedua orang tuanya yang masih mempunyai ikatan darah antara paman dan keponakan.Dimana ibu kandung Irash adalah keponakan dari ayahnya. Tentu orang tua mereka murka sampai Irash dibuang sesaat setelah dilahirkan. Ayah kandung Irash dicoret dari nama besar keluarganya, lalu di usir. Hingga saat ini keberadaannya tidak diketahui.Sedangkan ibu kandungnya berada di rumah sakit jiwa setelah bertahun-tahun menahan kesakitan seorang diri. Dia dilarang orang tuanya bertemu Irash saat dia berhasil menemukan kembali buah hatinya.Retta meneteskan air matanya. “Pia, boleh putar balik enggak?” tanya sendu.Danu sedikit tak mengerti, namun Marina mengisyaratkan padanya lewat sorot mata untuk mengabulkan permintaan putrinya. BMW hitam itu putar arah meski sudah cukup jauh.@@@Retta segera turun dari mobil untuk berlari mengetuk pintu kosan Irash. Sedangkan orang tuanya memilih menunggu di dalam mobil. Memberikan Retta waktu.Tok tok.Irash yang berada dalam kamarnya sedikit bingung ketika pintunya diketuk, tapi dia tetap beranjak untuk membuka kan pintu. Lelaki itu kaget saat melihat Retta yang kembali sambil menangis. Lebih kaget lagi ketika Retta memeluknya tiba-tiba dan berkata.“Maaf, maafin aku.” Ucap Retta sambil terisak dalam pelukan Irash.Kening Irash mengerut bingung. Kedua tangannya menggantung di udara ragu membalas pelukan Retta. “Untuk apa?”“Gak tahu, tapi aku pengen aja minta maaf ke kamu.” gadis itu hanya ingin memeluk Irash, menunjukan pada Irash bahwa tidak ada lagi yang membuangnya.“Aneh, minta maaf tapi gak tahu dosa sendiri.”Retta melepaskan pelukkannya, menyeka air matanya dengan kedua tangannya. “Mulai hari ini Irash masuk ke dalam misi rahasia Retta untuk di bahagiakan. Ya… walaupun kamu pesimis soal bahagia, tapi aku gak bakal nyerah buat bahagiain kamu.”“Kesambet jin mana, Ta?”“Kok kesambet sih? Aku serius, Rash.” Retta menekuk wajahnya, tapi hal itu berhasil membuat Irash tertawa.Tawa yang pertama kali ia dengar. Tawa yang indah dan mampu menghangatkan hati. Sedangkan yang tertawa tak menyadari bahwa dia baru saja dibuat bahagia oleh Retta.
Mister K
Bab 9Mister KRencan Retta dan Anita untuk memergoki penggemar rahasia Anita yang berinisial K benar-benar di jalankan. Mereka janjian berangkat lebih awal dari biasanya. Bahkan pintu gerbang sekolahpun belum dibuka.“Nit, belum dibuka. Balik lagi yuk.”“Ta! Lo udah janji sama gue ya buat nyari tahu si mister K itu.”“Iya bunda ratu, hamba siap membantu.”Keduanya melongok ke dalam lewat celah-celah pagar. Saat seorang satpam melintas mereka langsung berteriak. “Pak bukain pak! Bukain! Bukain!”“Iya neng, iya.” Satpam bernama Ruslan itu segera membuka pintu gerbang sekolah dan dengan segera Retta dan Anita berlari.“Kalau pintu gerbang masih ditutup kayak barusan berarti si K belum datang.” Ucap Retta sambil berlari.Sampai mereka sampai di depan kelas, keduanya mencari tempat bersembunyi. Diantara pilar-pilar penyangga mereka menyembunyikan diri di sana. “Kira-kira berapa lama kita nunggu?” BisikBisik Retta tak sabar.“Mana gue tahu.”Tak lama suara langkah kaki terdengar dari arah berlawanan tempat mereka bersembunyi. Retta sedikit mengintip seseorang yang mendekati kelasnya. Ada seorang siswa yang berjalan menunduk dengan topi hitam sebagai pengabur identitasnya. Retta juga melihat ada mawar putih dan sebuah amplop merah muda yang biasa diletakan di meja Anita.“Siapa sih?” tanya Anita penasaran dan berbisik.“Gak tahu, mukanya ketutupan topi.”“Samperin yuk.”“Tunggu dia masuk kelas baru kita sergap.”Keduanya menunggu lelaki itu masuk kelas. Perlahan mereka bergerak mengikuti memperhatikan gerak-gerik lelaki yang kini menyimpan surat dan setangkai mawar putih di atas meja Anita.“Owh jadi selama ini lo yang ngirim gue surat cinta.” Ucap Anita tanpa aba-aba. Retta menepuk jidatnya.Sementara itu tubuh menegang dapat dilihat dari lelaki yang baru saja tertangkap basah. Dia diam di tempatnya tak berani menoleh. Lelaki berinisial K itu menurunkan topinya agar lebih menutupi wajahnya.Gerakan yang terbatas karena terhalang oleh meja-meja membuat lelaki itu menaiki meja untuk menghindari kedua gadis yang memergokinya. “Eh jangan kabur!” seru Retta.Anita bergerak lebih cepat dengan menutup pintu kelas begitu lelaki itu melompat dari meja berusaha mencapai pintu. Dia berdiri dihadapan Anita yang menutup jalan keluarnya. “Jadi cowok tuh yang gantle jangan sembunyi-sembunyi. Buka topi lo gue mau lihat.” Ucap Anita tegas dan terkesan galak.“Nita jangan galak-galak, nanti dia takut.” Ucap Retta menanggapi ucapan Anita.“Gak nyambung, Ta!” Anita bergerak maju ingin meraih topi yang masih menutupi wajah K. Retta hanya diam menyaksikan. Lelaki itu menggunakan peluangnya untuk kabur saat badan Anita tidak lagi menghalangi pintu. Dari sisi kanan Anita, dia berhasil melesat melewati gadis itu dan berhasil membuka pintu kelas. “Anita, Dia…” ucapan Retta terhenti ketika lelaki itu terjatuh menabrak seseorang yang baru saja akan masuk.Bruuk“Irash!” pekik Retta senang karena Irash berhasil menghentikan sosok misterius itu.Tanpa membuang banyak kesempatan Anita segera menghampiri lelaki yang masih terduduk di lantai itu, segera Anita membuka topi penggemar rahasianya. Anita hanya diam menatap seseorang di depan matanya saat ini.@@@Di halaman belakang sekolah ada pohon Mangga yang berdahan rendah. Sangat mudah untuk dinaiki. Retta duduk di sana dengan kedua kakinya yang menggantung. Sesekali dia menggerakan kakinya untuk merasai angin.Di bawah ada Irash yang menyandarkan punggungnya pada pohon Mangga setelah sebelumnya dia ditarik paksa oleh Retta ke sana. “Jadi kamu mau ngomong apa?” tanya Irash datar. Matanya terpejam menikmati semilir angin.“Cowok yang pagi tadi nabrak kamu itu namanya Keanu. Teman sekolah Anita dulu waktu SD. Terus mereka bertahun-tahun gak ketemu. Waktu MOS dulu Anita bilang kalau teman SD-nya juga satu sekolah sama kita, tapi pas ketemu dia bilang bukan Keanu karena namanya jadi Dimas. Jelas aja Anita gak yakin, ditambah lagi dia pake behel dan kacamata, tapi lama-kelamaan Anita yakin kalau cowok itu Keanu. Cuma Keanu tetap gak mau ngaku. Dia terus-terusan menghindar dari Anita, bahkan sampai bentak Anita. Dari situ Anita mulai marah.” Cerita Retta panjang lebar.“Terus hubungannya sama aku apa?” tanya Irash melirik pada gadis yang duduk lebih atas darinya.Retta melompat turun, lalu duduk di sisi Irash. “Kamu harus bantuin aku mendekatkan mereka?”“Jadi mak comblang gitu?”“Iya.”“Gak mau.”“Harus mau Irash, kalau enggak aku gak akan buat hidup kamu bahagia.”“Emang siapa yang minta dibahagikan sama kamu?” tanya Irash sinis sebelum kemudian dia berdiri.Retta ikut berdiri, meraih tangan Irash. “I show you, how to see happiness dengan nolong orang. Sekali ini aja. Kalau kamu gak bisa lihat sedikit aja kebahagiaan setelah ini, aku janji aku gak akan minta tolong lagi sama kamu.”Tatapan memohon Retta yang hangat itu tak mampu membuat Irash menolak. “Fine!”“Yeeeaay!” Retta bersorak riang, lalu mencium pipi Irash cepat secepat dia meninggalkan Irash yang kini membeku ditempatnya meraba pipi kirinya yang baru saja dicium Retta. Sedangkan Retta setelah jauh dari Irash baru menyadari tindakan bodohnya. “Kenapa gue nyium Irash? Tahu ah.”Saat hendak ke kelas Retta melihat Keanu. Dia berlari menghampiri lelaki itu.“Ada apa, Ta?” tanya Keanu.“Bisa ngobrol sebentar.”Keanu mengangguk. Keduanya duduk pada bangku di depan kelas. Retta ingin menanyakan banyak hal pada lelaki berkacamata itu.“Lo sayang Anita sejak kapan?”“Sejak kecil. Konyol memang, tapi itu yang gue rasain selama ini. Anita sekarang gimana?”“Dia kecewa sejak lo bilang kalau lo bukan Keanu, tapi Dimas. Em.. Gue gak ngerti kenapa sekarang nama lo berubah.”“Gak pernah berubah. Nama gue Dimas Keanu Putra. Gue lebih suka dipanggil Keanu dibanding Dimas.”“Kenapa?”“Suka aja.”Keanu menceritakan pada Retta mengapa dulu dia pergi tanpa memberi tahu Anita. Alasannya karena orang tuanya yang bercerai. Dia terpaksa ikut ayahnya keluar kota. Sampai waktu kembali mempertemukannya dengan Anita, Keanu merasa bersalah dan malu pada gadis itu. Jadilah dia mengaku kalau dia bukan Keanu yang Anita maksud.Tapi, saat dia mendengar berita tentang perceraian orang tua Anita, dia merasa sedih. Ide untuk menghibur Anita dengan menjadi secret admirer gadis itu pun muncul. Sudah hampir sebulan dia mengirimi Anita surat dan sesuatu yang Anita suka.“Gue mau bantuin lo deket lagi sama Anita.” Ucap Retta semangat.“Caranya?”“On the way. Belum sampai ke otak gue. Ahaha.”Keanu tersenyum. “Thanks, Ta.”@@@Irash menatap sebal pada gadis yang duduk bersila di atas tempat tidurnya. Rencananya untuk tidur siang sepulang sekolah gagal total karena Retta mendatangi tempat tinggal barunya. Dia menguap beberapa kali, mengantuk mendengarkan Retta yang berceloteh riang dari kursi belajarnya.Awalnya gadis itu membicarakan rencananya untuk menolong Keanu kembali dekat dengan Anita. Sekarang gadis itu tengah menceritakan boyband Korea yang menjadi idolanya. Tak lupa dia juga bercerita pengalaman menonton konser mereka.“Di sana tuh ya rameeeee banget. Aku aja sampai gak bisa bedain Anita sama penonton yang lain,” Cerita Retta antusias. “Mereka ganteng-ganteng banget.” Retta bercerita dengan mimik wajah yang penuh kekaguman dengan tampilan fisik para idolanya yang berasal dari negeri Gingseng itu. Irash? Jangan ditanya. Lelaki itu sudah jengah mendengarkan cerita Retta. “Ta?”“Apa?”“Jadi mau nolongin Keanu apa masih mau cerita artis idola kamu itu?”“Hehe.. Iya nolongin Keanulah, tapi aku selingin dulu pakai cerita aku.”Irash berdiri untuk mengambil air minum di dapur. Retta mengikutinya. “Tujuannya buat cerita ke aku?”“Biar lebih akrab.”“Tapi, bikin ngantuk.”Retta tertawa. “Besok-besok durasi ceritanya aku perpanjang deh, biar kamu terbiasa dengerin aku cerita terus gak bakal ngantuk lagi.”Irash yang sedang minum melirik Retta sesaat. “Pulang sana.” Katanya begitu selesai minum dan meletakan gelasnya di atas meja.Retta tentu tidak menurut. Dia kembali mengikuti Irash yang berjalan menuju kamar. Lelaki itu segera merebahkan dirinya pada tempat tidur sebelum Retta mengambil alih kembali di tempatnya.“Beneran ngantuk ya?” tanya Retta memperhatikan Irash yang sudah memejamkan matanya.Gadis itu tersenyum. Dia melihat-lihat seisi kamar baru Irash. Tangannya mengambil wadah kecil berisi softlens yang biasa Irash gunakan untuk menutupi warna mata sebenarnya.Lagi, Retta melihat Irash yang sudah semakin terlelap. Bukan tanpa alasan dia mengajak Irash mendengarkan ceritanya. Sedikit banyak dia mempelajari karakter seseorang yang sulit bercerita seperti Irash. Orang-orang seperti mereka harus lebih banyak diajak mendengarkan, berinteraksi dengan sekitarnya. Dari awal Retta mengenal Irash, lelaki itu lebih suka menyendiri dan jarang keluar rumah selain karena harus sekolah. Retta kembali meletakan wadah lensa mata milik Irash. Dia berjalan mendekati sisi tempat tidur Irash. Di usapnya kening lelaki itu serta menyingkirkan anak rambut yang menutupinya. Lirih-lirih Retta berkata.“Aku janji akan buat kamu merasakan apa itu bahagia sampai kamu lupa apa itu luka.” Lebih mendekat lagi, Retta mencium kening Irash cukup lama. Setelahnya dia beranjak, berjalan dengan pelan keluar dari tempat Irash. Tanpa sepengetahuan Retta, lelaki itu meneteskan air mata dari matanya yang terpejam.
Misi Bahagia Retta
Bab 10Misi Bahagia Retta
Orang sering kali tak menyadari bahwa membahagiakan orang lain juga bisa membahagiakan diri sendiri. Ada kesenangan yang tak bisa digantikan dengan apapun ketika melihat mereka tersenyum karena hal kecil yang kita lakukan untuk mereka.Tak ada yang rugi dari membuat orang lain senang. Sayangnya kebanyakan orang berpikir untuk apa repot-repot melakukan hal itu sedangkan hidup sendiri juga sudah sangat sulit. Lantas akhirnya kita yang berpikir seperti itu menjadi egois dan hanya mencari kebahagiaan untuk sendiri.Teori bahagia Retta mengatakan bahwa Semakin sering membuat orang lain bahagia, maka akan semakin tinggi level kebagiaan yang kita rasakan.Asal satu ikhlas. Tanpa berharap dipuji. Malam ini Retta akan menjalankan misi bahagia Retta yang entah keberapa. Selepas magrib dia meminta supirnya untuk mengantarnya menjemput Irash lalu pergi ke rumah Keanu. Sang supir dipersilahkan pulang setelah selesai mengantar mereka.Rumah Keanu cukup besar, hanya saja terlalu sepi. Hanya seorang asisten rumah tangga yang menyambut kehadiran mereka dan mengantar mereka ke kamar Keanu.Retta sudah berdiri di depan lemari pakaian Keanu. “Menurut kamu mana yang bagus, Rash?” tanya Retta sambil memilah beberapa pakaian untuk Keanu kenakan nanti.Irash tak menjawab karena dia sibuk bermain games dari ponselnnya. Retta berusaha tidak marah, dia menatap Keanu yang berdiri kebingungan atas apa yang akan Retta lakukan padanya.“Lo lebih nyaman pakai apa?” tanya Retta pada Keanu.“Kaos.”Retta memilih beberapa kaos bermerk milik Keanu. “Semua ini gak pernah lo pake, kok masih ada price tag-nya?”“Enggak.”“Ya ampun! Terus yang lo pake kaos apaan?”Keanu membuka satu pintu lemari lainnya menunjukan pada Retta pakaian yang sering dia kenakan. Keanu nyengir menampilkan gigi berkawatnya. Hal itu membuat Retta berdecak kesal.“Nu, orang tua kita memberikan fasilitas untuk anak-anaknya bukan untuk disia-siakan, tapi untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dimanfaatkan agar benar-benar bermanfaat.”Irash menatap Retta, tapi begitu Retta menatapnya kembali dia langsung kembali sibuk dengan ponselnya.“Lo bilang malu buat ketemu Anita karena merasa lo gak keren, kan?”Keanu mengangguk. Retta tersenyum penuh arti. Gadis itu sudah bersiap untuk merubah penampilan Keanu. Dia bahkan memanggil stylish langganan Marina untuk datang ke rumah Keanu.Tok tok“Nah, om cantik datang.” Retta segera membuka kan pintu untuk seseorang yang dia sebut om cantik. “Mana orangnya yang mau di make over?” tanya lelaki gemulai dengan tubuh tinggi besar.Sesaat Keanu merinding. “Ta?”Retta menarik Keanu untuk duduk di kursi. “Percaya deh sama gue. Om cantik gak pernah gagal dandani orang.”“Betuuuy.”“Betul om.” Koreksi Retta.“Biar manjaaah.”Om cantik meletakan peralatannya di atas meja. Bersiap merubah penampilan Keanu. Retta menarik Irash keluar dari kamar Keanu. Mereka duduk di sofa di depan kamar Keanu.Satu menit berlalu Irash dan Retta tak membuka percakapan. Dua menit, tiga menit, empat menit….“Ta?”Retta menoleh. “Hmmm?”“Ngantuk?”“Sedikit.”Sedikit ragu sebenarnya, tapi tetap Irash lakukan. Dia menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Retta. Tangan kanannya menjulur ke belakang untuk meraih sisi kepala Retta lalu menariknya agar bersandar pada pundaknya.“Eh?” Retta kaget, tapi hanya sesaat karena Irash menahan kepalanya agar tetap bersandar. Retta diam tak ingin berkata apapun.Baru saja matanya akan terpejam tiba-tiba saja pintu kamar Keanu terbuka menampilkan sosok om cantik. Retta kaget, cepat-cepat dia bangkit begitu juga dengan Irash. Om cantik menatap mereka penuh arti, sedangkan Retta menatapnya seakan berkata Aku mohon jangan cerita ke Mia.“Keanu tunjukan dirimu, sayang.” Ucap om cantik menyudahi aksi tatapannya.Keanu muncul dengan tampilan baru. Tanpa kacamata dan rambut yang ditata sedikit messy, menampilkan kesan cool dengan pakaian casual.“Keren!” Retta berseru gembira.@@@Anita sudah menunggu Retta gelisah di sebuah kafe. Gadis itu menerima ajakan hangout dari Retta tanpa tahu kalau yang akan menemuinya adalah Keanu. Pertemuan itu dibuat seakan-akan bahwa Keanu tak sengaja bertemu Anita di tempat itu.“Sekarang, Ta?” tanya Keanu.“Ya sekaranglah. Sana, gue masuk setelah lo.”Dari luar Retta bisa melihat Anita yang duduk seorang diri dekat jendela. Keanu masuk, berjalan mendekati Anita. “Nita?” “Ke-Keanu?”Keanu menoleh kiri dan kanan seakan-akan mencari seseorang yang datang bersama Anita. “Sama siapa?”“Nungguin Retta.”Retta dan Irash masuk, gadis itu melambaikan tangannya pada Anita. Dia pura-pura kaget melihat Keanu dengan penampilan barunya. “Asli! Gue kira bukan lo. Ternyata lo ganteng juga,”Keanu tersenyum kikuk. Irash malas mendengar sandiwara Retta.“Gabung sama kita aja ya.”“Ta!” seru Anita berusaha mencegah.“Udah gak apa-apa.”Anita tak bisa menolak. Meja di dekat jendela itu berisi empat kursi. Retta tentu menggeret Irash untuk duduk di sisinya sehingga suka tak suka Anita harus menerima duduk di sebelah Keanu. Retta tersenyum sendiri memancing Irash yang meragukan kewarasan Retta.“Orang gak waras tuh emang sering senyum-senyum sendiri gitu ya?”“Aku tuh lagi inget sama drama Korea yang aku tonton,” Retta melihat Anita. “Yang pernah kita tonton bareng, Nit. Song jongki sama Song Hye Kyo.”“Apanya yang lo inget?”“Yang mereka double date di kafe. Posisi duduk mereka persiskan kaya kita sekarang.”“Tapi, kita gak lagi…”“Eh sebentar, Mia nge-wa,” Ucap Retta menghentikan kalimat Anita. “Ya gue disuruh pulang cepet. Sorry ya Nit, gue balik duluan ya.”“Ta!”Cepat-cepat Retta menarik Irash keluar sebelum Anita mengamuk. Gadis itu segera menghentikan taxi yang melintas. Mereka naik, lalu hujan turun dengan derasnya menahan Anita dan Keanu di kafe. Ah, sudah curiga sejak awal dengan apa yang Retta rencanakan untuknya. “Jujur ke gue ini rencana Retta, kan?”“Gue mau buat pengakuan. Gue mau jujur ke lo, setelah lo denger semuanya terserah lo mau tetap tinggal atau pergi.” Ucap Keanu tak menanggapi pertanyaan Anita sebelumnya.Meski kesal dan marah tapi, Anita tetap butuh penjelesan dari Keanu. Gadis itu menurunkan egonya. Dia bersiap mendengarkan segala pengakuan Keanu.@@@Di dalam mobil taxi yang melaju perlahan karena derasnya hujan dan kemacetan ibu kota ada dua remaja yang saling diam. Retta melihat keluar jendela menikmati hujan. Dia tersenyum berharap Anita dan Keanu berbaikan.“Kira-kira mereka lagi apa ya?” tanya Retta pada Irash tanpa melihat wajah lelaki di sisinya.“Kamu yakin rencana kamu berhasil?” Retta mengangkat kedua bahunya. Dia menatap Irash. “Gak tahu. Perihal berhasil atau tidak aku kira bukana masalah, yang penting sudah mencoba.”“Kamu nolong Keanu dengan tujuan ingin membuat Keanu bahagia, kan?”“Iya.”“Kalau rencana kamu gagal bukannya itu akan membuat Keanu makin sedih.”Retta tak langsung menanggapi. Gadis itu justru bertanya pada supir taxi yang membawanya. “Pak kalau hujan begini penumpang banyak enggak?”“Sedikit non, apalagi sekarang banyak taxi online. Kadang sehari Cuma dapat satu sampai dua penumpang, udah gitu macet lagi.”“Terus kenapa bapak masih tetap jadi supir taxi konvensional?”“Bapak lebih senang begini. Biar susah di jalanan, biar dapat penumpang sedikit bapak tetap bersyukur karena bapak masih punya pekerjaan. Tuhan gak pernah menyia-nyiakan hambanya yang berusaha, benarkan?”“Iya bapak benar. Setiap niat dan usaha yang baik akan berakhir dengan baik juga, kan pak?”“Bukan hanya berakhir baik, tapi juga perasaan tenang. Dari tenang kita bisa melihat segalanya dengan pikiran positif dan pikiran positif akan membuat kita selalu bahagia.”Retta menyetujui apa yang supir taxi itu katakan. Gadis itu melirik Irash yang sedari tadi diam mendengarkan. Irash tahu arah pembicaraan Retta dengan supir taxi itu, yaitu untuk menjawab pertanyaan sebelumnya yang dia ajukan pada Retta.Hujan berhenti begitu sampai di tempat kost Irash. Retta meminta supir taxi itu untuk menunggunya selagi dia bicara dengan Irash di luar mobil.“Kamu suka makan apa?” tanya Retta.“Apa aja.” Jawab Irash yang tak tertarik dengan pertanyaan Retta. “Makanan yang bikin kamu merasa bahagia?”“Semua makanan bisanya bikin kenyang, bukan bahagia.”“Masa kamu gak punya makanam favorit? Ayolah pasti ada.”Irash terdiam. Dia mengingat saat pertama kali ibu angkatnya mempertemukan ia dengan ibu kandungnya setelah menceritakan kebenaran tentang dirinya. Saat itu Irash tinggal beberapa hari bersama ibu kandungnya. Dia merasakan nikmatnya masakan pertama yang dibuat ibu kandungnya.“Sayur kacang merah.” Lirih Irash kemudian.Retta tersenyum mendengar jawaban itu. Dia berjinjit guna mencium pipi Irash. Cup“Selamat malam, Irash.” Kata Retta sebelum pergi. Dan untuk kesekian kalinya Irash berusaha untuk mencerna semua hal yang Retta tunjukan padanya.
Senyum Milik Irash
Bab 11 Senyum Milik Irash
Matahari terlalu cepat terbit hari ini, setidaknya itu yang Retta rasakan. Dia menguap berkali-kali di dalam mobil yang dikendarai abangnya. Lelaki itu terkekeh melihat polah adiknya yang menggemaskan itu. Kekonyolan Retta adalah hiburan menarik bagi Damar.Dia tak keberatan saat Retta bergeser dan menjadikan bahunya sebagai sandaran, meski sedikit berat karena dia sedang mengemudi. “Hoaaaam.” Retta menguap panjang.“Semalam tidur jam berapa?” Tanya Damar sambil terus mengemudi.“Jam 2 kayaknya.”“Jam 2? Ngapain aja kamu?”Retta menjauhkan dirinya dari pundak Damar. “Searching cara buat sayur kacang merah yang enak.”“Sejak kapan kamu tertarik masak? Bukannya kamu lebih suka makannya ya.”Retta tidak mungkin jujur begitu saja pada abangnya yang sering meledeknya itu. “Kayaknya naluri perempuan Retta udah keluar deh, jadi Retta merasa harus bisa masak.”Damar tak langsung percaya begitu saja. “Kok abang gak yakin ya sama alasan kamu?”“Tau ah bang,” Retta memperhatikan abangnya. “Ada masalah, bang?”Mata Damar melirik Retta sesaat. “Kagak ada.”“Ya udah kalau abang gak mau cerita sekarang, tapi abang harus ingat kalau Retta selalu ada buat abang. Kalau mau curhat ketuk aja pintu kamar Retta, Oke!”“Hmm.”Harus Damar akui bahwa Retta peka dengan keadaan orang-orang di sekitarnya. Adiknya itu luar biasa, sekalipun terkadang manja. Damar bersyukur mempunyai adik seperti Retta walau mereka tidak sedarah. Damar berterima kasih pada Tuhan karena dipertemukan oleh orang tua Retta yang sudi menjadikannya anak dan tak pernah membedakan statusnya dengan Retta.Lima belas menit berlalu, Damar menghentikan mobilnya di depan sekolah Retta. Dia menatap adiknya yang masih terlelap. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum bel berbunyi. Damar tak tega membangunkan Retta. Jadi dia memilih menunggu setidaknya dalam lima menit kedepan.Damar melihat ke luar. “Irash!” serunya saat melihat Irash yang melintas.Segera Irash menghampiri. Damar keluar dari mobilnya. “Ada apa, bang?”“Retta tidur tuh, bangunin gih. Abang gak tega.”Irash mengangguk berjalan menuju sisi pintu mobil lainnya. Benar, begitu dibuka dia melihat Retta yang terlelap. Irash membungkuk, lalu berusaha membangunkan Retta dengan sedikit menggoyangkan tubuh gadis itu.“Ta, bangun.”Retta tak bergeming. Sekali lagi Irash membangunkan dan hasilnya tetap sama. Irash tak kehabisan akal, dia menjepit hidung Retta dengan kedua jarinya untuk mengurangi pasokan oksigen gadis itu.Awalnya biasa saja, tapi pada detik berikutnya Retta mulai kehabisan oksigen. Gadis itu membuka matanya mendapati Irash yang tersenyum tanpa melepaskan jepitan jarinya pada hidung Retta.“Lepas ih!” Retta memukul-mukul lengan Irash, yang dipukuli justru tertawa lalu melepaskan tangannya dari hidung Retta. “Kamu mau bunuh aku?!” sentak Retta.Irash hanya mengangkat bahu. Damar masuk kembali duduk dibalik kemudi. “Abang yang minta Irash bangunin kamu.”“Dia bukan bangunin bang, dia mau ngebunuh.” Retta menunjuk Irash tak terima.“Turun sana bentar lagi masuk.” ucap Damar pura-pura mengusir adiknya itu.“Iya, iya. Abang hati-hati di jalan.”Retta turun dari mobil dengan kesal. Matanya sengit menatap Irash. Sebelum berlalu dari mobil Damar berkata.“Makasih, Rash.”Irash mengangguk dibarengi senyum. Segera dia melangkah lebar berusaha menyeimbangi langkah Retta. “Tadi kamu lucu.” Kata Irash.Retta berhenti melangkah. “Lucu! Apanya yang lucu dari orang mau mati karena kehabisan oksigen.”“Kamu berlebihan, Ta. Siapa juga yang mau bunuh kamu. Itu aku lakukan karena kamu susah dibangunin.”Retta menghela nafas menangkan dirinya. “Terima kasih Irash.” Katanya dengan memaksakan senyum.“Sama-sama Retta.” Balas Irash terkekeh. Namun tawa Irash terhenti saat tiba-tiba Keanu datang memeluknya.“Thanks, Rash udah bantuin gue.” Ucap Keanu senang sebelum melepaskan pelukkannya. Lalu dia melihat Retta. “Makasih juga buat lo, Ta.”Raut wajah bahagia Keanu tidak ditutupi. Itu artinya rencana kecil Retta untuk mendamaikan Anita dan Keanu berhasil. Lelaki itu nyaris melompat kegirangan dan tak henti tersenyum serta berterima kasih pada Irash dan Retta.Setelah sekian lama Irash kembali merasakan rasa dimana ketika dia melihat seseorang tersenyum karenanya, bahagia karenanya. Dia tidak ingat kapan dan siapa yang dibuat senang olehnya seperti Keanu saat ini sampai dia hanya bengong melihat Keanu yang terus tersenyum itu.Retta menyenggol bahu Irash dengan lengannya. Berkedip genit pada lelaki itu. “Happy?”Tak menjawab Irash justru memilih berlalu.“Dasar gengsian,” Kata Retta tersenyum geli. “Gue ke kelas duluan ya, Nu.”@@@Katanya ada yang lupa bagaimana cara bahagia dan cara mencintai. Irash mungkin salah satunya. Dia lupa kapan terakhir hatinya menghangat karena bahagia. Terlalu banyak luka yang menutupi bahaginya. Ditambah lagi dia yang tak percaya bahwa Tuhan akan memberinya kebahagiaan lebih dari yang dia kira. Irash hanya perlu bersabar.Mengingat kembali bagaimana Tuhan mempertemukannya dengan Retta dan bagaimana cara gadis itu menyentuh hatinya, Irash tersenyum sambil berjalan sepulang sekolah menuju tempat kostnya. Senyumnya terhenti tatkala kakinya juga berhenti melangkah. Di depan matanya ada seorang wanita mengais sesuatu dari tempat sampah. Pakaian wanita itu lusuh. Ada karung besar di sisi kirinya. Karung berisi botol-botol plastik bekas dan rongsokan lainnya yang masih dimanfaatkan. “Bu, makanannya sudah dapat?” tanya seorang anak kecil yang datang menghampiri ibu itu.Sang ibu menjawab. “Kamu yang sabar ya, kita jual dulu botol-botol bekas ini.”Irash memperhatikan pemandangan menyedihkan itu, tapi fokusnya teralih saat di depan matanya tiba-tiba saja terulur tangan dengan kantong plastik putih berisi empat bungkus nasi padang. Irash menoleh melihat siapa pemilik tangan kurus itu.“Ini.” Ucap Retta menggoyangkan plastik berisi makanan di muka Irash.“Apa?”“Gak peka,” Retta menarik lengan kanan Irash untuk menerima makanan yang sedari tadi disodorkan pada Irash. “Ini makanan, tolong kasih ke mereka.”“Kenapa aku?”“Kasih aja, sana.” Retta mendorong Irash untuk memberikan makanan itu pada mereka. Sedangkan dia diam ditempatnya mengamati Irash.Irash meski kesal dia tetap menghampiri ibu dan anak yang tengah memulung itu. Sedikit kaku Irash berkata. “Maaf bu, tadi saya dengar anak ibu minta makan… em… kebetulan tadi ada orang baik bagi-bagi makanan. Tolong ini diterima ya.” “Maaf tapi saya tidak bisa menerima ini. Bukannya saya tidak sopan, tapi saya masih mampu mencari.”Irash yang tak biasa menghadapi situasi seperti saat ini jadi bingung sendiri. Dia menggaruk tengkuknya. Disaat bingung mau membalas apa, Retta datang.“Bu, ibu bisa bantu teman saya?” tanya Retta pada wanita itu.“Bantu apa ya dek?”“Begini teman saya ini lagi belajar jadi orang baik bu. Kalau dalam proses belajarnya tidak didukung, nanti dia akan merasa percuma jadi baik. Jadi ibu mau kan melihat orang lain berubah menjadi baik?”“Tentu, masa ingin belajar baik dilarang.”Retta tersenyum. “Kalau gitu ibu terima ya. Anggap saja ini rezeki ibu hari ini karena ibu sudah bekerja sangat keras, dan sebagai bentuk ibu menolong teman saya menuju baik.”Ada haru yang Retta lihat dari wajah ibu yang tak ia kenal namanya. “Terima kasih nak, ibu terima ya.” “Asyiiik!! Kita bisa makan hari ini!” seru si anak ibu itu girang.“Bilang terima kasih ya.” Kata ibunya.“Terima kasih kak.”Retta berjongkok. “Sini peluk kakak.”Anak kecil itu menghambur kedalam pelukan Retta. Irash memperhatikan, dia tak menyangka Retta tidak merasa jijik memeluk gadis kecil kumal itu. Bahkan Irash bisa membaui orama tidak sedap yang menguar dari tubuh gadis kecil itu.“Sekarang kamu boleh peluk kakak itu.” Kata Retta begitu dia melepaskan pelukkannya.Gadis kecil itu mengangguk riang, dia berpindah memeluk kaki Irash yang masih berdiri. Dia mendongak. “Terima kasih kak.”“I..iya.”Retta kembali berdiri. “Bu, kami permisi ya. Terima kasih bu.”“Ibu yang seharusnya berterima kasih pada kalian. Semoga Allah membalas segala kebaikan kalian dan memberikan kalian banyak kebahagiaan.”“Aamiin,” balas Retta. “Kami permisi bu.”Retta tersenyum sebelum pergi. Dia menarik tangan Irash yang lebih banyak diam itu. Dalam pikiran Irash sedang terjadi proses penerimaan. Tanpa ia sadari bibirnya sudah melengkung tersenyum dan Retta melihat itu.Irash perlu dirangkul lebih sering agar dia tahu bahwa ia tak sendiri. Dikenalkan dengan lingkungan sekitarnya, diperlihatkan hal-hal yang membuatnya akan menyadari bahwa dia jauh lebih beruntung dari yang lainnya.“Kenapa kamu tiba-tiba bisa ada di sana?” Tanya Irash ketika mereka berjalan menyusuri gang menuju tempat tinggal Irash.“Aku emang sengaja lewat jalan itu karena mau ke tempat kamu.”“Ngapain?”“Nungguin Pia jemput, dari pada nunggu di sekolah yang sepi kan lebih baik di tempat kamu.” Terang Retta apa adanya. Irash tak bisa mengusir kehadiran Retta di dekatnya. Gadis itu sudah banyak mempengaruhi pola pikirnya. Irash penasaran apa lagi yang akan Retta perbuat padanya. Bukan sekedar penasaran, tapi juga ada sesuatu lain yang Irash rasakan.
Pelajaran Bahagia Dari Retta
Bab 12Pelajaran Bahagia Dari Retta
Hari-hari berikutnya Retta menjadi lebih sering mengajak Irash untuk berinteraksi dengan orang banyak. Menolong sedikit kesulitan mereka. Seperti mengajari teman sekolah yang tak mengerti materi pelajaran. Ikut serta menjadi relawan mengajar di sekolah kolong jembatan. Ikut kegiatan bakti sosial sampai membantu nenek-nenek menyebrang.Menurut Retta orang seperti Irash tidak akan mempan hanya lewat omongan saja. Melibatkan Irash secara langsung dalam kegiatan sosial jauh lebih berpengaruh pada pola pikirnya. Retta sudah mulai melihat perubahan Irash.Dalam sibuknya mengajarkan Irash untuk melihat bahagia, Retta tetap belajar membuat sayur kacang merah. Membuat orang tua serta abangnya bingung. Ini sudah percobaan kesekian kalinya dengan mengikuti arahan dari Marina.“Kenapa belajarnya Cuma sayur kacang merah?” tanya Marina sambil memperhatikan putrinya yang berdiri di depan kompor dengan affron bergambar Doraemon yang sengaja dia beli hanya untuk memasak sayur kacang merah.“Belajar harus satu-satu, Mia. Kalau yang ini udah mahir baru deh buat yang lainnya.”“Bukan karena kamu sedang menarik perhatian lawan jenis, kan?”Retta yang tengah memasukan potongan bawang merah kedalam panci terkekeh. “Ini buat hadiah, Mia. Bukan buat caper.”“Hadiah buat siapa?”“Buat seseorang yang sudah berusaha keras.”Marina semakin tak mengerti dengan arah pembicaraan Retta pun mendekati putrinya. “Mia masih gak ngerti. Kamu ngomong terus terang deh sama Mia, buat siapa?”“Hehehe, nanti Mia juga tahu.”Retta memang tidak memberi tahu siapapun perihal dia yang akan memberikan kejutan untuk Irash. Takutnya dia akan diledek habis-habisan oleh abangnya jika misi membahagiakan Irash bocor kepermukaan.“Cobain, Mia.” Retta menyodorkan sesendok sayur kacang merah pada Marina.Dengan senang hati Marina mencicipi masakan puterinya. “Em… manis banget, kamu masukin gula merahnya berapa banyak? Ini rasanya mirip kolak, pake bumbu.”“Retta masukin semua yang ada diwadah. Mia bilang kemarin gula merahnya dibanyakin kan?”“Iya sayang, tapi gak sekilo juga kali.”“Hah! Sekilo?!”Marina terkekeh, bi Warni yang datang membawa cucian kotor juga ikut terkekeh tatkala mendengar percakapan ibu dan anak itu.“Gagal lagi dong.” Retta cemberut kesal, tapi juga tak ingin menyerah. “Udah biar bibi aja yang masak, non.” Kata bi Warni setelah memasukan cucian kotornya ke dalam mesin cuci.“Kalau bi Warni yang buat nanti hadiah jadinya dari bibi, bukan dari Retta,” Retta mengangkat pancinya. “Terus ini digimanain, Mia? Masa dibuang lagi?”“Yang gagal-gagal kemarin kamu buangin?” tanya Marina mengambil alih panci dari Retta. Wanita itu menyaring kacang merahnya, membuang sebagain airnya lalu ditambahkan lagi air yang baru. “Masakan gagal itu bukan berarti gak bisa dimakan. Masih bisa diakalin biar layak makan.” “Itu kan Mia yang bisa ngakalin masakan gagal, lah kalau Retta? Yang ada malah jadi racun.”“Masak juga ada seninya. Harus pakai hati dan mood yang bagus,” Marina meletakan panci berisi kuah kacang merah yang sudah ditambah dengan air lagi. “Setiap prosesnya harus dinikmati. Sama seperti menjalani hidup, biarpun susah harus tetap dinikmati kan?”“Betul!”“Nah, sekarang kamu ambil lagi kacang merah yang baru. Mia ajarin dari awal, kamu perhatikan.”“Oke Mia!”Jika sebelum-sebelumnya Marina hanya mengamati kegiatan Retta mengacak-acak dapurnya, kali ini Marina akan mulai mengajari Retta. Melihat bagaimana kesungguhan putrinya itu Marina yakin Retta akan berhasil. @@@Setelah dari pagi Retta belajar memasak sayur kacang merah yang enak, kini sore harinya Retta mengajak Irash ke sebuah yayasan kanker anak milik keluarganya. Mereka tidak hanya berdua tapi, ada Anita, Keanu, Jihan dan Tuti. Sengaja memang agar sama-sama mendapatkan pelajaran berharga dari anak-anak hebat di yayasan itu.Kedatangan mereka disambut hangat oleh Wanda. Tantenya Retta selaku pengelola yayasan nonprovit itu. Wanda senang setiap kali ada relawan atau siapapun yang datang menjenguk pasien-pasien kecilnya.“Selamat sore tante,” sapa Retta. “Maaf datangnya agak telat, macet.”“Gak apa-apa. Kamu kesini saja tante sudah senang. Ayo, anak-anak lagi ada kegiatan sore.”“Kegiatan apa ya, tante?” tanya Jihan.“Menggambar atau bermain musik.” Wanda menjelaskan pada teman-teman Retta tentang kegiatan apa saja yang dilakukan anak-anak penderita kanker di yayasan tersebut. Tujuanya tentu untuk membangun semangat dan rasa percaya diri mereka. Retta dan teman-temannya menuju satu ruangan dimana para malaikat kecil itu tengah berkumpul. Ada yang duduk di kursi roda dengan di dampingi perawat. Ada yang duduk-duduk sambil menggambar. Beberapa dari mereka terlihat begitu rapuh dan tanpa rambut dikepalanya.Tapi, mereka tersenyum menyapa kehadiran Retta dan teman-temannya. Keanu dan Tuti bahkan menitikan air mata. Retta berbisik di telinga Tuti.“Syaratnya di sini gak boleh nangis.”Cepat-cepat Tuti menyeka air matanya. Dia berusaha tegar dan menampilkan ekspresi cerianya. “Selamat sore adik-adik.” “Selamat sore, kak.” Balas anak-anak kompak.Retta maju selangkah. Dia sudah sering datang berkunjung. Beberapa anak sudah tidak ada di tempat itu. Ada kembali pada Tuhan, ada juga yang pulang ke rumahnya. Retta melihat beberapa wajah baru di ruangan itu.“Perkenalkan nama kakak Retta, diantara kalian ada yang sudah kenal kakak, kan?”“Iya kak! Aku sampai bosen lihat kakak.” Balas salah satu gadis kecil bernama Shena. Mereka semua tertawa mendengar penuturan Shena.“Ya sayang kamu sudah bosan sama kakak, padahal kakak kangen kamu.” Ucap Retta memelas.Gadis kecil itu tersenyum. “Aku juga kangen kakak.”Selanjutnya Retta memperkenalkan teman-temannya pada anak-anak itu. Mereka semua antusiast dan langsung berbaur untuk menghibur anak-anak penderita kanker itu. Retta dan teman-temannya punya waktu satu jam untuk menemani anak-anak itu sebelum mereka istirahat.Satu jam yang membuat Irash merasa dirinya begitu beruntung. Satu jam yang memberinya banyak pelajaran. Irash melirik Retta yang tengah tertawa bersama Anita dan anak-anak di sekitar gadis itu.Lewat tawa itu Irash melihat bahagianya, lalu dia tersenyum betapa Retta selama ini diam-diam tumbuh di hatinya. Hati yang kini sudah berbunga-bunga. Terima kasih, Ta. Lirihya dalam hati.@@@ Ada perasaan haru dan bahagia saat mereka pulang. Keanu menggunakan mobil ayahnya untuk acara mereka sore ini. Waktu baru menunjukan pukul tujuh malam saat mereka pulang. “Mau nonton dulu, gak?” ajak Keanu pada teman-temannya. Anita yang duduk di sebelahnya menoleh ke belakang. Tuti dan Jihan saling melirik. Di belakang mereka ada Irash dan Retta yang terlelap dengan Retta yang bersandar pada Irash.“Kayaknya enggak usah deh, mereka kelihatan kecapean gitu.” Ucap Jihan.“Iya, besok juga kita ada ulangan Fisika.” Tambah Tuti.“Oke kalau gitu gue anter kalian balik dulu.” Ucap Keanu.“Nu, drop gue di perempatan Mampang aja deh. Biar lo gak muter-muter.” Pinta Jihan yang tak tega jika harus mengantarnya pulang karena rumahnya paling jauh dari yang lain.“Gak apa-apa turun di sana?” tanya Anita memastikan.“Gak apa-apa, gue udah biasa juga kok.”Keanu menuruti keinginan Jihan. Mobilnya berhenti di tempat yang Jihan mau. Setelahnya dia mengantar Tuti sampai di depan rumah. Waktu yang dihabiskan di jalan ternyata cukup panjang karena kemacetan ibu kota yang nyaris sulit diurai. Anita mengusap puncak kepala Keanu penuh sayang. Keanu bahkan menarik tangan Anita untuk dikecupnya. Mereka berdua tak sadar kalau di belakang mereka masih ada Irash dan Retta yang sudah membuka mata memperhatikan keromantisan Keanu dan Anita.“Duh yang udah jadian tapi, gak bilang-bilang.” Celetuk Retta yang membuat Anita cepat-cepat menarik tangannya dari Keanu.“Bukannya lo tidur?!”“Gue melek, nih.” Retta menunjukan matanya yang bulat.“Itu melotot bukan melek, Ta.”“Ssst!! Diem! Gak usah mengalihkan pembicaraan awal. Kenapa lo jadian sama Keanu gak ngasih tahu gue.”“Rame kalau lo tahu.” Balas Anita tak mau kalah.“Terus lo anggap gue selama ini apa Anita?”“Retta yang ngeselin, tapi gue sayang.”Retta pura-pura tersipu. Dia menyilangkan ibu jarinya dengan jari telunjuk membentuk heart sign ala Korea. “Heart you.” Lalu Retta melayangkan ciuman jarak jauh.“Jijik gue.” Ucap Anita pura-pura bergidig geli. Keanu dan Irash tertawa melihat tingkah dua gadis itu. Irash tanpa sadar mengusap puncak kepala Retta. Malam terus beranjak, mereka berempat saling berbagi cerita untuk mengusir jenuh karena jalanan yang macet. Retta hari ini lebih banyak melihat Irash tertawa.
Dua Warna Berbeda
Bab 13Dua Warna Berbeda
Retta duduk di atas dahan pohon Mangga bersama Anita, Jihan dan Tuti duduk di atas rumput. Mereka berempat menghabiskan jam istirahat di belakang sekolah setelah lebih dahulu membeli makanan di kantin.Keempatnya membicarakan gosip dari artis-artis Indonesia sampai dengan luar negeri. Tuti paling semangat membicarakan idola Koreanya. “Beneran lo ke Singapur Cuma buat jingkrak-jingkrakan nonton cowok-cowok itu?” tanya Anita dari atas pohon, sedikit tak percaya dengan pengakuan Tuti.“Lo gak lihat Ig story gue?”“Gak penting.”Jihan terkekeh, lalu dia menimpali. “Lo tahu Nit, waktu itu Ig story-nya banyak banget. Kayaknya tiap detik dia nge-post deh.”“Fans garis keras yang hidupnya dalam kehaluan.”“Mereka itu bahaginya gue, Nit.”“Sebahagia lo, Tut.”Retta dan Jihan sama-sama tertawa. Kemudian Retta mengingat sesuatu dan bertanya pada Tuti. “Eh, Tut gosip gue udah gak kedengeran lagi beberapa hari ini, lo tahu kenapa?”Ditanya seperti itu Tuti langsung bangkit. Dia berdiri bersandar pada pohon Mangga. “Bukan Cuma gosipnya, tapi foto-foto lo sama kak Irash di IG juga udah gak ada.”“Foto apaan?”“Foto kak Irash di rumah lo dan foto-foto waktu lo sama kak Irash pas lagi berduaan.”“Kok gue bisa gak tahu soal foto-foto itu?” tanya Retta pada dirinya sendiri. Padahal dia sering sekali berlama-lama di Instagram.“Di post sama fake account, terus sekarang udah gak ada.”Retta mengangguk mengerti. Ah, sudahlah dia tak mau memikirkannya lagi. Gosip memang seperti itu bukan? Datang dan menghilang. “Tapi ya Ta, gue penasaran sih sama hubungan lo dan kak Irash.” Ungkap Jihan menyuarakan isi hatinya.“Gue sama Irash gak ada hubungan apa-apa.”“Gak tahu kalau besok.” Celetuk Anita yang disambut ledekan Tuti dan Jihan.“Cieee… Retta-Irash.” Ledek Tuti.“Eh!” Retta melompat turun dari dahan pohon. “Ada yang baru jadian, tapi belum ngasih traktiran.”Anita mendelik pada Retta. Gadis itu ikut turun, lalu membekap mulut Retta. “Ini mulut minta disumpel ya!”“Traktir! Traktir! Traktir!” sorak Jihan dan Tuti. Anita cemberut, dia melepaskan bekapan tangannya dari mulut Retta.“Jajan sendiri!” sentak Anita kesal, tapi itu tidak membuat ketiga temannya marah. Mereka justru tertawa.@@@Bel pulang sekolah berbunyi. Retta dan teman-temannya baru saja keluar kelas. Irash sudah menunggu Retta di depan kelas dengan menyandarkan punggungnya pada dinding. Kedua tangannya tenggelam dalam saku celananya.Beberapa murid perempuan mencuri pandang pada Irash yang menunduk. Dia tak suka jadi pusat perhatian. Satu tepukan cukup keras membuatnya mendongak. Retta memasang tampang terimutnya.“Ayo pulang!” ajak Retta riang.“Beneran Mia minta aku ke rumah?” tanya Irash ragu.“Beneran deh, mau aku telpon Mianya biar kamu percaya?”“Gak usah,” tolak Irash. “Ketempat aku dulu ya, ganti baju.”“Oke.” Keduanya berjalan menuju tempat kost Irash yang tak jauh dari sekolah. Selain Irash ada juga beberapa siswa yang tinggal di tempat kost itu. Sisanya adalah mahasiswa-mahasiswa dari universitas terdekat. Irash yang kurang bersosialisasi itu hanya mengenal dua orang saja dari 30 orang penghuni di sana.Irash tersenyum mencuri pandang pada Retta yang berjalan di sisinya. Gadis itu bersenandung kecil menyanyikan lagu Count On Me yang dipopulerkan oleh Bruno Mars.“Waktu itu aku dengar kamu nyanyi lagu Epilogue-nya Keaton Henson.”“Kenapa, kamu suka sama Keaton Henson?”“Mmm,” Irash mengangguk. “Aku kira perempuan kayak kamu suka sama boyband.”“Itu juga suka, tapi aku dengerin lagu-lagu yang lain juga. Aku suka sama Keaton Henson gara-gara gak sengaja nonton film x y.”“Film x y?”“Iya yang main Asa Butterfield. Terus di scene terakhir lagu Small Hand jadi soundtrack-nya. Dari situ penasaran, terus nyari di internet.”Mereka terus berbincang-bincang disepanjang jalan menuju tempat tinggal Irash. Membunuh waktu dengan berbagi tawa.Irash merogoh celananya mengambil kunci kostnya. Dia mempersilahkan Retta masuk. Gadis itu duduk pada arm chair, sementara Irash ke dapur untuk mengambilkan Retta minum. “Minum dulu.” Irash meletakan gelas pada meja kayu bulat di sisi kursi yang Retta duduki.“Rash?”“Apa?”“Boleh minta sesuatu.” “Asal jangan susah.”Retta menggeleng. Gadis itu mendongak menatap Irash. Ragu-ragu dia berkata. “Ak… Aku pengen lihat mata kamu tanpa lensa.”Dalam pikiran Retta, Irash akan diam kemudian pergi tanpa menunjukan warna asli matanya. Namun ternyata pikirannya salah, Irash justru menarik kursi lainnya untuknya duduk berhadapan dengan Retta. Lelaki itu mengambil tempat lensa matanya dari atas meja tak jauh darinya. Perlahan Irash memelepas dua lensa matanya dengan Retta yang memperhatikannya. Selesai semuanya di lepas pandangan keduanya langsung bertemu. Retta menatap takjub untuk kesekian kalinya.“Biru warna mata papa, yang cokelat warna mata mama.” Terang Irash dengan berat.“You don’t need to explain, itu pasti menyakitkan. Alasan apapun kamu menyembunyikan warna asli mata kamu, biar itu jadi milikmu sendiri.”Menatap Retta berlama-lama membuat jantung Irash berdegup semakin cepat. Perasaan cintanya begitu terasa nyata, tapi Irash memutuskan untuk menyimpan dulu. “Selain mendiang kedua orang tua angkatku, dan orang-orang dimasa kecilku, kamu adalah orang pertama yang tahu warna asli mataku.”“Oh ya? Apa itu spesial?”“Emmm.”“Kalau aku minta kamu gak pakai softlens lagi, kamu mau?”“No. Biar kamu aja yang tahu indahnya warna mata aku, yang lain gak perlu.”Retta tersenyum. “Oke, berarti sekarang kamu mengakuikan kalau kamu punya mata yang indah, bukan mata yang cacat. Iya kan?”Irash menjulurkan tangannya mengusap sisi wajah Retta dengan lembut. “Karena kamu tunjukin ke aku tentang bersyukur dan bagaimana cara melihat bahagia.” Tutur Irash lembut.Retta kehabisan kata untuk membalas ucapan Irash. Matanya masih tertuju pada Irash yang juga menatapnya sembari mengusap pipinya lembut. Seketika Retta merasa oksigen menghilang dari sekelilingnya. Cepat-cepat gadis itu berdiri lalu keluar dari kamar kost Irash. Retta berdiri di teras menghirup udara sebanyak-banyaknya, menetralkan detak jantungnya.Irash tersenyum simpul melihat kegugupan Retta yang baru pertama kali ia lihat. Dia ikut beranjak berdiri diambang pintu yang terbuka. Memperhatikan punggung Retta.“Kenapa, Ta?” tanya Irash pura-pura tak tahu kegugupan gadis itu.Retta enggan berbalik. Kedua tangannya mengipasi wajahnya yang terasa panas. “Pia bilang kosan ini paling bagus, kenapa gak ada AC-nya?”Irash terkekeh. Dia menghampiri Retta. Berdiri di belakang gadis itu. Irash mendekatkan kepalanya ke telinga Retta dan berbisik. “AC-nya udah nyala dari semalam. Lupa aku matiin.”Retta melangkah menjauhi Irash. Tanpa meneloh dia berkata. “Cepetan ganti baju, Mia udah nungguin.”@@@Adalah keinginan yang membuat seseorang tetap bergerak meniti hari meski tak selalu diingini. Keinginan untuk mencapai cita, cinta dan bahagia adalah motivasi mereka menjalani hidup tanpa mengeluh.Dari hidup apa yang dikeluhkan? Bukankah mengeluh akan semakin membuat perjalanan hidup kian terasa berat? Bersyukur adalah cara yang paling ampuh untuk meringankannya. Irash merasakan itu sekarang. Sejak Retta mengajarinya cara bersyukur, sejak saat itu juga dia melihat sisi-sisi bahagia yang berada ditengah-tengah luka. Kehadiran Irash kembali disambut Marina dengan bahagia. Wanita itu bahkan tak sungkan untuk memeluk Irash penuh kasih selayaknya anak sendiri. Mendiang sahabatnya pernah mengatakan bahwa Irash sangat rapuh, lelaki itu sering kali menangis dalam tidurnya.“Ih! Mia kok Irash doang yang dipeluk, Retta juga pengen.” Ucap Retta menunjukkan sandiwara irinya.Marina gemas lantas mencubit kedua pipi putrinya. “Bosan, tiap hari peluk Retta terus. Sekali-kali peluk yang ganteng dong.”“Idih Mia! Genit, inget umur. Irash buat jatah yang muda.”“Jatah siapa? Yang muda, kamu maksudnya?” tanya Marina menggoda. Tentu saja hal itu membuat Retta gelagapan. Cepat-cepat dia mengangkat kedua tangannya menyatakan tidak lengkap dengan gelengan kepalanya. “Bukan! Bukan Retta… iiih Mia.” Tak sanggup lagi menyembunyikan rona merah pipinya, Retta memilih segera menuju kamarnya. Sedangkan Irash hanya senyum-senyum melihat Retta yang malu-malu. Sepertinya menggoda Retta akan sangat menyenangkan.“Gimana di sekolah?” tanya Marina mengajak Irash masuk.“Baik-baik aja.”“Wali kelas kamu bilang kalau kamu suka sendirian.”“Irash gak terlalu suka keramaian tante.”“Tapi, kamu punya teman kan?”“Punya.”“Duduk dulu ya, Mia ke dapur dulu.”Marina tak ingin Irash merasa sendiri, dari itu ia meminta Irash untuk datang meski tak ada perayaan khusus. Menanyakan bagaimana Irash di sekolah juga salah satu bentuk kepedulian Marina terhadap Irash. Banyak orang tua yang sering sekali lupa bahwa pertanyaan yang sering dianggap sepele itu sebenarnya hal yang penting bagi anak-anak.Anak-anak akan berpikir bahwa orang tua mereka benar peduli dengan mereka dan mereka tak akan sungkan bercerita kepada orang tua ketika mereka merasa begitu diperhatikan. Dari bercerita orang tua akan tahu apa saja yang anak-anaknya kerjakan diluar rumah. Akan tahu kesulitan apa yang mereka hadapi sehingga orang tua akan dengan cepat mencari solusi yang tepat.“Retta belum turun?” tanya Marina ketika tak mendapati putrinya di ruang keluarga. “Nih kamu cobain kue buatan Mia.”Diletakannya sponge cake di hadapan Irash beserta secangkir cappucino. “Terimakasih tante.”“Mia ke atas dulu, panggil Retta.”Irash mengangguk. Dia bangga dengan orang tua Retta yang meski sibuk sekalipun masih sempat mengantarkan Retta ke sekolah, masih sempat mendengarkan cerita anak-anaknya dan masih sempat menyiapkan kudapan sore yang nikmat.Mata Irash melirik pada mug keramik bergambar doraemon di sebelahnya yang berisi susu cokelat panas. Dia mengangkat mug itu memperhatikan gambar doraemon, lalu bergumam. “Doyan doraemon ternyata.” Dan meletakan kembali mug tersebut di atas meja.“Irash.” Panggil Retta dari belakang. Gadis itu sudah berganti pakaian. Kaos dengan gambar doraemon dan celana jeans selutut.Irash menoleh. “Kenapa?”“Mau ngobrol di belakang, gak?”“Boleh.”Kedua remaja itu masing-masing membawa kudapan sore mereka ke halaman belakang rumah. Menikmati lembutnya sponge cake bertabur keju dengan tawa dan canda. Keduanya saling menunjukkan kasih sayang mereka lewat tawa, lewat canda dan lewat mata. Sedangkan hati mereka masih malu-malu menampakkan diri.
Tantangan
Bab 14Tantangan
Ada banyak hal yang diajarkan dari lingkungan sekitar, dari orang-orang terdekat. Semuanya menguji kemampuan membaca kita terhadap mereka. Membaca bukan hanya buku, tapi juga lingkungan, keadaan dan ekspresi yang ditampilkan wajah-wajah dari orang berbeda.Tak semua mampu.Jangankan untuk membaca, dan memahami orang lain, untuk memahami diri sendiri saja orang masih kesusahaan.
“Kalau lo mau Retta, lo harus lawan gue!” seru Reno dari belakang Irash. Irash yang tengah duduk ditepi dinding pembatas rooftop seketika menoleh, lalu kembali tak peduli. Ia tahu Reno yang semula baik padanya hanyalah pura-pura, sikap dan sifat asli Reno semakin tampak sejak kejadian di kantin waktu itu. Reno semakin arogan padanya.Sikap tenang Irash yang terkesan tak mau ambil pusing itu membuat Reno semakin geram. Sudah berkali-kali dia menantang Irash untuk melawannya bertanding basket, tapi selalu diabaikan oleh Irash. “Lo denger gak gue ngomong!” Sentak Reno sekali lagi.Tapi, yang disentak tetap tak bergeming. Apa yang dilihatnya di bawah sana jauh lebih menarik, bahkan sayang kalau dilewatkan.“Budeg lo!” sekali lagi Reno mencoba menarik perhatian Irash.Irash tersenyum, tapi bukan karena mendengar ucapan Reno. Dia tersenyum karena seseorang di bawah sana bercanda dengan ketiga temannya. Geram karena diabaikan Reno mendekati Irash dengan tergesa. Dia menarik kasar kerah belakang Irash sampai sang pemilik menjauh dari tempatnya semula.“Pantes Retta nolak lo. Kasar.” Ucap Irash dingin.Kalimat itu seperti daging segar yang dilempar ke kandang Singa, memancing untuk segera menerkam dan memakannya. Reno melayangkan tinjunya ke pada Irash, tapi sayang dia hanya meninju angin sebab Irash menghindar lebih cepat dari tinjunya.Merasa semakin dipermainankan oleh Irash, Reno menendang kursi kayu rusak di sebelahnya. “Kalau mau lo Retta tenang di sekolah ini, Lo harus mau terima tantang gue.”“Oke! Gue tunggu di lapangan, pulang sekolah,” Kata Irash akhirnya. “Tapi, kalau lo kalah lo harus buat pengakuan kalau selama ini lo yang udah nyebarin gosip gak bener tentang Retta,”Reno membeku.“Kaget gue tahu? Kalau lo mau tahu gue juga yang nge-Hack sosmed lo.” Setelah mengatakan itu Irash berlalu menyisakan kekesalan di hati Reno.@@@Alasan dulu mengapa Retta menolak Reno adalah karena lelaki itu terlalu agresif padanya. Terkadang memaksanya untuk pulang bersama meski Retta berkata tidak. Mulai ditolak dengan cara halus, sampai akhirnya Retta mengumpat kasar padanya. Retta yang saat itu baru masuk SMA, tiba-tiba diajak pergi berlibur oleh ayahnya. Mulai dari liburan semester sampai molor dua minggu melewati libur semester. Kesempatan itu dimanfaatkan Reno yang sakit hati untuk menjelekkan citra Retta di sekolah. Selain itu juga agar tak ada lelaki yang mendekati Retta.Cintanya mungkin besar untuk Retta, tapi nafsu menutupi kesucian cinta hingga akhirnya hanya amarah yang tersisa.“Ta! Retta!” teriak Tuti yang berdiri di depan kelas. “Retta buruan!”“Iya Tut, ini lagi beresin buku dulu.”Retta dirasa lambat bergerak saat keadaan yang menurut Tuti genting. Siswi bertubuh gempal itu kembali masuk untuk menyeret Retta segera keluar kelas.“Sabar dong,” pinta Retta saat tangannya ditarik paksa. “Itu tas sama buku gue ketinggalan.”“Biarin aja! Ini lebih penting.”“Penting apaan?”“Kak Irash sama kak Reno lagi duel di lapangan.”“Hah?!”Retta melepaskan tangannya dari genggaman Tuti. Dia segera berlari menuju lapangan yang sudah ramai oleh sorak-sorai pendukung dua kubu Reno dan Irash. Retta berusaha memecah kerumunan agar dia bisa melihat apa yang terjadi.Bola berwarna oranye itu memantul-mantul dengan apik, berpindah dari semen lapangan ke tangan Irash dan sebaliknya. Irash lihai kapan ia harus melepas dan membawa bolanya.“Iraaaaasssh! Semangaaat!” teriak beberapa siswi bersamaan. Mereka semakin histeris saat lelehan keringat Irash nampak pada kulit lehernya. Mengkilap dan terkesan membuatnya semakin maskulin. Belum lagi rambut dan kaos oblongnya yang basah karena keringat. Katanya gak suka keramaian, katanya gak nyaman dilihat banyak orang, eh… begonya sekarang malah pamer.Retta mencibir Irash dalam hatinya. Kesal juga melihat betapa banyaknya siswi-siswi yang meneriaki Irash. Beberapa bahkan berteriak. “Irash! Imam gue!”“Irash I love you!”Ingin sekali rasanya Retta membungkam mulut mereka dengan tahu bunting di kantin yang ukurannya besar-besar itu. “Widiiih… si Irash jago juga ya maen basketnya.”Mendengar itu Retta menoleh dan mendapati Anita yang berdiri di sampinganya. “Belum balik lo?”“Nunggu Keanu, dia ada piket di perpus. Gue denger-denger Irash ditantang Reno.”“Ditantang main basket maksud lo?”“Iya, soalnya Reno cemburu karena lo deket sama Irash dan…”“Dan apa?”Anita mendekatkan dirinya pada Retta. “Kata Keanu yang selama ini nyebar gosip gak bener tentang lo itu si Reno.”“Oh ya?”“Keanu denger sendiri dari Irash waktu Irash nge-hack sosmednya Reno pake laptopnya Keanu.”“Dari dulu gue emang udah gak suka sama si Reno.”Pertandingan masih berlangsung. Murid-murid yang tadinya hendak pulang memilih untuk mampir sejenak ke lapangan melihat pertandingan. Tak peduli dengan Matahari yang masih menyengat kulit.Irash kembali mencetak skor, dia dengan lihai menggiring bola. Saat melewati Retta, Irash yang biasanya kalem itu tiba-tiba saja mengedipkan matanya genit pada Retta.“Anjir! Dia main mata ke lo!”“Gue yang dikedipin lo yang girang.”“Yey, lo gak lihat noh cewek-cewek sekitaran sini kegeeran.”Retta melirik kiri dan kanannya. Benar kata Anita kalau banyak yang merasa Irash menggoda salah satu dari mereka. Panas, rasanya semakin panas.Pertandingan makin sengit. Irash tak memberi peluang sedikitpun untuk Reno mencetak angka. Tidak sekalipun. Sampai Reno terengah-engah tak sanggup menyeimbangi Irash dan akhirnya terkapar di lapangan barulah pertandingan berhenti.Irash mendekati Reno, berdiri menghalau sinar matahari yang menerpa wajah Reno. “Masih inget kan syarat yang gue ajuin?”Reno tak menjawab sebab mengatur nafasnya saja masih sulit. Pertandingan selesai, tapi masih banyak yang berkerumun di lapangan. Irash mengambil tas dan kemeja seragamnya yang tergeletak di bawah ring. Dia melangkah mendekati penonton yang sedari tadi menyorakinya.Mereka berbisik-bisik berharap merekalah yang akan Irash hampiri. Sebagain sudah merasa kecewa saat Irash melewati mereka begitu saja, sebagian lagi masih harap-harap cemas sebelum akhirnya menelan rasa kecewa yang sama.Sedang Retta yang tahu bahwa Irash datang padanya berusaha untuk tetap tenang meski nyatanya dia nyaris lupa caranya bernafas. Belum lagi Anita yang menggodanya.Sampai Irash berdiri di hadapannya Retta belum mampu mengendalikan detak jantungnya. Semakin cepat dan terasa akan lepas dari tempatnya saat Irash menggenggam tangannya. Tindakan Irash tentu memancing sisi histeris siswi-siswi. Bahkan Tuti dan Jihan yang diam di belakang Retta pun sekarang histeris.“Arrrrggghhh… so sweet.”Baru kali ini Retta berharap doraemon kartun kesukaannya ada disisinya. Meminta robot kucing itu untuk mengeluarkan apa saja dari kantong ajaibnya agar Retta tidak gugup atau agar ia menghilang saja. Iya! Menghilang!“Ikut aku.” Pinta Irash dengan suara beratnya tetap di depan wajah Retta tanpa berkedip.“Ke-kemana?”“Ke pasar."Jawab Irash diiringi senyum.“Yang benar?"Irash kembali tersenyum. Dia kemudian menarik Retta ke tengah lapangan, ke tempat dimana Reno masih terkapar.“Minta maaf sama Retta dan akui semua kesalahan lo, Se-ka-rang.”Retta menangkap aura dingin yang mematikan dari ucapan dan ekspresi Irash saat ini. Tidak seperti beberapa saat yang lalu, hangat.Reno berdiri mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan membuang malunya. “Gue minta maaf karena udah nyebarin gosip jelek tentang lo.”“Gue maafin dan semoga lo gak mengulanginya lagi.” balas Retta.Seperti tak rela meminta maaf dan kalah dari Irash, Reno kemudian pergi begitu saja dari lapangan diiringi sorak murid-murid yang mengejeknya.Sial! Batinnya menggerutu.Kembali pada Retta yang tangannya masih digenggam hangat oleh Irash. “Rash, bisa lepas gak tangannya.” “Kenapa?” tanya Irash enggan melepas tautan tangan mereka.Sambil menunduk, lirih Retta berkata. “Malu.”“Waktu itu beberapa kali kamu nyium pipi aku gak pakai malu.”Kucing! Pakai diungkit.“Itu karena….” Retta tak melanjutkan kalimatnya. Karena aku belum sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu. “Karena apa?”“Udah deh,” Retta merengek agar Irash berhenti menggodanya. “Supir udah datang, aku mau pulang.”Irash mengangguk, tapi tetap tak melepas tangannya dari Retta. Gadis itu memelas agar Irash mau melepaskannya. Namun yang terjadi adalah Irash yang menariknya hingga Retta bisa membaui aroma keringat bercampur parfum milik lrash. “Nanti malam aku ke rumah.” Ucap Irash tepat di wajah Retta. Hidung mereka bahkan bersentuhan.Sadar betul bahwa gadis di depan matanya membeku, Irash menciptakan jarak diantara mereka dan melepas genggaman tangannya. Dia tersenyum melihat Retta yang mengerjapkan matanya lucu lalu, gadis itu kabur secepat yang ia bisa. Seperti adagen dalam film kartun yang berlari super kilat. Wuuuuussss
Tersembunyi Dibalik Hati
Bab 15Tersembunyi Dibalik Hati
Tersenyum, tegar, optimis adalah apa yang nampak dari luar. Sesuatu yang masih bisa orang lihat lewat ekspresi dan ucapan. Namun jika melihat jauh ke dalam sana pada hati yang paling dasar maka, akan terlihat luka-luka yang menganga, yang sengaja ditutupi oleh pemiliknya dengan senyum.Sayang usaha menutupi tak selalu berhasil pada orang-orang yang terbiasa peka dengan lingkungan. Orang-orang yang terbiasa membaca jauh ke dalam lubuk hati. Orang-orang yang pedulinya begitu kuat dan sayangnya amat tulus.Damar pandai menutupi, tapi adiknya Retta lebih pandai melihat keresahan kakaknya. Retta tahu bahwa Damar bukanlah kakak kandungnya. Damar dibesarkan orang tuanya sejak ia masih bayi, diambil dari salah satu kerabat orang tuanya. Damar pernah bercerita pada Retta bahwa dia tidak ingin tahu siapapun orang tuanya.Tidak sama sekali.Tapi, takdir selalu punya jalannya sendiri. Beberapa hari yang lalu datang padanya seorang pria dengan pakaian lusuh yang mengaku sebagai ayah kandungnya. Tentu Damar tidak percaya begitu saja, namun pria itu mengatakan pada Damar tentang alasan mengapa ia bisa bersama dengan keluarga Marina.Tak ingin percaya begitu saja pada orang asing yang bahkan dia tak tahu namanya, tapi juga tak berani bertanya atau membicarakan kejadian itu pada Danu, apalagi Marina. Alasannya takut menyinggung dan menyakiti perasaan mereka.Lalu yang kini tersisa hanyalah resah menemani langit senja hari ini.Niatnya semula ingin kembali melanjutkan skripsinya yang belum selesai. Duduk menyendiri di perpustakaan pribadi keluarganya. Di depannya meja kayu dipenuhi buku-buku yang dia butuhkan selama proses pengerjaan skripsi, laptop putih keluaran terbaru dari Apple, secangkir kopi Latte dan setoples makanan ringan memenuhi mejanya. Sejenak Damar berhenti mengetik. Buku di tangannya dia simpan ke atas meja dalam keadaan terbuka. Pikirannya yang bercabang tak bisa membuatnya konsentrasi pada skripsinya. Kini Damar hanya diam memandangi tulisannya pada layar laptop di depannya.“Aku perhatiin akhir-akhir ini abang sering ngelamun,” ucap Retta yang mengusik keresahannya. “Abang ada masalah apa?” Damar tersenyum simpul pada adiknya. “Biasa mumet sama skripsi.” Jawabnya enteng.“Emang susah banget bang?”“Lumayan.”Retta memperhatikan buku-buku yang berserakan. Tebal dan dia tak mengerti hanya dengan membaca judulnya saja. Retta mengambil satu, lalu dia berkata. “Baca judulnya aja udah pusing, apalagi isinya.” Diletakkannya kembali buku itu di atas meja.“Masa juara umum pusing lihat judul buku doang?”“Juara umum sih bang, tapi sejujurnya Retta gak suka itung-itungan. Retta lebih suka makan.”Damar tertawa. “Di sekolah gak ada jurusan makan.”“Di SMK ada tata boga.”“Iya tapi, diajarin masak, bukan diajarin makan,” Gemas Damar mencubit pipi Retta yang menurutnya lebih berisi dari sebulan yang lalu. “Sama Irash gimana?” Retta pura-pura tak mendengar pertanyaan Damar. Gadis itu mengambil camilan Damar dan mengunyahnya banyak-banyak. Ayolah! Retta sedang tidak karuan jika mendengar nama Irash disebut.“Abang tanya kamu sama Irs….”“Abang kalau ada apa-apa cerita sama Retta ya. Ketuk aja kamar Retta, dah abang!” ucap Retta memotong kalimat Damar dan gadis itu langsung keluar.“Ta! Kue abang tuh!” teriak Damar saat tahu Retta membawa serta camilannya.“Ambil lagi aja di dapur! Yang tua ngalah!”Balasan Retta membuat Damar terkekeh geli. Adik manisnya bisa merubah mood-nya menjadi lebih baik. Melupakan keresahan serta camilannya yang dibawa Retta, Damar kembali berfokus pada skripsinya. Dia tidak ingin membuat orang tuanya kecewa.@@@Tak ada yang lebih aneh dari tindak-tanduk seseorang yang tengah jatuh cinta. Melompat kegirangan, bergulung-gulung di atas tempat tidur sampai langit-langit kamarpun disenyumi seolah memproyeksikan wajah orang yang dicintai. Kadang membuat khawatir orang yang melihatnya.Retta bilang dia tidak punya pakaian, padahal walking closet-nya penuh dari kiri ke kanan baju-bajunya berjajar. Pada bagian bawah sepatu-sepatunya tertata rapi, tapi dia masih bilang tidak punyai pakaian.“Ini bagus gak bi?” tanya Retta pada bi Warni yang dia booking untuk menjadi fashion stylish dadakan. “Bagus non, bagus.” Jawab bi Warni lelah, sebab itu adalah pakaian yang entah-keberapa-yang Retta tunjukan padanya. Sedangkan dalam pelukkan bi Warni sudah ada setumpuk pakaian yang gagal menjadi pilihan Retta.“Bibi nih ya, dari tadi bilangnya bagus melulu. Yang mana dong, bi?” Retta lelah karena tak menemukan pakaian yang dirasa cocok untuknya.Bi Warni menyimpan pakaian-pakaian yang sejak tadi dipeluknya ke atas meja kaca yang pada bagian bawahnya adalah tempat menyimpan aksesories Retta.“Memangnya bajunya mau dipakai buat acara apa non?” tanya bi Warni agar memudahkannya menentukan pakaian yang cocok dan sesuai dengan acara.Sialnya Retta merasa tertohok dengan pertanyaan bi Warni. Acara apa? Acara apa? Acara apa? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya.“Ahahahaa,” Retta tertawa menyadari kekonyolannya. Sedangkan bi Warni terlihat bingung dengan tawa anak dari majikkannya itu.“Kenapa ketawa non?”Seketika Retta berhenti tertawa. “Retta aja gak tahu buat acara apaan? Dan kenapa Retta sibuk pilih-pilih baju.”Fix!Retta punya kelainan. “Lah kok gak tahu?”Gengsi. Retta tidak akan memberi tahu bi Warni kalau dia memilih baju karena malam ini Irash akan berkunjung. Hanya di rumah. Tidak mungkin kalau Retta harus berdandan ala-ala candle light dinner sedangkan Irash hanya akan ke rumahnya dan kalau tidak salah ingat Danu yang meminta Irash datang untuk membicarakan hal penting, bukan mengajak Retta kencan.Retta keluar dari walking closet menuju tempat tidurnya. Dia menjatuhkan dirinya di sana dalam posisi terlentang. “Jatuh cinta itu aneh.”“Siapa yang jatuh cinta?”Sontak pertanyaan itu membuat Retta terbangun. “Eh, Mia sejak kapan di sini?”“Kamu ngelamun? Tadi Mia udah ketuk-ketuk juga,” Marina mendekat dan berhenti saat melihat bi Warni sedang merapikan kekacauan di dalam walking closet yang baru saja Retta perbuat. “Kenapa jadi berantakan gini, bi?”“Tadi non Retta minta tolong buat dicariin baju.” Jawab bi Warni sambil meletakan pakaian-pakaian Retta ke tempatnya semula.Marina melirik Retta. “Kamu lagi jatuh cinta, terus bingung cari baju buat kencan?”“Retta gak kencan kok.”“Mia juga pernah muda. Udah faham betul gelagat-gelagat ABG jatuh cinta. Siapa? Irash?”“Miaaaa iiiih.” Retta menutupi wajahnya dengan bantal.Ya ampun! Marina gemas dengan kelakuan putrinya yang sedang jatuh cinta itu. “Sayang, Mia gak larang kamu buat jatuh cinta. Itu hak semua orang.”Retta membuka bantal dari wajahnya. Marina sudah duduk sebelahnya. “Mia gak marah kalau Retta pacaran?”“Enggak, asal kamu tahu batasan. Mencintai secukupnya, jangan berlebihan.” Ucap Marina mengusap puncak kepala Retta.Dari lantai bawah Danu berteriak. “Retta! Ada Irash nih!”Panik adalah yang kini menguasai Retta. Entah untuk tujuan apa gadis itu menyembunyikan dirinya di kolong tempat tidur. Marina dan bi Warni yang melihat itu langsung tertawa terbahak-bahak.“Ya ampun bi, kelakuan anak siapa itu?” Marina menggeleng seakan tak mengakui Retta sebagai anaknya.Dari kolong tempat tidur Retta sadar betapa ia amat sangat konyol. Gadis itu keluar dari kolong. “Kenapa cinta bikin Retta gak bisa mikir?”@@@Benar Irash ke rumahnya, tapi Retta tak mendapati lelaki yang sudah seharian ini membuatnya bertingkah bodoh. Irash sedang berada di ruang kerja Danu membicarakan hal penting menyangkut masa depan Irash.Sudah satu jam Danu menahan Irash di ruang kerjanya. Begitu suara pintu dibuka terdengar Retta langsung melompat dari duduknya melihat Irash yang keluar bersama Danu.“Pia kira kamu sudah tidur, Ta.” Ucap Danu melihat Retta yang berdiri seperti patung.“Be-belum ngantuk.”Alasan! Padahal dia ingin melihat Irash dahulu sebelum tidur. Namun apa yang didengarnya kemudian membuat Retta kecewa.“Kalau gitu aku pulang dulu, om.” Irash berpamitan menyalami Danu.“Hati-hati di jalan.”“Iya om,” ucap Irash. Dia melirik Retta. “Aku pamit, Ta.”Ingin berteriak atau merengek agar Irash tidak segera pulang, tapi malunya terlalu besar. Jadi Retta hanya diam mengangguk mempersilahkan Irash pulang. Tak lupa senyum manisnya mengembang untuk menutupi kecewanya.Terlalu kecewa sampai Retta tidak ingin mengantar Irash sampai ke pintu. Senyumnya sudah berganti menjadi mendung. Retta melirik Danu kesal saat ayahnya itu berjalan ke arahnya, lalu duduk.“Kenapa kok ngelihat Pia kayak gitu?”“Pia sih gak nahan Irash lebih lama di sini,” ucap Marina menjawab pertanyaan suaminya. “Retta kan masih ingin ketemu Irash.”Dasar lelaki tidak peka dengan entengnya Danu berkata. “Besok juga ketemu di sekolah.” “Ahahaha…” Damar datang dengan tawa. Dia duduk di sebelah Danu. “Pia gak peka.”Danu yang sedang mengganti chanel tv melirik putranya. “Dimana letak gak pekanya?”Retta kesal mendengar ucapan Danu yang merasa tak bersalah itu. “Udah deh bang gak usah di bahas.”“Apa yang gak usah dibahas? Soal kepekaan Pia? Pia ini termasuk lelaki peka.” Tutur Danu yang masih tak mengerti arti kekesalan Retta padanya.Damar menatap Marina yang sedang membaca majalah food and fashion tapi, tetap mendengarkan perdebatan kecil orang-orang tercintannya. Sesekali Marina tersenyum dan memperhatikan mereka.Bi Warni datang dengan membawa dua cangkir teh Mawar untuk Danu dan Marina, Latte untuk Damar dan segelas susu cokelat untuk Retta.“Terima kasih bi.” Ucap Marina.Danu lalu bertanya pada bi Warni yang sudah bekerja untuknya lebih dari tiga belas tahun itu. “Bi coba dibagian mananya saya gak peka?”Karena sedari tadi bi Warni mendengarkan obrolan mereka jadi bi Warni tahu apa yang dimaksud Danu. “Di bagaian….”“Gak usah dijawab bi! Pia emang gak peka.” Ucap Retta menghentikan kalimat bi Warni.Damar dan Marina menahan tawa menyaksikan Danu yang merasa bahwa dirinya selalu peka dan Retta yang masih kesal pada ayahnya. “Udah ah, Retta mau tidur.” Retta segera mendahuli keluarganya ke kamar.“Susunya gak diminum dulu non?” “Kasih Pia aja, bi.”“Lho ini kamu beneran marah sama Pia, sayang?”Retta tak menggubris. Sisi manjanya sedang on. Marina berpindah tempat duduk, mendekati suaminya yang sedang menyesap teh Mawarnya.“Retta itu lagi jatuh cinta sama Irash.”Byuuuuur….“Uukkhhh… uuukkkh.” Danu tersedak sampai menyemburkah tehnya.“Jatuh cinta?”Marina, Damar dan bi Warni kompak mengangguk.“Sama Irash?”Lagi, ketiga orang di hadapan Danu mengangguk, lalu Danu menepuk keningnya sendiri.
Tak Semanis Gula
Bab 16Tak Semanis Gula
Retta kembali ke dalam mode warasnya. Tidak lagi bertindak konyol seperti kemarin. Ya setidaknya untuk sementara dia mampu mengendalikan diri, tapi tidak tahu kalau ada Irash. Mungkin dia akan langsung berpura-pura jadi manekin saja. Retta berpikir bahwa kehadiran Irash di dekatnya tidak akan mengganggu kewarasannya. Sebab saat pertama kali bertemu lelaki itu semuanya terasa biasa saja. Kecuali paras Irash yang Retta akui rupawan sejak pertama kali melihatnya. Padahal cita-cita Retta adalah ingin jatuh cinta at the first sight. Supaya seperti adegan dalam drama Korea yang sering ditontonnya. Dimana si perempuan langsung terpesona pada sosok lelaki yang melintas di depan matanya. Melihat banyak cahaya yang berpendar dari belakang punggung lelaki itu, menyilaukan. Lalu seperti dunia berhenti berputar, orang-orang di sekitarnya mematung.“Woy!!!” seru Anita membuyarkan khayalan Retta.“Kucing tetangga hamil!”“Dih, latah.”“Lagian lo ngapain sih pake ngagetin gue segala.” Retta berkata seakan dirinya merasakan banyak kelelahan. “Kenapa sih lo? Retta Ayyana yang biasanya ceria tapi, kadang bego. Ada apa? Cerita dong ke gue.” Bujuk Anita sambil melepaskan tas dari punggungnya dan duduk di sebelah Retta.Retta menggeleng. Dia malu jika harus membicarakan perihal hati dan cinta. Dia lebih suka membicarkan hal-hal yang berkaitan dengan cara pandang seseorang dalam bersyukur dan bahagia.Eh? Jatuh cinta bukannya sesuatu yang harus disyukuri juga ya? Lagi Retta termenung mencerna lebih luas arti kata bersyukur.Tiba-tiba saja di depan matanya ada kotak berwarna biru muda dengan pita cantik berwarna putih pada bagian sudutnya. Retta menoleh pada Anita.“Apa?” tanyanya bingung.“Semalem gue sama Keanu jalan. Terus lihat Doraemon, gue inget lo.” Terang Anita.Retta berkata sambil mengambil kotak itu. “Tapi, gue kan gak lagi ulang tahun.”Anita tersenyum. “Sekitar setahun yang lalu ada seseorang yang ngomong gini ke gue hadiah itu bukan Cuma untuk mereka yang juara atau ulang tahun saja. Juga gak melulu diberikan di hari spesial. Setiap orang berhak dapat hadiah sebagai tanda bahwa dia berharga.”Setahun yang lalu, Ya! Retta pernah mengatakan kalimat itu pada Anita. Saat itu Anita tengah bingung menunjukkan rasa sayangnya pada sang mama yang selalu sibuk dan jarang bicara dengannya.“Thanks, Nit.” Retta merangkul Anita setelah melihat isi hadiahnya. Gelang cantik dengan bantul tokoh kartun kesukaannya.“Thanks juga, Ta. Lo selalu ada buat gue.”Mereka kemudian melepaskan pelukan lalu tertawa bersama. Kelas mulai ramai, bel berbunyi dan pelajaran dimulai. Kembali pada rutinitasnya sebagai pelajar.@@@Inginnya menemui si pujaan hati, tapi sayangnya tak punya alasan. Irash yang hampir tidak pernah berkeliaran di sekitar sekolah itu membuat Retta harus sedikit menahan rindunya. Bisa saja dia mengirimi lelaki itu pesan, tapi apa yang mau dikirim? Dia tak punya kalimat bagus untuk memulai percakapan.Oh! Cinta Retta begitu resah dibuatnya.Hasilnya gadis itu hanya diam saat yang lainnya mengajak bicara. “Eh, Ta nanti ngerjain tugas di rumah lo gimana?” tanya Tuti yang sedang duduk di taman tempat nongkrong mereka. Anita yang duduk di dahan pohon mangga melirik Retta yang lagi-lagi melamun. “Siram pakai air seember Tut, biar dia denger.” Mendengar itu Jihan dan Tuti tertawa. Retta? Jangan ditanya gadis itu masih diam. Menghela nafas-membuangnya-menghela lagi-dibuang lagi. Terus seperti itu mirip ibu-ibu yang sedang hamil berlatih mengatur nafas saat melahirkan.“Ternyata gak semanis gula.” Gumam Retta membuat ketiga temannya saling berpandangan, bingung.“Apa yang enggak semanis gula, Ta?” tanya Jihan.“Keteknya bang Damar,” Jawab Retta asal, lantas berdiri. “Gue ke kamar mandi dulu.”Dasar orang yang sedang melamun, jalanpun jadi tidak diperhatikan. Retta hampir saja terjatuh menginjak tali sepatunya sendiri yang terlepas. Untungnya adan Irash yang dengan sigap menahan tubuh gadis itu. Tidak! Tidak ada adegan jatuh seperti di drama Korea yang keduanya saling pandang lalu lagu romantis tiba-tiba saja terdengar mengiringi.Irash langsung melepaskan Retta begitu saja saat dirasa gadis itu baik-baik saja. Irash jongkok di depan Retta untuk mengikat tali sepatu Retta yang lepas, lalu kembali berdiri setelahnya.“Maaf semalam aku langsung pulang, soalnya udah mau jam sebelas malam. Di kost gak boleh pulang lewat dari jam sebelas.”“Oh.” Hanya dua huruf itu yang keluar. Padahal jelas sekali dalam pikirannya banyak kata yang sudah disusun membentuk pertanyaan sebagai wujud rasa kesalnya pada Irash.Sesaat canggung menguasi. Tiba-tiba rasa ingin buang air kecil yang semula tertahan kini kembali mendesak. Retta tersenyum aneh pada Irash. “He he… aku duluan.”Lari! Itulah yang Retta lakukan. Bukan karena gugup bertemu Irash, tapi karena takut ngompol. Retta segera masu kamar mandi dan duduk tenang di atas wc.Sayup-sayup dia mendengar isak tangis. “Gak mungkinkan setan nongol siang-siang begini?” tanya Retta pada dirinya sendiri, kemudian menarik tisu banyak-banyak menyudahi ritualnya. Retta berdiri keluar dari bilik kamar mandi yang sepi. Satu persatu pintu Retta buka tapi, kosong. Sebentar lagi bel masuk kamar mandi pasti sudah sepi. Pada pintu terakhir suara tangisan itu kembali terdengar. Kali ini lengkap dengan suara orang di dalamnya.“Hick..hick.. Aku harus gimana? Papa pasti marah kalau aku hamil. Kamu harus tanggung jawab.”Deg“Hamil.” Gumam Retta tak bersuara. KlekPintu terbuka. Retta kaget sama kagetnya seperti siswi yang baru saja keluar. “Ashley.”@@@Meski panas tapi, hembusan angin masih bisa dirasakan. Retta memejamkan matanya menikmati belaian mesra angin yang meniup-meniup wajah dan rambutnya lembut. Meski begitu ada sesak yang kini menyeruak dari hatinya. Sudah hampir satu jam berlalu Retta duduk menemani Ashley di atap gedung sekolah. Retta bolos hari ini dijam pelajaran terakhir hanya untuk menemani Ashley. Kalau Anita tahu alasan Retta bolos adalah Ashley sudah barang tentu sahabatnya itu akan memarahinya habis-habisan.Tapi, meninggalkan Ashley begitu saja juga bukan pilihan bagus. Meski Ashley sempat menolak Retta di dekatnya, tapi ketulusan tak pernah menghianati pemiliknya. Ashley luluh lantas menceritakan apa yang terjadi dengannya pada Retta. Ashley tak mau bercerita pada teman-temannya yang tempo hari pernah membicarakan Retta di kamar mandi, Ashley tahu teman-temannya itu tak pandai menjaga rahasia.“Orang tua lo harus tahu.” Lirih Retta menatap Ashley yang tertunduk.Gadis itu tersenyum sinis. “Lucu ya, dulu gue hobi banget gosipin lo sama temen-temen gue. Jelek-jelekin lo sampai mulut berbusa. Gak sadar kalau kelakuan sendiri lebih buruk.”“Bukan buruk, tapi belum baik. Siapa tahu kedepannya lo bisa lebih baik.”“Ta, kok lo masih baik sama gue yang udah jahatin lo?”“Kalau semua orang baik sama gue, kayaknya hidup gue bakal gak seru deh karena gak ada yang bikin gue kesel.”“Kenapa, Ta? Kenapa lo tetep baik sama gue?”Retta tersenyum. “Sebenarnya gue gak mau sih baik-baik sama lo. Soalnya lo nyebelin,” Retta menatap langit. “Tapi, buat apa memupuk benci? Yang ada nanti justru tanaman berduri yang tumbuh. Terus gue juga yang bakal ketusuk durinya.”“Lo gak jijik sama gue?”“Gue jijiknya sama cacing, kecowa, anak tikus terus…. Sama pup gue sendiri.”Ashley tersenyum lebar. “Terus yang cebokin lo siapa kalau lo sendiri aja jijik?”“Becanda.”Angin kembali berhembus membisikan ketulusan pada telinga Ashley. Gadis itu melirik Retta yang kembali memejamkan matanya menikmati angin, lalu tersenyum.
Kepala Dan Isinya
Bab 17Kepala Dan Isinya
Benar seperti yang Retta pikirkan sebelumnya mengenai Anita yang akan murka saat mengetahui Retta membantu Ashley. Buktinya gadis judes itu sudah mencak-mencak pada Retta, sesekali menatap tajam pada Ashley.Untung saja sekarang mereka bertiga berada di atas atap gedung, selain benda-benda mati disekitar mereka tak ada lagi yang mendengar kemurkaan Anita.“Lo kalau mau nolong orang lihat-lihat, Ta! Dia susah juga karena perbuatannya sendiri, ya udah biarin aja!” itu adalah suara kekesalan Anita entah untuk yang keberapa kalinya.Retta mengusap dadanya sendiri. Mencoba tenang menanggapi kemarahan Anita. “Coba lo bayangin kalau kita yang ada diposisi Ashley.”“Ya gak mungkinlah, kita gak ganjen kek dia.”Pedas!“Nit?”“Pulang, Ta! Biarin aja dia, lompat-lompat sekalian.” Ucapan Anita itu menentukan keputusan terakhirnya untuk tidak membantu Ashley. Segera Anita meninggalkan rooftop.“Anita bener, ini masalah gue Ta. Jadi biar gue aja yang beresin,” Ashley mengambil tasnya yang tergeletak sembarangan. “Makasih lo udah baik sama gue.”“Gue anter pulang ya.” Pinta Retta. Tak tega rasanya meninggalkan seseorang yang sedang dalam keadaan rapuh.“Gak usah, lagian gue mau ke rumah cowok gue. Siapa tahu sekarang dia berubah pikiran.” Tutur Ashley yang masih berharap kekasihnya itu mau bertanggung jawab.Retta mengalah. Keduanya keluar dari sekolah saat sudah sangat sepi dan Matahari sudah semakin menyingsing. Mereka berdiri di depan gerbang. Retta memastikan lebih dahulu Ashley naik mobil yang dipesan sebelumnya.Begitu Ashley berlalu barulah Retta masuk ke mobilnya yang sudah sejak tadi menunggunya. Disepanjang perjalanan Retta terus memikirkan Ashley. Dari cerita yang dia dengar dari mulut Ashley langsung menyatakan bahwa kekasih Ashley ada anak kuliahan yang tinggal di sebuah kost. Saat Ashley datang meminta tanggung jawab, lelaki itu mengelak dan sekarang pergi tanpa kabar.Ashley tak berani memberi tahu orang tuanya yang selalu menututnya sempurna. Sejak dulu Ashley dilarang melakukan kesalahan sekecil apapun yang berpotensi mencoreng nama baik keluarganya. Lalu sekarang yang menemani Ashley hanyalah kecemasan luar biasa. Ini bukan kesalahan kecil, ini kesalahan fatal yang dia perbuat hanya karena ingin mengecap indahnya dunia atas nama cinta.Otak cantik Retta mengingat-ingat membuka memori yang lalu tentang ucapan orang tuanya. Tak ada yang salah dari jatuh cinta. Cinta itu suci. Cinta itu anugerah. Lantas yang membuat cinta terasa salah adalah tindakan dari pelaku cinta itu sendiri.Love is verb. Jadi hati-hatilah bertindak ketika itu mengatas namakan cinta.Love is undefinition. Maka artikanlah cinta dengan sebenar-benarnya. Lalu Retta termenung, sudahkah benar cintanya pada Irash? Benarkan semurni definisinya? Atau hanya nafsu? “Let’s fine.” Lirih Retta ingin kembali memastikan kebenaran perasaannya.@@@Marina tengah mondar-mandir di ruang tamu menunggu putranya Damar yang seharian tanpa kabar. Marina tak terbiasa tidak mendengar kabar dari anak-anaknya. Setidaknya kabar tentang keberadaan mereka. Kepanikan Marina diperparah dengan tidak aktifnya telepon seluler Damar dan tak ada satupun dari teman-teman Damar yang tahu keberadaan putranya saat dihubungi.Retta yang melihat itu menjadi khawatir, tapi dia menyembunyikannya. “Mungkin bang Damar lagi sibuk terus ponselnya mati.”“Iya, tapi gak biasanya abang kayak gini.”Ditengah-tengah kepanikan Marina, terdengar suara gerbang yang dibuka. Marina segera keluar dari rumah menghampiri Damar yang baru pulang dengan membawa seseorang. Retta memperhatikan dari ambang pintu.“Bang?” “Nanti abang ceritain, Mia.” Ucap Damar membawa gadis dalam gendongannya masuk. Saat melewati Retta, Damar hanya mengulas senyum.Damar membawa gadis itu ke kamar tamu. Marina terus mengekori Damar, ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sampai Damar meletakan gadis itu di atas tempat tidur, menyelimutinya dan menutup kembali pintu kamar tamu barulah Marina bersuara.“Dia siapa?”Tak langsung menjawab Damar justru menghela nafas lelah. Dia menjatuhkan dirinya di atas sofa dengan Marina yang mengikuti. “Temennya Retta, kamu kenal kan Ta?” tanya Damar melirik Retta. Adiknya itu mengangguk.“Abang ketemu dia dimana?” tanya Marina, lagi.“Rel kereta, dia mau bunuh diri.”Retta syok. “Tunggu, ini sebenarnya ada apa?”Baik Retta maupun Damar akhirnya bergantian menceritakan tentang keadaan gadis yang Damar bawa pulang. Retta menjelaskan apa yang ia dengar dari Ashley. Sedangkan Damar tak sengaja melihat Ashley yang berdiri ditengah rel kerata saat ada kereta yang melintas. Beberapa orang tak mau ambil resiko menolong Ashley saat kereta melaju dengan cepat.Semampu yang Damar bisa lelaki itu menarik Ashley menjauh dari rel hingga ponsel yang berada dalam saku kemejanya jatuh dan terlindas kereta.“Kita nanti bicarakan masalah ini saat Pia pulang ya. Abang udah makan?”“Belum Mia, ini juga udah laper banget.”“Ya udah yuk makan dulu.” Marina mengajak Damar ke meja makan. Wanita itu mengambilkan nasi beserta lauknya untuk putranya. Bukan karena Damar manja, tapi karena baik Marina maupun Danu senang melayani anak-anaknya.“Retta mau makan lagi, sayang?”“Enggak ah nanti gendut.”@@@Retta sedang tidak tahu harus bagaimana menghadapi Ashley yang sejak bangunnya menangis tersedu-sedu. Hal yang Retta lakukan adalah diam duduk di tepi ranjang menatap Ashley yang meringkuk dibalik selimut. Damar masuk membawakan sarapan untuk Ashley. Dia meletakan nampan berisi sarapan di atas meja. “Kamu bujuk dia buat sarapan ya, abang ada janji sama temen.”“Iya, bang.”“Gak tahu seberapa sakit luka yang kamu rasa, tapi sekarang kamu gak hidup buat diri kamu sendiri. Ada anak kamu, ingat itu.”“Gue diusir, Ta dan cowok gue gak mau tanggung jawab.” Tutur Ashley kembali terisak.“Lo bisa tinggal di sini sementara.”Ashley tetap tak peduli. Dia tak ingin makan biar saja anak dalam rahimnya meninggal. Itu adalah yang terbaik. Toh sudah tak ada yang menginginkan dia. Ashley sudah putus asa.“Non Retta, ada mas Irash.” Ucap bi Warni.“Bibi tolong bujuk Ashley makan ya.”“Iya, non.”Retta keluar dari kamar menghampiri Irash. Keduanya sama-sama tersenyum saat saling bertatapan. “Ada apa, Rash?” tanya Retta. Kali ini dia mampu mengendalikan dirinya.“Sibuk?”“Enggak.”“Aku mau ajak kamu kesuatu tempat.”Retta memang tidak sedang sibuk di hari liburnya, tapi meninggalkan Ashley bukan pilihan yang bagus. Sekalipun ajakan Irash menarik. “Maaf, tapi aku gak bisa.” Retta tak mengatakan bahwa di rumahnya ada Ashley. “Mia sama Pia kerja, bang Damar lagi jalan sama temen-temennya. Aku gak boleh kemana-mana sama Mia.”Gurat kecewa nampak di wajah Irash atas penolakan Retta. “Oh,”“Irash, sorry.”“Gak apa-apa, lain kali masih bisa. Em… aku pamit kalau gitu.”Tak ada lagi yang Retta katakan. Dia hanya merasa bersalah karena menolak ajakan Irash, ditambah lagi raut kecewanya Irash. Baiklah, sekarang Retta merasa hatinya berdenyut perih. Irash berlalu tanpa kembali menatapnya. “Gimana bi, Ashley mau makan?” tanya Retta begitu kembali ke kamar.“Sudah tapi, sedikit.”“Gak apa-apa yang penting perutnya gak kosong.”Retta memilih menemani Ashley dari pada harus menemani Irash. Menurutnya Ashley lebih membutuhkan teman dibandingkan Irash. Gadis itu menyalakan televisi.“Lo suka nonton apa?” tanya Retta pada Ashley.Dari ranjangnya Ashley melirik Retta. “Katanya tadi ada Irash.”“Udah pulang.”“Lo gak harus nemenin gue, Ta.”“Gue yang pengen nemenin lo, lagian Irash kan cowok.” Ashley diam, dan memang benar apa yang Retta ucapkan bahwa dia saat ini lebih butuh teman.Kedua gadis itu lalu saling diam memandangi layar televisi yang menampilkan acara kartun kesukaan Retta. Tertawa bersama meski di hati masing-masing menyimpan sesak. Untuk sejenak saja mereka melupakan sakitnya.
Takdir Tuhan Untuk Ashley
Bab 18Takdir Tuhan Untuk Ashley
Dua hari sudah berlalu, Ashley masih tinggal di rumah Retta. Masih murung tapi, setidaknya sudah mau makan. Retta cukup tenang untuk meninggalkan Ashley di rumah selagi dia ke sekolah.Jangan ditanya bagaimana nasib Retta di sekolah. Gadis itu masih menerima luapan kekesalan dari Anita. Retta maklum. Sebab tak semua orang mudah menerima, apalagi memberi. Sebagai tanggapan atas kekesalan Anita, Retta hanya memasang wajah jenakanya.Kalau Anita berteriak terlalu kuat maka, Retta akan segera membekap mulut temannya itu. Retta tak ingin jika masalah Ashley sampai bocor.“Bego lo!” sentak Anita saat tahu Ashely tinggal bersamanya.“Tapi, sayangkan lo?”“Ta! Serius gue!Retta memainkan ujung sepatunya. Sengaja dia menjauhkan Anita dari keramaian hingga harus berakhir di gudang yang letaknya paling ujung dari seluruh bangunan sekolah. Tempat kramat yang paling ditakuti oleh hampir seluruh siswa.“Nita, gue tahu lo kesel sama Ashley tapi bukan berarti lo larangan gue bantuin Ashley. Gini deh, gue manusia. Lo manusia sama kayak Ashley. Sama-sama diciptakan dari Tuhan yang sama. Makan-makanan dari bumi yang sama, terus apa pantas kita saling membenci? Sedangkan Tuhan memandang kita sama, kecuali satu amal perbuatan kita.”“Ta?”“Please, gue gak mau berdebat lagi soal ini lagi. Jangan kotorin hati lo dengan benci dan dendam, Nit. Gue sayang lo, gue mau Tuhan memandang kita sama seperti Tuhan memandang hamba-hamba terbaik pilihan-Nya.”Anita bungkam seribu bahasa. Ucap Retta tak bisa dibantahnya lagi. “Masih sepuluh menit lagi jam istirahatnya, kantin yuk. Gue laper.” tambah Retta kemudian.Retta menyeret Anita dari gudang menuju kantin. Tak baik berlama-lama membenci. Retta mencubit pipi Anita. “Pacarnya Keanu senyum dong.”“Najis!” Anita memukul pelan lengan Retta.“Gimana hubungan lo sama Keanu? Gue kok jarang lihat dia.”“Dia lagi persiapan buat lomba cerdas-cermat seprovinsi. Sibuk belajar.”“Pantesan marah-marah aja, jarang di-apelin-ya.”“Retta!”“Ahahaha… iya iya.”Retta berhenti melangkah saat melewati lapangan. Ada Irash di sana sedang bermain basket bersama teman sekelasnya. Retta tersenyum, karena setidaknya Irash sudah bisa berbaur dengan yang lainnya. @@@Sepulang sekolah Retta langsung menemui Ashley yang enggan beranjak dari tempat tidurnya. Retta sudah membicarakan masalah Ashley pada Danu. Dari pembicaraan itu Retta dan keluarganya tahu kalau Ashley adalah anak dari salah satu manager di perusahaan Danu. Retta yakin jika orang tua dan orang tua yang bicara maka, mereka akan saling memahami. Rencananya Danu hari ini akan bicara langsung pada ayahnya Ashley. Harapannya semoga Danu bisa meluluhkan hati orang tua Ashley.“Hai, gimana keadaan lo?” tanya Retta begitu masuk.“Baik.”“Gue bawain Mangga muda nih,” Retta membuka wadah makannya yang berisi Mangga muda. “Biasanya ibu hamil kan suka Mangga muda.”Mata Ashley langsung berbinar. Retta mengerti dirinya. “Thank Ta, gue dari kemarin pengen banget.”“Kenapa gak ngomong, kan gue bisa beliin.”"Hehehe."Ashley menikmati Mangganya dengan nikmat. Jika Retta harus memejamkan matanya kuat-kuat merasai masamnya Mangga muda, lain halnya dengan Ashley yang tertawa melihat ekspresi Retta. “Ahaha..”“Duh kecut!” Retta bergidig, dia menyimpan kembali Mangga mudanya. “Gue tinggal sebentar ya, mau ganti baju.”“Iya, Ta.”Retta keluar dari kamar. Dia butuh membersihkan dirinya. Baru saja Retta menaiki anak tangga bel rumahnya berbunyi. Saat Retta hendak membukakan pintu bi Warni datang.“Biar bibi saja non.”“Oke bi.” Retta kembali menapaki anak tangga menuju kamarnya. Gadis itu bersenandung. Tiba-tiba ingat Irash. Hari ini dia tidak bicara apapun pada Irash. Dia merindukan Irash.Begitu masuk kamar, Retta mengeluarkan ponselnya. Mengetik pesan untuk Irash.Retta : Bisa datang ke rumah? Menyimpan ponselnya di atas meja belajar tanpa menunggu balasan secepatnya dari Irash. Gadis itu meraih handuknya dan masuk ke kamar mandi. Ponselnya berdenting menampilkan balasan pesan dari Irash.Irash : Oke.Sepuluh menit Retta habiskan di kamar mandi. Saat baru keluar bi Warni datang tergesa memasuki kamarnya. “Ada apa bi?” tanya Retta cemas.“Itu… tamu yang tadi, dia masuk ke kamar non Ashley. Dia…”“Bi ngomong yang jelas.”“Non Ashley teriak-teriak di kamarnya.”Oke! Darurat! Retta tak perlu penjelasan terperinci dari bi Warni. Retta segera keluar dari kamarnya terburu. Tak peduli dengan bathrobe yang masih melekat ditubuhnya. Terlebih lagi saat dia mendengar teriakan Ashley yang cukup kencang. “Ashley buka!” teriak Retta menggedor-gedor pintu kamar Ashley yang terkunci.“Ta! Help!”“Bi panggil mas Jono!” Bi Warni segera berlari mencari bantuan. Retta masih terus berusaha membuka pintu. Teriakan demi teriakan yang terdengar dari dalam sana membuat Retta semakin khawatir.“Ada apa non?!” teriak Jono satpam rumahnya.“Tolong dobrak pintu mas.”Saat Jono sedang berusaha, tak lama kemudian Irash datang. Retta segera meminta Irash membantu Jono untuk mendobrak pintu kamar tamu. Retta dan bi Warni mundur membiarkan dua lelaki beda generasi itu mendobrak pintu. Sekali dua kali tak berhasil. Ternyata mendobrak pintu terkunci itu tak semuda yang Retta lihat dalam film action.Pada percobaan ketiga pintu berhasil di dobrak. Mereka semua menyerbu masuk. Irash melihat seseorang yang keluar dari jendela. Ingin mengejar tapi, teriakan histeris Retta menghentikan langkahnya.“Aarrrgggghhh!”Ashley terkapar di lantai dengan bersimbah darah. “Bi, telepon Mia.”Jono langsung mengangkat tubuh Ashley. “Mas, Irash keluarin mobil ya.”Mengerti Irash segera mengambil kunci mobil yang biasa menggantung di kabinet di ruang keluarga. Tidak ada waktu untuk panik mereka harus ceketan. Irash segera mengeluarkan mobil. Sementara bi Warni menghubungi Marina.@@@Hening menyelimuti. Retta terdiam di lorong serba putih dengan aroma pembersih lantai yang segar khas hutan Pinus. Menunggu Marina dan Danu bersama Irash dan Jono. Sedangkan Ashley berada di ruang ICU.Irash melepas jaketnya, menutupi paha Retta yang nyaris terekspos sempurna. “Panik selalu bikin kamu gak bisa mikir ya.” bisik Irash di telinga Retta membuat gadis itu bisa merasakan hembusan hangat nafas Irash.“Eh? Maksudnya?”Irash menunjuk bathrobe yang Retta pakai lewat matanya. “Maaf, tadi aku kalut banget.” Retta merapatkan bagian atas bathrobe-nya. Dibaliknya dia hanya menggunakan pakaian dalam saja.“Aku keluar sebentar.”“Jangan lama-lama.”Sesaat setelah Irash pergi Marina, Danu dan Orang tua Ashley datang. Mereka berlari terburu. Marina langsung menghampiri Retta. Kening wanita itu berkerut menyadari putrinya yang masih mengenakan bathrobe.“Ashley bagaimana?” tanya seorang wanita yang Retta yakini adalah ibu dari Ashley.“Masih di dalam tante.”Tak ada yang bisa mereka lakukan selain berdo’a dan menunggu di luar ruangan. Membunuh waktu dalam keheningan. Diam-diam Retta memperhatikan ekspresi wajah orang tua Ashley. Ada sesal yang Retta tangkap. Apapun yang akan terjadi kedepannya, Retta berdo’a dalam hati semoga tak ada lagi ego yang menghancurkan.Irash datang dengan paper bag ditangannya. Dia tersenyum pada Marina dan Danu, tapi keadaan tak mendukung untuk basa-basi menyapa. Diberikannya paper bag itu pada Retta.“Ini apa?”“Baju.”Marina tersenyum melihat perhatian Irash pada Retta. “Kamar mandi sana, pakai baju,”Retta menggeleng. Marina tahu arti gelengan kepala Retta. “Irash temenin Retta ya. Dia takut rumah sakit.”Irash mengangguk menemani Retta ke kamar mandi. Beberapa perawat yang lalu lalang menahan tawa melihat kostum Retta. Gadis itu menunduk malu, apalagi dia sempat mencuri pandang pada Irash yang juga sedang menahan tawa.Kucing botak! Retta malu-maluin. Gerutunya dalam hati. “Tungguin sampai aku selesai.” Pinta Retta begitu mereka sampai di depan pintu kamar mandi.Retta takut rumah sakit bukan tanpa alasan. Kecil dulu dia pernah terjebak di kamar mayat selama setengah jam saat dengan nakalnya dia main petak umpet bersama saudaranya.Di dalam kamar mandi Retta celingukan. Takut ada makhluk halus yang tiba-tiba muncul. Retta merinding. Dia cepat-cepat mengganti pakaiannya. Sweater biru muda dengan gambar Nobita dan Doraemon pada bagian tengahnya, dan celana jeans yang ternyata pas di badanya. Retta tersenyum tak menyangka Irash tahu ukuran pakaiannya.Terakhir Retta mengambil sepatu kets yang juga sesuai dengan ukurannya. Bathrobe dan sendal rumahnya Retta masukan ke dalam paper bag. Segera setel Retta keluar.“Sudah?”“Iya,” balas Retta lirih. “Irash?”“Apa?”“Kok kamu tahu ukuran pakaian sama sepatu aku.”“Kira-kira aja.”Mereka kembali diam menyusuri lorong rumah sakit. Retta tak tahu harus memulai percakapan dari mana, sama halnya dengan Irash. Sesampainya di depan ruang ICU, Marina menghampiri.“Kalian pulang ya sama mas Jono, besok kalian sekolah. Nanti Mia kabarin keadaan Ashley.”“Iya, Mia.”Retta, Irash dan Jono berpamitan lebih dahulu. Meski Retta ingin di sana, tapi sekolahnya juga penting. Sebelum menjauh Retta merapalkan do’a untuk Ashley.Sunyi menemani mereka di sepanjang perjalanan. Retta terlelap di sisi Irash dengan kepala bersandar pada bahunya. Retta terlihat amat lelah. Irash merasa bersalah karena hari itu dia kecewa pada Retta yang menolaknya ketika diajak pergi.“Mas Irash, mau di antar ke tempat kost?” tanya Jono yang mengemudi.“Gak usah, langsung ke rumah om Danu aja. Kasihan Retta.”Jono mengerti dengan tetap melajukan kendaraannya ke arah rumah.
Sisi Indah Dari Luka
Bab 19
Sisi Indah Dari Luka
Tentang luka yang mengampiri tanpa permisi. Tentang luka yang mendekap erat tanpa bisa mengelak. Pasrah bukan untuk menyerah, tapi untuk mengajar diri tentang penerimaan. Diam bukan atas dasar kecewa, melainkan belajar memahami diri. Tak ada luka yang tak menyakitkan, tapi juga tak ada luka yang tak memberi pengajaran. Tegar adalah salah satunya. Luka mungkin melemahkan, tapi luka juga menguatkan. Membentuk pertahanan diri untuk lebih kuat, lebih siap menerima jika suatu saat kembali terluka. Sebab luka datang silih berganti dengan bahagia.
Pada esok harinya Retta kembali datang ke rumah sakit bersama Irash seuisai pulang sekolah. Marina bilang Ashley sudah bisa melewati masa kritisnya. Luka tusuk dan pukulan pada perut Ashley membuatnya kehilangan janin yang baru berusia dua minggu itu. Ashley masih terbaring lemah setelah siuman pagi tadi. Masih menahan kesakitannya, tapi tetap berusaha tegar. Dalam benaknya banyak hal yang berkecamuk. Banyak hal yang harus dia pahami dan terima.
Tapi, Retta tersenyum melihat keadaan Ashley sekarang. Apa yang terjadi pada Ashley telah menyadarkan dia dan orang tua gadis itu sendiri. Retta berkata pada seseorang yang berdiri di sisinya. Keduanya berdiri di depan pintu yang terbuka, kamar dimana Ashley dirawat. Mereka masih mengenakan seragam sekolahnya.
“Tuhan memberikan takdir untuk hamba-Nya gak asal-asalan. Selalu ada alasan dibaliknya. Beberapa alasan lebih dahulu diketahui, beberapa diketahui kemudian dan sisanya dibiarkan tersembunyi tetap jadi rahasia milik Tuhan.”
Irash melirik Retta. Diam mendengarkan.
“Ashley pasti kesakitan, tapi dia juga patut bersyukur karena kejadian yang menimpanya menyadarkan orang tuanya tentang betapa berharganya seorang anak dari sekedar nama baik keluarga. Memang menjaga nama baik keluarga itu pentig, tapi menjaga anak-anak jauh lebih penting. Anak-anak yang dijaga baik oleh orang tuanya past akan menjaga nama baik mereka.”
“Ta, mau kencan?” tanya Irash tiba-tiba.
“Kok kencan sih?” Retta menatap Irash bingung. Dia bicara serius Irash malah mengajaknya kencan. Enggak nyambung!
“Bener kata bang Damar kalau orang cerdas juga punya sisi bego.” Ucap Irash lagi kali ini dia menatap Retta yang mengerjapkan matanya lucu.
“Lho kok kamu jadi ngatain aku bego? Kok bisa gak nyambung gini?” Retta semakin bingung.
Tanpa di duga Irash meraih tangan Retta, menautkan tangan mereka. “Ini nyambung.” Goda Irash menunjukkan tautan tangan mereka.
“Irash...”
“Jadi pacarku, Ta.”
Lagi Retta mengerjap. “Kamu lagi nembak aku?”
Irash mengangguk. Barulah setelah itu kesadaran menarik Retta sepenuhnya. Gugup seketika menyergapnya. Retta memalingkan wajahnya. “Jangan lihatin aku, please.”
“Ya gimana dong kamu kelihatan gitu?”
Tahu bahwa Irash menggodanya, Retta segera menghentakan tangannya kuat-kuat sampai tautan tangannya dengan Irash terlepas. Gadis itu mundur beberapa langkah menjauhi Irash, menatap tak percaya. Sedangkan Irash diam ditempatnya, menatap tenang pada Retta dengan kedua tangannya yang tenggelam kedalam saku celananya.
“Sejak kapan kamu jatuh cinta sama aku?” tanya Retta.
“Gak tahu.”
“Kenapa bisa gak tahu?”
“Gak tahu.”
“Ada jawaban lain selain gak tahu?”
“Ada.”
“Apa?”
“Aku cinta kamu Retta Ayyana.”
Irash benar-benar sedang menggodanya sekarang. Retta tak sanggup menahan malunya. Dia berbalik memungungi Irash. Menarik-lepas nafasnya pelan-pelan, menekan dadanya untuk merasakan detak jantungnya yang menggila kurang aja. Saat ada seorang perawat melintas, Retta menghampirinya dan berkata. “Sus, saya butuh oksigen.”
Irash terbahak.
@@@
Jingga mengusai langit sore ini. Seperti sendu yang kini mengisi seisi ruangan. Retta duduk di sisi ranjang Ashley setelah mendapat kesempatan untuk menjenguknya langsung. Dari Ashley, Retta mengalihkan perhatiannya pada Irash yang duduk di sofa sambil bersandar dengan tangan yang terlipat di atas dada, matanya terpejam namun kedua telinganya tajam mendengar. Retta kembali menatap Ashley. Isakan Ashley sesekali masih terdengar sebagai tanda bahwa gadis itu amat sangat terluka. Retta bahkan berpikir mungkin dia sendiri tidak akan sanggup jika berada di posisi Ashley.
“Anak gue gak ada Ta, gue gak bisa jaga dia.” Ucap Ashley syarat akan penyesalan. “Gue gak bisa jaga dia.” Tambahnya. Ashley mengakui bahwa dia bukan orang baik, tapi saat dia tahu bahwa dia hamil, dia sempat merasa bahagia sebelum akhirnya terluka karena dibuang.
Retta mengusap lengan Ashley. Tersenyum pada gadis itu untuk sekedar menguatkan. Dibiarkannya Ashley oleh Retta untuk menumpahkan segala keresahan hatinya. Meluapkan segala kesedihannya. Didengarkan dengan baik setiap kata yang keluar dari mulut Ashley. Retta tidak akan membiarkan gadis itu merasa sendiri.
“Gue salah Ta, gue nyesel.”
Ashley kembali menumpahkan air matanya. Retta mengusap air mata Ashley lembut. “Salah itu wajar, manusiawi. Sekarang lo lihat sisi positifnya. Setelah kejadian ini orang tua lo jadi lebih peduli lagi kan?”
Ashley mengangguk. Dia menghapus air matanya. Mengumpulkan segenap asanya yang tersisa. “Ta, boleh gue jadi sahabat lo?”
“Tentu.” Retta memeluk Ashley.
Hal itu disaksikan Irash yang baru membuka matanya. Lalu dia tersenyum. Selalu ada rasa bangga yang Irash rasa setiap kali melihat Retta yang tanpa pandang bulu membantu dan menyayangi orang-orang di dekatnya. Rettanya yang terbaik.
Ashley melirik Irash, kemudian melepas pelukkan Retta. “Kalian pacaran?” tanyanya penuh seledik.
Ditanya seperti itu oleh Ashley, Retta hanya nyengir. Jangan sampai kekonyolannya kembali datang.
“Gosip di sekolah bener dong?”
“Kita baru pacaran kali.” Elak Retta gugup.
Kemudian Ashley menatap Irash hangat. “Lo beruntung Rash, dikasih yang terbaik sama Tuhan.”
Baru saja Irash akan menjawab, seseorang yang baru datang berkata mendahului Irash. “Itu karena lo belum tahu sisi bobroknya Retta.”
“Bang Damar apaan sih? Baru datang langsung nyela.” Tutur Retta kesal.
Marina dan Yuanita yang berada di belakang Damar tertawa. “Mereka emang suka gitu?” tanya Yuanita pada Marina.
“Iya, kadang bisa kayak Tom and Jerry. Terus nanti akur lagi.”
Retta beranjak dari duduknya mempersilahkan Yuanita duduk. Wanita itu tersenyum lalu mengusap puncak kepala Retta sebagai bentuk rasa terima kasih. Ashley yang melihat itu juga ikut tersenyum. Entah apa yang orang tua Retta bicarakan dengan orang tuanya. Satu hal yang Ashley tahu kini mereka berubah.
Marina meletakkan kantong plastik berisi makanan di atas meja. “Ini makanan buat kalian.”
“Asyik! Minggir bang?” ucap Retta meminta Damar menyingkir karena menghalangi jalannya.
Damar memilih duduk di sebelah Irash. Menatap pada kekasih adiknya itu dengan tatapan menggoda. Irash tak kalah, dia menatap Damar dingin. Mengaku kalah Damar berkata. “Bisa gak jangan ngelihat gue pake mata itu?”
Marina, Yuanita, Ashley dan Retta mengalihkan perhatian pada dua lelaki di ruangan itu. Keduanya saling pandang.
“Terus pakai mata kuda?” tanya Irash datar.
“Mata lo itu bisa bikin orang salah faham?”
“Retta enggak.”
“Lo tahu sendiri kan kalau tuh anak otaknya rada jungkir.”
Retta yang hendak makan kue pun tak jadi saat namanya disebut Damar. “Eh! Bang! Retta denger ya!”
Mereka tertawa. Menghilangkan kesakitan Ashley. Gadis itu memahami bahwa ini yang disebut hikmah. Dalam hatinya berkata. Terimakasih Retta.
@@@
Langkah-langkah kaki itu seirama mengetuk bumi. Kedua tangan yang saling bertautan sedari tadi tanda bahwa kuatnya keinginan untuk selalu bersama. Ditemani hembusan angin malam dan temaram lampu jalan yang keemasaan, sepasang kekasih itu berjalan kaki menuju rumah Retta.
Meski banyak kata yang mendesak meminta dikeluarkan, hanya sekedar untuk memuji atau menggoda, nyatanya baik Irash maupun Retta sama-sama memilih diam. Untuk keduanya ini adalah kisah cinta pertama mereka. Kisah yang ingin terus mereka tulis bersama.
“Ta.”
“Rash.”
Panggil keduanya bersamaan. Mereka sama-sama tertawa. Berhenti tepat di bawah cahaya lampu jalan yang keemasan.
“Kamu dulu.” Ucap Irash.
“Karena kamu tahu soal Ashley, bisa minta tolong buat jaga rahasia ini? Temen-temen sekolah jangan sampai tahu.”
“Kamu pikir aku bencong yang ember.” Kata Irash mengusap puncak kepala Retta diiringi tawa hangat.
“Oh iya tadi kamu mau ngomong apa?” tanya Retta kemudian.
“Terimakasih.”
“Buat?”
“Semua yang kamu beri.”
Retta tersipu. “Sama-sama.”
Gemas dengan Retta yang malu-malu, Irash menarik gadis itu untuk dipeluknya penuh sayang. Dia letakkan dagunya pada kepala Retta.
“Sebelum kenal kamu, aku pesimis bisa bahagia seperti sebelum aku tahu bagaimana aku dilahirkan. Kamu mengajari aku banyak hal, Ta. Terima kasih untuk itu.”
Dalam pelukkan Irash Retta tersenyum mendengarkan penuturan lelaki itu juga degup jantungnya.
“Jantung kamu lompat-lompat.” Ucap Retta dengan polosnya yang mengundang senyuman Irash.
“Kayaknya aku perlu oksigen.”
Retta langsung melepaskan pelukkan mereka. Menatap Irash kesal. Dia tahu Irash sedang menggodanya mengungkit kejadian di rumah sakit.
“Udah deh.”
Irash terkekeh. “Ayo, sebentar lagi sampai rumah kamu.” Irash mengulurkan tangannya yang langsung disambut hangat oleh Retta.
Keduanya kembali berjalan. “Irash?”
“Hmm?”
“Kamu sering ngobrol sama Pia?”
“Iya.”
“Ngomongin apa?”
“Anaknya yang ngambek sama Pia waktu aku ke rumah, tapi gak ngobrol sama anaknya.”
Retta mencubit lengan Irash, lalu tertawa. Tawa yang memecah keheningan malam. Tawa yang menghangatkan diantara hembusan angin malam yang dingin.
Semuanya Baik-Baik Saja
Bab 20
Semuanya Baik-Baik Saja
Manusia bisa lari kemanapun mereka mau. Bisa lari sejauh apapun, namun masalah yang dihindari tidak tertinggal begitu saja di belakang, lantas menghilang. Kalau semudah itu menyelesaikan masalah semua orang pasti akan berlari beramai-ramai. Sayangnya bukan seperti itu cara menyelesaikan masalah. Retta pernah ingin berlari jauh ketempat dimana tak seorangpun yang akan meledeknya. Ketika masih duduk dibangku sekolah dasar Retta pernah jadi bahan ledekan teman-temannya hanya karena dia pemalu dan selalu menyendiri.
Tapi, Marina selalu meyakinkan Retta bahwa sifat pemalu itu bukanlah hal buruk. Retta hanya perlu berani mengangkat kepalanya. Sejak kecil Retta sudah diceritakan kisah-kisah inspiratif. Berawal dari dongeng-dongeng jenaka, sampai ia besar buku-buku inspiratifnya berubah. Seperti Norman Vincent Peale, Napoleon Hill, Gabrielle Zevin dan lain-lain. Kegemaran Retta dalam membaca merubah banyak pola pikirnya. Membuatnya melihat segala sesuatu dengan sudut pandang yang lebih luas dan bijaksana.
Ya... meski dia masih sering bertindak konyol dan manja. Itu suatu yang dimaklumi, sebab Retta remaja yang dimanja. Toh tingkat kemanjaannya tidak sampai membuat orang ingin menguliti dirinya hidup-hidup.
“Terus sekarang kamu mau makan apa?” tanya Damar lemah lembut pada Retta dalam mode manjanya. Semalam Damar berjanji akan membuatkannya sarapan nasi goreng seafood, tapi kakaknya itu lupa.
“Abangkan janji mau buat nasi goreng seafood, kok ini malah toast?”
“Ya udah kalau gitu abang buatin ya.”
“Gak usah nanti Retta kesiangan,” meski kesal, tapi Retta tetap memakan sarapannya. “Mia, Pia mana bang?” tanyanya dengan mulut penuh.
“Mia nganter Pia ke bandara.”
“Emang Pia mau kemana?”
“Ke London.”
“Itu orang yang nusuk Ashley udah ketangkap?”
Karena mulutnya penuh, Damar hanya menggeleng. Baru setelah kosong dia berkata. “Masih buron, pelaku itu ternyata pacarnya Ashley.”
“Mantan kali, Ashley udah gak ngakuin dia pacar.”
Percakapan pagi kakak beradik itu membahas perihal pelaku penusukan Ashley. Menurut keterangan Ashley, mantan kekasihnya itu meminta Ashley untuk mengugurkan kandungan. Tentu saja hal itu ditolak Ashley, yang terjadi selanjutnya di hari itu adalah sang mantan kekasih yang murka lalu tega bertindak kriminal. Hal yang sebenarnya sudah tidak aneh lagi di jaman sekarang ini, tapi tetap saja hal itu mengundang keperihatinan.
“Pacar jemput gak?” tanya Damar.
“Enggak, kasihan nanti dia bolak-balik.”
“Abang lagi dong yang jadi supir.”
“Kan kata Pia juga gitu, selama Pia dan Mia gak ada abang yang jadi wali Retta. Memenuhi semuaaaaaa keinginan Retta tanpa terkecuali. Ha ha ha!” tutur Retta dramatis.
“Dulu tuh kamu pendiem Ta, ngegemesin dan gak banyak minta. Kok sekarang jadi ngeselin ya?”
“Time changes, people changes too. Semua bergerak, yang statis itu cuma skripsi abang.”
“Ledek aja terus, gak bakal abang bikinin nasi goreng.” Damar pura-pura kesal, dia beranjak dari meja makan mendahuli Retta.
“Eh?” cepat-cepat Retta menelan makanannya dan menyambar segelas susunya. “Jangan dong bang! Maafin Retta ya ya ya.”
Damar tak peduli, dia terus melangkah melewati bi Warni yang sedang mengepal lantai. Wanita bersanggul itu terkekeh melihat polah anak majikannya. Retta menggoyang-goyangkan tangan Damar berusaha meluluhkan kakaknya.
“Ayolah bang maafin ya? Retta tarik ucapan barusan. Retta ganti jadi do’a deh, semoga skripsi abang cepet selesai, terus wisuda, dan nikah deh.”
Damar berhenti melangkah. “Cariin dulu calonnya, gimana?”
“Calon istri buat abang? Emang di kampus gak ada yang abang taksir gitu?”
Damar tertawa. Duduk di sofa memakai sepatunya, sedangkan Retta mengambil tasnya menunggu Damar selesai memakai sepatu. “Abang gak kepikiran buat pacaran, Ta.”
“Kenapa?”
“Ada yang harus abang bahagiakan lebih dahulu, sebelum cari pacar.”
“Mia sama Pia?”
Damar mengangguk, selesai memakai sepatunya. “Ayo berangkat.”
“Mia sama Pia bahagia kok punya abang. Mia selalu bilang kalau abang gak pernah buat Mia dan Pia kecewa. Mereka sayang banget sama abang.”
Damar meraih pundak Retta untuk dirangkulnya, mereka berjalan keluar rumah bersama. “Abang bangga sama kamu, Ta. Jarang-jarang ada ABG sedewasa kamu, tapi juga kadang begonya gak ketulungan.”
Retta mendongak menatap Damar yang jauh lebih tinggi darinya. “Itu sejenis pujiaan apa hinaan sih bang? Kok perih ya.”
“Ahahaha.”
@@@
Kantin adalah surga dunia bagi Tuti dan murid-murid penggemar setia aneka makanan. Jam istirahat adalah waktu paling sempurna untuk memenuhi hasrat mereka terhadap makanan. Ada dua piring batagor, semangkuk mia ayam dan dua gelas es jeruk yang berperan sebagai pemuas hasrat Tuti. Ah, tak ada yang lebih menyenangkan selain makan setelah sebelumnya harus mengerjakan tugas Fisika yang membuat otak-otaknya berbelit-belit seperti benang kusut.
Tiga temannya Jihan, Anita dan Retta hanya diam. Sudah biasa melihat pemandangan itu. Aneh rasanya kalau Tuti hanya memesan satu porsi makanan saja. Mereka pasti akan bertanya ada masalah apa yang terjadi pada gadis tambun itu.
“Ta?” panggil Tuti dengan mulut penuh.
“Hmmm?”
“Ngerjain tugas di rumah lo, kan?”
“Iya, Tut.”
“Bilang ke Mia tersayang, siapin makanan buat Tuti.”
Anita melempar rawit yang menjadi teman makan gorengannya pada Tuti. “Kita mau belajar Tut, bukan kulineran.”
“Food makes me stronger!” kilah Tuti, namun dibantah oleh Jihan.
“Bikin tambah gendut, bukan strong.”
Retta menyedot jus Alpukatnya. Dia melihat Anita yang sedang mengunyah tahu isi. “Keanu lombanya kapan?”
“Seminggu lagi katanya, kenapa?”
“Kita boleh datang kan buat ngasih semangat?”
“Boleh. Pihak sekolah udah nyiapin malah.”
Tak lama yang jadi bahan pembicaraan mereka datang. Keanu menarik kursi di sebelah Anita. Terlihat sekali wajah lelahnya. Tanpa permisi dia menarik gelas berisi soda milik kekasihnya. Hal sekecil itu bagi Tuti adalah romantis.
“Duh kapan ya gue bisa minum segela berdua sama pacar?”
Siapa sangka ucapan Tuti terdengar oleh teman di sebelah mejanya. Gadis berambut sebahu itu berkata menyindir pada Tuti. “Kurus dulu kali, baru mikirin pacar.”
Geram, tapi Tuti bersikap seolah-olah dia tidak tersinggung sama sekali dengan ucapan gadis bernama Hellen itu. “Gini ya mbak, pacaran itu hak semua orang. Gak peduli mau dia kurus atau gendut. Kalau mau bukti, situ sendiri juga masih jomblokan? Padahal kurus.”
Anita yang mendengar respon Tuti langsung mengacungkan dua jempol, tapi bagi Hellen itu sebuah penghinaan. Sadar apa yang akan terjadi berikutnya, Retta segera berdiri menengahi. “Stop! Bisa gak kalau kita gak usah bahas bentuk badan? Tuti, Hellen gimana pun bentuk badan kita, itu bukan jadi pembeda. Bukan jadi alasana buat kita musuhan.”
“Cabut yuk!” ajak Hellen pada teman-teman semejanya.
“Huuuu.” Sorak Tuti dan Anita bersamaan. Retta menatap mereka tajam.
“Apa sih Ta? Kebiasaan deh lo selalu belain yang salah.” Kata Anita.
Kalau ditimpali masalahnya akan menjadi lebih panjang. Jadilah Retta tersenyum, lalu mencubit gemas pipi Anita. “Gemes gue.”
“Ta!”
Retta terkekeh begitu juga dengan Keanu dan Jihan. “Kamu PMS setiap hari ya?” tanya Keanu menggoda Anita.
“Iya kenapa emangnya?!”
“Sebentar, jangan marah dulu. Aku mau ngambil stok sabar aku,” Keanu merogoh saku celananya berpura-pura mencari stok kesabarannya. “Aduh gak ketemu, gimana ini?”
“Keanu!” teriak Anita yang langsung menarik perhatian seisi kantin. Gadis itu meringis malu.
Tak pernah hidup seseru itu bagi Retta selain melihat tawa teman-temannya. Menikmati tawa mereka lewat candaan. Kelak hal ini akan amat sangat ia rindukan, jadi Retta menyimpannya dalam satu ingatan terbaik dari hidupnya. Masa mudanya, teman-temannya adalah salah satu bahagianya. Retta amat sangat bersyukur karena Tuhan memberikannya kemudahan dan kebahagiaan yang tak akan pernah bisa dia hitung. Sebanyak apapun ia mengucapkan rasa syukurnya, dia kira itu tak akan pernah cukup.
Selesai makan mereka kembali ke kelas. Di depan kelas ada Irash yang menunggu Retta. Teman-temanya lebih dahulu masuk ke kelas membiarkan Retta bersama Irash. “Ada apa?” tanya Retta.
“Tadi bang Damar telepon aku, dia mau jemput kita sepulang sekolah.”
“Ada apa?”
“Jenguk Ashley.”
Retta menarik Irash menjauh dari teman-teman sekelasnya yang masih berdiri di luar kelas. “Teman sekelas kamu gak ada yang curiga, kan?”
“Gak ada. Pia yang handle, jadi pihak sekolah tahunya kalau Ashley itu korban penganiayaian.”
“Owh.”
“Hari ini juga perwakilan kelas mau jenguk Ashley.”
“Ya udah kalau gitu aku ke kelas dulu ya.”
“Hmmm.”
Baru Retta melangkah meninggalkan Irash, dia berbalik. “Kamu nemuin aku cuma buat bilang kalau bang Damar mau jemput kita, kenapa gak chat aja?” tutur Retta mengingat gedung kelas mereka yang berbeda jadi menciptakan jarak yang cukup membuat malas jika hanya untuk hal sesederhana itu.
Irash tersenyum, mendekati Retta. “Itu cuma alasan kecil. Alasan terbesarnya adalah karena aku kangen kamu.”
“O-oke, aku ke kelas.” Retta gugup, dia segera masuk kelasnya dengan pipi yang bersemu merah dan jantung berdetak dari normal. Seperti biasanya jika Retta begitu gugup setiap kali bersama Irash, tapi lelaki itu tetap terlihat tenang dengan senyuman yang mengembang.
@@@
Memaafkan adalah mulia. Memberi maaf juga. Oke, Anita berhasil mengalahkan egonya. Dia ikut serta ke rumah sakit bersama Irash, Reta dan juga Damar untuk menjenguk Ashley. Tak nyaman memang jika harus menyimpan benci. Mereka berempat menyusuri lorong rumah sakit menuju tempat Ashley di rawat. Irash dan Damar berada di belakang Retta dan Anita. Sesekali Retta mengajak Anita bercanda, sebab teman sebangkunya itu memasang wajah judesnya.
“Ta diem deh!” seru Anita saat Retta menusuk-nusuk pipinya dengan jari telunjuknya.
“Habisnya pipi lo kayak balon minta dibetusin.”
“Untung aja nih ya gue sayang sama lo, coba kalau enggak udah gue kirim lo ke kamar mayat.”
“Ahahaha... emang berani?” tanya Retta seakan-akan menantang Anita. Benar saja Anita langsung menarik Retta.
“Ayo buruan jalannya, katanya mau ke kamar mayat.”
“Nita ih... guekan bercanda,” rengek Retta meminta dilepaskan. “Abang, Irash bantuin dong.”
Irash dan Damar hanya diam mentertawakan Retta. Soal tenaga jelas Retta kalah dari Anita yang merupakan atlet Teakwondo sekolah. Retta dengan usahanya melepaskan diri dari Anita dan Anita dengan tenaganya yang kuat menyerat Retta menuju kamar mayat. Sampai Retta lelah lantas menangis barulah Anita melepaskan gadis itu.
“Hick..hick.. ampun Nita, gue takut.” Ucap Retta disela tangisnya. Gadis itu sampai terduduk di lantai.
“Makanya jangan suka nantangin, mewek kan lo.”
“Kan lo harusnya ngerti dong kalau gue bercanda.”
Tingkah mereka berdua terang saja mengundang gelak tawa Irash dan Damar. Sayangnya dua lelaki itu tidak berniat menoleng Retta, atau mencegah candaan Anita. Keduanya kembali berjalan menuju kamar Ashley. Anita segera menyusul meninggalkan Retta yang masih terisak. Gadis itu takut dengan suasana rumah sakit, apalagi kamar mayatnya. Segera setelah sadar ia sendiri di lorong, Retta juga segera berlari menghampiri mereka.
Retta langsung merangkul lengan Irash yang disambut senyuman lelaki itu, lalu mengusap puncak kepala Retta dengan lembut. Di depan pintu rumah sakit ada beberapa orang polisi dan juga orang tua Ashley. Mereka menoleh saat menyadari kedatangan Retta dengan yang lainnya. Yuanita datang menghampiri.
“Kalian langsung masuk aja ya,” ucap Yuanita. “Ashley nungguin tuh.
“Iya tante.”
Anita yang belum diberi tahu secara terperinci oleh Retta nampak bingung. Gadis itu mencubit lengan Retta. “Ta, kok sampai ada polisi segala sih?”
“Panjang kalau diceritain.”
“Ya guekan pengen tahu.”
Seperti membalas dendamnya beberapa saat yang lalu, Retta menjulurkan lidahnya. Dia kemudian duduk di sebelah tempat tidur Ashley. Damar dan Irash duduk di sofa. Ashley terlihat senang melihat kedatang mereka. Pandangannya lalu tertuju pada Anita, dia tersenyum dan menyapa Anita lebih dahulu.
“Hai Nit.”
“Kenapa lo bisa dirawat?” tanya Anita tidak ada manis-manisnya. Menanggapi itu Ashley tersenyum mengerti.
“Kena azab sih kayaknya gue.” Jawab Ashley terdengar serius, tapi juga bercanda.
“Tobat terus lo?”
“Iya, tobat gue. Takut nanti kena azab yang lebih perih dari ini, terus jenazah gue nyemplung ke kokal Lele. Kan gak elit ya.”
Retta menahan tawa begitu juga dengan Irash dan Damar. Sedangkan Anita yang masih dalam keadaan mengendalikan egonya hanya melirik Ashley seakan matanya berkata gak lucu. Detik berikutnya Anita lebih mendekat.
“Gue mau minta maaf karena waktu itu udah kasar sama lo.”
“Gue juga minta maaf.”
Apa yang Retta lihat adalah tulus, hanya saja cara mereka meminta maaf terlalu kaku terutama Anita. Tanpa diduga Retta menarik kedua tangan temannya itu. “Salaman dong, biar mesra.”
Anita dan Ashley memang akhirnya bersalaman hanya saja terlalu singkat, seperti keduanya sama-sama jijik. Gengsi, tapi kemudian tertawa. Ini yang ingin Retta lihat. Cinta, kasih sayang, bahagia tawa. Tak peduli seberapa banyak perbedaan yang ada. Itu bukan alasan untuk menjadi pemisah pertemanan. Sekali lagi Retta bersyukur.
Sayur Kacang Merah
Bab 21
Sayur Kacang Merah
Ada banyak hal yang ingin Retta wujudkan. Hal-hal kecil yang akan membawa kebahagiaan untuk orang-orang di sekelilingnya. Gadis itu kini tengah sibuk di dapur ditemani bi Warni. Orang tuanya sedang sibuk dengan pekerjaan, sedangkan Damar sibuk dengan skripsinya. Lelaki itu mengurung diri di kamar bersama tumpukan buku-buku tebalnya. Retta tidak ingin mengganggu abangnya itu, dia ke kamar Damar hanya untuk membawakan makanan.
“Kalau sudah mendidih masukan kacangnya.” Ucap bi Warni mengingatkan.
“Tenang aja bi sekarang Retta udah hafal kok,” katanya bangga. “Setelah gagal berkali-kali.”
“Namanya belajar pasti ada gagalnya. Bibi juga waktu kecil pernah belajar masak, terus gagal.”
“Masak apa bi?”
“Masak telur dadar. Bibi lihat ayah bibi masak telur dadar, terus teflonnya diangkat-angkat ke atas buat ngebalik telurnya, non. Pas bibi nyobain, eh... telurnya jatuh di lantai.”
“Ahaha, tapi itu masih lebih baik bi dari Retta. Buat sayur kacang merah ini perlu berhari-hari buat...
Jangan Salah Faham Soal Cinta
Bab 22
Jangan Salah Faham Soal Cinta
Pernah Retta dengan tidak sengaja membaca sebuah kalimat yang berbunyi Everything is ngobrol. Dia tersenyum saat membaca tulisan yang dia jumpai di sebuah pagar dinding saat dia melintasinya kala itu. Retta membenarkan kalimat itu, bahwasanya segela sesuatu itu perlu dibicarakan. Ngobrol adalah istilah teringan untuk membicarakan sesuatu, terasa lebih ringan lagi jika duduk bersama sambil menikmati secangkir kopi. Bukan kopi, tapi cokelat panas. Retta tidak suka kopi.
Beberapa hari ini Retta tidak menjumpai abangnya di rumah. Marina bilang Damar ada di apartemennya yang lebih dekat dengan kampus. Hasilnya Retta gagal mengorek keresahan Damar yang membuatnya penasaran. Lepas dari rasa penasaranya terhadap Damar, kini Retta dihadapankan dengan rasa penasaran lain. Jihan, gadis itu sekarang jadi perhatiannya. Setelah memerogiki Jihan di tempat Irash tempo hari, Retta menjadi lebih sering mengawasi Jihan. Radar cemburunya kuat.
Tentu itu tidak akan terjadi begitu saja jika Jihan tidak...
Prasangka
Bab 23
Prasangka
Kalau bisa memilih kapan dan pada siapa cinta akan diberikan, rasanya semua orang pasti sudah menentukan target jatuh cinta mereka. Sayangnya cinta kadang datang di saat yang kurang tepat, seperti mencintai seseorang yang sudah lebih dahulu dimiliki orang lain. Sekalipun demikian bukan berarti cinta itu salah. Tidak sama sekali, sebab cinta sedang mengajarkan kita untuk merelakan. Tuhan masih punya banyak cara untuk memberikan cinta pada siapapun yang menginginkannya.
Retta sedang serius dengan soal-soal ditangannya. Sepuluh menit yang lalu guru fisikanya masuk dan langsung memberikan ujian dadakan membuat murid-murid di kelasnya histeris. Retta sendiri hanya menghela nafas dengan keputusan guru Fisikanya yang sering membuat murid-murid pusing tujuh keliling. Lelaki berkumis tebal itu dijuluki Pakum alias pak Kumis, nama aslinya adalah Hamdan. Kaca mata tebal dengan rantai emas pada bagian gagangnya didorong karena merosot saat dia berjalan mengawasi murid-muridnya.
“Pak, ini nomor lima beneran disuruh ngitung jarak?” tanya salah...
Drama Cinta
Bab 24
Drama Cinta
Retta duduk seorang diri di tepi kolam renang, merendam kedua kakinya di dalam air. Pikirannya masih tertuju pada sikap Jihan. Retta sudah berusaha bicara lagi pada Jihan, tapi gadis itu selalu menghindarinya. Retta beranjak dari tempatnya, suara kecipak air terdengar begitu kakinya diangkat ke permukaan menyisakan jejak basah pada lantai sebelum menguap ke udara. Retta berjalan masuk ke rumahnya yang sepi.
Gadis itu menapaki anak tangga menuju kamarnya. Dia harus bersiap sebelum Irash datang menjemputnya. Mereka ada janji kencan sore ini. Retta sedang ingin menonton, beli buku, atau makan es krim di taman berdua dengan Irash. Membayangkan kencannya sore ini Retta sudah senyum-senyum sendiri sejenak melupakan masalahnya dengan Jihan. Tak perlu selarut itu memikirkan masalah.
Retta masuk ke kamarnya, dia mencari-cari pakaian yang sesuai untuknya. Tidak seheboh seperti ketika ia pertama kali menyadari perasaannya pada Irash. Mengingat hal itu membuatnya tertawa sendiri. Benar-benar dia merasa bodoh....
Keresahan Retta
Bab 25
Keresahan Retta
Manusia dan keinginan-keinginannya tidak akan pernah selesai untuk dipenuhi. Selalu merasa ingin lebih dan lebih lagi. Retta kecil tak pernah banyak meminta, sekalipun orang tuanya selalu menawarinya ini dan itu. Sedari dulu Retta sudah pandai menahan diri dari keinginan-keinginan yang berlebihan. Cukup baginya ketika dia mempunyai boneka Doraemon pertamanya saat ia berusia tujuh tahun. Kalau pun sekarang di kamarnya banyak sekali boneka, itu adalah pemberian dari orang-orang terdekatnya. Retta tak pernah meminta langsung pada orang tuanya.
Pakaian-pakaian bermerk yang dia kenakan, fasilitas mewah yang didapatnya bukan hasil dari dia merengek. Orang tuanya memberikan semua itu sebab bagi mereka Retta pantas mendapatkan yang terbaik dari mereka. Retta sudah banyak memberikan kebahagiaan bagi orang tuanya. Kebahagiaan yang tak terukur dengan uang sebanyak apapun mereka memberi. Retta adalah hadiah terindah dari Tuhan, maka sepatutnya hal indah itu dijaga dengan sebaik-baiknya.
Retta duduk di atas tempat tidur memeluk boneka...
Negative Thinking
Bab 26
Negative Thinking
Danu kecil terlahir dari keluarga terpandang. Memiliki apapun yang dia maui tanpa terkecuali. Dibesarkan oleh kemewahan membuat Danu sedari kecil mengenal bahwa uang mampu menyelesaikan segalanya. Ketika beranjak dewasa mimpi-mimpi bahagia memenuhi kepalanya. Mempunyai seorang istri, anak-anak dan kebahagiaan yang dia ciptakan bersama keluarganya. Tak ada yang pernah lepas apa-apa yang berada dalam genggaman tangannya.
Sampai kemarin.
Damar lepas darinya dan juga kebahagiaan Marina.
Pagi ini Retta tak melihat Damar yang biasanya sibuk di dapur menyiapkan sarapan, juga tidak dengan Marina. Meja makannya sepi, hanya ada bi Warni yang sedang membersihkan dapur sambil benyanyi lagu dangdut kesukaannya. “Selamat malam duhai kekasih....sebutlah namaku dalam tidurmu. Bawalah aku....”
“Bi,” panggil Retta menghentikan nyanyian syahdu bi Warni. “Nanyinya jangan yang sedih-sedih, bikin tambah sedih tahu.” Retta mengambil roti dari beserta selainya.
“Eh non Retta, mau bibi buatin susu?”
“Boleh,” Retta duduk seorang diri di meja makan. Saat hendak menggigit...
Tak Mengapa Terluka
Bab 27
Tak Mengapa Terluka
Seminggu sudah berlalu sejak kejadian Damar pergi meninggalkan rumah. Marina dan Danu masih saling diam. Retta berusaha untuk menyatukan kembali orang tuanya, namun tak juga berhasil. Danu semakin hari semakin jarang pulang, lelaki itu lebih sering berada di kantornya. Begitu juga dengan Marina yang lebih sibuk mengurusi restorannya. Mereka melupakan bahwa masih ada Retta di rumah yang menunggu mereka pulang.
Sekalipun Retta berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tapi usahanya itu tidak berpengaruh banyak pada dirinya. Retta jadi jarang makan, kurang tidur. Dia membunuh sepinya dengan menyibukan diri dengan belajar dan belajar. Sesekali Irash datang untuk menemaninya mengobrol ataupun makan. Anita, Ashley, Tuti dan juga Keanu sering menghibur Retta dengan candaan. Untuk sesaat mungkin upaya mereka menghibur Retta berhasil, tapi begitu kembali ke rumah dan mendapati sepi, Retta kembali bersedih.
Nyata bahwa kini sepi malam benar-benar memeluknya. Retta terbangun dari tidurnya karena petir yang bergemuruh saling...
Perihal Takdir, Tak Ada Yang Tahu
Bab 28
Perihal Takdir, Tak Ada Yang Tahu
Ingin memutar waktu agar hal-hal yang disesali hari ini bisa diperbaiki. Ingin mengatakan maaf pada orang-orang di masa lalu yang pernah disakiti. Ingin membahagiakan mereka yang pernah dikecewakan. Ingin memeluk mereka penuh dengan sayang dan ingin menghapus jejak kesalahan yang pernah diperbuat pada hari yang lalu. Sayangnya manusia hanya bisa berandai-andai untuk memutar waktu ke masa lalu.
Mesin waktu Doraemon tak pernah seorang pun mampu menciptakannya. Itu hanya imajinasi dari seorang penulis animasi. Hidup di dunia ini nyata, bukan fantasi dan imajinasi semata. Orang tak perlu hidup dalam andai-andai, mereka harus menghadapi kenyataan. Tak peduli manis atau pahit, semuanya harus diterima meski dengan penyesalan.
Seminggu sudah berlalu Retta masih terbaring diranjang pesakitannya. Jarum-jarum tajam itu masih menancap pada pergelangan tangannya. Alat bantu pernafasan masih terpasang, sesekali mengembun sebagai tanda Retta masih bernafas. Entah sudah berapa kali tabung oksigennya diganti, tapi Retta masih tetap terlelap. Seakan dia melupakan orang-orang yang ingin dia bahagiakan. Seakan sudah tak ingin lagi bangun dan melihat mereka.
Kenyataan terberat yang harus diterima oleh orang-orang yang setia menunggunya sadar adalah kemungkinan Retta akan tetap tidur selamanya. Kalaupun Retta siuman ada kemungkinan buruk lainnya yang harus gadis itu terima, yaitu kelumpuhan pada kedua kakinya karena saraf otaknya mengalami cedera cukup parah.
Marina duduk di sisi ranjang Retta, menemani puterinya hampir sepanjang hari. Mengucapkan kata-kata maaf yang penuh dengan penyesalan berharap puterinya itu mendengar. Marina akan terus di sana kalau saja Irash tidak memintanya untuk pulang dan beristirahat, Marina rela menjadikan rumah sakit sebagai tempat tinggalnya. Sedangkan Danu datang sesekali, karena pekerjaannya. Sepasang suami-istri itu masih belum akur, masih belum mengambil pelajaran dari apa yang menimpa puteri mereka. Sedangkan Damar adalah orang yang paling menyesal dan paling merasa bersalah.
Marina melihat Damar yang terlelap di sofa setelah semalaman menjaga Retta. Selimutnya jatuh ke lantai, Marina berdiri mengambil selimut itu dan menyelimuti Damar. Di usapanya rambut Damar dengan sayang. “Mia sayang abang,” lirih Marina dengan suara tercekat karena menahan tangis. “Bagaimanapun abang tetap anak Mia. Maafkan Mia bang.” Satu kecupan hangat dia berikan untuk Damar sebelum kembali duduk di sisi Retta.
Pintu kamar rawat Retta dibuka dari luar, Marina tersenyum saat melihat siapa yang datang. Irash yang masih dengan seragam sekolahnya yang dibalut jaket army. Lelaki itu datang membawa makan siang.
“Tante makan dulu ya, aku bawain makanan kesukaan tante. Bibi yang masak.” Ucap Irash mengeluarkan wadah-wadah berisi makanan.
“Kamu bangunin Damar dulu ya, tante mau ke kamar mandi.”
Irash mengangguk membiarkan Marina ke kamar mandi. Sebelum membangunkan Damar, Irash memilih untuk mendekati Retta yang masih terpejam. Dia mengusap kening kekasihnya itu dengan lembut. Terluka sebenarnya, tapi dia tidak ingin lemah. Irash menunduk mendekatkan dirinya untuk mencium sisi kening Retta. “Bangun sayang, aku kangen kamu.” Katanya kemudian setelah mengecup gadis itu.
Tapi, Retta tetap diam.
“Ta! Retta....” Damar memanggil nama adiknya dalam tidurnya. Irash langsung menoleh, lalu menghampiri Damar. “Retta.. maaf... Ta!”
Irash mengerti betapa banyaknya penyesalan Damar atas apa yang menimpa Retta. “Bang, bang Damar bangun bang.”
Mata Damar terbuka menerawang menatap putihnya langit-langit kamar. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. “Retta belum bangun, Rash?” tanyanya kemudian.
“Belum,” Irash memendang Retta dari tempatnya. “Tapi, dia pasti bangun. Abang gak usah khawatir.” Ucapnya berusaha menenangkan Damar, padahal rasa khawatir dan takutnya juga sama besarnya seperti Damar.
“Mia kemana?”
“Kamar mandi, abang makan dulu aja.”
Damar bangun, menatap pintu kamar mandi di dalam kamar rawat Retta yang terbuka. “Itu kosong.”
“Kamar mandi lain, mungkin.”
Marina sengaja mencari kamar mandi rumah sakit lainnya yang lebih jauh karena dia tahu begitu Damar bangun, anaknya itu tidak akan bicara padanya. Marina tidak menghindari Damar, tapi dia tidak ingin membuat Damar tidak nyaman dengan kehadirannya. Marina ingin memberi waktu untuk puteranya itu, sama seperti dia memberi waktu untuk dirinya sendiri. Untuk menerima kenyataan hidupnya saat ini.
“Lo sendiri udah makan?” tanya Damar mengambil makanan yang bi Warni masak.
“Udah.”
Sebenarnya Damar tidak begitu bernafsu untuk makan. Selera makannya turun sejak dia keluar dari rumah Danu, tapi dia harus tetap makan. Masih ada mimpi-mimpi bahagianya yang ingin dia wujudkan. Dia ingin sehat, ingin baik-baik saja saat Retta melihatnya ketika gadis itu siuman. Dia ingin meminta maaf pada Retta. Ingin sekali.
“Takdir Tuhan kadang lucu ya,” ucap Damas sambil mengaduk-aduk nasinya. “Kemarin ketawa-ketawa, besoknya nangis, terus detik berikutnya ketawa lagi. Tuhan hebat mengatur takdir seseorang.” Kata Damar lalu menyuapkan sesendok nasi kemulutnya.
“Hidup gak rame kalau semua takdir manusia sama.” Balas Irash.
“Sejak kapan lo sayang sama Retta?”
“Sejak dia bilang mata gue bagus.”
“Kenapa sama mata lo? Perasaan biasa aja.”
Irash tersenyum samar. Kakak dari kekasihnya itu tidak tahu warna asli matanya. Mata Irash memicing menatap lurus pada Retta. Tepatnya pada jari-jari tangan kekasihnya yang bergerak pelan.
“Retta!” serunya seraya tergesa menghampiri Retta.
@@@
Ada yang kini Retta paksan atas apa yang kini Tuhan beri padanya. Memaksa diri untuk tegar, tersenyum dan tidak menangis. Memaksa diri menerima bahwa kedua kakinya lumpuh. Siang tadi matanya terbuka, cahaya-cahaya berpendar di sekelilingnya sampai dia sadar dimana ia berada. Dokter, perawat, orang tuanya, Damar dan juga Irash ada di sisinya. Hanya saja mereka semua menatap Retta pilu. Damar bahkan tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Retta diam tak ingin bicara, hatinya masih terluka. Kini hanya hening yang menyelimuti kamar serba putih itu.
Dokter bilang Retta luar biasa karena bisa melewati masa kritisnya dengan cepat. Itu sisi baiknya, sisi buruknya adalah gadis itu sekarang merasakan sesuatu yang dia sebut hampa. Tegarnya adalah pura-pura, senyumnya palsu dan asanya sekarang hanya angan-angan. Sekuat apapun dia berusaha menerima, tapi kenyataan jauh lebih kuat menjatuhkannya.
Aku lumpuh. Aku cacat. Terus saja hatinya mengulang kalimat yang sama berkali-kali. Kalimat yang meracuni pikirannya, kalimat yang memupuskan teori-teori bahagianya. Lagi, dia terisak menyadari bahwa kenyataan lebih pahit dihadapannya sekarang.
Tak ada adegan menangis histeris saat dia mendengar bahwa kedua kakinya lumpuh seperti dalam sebuah sinetron, atau memukul kuat-kuat kedua kakinya yang mati rasa. Tak ada juga umpatan menyalahkan Tuhan dan memaki takdirnya. Retta terpukul sangat, tapi sekali lagi dia berusaha memaksakan dirinya untuk menerima.
“Sayang, dokter sudah bilang kan kalau kaki kamu masih bisa sembuh.” Ucap Marina berusaha menenangkan Retta dengan memberikan harapan.
Retta diam menahan tangisnya. Hati Marina terasa begitu perih melihat puterinya yang selalu ceria kini hanya diam meneteskan air mata. Hal yang juga dirasakan Danu dan Damar. Kedua lelaki itu duduk di sofa tak saling bicara. Sedangkan Irash berada di luar kamar, menunggu di sana memberi waktu pada keluarga kekasihnya untuk bicara dengan Retta.
Danu berdiri mendekati Retta. “Ta, jangan khawatir soal kaki kamu. Ini hanya sementara. Pia akan jadi dokter terbaik untuk menyembuhkan kamu.”
Bukan itu yang sebenarnya ingin Retta dengar dari kedua orang tuanya. Bukan kata-kata penyemangat tentang kakinya, tapi.... “Retta akan sembuh kalau Pia dan Mia kembali seperti dulu,” Retta melirik Damar yang memandangnya pilu. “Dan bang Damar pulang. Cuma itu obat terbaik buat Retta.”
“Kita bisa bicarakan itu nanti, yang penting kamu sembuh dulu.” Ucap Danu. Retta menggeleng tidak membenarkan ucapan Danu.
“Untuk apa Retta sembuh kalau masih melihat kenyataan kalian saling membenci? Demi Tuhan, Retta masih sanggup menerima kelumpuhan ini, tapi Retta gak akan sanggup kalau lihat kalian terus-terusan seperti ini. Retta mau kalian.” ucap Retta dengan air mata yang mengalir dan sesak di dadanya.
“Ta...”
“Cuma itu Mia, Cuma itu.” lirih Retta mengutarakan keinginan sederhananya.
Ketiga orang dewasa itu saling berpandangan seakan berusaha satu pendapat dengan menyetujui keinginan Retta. Danu mengangguk. “Baik kalau itu yang kamu mau, abang bisa tinggal di rumah lagi,” Danu menatap Damar. “Kamu mau kan?”
Damar tersenyum. “Iya.”
Meski menyetujui keinginan Retta, tapi gadis itu tahu kalau masih ada keterpaksaan Danu menerima kembali Damar, namun Retta enggan bicara lagi. Paling tidak sekarang mereka berusaha dulu untuk menerima kembali, sekalipun terpaksa. Sekali lagi Retta berusaha menegarkan dirinya sendiri. Dia tersenyum saat Marina tersenyum padanya.
“Kamu mau ketemu Irash?” tanya Marina.
“Enggak,” Retta menggeleng kuat. “Aku gak mau Irash lihat keadaan aku. Dia gak boleh ada di sini.”
“Tapi, dia...”
“Retta bilang enggak, Mia.”
“Baiklah, kamu istirahat ya.” Marina beranjak dari tempat duduknya. Dia keluar dari kamar Retta untuk menemui Irash. Di luar Irash langsung bangkit begitu melihat Marina. Wanita itu tersenyum, tapi senyumannya sulit diartikan.
“Kamu pulang ya, besok kan kamu harus sekolah.”
“Aku mau ketemu Retta, sebentar aja.”
“Masih ada besok. Sekarang Retta masih harus banyak istirahat.”
Mencoba memahami, Irash mengangguk mengerti. Dia menyalami Marina sebelum pulang. Walau besar keinginannya untuk menemui Retta sekarang, tapi dia juga membenarkan ucapan Marinatentang Retta yang harus banyak istirahat. Benar esok masih ada waktu untuknya bertemu Retta. Sebelum benar-benar jauh Irash memandang pintu kamar tempat kekasihnya dirawat, lalu tersenyum.
@@@
Pagi di hari berikutnya Retta terbangun dari tidur lelapnya. Dia kira kemarin itu mimpi, tapi melihat tempat yang sama seperti kemarin dia tahu kalau ini bukan mimpi. Ini nyata dan dia hidup dalam kenyataan. Retta masih bersedih, tentu.
Setetes air mata kembali membasahi pipinya. Matanya sendu menatap langit-langit kamar rumah sakit. Diam tak bergerak dari posisinya.
Retta salah apa Tuhan?
Ini hukuman buat siapa?
Berbagai pikiran berkecamuk dalam otaknya. Pikiran negatif datang memenuhi pikirannya, lalu segera ditepis dengan memikirkan hal-hal baik lainnya. Jika dalam adegan sebuah film maka akan ada setan di sebelah kirinya membisikan segala keburukan. Di sebelah kanannya ada malaikat yang membantah segala ucapan-ucapan buruk setan, menggantinya dengan ucapan-ucapan baik.
Ingat Ta, kamu adalah apa yang kamu pikirkan. Tuhan memberikan cobaan tidak akan melebihi kemampuan hambanya.
Saat pikirannya berperang pintu kamarnya dibuka. Marina datang dengan senyuman mengembang, tapi wajah lelahnya tak bisa ditutupi meski dengan polesan makeup.
"Gimana keadaan kamu sekarang?" Tanya Marina yang kini duduk di sisi Retta.
"Gak tahu," jawab Retta yang tak tahu pasti keadaannya saat ini. "Mia, abang gimana?"
"Abang baik-baik saja, jangan khawatir."
"Gimana gak khawatir kalau lihat keadaan sekarang. Retta pikir Pia, Mia dan abang bisa kayak dulu lagi, tapi sampai Retta sakit kayak gini pun kalian masih saling membenci."
Marina tersenyum miris mendengar penuturan Retta. "Kita tidak saling membenci, hanya saja terkadang orang dewasa lebih sibuk membenarkan pikiran mereka sendiri. Maaf kalau yang terjadi dengan kami sekarang ini menjadi beban buat kamu, maaf sayang."
"Maaf itu salah satu bahasa cinta. Retta bisa kalau kata Mia udah minta maaf gitu, selain memaafkan. Mia?"
"Iya sayang?"
"Retta gak mau kehilangan keluarga Retta. Retta ingin terus sama Mia, Pia dan Abang."
"Pasti, sayang." Marina memeluk Retta erat. Air mata wanita itu menetes meski ia tahan-tahan.
Tok tok tok
Pintu pun terbuka. Marina dan Retta melihat Irash, tapi Retta tidak siap bertemu Irash. Hingga tanpa sadar dia melempar bantal pada Irash yang dan berteriak kasar pada kekasihnya itu.
"Pergi! Aku gak mau ketemu kamu!"
Irash hanya diam memandangi Retta yang terlihat frustasi memandangnya. Mencoba memahami Retta, Irash kemudian tersenyum melangkah mendekat.
"Aku bilang pergi!"
"Iya setelah ini aku pergi," Irash meletakan boneka Doraemon dan Nobita yang dibelinya untuk Retta. "Cepat sembuh."
Dan Irash bener-benar pergi dari kamar itu. Dia membiarkan Retta untuk tenang dulu, sebab dia tahu keadaan Retta yang masih syok pasca kecelakaan itu. Dia tidak akan mengganggu Retta, tapi dia akan tetap mengunjungi Retta di rumah sakit meski hanya dengan duduk-duduk saja di depan kamar rawat kekasihnya itu.
Dibalik Luka
Bab 29
Dibalik Luka
Pikiran orang dewasa terlalu rumit. Sesuatu yang seharusnya sederhana pun dibuat menjadi rumit. Kenapa tak seperti anak kecil saja yang ketika jatuh akan bangun dan kembali berjalan? Bukan berlama-lama terdiam meratapi kesakitannya akibat terjatuh. Kenapa juga harus menunggu seseorang untuk menolong kalau kenyataannya masih bisa berdiri sendiri? Kenapa harus saling menyakiti, jika saling mencintai itu lebih membahagiakan. Lalu kenapa harus menciptakan pemikiran bahwa dia benar dan yang lainnya salah? Orang dewasa bisa lebih egois dari anak-anak yang merengek untuk segera keinginannya terpenuhi. Ya... orang dewasa dengan pemikirannya, Retta mencoba memahami pikirannya sendiri.
Dia mengambil pikiran kanak-kanaknya jauh dari dasar memorinya untuk memudahkan ia menerima. Retta tak ingin pikiran dewasanya mempersulit dirinya sendiri. Gadis itu menghela nafas, dia merindukan Irash yang sudah beberapa hari ini dilarang olehnya untuk menemuinya. Sore ini dia akan mengizinkan Irash untuk menemuinya setelah sebelumnya dia berperang dengan pikirannya sendiri.
Ketukan pada pintu...
Mendewasakan Diri
Bab 30
Mendewasakan Diri
Angin sore berhembus dengan lembut menyapu dedaunan di pelataran rumah. Retta duduk di kursi rodanya memperhatian sehelai daun Mahogani yang gugur meluncur bebas sebelum akhirnya jatuh di atas pangkuannya. Diambilnya daun berwarna cokelat kekuningan itu, Retta tersenyum. Daun itu menyadarkannya bahwa segala hal ada masanya. Lahir, tumbuh, menua lalu tiada. Jika ini adalah masa dimana dia harus merasakan kesakitan, maka akan ada masa dimana dia kembali tersenyum. Retta membuang daun ditangannya bersama tumpukan daun-daun kering lainnya yang belum sempat dibuang oleh bi Warni.
“Lihat apa kamu sampai senyum-senyum sendiri kayak gitu?” tanya Irash yang datang menghampirnya. Lelaki itu masih berseragam. Ditangannya ada paper bag, sesuatu untuk Retta.
“Motor kamu kemana?” tanya Retta menyadari Irash tidak menggunakan motornya.
“Ada di bengkel,” Irash berlutut di depan Retta. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam paper bag yang dibawanya. “Selamat ulang tahun.” Katanya seraya memberikan kotak biru muda pada Retta....
Tongkat
Bab 31
Tongkat
Semuanya adalah tentang penerimaan. Cukup, tidak cukup. Bahagia, tidak bahagia. Tenang, tidak tenang. Semuanya kembali pada bagaimana cara kita menerima setiap kehendak Tuhan. Takdir memang sering kali seperti sedang mempermainkan kita, tapi sesungguhnya tak pernah bermain-main. Serius, setiap hal yang Tuhan beri adalah sebuah pengajaran. Kita sering kali dipaksa menerima sesuatu yang tak dikendaki, lalu mengeluh. Tanpa sadar setiap keluhan yang keluar dari mulut kita justru semakin memperberat langkah kita dalam menjalani kehendak Tuhan.
Retta menutup buku The Secret Daily Teachings. Setiap halamannya tidak menuliskan kalimat-kalimat panjang yang berlebihan, tapi cukup. Padat dan mengena. Seperti satu kalimat sederhana yang tertulis dalam buku karya Rhonda Byrne, yaitu Happiness depends upon ourselves. Buku yang berada ditangannya itu kini diletakan pada meja di sisinya. Retta memandang keluar jendela, sejak kakinya lumpuh kamar gadis itu pindahkan ke lantai satu untuk memudahkan ia beraktifitas.
Pintu kamarnya selalu dibiarkan terbuka, Retta yang...
Tentang Bahagia
Tentang Bahagia
Ketukan-ketukan kecil menemani langkah Retta menikmati langit senja di sepanjang jalan perumahannya. Di sisinya ada Irash yang menemani, berjalan lambat mengikuti langkah kaki Retta. Keduanya menikmati waktu bersama, sambil terus melatih Retta membiasakan diri menggunakan tongkat kayu pemberian Damar.
Irash hari ini tanpa softlens pada kedua matanya. “Sebenarnya kamu gak perlu memaksakan diri buat ngelepas softlens kamu itu.” Ucap Retta pelan, tapi masih bisa didengar Irash dengan baik.
“Lama-lama pakai softlens jadi gak nyaman.”
“Aku juga sebenarnya gak nyaman pakai tongkat ini, agak ribet.”
Irash berhenti melangkah begitu juga dengan Retta. “Mau aku gendong?”
“Gendong? Itu rumah udah deket juga.” Kata Retta. Mereka memasuki halaman rumah. Tidak langsung ke dalam, keduanya diam sejenak di depan gerbang. Retta menatap langit senja. “Ke rooftop yuk lihat senja.”
“Oke.”
Dari depan rumah mereka berjalan ke sisi bagian rumah. Ada tangga spriral yang menjadi jalan menuju bagaian atap rumah. Irash...
Description: Remaja itu labil, obrolannya soal cinta-cintaan melulu. Remaja itu egois, gak peduli sama orang lain asal dia bahagia. Eh. . tapi, gak semua kok.
Retta buktinya. Dia normal seperti remaja lainnya yang merasakan jatuh cinta, suka k-pop, terkadang juga manja, tapi Retta bisa menyadari bahwa dunia remajanya gak harus diisi dengan perasaan baper, galau karena cinta.
Hal yang membuat Retta galau ada keadaan sekitarnya. Dia tidak bisa membiarkan orang-orang di sekitarnya merasa tidak bahagia.
membahagian mereka adalah misi Retta. Sebab jika mereka bahagia, dia juga bahagia.
Nama : Diah Nurkarim
Ig : @diahnurkarim
Twitter : @smilefor_senja
Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerita teenlit #happyGirl 2019 yang diadakan oleh Storial dan Nulisbuku
|
Title: Romansa Remaja Untuk Pemula
Category: Teenlit
Text:
Carla, Menjelang Pagi
"Saya sih enggak tahu bagaimana bentuk bumi, cuman saya janji bakal tetap pergi ke luar angkasa. Entah bagaimana caranya." Carla berkata padaku dengan pandangan mendongak ke atas. Bintang sedang bertebar seperti meses di atas roti. Mata kita melahapnya rakus. Langit terlihat empuk dan berlapis. Malam yang legit di atas pijakan rumput yang agak terasa basah di pantat.
"Tinggi juga mimpinya, pergi ke luar angkasa. Eh tapi langit itu bagian dari bumi nggak sih?" Aku bertanya dan selanjutnya merasa bodoh sendiri. Biasanya model pertanyaan macam begini tidak akan direspon oleh lawan bicara. Benar saja.
Carla masih belum puas menjilati langit. Matanya tidak terpuaskan di satu titik bintang. Malahan sepertinya dia ingin mengamati ribuan titik itu satu-satu: tanpa berkedip. Sementara aku mencari bulan yang daritadi seolah-olah terus berubah posisi. Bukit tempat kami berada saat ini, memang sedianya jadi lokasi olahraga paralayang. Tapi di dini hari cerah semacam ini, kebanyakan orang lebih memilih menghitung gemerlap bintang.
"Saya capek. Melotot terus." Ujar Carla. Aku yang sedang mengeluarkan bungkus Sampoerna Mild dari jaket parasutku, membakar satu batang kemudian menyuruh Carla berhenti mendongak. Posisi tubuh kita hanya dipisah telapak tangan. Saling duduk selonjor dengan dua tangan menyangga badan masing-masing. Carla berhenti mendongak dan memilih melihat perbukitan di bawah; ada gambaran kota dan gedung-gedungnya. Lampunya kekuningan. sementara di pinggirannya; desa dan jalan-jalan beraspal yang mengelilingi sawah yang di malam sepakat ini, berwarna hijau sangat tua.
Aku membagi rokokku dan Carla menerimanya dengan tangan kiri. Dua kali hisapan. Bergantian. Angin membuat yang satu ini cepat habis. Asap di mulut juga seakan tidak terasa-terasa amat, benar-benar cepat berlalu. Satu hembus dan entah. Tembakau bahkan belum sampai tenggorok.
Carla lalu berteriak, entah apa, dengan intonasi yang tidak kutangkap. Mengucek matanya dan memaksaku bercerita.
"Cerita apaan? Suasana kayak gini mah yang kebayang cerita-cerita melankolis doang."
"Eh, enggak apa-apa kali. Justru biar makin seru, dong." Ujar Carla.
Sementara aku tidak tahu harus bercerita apa, yang ada malah kembali mendongak ke arah butiran cerah yang bersinar. Langit. Dan mulut ini mengoceh sendiri.
"Aku pernah. Pernah kesini. Mungkin tiga tahun lalu. Tapi pas itu gerimis. Anjing, ancur banget lah. Jalannya licin. Mendung. Kabut. Dinginya, mungkin sepuluh kali lipatnya ini. Rokok enggak mempan. Badan serasa mati rasa. Beku."
"Sama siapa?"
"Dulu aku kenal baru tiga minggu. Terus jalan. Lola namanya." Aku berhenti sejenak, mengambil rokok lagi. Carla juga mau sebatang saat kutawari.
"Jadi Si Lola ini asyik sih. Riang gitu. Cuman agak bawel. Nah..." aku berhenti lagi.
"Berhenti melulu nih. Lanjutin lah."
"Yah. Aku putus sama dia tahun lalu sih. Hehe anjing. Sedih ya." Kataku. Bangsat. Aku merasa terharu sendiri. Lalu suasana jadi agak melankolis.
Carla tertawa.
"Cengeng lu. Haha. Jangan nangis dong. Aku engga pernah pacaran lho. Eh iya sih, emang bisa ya nangisin anak orang? Gimana sih rasanya?"
"Bodo. Ya enggak gimana-gimana. Gila aja. Kemana aja lu?"
"Eh enggak gitu. Aku enggak cupu banget kali. Aku ngerti kali cinta itu apa."
"Sok. Apaan emang?"
"Wah conversation kita mulai garing yah. Ujungnya ngebahas cinta." Carla tertawa.
"Ketawa nih."
"Eh, bentar. Ngerti kok. Cinta tuh bukannya energi ya?"
"Iya bener mulai garing nih." Kataku. Cinta sebagai sebentuk energi adalah quote masa lalu, ataukah teori ilmiah atau apa. Bodo amat. Terus terang aku belum puas dengan jawaban Carla.
"Lihat bintang itu deh." Carla menunjuk satu bintang. Mataku melihat ribuan bintang.
"Yang mana njir?"
"Eh terserah lu lah. Sekarang kamu lihat langit. Bulan. Apapun deh. Terus, mana yang menurutmu cinta?"
"Dari definisi cinta adalah energi, kemungkinan besar adalah matahari. Dia sumber energi. Jadi bulan sama bintang tuh kan mantulin cahaya matahari bukannya?" Nilai fisikaku memang buruk. Tapi masalah ini mungkin ada benarnya.
"Eh pinter. Prok prok prok. Tapi salah ding. Mana ada matahari. Engga kelihatan kan? Bukannya cinta butuh yang bisa dilihat ya? I mean, real gitu."
"Lalu apa? Berarti bulan? Dia menyalurkan energi dari matahari. Bukan?"
"Enggak juga. Bintang kan juga dapet energi." Carla mulai membuatku bingung dan aku merasa ingin buang air besar.
"Eh. Bentar. Kamu pikir aku kasih tebak-tebakan? Enggah kali. Beneran nanya."
"Anjing garing. Wah mulai menyebalkan nih."
Carla tertawa sedikit. Meringis tanpa memperlihatkan gigi. Poninya tertiup angin. Ia lalu memakai kerudung jaketnya.
"Cinta itu energi. Chaotic. Bukan matahari. Bukan bulan. Bukan bintang. Mungkin cinta itu langit kali ya? Tempat bertemunya energi?"
Aku baru sadar kalau melongo selama beberapa detik. Langit? Carla bersendekap dan menempelkan dagu ke lengannya. Aku mendongak lagi. Langit.
Jadi apakah medium tempat bertemunya energi, disebut energi juga? Rasanya aku ingin menghubungi guru fisikaku demi menelaah kuliah asal-asalan dari Carla. Sementara Carla sendiri sudah tidak peduli. Posisinya merunduk dengan mata tertutup lengan.
"Yah tidur si tuan putri."
Aku mengambil sebatang lagi. Carla menoleh sedikit tetap dengan posisi yang tadi. Yang tampak hanya sebelah mukanya. Meringis.
"Udah hampir subuh. Ngantuk yuk." Ujarnya.
"Wah iya. Bentar lah. Nunggu sunrise dong. Kamu tidur aja. Aku bangunin entar."
"Merem doang. Enggak tidur. Hawanya gini enggak representatif banget buat tidur."
Benar. Memang semakin dingin saja. Perempuan di sebelahku ini memang sudah bersamaku sejak tiga hari lalu. Tapi malam ini sepertinya jadi perjalanan terlama kami. Juga pertama kalinya kami melewati malam berdua tanpa tidur.
"Cerita lagi, dong." Ujar Carla. Sambil tetap membenamkan mukanya.
"Gantian. Yuk lah. Masak tidur sih ah enggak seru." Ujarku. Lalu Carla berbicara.
"Eh kita nih kayak film Before Sunrise enggak sih. Eh judulnya apaan sih. Before Sunrise apa Sunset ya?"
"Banyak. Before Afternoon juga ada kayanya. Aku cuman nonton yang Before--apa lupa. Ya pokoknya Ethan Hawke yang main."
"Ya itu deh. Yang isinya cewek cowok ngobrol mulu. Baru kenal di kereta. Terus tiduran di rumput gitu."
"Terus doing something ya. Wah. Hafalnya itu doang."
"Oiya. Kayak kita banget enggak sih. Eh tapi kita baru tiga hari ketemu kan ya? Wah udah muncul love belum nih. Udah kali ya. Tapi ogah banget ah have sex."
"Wah kok ujungnya kesitu. Ampun deh. Kita nih malah lebih mirip Kera Sakti kali."
"Sun Go Kong! Ahahah! Mencari kitab suci!"
"Yah. Garing deh."
"Eh by the way Si Ethan bagus banget loh pas di film Boyhood."
"Film apaan. Belum nonton."
"Yah cupu sih. The best tuh."
"Robinhood? Gordon Levitz tuh."
"Bukan bego. Ah yaudalah." Carla membenamkan mukanya kembali. Aku sepi.
"Eh. Udah nonton Transformers?" Tanyaku. Aku juga bingung mengapa bertanya seperti itu.
"Enggak suka robot-robot. Sukaku drama kali."
"Oh kali aja. Itu aku bingung sama nama pemerannya yang cowok. Bacanya gimana ya?"
"Eh. Ancur banget. Kok bahasnya kesitu sih. Emang serius kamu nonton Transformers? Aku sebenarnya pernah nonton sekali. Kok jelek banget ya."
"Seleramu buruk." Jawabku.
"Eh serius kali. Superhero yang bagus menurutku cuman Ultraman doang. Keren tuh. Keinget sampe tua."
"Ultraman Tiga? Wah emang kece tuh. Tapi masak iya dibandingin Transformers? Please jangan ancur-ancur banget lah."
Carla tertawa.
"Bagi rokok dong. Bentar lagi sunset nih. Biar nunda ngantuk."
Aku menyerahkan bungkus dan koreknya. Ada asap menyala. Aku menoleh ke arahnya. Carla. Poninya dihembus angin. Pun juga asapnya. Ke arahku.
"Eh." Carla menoleh ke arahku. "Star Wars udah nonton kan? Wah. Jangan sampai bilang belum."
Aku menggeleng.
"Memang gitu cupu banget ya? Jadi sedih."
"Serius belum nonton? Saya enggak ngerti ada manusia pemuja Transformers tapi enggak pernah nonton Star Wars."
"Sepenting apasih? Yaelah. Robinhood, Star Wars. Tuh, tuh liat. Abis ini sunset tuh."
"Enggak. Enggak asyik lah. Kamu harus nonton Star Wars. Eh, ngapain maksa ya. Kenal juga baru aja. Sorry-sorry nih bro."
"Tai kucinglah." Kataku.
Selanjutnya kita berdua sama-sama terpaku pada cahaya di ujung sana. Menerpa pelan. Aku bangkit, berdiri dan memelintir tulang punggungku sampai berbunyi. Carla seperti ingin menggapai tanganku. Kutarik dan dia berdiri tepat di sampingku. Dengan lengan saling menempel. Carla memegangi lenganku dengan tangan kanan dan kirinya. Kepalanya tidur miring di pundakku. Mentari hampir muncul sementara aku melirik ke arah Carla yang masih memakai tudung jaketnya.
"Indah, ya." Mata Carla. Coklat muda itu. Melirik sayu ke arahku. Aku merasa ada hasrat. Entah apa. Ingin memanjakan. Berbuat sesuatu. Tidak berkutik. Tenggorokanku kering.
Entah kenapa aku mulai panik. Bingung dan menahan diri. Entah. Aku berdiam dan merasakan aroma jaket Carla. Bau tubuhnya dicampur aroma malam yang mulai tersapu cahaya. Angin tidak seganas tadi. Lebih teratur di detak jantungku yang tidak karuan. Aku salah tingkah. Takut semakin salah tingkah. Tapi kuraih juga telapak tangan Carla. Kugenggam. Carla semakin merapatkan dirinya. Wajahku tepat di tudung jaketnya. Hidungku mencium aroma jaket cotton dan sedikit aroma shampoo, mungkin parfum citrus lembut yang mengesankan hawa feminim. Carla menoleh tersenyum sedikit. Lesung pipit itu. Aku salah tingkah dan menahan diriku. Tanganku dan tangannya tidak terlepas dan aku kemudian lupa bagaimana kita saling melepas tangan dan aku kembali menyulut sebatang rokok sementara Carla mengambil ranselnya.
Deasy, Pelempar Bola Basket
"Masa remaja tuh busuk. Enggak pantes dikenang. Reuni-reuni gila itu cuman ajang pamer."
Aku menemui Deasy di suatu tempat minum murah. Sementara aku baru memesan bir pada waitress, Deasy sudah mengutuk acara reuni yang digelar barusan.
"Pantes aja kamu kabur. Tiba-tiba ngilang gitu aja." Kataku sedikit mencibir. Acara reuni ini digelar di SMA kami. Tepatnya di aula yag sekarang sudah berubah 180 derajat. Seingatku lantainya dulu masih semen. Tidak ada juga piala-piala prestasi yang dipajang.
"Gini ya. Aku muaaaaak banget banget. Aku tuh enggak punya temen dulu. Baru kelas tiga. Itu pun karena temen-temen pada ngedeket. Tapi semuanya kerasa asing lagi. Fake. Enggak ada ceritanya temen SMA bisa jadi keluarga.
"Buset. Terus aku kamu anggap apa?"
Aku mengenal Deasy memang telat. Kelas tiga akhir. Beberapa bulan menjelang UNAS atau apapun sebutannya di masa sekarang untuk ujian nasional. Wajah Deasy familiar. Dia kapten cheerleaders sejak kelas satu. Prestasi yang jarang karena biasanya kapten adalah kakak kelas. Mantan pacar pentolan tim basket sekolah, yang selanjutnya putus pasca perkelahian yang hampir menjurus fisik di lapangan basket. Aku yang waktu itu sedang berusaha kabur untuk membolos lewat lapangan bersama dua temanku yang bajingan, kebetulan melihatnya. Boby, pentolan basket yang tingginya minta ampun itu, memang kakak kelas kami. Memakai kostum basket tanpa lengan. Sepertinya selesai berlatih dengan timnya menjelang ajang tahunan. Sementara anggota timnya yang lain sudah pada bubar jalan, kembali ke kelas mengikuti pelajaran. Dan Deasy, berpakaian seragam lengkap. Ini masih jelang pukul sembilan pagi. Tapi muka Deasy sudah memerah. Muka Boby yang tampak lelah karena latihan, seperti orang yang habis menggerus batu bata.
Aku dan kedua temanku yang membawa tas kecil memang doyan kabur lewat pintu belakang. Mengarah ke lapangan. Memang kadang dibuka tanpa penjagaan. Apalagi sewaktu tim basket penuh prestasi ini mendapat izin untuk latihan. Kami belum tahu rencana membolos kemana. Tapi setidaknya kami selalu mampir dulu ke warung Bang Ojan, beberapa kilometer dari sekolah, melewati pematang sawah dekat jalan raya. Aku sempat melihat pertengkaran dan tidak memedulikan. Tapi kedua temanku malah bengong dan terpaku. Mungkin melihat rona manis di wajah Deasy yang jujur semakin cantik sewaktu marah. Tapi aku berhenti saat mendengar suara pantulan bola. Deasy melempar bola basket itu--kurasa keras sekali--ke muka Boby. Bola basket memang masih berserakan di lapangan. Mungkin membawanya ke ruang penyimpanan jadi tugas Boby. Tapi itu justru jadi nasib sialnya. Bola yang berserakan dianbil Deasy dan lemparan itu membuat wajah Boby deras. Tepat mengenai hidungnya yang ambyar. Boby terhuyung-huyung sambil memaki. Sementara Deasy sempat melirik ke arahku sebentar lalu berlari ke dalam sekolah. Antara kelas dan lapangan di sekolahku memang tidak menyatu. Dipisah gerbang kecil. Kedua temanku langsung menolong Boby. Dan disitulah aku mengenal jagoan basket ini.
"Aku muak ya melihat muka Boby. Pakaiannya sok necis juga. Untuk apa reuni pakai dasi segala?" Kutuk Deasy.
"Anjing. Masa lalu tuh Des. Gila aja masih diingat-ingat."
"Tapi gara-gara bajingan tengik itu aku keluar cheers. Dijauhi temen-temen. Sendiri terus sampe kelas tiga. Bayangin. Cuman gara-gara aku ngelempar bola. Harusnya aku ngelemparnya lebih kenceng kali, ya."
Akibat kejadian ini, Deasy memang sempat berurusan dengan BK. Di-skors seminggu dan tidak dianggap lagi di tim cheers. Teman-temannya juga mungkin takut karena Deasy semenjak kejadian itu, semakin judes. Sahabat-sahabatnya juga menyingkir.
Aku tidak sekelas dengan Deasy. Perkenalanku pasca insiden di kelas satu itu terjadi dua tahun setelahnya. Saat itu aku dipanggil ke ruang BK karena ketahuan kabur dari sekolah lewat lapangan. Aku sedang apes karena membolos sendirian. Kedua temanku tidak mau membolos lagi karena takut tidak lulus UNAS. Alasan yang tidak masuk akal karena waktu itu, lulus tidaknya kami tergantung pemerintah yang mengecek hasil ujian nasional.
Di ruang BK, Deasy duduk di kursi tunggu. Sementara aku di sebelahnya.
"Bu Badriah di dalem?" Tanyaku. Deasy mengangguk.
"Ada tamu bentar." Jawabnya. "Kamu dipanggil juga? Antri ya."
Selanjutnya kami berbasa-basi dan aku akhirnya tahu Deasy dipanggil karena sudah seminggu tidak masuk tanpa alasan. Saat kutanya kenapa, dia menjawab malas sekolah. Aku tidak tahu ada dorongan apa, yang pasti aku langsung mengacungan tos. Dan dia tertawa. Sebelum Deasy menemui Bu Badriah, aku meminta nomor ponselnya.
"Nanti aku hubungin kalo butuh partner bolos." Kataku sambil cengengesan. Selanjutnya aku lupa apa saja yang Bu Badriah sampaikan, hanya senyum manis Deasy yang terus membayang. Di hari berikutnya adalah hari pertama Deasy mampir di Warung Bang Ojan saat jam sekolah. Ini jadi kali pertamaku kabur dari sekolah bersama perempuan saat jam pelajaran.
"Eh tas kamu mana? Enggak kamu bawa? Gila aja. Masak harus balik ke sekolah lagi." Tanyaku waktu itu.
"Enggak bawa. Pas kamu SMS ngajakin bolos kemarin, hari ini aku sengaja enggak bawa tas."
Deasy lebih liar dari dugaanku. Dan sekarang perempuan yang beberapa tahun lalu bolos bersamaku ini, sedang duduk di bar bersamaku pula, menyulut batang rokok untuk yang kesekian kalinya.
"Aku sempet suka kamu dulu." Kataku ke Deasy. Dia tertawa.
"Oh ya? Enggak bilang." Katanya cekikikan.
"Dulu sempet mau nembak. Tapi takut. Dilempar bola basket sakit cuy, pusing."
Deasy terbahak sambil mengangkat asbak, seolah-olah ingin melemparkannya padaku.
Tapi bukan itu alasanku sebenarnya. Aku bisa saja menembak Deasy andaikata Boby tidak menangis sewaktu kami ajak ikutan bolos dan ngopi di hari sialnya dilempar bola basket.
"Aku sayang Deasy. Tapi kadang dia terlalu memberontak. Enggak bisa dikekang. Dia itu maunya sendiri." Kata Boby tanpa menjelaskan lebih lanjut duduk permasalahan. Sejak hari itulah aku mencintai Deasy, terobsesi dengan keliarannya, tapi sekaligus takut, takut tidak bisa menerima sikapnya yang membuat Boby hancur. Bahkan aku takut menangis seperti Boby hanya karena kemarahan Deasy.
Tapi di hari ini sepertinya aku sudah siap. Sudah siap menangis dan dilempar apapun oleh Deasy.
"Des. Sampai sekarang aku juga masih suka sama kamu." Kataku. Dan Deasy menjawabnya dengan menenggak habis gelas birnya. Membiarkan busa menggantung seperti kumis di ujung bibirnya, tersenyum sedikit.
Lalu kulihat paras dan rona merah itu lagi. Seperti saat jelang pukul sembilan. Saat insiden basket Deasy dan Boby. Bedanya, aku yakin ini bukan rona kemarahan.
Description: Seorang penggemar metropop yang menyedihkan berusaha mengarang ulang kisah dan narasi usang perihal cinta dan dimabuk asmara. Bedanya, ini ditulis oleh pemula dengan kisah percintaan kacau yang seringkali kandas. Sebuah kumpulan kisah tidak layak muat yang bisa dijadikan pegangan saat cinta tampak sudah sedemikian menjijikkannya.
|
Title: Rona Dan Coretan Di Atas Meja
Category: Cerita Pendek
Text:
1. Rona Di Bawah Rinai
"Bu Rona itu peri!"
Kalimat itu terdengar sayup-sayup saat aku melewati koridor seusai mengajar. Aku kenal betul siapa pemilik suara cempreng itu, Pilia. Gadis kecil yang selalu tampak manis dengan rambut yang dikuncir dua. Salah satu murid di kelas tiga, tempat aku menjadi wali kelas mereka. Kakiku berhenti di dekat jendela kelas, mencoba mendengar lebih lanjut pembicaraan mereka tentangku.
"Buktinya apa?" tanya Ocha tak percaya begitu saja.
"Tadi itu, dia pasti tahu kalau aku ketinggalan buku catatan, jadi Bu Rona tidak membuat kita mencatat hari ini," katanya dengan mata yang berkilat. "Dia sempat berbisik kalau aku tidak perlu khawatir."
"Benar, kalau dilihat-lihat Wajah Bu Rona memang seperti peri! Putih dan bulat," tambah Yuli dengan mata berbinar. "Kemarin dia juga tahu kalau aku sedang sakit perut, padahal aku tidak bilang siapa-siapa."
"Aku baru ingat, dia juga pernah menangkap basah aku saat mau bolos."
"Di balik seragam cokelat itu, dia pasti menyembunyikan sayapnya," ujar Pilia lagi.
Susah payah aku menahan tawa mendengarkan cerita mereka yang penuh imajinasi. Padahal, saat Yuli sakit kemarin, aku tahu karena gadis kecil itu terus-menerus gelisah sambil memegangi perutnya. Anak-anak lain mungkin tidak akan sadar karena Yuli duduk di kursi paling belakang. Tapi, bagiku yang duduk di depan kelas dan bisa mengawasi keseluruhan, hal itu tentu saja mencolok. Lalu, cerita tentang aku yang tahu bahwa Ocha kedapatan berniat membolos. Hal itu sebenarnya karena sepanjang hari dia terus bercerita tentang kakaknya yang akan datang beberapa jam lagi beserta oleh-oleh yang katanya tak sabar ia dapatkan. Jelas sekali terlihat betapa Ocha ingin pulang cepat, dan ketika dia terlihat berjalan menuju pagar belakang dengan ransel yang bergantung di pundak, tentu saja aku langsung mengikutinya.
Lalu hari ini, saat Pilia tampak pucat melihat kedatanganku sembari melirik ke arah teman-temannya yang bersiap mengambil buku dari tas masing-masing, aku sudah menduga anak itu meninggalkan buku catatannya. Mudah saja mengetahui itu karena Pilia adalah anak yang rajin, dia selalu sigap menyiapkan perlengkapan belajarnya, dan hari ini dia tak bisa meletakkan buku catatan di atas meja seperti biasa.
Tak ingin tertangkap basah, kembali kulanjutkan langkah menuju kantor para guru. Duduk di depan sebuah meja yang penuh dengan lembar RPP tak menyurutkan niatku untuk membuka satu persatu buku tugas para siswa. Berada di sini, seperti sebuah mimpi yang jadi nyata. Padahal baru beberapa bulan yang lalu aku mengenakan toga, tapi saat melihat ada lowongan pekerjaan yang tersebar di grup WhatsApp, aku langsung melamar dan untungnya berhasil.
"Heran, Bu Rona ini katanya lulusan terbaik dari kota, kok ya mau ngajar di sini?" tanya Bu Kinan sembari memakan gorengan yang baru saja ia bawa dari kantin.
Aku sebenarnya masih belum terbiasa dipanggil Ibu, tapi rupanya sudah jadi kebiasaan jika seorang guru dipanggil begitu, bahkan oleh guru-guru yang lain. Tak ada alasan meskipun Bu Kinan dan aku rentang usia yang cukup jauh, dia tak akan memanggilku adik. Yah, mungkin memang sebutan Bu Rona akan melekat pada diriku.
"Di mana saja, kan, sama Bu," kilahku dengan menyelipkan segaris senyuman sebelum akhirnya kembali fokus pada buku-buku itu.
"Tapi, SD ini pinggiran loh. Anak-anaknya pada badung."
"Badung bagaimana?"
"Iya, mainnya kotor-kotoran di tanah, kalau enggak, ya, teriak-teriak di kelas."
"Kalau cuma masalah itu sih wajar, ini kan memang masanya mereka."
"Ah, Bu Rona kan masih baru, belum aja lihat nakalnya mereka yang bikin sakit hati," celetuk Pak Wisnu, guru olahraga sekolah ini.
"Iya, apalagi anak-anak kelas tiga, sudah terkenal nakalnya," sahut Bu Kinan merasa punya teman. "Jadi kasihan sama Bu Rona, baru masuk harus ngajar di kelas rusuh."
"Sejauh ini masih baik-baik aja kok Bu," kataku menenangkan.
Terlepas dari apa yang mereka katakan, aku tetap merasa senang. Sejak duduk di bangku kuliah, kami selalu didoktrin dengan kata-kata seperti ini, jadi aku sudah tidak terkejut lagi. Anak-anak pada usia sekolah dasar sedang berada dalam masa aktifnya. Mereka jelas bukan seperti mahasiswa yang duduk manis mendengarkan pelajaran. Dosenku bahkan pernah bercerita, beliau dulu tidak kuat jadi guru SD dan memilih sekolah lagi untuk menghindari itu.
Tapi, aku bertekad untuk bertahan. Sebab, ini memang misiku. Kulayangkan pandangan ke luar jendela, tepat menghadap lapangan di mana siswa-siswi dengan seragam putih merah yang kusam sedang tertawa. Aku ikut tersenyum. Jelas terlihat masa depan di mata mereka. Hal yang tak bisa aku tebak, tapi kuharap selalu punya makna baik.
***
Lonceng digoncangkan, menghadirkan bunyi berdentang disambut riuh anak-anak. Gerimis ikut merasa diundang, tapi tak meluruhkan senyuman para siswa yang berlarian menembus lapangan di bawah guyuran yang kian lebat. Aku sendiri, terjebak di gerbang. Bimbang, untuk ikut berlari, atau menunggu seperti guru-guru lain. Seperempat menit kemudian, kuberanikan diri melangkah. Sempat kulihat Pak Kepsek yang menggelengkan kepalanya melihat tingkah kekanak-kanakanku. Tak bertahan lama, aku berteduh juga di sebuah pos ronda di mana kulihat ada tiga orang lainnya.
"Bu Rona, sini," panggil Pilia yang ternyata salah satu diantaranya.
Aku merapikan hijabku yang sedikit berantakan sehabis berlari. Beberapa tetes air membuatnya terlihat memiliki motif polkadot yang lucu. "Rumahmu ke arah sini juga?"
"Iya, di seberang jembatan."
Aku hanya mengangguk, selebihnya kami diam. Bukan karena canggung atau kehabisan topik, melainkan pembicaraan dua gadis berseragam SMP di sebelah kami terdengar lebih menarik untuk disimak.
"Huh, hari Senin selalu melelahkan karena ada pelajaran Matematika, aku tidak suka."
"Iya, kalau aku tidak suka sejarah."
"Padahal matematika buat apa coba? Asal bisa tambah, kurang, kali, bagi, udah cukup buat sehari-hari."
"Iya, sejarah juga! Buat apa mengungkit masa lalu! Ah bahasa Indonesia tuh, kita kan sudah ahli."
"Yang parah itu Kenapa sih, kita dituntut mempelajari semua mata pelajaran? Padahal gurunya juga cuma bisa satu mata pelajaran."
Aku tertegun. Pertanyaan seperti itu juga kerap aku tanyakan di masa lalu. Lelah kadang membuat kita berpikir beberapa hal itu tidak penting. Remaja dan anak-anak kerap berpikir pendek bahwa belajar cuma untuk bekerja atau sekedar tahu.
"Kakak ini pasti lupa pada guru SD-nya," celetuk Pilia yang tak hanya membuat aku terkejut, tetapi juga dua gadis SMP itu. "Ini Bu Rona, dia wali kelasku," tunjuk gadis kecil itu padaku. "Tau tidak? Hari ini dia mengajarkan tentang bentuk-bentuk benda juga cara menghitung satuan, Kemarin kami belajar pakai lagu, Terus besok ada katanya ada praktek gerakan. Padahal kami cuma punya satu tema, tapi Bu Rona mengajar banyak mata pelajaran."
Aku melirik ke arah dua remaja putri yang terlihat kebingungan dengan celotehan anak SD di samping mereka. Bahkan aku sempat menahan napas saat gadis itu bercerita tentang apa saja yang aku ajarkan. Kami memang belajar dengan kurikulum 2013 yang menekankan pembelajaran tematik, yang mana dalam satu tema itu memuat sejumlah mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Matematika, PJOK, Seni Budaya, dan lainnya. Aku senang karena dia mengingat hal itu. Artinya metode dan teknik mengajarku berhasil. Memang bukan hal yang mengherankan jika mengingat Pilia adalah salah satu murid yang aktif saat pembelajaran di kelas.
"Hebat, ya? Dia bisa semuanya! Seperti Ibu! Ibuku di rumah juga bisa semuanya, memasak, mencuci baju, mencuci piring, dan membangunkan aku saat sekolah," puji gadis itu diiringi tawa.
Pilia tak takut mengemukakan pendapat di hadapan orang lain yang punya usia cukup jauh darinya. Jujur saja, saat aku seumuran dia, aku belum berani memulai pembicaraan dengan orang tak dikenal. Lalu, soal Ibu. Ah, jadi karena itu guru biasa dipanggil Ibu. Mereka punya kemiripan. Seperti seorang ibu yang mencintai anaknya dengan tulus, para guru juga menitipkan mimpi dipundak anak-anak itu. Apalagi saat full day school diterapkan, sekolah adalah rumah kedua. Bahkan, mereka lebih banyak menghabiskan banyak waktu di sekolah.
"Guru SD kakak dulu bukannya begitu juga?" Pilia kembali bertanya.
"Kamu enggak tahu, dek, guru SMP ngajarnya cuma satu mata pelajaran," kilah salah satu remaja itu.
"Kenapa begitu?" tanya Rona yang kemudian menoleh padaku.
"Itu ... karena cara mengajar untuk anak SMP berbeda," jelasku dengan bahasa sesederhana mungkin. Ketiganya tampak menyimpak dengan penasaran, membuat aku tak enak jika penjelasan mengenai ini hanya berhenti di sana. "Nanti di SMA kalian akan memilih jurusan sesuai minat dan bakat kalian, jadi saat ini kalian akan belajar semuanya biar nanti gampang buat pilih," lanjutku yang disambut anggukan pelan. "Guru SMP mengajar sesuai bidangnya juga biar kalian fokus, bisa membedakannya."
"Mereka mau kami bisa semua pelajaran, setelah itu baru bisa memilih mana yang disukai, begitu?" tanya salah satu remaja itu.
Aku mengangguk membenarkan. "Iya, karena di masa sekarang ini adalah waktu untuk mencari jati diri. Apa yang hari ini kalian sukai, belum tentu besok bisa kalian kuasai, dengan belajar semuanya, kalian bisa lebih paham, lebih kenal, dan lebih dekat. Sama seperti persahabatan."
"Persahabatan?" ulang Pilia tak paham.
"Contohnya, Pilia bisa berteman dengan siapa saja di kelas satu, ada yang disukai, ada juga yang sekedarnya saja. Tapi rupanya, setelah tiga tahun bersama, hanya ada dua orang yang paling dekat, kan?"
"Iya, Ochi dan Yuli."
"Padahal sebelumnya kamu berteman dengan siapa?"
"Rian! Kami teman sejak TK, tapi karena dia laki-laki, kami sekarang jarang main bareng."
"Nah begitu, bisa jadi dulu, Rian adalah teman paling baik. Tapi, setelah mengenal Ochi dan Yuli, posisi itu bergeser, bukan karena Rian tidak baik, tapi karena minat kalian sekarang berbeda."
Ketiga pelajar tampak puas dengan jawaban yang aku berikan. Mata mereka berbinar saat menganggukkan kepala tanda telah paham.
"Ah, aku mau kayak Bu Rona kalau besar nanti," ucap Pilia pada dua remaja itu.
Mereka tersenyum, hatiku turut serta. Tanpa lupa mengucapkan amin berkali-kali dalam hati, untuk harapan Pilia, juga untuk pandangannya mengenaiku. Semoga aku benar-benar guru seperti yang ia banggakan, dan semoga dia bisa seperti yang ia inginkan.
[Bersambung]
Description: Ada sebuah coretan di atas meja!
Untuk meja sekolah anak SD yang berada di pinggiran kota, hal itu bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin sudah jadi tradisi. Tapi, kali ini coretan itu memiliki makna yang lebih dari sekedar kenakalan anak-anak. Ada apa? Mari, dengan Rona bercerita.
Nur Annisa/NeissLyn
IG: annisa.an
"Cerita ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #DreamJob2020."
|
Title: Roda Kehidupan Itu Berputar
Category: Non Fiksi
Text:
Hidup itu Awalnya Tidak Adil
“Hidup ini tidak adil !!!”, “indah ?, apanya yang indah ?”. Pernahkah kalian berfikir bahwa manusia dilahirkan dari latar belakang yang berbeda beda. Ada yang terlahir sempurna seakan paras mempesona, gemiangan harta dan kemampuan sempurna melekat pada dirinya. Ada yang terlahir sengsara seakan paras menjijikan, kekurangan harta dan ketidakemampuan melekat pada dirinya. Hidup ini tidak adil. Setidaknya pada awalnya.
Namaku adit. Aku dilahirkan sebagai anak pertama dari keluarga yang seadanya. Saking seadanya mandi pun jarang karena kami kesulitan untuk membayar air dan membeli sabun. Sejak lahir aku nyaris tidak mempunyai teman. Hinaan sepertinya sudah biaya terlontar dari lingkungan sekitarku. Namanya juga anak – anak, aku tidak mengenali apa itu adil. Rasanya kemampuan bahasa Indonesiaku juga tidak cukup untuk mengetahui apa itu adil.
“Pah, mah, abang sekolah dulu yaa…. Assalammualikum” pamitku pada orang tua. “waalaikumsalam hati hati yaa nak”. Aku berangkat ke sekolah SD ku yang jaraknya sekitar 1,5 KM dari rumah ku. Rasanya sudah biasa betis ini berjalan jauh karena konon katanya bapak dan ibuku pun berjalan dari rumah menuju sekolahnya. Ohh yaa nama papaku adalah santoso dan ibuku Yuliana. Ibuku berkerja sebagai pembuat keripik lalu menjualnya mengelilingi kota soreang semenjak bapakku di PHK dari tempat kerjanya. Sesampainya di sekolah aku langsung duduk dibangkuku yang terletak dipojok kelas. Biasanya aku duduk sendiri dibangku itu. Selama ini pun aku tidak tau kenapa tidak ada orang yang ingin menempati bangku ini (walau awalnya ku kira ada hantu dikursi ini makanya tidak ada yang mau mendudukinya).
Bel istirahatpun berbunyi, guru kembali ke ruang guru sambil memberikan pr seperti biasanya. Anak – anak kelasku keluar untuk membeli makanan di kantin. Sedangkan aku memakan bekal yang diberikan oleh ibuku. Sekeping biscuit roma yang enak. Biasanya ibuku memberi 2 keping biscuit. Satu untuk dimakan pada saat istirahat satu lagi untuk dimakan sepulang sekolah. Apabila aku haus, aku kadang meminum air yang dari keran sekolah ku. Kala itu aku tidak tau kalau itu tidak boleh (yaa namanya juga anak SD).
Seiring berjalannya waktu aku lulus dari SD di tahun 2013 bulan juni yaa untung saja lulus walau dengan peringkat terendah. Anak – anak dikelaskan rata – rata masuk ke smp 1 katapang sedangkan akau masuk ke smp 2 katapang. Bapakku marah pada saat itu karena dia tidak mau aku sekolah “nyungsep” di smp itu. Alasan satu – satunya karena biaya pulang pergi yang banyak. Bayangkan saja, untuk pergi kesana, aku harus menaiki angkot dan delman. Biaya untuk naik angkot adalah 2 rb sedangkan naik delman 3 ribu. Bapakku marah – marah sambil bilang “ya sudahlah”.
Aku lahir sebagai anak kesatu dari 2 bersaudara. Singkatnya aku adalah anak yang bodoh dan jelek sedangkan adik ku dilahirkan pintar dan ganteng. Kami berdua mempunyai perilaku yang sangat berbeda dan kemampuan yang berbeda juga. Bapakku sering membandingkan ku dengan adikku. Namun aku sama sekali tidak marah atau merasa sedih karena semua yang diomongkan bapakku itu benar adanya.
Hari itu pada bulan September bapakku menerima kabar bahwa dia diterima disebuah perusahaan tambang yang terletak dipulau Kalimantan. Aku melihat betapa bahagianya bapakku pada saat itu. Malamnya, sekitar jam 11 ruang tengah terasa sepi. Aku mendengar pembicaraan bapak dan ibuku dikamarnya. “mah, papa akan berangkat ke Kalimantan. Papa tau gajinya kecil. Namun semoga ini adalah jalan rejeki dari allah” papaku berbicara dengan nada yang hangat. “iya pah, hati – hati kalau sudah di sana, ingat jangan membahas dendam yaa. Niatlah untuk berkerja mencari nafkah. Semoga allah selalu melindungimu”. Aku turut bahagia mendengarnya tapi “dendam ?” ucapku dalam hati. “Semoga papa enggak kenapa – napa”.
Karna Sudah Terbiasa
Hari – hari pun berlalu. Sekarang aku sudah kelas 3 SMP. Semuanya terasa biasa saja. Hari – hari biasa, hinaan biasa dan rutinitas yang biasa. Aku sudah tidak pernah membawa bekal dari ibuku. Sebagai gantinya, ibuku memberi uang jajan pada ku sebanyak 6 rb rupiah. Dengan uang ini aku bisa…… bentar… dengan uang ini aku tidak jajan sama sekali. Untuk bisa jajan, aku terbiasa jalan dari rumah ke sekolahku yang berjarak 8 KM, yaa itu sekitar 1,5 jam perjalanan dari rumah ku. Rasanya betisku sudah biasa berjalan jauh. Biasanya aku berangkat jam 5 subuh dan pulang sekitar jam 6 maghrib. Ibuku bilang “bisa karena terbiasa”. Biasanya aku membeli bakso di siabah. Dia menjual bakso seharga 1 rb rupiah. Dan itu besar sekali dan enak sekali. Biasanya aku suka kabur ke kantin pada saat kelas berlangsung. Itu karena rasa lapar setelah berjalan jauh. Guruku sudah sering memarahiku karena kelakuanku. Namun menurutku itu tidak apa – apa. Karna toh juga dia tidak tau apa yang terjadi dan akupun tidak suka dikasihani.
Banyak sekali tugas kelompok yang diberikan pada guruku dan sudah bisa tertebak kalau aku tidak pernah kebagian kelompok. Yaa antara kebagian kelompok sisa atau tidak sama – sekali. Namun, itu sudah biasa aku lewati. Aku selalu berkerja sendiri dengan hasil tangan dan kepintaranku yang bodoh ini. Setiap waktu pengumpulan tugas. Aku biasanya mengumpulkan tugas dengan cover yang hanya tertulis namaku dengan ruang kosong untuk siapapun yang tidak sempat membuat tugas dan ingin nitip kepadaku. Menurutku ini bukan tidakan yang salah. Karena menurutku nanti orang akan tau kalau aku itu sebenarnya adalah anak yang baik.
Kala itu, guru bahasa sunda ku menyuruh anak kelas untuk membuat kelompok. Kelompok – kelompok ini akan membuat drama tentang cerita – cerita terdahulu. Seperti biasa, aku mendapatkan kelompok sisa yang bersikan 4 orang termasuk aku disaat rata – rata satu kelompok di isi oleh 7 orang. Namun bukan berarti aku sedih. Aku memimpin “teman – teman” sekelompokku untuk mendapatkan nilai terbaik. Dan benar saja, kelompoku adalah kelompok terbaik yang bisa mempragakan karakter – karakter itu. Guruku pun heran ketika teman sekolompokku bilang bahwa sebenarnya au yang membuat konsep dan alur ceritanya. Mungkin banyak orang yang tidak sadar kalau aku mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik.
Semenjak hari itu, aku punya sedikit teman yang ingin main bareng denganku. Su’ep dan fahri. Mereka berdua kadang kerumah untuk menjemputku. Mereka teman yang baik bagiku. Dan bisa dibilang teman pertamaku sejak aku lahir. Rumah su’ep dekat dengan sekolahku. Sedangkan rumah fahri lebih dekat denganku. Biasanya su’ep menghampiri rumah ku lebih dulu karena su’ep dan fahri sudah dibolehkan oleh orang tuanya untuk membawa motor. Rasanya sudah biasa menerima hinaan konyol dari mereka. Dan akupun jadi mengerti bahwa “kadang kita bisa melihat teman dari hinaan yang dia lontarkan”. Ibuku bilang “kamu tau, Tukul Arwana ?, Tukul itu bisa terkenal karena dia bangga dengan hinaannya. Semakin dia dihina, samakin tebal dompet dia”. Kata ibuku sepulang aku seusai bermain dirumah fahri.
Bapakku pulang dari dari Kalimantan. Biasanya dia pulang 2 bulan sekali dan tinggal dirumah selama seminggu. Selama bapakku dirumah, keluargaku selalu makan diluar. Makan enak. Karena sebelumnya, aku terbiasa makan nasi yang dibumbui garam dan cabai. Makanan yang mewah menurutku adalah mie instan buatan ibuku. Walau aku heran kenapa ibuku tidak pernah ikut makan dengan kami bertiga. Hari – hari ini terasa sedikit berbeda karena kami sudah bisa makan dengan telor dadar. Makanan yang menurutku mewah pada saat ini adalah ayam goring buatan ibuku dan sekarang dia sering mengajak untuk makan bersama. Aku heran dengan teman – teman ku yang sering menyisakan makanan mereka. Rasanya kalau aku diperbolehkan untuk menghabiskannya. Aku akan senang hati mengahabiskan sisa – sisa makanan mereka. Meskipun itu adalah makanan sisa.
Tiba – tiba, disebuah hari bulan November ada mobil yang dating kedepan rumahku. Aku tidak tau itu mobil siapa. Tapi yang keluar adalah bapakku dan ibuku. “bang, bukakan pagar !” ucap ibuku. Aku membukakan pagar dan bertanya “maa, ini mobil siapa ?”. bapakku yang menjawab kala itu “ini mobil kita bang”. Rasanya aku senang sekali. Kok bisa bapakku beli mobil. Dan akupun sadar bahwa standar hidup kami meningkat kian tahun.
Masa Yang Indah
Tak terasa 10 hari lagi UN di SMP ku, aku diajak untuk belajar bersama, namun aku menolak. Karena aku tidak biasa belajar dirumah apalagi bersama. Lantas su’ep dan fahri mengajakku main keluar. “mau masuk SMA mana dit ?” Tanya su’ep. “kamu mau masuk mana ?” balas Tanya ku. “Aku mau masuk SMK dit ?” jawab su’ep. “kalau kamu ri ?” Tanya ku pada fahri. “Aku juga sama mau masuk SMK”. Mereka berdua ingin masuk SMK walau SMK yang dituju berbeda. Mereka berencana untuk berkerja secepat mungkin. Aku pun bilang pada ibuku bahwa akupun mau masuk SMK supaya aku bisa bantu bapak dan ibuku. Ibuku setuju namun bapak ku tidak. Bapakku memandang sebelah mata SMK dan tidak ingin membiayai aku sekolah apabila aku masuk SMK. Malam itu kelam. Orang tua ku berantem dikamar karena aku. Ruang tengah terlihat sepi namun rasanya ramai karena nada tinggi bapak dan ibuku. Kebesokan harinya, mereka baikan karena aku bilang “aku akan mengambil keputusan nanti, apakah aku mau suk SMA atau SMK” ucapku ke ibu dan bapakku.
Pada akhirnya aku memilih untuk masuk ke SMA, SMA yang aku tuju adalah SMA 1 Baleendah. Soreang ke baleendah ? hmm jauh memang. Tapi dengan ekonomi kami yang sekarang. Aku tidak akan merasakan hal yang dulu. “pah, abang boleh minta beliin motor gak ?” Tanya pinta ku ke bapak. “iya nanti bapak pikir – pikir dulu” jawabnya hangat. Yaa saking naiknya, aku berani untuk minta sesuatu yang wah kepada bapakku. Dan benar saja. Aku tidak dibelikan motor. Melainkan ibu ku yang dibelikan motor dan aku memakai motor dari ibuku. Pada saat itu aku sedikit kecewa tapi yaa sudahlah toh juga kasian ibuku selalu memakai motor tua itu.
Jarak dari rumah ke SMA ku sekitar 15 KM. aku menempuhnya dengan waktu 30 menit. Rasanya betis ini senang karena tidak lagi terbebani dengan jarak yang jauh. Bapak ku pun naik jabatan diperkerjaannya. Kami jadi sering makan diluar walau bapak tidak pulang. Akupun tidak mengalami kejadian dulu dan memiliki banyak teman di SMA. Sekarang aku diberi bekal sebanyak 15 ribu sehari. Uang itu kupakai untuk bensin, pulsa dan keperluan sehari – hari.
Hari pertama aku kesekolah itu aku kaget karena tidak pernah melihat fasilitas yang tidak ada di SMP ku dulu. Seperti ruangan multimedia, lapangan basket dan masjid yang luas. Halaman belakangnya sering ku datangi pada saat makan. Halaman itu cukup indah karena banyak pohon rindang dan sepi. Aku terbiasa makan dalam kesepian karena sudah terbiasa tidak ada yang menemaniku. Tapi itu tidak berlangsung lama. Akupun heran karena disini banyak yang ingin menjadi temanku. Aku sering diajak makan, main dan nongkrong ditukang seblak tak jauh dari sekolah. Aku berpikir bahwa mungkin karena aku sekarang lebih sering mandi dari pada dulu (mungkin).
Di masa SMA, aku dikenalkan dengan sebuah komunitas luar. Namanya komunitas “brigadir”. Sebenarnya ada 2 komunitas besar yang anggotanya mayoritas siswa SMA. Namun komunitas ini lebih kukenal. Padangan sekolah cukup jelek untuk komunitas ini. Namun menurutku tidak jadi masalah karena aku jadi punya banyak teman dan kenalan dari komunitas ini. Markas komunitas ini berada tidak jauh dari sekolah. Sebuah warung yang mempunyai halaman yang luas. Saking luasnya cukup untuk memakirkan lebih dari 20 motor. Dan tempat ini memang sering digunakan anak – anak untuk menitipkan motor. Sebagai junior yang baik, aku sering membantu dalam urusan – urusan tertentu dikomunitas. Dari jum’at berkah sampai berbagi informasi contekan. Asal kalian tau, aku menjadi lebih pintar disini jadi banyak orang yang menanyakanku soal pelajaran tertentu yang mereka tidak bisa.
“masa – masa SMA adalah masa paling indah” itu yang aku tau. Walau komunitas ini isinya adalah anak – anak “nakal” tapi tidak sepenuhnya tindakan mereka menyimpang. Komunitas ini sering mengadakan bakti sosial dua bulan sekali dan bakti sosial apabila ada kejadian banjir di dayeuh kolot. Akupun jadi punya pengalaman yang tidak didapatkan bila aku hanya sekolah terus pulang. Walau begitu yaa tetap ada imbasnya. Aku jadi seorang perokok dan sering kali nongkrong sampai larut malam. Orang tua ku selalu memarahiku ketika larut malam. Namun pada saat aku kenalkan dengan komunitas ku. mereka paham dan membiarkan ku dengan menitipkan aku pada penjaga warung.
Sore itu aku pulang kerumah, aku bilang ke bapak untuk minta uang karena jok ku sobek. Lalu dia menyuruhku mandi. Selesai mandi aku melihat sebuah kotak di atas meja. “kotak apa yaa ini ?” ucap ku dan akupun terkejut. “wanjir, I,inii !!!“ kotak rokok djisamsu diatas meja membuat ku ketakutan. Aku langsung lari keluar. Aku melihat jok motor ku dilepas oleh bapakku dan kulihat wajah bapakku. Tapi entah kenapa dia tidak berkata dan ekspresi wajahnya tidak kenapa – napa. Aku dan bapakku lekas pergi ke toko jok untuk mengganti jok motorku. Saat menunggu bapak ku bertanya.
“bang, rokok siapa itu ?”. rokok kamu ?”. Tanya bapak ku sambil melihat motorku.
“iya pah, itu rokok abang” jawabku melihat kebawah.
“kamu dah berani ngerokok yaa, sekarang rokok itu mana ?, kamu ambil ?” bapak menanyakan kearahku.
“iya pah”. Jawabku sambil ngangguk.
Sambil menunjukan rokokku.
“Bapak marah sama kamu, jangan pakai uang bapak untuk ngerokok kalau kamu ngerokok cari kerja sana !!. kalau kamu sakit karena rokok pakai uang kamu sendiri. Sekarang rokok itu ambil sama kamu” jawabnya hangat dengan nada naik sedikit.
“lah bentar pah, bapak gk motongin atau gimana ?” jawabku heran.
“engga, bapak memang marah sama kamu. Tapi kamu berani jujur sama bapak kalau ini rokok kamu. Tapi kalau kamu mau tetap ngerokok, jangan mengeluh sakit didepan bapak.”
Oh iya, bapakku menghargai jujur dan bertanggung jawab. Dia mendidik anak dengan caranya sendiri. Dia bukan orang yang melampiaskan kemarahan tanpa arah yang jelas.
Selepas pulang aku meletakan rokok ku di saku jeket. Ituku lakukan agar ibuku tidak mengetahui kalau aku punya rokok. Bapak ku pun tidak terlalu mempersalahkan hal itu. Mungkin karena dia tahu kalau itu tidak akan membereskan masalah.
Hari ini aku sudah naik ke kelas dua, mempunyai nilai yang bagus dan orang tuaku bangga dengan hal itu. Mungkin mereka sudah bosan melihat nilai ku yang apa adanya dimasa SD dan SMP. Akupun berfikir untuk mencari perkerjaan untuk tetap merokok. Rokok ini tidak mau lepas, mungkin karena aku ketagihan. Lantas diam – diam aku berjualan power bank. Aku mengetahui kalau kebanyakan dari anak kelasku mempunyai HP dan sering mengecasnya di stok kontak dekat meja guru. Akupun merasa kalau bisnis ini mempunyai pasarnya di sekolah ku.
Aku pergi ke cimahi dengan modal motor dan nekat karena tidak punya sim. Aku bertemu seorang penjual yang baik hati. Dia memperbolehkan aku menjadi reselernya. Aku berjualan power bank dikelasku tak lama satu sekolah memesan kepadaku. Aku sudah memberitahu mereka bahwa power bank ini sebenarnya rakitan. Harga yang murah tak lepas dari kualitasnya namun mereka tetap membelinya. Kala itu dalam kurun sebulan aku sudah untung 1 juta.
Orang tua khususnya bapak ku heran mengapa anaknya jarang minta uang tambahan. Bapakku menanyakan “bang, kok akhir – akhir ini kamu gak minta uang tambahan ?, biasanya juga tiap minggu ada aja mintanya” aku pun menjawab “abang jualan power bank pah”. “Hah, kok bisa ?”. aku pun menceritakan rinciannya pada bapak ku dan bapakku marah besar.
“Kenapa sampai jauh – jauh kecimahi ?” tanyanya kaget.
“yaa pah disana ada barang yang bagus, terus penjualnya baik dah jadiin abang reselernya”. jawab ku.
“iya madsud bapak, kamu gk ada sim, masih kecil kalau kamu ketilang gimana ?, kalau kamu cilaka gimana ? sudah bapak tidak mau lagi kamu berjualan.” Bapak ku menjawab dengan nada sedikit naik.
“Tapi pah ?”. tanyaku kaget.
“gak ada tapi – tapi”. Tegasnya.
Hari itu hari yang seram tapi ku tahu madsud bapak itu baik. Kebesokan harinya aku tidak berjualan lagi. Masih banyak orang yang perlu dengan power bankku tapi aku tidak bisa memenuhi keinginan mereka.
Hari – hari pun berlalu. Sekarang aku sudah kelas 3 SMA. Masa – masa akhir di SMA ku lalui dengan rasa ceria dan damai. Teman – teman ku bertanya aku mau masuk univ mana tapi yaa aku belum menemukan tujuan ku pada saat itu. Bapak ku naik pangkat lagi di tempat kerjanya. Sekarang aku lebih sering makan enak mau itu dirumah atau diluar. Rasanya makanan – makanan mahal itu sudah tidak terlihat mahal lagi. Walau bekal ku masih sama. Sama – sama 15 ribu.
Kadang, aku disuruh oleh guruku untuk mengajar kimia. Yaa aku sebenarnya menyukai kimia tapi entah kenapa teman – teman ku susah untuk mengerti mata pelajaran yang satu ini. Aku terkenal dikalangan guru – guru sebagai anak yang pintar. Tapi aku dikenal teman – teman ku sebagai berandalan yang baik. Saat aku tanya mereka menjawab kalau itu karena aku anak komunitas brigadir dan seorang perokok. Aku sering terlihat menghidupkan rokok saat keluar dari sekolah. Mereka tidak menyukaiku karena itu namun bukan berarti mereka membenciku. Karena aku adalah anak yang baik yang siap bantu siapapun yang butuh pertolongan ku.
Hari itu aku dipanggil oleh guru matematika ku. Kupikir aku ada masalah ternyata tidak. Aku dipanggil untuk membimbing anak kelas 2 yang ingin ikut lomba. Aku tidak tau mengapa hal itu bisa terjadi. Tapi “apakah sebegitu populernya aku di kalangan guru ?” ucap dalam hatiku.
Bulan April, hari perpisahan sekaligus hari yang sangat dikenang olehku. Hari itu aku berfoto dengan teman – teman kelas ku dan menghadiri pesta di komunitasku. Walau aku sebenarnya kecewa karena aku tidak bisa masuk ke ITB jurusan STEI karena nilai ku yang cukup rendah. Begini – begini, aku berbakat dibidang pemograman. Selama SMA aku masuk ke ekskul pemograman dan mengusai 11 bahasa pemograman. Namun ku pikir yaa sudahlah. Aku memilih untuk masuk ke Telkom University karena disana ada jurusan teknik informatika. Mungkin bakatku akan berkembang pesat disana.
“Sadarlah dit…… !!!!!”
Hari ini aku masuk sebagai mahasiswa resmi di Telkom university sebagai mahasiswa teknik elektro. Kenapa elektro ?, karena orang tua ku berantem lagi dikamar soal jurusan yang aku pilih. Bapak ku memandang sebelah mata soal jurusan teknik informatika. Dia mengaggap yang tidak – tidak dan tidak mau membiayai kuliah ku apabila aku memilih jurusan itu. Akupun begitu kerena aku merasa mempunayi bakan dibidang itu. Kali ini berantemnya ibarat perang dunia ketiga. Bapak ku tidak mau senyum pada ku dan ibuku selalu menyemangati ku untuk memilih pilihan yang tepat. Aku memilih teknik elektro karena bidang ini adalah bidang terdekat apabila aku tidak masuk informatika. Dan bapakku menyetujui hal itu.
Namun, aku sebenarnya tidak setuju. Aku malas kuliah. Hari – hari ini terasa tidak bergairah karena bukan bidangku “fisika ?, elektromagnetik ? aku tidak mengerti !!!!” ucap dalam hatiku. Ohh iya alasan aku tidak masuk stei karena nilai fisikaku yang sangat rendah. Aku memang tidak bisa dan membenci hal yang berbau fisika. Aku sering bermain dengan teman – teman seasrama ku di Telkom. Jalan – jalan keluar kota dan menginap di luar sudah biasa aku lakukan. Namun aku tidak pernah bolos kuliah. Itu karena aku memang tidak biasa membolos.
Semester 1 berlalu begitu cepat. Aku mendapatkan IP 2,39. Dan aku menyesal. “wahh ini gimana aku ngomong sama ibu dan bapakku ?” dalam hatiku. Dan jahatnya univ ini adalah meng-sms kan hasil itu pada ibu dan bapakku. Pulang aku kerumah, bapakku membukakan pintu dan mengajak makan bersama. Malam itu aku pun pergi dengan bapak ku untuk membeli baju dan jam. Pada perjalanan bapak ku pun bertanya.
“bang, kok bisa nilai kamu 2,39 ?.”. Tanyanya sambil menyetir.
“wahh kok bapak bisa tau ?”. Tanyaku sambil menunduk kebawah.
“yaa tau lah orang di sms in ke HP bapak, sekarang bapak tanya lagi kenapa IP kamu 2,39 ?”. Tanyannya kembali.
“Matkulnya susah pah, ada fisikanya sama kalkulus itu rumit sekali….”. jawabku.
“papa dulu lulus dengan IP 2,75 masa iya kamu tidak bisa menyusul bapak ?. jangan ulangi lagi bapak tidak mau melihat nilai seperti ini lagi.”. Jawab bapakku dengan nada kecewa.
Pada perjalanan itu aku tidak bisa berbicara apa – apa dan suasana mobil itu sepi dan senyap. Aku tidak berani berbicara apapun saking malunya, kulihat ekspresi bapakku seperti orang yang menahan amarah didalam hati. Tak senyum sama sekali. Tangannya erat memegang stir seperti ingin menamparku namun kasihan dengan ku.
“nanti kalau kamu IP nya tembus 3, kamu bapak belikan motor yang bagus…”. Ucapnya dengan nada hangat.
“Hah, bentar – bentar”. Ucap ku dalam hati.
“serius pah ? kok gitu ?”. Tanya kagetku.
“kapan bapak gak serius, kamu belajar yang serius… bapak gak mau melihat nilai jelek itu lagi. Sebagai gantinya, kalau kamu IP nya jelek lagi kamu gk akan bapak biayain kuliah lagi. Cari duit sana !!!”. Ucapnya dengan nada tegas.
“iya pah”. Jawabku gembira.
Dan hari itu pun selesai dengan semangat dan aneh kok tiba – tiba seperti itu.
Tak disangka bapakku naik jabatan lagi dan dihadiahi liburan ke jepang untuk membeli barang perusahaan. Setidaknya itu yang dikatakan oleh ibuku. pada kala itu bekalku naik berkali – kali lipat. Dalam satu minggu bekalku 500 rb. Tak jarang aku diberi uang bonus 2 sampai 3 juta oleh bapakku. Walau dia bilang jangan kasih tau ibu. Bapakku sering diam – diam mentransferkan uang ke rekening ku walau tidak setiap minggu. Namun semua itu tidak berlangsung lama.
Akhir semester 2, bapakku jatuh sakit dengan sakit yang tidak jelas. Aku dan ibuku mengetahui kalau sebenarnya bapakku dibunuh dengan bantuan jin oleh orang yang membencinya kala itu aku diberi tahu oleh ibuku bahwa bapak ku masuk rumah sakit. Dia bilang “bang empedu bapakmu bengkak bang”. Aku tidak mengerti apa yang dimadsud oleh ibuku. aku bertanya pada teman kelas ku di univ dia bilang mungkin kanker pangkreas. Dan betul saja, bapakku kena kanker pangkreas. 3 bulan bapak ku bertahan dari kanker itu. Menurut dokter ada 3 jenis kanker yang tidak bisa diobati yaitu otak, paru – paru dan pankreas. Akupun lemas mendengarnya. Keluarga berdatangan untuk menjenguk termasuk rekan kerja dari kantor bapak ku.
Bapakku dirawat di RS Bromeus. Beristirahat diruangan VVIP karena asuransi yang dimiliki oleh bapakku. Keluarga, kerabat dan rekan kerja silih berganti menjenguk bapakku. CEO dari perusahaan itu datang untuk menjenguk. Saat itu aku sedang makan dekat dengan bapakku. Bos bapak ku berbicara hal yang menyenangkan untuk menghibur bapakku dan memberikan kado berisikan cek. Beliau menjamin semua biaya pengobatan bapakku. Itu semua dia lakukan untuk menyenangkan hati bapakku. Terkadang aku diminta untuk tidur sekasur dengan bapakku. Dia memelukku layaknya bantal. Aku menunggu sambil dia ketiduran karena obat morphin yang diberikan oleh dokter. Bapakku tidur sambil menangis dan berbisik “maafkan bapak yaa bang”.
Selama 3 bulan lamanya, aku tinggal dirumah sakit. Aku pergi kuliah sekitar jam set 6 pagi karena jarak yang cukup jauh. Hari ini adalah pengumuman nilai semesteran dan IP ku 3,28 aku senang sekali namun…… pulang kerumah sakit bapak ku meninggal. Aku tidak bisa menahan perasaan dalam hati. Aku menangis sejadi – jadinya. “paahhhh, abang IPnya 3,28 pah…. PAHHH” papaku tertidur untuk selama – lamanya. Meninggalkan aku, ibu dan adikku yang masih SMP. Semua keluarga, kerabat dan rekan kerja bapakku datang. Dan jenazah bapakku dibawa pulang.
Kebesokan harinya, jenazah bapakku dimandikan untuk dikuburkan. Aku memandikan bapakku. Entah kenapa bapakku terlihat begitu ganteng. Wajahnya bersinar dan tersenyum. Tidak ada kotoran sedikitpun dan tidak berbau sedikitpun yang ada hanya harum. “bang, papa ganteng sekali yaa ?” ucap ibuku. “iya, lebih ganteng dari biasanya” ucapku. Kuburan itu rasanya adalah saat terakhir aku bisa berbakti bapakku. Aku menyesal mengapa aku bermain – main pada saat kuliah. Aku menyesal mengapa aku berbohong untuk bilang susah pada hal aku sudah menjadi anak yang cerdas. Teman – teman bapakku menghampiri ku, mereka bertanya tentang tingkat berapa aku pada saat kuliah. Mereka minta diberi tahu apabila aku lulus nanti. Aku tidak mengerti apa madsud mereka. Namun yang jelas itu adalah berita baik.
Satu bulan setelah itu, sebuah mobil bak terbuka menghampiri rumahku. Mobil itu mambawa sebuah moge yang ada di histori pencarian chrome ku. aku tanya punya siapa ini.
“maa, ini punya siapa ?”. Tanyaku heran.
“itu punya kamu bang, papa yang belikan itu.” Jawab ibuku.
“kok bisa ?”. Tanyaku kaget karena motor itu adalah motor yang kudambakan.
Ibu ku terdiam, dia menuju kekamar untuk mngambil secarik kertas lusuh yang ada atas meja dikamarnya. Dan kertas itu tertulis :
“Harusnya, kalau kamu baca ini, motor itu sudah datang dan bapak sudah tidak ada disamping kamu lagi. Maaf yaa papa tidak bisa menemani kamu lebih lama lagi. Papa percaya sama kamu kalau kamu bisa mencapai keinginan papa. Kamu itu jujur dan bertanggung jawab. Kamu bisa menghadapi semuanya bang. Papa titip mama sama adek. Kamu jadi pengganti papa sekarang. Mungkin kamu bingung kenapa motor itu yang papa belikan. Papa diam – diam ngebuka hp kamu dan melihat chrome kamu. Papa berfikir mungkin motor itu yang kamu mau. Jadi bapak belikan ini buat kamu. Kamu jangan benci papa yaa. Jadilah anak yang soleh. Jaga kepercayaan orang yang ada disekitar kamu. Semua beban ini papa serahkan kepada kamu. Ohh iya, kamu lagi naksir cewe yaa ? cocok nih kamu pakai motor ini jadi kamu keliatan gagah. Papa mau tidur tenang di alam sana. Sambil melihat kamu berkembang papa mau menonton kamu sambil ngopi sama 2 malaikat yang menghampiri bapak kelak. Menceritakan kebodohan kamu dengan nya sepertinya dapat membuat mereka malaikat yang tidak bisa tertawa itu tertawa.”
Aku membaca surat ini sambil menangis dan tersenyum “papa, papa masih ae bercanda” pikir ku. Motor itu pun ku terima. Bapak ku adalah laki – laki terhebat sepanjang masa. Dia lebih mementingkan keluarganya dari pada dirinya sendiri. Kala itu aku ingat dia menolak operasi dengan alasan yang tidak jelas. Pada hal uang lebih dari cukup ditambah dengan bantuan asuransi. Ibu ku bilang alasan satu – satunya adalah supaya kamu tetap kuliah. Bapak tidak ingin kamu berhenti menggapai cita – cita kamu. Disitu aku sadar atas perbuatanku akhir – akhir ini. Dia tidak bahagia disaat terakhirnya karena aku.
Roda Kehidupan Kembali Berputar
Satu tahun telah berlalu. Bapak meninggalkan aku dan keluarga dengan tenang dialam sana. Perekonomian kami pun perlahan – lahan turun. Standar kehidupan kami pun demikian. Aku yang sudah jadi kepala keluarga memutuskan untuk medepositokan tiga perempat dari uang warisan bapak ke bank agar tidak dipakai dan hidup seadanya. Rasanya kembali kemasa – masa dulu walau tidak separah itu. Yaa setidaknya aku masih mandi dan masih bisa makan lauk pauk walau hanya sekedar telor dan pindang. Adik ku tiba – tiba tidak mau meneruskan sekolahnya ke jenjang SMA karena dia tidak mau memakan biaya. Dia berharap kalau aku lulus nanti, aku bisa menyekolahkan dia. Begitu – begitu adik ku adalah anak yang baik. Walau dengan pikiran pendeknya, madsudnya baik.
Biaya persemester di univ ku 7,5 juta sedangkan ibuku berkerja sebagai guru honorer dengan gaji kurang dari 2 juta. Itu membuatku tidak mau menyianyiakan masa kuliah ku. seiring berjalannya waktu, IP ku meningkat dari 3,28 sampai 3,9. Aku berfikir bahwa tidak ada lagi yang bisa membantuku sekarang. Bapak sudah meninggal. Kalau bapak masih hidup, pasti aku keterima kerja di perusahaannya. Tapi bukannya karena alasan ini aku berleha – leha disemester 1 ?.
Roda kehidupan pun terasa. Berputar seperti kincir air yang ada di film anak – anak. Aku merasakan lagi suasana seperti masa SMP ku. aku mulai kehilangan teman – temanku. Alasannya bukan karena uang. Hanya saja aku tidak bisa lagi ikut dalam lingkungan mereka. Uang ku tidak cukup. Setidaknya mereka bukan meninggalkan aku karena aku miskin. Tapi mereka mengerti kalau aku tidak bisa ikut lagi. Terkadang teman – teman ku mengajak main keluar. Aku selalu menolaknya dengan mencari alasan. Tapi mereka sering menyuruhku ikut tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Itu karena aku adalah anak yang pintar bergaul dan disukai banyak orang. Aku belajar dari kesalahan ku pada masa SD dan SMP dan mempunyai banyak orang yang ingin berteman dengan ku bahkan disaat terpuruk sekalipun.
Waktu kian berlalu, kini aku sudah semester 7 tingkat akhir. Aku mulai menyusun tugas akhir ku. aku kenal dengan seorang dosen pembimbing yang membantuku untuk tugas akhirku. Dia minta tolong pada ku untuk membantunya membuat paper. Dia orang yang baik hati dan ramah. Setiap aku bimbingan pasti ada saja makanan dan kopi. Mungkin dia tau atau aku yang ketauan sering nongkrong di tempat kopi. Kadang dia membawakan aku sekotak makanan yang dia bawa dari tempat rapat dosen. Aku tidak tau mengapa bisa dia membawa 2 kotak. Namun itulah rejeki anak soleh pikirku.
Namun benar saja, aku bisa membuat paper dan mempublikasikannya diskala nasional dan internasional. Aku sebenarnya tidak percaya mengapa aku bisa melakukan hal itu. Namun itulah yang terjadi. Rasa bangga tak tertahankan tapi aku teringat bahwa ada seseorang yang akan sangat bangga dengan hal ini. Yaitu mendiang bapakku. Aku menangis sepulang kuliah. Aku menghampiri ibuku yang sedang menonton TV dan terkejut melihatku. Aku menunjukan tiket ke jogja untuk mengahadiri acara konferensi internasional.
“Assalammualaikum maa “. Salamku sambil membuka pintu.
“waalaikumsalam, bang kok nangis kenapa ?”. Tanya ibuku heran.
“maa….. “. Ucapku sambil menyodorkan gambar di HP ku.
“kok tiket kejogja, siapa yang beliin ?”. Tanyanya heran.
“pembimbing abang maa “Jawabku sambil menangis.
“buat apa kejogja ?”. Tanya ibuku.
Aku menyodorkan brosur konferensi international
“Alhamdulilah, gratis bang ?”. Tanyanya bangga.
“iya gratis, katanya nanti abang juga di kasih jajan maa”. Jawabku
“maa, kalau papa liat ini, papa bangga gk maa ?”. Tanyaku sambil memeluk ibuku.
“alfatihah bang, papa liat kok. Pasti dia lagi ngopi di alam sana”. Ibuku sambil bercanda untuk menghibur hatiku.
“iyaa” .Jawabku.
Aku mengerti betul bahwa bapakku ingin melihat aku sukses. Namun waktu tidak mengijinkan dia untuk melihatnya langsung. Aku mengirimkan doa dan al-fatihah untuk bapak ku dialam sana dalam solatku. Aku mengerti betul dia bangga. Dan aku mengerti betul dia selalu ada untukku. Bahkan saat cerita ini ditulis.
Masa kuliah berlalu dengan rasa yang campur aduk. Hari wisuda ku dihadiri oleh teman – teman, ibu dan pacar ibuku. Ya aku ingat dulu ada seorang laki – laki datang kerumah untuk memperkenalkan diri pada aku dan adikku. Aku pun mengetahui dia menyukai ibuku. Dan aku memberikan izin padanya. Aku berfikir bahwa aku tidak bisa seogois itu untuk melarang ibuku merajut kasih kembali dengan seseorang karena aku pun tau kalau tidak ada yang menjamin aku bisa menjaga ibu ku selamannya. Wisuda itu pun diakhiri dengan rasa yang tidak bisa diartikan. Aku kehilangan orang yang akan bangga saat aku berhasil lulus dengan IPK di atas 3. Persis seperti keinginan bapakku. Namun dia tidak disini. Dia pasti lagi ngopi dengan malaikat di atas sana. Dan malaikat itu pun menghibur dia yang sedang menangis terharu.
Setelah kuliah, aku berkerja sebagai pegawai riset di sebuah perusahaan. Itu semua berkat kuasa allah yang telah mengatur jalan hidupku. Bertemu dengan dosen pembimbing yang baik sehingga aku punya paper untuk dijadikan referensi di CV ku. Aku sangat ingat pesan bapak untuk menjaga ibu dan adik ku. Aku bertekat untuk memutar kembali roda kehidupan ini ke arah yang berlawanan. Kembali ke atas agar kami bisa makan enak lagi. Ibuku tidak masak telor lagi. Kulkas berisi bahan makanan yang enak. Ibuku pensiun setelah aku diterima kerja. Kini aku pantas di bilang “kepala keluarga”.
Adikku mulai sekolah lagi walau hanya paket. Aku ingin adikku juga sukses dan bisa membiayai dirinya sendiri. Aku tau betul adik ku adalah orang yang jauh lebih pintar dariku. Pada saat itu IQ adik ku adalah 179 dan aku hanya 121. Aku tidak begitu paham dengan angka ini. Tapi yang ku tau artinya adikku setidaknya 2 kali lebih pintar dari ku.
Seiring berjalannya waktu, aku berhasil membalikan arah roda kehidupan. Mama tidak perlu masak lagi. Dia selalu ku ajak makan makanan yang enak dan bergizi. Adik ku belikan motor seperti yang dilakukan oleh bapakku dulu. Walau kadang aku marahi karena malah keasikan pacaran. Aku saja tidak punya pacar apalagi mantan.
Pengalaman ku terdahulu mengajarkan banyak hal padaku. Menjatuhkan ku dalam lubang dan mengajariku cara untuk mendaki keluar dari lubang itu. Hidup ini berat. Namun seorang binaragawan tidak akan bisa membentuk tangannya apabila tidak ada beban untuk diangkat.
Luka itu sakit. Tapi tidak akan ada dokter kalau tidak ada yang sakit. Hidup ini seperti roda yang berputar pada porosnya. Yang bisa kita lakukan adalah menggerakan roda ini dengan air mengalir. Melawan arus atau mengikuti arus adalah pilihan yang terlihat simpel namun sangat berpengaruh pada masa depan. Hidup ini adil, walau tidak pada awalnya.
Description: Roda Kehidupan itu Berputar. Namun kita tidak pernah tahu dimana posisi "mulainya". Cerita ini berlandaskan kejadian asli. Menceritakan seseorang yang memulai segalanya dari kondisi bawah lalu Pelan - pelan mulai menikmati rasanya ada diatas.
"Hidup itu adil, walau tidak pada awalnya"
|
Title: Refleksi Alam
Category: Puisi
Text:
Refleksi Alam
Dekatkan telingamu tepat diatas lapisan bumi...
Dengarkan...
Apa kira kira rintih pertiwi...
Tempat dimana kau berpijak yang tak lagi asri...
Hijaunya kian menguning oleh sengat mentari.
Udara yang tercemar oleh pandemi yang mencipta ketakutan...
Virus yang terus menginfeksi tanpa bisa dihentikan.
Semesta pun seakan mengamini apa yang sedang terjadi...
Sembari menanti takdir sang ilahi...
Semua sibuk membekali apa yang dirasa perlu...
Berfikir bahwa kiamat hanya untuk orang orang yang kurang mampu...
Hentikan !!!
Jangan kau lanjutkan sikapmu yang membuat jagad semakin murka...
Takdir tak akan bisa dibeli dengan harta...
Mulailah memanusiakan manusia...
Mungkin ini hanyalah salah satu cara tuhan menyatukan umatnya...
Saling peduli dan melindungi...
Tanpa memandang agama dan derajatnya dibumi.
Milyaran tahun sejak awal bumi ini tercipta...
Tak dipungkiri bahwa dunia mulai renta...
Entah oleh sebab usia atau karna ulah penghuninya...
Yang jelas ini cara bumi merefleksi diri...
Merestart ulang apa yang pernah dilalui...
Tak lama lagi awal dunia kembali tercipta...
Entah dengan evolusi baru atau tatanan lama...
Kita hanya bisa pasrah atas kehendaknya...
Menyadari bahwa kita disini hanya sementara...
Tempat kita yang abadi adalah di surga...
Sering seringlah bercermin dan bertanya,
pantaskah semesta mempertahakanmu...
Dengan segala keserakahan dan egomu...
Aku rasa lebih baik dunia memulai tatanan baru...
Tanpa ada manusia untuk dipangku...
Biarkan perlahan semesta menjelma menjadi surga beserta penghuni yang bersedia merawatnya...
Bukan cuma membebani kemudian mati...
Harusnya Tuhan pun mempertanyakan tanggung jawabnya kepada bumi...
Agar manusia manusia itu sadar bahwa dunia bukan sekedar untuk bersandar...
Dan yang terakhir teruntuk negeriku tercinta Bumi Indonesia...
Semoga lekas terbebas dari corona...
Jangan kau biarkan rakyatmu terlalu lama menanggung derita...
Bumi hanguskan jika memang itu yang kau inginkan...
Jangan kau matikan kami secara perlahan.
Description: Semesta Yang Mulai Renta
Randy Asmoro Pamungkas twitter : @RandyGanden @ganden182
Novela ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #pulang 2020
|
Title: Raisa Lika
Category: Teenlit
Text:
Penasaran
Lika Ramadhani nama lengkapnya. Biasa di panggil Lika. Cewek yang memiliki wajah cantik. Dengan tubuhnya yang ideal dan memiliki tinggi 169 cm. Cukup tinggi bagi kebanyakan cewek. Rambut hitam yang tergerai, hidung agak mancung, dan bibir berwana pink membuat wajahnya bertambah cantik. Ditambah dengan lesung pipi yang membuatnya manis. Makanya tak jarang, banyak para cowok-cowok yang terang-terangan memuji dirinya.
Lika tersenyum senang sambil berjalan memasuki sekolah barunya. SMA Internasional, salah satu SMA paling elit di Jakarta dan Indonesia. Yang hanya menerima siswa siswi yang cerdas dan berprestasi sekaligus kaya. Karena butuh biaya cukup besar juga untuk sekedar bersekolah disini.Namun, tidak bagi Lika yang mempunyai IQ di atas rata-rata. Dirinya dengan mudah melewati berbagai tes baik akedimik maupun ketrampilan untuk jalur beasiswa akademik yang hanya menerima 20 orang, termasuk Lika. Bahkan Lika mendapat urutan pertama dalam tes tersebut dengan nilai sempurna. Dan di jalur tersebut, Lika tidak usah mengeluarkan uang sepeser pun.
Saat Lika berjalan menuju gedung sekolah yang sangat besar dan mewah, semua mata para siswa siswi menatapnya dengan tatapan yang bermacam-macam. Berita bahwa Lika berhasil mendapat urutan pertama sekaligus mendapat nilai sempurna, mengegerkan seluruh sekolah. Pasalnya baru kali ini, ada seorang siswi yang berhasil masuk dengan nilai sempurna. Dan kabarnya, kalau tes melalui jalur ini di gadang-gadang sangat susah.
Lika terus berjalan dan mengabaikan keadaan sekitar. Mau ngomongin kejelekan dirinya maupun kebaikannya, Lika tak mau pusing. Lika hanya ingin kehidupan di sekolahnya ini tenang dan damai.
“LIKA!” Dina berlari ke arahnya lalu menjajari langkahnya.
Dina ini merupakan siswi yang mau berteman dengan Lika untuk pertama kalinya. Dina juga termasuk dari keluarga terpandang. Ayahnya, merupakan pengusaha sukses yang berjalan di bidang perhotelan, sedangkan Ibunya, memiliki berbagai butik dan salon yang sangat terkenal.
Walau begitu, Dina termasuk orang yang tidak pilih-pilih jika berteman. Teman-teman Lika kebanyakan menatap rendah Lika. Namun. tidak dengan Dina. Dina malah dengan senang hati mau berteman dengannya dan meminta bantuan padanya jika Dina mengalami kesulitan dalam berbagai pelajaran. Lika pun bersyukur dan senang. Dina juga termasuk siswi yang masuk melalui jalur seperti Lika.
Tumben berangkat pagi Din,” Lika tersenyum ke arah Dina.
“Biar kebagian kursi,” Dina terkekeh lalu merangkul Lika.
“Mana mungkin kita nggak kebagian kursi,”
“Maksudnya biar kita tuh nggak dapet duduk di depan,”
“Emang kenapa?”
“Males kalau lihat guru yang nggak enak ngajarnya. Kayak Bu Rina itu, udah gendut, galak lagi,”
“Jangan sembarangan bicara. Bu Rina lagi di belakang kita,” Lika mendekatkan kepalanya ke arah Dina.
Dina membulatkan matanya dan otomatis menengok belakang. Dan benar saja, Bu Rina sedang berjalan di belakangnya. Untung jaraknya agak jauh.
“Mampus banget sih gue,” Dina menampakkan wajah ketakutan.
“Untung kamu ngomongnya gak keras-keras amat,” Lika terkekeh ke arah Dina sambil menepuk punggung Dina agar tenang lalu melanjutkan melangkah ke kelas X-1A.
Kelas X-1A merupakan kelas jurusan IPA 1 yang berlambang A. Yang artinya kelas yang berisi siswa siswi yang berprestasi, baik akademik maupun non-akademik. Dan kebanyakan berisi siswa siswi yang masuk melalui jalur khusus.
“Duduk sini aja,” Dina menarik tangan Lika ke sebuah meja yang berisi dua bangku di belakang sendiri pojok kiri. Dekat dengan jendela.
“Okedeh. Aku nurut kamu aja,” Lika duduk lalu menaruh tasnya yang hampir lusuh itu.
“Ngomongnya pakek ‘gue’ ‘lo’ aja deh. Gue ngerasa gimana gitu lo ngomong baku kek gitu,”
“Emang aku dari dulu ngomongnya kayak gini,”
“Emang lo orang mana sih?”
“Dari kecil sampai kelas enam SD, aku di Bandung. Terus, lulus SD sampai sekarang aku di Jakarta,”
“Oh,” Dina mengangguk mengerti.............Seperti biasa, bel masuk sudah berbunyi, tapi Raka, salah satu siswa SMA Internasional sekaligus anak dari pemilik yayasan Internasional baru datang. Pak Udin, selaku satpam di SMA ini, lansung buru-buru membuka gerbang tanpa menegur Raka yang terlambat.
Pak Udin tidak mau main-main dengan Raka. Karena jika membuat Raka marah, pekerjaannya bisa langsung hilang. Alias di pecat, “Makasih Pak,” Raka mengangguk sambil tersenyum kecil kepada Pak Udin lalu melajukan motornya ke parkiran.
Nama lengkapnya Raka Ervanda Wiratama. Cowok yang merupakan idaman para cewek. Karena Raka memiliki wajah yang sangat tampan. Dengan rambut hitam legam yang urakan, hidung mancung, bola mata berwarna abu-abu, sekaligus memiliki lesung pipi, membuat para cewek-cewek antri untuk menjadi pacarnya.
Akan tetapi, sampai saat ini, Raka belum pernah punya pacar! Ngenes banget kan? Menurutnya cewek itu hanya manusia-manusia matre yang ingin berpacaran dengannya gara-gara uang. Dan cewek-cewek itu menurut Raka juga sebagai manusia yang merepotkan. Makanya Raka, sampai saat ini males dengan hal begituan.
Raka juga termasuk siswa terpintar di sekolah ini dengan IQ diatas rata-rata. Namun, perilakunya tidak menggambarkan seorang yang jenius. Dengan kata lain Raka adalah bad boy. Memang itu kenyataan, setiap hari pasti ada saja ulah Raka yang membuat guru-guru naik pitam. Apalagi Raka juga sering berantem di dalam sekolah jika Raka sudah tidak bisa mengendalikan emosinya.
Walau begitu, sebenarnya Raka ini siswa yang baik. Jika orang lain bisa menghargainya, pasti Raka juga lebih menghargai orang tersebut. Namun, hingga saat ini, Raka sering tidak di hargai. Apalagi dengan Ayahnya sendiri, Pak Wira yang selalu memandangnya jelek. Ayahnya sering memandang apapun yang di buat Raka itu sangat tidak ada gunanya.
Makanya, Raka emosinya sangat labil, yang mengharuskan seluruh penduduk di sekolah ini tidak akan main-main dengan Raka. Guru-guru pun juga tidak segan-segan menahan amarahnya kepada Raka agar tidak di lontarkan dari SMA Internasional ini. Apalagi Kepala Sekolah, yang mau tidak mau bersabar dengan sikap Raka.Raka berjalan menuju kelasnya, XI-5A. Artinya, kelas sebelas IPS 1 berlambang A. Sama kayak kelas Lika yang kebanyakan berisi anak-anak berprestasi, tapi bedanya, kelas Raka jurusannya IPS.
Bu Novi yang sedang mengajar menghembuskan nafas pelan ketika Raka masuk kelas dengan santai. Bu Novi ingin menegurnya, tapi Bu Novi takut jika Raka tiba-tiba emosi.
“Lanjutin aja Bu,” Raka berteriak memecah keheningan kelas. Lalu, Bu Novi melanjutkan mengajar.
“Bokap lo ngamuk ya?” Tanya Alex, sahabat sekaligus teman sebangku Raka. Alex berfikir kalau Raka telat gara-gara Pak Wira habis ngamuk. Dan itu udah menjadi kebiasaan.
“Kagak lah! Bokap gue aja mulutnya udah gue perban,”
“Anjir lo durhaka sama Bokap sendiri,”
“Bokap gue sih yang sering mancing emosi,” Raka mulai mengeluarkan buku dari tasnya. Entah itu buku apa yang di keluarkan Raka, Raka sendiri juga tidak tahu. Setiap hari dirinya hanya membawa dua atau tiga buku untuk semua pelajaran di hari itu.
“Sosio njir, bukan fisika,” Alex menggelengkan kepalanya melihat buku yang di keluarkan Raka berjudul Buku Fisika. Sedangkan Raka hanya mengangkat bahu acuh.
Pelajaran pertama di tahun ajaran baru ini ternyata sangat tidak menyenangkan. Banyak siswa siswi yang menguap karena penjelasan Bu Novi membuat mereka ngantuk. Raka pun langsung mengeluarkan ponselnya dan memasang earphone lalu menayetel musik.Dunia Raka pun otomatis berubah. Raka mulai menghentak-hentakkan kakinya bersamaan dengan tangannya yang memukul di udara. Layaknya seperti seorang drummer. Alex menatap Raka heran. Begitu juga semua penghuni kelas yang satu persatu mulai melihat ke arah Raka.
Sedangkan Raka, tidak sadar akan itu semua. Terakhir, Bu Novi lah yang tersadar atas kelakukan Raka. Bu Novi mendelik kesal lalu berjalan ke arah Raka. Raka belum sadar juga ketika Bu Novi sudah berdiri di samping mejanya.
“Copot aja bu. Biar gilanya hilang,” Alex berucap pelan kepada Bu Novi.
Bu Novi langsung melepas earphone yang terpasang di telinga Raka dengan sekali hentakan. Raka otomatis menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah Alex. Raka yakin pasti Alex yang melepasnya.
“Anjir lo!” Umpat Raka.
“Tuh,” Alex langsung mengangkat kepalanya mengisyaratkan agar Raka mengikuti arah kepalanya.
“Ngapain Bu? Mau dengerin lagu juga sama saya?” Bu Novi meredam amarahnya atas perkataan Raka. Bisa-bisanya Raka berani menentang guru.
“Tidak usah repot-repot, suara Ibu soalnya lebih bagus dari penyanyi yang kamu dengerin,” Bu Novi lalu mengambil ponsel Raka di laci meja tanpa persetujuan Raka.
“Mau di bawa kemana Bu!” Raka berdiri menatap Bu Novi kesal.
“Nanti kalau udah selesai pelajaran. Saya kembalikan,” Raka mendengus kesal lalu melangkah keluar kelas. Bu Novi membiarkannya saja yang penting Raka tidak emosi. Sebenarnya Bu Novi tadi sempat takut juga.
Raka berjalan kesal menuju kantin. Namun langkahnya terhenti ketika melihat kejadian di pinggir lapangan basket yang menarik perhatiannya. Raka lalu mendekat pelan-pelan.
.........
Cerita pertama aku di storial nih. Semoga suka ya.
Terima kasih sudah membaca
Pencet suka ya...
Byee...
Description: Umur 16 tahun ini. Lika memulai kehidupan barunya di salah satu SMA favorit dengan jalur beasiswa. Memiliki otak cerdas membuat Lika dengan mudah menembus sekolah itu. Bahkan dengan nilai sempurna.
Rasa senang bisa bersekolah di SMA favorit itu ternyata tidak bertahan lama. Lika harus berurusan dengan teman-teman dan kakak kelasnya bernama Raka dan Riko. Urusan itu pun tidak bisa dikatakan urusan sepele. Sialnya, Lika malah memendam rasa dengan Raka.
Urusan itu bertambah rumit dengan terkuaknya masa lalu Lika yang berhubungan dengan Raka dan Riko.
Lantas, apa masalah yang sebenarnya terjadi?
Akankah hati Lika dapat dibalas atau malah menimbulkan rasa sakit?
Penasaran? Cus! Baca ceritanya.
|
Title: R adalah Rasa tanpa asa
Category: Adult Romance
Text:
1
Senja di kantor masih menyisakan aktivitas, meski dari pagi hingga seharian penuh hampir tiada henti kecuali di jam rehat.
Sebagian ruangan telah gelap, menandakan penggunanya telah meninggalkan tempat. Beberapa masih terang oleh nyala lampu, berlanjut hingga malam melarut.
Tiwi membereskan meja kerjanya. Lelah melanda. Belum lagi perasaan yang kerap menderanya tatkala tiba di rumah. Ia letih, tapi berada dirumah lebih menghabiskan energinya ketimbang seharian penuh menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja.
Hari ini ia memutuskan tidak bersegera sampai di rumah. Bukan ia berpikir untuk lembur, atau pergi sekedar menghibur hati setelah seharian sibuk dengan pekerjaannya. Ia hanya enggan. Enggan menahan diri untuk tidak meledak saat tiba di rumah. Ia berharap saat tiba nanti ia bisa merebahkan diri sejenak di sofa sambil menunggu saat mandi sambil menikmati segelas coklat hangat seperti biasanya. Tapi tidak untuk senja ini dan untuk senja-senja beberapa hari ini. Ia harus rela duduk manis, bahkan sebelum ia bisa mengganti pakaian atau sekedar meletakkan tasnya di kamar, untuk mendengarkan ceramah Ibu tentang bagaimana menjadi wanita di mata suami, tentang bagaimana menjadi istri bagi anak lelakinya, tentang bagaimana menjadi seorang calon ibu bagi cucu-cucunya, tentang bagaimana mengelola uang belanja, juga tentang panjang lebar bla bla bla yang mungkin tidak akan habis seandainya saja Arjuna, suaminya, tidak segera pulang dan menyelamatkan sisa energi istrinya.
Arjuna bagi Tiwi, memang bukan tipe suami yang kolot. Yang semua keperluannya harus dilayani istri. Arjuna selalu mengapresiasi apapun yang dilakukan Tiwi sebagai ungkapan rasa cinta seorang istri kepada suaminya, bukan sekedar tindakan yang dilakukan atas nama kewajiban. Itu yang membuat Tiwi selalu kuat melewati sekian prahara dalam sekian tahun rumah tangga mereka.
Tapi justru sikap Arjuna tersebut diartikan berbeda oleh ibunya. Ia menganggap, anak lelakinya tidak diurus dengan baik oleh menantunya dan menyimpulkan bahwa Tiwi mengabaikan kewajiban utamanya dibanding karirnya diluar.
Sekali dua kali, Arjuna membela istrinya dengan mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan rumah tangga mereka. Semua berjalan dengan baik dan harmonis selama sekian tahun meski keduanya memiliki kesibukan masing-masing di luar, tidak ada yang mengabaikan atau merasa terabaikan meski kesibukan sering menyita waktu mereka.
Tapi, Ibu tetaplah seorang Ibu. Yang pasti selalu merasa paling tahu apa yang terbaik bagi anaknya. Ia ingin anaknya memiliki seorang istri yang sepenuhnya mengabdikan hidupnya untuk mengurus suami dan rumah tangga mereka. Dan yang pasti, segera menghadirkan anak-anak yang akan meramai-riuhkan suasana rumah mereka.
Untuk yang terakhir itu, baik Tiwi maupun Arjuna sama-sama tidak bisa membantah. Ini adalah tahun ke-lima pernikahan mereka. Betul kata Ibu jika Tiwi memang harus lebih fokus pada rumah tangganya. Betul kata Ibu bahwa rumah ini terlalu sepi jika hanya ditinggali oleh mereka berdua. Juga betul kata Ibu bahwa usia mereka semakin menua seiring waktu dan bisa jadi mereka akan kehilangan kesempatan untuk memiliki anak-anak seiring kesuburan yang makin menurun.
Tapi Tiwi bisa apa. Dia hanya makhluk. Yang tidak bisa mencipta. Bukan Tiwi tidak meminta, bukan juga tidak berusaha. Segala usaha yang menurutnya masuk akal dan tidak melanggar norma agama, setidaknya pernah ia lakukan sesuai saran dari keluarga besarnya dan juga teman-temannya yang simpati. Saran-saran dari media sosial, blog, web, youtube, dan berbagai sumber lainnya sudah pernah ia coba. Bahkan di awal pernikahan mereka, tiga tahun lamanya Tiwi meninggalkan dan melupakan karirnya demi berfokus pada program hamilnya. Tapi apapun, belum satupun yang membuahkan hasil positif di testpack-nya.
Salahkah Tiwi? Tentu. Dimata hampir semua orang, istri-lah sumber masalah saat sebuah rumah tangga tak kunjung dianugerahi buah hati. Tapi, keputusan Tiwi untuk kembali berkarir sudah benar-benar ia konsultasika pada Arjuna berkali-kali, dan suami tampannya tidak pernah sekalipun melarangnya.Jadi, salahkah Tiwi? Tentu. Dalam pernikahan manapun, istri lebih sering dianggap sumber masalah ketika biduk rumah tangga tidak berjalan seperti kebanyakan rumah tangga pada umumnya. Menikah, bulan madu, punya anak, punya rumah, punya mobil, punya bla, punya bla dan bla-bla-bla.
Tiba-tiba Tiwi jadi merasa hidupnya gagal. Setelah semua usaha dan kerja keras dalam menjalani rumah tangga mereka, sekarang hanya tampak seperti sederet kegagalan yang menyeretnya menjadi tersangka dalam anggapan mertuanya akan ketidak-normalan pernikahannya dengan putranya. Tak henti Ibu selalu membandingkan rumah tangga mereka dengan rumah tangga Rama, adik Arjuna, yang bahkan di bulan kedua sudah memberinya kabar baik dan saat ini tengah menunggu kelahiran anak pertama mereka.
"Belum pulang?" Sapaan seseorang membuyarkan lamunan dan rutukan Tiwi. Dilihatnya atasannya baru saja datang setelah seharian tidak menampakkan diri barang sejenakpun."Sudah lewat jam lima." Lanjut pria tersebut memandang sekilas ke jam tangannya.
"Iya. Saya pun sudah berkemas." Jawab Tiwi.
"Pulang juga ngapain? Kamu toh belum punya anak, jadi hampir tidak ada bedanya pulang cepat atau lambat." Pria dihadapan Tiwi kembali menyambung.
Mendengar perkataan pria tersebut Tiwi justru melotot sewot pada seseorang dibelakang si pria. Seorang lelaki lainnya dengan penampilan flamboyan yang Tiwi yakin dialah sumber dari informasi yang diucapkan oleh pria di depannya.
Lelaki yang dipelototi bukannya merasa bersalah atas ke-ember-annya, malah pamit berlalu ke pantry. Menyeduh kopi untuk teman lembur, begitu alasannya.
Awas kamu, Tomi. Tiwi hanya bisa menahan geramnya dan bersumpah dalam hati untuk membalas mulut ember si pria flamboyan itu sampai saatnya tepat kelak.
"Baiklah. Aku pamit dulu." Tiwi setengah jengah beranjak dari kursinya.
"Kalo tidak keberatan aku butuh bantuanmu saat ini juga menyiapkan semua berkas atas nama klien ini. Besok jam 7 pagi aku harus menyerahkan semuanya untuk persyaratan serah terima pekerjaan yang sudah selesai, dia terburu waktu untuk penerbangannya ke singapur. Jadi aku minta tolong padamu, sebab hanya kamu yang tahu seluk beluk proyek ini sejak awal." Cegah lelaki itu.
"Pak Pria, bukannya sudah saya serahkan sebanyak dua rangkap semua berkasnya tiga hari yang lalu?" Jawab Tiwi memeriksa isi dalam map bening yang baru saja diterimanya dari pria tersebut.
Lelaki yang dipanggil Pria tersebut tampak berpikir sejenak."Oh ya? Emm.. mungkin aku yang terlupa." Jawabnya sambil menggaruk rambutnya yang terurai sebahu walau tidak tetasa gatal sekalipun.Lanjutnya, "Kalo begitu, aku minta di print out ulang berkas yang kemarin kamu serahkan itu. Dua rangkap ya."
Tiwi menarik nafas panjang diam-diam sambil menyalakan PC-nya kembali. Dalam hati ia berpikir untuk menawarkan diri menunjukkan berkas tersebut di ruangan lelaki ini, yang ia tahu pasti dimana pria ini meletakkannya tiga hari lalu saat Tiwi menyerahkannya. Tapi ia urung mengatakannya, ia enggan pergi kesana berdua saja dengan pria ini, disaat suasana kantor perlahan mulai sepi. Masih memang satu dua karyawan yang belum juga beranjak dari depan layar monitor mereka, tapi dengan pria ini Tiwi sering merasa perlu menjaga jarak dalam keadaan apapun jua.
"Mm.. apa lebih baik kita cari print out yg kemarin itu saja ya" tiba-tiba pria itu berkata seakan bisa mencium aroma kekhawatiran wanita di hadapannya yang mulai sibuk menyiapkan kertas kosong di printer. "Oke. Kita coba cari dulu di ruanganku. Kalo tidak ketemu baru kamu print ulang Boleh aku minta tolong bantu aku mencarinya?" Lanjutnya sopan.
Tiwi tidak menyahut. Ia hanya mengangguk selanjutnya mengekori pria tersebut ke ruangannya. Tomi, si lelaki flamboyan, mengedipkan mata dan tersenyum simpul saat berpapasan di depan pantry. Tiwi balas melotot. Untuk kedua kalinya sore ini ia merasa dikhianati sahabatnya.
"Kamu duduk saja, biar aku yang mencarinya." Kata Pria menyodorkan kursi pada Tiwi setelah tiba di ruangannya.
Tanpa perlu mencarinya, nyatanya Pria langsung menemukan berkas yang dimaksudnya yang memang sudah ada di tengah mejanya di hadapan kursinya.
"Aku periksa sebentar ya." Kata Pria sambil membolak-balik beberapa lembar kertas dalam map berlogo perusahaan.
"Baik Pak." Jawab Tiwi berusaha mengatasi perasaan yang mulai ia rasa kurang nyaman di hatinya. Beberapa kali diam-diam ia menarik dan menghembuskan nafasnya pelan-pelan untuk menguasai dirinya sendiri.
"Oh. By the way, Kamu tidak perlu memanggilku Pak, sepertinya kita seumuran." Pria berkata sambil masih sibuk mempelajari berkasnya.
"Baiklah kalo itu tidak melanggar kode etik di perusahaan orang tuamu ini. Aku tidak ingin dikeluarkan hanya karena aku dianggap tidak menghargai atasan." Jawab Tiwi menanggapi.
"Aku disini pun hanya karyawan, sama sepertimu. Aku juga butuh untuk dianggap teman oleh karyawan-karyawan lain disini. Aku merasa terasing ditengah kalian padahal aku adalah bagian dari kalian" Lanjut Pria, mengalihkan perhatiannya dari berkas ke lawan bicara di hadapannya.
Tiwi mengalihkan pandangannya. Ini yang ia khawatirkan, duduk berbincang berdua dengan lelaki ini, membicarakan sesuatu yang tidak berkenaan dengan proyek, serta menghadapi tatapannya yang tajam dan dalam.
Tidak. Pria ini tidaklah pria dengan label penakluk wanita. Penakluk hati wanita, mungkin. Itu yang Tiwi dapati dari rekan-rekan kerja wanita disini, baik yang masih melajang ataupun yang sudah tak sendiri lagi, setiap kali pria ini lewat mereka diam'-diam ataupun terang-terangan memandangnya dengan sejuta makna. Tapi selama Tiwi disini, lelaki ini tidak sekalipun terlihat atau terdengar dekat dengan wanita manapun di kantor. Rumah tangganya pun jauh dari gosip. Setiap ada acara kantor ia selalu membawa istri dan anaknya ikut serta. Tapi Tiwi selalu merasa kurang nyaman saat bertemu tatap dengannya meski tak sengaja. Tatapannya tajam dan dalam seakan sengaja mengusik ketenangan siapapun yang memandangnya.
"Kita makan dulu ya. Sudah aku pesan by Jekfood." Kata Pria membuyarkan lamunan Tiwi."Tidak baik menolak rezeki. Kamu sering pesan nasi goreng kambing perempatan depan itu kan?" Sambungnya saat melihat lawan bicaranya seakan hendak menolak.
"Aku tunggu di bawah kalo begitu Pak, eh Mas Pria." Jawab Tiwi beranjak dari kursinya.
"Ok. Kita tunggu dibawah." Pria mengekori wanita di depannya.
Tiwi melangkah segera meninggalkan Pria yang berusaha menyusul langkah-langkah panjangnya. Sungguh ia merasa kurang nyaman dengan tatapan-tatapan yang mengekorinya saat Pria berusaha menyamai langkahnya menuju pantry.
,,,bersambung,,,
Description: Adalah kisah dua hati yang dipertemukan dalam satu rasa, disaat keduanya sama-sama tak sendiri lagi.
Meski masing-masing saling menghindari, namun cinta seringkali menampakkan wujudnyanya tanpa butuh untaian kata-kata.
Based on a true lie. Kisah ini berdasar pada rekayasa semata. Kesamaan kisah, nama & tempat kejadian murni diluar unsur kesengajaan. Pembaca dimohon untuk tidak baper jika mengalami kejadian serupa.
|
Title: Ruang
Category: Young Adult
Text:
Ruang | 1
Sudah hampir dua hari aku merutuki nasibku yang menyebalkan ini. Bukan tidak bersyukur, namun semua semakin terasa sangat berat setiap kali usiamu bertambah. Aku memukul pelan tempat tidur saat melihat jam di dinding kamarku sudah menunjukan pukul lima pagi. Waktu istirahatku rasanya sangat cepat berlalu.
Aku bangun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Menggosok gigi dan mencuci muka dengan sabun, kemudian berwudhu.
Mataku beralih pada handuk dan mengusapnya pelan untuk bengeringkan beberapa bagian tubuhku yang basah. Ku buka pintu kamar mandi dan melangkah menuju kamar disampingku, kamar itu tidak terkunci. Sudah kuduga, dia tidak pernah mengunci pintu kamarnya.
“Aslan. Sudah subuh, nak.”
Kurapihkan beberapa buku yang berserakan di lantai. Buku sketsa yang penuh dengan coretan di setiap lembarnya. Aku menaruh buku itu diatas meja, kemudian mengguncang pelan tubuh mungil anakku beberapa kali, “Aslan. Subuh, nak.”
Aslan membuka matanya perlahan, mencoba untuk sadar dan beranjak dari tidurnya, “Iya, bu, Aslan bangun.”
“Ayo Wudhu! Buna tunggu di mushola, ya?” Aku mengusap pipinya yang lembut kemudian beranjak dari tempat tidurnya.
“Oke.” Ucapnya seraya mengacungkan jempol.
“Jangan tidur lagi!” ucapku sebelum menutup pintu kamarnya.
“Iya, Buna.”
…
Aku menatap punggung Aslan yang berlari menaiki bus Sekolah. Waktu berlalu sangat cepat, kini usianya sudah sepuluh tahun dan tumbuh menjadi anak yang sangat aktif. Aku melambaikan tanganku saat Aslan menatapku dari balik jendela bus, Aslan membalas lambaian tanganku hingga bus berjalan menjauhi rumahku.
Aku masuk kedalam untuk mengambil peralatan berkebun, sudah hampir dua hari aku tidak membersihkan halaman depan rumahku. Kini dedaunan kering yang berjatuhan sudah mulai memenuhi kebun kecilku. Aslan bilang aku perlu menanam sesuatu yang berwarna lain selain hijau agar rumah ini lebih ceria. Aku mengusulkan beberapa bunga yang bisa ku urus, seperti bunga matahari, bunga mawar, dan beberapa jenis bunga lagi yang mungkin perawatannya mudah. Aslan setuju dengan bung matahari, jadi aku membeli bibitnya kemarin.
Aku mengikat hijabku kebelakang kelapaku agar tidak jatuh saat aku menunduk nanti. Kemudian aku mulai menanam bibit yang ku beli kemarin di sepanjang sisi pagar dalam rumahku. Aku tidak tahu bibit mana yang akan umbuh, tapi jika semuanya berhasil tumbuh aku rasa akan indah.
Ku siram bibit yang baru kutanam beserta tumbuhan lainnya. Aku akan meminta pak tua Jeff untuk memangkas sedikit pohon besar di depan rumahku, takut kalau rantingnya rapuh dan patah sehingga mengenai atap rumahku. Aku menaruh sampah yang sudah kukumpulkan kedalam tempat sampah dan masuk ke rumah.
Aku rasa aku perlu mandi sebelum pergi ke butik.
Aku menaruh perlengkapan berkebunku di dekat tempat mencuci – dibelakang rumah kemudian mencuci tangan dan kakiku disana. Ku keringkan tangan dan kakiku sebelum memasuki rumah dan mengunci pintu belakang.
Aku hendak melangkah menuju kamar mandi sampai aku melihat bayangan seseorang dari jendela ruang tamu yang terbuka. Aku tidak bisa melihat jelas apakah orang itu seorang pria atau wanita. Tidak lama ku dengar ketukan di pintu depan.
“Sebentar.” Seruku dari dalam.
Aku membuka pintu dengan tergesa, dan mendapati seorang pria berkacamata berdiri di depan rumahku.
“Cari siapa?” tanyaku seketika.
Pria itu tersenyum, wajah berjanggut dan kemeja flannel yang dikenakannya itu membuat pria dihadapanku terlihat seperti logan dalam film X-man.
Pria itu memberikan sebuah bingkisan buah-buahan kepadaku, “Saya Aslan, tetangga sebelah, mba. Salam kenal.” Ucapnya kemudian.
Aku menajamkan kupingku, “Aslan?.”
“Iya. Baru pindah tadi pagi.” Ucap pria itu menunjuk truk di depan rumahnya.
Aku tidak sadar truk itu sejak pagi sudah ada disana.
Aku mengangguk, “Ah, iya, Mas Aslan. Terimakasih bingkisannya. Mau masuk dulu?” tawarku.
Aku hanya basa-basi. Aku harap Mas Aslan menolak tawaranku karena aku tidak biasa menerima pria masuk kedalam rumahku kalau tidak ada Aslan di Rumah.
“Nggak usah, Mba. Saya juga masih harus beres-beres.” Tolaknya halus seraya menyatukan kedua telapak tangannya meminta maaf.
Alhamdulillah, “Oh, iya, iya. Kalau butuh sesuatu kesini aja, siapa tahu saya bisa bantu” ucapku.
“Iya, Siap, Mba.” Ucapnya mengacungkan jempol. “Saya pamit, ya, Mba. Mau lanjut beres-beres. Assalamuallaikum.”
“Waalaikumsalam. Terimakasih, Mas Aslan.”
“Iya, Mba. Sama-sama”
…
“Buna.” Teriak Aslan saat pak Jeff menurunkannya dari motor.
“Aslan, jangan teriak-teriak.” Ucapku menaruh telunjuk kananku di bibir.
“Bu, Aslan tadi pulang ke rumah ikut bus Sekolah. Tapi kunci rumahnya nggak ada. Buna bawa, ya?” tanya Aslan memainkan bolpoin di atas meja kerjaku.
Aku menepuk jidat saat menyadari kalau aku tidak meninggalkan kunci rumah ku dibawah pot seperti biasanya.
“Iya, Buna bawa kuncinya. Buna lupa taro” ucapku.
“Pantesan.” Ucapnya.
“Kamu mau pulang atau disini aja?” tawarku kemudian mengeluarkan kunci rumah dari dalam tas.
“Pulang aja, deh, Buna. Aslan mau mandi gerah. Tadi Aslan main bola sambil nungguin bus dateng.”
“Nih, kuncinya. Sambil nunggu Buna pulang, jangan lupa…”
Aslan memotong ucapanku, “Kunci pintu sama jendela. Jangan buka pintu kalau ada yang ketok, kecuali oma Ambar.”
Aku terdiam sejenak, “Iya. Pinter.”
“Buna, Aslan boleh minta uang nggak?” tanya Aslan padaku.
“Buat apa?” tanyaku.
Aslan menoleh kearah pak Jeff yang duduk di ruang depan butik, Aslan mendekatkan wajahnya padaku, “Aslan mau beliin pak Jeff es krim.” Ucapnya.
Aku mengangguk kemudian memberikannya dua lembar uang dua puluh ribuan, “Cukup?”
“Kebanyakan, Buna. Satu lembar aja.”
Aku menerima uang yang dikembalikannya kemudian memasukan kembali kedalam dompet.
“Aslan pulang dulu, ya, Buna. Assalamuallaikum.”
“Waalaikumsalam, hati-hati, nak.”
“Iya, Buna.”
Aslan mengajak pak Jeff pulang. Pak Jeff melihat kearahku dan mengangguk berpamitan, aku tersenyum dan menempelkan kedua telapak tanganku menandakan terimakasih padanya.
Aku kembali fokus pada pekerjaanku setelak ku lihat Aslan dan pak Jeff pergi menjauh.
Pak Jeff dan oma Ambar adalah suami istri. Mereka tetangga sebelah rumahku yang sudah ku anggap sebagai orang tuaku sendiri. Mereka sangat baik dan menyangai aku dan Aslan layaknya anak dan cucunya sendiri. Pak Jeff dan oma Ambar bukan keluarga kaya raya yang sering memberi perhatian pada kami dalam bentuk materi. Namun mereka sering memberi hal-hal kecil seperti bantuan-bantuan yang sangat kami butuhkan. Kami juga tidak jarang berkumpul dan merayakan acara-acara tertentu bersama.
Anak pak Jeff dan oma Ambar sudah menikah semua, anak ketiganya; anak terakhir mereka, Anna, juga sudah pindah karena suaminya bekerja di Jogja dan sebagai istri Anna memilih ikut pada suaminya.
…
Aku membayar driver online yang mengantarku pulang sebelum memasuki pagar rumahku yang pendek. Pagar rumahku hanya sepinggang. Karena rumah kami juga sangat sederhana. Aku rasa pagar yang besar dan tinggi akan membuat rumahku terlihat menciut.
Aku mengetuk pintu rumahku tiga kali, “Assalamuallaikum. Aslan, Buna pulang.”
Aku tidak mendengar Aslan menjawab salamku dari dalam, aku mengambil gawai dari dalam tas dan mencoba menghubungi telfon rumah. Aslan tidak memegang gawai pribadi karena aku belum memberi kepercayaan padanya mengelola waktu dengan gawai di tangannya. Aku bisa meminjamkan milikku jika dia perlu.
Aku mendengar telfon rumah bordering dari dalam, namun Aslan tak kunjung menjawab. Apa mungkin Aslan tertidur? Tapi bukan kebiasaannya tidur di sore hari seperti ini.
Aku mencoba membuka pintu rumahku, dan ternyata tidak terkunci. Aslan selalu mengunci pintu. Aku berjalan masuk kedalam dengan was-was. Mencari Aslan di kamarnya, ruang makan, kamar mandi, bahkan ruang mencuci. Namun aku tidak menemukannya dimanapun. Aku berjalan keluar rumah dengan panik.
Mungkin Aslan pergi ke rumah oma Ambar dan lupa mengunci pintu. Aku merjalan terburu sampai hampir terjatuh. Jantungku berdebar tak karuan. Karena jika Aslan benar berkunjung ke rumah oma Ambar. Biasanya Aslan akan menempelkan surat di depan pintu; ‘Buna, Aslan di rumah Oma’ namun aku tidak menemukan apapun disana.
Semoga Aslan lupa menempelkannya dan benar-benar sedang bersama oma Ambar.
Aku mengetuk pintu rumah oma Ambar sedikit resah, “Assalamuallaikum, Oma.”
“Waalaikumsalam, Kianna. Kirain Oma siapa. Ayo masuk.” Oma memakai jaket rajut abu-abu dan tersenyum seraya membenarkan hijabnya.
“Aslan disini, Oma?” tanyaku pada Oma seraya mengikutinya masuk kedalam.
Ku lihat pak Jeff sedang menonton TV di tengah rumah. Tempat kami berkumpul jika berkunjung kesini.
“Nggak ada.” Oma menggeleng sambil mendudukan tubuhnya di atas sofa.
Dadaku sesak sekali, rasanya mataku panas sekali mendengar jawaban Oma.
“Di Rumah juga nggak ada” aku mencicit menahan tangis sebisaku.
Oma Ambar berkerut menatapku was-was, wajahnya terkejut dan resah sama sepertiku. Oma menoleh menatap pak Jeff yang kini sudah melihat kami berdua sama bingungnya.
Seperti mengerti kami butuh penjelasan darinya, pak Jeff menghampiri kami di ruang tamu dan duduk di samping oma Ambar.
“Pulang dari butik mu, Aslan minta beli es krim dulu kemini market. Terus Aslan kasih saya satu dan dia makan satu. Kita makan di depan mini market lalu pulang kerumah. Tadi oma kesana buat anterin makan. Aslan masih dirumah.” Jelas pak Jeff.
“Nggak bilang apa-apa, Pah?” tanya Oma.
“Nggak. Sama ibu nggak bilang apa-apa waktu diantar makanan siang tadi?” pak Jeff sama khawatirnya dengan Oma.
“Nggak. Tadi dia bilang terimakasih aja, terus Ibu pulang kesini.”
Aku mengusap air mataku, “Kianna mau cari Aslan dulu, ya, Oma, Pak.”
Pak Jeff mengambil kunci motor, “Hayu, bapak anter, Na.”
Aku mengangguk dan berjalan keluar Rumah Oma.
“Hati-hati, ya. Kabari Oma, ya, Kianna.” Oma Ambar memegang tangan didadanya.
Aku mengangguk dan menaiki motor pak Jeff setelah motor itu berhasil di selah pak Jeff.
“Buna.”
Aku menoleh kesumber suara dan mendapati Aslan berdiri di depan pintu pagar Rumahku. Aku kembali turun dari motor pak Jeff.
“Buna mau kemana?”
Ruang | 2
Aslan mengangguk paham meng-iya-kan perkataan pak Jeff yang sedang menasehatinya. Aku menariknya kedalam pelukanku.
“Buna kira, Asla ilang” ucapku lega.
“Maafin Aslan, ya, Buna.” Aslan mendongakan kepalanya menatapku tulus.
Pandanganku beralih menatap Mas Aslan yang duduk di samping pak Jeff, wajah bersalahnya menatapku canggung seraya menggaruk rambut gondrongnya yang semakin acak-acakan karena itu.
“Maaf, ya, mba. Saya jadi bikin semua orang panik.” Ucap Mas Aslan.
“Om Aslan nggak salah, Buna. Tadi pas Aslan mau ke rumah Oma, Aslan liat Karin ngangkat dus dari truk. Kasian, Buna, Karin keberatan. Jadi Aslan bantuin. Eh, Buna keburu pulang.” Aslan menyela sebelum aku sempat berkomentar pada mas Aslan.
“Karin?” tanyaku pada Aslan, karena nama itu asing ditelingaku.
“Anak saya.” Jelas mas Aslan padaku.
Aku tersenyum menatap Aslan. Niat anakku baik. Aku rasa aku tidak layak marah pada siapapun karena kejadian ini.
“Iya. Nggak apa-apa. Yang penting Aslan udah sama saya, Mas.” Ucapku pada Mas Aslan.
“Kalau gitu saya pulang dulu, ya? Karin sendirian di Rumah.” Pamit Mas Aslan seraya beranjak dari duduknya.
Aku dan Aslan juga berpamitan untuk pulang karena sudah masuk waktu maghrib. Oma dan pak Jeff melambaikan tangan pada Aslan sebelum akhirnya kami masuk kedalam Rumah.
“Buna.” Panggil Aslan pelan.
“Iya, nak?”
“Muka Ayah Aslan seperti apa?”
…
Aku membalikan tubuhku menatap langit-langit. Pertanyaan Aslan tadi membuatku merinding sampai saat ini. Aku merasa bersalah karena tidak bisa menjawabnya. Aku bahkan merasa sangat bodoh karena tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku sendiri hari itu. Aku terpaksa berbohong pada anakku karena aku sendiri tidak tahu seperti apa wajah ayahnya.
Tanpa sadar, air mata sudah membasahi wajahku. Aku sangat ketakutan suatu hari nanti Aslan akan pergi dariku dan menganggapku wanita yang tidak baik karena bahkan tidak tahu siapa pria yang bertanggung jawab atas Aslan. Aku mengusap kasar air mataku. Malam ini langit terasa sangat gelap. Perasaanku berantakan. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Meskipun kehadiran Aslan diluar prediksiku, tapi aku sangat menyayanginya.
Aku beranjak dari tempatku. Mengambil wudhu dan sholat malam. Aku selalu berharap Allah bersedia mengabulkan do’a ku untuk mempertemukan Aslan dan Ayah kandungnya dengan cara yang baik.
…
“Buna hari ini ke butik?” tanya Aslan seraya memasukan wortel mentah yang baru selesai ku kupas kedalam mulutnya.
“Astagfirullah, Aslan. Itu belum Buna cuci.” Mataku terbelalak menatapnya yang dengan santai mengunyah wortel di dalam mulutnya.
Aslan menghentikan kunyahannya sekejap, kemudian melanjutkannya.
“Nggak apa-apalah, Buna. Vitamin.”
“Vitamin A.” ucapku seadanya.
“Itu buat wortel yang udah di cuci.”
“Terus kalau belum dicuci?” tanyaku serius.
“Vitamin A juga. Tapi nambah sama Vitamin J.” jelasnya.
“Apa tuh, Buna baru denger ada Vitamin J.”
“Vitamin Jorok” ucapnya kemudian disusul tawa khas dari mulut mungilnya.
“Apaan, sih, kamu! Suka ngarang.” Ucapku sambil tertawa ringan.
“Buna, hari ini kan, Aslan libur.”
“Boleh nggak?” aku memotong perkataannya dengan menebak apa yang akan Aslan sampaikan kepadaku.
“Boleh nggak, Aslan bantuin Om Aslan beres-beres? Kemaren Aslan udah janji sama Karin.” Izin Aslan.
Aku menghentikan kegiatan mengupas wortelku, “Boleh. Tapi awas jangan beresin sesuatu yang bisa pecah. Aslan tanya dulu ke om Aslan, apa yang bisa Aslan bantu.”
“Iya, Buna.”
“Hati-hati, ya?”
“Iya, Buna. Aslan berangkat. Assalamuallaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Aslan menghilang dari pandanganku, terdengar suara pintu yang tertutup dan suara gerasak-gerusuk Aslan yang berlari ke luar pagar. Hari ini hari kesukaannya. Sabtu. “Libur sebelum libur.” begitu yang dia bilang padaku.
Aku mencuci semua wortel dan memotongnya kotak-kotak. Kentang yang sudah ku kupas sebelumnya, aku ikut sertakan pula dalam satu wadah yang sama. Ku panaskan air dalam panci dan memotong bawang daun diatas talenan, sedikit seledri, dan bawang bombay. Bawang merah dan bawang putih yang sudah ku haluskan ku tumis diatas wajan kecil berbarengan dengan bawang bombay yang tadi ku potong tipis-tipis. Setelah selesai menumis, ku masukan bawang-bawangan itu pada air didalam panci yang sudah mendidih. Setelah dirasa sudah menyatu dengan air rebusan, ku masukan kentang dan wortel berbentuk dadu kedalam panci.
Aku menunggu hingga kentang dan wortel matang sebelum ku masukan bawang daun dan seledri kedalam panci, menunggunya sebentar, memasukan penyedap rasa, kemudian mematikan api sebelum menutup panci dan membiarkannya.
Aku tidak tahu pasti bahwa cara memasakku sudah benar. Namun sejauh ini Aslan selalu menyukainya. Jadi aku rasa tidak ada masalah.
…
“Buna. Rumahnya om Aslan udah rapih. Aslan mau bantuin Karin bersihin kaca belakang rumahnya. Minjem kanebo, ya?” Aslan berlari masuk kearah tempat mencuci kemudian kembali dengan kanebo di tangannya.
“Iya. Aslan jangan lari-lari, nanti kesandung.”
“Iya, Buna.” Ucapnya namun tetap berlari keluar rumah.
Aku membagi tiga sup yang sudah matang. Sup ini akan ku berikan pada Oma dan mas Aslan. Aku rasa ini cukup untuk mereka semua.
Aku membawa satu tempat kerumah Oma dan pak Jeff.
“Kamu tahu aja, Oma lagi pengen makan sup.” Ucap pak Jeff dari dalam disusul senyuman malu-malu Oma.
“Makasih, ya, Kianna. Langsung Oma makan, ya?”
“Iya, Oma, silahkan. Kianna pulang dulu, ya, Oma.”
“Kamu nggak mau makan bareng Oma?” tanya Oma.
“Nanti kesini lagi Oma. Supnya ada sedikit lagi buat Karin.” Jawabku.
“Ya udah, Oma tunggu, ya. Nanti kita makan bareng.”
Aku mengangguk dan kembali kerumah untuk mengambil satu kotak sup lagi untuk keluarga Mas Aslan. Aku juga belum berkenalan dengan Istrinya. Semoga Istri mas Aslan tidak memasak menu yang sama denganku, karena aku akan merasa tidak enak.
“Assalamuallaikum.” Ucapku sesaat setelah memencet bell pintunya.
Seseorang menjawab salamku dari dalam sebelum akhirnya pintu terbuka.
“Hai, Tante.” Seorang gadis seusia Aslan menatapku bingung dengan senyum canggungnya yang menggemaskan, “Tante, cari siapa?”
“Buna.” Aslan mamanggilku riang dari dalam rumah Mas Aslan. Kemeja kotak-kotak yang tidak dikancingkan itu terlihat acak-acakan dengan legan kemeja yang tergulung hingga siku.
Aku melihat kedalam rumah, menatap Aslan yang sedang menaiki tangga lipat sambil mengelap kaca jendela belakang rumah itu.
“Tante Kianna, Buna-nya Aslan?” tanya Karin sopan.
Aku tersenyum serya mengangguk meng-iyakan pertanyaannya.
“Kianna? Ayo masuk.” Mas Aslan muncul dari tangga dengan dus di tangannya.
Aku beralih menatap mas Aslan, “Iya, Mas. Ini saya ada sedikit sup untuk kalian bertiga.”
Karin berlari kedalam dan membantu Aslan mengelap kaca. Mas Aslan menaruh dus di lantai kemudian menghampiriku.
“Ayo masuk, Kianna.” Ucap Mas Aslan.
Aku melangkahkan kakiku dan duduk di sofa ruang tamu saat mas Aslan mempersilahkan.
“Ini, Mas. Semoga cukup untuk bertiga.”
Mas Aslan mengambil sup dari tanganku, “Terimakasih. Kianna. Kamu nggak mau makan sama-sama disini?”
“Saya sudah janji oma Ambar untuk makan sama-sama disana, Mas, terimakasih.” Tolakku halus.
“Oh, ya sudah. Nggak apa-apa. Nanti kapan-kapan kita makan sama-sama dengan oma Ambar juga.” Ajak Mas Aslan.
“Boleh, Mas.” Aku tersenyum, “Istri, Mas, mana? Saya belum kenalan dari kemarin. Akhirnya saya dan oma Ambar punya temen ngobrol baru.”
Mas Aslan terdiam sejenak, kemudian berdeham pelan, “Istri saya sudah meninggal sejak melahirkan Karin.”
Aku menyesali pertanyaanku. Siapa yang menyangka kalau mas Aslan merupakan orang tua tunggal, “Maaf, Mas. Saya nggak bermaksud.”
“Nggak apa-apa.” ucapnya.
Aku segera pamit dari sana, takut oma Ambar menungguku terlalu lama. Aku sempat mengajak Aslan untuk makan bersamaku di rumah oma Ambar, namun Aslan menolak dan ingin makan bersama mas Aslan dan Karin.
…
“Buna, Oma. Assalamuallaikum.” Suara Aslan terdengar setelah bell rumah Oma Ambar berdenting beberapa kali.
“Biar bapak yang bukain, Kianna.” Ucap pak Jeff saat aku hendak bangkit dari tempatku.
Aku mengangguk dan kembali menonton film yang baru pak Jeff download setengah jam lalu di televisi. Televisi di rumah ini cukup besar dan canggih, Anna membelikannya untuk Oma dan Pak Jeff lebaran tahun lalu.
Aslan menghampiriku di ruang tengah dan menyandarkan kepalanya ke bahuku, berbaring di karpet bersama aku dan oma Ambar.
“Cepek, nak?” tanyaku mengelus pelan kepalanya.
“Lumayan.” Ucapnya santai.
“Udah rapih rumahnya?” oma Ambar seraya beranjak berjalan ke dapur.
“Udah, Oma. Udah bersih juga sekarang wangi.” Aslan ikut menonton film yang sedang kami tonton.
“Udah makan, nak?” tanyaku mengingat Aslan tidak makan bersamaku hari ini.
“Udah, Buna. Tadi barengan sama Karin, sama Om Aslan.”
Oma Ambar kembali dengan segelas jus jeruk di tangannya, “Nih, Oma buat untuk Aslan. Biar seger lagi abis bantuin Aslan satu lagi.”
“Wah.” Aslan menerima segelas jus dari oma Ambar dengan riang, “Makasih, ya, Oma.”
Oma Ambar hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
“Kita panggil Aslan yang baru, Al aja. Pusing bapak dengernya. Ada dua jadi bingung.” Pak Jeff merebahkan tubuhnya diatas sofa ruang tengah.
“Iya, oma juga suka bingung jadinya kalau cerita. Aslan bantuin Aslan beres-beres rumah Aslan.” Oma memberikan contoh kebingungan yang dirasakannya.
“Buna nanti malem, Om Al ngajakin Aslan jalan-jalan sama Karin. Boleh nggak?”
Aku menoleh menatap Aslan yang menatapku penuh harap.
“Kemana?”
“Nggak tau, deh, Buna. Katanya, mumpung besok libur.”
“Boleh aja. Tapi jangan nakal, ya, Aslan. Jangan bikin om Aslan susah.” Ucapku mengingatkan.
“Om Al, Buna. Kan kata pak Jeff di ganti biar nggak bingung.”
“Iya. Aslan jangan bikin Om Al susah, ya, nak.”
“Siap, Buna.”
…
“Kamu nggak ikut?” tanya mas Al saat menjemput Aslan di depan rumahku.
“Nggak, Mas. Aslan aja.” Ucapku.
“Ikut aja, yuk!” ajak mas Al, “Atau kamu ada kerjaan?”
Aku menimang-nimang apa yang sebaiknya aku katakana pada mas Al, dan keputusan apa yang sebaiknya aku ambil.
“Buna ikut aja.” Ucap Aslan seraya memakai sepatu convers di kakinya.
“Nggak, Aslan aja, ya? Buna mau belajar ngejait sama Oma Ambar.” Ucapku berbohong.
“Oma Ambar mau kerumah sodaranya sama pak Jeff. Kamu bohong, ya?” tanya mas Al.
Aku tersentak seketika, perasaan tidak enak seakan datang dan menguasai hatiku saat itu juga.
“Saya.” Ucapanku terpotong saat Aslan memegang tanganku dengan kedua tangannya.
“Udah, Buna. Hayu ikut aja.” Mohonnya.
“Hayu tante. Kita main sama-sama.” Ucap Karin yang tampak imut dengan rambut yang tergerai kebelakang punggungnya.
“Buna harus ganti baju dulu, loh. Nanti kalian kemaleman.” Ucapku berdalih.
“Nggak apa-apa. Kamu nggak lama, kan, kalau ganti baju? Lagian kamu juga nggak pernah make-up, jadi nggak akan lama. Ayo sana kami tunggu.” Mas Al melihat jam ditangannya.
Aku mengangguk terpatah kemudian pamit untuk mengganti pakaianku.
Tidak butuh waktu lama, aku selesai dan keluar rumah. Aku mengunci pintu sebelum menghampiri Karin, Mas Al, dan Aslan di depan pagar rumahku.
“Udah siap?” tanya mas Al.
“Sudah, mas.” Jawabku.
Kami segera memasuki mobil hitam mas Al yang terparkir di depan rumahnya. Aku segera duduk dikursi belakang sebelum Karin meminta duduk bersama Aslan di kursi belakang.
“Karin mau duduk sama tante Kianna aja dibelakang.” Ucap Karin menoleh kebelakang menatapku dan Aslan berbarengan.
“Aslan mau duduk sama Ayah, nggak?” tanya Karin.
Aku menatap Aslan yang tersenyum lebar kemudian menyanggupi permintaan Karin untuk duduk di samping mas Al.
“Aku disini, ya, tante?” tanya Karin meminta izinku.
“Iya, Karin.”
Mobil berjalan pelan entah menuju kemana. Aku hanya diam dan sesekali mengobroldengan Karin. Karin bercerita banyak hal padaku.
“Ada yang mau es krim?” mas Al memarkirkan mobil di depan sebuah mini market.
“Mau, mau, mau.” Karin bersorak memeluk kursi depan yang di duduki mas Aslan.
“Aslan, mau es krim.” Tanya mas Al menatap Aslan.
“Boleh.” Jawab Aslan.
“Kianna?” mata mas Al berlih menatapku melalui kaca spion depan mobil.
“Nggak, mas.” Jawabku.
Mas Al turun dari mobil, disusul oleh Karin dan Aslan yang diminta untuk ikut oleh mas Al. Aku menunggu di mobil.
Tangan kanan mas Al merangkul putrinya, dan tangan kirinya merangkul Aslan. Aku melihat Aslan membeku saat pertama tangan mas Al melingkar di tengkuknya, namun kemudian Aslan menyambutnya dan memeluk pinggang mas Aslan dengan tangan kanannya.
Entah mengapa, perasaanku berantakan hari ini. Seharusnya, Aslan merasakan semua hal seperti itu sejak kelahirannya. Seharusnya Aslan tahu seperti apa wajah ayahnya. Ya Tuhan, izinkan Aslan dan Ayahnya bertemu dengan cara yang baik.
Description: Aku adalah seorang ibu yang tidak bisa mempertemukan anakku dengan ayah kandungnya. Bukan karena aku jahat, namun aku sediri tidak tahu pasti siapa yang pantas ku tuntut untuk bertanggung jawab. Aku benar-benar tidak sadar waktu itu.
Aku bahkan melarikan diri dari semua orang yang kukenal kerena kehamilanku dahulu. Aku memang egois. Aku tidak ingin di temukan, terutama oleh dirinya. Aku tidak ingin menyakitinya lebih dalam lagi karena tahu aku gagal menjaga diriku sendiri. Biar saja dirinya menganggapku bersalah dan membenciku selamanya.
Aku tidak bisa menyalahkan siapapun, karena aku bahkan tidak mengingat apapun pada hari kejadian.
Aku hanya harus bersembunyi dan lari. Aku tidak ingin ditemukan terutama oleh dirinya, orang yang sangat berarti bagiku; Shean Adiprana.
|
Title: Rambut Putih Mamak
Category: Cerita Pendek
Text:
Rambut Putih Mamak
Hari ini aku pulang, setelah semalaman merasakan kerinduan yang amat. Rindu itu tetiba menyeruak. Rindu dengan usapan lembut Mamak. Rindu dengan obrolan hangat bersama Mamak. Rindu wedhang teh buatan Mamak. Ingatan tentang Mamak tetiba menari-nari dalam kepalaku. Dan hari ini, rindu itu telah tertunaikan. Aku bertemu dengan Mamak.
“Eh, anak wedhok bali kok ra ngabari?” kata Mamak setelah aku mengucapkan salam dan mencium tangannya. Aku hanya tersenyum.
“Libur to?”
“Dereng, Mak. Tapi semua pekerjaan Nania sudah selesai, jadi bisa pulang. Tapi Cuma sebentar, Mak. Nanti siang ada rapat,” kataku sambil menaruh tas di kursi.
“Yo. Kono gek maem. Lauknya tempe goreng, teri, dan sambel. Ayamnya belum matang. Lha nggak ngabari kok kalau mau pulang,” kata Mamak sambil mengambilkan segelas teh hangat.
Aku tersenyum bahagia menerima segelas teh hangat dari Mamak. Suasana inilah yang aku rindukan. Mamak yang selalu memberikan perhatian yang luar biasa. Ketika aku sakit, kalimatnya selalu bikin terharu. “Mbakmu dijemput. Kasihan kalau sakit tidak ada yang merawat. Ora cerak karo wong tuwo,” kata Mamak kepada adikku. Sedangkan aku terkadang merasa tidak enak ketika pulang dalam keadaan sakit. Jadi terkadang kalau tidak terpaksa, aku akan berobat sendiri. Tidak perlu pulang ke rumah.
“Bapak kemana Mak?”
“Di belakang, sedang bersih-bersih.”
Aku menuju ke halaman belakang. Terlihat Bapak sedang membakar sampah. Halaman belakang sudah nampak bersih. Bapak memang orang yang resikan. Waktu kecil dulu, Bapak sering menasehati agar kalau selesai bermain semua mainan harus dirapikan kembali. Ada satu lemari yang ditulisi ‘RAPI’ sebagai pengingat, bahwa kami–anak-anaknya harus selalu rapi.
“Weh, kok bali?” tanya Bapak dengan raut muka bahagia. Tidak ada raut capek yang terbaca.
“Pun rampung gaweane Pak,” kataku sembari mencium tangan Bapak. Aku menjawab seperti itu, karena ingat pesan Bapak, kalau tidak ada pekerjaan, pulang saja. Dan aku sangat suka nasehat itu.
“Pun rampung niki pak?”
“Sudah selesai semua. Sudah dibakar sampahnya,” kata Bapak sembari memberi makan ayam-ayam. Aku manggut-manggut.
“Makan dulu,” kata Bapak kemudian. Aku mengangguk.
Sepertinya tidak ada lagi yang bisa aku bantu untuk Bapak. Jadi aku kembali masuk rumah. Kembali ke ruang tengah. Mengambil nasi, tempe, teri goreng, dan sambal. Menu yang sederhana, tetapi selalu terasa istimewa. Lezatnya melebihi makan ayam di luar sana.
“Dek terinya tak habiskan ya,” kataku kepada Dania, adek perempuanku yang sedang asyik nonton televisi.
“Iya Mbak. Habiskan saja, sudah makan semua,” katanya masih asyik mantengin layar kaca.
Pulang adalah sebuah momen untuk memeluk kembali masa kecil. Menyadari bahwa masa yang paling menyenangkan adalah masa-masa ketika kita masih bocah. Banyak bermain, sedikit belajar, selebihnya makan dan tidur sesuai porsinya. Tidak ada masalah yang berarti kecuali PR sekolah yang banyak dan kadang kesulitan untuk menjawab. Itu pun akan selesai dengan mudah ketika orangtua kita mendampingi belajar.
Ingatanku tiba-tiba melayang ke beberapa belas tahun yang lalu. Saat itu aku masih SD kelas tiga. Bapak yang sejak awal mencari nafkah dengan menjadi sopir truk tiba-tiba jatuh sakit. Hingga kondisi kesehatannya tidak lagi memungkinkan untuk melanjutkan bekerja sebagai sopir truk. Waktu itu, aku masih belum benar-benar tahu apa yang terjadi di keluargaku. Yang aku tahu, Bapak mulai sering di rumah dengan kondisinya yang tidak sesehat dulu lagi. Mamak mulai rajin ke pasar, menjual telur asin yang setiap hari dibuat. Sedangkan aku dan kakak-adikku mulai akrab lauk telur asin. Uang saku juga mulai terbatas. Kami bertiga tidak protes, karena setiap ada kesempatan, Mamak selalu memberi pengertian kepada kami.
Pernah, Aku dan Mbak Rania juga membantu Mamak dengan berjualan kacang bawang dan sambal kering di sekolah. Kata Mamak, keuntungannya boleh dipakai untuk jajan. Tapi aku dan Mbak Rania tidak pernah melakukan itu. Saat itu juga, kami mulai mengurangi jajan. Hingga suatu hari, Mamak memutuskan untuk bekerja di rumah Pak Camat. Membantu pekerjaan rumah Bu Camat yang kemudian kami akrab memanggil beliau degan Bu Dina. Sepasang suami istri itu adalah orang yang sangat baik. Bu Dina tidak pernah menganggap Mamak sebagai orang kecil, bahkan Bu Dina sangat memperhatikan kelangsungan hidup keluarga kami. Setiap sore, Mamak selalu pulang dengan membawa sayur dari rumah Bu Dina. Sayur dan lauknya macam-macam. Tidak jarang kami makan ikan ataupun daging. Masakan apa yang ada di rumah Bu Dina, juga selalu ada di rumah kami.
Bapak masih sakit. Diagnosis terakhir adalah rematik akut. Belum bisa untuk bekerja kembali. Hingga tiga tahun kemudian, Pak Camat dipindahtugaskan. Keluarga Pak Camat sudah terlanjur merasa nyaman dengan Mamak,begitu pula dengan keluarga kami. Saat kelas tiga SMP, berangkatlah Mamak ke ibu kota, ikut pindah bersama Bu Dina.
Saat itu adalah saat-saat terberat dalam hidup kami. Terlebih bagi Mamak. Menjadi pembantu memang bukanlah hal yang dilarang. Tapi hal itu cukup membuat kami merasa menjadi orang yang tidak memiliki derajat. Pun begitu, Mamak selalu bersemangat untuk tetap menjalani hari-hari. Mamak juga terus menyemangati kami, anak-anaknya. “Tidak apa-apa Mamak bekerja seperti ini. Kalian harus sekolah yang pinter. Biar jadi orang. Dan kalau sudah jadi orang, jadilah seperti Pak Camat.” Kalimat itu selalu terngiang di telinga dan pikiran kami, anak-anak Mamak. Tidak ada hal lain yang kami lakukan selain belajar, menyelesaikan pekerjaan rumah, dan pergi ke TPA untuk membantu adek-adek belajar mengaji.
“Kok sambil melamun, makannya,” kata Mamak tiba-tiba mengagetkanku.
“Hehe Nania tidak melamun, Mak,”
“Tidak melamun bagaimana? Lha wong itu lauknya sudah habis kok. Makan nasi thok tidak terasa? Sana ambil lauk lagi,” kata Mamak. Aku hanya meringis. Sial. Mamak tahu kalau aku melamun.
“Melamunkan apa to, Nduk?”
“Tidak ada Mak. Hanya sedikit berpikir tentang pekerjaan,” kataku berbohong.
“Pekerjaan itu nggak usah dipikirkan. Dikerjakan.” Aku hanya tersenyum sambil memandang Mamak. Tidak banyak yang berubah dari Mamak, kecuali rambutnya yang mulai memutih. Mungkin juga tenaganya yang tidak lagi sekuat dulu. Mungkin juga kesehatannya yang tidak sebaik dulu. Mungkin juga penglihatannya yang tidak secermat dulu. Mungkin memang sudah banyak yang berubah dari Mamak. Tapi Mamak tetap saja ingin menunjukkan bahwa dirinya masih sekuat dulu. Dirinya masih sesehat dulu. Tidak ada yang berubah. Tapi, apakah iya?
Selesai makan, aku menuju belakang. Menjemur pakaian yang sudah selesai dicuci Mamak. Terkadang aku sedih. Di usia Mamak yang tidak lagi muda, Mamak masih melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah sendiri. Sedangkan aku, berada jauh darinya. Belum bisa menggantikan perannya.
“Alhamdulillah ya Nduk, kehidupan kita sudah lebih baik,” kata Mamak ketika aku selesai menjemur dan duduk di sampingnya. Mamak sedang menguliti melinjo. Biasanya melinjo itu akan dibikin emping melinjo. Mamak biasanya membagikan kepada tetangga. Kalau tidak, menyuruh aku menggoreng untuk dibuat oleh-oleh untuk teman-temanku. Atau, diberikan kepada kakakku, untuk dibawa pulang ke rumahnya.
“Iya Mak. Ini sudah jauh lebih baik. Terimakasih Mak. Kalau Mamak dulu tidak kuat, belum tentu kita sampai di titik ini,” kataku sambil memeluk Mamak.
“Terimakasih juga Nduk, kamu sudah menjadi anak yang nerimo. Tidak pernah mengeluh sesulit apapun kondisi kita. Tidak pernah protes, ketika uang sakunya sedikit. Tidak pernah mengeluh ketika harus kuliah dengan sepeda onthel. Semoga Gusti Allah selalu melindungimu,” kata Mamak tulus. Aku menangis di dalam pelukannya.
Description: Nania, seorang anak yang tinggal jauh dari orangtua. Nania selalu menyimpan rindu kepada Mamaknya. Suatu hari, Nania pulang. Menunaikan rindunya. Saat itu juga, Nania tetiba teringat dengan perjuangan Mamaknya. Hingga Nania kembali ke masa lalunya. Kemudian tersadar, ternyata Mamak sudah jauh berubah.
|
Title: RUMPANG
Category: Novel
Text:
Akhir
Tentang sebuah pilihan, kehilangan sesuatu pasti akan menambah ruang untuk diisi dengan sesuatu yang baru. Namun tidak semua ruang yang tersisa bisa menerima apa yang datang. Ada yang sama sekali tidak memberi celah, ada yang memberi sedikit sekat dengan harapan kepulangan, ada pula yang menerima seutuhnya dengan sebuah keikhlasan, dan akan tetap ada yang tidak bisa menerima dan membiarkannya tetap "rumpang".
Aku duduk disamping seseorang yang kusebut Rean. Seseorang yang masih saja tak pernah mau mendengarkan perkataanku, terlebih terlalu banyak hal yang kuminta.
Misalnya untuk tidak terus menerus mengikutiku, untuk tidak setiap saat menanyakan apa yang sedang aku lakukan, menanyakan bagaimana kabarku? Bagaimana dengan kuliahku? Bagaimana tentang keseharianku yang lain?
Aku bukan saja lelah untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu, tapi juga merasa tak seharusnya ia melakukan hal itu.
Jingga menjadi saksi atas kebisuan saat ini, kuperhatikan hamparan air didepanku yang turut membisu mengalir begitu tenang, juga angin yang berhembus pelan membawa wangi yang begitu kukenal dari tubuh seorang lelaki disampingku yang sedang membisu.
"Aku tahu ini sangat terlambat Yan, tapi memang ini yang aku inginkan sejak dulu"
Aku memecah keheningan diantara kami, iya ini sudah saatnya harus diakhiri. Semua perasaan yang tak pernah jelas untuk siapa. Lebih tepatnya perasaanku.
"Sejak dulu katamu? Ya Tuhan aku bahkan sejak dulu kamu abaikan Ree"
Ia terlihat kacau, mengacak-acak rambut hitamnya yang menjuntai hampir menutupi mata.
Iya menatapku, namun aku tak mampu menatap mata itu; mata yang semakin sendu.
"Kamu tau Ree? Aku sudah mengetahui semuanya sebelum kamu ceritakan Ree. Bahkan aku tau siapa seseorang yang tak pernah lepas dari ingatanmu itu. Itu kan penyebab kamu minta aku berhenti sampai disini?"
Katanya telak menikamku. Jantungku tak lagi seirama, kaca-kaca dimataku perlahan luruh menjadi rinai dipipi. Padahal aku sudah menyiapkan hati untuk tegar, menyiapkan banyak sekali jawaban sebelum pertemuan ini, namun aku gagal.
Semua ikut luruh bersama air mata. Aku tidak menyangka bahwa serumit ini akhirnya, serumit ini untuk melepaskan beban yang selama ini seperti benang kusut dalam fikiranku.
"Kalau itu yang kamu mau, tak apa. Aku akan pergi" Katanya.
Belum sempat aku menjawab ia sudah meninggalkanku, benar-benar meninggalkanku.
Sesegukan aku menangis, entah menangisi apa. Menangisi kepergiannya kah, atau menangisi kesalahanku.
Iya ini salahku, salah karna aku tak pernah bicara sejak awal jika hati ini masih tetap dimiliki orang lain, salah karna membiarkan ia memberi hatinya padaku padahal aku tidak tau harus menyimpannya disebelah mana jika relung ini sudah terisi dengan hati yang lain.
Aku berjalan mengikuti langkahnya, kuhapus air mata yang enggan mengering. Danau dengan air yang mengalir tenang itu sudah jauh tertinggal bersama air mata. Bersama kenangan tentang sebuah pengakuan.
Pengakuan bahwa hati ini yang telah bersamanya selama dua tahun tidak pernah terisi namanya. Justru mengekang nama yang lain, yang entah sampai kapan akan terus begitu.
Pengakuan bahwa rasa yang selama ini bukanlah cinta. Melainkan perasaan kasihan atau malah sebuah pelarian untuk belajar melupakan; namun gagal.
"Ree, apa tidak mungkin kita memulai dari awal lagi Re? Kita coba lagi"
Katanya beriringan dengan hembusan angin yang semakin kencang, senja telah meredup berganti remang menuju malam. Dingin perlahan merasuk melalui sela jaket yang aku kenakan.
Aku dan Rean menuju pulang, ditemani sesak yang didada masing-masing.
"Bagaimana jika aku gagal lagi Yan. Sudah cukup semua sakit yang kamu rasakan"
"Ree, tidak akan ada rasa sakit lagi jika kamu bisa melupakannya Ree."
Banyak sekali huruf-huruf yang menari dalam fikiran, terkadang tersusun rapi membentuk kata iya. Namun terkadang tersusun dengan begitu banyak alasan-alasan penolakan.
Bagaimana jika dia datang dan aku tidak ada. Bagaimana jika dia sudah siap memberikan hatinya dan siap menerima hatiku namun hati ini terlanjur kuberikan kepada yang lain? Bagaimana jika suatu saat ia kembali dan aku sudah menjadi tempat pulang bagi hati yang baru? Bagaimana jika dan jika yang lain terus saja berkeliaran didalam kepala.
"Tidak bisa Yan"
Kemudian hening. Tiada kata yang mampu terucap dari bibirnya. Entah bagaimana dengan isi kepalanya, entah bagaimana dengan isi hatinya.
"Terimakasih, untuk hari ini"
Kataku ketika sampai didepan kontrakan milikku.
"Iya, saya pulang."
Tiada lagi perbincangan seperti biasa ketika ia baru saja mengantarkanku pulang. Tidak ada lagi senyum yang ia berikan untukku.
Ketika memilih keputusan untuk mengakhiri, harus siap dengan apapun yang akan diterima. Sekalipun itu luka yang menyakitkan.
(Hallo, selamat membaca. Yuk sama-sama bantu berikan masukan dengan cara komen, dan like yaa. Jangan lupa untuk follow akun ig saya @zasenja)
Update setiap hari senin & kamis yaa
Description: Sepuluh tahun yang lalu ada sebuah rasa yang begitu menyita banyak sekali kata, sehingga saya tak bisa mengungkapkan apa-apa.
"Sejak sepuluh tahun yang lalu rasa itu masih saja bersemayam begitu tenang dalam jiwa"
Kemudian tiga tahun setelahnya kepada seseorang yang berbeda saya bisa menyampaikan dua kata yang sampai saat ini tidak pernah memiliki kata pengganti untuknya "saya kecewa".
Dan dua tahun berikutnya seseorang kembali datang dengan begitu banyak kosa kata yang ingin ia sampaikan, membuat saya mengerti bagaimana caranya berbicara tentang sebuah rasa, namun ia tak menyadari bahwa terlalu penuh kata yang ia ungkapkan hingga ia lupa bahwa saya juga perlu didengarkan. Pada akhirnya mereka semua membuat saya mengerti bahwa tak mengapa sebuah rasa tidak diungkapkan dengan kata-kata.
|
Title: Reinkarnasi
Category: Novel
Text:
Prolog Reinkarnasi
Prolog Reinkarnasi
Pandangan mata Shinta membentur sesosok tubuh yang terikat di sebuah tiang dari kayu ulin raksasa, yang ukurannya mungkin sebesar dua kali pelukan manusia dewasa. Sosok yang terikat itu adalah tubuh seorang wanita cantik tetapi sepertinya sangat tidak berdaya. Shinta memperhatikannya dengan lebih seksama, ternyata dia mengenali wajah wanita itu.
"Kak Paskalia...! Kak Paskalia...!" Teriaknya. "Mengapa tubuhmu terikat?"
Tapi anehnya, Paskalia sepertinya sama sekali tidak mendengar panggilannya. Yang lebih anehnya lagi, orang-orang yang ramai berkerumun di sana itupun tidak ada yang mendengar suaranya. Bahkan sepertinya mereka tidak menyadari akan kehadirannya di tengah-tengah mereka.
Dia kembali lagi memandang ke arah Paskalia yang terikat di tonggak kayu ulin raksasa itu, tubuh itu terlihat terkulai lemah dan juga sangat kelelahan. Shinta memperkirakan jika Paskalia sepertinya sudah lama terikat di tiang itu dengan posisi berdiri seperti itu.
Shinta berniat menyelamatkannya dengan berusaha berlari ke tempat Paskalia terikat, tetapi kedua kakinya terasa tidak mampu lagi digerakan lebih dekat. Bagaimanapun dia mencoba, tetap tidak bisa. Akhirnya dia hanya bisa menatap Paskalia yang terikat tidak berdaya di tiang itu dengan perasaan sedih melihatnya tak berdaya semntara dia sendiripun tidak bisa menolongnya.
Karena tidak bisa bergerak dan berteriakpun tidak ada yang mendengar, Shinta kembali teringat bagaimana tadi dirinya bisa berada di tempat asing ini. Awalnya Shinta merasa dirinya menembus ruang dan waktu dengan kecepatan tinggi, tetapi matanya sama sekali tidak melihat apa-apa atau tidak berfungsi?
Tubuhnya terasa melesat menembus sebuah dimensi yang hampa dan dingin yang membuatnya memipih tetapi sama sekali tidak sakit dan selang beberapa lama kemudian dirinya sepertinya terjatuh di sebuah lokasi yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya.
Sepertinya dia berada di sebuah pemukiman di suatu tempat dalam dunia purba, karena cara berpakaian dan apa pun yang ada di situ sepertinya sangat asing bagi dirinya. Sepertinya semuanya dalam keadaan primitif dan sama sekali tidak ada teknologi modern di situ.
Sekarang ini sepertinya dia berada di sebuah kampung purba, tetapi orangnya cukup ramai dan sepertinya jumlahnya ribuan. Laki-laki, perempuan dan anak anak ramai berkeliaran ke sana kemari. Laki-laki dewasa berjalan petantang petenteng sambil membawa senjata yang digantung di pinggang, tetapi sebagian juga terhunus dan bentuknya seperti pedang tetapi hanya tajam sebelahnya saja, ada juga yang menenteng tombak terhunus.
Kaum wanitanya memakai penutup kepala seperti caping, tetapi dengan ukurannya jauh lebih lebar dan di bagian atas termasuk semua tepinya dihiasi dengan motif-motif etnik yang sering dilihatnya di pertunjukan televisi.
Sementara kaum lelakinya mengunakan hiasan kepala dari bagian kepala enggang dan berhiaskan bulu burung ruwai dan bagian untuk melekatkannya pada kepala sepertinya dari anyaman rotan yang juga penuh motif etnik. Wajah-wajah mereka begitu garang dan mengerikan, sama sekali tidak ada keramahan di wajah mereka. Bahkan sepertinya mereka sedang marah dengan memandang ke arah Paskalia yang sedang terikat tidak berdaya itu.
Beberapa saat kemudian, terlihat kerumunan orang itu berjalan menuju ke tempat Paskalia terikat, melepaskannya dari ikatan di tonggak itu tetapi selanjutnya mengikat kedua tangan dan kakinya sehingga dia tidak bisa melepaskan diri. Kemudian secara beramai-ramai mereka mengangkat dan membawa tubuh Paskalia yang terikat itu ke suatu tempat.
Dan anehnya, sekarang Shinta lalu bisa menggerakan kakinya kembali. Tanpa menunggu lebih lama dia langsung mengikuti tujuan orang-orang itu. Entah bagaimana, sekarang dia merasa tubuhnya begitu enteng bahkan cenderung melayang mengikuti kerumunan itu berjalan menuju ke suatu tempat.
Rupanya tubuh Paskalia di bawa menuju ke sebuah lubang yang cukup dalam. Lubang itu masih baru, karena tampak jelas tanahnya masih berwarna kuning kemerahan. Lebarnya sekitar satu meter setengah dan dalamnya sekitar tiga meter. Kerumunan manusia lainnya mengiringi mereka yang membawa tubuh Paskalia itu dengan bersorak sorai dan mengeluarkan kata-kata dalam sebuah Bahasa yang sama sekali tidak di mengerti oleh Shinta.
Mereka juga melakukan gerakan tarian yang aneh dan belum pernah dilihatnya. Mereka berteriak riuh rendah, di pinggang tergantung senjata dengan segala asesoriesnya. Tangan mereka ada yang memegang perisai dan ada juga yang menenteng tombak pusaka. Semuanya tampak waspada dan beringas. Lalu mereka secara beramai-ramai membuat gerakan mengelililingi lobang besar itu sebanyak tujuh kali disertai sebuah alunan suara yang asing tadi dengan nada panjang dan diakhiri sebuah teriakan serentak yang keras membahana.
Tak lama kemudian tubuh Paskalia dilemparkan ke dalam lubang itu dan sama sekali tidak ada terikan kesakitan dari paskalia. Shinta tidak tahu apakah dia memang sengaja menahan sakitnya atau suaranya sudah tidak bisa keluar lagi? Sesaat berikutnya beberapa orang laki-laki dengan tubuh kekar tetapi bertelanjang dada yang penuh tato mengangkat sebuah tiang yang sebesar satu kali pelukan orang dewasa dan panjangnya lebih dari tiga gagang tombak. Kayu itu penuh ukiran dengan nilai seni tinggi.
Setelah mendekati lobang di mana tubuh Paskalia tadi telah mereka lempar ke dalam, tiang besar itu lalu dihunjamkan ke dalam lubang itu dan hunjaman tiang itu mengeluarkan suara dentuman yang cukup kuat sehingga bumi bergetar. Bersamaan dengan lenyapnya suara dentuman tiba-tiba darah segar memuncrat ke atas dan menyirami orang-orang yang berada di sekitar lubang.
Mereka tertawa dan bernyanyi serta berteriak dengan gembira, seolah-olah apa yang mereka lakukan itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan melepaskan diri mereka dari suatu azab yang sangat mereka takutkan.
Mereka menggosok darah yang muncrat dari dalam lobang yang mengenai tubuh mereka ke seluruh bagian tubuh mereka yang lainnya. Mereka bereriak dan bernyanyi bahkan meloncat-loncat senang. Malahan ada banyak yang menggosok darah itu ke seluruh wajah mereka seperti gerakan membasuh dengan air.
Bersamaan dengan itu, terjadilah petir dan angin ribut. Tak lama kemudian hujan turun seperti dicurahkan dari langit. Suara petir sambung menyambung dan angin ribut laksana ribuan siluman mengamuk. Rupanya alam ikut bersedih karena perbuatan mereka itu sebenarnya memutuskan tali kasih dua anak manusia dipisahkan oleh kekejaman adat istiadat untuk menjaga sebuah gengsi yang sia-sia.
Hujan turun begitu derasnya selama tujuh hari tujuh malam, sehingga membuat banyak gunung dan tebing yang longsor dan roboh. Sungai meluap dan menghancurkan pinggirannya. Rumah-rumah penduduk yang berada di tepi sungai, banyak yang terseret air sungai yang deras dan meluap karena derasnya air.
Bahkan saking derasnya tiupan angin, maka banyak rumah yang roboh, bahkan ribuan batang pohon yang berada di dekat pemukiman itu tumbang dan sebagian terbawa arus air yang begitu deras.
Selama tujub hari tujuh malam itu matahari sama sekali tidak kelihatan oleh tebalnya mendung yang menutup daerah itu, sehingga orang-orang tidak ada yang berani keluar. Bahkan mereka tidak ada yang berani untuk membantu orang-orang yang mengalami musibah, karena sambaran petir yang menggelegar dan sambung menyambung itu bisa mengancam nyawa mereka.
Angin badai yang melanda begitu deras, petir yang sambung menyambung dan hujan yang turun terus menerus, serta cuaca yang gelap gulita siang dan malam membuat bencana alam yang terjadi dan korban manusia sama sekali tidak bisa diperkirakan jumlahnya.
***
Pembaca yang budiman, Selamat membaca. Jika suka, jangan lupa like dan share ya. Terima kasih. Jangan lupa nikmati juga novel lainnya dari penulis yang sama.
Bis Malam Pontianak-Sintang
Adrian menghempaskan pantatnya di jok bis malam yang akan membawanya pulang ke kota kelahirannya. Udara di dalam bis terasa panas, sumpek dan penuh oleh asap rokok.
Memang serba salah, pikir Adrian. Kalau rokok tidak di produksi, tidak bisa dibayangkan berapa ratus ribu orang yang akan kehilangan pekerjaan. Berapa juta perut yang akan kosong. Berapa ratus milyar devisa negara yang hilang. Para konglomerat rokok dan keluarganya jadi tidak bisa naik mobil mewah ber-AC dan hidup berkelimpahan.
Selain itu juga, para penikmat dari hasil usaha pabrik rokok, tidak bisa buang-buang uang di meja judi. Banyak orang tidak bisa bersenang senang dengan gadis penghibur. Banyak orang tidak bisa melakukan sejuta kesenangan duniawi di atas penderitaan orang lain.
Tapi kalau rokok masih diproduksi, maka polusi udara yang terjadi di mana-mana tidak hanya mencemari para perokok saja. Bahkan orang yang tidak merokokpun di paksa untuk ikut merokok, karena mau tidak mau mereka ikut menghisap asap rokok yang dihembuskan oleh orang yang merokok. Justru para perokok pasif inilah yang paling banyak menanggung akibat buruk dari ribuan zat perusak tubuh yang terkandung dalam asap rokok. Betul-betul buah simalakama.
"Bang...Bang!. Numpang tanya dong, bangku nomor lima belas yang mana sih?" Terdengar sebuah alunan suara halus lembut bertanya kepada kondektur bis.
Adrian menoleh ke arah suara itu. Tubuh si pemilik suara tersebut di bungkus T-Shirt putih dan celana jeans ketat warna biru langit. Karena dia membelakangi Adrian, maka jelas terlihat merknya, Levi's. Suatu saat wajahnya kebetulan menghadap ke arah Adrian.
"Astaga...," Desis Adrian kaget. Ternyata si pemilik tubuh tersebut adalah seorang gadis Tionghoa keturunan yang sangat cantik. Wajahnya putih bersih bak pualam tanpa sebutir jerawatpun. Rambutnya panjang terurai sebatas pinggang dan jatuh dengan lembut di bahunya. Bagian atas rambutnya di jepit dengan jepitan berbentuk kupu-kupu warna biru laut.
Kondektur bis celingukan sebentar kemudian menuju ke arah Adrian dan mengangkat penutup kursi di dekat tempat duduknya.
"Ini lho, Moy!" Katanya menepuk kursi kosong tepat di samping Adrian. Kondektur bis memanggil gadis itu dengan 'Moy' yang merupakan singkatan dari Amoy, suatu sebutan umum bagi gadis- gadis WNI keturunan Tionghoa.
Gadis itu berjalan ke kursi yang dimaksud. Dia melemparkan senyum cerah yang manis kearah Adrian. Ya ampun, giginya berbaris rapi seperti biji mentimun di belah. Tidak seperti kebanyakan gadis Tionghoa di Kalimantan Barat yang sering tidak bergigi dan di ganti dengan gigi palsu. Adrian yakin betul, gigi gadis ini asli.
Alisnya lebat berbentuk bulan sabit. Hidungnya kecil mancung dengan cuping yang bergerak-gerak. Dagunya agak lancip dengan bibir yang kecil dan tanpa di polesi pemerah. Tapi warnanya sudah merah alami. Dia duduk dengan terlebih dahulu mengangguk kearah Adrian. Luar biasa, seperti bintang film saja. Entah mimpi apa Adrian semalam, kok bisa mendapatkan teman duduk yang begini cantik.
"Panas sekali ya" Celetuknya seraya membuka jaket kain parasut yang di pakai tetapi retsletingnya tidak dikancingkan. Tangannya tampak jelas berkulit putih mulus dengan bulu- bulu halus memanjang.
Sungguh cantik dan menarik. Juga merangsang.
Otak kotor memang. Syukur orang lain tidak tahu apa yang ada di hati sesamanya. Kalau sempat tahu, berabe. Pikir Adrian. Dalam hati Adrian sempat juga mengumpat. Kok malahan dia yang membuka pembicaraan, ya?.
"Mungkin mau hujan dik." Kata Adrian. "Adik mau kemana?"
Gadis itu menyebutkan kota tujuannya seraya memperbaiki tempat duduknya. Ternyata tujuan mereka sama. Nanga Pinoh.
Tempat duduk itu memang pas sekali untuk dua orang, sehingga tanpa bisa dihindari tubuh mereka saling menempel.
"Teman adik mana? Tanya Adrian lagi. Karena dari tadi Adrian tidak melihat orang mengantarnya. Mustahil gadis ini berani naik bis malam sendirian.
"Teman yang mana sih, Bang?. Katanya kebingungan. "Nggak ada kok. Saya sendirian saja." Jawabnya seraya menatap wajah Adrian. Mukanya jelas sekali terkena cahaya lampu bis.
"Adik tidak takut naik bis malam sendirian?.
Sebuah senyum tersungging. "Hiya sih, tapi saya harus pulang malam ini."
Ada kemauan di hati Adrian untuk menanyakan keperluan pulangnya yang sepertinya mendesak sekali. Tetapi itu sungguh tidak sopan. Terlalu mencampuri urusan orang namanya.
"Adik asli orang sana?."
"Uk uu...!"
"Sudah lama di Pontianak?"
"Belum Bang. Baru beberapa hari."
Adrian tidak melanjutkan pertanyaannya. Karena mesin bis sudah dihidupkan. Para penumpangpun sudah naik semuanya. Adrian melirik jam tangannya, pukul 19.46. Padahal di tiket bis berangkat pukul 19.00. WIB.
Tinggal dua orang penumpang lagi yang belum naik. Yaitu di kursi tepat di depannya.
Ketika bis mulai bergerak, Adrian melihat orang yang di depannya buru-buru naik, dan astaga. Ternyata orang tersebut sangat gendut, dan rupanya dua buah bangku itu hampir penuh olehnya sendiri. Tampaknya di booking semua olehnya.
Bis malam itu sudah mulai keluar dari terminal Gajah Mada, bergerak perlahan memasuki jalan Tanjungpura. Dugaan Adrian segera akan turun hujan ternyata salah. Meskipun sore tadi langit sangat mendung dan cuaca panas. Justru malam ini langit bertaburan jutaan bintang dan di antara kelap-kelip cahaya bintang, sinar bulan semburat keputihan memandikan bumi.
Setelah berbelok memasuki jalan tol, bis melaju dengan kecepatan tidak kurang dari 100 kilometer perjam, melesat meninggalkan gemerlapan cahaya lampu malam kota Khatulistiwa. "Tak enak tempat duduknya, Dik?" Tanya Adrian ketika melihat gadis yang duduk di sampingnya sering memperbaiki posisi duduknya.
"Ya Bang. Kursinya tidak bisa disetel lagi ya."
"Sepertinya tidak bisa lagi tuh." Desis Adrian sambil memperhatikan kursi yang diduduki gadis itu. Sebab bagian belakang kursinya terhalang tiang yang menopang atap bis.
"Tukar saja sama abang, mau?."
"Abang bagaimana?"
"Ndak apa-apa. Nanti abang saja yang duduk di tempat kamu. Okey?"
"Ma kasih, Bang." Katanya setelah mereka bertukar tempat duduk.
"Sama-sama." Kata Adrian seraya melirik ke kiri.
Gadis itu duduk di sebelah kiri Adrian sekarang. Di dekat dinding bis. Anak rambut di dekat kupingnya menari-nari dipermainkan angin malam. Kursinya di setel lebih miring, membaringkan tubuh dan memejamkan matanya. Gadis ini sepertinya lelah sekali. Sungguh, gadis ini cantik sekali. Beruntunglah lelaki yang bisa mendapatkannya nanti, gumam Adrian dalam hati.
Deru bis membelah malam, laksana musik misteri mendatangkan sejuta khayal. Adrian teringat akan kisah cintanya yang berkali-kali putus. Adrian tidak tahu apa sebabnya. Mungkin benar kata teman-temannya kalau Adrian terlalu alim. Sebab selama ini dia tidak mau menyentuh pacar-pacarnya. Dia punya prinsip, akan menyentuh pacarnya kalau mereka sudah syah jadi isterinya. Tapi sekarang ini susah mencari wanita yang mempunyai prinsip seperti itu. Sudah bukan jamannya untuk menjaga kesucian cinta, kata kawannya.
Ada di antara para pacarnya yang mengatakan dia sok suci. Ada juga yang merasa tidak pantas untuk mendampingi Adrian, sebab dia seorang laki-laki yang terlalu bersih untuk mereka. Namun ada juga yang kecewa karena nafsu birahi mereka tidak dipenuhi oleh Adrian.
Memang hal ini dapat Adrian buktikan. Karena hampir semua gadis tingkatan SLTA ke atas yang pernah di lihatnya, sudah tidak perawan lagi. Bahkan sekarang anak-anak SD saja sudah banyak yang tidak perawan.
Sebenarnya maksud Adrian itu, walaupun mereka sudah tidak perawan lagi, tetapi dia tidak mau mengajak mereka berhubungan seks sebelum nikah.
Kesalahan mereka akan dia maafkan, asalkan setelah menikah dengan dirinya, mereka harus berjanji tidak akan mengulangi perbuatan mereka itu. Baik dengan orang yang pernah berhubungan intim dengan mereka, maupun dengan orang lain yang mengajak mereka. Tetapi satu per satu para pacarnya itu meninggalkan dirinya. Sehingga sekarang dia jadi seorang diri lagi.
Hempasan-hempasan bis pada jalan berlubang laksana gelombang yang menina bobokan. Tubuh terayun-ayun mengikuti bis yang meliuk kiri dan kanan menyusuri tikungan jalan.
Jarak Pontianak Sintang hanyalah 400 kilometer saja. Sebenarnya kalau kondisi jalan seperti di pulau jawa, jarak sejauh itu bisa di tempuh dalam lima jam perjalanan. Tetapi karena jalan di Kalimantan banyak bopeng dan bisulnya, maka jarak sejauh itu di tempuh selama sepuluh jam.
Adrian merasakan dirinya berada di puncak gunung. Lalu Adrian merasakan dirinya pandai terbang. Dia lalu meloncat dari puncak gunung.
"Abang mimpi ya?" Sebuah suara mengejutkannya, karena Adrian hampir saja terjatuh dari kursi. Rupanya tadi dia sempat tertidur.
"Ya. Saya mimpi adik duduk di samping saya.!" Jawab Adrian mencoba berseloroh.
"Abang nih ngaco. Saya memang duduk di samping abang kok.!" Seru si gadis sambil tersenyum.
"Kamu sudah lama bangun ya?"
"Uk..uu. Tadi saya lihat abang hampir jatuh."
"Kenapa tidak kamu bangunkan?"
"Takut aah. Siapa tahu abang lagi mimpi ketemu gadis cantik."
"Mana mungkin abang mimpi ketemu gadis lain. Di sampingku ada gadis cantik."
Adrian melihat si gadis agak tersipu malu.
Ternyata wanita memang malu bila dipuji
Adrian heran. Dulu dia tidak berkutik kalau berada di dekat wanita. Tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Tetapi malam ini dia jadi begitu agresif.
"Boleh ambilkan saya bungkusan itu bang?" Pinta si gadis seraya menunjuk sebuah kantong plastik yang masih tergantung di sandaran kursi Adrian. Tadi rupanya belum di ambil sewaktu bertukar kursi.
"Boleh!"
Adrian mengambil bungkusan dimaksud dan menyerahkannya.
"Ma kasih ya bang."
"Kembali!"
Dia membuka bungkusan itu. Adrian melihat sekeliling, semua orang pada tidur. Adrian melihat jam tangannya, pukul 22.12'. Berarti mereka kira-kira sudah berada di dekat gunung Sehak.
"Makan bang!" Gadis itu menawarkan snack ringan merek Taro.
"Adik makan saja. Abang lagi nggak selera."
"Ndak. Abang harus ikut makan."
"Tapi abang betul sedang kenyang nih!"
"Abang takut ya. Ndak ada racunnya kok.!"
Sialan. Memangnya ini dalam cerita silat?.
Adrian menatap wajah gadis itu. Dia tersenyum memandang Adrian. Tangannya masih mengacungkan bungkusan snack itu ke arah Adrian. Dalam bayangan sinar bulan yang sesekali mengintip dari balik pepohonan dan menembus jendela bis, Adrian bisa melihat kesungguhan di wajah gadis itu. Adrian tidak sampai hati mengecewakannya. Padahal Adrian memang tidak biasa ngemil. Diambilnya beberapa buah. Tapi setelah yang di tangan habis, dia tawarkan lagi. "Adik habiskanlah. Abang memang lagi kenyang.!"
"Ndak mau. Abang harus bantu saya menghabiskannya. Masih ada sebungkus lagi nih."
"Nanti abang kegemukan.!"
"Masa makan snack segini aja kegemukan." Katanya sambil tertawa. Membuat gemas saja. Lucu, gadis kecil begini kok suka memaksa. Apa perempuan itu pada dasarnya manja ya?
***
Namaku Wo Ai Ni (Aku Cinta Padamu)
Sepi kembali. Tapi lampu bis hidup. Sehingga Adrian bisa jelas melihatnya. Penumpang lainnya masih pada asyik makan. Di dalam bis baru mereka berdua yang sudah naik.
"Adik berbahasa apa. Hakka atau Tio Ciu?"
"Hakka!"
"Tio Ciu bisa ndak?"
"Pasif aja, bang. Kalau untuk bicara sih kurang lancar."
"Abang bisa bahasa Hakka?"
"Bisa!"
"Kalau Tio Ciu?"
"Juga pasif."
Adrian lihat sopir sudah naik. Tapi mesin bis belum dihidupkan. Dia masih menyulut rokoknya. Terkadang Adrian membathin, apa sih enaknya merokok?
"Kalau Mandarin, adik bisa?"
"Ndak."
"Kalau abang?"
"Hanya satu kata saja!"
"Apa itu?"
"Wo Ai Ni... (Aku Cinta Padamu)"
"Ngaco. Itu sih semua orang bisa!"
Gadis tersebut tertawa. Tawanya lepas bebas. Adrianpun tertawa. Sopir menoleh ke belakang. Asap rokoknya bagai asap kapal.tapi dia masa bodoh.
"Eh, omong-omong. Dari tadi kita bicara saja, tapi belum tahu nama masing-masing. Kenalkan, Adrian !" Kata Adrian mengacungkan tangannya mengajak bersalaman.
"Cindy.!" Balas si gadis sambil menyambut uluran tangan Adrian. Tangan yang begitu halus dan lembut. Pasti jarang bekerja kasar.
"Biasa di panggil apa?"
"Cukup Cindy!"
"Kalau nama Tionghoanya?"
"Wo Ai Ni."
"Sialan. Ngeledek ya."
"Nggak. Cuma bercanda kok. Habis ditanyai gitu. Kitakan udah WNI. Mana pakai nama Tionghoa segala."
"Kalau marganya apa?"
"Cun!"
"Kalau abang, panggilannya apa?"
"Terserah. Adik mau panggil apa saja."
"Kalau Sun Go Kong, mau?"
"Memangnya abang mirip kera?"
"Ndak. Abang ganteng kok!"
Makin berani kamu.
Lagi-lagi pujiannya membuat Adrian berdebar.
"Kenapa panggil Sun Go Kong?"
"Habis abang gitu. Nama panggilan saja nggak mau bilang." Katanya sambil memencong-mencongkan mulutnya. Makin buat gemas.
"Di panggil abang saja nggak apa-apa kok."
"Abang aslinya dari mana sih?"
"Indonesia."
"Iih, mulai lagi"
"Lho, memangnya saya orang asing?"
"Okey...okey. Tidak bilang juga tidak apa-apa. Tapi keturunan Tionghoa ya?"
"Salah. Abang asli Kalimantan."
"Habis susah sih mengenali masyarakat Dayak. Kebanyakan seperti orang Tionghoa. Saya kira abangpun orang Tionghoa tadinya"
"Kita memang satu keturunan kok."
"Masa?""Ya. Bapak kitakan Adam dan ibu kita Hawa."
"Iih. Abang nih ngaco melulu." Katanya, dan sebuah cubitan mendarat sebentar di lengan kiri Adrian. Mesra. Tapi sebentar saja.
Kenapa tidak lebih lama? Aku suka.
Dari speaker di atas kepala mereka mengalun lagu-lagu cinta. Mulai dari yang berbahasa Indonesia, Bahasa Inggris sampai yang bahasa Mandarin. Astaga, lagu tema White Snake Legend pun ada. Tanpa sadar Adrian menoleh menatap gadis ini kembali.
Alla maak. Benar-benar jelmaan Pai Shu Chen.
"Di Pontianak Adik tinggal di mana?" Tanya Adrian dengan tangan merogoh kantong snack.
"Di Jeruju.!"
"Ooh."
"Dengan siapa?"
"Bibi."
"Dari sebelah Mama atau Papa?"
"Mama."
Adrian memandang keluar. Bulan bersinar terang. Di kiri kanan mereka membentang perkebunan kelapa sawit. Milik group perkebunan raksasa seperti PTP, Sinar Mas Group maupun Bakrie. Memang ada benarnya kalau nantinya Kalimantan Barat ini akan boom sawit. Sebab hampir di mana-mana yang dilihat adalah perkebunan kelapa sawit. Tapi herannya harga minyak goreng kok bukannya turun ya?
"Kalau abang boleh tahu...," Kata Adrian sengaja tidak meneruskan ucapannya. Si gadis menoleh, tampak dia perhatian terhadap ucapan Adrian. "Kenapa kok kamu sampai malam-malam pulang ke Sintang?" Lanjut Adrian ketika melihat gadis itu menaruh minat.
"Itulah Bang. Sebenarnya terus terang saja, saya terpaksa pulang malam. Karena ada urusan yang harus diselesaikan di Sintang."
Adrian melihat keceriaan gadis itu memudar. Kalau tadinya senyumnya begitu lepas dan manis, sekarang wajahnya agak murung.
"Memangnya urusan apa dik?"
"Sebenarnya begini bang. Saya mau pindah sekolah ke Pontianak. Karena di sekolah asal saya itu rasanya tidak ada kemajuan. Terkadang seminggu sekolah seminggu tidak. Kitakan merasa rugi bang."
"Di Sana adik sekolah di mana?
"Di SMU Kacau Balau."
Kalau sekolah yang di sebutkannya itu Adrian tahu betul. Memang wajar kalau guru-guru di situ sering tidak masuk. Karena hampir semua gurunya adalah guru-guru honorer dari SMU negeri ataupun SMU swasta lainnya. Sehingga waktu mereka terbatas sekali.
"Kalau di Pontianak, adik mau masuk sekolah yang mana?" "Awalnya sih saya mau ke SMU KORUPSI bang. Tapi di sana tidak menerima siswa lagi. Saya kemudian menghubungi SMU KATEBELCE. Mereka sih oke saja. Cuma entah bagaimana, sewaktu saya membuka berkas saya, buku rapor saya tidak ada lagi."
Sekolah - sekolah yang di sebutkan gadis ini adalah sekolah-sekolah favorit di antara sekolah - sekolah favorit lainnya di kota khatulistiwa ini.
"Bagaimana ceritanya, sampai buku rapor adik bisa hilang begitu?"
"Waktu itu saya di antar oleh kakak sepupu saya. Kami berangkat dari rumah pagi-pagi sekali dan belum sempat sarapan. Kakak sepupu saya lalu mengajak kami sarapan di restoran. Perkiraan saya buku rapor itu jatuh di restoran atau mungkin juga di jalan. Karena sewaktu di restoran kami ada membukanya. Atau mungkin juga terjatuh di jalan, karena hanya saya masukan ke dalam map saja."
"Jadi adik di minta untuk membuat rapor baru dari sekolah asalmu?" Tebak Adrian seraya kembali menatap wajahnya. Ada sinar kejujuran di situ.
"Uk.Uuu..!"
"Apa tidak ditanyakan ke restoran tempat kalian sarapan?"
"Dua kali kami ke sana Bang. Sampai-sampai waitressnya ngomel panjang pendek. Apa tidak percaya sama merekakah, katanya tidak senang."
"Adik juga ada mencoba menelusuri kembali jalan kalian sewaktu pergi?"
"Sudah. Tapi hasilnya nihil."
Ceroboh. Bathin Adrian. Betul-betul perbuatan ceroboh. Barang penting begitu kok bisa hilang.
"Mau ndak mereka membuatkan saya rapor baru bang, ya? Saya jadi bingung nih."
"Pasti mau. Mereka kan masih punya arsipnya. Apakah wali kelasmu masih di tempat?"
"Masih bang."
"Nah, kamu hubungi langsung wali kelasmu dulu."
"Apa dia ndak akan cerewet bang?"
Adrian menggelengkan kepalanya. "Abang rasa tidak. Cuma yang pasti kamu akan keluar biaya."
"Kalau soal itu sih lumrah bang. Mana ada urusan yang gratis."
"Ada!" Kata Adrian seraya tersenyum ke arahnya.
"Apa bang?"
"Taro snack kamu!"
"Iih. Abang nih ngaco."
Kamu cantik
Udara malam menerpa wajah mereka. Karena jendela di buka sedikit. Suara bis menderu-deru memecah kesunyian malam.
"Adik tidak takut masuk angin?"
"Dari pada menghirup asap rokok."
Tampaknya di bagian tengah ada yang merokok. Adrian mengibas-ngibaskan tangannya mengusir asap rokok.
"Abang tidak merokok ya?""Benar."
"Baguslah. Saya suka dengan cowok yang tidak merokok."
Bangga juga Adrian di puji gadis secantik ini.
"Adik sudah punya pacar?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur dari mulut Adrian. Tapi sudah terlambat untuk di tarik.
"Siapa yang mau dengan orang seperti saya!"
Syukur dia tidak marah
Adrian tersenyum. Siapa yang menolak jadi pacarnya?
"Masa. Gadis secantik adik pasti banyak yang mengejar."
"Siapa yang mengatakan saya cantik?"
"Saya!"
"Itukan menurut abang. Mungkin menurut orang lain saya wanita paling jelek di dunia!" Katanya seraya tersenyum manis dan menatap wajah Adrian.
Sial. Bikin gemas saja.
"Lelaki gila yang mengatakan adik gadis jelek!"
"Mungkin saja bang. Kan di dunia ini memang banyak lelaki yang gila!" Senyumnya sekarang semakin lebar.
"Ada-ada saja.!"
Tapi yang pasti kemurungan di wajahnya kembali sirna.
Dinginnya malam semakin menggigit. Tak terasa tubuh mereka semakin merapat. Terkadang tubuh mereka ikut terombang ambing badan bis yang meliuk-liuk menikung. Entah sengaja atau tidak, terkadang pipi mereka saling bersentuhan, sehingga menimbulkan getaran-getaran yang sulit di mengerti. Dada Adrian semakin berdebar-debar saja. Tangan mereka terkadang juga saling bersentuhan.
Busyet dah.
"Snacknya bang.!" Dia mengacungkannya kearah Adrian.
Adrian tersenyum. Dia tatap wajah gadis di depannya. Si gadispun membalas. Bis membelok tiba-tiba. Tanpa dapat di tahan tubuh mereka ikut miring dan Adrian reflek saja menggapai dinding untuk bertahan. Tapi gerakannya tanpa sengaja justru menyenggol tangan si gadis yang lagi mengacungkan bungkusan Taronya tadi dan tak ayal lagi snack itu berhamburan jatuh.
"Aduh. Maaf ya dik. Abang tak sengaja!" Pinta Adrian.
"Nggak apa-apa. Mungkin snacknya memang tidak mau abang terlalu gemuk.!" Guraunya sambil tersenyum kembali. Aduh, lagi-lagi senyumnya buat gemas.
Mengapa senyumnya semakin manis?
Rasa kantuk Adrian betul-betul sirna. Karena mereka asyik berbicara panjang lebar. Mulai dari masalah anak sekolah, masalah pergaulan, ekonomi dan kehidupan berkeluarga. Lincah juga gadis ini. Wawasannyapun boleh di bilang luar biasa kalau mengingat dia masih belia. Sehingga suatu saat mereka rasa bis agak melambat dan tak lama kemudian berbelok ke kanan. Adrian melongok ke luar. Ternyata mereka sudah sampai di Ngabang. Adrian melihat arlojinya, pukul 24.15 WIB.
Pernikahan Itu Sakral
Adrian langsung turun masuk ke restoran Padang dan pergi ke WC. Sakit rasanya menahannya cukup lama dan mungkin kalau setengah jam lagi, air kencingnya bisa jadi fosil.
Keluar dari wc, Adrian melihat gadis yang sebangku dengannya lagi menawar barang. Sepintas tampaknya barang dari Malaysia. Di kota Ngabang ini memang lebih banyak produk negara jiran itu ketimbang produk Indonesia sendiri. Harganya lebih miring karena kebanyakan ilegal.
Indonesia, Indonesia. Kapan rakyatmu bisa berbangga dengan produkmu sendiri?
Adrian membeli beberapa bungkus juice ABC. Tidak enak rasanya, sebab sudah ikut makan Taro gadis tersebut.
"Duduk di dalam bis saja, yok!" Ajaknya ketika melihat gadis itu sudah berdiri menatap ramainya para penumpang bis yang berjubel-jubel. Tidak kurang dari tiga puluh buah bis yang ada. Ada bis ke Sanggau, Sintang, Nanga Pinoh, Putussibau, bahkan bis-bis raksasa lintas batas ke Malaysia.
Gadis tersebut tidak menjawab, tetapi mengikuti langkah Adrian memasuki bis.
"Tolong simpan ya.!" Kata Adrian menyerahkan bungkusan juice ABC yang di beli tadi. Gadis itu menerimanya dan menggantungkan ke kaitan di dekatnya.
"Adik ndak makan?"
"Ndak!"
"Abang?"
"Sama. Abang jarang makan kalau naik bis malam begini."
"Takut gemuk ya?"
"Uk..uu..!"
"Lelaki terlalu kurus juga nggak bagus lho bang."
"Ya. Tapi abang ndak kurus khan?"
"Ndak. Abang gagah kok!"
Pandai juga kamu menggoda.
Bis sudah mengaung-ngaung. Para penumpang berserabutan masuk seperti anak-anak SD masuk kelas. Speaker di atas kepala mereka kembali mengoceh, melantunkan lagu-lagu cinta. Tidak lama bis mulai merayap menapaki tanjakan. Lampu bis kemudian dimatikan. Agar sopir tidak silau.
"Pacar Cindy ikut pindah nggak?"
"Kok abang Adri tidak percaya sih kalau Cindy tidak punya pacar?"
"Siapa yang percaya. Gadis secantik kamu pasti punya koleksi segudang."
"Ih. Abang ngeledek lagi ya."
"Nggak kok."
"Benar?"
"Benar!"
Keadaan kembali hening. Bisu. Beku.
"Sebenarnya saya baru putus dengan pacar saya." Cindy tiba-tiba memecah kesunyian.
"Putus dan bersambung itu biasa dalam bercinta." Komentar Adrian.
"Tapi kami tidak mungkin kembali"
"Lho?"
"Karena pacar saya sudah kawin!"
"Teganya? Apa wanita itu lebih cantik dari kamu?"
"Perempuan itu hamil duluan!,...Padahal..."
"Jangan kamu lanjutkan. Abang tahu kata-kata berikutnya." Kata Adrian menghentikan kata-kata gadis itu.
"Abang tahu apa?"
"Tidak marah kalau saya ucapkan?"
"Tidak."
"Benar?"
"Sumpah!"
Adrian menarik nafas. Mencari kekuatan dan keberanian. "Padahal kamu telah menyerahkan segalanya!"
Cindy menatap Adrian dalam-dalam. Dalam sinar matanya penuh tanda tanya.
"Apa betul abang punya keahlian untuk melihat seorang wanita itu masih perawan atau tidak?"
"Betul!"
"Enaklah. Abang bisa bebas memilih sasaran demi sasaran.!" Kata Cindy ketus. Tampak sekali kalau dia tersinggung.
"Kamu salah Cindy. Abang tidak pernah menyalah gunakan kemampuan itu!"
"Bohong. Semua laki-laki sama saja."
"Abang bukannya membela diri. Tapi selama ini abang tidak pernah berhubungan intim dengan wanita."
"Kalau pencuri mengakui kesalahannya, penjara tidak akan muat." Suara Cindy masih kedengaran ketus.
"Adik berhak tidak percaya. Tapi terus terang, justru karena keteguhan saya tidak berhubungan intim dengan pacar- pacar sayalah yang membuatku sering putus cinta."
Cindy diam. Dia memandang kembali ke luar jendela. Tampak pepohonan seperti mau tumbang karena bis melaju dengan cepat.
Bis tiba-tiba membelok ke kiri dan sebentar kemudian ke kanan lagi. Seirama dengan itu tubuh merekapun lalu berhimpitan. Ketat sekali. Terasa lagi kelembutan tubuh gadis itu menyambut keperkasaan tubuhnya.
Terasa getar-getar aneh kembali menjalari tubuh Adrian. Suatu perasaan yang hangat, bergairah, dan nikmat. Gila. Gadis ini betul-betul menggairahkan. Tapi Adrian berusaha menahan diri. Dengan perlahan dia merenggangkan tubuhnya, takut tidak mampu mengontrol dirinya.
"Mengapa abang tidak mau berhubungan seks sebelum menikah?" Tiba-tiba Cindy bertanya.
"Karena bagi saya perkawinan itu begitu sakral!"
"Kalau seandainya isteri yang abang nikahi itu ternyata sudah tidak suci lagi, bagaimana?"
"Saya tetap menerimanya. Asalkan dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan mesumnya dengan orang lain.!"
"Tidak merasa rugi dan menyesal?" Cindy penasaran.
"Rugi apa, menyesal apa?"
"Rugi karena bekas orang, menyesal karena tidak bisa mencicipi keperawanannya!"
"Bagi abang kesucian seorang wanita tidak melulu terletak pada kegadisannya. Untuk apa kalau sewaktu kita nikahi dia masih perawan tetapi nantinya malahan menyeleweng dengan orang lain. Kan masih lebih baik dia tidak perawan tetapi setelah menikah dengan kita dia menjadi seorang isteri yang setia. Memang idealnya sewaktu menikah dia masih perawan dan setelah jadi isteri, dia juga setia."
"Sungguh bahagia wanita yang mendapatkan abang!" Cindy berbicara perlahan seakan berbisik saja.
"Tapi sampai sekarang belum ada yang bisa memahami Abang!"
“Abang hanya belum ketemu saja. Pasti ada wanita yang menyukai abang.”
“Tapi sudah umur segini. Belum juga ketemu.”
“Abang tidak aktif mencarinya.”
“Memangnya barang dagangan? Kok dicari seperti itu.”
Cindy terdiam. Menurutnya laki-laki ini hanya kurang agresif saja. Seperti sebuah barang yang tanpa promosi, bagaimana orang tahu akan kualitasnya?
“Menurutku … Maaf. Abang hanya kurang agresif saja dengan wanita.”
“Maksud, Adek?”
“Maksudku…begini…hheemm…, abang hanya kurang berani mendekati wanita.”
Adrian terdiam. Apa yang dikatakan oleh Cindy ada benarnya juga. “Tapi aku takut dinilai terlalu nakal.”
Cindy tersenyum. Dia suka laki-laki ini. Semakin mereka banyak berbicara, semakin dia tahu akan sifatnya.
“Begini Abang. Abang kan laki-laki. Abang yang harus pro-aktif menyatakan cinta Abang kepada wanita yang abang inginkan. Sangat tidak etislah seorang wanita yang lebih dahulu menyatakan hatinya. Meskipun dia sebenarnya juga mau. Kita kan orang Timur, Abang. Jangan lupa.”
Adrian tercenung. Apa yang diungkapkan oleh Cindy itu ada benarnya. Dia memang kurang berani dengan wanita. Banyak pertimbangan yang menjadi halangan baginya. Takut di bilang nakallah. Takut di bilang tidak tahu dirilah. Takut dibilang tidak punya rasa malulah. Dan puluhan takut yang lainnya.
“Tetapi aku takut di sebut nakal dan tidak tahu diri…” Desah Adrian hampir tidak kedengaran.
Cindy tertawa ringan. Tetapi karena dengungan suara bis yang sedang melaju itu cukup kuat, sepertinya para penumpang yang lain tidak mendengarkannya. “Abang itu sebenarnya orang yang sangat percaya diri. Tetapi saya yakin, kelemahan Abang itu adalah dalam keberanian menyatakan cinta terhadap wanita.”
“Tapi…Tapi…Aku tidak berani menghadapi kenyataan jika aku sampai di tolak…” Jelas Adrian singkat.
Cindy kembali tertawa ringan. Abang, Abang. Anggap saja kentut. Cinta itukan sama saja dengan kentut.”
“Kok sama dengan kentut, Dek. Maksudnya apa?”
“Jadi Abang belum tahu jika cinta itu sama dengan kentut?”
“Belum…”
Tanpa dapat ditahan lagi, Cindy tertawa agak keras. Tetapi buru-buru dia menutup mulutnya. Takut menganggu penumpang bis yang lain.
“Itu adalah istilah anak-anak jaman now Abang. Kentut dan cinta itu punya persamaan yang sangat mendasar dan masuk akal. Yaitu sama-sama malu untuk dikeluarkan. Kalau kita mau kentut dikeramaian, kan kita malu kalau sampai ketahuan. Begitu juga dengan cinta, kita malu mengeluarkan atau menyatakannya kepada orang yang kita sukai.” Jelas Cindy cukup panjang lebar sambil mencoba melihat wajah Adrian.
“Benar juga, ya. Kamu kok cerdas sekali.” Puji Adrian setelah mencoba memahami analogi Cindy.
“Jadi, kalau seandainya Abang naksir sama seseorang cewek. Tembak saja. Kalau di terima syukur, kalau tidak ya anggap saja sebagai kentut.” Kata Cindy sambil tersenyum lepas tanpa beban.
Adrian juga tertawa sambil melamun. Mereka kembali terdiam. Keduanya lalu asyik dengan pikiran masing-masing. Adrian merasa sangat heran, rasanya gadis di sebelahnya ini cocok menjadi isterinya. Dia yakin, bukan kebetulan mereka berdua dipertemukan dalam bis ini.
Pasti Tuhan sudah mempunyai suatu rencana untuk mereka. Sehingga membuat Adrian mengumpulkan semua keberanian untuk mengatakan cinta kepada gadis ini. Paling lambat besok pagi, sebelum mereka berpisah.
Tanpa diketahui olehnya, Cindy juga diam-diam sudah mulai menyukai dirinya. Jarang laki-laki jaman sekarang yang mau mempertahankan kesucian tubuhnya sebelum menikah. Banyak mereka yang suka pergi ke tempat pelacuran, tetapi di luar bergaya sok suci seperti malaikat. Parahnya lagi, meminta calon isterinya harus masih perawan.
***
Roh Yang Memasuki Bis
Tanpa bisa di lihat oleh para penumpang di dalam bis malam itu, tiba-tiba melayang ringan dua roh wanita yang begitu ramping dengan rambut panjang masuk ke dalam bis. Kulit keduanya putih bersih dan wajah yang selalu tersenyum. Keduanya sama-sama cantik dan sulit di nilai mana di antara keduanya yang lebih cantik.
Hanya yang membedakannya, wanita yang pertama memakai gaun hitam dan hampir menutupi seluruh tubuhnya, kecuali bagian kepala dan ujung kedua tangannya. Sedangkan wanita kedua memakai gaun biru dengan dada agak terbuka sehingga dengan jelas memperlihatkan bagian yang seharusnya ditutup rapat itu.
Namun yang jelas, warna pakaian mereka ini semakin memperlihatkan jika kulit mereka begitu putih. Bahkan boleh dibilang cenderung pucat, seperti tidak pernah terkena sinar matahari. Tubuh keduanya menembus dinding seperti air menembusi pasir saja.
"Pemuda itu sungguh tampan dan gagah..." Desis wanita berbaju biru sambil menjilat lidah, manakala pandangan matanya membentur tubuh Adrian yang sedang duduk berdempetan dengan Cindy.
"Gairahmu selalu bangkit bila melihat pemuda tampan..." Gerutu wanita yang memakai gaun hitam.
"Hi...Hi...Hi..." Tertawa lirih wanita berbaju biru. "Selama hidupku aku selalu berpetualang dengan banyak pria. Sampai sudah menjadi rohpun aku selalu terangsang melihat laki-laki tampan. Apakah kamu tidak demikian, kak Paskalia?"
Wanita yang di panggil Paskalia tersenyum manis. "Cintaku hanya untuk Ryan, Sinta."
Sinta menatap Paskalia. "Apakah tidak sia-sia, kak?"
"Tidak...!"
"Apakah mungkin kita menemukannya di dunia ini?"
"Perasaanku mengatakan demikian...!"Desis Paskalia mantap. "Dia sudah reinkarnasi ke dunia..."
"Kakak begitu mencintainya...!"
Paskalia menatap Sinta dalam-dalam. "Cintaku untuknya abadi. Tidak berkesudahan."
Sinta kembali bergumam. "Aku ingin merasakan keperkasaan lelaki itu..."
Paskaliapun lalu menoleh ke arah Adrian. "Tidakkah kamu lihat keduanya sudah mulai saling menyukai?"
"Justru aku ingin menyempurnakan perasaan saling suka mereka itu..."
"Menyempurnakan?"
"Hiya..." Bisik Sinta penuh arti. "Keduanya saling menyukai. Tetapi tidak ada yang berani memulainya. Aku akan memasuki tubuh wanita itu dan membuatnya berani. Dan ku harap kakak tidak melarangku. Karena kita sudah berjanji untuk tidak saling mengganggu kesenangan masing-masing...!"
“Belum pasti yang laki-lakinya mau. Ku lihat dia seorang yang selalu menjaga kesucian tubuhnya."
“Mana ada kucing menolak ikan, kakak.” Bantah roh Shinta yakin.
Paskalia tidak berkomentar lagi. "Okay lah. Kalau begitu aku pergi duluan...!" Desisnya sambil melayang pergi meninggalkan Sinta yang sedang menatap Adrian dengan penuh gairah. Shinta bergumam dalam hatinya.
Sebenarnya mereka saling menyukai. Tapi tidak ada yang berani memulai.
Semakin dia menatap Adrian, gairahnya semakin berkobar. Maka tanpa permisi lagi, roh Sinta lalu memasuki tubuh Cindy. Cindy tiba-tiba merasakan tubuhnya dingin sekejap. Tapi setelah itu normal kembali. Dia lalu menatap Adrian.
Pemuda ini begitu jantan
Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Sehingga hampir tidak terdengar suara apapun selain deru mesin bis.
Adrian dan Cindy akhirnya berbicara dengan dekat-dekat. Begitu dekatnya sehingga ketika tiba-tiba bis membelok, maka tak ayal lagi muka mereka jadi bersentuhan.
Pada mulanya Adrian takut si gadis marah. Walaupun jauh di lubuk hatinya, terus terang saja dia menyukai dan menikmatinya, serta berharap kejadian seperti itu sering-sering saja terjadi.
Kekhawatiran Adrian memudar, ketika melihat Cindy diam saja. Sama sekali tidak marah. Sehingga akhirnya dia malah terkadang sengaja menyenggolkan wajahnya ke pipi Cindy.
Udara malam sudah sangat dingin. Tanpa sengaja tubuh mereka berdua sudah saling merapat. Erat sekali. Hangat dan lama. Sehingga tanpa sengaja membangkitkan ketenangan dan kemesraan.
Keadaan ini berlangsung cukup lama. Tidak ada di antara keduanya yang mencoba untuk menghentikannya. Keduanya sepertinya sama-sama menikmatinya. Kedua orang itu sama sekali tidak menyadari jika perasaan mereka ini dipengaruhi oleh kehadiran roh Sinta yang berada di dalam tubuh Cindy.
Letupan-letupan gairah birahi mereka mulai terusik. Tanpa terasa bagian-bagian tubuh Adrian terusik dan mulai beraksi. Di pihak lain, Cindypun mulai merasa nikmat dan tenteram berdempetan dengan Adrian. Entah apa yang membuatnya merasa suka dan tenteram di dekat Adrian. Cindypun heran, mengapa gairahnya tiba-tiba bergolak dan ingin segera dituntaskan.
Gejolak birahi sudah mulai naik kepala Adrian. Sehingga menimbulkan keberanian bagi dirinya. Begitulah kalau dua insan berlainan jenis duduk berdampingan di tempat yang sangat memungkinkan. Maka setan akan hadir bersama mereka. Dan kali ini setannya begitu cantik bukan hanya hadir ditengah mereka berdua, tetapi justru berada di dalam raga Cindy.
Adrian yang biasanya tahan terhadap godaan nafsu terhadap wanita, pada kali ini sepertinya sudah mulai dikuasai nafsu birahi. Apa lagi dia tahu pasti kalau Cindy sudah tidak suci lagi. Hidungnya membaui tubuh Cindy semakin harum dan membuai. Bukan harum biasa, tetapi harum yang mengusik nafsu birahi.
Hanya saja dalam hatinya Adrian berjanji, seandainya jika sampai hal-hal yang lebih jauh terjadi terhadap Cindy, maka dia akan segera mengawininya saja. Sebagai realisasi tanggung jawabnya.
Adrian lalu melirik ke kiri dan kanan. Tampaknya penumpang yang lainnya sudah pada tidur. Padahal ulah roh Sintalah yang membuat mereka terlelap.
Adrian memutar kepalanya ke arah deretan bangku belakang, ternyata barisan bangku di belakang sudah tidak ada penumpang. Tampaknya sudah pada turun pada kota-kota yang telah mereka lewati.
Hujan di luar sudah begitu lebatnya. Dinginnya malam sudah melebihi batas toleransi tubuh dengan pakaian biasa. Sehingga tanpa terasa Cindy semakin merapatkan tubuhnya ke arah Adrian.
Merasakan hal demikian dan karena melihat situasi cukup aman, tanpa ayal lagi Adrian memeluk tubuh Cindy. Gadis itu diam saja. Dia hanya memandang Adrian lekat- lekat. Adrianpun semakin berani. Tangan yang merengkuh bahu Cindy tadi diturunkan ke pinggang Cindy. Gadis itu masih tetap diam.
Sepertinya dia memang menyukainya
Melihat kenyataan Cindy tidak menolak dirinya, Adrian menarik tanggannya dari pinggang Cindy, kemudian tangan itu dilingkarkannya melalui bawah ketiak Cindy langsung memeluk perut bagian bawahnya. Cindy tetap tidak menepiskan tangan Adrian. Melihat hal ini, Adrian yakin sudah bahwa gadis inipun menyukainya.
Adrian lalu memegang tangan gadis itu dan meremasnya. Beberapa kali dia meremas, Cindy diam saja. Baru pada remasan yang kedelapan, Cindypun mulai memberikan reaksi.
Karena gayung bersambut, Adrian merapatkan dirinya dan memeluk Cindy dengan erat. Adrian tidak mau menunggu lama lagi. Rambut Cindy yang panjang itu berkibar-kibar menyapu wajah Adrian.
Sebenarnya Adrian tidak pernah mempunyai pengalaman mencumbu wanita secara langsung. Dia hanya banyak membaca buku- buku tentang pelajaran seks dan juga dia banyak mendengar cerita kawan-kawannya tentang bagaimana cara mencumbu wanita. Ternyata segala teori yang pernah di dapatnya itu tidaklah seasyik praktek yang sedang dijalaninya sekarang.
Setelah merasa cukup lama mencumbu dan mengecupnya, Adrian lalu kembali merengkuh Cindy dan sekarang sebelah tangannya memegang bahu Cindy sedangkan tangan yang lain bergerilya tidak terkendali di seluruh tubuh Cindy.
Segera terasa oleh Adrian bagian-bagian tubuh gadis itu yang membuat lelaki betah bermain di sana sini selama bermenit-menit. Adrian meremas tangan Cindy dengan perlahan tetapi intens. Cindy menggelinyang. Kedua tangannya memegang tangan Adrian. Kata kawannya itu pertanda wanita menyukainya.
Adrian lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Cindy dan mengajaknya berbisik, "aku mencintaimu!"
"Kamu tidak membohongiku?"
"Tidak!"
Cindy berdesah perlahan dan menyandarkan kepalanya di bahu Adrian. Adrian memegang bahu itu kembali dan tangan sebelahnya tetap meremas tangan Cindy. Jari jemari Cindy berusaha melakukan serangan balik dengan berkeliaran ke seluruh permukaan tubuh Adrian.
"Bang, pernah melakukannya dengan wanita lain?" Bisik Cindy peralahan.
"Belum pernah."
“Bohong…”
“Sungguh.”
“Penjara penuh kalua pencuri mau mengaku.”
“Swear.”
Cindy diam. Dia menikmati remasan Adrian di tangannya. Tapi dia tidak terlalu perduli. Dia percaya saja, karena ternyata sebenarnya Adrian memang tidak agresif dan cenderung masih malu-malu.
"Berarti saya orang yang pertama, dong?"
"Ya."
"Kita lakukan saja, Bang?"
"Bagaimana caranya, kitakan lagi di dalam bis nih!"
Cindy yang lebih berpengalaman membisikan bagaimana caranya bermain cinta di dalam sebuah bis yang sedang berjalan.
Mulut Cindy lalu berkomat kamit sebentar, padahal sebenarnya Shintalah yang berkomat kamit memperkuat ilmu sirepnya itu. Tak lama hawa dingin semakin kuat dan semua penumpang semakin di buai ke alam mimpi. Selain Adrian dan Cindy hanyalah sopir yang tidak tertidur. Sinta sudah merapalkan kembali ilmu gaibnya yang membuat para penumpang itu tidur semakin lelap, kecuali sopir.
Adrian melirik kiri kanan. Penumpang yang lainnya sedang pulas. Lampu bis memang dimatikan, hanya dihidupkan kalau mau berhenti. Sebab kalau lampu di dalam bis dihidupkan, mata sopir jadi silau. Hal ini memberikan peluang yang besar sekali bagi Adrian dan Cindy.
Karena pengaruh roh Shinta yang berada di dalam raga Cindy, maka Adrian dan Cindy sudah kehilangan akal sehat dan perasaan malu mereka. Yang ada hanyalah keinginan mereka untuk segera menuntaskan gelora birahi yang meletup-letup itu.
Tubuh mereka merapat, goyangan bis yang sering terjebak dalam lobang di jalan yang memang kurang bagus pengerjaannya itu, membuat perahu cinta mereka sering terhentak. Adrian hanya memejamkan mata menikmatinya.
Aku sudah melanggar janji.
Adrian memetik buah-buah ranum yang sudah matang itu dan menikmatinya. Kedua tangan Cindy memegang lengan Adrian kuat-kuat, sedangkan kedua matanya terpejam menikmati percintaan yang aneh ini.
Hentakan-hentakan bis yang terhempas di atas jalan itu sangat membantu, karena membuat perahu mereka berguncang turun naik mengikuti irama. Sehingga menambah sensasi seperti naik kuda turun naik gunung serta melewati lembah yang dalam.
Cindy sangat menyukai tubuh Adrian ini. Tubuh yang terlatih sejak kecil, karena sering bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan hidupnya membantu orangtuanya di kampung. Nafas Adrian juga lebih kuat jika dibandingkan dengan Anton, bekas pacarnya beberapa bulan yang lalu. Karena Adrian sering ikut orang-orang di kampung berburu dan berlari dalam mengejar binatang buruannya.
Kurang lebih satu setengah jam mereka menikmati sensasi naik kuda melintas lembah dan bukit, sampai akhirnya mereka mencapai puncak tujuan secara bersamaan. Roh Sintapun memejamkan matanya. Dia merasakan sesuatu yang luar biasa.
***
Ayah Cindy Tidak Di Rumah
Cindy dan Adrian menikmati kebersamaan itu sampai tubuh mereka terhempas dengan sendirinya. Setelah kurang lebih lima menit, keduanya segera kembali ketempat duduk masing-masing.
"Aku mencintaimu, Bang!" Kata sambil Cindy sambil berusaha mengatur nafasnya.
"Aku juga cinta kamu. Aku memilikmu selamanya."
"Abang tidak bohong?"
"Tidak. Aku akan melamarmu." Kata Adrian mantap.
"Aku tidak mau lagi dibohongi laki-laki!" Desis Cindy khawatir.
"Tidak. Abang tidak akan membohongimu. Sebab kita sudah melewati batas norma." Bisik Adrian meyakinkan. “Aku harus bertanggung jawab.”
"Tapi kamu mendapatkan barang bekas."
"Tidak jadi persoalan. Yang penting kamu berjanji tidak akan melakukannya dengan orang lain lagi."
"Aku berjanji!"
"Tidak dengan siapapun!"
"Walau siapapun!" Desis Cindy sambil menyandarkan kepalanya di bahu Adrian.
“Aku hanya akan setia padamu saja.”
“Terima kasih, Sayang.”
Adrian tersenyum dalam hati. Kali ini dia sudah mendapatkan tambatan hati. Dia berjanji akan selalu setia padanya.
Cindy tertidur di bahu Adrian. Tampaknya dia sangat kelelahan. Lelah karena sudah beberapa malam tidak tidur dan lelah karena baru saja selesai kebersamaannya dengan Adrian. Dalam tidurnya Cindy bermimpi dia dikejar oleh Anton mantan pacarnya dulu, tetapi Adrian datang menyelamatkannya. Lalu dia menikah dengan Adrian dan mereka mempunyai anak-anak yang lucu dan nakal.
Roh Sinta jadi enggan meninggalkan tubuh Cindy. Dia merasa keenakan tadi. Tapi dia tidak bisa melampiaskan gairahnya dengan sepuas-puasnya. Karena percintaan mereka lakukan di atas jok bis yang sedang berjalan.
***
Hari sudah subuh ketika mereka sudah sampai di kota Sintang. Adrian membangunkan Cindy. Dengan malas Cindy menggeliat dan menguap.
"Malas ah. Masih mau tidur!" Katanya manja.
"Eh sudah. Ini bukan di rumah. Bis ini akan berangkat ke tempat pencuciannya!" Tukas Adrian sambil kembali menguncang bahu Cindy dengan perlahan.
Cindy kemudian terpaksa membuka matanya lebar-lebar. Dengan masih mengucek-ngucek matanya, dia mengemas barang-barangnya.
"Rumahmu di mana?" Tanya Adrian.
"Jalan Untung, Gang Bahagia no.19." Jawab Cindy.
"Berani ke sana sendiri?"
"Antarin dong. Masa sama calon isteri saja begitu!" Rengeknya manja.
Adrian mengambil tasnya dan sekalian memungut tas Cindy. Ketika sudah berada di luar bis, Adrian melambaikan tangan ke arah salah satu tukang becak yang sudah antri menunggu penumpang di terminal dan ketika becak tiba, Adrian lalu menyebutkan alamat yang di tuju.
Tukang becak mengengkol becaknya dengan sangat bersemangat sehingga terkadang becaknya oleng saking cepatnya. Orang-orang di sekitar terminal sudah banyak yang bangun dan melakukan aktifitas mereka. Ada yang berjualan sayuran, ada yang sibuk menggoreng bakwan, bahkan ada juga yang sibuk berolah raga pagi.
Ternyata rumah Cindy tidaklah begitu jauh, sehingga dalam waktu yang tidak lama mereka sudah sampai. Adrian memberikan satu lembar sepuluh ribuan kepada tukang becak dan mengangkat tangan mau mengetok pintu rumah.
"Tidak usah. Saya bawa duplikatnya kok. Lagi pula mungkin Bapak sedang tidak di rumah." Kata Cindy.
“Ibumu?”
“Dia meninggal dunia ketika melahirkan aku.”
“Oh. Lalu saudara-saudarimu yang lain?”
“Aku anak tunggal.”
“Ooh.”
Cindy mengeluarkan anak kuncinya, memasukan ke induknya dan memutarnya. Setelah terdengar dua kali suara 'klik', pintupun terbuka dan mereka masuk. Ternyata rumah itu kosong.
"Bapak pasti masih di daerah." Kata Cindy.
"Bapakmu usaha apa sih?" Tanya Adrian.
"Bisnis kayu gaharu." Jawab Cindy sambil langsung mengunci pintu dari dalam.
“Aku mau mandi dulu. Gerah nih. Kamar mandinya mana?” Tanya Adrian ketika mereka sudah sampai di dalam dan meletakan tasnya di lantai.
“Masih pagi begini mau mandi. Dingin tuh.” Kata Cindy mengingatkan.
“Tak apa-apa. Aku sudah terbiasa.”
Sementara Adrian mandi, Cindy merapikan barang-barangnya sambil memasak air. Dia mau menyeduh air untuk mereka berdua.
“Mau teh, kopi, atau Susu?” Tanya Cindy agak berteriak karena Adrian di dalam kamar mandi.
“Kopi saja. Tapi tanpa gula, ya.”Jawab Adrian dari dalam kamar mandi.
Cindy lalu membubuhkan kopi ke dalam gelas dan memberinya air panas lalu mengaduknya untuk Adrian. Lalu dia menyeduh teh untuk dirinya sediri. Dia suka teh cap Daun, karena diberi aroma Melati. Dia aduk tehnya sebanyak dua puluh kali. Itu adalah standar yang biasa dia lakukan untuk memastikan gulanya sudah larut.
Ketika Arian keluar dari kamar mandi, dia hanya bersarung handuk. Tubuhnya masih tercium bau harum sabun mandi Lifebuoy cair antiseptic yang ada dikamar mandi keluarga Cindy.
Keduanya lalu duduk mengelilingi meja bundar yang terbuat kayu bengkirai yang ada di dapur. Cindy membuka beberapa buah kue Khong Guan kaleng yang hampir selalu tersedia di meja makan mereka.
“Minum dulu, Bang.” Tawar Cindy. “Kuenya di makan. Tadi lupa beli kue untuk sarapan di terminal.”
“Ma kasih, Sayang.” Jawab Adrian sambil menyeruput kopinya dan menikmati kuenya. Rupanya Cindy memang sudah terbiasa dengan pekerjaan dapur. Karena kopinya hanya seperempat saja yang diberi air panas, setelah itu langsung ditambah air dingin, sehingga bisa langsung di minum tanpa kepanasan.
Sementara keduanya menikmati kue-kue itu sambil meminum kopi dan Cindy teh herbal itu, roh Shinta yang masih ada di dalam tubuh Cindy, membuatnya Shinta selalu memperhatikan tubuh Adrian yang hanya bersarung handuk itu. Sebuah tubuh yang kokh dengan six packs jelas terlihat di perutnya.
"Aku ingin menikmatinya dengan bebas. Di dalam bis tadi malam kurang puas!" Kata Cindy sambil menatap Adrian.
Dengan tidak sabaran lagi dan tanpa malu Cindy mengajak Adrian ke kamar tidurnya. Tubuh Cindy betul-betul cantik, putih, mulus, dan bersih. Pipinya tidak berjerawat sedikitpun. Wajahnya memang persis dengan Cao Ya Ce si pemeran Pai Shu Chen dalam serial White Snake Legend.
Adrianpun tidak sabaran. Karena kurang pengalaman, dia main seruduk saja. Agak susah juga Adrian sebelum akhirnya dirinya berhasil. Mereka bukan lagi dua, tetapi satu.
Cindy mendesah. Bersamaan dengan desahan roh Sinta yang masih berada di dalam tubuh Cindy. Keduanya terbang ke angkasa. Terkadang mereka menembus awan, terkadang mereka menukik turun. Tubuh mereka terasa terombang ambing, melayang, terkadang terhempas. Adrian terus mendayung dan mendayung. Sampai akhirnya keduanya mencapai puncak keindahan secara bersamaan dan terhempas diatas istana angkasa yang indah.
Cindy merasa tubuhnya basah, terasa hangat. Basah oleh keringat. Cindy merasa hidup ini indah sekali. Roh Sinta yang sedang berada di dalam tubuh Cindypun terengah-engah puas.
"Terima kasih Bang. Aku memilikimu."
"Aku juga memilikimu sayang. Tidak ku sangka kalau bermain cinta itu begitu nikmat." Kata Adrian sambil jatuh berbaring dengan lelah di sisi tubuh Cindy. Keringat keduanya mengucur sebesar biji-biji jagung. Keduanya sama-sama puas.
"Kamu serius mau jadi isteriku?" Tanya Adrian
"Betul!"
"Saya pasti melamarmu."
"Abang serius?"
"Seribu rius!"
“Iih, ngaco.”
“Swear.”
"Saya sangat bahagia, Bang. Tapi saya harus menyelesaikan sekolah saya dulu."
"Abang mendukung. Tapi setelah selesai SMU, kita harus segera menikah. Setelah menikah, kalau kamu mau kuliah silakan. Tapi…?"
“Tapi apa, Bang?”
“Maksudku, apakah kamu tidak akan hamil? Kita sama sekali tidak menggunakan pengaman.” Tanya Adrian lugu.
Cindy tersenyum melihat keluguan kekasihnya. “Aku lagi masa tidak subur, Abang. Jadi aman.” Desisnya menjelaskan. Cindy memang lebih berpengalaman.
“Oh. Kalau begitu aku akan segera menikahimu begitu tamat SMU.” Janji Adrian. “Tetapi kamu boleh tetap meneruskan kuliah.”
"Terima kasih, Bang." Kata Cindy sambil meremas tangan Adrian beberapa kali.
Keduanya berbaring bersebelahan dalam keadaan seperti bayi baru lahir. Keduanya sangat lelah, tapi puas. Akhirnya keduanya tertidur nyenyak sampai terbuai ke alam mimpi.
Pada saat itu roh Sinta lalu keluar dari dalam tubuh Cindy dengan perasaan puas. Karena telah memperoleh keperkasaan Adrian, meskipun melalui tubuh Cindy.
***
Jadi Perbincangan Para Sopir
Shinta sering menjadi perbincangan para sopir di sepanjang jalan negara antara Putussibau dan Pontianak yang panjangnya sekitar 600 km itu. Karena dia sering muncul dengan tiba-tiba. Bahkan tidak jarang juga antara jalan Pontianak di wilayah Indonesia sampai ke Kuching di wilayah Malaysia yang berjarak sekitar 400 km.
Terkadang dia minta tumpangan pada para sopir truk yang kebetulan berjalan malam sendiri. Terkadang dia juga tiba-tiba duduk di atas sadel motor laki- laki yang berjalan malam antar Pontianak dan Sintang. Dan tentunya semuanya diakhiri dengan pertualangan asmara yang begitu mengasyikan.
Shinta adalah seorang wanita hiperseks yang meninggal karena di bunuh oleh pacarnya sendiri di rumah kost mereka. Kisah si hantu cantik Shinta ini di mulai di sebuah rumah kost di belahan selatan kota Pontianak. Tepatnya di daerah Parit Baru. Konon, dulunya tempat ini dijuluki Kampus Biru, karena semua lampu-lampu komplek pelacuran di sini di beri warna biru.
Sekarang tempat ini dipenuhi rumah kost. Kebetulan rumah kost itu memang banyak di sewa oleh mahasiswa-mahasiswi yang cukup mampu, karena harga sewanya yang mahal.
Shinta menyewa kamar nomor sembilan, sendirian. Sebab dia tidak biasa bersama-sama orang lain. Shinta memang jadi primadona di sekitar tempat kostnya. Semua pria merasa berbahagia bila mampu membawanya ke tempat tidur. Dan Shinta memang menganut faham seks bebas. Baginya tidak ada ketentuan harus setia atau menjaga kesucian.
Dulu sekali, Shinta adalah seorang gadis kampung yang lugu. Karena perjalanan hiduplah yang membuatnya jadi seorang wanita yang seks maniak. Hal itu bermula dari tempat tinggalnya di sebuah kampung di dekat Bukit Kelam. Pada waktu itu Shinta baru berumur belasan tahun. Kebetulan di desanya ada sekelompok mahasiswa Universitas tanjungpura yang sedang KKN. Salah seorang di antara mereka adalah Rahmat.
Rahmat sering menggoda Shinta yang baru kelas satu esempe itu. Pada suatu hari Rahmat minta di antarkan ke kaki sebuah bukit di balik desa. Katanya mau melihat kepiting emas yang banyak terdapat di sana. Dikatakan kepiting emas karena warnanya kuning seperti emas dua puluh empat karat.
Shinta yang lugu mau saja memenuhi permintaan Rahmat. Mereka pergi tanpa sepengetahuan orang lain. Keduanya keasyikan menangkap kepiting emas yang memang banyak di sana. Akhirnya keduanya kelelahan. Shinta haus.
"Jangan minum air mentah, Shinta...!" Kata Rahmat ketika melihat Shinta menunduk mau minum air sungai yang begitu jernih. "Nanti kamu sakit perut...!"
"Aku haus..."
"Minum ini saja..." Desis Rahmat sambil mengacungkan sebuah botol Sprite yang sudah di buka. Ïni pasti tidak ada penyakitnya.”
Shinta menerimanya, karena haus dia meneguknya sampai habis. Rahmat senyum-senyum penuh arti. Shinta adalah gadis desa belia yang masih sangat lugu, tidak menyadari sesuatu yang sangat berbahaya sedang terjadi. Rahmat melihatnya sambil tersenyum.
Obatnya mulai bekerja.
Tak lama kemudian Shinta merasakan sesuatu bergolak di dalam tubuhnya. Perasaannya jadi tidak menentu. Jantungnya berdetak tidak beraturan. Dan anehnya dia merasakan ingin di peluk oleh Rahmat.
Rahmat yang sudah berpengalaman segera memeluk tubuh itu. Shinta tidak menolak. Shinta pasrah. Dia tidak menolak ketika Rahmat mencumbui dirinya. Juga tidak menolak ketika ketika jari-jari Rahmat berkeliaran ke mana-mana. Dia menurut saja ketika Rahmat memandu tangannya untuk untuk melakukan segala sesuatu yang sangat asing baginya. Sehingga membuat Rahmat memejamkan matanya.
"Kamu sudah punya pacar?"
"Belum?"
"Jadi pacarku saja."
"Tapi aku belum pandai."
"Kamu bisa belajar."
"Ajari aku ya!"
“Sekarang juga kamu sedang belajar.”
Shinta menggangguk mengerti. Dia tetap patuh mengikuti panduan Rahmat, namun gerakannya yang masih kaku dan lugu itu sungguh membuat Rahmat gemas. Namun Rahmat yang sudah sangat berpengalaman sebisa mungkin bersikap sabar mengajari Shinta.
"Dingin..." Desis Shinta menggigil ketika tubuhnya tertiup angina pegunungan yang berhembus lembut.
"Aku akan menghangatkanmu..."
Shinta mencoba untuk bertahan. Awalnya sangat menyiksa, tapi kemudian semuanya menjadi lega. Berkali-kali Shinta kecil terlambung keatas puncak gelombang. Tapi perahu cinta mereka belum juga memgantarkan dirinya ke dermaga cinta.
Batu-batu dan pohon-pohon yang tertiup angin menjadi saksi keganasan Rahmat. Pada lambungan yang ke sembilan, barulah keduanya terhempas ke bumi. Dan kembali Shinta merasakan sesuatu yang baru. Tubuhnya terasa hangat. Terasa geli, suatu sensasi yang baru dirasakannya.
Pengalaman itu mereka ulangi lagi di hari-hari selanjutnya. Lalu Shinta jadi ketagihan. Hanya sayang, setelah Rahmat selesai masa KKN-nya, Shinta tidak bertemu lagi dengannya. Padahal Shinta sudah terbiasa. Maka terpaksa dia melakukannya dengan siapa saja yang di sukainya. Hal itupun berlangsung sampai dia kuliah di Pontianak. Di sebuah rumah kost.
"Kamu setrika saja di kamar...!" Kata Dadang, tetangga tempat kostnya.
Shinta memang selalu menyetrika di tempat Dadang. Karena di kamar kost Shinta tidak dibolehkan. Wattnya tidak cukup, kata pemiliknya.
"Mengapa harus di kamar?" Tanya Shinta pura-pura bego. Padahal mendengar kata 'kamar' saja hatinya sudah berdebar. Apalagi membayangkan tubuh Dadang yang begitu atletis.
"Hanya di sana yang ada stop kontaknya..." Jawab Dadang.
Shinta dengan malu-malu memasuki kamar Dadang. "Tempatnya mana?" Tanya Shinta kembali dengan gaya iklan Conce.
Dadang lalu ikut masuk. Menyiapkan meja untuk Shinta dan sekalian memasangkan setrika pada stop kontak yang ada di dinding. Tapi bukanlah kebetulan jika Dadang tidak keluar dari kamar. Dia lalu duduk di tepi tempat tidurnya dan menyulut rokoknya.
Di luar sedang turun hujan. Keadaan di dalam kamar menjadi begitu sejuk. Anak-anak kost yang lainnya semua pada kuliah. Hanya tinggal Dadang dan Shinta saja. Karena hanya keduanya anak kost di situ yang kuliah di perguruan tinggi swasta.
Shinta memakai blouse warna biru yang begitu tipis dan di bagian atas tidak tertutup seluruhnya, sehingga dengan jelas memperlihatkan bagian bagian yang membusung.
Setelah setrika panas, Shinta lalu mulai menyetrika pakaiannya. Tapi karena tempatnya menyetrika adalah meja ala Jepang yang rendah, maka Shinta terpaksa harus berjongkok dan seperti tanpa sengaja blousenya sering tersingkap ketika dia bergerak.
Bukan salah bunda mengandung jika kebetulan Shinta menghadap ke arah Dadang. Sehingga pemandangan itu membuat jakun pemuda itu bergerak turun-naik.
sungguh begitu putih.
Dadang merasakan darah mudanya bergolak. Dan ada bagian tubuhnya yang tiba-tiba bereaksi dengan sendirinya. Merasakan hal demikian, Dadang tidak berani lama-lama di dalam kamar.
"Aku menunggu di luar saja, Shinta..."
"Jangan, Mas!" Rengek Shinta manja.
"Mengapa?"
"Temani aku, dong."
"Tidak ada yang perlu kamu takutkan di sini..."
"Tapi aku tidak enak berada sendirian di dalam kamarmu, Mas..."
"Justru aku tidak berani lama-lama menemanimu di sini ..."
"Mengapa?"
"Tidak apa-apa. Cuma tidak enak saja!"
Shinta tersenyum. Dia melirik ke arah bagian tubuh Dadang. Karena Dadang hanya memakai celana training, maka jelas sekali jika ada bagian tubuhnya yang membuat bayangan. Sehingga Shinta tahu kalau gairah Dadang sudah tergugah. Dan itulah yang diinginkan oleh Shinta.
"Tidak enak mengapa, Mas?"
"Aku takut..."
"Takut apa?"
"Berbahaya!" Jawab Dadang singkat.
"Apa bahayanya?" Kejar Shinta. Kini senyumnya semakin lebar.
"Nanti aku tidak dapat menahan diri..." Kata Dadang sambil menatap Shinta dalam-dalam.
"Tidak mampu menahan diri bagaimana?"
"Gairahku timbul melihat gadis sepertimu. Terlebih lagi dalam suasana dingin seperti ini. Berdua lagi di kamar..."
"Bercanda kamu!" Desah Shinta sambil tersenyum. Shinta sengaja memposisikan dirinya sedemikian rupa, sehingga membuat mata Dadang tidak berkedip. Yang tentu saja membuat gairah Dadang semakin tak terkendali dan ingin segera memetiknya.
"Kalau begitu kamu mudah bercinta dengan setiap wanita dong?" Tanya Shinta tanpa malu-malu.
"Kata siapa?" Jawab Dadang keheranan dengan keberanian Shinta berbicara to the point.
"Tadi katanya tidak mampu menahan diri jika bersama dalam situasi seperti ini..."
"Tergantung wanitanya!"
"Kalau aku bagaimana?" Goda Shinta tanpa malu-malu. Sehingga membuat Dadang agak tersipu. Tapi hati Shinta semakin berbunga-bunga. Dan tanpa menjawabpun Shinta tahu apa yang akan diucapkan oleh Dadang.
"Jangan menanyakan hal seperti itu!"
"Memangnya kenapa?"
"Itu sama saja menantang keberanianku..."
"Keberanian bagaimana?"
"Aku bisa nekad menciummu...!"
"Aku tak percaya kamu berani melakukannya...!"
Tampaknya anak ini memang menginginkanku.
Tantangan itu benar-benar membuat Dadang gemas. Sehingga benar-benar mencium pipi Shinta. Cuma sekali. Dan singkat. Kilat. Dia ingin melihat bagaimana reaksi Shinta. Ternyata Shinta tidak marah.
Terbunuhnya Shinta
"Cuma segitu keberanianmu?"
"Kamu benar-benar menantang, Shinta?" Ucap Dadang lirih. Dan Shinta hanya menyunggingkan senyum yang terang-terangan menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar ciuman.
"Jangan salahkan aku jika menerkammu...!" Desah Dadang sambil mendekat kearah Shinta.
"Buktikan kebenaran ucapanmu!"
Dadang lalu merengkuh tubuh itu. Terasa lembut. Kepala gadis itu di tariknya dan Cup...!
Ternyata Shinta tidak tinggal diam. Bibirnya membalas kecupan itu dengan lembut, sehingga Dadang merasakan dirinya terlambung. Tangan Shintapun lalu mengusap tengkuk Dadang dengan penuh perasaan.
"Kamu suka?"
Shinta tidak menjawab. Namun kembali mengecup bibir Dadang dengan penuh gairah. Dadang memberikan balasan yang tidak kalah sengitnya. Tangannya meremas punggung Shinta. Lalu Dadang menjamah apapun yang bisa dicapainya.
Shinta mendesis menikmati cumbuan Dadang. Ia mulai menggeliat sebagai reaksinya. Tangan Shinta tidak tinggal diam, jari-jarinya dengan terampil sekali mengelus ke sana kemari. Tapi tangan Shinta tidak berhenti sampai di situ. Shinta merasakan tubuh Dadang semakin garang. Tubuh Dadang semakin narsis.
"Bang, Dadang...Indah sekali itu," desah Shinta menghambur ketika merasakan Dadang menelusuri bagian-bagian yang disukainya. Tubuh Shinta lalu menggeliat. Tangannya membalas meremas rambut di kepala Dadang.
"Teruskan Bang. Teruskan...Aku suka itu...!" Bisik Shinta ketika merasakan tangan Dadang sudah ke mana mana. Dadang kini menyerang Shinta habis-habisan. Shinta mendesah di tikam sejuta kenikmatan. Dia meringis seperti orang kepedasan.
Dadang mengayuh biduk cinta mereka menuju pelabuhan cinta. Awalnya Dadang mengayuh biduk cinta mereka dengan perlahan. Tapi semakin lama semakin cepat. Shintapun tidak tinggal diam. Dia ikut mengemudikannya sehingga perahu mereka tidak keluar dari arahnya.
Pelayaran mereka masih jauh, tapi Dadang sepertinya tidak bisa kehabisan energi. Dia terus berlayar dan mengayuh. Sampai akhirnya keduanya sampai di dermaga cinta mereka. Keduanya lalu terkapar bermandikan keringat.
"Tak ku sangka kamu begitu perkasa..." Desah Shinta kelelahan.
"Kamu juga luar biasa..."Desah Dadang.
"Tapi bau apa itu?"
"Bau yang mana maksudmu?"
"Seperti bau hangus...!"
Keduanya lalu kaget. Shinta yang pertama menyadarinya.
"Bajuku hangus...!"
Lalu keduanya saling pandang. Kemudian serentak tertawa.
Dan hari hari selanjutnya jadi saksi petualangan mereka. Shinta semakin sering menyetrika di kamar Dadang. Padahal pada kenyataannya, Dadanglah yang menyetrika.
Tapi hal itu tidaklah lestari. Shinta lalu terpikat dengan seorang anak kost yang baru di dekat kamar Dadang. Boy, Pemuda tersebut lebih muda dan wajahnya kekanak-kanakan.
Pertemuan mereka dilakukan sewaktu Dadang tidak berada di tempat. Shinta memang betul-betul seorang wanita hiperseks. Walaupun dia berjam-jam melayani Dadang. Tapi begitu Dadang pergi, dia masih sanggup melayani Boy, pacar barunya.
Namun sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh ke tanah juga. Begitu juga affair mereka akhirnya ketahuan juga. Dadang jadi sangat marah. Tapi tidak diperlihatkannya. Hanya saja dia tidak rela Shinta yang cantik di jamah oleh orang lain. Bagi Dadang lebih baik Shinta sama-sama tidak dimiliki daripada kongsi dengan orang lain. Toh bukan usaha patungan.
Tekat Dadang sudah bulat. Sehingga dia memutuskan untuk melenyapkan Shinta untuk selama-lamanya. Dia betul-betul mencintai Shinta, sehingga dia tidak rela orang lain ikut menjamah tubuhnya.
Sore itu Shinta berada sendirian di dalam kamarnya. Dia baru saja habis mandi. Dia lalu tidur-tiduran sambil membaca novel yang diberikan oleh Dadang sebagai hadiah ulang tahunnya pada hari kemarin.
Ceritanya semakin lama semakin menarik. Dan Shinta jadi gusar sekali ketika bagian yang paling menarik itu melekat satu sama lain. Susah di buka. Shinta lalu membasahkan ujung jarinya kemudian membuka kembali halaman yang lengket itu. Tak lama kemudian Shinta mengejang dan tewas seketika. Rupanya bubuk cianida yang dibubuhkan oleh Dadang di dalam buku itu hanya memerlukan waktu beberapa detik untuk merenggut nyawa Shinta.
Kematian Shinta membuat anak-anak kost dan penduduk di sekitar situ menjadi gempar. Tapi tidak ada seorangpun yang tahu pasti penyebab kematian Shinta. Mereka hanya bisa menduga- duga. Ada yang mengatakan serangan jantung. Ada yang mengatakan karena di teluh. Sebagian lagi mengira karena keracunan makanan. Juga karena tidak di visum, karena tidak ada yang menaggung biaya visum yang lumayan mahal.
Sebab kebetulan siangnya Shinta membuat sayur tempe. Jadi mereka yakin jika Shinta mati karena makan tempe. Toh di media massa memang banyak diberitakan orang-orang orang yang mati karena keracunan tempe.
Sejak itu roh Shinta sering muncul. Dan kebiasaannya bertualang dengan lelaki yang di sukainya tidak berubah. Sampai sudah menjadi rohpun Shinta tetap hiperseks.
***
Waktu itu kebetulan roh Shinta sedang melayang di atas sungai Melawi di kota Nanga Pinoh. Di Kalimantan memang lain dari pulau lainnya. Karena pulau besar ini dialiri oleh demikian banyak sungai yang panjang-panjang dan besar-besar dan kota-kotanya justru lebih banyak terdapat di tepi sungai. Di atas sungainya sendiri terdapat banyak tempat tinggal terapung yang oleh penduduk setempat dinamakan Lanting.
Ketika melintas di atas sebuah lanting, Shinta menguping pembicaraan sekelompok pemuda yang baru saja menjual gaharu mereka.
"Untung kamu mengusulkan kita mencari pak Ahui tadi, Ten..." Kata Serak sambil memandang Buten.
"Kalau Pardede yang beli, pasti harganya dimainkan...” Timpal Edy.
"Tapi Pardede kan sering membantu kita?" Desis Ijim sambil memandang mereka.
"Dia membantu agar kita selalu terikat dengannya. Jadi kalau kita tidak enak jika tidak menjual gaharu kepadanya...!" Timbrung Ali yang usianya tertua di antara kawan-kawannya.
"Padahal dia tidak tahu sakitnya keluar masuk hutan menembus gunung mencari kayu gaharu..." Desis Edy.
"Benar. Dia tidak tahu terkadang kita mempertaruhkan nyawa sewaktu naik ngarai dan meniti tebing gunung yang lebarnya tidak sampai setengah meter" Serak membenarkan.
"Itu belum lagi kita menghadapi jutaan nyamuk dan dinginnya hawa pegunungan yang menggigit tulang. Lebih lengkap lagi kalau turun hujan. Bahkan dahan-dahan kayu dan batang pohon rebahpun selalu mengancam nyawa kita..," Kata Ali.
"Birnya di minum...!" Potong Ngoak sambil mengangkat botol jumbo Anker Birnya.
"Dasar perut tong!" Gurau Buten sambil menatap Ngoak. "Kalau sudah ketemu minuman jadi lupa dimana letak telinganya."
"Kitakan sudah merasakan sakitnya bertualang mencari kayu gaharu di dalam hutan. Nah, sekarang kita menikmati hasilnya. Tidak salahkan sedikit bersenang-senang?" Kilah Ngoak tak mau kalah.
"Tapi bukan berarti minum melulu...!" Bantah Buten tidak mau kalah.
"Kalau tidak mau, ya sudah. Untukku saja..," Kata Ngoak seraya berusaha meraih botol bir yang ada di depan Buten.
"Eit, jangan di borong sendiri saja..." Seru tertawa Buten sambil segera meraih botol birnya yang hampir di sambar Ngoak.
Melihat hal itu ke enam orang itu lalu tertawa senang. Memang hubungan mereka sangat akrab. Kemanapun mereka selalu bersama-sama. Begitu juga sewaktu mencari gaharu ke dalam hutan. Apa lagi pada waktu itu mereka sama-sama masih jomblo.
"Katanya di Hongkong harga gaharu sangat mahal..." Gumam Ali menghentikan tertawa mereka.
"Berapa?" Tanya Ijim sangat antusias.
"Khabarnya sih kalau yang Super dan kelas A bisa sampai tujuh jutaan per kilo...”
"Wah, kalau kita jual di Hongkong. Berarti kita bisa mengantongi uang sampai ratusan juta, dong..." Desis Serak berdecak-decak.
"Terinya saja bisa jutaan perkilonya..." Sambung Ali lagi menyebutkan hasil kayu gaharu yang berupa serbuk dan yang kecil-kecil.
"Gila. Di sini hanya dihargai enam puluh ribu saja..." Timbrung Edy.
"Jangankan Terinya. Yang supernya saja baru sembilan ratusan ribu..." Kata Buten ikut menambahkan.
"Berarti pak Andy di Pontianak untung miliaran rupiah setiap bulannya...," Desis Ngoak.
"Maka wajar saja kalau pak Andy hanya dalam tempo beberapa tahun sudah mampu mendirikan armada angkutan darat yang begitu besar." Kata Ali lagi.
Ke enam orang itu lalu tercenung. Shinta mendengar pembicaraan mereka dari luar dinding. Tapi karena dia adalah roh yang memiliki kekuatan gaib, maka semua yang mereka bicarakan bisa di dengar olehnya.
"Eh, kalian ada mencium bau kemenyan ndak?" Tanya Buten tiba-tiba.
"Mungkin bajumu masih melekat bau gaharu." Kata Serak sambil tersenyum. Sebab dia tahu Buten jarang bicara serius. Karena dia paling kocak di antara mereka.
"Bagaimana bau gaharu tidak melekat, bajunya saja paling sebulan sekali baru di cuci..." Tambah Ijim sambil menyikut Ngoak yang duduk di sampingnya.
"Aku serius nih...," Desis Buten lagi. "Malahan sekarang di tambah bau pakaian baru. Seperti bau pakaian yang kebiasaan di pakai untuk menutupi mayat di kalangan suku kita."
"Justru aku mencium bau busuk...!" Kata Ali sambil menutup hidungnya.
"Apa? Bau busuk hantu?" Desis Edy sambil merapat ke arah Ali.
"Bukan. Bau kentut...!" Jawab Ali sambil mengibas- ngibaskan tangannya.
"Sialan..," Gerutu Buten. "Orang bilang bau kemenyan kok bau kentut yang diributkan."
"Siapa yang kentut?" Tanya Ijim sambil memencet hidungnya juga. Dia hampir saja muntah mencium bau busuk kentut yang begitu kuat.
"Siapa lagi kalau bukan Ngoak...!" Tuduh Buten sambil memandangi Ngoak yang hanya cengar cengir saja.
"Apakah kamu sudah berminggu-minggu tidak BAB?" Tanya Ali ketika melihat Ngoak tidak membantah tuduhan Buten.
"Bukan. Kebetulan sekarang aku mau ke WC...," Desis Ngoak sambil beranjak keluar dan memegang perutnya.
"Dasar perut tidak beres. Bau kentutnya saja bisa membuat lalat pingsan...!" Gerutu Serak ketika Ngoak sudah keluar.
Kelima orang yang ditinggalkan Ngoak lalu meneruskan acara minum mereka sambil memakan daging ayam goreng sebagai tabas untuk mengurangi rasa alkohol yang memabukan.
Roh Shinta tersenyum sendiri. Gairahnya langsung timbul ketika melihat enam orang sekawan itu minum-minum. Di benaknya timbul suatu rencana gila.
***
Pertempuran Diatas Sungai Melawi
Roh Paskalia sedang terbang di atas sungai Melawi. Sebuah sungai dengan garis tengah rata-rata di atas seratus meter. Anak terbesar sungai Kapuas Kalimantan Barat ini mempunyai panjang melebihi enam ratusan kilometer dengan hampir 400-an kilometer bagian yang bisa dilayari.
Paskalia melayang ke arah bagian hilir dan dalam waktu sekejab dia sudah sampai di Nanga Pinoh. Di pandangnya suasana malam kota Nanga Pinoh yang berkelap kelip oleh lampu penerangan. Kerlipan lampu semakin banyak karena di tambah oleh pantulan sinar dari air sungai.
Tiba-tiba Paskalia merasakan getaran sesuatu hawa yang aneh di sebuah lanting yang terletak di sebelah kanan mudik. Dia yakin itu adalah sebuah roh yang berasal dari alam gaib. Paskalia jadi ingin tahu, roh siapa itu sebenarnya dan sedang apa dia di dunia fana ini?
"Sialan..," Gerutu Paskalia ketika melihat sesosok tubuh wanita cantik sedang mengintip seseorang laki-laki yang buang air besar di dalam WC. "Pasti setan genit yang hiperseks..."
Mulanya Paskalia sudah mau beranjak pergi, ketika tiba-tiba timbul juga keinginannya untuk mengenal siapa roh wanita itu.
"Sedang apaan kamu?" Tegur Paskalia ketika melihat roh itu semakin asyik saja mengintip.
Shinta jadi berang sekali mendengar ada orang yang begitu usil dengan urusannya. Kesenangannya jadi terganggu.
"Apa perdulimu? Urus saja dirimu sendiri..," Bentaknya kesal.
Paskalia tersenyum. Galak juga ini roh, gumamnya sambil tetap melayang mengawasi Shinta.
Melihat si penanya masih pada posisi melayang diatas sungai dan tidak beranjak pergi, roh Shinta jadi jengkel juga.
Kamu minta di hajar rupanya
"Kamu tidak juga mau pergi, ya? Baik, terimalah ini..." Katanya seraya mengayunkan tangannya ke arah Paskalia.
Gadis ini hanya tersenyum saja dan tubuhnya seperti tertiup angin ke samping ketika serangkum hawa pukulan Shinta menerpanya.
"Busyet. Berisi juga kamu...," Katanya seraya menyerang lagi dengan pukulan jarak jauh yang lebih dahsyat.
Senyum Paskalia semakin melebar. Perlu di beri pelajaran juga ini roh genit. Tapi dia tetap tidak marah. Emosinya sudah begitu terkendali. Apa lagi dia merasa tidak ada salahnya roh genit ini dijadikan teman. Bukankah sejak dia mulai bertualang mencari kekasihnya ke dunia ini dia selalu melayang sendirian saja?
Kembali pukulan Shinta seperti menghantam tempat kosong saja. Karena memang Paskalia sudah memiliki ilmu yang tidak terukur lagi. Tapi walaupun begitu sesungguhnya karena Shinta juga memiliki kekuatan gaib, dia masih bisa memukul roh manusia atau setan yang gentayangan. Namun karena kekuatan gaib Shinta masih berada jauh di bawah Paskalia, karena pukulan gaib Shinta hanya mampu mencapai matahari yang berjarak 150 juta kilometer yang ditempuh selama 8 menit. Sementara pukulan Paskalia sudah mampu mencapai Icarus, bintang terjauh di alam semesta yang jaraknya 9 miliar tahun cahaya, di mana satu tahun cahaya itu sama dengan 10 ribu triliun kilometer. Jadi Shinta tidak bisa lagi mengukur betapa hebatnya ilmu gaib yang telah dimiliki oleh Paskalia.
Paskalia tidak mau bertempur di dekat lanting seperti ini. Memang penduduk tidak akan mengetahuinya sebab mereka tidak kelihatan. Tapi akibat dari pukulan mereka bisa menyebabkan kerusakan bagi mahluk hidup. Baik akibat yang langsung terlihat maupun akibat yang terjadi setelah melalui proses.
Paskalia lalu melayang ringan ke arah bagian hilir sungai. Dia mencari sebuah tempat yang tidak ada penduduknya.
Shinta yang jengkel karena terusik kesenangannya lalu mengejar. "Jangan lari. Akan kuhajar kamu...!" Serunya.
Setelah menemukan tempat yang sepi, Paskalia lalu berdiri mengambang di atas air sungai. Kakinya tidak menyentuh air tetapi hal itu tidak membuatnya terjatuh.
Begitu jarak mereka sekitar lima puluh meter, Shinta lalu mengerakan kedua tangannya ke arah Paskalia. Dua carik sinar biru melesat sehingga menyebabkan air di bawah seperti terbelah dan memercik ke atas.
Paskalia menjentikan telunjuk jari kirinya dan serangkum hawa yang kuat mengembalikan kedua carik sinar itu sehingga Shinta kelabakan sendiri menghindari pukulannya yang membalik. Padahal kekuatan itu tidak sampai 0,001 persen dari daya pukulan Paskalia.
"Kurang ajar...!" Desisnya marah.
Sebenarnya kalau Shinta sempat menganalisa, maka dia akan sadar betapa tingginya ilmu roh wanita yang mampu membalikan pukulannya itu dengan begitu mudah hanya dengan jentikan jarinya saja.
Tapi karena amarahnya sudah meluap-luap, maka Shinta tidak sempat lagi berpikir sejauh itu. Kedua tangannya lalu membuat gerakan seperti melakukan jurus-jurus silat. Tiba-tiba matanya bersinar merah. Lalu serta merta diayunkannya kedua tangannya ke arah Paskalia. Hal itu menimbulkan suara mengaung seperti ribuan lebah menyerbu. Ternyata gerakan yang dilakukan oleh Shinta adalah mendatangkan ribuan buah jarum dan paku beracun untuk menyerang Paskalia.
Paskalia hanya memandang saja serangan Shinta itu, tetapi tiba-tiba saja di sekitar tubuhnya tercipta sebuah tameng yang tidak terlihat dan ketika ribuan batang jarum dan paku beracun itu menerpa dirinya semuanya runtuh ketika bertemu dengan tameng tidak terlihat itu. Ketika menyentuh air di bawah mereka jarum dan paku itu menimbulkan suara seperti besi membara tiba-tiba dimasukan ke dalam air.
Shinta jadi semakin marah. Dia kembali menggerakan kedua tangannya dengan cara memutar di depan dadanya sambil mulutnya komat kamit. Tiba-tiba terciptalah angin ribut yang begitu dahsyat. Bebarapa saat kemudian angin ribut itu lalu berubah menjadi angin puting beliung dan di arahkan menyerbu Paskalia.
Angin puting beliung itu demikian hebatnya, sehingga air sungai bergejolak dan memuncrat keatas tersedot kekuatan yang maha dahsyat dari tenaga gaib Shinta. Pohon-pohon kayu di tepi sungai yang jaraknya ratusan meter dari tempat pertempuran mereka jadi tercabut dan ikut berterbangan. Pohon-pohon kayu yang tercabut beserta akarnya itupun ikut mengarah ke tempat Paskalia.
Gadis cantik ini hanya tersenyum saja. Bagi roh lain tentu akan kecut hatinya melihat serangan Shinta yang demikian dahsyatnya. Tapi gadis ini hanya menggerakan sedikit telapak tangan kirinya saja dan tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang begitu dahsyat dengan kekuatannya membuat angin puting beliung ciptaan Shinta jadi lenyap. Bumi kembali tenang.
Kali ini Shinta betul-betul sangat marah. Karena setiap serangannya selalu dimentahkan oleh Paskalia.
"Siapa kamu sebenarnya?" Desisnya marah. Dia lalu menatap Paskalia dalam-dalam.
Dia sudah betul-betul marah
Paskalia hanya tersenyum. Dia jadi geli melihat Shinta demikian marah karena kesenangannya terusik. Tidak manusia tidak roh, jika nafsu seksnya tidak terlampiaskan, maka amarahnya bisa sampai ke ubun ubun.
Paskalia tahu pasti itulah yang terjadi dengan roh yang dihadapannya sekarang, yang sedang dirasuki nafsu seks dan tiba- tiba di ganggu olehnya, sehingga membuatnya marah luar biasa.
Ketika melihat Ngoak sedang buang air di dalam WC dan kelima pemuda lainnya di dalam Lanting, maka gairah seks Shinta sudah naik ke titik zenithnya. Maka kedatangan Paskalia yang mengganggu kesenangannya tentu saja membuatnya marah bukan main.
"Jangan kamu kira aku sudah kalah...," Katanya geram. "Akan kuhabiskan kamu...!" Desisnya seraya meraih tusuk konde di dalam gelungan rambutnya.
Tusuk konde itu di tiup oleh Shinta dan tiba-tiba berubah menjadi sebuah pedang yang mengeluarkan hawa menggiriskan.
Paskalia terkejut juga melihat pedang itu. Dia bukannya takut, tetapi pedang itu mengingatkannya kepada mandau pusaka kepunyaan Ryan, kekasihnya lima ribu tahun yang lalu. Sebuah mandau pusaka yang mempunyai ketajaman luar biasa. Lalat hinggap di atas matanya saja akan terputus sendiri saking tajamnya.
Dengan melihat saja Paskalia tahu jika pedang yang ada di tangan Shinta adalah sebuah senjata pusaka.
"Dari mana kamu memperoleh pedang itu?" Tanya Paskalia ingin tahu, karena menurut dia bentuk pedang itu bukan asli dari Indonesia.
"Huh. Kamu ketakutan melihatnya, ya?" Dengus Shinta sinis. “Ini pedang pusaka kepunyaan kaisar Qin dari negeri Tiongkok lebih 2500 tahun yang lalu.”
"Itu adalah senjata pusaka. Tidak boleh digunakan sembarangan...!"
"Kalau takut menyerah sajalah..."
Lagi-lagi Paskalia tersenyum. Dengan ilmu gaib yang sudah tidak terukur tingginya, tidak ada lagi yang dia takutkan. Dia hanya takut kepada yang Mahakuasa saja, Sang pencipta alam semesta ini.
Shinta lalu mengayunkan pedang pusakanya itu ke arah Paskalia dan tiba-tiba saja pedang itu menghasilkan dengungan seperti suara jutaan tawon.
Sebuah hawa mengiriskan meluncur cepat ke arah Paskalia. Tapi karena wanita cantik ini betul-betul sudah memiliki ilmu gaib yang begitu tinggi, maka tubuhnya terangkat sendiri ke atas sehingga serangan hawa mengiriskan dari pedang itu melesat di bawah kakinya. Dan menyebabkan pohon-pohon yang berada ratusan meter di sepanjang sungai dibelakangnya rebah seperti keladi di potong dengan pisau cukur.
"Hemm. Cukup berbahaya...!" Desis Paskalia lirih.
Dia tidak takut dengan senjata itu. Tapi yang dia takutkan adalah kalau senjata itu tanpa sengaja mengenai penduduk yang sering mencari ikan pada malam hari begini.
Paskalia lalu menggerakan tangan kanannya ke arah Shinta. Gadis manis ini sudah berusaha mengelak, tetapi kekuatan yang meluncur dari tangan Paskalia begitu cepat dan kuat dan sebelum dia mampu menghindar tiba- tiba pedang itu sudah berada ditangan Paskalia.
"Kembalikan...!" Bentak Shinta marah.
"Kita tidak mempunyai permusuhan apa-apa. Mengapa kamu tega menyerangku dengan senjata pusaka seperti ini?" Tanya Paskalia sambil memperhatikan pedang di tangannya. Dia sama sekali tidak takut, tetapi niat membunuh Shinta itulah yang membuatnya sedih.
Paskalia menyalurkan tenaga gaibnya dan tak lama kemudian pedang itu kembali ke bentuk asalnya, sebuah tusuk konde dari perak.
"Kembalikan...!" Kata Shinta. Kali ini suaranya sudah kedengaran memelas dan tidak segarang tadi.
"Akan kukembalikan. Tapi katakan dulu, mengapa kamu ingin membunuhku? Padahal kita tidak mempunyai permusuhan apa-apa." Desis Paskalia dengan wajah sedikitpun tidak diliputi kemarahan. Wajahnya setenang air telaga yang sedang tidak tertiup angin.
Shinta jadi malu sendiri. Mana mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Tapi kalau tidak dikatakan, nanti wanita di depannya ini bisa salah menduga.
"Aku marah karena kamu mengganggu kesenanganku...!" Desisnya perlahan. Akhirnya dia mampu juga menyampaikannya setelah berhasil menekan rasa malunya dengan seluruh kekuatan bathinnya.
"Hemm...!" Kata Paskalia sambil menarik nafas panjang. "Apakah kamu hiperseks?"
"Ya...!" Jawab Shinta malu-malu. Mungkin kalau laki-laki yang bertanya dia tidak akan menjawab.
"Apakah itu yang menyebabkan kematianmu?"
"Betul...!"Jawabnya sambil menunduk malu.
"Kenapa setelah menjadi rohpun kamu tidak berubah?"
"Kematianku tidak wajar, sehingga aku belum sempat bertobat. Makanya rohku gentayangan seperti ini. Dan celakanya, biar sudah jadi roh tapi nafsu seksku tidaklah hilang...!"
Paskalia mengangguk-angguk mengerti. Pantas roh ini demikian marah, pikirnya.
"Nih, kukembalikan senjata pusakamu...!" Kata Paskalia seraya menyerahkan tusuk konde itu kepada Shinta.
"Terima kasih...!" Desis Shinta tidak melanjutkan kata- katanya, karena dia tidak tahu nama gadis di depannya.
"Namaku Paskalia...!"
"Aku Shinta...," Desisnya lemah. Jelas sekali amarahnya sudah sirna.
Keduanya lalu berjabatan tangan dengan tubuh tetap berdiri mengambang di udara di atas air sungai itu.
"Aku ingin bersahabat denganmu. Mau?" Tanya Paskalia.
"Kamu tidak dendam?"
"Sebaiknya panggil aku kakak...!"
"Bukannya aku yang lebih tua?"
"Aku sudah ada di Bumi sejak lima ribu tahun yang lalu...!"
"Wah, pantas ilmumu demikian hebat. Tapi sungguhkah tidak dendam padaku?" Desis Shinta mengulangi pertanyaannya.
Shinta Bercinta Dengan Enam Pria
"Di hatiku tidak ada dendam..."
"Terima kasih, Kak...!" Serunya memanggil Paskalia 'kakak' untuk yang pertama kalinya.
"Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan...!"
Shinta terdiam. Di pandanginya wajah Paskalia lekat-lekat.
"Mengapa melihatku seperti itu?"
"Kakak cantik sekali, seperti malaikat saja." Jawabnya penuh kekaguman.
"Kamu juga cantik..."
"Tapi dibandingkan kakak, aku tidak ada apa-apanya...!"
Paskalia terseyum. "Kecantikan tidak melulu pada wajah...!" Serunya. "Tapi kebaikan hati kita juga...!"
Shinta jadi tersipu. "Kakak tidak meyesal bersahabat denganku?"
"Apa yang musti disesalkan? Aku bersahabat dengan siapa saja, sejauh dia mau."
"Aku pernah berniat membunuh kakak...!"
"Itu karena seleramu terganggu. Lagi pula mustahil kamu bisa membunuhku." Sahut Paskalia sambil tersenyum manis. Dia memang mengatakan yang sebenarnya, karena ilmu Shinta jauh di bawahnya.
"Tapi apa kakak marah kalau aku berpetualang dengan laki- laki yang kusukai?"
"Itu hakmu. Biarpun aku tahu itu tidak baik, tapi kan itu dirimu. Untuk saat ini aku hanya bisa menasihatimu, tapi tidak bisa melarangmu. Tapi suatu hari aku akan melarangmu melakukan hal-hal seperti itu. Itu tidak baik."
"Ku harap kakak tidak melarangku. Sebab aku akan tersiksa jika lama tidak berhubungan intim dengan lelaki..."
"Untuk sementara boleh. Apa lagi saat ini, aku bisa mengerti penderitaanmu." Desis Paskalia bijaksana.
Shinta hanya tersenyum mendengar gurauan Paskalia.
"Kakak mengapa turun ke Bumi?"
Paskalia menatap Shinta dengan mata berbinar-binar. Terlihat sinar kemasgulan di wajahnya. "Aku mencari kekasihku..."
"Apa? Mencari kekasih?"
"Ya. Kekasihku yang tidak bisa kumiliki lima ribu tahun yang lalu..."
"Apa mungkin di cari di sini?"
"Guruku, Inai Songumang mengatakan dia sudah reinkarnasi di zaman modern ini."
"Tapi apakah dia masih mencintai..., Bukan, anu … maksudku apakah dia belum menikah?" Kata Shinta memperbaiki ucapannya. Mulanya dia mau mengatakan apakah laki-laki itu masih mencintai Paskalia. Tapi mengingat kecantikan Paskalia, pemuda mana yang tidak akan jatuh cinta kepadanya. Hanya persoalannya, apakah lelaki yang di carinya itu sudah menikah atau belum.
"Kami sudah bersumpah saling setia. Tak akan menikah dengan orang lain..!"
"Tapi itu kan lima ribu tahun yang lalu, Kak..."
"Biar sudah reinkarnasi, aku percaya dia tidak akan berubah...!"
Shinta terdiam. Dia menjadi iri dengan Paskalia. Lima ribu tahun menanggung rindu hanya ingin bersatu dengan laki-laki yang dicintainya. Sedangkan dia malahan di bunuh oleh pacarnya sendiri.
Tapi memang mustahil bagi Shinta untuk memiliki kesetiaan seperti Paskalia. Sebab gairahnya selalu meledak-ledak bila melihat pemuda tampan. Akhirnya dia menyadari bahwa dirinya memang berbeda dengan Paskalia. Memang dia sendirilah yang tidak setia dan selalu tertarik dengan setiap pemuda tampan.
Tanpa bermain cinta aku kelaparan
"Kak, aku mau kembali ke tempat tadi...!" Desis Shinta malu-malu ketika mereka melayang bersama.
"Baiklah. Aku tidak bisa mengganggu kesenanganmu. Tapi ingat, sekali ini saja ya." Tukas Paskalia.
“Aku akan berusaha, kakak.”Jawab Shinta masgul.
Tapi sebelum Shinta beranjak pergi, Paskalia memanggilnya.
"Ada apa, Kak?"
"Pakailah ini...!" Desisnya seraya menyerahkan sebuah gelang dari bahan perak kepada Shinta.
"Untuk apa, Kak?"
"Jika kamu memerlukanku, ketuk saja gelang ini tiga kali dan sebutlah namaku. Aku akan segera datang...!"
Shinta menerima gelang itu dan memakainya.
"Seandainya kakak memerlukanku?"
"Gelang itu juga yang akan memberitahuku. Sebab selama kamu memakai gelang itu, aku akan tahu kemana kamu pergi dan di mana kamu berada..."
"Terima kasih, Kak. Aku pergi dulu ya...!" Katanya seraya melayang pergi.
Tapi belum juga jauh dia melayang, tiba-tiba Shinta berbalik kembali.
"Ada apa lagi?" Tanya Paskalia keheranan.
"Kalau seandainya aku ingin menemui kakak tanpa harus kakak yang datang, bagaimana caranya?"
Paskalia tersenyum. "Kamu sebut namaku tiga kali dan lemparkan gelang perak itu ke atas. Nah, ikuti saja kemana dia pergi. Karena dia akan melayang ke tempatku..!"
"Terima kasih, kak..." Desis Shinta dan kali ini dia benar- benar melayang pergi.
Paskalia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia tahu sebenarnya hati Shinta cukup baik. Hanya karena seleranya terusik saja yang bisa membuatnya seperti singa yang terluka.
***
Ngoak memasang kembali celananya dan kemudian keluar dari dalam WC.
"Lama sekali BABnya?" Olok Buten ketika Ngoak masuk kembali ke dalam lanting.
"Berak garpu barangkali...!" Timbrung Serak sambil tertawa.
"Enak saja. Memangnya pernah kamu melihatku menelan garpu segala?" Tanya Ngoak kesal. "Aku sakit perut tahu. Tadi kebanyakan makan cabe rawit..."
Kawan-kawan mereka yang lainnya pada tertawa. "Habis cabai di makan seperti makan gula saja..." Olok Buten lagi.
Ngoak sudah siap membalas gurauan Buten ketika tiba-tiba, "Brruukkk...!" Terdengar sebuah suara benda jatuh dan jeritan kesakitan seorang wanita. Karuan saja keenam orang itu keluar dari dalam lanting dengan meraih senter masing-masing.
Di luar mereka mendapati tubuh seorang gadis yang terduduk di tepi lanting. Jelas sekali dia meringis menahan sakit.
"Aduh... Kakiku sakit...!" Rintihnya dengan pandangan memelas.
"Bagaimana ini?" Tanya Serak kebingungan.
"Bawa saja ke dalam...!" Usul Ijim. Sebab tadi dia sempat melirik gaun malam wanita itu yang agak tersingkap. Bagian-bagian tubuh sensitif wanita itu yang begitu putih sudah membuat jantung Ijim berdetak tak karuan.
"Mana boleh begitu. Dia wanita sedangkan yang di dalam laki-laki semua...," Kata Edy yang pada saat itu belum kehilangan akal sehatnya.
"Tolonglah aku. Kakiku sakit...!" Rintih wanita itu lagi sambil memijit-mijit kakinya.
"Angkat saja dia ke dalam. Kita coba membantunya...!" Desis Ali memutuskan. Karena dia yang dituakan di dalam kelompok itu, maka semua yang lainnya menurut.
Serak, Edy, Ijim dan Ngoak mengangkat tubuh wanita itu ke dalam lanting. Sedangkan Buten membuka pintu lebar-lebar agar mereka mudah menggotongnya. Ali sibuk mempersiapkan air panas dan minyak param untuk mengurutnya.
"Bagian mana yang sakit?" Tanya Ijim sambil menatap wanita muda yang memakai gaun warna biru langit itu.
"Di dekat pangkal kakiku ini...!" Jelasnya sambil memegang di dekat pangkal pahanya.
"Kalau kami urut, apakah boleh?" Tanya Ali penuh sopan santun.
"Urutlah. Kalau aku tidak bisa pulang kakakku akan marah...!"
Ke enam orang itu berebut mau mengurutnya. Mereka semua ingin memegang tubuh wanita yang begitu cantik itu. Sehingga tangan mereka sama-sama memegang di bagian pahanya.
Shinta tersenyum melihat kelakuan mereka. "Lebih baik masing-masing mengurut kaki dan tanganku. Semuanya terasa sakit..!"Desahnya genit sambil menatap mereka satu persatu.
Empat orang lalu berebut memegang kaki dan tangannya. Serak di kaki sebelah kiri. Buten di kaki sebelah kanan. Ijim di tangan sebelah kiri dan Edy di tangan sebelah kanan.
"Kamu tolong urut keningku...!" Pinta Shinta sambil memandang Ali. "Dan kamu tolong urut perutku...!" Katanya kepada Ngoak.
Sambil mereka mengurut gadis itu, Ali memperkenalkan diri mereka satu persatu. Mulai dari Ijim, Ngoak, Buten, Serak, Edy, dan terakhir adalah dirinya.
"Kamu sendiri siapa?" Tanya Ali setelah selesai memperkenalkan diri mereka.
"Panggil saja Shinta...!"
Keenam orang itu tetap mengerjakan tugas mereka masing- masing. Entah karena melihat kecantikan Shinta yang telah membius mereka atau karena pengaruh alkohol yang sudah cukup banyak mereka tegak. Tapi yang pasti keenam orang itu sudah tidak mampu lagi menggunakan akal sehat mereka.
Shinta memejamkan matanya menikmati pijatan keenam laki- laki yang telah membangkitkan gairahnya itu.
"Sebenarnya mengapa kamu turun ke lanting malam-malam begini, Shinta?" Tanya Edy.
"Mau buang air besar."
"Buang air besar?" Buten keheranan.
"Ya...!"
"Memangnya di rumahmu tidak ada WC?" Ngoak ikut bicara.
"Di pakai kakakku..!"
"Bisa begitu lama?"
"Sebenarnya sih tidak. Tapi aku tidak tahan lagi. Sakit perut.”
"Tapi sekarang bagaimana?" Timbrung Serak.
"Sakit perutku mendadak hilang..."
Keenam orang itu saling pandang. "Apa tidak takut berada di tengah laki-laki begini banyak?" Goda Ali ketika melihat wanita itu tenang-tenang saja.
"Takut bagaimana?"
"Kalau kami berbuat tidak baik, misalnya?"
"Tidak baik bagaimana? Yang jelas dong...!"
"Misalnya kami perkaus?" Seru Ijim sambil menyenggol siku Serak yang duduk di sampingnya.
"Di perkaus? Di perkosa, maksudmu?"
"Betul..."
Wanita itu tersenyum. "Aku tidak percaya..."
"Tidak percaya apa?" Celetuk Ali penasaran.
"Kalian memperkosaku. Aku tidak yakin kalian mempunyai keberanian melakukannya..!"
"Kamu menantang?" Tanya mereka serentak. Akal sehat mereka sudah tidak berjalan lagi. Karena mustahil ada wanita yang malam-malam menantang mereka untuk bermain seks sendirian jika dia adalah wanita baik-baik.
Kalian tidak tahu siapa aku.
Gadis itu tidak menjawab. Tapi perlahan-lahan dia melepaskan tangan-tangan yang sedang mengurutnya. Dia duduk dan terus berdiri. Sesaat kemudian dia lalu melepaskan semua yang menutupi tubuhnya dan keenam orang itu jadi terpana ketika sesuatu pemandangan indah terpampang di depan mereka.
"Aku ingin tahu, apakah kalian berenam mampu memuaskanku?" Tantang Shinta dengan berani.
Kontan saja kelelakian keenam anak muda itu tersentak. Mereka saling pandang dan berikutnya seperti di komando saja mereka menyerbu ke arah Shinta.
"Eit, tunggu dulu...!" Desis Shinta.
"Apa lagi?" Tanya mereka serentak. Tampak sekali keenam orang itu sudah tidak sabaran lagi.
"Aku punya aturan main..."
"Aturan bagaimana?"
"Harus satu-satu."
Keenam orang itu kembali saling berpandangan. "Siapa yang pertama harus memulai?" Tanya Buten sudah tidak sabaran.
"Dari yang paling muda...!" Jelas Shinta sambil melirik Ijim. Diantara mereka, Ijimlah yang paling muda dan tampan, hanya tubuhnya paling kecil.
Akhirnya dimulai dari Ijim, Ngoak, Buten, Serak, Edy dan yang terakhir Ali. Tapi ternyata Shinta tidak apa-apa. Malahan dia minta dan minta lagi. Justru keenam orang itu yang dibuatnya kewalahan.
Ali dan kawan-kawannya terkapar kelelahan. Baru kali ini mereka menemukan wanita yang staminanya sangat kuat. Mereka tidak pernah menduga jika wanita itu adalah roh penasaran seorang wanita.
"Terima kasih. Aku permisi pulang...!" Desah Shinta sambil mengemas dirinya.
Dia lalu naik ke darat. Ketika sudah kira-kira tidak ada yang melihatnya, tubuhnya melayang sambil tertawa cekikian. Puas. Dia tidak mau mereka tahu jika dirinya adalah roh penasaran yang haus seks.
***
Menonton The Lord of the Rings (LOTR)
Cindy berendam di dalam bak mandi di rumah bibinya di kawasan Jeruju. Dia menggosok tubuh dengan penuh perasaan. Sambil mandi dan berendam seperti itu, Cindy lalu teringat akan masa lalu percintaannya dengan Anton. Pemuda yang telah memperkenalkan dirinya dengan kehidupan yang tidak bermoral.
Pada waktu itu ada acara tujuh belasan. Panitia mendatangkan banyak artis dangdut dari Jakarta. Sehingga sebagai anak muda yang senang dengan keramaian Cindy jadi ikut-ikutan nonton."
Malam pertama mereka hanya berjalan-jalan saja keliling kota dan setelah itu makan bakso. Kemudian Cindy di antar pulang.
Malam kedua, Cindy di bawa berjalan sampai ke jembatan di pinggiran kota. Pada itu tidak ada kejadian yang luar biasa. Selain sebuah ciuman di kening.
Malam ketiga, Cindy di ajak menonton film di bioskop. Pada malam itu tangan sudah semakin berani. Cindy mau melarang, tapi tak kuasa mengatakannya.
Pentas musik terbuka diadakan di Arena Remaja selama satu bulan penuh, sehingga Cindy dan pacarnya punya kesempatan untuk selalu keluar malam dan pergi bersama-sama.
Cindy dan pacarnya sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Apa lagi ini merupakan cinta pertama bagi Cindy. Di tambah lagi keahlian Anton dalam membujuk dirinya. Sehingga terjadilah hal-hal yang seharusnya hanya dilakukan oleh orang yang sudah di ikat dalam sebuah perkawinan suci.
Anton sebenarnya hanyalah pegawai negeri golongan 2B. Tapi karena dia bekerja di Kehutanan dan ditempatkan pada perusahaan, maka tidak mengherankan kalau dia mampu membuat rumah seharga 750 juta rupiah. Membeli Honda Accord senilai 250 juta. Belum lagi isi rumahnya cukup lengkap.
Ruang tamunya dilengkapi dengan satu set Sony Kirara Basso 34 inchi, dua set sofa ukiran Jepara. Satu buah akuarium berbentuk oval dan di dalamnya terdapat dua ekor arwana emas.
Belum lagi perlengkapan rumah yang lainnya, semuanya serba luks dan berharga jutaan rupiah. Sehingga kalau di hitung- hitung, rumah berserta isinya lebih dari 2 milyar rupiah.
Anton lalu mengunci pintu rumah. Dia kemudian menyuruh Cindy menyiapkan minuman ringan bagi mereka berdua. Dengan agak canggung Cindy pergi ke dapur dan menyiapkan permintaan Anton. Ketika Cindy sedang sibuk, Anton datang dan memeluk Cindy dari belakang.
"Sudah ah. Nanti minumannya tumpah." Kata Cindy menepiskan tangan Anton yang nakal.
Anton menurut. Dia lalu pergi ke ruang tamu dan memasukan sebuah disk ke dalam Sony laser disk player-nya. Kemudian dia duduk di atas sofa menunggu kedatangan Cindy.
Cindy datang membawa minuman. Kemudian dia meletakan minuman di atas meja kaca di ruang makan. Kemudian tangan Anton meraih remote control dan menghidupan laser disk playernya.
Tak lama kemudian tampaklah sebuah gambar-gambar film bermain-main di layar trinitron Sony di depan mereka, sebuah film action. Tampak seorang pemuda menolong seorang gadis bar yang di ganggu sekelompok geng Triad. Pemuda tadi pandai sekali bela diri. Para pengganggu itu di hajarnya habis-habisan, sehingga mereka akhirnya lari tunggang langgang.
Kemudian si pemuda lalu mengantar gadis itu pulang ke tempatnya. Dia berusaha menjaganya karena takut kawanan penjahat itu masih ada yang menganggu. Sebagai rasa terima kasihnya, gadis itu mengajak sang pemuda untuk makan di apartemennya.
"Iihh...!" Cindy tanpa sadar memekik. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Tidak apa-apa. Cuma kita berdua di sini." Kata Anton menenangkannya.
Pada mulanya Cindy masih malu melihatnya. Tapi karena Anton terus membujuknya, akhirnya Cindy ikut menonton kembali.
Cindy merasakan darahnya berdesir-desir. Kadang-kadang dia gemetaran merasakan rangsangan yang di dapatnya ketika melihat film itu. Cindy beberapa kali menepiskan tangan itu, tetapi Anton tidak putus asa. Dia terus mendorong tangannya sehingga akhirnya Cindy menyerah.
Cindy jadi teringat juga kalau hari-hari selanjutnya, setiap ada kesempatan Anton selalu membawa Cindy ke rumahnya.
Tapi ternyata Anton betul-betul buaya. Setelah dia berhasil mendapatkan Cindy, dia malah mencari korban baru lagi. Bahkan dia berani terang-terangan membawa gadis lain di depan Cindy. Terakhir kali Anton di paksa kawin dengan anak seorang pengusaha, sebab gadis itu sudah hamil duluan.
Hal inilah yang membuat Cindy akhirnya memutuskan hubungan mereka. Untuk apa dia mengharapkan laki-laki seperti Anton. Toh di dunia ini bukan hanya Anton saja laki-laki.
***
Adrian mengendarai Suzuki Sidekicknya dengan perlahan menyusuri jalan Komodor Yos Sudarso. Dia melihat-lihat ke sebelah kiri. Mencoba menemukan letak gang Buntu, alamat yang diberikan Cindy tempo hari.
Setelah kurang lebih tujuh menit melirik-lirik, akhirnya ekor matanya menangkap sebuah tulisan yang berterakan gang yang di carinya.
Adrian lalu menepikan mobilnya di sebelah kiri. Menetralkan persnellingnya, menarik rem tangan dan mengunci pintunya. Kemudian Adrian keluar dari dalam mobil dengan perlahan masuk ke dalam gang.
Kurang lebih dua puluh meter, ditemukannya sebuah rumah bernomor 24-B. "Tidak salah lagi..." Desis Adrian sambil memasukan carikan kertas yang bertuliskan alamat Cindy.
Adrian mengetuk pintu. Tak lama kemudian terdengar bunyi sandal jepit menyentuh lantai ubin. Kain gorden di singkap dari dalam dan sebuah wajah yang masih basah mengintip. Tubuhnya masih berkemban handuk.
Setelah melihat siapa yang mengetok, tak lama kemudian pintu lalu dibukakan.
"Masuklah, Bang Adri...!"
"Kamu baru mandi?"
"Barusan...!"
"Pantas cuaca begitu cerah..." Goda Adrian.
Sebuah cubitan menyerbu perut pemuda itu. "Aduh, hentikan...!" Jeritan Adrian kesakitan.
"Katanya suka di cubit."
"Kalau cubitan sayang sih mau. Itu tadi mau mengeluarkan ususku..."
"Maaf deh. Nggak sengaja."
Adrian melihat sekeliling. "Kok sepi?"
"Bibi dan paman lagi ke Singkawang. Katanya pulang besok.""Adik-adik sepupumu?"
"Mereka sedang berlibur ke Jakarta. Terus nanti langsung ke Singapura. Sekalian berlibur di tempat paman mereka di sana..."
"Jadi kamu sendirian di rumah?"
"Ya dong..,"
“Oh.”
Adrian lalu dipersilakan duduk, matanya berkeliaran memperhatikan detil rumah itu. Sebuah rumah yang sangat mewah sebenarnya.
“Kamu duduk dulu, ya bang. Aku bersalin dulu.” Kata Cindy lalu masuk ke dalam kamar, tetapi tidak ditutupnya.
Adrian berjalan mengikuti Cindy dan berdiri di pintu kamar. Pada saat itu Cindy sedang membuka handuknya dan tidak memakai apa-apa. Terlihat tubuhnya yang sangat putih dan mulus. Tubuh tipis tinggi tipikal tubuh peragawati. Perut yang masih ramping dan wajah yang begitu bersih.
“Dasar.” Celetuk Cindy ketika melihat Adrian menatapnya sambil menelan air liurnya.
Tanpa meminta persetujuan Cindy, Adrian lalu masuk dan memegang tangan gadis itu. Gadis itu diam saja, apa lagi ketika di lain saat Adrian sudah memeluk dan menciuminya. Adrian lalu membaringkan tubuhnya diatas ranjang Cindy yang empuk. Keduanya lalu saling berpelukan dan berciuman.
“Tidak adil.”Tukas Cindy protes.
“Kenapa sayang?”
“Aku sudah bugil, kamu masih berpakaian lengkap.”
“Baiklah.” Sahut Adrian sambil melepaskan pelukannya. Dia berdiri dan melepaskan pakaiannya satu persatu. Sementara itu Cindy menyetel AC kamar ke suhu 160 C. lalu keduanya kembali berbaring, tapi kali ini langsung memainkan peralatan masing-masing. Jari-jari Adrian bermain diantara pangkal paha Cindy, sementara telapak tangan Cindy mengenggam erat milik Adrian.
Kali ini Cindy dengan jelas bisa melihat milik Adrian yang sewaktu di dalam bis tempo hari terasa keras, penuh dan dalam.
“Ini kok seperti bekas luka?”
“Yang mana? Oh, itu. Itu dibuang.”
“Di buang?”
“Ya, punya laki-laki bagian itu memang harus dibuang. Namanya di sunat.”
“Ooh.”Kata Cindy sambil mengangguk-angguk.
Tak lama keduanya sudah berpelukan dan saling menyerang dengan ciuman. Udara dingin dikarenakan AC sudah di setel full, membuat keduanya semakin merasa terangsang. Lalu tidak lama Adrian sudah berada diatas tubuh Cindy.
Cindy membuka kedua pahanya dan Adrian dengan tidak sabar sudah mematutkan penis pada pangkal paha Cindy. Meskipun beberapa kali meleset dan tergelincir, tetapi karena Adrian sudah sangat bernafsu, maka tidak lama kemudian tubuh keduanya sudah menyatu.
“Ooohhh.”Desah Cindy ketika merasakan Adrian sudah memenuhi dirinya, dalam, dan mentok. Suatu sensasi yang tidak dirasakan ketika bersama Anton.
Kedua anak manusia itu sudah berpacu tanpa terkendali, sehingga bantal dan selimut dirajang Cindy berterbangan ke lantai. Setengah jam kemudian Cindy memekik keras bersamaan dengan Adrian yang menekankan dirinya sekuat tenaga dan keduanya lalu terkapar. Adrian menyembur dengan derasnya sekitar Sembilan kali, sehingga Cindy merasakan dirinya basah dan geli, tapi puas.
Kurang lebih lima belas menit setelah itu, keduanya kembali berpakaian dan keluar, sementara Cindy mengenakan celana training dan baju kaus lengan panjang. Keduanya lalu kembali duduk di ruang tamu.
“Paman dan bibimu usaha, apa?” Tanya Adrian penasaran melihat situasi rumah mereka dan peralatan di dalamnya yang serba lengkap dan luks.
“Pemijahan dan pembesaran ikan Arwana.”
“Oh, pantasan mereka kaya.” Seru Adrian kagum karena ikan itu bisa berharga ratusan juta untuk satu ekornya.
Keduanya saling pandang. “Jadi sekarang kamu sudah tahu tempatku, kan?”
“Yapp.”
“Mau minum apa?” Tanya Cindy ketika merasakan dirinya haus setelah pergumulan keduanya barusan.
“Apa yang ada?”
“Kalau mau yang panas, aku buatkan. Kalau mau yang dingin, ambil sendiri di dalam kulkas.” Sahut Cindy.
"Dingin."
“Ambil sendiri atau ditolong?”
Adrian beranjak dan membuka kulkas merek Sharp berpintu ganda itu. Di ambilnya sekaleng Coca-Cola. "Tak ada pipetnya...?"
"Sebentar..." Desah Cindy sambil pergi menuju ke arah dapur. Dia lupa menyimpan pipet di dalam kulkas.
Setelah memberikan pipet kepada Adrian, Cindy juga mengambil sekaleng Coca Cola dari kulkas dan membuka kalengnya serta langsung meminumnya dengan sedotan.
“Mulutmu seperti tadi.” Gurau Adrian ketika melihat mulut Cindy menyedot Coca Cola itu.
“Dasar getek. Tapi kamu sukakan?”sahut Cindy tersenyum.
Keduanya lalu tersenyum teringat pemanasan keduanya sebelum melakukan hubungan intim. Keduanya beberapa kali melakukan posisi 69.
“Semua urusan tempo hari bagaimana? Apakah sudah selesai?” Tanya Adrian ketika teringat akan tujuan Cindy pulang ke Sintang.
“Semua OK.”
“Ada biayanya?”
“Lumayan.”
“Tidak apa-apalah. Yang penting semuanya bisa tuntas.” Tukas Adrian sambil terus menikmati Coca Colanya. Karena haus, sebentar saja habis diseruputnya.
“Kalau kurang, tambah lagi.” Saran Cindy melihat Adrian minum dengan cepat.
“Sudah Cukup.” Jawab Adrian sambil mengelus perutnya. Penuh. “Kalau yang itu, boleh.”
“Ndak aah, capek.”Sahut Cindy. Kamu mainnya lama dan kuat sekali.”
“Yang pentingkan kamu puas dan nikmat.”
“Nikmat sih nikmat, tapi sakit.” Keluh Cindy sambil meraba selangkangannya. “Oh ya, kapan kamu datang dari kampung?”
“Kemarin malam. Cukup larut, sehingga tidak sempat mencari ke sini.”
“Ooh.”
Minuman Coca Cola Cindy pun habis. Keduanya saling pandang dan bengong.
“Kita nonton di bioskop saja, yok!” Tawar Adrian.
“Filem apa?”
“Terserah. Nanti kita lihat di sana. Yang penting kita nonton.”
“Okay. Tapi aku ganti training ini dulu ya.”
“Sip. Aku tunggu di sini.” Jawab Arian sambil menunggu kekasihnya ini berganti celana trainingnya di dalam kamar. Keduanya lalu berangkat dengan menggunakan mobil Ardian.
Siang itu keduanya nonton di theater Galaxy, filem The Lord of the Rings. Sebuah theater yang tata suaranya sangat bagus di kota Pontianak.
***
Terhalang Adat Kuno Yang Kejam
Paskalia duduk di tepi tebing batu sambil memandangi air riam yang cukup jelas disinari cahaya perak bulan purnama. Air sungai itu seperti tidak letih-letihnya mengalir, bergolak, berputar dan menghunjam ke dasar sungai yang dalam. Suaranya cukup bergemuruh, apa lagi dalam suasana malam yang nyaris sepi selain suara air sungai yang bergejolak.
Tiba-tiba angin berhembus dan sebuah tubuh cantik muncul di dekat Paskalia. "Dari mana saja kamu, Shinta?" Tanyanya Paskalia tanpa menoleh. Karena dia sudah tahu siapa yang datang.
"Biasa, Kak...!" Jawab gadis yang baru datang itu malu- malu sambil meraih kembali gelang yang memandunya.
Paskalia kembali menatap ke arah riam yang selalu bergolak itu.
"Kakak suka dengan alam, ya?" Celetuk Shinta.
Gadis yang di tanya itu tersenyum. "Memandang alam membuat hatiku sejuk. Dan..." Paskalia tidak melanjutkan ucapannya.
"Dan apa, Kak?"
"Aku seperti melihat wajah kekasihku di sana...!"
Shinta memandang wajah Paskalia dalam-dalam. Cahaya perak rembulan membuatnya seperti dewi malam. Wajah yang cantik dan lembut. Rambutnya panjang sampai ke tumitnya tapi di gelung ke atas. Tubuh yang tinggi tetapi tipis dan ramping di bungkus gaun warna hitam, sehingga makin menampakan kulitnya yang begitu putih. Seorang gadis yang mempunyai kecantikan yang tidak ada tandingannya.
"Sungguh bahagia laki-laki yang mendapatkan cinta kakak itu..." Komentar Shinta tanpa sadar.
"Mengapa?"
"Kakak begitu cantik dan berilmu tinggi. Bahkan rela menunggu sampai ribuan tahun. Apa itu tidak membahagiakannya?"
"Justru aku yang berbahagia menerima cintanya...!"
"Kok bisa begitu, Kak?"
Paskalia meraih sebuah kerikil kecil. Dilemparkannya ke arah riam yang mengalir di bawah mereka. Batu itu tenggelam dengan menimbulkan riak yang tidak kelihatan di makan gelombang riam.
Dia lalu menyungging sebuah senyuman kecil. "Ryan begitu tampan dan kaya. Dia juga sakti mandraguna. Tapi dia mencintai aku dengan tulus. Padahal dia bisa mendapatkan gadis yang sederajat dengannya. Apapun halangannya. Tapi dia tetap mencintaiku. Bahkan dia rela tidak menikah sampai akhir hayatnya...!" Jelas Paskalia dengan panjang lebar dan dalam suara penuh haru.
"Kak, boleh aku tahu lebih jauh tentang dirimu?"
Paskalia tersenyum. "Sebenarnya tidak ada yang menarik...," Katanya memulai ceritanya.
"Tapi kakak mau bercerita, kan?"
Paskalia menggangguk. Hubungannya dengan Shinta semakin akrab. Walaupun pada awal pertemuan mereka di mulai dengan pertentangan. Tapi akhirnya mereka jadi bersahabat dan bahkan menganggap hubungan mereka sebabgai kakak dan adik. Lebih- lebih lagi karena Shinta begitu manja padanya.
"Peristiwa tragis yang menimpa diriku terjadi kurang lebih lima ribu tahun yang lalu." Tutur Paskalia memulai ceritanya. "Pada waktu itu di Kalimantan masih dalam jaman Kanyou."
"Kanyou? Apa itu kanyou, Kak?"
"Kanyou itu Bahasa daerah tempat aku dilahirkan, sedangkan dalam Bahasa Indonesia adalah mengayau. Itu adalah jaman perang antar suku di pulau besar Kalimantan ini." Jelas Paskalia. "Di jaman Kanyou, setiap suku atau kelompok yang kalah perang akan menjadi budak pihak yang menang."
"Wah, kejam ya Kak."
"Memang kejam. Tapi waktu itu siapa yang paling banyak membunuh maka dia akan semakin disegani dan di anggap sebagai orang hebat...! Isitilahnya waktu itu adalah tahtou motong hullah bollum atau artinya kaya raya, hebat dalam mengayau dan banyak membunuh, maka itulah yang pantas hidupnya disegani dan diapresiasi."
"Suatu pendapat yang keliru..."
"Itu juga yang dikatakan oleh Ryan pada waktu itu..."
"Apa? Lima ribu tahun yang lalu dia sudah bisa berpendapat demikian?"
"Betul. Dan itulah salah satu segi yang membuat aku sangat mencintainya. Ryan sudah menentang nilai-nilai yang dianggapnya sia-sia. Karena waktu itu, tidak ada cinta. Tidak ada keperdulian terhadap perasaan. Mereka terlalu membanggakan sebuah adat istiadat yang kejam. Mereka menganggap bahwa adat istiadat merekalah yang paling benar, paling hebat."
"Lalu kenapa kakak tidak bisa menikah dengannya? Apa hubungannya antara adat istiadat itu dan cinta kakak dan Ryan?"
"Karena hubungan kami tidak disetujui oleh keluarganya..." Desah Paskalia sedih.
"Apakah dia sudah dijodohkan dengan orang lain?"
Gadis cantik itu menggelengkan kepalanya. "Tidak...!"
"Lalu kenapa Kakak tidak bisa menikah dengannya?"
"Kami berbeda status..."
"Kan bisa kawin lari, Kak?"
Paskalia terdiam. Dia seperti susah mengutarakannya. "Kalau hanya keluarganya yang tidak setuju, kami bisa saja kawin lari, tapi ini persoalannya lain. Seluruh penduduk menentangnya. Seluruh anggota suku tidak setuju."
"Mengapa bisa begitu Kak?"
"Karena aku adalah Jihpon Desa’ nya."
"Jihpon Desa’? Istilah apa lagi itu, Kak?"
"Itu adalah bahasa Dayak Dohoi Uut Danum untuk mengatakan budak belian..."
"Aahh...!" Seru Shinta kaget. "Maafkan aku kalau menyinggung perasaanmu Kak..." Katanya sedih. Karena ternyata Paskalia adalah seorang budak belian pada 5000 tahun yang lalu.
"Tidak apa-apa. Memang sebaiknya kamu tahu. Itulah fakta kehidupanku lima ribu tahun yang lalu. Aku hanyalah seorang budak belian dan tidak memiliki ilmu apa-apa."
Shinta terkejut. "Jadi pada waktu itu di Kalimantan sudah ada perbudakan, ya Kak?"
"Betul..."
"Tapi cintakan tidak pandang kedudukan maupun status, Kak..."
"Aturan waktu itu tidak membolehkan seorang budak belian kawin dengan tuannya..."
Shinta terdiam. Dia bisa mengerti kalau hubungan Paskalia dan Ryan sangat di tentang. Di belahan dunia lain juga begitu, seperti di masa perbudakan dikalangan bangsa-bangsa di Afrika ribuan tahun yang lalu dan juga di Amerika Serikat ratusan tahun lalu misalnya.
"Jadi kakak dan dia tidak berani berhubungan secara terang-terangan?"
"Uk...uuu." Jawab Paskalia sambil menganggukan kepala. "Kami berpacaran secara diam-diam. Tapi karena kami tinggal satu kompleks, maka kami bisa mengatur waktu untuk bertemu..."
"Lalu bagaimana kakak berpisah dengan dia?"
Gadis cantik bergaun hitam itu lalu memandang Shinta dalam-dalam. "Sebaiknya kamu lihat saja sendiri...!" Katanya sedih.
"Melihatnya sendiri? Bagaimana, Kak?" Tanya Shinta penasaran.
"Kamu pindahlah ke depanku dan duduklah dalam sikap semedi...!" Kata Paskalia.
Shinta hanya menurut saja. Sebab dia percaya akan kesaktian kakak angkatnya ini.
"Kemarikan kedua tanganmu. Telapaknya di buka dan hadapkan ke atas...!"
Lagi-lagi Shinta menurut. Paskalia lalu menutup kedua telapak Shinta dengan kedua tangannya. "Pejamkan matamu...!" Perintahnya Paskalia.
Shinta tetap menurut. Paskaliapun lalu memajamkan matanya. Dia membayangkan kejadian 5000 tahun yang lalu, sehingga ingatannya itu kembali terlukis dengan jelas dan secara gaib hal itu tersalurkan kepada Shinta melalui pertemuan telapak tangan mereka berdua.
Pada awalnya hanya kegelapan yang di lihatnya. Tapi beberapa detik kemudian Shinta merasa seperti tiba-tiba terdampar ke dalam sebuah alam mimpi. Dia berada di suatu tempat yang sama sekali asing baginya.
Tetapi yang pasti, dia mencatat bahwa tempat itu adalah suatu lokasi yang sepertinya di jaman kuno. Hal ini diketahui dari bentuk bangunan dan pakaian penduduk yang dilihatnya. Tempat itu sepertinya berada di sebuah halaman sebuah rumah Betang yang begitu besar dan masyarakat yang hadir di situ begitu ramainya. Sepertinya mereka sedang berpesta adat dan orang ramai sedang berkerumun. Rambut mereka baik laki-laki maupun perempuan semuanya panjang dan ada yang bertelanjang dada. Tubuh mereka yang bertelanjang dada itu dipenuhi dengan tato yang bentuknya belum pernah dilihatnya. Dipinggang mereka bergelantungan mandau dengan asesoris pusakanya. Sebagian penduduk memegang tombak panjang dan ada juga yang sambil memegang perisai. Para wanitanya berpakaian adat yang asing dan dikepala mereka banyak yang menggunakan caping dengan hiasan dan asesoris yang belum pernah dilihatnya.
Di sebelah kiri sebuah rumah panjang terdapat tempat menggantung gong. Di sana terdapat enam buah gong dengan ukuran lima jengkal sampai dua belas jengkal orang dewasa. Di dekat tiang tempat menggantung gong itu terdapat dua deret Klenong yang masing-masing terdiri dari dua belas buah.
Di tengah-tengah kerumunan penduduk itu terdapat sebuah pandung, yaitu tempat menyimpan babi untuk acara pesta adat dan di dekatnya terdapat sebuah tiang besar dari kayu besi khas Kalimantan yang terkenal tahan lama sampai ribuan tahun untuk menambatkan sapi dan kerbau.
Shinta berjalan ke sana kemari tapi anehnya tidak ada seorangpun yang perduli dengan kehadirannya. Bahkan menoleh padanyapun tidak. Sepertinya dirinya tidak pernah ada. Sepertinya kehadirannya tidak terlihat atau sama sekali tidak terdeteksi oleh panca indera mereka. Bahkan yang lebih aneh lagi, beberapa kali mereka menabraknya tetapi Shinta sama sekali tidak merasa apa-apa dan mereka pun sepertinya sama sekali tidak merasakan apa-apa.
***
Dijadikan Tumbal
Di lain saat pandangan Shinta membentur sesosok tubuh yang terikat di sebuah tiang dari kayu tebelian atau kayu besi yang merupakan kayu khas Kalimantan, yang ukurannya sebesar dua kali pelukan orang dewasa. Sosok yang terikat itu adalah tubuh seorang wanita. Dan ketika dia perhatikan dengan seksama, ternyata Shinta mengenali wajah wanita itu.
"Kak Paskalia...! Kak Paskalia...!" Teriaknya kaget dan khawatir. "Mengapa tubuhmu terikat, Kakak?"
Tapi anehnya, Paskalia seperti tidak mendengar panggilannya. Dan lebih aneh lagi, orang-orang yang ramai berkerumun itupun tidak ada yang mendengar suaranya. Mereka sibuk sendiri tanpa ada yang melihatnya ataupun memperhatikan dirinya.
Shinta berusaha berlari ke tempat Paskalia terikat. Tapi kedua kakinya terasa tidak mampu lagi digerakan lebih dekat. Bagaimanapun dia mencoba, tetap tidak bisa. Akhirnya dia hanya bisa menatap Paskalia yang terikat tidak berdaya di tiang itu dengan perasaan sedih.
Beberapa saat kemudian, terlihat kerumunan orang itu mengangkat tubuh Paskalia yang terikat ke suatu tempat. Dan anehnya, Shinta lalu bisa menggerakan kakinya kembali untuk mengikuti arah perjalanan mereka. Tanpa menunggu lebih lama dia lalu mengikuti tujuan orang-orang itu.
Rupanya tubuh Paskalia di bawa menuju sebuah lubang yang cukup dalam. Lubang itu masih baru, karena tampak jelas tanahnya masih berwarna kuning kemerahan. Lebarnya sekitar satu meter dan dalamnya sekitar empat meter jika diukur dengan ukuran sekarang. Kemudian kerumunan orang itu lalu bersorak sorai dan mengeluarkan kata-kata dalam sebuah Bahasa daerah yang sama sekali tidak di mengerti oleh Shinta.
Mereka juga melakukan gerakan seperti sebuah tarian perang yang Shinta ketika karena sering ditampilkan di acara televisi. Mereka berteriak riuh rendah, di pinggang tergantung mandau dengan segala asesoriesnya. Tangan mereka ada yang memegang perisai dan ada juga yang menenteng tombak pusaka. Semuanya tampak waspada dan beringas.
Lalu mereka secara beramai-ramai membuat gerakan mengelililingi lobang besar itu sebanyak tujuh kali diiringi sebuah alunan suara dalam Bahasa yang asing tadi dengan nada panjang dan diakhiri sebuah pekikan serentak yang keras membahana.
"Lololololololololo...lo.....Ooooooooiiiii..... Hou ....!" Teriak mereka nyaring memenuhi tempat itu. Hal itu juga mereka lakukan sebanyak tujuh kali
Tak lama kemudian tubuh Paskalia dilemparkan ke dalam lubang itu dan saat berikutnya beberapa orang laki-laki dengan tubuh kekar mengangkat sebuah tiang yang sebesar tiga kali pelukan orang dewasa dan panjangnya lebih dari tiga gagang tombak.
Tiang besar dari kayu besi yang sangat keras itu lalu dihunjamkan ke dalam lubang di mana Paskalia tadi dimasukan dan hunjaman tiang itu mengeluarkan suara dentuman yang bergemuruh dan terasa tanah di sekitarnya begetar kuat sehingga tubuh Shinta pun ikut bergetar. Bersamaan dengan lenyapnya suara dentuman itu tiba-tiba darah segar memuncrat ke atas dan menyirami orang-orang yang berada di sekitar lubang.
Sekitar beberapa detik setelah itu, terjadilah petir dan angin ribut. Tak lama kemudian hujan turun seperti dicurahkan dari langit. Suara petir sambung menyambung dan angin ribut laksana ribuan siluman mengamuk. Rupanya alam ikut bersedih karena tali kasih dua anak manusia dipisahkan oleh kekejaman adat istiadat untuk menjaga sebuah gengsi yang sia-sia.
"Kak Paskaliaaaaa......!" Teriak Shinta histeris dan dia jadi kaget sendiri ketika tiba-tiba tubuhnya terhempas dan di depannya berdiri Paskalia dalam keadaan segar bugar.
"Kak, kamu kok tidak apa-apa? Padahal tadi jelas sekali kulihat kakak...," desah Shinta terputus-putus dan tidak berani meneruskan ucapannya.
Paskalia tersenyum. "Apa yang kamu lihat itu adalah kejadian yang menimpaku lima ribu tahun yang lalu."
"Jadi kakak di bunuh oleh mereka?" Tanya Shinta perlahan.
"Ya. Malahan lebih hina dari di bunuh. Aku mereka jadikan sebagai Tohucak Kodiring..."
"Tohucak Kodiring. Istilah apa lagi itu, Kakak?" Tanya Shinta bingung.
"Tohucak adalah sejenis tumbal. Sedangkan Kodiring adalah tempat menyimpan tulang belulang manusia setelah di angkat dari kuburan dalam pesta adat kematian, Dallo’.” Jadi Tohucak kodiring itu bisa diartikan sebagai tumbal untuk pendirian Kodiring itu. Pada jaman itu adalah sesuatu yang sangat hina dan terkutuk.
Shinta menatap Paskalia kebingungan. "Mengapa tulang harus di angkat dari kuburan, Kak? Dan mengapa tiangnya harus ada Tohucaknya?"
Paskalia tersenyum pahit. "Manusia di dunia ini masing- masing mempunyai kebiasaan dan adat istiadat yang aneh-aneh. Demikian juga di dalam masyarakat di daerah tempat kelahiran Ryan. Mereka mempunyai kebiasaan mengangkat tulang dari dalam kuburan keluarganya dengan acara adat Dallo’. Dan celakanya, setiap pendirian tiang Kodiring mereka harus mencari kepala manusia untuk dijadikan tohucaknya."
Adat yang kejam, gumam Shinta dalam hatinya.
"Eh, kak. Tadi katanya biasanya kepala manusia yang dijadikan Tohucak Kodiring? Tapi mengapa kakak menjadi Tohucak Kodiring dalam keadaan tubuh yang lengkap?"
"Itu atas permintaan Ryan..."
"Permintaannya?"
"Ya. Sebab menurut guru kebathinan Ryan, dengan mati dalam tubuh yang lengkap maka saya bisa reinkarnasi menjadi manusia..."
"Jadi beda dengan orang yang kepala dan badannya terpisah?"
"Beda. Sebab orang yang sewaktu meninggal tubuhnya tidak utuh, maka sewaktu reinkarnasi dia terlebih dahulu akan menjadi binatang ataupun tumbuh-tumbuhan..."
Shinta mengangguk-angguk walau sebenarnya dia sama sekali tidak mengerti. Suatu adat istiadat yang aneh dan kepercayaan yang mustahil.
“Oh ya, Kak. Jadi orang-orang sukunya Ryan itu percaya dengan reinkarnasi juga?”
“Mereka percaya reinkarnasi. Bahkan menurut mereka, jika seseorang manusia di masa hidupnya sering berbuat jahat, maka bisa bereinkarnasi berkali-kali menjadi binatang, tumbuhan atau apa saja selain manusia. Tetapi kalau di masa hidupnya dia orang baik, maka begitu bereinkarnasi maka langsung dia menjadi manusia.
Kedua roh cantik itu lalu kemudian saling diam. Paskalia kembali menatap air sungai yang beriak dan memantulkan sinar perak dewi malam yang begitu indah. Sedangkan Shinta terbayang akan peristiwa-peristiwa mengerikan yang baru saja di lihatnya tadi. Dia tidak pernah menyangka ada kekejaman seperti itu di dunia ini.
"Lalu bagaimana kakak bisa mempunyai ilmu gaib sedemikian tinggi?" Kata Shinta memecahkan kebisuan mereka.
Paskalia tidak langsung menjawab. Dia mengangkat wajahnya menatap ke atas, ke arah bulan purnama yang memandikan mayapada dengan sinarnya.
"Itu kebaikan hati guru kebathinan Ryan."
"Gurunya?"
"Ya. Okok Bacong, gurunya Ryan. Rohku di sihirnya menjadi sebutir telur burung enggang dan di simpannya di sebuah gua yang sangat terlindung di puncak bukit Liang Kohkam. Setelah telur itu menetas menjadi seekor burung enggang betina, aku di suruh bertapa sampai menjadi seorang manusia kembali. Menjadi seorang gadis. Dan ternyata hal itu memerlukan waktu selama lima ribu tahun. Dan dalam tapaku itu aku bertemu dengan guru terakhirku, yaitu Inai Songumang."
“Inai Songumang? Siapa itu kakak?” Selidik Shinta heran.
“Inai Songumang itu artinya ibu nya si Songumang,” jelas Paskalia.
“Lalu, Songumang itu siapa kakak? Sepertinya begitu penting?” Tanya Shinta semakin penasaran.
Paskalia tersenyum memandang Shinta. Rupanya semasa hidupnya dia adalah gadis yang cerdas, karena rasa ingin tahunya besar sekali. “Baiklah, akan kuceritakan secara singkat saja, karena ceritanya panjang,” tukas Paskalia.
“Baik, kakak. Aku siap mendengarkan.” Desis Shinta penuh perhatian.
“Itu suatu legenda atau kepercayaan ditempat Ryan dilahirkan. Mereka mengenal beberapa jaman dalam tradisi lisan mereka. Yang pertama itu adalah jaman Konyorian Paring Aang atau jaman terjadinya alam semesta ini miliaran tahun yang lalu.
Jaman yang kedua adalah jaman Konollimoi, yaitu masa di mana mereka sebagian masih hidup di langit dan manusia di jaman ini memiliki kesaktian yang tidak bisa ditandingi manusia.
Jaman yang ketiga, adalah jaman Tahtum, yaitu jaman kepahlawanan mereka, terutama sekali berkaitan dengan pahlawan hebat seperti Tambun dan Bungai.
Sedangkan jaman yang terakhir atau jaman ke empat adalah jaman kesah, yaitu jaman setelah jaman Tahtum sampai sekarang ini. Itu pun panjangnya ribuan tahun. Di jaman ini yang paling terkenal adalah Kunum dan Nyahu’.”
“Wah, panjang juga usia sukunya Ryan itu ya, kakak. Sampai miliaran tahun, sementara suku-suku di bumi ini yang sudah diketahui hanya beberapa ratus ribu tahun saja.” Kata Shinta kagum.
“Menurut ceritanya sih seperti itu. Karena aku sendiri bukan anggota suku itu, karena aku hanyalah Jihpon mereka,” jawab Paskalia datar.
“Terus hubungannya Kakak dengan Songumang tadi, Kak?”
“Nah. Menurut kepercayaan di dalam sukunya Ryan, pada jaman yang pertama atau jaman kejadian alam semesta ini, segala sesuatunya belum ada. Galaksi seperti Bima Sakti, Magellan, Andromeda, dan yang lainnya juga belum ada. Apa lagi bintang-bintang pengisi galaksi seperti matahari kita, tata surya kita dengan para planetnya maupun meteor yang bertebaran di ruang angkasa diantara para planet itu. Pada saat itu di alam semesta ini yang ada hanyalah suatu ruang hampa yang gelap gulita.
Lalu di suatu masa, muncullah sekelompok Havun atau kabut raksasa di alam ini, yang di sebut dengan Jurang Juri’ Danum Sangen Juoi Booi Konolimoi, yang artinya Havun atau awan raksasa yang bergerak ke sana kemari tanpa ada tempat berpijak atau bertahan karena alam semesta masih kosong sehingga kemudian menjadi legenda yang abadi.
Kemudian setelah beberapa waktu yang mungkin miliaran tahun lamanya, dari dalam Havun ini terbentuklah Hitan Pihtu’ Kungan atau tujuh buah Bongkah Intan yang ukurannya sangat raksasa. Ketujuh bongkah intan raksasa ini berkeliaran mengisi alam semesta, yang mungkin lamanya miliaran tahun juga. Pada suatu saat, ke tujuh bongkah Hitan Pihtu’ Kungan ini lalu meledak dan masing-masing pecahannya sebagai hasil ledakannya lalu menjelma mengisi alam semesta ini.
Bongkahan yang pertama meledak dan mengisi alam ini. Ledakan awal dari bongkah intan yang pertama ini menjadi Tana’ Danum atau bumi, Mahtan Ondou atau matahari, Potion atau bintang-bintang, Amai Paang atau planet Mars, Potondu’ atau Rasi Bintang Biduk dan lain sebagainya. Lalu sisa bongkahan yang pertama itu meledak lagi dan kemudian menjadi Lunuk Ilai Pohotalla’ Lunuk Llupung Palusch Bulou Ngahpih Sambang Bahen Andou Ngambou Tukang Langit Diang, yaitu sebuah pohon beringin raksasa yang tumbuh di muka pintu langit atau pintu masuk ke langit lapis pertama.
Lalu bongkahan yang ke dua meledak dan menjelma menjadi Llunuk Kosana’ Jo’ Ngambou Tumbang Danum Sollatusch, yaitu sebuah pohon beringin raksasa yang tumbuh, menjulang dan menaungi di muara seratus sungai. Beringin ini berakar di Pinda’ Danum atau Alam Bawah, di pinda’ Ondou atau Bumi, dan danum konollimoi atau di langit atau Alam Atas.
Bongkahan yang ke tiga meledak dan menjadi muvuh Inai Songumang, muvuh Inai Songallang, muvuh Inai Komandai. Di mana mereka ini terutama sekali Inai Songumang menjadi orang yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Mereka mampu menciptakan segala sesuatu tanpa memerlukan bahan, karena mereka memiliki Kuhtuh Bullou Taoi atau sebongkah emas yang mampu memberi mereka kuasa untuk membuat atau menciptakan segala sesuatu hanya dengan berkata-kata saja. Mereka inilah yang menjadi manusia pertama di jagat raya ini. Yang uniknya, manusia pertama menurut versi sukunya Ryan ini adalah kaum wanita.
Bongkahan yang keempat meledak menjadi Muvuh Buhkui Llehkan Pullun Pullu’ Muvuh Kuvung Bahen Duhung, yang menjadi cikal bakal manusia Kolimoi. Yaitu muvuh inai Tingang, dan muvuh Inai Oling. Mereka ini juga merupakan orang-orang yang sakti, tetapi tingkatannya masih satu tingkat di bawah manusia Kollimoi yang merupakan hasil ledakan Hitan Pihtu’ Kungan yang ke tiga.
Bongkahan yang ke lima meledak menjadi Lluung raja para mahluk gaib dan para jin yang jahat dan dia berdiam di lautan. Itulah sebabnya konon ceritanya menurut leluhur sukunya Ryan segala jenis penyakit itu lebih banyak berasal dari lautan.
***
Manusia Tersakti Di Alam Semesta
Bongkahan yang ke enam meledak ke Pinda’ Danum atau dalam perut bumi dan menjadi manusia di dalam perut bumi, yaitu muvuh Inai Pongeran Llihtih Mukan Tava’ Asan Jo’ Torusan Tolluk Langan Mocon Tollingan Cahai Hitan, yang pada akhirnya nanti menurunkan sampai ke Tambun yang merupakan salah satu ksatria besar di jaman Tahtum. Tambun ini adalah saudara sepupu Bungai, yang juga merupakan salah satu ksatria besar di jaman Tahtum. Keduanya merupakan pasangan yang sangat luar biasa dan tidak terkalahkan oleh siapapun, apa lagi keduanya selalu membela kebenaran.
Sedangkan bongkahan yang ke tujuh meledak dan menjadi Atang Hojolla’ Bullou. Lalu Atang Hojolla’ Bullou memperanakan Pillang Puhtung Nakui Llangit, Pillang Puhtung Nakui Llangit memperanakan Sobilla’ Nakui Kollatung, Sobilla’ Nakui Kollatung memperanakan Atang Taoi, dan Atang Taoi lalu memperanakan Sohavung.
Secara bersamaan juga, bongkahan yang ke tujuh atau yang terakhir ini menjadi cikal bakal masyarakat Dohoi Uut Danum di Pinda’ Ondou atau di bumi ini, yang waktu ledakannya diperkirakan setelah ledakan yang menjelma jadi Atang Hojolla’ Bullou.
Pada jaman Kesah yaitu jaman yang ke empat, Sohavung sering turun ke Bumi. Caranya turun adalah dengan memakai Pollaka’ Bullou atau sebuah bentuk persegi empat yang terbuat dari emas murni termasuk talinya. Tercatat ada tujuh kali Sohavung ini turun ke bumi dan dalam waktu yang hampir bersamaan, di tempat yang berlainan.
Dan ketika berada di bumi, dia menikahi orang-orang di bumi ini. Tujuannya turun ke bumi adalah untuk menghentikan permusuhan antar sesama Anak Danum Kollunon atau sesama umat manusia atau suku Dayak yang pada waktu itu saling mengayau dan dia juga menetapkan tentang Hukum Adat dan lainnya bagi masyarakat di mana dia turun.
Lalu ada Atang Taoi di sini, yaitu manusia yang berbentuk burung elang raksasa. Uniknya, pada saat masyarkat Dohoi Uut Danum menghadapi musuh yang kuat, maka Atang Taoi inilah yang sering dipanggil bantuannya, dengan upacara yang sebut Naah Atang.”Jelas Paskalia cukup panjang lebar.
“Lucu kakak. Katanya singkat, tapi cukup panjang juga.” Komentar Shinta sambil tersenyum.
“Memang itu singkatnya. Karena kalau diceritakan sesuai versi aslinya yang menggunakan Bahasa Kandan atau Tahtum, maka bisa berminggu-minggu baru selesai untuk satu cerita.”Jelas Paskalia tenang.
“Waduh, mati aku kak. Tapi, Eh, Kak. Bahasa Kandan itu apa lagi?” Tanya Shinta semakin penasaran.
“Oh, itu.”Kata Paskalia sambil menganguk. “Di dalam suku Dayak Dohoi Uut Danum itu ada beberapa tingkatan Bahasa sastra dalam tradisi lisannya. Yang paling tinggi itu Bahasa Kandan, yang kedua Bahasa Tahtum, dan yang ketiga itu Bahasa Parung.”
“Waduh, kakak. Pusing aku mendengarnya.”Celoteh Shinta. “Mungkin kakak berikan aku contohnya saja. Satu kata saja, biar aku faham.”
“Baiklah.” Sahut Paskalia. “Misalnya untuk mengatakan manusia. Kalau Bahasa sehari-hari di sebut Kollunon. Kalau Bahasa Parung bisa juga disebut Kollunon atau anak danum kollunon. Kalau dalam Bahasa Kandan, maka akan di sebut munding llendan.”
“Waduh, kakak. Ternyata Bahasa-bahasa di Indonesia ini luar biasa ya. Banyak yang begitu rumit seperti Bahasa Dohoi Uut Danum ini ya. Jadi lebih bagus Bahasa Uut Danum yang biasa saja atau yang sehari-hari, pasti lebih mudah.”
“Tidak juga. Di dalam Bahasa Dohoi Uut Danum ini, untuk satu kata bisa banyak sinonim tergantung halus kasarnya kata. Juga tergantung benda dan kegunaannya. Untuk mengatakan makan saja ada enam belas kata dari yang kasar sampai halus. Misalnya untuk orang yang tingkatannya sejajar, kita gunakan kata kuman untuk makan. Tapi untuk yang lebih tua atau yang kita hormati, kita gunakan deka’ untuk makan.
Itu belum pengucapan abjadnya yang banyak yang tidak terdapat seperti kebiasaan dalam Bahasa Indonesia. Seperti pelafalan huruf L yang caranya seperti pelafalan L di dalam Bahasa Jepang. Pengucapan V seperti cara pelafalan di kebiasaan Bahasa-bahasa Eropa, di mana di Indonesia huruf V ini dilafalkan sebagai F. Selain itu, pengucapan huruf S yang tidak ada di bahasa manapun di dunia ini.”
“Aduh, kakak. Semakin pusing kepala gue. Sudah, deh. Lanjutkan cerita tentang Songumang tadi saja kakak.” Seru Shinta sambil memijat keningnya.
“Baik.” Sahut Paskalia. “Songumang itu sangat sakti. Di hanya di bawah ibunya saja. Karena ibunya merupakan manusia tersakti di jagat raya.” Sahut Paskalia meneruskan ceritanya.
“Songumang ini sering turun ke Bumi dan biasanya nuah manusia atau menemui manusia tertentu. Biasanya dia dalam rupa manusia yang sangat miskin, atau manusia yang penuh dengan penyakit.”
“Eh, kakak. Nuah itu apalagi?” Tanya Shinta semakin pusing.
“Nuah itu artinya dia menjumpai manusia itu. Jika manusia itu berbuat baik dalam berinteraski dengan dia, maka akan diberkati. Jika manusia itu kasar dan sombong, maka akan dikutuk. Kutukannya baru berhenti ketika manusia itu berubah menjadi baik.”
“Kak, aku masih belum jelas. Berkat dan kutukan dari Songumang itu bagaimana contohnya?”
“Contohnya, jika dia berkati menjadi orang yang kaya, maka orang itu akan menjadim manusia terkaya di daerah itu. Jika dia dikutuk, maka bisa saja menjadi orang yang sangat miskin atau sangat malang, sampai dia bertobat menjadi mansuia baik.”
“Baik, Kak. Jadi Kakak sebagai murid Inai Songumang, maka ilmu kakak sudah seperti Songumang, dong Kak?”
“Wah, jangan dibandingkan dengan mereka. Mereka itu adalah manusia-manusia dari jaman Kollimoi. Dibandingkan dengan ilmu mereka yang paling rendah sekalipun, aku ini bukan apa-apa.”
"Kak. Kakak sudah memiliki kesaktian yang sangat hebat, jadi tidak bisa kubayangkan kesaktian manusia-manusia Kollimoi itu ya?”
“Begitulah adikku. Maka kita jangan angkuh. Di atas langit masih ada langit.” Seru Paskalia sambil mengingatkan Shinta. "Setelah aku menjelma kembali menjadi manusia, aku di suruh berkelana mencari titisan Ryan. Katanya dia berada di Indonesia dan sekarang menjadi seorang pemuda yang nasibnya sangat malang."
"Sangat malang? Menjadi apa dia Kak?"
"Aku tidak di beri tahu. Dan aku memang di larang untuk mencari tahu. Sebab jika semuanya begitu mudah, maka cinta kami tidaklah berarti. Oleh sebab itu aku di larang menggunakan kemampuan gaibku untuk melihatnya dari jarak jauh. Tapi aku harus mencarinya seperti manusia biasa. Untuk membuktikan ketulusan cintaku..."
"Tapikan kakak sudah membuktikannya selama ribuan tahun..?"
"Itu semasa aku dalam bentuk roh. Di dalam rupa manusia kan berbeda..."
"Sungguh suatu cobaan yang sangat berat..."
"Tapi demi cintaku padanya, aku rela..."
"Jadi kalau saya boleh menduga, kakak selalu memakai gaun hitam ini juga ada hubungannya dengan pencarian itu?"
Paskalia tersenyum manis. "Betul. Sebelum kami bersatu kembali, maka aku akan tetap memakai gaun hitam ini. Itu sudah nazarku dalam hidup ini."
Shinta menatap Paskalia dengan kagum. "Sungguh berbahagia Ryan memperoleh cinta kakak. Pastilah dia seorang yang sangat tampan...” Gumamnya.
Paskalia menggelengkan kepalanya perlahan. "Kamu salah. Justru menurut guruku, dia tidak memiliki tubuh dan wajah yang luar biasa untuk ukuran sekarang..."
"Jadi? Apa yang membuat kakak begitu mencintainya?"
"Lima ribu tahun yang lalu dia memang sangat tampan dan juga memiliki hati emas dan kesaktian yang tidak ada tandingannya. Tidak ada laki-laki di jagat raya ini yang mempunyai hati seperti dia. Dia mengorbankan segalanya demi mencintai aku. Tetapi ketika reinkarnasi ke dunia ini lagi, dia sungguh malang. Dia hanya menjadi manusia biasa yang tidak punya apa-apa. Tetapi dia mempunyai kelebihan, sangat taat dan takut akan Tuhan."
“Maksud kakak?”
“Dia dilahirkan dalam bentuk wajah yang sangat jelek, tubuh pendek, sebagai anak yatim piatu, dan kondisi hidupnya sangat melarat.”
“Astaga, kakak. Ok bisa begitu?”
“Itulah cobaan dari Yang Mahakuasa. Karena Ryan sangat baik hati dan taat akan sang pencipta Jagat Raya ini, maka cobaan baginya sungguh berat. Karena semakin kuat iman seseorang, maka cobaan baginya akan semakin berat.”
"Oh, ya. Tadi kakak ada menyinggung masa lima ribu tahun kakak dalam bentuk roh. Jadi sekarang kakak dalam jasad kasar. Tapi mengapa bisa bersamaku?"
Lagi-lagi Paskalia tersenyum manis. "Tubuhku bisa berbentuk roh dan bisa juga dalam bentuk manusia. Itukan tidak susah. Kamu jugakan mampu berbuat seperti itu."
"Oh ya, ya." Desis Shinta sambil memukul kepalanya sendiri. "Masa aku bisa lupa."
Tiba-tiba kedua roh wanita cantik itu lalu berdiam diri. Pendengaran mereka yang tajam mengetahui jika ada sebuah motor tempel yang sedang melaju mudik ke arah mereka.
Paskalia lalu mengerutkan keningnya. "Kamu dengar suara itu, dik?"
"Ya, Kak. Sebuah motor tempel sedang menuju ke arah kita..."
"Kamu tahu jika ada dua buah body terbang yang sedang mengejarnya? Sepertinya penumpang body terbang ini berniat tidak baik terhadap mereka..."
"Aku hanya mendengar satu suara speed board saja, Kak.” Sahut Shinta keheranan. Memang ilmu Paskalia ini nyata sekali jauh diatasnya.
“Ada dua body terbang yang sedang mengejar sebuah speed board.” Tukas Paskalia menjelaskan.
“Perlu kita tolong, Kak?"
"Kita harus selalu menolong orang yang sedang kesulitan. Siapapun dia. Kita tidak boleh memilih-milih di dalam menolong mereka. Kita sebagai sesama manusia, harus saling mengasihi. Tapi kalau tidak terpaksa, jangan membunuh orang."
“Kita roh Kakak.”
“Ya, tetapi kita jugakan berasal dari manusia. Lagi pula kita berdua bisa dalam bentuk roh, bisa juga dalam jasad kasar.”
"Baiklah, Kak. Aku lupa lagi." Keluh Shinta tersenyum kecut.
Kedua tubuh itu lalu kembali terdiam. Keduanya memandang ke arah hilir, ke arah datangnya suara motor tempel dan body terbang yang mengejarnya.
***
Legenda Nusa Tujuh
Long Boat yang terbuat dari kayu bengkirai bermesin Yamaha 40 HP milik Ali dan kawan-kawan yang ditumpangi Adrian meluncur dengan kecepatan rata-rata 27 knots atau sekitar 50 km perjam, membelah sungai Melawi dengan menimbulkan gelombang yang menyembur jauh di buntutnya dan bergejolak memanjang di kiri kanan perahunya.
Mesin buatan Jepang ini memang tangguh dan hemat BBM dibandingkan beberapa merek mesin out board lainnya. Sebenarnya ada mereka yang lebih tangguh, yaitu Honda four stroke. Tetapi harganya jauh lebih mahal, sehingga pemasok tunggal di Pontianak lebih memilih menyediakan merek Yamaha ini karena lebih terjangkau sehingga laris manis.
Mesin out board Yamaha jetfrost 40 Horse Power itu mendorong perahu yang hanya berkapasitas 2 ton itu dengan kecepatan yang hampir menyamai sebuah body terbang. Ijim yang mengendalikannya di bagian buritan, dengan tenang dan lembut memainkan handel mesin itu. Dia tidak terlalu banyak bergerak, karena rantau sungai Melawi yang begitu besar, panjang dan dalam tidak terlalu memerlukan gerakan pengendalian speed board untuk banyak berbelok, tetapi melaju dengan lurus saja, kecuali mendekati tanjung.
Mereka sudah melayari sungai ini sejak siang tadi, karena pagi-pagi masih membeli barang-barang kebutuhan hidup di kampung serta makan pagi di warung milik orang-orang Tionghoa di pasar Nanga Pinoh.
Adrian secara kebetulan mengikuti rombongan Ali dan kawan- kawannya. Karena sore kemarin ketika dia sedang menanyakan tambang air yang mudik ke arah hulu, tanpa sengaja dia berjumpa dengan kawan-kawan lamanya yang baru saja selesai menjual kayu gaharu itu.
Transportasi utama di Kalimantan masih melalui sungai. Sehingga kalau di pulau lain orang mencari bis penumpang umum untuk berpergian, maka di pedalaman Kalimantan penduduk akan mencari kendaraan air seperti speed boat ataupun motor bandung bermesin diesel untuk ditumpangi.
Hari sudah menjelang sore ketika mereka sudah mendekati Nusa Tujuh, di sebelah hilir desa Nanga Mentatai. Matahari tidak akan lama lagi lenyap di balik bukit di sebelah kiri arah mereka mudik. Siang sebentar lagi akan berganti malam. Tapi untungnya saat ini bulan sedang purnama. Sehingga jalur pelayaran yang tidak berbahaya bagi kendaraan sungai masih bisa di lihat dengan jelas.
"Kita masak dan makan dulu di Nusa Tujuh ini. Setelah makan kita melanjutkan perjalanan, bagaimana?" Tanya Ali kepada kawan- kawannya dengan agak berteriak untuk mengalahkan suara mesin motor tempel yang sedang melaju.
"Mana kata tauke lah..." Jawab mereka serentak juga setengah berteriak. Tauke adalah sebutan untuk orang-orang Tionghoa yang kaya raya dikarenakan perkerjaannya adalah sebagai pedagang. Tetapi sekarang pengertiannya itu jadi lebih meluas, yaitu siapa pun yang punya kegiatan untuk melakukan sesuatu sering juga di sebut tauke atau toke atau juga sekarang istilah ini bersaing dengan kata boss. Ini menunjukan betapa kuatnya pengaruh kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh orang-orang keturunan Tionghoa di Kalimantan Barat.
"Bagaimana denganmu Adrian?"
"Sayakan hanya penumpang..." Sahut Adrian sambil memandang Adrian, karena keduanya duduk berdekatan. “Terserah tauke juga.” Jawab Adrian ringan.
“Baiklah kalau begitu.” Tukas Ali ketika mendengar jawaban kawan-kawannya. Dia lalu meminta Ijim menurunkan kecepatan mesin out board yang sedang melaju, lalu singgah di salah satu pulau dari Nusa Tujuh itu yang terbesar. Setelah menambatkan perahu, dia segera mengajak mereka untuk naik ke daratan di bagian buntut Nusa Tujuh dan membawa peralatan masak ke pantai berpasir putih yang landai.
Walaupun mereka semuanya laki-laki, namun tangan-tangan mereka yang terlatih dan terbiasa bekerja dari kecil sudah pada sibuk dengan tugas masing-masing. Tidak ada yang saling memerintah. Semuanya mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Melihat Ali menghidupkan api kompor, Ngoak langsung mencuci beras. Sementara Buten, Ijim, dan Edy langsung mempersiapkan sayur-mayur yang mereka beli tadi pagi. Lalu Serak menumbuk caba rawit untuk penambah selera makan mereka. Karena kebiasaan di daerah ini, makan tanpa cabai belum disebut makan. Adrian mencuci piring dan persiapan makan mereka yang lainnya. Semuanya bekerja. Tidak ada yang jadi penonton.
"Ada yang tahu asal muasal Nusa Tujuh ini?" Celetuk Adrian ketika mereka sedang asyik mempersiapkan makan malam itu.
Yang di tanya pada menggeleng. Adrian lalu menceritakannya dengan singkat. Konon menurut legenda suku di daerah ini, Nusa Tujuh merupakan penjelmaan dari tubuh Kolling, seorang yang berasal dari kampung Sahke pada waktu itu. Dia adalah seorang manusia yang menjelma menjadi naga karena tanpa sengaja memakan tubuh naga yang terpotong-potong sewaktu mereka melayari sungai Melawi dari arah Nanga Pinoh menuju ke arah hulu ratusan ribu tahun yang lalu.
Tubuh Kolling yang terpotong tujuh ketika dia melawan Naga sungai di desa Pahkot Llobahta’ atau Pagar Lebata sekarang. Kolling itu berasal dari kampung Sahke, yang sekarang termasuk ke dalam desa Sake di kecamatan Ambalau.
Sebenarnya Kolling itu tidak terkalahkan, sehingga semua naga sungai di sepanjang sungai Melawi ini takut melawannya. Dia mati terpotong-potong oleh kerisnya sendiri. Sebab Naga yang berada di bawah perkampungan itu membuat tembok batu mengelilingi tempat tinggal mereka yang di buat berbelok-belok seperti labyrin.
Para naga ini lalu bersembunyi di tempat lain, menunggu Kolling menyerbu mereka. Namun malang bagi Kolling, saat dia memasuki benteng berbentuk labirin itu, maka suatu saat kepalanya bertemu ekor dan bagian tubuhnya yang lain, dikiranya itu adalah tubuh musuhnya. Lalu tanpa ampun kerisnya diayunkan untuk memotong- motong tubuh 'musuhnya' itu. Tapi kemudian diketahui adalah tubuhnya sendiri. Tapi dia terlambat sudah menyadarinya. Tubuhnya sudah terlanjur dipotong-potong oleh dirinya sendiri.
Koling akhirnya tewas, sehingga tubuhnya yang terpotong-potong itu hanyut kemudian ada tujuh potong yang tersangkut di sebelah hilir Nanga Mentatai dan sekarang menjelma jadi Nusa Tujuh atau tujuh pulau kecil ini yang bisa di lihat sampai sekarang.
"Asyik juga ceritanya ya..." Kata Serak sambil menumbuk cabe.
“Memang asyik,”komentar Adrian.
Setelah semua masakan selesai, mereka lalu makan dalam keadaan makanan masih panas dan mengepul. Tetapi karena mereka sudah terbiasa, maka hal itu tidak menjadi masalah meskipun dicampur demikian banyak cabai.
Setelah beristirahat sebentar, mereka lalu kembali melanjutkan perjalanan. Sebab mereka ingin segera sampai di tempat tujuan, di Desa Nanga Kemangai yang masih jauh.
"Sudah berapa lama tidak pulang ke kampung?" Tanya Ali sambil membungkus rokok shagnya.
Adrian menoleh. "Sudah hampir tujuh tahun."
"Lama juga? Apa sudah lupa dengan daerah sendiri?" Goda Ali sambil menyikut teman lamanya ini. Adrian adalah teman sepermainannya sejak kecil. Hanya setelah tamat SMP mereka tidak pernah bertemu lagi.
Yang di tanya hanya tertawa kecil. "Bukannya lupa. Tapi betul-betul aku tidak punya waktu..."
"Begitu sibuk? Memangnya kerja di mana?"
Adrian memperbaiki duduknya. "Dulunya aku bekerja di sebuah perusahaan pelayaran di Ketapang."
"Kan ada cuti?"
"Cutiku selalu di bayar oleh perusahaan, karena tidak ada orang lain yang bisa menggantikanku..."
"Ooh. Lalu berapa lama di Ketapang?"
"Lima tahun..."
"Wah, lama juga. Pasti sudah banyak dapat uang...!"
Kembali Adrian tersenyum. "Dapat uangnya sedikit, tetapi dapat capek dan sakit hatinya yang lebih banyak...!"
"Bisa begitu?"
"Itulah resikonya bekerja di perusahaan keluarga...!"
Ali menyulutkan rokoknya dan mengisapnya dalam-dalam kemudian mengeluarkan asapnya melalui hidungnya. Tampaknya begitu nikmat.
Dia tidak tahu jika aku tidak tahan asap rokok
"Sekarang bekerja di mana?"
"Buka usaha kecil-kecilan di Pontianak..."
"Di bidang apa itu?"
"Angkutan.”
"Manusia?"
"Barang..."
Kembali keduanya terdiam. Kawan-kawan Ali yang lainnya sibuk sendiri. Buten, Ngoak, Edy dan Serak sibuk bermain teki-teki. Sedangkan Ijim kembali bertugas mengendalikan motor tempel mereka.
"Sudah berkeluarga?" Kembali Ali memecahkan kesunyian mereka.
"Belum...!"
"Kapan?"
Lagi-lagi Adrian tersenyum. "Itulah tujuan kepulanganku ini..."
"Mau jemput isteri?"
"Bukan...!"
"Lho? Katanya mau kawin?"
"Aku hanya pulang untuk melengkapi pinangan."
"Mengapa harus begitu repot? Di kotakan sudah banyak yang menawarkan jasa. Bahkan ada paket plus-plus?"
"Aku memang sudah lama tinggal di kota. Tapi tidak berarti melupakan adat istiadat kita..."
"Maksudmu syarat-syarat peminangannya?"
"Ya...!"
"Syukurlah..."
Adrian menatap Ali dengan heran. "Kok syukur?"
***
Menghajar Para Perampok
Ali kembali menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum menjawab. "Biasanya orang yang lama tinggal di kota seperti kacang lupa pada kulitnya..."
Adrian menggelengkan kepala. "Kalau bukan kita yang melestarikan budaya kita. Lalu siapa lagi?"
Ali lalu menatap Adrian dalam-dalam. "Kalau semua pemuda Indonesia sepertimu, maka budaya Indonesia tidak akan mudah disusupi budaya asing yang tidak baik..."
"Ah, tidak juga...!" Desis Adrian malu karena di puji kawannya seperti itu.
"Tapi jangan lupa undangannya ya...!" Olok Ali kemudian.
"Pasti..."
"Pasti apa? Tidak di undang?"
"Maunya yang mana?"
"Ya di undang dong...!"
"Kalau begitu, akan saya undang. Tapi kadonya harus banyak ya."
"Nanti kuhadiahkan kondom. Tapi bungkusnya besar, mau?"
Keduanya lalu tertawa-tawa. Sehingga membuat mereka yang sedang bermain teka-teki pada menoleh ke arah mereka berdua. Tapi sebentar kemudian mereka lalu kembali sibuk lagi dengan urusannya masing-masing.
Ali dan kawan-kawannya tersentak kaget, ketika entah kapan datangnya, tiba-tiba menyusul dua buah body terbang melaju memepet di kiri kanan long boat yang mereka pakai. Lalu seorang yang berada di dalam body terbang sebelah kiri berdiri dan mengangkat sebuah senapan jenis Bomans buatan Malaysia dan mengarahkannya kepada mesin 40 HP di buntut perahu Ali dan kawan-kawannya.
"Dorrr...!" Terdengar letusan dari Bomans itu dan mesin speed Board itu lalu berhenti. Peluru Bomans buatan Malaysia ini mempunyai peluru jenis cluster, ketika terkena sasarannya dia akan terpecah menjadi ratusan bagian sehingga menghancurkan sasarannya.
"Astaga..." Seru Ali khawatir. "Kita di serang para gelandas..." Katanya menyebutkan para perampok sungai yang sering berkeliaran. Para perampok yang di sebut Gelandas ini memang sering beroperasi di sungai-sungai di Kalimantan yang besar, panjang, dan sepi. Sehingga penduduk harus hati-hati jika melakukan perjalanan di sungai.
Kawan-kawan Ali serentak mencabut Mandau yang memang selalu di bawa jika berpergian. Kebiasaan ini terutama terbiasa ketika mereka dulu masih hidup di jaman pengayauan, sebagai alat untuk membela diri dari sasaran para Asang atau gerombolan kayau.
Adrian jadi tersentak. Dia memang penduduk asli daerah ini tapi dia sudah lama meninggalkan kebiasaan membawa Mandau jika berpergian, karena dia sudah lama tinggal di kota. Padahal jaman dulu dan beberapa orang sampai sekarang selalu membawa Mandau kemana pun mereka pergi.
"Kamu tidak bersenjata?" Tanya Ali ketika melihat Adrian kebingungan mencari sesuatu untuk mempertahankan diri.
Adrian hanya menggelengkan kepala. "Pakai saja dayung itu...!" Desis Ali lagi sambil menunjukan sebuah dayung dari kayu tebelian.
Dengan agak ragu Adrian meraih dayung itu. Sebab percuma saja, karena para gelandas itu semuanya menyandang senjata api.
"Rasanya senjata kita ini percuma...!" Desis Adrian perlahan.
"Setidaknya kita telah mempertahankan diri...!" Bisik Ngoak tegang.
"Matipun kita secara jantan...!" Desis Serak lirih dengan lutut agak gemetar.
"Betul. Jangan sampai kita mati konyol..." Timpal Buten memberanikan diri. Padahal nyawanya seperti sudah mau meninggalkan tubuhnya.
Kedua body terbang itu perlahan-lahan mendekat. Masing- masing berisi empat orang. Jadi dari segi jumlah saja Ali dan kawan-kawannya sudah kalah. Tujuh lawan delapan. Belum lagi dari segi persenjataan.
Dari dalam body terbang di sebelah kiri tiba-tiba berdiri seorang dengan tubuh yang begitu kurus tapi tingginya hampir dua meter. Tubuhnya mengenakan pakaian hitam. Di lengan kanannya melilit seuntai akar bahar. Di pinggangnya melingkar sebuah untaian ajimat. Sepertinya memang sengaja diperlihatkan untuk menakuti musuhnya.
"Serahkan semua uang kalian...!" Bentak orang itu dengan tiba-tiba. Suaranya melengking tinggi hingga telinga mereka jadi kesakitan. Sungguh tidak sesuai dengan tubuhnya yang ceking. Tampaknya orang itu jadi pimpinan mereka.
Mereka ini sangat berbahaya, pikir Adrian ketar-ketir.
"Kalian salah sasaran. Kami tidak punya uang." Bantah Ali mencoba mengelabui para gelandas itu. "Motor tempel ini saja kami pinjam..."
"Jangan coba-coba membohongi kami. Kalian kira kami tidak tahu kalau kalian baru saja menjual kayu gaharu di Nanga Pinoh? Hah?" Bentaknya kasar. “Dari info yang kami dapatkan, kalian dapat uang miliaran.”
"Pasti kalian salah informasi...!"
"Hhuuhhh.” Dengus pemimpin para gelandas itu sinis. “Baiklah. Kalau tidak mau menyerahkannya dengan baik-baik, akan kami basmi kalian dulu...!" Serunya geram. "Aku tak punya banyak waktu. Tembak mereka...!"
Semua kejadian itu di lihat dengan jelas oleh roh Paskalia dan Sinta. Mereka tahu kedudukan tidak berimbang. Para gelandas itu bersenjata api sedangkan Ali dan kawan-kawannya hanya memakai senjata tradisional.
"Bantulah mereka...!" Kata Paskalia kepada Sinta.
"Kakak tidak mau membantu?"
"Bukannya begitu. Aku rasa kamu pasti mampu mengatasi mereka...!" Desah Paskalia. "Lagipula, mereka kan mantan teman kencanmu...!"
Sinta jadi tersipu malu ketika di olok begitu. Tapi hatinya juga marah kepada para perampok sungai itu yang berbuat semena-mena dengan orang. Mereka mau mengambil harta orang lain tanpa mau bersusah payah berusaha. Apa lagi para pemuda itu adalah orang-orang yang pernah membuatnya senang.
Tanpa di lihat oleh orang-orang yang sedang bersiap-siap mau menembak itu, roh Sinta melayang ke dekat mereka. Dengan kekuatan gaibnya tiba-tiba dari kedua matanya keluar dua buah sinar merah yang langsung menyapu semua senjata itu dan tiba-tiba larasnya berubah menjadi berlekuk-lekuk seperti keris dan ujung larasnya berputar ke arah pemiliknya.
Tentu saja hal ini membuat para gelandas itu terkejut bukan main. Tapi mereka tetap menarik pelatuk senjatanya, namun yang terdengar hanya suara 'tuuuuttt' seperti orang kentut.
"Kurang ajar...!" Bentak pimpinan gelandas itu. "Jangan di kira kami takut dengan segala ilmu sihir kalian. Serbuuu...!"
Para gelandas itu memang bernyali besar. Mereka lalu serentak mencabut senjata cadangan yang memang di simpan di dalam body terbang. Ternyata mereka juga masing-masing mengeluarkan Mandau yang dilengkapi dengan segala untaian pusakanya yang bergelantungan, sehingga membuat jerih Ali dan kawan-kawannya.
Roh Sinta jadi jengkel juga melihat kekerasan hati para gelandas itu. Dia lalu berkomat-kamit dan tiba-tiba menggerakan tangannya. Maka terciptalah angin ribut yang begitu dahsyat dan anehnya hanya menerpa tubuh para gelandas itu saja. Sehingga mereka betul-betul 'terbang' ke tepi sungai Melawi dan berjatuhan di tepi pantai. Tubuh mereka terlempar ke sana kemari dan ada yang tercebur di tengah sungai. Mereka tercerai berai dalam keadaan semua tangan mereka yang memgang senjata itu pada patah semuanya.
Adrian dan para penumpang Long boat itu kebingungan sejak tadi. Mulai dari laras senapan para gelandas yang tiba-tiba bengkok dan kedatangan angin ribut yang tiba-tiba menyerang para gelandas itu.
Shinta memperlihatkan dirinya dengan cara mengapung diatas sungai, sehingga semua yang ada di situ pada melihatnya.
“Kau...Kau...kau...” Seru mereka sambil merintih menahan sakit karena tangan mereka patah. “Kamu iblis.”
“Saya memang iblis. Itu hajaran bagi kalian yang mau enaknya sendiri. Orang setengah mati keluar masuk hutan untuk mencari rejeki, lalu enak saja kalian mau merampasnya. Bahkan tadi saya dengar kalian mengancam mau membunuh.”
Para gelandas atau perampok sungai itu tidak mampu berdiri. Bahkan pimpinan mereka sebelah kakinya dan sebelah tangannya patah. Tetapi para anak buahnya hanya patah tangan sebelah yang memegang senjata tadi saja.
Para gelandas itu sangat ketakutan. Seumur hidup mereka baru kali inilah mereka menghadapi kenyataan yang sangat pahit. Mereka dikalahkan oleh seorang wanita atau tepatnya roh seorang wanita, karena mustahil manusia mempunyai kemampuan mengambang diatas air tanpa terjatuh.
“Apakah kalian bertobat sekarang?” Bentak Shinta dengan amarah yang masih meluap-luap. Jika saja Paskalia tadi tidak mengingatkannya untuk tidak membunuh mereka, maka mereka sudah tidak ada sisanya lagi oleh pelampiasan kemarahannya.
“Ya. Ya. Kami bertobat.”
“Ingat ya. Kalau sempat masih ku dengar lagi kalian mengulangi perbuatan kalian, maka tidak ada ampun lagi. Kalian akan ku bunuh.” Ancamnya, sehingga membuat para gelandas itu merinding ketakutan.
“Untung saja Kakakku itu telah melarangku untuk membunuh kalian.”Seru Shinta sambil menujuk Paskalia yang mengambang agak jauh dari tempat mereka. Tapi meskipun jauh, tidak menyembunyikan kecantikannya yang seperti dewi malam di terpa cahaya bulan Purnama. “Kalau tidak, uh... sudah kuhancurkan kalian seperti ini...”Bentak Shinta sambil melayangkan sebuah pukulan ke arah sebuah batu besar yang ada di tepi riam di sungai itu sehingga menimbulkan ledakan yang maha dahsyat dan batunya berhamburan ke udara dan ke air.
Sehingga baik para gelandas dan Ali serta kawan-kawannya terkejut bukan main melihatnya. Ali dan kawan-kawannya akhirnya kembali mengenali wanita itu sebagai wanita yang jatuh di lanting sewaktu malam tempo hari. Akhirnya mereka ketakutan ketika melihat wanita itu mempunyai kesaktian yang demikian dahsyatnya. Andai saja tempo hari … iih, ngeri mereka membayangkannya.
“Ya...Ya... kami berjanji tidak akan jadi gelandas lagi.” Sahut para gelandas itu dengan sangat ketakutan.
“Ingat. Sesuai pesan kakak ku itu, kalian tidak ku bunuh. Tapi tangan kalian yang biasa bekerja aku patahkan. Agar kalian belajar menggunakan tangan kalian yang tidak biasa untuk bekerja. Agar kalian belajar hidup dari bawah lagi. Agar kalian merasa betapa sulitnya mencari rezeki dalam keadaan keterbatasan. Uang hasil merampok kalian yang kalian simpan di bank itu, kalian gunakanlah untuk berobat dan makan sebelum kalian bisa bekerja normal.”
“Baik...Baik...Kami patuh.”Jawab mereka.
Ali dan kawan-kawan masih melongo memandangi wanita cantik itu. Tapi mereka tidak sempat berpikir terlalu lama. Karena tiba-tiba mesin motor tempel mereka hidup dengan sendirinya. Sehingga mereka hanya bisa saling berpandangan. Karena tadi jelas sekali jika peluru Bomans telah menembusi mesin motor temple mereka itu.
Rupanya ketika mereka sedang fokus menghadapi para perampok itu, diam-diam Paskalia menukar mesin speed board mereka dengan milik para perampok itu dengan kecepatan kilat. Sekarang mesinnya malah digandeng dua, sehingga perahu mereka pasti akan melaju dengan sangat cepat.
Ijim segera melangkah ke arah mesin dan mengendalikannya. Sebelum speed boat itu menjauh, Shinta masih sempat melemparkan senyum manis ke arah mereka. Ali dan kawan-kawannya menyampaikan terima kasih sambil merapatkan tangan mereka.
Mereka segera berlalu dan melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada. Karena di sungai ini memang terkadang sering muncul para gelandas yang berasal dari Kalimantan Tengah. Mereka masih ngeri memikirkan wanita yang mereka temani tempo hari itu ternyata sangat sakti.
***
Ditombak Orang Asing
Ijim mengendalikan stir speed boat yang bermesin Yamaha 40 HP body pendeknya atau di daerah mereka bisa di sebut sebagai body terbang, meliuk-liuk membelah air sungai Momalluh yang berarus deras dan kadang-kadang juga harus melewati riam yang jumlahnya ratusan.
Sambil menikmati terpaan angin di wajahnya dari arah haluan, Ijim ingat pada beberapa puluhan tahun yang lalu. Ketika itu dirinya masih sering hilir mudik bersama almarhum ayahnya, hanya dengan bersampan mengandalkan dayung kayu dan galah sehingga untuk pergi ke Nanga Pinoh memerlukan waktu sampai berminggu-minggu. Itupun hanya bisa mampu dilakukan pada musim kemarau saja, karena di musim air banjir maka arus sungai Melawi sangat deras.
Menjelang orangtuanya meninggal dunia, mereka mampu membeli sebuah motor kelotok bermesin diesel yang ber PK kecil, sehingga meskipun perjalanan bisa di singkat menjadi tiga hari tetapi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan body terbang miliknya sekarang yang jarak sejauh itu bisa dicapai selama tujuh jam saja.
Dia bersama Tehkep satu satunya kawannya dalam perjalanan ini, sejak pagi tadi berangkat dari Nanga Serawai, keduanya sedang meluncur menuju ke kampung Ulok di pedalaman sungai Ambalau atau sungoi Momalluh dalam bahasa daerahnya. Dari Nanga Serawai menuju ke Nanga Ambalau sudah mereka tempuh selama empat puluh lima menit dan sekarang mereka melayari sungai Momalluh yang sempit, berbelok-belok dan berarus sangat deras dengan riam yang banyak.
Suatu saat keduanya melewati kiham Duan, yaitu sebuah riam yang cukup deras dan berbahaya. Sudah banyak perahu yang karam dan sudah banyak orang yang meninggal ketika melalui riam ini baik ketika milir maupun mudik. Hanya saja riam ini ketika air sedang pasang, maka sama sekali tidak ada riaknya, berbeda ketika air surut maka gelombangnya sangat besar dan arus airnya sangat terjal.
Ijim sama sekali tidak khawatir, karena berdasarkan pengalamnyan maka tinggi air saat ini masih bisa dilewati dengan aman, meskipun riamnya sedang terjal-terjalnya dan sangat deras. Dia mengambil arah ke sebelah kiri menyusur sisi batu-batu besar yang terdapat di tepi sungai, kemudian melalui sisinya dia meluncur ke arah tengah dan berbelok lagi ke sebelah kanan dan lalu menyusuri arus di sebelah sisi batu sebelah kanan kurang lebih sejauh lima puluh meter kemudian berbelok sedikit ke arah kiri tepatnya di tengah sungai.
Pada saat itu speed tidak boleh di gas terlalu full tetapi juga tidak boleh terlalu kecil, karena kalau di gas full maka body speed boatnya bisa terbalik dan sebaliknya jika terlalu kecil gasnya maka bagian haluan speednya bisa termasuk ke dalam air yang deras. Jadi harus pas besarnya gasnya, sehingga mereka pasti aman.
Berdasarkan pengalamannya yang telah ratusan kali hilir mudik melalui riam itu, maka ijim bisa melakukannya dengan sempurna sehingga dalam hitungan menit saja keduanya sudah melalui riam Kiham Duan yang cukup berbahaya itu. Keduanya kemudian terus melaju ke arah hulu, yang biasanya tidak sampai satu jam lagi akan sampai di kampung Ullok, tempat Ijim berdomisili.
Tehkep ikut Ijim karena saudara sepupunya ini adalah sebagai pengusaha lokal yang mengelola kayu log untuk dijual ke perusahaan plywood lokal yang berada di Pontianak. Kayu log yang mereka hasilkan ini dijual kepada pengepul yang berada di Nanga Serawai. Perjalanan keduanya kali ini pun adalah setelah menjual kayu log itu dan membeli kebutuhan mereka secukupnya dan sebagian besar uang itu mereka gunakan untuk membayar kawan-kawan mereka yang menjadi anggota kelompok tani kayu log itu.
Jumlah bayaran itu adalah sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, yaitu masing-masing sudah disepakati untuk koordinator, ketua, wakil ketua, bendahara dan anggota dari kelompok tani itu. Sementara Tehkep adalah penasihat mereka, yang juga mendapatkan fee dari hasil harga kayu itu. Meskipun nilainya tidaklah sebesar mereka, tetapi karena kelompok tani itu terdiri dari beberapa kelompok, maka akhirnya lumayan juga jumlahnya secara keseluruhan.
Keduanya sudah sampai pada bagian sungai yang lebih banyak lurusnya dan cenderung tidak mempunyai riam lagi, meskipun arusnya masih tetap lumayan deras. Pada suatu saat keduanya harus berbelok mengikuti arah tanjung sungai itu, karena sudah terbiasa membawa speed boat ini maka Ijim berbelok tanpa mengurangi kecepatannya sehingga arah perjalan speed boat itu membentuk sebuah garis hiperbola. Namun begitu melewati tanjung itu, di depan mereka terlihat sebuah kapal motor diesel dalam jarak yang tidak terlalu jauh terdapat melintang di tengah sungai.
Meskipun lebar sungai ini sebenarnya lebih dari lima puluh meter, tetapi karena posisi motor air diesel itu tepat berada di tengah jalur pelayaran, maka terpaksa keduanya mengecilkan gas speed sehingga body terbang itu berhenti tetapi masih menghasilkan gelombang yang cukup besar yang mengikuti mereka.
Kapal motor itu hanya bagian buritannya saja yang diberi atap, tetapi dari bagian tengah ke arah depan sama sekali kosong tanpa atap, sehingga orang bebas berjalan di situ. Di tengah-kapal di dalam kapal motor itu terlihat seorang laki-laki memegang tombak sambil memperhatikan air sungai, sepertinya dia sedang bersiap menombak ikan yang entah di tuba atau di buru pakai alat penangkap ikan.
“Ada dapat jugakah?” tanya Tehkep mencoba beramah tamah kepada laki-laki yang berdiri tidak terlalu jauh jaraknya dari mereka itu.
Tetapi bukannya sebuah jawaban ramah yang diberikan oleh laki-laki itu, tetapi dia mengangkat tombaknya dan bersiap melemparkannya ke arah Ijim dan Tehkep, sehingga kontan saja keduanya bersiap untuk menghindar.
Tetapi sebelum laki-laki itu berhasil melemparkan tomnbaknya, gelombang yang mengikuti Ijim dan Tehkep tadi sampai ke arah kapal motor diesel itu sehingga membuatnya bergoyang sehingga laki-laki asing tadi salah injak dengan menginjak tempat kosong dan tanpa ampun dia terjerembab dan kepalanya bagian depan terbentur lantai dan mulutnya berdarah.
Sebenarnya tanpa diketahui oleh mereka bertiga, dalam saat yang sangat genting itu Paskalia dan Shinta yang sedang melayang diudara diantara mereka dan melihat kejadaian itu. Sehingga sebelum laki-laki asing itu sempat melemparkan tonbaknya ke arah ijim dan Tehkep, Paskalia mengayunkan tangannya dari jarak jauh, yang akibatnya menyebabkan laki-laki itu terjerembab. Yang lucunya adalah kejadiannya bersamaan dengan datangnya gelombang yang menggoncangkan perahu laki-laki itu.
“Cepat lari, Jim. Jangan tunggu dia bangun!” perintah Tehkep kepada Ijim. Ijim pun langsung menarik gas speed boatnya sehingga sebentarnya saja speed boat keduanya meluncur secepat kilat meninggalkan tempat itu.
“Aneh sekali, kita hanya bertanya kok dia langsung marah dan mau menombak kita,” omel Ijim ketika keduanya sudah jauh meninggalkan kapal motor diesel itu.
“Itu manusia mabuk dan tidak berpendidikan dan pasti juga tidak punya agama,” sambung Tehkep ikut merasa sedikit kesal. Karena tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi jika dia berhasil melempatkan tombaknya ke arah mereka berdua.
Ijim dan tehkep menarik nafas panjang beberapa kali sambil menggelengkan kepala mereka karena tadi nyaris saja keduanya celaka. Sama sekali mereka tidak paham apa yang ada di dalam otak laki-laki itu, kok begitu mudahnya mau menombak orang lain.
Tanpa diketahui oleh kedua orang itu, tubuh Paskalia dan Shinta melayang menyusul dengan kecepatan tinggi tetapi sama sekali tidak kelihatan oleh kedua orang itu. “Kok kakak mau membantu laki-laki itu?” tanya Shinta penasaran melihat Paskalia mendorong kali-laki bertombak itu sampai terjatuh.
“Aku hanya kasihan melihat mereka berdua, karena sebenarnya mereka sama sekali tidak bersalah.”
“Tapi kan bukan urusan kita, kak?’
“Meskipun bukan urusan kita, tetapi kakak telah diminta untuk menebarkan kebaikan ke dunia dalam pencarian terhadap kekasih kakak itu.”
Shinta hanya bisa terdiam saja, karena dia merasa heran melihat kebaikan hati kakak angkatnya ini. Meskipun sangat cantik dengan kesaktian yang tidak ada tandingannya di dalam kolong galaksi Bima Sakti ini, dia sama sekali tidak sombong tetapi malahan selalu menebarkan kebaikan.
Ijim dan tehkep memasuki pangkalan mereka Ijim di kampung Ullok dan mematikan mesin mereka dan menutupnya serta mengunci mesin Yamaha 40 HP-nya itu agar tidak kecurian. “Tadi itu hampir saja,” keluh Ijim sambil mulai mengemas barang-barang bawaan mereka untuk bersiap naik ke darat.
“Aku merasa ada hal-hal gaib tadi ketika berada di sana,” celetuk Tehkep.
“Aah, mustahil. Yang kutahu orang itu mau menolmbak kita,” tukas Ijim.
“Memang berbahaya,” sahut Tehkep membenarkan. Karena nsusah juga menjelaskan perasaannya kepada sepupunya itu.
“Apa salah kita, sampai dia mau membunuh kita?” tanya ijim penasaran.
“Mungkin dia marah karena gelombang speed boat kita berdua menyebabkan ikan yang sedang diburunya kabur.”
“Tapi memang keterlaluan, massya ikan buruannya lebih berharga daripada nyawa kita?” seru Ijim tetap protes dalam nada suaranya.
“Itulah manusia, terkadang pola pikirnya tidak dapat diprediksi dan bahkan terkadang lebih kejam dari hewan lagi,” desis Tehkep.
Sambil keduanya berbincang, dua bayangan roh yang transparan memperhatikan keduanya. Sepasang roh itu hanya diam saja, tetapi Paskalia tampak memperhatikan Tehkep dengan serius.
***
Uangnya Dikorupsi
Sesuai perjanjian anggota secara bersama, maka pembagian uang itu akan ditangani oleh ketua kelompok masing-masing. Oleh sebab itu Ijim dan Tehkep memanggil para ketua kelompok saja untuk datang ke kediaman Ijim yang berada di seberang sungai, sementara kebanyakan anggota kelompok itu berada di sisi sungai yang satunya lagi.
Semua kelompok tani kayu bulat yang ditangani oleh Ijim itu ada enam kelompok jumlahnya, sehingga sore itu mereka kedatangan enam orang ketua kelompok. Dihadapan mereka semua, Ijim membagi uang untuk masing-masing kelompok secara sama rata. Sementara ijim membagi uang itu, maka Tehkep mendokumentasikan semuanya untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan di kelak kemudian hari.
“Harus di bagi secara adil sesuai ketentuan yang telah kita sepakati bersama ya,” tukas Ijim sambil memandang semua ketua kelompok itu.
“Baik, Jim.” Sahut mereka serentak.
“Saya tidak mau ada keluhan ataupun laporan tentang ketidak jujuran nantinya. Siap?”
“Siap,” jawab mereka dengan yakin.
Lalu Tehkep menambahkan, bahwa semua orang perlu uang dan semua orang harus jujur dalam mengelola uang ini. Gunakanlah terutama untuk kebutuhan hidup mereka, jangan sampai digunakan untuk berjudi, main perempuan ataupun mabuk-mabukan.
Semua anggota kelompok ini rata-rata sudah berkeluarga, jadi gunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan keluarga. Jika masih ada sisanya, maka harus disimpan untuk melengkapi kebutuh mendesak nantinya.
Ijim dan Tehkep sudah merasa yakin, jika uang itu sudah terdistribusi semuanya kepada setiap anggota oleh ketua kelompok tani kayu bulat itu. Tetapi pada sore hari kedua setelah uang itu diserahkan kepada masing-masing ketua kelompok, datang beberapa orang anggota dari sebuah kelompok yang menyatakan jika mereka sama sekali belum menerima uang itu.
Mereka meminta Tehkep dan Ijim untuk menjadi mediator bagi mereka, karena ketua kelompoknya sama sekali tidak membagikan uang itu kepada mereka. Mereka sudah menghadap sampai tiga kali, tetapi sepertinya ketua kelompok mereka tidak punya itikad baik.
Ijim dan Tehkep menarik nafas panjang, karena mereka sebenarnya dari awal memang agak khawatir jika ketua kelompok yang dilaporkan oleh kawan-kawannya itu menjadi ketua kelompok. Tetapi karena dia ngotot, maka akhirnya dijadikan juga sebagai ketua untuk kelompok mereka itu.
“Jadi satu rupiah pun belum dibagikannya?” tanya Ijim dengan nada sangat khawatir.
“Belum,” jawab mereka serentak. “Padahal kami perlu uang itu untuk membeli beras dan minyak makan serta gula kopi.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau besok kita berkumpul bersama mereka dengan mengundang ketua kelompoknya, Jim?” tanya Tehkep.
“Dia tidak akan mau hadir,” sahut mereka serentak.
“Jadi bagaimana sebaiknya?” kata Tehkep bingung.
“Kita datangi saja rumahnya beramai-ramai,” usul mereka geram.
“Ndak baik juga kita datangi dia seperti itu. Seolah-olah kita menyerangnya,” tukas Ijim.
“Jadi bagaimanalah baiknya?” tanya mereka bingung.
“Atau begini saja, awalnya saya dan Ijim saja yang mencoba menemuinya. Setelah upaya itu tidak berhasil, maka nantilah kita bicarakan lagi,” usul Tehkep.
“Begitu juga bagus,” sahut mereka. “Kapan rencananya?”
Tehkep memandang Ijim. “kalau sekarang saja bagaimana?”
“Bolehlah.”
“Mungkin sebaiknya kalian pulang dulu, nanti kami khabari lagi,” kata Tehkep.
Anggota kelompok yang belum mendapatkan uang itupun lalu pulang. Setelah mereka pulang, Thekep dan Ijim mempersiapkan diri dan berangkat menuju rumah ketua kelompok itu dengan menggunakan speed boat, karena jaraknya cukup jauh dan berada di seberang mereka.
Sesampai di rumah ketua kelompok itu, Tehkep dan Ijim agak lama juga menunggu dia keluar dari kamarnya. Meskipun dia sudah diberitahu oleh isterinya akan kedatangan Tehkep dan Ijim. Setelah menunggu hampir satu jam, barulah dia keluar dengan wajah yang kurang bersahabat.
Ijim dan Tehkep mencoba tersenyum dan meskipun ketua kelompok itu keluar dengan wajah perang. “Apa khabar, Bro?” sapa Tehkep mencoba beramah tamah.
“Baik,” jawabnya dengan sedikit enggan. “Tumben sore-sore ke sini?” katanya balik bertanya tetap dengan nada kurang ramah.
“Kopi, paman,” kata salah seorang anaknya yang sudah cukup besar menghidangkan kopi kepada Ijim dan Tehkep.
“Oh ya, terimasih Nak,” sahut Tehkep sambil langsung memegang cangkir kopinya itu. Karena dia pandai memeriksa apakah sebuah makanan atau minuman itu mengandung racun atau ramuan berbahaya lainnya atau tidak.
Setelah melihat Tehkep meminum kopi itu meskipun masih panas, maka Ijim merasa tenang. Karena dia tahu sepupunya ini mempunyai kemampuan untuk mengetahui bahaya.
“Omong-omong, Bro. kami berdua hanya ingin memastikan jika seluruh hak para anggota sudah didistribusikan semuanya,” tukas Ijim.
Lama ketua kelompok ini terdiam. Dia sepertinya serba salah, terlihat sekali dari tingkahnya yang duduk seperti kepanasan dan melihat ke sana kemari dan menarik nafas panjang beberapa kali. Padahal Ijim dan Tehkep sama sekali tidak tahu, jika dia sebenarnya menunggu adiknya yang di dalam rumah sudah memegang sebuah mandau, karena kedatangan Ijim dan Tehkep ini sangat tidak disukainya.
Jadi diam-diam dia sudah sepakat dengan adiknya, agar adiknya pura-pura marah sekali dan akan keluar dengan mengancam mereka dengan mandau itu dengan harapan Ijim dan Tehkep akan lari ketakutan sehingga uang kelompok itu aman dimakan mereka sendiri.
Tetapi hal yang tidak pernah di duga oleh ketua kelompok itu dan adiknya adalah, begitu dia mau keluar maka tubuhnya selalu terdorong jatuh. “Anjing. Setan. Iblis. Jika memang hebat, tunjukan dirimu!” bentaknya geram ketika merasa dirinya selalu terdorong jatuh beberapa kali.
Tetapi tiba-tiba saja dia merasa pipinya panas terkena tempeleng kiri kanan yang sama sekali tidak bisa di tangkisnya. Rupanya tanpa bisa di lihat, Shinta yang dari tadi selalu mendorong tubuhnya ketika melihat dia menghunus parang, lalu menempelengnya dengan keras ketika dia mengeluarkan kata-kata tantangan itu.
Adik dari ketua kelompok itu kaget bukan main merasakan orang memukulnya tetapi sama sekali tidak terlihat wajahnya. Dia mau melarikan diri, tetapi dirinya selalu jatuh terjerembab sehingga beberapa giginya rontok. “Ampun. Ampun. Aku menyerah,” desahnya ketakutan. Laki-laki tinggi besar itu lalu sesungukan seperti anak kecil.
“Baik. Kamu simak baik-baik ya,” terdengar sebuah suara tanpa wujud bergema di sekeliling kepalanya. “Beritahu abangmu, cepat berikan hak para anggota itu, tidak boleh kurang sedikit pun.”
“Tapi...Tapi...Tapi, uangnya sudah kami pakai.”
“Masih cukup. Sisa uang itu ditambah punya mu dan punya abangmu, masih cukup untuk membayar semua hak para anggota itu.”
‘Tapi ... Tapi ...,” plak terasa sebuah tamparan keras mengenai wajahnya sehingga dia semakin merasa kesakitan. “Ya ... ya ... ya ... baik,” serunya lalu segera berlari ke arah abangnya di ruang depan.
Kebetulan abangnya pada waktu itu juga masuk ke arah bagian dalam rumah, sehingga dia terheran-heran melihat adiknya seperti sangat ketakutan. Mukanya berdarah dan tubuhnya kotor karena sudah jatuh bangun beberapa kali oleh pukulan yang sama sekali tidak terlihat orangnya.
“Siapa yang benari macam-macam di rumahku,” bentak abangnya marah melihat adiknya sampai tunggang langgang di pukul mahluk tanpa wujud itu. “Plaaaakkk ... Duuuukkk ...” sebuah pukulan di dadanya membuatnya memuntahkan darah segar dan sebuah tendangan di pantat yang membuatnya jatuh terduduk.
Dia meraba dadanya yang terasa sakit luar biasa, seolah membuat jantungnya copot. Tendangan di pantatnya juga terasa seperti di seruduk seekor banteng saking kerasnya. Tetapi anehnya sama sekali tidak terlihat sosok yang menyerangnya.
“Dengar ya. Jangan sok jago dan banyak bacot.” Terdengar sebuah suara tanpa wujud. “Segera bayar saja hak para anggota kelompokmu itu, jika tidak akan kuhabiskan seluruh keluargamu.”
“Ya ... Ya ... Ya ...,” sahut ketua kelompok itu ketakutan. Dia sebenarnya hanya bacotnya saja yang besar, tetapi nyalinya sangat kecil. Melihat kekuatan yang sama sekai tidak terlihat itu, apa lagi melihat adiknya yang jagoan kampung sampai jatuh tunggang langgang di pukul oleh tenaga gaib yang sama sekali tidak terlihat wujudnya, maka dia menjadi ketakutan sama sekali.
“Ingat ya. Jika besok belum kalian bayar, maka akan habislah seluruh keluargamu dan dirimu serta adik-beradik mu!” terdengar ancaman yang sangat serius. Hanya saja keduanya merasa penasaran, karena suara itu sepertinya suara perempuan. Tetapi karena telah merasakan kekuatan pemilik suara gaib itu, keduanya tidak berani macam-macam lagi.
Segera saja ketua kelompok itu menuju ke arah depan menemui Ijim dan Tehkep, menyatakan kesanggupannya akan membayar anggota kelompoknya besok siang. Mereka akan berkumpul di rumah Ijim.
“Terima kasihlah kalau begitu, Bro. kami permisi dulu,” kata Tehkep dan Ijim segera berlalu pulang. Kedua orang itu sama sekali tidak tahu akan peristiwa aneh yang terjadi di bagian dalam rumah ketua kelompok itu. Selain karena rumahnya sangat besar, juga sistem dinding dan ventilasi serta pintu yang disainnya agak aneh, sehingga membuat suara di dalam tidak terdengar keluar. Tetapi juga oleh kekuatan gaib Paskalia dan Shinta yang memblokir getaran suara mereka sampai ke pintu depan di mana Tehkep dan Ijim berada.
Ijim dan Tehkep dengan perasaan senang pulang kembali ke rumah Ijim dengan kembali menaiki speed boat mereka. Di lain pihak, ketua kelompok dan adiknya itu yang awalnya punya rencana tidak terpuji menjadi ketakutan. Keduanya menyangka jika Tehkep dan Ijim menuntut semacam ilmu yang aneh-aneh sehingga mereka mempunyai Uray (sekutu) yang bisa menyerang mewakili mereka.
“Mengapa kakak melarangku menghabisi bajingan kecil itu?” tanya Shinta ketika keduanya melayang mengikuti speed boat Ijim dan Tehkep.
“Tidak perlulah samapi membunuhnya. Cukup membuatnya ketakutan seperti itu, semoga saja dia mereka jera,” tukas Paskalia sambil tersenyum manis kepada Shinta.
“Yah, mudah-mudahanlah mereka bisa sadar. Karena sepertinya kerjanya memang tukang tipu,” desis Shinta.
Entah mengapa, bulu kuduk Tehkep terasa merinding dan dia mencoba melihat ke belakang. Tetapi dia tidak melihat apa-apa.
“Ngapa, Kep?” tahya Ijim ketika melihat Tehkep beberapa kali mencoba menoleh ke belakang.
“Buku kuduk ku terasa merinding, sepertinya ada yang mengikuti kita berdua. Tetapi aku tidak melihat apa-apa di belakang kita,” jelas Tehkep.
“Mungkin oleh pengaruh angin sore, sehingga membuatmu kedinginan,” sahut Ijim.
“Mungkin juga,” sahut Tehkep meskipun dia masaih merasa bulu kuduknya merinding.
“Apakah dia melihat kita?” tanya Shinta kepada paskalia mendengar perkataan Tehkep. Meskipun jarak keduanya ada dua puluh mteter, tetapi mereka mendengar dengan jelas pembicaraan Ijim dan Tehkep.
“Ndak,” jawab Paskalia pasti.
“Tapi kok sepertinya dia tahu?” bisik Shinta sambil memandang Tehkep.”
“Mungkin dia keturunan orang yang punya ilmu tinggi, tetapi dia samna sekali tidak menyadarinya,” jelas Shinta.
Paskalia sama sekali tidak bisa melihat latar belakang kehidupan Tehkep, karena salah satu janjinya dalam upayanya mencari kekasihnya yang telah reinkarnasi itu adalah sama sekali tidak boleh menggunakan kesaktiannya. Kecuali untuk hal-hal kebaikan atau menolong orang yang membutuhkan secara diam-diam.
“Ooh,” sahut Shinta mengerti.
Ketika Ijim dan Tehkep sudah sampai di pangkalan, kedua tubuh ini pun lalu melayang jauh meninggalkan kedua saudara sepupu itu.
***
Pemuda Yang Jatuh Pingsan
Pemuda itu berjalan dengan loyo menuju ke sebuah warung bakso yang biasa buka di pinggir jalan di ujung jalan Abdul Rahman Saleh, tidak jauh dari asrama Sintang tempat tinggalnya selama kuliah ini. Dia sudah lima hari tidak merasakan makan nasi dan hanya bertahan hidup dengan minum air putih dan rebusan ubi kayu yang ditanamnya di belakang asrama mahasiswa tempat mereka tinggal.
Sore hari ini kebetulan kawannya meminjamkan dia sedikit uang, hanya cukup untuk sekedar makan semangkuk bakso. Untuk makan nasi tidak cukup, tetapi untuk membeli bahan nasi dan sayur juga kurang, sehingga dia memutuskan untuk makan bakso saja. Karena bakso itu cukup mengenyangkan juga.
Bakso yang di pesannya itu, di berinya cabai rawit yang sangat banyak. Entah mengapa dia ingin sekali memakan cabai rawit dalam jumlah yang banyak setelah beberapa hari dia tidak makan nasi dan sayur. Karena menurut pengalamannya selama ini, makan bakso pedas itu memiliki suatu sensasi tersendiri yang sangat di sukainya.
Karena kelaparan, maka semangkuk bakso itu telah berpindah ke dalam perutnya hanya dalam waktu yang sangat singkat. Setelah meminum teh esnya, dia berdiri dan membayar baksonya. Tetapi baru beberapa puluh langkah berjalan, dia merasa kepalanya pusing. Dia mencoba untuk bertahan, tetapi rasa pusingnya sudah membuatnya mau terjatuh.
Lalu dia menuju sebuah batang pohon akasia di tepi jalan, memegangnya dan mencoba bertahan agar tidak tidak jatuh. Tetapi tubuhnya sama sekali tidak mampu ditahannya, sehingga tangannya melorot bertahan dan membuatnya tidak terhempas keras. Tetapi begitu tubuhnya sampai di tanah, dia tidak ingat apa-apa lagi.
Pada saat yang bersamaan, beberapa orang yang melihatnya segera berlari untuk menolongnya, rupanya rasa solidaritas masyarakat di situ masih tinggi juga.
“Eh, ada yang pingsan tuh,” teriak seseorang Ibu lantang.
“Ah, mana?” tanya yang lainnya penasaran.
“Di sana,” seru Ibu itu menunjuk ke arah pohon akasia sambil beranjak pergi ke sana.
Yang lain pun pada mengikutinya. Mereka semua berkumpul di sana dan mencoba menolong pemuda yang pingsan itu.
“Mengapa dia?”
“Entahlah, tadi ku lihat makan bakso, dah itu dia berjalan ke sini dan tumbang.”
“Epilepsi kali,” celetuk seorang bapak.
“Entahlah. Mungkin juga jantung,” kata seorang ibu yang pakai kerudung.
“Darah tinggi kali,” seru seorang nenek yakin.
Mereka brasumsi masing-masing terhadap pemuda yang terjatuh itu. tubuhnya tergeletak dalm posisi berbaring di bangku pohon akasia itu.
“Bisa saja kolestrol tinggi,” kata seorang bapak sambil duduk berniat menolong pemuda itu. Bapak itu berjongkok sambil meniup asap rokok Malboronya yang tanpa sengaja tersembur ke arah kepada pemuda yang pingsan itu, sehingga dia terbatuk-batuk alergi dengan bau menyengat asap rokoknya.
“Ooh. Dia tersadar seru mereka senang melihat pemuda itu bergerak sedikit sambil berusaha menepiskan asap rokok yang mengarah kepadanya. Tetapi setelah itu tangannya terkulai, pingsan lagi.
Pada saat seperti itu, tiba-tiba tubuh pemuda itu terangkat tinggi dan tak lama lenyap dalam kegelapan malam, sehingga membuat mereka berteriak histeris. Tetapi anehnya, tidak lama kemudian, mereka seperti dihipnotis. Mereka semua melupakan apa yang baru saja mereka lakukan dan apa yang mereka lihat. Mereka menjadi heran melihat diri mereka berkumpul di sekitar pohon akasia itu.
Tak lama mereka lalu pulang, tidak ingat lagi jika diri mereka tadi berkumpul di warung bakso itu. Tetapi yang mengherankan, semua pesanan mereka yang sudah di makan, semuanya sudah terbayar dengan uang diletakan masing-masing diatas meja tempat mereka makan tadi.
Pemilik warung pun tidak menyadari kejadian aneh itu, dia kumpul saja bekas mereka makan dan uang yang mereka tinggalkan di situ. Dia sama sekali tidak menyadari jika uang itu bukan diletakan oleh para pelanggannya, rasanya dia merasa seperti biasa saja.
Sementara itu, tubuh pemuda misterius itu melayang diudara dalam kegelapan malam. Yang sebenarnya dia di bopong oleh tubuh Paskalia dan di bawa terbang bersama dengan adik angkatnya Shinta, yang sebelumnya dia dengan kecepatan kilat mengambil uang mereka dan meletakannya di atas meja di dekat makan mereka.
Mereka bertiga terbang dengan kecepatan tinggi menuju sebuah bukit yang tidak jauh dari kota Pontianak. Di sebuah pondok dalam hutan itu, keduanya perlahan meletakan tubuh pemuda itu di sana.
“Jangan memperlihatkan diri!” perintah Paskalia pada adik angkatnya.
“Kok?” seru Shinta heran.
“Ikuti saja.”
Akhirnya Shinta pun tidak membantah lagi, karena dia tahu pasti kakak angkatnya ini punya maksud tertentu.
Akhirnya keduanya memperhatikan pemuda itu mulai siuman dan mulai mengucek-ngucek matanya. Tetapi karena suasana gelap, maka dia sepertinya sangat terkejut. Dia kembali mencoba memperhatikan sekitarnya dan sepertinya mulai mengingat ingat kejadiannya.
Setelah dia melihat sekitarnya yang terasa asing dan sama sekali tidak ada jalan di situ, apa lagi mendengar suara-suara hewan di hutan itu yang sangat menakutkan, dia lalu memejamkan matanya dan membuat tanda salib untuk berdoa.
Paskalia dan Shinta memperhatikannya berdoa, lalu keduanya berkomunikasi tanpa mengeluarkan suara.
“Laki-laki ini sangat baik dan percaya kepada Tuhan,” desis Paskalia.
“Ya, Kak. Sepertinya dia orang yang sangat taat.”
“Juga sama sekali tidak takut dengan segala mahluk halus.”
“Kita coba, kak?” saran Shinta ingin menggoda pemuda ini. Meskipun Shinta sama sekali tidak tertarik padanya, karena wajahnya jauh dari pada ganteng, sesuatu yang tidak bisa membangkitkan selera Shinta yang mata keranjang itu.
“Untuk apa?” tanya Paskalia sabar.
“Aku ingin lihat, seberapa kuat imannya.”
“Asal jangan kamu celakakan saja. Dia sama sekali tidak bersalah.”
“Siap, Kak.”
Shinta menggunakan kekuatan mistisnya sengaja membuat bunyi-bunyian yang membuat merinding bulu kuduk ketika mendengarnya, apa lagi di tempat sepi dan sangat jauh dari pemukiman seperti ini.
Pemuda itu terdiam, sepertinya dia cukup terkejut lalu menoleh ke kiri dan kanan. Tapi dia sama sekali tidak takut. Sehingga Shinta terpaksa membuat dialog yang tetap tidak memperlihatkan wujudnya. “Hey anak manusia, aku sudah lapar, bersiaplah untuk ku makan.”
Mendengar ancaman itu, kembali pemuda itu berdoa dan memejamkan matanya, sepertinya pasrah saja karena dirinya sama sekali tidak memiliki senjata dan tubuhnya masih lemah karena tadi sudah pingsan.
Melihat pemuda itu pasrah saja, Shinta tertawa cekikikan. “Sudahlah. Jangan lagi menggodanya!” tukas Pasklaia.
“Ya kak,” sahut Shinta patuh.
“Biarkan kakak yang menanyai lagi.”
“Ya, kak.”
Paskalia lalu memandang ke arah pemuda yang sedang terpejam pasrah itu. “Hai pemuda, kami jadi tidak berselera memakanmu. Kamu sepertinya kurang makan, jadi kurus kering dan tidak berlemak.”
Pemuda misterius itu lalu kembali membuka matanya. Dia kemudian berusaha duduk dan bersandar di dinding pondok.
“Di makan pun aku tidak masalah, karena hidupku memang sangat susah, jadi mati pun sudahlah,” sahut pemuda itu dengan nada yang sedih.
“Apa yang membuatmu begitu bersedih?” tanya paskalia tetapi tetap tidak memperlihatkan wujudnya.
Laki-laki itu tidak tahu dari mana asal suara itu, karena bergema saja di seklilingnya. “aku memang hidup miskin, tidak punya orangtua, tidak punya sanak saudara selain seorang nenek saja. Jadi matipun ya sudahlah. Jika engkau ingin memakan ku, ya silakan saja, biar lah segalanya cepat selesai. Lebih cepat lebih baik,” katanya sambil memejamkan matanya.
Paskalia merasa kasihan kepadanya, tetapi sayang dia tidak bisa menggunakan ilmu kesaktiannya untuk menyelidikinya. Akhirnya dia memutuskan mengembalikan pemuda itu ketempatnya tadi.
Paskalia lalu menggerakan tangannya, sehingga pemuda itu kembali tertidur dan beberapa detik kemudian dibawanya kembali ke tempatnya pingsan tadi. Diam-diam juga Paskalia memasukan beberapa ratus ribu uang ke dalam saku pemuda itu. Lalu dia kembali menggerakan tangannya, sehingga pemuda itu sama sekali tidak ingat akan perisstiwa yang yang dialaminya tadi. Dia hanya menyadari jika dirinya memeluk sebuah batang pohon akasia.
Lalu dia melihat sekelilingnya, rupanya tidak ada siapa-siapa lagi di situ, tukang bakso pun sudah lama tutup. Dia lalu berjalan pulang ke asrama tempa tinggalnya, tanpa ingat apa saja yang dialaminya tadi selain makan bakso. Paskalia dan Shinta tetap mengikutinya dari jauh tanpa kelihatan, menjaga jangan sampai dirinya di rampok oleh para penjahat yang tampak berkeliaran sambil menenteng clurit di dekatnya.
Setiap mereka berupaya mendekatinya, dari jarak jauh Paskalia dan Shinta menggerakan tangan mereka, sehingga para penjahat itu lari tunggang langang karena tubuh mereka terpelanting oleh sebuah dorongan tenaga yang dahsyat tanpa tahu siapa penyebabnya.
***
Tentang Pengarang Novel Ini
Yovinus, lahir di Sintang, 10 April 1963. Sejak dari bangku SMP suka mengarang puisi, Ketika SMA dan kuliah mengarang cerpen dan Novel. Setelah menyelesaikan studi, banyak merekam dan menulis cerita rakyat dari Kalimantan khususnya dari suku Dayak Dohoi Uut Danum.
Menulis di berbagai media seperti majalah, koran, tabloid, dan menulis berbagai artikel untuk majalah dan juga buku khusus konsumsi luar negeri. Sesuai perkembangan jaman informasi dan teknologi yang hampir tanpa batas geografis, sekarang sudah mengelola facebook, Blog, Instagram, dan Twitter.
Tulisannya yang sudah selesai diantaranya adalah:
Cerita rakyat: Uhkok, Anak Kucing dan Matahari, Songumang, Llaca’ Haci’.
Novel: Kucing Iblis Jelmaan Dukun Muda, Peti Mati Suruhan, Kemarahan Sang Kaisar, Konspirasi Bagi Sang Juara Kelas, Sang Pewaris Tunggal, Guru IPA Ku Monokotil, Berebut Harta Warisan, Perjuangan Anak Yatim, Aku Kalah Segalanya, Guru Matematika Ku Culun, Integritas Penyelenggara Pemilu, dan Tuhan Kedua.
Buku-buku umum: Cerdas dan Terampil Pidato Dalam bahasa Inggris, Dallo’, Jendela Ilmu Pengetahuan Umum, Manusia Langit Berbahasa Burung, Lahir Hidup dan Mati, Mitologi Penciptaan Menurut Suku Dayak Uut Danum, Mengapa Laki-Laki Harus Bersunat.
Cerpen dan kumpulan cerpen: Asmara Terlarang Ibu Guru, Makan Malam Ala Mahasiswa Kantong Kering, Kucing Lily Ku Mati, Kunum Dan Nyahu’ Pahlawan Sebelum Akhir Jaman Mengayau.
Buku-buku rohani: Mayat Orang Kudus Dua Ribu Tahun Tidak Membusuk Tanpa Diawetkan.
Serta beberapa artikel di koran dan Tabloid tentang nasional maupun internasional: tentang agama, elektronik, serta transmigrasi.
Laki-laki yang tidak beruntung menjadi PNS ini, pernah melakoni berbagai macam pekerjaan untuk bertahan hidup. Mulai dari sales buku-buku kiat belajar Bahasa Inggris, sales alat elektronik dan rumah tangga, sales asuransi jiwa, Guru les privat Bahasa Inggris untuk SMA, guru honor untuk SMP SMEA dan SMA dalam bidang studi Bahasa Inggris.
Pernah juga bekerja di perusahaan produsen plywood, perusahaan perkebunan sawit, dan perkebunan karet unggul, serta juga pernah menjadi anggota KPU kabupaten. Dia pernah juga merasakan bekerja di sebuah LSM yang bergerak dibidang revitalisasi budaya Dayak.
Kini di waktu luangnya dimanfaatkan membuka usaha pembesaran ikan air tawar, café, warung sembako, service & maintenance computer yang dipelajarinya secara otodidak karena memang hobby, dan menulis serta beberapa kali diundang untuk memberikan pelatihan serta motivasi terkait bermacam hal.
Magister dari FKIP Untan ini memang suka menulis, tentang apa saja. Tetapi terutama dalam bentuk novel dan Cerpen, di mana selain cerita utama sebagai plotnya, dia selalu memasukan pesan moral dan sikap setia terhadap NKRI dan hidup bersama dalam damai, agar negara Indonesia dan juga dunia sebagai planet kecil bisa diisi dengan tentram oleh semua umat manusia, karena bumi yang sangat kecil ini terlalu sempit jika kita isi dengan saling membenci dan saling ingin memusnahkan.
Penulis sangat prihatin akan tindakan kekerasan, radikalisme, suka menghakimi, sifat mau menang sendiri, sifat merasa diri sendiri yang paling benar, yang dilakukan oleh sekelompok orang di jaman ini.
Itulah sebabnya dalam setiap tulisannya selalu disisipkan pesan moral dan damai, dengan harapan setiap generasi muda yang merupakan generasi penerus bangsa Indonesia di masa yang akan datang yang membaca tulisannya dapat menjadi insan Indonesia yang lebih sabar, lebih berwawasan, lebih santun, bisa menghargai orang lain yang berbeda sudut pandang, tidak merasa benar sendiri, tidak radikal, tidak mau menang sendiri, cinta NKRI, sehingga semua penduduk Indonesia dari berbagai latar belakang bisa hidup berdampingan di bumi Nusantara ini dalam keadaan damai, saling bertoleransi tinggi terhadap sesamanya seperti yang diinginkan Allah sang pencipta dan empuNya alam semesta tanpa pernah membeda-bedakan umatNya.
Sehingga pada saatnya manusia Indonesia mampu hidup bertoleransi, hidup berdampingan dalam damai dan kesetaraan, sehingga nantinya di mana kata-kata toleransi itu bukan hanya hiasan bibir belaka, tetapi betul-betul mampu direalisasikan dalam kehidupan nyata insan-insan Indonesia sehari-hari, yang merupakan pengejawantahan dari ajaran masing-masing agama yang penuh damai dan kasih, bukan hanya klaim sepihak tapi betul-betul dipraktekan dalam kehidupan nyata.
Dunia ini terlalu sempit untuk kita hidup saling bermusuhan. Marilah kita menginspirasi dunia dengan hidup semakin baik dari hari ke hari. Mari menuju hidup yang lebih baik. Semuanya ini harus dimulai dari diri kita sendiri, jangan berharap orang lain yang memulainya. Mari kita menginspirasi dunia dengan hidup lebih baik setiap hari. Sehingga setiap hari pemikiran dan sikap kita menjadi lebih baik, meskipun itu hanya sangat sedikit, tetapi menjadi berkat bagi sesama manusia tanpa adanya sekat SARA.
Novel pertamanya terbit tahun 1997. Dia lama berhenti menulis novel dan buku-buku lainnya, karena melihat dinamika penerbit off line yang menurutnya banyak yang tidak adil dan sering subjektif dalam menilai tulisan seseorang. Ada tulisan bagus, tetapi tidak diterbitkan. Ada tulisan yang biasa saja, tetapi malahan diterbitkan. Tapi itulah dunia, tidak selalu seperti yang diharapkan.
Sekarang aktif menulis kembali setelah melihat trend ke depannya bahwa media tulisan yang akan lebih bertumpu kepada media online dan sistemnya lebih adil karena berdasarkan penilaian viewer, sehingga tulisannya lebih banyak dia arahkan ke media online.
***
Description: Seorang gadis yang pernah hidup lima ribu tahun yang lalu, ber-reinkarnasi ke dunia untuk mencari kekasihnya yang lebih duluan reinknarnasi dan konon menurut gurunya hidup di Indonesia. Dia sudah memiliki kesaktian yang tidak terukur, seperti bisa menghilang dan menembus dinding. Dalam perjalanan mencari cintanya, dia banyak menolong manusia dan membasmi kejahatan secara diam-diam. Ikuti ceritanya di novel horor Reinkanarsi ini dalam seri Tohucak Kodiring berikut ini.
Cinta itu memang abadi, cinta itu tidak memandang status dan bisa tumbuh di mana saja. Karena cinta, apa saja bisa dilakukan oleh orang yang sedang jatuh cinta, tidak bisa dibatasi oleh dimensi waktu. Cinta adalah anugerah yang sangat indah dari yang Mahakuasa. Selamat membaca, semoga anda terhibur.
Jangan lupa nikmati juga karya penulis yang lainnya, seperti Kucing Iblis, Orang-Orang Diatas Angin, Peti Mati Suruhan, dll di Flaform Storial ini juga.
|
Title: Rukun Kucing
Category: Fantasi
Text:
Rukun Kucing
Miaww! Perkenalkan wahai para pembaca, nama saya Doreng, kucing kampung tak bertuan. Saya bebas, sebebas-bebasnya. Bebas mau makan jam berapa saja. Bebas buang air di mana saja. Bebas tidur di mana saja. Saya cukup tampan dengan rambut putih berpola loreng jingga. Badan saya lumayan besar dan gagah ketimbang kucing-kucing lain se-RK.
Tahukah kalian tentang RK, wahai para pembaca yang budiman? Mari saya jelaskan.
RK adalah singkatan dari Rukun Kucing, setara dengan RT, Rukun Tetangga di dunia manusia. Jangan salah, meskipun kami terlihat bebas, di balik semua itu ada sistem yang tertata. Seperti yang kalian lihat, kami kucing kaum kucing memang tidak hidup secara berkelompok. Kami lebih suka hidup masing-masing, kecuali saat kami masih bayi. Namun, seegois-egoisnya kucing, kami tetap hidup bermasyarakat. Apa? Kalian belum pernah melihat? Tentu saja. Perkumpulan kami ini rahasia dan tidak boleh diketahui oleh manusia. Mengapa demikian? Jangan banyak tanya kalian wahai manusia. Simak saja cerita ini, OK!
RK ini tidak main-main, pembaca yang budiman. Hanya boleh ada satu RK dalam satu gang. Karena gang daerah kekuasaan saya adalah gang kesebelas, maka saya termasuk RK XI. Eh iya, satu lagi. Satu RK maksimal terdiri atas 5 ekor kucing. Kalau lebih, bisa bahaya. Bukan karena kami takut razia polisi.
Kalian pasti tertawa dan mulai menganggap cerita ini ngaco. Jangan berprasangka dulu, pembaca yang budiman. Benar, tidak ada kucing yang berprofesi sebagai polisi. Namun demikian, kami selalu taat aturan. Aturan dibuat supaya kita aman. Mau tidak mau harus ditaati, bukan dilanggar.
Memangnya kalian, manusia? Ada aturan harus menggunakan helm saat menaiki kendaraan bermotor, dilanggar. Tidak apa-apa, tidak ada polisi ini, katanya. Lihat saja nanti kalau ada razia. Atau sekarang yang sedang hangat-hangatnya, tercyduk kamera CCTV. Setelah ada razia atau tercyduk, barulah mereka menggunakan helm yang padahal sudah dibawa dan hanya digantungkan saja. Heran saya sama manusia. Katanya Homo sapiens, hewan paling cerdas yang ada di Bumi (meskipun gennya hanya berbeda sekian persen dari simpanse), tapi kok otaknya tidak dibuat untuk berpikir. Helm itu kan dipakai untuk melindungi kepala tempat otak yang diagung-agungkan itu. Mengapa mereka tidak melindunginya. Apa mereka mau bertukar otak dengan saya, otak kucing?
Kembali lagi ke aturan dunia kucing. Jika tidak ada polisi kucing, lantas bagaimana aturan ini bisa terus lestari? Hal ini terjadi secara alami. Naluri kami sebagai individu kucing dapat mendeteksi adanya bahaya perpecahan akibat terlalu banyak anggota. Meskipun ukuran otak kami jauh lebih kecil daripada manusia, kami masih bisa berpikir betapa buruknya konsekuensi yang akan kami terima jika aturan itu dilanggar. Masak iya manusia kalah sama kucing?
Anggota yang bergabung dalam satu RK pun tidak sembarangan. Kami harus memiliki kesamaan visi dan misi. Mau tau visi dan misi RK XI? Ini dia!
-Rukun Kucing XI-Visi:Menjadi kucing yang sukses dan berperikebinatanganMisi:1. Menambah pengetahuan dengan saling berbagi informasi dan tips.2. Menghargai privasi masing-masing3. Mengutamakan sopan dan santun dalam setiap tindakan
Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, saya adalah kucing yang paling gagah. Karena itulah saya diangkat menjadi ketua RK XI. RK yang saya pimpin ini terdiri atas 4 ekor kucing. Saya, Bucin, Paijo, dan Luna. Di bab selanjutnya akan saya ceritakan tentang mereka satu per satu.
Doreng
Miaww! Apa kabar pembaca yang budiman? Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, nama saya Doreng, kucing kampung tak bertuan nan gagah. Konon kata ibu, saya adalah turunan kedua kucing ras anggora. Jadi, bisa dikatakan saya berdarah campuran alias indo. Hanya saja, ciri-ciri kucing kampung muncul secara dominan dalam gen saya. Tak mengapa. Meskipun kucing kampung, saya tetap berbudi luhur.
Bagaimana saya tetap bertahan dengan budi yang luhur di tengah kerasnya kehidupan jalanan? Hmm, terus terang saya ingin berbagi tentang hal ini, pembaca yang budiman. Namun, apalah daya saya hanya kucing kampung. Berani sekali saya mengajari manusia, hah! Tapi itu kata teman-teman saya. Bukan Doreng jika tidak keras kepala. Maka dari itu saya tetap nekad menulis cerita ini. Biarlah saja jika manusia hendak merisak saya. Apalagi netizen. Silakan saja bila Anda ingin menghujat kucing kampung ini. Asalkan jangan campurkan racun tikus dalam makanan yang diletakkan sembarang tempat. Kami tahu niatan Anda adalah membasmi hewan laknat itu, tikus. Tapi kami sebagai kucing hanya hewan ber-IQ rendah yang tidak mampu menganalisis peruntukan makanan yang sedang nganggur itu. Plis, wahai pembaca yang budiman, tolong sampaikan pesan ini ke teman-teman manusia kalian. Sudah cukup Luna saja yang menderita karenanya. Nanti kapan-kapan saya ceritakan tentang penderitaan Luna dan racun tikus.
Kembali ke pertanyaan tadi. Bagaimana caranya saya menjaga keluhuran budi. Dalam menjaga prinsip saya yang satu ini, ada empat sikap yang selalu saya jaga. Pertama, saya bukan kucing pemaksa. Kedua, saya bukan kucing pencuri. Ketiga, saya memang kucing kampung, tetapi saya tidak kampungan. Keempat dan terakhir, saya bukan kucing yang sombong.
Saya bukan kucing pemaksa. Ya. Begitulah. Ketika meminta makanan kepada manusia, saya cukup hanya mengeong sekali. Jika manusia acuh tak acuh, saya langsung tahu diri dan pergi. Masih banyak manusia lain yang mungkin mau berbagi sedikit makanannya. Atau saya juga bisa mencari makanan di tempat lain.
Saya bukan kucing pencuri. Karena reputasi baik ini, banyak manusia yang menghargai saya. Eh, jangan tertawa dulu. Iya, menghargai. Contohnya, ketika mereka melihat saya, mereka cukup tenang sehingga tidak buru-buru mengusir saya. Tidak seperti ketika mereka melihat kucing garong tak berperikebinatangan yang begitu muncul langsung dikageti dan diusir. Percayalah wahai pembaca yang budiman. Apa yang kita tuai adalah yang kita tanam.
Saya tidak kampungan. Badan saya bersih. Tiap pagi saya jilati. Tidak ada penyakit kulit atau kutu yang bersarang di rambut-rambut saya. Saya juga hemat suara. Tidak mengeong-ngeong sehingga membuat berisik sekitar. Ya, bisa dikatakan saya cukup elegan.
Saya bukan kucing sombong. Buktinya, saya cukup populer di gang XI. Doreng adalah nama pemberian bocah perempuan dengan rambut ikal yang sering mengendarai sepeda di gang ini. Waktu itu, ia berhenti mengayuh sejenak dan mengeluarkan sosis dari kantongnya. Dia mengamatiku yang sedang makan dengn lahapnya. Mulanya, tangannya maju mundur, ragu-ragu ingin mengelus. Sekali lagi saya katakan, saya bukanlah kucing yang sombong sehingga dengan penuh kepekaan, saya sodorkan kepala ke tangannya. Ia pun mengelus-elus kepala saya dan tertawa senang bukan kepalang. Sejak itu ia memanggilku dengan sebutan Doreng, yang kini sudah diklaim sebagai nama sah milik saya.
Begitulah pembaca yang budiman. Selanjutnya akan saya ceritakan tentang Bucin. Persiapkan mental kalian.
Bucin
Miaw! Kali ini saya akan mengenalkan anggota kedua RK XI. Bucin. Sebenarnya itu bukan nama aslinya. Kami memanggilnya seperti itu karena memang dia bucin. Kalian pasti tahu kan, apa itu bucin? Ya, BUdak CInta. Budak cintanya siapa? Majikannya lah. Lebih ngerinya lagi, majikannya juga bucin. Bucinnya siapa? Karena saya tidak ingin spoiler, maka ikuti saja terus alur ceritanya. Seperti yang sudah kuingatkan kepada pembaca budiman sekalian, bab ini sangat membutuhkan kesiapan mental. Sudah siap?
Baiklah.
Cindy. Nama asli kucing ras anggora ini memang secantik parasnya. Rambutnya panjang dan lurus dengan rona keemasan. Di lehernya terdapat rambut berwarna putih berbentuk segitiga sehingga ia terkesan selalu mengenakan syal. Matanya bulat jenaka, persis seperti kucing pada film animasi yang ada di televisi. Ketika berjalan, ekor rambut panjangnya yang megah terangkat ke atas. Sempurna. Ia tampak seperti ratu.
Apakah kalian heran wahai pembaca budiman? Mengapa kucing kelas bangsawan bisa berkawan denganku yang kucing jalanan ini? Jadi begini. Majikan Cindy alias Bucin ini adalah wanita karir yang masih single. Dari pagi hingga sore, Bucin dibiarkan sendiri di rumah. Suatu hari, saat perut sudah sangat keroncongan, saya melewati rumah majikan Bucin. Barangkali ada sisa-sisa makanan di tempat sampahnya. Kali itu saya sungguh sial karena di tempat sampah di rumah itu hanya ada bungkus makanan instan. Tipikal wanita karir.
Waktu itu pandangan saya berserobok dengan mata indah milik Bucin. Saya sempat terkejut sejenak lalu terpana kemudian. Bucin masih memandang saja dengan raut muka yang sulit ditebak apa maksudnya. Karena saya adalah kucing sopan, saya meminta maaf kepadanya. Dia mengeong-ngeong berisik. Saya ambil langkah seribu, takut disangka maling. Padahal kan cuma lihat-liha tempat sampah. Di luar dugaan, kucing cantik itu berhasil keluar dengan melewati lubang kecil di sela-sela tembok yang penuh debu. Sambil mengibaskan ekornya yang bak kemoceng, ia mengajak berkenalan. Keesokan hari dan seterusnya ia selalu muncul di trayek rutin yang saya lewati. Begitulah akhirnya kami saling mengenal. Ia harus pulang sebelum majikannya sampai rumah. Ini karena Bucin sangat cemas, takut majikannya sedih karena merindukannya. Dangdut sekali.
Bucin ini kucing yang sangat polos dan penurut. Pernah suatu hari ia lolos dari rumah dengan topi rajut berpita pink besar di kepalanya. Mungkin karena ia terus berusaha menarik-narik topi laknat itu dengan cakarnya mungilnya, yang justru malah tersangkut di sela-sela rajutan. Matanya tertarik ke atas tertarik topi. Terlihat sipit dan imut sekali. Dengan meongan yang memelas ia memintaku untuk melepaskannya. Saya tidak bisa tertawa sehingga melampiaskan rasa yang menggelitik ini dengan berlari dan berguling di jalanan. Itulah mengapa ia kupanggil Bucin. Di rumah, ia sangat penurut. Majikannya sering memakaikan berbagai aksesoris yang dibilangnya lucu. Memang terlihat imut sih. Tapi sepertinya ia lumayan tersiksa karena sebenarnya, Bucin itu tomboy. Ia berjiwa bebas. Tapi karena cinta kepada majikannya, ia rela berbuat apa pun.
Saya sering tidak tahan kalau Bucin curhat tentang majikannya. Majikannya sudah berusia cukup matang dan cukup cantik. Bukannya berkencan dan menikah, majikan Bucin malah tergila-gila dengan K-pop. Jadilah majikan Bucin tergila-gila dengan idol. Itulah mengapa tadi di awal kuceritakan bahwa majikan Bucin pun juga bucin. Yang lebih mengenaskannya lagi, konon majikan Bucin mengadopsinya karena idolanya juga memelihara kucing juga. Dengan halu-nya majikan Bucin berniat untuk menjodohkan kucingnya dengan kucing sang idol. Katanya, meskipun mereka tidak terjalin ikatan cinta, mereka maasih bisa besanan.
Duh Bucin, kasihan kamu.
Masih banyak penderitaan yang Bucin alami, wahai pembaca yang budiman. Lain kali saya ceritakan. Tapi besok saya mau kenalin Paijo dulu.
Paijo
Miaww! Hari ini dingin sekali. Hujan gerimis tiada henti. Saya kurang suka dengan cuaca seperti ini. Rasanya dingin. Rambut indah saya pun terasa lepek. Saya lebih suka bila hujan langsung turun dengan derasnya. Apa bedanya? Ya, beda. Pada saat itu saya tidak terlalu merasa kedinginan karena banyak manusia di sekitar. Mereka juga menumpang berteduh di teras toko seperti yang saya lakukan. Berkumpulnya manusia membawa hawa yang agak lebih hangat. Saya sangat suka mengamati mereka. Merasakan pembicaraan. Merasakan, bukan hanya sekadar mendengar. Oh iya, curhat terus jadi lupa, saya janji akan mengenalkan teman saya, ya.
Namanya Paijo. Kalau ini memang nama asli, bukan julukan. Tertulis di kalungnya. Tunggu. Ia punya majikan? Mulanya saya menyangka demikian. Namun ternyata tidak (lagi). Mengapa Paijo bisa terpisah dengan majikannya? Ketika saya tanyakan hal itu pada yang bersangkutan, katanya waktu itu dia sedang khilaf. Keasyikan main sehingga tak terasa sudah jauh dari rumah. Tak lupa ia berpesan bahwa jangan terlena dengan indahnya dunia jika tidak ingin menyesal.
Kehilangan majikan adalah hal yang paling disesali Paijo dalam hidupnya. Saya paling malas kalau Paijo terkenang dengan majikannya. Iya malas. Kalau dia sudah cerita, suasana menjadi mendung. Lantas hujan deras turun dari matanya. Mau tak mau sebagai kucing berbudi luhur saya harus menghiburnya. Menjilati air mata yang tak jarang (saking derasnya) terpercik ke rambut putihku. Jika sudah seperti ini saya harus menjilati tubuh semalaman sampai lidah kebas. Ah, bete pokoknya.
Paijo ini sangatlah imut, melebihi keimutan pikachu. Postur tubuhnya kecil namun sedikit gempal. Rambutnya sedang, tidak pendek dan tidak panjang. Ia memiliki pola loreng mirip denganku, hanya saja miliknya berwarna hitam dan abu-abu. Suara meong Paijo tak kalah imutnya. Bukan "miauw" yang jelas seperti milikku, melainkan, "ieek". Mirip seperti balita yang merengek. Makanya ia selalu memenangkan hati manusia sehingga berbelas kasih kepadanya.
Paijo juga sering merayu manusia dengan tingkah lucunya. Suatu hari di pinggir jalan dekat minimarket, Paijo mangkal di tempat tukang nasi goreng. Tanpa malu, ia mendekati manusia yang bergerombol dan sepertinya asyik ngerumpi. Digesekkan badannya ke salah satu kaki manusia cantik dengan jilbab pink bunga-bunga. Manusia itu kaget. Temannya malah bertindak ekstrem dengan menaiki kursi dan berteriak kencang. Padahal bukan dia yang didekati Paijo.
Untung manusia berjilbab pink bunga-bunga itu tidak takut kucing. Malah sepertinya menyukainya. Dielus-elusnya dagu Paijo. Paijo makin menjadi. Diberi jantung, meminta empela. Tak puas hanya dagunya, ia juga ingin kepalanya dielus. Pipinya mengesot di tangan manusia itu. Lantas diturunkannya kepalanya sedikit demi sedikit hingga mencapai tanah. Manusia itu pun paham dan mulai mengelus kepalanya Paijo. Mata Paijo pun terpejam. Entah ia terkenang ibunya atau majikannya. Setelah puas dielus-elus, Paijo pun merengek, mengeong dengan imutnya. Manusia berjilbab pink itu seperti merasa bersalah dan meminta maaf karena saat ini ia tidak punya makanan untuk dibagi. Paijo pun mengeong sekali lagi dan pergi. Katanya,"Tak mengapa, terima kasih atas elusannya." Ksksks, dasar kucing jablay. Setelah Paijo pergi, teman manusia yang tadinya naik kursi pun turun dengan pipi yang agak sedikit merah.
Paijo pindah sasaran. Kali ini ke tukang nasi goreng yang sedang sibuk beraksi di depan wajan. Tangannya lincah menaburkan garam. Tukang nasi goreng itu tidak menyadari bahwa ada kucing yang asyik bergelayut di celana panjangnya. Setelah pesanan nasi goreng konsumennya jadi, ia memberikan sepotong tulang ayam yang masih banyak sisa dagingnya. Paijo pun senang bukan kepalang.
Setelah menerima bungkusan nasi goreng pesanannya, manusia berjilbab pink itu akhirnya sadar bahwa ada sesuatu yang aneh di tangan kanannya. Tangan yang digunakan untuk mengelus Paijo. Kemudian dihirupnya tangan itu. Aroma yang menguar pun masuk ke lubang hidungnya dan diterjemahkan oleh otaknya sebagai aroma busuk yang biasanya dihasilkan oleh tempat sampah. Wajahnya menyeringai. Saya merasakan umpatan yang menggema di dalam hatinya, "Dasar kucing jalanan ngga pernah mandi."
Ksksksks. Jelas lah. Seharian dia bergulat di dalam tempat sampah. Suatu hari Paijo akan menyadari bahwa ia lebih cocok mencari makan dengan merayu manusia daripada dengan bergulat dengan sampah.
Baiklah. Itu tentang Paijo, kucing yang lebih imut daripada pikachu. Selanjutnya akan kuceritakan tentang Luna.
Luna
Miaw! Kemarin hujan, sekarang panas. Siang terasa terik dan malam terasa lembap. Berulang kali saya menjilati telapak kaki yang basah oleh keringat. Akibatnya saya jadi sering haus. Namun meskipun begitu saya tetap berjuang menulis cerita. Saya hebat, kan wahai para pembaca yang budiman? Kalau iya, tolong lemparkan ikan asin. Yang sudah berbau tengik pun tak apa.
Baiklah kali ini saya akan bercerita tentang Luna. Pernah lihat anime Sailor Moon? Kalau iya pasti para pembaca sekalian tahu mengapa kucing satu ini dipanggil Luna. Ciri-ciri yang menyolok dari seekor Luna adalah rambutnya yang hitam legam, tanpa ada warna lain setitik pun kecuali sepasang matanya yang hijau misterius. Luna hampir tidak pernah mengeong. Ia sangat pendiam. Di balik sikap diamnya, ia mengamati berbagai hal dengan sangat cermat. Berbeda dengan Bucin dan Paijo yang caper terhadap manusia (dan sikapku yang biasa-biasa saja), Luna terlihat seperti membencinya. Ketika ada manusia lewat, ia selalu waspada. Jika mereka mulai mendekat dan berusaha sok akrab, Luna segera ambil langkah seribu. Ngacir. Mungkin hal ini berhubungan dengan peristiwa traumatis yang pernah dialaminya.
Sebelum bergabung dengan RK XI, Luna adalah anggota RK III. Di gang ketiga, Luna lahir dan dibesarkan. Saat itu adalah awal mula Luna hidup mandiri. Meskipun ibunya juga masih tinggal di gang ketiga, ia harus belajar bertahan hidup sendiri. Luna remaja masih lincah-lincahnya. Segala dicakar, segala diendus. Dengan perut yang sangat lapar, Luna berjalan menyusuri gang. Ia menyadari ada aura yang berbeda di salah satu teras sebuah rumah. Hati Luna sangat gembira saat melihat daging yang terlihat sangat lezat (ia lupa daging jenis apa). Daging itu terbaring di atas kertas minyak berwarna cokelat dan tampak masih segar, tidak seperti makanan sisa. Tak banyak cingcong, Luna pun melahap daging itu. Tak lama setelah memakannya, bahkan ia pun belum beranjak dari teras rumah itu, matanya berkunang-kunang. Perutnya melilit, ususnya terasa sangat panas, bagaikan menelan sambal ayam geprek level 11. Ia pun tak kuat lagi berdiri. Napasnya terputus-putus. Tanpa disengaja, air matanya berlinang, padahal ia sedang tidak sedih. Luna remaja hanya bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Hendak mengeong, tapi sudah tidak ada tenaga.
Beberapa detik kemudian seorang anak balita keluar dari rumah itu. Ia berteriak, "Ucing! Ucing!" Seorang manusia tinggi berkacamata keluar dan memandang Luna yang malang dengan iba. Namun iba hanya sekadar iba. Ekspresi mukanya memang sedih, tapi tidak sampai merasuk ke hati. Padahal katanya manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki hati nurani. Diangkatnya kucing malang itu di bagian lehernya. Sang kucing malang terkulai. Dikiranya manusia itu Luna sudah mati. Dilemparlah kucing hitam mungil itu melalui pagar sambil mengumpat, "Sial, mau ngeracun tikus malah kena kucing!"
Luna yang sudah tak berdaya masih menghemat napasnya sehela demi sehela hingga petugas kebersihan menemukannya. Kucing malang itu diangkut petugas kebersihan itu ke gerobaknya. Lantas setelah sampai di depan minimarket, dibelinya sebotol air. Dipaksanya air itu untuk masuk ke kerongkongan mungil Luna remaja. Ajaib, mata berair Luna sedikit-demi sedikit bisa membuka. Kini pancaran matanya berubah, dari yang polos menggemaskan menjadi misterius dan penuh dendam. Setelah menjilati tangan penyelamatnya sebagai tanda terima kasih, Luna pun pergi. Ia tak sudi lagi menginjak gang ketiga.
Waktu pun berlalu sehingga badannya kini sudah lumayan besar. Selama itu Luna tidak pernah memakan makanan yang ada di rumah manusia atau diberikan oleh manusia. Ia hanya mengandalkan tempat sampah untuk bertahan hidup. Ia berjalan menyusuri gang demi gang. Tak jarang ia ditegur oleh RK lain karena melewati daerah kekuasaan mereka seenaknya. Akibatnya, ia pun sering bertengkar. Bekas luka cakaran tersebar merata di balik rambut kelamnya.
Selama masa pengembaraan, di langkahnya yang kesekian, ia pun bertemu dengan saya. Waktu itu saya sedang arisan bersama Bucin dan Paijo. Dengan misteriusnya ia hanya mengamati dari jauh. Karena saya adalah kucing yang ramah dan berbudi luhur, alih-alih mengajak bertengkar, saya tawarkan saja camilan biskuit mahal milik Bucin yang diselundupkannya diam-diam. Mulanya Luna tidak berani memakannya karena menganggap itu adalah pemberian manusia. Namun, setelah berkali-kali nimbrung arisan, Luna memakannya juga. Mungkin ia mengamati terlebih dahulu makanan tersebut aman aau tidak. Dan setelah terbukti kami masih baik-baik saja setelah memakannya, ia baru berani makan biskuit mahal itu. Sungguh, dibalik kegarangan tampangnya, kucing pendiam dan misterius itu menyimpan banyak luka.
Eh, by the way, Luna itu kucing betina, ya.
Arisan Kucing
Kalau di dunia manusia ada arisan RT, di dunia kucing juga ada arisan RK. Kami sepakat mengadakan arisan tiga kali seminggu. Mengapa tiga? Karena satu kali saja kurang, sementara empat kali terasa berlebihan. Terus, mengapa tidak dua? Dua cukup, namun kami ingin lebih dari cukup. Kalimat bijak itu keluar dari mulut Luna. Kalimat satu-satunya yang terucap olehnya di hari pertama ia bergabung. Hemat nian Luna ini.
Jika Anda merasa kurang dengan penjelasan Luna yang sedemikian hematnya, mari baca penjelasan saya yang termasuk boros. Berbeda dengan arisan manusia yang biasanya diadakan sebulan sekali, arisan kucing diadakan berkali-kali per minggu, hanya saja frekuensinya bergantung pada kebijakan masing-masing RK. Lebih sering lah, ketimbang arisan manusia. Kok? Iya. Pertama, kami tidak digaji bulanan sehingga tidak perlu menunggu gajian untuk arisan. Kedua, karena tidak digaji, tentu saja kami tidak terikat pekerjaan. Pekerjaan kami hanya makan, atau cari makan dan juga mengamati manusia. Jadi, ya kami punya banyak waktu luang. Ketiga, kami perlu sering-sering berbagi informasi mengenai rumah mana yang sering memberi makanan sisa atau sekadar curhat tentang ironi kehidupan. Terkadang kami membicarakan kehidupan kucing. Ya, hanya kadang-kadang. Kami lebih sering menggosipkan kehidupan manusia. Miaww, maafkan kami wahai manusia!
Katanya kucing tidak beruang, lantas arisan apa?
Kucing ya kucing, bukan beruang. Heheh, maaf saya sedikit bercanda. Saya tahu maksud Anda, para pembaca. Bagi kami, arisan tidak melulu tentang uang atau materi. Tapi, Anda pasti beranggapan bahwa bukan arisan jika tidak ada kocokan. Satu hal yang mirip dengan kocokan, kami menentukan giliran menentukan lokasi perkumpulan dan menyediakan camilan seadanya. Kalau ada ya disyukuri, kalaupun tidak ada ya tidak ada yang protes. Sederhana. Kocokannya pun tidak terbuat dari kertas dan digulung. Tidak ada kucing yang bisa membuatnya. Coba Anda berikan kertas ke kucing. Pasti akan disobek-sobek dan dibuat mainan olehnya. Ya, begitulah. Jadi, kami hanya main tunjuk secara acak. Bucin sering jadi korban main tunjuk ini. Untung dia kucing penurut.
Tahukah kalian esensi dari eksistensi diadakannya arisan, wahai para pembaca yang budiman? Setahu saya -sebagai kucing yang berbudi luhur-, di samping tujuan yang berkaitan dengan uang atau materi, arisan juga diadakan sebagai ajang untuk tujuan bermasyarakat dan bersosialisasi. Hal ini biasanya diadakan oleh sekelompok orang yang sengaja meluangkan diri untuk mengenal lingkungan sekitarnya. Sudah barang tentu tiap individu memiliki kesibukan masing-masing. Meskipun hidup berdampingan, tak jarang mereka tak saling mengenal. Nah, arisan adalah ajang untuk saling mengenal. Seperti kata peribahasa, tetangga adalah keluarga yang paling dekat. Kalau ada apa-apa tentu saja akan lebih efisien apabila kita meminta bantuan kepada tetangga. Makanya harus kenal. Itu pendapat saya sebagai kucing.
Oleh sebab itu, wahai para pembaca, kucing pun juga butuh arisan. Tapi kami, para kucing terheran-heran dengan arisan manusia zaman sekarang. Entah "zaman sekarang" adalah istilah yang tepat atau bukan, karena kami pun tak tahu-menahu tentang arisan zaman dulu. Singkatnya, kami ternganga-nganga melihat para ibu-ibu yang mau berangkat arisan. Semua memakai dresscode yang kompak. Putih-putih melati AliBaba, merah-merah delima Pinokio, batik modis, atau ala-ala Princess Disneyland (beneran, Luna pernah melihat ibu-ibu yang hendak berangkat arisan yang berpakaian Cinderella saat dalam pengembaraan dulu).
Kebetulan hari ini adalah jadwal arisan ibu-ibu gang kesebelas. Sepertinya temanya putih-putih karena semua ibu-ibu berpakaian putih, bersih, dan tampak sungguh shiny. Penampilannya mereka sangat gemerlap. Cincin kawin, cincin anniversary, dan cincin warisan dipakai semua. Lumayan, bisa dijadikan "pancingan" saat ngobrol nanti.
Saya duduk kalem di dekat pagar teras rumah lokasi arisan. Kami tidak berkumpul menggerombol. Luna jongkok dekat tanaman perdu, Pajio berguling-guling di aspal, sementara Bucin duduk di bawah pohon mangga. Bukan tanpa alasan kami berkeliaran di sekitar lokasi arisan manusia. Sambil menunggu momen yang tepat, saya mengamati tingkah laku mereka. Mereka bilang, "Aduh, jari aku pegal-pegal ini. Duh, cincin berat banget ya!" sambil mengibaskan tangan, pura-pura kegerahan dengan gemulai (padahal keluhannya pegal, tapi gesturnya kegerahan). Tak heran bila banyak pasang mata yang memandang nyinyir. Pikirnya, "Aku juga bisa gitu." Lantas yang lainnya benar-benar kepanasan. Dengan kipas yang matching dengan konsep bajunya, ibu itu sibuk menyibakkan kerah bajunya, "Aduh, gerah ya. Ini kalung panjang banget sih ngehalangin angin." Lantas ibu lain tak mau kalah. Begitu saja seterusnya. Kami sudah mengantuk menyimak pembicaraan itu. Paijo jangan ditanya lagi. Dia sudah capek kelesodan di jalan sehingga tubuhnya pun melingkar. Molor.
Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, kami sengaja mengadakan arisan pada waktu yang bersamaan dengan arisan manusia. Saya kira Anda sudah tahu jawabannya. Alasan kami berbetah-betah ria menunggu dan menyimak pembicaraan mereka adalah sembari menunggu pemberian sisa ayam yang ada pada soto atau sisa lobster yang terlalu kecil untuk disajikan. Lumayan, yang kedapatan giliran tidak perlu membawa camilan. Miaww!
Sosial Media (1)
Arisan ibu-ibu gang kesebelas pun usai. Sepanjang acara kami hanya terbengong-bengong melihat arisan versi manusia. Tapi ada baiknya juga. Mereka berbaik hati memberikan sisa makanan kepada kami. Sekarang, perut sudah kenyang. Saatnya arisan kucing dimulai. Kami mencari tempat yang tersembunyi. Bucin ngotot mau arisan di gang sempit sebelah rumahnya. Supaya bisa melihat apabila majikannya sudah pulang, katanya. Duuh, dasar budak cinta!
Sebenarnya kami malas arisan di sana. Gang sempit itu bukanlah gang sebenarnya yang dapat dilewati, wahai para pembaca yang budiman. Gang itu hanyalah perbatasan antara dua rumah. Keduanya dipisahkan oleh selokan yang hmm, you know, selokan pada umumnya. Tapi saya, Luna, dan Paijo tahu bahwa tak ada guna bernegosiasi dengan Bucin yang otaknya sudah diperbudak oleh cinta.
Kami pun berjalan sebentar menuju lokasi. Kami tidak berjalan beriringan karena tentunya akan mengundang perhatian manusia. Satu per satu kami berjalan dengan tenang. Dalam perjalanan, Paijo dicegat oleh anak kecil bergaun putih renda-renda yang memakai bando putih renda-renda pula. Saya yang kebetulan berjalan di belakang Paijo, mengamatinya dengan cermat. Saya informasikan sekali lagi, para pembaca yang budiman, Paijo ini lucu bukan main sehingga resiko dia diculik sangat besar. Tapi sepertinya anak itu bukanlah ancaman. Paijo yang memang dasarnya jablay jusru sangat senang ada manusia yang mendekatinya. Ekornya naik dan bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Si anak makin senang, bak melihat sirkus. Anak itu pun memanggil manusia dewasa yang sepertinya adalah ibunya. Ibu itu mengenakan pakaian serba putih dengan kalung mutiara yang menjuntai hingga ke perut. Sepertinya bagian dari ibu-ibu yang arisan tadi. Anak itu minta foto. Ibunya punya ide. Diambilnya makanan dari bungkusan plastik yang sepertinya hasil dari membungkus jamuan arisan barusan, "Dek, kasih ini ke kucing." Anak yang dipanggil Dek itu menurut dan memberikan sepotong sayap ayam bakar ke Paijo.
Cekrek! Cekrek! Cekrek!
"Good! Nice! Cantik anak mamah!"
Dari raut wajahnya saya bisa menduga bahwa nantinya foto itu akan diunggah ke sosial media sang ibu. Sang ibu pasti akan menyombongkan anaknya dengan caption, "Duh, si adek peduli binatang. Besok pasti jadi dermawan," atau, "Sebagai manusia harus saling berbagi, baik antarsesama manusia maupun terhadap hewan," atau lagi, "Anak salihah." Sebenarnya saya bisa menyebutkan alternatif lain, tapi ah malas. Manusia terlalu banyak pencitraan. Apalagi semenjak hadirnya berbagai media sosial dengan keunggulannya masing-masing. Mereka sibuk di depan layar atau dunia maya tanpa mempersiapkan apa yang harus disiapkan di balik layar, yang merupakan kehidupan sesungguhnya. Coba kalau si Ibu tidak punya ide untuk memotret anaknya dan mengunggahnya di media sosial. Saya yakin Paijo hanya dianggapnya kucing jalanan yang bila hanya menumpang lewat teras rumahnya pun langsung diusir.
Maafkan saya, pembaca yang budiman. Saya terlalu berpikiran negatif. Tetapi memang seperti itu, kan realitanya?
Setelah mereka berlalu, Paijo pun kembali berjalan. Begitu pula dengan saya yang ada di belakangnya. Sesampainya di lokasi, kami kena damprat para kucing yang sudah mulai lelah menanti. Paijo polos saja tanpa menyadari kesalahannya. Kalau mereka sampai tahu bahwa Paijo baru saja menghabiskan sayap ayam bakar sendirian saja, bisa panjang urusan.
Tidak ada lagu mars pembuka, karena dikhawatirkan akan mengundang keributan. Apalagi harmonisasi suara kami sedemikian kece-nya. Yang ada hanya ada sambutan dari saya, sebagai ketua RK. Kemudian, saya buka forum mengenai hal yang akan dibahas kali ini. Hening. Luna bahkan sudah setengah terpejam. Kebiasaan, habis makan, ngantuk. Bucin sibuk menatap jalan, cemas bila majikannya lewat. Sementara itu, Paijo menghadap ke arah saya dengan lidah menjulur. Bukannya bermaksud mengejek seperti yang manusia lakukan, ia haya membersihkan sisa kecap yang berlumur di sekitar moncongnya.
Karena tidak ada yang usul, saya berinisiatif untuk berkeluh kesah mengenai sosial media. Terinspirasi oleh peristiwa yang melibatkan Paijo barusan. Terlebih dahulu, saya mengenalkan apa itu sosial media kepada rekan-rekan RK sekalian. Sudah barang tentu Bucin tidak asing lagi dengan benda canggih buatan manusia itu. Usut punya usut, sosial media itulah biang keladi dari setiap episode penderitaannya.
Sosial Media (2)
Saya memang sudah menebak, pemirsa. Bucin adalah korban sosial media yang nyata. Ia merasa kasih sayang yang majikan berikan seperti kurang tulus. Saya coba untuk menghibur Bucin. Yah, itu hanya prasangkamu saja, Cin. Hati manusia siapa yang tahu. Bucin cemberut. Kumis panjangnya yang lebat melengkung membentuk busur. Ia terlihat sangat sedih. Kecemburuan membuat hatinya terpukul layaknya gendang. Setelah terpukul, hatinya mengaduh, mengalun syahdu bak seruling bambu. Begitu terus sehingga di dalam jiwanya bergema musik dangdut. Balad ya, bukan koplo. Apalagi setelah tahu bahwa sang majikan lebih terobsesi dengan idolanya. Rasanya seperti diberi tahu bahwa kita ternyata anak yang dibuang ke tempat sampah dan dipungut tukang kerak telor. Sudahlah, Bucin ini terlalu berlebihan. Tak kuasa melihat ekspresi Bucin yang merana nian, kualihkan pandangan ke yang lain.
Paijo. Saya kira ia masih menjilati kecap di sekitar moncongnya, namun ternyata saya salah. Mata bulatnya kian mencembung karena berkaca-kaca. Saya tanyakan, apakah ia berempati pada Bucin? Ternyata tidak. Ia terkenang majikannya lagi. Setelah mendengar curhatan Bucin tiba-tiba ia teringat bahwa majikannya juga suka memegang ponsel saat Paijo bayi sedang belajar berjalan. Waktu itu ia terlalu belia untuk mengamati tingkah laku majikannya. Ingatannya kabur. Sekabur pandangannya yang terhalang oleh calon air mata. Mendadak hatiku ikut merasa mellow.
Satu-satunya harapan adalah Luna. Saya alihkan pandangan dari Paijo ke Luna. Ternyata saya salah lagi. Luna asyik mendengkur. Dengkurannya begitu halus hingga tak terdengar oleh telinga saya yang biasanya tajam pendengarannya. Seakan tahu bahwa sedang diawasi, mendadak mata kanan Luna terbuka. Kemudian ia menghela napas sekali, baru mata kirinya ikutan membuka. Saya yakin Luna menyimak pembicaraan kami meskipun matanya terpejam. Akhirnya perkiraan saya benar!
Luna pun angkat bicara. Sepanjang hidupnya di jalanan ia tak mengenal apa itu sosial media. Ia hanya tahu bahwa manusia sering memandangi layar benda dengan layar bercahaya tanpa mengenal tempat, situasi, dan kondisi. Pernah ia menyaksikan kecelakaan akibat benda itu, ponsel. Pengendara motor asyik memandangi ponsel sehingga tidak memperhatikan jalan. Ternyata setang yang dipegangnya dengan hanya satu tangan itu tidak mengarah lurus, melainkan serong ke kiri. Ditabraknya pejalan kaki yang padahal sudah berjalan sepinggir mungkin. Bahkan hanya berjarak 5 cm dari selokan. Beruntung saat itu Luna refleks melompat ke seberang selokan sehingga ia tidak ikut terluka.
Saya tidak bisa mengerti seberapa pentingnya ponsel dan sosial media bagi manusia hingga melukai sesama dan makhluk lainnya. Mungkin karena saya adalah kucing. Namun, jika seandainya saya diberi kesempatan menjadi manusia, saya juga tidak yakin mampu memahaminya. Ksksksks, saya mendengus heran, tidak tahu harus dibawa kemana akhir dari bahasan ini.
Tanpa disadari hari mulai gelap. Bucin kian resah karena ia melihat mobil majikannya sudah berbelok menuju gang kesebelas. Cepat ditutup arisannya, katanya. Akhirnya saya ucapkan salam penutup. Bucin berlari ngebut. Paijo bangkit dari duduknya. Saya lihat air matanya sudah kering. Sepertinya ia sudah melupakan kegalauannya tadi. Dengan imutnya ia berpamitan.
Hanya tinggal saya dan Luna di tempat itu. Ia memandangi saya lekat-lekat dan menanyakan mengapa saya begitu sinisnya dengan sikap manusia terhadap sosial media. Belum sempat menjawab, Luna bersuara lagi. Katanya, kamu harus terlibat untuk bersikap. Belum sempat merespons, Luna sudah bangkit, berbalik, dan berjalan dengan anggun. Ekornya melambaikan selamat tinggal, sampai jumpa lagi. Saya merenungkan perkataan Luna. Ternyata otak saya terlalu kecil. Saya tidak paham. Akhirnya saya menyerah sebelum otak saya membengkak.
Derita Bucin (1)
Pada arisan kali ini, Bucin curhat habis-habisan. Dengan intro permohonan maaf karena tidak bisa hadir di arisan hari sabtu kemarin, ia menceritakan penderitaannya pada hari itu. Penasaran seperti apa pemirsa? Kurang lebih seperti ini curhatan Bucin. Mohon maaf kurangnya karena saya lupa, dan lebihnya mungkin karena saya menambahkan pendapat pribadi. Silakan cari tempat yang nyaman sebelum membacanya.
Jika dilihat dari mata kucing jalanan, hidup Bucin terlihat mewah nian.
Bangun pagi, tinggal berjalan satu-dua langkah, bisa langsung buang air di toilet berpasir. Tidak perlu bersusah payah mencari-cari tempat yang ada pasirnya sambil terkentut-kentut menahan mulas. Tidak perlu dihujat manusia yang tak sengaja menginjak hajat yang kita buang. Lagian salahnya sendiri, jalan kok cuma pakai kaki, matanya tidak ikutan diajak.
Lega setelah buang air, lantas mengeong karena piring belum terisi jatah sarapan. Jika majikan belum bangun, langsung saja menyelinap ke dalam selimutnya. Majikan tidak akan marah karena dibangunkan, malah tertawa sambil mengelus-elus kepala sang kucing. Kucing pun kegirangan sehingga lupa akan rasa laparnya. Kalau lagi khilaf malah ikutan lajut tidur bareng majikan.
Sehabis tidur part 2, makan biskuit mahal bermerk terkenal yang kata iklan bisa membuatmu pintar. Omong kosong. Mau pintar ya belajar. Kalau cuma makan nanti obesitas. Bakalan susah kalau nanti mau mengejar tikus.
Namun bagi Bucin, hidup mewah hanya berputar sekitar urusan makan dan buang air. Setelah itu, ia merasakan penderitaan karena cinta. Apalagi hari itu hari Sabtu. Hari libur majikannya. Ketika Bucin sedang enak-enaknya berbaring untuk mencerna makanannya, tangan majikannya terulur. Dalam sekejap ia sudah dalam buaian. Sambil bernyanyi riang, sang majikan menggendongnya. Perasaan Bucin mulai tak enak.
Sang majikan mengambil ponsel. Tangan kiri sebagai tempat bergelayut Bucin, tangan kanan memainkan ponsel. Raut wajah sang majikan tiba-tiba cerah. Terlalu cerah. Matanya bersinar menyilaukan. Giginya mengintip di balik bibir yang tertarik ke pipi. Bucin mulai merinding. Ini adalah fase awal penderitaannya. Benar sekali. Tak lama kemudian dilepaskannya Bucin supaya kedua tangannya bisa bebas memainkan ponsel. Bucin pun jatuh, untung di atas karpet empuk. Bucin sudah bisa menduga, pasti itu notifikasi dari update-an idolanya.
Benar lagi. Sang majikan menghampiri Bucin yang masih dalam posisi telungkup di atas karpet. Ia ikut-ikutan bergelung di atas karpet sembari menunjukkan layar ponsel ke kucingnya. Bucin melihat setengah hati. Di layar itu terpampang foto idola sang majikan sedang mencium kucing kesayangannya. Majikan itu mengoceh, katanya, "Cintya, ayo kita pose kayak gini. Biar kita nanti di-notice Uun!"
Uun lagi Uun lagi, batin Bucin.
Begini ya, para pembaca. Supaya kalian tidak loading lama saat membaca ini, saya ceritakan dulu tentang Uun. Uun bukanlah nama asli sang idol. Itu adalah pangilan kesayangan majikan bucin untuk idolanya. Biar tambah imut, katanya. Nama aslinya Yoon Dowoon. Dowoon adalah drum. Eh salah, drummer maksudnya. Band nya namanya Day6. Bagi Anda yang suka manusia imut atau bagi Anda yang berjiwa keibuan atau kebapakan pasti langsung jatuh cinta. Si Uun ini punya hewan peliharaan, namanya Hosun. Nah, majikannya Bucin ini terobsesi untuk menjodohkan Bucin dengan Hosun. Sungguh ke-halu-an yang tiada tara.
Mhiyaauuw
Kucing yang nama aslinya Cintya itu pun mengeong lemas setelah tahu bahwa ia akan absen arisan akibat postingan si Uun.
Namun bagi telinga sang majikan, meongan kucing penurut itu terdengar seperti kalimat persetujuan.
Ia menyandarkan ponselnya ke toples yang ada di atas meja. Diaturnya supaya letak ponsel pas untuk menangkap pose dirinya dan kucing kesayangannya. Tak lupa ia menyalakan timer. Setelah semuanya beres, dengan segera ia berlari ke arah si kucing. Diangkatnya kedua tangan Bucin. Lantas disodorkan pipi sang majikan ke bibir Bucin. Bucin ingin sekali pemaksaan ini segera berlalu. Oleh sebab itu, sebisa mungkin ia memasang wajah imut supaya tetlihat bagus di kamera. Ia mencium majikan dengan senang hati.
Cekrek
Bagaimana hasil jepretan pertama? Saya ceritakan di bab selanjutnya ya, wahai pembaca yang budiman.
Derita Bucin (2)
Cekreek!
Sang majikan segera meraih ponsel dan melihat hasil jepretan. Bibirnya mengerucut. Disodorkannya layar ponsel tepat ke wajah Bucin sambil berkata, "Ciin, kok kamu keliatan happy gini sih!"
Bucin protes. Miyaaww! Artinya, lah apa salahnya?
Majikan Bucin mengutak-atik ponsel. Setelah yang dicarinya ketemu, ia kembali menyodorkan layar ponsel yang memapangkan foto idol dan kucing kesayangannya tepat ke wajah Bucin. Si majikan ini ngawur, mana bisa kelihatan jelas kalau ditempelkan tepat di depan wajah seperti itu. Bucin merutuk dalam hati dengan perlakuan itu dan sedikit memundurkan wajah supaya bisa melihat dengan jelas. Apa sih yang salah? Ia menganggap posenya sudah mirip dengan Hosun.
Majikan berkata, "Cyn, liat deh! Itu si Hosun ekspresinya kayak ngga ikhlas gitu gara-gara dicium Uun. Beda banget sama kamu yang malah seneng."
Hmm, harusnya majikan senang karena kucingnya senang dicium. Ini malah protes. Saya yakin Uun pun ingin kucingnya senang kalau ia cium. Namun, apa boleh buat. Uun laki-laki sedangkan kucingnya jantan. Coba bayangkan dua laki-laki berjalan sambil bergandengan tangan. Apa yang ada di pikiran Anda, wahai pembaca yang budiman? Terasa iyuuh, bukan? Lain halnya jika dua orang perempuan yang saling gandeng dan saling rangkul. Biasa saja, bukan? Nah, itulah mengapa Hosun tidak ikhlas dicium oleh majikannya.
Seandainya saja majikannya tahu.
Meka pun kembali mengambil gambar lagi. Kali ini Bucin mengontrol wajahnya supaya terlihat tidak ikhlas. Padahal aslinya senang. Senang sih, dicium majikan. Tapi capek. Anda pasti tidak menyangka berapa gambar yang mereka ambil. Majikan Bucin pun terkejut karena tiba-tiba saja kartu memorinya penuh. Setelah diperiksa, ratusan foto dengan pose yang hampir sama memenuhi galeri. Secepat kilat majikan memilih foto yang paling mirip dengan pose idol dan kucing kesayangannya, mengeditnya (tak lupa dengan menambah kecerahan supaya warna wajahnya tidak terlalu timpang dengan kekinclongan wajah sang idol), dan terakhir, mempostingnya di sosial media. Tak lupa ia mention akun idolnya itu.
Detik, menit, jam pun berlalu. Tak terhitung banyaknya sang majikan memeriksa notifikasi sosmednya. Hanya beberapa retweet dan love dari akun mutualnya. Dari sang idol? Nihil.
Majikan Bucin pun akhirnya menyerah dan memilih menelan kekecewaan yang sudah tertahan di kerongkongan selama berjam-jam. Hal itu terjadi setelah ada notifikasi dari akun sang idol. Dengan imutnya Uuun me-reply postingan akun fans lain. Bukan postingan majikan Bucin. Bucin menghibur majikannya dengan bertingkah lucu. Kedua tangan Bucin yang gemuk diulurkannya ke kaki sang majikan. Bucin melakukan gestur seperti manusia sedang memijat. Dengan meongannya yang lembut, sang majikan pun tersenyum. Bucin senang bukan main ketika mendapatkan elusan sebagai upah dari pijatan ringannya.
Sambil mengacak rambut kepala si Bucin, majikan mengungkapkan keluh kesahnya, "Susah ya, Cin jadi international fans itu. Mau ngobrol nggak bisa bahasa Korea. Tapi aku yakin Uun juga bingung karena ngga fasih bahasa Inggris. Apa aku harus belajar bahasa Korea?"
Miyaww!
Yang artinya, nggak usah. Nanti kamu sibuk dan aku nggak keurus.
"Apa? Kamu juga mau ikutan? Oh iya ya, biar nanti kamu bisa main sama Hosun ya. Eh, emangnya kucing Indonesia sama kucing Korea bahasanya beda juga?"
Bucin diam, tak tahu harus menjawab apa. Dia juga belum pernah bertemu dengan kucing mancanegara.
Saya? Saya pun juga tak tahu. Begitu pula dengan Paijo dan Luna.
Setelah itu, ia mendapat bonus ayam tepung yang dimakan oleh majikannya. Katanya enak sekali, renyahnya masih tertinggal di lidah, katanya. Sialan, ini si Bucin katanya mau menceritakan penderitaannya, tapi nyatanya dia sangat gembira. Bucin tidak terima diumpat seperti itu. Dia bilang kalau majikannya menderita, dia juga ikut menderita. Ah, terserah kau sajalah, Cin!
Setelah selesai bercerita, Luna bertanya kepada Bucin, seperti apakah rupa dari si Hosun-Hosun itu. Mirip seperti Paijo, jawabnya. Oh, kalau begitu tak heran Unn begitu gemas ingin menciumnya. Paijo geer. Dia langsung berpose imut. Inginnya tangannya membentuk hati dengan jempol dan telunjuk disilangkan, yang sedang nge-trend di kalangan dunia hiburan Korsel. Namun apa daya jari-jemarinya terlalu pendek untuk disilangkan. Kalau saya jadi manusia, saya adopsi langsung Paijo karena saking imutnya. Sayang saya bukan manusia. Sayang sekali.
Kucing Sontoloyo
Seminggu setelah curhat tentang penderitaannya, Bucin membuat drama lagi. Datang arisan dengan tergopoh-gopoh, dia memohon kepada kami untuk membantu mencari kucing yang hilang. Saya tanyakan, siapa yang hilang? Bucin menjawab dengan suara yang mendecit lirih bak tikus kejepit. Ketika dia mengatakan bahwa kucing yang hilang itu adalah Hosun aka kucing kesayangan idol kesayangan majikannya, saya hampir melemparkan ekor ikan lele yang baru separuh dimakan ini ke wajahnya. Muke gile budak cinta satu ini. Dikiranya sini Korea Selatan seperti gang kesepuluh ke gang kesembilan apa?
Bucin pun bercerita bahwa semalam majikannya tidak bisa tidur. Semalaman sang majikan melihat layar ponsel. Memantau kabar dari Uun yang barusan mengunggah foto terakhir Hosun sebelum menghilang. Seperti biasa, sang majikan memperlihatkan layar ponselnya tepat di wajah Bucin. Setelah memundurkan wajahnya sedikit, Bucin mengamati detail wajah Hosun. Hidungnya merah muda, matanya hijau, telinganya tegak, dan rambutnya belang tiga, putih, abu-abu, dan hitam. Sekilas mirip Paijo. Hanya saja, Hosun mengenakan kalung hitam dengan liontin berbentuk hati.
Adalah ide gila apabila kami setuju untuk benar-benar mencarinya. Ya, saya tahu bahwa mereka sama sekali tidak pernah mendapatkan pelajaran geografi. Saya pun. Tapi masak iya mereka tidak pernah belajar dari berita yang bisa dilihat dari TV yang ada di warteg atau dari bungkus koran yang mereka temukan di dekat tempat sampah?
Kalau bukan karena rok tutu mungil yang dia kenakan Bucin sekarang, saya sudah angkat kaki. Malas terlibat dengan drama yang disutradarainya. Bucin terburu-buru datang setelah majikannya berangkat kerja. Dia lupa melepas rok imut itu dari pinggulnya. Paijo meledek Bucin dengan menanyakan, bisa nggak kamu berdiri kayak balerina-balerina gitu, Cin? Bucin cemberut. Jelas tidak lah. Lihatlah gumpalan lemak di perutnya.
Dengan penuh perjuangan, Bucin melepas rok tutu dari pinggulnya. Sungguh perjuangan. Semula dia menolak bantuan karena takut lemak perutnya terekspos. Tetapi Luna peka sebagai sesama kucing betina. Tanpa banyak bicara Luna membantu melepas rok itu dengan menggigit ujungnya. Seketika rok itu pun terlepas setelah Bucin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Napasnya kini lega.
Kini Bucin siap beraksi sebagai pemimpin pasukan pencari Hosun.
Miou!
Yang artinya, let's go! Seru Bucin dengan semangat.
Baru dua langkah berjalan, Bucin teringat nasib rok tutu yang kini tergeletak di jalan. Bisa menangis semalaman lagi nanti majikannya jika rok itu hilang. Dia pun meminta kami menunggu untuk mengembalikan rok itu dulu ke rumah.
Kami bertiga menunggu Bucin di depan rumahnya. Saat itu Luna menangkap pemandangan yang tidak biasa. Biasanya pagi di gang kesebelas sunyi karena hampir penghuni rumah pergi untuk beraktivitas. Namun sekarang, di depan pagar rumah ketiga dari ujung gang ada selembar kertas bungkus makanan dengan nasi goreng dan suwir ayam yang terbaring di atasnya. Tanpa butuh komando, kami langsung berlari mendekati sumber makanan itu. Mulanya Luna tampak ragu. Dengan sedikit anggukan dariku, tingkat kepercayaan Luna terhadap makanan pemberian manusia sedikit bertambah.
Hanya kurang lima langkah, tiba-tiba ada kucing lain yang mendekati target yang kami tuju. Tentu saja kucing itu bukan anggota RK XI. Langkah kami bertiga sontak berhenti. Kami saling bertukar pandangan yang artinya, siapa kucing itu? Berani-beraninya dia melanggar kesepakatan Rukun Kucing! Saya sebagai ketua RK geram sehingga memberikan isyarat meongan yang bermakna menantang.
Rraaww! Rrraww!
Kucing yang sama sekali tak merasa berdosa pun melihat ke arah kami. Bagus! Pasti itu karena meonganku yang garang. Sementara ketiga anggota RK XI dan kucing sontoloyo itu membeku dan saling bertatapan, seorang manusia renta mengintip di balik pagar. Manusia itu berkata, "Hayo kucing-kucing, makan bareng yang akur! Jangan berantem!"
Siapakah manusia itu? Seumur-umur jadi ketua RK, baru kali ini saya melihatnya. Oh, mungkin tamu yang sedang berkunjung dan menginap sementara di rumah itu. Ngomong-ngomong kucing sontoloyo itu belum minggat juga. Kurang ajar sekali dia. Akhirnya saya keluarkan juga jurus sakti jinjitkan kaki sedikit ke atas. Tak ketinggalan dengan jurus rambut jabrik dan meongan serak-serak garang. Entah dia tuli atau telmi. Reaksi kucing sontoloyo itu benar-benar ambigu. Seakan-akan dia mengajak kami makan bersama, namun ada sedikit kegentaran di balik keempat kakinya yang putih bersih. Dia tidak sama sekali merasa bersalah. Saya jadi bingung.
Akhirnya kucing sontoloyo itu pun pergi. Sempat saya amati kucing itu lekat-lekat. Badannya bersih, rambutnya tampak berkilau, bahkan ada sedikit aroma harum sampo yang tidak akan dimiliki oleh kucing jalanan. Saya tebak kucing itu memiliki majikan. Entah dia kabur atau hilang. Saya tidak peduli. Di lehernya juga melingkar kalung pertanda dia sudah ada yang punya. Iya, saya yakin tidak salah lihat. Kalung yang menjuntai dan agak kendur berwarna hitam dengan liontin hati, sementara kalung satunya lagi agak ketat berwarna perak berbentuk rantai. Tunggu. Dua kalung? Sangat jarang kucing mengenakan dua kalung.
Sementara saya asyik makan sambil tenggelam dalam analisis tentang kucing sontoloyo barusan, Bucin akhirnya keluar rumah dan bergabung dengan kami. Dia tidak ikut makan karena sudah sarapan. Melihat Bucin saya jadi teringat dengan tujuan kita tadi. Seketika saya teringat kembali dengan insiden yang dilewatkan oleh Bucin. Sepertinya ada yang aneh. Apa ya?
Ekspedisi Pencarian (1)
Bucin menatap kami kami yang lahap makan nasi goreng dengan terheran-heran. Katanya, bukannya tadi kalian sudah makan lele?
Itu sih cuma camilan. Buntut lele cuma seupil gitu, dibagi tiga lagi. Begitulah saya menimpali sindiran Bucin.
Paijo ikut angkat bicara. Kita butuh energi biar gak lemes buat ekspedisi nanti, Cin!
Luna sudah selesai makan. Sambil membersihkan moncongnya dari butiran nasi, dia memperhatikan sosok manusia di balik pagar.
Manusia itu berambut putih dengan gaya rambut digelung, khas nenek-nenek. Gelungan rambutnya tipis termakan usia. Saya punya firasat bahwa manusia itu penuh dengan kasih sayang, dengan kucing tentunya. Mungkin kami semua akan rutin menghabiskan tiap pagi di depan pagar rumah ini.
Bucin memaksa kita bertiga supaya langsung beraksi. Saya hendak protes karena berjalan tepat setelah makan bisa menyebabkan gangguan pencernaan. Namun Bucin menyinggung mengenai visi dan misi RK XI, plus sindiran tentang peran ketua untuk senantiasa mewujudkan misi itu.
Cin, cin. Andai saja kapasitas otakmu lebih besar 5%. Saya yakin kamu bisa sedikit lebih paham mengenai alasan mengapa saya begitu pesimis dengan usaha yang kamu rencanakan.
Saya ikut serta dalam ekspedisi ini hanya karena tidak ingin adanya perpecahan. Jadi, saya ikut berpatroli mencari Hosun. Bucin menegaskan kembali ciri-ciri kucing milik idola majikannya, yaitu mirip Paijo dan mengenakan kalung hitam dengan liontin berbentuk hati.
Eh!
Kalung hitam berbentuk hati?
Sepertinya tidak asing. Kucing sontoloyo yang tadi seenaknya merebut makanan kita tadi bukannya mirip dengan ciri-ciri yang dijelaskan Bucin? Pantas saja tadi saya merasakan ada hal yang aneh.
Luna dan Paijo bergeming. Mereka menggeleng pertanda tidak tahu. Kata Luna, tadi dia asyik mencermati manusia pemberi nasi goreng. Sementara Paijo, jangan ditanya. Dia sibuk mengamati toping apa saja yang ada di nasi goreng itu.
Bucin terkejut dengan pernyataanku tadi. Segera kusampaikan bahwa ada yang aneh dengan kucing sontoloyo tadi. Selain kalungnya ada dua, dia juga tampak tak mengerti dengan gertakan yang saya buat. Tadinya saya kira dia tuli atau telmi. Setelah saya pikir-pikir, bisa jadi itu karena dia terbiasa mendengar percakapan di lingkungan sekitarnya dalam bahasa yang berbeda sehingga dibutuhkan waktu untuk mencerna apa yang saya maksud. Ya, meskipun bahasa kucing terdengar sama, ada sedikit perbedaan, terutama bagian nada dan intonasi.
Masalah ini kurang lebih bisa dianalogikan dengan dunia manusia. Misalnya, meskipun bahasa Indonesia sejatinya sama, bila diucapkan oleh manusia yang dari daerah yang berbeda, tentu terdengar berbeda pula. Saya kira dua manusia yang berasal dari daerah berbeda akan tetap bisa memahami maksud satu sama lain, meskipun ada jeda untuk memahami. Seperti itulah yang mungkin dialami kucing sontoloyo itu.
Setelah saya menyampaikan teori itu, mata kami saling berpandangan, pertanda setuju. Tanpa komando, kami pun berpencar dan memulai ekspedisi secara berpasangan. Saya dan Luna bertugas menyusuri gang bernomor ganjil, sementara Paijo dan Bucin menyusuri gang bernomor genap. Pertanyaan demi pertanyaan yang sekiranya belum bisa terjawab dengan logika, saya sembunyikan untuk sementara. Tujuan kami hari ini adalah menangkap, eh salah, untuk menyelamatkan kucing sontoloyo itu dari kejamnya dunia luar.
Penyusuran yang saya lakukan bersama Luna di gang ganjil sunyi adanya. Luna tidak banyak bicara, begitu pula dengan saya. Tidak biasanya saya berjalan beriringan dengan kucing lain. Mungkin Luna juga merasakan hal itu.
Hingga akhirnya kami bertemu dengan Didi, kucing kampung berambut putih dekil. Terlihat sekali dia malas mandi. Dia adalah ketua RK IX yang lumayan akrab dengan saya. Saya pun menanyakan apakah dia melihat kucing aneh yang memakai dua kalung. Didi tampak sedang berpikir. Bola matanya berputar ke samping kanan, atas, kiri, dan bawah. Saya menambahkan keterangan lagi untuk mempersingkat waktu Didi dalam berpikir. Saya katakan bahwa kucing itu tampak telmi, lola ketika diajak berkomunikasi. Putaran mata Didi pun berhenti. Ia ingat ada keributan di gang kesatu. Tampaknya ada kucing yang merebut makanan yang ada di gang itu. Segera saya ucapkan terima kasih kepada Didi. Saya mengumpat, mengapa harus sejauh itu kau berada, kucing sontoloyo. Luna tak berkomentar, dia hanya berjalan mengikuti saya dari belakang.
Ekspedisi pencarian (2)
Setibanya di gang kesatu, kami berdua tidak menemukan adanya jejak kerusuhan. Hanya ada seekor kucing yang sedang menjilati moncongnya. Sepertinya dia baru saja selesai makan. Dengan sopan dan perlahan, kami mendekatinya. Dia sudah menyadari keberadaan kami sejak tadi. Tatapannya melekat, menyusuri sosok saya dan Luna satu per satu. Kucing berambut putih abu-abu itu pun bertanya ada perlu apa kemari. Ada seringai menakutkan di sela-sela gigi tajam dan lidahnya yang lumayan panjang. Saya menduga dialah ketua RK I.
Setelah berbasa-basi dan memperkenalkan diri sebagai ketua RK XI, saya menanyakan tentang kucing sontoloyo itu. Apakah dia menampakkan diri di sini?
Dengan mengeluarkan ekspresi yang tampak seperti senyum sinis, kucing yang ternyata benar ketua RK I itu pun mengiyakan. Dia bercerita bahwa barusan mendapatkan aduan dari para anggotanya karena ada kucing yang seenaknya membongkar tempat sampah di gang ini. Mulanya sang ketua hendak abai karena toh, hanya satu kucing dan sama sekali tidak akan merampas seluruh jatah makanan di sini. Namun saya curiga itu bukanlah motif aslinya. Mana ada kucing yang rela jatah makanannya dirampas. Saya yakin kucing itu terlalu malas. Lihat saja lemaknya yang bertonjolan di mana-mana. Dan dari caranya dia menguap dan mengulet sangat terlihat bahwa dia adalah kucing yang pemalas.
Ketua RK I menceritakan bahwa dia berusaha mendekati kucing tak dikenal itu secara baik-baik. Karena dia malas bertengkar, akunya. Namun kucing itu hanya menatap seolah tak menggubris teguran sang ketua. Para anggotanya pun merasa tersinggung dan menyerangnya.
Keroyokan? Tanyaku shock.
Dia mengangguk dan kembali menyeringai. Baru saya tahu bahwa gang kesatu dipenuhi oleh kucing gangster. Ternyata selama ini tempat main saya kurang jauh. Saya jadi kepikiran kucing sontoloyo itu dan merasa iba.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada ketua gangster itu, saya pun pamit. Ketika membalikkan badan, tiba-tiba dia kembali bersuara. Dia menatap Luna, menyapa, dan menggodanya. Katanya, cantik nian sekarang kau, Luna. Tapi masih saja sombong, lanjutnya. Luna diam saja dan mendorongku supaya terus berjalan dan tidak terprovokasi.
Saya ingin berbalik dan mencakar wajah lebarnya. Saya tabrak badan Luna yang sengaja menghalangi. Seketika jurus jabrik plus meongan serak-serak garang pun saya keluarkan untuk mengancamnya. Luna membisiki, kita harus mencari Hosun. Jangan kau buang waktu dengan bertengkar dengannya.
Tapi dia melecehkanmu, Luna. Saya tidak terima ada anggota yang diperlakukan seperti itu.
Luna semakin mendekat dan menahan tubuh saya dengan usaha yang semakin kuat. Lusa saja kau balas dendamnya, kuantar. Luna membisiki kalimat itu dengan eksperesi yang meyakinkan. Rambut saya pun perlahan turun dan menyudahi kejabrikannya.
Membalikkan badan dengan gaya tegas, kami pergi dari gang kesatu. Saya mengatakan kepada Luna bahwa dia berhutang satu penjelasan dan satu pembalasan dendam.
Iya, cerewet, katanya.
Saya menenggelamkan berbagai macam prasangka tentang Luna dan kembali berkonsentrasi untuk mencari kucing dengan dua kalung. Pandanganku tak lepas dari setiap kucing bercorak abu-abu hitam yang kebetulan berpapasan. Tapi sama sekali tidak ada kalung di leher mereka.
Hingga langit berubah warna menjadi semu jingga, usaha pencarianku dan Luna nihil. Kami pun kembali ke markas, gang sempit dekat rumah Bucin. Di sana sudah menunggu dua sosok kucing yang sama-sama sangat menyukai manusia itu. Mereka tampak membuang muka satu sama lain.
Kami berempat saling menatap dan menghela napas panjang. Pertanda bahwa kami mengalami nasib yang sama. Paijo bercerita bahwa selama menyusuri gang genap satu per satu, Bucin terus menggerutu. Katanya, seandainya saja kucing yang diduga Hosun itu diusir oleh Doreng, tentu usaha pencarian tidak akan sedemikian sulit.
Tetapi bagaimanapun saya tidak salah. Memang begitu, kan peraturannya. Kucing selain anggota tidak boleh mencari makan di gang ini.
Bucin berkilah, katanya mana Hosun tahu peraturan itu.
Saya merasa ada asap yang keluar dari kepala. Darah saya seperti mendidih. Belum tentu kucing sontoloyo itu adalah Hosun, wahai Bucin. Gunakan otakmu!
Tanpa sengaja nada yang saya gunakan meninggi. Kata Luna, kita lanjut saja besok. Kami setuju dan meninggalkan gang itu dengan emosi yang bercampur aduk.
Ekspedisi pencarian (3)
Sejak sebelum tidur, saya sudah berniat untuk mengunjungi rumah ketiga dari ujung gang keesokan harinya. Kini, udara dingin masih berembus dan matahari pun belum muncul. Tak lama-lama melakukan peregangan, saya langkahkan kaki menuju rumah yang kemarin menyediakan sarapan gratis. Siapa tahu hari ini juga ada. Saya sangat bersemangat untuk sarapan tanpa usaha susah payah terlebih dahulu.
Ternyata Luna dan waw, Paijo yang biasanya jam segini masih mendengkur sudah duduk manis di depan pagar. Kami, kucing liar RK XI, berbagi sel otak yang sama untuk urusan makanan.
Sambil menunggu nenek baik hati meletakkan sarapan, saya lanjutkan peregangan yang tadi baru sempat dilakukan ala kadarnnya. Yeah! Kedua kaki depan dorong ke depan, condongkan bokong ke atas, dan tinggikan kedua kaki belakang. Tak lupa buka mulut dan pamerkan gigi-gigi tajam. Nikmatnya!
Paijo mulai mengeong. Memanggil nenek baik hati meskipun tak tahu namanya. Dia terus melakukan hal itu dalam frekuensi satu meongan tiap lima menit, selama satu jam. Gigih sekali Paijo! Usut punya usut Paijo tak hanya ingin sarapan gratis. Dia ingin mendapat perhatian sang nenek, meskipun hanya sekadar satu elusan di kepala. Namun usahanya selama satu jam sia-sia belaka. Lampu rumah itu terus menyala meskipun hari mulai terang. Ini berarti rumah sedang tidak berpenghuni. Kami kecolongan, perut pun keroncongan.
Saat saya mulai beranjak dan berhenti berharap, Bucin muncul dengan sesuatu yang digigitnya.
Biskuit mahal!
Tapi kan saya lagi marahan sama dia. Gengsi lah.
Bucin perlahan mendekat dan menyodorkan sebungkus biskuit mahal yang sudah terkoyak di bagian ujungnya. Paijo girang sekali. Seketika dia menyambar bungkusan itu dari mulut Bucin. Biskuit-biskuit pun bertebaran di atas aspal. Tanpa malu-malu, Paijo dan Luna langsung menyantapnya. Sementara itu, Bucin mematung di hadapanku.
Berjarak satu meter, Bucin dengan lirih menyampaikan maksudnya.
Maaf Doreng, kemarin aku keterlaluan, ya.
Tidak kujawab.
Maaf ya, ya, ya?
Dia mendekat dan menjulurkan kaki depan kanannya ke arahku.
Ayolah!
Nada bicaranya terdengar memelas.
Akhirnya saya menyambut uluran kaki depan kanannya, diiringi dengan meongan bahagia dari Luna dan Paijo. Mulut mereka penuh dengan biskuit. Karena perut saya lapar dan gengsi sudah teratasi, saya segera bergabung dengan mereka.
Sementara kami menikmati sarapan, Bucin kembali merayu. Ayo kita cari Hosun lagi, katanya. Karena biskuit yang ternyata dijadikan senjata rayuan Bucin sudah habis kami santap, tidak ada pilihan lain selain mengiyakan ajakannya. Kali ini kami sepakat melakukan penyusuran di jalan raya. Jalan besar di seberang gapura perumahan yang kami huni.
Kami sedikit grogi karena jarang sekali atau bisa dikatakan hampir tidak pernah melewati jalan raya. Bagi kami, jalan raya adalah hutan rimba penuh dengan ancaman: kendaraan bermotor. Banyak rumor yang mengatakan bahwa jika sekali saja melakukan kesalahan saat berjalan di sana, nyawa kita bisa melayang.
Sebelum melakukan ekspedisi yang lumayan berbahaya ini, Luna sebagai mantan kucing pengembara memberikan beberapa tips.
Pertama, berjalanlah di tepi, jangan sekali-kali menuju ke tengah. Tahu sendiri lah ya, bagian tengah adalah daerah kekuasaan kendaraan bermotor yang seringkali melaju dengan kecepatan sangat tinggi.
Kedua, meskipun kita sudah di tepi, perhatikan bahwa jangan sekali-kali kita menghalangi jalan manusia. Bisa-bisa ekor kita terinjak atau lebih parahnya lagi jika bertemu dengan manusia iseng, bisa kena sepak.
Ketiga, meskipun kita sudah berjalan di tepi dan menghindari manusia, kita harus tetap waspada karena sesekali ada pula sepeda motor yang nekad merebut daerah kekuasaan pejalan kaki. Untuk tips ketiga ini saya tidak begitu mengerti. Padahal daerah kekuasaan kendaraan bermotor itu sudah luas, mengapa masih saja merebut hak pejalan kaki?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Luna menjelaskan tentang sistem kasta dalam dunia manusia, khususnya manusia pengguna jalan raya. Kasta yang tertinggi, yang biasa dimiliki oleh mobil. Mobil bisa dengan santainya menghabiskan separuh jalan. Bahkan jika hendak putar balik, semua kendaraan lain harus minggir atau bahkan berhenti dan membiarkannya lewat. Kasta menengah disandang oleh sepeda motor. Sepeda motor tidak banyak memakan jalan dan dapat bergerak dengan lincah, namun masih tetap harus mengalah apabila berhadapan dengan mobil. Kasta di bawahnya dimiliki oleh sepeda kayuh, yang masih saudaranya sepeda motor. Namun, kecepatannya yang tidak terlalu tinggi membuatnya masih kalah bila dibandingkan dengan sepeda motor. Kasta paling bawah disebut disandang oleh pejalan kaki. Kasta inilah yang paling teraniaya. Mereka hanya berhak atas secuil jalan, dan itu pun kadang direbut oleh kasta-kasta yang ada di atasnya. Apalagi di musim hujan saat banyak genangan air. Kasta dengan kecepatan tinggi seenaknya saja lewat tanpa peduli. Alhasil basahlah seluruh tubuh terkena cipratan genangan air.
Saya bertanya, lantas kita termasuk yang mana?
Bahkan kita bukan manusia! Di bawahnya sudra, tentunya, jawab Luna.
Saya menelan ludah. Benar-benar merasa gugup. Tak terbayang rambut-rambut indah ini kotor dan basah terkena lumpur jalanan. Sialan kau Luna, berani sekali membuat ketua RK gentar!
Ekspedisi Pencarian (4)
Saya berjalan paling depan, diikuti Bucin, Paijo, baru kemudian Luna. Dengan cermat kami mengamati keadaan sekitar. Deru lalu lalang kendaraan bermotor membuat kepala terasa sedikit pening. Berkali-kali saya tersedak asap, entah itu asap dari sepeda motor atau mobil. Asap hitam, kelabu, dan putih tak bisa lagi dibedakan. Ingin rasanya pencarian ini segera berakhir namun apa daya kami baru mencapai puluhan langkah. Sejauh ini belum ada sedikit jejak pun yang berkaitan dengan kucing sontoloyo itu.
Jarum jam terus berputar, meskipun saya tidak memahami makna dari perputaran jam itu. Matahari mulai meninggi, mencapai tepat di atas kepala. Telapak kaki saya terasa sangat lembap. Keringat yang keluar melaluinya menguras cairan dalam tubuh. Akibatnya, timbullah rasa dahaga yang amat sangat. Saya yakin mereka juga merasakan hal yang sama sehingga saya putuskan untuk berhenti di tempat tukang tambal ban. Lumayan, ada seember air di sana. Bolehlah kiranya meminta sejilat-dua jilat. Ternyata mas-mas tukang tambal ban itu baik hati. Dia cuek saja melihat saya menjilati air bekas rendaman ban yang biasa dipakainya guna mendeteksi kebocoran ban. Yah, meskipun ada sedikit tengik aroma karet, saya tak peduli.
Saya sudah merasa ingin pulang, meskipun tak punya rumah. Intinya saya ingin segera minggat dari pengap dan sesaknya pinggiran jalan raya ini. Oleh sebab itu, saya putuskan untuk menunggu mereka di sini dan menyarankan untuk melanjutkan ekspedisi keesokan harinya. Selain karena capai, saya juga lapar. Terakhir baru makan biskuit saat sarapan. Saya hendak mengajak mereka untuk kembali dan berkonsentrasi mencari makanan saja.
Cukup lama saya menunggu Bucin dan kawan-kawan yang berjalan di belakang saya muncul. Ada apa gerangan sehingga kami terpisah sedemikian jauhnya? Untuk mencegah kantuk, saya menghitung kendaraan yang lewat. Satu, dua, tiga, ... lima puluh. Astaga, lama nian mereka. Akhirnya saya putuskan untuk berbalik arah. Dalam perjalanan berbalik arah, timbul prasangka bahwa mereka sengaja meninggalkan saya. Jangan-jangan saat saya kembali mereka sudah ada di markas dan menertawai saya karena dengan beloonnya masuk ke perangkap mereka. Tapi, tidak mungkin. Mereka tidak mungkin berkelakuan seperti itu, kan? Atau di tengah jalan mereka menemukan makanan? Saking girangnya sampai lupa memanggil saya? Belum sempat pikiran saya membuat skenario yang lain, tampak mereka bertiga mengerumuni sesuatu di dekat tempat sampah di depan minimarket yang banyak sekali terdapat cabangnya di seluruh Indonesia. Tuh kan, benar mereka nemu makanan!
Setengah berlari karena geram, saya hendak menerkam mereka. Namun, setelah lebih dekat, sungguh jantung saya terasa mau lompat. Ada sesosok kucing tergeletak di bawah lembaran kardus tipis berwarna putih yang biasanya dijadikan sebagai kemasan makanan. Kotak kardus itu menutupi wajah dan sebagian perutnya. Kami mengetahui bahwa sosok di balik kardus itu adalah kucing hanya dari keempat kaki bercakar yang menyembul. Gawatnya, kaki kucing itu berwarna abu-abu dengan corak hitam. Mirip dengan ciri-ciri kucing sontoloyo itu.
Luna berdiri agak jauh dari sosok itu. Dia kelihatan takut. Sepertinya trauma akan kematian yang pernah dialaminya masa lalu kembali menghantui. Padahal Luna adalah yang paling bijaksana di antara kami semua, apalagi di antara dua kucing itu, Bucin dan Paijo. Mereka berdua hanya pasrah memandangi sosok itu tanpa berani berbuat apa pun. Bucin terlihat sangat sedih. Paijo berusaha menenangkan Bucin dengan meletakkan tangan ke tengkuknya. Tentu saja hal itu sama sekali tidak membantu. Kami butuh kepastian mengenai kucing itu. Pertama, apakah kucing itu masih hidup ataukah sudah tak bernyawa lagi? Kedua, apakah kucing itu benar kucing sontoloyo? Ketiga, apakah kucing sontoloyo adalah Hosun? Ketiga pertanyaan itu akan terjawab apabila ada siapa pun yang berani menyibak kardus itu dan menanggung resiko terburuk atas konsekuensinya. Dan yang terlihat bisa melakukan hal itu adalah saya. Tapi saya juga sedikit gentar. Adakah yang mau menyemangati saya, wahai pembaca yang budiman?
호순
Terima kasih atas semangatnya, pembaca yang budiman. Dengan terus membaca cerita ini, berarti Anda sudah memberikan dukungan kepada saya. Mental saya sekarang sudah siap untuk menyingkap kardus yang menutupi separuh tubuh kucing abu-abu itu. Kardus di hadapan saya tampak sedikit berkedut, namun sangat halus sehingga saya tidak bisa membedakan apakah gerakan itu timbul akibat makhluk yang bernapas di baliknya atau karena embusan angin. Perlu Anda ketahui, angin di pinggir jalan raya cukup kencang. Sayangnya, tidak cukup kencang untuk menerbangkan kardus itu sehingga saya harus bersusah payah membalikannya dengan kedua kaki depan saya yang amat sangat berharga ini :'(.
Kedua kaki depan saya pun perlahan menyentuh bagian tepi kardus itu. Sengaja saya atur supaya kedua mata saya setengah terpejam. Hal ini untuk mengantisipasi apabila pemandangan yang mucul di hadapan adalah pemandangan yang mengerikan. Namun, keadaan setengah terpejam ini mendadak berubah sehingga mata saya pun membelalak jadi setengah kali lebih besar. Sedikit sibakan pada kardus membuat perut kucing yang semula tersembunyi di baliknya sedikit terekspos. Perut itu bergerak halus, naik-turun. Pertanyaan pertama terjawab sudah. Rasa gugup yang sangat menyiksa akhirnya berkurang. Tinggal sedikit dorongan lagi supaya pertanyaan kedua terjawab. Kedua kaki saya dengan kuat mendorong kardus yang kini hanya menutupi seperempat bagian atas tubuh kucing itu. Kardus itu pun kalah dan tergeletak K.O sebelum akhirnya kabur tertiup angin.
Kini tidak ada sesuatu apa pun yang menghalangi tubuh sang kucing. Keempat pasang mata menatap sosok kucing abu-abu itu dengan tajam (Luna segera mendekat setelah tahu bahwa kucing itu masih hidup). Mungkin tajamnya tatapan kami tepat menghujam leher kucing yang sedang tergeletak, baca: tidur alias ngorok. Kucing yang semula terpejam pun kini membuka sepasang matanya. Setengah sadar, dia mengeong, artinya ada apa gerangan? Bucin histeris dan balas mengeong. Meongan Bucin tak berarti, hanya terdengar alay. Persis seperti majikannya saat melihat foto idolanya. Ini karena di leher kucing itu melingkar dua buah kalung, kalung rantai perak dan kalung hitam dengan liontin berbentuk hati. Pertanyaan kedua pun terjawab. Kucing di hadapan kami ini adalah benar kucing sontoloyo yang kami temui dua hari yang lalu. Aroma sampo yang menguar dari tubuhnya kini berganti dengan aroma nasi busuk, sementara rambut dominan abu-abu yang semula halus dan mengilap kini kusut dan lepek akibat terpercik lumpur. Tubuhnya pun sedikit terlihat lebih kurus.
Kucing sontoloyo itu terlihat memelas. Sudah tidur di pinggir jalan raya, dekat tempat sampah, tubuhnya tertutup kardus, sekarang ditambah dengan empat ekor kucing yang tidak dikenal mengerumuninya pula. Saya tahu perasaan kucing sontoloyo itu. Namun rasa penasaran saya tidak lenyap hanya karena kemelasannya. Langsung kepada inti, saya menanyakan kepada kucing itu, apakah benar dia adalah Hosun? Setelah jeda agak lama, dia pun mengangguk. Dengan terbata-bata dan mata berkaca-kaca dia menanyakan balik, bagaimana saya bisa tahu bahwa dia adalah Hosun? Namun saya tidak langsung percaya begitu saja. Saya menanyakan bukti. Kucing itu pun meminta saya untuk membaca huruf yang tertera di liontin hati yang dikenakannya. Setelah mendekat, dapat terlihat ada tulisan berwarna putih di permukaannya: 호순.
Kucing sontoloyo itu berbicara dengan nada riang yang artinya, Kamu melihatnya kan? Itu namaku. Hosun!
Matilah! Saya tidak bisa membaca tulisan Hanggul! Meminta bantuan, saya melirik Bucin. Semoga dia bisa menangkap kode yang saya lemparkan. Berhasil! Setelah saya mundur selangkah ke belakang, Bucin langsung ambil posisi dengan mendekatkan kepala ke leher kucing sontoloyo itu. Saya yakin Bucin tidak bisa membacanya. Jangankan Hanggul, tulisan huruf alfabet saja dia malas membaca. Tetapi mungkin dengan pengalamannya melihat foto Hosun ribuan kali bisa menorehkan memori di otaknya yang kecil itu sehingga saya sedikit menaruh kepercayaan kepadanya.
Miao! Yang artinya, benar kamu Hosun!
Akhirnya seluruh pertanyaan pun terjawab. Kami sangat bergembira karena ekspedisi pencarian yang tidak bisa dikatakan mudah ini berhasil, terutama Bucin. Sepertinya kini ia setuju-setuju saja kalau sang majikan berniat untuk menjodohkannya dengan Hosun. Terlihat sekali dengan sikapnya yang sengaja dibuat imut. Huh! Dasar Bucin! Bahkan dia tidak sadar bahwa majikannya sebentar lagi pulang.
Kami mengajak Hosun untuk pulang dan bergabung dengan kelompok kami, namun dia menolaknya dengan halus. Namun, kami bersikeras. Akhirnya Hosun setuju dengan syarat kami harus mengajaknya untuk mencicipi tiga jenis makanan, yaitu nasi goreng, rendang, dan sate. Kami pun menyanggupi syarat itu. Mungkin para pembaca yang budiman penasaran mengapa kami, terutama saya ngotot mengajak Hosun? Kalau Bucin sudah tahu lah ya, alasannya. Kan kelihatan banget kalau sekarang dia ngecengin Hosun. Saya tidak terlalu peduli terhadap hal itu. Hanya satu hal alasannya. Bagaimana dia bisa meluncur jauh sekali dari Korea Selatan hingga sampai ke sini? Ya, hanya itu. Saya berniat mewawancarainya semalaman.
Rendang, Oh Rendang!
Bertukar posisi, di perjalanan pulang, saya berada di barisan paling belakang. Di depan Luna, kemudian Bucin, dan disusul oleh Paijo dan Hosun. Mungkin Anda penasaran dengan kabar Paijo. Waktu itu memang Paijo tidak banyak tingkah karena dia benar-benar gugup. Katanya, ini adalah pengalaman pertamanya berhadapan dengan peristiwa yang menegangkan. Maklum saja karena sebelumnya dia hidup dengan nyaman di bawah lindungan majikan yang menyayanginya. Paijo cepat sekali akrab dengan Hosun. Entah mereka memperbincangkan apa. Melihatnya dari belakang seperti ini, mereka berdua terlihat seperti kucing kembar.
Baru setengah perjalanan, Hosun dan Paijo tiba-tiba saja berhenti. Paijo memberikan kode kepada Bucin dan Bucin menyampaikannya ke Luna. Mereka berdua pun berbalik arah. Dengan wajah polos, Hosun menatap lekat-lekat warung masakan Padang. Aroma rempah yang diolah menjadi bumbu rendang otomatis menguar dari rumah makan itu sungguh sangat amat menggoda. Namun, saya belum pernah sama sekali mengunjungi rumah makan ini. Apakah pemiliknya baik hati atau jahat dan semena-mena terhadap kucing, saya tidak tahu. Jujur, saya jarang mangkal di rumah makan. Tetapi Luna tidak mencegahnya sehingga saya pun urung untuk protes.
Dengan percaya diri Hosun melenggang masuk ke rumah makan tersebut. Sementara itu, kami yang masih ragu-ragu memilih untuk menungggu di luar. Bukannya saya pengecut atau apa ya, para pembaca yang budiman, saya memang menganut prinsip mandiri dan anti memelas minta makan ke manusia. Tetapi jiwa pemimpin saya bergejolak. Masak iya anggota baru berjuang sementara ketuanya hanya melihat saja tanpa membantu? Terlebih dia masih tergolong "bayi" dalam kehidupan kucing liar. Rasa cemas yang saya rasakan pun memuncak. Setelah cukup lama batin saya bergulat, saya pun maju, masuk menyusul Hosun. Terdengan meongan kagum dari para anggota. Saya jadi merasa senang karena mendapatkan decak kagum dari mereka.
Ternyata di dalam, Hosun hanya diam mematung, menatap sepasang manusia (tampaknya mereka sejoli yang menjalin kasih, keduanya saling menyuapi). Bagus Hosun, kamu tidak mengganggu manusia! Batinku bangga. Padahal dia baru beberapa jam menjadi anggota RK XI, tetapi sudah menjalankan misi yang kita sepakati. Saya pun duduk di sebelahnya. Sepertinya sang wanita menyadari kehadiran kami. Tubuh saya yang gagah dan bersih berhasil memikatnya. Iya, saya yakin manusia itu terpikat terhadap saya karena lihat saja penampilan Hosun! Dia belum belajar merawat diri.
"Eh, yang liat deh itu kucingnya ngeliatin kita makan. Lucu ih!" ucap sang wanita. Pasangannya tersenyum dan melemparkan potongan rendang ke lantai sambil berkata, "Nih, cing! Aku kasih makan. Makasih ya udah bikin sayangku ketawa!"
What? Mendadak saya mual dan tak bernafsu makan. Gombalan laki-laki itu basi banget.
Namun tidak bagi Hosun. Kesempatan makan rendang yang sudah dia nanti-nantikan akhirnya tiba. Tidak mungkin dia sia-siakan begitu saja. Dengan lahap Hosun mencabik cuilan daging rendang sapi itu dengan giginya yang rada kuning. Saya hanya bisa menggeleng. Kucingnya artis pun sama saja seperti kucing kampung bila berurusan dengan makanan. Tampaknya Hosun sangat puas dengan rasa daging rendang meskipun hanya merasakan secuil saja. Sebagai kucing terdidik, selesai melahap makanannya, dia pun bangkit dan mendekati si pemberi makan. Mungkin sudah menjadi kebiasaannya menjilati manusia yang memberinya makan sebagai tanda terima kasih. Dijilatinya kaki lelaki gombal basi itu. Tetapi, di luar dugaan, lelaki itu menjerit dengan suara bassnya yang menggema ke seluruh ruangan.
"Uwaaaa! Koocheeeeeng! Jilat-jilat kaki gue! Huwaaaaa!"
Spontan kakinya naik ke atas kursi. Sang wanita pun menggeleng heran. Batinnya, ganteng-ganteng gini takut kucing, cemen banget!
Teriakan lelaki itu membuat sang pemilik rumah makan mucul ke TKP. Ibu pemilik warung makan pun tiba dengan sapu lidi di tangan kanannya. Melihat benda mengerikan yang dibawanya, tanpa berpikir panjang, refleks saya ngacir keluar dari rumah makan itu. Hosun yang malang tidak paham mengenai apa yang terjadi, dan terlalu terlambat baginya untuk menyusulku kabur. Hosun tepat berada di hadapan ibu pemilik rumah makan yang luar biasa galaknya. Sapu lidi di tangan kanannya pun terayun dengan tenaga yang sangat kuat. Jelas sekali sapu itu ditujukan untuk menampar Hosun :(. Mendadak saya sangat menyesal meninggalkannya. Karena setelah itu bunyi cetar tiba-tiba terdengar keras dan sangat memilukan.
Saya harap itu tidak mengenai tubuh Hosun. Yang dekil, bau, dan kurus :(.
Hosun pun muncul dengan terbirit-birit. Disusul dengan ibu pemilik rumah makan yang mengacung-acungkan sapu lidinya sambil berteriak, "Awas ya kucing, berani ke sini lagi, abis lu!"
Kami pun langsung ambil langkah seribu. Tidak berani menengok ke belakang.
Setelah agak jauh, kami berhenti sejenak dengan napas ngos-ngosan dan jantung seperti mau lepas. Saya menanyakan Hosun, apakah sapu lidi itu mengenainya? Hosun menggeleng. Untung saja. Tampaknya dia masih sangat terguncang dengan peristiwa tadi. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan penuh keheningan, tanpa ada yang berani bertanya lagi.
Rendang oh, rendang! Beraninya kau membuat Hosun menjadi seperti ini!
Misteri Belum Terpecahkan
Sesampainya di markas, Matahari sudah mulai rendah. Kami semua, kecuali Hosun sama sekali belum makan. Bucin menawarkan untuk membawakan biskuit, namun segera saya tolak. Lama-kelamaan majikannya bisa saja curiga karena biskuit persediaannya cepat sekali habis. Saya bersikeras untuk mencari makan di tempat sampah sekitar sini.
Bucin mulai resah karena majikannya sudah muncul di ujung gang. Dia memohon kepada Hosun untuk menginap di rumahnya. Tentu saja Hosun menolak. Bagaimanapun Cintya adalah kucing betina (Hosun memanggil Bucin dengan nama aslinya, ceile!). Dengan singkat, Bucin menginformasikan bahwa majikan Hosun, alias Yoon Dowoon sangat kehilangan dirinya. Dengan mengajaknya bertemu dengan majikan Bucin, mungkin Hosun bisa kembali ke rumah.
Pemikiran Bucin benar adanya. Namun, Hosun mengaku belum ada keinginan untuk pulang, meskipun dia sudah sangat merindukan majikannya. Bucin cemberut. Hosun salah tingkah melihat reaksi Bucin. Akhirnya dia mengalah dan berjanji akan menemui majikan Bucin keesokan harinya. Entah ini hanya basa-basi atau dia memang berencana demikian. Mendadak Bucin girang. Dia pun pulang dengan langkah riang.
Sementara itu, Luna mengaku masih punya makanan yang dia simpan di taman sehingga dia memilih untuk pamit. Begitu pun Paijo. Sempat dia menawarkan Hosun untuk ikut dengannya ke tempat pedagang sate. Dengan iming-iming satu-dua potong daging sate yang baru dibakar, Paijo merayu Hosun untuk ikut bersamanya. Namun sepertinya Hosun masih agak trauma mengingat kejadian di rumah makan masakan Padang tadi. Padahal pedagang sate yang dimaksud Paijo sangatlah baik. Apa boleh buat, Paijo berjanji untuk mengajaknya besok.
Itu artinya Hosun memilih untuk tinggal dengan saya. Dia pun mengikuti langkah saya menuju tempat sampah yang terdekat. Saya memintanya untuk cukup duduk diam di sana, tak usah ikut saya terjun ke bak sampah. Sebelum mulai bekerja, saya meminta Hosun untuk bersih-bersih. Tenang saja wahai pembaca yang budiman, bukan bersih-bersih jalanan, lah. Tentunya bersih-bersih badannya sendiri. Hosun tertawa geli karena baru kali ini ada yang menyuruhnya mandi, kecuali majikannya. Itu pun dimandikan oleh sang majikan, bukan mandi sendiri. Sedetik setelah terjun ke bak sampah, saya menengok ke belakang. Ternyata dia sudah sibuk menjilati bagian perutnya. Sungguh, kucing yang penurut.
Untuk makan malam kali ini, saya berhasil mengais tiga potong ayam krispi yang masih ada sisa daging lumayan banyak. Meskipun harus penuh perjuangan untuk menggigitnya di antara tulang-belulang. Dan ... ini sangat spesial. Makanan favorit saya. Ikan lele! Sayang sekali lele ini hanya tersisa bagian kepalanya saja. Sepertinya Hosun kurang ahli dalam memilih daging di antara duri ikan yang kecil dan tipis. Oleh sebab itu, dia hanya kuberikan ayam krispi saja. Dia juga tidak protes. Kami pun makan tanpa banyak cakap.
Setelah santapan malam ludes, saya baru berkesempatan untuk memandangi Hosun lagi dengan lebih detail. Kali ini saya memujinya karena tubuhnya sudah lumayan bersih. Paling tidak sekarang tubuhnya tidak mengeluarkan aromanya seperti nasi basi lagi. Seperti kucing pada umumnya, dia suka dipuji. Nah, sepertinya inilah waktu yang tepat untuk menyingkap misteri kehadiran kucing -yang tadinya kusangka adalah kucing sontoloyo, tapi ternyata penurut- ini.
Jadi, bagaimana bisa kamu melakukan perjalanan sejauh ini, Hosun?
Raut wajah Hosun yang biasanya imut mendadak serius. Saya jadi tegang. Apakah ini adalah pertanyaan yang menyinggungnya?
Hosun menyampaikan maksudnya dengan nada lirih dan lemah. Dia berharap bisa memberi tahu saya, namun ini belum waktunya. Tanpa menunggu respons yang akan saya keluarkan, Hosun menagih janji yang telah kita sepakati, yaitu tersisa nasi goreng dan sate.
Baiklah Hosun, besok pagi kita akan sarapan nasi goreng di depan pagar rumah ketiga dari ujung gang. Untuk sate, sepertinya kita harus mengandalkan pedagang langganan Paijo. Tenang saja, pedagangnya baik karena terkadang saya pun mendapatkan jatah satu-dua potongan ayam ya, meskipun sudah gosong. Belum selesai saya bercerita, terdengar dengkuran dari tubuh imutnya. Yah, sudah ngorok. Kasihan kucing malang ini. Sebelumnya dia sudah mengalami hari-hari yang berat. Namun penolakan terhadap tawaran Bucin untuk kembali pulang ke tempat asalnya masih membuat saya penasaran. Mengapa dia lebih memilih tinggal di sini dibandingkan dengan majikannya? Tak ada satu pun yang bisa menjawab kecuali Hosun sendiri. Bersabar adalah opsi satu-satunya.
Kilat
Deja vu. Pagi ini pun Paijo dan Luna sudah duduk manis di depan rumah ketiga dari ujung gang. Kali ini di sisi saya ada anggota baru, Hosun. Yang belum jelas hendak menetap di sini sampai kapan. Tiga hari silam Hosun tidak sempat merasakan nikmatnya nasi goreng nenek karena takut dengan ancaman saya. Saya pun geli bila mengingat kejadian itu.
Tak lama setelah saling bertukar sapa, nenek baik hati itu pun muncul. Persis seperti dugaan, nenek membawakan nasi goreng di atas kertas minyak berwarna cokelat. Kali ini nenek menyajikan menu nasi goreng bakso. Nenek itu langsung dikerumuni oleh kami, kucing-kucing yang kelaparan. Dengan kasar Paijo mendesak-desak kepala saya. Dia berusaha mengambil posisi di dekat sang nenek. Apa lagi alasannya jika bukan ingin dielus-elus kepalanya. Dasar Paijo! Nenek itu paham keinginan Paijo sehingga dia langsung mengulurkan tangan dan mengelus lembut kepala Paijo.
Setelah beberapa detik, Nenek itu sadar bahwa ada anggota baru di antara kami. Tangannya berpindah dari kepala Paijo ke kepala Hosun sambil berkata, "Kamu kucing baru ya nak? Yang akur dengan teman-temanmu ya! Wah, kamu lucu sekali!"
Sang nenek sepertinya gemas dengan Hosun sehingga mengangkat tubuhnya. Hosun terlihat terkejut dan kecewa. Dia masih sangat ingin memakan nasi goreng yang diidam-idamkannya. Selain itu, dia juga terlihat khawatir karena saya, Luna, dan Paijo sangat lahap. Kemungkinan jatahnya akan lenyap jika nenek ini menggendongnya dalam waktu yang agak lama.
Nenek itu mencermati kalung yang melingkar di leher Hosun. Penasaran, dia pun merabanya. Hosun terlihat tidak nyaman karena ada manusia yang memegang kalungnya sehingga dia terus menggeliat, mencoba melepaskan diri. Namun yang paling sulit dipercaya (berdasarkan akal sehat kucing tentunya) adalah, ketika saya menengadahkan kepala untuk melihat kondisi Hosun yang sepertinya sudah mulai resah, ada kilatan dari lehernya! Kilatan apa itu? Dari mana asalnya?
Sang nenek pun sepertinya juga tampak sedikit terkejut sehingga tanpa sengaja melepasakan tangannya dari tubuh Hosun. Akhirnya Hosun berhasil meloloskan diri dan kembali menyantap nasi goreng yang tinggal sedikit. Saya tak lagi bernafsu untuk makan setelah melihat peristiwa itu. Sang nenek pun sepertinya heran sehingga memilih untuk masuk kembali ke rumah.
Luna dan Paijo sepertinya tidak menyadari hal ini. Kembali saya melirik kalung yang melingkar di leher Hosun. Aneh! Saya yakin bahwa sebelumnya kalung itu berwarna perak mengilat. Tapi sekarang warnanya sedikit bersemu kuning. Seperti akan berubah menjadi keemasan. Apa karena kilat tadi warnanya menjadi berubah?
Belum sempat menanyakan kepada Hosun, meongan alay Bucin sudah terdengar. Kali ini ia menggunakan jepit rambut pita besar berwarna kuning. Entah sengaja dikenakan untuk menarik perhatian Hosun atau dia memang lupa tidak melepasnya. Lagi pula ini hari Sabtu, hari libur sang majikan. Kok bisa budak cinta itu berkeliaran?
Tak lama teriakan majikan Bucin terdengar.
"Cintyaaaaaaa! Ke mana kamu?"
Kucing bernama asli Cintya itu sepertinya sengaja meloloskan diri. Dia berusaha membuat majikannya melihat Hosun. Pintar juga si Bucin. Kenapa saya baru sadar?
Sang majikan pun mendekat dan mengulurkan tangannya untuk menggendong Bucin tanpa peduli kucing-kucing lain yang ada di sekitar. Bucin terlihat jengkel. Bagaimana bisa majikannya tidak mengenali Hosun? Bucin pun menggeliat dan lolos dari pelukan sang majikan. Dia mendekati Hosun. Berharap majikannya sadar. Seketika itu juga tatapan sang majikan terpaku ke leher Hosun. Sepertinya dia sudah sadar. Setengah percaya setengah tidak, dia memegang kalung dengan liontin hati dan membaca huruf yang tertera di permukaan. Saya sudah bersiap untuk memejamkan mata. Barangkali kalung itu mengeluarkan kilat lagi seperti tadi. Tapi, anehnya tidak sama sekali. Semua tampak normal.
Namun tidak bagi Bucin. Mendadak dia menyesal karena telah menyusun skenario ini. Betapa tidak? Setelah yakin bahwa kucing itu adalah Hosun, sang majikan berteriak dan lari terbirit-birit sambil menggendong Hosun. Teriaknya, "Heol! Daebak! Jinjaaaaa?" Saya tak mengerti apa maksudnya.
Sementara itu? Kucingnya sendiri? Cintya? Terlupakan. Cintya alias Bucin mewek karena ditinggal majikannya. Saya bingung hendak ikut sedih atau hendak terbahak.
Description: Miaw! Perkenalkan saya adalah Doreng, ketua Rukun Kucing di gang kesebelas atau disingkat RK XI. Ada empat anggota di RK XI, yaitu saya sebagai ketua yang berbudi luhur, Bucin yang mm ... bucin, Paijo yang imutnya melebihi Pikachu, dan Luna si kucing hitam misterius. Saya bekerja keras untuk menulis cerita ini, wahai pembaca yang budiman. Ini rahasia, jangan sampai kucing-kucing yang lain tahu. Nanti saya bisa dicap sebagai ember, padahal saya kan kucing ....
Nama lengkap: Paramitha Retno Probowening
Media sosial: @prprobowening (instagram)
Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #NulisSukaSuka 2019.
|
Title: Ringkas
Category: Cerita Pendek
Text:
Prolog
Cerita Seratus Kata tentang Cerita Seratus Kata
Sebuah peringatan: jangan berharap banyak, sebab tulisan ini sesungguhnya tidak begitu menarik. Saya hanya akan bercerita, dalam seratus kata, tentang apa itu Cerita Seratus Kata. Tetapi toh buat apa, nama menjelaskan segalanya. Cerita. Seratus. Kata. Tidak ada misteri atau teka-teki di sana. Tidak perlu repot-repot menerka adakah makna tersembunyi dibaliknya. Ia bukan sandi, murni denotasi.
Memang butuh waktu dan daya untuk menulis seratus halaman. Tetapi bahkan seratus kata pun tak kalah menguras pikiran. Repot tauk mesti ekstra pelit memakai kata. Belum lagi harus mereduksi ide yang kadang sudah kadung liar. Gawat, ini aja sudah mau limit. Ya-sudahlah-ya-segini-aja-kalau-begitu. Sudah paham kan?
I.
KESEDIAAN
Terima kasih sudah datang hari ini. Mari sama-sama bersepakat sebelumnya untuk pura-pura tidak tahu-menahu bahwa ramalan cuaca tadi melaporkan akan ada hujan badai disertai angin ribut yang datang kurang lebih sebentar lagi.
Masuklah dulu, lepaskan jaketmu. Biar kuseduhkan teh dan kusiapkan setoples camilan untuk menemani kita menunggu. Tenang saja, tidak usah terlalu gelisah atau terburu-buru. Kau kenal watakku, aku orangnya sabar menunggu.
Ah, rupanya badai sudah mulai. Mari segera tuntaskan semua ini. Penuhi kewajibanmu berbicara meminta kesediaanku dimadu. Sementara aku, sesudah badai ini berlalu, tinggal mengangguk setuju, tanpa perlu terluka oleh setiap kata-katamu yang hanya terdengar sebagai gemuruh angin bagiku.
II.
LAYAR KOMPUTER | Hanya sebentar ia memandangiku sebelum kemudian aku yang berlama-lama menatapinya tertidur di depanku.
DIA BILANG HENDAK BERGADANG | Tapi pada akhirnya hanya komputernya yang terjaga semalaman. Dia tertidur.
SAKSI BISU
Saya melihatnya, Pak Polisi! Saya bangun semalaman kemarin.
Awalnya, saya cuma nemenin Adi ngerjain tugasnya yang numpuk. Tapi dia malah ketiduran, ninggalin saya melek sendirian. Sekitar jam dua pencurinya masuk trus ngacak-acak kamar kosan ini. Jago banget dia Pak, nyongkel pintu aja nggak bunyi.
Wajahnya? Agak kurang jelas sih, soalnya dia pake topeng gitu. Itu lho, apa, balaclava? Ya, itu. Yang jelas dia tinggi, dempal, trus perutnya rata, kayaknya dia nge-gym deh Pak.
Ya kalau saya dipanggil ke kantor buat jadi saksi sih nggak masalah Pak. Tapi perkara gimana orang-orang nanti percaya sama kesaksian sebuah komputer itu urusan Bapak ya?
III.
DENGAN BANGGANYA | Ia bercerita tentang ribuan temannya di Facebook pada satu-satunya teman yang ia miliki di dunia nyata.
TEMAN FACEBOOK
Punyakah kamu seorang teman seperti Febi temanku? Dia tidak istimewa, sangat biasa bahkan. Hanya saja, dia suka sekali dengan Facebook. Terobsesi lebih tepatnya.
Ia senang sekali meng-update status, lebih senang lagi saat ada orang yang memberi like atau komentar. Kadang-kadang ia juga mampir ke akun lain dan memberi komentar balasan. Sayangnya, ia tidak punya banyak teman sungguhan. Karena itulah dia mulai menciptakan teman khayalan, membuat banyak akun fiktif hanya untuk bisa berinteraksi secara maya dengan… dirinya sendiri.
Aneh memang, namun dia tetap kuanggap sebagai teman baikku, sebaik aku mengenalnya luar-dalam. Eh, sudahkah kubilang bahwa aku adalah salah satu teman khayalannya?
IV.
NAK, LIAT KUNCI MOBIL PAPA NGGAK? | Nggak tuh, coba cari di Google aja deh, Pa.
NAK, TOLONG BELIIN SAYUR DI PASAR GIH | Yaelah, Ma, belanja online aja, lebih praktis lho.
SEMENJAK DIBELIKAN LAPTOP BARU | Ia lebih memilih merawat hewan peliharaan virtual di layar komputer daripada kucingnya yang baru saja mati kelaparan kemarin.
SEMENJAK MENDAPAT PRINTER BARU | Ia memutuskan untuk membuang semua buku beserta pensilnya dan membawa laptop beserta printer tersebut pulang-pergi ke sekolah tiap harinya.
V.
MENANG | Pertama-tama, ia bersyukur pada Tuhan yang telah memberinya kesempatan menjadi juri dalam lomba yang diikutinya.
MENANG BESAR | Ia berhasil menjadi Juara I sekaligus Juara II dan Juara III, mengalahkan peserta-peserta lain yang tidak pernah mendaftar di kontes ini.
VI.
CUACA PANAS | Sial, kenapa baru sekarang sih ketemu airnya? Pengin banget aku minum kalau saja aku belum mati dua menit lalu karena dehidrasi.
RENANG | Celana, kacamata renang, & baju ganti semua telah kupersiapkan. Aku siap berangkat. Aku memang sangat bertekad untuk belajar renang, terutama setelah mati tenggelam dua hari lalu.
VII.
MAKAN MALAM 1 | Kami pergi ke dapur mengambil piring dan sendok, meletakkannya di meja makan, lalu mulai menyuap bulir-bulir angin yang terhidang di atasnya.
MAKAN MALAM 2 | Setelah selesai berdoa, kami pun menyantap hidangan utama hari ini: sepiring air putih dengan sedikit taburan garam.
VIII.
KEKERINGAN | Ia bersikeras bilang tidak enak, tapi tetap kupaksa. Mau bagaimana lagi, dia toh tetap butuh minum, sekalipun cuma air got.
AIR JATAH | Seorang ibu menampari anaknya hingga menangis & ditampungnya setiap tetes air mata yang keluar. Sudah bosan antre rupanya keluarga itu.
IRONI
Begitu sampai di hotel, Ryan langsung memasuki kamar mandi penuh rasa kemenangan. Dinyalakannya keran, bersiap mencuci muka. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ia pun bergegas mengambilnya.
“Halo.”
“Halo, Pak Ryan. Selamat ya, pidato bapak tentang menyelamatkan air untuk masa depan tadi bagus sekali. Brillian!”
“Ah, bapak bisa aja. Tanpa pidato saya pun, kita sudah seharusnya memperhatikan lingkungan kan Pak.”
“Bapak ini suka merendah ya. Ya sudah, sampai ketemu besok ya, Pak.”
Ryan menutup teleponnya, merasa menang lagi. Ia lantas memutuskan untuk sedikit merayakannya dengan musik. Dihampirinya DVD player di meja. Sesaat kemudian, musik rancak mengalun, menenggelamkan suara kucuran air luber pada wastafel.
Description: Antologi cerita ringkas yang pernah saya buat. Ada yang dalam format Cerita Seratus Kata, ada pula yang lebih pendek dan ditulis hanya dalam beberapa kalimat.
|
Title: Rona n Dian
Category: Chicklit
Text:
R n D || Prolog
"Senja menjadi candu"
Hallo semua....
Aku baru belajar untuk menulis, jadi mohon maaf bila ada kekurangan dalam penulisan cerita.
-❄️-
Saat ini aku sedang sekolah menengah atas. Aku duduk di bangku kelas 11. Dimana menurut presepsi kebanyakan orang inilah sebuah masa yang paling sulit untuk di lupakan. ketika terjalinnya persahabatan, percintaan, dan lain sebagainya. Sama seperti diriku. Dengan ketiga Sahabat yang bernama Laras, Luna, dan Melly Karena mereka selalu membuatku semangat untuk menjalani hari hari di sekolah.
Aku terlahir dari keluarga yang sederhana. Sekolah ku jauh dari rumahku tidak di antar sama ayah melainkan harus berangkat sendiri. sebelum matahari menampakkan teriknya supaya tidak ketinggalan angkot. Hehehe.
"Diannn. Bangun udah siang " teriakan mama ku dari luar kamar dan mengetok pintu kamar
"Iyaa mah" berusaha sadar dari tidur. dingin nya pagi membuatku ingin larut dalam mimpi
Itu mama ku. Mama terbaik. selalu mengajarkan arti kehidupan . menyiapkan sarapan buat ku dan ayah. Mama seperti malaikat yang turun ke bumi itu kata ku.
Kakak ku tinggal bareng Tante sejak ia kecil. Jadi kami jarang sekali bertemu atau bercanda. Aku merasa seperti anak tunggal
"Aku berangkat ya mah,yah" - Dian sambil salaman lalu memakai sepatunya dan mengambil tas
"Hati hati ya" - sambil tersenyum mama
"Kabarin kalau udah sampe" - Ayah yang hendak berangkat kerja
Setelah pamitan. Aku langsung naik angkot, sendirian dan masih mengantuk. Sekitar 30 menit an aku tiba disekolah.
°°°
Ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang. Aku sudah semester 2 di kelas 11 ini.
"Huft, selalu aku duluan yang datang pagi" dengan muka bete. melihat ke sekitar ruang kelas.
Menit berlalu yang lain pun datang. Mereka saling melepas rindu. Hari ini adalah hari Senin, dimana rata rata semua orang males untuk mengikuti upacara. Tidak dengan ku. Yang selalu ingin upacara. Karna di momen itu lah bertukar cerita dengan sahabat.
"Laras lu liburan kemana aja" Dian sambil memegang pundak laras
"Beuhh gua pulang kampung yan cape banget" - Laras menampilkan ekspresi yang kelelahan
"Bawa oleh oleh gak lu" Tanya aku kepada laras
"Kagaa ini pakaian kotor banyak" - Laras
Tiba tiba Melly datang dan membuat kita bertiga kaget
"Woyy woyy" - Melly dengan suara nya yang kencang
"Apaan si lu Mel. Kaget gua" - jawab Laras dengan mukaa kesel
"Maaf atuh ras wkwkkw" - balas Melly dengan muka datarnya
Upacara berlalu. Aku pun lanjut belajar. Dengan pelajaran yang sedikit membuat kalian pusing yaitu fisika. Terlebih guru fisika ku yang terkenal galak.
Setelah pulang sekolah aku ada latihan ekstrakurikuler.
Aku satu ekstrakurikuler dengan Laras. Kami memiliki hobby yang sama. Menyukai sains dan sebuah eksperimen unik.
☔☔☔☔
Gimana ceritanya? Seruu kan? Yuu part selanjutnya...
Jangan lupa vote dan komen ya.
Terimakasih telah membaca
Description: "Panas banget ya" - Dian sambil kipas kipas pakai tangan sendiri
"Makanya gua berdiri di sini supaya lu gak kepanasan" - Rona berusaha melindungi Dian dari panasnya matahari
Nama ku Dian, anak yang disiplin sekali, Cerewet pula. Suka berbagi senyuman.
Dan ini kisahku dengan laki laki. Kembali ke perasaan yang telah terpendam di masa lalu.
Rona anggara. Dia dingin. Jalanin aja yang ada semua udh ada aturan nya begitu katanya.
☔☔☔
Baca yaa guys
Thanks
Selamat membaca..
|
Title: Relevansi Rasa
Category: Cerita Pendek
Text:
SATU
“I’m all out of love,
I’m so lost without you…”
(Air Supply, 1980)
Angin bertiup cukup kencang sore ini membuat Mika merapatkan kardigan biru tua yang sedang ia kenakan. Deburan ombak terdengar lembut di telinganya — menghantam setiap karang yang terletak tak beraturan. Hamparan pasir putih tempatnya memijakkan kaki sesekali ikut terbawa air asin yang menghampiri bibir pantai, memberikan sensasi geli pada telapak kakinya. Ia membiarkan hembusan udara menerbangkan rambut hitamnya yang dibiarkan tergerai begitu saja.
Hari ini adalah hari pertama dari satu minggu cuti yang diambilnya. Mika akhirnya memutuskan untuk menghabiskan jatah vakansinya di pertengahan tahun ini. Ia benar-benar butuh menyegarkan otaknya. Rutinitas yang melelahkan sangat menguras energinya. Komentar pedas dari atasan yang didengarnya — yang dianggap sebagai motivasi untuk memacu setiap bawahan jadi lebih baik — di setiap rapat pagi, setumpuk pekerjaan tiada henti dengan deadline di luar kemampuan normal manusia, berdesakan di dalam kendaraan umum setiap jam pergi dan pulang kantor. Hal-hal tersebut sungguh memuakannya.
Maka dari itu, Mika memilih untuk berlibur ke pulau dewata, salah satu dari sekian banyak tujuan wisata di Indonesia yang sangat digandrungi, baik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Keindahan pulau ini sendiri sungguh tidak dapat dipungkiri. Hal tersebut membuat Mika tidak perlu mengambil waktu banyak untuk berpikir dan memutuskan destinasi liburannya. Ia ingin menguapkan seluruh kepenatannya. Dalam hati, ia berharap ombak dapat menyapu bersih beban di hati dan juga pikirannya.
Mika tiba di Bandara Ngurah Rai Bali pukul satu siang dengan sebuah koper besar berwarna merah yang selalu menemaninya ke mana-mana. Ia berjalan dengan penuh percaya diri mengenakan gaun berbahan rajut warna biru gelap selutut dan sebuah outer warna senada. Sebentuk kacamata hitam model aviator bertengger menutupi mata bulatnya. Benda tersebut sangat mencolok ketika digunakan oleh perempuan berwajah mungil sepertinya. Bibirnya dipulas dengan lipbalm warna merah muda.
Perjalanan dari bandara menuju ke hotel tempatnya menetap memakan waktu sekitar satu jam. Mika sengaja memilih penerbangan dengan waktu tiba berdekatan dengan senja karena ia ingin menikmati suasana matahari terbenam di pantai. Ia juga sudah mengatur untuk menetap di hotel yang menghadap langsung ke arah pantai untuk mempermudah dirinya menikmati kilau langit keemasan tersebut.
Setelah mengurus beberapa hal untuk melakukan prosedur check-in, gadis itu tidak menunggu lebih lama lagi untuk menghampiri hamparan pasir tak bertepi tempatnya menjejakan kaki saat ini.
Mika selalu mencintai laut. Suara deburan ombak, nyiur melambai, pasir-pasir yang menggelitik telapak kakinya, buih air laut yang menghampiri setiap insan di tepi pantai, serta langit keemasan yang memayunginya di kala senja. Ia menghirup aroma amis khas laut lepas dalam-dalam lalu tersenyum.
Pantai hari ini tidak terlalu ramai seperti hari-hari liburan kebanyakan. Beberapa orang asing terlihat sedang tidur tengkurap berjemur di bawah sinar matahari, membiarkan kulit mereka terbakar oleh semangat sang surya. Sarana olahraga air juga cukup diminat, baik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Dan tak jarang juga pengunjung yang sekedar berswafoto dengan pantai sebagai latar belakangnya seperti tak ingin melewatkan setiap sudut pemandangan yang memukau itu.
Gadis itu menikmati pemandangan yang ada di hadapannya. Ia menendang-nendang pasir perlahan. Lalu ketika pandangannya terpusat pada sebuah cangkang kerang berwarna unik di hadapannya, ekor matanya menangkap sosok seorang laki-laki yang tiba-tiba saja muncul dari sisi kanan.
“Elang?” gumamnya pelan sekali sehingga yang disebut namanya tak mendengar.
DUA
“I’m all out of love,
What am I without you?”
(Air Supply, 1980)
Erlangga Dirgaputra.
Seorang laki-laki yang berusia satu tahun di atasnya. Tingginya tidak berbeda jauh dengan Mika. Kulitnya sawo matang. Pipi tirusnya berujung pada dagunya yang kotak. Garis rahangnya tegas. Rambutnya selalu ditata sedemikian rupa dengan gel hingga berdiri tegak. Senyumnya manis. Sorot matanya hangat.
Elang juga termasuk dalam jajaran murid-murid populer tetapi ia adalah sosok yang paling pendiam di antara kawan-kawan seperkumpulannya. Hobinya bermain alat musik petik. Mika mengenalnya dari salah satu acara tahunan sekolah yang mengharuskan setiap kakak tingkat menjadi pembina pada setiap permainan kekompakan lintas angkatan yang diadakan.
Mereka berdua menjadi cukup dekat setelah bertukar nomor ponsel di penghujung acara. Ternyata mereka memiliki banyak kesamaan. Mereka sama-sama menyukai es krim rasa almon, membenci pelajaran matematika, dan juga penggemar Air Supply garis keras. Jika ada yang berani membicarakan Air Supply, maka orang tersebut harus siap mendengarkan defens dari Mika dan Elang selama lebih dari tiga puluh menit. Bagi mereka, Air Supply sangat keren dan tidak terbantahkan.
Ritual wajib mereka setiap akhir pekan adalah menghabiskan satu liter es krim rasa almon sembari menonton serial detektif di ruang tamu keluarga Mika. Setelah itu, mereka akan bersama-sama mengerjakan tugas di kafe dekat komplek bersama minuman favorit mereka dan sepiring kentang goreng.
Mereka selalu berdampingan dan berbagi tawa. Tak jarang juga saling meminjamkan kekuatan ketika salah satu terpuruk. Seperti ketika anjing peliharaan Elang yang tidak sengaja terlindas oleh pengendara tak bertanggung jawab. Atau seperti ketika nilai ulangan kimia Mika menjadi yang terendah di angkatannya. Mereka saling menjaga dan menopang. Seperti sepasang sepatu yang berbeda tapi saling melengkapi, begitulah biasa cara mereka mendeskripsikan hubungan mereka.
Tapi, kisah mereka ternyata tidak memiliki akhir yang bahagia. Elang pergi melanjutkan perguruan tinggi di negeri kangguru. Ia meninggalkan Mika tanpa berpamitan. Tidak ada kata-kata perpisahan, tidak ada kalimat-kalimat janji akan kembali seperti yang sering Mika baca di novel romansa remaja atau di film-film cinta.
Sejak hari itu, tidak ada lagi Mika dan Elang. Keduanya kembali terpisah seperti dua kepingan puzzle yang semestinya terpaut saling melengkapi tetapi melebur teracak bersama kepingan lain. Semua kenangan seolah menguap begitu saja tanpa arti.
Dan saat ini, laki-laki tersebut duduk di hadapannya.
Elang masih sama seperti yang terakhir diingatnya. Ia tidak melihat sedikitpun perubahan. Senyumnya masih sama manisnya seperti terakhir kali mereka duduk berhadapan seperti ini. Deretan gigi putihnya tetap bersih seperti kala itu. Ia mengenakan kemeja biru tua yang lengannya digulung hingga siku, seperti yang selalu dilakukannya dahulu. Kacamata hitam menyembul dari saku di dada kirinya.
Entah apa yang merasuki pikiran Mika hingga ia menuruti permintaan laki-laki tersebut untuk bercengkrama di sebuah restoran di tepi pantai, bersebelahan dengan hotel tempatnya menginap.
Keduanya berhadapan dalam diam. Deburan ombak terdengar seperti sebuah dendang lagu. Api lilin dalam gelas kaca yang terletak di mejanya bergoyang ke sana ke mari. Matahari secara perlahan tetapi pasti menyembunyikan cahayanya.
Elang meletakkan sikunya di atas meja kayu berlapis kain berwarna putih. Sedangkan Mika menyandarkan tubuh kakunya di sandaran kursi.
Seorang pramusaji yang menggunakan apron berwarna hitam dengan bordiran logo restoran pada bagian depan sudah berdiri di samping mereka dan siap mencatat pesanan setelah menyodorkan buku menu dengan sampul kulit tebal berwarna hitam.
“Satu gelas espresso dan satu gelas matcha latte,” ujar Elang tanpa bertanya terlebih dahulu. Dua menu minuman favorit yang selalu dipesan oleh Mika dan Elang ketika mereka mengerjakan tugas di kafe komplek setiap akhir minggu.
“Matcha latte-nya tolong diganti dengan Americano, ya. Plus ikan kakap bakar dan nasi putih,” ujar Mika kepada sang pramusaji membuat Elang mengernyitkan dahinya. Elang tahu benar Mika sama sekali tidak menyukai kopi. Dan, siapa orang di dunia ini yang menyantap ikan bakar ditemani segelas kopi?
Sang pramusaji mengangguk kemudian berlalu setelah mengambil buku menu di hadapan mereka berdua.
“Kamu nggak salah pesan kopi berbarengan dengan ikan bakar?” tanya Elang dengan nada heran.
“Nggak,” ucap Mika dengan nada tegas dan yakin.
“Sejak kapan kamu suka kopi?” tanya Elang lagi, mengindikasikan bahwa ia masih mengingat setiap detail hal-hal yang disuka dan dibenci oleh perempuan itu.
Mika hanya mengedikkan bahunya. “Mungkin sejak kepergian kamu yang tanpa pamit itu,” jawab Mika sarkas.
“Saya masih tidak bisa percaya. Saya bisa bertemu kamu di sini, seperti sebuah kebetulan yang disengaja oleh semesta, bukan?” ujar Elang dengan tujuan menyadarkan Mika bahwa keberadaan mereka di sini merupakan sebuah garis takdir yang dibentuk oleh semesta.
Mika hanya tersenyum getir. Ia tidak mengiyakan pernyataan tersebut. Tetapi, juga tidak membantahnya.
“Sudah dari kapan di sini?” tanya Elang lagi, berusaha sedapat mungkin kembali akrab seperti yang dulu pernah dilakukannya.
“Baru sampai tadi pagi.”
“Kamu di sini sampai kapan?”
“Satu minggu.”
“Saya tidak akan lama,” katanya tanpa ditanya.
Mika tidak menjawab pernyataan yang dilontarkan oleh Elang.
Mika pun sadar sikapnya sangat dingin. Hal itu disebabkan oleh rasa sakit hatinya yang masih ia bawa. Ia merasa Elang sungguh tidak adil karena meninggalkannya begitu saja. Tetapi, yang membuat lukanya semakin dalam adalah karena ia tidak bisa mengekspresikan kemarahannya karena keduanya tidak terikat dalam suatu hubungan khusus. Tidak secara lisan, namun sikap keduanya menyiratkan sebaliknya.
Samar-samar, suara Russell Hitchcock menggema melalui pengeras suara yang diletakkan di sudut-sudut restoran tersebut. Lagu legendaris dari Air Supply yang berjudul “All Out of Love” kini terngiang di telinga setiap orang yang ada di sana.
Lagu itu secara khusus membawa kenangan tersendiri bagi Mika dan Elang.
Sebuah lagu yang dahulu selalu dibagi berdua lewat iPod.
Sebuah lagu yang menemani perjalanan mereka di dalam mobil atau ruang tamu ketika mengerjakan pekerjaan rumah.
Sebuah lagu yang potongan liriknya seringkali dituliskan pada halaman paling belakang buku catatan mereka.
Dan sebuah lagu yang diminta kepada stasiun radio saat program-program tertentu.
“Kamu masih ingat lagu ini? Dulu, kita selalu berbagi earphone dari iPod kamu untuk mendengarkan lagu ini,” kenangnya. Matanya berbinar-binar ketika menyuarakan hal tersebut. “Kita juga selalu meminta lagu ini diputarkan ketika ada program ‘Your Favorite Song’ di saluran radio yang selalu kita dengarkan,” lanjutnya lagi.
Satu demi satu kenangan berputar di pikiran Mika. Memori itu terasa begitu segar di pikirannya. Gadis itu bahkan masih mengingat bagaimana Elang selalu menirukan dengan hiperbola gaya Graham Russells ketika memetik gitar untuk mengiringi lagu-lagu grup bandnya. Begitu konyol hingga mengundang tawanya.
Bayangan mengenai masa-masa itu sungguh membuat hatinya terasa perih. Ia sudah mati-matian melupakan kenangan tersebut, tetapi dengan mudahnya Elang mengembalikan lagi dalam ingatannya.
“Saya minta maaf,” ujarnya tiba-tiba di sela-sela interlud lagu tersebut.
Mika sudah membuka mulut hendak menjawab tetapi seorang pramusaji datang dan mengantarkan pesanan mereka sehingga kata-kata tertahan di bibirnya.
“Saya tahu yang salah lakukan itu tidak benar,” lanjutnya lagi, setelah berterima kasih pada pramusaji.
Mika bergeming mendengarkan, menelan kembali kata-kata yang sudah disiapkan di rongga mulutnya. Ia ingin mendengar lebih banyak dari Elang.
Elang mengaduk perlahan Espresso di hadapannya hingga menimbulkan bunyi denting sendok yang beradu dengan cangkir putih polos tersebut. “Awalnya saya ingin mencari momen yang tepat untuk menginformasikan kepindahan saya. Tapi, saya tidak pernah merasa momen itu benar-benar datang sampai akhirnya...” Ia tidak melanjutkan kalimatnya lagi.
“Kamu tahu betapa antusiasnya saya waktu menunggu kamu datang untuk menghabiskan episode terakhir serial detektif yang sedang kita tonton?” Mika akhirnya angkat bicara. Nada suaranya meninggi. Kata demi kata ditekan sehingga terdengar tegas.
Elang tidak menjawab. Ia belum memalingkan wajah dari kepulan asap yang berasal dari kopi hitam di hadapannya.
Mika mendengus. “Kalau demikian, kamu juga pasti tidak tahu betapa kecewanya saya ketika Alva datang ke rumah saya dan menceritakan kepergian kamu. Jujur, saya sama sekali tidak pernah berharap mendengar hal tersebut dari orang lain,” kata Mika lagi. Alva adalah adik Elang yang juga mengenal Mika dan sengaja diutusnya untuk memberitahukan informasi tersebut.
“Dan yang lebih membuat saya hancur adalah ketika kamu tidak membalas semua pesan saya. Saya berusaha menyapa kamu lewat email, tapi apa? Semua sia-sia.”
Lagi-lagi, Elang tidak menyanggah.
“Mungkin memang saya yang salah mengartikan semua yang terjadi di antara kita.” Mika tersenyum menyembulkan banyak arti. “Saya mau kembali ke penginapan,” ujarnya sembari meletakkan tiga lembar uang seratus ribuan di meja untuk Americano beserta ikan bakar dan sepiring nasi yang bahkan tidak disentuhnya. Ia meninggalkan Elang di sana.
***
TIGA
“And what would you say if I called on you now?
And say that I can’t hold on…”
(Air supply, 1980)
Elang mengejar langkah kaki Mika yang terburu-buru. Ketika Mika sudah berada dalam suatu jarak tertentu, ia meraih pergelangan tangan gadis itu kemudian menahan langkah kakinya. “Saya perlu bicara sama kamu. Tolong dengarkan saya,” katanya penuh ketenangan.
“Saya rasa sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.”
“Saya benar-benar minta maaf. Saya punya alasan kuat kenapa saya tidak berpamitan kepada kamu waktu itu,” jelasnya. Kalimat tersebut membuat dada Mika terasa sesak.
Mika menarik napas panjang susah payah.
“Saya tidak pernah ingin meninggalkan kamu. Sama sekali tidak. Saya tahu, suatu hari nanti saya akan kembali. Maka, kalimat perpisahan bukanlah suatu hal yang ingin saya sampaikan kepada kamu.” Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan. “Saya juga tidak ingin menyampaikan janji-janji untuk segera kembali, karena saya tidak tahu pasti kapan saya akan kembali. Saya minta maaf atas semua surel yang terabaikan. Saya takut membalas pesan-pesan itu karena saya sudah membuat kamu kecewa. Saya akui itu kebodohan saya di masa lalu. Untuk itu, saya sekarang hadir di sini untuk menebus semua kesalahan saya. Kamu mau ‘kan maafin saya?”
“Kalau saja semua orang bisa memaafkan semudah membalikkan telapak tangan, saya rasa tidak ada orang berdosa di dunia ini,” ujarnya seraya menghentakan tangannya agar cengkraman tangan Elang terlepas.
Mika kembali membalikan tubuh. Kali ini Elang menyerah dan tidah mengejarnya lagi.
Jauh di dalam hatinya, Mika tahu menghindar bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Menghindar juga tidak akan memadamkan api yang membara di dalam dirinya. Tetapi, setidaknya itu yang bisa ia lakukan agar tidak menimbulkan masalah baru.
Tanpa sadar, pelupuk matanya dipenuhi oleh air. Dan untuk suatu masa, cairan tersebut mengalir melalui sudut mata membasahi pipi tembamnya.
Rindu perlahan menyesap ke dalam hatinya. Dan Mika benci mengakui ini, tetapi ia mengizinkannya. Pikirannya tidak berhenti membantah apa yang ada di dalam hatinya. Tetapi, ia tetap memenangkan ego atas logikanya. Ia tidak seharusnya berperilaku demikian. Elang sudah meminta maaf atas kesalahannya, lantas apalagi yang membuatnya marah? Demikian logikanya menghardik. Tetapi, hatinya masih terlalu sakit untuk memaafkan. Dan suara hati berselimut ego memenangkan perasaannya.
Mika menutup pintu kamarnya dengan kasar lalu terduduk lemas sembari memeluk lututnya. Air mata terus mengalir di luar kendalinya. Hingga beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar membuatnya menghapus air mata dari pipinya kemudian membukakan pintu.
Ketika pintu terbentang, ia menemukan tidak ada satu orangpun di sana. Yang ia dapati hanyalah sebuah kotak kayu berwarna cokelat tua yang tertutup rapat dengan sebuah gembok kecil menandakan tingginya privasi pada benda tersebut. Sebuah anak kunci diikat oleh benang merah tergantung di bagian atasnya.
Mika mengangkat kotak tersebut lalu membawanya masuk ke dalam kamar. Diliputi rasa penasaran yang tinggi, ia melepas benang yang mengikat anak kunci untuk membuka gemboknya. Ternyata, kotak tersebut berisi secarik amplop putih dengan motif garis merah biru di sekeliling sisinya serta sebuah alat perekam suara.
Mika menekan tombol play pada recorder tersebut. Ia mendekatkan benda kecil tersebut ke indera pendengarannya. Alat perekam suara tersebut kemudian melisankan isinya. Suara alunan gitar yang merdu terdengar halus. Sebuah melodi yang tidak asing. Satu karya dari Air Supply yang beberapa waktu lalu juga didengarnya di restoran.
Gadis itu tidak mendengarkan rekamannya hingga selesai karena perhatiannya teralih pada amplop surat di dalam kotak yang sama. Ia tetap membiarkan musik dari alat perekam itu mengalun. Tidak ada nama pengirim maupun penerima di bagian depannya. Ketika Mika membuka amplop tersebut, ia mendapati secarik surat di dalamnya. Kertas tersebut sudah menguning dimakan usia. Tinta hitamnya pun sudah memudar menandakan pena yang ditekan ketika menulis isinya.
Mika membaca isinya dalam hati. Air matanya kembali menetes membuyarkan beberapa bagian dari surat tersebut.
***
EMPAT
Dear, Mika.
Saat kamu membaca ini, mungkin saya sudah berjarak sekian ribu mil jauhnya dari kamu. Maaf, saya tidak pernah bisa berpamitan langsung kepada kamu. Saya tahu, ini kebodohan saya. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan mengenai kepergian saya.
Saya tidak pernah tahu kalau berpamitan akan sesulit itu. Saya juga tidak menyangka kalau kepergian ternyata memiliki dampak sebesar itu terhadap hidup seseorang.
Tapi, saya percaya kepergian saya tidak akan lama. Saya akan kembali suatu hari nanti. Saya tahu semesta menggariskannya demikian. Saya yakin, semua yang saya rasakan begitu relevan dengan yang ada di hatimu.
Jujur, hari-hari saya terasa berat. Dan, entah mengapa, saya punya kepercayaan yang sangat kuat bahwa kamu juga demikian adanya. Saya selalu berharap bisa berbagi cerita denganmu. Saya juga selalu merindukan leluconmu yang tidak pernah membosankan itu.
Saya sudah merekam permainan gitar saya di dalam alat perekam ini. Jika sewaktu-waktu kamu rindu saya, dengarkan saja lagu itu maka tanpa kamu ketahui, saya sudah berada di samping kamu.
Maafkan kesalahan saya yang tidak termaafkan ini.
Saya berjanji akan kembali, jika semesta menghendaki. Saya rindu kamu.
Yang selalu menginginkan hadirmu,
Elang
***
LIMA
“It gets harder each day,
Please, love me, or I’ll be gone…
I’ll be gone…”
(Air Supply, 1980)
Bersamaan dengan itu, Mika segera bangkit dan keluar dari kamarnya hendak mencari Elang. Ia membiarkan kotak tersebut teronggok begitu saja bersebelahan dengan amplop surat dan alat perekam di ranjang kamar hotelnya.
Ia meneriakan nama Elang beberapa kali di lorong hotel. Kepalanya terus mencari-cari ke berbagai arah berharap dapat menemukan laki-laki itu di sana. Kebingungan meliputi hatinya. Entah harus bergerak ke kiri atau ke kanan, yang jelas ia terus berusaha memanggil-manggil nama itu.
Namun, tiba-tiba saja, pandangannya mengabur. Suasana di lorong terasa keliru. Kepalanya berputar dan cahaya putih yang menyilaukan berasal dari ujung lorong hotel tersebut membuat matanya menyipit.
Sebuah suara yang entah darimana asalnya kini bergantian memanggil-manggil namanya. Sesekali, ia juga merasa tubuhnya diguncangkan. Aroma mint yang ia yakini berasal dari minyak angin kini menusuk tajam indera penciumannya.
Mika mencoba membuka matanya membiarkan sedikit demi sedikit cahaya masuk ke pupilnya. Ia memijat pelipis juga keningnya. Kepalanya masih terasa berat. Ia mendapati dirinya mengenakan blazer warna khaki yang selalu menemaninya bekerja dan rok pensil warna senada. Tubuhnya terkulai di ruangan yang sangat familiar, ruang tamu keluarganya.
“Kak Mika?” seru seorang perempuan dengan seragam putih abu-abu dengan badge nama “Alva Dirgaputra” di atas sakunya. “Syukurlah, kakak sudah sadar,” pekiknya lega.
Ia membuka matanya perlahan-lahan. Dibantu Alva, ia berusaha untuk duduk. Alva masih menggenggam potongan tajuk utama berita di koran yang memuat tanggal terkini di sudut kanan halamannya.
Sebuah pesawat mengalami kecelakaan dan menewaskan seluruh penumpangnya, demikian kurang lebih isi berita yang bisa ia lihat samar-samar karena kepalanya masih pening. Pandangannya juga masih sedikit buram tetapi ia berusaha sebisa mungkin membaca setiap baris kata demi kata, meyakinkan dirinya bahwa yang ia lihat tidaklah salah.
Koran tersebut terlihat kaku, seperti belum pernah dibaca. Halaman terdepannya juga memuat foto hasil kejadian. Kobaran api hasil kejadian dengan sedikit keterangan yang ditulis dengan ukuran tulisan lebih kecil di bagian bawahnya.
Pada kolom sebelah kanan, Mika melihat ada daftar nama-nama korban yang sudah berhasil diketemukan.
Di dalam daftar penuh duka tersebut ia menyoroti sebuah nama.
Erlangga Dirgaputra.
***
“I’m lying alone with my head on the phone,
thinking of you til’ it hurts…”
(All out of love, 1980)
***
Description: Cerita ini mengisahkan tentang pertemuan dua insan yang tidak disengaja. Semuanya terjadi begitu saja seolah campur tangan semesta begitu lekat adanya. Ada senda gurau khas canda anak muda, yang sesekali membuatmu menyerukan suara tawa. Ada juga bagian-bagiannya yang membuatmu berderai air mata.
Terlebih lagi, ada satu hal yang menjadi inti kisah ini. Yakni, bahwasanya segala sesuatu yang ada di dunia ini tidaklah pasti. Semua bisa berubah kapan saja. Semua bisa hilang, sebagaimanapun kau mempertahankan. Semua bisa datang, meskipun kau menolak.
Dan pada saat itulah, kau sadar bahwa semesta punya rencana yang tak kau duga. Semoga kau juga suka!
---
Nama Lengkap: Mia Rosana Murry
Instagram: emaieii
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #SaatnyaLiburan 2019 yang diadakan oleh Storial dan Nulisbuku.
|
Title: RAH
Category: Horor
Text:
Prolog : Insiden Berdarah
Dersik angin berembus kencang di atas sana. Kilat bermunculan di langit bareng suara-suara menggelegar yang begitu ngeri. Belum ada tetesan air hujan yang jatuh, tetapi awan gelap telah menyelimuti langit malam.
Seorang perempuan mengenakan seragam OSIS sendirian dalam ruangan yang diyakini telah ada makhluk lain. Perempuan berparas cantik itu duduk bersimpuh di depan sebuah benda setinggi satu meter menancap di tengah-tengah batang pohon pisang. Benda itu terletak di depan kelir selebar dua meter.
Orang itu menutup matanya sembari menunduk, tangannya menggenggam erat di atas pahanya. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantra pemanggilan arwah. Dirinya tak membawa sama sekali hidangan. Tidak sudi memberi pelayanan pada roh jahat.
Ini hanya satu-satunya harapan bagi dia. Dengan berat hati ia berkata, “Saya memanggilmu, hantu yang paling hebat daripada yang lain, yang paling sakti dari antara hantu lain, datanglah berwujud roh, bawalah jiwa orang suci, kembalikan raga orang mati.” Terselip nada permohonan pada kalimatnya.
Suasana masih sunyi, tak ada tanda-tanda ganjil. Perempuan tadi membuka matanya dan berdiri, ia mencabut cepat benda yang di depannya itu.
“Tolong kembalikan anak saya!” teriaknya dengan tatapan kemarahan. Dirinya sangat membenci hantu yang membuatnya kehilangan seorang yang berharga.
“Tolong jangan celakai dia! Kamu tidak berhak melakukan itu!” Dia melihat sekitar, masih tak ada suara apa pun yang menyahutinya. Perempuan itu menampar kasar benda tadi, merasa dibodohi.
Lampu ruangan berkedip, hujan mulai turun sangat lebat, guntur amat keras hingga menggelegar di mana-mana.
Sorot lampu wayang bercahaya, tiba-tiba tangan tajam muncul dari kelir wayang, menyobek kasar layar tersebut. Perlahan sosok itu keluar dari layar wayang.
Tubuhnya terlihat menghitam juga memerah, kain yang dikenakan lusuh serta penuh lendir darah kental. Sosok itu tidak memiliki kuku, tetapi semua jarinya berujung tajam.
Perempuan berumur lima belas tahun itu terbelalak kaget, melihat sosok mengerikan bersimbah darah. Dia sontak berjalan mundur menjauhi sosok menjijikan itu, hingga menyentuh dinding ruangan.
“Kamu tidak dapat melawanku, yang sudah mati tidak dapat hidup. Jika kamu ingin anakmu kembali,” ucapnya lalu berdiri, kemudian melanjutkan kalimatnya, “punapa panjengan mboten seda sekaliyan? Rah panjengan ateges nyowo kagem kula.” Ia mengubah bahasanya menjadi Jawa. Bukan hanya itu, tubuhnya semakin mengerikan.
Kombinasi bau anyir dan mayat hampir mematikan indra pencium gadis itu. Dirinya menyeringai lebar seolah-olah berambisi membunuh manusia yang sedikit jauh dari hadapannya.
Sosok mengerikan tadi berjalan perlahan mendekatinya hingga berada dekat sepuluh sentimeter. Perempuan itu tidak bisa mengelak, tidak mungkin berlari karena pasti dia akan menyerangnya.
“Kamu ingin anakmu kembali? Bagaimana jika kamu yang datang menghampiri?” Makhluk itu menatap nyalang, kedua matanya berwarna hitam menyeluruh beserta aliran air mata darah terjatuh.
Jari tajam mencengkeram leher perempuan itu, menggores layaknya pisau runcing, membuat sayatan penuh darah mengalir. Mungkin ia berpikir, untuk apa perlu menghidupkan manusia tak bernyawa? Lebih baik membunuh agar dapat bertemu dengan dunia orang mati.
“LEPASKAN!” pekiknya memberontak, tangannya menggenggam lendiran darah dan menjauhkan dari lehernya.
“Kalau begitu keinginanmu, SAYA AKAN MATI DENGAN CARA SAYA SENDIRI!” tegas perempuan itu, terlihat di matanya tatapan kemarahan. Tangan kanannya yang membawa benda tadi dengan kasar membuat batang berujung tajam menancap tepat di pergelangan kirinya.
Bahkan sekarang lebih cepat menancapkannya berkali-kali hingga kulitnya sobek, darah merah keluar deras. Dirinya sudah tak sanggup lagi, yang dia rasakan sangat perih.
Ini demi kamu, Nak. Jangan menangis, Sayang. Ibu akan bersamamu, batin perempuan itu, air mata kepedihan meleleh. Sebuah pengorbanan seorang ibu berumur muda, rela mati demi bertemu dengan anaknya sendiri.
Pertahanannya telah runtuh, ia jatuh tak bertenaga dan terkena banyak darah di lantai. Perlahan perempuan tadi menutup kedua mata sekaligus menutup usianya di belasan tahun. Kemudian sosok itu tersenyum mengerikan layaknya psikopat.
“Sesajen ingkang sae... rah....”
~oOo~
Serbuk Abu
Kelas yang tadinya riuh mendadak hening kala ada seorang masuk ruangan. Siapa lagi kalau bukan guru? Sebut saja namanya Ibu Asih. Satu-satunya guru dengan tatapannya yang mampu membuat perasaan menjadi mati kaku ketika diajak bicara.
“Tolong ketua kelas ambilkan buku tugas teman kalian di meja Ibu. Di ruang guru bagian selatan,” ucap Bu Asih sambil mengibas-ngibaskan kipas plastik bergambar wajah artis luar negeri.
Beliau selaku guru matematika. Guru yang paling galak di antara yang lain.
Rama Bramastian, seorang siswa cendekiawan di semester kemarin, dirinya memperoleh peringkat tertinggi berturut-turut, tak heran dia bisa menjadi ketua kelas.
“Baik, Bu.” Rama segera keluar kelas menuju ke ruang guru. Selagi pria itu pergi, Bu Asih menerangkan materi yang kemarin belum terselesaikan.
“Bu Asih!” panggil seorang murid yang bernama lengkap Satria Candra Saputra.
Bu Asih yang sedang menulis di papan menoleh ke belakang. “Siapa yang bilang Bu Asi tadi?” tanyanya sembari menaikkan kacamata.
Satria mengangkat tangan kanannya. “Ibu Asih, Bu. Bukan Bu Asi,” jawabnya.
“Ada apa?”
Satria menjawab, “Izin ke toilet.”
Alis Bu Asih langsung terpaut. “Saya baru aja datang dan kamu malah pengin pergi ke toilet? Nggak boleh! Tadi istirahat ke mana aja?” tegasnya.
Jika yang lain seperti maneken saat berbicara dengan Bu Asih, berbeda dengan Satria beserta perlakuan seenaknya.
Ia menurunkan tangannya. “Ya ke kantinlah, Bu....” Satria mengerutkan kening, “lagipula saya ini pelajar atau tahanan?” Pria itu berucap dengan santainya.
“Keluar!” bentak Bu Asih dengan jari telunjuknya yang mengarah ke pintu.
Yes, gua bebas, batin Satria. Dirinya berjalan keluar seolah tanpa dosa.
Bu Asih geleng-geleng dengan tindakannya. “Tolong buku catatannya Satria taruh di meja ini,” perintahnya.
Di sisi lain, Satria yang baru saja keluar beberapa meter dari kelas, pandangannya tidak fokus hingga menendang tong sampah di depannya. Satria hampir saja terjatuh karenanya.
“Ya Allah ini siapa yang taruh rumah Rama di sini?” ucap Satria menyebut tempat sampah sebagai mastautin Rama. Beruntung ia berucap saat Rama tidak berada dengannya, kalau ada bisa dijitak kepalanya.
“Nyusahin aja lu kayak hidup gue,” ucapnya sedikit membentak ke tong sampah.
“Lo sengaja ya berdiri di sini?” Secara tak sadar ia tengah bersandiwara sendiri, sampai kelupaan jika tujuannya pengin ke toilet.
“Kenapa, Mas?” Ibu Guru yang bernama Bu Siti tiba-tiba nongol di belakangnya.
Satria membalikkan badan karena terkejut. “Eh, em... enggak apa-apa, Bu. Ini cuma anuan. Permisi, Bu,” ucapnya lalu pergi meninggalkan ibu tadj yang diketahui adalah guru kepala sekolah.
Ya Allah ini kenapa. Fix, gua gila! ucapnya menyesal dalam hati.
Di sisi lain, Rama masih belum tahu ruang guru selatan dan meja Ibu Asih berada, akhirnya ia bertanya pada guru lain. Selepas tahu, dia membawa buku tugas itu dan akan kembali ke kelas.
Saat tepat di pertigaan lorong, langkah Rama terhenti. Pandangannya melihat lorong gelap menuju ke sebuah ruangan.
Lorong itu sunyi, tak ada satu pun lampu yang menyinari. Ubinnya pun banyak yang pecah. Baru pertama kali ini dia melihat ada ruangan di ujung lorong.
Dalam benak hati Rama terbesit firasat aneh, seketika suasana menjadi sunyi.
Karena rasa tahu Rama tinggi, dengan perlahan, dia berjalan mendekati ruangan tersebut. Langkah demi langkah hingga tepat berada di depan pintu ruangan.
Rama menyipitkan mata membaca tulisan di atas pintu ruangan tersebut.
KARAWITAN 3
Dia heran mengapa ruangan karawitan itu tampak seperti gudang walau hanya dari luarnya saja. Jendela yang dia lihat sudah lama tidak dibersihkan juga ada yang pecah, pintu sudah usang dan lapuk karena rayap.
Ck, mungkin ruangan ini udah tak layak digunakan, batinnya.
“Rama....”
Mata Rama terbelalak, telinganya merasa ada seseorang yang memanggil dirinya, bulu kuduknya langsung merinding hebat, angin dingin mulai masuk lancang ke dalam tangannya. Sesekali dia meneguk ludah. Dia mengawasi sekitar, berharap tidak ada sesuatu yang ganjil.
“Rama....”
Suara tersebut memanggilnya kembali, kini lebih jelas dari yang sebelumnya. Tubuh Rama bergetar, dia mulai berkeringat, ingin berlari secepat mungkin menjauhi tempat itu, namun rasa takutnya malah membuatnya susah untuk mengangkat kaki.
“Woi!”
“Setan!” Rama terkejut, rupanya Satria yang membuat dia kaget setengah mati, buku yang ia bawa jatuh berserakan ke mana-mana.
“Lo ngapain di sini? Ngagetin orang aja!” Rama mengambil buku itu yang berantakan.
“Gue habis dari kamar mandi, kebanyakan minum tadi. Lo sendiri ngapain ke sini, bukannya balik kelas.” Satria turut membantu Rama menata dan membawa buku.
“Ah, udahlah nanti aja ngomongnya. Kita balik kelas dulu.” Segera Rama mengajak Satria untuk cepat pergi meninggalkan tempat itu. Satria menuruti perintah Rama lalu menuju ke kelas mereka.
~oOo~
Bel istirahat kedua berbunyi, semua murid berhamburan pergi ke tempat favorit mereka. Termasuk teman-teman dari kelasnya Rama.
“Eh, Ram. Ayo, ke kantin!” ajak Satria.
“Nggak dulu, Sat. Badan gue lagi nggak enak,” ucap Rama dengan nada malas. Dia tidur dengan kepala di atas meja dan tasnya sebagai bantal.
“Kalo mau pergi, sama Raja aja, tuh.” Rama menunjuk Raja dengan dagunya. Terlihat dia sedang asyik membaca novel, tak heran jika dia menggunakan kacamata karena keseringan membaca buku. Apa pun jenisnya dia baca, kecuali buku kematian.
Satria melihatnya saja langsung geleng-geleng kepala. “Nggak. Nggak jadi. Gue di sini aja.” Satria mengambil ponselnya lalu duduk di kursi sebelah Rama.
“Terserah.” Rama ingin menenangkan pikirannya sejenak, bahkan pelajaran matematika tadi sulit diterima karena pikirannya sedang kacau. Suara yang memanggilnya tadi, apa itu dari Satria?
Pria di sebelahnya mematikan ponsel karena ada sesuatu pikiran yang belum terjawab. Ia berucap, “Eh, Ram. Gua boleh ngomong sesuatu, nggak?” Satria menanyakan suatu hal pada Rama, namun temannya itu diam dalam keadaan kepala masih menunduk.
Salah satu hal yang tidak disukai Rama yaitu diganggu saat mencoba tenang.
Pertanyaannya seperti dimakan angin. Ia kembali bertanya, “Lo tadi ngapain ke ruangan itu?” Rama masih tak menggubris pertanyaan Satria. Pria yang seumuran dengan Rama itu berdecak sebal.
“Lo tahu nggak kalo tempat itu angker!” ucap Satria dengan nada serius.
Rama menoleh ke arahnya. “Angker? Ada hantunya? Kebanyakan nonton film horor lo, Bujang?” Dirinya memang tipe orang yang tidak percaya dengan namanya hantu, apa pun jenisnya. Kalaupun ada, hanya hatinya yang terlalu takut hingga terpengaruh ke saraf mata dan pikiran, itu menurut pendapatnya.
“Eh, ini beneran, Bambang!”
“Yang bilang bohong juga siapa, Congek. Cuma gue nggak percaya.”
“Lo tadi di sana ada sesuatu yang aneh, nggak?” seru Satria meyakinkan Rama.
“Biasa aja. Udah lah. Lo malah nambahin gue pusing, gue mau tidur.” Rama bodo amat dengan celotehan Satria, dia ingin mengisi istirahatnya dengan tidur nyenyak, kembali dengan posisi tidurnya tadi.
~oOo~
Description: Insan yang ditindas dan dibuang ke ruangan angker, menjadi korban bangkitnya sosok misterius dan keluarnya dua hantu dari dunia orang mati. Takdirnya berubah semenjak insiden itu, senyum indahnya tak lagi terwujud, semua digantikan oleh kegelapan.
Rah punika ateges nyowo. Sedaya badhe seda kecalan rah, nanging badhe gesang menawi nampi rah.
Segala aliran darah harus dilenyapkan, segala penderitaan harus dihancurkan.
Kisah ini bergenre horor, komedi, dan ten fiction. Mengundang para pembaca untuk tegang karena horor, komedi dengan kelakuan kocak mereka, dan ten fiction dengan kisah asmara mereka. Semuanya menyatu dalam satu kisah.
|
Title: Recalling The Memory: Kita Bersisian Tapi Tidak Sejalan
Category: Teenlit
Text:
Prolog
Apakah kamu punya tanggal yang selalu kamu ingat?
Mungkin tanggal itu tak memiliki warna merah di kalendermu. Kamu mungkin tidak akan menyangkanya, bahwa tanggal itu akan menjadi tanggal yang istimewa. Tanggal yang mungkin akan kamu ingat delapan tahun kemudian, sama seperti diriku sekarang.
Aku pernah melupakan tanggal istimewa itu untuk beberapa lama. Hingga tanggal itu muncul kembali di ingatanku tiba-tiba. Aku sedang asyik mengetik terjemahan bahasa Indonesia dari sebuah bundel dokumen kantor di atas tempat tidurku, ketika bundelan itu terjatuh dari pangkuanku. Seluruh isinya berceceran hingga masuk ke kolong tempat tidur.
Aku memaki pelan diriku sendiri yang ceroboh sambil membereskan kertas-kertas yang berceceran itu satu demi satu, hingga akhirnya tanganku terhenti pada suatu benda. Tepatnya, pada kotak besar yang ada di bawah tempat tidur. Ketika melihatnya kembali, seluruh tengkukku terasa meremang.
Aku meraih kotak besar itu dan membuka tutupnya. Dalam kotak itu, aku menyimpan semua hal yang mengingatkanku tentang dia. Sudah lama aku tidak membukanya, dan diam-diam berharap bisa membuang semua isinya sekaligus. Namun, aku tak pernah cukup tega melakukannya.
Di antara banyak barang dalam kotak itu, mataku malah tertumbuk pada buku harian paling akhir yang pernah kutulis. Aku menemukan lembaran yang kutulis pada hari ini, delapan tahun lalu. Tanggal 1 April 2008. Aku menulis keterangan April Mop pada sudut halaman catatan itu.
Aku membuka lembaran-lembaran catatan harianku sebelumnya, hingga sampai pada tanggal 11 Januari 2008, yang jatuh di hari Jumat. Hari yang aku kira akan tenggelam seiring waktu berjalan. Aku kira bisa melupakannya.
Kamu selalu mengira-ngira. Kamu lupa kalau kamu bisa salah.
Kata-kata darinya terngiang di telingaku sekali lagi. Bahkan, setelah delapan tahun berlalu, ia masih bisa membuktikan bahwa aku bisa salah.
Part 1
Sofia dan Romi, 2008
11 Januari 2008
Kutukan rupanya bisa datang dengan berbagai cara. Dia bahkan bisa datang dalam satu hari, dengan wujud yang berbeda-beda.
Kutukan pertama: aku lupa membawa buku cetak Kimia-ku sehingga aku harus nongkrong di meja piket pada jam mata pelajaran pertama. Pak Kris, guru Budi Pekerti-ku yang berjaga di meja piket, tampak senang karena hari ini ada banyak murid yang harus bersila di lantai. Ia senang melihat wajah-wajah murid yang berusaha menahan kaki yang kesemutan sepertiku, sementara ia sibuk mengisi teka-teki silang di surat kabar.
Belum cukup ditambah dengan kedua kaki yang kesemutan, muncullah kutukan kedua: aku lupa menuliskan adanya kuis Kimia di agendaku.
Pak Bangkit, guru Kimia-ku, sedang tidak ada ampun-ampunnya hari itu. Kuis yang ia berikan berisi 40 soal, dan aku hanya sanggup mengerjakan 20 soal. Rambut panjangku yang biasanya kubiarkan tergerai mendadak langsung kucepol asal-asalan. Kuharap, dengan mengamankan helai-helai rambut dengan kuciran, dapat mengecilkan kadar stres yang mulai memuncak karena ada dua kutukan yang terjadi hari ini.
“Heran deh, gue. Ini kenapa gue jadi lupa semua begini, sih?” tanyaku gemas kepada diri sendiri di depan Sarah dan Jihan, kedua sahabatku. Mereka sedang asyik makan bakso di kantin sekolah.
“Ya, udahlah. Nggak apa-apa kuis Kimia gagal. Kita belum try out Ujian Nasional juga, kok. Santai ajalah,” ujar Jihan santai sambil meniup-niup kuah baksonya.
Aku selalu kesal dengan balasan Jihan yang supersantai. Jelas saja ia bisa komentar seperti itu. Otaknya sangat encer. Ia bisa mengerjakan kuis Kimia barusan dengan waktu 30 menit lebih cepat daripada murid yang lain.
“Tapi, tadi sayang sih, pas pelajaran Kimia lo keluar. Materinya lumayan susah,” timpal Sarah lagi sambil membuka sebungkus kerupuk yang ada di atas meja kantin. Wajah Sarah yang juga sangat santai saat mengatakan “susah”, membuatku semakin ketar-ketir.
“Lo pada tahu kan, gue itu anak IPA palsu. Gue nggak bisa paham Fisika dan Kimia kalau nggak belajar. Duh, gimana nih.” Aku membenturkan kepalaku pelan di atas meja kantin.
Aku tahu aku bukan anak IPA yang paling unggul. Maka aku selalu belajar menyiapkan semuanya terlebih dahulu: belajar semua ujian dua hari sebelumnya dan mencatat semua materi. Hanya saja, aku sering lupa mencatat pengumuman tambahan di buku agendaku. Kesalahan kecil, tapi penting. Kesalahan yang akhirnya membawaku pada kutukan ketiga: aku lupa mencatat pengumuman baru. Mulai bulan Januari ini, akan ada satu jam pelajaran tambahan Matematika setiap Jumat untuk persiapan Ujian Nasional. Kepalaku rasanya seperti dihantam palu berkali-kali.
Otakku sudah tidak lagi berfungsi pada jam mata pelajaran tambahan itu. Semua soal kukerjakan dengan setengah hati.
Mataku sempat teralihkan dengan sebuah formulir yang ada di dalam tasku. Aku mengeluarkan map itu, membaca formulir di dalamnya dan melengos, menyesali apa yang kulakukan. Mengeluarkan map itu membuat pikiran dan tanganku semakin kesemutan.
Aku berharap waktu segera berputar menuju pukul 17.00, waktuku untuk les piano. Les piano adalah satu-satunya kesenangan yang kupunya hari ini. Maka, persis ketika bel berbunyi, aku segera mengemas seluruh isi tasku. Tetapi, apa yang kulihat berikutnya membuatku terdiam sejenak.
Gerimis yang tadi turun sudah berganti menjadi hujan deras. Kutukan keempat.
Ya Tuhan, apa lagi ini ...? pikirku. Aku mendecak kesal melihat hujan yang semakin deras turun dari jendela kelasku. Tanganku sudah kesemutan, tapi aku masih berharap bisa melakukan “pemanasan” di atas tuts piano. Maka, aku mencangklongkan tas dan berjalan menuju ruang yang senang kukunjungi di koridor lain lantai ini: Ruang Musik.
Aku menggeser pintu Ruang Musik, membuka sedikit jendela untuk membiarkan hawa sejuk hujan memenuhi ruangan. Aku membuka Bleki, sebutanku untuk piano hitam di tengah Ruang Musik itu, dan melakukan arpeggio1—rentetan nada cepat untuk “pemanasan”. Kemudian, aku memainkan piece2 klasik dan beberapa lagu yang kusuka dari sebuah serial Jepang yang ditonton ibuku, yang berjudul Long Vacation. Lagu itu berjudul “Close to You” yang dimainkan sebuah grup bernama Cagnet.
Memainkan piano sendirian di Ruang Musik dengan iringan hujan, membuatku lupa pada rentetan kutukan yang terjadi padaku hari ini. Hanya ada aku, piano, dan rasa tenang.
Dan, suara tepuk tangan.
Siapa?
Aku menoleh ke sumber suara itu dan melihat sosok laki-laki berseragam batik khas SMA Tirtacahya. Kaki kirinya menginjak sebuah bola futsal. Seragamnya basah karena kehujanan.
Sejujurnya, aku pikir semua anak kelas 3 lain sudah turun ke Lantai 1, bersiap untuk menyambut akhir hari Jumat. Beberapa di antara mereka pasti menerobos air hujan demi bisa pulang lebih cepat ke rumah atau untuk bisa nongkrong di tempat lain. Aku pikir koridor Lantai 3 yang diperuntukkan bagi siswa kelas 3 SMA Tirtacahya itu sudah sepi. Tidak akan ada orang lain, atau kutukan lain yang mungkin datang menghampiriku di Ruang Musik ini.
Sebaliknya, aku malah mendapat kejutan.
Aku tidak pernah sekelas dengan laki-laki itu. Namun, aku mengenali figurnya yang tinggi, kulit sawo matang, dan tawa yang seolah juga membuat orang lain ikut tersenyum.
Ia punya lesung pipit yang cukup dalam di pipi kirinya. Rambutnya tidak cepak, tidak juga ikal, tapi cukup panjang melewati daun telinga. Aku yakin ia akan kena hukuman saat pemeriksaan rambut siswa laki-laki berikutnya dalam waktu dekat.
“Ya ampun, jadi selama ini yang sering main piano sore-sore tuh, lo, ya ....” Ia terkekeh, dengan tawa khas yang playful, sambil memainkan bola futsal dengan kakinya, ke kiri dan ke kanan. Tawa yang sering kudengar ketika ia memainkan cover version lagu “Umbrella” yang dinyanyikan Rihanna di koridor area kelas 3 sekolahku. Ia senang mengganti lirik “under my umbrella” dengan kata “under my payung”, yang sengaja dipanjang-panjangkan pada kata “payung” agar cocok dengan tempo.
Ketika aku mendengarnya dari dalam kelas, aku spontan ikut tertawa juga. Setiap hari, ia senang ngamen, menyanyikan cover version dari lagu-lagu yang menyenangkan. Suaranya tidak terlalu istimewa, tapi tangannya mahir sekali. Aku juga pernah melihatnya menjadi drummer dadakan untuk band di sekolah.
Oh, kenalkan. Namaku Sofia Ananta. Hari Jumat ini, aku mendapat empat macam kutukan: ketinggalan buku cetak Kimia, tak bisa mengerjakan kuis, lupa mencatat adanya pelajaran tambahan Matematika, dan hujan deras yang pastinya akan membuatku terlambat les piano.
Akan tetapi, di hari ini juga, aku mendapat kejutan. Empat bulan menjelang Ujian Nasional, untuk kali pertama, aku bertemu dan berkenalan secara resmi dengan cowok ini. Sosok yang muncul dengan singkat di masa SMA-ku, yang tak pernah kusangka akan terus kuingat bertahun-tahun kemudian.
Namanya Romi Anjasdwino.
Aku tahu betul nama Romi Anjasdwino. Ketua Klub Gitar, sering main futsal di lapangan dan membawa-bawa bola futsal ke koridor, dan salah satu nama yang sering disebut para guru, teman-teman, dan adik kelasku.
***
Aku semakin sering mendengar namanya ketika ada sebuah acara acoustic sessions yang diadakan OSIS SMA Tirtacahya. Ia berhasil mengundang beberapa artis ternama dan band-band akustik dari sekolah lain untuk bergabung dalam acara itu. Hasil penjualan tiket acara tersebut disumbangkan ke beberapa rumah anak yatim yang ada di daerah Jakarta Selatan.
Akan tetapi, sampai sejauh mana bisa dikatakan bahwa kita mengenal seseorang? Apakah dengan mengetahui semua itu, aku mengenal Romi? Tidak.
Kami tak pernah benar-benar bicara satu sama lain. Hingga hari ini.
Romi menggiring bola futsal itu ke tengah ruangan dan menghentikannya kembali. Belum sempat aku membalas perkataannya, ia menunjuk Bleki sambil mengangkat alis, seolah meminta izinku untuk memainkan piano itu.
“Lagu yang tadi lo mainin itu dari film Jepang, kan, ya? Dulu kakak gue suka banget nonton itu, dan gue suka pas tokoh utamanya mainin lagu yang lo mainin tadi.” Romi melangkah pelan mendekati tuts piano itu, memainkan beberapa not awal lagu “Close to You” hanya dengan tangan kanannya. Bola futsal yang sedari tadi ia mainkan, bergulir di lantai, tak lagi ia pedulikan.
Aku baru membuka mulutku, berusaha untuk membalas perkataannya, ketika ia tiba-tiba berkata, “Eh, nebeng duduk boleh, ya? Pegel, abis main futsal.” Romi tertawa lagi sambil menghentikan permainan pianonya itu.
Aku mendongak, melihat cengirannya yang seolah tak merasa bersalah karena mengganggu “pemanasan” permainan pianoku.
Ini orang langsung main nebeng-nebeng duduk aja. Sok akrab amat.
Akan tetapi, aku mengabaikan suara dalam hatiku itu dan secara otomatis mengubah posisi dudukku. Aku segera menggeser posisi dudukku hingga di tepi paling kiri kursi piano, memberi jarak di tengah-tengah kursi dengan posisi duduk Romi yang ada di tepi paling kanan.
Aku sering merasa tidak enak kepada orang lain. Jihan dan Sarah sering menasihati kebiasaanku ini. Mereka bilang bahwa aku harus bisa mengungkapkan apa yang kurasakan, walau itu berarti menyakiti hati orang lain. Jika aku tidak suka, aku punya hak untuk mengatakannya. “Orang lain tuh, nggak bisa tebak-tebak pikiran kita. Jadi, lo harus bisa bilang apa yang ada di pikiran lo.” Begitulah kata-kata mereka.
Akan tetapi, hari ini aku mengetahui satu hal: tidak semua pikiran kita harus segera diungkapkan. Jika aku langsung meminta Romi untuk pergi dari ruangan ini atau berkata, Lo nggak bisa duduk di sini. Gue lagi main. Aku tidak bisa melihat kedua tangannya yang begitu piawai menari di atas tuts hitam dan tuts putih Bleki.
Aku berharap wajahku tidak menunjukkan ekspresi kagum yang tampak bodoh, tapi aku benar-benar terkejut melihat kedua tangannya seolah memiliki ingatan terhadap not-not lagu itu. Gerakan tangannya tak mengira-ngira. Ia tahu pasti not mana yang harus ia tekan. Tak ada keraguan. Ia mungkin sudah sering memainkan lagu ini.
Ternyata bukan hanya drum, dia juga bisa main piano. Aku berdecak kagum dalam hati. Aku tahu ia bisa main gitar dan drum, tetapi untuk kali pertama, aku baru tahu ia bisa main piano. Dan, aku tahu ini terdengar konyol, aku juga terkejut karena kedua tangannya tampak bagus di atas piano.
“Lo ... udah sering main lagu ini?” tanyaku setelah ia hampir menyelesaikan bagian chorus lagu tersebut.
“Hmmm, nggak juga, sih. Sebenarnya nggak begitu hafal juga lagunya, tapi gue hafal banget bagian awalnya itu. Yang ini.” Matanya kembali fokus pada Bleki. Kemudian, ia memainkan kembali bagian awal lagu itu. Not-not indah mengalun, seolah membawa pemain dan pendengarnya ke atas puncak bukit yang tinggi, menikmati angin yang menerpa wajah mereka dengan lembut.
Ini orang merendah apa gimana, sih? Tangannya tadi jelas-jelas kayak nggak mikir gitu pas main piano.
“Lagu ini kayak bikin gue ngerasa gimana gitu. Kayak ....” Mata Romi menerawang ke atas langit-langit Ruang Musik. Tangan kirinya ia letakkan di tengah-tengah kursi piano yang kami duduki, sementara tangan kanannya terangkat pelan-pelan ke atas. Ia terdiam sesaat mencari kata yang tepat.
“Melayang?”
“Nah! Itu dia kata yang bener.” Ia mengacungkan telunjuknya persis ke depan wajahku.
Aku terkejut melihat telunjuk itu, tapi tetap bersikap biasa dan mengangguk-angguk setuju. “Gue selalu mikir kayak gue ada di atas bukit kalau lagi main lagu ini. Kayak sejuk gitu, damai. Berasa tenang. Rasanya kayak segalanya, tuh, mungkin. Apalagi kalau mainnya pas malam-malam,” sahutku yang disambut dengan senyum lebar dan anggukan Romi yang berulang-ulang.
Kok, aku jadi banyak bicara, ya?
“Lo nggak ikutan paduan suara, ya? Gue nggak pernah lihat lo main piano buat ekskul Paduan Suara,” tanya Romi sambil memainkan kembali lagu itu dari awal.
Aku menggeleng. “Dulu hampir ikutan, tapi nggak jadi,” jawabku singkat. Aku memalingkan pandanganku dari kedua tangan Romi—yang entah mengapa membuatku sulit berhenti memandanginya—dan melihat bahwa hujan di luar semakin lama semakin deras. Aku melirik jam tanganku, melihat bahwa sebentar lagi pukul 5.00 sore akan segera tiba. Aku sudah harus bersiap-siap pergi dari Ruang Musik ini.
Akan tetapi, mataku tetap melihat kedua tangan itu dan sekilas melihat raut wajahnya yang tampak santai memainkan Bleki. Aku teringat pemandangan yang kulihat di koridor beberapa waktu lalu, bagaimana kedua tangannya begitu mahir memainkan gitar. Juga, pada hari itu, saat aku melihatnya memainkan drum secara spontan. Hanya dengan komando singkat soal tempo yang harus dimainkan, ia bisa memainkan drum dengan penuh semangat.
Aku ingat betul hari itu. Hari ketika diam-diam aku memanggilnya sebagai Lelaki Midas—si raja dalam dongeng yang membuat segala sesuatu yang ia sentuh menjadi emas.
Aku tak begitu mengenalnya. Namun, melihatnya memainkan piano, aku merasa seolah-olah apa pun yang ia sentuh bisa menjadi sesuatu yang bernilai.
Senar gitar yang ia petik menghasilkan lagu-lagu yang menyenangkan. Seperangkat drum yang ia tabuh menghasilkan entakan nada-nada yang memacu semangat. Dan, tuts-tuts piano itu seolah tunduk kepadanya juga. Seolah-olah tuts-tuts piano itu juga ikut bersantai bersamanya.
“‘Close to You’ ....”
“Kenapa?” tanya Romi, berhenti memainkan piano. Romi menyipitkan mata dan tiba-tiba melihat bajunya yang masih basah karena keringat dan air hujan. “Eh, sori lho, gue keringetan, biasa habis main bola ....”
Aku tidak tahu harus merespons apa selain tersenyum kecil. “Nggg, lagu dari serial Jepang itu judulnya ‘Close to You’ .... Itu lagu untuk serial, bukan film ...,” kataku sambil mengangguk-angguk sendiri karena merasa rikuh. Aku tahu sekarang sudah saatnya aku pulang.
Bukan. Bukan karena Romi bau atau hujan yang makin deras di luar. Aku bisa merasakan mata Romi yang memandangku dari samping. Dan, entah mengapa aku jadi bertanya-tanya, apa yang ia lihat. Bagaimana penampilanku dari samping? Sampai kapan Romi akan menatapku seperti itu?
“Makasih, ya. Gue udah cari-cari judulnya dari lama, dan lo sekarang ngasih tahu gue .... Lo suka ke sini pagi-pagi juga, ya? Kadang pagi-pagi gue suka denger ada suara piano dari sini ....”
Aku tidak bisa berkata apa pun selain mengangguk. Sejujurnya, aku cukup kaget ada yang memperhatikan “ibadah pagiku” itu.
Selama setahun terakhir ini, terutama dengan tekanan dari ayahku untuk melupakan impianku menjadi pianis dan memilih jurusan Hukum saat kuliah nanti, membuatku semakin sering menghindari Ayah. Aku datang ke sekolah lebih pagi agar bisa memainkan piano di Ruang Musik ini. Kesendirian di Ruang Musik ini membuatku bisa sejenak melupakan tekanan Ayah kepadaku.
Aku segera mencangklongkan tas merahku, mengeluarkan sebuah payung lipat berwarna kuning, lalu melangkah keluar dengan cepat sembari melambaikan tangan kepada Romi.
Jantungku masih berdegup kencang, bahkan ketika sudah ada di pekarangan sekolah. Degup jantungku berlomba dengan hujan yang semakin deras. Aku terus melangkahkan kakiku menjauh dari sekolah, ketika aku menyadari satu hal: aku baru berkenalan dengan Romi. Kami telah berbicara hari ini, bahkan bermain piano bersama.
Akan tetapi, aku tak yakin apakah ia tahu namaku.
Part 2
Senin, 14 Januari 2008
Ada banyak pertanyaan yang tidak ingin kujawab di dunia ini, dan kapan aku punya pacar adalah salah satunya.
“Kapan sih, Sof? Lo mau sendirian terus main piano? Lagian, emang guru les lo nggak punya kenalan anak cowok pemain piano yang cakep gitu, mungkin?” tanya Jihan sambil meniup-niup kuah soto pesanannya untuk istirahat makan siang hari ini.
“Sofia tuh les piano, tapi milihnya kelas individu. Kenapa lo nggak ambil yang barengan sama anak-anak lain, sih?” tanya Sarah kembali sambil mengunyah keripik kentang yang ia jadikan camilan siangnya itu.
Sarah dan Jihan adalah sahabat-sahabatku sejak kami melewati masa orientasi sekolah. Selain sama-sama memilih jurusan IPA, kami selalu sekelas sejak dua tahun lalu. Tapi, jumlah kelas tiga SMA Tirtacahya memang terlalu banyak. Ada tiga kelas IPA dan tiga kelas IPS dalam angkatan kami. Dalam satu kelas, bisa terdiri atas empat puluh orang murid. Dengan jumlah murid sebanyak itu, jumlah pertemanan dalam kelompok-kelompok kecil malah menjadi semakin kuat. Posisi duduk kami yang selalu berdekatan semakin menambah kedekatan kami bertiga. Tepatnya kami berlima, jika ditambah dengan Dimas, pacar Sarah, dan Gilang, pacar Jihan.
“Yah, nggak fokus juga kali, Sar, kalau Sofia harus belajar rame-rame,” jawab Dimas sambil menaik-turunkan alisnya ke arahku.
“Makasih, Dimas, sudah mau membantu menjawab,” jawabku sambil melengos dan mendorong sebungkus bolu kukus yang kubeli ke arahnya. Aku tahu, ia membelaku dan mengangkat-angkat alisnya ke arahku untuk satu hal: bolu kukus kantin SMA Tirtacahya yang sangat enak itu.
“Tapi, sebenarnya, emang kenapa sih, lo nggak mau punya pacar? Serius nih, gue nanya.” Gilang meletakkan ponselnya di atas meja kantin, sambil meluruskan letak kacamatanya dan melihat ke arahku.
Kantin SMA Tirtacahya benar-benar besar. Jumlah murid yang terlampau banyak membuat kantin ini selalu penuh sesak. Namun, kami berlima sering sekali berhasil duduk di meja kantin yang sama, meja yang paling dekat dengan kulkas penjualan minuman dingin.
Kebiasaan makan siang bareng ini selalu kami lakukan, terutama di tahun-tahun terakhir kami sebagai murid SMA. Karena kami tidak sekelas (Gilang adalah murid kelas 3 IPA 1 dan Dimas adalah murid kelas 3 IPA 2) maka kami selalu bersama tiap jam istirahat. Di kantin, aku akan duduk di samping Gilang dan Jihan, dan di hadapan kami bertiga ada Dimas dan Sarah. Formatnya selalu seperti ini, tak pernah berubah.
“Kata siapa, sih, gue nggak mau punya pacar?” tanyaku kembali dengan nada tinggi. Menandakan bahwa aku sewot, bahwa aku merasa risi ditanya pertanyaan ini kembali.
“Nih, ya, yang taruh perhatian ke lo itu bukannya nggak ada, lho, Sof. Ada. Tahun lalu, misalnya, Herman deketin lo. Dia sok-sok tanya piano segala ke lo. Padahal, tuh anak hobinya wall climbing, lho. Bukan piano.” Gilang berbicara panjang lebar sambil menyikut Jihan pelan, membuat pacarnya ikut mengangguk-angguk setuju.
“Kasihan Herman. Emang dia nggak cute, ya?” tanya Jihan kembali sambil melihat ke arahku dengan jarak yang lebih dekat.
Aku hanya terdiam. Aku tahu, Herman memang mendekatiku saat aku duduk di kelas dua SMA. Dan menurutku, Herman sangat cute, jika itu istilah yang Jihan pakai. Ia memulai pendekatannya dengan sangat mulus. Ia menanyakan rekomendasi guru piano untuk adiknya yang masih duduk di bangku SD kepadaku. Percakapan kami berlanjut. Sering kali ia menanyakan piece piano klasik yang terkenal dan rekomendasi pianis yang harus ia dengar. Ia bahkan mengajakku ke pertunjukan piano yang diadakan beberapa kedutaan dan pusat kebudayaan.
Akan tetapi, aku tahu Herman bukan orang yang seperti itu. Dan bagiku, itu tampak dibuat-buat. Aku bahkan merasa ia tak jujur dengan dirinya sendiri. Jadi, untuk apa pacaran dengan orang yang tidak pernah jujur sejak awal? Bukankah sudah ketahuan hasil akhirnya?
“Ya, bukannya gitu, sih. Tapi, gue nggak merasa dia harus menyamakan minat sama gue untuk bisa deketin gue. Dan, entah gimana, jadi off aja gitu gue sama dia.”
Sarah menggeleng-geleng sambil tertawa kecil. “Ya, sekarang kalau mau deketin lo caranya gimana dong? Lo aja jarang ngobrol sama anak-anak lain selain kita .…”
“Lo tahu, nggak, Sof? Gue tahu lo nggak mau sama Herman karena dia kesannya nggak jujur di awal. Karena itu, lo jadi khawatir kalau dia bohong-bohongin lo lagi. Tapi, menurut gue, itu bukan karena Herman nggak jujur. Herman cuma mau nemuin kesamaan sama lo. Udah itu aja, kok.”
Jihan dan Sarah, juga Dimas dan Gilang, tahu betul dengan sifatku yang satu itu: aku sangat mudah khawatir. Aku pun tak suka sifatku yang satu itu. Kekhawatiranku selalu berujung pada satu hal: rasa takut. Rasa takut itulah yang menghalangiku melakukan apa pun.
Aku mengangkat bahuku sambil mengambil kembali bolu kukus yang kuserahkan kepada Dimas. Dimas mengangkat tangannya, berusaha merampas kembali bolu kukus itu kembali. Lalu, aku berkata, “Nggak jadi gue kasih karena lo nggak belain gue. Dan, gimana caranya biar ada yang deketin gue, gue nggak tahu, guys. Cinta, kan, terjadi dengan sendirinya.”
“Cieee …,” ujar mereka berempat yang serempak meledekku sambil mengangguk-angguk, entah setuju dengan apa yang kukatakan atau tidak.
Sejujurnya, aku sudah cukup nyaman dengan pertemanan kami berlima ini. Ada Jihan yang berambut lurus kecokelatan dan paling terus terang. Sarah, cewek bertubuh kecil dengan kebiasaan mengemil yang tak terkendali. Gilang, cowok tenang berkacamata yang paling mampu mengendalikan Jihan. Dimas, pacar Sarah yang juga hobi kuliner. Lalu terakhir, ada aku, figuran dua pasangan ini yang hobi bermain piano. Walau kehadiranku di antara mereka sebenarnya cukup aneh (bayangkan saja, ada satu pemeran figuran saat ada kencan ganda), mereka tak pernah merasa terganggu. Atau, setidaknya itu yang mereka tunjukkan.
Kami sering pergi berlima untuk sekadar menonton film di Cilandak Town Square atau memesan piza sambil menonton film bersama di rumah Jihan. Mereka berempat menjadi orang yang selalu kuundang dalam setiap pertunjukan piano yang harus kuhadiri untuk mewakili tempatku belajar piano. Menambah satu personel lagi bukanlah ide yang menarik bagiku.
Aku tak banyak bercerita tentang perasaan-perasaanku kepada Dimas dan Gilang. Aku cukup nyaman dengan hanya menceritakannya kepada Jihan dan Sarah. Jadi, bisa dikatakan, teman-teman yang benar-benar dekat denganku hanya ada dua orang.
Aku sedang membuka bungkusan bolu kukusku ketika aku melihat wajah Romi. Ia baru saja datang ke kantin dan melangkahkan kakinya ke kulkas minuman dingin dekat meja kami, mengambil sebotol teh rasa buah dan membayarnya. Ia lalu menoleh ke meja kami.
“Hei!” Romi melambaikan tangannya kecil ke arahku sambil tersenyum tipis. “Tadi main lagi?”
Aku ingat betul dengan perkataannya hari Jumat lalu di Ruang Musik. Tentang suara piano dari Ruang Musik yang sering ia dengar di pagi hari.
Kata-kata itulah yang membuatku benar-benar bersemangat untuk datang lebih pagi hari ini. Diam-diam, aku berharap bahwa saat aku melakukan “ibadah pagi”, ia muncul di depan pintu Ruang Musik, seperti hari Jumat itu. Dan, mungkin kami bisa bicara lagi tentang piano.
Akan tetapi, ia tak muncul di Ruang Musik pagi ini. Yang muncul adalah Sarah. Ia datang hanya untuk menarikku agar segera masuk kelas karena lima menit setelahnya, bel sekolah akan dibunyikan.
Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Jihan dan Sarah memandangiku dengan pandangan khas mereka jika sedang meledekku: mulut yang dirapatkan dan mata yang dibelalakkan. Gilang melihat mereka berdua dengan kebingungan. Mungkin ia mengira cewek-cewek itu sedang sakit mata.
Romi berjalan mendekati meja kami. Dengan santainya, ia melempar senyum kepada empat temanku yang lain dan menoleh kembali kepadaku. “Eh, gue mau lihat lo main lagi dong besok. Gue datengnya suka mepet jam masuk. Tapi, kalau pagi-pagi, biasanya lo main dari jam berapa, sih?”
“Oh. Jam enam lewat lima belas menit gitu, sih, biasanya.”
“Wah, pagi amat,” celetuk Romi sambil terkekeh. Aku hanya mengangguk dan tertawa kecil—hal yang kulakukan saat berbicara dengan seseorang dan tak tahu bagaimana melanjutkan pembicaraan itu.
Bukannya aku tak bisa melakukannya. Aku hanya tak bisa melakukannya jika sedari tadi, Jihan dan Sarah melihatku seperti itu.
“Ya, udah. Gue mau masuk kelas dulu, ya, nggg .... Duh, nama lo siapa, sori?”
Aku menelan ludah. Jihan dan Sarah semakin merapatkan bibirnya, menyembunyikan senyum mereka yang semakin lebar.
“Lo pada kenapa sih, pengin pipis? Aduh!” tanya Dimas dengan muka polos, yang malah dibalas dengan pukulan Sarah di lengannya karena bete dengan pertanyaan itu.
Di tengah kehebohan empat temanku itu, Romi mengulurkan tangannya, menunggu jawabanku.
“Sofia,” jawabku sambil membalas uluran tangannya.
“Oh, Sofia. Gue Romi. Sampai besok, ya!” Ia tersenyum sambil berlalu menuju koridor sekolah yang membawanya ke tangga menuju Lantai 3. Aku tak tahu mengapa ia harus mengenalkan namanya sekali lagi. Maksudku, semua orang tahu namanya. Termasuk aku.
Ketika Romi sudah menghilang, Jihan dan Sarah tak bisa lagi menahan diri mereka untuk memamerkan senyum lebar.
“Akhirnya, lo kenal orang lain juga selain kita di sekolah ini. Sofia, si anak ansos bisa kenalan sama orang lain. Nggak tanggung-tanggung lagi, sama Romi,” celetuk Jihan sambil nyengir selebar-lebarnya.
“Emang gue ansos?” tanyaku sambil berusaha tenang dan tak ikut tersenyum. Entah mengapa, pemandangan Romi yang tampak santai melempar senyum kepada kami dan mengajakku bicara, membuatku tak bisa menahan senyumku juga. Namun, reaksi Jihan dan Sarah ini membuatku malas menunjukkannya. Mengapa mereka jadi seperti orang kebelet pipis begini?
“Ya, nggak juga. Tapi, lo nggak pernah update soal pergaulan di sekolah kita. Lo cuma bergaul sama kita-kita aja. Bahkan, banyak nama anak angkatan kita yang lo nggak tahu. Gosip-gosip tentang anak-anak di sekolah aja lo nggak peduli. Lo nggak tahu kan, kalau Romi pacaran sama Kikan?” tanya Jihan sambil berdiri dari kursinya.
Senyum di ujung bibirku yang sejak tadi berusaha kusembunyikan, hilang seketika. “Oh, Romi sudah punya pacar?”
“Lah, Romi udah jadian dari tahun lalu sama Kikan. Mungkin karena mereka sama-sama di OSIS, ya. Serasi sih mereka, yang cowok jangkung, yang cewek tinggi langsing gitu.” Sarah meremas bungkusan keripik kentangnya yang sudah habis.
“Kita juga serasi, kan?” Dimas merangkul Sarah sambil memberikan cengiran andalannya ketika ia menggoda Sarah: senyum yang terlalu lebar dan memperlihatkan semua giginya, setengah tertawa, dengan alis dinaik-turunkan. Menurut Dimas, ia tampak charming dengan cengiran itu. Menurut kami, cengirannya mengingatkan kami pada tokoh Joker dalam cerita Batman.
“Duh, diem aja deh, nih makan keripiknya.” Sarah mendorong bungkusan keripik di tangannya ke dada Dimas dan berlalu meninggalkan cowok itu.
“Sarah, tungguin! Udah nggak ada keripiknya, nih, yang kamu kasih!” Dimas mengejar Sarah yang sudah berjalan ke arah tangga menuju Lantai 3.
Jihan dan Gilang tertawa-tawa di belakang sambil berjalan mengikuti Sarah dan Dimas. Aku hanya terdiam di belakang Jihan dan Gilang. Perkataan Jihan tadi, entah mengapa, membuatku malas berbicara.
“By the way, pulang nanti makan Indomie, yuk! Lo nggak ke mana-mana, kan?” tanya Jihan kepadaku sambil menengok ke belakang.
Aku menggeleng. “Nggak bisa. Nanti Pak Risdan jemput, gue harus ke Kuningan. Les bahasa Belanda gue, kan, sekarang tiap Senin dan Rabu.” Jihan menghentikan langkahnya dan menatapku sambil menghela napas.
“Yah, lo tahu, kan.” Aku hanya mengangkat bahuku pelan sambil tersenyum kecil, tanda aku tak bisa melakukan apa-apa untuk hal yang satu itu: belajar sesuatu yang tidak sungguh-sungguh kuinginkan. Karena keinginanku adalah hal yang lain. Cita-citaku adalah hal yang amat berbeda dengan keinginan Ayah.
Jihan tak bicara apa-apa. Begitu juga dengan Gilang. Namun, dari mata mereka, aku melihat hal yang sama, bahwa satu-satunya hal yang tak bisa kuperjuangkan sekarang adalah cita-citaku sendiri.
Part 3
Selasa, 15 Januari 2008
“Kenapa sih, kamu harus selalu lebih pagi datang ke sekolah?” tanya Ibu sambil menarik kursi di meja makan dan memberikanku segelas susu putih untuk sarapan.
Pertanyaan ini lagi, pikirku. Aku tahu, Ibu sengaja mengambil posisi duduk di sampingku dan segera menggenggam tanganku. Ia takut, jika aku akan meminum susu itu dalam satu kali teguk dan pergi secepat kilat dari rumah.
“Ada kuis gitu, Bu. Aku juga mau pemanasan.”
“Pemanasan?” tanya Ibu yang sontak mengerutkan kedua alisnya tanda tak mengerti. Aku mengangkat kedua tanganku dan menggerak-gerakkan kesepuluh jemariku, seperti sedang bermain piano di udara. Ibuku mengangguk-angguk tanda memahami maksudku.
Ayahku sedang mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor. Sebelum ia keluar dari kamar dengan pakaian kerjanya, aku memilih untuk cepat-cepat pergi. Aku tak mau ditanya macam-macam tentang les bahasa ataupun aplikasi jurusan Hukum. Aku ingin menghindari Ayah sebisa mungkin.
“Nggak apa-apa juga, kok, kalau kamu mau main piano di rumah. Nggak harus ke sekolah sepagi ini juga, kan?”
“Sofia bisa main lebih santai kalau di sekolah atau di tempat les, Bu.”
“Memangnya kalau di sini, Sofia nggak santai?”
Aku menggeleng kecil. “Sofia sebentar lagi nggak akan main piano juga, kok, Bu. Jadi, untuk beberapa bulan ke depan ini aja, aku dibolehin untuk main piano sepuasnya di luar. Ya, Bu?” pintaku sambil tersenyum. Ibu hanya mengangguk, membiarkanku menenggak susuku dengan cepat, dan segera memakai sneakers Converse Chuck Taylor berwarna putih andalanku untuk pergi ke sekolah.
SMA Tirtacahya hanya berjarak sekitar sepuluh menit berjalan kaki dari rumahku. Biasanya, aku sering datang pada waktu yang sangat mepet mendekati jam masuk. Namun, sejak aku memasuki kelas tiga, aku datang lebih pagi untuk pemanasan di Ruang Musik.
Semua terjadi setelah Ayah memintaku untuk memikirkan masa depan keluarga kami. Tidak ada yang akan meneruskan firma hukum Ayah, dan ia memintaku untuk mengambil jurusan Hukum setelah aku lulus nanti. Ayah menegurku dengan sangat keras untuk membuang mimpiku meneruskan pendidikan ke sekolah musik formal.
***
“Apa yang bisa didapat dari menjadi pemain piano? Kamu hanya akan jadi guru les, sama seperti guru lesmu!” Ayah membentakku dalam suatu pertengkaran di ruang makan yang disaksikan Ibu. Aku belum diperbolehkan masuk ke kamar tidur hingga pukul 1.00 dini hari. Aku dan Ayah bersikukuh dengan pendapat kami masing-masing. Semuanya berujung pada Ayah yang masih keras kepala dan aku yang akhirnya menangis.
Sejak itu, aku berusaha menghindari Ayah sekuat tenagaku. Sejak pertengkaran itu, tempat mana pun lebih nyaman bagiku selain rumahku sendiri. Aku bangun lebih pagi. Aku menyanggupi suruhannya untuk les bahasa Belanda, selama itu bisa membuatku sampai di rumah lebih malam dan tak perlu membicarakan tentang perbedaan pendapat kami. Ibu setiap hari membujukku untuk tidak menghindar, tetapi ia tak pernah berhasil.
Aku tersenyum kepada Pak Nanang, satpam yang berjaga di pos depan sekolah. Pak Nanang mengangkat gelas kopinya dan berkata, “Ngopi dulu, Sopi. Mau ke Ruang Musik lagi, ya?”
“Iya, Pak. Biar seger, hehehe …,” jawabku sambil sedikit bersandar di pintu pos Pak Nanang yang terbuka.
“Kayaknya lagi ada yang pakai deh,” ujar Pak Nanang sambil menunjuk jendela Ruang Musik yang menghadap ke bagian pintu gerbang depan sekolahku. Aku melihat jendela musik itu sudah bergeser.
Aku mengangguk pamit kepada Pak Nanang dan melangkahkan kakiku menuju tangga. Aku memikiran satu nama ketika aku berlari-lari menaiki setiap anak tangga hingga ke Lantai 3. Aku melihat jam tanganku. Sekarang pukul 6.30 pagi.
Aku berlari kecil menyusuri koridor kelas 3 IPA, koridor kelas 3 IPS, hingga akhirnya sampai di koridor Ruang Musik.
Pintu Ruang Musik sudah terbuka.
Aku mendengar alunan lagu yang familier di telingaku. Lagu ini pernah diajarkan Ibu Yeni, guru les pianoku. Ia berkata bahwa lagu ini ia dengar dari sebuah film Prancis yang suaminya gemari.
Aku melihat ke dalam Ruang Musik, dan, ya, aku menemukan Romi.
Ia sedang memainkan lagu Prancis itu di atas Bleki. Tangannya masih memainkan bagian awal dari lagu itu ketika ia menghentikan lagu itu dan menoleh ke arah pintu masuk. Melihatku berdiri di sana.
“Hei, Sof. Gue tunggu lo dari tadi.” Romi melemparkan senyumnya lagi, senyuman yang sama persis seperti di kantin kemarin.
“Hah?”
“Kemarin, kan, gue bilang mau lihat lo main. Gue anaknya suka menepati janji, jadi gue datang ke sini pagi-pagi. Baru sampai 10 menit yang lalu, sih.” Romi tertawa kecil, lalu berdiri dari kursi piano. Ia mengulurkan tangannya ke arah piano sambil melihatku, mempersilakanku untuk masuk dan memainkan Bleki.
“Kenapa?” tanyaku sambil sedikit bersandar di pintu geser Ruang Musik.
“Maksudnya?” Romi menurunkan tangannya yang terulur. Ia berjalan ke arahku, mendekatiku yang bersandar di depan pintu dan ikut menyandarkan tubuhnya di tiang pintu masuk. Saat ia bersandar, barulah kusadari apa yang dikatakan Jihan itu benar. Ia memang bertubuh jangkung. Aku tak terlalu memperhatikannya saat pertemuan kami kemarin.
“Maksud gue, kenapa lo mau lihat gue main piano?” tanyaku sambil melihat tepat ke kedua matanya.
Celakanya, degup jantungku sedikit lebih cepat saat melihat kedua manik mata berwarna cokelat itu. Bahkan, lebih cepat bila dibandingkan saat ia melihatku dari samping, ketika kami bicara tentang lagu “Close to You”. Aku bisa merasakan jantungku berdegup semakin hebat karena dua alasan. Pertama, karena matanya. Kedua, karena menanti jawaban yang akan keluar dari mulutnya.
Romi bergumam. Sambil terus bersandar di tiang pintu masuk, ia melipat kedua tangannya dan melihat ke arah jendela—seolah jawaban yang ia cari ada di luar sana.
“Jawabannya nggak masuk di akal juga, sih. Kayaknya,” cetus Romi.
Hah?
“Gue lewat tangga samping pas hujan Jumat kemarin. Gue mau cepet-cepet ke kelas gue, sekalian mau balikin bola ke ruang alat olahraga di sebelah, jadi gue pilih tangga yang jarang dilewatin anak-anak. Terus gue dengar, ada yang main piano dari Ruang Musik. Jadilah gue nengok sebentar ke sini.” Romi tertawa kecil, lalu melihat ke luar jendela, membuatku tidak merasa rikuh melihatnya dari samping seperti ini.
“Dan, lagu yang lo mainin itu .… Sejujurnya gue pikir, nggak banyak orang yang tahu lagu itu. Jadi, gue mau lihat siapa yang main. Tapi, lo sadar nggak, sih, kalo gue lihatin kemarin?” Romi menoleh kepadaku dengan ekspresinya yang baru kali pertama kulihat—ia menahan senyum yang seolah siap berkembang di wajahnya kapan saja.
Aku menggeleng pelan, benar-benar tidak tahu apa yang dia maksud.
Masih bersandar, Romi menggaruk kepalanya sambil menunduk. Kemudian, ia melihatku kembali dan berkata, “Lo mainnya sambil merem-merem gitu, sih. Jadi, mungkin lo nggak sadar ada yang nonton lo. Tapi, lo tahu, nggak, kalau setiap pemain punya ‘roh’ yang bikin mereka menarik orang untuk menonton?”
Kedua alisku sontak mengernyit. Aku tak bisa menahan senyumku ketika aku memberinya gelengan kepala, masih tak mengerti.
“‘Roh’ yang gue lihat dari lo itu, kayak … duh, ini aneh banget sih, sumpah ….” Ia makin terkekeh dan menunduk-nunduk, seperti malu sendiri dengan apa yang akan ia katakan.
Dan, entah mataku yang salah atau ruangan musik ini sedikit pengap karena AC yang belum dinyalakan, tapi wajah Romi sedikit memerah. Aku bisa merasakan degup jantungku semakin cepat. Aku juga merasakan bagaimana rona wajahku juga ikut berubah menjadi merah melihat perubahan wajah Romi itu.
“…. Kayak … seolah lo nggak akan main piano lagi besok. Lo kayak, apa, ya? Lo tuh, kayak mencurahkan semua perasaan dan kemampuan lo ke piano itu. Aduh, gue bingung ngejelasinnya. Kayak main dengan sungguh-sungguh gitu.” Romi melipat kedua tangannya dan melihat ke dalam mataku lekat-lekat, membuatku bertanya-tanya, apa ia juga memandang Kikan dengan wajah seperti ini.
Duh, iya. Romi sudah pacaran dengan Kikan. Aku menarik napas, kesal dengan bagaimana sepotong kenyataan selalu berhasil membuat rasa bahagiaku berkurang setengahnya.
“Sungguh-sungguh,” aku mengeja kata itu dengan perlahan.
Kata “sungguh-sungguh” sering dikaitkan dengan belajar untuk ujian, mengerjakan tugas, dan hal-hal membosankan lainnya. Aku lupa, kata “sungguh-sungguh” memang menggambarkan apa yang kuinginkan selama beberapa bulan ke depan. Aku ingin bermain piano dengan sungguh-sungguh sepuasnya, mengingat aku mungkin tidak akan menyentuh piano lagi untuk waktu yang lama.
Jantungku kini berdebar semakin kencang, menyadari bahwa kata itu terlontar dari mulut Romi. Entah kenapa, aku pun tak mengerti. Memang ada apa dengan Romi? Kenapa kata-kata yang ia sebutkan tadi seolah membuatku merasa … diperhatikan?
Semua itu tiba-tiba terhenti oleh kata-kata Jihan di kantin kemarin. Kata-kata itu tiba-tiba kembali menyerangku. Membuatku terlempar kembali ke realitas. Aku menarik napas, berharap oksigen yang masuk bisa membuat wajahku yang panas (dan pasti merah banget, aku yakin itu) kembali normal.
“Makasih, Romi.” Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Aku merapatkan tasku dan semakin menyandarkan tubuhku. Lalu, aku tersadar akan satu hal. “By the way, lagu yang tadi lo mainin itu lagu film juga kan, ya?”
Romi mengangguk. “Tahu juga? Itu dari film Amelie ….”
“Nggak nonton filmnya, sih. Guru gue yang nonton, dan dia ajarin gue. Gue suka lagunya.” Aku melangkahkan kakiku mendekati Bleki, menaruh tasku di kaki Bleki dan duduk di kursi piano.
“Iya. Judulnya susah, tapi sampai sekarang gue nggak bisa baca.” Romi tertawa kembali sambil menggaruk kepalanya. Ia mengikutiku dari belakang dan berdiri di sebelah kananku, menyandarkan lengan kanannya di atas Bleki. “Lo bisa mainin lagunya juga?”
Aku mengangguk. Aku menaruh kesepuluh jariku di atas tuts hitam putih Bleki, menarik napas sesaat dan memainkan bagian awal lagu itu. Bagian awal lagu itu membutuhkan tangan kiri yang cenderung mengulang-ulang not yang sama. Sedangkan tangan kanan harus lebih lincah bergerak, menekan not-not yang berbeda. Piece yang cukup sulit dan membuatku berhati-hati memainkannya.
Aku hampir memasuki bagian di mana tangan kananku harus semakin cepat menekan tuts-tuts Bleki, ketika Romi tiba-tiba berjalan ke sebelah kiriku. “Gue tangan kiri, lo tangan kanan, deh. Coba,” katanya.
“Hah?”
“Coba aja, Sof,” ujar Romi sambil mengulurkan tangan kirinya ke atas Bleki, menunggu tangan kiriku untuk bergeser. Aku cepat-cepat menyingkirkan tangan kiriku sambil memainkan not-not yang harus kumainkan dengan tangan kananku.
Sebenarnya aku sudah hafal not-not piece ini di luar kepala. Namun, tangan kiri Romi yang bermain di samping tangan kananku membuat posisi Romi berdiri berdekatan dengan tempatku duduk. Tiba-tiba aku bingung menggerakkan jemari tangan kananku.
Celaka, pikirku. Masa hanya karena ia di dekatku, aku sudah lupa not-not ini?
Aku sedikit menahan napas dan berusaha memusatkan pikiranku pada tangan kananku yang harus menambah kecepatannya. Namun, melihat Romi di sampingku membuat mataku sedikit tidak fokus. Tangan kananku jadi sedikit melambat karena mengikuti tangan kirinya yang memainkan not-not dengan tekanan yang lebih lembut.
“Terusin mainnya, Sof …,” pinta Romi sambil mengulurkan telunjuk tangan kanannya. Aku segera menyesuaikan tangan kananku untuk bergerak dengan seharusnya, dengan kecepatan dan dengan not-not yang tepat. Aku menghalau pikiranku yang masih ingin melihat tangan kirinya.
Lo kenapa, deh, Sof? Aku merutuk diriku sendiri dalam hati.
Kedua tangan kami akhirnya sampai di not terakhir. Aku menghela napas panjang dua kali. Pertama, karena telah menyelesaikan “atraksi” dalam permainan piano kami. Kedua, karena tidak perlu lagi berusaha keras untuk fokus. Tangan kiri itu sudah tidak ada lagi di atas Bleki.
“Seru juga, ya, main kayak tadi. Terus, lo hafal banyak piece juga, ya?” Romi berjalan melewati punggungku dan berdiri bersandar di sisi kananku lagi, melipat kedua tangannya di atas Bleki.
Aku tertawa sambil memainkan beberapa arpeggio untuk “pemanasan”. “Gue selalu susah mengingat kalau rumus pelajaran. Tapi, kalau piece piano, kayaknya lebih mudah diingat.”
***
Aku memainkan piano sambil terus menunduk. Aku berusaha untuk tidak mendongak dan melihat matanya. Entah ada apa dengan kedua manik mata Romi. Juga senyumnya. Semua hal tentang “lebih mudah mengingat piece piano”, rasanya salah jika melihat kedua hal itu. Aku merasa kepalaku kosong saat melihatnya.
Akan tetapi, Romi membiarkan tanganku terus menari di atas Bleki. Ia tak menyela lagi seperti saat kami memainkan lagu Prancis tadi. Setelah aku selesai dengan arpeggio, aku bertanya lagu apa yang ingin ia dengarkan. Ia menjawab bahwa aku boleh memainkan lagu apa pun yang kuinginkan. Maka, aku memainkan piece “Scarlatti Sonata in A Major K. 208” yang lembut. Hingga aku menyentuh not terakhir, Romi masih melipat tangannya di atas Bleki. Ia tampak memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya membuka matanya kembali.
“Romi, boleh tanya?” pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari mulutku.
Romi mengangguk. Ia menegakkan tubuh, menyandarkan pinggang kanannya di sisi piano, dan melipat kedua tangan. “Mau tanya apa?”
“Lo bisa main piano, kenapa nggak main piano buat paduan suara sekolah aja? Kenapa malah ikut Klub Gitar?”
Romi tampak sedikit terkejut dengan pertanyaanku. Aku tak tahu apa yang salah, tapi ia tampak tak percaya bahwa akan ada pertanyaan itu keluar dari mulutku.
“Eh, sori, kalau nggak mau jawab, nggak apa-apa, kok,” sambungku cepat-cepat, takut dianggap lancang.
“Bukan, bukan. Nggak apa-apa, kok. Beneran.” Romi mengangkat kedua telapak tangannya, memintaku berhenti untuk merasa tak enak. “Waktu itu, ketua Klub Gitar sebelumnya minta gue untuk ikutan. Gue nggak enak, jadi gue menyanggupi. Nggak lama, rupanya ketua paduan suara juga lagi cari pemain piano. Tapi, di sekolah kita kan, cuma bisa pilih satu ekskul. Jadi, gue tetap masuk ke Klub Gitar, deh.”
Aku mengangguk-angguk. Sebuah pertanyaan hampir meluncur dari mulutku ketika akhirnya bel tanda masuk dibunyikan.
“Sampai besok pagi, Sof!” seru Romi sambil keluar dari Ruang Musik, kemudian berlari sepanjang koridor Ruang Guru dan menuju kelas 3 IPA 1. Aku mengikutinya dari belakang dan menuju kelas 3 IPA 3.
Setibanya dalam kelas, aku tidak lagi memedulikan pandangan Jihan dan Sarah yang seolah bertanya mengapa aku terlambat. Mataku melihat ke arah Kikan dan teman-temannya yang sedang asyik tertawa bersama sambil melihat ponsel mereka masing-masing.
Kikan adalah teman sekelasku selama hampir setahun terakhir ini.
Entah mengapa, aku takut Kikan tahu bahwa ada Romi di Ruang Musik tadi bersamaku.
Aku dan Romi memang tidak ada apa-apa. Kami hanya bermain piano bersama. Namun, rasa khawatirku—perasaan menyebalkan yang selalu kupunya itu—muncul kembali ke permukaan.
Part 4
Rabu, 16 Januari 2008
Aku melirik jam tanganku. Pukul 6.15 pagi. Aku melangkahkan kakiku melewati pos tempat Pak Nanang berjaga. Ia sedang menyisir rambutnya di depan sebuah cermin yang ia gantung dalam posnya. Aku melambai kepadanya, memastikan pantulan diriku terlihat dari cermin miliknya.
“Pagi, Sopi ....” Pak Nanang melambai pada pantulan diriku di cermin miliknya. “Pagi, Romi.”
“Pagi, Pak.”
Aku terlonjak kaget melihat pantulan diri Romi yang menyapa Pak Nanang tiba-tiba muncul di cermin. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Romi melambai kepada Pak Nanang sambil tersenyum. Aku tak pernah melihatnya “berkostum lengkap” seperti ini: kemeja putih, celana panjang abu-abu, sneakers Converse Chuck Taylor berwarna putih—yang sama persis dengan yang kupakai sekarang.
Aku melihat ransel hitam miliknya yang ia cangklongkan di bahu kanan—sebuah ransel Jansport hitam dengan sebuah tulisan “RA” ukuran sedang di bagian kantong depan. Tulisan itu sepertinya dibuat dengan tip-ex. Aku tersenyum kecil melihat tas miliknya itu.
“Mau main lagi?” Romi menunjuk pintu depan sekolah dengan jempol kanannya, mengajakku untuk segera menuju Ruang Musik.
Aku ingat wajah Kikan di kelas kemarin. Apa ia tahu tentang aku yang bermain piano bersama Romi di Ruang Musik kemarin pagi?
Akan tetapi, aku mengangguk. Aku mengiakan ajakan Romi. Sekilas aku menoleh ke belakang dan melihat Pak Nanang sedang menaik-turunkan alisnya ke arahku sambil mengacungkan jempol. Aku sontak menggeleng-geleng dan mengikuti Romi dari belakang.
Dari belakang, aku memperhatikan tubuh Romi yang jangkung. Aku mulai mengira-ngira, berapa tinggi badannya? Apa ia sendiri yang menuliskan inisial “RA” di tasnya? Alat musik apa lagi yang bisa ia mainkan?
Aku teringat kembali kata-kata Jihan: jika aku punya pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada orang tersebut, sebaiknya aku tak mengira-ngira sendiri apa jawabannya. Tanyakan saja.
Terkadang mulutku bisa langsung menanyakannya, tapi aku sering mengira-ngira sendiri. Di sudut pikiranku, aku selalu berpikir bahwa mengira-ngira sendiri lebih baik daripada mengetahui jawabannya langsung.
Kenapa? Mungkin kamu bertanya begitu.
Karena terkadang jawaban sebenarnya tidak seindah perkiraan kita sendiri.
Aku ingat pernah mengatakan hal ini kepada Jihan dan Sarah. Reaksi Jihan adalah memutar matanya, sementara Sarah memberikanku sebungkus Cheetos rasa jagung bakar miliknya sambil berkata, “Mungkin lo butuh MSG biar kagak gitu-gitu amat.”
Romi sudah membuka jendela Ruang Musik, membiarkan udara sejuk pagi menyusup masuk, memenuhi seluruh ruangan. Aku mengambil salah satu kursi pendek yang dekat dengan deretan cello, beberapa biola, dan terompet yang terbungkus sarung hitam. Aku membawa kursi pendek itu dan meletakkannya beberapa meter dari samping kanan Bleki.
“Kok, duduk? Nggak main?” Romi tertawa melihatku yang sudah terduduk di atas kursi itu sambil mendekap tasku.
Aku tak tahu harus merespons apa hingga akhirnya Romi berkata, “Eh, lo udah kan, ya kemarin? Oke, hari ini giliran gue.”
Detik-detik berikutnya, yang kulihat adalah tangan Romi benar-benar menari di atas piano hitam itu. Di atas Bleki. Ia seolah menguasai Bleki dengan senyum yang tersungging di bibirnya ketika ia memainkan lagu jaz yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Aku senang belajar piano klasik. Memainkan semua piece klasik yang tertera di setiap diktat yang diberikan Ibu Yeni adalah hal yang biasa kulakukan. Hingga akhirnya Ibu Yeni mengajarkanku cara bermain piano jaz. “Supaya kamu bisa seru sendiri pas main piano,” kata Ibu Yeni kepadaku yang waktu itu masih kelas 1 SMP.
Aku masih menekuni piano klasik, tetapi aku menyenangi proses belajar piano jaz. Ada kebebasan yang tak kutemukan pada piano klasik saat memainkan lagu-lagu jaz. Tangan kita bebas berimprovisasi, hati kita bebas menari. Walau gerakan tanganku tak akan semahir mereka yang fokus belajar piano jaz, aku senang melakukannya.
Dan, di hadapanku, aku seolah melihat salah seorang pemain piano jaz yang pernah Ibu Yeni tunjukkan rekaman videonya. Santai dan percaya diri. Bedanya, ia berkostum sebagai anak SMA. Aku mulai curiga, apa mungkin Romi sebenarnya lebih tua beberapa tahun dariku.
Untuk sejenak, aku iri dengan Romi. Gerakan tangannya mungkin tidak sehebat mereka yang fokus bermain piano jaz. Namun, ia sangat relaks melakukannya. Seolah ia adalah pemain piano jaz yang sedang melakukan resital tunggalnya—walau penontonnya hanyalah aku.
Gitar, drum, dan kini piano. Ia memang Lelaki Midas.
Romi menyentuh not terakhir dari piece tersebut dan aku sontak bertepuk tangan. Pikiranku tak berhenti memuji bakatnya, dan tanganku ikut menyuarakan pikiranku itu.
“Makasih,” ucap Romi. Matahari pukul setengah tujuh pagi mulai menyusup jendela Ruang Musik. Romi menoleh kepadaku. Gerakan itu membuat posisi duduknya menjadi sedikit membelakangi jendela. Membuat sinar matahari itu hanya menyinari sisi kiri wajahnya, senyum kecil yang ia sunggingkan, dan rambut yang mulai mengikal karena sudah semakin panjang.
Pemandangan itu ingin kudekap erat-erat, seolah menyimpannya dalam sebuah botol kaca untuk dapat kulihat esok hari.
“Gue mulai kepikiran, kayaknya gue mau coba lebih memperbaiki cara gue main piano jaz.” Romi berdiri dari kursi pianonya dan bersila di lantai, menyandarkan punggungnya di salah satu kaki Bleki.
Aku berdiri dari kursiku, ikut melipat kakiku di lantai sambil menyandarkan punggungku di salah satu sisi dinding dekat pintu ruangan, membuatku berhadap-hadapan dengan Romi.
“Gue pun ingin bisa main piano jaz lebih bagus. Cuma memang karena dari awal fokusnya di piano klasik, gue mau fokus bisa lebih banyak di situ, sih,” jelasku, diiringi anggukan Romi.
Kami berdua terdiam. Matahari semakin tinggi. Sayup-sayup, suara anak-anak yang baru datang ke sekolah terdengar di ruangan ini.
Aku berniat mengambil tasku dan meminta izin masuk ke kelas ketika Romi akhirnya angkat bicara.
“Ada alat musik lain yang bisa lo mainkan?”
“Nggak ada. Hanya piano,” jawabku sambil menahan tawa.
“Kenapa?” tanya Romi sambil nyengir. Ia menyadari tawa yang tertahan dari mulutku.
“Nggak .… Gue nggak kayak lo, sih, kalau lo kan bisa main drum, bisa main gitar juga,” jawabku sambil tertawa kecil. Romi ikut tertawa.
“Kok, lo tahu gue bisa main drum?” tanyanya sambil mengeluarkan ekspresi itu lagi—ekspresi menahan senyum yang bisa berkembang kapan saja.
“Kadang lo suka jadi drummer dadakan, kan? Pas beberapa acara sekolah. Gue sempat lihat.”
Romi mengangguk-angguk. Kemudian, ia sedikit menceritakan perkenalannya dengan drum. Dulu ia bergabung dengan band di SMP-nya sebagai gitaris. Iseng-iseng, Romi minta diajarkan drum oleh drummer band sekolah itu.
Aku mengangguk-angguk. Hingga akhirnya aku mengatakan hal yang ingin kukatakan kemarin, sebelum akhirnya bel berbunyi dan kami kembali ke kelas masing-masing.
“I saw you. Pas di kafe CLAW, gue sama teman-teman gue lagi mau lihat Penniless Prodigies main. Waktu itu drummer-nya .… Eh, siapa namanya?”
“Abeng? Kenapa?”
“Iya. Gue lihat Abeng pingsan waktu itu. Terus vokalisnya turun ke penonton buat maksa lo untuk gantiin Abeng. Di situ sebenarnya gue baru pertama kali tahu lo bisa main drum. Baru abis itu, gue sempat lihat lo lagi di beberapa acara sekolah,” jelasku sambil membetulkan posisi lipatan kakiku, menarik rokku sedemikian rupa untuk menutupi lutut.
“Oh, gitu toh.” Romi mengangguk-angguk. “Lo di sana waktu itu? Kok, kita nggak ketemu, ya?” Romi melipat kedua tangannya dan mengeluarkan kembali tawa khasnya—tawa renyah yang membuat percakapan ini menjadi semakin menyenangkan.
“Ya, gue kan, nggak kenal lo juga waktu itu. Cuma tahu.”
Kau tahu, saat anak-anak lain selain Jihan, Sarah, dan pacar-pacar mereka mengajakku bicara, aku tak pernah merasa bicara selepas ini. Entah energi apa yang dimiliki ruang ini dan Romi, aku merasa bisa banyak bicara walau kami baru saling mengenal.
Romi mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Ya sekarang, kan, udah kenal. Jadi, nanti kalau kita ketemu lagi di luar sekolah, samperin aja .…”
Romi menceritakan tentang tempat ia belajar piano. Aku menceritakan tentang Ibu Yeni. Kami bicara tentang bagaimana belajar piano jaz menjadi suatu hal yang menyenangkan di sela-sela belajar piano klasik yang sangat runut dan teratur. Tentang kami yang diam-diam berharap bisa menguasai dua hal tersebut, walau mungkin agak sulit.
Hingga akhirnya bel sekolah berbunyi.
Romi dan aku berdiri dari posisi kami duduk dan mengambil tas kami masing-masing. Romi melambai kepadaku dan berlalu mendahuluiku menuju kelasnya. Aku membalas lambaiannya dan berjalan pelan mengekori cowok itu, menyusuri koridor Ruang Musik yang agak gelap karena sinar matahari yang hanya masuk ke ruang-ruang di koridor tersebut.
Tiba-tiba, Romi menghentikan langkahnya dan berbalik melihatku.
“Hei, Sof. You know what they say? Great minds think alike. Itu yang banyak orang bilang. Mungkin karena itu ya, kita pakai sepatu warna sama.”
Aku hanya tertawa. Romi akhirnya melambai kembali dan berseru, “Duluan, ya!” Sambil berlari kecil menuju koridor Ruang Guru.
Aku berharap koridor yang gelap ini menyembunyikan rona merah di wajahku setelah kata-kata Romi tadi.
Part 5
Kamis, 17 Januari 2008
Aku menyapa Pak Nanang seperti biasa, tapi aku tak menemukan bayangan Romi di cermin tempat Pak Nanang berkaca.
Aku membuka pintu Ruang Musik dan menemukan Pak Dikin, seorang staf kebersihan sekolah sedang menyapu lantai. Aku menyapa Pak Dikin, menggeser jendela, kemudian meletakkan tasku di kaki Bleki. Setiap Kamis, ia biasa membersihkan Ruang Musik terlebih dahulu setelah anak-anak paduan suara selesai latihan pada Rabu sore.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Dikin yang selesai menyapu ruangan, aku meletakkan kedua tanganku di atas Bleki. Kesepuluh jemariku memainkan sebuah lagu pop yang kupelajari tahun lalu, “Ordinary People” dari John Legend. Lagu itu kali pertama kudengarkan saat bersama dengan Jihan, Sarah, Dimas, dan Gilang saat kami sedang menuju sebuah kafe untuk menonton live music Maliq & D’Essentials.
Lagu dengan permainan piano yang menarik itu membuatku memohon kepada Ibu Yeni untuk mengajarkannya kepadaku. Aku sering memainkan lagu itu tanpa mengetahui betul...
Part 6
Jumat, 18 Januari 2008
Aku menggeser pintu Ruang Musik dan kembali menemukan dirinya di sana.
Siapa lagi jika bukan Romi.
Entah mengapa, sejak aku melihat Romi di koridor dengan Kikan kemarin, aku merasa kehadirannya akan menggangguku. Sama seperti perasaanku saat melihatnya di lapangan kemarin.
Akan tetapi, ia kembali terduduk di piano. Matahari pagi itu sedang aneh, sudah bersinar cukup terik, padahal itu masih pukul 6.20 pagi. Dan, lagi-lagi aku melihat pemandangan yang ingin kusimpan dalam botol kaca untuk kusimpan esok hari. Romi yang duduk menyampingi sinar matahari dari sebelah kiri, memberikan senyuman selamat pagi kepadaku.
“Pagi, Sof.”
Tangan Romi sedang memainkan sebuah lagu yang tidak kukenal. Sebuah lagu yang tampak asing, tetapi juga sangat familier di telingaku. Seolah seperti lagu lama yang pernah kudengar di suatu tempat, tetapi aku tak pernah tahu apa judulnya.
Aku tak sempat mengambil kursi ataupun berdiri lebih dekat dengan Bleki. Aku mematung, melihat tangan Romi...
Part 7
Sabtu, 19 Januari 2008
Sesekali, aku senang menyisihkan waktu untuk duduk sendirian di sudut coffee shop ini. Nama coffee shop ini adalah Blue Romance. Letaknya di Cikini, agak jauh dengan rumahku yang berada di bilangan Cipete. Aku selalu memesan secangkir cappuccino—satu-satunya kopi yang sering kuminum—sembari mengerjakan soal latihan Ujian Nasional.
Beberapa bulan terakhir ini, aku bahkan tidak lagi membeli buku apa pun. Tumpukan buku-buku soal latihan untuk persiapan Ujian Nasional yang akan dimulai 22 April nanti, sudah menumpuk di kamarku.
Aku memutar-mutar pensil mekanik dengan tangan kananku dan menyesap cappuccino dengan tangan kiri. Mataku sudah berkunang-kunang karena sejak datang pukul 09.00 pagi hingga pukul 11.00 siang, yang kulihat hanyalah deretan angka dari soal-soal Matematika.
Aku menyingkirkan buku latihan soal yang tebalnya mengalahkan kamus bahasa Inggris itu, lalu berjalan ke arah keranjang majalah. Keranjang majalah itu terletak dekat deretan kaktus dan penjepit memo berisi puisi-puisi yang tak pernah benar-benar kubaca. Aku...
Part 8
Senin, 21 Januari 2008
Aku sedang mendengarkan lagu “You Don’t Know My Name” dari Alicia Keys—penyanyi dan pemain piano favoritku, di Ruang Musik. Aku sedang melihat ke arah pintu gerbang depan ketika melihat Romi masuk dari pintu itu. Aku melepas earphone di telinga kananku dan mendengar langkahnya yang seolah hendak terbang.
Ia berlari dengan sangat kencang menuju ke dalam sekolah, melewati beberapa anak-anak yang sedang berjalan santai ke dalam sekolah.
“Wei, buru-buru amat!” seru Darius, anak Klub Gitar yang sering bersama Romi. Ia tampak kaget karena ditubruk oleh Romi dari belakang saat hendak masuk ke pintu utama sekolah kami.
“Sori, sori!” seru Romi dengan nada penuh urgensi. Nada yang mendadak membuatku tersenyum senang karena sesi kami ini seolah menjadi sesi yang sangat penting.
Pagi tadi, ketika aku sudah sampai Ruang Musik, ponselku bergetar. Untuk kali pertama, aku menerima SMS dari Romi.
Gue telat nih, Sofia. Tunggu ya. Main aja duluan....
Part 9
Kamis, 24 Januari 2008
Saat menggeser pintu Ruang Musik, aku melihat sosok Romi sedang memainkan sebuah piece klasik yang sangat kusuka. “Dance of the Sugar Plum Fairy” milik Tchaikovsky, penggubah musik asal Rusia yang sangat kusukai.
Piece tersebut sangat mudah ditemukan di film-film bernuansa musim dingin atau pada pentas balet Nutcracker4. Nada awal pada piece tersebut terasa misterius sekaligus lucu di saat yang sama. Seperti langkah hati-hati untuk membentuk tarian indah.
“Hei, Sofia!” Romi memanggil antusias. Tangannya menepuk-nepuk tempat duduk di sampingnya. Aku melangkah dengan ragu dan meletakkan tasku di lantai. Aku meletakkan buku-buku pelajaran Fisika dan Bahasa Inggris yang kugenggam sejak tadi di atas Bleki.
“Tchaikovsky? ‘Dance of the Sugar Plum Fairy’?” Romi memainkan nada awal piece tersebut dengan smooth. Aku tersenyum dan dengan sigap melanjutkan nada yang sudah dimulai.
Jika kuingat kembali, pada hari inilah dua pasang tangan kami benar-benar bermain secara berdampingan. Saat kami memainkan...
Part 10
Minggu, 27 Januari 2008
Ketika kamu menyukai sesuatu, seberapa besar usaha yang kamu lakukan untuk terus melakukannya?
Bagiku, yang sebentar lagi mungkin tidak bisa bermain piano sesuka hati, aku ingin memanfaatkan waktu yang kupunya sebaik mungkin. Aku sudah tak lagi nyaman bermain piano di rumah. Maka, di hari Sabtu dan Minggu, aku bermain piano di tempat lain. Keluarga Sarah punya sebuah piano hitam. Piano itu dulu dibelikan ayah Sarah untuk kakak perempuannya. Sang kakak masih bermain piano. Namun, karena ia sudah mendapat piano baru dari suaminya saat menikah, piano tersebut ditinggalkan di rumah.
“Lo boleh, kok, mampir ke rumah dan main piano kakak gue, nggak masalah. Daripada nggak ada yang mainin,” ujar Sarah saat aku bercerita tentang kegelisahanku bermain piano di rumah.
Akan tetapi, hari Minggu ini seluruh keluarga Sarah sedang pergi ke rumah salah seorang tante Sarah yang tinggal di Bandung. Sedikit kecewa karena gagal bermain piano, aku berusaha...
Part 11
Senin, 28 Januari 2008
Aku benar-benar tidak bisa tidur semalaman. Aku datang ke sekolah lebih pagi tanpa sempat mencicipi french toast buatan Ibu atau minum segelas susu. Sesampainya di sekolah, gerbang sekolah masih ditutup. Pak Nanang bahkan belum mengganti pakaiannya menjadi seragam kerja.
“Ini masih jam 6.00 lho, Sopi. Pagi amat.” Pak Nanang membuka gerendel pintu gerbang dan menggeser roda pintu gerbang itu, mempersilakanku untuk masuk.
Aku hanya tersenyum singkat kepada Pak Nanang, meminta izin untuk bisa langsung pergi ke Ruang Musik. Aku hanya ingin memainkan 3 piece yang sudah kutetapkan sebagai piece yang akan kumainkan untuk aplikasi pendanaan kuliah dari Jeanne Wang Foundation. Namun, ada 1 piece yang belum benar-benar kulatih. Hari ini, aku akan mencoba untuk memainkan ketiga piece tersebut berulang-ulang hingga mencapai presisi yang kuinginkan.
Aku membuka jendela Ruang Musik, menyusun beberapa lembar music sheet pada penyangga, dan mulai memainkan piece pertama dari Tchaikovsky. Judulnya adalah “Souvenir...
Part 11 - 2
Aku baru saja keluar dari salah satu bilik toilet ketika melihat Kikan sedang ada di depan tempat cuci tangan. Aku melihat ke arah pintu toilet lain, semua tertutup. Hanya ada kami berdua di dalam toilet ini.
Entah mengapa hatiku merasa tidak enak. Aku cepat-cepat melempar senyum pendek kepada Kikan, berharap agar ia tidak memintaku untuk mengobrol dengannya.
“Sofia? Lo buru-buru ke kelas?”
Langkahku sudah terhenti di depan pintu utama toilet. Aku menoleh ke belakang dan melihat Kikan duduk di meja keramik tempat cuci tangan. Aku bersandar di dinding yang berseberangan dengan tempatnya duduk.
“Lumayan. Kan, kita ada ulangan nanti pas pelajaran terakhir. Udah belajar?”
Kikan mengangguk sekadarnya. “Lo belum lama ini ke Grand Indonesia, ya?”
Deg.
Aku ingat apa yang aku lihat saat itu. Darius dan Kikan berjalan bersama. Bukan sebagai sepasang teman biasa, tapi sebagai dua orang yang sedang sibuk pacaran di akhir pekan. Membuatku teringat dengan mereka yang...
Part 12
Selasa, 29 Januari 2008
Kemarin adalah hari yang cukup melelahkan. Selain karena tak bisa tidur, aku membuat keputusan besar pada pagi harinya di Ruang Musik, untuk ikut beasiswa itu bersama dengan Romi. Di tengah jam pelajaran, Kikan mengatakan sesuatu yang mengganggu hatiku sepanjang hari. Ditambah dengan munculnya Romi di koridor Ruang Musik, sementara Kikan dan Darius sedang berduaan di balkon dekat Ruang Musik, dan aku ada di tengah-tengah semua itu.
Belum sempat aku membiarkan Romi melihat Kikan dan Darius—seorang anak dari kelas IPA 1 yang tak begitu kukenali meneriakkan nama Romi. Rupanya Romi dipanggil oleh guru Olahraga karena Romi, yang menjadi ketua kelas, belum mengisi daftar absensi para murid.
Sesaat, aku merasa bingung. Apa yang harusnya kulakukan? Atau, mungkin sebaiknya aku tak perlu ikut campur?
Semalam aku bahkan tidak bisa fokus belajar untuk ujian Matematika yang akan diadakan hari ini. Pikiranku terus memikirkan apakah seharusnya aku mengatakan apa yang kudengar...
Part 13
Jumat, 1 Februari 2008
“Sof, ini lo jangan lupa tulis di agenda, ya. Mulai minggu depan, kita full buat try out, lho. Jangan sampai karena lupa catat jadwal, lo malah jadinya nggak belajar.” Jihan menepuk kepalaku dengan agendanya dari belakang.
Aku duduk di samping Sarah, sementara Jihan duduk di belakang kami bersama dengan Rita, salah seorang anak kelas 3 IPA 3 yang pendiam. Sering kali, Jihan memanggilku atau Sarah dengan menepuk buku tulis miliknya, seolah ia adalah guru dan kami adalah murid-muridnya yang bandel.
Jihan adalah orang yang proaktif. Ia paling sering mengatur agenda kami berlima saat menghabiskan akhir pekan atau waktu senggang sepulang sekolah bersama.
“By the way, mulai Sabtu ini kita belajar bareng, yuk. Kalau Senin dan Rabu, kan, les bahasa Belanda. Selasa dan Kamis, ada try out dan segala pelajaran tambahan. Paling memungkinkan, ya, Sabtu. Gimana?
Sarah dan aku mengangguk-angguk. Apa pun agar bisa menjauhi Ayah di...
Part 14
Sabtu, 2 Februari 2008
Jangan lupa, hari ini ketemuan di rumah gue, ya, jam 4.00 sore. Nggak ada nonton-nontonan dulu. Demi lulus ujian bersama. Yeay!
Jihan sering mengetik kata “yeay!” di akhir SMS yang ia kirimkan. Seolah dengan membacanya, kami bisa ikut merasa semangat. Hal itu ada benarnya karena setiap kali aku membacanya, aku ikut mengepalkan tanganku ke udara secara tak sadar dan merasa semangatku kembali diisi penuh.
Aku bangun pada pukul 7.30 pagi dan langsung bergerak menuju kamar mandi yang ada di lantai dua. Seusai mandi, aku membuka lemariku dan menemukan diriku kebingungan. Aku tak tahu harus pakai pakaian apa.
Baru kali ini aku merasa bingung harus memakai pakaian apa. Ibu sempat membelikanku sebuah rok pensil bermotif kotak-kotak. Aku membayangkan bisa memakainya, tapi tak akan merasa nyaman jika harus bersila di lantai.
Setelah membongkar aneka kaus dan celana panjang, pilihanku jatuh pada dress hitam berbahan kaus yang sedikit di...
Part 15
Selasa, 5 Februari 2008
Hari ini semua anak kelas tiga berkonsentrasi penuh pada try out. Aku menghabiskan pagiku bersama empat temanku itu. Aku bahkan tak menyempatkan diri untuk mampir ke Ruang Musik. Gilang dan Dimas datang ke kelas kami untuk mengerjakan beberapa soal latihan Bahasa Inggris yang menjadi mata pelajaran yang diujikan hari ini.
Ini adalah hari kedua try out. Kemarin aku juga tak sempat mampir untuk bermain piano di pagi hari. Sore hari, aku sudah pergi ke Erasmus Huis untuk les bahasa Belanda. Di malam hari aku lanjut mengerjakan beberapa soal Bahasa Inggris hingga pukul 1.00 dini hari.
Ini baru hari kedua dan aku sudah merasa lelah. Mengapa kemampuan seorang anak kelas 3 SMA untuk bisa lulus harus sepelik ini?
Meja-meja kami sudah diberi jarak satu sama lain. Guru pengawas sudah masuk dengan amplop cokelat besar berisi soal-soal ujian. Waktu untuk mengerjakan selama dua jam kupakai sebaik mungkin. Namun,...
Part 15 - 2
“Kikan beneran nggak apa-apa ya, Rom, kalau lo anter gue pulang gini?”
There I said it. Ini mulai mengkhawatirkan. Bagaimana mungkin Kikan tidak berkomentar apa pun soal kami berdua yang sering latihan?
Akan tetapi, Romi hanya menggeleng sembari terus mendorong motornya. Ya, motornya baru saja mogok ketika kami sudah setengah jalan menuju rumah. Sungguh apes. Kami berada di sisi sebelah kiri jalan dan Romi memintaku untuk berdiri di sebelah kirinya, agar aku tidak terkena mobil yang lalu-lalang.
“Dulu sih, dia pasti marah. Gue udah pernah jelasin kan, ya? Dulu dia suka agak rewel. Cuma, kita janji untuk sama-sama saling percaya aja, sih. Dia juga pasti cerita ke gue kalau dia harus pergi ama Darius, misalnya. Teman-teman dia kan, juga teman-teman gue. Gue juga cerita kalau hari ini bakalan latihan sama lo,” jawab Romi sambil terus menghadap ke depan.
Aku hanya mengangguk-angguk. “Lo pernah ajak Kikan latihan bareng lo, nggak?”
“Pernah, lah....
Part 16
Rabu, 6 Februari 2008
Hari ini adalah ujian try out terakhir untuk minggu ini. Ujian berikutnya akan dimulai dua minggu lagi. Keadaan otak kami sudah seperti seloyang kue yang baru saja keluar dari oven: terpanggang dan matang sempurna. Hari ini fokus kami hanya ada di dua mata pelajaran, Bahasa Indonesia dan Fisika.
Pak Bangkit yang sedang menuju ke toilet hanya senyum-senyum melihat kami sibuk bertapa di depan buku-buku Fisika dan diktat-diktat berisi soal-soal latihan. Beberapa kali ia berceletuk, “Udah mau try out, baru dibuka bukunya. Belajar dari kemarin, dong!”
Hal yang sering tak diketahui guru adalah betapa sulitnya otak kami untuk bisa mempelajari dua mata pelajaran sekaligus dalam satu hari.
Aku dan empat temanku sedang duduk di depan kelas 3 IPA 3 dan mengerjakan beberapa soal latihan Fisika di tumpukan kertas bekas yang diberikan Gilang kepada kami semua. Kami semua tak mengacuhkan celetukan Pak Bangkit yang baru saja melewati kelas...
Part 17
Jumat, 8 Februari 2008
Aku dan Romi sepakat untuk bertemu langsung di tempat kami akan latihan setiap Jumat: tempat lesku. Ibu Yeni sudah menunggu dalam ruangan khusus untuk melatih murid yang tidak belajar dalam kelompok.
Seharian itu, aku tidak melihat Romi. Tepatnya, aku sengaja tidak bertemu Romi lebih dulu. Aku memilih untuk bertemu dengannya langsung di sini, tanpa ada gangguan dari teman-teman sekolah yang lain.
“Ibu kemarin sempat coba arrange ulang beberapa piece untuk bisa dimainkan empat tangan. Kalian coba mainkan dulu aja. Kalau kalian nyaman, boleh kita lanjutkan. Karena yang paling penting, jika kalian lolos tahap kedua untuk audisi, kalian harus nyaman memainkannya di atas panggung.”
Romi tampak tersenyum lebar sambil melihat ke arahku yang duduk di kursi belakang piano. Ia bersandar dengan bahu kirinya di salah satu sisi dinding ruang itu, masih menyimak apa yang Ibu Yeni katakan dari tengah ruangan. Aku tak tahu apa arti senyumannya itu....
Part 18
Sabtu, 9 Februari 2008
“Tunggu! Gimana tadi?” Jihan bertanya dengan suara keras seolah lupa bahwa ia ada di dalam kamarnya bersama dengan kami berdua.
Awalnya kami membicarakan ini bertiga tanpa melibatkan Gilang dan Dimas. Namun, karena suara Jihan terlampau keras, Gilang dan Dimas mengangkat kepala mereka dari setumpuk latihan soal Matematika—bahan ujian untuk try out Rabu depan.
“Woi, kalian, tuh, nggak mau lebih serius dikit, gitu? Entar pada nggak bisa, jangan nyontek, ye?” celetuk Dimas yang menoleh ke arah kami. Celetukan itu membuat Sarah berjalan ke arah Dimas, memukul lengannya pelan dan berkata, “Yang ada kamu yang nyontek aku, tahu!”
“Mana bisa? Emang kita sekelas? Yee …,” balas Dimas sewot, yang akhirnya malah membuat Sarah mencubit lengannya.
Selagi mereka sedang sibuk “bertengkar”, Gilang bergabung dengan kami dan bertanya, “Kenapa, sih?”
“Darius sama Kikan ketangkap basah kemarin di kedai es campur deket sekolah. Tapi, Romi ama Sofia juga lagi berdua.”
“Lah?”...
Part 19
Senin, 11 Februari 2008
Upacara di sekolah hanya dilaksanakan sebulan sekali. Tapi, tetap saja banyak anak-anak yang mulai kelimpungan karena ketinggalan topi upacara. Kelasku mulai heboh dengan anak-anak yang sibuk mencari topi mereka.
Aku tidak ingin heboh beberapa menit sebelum upacara dimulai. Maka, aku menyimpan topi upacaraku di loker. Aku membuka kunci lokerku, mengambil topi upacara dan buku latihan Kimia yang akan dikerjakan saat pendalaman materi nanti. Saat aku menutup pintu loker, aku menoleh ke arah Ruang Guru yang ada di sebelah kiriku. Kikan baru saja keluar dari Ruang Guru dengan beberapa lembar ujian yang telah dikoreksi di tangan.
Kikan berjalan ke arahku, memeriksa kertas-kertas ujian tersebut dengan ujung jemarinya dan menemukan kertas yang ia cari. Ia rupanya mencari kertas ujianku dan menyerahkannya kepadaku. “Kimia lo dapat 80, Sof.”
***
Aku menghela napas lega. Rupanya aku tidak palsu-palsu amat sebagai anak IPA. Aku mengambil kertas ujian itu dari tangannya dan...
Part 20
Selasa, 12 Februari 2008
Aku melongok ke dalam Ruang Musik dan tidak mendapati Romi di sana.
Aku melongok ke dalam ruangan kelas 3 IPA 1, yang malah disambut Gilang dan Dimas, serta beberapa pasang mata yang tak begitu familier bagiku.
“Romi tidak ada,” kata Dimas.
Sejujurnya aku merasa Romi bukannya tidak datang karena sakit atau alasan apa pun. Ia menghindariku. Ia menghindari Kikan dan Darius juga.
Biasanya kami juga menyempatkan untuk latihan setiap sore, jika tidak berbenturan jadwal Romi main futsal atau jadwal pendalaman materi kami yang kadang-kadang suka ngaret. Hari ini setelah pendalaman materi Bahasa Inggris, aku kembali mampir ke Ruang Musik. Namun, yang kutemukan hanyalah Pak Dikin, office boy sekolah yang sedang menyapu lantai.
Aku menolak saat diajak Jihan main ke rumahnya dan mengatakan bahwa aku ingin menghabiskan waktu di rumah saja. Tapi, beberapa saat kemudian aku mendapati diriku sudah berada di depan OPUS.
“Selamat datang, Kak,” sambut...
Part 21
Rabu, 13 Februari 2008
Hari ini tepat pukul 9.00 pagi waktu Australia, Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd meminta maaf kepada suku Aborigin, The Forgotten Australians.
Permintaan maaf diberlakukan atas kesulitan yang diakibatkan pemerintah Australia terhadap suku Aborigin antara tahun 1930-an hingga 1970-an karena membuat banyak dari mereka telantar di panti-panti asuhan, terpisah dari keluarga mereka. Semua dilakukan atas kebijakan pemerintah, yang rupanya tak memberikan kebahagiaan untuk mereka.
Aku sedang memakai sepatuku ketika tayangan berita dari CNN menampilkan berita tersebut. Berita tersebut sangat singkat, tapi membuatku sempat lupa bahwa aku harus menghindari ayahku, yang segera bangun pagi ketika mendengar tayangan berita dari ruang keluarga.
“Aku pergi dulu …,” pamitku sambil mengambil tas dan kardigan cokelatku. Aku mengucir kuda rambut sebahuku dengan cepat dan berlalu dari ruang keluarga.
“Sofia …,” Ayah memanggilku. Membuatku berhenti seketika, berusaha meredam rasa gugup yang merayap ke dalam diriku.
“Ya?” Aku menengok ke arah Ayah.
Rambutnya masih...
Part 22
Kamis, 14 Februari 2008
“Lo hari ini ada ulangan, nggak?” tanya Romi. Kami sedang berada di depan Ruang Musik. Lagi-lagi harus merelakan ruangan itu karena anak paduan suara kembali menggunakannya untuk latihan.
“Enggak. Besok baru ada semacam kuis kecil gitu buat latihan Ujian Nasional juga. Kenapa?”
“Bolos aja, yuk! Kita ke OPUS, latihan buat prototype 1. Gimana?”
Aku melangkah sebentar ke kelas 3 IPS 3 untuk melihat ke arah jam dinding yang ada di atas papan tulis. Sekarang pukul 06.35 pagi. Beberapa anak 3 IPS 3 yang tak terlalu kukenal tampak melihat ke arah kami, sedangkan yang lainnya tampak tak acuh dengan keberadaan kami.
“Masih bisa bolos, sih,” celetuk Romi. Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum lebar sambil menunjuk arah koridor Ruang Musik dengan jempol kanannya. Mengisyaratkan agar kami melewati koridor dan tangga yang jarang dilewati dan keluar dari sekolah ini untuk sementara, hanya sehari.
Ia berkata bahwa ia akan...
Part 22 - 2
Aku mengalihkan tatapanku dari Romi, berusaha mengusir rasa canggung yang tiba-tiba menyerangku. Pandanganku beralih pada pria muda yang membantu bapak penjual bubur membawakan gelas-gelas berisi teh kepada beberapa tamu yang baru datang. Ia juga menyajikan dua gelas teh kepada kami. Kami meminumnya cepat dan akhirnya pergi dari kedai bubur itu setelah membayar pesanan kami.
Sekarang sudah pukul delapan lewat lima belas menit. Kami merogoh semua uang yang kami punya. Romi berkata bahwa ruangan akan selesai kami pakai sekitar pukul 3.00 sore.
“Oke, lah, ya, sampai jam 3.00?” tanya Romi kepadaku. Aku mengangguk. Itu artinya kami akan menyewa ruangan itu selama tujuh jam ke depan.
Romi mengeluarkan handycam dari ransel Jansport hitamnya. Aku tersentak. “Lah, udah mau direkam?”
“Nggak apa-apa, siapa tahu hasilnya bagus,” jawab Romi sambil tersenyum. Tak lama, petugas OPUS kembali dari ruang di belakang meja resepsionis, membawa beberapa lembar ribuan uang kembalian kami. Ia lalu mengantar kami ke...
Part 23
Ayah dan Ibu berkata bahwa adikku meninggal secara mendadak. Sindrom kematian bayi mendadak atau sudden infant death syndrome. Usianya sudah empat bulan, tapi hidupnya tak lama. Dokter tak bisa menjelaskannya. Kematian secara mendadak ini tidak hanya memakan nyawa adikku, tapi juga banyak bayi lain di seluruh dunia.
Yang kutahu, kematian adikku itulah yang membuat adanya jarak antara Ayah dan Ibu. Jarak yang mereka coba isi dengan makan keluarga rutin, pergi bersama-sama ke suatu tempat, atau diskusi tentang cat dinding mana yang terbaik untuk ruang keluarga.
Walau Ayah dan Ibu tetap seperti orang tua biasa, Ibu selalu merasa bersalah dengan meninggalnya adikku. Beberapa kali ia berkata kepadaku, “Mungkin Ibu salah, mungkin dia tidurnya tidak terlentang dan Ibu lalai memperhatikan.”
Rasa bersalah Ibu itulah yang membuat ayahku selalu berhasil mengendalikannya. Membuatnya jarang melawan dan menurut semua kata Ayah.
Mengapa aku bisa tahu semua hal ini? Mungkin karena aku anak tunggal. Menjadi anak...
Part 24
Jumat, 15 Februari 2008
“Kebayang, nggak, sih kalau nilai kita 4,20 dan sedikit lagi udah nilai minimal? Udah tinggal 0,05 lagi, man, dan … BYARRR! Nggak lulus, makasih ya, silakan ngulang.” Dimas memeragakan hal tersebut di dalam kelas saat jam istirahat. Dimas mampir ke kelas kami. Aku tertawa sambil mengambil keripik yang disodorkan Sarah di sampingku.
“Makanya, yang bener belajarnya. Masa try out Matematika dapat 4?” celetuk Sarah sambil menyodorkan keripiknya kepada Dimas, yang mulai manyun kembali karena diingatkan akan nilai try out yang jelek.
“Bukannya lo belajar, ya, waktu itu?” tanya Gilang yang duduk di meja Jihan. Jihan duduk di kursinya dengan posisi menyamping. Kami berempat melihat Dimas yang berdiri di samping mejaku dengan Sarah menduduki kursinya. Wajahnya kusut karena nilai try out yang benar-benar anjlok.
“Belajar, sih, tapi enggak konsen.”
“Kenapa?” tanya Sarah.
“Mikirin kamu, sih.” Dimas mulai melancarkan aksi-aksi gombalnya yang malah dibalas dengan pandangan jijik dari...
Part 25
Jumat, 23 Februari 2008
Try out kedua resmi berakhir. Dimas di ruang sebelah pasti sudah mengerahkan seluruh tenaganya selama seminggu ini untuk bisa membuat percobaan kedua ini lebih berhasil. Begitu juga dengan kami semua. Namun, semua deretan try out ini belum berakhir. Masih akan ada try out ketiga di minggu pertama bulan Maret, lalu ditambah dengan ulangan umum di minggu kedua pada bulan yang sama.
Aku mencoba sebisa mungkin untuk betul-betul belajar setiap hari, mencicil setiap mata pelajaran dan mengerjakan berlembar-lembar latihan dari buku kumpulan soal. Semuanya kulakukan karena satu hal, aku tidak ingin Ayah mencari-cari kesalahanku. Cukup dengan kejadian les bahasa Belanda tempo hari, aku sudah membuka ruang bagi Ayah untuk menjadi curiga. Selain itu, untuk bisa mendapat beasiswa itu, aku tentunya harus mendapatkan selembar ijazah kelulusan, bukan?
Bel tanda pulang sudah dibunyikan, kira-kira lima menit setelah kami semua mengumpulkan kertas try out. Kami selalu pulang pukul 2.00 siang...
Part 26
Sabtu, 24 Februari 2008
Jika Ayah tahu aku masih latihan piano tambahan dengan tujuan beasiswa musik, ia bisa melakukan apa pun untuk menggagalkannya. Maka, ketika Ayah bertanya aku hendak pergi ke mana tadi pagi, aku spontan berkata bahwa aku akan ke rumah Jihan.
Kebohonganku yang kesekian.
Seberapa banyak aku harus berbohong kepada ayahku, hanya untuk tetap jujur kepada diri sendiri?
Aku memikirkan hal itu seraya mulutku mengeluarkan kebohongan lagi. Ayah berkata hati-hati di jalan, dan aku segera pamit dari rumahku. Undur diri dari kebohonganku kepada ayahku.
Sesampainya di tengah perjalanan menuju OPUS, aku menelepon ponsel Jihan, dan berkata bahwa aku baru saja berbohong.
“Lo gila, ya? Kalau ketahuan, gimana?”
“Gue akan tanggung jawab, Jihan. Dan, gue kan, memang belajar sekarang.”
“Iya, bukan belajar buat Ujian Nasional, tapi buat beasiswa lo, kan? Ya, gue nggak apa-apa, tapi kalau lo yang kena akibatnya, nanti lo mau ngapain?”
Aku meyakinkan Jihan bahwa semuanya...
Part 27
Minggu, 25 Februari 2008
Aku tak memeriksa ponselku semalaman. Berita yang dikabarkan Ayah tentang dirinya yang sakit gagal ginjal membuatku tak bisa tidur.
Semalam Romi mengirimkan pesan.
Seru ya hari ini. Kapan-kapan jalan lagi, yuk!
Aku baru membalasnya pukul empat sore lewat dua puluh menit.
Iya seru banget. Terima kasih ya. Yuk, kapan jalan-jalan lagi.
Aku melempar ponsel tersebut ke sisi samping tempat tidurku. Aku sudah bangun, tapi enggan keluar dari kamar. Aku masih menyerap apa yang baru saja kudengar dari Ayah kemarin.
Bertahun-tahun, sejak aku masih duduk di bangku SD, Ayah memang menderita darah tinggi. Namun, ia tak pernah berkata apa-apa tentang ginjalnya. Yang kami ketahui selama ini adalah Ayah hanya pergi ke dokter untuk merawat tekanan darah tinggi yang ia miliki.
Akan tetapi, kami tak tahu sama sekali bahwa dokter Ayah adalah dokter spesialis ginjal. Desember lalu, dokter spesialis ginjal itu berkata bahwa penyakit Ayah sudah mencapai stadium...
Part 28
Sabtu, 1 Maret 2008
Karena persiapan try out hari Senin nanti, aku tidak berlatih bersama Romi di OPUS. Romi mengajakku belajar bersama di Blue Romance, tetapi aku menolaknya dengan halus. Aku butuh bicara dengan teman-temanku, setelah seminggu ini aku berusaha untuk tidak menceritakannya.
Kami berlima berkumpul di kamar Jihan, bersila di lantai membentuk lingkaran di sekeliling meja tempat kami menaruh buku-buku latihan kami. Aku mulai angkat bicara tentang keadaan Ayah dan permintaan beliau untuk tidak meneruskan aplikasi beasiswa itu.
“Ayah lo sama sekali nggak ngasih lo pilihan, ya? Dan, kenapa harus bilang dia akan keluar dari rumah kalau lo nggak akan pilih jadi pengacara?” tanya Gilang sambil memeluk kedua lututnya.
Sarah terus mengelus-elus punggungku dengan tangan kanannya. Setiap kali ia melakukannya, rasanya aku ingin menangis. “Ya, gue merasa dia egois banget, sih. Dia nggak ngasih gue pilihan.”
“Sof, lo kalau mau nangis nggak apa-apa, kok,” ujar Jihan lembut. Ia juga...
Part 29
Jumat, 7 Maret 2008
Try out terakhir baru saja selesai, dan hari Senin nanti ulangan umum akan dimulai. Dimas tak henti-hentinya mengeluh tentang mengapa harus ada ulangan umum, padahal kami juga akan menghadapi Ujian Nasional. Kami mendengar juga tentang beberapa sekolah yang meniadakan ulangan umum untuk siswa-siswi kelas tiga agar lebih fokus pada Ujian Sekolah. Tapi, tidak dengan SMA Tirtacahya.
Romi muncul di depan kelasku. Beberapa anak melihatnya sekilas. Aku tak tahu apa yang dipikirkan anak-anak. Namun, gosip tentang hubungan Romi-Kikan yang rusak karena aku semakin gencar terdengar.
Mira, teman Kikan yang sekelas denganku, sekali waktu pernah melewatiku yang sedang menaruh buku dalam lokerku dan bicara dengan suara keras kepada temannya, “Ada perebut cowok orang, tuh!”
Beberapa teman sekelas lainnya langsung dengan blakblakan bertanya kepadaku, “Jadi, Romi naksir lo? Bukan Kikan lagi?”
Untungnya Jihan bermulut pedas sehingga ia bisa menggunakan kata-kata yang spontan ia pikirkan untuk membungkam mereka.
“Yuk,” ajak...
Part 30
Jumat, 14 Maret 2008
Jika biasanya aku dan Romi berlatih hampir setiap pagi di Ruang Musik, beberapa minggu ini, kami tidak lagi melakukannya.
Tepatnya, aku memilih untuk tidak berlatih lagi.
Latihan pagi terakhir kami adalah hari Rabu beberapa minggu lalu, hanya beberapa hari sejak kabar tentang ayahku. Pada sebuah latihan kami di sore hari, aku mengatakan kepada Romi bahwa latihan pagi ini akan sangat sulit dilakukan ke depannya.
“Wah, jadi tiap pagi, kita nggak latihan lagi?” Romi terkejut. Ia benar-benar terkejut. Wajah seperti itulah yang kulihat ketika ia melihat Kikan bergandengan dengan Darius di kedai es campur.
“Iya, sekarang setiap pagi, nyokap gue minta dibantuin masak dulu dan beres-beres,” ujarku sambil menelan ludah, berusaha membuat tenggorokanku yang sedang berbohong ini tetap terdengar normal. Aku semakin menyandarkan bagian depan tubuhku pada Bleki, menunduk dan berusaha melihat ekspresi Romi.
“Ohhh …,” balas Romi. Ia lanjut memainkan bagian primo dari “The Nutcracker”. Wajahnya...
Part 31
Minggu, 23 Maret 2008
Aku belum pernah mendengar tentang Duo Ykeda sebelumnya. Namun, Ibu Yeni memberi kami sebuah katalog daftar pertunjukan budaya asal Prancis yang sudah ia terima sebelumnya. Di dalam deretan pertunjukan budaya yang ditampilkan, Duo Ykeda menjadi salah satu figur yang meramaikan acara bulan itu.
Aku memakai terusan berwarna hitam dengan lengan pendek dan sepatu Converse putihku. Terusan ini membuatku tampak seperti akan ke pemakaman, tapi hanya ini pakaian terbaik yang kupunya.
Ayah dan Ibu sedang pergi berkunjung ke rumah Om Arthur, adik Ayah yang juga partner di law firm-nya. Maka dari itu, aku meminta Romi menjemputku di rumah pukul 5.00 sore. Romi tak akan bertemu Ayah. Ayah tak perlu tahu bahwa aku memiliki partner in crime dalam usahanya mendapatkan beasiswa itu. Aku tak perlu menambah lebih banyak kerepotan antara Ayah dan aku.
Romi sampai di rumahku dengan pakaian yang lebih rapi daripada biasanya. Kemeja hitam lengan panjang...
Part 32
Selasa, 1 April 2008
Selasa lalu, kami “membajak” waktu yang seharusnya Ibu Yeni gunakan untuk mengajar anak lain agar dikhususkan kepada kami. Dengan bantuan tangan Ibu Yeni, kami berhasil merekam pieces yang akan kami daftarkan: “Scherzo” dari Rachmaninoff, “The Nutcracker” dari Tchaikovsky, serta “Slovanic Dances” dari Dvorak. Sesuai dengan anjuran Ibu Yeni, kami harus mengorbankan “Gymnopedie” dari Erik Satie untuk tidak kami masukkan.
Dan hari ini, tepat seminggu setelah kami melakukan proses rekaman itu, Romi menyerahkan kepadaku sekeping CD dalam sebuah case bening. Usai pendalaman materi hari Selasa itu, kami pergi bersama ke OPUS, merekam permainan piano kami. Kami dibantu Abeng yang merekam permainan kami dengan handycam milik ayah Romi. Tepat setelah kami membayar uang sewa ruangan, Romi memberikannya kepadaku.
Romi bersila di lantai kayu ruangan yang kami sewa itu dan berkata, “Hasilnya bagus banget. Gue suka.” Aku duduk di kursi piano sambil melihat kepingan CD di tanganku dengan perasaan...
Part 33
Rabu, 2 April 2008
Aku berpamitan dengan Ibu menuju sekolahku pada pukul enam pagi lewat dua puluh menit. Persis ketika aku keluar dari depan rumahku, Romi sudah ada di depan pagar.
Aku tidak mengangkat teleponnya sama sekali kemarin. Tidak ada SMS darinya yang kubalas. Aku membuat Romi tampak seperti musuhku yang tak kuberikan kesempatan untuk bicara sepatah kata pun.
Aku menutup pintu pagar dan berbalik berhadapan dengan Romi. Ia masih mencangklong ransel Jansport dan memakai sepatu Converse putihnya yang sama denganku.
Semuanya terlihat sama, kecuali satu: ia bukan lagi pasanganku dalam permainan piano empat tangan.
“Jelasin semua ke gue dengan alasan yang masuk akal, dan gue akan pergi,” kata Romi sembari mencoba menyamakan langkahnya denganku yang sudah mendahuluinya. Romi menahan lenganku perlahan, membuatku benar-benar berhenti.
Aku menoleh kepada Romi dan melihat wajah yang sama seperti kemarin: kecewa, tapi ia tampak lebih tenang. Ia tidak gusar ataupun marah seperti kemarin. Aku...
Part 34
Selasa, 22 April 2008
Hari ini adalah hari pertama Ujian Nasional. Bahasa Indonesia dan Matematika. Dimas, Gilang, Jihan, Sarah, dan aku berkumpul bersama di kantin. Gilang memilih untuk tidak lagi melihat lembar soal apa pun sebelum memasuki ruang ujian. Namun, kami berempat masih mencoba untuk memasukkan materi apa pun yang bisa dimasukkan ke otak kami.
Aku merasa siap menghadapi ujian hari ini. Tiga minggu belakangan ini, aku menghabiskan diriku hanya dengan beberapa kegiatan utama: sekolah, belajar materi Ujian Nasional di rumah atau bersama teman-teman, les bahasa Belanda, bermain piano di rumah, dan les piano bersama Ibu Yeni. Aku melakukannya hingga aku merasa capek. Hingga aku bisa perlahan-lahan terbiasa tidak berlatih dengan Romi lagi.
Tiga minggu belakangan, pergi ke sekolah menjadi lebih sulit. Aku harus pura-pura tak mendengar ketika setiap pagi aku datang ke sekolah dan mendengar permainan piano Romi dari Ruang Musik. Aku tahu betul itu. Aku bisa mendengarnya samar-samar...
Part 35
Sabtu, 7 Juni 2008
Bagian yang paling mudah ditebak dari cerita ini adalah Romi lolos sebagai semifinalis. Dua minggu setelah Ujian Nasional, atau seminggu setelah Ujian Akhir Sekolah, sekolahku dihebohkan dengan kabar dari Romi yang masuk sebagai semifinalis Jeanne Wang Foundation kategori piano solo.
Aku sendiri tak terkejut. Aku sudah tahu ia pasti berhasil.
Hal itu diumumkan pada upacara sekolah terakhirku sebagai murid SMA. Semua murid bertepuk tangan, sekaligus berharap agar Romi bisa melanjutkan studi ke New York. Aku berharap tepukan tanganku terdengar di telinga Romi.
Hari ini adalah salah satu hari yang tak begitu penting buatku. Tapi, hari ini membuat Jihan dan Sarah sangat bersemangat. Mereka membawa peralatan make-up dan dress ke rumahku, mencoba untuk mendandaniku agar terlihat cantik saat prom night.
Ya, prom night.
Aku hanya bisa melengos ketika Jihan memilihkanku dress putih tanpa lengan miliknya. Bagian bawahnya tampak flowy dan sedikit menutupi lututku ketika kupakai. “Pakai ini,...
Part 36
Sofia dan Romi, 2016
Jumat, 8 April 2016
“Satu pai apel, dan satu americano,” aku menyebutkan pesananku, lalu memberikan sejumlah uang seperti yang tertera di layar kasir.
Barista dengan nama Edi itu memberikan selembar bon kepadaku. Aku segera mengambil tempat duduk dekat jendela kaca penuh tulisan dan lampu neon bertuliskan “Open 24 Hours” itu.
Aku tak bisa menahan senyum. Tempat ini masih sama seperti dulu. Yang berubah hanyalah beberapa sisi dinding warnanya diubah. Blue Romance yang dulu serbabiru. Sekarang ada sedikit warna kuning muda di beberapa sudut.
Matahari siang tampak tertutup awan. Hujan tampak menunggu untuk turun.
Udara hari ini berbeda sekali dengan saat kali pertama aku berada di sini bersama Romi.
Mana mungkin aku melupakannya?
Hari itu adalah kali pertama kami pergi bersama untuk kegiatan lain selain bermain piano. Hari itu juga, kami menonton film bersama. Hari itu juga adalah hari pertamaku mencoba pai apel. Hari itu juga adalah...
Part 37
Sabtu, 16 April 2016
Tepat hari ini, dua tahun lalu, sebuah kapal feri Sewol dari Incheon menuju Pulau Jeju di Korea Selatan tenggelam. Sekitar 304 penumpang dan kru kapal feri meninggal dunia dalam kecelakaan yang mengenaskan itu. Sebagian besar korbannya adalah murid Danwon High School yang hendak berwisata ke Pulau Jeju.
Tepat hari ini, dua tahun lalu, tak lama setelah aku memulai pekerjaanku di law firm ini, Ayah meninggal dunia. Setelah berjuang sekian lama, akhirnya Ayah menyerah pada penyakit ginjal yang ia derita di hari itu.
Aku teringat, seminggu sebelum ia meninggal, kami sempat makan malam bersama-sama. Kami bertiga. Kami membahas hal-hal baik. Tidak ada kebohongan lagi yang kusimpan. Tidak ada lagi kecurigaan dari Ayah seperti saat aku ingin ikut kompetisi ke Juilliard itu.
“Kamu sudah lama tak main piano, ya?”
Aku sedikit kaget. Aku akhirnya bercerita kepada Ayah bahwa aku cukup sering bermain piano selama di Rotterdam. “Untuk salurkan...
Part 38
Senin, 23 April 2016
Artikel tentang Romi sudah terbit Senin lalu. Link rekaman permainan piano empat tangan kami sudah bisa diakses di webzine Memorabilia. Aku tak henti-hentinya menonton ulang permainan piano kami dari link tersebut. Aku juga beberapa kali membaca artikel yang ditulis oleh ketua redaksi Memorabilia yang bernama Jingga.6
Aku cukup terkaget melihat respons dari video tersebut. Banyak yang berterima kasih karena telah diberikan kesempatan untuk melihat link tersebut. Tapi, banyak juga yang merasa bahwa aku, si tangan yang satu lagi, seolah memanfaatkan ketenaran Romi untuk bisa memperlihatkan permainan musikku.
CD berisi rekaman itu akan dilelang dalam minggu ini. Aku diundang untuk datang dan menceritakan isi CD tersebut dan mengapa aku ingin melelangnya kembali. Namun, aku tak bisa datang karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaan dalam akhir minggu ini, mengingat aku akan segera mengundurkan diri.
Ya, aku mengundurkan diri dan tak akan kembali mencoba peruntungan dalam bidang hukum. Aku...
Part 39
Sabtu, 28 April 2016
Aku benci bulan April, dan aku senang karena bulan ini sebentar lagi akan berakhir.
Bulan April adalah bulan ketika aku tahu tidak akan ikut kompetisi beasiswa itu, dan bulan ketika aku kehilangan Ayah.
Akan tetapi, sekarang kami akan bertemu kembali di bulan April. Jika dulu kami bertengkar hebat di awal April, sekarang di akhir bulan ini, delapan tahun kemudian, kami bertemu kembali.
Aku melihat poster yang terpajang di sebuah papan pengumuman dekat ruang resital. Terdapat foto hitam putih Romi dengan jas dan kemeja tanpa dasi. Beberapa penonton tampak sudah datang, mereka terlihat bersemangat untuk melihat pianis berdarah Indonesia ini. Aku tersenyum kecil. Ke mana pun Romi pergi, aku selalu tahu bahwa ia bisa meninggalkan kesan bagi setiap orang. Kesan yang positif tentunya.
Aku mengambil booklet mengenai resital piano ini, melihat profil Romi terdapat di halaman paling depan. Terdapat serangkaian penampilan yang telah ia lakukan, baik untuk...
Part 40
Sofia dan Romi, 2017
Aku membawa laptopku yang terbuka dan meletakkannya di atas meja kecil yang kutempatkan dekat pianoku. “Udah, belum, Yang?” Romi di layar Skype terlihat tidak sabar, menungguku meletakkan laptop.
“Bentar-bentar, meja berantakan nih,” pintaku agar Romi bersabar.
Sekarang pukul 7.00 pagi, sementara di New York sedang pukul 8.00 malam. Di New York, Romi sedang berada di dapur untuk menyiapkan makan malam. Ia baru saja mendarat setelah resital kemarin malam di Kauffman Center, Kansas.
“Yang, kalau pakai resepmu, telurnya dimasukin belakangan apa duluan?” tanya Romi sambil menaruh wajan di atas kompornya.
“Tumis bumbu sama ayamnya dulu, Yang, baru masukin telur. Eh, aku udah siap nih,” jawabku sambil duduk di atas kursi piano, dan menghadapkan wajahku ke laptop.
Romi meninggalkan wajannya, membawa dan meletakkan laptopnya di atas meja makan. Lalu, ia memanggilku, “Yang?”
Aku mengangguk, “Ya?”
“Di sana jam 7.00 pagi, kamu belum mandi, ya?”
“Belum. Aku dari kemarin...
Description: Sofia hanya tahu satu cita-cita, bermain piano. Namun, ayahnya hanya tahu satu tujuan, menjadikan Sofia pengacara. Gadis itu sudah menyerah, hingga ia bertemu Romi yang membuatnya jadi lebih berani mengikuti kata hati. Mereka sepakat untuk membuat demo bermain piano empat tangan untuk mendapat beasiswa kuliah musik di Amerika. Sofia sangat menikmati saat-saat berlatih bersama Romi di Ruang Musik sekolah. Alunan indah nada piano dari keempat tangan mereka membuat Sofia lupa akan kesedihannya.
Sayangnya, ada dua fakta yang tak boleh dilupakan Sofia. Saat hatinya mulai merasakan desir aneh ketika berada di dekat Romi, ia harus ingat bahwa Romi telah memiliki Kikan. Saat semangat mengejar impiannya mencapai puncak, ia harus ingat bahwa ayahnya tak akan merestui. Patah hati Sofia terasa berkali-kali lipat lebih sakit. Akan bagaimanakah ia mengatasinya?
|
Title: Rooftop Secrets
Category: Metropop
Text:
CHAPTER 1 : LAKI-LAKI DI ROOFTOP LANTAI TUJUH
~VIRGO~
Aku benci asap rokok. Namun sekarang, aku tengah berdiri menatap seseorang yang asyik merokok di sudut pelarianku. Lelaki dengan kemeja abu-abu muda yang lengannya digulung sampai siku itu sibuk menatap bangunan-bangunan yang saling adu tinggi di bawah teriknya matahari siang. Angin panas Ibukota sesekali menggerakkan rambutnya yang hanya diberi gel sedikit—untuk membuatnya tetap rapi sampai setidaknya jam pulang kantor. Wajahnya tak begitu terlihat dari tempatku berdiri, yang jelas aku yakin dia orang yang menyebalkan.
“Hei, itu tempat saya.”
Entah dari mana keberanianku muncul yang jelas kalimat itu sudah meluncur dari mulutku. Laki-laki itu menoleh sambil menjentikkan rokoknya. Abunya rontok ke hamparan rumput sintetis dan membuatku melotot seketika. Aku bisa melihat wajahnya yang tampak begitu sombong menatapku. Tuh kan, dia orang yang menyebalkan.
Bukannya menanggapiku, laki-laki itu malah kembali memandang jalanan di bawah yang mulai padat. Sesekali dia menyesap rokok dan mengembuskan asapnya perlahan. Seolah tak ingin nikotin keluar cepat-cepat dari paru-parunya.
“Permisi?”
Laki-laki itu masih mengabaikanku. Lebih tertarik menikmati hembusan demi hembusan asap rokok yang baunya mulai merayap ke dalam rongga hidungku. Urgh, aku ingin muntah. Seharusnya aku bisa santai di sini, di tempat aku bisa melarikan diri dari atasanku yang menyebalkan, menikmati makan siang dan segelas kopi.
“Hei, jangan membuang abu rokok sembarangan!”
Aku sontak memekik ketika lelaki itu mematikan rokok dengan menginjaknya di rumput sintetis—membuatnya tampak sangat mengenaskan di sela-sela warna hijau pekat itu.
Tiba-tiba kaki panjang laki-laki itu melewati pagar besi pembatas yang memisahkan hamparan rumput sintetis dengan tembok semen pendek setinggi satu meter kurang. Di baliknya hanyalah aspal di lobi timur yang terlihat mematikan dari rooftop lantai tujuh kantor. Laki-laki itu berdiri di atas tembok pembatas dan meregangkan tangannya ke atas.
“Hei—Kamu mau apa!”
Aku panik dan otomatis berlari mendekatinya sampai ke pagar besi pembatas.
“Hei, kamu mau apa!” jeritku mulai kebingungan. Aku mencari seseorang yang bisa membantuku semisal laki-laki ini berniat yang tidak-tidak. Namun, tidak ada siapa pun di rooftop siang bolong begini. Oh, sial.
“Kamu mau mati ya! Cepat turun dari situ!” Aku masih berteriak ketika laki-laki itu menoleh.
“Kamu berisik sekali,” ujarnya kembali menatap ke bawah, membuatku semakin emosi. Ujung sepatunya sudah tidak berada di tembok pembatas, melayang di udara bebas. Telapak tanganku mulai berkeringat hebat. Aku jelas tidak mau menjadi saksi mata seseorang lompat dari lantai tujuh gedung perkantoran. Atau buruknya, aku akan jadi tersangka pembunuhan!
“Turun dari situ! Kamu mau apa sih!”
Laki-laki itu mengedikkan bahu. “Lompat.”
“Kamu gila!” Aku menjambak rambutku frustrasi. “Cepat turun atau saya panggil satpam!”
Laki-laki itu kembali mengedikkan bahu dan kini melongok ke sela kedua ujung sepatunya. Angin tiba-tiba berembus, membuat tubuh laki-laki itu agak oleng. Aku menjerit histeris dan tanpa pikir panjang aku melompati pagar pembatas. Mini A-line dress-ku sobek di jahitan sampingnya, tetapi aku tidak peduli. Bahkan pergelangan kakiku sedikit nyeri karena mendarat dengan posisi yang salah setelah melompat menggunakan heels tujuh sentimeter.
“Turun dari situ!” bentakku sengit.
Tanganku sudah tertancap di ikat pinggangnya karena aku tak bisa menggapai tangannya yang direntangkan ke depan. Laki-laki itu menoleh saking terkejutnya karena seseorang menarik ikat pinggangnya dari belakang.
“Lepaskan!”
“Nggak! Turun dulu baru saya lepaskan!”
“Berisik!”
Kaki kiri laki-laki itu melangkah ke depan dan sudah mengambang di udara bebas. Melihatnya, aku sontak menarik kuat-kuat ikat pinggangnya ke belakang. Sepatuku terlalu licin di atas semen yang sedikit berpasir dan aku dengan bodohnya jatuh ke samping, melukai lututku yang langsung mengeluarkan darah. Peganganku terlepas dari ikat pinggang laki-laki itu dan aku hanya bisa memejamkan mata—tak berani melihat apa yang terjadi selanjutnya.
Hening seketika. Mataku mulai basah. Aku bisa mendengar isakan keluar dari sela-sela bibirku yang masih gemetaran. Kedua tanganku hanya bisa mencengkeram kulit di sekitar luka goresku yang masih mengeluarkan darah segar. Perih sekali. Lebih perih karena baru saja aku gagal menyelamatkan nyawa seseorang.
“Hei, kamu baik-baik saja?”
Aku membuka mata tiba-tiba. Sinar matahari siang langsung menghunjam ke retinaku, membuatku pusing sesaat. Aku mengernyit ketika menyadari ada siluet tinggi besar yang menghalangi silau cahaya matahari.
“Kamu baik-baik saja?” Nada bertanyanya jauh lebih pelan, terselip sedikit kekhawatiran di dalamnya.
“Loh!” Aku serta merta menunjuk laki-laki yang tengah berjongkok di sampingku itu. “Bukannya kamu tadi … tadi …” Jariku berpindah-pindah—menunjuk laki-laki itu lalu menunjuk tembok pembatas di sisi kananku.
Laki-laki itu adalah orang yang sama dengan sebelumnya. Dia masih hidup, bernapas dengan normal, dan memandangku dengan tatapan sedikit cemas. Jari telunjukku langsung menyentuh jidatnya dan menyadari ini bukan mimpi. Bukan juga sedang berbicara dengan hantunya yang gentayangan.
Laki-laki itu menggaruk belakang kepalanya yang sepertinya tidak gatal. Dia mendengkus.
“Ayo, aku antar kamu ke klinik.” Dia mengulurkan tangan dan berdiri lebih dulu dariku. “Kamu bisa berdiri dan jalan sendiri?”
Aku masih terdiam. Kebingungan. “Kamu bukannya tadi jatuh?”
Akhirnya kalimat itu terucap. Dan aku segera menyesalinya.
Laki-laki itu mengedikkan bahu dan tersenyum. “Mungkin bisa ditunda sebentar. Kita obati dulu lukamu. Sepertinya tidak baik-baik saja.” Dia mengernyit memandang luka sobek di lututku yang memang tampak mengenaskan.
Aku menerima uluran tangannya dan baru merasakan rupanya luka di lutut ini cukup menyakitkan. Aku bahkan harus mengangkat sedikit rokku agar kainnya tidak menyentuh bagian yang terluka. Laki-laki itu memapahku berjalan menyeberangi hamparan rumput sintetis berwarna hijau pekat untuk mencapai pintu masuk gedung.
“Aku benar-benar menyesal. Maaf, kamu jadi terluka.”
Laki-laki itu memecah keheningan di antara kami selama berada di lift turun menuju ke klinik di lantai dasar gedung. Aku bersandar lemas, masih sedikit syok dengan apa yang terjadi barusan. Untungnya hanya ada kami berdua di lift siang ini. Masih pukul dua kurang lima belas siang. Seharusnya semua orang sudah selesai makan siang dan kembali bekerja.
Ah, aku harus membuat alasan ke Ediana karena terlambat kembali dari makan siang.
“Siapa namamu?”
Laki-laki itu menelengkan kepalanya ke arahku tepat ketika pintu lift terbuka. Pertanyaannya menggantung karena kami mulai melangkah keluar lift. Cara jalanku jadi aneh, sudah seperti korban tabrak lari. Urgh, kakiku benar-benar sakit. Masa lecet saja bisa begini sakitnya sih?
Untungnya, klinik siang itu tidak terlalu ramai. Aku tidak perlu berbasa-basi kalau ditanya kenapa bisa terluka parah atau harus menerima pandangan menghakimi dari pasien lainnya. Meski petugas jaga cukup terkejut melihat lukaku yang mengenaskan itu.
“Anastasia Felix Virgo. Assistant Manager,” ujarnya, yang ternyata membaca nama pada kartu asuransiku.
“Hei, jangan membaca identitas orang seenaknya!” Aku merengut, merebut kartu asuransi dari tangannya dan menyerahkannya pada penjaga klinik untuk mendaftar ke dokter.
Dia mengedikkan bahu dan memilih diam. Aku menggigit bibir ketika perawat menangani lukaku. Rupanya kakiku tidak hanya lecet, tapi juga keseleo. Pergelangan kaki kananku bahkan mulai membengkak. Aku mengumpat dalam hati. Pantas saja, rasanya sakit sekali.
“Kamu keseleo?”
Laki-laki itu menungguku di luar ruang perawatan. Kupikir dia sudah pergi.
“Sedikit. Bukan masalah. Kenapa masih di sini?” Aku menerima kuitansi pembayaran yang ternyata sudah dibayar terlebih dahulu oleh laki-laki itu sembari menungguku dirawat.
Alisnya tertaut di tengah dahi. “Menunggumu, aku yang membuatmu begini, ingat?”
Aku memilih tidak menjawabnya. Kami meninggalkan klinik tanpa berbicara lebih lanjut. Benar-benar canggung.
“Kamu pulang saja. Aku bantu minta izin ke atasanmu. Ya?” Dia masih mengekoriku sampai di lantai tiga belas, tempat ruanganku berada.
Aku memijat bagian bawah telinga kiriku yang mulai terasa sakit. “Ini bukan masalah. Kamu di lantai berapa sih? Kenapa malah ke sini?” Aku hendak berbalik meninggalkannya ketika teringat sesuatu. “Oh ya, jangan berani-berani melakukan hal nekat seperti tadi ya!”
Laki-laki itu hanya menatapku dalam diam. Aku menatapnya tajam. “Saya serius.”
“Kenapa kamu peduli?”
Hah? Gimana?
“Kamu kan bisa pura-pura tidak lihat lalu pergi.”
“Kamu gila! Kamu pikir saya mau jadi saksi mata bunuh diri? Atau parahnya, saya malah jadi tersangka!”
Di luar dugaan, bukannya marah atau kesal, dia malah tertawa. Untuk sesaat aku makin kebingungan. Setelah lima menit dia tertawa tanpa berhenti, laki-laki itu menghela napas panjang.
“Kalau begitu, aku tunggu di lunch break berikutnya. Kalau kamu tidak datang, aku lompat.”
****
CHAPTER 2 : CUACA YANG BURUK UNTUK MELOMPAT
~AOZORA~
Kamar indekosku terasa sangat pengap. Padahal aku sudah jarang merokok di kamar—seringnya sih, di atap indekos. Jadi, aku menyalakan kipas angin dan membuka jendela lebar-lebar. Ini pukul sepuluh malam, tapi udaranya panas sekali. Menyesakkan.
Tanpa repot mengganti baju, aku melempar tubuhku ke sofabed yang hanya dilapisi kain putih—masih sama berantakannya ketika kutinggalkan ke kantor tadi pagi. Aku membuka ponsel yang sejak tadi kumatikan. Ratusan chat masuk begitu ponsel dalam keadaan aktif.
“Sialan!” umpatku pelan sambil melihat makian yang dikirimkan teman-teman satu tim karena aku kabur dari presentasi produk hari ini. Ah, biarlah.
Seharusnya hari ini aku bunuh diri, tapi gagal dengan konyol gara-gara cewek tadi. Padahal aku bisa saja mengabaikannya dan tetap melompat.
Uh, uh, kau bodoh sekali, Aozora.
Kenapa sih, aku selalu gagal bunuh diri? Apa sebenarnya Tuhan belum ingin menerimaku di neraka? Atau jangan-jangan aku ini takut mati, ya, jadi semesta mengabulkannya?
Ponselku tiba-tiba berdering. Bukan nomor yang kukenal. Aku hampir mematikan ponselku lagi ketika muncul pop up pemberitahuan di layar.
‘Kau masih hidup kan?’
Mataku membelalak dan dengan segera membuka ponselku. Rupanya itu nomor cewek tadi. Cewek bernama Anastasia Felix Virgo. Nama yang aneh, seperti campuran nama cowok dan cewek. Dilihat dari penampilan dan sikapnya tadi, sepertinya tipikal cewek manja yang ribet.
Ah, kami memang sempat bertukar nomor telepon. Lebih tepatnya, dia yang memaksa meminta nomorku untuk memastikan aku tidak mencoba bunuh diri lagi. Dasar, padahal dia sendiri terluka gara-gara menggagalkan rencana bunuh diriku tadi siang.
Ponselku kembali berdering dan kali ini sampai tiga kali.
“Halo?” ujarku ogah-ogahan, ketika ponselku kembali berdering untuk keempat kalinya.
“Syukurlah! Kamu masih hidup kan? Baik-baik saja kan? Jangan bikin saya khawatir!”
Suaranya yang sedikit bernada tinggi membuatku menjauhkan ponsel dari telingaku. Tiba-tiba panggilan itu diakhiri secara sepihak olehnya, berganti dengan panggilan video. Aku mengernyit ketika mengangkat panggilan itu.
“Ah, syukurlah kau benar-benar baik-baik saja! Saya hampir menelepon polisi tadi!”
Suaranya langsung memekakkan telinga ketika kuangkat panggilan video itu. AKu sudah ingin membentaknya ketika melihat wajahnya benar-benar khawatir.
“Kenapa repot-repot menelepon? Kan kita sudah berjanji untuk bertemu saat lunch break besok.”
Wajahnya memberengut. “Terus kalau tiba-tiba kamu bunuh diri sepulang dari kantor bagaimana? Tetap saya akan dicurigai karena melihatmu mencoba bunuh diri tadi!”
Aku terkekeh, “Aku bukan tipe yang melanggar janji nona Felix.”
“Nama saya Virgo,” potongnya cepat. “Jangan panggil saya Felix.”
Aku tertegun. Aku ingat ketika kusebutkan nama lengkapnya, dia sedikit kesal. Memang apa salahnya sih nama Felix? Selain karena mirip nama cowok yang berada di antara dua nama feminim, seharusnya tidak ada masalah lain.
“Kau benar-benar tidak mau memberitahu nama lengkapmu?”
Pertanyaan Virgo barusan membuatku terkejut. Oh ya, aku belum memberi tahunya nama asliku. Mungkin aku harus mempersiapkan diri untuk ditertawakan—seperti reaksi semua orang ketika tahu nama panjangku.
“Untuk sekarang panggil saja Ao. Besok kuberi tahu kalau kau menepati janji menemuiku saat lunch break di rooftop.”
Virgo memberengut lagi. “Ao? Ao siapa? Harus saya panggil gimana? Mas Ao? Nanti kayak nama temennya Shinchan! Bang Ao? Kayak nama hewan!”
Layar ponselku hampir dipenuhi oleh wajah Virgo yang membulat karena memberengut. Menggemaskan, tapi sedikit menyebalkan. Ah, aku sudah memberi penilaian pada karakternya sebelum mengenalnya lebih lanjut.
“Ao saja cukup. Tidak perlu pakai panggilan lainnya. Sudah ya, jangan menggangguku malam-malam. Aku tidak akan mati. Setidaknya bukan malam ini.”
Virgo sudah membuka mulutnya untuk protes lebih lanjut, tapi aku segera memutus sambungan telepon. Ponsel kulempar sekenanya ke lantai, membentur kaki kursi yang terjatuh dan tidak ada niatan untuk membereskannya. Tempo hari aku gagal gantung diri dan malah tenggorokanku masih terasa sakit sampai sekarang. Aku membiarkan kursi tergeletak begitu aja untuk mengingatkanku betapa mudahnya aku berniat mengakhiri hidupku.
Tiba-tiba aku menjadi sentimentil dan berharap aku berhasil bunuh diri hari ini. Besok masih hari Kamis dan aku merasa besok adalah hari Senin. Selalu hari Senin, Senin dan Senin berikutnya. Aku sedikit menyesal, membiarkan Virgo merusak rencana bunuh diri dan terlibat lebih jauh denganku.
“Seharusnya kuabaikan saja Virgo dan melompat sampai mati tadi, dasar bodoh!”
****
Helena menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Jelas sekali semburan makian akan kuterima pada menit berikutnya. Namun, lima menit berlalu dan dia diam saja—sedikit membuatku takut. Padahal biasanya aku masa bodoh dengan Team Leader-ku ini.
“Ao, lo ada niatan kerja nggak sih?”
Aku tak berniat menjawab. Mungkin lebih tepatnya tidak tahu harus menjawab apa.
“Ao, kenapa sih lo akhir-akhir ini jelek banget performance-nya? Lo itu kesayangan Pak Wildan, tapi dari kemarin mangkir meeting, kabur dari kunjungan ke nasabah, sampai temen-temen lo pada protes ke gue.”
“Maafin gue, Hel.”
Helena berdecak kesal. Kedua tangannya terlipat di depan dada dan aku bisa mendengar suara ujung stilletto-nya mengetuk-ngetuk lantai di bawah meja.
“Listen Ao, gue nggak ada back up yang bagus buat lo karena lo beneran bukan siapa-siapa di sini. Lo ada karena lo sendiri. Then, yang bisa menolong lo adalah lo sendiri.”
Setelahnya, Helena memberiku pekerjaan tambahan karena kabur dari presentasi kemarin. Ketika keluar dari ruangan Helena, seluruh mata memandangku. Mereka mungkin mengucapkan santet dan mantra untuk membunuhku dalam hatinya. Hanya karena mereka tidak bisa menjelaskan dengan baik pekerjaan yang mereka limpahkan kepadaku, semua kesalahan juga ditimpakan kepadaku karena tidak hadir dalam presentasi. Oh come on, yang mendapat pujian kan nantinya mereka, kenapa aku harus susah-susah?
Aku melirik jam dinding satu-satunya di ruangan itu yang memiliki model kuno dengan bingkai merah di sisinya. Masih pukul sepuluh pagi. Aku harus bertahan dua jam lagi sampai jam makan siang. Ah, aku benar-benar tidak sabar menunggu lunch break. Kali ini karena seseorang tengah menungguku di sana—di rooftop lantai tujuh.
Tapi, bagaimana kalau Virgo tidak muncul? Apakah aku benar-benar akan melompat?
Uh, uh, aku belum siap melompat hari ini. Seharusnya aku melompat kemarin dan butuh lima batang rokok sebelum aku memantapkan diri melompat dari lantai tujuh kantorku sendiri. Berkali-kali percobaan bunuh diri yang gagal pasti membuatmu makin jadi pengecut.
Siang itu tidak terlalu terik tapi gerah sekali rasanya. Aku membuka dua kancing teratas kemejaku. Aku terkadang sedikit heran dengan diri sendiri yang masih bisa berpenampilan layaknya orang bahagia di kantor. Kemeja biru muda dengan dasi warna senada serta celana bahan hitam. Sepatu dan ikat pinggangku bahkan terlihat licin setelah dipoles.
Uh, uh, memangnya aku ini mau kencan? Dasar Ao bodoh!
Waktu menunjukkan pukul dua belas lewat empat puluh menit. Aku sudah menunggu hampir satu jam tapi Virgo benar-benar tidak menunjukkan batang hidungnya.
Aku kecewa. Sangat kecewa. Setelah telepon semalam yang menunjukkan wajah khawatirnya, aku pikir dia akan selalu ada untukku. Rupanya tidak. Virgo adalah satu dari sekian orang yang hanya cemas dalam konteks basa-basi, seperti Helena. Dia tidak benar-benar peduli. Mungkin, dia pikir aku orang gila. Eh, sebenarnya aku memang sudah gila.
“Sudahlah,” desisku, lebih kepada diriku sendiri yang tampak menyedihkan.
Keraguan untuk melompat kini sudah lenyap. Tiga puntung rokok sisa penantianku selama satu jam terakhir aku tendang dengan ujung sepatu, membuat hamparan rumput sintetis di rooftop itu makin terlihat kotor. Biarlah, itu tanda aku pernah ada di sini.
Aku kembali melompati pagar rel pembatas, berdiri di tembok pembatas yang rendah, dan melongok ke bawah melalui ujung sepatuku. Cuaca yang jelek untuk bunuh diri karena mendung mulai menggantung. Ah, sepertinya akan hujan.
Nanti kalau aku jatuh, berserakan di bawah sana, apakah darahnya akan mengalir bersama hujan? Keberadaanku akan hilang bersama perginya air hujan? Semudah itu manusia hilang dari muka bumi dan pasti besok penggantiku sudah ada. Yeah, semudah itu.
“AO!”
Aku menoleh. Virgo berdiri di sana memegangi lututnya yang gemetaran. Napasnya tersengal dan keringat bercucuran dari keningnya. Ah, aku tidak jadi lompat hari ini.
****
CHAPTER 3 : HUJAN AKAN TURUN
~VIRGO~
Kami berdua duduk di bawah teduhnya payung besar yang menaungi meja. Sebenarnya tidak terlalu terik untuk duduk tanpa perlindungan payung, malah, awan mendung bergerak mendekat dari kejauhan. Gerah sekali hari ini sampai-sampai aku banjir keringat hanya karena menyeret kakiku yang masih sedikit sakit karena jatuh kemarin, dari lift ke rooftop.
Bau rokok masih menguar kuat dari laki-laki di hadapanku ini dan aku berusaha tak menghiraukannya—meski kepala sudah mulai terasa pusing karenanya. Sudah berapa batang rokok yang dia konsumsi hari ini sampai-napasnya saja mengeluarkan aroma rokok.
“Kamu nggak makan?”
“Nggak lapar.”
Aku melirik dua kotak makan siang yang sempat kubeli sebelum ke sini. Isinya hanya nasi dan ayam katsu berbumbu ala-ala dengan side dish salad sayuran ala kadarnya. Meeting dengan nasabah di tempat yang cukup jauh jaraknya dari kantor, membuatku terlambat kembali dan hampir saja melihat ambulans di lobi timur.
“Saya membelikan ini buat kamu. Nggak sopan kalau nggak dimakan.”
Ao sempat menatapku kesal, tapi akhirnya dia menyendok sedikit-sedikit nasi dari kotak. Aku mengikutinya, dengan lebih rakus. Aku lapar, tidak sempat sarapan dan hanya memikirkan untuk kembali ke rooftop sebelum Ao benar-benar melompat.
“Kamu kenapa berdiri di pinggir situ lagi, sih!”
“Kupikir kamu tidak datang.”
Aku memutar bola mataku. “Ponsel saya mati dan seharusnya kamu menunggu sampai lunch break berakhir.”
Kini Ao yang memutar bola mata. “Lunch break sudah berakhir ketika kamu datang.”
“Masih ada lima menit. Kenapa sih kau suka sekali berniat bunuh diri? Kalau kau mati, ya sudah tidak ada kata kembali.”
Ao terdiam dan aku tahu aku salah bicara. Orang yang berniat bunuh diri memang tahu dia tidak akan kembali. Lagi pula aku harusnya menelepon hotline pencegahan bunuh diri milik Kementerian Kesehatan kemarin, bukannya malah mengiakan janji makan siang dengan Ao.
“Maaf, bukan bermaksud seperti itu,” ujarku akhirnya. Melihat Ao makan dalam diam, aku makin merasa bersalah. “Hei, saya bantu hubungi hotline Kemenkes?”
Ao mengerutkan dahi. “Hotline? Untuk apa?”
“Untuk membantumu.” Aku meraih ponsel dan menunjukkannya pada Ao. “Ini, kamu bisa mendapat penanganan yang tepat.”
Tak kuduga, Ao tertawa terbahak-bahak. “Aku nggak butuh bertolongan, Virgo. Aku kan memang mau mati. Nggak usah repot-repot.”
“Kalau kamu mau mati, kenapa malah sekarang duduk makan siang dengan saya?”
Ao mengedikkan bahu. “Karena kamu suruh aku makan. Katanya nggak sopan.”
Aku ingin menjitak kepalanya saking kesalnya. Ao, nama yang aneh. Apa mungkin dia depresi karena namanya yang aneh? Apa dia dirundung karena namanya? Aku benar-benar tidak mengerti kenapa lelaki yang terlihat baik-baik saja ini malah memilih mengakhiri hidupnya diumur semuda ini. Berapa umurnya? Tiga puluh?
“Kenapa bengong ngeliatin aku?”
Aku baru sadar sudah berhenti menyendok makanan dan malah terbengong menatap Ao. Laki-laki itu menatapku bingung. Ah, Ao ini sebenarnya laki-laki yang good-looking dengan tinggi pasti mencapai seratus delapan puluh dan kulit putih bersih. Pakaiannya juga selalu rapi dan matching. Minus bau rokok yang selalu melekat padanya.
“Naksir, ya? Awas, nanti kesambet.”
Aku tergagap malu karena ketahuan masih menatapnya ketika dia sudah menegur tadi. Aku berusaha berkilah dari tatapannya dengan mulai menyendokkan beberapa suap terakhir makan siangku.
“Nggak kok. Sedang menerka saja, berapa umurmu.”
“Dua puluh sembilan,” jawab Ao begitu saja. Aku kembali menatapnya. “Kamu? Dua puluh lima?” tanyanya balik.
“Dua puluh enam. Terima kasih memuji saya terlihat muda setahun.”
Ao menelengkan kepalanya. “Kamu pasti sedang berpikir, kenapa orang semuda aku sudah berniat bunuh diri kan?”
Aku hampir tersedak dan Ao segera mengulurkan botol air mineral padaku. Dia jelas sekali menahan tawa. Sial.
“It’s okay, Virgo. I’ll tell you.” Tiba-tiba Ao berujar dengan wajah yang serius. Aku menutup botol air mineral dengan tempo diperlambat. Wajah Ao tersenyum, tapi tampak sangat pucat. Seolah dia memang hanya hidup dari asap rokok. “Mau mendengarkan?”
Aku tahu aku akan dimarahi oleh Ediana setelah ini karena jam di tanganku sudah menujukkan pukul satu siang lebih tiga puluh menit. Pikiranku berkecamuk. Aku tidak begitu mengenal Ao dan harusnya aku tidak perlu mendengarkannya. Dia bukan siapa-siapa dan kalau dia mau bunuh diri, aku mungkin tidak perlu ikut campur. Masalahku sendiri saja sudah rumit.
Ao masih menunggu jawabanku. Wajahnya tampak pucat, mungkin karena kulitnya yang terlalu putih. Apa setelah dia bercerita padaku, dia akan kembali memutuskan untuk melompat? Apa yang Ao harapkan dariku? Apa yang harus kukatakan untuk menjawabnya? Apa dia ingin aku berkata tidak untuk alasannya melompat? Apa dia ingin aku menyelamatkannya?
Ao tersenyum menatapku. “It’s okay Vir, kalau kamu nggak mau mendengarnya. Aku tahu ini masalahku, bukan masalahmu. Ayo kembali, kita sudah terlambat.”
“Saya mau mendengarkannya.”
Sial, kau menggali kuburanmu sendiri, Virgo.
Ao tidak jadi berdiri, dia terduduk kembali dengan mata melebar. Aku berdeham dan memperbaiki rambutku yang mulai berantakan tertiup angin. Langit sudah menggelap sepenuhnya. Aku bisa mencium bau hujan dari kejauhan.
“Jadi, ayo bertemu setiap jam makan siang di sini,” ujarku dan Ao masih terdiam. “Ayo kembali, sudah mau hujan.”
Aku membereskan kotak makan siang kami yang sudah kosong. Ao menghabiskan makanannya. Dia mengikutiku yang mampir membuang sampah di sudut rooftop, di dekat pintu gedung. Tepat ketika aku memegang kenop pintu, Ao berujar.
“Namaku Aozora.”
Aku menoleh dan mendapati Ao tengah tersenyum kepadaku. Dengan langkahnya yang lebar, dia mendahuluiku membuka pintu dan menutupnya setelah kami masuk ke dalam gedung. Kami berjalan menuju lift dalam diam. Ketika lift berhenti di lantai tiga belas dan aku turun, Ao baru memencet tombol lantainya tanpa bisa kulihat.
“Sampai jumpa besok,” ujarnya sebelum pintu lift tertutup.
Kalau Ao wanita, mungkin aku akan memeluknya dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Namun, dia laki-laki yang harusnya memiliki mental lebih kuat dariku. Tapi kenapa? Kenapa dia bisa menyerah atas hidupnya? Kenapa aku harus peduli padanya?
Aku berjalan kembali ke ruanganku seperti orang linglung. Apa aku baru saja membawa masalah lainnya ke dalam hidupku? Apakah hujan siang ini menjadi pertanda akan ada badai datang nantinya?
****
CHAPTER 4 : MERASA LEBIH SEHAT
~AOZORA~
Aku tidak tahu apa yang telah Virgo lakukan padaku, yang jelas aku membersihkan kamar indekosku hari ini. Bukannya aku tiba-tiba punya semangat hidup dan kehilangan minat bunuh diri, tapi rasa-rasanya aku ingin kamarku sedikit rapi saja. Yah, meski yang kurapikan hanya sofabed dan meja kecil di tengah ruangan. Pantulan tubuhku di cermin besar yang tampak kotor di sudut kamar tiba-tiba mengambil alih perhatianku.
Aku benar-benar tampak bugar. Meski kulit putih pucat membuat pantulan wajah ini semakin terlihat tidak sehat, tapi tubuhku berkata lain. Tidak ada tulang-tulang menonjol dari balik kulit, tidak ada kulit yang kering atau mengelupas. Tubuhku tidak atletis, tapi tidak juga kegemukan. Standar-standar saja, sangat terlihat sehat malah.
Uh, uh, apa yang aku pikirkan sih?
Semua orang kalau tidak melihatku berdiri di pinggir rooftop—seperti Virgo, pasti akan mengira aku baik-baik saja. Kan, memang itu tujuanku. Membuat orang-orang yang jahat padaku merasa bersalah karena aku yang terlihat baik-baik saja, tiba-tiba ditemukan mati.
Uh, uh, tapi bagaimana kalau mereka merasa biasa saja? Tidak merasa bersalah sama sekali? Atau bahkan hanya merasa kasihan karena aku hidup seorang diri? Tidak akan ada yang mengurus mayatku kecuali polisi. Bahkan aku mungkin akan langsung dikubur tanpa disemayamkan di rumah duka.
Pikiran-pikiran itu kadang menyakitkanku. Kalau benar begitu, apakah ketika aku mati nanti Virgo akan sedih? Virgo akan merasa bersalah karena mengingkari satu kali saja janji makan siang bersama? Atau Virgo akan dengan cepat melupakanku?
Uh, uh, aku tidak mau memikirkannya.
Oh ya, sejak kapan ya, aku mulai merencanakan bunuh diri yang spektakuler ini?
***
“Kamu kos di daerah mana, sih?”
Aku mengalihkan fokus dari kotak makan siangku ke arah Virgo yang menatapku dengan wajah lelah—kupikir, kantung matanya makin menghitam saja. Ruangannya ada di lantai tiga belas, kemungkinannya cuma dua—bagian audit atau business unit. Keduanya bukanlah unit yang memanusiakan pegawainya. Yah, meski unitku juga jauh dari kata manusiawi.
“Malah bengong!” ujarnya ketus.
“Senayan.”
Aku menunggunya membalasku, tapi dia hanya mengangguk-angguk. Kadang pandangannya lebih sering tertuju pada ponselnya daripada aku. “Kamu sudah ada janji, ya?”
Virgo tergagap. Mudah sekali ditebak. “Nggak kok. Kenapa nanya gitu?”
“Soalnya ngobrolnya basa-basi banget. Kamu kalau ada janji, nggak perlu datang ke rooftop hanya untuk menemaniku.”
Virgo mengernyit. “Memangnya ada jaminan kalau saya nggak datang, kamu nggak lompat?” Aku mengedikkan bahu dan cewek mungil di depanku ini berdecak kesal. “Tuh, kan! Lagipula saya sudah berjanji kan, sebisa mungkin saya tepati.”
“Terima kasih,” ujarku, sungguh-sungguh.
“Daripada mencari-cari tahu tentang saya, kamu punya hutang cerita loh, Ao.” Virgo menudingku dengan garpunya. “Kamu sudah menikah? Sudah punya pacar? Tunangan?”
Aku terkekeh. “Sabar. Aku cerita satu per satu, ya? Aku jawab pertanyaanmu dulu.” Aku menyuap nasi sekali sebelum memulai. “Aku masih lajang, pernah punya pacar, dan suka main cewek sampai sebelum berniat melompat kemarin.”
Virgo melotot, tapi tidak mengatakan apa pun setelahnya. Dia hanya melanjutkan makan siangnya sambil sesekali melirik ke arahku. Uh, uh, sungguh menggemaskan. Pasti dia sedang mengutukku karena kalimat terakhir tadi. Hei, tidak perlu bohong, kan?
“Kamu bagaimana, Virgo? Sudah bertunangan, ya? Atau udah nikah tapi lagi berantem sama suami?” Aku melirik benda mungil yang berkilau di jari manis tangan kirinya.
Virgo kembali melotot, berusaha menyembunyikan tangan kirinya di bawah meja. “Kamu jadi cerewet ya sekarang, setelah nggak jadi lompat!”
“Jadi kamu lebih suka aku lompat?”
“Ao, jangan mulai!” Garpu Virgo teracung kembali ke wajahku. Semburat merah muncul di bawah kantung matanya yang menghitam itu. Lucu. Menit berikutnya, dia menghela napas panjang-panjang. “Saya sudah bertunangan. Nama tunangan saya, Indra.”
“Waduh, enggak nanya namanya tuh!”
Virgo menendang tulang kering kakiku dengan heels-nya, membuatku mengaduh. Matanya nyalang menatapku. “Ao, kamu kemarin kesambet doang ya, pake acara mau lompat? Kayaknya sekarang udah baik-baik aja tuh mental kamu! Bisa ngerjain saya begini!”
“Iya, aku merasa lebih baik. Terima kasih, ya, sudah menyelamatkanku.”
Virgo berdecak kesal. “Bisa nggak, kita ngobrolin yang lebih penting aja?”
Aku melempar pandangan ke langit abu-abu di belakang Virgo. Polusi Jakarta makin parah, siang bolong yang panas begini saja langitnya abu-abu. “Ya sudah, kamu mau nanya apa lagi tentangku? Jangan tanya alasan aku lompat ya.”
“Justru itu pertanyaan utama.” Virgo menyelesaikan makan siangnya. Nasi dan pindang patin sudah tandas dari kotak makan siangnya. Hari ini menu yang dibawa Virgo jauh lebih menarik daripada menu yang kubeli ala kadarnya di kantin kantor—nasi dengan ayam goreng.
“Ya … karena nggak ada alasan lagi untuk hidup, mungkin?”
“Eh, kalo ngomong tuh hati-hati! Kamu pikir nggak ada orang yang akan sedih kalau kamu memutuskan lompat?”
Aku mengedikkan bahu. “Nggak ada, aku kan hidup sebatang kara.”
Virgo mengernyit lagi. Suka sekali sih dia mengernyit seperti itu. Uh, uh, menggemaskan.
“Orang tuamu ke mana?” tanyanya pelan. Sepertinya dia mulai penasaran tapi takut merambah ranah pribadiku.
“Ada di rumah. Sehat sentosa, sejahtera bahagia.”
“Sumpah ya, Ao! Saya tuh, udah gatal pengen getok kepala kamu pake sepatu dari kemarin! Kenapa sih, nggak bisa serius jawabnya!” Virgo meneguk es kopinya sampai tandas juga—entah karena haus atau menahan emosi.
“Aku serius. Seharusnya secara legal, mungkin aku sudah dicoret dari kartu keluarga. Kamu saja tidak tahu kan, siapa orang tuaku? Orang tuaku terkenal loh.”
Virgo berjengit. “Maaf ya saya cupu, saya nggak tahu tuh siapa orang tua kamu. Setahu saya nama kamu saja nggak pernah muncul di pemberitaan mana pun di media masa. Orang Jepang yang juga orang penting di negara ini nggak banyak, kalau terkenal harusnya saya pernah dengar nama kamu di pemberitaan media.”
Aku terkekeh lagi. Benar-benar lucu sekali cewek ini. “Kamu tahu anggota DPR bernama Ariyo Bustami? Itu ayahku. Kamu tahu aktris senior, Devayana Safira? Itu ibuku.”
Mata Virgo membulat, sebesar pipinya. Dia lantas membuka ponselnya dan sibuk mencari foto kedua nama yang baru kusebutkan. Setelah menemukannya, dia dengan bingung membandingkan wajahku dengan wajah kedua orang tadi.
“Nggak mirip! Mereka bahkan bukan orang Jepang! Kamu bohong ya!” seru Virgo kemudian.
“Memang nggak mirip,” ujarku, “aku hanya punya darah Ariyo Bustami dan syukurlah tidak ada gen-nya yang menurun padaku.”
“Ao, jangan bercanda.”
“Aku serius.”
Suasana hening kembali menyergap dan angin panas menyapu wajah kami. Aku mulai kegerahan karena suasana lembab yang aneh meliputi udara Jakarta siang ini. Entah apa yang membuat Virgo betah berlama-lama mengenakan blazer di luar blouse-nya itu. Ponselku bergetar dalam mode senyap di saku celana. Oh, telepon dari Helena.
“Ya, Helena? Oh, sudah mau dimulai? Oke, will be there in ten minutes.”
Aku mematikan telepon Helena sepihak karena malas mendengar ocehannya lagi. Gagal melompat tempo hari memperpanjang waktu kena omelku oleh Helena. Aku melihat Virgo membereskan kotak makan siangnya dan aku mengikutinya. Oh, makan siang hari ini cepat berakhir ya, padahal aku baru saja menyambut hari dengan lebih semangat.
“Ao,” Virgo tiba-tiba berujar sebelum aku menekan tombol lift, “besok saya nggak bisa makan siang bareng kamu,” ujarnya takut-takut, “saya ada lunch meeting dengan nasabah.”
Uh, uh, lalu apa yang harus kulakukan?
“Tapi kamu nggak boleh melompat ya! Apa perlu saya temani kamu makan malam?”
Aku membelalak mendengarnya. Wajah Virgo begitu ketakutan karena ada kemungkinan aku melakukan hal yang tidak-tidak selama dia tidak ada di sampingku. Aku berpikir sejenak sembari menekan tombol lift.
“Bukannya kamu punya tunangan? Apa nanti nggak bakal ada masalah kalau kamu melakukan itu?”
Virgo menggigit bibir bawahnya. “Seharusnya kalau saya bilang ada janji makan dengan teman, dia bisa mengerti.”
“Kamu nggak harus selalu menemaniku, Vir.”
“Tapi kamu berjanji nggak akan melompat?”
Aku tak bisa menjawab hal itu. Aku bahkan tidak tahu suasana hatiku sekarang ketika kusebut tunangan Virgo. Rasanya aku ingin memiliki cewek mungil ini untuk diriku sendiri. Tak lama, pintu lift terbuka dan kami masuk ke dalam dengan canggung.
****
CHAPTER 5 : DRAMA KANTOR
~VIRGO~
Aozora. Nama yang sangat jarang kudengar. Siang tadi malah aku baru tahu kalau dia anak politikus dan aktris terkenal. Bagaimana bisa bank sebesar IBI tidak menangkap talent seperti Ao untuk dijadikan model iklan layanan maupun produk perbankan mereka? Jelas laki-laki itu good-looking apalagi dengan latar belakang yang menarik seperti itu, harusnya banyak orang menjilati kakinya.
“Hei, bengong aja! Itu kopi udah dingin dari tadi, Vir!”
Aku mengerjap dan baru menyadari tengah terbengong-bengong di pantry. Di depanku yang sebelumnya kosong, sudah duduk Alesha dengan secangkir teh hangatnya. Di luar hujan turun dengan santainya sejak sore dan sampai pukul tujuh malam ini belum berencana untuk berhenti. Urgh, Jakarta pasti macetnya minta ampun. Bukan ide yang bagus pulang sekarang.
“Al, lo kenapa belum pulang? Lembur?
“Enggak, gue cuma nunggu suami doang nih. Kejebak macet di Sudirman. Harusnya bentar lagi dateng. Lo lembur, Vir?”
Aku hanya mengangguk tanpa berkomentar lebih lanjut. Alesha lebih tua tiga tahun dariku dan dia sedang hamil muda. Seharusnya ibu hamil tidak pulang selarut ini tapi wanita di hadapaku ini sangat suka bekerja. Katanya calon jabang bayinya malah berontak kalau dia memilih rebahan. Sudah workaholic dari belum lahir rupanya si bayi ini, pikirku.
“Vir, kapan sih gue lihat lo nggak lembur? Hampir nggak pernah kecuali waktu gempa sore-sore dan semua karyawan disuruh pulang,” celetuk Alesha tiba-tiba, membuyarkan lamunanku lagi. Oh Alesha benar, kopiku sudah benar-benar dingin ketika aku menyesapnya.
“Kan lo tahu sendiri Ediana kayak apa.”
Alesha mengedik sambil menghabiskan tehnya. “Yah, nggak semua omongan Ediana harus lo ikutin. Lagian lo bisa mencontoh Bram, yang penting terlihat bekerja di depan atasan.”
Aku yang mengernyit kali ini. “Lah, Bram mah emang sialan, nyuruh juniornya sampai mau mampus kayak gitu, terus malah dia yang menikmati hasilnya. Gue sih, nggak mau jadi dia.”
Alesha mencondongkan tubuhnya. “Trust me, gue lagi berpikir untuk mencontoh dia loh.”
Mataku membulat. “Hah? Why?”
“Because, I need to survive the competition, Vir. Gue ibu hamil dan bentar lagi punya anak, tinggal tunggu waktu gue keteteran sama kerjaan gue dan Ediana mulai mencibir. Gue harus kerja cerdik,” Alesha memberi jeda pada kalimatnya, “atau lo bisa bilang, sedikit culas.”
“I mean, kenapa lo memilih untuk jadi kayak Bram? Lo kan bukan orang yang kayak gitu, Al, terlebih gue yakin banget Ediana nggak akan mencibir anak kesayangannya.”
Alesha menggeleng-gelengkan kepalanya dan terkekeh sebentar. “Gue pernah ada di posisi lo, berpikir seperti lo. Idealist but satisfying.” Alesha bangkit dan meletakkan cangkirnya di wastafel. Sebelum pergi, dia menepuk puncak kepalaku pelan. “Suatu saat lo akan berpikir kalau cara Bram bertahan hidup itu adalah yang paling masuk akal.”
Setelahnya Alesha pergi, meninggalkanku dalam kebingungan. Kopi yang sudah menjadi dingin karena pendingin ruangan membuatku menghabiskannya dalam satu tegukan. Ketika aku keluar pantry, hampir tidak ada orang yang tersisa kecuali Langga dan Tiffany. Aku melewati meja mereka yang penuh tumpukan dokumen. Junior-junior di bawah tiga tahun seperti mereka memang akan melewati malam yang panjang. Sepertiku dulu.
Ah, sudah berapa lama aku bekerja untuk bank ini? Lima tahun?
****
Indra selalu tampak menawan di mataku. Meski dengan baju yang sedikit kusut dan wajah yang sama lelahnya denganku, aku selalu jatuh cinta padanya. Aku sudah hampir memesan taksi dan menerima takdir mengantri berjam-jam di lobi—ketika hujan turun, antrian taksi sudah seperti antrian sembako, ketika Indra menelepon untuk mengajak makan malam.
Aku buru-buru ke toilet, membasuh wajah, dan merapikan sedikit riasanku meski aku tahu bisa hancur kapan saja kalau terpapar angin dan hujan malam ini. Yah, setidaknya aku berusaha. Apalagi terakhir kali aku bicara padanya, kami malah bertengkar.
Indra datang setengah jam kemudian, rupanya dia memang baru selesai meeting dengan klien di sekitaran kantorku. Seharusnya jarak kantor klien dan kantorku bisa ditempuh dalam waktu kurang dari lima belas menit. Hujan membuatnya tertahan lebih lama di kemacetan.
“How’s your day, Babe?” sapanya ketika aku masuk ke mobilnya. Oh God, he looks so good with those pink shirt. Indra salah satu laki-laki yang cocok mengenakan segala jenis warna pakaian termasuk di antaranya kuning dan merah muda.
“Nothing’s special. How’s yours?” Aku mendaratkan kecupan singkat di pipinya. Bahkan wangi parfumnya masih tercium—menyegarkan pikiran dan melepas penatku seketika.
Inilah yang kusuka dari Indra. Dia tidak pernah memperpanjang masalah tempo hari, tapi sekaligus menyebalkan karena masalah kami tidak pernah ketemu solusinya. Kadang aku sendiri malas mengungkitnya karena akan merusak mood hari ini.
“Klien yang satu ini ribet banget. Udah hampir kelepasan sinis aku tadi,” keluhnya.
Aku terkekeh mendengarnya, berusaha melupakan pertengkaran yang lalu. “Seharusnya kamu bawa Ferdi, kalau yang aneh-aneh begini biar juniormu yang aturlah.”
Indra mengedikkan bahu. “Ferdi sekarang bukan juniorku. Dia diambil alih sama Carol.”
“Hah? Terus kamu kerja sendirian? Jadi kamu paling junior dong sekarang?”
“Calm down, Babe. Ada Saskia kok, intern baru.”
“Saskia? Cewek?”
Indra menoleh, terkejut dengan reaksiku. “Jangan bilang kamu cemburu?”
Wajahku terasa panas. Sudah susah-susah bertahan untuk tidak bertengkar malah kalimat barusan merusak suasana saja. Barusan apa sih yang kau pikirkan, Virgo bodoh!
Tawa Indra lepas. “Ya ampun kamu lucu sekali, Babe!” Indra masih terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya yang baru saja kuhujani dengan cubitan. “Please, don’t be! Aku bukan laki-laki lemah yang gampang tergoda begitu. Lagian dia itu bukan tipeku.”
“Ya kan bukan berarti kamu nggak akan tergoda! Dia akan lebih lama menghabiskan waktu bersamamu dibandingkan aku, kan?” ujarku dengan wajah masih terasa panas.
“Easy, Babe, easy. Dapat kamu saja susah, masa mau dilepas begitu aja sama yang baru ketemu? Kamu lupa dulu gimana perjuanganku?”
Mendengarnya, aku terdiam dan Indra tidak memperpanjang obrolan. Mobil kami memasuki area parkir Pacific Place Mall ketika jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Sudah terlalu larut dan hampir semua restoran close order ketika kami sampai. Akhirnya kami menemukan sebuah resto jepang yang tidak begitu ramai—mungkin karena pengunjungnya sudah lebih dulu pulang.
“Kamu nggak marah, kan?” Indra membuka obrolan sembari menunggu ramen kami datang.
“Nggak, insecure aja.”
Indra menghela napas. “Kenapa ya sekarang insecure jadi hobi cewek-cewek?” Laki-laki di depanku ini meregangkan lengannya yang sedikit kaku. “Kamu harus lebih percaya diri. Coba ngaca, banyak kelebihanmu yang membuatku jatuh cinta.”
Tangan Indra memenjarakanku, tapi terlepas begitu pramusaji datang membawakan pesanan kami.
“Babe, gini aja deh, aku mau jujur. Memang kuakui Saskia cantik. But, that’s it. Nggak membuatku tertarik untuk berpaling dari kamu.”
Aku mengerucutkan bibir. “Tapi kan cowok makhluk visual. Yang dekat di mata lebih menang daripada yang dekat di hati.”
“Kebanyakan nonton drama sih kamu!” Indra menjentikkan jarinya pelan ke dahiku. “Aku mikir juga kali kalau mau pilih-pilih calon istri! Cantik doang enggak bisa masak, enggak bisa ngerawat anak ya sama aja.”
Aku melotot. “Jadi kamu mau nikahin aku karena aku bisa masak dan gampang akrab sama anak kecil? Kamu cari istri apa cari asisten rumah tangga?”
Indra menghela napas panjang. “Lagi PMS ya? Marah-marah mulu.” Dia meneguk ocha dinginnya sebelum melanjutkan. “Listen, Babe. Intinya kamu jangan khawatir. Aku jamin nggak akan berpindah ke lain hati.” Indra menautkan kelingkingnya dengan kelingkingku, lalu mengerling padaku. “Kecuali kamu yang pindah ke lain hati duluan, beda ceritanya ….”
“Indra, ih!” Kulepas tautan kelingking kami dan kucubit keras-keras punggung tangannya sampai dia mengaduh. Indra terkekeh kemudian sambil sesekali menyuap ramen ke mulutnya. Suasana yang sempat tegang tadi kembali mencair, thanks to him. Selalu Indra yang bisa memperbaiki suasana dan hubungan kami. Dia tidak membiarkan retak menganga terlalu lama hingga menjadi lubang—dia selalu menambalnya dengan cepat, meski hanya menggunakan lem sementara yang bisa membuka retakan itu lagi kapan saja.
Aku sesekali mencuri pandang ke arah Indra yang makan dengan lahap. Tiba-tiba rasa bersalah muncul karena aku belum menceritakan kepadanya tentang Ao. Masalahnya aku sendiri tidak bisa menjelaskan siapa Ao dan kenapa aku masih terlibat dengannya. Alasan klise mencegahnya bunuh diri bukan alasan bagus untuk tetap menghabiskan waktu makan siang berdua dengan laki-laki lain tanpa sepengetahuan tunanganmu.
Aku menghela napas panjang dan Indra menangkapnya sebagai sesuatu yang salah. “Kenapa, Babe? Ada yang mau kamu ceritakan?” tanyanya, dengan raut wajah cemas.
Aku tersenyum menenangkan. “Nggak kok, cuma drama kantor yang receh.” Meski dalam hati, aku mengatakan sebaliknya. Ini bukan hal receh sama sekali.
****
CHAPTER 6 : MANTAN YANG KEMBALI
~AOZORA~
Aku merokok lagi. Setelah beberapa hari berhenti merokok karena Virgo membenci bau rokok yang menguar dari tubuhku, aku jadi sedikit menjauhi rokok. Aku membuka jendela kamarku lebar-lebar untuk menikmati angin malam. Memiliki kamar kos di lantai lima—lantai paling atas memang sedikit melelahkan, tapi aku jadi punya akses tercepat ke rooftop dan pemandangan yang berbeda ketika malam.
Ini sudah pukul sebelas malam, aku sama sekali tidak mengantuk dan sudah tiga puntung rokok tergeletak di asbak berbentuk tengkorak transparan seperti gelas. Asbak itu hadiah dari salah satu cewek yang kukencani sebelum ini, dia membelikannya dari luar negeri—aku lupa negaranya. Aku bahkan lupa siapa nama cewek itu.
Aku membuka ponsel, melewatkan chat dari orang kantor yang menyebalkan dan beberapa chat dari cewek-cewek yang kukencani sebelum ini. Uh, uh, mereka minta ketemuan? Yang benar saja. Aku bahkan sudah kehilangan minat. Sebenarnya aku penasaran apa yang ada di pikiran Virgo ketika aku mengatakan aku ini playboy, secara terang-terangan. Pasti dia menyumpahiku, mengingat sifatnya yang begitu lurus dan polos. Sungguh menggemaskan.
Tiba-tiba ponselku bergetar dalam mode senyap. Nomor tak dikenal. Biasanya aku akan melempar ponsel itu ke kolong sofa untuk meredam suaranya yang menyebalkan. Tapi aku sedang bosan malam ini dan aku berjanji pada Virgo untuk tidak melompat sampai besok, jadi aku memilih mengangkat telepon itu.
“Halo? Ao?”
Suara di seberang terdengar tidak asing, tapi sepertinya otakku berusaha keras untuk tidak mengingatnya.
“Ao lo masih di sana? Kok diem aja?”
“Ya, I’m here…”
“OMG, finally telepon gue direspon juga!” jeritnya, membuatku menjauhkan ponsel dari telinga. “Wait, jangan bilang lo nggak inget siapa gue?”
Yeah, aku tidak pernah melupakan suara ini.
“Sorry, ponselku rusak jadi semua nomor hilang,” ujarku asal, mulai menyesali keputusan mengangkat telepon ini. “Who’s this?”
“Saskia! Remember?”
Aku tertegun. Meski berharap pemilik suara ini adalah orang lain, tapi rupanya skenario terburuk sedang berlangsung sekarang. Pemilik suara ini adalah sosok yang pernah singgah begitu lama di kehidupanku, sebelum digantikan cewek-cewek centil yang kukencani seminggu sekali itu.
Uh, uh, tiba-tiba aku merasa sesak napas. Cepat-cepat aku menyalakan kipas angin butut di kamarku untuk membuat aliran udara yang lebih baik.
“Ao, are you still there?”
“Yeah ….” Suaraku serak, seperti orang baru bangun tidur.
“I’m back. Gue di Jakarta sekarang. Gue udah berusaha ngehubungin lo dari beberapa hari yang lalu tapi lo nggak bales chat atau telepon gue. Gue sempet khawatir lo ganti nomor. How’s life? Are you okay?”
Aku masih terdiam. Sulit sekali bernapas seakan-akan oksigen di ruangan ini lenyap seketika. Malam yang masih sedikit ramai di Senayan, tiba-tiba terasa sepi. Suara-suara di sekelilingku terasa menjauh dan kesunyian yang aneh menyergap—membuatku mual.
“Hei, Ao? Are you okay?”
“Yeah …” ujarku, berhasil mengerahkan kekuatan terakhir untuk berbicara.
Hening menyergap kemudian. Lututku melemas dan aku sudah jatuh terduduk di bawah kusen jendela dengan pandangan kosong menatap pintu kamar.
“Ao, ayo meet up! Gue jemput di mana besok? Lunch, okay?”
Besok Virgo memang tidak bisa datang saat makan siang, tapi apa aku memang ingin bertemu dengan Saskia? Cewek yang pernah membuatku menikmati hidup ini, hadir kembali setelah pergi bertahun-tahun tanpa kabar. Meninggalkanku sendirian yang berjuang melawan masa lalu. Apa aku masih ingin bertemu dengannya?
“Okay.”
Apa sebaiknya sekarang saat yang tepat untuk lompat dari jendela lantai lima?
****
Saskia tidak menepati janjinya. Undangan makan siang hari ini dibatalkan tiba-tiba karena Saskia harus menemui klien yang mengajaknya makan siang. Saskia memohon untuk menggantinya dengan makan malam bersama, tapi aku belum mengiakan karena aku sudah berjanji makan malam dengan Virgo. Jadi di sinilah aku, mondar-mandir tidak jelas karena menemani Helena membelikan kado untuk Pak Wildan yang akan pensiun dalam waktu dekat.
“Muka lo nggak bisa lebih ditekuk dari ini?” sindir Helena ketika kami mampir ke resto Thailand, setelah berhasil membeli kado perpisahan.
“Muka gue emang begini, Hel.”
Helena menyeruput lemon squash-nya dengan suara yang berisik. “Lo kenapa deh akhir-akhir ini murung nggak jelas gitu? Ada masalah sama anak-anak?”
Aku menyeringai. “Kenapa? Mulai perhatian sama anak buah lo?”
Helena berdecak. “Jangan mulai, Ao. Gue kan banyak yang harus diurusin, nggak bisa nanyain satu per satu kondisi hati kalian. Lagian, jangan menganggap gue itu atasan kalian, gue itu cuma team leader, masih setara sama kalian.”
Aku menggeleng tidak setuju. “Tapi lo punya kuasa nyuruh-nyuruh kita, terutama gue,” ujarku sinis. “Atau gue emang kesayangan lo banget sampe lo nggak mau nyuruh orang lain selain gue, Hel?”
Helana melotot dan memukul lenganku kesal. “Lo ini cari masalah sama gue?”
Aku tidak menanggapi Helena lebih lanjut dan memilih makan dalam diam. Aku tahu betul gossip yang mengatakan aku menjilat kaki Helena untuk mendapatkan posisi senior analyst dan menjadi top of mind Pak Wildan. Malah akhir-akhir ini ada gossip aku memiliki hubungan khusus dengan Helena. Mengingat sikap posesif Helena padaku, kadang aku memang menyadari wanita yang lebih tua dariku tiga tahun ini memang punya perasaan khusus.
Helena termasuk wanita yang menarik, jauh lebih menarik dibandingkan cewek-cewek yang kukencani sembarangan dari dating app. Namun, aku tak ada niatan serius dengannya. Apa ya, dia terlihat menarik sekaligus membosankan. Sama seperti kau main game petualangan, ketika semua quest berhasil dilalui, maka tak ada menariknya untuk mengulang game yang sama.
Aku tengah menunggu Helena membayar—lebih tepatnya memaksa membayar makan siang kami sebagai tanda terima kasih, ketika seseorang meneriakkan namaku. Itu Saskia, berlari kecil ke arahku. Aku tidak mungkin melupakan wajah itu, senyum itu, wangi rambutnya, jemarinya yang lentik. Ah, aku jelas tidak mungkin melupakan aroma citrus yang melekat padanya.
Uh, uh, Ao sadarkan dirimu!
“Ao, what a nice coincidence! Lo lagi ngapain di sini?” Saskia menggoyangkan lenganku dengan heboh setelah sebelumnya memelukku—yang jelas membuatku sedikit gelagapan.
“Umm, makan siang sama boss.” Aku menelengkan kepala ke Helena yang rupanya tertahan karena membuat member resto Thailand itu. “How’s life?”
Dari semua pertanyaan bodoh, yang terucap adalah menanyakan kabarnya. Oh Ao, kapan kau jadi orang yang lebih pintar sedikit ketika bersama Saskia?
Saskia tersenyum selebar bibirnya mampu tertarik ke samping. “Good! Lo belum bales pertanyaan gue! Nanti malem ketemuan?”
Ah iya, aku baru ingat. “Lo bukannya ada meeting dengan klien?”
Saat itu kusadari ada seseorang yang berjalan mendekati kami. Laki-laki dengan stubble beard-nya itu tampak gagah ketika berdiri di belakang Saskia. Oh, kekasihnya yang baru? Oh come on, memangnya kau berharap apa, Ao?
“Temen lo?” ujar laki-laki itu. Suaranya bahkan sangat menenangkan. Mungkin kalau aku wanita, aku akan dengan mudah jatuh cinta dengannya.
“Ao, kenalin ini senior gue di kantor gue yang baru. Mas Indra, ini Ao. Ao, ini Mas Indra.” Saskia memperkenalkan kami seperti anak kecil yang memperkenalkan teman sepermainannya.
Eh, tunggu! Siapa namanya tadi? Indra?
“Hai, nice to see you!” Indra mengulurkan tangannya padaku dan aku menyambutnya dengan senyum canggung. Indra melirik jam tangannya dan memberi kode pada Saskia untuk segera pergi. “Saskia, kita harus ke meeting berikutnya dalam setengah jam. Yuk?”
Saskia mengerucutkan bibirnya. Kemudian dia menepuk lenganku sekali. “Text me ya, Ao. Gue jemput kalau lo udah free nanti malam!”
Saskia pergi setelah Indra berpamitan singkat padaku. Aku hanya menatap kedua orang itu sampai siluet mereka menghilang ke dalam lift yang membawa mereka ke lantai dasar. Bahkan ketika Helena selesai dengan pendaftaran member-nya, aku masih bengong menatap lift itu bergerak turun ke bawah.
Aku baru ingat. Bukannya nama tunangan Virgo itu, Indra, ya?
****
CHAPTER 7 : SURAT DI LACI MEJA
~VIRGO~
Beberapa hari yang lalu, aku lembur membuat surat resign. Namun, ujung-ujungnya surat itu hanya teronggok di laci meja kantor, terkunci rapat dan kuncinya kubawa kemana-mana. Alesha kurang lebih banyak benarnya, lingkungan pekerjaan di sini sangat tidak sehat. Fake it till you make it. Rasanya kaki atasan lebih lezat dibandingkan promo gratisan Sushi Tei sekalipun.
Jam tidurku sekarang hanya berkisar pukul satu dini hari sampai pukul empat pagi. Aku tidak nyenyak tidur dan bangun dengan mood ingin mencekik orang. Terlebih aku merasa setiap aku bangun, aku merasa hari itu adalah hari Senin.
“Monday Syndrome? Kamu cuma lelah aja, Babe,” ujar Indra ketika aku mengeluhkan gangguan tidurku. “Mau ambil cuti? Atau kamu mau resign aja? Toh sebentar lagi kita menikah, bukan? Kamu bisa tenang menekuni hobi membacamu di rumah.”
Lalu setelahnya aku tak pernah mengungkitnya lagi. Resign dan membiarkan diriku tergantung secara finansial kepada orang lain tidak pernah ada dalam kamusku. Aku harus mendapatkan pekerjaan baru sebelum memutuskan resign. Tapi bagaimana? Mengajukan cuti saja sudah seperti meminta Ediana menyembah kakiku.
Aku baru saja meletakkan tas di meja ketika kusadari laci mejaku sedikit terbuka. Panik, aku membukanya, mengecek apa surat itu masih ada atau tidak. Wajahku memucat karena tak menemukan benda tipis yang masih berbentuk lembaran itu di laci meja. Seharusnya aku tidak melupakan kunci laci semalam, urgh, dasar Virgo bodoh!
“Mencari ini?”
Aku mendongak, mendapati Bram mengacukan kertas yang kucari dengan panik sedari tadi. Mataku membulat marah dan merebut kertas itu dari tangannya.
“Lo nggak punya sopan santun ya, ngebuka privasi orang seenaknya?” ujarku dingin pada Bram, tapi lelaki itu hanya mengedikkan bahu.
“Itu tadi jatuh di deket lemari. Jangan asal nuduh. Harusnya lo berterima kasih sama gue, rahasia lo aman.”
Aku mengernyit. “Aman? Nggak salah denger gue?”
Bram menatapku sinis. “Yang harusnya jaga sikap tuh lo, Vir, nggak usah sok jago. Lo harus baik-baik ke gue, biar rahasia lo aman.”
Aku melipat dan memasukkan kertas itu ke dalam tasku. Aku tidak akan meninggalkannya di kantor lagi apalagi setelah makhluk seperti Bram mengetahuinya. Sial, dari semua orang yang ada di sini kenapa harus Bram sih, yang menemukan surat resign-ku.
“Jadi, lo udah dapet tempat baru?”
Aku membelalak tidak percaya. Kupikir Bram akan pergi ketika aku mengabaikannya, tapi sekarang dia malah bersandar pada dinding kubikelku dengan santainya. Tak mendapat jawaban dariku, dia menelengkan kepala dengan tidak sabar.
“Earth to Virgo, can you hear me?”
“Apa sih Bram!” gertakku, mulai kesal. “Gue nggak mau ngomongin ini! Bisa nggak lo pura-pura nggak kenal gue aja?”
Bram berdecak. Dia beranjak dari tempatnya bersandar dan menepuk pundakku. “I told you, right? Jangan arogan, lo bisa mampus. Mulutnya nih, dijaga!”
Setelahnya Bram pergi, meninggalkanku yang masih menahan gejolak amarah. Alesha baru saja melewati kubikelku, ketika aku membanting credit file ke meja dan menelungkupkan kepala. Pasti Alesha tidak akan mengajakku bicara seharian. Tidak sehat bagi ibu hamil untuk berurusan dengan perempuan labil sepertiku, dia pernah berujar kapan hari.
Ponsel di dalam tasku bergetar dalam mode senyap, membuatku mengangkat wajah dengan malas. Aku berniat mematikan ponsel sampai kulihat nama yang muncul di layar.
“Ya, Ao? Kenapa telepon pagi-pagi?” ujarku sambil berbisik. Tidak ada yang tahu pertemuanku dengan Ao di ruangan ini dan aku harap mereka tidak perlu tahu.
“Apa kamu keberatan kalau kita tidak jadi makan malam bersama?”
Aku mengernyit. “Kenapa? Ada apa? Kamu nggak berniat yang aneh-aneh, kan?”
“Uh, uh, aku ada janji,” suara Ao terjeda, “… dengan teman lama.”
Aku terdiam. Nada suaranya tampak meragukan, tapi memangnya aku berhak melarangnya. Kami bahkan baru mengenal karena ketidaksengajaan yang mengerikan. Toh, seharusnya aku bahagia dong, karena tidak perlu terikat lebih lama dengan lelaki aneh itu.
“Okay, ingat ya, kalau kamu melakukan hal aneh-aneh jangan sampai melibatkan saya!”
Ao terkekeh canggung. “Tenang saja.”
Telepon ditutup oleh Ao, tapi aku merasa sedikit kesal. Argh, aku tidak mengerti dengan pikiranku sekarang. Fokus, Virgo, fokus. Sekarang pokoknya cari cara biar Bram nggak ngember masalah surat resign itu. Alesha saja belum tahu, masa orang sialan seperti Bram lebih tahu duluan. Sial, aku butuh dopping. Kuraih kembali ponselku dan menelepon nomor yang tercatat paling atas di daftar kontak.
“Indra? Nanti malam dinner bareng, yuk!”
****
Alesha tidak berhenti berdecak ketika kuceritakan penemuan surat resign-ku oleh Bram. Makan siangku hari ini terasa begitu hambar, apalagi harus berhadapan dengan nasabah ketika mood sedang tidak karuan. Mulut sih senyum terus ya, hati dan pikiran sudah ingin mencincang orang lain yang ada di hadapanku. Alhasil, makananku tidak habis, dan asam lambungku hampir naik ketika kembali ke kantor.
Alesha ada di pantry ketika aku berencana membuat mie cup dan berakhir menjadi sesi curhat. Melihat Alesha yang makin kesusahan bangkit dari kursinya, membuatku semakin takut untuk menikah dan hamil. Apa nanti aku beneran resign saja ya kalau sudah hamil?
“Padahal gue yakin banget lo adalah orang paling teliti yang pernah gue temui di dunia ini, Vir. Kenapa bisa sampai jatuh ke tangan Bram, sih?”
Aku meneguk habis kuah mie-ku yang mulai dingin. “Ya gimana? Apes aja kayaknya.”
“Tapi serius deh, lo beneran mau resign? Nggak nyangka gue. Gue kira, gue duluan yang bakal resign,” tukas Alesha, sambil sedikit terkekeh. Menyebalkan.
“Bikin doang, nggak tahu kapan eksekusinya. Namanya juga lagi budrek pikiran!”
“Indra kan cukup mapan, Vir, lo resign juga finansial masih aman. Lah gue, laki gue baru dapat kerja setahun setelah gue, secara gaji masih gedhe-an gue dikit.”
“Itulah,” keluhku. “Nggak yakin gue bisa tergantung sepenuhnya sama Indra. Nggak pernah gue selama ini hidup tergantung sama orang lain, kan kagok ya!”
Alesha mengangguk-angguk, tapi tak berkomentar lebih lanjut. Setelahnya, kami sama-sama kembali ke ruangan, karena suara Ediana sudah menembus pintu pantry—mencari kami berdua. Melihatku dan Alesha bersama keluar dari pantry, Ediana sudah sempat memelotot. Apalagi di hadapannya ada Bram, yang menatap kami dengan pandangan meremehkan. Di belakang Bram, ada Langga yang menggaruk kepalanya bingung.
“Kalian dari mana? Bentar lagi kita present ke risk management, malah santai-santai!” omelnya sambil menunjuk kami—lebih tepatnya ke arahku sih daripada Alesha. Alesha memang selalu lolos dari omelan Ediana, apalagi ketika perut buncitnya mulai membuatnya mudah lelah.
“Kita duluan aja Mbak, nanti mereka menyusul,” usul Bram, sok berusaha menjadi pahlawan kesiangan. Serius, kalau boleh melukai orang tanpa pidana, aku sudah menusuk wajah Bram dengan heels-ku.
“Ck, ya sudah, kita duluan. Kalian cepet nyusul ya! Virgo, lo jangan lelet, lo kan nggak hamil kayak Alesha!” timpal Ediana, dengan nada sinis tentunya.
“Okay, Mbak,” jawabku, seadanya. Ya, mau jawab apa lagi?
Langga tidak langsung mengikuti Bram dan Ediana pergi, tapi malah mengangsurkan credit file ke arahku. “Mbak Virgo, ini bahannya buat present nanti.”
Setelah mengucap terima kasih, aku bergegas mencari laptop dan agendaku. Coba temen satu team-ku sebaik dan sesopan Langga semua, hidup tidak akan lebih buruk. Bram sialan!
****
CHAPTER 8 : LUKA YANG DITABURI GARAM
~AOZORA~
Seharusnya aku makan malam dengan Virgo, tapi aku membatalkannya. Hanya demi Saskia, sang mantan yang aku ragu masih menaruh rasa yang sama atau nggak. Sebenarnya aku penasaran kenapa tiba-tiba dia kembali setelah menghilang begitu saja—melupakan janjinya padaku. Mungkin ada rasa ingin balas dendam padanya. Sedikit saja.
Saskia malam itu tak jauh berbeda dengan Saskia yang kutemui siang tadi. Dia masih cantik dan ceria—bahkan sedikit menggoda. Sial, seharusnya aku tidak membatalkan acaraku dengan Virgo. Atau aku kabur saja ya sekarang?
“Lo masih nggak suka sushi?” Saskia mengucapkannya setelah melahap satu potong sashimi salmon, serta merta menghentikan gerakan jariku membuka aplikasi taksi online di ponsel untuk rencana kabur yang dramatis.
“Gue bisa makan kok, cuma better cari yang matang aja.”
“Yah, maaf ya. Gue kira lo udah bisa makan, soalnya lo nggak nolak gue ajak ke sini.”
Aku mengedarkan pandangan sekilas pada restoran sushi di Senopati yang cukup ramai malam itu. Meski aku sangat tidak ingin makan saat ini. Rasa lapar tak pernah lagi hinggap di perutku sejak aku memutuskan lompat tempo hari—yang berakhir digagalkan Virgo.
“Nggak apa-apa, gue kan makan juga ini,” ujarku menunjuk ramen yang belum kusentuh.
“Tell me, Ao, how’s life?”
Seriously, dia nanya kehidupan banget? Ini cewek amnesia apa gimana? Batinku meronta marah ingin mengeluarkan caci maki, tapi mulutku dengan baiknya berkompromi malam ini.
“Lo kelihatan makin ganteng aja. Udah kawin belum? Apa gantungin status pacar lo?”
Aku menatap perempuan di depanku ini dengan takjub. Gila, orang ini cari masalah! Ngomongnya sambil ngeliatin sushi lagi, bukan aku.
Mungkin karena nggak mendapatkan jawaban dariku, Saskia mengalihkan pandangannya dari sushinya kepadaku, “Ao, kok diem aja?”
“Uh ….” Aku gelagapan sendiri. “I don’t know how to answer that.”
Saskia tergelak, “Gemes banget! Jangan bilang lo masih nggak bisa move on dari gue?”
“Yeah, maybe ….”
Uh, uh, Ao kau baru saja membunuh dirimu sendiri. Dari mana sih keberanian bilang kayak gitu. Jelas-jelas jawaban itu adalah hal yang paling anti disebutkan kalau ketemu sama mantan. Ao, kau mengaku dirimu playboy, tapi begini saja kau payah.
“Um, maksud gue, gue belum punya pacar,” koreksiku, yang sepertinya tidak memperbaiki keadaan sama sekali. Saskia masih memandangku dalam diam, tatapannya menyiratkan perasaan bersalah—mungkin karena dulu meninggalkanku. Telat banget sadarnya.
“I do really sorry. Waktu itu ninggalin lo gitu aja ….”
Okay, here comes your answer, Ao. Setelah bertahun-tahun, apakah akhirnya aku tahu alasan Saskia meninggalkanku? Rasanya ingin menyiram cewek ini dengan air di muka umum.
“Gue udah lama pengen dapetin beasiswa itu … Jadi gue akan berangkat apa pun alasan dan rintangannya.”
“Meskipun gue udah bilang nggak keberatan untuk LDR? Lo tetep mutusin gue, Sa, lo nggak mendengarkan gue,” ujarku, tanpa bisa kucegah. Kini aku terdengar seperti cewek manja yang merengek pada orang tuanya untuk dibelikan mobil dua pintu terbaru untuk bergaya.
“Ao, lo tahu gue nggak bisa LDR. Gue takut, gue krisis kepercayaan diri.” Saskia meletakkan sumpitnya dan sepenuhnya memberikan perhatian padaku. “Gue tahu, gue harus bilang ini cepat atau lambat. Gue takut, gue nggak bisa menjaga lo.”
“Gue nggak pernah selingkuh, Sa.” Tenggorokanku tercekat ketika mengatakannya. “Gue selalu percaya sama lo, gue serius sama lo. Gue—“
“Gue tahu, gue tahu banget. Masalahnya ada di gue … di jarak antara kita …”
“After seven years, you come to me just to say this shits?”
Saskia terkejut dengan nada suaraku yang meninggi. Jangankan dia, aku saja kaget. Aku menghela napas panjang, meneguk ocha dingin sampai tandas—berharap otakku lebih dingin dan mulutku dapat diajak bekerja sama lebih lama.
“Lo nggak tahu apa yang sedang gue rasakan waktu itu, Sa, dan waktu gue butuh lo, lo pergi, lo nggak ada. Sekarang lo dateng seakan nggak ada apa – apa di antara kita!” Napasku mulai memburu, meski sebelum berucap aku berusaha menenangkan diri.
“Sekarang lo bawa-bawa jarak, lo bawa-bawa kepercayaan. Seharusnya gue yang punya trust issue sama lo!”
Saskia terhenyak di tempat duduknya. Okay, aku datang malam ini niatnya ingin tahu alasannya pergi tujuh tahun yang lalu, tapi rupanya aku malah membuka gerbang ke masalah-masalah lainnya yang tidak penting. Aku semakin yakin keputusanku untuk kabur tadi merupakan keputusan yang baik, kalau tahu ini yang terjadi.
“Memangnya yang berkorban hanya lo doang?” Air mata Saskia tumpah begitu saja, mengalir deras tanpa henti dari dua mata indahnya. Shit, I’m fucked up!
“Gue juga berjuang sendirian di sana, Ao! Lo nggak tahu apa yang gue rasakan di Boston sendirian! Lo nggak tahu gue—“
“Gue nggak tahu karena lo nggak cerita! Lo pergi! Lo hilang! Ya gimana gue tahu!”
Tinjuku memukul meja begitu saja, membuat isakan Saskia terhenti. Seorang pramusaji yang lewat menatap kami berdua diam-diam, mungkin takut aku akan merusak properti mereka. Aku menyambar jaket dan berdiri meninggalkan Saskia yang kembali terisak. Ramenku masih utuh tak tersentuh dan mungkin sudah tidak enak rasanya.
“I’m done with you. Sebaiknya kita nggak usah ketemu lagi.”
Setelah membayar tagihan di kasir, aku bergegas pergi. Aku bahkan tidak peduli bagaimana Saskia pulang. Aku tidak peduli lagi dengannya. Kupikir semua akan baik-baik saja selama tujuh tahun ini. Kupikir aku sudah merelakannya pergi dan merasa dia adalah bagian dari masa lalu yang ingin kuhapus bersamaan dengan kenangan yang lain. Nyatanya dia datang kembali, Saskia muncul di hadapanku, membawa harapan kosong yang sekali lagi dia lontarkan.
Semua ini omong kosong.
Beruntungnya aku mendapatkan taksi kurang dari sepuluh menit, tak perlu khawatir disusul Saskia. Sudah pukul setengah sembilan malam dan aku merasa hari ini jalanan lebih padat daripada biasanya—mungkin karena hari Jumat. Pemandangan gedung-gedung tinggi menjulang di Sudirman Centre Business District atau SCBD—yang di antaranya menunjukkan puncak gedung kantorku, mau tak mau membuatku terbawa suasana gemerlap ibukota saat malam hari.
Beberapa orang yang tampak baru selesai bekerja tengah berjalan kaki di trotoar dan ketika aku melewati bundaran GrandLucky Super Store, tampak Virgo berdiri di sana sendirian. Ah, benar-benar kota yang tidak pernah tidur.
Eh, tunggu—
“Pak, Pak, berhenti sebentar!” ujarku buru-buru, membuat sopir taksi marah-marah karena mendadak aku minta dia menepi. Aku berlari keluar menghampiri cewek mungil itu yang tengah berdiri di depan Energy Building.
“Virgo! Hei, sedang ap—” Ucapanku terhenti begitu tepukanku membuatnya menoleh.
Cewek itu hanya terdiam menatapku, mungkin sedikit terkejut. Namun, aku jelas melihat sisa air mata di sudut matanya yang sembab, dan beberapa bagian riasannya yang luntur. Dilihat dari mana pun dia tidak sedang baik-baik saja.
“Ao? Sedang apa di sini?”
Pertanyaan Virgo membuyarkan lamunanku. “Kebetulan lewat, kamu ngapain sendirian? Baru mau pulang?” Aku menggeleng pelan menyadari kesalahan pertanyaan barusan. “You look pathetic, are you okay?”
Virgo terkekeh. “Not at all.”
“Mau cerita? Aku tadi naik taksi, baru mau pulang ke kosan. Kamu mau kuantar pulang? Atau bawa mobil, nanti aku yang bawa?” tawarku, buru-buru karena teringat sopir taksi yang kutakutkan sudah keburu pergi.
Virgo terkekeh lagi. “No, I’m fine. Kamu pulang saja, Ao, jangan pedulikan saya.”
Entah apa yang merasukiku, aku malah menarik pergelangan tangan Virgo dan menyeretnya menuju taksi yang menunggu di samping Grand Lucky.
“Kamu butuh tempat yang lebih tenang.”
Virgo menurut. Bahkan menurutku tangannya terlalu lemah dan aku tak perlu tenaga ekstra menyeretnya masuk ke dalam taksi. Virgo diam saja selama di taksi dan aku tidak tahu dimana tempat tinggalnya. Kami sudah berputar dari Sudirman sampai Kuningan dan waktu menunjukkan pukul sepuluh kurang. Sopir taksi kami mulai bosan dan kesal karena tidak jelas tujuan kemana kami pergi. Karena Virgo diam saja, aku membuat keputusan sepihak.
“Pak, ke Patal Senayan ya.”
****
CHAPTER 9 : KAMAR YANG BAU ROKOK
~VIRGO~
Kata Indra, semuanya bisa diatasi asal kami saling mengalah. Nyatanya perkara saling mengalah ini nggak semudah ketika diucapkan. Makan malam hari ini seharusnya untuk meningkatkan mood dan motivasiku bekerja setelah surat resign-ku ketahuan Bram. Seharusnya Indra memberikan ketenangan yang biasanya kutemukan dalam dirinya.
Lima belas menit pertama kami duduk di Lucy in The Sky dan memesan makanan, Indra mulai mengoceh tentang buruknya hari ini. Terutama Saskia yang nggak becus bekerja setelah ketemu mantannya siang bolong di Pacific Place. Bahkan beberapa menit berikutnya dihabiskan Indra untuk menceritakan Saskia dan berbagai perangainya.
“Ndra, aku ke sini mau dinner sama kamu, bukan dengerin dongeng tentang Saskia,” potongku akhirnya, tak tahan mendengar omelan Indra. Sudah cukup buruk hariku gara-gara Bram, jangan sampai Saskia menambah beban hidupku.
Di luar dugaan, Indra melempar kekesalannya pada Saskia ke arahku. “Babe, jadi aku tuh nggak boleh cerita ya? Cuma kamu yang boleh cerita dan harus didengarkan?”
“Loh, kok jadi sewot?”
“Kalau kita menikah nanti, kalau aku pulang kerja capek, kamu nggak mau dengerin?”
Aku tahu seharusnya aku berhenti saat itu. Namun, rasa lelahku yang mendera beberapa hari terakhir tak mampu kubendung lagi. “Kok kamu jadi marah-marah! Aku bukannya nggak mau dengerin, but, I came here for dinner! Jangan bicara pekerjaan, apalagi cewek lain!”
Indra mengernyit, “Kamu cemburu, oh please don’t be.”
“I’m not!” Rasanya darahku sudah mendidih saat itu. “Kita sama-sama capek, Ndra, dan aku berharap ketika kita ketemu kayak gini, kita sharing hal-hal yang menyenangkan aja. Jangan bahas pekerjaan, bikin pusing!”
“Fungsinya pasangan itu ya saling menguatkan, Vir,” Indra berucap lagi, dengan intonasi yang sedikit tinggi—bahkan dia sudah mulai memanggilku dengan nama. “If something happens to you, it affects me too. Jadi kalau ada masalah, ya harus cerita! Jangan pura-pura nggak ada masalah kalau ketemu!”
“Ndra!” Aku memijat keningku. “Please stop, aku nggak mau berantem.”
“You started it first.” Indra mengedikkan bahu. “Aku pikir kamu mau menerima semua kelemahanku, Babe, ternyata kamu hanya ingin kenyamanan untukmu saja.”
Aku tiba-tiba merasa kehausan, tapi minumanku tak kunjung datang. Indra menatapku dengan kekecewaan tergambar jelas di matanya. “I’m always here for you. But you never were.”
Mungkin aku sedang PMS, jadinya hormon labilku sedang dalam puncak tertinggi. Yang kulakukan berikutnya adalah meninggalkan Indra begitu saja. Indra tidak mencegahku pergi. Mungkin, dia sama lelahnya denganku. Mungkin, kami sama-sama butuh waktu sendiri.
“Virgo? Mau sampai kapan di situ?”
Aku tersadar karena bau rokok mengisi rongga hidungku ketika Ao membuka pintu kamarnya. Eh tunggu, aku dimana? Kok ada Ao?
“Vir, do you want to come in or not? Kuantar pulang saja?” Ao masih berdiri di ambang pintu, tangannya masih memegang kenop, dan matanya menatap lurus padaku. Mata yang sama lelahnya denganku.
Kini aku ingat, aku bertemu Ao ketika sedang menunggu taksi di SCBD tadi. Lalu aku mengikutinya pulang ke indekosnya. Ah, bagaimana bisa kau seceroboh itu Virgo!
Melihat Ao yang masih berdiri di ambang pintu membuatku tidak enak hati. Pasti laki-laki ini jadi kesusahan karena aku yang melamun sepanjang perjalanan. Mungkin tadi Ao menanyakan alamatku, entah, aku tidak ingat. Aku mungkin tidak benar-benar ingin sendiri sekarang.
“Maaf kamarnya bau rokok,” ujar Ao sambil menutup pintu di belakangku. “Padahal aku selalu merokok di rooftop akhir-akhir ini.”
Aku melemparkan diri ke atas sofa keras yang mungkin menjadi satu-satunya perabot Ao di kamar itu yang bisa kududuki. “Rooftop? Kosan ini ada rooftop-nya?”
Ao mengedikkan bahu. “Semacam itu. Lebih tepatnya seperti tempat jemuran pakaian.” Ao membuka mini bar yang kulihat isinya hanya botol mineral, beberapa kaleng bir, dan sisa makanan yang dibekukan. “Mau minum apa? Aku tidak punya banyak pilihan.”
“Air mineral aja.” Aku menangkap lemparan botol air mineral dari Ao. “Kamu nggak mencoba lompat dari rooftop kosan kan?”
“Pernah.” Ao membuka satu kaleng bir dan duduk di lantai yang dilapisi vinyl warna cokelat tua. “Tapi ketahuan salah satu penghuni kos yang menjerit histeris. Setelahnya, pemilik kos memasang CCTV dan diawasi 24 jam oleh penjaga, jadi aku tak punya kesempatan lagi.”
“Kenapa sih, kamu suka sekali berencana bunuh diri?” Aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Kupikir kosan ini sempit ternyata cukup luas untuk ditinggali seorang diri. Apa mungkin karena hanya ada beberapa furnitur saja di sini yang membuatnya terlihat luas?
“Ya kan memang tujuanku mau mati.”
“Hei!” Aku menendang tulang keringnya. “Sudah saya bilang jangan bicara begitu!”
Dia tersenyum, “Kenapa kamu peduli, Vir? Kita bahkan nggak mengenal sebelum pertemuan di rooftop waktu itu.”
Aku melengos. “Saya nggak suka aja sama orang yang ngomongin mati segampang itu. Apa sih yang membuat kamu menyerah seperti itu, Ao?”
“Nggak ada alasan spesifik. Aku nggak punya tujuan hidup aja.” Ao menenggak habis bir kalengnya dan melemparnya asal-asalan ke tong sampah di sudut ruangan—untungnya kalengnya masuk tepat sasaran. “Nggak seperti kamu, yang punya Indra contohnya, yang jadi alasan untuk kamu tetap hidup.”
Aku memutar bola mata. “Yeah, alasan saya untuk hidup itulah, yang menyebabkan saya ada di sini sekarang, Ao.”
“Kalian berantem? Kamu tadi lagi sama Indra?” Ao membelalak, tubuhnya condong ke arahku. Uh, dilihat dari tempatku duduk, dia tampak seperti anak anjing.
“Sudah, nggak usah dibahas. Capek. Anyway ….” Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. “Dimana kamu biasa tidur?”
Ao menelengkan kepala. “Itu, di sofa yang kamu duduki.”
“Hah?” Aku hampir menjerit mendengar omong kosong barusan. “Ini sofa, bukan tempat tidur, Ao! Jangan bercanda, saya sedang malas, nih!”
“Aku nggak bercanda. Aku memang tidur di situ. Eh, nggak apa loh nggak usah ikut duduk di lantai, Vir!” ujar Ao begitu melihatku langsung duduk di lantai begitu tahu itu tempatnya beristirahat dan aku seenaknya duduk di atasnya. “You can sit anywhere you want.”
“Kayak saya punya pilihan lain selain di sofa,” cibirku. “Why, Ao? Berapa lama kamu bekerja di IBI? Pasti setidaknya lebih lama dari saya. Gajimu cukup untuk membeli sebuah tempat tidur, kan? Kenapa tidur di sofa? Ini bahkan bukan sofabed!”
Ao mengedikkan bahu lagi. Matanya masih terlihat lelah. “Sama saja buatku. Lagipula kenyamanan itu relatif. Bagiku, tidur di sofa sudah cukup nyaman dan nggak makan tempat banyak. Aku nggak suka ruangan penuh barang-barang.”
Kenyamanan itu relatif ….
“Vir, kamu benar-benar capek ya?”
Tiba-tiba kurasakan tepukan Ao di bahuku. Laki-laki itu kini ada di hadapanku, hanya berjarak kurang dari satu meter—menatapku khawatir. Mungkin sedari tadi aku berusaha mengalihkan pikiranku dengan memikirkan kondisi Ao, tapi sebenarnya aku hanya ingin lari. Tepukan Ao barusan menyadarkanku atas kondisi tubuhku yang perlu istirahat.
“Are you okay? Kuantar pulang ya? Beri tahu alamatmu.” Ao berdiri dan mengulurkan tangannya kepadaku. Aku hanya mendongak menatapnya, tak beranjak sedikit pun dari tempatku duduk. Kakiku rasanya benar-benar kelelahan, kepalaku terlalu berat untuk di ajak membuat keputusan—bahkan untuk mengingat dimana aku tinggal.
“Ao, boleh saya menginap malam ini?”
****
CHAPTER 10 : JANJI YANG SULIT DIPENUHI
~AOZORA~
Dengkuran halus Virgo membuatku menoleh padanya. Cewek mungil itu pulas ketika ceritanya selesai kurang dari satu jam. Aku menoleh pada jam dinding yang kuletakkan sembarangan di atas nakas—menyandar tanpa repot-repot kupaku ke dinding. Masih pukul tiga dini hari. Virgo mungkin cewek paling ceroboh dan naif yang pernah kutemui. Bagaimana bisa dia tertidur begitu saja di kamar kos seorang laki-laki tanpa khawatir terjadi sesuatu.
“Saya percaya sama kamu. Jadi biarkan saya istirahat barang sebentar, ya?” ujarnya sesaat sebelum terlelap. Padahal aku sudah menolak dan hampir menyeretnya keluar dari kamarku, tapi dia malah bergelung di sofa dan memunggungiku. Dasar! Memang benar sih, aku tak berniat melakukan apa pun, tapi seharusnya dia lebih waspada.
Karena satu-satunya tempatku melepas penat adalah sofa yang ditiduri Virgo sekarang, aku hanya punya satu bantal untuk bersandar di bawah jendela yang kubiarkan terbuka. Beberapa nyamuk memang mengganggu tidur Virgo sampai cewek itu bergerak-gerak sesekali, tapi tak sampai membuatnya bangun. Sedangkan bagiku, gigitan nyamuk tak lagi mengganggu karena jendela yang tertutup membuatku lebih tersiksa. Bukan karena rasa gerah, tapi rasa menyesakkan yang membuatku kadang bermimpi buruk.
Aku mengambil sekaleng bir lagi dari mini bar. Berusaha membuat diriku terlelap tidaklah mudah. Anehnya aku sama sekali tidak mengantuk pagi harinya. Mungkin jam biologis tubuhku sudah kacau, sekacau pikiranku sekarang. Aku kembali menatap Virgo yang baru saja membalikkan tubuhnya menghadap ke sandaran sofa dan teringat janji bodoh yang barusan kubuat saat melihatnya goyah tadi.
“Ao, padahal saya sudah berusaha untuk tetap tenang dan nggak marah-marah sama Indra, tapi kenapa malah kelepasan sih! Saya bodoh, ya?”
“Kan dalam suatu hubungan memang boleh sesekali marah, Vir,” jawabku sekenanya. Aku saja tidak pernah berhasil dalam sebuah hubungan, bagaimana bisa aku memberi nasihat pada orang yang menjalin hubungan lebih lama dariku.
Virgo memberengut, “Ih, kamu sama saja kayak Alesha!”
“Lalu kamu berharap aku bilang apa? Putus saja dengan Indra?”
Virgo kali ini melotot. “Kok doanya jelek, sih!”
Aku menggaruk kepalaku, bingung. “Aku nggak mendoakan. Lagipula kenapa kalian bertengkar sih? Kamu sedang jadi bridezilla mungkin, banyak pikiran.”
“Saya yang selalu meminta maaf selama ini, Ao. Padahal bukan selalu saya yang salah.”
“Kenapa kamu melakukan itu?”
“Nggak tahu, saya hanya terlalu sayang pada Indra,” ujarnya, tersenyum ke arahku. “Saya bodoh sekali, ya?”
Hatiku mendadak perih. “Virgo, kenapa kamu bisa menyayangi seseorang sampai mengorbankan perasaanmu? Kenapa kamu nggak memikirkan kebahagiaanmu sendiri?”
Diluar dugaanku, Virgo malah tertawa dengan beberapa bulir air mata menetes ke pipinya. Sebelum aku mengulurkan tisu, cewek itu keburu menghapus air matanya dengan punggung tangan.
“Mungkin karena rasa cinta saya kepada Indra, lebih besar daripada rasa cinta pada diri saya sendiri. Dia lebih penting dari apa pun, bahkan lebih dari perasaan saya sendiri ….”
Aku terkekeh mengingat kalimat Virgo itu. Konyol karena aku pernah merasakan hal yang sama dengannya ketika bersama Saskia dulu. Saat mendengar ucapan Virgo, seketika itu juga aku membenci Indra. Aku melakukan semuanya demi Saskia, termasuk mengorbankan mimpiku menjadi pilot. Aku suka langit, aku suka berada di atas awan, tapi saat itu aku lebih suka berada di samping Saskia. Namun, apa yang Saskia lakukan tak lain adalah meninggalkanku untuk mengejar mimpinya sendiri.
Ah, omong kosong.
“Virgo, mulai sekarang, jangan khawatirkan aku lagi.”
Mendengar ucapanku yang tiba-tiba, Virgo berhenti terisak. “Apa maksudnya, Ao?”
Aku menghampirinya dan menepuk puncak kepala Virgo. “Aku nggak akan mencoba bunuh diri, seenggaknya sampai kamu berhasil bahagia … Aku akan ada di sini Virgo, kalau kamu membutuhkan tempat untuk bercerita ….”
Dan janji yang bodoh itu terucap begitu saja karena aku tak sanggup melihatnya menangis lebih lama. Virgo adalah orang yang baru kukenal kurang dari satu bulan. Virgo adalah orang aneh yang menghentikan usaha bunuh diriku di rooftop, yang kemudian mengekoriku untuk memastikan aku tidak berniat bunuh diri lagi. Virgo adalah orang yang mau berteman denganku, meski sebatas untuk mencegahku bunuh diri. Dan mungkin, hanya Virgo yang melihatku sebagai manusia biasa, yang sama rapuhnya dengan manusia lainnya.
Aku mendongak, menatap langit yang berwarna keabuan tanpa satu pun bintang terlihat. Selintas tadi kurasakan angin yang dingin di sela lembabnya udara Jakarta. Aku memutuskan untuk menutup jendela kamar, sebelum seluruh kulit Virgo merah-merah karena serangan nyamuk. Ketika aku berdiri di ambang jendela, angin membawa bau yang tak asing untukku.
“Ah, sepertinya hujan akan turun.”
****
“Sudah berapa lama saya tertidur?”
Aku melirik jam di atas nakas yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Mungkin sekitar sepuluh jam?”
Virgo mengacak rambutnya. “Argh, bagaimana bisa saya tidur selama itu!” Buru-buru dia mencari ponselnya di tas dan mendapati benda mungil itu kehabisan daya. Menit berikutnya cewek itu sibuk mengisi daya ponselnya. “Sial, pasti Indra curiga!”
“Jangan khawatir.” Aku meletakkan segelas kopi hitam yang tidak terlalu manis di meja. “Bilang aja, bangun kesiangan karena cuaca dingin. Sebaiknya kamu mandi dulu.”
Virgo berhenti panik dan menatapku, lalu menatap tubuhnya sendiri. “I didn’t even take a shower last night!” ujarnya, hampir memekik. “Kamu pasti kesal karena saya tidur di sofamu dengan kondisi kotor begini. Ao, maafkan saya!”
Aku menggeleng cepat. “Vir, sebenarnya aku yang agak khawatir sofa itu bau dan kurang nyaman untukmu … untungnya kamu cukup pulas.”
Wajah Virgo merona merah. Dia menepuk jidatnya sendiri. “Tamu macam apa saya ini! Ao, bolehkah saya menumpang mandi? Saya malu beneran ini mintanya.”
Aku beranjak dari spot favoritku, di bawah jendela yang tertutup karena di luar hujan deras mengguyur ibu kota. “Pakai ini aja, ini jarang aku pakai.” Aku menyodorkan kaus yang memang sudah lama tak kupakai dari lemari dan mengangsurkan selembar handuk bersih untuk Virgo. Cewek itu menerimanya dengan pipi masih memerah.
“Thanks,” ujarnya, pergi buru-buru ke kamar mandi.
Sambil menunggu Virgo selesai mandi, aku menyalakan televisi yang memang sudah lama tak kunyalakan. Acara TV hari Sabtu sebenarnya lebih menarik daripada hari Senin sampai Jumat, hanya saja aku benar-benar tak berminat pada suatu acara pun. Bahkan aku sempat menawarkan TV ini pada salah satu rekan kantor karena sudah jarang kunyalakan.
Makanan pesan antar yang kupesan sebelum Virgo bangun tadi, sampai bertepatan dengan selesainya ritual mandi Virgo. Sungguh, kalau Indra tahu tunangannya menghabiskan satu malam dengan laki-laki lain dan kini sarapan bareng, aku sudah pasti dicincangnya.
Virgo kembali mengecek ponselnya begitu keluar dari kamar mandi. Dasar, di saat seperti ini dia masih saja khawatir pada Indra. Padahal laki-laki itu yang membuatnya khawatir dan menangis semalaman. Coba kalau aku bertemu Indra, pasti sudah kupukul laki-laki itu berkali-kali.
“Vir, makan dulu,” tegurku, karena cewek itu masih berdiri di samping nakas, berkutat dengan ponselnya dengan handuk melilit rambutnya. Kausku tak terlalu kebesaran untuknya dan dia masih menggunakan celana panjangnya kemarin.
Virgo menoleh kepadaku dan tiba-tiba terkejut. “Hah? Kapan kamu beli sarapan?”
“Astaga, sekhawatir itu kamu sama Indra sampai-sampai nggak sadar tadi ketika keluar dari kamar mandi, aku baru saja menutup pintu dan mengambil ini?”
Virgo buru-buru meletakkan ponselnya. “Sorry, sorry.” Dia segera menghampiriku yang sudah duduk manis di dekat meja. “Saya nggak tahu kamu sudah pesan makanan. Duh, kan, jadi merepotkan lagi. Nanti saya traktir kamu ya, sebagai gantinya.”
Aku mengangsurkan burger dan breakfast box untuk Virgo. “Aku nggak tahu kamu suka apa untuk sarapan. Jadi ini pilih aja, mau yang agak berat atau sedikit ringan?”
“Kamu saja yang pilih duluan, Ao.”
“Nggak, aku memaksa.” Aku kembali menyodorkan kedua makanan itu pada Virgo.
“Saya nggak terlalu bisa makan burger, maaf ya, kalau kamu mau box ini nggak apa-apa sih. Tapi saya nggak bisa makan burger.”
“Ya sudah.” Aku meletakkan box itu ke hadapan Virgo dan mulai membuka egg-cheese burger. Virgo masih ragu-ragu menatap makanannya. “Makan aja, aku nggak masalah. Biasanya malah jarang makan, kok.”
“Kamu nggak boleh skip makan, Ao,” ujar Virgo sambil meraih sendok dan garpu plastik dari dalam kantung pembungkus.
“Aku nggak skip makan siang kok, kan, makan siangnya bareng kamu,” jawabku sekenanya, meski memang itu kenyataannya.
Wajah Virgo memerah kembali dan tinju kecilnya mendarat di lenganku. Malah aku sempat berpikir Virgo demam, karena cewek itu dari pagi tadi wajahnya memerah terus. Kami makan dalam diam sampai aku gatal ingin bertanya apa dia mengingat janjiku semalam.
“Yang kamu bilang semalam itu sungguhan?”
Virgo sudah lebih dulu bertanya, sebelum aku membuka mulut untuk bicara. Aku menelengkan kepala, pura-pura kaget dan bingung. “Yang mana?”
“Janjimu ... untuk nggak bunuh diri sebelum saya bahagia?”
Aku hampir saja tersedak. Rupanya dia ingat dan sadar sepenuhnya ketika aku mengucapkan itu—padahal aku berharap Virgo melupakannya. Bertahan hidup untuk sebulan ke depan saja aku tidak yakin. Ini malah mengumbar janji untuk nggak mati duluan. Apa yang bisa diharapkan kalau Indra terus-terusan menyakiti Virgo tanpa ia sadari? Kapan Virgo akan bahagia? Tolak ukurnya saja tak bisa ditentukan dengan jelas.
“Yah, begitulah.”
Hanya itu yang keluar dari mulutku. Uh, uh, Ao kau menggali kuburanmu sendiri!
****
CHAPTER 11 : WHITE LIE
~VIRGO~
Aku tahu Ao berbohong. Keinginannya untuk bunuh diri begitu kuat, aku bisa merasakannya. Entah kenapa, aku benar-benar tidak rela dia bunuh diri. Dia punya terlalu banyak kesempurnaan yang tak dimiliki orang lain, harusnya dia bersyukur. Harusnya dia tidak perlu mengakhiri hidupnya. Akan banyak orang yang sedih dengan kepergiannya. Atau mungkin, aku bisa saja salah dan Ao benar.
“Kamu yakin nggak mau diantar?” Ao berdiri menyandar pada pagar kosnya—yang setelah kuperhatikan cukup mewah meski kamar Ao sangat teramat minimalis.
“Hujan sudah reda, saya juga sudah pesan taksi.” Aku kembali mengecek aplikasi taksi daring untuk melihat dimana taksiku sekarang.
“Vir, kamu sudah menginap di kosku semalam, kamu nggak berpikir menghilangkan sapaan saya-kamu?”
Aku menoleh, mendapati Ao menatapku dengan cengirannya. “Maksud kamu apa?”
“Let’s call each others casually.”
Aku mengedikkan bahu. “Oh, nggak masalah sih.”
Padahal aku memang sengaja menjaga keformalan ini untuk nggak terlibat lebih jauh dengan laki-laki aneh...
CHAPTER 12 : TEMAN LAMA
~AOZORA~
Hal yang pertama kulakukan pada Minggu pagi adalah berolahraga. Ya, olahraga. Setelah setahun terakhir tidak berolahraga sama sekali, berlari mengitari stadion Gelora Bung Karno satu kali saja membuatku ngos-ngosan. Rupanya, tubuhku jauh lebih tua dari kelihatannya.
Hari Minggu tempat ini selalu dipenuhi orang-orang yang hanya sekadar jalan-jalan atau jajan makanan di sepanjang jalan Sudirman saat Car Free Day. Entah karena kerasukan sifat aneh Virgo atau memang sedang kesambet, aku tiba-tiba memakai sepatu olahraga dan lari ke luar. Ini memang bukan aku yang biasanya. Aku tak tahu kenapa juga.
“Ao?”
Aku tengah mengistirahatkan kakiku yang sudah hampir mati rasa di tepi jogging track stadion, ketika seseorang berhenti di depanku. Aku mendongak dan mendapati seorang lelaki yang wajahnya familiar.
“Bram?”
Laki-laki itu memutar pingganganya ke kanan dan ke kiri sebelum ikut meluruskan kaki di sampingku. “Hey bro! Lo nggak pernah kelihatan akhir-akhir ini! How’s life!”
“Kalau yang...
CHAPTER 13 : DIA KEMBALI MEROKOK
~VIRGO~
Ao sudah duluan berada di rooftop siang itu ketika aku datang. Laki-laki dalam balutan kemeja biru tua itu tengah menyandarkan satu kakinya pada pagar rel besi sambil asyik merokok. Pemandangan itu sama ketika aku pertama bertemu dengannya dan dia hampir melompat kala itu. Jantungku sempat terjeda satu detik ketika melihatnya tadi.
Ao buru-buru mematikkan rokoknya begitu melihat kedatanganku. Dia bergegas menghampiriku yang duluan memilih tempat duduk di salah satu meja berpayung di rooftop.
“Hai, Vir, gimana kabarmu?”
“Yah begitulah,” Aku memperhatikannya membuka kotak makannya. Seperti biasa, kotak makan Ao sangat minimalis—nasi dengan ayam goreng dan sambal. “Kamu kok merokok lagi?”
Ao mengedikkan bahu. “Kangen ngerokok. Maaf, baunya bikin pusing ya?”
“Kamu lagi ada masalah yang lain lagi?”
Ao mengernyit mendengar pertanyaanku. “Kenapa nanya gitu?”
“Kayaknya kemarin-kemarin aku nggak mencium bau rokok darimu, sekarang merokok lagi. Lagi ada pikiran ya?” Di luar dugaan, aku bisa dengan lancar menanggalkan istilah ‘saya’...
CHAPTER 14 : NONTON TEATER
~AOZORA~
Setelah aku kelepasan ngomongin step by step rencana bunuh diri, Virgo jadi melunak. Dia jarang mengomeliku lagi dan lebih sering diam kalau aku bercerita. Sebenarnya aku lebih suka dia mengomel, kan, percakapannya jadi lebih hidup.
Uh, uh, hidupku benar-benar tergantung pada Virgo sekarang.
Pernah dengar kalau sebuah sapaan selamat pagi bisa mengubah hidup seseorang? Itu yang terjadi padaku. Apa yang terjadi kalau aku tak bertemu dengan Virgo kala itu? Apa aku sudah benar-benar mati seperti yang kuinginkan sebelumnya?
Apakah aku benar-benar ingin mati?
“Ao, hari Kamis malam ada acara nggak?”
Siang itu, Virgo menyodorkan ponselnya padaku. “Apa ini?”
“Nonton teater, yuk!”
“Hah? Teater apa?” Buru-buru kucermati tampilan pada ponselnya. “JKT48?”
Virgo mengangguk, tampaknya sedikit menahan diri untuk nggak terlalu antusias. Aku menggaruk kepalaku bingung dan mengembalikan ponselnya. “Ini apa sih? Teater ala Dewan Kesenian Jakarta gitu?”
“Dih, masa nggak tahu sih!” Virgo merebut ponselnya sambil memberengut. “Ini loh, girl...
CHAPTER 15 : NONGKRONG DINI HARI
~VIRGO~
Aku benar-benar tidak menyangka Ao sunguh-sungguh menangis di teater. Padahal aku berniat membuatnya sedikit bersemangat dengan datang ke acara yang menyenangkan. Meski tak kupungkiri, aku memang mencari teman nonton. Harapanku untuk Ao kembali bersemangat setelah mendengar lagu terakhir ternyata harus kandas. Yang ada dia malah menangis sampai hidungnya memerah dan matanya seperti orang teler.
“Aku lapar,” rengekku begitu kami keluar dari teater.
“Aku malas makan di sini,” jawab Ao sekenanya. Mungkin dia masih merasa kesal harus menutup-nutupi wajahnya yang memerah karena menangis.
“Jangan ngambek gitu, sih … maaf ya?”
Ao menatapku, masih terlihat kesal. “Bungkus aja. Makan di rumah.”
Aku menurut. Sedikit merasa bersalah karena malah membuat mood Ao hancur berantakan. Semoga setelah ini dia nggak makin semangat bunuh diri.
“Aku antar ke kos ya?” tawarku, karena Ao masih diam saja seusai kami selesai membeli makanan dan berjalan ke lantai dasar. Mengingat tadi kami berangkat ke Fx Sudirman sendiri-sendiri,...
CHAPTER 16 : MIMPI BURUK
~AOZORA~
Langit-langit kamarku tampak sedikit berbeda malam ini. Sepertinya aku harus menyalahkan Virgo karena mengajakku ke teater tadi. Hanya saja, aku tidak menyangka permainan kata yang kekanak-kanakkan dari girl group itu malah membuatku meneteskan air mata—yang Saskia sekalipun tidak pernah melihatnya.
“Sial!” Aku berbaring miring, berusaha memejamkan mata, tapi tetap saja gagal. Malah aku merasa sofabed yang menjadi tempat tidurku selama ini terasa begitu keras, tidak nyaman, dan membuatku kesal.
Sebenarnya aku cukup terkejut ketika beberapa lagu dari girl group itu rasanya relate sekali denganku. Ditutup dengan lagu yang jelas-jelas menggambarkan kondisiku saat ini. Oh, kebetulan macam apa ini? Lirik lagu itu kembali terngiang-ngiang di telingaku sebelum akhirnya aku berhasil terlelap.
Sayangnya, mimpi itu datang lagi.
Rasa tanah yang pahit dan berbau anyir karena bercampur dengan darah yang keluar dari mulutku, langsung kurasakan begitu aku membuka mata. Bukan langit-langit kamarku yang ada di depan mata, melainkan sebuah taman...
CHAPTER 17 : TUMBANG
~VIRGO~
Setelah pulang lewat tengah malam dan kesulitan tidur karena baru saja mendengar cerita skandal salah satu anggota DPR dari mulut anaknya sendiri, aku mengalami sakit kepala hebat pagi ini. Alesha sudah mengangsurkan paracetamol sejak pagi, tapi rasa berat di kepala dan pundak ini tak kunjung hilang. Setelah hampir muntah, aku memutuskan menenangkan kepalaku di pantry.
“Kenapa lo? Sakit?”
Ucapan sinis Bram menyambutku ketika membuka pintu pantry. Urgh, rasanya ingin putar balik menjauhinya, tapi kepala ini benar-benar tidak bisa ditoleransi. Akhirnya egoku mengalah pada rasa sakit dan membiarkan langkah kakiku membawa ke meja pantry, hanya untuk meletakkan kepalaku sejenak.
“Muka lo pucat banget, kayak zombie!”
“Bram, gue bener-bener nggak mau ngobrol ya, sekarang,” keluhku, masih dengan wajah tertelungkup di meja.
Sepertinya Bram memilih menuruti kata-kataku dan diam sepanjang lima belas menit ke depan. Aku hanya bisa mendengar suaranya menyesap kopi, selebihnya hening. Mungkin sebentar lagi Ediana...
CHAPTER 18 : KUNJUNGAN TIBA-TIBA
~AOZORA~
Aku baru saja mengucap sumpah serapah ke sembilan puluh sembilan di dalam hati ketika mobil kami berhenti di depan gerbang sebuah rumah mewah di kawasan Lubang Buaya. Laki-laki di balik kemudi yang tadi mengetuk pintu di pagi buta dan memaksaku ikut dengannya, membunyikan klakson mobil dan segera disambut seseorang yang membukakan pagar.
“Selamat pagi Mas Ao, Bapak sudah menunggu di ruang kerjanya.” Salah seorang pria dengan polo-shirt biru tuanya menyambutku ketika memasuki teras rumah.
Teras itu masih sama saat aku ke sini terakhir kalinya—sekitar tiga bulan yang lalu. Rumah dengan dominasi cat warna putih ini sekilas tampak seperti rumah yang menyenangkan untuk ditinggali pasangan pensiunan. Sayang sekali, rumah ini tak tampak menyenangkan untukku. Kesan yang kurasakan jauh dari kata hangat, malah sepertinya lebih dingin dari hatiku.
Aku menyadari ada sedikit perubahan letak perabot ketika melewati ruang tamu dan ruang tengah yang luasnya saja lima kali lipat kamar...
CHAPTER 19 : BUDAK CINTA LEVEL INFINITY
~VIRGO~
Seharian ini, Indra berada di apartemenku. Ketika semalam aku bilang aku hampir pingsan di kantor, Indra ingin buru-buru kemari dari bandara. Karena aku melarangnya, pagi ini dia sudah muncul di pintu apartemen pukul enam pagi sambil membawa bubur manado kesukaanku. Wajahnya cemas, tapi omelan muncul dari mulutnya.
“Kenapa kamu nggak bilang, babe, kalau sakit? Aku kan bisa mempercepat kepulangan menjadi penerbangan paling pagi!” gerutunya sambil memindahkan bubur ayam di mangkuk.
“Nggak masalah, kok,” desisku. Sementara Indra sibuk dengan bubur ayam, aku menyeduh teh untuknya. Indra tidak pernah menyukai kopi, tapi tidak menolak kalau untuk basa-basi dengan klien. Melihatku, Indra melotot dan mengambil alih sendok untuk mengaduk teh.
“Sayang, duduk aja. Kamu nggak boleh banyak bergerak!”
Aku memukul lengannya. “Lebay, ah!”
Tapi Indra tidak mendengarkanku dan memilih mengambil alih semua pekerjaan di dapur, jadi aku memilih menunggunya di ruang tengah.
“Untung ada Alesha yang nganter kamu kan!”...
CHAPTER 20 : GOSSIP CEPAT MENYEBAR
~AOZORA~
“Ao, kemana lo seharian hari Jumat kemarin?”
Helena menatapku dengan tatapan ingin membunuh dari balik mejanya. Yah, aku memang tiba-tiba pergi dari kantor untuk mengantar Virgo, tapi kan aku tidak bisa bilang.
“Tiba-tiba sakit perut dan diare. Jadi gue pulang.”
Helena semakin melotot dan aku yakin sebentar lagi bola matanya menggelinding ke atas meja. “Terus, lo lupa nggak izin gue? Lo nggak bisa seenaknya gitu, dong!”
“Sorry, gue beneran lupa. Gue beneran nggak enak badan, jadi gue buru-buru pulang. Kan paginya, gue masih kirim kerjaan ke lo.”
Helena berdecak kesal. “Gue nggak bisa ngelindungin lo terus, tahu nggak! Apalagi temen-temen lo pada nggak suka sama lo. Gue nggak bisa pilih kasih kali ini, Ao. Gue akan kasih lo surat peringatan pertama dan gue akan laporkan ke Pak Wildan.”
Aku mengangguk. Tidak terlalu heran atau terganggu dengan keputusan Helena. Toh, tidak ada ruginya buatku. “It’s okay,...
CHAPTER 21 : JANJI YANG KEMBALI DIINGKARI
~VIRGO~
“Oh, jadi tiap siang tuh lo makan siang sama Ao, di rooftop?”
Ucapan barusan seharusnya terdengar biasa saja, tapi karena yang mengucapkan adalah Bram, aku menjadi kesal sekali. Terlepas dari Alesha yang melotot kaget karena ucapan laki-laki itu barusan, aku sudah hampir melemparnya dengan heels.
“Bisa nggak sih, nggak perlu ikut campur urusan orang?”
Bram menyandarkan lengannya pada dinding kubikelku. Senyumnya terukir dengan sempurna, makin membuatku kesal. Sedangkan Alesha, mulai menggoyangkan lengan kananku dengan tidak sabar—meminta penjelasan.
“Gue pikir lo engaged to someone, Vir? Apa tunangan lo tahu lo makan siang sama laki-laki lain? Kayaknya nggak ya? Gue aja jadi orang pertama yang tahu di kantor ini …”
“Vir, siapa Ao? Lo nggak pernah cerita ke gue!” desak Alesha, semakin membuatku ingin menumpahkan kata-kata kotor ke wajah Bram.
Laki-laki itu semakin melebarkan senyumnya, tampak menikmati penderitaan yang kudapat. Entah dia memang membuntutiku tadi saat makan siang,...
CHAPTER 22 : BERBAGAI PIKIRAN TIDAK PENTING
~AOZORA~
Aku memandangi paperbag yang ada di tanganku dengan perasaan dongkol. Aku jadi membeli barang yang tidak berguna ini. Sabun kesehatan apanya, Ao bodoh. Untung Virgo tidak menyadari kebohonganku yang payah ini.
Aku bergegas menghampiri sosok yang ingin kujauhkan dari Virgo tadi, ketika kulihat dia sudah memisahkan diri dengan rombongannya. Dalam hati, aku memantapkan diri untuk tidak memukulnya di depan umum. Laki-laki itu masih tampak menarik meski wajahnya jelas menunjukkan kelelahan. Tidak heran Virgo bisa jadi budak cintanya. Namun, cewek itu bisa kacau kalau melihat dengan siapa tunangannya pergi makan malam hari ini.
“Loh, Ao!” Saskia menyadari kedatanganku lebih dulu, Indra menoleh kemudian. Laki-laki itu tampak berusaha mengingat siapa aku, meski tampaknya tidak berhasil.
“Oh, hei. Lagi nunggu taksi juga?” ujarku, jelas ketahuan sekali kalau berbasa-basi.
“Oh, mantan Saskia ya!” Tiba-tiba Indra menjentikkan jarinya. Rupanya dia baru ingat siapa aku. Eh, apa dia bilang tadi? Mantan?
Indra brengsek!
“Nama...
CHAPTER 23 : KEPUTUSAN UNTUK BAHAGIA
~VIRGO~
Tiffany mengangsurkan berkas ke mejaku dengan takut-takut. Aku hanya menatapnya sekilas, lalu membuka berkas dalam credit file itu dengan gerakan cepat. Baru lima menit aku tenggelam dengan dokumen itu, aku baru menyadari Tiffany masih berdiri di samping meja.
“Nungguin apa, Fan?” tanyaku bingung.
“Itu Mbak, yang lagi Mbak baca,” ujarnya pelan, sambil cengengesan.
“Oh, ini ditungguin? Astaga, sorry! Lo nggak bilang, sih!” ucapku, buru-buru mengambil pulpen untuk membubuhkan paraf di setiap halamannya dan tanda tangan di halaman terakhir.
Tiffany menerima berkas itu dengan cengiran lebar di wajahnya. Gadis itu sudah hampir melangkah menjauh—setelah berterima kasih padaku, ketika aku teringat sesuatu dan memanggilnya. Tiffany kaget dan kembali ke mejaku dengan langkah takut-takut.
“Fan, menurut lo, gue tuh gimana?”
Tiffany hampir melotot, tapi berusaha ditahannya. “Eh? Gimana maksudnya, Mbak?”
“Ya, gimana gitu? Galak? Nggak menarik? Cupu? Kurang modis? Kurang cantik? Kurang senyum? Atau kurang-kurang apa gitu?”
Tiffany boleh jadi baru...
CHAPTER 24 : SERANGAN MASA LALU
~AOZORA~
Saskia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan mata membulat. Atau lebih tepatnya dia sedikit kaget melihatku di tempat ini. Sebenarnya, aku hanya tak ingin langsung pulang ke indekos setelah kembali dari apartemen Virgo. Kebetulan tempat ini adalah langgananku mampir bersama cewek-cewek yang kukencani sebelum ini. Tempatnya tidak terlalu jauh dari indekos, jadi tak perlu khawatir kalau pulang kepagian.
“Ao, sama siapa ke sini?” Saskia mengekoriku menuju meja bartender.
“Nggak sama siapa-siapa. Ngapain lo ngikutin gue?”
“Karena lo sendirian, nggak ganggu dong harusnya.”
Aku mengabaikannya dan memesan minuman pada Revan, bartender malam ini. The Muse selalu menjadi tempatku nongkrong, sampai-sampai Revan menghafal minumanku.
“Arez sama Ika nggak ke sini?” tanyaku, berbasa-basi pada Revan. Arez adalah pemilik bar ini, sedangkan Ika dan Revan adalah teman dekatnya. Kami bertiga berkenalan karena waktu itu aku datang bersama teman Ika yang juga sama-sama model.
Revan menyodorkan minumanku dan mulai menanyai Saskia. “Lagi...
CHAPTER 25 : SIAPA YANG TERPENTING
~VIRGO~
Aozora menghilang. Atau setidaknya itu yang sempat melintas di pikiranku ketika aku tak mendapat balasan chat maupun sosoknya yang tidak kutemui di rooftop tadi siang. Maksudku, tidak apa-apa sih dia pergi tanpa memberi tahuku, toh kami tidak terikat perjanjian apapun. Masalahnya, pikiranku tidak berhenti memikirkan skenario terburuk yaitu Ao mencoba bunuh diri lagi. Dia memang sudah berjanji, tapi dia bisa saja mengakhiri hidupnya tanpa persetujuanku, kan?
“Virgo, kalau kerja jangan banyakan ngelamun!”
Kepalaku baru saja dihantam dengan credit file oleh Bram. Lelaki sialan itu menyodorkan dua credit file padaku dengan wajah malasnya. “Ditunggu Ediana sore ini untuk update. Kita harus masukkin proposal dua debitur ini Senin depan. Berarti dua hari ke depan lo harus lembur, kecuali lo bisa selesaiin dalam satu kedipan mata,” jelas Bram cepat.
“Sebentar, sebentar, kok gue yang lembur? Lo ngapain?” sahutku, mulai curiga.
Bram mengangkat bahunya. “Gue ada acara keluarga.”
“Ya terus? Terus gue...
CHAPTER 26 : PEMBICARAAN DUA PRIA DEWASA
~AOZORA~
Aku merasa sangat biasa saja ketika membuka mata. Yang ada di pikiranku juga sama saja. Aku masih gagal mati. Kupikir tiduran di sofa dengan baju basah, bisa membuatku hipotermia, dehidrasi, atau semacamnya. Bahkan aku sampai ketiduran, tapi malah terbangun di ranjang rumah sakit, lagi. Aku bertanya-tanya apakah penjaga kos masih mau menyewakan kamarnya untukku setelah ini.
Pintu kamar rawat inapku terbuka tiba-tiba. Aku berpikir entah Ariyo atau buruknya, Jeremy yang datang, tapi malah sosok cewek yang nggak kuduga-duga akan berada di sini. Di belakangnya mengekor sosok yang juga kukenali sebagai salah satu penyebab emosiku labil akhir-akhir ini. Yah, memang selalu labil, sih.
“Loh, Virgo?”
Virgo yang baru mencapai tepian ranjangku, tanpa berpikir dua kali, menempeleng kepalaku. Dengan sangat keras, sampai aku terkejut sendiri.
“Eh, kok main kasar!” seruku tidak terima.
“Jadi orang tuh begonya jangan nggak masuk akal gini dong, Ao!” sergahnya dengan wajah yang menurutku benar-benar murka. Ini...
CHAPTER 27 : SESUATU YANG TIDAK DICERITAKAN
~VIRGO~
“Kamu kesambet apa sih tiba-tiba super protektif gini?”
Mendengarnya, Indra hanya mengernyit padaku. “Jadi selama ini kamu menganggapku nggak protektif sama kamu ya? Memangnya nggak boleh aku mengantar tunanganku sendiri?”
“Yah penasaran aja, soalnya waktu makan malam bareng aja bisa tiba-tiba batal karena acara kantormu. Kenapa sekarang tiba-tiba nggak ikut karaokean bareng?”
Indra semakin menunjukkan wajah kesalnya. “Kamu kan tahu aku nggak suka karaoke. Lagian, kalau ke sini emang harus kukawal.” Tiba-tiba Indra mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Aku memang nggak masalah kamu makan siang sama Aozora, tapi hati-hati ya sayang, semua laki-laki itu buaya. Emang kadang ada buaya yang pinter nyamar jadi domba menggemaskan!”
Aku tergelak mendengarnya. “Serigala kali, kenapa jadi buaya!”
“Pokoknya nggak usah dekat-dekat yang nggak perlu sama laki-laki itu!”
Aku hanya mengedikkan bahu sambil diam-diam tersenyum. Lorong rumah sakit sore itu sedikit ramai karena di luar hujan kembali turun dengan derasnya sejak pukul empat sore tadi....
CHAPTER 28 : WAKTU BERSAMA AYAH
~AOZORA~
Sebenarnya jauh di dalam hati aku membenci Ariyo Bustami karena kebaikan hatinya. Bagaimana tidak, kalau dia tidak repot-repot mengangkatku sebagai anak dan merawatku sejak kecil, mungkin aku akan tumbuh di panti asuhan atau beruntungnya aku mati sejak bayi. Maksudku, itu jauh lebih baik ketimbang diam-diam mengalami penindasan. Coba Jeremy lebih keras memukulku, mungkin aku lebih cepat mati dan tidak perlu tersiksa untuk hidup lebih lama.
“Sudah dua hari dan yang kau lakukan hanya melamun.”
Aku sudah tahu dia akan mengomeliku, jadi tak perlu repot-repot menjawab. Lagipula langit sore ini cukup menyenangkan untuk dipandangi. Abu-abu dan membuat sesak. Persis seperti isi kepala dan dadaku yang akhir-akhir ini terasa lebih penuh.
“Ao, aku sengaja membawamu ke sini agar terhindar dari Jeremy. Lalu kau sama sekali tidak bersikap seperti anak baik.”
Aku mendengkus. “Sudah tahu kelakuan Jeremy dan kau masih bersikap baik padaku? Sengaja ya, membuatku sekarat seperti ini?” ledekku.
Ariyo Bustami...
CHAPTER 29 : MULAI BERGERAK SENDIRI
~VIRGO~
Hilangnya Aozora secara tiba-tiba sama misteriusnya dengan kemunculan lelaki itu di dalam hidupku. Mungkin aku sudah gila, tapi sepertinya aku merindukan makan siang bersama seorang teman. Alisha sudah cuti melahirkan dan tidak mungkin aku mengajak Tiffany ataupun Langga. Image-ku sudah jelek di mata mereka yaitu sebagai senior yang jutek dan membosankan. Selebihnya aku tidak punya banyak teman untuk sekedar diajak makan siang bersama.
Menatap hamparan rumput sintetis di rooftop lantai tujuh benar-benar membuatku hampa. Maksudku, meski sebentar, rupanya keberadaan Ao sudah menjadi sebuah rutinitas untukku. Kalau berada di rooftop, pasti ada Aozora. Mereka seperti sebuah kesatuan yang kalau hilang satu, rasanya jadi tidak lengkap.
Sudah seminggu lebih dia menghilang. Aku sempat memaksa Bram buka mulut tentang unit kerja Ao dan ketika aku menannyakan kepada rekan satu ruangannya, mereka mengaku tidak tahu. Yah, untuk tipe Aozora, tidak heran dia tidak punya banyak teman. Sedikit banyak mirip denganku. Mungkin karena...
CHAPTER 30 : UNTUK BERTAHAN HIDUP ESOK HARI
~AOZORA~
Aku mendapatkan ponselku kembali di hari ketiga berada di rumah keluarga Bustami. Setelah mengisi dayanya, belasan pesan masuk ke aplikasi chat dan beberapa panggilan tidak terjawab. Beberapa di antaranya dari Helena dan tim-ku yang intinya marah-marah padaku—tak perlu kusebutkan berapa kata kotor yang mereka tulis. Sisanya adalah Virgo dan Saskia. Uh, uh, aku lupa harus memberi tahu mereka tentang keberadaanku.
Atau mungkin sebaiknya tidak?
Aku melirik Rendra yang mengawalku sehari-hari selama aku berada di Bogor—Ariyo menugaskannya khusus menjagaku kalau-kalau Jeremy datang berniat membunuhku. Oh, betapa manisnya perlakuan Ariyo padaku? Sampai-sampai aku menampar diriku sendiri, takut ikut kesurupan hantu yang merasuki Ariyo.
“Rendra, mending gue ngabarin temen-temen gue atau nggak usah ya?”
Laki-laki berambut pendek agak ikal itu mengernyit menatapku. Dia biasanya berdiri di dekat pintu, sesekali berkeliling rumah, atau kalau tidak ada yang dia lakukan, dia akan duduk di sofa ruang tengah sambil membaca buku. Membosankan sekali.
“Gue nanya...
CHAPTER 31 : BRIDEZILLA MODE : ON
~VIRGO~
Aku hampir membanting gaun kesekian yang kucoba hari ini. Setelah mendapat tanggal baik dari Mama, aku membuat janji dengan vendor untuk bertemu besok Sabtu. Tiba-tiba kehidupanku yang super sibuk dan kacau, sekarang makin berantakan karena harus membagi waktu untuk mengurus berbagai macam hal dengan vendor pernikahan. Bagaimana tidak, tanggal baik yang dimaksud Mama itu kurang dari lima bulan lagi dari sekarang.
Hari ini, Indra sengaja mengajakku ke salah satu penjahit langganan Mami untuk mencoba beberapa gaun karyanya. Mood-ku sedang anjlok karena menjadi alternate Relationship Manager dalam dua hari terakhir gara-gara Bram cuti. Kalau urusan nasabah kelolaannya, aku acungi jempol pada Bram karena nasabahnya benar-benar demanding. Urgh, saat seperti ini aku bersyukur nasabahku—meski sama menyebalkannya, tapi masih lebih manusiawi dibandingkan dengan nasabah kelolaan Bram.
“Ini bagus loh, Babe, kamu nggak suka?” Indra muncul di belakangku yang sedang kesulitan membuka kancing belakang gaunnya.
“Punggungnya terlalu terbuka.”
“Kan...
CHAPTER 32 : PEKERJAAN YANG PALING SULIT
~AOZORA~
“Sudah hari kedua dan lo masih ngeliatin gue kayak gitu?”
Aku membuang muka ketika mendapati sosok Rissa ada di dapur, sedang meminum teh hangatnya. Rissa bahkan hari ini memakai training suit lagi. Apa memang baju dia satu lemari hanya itu saja ya? Aku berdiri di depan jendela dapur yang berkawat, khas rumah zaman dulu dan merasakan dinginnya angin pagi hari sambil meneguk habis segelas air putih.
“Udah bisa bangun sepagi ini bagus buat kesehatan lo, Ao,” ujarnya lagi. “Gimana? Masih pegel-pegel badannya?”
Aku meletakkan gelas di wastafel dan mengamini perkataannya. Sungguh, dibandingkan dihajar Jeremy, aku rasa badanku lebih remuk setelah seharian dipaksa Rissa dan Rendra menjalani survival game. Eh ralat, menjalani pelatihan dasar militer. Setelah kemarin pagi kami bertemu, Rissa memaksaku lari keliling rumah sepuluh kali. Napasku hampir putus saat itu, tapi harga diri jatuh karena Rissa yang ikut berlari masih terlihat baik-baik saja—bahkan dia lari lima belas...
CHAPTER 33 : PERASAAN YANG SESUNGGUHNYA
~VIRGO~
“Katanya ada di sini? Kenapa kosong!”
Saskia berujar lebih kepada dirinya sendiri sambil menyugar rambut kasar. Indra yang tadi bergegas bertanya kepada satpam komplek saat menyadari rumah yang kami tuju sudah kosong, terlihat berjalan ke arah kami.
“Mereka baru aja pergi tadi pagi. Rumah ini memang biasanya kosong, jarang dipakai. Baru seminggu terakhir saja dihuni oleh saudara pemilik rumah, kata satpamnya,” ujar Indra melapor kepada kami. “Sepertinya kita terlambat beberapa jam. Satpam juga nggak tahu mereka pergi ke mana. Yang jelas ada dua mobil yang pergi dari rumah ini.”
“Damn! Padahal udah deket banget!” maki Saskia, masih merasa kesal karena gagal menemukan Ao. Seandainya Ao tahu betapa frustasinya gadis ini ketika dia menghilang, Ao mungkin akan memaafkan Saskia dan memperbaiki hubungan mereka.
“Jadi sekarang gimana?” Indra bertanya, sama bingungnya denganku.
“Kita pulang saja,” usulku, yang langsung mendapat pelototan dari Saskia.
“Kita udah jauh-jauh ke Bogor dan mau...
CHAPTER 34 : WANITA ITU BERNAMA IBU
~AOZORA~
“Kenapa lo ikut sih!”
Rissa terkekeh di sebelahku. “Gue disuruh jagain lo, biar nggak kabur.”
“Siapa yang mau kabur sih!” gerutuku sedikit berbisik.
Aku memandangi punggung Ariyo yang berjalan di hadapanku, menginjak setapak demi setapak tangga buatan yang disediakan untuk menuju sebuah villa di tengah hutan pinus. Di depannya Rendra dan beberapa pengawal Ariyo mendahului. Menurut Rendra, Ariyo sengaja menyewa satu unit villa di kawasan ini untuk tempat tinggal ibuku, meski villa ini termasuk dikomersilkan.
Setelah melewati tanjakan yang cukup melelahkan, kami sampai di sebuah rumah berdinding kayu dan bercat putih. Di halamannya terdapat satu set meja dan empat kursi yang juga berwarna putih dengan pemanggang yang ditutupi pelindung agar aman dari hujan di sampingnya. Tempat yang menyenangkan untuk bersantai dari hiruk pikuk kota. Beberapa meter dari sana ada turunan menuju sungai yang suaranya terdengar dari tempat kami berdiri. Sejuk sekali di sini apalagi ketika cuaca cerah seperti ini...
CHAPTER 35 : LEPAS KENDALI
~VIRGO~
“Virgo, kenapa bisa PT Wana Sumatera Lestari terlambat bayar bulan ini!”
Aku memicingkan mata ketika sosok Bram mendatangi kubikelku. “Nggak salah denger nih? Bukannya itu nasabah lo?”
Bram memutar bola matanya. “Terakhir kali gue cuti, lo yang megang ya, jangan pura-pura bego!”
Kali ini aku yang memutar bola mata. “Perasaan yang lo titip ke gue cuma nemenin bapak-bapak itu main golf deh, bukan suruh monitor pembayaran kewajiban. Apa gue salah denger atau lo aja yang nggak lengkap ngasih pending-an ke gue?” cibirku.
Bukannya pergi, Bram malah berdecak kesal. “Kalau yang namanya alternate itu ya pegang semuanya lah, please deh, lo udah berapa lama kerja sih? Kayak anak bau kencur aja!”
Aku memelotot. “Udah deh, lo masuk-masuk rese, mending lo cuti aja tuh setahun, tenang hidup gue! Sana pergi, kerjaan gue banyak!” usirku, sambil kembali berkutat pada dokumen yang menumpuk di meja.
Bram menepuk dahinya keras. “Gini nih, kalau...
CHAPTER 36 : TAMU TAK DIUNDANG
~AOZORA~
Biasanya aku terbangun dengan kondisi siaga atau paling tidak banjir keringat karena mimpi buruk. Ketika berada di Bogor, aku memang jarang dihantui mimpi buruk, tapi Rissa dan Rendra sukses membuatku bangun dalam kondisi siaga. Mereka tidak main-main menyuruhku berolahraga, sampai tubuhku ditempeli banyak koyo dan malah sempat salah urat. Pagi ini aku terbangun dengan perasaan damai diiringi kicauan burung dan harum kayu yang meski menenangkan terasa sedikit sumpek. Kupikir aku masih berada di dunia mimpi, terbangun di surga. Karena aku yakin dosa-dosaku terlalu banyak, aku sadar ini bukan mimpi.
“Selamat pagi.” Ariyo menyapaku tanpa memalingkan pandangan dari koran paginya. Tangan kanannya menggenggam pegangan cangkir berisi kopi hitam panas.
Aku tak menghiraukannya dan bergegas ke dapur mencari segelas air putih. Setelah minum, aku tidak merasa lebih baik. Ada sesuatu yang aneh di perutku dan bulu kudukku tak berhenti meremang. Memangnya rumah ini berhantu ya?
Pandanganku teralihkan dengan sosok wanita yang...
CHAPTER 37 : LAGI-LAGI DIA MELOMPAT
~ VIRGO ~
Aku benar-benar tidak berniat kembali ke dalam ruangan dan memutuskan minta bantuan Tiffany untuk mengambilkan tasku di kubikel. Setelah mengabari Indra, aku memutuskan berkendara pulang. Aku tidak mau terpaksa bertemu Bram lagi. Masa bodoh dengan pekerjaan. Kalau aku mati, perusahaan hanya akan mengirim karangan bunga lalu mencari pegawai baru. Buat apa aku menyerahkan kewarasanku pada mereka?
Sesampainya di apartemen aku sudah ingin merebahkan diri di atas ranjang dan tidur sepanjang siang, tapi aku memutuskan untuk mandi dan menyeduh teh. Aku butuh ketenangan, bukan pelarian. Setelah secangkir teh tandas dan perasaanku membaik, aku membuka laptop untuk benar-benar merealisasikan surat resign-ku yang selalu terdiam di folder laptop atau berakhir di tempat sampah. Indra sudah setuju kami membicarakannya malam ini. Aku tidak akan mundur lagi. Aku mengirim email pada Human Capital untuk mengurus beberapa berkas pengunduran diriku.
Saat itu, aku baru sadar tidak menengok ponselku sejak terakhir menghubungi Indra. Ketika...
CHAPTER 38 : AWAL DARI SEBUAH AKHIR
~AOZORA~
Seingatku dulu waktu kecil, aku suka sekali bermain di atap rumah tempat para asisten rumah tangga menjemur pakaian—kadang aku juga membantu mereka memeras pakaian. Entah kenapa, aku suka memandang langit kalau sedang cerah. Namun aku tidak berani ke atap sendirian, selain karena letaknya ada di rumah sisi belakang, aku takut bertemu Jeremy. Tentunya kalau ada asisten rumah tangga, aku bisa mengaku membantu mereka beberes rumah atau aku baru pergi ketika Jeremy pergi bermain bersama teman-temannya. Kalau ada Jeremy di rumah, aku lebih suka mengurung diri di kamar, membaca atau menggambar sampai lelah.
Para asisten rumah tangga di rumah Ariyo terkadang diam-diam menyuguhkanku kue-kue dan minuman manis. Tante Yana memang tak pernah peduli padaku, apalagi Jeremy jelas-jelas melarang para asisten rumah tangga memberiku cemilan. Jadi aku terbiasa makan tiga kali sehari, dua kali kalau siang Jeremy tak mengizinkanku makan. Memang terdengar seperti drama, tapi itu yang terjadi selama aku tinggal...
CHAPTER 39 : MEMULAI SEMUANYA KEMBALI
~VIRGO~
Indra demam sudah dua hari sejak dia terjun ke sungai untuk menyelamatkan Ao. Tangan Indra terbentur bebatuan dan berdarah, aku sempat mengira dia terkena tetanus karena luka itu. Namun kata dokter Indra demam biasa dan lukanya sudah dirawat. Aku menungguinya di rumah. Meski ada Mami yang menjaganya, aku tetap ingin berada di sampingnya. Sesekali aku ke rumah sakit, menjenguk Ao yang tak kunjung sadar.
Di hari ketiga Indra sudah membaik dan dia ingin aku pulang untuk beristirahat. Aku memutuskan untuk mampir ke rumah sakit ketika menyadari sekarang masuk jam besuk. Saskia mengambil cuti lima hari untuk menjaga Ao di masa kritisnya. Sepertinya gadis itu masih merasa bersalah pada Ao dan ingin meminta maaf apa pun caranya. Meski Ariyo Bustami dan beberapa bodyguard-nya yang berteman dengan Ao sering berkunjung, tapi Saskia-lah yang menungguinya siang dan malam.
Aozora jatuh ke sungai karena terpeleset di batu yang licin. Kukira dia benar-benar...
CHAPTER 40 : TAWARAN BARU
~AOZORA~
Aku suka bertanya-tanya kepada diriku sendiri kenapa aku selalu jatuh cinta pada orang yang salah. Pertama Saskia, yang berujung meninggalkanku. Kedua, Virgo, yang memang sejak awal sudah menjadi milik orang lain. Kayaknya cewek di dunia ini nggak cuma mereka berdua deh, tapi kenapa aku malah terjebak dengan perasaan konyol ini? Ketika sedang menimbang-nimbang bagaimana caranya melupakan Virgo dengan cepat, karena dia baru saja memberiku undangan pernikahannya, muncul masalah lainnya.
“Ao, lo nggak ada niatan cari pacar gitu?”
Itu Rissa yang bertanya. Benar-benar random sekali, ketika dia menjengukku suatu sore.
“Lagi ngumpulin nyawa gini mikir pacar. Kenapa emang? Lo mau jodohin gue?”
Rissa mengedikkan bahu. “Gue jomlo sih.”
“Terus?”
Rissa berkacak pinggang sambil menaikkan satu alis. “Mau nyoba ama gue?”
Aku terdiam, atau otakku sempat melambat tadi. Aku tidak dalam kondisi setengah sadar atau melamun tadi. Jelas-jelas cewek di depanku ini yang adalah mantan pacar Jeremy, ngajak gue pacaran?
“Perasaan...
CHAPTER 41 : KISAH YANG DIMULAI DI ROOFTOP
~VIRGO~
Ternyata mencari pekerjaan setelah resign itu sulit. Seharusnya aku mencoba melamar ke tempat lain dulu ya sebelum resign. Ah Bram sialan, gara-gara dia rencana ke depanku jadi berantakan. Pagi ini aku baru saja mendapat email kalau hasil wawancaraku kurang memuaskan. Mungkin salah satunya karena aku akan menikah dalam waktu dekat.
Yah, tidak bisa dipungkiri perusahaan membutuhkan orang yang bisa diminta bekerja seperti robot. Kalau dia sedang butuh tenaga tambahan, dia akan mengesampingkan wanita yang berencana mau menikah dan punya anak dalam waktu dekat. Tidak ada perusahaan yang membayar pegawainya hanya untuk cuti satu tahun kemudian karena melahirkan. Rugi.
Indra datang tak lama kemudian. Setelah selesai memindahkan beberapa koper pakaian ke dalam mobil, Indra memilih untuk bersantai sejenak di apartemenku. Setelah demam beberapa hari dan istirahat seminggu penuh, Indra sudah membaik dan menurutku lebih bugar. Mungkin kelelahan karena pekerjaan dan drama terjun ke sungai jadi satu efeknya.
“Aku nggak...
CHAPTER 42 : SATU DARI TIGA RATUS ENAM PULUH LIMA HARI
~AOZORA~
Aku mematut diri di depan cermin sudah hampir satu jam. Lebih tepatnya bengong karena masih bisa bernapas dan memijak bumi ini dengan seluruh tubuh yang utuh. Aku memandang ke luar jendela rumah. Rendra dan Rissa berhasil membujuk ibuku untuk memilihkan kamar di lantai satu, menghindari hobi lamaku kambuh—mencoba lompat maksudku. Oh ya, aku sekarang memanggilnya ‘ibu’. Mungkin karena aneh kalau aku memanggilnya Sora.
“Ya ampun! Masih di sini dong dia!”
Jeritan tertahan terdengar dari pintu yang terbuka. Rissa masuk dengan langkah cepat diikuti Rendra di belakangnya. Rissa dan Rendra memang punya akses khusus ke kamarku, untuk menghindari hal-hal aneh—seperti menemukanku dalam kondisi bersimbah darah di bathtub atau semacamnya.
“Bro, lo nggak lupa kan acaranya jam berapa?” tukas Rendra.
Aku mendengkus. “Iya ini udah mau jalan! Kalian ribut amat deh, lebay!” sungutku, berjalan ke arah pintu, melewati Rissa dan Rendra.
“Wangi banget ya ampun! Siap untuk patah hati?”...
Description: -Virgo-
Aku hanya ingin resign dan mencari pekerjaan dengan jam kerja lebih manusiawi.
Kenapa malah ketemu laki-laki yang mau melompat dari rooftop, sih!
-Ao-
Aku hanya ingin mati dengan cara yang heboh. Biar orang-orang yang mengenalku akan kaget dan merasa menyesal telah memperlakukanku dengan buruk.
Kenapa malah ada cewek sok berani yang menyelamatkanku, sih!
.
Virgo dan Aozora bertemu di rooftop lantai tujuh kantor mereka. Virgo hanya ingin makan siang dengan tenang, tetapi dia malah menemukan laki-laki yang berniat melompat dari rooftop tempatnya biasa melarikan diri dari kepenatan pekerjaan.
Siapa sebenarnya Aozora?
Apakah kehidupan lelaki itu justru lebih rumit daripada kisah cinta dan drama kantor Virgo?
Apakah keputusan yang diambil Virgo untuk menyelamatkan Ao adalah kesalahan?
.
|
Title: Review Novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar
Category: Review
Text:
Review Novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar
“Salah Pilih”, mendengar judulnya sudah bisa dibayangkan bagaimana garis besar cerita yang akan digambarkan oleh si penulis. Ialah Nur Sutan Iskandar, sastrawan pribumi yang berdarah Minang yang mampu menghadirkan kisah puluhan tahun lalu dari tanah kelahirannya yakni Sumatera Barat tepatnya di daerah Sungai Batang ke dalam sebuah novel yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1928. Karya roman klasik ini telah dicetak sebanyak 27 kali sejak pertama penerbitannya oleh Balai Pustaka. Dengan cover yang memasukkan unsur Minang yaitu Rumah Gedang yang menjadi ciri khas Sumatera Barat dengan profil gadis berkerudung di bagian depannya sungguh mencerminkan novel roman lama yang desainnya belum begitu “niat” tapi langsung mengidentifikasikan isi di dalamnya.
Melalui 262 halaman, Muhammad Nur, begitu nama asli penulis mampu menghadirkan atmosfer Sungai Batang pada awal tahun 1900-an dan membawa pembaca ikut larut dalam kisah perjuangan seorang pemuda Minangkabau “melawan” adat tanah kelahirannya yang dirasa tidak perlu digunakan lagi karena kurang berlandaskan ilmu agama. Awal mula “malapetaka” dimulai dari kembalinya Asri, tokoh utama yang digambarkan sebagai pemuda yang baik budi pekerti, ramah, dan rendah hati ke kampung halamannya setelah menyelesaikan sekolahnya di tanah sebrang. Asri yang sangat ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA atau pendidikan untuk menjadi seorang dokter rela menggadaikan cita-citanya demi menuruti kehendak ibundanya yang sudah tua dan sakit-sakitan untuk tinggal dan bekerja di kampung halamannya saja. Demi berbakti kepada orang tua yang tinggal satu-satunya Asri akhirnya kembali ke Rumah Gedang tempat dimana ia, ibunya, dan Asnah tinggal. Asnah sendiri adalah anak angkat dari Mariati yang juga ibunda dari Asri, Asnah merupakan anak yatim piatu dari pasangan yang juga “menentang” adat istiadat negeri sendiri. Orang tuanya meninggal ketika ia masih sangat belia. Oleh Mariati, Asnah dibesarkan bak anak kandung sendiri dengan kasih sayang penuh yang dilimpahkannya tanpa membeda-bedakan Asnah dengan saudara angkatnya, Asri. Dua anak manusia itu pun tumbuh menjadi anak yang bertabiat sangat baik, tak nampak batas antara keduanya, mereka berbaur begitu saja bagai kakak beradik kandung pada umumnya. Ternyata kasih sayang Asnah kepada Asri tak semata kasih sayang seorang adik kepada kakak, ia mencintai Asri lebih dari itu, cinta Asnah kepada Asri sekonyong-konyongnya seperti cinta perempuan kepada laki-laki. Tapi tahu betul Asnah apa yang dirasakannya itu harus ia pendam sendiri, tak sepantasnya ia memiliki hasrat untuk menjadi pendamping hidup Asri sedang Asri telah menganggap Asnah selayaknya adik kandung sendiri. Lebih-lebih mereka berdua adalah saudara sepersuku yang dianggap tidak pantas diperbolehkan untuk menikah. Sepulangnya Asri dari menimbah ilmu, Mariati pun menyuruh anak laki-lakinya untuk segera mengakhiri masa lajang karena dianggap sudah cukup matang untuk berumah-tangga. Demi didengar Asnah rencana ibunya itu, bukan main tak tenang hati Asnah, sedih bukan kepalang. Tapi bagaimanapun juga ia harus pandai menyembunyikan kegundahan hatinya itu, tak pantas ia menuntut balasan cinta dari Asri, sudah lebih dari cukup kasih sayang seorang kakak yang diberikan Asri kepadanya, setidaknya begitu yang Asnah rasakan. Setelah menimbang-nimbang calon mana yang pantas untuk dijadikan istri, pilihan Asri akhirnya jatuh kepada Saniah, perempuan berparas cantik yang juga anak dari seorang bangsawan yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama. Ibu Saniah yaitu Rangkayo Saleah ternyata adalah seseorang yang mempunyai perangai bengis lagi angkuh, tapi Asri percaya bahwa anak tak serta-merta menurut perangai orang tuanya. Saniah yang Asri yakini adalah gadis manis yang mempunyai perangai baik dan mampu bersikap sopan di hadapan seluruh keluarga Asri. Pertunangan pun telah diberlangsungkan, begitu pula acara pernikahan yang diadakan dengan sangat meriah. Setelah menikah Asri memutuskan untuk membawa Saniah ke Rumah Gedang dengan maksud dan tujuan untuk menghangatkan hati ibu dan adiknya tatkala ia dan istrinya tinggal disana bersama mereka. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, ternyata perangai Saniah yang sebenarnya telah ditampakannya, taring yang selama ini disimpan ditunjukkannya kepada seisi rumah Gedang itu. Tak ada lagi perangai elok Saniah, yang ada hanyalah kesombongan dan keras kepala, Saniah juga tidak suka berbaur dengan tetangga ia kerap kali membedakan kelas sosial masyarakat, menganggap orang yang tidak sepadan dengannya tak pantas untuk berbaur dengannya. Terlebih kepada Asnah, Saniah begitu membenci gadis itu karena dipikirnya Asnah telah bercinta-cintaan dengan suaminya. Begitu cemburu Saniah akan keberadaan Asnah, ia berniat menyingkirkan Asnah dari Rumah Gedang, tak jarang ia meminta ibundanya Rangkayo Saleah untuk membantu melancarkan niatnya itu. Hari-hari Asri begitu kelam semenjak ia menikahi Saniah, salah pilih betul rupanya ia telah menjadikan Saniah sebagai istri. Begitu sering Asri mendapat saran dari orang-orang di sekitarnya untuk menceraikan Saniah, tapi alih-alih mentalak Saniah, Asri lebih memilih untuk tak henti-hentinya menasehati wanita keras kepala itu, dirasanya akan berubah perangai istrinya. Ibu Mariati pun mempunyai pandangan sama terhadap Saniah, tak sedap betul sifat menantunya itu, menyesal sekali ia telah menyuruh Asri untuk lekas menikah terlebih lagi dengan Saniah. Hari terus menggandakan jumlahnya, karena usia yang telah senja kesehatan Mariati semakin hari semakin memburuk, beruntung ia mempunyai Asnah yang selalu setia merawatnya dari pagi ke petang begitu pula sebaliknya. Tapi apa mau dikata, jatah hidup Mariati sudah pada ujung akadnya. Berpulang ia ke-haribaan sang pencipta sesaat setelah Asri menuntunnya mengucap “Lailahaillallah”, tinggallah Asri dan Asnah tanpa beribu lagi di Rumah Gedang itu. Asnah yang masih menyimpan duka setelah kepergian ibu angkatnya ternyata dibuat berang oleh Saniah, kakak iparnya, tapi Asnah tetaplah Asnah yang berbudi santun, tak ada ia berniat memperkeruh masalah dengan Saniah. Setelah menimbang tawaran Ibu Mariah yang tak lain adalah saudara Mariati untuk tinggal saja bersamanya dan karena tak tahan dengan tuduhan Saniah yang semakin membuat Asnah tak tahan tinggal di Rumah Gedang itu, akhirnya Asnah memutuskan untuk pergi dan memilih untuk tinggal bersama Ibu Mariah. Dan Asri akhirnya tetap tinggal bersama Saniah di Rumah Gedang berbau neraka yang diciptakan oleh tabiat buruk istrinya sendiri.
Novel “Salah Pilih” sendiri bukanlah novel yang mempunyai akhir cerita yang malang untuk tokoh utamanya, Nur Sutan Iskandar mampu menyegarkan dahaga pembaca yang haus akan kisah romansa berakhir bahagia. Menggunakan alur campuran (alur maju dan mundur), Nur Sutan Iskandar mengayunkan pembaca kepada situasi dimana keputusan adat masih diatas segala-galanya sampai ada pergolakan batin anak muda untuk mengubah pola pikir masyarakat setempat agar bisa berpikir lebih logis dan merujuk pada ketetapan agama yang sudah barang tentu pasti. Hanya saja pendiktean Nur Sutan Iskandar terhadap apa-apa saja yang menjadi ciri khas di bagian barat Sumatera itu kurang bisa membuat pembaca berimajinasi. Seperti halnya Rumah Gedang yang disebutkannya berkali-kali dalam novel ini tidak begitu dideskripsikannya secara apik. Penggambaran tiap-tiap tokoh sudah sangat baik, paras dan watak masing-masing pun cukup bisa direkam oleh pembaca dalam waktu lama. Sebut saja Asnah yang digambarkan memiliki sifat bak malaikat yakni sabar, baik hati, dan setia bisa membuat para lelaki mengidamkan sosok Asnah di dunia nyata. Juga diperkaya dengan ulasan fisik Asnah yang serta merta melengkapi keelokan sifatnya, Asnah yang digambarkan memiliki alis mata yang tebal lagi hitam, rambutnya yang panjang dan berjuntai sampai ke bawah pinggangnya memang merepresentasikan ciri khas gadis pada masa itu, cantik dan sederhana dengan rambut panjang yang menjuntai. Tak heran pembaca seolah mengira penulis begitu jatuh cinta dengan sosok Asnah, tak lain dan tak bukan karena “kenal” betul penulis dengan kecantikan Asnah ini, sampai apa yang dipakainya pun penulis dengan cermat meruntutkannya, “Rambutnya yang panjang dan terjuntai ke belakang, sampai ke bawah pinggangnya, tersembul ujungnya yang berikat dengan kain taf di bawah selendang sutra, yang menutupi kepalanya dan kedua belah telinganya. Sebelah ujung selendang yang berwarna merah dan bersulamkan benang sutra biru laut dipinggirnya itu, terjuntai di sisinya. Warna selendang itu membayang ke mukanya, sehingga semakin berseri-seri parasnya. Ia berpayung sutra Jepun, berbaju kurung daripada kain satin, berkain pekalongan dan berselop beledu yang bersulamkan manik-manik dan benang emas. Di dadanya tergantung sebuah medaliun yang berantai emas dan bertahtahkan permata intan yang kilau-kilauan dan gilang-gemilang cahayanya. Sungguh bentuk badannya yang memang elok itu semakin molek cantik oleh pakaiannya yang sederhana itu..”. Begitulah sosok Asnah di mata Nur Sutan Iskandar, indah dan mempesona. Juga dengan sosok Asri yang mempunyai sifat yang sangat arif lagi bijaksana membuat kaum hawa memimpikan sosok suami semacam itu, cerdas tapi tetap rendah hati. Sedang sosok Saniah dan Rangkayo Saleah yang dibuat begitu sombong dan serakah mampu membuat pembaca menyumpah membenci dua ibu dan anak itu, begitu sempurna fiil jahat mereka dideskripsikan. Dengan masih menggunakan gaya bahasa lama-melayu yang sangat kental, Nur Sutan Iskandar mengajak kita untuk lebih mengenal bagaimana cara orang-orang terdahulu berkomunikasi, sungguh kaya kiasan dan sarat akan makna tetapi ada beberapa pemilihan kata yang membuat pembaca mengernyitkan dahi karena sangat asing didengar bahkan hampir tidak pernah karena memang beberapa kata tersebut sudah tidak dipergunakan lagi pada masa sekarang. Diksi karya pribumi ini sangat cocok dijadikan pedoman bagi anak-anak muda sekarang yang harus berpikir logis tapi masih menjaga norma yang memang sudah baik sejak dahulu. Dan terlebih lagi pesan penting yang bisa kita ambil dari adikarya Nur Sutan Iskandar ini adalah jangan sekali-kali menilai seseorang dari rupa dan hartanya saja, karena semua itu sungguh tak menjamin pekertinya. Penulis juga mampu dengan tegas mengkritisi adat Minang pada waktu itu tetapi masih dalam bahasa yang cerdas sehingga tidak menyudutkan salah satu pihak. Ia mengingatkan kita untuk bisa dengan jernih membedakan mana yang benar-benar salah atau hanya karena pandangan orang banyak lalu sesuatu itu tampak salah walaupun sebenarnya hal itu sungguhlah perkara yang benar. Melalui novel ini penulis juga telah memberikan pandangan tentang budaya Minang kepada pembaca lintas zaman. Sungguh adikarya sastrawan pribumi yang ringan dan menginspirasi.
Description: Ulasan singkat mengenai karya roman sastrawan pribumi yakni Nur Sutan Iskandar dengan judul "Salah Pilih" yang menceritakan kisah cinta dua anak manusia yang ditentang oleh adat masyarakat setempat. Novel ini sangat baik dibaca untuk anak muda sekarang yang haus akan pengetahuan tentang budaya masyarakat Minang pada awal tahun 1900-an. Ada banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik dari novel ini yang masih sangat aplikatif pada masa sekarang. Novel yang ringan dan menginspirasi untuk dibagikan kepada pembaca lintas zaman.
|
Title: Rapijali 2: Menjadi
Category: Novel
Text:
Part 1
PART 1
Demi kenyamanan para pembaca lain yang belum mengikuti cerita Rapijali, mohon pengertian para pembaca cerbung digital agar tidak memunculkan informasi terkait jalan cerita Rapijali di media sosial yang dapat dibaca oleh publik hingga buku cetaknya terbit. Segala diskusi tentang yang terkait jalan cerita dapat dilakukan di wadah Forum Digitribe yang telah kami siapkan. Bila Anda belum tergabung dalam Forum Digitribe, segera hubungi CS Storial via nomor whatsapp +62 899 9298436. Kami ucapkan terima kasih atas pengertiannya. Selamat membaca!
1.
BAKTI SANCAYA
BIRU tidaklah terpentang di angkasa, melainkan membayang. Demikian cakrawala pagi hari ibu kota yang acapkali ditemukan Ping. Langit Jakarta bagai kertas warna dilapis lembaran kalkir. Terkadang, saking tebalnya lapisan itu, Ping mengira bayang biru yang ia lihat merupakan ilusi ciptaannya sendiri.
Bus sekolah Pradipa Bangsa berhenti di depan lobi gedung berlapis kaca kehijauan. Ping mengintip dari balik jendela...
Part 2
PART 2
3.
LAMPU SOROT
INGGIL paling pertama menyadari perubahan yang terjadi. Bukan hanya melemparkan pandangan ke arahnya, orang-orang bahkan tersenyum kepadanya. Inggil membalasi senyuman mereka dengan kaku.
“Ping, di gigiku ada cabai nyelip, ya?” Inggil menyeringai lebar.
Ping mengamati deretan gigi Inggil yang berbaris mungil mirip biji mentimun. “Nggak.”
“Seragamku nggak kebalik, kan?”
“Nggak.”
Seorang anak yang berjalan dari arah berlawanan, tiba-tiba mengacungkan kepalannya ketika melihat Inggil. “Hidup anak subsidi!” serunya.
Inggil ikut mengacungkan kepalan disertai senyuman canggung.
Keganjilan itu makin terasa sewaktu Inggil dan Ping bergabung di meja kantin bersama Buto dan Rakai. Seolah ada lampu sorot menerangi meja mereka dan mengisap perhatian satu kantin.
“Ghes. Kayaknya banyak yang nonton kita di TVRI, deh,” kata Inggil.
“Nggak mungkin. Siapa yang nonton TVRI hari gini. Anak PB geto loh,” sahut Buto, “nontonnya Netflix sama HBO.”
“Medsos, kali,”...
Part 3
PART 3
5.
KESEMPATAN
JIKA bukan musim libur, RM Mang Acep hanya terisi maksimum setengah kapasitas. Namun, sore itu, restoran penuh sesak layaknya puncak liburan. Sebaliknya, pantai lebih sepi daripada biasanya. Sebagian besar penduduk lokal bersiaga di depan pesawat televisi. Sebagian dari mereka memilih nobar di restoran Mang Acep.
Layaknya keriuhan pertandingan sepak bola, penampilan Rapijali membawakan medley lagu Benyamin Suaeb berhasil memancing keriuhan sebanding. Begitu Ping muncul, layar ponsel ikut bermunculan menghalangi teve. Semua orang ingin mengambil selfie dengan latar belakang Ping di layar kaca.
“Odiiing! Mau pengumuman ini! Mana si Oding?” Lilis memutar-mutar kepala, mencari anaknya.
“Di sini, Mih!” jawab Oding yang bersandar di tiang kayu sambil menggenggam sebotol teh dingin.
Lilis lalu berteriak panik ke arah kamar mandi. “Apiiih!” panggilnya pada Acep. “Sudah mau selesai ini iklannya!”
“Hadiiir!” teriak Acep berbarengan dengan suara pintu kamar mandi membuka.
Setelah memastikan...
Part 4
PART 4
8.
PANAH TERSASAR
BARU dua hotel besar di Kota Jakarta yang ia kunjungi. Hotel yang dipakai Debat Pilgub, dan ini. Ping celingak-celinguk, mendongak ke berbagai sudut, mengagumi apa yang ia lihat. Lempengan batu marmer setinggi atap rumah dengan motif menakjubkan terpampang di bidang-bidang dinding. Lukisan-lukisan besar berbingkai emas mengisi celah di antaranya. Karpet di bawah kakinya seempuk kasur lipat yang biasa ia gelar untuk Oding kalau sedang menginap. Baru kali itu pula Ping melihat benda-benda umum—sofa, pot bunga, meja—dalam ukuran besar di luar wajar. Jikalau dilihat dari lobinya saja, Hotel Krisanta seperti diperuntukkan buat raksasa.
Semakin dalam ia berjalan, semakin jelas terdengar dentingan piano mengalun. “Kai, saya nggak sampai selesai, ya. Janji pulang sebelum jam sembilan,” bisik Ping kepada Rakai yang berjalan di sampingnya.
“Bentar doang, kok. Aku cuma pengin kasih lihat tempat Mama main. Dia pasti senang kamu datang.”
Selasar...
Part 5
PART 5
10.
SEMIFINAL
DEKAT jajaran pohon tanjung yang meneduhi area parkir, Guntur memberi aba-aba kepada sopirnya untuk bertahan dulu di area parkir sebelum menurunkan mereka di lobi.
“Li, makasih ya, sudah menemani ke sini,” ucap Guntur.
“Relaks. Ada dua lusin anak partai ikut nonton. It’s not like we’re on a date or something.” Dahlia melengos.
“Aku tahu kamu masih marah gara-gara debat kemarin—”
“Aku nggak marah,” sela Dahlia.
“Really? You don’t seem happy either.”
“Manuvermu berisiko tinggi. Aku cuma khawatir—”
“Polling kita semalam adalah yang terbaik dari tiga debat Cagub,” potong Guntur, “itu fakta.”
“Aku tahu. Tapi….” Dahlia menghela napas. Sebentuk perasaan tak enak menggayutinya sejak debat semalam. Di atas kertas, kemenangan Guntur sudah menyingsing di ufuk fajar. Tetap saja, perasaan tak enak itu bertahan. “Nggak tahulah, rasanya kayak ada yang salah.” Dahlia membuang tatapan ke jendela, berharap jawaban yang...
Part 6
PART 6
12.
SAATNYA SEHATI
SEKURITI sekolah menyambut mereka dalam tatapan terkesima. “Hidup Rapijali!” serunya sambil membuat bogem di udara.
“Pak Bagas! Hidup Gang Bahari!” balas Inggil yang mengenali satpam itu sebagai salah satu warga gangnya.
“Hidup Pradipa Bangsa!” sahut Bagas lagi.
“Hidup Kuswoyo Tailor!” Inggil ikut mengepalkan tangan.
“Hidup!” Bagas membalas bersemangat hingga mukanya bersemu merah.
“Berasa di zaman kemerdekaan,” bisik Buto pada Ping yang berjalan di sebelahnya.
Sementara itu, Ping terlongo memandangi bangunan sekolah yang kosong pada hari Minggu. Pradipa Bangsa semakin terasa kemegahan dan keluasannya.
Tidak hanya dianugerahi alat-alat musik baru berspesifikasi paling mutakhir, kini mereka punya akses setiap hari ke Musro, bahkan di luar hari sekolah. Tidak ada batasan jam. Rapijali diperkenankan berlatih di sana selama apa pun yang mereka butuhkan.
Tatkala yang lain tiba di Musro, Rakai ternyata sudah menunggu di dalam. Air mukanya keras. Semua membaca gelagat serupa. Sebentar...
Part 7
PART 7
14.
MUSHO
EMBUSAN angin pertama yang menerpa wajahnya seketika membawa kebahagiaan tak terhingga. Ping harus berhenti sejenak di anak tangga pesawat untuk memejamkan mata dan menata hatinya yang bergolak oleh beragam gelombang perasaan sekaligus. Ia tidak bermimpi. Sewaktu matanya membuka, kembali ia temukan pemandangan indah Bandara Nusawiru yang dikelilingi selang-seling pohon kelapa dan nipah sepanjang mata memandang.
Bandara mungil itu hanya memiliki sebuah gedung beratap genting. Tidak ada pesawat jet komersial terbang rutin ke sana. Pesawat baling-baling Cessna Grand Caravan berkapasitas dua belas orang yang membawa mereka dari Jakarta adalah pesawat terbesar yang rutin mampir ke Nusawiru.
Angkasa cerah nyaris tidak berawan, pertanda mereka akan menikmati matahari terbenam yang megah nanti sore. Terlepas dari teriknya surya pukul dua siang, angin sejuk tak henti-hentinya meniup, mengibarkan rambut dan baju semua penumpang yang turun dari tangga pesawat.
Suasana takzim itu tidak berlangsung panjang. Begitu mereka berkumpul...
Part 8
PART 8
16.
KINARI
DAPUR RM Mang Acep bekerja keras malam itu. Lilis dan Acep seperti ingin memastikan tidak ada ruang kosong tersisa dalam lambung tamu-tamu mereka dari Jakarta. Rombongan Rapijali pulang ke rumah Ping dalam kondisi kekenyangan. Tak seorang pun menunjukkan semangat untuk lanjut berkegiatan. Apalagi latihan. Kecuali Rakai.
“Gil, But, kita set alat, ya,” katanya kepada Buto dan Inggil yang teronggok di amben. “Deh, siapin kabel buat mic,”pintanya kepada Lodeh yang duduk bersandar ke tembok dengan mata setengah terpejam. Permintaan Rakai tidak bersambut. “Ini pada niat latihan nggak, sih?” tukasnya.
“Saya bantu,” sahut Oding. “Sudah biasa jadi kru D’Brehoh,” tambahnya setelah melihat kesangsian pada muka Rakai.
Mereka berdua akhirnya bahu-membahu menyiapkan peralatan. Sesekali Rakai mencuri pandang, mengecek pekerjaan Oding. Untuk ukuran bukan musisi, Oding benar-benar paham apa yang ia lakukan.
Jemi keluar dari kamar, mengenakan setelan piama pendek berwarna biru muda....
Part 9
PART 9
18.
KEKUATAN SAPU BERSIH
PERAHU biru cerah membelah air hijau Cijulang dengan suara motor memekakkan telinga.
“Ahoi! Aku, Inggil Kuswoyo, si Perompak Sungai!” Inggil, berdiri di ujung haluan, mengacungkan dayung kayu tinggi-tinggi. Teriakannya mengejutkan seekor reptil yang tengah berjemur di kolong tebing. Sebaliknya, Inggil nyaris hilang keseimbangan ketika melihat binatang itu melejit gesit. “Ghes! Ghes! Anak buaya, ghes!” teriaknya panik.
“Biawak.” Oding mengoreksi sembari tertawa kecil.
“Gue yang anak Sos aja tahu beda biawak sama buaya. Gimana, sih?” Buto terpingkal. “Makanya, jangan pecicilan. Duduk aja napa?”
Inggil tak mengindahkan. Ia kembali berdiri di haluan sambil bertumpu pada batang dayung, tak mau menyia-nyiakan sedikit pun keindahan alam yang melingkungi mereka sejak dari dermaga Ciseureuh. Tebing tinggi mengapit perahu di kiri dan kanan, memagari mereka dengan pepohonan dan lapisan pakis. Jurai-jurai akar pohon dan tanaman rambat menggantung dan berlomba hendak mencium permukaan...
Part 10
PART 10
20.
SATU KELUARGA
MINGGU tenang melonggarkan jadwal orang-orang yang terlibat kampanye. Tidak demikian halnya dengan Dahlia. Koordinasi bersama KPU dan staf partai di berbagai tingkat, mulai dari kota sampai kelurahan, harus ia cek dan pantau berulang-ulang. Namun, ada ganjalan spesifik yang mengusiknya sejak awal hari, yang tidak bisa ia koordinasikan dengan pihak mana pun selain ke satu orang.
Baru menjelang malam, Dahlia akhirnya berkesempatan duduk diam di sofa apartemen dengan secangkir teh oolong hangat. Ia meraih ponsel, menghubungi Guntur.
“Hai, Gun.”
“Li!” Suara itu terdengar cerah. “Telepati kita. Baru saja mau kutelepon.”
“Oh, ya?” Senyum memekar spontan di wajah Dahlia. “Ada apa?”
“Ping sudah pulang dari Cijulang. Dia bikin lagu buat Final band-nya besok.”
“Oh.”
“Rapijali bakal bawakan lagu sendiri. Lagunya Ping. Hebat dia, ya?”
“Yes… um, about that. Sebenarnya aku telepon karena mau tanya rencanamu besok.”
“Besok kita ke TVRI...
Part 11
PART 11
22.
ANAK HARAM
SETELAH mendiamkan gawai yang bergetar sejak lima belas menit lalu, sambil setengah menggerutu Dahlia menyambar ponselnya dari tas kecil yang menggantung di pinggang. Ia semakin kesal begitu melihat hampir dua lusin panggilan gagal dari asistennya.
“Nin! Aku, kan, sudah bilang lagi di TVRI. Rapijali tadi pas lagi live, aku nggak bisa angkat HP!” Dahlia harus berteriak untuk bersaing dengan keributan di sekitarnya.
Nindya merepetkan sesuatu dan Dahlia nyaris tidak menangkap satu kata pun. “Sebentar!” kata Dahlia sambil merogoh earphone, menancapkannya di lubang telinga, “Ada apa, sih?”
Meski tidak terlampau jernih, informasi Nindya tertangkap cukup jelas. “Foto-foto? Bentar, aku cek.” Dahlia membuka aplikasi tempat Nindya mengirimkan deretan foto-foto yang sejak tadi belum sempat terbuka. Jantung Dahlia rasanya memerosot ke perut bumi. Foto terakhir kiriman Nindya adalah jepretan layar yang menunjukkan trending nasional di Twitter. Tagar #anakharam bertengger di nomor satu. ...
Part 12
PART 12
24.
SUDAH MATI
ODING tak perlu membongkar pot keladi untuk mengambil kunci. Pintu gebyok itu dibiarkan bercelah. Waswas, Oding mendorong daun pintu. Gelap menyambut. Hujan telah reda, tetapi mendung yang keras kepala tidak membiarkan cahaya matahari masuk ke ruang tengah.
Seakan berjalan di lapisan es tipis, Oding separuh berjingkat memasuki rumah. Pintu kamar Ping juga tidak rapat. Ia melongok pelan-pelan. Yang pertama tertangkap adalah retaknya cermin lemari pakaian. Pot tembikar ambyar berkeping-keping di lantai. Dari kekacauan yang terlihat, Oding dapat menduga cermin malang itu belum lama dihantam. Oding melongok lebih dalam. Dekat kaki tempat tidur, tampak Ping duduk membisu dalam keremangan.
Ping mendongak, “Ding,” panggilnya lemah.
Oding duduk di sebelahnya. Baru setelah dari dekat, ia melihat Ping terbungkus baju lembap. “Ya ampun, kamu basah begini. Ganti baju dulu, ya.”
Ping menggeleng. Ia menjatuhkan kepalanya di bahu Oding. “Capek,” bisiknya.
“Capek kenapa?”
“Pengin pulang.” ...
Part 13
PART 13
26.
HATI TERKUAT
PARKIRAN yang tadinya tumpah ruah hingga ke pinggir jalan kini sepi. Tersisa beberapa mobil di halaman, milik Guntur salah satunya. Hujan lebat yang turun tak lama sehabis konferensi pers mempercepat arus kepulangan orang-orang. Namun, Dahlia tahu, bukan hujan yang menahan Guntur pulang.
Dari semua orang di kantor, Dahlia satu-satunya yang punya pas masuk ke ruangan Guntur tanpa mengetuk. Perlahan, ia mendorong pintu itu.
Hanya lampu meja dibiarkan menyala. Guntur mewujud menjadi siluet hitam yang memunggunginya. Gerimis masih berderap teratur, meninggalkan bercak air pada jendela tempat Guntur menghadapi sisa cahaya di langit yang diisap pelan-pelan oleh malam.
Dahlia mendekat, duduk di kursi berlengan di pojok ruangan, bersisian dengan jendela tempat Guntur berdiri.
Guntur menoleh sedikit, lalu balik menghadap jendela. “Ardi yang kasih tahu Randy.”
“Apa?” desis Dahlia. “Kok, bisa? Ardi tahu dari mana?”
“Ardi baca diarinya Nita.”
“Ini salahku,” desah Dahlia sambil...
Part 14
PART 14
28.
KENA KUTUK
RUMAH Busana Ikrar berada di area perumahan Kebayoran Baru, tak jauh dari rumah Buto. Sepeninggal ojek yang mengantarkannya sampai kantor advokat Fransiskus Maramis, Rakai pun pindah ke mobil Buto dan berangkat bersama.
Sebuah SUV Bentley berwarna hitam berkilau sudah terparkir di pelataran Ikrar. Hanya ada satu anak di Pradipa Bangsa yang diantar mobil seperti itu.
“Pagi amat si Jemi,” celetuk Buto.
“Dia memang pengin duluan fitting. Ada acara makan siang sama keluarga besarnya,” jelas Rakai.
Buto mendorong pintu kaca bertuliskan logo Ikrar. Tampak Jemi duduk di sofa ruang penerima tamu, menjinjing tas pembungkus baju yang siap dibawa pulang.
“Hai, Teddy Bear,” sapa Jemi dengan semringah. Matanya melirik sekilas ke Rakai. “Hai, Kai.”
“Kostum kamu dibawa pulang? Bukannya nanti tim Ikrar yang bawakan ke studio?” tanya Rakai.
“Oh, yang ini bukan kostum. Aku sekalian beli baju buat acara keluarga nanti...
Part 15
PART 15
30.
MALAM ANUGERAH
DERING ponselnya terasa lima kali lipat lebih memekakkan di auditorium itu. Ira terkejut sendiri sampai mendamprat dalam hati. Terdengar seseorang berdesus panjang. Profesor Dama mendelik ke arahnya.
Ira memberikan isyarat permohonan maaf lalu cepat-cepat menyelinap keluar. “Kai, Mama lagi persiapan audisi,” sembur Ira langsung ke telepon.
“Bu Ira.” Terdengar suara perempuan di ujung sana. “Ini Ping.”
“Ping?” seru Ira. Matanya hampir mencelat keluar saking kagetnya. “Kamu di mana?”
“Di Jakarta, Bu.”
“Kapan datang?”
“Barusan. Lagi menuju TVRI,” jawab Ping. “Bu, nanti malam saya mau ikut audisi beasiswa.”
Ira terdiam sejenak. “Kamu yakin?”
Siap tak siap, Ping tak punya pilihan lain. Beasiswa adalah jalan satu-satunya. “Yakin, Bu.”
“Oke. Namamu masih ada di daftar. Nanti saya konfirmasi ke dewan penguji,” balas Ira. “Kamu bawa partitur?”
“Nggak, Bu. Maaf.” Selain ransel yang berisi barang-barangnya sejak seminggu lalu, semua barangnya yang lain masih tertinggal...
Part 16
PART 16
33.
PARODI RESITAL
LAMPU merah tampak menyala di pucuk pintu auditorium. Melihat itu, Rakai langsung menahan kawan-kawannya. “Masih ada yang tes,” katanya. “Kita tunggu sampai lampunya mati.”
Ping melihat jam dinding. Ia berhasil datang tepat waktu. Tak lama, lampu merah itu padam. Mereka masuk pelan-pelan, menginjak karpet merah yang melapisi sekujur lantai dan tangga. Penerangan auditorium diminimalkan. Hanya panggung yang dibuat terang. Terlihat seorang perempuan peserta audisi tengah membereskan partitur dari piano grand hitam yang terbuka. Tampak pula siluet kepala beberapa orang di bangku depan. Dua di antaranya, Ping meyakini, ialah Ira dan Profesor Dama.
Dari bangku depan, Ira menoleh. Ia menyambut Rakai dan rombongannya dengan lambaian tangan, lalu membisikkan sesuatu ke Profesor Dama.
Terdengar suara Profesor Dama menanggapi, “Sudah datang? Langsung saja kalau gitu.”
Langkah Ping terkunci. Langsung? Ia membayangkan akan diberi setidaknya lima menit buat menyiapkan diri, atau sekadar mengambil napas...
Part 17
PART 17
35.
DI GENGGAMAN TANGAN
AROMA sangit bawang bercampur kecap terbakar merebak sejak di anak tangga loteng. Ping melongok ke bawah, menemukan mesin cuci sudah berputar, dan bunyi alat-alat makan berkelontangan dari dapur.
“Mbak Piiing!” Rumi menyambut Ping dengan tangan terentang, lalu menggabruknya. “Selamat buat Rapijali, ya!”
Bau masakan yang menempel di tubuh Rumi menyergap penciuman Ping.
“Mbak Ping cantiknya kebangetan tadi malam. Suaranya juga uenak pol.” Rumi mengacungkan jempol. “Aku nonton ramai-ramai, Mbak. Tetanggaku pada heboh. ‘Itu majikannya Rumi yang di teve’. Aku jadi ikut terkenal,” tutur Rumi sambil menggiring Ping ke meja makan. “Satu RT aku suruh SMS mendukung Rapijali. Sampai aku bagi-bagi pulsa ke tetangga, lho.”
“Makasih, Mbak.” Ping duduk di kursi makan yang sudah digeserkan Rumi.
“Sarapannya yang banyak, ya. Aku sudah bikinkan nasi goreng paling se-pi-si-al! Semuanya tak’ campur jadi satu. Telur, bakso, sosis, udang, ayam, lengkap pokoknya!...
Part 18
PART 18
37.
PENTAS TERAKHIR
PAGI-PAGI, sejam sebelum sekolah dimulai, mereka berenam janjian bertemu untuk berbicara di taman belakang, tempat paling sepi dan tersembunyi dari lalu lintas penghuni sekolah. Inggil tiba paling akhir. Akibat keterlambatannya, Inggil menduga ia sudah ketinggalan separuh pembicaraan.
Di bundaran beton tempat para siswa biasa duduk-duduk, sudah berkumpul lima rekannya dalam formasi melingkar macam sesi curhat kamping. Tiada api unggun di tengah sana. Hanya ruang kosong berlapis konblok dan rumput yang tumbuh malu-malu.
Semalam, Buto meneleponnya, mengabarkan bahwa Rapijali telah kena kutuk. Kutukan itu, meski Inggil belum paham benar apa, terasa menggantung di tengah-tengah bundaran.
Inggil duduk di bagian yang sengaja dikosongkan untuknya. Ia memandang berkeliling, mempelajari muka-muka murung yang bahkan tak tergerak menyapanya. Inggil merasa bagai penonton kesiangan yang menghadiri pertengkaran orang putus cinta, dan ia tiba ketika api telah membakar hangus hati mereka. Tersisa tinggal abu.
“Kalian masih bisa jalan...
Part 19
PART 19
40.
MALAM SEMPURNA
MENJELANG pukul setengah delapan malam, meja-meja di The Piano semakin banyak terisi. Terlihat Ira menyapa beberapa orang tamu yang ia kenal. Setelah main reguler bertahun-tahun di sana, Ira tampaknya sudah punya penggemar setia. Ping mencengkeram erat-erat map partitur repertoar lagunya malam itu. Aku bukan siapa-siapa.
Usai beramah-tamah, Ira pulang ke markasnya, ke sebuah meja pojok di belakang piano. “Ibu main lima lagu, terus panggil kamu, ya?” katanya kepada Ping.
Ping cuma mengangguk.
“Nervous?” tanya Ira.
“Sedikit.” Telapak Ping mulai berkeringat. Jantungnya berdetak lebih cepat sejak tiba di bangku itu.
“Santai saja, Ping. Penonton begini nggak rewel. Mereka lebih fokus makan-minum daripada mendengarkan kita. Anggap saja latihan, tapi dibayar,” kata Ira sambil tersenyum.
Setelah mengetahui situasi terbaru Ping, dan setelah Ping menyatakan keinginannya mencari uang sendiri, Ira berinisiatif mengajaknya berbagi sesi di Hotel Krisanta. Ini malam pertama mereka. “Bu, untuk...
Dari Penulis
Dari Penulis
Tidak banyak yang tahu bahwa tuntasnya Rapijali terpicu oleh dua hal. Cuaca dan bandara.
Satu hari, saya mendapat pekerjaan di Purwokerto. Panitia memberikan pilihan antara naik kereta api, atau naik pesawat ke Cilacap lalu bersambung dengan mobil. Saya memilih yang kedua. Saya terbang dari Bandara Halim Perdana Kusuma, menumpangi pesawat Cessna Grand Caravan berkapasitas 12 orang dengan tujuan Cilacap.
Di udara, saya sempat tertidur. Saya terbangun oleh potongan pengumuman dari pilot. Cuaca buruk di Cilacap tidak mengizinkan kami mendarat. Untuk itu, kami harus menunggu terlebih dahulu di Bandara Nusawiru, Pangandaran.
Tak lama, pesawat kecil itu mendarat di sebuah bandara sederhana dengan pemandangan menakjubkan. Kami disambut oleh rinai tipis serta mendung yang terasa romantis. Tiupan angin sejuk menggoyangkan barisan pohon nipah yang mengelilingi bandara.
Dari kasak-kusuk di sekitar, saya mengetahui bahwa bandara itu dekat sekali dengan Pantai Batu Karas. “Di situ,” kata seorang staf bandara...
Description: Jakarta tidak lagi menjadi penjara. Di ibu kota, Ping justru mulai mendapatkan gambaran tentang hidup yang ia inginkan. Ia memiliki sahabat-sahabat baru, impian baru, dan cinta yang baru. Namun, tantangan lebih besar turut menyingsing. Ajang Band Idola Indonesia menuntut Ping bekerja keras, termasuk menciptakan lagu. Band Rapijali yang menjadi sumber kebahagiaannya ikut menerbitkan beragam konflik. Popularitas mereka mulai terasa bagai pisau bermata dua. Berbagai perasaan yang terpendam di antara para personel Rapijali turut membayangi perjalanan terjal mereka sepanjang kompetisi.
Cita-cita Ping untuk melanjutkan pendidikan di universitas impian berbenturan dengan kelemahan terbesarnya di bidang musik. Sementara itu, rahasia masa lalu yang mulai terkuak membawa keluarga Guntur ke titik kritis. Mampukah Ping melewati badai itu? Akankah Rapijali bertahan? Di persimpangan hatinya, kepada siapakah Ping menjatuhkan pilihan?
|
Title: Runutan Aksara buta makna
Category: Puisi
Text:
Awal yang Menyenangkan
Kau meracau dalam mimpikutak jelas apa kata yang keluar dari kerongkonganmu ituAku mencoba semakin nyenyakKu telusuri maksud dari bibirmu yang bergerak-gerakAhaa, Aku mengerti satu!Rindu?
Aku juga, Sangat mencintaimu *ucap senang dalam hati*
Runtuh
Bagaimana pun,Malam tetap terasa sunyiGelap bak dinding penghalang tepiLalu,Sepi tinggal dibalik reruntuhanYang hancur saat rindu tak lagi dihiraukan.
Egois
Lain kali manis mu jangan ditinggal pergi.Meski sendiri, itu tetap banyak yg menghampiri.Aku, sebagai calon pemilik hati.Tidak rela manismu dimiliki manusia lain di bumi ini.
Kamu
Selamat pagi dari jendela diselasarMenikmati roti semalam sedari pasarSedikit kafein agar miliki efek debarTak lupa memikirkanmu dengan mata berbinar.
Ah dasar.Rindumu masih saja kuharapkanMeski sakitnya pernah sangat tak tertahankan.
Malam tadi
Waktu hampir tengah malamTapi rindu masih asik-asik nya tenggelam.Sudah kusuruh lelap sejak tadiBarangkali mimpi menjadi ladang bertukar sepi.Ia melawan, berdalih tak elok jika mimpi tanpa senyumnya yang menawan.
Kembali
Mungkin luka memang tidak mengenal jera.Ia terus kembali.Tak kunjung henti.datang dan jatuh di ruang-ruang hati yang hampa.Lalu cinta seakan kedap suara.Tak mau tahu tentang rinduHingga malam melahirkan sunyi yang baru.
Ingatan masa Lampau
Semalam masih bersamaMasih saling senyum dan melempar tawaLalu saat pagi tiba, ruang benar-benar hampaTak ada lagi tawa, hanya kenangan yang bisa kubawa-bawa.
hai, Permata
Kau saturnusBerkutat pada garis edar terus menerusMeski cincinmu akan hilang secara misteriusTapi cantikmu tetap paling seriusHujanmu saja permataManisnya sempurna, mempesonaJika boleh kupunyaKu akan mampir ke NASA lalu minta diterbangkan segera.
Sirius
Demi Bintang Sirius;Aku adalah rindu yang bintang titipkan.Lewat sinar bulan yang jatuh tepat pada indera penglihatanmu.Kau tak perlu mencari.Aku memantul, dan Membias jauh kedalam mata, dan semoga segera sampai ke hati.
Harapan 1
Aku hanya ingin kita menyempatkan waktu untuk berpikir.tentang ajaibnya semesta, perihal langkah dan segala cara,Untuk kita yang akan disatukan oleh sejuta kemungkinan serta doa.
Harapan 2
Aku Ingin senja tadi sore ada padamuTugasku; mengagumimuDan mendoakan agar kau tetap hadir disepanjang waktu.
Doa setelah Hujan
Rindu hadir ditengah hujanLalu aku bermain disekelilingnyaMencari ladang luas;Bersandar pada bumi, menadah langit.Saat wajah diterpa ribuan air yang menepuk bergantian.Aku berdoa, semoga temu datang bersama pelangi setelah hujan.
Banyak mau-mu
Kemarin, saya mencintaimu.Tadi, saya diminta melupakanmu.Besok, rindu mulai memburu.Lusa, kau abadi dalam puisiku.
Hujan bantulah..
Gelap Malam pada hari kamis
Diselimuti dengan sedikit rintik hujan gerimis
Suara jatuhnya perlahan namun sungguh manis
Hujan.... tolonglah berhenti!!!
Apa yang kau pikirkan hujan?
Tolong jangan biarkan rindu yg telah lama mati.
Kembali bergentayangan lagi.
Terima Kasih, Hujan :)
Terima Kasih
Sajakku bisu, aksaraku beku.Puisi tak lagi dapat hadir disekelilingkuSubjekku hilang, latarnya tak lagi datangSungguh, sungguh malang.
Untuk apa yang pernah kudapatkan darimuSelalu ada doa dan terima kasih yang menyertaimu.
Sekali Lagi
Senang mencintaimu.Penuh bangga merangkul tanpa merusakmu.Semoga hati tak kutinggal lukaSemoga bahagia datang menjaga
Sekali lagi,Selamat dari saya yang bukan apa apa.Terima Kasih untuk cinta dan rindu yang selalu kita selesaikan bersama.
Pengembara
Adalah Semesta, pergi sendiri berkelanaberlari dari ujung bumi satu ke sisi lainnyamerasa pengalaman menjadi kompas disetiap langkah yang dirasa-rasa.Mencari puas untuk hati supaya tak lagi mati rasa.semoga tak cepat jalannya dan tak terlalu dekat jaraknya.
Salam
Kutitipkan rindu pada merpati di atas bangunan tua, agar ia membawanya di udara dan menepi pada tujuannya; harapku ia kembali padaku bawa kabar, kabar bahwa rindu telah sampai, dan kau tetap bersedia untuk bersabar.
Bicara Sepi
Jika sepi adalah tajuk utama dari sebuah perhatian yang diharapkanMaka hidup di keramaian jadi satu-satunya alasan untuk kembali merasakan peradaban.
Description: Kumpulan dari beberapa tulisan, sedikit Keluhan sisanya kenangan.
|
Title: Rasa cinta ini
Category: Artikel
Text:
apa itu cinta Naila
Cinta adalah suatu hal yang dirasakan dan dimiliki oleh dua orang yang mengerti arti sebuah kasih dan sayang cinta yang dimiliki tulus dan tak ada seorang pun yang dapat memisah cinta itu.
Tapi cinta bisa terluka dan sakit apa bila kepercayaan nya dilukai dan dibohongi pasangan nya.
Sakit loh dikhianati dan hancur berkeping keping hati orang yang di sakiti orang yangerasa kecewa dan putus asa bisa melakukan tindakan di lular akal sehat nya kemungkinan cinta yang dia yakini telah pergi mencari cinta yang lain uang slah
rapuh
Hati ku rapuh karena nnya dia pergi meningglal kan ku bersama bayang bayang ya g semu dan mencekam lagit yang tinggi di bawah hamparan ke Kecewa dan ketakutan
Kenapa kau menghancurkan hati ini kenapa kau begitu jahat dan tak punya arti cinta kepadanya kenapa aku merasa bahagia dulu saat kau mencintaiku tapi kini semua terasa asing tetsa semu tak berrto apa apa lagi semua kebahagiaan dan Anggan ku bersama mu pergiwnjauh bersama rasa yang kau berikan besama hembuskan napas ini
Kau torehkan luka dan aki kini semakin hancur berkeping keping hati ku tak apa aku mulai sadar bahwa kamu bukan yang terbaik diciptakan buat ku untuk sekarang atau pun nanti sampai Allah menjemput ku pulang
hanyut
Hanyut semua keinginan ku saat rasa ini tak bisa dibendung rasa yang benar benar telah mati dan tinggalkan pedih yang mendalam apakah aku bisa bangkit seperti dulu.
Sulit tapi perlahan ku coba dan terus kucoba saat semua hanyut terbawa arus yang datang dan pergi tak meningal bekas .
Yang ku dapat ha ya lah ke hanyutan akan kepedihan dan kepahitan hidup ini dan rasa sakit yang ntah kapan akan berakhir Kapan dan hilang dan kapan berhenti .
Terkadang aku mulai capek dan lelah sendiri memiliki pikiran ini yang ntah apa tujuan aku pun tak tau.
kesendirian
Aku sendiri dalam lamunan ini dan terdiam sendiri akan kesendirian yang tak berkawan akan akan ada yang datang mendekat dan tak akan pernah pergi lagi .
Ada dia pernah mengisi sendiri an ku ini tapi dia yang dulu amat ku sayang tapi sekarang sirna semua kenangan itu masa lalu yang. Tak bisa ku kembali kan lagi
Sekarang aku sendiri tanpa ada yang menemani dan dia lah yang menghadirkan kenagan itu dan membuat ku menajadi seperti ini.
sirnah
Dia lama lama rasa itu pergi dan seketika angin yang menyapu, sirnah nya begitu nyata nampak di mata ku.
Aku sakit aku sungguh tak membayangkan
Secepat itu sirnah nya rasa ku pada nya padahal dulu tidak begitu
Gejolak Hati
Pertama ku kenal dengan mu aku melihat kau begitu beda yang lain. Beda nya ya beda lah aku pun sudah untuk mengunggupkan nya rasa itu Muncul dengan sendirinya muncul tanpa ada yang tau dimana Kapan dan dengan siapa dan dari mana asal nya jauh dekat , dekat atau pun jauh berbeda suku tapi satu keyakinan.
Ada jutaan juga sih" yang menyukai dari agama lain dari rasa lain tapi itu semua tergantung pemilik hati hati kah menjawab nya dan sang pencipta yang menentukan dan menemukan kita pada jodoh kita
rasa itu
Rasa dimana aku merasa kan indah nya jatuh cinta bahagia saat bersama nya tapi kini semuanya pergi meninggalkan semua rasa itu semuanya kenagan manis itu tetawa bareng , berbagi cerita sedih keluh kesah padamu.
Kini rasa itu pergi!!!
Takan pernah kembali lagi sampai kapan pun
kenangan cinta
Aku tak percaya semua semuanya telah menjadi masa lalu telah menjadi kenagan yang menyakiti hati dan batin ini.
Aku tak menyangka puing puing kenangan itu kini seakan dtang lagi menghantui ku ..
Apakah rasa yang kau miliki pada ku masih ada ap ini hanya anaggn yang tak nyat dan tak pernah nyata Akankembali kepadaku.
Ku bahagia dulu pernah menjadi bagian dari sisi hati mu dan sebagian h tempat singgah sana tang hanya sebentar dan tak selamanya.
sakit yang hati ini
Rasa sakit yang hanya aku saja yang merasa. Setelah kau pergi aku merasa asing merasa sunyi sepi tanpa ada kawan rasanya.
Aku merasa ntah bagaimana rasa hancur diri hati ini. Kau tinggalkan aku sakit.. aku tak dapat membendung tangisan ku
Tangisan yang membasahi pipi ku aku kadang bertanya sendiri yang ku tangusi apa dia benar mencintai apa dia yang telah pergi selama nya dari hati .
Aku bertanya sendiri pada diari ini kayak orang bodoh..... Bodoh nya aku menghara
Setelah tahun demi tahun akhirnya aku lupa akan rasa yang ada untuk mu dulu
orang yang jelas mempermainkan hati ini orang yang menorehkan luka periih ini
rasa yang mencekam batin ku
Kenapa mesti datang lagi bayang bayang semu itu aku ingin buang yang tak ingin lagi aku ingat kenapa ???
Apa aku terlalu dulu mencintai mu ,ya dulu aku terlalu mencintaimu tapi sekarang tidak sama sekali dan aku tau dia bukan jodohku aku ingin sang pencipta hapus semua tentang dia dari pikiranku ini.
Aku tak ingin dia hadir terus di pikiran ini cukup lah dia meninggal luka dihati ini
Aku cukup cukup lah dengan rasa yang dulu membuat seperti orang yang Hampir gila setelah dia tak ada di hati ini.
Description: apa itu cinta yang timbul dihati Naila Ketika di tinggal pergi pasangan yang dia cintai
|
Title: RATU
Category: Cerita Pendek
Text:
perkenalan
Waktu telah menunjuk kan pukul 22.00,sebagian orang telah berada di rumah mereka,bercengkrama dengan keluarga sambil menonton tv atau menikmati sedikit cemilan.Tapi tidak sedikit juga orang baru saja merasa kan kebebasan nya,keluar dari tempat yg selama ini menghidupi nya menuju rumah,bertemu dengan keluarga yg telah menunggu di rumah.
Seseorang yg bekerja disuatu tempat service center laptop baru saja melangkahkan kaki nya menuju parkiran motor,kelihatan parkiran telah sepi dan gelap,hal seperti ini telah biasa dia lalui saat jam kerjanya telah melewati jam kerja normal.kunci motor pun segera dia rauk dari kantong celananya,tiba-tiba terdengar suara dering hp di dalam tasnya.Nomor yg tak ia kenal menelpon,dengan canggung pria ini ragu untuk menjawab telpon itu.Dia memutuskan untuk membiarkan nya saja dan meneruskan niatnya untuk kembali ke rumah... bersambung
perkenalan 2
30 menit berlalu pria itu akhirnya sampai dirumah tercinta.suara motor yg berisik telah menjadi ciri khas dirinya.orang-orang yg berada dirumah telah hafal suara motor pria ini.
Pintu pun dibuka,tampak seorang wanita tua menyambutnya dengan senyum yg tulus.Beliau adalah ibunya, "kenapa kemalaman lagi pulangnya nak?"tanya seorang ibu kepada anak nya yg dia cemaskan karna anak nya tidak memberi kabar bahwa dia akan pulang telat untuk hari ini,"maklum ibu..aku kan kejar target" jawab pria itu sambil tersenyum kepada ibu nya.
Tubuh yg lelah karna seharian bekerja memaksa nya untuk tidak langsung menyantap masakan yg sudah di siapkan oleh ibunya di meja makan,"aku nanti makan nya ya bu,mau istirahat sebentar",katanya kepada ibu
"Terserah kau saja,yg penting harus makan" ya,jawab ibu nya
Seperti sofa di ruang tamu menjadi tempat yg dia pilih untuk beristirahat,dia mulai tiduran di sofa itu
Tiba-tiba hp nya berbunyi lagi..dia lihat sebuah pesan muncul di notifikasi hpnya,dia pun mulai membuka pesan itu," kamu udah sampai ali?"
Begitulah isi pesan tersebut." Aku baru sampai bebh :) " begitu ali membalas pesan itu.
Ali anak dr ibu suyati,mempunyai 2 orang adik
Dan telah lama mereka di tinggal oleh ayahnya.ayah ali telah meninggal saat ali masih duduk dibangku sekolah SMA
Sejak ditinggal ayahnya bu suyati lah yg menjadi tulang punggung,beliau membuka usaha jahit baju dirumahnya,dan membuat keripik cabe untuk dijual.
Namun semua itu masa lalu,sekarang ali dan 2 orang adik nya telah tumbuh besar,mereka ber3 sekarang sudah bekerja,ibu suyati berhasil membesarkan ke 3 anaknya sampai seperti saat ini.
Pesan yg dikirim ali pada seseorang td pun mendapat balasan nya "yaudah kamu istirahat deh sekarang,eh iya..pasti kamu belum makan kan yank?"kamu makan dulu ya nanti..sebelum tidur,aku tidur dulu ya besok mau interview pagi-pagi,bye sayang..i love you"
Tampak raut wajah senang ali terpancar saat membaca pesan itu,dia pun membalas pesan itu dengan kata-kata yg tak kalah manis nya
"Mimpi indah ya sayang,aku sayang kamu" begitulah penutup pesan yg dikirim olehnya.baru saja hp nya diletakkan di atas meja,tiba-tiba berdering kembali,tampak sebuah panggilan telepon dari nomor yg tak ia kenal,nomor yg sama saat dia akan pulang tadi menelpon nya kembali..
Perasaan ragu untuk menjawab masih kuat dihatinya,akhirnya dia membiarkan saja panggilan dr hp nya itu...bersambung
perkenalan 3
Tak lama berselang hp nya berdering kembali,tampak sebuah notifikasi pesan muncul
Ali pun membuka pesan itu,ternyata itu pesan dari nomor yg tadi menelpon nya, "maaf mas mengganggu,saya temannya ardi,laptop saya bermasalah,bisa gak mas besok k rumah,kata ardi mas nya bisa service laptop dan dia jugs bilang kalau cuma hari rabu aja mas nya bisa service door to door nya,hehehe "begitu isi pesan yg dikirim nomor tsb kepada ali.
"Ohh teman ardi,maaf mbak saya gak angkat telpon nya td,karna saya gak kenal nomor nya,yaudah besok saya kabari jam berapa bisa nya saya ke rumah mbaknya"balas ali
"Iya gpp kok mas,kalau bisa siangan aja ya mas,aku jam 2 baru pulang kuliah soalnya"balas nya
"Oke mbak" singkat saja ali membalas
Kemudian terpikirkan oleh ali kenapa dia memanggil orang itu dengan sebutan mbak,hanya karna foto profilnya seorang wanita dia memanggilnya mbak,padahal bisa saja orang itu adalah seorang pria, "haha biarkan saja,toh dia gak komplain aku panggil mbak"kata ali di dalam hatinya.
Tanpa ia sadari ali pun ketiduran,azan subuh membuatnya terbangun dari tidurnya,perutnya berbunyi seperti menandakan kalau dia kelaparan.ya wajar saja kelaparan karna dia ketiduran dan tidak jadi utk makan.
Ali pun duduk didepan meja makan.dia mulai menyantap masakan dari ibunya,hanya sayur saya yg tidak dia makan karna telah basi.
Setelah makan ali pun melanjutkan dengan sholat subuh.Selesai sholat terdengar suara motor di luar rumah,adik ali yg paling kecil baru saja pulang dr pabrik susu, "eh bg ali,aku kirain ibu yg bukain pintu,"
"Matamu" jawab ali sambil tertawa
Rafi adik bungsu ali,dia bekerja sebagai kepala QC di suatu pabrik susu,ali dan rafi sangat akrab,karna sejak ditinggal oleh ayahnya bagi rafi,ali adalah kakak dan sekaligus menjadi ayah ke 2 untuknya.
Kelelahan mendapatkan jam kerja malam membuat rafi mengantuk,dia berbaring di sofa tempat yg sama saat ali ketiduran, "sholat dulu fi baru tidur" kata ali sambil membangunkan adiknya yg rada rada akan tidur,rafi pun memaksa kan membuka matanya,"baiklah bang " jawabnya
Rafi tak pernah menyanggah kata-kata ali,karna dia sangat menghormati abang /kakaknya itu
Waktu berlalu jam sudah menunjukan pukul 9 pagi,ibu ali sudah duluan duduk di depan meja makan sambil sarapan
Rafi yg kelelahan belum juga bangun,sementara abangnya ali baru saja bangun dan bersiap untuk sarapan,
"Lembur terus kamu nak"
"Hehehe kan kejar target bu"
"Pikirkan juga kesehatanmu,jangan sampai karna mencari uang kamu malah mengabaikan kesehatan mu"
" iya ya.. ibu sayang" begitulah percakapan antara ibu dan anak ini di pagi hari
"Hari ini ambil job sampingan lagi?" Tanya ibu ali dengan tatapan curiga,karna setiap hari liburnya ali tak pernah berada dirumah,dia selalu mencari rezeki sampingan dengan alasan kejar targetnya itu
"Kok ibu tau,hebat deh ibu" jawab ali dengan candaan nya
"Kamu selalu aja kayak gt,libur gak pernah tenang,ada aja yg kamu urusin" sambung ibu ali
"Rezeki kan gak boleh di tolak ibu..selagi gk ada kendala iya apa salahnya" jawab ali smbil tersenyum lebar pada ibu nya
"Sinta gak kerumah hari ni?" Sambung ibu ali
" paling ntar siap magrib aku bawa dia ke sini bu,hari ini dia interview.." jawab ali
"Kamu izinkan dia kerja?" Katanya target tahun depan..kalau dia nanti diterima disana mana bisa kalian nikah tahun depan,minimal harus 2tahun kerja dulu baru bisa nikah" kata ibu ali
Sepertinya beliau agak cemas dengan keputusan calon menantunya itu untuk ingin bekerja,apa lagi melihat anaknya yg begitu semangat sekali mengumpulkan sedikit demi sedikit rezeki untuk targetnya itu,Ali ingin meminang pacarnya di tahun depan,wanita yg selalu perhatian kepadanya,yg selalu memenuhi beranda chat di hp nya..yg selama ini selalu mewarnai hari-hari nya,
"Ibu tenang saja..tak selamanya peraturan itu selalu sama,itu kan dizaman dulu saat aku masih kerja disana,sekarang mana tau sudah berubah" jawab ali untuk menenangkan ibu nya..
"Maaf ibu gak bisa bantu dana untuk kamu nak"nampak raut wajah ibu ali sedikit sedih karna dia tidak bisa membantu anaknya untuk persiapan targetnya itu
"Ibu ngomong apa sih?" Ali merangkul pundak ibunya
"Bu...sejak ayah gak ada ibu lah yg mengurus semuanya,sampai kami selesai sekolah,smpai kami bisa bekerja seperti saat ini,kalau ibu gak segigih itu berjuangnya mungkin saat ini kami tak kan jadi seperti ini,,semua yg telah ibu perjuangkan udah lebih dr cukup"mendengar kata-kata anaknya ibu ali menjadi tenang,Ali sosok pria yg selalu bisa menenangkan hati ibunya
Saat ayah nya meninggal,dan rumahnya di ambil alih oleh saudara ayahnya ali lah orang yg mampu membuat ibunya tenang,dan berlapang dada menerima kenyataan.
Sebuah masa lalu yg tidak menyenangkan telah di lalui seorang ibu dan 3 orang anaknya.Ali selalu menguatkan ibunya
Dia seperti sosok ayahnya..yg selalu tenang dalam kondisi apapun,mampu berpikir jernih dalam situasi yg mendesak,orang yg sudah kenal dengan wataknya sangat senang bergaul dengan nya,tidak heran ali juga banyak disukai oleh teman -teman wanitanya,smua nya menjadi patah hati saat ali melamar sinta..bersambung
pertemuan
Tak terasa waktu telah menunjukan pukul 2 siang,ali tak lupa akan janji nya untuk menemui seseorang yg sama sekali belum ia kenal.Ali mulai mempersiapkan peralatan yg akan dia bawa,tiba tiba hp nya berdering
Orang yg akan ia temui menelpon, "hallo mas" terdengar suara sesosok wanita,ternyata benar orang yg menghubungi nya saat malam adalah seorang wanita,tidak ada tanda tanya lagi tentang sosok orang ini apa dia wanita atau pria,"iya hallo mbak" jawab ali
Percakapan singkat pun terjadi,wanita tadi pun kemudian menyudahi percakapan nya dengan ali,tak lama berselang wanita tadi mengirim lokasi dimana ali harus menjumpai nya,Ali langsung memeriksa lokasi mana yg akan dia tuju,kening nya berkerut setelah tahu lokasi yg akan dia tuju.
Perumahan di tengah kota,perumahan orang kaya,ali agak sedikit minder untuk menuju kesana karna dia juga tidak pernah masuk ke komplek elite.Karena sudah berjanji ali pun tetap berangkat menemui wanita itu,tak lupa sebelum berangkat ali berpamitan dengan ibu nya dan jg mengirimkan pesan singkat kepada sinta yang tengah sibuk dengan interview dan tes untuk di terima di suatu perusahaan besar,pesan ali pun tak di baca oleh sinta,Ali tahu sinta saat itu sedang sibuk
Akhirnya ali sampai d lokasi yg dituju,didepan gerbang komplek tsb ali di berhentikan oleh security, "mau ke rumah siapa mas?" Seorang security bertanya kepada ali
Ali bingung menjawabnya karna dari awal dia juga tidak tahu nama wanita itu,"hmmm saya dikirim alamat ini pak,tapi saya gak tahu nama orangnya siapa?" Jawab ali
"Lah dikirimin alamat tapi kok gak tahu orangnya siapa mas?,emang mas ada perlu apa? Boleh saya tahu mas mau ke blok apa nmor berapa?"security sepertinya tidak mau melepaskan ali masuk begitu saja,komplek perumahan mewah wajar saja keamanan nya begitu ketat," saya mau ke blok A no9 pak"jawab ali
"Yg nelpon cewek ya?" Tanya beliau lagi kepada ali
"Iya pak" jawab ali dengan muka bingung kenapa security itu bisa tahu
"Ini alamatnya rumah pak sudiro,tapi pak sudiro nya jarang dirumah,yg ada paling anaknya mbak alexa"terang security itu kepada ali
Ali hanya tersenyum,dalam hatinya dia berkata "bodo amat pak..saya gak kepo sama ni orang,"
"Yasudah mas masuk aja,nanti belok kiri rumahnya yang paling ujung,sebelum masuk ktp nya ditinggal disini dulu ya mas"
"Baik pak" jawab ali sambil mengeluarkan dompetnya untuk mengambil ktp.
Ali pun masuk ke dalam komplek tsb,kiri kanan dia memandang begitu besar nya rumah didalam komplek itu.Ali pun sampai tepat didepan rumah blok A no9 yg ia tuju.suara motor nya yg berisi membuat sang penghuni tahu kalau ada yg berhenti didepan rumahnya
Sosok wanita berambut tebal panjang bergelombang,sedikit pirang dan sedikit keunguan dibagian ujung rambutnya,kulit putih hidung mancung,mata belo yg menatap membuat ali terpana.Selama ini dia tidak pernah bertemu langsung dengan wanita secantik ini,bagaikan seorang artis atau mungkin sosok nya lebih dari artis yg biasanya dilihat ali di sosmed.
"Mas ali ya?" Tanya wanita itu ketika mulai membuka gerbang rumahnya..suaranya membuat ali hening seketika,....bersambung
Pertemuan 2
Memang bukan pertama kali nya ali mendengarkan suara wanita ini,ali sudah lebih dulu mendengar suara wanita ini saat dia menelpon ali,tetapi saat dia langsung berbicara didepan ali dengan tatapan matanya benar-benar membuat ali seperti terpesona akan pandangan pertama.
"Iya mbak" ali menjawab dengan sedikit gugup."ayo masuk mas ali" balas wanita itu sambil berjalan mengiringi ali untuk masuk."hmmm di sini saja mbak" ali duduk di kursi yg berada di teras rumah wanita itu,Ali segan untuk masuk kedalam karna teringat perkataan security tadi kalau wanita itu hanya sendirian saja." Lah kenapa mas?" Tanya wanita itu..
"Gak enak di lihat tetangga mbak,mbaknya kan sendirian aja d rumah" jawab ali.wanita itu tersenyum kepada ali," gak kok mas..ada bu de tuti didalam,dia ART d sni,ayo masuk" kata wanita itu
Mendengar perkataan wanita itu ali akhirnya mau untuk di ajak masuk ke dalam.wanita itu mempersihlahkan ali untuk duduk.tak lama berselang bu de tuti pun menghampiri Ali,"mau minum apa mas?" Tanya nya kepada ali
"Apa aja deh buk,yg penting seger" jawab ali yg sepertinya memang sudah kehausan dari td
"Sebentar ya mas saya ambilkan dulu minuman nya".bu de tuti pun pergi untuk mengambilkan ali minuman.Ali baru sadar ternyata dari td wanita yg ia temui ini menatap nya,ali pun makin gugup dan heran kenapa wanita didepan nya ini menatap begitu." Ada apa ya mbak?"
Wanita itu tersenyum dan berkata "mas lucu deh,baru kali ini ada yg bertamu ke rumah tapi takut masuk karna aku sendirian,oh iya nama aku putri alexa,panggil alexa aja mas" sambil mengulurkan tangan nya alexa memandangi wajah ali yg masih seperti kebingungan." Mereka pun berjabat tangan. "Ali nama saya mbak alexa"
"Jangan panggil mbak lagi dong mas ali..panggil alexa saja"jawab alexa.
" iii iya alexa,maaf". sangkin grogi nya ali jadi kaku begitu.Bu de tuti pun datang membawa minuman untuk ali." Silahkan di minum mas" kata bu de tuti.
"Terima kasih buk" jawab ali.
"Panggil bu de saja mas" sambung bu de tuti
" hmm iya bu de,terima kasih" balas ali sambil tersenyum.
Bu de tuti pun kembali meninggalkan ruangan itu."sebentar ya mas,aku ambil laptop nya dulu"ujar alexa.Ali hanya mengangguk saja.
Alexa pun membawakan laptop nya yg rusak kepada ali.Ali mulai memeriksa laptop tersebut.tanpa bersuara ali mengerjakan tugasnya dengan profesional." Serius amat mas"canda alexa kepada ali."biar cepat kelar nya,kan mau di pakai buat tugas kan"balas ali." Tenang aja mas,gak perlu buru-buru,oh iya aku manggil kakak boleh gak?" Mendengar perkataan alexa ali menghentikan pekerjaannya,dalam hatinya semakin heran dengan wanita cantik yg ia temui ini."hmmm boleh kok alexa",jawab ali
" oke deh kak ali" sambung alexa dengan senyum nya yg lebar.dalam hati ali berkata "ada apa dengan cewek ini ya,apa dia lagi kerasukan atau bagaimana"...bersambung
Rasa
Ali masih berupaya menyelesaikan pekerjaan nya dirumah alexa,tak terasa waktu sudah masuk waktu sholat,suara adzan mulai terdengar.
"Hmm alexa,aku izin keluar sebentar ya,mau sholat dulu di mushola didepan"ali langsung berdiri dan segera melangkah,namun saat ali akan melangkah tiba-tiba alexa memegang tangan ali."tunggu ya kak,aku mau ikut" katanya.
Alexa pergi ke ruangan sholat yg ada di rumahnya untuk mengambil mukena,di sana dia bertemu lagi dengan bu de tuti yg akan sholat."nyari apa mbak?" Tanya bu de tuti yg heran melihat alexa masuk ke ruangan itu.selama ini alexa tidak pernah manghampiri ruangan yg d khusus kan untuk sholat itu."nyari mukena bu de...ada gak ya yg pas buat aku".jawab alexa
Bu de tuti terheran-heran karna tumben sekali majikan nya ini mencari mukena begitu tergesa-gesanya."untuk apa mbak?" Tanya nya lagi untuk memastikan apa yg di cari oleh majikan nya itu benar atau salah."ya untuk sholat lah bu de ku sayang...." jawab alexa.bu de tuti tak sadar mengucap alhamdulillah,kemudian dia pilihkan mukena untuk alexa."ini cocok buat mbak alexa" katanya.alexa langsung mengambil mukena itu dan buru-buru berlari meninggalkan bu de tuti."makasih bu de" begitulah kalimat yg dia ucapkan sambil berlari.bu de tuti yg masih bengong dengan anehnya sikap majikan nya hari ini mencoba menepis rasa ingin tahu nya kenapa majikan nya menjadi lain dari biasanya,kemudian ia segera bersiap untuk sholat.
Disisi lain alexa telah sampai kembali diruang tamu dimana ali telah menunggu nya."yok kak" kata alexa.nafasnya tersengal-sengal akibat berlari.Ali tersenyum melihatnya,dalam hatinya ada sisi kelucuan yg dia lihat dari teman baru nya ini.mereka pun berjalan kaki menuju mushola di sekitar komplek rumah alexa.tetangga alexa melihat kehadiran alexa d mushola,mereka jg sama herannya dengan bu de tuti saat dirumah td."tumben ni si alexa masuk mushola,ada apa ya" ungkap salah satu tetangganya yg baru pertama kali melihat alexa sholat di mushola.
Sholat berjamaah pun dimulai.selesai sholat alexa telah menunggu ali di luar.tetangga nya masih saja menggibah alexa, "lah ni anak nungguin siapa lagi ya"ungkap seorang tetangga kepada tetangganya yg lain.karna penasaran mereka pun menghampiri alexa untuk bertanya,"alexa nungguin siapa kamu?".
"Eh buk RT, nungguin pangeran buk " jawab alexa.para tetangga nya yg menghampiri td malah tertawa,alexa hanya tersenyum saja."yaudah kami duluan ya alexa." Sambung buk rt nya seraya meninggalkan alexa.baru beberapa langkah para tetangga tadi meninggalkan alexa,tiba-tiba muncul sosok ali yg menemui alexa.para tetangga yg tadi nya ingin pulang malah jadi berhenti sejenak."jadi itu pangeran alexa,bagus deh kalau begini kan ibuk-ibuk,alexa jadi lebih baik"begitu lah perkataan dari buk rt alexa td kepada para tetangga yg ikut pulang dengannya.mereka pun kembali melanjutkan langkahnya untuk pulang.
Alexa terus saya memandang wajah ali saat perjalanan pulang dari mushola ke rumah alexa."knp? Ada yg aneh sama muka aku?" Tanya ali kepada alexa yg dia lihat tak henti memandangi dirinya."kakak ganteng jg ya" jawab alexa,
"Udah ganteng,sholeh pula" tambahnya
Muka ali memerah karna malu di puji oleh alexa,gadis yg baru ia temui hari ini."bisa aja kamu"balas ali atas pernyataan alexa
Sepanjang jalan ali tidak mampu untuk berkata-kata lagi.sesampai d rumah alexa ali melanjutkan pekerjaan nya.
Alexa menemani ali memperbaiki laptopnya sampai ia ketiduran.saat pekerjaan ali sudah selesai dia melihat alexa yg ketiduran di sofa.dia menatap wajah alexa,dalam hatinya dia mengagumi paras seorang gadis bernama alexa ini."sungguh cantik wanita ini,sepertinya dia anak yg baik".pikir nya.
Pekerjaan nya sudah selesai,tapi alexa masih lelap tidur.ali tak tega untuk membangunkan nya,kemudian bu de tuti datang untuk membereskan meja.
"Bu de..saya pulang dulu ya,ini laptopnya udah selesai,alexa nya tu lagi tidur,, saya gak tega bangunin"kata ali
"Sebentar ya mas biar saya bangunkan" bu de tuti kemudian melangkah ke tempat alexa tidur.
"Eh biarin aja bu de,kelihatan nya dia capek,habis jalan td sama saya ke mushola"canda ali
Bu de tuti pun tidak jadi membangunkan alexa,mendengar perkataan ali bu de tuti tersenyum dan berkata "makasih ya mas,"Ali bingung kenapa bu de tuti berterima kasih kepadanya.karna hari sudah sore ali hanya mengangguk saja d depan bu de tuti walau dia tidak tahu terimakasih untuk hal apa yg di maksud oleh bu de tuti itu.
Ali akhirnya berpamitan dengan bu de tuti dan pergi dari rumah alexa.
Motor ali yg berisi membuat alexa terbangun dari tidurnya,dia melihat ali sudah tidak ada dirumahnya.saat alexa mulai bangun untuk mencari ali di luar dia bertemu dengan bu de tuti."mas ali nya udah pulang mbak".dia gak mau gangguin mbaknya tdur".kata bu de yg melihat raut muka alexa risau mencari ali.
Alexa mengkerutkan keningnya.."yah bu de gitu sih,mau aja nurut sama kak ali" balas alexa.
Alexa pergi kekamarnya,dia mengambil hp nya untuk mengirimkan pesan kepada ali.pria yg baru beberapa jam ia temui tetapi membuat hatinya selalu ingin tau tentang dirinya."kak ali..kasih tahu aku yah kalau udah sampai dirumah"begitulah isi pesan dari alexa untuk ali.
Alexa merebahkan tubuhnya di tempat tidur,tangannya masih memegang hp.dia menunggu balasan pesan yg baru saja ia kirim.Dia tersenyum teringat apa yg telah dilalui nya hari ini.apakah dia jatuh cinta??
Semua menjadi misteri kalau berbicara tentang perasaan.rasa kagum dan cinta kadang hampir sama.
Bersambung...
rasa2
Ali akhirnya sampai dirumah,"assalamualaikum" ucapan salam untuk ibunya."waalaikumsalam ".balas ibu ali."sore sekali pulangnya li"."iya bu agak ribet tadi yg di kerjain,ali masuk kamar dulu ya bu".Ali pun pergi menuju kamarnya.Semua peratalan kerjanya dia letak kan di meja,tubuh yg lelah memaksanya untuk berbaring.
Tak lama berselang hp ali pun berdering,dia kemudian mengambil hpnya dari dalam tas.ternyata sinta menelpon ali,telpon itu langsung di angkat olehnya." Sayang...kamu lagi dimana?"tanya sinta.
"Baru nyampai dirumah sayangku" jawab ali dengan manja.
"Nanti jadi kan?" Sambung sinta.
"Jadi dong sayangku".saut ali.
Kedua pasangan itu melanjutkan percakapan nya sedikit lewat tlpon dan akhirnya selesai.ali bergegas mengambil handuk untuk mandi.sepertinya dia tidak sabar untuk menjemput kekasihnya itu nanti malam.
Sementara itu alexa di rumah masih mengenggam hp nya,sekali-sekali dia memeriksa pesan yg masuk,pesan yg ia kirim untuk ali tadi belum juga dibalas,hatinya mulai resah seperti ada kecemasan,akhirnya ia pun menelpon ali.
Berkali-kali alexa mencoba untuk menelpon ali tapi tak juga di angkat.hatinya semakin resah,dia takut ada sesuatu yg terjadi dengan ali yg nyatanya ali telah berada dirumah dan baik-baik saja,bahkan ia sedang mandi bersiap untuk menjemput kekasihnya.
Perasaan alexa yg semakin mencemaskan ali membuatnya berinisiatif menelpon ardi,
"Hallo mas ardi,lagi sama kak ali gak?"
"Kak ali?,sejak kapan kamu manggil ali kakak"jawab ardi smbil tertawa.
Alexa mengabaikan pertanyaan ardi,"kak ali nya tadi habis dari rumah aku sampai sekarang gak ada kabar,aku chat jg dia gak balas,di telpon jg gak angkat,aku takut dia kenapa-kenapa mas"suara alexa terdengar seperti orang panik.
Ardi semakin heran mengapa segitunya alexa mencemaskan sahabatnya itu."hmm trus gmna? " .tanya ardi.
"Mas tau rumahnya kak ali dimana?,ntar kirimin aku alamatnya ya,buruan ya mas ardi..bye".
Belum sempat ardi menjawab alexa langsung memutuskan percakapan mereka ber2.ardi menjadi bingung harus bagaimana.memberitahu alamat seseorang kepada orang lain itu wajar-wajar saja.tapi untuk yg satu ini dia tidak tahu apa alasan yg kuat untuknya melakukan itu.
Akhirnya ardi tetap mengirimkan alamat ali kepada alexa.
Alexa yg telah menerima pesan dari ardi langsung bergegas menuju alamat yg telah di kirim kepadanya.dia mengambil jaket dan kunci mobil begitu sangat terburu-buru.
Bu de tuti yg melihat alexa terburu-buru tak sempat untuk bertanya,baru saja ia sampai didepan pintu alexa nya sudah pergi dengan mengendarai mobil.
Sementara itu ali yg jg terburu-buru untuk menjemput sinta tak sempat memeriksa hpnya,dia tidak tahu kalau ada pesan dan panggilan yg tak terjawab.
Ali sedang mengikat tali sepatu nya,terdengar suara mobil berhenti didepan rumahnya,ali tak merasa ingin tahu akan hal itu karna di sekitar rumah ali jg tetangganya beberapa memakai mobil.dia hanya mengira kalau itu mobil hanya numpang parkir di depan rumahnya.
Alexa turun dari mobil,dia langsung menuju depan pintu rumah ali.saat akan mengetok pintu alexa tak sengaja membaca tulisan yg di tempel di pintu rumah ali "ucapkan salam jika ingin bertamu".
Alexa yg membaca tulisan itu menghentikan niatnya untuk mengetok pintu.dia mengucapkan salam "Assalamualaikum"..
Salam nya pun disaut oleh suara wanita,siapa lagi kalau bukan ibu nya ali.
Ibu ali membukakan pintu,di pandangi nya alexa dari atas sampai bawah,rasanya dia tidak mengenal gadis yg ada di depan nya itu.dia pun merasa kalau anaknya juga tidak pernah membawa teman seperti alexa yg cantik ini ke rumah.
"Cari siapa ya nak?" Tanya ibu ali
"Kak alinya ada buk?"balas alexa
Ali yg mendengar suara alexa dari kamarnya akhirnya keluar,dilihatnyq alexa sudah berada didepan pintu dengan ibu nya.
Alexa yg melihat ali langsung tersenyum.sementara ali kebingungan melihat alexa yg tiba-tiba sudah sampai saja di rumahnya..bersambung
Description: cerita ini hanya fiktif belaka
|
Title: Rumah Puncak Bukit dan Cerita-Cerita yang Dituturkan
Category: Cerita Pendek
Text:
Heuchler
Anak itu kecanduan ganja.
Setiap sore dia melinting daun itu dan membakarnya. Teler sebentar sebelum senja bertanya apakah maghrib sudah mengumandangkan adzannya. Meskipun melayang-layang, anak itu tetap tak meninggalkan salatnya. Tak pernah peduli apakah Tuhan menerimanya. Atau mungkin justru mengutuknya. Asap menyeruak dari dalam mulutnya. Membentuk kebahagiaan yang terbang setinggi-tingginya.
Tapi, sore itu lain. Pada suram hari yang seharusnya dingin, anak itu tak ada di atap seperti biasanya meraba angin. Dia mengganja di tempat lain. Tempatnya kali ini dipenuhi dengan kain. Putih bersih licin. Menambah suram sore hari pada hari Senin. Mulutnya terus menerus menghembuskan asap, sedangkan kepalanya sudah melayang terkena zat penenang batin. Dia berkomat-kamit dalam hati semoga tak ada yang menemukannya teler di dalam gudang kain. Dia menghisap ganjanya sekali lagi, merasakan mulutnya yang asin. Dia pikir, “Oh Tuhan semoga kau mendengarkan doaku, Amin.”
Uangnya selalu habis untuk membeli narkoba di ujung jalan sepi itu. Menari-nari seperti berjalan di aspal tanpa sepatu. Karena hal yang dapat dilakukannya saat kehabisan uang adalah mencuri sepatu. Tapi sebelumnya dia salat jamaah dulu di masjid yang megah bak istana ratu. Setelah berzikir sangat khusyuk seperti batu, baru dia melancarkan niat buruknya itu. Sebelum mengambilnya, dia mengamati sepatu itu satu-satu. Jika ada yang cocok baru dia sikat, sebelum petugas jaga datang satu persatu dan semua jalan kabur dibuntu.
Biasanya, setelah mendapatkan beberapa sepatu dia langsung mencari pembeli. Kadang kala dia perlu membawanya ke Gembong* beberapa kali. Walaupun kadang dihadang siang yang membara, dia tak peduli. Dia hanya peduli bagaimana dia dapat melayang di sore hari sebelum manghrib memanggilnya ke masjid kembali.
Anak itu dikenal sebagai anak alim, rajin mengaji. Semasa hidupnya dia diketahui tak pernah ingkar janji. Selalu menghindari hal-hal keji. Teman-temannya lebih kurang sangat suka padanya, sering menempel seperti taji. Tapi nyatanya anak itu seperti tai.
Anak itu kecanduan ganja
Dari orang tuanya tak pernah terdengar kabar. Justru kabarnya orangtuanya terbakar. Entah terbakar dalam api neraka yang berkobar ataupun masih hidup terbakar samsara karena terlalu lama bersabar. Tapi orang-orang tak pernah mencari tahu hal yang benar. Orang orang hanya tertipu dengan topengnya sebagai orang yang alim, suci, dan penyabar. Untuk apa merasakan pahit dengan mencari kebenarannya dengan benar.
Anak itu menghisap ganja.
Tapi tak seperti biasanya, dia tidak ada di atap sedang menggenggam angin berhembus. Juga tidak seperti senin sebelumnya, di gudang kain dengan hawa panas seperti direbus. Dia berjalan-jalan di sudut kota dengan muka muram dan bau badan lebus. Ganja berada d sela-sela jemari kirinya tebakar, terhembus. Angin menembus beberapa celah-celah kota, gang sempit, dan roda-roda bus. Sepi-sepi menghayut dengan sedikit muram di tapal batas mengiringi anak penghisap ganja yang kalut, hatinya pun tertembus.
Tepat di depan toko elektronik yang menampilkan TV berlayar besar di depan etalasenya. Orang-orang yang lewat tak pernah peduli dengannya. Tak peduli apa yang dihisapnya. Karena daripada memikirkan apa yang dihisap anak itu, mending mereka memikirkan bagaimana caranya menaikkan jabatannya. Melunasi beberapa lintah darat yang seenaknya. Atau beberapa dari orang yang lewat itu sibuk memikirkan bagaimana caranya menguras uang negara sebanyak-banyaknya.
Anak itu menghembuskan asap ganja kuat-kuat
TV besar di depannya menampilkan berita bombastis. Seorang musisi rock yang tengah naik daun, diketahui menggunakan LSD, sekarang sedang kritis. LSD merusak otaknya diam-diam, dari dalam, senyumnya manis. Dalam sehari langsung saja banyak orang berpikiran skeptis. Apakah musisi itu benar-benar berbakat atau hanya seorang pengaruh narkoba yang utopis. Kemudian orang-orang mulai tidak peduli, seperti membuang utis.
Anak itu tertegun pelan. Musisi itu adalah idolanya: bentuk manis sebuah impian. Dia selalu bermimpi dapat bermain gitar dan bernyanyi di atas panggung megah, dilihat berjuta fans. Kemudian saluran TV berganti. Sekarang tampil seorang lelaki dengan violin di tangan kiri. Dia terlihat seperti banci. Anak itu tak mau mendengarnya, kemudian dia berlari. Pergi. Dia ingin pulang dan membuat kamarnya terkunci. Mendengarkan musik metal dan membenturkan kepalanya ke tembok seperti orang gila yang terisolasi. Mungkin dia akan mati, meninggalkan kehidupan bodoh ini. Tapi Anak itu tak peduli. Dia menghisap ganjanya lagi.
Anak itu seperti banci.
Anak itu melinting ganja
Mematiknya dengan pematik berwana biru. Anak itu kemudian menari-nari dengan seru. Kesadarannya sudah habis dimakan ketidakwarasan dan waktu. Dengan semangat, Anak itu menyalakan radio tua milik kakeknya yang sudah dipenuhi debu. Mencari saluran yang menderu-deru. Distorsi meraung-raung penuh semangat. Tanpa sadar bahwa setelah itu lagu berganti menjadi lebih pekat. Alunan violin menguar pelan menusuk-nusuk lurus ke gendang telinganya tepat. Radio tua itu berganti saluran ke arah musik klasik yang menyayat-nyayat.
Anak itu awalnya hanya mengejek permainan violin yang terdengar sendu. Mengumpat tanpa tahu malu. Tapi sayatan demi sayatan bersarang pada telinga Anak itu. Tak lama kemudian darah muncrat dari balik kaosnya. Tenggorokannya sobek, seakan alunan violin dengan nada semakin meninggi itu melukainya. Menyayatnya dengan pedih peri yang tak kuasa ia menahannya. Hingga akhirnya, Anak itu meletakkan ganja yang belum habis terbakar kembali ke asbaknya. Darah mengucur deras dari mulutnya.
Anak itu mati begitu saja tanpa sempat menghabiskan ganjanya.
Anak itu mati bersimbah darah tepat di sebelah ganja yang terbakar sebagian.
Dan ternyata, anak itu kamu. Kamu yang selalu berkata mencintai negaramu tapi tak pernah jujur dalam setiap debu-debu. Kamu yang pernah berkata mencintai almamatermu, tapi tak pernah mau tahu. Kamu yang mengaku bermoral tapi tak pernah beramal. Pun kamu yang mengaku salah tapi tak ada sesal. Dan ternyata anak itu kamu. Yang merasa paling rendah hati, tapi sombong memenuhi setiap sudut mata hati. Yang mengaku Ujian Nasional dijalankan dengan kaidah menteri, tapi hanya membuat siswa mati. Yang mengaku beragama tapi Tuhan tak pernah memeluk hati. Yang mengaku menghargai proses, tapi setelahnya menghina kekalahan yang terjadi.
Dan ternyata, anak itu kamu, yang menghujat kehidupan tanpa pernah tahu apa yang akan dan seharusnya dilakukan.
OSSP #2, Surabaya, 25 April 2014
*Jalan Gembong merupakan sebuah jalan di Kota Surabaya. Jalanan itu dipenuhi oleh orang yang berjualan barang bekas. Beberapa barangnya memang bekas, tapi ada juga yang merupakan barang curian.
Leu Garoul
Cerita ini diikutsertakan ke lomba LCDP X dalam rangka ulang tahun LCDP ke-10.
Baca cerita lainnya di eliteralcdp.wordpress.com.
Suara itu melolong dalam malam. Memangkas seluruh hening yang menerpa gelap dan hawa dingin. Mata Prana terbuka lebar diiringi oleh ketakutan dan panik yang membuncah memenuhi dadanya. Ini adalah suara yang didengarnya lima tahun silam, ketika kehilangan menjadi sebuah tema hidupnya. Suara inilah yang mengiringi kematian istrinya secara mengenaskan.
Ingatan-ingatan tentang malam yang telah berlalu itu berkelebat kembali masuk ke dalam pikiran Prana. Adegannya kurang lebih sama. Dia dibangunkan di ranjangnya oleh suara lolongan itu, dengan keringat bercucuran dan kebingungan mencari istri yang tidak ada di mana pun. Prana masih ingat betul bagaimana dia begitu khawatir ketika istrinya menghilang. Dia takut bahwa ternyata istrinya diculik oleh hantu atau mahluk mengerikan lainnya. Hal ini dikarenakan, banyak yang berkata bahwa ada berbagai mahluk mengerikan yang berkeliaran ketika gelap sudah mengakar di perkampungan tempat Prana tinggal.
Prana akhirnya terpaksa keluar rumah untuk mencari istrinya. Berharap tidak berhadapan dengan mahluk-mahluk mengerikan yang melekat pada cerita takhayul desa. Namun, yang ditemui oleh Prana merupakan kengerian pula.
Hanya saja, ini kengerian yang cukup berbeda.
Prana tidak menemukan hantu bandit yang bergentayangan. Tidak pula menemukan monster bertaring besar. Dia menemukan istrinya tergeletak di tanah. Tak berdaya begitu saja ada di halaman belakang rumah. Sayangnya, tubuh istrinya bersimbah darah. Dia tewas dengan darah segar mengalir dari lehernya yang terkoyak. Di tubuh istrinya banyak ditemukan bulu-bulu hewan berwarna kelabu, yang langsung dikenali Prana sebagai bulu serigala.
Sejak saat itulah, dengan tinta duka, Prana menyatakan perang terhadap kaum serigala.
Prana mulai berburu serigala. Dia membeli senapan api laras panjang dan mulai memasuki hutan. Tiap purnama dia akan selalu dirasuki dendam dan mengarahkan moncong senapan kepada serigala manapun yang ditemuinya. Entah itu serigala dewasa maupun kawanan serigala yang masih kecil.
Kali ini, lolongan serigala itu mampu membuat Prana bergidik ngeri. Ketakutan mulai merayap menaiki tubuh, dimulai pada jemari kakinya. Perasaan yang kurang lebih sama seperti lima tahun sebelumnya. Hal pertama yang dilakukannya adalah bergegas turun dari ranjangnya untuk mencari anaknya, Shina. Keluarga satu-satunya yang masih tersisa setelah kematian istrinya. Satu-satunya orang yang mampu mengusir duka dan sepi yang memenuhi setiap inci sudut rumah dan relung perasaan seorang ayah. Seorang anak yang akan dilindunginya sekuat tenaga. Bahkan maut tak mampu membuat Prana takut.
Rumah masih terlampau gulita. Hanya keremangan di koridor saja yang memberikan cahaya kepada mata agar dapat melihat. Berbagai ornamen di sekelilingnya seperti membisikkan kematian. Setidaknya, dalam keremangan cahaya, Prana menjadi lebih waspada. Namun, kewaspadaan itu berubah menjadi ketakutan yang gegabah pada saat kaki Prana memasuki kamar Shina dan mendapati ranjangnya acak-acakan. Selimutnya bahkan tersampir begitu saja menyentuh lantai parket berdebu.
Tidak butuh waktu lama untuk Prana berlari panik menuruni tangga yang berdecit. Dia yakin, ini ulah serigala. Karena serigala selalu melolong ketika menandai mangsa dan daerah kekuasaannya. Senapan yang selalu siap sedia di atas rak senjata sudah ditentengnya. Lampu minyak sudah dinyalakan. Prana siap berburu dan mencari Shina.
Dalam sunyi, Prana mulai keluar rumah dan mencari. Pekarangan rumah tidak menampakkan apapun, kecuali pohon rimbun dan berbagai semak-semak yang menjadi pembatas tanah miliknya. Moncong senjata sudah siaga, siap membidik ketika menemukan targetnya. Keheningan malam itu masih tetap bertahan dan mulai pekat. Suara lolongan tak lagi terdengar menggema di manapun.
Prana berjalan mengitari radius rumahnya. Dia berkeyakinan, bahwa serigala yang memburu anaknya tidak akan pergi jauh. Mereka hanya sekumpulan binatang yang memangsa di tempat dan tak mengerti hal-hal lain kecuali mengenyangkan nafsu mereka yang keji. Namun, nampaknya kali ini berbeda. Prana tidak menemukan anaknya tergeletak bersimbah darah. Dia tidak menemukan Shina di mana pun.
Pada saat Prana mulai putus asa –dia telah mengitari pekarangannya tiga kali, ada suara gemerisik dari semak-semak yang dibelakanginya. Seketika dia mengarahkan moncong senapannya dan akan menarik pelatuk. Namun, tindakannya seketika terhenti.
“Ayah! Jangan tembak ini aku!” teriak Shina dari balik semak-semak rimbun.
“Anak bodoh!” teriak Prana sembari menurunkan senapannya dan berlari menghampiri anak semata wayangnya. Dia memastikan Shina tidak terluka ataupun menerita sesuatu apa pun. Namun, ketika tiba di dekat Shina, Prana dengan kesal memukulnya. Anaknya hanya mengaduh kesakitan dan memegangi kepalanya sembari terjembab di atas tanah.
“Demi Tuhan, Shina! Apa yang kau pikirkan berkeliaran di luar rumah pada saat gelap seperti ini? Kau mau mati? Kalau kau mau mati, biar kutembak kepalamu saat ini juga! Tidak butuh hewan-hewan buas itu untuk memangsamu. Biarkan aku sendiri yang meratakan isi kepalamu.”
“Ma, maafkan aku, Yah.” Jawab Shina ketakutan.
Prana kemudian menyampirkan senapan di bahunya dan menyeret anaknya masuk ke dalam rumah. Raut wajah Shina benar-benar ketakutan. Senyum yang seharusnya disunggingkan ketika bertemu ayahnya, sekarang hanya berupa murung penahan sakit. Shina tahu, seperti beberapa kejadian sebelum-sebelumnya, dia akan dihajar oleh ayahnya ketika dirinya membuat ayahnya kesal.
Hal selanjutnya yang dilakukan Prana setelah mengunci pintu rumah dan meletakkan peralatan berburunya ke dalam rak adalah membanting Shina ke dalam kamarnya. Memukulnya sekali lagi. Kali ini mungkin pukulan Prana lebih keras daripada pukulan-pukulannya yang biasanya. Bibir Shina berdarah dan dia tergeletak lemas bersandar pada sisi kanan ranjang.
“Sekarang, jawab pertanyaanku, Anak Nakal! Kenapa kau dengan bodohnya pergi menantang maut dengan berkeliaran di luar rumah pada malam hari?” tanya Prana sembari berjongkok dan mendekatkan mukanya ke muka Shina. Shina memalingkan wajahnya ketakutan.
Tidak ada suara yang keluar dari mulut Shina.
“Jawab!”
Tetap mulut Shina tidak bergerak membentuk sepatah kata apa pun.
Prana memukul anaknya sekali lagi. Tepat di tepi bibirnya yang berdarah.
“Kau bisu?”
“Aku pergi melihat bunga,” kata Shina terbata-bata. Dia mencoba menahan perih yang bersarang di bibirnya. “Teman-teman berkata bunga itu sangat indah karena hanya bermekaran di awal musim. Bahkan mereka bilang bunga itu ajaib karena dapat mengabulkan keinginan orang-orang yang memohon di dekatnya. Namun, karena ayah tidak memperbolehkanku melihat bunga itu bersama teman-teman kemarin, aku berniat pergi sendiri malam ini ketika ayah sudah tidur.”
“Jadi ini masih tentang bunga bodoh itu?” tanya Prana sembari berteriak.
“Aku hanya ingin melihatnya, Yah. Aku ingin tahu seindah apa bunga itu. Bahkan sejujurnya malam ini aku belum sempat melihatnya. Aku belum sempat pergi ke padang bunga itu, karena ternyata ayah terbangun di tengah tidur!”
“Bodoh!” ujar Prana bangkit dari jongkoknya. Kemarahan memenuhi setiap inci hatinya, melupakan kasih sayang yang seharusnya termanifestasi menjadi maaf. Prana kesal setiap argumennya dibantah oleh anak yang seharusnya menghormatinya. Oleh anak yang seharusnya berterima kasih karena Prana begitu khawatir dan memperhatikannya.
“Kau tahu? Padang bunga itu jauh dari sini. Kau akan tewas diterkam hewan buas. Nyawamu tidak sepadan dengan keindahan bunga itu! Kau tidak tahu betapa mengerikannya mereka. Kau bisa saja mati, Nak. Kau bisa saja pergi dan tak kembali.” Kata Prana dengan raut muka sedih. Dia menurunkan nada bicaranya, “Kemudian kau akan meninggalkanku seorang diri. Cukup ibumu yang tak kembali, aku tak mau kehilanganmu.”
“Kalau begitu seharusnya ayah membiarkanku pergi kemarin. Pergi bersama teman-teman pada saat hari masih terang merupakan perjalanan yang cukup aman. Setidaknya begitulah yang terjadi, tidak ada satupun dari mereka yang tak kembali. Semuanya pulang dengan selamat dan hati senang.”
“Omong kosong!” jerit Prana mulai panas kembali. “Tidak ada tempat di dunia ini yang aman selain rumah. Rumah ini adalah tempat paling aman yang akan kau temui. Tidak ada satupun bahaya yang akan mengetuk pintu rumah kita. Kalau pun ada aku akan menghajarnya. Menembaknya dengan senapan hingga kepalanya berceceran kalau perlu.”
Untaian kata-kata kasar ayahnya masuk ke dalam telinga Shina dan membuat darahnya mendidih. Lukanya berkedut sakit. Namun, perasaanya lebih tersakiti dari apapun. Beraninya, ayah yang selama ini tidak pernah mengerti dirinya berkata bahwa ini adalah tempat teraman. Beraninya ayahnya berkata akan melindunginya dari bahaya apapun.
“Kalau rumah ini benar-benar tempat teraman, seharusnya aku tidak merasa takut ketika bertemu denganmu!” ujar Shina marah. “Kalau benar bangunan sialan ini bisa kusebut rumah, maka seharusnya ini menjadi tempat ternyaman untukku pulang. Bukan hanya sebuah dinding beton dengan pintu, jendela, dan perabotan mahal. Kalau ini bisa kusebut rumah maka aku dapat mengutarakan keinginanku dengan berani dan mendapatkan penjelasan logis ketika tidak mendapatkannya. Bukan malah ketakutan dan bermain kucing-kucingan. Kalau ini bisa kusebut rumah, maka aku tak akan dipenjara di kamarku dan kau menjadi sipirnya!”
Tak ada kata ataupun kalimat lain yang keluar dari mulut Prana. Yang ada hanyalah gempalan tinju yang bersarang pada rahang Shina dan membuatnya terlontar di ranjang. Air mata berguguran membasahi seprai, begitu juga darah berwarna merah. Lanskap itu mewujudkan duka dalam perpaduan yang pilu.
“Kalau kau memang menganggap aku adalah sipir dan kamar ini merupakan penjara, maka biarlah demikian! Semua ini kulakukan demi kebaikanmu sendiri!” ujar Prana membanting pintu kamar Shina dan menguncinya dari luar.
Setidaknya bagi Prana, ini adalah hal yang benar. Dengan mengurung Shina di rumah, Shina akan terhindar dari segala bahaya yang menyebabkannya celaka. Setidaknya dengan demikian, Prana tidak akan mungkin kehilangan keluarga lagi. Setidaknya dengan demikian, Prana tidak akan pernah hidup sendirian.
***
“Sudah lima hari berlalu” kata Prana murung sembari menyalakan pipa berisi tembakau. Dia duduk di sofa beludru dengan lengan empuk di ruang tengah. Prana menghisap pipanya pelan-pelan. Pandangannya kosong menerawang ketiadaan. Rumahnya benar-benar sepi selama lima hari terakhir. Tidak ada bentak ataupun pukulan yang biasanya menggema di tembok-tembok betonnya.
Kali ini Prana kedatangan seorang tamu. Di hadapan Prana sedang duduk orang tua dengan jenggot tipis berwarna putih dan rambut yang mulai beruban di beberapa sisi. Nama orang tua itu adalah Musi, Kepala desa tempat Prana tinggal. Pak Tua Musi datang untuk menanyakan tentang menghilangnya Shina.
“Aku tidak mendapatinya di kamar ketika fajar menyingsing. Padahal dia akan selalu ada di ranjangnya ketika kubangunkan. Namun, kali itu dia menghilang. Sampai sekarang juga tak kunjung pulang.” Kata Prana pelan.
“Tidak ada tanda-tanda pintu dibobol?”
“Tidak ada.”
“Tidak ada tanda-tanda dia lompat dari jendela kamarnya di lantai dua?”
“Tidak ada.”
“Jadi sebenarnya, anakmu hilang diculik atau kabur dari rumah?”
Prana menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. Dia sedikit jengkel dengan sesi interogasi yang membosankan ini. Pak Tua Musi memasang raut wajah heran dan sok berpikir yang tidak cocok dengan tubuh besarnya yang sedang tenggelam dalam sofa empuk. Padahal seharusnya sebagai Kepala Desa, dia lebih prihatin dan mengurusi pencarian anaknya dengan lebih baik. Terlebih seharusnya tidak ada pikiran-pikiran tentang Shina kabur dari rumah.
“Pak Musi, kau membuatku sedikit jengkel. Shina mempunyai rumah paling nyaman dan aman. Dia tidak mungkin kabur dari rumah ini. Setidaknya, ketika dia pergi tanpa izinku, dia akan tetap pulang di hari itu.” Sahut Prana.
“Entahlah, Prana. Aku mendengar desas-desus.”
“Desas-desus apa kalau boleh kutahu?”
“Tentang bagaimana kau terlalu mengekang Shina. Teman-teman Shina berkata bahwa dia tidak kau perbolehkan untuk bermain keluar rumah bersama mereka. Bisa jadi itu merupakan alasan untuknya kabur dari rumah. Anak kecil yang terlalu dikekang, acap kali akan melakukan hal-hal yang lebih bodoh untuk lepas dari belenggu itu. Lagi pula, kau perlu tahu kalau Shina masih anak-anak dan dia harus mempunyai waktu dan kesempatan untuk bermain bersama teman sebayanya.” Kata Pak Tua Musi menasihati pelan-pelan. Takut menyinggung Prana.
“Omong kosong! Shina nyaman dan merasa aman di rumah ini. Jauh dari marabahaya yang mungkin mengintainya ketika bermainan di luar sana. Dia senang berada di sini.” Bantah Prana sembari berdiri dan mematikan pipanya. Dia berdiri membelakangi Pak Musi. Mencoba menutupi raut wajahnya yang berbohong. “Kupastikan padamu Shina tidak mungkin kabur dari rumah ini. Aku berkeyakinan dia sedang diculik. Lagi pula daripada mendebatkan masalah itu, bukankah kau sebagai Kepala Desa lebih fokus kepada pencarian anakku? Kau harus menjadi Kepala Desa yang turut bertanggung jawab pada keamanan desa ini, Kan?”
Malam mulai bergulir ketika ruang tengah menjadi sedingin es. Sindiran Prana kepada Pak Tua Musi benar-benar menyinggung harga dirinya. Tatapan Pak Tua Musi sekarang murka dan penuh kata-kata cacian yang sesungguhnya ingin ditumpahkan namun tertahan. Helaan nafas panjang terdengar dari Pak Tua Musi. Sebagai seorang yang telah berumur dan seharusnya bersikap bijaksana, dia harus mengalah menghadapi Prana.
“Baiklah, akan kukabari ketika ada perkembangan baru, Prana. Aku pamit terlebih dahulu. Malam sudah tiba dan seperti kata-katamu, desa ini tidak pernah aman apabila gelap mulai memenuhi jalan-jalannya.” Ujar Pak Tua Musi pamit.
“Oh, sejujurnya desa ini tidak pernah aman, Pak Tua. Nyatanya, hanya aku yang berani mengangkat senjata dan mengusir serigala yang merupakan teror itu. Kau dan anak buahmu yang bertugas mengamankan desa ini tidak pernah berbuat apapun.” Sindir Prana.
Seharusnya Pak Tua Musi benar-benar marah mendengarnya. Bibirnya telah bergetar hebat. Menunjukkan kesabaran yang mulai menipis. Sedetik saja pikirannya terpusat pada kata-kata Prana, dia akan membalas sarkasme tersebut dengan cacian yang sama menyakitkannya. Namun, perseteruan kedua orang tersebut dijeda dengan suara lolongan. Suara serigala.
“Brengsek! Masih berani juga mereka bersuara.” Teriak Prana panas. Dia bergegas mengambil senapan dan lentera berburunya. Tidak butuh waktu lama untuknya keluar rumah sembari mengarahkan moncong senapannya ke berbagai arah. Pak Tua Musi mengikutinya di belakangnya, sedikit ketakutan. Keberaniannya untuk pulang hilang seketika ketika menyadari ada serigala di dekatnya.
Malam itu cukup gerah. Mendung mulai berkumpul menutupi kerlipan bintang dan temaram bulan. Sepertinya hujan akan segera jatuh, Namun suhu itu diperparah dengan amarah Prana yang telah mendidih di ubun-ubun. Dia berlarian ke sana kemari. Sekali lagi mengelilingi pekarangan rumahnya dengan cemas dan marah memenuhi hatinya.
“Ayo serigala bodoh! Tunjukkan wujudmu! Biar kubunuh dan kukuliti kau!” Teriak Prana sembari mengokang senapannya. “Ayo kemarilah! Aku sama sekali tidak takut! Kembalikan anakku! Istriku tidak akan tenang di kuburnya kalau kalian dan keturunan kalian belum kuhabisi seluruhnya!”
“Prana, tenanglah. Kau harus menerima kenyataan bahwa istrimu meninggal. Membunuh para serigala tidak akan membawanya kembali. Lalu, kita tidak tahu serigala membawa anakmu atau tidak.”
“Diam kau, tua bangka!” teriak Prana. “Disana!”
Prana mengarahkan moncong senjatanya pada semak-semak yang bergerak. Pelatuk ditekan. Duar. Terdengar bunyi tembakan. Bau misiu menyebar dan tercium dari ujung senapan. Kematian seraya berpendar pelan, ketika Prana menurunkan senapannya. Merasa tembakannya tepat sasaran. Kemudian dia merangsek ke arah sesemakan. Mencoba mengetahui kondisi sasarannya yang seharusnya tak bernafas lagi.
Namun, yang ditemukan Prana justru hal yang tidak ingin dilihatnya.
Dibalik sesemakan, Shina menunduk ketakutan. Menangis. Dia meringkuk seperti anak serigala yang biasa diburu oleh Prana. Matanya menampakkan ketakutan yang amat sangat. Bahkan Shina tidak mampu menggerakkan tubuhnya yang kemudian hanya dipeluk erat oleh Prana yang menangis.
Prana berteriak histeris. Teriakannya lebih mengerikan daripada lolongan serigala. Pandangannya kabur. Benaknya belum mampu mencerna apa-apa yang telah terjadi. Satu hal yang diketahui hanyalah dia menganggap telah membunuh anaknya. Membunuh satu-satunya anggota keluarga yang tersissa.
“Prana!” teriak Pak Tua Musi tercekat. Pikirannya tidak dapat mengantisipasi hal ini.
“Aku membunuhnya!”
Pak Tua Musi mendekati mereka berdua. Dia kemudian memisahkan pelukan keduanya dan mendapati Shina yang menangis dan terguncang. Masih bernafas. Pak Tua Musi kemudian menghela nafas lega. Dia bersyukur tidak mendapati penduduk desanya membunuh anaknya sendiri walaupun itu kecelakaan sekalipun.
Rinai gerimis kemudian jatuh pelan-pelan. Bau petrikornya menghilangkan bau misiu yang ada. Dengan langkah berat, Pak Tua Musi menyeret Prana menjauh dari Shina yang masih meringkuk. Dia mencoba menyadarkan Prana bahwa anaknya masih hidup. Bahwa dia terhindar dari tragedi yang begitu memilukan apabila terjadi. Beberapa kali Pak Tua Musi harus mengerahkan tenaga lebih untuk menampar Prana dan membuatnya kembali menjejak kesadaran. Tamparan itu sebenanya cukup keras, namun disamarkan oleh suara hujan yang makin deras.
“Aku membunuhnya!”
“Dia masih hidup, Bodoh! Kita harus membawanya ke dalam rumah. Dia masih bernafas sekarang. Tapi kalau kau bersikeras untuk membiarkannya meringkuk seperti orang gila di tengah hujan seperti ini, tak menutup kemungkinan dia terserang demam dan mati.” Teriak Pak Tua Musi kelelahan menyadarkan Prana.
Butuh waktu kurang lebih sepuluh menit untuk Prana dapat berdiri di atas kakinya lagi. Dia tidak menghapus air matanya, membiarkannya tersamarkan oleh basah hujan ketika dia mengerahkan segenap kewarasan yang masih tersisa untuk menggendong anaknya dan memasuki rumah.
Prana benar-benar menunjukkan sisi dirinya menjadi ayah yang penuh kasih sayang. Dia melepaskan baju basah Shina, mengeringkan tubuhnya, kemudian membaringkannya di ranjang setelah mengenakan baju paling hangat. Tidak butuh waktu lama untuk Shina tertidur pulas dengan wajah kelelahan menanggung seluruh deru emosi yang menerpa. Tak sekalipun pandangan cemas Prana lepas dari tubuh anak semata wayangnya.
“Kau harus pulang, Pak Tua. Malam semain larut.” Bisik Prana.
“Kau yakin dapat melalui ini sendirian?”
Prana hanya terdiam, masih terpaku pada anaknya. Pak Tua Musi akhirnya pergi setelah melihat Prana mengangguk pelan. Langkah kaki Pak Tua Musi menyisakan derit pada parket yang menyayat. Menyisakan keheningan tetap berotasi pada kamar Shina. Menyisakan Prana sendirian di tepi ranjang tak bergerak.
Prana tetap di tempatnya. Ketiduran di sebelah anak laki-laki yang nyaris dibunuhnya.
***
Daun-daun banyak berserakan di pekarangan. Menutupi warna tanah dengan cokelat lain yang lebih ringkih. Tak ada orang yang berpikiran untuk repot-repot menyapunya. Membiarkannya menjadi nutrisi baru untuk daun-daun lain yang akan tumbuh. Sementara itu becek menggenang di berbagai sisi, membuat bumi basah. Namun, tidak ada satupun jejak kaki yang berlarian untuk menjeda suasana murung yang dikerjapkan pada rumah dan halamannya.
Satu putaran revolusi telah berlalu semenjak kembalinya Shina. Berbagai perubahan terjadi. Namun, Prana masih tetap duduk di sofa nyaman miliknya, menghisap tembakau seperti biasa. Dia terdiam sementara matanya memandangi Shina yang duduk kaku di seberangnya. Sudah Selepas tragedi di malam itu, Shina jadi lebih pendiam. Tak ada lagi rajukan-rajukan tentang alam bebas atau pun bunga-bunga bodoh. Anak itu lebih memilih untuk berdiam diri di rumah atau meringkuk di kasur kamarnya. Bahkan nyaris tidak ada pembicaraan yang menggaung di rumah. Tak ada kalimat-kalimat marah yang biasa terdengar keluar dari mulut Prana ketika beradu argumen dengan anaknya. Satu-satunya pembicaraan hanya mungkin terjadi pada saat makan malam, ketika Prana menanyakan keenakannya dan dijawab hanya dengan kata ‘iya’.
Dalam kepala Prana, terjadi kecamuk pikiran. Apakah mungkin Shina berubah karena dia ketakutan setelah nyaris mati tertembak? Atau mungkin Shina jadi membenci Prana? Pernah suatu hari Prana ingin menanyakan hal ini. Namun, dia mengurungkannya karena Prana tahu dia akan mengucapkan sumpah serapah seperti biasa ketika pertanyaannya tidak dijawab atau jawabannya tidak sesuai dengan keinginannya. Padahal, di dalam lubuk hatinya, Prana telah bersumpah untuk menghentikan kebiasaannya marah-marah.
Prana tidak ingin Shina kabur lagi dari rumah.
Hal lain yang menggangu Prana adalah kebiasaan buruk baru Shina yang muncul beberapa hari terakhir: melamun. Acap kali Prana memergokinya melamun memandang hamparan rumput luas melalui jendelanya yang terbuka. Shina melakukannya tiap waktu. Selalu dengan mata yang memandang jauh entah ke mana. Akhir-akhir ini Prana menyadari bahwa itu seperti tatapan yang merindukan suatu tempat. Sebuah tatapan yang berkata ingin pulang.
Namun bagi Prana, inilah rumah Shina. Pendapat itu tidak pernah sekalipun lepas dari akarnya. Pikirannya tidak akan dapat diubah oleh kejadian apapun. Bahkan sebuah tragedi di mana dia nyaris membunuh anaknya sendiri tidak akan mampu melunturkan pemikiran itu dari kepala. Sehingga, perubahan sikap Shina benar-benar mengganggu kepalanya. Menantang seluruh logikanya lagi.
“Sudah waktunya makan malam, kau ingin makan apa?” tanya Prana mencoba ramah.
“Daging”
Shina menjawab pertanyaan itu tanpa menolehkan pandangannya pada Prana. Masih memandang kosong pada dinding ruang tengahnya. Membuat Prana menghela nafas panjang untuk menahan amarahnya tetap di dalam hatinya dan tidak keluar dari mulut atau tangannya.
“Kau sekarang hobi makan daging rupanya, Nak?”
Tak ada jawaban terdengar. Shina masih terpaku pada lamunan kosongnya. Dengan kesal kemudian Prana mematikan pipanya dan beranjak ke dapur. Sudah sebulan terakhir ini Shina selalu meminta daging untuk makan. Entah itu daging ayam, sapi, atau babi. Prana tidak keberatan untuk memenuhi hal tersebut. Memperoleh daging bukan hal sulit, karena dia hanya perlu berburu seekor rusa dan dagingnya dapat bertahan untuk seminggu. Selain itu, Prana ingin membuktikan bahwa sebagai rumah, ini adalah tempat ternyaman untuk Shina. Kenyamanan salah satunya dapat diwujudkan dengan makanan enak sesuai keinginan.
Perlu waktu yang cukup lama untuk memasak daging untuk makan malam. Namun penantian itu terbayar lunas ketika Prana puas melihat masakannya begitu menggugah selera. Dia bahkan mulai lapar ketika melihat daging bakar itu tersaji di meja. Malam sudah mulai turun ketika Prana mulai melangkah ke ruang tengah untuk mengajak Shina makan.
Tapi Shina tidak ditemukan. Di manapun.
Satu hal yang didapati Prana adalah pintu depan yang terbuka dengan jejak kaki menginjak daun-daun kering. Melangkah menuju entah. Panik mulai menguasai Prana kembali. Kali ini dia mengenakan jaket lebih cepat dari biasanya, namun mengambil perlengkapan berburunya lebih gegabah dari seharusnya. Kalau memang firasatnya benar, Shina akan pergi ke luar rumah lagi. Kabur lagi. Namun, kali ini sebagai seorang ayah, Prana akan menghentikannya. Prana akan menyelamatkannya.
Jejak kaki itu melangkah jauh hingga keluar area pemukiman. Prana mencoba tenang. Dia tahu Shina belum beranjak begitu jauh. Dia hanya perlu mengikuti jejak kaki tak bersepatu ini. Berpikiran bahwa ini adalah sebuah perburuan lain yang biasa dilakukannya, menumbuhkan kepercayaan diri dan sedikit ketenangan pada hati Prana. Karena memang seharusnya melacak anaknya lebih mudah daripada melacak hewan buruan.
Perjalanan yang ditempuh Prana cukup jauh. Dia harus menuju tempat-tempat sepi. Masuk sebentar ke rerimbunan pohon di tepi hutan dan kehilangan jejak. Namun rasa sayangnya pada Shina mendorong Prana untuk mencari lebih keras.
Setelah beberapa kali mengumpat karena tersandung akar pohon, akhirnya lentera yang dibawa Prana menangkap sekelebat bayangan. Prana mendekatinya dengan hati-hati sembari mengokang senapannya perlahan. Dia harus siap siaga. Tidak ada yang tahu siapa pemilik bayangan itu, bisa saja milik Shina atau malah hewan buas lainnya. Namun kali ini Prana merasa perlu lebih berhati-hati. Dia tidak ingin menembak anaknya lagu dan membuatnya nyaris mati.
Perburuan itu akhirnya membawa Prana keluar dari rerimbunan hutan. Langkah kakinya akhirnya sampai pada hamparan rumput luas. Prana menngenali tempat ini. Padang rumput ini adalah tempat bunga-bunga bermekaran yang dikatakan dapat mengabulkan keinginan. Prana beberapa kali kemari dan menodai hijau rumput dengan darah para buruannya.
Padang rumput ini merupakan tempat berburu yang tepat ketika purnama sedang bercahaya paling terang seperti saat ini. Biasanya Prana akan mengarahkan para serigala dengan senapannya. Menakuti mereka keluar dari hutan dan membawanya ke padang rumput ini. Dengan demikian dia dapat membidik dengan sempurna tanpa terhalang oleh apapun.
Seperti saat ini, cahaya bulan memberikan keleluasaan pada pandangan Prana. Dia dapat mengenali sesosok bayangan yang tadi diintainya adalah Shina. Prana mengehela nafas lega dan meletakkan lenteranya di dekat pohon. Dia mendekati Shina cepat-cepat. Setidaknya walaupun anaknya benar-benar bandel tidak dapat berdiam di rumah, dia masih selamat.
“Shina!” teriak Prana memanggilnya.
Shina menoleh. Dia terkejut melihat Prana dengan senapan di pundaknya. Dia sama sekali tidak merasa diikuti. Membuktikan Prana adalah seorang pemburu yang handal. Namun, ketakutan yang mulai menggantikan rasa terkejut. Semuanya tergambar pada raut wajahnya.
Pertemuan itu seharusnya berlangsung mengharukan. Namun semuanya berubah menjadi mencekam ketika seekor serigala abu-abu kecil menampakkan diri dan berlarian ke arah Shina. Prana dengan instingnya mulai mengarahkan moncong senjata ke arah serigala yang bergerak itu. Pandangannya tajam. Gerakan tangannya cepat. Dia mampu menembak tepat sasaran seperti biasanya. Kali ini dia harus. Gagal bukan menjadi pilihan.
“Jangan!” teriak Shina keras. Namun terlambat, teriakannya diredam oleh letusan senapan yang menggema memenuhi setiap sudut padang rumput. Peluru yang dilontarkan oleh senapan meluncur dan bersarang pada dada si serigala. Membuat serigala itu berhenti dan tersungkur di rerumputan. Warna merah darah menggenang dan menggantikan hijau gelap di tempatnya tadinya berlari.
Tembakan itu begitu tepat sasaran. Serigala itu mati seketika.
Shina dengan panik dan air mata bercucuran mulai berlari mendekati serigala itu. Memeluknya erat. Tangisnya sungguh pilu -bahkan lebih pilu dari angin yang kehilangan hujan setelah badai beralalu. Shina meratap seperti kehilangan seseorang yang begitu berharga baginya.
Lanskap itu membuat guratan wajah Prana terheran. Dia menurunkan senapannya dan menyampirkannya kembali ke bahu. Diiringi ratapan Shina yang tak menunjukkan tanda-tanda reda, Prana mulai berjalan mendekati anaknya. Sampai di dekatnya, bukan kalimat-kalimat penenangan yang keluar dari mulutnya, melainkan kata-kata gelap yang merendahkan.
“Untuk apa kau meratapi kaum yang membunuh ibumu, Nak? Kau salah menempatkan empatimu!” bentak Prana menunjukkan jati dirinya yang belakangan ini sering dia tutupi.
Ucapan itu terbukti ampuh untuk menghentikan ratapan Shina. Namun, dengan sesenggukan, Shina masih membahasakan kesedihan dan frustasinya dengan berkata, “Pelurumu salah sasaran, Pak Tua! Bukan dia yang harusnya kau hentikan nafasnya. Harusnya kau tembak saja aku!”
“Kegilaan macam apa ini? Kenapa aku harus membunuh anakku sendiri?”
“Kau sudah membunuh anakmu sendiri!”
Perlahan bunga-bunga disekitar padang rumput mulai bercahaya redup seperti kunang-kunang. Sihir dan keajaiban tengah berlangsung di padang rumput itu. Tubuh serigala yang tergeletak di sebuah pelukan mulai menggugurkan bulu-bulunya. Kakinya mulai memanjang begitu pula tangannya. Moncongnya mulai masuk ke dalam dan berubah. Telinganya mulai berubah bentuk menjadi telinga manusia. Rambut hitam mulai muncul menggantikan bulu abu-abu yang berguguran. Jasadserigala itu berubah menjadi tubuh yang dikenali oleh Prana.
“Aku adalah anak serigala.” Ujar anak laki-laki yang memeluk jasad serigala yang berubah. Tubuh anak lelaki itu juga mengalami perubahan. Bulu-bulu mulai bermunculan, kaki dan tangannya mulai memendek, sembari taring-taring tajam mulai tumbuh di rahangnya.
“Pak Tua, sebulan yang lalu Shina datang ke hamparan rumput ajaib ini. Menemukanku sedang berlarian bebas menginjak rumput basah. Dia tidak ketakutan saat melihatku. Sehingga aku menghampirinya yang sedang meringkuk sedih. Aku menanyainya tentang apa yang membuatnya begitu pilu. Keajaiban padang rumput ini mengizinkan kami untuk mengerti satu dengan yang lainnya.” Terang anak yang mengaku sebagai anak serigala.
Prana mengusap wajahnya dengan tangan. Mencoba fokus pada kejadian aneh di hadapannya. Dia kamudian menyangkal segalanya dengan kata-kata, “Omong kosong macam apa ini? Tidak ada namanya bunga ajaib yang dapat mengabulkan permintaan. Kalau memang padang rumput ini begitu ajaib, aku telah dari dulu berhasil membawa istriku hidup kembali.”
“Istrimu, sayangnya telah meninggal dan tidak akan dapat kembali. Apa kau pernah tahu bahwa Shina juga tersiksa karena merindukan ibunya? Ketika dia datang kemari, dia bercerita dengan kalut. Shina mengeluhkan rumah yang kehilangan kenyamanannya setelah kepergian ibunya. Bercerita tentangmu, ayahnya yang posesif, yang selalu mengurungnya di rumah.”
“Aku tidak mengurungnya! Aku melindunginya! Mulutmu harus kusumpal dengan peluru sepertinya!” umpat Prana. Dia mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran mengerikan dari dalam kepalanya.
“Prana, kau tak mendengarkan sedikit pun keluhannya. Kau terlalu fokus dengan dukamu sendiri! Padahal Shina juga menginjak duka yang sama! Ketika dia menceritakan dukanya padaku, aku menceritakan kebebasan menjadi serigala. Hal itu membuatnya iri setengah mati. Hingga entah apa yang merasukinya, dia berkata bahwa dia ingin menjadi serigala walaupun sebentar saja. Sialnya, padang rumput berisi bunga ajaib ini mengabulkan permintaannya.”
“Omong kosong apa lagi ini? Anakku ingin menjadi kaum yang membunuh ibunya?”
“Kau tak pernah tahu siapa yang membunuh istrimu, Prana. Tapi yang dapat kauketahui sekarang adalah kau yang membunuh Shina.”
“Dia ingin jadi serigala Perlu waktu semalaman untuk kami bertukar tempat. Aku mengenakan wujudnya, sementara dia menjadi serigala. Aku harus kembali ke rumahmu untuk menggantikan posisinya ketika dia menggunakan tubuh serigalanya untuk berkeliaran bebas. Dia hanya tak ingin ayahnya khawatir. Aku yang seekor serigala berkenan melakukannya karena merasa kasihan dengannya.
Kami punya waktu sebulan untuk mempertahankan wujud masing-masing. Padang rumput ini berbisik bahwa kami harus kembali pada saat purnama bersinar paling terang seperti malam ini untuk bertukar tempat. Namun, sebelum kami dapat bertukar tempat, kau telah membunuhnya!”
Prana benar-benar terpukul. Penjelasan itu begitu mulus. Ini menjelaskan kenapa tindakan dan perilaku Shina seperti menjadi orang yang berbeda. Sering melamun memandang kejauhan, gemar makan daging, dan sering diam seperti bukan manusia. Seperti menjadi mahluk yang berbeda.
“Aku adalah ayah yang melindungi anaknya! Aku tidak mungkin membunuh anakku sendiri! Ucapanmu omong kosong!” teriak Prana mencoba mempertahankan pemikirannya sendiri. Mencoba untuk tidak tenggelam dalam ucapan-ucapan yang diutarakan si anak serigala. Karena bagi Prana, itu semua hanya bualan.
“Lihatlah, ini anakmu! Anak yang kau bunuh dengan tanganmu sendiri!” serigala itu mulai berteriak dengan suara yang sedikit melolong. Pita suaranya perlahan-lahan mulai kembali menjadi serigala. Begitu juga kaki-kakinya yang sekarang menumbuhkan cakar-cakar mungil yang tajam. Sebelum berubah seluruhnya, dia menghampiri Prana dan meletakkan jasad Shina di dekat kakinya.
Prana mengamati jasad itu. Wajah, rambut, hingga bekas luka pukulan yang memenuhi tubuh Shina masih melekat di sana. Pukulan itu mengingatkan Prana betapa amarah pernah menguasai dirinya dan menghapus kasih sayang dari hatinya. Dia ingat tiap-tiap bekas luka pukul itu. Bagaimana dia memukul dan Shina berteriak meminta ampun.
Ini adalah jasad Shina. Jasad anaknya.
“Kau seharusnya malu Prana! Kau masih berkeyakinan bahwa kau mampu melindungi anakmu. Memberikan sebuah rumah kepadanya. Namun yang kau berikan hanyalah sebuah pembunuhan! Kau seharusnya sadar bahwa …” ucapan serigala itu ditumpuk oleh suara ledakan senapan. Darah mulai mengalir dari perutnya. Serigala itu melolong kesakitan. Tembakan Prana meleset dari titik vital. Dia bahkan tidak membidik sama sekali.
“Kau yang paling parah dari semua mahluk hidup, Prana.” Kata serigala itu dengan nafas tersengal-sengal dan kematian yang meliputinya.
“Shina mati gara-gara kau! Kaum kalianlah yang paling parah di muka bumi ini. Kaum kalian terus membuat keluargaku mati! Kalau saja Shina tidak bertemu denganmu di padang rumput ini, dia tidak akan terpikirkan hal bodoh seperti mengganti wujudnya menjadi serigala!” Kata Prana marah. Dia berjongkok sembari menangis dan memuluk jasad Shina. “Aku bersumpah akan membinasakan seluruh serigala yang ku temui.”
“Bukan aku yang menyebabkan Shina mati -bahkan bukan pelurumu yang menembus jantungnya. Yang membunuhnya adalah sikap dan perbuatanmu kepadanya. Sikap terlalu mengekang yang kau lakukan bertahun-tahun yang membunuhnya. Kau tidak pernah memberikannya rumah. Yang kau berikan hanya sebuah penjara beton. Membuatnya tetap terkungkung di sana dan membusuk dikelilingi tembok kamarnya.
“Untuk kau tahu saja, bagi Shina, menjadi serigala membuatnya hidup kembali. Dia merasa dapat berlarian be…” si anak serigala tak sempat menyelesaikan ucapannya. Peluru kedua telah ditembakkan oleh Prana dan kali ini tepat menembus kepala si serigala.
Malam itu, diterangi cahaya remang, dua jantung telah berhenti. Satu-satunya yang tidak berhenti adalah tangis dan ratapan Prana. Dia masih tak sanggup menerima kenyataan yang pahit. Menyisakan Prana memeluk jasad Shina yang berdarah lebih erat. Membasahi bajunya sendiri dengan warna merah. Mewarnai diri Prana dengan pembunuhan.
Tapi bagaimanapun Prana mencoba menyangkal kenyataan, dia tidak dapat mengubah tragedi bahwa hari ini dia telah membunuh anaknya sendiri. Anak yang seharusnya menemaninya dalam sisa hidupnya. Anak yang tersisa dari keluarganya yang telah lama kehilangan kehangatannya. Anak yang harusnya ada menghiasi rumah yang setelah ini akan penuh keheningan dan penyesalan.
Malam ini, Prana menciptakan kesepiannya sendiri.
Surabaya, 17 Mei 2020
Aurora – Running With The Wolves
Menghadang Adharma
“Husni!”
Sore sedang terik-teriknya. Di tengah gerah, Pak Husni memukul-mukul dahinya sembari menunggu air conditioner ruagan selesai dibersihkan. Suara-suara mirip jeritan mulai terdengar jelas kembali di sudut belakang kepalanya setelah rapat dengan koalisi partai yang menaunginya selesai tadi malam. Karena pening yang mengganggu itu, Pak Husni hanya duduk di sofa santai ruang kerjanya tanpa melakukan apa pun. Puasa sunnahnya sudah dibatalkan sedari tadi gara-gara dia harus meminum parasetamol untuk mengurangi efek sakit kepala yang semakin menggila.
Pak Husni sudah hidup menghadapi dunia selama kurang lebih 52 tahun. Dengan kumis tipisnya yang memepesona, Pak Husni mampu menggaet seorang istri yang sangat setia dan beberapa selingkuhan yang bertebaran di beberapa rumah hasil money loundry miliknya. Beberapa dari selingkuhannya adalah penyanyi dangdut yang hot. Beberapa yang lain adalah anak sekolahan yang menginginkan ponsel pintar keluaran terbaru. Pak Husni beberapa kali menggoyang mereka bergantian dengan desahan dan leguhan. Istrinya yang setia dan sangat agamis memberikan dua orang anak kepada Pak Husni. Hanya dua anak, karena dua anak cukup. Sebagai warga negara yang baik, Pak Husni selalu mendukung program Keluarga Berencana. Walaupun jika ditelusuri lebih lanjut, banyak anak Pak Husni lainnya yang tersebar begitu saja di gang-gang gelap lokalisasi.
Walaupun bejat, Pak Husni merupakan orang yang mempunyai nilai nasionalisme yang tinggi. Setidaknya seperti itulah figur seorang Pak Husni di media sosial yang sedang ngetren. Buktinya dia selalu hadir dalam acara yang membahas kesejahteraan rakyat, Memegang teguh dasar negara, dan gemar sekali mengkampanyekan bahwa negara yang dipijakinya harus bisa merdeka dari segala bentuk penjajahan. Ada satu bukti lain yang meyakinkan bahwa Pak Husni ini adalah seorang nasionalis sejati: dia mencalonkan diri untuk menjadi presiden.
Menjadi presiden adalah hal yang sukar. Dengan segala tekanan kepentingan di san-sini membuat profesi yang seharusnya mulia ini ternoda banyak sekali uang sogokan dan wanita penghibur. Pak Husni yakin untuk maju menjadi presiden yang bersih dikarenakan kekayaan yang dimilikinya tidak akan habis bahkan digunakan untuk berfoya-foya sepanjang tujuh turunannya. Cita-citanya adalah membawa negara ini menuju suatu negara yang hebat. Kalau bisa bahkan menjadi poros ekonomi dunia. Namun, belakangan ini seiring hasrat Pak Husni untuk memajukan negara bergelora, suara-suara aneh di kepalanya semakin menjadi-jadi. Terkadang suara itu bergema di ruang rapat, bahkan menggema di kamar gelap di mana Pak Husni bercinta dengan wanita simpanannya.
Kemarin lusa sebenarnya adalah hari pemilihan. Hari di mana pesta demokrasi negara sedang berlangsung. Pak Husni yang setengah sadar di sofa ruang kerjanya, akhirnya menyerah untuk tidak mencari tahu hasil hitung cepat pemilihan presiden pada hari itu. Dia memegang remote televisi dan menyalakannya. Beberapa kali dia memindah-mindah channel. Tapi semuanya menjadi lebih membingungkan dari pada seharusnya. Pak Husni melihat banyak sekali keganjilan: beberapa lembaga sosial melakukan manipulasi, beberapa media bahkan terang-terangan memihak kepada salah satu calon presiden.
Pak Husni akhirnya menyerah memikirkan negaranya. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menjalankan negara dengan sejujur-jujurnya. Dia akan memprioritaskan kepetentingan rakyat.
“Husni, Kamu tak pantas!”
Namun seiring dia mengingat janjinya kepada dirinya sendiri suara di dalam kepalanya semakin menjadi-jadi. Seiring dia ingin jujur dalam menjalankan negara, suara-suara itu menjadikannya pening. Tanpa buang waktu, akhirnya Pak Husni memindah saluran televisinya ke saluran kartun dan tertawa melihat mahluk kuning bodoh. Dia melupakan negara. Sejenak.
***
Pagi hari itu, Pak Husni terbangun dengan wajah gembira di wajahnya. Hari ini sudah lewat seminggu setelah hari pemilihan presiden itu. Belum muncul gejala suara-suara busuk yang memenuhi kepalanya seperti biasa. Hanya saja walaupun suara-suara dalam kepalanya itu hilang, telepon berdering menggantikan suara-suara itu. Pak Husni pun terpaksa tidak melaksanakan ritual keagamaan hanya untuk menghabiskan waktu meladeni telepon yang mengalir deras seperti air mani seorang bintang porno.
Menjadi presiden memang bukan perkara yang mudah.
Pak Husni pada akhirnya terpilih menjadi presiden. Kejadiannya begitu cepat, walapun dia dinyatakan kalah pada saat hitung cepat, tapi dia memimpin pada saat hasil akhir yang dirilis oleh KPU tadi malam. Sebuah akhir yang cukup dramatis sebenarnya, taat kala saingannya yang merupakan seorang mantan musisi reggae (yang sekarang sudah tidak laku) dinyatakan menang pemilihan presiden dalam hitung cepat. Bahkan kabarnya saingannya ini sudah melaksanakan konser perayaan ke beberapa kota dan kabupaten. Saingan Pak Husni ini dikalahkan dengan telak pada saat penghitungan resmi dari komisi pemlihan umum. Sempat akan terjadi sebuah adu jotos yang cukup seru pada saat rilis penghitungan resmi itu, namun pada akhirnya seorang musisi reggae itu hanya berjalan dan berserah.
Setelah rilis hasil resmi oleh komisi pemilihan umum itu, pesta pun dilaksanakan semalaman suntuk di kediaman milik Pak Husni. Beberapa musisi muda pun diundang untuk turut serta memeriahkan. Bahkan konon, Pak Husni mengajak seorang musisi yang cukup seksi untuk menemaninya beberapa jam di ranjang. Tanpa kemeja, celana, maupun BH. Dan kelihatannya tanpa karet yang melindunginya. Tentu saja desahan demi desahan itu dinikmati Pak Husni tanpa sepengetahuan istrinya.
Di pagi hari yang berisik dengan raungan telepon itu, Pak Husni akhirnya puas menanggapi telepon dari berbagai pihak. Banyak relasi yang mengucapkan selamat. Sementara Pak Husni tahu itu adalah salah satu cara yang digunakan untuk mengingatkan Pak Husni akan kepentingan-kepentingan beberapa pihak yang harus dipenuhinya. Pak Husni lalu mandi dengan air hangat. Dia ingin mempersiapkan segalanya: terlihat segar baik badan maupun pikiran pada saat memberikan pidato di gerdung kenegaraan. Oh, dan mungkin pada saat menyalami mantan presiden bodoh yang sebentar lagi akan ditangkap karena kasus korupsi yang membelenggunya.
Setelah semua dirasa siap, kemudian mobil berlambang RR tiba di depan rumahnya. Istri dan kedua anaknya yang tercantum pada Kartu Keluarga sudah berangkat terlebih dahulu menuju gedung kenegaraan. Pak Husni dengan wajah tampannya langsung meminta sopirnya untuk tancap gas menuju tempat tujuan sembari memutar lagu metal kencang-kencang. Lagu metal selalu membuat Pak Husni bersemangat dan merasa hebat. Di dalam mobil itulah, Pak husni sempat melamun akan apa-apa saja yang harus dilakukannya untuk memajukan negaranya, menuju negara hebat. Kemudian langkah kerja apa saja yang harus dilakukannya untuk membangun ekonomi negara dan terbebasa dari segala bentuk penjajahan.
Namun, seiring Pak Husni berkhayal tentang pengabdiannya pada negaranya, suara laknat yang beberapa hari ini absen di kepalanya, mulai muncul lagi.
“Husni! Husni! Aku tahu, kamu tahu, semua tahu, tak ada yang pantas, negara ini tak pantas, Husni! Husni! Kamu tahu aku tahu. Negara ini tak pantas, kamu tak pantas, aku tak pantas. semua tak pantas. Husni!”
Kepala Pak Husni berputar-putar tak terkendali, melayang layang ke tapal batas. Tak tahunya lagu Metallica berjudul Enter Sandman mengaung dan mencabik-cabik jiwa Pak Husni. Sopirnya tak menyadari keanehan yang terjadi di belakangnya. Dia selalu fokus ke depan tanpa mau melihat ke belakang. Karena hari ini sopir itu percaya dia harus tampil luar biasa Dia adalah sopir presiden di hari pertama presiden itu menjabat.
Bersamaan dengan berakhirnya lagu itu, begitu juga suara berisik di kepala Pak Husni, sakit kepala yang menderu-deru, dan juga mesin mobil mewah itu. Semuanya berhenti hening. Sejenak Pak Husni merasakan ketenangan. Tapi tidak lama. Seketika itu, banyak kamera dan rasa penasaran orang-orang yang langsung mengerumuni mobil Pak Husni. Pak Husni terperangkap sesaat dalam kesombongannya sendiri.
“Kita sudah sampai, Pak!” kata supirnya.
Pak Husni pun langsung turun. Mengancingkan jasnya. Sementara beberapa ajudannya yang kakinya sudah lelah menunggu, mencoba menghalau para wartawan yang mengerumuni seperti semut. Pak Husni dengan gayanya yang sok keren, mencoba membuang jauh-jauh apa yang telah terjadi di mobil barusan. Ini adalah harinya, dia tak boleh mengacaukan hari kemenangannya. Hari di mana akhirnya dia menginjakkan kaki di negara ini sebagai orang nomor satu. Menjadi raksasa yang mengatur negara ini.
Pak Husni akhirnya dapat melihat jelas podium tempatnya akan berpidato. Dia juga melihat pecundang besar yang disebut mantan presiden maju menyalaminya dengan senyum kecut seperti tai. Pak Husni akhirnya menjadi gelap mata. Dia menjadi seorang yang hebat. Menjadi orang nomor satu di negeri ini. Menjadi seorang presiden. Menjadi seorang raksasa.
Di atas podium Pak Husni memandang hadirin yang hadir dengan tatapan sinis merendahkan. Kemudian saat dia akan berucap salam, suara yang sedari tadi hilang dari kepalanya, muncul. Suara kali ini adalah suara paling keras dan paling menyakitkan selama Pak Husni hidup.
“Husni, kau tahu, aku adalah sisi gelap hatimu. Akulah Adharmamu! Akulah sesuatu hal yang menghalangimu melihat Dharma! Akulah inti dari ketidak-bajikan yang berkeliaran di bumi dan kamu telan mentah-mentah! Husni! Husni! Akulah Adharmamu!”
Perlahan tapi pasti, tubuh Pak Husni membesar. Awalnya tak setinggi gedung perwakilan rakyat yang seperti kodok itu. tapi lama-kelamaan dia tumbuh menjadi lebih besar dari menara nasional. Dan bahkan, lebih tinggi dari kesombongan para wakil rakyat yang mengaku hukum tak mempan terhadap mereka.
Semua orang berlari melihat tubuh Pak Husni, menjadi besar sekali. Keluarganya lari terbirit-birit. Melihat manusia yang berlarian membuat gelora lapar Pak Husni menyelimuti kesadarannya. Pak Husni lapar, tidak bisa berpikir jernih. Istrinya yang menggunakan sepatu hak tinggi terlambat lari dan sudah disobek dan dimakan oleh Pak Husni. Melihat itu, para wartawan masih sibuk memotret dan mencoba memuat sebuah berita skandal rumah tangga presiden.
Walaupun kondisi semakin kacau balau, di seberang sana menteri pendidikan yang lama masih menutupi kecurangan Ujian Negara dengan pantat besarnya. Pak Husni pun mengamuk, di hancurkan ibu kota. Dia ambil manusia di bawahnya dan langsung melahapnya seperti camilan di hari raya. Dia benar-benar serakah dia mengitari kota tanpa mau tahu ini musim apa.
Negara, langsung diselimuti kemuraman.
***
Sudah nyaris 5 tahun sejak tubuh Pak Husni membesar. Menurut para ahli ilmu alam terkemuka, kondisi ibu kota nyaris tenggelam karena tak kuasa menahan berat badan pak Husni. Hal ini dikarenakan Pak Husni terus membesar di saat dia selalu melahap manusia yang ditemuinya.
Walaupun Pak Husni sangat senang memakan manusia –nafsu laparnya tak kunjung mereda dalam melahap manusia, Pak Husni cukup pintar untuk menyisakan beberapa orang tertentu yang untuk hidup. Manusia yang dibiarkan Pak Husni untuk hidup ini adalah manusia yang gemar bercinta dan membuat anak, dengan harapan stok manusia di negaranya untuk dimakan tidak berkurang. Juga ada beberapa manusia tukang jilat yang diberi tanggung jawab Pak Husni merawat negara dan sumber dayanya. Lagi-lagi hal ini dikarenakan Pak Husni ingin agar sumber makanannya tidak habis, maka harus ada orang untuk merawatnya.
Kurang lebih juga berjalan dua tahun, pada saat Pak Husni mulai menemui beberapa pengusaha asing yang berbaik hati untuk menanamkan modal membantu Pak Husni untuk makan dan makan lagi. Dia membuat perjanjian dengan beberapa orang-orang asing untuk memberi sedikit hasil sumber daya untuk dimakannya, dengan syarat orang-orang asing itu boleh mengambil sumber daya negara untuk raksasa lain di negara asal mereka. Pak Husni dengan kaki manusia di mulutnya hanya mengangguk pelan pada saat perjanjian itu dibuat.
Kondisi negara sudah benar-benar gawat. Untuk itu, ratusan mahasiswa dan orang-orang yang masih mempunyai rasa kemanusiaan menggabungkan diri kedalam sebuah “Pasukan Penebus Dosa”. Pasukan ini merasa negara dibangun atas suatu kemaksiatan dan menangung dosanya dengan cara-cara yang tidak umum, salah satunya adalah mempunyai raksasa. Pasukan ini mencoba menebus dosa-dosa negara dengan melakukan kebaikan, membantu para korban-koraban Pak Husni, dan lain sebaginya. Hal itu dengan satu tujuan: menghilangkan kesedihan yang menyelimuti negeri dan menghadang Pak Husni.
Hari itu di ibu kota, Pasukan penebus dosa, beratas namakan dasar yang lima. Mereka berdemo meminta sebagian kecil orang yang dibiarkan hidup untuk mengusrusi negara agar membunuh Pak Husni yang semakin kejam dan membesar. Tapi para petinggi yang takut dengan Pak Husni hanya bilang, “Dia presidennya. Dia raksasanya. Kalau kamu di makan ya itu untuk kebaikan negara.”
Para penebus dosa ini pun akhirnya menyerah. Beberapa dari mereka menyalib diri mereka sendiri. Beberapa menggelar salat berjamaah. Beberapa menceburkan diri ke laut selatan. Padahal mereka tidak tahu, sebenarnya Pak Husni akhir-akhir ini mengecil karena tidak lagi makan manusia dan sumber daya alam. Pihak-pihak asing yang awalnya membantu dan mendukungnya sekarang mengkhianatinya. Mereka hanya mengambil sumber daya negara tanpa memberi Pak Husni sesuatu untuk dimakan. Sialnya, Pak Husni terlalu lemah untuk mulai konflik terbuka dengan pengusaha-pengusaha asing itu. Raksasa itu lapar, dia butuh makan. Dengan gontai, Pak Husni berjalan kembali ke ibukota berharap menemukan dan bisa memakan banyak manusia di sana.
Tapi yang ditemukan Pak Husni dalam ibukota hanyalah kekosongan, tak ada manusia yang berkeliaran seperti harapannya, semuanya takut akan Pak Husni. Mereka bersembunyi di klab-klab malam kecil. Dan juga di tempat-tempat kumuh yang kurang diperhatikan dengan cermat oleh Pak Husni. Hingga akhirnya setelah beberapa bulan dilewati hanya memakan polusi, yang entah dari mana datangnya, perlahan-lahan tubuh Pak Husni mengecil, mengecil hingga lebih kecil dari menara nasional, lalu lebih kecil lagi dari rumah di pinggir sungai. Hingga akhirnya lebih kecil dari nyali para pejabat. Dan plop hilang.
Para rakyat yang awalnya meragukan akan hal ini lalu langsung mengadakan pesta taatkala robekan baju Pak Husni ditemukan. Raksasa yang meneror negeri talah tiada. Telah hilang. Saatnya memilih pemimpin baru yang mampu mengantarkan negara ke mimpi emasnya. Membawa negara ini ke tujuan-tujuannya. Dan kehebohan mulai terjadi taatkala banyak sekali yang bingung untuk memilih pemimpin.
Rapat darurat negara dilakukan di ibukota. Beberapa kali adu argumen dilakukan. Bahkan adu jotos juga dilakukan. Untungnya adu kekayaan belum dilakukan. Rupanya mantan-mantan Pasukan Penebus Dosa ini belum kehilangan kewarasan dan mengulangi kesalahan yang sama. Terjebak dalam pusaran uang.
Di tengah debat itulah, seorang mengacungkan diri, “Saya bersedia menghantarkan negara ini ke mimpinya” wajahnya keras, seorang mantan presiden BEM suatu universitas tua di negara itu. Dia memaparkan visi-misinya, rencananya, dan yang tidak kalah penting: ambisinya. Kulitnya agak hitam dihantam demo-demo dan perjuangan melawan Pak Husni. ini bukan bekas tempaan yang main-main. Lalu dia memperkenalkan diri, “Nama saya Arkha.”
Awalnya orang-orang bergeming. Wira terlalu muda, banyak yang meragukan kepiawaiannya dalam memimpin bangsa yang sedang terpuruk. Rasa ragu itu memudar ketika ketua pertama Pasukan Penebus Dosa memberitahukan sepak terjang Wira selama ini melawan Pak Husni.
“Arkha adalah orang yang baik. Dia adalah orang terdepan yang mengungsikan masyarakat di pegunungan sebelum raksasa brengsek itu memporakporandakan desa yang ada di sana. Dia adalah orang yang memimping long march kita dari basecemp di dalam gua sampai ke depan istana kenegaraan. Dia adalah orang yang menyatukan kita pada saat kita merasa harapan pada negeri ini sudah sirna. Tapi Arkha masih tetap merasa bahwa di dalam kegelapan cahaya akan bersinar paling terang.
Testimoni tersebut menggema hingga ke ujung negara yang masih purba. Bahkan akibat ucapan tersebut, semua orang yang berpesta di depan menara nasional itupun langsung bersorak gembira. Tidak awas terhadap suatu bahaya yang mungkin akan menyerang mereka lagi ke depannya. Tidak awas bahwa tidak ada satu pun manusia yang tidak memiliki Adharma.
Lalu di tengah-tengah kerumunan, sebuah senyuman tersungging di bibir Arkha. Berikut juga dengan sakit kepala dan suara berat di belakang kepalanya yang menggema begitu keras tak terhenti, “Halo, Arkha! Aku tahu, kamu tahu, negara ini tak pantas!”
Description: Pada sebuah rumah yang berdiri sendiri di puncak bukit, ada banyak cerita yang dituturkan. Kebanyakan adalah cerita yang cukup gelap dan menyedihkan. Cerita-cerita itu akan dituturkan di ruang tengah, sembari menunggu gelegar hujan reda. Bisa disimak dengan secangkir kopi, cokelat atau teh. Jadi, kenapa kau tidak coba untuk masuk ke dalam rumah dan biarkan semua cerita mengalir.
-----------
Sejujurnya, ini adalah kumpulan cerita pendek yang kutulis selama ini. Kebanyakan dari cerita pendek di sini adalah cerita yang telah diikutkan kompetisi menulis. Nyaris seluruhnya gagal. Namun, sebuah cerita yang gagal pada lomba butuh sebuah tempat untuk mencari pembacanya. Dan disinilah tulisan itu menetap dan bergulir.
Selamat membaca!
|
Title: Rindu di Ujung Pena
Category: Adult Romance
Text:
Romansa #1
Erin menerabas pagar rumahnya dengan langkah memburu. Napasnya tersangkut-sangkut di kerongkongan. Dadanya naik turun begitu cepat. Ia menoleh sebentar ke belakang, lalu membanting pagar dengan tenaga penuh.
Di belakang, berjarak sepuluh meter, Abian mengejar, tidak terlalu cepat. Ia sengaja memberi jarak yang cukup dengan Erin. Bantingan keras pagar bertutup kayu itu sama sekali tidak membuatnya surut. Ia malah mendekat, berjinjit sambil memanggil.
“Bee, dengerin aku dulu dong,” nadanya berusaha diatur, “kamu kan tau, gak mungkin aku sengaja kayak gitu.”
Ia menghentikan bicaranya sebentar, yakin Erin berada di balik pagar dan bakal segera bereaksi. Nyatanya tidak. Satu menit terlalu lama, maka ia menyambung lagi.
“Oke, oke. Aku salah, ngebiarin kamu di ruangan itu sendirian terlalu lama," suara Abian merendah.
“Beneran aku minta maaf, Bee. Aku janji gak gitu lagi deh.”
Kali ini, pemuda berambut lurus itu menjatuhkan punggungnya ke pagar, lalu luruh hingga pantatnya menyentuh lantai, mencangkung persis seperti orang yang ketinggalan kereta.
Di baliknya, Erin memaku diri, memelototi pagar yang tak salah apa-apa. Dua telapak tangannya menggenggam begitu keras, seirama dengan sepasang batang lengan yang tegak lurus dengan tubuhnya, laksana besi. Napasnya masih terdengar rusuh. Dadanya tak berhenti naik turun.
Ocehan Abian di luar pagar sama sekali tak digubris. Baginya, suara tokek kejepit pintu jauh lebih enak didengar. Tapi, toh, ia memilih bergeming di posisinya.
"Ayolaaah, Bee. Jangan siksa aku dengan diammu."
“Aku tahu kamu masih di situ.”
Ngapain sih, nih tokek, ngomong terus. Makanya, jangan gampang janji. Erin ngedumel.
Abian bertahan. Sekarang, ia menyelonjorkan kaki. Tubuhnya sembilan puluh derajat dengan tanah. Mirip bocah yang merengek minta paket data. Ia mengiba. Tapi ini siasat.
"Bee, aku haus. Boleh gak minta minum, dikiiit aja. Campurin sama senyummu ya, biar terasa manis.”
Huh, gombal. Gak laku. Bisik Erin untuk diri sendiri.
Tubuhnya masih tertancap kokoh, tak bergeser semili pun.
Konon, wanita senang digombalin, dan Abian percaya betul. Baginya bukan mitos, ia bisa membuktikan itu, kesekian kalinya, untuk hari ini.
"Gak papa kamu gak kasih aku minum. Tapi jangan nyesel, ya, kalo aku mati keausan .…," Abian menunda kalimatnya, coba memancing rasa penasaran Erin.
Lalu, ia melanjutkan, ".... Aus sama cintamu."
Glek. Erin menelan ludah. Antara sebal dan tersanjung.
Berkali-kali Erin menerima gombalan seperti ini, dan tak pernah kapok. Erin sepertinya menikmati sensasi hatinya dipuji. Buktinya, ia masih menunggu Abian dari balik pagar, dan menanti kejutan apa yang meluncur dari bibir tipis pacarnya itu.
Caranya, seperti telah diprediksi Abian, Erin tetap tak bereaksi. Gadis berparas oriental itu paham betul, cowok kalau sudah didiamkan cewek, ibarat kerupuk kecelup kuah soto: melempem.
Tak banyak cara yang bisa dilakukan seorang pria jika sudah begini, kecuali untuk dua hal: minta maaf banyak-banyak dan ngegombal semampunya. Abian melakukan keduanya. Sayangnya, itu belum cukup.
Abian lantas berimprovisasi.
"Kamu apa gak capek, ya Bee, begitu …," lagi, Abian menyetop kalimatnya sejenak.
Pertanyaan retoris ini lumayan efektif membuat Erin melunak. Ia tak lagi memelototi pagar yang tak salah apa-apa itu. Pandangan gadis bertubuh semampai itu mulai dialihkan ke tempatnya berdiri, diikuti rambutnya yang jatuh melewati pipinya yang mulus.
Selain maaf dan ngegombal, Abian termasuk lelaki yang ringan memberikan perhatian. Bagi Erin ini bukan sekadar empati, tapi ungkapan sayang. Bukankah cinta membutuhkan perhatian?
Kalimat Abian yang belum selesai itu, lalu dilanjutkannya, "… capek kalau kamu cantik terus."
Abian tak henti membombardir dengan kata-kata "menyerang". Sekuat-kuatnya pertahanan, jika digempur terus-menerus, ya, rontok juga.
Erin merespons dengan senyum kecil. Ia tak lagi menganggap sebagai gombalan, namun sanjungan. Hatinya tak lagi keras, dan Abian tahu itu.
Tapi, untuk mengakhiri drama dengan manis, Abian menawarkan permainan.
"Gimana kalo kita main suit Cina, batu-gunting-kertas?" ia menerka-nerka apakah tawarannya diterima.
"Kalau aku kalah, aku bakal pulang. Tapi kalau aku menang, kamu harus izinin aku masuk, gimana?"
Bagi Erin, ini menarik. Selain suka tantangan, ia menyadari, cerita sore itu harus diakhiri. Ia termasuk tipikal orang yang mesti menuntaskan segala persoalan, tanpa ditunda.
"Iya," kata Erin singkat.
Amboi, belum pernah Abian mendengar suara semerdu ini. Singkat memang, tapi sungguh membahagiakan. Abian kini sudah bisa membaca suasana hati kekasihnya.
"Oke, buka dong pintunya," pinta Abian.
Tanpa menjawab, Erin membuka pintu pagarnya. Mereka kini berhadapan.
Abian menatap wajah pujaannya dalam-dalam. Ada kerinduan teramat sangat di sana. Sikap diam Erin seolah memisahkan jarak antarkeduanya, ratusan kilo meter jauhnya, bertahun-tahun lamanya.
Abian ingin menubruk lalu memeluk tubuh Erin erat-erat. Mencium keningnya, sembari memegangi dua tangannya yang putih-lentik.
Lalu, mengajaknya makan pempek Palembang, atau soto Boyolali kesukaannya. Kalau Erin minta nonton, Abian siap untuk mengantarkan ke Premier, atau bioskop mewah yang ia mau. Atau, jika ingin jalan-jalan, ia dengan senang mengantarkannya.
"Ayo, mulai. Kok, malah bengong," suara Erin membuyarkan lamunan Abian.
Pemuda bertubuh berisi itu merespons dengan menggelengkan kepala cepat, perisis seperti kuping kemasukan nyamuk.
"Oke, oke."
Sejoli ini lantas berancang-ancang. Satu, dua, tiiii …. ga!
Erin menjulurkan jari menyerupai gunting. Abian merekatkan jempol dan jari telunjuknya, menyilang, membentuk sebuah hati.
Sontak, Erin teriak, bercampur suara yang berderai, "Curaaang."
Abian segera berbalik badan. Sambil berlari kecil menjauhi Erin, ia berteriak, "Cinta gak bisa mengalahkan apapun, Bee."
"Awas ya, nanti aku bales," Erin terus menatap Abian hingga lepas dari pandangan.
Romansa #2
Sore datang begitu saja, tanpa ada aba-aba. Ini rada-rada aneh, tak biasanya langit semuram ini, padahal jam di dinding masih pukul tiga sore.
Erin belum juga melongok ke jendela. Badannya masih melingkar, memeluk guling tepos, yang tak bosan-bosan ia “gauli”.
Erin memang sering bergaul dengan mahluk bulat panjang itu, kapan saja dia mau. Semacam kawan bercurhat. Teman menumpahkan segala hal, sejak dulu.
Ia bukannya tidak punya teman. Banyak. Sebagian besar malah cowok-cowok. Ada yang murni ingin berteman, tetapi tidak sedikit yang mencoba peruntungan, ingin jadi pacarnya.
Keterbukaan yang kelewat lentur kepada semua cowok, membuat Erin mudah didekati banyak pria.
Benarkah cewek tomboy sering sulit diketahui sikap hatinya?
Hm, barangkali begitu. Kita buktikan nanti.
Sore yang tak sepenuhnya sore itu, membuat Erin makin terlelap. Angin sembribit pelan-pelan masuk dari sudut jendela yang terbuka tanggung. Tak ada decit keluar dari mulut-mulut engselnya, seolah mereka tahu untuk maksud apa angin itu datang.
Lambat angin itu bergerak. Gemulai, seumpama penari, menyusuri tubuh Erin yang hanya dibaluti celana pendek-dek, dan kaos oblong seadanya.
Mula-mula angin itu berjalan dari ujung kaki, tepatnya berputar di sela-sela jari yang lentik. Lalu perlahan ke betis. Amboi seperti padi bunting.
Berputar sebentar lalu, wujud tak nyata itu, menyusuri paha. Di sini, ia tak berlama-lama, tetapi menjadi lebih lambat, nampaknya untuk menikmati landasan lembut yang dilewatinya.
Bergegas ia masuk ke dalam tubuh Erin, melewati pusar semirip mata sipit. Lalu ke atas, membelah jalur yang menghalang di depannya. Jalan menjadi begitu sempit.
Lalu, angin itu ke atas, menjejak sebentar di leher jenjang, bergelantung di dagu lebah dan bermuara di pipi Erin yang sedikit basah.
Erin mengubah posisi ke kiri, ditariknya selimut. Hawa dingin telah mengganggu tidurnya.
Cuma tujuh menit. Erin gelisah. Ia ingat, ada janji yang harus dikejar sore itu.
Dibuyarkannya segala yang menutupi tubuhnya. Teman gulingnya dilemparkan, nyaris jatuh. Tubuh guling yang tak lagi memiliki kekokohan itu, separuhnya lunglai menyentuh lantai. Pasrah.
Terhadap nasib selimut, bahkan lebih menyedihkan lagi. Padahal, ia telah berhasil mencegah kekurangajaran angin karena berani-beraninya menggerayangi tubuh sekal―semampai Erin.
Lembaran lembut berwarna biru itu dibuang ke ember cucian, bercampur dengan beha dan celana dalam bekas semalam.
Erin melompat, ngibrit menuju kamar mandi, dengan tubuh atas terbuka. Kaos oblongnya telah menyusul nasib selimut.
***
Bagi Erin, janji tak bisa didialogkan, tapi ditunaikan.
Lebih-lebih, kali ini ia sudah janjian dengan dosen, untuk keperluan artikel di majalah kampusnya.
“Beuh. Ampun deh, kenapa sampai lupa,” pekik Erin dalam hati.
Enggak pakai lama, Erin memburu waktu, sebab janjian hanya tersisa satu jam lagi.
Mandi ia ringkas, cukup lima menit. Dandan, hm, cuma delapan menit, sudah termasuk berpakaian. Untunglah ia tak rongseng soal penampilan.
Apakah memang begitu gadis tomboy? Entahlah, kita lihat saja.
Seperti biasa, outfitnya hanya celana jeans, kaos polos yang dipadu dengan rompi kain. Rambutnya cuma digelung seadanya, membuat leher angsanya terbuka. Niscaya siapa pun yang melihat bakal melongo.
Jarak rumah ke kampus naik angkutan umum bisa 30 menit.
“Hm, mudah-mudahan terkejar,” ia meyakinkan diri sendiri.
Sikap terjaga Erin yang ngotot dengan janji, kelak, membentuknya seperti sekarang.
Masuk gerbang kampus dengan tergopoh, ia tak peduli lagi dengan sapaan teman-teman yang dilalui.
Sesekali sepatu kets pemberian ayahnya itu, tersaruk-saruk mengaduk pasir di lapangan, yang sempat diguyur hujan sebentar. Ruang dosen masih 50 meter di seberang.
Waktu tersisa 15 menit. Metromini mogok yang ditumpanginya menjadi biang penyebab ia terlambat 15 menit dari waktu perkiraan.
“Silakan masuk,” suara laki-laki dari balik pintu merespons ketukan Erin.
Erin melangkah masuk, meminta diri untuk langsung duduk. Ia sadar, waktu bagi seorang dosen tidak lama. Kelas selanjutnya telah menanti.
“Kamu?...anak TELURUS ya?” Tanyanya.
“Iya pak. Sesuai dengan daftar pertanyaan yang disampaikan teman saya sebelumnya, apa bisa kita wawancara sekarang?” Erin, tanpa basa-basi.
Dosen muda itu, sebenarnya tidak muda juga, ia sudah beristri, tidak langsung menjawab.
“Waktu saya tidak banyak, kurang enak kalau wawancara terburu-buru.”
“Bagimana kalau nanti malam, lepas kelas malam saya?” ia menawarkan.
Erin agak ragu.
Malam-malam? Wawancara di mana? Deadline tinggal besok? Kapan nulisnya? Berkecamuk pertanyaan di kepala Erin.
“A-a-apa gak bisa sekarang aja pak. Sebentar aja,” Erin gugup.
“Gak usah panggil saya, Pak. Roy lebih enak didengar,” kata pria berparas perlente, sambil melempar senyum ke Erin.
Yang diberi senyum cuma masygul . Tak tahu bagaimana merespons sikap dosen muda yang sudah menjadi idola dan digunjingkan banyak mahasiswi itu.
Romansa #3
Erin menjatuhkan tubuhnya begitu saja di atas sofa panjang merah. Meluruskan kaki, meletakkannya pada bantal di ujung tumit.
Tas gembloknya mengeluarkan segala isi di lantai, seperti muntahan kucing, begitu sang pemilik melemparkan sekenanya. Ia lupa menutup resleting tas, saat tergesa mengambil ongkos ojek yang mengantarkannya dari kafe remang di dekat kampus itu.
Bola matanya, meski berlindung dari kelopak yang sempit, terlihat jelas bergerak ke sana kemari, berputar tak tentu arah, jauh dari kata selaras dengan putaran kipas plafon yang berada tepat di atas mukanya.
Sekejap. Erin kemudian bangkit. Duduk dengan dagu bertopang dua tangan yang bertumpu pada dengkulnya. Ia mengacak-acak rambut, hingga lepas ikatan itu, memburai ke semua arah. Leher jenjang itu sepenuhnya tertutup.
“Argh…,” geramnya.
Erin membiarkan gigi-giginya gemeretak. Ingin menumpahkan kata, tapi tertahan lidah. Ia kembali duduk. Kali ini bersandar ke belakang.
Kegelisahan, tepatnya kegugupan, atau mungkin kemarahan, sering kali membuat orang lupa apa yang dilakukan.
Erin seenaknya saja membuka celana jeans sambil duduk, hingga kaki belalangnya yang putih mulus, dari pangkal paha hingga pucuk jari, utuh terpampang.
Siapa pun pria yang melihatnya, niscaya segera dirasuki puluhan setan.
Erin lupa, itu ruang keluarga.
"Hei, apa-apan sih kamu!" Suara keras menghardik Erin.
Ia menoleh ke samping. Ayahnya sudah berdiri dengan mata yang siap keluar.
Erin buru-buru mengambil jeans yang terlanjur dilempar secara jijik, berjalan sekencangnya menuju kamar.
"Maaaf, Pa…," sayup suara menjauh dari balik pintu yang ditutup cepat.
Erin pantas begitu.
Ia membayangkan betapa tololnya telah mewawancarai dosen cabul itu, padahal sejak awal sudah memperkirakan sesuatu bakal terjadi.
Coba, mana ada dosen yang rela disebut namanya tanpa embel-embel “Pak”, kalau bukan karena maksud lain, pakai ditambah senyum lagi.
Erin bukannya tidak paham maksud si dosen. Tentu saja sebagai gadis remaja itu tahu di balik tindak lelaki seperti itu. Bukan sekali-dua Erin digoda pria. Tapi ia punya alasan.
Janji ulang pertemuan diundur pukul delapan malam. Di sebuah kafe, berjarak seratus meter dari kampus. Tempat cozy, asyik untuk menghabiskan waktu.
Roy rupanya sudah menunggu lebih dulu. Tangannya yang berotot dibiarkan tanpa lengan, meski duduk di bawah AC.
Kaus polos yang melekat erat dengan tubuhnya yang putih dan lengannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, kentara sekali ia ingin menunjukkan sisi lain dirinya sebagai dosen.
Sosok pria idaman, barangkali itu pesan yang ingin disampaikan ke Erin.
Lihat saja, celana kain dan sepatu pantofel hitam itu, kini berganti denim biru dengan sepatu kets putih. Tanpa aksesoris apa pun, kecuali jam tangan hitam besar melingkar di tangan kanan. Rambut belah tengahnya, berkilau rapih. Sangat pria.
“Malam, pak,” sapa Erin.
“Roy aja.”
“Ah, enggak enak, Pak,” sanggah Erin, sembari meminta diri duduk di depannya.
“Ya sudah.”
Roy tampak kurang sreg. Ia menduga, langkah selanjutnya bakal sulit.
Lagi pula, Erin sama sekali tidak memberikan respons keterkejutan atas tampilannya yang sama sekali berbeda, sejak ditemuinya sore tadi di kampus.
“Langsung saja pak, bagaimana soal jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di-list,” Erin langsung ke pokok soal agar tidak berlarut.
Tapi Roy justru membuang waktu. Ia bercerita apa saja yang bisa diceritakan, memperagakan apa saja yang bisa diperagakan. Tema bicaranya sudah makin menjauh dari permintaan Erin.
Berkali-kali Erin kembali ke maksud awal, Roy dengan tipu lidahnya, kembali mencari celah pas.
Erin masih bisa menahan diri. Bagaimana pun Roy adalah dosennya, harus tetap dihormati.
Sebaliknya, Roy justru belingsatan. Bicara dan gayanya yang makin aneh dan dibuat-buat.
Erin mulai risih.
Lelaki beranak-istri itu, beberapa kali kepergok mencuri pandang ke arah lehernya yang terbuka. Tidak cukup, lalu ekor mata Roy mulai turun, lalu turun, dan turun lagi, kemudian mentok tak lagi bisa dilalui matanya dalam jarak yang cukup jauh.
Kemudian, Roy berlagak menggeser tempat duduk berdalih ingin memperlihatkan sesuatu pada cerita yang tengah dibangun pura-pura.
Erin bertahan, tetap berpikir lurus.
Rupanya Roy justru makin penasaran. Bicaranya mulai ngawur dengan nada suara tidak stabil. Napasnya terdengar tidak karuan. Ada perintah kuat dari otak mesumnya untuk berbuat sesuatu.
Roy makin mendekat, coba menyingkap dari matanya yang jelalatan ke arah dalam kerah v-neck Erin yang menonjol.
Erin bersiaga.
“Baiklah, Pak. Kalau memang tidak bisa, tidak apa-apa,” kata Erin menetralisir keadaan, “Nanti saya bilang di rapat redaksi, kalau memang Bapak tidak bersedia menjawab.”
“Oh, bisa-bisa,” nada merengek keluar dari mulut Roy, seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal ibunya.
Itu hanya tipu muslihat. Roy justru bergeser makin dekat. Seolah serius.
Roy dan Erin kini bersebelahan dalam jarak yang sangat tipis. Dalam situasi genting seperti ini, Roy berpikir harus bertindak cepat.
“Saya akan jawab sekarang juga,” keluar janji dari mulut Roy, bersamaan dengan tangan kanannya yang cepat meletakkan pada pangkal paha Erin, dekat daerah sensitifnya, seolah sebagai gerakan refleks.
Roy sedang bermain judi. Jika tangannya dibiarkan, artinya Erin dapat menerima rencana busuk selanjutnya. Sebaliknya, bila menolak, ia sudah siap dengan jawaban untuk membalas Erin.
Erin mundur, memberi jarak, sambil menampik tangan Roy.
“Apaan nih, Pak,” Erin agak berteriak.
“Katanya mau jawaban,” Roy berusaha bersikap biasa.
“Enggak gini caranya, Pak,” suaranya meninggi.
Erin kini sudah berdiri. Bersiap meninggalkan kafe.
“Mahasiswi sok!” sergah Roy, pitam.
“Lihat saja, suatu saat kamu akan ketemu saya lagi. Saya persulit kamu,” Roy menebar ancaman.
Erin tak lagi mendengarkan. Ia ingin segera sampai rumah, melepaskan celana yang tadi sempat disentuh Roy.
Romansa #4
“Tunggu ya, Bee,” Abian menutup handphone Nokia Communicator-nya, memasukkan ke dalam tas ransel, dan percayalah gawai mahal itu aman di posisinya. Sebidang punggung tegap punya pemiliknya siap melindungi.
Mengenakan jaket full protector, celana cinos krem, dipadu sepatu boots docmart coklat tua, Abian benar-benar sangat lelaki. Honda Tiger kombinasi warna merah-hitam-silver yang sudah siap di depan pagar, mengukuhkan ia sosok pria tulen.
“Ma, aku jalan dulu ya,” Abian cium tangan pada sosok wanita paruh baya di mulut pintu.
“Iya, ati-ati. Jangan malam-malam pulangnya.”
Di balik helm cakilnya, ia cuma membulatkan jari telunjuk dan jempol.
Begitu ditunggangi, Tiger itu berlari tanpa napas jeda, membawa sang pemilik menuju kekasihnya.
…
Sejatinya, Erin baru saja hendak mandi, ketika ia menelpon Abian. Toh, masih ada waktu satu jam sebelum pacarnya datang. Dalam ukuran normal, Erin bisa berada di kamar mandi setengah jam, mungkin 45 menitan.
Erin tidak ribet urusan dandan, tapi untuk kebersihan, rasanya sulit ditawar, kecuali dalam kondisi terdesak. Apa yang membuatnya begitu lama? Sebab, segala celah dalam tubuhnya dibasuh dan digosok, seperti memperlakukan sebuah porselen. Entah apa yang mengharuskan ia seperti itu, padahal tubuhnya sudah putih-mulus. Rasa-rasanya debu saya sulit mampir.
Satu lagi kebiasaan dia usai mandi: selalu berkemben handuk, menuju kamar, tanpa pernah sekali pun menggunakan pakaian di dalam kamar mandi, meski itu beha atau CD.
Akibatnya konyol. Ia pernah terjebak satu jam di dalam kamar mandi depan, ketika ada tamu ayahnya datang. Kamar mandi yang letaknya berseberangan dengan ruang tamu tak memungkinkan Erin bersembunyi.
Perkiraan waktu meleset. Abian ternyata datang lebih cepat. Ayah Erin, mempersilakan Abian masuk, duduk di ruang tamu.
“Masuk. Masuk, Yan,” sambut ayah Erin, yang terlihat bersiap ke luar, “Saya ke depan sebentar ya. Lampu kamar mandi belakang putus.”
“Oh, biar saya aja, Om,” Abian menawarkan.
“Enggak usah, saya mau ke Pak Erte juga,” tawaran Abian ditolak secara halus.
Erin tentu saja tidak tahu kalau sudah ada Abian di ruang tamu. Begitu juga Abian, tidak tahu Erin masih mandi. Bisa jadi karena terburu-buru, ayah Erin lupa memberi tahu kepada keduanya.
Yang jelas, ketika dua pasangan itu beradu pandang, sesaat setelah Erin membuka pintu kamar mandi, ada respons yang sama: terkejut, tanpa ada suara. Keduanya tertegun. Tapi itu hanya beberapa detik.
Erin tidak surut balik ke kamar mandi dan menutup pintu. Ia membiarkan dirinya berdiri sebentar di hadapan Abian, seolah ada kaki yang menahannya. Sejenak. Lalu, Erin memerintahkannya berbalik muka.
“Iiih, ngapain kamu di situ. Mo, ngintip ya,” nada suara Erin, seperti manja.
“Enak aja, kamu aja tuh, keluar kamar mandi enggak bilang,” sergah Abian cepat, “Udah buruan lewat.”
“Awas jangan balik badan ya,” minta Erin dengan nada yang tak berubah.
Abian, meski terlihat netral, ada gemuruh yang terpendam luar biasa. Dari sedikit yang dilihat dari tubuh kekasihnya itu, sudah cukup membuat kakinya tetiba dingin, menjalar hingga ke pucuk-pucuk jari tangannya, merembet menyentuh muka yang ditutupinya. Ia menggigil menahan.
Puluhan setan sudah berancang-ancang masuk menyerang pertahanan berahinya, mengikuti langkah Erin yang bergerak seolah lambat masuk ke kamar.
“Bentar ya, Sayang, aku gak lama, Kok,” kata Erin bersamaan dengan bunyi anak kunci yang diputar.
Puluhan setan itu, sekonyong-koyong pergi.
Abian menaikkan suhu tubuhnya yang sempat dingin dengan beranjak ke luar. Menggosok-gosok pipinya yang, meski pria, tetap bersih dan putih. Terlihat sekali, ia tipikal lelaki yang suka dengan kebersihan, persis seperti pasangannya.
“Ayo, berangkat,” Erin sudah siap dengan setelan casual, seperti biasanya.
Keduanya menunggangi Tiger dengan kecepatan sedang, mengimbangi khayalan keduanya dari pertemuan tak sengaja sejenak lalu, menuju kantor Abian.
Sebuah pertemuan yang menanti mereka telah mengagalkan rencana busuk puluhan setan itu.
Description: Dua orang remaja yang saling jatuh cinta ini memulai perkenalan dalam sebuah event ulang tahun sebuah korporasi. Si gadis seorang jurnalis magang dan pria berprofesi sebagai corporate secretary. Dua profesi yang sebenarnya harus saling mendukung, tapi kenyataan di lapangan tidak. Mana yang harus dipilih, setia pada profesi atau hubungan mereka yang retak.
|
Title: ROTATE
Category: Teenlit
Text:
Ibu Kembali
I
“Sebut satu nama orang yang tidak pernah gagal!” Ucap Bapak didepanku saat aku sedang mencoba menahan tangis dan tekanan emosi di dada.
Air mataku masih ku tahan dan benar-benar membuat mataku sakit, sesakit-sakitnya. Membuat leherku tercekik seperti terlilit kawat lingkar yang biasa dipasang di pagar-pagar rumah gedongan.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Bapak, karena memang tidak ada jawabannya. Siapa yang tidak pernah gagal? Tidak ada! Kecuali Tuhan, pun aku belum pernah bertemu dengannya. Lagipula aku tidak yakin kalau Tuhan tidak pernah gagal, siapa tau ia merasa gagal karena melihatku lalai dan tidak seperti apa yang ia harapkan? Tapi Bapak bilang, tidak seperti itu.
Saat itu, aku masih berumur 6 tahun. Ya, aku masih duduk di taman kanak-kanak kelas nol besar. Aku gagal menjadi murid terfavorit, aku gagal mendapat nilai 100 untuk pelajaran matematika dan prakarya, dari 6 mata pelajaran aku hanya mendapatkan nilai 100 untuk 4 pelajaran. Aku gagal berteman dengan semua orang dikelas ku. Aku tidak punya teman, karena mereka bilang aku ini aneh.
Teman-temanku bilang rupaku aneh, perilaku ku juga aneh. Rambutku bergelombang, lebih pantas dibilang ikal, tapi bukan itu yang aneh. Kulitku sama seperti warna kulit teman-temanku, tapi bedanya kulitku punya banyak bekas luka dan luka basah. Kulitku suka gatal, bentol sudah makanan sehari-hari. Sampai-sampai ibuku rela berhutang ke tetanggaku hanya untuk beli obat yang rasanya tidak enak, obat agar aku tidak merasa aneh, itu kata ibu. Lebih baik ibu beli martabak manis, sangkal ku.
“Kamu ini perfeksionis, tepatnya keras kepala sih..” Ucap Ibuku saat ia terbaring di rumah sakit melawan penyakit Tuberculosis yang dideritanya.
Aku lihat matanya sedikit memerah, ia menatapku lekat-lekat sambil merangkul kepalaku. Aku baringkan kepalaku diatas dadanya, sehingga aku bisa mendengar detak jantungnya yang sudah terlampau pelan. Degupnya tidak secepat degup jantungnya yang dulu, degup jantung yang selalu aku dengarkan sebelum aku tidur, degup jantung yang selalu aku dengarkan saat aku menahan tangis karena teman-temanku menjauhiku serta degup jantung yang membuatku tenang saat aku tau impianku belum tercapai. Degup jantung Ibu yang selalu berdegup paling keras dengan balutan doa menyertai jalanku memenuhi sisi perfeksionisku.
“Bu? Perfeksionis ku dari Bapak.” Canda ku sambil mencium keningnya, aku membetulkan selang oksigen yang bertengger dihidungnya.
“Jangan salahkan bapak, dari ibu juga kok. Dulu hidup ibu penuh ambisi, cita-cita dan harus sempurna. Sampai akhirnya, Ibu melahirkan kakak mu dan kamu. Ibu sadar, kakak mu dan kamu adalah yang sesungguhnya ibu cari dan tidak akan pernah ada kata cukup untuk melihat kamu dan kakak mu.” Jawab Ibu dengan suara pelan, tangan lembutnya tidak berhenti membelai rambutku. Belaian yang tidak pernah berubah sejak dulu.
“Nak, jangan terlalu keras pada hatimu dan dirimu sendiri. Kita ini manusia, tidak ada salahnya merasa lelah, kecewa, sedih dan gagal. Jangan menutup hatimu, jangan takut untuk merasa.” Lanjut Ibu
Aku kembali membenamkan kepalaku diatas dadanya. Aku tidak berani menatap wajah apalagi mata ibu. Aku tau ibu sedang menahan sakit di paru-parunya, nafasnya sesak, tangannya dingin. Aku juga tau kalau ibu takut kalau anak perempuannya yang keras kepala ini kehilangan hati karena terlalu keras dan menutup diri. Tapi, aku fikir ini yang paling baik. Ibu hanya tidak mengerti, dan aku tidak mau ibu mengerti nanti ia semakin banyak fikiran.
“Bapak 5 menit lagi sampai sini.” Kataku
Tapi ibu tidak menyahut, sama sekali. Pun detak jantung nya tidak lagi memanjakan kupingku.
“Bu?....”
___________________
II
Bapak duduk diatas kursi dorongnya, menatap kosong ke liang lahat ibu yang sudah siap untuk dimasukan jenazah. Bang Rio mengangkat jenazah Ibu dengan air mata yang jelas mengalir dipipinya. Sudah lama aku tidak melihat nya menangis. Terakhir ia menangis karena dipukul bapak, saat ia ketahuan mengambil uang dari dompet Ibu, kira-kira 20 tahun yang lalu.
Pikiran ku semakin kacau saat melihat raga Ibu dibaringkan diatas tanah coklat lalu dihadapkan ke kiblat.
Ibu, apa ibu kuat tidur diatas tanah yang keras? Ibu, kenapa tidak memilih tetap bernafas? Ibu, Talita kan sudah belikan kasur empuk impian ibu sejak dulu. Kenapa ibu hanya menikmatinya sebentar lalu memilih pindah ke kasur rumah sakit? Ibu, Talita bisa bayar tagihan rumah sakit selama apapun ibu mau berada disana. Ibu? Kenapa ibu memilih pergi?
Bang Rio membacakan adzan dikuping Ibu. Adzan terakhir yang akan ibu dengar sebelum tubuhnya benar-benar ditimbun tanah dan benar-benar tidak tersentuh matahari atau pancaran bulan. Pun menjadi detik terakhir untuk ku dan Bapak melihat raga ibu yang selama ini menyediakan pelukan ternyaman, belaian terlembut serta kecupan termanis yang selalu manjur mengobati hari-hari kami yang kadang-kadang pahit. Ibu adalah rumah untuk kami bertiga.
Bu, sampai jumpa lagi.
----------------
III
“Dek?” Sapa Bang Rio sambil menepuk pundakku halus
“Bang Rio.. Talita kangen ibu, biasanya jam segini ibu lagi nonton acara dangdut.” Celoteh ku
“Iya, abang juga kangen ibu. Talita, abang mau ngomong serius.” Bang Rio menempatkan tubuhnya disebelahku, aku bergeser kesebelah kiri agar sofa mungil yang aku duduki bisa ditempati bang Rio juga
“Sini bang.” Ucapku sambil memberinya ruang untuk duduk“Kamu baik-baik aja? Tadi abang lihat sepanjang pemakaman, bahkan sejak ibu di vonis sakit setahun lalu, kamu nggak nangis sama sekali. Abang cuma takut kamu memendamnya sendirian. Abang ga mau kamu depresi sendiri.” Jelas Bang Rio sambil menyeruput secangkir teh hangat yang ada ditangannya
“Aku ikhlas.” Jawabku singkat, leherku tercekik, hatiku remuk, kepalaku sakit, terasa seluruh otot dimuka ku menegang, aku ingin menangis tapi tidak bisa. Tidak ada kata lain yang sanggup aku ucapkan, dadaku benar-benar sesak, lidahku beku.
Umurku dan bang Rio tidak berbeda jauh, hanya terpaut 2 tahun. Tapi soal pemikiran, jangan pernah ditanya. Abangku jauh lebih matang daripada ku. Sejak kecil, kami dididik oleh seorang Bapak yang merupakan lulusan sekolah semi-militer, meski pada akhirnya Bapak tidak berkarir dibidang itu. Kami berdua dididik dalam budaya disiplin, tidak cengeng dan tangguh.
Aku dan Bang Rio dikenal paling kaku dalam pergaulan, bahkan sepupu-sepupu kami pun ogah main dengan kami, apalagi teman sekomplek.
Dari TK hingga SMP, aku dan bang Rio selalu berada di sekolah yang sama, aku selalu merasa tersiksa saat Bang Rio lulus, itu artinya aku harus menjalani 1 tahun tanpa Bang Rio di sekolah, benar-benar menyakitkan. Skema sosialisasi itu berakhir saat Bang Rio dan aku masuk ke SMA yang berbeda. Bang Rio berhasil mengejar beasiswa untuk masuk ke SMA favorit yang ada di Surabaya, sehingga kami berpisah selama 3 tahun. Aku berhasil masuk ke salah satu SMA Negeri di Jakarta.
Saat itu, keluarga ku bukan keluarga yang sukses dari segi materi. Gaji Bapak hanya cukup untuk makan sehari-hari. Kadang-kadang diakhir bulan, Ibu harus cari pinjaman ke tetangga demi mengisi perut-perut kosong suami dan anaknya. Merasakan kesulitan hidup bukan hal baru untuk Bang Rio dan aku. Sedikit demi sedikit, keadaan membentuk pribadi kami.
“Tal, inget ga senyum ibu waktu tau kita berdua dapat beasiswa untuk kuliah?” Tanya Bang Rio dengan suaranya yang sedikit bergetar, ia pasti menahan tangisnya, aku yakin.
Aku dan Bang Rio masuk kuliah di tahun yang sama meski di universitas yang berbeda, karena pada saat itu Bang Rio memutuskan untuk kerja serabutan dulu setelah lulus SMA.
“Ingetlah, Bang. Ibu langsung syukuran kan? Dia masak banyak banget, terus dibagi-bagi ke tetangga.” Kataku dengan sedikit tawa mengenang bahagianya Ibu saat itu
“Yaudah, abang mau beres-beres. Besok kerja, Abang pake motor matic ya. Kamu yang bebek. Abang capek pake motor gigi.” Kata Bang Rio sambil menoyor kepala ku
“Ih, gak ah! Abang pake motor gigi!” Omel ku sambil membalas jitakan nya dengan tendangan kaki kananku yang mendarat di bongkong nya.
Sejak pemakaman ibu tadi siang, aku belum bertemu bapak. Bapak masih mengurung dirinya didalam kamar. Aku benar-benar tau kalau sebenarnya Bapak sayang Ibu. Tapi aku benar-benar tidak bisa terima beberapa perlakuan Bapak terhadap Ibu. Terkadang, Bapak lah yang menjadi alasan untuk ku agar tidak menikah seumur hidup, aku takut suamiku seperti Bapak. Tapi disisi lain, Bapak jugalah yang menjadi alasan terkuat ku untuk terus bertahan hidup dan menjadi wanita yang lebih baik.
Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, selain menarik nafas panjang-panjang dan melanjutkan hidup.
Selamat malam Jakarta, besok aku kembali bekerja.
Seperti Biasa
I
Hari ini aku menaiki kereta Commuter Line dari Stasiun Klender Baru. Rasanya aku lebih baik naik kereta daripada harus bawa motor gigi milik Bang Rio. Bukannya apa-apa, motor gigi Bang Rio lama belum di servis, aku takut mogok di tengah jalan. Bisa-bisa aku telat sampai kantor. Jadi, aku fikir lebih baik aku naik kereta, paling konsekuensinya badan ku pegal-pegal. Selain uji fisik, naik KRL di jam berangkat kerja juga menguji mental. Ibu-ibu ngamuk bukan hal asing, apalagi soal dempet mendempet, duh khatam deh!
Aku menyisir keadaan di stasiun Klender Baru. Rata-rata mereka mengenakan seragam berwarna coklat, pasti pekerja di institusi pemerintahan. Ada juga yang memakai kemeja rapih, ada juga yang pakai kaos berlapiskan jaket. Meski banyak yang berbeda, ada satu yang sama, yaitu merengut. Aku bisa melihat satu-satu wajah mereka meski beberapa tertutup masker, tapi aku bisa melihat mata mereka tidak sepenuhnya bahagia. Aku berbalik mendekati pegangan tangga yang terbuat dari besi alumunium, aku bisa melihat pantulan wajah ku dari situ, ternyata aku pun sama dengan mereka. Kami tidak sepenuhnya hidup.
Lamunanku terpecah saat operator stasiun mengumumkan kalau Kereta jurusan Jakarta Kota akan memasuki stasiun Klender Baru. Cepat-cepat aku memindahkan gendongan tas ku menjadi didepan, aku meresleting jaket ku dan berdiri di pinggir peron. Pasti kereta sudah penuh, aku yakin.
Tidak perduli sepagi apapun aku berangkat, pasti KRL akan penuh saat sampai di Klender Baru. Tidak masuk akal, tapi ini selalu kejadian. KRL selalu dipadati penumpang dari stasiun Bekasi, Kranji dan Cakung. Aku harus bertahan sampai kereta tiba di Stasiun transit Manggarai. Selepas Manggarai, setidaknya aku bisa bernafas lebih panjang. Yang jelas, paling tersiksa saat rangkaian tertahan sebelum masuk Jatinegara, rasa-rasanya aku ingin lompat dari jendela kereta.
Aku berdiri tepat didepan pintu rangkaian kereta gerbong khusus wanita. Dari luar aku bisa lihat orang-orang yang saling terdorong. Saat pintu dibuka, aku melompat kedalam rangkaian, orang dibelakangku mendorong badanku. Beruntung aku masih bisa masuk, tapi mbak yang mendorongku terpaksa menunggu kereta selanjutnya karena ia benar-benar tidak dapat ruang untuk berdiri.
Badanku terhimpit pintu kereta dan penumpang lainnya. Aku tidak bisa berpegangan kemana-mana kecuali ke badanku sendiri. Aku mencoba memutar badan agar aku menghadap keluar jendela, tapi sayang, gagal. Sepanjang perjalanan, aku menikmati omelan dan rintihan penumpang lainnya mulai dari Astaghfirullah sampai Mbak, jangan nyender dong! Pegangan keatas! . Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil berebut oksigen dengan penumpang lainnya.
"Sabar, Cikini tinggal 4 stasiun lagi" Kataku menyemangati diriku sendiri
------------------------------
II
Udara Cikini tidak pernah ramah. Selalu penuh dengan polusi. Apalagi kalau siang hari, ah aku paling malas pergi cari makan diluar kantin kantor. Dulu sih, ibu masih suka bikin bekal untuk aku dan Bang Rio. Tapi sekarang? Ah sudahlah.
Aku menuruni tangga stasiun Cikini, lalu memanjat pagar pembatas sebelum menyebrang jalan. Stasiun Cikini, tidak beda dengan stasiun-stasiun lainnya, tidak ada yang berkesan juga. Pedagang kaki lima berjejer di seberang Cikini Gold Centre, aku paling suka makan bubur ayam Pak Ngatno, rasanya gurih! Ya aku tau, pasti gara-gara banyak micin. Tapi nikmat. Siapa perduli, ya kan?
Kantor ku tidak terlalu jauh dari Stasiun Cikini, cukup jalan kaki kira-kira 300 meter. Kerja disini sebenarnya bukan impianku sama sekali, tapi orang bilang ini adalah kantor impian. Ah, aku tidak perduli orang bilang apa, yang jelas aku tidak suka berada di kantor ini. Aku sudah merencanakan tanggal resign ku sejak hari pertama aku dinyatakan diterima sebagai tenaga honorer alias pegawai tidak tetap di kantor ini.
Sudah hampir satu tahun aku bekerja disini, baru kemarin kontrak ku di perpanjang lagi 12 bulan. Padahal sebulan lalu semestinya aku mengajukan resign. Tapi karena kondisi ibu yang semakin drop dan lemah, aku fikir aku akan coba bertahan di kantor ku yang sekarang ini. Aku tidak mau meninggalkan ibu, sampai ibu benar-benar meninggalkan ku. Benar saja, aku mengambil keputusan yang tepat.
Sekarang, aku harus re-schedule rencana resign ku dari kantor ini, sumpah aku benar-benar tidak nyaman berada di kantor ini.
Jam tanganku menunjukan pukul 07.55 WIB, aku sudah berada didepan gedung kantor yang sering disebut-sebut sebagai "kantor impian". Aku melangkahkan kaki masuk kedalam, beberapa satpam menyapaku dan mengucapkan selamat pagi sama seperti biasanya. Beberapa orang yang ku temui pun melakukan hal yang sama. Hanya ada yang sedikit berbeda, mereka menambabhkan sedikit kalimat yaitu
"Talita, aku turut berduka cita ya."
Aku benar-benar tidak tau harus bereaksi seperti apa, aku hanya bisa membalas satu persatu dari mereka dengan senyuman. Bisa tidak sih kalian diam saja? Lakukan seperti biasanya. Cukup ucapkan belaasungkawa itu saat sampai hari pemakaman saja? Aku mencoba melupakan, tolong jangan diingatkan lagi. Kalau benar-benar berduka, doakan saja. Atau bagus-bagus datang saja ke pemakaman saat hari kemarin.
------------------------
III
"Tali temali, urgent, kita ketemu di Gadjah Mada Plaza jam makan siang ini." Pesan dari Tisya muncul di layar ponsel ku.
Sebenarnya aku sedang tidak mood pergi kemana-mana, tapi entah mengapa rasanya aku harus bertemu anak itu. Tidak perduli hal penting apa yang akan dia sampaikan, tapi yang jelas aku butuh Tisya saat ini. Aku mengemasi barang-barang ku dan bergegas menuju Gadjah Mada Plaza, aku tidak ada niatan balik ke kantor lagi setelah selesai makan siang di Gadjah Mada Plaza.
"Padahal si Tisya ada di pemakaman kemarin, kenapa ga ngomong aja dari kemarin sih kalau ada hal penting." Protes ku
Tisya saat ini bekerja disalah satu kantor konsultanpajak di kawasan Sudirman Jakarta, tapi tempat kerjanya tidak selalu di Sudirman. Kadang di Tanjung Barat, Depok, ya tergantung kantor client. Tisya adalah salah satu sahabatku, sejak masuk SMP aku berteman baik dengan anak keturunan Tionghoa ini. Ia jago berhitung sejak dulu, aku prediksi karirnya akan cemerlang di kantor pajak. Meski baik, kadang-kadang Tisya ini menyebalkan. Jalan pikirnya tidak dewasa, ia berpikir seperti anak-anak, alias jangka pendek. Berkali-kali aku menyelesaikan masalahnya karena ia tidak berfikir panjang.
Setahun lalu, ia mengambil kredit mobil dengan tenor 1 tahun, kan gila. Tagihan perbulannya bisa sampai 16 juta, dengan gaji standard fresh graduate. Diawal ia masih bisa bayar, begitu masuk ke bulan 6, kreditnya macet. Ya bagaimana tidak, jelaslah gajinya ga cukup. Negosiasi alot sampai berantem sama debt collector pernah aku lakukan demi menyelamatkan mobil Tisya yang hampir lunas, sampai akhirnya perjanjian pembayarann cicilan diubah jadi jangka waktu 3 tahun. Benar-benar gila anak yang satu itu.
Dua bulan yang lalu, dia pergi dadakan ke Bali, kabur dari kantor karena kelewat pusing. Kerjaan audit di client belum selesai, dan gilanya dia lagi pegang perusahaan besar. Ujung-ujungnya, aku harus bantuin dia update sample laporan keuangan perusahaan, sampai dikira mata-mata dan masuk ke kantor HRD perusahaan client nya Tisya. Kurang ajar banget emang Tisya!
Tapi biar bagaimanapun, Tisya satu-satunya teman yang ada disaat suka maupun duka. Jadi, berkorban untuk dia sekali-kali ga ada salah nya, meski kadang-kadang konyol nya ga ketolongan.
----------------------------------
IV
"Tal, sorry.." Ucap Tisya sambil menarikku ke kursi sebuah rumah makan khas Italia
Aku bisa melihat wajah nya dalam kepanikan besar, ia tidak pernah sepanik ini sebelumnya.
"Apaan sih ketek kadal? Nggak jelas banget lo. Kenapa sih?" Tanya ku
"Tal, tapi jangan marah ya sama gue. Kita selesai-in ini bareng-bareng. Gue janji, ini pasti baik baik aja." Rengek Tisya sambil memohon dan menundukkan kepalanya sebelum akhirnya ia menempelkan kepalanya diatas meja makan.
"Tis? Kenapa? Cepet ngomong." Pinta ku sambil menjambak rambut Tisya
"Tal, lo menang kompetisi lomba foto.... And you will get a trip to Bali and Sumba, all for free.." Jelas Tisya
"Hah? Kompetisi foto apaan sih? Gue ga pernah ikut lomba apa-apa! Lo jangan halu deh, Tis. Gue yang berkabung, tapi kok elo yang halu sih." Protes ku semakin tidak mengerti maksud Tisya.
Seingatku, tadi malam Tisya pergi ke rumah teman kantor nya selepas membantuku membereskan rumah selesai pengajian, jangan-jangan anak ini minum alkohol dan mabuknya masih sampai siang ini.
"Kompetisi foto romantis bersama pasangan.... Yang diadain sama Travelkeun.. Gue kirim foto lo sama mas-mas yang di Bandara Soekarno-Hatta waktu itu.... Waktu kita main truth or dare di Bandara sebelum lo berangkat ke Belanda, remember? " Jelas Tisya
"Then? I'm the winner, right? So, what's the problem?" Tanyaku semakin bingung, seharusnya Tisya senang kalau aku bisa ke Bali dan Sumba, bukannya malah minta maaf begini.
"Problem nya adalah lo harus pergi nya sama mas-mas ini. Andai kalian ga pergi berdua, harus ada pembayaran pinalti sampai 20 juta, Tal..... Apalagi kalau foto ini terbukti palsu, bisa-bisa di denda sampai 150 juta. Talita, i'm so sorry. Gue bener-bener ga tau kalau ada denda pinalti begini. Gue juga gatau kalau cara mainnya begini" Ujar Tisya sambil memelas
Aku benar-benar pusing. Kenapa sih Tisya selalu bikin masalah. Ujung-ujungnya, harus aku yang turun tangan. Kali ini aku benar-benar udah muak. Ga bisa begini terus.
"Tisya, lo kelarin ini sendiri. Gue pusing, kerjaan gue banyak dan gue masih harus urus bokap gue dirumah. Okay?" Jawab ku lalu beranjak dari kursi, aku kehilangan selera makan.
"Tal, i did it. Tapi, perusahaan Travelkeun ga mau tau. Dia mau lo yang bilang, karena mereka tau nya elo yang daftar. Gue emang masukin foto KTP lo, dan gue palsuin tanda tangan lo juga. Tal, sorry...." Tisya benar-benar membuatku pusing tujuh keliling kali ini.
"Gue takut lo di tangkep polisi, Tal." Ucap Tisya, sengguk tangisnya bisa aku dengar.
Aku berbalik kearahnya, dan kembali duduk didepan Tisya. Aku tau, Tisya tidak bermaksud menjebakku. Ia tau semua mimpi ku, termasuk yang satu ini, pergi ke Bali dan Sumba. Aku muak dengan kelakuan Tisya, tapi aku juga tidak bisa marah kali ini.
"Oke, mana fotonya? Kirim ke gue, sekarang." Aku melunak, toh biar bagaimanapun ini harus diselesaikan.
Description: Hidup memang penuh misteri. Tapi tidak untuk Talita, si cenayang. Menjadi seseorang yang selalu berorientasi pada masa depan menjadikan mimpinya satu-satu jadi kenyataan, prediksinya jarang meleset. Tapi apa yakin semua hal bisa dipersiapkan dan harus dipersiapkan? Rasanya tidak, tapi Talita masih belum mengerti.
|
Title: Ruang Imajinasi Rindu Tak Bertuan
Category: Slice of Life
Text:
Ingatanku
Seingatan ku, kamu hadir di saat yang tepat
Seingatan ku, kamu pemberi tawa dan canda dihariku
Seingatan ku, kamu sang pemberi cahaya terang di hidupku
Seingatan ku, kamu yang rela menemaniku di kala sepi
Seingatan ku, kamu yang rela membagi ilmu mu kepada ku
Seingatan ku, deru nafas mu sumber nyenyak tidur ku
Seingatan ku, kamu nanti yang ku nantikan…
-Nk-
Pelabuhan Rindu
Memang rindu harus punya tempat berlabuh?
Mungkin untuk kebanyakan orang itu harus,
tapi bagiku tidak berlaku
Untuk saat ini, Rindu ku bebas melanglang buana, ku biarkan dia berlayar di samudra sana untuk bebas merindu tanpa harus berlabuh. Sampai dia menemukan dermaga yang tepat.
-Nk-
Senyum Mu
Kau mengenalku melalui senyum
Senyummu mengenalkanmu padaku
Kita bertemu sebab saling bertukar senyum
Ku harap tak ada dusta dibalik senyum indah itu
Senyum mu mengubah cara pikirku akan dunia
Ternyata Tuhan ciptakan keindahan lewat senyum mu
Yang mengajak ku terbang ke Alam bebas
Mengubah badai menjadi semilir angin
Mengubah terik matahari menjadi teduh
Mengubah deburan ombak menjadi melodi indah
Semua berkat Senyum mu :)
-Nk-
Sepi
Dulu ku berteman dalam damai dengan sepi, kesendirian, dan kegelapan. Aku tak pernah mempermasalahkan keadaan ini, bahkan dulu mereka adalah teman setiaku, temanku dikala semua orang tak mengertiku lagi, mereka menjadi sumber penenangku.
Namun, entah sejak kapan semua itu berubah. Aku mempermasalahkan sepi, kesendirian, dan kegelapan. Aku merasa sesak ada di keadaan ini, rasanya udara tak sedap untuk ku hirup. Aku mencoba berdamai kembali dengan mereka, tetapi yang aku dapat justru rasa yang makin dalam, rasa kesepian. Ku terjebak dalam kesunyian. Entah mengapa rasa ini menyiksa ku, apakah aku bersalah menempatkan diri? Tentu tidak, aku ada ditempat dulu yang ku sebut kedamaian, tetapi entah mengapa mereka berubah menjadi tempat penuh sesak.
Mungkin, Saat ini yang aku butuhkan hanya membaca pesan atau mendengar suara dari sumber penyemangatku, orang yang mampu membuatku tersenyum hanya dengan memanggil namaku, atau hanya dengan menanyakan keadaanku. Mungkin, ini yang membuatku tak dapat berdamai dengan kesendirian. Iya, karena mu, kamu yang membuatku candu akan hadir mu.
-Nk-
Singgah Tanpa Permisi
Kenapa kamu hadir di saat pikiran dan jiwa ku sudah mulai menerima kepergian mu. Aku tak tau maksudmu hadir dalam mimpi, apakah hanya sekedar salam terakhir atau untuk menyiksaku dengan bayang-bayangmu lagi?
Rasanya sudah cukup waktu tiga per-empat dekade kemarin aku dihantui bayangan dirimu, bayangan masa-masa kita dulu, sikapmu padaku, hatiku padamu, hari-hari kita bersama dan akhir pertemuan kita. Mungkin tampaknya aku sudah ikhlas, tampaknya:) namun jauh dari yang tampak, caraku berdamai dengan bayangan mu sungguh sangat menyiksa. Ku kerahkan ego di barisan depan demi ketenangan pikiran dan jiwaku.
Jadi Apa tujuan kehadiran mu dimimpiku? Ingin membiarkan ku mengerahkan Ego maju kedepan dan membiarkan dia bekerja keras lagi demi menghilangkan bayanganmu?
-Nk-
Tepi
Duduk ditepi, sisa tempat untuk mu. Maaf hanta itu yang tersisa. Mungkin tak membuat mu nyaman. Namun perlu ku jelaskan, tepian itu pernah di singgahi beberapa orang sebelum kamu.
Mereka mengotori bagian-bagian itu, meninggalkan bekas. Aku tak ingin hadir mu menambah itu. Kamu hanya perlu tempati, rawat dan hiasi tepian ini dengan segala keunikan mu. Aku percayakan tepuan itu untuk mu.
Apabila tepi itu tak diri mu rawat dan meninggalkan tanpa permisi, aku tak tau apakah ada tempat lain untuk orang setelah mu.
Adakah manusia yang dapat membersihkannya? Tolong jika tlah singgah jangan mengotori.
Description: Kisah perempuan yang merindu tanpa rencana.
|
Title: Review Book Salah Asuhan
Category: Review
Text:
Pendahuluan
Sastra merupakan salah satu aspek dari kehidupan manusia. Kebudayaan timbul bersama manusia sebagai pemiliknya. Begitu pula sastra, dia timbul bersamaan dengan adanya kebudayaan itu. Hal ini disebabkan karena sastra selalu terkait dengan problema yang ada di masyarakat.
Sastra yang dapat dibaca dan dinikmati tentunya mempunyai ekspresi baik itu struktur, diksi, kemenarikan cerita dan keterkaitannya dengan masyarakat. Setiap kali karya sastra yang dibuat oleh sastrawan biasanya mencerminkan sifat-sifat pengarangnya. Pada prinsip dasarnya yang membedakan antara karya sastra satu dengan yang lainnya adalah sifat-sifat dari penciptanya itu sendiri. Seorang sastrawan biasanya akan menghadirkan baik itu sifat pengarang itu sendiri ataupun mengangkat peristiwa yang kerap terjadi di masyarakat.
Lewat hasil karya sastranya itu, seorang sastrawan juga ingin mengkomunikasikan ide-ide, pengalaman batin maupun sikapnya kepada orang lain secara jujur, bahkan lebih luas lagi ia ingin mengungkapkan realita kehidupan. Sesudah ide-ide itu dibaca maupun dinikmati, disinilah terjadi dialog antara pembaca dan penulis itu sendiri.
Sastra mempengaruhi masyarakat dan perubahan sosial dengan mendidik kepekaan cita-cita masyarakat dalam berpikir mengenai hidup, baik buruk, benar salah. Sebagai penikmat sastra hendaknya memberikan penilaiannya secara jujur terhadap karya sastra yang sedang dibaca atau dihayati. Mengingat kejujuran pembaca berbeda dengan kejujuran pengarang itu sendiri yang mana dengan kejujuran itu. Karena dengan itu pengarang bisa menginstropeksi diri dalam karya sastra selanjutnya.
Tidak lepas dari situ, Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis dan Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar tercipta karena realita yang ada di masyarakat. Kedua novel tersebut termasuk kategori novel dimana menganut Aliran Romantisme. Menurut beliau Prof.Dr. Suminto A.Sayuti bahwasannya Aliran Romantisme adalah aliran kesenian-kesusastraan yang mengutamakan perasaan. Di jelaskan bahwa dalam aliran romantisme, pengarang berusaha mengidealisasikan kehidupan dan pengalaman manusia dengan menekankan pada hal yang lebih baik, lebih enak, lebih indah dan menyenangkan.
Aliran romantisme biasanya memandang masa yang akan datang lebih indah dari masa kini. Pandangan inilah yang akhirnya melahirkan pendapat bahwa tujuan seni bukanlah untuk memecahkan soal-soal yang rumit, tetapi disini bertujuan untuk menghibur, mengajak pembaca untuk tertawa, manangis, bersedih, gembira sehingga mereka para pembaca seolah-olah bahwa hari esok yang akan datang akan lebih baik.
Kali ini, saya akan memberi review terhadap beberapa aspek dalam penulisan novel Salah Asuhan Karya Abdul Moeis yang dirangkai apik beserta dengan beberapa bagian (Part) dalam karya beliau.
Tokoh dan Watak dalam Novel Salah Asuhan
Pengarang sengaja mengusung tema adat istiadat, dimana tidak diperbolehkan adanya perkawinan campuran antara kaum timur (hanafi) dan kaum barat (Corrie)
Tokoh dan Watak Dalam Novel Salah Asuhan
Hanafi : Keras kepala, Pencemburu, kukuh, sangat mencintai corrie.
“Corrie , dari kecil kita sudah bergaul, cinta yang timbul dari pergaulan serupa itu memang menerima secara adanya saja dan tidak lagi berkehendak secara mestinya. Bukanlah aku tertawan pada elok parasmu, melainkan asyiklah aku mencintai engkau,karena—engkau!!” (dikutip hal 132 part 2).
Sebenarnya hanafi amat keras kepala; jika kehendaknya dibantah atau katanya `disolang`, kadang-kadang perangainya serupa kanak-kanak yang suka berguling-guling di tanah, sebab pintanya tidak berlaku.
Jika dada Hanafi sudah terlalu sesak melihatkan perangai istrinya yang serupa itu, maka marahlah dia dengan tidak ketentuan apa yang dikatakannya. Corrie lalu mengangkat kepalanya. Menentang sejurus pada suaminya. (dikutip hal 147 part 7).
Melihat putung rokok, padahal kepunyaan Tante Lien, marahlah Hanafi.
“Belum waktunya mevrou!, belum waktunya engkau mendapat sebutir pil daripada perkakas yang terletak di atas meja itu. Aku hendak menangkap tangan baharulah senang hatiku, ahh.. malang sungguh aku dating kesiangan!” (dikutip hal 162 part 7).
Corrie: rendah hati, mau menerima cinta Hanafi,baik
Contohnya :
“Perkawinan yang terikat oleh cinta itu saja, mudah putusnya, Han! Karena cinta itu tidak boleh habis. Ketahuilah olehmu bahwa bermula engkau bercita-cita hendak meminta aku jadi istrimu, maka yang terlebih kurasai atas dirimu ialah kasihan. Kasihan yang tak terhingga. (dikutip hal 139 part 5)
Rapiah : teguh iman, teguh hati, pasrah.
Contoh kutipannya :
“ sudah kedelapan kali kamis ini aku berpuasa sunat,ibu ,dan selama itu pula ayah syafei meninggalkan kita. (dikutip hal 112).
“ibu” kata Rapiah setelah membaca surat dari Hanafi.” Jika sungguh-sungguh ibu hendak mengambil aku pengganti Hanafi, bawalah aku kemana kehendak ibu. Hanya bilaibu rindu hendak ke betawi, antarkanlah kami ke Bonjol”.( dikutip hal 126 part 1).
Ibu Hanafi : Penyabar, rela anaknya memutuskan hubungan,
“ Engkau sendiri telah melihat bagaimana perangai Hanafi kepada ibu. Serambut pun tak ada ikhtiarnya buat mengikat hatiku supaya lekat kepadanya. Rapiah! Dengan perbuatan seperti ini, Hanafi seolah-olah sudah memutuskan tali silaturahim antara ia dengan ibunya. Apalagi kalau ia sudah menjadi kaum belanda, sudah keluarlah dia dari kaum kita, lahir dan batin. Engkau kehilangan suami, ibu kehilangan anak, sudikah engkau menggantikan Hanafi….
“Apakah perlunya orang tua buruk kampung totok ini dating ke Betawi. Hendak merendah-rendahkan martabat dan derajatnya saja.” (dikutip hal 124-125)
Gaya Penulisan Bahasa Novel Salah Asuhan
Gaya Penulisan Bahasa Novel Salah Asuhan
Karena novel ini menceritakan mengenai cinta terlarang antara kaum timur dan barat( Belanda), maka banyak muncul Gaya penulisan dari novel ini apabila dilihat dari segi bahasa adalah bahasa Melayu dan ada juga diselipkan bahasa Belanda. Dalam penulisannya terdapat pantun dan sedikit pribahasa. Gaya bahasa novel Salah Asuhan ini cukup sulit untuk diartikan. Karena novel ini adalah novel lama dan dilamnya juga terdapat bahasa Belanda. Pada novel ini juga terdapat : Seperti kalimat:
· “kau minta verlof seminggu….” (dikutip hal 134)
· “Belum waktunya mevrou!...”(dikutip hal 162)
· Pantun disaat Rapiah menimang anaknya yang menangis menunggu ayahnya pulang.
Jangan menggulai bayam juga,
Gulai belinggang di belanga,
Jangan anak menangis juga,
Bapak merantau takkan lama
Bukanya puntung nan elok,
Medang di lurah patah dalam
Bukannya putung nan elok
Minta suratan bersalahan ( dikutip hal 115)
·Peribahasa.
“saat ini, air mukamu jerni, keningmu licin, bolehkah ibu menuturkan niatku itu, supaya tidak menjadi duri dalam daging” (dikutip hal 25, part 3)
·Majas Perbandingan
“Sesungguhnya tiadalah berdusta apabila ia berkata sakit kepala, karna sebenarnyalah kepalanya bagai dipalu” (dikutip hal 47 part 2)
Setelah diuraikan berdasarkan unsur Instrinsik, Beliau Abdul Muis dalam menggambarkan tokoh juga dengan metode Campuran. Seperti yang diuraikan dari atas tadi bahwasannya pengarang mencampur adukkan metode Diskursif dan Dramatis.
Metode Diskursif dan Metode Dramatis dalan Novel Salah Asuhan
Metode Diskursif dalam Novel Salah asuhan
Seperti dalam kutipan sbb : Maka tante Lien dengan dengan slop sebelah mengejar koki Mina di sekeliling kebun di belakang, hingga seekor anjing orang di sebelah yang tempatnya hanya dibatasi oleh pagar bambu yang jarang dari halaman Corrie, turut pula menggonggong menghambur-hambur hendak keluar pagarnya. Mina lari ke dapur dan mengunci pintu dari dalam..( dikutip hal 154 part 2)
Metode Dramatis dalam Novel Salah Asuhan
“Sirih, Tante ??! berrr! Larang keras, hoor.”
“Lu gak ade sigaret nyang enak, Non,”
“o, sigaret tante boleh habiskan satu dos. Sudah tentu enak, ayoh coba!”
Maka masuklah ia ke dalam, lalu membawa sebuah kotak sigaret,yang hamper penuh isinya. Tempat abu rokok pun dibawanya pula.
“ liat tante, kepalanya juga emas, tiga sen setengah satu. Suamiku biasa meminumnya jika habis makan saja atau kalau kami sedang berkomidi”…. ( dikutip hal 155 part 3)
Kelebihan Novel Salah Asuhan (Review)
Abdoel Moeis berhasil merangkai kata demi kata dalam novel ini sehingga melahirkan sebuah novel klasik namun berisi kisah yang tak pernah lekang dimakan oleh zaman, sejak cetakan pertama novel ini yaitu pada tahun 1928 hingga pada cetakan ke empat puluh yaitu pada tahun 2010, kisah yang mengangkat cerita seputar kisah cinta yang di bumbui oleh kentalnya adat istiadat yang tergerus oleh budaya kebarat baratan yang di aplikasikan oleh seorang putra pribumi sehingga menjadikan tokoh Hanafi dalam novel ini memiliki sikap angkuh serta lupa akan budaya yang harusnya ia junjung tinggi.
Alur yang bagus juga dihadirkan Abdoel Moeis sehingga menghantarkan para pembaca seolah berada dalam situasi tersebut. Disetiap bagian dalam novel yang di hadirkan per bab mempermudah para membaca untuk memahami setiap kondisi yang terjadi dalam cerita tersebut. Gaya bahasa yang apik di iringi dengan diksi yang bagus membuat novel ini terlihat klasik namun kental akan unsur unsur sastra yang juga ingin ditonjolkan oleh penulis. Penulis ingin membuat kita benar benar merasakan unsur adat istiadat yang ditampilkan dalam tiap bagian di novel ini yaitu dengan perantara sajak ataupun puisi serta pemilihan kata yang sedikit sulit untuk dipahami, namun disitulah letak peranan penting dalam novel ini.
Cover novel ini juga memiliki karakteristik sendiri, yang tidak dapat ditemukan dalam design sampul novel lainnya, sejak cetakan pertama novel yang berjudul Salah Asuhan yaitu pada tahun 1928, design sampul novel ini memiliki ciri khas yang menunjukkan bahwa novel ini mengisahkan kisah yang berbau adat istiadat. dari cover atau deisgn sampul ini pula lah, pembaca memahami bagaimana cara penulis menghantarkan para pembaca untuk mengetahui secara detail di tiap tiap bagian novel ini.
Secara keseluruhan, novel Salah Asuhan ini dianggap sangat layak menjadi bahan bacaan anak muda sekarang dikarenakan gaya bahasa yang masih kental dengan unsur unsur sastranya, novel fiksi ini juga mengangkat kisah yang tidak lekang dimakan zaman oleh para pemuda kini.
Description: Salah Asuhan
Penulis : Abdul Moeis
Penyunting : Tim Editor Balai Pustaka
Desain Isi : Pambudi Utomo
Desain Sampul : Tim Desain Balai Pustaka
tahun Terbit : cetakan Pertama 1928, Cetakan Keempat Puluh 2010
Dicetak oleh; PT. Balai Pustaka (Persero)
Diterbitkan di : Jakarta Timur
Jumlah Halaman : 336 hlm
ISBN : 979-407-064-5
Harga : Rp. 42.000
Sastra merupakan salah satu aspek dari kehidupan manusia. Kebudayaan timbul bersama manusia sebagai pemiliknya. Begitu pula sastra, dia timbul bersamaan dengan adanya kebudayaan itu. Hal ini disebabkan karena sastra selalu terkait dengan problema yang ada di masyarakat.
Sastra yang dapat dibaca dan dinikmati tentunya mempunyai ekspresi baik itu struktur, diksi, kemenarikan cerita dan keterkaitannya dengan masyarakat. Setiap kali karya sastra yang dibuat oleh sastrawan biasanya mencerminkan sifat-sifat pengarangnya. Pada prinsip dasarnya yang membedakan antara karya sastra satu dengan yang lainnya adalah sifat-sifat dari penciptanya itu sendiri. Seorang sastrawan biasanya akan menghadirkan baik itu sifat pengarang itu sendiri ataupun mengangkat peristiwa yang kerap terjadi di masyarakat.
Lewat hasil karya sastranya itu, seorang sastrawan juga ingin mengkomunikasikan ide-ide, pengalaman batin maupun sikapnya kepada orang lain secara jujur, bahkan lebih luas lagi ia ingin mengungkapkan realita kehidupan. Sesudah ide-ide itu dibaca maupun dinikmati, disinilah terjadi dialog antara pembaca dan penulis itu sendiri.
Sastra mempengaruhi masyarakat dan perubahan sosial dengan mendidik kepekaan cita-cita masyarakat dalam berpikir mengenai hidup, baik buruk, benar salah. Sebagai penikmat sastra hendaknya memberikan penilaiannya secara jujur terhadap karya sastra yang sedang dibaca atau dihayati. Mengingat kejujuran pembaca berbeda dengan kejujuran pengarang itu sendiri yang mana dengan kejujuran itu. Karena dengan itu pengarang bisa menginstropeksi diri dalam karya sastra selanjutnya.
Tidak lepas dari situ, Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis dan Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar tercipta karena realita yang ada di masyarakat. Kedua novel tersebut termasuk kategori novel dimana menganut Aliran Romantisme. Menurut beliau Prof.Dr. Suminto A.Sayuti bahwasannya Aliran Romantisme adalah aliran kesenian-kesusastraan yang mengutamakan perasaan. Di jelaskan bahwa dalam aliran romantisme, pengarang berusaha mengidealisasikan kehidupan dan pengalaman manusia dengan menekankan pada hal yang lebih baik, lebih enak, lebih indah dan menyenangkan.
Aliran romantisme biasanya memandang masa yang akan datang lebih indah dari masa kini. Pandangan inilah yang akhirnya melahirkan pendapat bahwa tujuan seni bukanlah untuk memecahkan soal-soal yang rumit, tetapi disini bertujuan untuk menghibur, mengajak pembaca untuk tertawa, manangis, bersedih, gembira sehingga mereka para pembaca seolah-olah bahwa hari esok yang akan datang akan lebih baik.
Kali ini, saya akan memberi review terhadap beberapa aspek dalam penulisan novel Salah Asuhan Karya Abdul Moeis yang dirangkai apik beserta dengan beberapa bagian (Part) dalam karya beliau.
Mengangkat kisah cinta yang terbendung oleh ego serta kenaifan seorang putra pribumi, Secara keseluruhan, kisah yang diangkat oleh Abdul Moeis dengan Judul karyanya yaitu Salah Asuhan, memiliki tempat khusus bagi para pembacanya, dikarenakan alur cerita serta pemilihan kata yang menghantar para pembaca seolah berada dalam situasi tersebut. Novel ini juga dianggap layak untuk dibaca sampai saat ini, meski novel ini sendiri telah terbit di era orde baru. Namun, dengan kisah yang diangkat oleh penulis yang masih relevan hingga sampai sekarang, novel ini layak menjadi salah satu novel legendaris yang wajib dibaca.
|
Title: Raja Pendekar
Category: Fantasi
Text:
Prabu Dewa Putra
Lina Jayadi si dewi pedang menatap kesal suaminya, Suami dia yang bernama Dewa yang di suruhnya mencuci baju tetapi malah semua baju itu pada robek dan rusak. Semua terkoyak hanya meninggalkan tumpukan kain robek.
“Suami tidak berguna,” Teriaknya kesal, Dewa hanya menyengir saja di maki istri cantiknya itu.
“Nanti aku ganti…” Dewa tetap nyengir. Menyebalkan sekali pikir Lina.
“Kamu kan cowok miskin, Ganti pakai apa?” Geram Lina sangat kesal, Ingin sekali menghajar Dewa ini tetapi dia tidak bisa. Dia bukan tandingan Dewa, Lelaki yang nyengir-nyengir di depannya ini memenangi turnamen bela diri yang di adakan ayahnya Diro Jayadi. Walau miskin dia sakti mandraguna.
Ayahnya Diro Jayadi adalah jenderal selatan kerajaan Dwipa pemimpin armada pasukan dengan 30.000 prajurit. Dia mengadakan sayembara bela diri. Hadiahnya adalah anaknya Lina Jayadi yang cantik dan sakti.
Lina sangat berharap pria idaman dia yang menang, Dia yakin yang menang adalah Wisana anak menteri pertahanan. Dia ganteng dan selain itu sakti mandraguna. Ilmu rembulan esnya sudah di level tertinggi di usia 21 tahun. Sangat jarang atau mungkin cuma dia yang bisa menguasai ilmu itu di usia begitu muda yakin Lina ini.
Setelahnya Dewa mengklaim hak dia, Diro Wijaya tampak kecewa. Sebetulnya dia juga yakin Wisana yang menang. Wisana ini kaya raya dan sakti sebagai anak menteri pertahanan cocok jadi suami anaknya. Karier militernya juga bagus, Setidaknya dia sudah menjadi kepala pasukan kanan di usia muda. Segera dia akan jadi jenderal muda.
Turnamen ini sendiri di usulkan Wisana sendiri, Untuk pamer kekuatan dia. Dia yakin tidak ada yang bisa mengalahkan dia.
Tetapi di final Wisana di kalahkan Dewa, Bahkan hanya dalam tempo satu menit. Dengan hanya berapa jurus saja dia kalah. Kekuatan mereka begitu terpisahkan jauh sekali.
Pemenangnya pemuda tidak di kenal tetapi sakti mandraguna. Bakan Wisana yang menguasai jurus rembulan es tertinggi tingkat 20, Gilanya pemuda itu menggunakan jurus yang sama.
Dan Wisana kalah telak. Perbedaan mereka di tenaga dalam yang membuat pertempuran jurus tersakti ini di menangkan Dewa dengan gampang.
Menyebalkan sekali buat Lina, Karena Dewa ini bajunya seperti orang miskin dan ternyata miskin beneran, Karena di dapati dia yatim piatu dan tidak ada kerjaannya, Bagaimana orang sakti tidak ada kerjaan? Mustahil. Pasti seorang pemalas geram Lina.
Pernikahan mereka berlangsung meriah 3 hari 3 malam, Diro terpaksa memenuhi janji dia. Tapi menyebalkannya itu pesta pernikahannya dia juga yang harus bayar. Karena pemuda ini tidak punya uang ketika di suruh mempersiapkan pernikahannya.
“Dewa kamu ini kalau sudah nikah kerja buat negara ini saja, Kamu sangat sakti pasti Raja mau menjadikan kamu jenderal.” Usul Diro.
“Aduh Ayah, Maap ya aku tidak berminat. Ngapain aku mengabdi sama raja.” Dewa tidak mau terang-terangan depan Diro.
Diro di buat naik pitam, Tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Selain Dewa memang sakti dia ini pemenang turnamen. Semua orang akan menyangka dia ingkar janji jika dia mengusir Dewa ini.
Sebelumnya kejadian waktu di turnamen di hari final.
Wisana sekarang ini telah melangkah ke lapangan, Dia mengangkat tangannya di sambut tepuk tangan penonton, Lina pun memberi tepuk tangan sambil berdiri menatap pujaan dia ini.
Penonton wanita tampak berbisik-bisik memuji ketampanan dan bentuk badannya yang sempurna. Tinggi berotot dan gagah serta tampan. Penonton pria tampak iri kepingin jadi sehebat Wisana ini.
Lawannya seorang pemuda dengan baju buluk, Tampangnya si ganteng tapi tidak terawat kayak tidak pernah mandi dekil, Rambutnya acak-acakan.
Body badannya langsing tetapi kokoh dan penuh otot juga. Entah siapa dia ini dan mengapa bisa masuk final.
Semua tampak heran juga siapa gembel ini, Lina juga tidak perduli lawan Wisana siapa karena dia yakin Wisana ini akan muda saja menekuk lawannya.
“Sebaiknya kau bersiap-siap, Aku tidak akan bermurah hati.”Wisana berbicara arogan depan Dewa.
Dewa malah tertawa menyeringai, Mukanya nyolot sekali meremehkan, Melihat itu Wisana sangat kesal karena merasa tinggi hati dia tidak terkalahkan.
”Akan kurobek dan kuhancurkan kau segera.”Ancamnya.
“Sebaiknya kau beneran sakti, Kok kayaknya aku akan kecewa.”
Dewa kembali menyeringai menghina, Dia bisa memperkirakan kemampuan Wisana ini.
“Anjing miskin kayak kamu banyak lagak,”Hina Wisana balik karena kesal.
“Untuk orang lemah... kamu ini kebanyakan bacot,”
Dewa membalas menghina Wisana tetap dengan seringainya yang membuat mukanya begitu menyebalkan buat Wisana.
Wisana menahan dirinya untuk tidak menyerang Dewa sebelum bel berbunyi, Tentunya dia tidak mau di diskualifikasi karena menyerang sebelum di mulai.
Dong!!! Juri memukul bel berbentuk gong sebagai tanda pertarungan di mulai.
Wisana langsung merangsek ke depan merapal jurus tingkat 15 rembulan es, Hawa dingin penuh kematian langsung mengarah ke kepala Dewa, Wisana tidak hendak mengampuni Dewa. Dia berniat membunuh sekarang ini.
Diro, Lina dan banyak penonton yakin Dewa akan tewas menggenaskan sekarang melihat serangan mematikan Wisana.
Tetapi tanpa di duga siapa pun Dewa merapal baju besi emas, Serangan itu seakan mengenai Dewa tetapi sebelum mengenai tubuh Dewa tertahan semacam zirah berbentuk lonceng emas.
Dewa menyeringai lagi sambil meledek, Katanya.”Cuma segitu saja?”
“Baju besi emas…”
Wisana kaget karena itu baju besi emas level tertinggi tingkat 13 yang sampai bentuk loncengnya nyata terlihat mata ketika pukulan mengenai zirah emas itu.
Jelas dia kaget dan tidak dapat meremehkan pemuda gembel di depannya ini lagi. Itu ilmu tingkat tinggi yang masuk jajaran elit ilmu bela diri berasal dari tiongkok sana nan jauh.
Diro dan Lina berikut semua penonton dari pejabat, Pendekar hingga rayat jelata sekarang kaget bukan main.
Pemuda gembel ini memang layak masuk final. Jurus baju besi emas yang sangat langka apalagi tingkat 13, Siapa pemuda ini.
Mengapa dia bisa menguasai ilmu langka dari negeri tiongkok yang di sana saja pemakainya begitu langka.
Wisana tidak bisa meremehkan musuhnya lagi. Kini dia merapal ilmu rembulan esnya, Tidak tanggung-tanggung langsung level tertinggi tingkat 20.
Hawa dingin keluar dari tubuh Wisana, Penonton pun dapat merasakannya hawa dingin yang terpancar dari tubuh Wisana ini. Wow hebat sekali kagum mereka. Suhu udara turun sampai terasa di gunung dalam radius sekitar 50 depa.
Dewa malah tertawa ngakak menghina, Wisana di buatnya kesal. Tetapi jurus baju besi emas tingkat 13 memang jelas akan membuat dia jiper juga.
Dia tidak yakin kini akan bisa menembusnya dengan jurus paling sakti yang dia miliki ini.
“Cih manusia yang bersembunyi di balik baju zirah emas.” Wisana menghina Dewa karena putus asa.
“Ooo kamu tidak suka aku memakai baju besi emas? Tidak masalah.” Dewa pemuda dekil itu kembali menyeringai.
Tanpa di duga siapa pun termasuk Wisana sendiri, Dewa mengerahkan jurus rembulan es, Sama tingkat 20 juga.
Tetapi beda kekuatan mereka nyata sangat jauh begitu Dewa merapal udara dingin di sana langsung minus di bawah nol.
Gelas berisi air depan Lina saja membeku atasnya. Belum pernah dia lihat air es karena berada di negara troipis.
Dan penonton berlarian menjauh dari tepi arena karena udara dingin yang tercipta dari jurus rembulan es Dewa ini, Membuat mereka semua kedinginan.
Jelas kekuatan tenaga dalam Dewa jauh lebih kuat, Sangat jauh dan kuat yang ada.
Wisana melihat itu dengkulnya terasa lemas dan bayang-bayang Lina lepas dari tangannya jelas sekarang.
Tetapi demi harga dirinya dia melompat menyerang Dewa. Mereka berdua akan beradu jurus. Lebih baik mati baginya dari pada di permalukan menyerah.
Wisana hari itu kalah dengan memalukan, Bersyukur Dewa menahan dirinya agar Wisana tidak terbunuh.
Dan begitulah Lina pun jadi milik pemuda dekil pemalas tetapisakti mandraguna bernama Dewa ini.
Tidak ada yang tau siapa pemuda dekil gagah ini karena dia adalah Prabu Dewa Putra, Penguasa agung kerajaan Dwipa.
Suatu jaman keemasan yang tidak pernah tercatat sejarah, Pernah ada Raja tak terkalahkan ada di sana. Raja kesepian yang menyamar menjalani hidup jadi rakyat jelata.
Penjara Mewah
Kerajaan Dwipa ini mencapai jaman keemasan di jaman Prabu Jaya Putra Maharaja, Malang tidak dapat di tolak raja sakti yang mempersatukan banyak kerajaan ini meninggal mendadak karena sakit jantung.
Anaknya yang berusia 9 tahun menjadi raja, Dia bergelar Prabu Dewa putra III. Untuk menyembunyikan dari pandangan kawan dan lawan sejak itu ada tirai emas tidak tembus pandang memisahkan ruang raja duduk.
Semua pegawai, sampai rakyat dan tamu negara semua tidak pernah melihat tampang Prabu Dewa Putra III ini. Tujuan awal supaya tidak melihat raja yang masi kecil ini. Di takutkan tidak berwibawa.
Hanya orang tertentu, Seperti ibu suri, Mahapatih, Ratu, Selir-selir dan pengawal, Dayang-dayang, Yang pernah melihat seperti apa Prabu Dewa putra III ini.
Sekarang prabu Dewa ini sudah jadi pemuda tampan dan gagah, Tetapi kebiasaan yang di perintahkan ibu Suri ini tetap berjalan tidak berubah.
Dewa dalam kesehariannya sibuk berlatih, Sejak umur 4 tahun dia sudah berlatih ilmu kanuragan. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, Pribahasa ini tepat untuk dia.
Dewa sangat berbakat, Dia mempelajari aneka ilmu bela diri dengan cepat. Gurunya pun ada guru-guru terbaik berasal dari pedepokan lokal di kerajaan Dwipa sampai dari dinasti Yuan di Tiongkok.
Sekitar satu tahun lalu
Selama ini dia tinggal di perdepokan rahasia di gunung sunyi, Hanya sesekali dalam setahun dia kembali ke istana. Karena dia cuma boneka ibu suri yang sebenarnya memerintah di kerajaan Dwipa ini.
Sudah banyak ilmu kanuragan telah di kuasainya sampai level tertinggi. Ilmu pengobatan terbaik juga dia telah pelajari, Selain itu ilmu tata negara wajib dia kuasai.
Kini dia kembali ke istana karena semua guru dia telah selesai mengajar. Kesaktiannya sudah selevel dengan Ayahnya dulu sekarang ini.
Begitu masuk istana dia di sambut permaisuri dia, Putri Nira Dewi. Wanita ini yang panggilannya Nira tiga tahun usianya di atas Dewa. Selain itu ada Mahapatih juga di sana ikut menyambut kepulangan dia setelah setidaknya sudah setahun tidak kembali ke istana.
Tidak ada saling rindu di antara Dewa dan Nira ini. Nira menatap dingin suaminya prabu Dewa putra III yang baru datang ini.
Pernikahan mereka murni politik, Keduanya sudah saling tidak menyukai sejak mereka bertemu dan berlanjut setelahnya.
“Tidak bisakah kau kelihatan pura-pura ceria menyambut suamimu ini,” Bisik Dewa ke Nira ketika mereka berhadapan. Seringai menyebalkannya tampak di wajahnya.
“Ya ngga usah banyak basa-basi la semua juga sudah tau kita tidak saling menyukai.” bisik Nira balik, Tampak masa bodoh.
“Kamu harus datang ke kamarku malam ini, Setahun tanpa wanita kamu tau.” Dewa menatap birahi ke Nira yang memang cantik jelita.
Nira tampak ketakutan, Dia mundur selangkah. Katanya dengan wajah takut,” Kamu ke istana harem saja…”
“Tidak bisa permaisuri yang pertama,” Dewa menyeringai dengan tatapan menghina.
Nira menatap lantai dengan pasrah, Dia di nikahkan dengan prabu Dewa Putra III sebagai tanda kerajaan Kutai kencana setia kepada kerajaan Dwipa.
Pertempuran kedua negara telah berlangsung lama sejak jaman Prabu Jaya Putra Maharaja.
Dalam pertempuran itu Kakek, Ayah, Paman, Kakak-kakaknya telah tewas jadi korban Prabu Jaya Putra yang memang sangat sakti.
Sepuluh tahun lalu tepat setahun sebelum meninggal karena sakit jantung kerajaan Kutai Kencana kalah.
Tiga tahun kemudian kakaknya yang kini adalah raja Kutai Kencana terpaksa menikahkan dia dengan prabu Dewa Putra III.
Sejak mereka bertemu dia sudah menunjukan rasa bencinya kepada putra pembunuh keluarganya. Entah kenapa Dewa pun juga menatap sinis ke dirinya.
Di awal pernikahan tidak ada hubungan suami istri di antara mereka yang berlangsung sampai saat ini
Dewa memiliki banyak selir karena dia adalah raja, Berbagai putri kerajaan lain hingga putri pejabat.
Sampai upeti khusus dari berbagai daerah mengiriminya wanita cantik untuk menjadi selir Dewa.
Dewa kini berjalan ke kamarnya sekarang, Dia hendak pergi mandi. Setelah menempuh perjalanan sehari semalam dari gunung sunyi tentunya dia sangat berdebu.
Di kamar dia di sambut Ratih, Ini adalah pengasuh dia dari sejak usia 2 tahun. Saat itu Ratih masih berusia 12 tahun. Ratih ibaratkan adalah kakak, Ibu dan cinta pertama Dewa.
Saat usia dia 12 tahun dia menyadari kalau dia tertarik dengan Ratih yang berusia 10 tahun di atas dia. Ratih cantik tentunya dia yang puber pertama saat itu menjadikan Ratih fantasinya.
Ratih ini satu-satunya perempuan yang selalu mengikuti dia. Di gunung sunyi pun dia pasti ada, Ikut kesana.
Bahkan Ratih ikut belajar ilmu kanuragan. Walau tidak serius setidaknya jurus sembilan matahari. Sudah dia kuasai sampai tingkat dua.
Tetapi sebelum Dewa kembali ke istana Ratih akan duluan pulang untuk memastikan semua fasilitas telah di siapkan dengan baik untuk prabu Dewa kembali.
Ratih berjalan ke arah Dewa, Tanpa malu dan sungkan melepas ikatan baju dia satu persatu.
Kini Dewa telah bugil di depan Ratih. Ratih menatap kesal ke dede Dewa yang sudah berdiri tegak.
“Beraninya bangun.” Ratih pun menyentil keras dede Dewa.
“Aoowwww,” Dewa meringis kesakitan, Tetapi dia membiarkan Ratih menyentil keras tadi padahal muda saja dia menyelamatkan dedenya dari sentilan Ratih.
Ratih mendorong Dewa ke dalam kamar mandi. Air hangat kini telah ada di sebuah bak kayu bulat besar yang telah di siapkan Ratih.
Dewa pun mulai di gosok badannya oleh Ratih dengan batu apung. Berapa minyak tumbuhan juga di gosokan ke badan Dewa.
Sekarang ini prabu Dewa Putra III tidak akan kembali lagi ke gunung sunyi. Dia akan menjadi penghuni tetap istana dia.
Selain istana utama ini setidaknya dia punya 20 istana kecil di berbagai daerah.
Dewa kini berada di kamarnya setelah di mandikan Ratih. Dia duduk di kursi kayu panjang di tutup kain berisikan kapas.
“Apa Ibu akan ijinkan aku keluar dari istana…”
Dewa memandang Ratih yang sekarang duduk di depan dia.
“Aku tidak yakin itu Dewa.”
Ratih juga ragu apa ibu suri akan memberikan ijin ke Dewa, Kalaupun kelaur dengan pengawalan dan semua area yang di datangi Prabu Dewa akan di kosongkan.
Ratih jika tidak ada orang akan memanggil nama saja.
“Kamu panggilkan Nira ya.” Dewa memintah Ratih memanggilkan permaisurinya.
Ratih tampak ragu, Katanya.”Apa kamu akan teruskan sandiwara kalian?”
Dewa diam saja, Melihat Dewa tidak mau menjawab, Ratih pun memanggil Nira. Tidak lama Nira telah datang berdiri di hadapan Dewa. Mereka hanya berdua sekarang ini.
Nira menatap ketakutan suaminya itu, Pikiran dia tetap negatif terhadap Dewa. Dewa menyeringai melihat Nira ketakutan.
“Tidak usah takut begitu, Aku Tidak tertarik sama wanita yang tidak mau denganku.” Dewa menenangkan Nira.
Pernikahan ini setidaknya sudah 6 tahun tetapi mereka tidak melakukan apa-apa selama ini.
Nira yang membenci Dewa tidak mau melayani Dewa. Dewa sendiri tidak tertarik dengan istri yang punya keingginan membunuhnya ini.
Jadi mereka sekarang ini berdua hanya untuk menutupi kepalsuan mereka dari ibu suri.
Sampai kapan? Karena ibu suri tampaknya sudah mulai kehabisan kesabaran Nira tidak segera memberinya cucu.
Biasa mereka hanya bertemu setahun 1-2X tetapi jika Dewa kini sudah kembali menjadi penghuni tetap istana, Maka tuntutan atas dirinya memiliki anak dari permaisuri akan meningkat.
Tantangan Bertarung
Kembali ke saat ini, Setahun setelah kejadian Dewa kembali ke istana. Sekarang ini. Dewa yang kini julukannya oleh masyarakat kota perbatasan ini “si gembel sakti” menantu Diro Jayadi Jenderal selatan yang gagah perkasa.
Dewa sekarang ini tinggal di rumah keluarga Diro Jayadi di selatan kerajaannya. Di kota perbatasan yang cukup besar dengan benteng-benteng tampak menjulang tinggi di perbatasan kerajaan.
Lina istrinya tidak mengijinkannya Dewa makan bersama di meja keluarga Jayadi, Tidak jadi masalah. Karena dapur berisikan makanan yang banyak, Bisa di datangi langsung olehnya.
“Dewa ini kita lagi masak rusa kamu mau?” Seorang koki langsung menawari rusa panggang ketika Dewa menyentuh lantai dapur Diro.
Berbeda dengan keluarga Jayadi yang memusuhi dia, Sebaliknya para karyawan Diro malah sangat ramah dengan Dewa.
Ya mungkin semacam perlawanan ketimpangan sosial yang mereka rasakan. Dewa yang di pikir mereka seorang jelata seperti mereka ini menjadi mantu Diro Jayadi bangsawan ningrat kaya raya dan seorang Jenderal, Mereka semua bangga dengan Dewa tentunya.
“Pahanya buah aku satu ya Susno,” Dewa menyambut tawaran koki yang bernama Susno itu. Tidak pakai lama paha rusa itu sudah di tangan Dewa sekarang.
Segera saja Dewa menikmati daging rusa muda yang baru matang itu. Rasanya sangat enak apalagi perutnya Dewa sedang lapar, Dewa segera saja memakannya sampai habis. Hanya sisa tulangnya saja.
Tulang itu yang kemudian di lempar Dewa ke penghuni dapur, Seekor anjing hitam yang sudah tua. Anjing itu menyambutnya dengan riang,
"Semoga nasibku sudah tua nanti tidak seperti kamu anjing hitam,"Guman Dewa merasa kasihan dengan anjing tua itu.
Sementara itu Suroso mengirim rusa panggang tadi ke ruang makan, Diro tidak akan bisa apa-apa jika nanti ini rusa sampai atas mendapati hilang satu pahanya. Dia tau pasti ulah Dewa menantu dia.
Dan benar saja sekitar berapa waktu kemudian, Ketika Diro di ruang makan bersama istrinya dan anak dia Lina serta berapa putra dia lainnya yang adalah kakak Lina dan istri-istri putranya cuma bisa menatap pasrah rusa di depan mereka yang tidak memiliki paha.
“Ayah sampai kapan gembel itu mengacak-acak rumah kita.”Geram Jaya kakak tertua Lina. Dia adalah jenderal muda di pasukan selatan ini. Ilmunya cukup tinggi setidaknya setingkat mendekati Wisana.
“Kalian ada yang mampu mengusir atau membunuh dia dalam pertarungan satu lawan satu?” Diro tampak dingin mendengar perkataan anaknya.
Percuma marah-marah. Masakan Diro harus mengeroyok Dewa, Harga dirinya akan rusak karena itu, Kehormatan di atas segalanya buat Diro.
Kini mereka semua diam, Mereka mulai makan dengan tidak berselera, Lina terutama. Sejak dia menikah tidak dapat lagi dia bertemu Wisana sesuka hati. Karena dia sudah berstatus istri Dewa,
Kini Lina hanya dapat bertemu Wisana secara sembunyi-sembunyi karena dia sudah menikah, Itu pun tidak boleh ketauan orang lain.
Ayahnya juga akan marah jika tau dia masih menemui Wisana. Biasa dengan alesan klasik kehormatan dirinya sebagai Jenderal selatan.
Wisana sendiri masih belum kembali ke ibukota sejak ke kalahan dia. DIa diam-diam masih ada di kota perbatasan selatan ini.
“Kita bayar orang saja, Yang kita tau sangat sakti. Bagaimana?” Lina mengusulkan membayar pendekar tanpa tanding untuk mengalahkan Dewa. Menyingkirkan tepatnya.
Pada jaman ini sudah wajar jika ada pertarungan dua pendekar, Itu tidak melanggar hukum jika sampai salah satu tewas dalam pertarungan.
“Ide bagus,” Setuju Jaya mendengar usul Lina itu, Semua berpandangan dengan mata berkilat. Mungkin ini cara terbaik untuk menyingkirkan Dewa pikir mereka ini.
“Siapa orangnya?”Diro juga memandang baik usul ini. Tetapi siapa yang di kira sanggup untuk melakukan Dewa itu. Tidak akan banyak, Mungkin hanya tua-tua dan maha guru perdepokan saja yang bisa.
“Bagaimana dengan gagak hitam?”Jaya mengusulkan nama julukan seseorang.
“Kalau menemui dia bisa-bisa kita tidak akan pulang selamat.”Diro tampak tidak setuju, Gagak hitam adalah ketua perompak gunung kenari. Musuh negara yang ebrarti musuh dia.
Perompak yang sangat kejam dan sakti. Kanon dia tidak dapat di bunuh karena memiliki ilmu rawa rontek.
Ajian sakti ilmu iblis yang sangat langka dan membuat pemakainya tidak akan mati sekalipun di belah-belah menjadi banyak bagian sekalipun.
“Aku mau Dewa di kalahkan saja, Supaya dia bisa di usir. Jangan di bunuh, Kalau Gagak hitam pasti akan membunuh Dewa,”Lina malah keberatan jika gagak hitam yang di panggil. Bisa-bisa Dewa di bunuh Gagak hitam nanti.
Selain itu jika mereka menemui gagak hitam, Bisa-bisa mereka mala di bunuh karena mereka ini secara teknis berseberangan.
“Aduh kamu gimana ya? Kalau menyingkirkan Dewa ya harus membunuh dia.”Kesal Jaya kakaknya itu, Lina ini setengah-setengah tidak jelas pikir Jaya.
“Kalau tidak kita bayar maha guru sakti untuk mengalahkan dia, Jika dia kalah dia harus pergi mengasingkan diri ke mana gitu..”Lina menjelaskan niat dia sebenarnya, Bukan untuk membunuh Dewa.
“Tetap saja kamu istrinya,”Jaya tersenyum meledek, Ide Lina ini aneh. Dia tidak akan terbebas dengan kekalahan Dewa.
“Nanti setelah dia pergi, Akan kugugat cerai dengan alasan yang mungkin bisa di terima…”Lina tampak kesal di ledek kakaknya Jaya, Tapi dia memang harus terbebas dari Dewa ini.
Tiba-tiba beberapa prajurit penjaga datang melapor, Mereka tampak berlari-lari untuk menghadap Diro.
“Jenderal di luar ada pendekar entah siapa menantang Dewa,”Lapor prajurit yang datang itu dengan nafas masih tersenggal=senggal karena berlari sangat kencang.
“O ya.. Suruh dia tunggu,”Diro malah tampak senang ada orang yang menantang Dewa, Semoga saja orang sakti.
“Siapa itu yang menantang?”Lina berbisik ke kakak keduanya yang bernama Tiro yang duduk di sebelah dia.
“Moga-moga saja sakti.”Tiro tampak berharap jika yang menantang itu sakti. Segera masalah Dewa beres dengan sendirinya.
“Panggil Dewa. Bilang ada yang menantang dia,”Jaya menyuruh prajurit yang datang itu mencari Dewa,
“Baik Tuan,” Prajurit penajag itu segera kembali berlari, Kali ini untuk mencari Dewa. Seharusnya tidak jauh-jauh dari dapur pikir penajaga itu.
Mereka semua, Diro dengan tiga anak lali-lakinya bersama Lina segera ke luar rumah menemui siapa yang menantang Dewa.
Mereka semua terkesiap, Karena yang berdiri di sina sosok yang mereka bicarakan tadi, Gagak hitam. Dia datang sendirian ke depan rumah Diro Jayadi tanpa anak buahnya.
Gagak hitam ini umurnya tidak jelas, Mungkin 40 tahun, Badannya hitam legam dengan perawakan gempal berotot. Rambutnya hitam panjang di biarkan terurai berantakan tambah membuat dia tampak seram angker.
Sejatinya mereka adalah musuh besar, Karena Diro salah satu tugasnya adalah menangkap Gagak hitam. Diro mengela nafas, Kenapa bisa seberuntung ini. Katanya kemudian dengan nada senang.”Karena ini urusan pendekar, Untuk urusan lain kita kesampingkan dulu.”
Bukannya seharusnya Diro ini marah melihat buronan pemerintah, Ini malah senang.
Jaya tersenyum penuh kemenangan, Cih tidak usah bersusah payah. Gagak hitam sendiri yang mencari Dewa, Dosa Dewa ini pasti banyak bisa seapes ini. Sekarang ini Jaya yakin Dewa akan terbunuh oleh Gagak hitam. Lawan yang sakti mandaraguna ini.
Hanya Lina tampak kecewa, Jelas dia mau di ceraikan Dewa tapi dia tidak berharap jika Dewa terbunuh. Bukankah itu terlalu kejam? Buat Lina si itu kejam sekali.
Dewa yang di cari gagak hitam muncul di pintu rumah Diro, Dia hanya menyeringai melihat gagak hitam ini.
Kata Dewa meledek songong,”Ini orang gila dari mana nantang aku? Cuma semut mau macam-macam.”
Diro tertawa dalam hatinya, Jika bersikap seperti ini Dewa akan pasti di bunuh oleh Gagak hitam yang sakti ini. Masalah dia punya menantu kayak begini akan beres dengan sendirinya.
Menolak Bertarung
Gagak hitam ini datang mencari pemuda bernama Dewa tentunya ada sebabnya, tentunya dia bukan orang tiada kerjaan bela-belain datang dari markasnya di gunung kenari yang jaraknya sehari semalam dari kota perbatasan ini. Untuk menantang bertarung pemuda gembel yang tidak terkenal.
Gagak hitam ini mau membunuh Dewa dengan mengajaknya untuk berduel. Pembunuhan yang secara hukum legal dan membuat dia bisa keluar masuk kota perbatasan ini dengan bebas, Untuk dirinya yang buronan pemerintah. Rencana jenius yang seharusnya sempurna.
Bayarannya kepala pemuda bernama Dewa ini besar sekali, Gagak hitam di janjikan 1000 keping emas untuk kepala pemuda bernama Dewa ini. Tentunya Gagak hitam mau jika tawarannya semahal itu, Dia yakin ini uang gampang yang akan jadi miliknya.
“Aku tantang kamu gembel, Ayo kita bertarung,”Gagak hitam tampak marah. Dia kesal di bilang gila oleh pemuda gembel bernama Dewa ini.
Pikir Gagagk hitam keheranan. Ini menantu Diro? Baju saja kusam seperti gembel. Yang membayar dia itu sudah menyerahkan 100 keping emas buatnya, Berarti serius. Sehebat apa pemuda ini? Aneh juga dia di suruh membunuh pemuda yang tampak tidak meyakinkan ini dengan bayaran besar, Agak janggal juga.
“Kenapa aku harus mau bertarung denganmu?”Dewa menyeringai seakan mengerti, Jika dia mengiyakan maka Gagak hitam jadi berhak ada di kota ini. Jika tidak, Gagak hitam tidak lebih dari hanya penjahat buronan. Yang datang masuk ke kota perbatasan ini saja.
Diro dan Jaya berpandangan kecewa melihata gelagat Dewa akan menolak tantangan Gagak hitam, Kurang ajar si Dewa ini, pikir mereka berdua. Kini jika sampai Dewa menolak mereka mau tidak mau harus meringkus Gagak hitam.
“Surat tantangannya tidak ada, Dia malah datang begitu saja. Kalian ini melihat penjahat masak diam saja.”Dewa menyeringai lagi dengan muka menahan tawa. Kayaknya Dewa ini menikmati mengerjai mertuanya Jenderal Diro. Diro dan Jaya kini menatapnya dengan kesal ke Dewa.
“Kamu lawanlah dia, Kalau kamu bisa membunuh dia. Kepala gagak hitam itu bernilai 100 keping emas.”Diro menatap kesal menantunya ini, Dia berusaha membujuk Dewa dengan iming-img uang agar mau untuk menghadapi Gagak Hitam.
“Aku tidak butuh uang, Makanan saja banyak di rumahmu…”Dewa ketawa ngakak, Untuk apa uang pikir Dewa.
Babi benar ini orang, Geram Diro yang mendengar alasan Dewa barusan. Malah sekarang Diro harus bertarung dengan Gagak hitam kaalu begini.
“Kamu pengecut ya?”Geram Gagak Hitam menunjuk Dewa, Gagak hitam sangat kesal Dewa malah menolak tantangan dia. Rencana dia jadi rusak.
“Hei kalian ini, Itu buronan Gagak Hitam. Cepat ringkus… Tidak malu nanti sama Raja dan rakyat? Jika kalian tidak meringkus buronan gagak hitam ini.”Dewa tersenyum ketika mengatakan itu. Dia akan memaksa Diro bertarung dengan Gagak hitam.
Langsung berhasil, Diro yang selalu menjaga nama baiknya segera mengepung Gagak Hitam bersama para penjaga rumahnya ini. Tetapi tentunya para penjaga-penjaga ini menjaga jarak mereka dari Gagak hitam, Tampaknya mereka takut juga karena jumlah mereka tidak banyak .
“Sial kau Dewa,”kata Jaya yang segera mengikuti Ayahnya untuk mengepung Gagak hitam. Kini Diro dan ketiga putranya yaitu Jaya, Tiro dan Wisnu. Mereka semua segera mengepung Gagak Hitam.
“Kalian mau mengeroyoku? Apa kalian sanggup?”Gagak hitam tetap merasa juwana dengan ajian rawa ronteknya. Lawannya memang sakti tetapi tidak akan bisa membunuh dia.
Jaya duluan membuka serangan, Dia melompat menyerang dengan jurus Bayangan kembar, Kedua adiknya juga merangsek maju. Sama mereka juga menggunakan jurus yang sama. Bayangan kembar. Serentak mereka tampak ada dua per orang.
Serangan beruntun pukulan mematikan dari ketiga putra Diro ini sungguh berbahaya sebenarnya. Suara ledakan tenaga dalam jelas terdengar setiap pukulan mereka beradu dengan Gagak hitam.
Tetapi Gagak Hitam memang sakti sehingga bisa menandigi jurus mereka ini, Dia menggunakan jurus tinju 1000 bayangan, Dirinya jadi banyak. Diro pun mau tidak mau kini ikut menyerang, Menggunakan jurus gelang-gelang dari ajian serat jiwa.
Pukulan gelang api yang dasyat dari jurus gelang-gelang segera mengarah ke Gagak Hitam yang asli. Gagak hitam lumayan terdesak di serang tiga orang dengan jurus bayang kembar dan Diro seorang yang menggunakan jurus gelang-gelang.
Tampaknya Diro dan anak-anaknya tidak menghadapi masalah untuk mencari Gagak hitam yang asli, Bukan bayangannya.
“Semangat!”Dewa yang kini duduk di tangga berteriak sambil memakan mangga yang baru saja di ambilnya dari pohonnya langsung di depan rumah Diro.
Lina jadi tampak kesal melihat Dewa yang tidak membantu ayahnya meringkus Gagak Hitam. Dia menghunus pedangnya untuk segera membantu ayahnya.
Diro menyerang ke kepala Gagak hitam. Serangan itu berhasil di tahan oleh Gagak hitam. Tetapi tapak Jaya berhasil mendarat di dada Gagak hitam. Gagak segera terpental mundur setidaknya 5 depa.
Langsung ada Tiro dan Wisnu yang berniat mebokong Gagak sudah menunggunya. Tetapi pukulan dari Tiro dan Wisnu masih sempat di tahan Gagak Hitam.
Tetapi Diro segera sudah di depan Gagak hitam lagi, Karena perhatian Gagak hitam teralihkan maka pukulan maut jurus gelang-gelang mendarat telak di dada Gagak Hitam. Dia terpental jungkir balik melewati Tiro dan Wisnu yang tadi membokong dia.
Lina kini yang ikutan menyerang sudah memburuhnya dengan berapa sabetan pedang, Tebasan yang tepat sasaran, Gagak Hitam menjadi terbelah tiga. Tetapi Lina malah menjauh dari potongan tubuh Gagak Hitam yang tidak bersimbah darah itu. Misterius sekali melihatnya.
Semua di situ sudah tau jika Gagak Hitam ini punya ajian rawa rontek, Segera tubuh Gagak hitam kembali bersatu. Dia sehat seperti sedia kala sekaan tidak pernah terbelah tiga.
Semua di sana baru pernah melihat ajian ini, Selama ini hanya mendengar rumornya saja. Memang ternyata mengerikan jurus itu. Karena pemiliknya menjadi tidak dapat mati.
“Kamu istri Dewa ya, Anak Diro?”Gagak Hitam menatap marah Lina yang memotong dia menjadi tiga barusan.
Tidak ada waktu berleha-leha tetnunya buah diro dan anaknya, Gagak Hitam ini harus terus di serang, Mereka berharap dapat membunuh Gagak Hitam. Bagaimana caranya? Entah juga. Yang jelas Diro dan anaknya tampak kebingungan.
Ajian gelang-gelang kembali di rapal oleh Diro, Pukulannya kali ini ke arah dada Gagak hitam. Tapi Gagak hitam sudah tidak mau lagi jadi bulan-bulanan mereka ini. Dia merapal ajian segara geni.
Kedua jurus api itu saling beradu, Mereka bertukar pukulan dengan dasyat selama berapa jurus. Segera terlihat stamina dan tenaga dalam gagak hitam jauh di atas Diro. Tetapi Diro tentunya mendapat bantuan dari ketiga putranya dan juga dari Lina putrinya.
Gagak hitam tampak marah sekali sekarang ini, Dia tidak berniat bermain-main lagi. Gagak hitam mengerahkan semua kemampuan dia. Ajaib Gagak hitam yang seorang diri mampu menggempur balik. Yang terdesak sekarang Diro dan anak-anaknya.
Sebuah pukulan segara geni berhasil mendarat di dada Tiro, Tiro terpental dengan darah segar keluar dari mulutnya, Para pengawalnya segera menolong Tiro, Tampaknya Tiro sudah tidak akan mungkin membantu Diro ayahnya lagi meringkus Gagak Hitam, Karena dia menderita luka dalam.
Melihat kondisi mereka yang terdesak, Semua anaknya juga kini merapal jurus gelang gelang, tetapi jelas terlihat jurus gelang-gelang Jaya dan Wisnu tidak sehebat Diro ayahnya.
Diro yang lebih hebat saja tidak mampu menghadapi ajian segara geni Gagak hitam, Tetapi tentunya karena mereka bertiga harapannya ya bisa setidaknya menandingi Gagak hitam ini. Sampai kapan?
"Kalian sudah keroyokan lemah pula, haha."Gagak hitam jelas sudah menyadari level dia lebih dari di atas ketiga orang ini yang masih mengeroyok dia. Bukan tiga deh tapi empat, Anak gadis Diro kan juga ikutan menyerang dia.
Ketika Jaya hendak menyarangkan pukulan dia ke kepala Gagak hitam, Gagak hitam menangkap tangan Jaya. Segera kedua jurus api itu saling beradu, Sesaat kedua tangan saling cengkram, Terlihat api di tangan Gagak hitam membakar tangan Jaya.
"Tolong!"Teriak Jaya panik melihat dirinya kalah mengadu tenaga dalam. Diro menyerang muka gagak hitam dengan panik untuk menyelamatkan anaknya, Terpaksa mau tidak mau gagak hitam melepaskan Jaya menangkis serangan Diro.
Jaya yang terlepas dari cengkraman Gagak hitam, Segera mengerahkan semua tenaga dalam dia berusaha mengusir tenaga dan api segara geni yang membakar tangannya.
Wisnu adiknya yang terkecil berusaha membantu dengan mengirim tenaga dalam melalui punggung Jaya kakaknya. Tidak bisa di bilang berhasil api segara Geni masih membakar tangan Jaya.
Sementara itu Diro sendirian menghadapi Gagak hitam, Dalam 3 jurus saja segera Diro terdesak, Melihat itu Lina melompat menyerang Gagak hitam lagi.
Tetapi jika di banding putra-putra Diro jelas diayang terlemah walau di tangannya ada pedang. Yang jelas tidak terlalu banyak membantu dia dengan musuh memiliki ajian rawa rontek seperti ini.
"Putrimu ini akan kujadikan wanita ku, Cantik juga... Lumayan,"Ketawa Gagak hitam dengan senyum mesum yang melihat Lina menyerbunya, Pedang Lina di tampiknya dengan tangan kosong,
Kini kedua tangannya mengarah ke dada Lina, Lina berusaha menghindar tetapi kecepatan dia jelas kalah jauh. Diro yang kehabisan nafas juga tampak putus asa tidak dapat menolong Lina.
Sebelum tangan Gagak hitam mengenai Lina, Dia merasakan bahaya, Sesuatu mengarah ke kepala dia. Gagak hitam reflek segera menangkis dengan tangannya tetapi tidak kena. Sesuatu itu menghantam mukanya telak sekali.
Gagak hitam terpelanting akibat benda itu setidaknya 15 depa jaunya, Kuat sekali!!! Senjata rahasia apa yang mengenai mukanya? Dan siapa yang menyerang dia?
Di lantai Gagak hitam melihat senjata rahasia itu dengan tidak percaya, Astaga... Hanya sebuah biji mangga. Apa?? Dia kaget sekali.
Di lihatnya arah datangnya serangan, Tampak ada Dewa yang kini berdiri sambil memasang muka menyeringai menyebalkannya lagi, Katanya dengan menghina Gagak hitam."Oke monyet hitam, Kita sekarang bertarung, Aku terima tantanganmu."
Pamer Ajian Serat Jiwa Sejati
Gagak hitam menatap nanar ke Dewa yang sekarang ini sudah mau bertarung dengan dirinya, Tetapi dia sekarang menjadi gentar di buatnya oleh karena serangan Dewa barusan. Padahal Gagak hitam tadinya semangat sekali menantang Dewa demi uang senilai 1000 keping emas yang di janjikan ke dia.
Gagak hitam sudah malang melintang di dunia persilatan, Belum pernah di lihatnya ada orang bisa merubah biji mangga menjadi sebuah serangan seperti tadi, Setidaknya baru sekarang ini dia tau. Asem gembel yang di incarnya ternyatas sangat sakti ternyata. Apes ini... pikir Gagak hitam dengan takut.
Lina menatap Dewa berterima kasih karena menyelamatkan dia barusan, Tetapi terlalu gengsi untuk mengatakannya, Hanya matanya saja yang memandang Dewa dengan tatapan berbeda sekarang ini di banding biasanya.
Jenderal Diro dan ketiga putranya tampak lega melihat Dewa turun tangan, Jika tidak mereka akan segera terbunuh oleh Gagak hitam. Melihat kondisi pertarungan mereka tadi barusan.
“Tunggu dulu, Tadi kan kamu sudah menolak melawan aku, Sekarang aku sudah kecapaian melawan orang-orang ini. Kamu curang ya....” Gagak hitam beralesan, Untuk menghindari pertarungan dengan Dewa si pemuda gembel ini.
“Tetap saja aku akan lawan kamu, Kepalamu 100 keping emas... Buat bayar utang lumayan sekali,”Dewa menyeringai dengan tatapan membunuh. Tidak menyebalkan lagi seringainya. bagi Gagak hitam. Malah justru sekarang ini, Menjadi seringai yang menakutkan sekali buat Gagak hitam.
“Kamu pengecut, Beraninya melawan musuh yang kelelahan,”Gagak hitam mencari alesan, Sekarang ini dia lagi memikirkan rute untuk melarikan diri dari Dewa.
Setidaknya Gagak hitam yakin dengan ilmu meringankan tubuhnya bisa membuat dia lolos dari pemuda gembel bermana Dewa ini. Ilmu meringankan tubuh dia sudah mencapai tingkat pertapa.
Gagak hitam memutuskan kabur saja, Sudah jelas dari biji mangga ilmu Dewa ini terlalu tinggi, Dia melompat dengan sekali hentakan sejauh 25 depa, Sekali lagi dia melompat setidaknya 50 depa, Dia yakin akan bisa lolos dari Dewa.
“Tidak sudi aku melawan kamu, Pemuda gembel…”Ledek Gagak hitam. Dia yakin tidak akan terkejar oleh Dewa.
Tetapi pada lompatan ke tiganya ketika sudah keluar lapangan, Mencapai pepohonan seberang jalan rumah Diro, Dewa sudah ada di depan dia lagi berdiri di atas daun pohon jambu. Menyeringai dengan sangat mengerikan dengan tatapan tajam menusuk langsung ke jiwa Gagak hitam.
Gagak hitam butuh tiga kali lompatan untuk mencapai dahan itu, Tetapi Dewa yang lebih jauh posisinya cuma sekali saja melompat. Dia sudah di depan Gagak hitam.
Melihat itu Diro, Putra-putrinya sampai prajurit dan penduduk yang menonton membuka mulutnya lebar-lebar. Ini manusia bukan sih? Apakah Dewa si gembel ini sesuai namany? Bukan seorang manusia tetapi dewa? Bagaimana mungkin ada manusia sehebat ini?
“Enak aja mau kabur, Kepalamu itu 100 keping emas.”
Gagak hitam yang kaget setengah mati. Dia melompat mundur ketakutan, Astaga siapa si pemuda gembel ini? Bahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tahap pertapa itu tidak bisa membuat dia lolos.
Gagak hitam menghadapi Dewa demi 1000 keping emas untuk kepala Dewa, Sekarang Dewa yang malah mau kepala dia, Melihat kemampuannya Dewa jelas level mereka terpisahkan jauh. Setidaknya si Gagak hitam masih berharap dengan ajian rawa ronteknya saja, Bisa untuk menolong dirinya.
“Dewa kamu memang sakti, Tapi kamu akan sia-sia jika mau membunuhku… Aku ada ilmu rawa rontek…”
Gagak hitam berusaha mengintimidasi Dewa agar melepaskannya pergi. Sebab percuma saja membunuh Gagak hitam. Tidak akan mati. Capek saja pada akhirnya.
“Itu banyak pohon, Ku gantung kau di sana sampai kamu mati beneran. Tidak ada tanah untukmu bangkit.”
Dewa mengungkapkan kelemahan ajian iblis rawa rontek, Kelemahan yang belum di ketaui pada jaman ini. Yaitu membuat pemakainnya jangan menyentuh tanah, Sampai mati beneran.
Gagak hitam sekarang ini benar-benar ketakutan. Gila bahkan pemuda gembel ini tau kelemahan ilmunya. Siapa dia?
“Aku ada 20 keping emas, Ambilah tapi lepaskan aku.”Gagak hitam menawarkan uangnya. Dia benar-benar sudah tidak yakin akan sanggup melawan Dewa ini.
“Tidak aku mau kepalamu, 100 keping itu lebih banyak dari 20 keping.”Jelas saja Dewa menolak tawaran Gagak hitam, Siapa juga tau 100 keping lebih dari 20 keping.
“Antar aku keluar kota aku akan bayar 200 keping emas,”Gagak hitam berusaha menawar lagi. Untuk selembar nyawanya ini. Jika Dewa tau kelemahan rawa rontek pasti akan membuat dia terbunuh.
Yang tidak di ketaui Gagak hitam adalah Dewa tidak butuh uang, Dia adalaha Raja negeri ini. Ya ngga ada yang tau si kecuali Dewa sendiri di sini.
“Kalau kamu bayar 3000 keping, Aku lepaskan kamu,”Dewa menyeringai meledek, Dia tau pasti Gagak hitam tidak punya uang segitu.
“AKu bayar, Tetapi lepaskan aku…”Ternyata Gagak hitam punya uang segitu banyak? Tetapi Dewa tidak percaya. Tetapi Gagak hitam memang punya 3000 keping, Itu seluruh simpenan dia di gunung kenari.
Apes katanya dalam hati, Mau cari 1000 keping malah hilang seluruh harta, Tetapi lebih baik dari pada nyawanya hilang sekarang ini.
“Jangan lepaskan dia,”Diro marah karena di lihatnya Dewa ini tampak tertarik dengan tawaran Gagak hitam, Dewa tertarik bukan uangnya tetapi kepingin tau saja, Ini penjahat bisa sekaya itu?
Gagak hitam menatap kesal ke Diro, Tetapi dia tidak berani menyerang Diro karena ada Dewa di depannya saat ini.
“Kupikir-pikir 100 keping cukup, haha”Dewa tertawa ngakak, Gagak hitam tampak frustasi, Ini gembel malah ketawa tidak jelas pikirnya. Apa yang lucu geram Gagak hitam dalam hatinya.
Tau jika Dewa tidak akan melepaskannya, tentunya Gagak hitam tidak mau mati tidak melawan sama sekali, Segera dia merapal Ajian Segara Geninya tingkat tertinggi yang di miliknya.
Dewa melihat tingkat kemampuan gagak hitam merasa kecewa, Belum di lawan saja dia juga sudah tidak berselera.
“Ilmu mu payah sekali, 10 tahun lalu saja aku sudah bisa mengalahkanmu.”Dewa meledek Gagak hitam.
Gagak hitam si percaya saja hinaan itu, Lemparan biji mangga tadi sudah cukup menjadi bukti ke dia tetapi masak Gagak hitam mau begitu saja di penggal tanpa melawan sama sekali.
Gagak hitam melompat ke depan menyerang Dewa, Pukulan segara Geninya yang menampilan tangan berapi mengincar kepala Dewa. Dewa memundurkan dirinya, Pukulan itu tidak mengenainya tetapi energinya masih melaju ke dia.
Energi pukulan itu setidaknya masih dapat melubangi dinding, Dan telak kena muka Dewa, Tetapi tidak menimbulkan efek apapun ke Dewa. Gagak hitam tidak kaget melihat itu, Dia sudah bisa memperkirakan kemampuan Dewa ini sangat tinggi.
“Diro kamu tadi bikin malu ajian serat jiwa saja, Begini harusnya jurus gelang-gelang itu.”Dewa tertawa menertawai mertuanya Jenderal Diro.
“Kamu jangan banyak omong,”Kesal Diro, Dia merasa ilmunya sudah layak sekalipun dia kalah dari Gagak hitam.
Dewa kini segera merapal jurus gelang-gelang, Kalau tadi gelang-gelang api hanya ada di tangan Diro. Jurus gelang-gelang Dewa sungguh mengerikan.
Gelang-gelang api sangat banyak berputar di seluruh tubuhnya. Membuat tubuh Dewa seperti nyala api. Benda-benda segera terbakar yang berada dalam ajrak 5 depa darinya. tetapi anehnya bajunya tidak terbakar seperti di lindungi energi dia.
Udara panas bisa di rasakan semua orang di sana. Gagak hitam tampak putus asa melihat itu. Ternyata jauh lebih sakti lagi dari perkiraan Gagak hitam. Ini si musuh yang tidak akan bisa di lawan oleh dia.
Diro melihat jurus gelang-gelang Dewa berlutut tidak percaya, Gurunya saja dulu tidak pernah bisa menampilkan kekuatan asli ajian serat jiwa seperti pemuda gembel di depannya ini yang tidak lain adalah Dewa, Menantu dia.
Dalam merapal ilmu api jelas Dewa lebih kuat berkali-kali lipat dari pada ilmu esnya. Orang biasa hanya dapat memilih salah satu, Ke ilmu api atau es, Bukan ke duanya. Tetapi Dewa bisa semuanya.
Description: Pendekar sakti mandraguna yang bosen di istananya, Dia adalah Raja Dwipa Prabu Dewa Putra yang mencari kesenangan dan lawan dengan menjadi rakyat biasa. Ini adalah kisah jalan pendekar yang mencari lawan setara dan pencarian cinta sejatinya.
|
Title: Rumah Siapa
Category: Cerita Pendek
Text:
Rumah Siapa
"Dipisahkan aja dulu yang pecahan seratus ribuan, lima puluh ribuan, sama dua puluh ribuan. Taruh di sebelah sini. Sisanya taruh di sebelah sana," ujar pria berumur 38 tahun itu.
"Oh iya.., sama kaya minggu lalu kan?" sahut si pria muda di depannya. Ia sedang merapikan kantong-kantong kain berisi uang di atas kursi yang terletak di belakang meja. Usianya masih muda. Baru menginjak 24 di tahun ini.
"Nanti diatur kaya minggu lalu ya. Hehe." ujar si bapak tadi sambil merapikan kemeja dan jasnya. Senyum sumringahnya merekah.
Ia lalu memandang ke arah pintu, lalu kembali menoleh ke arah kursi tempat kantong-kantong uang tadi. Mengukur kira-kira jika pintu itu dibuka apakah orang yang datang bisa melihat atau tidak apa yang sedang dikerjakan di atas kursi tersebut.
"Amaan.." sahut si anak muda sambil memberikan acungan jempolnya. "Tapi jangan lupa untuk saya ya? Hehe" sambungnya lagi.
"Beres. Kamu gak usah khawatir." ujar si bapak sambil menepuk-nepuk pundak pria muda tadi.
Di ruangan kecil itu hanya ada mereka berdua. Ruang ini memang jarang dipakai. Apalagi karena ruangannya kecil. Hanya ada satu meja dan lima kursi. Biasanya ruang ini hanya digunakan untuk rapat-rapat kecil.
Tok tok! Pintu ruangan diketuk dari luar. Anak muda tadi buru-buru mendorong kursi ke bawah meja. Kantong-kantong uang yang sudah kosong tersusun rapi di atas meja.
"Eh, Pak Pendeta, maaf, itu jemaat sudah menunggu." ujar seorang wanita yang masuk dari balik pintu. Senyum manisnya terpasang tulus. Setelan bajunya sangat rapi, tidak kalah dari pegawai-pegawai swasta di kawasan Sudirman.
"Oh iya..iya. Ini saya mau ke sana kok," Pak Pendeta merapikan ujung kemejanya sambil berjalan ke arah pintu. Si anak mudah tetap duduk manis di mejanya, pura-pura sibuk membolak-balik lembaran Alkitab dan buku catatan ibadah di depannya.
Tepat ketika Pak Pendeta hendak menutup pintu dari luar, ia menganggukkan kepalanya ke arah si anak muda. Si anak muda balas mengangguk sambil senyum sumringah.
***
Seorang ibu berumur 50 tahunan duduk di baris ketiga bangku gereja. Dari jauh ia melihat Pak Pendeta sedang diarahkan oleh seorang wanita untuk berjalan ke depan altar.
"Lihat itu gayanya. Sok suci. Pendeta katanya, tapi saya tahu persis, makan duit haram dia itu! Duit jemaat. Besar dosanya.. Di rumah Tuhan kaya gitu kelakuannya. Hih..!" ujar ibu ini ke pria muda di sebelahnya sambil memonyongkan bibirnya ke arah Pak Pendeta.
Pria muda di sebelahnya itu hanya menoleh sekilas. Ia malas menanggapi. Bukan karena ia tidak setuju pendapat ibu itu. Pada dasarnya pria muda mahasiswa semester satu ini memang malas untuk melakukan apa pun hari ini, termasuk datang ke gereja.
Teman-teman pria muda ini sedang asyik liburan di Puncak sejak Sabtu kemarin. Jika saja orang tuanya tidak melarangnya dengan ancaman mobil bakal ditarik, ia pasti sudah bergabung dengan teman-temannya itu.
Teman-temannya sudah menyewa villa di Puncak, lengkap dengan camilan, berbagai minuman beralkohol, plus wanita-wanita muda yang "diberdayakan" dari lokasi sekitar villa. All-in, istilah mereka. Dari lima kali acara serupa, baru dua kali ia ikut. Ia ketagihan.
Pak Pendeta mendekat ke arah bangku jemaat. Ia membolak balik lembar partitur musik di depannya. Sesekali cahaya lampu kristal gereja memantul dari jam tangannya.
"Nah, tengoklah. Jam tangannya aja merk mahal itu pasti. Mana mungkin Pendeta bisa beli jam tangan mahal kaya gitu, kan?" ujar si ibu itu lagi ke pria muda di sebelahnya. Tetap tidak ada tanggapan dari pria itu. Matanya menerawang, asyik membayangkan kegiatan teman-temannya di Puncak. Sesekali ia menarik celananya yang perlahan terasa semakin menyempit.
Brrrttt... Brrrttt. Ponsel si ibu bergetar di tasnya. Ia segera mengambil ponselnya dari dalam tas. Toh ibadah belum mulai pikirnya.
"Bu, saya sdh transfer 20jt barusan. Jd total dr yg kmrn 60jt. Tolong cek y." isi pesan di ponselnya.
Tak lama sebuah pesan SMS dari bank masuk ke ponselnya bersamaan dengan suara organ yang memainkan beberapa potongan lagu pujian. Si ibu melirik ke arah organis. Oh, cuma tes suara organ saja ternyata. Ibadah belum dimulai.
"Iy, sdh msk duitnya. Sip." balas ibu itu.
Brrrt.. Brrrt. Ponselnya bergetar lagi.
"Tp pasti bs msk kan Bu? Jgn sampe gk loh. Biasa msk PNS gk sampe segitu biayanya. Ini sy ksh lebih loh Bu" tulis pesan itu.
Si ibu segera membalas pesan itu pendek. "Udh. Tenang aj."
Lalu ia mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Siapa?" tanya suami si ibu yang duduk di sebelah kanannya. Sedari tadi dia sudah penasaran sebenarnya.
"Order baru, Pa. Enam puluh dia kasih." bisik si ibu. Sejumput senyum terbentuk di sudut bibirnya.
"Emang masih bisa kita masukin? Kan paling cuma empat kursi yang bisa kita pegang" si suami bingung.
"Ya biarin aja. Ini orang ke sebelas yang transfer. Entar empat yang ngasih paling mahal aja yang kita masukin." jawabnya santai.
"Hah? Sebelas?! Lah terus ntar sisanya yang gak masuk gimana? Dibalikin duitnya? Bikin repot aja." si suami mendengus kesal.
"Yee.. Ya enggaklah. Biarkan aja." si ibu cuek. Ia membuang mukanya ke arah altar. Sang Pendeta kini sibuk membolak-balik buku agenda ibadah.
Kini si suami mulai tidak nyaman. Ia mengarahkan badannya ke istrinya. "Biarin gimana? Nanti kalau mereka nuntut gini gitu gimana?!" bisiknya sedikit keras.
"Ya ampun... Tenang ajalah. Gak bakal mereka berani mau nuntut-nuntut. Kan mereka tahu, tinggi jabatanmu di Polda, Pa." jawab si ibu santai sambil merapikan sasak rambutnya yang keras bak kucing mati beku.
Si suami terdiam. Antara kaget tapi sedikit mengamini juga jawaban istrinya.
"Shaloom..! Selamat datang saudaraku yang dikasihi Tuhan..! Selamat datang di rumah Tuhan!" suara Pak Pendeta menggelegar dari loudspeaker yang terpasang di berbagai sudut gereja.
Description: Semua manusia, di mana saja, dengan atribut apa saja, bisa jatuh ke dunia yang sama, dalam wujud yang berbeda.
|
Title: Rempah 25
Category: Novel
Text:
KTN Vs PKM
"kamu bilang tidak terlalu suka masakan berempah ? , Dimana sekarang kamu tinggal ?"
Laki laki tampan yang tak bisa berkata kata akibat ucapan seorang gadis yang menohok hatinya , setelah membanting makanan yang gadis itu berikan padanya sebagai tanda cinta nya
"Okey , kamu nolak aku ? , tapi kamu ngak berhak mencaci sesuatu yang berasal dari negara tempat kamu lahir! , apa ngak boleh seseorang yang hanya bisa masak makanan tradisional ingin menjadi seorang chef? dan bersanding dengan kalian yang maha segalanya!" Mata gadis itu memerah dengan serangkaian bunga di tanganya yang mulai ia remas menjadi gugur berantakan sama seperti hatinya saat ini .
Para murid jurusan Kuliner Tradisional mulai naik pitam melihat bagaimana perlakuan anak Kuliner modern kepada salah satu temanya , dan bentrok antara dua jurusan pun tak dapat dihindari lagi .
~ Rempah 25 ~
Teri adalah seorang perempuan sederhana yang tertarik mempelajari berbagai olahan tradisional dari berbagai daerah di Nusantara , maka dari itu Teri masuk jurusan Tata Boga , Kuliner Tradisional Nusantara di sekolahnya
begitu pula Gaidan remaja lelaki yang kutu buku tapi dia sanggat hobi meracik minuman lezat dari berbagai rempah rempah alami, karena menurut Gaidan, minuman yang terbuat dari rempah atau biasa di sebut jamu itu selain enak juga banyak khasiat nya dan bagus bagi kesehatan
Dan oleh karena itu mereka berdua sama sama berada di jurusan Kuliner Tradisional Nusantara (KTN), selain telah bersahabat sejak lama Teri dan Gaidan juga bertetangga membuat mereka berdua selalu bersama sama hingga saat ini.
Sepintas tentang tempat bersekolah nya Teri dan Gaidan yaitu SMK Haida yang terkenal karena sudah lama menjadi sekolah pencetak koki koki hebat berbakat, dan juga merupakan sekolah kuliner terbaik di kotanya dengan dua Jurusan kejuruan yang berbeda, keduanya masih seputaran Tata Boga dan Kuliner yaitu jurusan Kuliner Tradisional Nusantara (KTN) dan Jurusan Pendalaman Kuliner Modern ( PKM) , berbeda dengan jurusan masakan Tradisional , Jurusan masakan Western lebih banyak mempelajari berbagai resep dari belahan dunia sedangkan Jurusan masakan Tradisional lebih mendalami masakan dengan rempah yang kuat khas masakan Nusantara , tapi ada perselisihan yang tak terselesaikan dari jaman angkatan terdahulu dari kedua jurusan ini , mereka berlomba untuk menunjukan siapa yang terbaik dari antara dua jurusan mereka masing masing
Bahkan saking seringnya terjadi bentrok , pihak sekolah memisahkan kedua jurusan dengan pagar yang menjulang tinggi berguna sebagai penyekat antara gedung KTN dan gedung PKM , dengan cara tersebut kedua jurusan tidak bisa berinteraksi selain di lapangan upacara pada hari Senin .
Tapi meski begitu Teri sebagai gadis sudah lama memendam perasaan kepada Yudam , siswa terbaik di jurusan PKM dan peraih nilai tertinggi saat Sekolah Menengah Pertamanya intinya Yudam ini kebangaan SMK Haida terutama para guru dan kepala sekolah , dan selalu di puja puja siswi di kedua jurusan.
Dan karena itu hari Senin adalah hari yang selalu di tunggu tunggu oleh Teri dan para siswi di jurusan KTN , karena hanya hari itu mereka bisa melihat si ganteng Yudam secara langsung
Ngomong ngomong tentang perselisihan antara dua jurusan itu sebenernya bukan tanpa alasan , rasa di anak tirikan selalu di rasakan oleh murid jurusan Kuliner Tradisional karena para guru selalu mengagungkan para murid jurusan PKM yang selalu menyabet penghargaan yang mengharumkan nama sekolah di berbagai kompetisi bahkan jumlah murid di jurusan PKM dua kali lipat murid jurusan KTN , bahkan pihak sekolah akan mengadakan demo secara khusus untuk jurusan PKM tanpa mengikut sertakan murid murid di jurusan KTN
Dan itu berhasil menjadi pemicu pertengkaran di kedua jurusan saat ini , ditambah lagi murid jurusan PKM yang rata rata adalah anak dari seseorang atau anak para pejabat dan orang orang kaya kerap kali meremehkan jurusan KTN yang biaya nya lebih rendah dari biaya yang mereka keluarkan bahkan mereka merendahkan jurusan anak jurusan Kuliner Tradisional dengan sebutan
' kumpulan chef kaki lima '
Perbedaan biaya terjadi karena para murid di jurusan Kuliner Modern sering sekali berpergian ke luar negeri hanya untuk mempelajari satu jenis masakan di negara yang mereka kunjungi , sedangkan para murid Kuliner Tradisional lebih sering pergi ke kebun sekolah untuk menanam ataupun memanen berbagai macam rempah rempah untuk praktek , dan juga perbedaan terlihat dari peralatan praktek murid jurusan Kuliner Tradisional masih sanggat sederhana , tidak semodern peralatan para murid di jurusan PKM
Intinya para murid Kuliner Modern berisikan anak anak high yang besar mulut , sedangkan kuliner Tradisional selalu menjadi bahan ejekan para murid Jurusan PKM yang membuat sekolah terasa seperti Medan perang setiap harinya .
****
Hari yang di tunggu tunggu tiba , sekarang adalah hari Senin satu satunya kesempatan bagi para pengemar Yudam dari jurusan Kuliner Tradisional untuk melihat wajah tampan Yudam secara langsung
Teri berlarian dari arah gang menuju sekolahnya dimana di ujung Gang sudah ada Gaidan yang menunggunya untuk berangkat bersama , itu adalah rutinitas mereka dari sejak sekolah dasar
Teri terlihat riang menyeret sepedanya menghampiri Gaidan yang sudah menunggunya dengan sepeda sport hitamnya
"Apa yang kamu pakai di kepalamu itu ? Keliatannya kayak lebah" ucap Gaidan saat Teri sudah berada di depannya , membuat Teri memegang jepit rambut merah jambu di rambutnya
" Ini kupu kupu tau ! Bukan lebah " ucap Teri merenggut kesal membuat Gaidan terkekeh geli dengan sesekali membetulkan letak kacamatanya, karena dari kelas 8 SMP mata Gaidan minus dan mengharuskan dia memakai kacamata
Tanpa mempedulikan Gaidan, Teri mulai menaiki sepedanya dan mengayuhnya dengan riang, dia tak sabar ingin segera sampai di sekolahnya , memang aneh bukan disaat diantara para murid malas mengikuti upacara Teri malah selalu menunggu nunggu hari Senin tiba
"Tunggu !" Gaidan mengayuh sepedanya kencang berusaha menyusul Teri yang membawa sepeda sanggat kencang , Gaidan ini tak punya teman lain selain Teri karena sifatnya yang sudah bergaul membuatnya hampir tak punya teman jika tidak ada Teri, maka dari itu Gaidan selalu menempel kepada Teri .
Saat sudah sampai di sekolah Gaidan melihat Teri berdiri di samping lapangan dengan senyum merekah , membuat Gaidan segera menghampirinya dengan setengah berlari
Bruk
Tanpa sengaja Gaidan menubruk bahu seseorang membuatnya langsung menunduk bersalah
"Maaf" cicit Gaidan , sedangkan orang yang di tabrak malah menginjak kaki Gaidan kesal
"Ngak keliatan ? Padahal mata udah empat juga !!" Ucapan kasar itu di susul gelak tawa dua orang lainya , dia adalah Viola anak jurusan PKM yang terkenal karena berhasil mendapatkan juara pertama kompetisi memasak masakan Jepang di Singapura dan mendapatkan gelar Chef muda , bahkan dia sudah di tawari bekerja di salah satu hotel bintang lima di Singapura untuk menjadi salah satu chefnya , dan itu membuat nya seolah di Awang Awang dan menjadi angkuh serta sombong
"Viola aku ngak sengaja" ucap Gaidan lagi dengan menunduk dalam , melihat itu Teri langsung saja menghampiri Gaidan dan meminta maaf kepada Viola untuk Gaidan , meski tak mau Teri terpaksa melakukanya karena jika sampai masalah ini menjadi rumit Gaidan akan dalam masalah
Teri segera menyeret Gaidan pergi
"Ngapain sih , kok bisa ketemu Viola" cerocos Teri kepada Gaidan , membuat Gaidan hanya diam tak menanggapi
Trenggg trengg trenggg
Suara bel yang menandakan jika upacara akan segera dimulai menyelamatkan Gaidan dari Omelan Teri , karena tak mau terlewatkan untuk melihat Yudam. Teri segera menarik Gaidan untuk segera pergi ke arah lapangan untuk melihat Yudam yang saat ini tengah berlatih untuk menjadi pemimpin upacar
"Liat deh , Yudam ya ampun" jerit beberapa siswi di samping Teri membuat Teri mendelik sebal karenanya
"Ngak usah gitu , lagi pula emangnya Yudam mau sama kamu" ucapan meledek Gaidan membuat Teri hanya memutar bola matanya malas
"Kita liat aja nanti "
Bersambung
Kapulaga
Lebih memilih mendalami masakan Tradisional bukan berarti tidak ingin menambah wawasan , semua itu tentang rasa nyaman.
~Rempah 25
Upacara hari Senin berlangsung tertib , tapi meskipun begitu konsentrasi Teri hanya tertuju kepada Yudam yang terlihat amat sanggat tampan saat wajahnya tersorot sinar matahari pagi ini
Mata Teri tak lepas dari punggung Yudam yang tegap , karena sekarang Yudam sudah berbalik badan membuat Teri hanya bisa melihat punggung tampan nya saja , bahkan tanpa terasa upacara sudah hampir selesai begitu singkat.
"Pengumuman - pengumuman pasukan di istirahat kan" suara protokol upacara terdengar nyaring dari pengeras suara sekolah dan suara serak Yudam yang kini terdengar indah di telinga Teri
"Istirahat di tempat gerak" teriakan Yudam membuat semua murid melipatkan kedua tangannya di punggung mereka , termasuk Teri dan Gaidan juga pastinya
"Tes" suara kepala sekolah mengema di seantero sekolah
"Selamat pagi anak anak , saya selaku kepala sekolah SMK Haida akan menyampaikan beberapa hal , yang menurut saya sanggat patut untuk di banggakan , dimana 10 orang perwakilan dari jurusan Pendalaman Kuliner Modern ( PKM ) akan mengadakan demo tahunan kali ini , jadi bagi para siswa yang lain mohon ikut mendukung kegiatan ini agar berlangsung dengan lancar , sekian mungkin pengumuman dari saya dan untuk nama nama 10 orang perwakilan akan di umumkan di mading sekolah , cukup sekian terimakasih atas perhatiannya" setelah mengucapkan penutupan kepala sekolah pun mengundurkan diri .
Tapi suasana menjadi riuh karena beberapa protes mulai terdengar nyaring dari arah depan maupun belakang
"Kali ini ? Bukanya hampir setiap tahun yang demo itu selalu anak PKM ?" Suara lantang yang menyindir para guru terdengar sanggat jelas , itu adalah suara salah satu murid jurusan KTN yang Teri ketahui bernama Jay
Mendengar itu Teri ikut berpendapat "Kok , kita ngak pernah ada lomba atau apa gitu yang berhubungan dengan sekolah" Teri berbisik kepada Gaidan yang berada di sampingnya , membuat Gaidan hanya mengidikan bahunya tak tahu menahu tentang apa yang di tanyakan oleh Teri
"Sebenarnya kalian orang Indonesia bukan ? Kok yang selalu di agungkan masakan luar doang" teriakan protes mulai terdengar lagi membuat suasana menjadi sedikit ricuh .
"Ya ampun , bukanya ngak bangga sama masakan indo tapi seenggaknya kita harus punya wawasan buat bersaing, bukanya terus terusan masak makanan kampung , semua orang juga udah pada bisa !" suara nyinyir Viola terdengar.
memang Viola sanggat tidak suka tentang hal hal yang menyangkut jurusan KTN entah apa alasannya Viola menganggap jika mereka berada di level yang berbeda .
Melihat keadaan mulai ricuh para guru segera membubarkan para muridnya untuk kembali ke kelasnya masing masing setelah upacara selesai , dan dengan kesempatan yang sebentar Teri menatap Yudam lama untuk mengingat wajah tampan nya sebelum kembali terpisahkan oleh pagar besi yang menjulang pemisah kedua jurusan .
Teri sebenarnya merasa kesal juga kepada murid jurusan PKM dan para guru yang membedakan bedakan mereka, tapi Teri tak bisa membenci Yudam! walaupun mulut Yudam tak kalah pedasnya dari Viola jika menyangkut murid jurusan Kuliner Tradisional dia akan amat sangat sensi
"Jangan jadi penghianat Lo !" Suara Derian ketua kelas membuat Teri terperanjat kaget , dan seolah membuat Teri kembali tertarik kepada kenyataan dan mulai memalingkan wajahnya dari Yudam yang berada jauh di sebrang sana dengan cepat .
"Ngak kok apaan" Teri bergegas memasuki kelasnya dengan Gaidan yang setia di belakangnya , Teri dan Gaidan satu meja dan juga kemana mana selalu bersama tak jarang ada orang yang mengira jika mereka berdua itu pacaran ataupun saudara kembar
"Gaidan !! , Lo udah kaya lintah tau ga ? Kemana mana nempel sama Teri" sindir Derian lagi saat sudah di dalam kelas , membuat Gaidan hanya diam karena jika dia bergabung dengan anak laki laki lainnya , jelas dia akan dijadikan bahan Bullyan dan bercandaan hanya untuk hiburan mereka
Maka dari itu Gaidan lebih memilih berteman hanya dengan Teri saja , dan Teri pun tak keberatan dengan itu sebab Teri pun juga tidak terlalu banyak teman karena sifatnya yang selalu asik sendiri
Sekarang Teri berdiri di depan mejanya melihat kearah luar memikirkan bagaimana caranya agar jurusan PKM tidak selalu memandang rendah para siswa di jurusanya dengan begitu Teri bisa lebih dekat lagi dengan Yudam dan anak-anak PKM lainnya
"Kenapa ? Mikirin Yudam?" Tanya Gaidan kepada Teri , sebelum akhinya Gaidan duduk di samping Teri yang masih berdiri hingga tiba tiba Teri merangkul bahu Gaidan dengan sembrono
"Gimana kalau kita tantang anak anak PKM buat ngadain bazar , kalau kita menang , mereka harus biarin kita ikut tampil di acara demo nanti" usul Teri serius kepada Gaidan , membuat Gaidan hanya meringis mendengarnya dan bahkan ingin tertawa mendengar usulan konyol Teri .
"Emang kamu pikir gampang ? Kita cuma berdua mau lawan peraturan yang udah di tetapin sekolah?" jawab Gaidan melepaskan rangkulan Teri , membuat Teri sekarang benar benar duduk di samping Gaidan.
"Kalau kamu lakuin itu demi narik perhatian Yudam , itu namanya kamu egois" tiba tiba saja Gaidan berbicara dengan nada serius kepada Teri
Teri hanya menggaruk rambut sebahunya yang tak gatal sama sekali , dia merasa sedikit tersindir dengan ucapan Gaidan barusan , tapi setengah hatinya menepis mengatakan tidak
"Ngak kok! Aku lakuin ini cuma mau buktiin , kalau anak KTN ngak seperti yang mereka kira. Kita juga hebat di bidang nya dan mampu bersaing sama mereka" jawab Teri mengebu gebu , tapi tetap saja reaksi Gaidan masih tetap sama .
Yaitu tak menanggapi ucapan Teri dengan serius "emang gampang ? Kita cuma berdua loh !" Gaidan berkata dengan santai dengan tangan mulai merogoh buku paket bahasa Indonesia di tasnya
Teri diam sejenak !
merasa jika ucapan Gaidan itu ada benar nya . Karena tak mungkin mereka berdua menghadapi anak anak PKM dan melanggar peraturan sekolah dengan mudah
"Kita ajak aja yang lain !" Usul Teri dengan kembali merangkul tubuh kurus dan tinggi milik Gaidan, membuat yang di rangkul hanya bergerak risih dan membetulkan letak kacamatanya yang goyah akibat ulah Teri
"Tapi siapa ?" Tanya Gaidan frustasi
4 jam kemudian
"Aku ngak yakin !" Gaidan menatap kertas yang sudah di desain sedemikian rupa untuk menarik perhatian teman teman nya agar mau bergabung bersama mereka , dan walaupun poster yang mereka buat tidak terlalu bagus Gaidan dan Teri tetap menempel kan poster itu di mading dengan mencantumkan nomor ponsel mereka berdua untuk memudahkan yang berminat untuk menghubungi salah satu dari mereka
Gaidan dan Teri menatap hasil karya mereka berdua dengan ragu di papan mading sekolah , kini telah tertempel poster keanggotaan untuk mengadakan bazar di luar sekolah antara dua jurusan yang berselisih
"Kalau ngak ada yang ikut gimana?" Tanya Gaidan menatap tak yakin ke arah Teri , dan Teri pun membalas tatapan Gaidan sama tak yakin nya
"Ya , kalau dua hari ngak ada yang hubungin berarti kita harus cari member secara manual " setelah mengatakan itu Teri merangkul lengan Gaidan untuk kembali ke kelasnya dan menunggu seseorang menghubungi salah satu dari mereka
Setelah sampai di kelas Teri melihat Derian sang ketua kelas tengah memainkan ponselnya seorang diri , dengan keberanian nya Teri menghampiri Derian di susul oleh Gaidan yang mengintil di belakangnya
"Der !!" Panggil Teri kepada Derian , dan yang di panggil hanya menangapi Teri dengan gumaman kecil .
"Hm ?"
Teri melirik Gaidan , seolah mereka membuat sebuah percakapan batin dan saling berkomunikasi dengan tatapan saja , hingga Gaidan mengangguk seolah berkata 'iya' dan Teri pun melancarkan aksinya
Kini Teri duduk di samping Derian dan Gaidan berdiri di samping nya
"Der ! Jadi gini , kita berdua mau tanya"
Mendengar itu kini pandangan Derian sepenuhnya menatap Teri dan Gaidan karena sebelumnya pandangan nya hanya tertuju pada ponselnya
"Lo risih ngak sama perselisihan jurusan kita sama jurusan sebelah ?" Tanya Teri ragu kepada Derian , dan Derian hanya menatap keatas seolah tenggah berpikir
"Gue ngak risih ! Justru gue mau bikin mereka bertekuk lutut minta maaf sama kita semua , dan juga keinginan terbesar gue adalah bikin anak anak PKM mengakui kehebatan yang jurusan kita punya" jelas Derian panjang lebar membuat Teri menatap Gaidan berbinar
Kini duduk Teri lebih dekat dengan Derian dan mulai meloloskan aksinya "kalau kita ajak Lo buat nantangin anak PKM di luar sekolah Lo mau?" Tanya Teri kepada Derian
"Tawuran ?"
Mendengar itu Teri dan Gaidan mengeleng cepat
"Ini lebih ke adu bakat gitu , kita Adain bazar terus yang paling banyak terjual itu yang menang" jelas Teri
Tapi bukanya menangapi dengan serius Derian malah tertawa keras membuat Gaidan dan Teri saling pandang bingung dengan sikap Derian.
"Hahahaha Lo pikir anak-anak PKM bakalan mau ? Lo pada tau sendiri dong mereka ngak akan pernah mau panas Panasan cuma demi perlombaan konyol kaya gini" ucap Derian di sela tawanya
Dan itu baru terpikirkan oleh Gaidan dan juga Teri kalau masalahnya bukan hanya tentang peserta , tapi juga lawan yang belum pasti kalau mereka bersedia atau tidak
Tanpa ba-bi-bu Teri dan juga Gaidan pergi meninggalkan Derian seorang diri , dan mereka berdua bergegas masuk green house dari SMK Haida , yang dimana banyak sekali rempah rempah dan bumbu dapur yang di tanam disini
Teri dan Gaidan menyebut tempat ini sebagai markas mereka berdua , tempat ini sering mereka pergunakan sebagai tempat bolos ternyaman dan juga sumber dari segala masakan yang dihasilkan untuk siswa KTN , tempat ini amat sanggat berharga tapi bagi anak PKM , tempat ini ' kotor ' dan gersang
Ya , maklum mereka lebih sering menghabiskan waktu di ruangan ber Ac , tidak mengenal yang namanya budidaya tanaman yang di tanam sendiri dan sekarang Teri dan Gaidan duduk berdampingan sembari termenung memikirkan bagaimana caranya agar para anak dari jurusan PKM bersedia ikut tantangan mereka
"Aku punya ide !" Ucap Teri tiba tiba membuat Gaidan sumbringah ingin mengetahui apa isi dari pikiran Teri sekarang
"Nanti aja aku kasih tau" ucap Teri lagi membuat Gaidan semakin penasaran.
Bersambung.......
Wedang Bajigur
KoSore ini Teri akan berkunjung ke rumah Gaidan , letaknya tidak terlalu jauh hanya beberapa meter dari rumahnya tidak sampai 10 menit waktu yang Teri butuhkan untukku sampai di rumah Gaidan.
Dan kini Teri sudah benar benar berada di depan rumah bergaya klasik tapi terlihat nyaman dengan ukuran yang lumayan besar dan taman yang asri di depannya dan inilah rumah Gaidan , bukan hanya rumahnya saja yang bergaya klasik tapi juga seluruh penghuninya , mulai dari nenek , ibu, ayah dan kakak tertuanya semuanya berpikiran kolot dan sanggat lekat dengan tradisi adat Jawa nya
Tangan Teri menekan tombol segiempat yang berada di depan nya , saat tombol itu Teri tekan . Ada seorang wanita paruh baya yang membukakan pagar dengan langkah angun .
Ya dialah wanita yang melahirkan Gaidan alias ibu dari Gaidan yang bernama Anjani , wanita manis yang anggun dan juga agak sedikit cerewet sebagai seorang perempuan
"Teri ! Ayo masuk , Gaidan ada di dalem" Anjani mempersilahkan Teri masuk dan karena sudah terbiasa tak ada rasa canggung ataupun sungkan , Teri sudah menganggap Anjani seperti bibinya begitupun juga sebaliknya
Teri melangkahkan kaki ke dalam rumah Gaidan dan langsung saja aroma khas dari minuman tradisional atau lebih sering di sebut jamu semerbak di Indra penciuman Teri , karena hampir sebagian keluarga Gaidan menekuni minuman ini , bahkan di ruang tamu pun berjejer berbagai jenis jamu yang di racik oleh anggota keluarga mereka termasuk Gaidan .
"Bu , Gaidan dimana ?" Tanya Teri kepada Anjani yang baru saja selesai menutup pintu , hari ini Teri mengenakan celana jeans selutut dan kaos putih serta rambut yang di gerai , intinya sanggat jauh dari kata anggun menurut pandangan keluarga Gaidan
Tapi ini adalah Teri sahabat Gaidan dari kecil , jadi mereka sudah terbiasa dengan penampilan Teri yang kadang semerawut , kalau orang lain yang datang dengan pakaian yang sama mungkin akan kena sindir nenek Gaidan yang amat sanggat nyinyir itu
" Gaidan lagi belajar racik minuman sama paman nya , dia ada di balkon belakang " jawab Anjani membuat Teri langsung saja menancap gas melangkah kan kakinya menuju balkon belakang , Teri sudah bukan hafal lagi letak rumah ini tapi juga hampir semua sudut rumah Gaidan pernah Teri pijaki
Dalam perjalanan menuju balkon belakang Teri sudah sanggat hafal bau bau yang menyengat di hidungnya , ini pasti rempah rempah yang tenggah di jemur oleh nenek Gaidan sehingga baunya menyebar kemana mana , tapi untungnya ini tidak berbau busuk atau apa , menurut Teri rempah rempah yang di jemur itu menghasilkan wangi yang enak .
Setelah sampai di balkon belakang , Teri melihat Gaidan tenggah menumbuk sesuatu dengan susah payah dengan di temani paman nya yang bernama paman Galung
"Gaidan !" Panggil Teri kepada Gaidan , membuat fokus Gaidan terbagi dengan melihat kearah Teri
"Sini ! Teri juga ikutan" kini suara paman Galung yang terdengar , tanpa ba-bi-bu Teri berjalan dan duduk di samping Gaidan , saat ini wajah Gaidan terlihat sanggat lelah dengan kacamata yang berembun akibat uap dari air panas di hadapannya
"Lagi ngapain ?" Tanya Teri kepada Gaidan , dan hanya di jawab lirikan mata kearah setumpuk jahe kering di dalam wadah kaca di sampingnya
"Iniloh ! Gaidan punya saran buat bikin jahe itu di celup kayak teh gitu, yaudah paman coba bantuin bikin" paman Galung sekarang yang mengambil alih alat alat di tangan Gaidan membuat Gaidan sekarang menatap Teri intens
"Kamu Taukan ? kalau jahe itu baik buat kesehatan , apalagi buat menghangatkan tubuh , jadi aku punya ide buat teh celup jahe , supaya bisa di bawa kemana aja dan ngak perlu repot" jelas Gaidan yang kembali pokus memilah jahe jahe kering di dalam baki
Teri hanya memperhatikan keduanya yang sibuk dengan aktivitas nya masing masing " tapi kalo di celup ke air pasti rasanya hambar !" Ucap Teri , dan pernyataan Teri itu mengundang tawa Gaidan serta Pama Galung
" Ya ini di celup nya kedalam susu hangat , bukan ke air " jelas Gaidan lagi dan mereka pun kembali fokus ke aktivitasnya masing masing
Teri hanya memperhatikan keduanya , kalau di lihat dari hobi Gaidan yang suka meracik minuman herbal ? Ini hampir sama persis seperti Kean di jurusan PKM yang hobi buat minuman , yang disebut koktail hanya saja bahan mereka berbeda
" Kalau diliat liat , hobi kamu sama kaya Kean anak PKM yang suka bikin minuman koktail " celetuk Teri tiba tiba dan lagi lagi ucapan Teri membuat Galung tersenyum
" Minum koktail itu ngak bikin kenyang , cuma sedikit ! Lagipula ngak baik di konsumsi anak anak seusia kalian , makanya agak heran kalau teman kalian ada yang jago bikin koktail " jelas paman Galung kepada Gaidan dan Teri
" Iya ! bahkan minuman Kean di puji para bule di Singapura waktu jurusan PKM kunjungan ke Singapura " jelas Teri lagi
Gaidan hanya menjadi pendengar yang baik tanpa banyak bicara
" Lagian minuman khas Indonesia juga ngak kalah enaknya , banyak khasiat dan juga sekalian melestarikan bukan ? Kalian tahu tidak dahulu raja Arab sanggat suka minum minuman yang terbuat dari rempah rempah , dan juga negara kita di jajah karena negara kita penghasil rempah rempah , yang pada masa dulu sanggat sulit mendapatkan nya , tapi rempah rempah di negara kita melimpah " jelas paman Galung kepada Gaidan khusunya kepada Teri
" Tapi kenapa makanan di negara asing jarang pakai rempah rempah , bahkan waktu itu Teri lihat anak anak PKM masak daging sapi hanya mengunakan keju dan paprika saja lalu di panggang , padahal kan kalau di jurusan kita daging sapi itu bisa jadi gulai , jadi rendang , jadi gepuk , jadi sate " cerocos Teri karena rasa keingintahuan nya yang sekarang sedang naik level
Sedangkan Gaidan masih sama , dia hanya jadi pendengar yang baik
" Yang membedakan itu lidah , kita terbiasa makan makanan berbumbu dan bersantan , tapi di negara lain mereka makan keju , saos dan juga jarang mengunakan rempah di masakan nya, walaupun pakai tidak seberagam yang kita pakai , maka dari itulah masakan kita amat beragam dan banyak jenisnya " jelas paman Galung
Teri hanya mengangguk ngangukan kepalanya sebagai paham dengan apa yang Galung katakan
" Bahkan sambal sekalipun di Indonesia sangat banyak jenisnya , wahhhh aku jadi sangat bangga hidup di Indonesia yang beragam , maka dari itu , sebagai generasi muda " sesaat Teri melirik Gaidan
" Kami akan memperkenalkan kuliner Indonesia ke mata dunia , dan Gaidan minuman nya " ucap Teri mengebu membuat Galung dan Gaidan terkekeh geli
" Ehhh lagi pada asik yah ?"
Anjani tiba tiba muncul dengan nampan di tanganya , dan disambut girang oleh Teri dan juga Gaidan , karena sedari tadi yang Terjadi tunggu tunggu adalah
Wedang bajigur buatan ibu Gaidan , wedang yang di buat oleh Anjani masuk list daftar minuman favorit Teri , karena rasanya yang tiada duanya
Teri langsung saja menyambar gelas putih yang di bawa Anjani dengan senang " makasih , Bu " dengan senyum mereka Teri mulai meminum wedang buatan Anjani
" Wahhhh wedang ibu emang the best " Teri mengacungkan jempol kearah Anjani , membuat Anjani tersipu malu
" Besok kesini ! Nenek mau ngenalin racikan baru katanya " ucap Anjani yang membuat raut wajah Teri berubah drastis
Pasalnya minuman yang di buat nenek , amat sanggat pahit tiada duanya membuat lidah seakan mati rasa saat meminumnya , tapi Teri tak mungkin menolak cairan sejuta khasiat yang nenek buat .
" Sama Gaidan juga ? " Tanya Teri kepada Anjani
" Katanya besok Gaidan mau ikut paman Galung " jawab Anjani
Teri melirik Gaidan dengan ekspresi seolah tenggah merajuk
" beneran ?" Teri bertanya dengan nada dibuat seimut mungkin
" Iya " jawab Gaidan singkat
" Tidakkkkkkk" jika Gaidan pergi , itu artinya dia harus minum minuman nenek sendirian .
Gerutuan Teri membuat semua yang ada disana tertawa geli , membayangkan bagaimana besok Teri akan di jadikan uji coba oleh nenek Gaidan
" Nasib nasib " gerutu Teri lagi
Anjani tiba tiba duduk di samping Teri dan wajahnya sekarang berubah serius , seolah ada sesuatu yang menganjal hatinya
" Kenapa Bu ?" Tanya Teri dengan dahi mengernyit , di tengah kesibukan Paman dan Gaidan tiba tiba saja Anjani bertanya kepada Teri
" Ituloh! , Petis udang mundhut yang kamu bawa kemarin rasanya masih nempel di lidah ibu " wajah Anjani menerawang membayangkan rasa dari petis udang yang di buat Teri kemarin
" Ibu suka ?"
Anjani hanya mengangguk antusias ingin tahu rahasia di balik enaknya petis udang mundhut buatan Teri , yang hanya memikirkan bagaimana rasanya saja membuat Anjani lapar.
" Eh eh ibu lagi masak ! " Anjani tiba tiba saja berdiri dan lari terbirit-birit ke arah dapur saat mengingat bagaimana nasib masakan nya sekarang
Dan tiga orang lainnya hanya menonton saja dengan heran , melihat tingkah ibu ibu 2 anak itu
" Dasar ibu kamu " cercah paman Galung dengan kekehan geli melihat tingkah kakak iparnya
" Kok bisa yah ? Ibunya cerewet , tapi anaknya pendiem kaya robot " sindir Teri kepada Gaidan yang sedari tadi diam
" Ngak usah ngurusin orang ! Urusin aja ide konyol kamu !, Gimana sampai sekarang belum ada yang kontek ? " Tak mau kalah Gaidan yang sedang menimbang jahe bubuk mulai membicarakan soal ide bazar Teri .
Dan pertanyaan itu membuat Teri menghela napas dan merogoh ponselnya lalu menatapnya lesu
" Ngak ada "
Gaidan hanya mengangguk ngangukan kepalanya mengerti, memang sudah Gaidan duga akan seperti ini jadinya
" Padahal kita cuma mau buktiin sama anak PKM , kalau kita juga pandai masak meskipun cara dan bahan yang berbeda , tapi tetep keahlian kita sama bukan? " gerutu Teri lemas , dan Gaidan hanya menghela nafas pelan .
Bersambung.....
Ibarat Kacang Tanah
Kacang lupa kulitnya ? Atau kacang lupa di kupas ?
~Rempah 25 ~
Dada Teri naik turun menahan rasa marah yang kini menguasai dirinya , setelah melihat apa yang terjadi pada poster buatanya yang kini sudah seperti kertas coretan anak TK yang baru belajar menulis kusut tak berbentuk .
Poster itu penuh dengan coretan dan juga sudah hampir tengelam dengan tempelan lainnya dan hampir tidak terlihat keberadaanya , Teri hanya bisa meratapi kertas bergambar itu dengan nanar
Hingga suara ketukan sepatu dari arah belakang terdengar jelas, suara itu terdengar mendekat dan berhenti tepat di belakang tubuhnya
bisa Teri cium harum dari tubuh seseorang di belakang nya
" Ini Lo yang buat ?" Suara tajam menyapa Indra pendengaran Teri , suara itu adalah suara milik Viola, suara halus yang amat sanggat tidak Teri sukai
" Lo yang buat ?" Tanya Viola sekali lagi dengan nada meninggi karena Teri tak kunjung menjawab pertanyaan nya membuat Viola geram, dan itu mampu memancing emosi Teri yang sekarang sudah mengepalkan tangannya kuat kuat untuk menahan gejolak di dada nya .
Bukan nya menjawab Teri malah mencabut kertas yang tertempel di papan tulis putih itu dengan sekali hentakan, mencabut poster yang dia buat dengan kasar lalu meremasnya menjadi bulat seperti bola
Melihat itu Viola tersenyum sinis
" Jadi bener Lo yang buat ? Pantesan norak " sindir Viola lagi yang kini berjalan melangkah kesamping tubuh Teri dan Teri hanya diam
" Lo pikir kita mau nyia nyiain waktu buat acara kayak gitu ?" Viola berkata sembari menunjuk poster di tangan Teri yang sudah tak berbentuk , sedangkan Teri hanya menutup mulutnya rapat rapat mencoba menahan umpatan yang sedari tadi meronta untuk keluar
" Kita bukan orang pengangguran kaya kalian , kita semua punya kesibukan yang jauh lebih penting daripada adu bakat sama kalian , yang jelas jelas , tau sendiri lah ?" Kali ini Viola berkata dengan menatap Teri dari atas hingga bawah seolah mengintimidasi, lalu melangkahkan kakinya untuk meninggalkan Teri menuju gerbang tempat dimana anak-anak jurus PKM menuntut ilmu
Ucapan terakhir Viola mampu membangkitkan amarah Teri yang sedari tadi dia pendam, dengan tenaganya Teri melemparkan posternya yang sudah berbentuk seperti bola ke arah Viola untuk meluapkan emosinya
Dan
Plukkk
Lemparan Teri rupanya tepat sasaran , kertas itu mengenai punggung Viola membuat Viola kembali berbalik ke arah Teri dengan wajah terkejut dan juga marah karena ulah Teri barusan
" Ahhhhhhhhh"
teriak Viola mengetarkan seisi sekolah , karena walaupun suara Viola halus , tapi jika saat berteriak suara itu mencakar langit mengetarkan bumi dan seisinya
Teri langsung saja berlari sambil menutup telinganya saat mendengar suara merdu Viola , dan tentu saja Viola mencoba mengejar Teri meski terlambat karena Teri sudah lebih dulu masuk gerbang jurusan KTN yang tidak boleh anak dari jurusan lain memasuki gerbang itu
Alasannya tentu karena permusuhan diantara keduanya , jika ada seorang saja yang masuk ke wilayah lawan maka keributan tak bisa di halau , maka dari itu para penjaga kedua gerbang harus teliti membedakan kedua jurusan yang hanya bermodalkan warna dasi mereka yang berbeda
Jika anak PKM dasinya berwarna biru kotak kota dengan anak perempuan memakai dasi pita , sedangkan jurusan KTN berwarna merah kotak kotak , karena kalau seragam mereka sama persis yaitu kebawahan berwarna cream dan atasan kemeja putih .
Kembali lagi ke Viola yang mukanya sudah Semerah kepiting rebus menatap sengit Teri yang kini terhalang gerbang tinggi , karena bentuk sekolah mereka itu 'O' jadi kedua pagar itu menjulang di antara dua sisi di pintu masuk , sehingga mereka hanya bertemu di gerbang sekolah dan kebetulan mading itu berada di dekat gerbang sekolah , dan kalaupun tidak saling bertemu di mading ada lapangan yang berada tepat di tengah tengah SMK Haida yang umum untuk kedua jurusan pakai .
" Awas Lo !" Ucap Viola tanpa bersuara kearah Teri, sambil menunjuk nunjuk Teri dengan jari lentiknya
****
Teri tak henti hentinya menghela nafas lega sekaligus kecewa karena usahanya pasti akan sia sia, kalau begini anak jurusan Kuliner Tradisional akan terus di injak injak anak PKM karena ketertinggalan yang menjadi faktor utama jurusan nya sering di anak tirikan .
Teri menggaruk rambut sebahunya yang sudah terbiasa berantakan itu dengan kasar , " harus gimana sekarang ?" Tanya Teri kepada dirinya sendiri , dia ingin bisa dekat dengan Yudam yang bersikap tak jauh berbeda dari Viola, selalu menganggap jurusan KTN itu tidak punya sesuatu yang pantas di jadikan saingan bagi mereka
Yudam itu blasteran Jerman , makanya dia sanggat jago membuat makanan khas dari negara tersebut daripada makanan khas dari negara yang sekarang tanahnya tengah ia pijaki , harus dinamakan apa orang macam itu ? Kacang lupa kulitnya ?
Tapi tetep aja seburuk buruk perilaku Yudam , satu hal yang Teri tau tentang Yudam dan tak bisa terbantahkan lagi , yaitu
Tampan
Tampan
Dan
Tampan
Mengingat tentang Yudam membuat amarah Teri sebelumnya lenyap hilang ntah kemana , tergantikan senyuman yang terbit karena halu nya terhadap Yudam sekarang ini .
Senyuman itu bertahan cukup lama hingga sesuatu yang amat mengangu Teri membuat senyum itu sirna , tergantikan dengan gerutuan pelan
" Ngapain ?" Tanya Teri sembari berjalan mundur kearah Gaidan yang sempat ia lewati, Gaidan yang terlihat tenggah nemempelkan diri di tembok itu sepertinya tenggah mengintip sesuatu dengan serius , hingga Teri menghampirinya , sebenarnya Teri kesal pada Gaidan karena dia tidak setia kawan dalam menghadapi nenek kemarin , tapi mau bagaimana lagi .
Mendengar suara Teri , Gaidan langsung saja menariknya untuk ikut mengintip dengan dirinya , dan kini posisi mereka berdua benar benar terlihat seperti seorang Intel yang sedang memata matain seseorang .
" Apaan sih ! Ngintip siapa ?" Tanya Teri kepada Gaidan yang sekarang penampilan nya saat ini sanggat kacau karena dia mengunakan celana kebesaran milik kakaknya saat bersekolah disini 2 tahun yang lalu serta kacamatanya yang lama .
" Itu !" Jari Gaidan menunjuk seseorang pria yang memakai seragam sama seperti mereka berdua , pria berbadan besar dengan rambut kribo dan juga mata kiri yang tak berhenti berkedip , membuat Teri tercengang akan prasangka yang saat ini ada di pikirannya tentang Gaidan
' kenapa ? Gaidan naksir cowok itu ?' pikir Teri
" Apa ? Jangan jangan !" Teri menatap Gaidan dengan bola mata yang hampir lepas dari tempat nya
Pletakkk
Gaidan menyentil dahi Teri karena merasa jijik dengan apa yang Teri maksud , pasalnya Gaidan pernah bilang pada Teri kalau saat ini dia tenggah menaruh perasaan kepada seseorang di sekolah ini, Jadi pantas saja Teri mengira begitu , karena Gaidan tak memberitahu siapa yang tenggah dia taksir saat ini
Setelah melihat Teri mengaduh kesakitan, baru Gaidan mulai menjelaskan maksud terselubungnya itu kepada Teri
" Dia Dafka ! Dia itu jago banget masak masakan Padang , karena dia berasal dari sana, dan juga ahli dalam olah macam macam daging " jelas Gaidan kepada Teri yang hanya melongo mendengarnya
" Terus urusannya sama kita apa ?" Tanya Teri masih belum paham apa yang Gaidan maksudkan , membuat Gaidan memijat pangkal hidungnya dengan pelan bingung harus bilang apa
" Gini loh Teri oon ! Kemaren paman Galuh ngasih ide , supaya kita juga buat tim kayak anak PKM yang isinya itu Yudam, Viola , Franda, Hellen , Gery dan Kean , Taukan ?, mereka itu tim unggulan kan?, yang nyabet penghargaan waktu kompetisi di Singapura, dan karena itulah nama sekolah kita sering wara Wiri di televisi " ucap Gaidan lagi , namun Teri masih juga belum mengerti dengan ucapan Gaidan
" Ya terus kenapa ? Kalau udah jadi Tim kita harus ngapain ?" Tanya Teri lagi dengan menghentakkan kakinya kesal
Sedangkan Gaidan tak tau lagi harus berkata apa .
" Ah tau deh ! " Gaidan akhirnya mengibaskan tangannya kearah Teri , sebagai kode jika Gaidan mengusir Teri agar pergi meninggalkan nya dan matanya kembali fokus kearah Dafka, Gaidan tengah berpikir keras mencoba mencari cara untuk menyapa Dafka , dan mengajaknya bergabung dengan tim yang akan dia buat ini , saking fokusnya Gaidan sampai sampai tak mempedulikan kehadiran Teri di sampingnya yang tenggah merajuk
" Ayo dong jelasin ! Janji sekarang bakalan ngerti " Teri mulai merajuk kepada Gaidan , karena merasa keberadaan nya ini di acuhkan dan mencari perhatian dengan cara menoel Noel punggung Gaidan .
" Aishhh apa lagi ?" Gaidan yang merasa terganggu dengan toelan Teri berbalik arah menatap Teri sengit , sedangkan Teri berusaha agar terlihat sepi mungkin untuk meluluhkan hati Gaidan .
Saat mlihat tingkah laku Teri yang mulai menjijikan , Gaidan akhirnya memutuskan untuk mencoba menjelaskan sekali lagi rencananya kepada Teri, dan semoga kali ini Teri paham
" Gini ! Tim Yudam itu awalnya kelompok evaluasi bulanan , tapi karena keahlian mereka yang saling melengkapi dan menonjol , Tim itu unggul hingga di ikut sertakan kompetisi di Singapura , jadi intinya di jurusan kita juga harus ada 1 Tim yang bisa mengimbangi Tim nya Yudam " setelah berkata demikian barulah otak Teri menerima rangsangan dari telingganya.
" Oh jadi kita mau bikin Tim yang serupa? tapi berbasis di makanan Terdisional , dan sedari tadi kamu nyoba ngumpulin orang orang yang punya keahlian menonjol ?, Termasuk si kribo itu ?" Teri berkata sambil bertepuk tangan girang karena akhirnya dia mengerti rencana brilian dari Gaidan
" Dafka ! , Namanya Dafka bukan kribo ! , Jangan sembarangan , nanti dia ngak mau jual ikut masuk Tim gimana ?" Sersah Gaidan kepada Teri.
" Oh iya ! Okey okey " Teri menyatukan telunjuk dan jempolnya membentuk 'o' kearah Gaidan
" Kita harus kumpulin orang orang dengan keahlian yang menonjol di bidangnya , dan setela itu kita ngajuin diri buat Beatle sama Tim Yudam di evaluasi akhir bulan ini " Gaidan berkata dengan tangan yang membetulkan letak kacamatanya .
" Dan kalau kita menang , kita harus ikut partisi dalam demo tahun ini " tanya Teri girang
Dan hanya di jawab anggukan kepala dengan senyum cerah yang terbit dari bibir Gaidan .
Bersambung.......
Sambal Sexy
Panas terik hari ini tak membuat Pak Harun hilang semangat , bahkan dia terlihat sangat enerjik sekarang dengan celana Training ketat , jaket gratisan hadiah gerak jalan , dan peluit yang selalu tersampir di leher kurusnya itu .
Walau usia sudah berkepala empat , pak Harun ini lincah geraknya , dengan wajah putih hampir keriput, mata sipit ,dan juga jangut secuil yang selalu dia banggakan sebagai pembawa keberuntungan , dan yang lebih penting adalah , dia guru olahraga Teri dan Gaidan .
Pak Harun ini selalu semangat hingga tak melihat wajah wajah lelah para muridnya , di tenggah hari seperti inilah pelajaran olahraga Teri di mulai , dengan matahari yang serasa di atas kepala , dan juga guru yang seperti itu , serasanya lengkap sudah penderitaan Teri
Bahkan mata Teri sekarang sulit untuk terbuka karena saking silau nya cahaya matahari mengenai matanya
" Derian ! Kenapa kamu pakai kacamata hitam ?" Teriak pak Harun membuat pandangan semua siswa menuju kearah belakang, dimana Derian berada
Dan benar saja, Derian sang ketua kelas itu sedang duduk santai dengan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya, setelah di tegur dia kemudian menarik kacamata nya ke di ujung hidung menatap pak Harun di balik kacamatanya nya itu .
" Kenapa pak ? Kata bapak kan anggap aja kita sedang di pantai sekarang , ya saya kalau lagi di pantas gini , santaiiiii " Derian kembali membernarkan letak kacamatanya dan merentangkan kakinya dengan badan di tahan dengan kedua tangannya di belakang .
Seorang siswa menyikut Derian
" Lo udah Gila!" Bisik lelaki jangkung di samping nya , sedangkan Derian hanya mengidikan bahu acuh .
Pandangan Teri kini beralih ke arah Pak Harun yang sudah menyimpan kedua tangannya di pinggangnya menatap Derian senggit
" Berdiri ! Terus kamu masukin bola basket ke ring 100 kali , baru kamu saya toleransi " meski penampilannya alay , Pak Harun tetaplah seorang guru yang berhak mendidik seorang murid pembangkang seperti Derian , tapi Derian ya tetap Derian , dia keras dan sanggat egois
" Berdiri Derian ! Atau saya bocorin ke kepala sekolah tentang semalam " kini nada bicara Pak Harun terdengar mengancam , dan sepertinya itu sanggat mempan pada Derian yang langsung kalang kabut melempar kacamatanya dan berjalan menuju ring basket lalu mengambil satu bola di bawahnya,
Membuat Pak Harun tersenyum senang
" Emang semalam dia kenapa pak ?" Tanya Romi sekertaris kelas
" Kepo aja " jawab Pak Harun santai
"Ish " Romi mendengus karena tak puas dengan jawaban Pak Harun yang kini fokusnya kembali kepada
Derian yang mulai mendribble bola basket , dan dari sanalah hukuman Derian di mulai melemparkan bola basket ke arah ring sebanyak 100 kali
" Oke perhatian !!! Kalian semua mulai lakukan latihan dengan bola Voli bersama kelompoknya masing masing !" Perhatian para murid di kelas Teri kini tertuju kembali pada Pak Harun , karena tadi sempat teralihkan kepada Derian
Setelah mendengar perintah Pak Harun , semua murid mulai berdiri termasuk juga Teri , dia berdiri dengan lesu dan sempat menengok kearah samping dimana Gaidan masih saja duduk dengan dahi mengkerut
Teri memutar bola matanya malas melihat Gaidan yang sudah seperti tak ada gairah hidup, duduk lesu dengan keringat mengucur di dahinya , kali ini Gaidan tak memakai kacamatanya karena alasan patah, sehingga penglihatannya menjadi kacau balau tak menentu
Melihat itu Teri lalu menarik baju Gaidan hingga Gaidan pun terpaksa berdiri dengan baju olahraga tak berbentuk karena tarikan Teri yang keras .
" Gila ! Gaidan lucu juga kalau ngak pake kacamata noraknya !" Ucapan Serin teman sekelasnya membuat Teri mengalihkan pandangannya kepada Gaidan yang sekarang sepertinya tenggah tersipu , karena dia tersenyum sambil menundukkan kepalanya .
" Senyum lagi ! , Itu mata bolor gimana ?" Teri menyikut Gaidan membuat senyum nya hilang digantikan kerutan dahi menatap Teri seksama
" Ngapapa , ngak parah kok " ucap Gaidan berjalan kearah dimana bola bola Voli di simpan di samping lapangan
" Yaudah terserah !" Teri kini berjalan menghampiri Sesil dan teman temannya yang satu kelompok dengan dirinya .
Gubrashhhhh
Mendengar suara itu Teri langsung saja berbalik karena kaget , dan ternyata itu adalah Gaidan yang sekarang tenggah tengkurep di atas tong sampah , membuat gelak tawa seluruh siswa yang ada disana pecah
" Anjir Gaidan ngapain Lo hahahaha "
" Lo lagi latihan terbang ?"
" Rabun Lo parah apa ? Sampe segitunya "
Itulah ucapan ucapan teman satu kelasnya , membuat Teri berlari kearah Gaidan dan membantunya untuk bangun dan membereskan tempat sampah
" Katanya ngak parah ? , Kalau gini mah bukan parah lagi tapi amat sangat parah " tekan Teri kepada Gaidan .
" Ya lagian kenapa tong sampahnya gede banget " Gaidan menendang tong sampah yang ia tabrak itu dengan pelan
" Hah " Teri hanya menlongo mendengar alasan Gaidan
" DERIAN !! " Teriakan Sesil terdengar nyaring membuat semua teman sekelasnya berlarian ke arah Derian , Termasuk Teri dan juga Gaidan yang di gandeng Teri untuk berlari karena matanya yang sedang rabun .
Bisa Teri lihat jika Derian tengah mencengkram kerah seragam Yudam dengan mata menghunus sinis .
" Derian lepas !" Teriak Pak Harun yang ikut serta dalam gerombolan kelas Teri
" Lo ? NGAK ADA APA APA NYA KALAU BUKAN KARENA KONEKSI ! ! " Teriak Derian kepada Yudam .
Sedangkan Yudam melepaskan cengkraman tangan Derian di lehernya tak kalah kasar
" Lo ngomong gitu frustasi Lo ? Karena ngak kepake ? " Tanya Yudam tak kalah tajam , matanya kini menatap seluruh murid kelas Teri dengan remeh
" Kalian itu cuma bisa jadi penonton , saat gue berada di depan menjadi orang terhormat , dan akan tetep begitu " bukan hal asing lagi bagi Teri dan teman temannya, mendengar ucapan pedas yang berasal dari bibir sexy milik Yudam kepada mereka itu sudah biasa
" maka dari itu ngak usah buang buang waktu buat ributin hal ngak berguna !" Seolah masih belum puas kini Yudam berbicara dengan tangan membenarkan kerah baju dan dasinya yang kusut akibat ulah Derian
Derian sempat hendak memukul Yudam saat ini , tapi tubuhnya di tarik secara paksa oleh Romi dan Ilham untuk mencegah Derian hanyut dalam masalah baru yang merugikan dirinya sendiri
" Udah ! Udah ! Kalian ini , Yudam ada perlu apa kamu ? Malah bikin ribut aja !"
Satu satunya guru yang tak silau akan Yudam adalah dia , pak Harun , maka dari itu Pak Harun adalah guru favorit anak jurusan Kuliner Tradisional , meskipun alay tapi dia netral
" Saya di suruh panggil bapa " ucap Yudam kepada pak Harun , dan langsung saja pak Harun berjalan pergi kearah kantor dengan disusul Yudam di belakang nya
Anak anak kelas Teri hanya bisa menatap punggung Yudam yang kian menjauh dengan marah , begitupun Teri yang sudah menundukkan kepalanya dalam merasa tersinggung dengan ucapan Yudam barusan
" Aihhhh ngapain Lo pegangin gue " teriak Derian meronta di cengkraman Romi dan Ilham
" Harus nya gue patahin gigi dia , biar ngak bisa senyum di depan kita saat pidato pidato ngak jelas " teriak Derian frustasi menendang bola yang ada di dekatnya
" Udahlah Der! Gue jadi pengen nangis " kini suara parau Aurel , gadis super anggun di kelas Teri
Dengan segala kegaduhan itu Gaidan tak begitu mengerti dengan situasi saat ini , karena dia tak bisa melihat jelas Derian melakukan apa dengan Yudam
" Kayaknya kita harus segera hubungin Dafka , dan cari orang orang lainya " bisik Teri tiba tiba di telinga Gaidan
" Iya tapi gimana caranya ? " Tanya Gaidan , dan Teri menjiwir kerah baju Gaidan dengan susah payah karena tinggi badannya yang jauh di bawah Gaidan , tapi meski susah Teri tetap melakukanya
" Yaudah kita duduk ajalah , pegel tau " Teri membawa Gaidan agar duduk di bawah bayangan atap sekolah
" Ucapan Yudam barusan , bener bener nyepelein kita " ucap Teri pelan membuat Gaidan hanya diam
" Kita harus secepatnya bikin Tim dan tantang Tim Yudam di evaluasi bulan ini , dan tampil di Demo tahun ini " Teri berkata dengan tangan memeluk lututnya dan wajah dia tumpu di tanganya
" Pernah ada pikiran kalau aku kayaknya lebih ingin berada di jurusan yang sama dengan Yudam , tapi setiap berkunjung ke rumah mu dan bertemu nenek , rasa bangga pada jurusan ku saat ini hadir dan tumbuh besar , seolah olah keahlianku ini sanggat keren "
Ucap Teri pelan
Gaidan hanya menjadi pendengar yang baik dengan kepala yang menunduk memainkan kerikil kerikil di bawahnya
" Tapi kalau liat Viola , kadang aku suka iri , dia cantik , sering pergi ke luar negri , terkenal , dan juga sudah banyak koneksi jika dia berniat untuk bekerja nanti " ucapan Teri kali ini membuat Gaidan melirik Teri
" Kenapa gitu? Kan kelebihan seseorang ngak harus kita miliki. Juga , karena belum tentu itu cocok dengan diri kita , jadi jangan berpikiran Pendek " Gaidan kini mulai bersuara
" Pikirin aja gimana caranya rayu Dafka buat mau ikut gabung sama kita " kata Gaidan lagi
" Kalau udah kepikiran , besok ajak bicara !"
Teri langsung saja melirik Gaidan saat mendengar kata kata yang keluar dari mulut Gaidan itu , dan menunjuk dirinya sendiri
" Biar aku aja yang ngomong sama Dafka , aku kan perempuan, pastilah Dafka lebih tertarik kalau yang ajak bicara dia itu perempuan "
Gaidan yang mendengar itu memutar matanya malas
" Ya kan kamu itu perempuan juga , tau sendirilah ! " Gaidan meringis sembari mengatakan itu, membuat Teri menunduk melihat dirinya sendiri
" Maksudnya aku jelek ?" Geram Teri melotot ke arah Gaidan
" Itu bukan aku yang bilang yah " Tegas Gaidan dengan mengibas gibaskan tanganya
" Emang pikir situ perfect apah ? Cewe yang situ taksir juga bisa pingsan kalau tau dirinya di taksir cowok culun " merasa tersakiti oleh kata kata Gaidan tentang penampilan nya , bibir Teri bersuara tanpa kendali untuk sesaat
Dan kemudian dia sadar akan apa yang dia bicarakan , Teri menatap Gaidan yang kini menunduk dalam dengan dengan tangan yang terus saja memainkan kerikil kerikil di bawah kakinya
Teri tau saat ini Gaidan tenggah tersinggung !
'gimana nih ' batin Teri
Flashback Derian
Derian yang menjalani hukuman melihat kedatangan Yudam yang berjalan mendekat padanya, membuat senyum smirk nya muncul , semua orang tau jika Derian bisa di bilang sebagai haters no 1 Yudam , maka tak aneh dia bersikap demikian
Saat jarak Yudam dan Derian hanya berjarak beberapa meter , dengan sengaja Derian melempar bola basket kearah Yudam , dan tepat mengenai dadanya
" Dasar katro ! Cara lo nunjukin rasa iri Lo itu bener bener kampungan " ucap Yudam kepada Derian , dan langsung saja Derian mendekat dan mengambil kerah baju Yudam .
Flashback off
Bersambung.......
Made In Padang
Kamu bagaikan bumbu , sedikit tapi mengubah rasa
~ Rempah 25 ~
Teri sedari tadi mencoba mengikuti Dafka kemana pun dia pergi , mulai dari kantin, hingga sekarang dia berjalan menuju ke arah kelasnya .
Rasanya Teri gugup kali ini , bagaimana dia harus berbicara kepada Dafka dan membujuknya agar ikut bergabung di Tim nya untuk evaluasi bulan ini
Evaluasi yang biasa di adakan 4 bulan sekali , para murid bebas membentuk Tim asalkan masih dalam satu jurusan dan masih berada di angkatan yang sama, lalu bebas memilih Tim dari jurusan lain untuk menjadi lawan mereka , maka dari itu Teri bertekad akan menantang Tim Yudam yang sudah 2 kali evaluasi tak ada yang menjadikannya lawan .
Dan Teri bertekad kali ini dia harus menang, demi kebaikan anak anak di jurusanya yang perlahan mulai hilang rasa percaya diri, bahkan yang lebih parah ada beberapa dari adik kelas Teri yang meninggalkan sekolah dan pindah ke sekolah lain meski harus membayar mahal untuk itu, karena mereka merasa kalau masa depan nya disini tak terjamin.
Keinginan Teri besar dan mulia tapi dia bernyali tempe , bahkan sekarang dia tak berani melangkahkan kakinya mendekati Dafka, malah diam berdiri memijat Keningnya bingung, padahal dia sudah berdiri tepat di belakang punggung Dafka
" Kenapa dari tadi ngikutin terus ?" Suara besar Dafka membuat Teri menegakan kepalanya , Dafka berbicara dengan posisi sama yaitu membelakangi Teri , dan karena sudah tertangkap basah Teri pun menghampiri Dafka
" Hehehe " Teri menggaruk tengkuknya yang tak gatal dengan kaki melangkah menunjukan diri ke hadapan Dafka
" Gini loh ! " Teri menarik Dafka untuk duduk sejenak , berniat mengutarakan niatnya menghampiri Dafka
****
" Jadi gitu ! "
Dafka hanya diam sejenak saat Teri menjelaskan rencana nya dengan panjang lebar , tak tau harus menjawab apa , tapi bagi Dafka ini rencana konyol , menantang Tim Yudam dan mempermalukan diri sendiri
" Tapi kayaknya ini konyol! , mana mungkin bisa ngalahin Tim Yudam, kecuali nantang Tim lain, itu baru masuk akal! " nada bicara Dafka terdengar seperti orang yang merasa geli dengan mimpi yang ingin Teri wujudkan itu.
Teri menghembuskan nafas dan menarik oksigen sebanyak banyaknya sebelum menjawab ucapan Dafka yang sekarang duduk di sampingnya, mereka duduk berdua di kursi yang ada di depan kelas Dafka, beberapa orang yang berlalu lalang sempat melirik Dafka dan Teri yang baru pertama kalinya terlihat bersama
" Gini loh ! Kita kan tau sendiri , kalau semakin kesini kita semakin tersisih kan , dan oleh sebab itu kita harus nunjukin kehebatan kita dalam hal memasak " bujuk Teri mengerahkan segala opini yang bisa dia pikirkan saat ini
Sedangkan Dafka malah tertawa keras mendengar Teri
" Ini udah terjadi lama , bahkan senior senior kita aja ngak bisa selesaiin, apalagi ini ? Tim yang di bentuk dadakan cuma buat kita semakin di permalukan " Dafka sekarang sudah berdiri hendak beranjak meninggalkan Teri
Tapi Teri tak pantang menyerah di berusaha berbicara lagi dengan Dafka
" Kenapa masuk jurusan KTN ?" Tanya Teri lantang membuat Dafka yang hendak melangkah kembali berbalik meatap Teri
" Kenapa ngak masuk PKM aja ?, Perselisihan ini kan udah terjadi lama , pasti kamu sendiri tau jurusan mana yang paling favorit disini kan ?, Tapi kenapa kamu malah masuk jurusan masakan Tradisional yang kampungan ini, daripada masakan modern selalu di puja puja itu " kini nada bicara Teri terdengar mengebu gebu
" Masakan Tradisional ngak kampungan !" Suara Dafka naik satu oktaf saat mengatakan itu, membuat senyum Teri terbit
" Itu dia !, Mereka semua ngangap kita ini kampungan, makanya kita harus buktiin kalau kita itu ngak kalah hebatnya dari mereka " Teri memegang bahu Dafka yang kini diam membeku
Dafka teringat saat evaluasi tahun lalu dia juga melawan Tim Yudam dan berakhir dengan di permalukan, karena yang di pilih untuk menjadi juri pada waktu itu adalah orang orang dari kalangan atas dan juga mengenal ayah dari setiap anggota Tim Yudam yang rata rata orang berada , sehingga tanpa pikir panjang mereka memilih masakan yang Tim Yudam sebagai juaranya.
Itu kenangan buruk bagi Dafka yang sulit untuk dilupakan , dan setelah kejadian itu Dafka hilang kepercayaan diri saat memasak, dan butuh waktu yang cukup lama untuk kembali, sekelibatan kenangan itu membuka Dafka membeku seketika
" Kalau berubah pikiran bisa hubungin aku !" Setelah mengatakan kalimat terakhirnya, Teri pun berniat beranjak pergi memberikan waktu untuk berpikir kepada Dafka.
Dafka mengerutkan dahinya menetap pungung Teri yang semakin menjauh dengan seksama
" Apa dia juga yang nempelin poster konyol di mading ?" Dafka teringat poster yang mengajak kedua jurusan mengatakan bazar untuk menunjukan keunggulan mereka, dan itu amat sangat konyol .
****
Teri kembali lagi ke kelasnya setelah menyia nyiakan waktu istirahat nya untuk membujuk Dafka, dan sekarang perut nya berbunyi menandakan jika dia butuh asupan makanan
" Gimana ? " Gaidan langsung membrondong kearah Teri saat baru saja satu langkah Teri masuk ke dalam kelas nya
" Ngak taulah laperr" Teri mengibaskan tangan Gaidan yang menyentuh lengannya dan kembali berjalan santai
" Itu ada gado gado ! Tapi makan nya jangan disini " Gaidan langsung berjalan menuju arah mejanya membawa bungkusan hitam dan menarik lengan Teri
" Mau kemana ? Ke markas ? Tanya Teri dan Gaidan hanya mengangguk
Mereka berdua berjalan cepat menuju Green house sekolah , karena yang mereka sebut markas itu adalah sebuah kebun di samping sekolah , berbeda dengan Green house kebanyakan yang berisikan bunga bunga indah dan tanaman hijau tapi Green house disini hanya berisikan tanaman rempah dan bumbu bumbu saja , seperti kunyit, cabai, lengkuas, jahe, kemiri dll intinya yang berhubungan dengan tanaman bumbu,
kebun dengan dinding kaca itu berukuran 15x6 persegi dengan peralatan kebun yang lengkap serta terawat dan bersebelahan langsung dengan ballroom tempat praktek Jurusan PKM, Green house inilah yang menjadi aset kebanggaan Jurusan KTN, karena jurusan yang sama di sekolah lain belum tentu mempunyai fasilitas seperti ini.
Gaidan langsung mengajak Teri duduk di atas meja tempat beberapa bibit disimpan setibanya disana , dengan tergesa Teri membuka isi plastik yang di bawa oleh Gaidan itu diatas meja , dengan bahagia Teri mulai menyendokan gado gado itu ke mulutnya
" Gimana Dafka, mau ?" Tanya Gaidan penasaran membuat Teri berhenti mengunyah
" Ngak tau dia ngak jawab "? Jawab Teri dengan mulut penuh
" Ngak jawab gimana ?" Gaidan terus saja mendesak jawaban dari Teri, karena dirinya saat ini benar benar butuh kepastian walaupun Teri sanggat berbeda dari gadis kebanyakan, tapi kalau urusan meyakinkan orang lain dia itu juaranya
" Kalau kita berhasil ajak Dafka, berarti kita tinggal cari calon anggota lainnya " Gaidan bicara dengan nada jauh menerawang, walaupun dia tak sadar kalau sedari tadi Teri tak mendengarkan ucapan nya
Saat ini Teri hanya fokus pada segerombolan anak tampan yang dia lihat di balik kacang bening yang tak lain adalah Ding Ding dari kebun ini, 4 siswa populer memasuki ballroom yang dilengkapi kitchen set itu dengan celemek di pinggang mereka
Mereka itu adalah Topan, Kean, Yudam, dan Boy, meskipun Yudam siswa berprestasi, tapi para teman nya itu seorang pewaris tahta yang hanya bisa mengandalkan uang orangtua mereka, termasuk juga Kean, jikalau tak bisa buat koktail dia tidak akan mungkin mendapatkan penghargaan di Singapura
Gaidan juga menyadari arah pandang Teri juga ikut menoleh dan melihat jika di samping mereka ada Yudam Cs membuat Gaidan tertawa meremehkan
" Apa bagusnya anak sombong kaya begitu " Gaidan mengerutu, sedangkan Teri masih terpesona dengan Yudam yang saat ini tampak gagah dengan baju kemeja putih serta celemek hitam di pinganganya, dan jambul indah itu tersisir rapih tampak amat sempurna
Drtt drtt drtt drtt
Ponsel Teri berbunyi membuat Teri segera merogoh sakunya dan mengambil benda pipih itu lalu menempelkan nya ke telinga
" Haloooo "
"........"
" Oh iya " mata Teri melirik kearah Gaidan yang kini menatapnya dengan penasaran
"Seriusan?" Suara Teri melengking
"......."
"Oke oke " sambungan pun terputus Teri langsung saja berlari semangat memeluk Gaidan hingga membuat kacamata Gaidan jatuh
" Yeyyyyy" Teri meloncat loncat girang, sedangkan Gaidan hanya merasa aneh
" Kenapa ? " Tanya Gaidan
" Dafka tadi telpon katanya dia mau gabung sama kita " jawab Teri, dan langsung saja mereka berdua berpelukan girang, bahkan Gaidan tak peduli bagaimana nasib kacamatanya itu
" Heyyyyy ngapain !"
Teriak Pak Harun membuat Teri dan Gaidan terhenti dalam kondisi berpelukan, untuk sekian detik mereka terdiam lalu melepaskan pelukan mereka dengan kasar setelah mereka sadar dalam posisi apa mereka sekarang, dan yang lebih parahnya adalah di hadapan guru .
" Ehh ngak pak ini salah paham " mereka berdua gelagapan
Bersambung
Asparagus
NoSetelah berbicara dengan Teri Dafka langsung saja masuk kedalam kelas nya dan memikirkan baik baik apa yang dikatakan oleh Teri padanya tentang niatnya membuat Tim untuk mengalahkan Yudam
Sedari Dulu Dafka amat sanggat benci pada Yudam, bukan tanpa alasan Dafka membencinya, itu terjadi pada evaluasi yang mengharuskan dirinya bertanding dengan Tim unggulan alias tim Yudam dan berakhir dengan kekalahan, bukan hanya rasa percaya dirinya yang hilang setelah kekalahan itu, tapi juga rasa bangga yang dia rasakan pada bidang yang sudah lama dia tekuni ini pun ikut tergores, yang Dafka rasakan saat itu hanyalah kekalahan
Sedari kecil Dafka sudah di ajarkan bagaimana caranya mengolah makanan khas tanah kelahirannya Padang, dan saat beranjak remaja Dafkan sendiri tak menyangka jika keahliannya dalam mengolah macam macam daging itu berkembang pesat, bahkan orang orang sering membandingkan masakan orang lain dengan masakannya dan mengatakan jika masakan Dafka itu yang terbaik
Karena jika daging sudah ada di dalam kuasa Dafka maka bukan hanya rasa nya yang enak, tapi juga tekstur yang sempurna, tak tangung tangung Dafka ini pernah berkesempatan untuk menjadi juri tamu di acara kontes memasak
Dan itu menjadi prestasi tersendiri untuk citra sekolah dan juga jurusan yang sudah mengembangkan potensinya itu, tapi bagaikan naik ke atas langit lalu terjatuh sedalam dalam nya ke inti bumi, Dafka dengan penuh percaya diri harus menghadapi Yudam, iblis berparas tampan itu
Dafka ingat pada saat selesainya evaluasi saat itu, Yudam mendatanginya dengan senyum remehnya di dampingi Kean dan juga Viola yang repot repot datang untuk menghancurkan hatinya dengan perkataan busuk dari bibir indah mereka .
" Hai Dafka, gue heran mata Lo ngak berhenti kedip itu kenapasih ?" Suara indah Viola terdengar nyaring, akan tetapi Dafka pada saat itu hanya berdiri mematung dengan pakaian khas yang digunakan untuk memasak plus celemek yang belum sempat ia lepaskan, keadaan Dafka saat itu terlihat kurang baik dengan muka lelah, baju penuh noda, dan tangganya nya entah mengapa sekarang mengigil
Tubuh tinggi Yudam berada tepat di wajah Dafka, menyudutkan tubuh gempal Dafka ke tembok di belakangnya, dengan senyum iblis Yudam menarik paksa celemek yang dikenakan Dafka dengan keras hingga punggung Dafka membentur tembok lalu menginjak ngijaknya dilantai, bahkan Dafka Meringis pun mereka tak peduli
" Mana 'Master of meat' yang Lo banggain tadi hah ? " Yudam berbisik tapi sanggat menohok hati Dafka, rambu ikal Dafka disisir oleh tangan Kean membuat Dafka semakin ketakutan
" Gue bilang apa, berhenti buat masakan kampung kaya gitu! Itu tuh pantes di makan bukan di kompetisiin " Kean yang berbicara dengan mengunyah permen karet itu terdengar pelan
Tanggan Yudam merapihkan baju Dafka dan berkata sesuatu yang sampai sekarang tak bisa Dafka lupakan
" Yang dilihat semua orang itu penampilannya, meskipun masakan lo enak, tapi tetep performa gue bakalan lebih memuaskan, karena apa? Karena Lo itu ngak pantes jadi seorang chef, Lo pantesnya jadi badut di kolong jembatan " Yudam mendorong kepala Dafka dengan telunjuk nya hingga Dafka terdorong kearah belakang
" Bye, Loser " ucap Viola sebelum akhirnya mereka meninggalkan Dafka yang sudah tertunduk dalam dengan kedua tangan mengepal hebat, Isak tanggis nya mengisi lorong yang sepi, dengan sembrono Dafka mengambil celemek yang tarik oleh Yudam itu, lalu memasukan nya pada tempat sampah yang berada disana.
Sedetik Dafka tersadar dari lamunan masalalunya, dia pun berniat untuk mencari Teri dan menolaknya secara resmi, cukup satu kali saja Dafka harus berurusan dengan anak anak tak berperasaan itu, tak akan Dafka ulangi untuk yang kedua kalinya.
Dafka pun melangkah keluar untuk mencari Teri, pasalnya Dafka tak tau siapa nama Teri dan juga dari kelas berapa dia berasal, yang Dafka lakukan sekarang hanya mencari wujudnya saja, siapa tau dia belum terlalu jauh pergi dari sini
Dafka mencari Teri kesana kemari, berusaha menanyakan kepada murid lainnya tapi, mereka hanya menjawab ' yang namanya Teri itu banyak', tapi mereka tak salah karena itu memang benar
" Kemana yah !" Dafka menggaruk rambut kribonya bingung, hingga dia tak sadar jika sekarang dia sedang dari berada di depan lorong menuju green house, kebun fasilitas untuk semua murid di jurusan nya
Dafka hanya menatap pintu green house itu bingung, dan menepuk dahinya yang berkeringat itu dengan pelan
" Masa sih jam jam segini di kesini?" Dafka pun hendak kembali lagi
Tapi
Tuk tuk tuk tuk
Suara langkah sepatu terdengar nyaring di lorong yang sepi ini , Dafka hanya diam mematung, berjaga jaga jika itu adalah guru piket yang berjaga, karena kalau sampai itu adalah guru piket habislah Dafka, jam pelajaran dia malah keluyuran
Tuk tuk tuk tuk
Suara itu semakin dekat dan Dafka gelagapan mencari tempat sembunyi, tapi saat Dafka tau siapa pemilik dari suara ketukan sepatu itu, yang Dafka lakukan hanya diam mematung, sementara orang itu semakin dekat
Dekat
Dan semakin dekat
Dia adalah Yudam dengan para sahabatnya, yang kini berjalan mendekati Dafka, meski Dafka tau mereka hendak memasak di ballroom bukan hendak menemuinya karena mereka membawa sesuatu di tangan mereka, tapi tak tau kenapa Dafka saat ini ketakutan
Kean di samping Yudam tersenyum saat melihat Dafka berdiri tak jauh dari mereka
" Kribo lecek !" panggil Kean dengan senyum manisnya sembari melambaikan tangan nya kearah Dafka, sedangkan yang di sapa hanya diam dengan keringat di dahinya dan juga mata yang memerah.
Mereka mencepatkan langkahnya hingga benar benar berada di hadapan Dafka, melihat mereka Dafka malah terus saja teringat kejadian kejadian buruk waktu itu, yang membuat tubuh Dafka kaku sekarang
Mereka berempat mengelilingi tubuh Dafka, Yudam tepat di belakang Dafka dan Kean di depan sedangkan Topan dan Boy, mereka berada di samping Dafka membuat Dafka tepat berada di tenggah tenggah sekarang
Kean menatap Dafka dan Green house secara bergantian dengan sebuah kotak yang di pegang nya saat ini Kean berkata
" mau ke kebon?"Tanya Kean namun tak mampu Dafka jawab, membuat Kean kembali mencacinya
" Emang sih Lo itu pantes nya, di kebon, nanem padi " ucapan Kean kali ini mengundang gelak tawa mereka berempat
" Minggir Lo !" Kean menyuruh Dafka untuk beranjak sedangkan tubuhnya di kelilingi seperti itu, jika Dafka mundur di belakang ada Yudam, jika Dafka geser ke kiri ada Topan dan begitu juga ke kanan, Boy ada disana, jadi Dafka tak mengerti minggir seperti apa yang Kean perintahkan padanya
" Lo budeg ? MINGGIR!!!" Teriak Kean membuat Dafka tersentak dan menubruk Yudam yang sedang memegang kantong kertas di tanganya, hingga benda itu terjatuh
" Sial!" Yudam dan semuanya kaget lalu memunguti isian dari kantung kertas itu yang berhamburan, sedangkan Dafka hanya menunduk dalam dia ketakutan sekarang
Yudam langsung berdiri dan menghampiri Dafka, dia menepuk nepuk pipi Dafka dengan pelan tapi tercetak jelas di wajahnya dia marah
"Kribo ! Lo tau itu apa ?" Yudam memaksa kepala Dafka menoleh kearah barang yang telah dia jatuhkan
Mata Dafka melirik kearah Boy dan Topan yang sedang memunguti tumbuhan hijau dengan bentuk memanjang itu
" Jawab ! " Perintah Yudam tapi Dafka hanya diam
" Jawab ! " Teriak Yudam kini mengeras, dengan sedikit keberanian Dafka membuka mulutnya dan menjawab bahwa itu adalah Asparagus
" Lo tau harganya? Lo bahkan ngak akan mampu masak pake itu, Karena Lo selalu pengang kunyit makanya, makanya Lo ngak bakalan bisa beli ini !! " Yudam mendorong dahi Dafka dengan telunjuknya, lalu pergi begitu saja meninggalkan teman teman nya yang baru saja selesai memunguti Asparagus yang berserakan
" Ini kotor btw !" Ucap Topan menunjukan kantong kertas di tanganya lalu mereka pergi menyusul Yudam kecuali Kean, seolah belum puas dia menempelkan permen karet yang dia makan ke rambut kribo Dafka, lalu pergi dengan bersenandung
Setelah kepergian mereka, dada Dafka sesak rasanya menahan amarah yang dia pendam sedari tadi, tanpa pikir panjang di merogoh ponselnya dan meminta nomor Teri kepada Derian, karena Dafka yakin Teri ini yang menempelkan poster waktu itu di mading.
Dan orang yang menempelkan poster itu, bernama Teri dan sekelas dengan Derian teman SMP nya, setelah mendapatkan nomor Teri tanpa pikir panjang Dafka langsung menghubunginya
Dafka berharap ini benar benar Teri yang dia maksudkan, Teri yang sedari tadi dia cari cari
Dan
Saat suara terdengar di sambungan telepon nya, Dafka yakin jika dia adalah Teri, sebenarnya sedari tadi Dafka sudah curiga jika orang yang mengajaknya bergabung dengan Tim yang dia buat, Dafka yakin jika dia itu adalah Teri pembuat poster adu bakat di mading waktu itu, dan ternyata dugaan Dafka benar
Tanpa basa basi Dafka langsung mengutarakan niatnya yang bertolak belakang dengan niat awalnya, dia akan ikut bergabung dengan Tim Teri untuk mengalahkan Yudam, kali ini bukan hanya benci yang dia rasakan pada Yudam, tapi benci ini menjadi dendam, Dafka ingin melihat kehancuran Yudam suatu saat nanti
Dengan segala yang dia kuasai sekarang, Dafka sedikit percaya diri untuk mengalahkan Yudam, karena dirinya bukanlah yang dulu sudah lebih lama keahlian Dafka berkembang dan sekarang waktunya untuk kompetisi
" Halo, ini Dafka! "
"......"
"Soal tawaran masuk Tim, aku terima, kapan kita bisa mulai latihan?, Tolong hubungi nomor ini jika ada info lain "
"....."
Sambungan pun terputus, Dafka menatap tajam lorong kosong seolah jika Yudam dan teman teman nya masih ada disana
" Ingat bumi itu berputar " Dadakan berkata dengan gertakan giginya
Bersambung.....
Trio Kusam
Ideologi lama yang kini mulai di perbaharui, perlahan lahan terlihat baik namun tetap dengan proses yang sulit , itulah jalan kita
~ Rempah 25 ~
Viola berjalan bergegas ke arah kelasnya, dengan suara sepatu yang terus terdengar lantang di lorong sekolah yang sudah mulai ramai, wajah cantiknya tampak kesal dengan rambut tergerai terbang mengikuti ritme dia berjalan, Viola berjalan membelah keramaian meski dengan wajah kesal tetapi dia masih tampak cantik meski dilihat dari sisi manapun
" Pagi Viola " sapa Kean yang berada tepat di depan pintu kelasnya, tapi tak di hiraukan oleh Viola dia malah masuk dan menghampiri orang yang sedari tadi dia coba temui
Yudam
Pemuda itu yang sekarang tengah berdiri di hadapan jendela dengan earphone yang menyumpal di kedua telinganya , Viola langsung saja menghampiri Yudam dan mencabut salah satu earphone di telingga Yudam, dengan kesal Yudam berbalik dan menanyakan maksud dari tindakan Viola barusan
" Kenapa ?" Tanya Yudam masih dengan nada normal tidak ada emosi sedikitpun di nada bicara nya itu, karena bagiamana pun Viola ini memiliki peran penting bagi dirinya, jadi Yudam harus menjaga kepercayaan Viola agar terus memijaknya
" Aku mau ngomong tentang evaluasi bulan ini ! " Viola berbicara dengan mimik muka yang masih seserius sebelumnya, matanya menatap tepat di manik mata elang milik Yudam yang sama menatap Viola dengan sedikit menunduk karena perbedaan tinggi badan mereka
" Kenapa masih mikirin evaluasi ?, Kita kan udah 2 kali lolos tanpa harus susah, jadi apalagi yang meski di pikirin " Yudam kembali menatap jendela dengan kedua tangan yang ia masukan kedalam saku seragam nya
Melihat itu Viola menjadi sangat kesal, pasalnya Yudam tak tau ada sesuatu yang wajib dia ketahui tentang evaluasi kali ini
" Kamu masih inget Dafka ? " Viola menanyakan ini dengan takut takut, karena Yudam paling sensitif dengan urusan yang bersangkutan dengan Dafka
" Jangan bahas ini lagi " Yudam mengertakan giginya kesal dan berjalan menuju bangkunya meninggalkan Viola , dan tentu saja Viola tetap mengikutinya
" Dia yang bakalan nantangin kita di evaluasi kali ini ?" Ucap Viola membuat Yudam langsung saja melirik ke arahnya
" Dia satu Tim sama siapa aja ? " Tanya Yudam lagi dengan bokong yang sudah mendarat di kursi kayu barisan kedua , Yudam menanyakan itu karena setidaknya teman satu Tim nya itu tidak sehebat Dafka, maka Yudam tak akan masalah harus berhadapan lagi dengan Dafka kali ini
Yudam mengakui kehebatan Dafka mengalahkan Hellen soal mengolah daging, tekstur nya, tingkat kematangan, dan warna nya sanggat sempurna, Yudam mengakui itu, bahkan Dafka pernah menjadi juri tamu di acara ajang pencarian bakat, hanya saja terlalu tinggi gengsi Yudam untuk membicarakan ini dengan orang lain.
Yudam tersentak kaget saat Viola duduk begitu sembrono di sampingnya, dan dengan antusiasnya Viola menjelaskan siapa saja yang akan menjadi tim Dafka
" Aku denger sih namanya Gaidan, sama Teri, kamu tau Teri kan ?" Ucap Viola membuat Yudam berusaha mengingat apakah dia tau salah satu dari mereka
Dan akhirnya Gaidan pun mengeleng kan kepalanya tanda dia tak kenal satupun diantara keduanya
" Ituloh cewek yang penampilannya acak acakan, yang waktu itu nempelin poster gajelas di mading " Jawab Viola dan untuk sesaat Yudam terdiam
Hingga
1 detik
2 detik
3 detik
Dan
Yudam pun ingat!
Dia ingat Poster yang di maksud Viola itu, adalah poster yang mengajak adu bakat di antara kedua jurusan dan demi apapun bagi Yudam itu amat sanggat ngak jelas serta kekanakan
" Oh ! " Yudam ingat posternya tanpa tau Teri itu seperti apa wujudnya, tapi setidaknya Yudam lega karena Dafka memilih orang tidak kompeten untuk dijadikan partnernya kali ini
" Terus Gaidan ?" Tanya Yudam lagi kepada Viola, dan seketika wajah Viola berubah seolah olah mereka itu membahas hal menjijikan
" Ituloh cowok cupu, dengan kacamata tebal, terus selalu pake celana kegedean, ihhhhh" Viola tak sanggup membayangkan Gaidan di otaknya, Viola terlalu tak menyukai Gaidan
Viola masih ingat bagaimana pria itu menyatakan cinta padanya , dengan membawa sebotol jamu dan juga bungga yang dia petik di kebun sekolah, rasanya Viola gagal menjadi wanita saat Gaidan menyatakan cinta padanya
" Aihhhh lupain lupain !" Viola menepuk jidatnya keras membuat Yudam di sampingnya pun ikut kaget, dan menatapnya heran
" Ituloh dia itu cuma bisa bikin jamu, ngak ada hebat hebatnya " sersah Viola membuat Yudam mengangguk-anggukan kepalanya
Setidanya Dafka tidak membawa Oca lagi, karena masalah terbesar waktu itu adalah Dafka dan Oca yang mengalahkan Hellen dan juga Viola, Yudam lega setidaknya Oca tak ada sekarang jadi dia hanya fokus kepada Dafka saja , dua orang tak berguna itu biar yang lain urus
Yudam tak mau kejadian dulu terulang, dimana Yudam di marahi habis habisan oleh mentor yang menjadi pelatih Tim nya, seharusnya Tim Dafka yang patut untuk menang saat itu, tapi untung saja para juri adalah kolega dari ayah Kean dan juga Hellen, jadi mereka bisa menyelamatkan harga diri kelompok nya
Karena tidak lucu makanan khas Italian harus kalah dengan nasi uduk yang mereka buat, meskipun terhindar dari rasa malu, Tim nya tak bisa menghindari amukan mentornya, maka dari itu mereka melampiaskan nya kepada Dafka saat itu
Tapi dalam hati Yudam ada perasaan lega karena kali ini Dafka tak memilih Oca, karena bagaimana pun Viola tak akan pernah bisa dibandingkan dengan Oca sang ratu Dessert
" Dafka mau lawan kita ? " Suara bass Kean terdengar lantang membuat Yudam dan Viola secara otomatis menoleh kepada Kean yang berada di ambang pintu, kelas yang mulai ramai tak menjadi masalah bagi Kean untuk tetap masuk ke kelas Yudam tanpa dosa
Karena Kean tak satu kelas dengan Yudam bukan berarti mereka jarang bertemu karena hampir 60% kehadiran nya, Kean berada di kelas Yudam tanpa mempedulikan teguran yang datang padanya
" Kali ini gue yakin setelah depresi nya waktu itu, Dafka ngak akan sebagus dulu " Kean berbicara sambil berjalan menghampiri Yudam dan Viola dan akhirnya duduk di atas meja yang berada di depan Yudam
" Bisa ngak ! , Ngak usah bahas itu lagi !!!" Ucap Viola kepada Kean kesal, tapi Kean tetaplah Kean dia hanya mengidikan bahunya tak peduli
Sedangkan Yudam hanya diam , dia membenarkan bahwa Dafka pernah Depresi dan hampir saja meninggalkan dunia kuliner karenanya, tapi itu tak membuat Yudam lega , karena kehebatan Dafka itu di luar dugaan, meskipun penampilan nya tak mencerminkan wibawa tapi tangan nya itu sangat lihai mengunakan pisau
Yudam menghela napas kasar dan berkata
" Udahlah , lebih baik kita sering latihan sekarang " ucap Yudam akhirnya yang malah membuat Kean tertawa geli
" Latihan ?, Buat apa?, Lagian gue yakin dia itu ngak ada apa apanya sekarang, di tambah lagi Tim nya yang ngak berguna, mereka sekarang keliatan kayak Trio kusam tau ngak !" Perkataan Kean membuat Yudam terdiam
' jadi mereka masih bertiga ' batin Yudam
Itu artinya mereka masih bisa menambah angotanya, Yudam melirik Viola dan membayangkan bagaimana jika Oca juga ikut andil kali ini , Viola tak tahu waktu itu Oca banyak mendapatkan pujian oleh mentor dan juga para juri, tapi tetap saja seenak apapun makanan Oca, Viola yang akan menang karena waktu itu para juri hanya mementingkan perasaan Viola untuk urusan bisnis mereka dengan ayah Viola
Kemudian Yudam menatap ke sampingnya karena suara tawa Viola dan juga Kean yang tenggah bercanda saat ini terdengar amat sangat menyebalkan bagi Yudam
" Kalian masih bisa senyum sekarang ? " Yudam kesal melihat Viola dan Kean malah bercanda gurau disaat keadaan benar benar membuat Yudam tertekan, mereka tertawa lepas tanpa tau jika harga diri mereka sekarang di pertaruhkan.
Bersambung........
Trio Kusam dan Penghianat
Gaidan, Teri dan personil baru yaitu Dafka, mereka bertiga duduk di samping kelas Gaidan dan juga Teri , sebenarnya mereka ini tenggah berunding untuk mencari lagi anggota baru dan juga tempat mereka mengasah bakat mereka serta siapa yang akan membimbing mereka nanti untuk persiapan evaluasi bulan ini .
Karena formasi yang belum lengkap Teri dan juga Gaidan tenggah memikirkan siapa yang akan menjadi anggota selanjutnya, dan masakan apa yang akan mereka buat nanti itulah alasan mereka bertiga berkumpul disini
Saat tenggah berdiam untuk berpikir, tiba tiba Sesil berjalan melewati mereka bertiga kemudian diam sejenak lalu perlahan berjalan mundur dan berdiri tepat di hadapan Teri, Sesil menatap mereka bertiga dengan kernyitan di dahinya
" Kalian bertiga temenan ?" Tanya Sesil menunjuk mereka bertiga, lalu Teri, Dafka dan juga Gaidan hanya saling lirik dan mengangguk pelan mengiyakan pertanyaan Sesil
Mendengar jawaban mereka bertiga Sesil menepuk dahinya dan kembali fokus kearah Teri
" Ya ampun ! Teri, Lo berdua mulu sama Gaidan aja udah kaya ....apa ya ! , Sekarang di tambah ini kribo , please deh , kalian ini " Sesil merasa iba kepada Teri sekarang , melihat dia dari atas sampai bawah rasanya Sesil ingin memandikan Teri, mencukur rambut Dafka , dan mengecilkan celana Gaidan, agar mereka lebih terlihat seperti manusia pada umumnya, tidak seaneh ini
" Kenapa ?" Tanya Teri acuh
Sesil hanya menatap mereka bertiga sambil mengelengkan kepala lalu kembali berjalan masuk kedalam kelasnya dengan perasaan aneh yang dia rasakan saat ini
" Itu temen kamu ?" Tanya Dafka kepada Teri dan di jawab dengan anggukan oleh Teri, tanpa di sangka Dafka malah tersenyum menatap pintu kelas nya dimana Sesil tengelam tak terlihat disana, dan sekarang Dafka malah senyum senyum sendiri
" Cantik " ucap Dafka di tengah senyuman nya membuat Teri dan juga Gaidan kaget
" Siapa ? Yang barusan ?" Tanya Teri lagi mempertegas jika yang di bilang Dafka cantik itu adalah Sesil, dan Dafka mengangguk malu mengiyakan
Teri dan Gaidan langsung saja saling pandang dan menatap Dafka dengan miris , pasalnya dia tak tahu siapa itu Sesil sang ratu kebersihan, walaupun cantik tapi cerewet nya tak masuk akal
" Dia udah punya pacar belum ?" Tanya Dafka membuat Teri merasa jijik dengan tingkah laku Dafka yang aneh ini
Melihat itu Gaidan langsung saja mengalihkan pembicaraan nya untuk mengalihkan pikiran Dafka yang tanpa di sangka sangka oleh Teri dan Gaidan kepincut oleh Sesil hanya dengan pertemuan singkat
" Kita lanjutin ngak nih bahas tempat latihan dan juga mentor yang bakalan latih kita " tanya Gaidan kepada Dafka, dan langsung saja Dafka menetralkan kembali mimik wajahnya dan menjawab Gaidan dengan serius
" Aku belum ada , tapi coba deh kalian cari dulu tempat les memasak atau apa gitu, yang sesuai sama uang yang kita punya " jawab Dafka mantap
Teri yang berada di tenggah tenggah Dafka dan Gaidan hanya senyum senyum melihat perubahan mimik wajah Dafka yang barusan terlihat bodoh kembali normal lagi hanya dengan satu pertanyaan saja, begitupun juga Gaidan
" Kalian denger kan ?" Tanya Dafka kepada keduanya karena merasa jika mereka tak mencerna ucapan Dafka dengan baik
" Denger kok denger hahahahhahah " ucap Teri sembari merangkul Gaidan membuat Dafka merasa puas
" Eh tunggu !" Ucap Teri tiba tiba teringat sesuatu
" Untuk anggota kita juga masih kurang , kira kira Dafka ada kenalan gitu yang bisa jadi pelengkap di Tim kita " tanya Teri serius dan Gaidan pun antusias menunggu jawab Dafka saat ini
Dan yang di tanya hanya menerawang jauh mencoba mengingat siapa yang cocok untuk ikut di Tim nya ini , sebenarnya sedari awal Dafka terpikirkan akan Oca, tapi mengingat kegagalan mereka waktu itu sepertinya mustahil bagi Oca untuk mau bergabung di Tim ini apalagi harus menghadapi Tim Yudam lagi, sudah pasti Oca tak akan mau berurusan dengan orang orang itu
" Ada gak ? " Tanya Gaidan lagi karena Dafka berpikir sanggat lama membuat mereka berdua penasaran
" Oca " tanpa sadar Dafka menyebutkan nama Oca, membuat Teri merasa senang karena sekarang sudah jelas Tim ini adalah Tim yang tak kalah berkualitas dari Tim Yudam , karena Oca juga akan menjadi bagian dari mereka
" Tapi aku ngak yakin dia bakalan mau " jawab Dafka lagi , membuat Teri dan Gaidan heran
" Tenang aja , dia keliatan nya gadis baik dan bisa di ajak kompromi " jawab Gaidan yang sontak membuat Teri menatapnya
" Kenal ?" Tanya Teri kepada Gaidan
" Oca itu ratu Dessert nya KTN, dia sanggat terkenal di kalangan mentor " jawab Gaidan membuat Teri mengangguk semangat mendengar itu
" Apapun yang terjadi kita harus dapetin Oca , setuju !" Teri merentang kan tanganya sebagai tanda semangat dan Dafka ikut andil dia menaruh tangannya di atas tangan Teri begitupun Gaidan
" Huh " ucap mereka bertiga keras sampai menarik perhatian orang orang yang berlalu lalang, tapi mereka tak peduli****
Setelah kejadian dimana Sesil menyapa Teri yang tenggah bersama Dafka, Sesil menjadi sangat cerewet dan tak berhenti membicarakannya untuk lebih inilah, itulah, intinya Teri sudah sangat malas mendengarkanya
" Ampun deh ! Sekian banyaknya cowok ganteng di sekolah, kenapa harus si kribo itu " Sesil berbicara tepat di belakang Teri karena letak kursi Sesil berada tepat di belakang kursinya
" Teri ! Denger ngak sih ?" Sesil menoel noel punggung Teri agar menghadap padanya dan karena amat sangat menganggu Teri pun menghadap kearah Sesil, sedangkan Gaidan hanya meletakan wajahnya diatas meja dengan kedua tangan menyumpal telinga nya
" Apa?" Teri sekarang benar benar menghadap kearah Sesil, dan sekarang sontak Sesil menaruh tangannya di dagu dan memperhatikan Teri dengan seksama, yang Sesil lakukan sekarang hanya meneliti wajah Teri
" Sebenernya Lo itu cantik ! Cuma rambutnya agak berantakan " tangan Sesil terulur untuk merapihkan rambut Teri, tapi baru Sesil mulai merapihkan rambutnya Sesil sudah menarik kembali tanganya
" Udah berapa hari ngak keramas ?" Wajah Sesil terlihat was was menunggu jawaban Teri
" Empat " jawab Teri malu malu , tapi itu justru membuat Sesil melengkingkan suaranya
" Ahhhhhhhhh jorok banget sih jadi cewek " dan langsung saja Sesil mengambil tisu basah dan mengelap tanganya sendiri dengan teliti
" Orang yang kerjaan nya masak itu harus bersih tau ngak sih, harus higenis! " Cerocos Sesil
" Iya iya !" Hanya di jawab oleh gerutuan malas oleh Teri, sedangkan Sesil masih saja nyerocos mengomeli Teri
" Apa kamu ibuku ?" Tanya Teri kepada Sesil yang tenggah ngomel, dan Sesil yang mendengar itu langsung saja terdiam menatap Teri
" What?" Teriak Sesil, dan bukan nya canggung Teri malah keluar dari bangkunya untuk menghampiri Sesil
" Bundaaaaa" rengek Teri dengan menyusupkan kepalanya ke lengan Sesil, yang langsung dihadiahi dorongan kecil di dahi Teri, sedangkan Gaidan menengelamkan kepalanya dalam seolah enggan mendengar pembicaraan para wanita di belakangnya.
" Hey hey " teriak Sesil mencoba melepaskan diri dari Kungkungan Teri yang semakin mengila
" Udah gilaa ni perempuan ! " Ujar Sesil kepada Teri yang sekarang tenggah bergelayut manja di olah olah Sesil ini ibunya, lebih tepatnya Teri terlihat seperti anak monyet yang bergelantungan kepada induknya
" Ihhhh tolongin gue ! Lo apaansih " Sesil berusaha menjauhkan diri dari Teri sampai dia berlarian kesana kemari hingga akhirnya meningalkan kelas
Setelah kepergian Sesil, Teri menyimpan kedua tangannya di pinggang
" Makanya ngak usah urusin hidup orang lain " gerutu Teri, dia kembali mendaratkan bokongnya di samping Gaidan
Dan tanpa Teri ketahui di luar Sesil tenggah menghubungi seseorang, dia merogoh ponselnya dan menempelkan nya di daun telinga indahnya
" Hallo"
" kayaknya Oca juga bakalan ikut serta"
"......"
" Okey " jawab Sesil dan akhirnya menutup kembali ponselnya, raut wajah Sesil berubah murung menatap ponselnya dengan nanar
" Sorry " ucap Sesil pelan menatap kearah pintu, yang Sesil maksud adalah Teri, dia merasa bersalah kepada Teri karena telah lancang menguping pembicaraan nya dan membocorkan nya kepada orang yang akan menjadi lawan nya nant
Tapi ini semua bukan keinginan Sesil, ada sesuatu yang tak bisa orang lain mengerti kenapa dia sampai berbuat sejauh ini dan berkhianat kepada teman nya sendiri.
Bersambung.......
Selurus Sereh
Bersikap profesional itu tak semudah terucap, terpaksa bersikap seolah tak terjadi apa apa terus melanjutkan walau terasa menyakitkan.
~ Rempah 25 ~
Yudam jadi panik saat mengetahuip bahwa Dafka akan menjadikan Oca lagi sebagai partner nya di evaluasi kali ini, Yudam terpaksa memanfaatkan Sesil untuk memata matai Teri dan juga Gaidan, dengan iming iming Yudam akan mendekatkan Sesil dengan Kean setelah evaluasi selesai
Bukan rahasia lagi jika Sesil sudah sedari lama menaruh perasaan nya kepada Kean dan tak sekalipun mendapatkan respon baik dari Kean ataupun teman teman nya, jadi pada saat Yudam mendekati nya dan berjanji akan membantunya, Sesil sangat senang dan tanpa pikir panjang dia bersedia di jadikan mata mata sebagai balasan atas bantuan Yudam
Tak mau situasi menjadi kacau, Yudam segera merundingkan masalah ini dengan Tim nya, bagaimanapun Yudam tak ingin kalah kali ini apapun caranya dia harus menang, tak ingin kejadian dahulu terulang lagi
Dan sekarang
Yudam tenggah berunding dengan Tim nya agar dapat tampil semaksimal mungkin dalam evaluasi kali ini , terutama Hellen dan juga Viola, Karena merekalah yang melawan siswa terbaik di jurusan KTN.
Bukan nya Yudam tak baik dalam memasak, tapi keahlian yang di miliki Oca dan Dafka itu sudah setingkat Master dan tak bisa di bandingkan dengan murid biasa seperti nya, hanya saja mereka tak punya kuasa, sehingga bakatnya itu terpendam begitu saja, tapi Yudam bukan orang bodoh yang tak menyadari kahebat Oca dan juga Dafka
" Kenapa khawatir ?, Kita lakuin aja kaya biasanya " ucap Gery saat melihat raut muka ketir Yudam, dan ucapannya di setujui oleh anggota lainnya
" Lagian lawan kita itu Dafka, meskipun masaknya jago, tapi mental dia tempe " Hellen berkata dengan nada bicara dingin, karena Hellen ini termasuk gadis arogan yang dingin
Tetapi Yudam begitu tersentak saat mendengar perkataan Hellen
' itu dia! Mental' batin Yudam dengan seringai di bibirnya, sekarang Yudam tahu apa yang harus dia lakukannya
Daripada melawan lebih baik menyingkirkan, itu akan memperoleh hasil baik
" Kasih tau alamat nya Dafka !" Pinta Yudam
_
Setelah kepergian semua anggota Tim nya, yang tersisa kini hanyalah Kean saja, dan Yudam pikir ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan rencana nya dengan Kean
" Kean! Lo tau Sesil ?" Tanya Yudam kepada Kean, Kean yang hendak berdiri kembali duduk saat mendengar pertanyaan Yudam
" Mana mungkin gue ngak tau, dia anak KTN yang naksir gue kan?" Jawab Kean mantap
Dan kini Yudam memposisikan diri, duduk tepat di hadapan Kean
" Kalau Oca? " Tanya Yudam lagi
" Oca?, Ya gue tau lah dia yang satu Tim sama Dafka waktu itu ?" Tanya Kean dengan wajah tengilnya
Yudam menghela nafas gusar
" Oca suka sama Lo " ucap Yudam lagi membuat Kean terbelalak kaget
" Ya terus ?" Jawab Kean , rasanya Kean malas membicarakan hal hal seperti ini, kenapa harus dia yang jadi rebutan cewe gembel kaya Oca dan Sesil, bikin derajat turun aja
" Dafka pilih Oca sebagai partner nya lagi kali ini, dan kita harus cegah itu " ucap Yudam Samat sangat serius berbanding terbalik dengan Kean yang saat ini malah tersenyum remeh
" Ya biarin ! Mereka ngak ada apa apa nya, biarin mereka rasain lagi kegagalan yang sama " ucap Kean dengan tangan merogoh jaket jeans nya di samping Yudam
" Tapi kalau Oca sampai gabung kita dalam masalah " suara Yudam kini meninggi, dan Kean hanya menatap Yudam heran dan kemudian dia berdiri
" Kenapa?, Masa seorang bintang sekolah takut kalah sama rakyat jelata kaya mereka " ledek Kean kepada Yudam
" Lo dengernya " Yudam sudah amat sangat kesal melihat sikap santai Kean, dan dengan terpaksa dia menceritakan kejadian sebenarnya di evaluasi saat mereka melawan Tim Dafka, kebenaran soal pemenang sebenarnya, kebenaran tentang kehebatan Oca, dan kebenaran soal Dafka dengan segala kemampuan nya
Setelah Yudam berbicara panjang lebar kini Kean hanya diam membisu mencoba mencerna ucapan Yudam
" Terus kenapa Lo cuma bicarain ini Sama gue ?" Kesal Kean saat mengetahui kebenaran yang menurutnya tak masuk akal
" Lo harus cegah Oca gabung dengan Tim Dafka" perintah Yudam lagi kepada Kean dan itu membuat Kean mengacak rambutnya frustasi
" Ya gimana caranya " tanya Kean kesal
" Gue tegasin sekali lagi, Oca suka sama Lo " ucap Yudam kemudian di beranjak lebih dulu meningalkan Kean, dan memberi waktu untuk dia berpikir langkah apa yang akan dia ambil sekarang
Sebenarnya Yudam juga masih tak yakin jika Oca itu suka kepada Kean, tapi jika dilihat gerak geriknya Oca, Yudam tahu jika Oca menaruh perasaan kepada Kean, Yudam melihat tatapan nya yang melembut saat menatap Kean, dan dia selalu tersenyum saat mendengar suara Kean walaupun itu tenggah meremehkan Tim nya saat itu, dan yang lebih kentara yaitu Oca selalu curi curi pandang kepada Kean
****
Sepulang sekolah Kean sengaja tak langsung pulang tetapi dia menyusuri jalan menuju rumah Oca untuk menjalankan aksinya mencegah Oca ikut serta dalam Tim Dafka, Kean berencana akan menjadikan Oca kekasihnya sampai evaluasi bulan ini selesai, karena jika Kean menjadi kekasihnya setidaknya Kean berhak melarang dan mengatur Oca, dan itu alasan mengapa Kean berada di gang sempit ini
" Tempat apaan nih, kumuh banget " gerutu Kean saat melewati daerah tempat tinggal Oca dengan motor ninjanya, bahkan beberapa orang disana menatap Kean dengan heran
" Yang mana lagi ini "
Kean terus saja menyusuri jalan dengan motornya mencoba mencari petunjuk yang dikatakan Yudam tentang tempat tinggal Oca, hingga dia tak sengaja melihat Oca di ujung jalan yang dia lewati ini, yang Kean lakukan sekarang hanya menatap Oca menunggu gadis itu menyadari keberadaan nya
Hingga 3 menit berlalu Oca belum juga menyadarinya, dengan kesal Kean menekan klakson motornya membuat beberapa orang disana memekik termasuk juga Oca, dia kaget melihat kehadiran Kean di daerah tempat tinggalnya
Kean hanya tersenyum miring saat melihat Oca tak berkutik menatap dirinya
'kayaknya bener ya , Lo suka sama gue '
Batin Kean
Tanpa nunggu lama Kean melajukan kembali motornya dan menghampiri Oca yang terdiam kaku
" Hai, rumah kamu yang mana yah ?" Kean menyapa Oca seramah mungkin berusaha menyembunyikan segala kerisihan yang dia rasakan saat ini
Berbeda dengan Kean yang masih berseragam, Oca kini sudah berganti pakaian mengenakan rok selutut berwarna biru dan kaos putih dengan rambut terikat menatap Kean kaget tak berkutik
" Heyyyyy!!" Kean melambaikan tangannya kearah wajah Oca untuk menarik kembali kesadaran nya, dan kemudian dia turun dari kuda besi yang dia tumpangi
" Eh !" Oca terkaget saat Kean tiba tiba menariknya ke depan rumah sederhana berwarna abu abu dan berdiri tepat di depan pintu rumah tersebut
" Pasti ini kan rumah kamu ?" Tanya Kean dengan senyum palsunya dan Oca tak bisa berkata banyak selain mengangguk-anggukan kepalanya
" Masuk !" Perintah Oca kepada Kean dengan sopan karena suasana baginya amat terasa canggung jadi Oca hanya bisa mempersilahkan Kean masuk ke dalam rumahnya
Kean pun mengangguk dan perlahan masuk ke rumah sempit milik Oca, dia memperhatikan setiap inci isi rumah Oca dengan perasaan yang entah apa ini
'dia bener bener hidup kayak kecoa ' batin Kean saat melihat kondisi rumah Oca yang sempit sesak di penuhi barang barang itu
Oca berdiri diambang pintu dan kemudian mempersilahkan Kean untuk duduk sementara dia membuatkan minum untuk Kean, meski masih ada tanda tanya besar di kepala Oca tentang kehadiran Kean, tapi setidaknya Kean adalah tamunya jadi Oca harus memperlakukan Kean dengan baik
Kean memperhatikan Oca yang sudah mulai hilang di balik pintu, dia merogoh benda pipih di sakunya dan langsung saja mengetik pesan yang dia tujukan kepada Yudam
Kayaknya gue ngak tahan, dia bener bener hidup kayak kecoa, gue ogah buat manfaatin dia sekalipun
Setelah mengirimkan pesan tersebut tak berselang lama Yudam pun membalasnya
Yudam_
Ngak bisa!!! Kita ngak boleh nyerah gitu aja
Dan balasan Yudam membuat Kean mendesah frustasi, ada rasa penasaran di benak Kean tentang seberapa hebatkah Oca ini, sampai sampai bintang sekolah seperti Yudam merasa getir beradu bakat dengan nya
Trenggg
Suara cangkir yang beradu dengan meja kaca di hadapanya, rupanya itu adalah Oca
" Emm ada perlu apa kamu repot repot kemari ? " Tanya Oca to the points kepada Kean, membuat Kean agak sedikit kikuk dan bingung harus menjawab apa
" Itu,, kita nonton yuk " Kean mencoba beralibi semulus mungkin agar Oca merasa jika Kean ini tulus, tetapi Oca pun merasa, rasa tak nyaman Kean saat ini terlihat jelas tapi Oca tak berani mencampuri urusan Kean dan dirinya itu, yang dia ingin ketahui adalah maksud Kean mendadak ingin bertemu dengannya, padahal sebelumnya jangankan mengobrol seperti sekarang, Kean meliriknya pun tak pernah
" Itu tadi aku baru dapet tiket nonton dari Viola dan kebetulan ketemu kamu gitu " alibi Kean lagi yang malah membuat Oca semakin merasa aneh
Dan dengan segala bujuk rayunya Kean berusaha mendekati Oca dan berusaha pula terlihat setulus mungkin meski hatinya kini menggerutu
' gue harap evaluasi ini cepet selesai, gue ngak sanggup ' batin Kean yang tak henti hentinya menggerutu
Sedangkan Yudam si otak dari rencana ini tenggah duduk diam di hadapan seorang pria tua dengan wajah menunduk lemah
" Inget kamu harus selalu jadi nomor satu , karena itu alasan kamu dilahirkan ke dunia ini " ucap Pria tua itu menepuk nepuk bahu Yudam yang kini terlihat tertekan
" Kalau sampai kamu berani mencoreng sedikit saja nama baik papah, kamu tau sendiri kan?, jadi jangan macam macam, belajarlah dan selalu menjadi nomor satu " pria tua yang sekarang tenggah duduk disamping Yudam dan kembali menyesap teh hangat di hadapannya
Sedangkan Yudam
Jangankan untuk menyesap tehnya bergerak saja dia enggan sekarang, karena rasa tak nyaman berada dekat dengan orang yang kini duduk di sampingnya, meskipun dia ayah kandungnya sendiri Yudam merasa jika ayahnya itu terlalu terobsesi akan kemenangan nya dalam segala hal, dan amat sangat terasa asing.
Bersambung......
Nenek Power
Gaidan, Teri dan Dafka sudah lebih dari 3 jam mereka berkeliling mencari calon mentor dan juga tempat untuk mereka berlatih, namun tidak satupun yang harganya sesuai dengan uang yang mereka miliki saat ini, semua menawarkan harga tinggi untuk waktu yang singkat membuat mereka bertiga hanya bisa gigit jari duduk berdampingan di pinggir jalan, bingung harus pergi kemana lagi
" Ini lebih susah dari yang di bayangin " gerutu Gaidan membuat Teri dan Dafka ikut merasa patah semangat
" Tapi kita harus lakuin ini agar mereka tak selalu merendahkan kita dan menyebut kita semua chef kaki lima" Teri berbicara mengebu dengan menepuk dada nya pelan
Wajah mereka bertiga berkeringat, berjalan di bawah terik matahari seharian bukanlah hal yang mudah, tapi kerja keras sama sekali tak membuahkan hasil apapun, setelah berkeliling seharian akhirnya mereka berakhir di pinggir jalan dengan tangan kosong dan mungkin akan pulang dengan rasa hampa
" Coba aja kalau saudara kita ada yang bisa di andelin" ucap Gaidan menatap jalanan yang ramai dengan lesu
" Tapi ibu kamu kan punya rumah makan Padang ?" Tanya Gaidan kepada Dafka membuat Teri merasa memiliki satu harapan lagi menatap Dafka dengan binar
" Ibu aku kan di Padang " jawab Dafka dan itu sangat mengecewakan , membuat mereka kembali lesu karena kembali teringat jikalau Dafka ini anak rantau yang tinggal di kos-kosan paman nya sendirian alias sebatang kara
kembali mereka berusaha berpikir dengan serius
" Gimana kalau kita gunain ballroom sekolah aja, kan jarang banget di pakai !" Cetus Teri kepada dua cowok di sisinya itu, Gaidan dan Dafka hanya memutar bola mata malas
" MANA BISA ! KAN BALLROOM SEKOLAH KALAU SELAIN PELAJARAN PRAKTEK NGAK BOLEH DI PAKE " teriak Gaidan, mungkin efek dari kelelahan Gaidan yang pendiam kini marah marah menendang perkataan konyol Teri
Dan Teri hanya menatap Gaidan kaget dengan cemberut, merasa jika Gaidan ini berlebihan padanya, padahal Teri hanya menyampaikan pendapatnya saja, Gaidan tak perlu repot repot membentaknya
Dafka yang melihat perdebatan antara dua sahabat ini segera berpikir untuk mengalihkan mereka, tak ingin mereka berkepanjangan
" ehhhh !!....gimana kalau kita ke rumah Oca dulu " ajak Dafka dengan bersemangat berusaha mencairkan suasana aneh ini, tapi tak disangka Teri berdiri cepat dan kembali tersenyum ceria
" Ayo !!" Ucap Teri membuat Dafka tersenyum lega melihatnya
karena sebelumnya mereka berencana untuk menemui Oca di sekolah, akan tetapi Oca sudah pulang saat mereka baru saja keluar kelas, akhirnya Dafka mengajak Teri dan Gaidan untuk menyusul ke rumah nya Oca
" Yaudah ayo !" Ajak Teri beranjak dengan tangan yang menggandeng lengan Gaidan serta Dafka yang memimpin langkahnya, di tengah langkahnya Dafka tersenyum geli
Semudah itu mereka berbaikan?
Mereka bertiga kembali berjalan beriringan di bawah terik matahari, mustahil untuk menaiki angkutan umum, karena jalan menuju rumah Oca itu harus melewati gang gang sempit dan juga ramai
Teri bahkan tak tahu jika di daerah ini terdapat begitu banyak rumah termasuk juga rumah Oca, rumah abu abu di hadapanya sekarang yang Dafka bilang jika itu adalah tempat tinggal Oca
" Ini ? " Tanya Teri menunjuk rumah abu abu dengan ukuran tak begitu besar di hadapan nya kepada Dafka dan di jawab dengan anggukan oleh Dafka mengiyakan pertanyaan Teri
" Yaudah ketuk !" Perintah Gaidan kepada Dafka, lalu Dafka pun melangkahkan kaki nya untuk mendekatkan diri kearah pintu
Tuk tuk tuk
" Oca!!" Panggil Dafka
Tuk tuk tuk
" Oca!!" Panggil Dafka lagi sedangkan Teri dan Gaidan menunggu di belakanganya
Dafka terus saja mengetuk dan berteriak namun tak ada jawaban sama sekali dari dalam hingga seorang tetangga menghampirinya
" Oca ngak ada ! Tadi pergi naik motor sama mas ganteng " ucap perempuan tua yang menghampiri mereka
" Mas ganteng ?" Tanya Teri kepada Dafka, dan Dafka pun hanya mengidikan bahunya tanda tak tahu sementara Gaidan sibuk mengelap kacamatanya yang berembun akibat keringat nya
" Gimana dong , ada nomornya ngak ?" Tanya Dafka kepada Gaidan
" Kan yang temen nya siapa ?, Kok malah tanya siapa " jawab Gaidan, dan kembali usaha mereka tak membuahkan hasil apapun hari ini
" Hari ini kenapa sih?" Teri berkata dengan menghela nafas lelah dengan tangan menggaruk garuk rambutnya
Sementara orang yang tenggah di cari cari oleh mereka yaitu Oca, sekarang tenggah duduk di samping pria tampan idamannya dengan gugup, ini pertamakalinya dia duduk sedekat ini dengan Kean setelah lebih dari 2 tahun dirinya menaruh hati pada Kean
" Aku mau to the point aja " ucap Kean tiba tiba membuat jantung Oca berdegup hebat, merasa tak tau harus berbuat apa setelah kebisuan mereka beberapa menit yang lalu tiba tiba saja Kean membuka suaranya
" Kamu tau perasaan aku ?" Ucap Kean yang tentu saja hanya dusta belaka menatap lembut manik mata Oca berusaha meyakinkan nya
" Apa ? " Jawab Oca pelan
Kean menarik nafas dalam, di dalam hatinya dia mengutuk keadaan saat ini dan juga mengutuk siapapun yang membuatnya berada di situasi ini, karena Kean akan mencoreng sejarahnya dengan menjadikan gadis seperti Oca yang jauh dari kriteria tipenya sebagai kekasih, meskipun hanya pura pura tapi tetap saja Kean tak rela
Padahal Kean ingin Kekasih pertamanya itu adalah seorang gadis berwawasan dan juga cantik, bukannya gadis kumuh seperti Oca
Oca ini adalah seorang pendiam, maka tak terlalu banyak yang ingin dia sampaikan kepada Kean sekarang, selain menunggu apa yang akan Kean katakan padanya
" Kamu punya pacar ?" Tanya Kean lagi berusaha selembut mungkin, berniat membujuk Oca agar hanyut akan rayuan nya, karena meski belum pernah berpacaran setidaknya Kean mengerti jika seorang wanita akan cenderung luluh dengan sikap lembut, apalagi yang bersikap ini adalah dirinya Kean.
Mendengar pertanyaan itu Oca menunduk dalam dengan tangan yang sudah dia tautkan, berupaya menetralkan debaran jantungnya saat ini
" Aku suka kamu Oca!, Aku tau ini mendadak tapi perasaan aku ke kamu itu sudah aku rasain sedari lama " dan akhirnya Kean melancarkan aksinya dengan hati terus saja menyebutkan sumpah serapah akan kondisinya saat ini
Deg
Oca tergagap menatap manik mata Kean yang sekarang tak berani membalas tatapan nya kembali karena Kean sekarang tengah berbohong , tapi Oca hanyalah Oca dia yang sudah setengah mati memendam perasaan nya selama bertahun tahun sendirian, setelah mendengar penjelasan Kean Oca merasa sanggat bahagia
Bibirnya berkedut dan tak bisa menyembunyikan semburat merah di wajahnya, Kean pun menyadari hal itu tetapi dia menjadi amat sanggat kesal saat melihat reaksi dari Oca seperti itu saat sesudah dirinya menyatakan cinta
Dengan gerakan santai Kean mengeluarkan ponselnya, lalu menyodorkan ponsel itu pada Oca
" Kalau kamu ngak bisa jawab sekarang, nanti malem aku telpon!, Sekarang tulis nomor kamu " Kean menggenggam tangan Oca dan meletakan ponselnya di telapak tangan Oca, dengan pelan Oca mulai menekan angka angka di ponsel Kean
" Laper ngak ?" Tanya Kean kepada Oca untuk mencairkan suasana canggung yang terasa saat ini , namun dibalas gelengan oleh Oca
" Ngak papa aku udah makan barusan " jawab Oca
" Ngak bisa!!, kamu aku traktir makan di restoran Italy langanan aku, mau? Pasti kamu jarang makan di tempat kaya gitu?, Kali kali makan makanan berkelas, jangan makan ketoprak, gado gado Mulu " Kean berbicara sambil tertawa renyah, tapi Oca merasa malu saat setelah Kean berkata begitu, seolah Kean menegaskan perbedaan diantara mereka, bahkan seorang nenek yang duduk di samping Kean merasa amat sanggat tergangu dengan ucapan Kean barusan
" Kenapa sama gado gado dan ketoprak ?" Tiba tiba seorang nenek tua itu berdiri dan berbicara kesal kepada Kean membuat mereka menjadi pusat perhatian sekarang, karena suara lantang dari nenek tua itu, sedangkan Kean tersentak kaget saat mendengarnya begitupun Oca yang otomatis memegang lengan Kean
" Mentang mentang anak muda !, Apaan restoran Italy? Gaya mu ya, dasar anak jaman sekarang ngabisin uang demi makanan secuil itu " cerocos nenek itu lagi yang kini suara nya semakin tinggi
Sedangkan Kean hanya menatap bingung memperhatikan sekitar yang kini beralih fokus padanya
" Ketoprak sama gado gado itu endemik nya Indonesia, ngak kalah berkelas nya sama Italy Italy itu " teriak nenek itu lagi, sekarang muka Kean rasanya amat terbakar karena malu dengan tingkah nenek di hadapanya
Sedangkan Oca tak berhenti minta maaf kepada nenek yang sekarang rasa marahnya seakan menjadi jadi
" Ibuuuuuu!" Teriak wanita paruh baya yang menghampirinya
" Kenapa Bu ?" Tanya wanita itu melihat Kean dan wanita yang dia panggil ibu itu secara bergantian
" Ini ada anak muda bilang makanan khas kita kalah berkelas sama makanan Itali , ibu Ndak terima " cerocos nenek itu lagi menunjuk nunjuk Kean
Kean ditarik begitu saja oleh Oca yang sebelumnya di beri kode agar segera membawa Kean pergi oleh wanita cantik yang menyebut nenek itu ibu
" Udah Bu !!! Nanti tak telpon Gaidan dulu suruh jemput " ucap Laras menenangkan nenek Sumiarti alias nenek Gaidan yang terus saja mengoceh
Wanita paruh baya itu alias ibu dari Gaidan merongoh ponselnya dan menghubungi seseorang
" Jemput ibu sama nenek di bioskop ! "
"......."
" Oh gitu! Yaudah bawa ke rumah sekalian "
" ......"
" Bawa aja ibu mau lihat "
"...."
" Iya hati hati "
" Gimana ?" Nenek Sum bertanya penasaran kepada menantunya itu
" Gaidan ngak bisa jemput,dia sama temennya mau kerumah jadi kita pulang naek grab aja " ucap ibu Gaidan itu akhirnya
Bersambung........
Mentor Sejati
"ibu suruh kerumah " Gaidan kembali menaruh ponsel kedalam sakunya
" Kalian belum makan kan ?" Tanya Teri lagi dan di jawab dengan gelengan oleh Gaidan dan Dafka, maka langsung saja Teri mengandeng keduanya berjalan kearah rumah Gaidan setelah 4 jam terombang ambing di jalanan yang panas ini
" Kemana ?" Tanya Dafka membuat gandengan Teri di lengannya terlepas
" Ke rumah Gaidan numpang makan " jawab Teri, dan langsung saja wajah Dafka sumbringah dan mengandeng kembali tangan Teri dan mereka berdua pun berjalan riang meningalkan Gaidan di belakang seorang diri
" Yang punya rumah siapa ?" Tanya Gaidan kepada dirinya sendiri dan berjalan menyusul mereka berdua dengan malas
****
Krekkkkkkkk
Pintu terbuka dan tampaklah tiga sekawan yang sudah bermandikan keringat itu masuk kedalam kerajaan keluarga Gaidan, saat masuk Dafka terkejut dengan interior rumah Gaidan yang amat sangat klasik dan berkelas ini
" Wahh " ucap Dafka melihat barisan botol botol dijadikan sebagai pajangan yang sangat Cantik dan unik ditambah rumah ini beraroma wangi rempah yang pekat membuat Dafka merasa nyaman
Tak berlangsur lama sang penghuni rumah menyambut mereka
" Oh ini temen Gaidan ?" Tanya Anjani kepada Dafka, dan langsung saja Dafka meraih tangannya untuk tanda penghormatan kepada ibu Gaidan
" Sore Tante " ucap Dafka ramah
" Darimana kalian?, Bau matahari begini " nenek Sum datang menghampiri mereka bertiga, lalu menatap Dafka lama
" Ini temen kamu juga ?" Tanya nenek Sum dengan kerutan di dahinya, dan hanya di jawab Dafka dengan anggukan
" Ya ampun, Kenapa kamu selalu berteman dengan orang begini " Nenek Sum menilik Dafka dari atas hingga bawah dengan matanya yang terhalang kaca berbingkai itu seolah tengah menilai penampilan Dafka
Mendengar itu Teri merasa tersinggung dengan ucapan nenek Sum, pasalnya hanya dia yang menjadi Sum ketahui sebagai teman Gaidan, jadi Teri bertanya tanya dengan ucapan 'orang begini?' itu maksudnya orang seperti apakah Teri dan Dafka
Tapi Anjani tiba tiba saja menarik Teri dan juga dan Dafka untuk mempersilahkan mereka duduk, kar na sedari tadi mereka hanya berdiri
" Sini duduk dulu!, Ibu mau masak dulu kalian belum makan kan ? " Ucap Anjani mempersilahkan Dafka dan Teri duduk di susul dengan Gaidan yang ikut duduk bersama mereka berdua
Saat Anjani hendak beranjak, nenek Sum tiba tiba menghadangnya
" Kenapa kamu yang masak?, biarin mereka aja! Kan mereka sekolah kuliner " ucap nenek Sum, dan Anjani hanya menatap ketiga anak SMK itu dengan ragu dan tidak enak hati
Tapi Dafka langsung berdiri dan menyetujui permintaan nenek Sum untuk memasak makanan sendiri, karena bukan hal sulit bagi Dafka
" Kamu yakin ?" Tanya Anjani ragu
Dan Dafka mengangguk mantap, sedangkan Teri dan Gaidan menatap Dafka dengan menagadah karena posisi mereka sekarang tenggah duduk sedangkan Dafka berdiri
" Tuh kan kamu denger?, Yaudah kita tunggu aja mereka disini " nenek Sum menarik Anjani untuk duduk diatasnya sofa
" Gaidan tunjukin dapurnya !" Perintah nenek Sum, dan langsung saja Gaidan beranjak dengan Dafka yang mengekornya dari belakang sedangkan Teri malah menyenderkan punggungnya ke sandaran sofa
Pletakkk
" Awwww " ringgis Teri saat sebuah tangan keriput menepuk dahinya cukup keras
"Kamu juga ikut !" Nenek Sum berkata dengan nada memerintah membuat Teri hanya berdiri dengan malas
" Ya ampun !!" Ucap Teri hingga akhirnya kakinya ikut melangkah mengekor Dafka dan juga Gaidan kearah dapur
Setelah mereka bertiga pergi Anjani langsung saja menghampiri Nenek Sum dengan raut wajah khawatir
" Bu ! Apa ngakpapa mereka masak sendiri, mereka baru aja dateng pasti masih capek " gerutu Anjani kepada ibu mertuanya itu
" Biarin!!, Itung itung mereka lagi latihan " Nenek Sum hanya menjawab tak acuh sedangkan Anjani merasa tak enak hati menyuruh anak orang yang baru pertama kali berkunjung kerumahnya tetapi malah disuruh memasak
-
Dafka, Teri dan juga sang pemilik rumah Gaidan kini berada di dapur rumahnya untuk memasak dengan memanfaatkan bahan bahan yang ada di dalam lemari pendingin yang ada disana
Dapur luas dengan desain yang unik membuat Dafka tak berhenti merasa kagum dengan setiap inci rumah ini, mulai dari gerbang hingga ke dapur semuanya Dafka suka, ditambah lagi aroma menenangkan dari rempah rempah dan minuman tradisional yang berada hampir di setiap ruangan rumah ini amat sanggat menyegarkan bagi Dafka
" Maaf yah nenek ngak maksud buruk sebenarnya " ucap Gaidan dengan tiba tiba karena rasa tak enak hati atas sikap nenek nya kepada Dafka di pertemuan pertama mereka yang terkesan tak baik
" Ngakpapa, aku justru seneng " Dafka berkata dengan mengaruk rambut ikalnya dengan senyuman
Blammmm
Suara pintu kulkas ditutup dengan kasar mengagetkan mereka berdua, itu rupanya Teri yang tanganya sekarang sudah penuh dengan bahan bahan mentah, rupanya Teri mengeluarkan hampir semua bahan masakan yang tersedia di kulkas Gaidan dan mengeletakannya begitu saja di meja makan yang ada disana
" Kira kira ini bisa di masak jadi apa ? " Tanya Teri kepada Dafka dan juga Gaidan dengan tangan menunjukan barang bawaan yang dia geletakan di meja, Dafka pun melangkah mendekati Teri dan menatap semua bahan bahan itu dengan serius
Disana ada ayam, ikan dan juga dan juga cabai dan masih banyak lagi jenis bumbu lainnya
" Ayam Cincane !" Ucap Dafka
Teri dan Gaidan hanya mengangguk setuju, mereka tak sabar merasakan enaknya daging yang dimasak oleh Dafka seperti cerita orang orang yang pernah merasakannya
" Mau aku bantu ?" Teri menawarkan diri untuk membantu Dafka memasak dan dijawab dengan acungan jempol oleh Dafka
" Dia pandai nakar bumbu, dan juga bikin sambel !" Ucap Gaidan menjelaskan keahlian Teri dan di balas anggukan oleh Gaidan
Dan ritual pun dimulai
Mereka bertiga mengenakan celemek dan mulai pada tugas mereka masing masing, Dafka langsung saja memotong dan membersihkan daging ayam yang akan dia olah menjadi ayam Cincane itu dengan Teri disampingnya yang tenggah membuat bumbu halus dengan instruksi dari Dafka, bumbu bumbu yang di dominasi warna merah itu tampak menantang siapa saja yang melihatnya, sedangkan Gaidan fokus membuat minuman dengan teliti
Mereka bertiga pertama kalinya memasak bersama sama setelah hampir satu minggu menjadi sebuah tim, inilah pertamakalin nya mereka mencoba bekerja sama
Tanpa mereka sadari Anjani dan Nenek Sum mengintip mereka bertiga dibalik pintu, Anjani bahkan tak henti hentinya memuji mereka bertiga, terutama Dafka yang terlihat seperti seorang profesional yang dengan mudah memasak dengan fokusnya yang dia bagi untuk membantu Teri
" Anak itu kayaknya emang dilahirkan buat jadi koki " gumam nenek Sum yang masih terdengar jelas oleh Anjani
" Dafka ?" Tanya Anjani dan Nenek Sum hanya menjawab dengan deheman kecil, dan mereka pun kembali fokus kepada mereka bertiga.
****
Hampir dua setengah jam mereka bergelut dengan segala kesibukan masing masing, akhirnya makanan mereka kini terhidang di meja makan dengan sempurna, Ayam Cincane ala Dafka, Sarsaparila buatan Gaidan dan juga sambal dunia duba andalan Teri dan masih ada beberapa makanan yang mereka buat
Anjani, Nenek Sum dan juga kakak tertua Gaidan kini sudah duduk di meja makan siap mencoba masakan mereka bertiga sedangkan mereka bertiga hanya berdiri diam menunggu reaksi dari Nenek Sum
" Kalian juga duduk! Kita makan bareng aja " ucap Nenek Sum, dan mereka bertiga khusus nya Teri langsung saja duduk dan menyendok nasi dengan semangat
" Ini Ayam Cincane ? " Tanya Nenek Sum kepada Dafka
" Iya nek !" Dafka menjawab dengan sopan, Jantung Dafka serasa berdebar saat Nenek Sum menyendokan potongan kecil daging ayam itu kemulutnya, dan tidak ada reaksi apapun setelahnya membuat Dafka sedikit kecewa
" Ini sambal buatan Teri ?" Tanya Nenek Sum lagi menunjuk potongan sambal segar di dalam mangkuk putih dihadapan nya
" iya " jawab Teri dengan senyum lebar
" Ya ampun, Teri!kamu bakalan habisin hidup dengan terus buat sambel duba duba, ngak ada yang lain ?" setelah mengatakan itu Nenek Sum pun mengambil satu sendok penuh sambal buatan Teri dan melahapnya dengan nasi putih
Lagi lagi tak ada reaksi, tapi Teri sama sekali tak khawatir seperti Dafka, dia bahkan melanjutkan makan nya tanpa beban, menikmati betapa enaknya Ayam Cincane yang di buat oleh Dafka ini membuktikan jika ucapan orang orang bukanlah bualan semata, tapi ini benar benar sangat enak dan tekstur yang lembut, menandakan jika ayam ini di masak dengan benar
" Ngomong ngomong kalian darimana tadi, sampe pulang udah sore begini ?" Tanya Anjani membuat Teri menatap Gaidan seolah menyiratkan pertanyaan dirinya harus menjawab jujur atau harus ngeles
" Main !" Sebelum Teri menjawab Gaidan langsung saja menjawab pertanyaan ibunya itu
" Kamu nglehirin anak jarang ngomong semua !" Sindir Nenek Sum melirik kakak tertua Gaidan yang hanya diam saja tak membuka suaranya sedari tadi mereka duduk disini
" Main dimana ?" Seolah penasaran Anjani terus saja bertanya membuat kini Teri menatap Dafka mencari bantuan, karena Gaidan melarang Teri memberitahu keluarganya tentang rencana mencari mentor dan juga tempat latihan, karena Neneknya akan sanggat tak setuju dengan itu karena Neneknya pikir tak ada mentor yang lebih baik mengajarkan cucu nya selain dirinya sendiri
Akan tetapi Gaidan dan Teri sudah pernah merasakan bagaimana di mentori oleh seorang Nenek Sum pada saat persiapan evaluasi beberapa waktu yang lalu, setiap akan mulai mereka di berikan jamu super pahit dan juga materi materi panjang yang bahkan tak mereka ketahui
Intinya Teri dan Gaidan tak mau sampai Nenek Sum kembali membantu mereka dalam belajar memasak
" Kami cari mentor dan tempat untuk latihan nek buat evakuasi akhir bulan ini " alih alih berkompromi, Dafka malah menjawab Nenek Sum dengan semangat karena seperti nya dia salah mengartikan tatapan Teri yang menyuruhnya mengeles malah mengakuinya
Sekarang rasanya Gaidan dan Teri ingin menghilang saja tak sanggup mendengarkan jawaban Nenek Sum yang sudah bisa mereka berdua tebak akan seperti apa
" Cari tempat ? " Ucap Nenek Sum memastikan kepada mereka bertiga, tapi hanya Dafka yang mengiyakan dua orang disisinya hanya pura pura makan mencoba tak mempedulikan ucapan nenek Sum, Anjani bahkan menatap Gaidan dan juga Teri dengan ringkasan kecil sedangkan kakak Gaidan sudah pergi meninggalkan mereka setelah selesai makan
" Apa kamu gelandangan ?" Tanya Nenek Sum kepada Gaidan
" Ngak punya rumah ?" Tanya Nenek Sum lagi kepada Gaidan yang sekarang mengaruk ujung alisnya frustasi
" Ngak gitu nek !" Jawab Gaidan sedikit terbata dan matanya mencoba mengode ibunya agar membantu dirinya keluar dari situasi ini, tapi Anjani hanya bersikap seolah tak terjadi apa apa membiarkan putranya kesal
" Ngak usah cari cari tempat, kalian gunain dapur rumah ini aja dan Nenek bakalan awasin kalian secara langsung "ucap Nenek Sum akhirnya
Dafka yang mendengar itu langsung sumbringah dan berterimakasih kepada Nenek Sum, sedangkan Gaidan dan Teri sekarang merasa jika mereka ini tenggah menelan batu batuan yang membuat tenggorokan nya tercekat, mendengar pernyataan Nenek Sum
Bersambung.......
Bermanfaatlah Bagai Jahe
Tuangkan semua tekad pada wadah yang benar agar tak tumpah sia sia.
~Rempah 25~
" Panggilan kepada Gaidan Arizal Suryo XII KTN 3, Teri Marisa XII KTN 3 dan juga Dafka Nias XII KTN 1, ditunggu oleh bapak Harun di ruang konseling, sekali lagi untuk siswa yang nama nya di sebutkan mohon menemui bapak Harun di ruang konseling "
Suara lantang dari pengeras suara menghentikan aktivitas ketiga siswa SMK Haida yang namanya barusan di sebutkan, yaitu Dafka, Gaidan dan Teri langsung saja beranjak untuk menemui guru yang memanggilnya tak lain adalah pak Harun guru olahraga mereka
Teri dan Gaidan segera pergi meninggalkan kelas dan ternyata sudah ada Dafka disana, mereka pun pergi untuk menghadap kepada pak Harun yang memanggilnya, mungkin ini ada kaitan nya dengan evaluasi bulan ini karena usut punya usut pak Harun ikut serta dalam penilaian evaluasi kali ini
Kini mereka bertiga sudah berada di hadapan ruangan pak Harun, Dafka membuka pintu kaca itu terlebih dahulu kemudian di susul oleh Teri dan juga Gaidan
Dan betapa terkejutnya mereka saat melihat Yudam dan teman teman nya yang lain juga berada disana, lebih tepatnya teman satu Timnya
" Kalian duduk !" Perintah pak Harun saat melihat kedatangan Teri, Dafka dan juga Gaidan
Bisa dilihat dari raut wajah mereka para bintang KTN merasa tak suka dengan kehadiran mereka bertiga, terutama Viola yang kini menatap Gaidan seolah Gaidan adalah bakteri jahat yang merugikan, tapi dengan terpaksa Teri dan Gaidan duduk di samping mereka dan Dafka yang memilih kursi single sendiri
Pak Harun mendekat kearah mereka berdua dan menatap Gaidan dan Teri heran
" Kalian cuma bertiga ?" Tanya Pak Harun kepada Gaidan, karena melihat jumlah mereka tidak sebanding Tim Yudam berjumlah enam orang, sedangkan Tim Gaidan hanya setengah nya
" Emm itu pak kami berniat untuk masukin Oca XII KTN 8 " jawab Gaidan
Mendengar jawaban Gaidan barusan, Yudam langsung melirik kearah Kean yang seolah menyiratkan apakah Kean sudah menjalankan peran nya dengan baik, dan Kean hanya mengangkat alisnya tanda jika semuanya sudah dalam kendali mereka
" Oh yaudah segera lengkapi Tim kalian !" Ucap Pak Harun dan dijawab dengan anggukan oleh ketiganya
Sementara itu ditengah Gaidan dan Dafka yang mencari alasan kekurangan mereka, Teri malah sibuk mencuri curi pandang kearah Yudam, sampai sampai Yudam merasa jika dia tenggah diawasi lalu menoleh kearah Teri dan langsung saja Teri yang menyadari itu memalingkan wajahnya, dahi Yudam mengernyit melihat itu lalu menatap Teri dari atsas hingga bawah kemudian tertawa sinis melihat penampilan Teri jauh dari kata modis dia terlihat seperti orang bangun tidur langsung berangkat ke sekolah
" Bapak kumpulin kalian untuk memberitahukan, bahwa seperti biasa kalian sebelum evaluasi harus mengumpulkan data diri setiap anggota, seminggu sebelum evaluasi itu harus sudah selesai mengerti ? "
Semua yang ada disana mengangguk paham menyetujui perintah Pak Harun
Saat Pak Harun baru saja selesai berbicara Franda tiba-tiba saja mengacungkan tangan nya dan bertanya
" Pak Tim kami kan sudah 2 kali lolos tanpa beatle, menurut saya apa kelompok mereka sebanding sama Tim kami " Franda menilik Tim Gaidan dengan tertawa remeh dan disusul kekehan semua anggotanya, dan Teri tak bisa berbuat banyak seperti biasanya karena kini ada Yudam disana, jika Teri berulah Teri takut merusak image nya di hadapan Yudam , padahal sebenarnya tidak berbuat apa apa pun Yudam sudah enggan melihat Teri
" Iya makanya kita lihat aja nanti " ucap Pak Harun
Dan kini giliran Gaidan yang mengacungkan tangannya
" Pak saya mau buat penawaran, jikalau kelompok kami yang menang, kami minta jurusan KTN untuk ikut serta dalam demo tahun ini " Gaidan berkata lantang mewakili semua perasaan anak anak jurusan KTN dan juga dua anggota Tim nya yang berada disana
" Cih.." Viola berdecih mendengar ucapan Gaidan barusan, bahkan terdengar sanggat keras di telingga Gaidan
" Emangnya bisa ?" Ucap Kean lagi
" Kalau untuk urusan demo bukan bapak yang nentuin, tapi semoga saja jika kalian memperoleh hasil baik, kepala sekolah akan berubah pikiran " perkataan Pak Harun yang ini seolah memberikan harapan pada Teri,Gaidan dan Dafka
" Kalian jurusan PKM boleh meninggalkan ruangan, dan jangan lupa perintah saya barusan " setelah Pak Harun mengatakan itu semua Tim Yudam yaitu Viola, Kean, Gery, Franda dan Hellen meningalkan ruangan Pak Harun, kini yang tersisa tinggal mereka bertiga dan juga Pak Harun pastinya
" Kalian yakin mau Beatle dengan Tim Yudam?" Tanya Pak Harun kepada Gaidan, Teri dan Dafka
Membuat ketiganya diam memikirkan apa yang akan dia sampaikan tentang niat sebenarnya, mereka bingung menjelaskan jika mereka lelah di anak tirikan, mereka sudah muak di rendahkan, mereka sudah cape menahan diri untuk tak membuat keributan dan itu tak bisa di rangkai dengan kata kata
" Kenapa pak ?, Menurut bapa kami ngak bakalan sanggup ?" Suara Dafka saat berbicara terdengar lirih dengan kepala tertunduk dalam, mendengar itu Pak Harun malah tertawa keras
" Inget ! Ini hanya evaluasi bukan kompetisi, tak menang tak masalah, yang kami para guru nilai saat evaluasi adalah perfoma kalian bukan hasil siapa yang menang atau kalah, dan kenapa saya harus menyimpulkan kalian tak akan Mampu, kenapa berpikir sampai sejauh itu ?"
Tanya Pak Harun kepada Dafka, yang membuat ketiganya bungkam
Melihat itu Pak Harun menepuk pundak Dafka dan juga Gaidan
" Denger !, Sebenernya ngak ada yang lebih bapak sukai melebihi makanan lokal, kenapa? Karena bapak bukan orang yang mudah menyesuaikan lidah, mau bagaimana pun masakan kalian adalah favorit bapak, jadi jangan berkecil hati " Pak Harun memberikan wejangan sekaligus motifasi kepada
Kini sorot mata mereka memancarkan rasa haru, disaat semua guru membandingkan perbedaan yang terlihat, Pak Harun justru mendorong rasa percaya diri bagi mereka yang tertinggal, sekarang rasanya semanggat mereka bertambah satu level dari sebelumnya
" Kerena formasi kalian belum lengkap, Bapak akan coba rekomendasikan beberapa murid, yang kesatu Lili XII KTN 2 dan Qey XII KTN 7, coba kalian temui mereka dan bicarakan masalah ini " seperti tak ada habisnya Pak Harun kini membantu mereka mencari anggota Tim yang kurang
Setelah ucapan Terakhir dari Pak Harun mereka langsung saja melesat untuk mencari Lili terlebih dahulu, karena kebetulan kelas Lili yaitu XII KTN 2 sekarang tenggah mendapatkan giliran praktek di Green House
Dengan mengendap ngendap mencoba tak membuat suara apapun saat mereka melangkahkan kakinya karena ini masih jam pelajaran yang seharusnya mereka bertiga saat ini harusnya berada di dalam kelas sekarang, tapi mereka bertiga sekarang malah sudah berada di depan pintu Green House bersiap untuk membukanya
Dengan gerakan apik mereka bertiga masuk kedalam Green House dan berbaur dengan murid kelas XII KTN 2 untuk mencari Lili yang dimaksudkan pak Harun, meski pak Harun tak menjelaskan Lili secara signifikan tetapi mereka bertiga bisa bertanya saja kepada murid lainnya bukan
" Tunggu ! Kalian siapa?" Tanya gadis berambut pendek mengagetkan mereka bertiga yang langsung saja salah tingkah tak tahu harus berbuat apa sekarang
" Gue aduin guru !, Kalian nyelinap buat boloskan ? " Gadis berambut pendek itu mendesak mereka lagi dan hendak beranjak pergi untuk mengadukan perbuatan mereka bertiga, saat hendak pergi Teri menahan lengan nya dengan sigap dan membawanya kepojokan untuk memberinya beberapa pertanyaan
" Lepasin !" Bisik gadis itu
" Maaf kami ngak maksud jahat, kami cuma mau tanya Lili itu yang mana?" Tanya Gaidan kepada gadis itu, wajah mereka serius, dengan malas gadis berambut pendek itu menunjuk gadis berambut panjang dengan lesung pipi dalam yang tenggah berjongkok seorang diri
" Gaya kalian cocok banget jadi temen nya " gadis itu menatap mereka bertiga sinis lalu pergi dengan marah sembari merapihkan penampilannya, dan Mereka bertiga berjalan pelan menghampiri Lili
Lili yang tengah berjongkok merasakan ada seseorang di sampingnya pun menoleh, seolah ada lampu di belakang kepala Lili wajahnya menyilaukan mata mereka bertiga, sampai sampai Teri menyipitkan matanya melihat Lili yang amat luar biasa cantik
" Lili ? " Tanya Gaidan
Lili menganguk lalu berdiri untuk bertanya kepada mereka bertiga, ada apa mereka mencarinya
" Ke....Ken...kena..kenapa.."
Deg
Teri menatap Gaidan dan juga Dafka secara bergantian mendengar suara Lili barusan, Lili ini gagap?, Karena merasa tak percaya Teri kembali melontarkan pertanyaan
" Boleh minta waktu sebentar " tanya Teri, dan Lili hanya mengangguk segabai jawaban setujunya
-
Kini mereka duduk di kursi yang terletak di pojok Green House, teman teman Lili yang lain sempat melirik dan menatap heran mereka berempat tetapi kembali ke aktivitasnya seolah tak peduli
" Kamu mau ikut Tim kita buat evaluasi akhir bulan ini ? " Dafka bertanya langsung kepada point pentingnya tentang alasan mereka mencari Lili
" Pak Harun rekomendasiin langsung kamu pada Tim kita, tapi kita ngak maksa karena kami yakin di Tim manapun kamu berada kamu akan tetep hebat " ucap Gaidan berusaha menenangkan Lili yang sepertinya sekarang tenggah tengang
" Seb...Ben..ner..nernya, ak..ku "
Sebelum Lili menyelesaikan kalimatnya yang akan memakan waktu lama itu Teri segera menghampirinya dan menjelaskan niatan mereka melakukan ini untuk melawan tim Yudam, dan tampil di demo tahun ini untuk menunjukan jika jurusan KTN tak kalah bagusnya daripada jurusan PKM, agar murid yang masuk semakin bertambah dan tidak sedikit seperti sekarang saat ini yang bahkan berkurang setiap di tahunnya
Lili jadi pendengar yang baik, diapun berpikiran sama seperti mereka bertiga, bahwa jurusan ini tak harus selalu di sembunyikan, jurusan ini bukanlah aib dan bukan pula tempat orang orang miskin yang udik seperti spekulasi anak anak PKM tentang jurusan KTN ini, masakan Tradisional bukanlah makanan kampung tapi makanan tuan rumah yang wajib di kenal kepada dunia, Lili mau sanggat mau bergabung dengan mereka yang bahkan terlihat ramah itu....
Tapi
Tiba tiba saja Lili menoleh kebelakang menatap seseorang yang tak bisa membuatnya berbuat banyak, Lili merasa tak punya kuasa atas hidupnya sendiri karena dia selalu mengatur dan memanfaatkan Lili layaknya budak dengan ancaman kejadian dimasa lalu
Mereka bertiga menunggu jawaban Lili setelah Teri menjelaskan semuanya kepada Lili mereka harap Lili mengerti dan turut ikut serta membantu mereka
" Ak..ku ngak.. bis..sa" setelah mengatakan itu Lili beranjak meninggalkan mereka bertiga
" Lili tunggu !" Teri berusaha mengejar Lili namun di tahan Gaidan, Teri bisa melihat jelas wajah antusias Lili barusan namun saat dia menengok kebelakang wajahnya kembali murung, Teri yakin ada yang tidak beres dengan Lili
" Lili aneh ngak sih ?" Tanya Teri memastikan apakah mereka berdua menyadari hal yang sama seperti yang dia lihat barusan
" Itu pak !" Gadis berambut pendek itu kembali menghampiri mereka namun sekarang bedannya ada seorang guru BK di belakang nya
" Mereka masuk ke sini sembarang dan bolos jam pelajaran !" Adu gadis berambut pendek itu kepada guru BK di belakangnya
Dafka dan Gaidan sudah pasrah karena tertangkap basah akan tetapi Teri menatap gadis berambut pendek itu sengit, dan kemudian guru BK tersebut menjewer telinga Gaidan dan Dafka serta menyuruh Teri untuk berjalan di depan keluar dari Green house ini
Sedangkan Lili hanya menatap kepergian mereka dan menatap gadis dengan rambut terikat di hadapan nya lalu kembali menunduk murung.
Bersambung.......
Tau Taunya
Dafka dan Gaidan menggosok gosok telingganya yang terasa sakit akibat jeweran guru BK yang terasa masih membekas hingga saat ini, lagi lagi mereka bertiga berada di Green House yang kini kosong tak ada seorangpun selain mereka bertiga, berkumpul menghabiskan waktu istirahat mereka itu seolah keharusan, walau hanya untuk memikirkan nasib Tim yang belum lengkap ini, tapi setidaknya itu membantu mereka untuk lebih dekat, terutama Dafka yang baru bergabung beberapa waktu yang lalu
Disaat Gaidan dan Dafka sibuk berbincang, Teri hanya merenung menatap sejajaran pot hitam di hadapannya, dia teringat akan mimik wajah Lili yang langsung berubah saat menoleh kearah gadis kucir satu yang berdiri tepat di samping pot hitam yang kini tenggah ia tatap , sebelumnya Teri merasa jika Lili akan setuju dan menjadi anggota Tim nya sekarang, karena melihat dia mendengarkan penjelasanya dengan antusias dan juga penuh perhatian membuat Teri menaruh harapan padannya, tapi anehnya saat menoleh kearah belakang dia tiba tiba saja menolak bahkan terkesan mengusir keberadaan mereka, tapi entah apapun itu alasannya Teri harus memastikan sendiri segala rasa penasaran yang mengganggunya ini
" Oca!!"
Teri terkejut saat tiba tiba Dafka meneriakan nama Oca, dan gadis manis yang namanya di panggil oleh Dafka itu tersenyum lalu menghampiri mereka bertiga, jika dilihat dari wajah Oca Teri yakin tak akan sulit meyakinkan nya, Oca sanggat terlihat anggun dan baik hati, pastinya dia akan mengerti dengan maksud mulia mereka bertiga itu dan siap membantunya
Oca langsung saja duduk di hadapan Teri, tepatnya di samping Dafka
" Lagi ngapain disini?" Tanya Oca kepada Dafka
" Ya gini, kamu ?" Dafka balik bertanya
" Aku lagi bantuin Bu Amalia buat siapin ballroom, karena hari ini XII KTN 7 mau praktek, jadi aku kesini buat ambil bumbu " jelas Oca yang hanya membuat mereka bertiga mengangguk paham
" Kemana aja? Kita nyariin dari kemarin " Tanya Dafka yang sepertinya akan mengutarakan niat mereka, Teri dan Gaidan hanya menjadi penonton untuk sekarang, mereka tak banyak bicara dan mungkin mereka berdua sebaiknya menyerahkan Oca kepada Dafka, karena melihat keakraban mereka berdua sepertinya Oca sudah fix menjadi anggota Tim ini untuk berjuang bersama
Gaidan dan Teri mendengarkan Dafka yang sekarang mulai menjelaskan semuanya kepada Oca, mulai dari alasan mereka membuat Tim untuk evaluasi dan di khususkan untuk melawan Tim Yudam, semuanya Dafka ceritakan tidak terlewat satu apapun kepada Oca
" Gimana ?" Tanya Dafka kepada Oca untuk memastikan jawabannya , tapi bukan nya menjawab Oca malah tersenyum dan mengeleng lemah, membuat ketiga remaja yang mengharap itu terkejut kaget
" Aku ngak bisa, udah ada Tim soalnya " jawab Oca lagi, walaupun sebenarnya itu bukan alasan yang sebenarnya
Dafka dan Gaidan mengaruk rambutnya kasar bingung harus berbuat apa sekarang, ternyata meyakinkan manusia itu amat sanggat susah, sedangkan Teri menatap wajah Oca yang terlihat berseri bahagia setelah membuat mereka bertiga patah hati
Oca sebenarnya mau saja, bahkan Oca sempat berniat menghubungi Dafka untuk ikut kedalam Timnya, tapi dia ingat ucapan Kean padannya semalam, Kean berkata jika dia tak mau melawan kekasihnya sendiri di evaluasi nanti, ucapan itu tergiang dan tak bisa Oca tolak, karena Kean sanggat manis saat memohon padanya , Oca selalu malu saat mengingat hal itu , jadi Oca putuskan untuk masuk Tim yang tak akan melawan Kean dan teman temannya dan membuat Kean merasa tak nyaman karena harus berhadapan dengan kekasihnya sendiri, bahkan memikirkan jika sekarang dia adalah kekasih seorang Kean saja Oca seperti balon gas yang akan meledak kapan saja
Oca menatap Dafka, dia merasa tidak enak hati pada Dafka , tapi bagi Oca akan lebih tidak enak jika dia harus melawan kekasihnya sendiri, Oca terdengar tak henti hentinya meminta maaf kepada Dafka, yang tentu saja Dafka maafkan karena Oca juga punya hak menolaknya dan Oca beranjak pergi setelahnya, untuk mengambil beberapa siung jahe seperti niat awalnya datang kemari dan kembali pergi meningalkan Green House setelah urusannya selesai, tanpa tertarik dengan tawaran Dafka padanya
Akhirnya
Setelah kepergian Oca, Teri langsung saja mengajak Gaidan dan Dafka berdiskusi tentang keadaan yang mulai genting ini
" Kayaknya si Oca udah gila!!!, Masa dia senyum senyum disaat kita patah hati begini " gerutu Teri yang malah mendapatkan toyoran keras oleh Gaidan
" Ya kan dia udah bilang, udah ada Tim " ucap Gaidan, yang tak berefek apapun pada Teri saat ini
" Nanti kata nenek mulai hari ini kita latihan, jangan lupa bawa uang untuk belanja bahannya " peringat Gaidan kepada Teri dan Dafka, karena mustahil setiap latihan harus mengunakan bahan yang ada dirumahnya, itu sanggat merugikan bagi Gaidan
Teri dan Dafka saling pandang dan memutar bola matanya kearah Gaidan
" Pelit amat " ucap keduanya bersamaan, tetapi tak di hiraukan oleh Gaidan.
Mereka bertiga akhirnya menghabiskan waktu istirahat nya hanya dengan duduk berpikir sama seperti hari hari sebelumnya, intinya mereka tengah mencoba mencari cara bagaimana nasib Tim nya ini, bagi Teri,Gaidan dan Dafka ini bukanlah sekedar evaluasi biasa seperti yang murid lain pikirkan, bagi mereka ini sebuah kompetisi, meski Pak Harun terus menekankan untuk tidak terlalu terobsesi, tapi tetap saja semuanya tak bisa dilakukan dengan main main.
Bel berbunyi nyaring di tengah keheningan saat ini, memaksa mereka bertiga beranjak untuk memasuki kelasnya masing masing, Dafka pun memisahkan diri dengan Gaidan dan juga Teri karena arah kelas mereka yang berbeda, kini tinggallah Gaidan dan juga Teri, mereka berdua berjalan beriringan ke arah kelas mereka
" Dan!, Aku masih kepikiran Lili " ucap Teri mengadukan kegelisahan nya sedari tadi kepada Gaidan, tapi seperti biasa Gaidan tidak menangapi terlalu antusias apa yang Teri katakan, dia malah berjalan mendahului Teri membuat Teri mendengus kesal
Akhirnya Teri berjalan seorang diri karena Gaidan yang tiba tiba hilang entah kemana, dengan langkah gontai nya Teri berbalik arah menuju kelas Lili untuk memastikan rasa penasarannya, meskipun Gaidan melarangnya ikut campur tapi rasa penasaran Teri lebih kuat daripada ancaman Gaidan
Teri mengendap bersembunyi di balik tembok dan mengintip kelas Lili dengan hati hati
Dan
Kosong!
Kelas itu kosong tak berpenghuni, hanya ada tas tas saja yang tergeletak tak ada penghuninya
Pluk
Seseorang menepuk pundak Teri membuat Teri terpekik dan membalikan badannya , ternyata itu adalah gadis berambut pendek yang membuat Dafka dan Gaidan mendapatkan jeweran pedas dari guru BK, dan sekarang dia masuk daftar orang yang tidak Teri sukai selain Viola dan anak anak PKM.
" Lo nguntit lagi!" Ucap gadis itu kepada Teri, tapi Teri hanya memutar bola matanya malas.
Gadis itu menatap Teri dari ujung kaki hingga ujung kepala, rambut lepek kaya belum keramas, baju kegedean, wajah kusam, sepatu lusuh, ya itulah Teri, membuat gadis itu meringis melihat bagaimana seorang gadis berpenampilan seperti ini.
" Gue Siska ! " Ucap gadis itu tiba tiba mengulurkan tangannya namun Teri malah beranjak pergi
" Ngak nanya " Teri berkata dengan kakinya yang beranjak pergi, Teri pergi meninggalkan Siska yang melongo tak percaya dengan perilaku Teri yang berbanding terbalik dengan penampilan nya
Sedangkan Teri tersenyum senang, dia merasa menang telak dengan Siska, karena usahanya mencari tahu tentang Lili sia sia Teri memilih untuk segera masuk ke dalam kelasnya, tapi saat baru saja beberapa kelas yang dia lewati Teri melihat Gaidan tengah berdiri diam menatap lapangan, otomatis Teri pun mengikuti arah pandang Gaidan
Dan sanggat terkejutnya dia saat melihat kelas Yudam memasuki lapangan dengan pakaian olahraga nya, jika seperti ini Teri juga harus ikut menonton, dengan senang Teri menyenderkan tubuhnya ke tembok menikmati pemandangan wajah Yudam yang kini bersinar seterang cahaya, di menit kelima Teri melirik kearah Gaidan yang berada jauh darinya karena Gaidan berdiri di depan kelas mereka, menandakan jika tak ada guru di dalam kelasnya, Gaidan terlihat diam tak berkutik menatap lurus kearah lapangan, membuat Teri heran apa yang tengah Gaidan lihat saat ini, bukannya dia tak suka pada Yudam tapi dia malah menonton kelas Yudam olahraga
Otak Teri berpikir keras saat ini, hingga Teri teringat perkataan Gaidan yang mengakui jika dia tengah menyukai seorang gadis, apa jangan jangan gadis itu adalah anak jurusan PKM dan sekelas dengan Yudam .
" Ngak mungkin " Teri segera beranjak untuk menanyakan nya langsung kepada Gaidan, tapi matanya juga tak sengaja melihat Lili dengan perempuan kucir kuda itu berjalan di lorong kearah kamar mandi, tangan Lili terlihat penuh dengan banyak barang sedangkan gadis kucir kuda itu berjalan santai di depan nya.
Teri sekarang bingung harus pergi kemana, haruskah dia menemui Gaidan ataukah Lili terlebih dahulu, tapi dengan cepat Teri memutuskan untuk menemui Lili dahulu dan bertanya tentang alasan yang jelas dia tidak bisa ikut serta dalam Tim nya, membelakangkan Gaidan karena nanti di kelaspun mereka akan bertemu.
Meski lorong sudah mulai kosong karena jam istirahat sudah berakhir, tapi tak ada rasa khawatir di dalam diri Teri sebab dia melihat Gaidan di luar kelasnya, pasti tak ada guru di kelas mereka dan Teri pun bisa melancarkan aksinya.
****
Saat bel berbunyi sebenarnya Gaidan tau harus apa dia sekarang, jam ini adalah jadwalnya kelas Yudam berolahraga, itu artinya Viola pun juga akan ada disana, sebenarnya sudah jadi kebiasaan bagi Gaidan untuk menonton kelas Yudam berolahraga hanya untuk melihat gadis yang dia sukai, walaupun dengan sembunyi sembunyi.
Tapi kali ini Gaidan tak bisa menahan dirinya, saat melihat segerombolan kelas Yudam memasuki lapangan kakinya melangkah begitu saja meninggalkan Teri di belakangnya, dan entah keberanian dari mana kini Gaidan menatap lurus kearah lapangan di tempat dimana orang orang bisa melihatnya, karena biasanya Gaidan akan menonton Viola dengan pura pura pergi ke toilet saat jam pelajaran berlangsung.
Viola
Siapa yang tak mengenal Viola di sekolah ini, gadis cantik berprestasi yang menawan hati setiap kaum Adam yang ada di sekolah ini, semua hanyut dalam pesonanya sehingga melupakan sikap nya yang buruk, begitu pula Gaidan yang menutup mata dan telingganya saat Viola memakinya dan menghinanya, karena yang dia lihat hanya Viola yang cantik dan juga manis saat tersenyum.
Gaidan menaruh hati kepada Viola di tahun pertama dia bersekolah disini, tepatnya di pertemuan pertamanya dengan Viola saat MPLS Gaidan langsung tertarik dengan Viola yang pada waktu itu hanyalah Viola yang manis tidak sejahat saat ini.
Tapi ada penyesalan terbesar Gaidan yang tak bisa dia lupakan, waktu itu jam pulang sekolah Gaidan melihat Viola tenggah di ganggu oleh beberapa adik kelasnya, membuat Gaidan tak bisa menahan dirinya dan dengan sembrono menyatakan cinta kepada Viola dengan membawa bungga yang dia petik di kebun sekolah, bodoh bukan?, Karena setelah kejadian itu Viola menjadi amat benci padanya.
Tapi karena Gaidan sudah menutup indranya dari segala keburukan Viola, maka dari itu sebenci apapun Viola padanya, perasaan Gaidan akan tetap sama.
Bersambung........
Teri & Firasat
Tak perlu terlihat megah, kita hanya perlu pondasi yang kokoh agar bisa tetap bertahan di terjang bencana yang melanda.
~ Rempah 25 ~
Teri berjalan menghampiri Lili yang sekarang duduk dengan barang bawaan penuh, dia terlihat seperti sedang menunggu seseorang, mungkin saja si kucir kuda itu yang sekarang tengah berada di dalam
" Hai " sapa Teri kepada Lili
Lili menatap Teri dan dia hanya tersenyum kepada Teri, tapi Teri malah duduk di samping Lili membuat Lili terlihat gugup
" Di dalem siapa ?" Tanya Teri kepada Lili menunjuk seseorang yang saat ini tenggah berada di dalam toilet, Teri sengaja memancing Lili untuk mengetahui apa yang membuat Lili gugup dan seolah takut dengang gadis itu, jika dilihat lebih dekat Lili ini bukannya cantik lagi, tapi sangat cantik dengan hidung runcing, mata bulat dan bibir tipis di tambah lagi kulit nya seputih susu, tapi kekurangannya hanya satu dia berbicara gagap
" I..i...Ir..ra " jawab Lili
Ckrekkkk
Pintu terbuka menampilkan gadis tinggi semampai dengan rambut terikat membuat Lili kembali merapihkan bawaannya dan berdiri untuk menyusul gadis yang dia sebut Ira itu, yang bahkan dia tak menoleh ataupun berkata apapun kepada Lili dan malah pergi begitu saja
Lili sempat membungkuk sopan untuk pamit kepada Teri lalu berlari kecil menyusul Ira yang berjalan terlebih dahulu, jika Teri lihat Lili sama sekali tak dihargai keberadaanya oleh Ira, karena dia bahkan acuh walaupun melihat Lili kesusahan dengan barang bawaan nya, apa mungkin Lili ini korban bullying?
Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan di kepalanya Teri, dengan langkah cepat Teri segera bergegas untuk masuk kedalam kelasnya, semoga saja dikelasnya itu tidak ada guru, sehingga Teri bisa masuk dengan aman.
Bisa Teri lihat, Gaidan sudah tak ada di depan kelasnya, semula Gaidan berdiri mematung menatap lapangan sekarang dia sudah tak ada, tetapi kelas Yudam masih berolahraga di lapangan, Teri ingin menonton sebenarnya, lumayan walau terhalang pagar besi setidaknya wajah Yudam masih terlihat, namun sekarang keadaanya genting Teri berlari dan berhenti tepat di depan kelasnya
Dengan pelan Teri mengintip apakah ada guru di dalam sana
Dan
Tidak ada!
Teri langsung saja masuk dengan santai kedalam kelasnya, langsung saja suara sorakan terdengar riuh, Teri kaget karena guru yang semula dia kira tidak ada kini tengah duduk di samping Yudam mengantikan dirinya
" Hore!! Bu guru akhirnya datang " teriak Bu Iis, guru bahasa Indonesia itu menyambut kedatangan Teri
" Horeeeee" teriak semua seisi kelasnya, menertawakan Teri yang sekarang sudah terlihat amat sanggat pucat pasi
' mati aku ' batin Teri
Sedangkan Gaidan hanya menatap Teri dengan mimik wajah seolah bertanya tanya ' darimana '
" Kamu ke Ballroom sekarang, buat makanan 5 porsi, disana ada kelas lain kamu jangan ganguin orang , inget !" Perintah Bu Sinta, guru Bahasa Indonesia yang merupakan sosialita nomor one, yang lebay tiada kira
" Ngapain saya ke Ballroom? " Tanya Teri bingung
" Ya kamu saya hukum, sekarang pergi turutin ! " Bu Sinta beranjak dari kursi Teri dan kembali melangkah kearah meja guru, melewati Teri yang sekarang tenggah mengacak ngacak rambutnya kesal, dengan terpaksa melangkah pergi untuk menjalani hukuman nya, Teri pergi meninggalkan kelas dengan rambut semerawut nya
Di Ballroom semua murid kelas XII- KTN 7 menatap Teri yang sekarang berdiri di depan pintu dengan keadaan acak acakan, mereka terdiam melihat Teri yang sudah seperti orang tidak waras nyasar ke dalam sekolah, untuk beberapa saat Teri hanya diam hingga Chef Rasya menghampirinya , Chef 32 tahun itu menatap Teri dengan malas
" Di hukum ?" Tanya Chef Rasya kepada Teri dan di jawab dengan acungan jempol oleh Teri, akhirnya Chef Rasya mengijinkan Teri masuk.
Chef Rasya sudah tak heran dengan kedatangan Teri yang seperti ini, jika dihitung, ini kali ke enam Teri di hukum untuk memasak, Chef Rasya sebenarnya senang melihat Teri memasak karena Teri gadis yang unik, saat melihat Teri memotong daging ataupun mahluk laut dengan seolah kebuasannya terpancar, tapi Teri sanggat handal memasak walau dia terlihat asal asalan tapi semuanya sesuai dengan standar, dagingnya tak under cook ataupun over cook semuanya sempurna , bumbunya sesuai dan yang lebih menakjubkan dia pandai membuat sambal dari berbagai penjuru Nusantara ini dengan rasa yang benar benar lezat.
Prok prok prok
Chef Rasya memberi instruksi agar perhatian semua murid kelas XII KTN 7 kembali fokus ke pekerjaannya masing masing, dan membiarkan Teri menyelesaikan hukumannya dengan tenang.
Teri sekarang sudah siap dengan celemek abu abunya, rambut berantakan itu kini terikat asal asalan, Teri berniatt 5 porsi nasi uduk dengan petis udang , sekarang dia terlihat serius dengan pekerjaannya, dia tampak lihai memilah pisau dan juga dalam merajang beberapa bumbu, karena beberapa bahan sudah banyak digunakan oleh murid KTN 7, Tapi stok udang masihlah banyak.
Suara Chef Rasya yang menjelaskan di depan tak Teri hiraukan, dia hanya fokus ke pekerjaannya saja, mulai dari membersihkan beras dan mulai menuangkan santan kedalamnya, membersihkan Udang dengan memisahkan bagian kepala dari tubuhya, sampai menghaluskan bumbu, semua Teri lakukan dengan teliti
Terlalu asik Teri memasak hingga dia tak sadar beberapa murid XII KTN 7 memperhatikannya, karena harum masakan Teri sangat mengiurkan sampai menarik perhatian semua orang yang ada disana, tapi emang dasarnya tebal kulit muka Teri ini masih biasa saja tak bereaksi, jika saja yang ada posisi Teri saat ini adalah orang lain, mungkin dia sudah nervous tak karuan.
Entah lupa atau bagaimana, Teri sama sekali tak mementingkan keberadaan Lili disana yang sekarang menatapnya takjub, dan Siska yang sekarang berjalan mendekat kearahnya dengan senyuman penuh arti
" Wahhhh wangii " ucap Siska tiba tiba sudah berada disamping Teri.
" Pergi !!!!" Perintah Teri masih sibuk dengan pekerjaan nya, mendengar itu itu Siska mengerucutkan bibirnya lucu
" Gue tau, tadi lo nyariin Lili kan?, Kalau mau tanya tentang Lili gue tau segalanya " bujuk Siska lagi kepada Teri berusaha memdekatkan diri pada Teri, tak tau apa tujuan Siska tapi sepertinya Siska sangat ingin dekat dengan Teri
" Ngak usah, sana pergi " usir Teri, yang sekarang sudah hampir selesai membuat udang mundhut nya, yang sekarang dia hanya menunggu nasi nya untuk matang, mata Teri melirik Siska yang masih berada di sampingnya membuat Teri merasa kesal, tapi dia tak menegur ataupun mengusir Siska, Teri hanya berusaha mengacuhkan keberadaan Siska.
" Heyyyyy!!!!!" Sapa Siska lagi mengibaskan tangannya di depan wajah Teri, dan untuk kesekian kalinya Siska membuat Teri kesal, dalam satu hari Siska berhasil menguras kesabaran Teri, tapi kali ini Teri tak memarahi Siska, yang dia lakukan hanya bungkam fokus kearah Chef Rasya yang menjelaskan di depan
Melihat itu Siska tak kehilangan akal, dia sengaja memancing dengan menceritakan Lili dan juga Ira secara putus putus
" Tau ngak kalau Ira itu anak pembantunya keluarga Lili ?"
Dari sekian cerita yang Siska ceritakan, perkataan tersebut yang amat sanggat membuat Teri penasaran, pasalnya itu terdengar tak masuk akal, melihat bagiamana Ira memperlakukan Lili seperti seorang anak buah, jika Teri menjadi Lili mungkin saja oragtua Ira dalam masalah.
Teri melirik Siska sejenak dan mengecek kembali nasi uduk yang dia buat tanpa bicara kepada Siska.
" Kalian kembali lagi ke kelas !, Jangan lupa taruh kembali celemek kalian " perintah Chef Rasya kepada murid XII KTN 7 dengan lantang, dan otomatis membuat Siska pun terusir akhirnya, berangsur angsur murid KTN 7 meningalkan Ballroom, kini yang tersisa hanya Teri yang mulai meletakan nasi uduk yang sudah matang ke piring piring yang sudah dia siapkan sebelumnya.
Chef Rasya tiba tiba menghampirinya dan membantu Teri, Teri sudah sangat akrab dengan Chef hebat yang satu ini, dia dahulu adalah seorang Chef muda yang memiliki beberapa sertifikat Internasional, namun sayang karena kesehatan nya dia sekarang hanya memilih menjadi Chef pembimbing di sekolah kuliner ini.
" Saya denger kamu sama Gaidan lagi bentuk Tim evaluasi ? " Tanya Chef Rasya , dan Teri hanya mengangguk, kedua tangannya sibuk tapi berkat bantuan Chef Rasya semuanya selesai lebih cepat dari seharusnya
" Kamu coba masukin Arlina Lili di kelas barusan ! "
Teri mengerutkan dahinya mencerna perkataan Chef Rasya, Arlina ?, Apa yang dimaksud itu adalah Lili ataukah orang lain, tapi Teri hanya menunggu Chef Rasya melanjutkan perkataannya
" Kelemahannya hanya satu, saat di suruh menjelaskan dia akan memakan waktu lama " ada rasa geli di wajah Chef Rasya saat ini, mnengingat betapa mengemaskan nya anak itu saat menjelaskan hidangannya
Teri sekarang yakin jika Lili yang dimaksud adalah Lili yang sama yang dimaksudkan oleh nya, ingin sekali Teri memberitahukan kepada Chef Rasya tentang rasa penasarannya tentang Lili dan niatnya untuk membuat Lili berada di Tim nya, tapi mustahil sepertinya Chef Rasya tidak tahu banyak tentang Lili sama seperti dirinya, jadi Teri memilih bungkam.
Untuk urusan ini Teri harus mencari orang yang tepat yang tau banyak tentang Lili, Teri berpikir keras, mungkinkah orang itu ada ?
"Gue tau, tadi lo nyariin Lili kan?, Kalau mau tanya tentang Lili gue tau segalanya"
Tiba tiba saja ucapan Siska berputar bak kaset rusak di kepala Teri, masa iya dia harus menanyakan Lili kepada Siska, jika begitu Teri akan melukai harga dirinya dan pastinya Siska akan meledek dia habis habis
" NGAK ! " Jerit Teri tiba tiba membuat Chef Rasya telonjak kaget, memikirkan nya saja membuat Teri merinding, apalagi jika harus terjadi, pasti Siska akan merasa amat sangat bahagia
Dengan gerakan cepat Teri segera membawa nampan dan mulai menatanya, lalu membawanya untuk di simpan dia meja Bu Iis princess sekolah ini, agar bisa Bu Iis santap bersama dengan kawan kawan Sosialitanya yaitu Bu Amalia, Bu Wanti, Bu Rini dan Bu Elseh
Sedangkan Chef Rasya yang ditingalkan begitu saja oleh Teri tanpa ucapan terimakasih karena sudah membantunya hanya menggelengkan kepalanya tak habis pikir.
Bersambung........
Good Menu
Seperti yang Gaidan bicarakan, sepulang sekolah mereka akan latihan bersama Nenek Sum, tapi sebelum itu sesuai kesepakatan, mereka membeli bahan baku sendiri karena permintaan Gaidan yang merasa di rugikan dengan adanya latihan ini di rumahnya.
Dan disinilah sekarang mereka bertiga, di dalam supermaket yang segar dan dingin, disaat keadaan diluar panas membara, Supermarket ini akan tetap sejuk, maka dari itu bagi Teri ini adalah pengungsian terbaik jika panas menyengat, Dafka dan Teri hanya berjalan jalan melihat lihat makanan ringan dan minuman yang akan mereka beli, membiarkan Gaidan seorang diri yang berbelanja bahan bahan yang akan mereka pergunakan untuk latihan nanti.
Seorang Gaidan yang serius memilah milih bahan yang akan mereka pergunakan sesuai dengan apa yang akan mereka masak hari ini, tapi tanganya tiba tiba saja menyentuh Pocky coklat di etalase tempat makanan ringan, Gaidan pun tak mengerti mengapa dia sekarang berada di tempat makanan ringan, diambil nya Pocky coklat itu yang membuat dia kembali teringat akan Viola yang sangat suka memakan Pocky coklat, hampir setiap hari Viola membawa sekotak Pocky di dalam tas nya, Gaidan mengetahui hal itu saat MPLS dulu, Viola yang selama seminggu penuh membawa sekotak Pocky coklat, dan juga beberapa kali Gaidan melihat dia memakannya beberapa waktu lalu.
" Mau itu ?" Tanya Dafka dengan Teri disampingnya menunjuk Pocky coklat yang sekarang di genggam oleh Gaidan, Teri mengambilnya dan menaruhnya kedalam belanjaan mereka berdua, tapi Gaidan membawanya dan menaruhnya kembali kedalam etalase.
" Ngak usah !" Ucap Gaidan yang sekarang melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda karena melihat Pocky coklat yang mengingatkan nya pada Viola, tapi Teri malah mengambil empat kotak Pocky coklat itu dan memasukannya kedalam Troly yang sekarang hampir penuh dengan makanan.
" Ini siapa yang bayar ?" Tanya Dafka merasa khawatir saat melihat belanjaan mereka berdua yang teramat banyak
" Ya kita berdua " namun jawaban Teri membuat Dafka lega, setidaknya Teri tidak menghibahkan beban berat ini kepada Dafka dengan embel embel , jika Dafka adalah seorang lelaki yang harus selalu menjalani perempuan, dan kembali melanjutkan acara belanja mereka, kali ini mereka menuju ke etalase mie instan dan membeli beberapa Mie cup untuk mereka berdua, membiarkan Gaidan seorang diri.
Mereka bolak balik kesana kemari yang bahkan menghabiskan satu jam hingga akhirnya acara belanja mereka selesai, dan sekarang waktunya pulang untuk mengahadap mentor sejati mereka alias nenek legenda, Nenek Sum yang pastinya sudah menunggu kedatangan mereka bertiga.
Di rumah Gaidan
Teri, Gaidan dan juga Dafka kini duduk berdampingan menunggu Nenek yang sedang menyiapkan sesuatu, sebenarnya Teri dan Gaidan sudah tahu apa yang akan Nenek bawa, pasti Nenek akan membawa satu botol penuh jamu pahit untuk mereka bertiga, karena sudah tahu Gaidan dan Teri terlihat murung saat ini berbanding terbalik dengan mereka bertiga, Dafka terlihat seperti orang yang tenggah menanti membuat mereka berdua ingin tertawa melihatnya
Teri dan Gaidan tak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Dafka saat meminum segelas penuh jamu buatan nenek.
Suara nenek mulai terdengar mendekat, dengan Bu Anjani di belakangnya yang membawa nampan, Nenek muncul dengan suasana hati yang senang, nenek mengintruksikan agar Anjani menaruh nampan itu di hadapan mereka bertiga, wajah Dafka kini sudah berubah mengernyit melihat cairan kental didalam cangkir teh itu, Dafka menatap Gaidan yang Teri yang terlihat santai santai saja, melihat itu Dafka merasa tenang, mungkin saja jamu ini rasanya lezat hingga Gaidan dan Teri dapat sesantai itu.
" Minum ! Sebelum mulai, Nenek akan selalu kontrol supaya kalian akan terus dalam keadaan sehat sampai evaluasi selesai, makannya minum jamu juga punya 1000 khasiat positif bagi tubuh" ucap Nenek Sum, dan langsung saja Teri dan Gaidan meraih cangkir itu disusul oleh Dafka, karena Teri dan Gaidan sudah sangat hafal jika dia harus segera meminumnya agar Nenek berhenti berbicara dan memulai latihan nya .
Nenek melihat Dafka dengan tanda tanya besar di dahinya menanyakan bagaimana pendapat Dafka tentang jamu buatanya
Jamu itu sanggat wangi, tapi rasanya pahit luar biasa membuat lidah Dafka mati rasa, Teri sekarang sudah terkikik melihat betapa bodohnya Dafka saat ini, ditambah lagi Nenek yang menunggu komentarnya tentang jamu yang dia buat.
" Hehehe , enak Nek! Ini pertamakalinya Aku minum jamu seenak ini , ahahahhaha " jawab Dafka kikuk, membuat nenek tersenyum. Bangga kepada dirinya sendiri
Teri dan Gaidan kaget dengan jawaban Dafka pada Nenek, Dafa ini seolah menggali kuburan nya sendiri dengan memberikan komentar berlebihan kepada Nenek
" Kalau begitu kasih lagi satu gelas " Nenek memerintahkan Anjani agar menambahkan lagi jamu yang dia buat kepada Dafka, wajah Dafka berubah was was dan melongo kaget, saat Nenek menyebutkan agar Dafka menambah jamu nya , disaat satu gelas saja mampu mematikan lidahnya, apalagi dengan sekarang .
Teri, Gaidan dan Anjani meringis melihat Dafka meneguk jamu ke tiganya dengan cepat, untuk mengakhiri penderitaan nya akhirnya Nenek segera memulai untuk latihan, dan memilih menu yang telat untuk evaluasi nanti.
Nenek Sum menyarankan Tim mereka memasak Rendang mengingat Dafka ahli mengolah daging, dan berasal dari Padang, juga petis udang mundhut sesuai dengan keahlian Teri, dan soal minuman itu sudah sepenuhnya di serahkan kepada Gaidan, dan Nenek menyarankan Gaidan membuat Sarsaparila ( Cola Jawa ) di evaluasi nanti.
Dan untuk Dessert Nenek menyarankan untuk membuat sesuatu yang tak terlalu manis tapi menyegarkan, karena makan rendang dan Petis udang akan meninggalkan rasa di lidah, oleh sebab itu, untuk menghilangkannya di butuhkan sesuatu yang segar dan juga manis.
Sekarang mereka bertiga sudah sanggat sibuk memasak dengan tugasnya masing masing, Nenek memantau mereka secara langsung dengan seksama, ada rasa bangga saat melihat ketiga cucu nya ini memasak dengan lihainya.
****
Disaat Tim Teri sibuk berlatih untuk evaluasi bulan ini, maka hal yang sama pun dilakuan pula oleh Tim Gaidan yang menyewa seorang Chef bintang lima yang bekerja di hotel milik keluarga Gaidan, mereka berlatih dengan formasi yang lengkap pastinya, tidak seperti Tim Teri yang bahkan sanggat sulit untuk mencari seorang anggota untuk mengisi kekosongan di Timnya.
Semua terlihat sibuk, dengan bimbingan dari Chef Julian mereka berniat memasak makanan Khas Meksiko yang sudah mendunia, yaitu Fajita, makanan yang terbuat dari daging yang grill di atas wajan panas, Salad, dan juga Dessert mereka Gelato di padukan dengan minuman segar
Drtttt drtttt drtttt
Saat semuanya sibuk, handphone Kean tak berhenti bergetar, membuat beberapa orang tergangu karena nya, Handphone Kean yang terus bergetar menandakan jika ada panggilan masuk itu terus saja Kean abaikan, membuat Franda yang berada di sampingnya geram
" Angkat gak!, Berisik "semprot Franda pada Kean, dan dengan kesal Kean mengangkat telepon masuk yang berasal dari Oca itu
"Hmmmm" sekarang benda pipih itu sudah tertempel di telingga Kean, tapi wajah Kean menyiratkan jika dia tak senang dengan adanya panggilan itu.
"......."
" Sorry ngak bisa, lagi latihan buat evaluasi " setelah mengatakan itu Kean langsung saja mematikan sambungan secara sepihak, bahkan Kean juga mematikan ponsel pintarnya itu dan menaruhnya begitu saja.
" Ohhhhhhhhh akhirnya Kean punya pacar " ucap Dery dengan niat awal bercanda, tapi itu langsung masuk begitu saja ke hati Kean, karena Kean merasa jika Dery sekarang tenggah meledeknya
Yudam yang menyadari itu segera menghampiri Kean, yang terlihat kusut sekarang
" Tahan, ini ngak bakal lama " ucap Yudam membuat Franda disamping Kean mengerutkan dahinya merasa aneh dengan perkataan Yudam.
Tapi ucapan Yudam barusan tak berefek apapun pada kekesalan Kean saat ini, yang Kean rasakan sekarang adalah betapa tersiksanya berpura pura mencintai seseorang yang bahkan tak dia kenal sebelumnya, ditambah lagi dengan sikap perempuan itu yang seolah menuntut jika Kean ini kekasihnya, itu sanggat memuakan.
Apapun yang terjadi sekarang, intinya Kean ingin segera berakhir, dia tak ingin berlama lama menyandang status sebagai kekasih Oca, yang bahkan dengan tidak tau dirinya dia, berani mengatur hidup Kean, mulai dari melarang Kean untuk pergi ke Club, melarang Kean bermain game hingga malam hari, padahal ibunya sendiri pun tak pernah mempersalahkan itu, Kean tak tahu jika gadis seperti Oca akan semenyebalkan itu.
Dan orang yang dimaksudkan oleh Kean, sekarang hanya duduk diam menatap ponselnya, Oca merasa jika panggilan nya barusan mengangu Kean, Oca takut Kean marah padanya, karena seberapa sering Oca membuat kesalahan, ini pertamakalinya Kean menjawab telepon nya dengan dingin.
Tapi Oca tak mau berburuk sangka, mungkin saat ini Kean tenggah lelah sehingga dia merasa kesal saat ada orang yang mengangunya, jadi Oca sekarang harus menunggu kekasih tampannya itu menelpon nya kembali, karena Oca yakin Kean begitu mencintainya, buktinya dia selalu melakukan hal yang Oca suruh, berhenti melakukan hal yang Oca tidak suka, intinya Oca berpikir jika Kean mencintainya dengan tulus, padahal nyatanya itu hanya konspirasi yang sengaja disusun untuk menghentikan Tim Dafka.
Note:
-Sarsaparila adalah minuman khas Indonesia yang sering disebut sebagai Cola jawa, saat ini sudah jarang ditemukan, terbuat dari kombinasi batang tanaman Sarsaparila dan air berkarbonasi, minuman soda ini merupakan soda pertamanya Indonesia.
- Petis Udang mundhut adalah makanan khas Semarang yang di produksi oleh ibu Mimik (36), yang berawal masakan untuk keluarga, Petis udang mundhut kini populer.
Bersambung.......
Malam Biru
Teri, Gaidan dan Dafka selesai dari latihan nya, saat matahari tak lagi terlihat di gantikan cahaya dingin yang berasal dari bulan purnama yang tampak bulat sempurna malam ini, hari gelap tapi itu tak membuat Teri dan juga Dafka beranjak dan pergi meninggalkan kediaman Gaidan, mereka malah berniat menginap disini.
Buktinya saja sekarang Teri dan juga Dafka tenggah berada di kamar Gaidan dan berniat mengacaukan keadaan kamar bersih tanpa debu itu kini berubah menjadi kapal tanpa awak yang berantakan, sprei yang kusut ulah Teri yang berbaring disana, semua peralatan Game Gaidan, Dafka keluarkan karena penasaran, bahkan buku buku Gaidan yang semula tertata, kini tergelatak begitu saja di atas meja, dan sang pemilik hanya bisa memijat pangkal hidungnya pusing melihat semua kekacauan ini.
" Teri , Sanah pulang !" Perintah Gaidan dengan mencoba membangunkan Teri yang sekarang terkapar begitu saja di atas kasurnya
" Pliss, di rumah Ngan ada orang " rengek Teri, membuat Gaidan hanya menghela nafas kasar, kini matanya menatap Dafka yang dengan santai menyolokan kabel game ke layar tipis di hadapanya, karena sadar di perhatian oleh Gaidan, Dafka pun segera melayangkan jurusnya.
" Pliss, tau sendirikan, kalau anak kos itu selalu kesepian " ucap Dafka dengan wajah memelas nya, membuat Gaidan tak bisa berbuat apa apa, dan malah beranjak membantu Dafka memasang perintilan untuk bermain game, dan malah bermain game bersama Dafka, mencampakkan Teri yang kini tengah berbaring menatap langit langit kamar Gaidan dengan pikiran kacaunya itu.
Yang Teri pikirkan saat ini adalah, bagaimana dia bisa merekrut Lili, dan bagaimana dia harus membujuk Oca, Teri tidak bisa hanya mengandalkan Dafka dan Gaidan, karena mereka tidak melihat adanya kejanggalan seperti yang Teri rasakan saat pertama kali melihat mimik wajah Oca yang bahagia saat menolaknya , wajah takut Lili saat menoleh kearah Ira, padahal dia sebelumnya sangat antusias, semua itu harus bisa Teri pecahkan agar bisa membawa mereka kedalam Tim nya, untuk memenangkan evalusi dan ikut serta dalam Demo tahun ini, untuk menunjukan jika KTN tak kalah hebatnya dari pada PKM
Bahkan nama nama murid terbaik KTN baru bermunculan sekarang, mulai dari Dafka, Oca, Lili dan Qey, yang awalnya Teri tak mengetahui tentang mereka, jika saja tidak mendapatkan informasi dari yang lain nya mungkin saat ini Teri kebingungan harus merekrut siapa, tapi dengan adanya list nama tersebut Teri menjadi punya tujuan untuk rencananya.
Waktu sudah menunjukan pukul 23:14, tapi Dafka dan Gaidan masih saja berkutat dengan game nya, menyisakan Teri yang tertidur pulas diatas ranjang Gaidan, setelah merenung untuk waktu yang lama akhirnya Teri tumbang tak lagi sadar, mulai memasuki alam mimpinya.
Melihat Teri tertidur, Gaidan menghampirinya dan menyelelimuti Teri, sebelum akhirnya dia mengajak Dafka untuk keluar, dan tidur di kamar tamu, sudah hal biasa Teri memonopoli tempat tidurnya, tapi Gaidan tak pernah keberatan, karena Teri ini sudah seperti saudari kembarnya.
-
Pagi hari, di hari Minggu memanglah indah, setidaknya Trio Kusam kini bisa menghirup udara segar, setelah satu Minggu penuh menyiksa pikiran mereka dengan banyak memikirkan dan merancang rencana untuk Tim mereka yang bahkan belum lengkap ini.
" Aku pulang ! " Pamit Teri
Teri berjalan meninggalkan rumah Gaidan dengan wajah bantal, dan rambut kusutnya itu, dia tak peduli pada penampilannya, bahkan di sepanjang jalan Teri tak henti mengaruk garuk perutnya dengan sesekali menguap lebar.
Sedangkan Gaidan dan Dafka memilih untuk joging ke taman kota, mereka sengaja tak mengajak Teri, karena ini adalah waktunya boy time, untuk mereka berdua, Gaidan yang sekarang memakai celana training biru Dongker dan kaos hitam, ditambah kacamata kotak yang bertengger di hidung mancungnya, sedangkan Dafka memakai baju dan training putih milik Ayah Gaidan.
Berbanding terbalik dengan Dafka dan Gaidan yang sekarang tenggah berlari lari kecil dan bahkan sudah berkeringat, Teri malah kembali melanjutkan tidurnya di sofa begitu saja, jika diingat ingat, kegiatan Teri saat hari Minggu tiba adalah tidur, maka dari itu Teri melanjutkan tradisi nya di hari Minggu yaitu tidur.
Tuk tuk tuk
Suara ketukan pintu menandakan jika ada seseorang yang mengetuk pintu rumah Teri, karena di rumahnya tak ada siapa siapa selain dirinya, akhirnya Teri dengan malas bangun untuk membukakan pintu.
Clekkk
Suara kunci terbuka, dan langsung saja orang yang berada di luar itu menyelinap masuk dan memeluk Teri sembari menangis, Teri hampir saja tidak bisa menahan beratnya orang yang memeluknya ini, sampai Teri mundur beberapa langkah kebelakang
" Ter......hikkks " Sesil menangis di pundaknya, karena Sesil ini tinggi, jadi dia harus membungkuk untuk memeluk Teri, dengan sigap Teri melepaskan pelukan Sesil dan membawanya untuk duduk di atas sofa yang tadi dia jadikan tempat tidur.
Sesil terus saja menangis, bahkan make up nya luntur berhitung saja, matanya sudah di penuhi warna hitam, akibat lunturnya eyeliner yang dia kenakan akibat airmatanya.
Butuh waktu setengah jam untuk menunggu Sesil berhenti menangis, dan Teri lakukan dengan sabar untuk mendengarkan penjelasan Sesil tentang tujuannya menemui Teri sembari menangis.
" Gue benci sama Yudam "
Setelah menunggu lama, akhirnya Sesil membuka suaranya, tapi Teri tak banyak bicara karena perasaan nya yang campur aduk sekarang ini, mulai dari mengantuk, bingung dan juga heran, bercampur jadi satu
" Teri maafin gue ! " Ucap Sesil lagi memegang kedua tangan Teri dan mulai menceritakan semuanya, mulai dari dia yang di suruh memata matai Teri dan Gaidan, sampai sering sekali mengadukan banyak hal kepada Yudam, semua itu Sesil lakukan hanya untuk bisa dekat dengan Kean.
" Tapi gue malah denger kabar, kalau Kean jadian sama Oca,......huaaaaa " Tangis Sesil kini semakin kencang, untuk sesaat Teri kaget dan juga merasa dihianati oleh Sesil, tapi Teri juga tak menyalahkan Sesil, mungkin jika dirinya di posisi Sesil, diapun akan melakukan hal yang sama.
Di tambah fakta baru yang Teri ketahui, jika Oca dan Kean berpacaran, itu membuat Teri berspekulasi jika Oca menolak untuk ikut serta dalam Timnya karena Kean.
" Tapi gue curiga, Oca cuma dimanfaatin oleh mereka, soalnya semua kejadian terjadi setelah gue bilang, kalau Oca bakalan gabung Tim kalian " racau Sesil pelan, dan itu membuat Teri ingin menghilangkan Sesil detik ini juga, Teri mengerti sekarang.
Kean hanya umpan untuk menghalangi Oca gabung dengan Timnya, karena Oca dan Dafka adalah satu paket komplit jika bersama dan akan membahayakan mereka jika itu sampai terjadi, dan Teri yakin ini otak dari semua ini adalah Viola sang penyihir jahat.
Teri menatap Sesil dengan garang membuat Sesil menundukkan kepalanya takut
" Ayo pergi ! Kita harus cari tahu sendiri " Teri beranjak dari duduknya, Sesil hanya mengangguk dan mengikuti Teri dari arah belakang, entah lupa atau bagaimana, mata Sesil si ratu kebersihan kini hitam hitam, dan Teri dengan rambut semberawut lengkap dengan baju kusutnya, mereka berdua berjalan beriringan untuk pergi ke rumah Oca.
Untuk kedua kalinya Teri memasuki kawasan sempit ini, bahkan Sesil memegang hidungnya di setiap langkahnya, dia sang ratu kebersihan mungkin merasa jijik dengan keadaan kumuh ini, tapi tidak dengan Teri yang bahkan terlihat santai santai saja walaupun bau menyengat.
" Ih!!! Kok mau sih Kean sama orang kaya Oca " gerutu Sesil, ucapan Sesil barusan mendapatkan hadiah berupa pelototan tajam dari Teri
" Tapi Ocanya cantik " jawab Teri menarik tangan Sesil agar lebih cepat melangkah, beberapa orang di sana memperhatikan mereka berdua dengan tatapan yang tak bisa di artikan, mungkin mereka heran melihat gadis putih dengan baju serapih Sesil bermuka cemong di tarik oleh gadis gila acak acakan.
Sesil memang terlihat cantik dengan terusan pink dan blouse putihnya, ditambah pemanis tas selempang abu abunya, rambut panjangnya dia ikat menjadi satu, tampak elegan, tapi Teri, dia hanya memakai kaos setelan selutut dan kaos gombrang rambut terikat, tapi sekarang sudah tak beraturan.
Brukkk
Sesil menubruk pungung Teri yang tiba tiba berhenti, Teri diam membeku saat melihat motor ninja hitam milik Kean terparkir di depan rumah Oca, Teri langsung saja menarik Sesil kembali sebelum dia melihatnya, Teri takut Sesil membuat keributan disini.
Tapi tangan Teri tiba tiba saja di hempaskan Sesil, sepertinya Teri sudah terlambat karena sekarang Sesil sudah berdiri membeku menatap motor Kean, matanya memerah, dan tangannya terkepal kuat, Teri hanya meringis menatap Sesil bingung harus berbuat apa saat ini.
" Sil ? " Tanya Teri, dia tau pasti sekarang Sesil sedang sakit hati, jadi tidak baik untuknya terus terusan ada disini
" Ayo !" Ajak Teri kepada Sesil
" Huaaaaa... Ngak mungkin, Kean ! " Bukanya ikut dengan Teri, Sesil malah berlari kearah pintu rumah Oca sambil menangis dan mengedornya kencang, melihat itu Teri segera berlari kearah Sesil dan mencoba menghentikannya
" Ocaaaa ! " Panggil Sesil sambil mengecor gedor pintu rumah Oca
Tak lama dari gedoran Sesil, muncul lah Kean membuka pintu rumah Oca, kini Sesil menatap Kean dengan airmatanya yang terus saja bercucuran, yang bisa Teri lakukan sekarang tak banyak selain hanya menemani Sesil, sepertinya kegilaan Sesil muncul, buktinya dia menerobos Kean yang bahkan terlihat santai santai saja sekarang, langsung saja Sesil mengambil air di atas meja yang berada di hadapan Oca, dan langsung disiramkan nya ke tubuh Oca
Oca memekik kaget, sedangkan Sesil amarah nya sudah ke ubun-ubun sekarang
" Gila ya Lo, gue selalu baik sama Lo, tapi ini balasan Lo ?" Teriak Sesil yang sekarang sudah menjadi jadi, Teri yang ada disana bingung, bahkan Kean sekarang hanya diam di depan pintu, rahang nya mengeras dan dengan santai nya dia pergi begitu saja mengendarai motornya.
" Kean !" Teriak Teri berusaha mencegah Kean, namun nihil bahkan Kean sekarang sudah tak terlihat lagi, benar benar lelaki tak bertanggung jawab Kean itu, membiarkan dua gadis yang menyukainya bertengkar seperti ini, dan yang susah sekarang adalah Teri.
Bersambung.....
Pahlawan yang Sia-sia
Mereka bertiga duduk beriringan, Teri yang sekarang sudah seperti gembel kolong jembatan, karena memisahkan dua gadis muda yang sehat bertengkar, disampingnya ada Sesil yang terlihat seperti badut dengan muka merah merahnya, berhubung Sesil ini sangat putih jadi bekas tangisannya itu tampak jelas, dan disisinya lagi ada Oca yang sudah seperti orang kebanjiran, rambutnya basah kuyup akibat guyuran Sesil, mereka duduk bertiga diatas kursi.
Teri tak pernah menyangka, jika weekend nya akan dia habiskan seperti ini, jika tahu akan berhenti dengan sendirinya, Teri tak akan ikut memisahkan mereka berdua, Teri mungkin akan menonton ya sampai selasai saja, mungkin penampilannya tidak akan sekacau ini.
" NGAPAIN BERHENTI ?, TERUS AJA BERANTEM SAMPE MATI " Teriak Teri keras membuat keduanya hanya menundukkan kepala nya takut.
Teri menatap Sesil dengan perasaan campur aduk, dia pagi pagi datang kerumahnya sambil menangis, lalu membuatnya kecewa dengan pengakuan dia berhianat ditambah lagi sekarang dia menjadikan Teri sebagai wasit di perkelahian nya dengan Oca, keinginan Teri untuk menghilangkan Sesil sekarang benar benar ingin dia lakukan.
Sedari awal Teri sudah menyangka jika Sesil tidak beres, bagaimana mungkin saat orang saling Jambak meminta berhenti dan beristirahat sejenak, lalu melanjutkan kembali hingga akhirnya Sesil mengakhirinya sendiri perkelahian itu, ditambah lagi dengan ke bodohan Oca yang menuruti setiap perkataan Sesil dengan patuh, mereka bahkan tak terlihat saling bermasalah sekarang, malah duduk bersampingan seperti ini, membuat Teri merasa menjadi pahlawan yang sia sia sekarang.
" Oke! Karena sekarang udah tenang, sebaiknya Oca jawab pertanyaan ini sekarang !"
" Apa alasan kamu ngak bisa ikut Tim kita ?" Tanya Teri serius kepada Oca.
Dan Oca menjawab hal yang sama seperti yang dia bilang waktu menolak masuk Tim Teri untuk pertamakalinya, tapi sekarang Oca menambahkan, alasan dari semua itu, dia bilang jika semua kemauan Kean yang tak mau melawan kekasihnya sendiri di evaluasi nanti.
Mendengar kata kekasih yang keluar dari mulut Oca, membuat Sesil kembali emosi karena tak rela Oca menyebut Kean dengan sebutan kekasih di hadapan nya, tapi Sesil tak bisa berkutik saat melihat mata Teri yang seperti akan keluar dari wadahnya.
" Kamu yakin itu alasan Kean larang kamu ?" Tanya Teri lagi sarkastik
" Iya , Kean ngak mungkin bohong " jawab Oca mantap, tapi itu justru membuat Teri tersenyum miring, Teri merasa jika Kean ini aktor yang hebat atau Oca yang bodoh karena terlalu menyukai Kean.
" Oh ya? , apa ada bukti kalau Kean itu ngak pernah bohong selama hidup nya ?" Tanya Teri lagi, kini Oca menjadi tegang karena merasa jika sekarang Teri tenggah mengorek hubungan nya dengan Kean.
" Tapi dia tulus cinta sama aku " jawab Oca tak mau kalah, membuat Sesil yang berada di sampingnya mengeluarkan ekspresi ingin muntah mendengar penuturan Oca.
" Kenapa kamu yakin ?" Tanya Teri lagi, sepertinya Teri tahu sekarang apa yang harus dia lakukan agar bisa membawa Oca ke Tim nya, membuktikan kepada Oca kalau Kean itu hanya berdusta, atau menunggu Oca mengetahuinya sendiri dan menawarkan diri untuk bergabung dengan Tim nya.
Oca berdiri sekarang dan menarik tangan Sesil dan juga Teri
" Karena dia sendiri yang bilang !" Jawab Oca sembari tangannya menarik Sesil dan Teri agar melangkah keluar, tapi sebelum itu Teri melayangkan ucapan terakhirnya, yang membuat Oca kepikiran sepanjang malam tentang ucapan Teri yang terkahir ini.
" Yang bicara itu cuma bibir Kean, coba tanya matanya, hatinya, apa jawaban kamu bakalan sama?, Aku cuma mau bilang saat semua dugaan aku bener soal Kean, kamu harus masuk Tim kami " ucap Teri sebelum dia menarik Sesil untuk keluar dari rumah Oca.
Oca segera saja menutup pintu dan mengambil ponselnya untuk menghubungi Kean, tapi sudah panggilan ketiga Kean tak menjawab nya, Oca bertanya tanya, dugaan apa yang Teri maksudkan tentang Kean.
-
Setelah acara pengusiran itu, Sesil tak henti hentinya mengumpat dan menyumpah serapahi tindakan Oca pada mereka, tapi Teri malah tersenyum sekarang, saat orang disampingnya kesal dan hampir saja menangis, justru Teri lega sekarang, beban di pundaknya nya berasa berkurang satu kilogram, setelah mengatakan itu kepada Oca.
Semoga saja Oca cepat menyadari hal itu, dan segera memutuskan Kean, pria jahat yang bahkan tak tak bertanggung jawab dengan meningalkan dua gadis yang bertengkar karena nya kepada Teri, sungguh bukan pria sejati .
Di tengah jalan tiba tiba saja Sesil memeluk Teri dan tak henti mengucapkan permintaan maaf nya untuk segalanya kepada Teri, sebenarnya Teri sudah tak mempersalahkan semuanya, tapi berhubung Sesil ini adalah ratu kebersihan yang pandai bergaul, mungkin saja Sesil bisa membantunya untuk mencari tahu tentang Lili.
" Tapi ada syaratnya " pancing Teri kepada Sesil, dan langsung saja Sesil melepaskan pelukannya dan tanpa banyak pertanyaan menyetujui nya, walau dia belum tahu apa yang harus dia bantu
Dan Teri pun menceritakan semuanya kepada Sesil tentang Lili, mulai dari niatnya mengikut sertakan Lili menjadi bagian dari tim nya, sampai dengan rasa penasaran nya tentang hubungan Lili dan Ira yang Teri yakini ada sesuatu yang membuat Lili begitu takut padanya, yang Teri curigakan saat ini adalah, Lili menjadi korban pembullyan atau pun tindakan kriminal lainnya.
Sesil mendengarkan dengan seksama, tapi kemudian dia tersadar, jika Lili yang dimaksudkan oleh Teri adalah Lili yang bicaranya gagap itu.
" Lili yang gagap ?" Tanya Sesil untuk memastikan jika Lili yang Teri maksudkan sama dengan Lili yang dia pikirkan saat ini, tapi saat melihat Teri mengangguk mengiyakan, Sesil menatap Teri penuh arti.
" Ya ampun......!" Ucap Sesil gemas
" Teri !, Sebenernya Lo mau buat Tim apasih, pertama Dafka kribo, terus Oca dan sekarang Lili yang gagap, ngak ada yang bagus apah ?" Sikap Sesil yang sebenarnya muncul sekarang, setelah beberapa saat dia bersikap jinak, kini kembali buas dan liar.
Teri memutar bola matanya malas, lalu berjalan mendahului Sesil
" Ya udah kalau ngak mau " Teri berkata dengan langkah nya yang cepat, dan Sesil menjadi khawatir karena nya dan menyusul langkah Teri
" Oke oke deh!, kalau tentang Lili gampang itumah " Sesil merangkul bahu Teri, membuat bibir Teri tertarik menahan tawa melihat Sesil menurut kepadanya, dan kemudian mereka berdua tertawa lepas setelah begitu banyak masalah yang mereka hadapi saat ini.
Begitupun Dafka dan Gaidan yang tertawa lepas di taman kota, sekarang tubuh mereka basah kuyup dengan keringat, mereka berdua duduk di bangku taman kota dengan sebotol air mineral di tangan mereka, Gaidan Berniat untuk pulang setelah ini dan Dafka akan kembali ke kosan nya.
Untuk beberapa saat mereka lupa jika sekarang ini mereka tengah berada dalam situasi sulit, Gaidan tak pernah mengira jika dia akan dapat teman baru karena evaluasi ini, dari beberapa evaluasi selama dia sekolah disana dia tak pernah seakrab ini dengan rekan satu timnya, karena mereka akan menjauh saat evaluasi usai, maka dari itu Gaidan hanya punya Teri yang dia sebut teman, hingga akhirnya Dafka datang dalam hidupnya, dan mereka berteman baik
Hal serupa juga dirasakan Dafka, dia sering sekali di asingkan oleh teman temannya yang lain, karena fisik nya yang tak sebagus teman teman nya lain, mereka hanya mendekati Dafka jika memang Dafka ini di perlukan, jika tidak Dafka hanyalah angin lalu yang tak terlihat, tapi saat bertemu dengan Teri dan Gaidan, Dafka mengerti jika indahnya pertemanan itu seperti apa.
" Aku pulang duluan " Dafka membereskan botol dan Ponselnya, sebelum pamit kepada Gaidan, dan Gaidan hanya mengangguk mengiyakan kepergian Dafka, Gaidan rasanya masih enggan beranjak, dia masih ingin disini lebih lama lagi.
Pendengaran Gaidan sedari tadi tergangu dengan suara tawa perempuannya yang mengungnya, tawa itu Gaidan sangat hapal, itu suara Viola, maka dari itu mata Gaidan tak hentinya mencari darimana asal suara itu, hingga setelah kepergian Dafka barulah Gaidan beranjak dan mencari arah suara Viola terdengar.
Gaidan berjalan santai dengan mata yang terus saja mengedarkan pandangannya, dan bibir nya membentuk lengkungan saat menemukan pungung mungil milik Viola, dia tengah bersama Hellen dan juga Franda, sama seperti Gaidan, Viola sepertinya tengah berolahraga.
Gaidan hanya berdiri dengan mata melirik Viola, dia ikut tersenyum saat Viola tertawa begitu lepas, saat Viola tersenyum, wajah juteknya seketika sirna di gantikan wajah bidadari yang baik hati, seburuk apapun penampilan Gaidan, dia tetaplah seorang laki laki yang selalu terpesona akan kemolekan kaum hawa, apalagi jika ditambah berparas cantik seperti Viola.
Tapi tiba tiba saja Franda menyadari keeradaanya dan memberitahukan kepada Viola, jika Gaidan sedari tadi memperhatikan dirinya, Viola pun lantas berbalik dan menemukan Gaidan disana, Gaidan gelagapan dan berpura pura sibuk, tapi raut wajah Viola yang semula cerah kini mendung.
" Ishh amit amit, pindah yuk, najis gue disini " ucap Viola mengajak Franda dan juga Hellen untuk pergi, setiap melihat Gaidan, Viola selalu teringat kejadian konyol waktu itu, Viola selalu berpikir tentang kelakuan Gaidan itu, bagaimana bisa ada manusia sangat tidak tahu diri seperti Gaidan, apa dia tidak punya cermin di rumahnya?, Hinga tak bisa melihat siapa dirinya dan siapa Viola.
" Kenapa ?" Tanya Hellen saat tiba tiba saja Viola meminta untuk pindah tempat, tapi bukan nya menjawab Viola malah pergi meninggalkan mereka dan berjalan marah kearah Gaidan.
Gaidan kaget saat melihat Viola berjalan kearahnya,
" Heh ! " Teriak Viola dari kejauhan
Gaidan hanya melirik tanpa berniat menjawab, hatinya berdebar hebat sekarang, melihat Viola di hadapanya saja jantung Gaidan seolah hendak keluar saat ini.
" Lo nguntit ? " Tanya Viola dengan lantang kepada Gaidan, namun Gaidan hanya mengeleng
" Ngak usah ngeles, Lo lama lama bikin gue jijik, gue risih tiap kali Lo liatin gue, Lo kira gue ngak tau, setiap olahraga Lo liatin gue, setiap pulang sekolah Lo liatin gue, mau Lo apasih?, Kan udah jelas gue nolak elo, Lo bukan selera gue !" Viola berkata dengan nada marah dan mengebu gebu
Gaidan sampai kaget mendengar ucapan Viola, bagaimana bisa vmbibir indah itu mengeluarkan kata kata sekadar ini, Gaidan bahkan tak bisa mengangkat wajahnya sekarang, dia hanya menatap ujung sepatunya sekarang
" Awas aja Lo ! Kalau sampe ketahuan lagi kayak gini, abis Lo " setelah mengucapkan itu Viola meningalkan Gaidan begitu saja, Franda dan Hellen pun berlari menyusul Viola dengan berlari kecil
Dan kini yang tersisa hanya Gaidan dan hatinya nya yang robek, senyum pedih terbit di bibir Gaidan.
Bersambung........
Ancam Untuk Dafka
Sepulang dari taman kota Dafka pulang kembali ke kosan yang ia tinggalkan satu malam karena menginap di rumah Gaidan, dia segera saja merogoh kunci dan membuka pintu kosannya.
Dan betapa kagetnya dia saat melihat kosan nya itu jauh dari kata baik, semua barangnya berantakan, sepertinya ada seseorang yang sengaja melakukan ini pada Dafka bahkan ada tulisan besar di dinding kamarnya
' nyerah atau nyesel '
Dafka langsung saja menghubungi Paman nya yang merupakan pemilik kosan yang dia tingali, dan menanyakan tentang orang yang melakukan ini semua, tapi paman nya itu bilang tak ada orang lain yang masuk ke kosan ini selain penghuni nya, membuat Dafka hanya bisa menggigit jari melihat kekacauan ini, langkah pertama yang harus Dafka lakukan sekarang adalah memebereskan tempat tinggalnya itu dan mungkin di akan mencari tahu esok hari.
Drtt drtt drtt
Notifikasi itu menghentikan aktivitas Dafka yang tengah membereskan kasurnya, dia beranjak dan mengecek siapa yang menghubunginya
Ada sebuah nomor tak di kenal mengirimkan Poto rumah makan Padang milik ibunya, dengan caption, ' kalau ceroboh, mungkin kamu ingin melihat tempat ini penuh dengan api', melihat tulisan yang tertera di sana langsung saja Dafka menelpon ibunya, untuk memastikan.
Dafka meletakan benda pipih itu di telingganya, Dafka takut sekarang, anacaman yang ini lebih menakutkan daripada kekacauan di kosannya, tapi saat suara wanita paruh baya menyapa pendengarannya, Dafka bernafas lega dan mulai menanyakan kabar dan keadaan keluarganya disana, dan ibunya menjawab jika mereka semua dalam keadaan sehat, sebaliknya Dafka harus jaga diri dan menjaga kesehatannya, serta jangan lupa pada fitrahnya dengan selalu rajin beribadah dan tekun dalam belajar, agar dapat meraih mimpinya untuk menjadi seorang Chef.
Dafka rasanya tak bisa menahan airmatanya saat ini, sebegitu rindunya Dafka saat ini, Dafka rindu saat ibunya mengomel karena khawatir, Dafka rindu di perlakukan layaknya emas berlian yang berharga, Dafka rindu masakan ibunya, Dafka rindu melihat wajah ibunya yang tampak bercahaya meski usianya tak lagi muda, kadang Dafka iri kepada Gaidan, keluarganya selalu ada untuknya mendukung dan menjaganya, tidak seperti dirinya yang mempunyai banyak adik, jadi perhatian orangtuanya tak hanya pada Dafka, tapi Dafka tak mempermasalahkan itu, yang Dafka inginkan sekarang adalah bisa berdiri dengan kokoh saat sudah menjadi seseorang dan membantu kedua orangtuanya
Sore itu Dafka membereskan kosan nya dengan isakan tangis, tak habis pikir dengan orang yang tega melakukan ini padanya, Dafka ini harapan keluarga nya jadi dia tak boleh lemah.
****
Hari Senin kini tak terlalu menarik bagi Teri, karena Yudam tak berada disini, dengar dengar Yudam pergi mewakili sekolah ini untuk mengikuti lomba debat di tingkat provinsi, Teri tak habis pikir, bagaimana mungkin bisa ada pria setampan dan sepintar Yudam di dunia ini.
Teri hari ini tampak segar dan bercahaya, wajahnya berseri seri, namun berbeda dengan kedua temannya, yaitu Gaidan dan Dafka yang tampak kusut, Gaidan yang tengah patah hati dan Dafka yang merasa terancam.
Dari awal hingga selesai keduanya hanya fokus kearah depan tanpa tertarik dengan apapun, dan setelah upacara selesai pun Gaidan dan Dafka berjalan begitu saja kearah kelas, namun Teri tak peduli dengan mereka berdua, karena dia sekarang tenggah punya rencana besar dengan Sesil
Sesil menghampiri Teri dan menceritakan semua tentang Lili, berdasarkan dari informasi teman teman Lili, Sesil berkata jika Ira itu anak pembantu Lili, namun orangtuanya menigalkan karena kebakaran, hingga akhirnya Ira sekarang diangkat orangtua Lili.
Mendengarkan itu Teri merasa jika dia harus memberitahukan ini kepada Dafka dan Gaidan, maka dari itu sekarang Teri bergegas masuk ke dalam kelasnya dan mencari Gaidan, bisa dilihat jika Gaidan berada di bangkunya dengan diam, sedari pagi Hingga sekarang Gaidan tak membuka suara nya, dia hanya diam saja tak berbicara pada Teri sepatah katapun.
Teri duduk di kursi nya yang berada di samping Gaidan dan mulai menceritakan semua informasi yang dia ketahui kepada Gaidan
" Udah di bilang jangan ikut campur, kita bisa cari yang lain" dari begitu panjangnya ceria Teri, hanya itu jawaban Gaidan, seolah dia tak merasa tertarik sama sekali, dan itu membuat Teri kesal
" Orang lain siapa?, Kita udah ngak punya banyak waktu " ucap Teri kesal dan membuat Gaidan serba salah sekarang
" Yaudah kalau ngak mau, biar aku cari tau sendiri aja !" Ucap Teri akhirnya
Teri merasa aneh dengan sikap Gaidan yang sangat menyebalkan hari ini, sependiam nya Gaidan dia tak pernah bertindak seperti hari ini, lalu Teri teringat Gaidan yang berdiri menatap kelas Yudam, Teri lupa ingin menanyakan ini sedari kemarin kepada Gaidan.
" Apa kamu suka Viola ?" Tanah Teri hanya menduga duga saja, tapi wajah Gaidan sekarang tegang bukan main,membuat Teri yakin jika semuanya sudah jelas, ternyata semau ketakutan nya terjadi
" Kenapa harus Viola sih !" Gerutu Teri kepada Gaidan, dia tau betul bagaimana sikap Viola kepada Gaidan, tapi reaksi Gaidan yang membuat Teri lebih kesal lagi, dia malah berbalik marah pada Teri.
" Kenapa harus Yudam ?" Kini Gaidan membalas ucapan Teri dengan nada kesal, bisa bisa nya Teri berkata seperti itu, memangnya dia bisa memprediksi kepada siapa dia melabuhkan hatinya, tapi seolah Teri tak mau kalah dia kembali membalas perkataan Gaidan.
" Tapi Viola itu jahat !"
" Yudam juga jahat "
Sekarang mereka berdua saling menatap dengan sengit
" Woyyyy Teri! Ada yang nyariin, malah berantem ni bocah kembar " Teriak Deri kepada Teri dan juga Gaidan, Teri mengebrak mejanya sebelum akhirnya pergi untuk menemui orang yang mencarinya itu, Teri bertanya dalam hati siapa orang yang mengangunya itu.
Teri keluar kelas dan mencari siapa orang yang hendak menemuinya, lalu seorang lelaki tampan berdiri di hadapannya, seolah ada lampu terang di belakangnya dia sanggat bersinar.
" Halo ! Gue Qey " ucap pria itu
Qey, nama yang familiar bagi Teri, apa mungkin ini Qey yang di bicarakan pak Harun, tapi Teri pikir Qey itu adalah seorang perempuan tapi taunya seorang laki laki, ganteng pula.
" Oh iya ada apa ?" Tanya Teri yang entah kenapa sekarang dia bersikap genit, membuat Qey tersenyum geli
" Jadi gini, pak Harun pernah bilang kalau ada Tim evaluasi yang butuhin gue ,jadi gue tunggu sampe dia hubungin ,eh malah ngak ada , ya jadi gue samperin deh, hahahahah " Teri kaget dengan tawa mengelegar di ujung kalimat yang di ucapkan Qey itu.
Betapa senangnya Teri sekarang, saat susah payah dia mengejar anggota, ternyata ada seorang calon anggota yang menawarkan dirinya dengan suka rela seperti Qey ini, tanpa sadar Teri memegang tangan Qey dan berterimakasih padanya, membuat Qey bingung ungkapan terimakasih itu berarti apa.
" Gue diterima ngak ?" Tanya Qey kepada Teri, dan Teri mengangguk semangat
" Nanti pulang sekolah kita berkumpul " ucap Teri, dan Qey hanya mengacungkan jempolnya dan bergegas kembali pergi ke kelasnya, begitupun Teri dia dengan senyum senyum berjalan kearah bangkunya, dan langsung saja berbalik kearah belakang untuk memamerkan Qey kepada Sesil, jika sekarang dia punya member ganteng, tak melulu orang aneh seperti yang Sesil pikirkan.
" Siapa ?" Tiba tiba saja Gaidan bertanya kepada Teri, tapi Teri masih kesal dan akhirnya mengabaikan Gaidan dan kembali fokus kepada Sesil.
Jam pulang sekolah pun tiba, Dafka dan Gaidan menatap Qey dari atas hingga bawah, jadi ini anggota ganteng yang Teri bilang
" Kita pikir Qey itu perempuan " ucap Gaidan
Dan Qey hanya tersenyum mendengarnya, sudah biasa bagi Qey mendengar itu, sebenarnya nama asli Qey adalah, Ahmad Asqey Zayn, tapi sedari kecil dia di panggil Qey, dan sampai sekarang Qey sudah nyaman dengan namanya ini
" Ahmad Asqey Zayn " Qey menyebut namanya lengkap nya, Qey adalah seorang anak dari seorang intelejen terkenal, tapi identitasnya dia sembunyikan dan memilih bersembunyi di sekolah kuliner ini, Jika sampai ada seseorang yang mengetahui identitas aslinya, nyawanya bisa saja dalam bahaya, mengingat pekerjaan sang ayah yang bisa saja membahayakan ibunya dan juga dirinya, jika sampai identitas mereka bocor
" Sekarang kita udah ada Qey, sekarang kita harus memikirkan Lili " ucap Dafka tiba tiba sehaluan dengan Teri yang baru saja akan membahas itu.
" Lili gagap bukan ?" Tanya Qey kepada Teri dan dianguki oleh mereka bertiga,tanpa disangka kalau Qey mengenal keluarga Lili dan tanpa sungkan menceritakan tentang Lili pada Teri
" Lili itu anak tunggal di keluarga berada, dan Ira itu anak pembantunya, tapi karena waktu itu Lili sangat ingin memakan sosis goreng, akhirnya ibunya Ira membuatkan sosis goreng di tengah malam, hingga kejadian tak terduga menimpa, gas dan kompornya meledak dan menewaskan orangtua Ira , mulai dari hari itu Lili menyalahkan dirinya sendiri karena telah membuat orangtua Ira tiada, yang gue tau sih kaya gitu "
Mereka bertiga menyimak dengan serius, sekarang Teri mengerti darimana sikap patuh Lili berasal, ternyata itu dari rasa bersalahnya kepada Ira, sepertinya seseorang harus menyadarkan Lili, jika semuanya terjadi karena kecelakaaan bukan karena salahnya, jadi Lili harus berhenti mengemis kepada Ira, dan mulai memikirkan mimipinya sendiri.
Mungkin mulai hari ini Teri akan mencoba membuka mata Lili dan meneguhkan hatinya, tentang dimana dia akan menyimpan bakatnya itu.
" Kamu tau rumahnya ?" Tanya Teri kepada Qey, dan Qey menjawab dengan semangat
" Tentu saja !" Jawab Qey cepat
Dan sudah di putuskan jika mereka berempat akan pergi menemui Teri di kediamannya, sekaligus merubah pola pikirnya yang terjebak di masalalu, Lili harus sadar dan mulai mengejar mimpinya dan berhenti mengejar maaf dari Ira, karena untuk usaha orangtua Lili yang menyekolahkan Ira hingga saat ini, itu lebih dari sekedar bantuan, tapi mereka merasa bertangung jawab atas hidup Ira.
Maka dari itu tidak pantas Kalau Lili dilakukan seburuk itu oleh Ira, padahal gas itu meledak buka Lili yang merencanakan semuanya, itu hanya kecelakaan dan mungkin takdir mereka.
Bersambung........
Sadarlah Lili
Rasa lelah yang Yudam rasakan saat ini bertambah, saat dia mendengar jika Kean gagal melindungi misinya dan malah ketahuan oleh Oca, ditambah lagi Qey yang tak pernah Yudam sangka sangka malah ikut bergabung dengan Tim Dafka
Yudam sangat marah sekarang, bagaimana mungkin seorang Kean seceroboh ini.
" Lo gimana sih !" Kesal Yudam
Pertemuan Tim kali ini cukup mendebarkan, semua hanya diam menyimak perkataan Yudam yang tengah dilanda emosi, bahkan Viola dan yang lainnya kaget, saat mengetahui jika Yudam merancang rencana seperti itu dengan memanfaatkan Kean
" Lo coba aja jadi gue, gue muak tau ngak pura pura kaya gini " bentak Kean
" Eh! Udah bro, kita bisa bicara baik baik" Gery mencoba menengahi Yudam dan Kean, jangan sampai mereka tersulut emosi dan mengacaukan Tim nya.
" Yudam! Lo kenapa takut gitu sih, kita lakuin aja kayak biasa, ngak usah khawatir kayak gini" ucap Hellen yang di anguki oleh semua anggota Tim nya
Yudam juga tak mengerti kenapa dia sekhawatir ini, tapi Yudam hanya takut dia kalah dan membuat papahnya malu, seperti yang mereka ketahui ayah dari Yudam itu sangat keras dan juga tak punya belas kasihan, jadi pantas saja Yudam berusaha sekeras ini.
Semua anggota Tim Yudam menentang rencana licik lagi yang akan Yudam lakukan, mereka juga bukan orang sembarangan jadi tak perlu khawatir, dalam masalah evaluasi mereka sudah lebih dulu merajai, dan mana mungkin akan kalah oleh Tim yang di bentuk dadakan itu.
" Kita ngak perlu kaya gini, kita semua bisa!, Ngak usah khawatir " ucap Franda yang menenanangkan mereka semua.
Tapi tetap saja Yudam kesal kepada Kean, yang hampir saja nama baiknya tercemar jika saja Kean berkata kepada Oca, ini semua adalah rencana nya, dan tak bisa Yudam pungkiri jika sekarang yang dia takutkan adalah Oca bergabung dengan Tim Dafka.
-
Empat orang kini bersama ditambah ratu kebersihan yang selalu mengintil kemanapun Teri pergi, Dafka, Gaidan, Teri dan Qey berniat mengunjungi Lili, tapi mereka punya rencana, dimana Lili harus terpisah dengan Ira, oleh karena itu, Qey dan Dafka bertugas menculik Ira sementara Gaidan, Teri dan Sesil mengunjungi Lili.
Sekarang mereka sudah menjalankan aksinya, Qey dan Dafka sudah berada di depan gerbang rumah Lili, mereka berdua menekan bel dan menunggu datangnya seseorang yang akan membukakan pintu.
Clekkk
Pintu terbuka, menampakan Ira yang sekarang menatap Dafka dan Qey heran, sungguh kebetulan sekali yang membukakan pintu itu adalah Ira, hingga mereka berdua tak perlu bersusah payah membuat alasan untuk menemui Ira.
" Siapa yah?" Tanya Ira
Qey langsung saja masuk kedalam peran nya, yang berpura pura menjadi anak didik Chef terkenal yang ingin Ira temui selama ini, mereka mengetahui itu dari unggahan Ira di Instagram pribadi nya.
" Halo!, Kita satu sekolahan! Dan kebetulan kami ini murid Chef Vanya, dan Chef Vanya bilang dia mau nemuin yang namanya Ira Hasanah, apa dia ada ?" Tanya Qey berpura pura tak mengenal Ira
Dan sesuai dugaan, saat mendengar Chef Vanya mata Ira berbinar terang, lalu menegaskan jika dia adalah Ira yang dimaksud oleh Chef Vanya itu, dan Qey yang pintar berbicara itu mulai menjelaskan jika Chef Vanya ingin menemui Ira karena rekomendasi dari Chef Rasya.
Padahal sebenarnya mereka saja tak tahu, Chef Vanya mengenal Chef Rasya atau tidak, tapi mereka mengarang cerita yang menurut Qey cukup masuk akal, tanpa disangka sangka, Ira percaya dan dengan suka rela mengikuti mereka berdua, sebegitu sukanya dia pada Chef seksi itu.
Melihat keberhasilan Qey dan Dafka mereka bertiga, Teri, Gaidan dan Sesil, keluar dari persembunyian nya, mereka bersembunyi di balik mobil yang terparkir disana, disaat melihat mobil Qey sudah beranjak pergi, mereka bertiga langsung saja menekan Bell rumah Lili, Teri menekannya beberapa kali hingga akhirnya dibuka oleh seorang wanita cantik, Teri yakini dia ibunya Lili
" Permisi Tante, Lilinnya ada ?" Tanya Sesil kepada Wanita cantik yang kini berdiri di ambang pintu
" Teman nya Lili ?" Tanya Wanita itu dan mereka bertiga mengangguk bersamaan, melihat jawaban mereka bertiga ibu Lili itu terlihat bahagia dan mempersilahkan mereka bertiga masuk kedalam rumah besarnya itu
" Tante seneng!, Tante kira Lili ngak punya temen, jadi Tante suka khawatir " ucap ibu Lili itu menyambut mereka dengan sanggat baik
Hingga akhirnya mereka di persilahkan duduk, sementara ibunya itu memangil Lili untuk menemui mereka, rumah ini sangat megah dengan perabotan rumah yang terkesan mahal, mereka bertiga tak berhenti mengagumi desain yang menakjubkan ini, begitu banyak terpampang beberapa poto anak kecil dengan celemek putih memegang piala yang besarnya hampir sebesar tubuhnya, sepertinya itu Poto Lili.
Tak lama dari itu datanglah Lili yang terlihat sangat cantik dengan dress putihnya, sekarang Lili terlihat seperti seorang putri kecil dengan sang ratu yang berjalan di sampingnya.
" Mamah tinggal ya sayang " ucap Wanita cantik yang membukakan pintu itu, ternyata benar dia adalah ibu dari gadis cantik di hadapan Teri saat ini.
" Lili maksud kedatangan kami kesini mau ajak kamu lagi, siapa tau kamu berubah pikiran " Baru saja Lili duduk di kursinya, Teri langsung saja bertanya kepada Lili.
Teri kembali menjelaskan alasan mereka berusaha merekrut Lili adalah untuk menjadikan Tim ini sempurna dengan hadirnya Lili, Tim yang akan membawa nama baik jurusan nya dan makanan Tradisional yang selalu di sepelekan, setidaknya mereka yang beranggapan jika makanan Tradisional itu kampungan harus mengakui kelezatan dan filosofi dari setiap makanan khas Nusantara.
Tapi Lili hanya diam, dia tersenyum kecil dan tak membuka suaranya, dia takut jika sampai ikut serta dalam Tim Teri, nanti Ira akan kembali memusuhinya, Lili tak mau sampai Ira merasa terasingkan lagi karena dirinya, cukup satu penyesalan saja bagi Lili, dia tak mau terus menambah luka di hati Ira.
Melihat Lili hanya diam Teri meminta agar Sesil membantunya, tapi Sesil pun bingung harus berkata apa sekarang ini
" Apa karena Ira ?" Tanya Gaidan membuat Sesil dan Teri kaget, pasalnya Gaidan sedari tadi bilang jika dia tak mau jika harus urus campur masalah Lili dan Ira, tapi lihat dia sekarang akan berbicara, melihat Gaidan yang berbicara Lili hanya menunduk dan menganguk pelan.
" In..ni..karena...sa...sa...salah...ak..aku" ucap Lili
Mendengar jawaban Lili Teri menghampiri Lili dan memegang tangan Lili di susul dengan Sesil yang mengikuti hal yang sama, lalu Teri melirik Gaidan untuk melanjutkan ucapan nya, dan dengan sedikit canggung Gaidan menjelaskan jika semua peristiwa yang menimpa orangtuanya itu kecelakaan, Lili harusnya bisa membangkitkan semangat Ira, bukannya mengakui bersalah dan membiarkan Ira menyalahkan nya, tak ada yang pantas disalahkan, semua ini takdir tuhan, jadi Gaidan tegaskan jika Lili dan Ira tak bisa selalu berdua, suatu saat mereka akan sibuk dengan urusan masing masing, jadi jangan memaksakan diri dan memendam bakatnya dengan alasan tak ingin membuat Ira kembali terasingkan karena dirinya yang bersinar seorang diri, karena Ira pernah berkata jika Lili dilahirkan hanya untuk membuat Ira tampak tak berguna, namun mereka bertiga, Teri, Sesil dan Gaidan terus saja membangkitkan semangat Lili dan berusaha menyadarkan Lili untuk bangkit, Lili tak bisa terus bersembunyi di balik punggung Ira.
Hal serupa juga di sampaikan oleh Qey kepada Ira, walaupun Ira sempat marah karena Qey dan Dafka membohonginya dan meronta untuk kembali ke rumah Lili, tapi sebelum itu terjadi Qey bertindak lebih dahulu.
Dia mengunci Ira di dalam mobilnya dan mulai membrondong nya dengan banyaknya pertanyaan, mulai dari kenapa Ira selalu menghalangi Lili, kenapa Ira menyalahkan Lili, kenapa Ira tak memaafkan Lili dan masih banyak pertanyaan yang menekankan kejahatan nya kepada Lili.
Ira sempat membentak berteriak kepada Qey, karena dengan lancangnya dia mengorek masalah pribadi Ira dan juga menyudutkannya seolah Ira adalah orang yang paling bersalah disini
" Kalian nggak ngerti !" Bela Ira dari tekanan Qey, tapi Qey malah tertawa menendengarnya.
" Nggak ngerti gimana?, Gue nggak ngerti kalau Lo itu ngak tahu diri ?. udah dibesarin orang tua Lili, tapi sama anaknya Lo kayak gini" ucap Qey membuat wajah Ira memerah menahan marah, matanya berkaca dan juga menatap Qey sengit, Dafka hanya bisa menonton tanpa bisa membantu Qey, karena Dafka sama sekali tak ahli dalam hal seperti ini.
" Gue selamanya ngak akan rela kalau Sampai Lili jadi orang yang berguna, dia harus tetep jadi pengecut dan berada di bawah kendali gue, hidup gue hancur juga karena dia !" Kini Ira benar benar menangis, Dafka kelabakan sedangkan Qey hanya menatap Ira yang tengah menangis d Ngan santai.
" Lo mau, kalau orangtua gue mati, gue bakal nyalahin lo, dan bahkan gue bakal bikin hidup Lo serba salah " Qey berbicara dengan gigi yang mengertak, Qey paling tidak suka kepada gadis yang keras kepada seperti Ira ini, dan bahkan Qey membuka pintu mobil nya lebar lebar sekarang.
" Tadi Lo mau turun ? , Sekarang Turun aja! Emangnya Lo tau sekarang dimana? " Qey menyuruh Ira turun sekarang, sedangkan Ira hanya diam menatap Dafka sekarang seolah meminta untuk menghentikan Qey.
" Qey udahlah " bujuk Dafka kepada Qey yang sekarang berada di luar mobil memegang kepala pusing, karena sikap Ira.
" Ira! Kamu harus tau, kalau ada banyak hal yang ingin Lili lakuin, dia berat sama kamu, dia sayang sama kamu layaknya saudara, walaupun kamu selalu menganggapnya seorang pembunuh " ucap Dafka
Mendengar ucapan Dafka langsung saja ingatan tentang Lili yang selalu merawatnya saat sakit, yang selalu membela ya, yang selalu setia padanya membuat Ira menangis tersedu sedu, Ira merasa buruk sekarang dia tak tahu lagi harus berbuat apa.
" Apa menurut Lo gue masih bisa dimaafin " tanya Ira kepada Dafka dan Dafka menjawab dengan yakin, jika Lili tak menyimpan dendam apapun kepada Ira sekarang ataupun pun masalalu, Lili ini orang yang tulus
Melihat Ira yang menangis Dafka keluar dari mobil dan membiarkan Ira memikirkan kembali keputusan nya, Dafka dan Qey hanya minta agar dia tak menghalangi Lili dan coba berdamai dengan masalalu, mencoba meniti hidup nya dengan bantuan orangtua Lili yang siap membantunya.
Masalah Lili dan Ira sepertinya mereka hentikan sampai disini, kedepannya biar mereka sendiri yang memutuskan, tapi apapun keputusan Lili nanti mereka tetap akan menghormatinya, tapi setidaknya keinginan Teri untuk membuka pikiran Lili dia sudah mencobanya, semoga saja Lili mengambil langkah yang tepat.
Bersambung......
Kambing Hitam
Mereka berlima kini hanya diam di rumah Gaidan, Qey yang sedari tadi tak duduk dia malah berputar mengitari lemari pajangan jamu dengan heran, Qey bahkan membuka botolnya dan mencium nya, sedangkan mereka berempat menonton gerak gerik Qey yang seperti orang yang pertamakali melihat jamu.
" Kenapa ? "
Semua yang ada disana tersenyum penuh arti saat melihat kedatangan Nenek Sum yang tiba tiba, Teri berharap Nenek akan memberikan dia jamu yang terpahit agar mulut Qey bisa diam, karena sedari tadi mulutnya itu tak pernah bisa berhenti berbicara.
" Enggak nek, ini kayanya enak hahahahhahah" ucapan khas Qey yang selalu di akhir dengan tawa kencangnya itu membuat Nenek kaget, dan bertanya kepada Gaidan lewat lirikan matanya, siapa Qey ini.
" Dia anggota Tim kami " jawab Gaidan dan Qey mengangguk mengiyakan , karena tahu dia juga termasuk Timnya Gaidan Nenek Sum lantas memberikan satu botol jamu kepada Qey, mereka berempat melihat Qey yang bersemangat membuka botol jamu ini meringis dan menganggap jika Qey sudah gila.
Kegilaan nya berlanjut saat dengan santai dia meminum setengah botol jamu itu dengan santai tanpa menunjukan reaksi apa apa.
" Enak ?" Tanya Sesil kepada Qey
" Enak , mau?" Qey menyodorkan gelas bekasnya kepada Sesil, dan tentu saja di tolak mentah mentah oleh Sesil
" Kalian udah bukan Trio kusam lagi deh sekarang " gerutu Sesil karena tak bisa meledek Teri, Gaidan dan Dafka sebagai Trio Kusam lagi karena sekarang sudah ada Qey dan juga Lili di tim nya yang berparas rupawan.
" Gue ngak kusam !" Tegas Teri dengan mata yang melotot kearah Sesil, membuat Sesil tersenyum kikuk.
Sedangkan Dafka hanya menunduk fokus dengan ponselnya, sedari tadi dia tak berhenti mendapatkan pesan Anonim, tapi itu dikirim dari nomor yang berbeda beda, hati Dafka was was sekarang, mungkin dia harus cepat pulang agar bisa menjawab semua pertanyaan yang mengangunya.
" Aku pulang duluan " pamit Dafka tiba tiba, membuat mereka merasa aneh dengan Dafka, tapi Dafka tak mau membebankan mereka dengan masalahnya saat ini.
" Gue Anter!" Ucap Qey berdiri untuk ikut dengan Dafka, tapi itu ditolak mentah mentah oleh Dafka dia tak mau melibatkan Qey, tapi Qey adalah Qey dia tetap saja memaksa, hingga Dafka pun mengiyakan dengan terpaksa, akhirnya Qey mengantarkan Dafka pulang.
Di tenggah perjalanan Dafka tak henti menautkan jarinya dan menatap ponselnya dengan was was, Qey tentu saja menyadari itu.
" Kenapa ?" Tanya Qey kepada Dafka tapi Dafka hanya mengeleng, hingga telpon masuk ke ponsel Dafka, Qey segera mengambilnya dan mengangkat nya
Penelpon hanya diam saja saat Qey bertanya, yang semula dia akan mengantar Dafka tiba tiba Qey berputar arah untuk kerumahnya, karena Qey adalah anak dari seorang intel, Qey mengerti keadaan saat ini, Dafka tengah terkena Teror.
" Mau kemana?" Tanya Dafka
" Gue tau , Lo diincer orang saat ini " Qey berniat mengamankan Dafka dan mencari tahu tentang peneror itu lewat nomor ponsel yang menelpon Dafka, tentu saja Qey tak melakukan nya sendiri, dia akan meminta ayahnya yang melakukan.
" Gue bakal bantu, Lo tenang aja " ucap Qey menenangkan Dafka, dan Dafka tak tahu harus berkata apa saat ini, sebenarnya Dafka ketakutan saat ini, dia tadinya ragu untuk kembali ke kosan nya, tapi untung Qey memahaminya, padahal mereka baru kenal beberapa hari ini, tapi Qey sangat baik padanaya, lagi lagi hati Dafka menghangat karena merasa jika dia itu disayangi oleh teman teman nya.
Setiba di rumah Qey, Dafka langsung saja di bawa kedalam kamar Qey dan disuruh menunggu disana, sedangkan dia pergi dengan membawa ponsel Dafka, Qey berniat menemui Ayahnya dan meminta bantuan untuk mengetahui siapa orang yang meneror Dafka selama ini.
Abram, Ayah Qey ini sanggat berwibawa, tapi selera humornya sangat receh persis seperti Qey, mungkin Qey begitu juga karena gen dari sang Ayah, setelah menemui Ayahnya Qey langsung saja menceritakan semua kejadian di mobil secara detail kepada Ayahnya.
" Apa dia korban bullying sebelumnya?" Tanya Abram kepada Qey, tapi Qey tak tahu tentang masalalu Dafka, maka dari itu dia berkata kepada Abram jika Qey baru mengenal Dafka beberapa hari ini, dan langsung saja Abram menyuruh Qey untuk bertanya kepada Dafka mengenai hal itu.
Qey langsung saja kembali ke kamarnya untuk menemui Dafka lagi, dan bisa Qey lihat Dafka hanya duduk diam di kasur Qey dengan keringat di pelipisnya, rambut kriwil itu kini tampak basah karena keringat, padahal cuaca disini ada AC dan bagi Qey ini sanggat dingin.
" Dafka " seru Qey menghampiri Dafka, dia memegang bahu Dafka dan bertanya pertanyaan yang diajukan oleh Ayahnya kepada Dafka tentang pembullyan, Dafka berpikir keras tentang masalah pembullyan apa yang dimaksudkan oleh Qey, seingat dia meskipun Dafka sering dikucilkan, tetapi tidak sampai dibully.
" Lo yakin " Qey kembali memastikan saat Dafka menyangkal pertanyaan nya barusan, tapi seketika Dafka teringat akan Yudam, tindakan Yudam pada saat evaluasi waktu itu bisa disebut pembullyan, dan dengan berani Dafka mengakui itu kepada Qey, jika dia pernah di sudutkan dan di caci maki oleh sekelompok orang yang membuatnya trauma untuk memasak kembali.
Dafka tak menyebutkan nama pelakunya, tapi Qey terus saja mendesak agar Dafka mengakui siapa orang itu, karena kemungkinan orang yang melakukan ini adalah orang yang sama
" Siapa ?" Tanya Qey lagi mendesak Dafka
" Yudam " jawab Dafka pelan, dan langsung saja Qey tersenyum kecut
" Yudam?, Ternyata Yudam yah !" Ucap Qey mengertakan giginya marah, sudah sejak lama Qey ingin berkelahi dengan Yudam tapi dia tak pernah mendapatkan alasan yang jelas untuk memulainya, tapi sekarang dia akan jadikan alasan ini untuk menghantam wajah sok ganteng nya itu.
Qey langsung saja beranjak dan mengambil jaketnya, dia mencari cari kunci motornya, untuk menemui Yudam, Dafka yang melihat itu kelabakan, dan langsung saja menghadang Qey.
" Kemana ?, Kalau mau ketemu Yudam biarin aku ikut " tegas Dafka , dan Qey hanya menatap Dafka sekejap lalu bertanya tentang keyakinan Dafka ikut dengannya, mereka berdua pun pergi dengan mengendari motor sport hijau milik Qey.
Mereka hendak pergi kerumah Yudam, tapi kebetulan kini menimpa mereka, Dafka melihat Yudam yang tenggah bersama Topan dan Kean di starbuck, langsung saja motor Qey parkirkan dan berjalan cepat menghampiri Yudam.
Tapi Dafka sempat menahan Qey dan berkata jika yang melakukan teror itu belum pasti Yudam, karena mereka tak punya bukti sama sekali tentang itu, namun karena Qey punya dendam kesumat pada Yudam dia tak menggubris ucapan Dafka dan malah masuk begitu saja ke dalam Starbuck itu, dan langsung menendang mejadi hadapan Yudam.
Topan dan Kean kaget sedangkan Yudam mengertakan rahangnya dan menatap Qey sinis
" Apa apaan ?" Tanya Yudam dengan nada muram, tapi tanpa aba aba Qey membogem muka Yudam, membuat Topan dan Kean secara otomatis memisahkan mereka, dan Dafka bahkan tak berani masuk kedalam dia hanya diam di luar menyaksikan perkelahian Qey dan juga Yudam.
Beberapa pengunjung memekik kaget dengan kejadian itu, kini wajah Yudam penuh dengan lebam begitu pula dengan Qey, Topan dan Kean menatap Qey dengan tidak suka.
" Gue udah kira Lo serendah ini " ucap Qey, yang dimaksudkan nya adalah tentang teror yang dilayangkan nya pada Dafka, sedangkan Yudam hanya tersenyum sinis tak mengerti apa yang dibicarakan oleh Qey saat ini.
" Lo lakuin ini agar gue mundur di evaluasikan ?" Yudam pun tak mau kalah, dia bahkan mengira jika Qey merencanakan sesuatu yang licik.
" Dari awal liat Lo gue langsung muak, dasar Lo anak papih !" Ledek Qey yang berhasil membuat Yudam kembali tersulut emosi dan memukuli Qey dengan membabi buta begitupun sebaliknya, akibat perkelahian itu beberapa pengunjung meningalkan cafe itu dan para pegawai berusaha memisahkan mereka.
Sampai sampai pegawai disana menelpon polisi untuk memisahkan mereka, dan tak lama polisi pun datang dan langsung saja membawa mereka berempat ke kantor polisi, untuk dimintai keterangan, mengapa mereka membuat kerusuhan di tempat umum.
Dan Sekarang mereka berempat berdiri berdampingan di kantor polisi dengan seorang petugas menanyai mereka
" Siapa yang mulai duluan " sontak ketiganya menunjuk Qey, tapi Qey merasa tak terima
" Gue ngak bakalan kaya gini kalau Lo,,," ucapan Qey terhenti saat petugas itu mengebrak meja dengan keras, mereka berempat pun kembali tertunduk
" Kalian merasa jadi jagoan?, Masih belasan tahun udah berani bikin ribut di depan umum, ngak malu ? " Tanya polisi itu dengan membentak mereka berempat hanya diam tak bisa berkata apa apa.
Dan acara ceramah pak polisi berlangsung selama dua jam, polisi tersebut seolah menumpahkan kekesalan nya atas kejadian serupa yang dia hadapi kepada mereka berempat, hingga akhirnya mereka di persilahkan pulang setelah menandatangani surat pernyataan.
Qey keluar dari kantor polisi dengan wajah memar sana sini begitu pula Yudam, Qey menemukan Dafka yang tengah berdiri diluar dengan motor hijau miliknya, Qey menghampirinya dan bertanya apakah Dafka mengendarai motornya, dan Dafka mengatakan jika dia terpaksa memakainya, sebenarnya dia tak begitu pandai mengebdari motor, tapi karena melihat Qey di bawa oleh polisi.
" Dafka !" Teriak Teri berlarian kearahnya dengan Gaidan di belakangnya, lalu memeluk Dafka karena merasa khawatir sebab tadi Teri bilang jika Qey dan Yudam berkelahi hingga di bawah oleh polisi
" Gue ngak di peluk nih " ucap Qey
Niat awal sebenarnya bercanda, tapi tanpa disangka Teri malah benar benar memeluknya.
Deg
Jantung Qey sakit saat Teri mendekap tubuhnya, Karen ini pertamakalinya Qey di peluk oleh perempuan yang bukan muhrimnya, berbeda dengan Qey yang sekarang mematung Teri malah terlihat santai seolah tak terjadi apa apa
" Ngomong ngomong kenapa malah nelpon kita pake nomor Qey, bukannya nelpon Orang tua Qey ?" Tanya Gaidan kepada Dafka, dan Dafka hanya cengengesan, berhubung ponselnya saat ini sedang di interogasi jadi dia menelpon Teri dan Gaidan menggunakan ponsel Qey
" Ngak tahu deh ngak kepikiran, yang kepikiran nya cuma kalian berdua aja, maklum lagi panik " jawab Dafka
Teri sekarang menatap wajah Qey dan tangan dia menyentuh pelipis , dan pipinya yang terluka membuat Qey kembali mematung dan dengan gerakan cepat menghempaskan tangan Qey dari wajah nya.
" Sakit tau !" Gerutu Qey
' ampun deh ! Gue ngak suci lagi ' batin Qey ngawur.
Bersambung.......
Sekeras Lengkuas
Sepulang dari kantor polisi Dafka dan Qey kembali lagi kerumah Qey, meski datang ke kantor polisi Teri dan Gaidan sampai sekarang tidak tahu masalah tentang Dafka, karena Dafka yang melarang Qey untuk memberitahukan nya kepada Mereka berdua.
Setibanya di rumah Qey, mereka berdua disambut oleh aya oleh Qey dengan alis bertautan dia menilik wajah putranya yang babak belur , Dafka pikir jika sekarang Qey akan terkena masalah baru dan dimarahi oleh ayahnya itu.
Tapi dugaan Dafka salah, Abram malah merangkul Qey dan berkata dia bangga kepada Qey, karena memang seharusnya anak lelaki itu berkelahi, Dafka hanya melongo karena jenis ayah seperti ini sangat langka dan sulit di temukan, dan lihat sekarang Ayah Qey menatap anaknya dengan takjub.
Setelah acara penyambutan yang mengharukan itu, kini mereka bertiga Dafka dan Qey ditambah pemilik yang tak lain adalah Abram ayah Qey, mereka bertiga duduk di sofa ruang kerja Ayahnya, karena Abram bilang menemukan sesuatu tentang kasus Teror Dafka, dan barulah sekarang Dafka mengetahui jika Ayah dari Qey itu adalah seorang Intel, pantas saja Qey mengatakan dengan yakin jika dia akan membantunya.
" Jadi gini, Om curiga kalau yang lakuin ini adalah orang di dekat kamu, soalnya setelah dilacak nomor yang menghubungi kamu itu berasal dari dua daerah yang berbeda, mungkin aja orang di dekat kamu punya koneksi di Padang, karena kata kamu mereka juga kirim Poto keluarga kamu yang ada di Padang " jelas Abram, dan kini mereka berdua menyimaknya dengan baik
Dan Abram menunjukan dua lokasi nomor tersebut kepada Dafka, dan anehnya satu nomor itu berada di kosan nya , itu artinya orang itu berada di sekitar kosan nya, dan langsung saja Dafka bilang jika salah satu alamat itu adalah alamat kosan yang dia tempati.
" Apa kamu ngak papa kalau kasus ini Om selidiki lagi ?" Tanya Abram kepada Dafka , dan tentu saja Dafka setuju bahkan dia berterima kasih kepada Abram yang bersedia membantunya, dan Abram menegaskan agar Dafka jangan merasa terbebani dengan Teror ini, karena orang yang menerornya tidak akan berani menampakkan dirinya, dia hanya berani lewat media saja.
Dafka tak berhenti berterimakasih kepada Dafka, dan sebagai balasan nya Dafka akan memasak makan malam untuk Qey dan juga orangtuany, dan itu disambut baik oleh Abram dan juga Qey dan mungkin ibunya juga akan senang, setelah lelah dari salon di hidangkan makanan lezat buatan Dafka.
****
Jarak ke evaluasi tinggal 5 hari lagi kini mereka sudah berlima, Teri, Dafka, Gaidan, Lili dan Qey, sebenarnya mereka kekurangan satu anggota lagi, yaitu Oca, dia masih belum memutuskan apakah akan ikut atau tidak, karena sampai saat ini dia belum menghubungi mereka .
Sesil tiba tiba saja berlari kearah mereka berlima dan berkata jika dia baru saja menemui Oca
" Tadi Oca bilang, katanya dia ngak bisa masuk Tim ini, dia malu katanya, tapi emang harusnya dia malu sih " ucap Sesil kepada Mereka
" Jadi gimana ?" Tanah Dafka kepada Sesil, dan Sesil hanya mengidikan bahunya tak tahu.
" Itu artinya kita kekurangan satu orang lagi ?" Tanya Qey, dan di anguki oleh Teri dan juga Gaidan
" Ekhemmm ekhemmm " tiba tiba saja Sesil berdehem dengan menyampirkan rambutnya kebelakang, kelima orang itu menatap Sesil dengan tanda tanya besar di wajahnya
" Apa ?" Tanya Qey tengil kepada Sesil
" Ih ! Kan ada gue , kenapa ngak ngajak gue aja ,gue kan juga jago bikin Desert " ucap Sesil keras
Perkataan Sesil barusan membuat Teri dan Gaidan tertawa kencang, bahkan anak kecil pun akan mengerti saaat mencicipi dessert yang di buat oleh Sesil
" Jago ?, Siapa yang numpahin garam ke puding jagung ?, Siapa yang bikin Klepon keras kaya batu ?, Siapa yang bikin martabak becek ?, Siapa yang bikin cendol kaya muntahan bocah?, " Ledek Teri membuat semuanya menertawakan Sesil, sedangkan Sesil gelagapan sekarang, karena itu memang benar adanya, semua itu adalah Chef Rasya sendiri yang mengatakannya.
" Ya...ya.sekarang ngak gitu " bela Sesil lagi
Sedangkan mereka berlima kembali berdiskusi dan tak menghiraukan si ratu kebersihan yang tenggah merajuk itu, Teri fokus kepada penjelasan Dafka, sedangkan Qey fokus kepada Teri, dia bahkan menyenderkan kepalanya untuk menatap Teri, sepertinya Qey suka kepada Teri.
" Keadaan Yudam gimana ? " Tiba tiba saja Sesil bertanya hal itu untuk menarik perhatian mereka, tapi justru mendapat kan pelototan dari Teri dan Dafka
" Ish " Sesil pun kembali memunggungi mereka dan meneruskan acara merajuknya itu.
" Ira gimana ? " Tanya Dafka kepada Lili secara tiba tiba
" Ba..baik" jawab Lili , memang setelah kejadian waktu itu, Ira memilih untuk bersekolah di luar negeri dan Orangtua Lili mengijinkan dan bahkan membiayai Ira, karena mereka sudah menganggap Ira itu sebagai anaknya sendiri, alasan Ira pergi adalah, karena dia bilang dia terlalu malu untuk terus bersama dengan keluarga Lili dan terus menerus menjadi hama, akhirnya Ira memilih mengasingkan diri untuk mencoba berdamai dengan masalalunya yang kelam dan mulai membuka lembaran baru.
Kelompok mereka sudah hampir lengkap, mereka sudah memutuskan untuk membuat Rendang, petis udang mundhut, dan juga gado gado dengan ditambah minuman racikan Gaidan yaitu Sarsaparila alias Cola Jawa, Teri berharap Tim mereka bernasib baik dan menang di evaluasi ini agar membuka pintu mereka untuk tampil di demo tahun ini, melihat jumlah murid disetiap tahun nya berkurang, jurusan ini bisa saja di berhentikan karena kurang peminat,dan itu akan menandakan jika pribumi lagi lagi kalah.
Maka dari itu Teri dan Tim nya bertekad untuk menampilkan kelebihan dari jurusan KTN ini kepada masyarakat luas, bahwa makanan tradisional itu juga ada ilmunya dan dapat dikembangkan agar bisa mengenalkan nya kemata dunia, kita para anak muda harus menjunjung tinggi makanan lokal yang kaya akan rempah ini.
Dari 25 jenis rempah di Indonesia semua nya bisa menjadi pengiring dan pelengkap semua masakan Indonesia yang kaya akan rasa, menandakan jika makanan yang tercipta di negeri tercinta ini memiliki filosofi yang mendalam, tidak melulu dimakan karena mudah di temukan dan juga harganya yang terjangkau, tapi juga karena ini milik kita, makanya mari kita lestarikan bersama.
Mendalami ilmu makanan tradisional bukanlah hal yang buang buang waktu seperti yang orang orang katakan, tapi mendalami ilmu kuliner tradisional membuat kita jadi paham dan mengerti, makanan yang kita sebut kampungan itu di gemari oleh orang negara lain , sama halnya oleh makanan orang lain yang di gemari oleh kita, maka dari itu kita semua sederajat tak ada yang lebih unggul atau tertinggal
PKM dan KTN itu sama saja, mereka sama sama mendalami ilmu memasak dan menciptakan makanan seenak mungkin , hanya saja menu yang mereka pilih itu berbeda.
Semua makanan bagi Teri tak ada yang berkelas dan murahan, makanan itu sama, sama sama di makan, sama sama dikunyah, sama sama telen, dan pada akhirnya akan sama sama menjadi kotoran, tak peduli itu terbuat dari bahan dengan harga selangit,atau semacamnya.
" Mulai dari sekarang! Kita harus bisa bekerja sama, kita harus membantu satu sama lain, membuat makanan seenak mungkin, dan menutup mulut para anak PKM yang meremehkan makanan Tradisional " ucap Gaidan berseru dengan penuh semangat.
Mereka berlima, ditambah dengan Sesil mulai merasakan debaran gugup, membayangkan jika mungkin nanti gerbang tinggi itu di buka dan PKM dan KTN hidup berdampingan, mengadakan kolaborasi dan saling menyapa, meskipun mereka tak dapat merasakan semua itu karena sudah di penghujung tahun, setidaknya para murid angkatan kebelakang akan hidup beriringan, dan jika sampai itu terjadi dari semua orang, keenam orang inilah yang paling bahagia melihatnya.
Tapi Yudam dan Tim nya selalu ingin, mereka begini saja, agar para murid KTN tak melampaui batasnya, tapi entah batas apa yang dimaksudkan oleh mereka, intinya mereka tak ingin disetarakan dengan para murid KTN, yang menurut mereka lebih rendah, tapi mereka tak mengetahui jika, banyak sekali calon Chef kompeten di KTN, hanya saja ruang gerak mereka sempit, jadi bakat mereka terpendam begitu saja.
Disaat para murid angkatan 3 sedang riuh membicarakan tentang evaluasi, Pak Harun dan Chef Rasya kini tengah berdebat sengit dengan kepala sekolah SMK Haida, Pak Harun meminta ijin atas tampilnya para murid pilihan KTN di demo tahun ini dengan di dampingi oleh Chef Rasya selaku pembimbing para murid di Ballroom.
Tapi Pak Anton, orang paling berpengaruh di sekolah ini menentang hal itu, dengan berkata jika masih ada tahun depan jika KTN ingin tampil, tapi Pak Harun sudah tidak bisa menahan lagi, karena hampir setiap tahun Pak Anton mengatakan itu setiap kali ditanya mengenai nasib KTN.
" Pak mohon sekali ini bapak mengerti, banyak sekali murid bapak di jurusan KTN itu memiliki kemampuan yang luar bias " ucap Chef Rasya
" Beri mereka kesempatan " ucap Chef Rasya lagi, tapi pria paruh baya dengan setelan jas rapih itu hanya memijat pangkal hidungnya pening, dia duduk santai di kursi kebesarannya sedangkan Pak Harun dan Chef Rasya berdiri di hadapan nya.
" Kalian tahu, kalau KTN itu akan di bubarkan, dan kelas 10 sekarang adalah angkatan terakhir di Jurusan KTN, karena mulai tahun depan SMK Haida hanya fokus pada Kuliner Modern " ucap Pak Anton membuat Pak Harun dan Chef Rasya kaget, bagaimana mungkin Jurusan KTN akan di stop begitu saja.
" Kenapa pak ?" Tanya Chef Rasya kalap
Dan Pak Anton menjelaskan, jika mereka ini sekolah Swasta yang harus mandiri, dengan adanya jurusan KTN yang bahkan mulai jarang peminatnya itu hanya membuat Akomodasi membengkak, tapi jika hanya PKM saja yang berada disini, bisa saja sekolah ini bertaraf Internasional, karena bisa saja terjadinya pertukaran pelajar dengan pihak asing, dan juga mengikuti kompetisi di luar negeri yang mendatangkan banyaknya dana yang masuk kas sekolah ini.
" Jadi untuk apa melakukan Demo, saat tak akan lagi menerima murid di jurusan itu " perkataan Pak Anton kali ini terdengar tak peduli dan langsung saja menyuruh kedua pegawai nya itu agar meningalkan ruangan nya, dan rasanya sekarang Pak Harun dan Chef Rasya merasakan sangat kecewa, mereka tak tahu harus berkata apa pada murid murid nya nanti.
Bersambung.....
Abram Sang Penyelamat
Perasaan macam apa ini, kami hanya diam dan tak melakukan kesalahan, tak pernah membuat resiko dengan mempertaruhkan nama baik sekolah, kami selalu di anak tirikan dan selalu di anggap pengacau, padahal yang kami lakukan hanya diam, tapi kenapa kami harus di singkirkan.
Suara hati murid KTN
~ Rempah 25 ~
Saat pemilihan nama Tim, akhirnya mereka memilih menamai Tim nya ini dengan nama rempah Kapulaga beranggotakan Teri, Gaidan, Dafka, Lili, Qey dan juga Sesil, sebenarnya mereka tak berniat membawa Sesil ke kelompoknya, tapi melihat Sesil yang selalu ikut berkumpul dengan mereka, jadi dengan terpaksa Sesil mereka ikut sertakan dalam Timnya, dan semoga saja Sesil tak menjadi pengacau di Tim ini
Mereka berenam sudah mulai sibuk berlatih dan mulai merancang strategi untuk evaluasi nanti, dengan menyusun formasi yang di tentukan Nenek Sum sesuai dengan keahlian masing masing, Lili dan Dafka mengurus rendang, Teri membuat Petis udang, dan Qey membuat gadis gado andalan nya, sedangkan Gaidan hanya berfokus kepada minuman dan Sesil bertanggung jawab akan Dessert.
Sesil terus saja di beri wejangan oleh Nenek Sum agar tak gugup ataupun merasa jijik saat memasak, karena membuat makanan itu tak mungkin kita serapih pegawai kantoran, memasak membutuhkan konsentrasi dan yang terpenting makanan yang dihasilkan sesuai dengan lidah orang awam jangan egois, Nenek menekankan jika makanan khas Indonesia itu adalah makanan yang kaya akan bumbu, jadi jangan sampai terlalu sedikit ataupun terlalu banyak, semuanya harus seimbang, bukankah mereka berenam bersekolah disana untuk ini.
Hari hari menuju evaluasi rasanya semakin dekat, ditambah lagi mereka semua adalah murid tahun akhir jadi bisa saja hasil evaluasi kali ini berpengaruh pada perolehan nilai akhir yang akan menentukan mereka.
Setelah selesai dengan latihan nya, mereka kini duduk bersama di depan meja makan, ditambah lagi dengan kehadiran Anjani, dan juga putra tertuanya alias kakak dari Gaidan, mereka menatap masakannya dengan takjub
" Ini hari ke 8 kita makan menu yang sama " ucap kakak Gaidan itu, sebenarnya dia tak bermaksud apa apa karena makanan yang mereka buat pun sangat enak, tapi Anjani selaku manusia yang melahirkan anak yang bermulut pedas itu merasa tak enak hati dan meminta maaf kepada keenam anak yang membuat makanan tersebut.
" Ngakpapa Bu, Hahahahhahah " ucap Qey dengan tawa khasnya yang malah membuat suasana semakin cangung
" Makan makan ! Ngak baik ngobrol saat makan " Nenek Sum memecah kecanggungan yang tercipta oleh cucu tertuanya dan langsung saja mereka semua menyantap makanan yang sama disetiap harinya selama delapan hari berturut turut.
Di lain tempat Abram yang merupakan ayah dari Qey itu berjalan menyelidik tentang kasus Teror yang menimpa teman dari anaknya itu, sekarang pukul 21:40 dan Abram tenggah berada di dekat kosan Dafka, berdasarkan perkataan Dafka waktu itu yang mengatakan jika salah satu alamat penelpon itu berada di kosan nya, mungkin saja pelaku itu berada di kosan yang sama.
Abram sekarang melangkah menuju kosan Dafka, karena Dafka sudah memberikan kunci kosan nya agar Abram bisa menyelidiki kasus Dafka
" Maaf siapa ?" Tanya seseorang yang merasa asing melihat keberadaan Abram disini, Abram pun menjawab jika dia merupakan ayah teman Dafka yang hendak berkunjung, tapi pria paruh baya itu hanya menatap Abram dari atas hingga bawah.
" Tapi Dafka ngak ada! Udah beberapa hari ini dia ngak pulang " jawab pria paruh baya itu.
" Oh gitu! Bapak juga ada perlu sama Dafka ?" Tanya Abram saat ujung matanya melihat tangan pria tersebut memegang kunci di tanganya, tapi setelah menyadari Abram melihatnya langsung saja dia menyembunyikan di balik punggungnya.
" Saya pemilik kosan ini " jawab pria itu yang tak lain adalah paman Dafka sendiri, melihat pria itu memegang ponsel dan kunci, serta gerak gerik yang aneh Abram langsung menjadikan pria ini sebagai orang yang dicurigai.
Abram pun punya rencana , jika memang pria ini yang menjadi pelaku, mungkin saja dia kembali memasang nomor yang dia pergunakan untuk meneror Dafka, serta kunci itu mungkin saja dia gunakan untuk membuka kosan Dafka hingga dia bisa mencari tahu tentang Dafka.
Dengan sembunyi sembunyi jari Abram menelpon nomor si peneror dengan tanganya yang dia simpan kebelakang
1
2
3
4
Dan tanpa bunyi ataupun getaran, ponsel ditangannya tiba tiba menyala dan Abram yakini jika dia adalah orang yang melakukan ini semua, tapi Abram masih bingung dengan satu nomor lagi yang beras dari Padang, tapi petunjuk ini sudah sanggat membantu bagi Abram dan untuk kelanjutannya dia bisa berunding terlebih dahulu dengan Dafka.
"yah kalau begitu saya pamit, kalau Dafka pulang tolong sampaikan, ayah Qey datang berkunjung " ucap Abram dengan sopan dan dijawab dengan sopan pula oleh sang pemilik kosan itu
Abram pun berniat kembali kerumahnya, dan memberitahukan apa yang dia ketahui hari ini kepada Dafka, kalau sebenarnya pelakunya ada dilingkungan Dafka sendiri, dan sesuai dugaan Abram, jika peneror ini sepertinya baru pertamakali melakukan teror, soalnya dia mengirim teror dengan nomor yang sama beberapa kali yang artinya nomornya dapat dilacak dengan mudah.
Abram membantu Dafka karena dia juga pernah merasakan bagaimana hidup sebatang kara di kota orang seperti Dafka, dengan harapan. Edar meninggalkan keluarganya dan mengadu nasib dengan ketidakpastian, tapi masih ada orang tak bermoral ingin mengambil keuntungan dari orang seperti Dafka.
Ckrekkkk
Abram yang sengaja duduk santai di ruang tamu menunggu kepulangan Qey dan Dafka, akhirnya menunjukan hasil karena nyatanya mereka berdua pulang lebih cepat dari perkiraan nya
" Ngapain disini " Qey menghampiri ayahnya dan disusul Dafka, mereka bertiga duduk bersama diruang tamu untuk kembali membicarakan masalah yang tenggah dihadapi Dafka.
" Dafka! Kamu sebaiknya pindah kosan " Abram kini memeluai pembicaraan itu, tapi Dafka hanya mengeleng dia berkata jika Kosan itu milik pamannya, Dafka menghuni kosan itu dengan harga murah dan juga merasa jika pamannya itu yang dia punya disini.
Mendengar penjelasan Dafka yang mengatakan jika pria yang dia temui itu adalah paman nya, Abram menjadi sulit menyimpulkan sekarang
" Apa kamu pernah bertengkar dengan paman mu itu " tanya Abram
" Kenapa emang sama paman Dafka, yah ." Tanya Qey tak sabar karena merasa jika ayahnya itu berbicara dengan berbelit Belit, tidak langsung ke intinya
" Kayaknya yang neror kamu itu paman "
Dafka melotot tak percaya dengan ucapan Abram, mana mungkin lamanya itu menerornya, untuk apa pikir Dafka, tapi setelah Abram menjelaskan tentang kejadian di kosan Dafka, jika pemilik kosan itu mendapatkan panggilan tepat disaat Abram menelpon nomor si peneror, dan juga membawa kunci serep untuk menemui Dafka disaat dia sendiri yang bilang jika Dafka tak ada disana.
Dafka tak bisa berkata kata, dia tak bisa berpikir jernih, Dafka bertanya tanya kenapa pamanya itu melakukan semua ini padanya, apa dia muak dengan Dafka yang berdiam di kosan nya dengan membayar setengB dari harga aslinya, tapi Dafka tak pernah meminta itu dari pamanya, bahkan pamanya sendiri yang mengataka jika mereka itu bukanlah orang asing, tapi apa ini.
" Pasti Poto yang dikirim itu dia dapat dari kenalan di kampung halaman nya " ucap Abram lagi.
" Jangan khawatir, kamu bisa tinggal disini sampai ini benar benar selesai " Dafka tak menjawab semua ucapan Abram, dia hanya menunduk dalam dengan kepala yang terasa berputar , dia tak tahu harus apa sekarang, Dafka perlu keberanian untuk menanyakan ini semua secara langsung
Qey yang berada disampingnya itu hanya menenangkan Dafka, pikiran Dafka berpikir keras apa mungkin ini berkaitan dengan resep?
Dengan buru buru Dafka pergi keluar rumah dan meminta Qey untuk mengantarnya, Qey sempat menolak karena ini sudah hampir tengah malam ditambah lagi Dafka sekarang tenggah diancam seseorang, Tapi dengan lantang Abram berkata jika dia akan mengantarkan Dafka bertemu Paman nya itu, Abram langsung saja mengeluarkan mobilnya dan dengan cepat Dafka dan Qey masuk dan duduk di kursi penumpang.
" Kenapa , kamu ingat sesuatu ?" Tanya Abram saat melihat kegelisahan Dafka yang terpancar di matanya
Dafka mengangguk dan berkata jika paman nya itu sering menanyakan resep rumah makan kami di Padang, tapi tentu saja dia tak menjawab, karena memang rumah makan milik ibu Dafka itu tak mengunakan resep yang istimewa, mereka memasak hanya seperti biasa tanpa resep yang sering diributkan paman nya itu.
Mobil Abram melaju secepat kilat, berhubung letak nya tak terlalu jauh, mereka sekarang sudah berdiri di hadapan rumah yang berada di depan kosan Dafka, Dafka langsung masuk dengan ditemani Abram dan juga Qey, pamanya sempat kaget dengan kedatangan Dafka yang membawa Abram dan juga Qey.
Dafka kini sudah benar benar kalut , dia bertanya kepada Paman nya itu tentang semua peristiwa yang terjadi dengan wajah yang sudah terlihat sanggat lelah, tapi paman Dafka itu terus menyangkal dan bahkan marah marah menuduh Dafka memfitnahnya
Tapi kemarahan nya langsung lenyap saat suara Ponsel berbunyi pelan, Abram kembali menelpon nomor si peneror dan ponsel paman Dafka kembali bunyi, senyum miring tercetak di wajah Qey saat melihat betapa kikuknya paman Dafka sekarang, dalam pikiran Qey, paman ini bukanlah hal yang dapat di bandingkan dengan ayahnya, bagi Abram penjahat seperti Paman Dafka itu hanyalah serangga kecil pengangu.
Dengan desakan Dafka dan juga bukti bukti yang disampaikan Abram, Paman Dafka mengakui perbuatannya.
" Paman lakuin ini karena kamu dan ibu kamu keras kepala, padahal kita ini saudara, tapi ibu kamu enggan untuk membantu paman yang hanya meminta resep rumah makan kalian di Padang, lagi pula Paman akan membuka rumah makan Padang disini , bukan di daerah dekat dengan ibu kamu " jelas Paman Dafka itu
Dafka hanya memegang kepalanya yang terasa berdenyut, harus berapa puluh kali dia mengatakan jika rumah makan mereka tak punya hal semacam itu, merak hanya membuatnya seperti biasa dan tak menambahkan bumbu rahasia apapun kedalamnya, jadi Dafka harus memberitahukan apa pada pamanya itu .
Bersambung .....
Seblak Hati
"kalian emang udah gila !" Teriak Teri kepada Dafka dan Qey, mereka berempat merasa kesal kepada Qey dan Dafka, bagaiman bisa mereka menyembunyikan masalah sebesar ini dan bersikap seolah tak pernah terjadi apa apa sekarang. Dafka terkena teror itu masalah terbesar bagi mereka semua, tapi dengan tega mereka menutupinya dan bersikap seolah semuanya baik baik saja
" Jahat banget, siapa sih orang yang tega!!" ucap Sesil yang sekarang tengah mengikat rambut Lili, sedangkan pelaku hanya tersenyum senyum ngak jelas , karena melihat mereka semua marah padanya, akhirnya Dafka menceritakan jika semuanya sudah berakhir, dia menceritakan dari awalnya sampai akhir kajadian teror itu tanpa melewatkan satu kejadian pun.
" Whattt ?" Jerit Teri
Mereka berlima kaget dengan jeritan Teri yang tiba tiba
" Pelakunya paman Dafka, tapi Qey mukulin Yudam !" Teri merasa terganggu dengan kejadian yang menimpa Yudam, bisa bisanya Qey memukuli wajah tampan Yudam dengan tangan kotornya, karena kesal Teri menarik lengan jaket Qey dan memukulnya Qey secara bertubi tubi.
Tentu saja lengan Qey tak terasa sakit terkena pukulan Teri, tapi hatinya yang sekarang terasa sakit, mendengar gadis yang dia sukai bahkan tak mengerti kode yang selama ini dia berikan, dan malah memuja pria lain di hadapan nya, Qey tahu, Teti terlebih dulu menyukai Yudam, tapi apapun alasan nya cinta sebelah tangan itu amat sangat menyakitkan, dengan sigap Qey memegangi kedua tangan Teri dan menatap Teri dengan sendu, hingga melepaskan nya dan pergi begitu saja, Qey yang semula bersemangat kini dia pergi dengan murung.
" Apa apaan itu " ucap Sesil melihat kepergian Qey, Gaidan, Yudam dan Lili mengerti dengan perilaku Qey saat ini, karena teramat jelas matanya tadi seolah berbicara jika dia terluka karena Teri masih saja menyukai Yudam, tapi orang yang dimaksudkan sekarang malah berpikiran bodoh dengan beranggapan jika Qey kesakitan karena pukulan nya, ditambah si ratu kebersihan yang terus mengucapkan jika Qey ini lelaki cengeng.
" Kay...ya..nya...Qe..y...." Belum selesai mengatakan satu kalimat, mulut Lili sudah di bungkam oleh tangan Gaidan, padahal tadinya Lili ingin mengatakan, jika Qey suka kepada Teri, tetapi Gaidan, diaaAA membisikan kepada Lili agar mereka jangan ikut campur, dan. Biarkan Teri sadar sendiri.
" Apasih gitu aja Bete !" Gerutu Teri melihat kepergian Qey itu, sedangkan Gaidan menatap punggung Qey ya NNNG mulai menjauh, Gaidan dan Qey tenggah berada di posisi yang sama saat ini, dan masalah mereka sama, yaitu Yudam.
Bukan lagi hal baru jika sering terdengar kabar jika Viola dan Yudam menjalin hubungan, melihat mereka selalu bersama, ditambah lagi mereka satu kelas itu memperkuat rumor, tapi Gaidan yakin jika hal semacam itu tak terjadi antara Yudam dan Viola, tapi sesakit apapun hati Gaidan, dia tak berani menampakkan nya seperti Qey, karena Gaidan sadar siapa dirinya hingga harus menaruh hati kepada seorang Viola.
-
Qey berjalan saja saat ini, dia kesal dengan fakta jika gadis yang dia sukai menyukai Yudam, sampai sampai Qey merasa ingin muntah saat mendengar nama Yudam, kadang Qey bertanya tanya, ada apa didiri Yudam hingga hampir mengilainya, termasuk juga Teri .
Yang Qey lakukan saat ini hanya menyenderkan punggungnya ke tembok dengan sesekali mengacak rambutnya kesal, padahal Qey hanya membuat alasan tentang Dafka, sebenarnya dia hanya ingin menghajar wajah Yudam saja dan sekarang dia menyesal karena tak meninju wajah ini lebih keras lagi, hingga giginya patah berantakan.
" Qey !" Pak Harun keluar dari pintu disampingnya, dan langsung saja Qey memberi hormat kepada pak Harun
" Bapak denger kamu udah masuk Tim Teri ?" Tanya Pak Harun lagi dan hanya di jawab dengan sopan oleh Qey, bahkan Qey mengatakan jika mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengangkat derajat makanan tradisional dan juga orang yang membuatnya, Karena itulah Visi dan Misi kelompok ini dibuat, tapi bukannya senang pak Harun malah berusabah menandingi murung.
Pak Harun tak tau harus apa, hatinya sanggat sakit dan bahkan dia belum siap melihat semangat para muridnya yang semula cemerlang seketika menjadi mendung saat dia mengatakan jika Jurusan mereka akan. Di tiadakan mulai tahun ini, ini memang terkesan tak adil, tapi ini bukan kuasanya ini semua diatur oleh orang yang paling berkuasa
" Oke berusaha buat besok , semangat " Pak Harun menepuk pundak Qey sebelum pergi, dan Qey kembali menyapa nya sopan
Setelah kepergian Pak Harun, Qey Kemabli teringat Teri hingga kekesalannya kembali hinggap
" Aghhhhhh hv@$+π¢=hsbzgg " Qey mengumpat, entah apa yang dia katakan, namun Qey terlihat amat sanggat tersiksa saat ini, dengan kaki yang tak henti hentinya menghentak menyalurkan emosi yang terpendam.
Beralih dari Qey yang tenggah bermuram durja, Teri dan Gaidan kini duduk berdua berdampingan menatap keramaian yang sibuk mempersiapkan berbagai peralatan untuk evaluasi besok, rasanya sudah lama sekali Teri dan Gaidan tak berduaan sebagai mana biasanya, karena sekarang mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama Tim nya.
Teri duduk disamping Gaidan dengan perasaan campur aduk, mereka hanya diam dengan pikiran masing masing, Gaidan dengan pikiran nya dan Teri dengan pikiran nya.
" Sudah berapa lama suka Viola " tanya Teri tak melirik kearah Gaidan, fokusnya masih sama tapi mulutnya terus saja berbicara.
" Dari kelas 1 " jawab Gaidan menatap Teri dari samping, Gaidan melihat jika sekarang teman kecilnya itu sekarang sudah beranjak dewasa, tak terasa waktu berjalan begitu cepat, bahkan Teri sekarang disukai pria setampan Qey, tapi dia malah menyukai Yudam.
" Setelah evaluasi ini selesai, dan jika kita menang, kamu mau dukung aku kan " ucap Teri melirik Gaidan
" Untuk ? " Gaidan bertanya tanya, apalagi yang akan Teri lakukan sekarang.
" Aku bakal ungkapin perasaan aku ke Yudam !"
Mendengar itu Gaidan melotot kaget, bagaimana mungkin Teri bisa melakukan itu, bahkan dia sendiri tahu Yudam seperti apa dan darimana keberanian itu muncul, Gaidan marah karena itu pasti tak akan menghasilkan akhir yang baik
" Jangan gila Teri ! " Ucap Dafka menatap Teri dengan marah, giginya mengertak dan matanya menatap lurus kearah Teri, tapi mata Teri memancarkan keyakinannya akan ini.
" Pliss ini kali untuk terakhir kalinya, biarin Yudam tahu perasaan aku " meski Teri pun yakin dia akan di tolak, tapi tak apa setidaknya dia bisa membuat Yuda tahu perasaan nya selama ini, dan Teri tak ingin menyesal, Lulus dari sekolah ini begitu saja, dan mungkin setelah ini dia tak akan bisa bertemu dengan Yudam lagi.
Tapi mendengar perkataan Teri, Gaidan malah pergi begitu saja, Gaidan tak habis pikir dengan pola pikir Teri, dia tak sadar jika mereka sudah rendah di mata mereka, setidaknya sebagai perempuan Teri menjaga harga dirinya, jangan sampai di manfaatkan oleh mereka sebagai bahan olok olokan.
Teri tak menahan atau bertanya alasan kepergian Gaidan, karena dia tahu pasti ini terdengar gila, walaupun segila apapun, Teriakan tetap melakukannya, setidaknya ini yang terkahir, setelah memikirkan matang matang semalaman, kini Teri hanya perlu melakukannya.
Tanpa sepengetahuan Teri, Chef Rasya kini tengah memperhatikan Teri, hatinya sakit setiap kali memikirkan perjuangan Teri dan Timnya yang sia sia, mereka memiliki harapan besar, tapi pihak sekolah bahkan tak melihatnya, tak tau kenapa alasannya Chef Rasya merasa amat bersalah, meski semuanya tahu ini bukanlah salah nya.
" Karena orang orang yang serakah, mereka mengorbankan harapan anak anak malang ini " ucap Chef Rasya
Keadaan ini mulai diluar kendali, meski sudah akan mencapai tujuannya, satu hal yang tak Teri dan teman temannya sadari, jika semua itu akan sia sia, karena sekolah yang menaungi nya bahkan tak ingin mempertahankan jurusan dan resep yang ingin mereka lindungi.
Kepala mereka itu bukanlah orang yang bekerja dengan hati, dia cenderung tak manusiawi dalam mengambil keputusan, hanya memikirkan dirinya dan seberapa besar keuntungannya, padahal semua orang tahu jika SMK Haida ini adalah sekolah milik perusahaan raksasa di Jawa barat, tapi dia mengendalikan semuanga sesuai dengan keinginannya, dan semua orang masih bertanya tanya bagaimana bisa perusahaan pusat itu menandatangani surat persetujuan itu.
Bahkan sekarang dia duduk santai di kursi kebesarannya, tak ada yang lebih diuntungkan dari semua kekacauan ini selain dirinya, meski alasan dia kuat tentang penurunan peminat jurusan KTN tapi tak seharusnya jurusan itu di bubarkan, Karena kemungkinan besar masih banyak pencinta masakan Tradisional diluar sana yang menunggu tahu ajaran ini.
Kuliner Tradisional Nusantara, jurusan dengan tiga belas kelas berbanding terbalik dengan Pendalaman Kuliner Modern yang memiliki dua puluh empat kelas, di KTN hanya memiliki tujuh kelas angkatan akhir dengan murid dua puluh lima orang perkelasnya, dan tiga kelas angkatan kedua, tiga kelas angkatan awal, angka peminat jurusan ini anjlok pada tahun kemarin, meski demikian tak sedikit murid kompeten yang masuk di jurusan ini karena kecintaannya mengolah makanan khas Negara nya sendiri.
Untuk angkatan awal ada Hisan, Vera dan Ganesha yang merupakan kontestan MasterChef Kid yang sangat terkenal
di angkatan dua ada Farah, Leo, Arthur dan Azka, mereka adalah koki cilik terkenal dan Azka itu adalah vloger masakan Tradisional terkenal yang sudah memiliki banyak Subscriber di kanal Youtube milik nya.
Kuliner pada saat mereka duduk di bangku kelas 6 SD, dan kemampuan mereka terus berkembang setiap tahunnya, dan di angkatan tiga ada Dafka, Oca, Lili, Qey dan Gaidan, untuk Dafka dia adalah juri tamu di ajang kompetisi memasak pada saat dia duduk di bangku kelas 11, dan untuk yang lainnya meski tak terlalu besar namanya, tapi diam diam mereka jadi perbincangan di kalangan juri yang sudah beberapa kali berpartisipasi di acara evaluasi ini.
KTN memang tak sebanding, melihat begitu banyak penghargaan yang di raih PKM, mereka bukannya tak mampu, tapi pihak sekolah tak pernah sekalipun menawarkan dan mengikut serta para murid KTN dalam perlombaan apapun, seakan mereka tak percaya diri jika harus mengutus makanan yang mudah ditemui di jalanan itu, mereka lebih percaya diri mengutus makanan yang bernama aneh sebagai unggulan mereka, dan seolah tak ada habisnya, KTN yang dulu di anak tirikan sekarang mereka akan di hentikan.
Bersambung.....
Perubahan Indah
Pagi hari mereka berenam sudah berkumpul di rumah Gaidan, dan Sesil yang baru saja tiba sudah membuat keributan dengan memaksa kelima temannya itu untuk menuruti perkataan nya hari ini, padahal dirinya bahkan tidak bernafas dengan benar akibat lelah, tapi dengan rasa penuh tangung jawab Sesil berkata jika hari ini mereka harus tampil modis di depan Tim Yudam, maka dari itu sekarang Sesil tengah membenahi penampilan para temannya yang kacau, bahkan saking niatnya dia membawa satu tas penuh peralatan make up.
Sesil memaksa Dafka terlebih dahulu, penampilan Dafka saat ini tak jauh dari biasanya dengan Apron putih yang sekarang dia kenakan, tangan lihai Sesil mengikat setengah rambut kribo Dafka dan memakaikan nya gel rambut, terus memakaikan Dafka cream ke wajah Dafka yang tampak kusam itu agar terlihat lebih segar, kini Dafka yang terlihat lusuh berubah menjadi Dafka yang berkarisma bak Chef profesional.
Setelah Dafka selesai kini giliran Qey dan Lili, walaupun sebenarnya mereka tak terlalu membutuhkan sentuhan tangan Sesil, maka dari itu Lili dan Qey hanya dirapihkan oleh Sesil, karena penampilan mereka sudah sangat rapih, bahkan Qey hampir selalu memakai gel rambut setiap harinya, jadi tak harus Sesil tambahkan lagi
Dan kini giliran yang terberat, yaitu Gaidan dan Teri, Sesil memulai dari Gaidan terlebih dahulu, pertama tama Sesil meminta Gaidan untuk memakai celana yang pas di tubuhnya karena Sesil sudah muak melihat celana kedodoran Gaidan setiap hari, Sesil meminta setidaknya untuk hari ini saja Gaidan memakai celana yang sesuai dengan tubuhya agar terlihat lebih manusiawi, tapi Gaidan berkata jika dia tak mempunyai celana yang dimaksudkan oleh Sesil dan menolak permintaan Sesil mentah mentah.
" Ini !" Anjani tiba tiba saja datang meletakan celana putih panjang saat Gaidan terus saja menolak dan menyangkal saat Sesil menyuruhnya memakai celana lain, padahal dirinya sudah mengenakan celana yang benar, lalu setelah meletakan itu Anjani kembali meningalkan ruang tamu, sebenarnya Anjani dan Nenek Sum sudah bersekongkol dengan Sesil untuk merombak penampilan Gaidan, jadi tak heran jika mereka berdua sedari tadi menguping di balik dinding.
"Makasih Bu!" Ucap Sesil kepada Anjani, tapi Gaidan hanya menatap celana putih dihadapan nya itu tak minat, melihat itu dengan kesal Teri menarik tangan Gaidan dan menyuruhnya untuk segara mengenakan celana itu.
" Sanah! Biar ngak lama " teriak Teri, dan Gaidan melangkah gontai untuk menganti celananya, mereka menunggu selama 5 menit hingga akhirnya Gaidan kembali dengan mengenakan celana yang dibawakan oleh Anjani.
Mata mereka menatap kaki Gaidan dan wajahnya secara berulang.
" Kalau gini kan keliatan seger " ucap Qey dan di setujui oleh Dafka dan juga Teri, sedangkan Lili hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Sesil langsung menyuruh Gaidan duduk dan langsung membuka kacamata kotaknya itu, menggantinya dengan lensa kontak yang diberikan Anjani kepadanya, Sesil dengan penuh kesabaran berusaha memakaikan benda bening itu ke bola mata Gaidan dengan susah payah, karena mungkin Gaidan tak nyaman atau tak pernah memakai nya jadi ini akan sanggat sulit, tapi dengan keuletan si ratu kebersihan akhirnya Gaidan bisa melihat dengan jelas, meski tak memakai kacamatanya
Semua takjub dengan wajah tampan Gaidan yang sekarang tak tertutupi lagi oleh kacamata jadul itu, rahang tegas dan mata elang nya kini terekspos jelas, tak hanya itu Sesil juga meminta agar Gaidan membuka satu kancing kemeja nya.
" Ini ?...ngak mau! " lagi lagi Gaidan menolak membuat Sesil membuka kancing Gaidan itu dengan tanganya, meski terus berontak Gaidan tak bisa meloloskan diri dari Sesil, kancing atasnya itu kini Terbuka menampakan jakun yang menonjol kontras di leher panjang Gaidan, kini Gaidan terlihat seperti bad boy ganteng dengan tinggal sentuhan terakhir, Sesil menata rambut Gaidan yang awalnya tersisir rapih kini agak berantakan, Gaidan terlihat sangat sexy, Sesil pun sampai tak percaya jika Gaidan setampan ini.
" Wow " seru Qey dan Dafka melihat Gaidan saat ini, sedangkan Gaidan dia hanya mengerutkan dahinya saat Qey dan Dafka menunjukan ekspresi seperti itu.
" Sekarang yang terakhir Teri, sebelum akhirnya kita semua berangkat, sini Ter!...." Ucap Sesil dengan menarik tangan Teri dan mendudukan nya di tempat yang semula Gaidan duduki
Sesil mencatok rambut semberawut teri hingga lurus licin, kemudian mencepolnya dengan sedikit berantakan, serta memoleskan make up tipis kepada Teri, sebenarnya Teri sudah cantik meski semberawut, tapi kini dia menjadi bersih terawat membuatnya tampak elegan.
Dari semua yang berada disana, Qey lah yang mengagumi kecantikan Teri, meski itu sebelum dan sesudah di rombak oleh Sesil, matanya tak bisa lepas dari sosok cantik itu yang sekarang rasanya Qey jatuh kedalam pesona Teri.
****
Semua murid KTN menatap takjub dengan kedatangan Tim Kapulaga ke kawasan mereka, mau itu adik kelas ataupun teman seangkatannya menatap mereka dengan takjub, seolah ada sorotan cahaya yang menyorot setiap langkah mereka berenam, dimulai dari arah kiri Dafka, Sesil, Gaidan, Teri, Lili dan diakhiri oleh Qey, semua adik kelas mempertanyakan siapa pria tampan yang berada di tengah itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Gaidan yang sekarang penampilannya berubah 180°
Bisik bisik semua orang yang mereka lewati membuat Sesil tersenyum bangga, semua ini adalah karyanya yang mengubah Trio kusam menjadi menakjubkan seperti sekarang
" Mereka kenapa sih ?" Tanya Gaidan kepada Teri yang berada di sampingya, tapi Teri hanya bergidik tak menjawab, dia hanya fokus tersenyum kepada beberapa adik kelas yang menyapa mereka, dan dari ujung barisan Qey berjalan dengan memperhatikan Teri, sedangkan Lili hanya menunduk malu
Diantara keenam anggota Kapulaga, sepertinya suasana hati Teri lah yang sekarang tengah berbunga, entah apa yang dia pikirkan, sampai sampai wajahnya secerah ini.
Pukul 10:25 WIB
Waktu yang di tunggu akhirnya tiba, dengan santai Tim Kapulaga akan segera berhadapan dengan Tim Yudam yang bernama 6C, mereka hanya menghitung mundur waktu yang sekarang semakin dekat
" Teri !" Chef Rasya menghampiri Teri dan memberikan 6 buah celemek putih dengan logo sekolah mereka, segera Teri membagikan celemek itu kepada anggota Tim nya
" Kalian semanggat yah, jangan banyak pikiran, fokus aja sama masakan kalian " ucap Chef Rasya yang diangkut dengan patuh oleh keenam anak didik nya
" Udah bagi tugaskan ?" Tanya Chef Rasya
" Udah, kami udah siap segalanya " jawab Gaidan dengan penuh keyakinan, tapi Chef Rasya mengerutkan dahinya melihat Gaidan tampak berbeda saat ini.
" Gaidan ?" Tanya Chef Rasya takjub dengan Gaidan yang tampan sekali hari ini, bahkan seluruh anggota Tim nya mengakui ketampanan Gaidan tak main main
No urut 03 di persilahkan masuk
Panggilan dari pelantang suara itu seolah undangan bagi mereka, dan datanglah Tim 6c dengan langkah angkuhnya, mereka bertatapan cukup lama terutama Dafka dan Yudam, karena diantara mereka pernah terukir sejarah di evaluasi saat itu, jadi jiwa saing mereka kali ini sungguh mengebu.
Mata Viola tertuju kepada Gaidan yang sekarang tak berani menatapnya kembali, dia hanya menunduk mengalihkan pandangan nya dari Viola seolah Gaidan takut untuk melakukan kontak mata, Viola kaget melihat Gaidan saat ini, dia jauh berbeda dari Gaidan yang sering dia temui, Viola akui Gaidan sangat tampan hari ini
Mata Yudam yang semula menatap Dafka kini beralih menatap Lili yang sedari awal mengangu penglihatannya, Lili ini benar benar cantik membuat Gery dan Kean juga menatapnya, sedangkan Sesil melirik sinis Kean yang sekarang tak berkedip menatap Lili, dan Teri menyadari arah pandang Yudam tertuju pada Lili memelototkan matanya kepada Yudam
Dan betapa kagetnya Teri, karena saat kini Yudam mengalihkan warnanya kearah dirinya yang tenggah memelototinya
" Ayo masuk ! Semangat kalian semua " ucap Chef Rasya mengiringi kepergian murid nya yang akan bertarung di dalam
Ruangan praktik kini tampak penuh dengan beberapa kamera dan juga terlihat ada 5 orang juri tamu, dan 3 orang juri inti yang merupakan guru mereka semua, diantaranya, Pak Harun, Bu Amalia, dan Bu Sarah, mereka siap menilai dengan adil, apa yang murid nya itu buat.
Kini mereka 12 orang yang di bagi menjadi dua Tim sudah siap dengan posisi mereka masing masing, Tim Kapulaga mengirim Dafka dan Lili untuk membuat Rendang, dan Teri mengurus masalah Petis udang, Qey membuat gado gado, Sesil yang akan bertangung jawab membuat makanan penutup, dan terakhir ada Gaidan yang sekarang berdampingan dengan Kean mereka akan membuat minuman untuk makanan yang dibuat oleh anggota Tim nya masing masing.
" Waktu nya 2 jam, kalian jangan buru buru dan jangan nyantai, lakuin yang terbaik dan usahakan membuat kesalahan seminim mungkin " ucap pak Harun
Setelah ucapan pak Harun, kedua Tim mulai dengan aktivitasnya masing masing, mulai dari Dafka hingga Gaidan semuanya sibuk, begitu pula Yudam sampai dengan Kean mereka juga merasakan hal yang sama, berhubung juri tamu kali ini adalah para mahasiswa dari jurusan yang serupa, mereka juga dapat menilai dengan cermat keahlian dari masing masing individu.
Tak diragukan lagi, seringnya terdengar pujian untuk Dafka dan juga Lili, mereka terlihat seperti seorang Chef profesional yang sudah sangat menguasai teknik dan juga rahasia dibalik kelembutan setiap daging yang mereka olah, Yudam sempat tersinggung mendengar ucapan para mahasiswa itu yang terus saja memuji Gaidan dan Tim nya.
" Fokus !" Bisik Hellen kepada Yudam yang fokusnya mulai teralihkan, dan rupanya itu bekerja dengan baik, buktinya sekarang Yudam sudah kembali memperhatikan pekerjaannya.
Melihat semua anggota Tim nya sibuk dengan urusan masing masing, ada satu anggota kelompok Tim Teri yang sekarang kebingungan, dia adalah Sesil, Sesil sekarang tengah gugup menatap semua bahan di hadapanya, matanya sesekali melirik Viola anteng dengan pekerjaannya, Viola yang sadar tengah di perhatikan melirik Sesil dengan tatapan meremehkan.
" Gue kira dia hebat " ucap Viola pelan saat melihat Sesil yang tenggah kebingungan.
Beralih kepada Gaidan, banyak mahasiswi yang menatapnya kagum, mungkin dengan ketampanannya Gaidan menjadi pusat perhatian, bahkan Pak Harun sempat tak mengenalinya saat dia baru saja tiba disini, saat semua mata tertuju pada ketampanan Gaidan, mata Kean justru menatap minuman yang tengah Gaidan buat.
" Apa itu? Kaya air selokan " gumam Kean merasa jika itu adalah minuman yang tak bisa di bandingkan dengan minuman yang dia buat, Kean merasa percaya diri untuk segalanya hari ini, dia yakin Tim nya akan keluar dari Ballroom ini dengan terhormat, seperti biasan nya.
Bersambung......
Karena Pisang Ijo
Membuat 8 porsi makanan itu bukanlah hal mudah, mereka harus memastikan jika makanan yang mereka buat itu cukup, kurang atau bahkan kelebihan, jika kelebihan mungkin point mereka akan dikurangi, karena memperkirakan takaran masakan itu adalah salah satu hal yang harus dikuasai oleh seorang Chef, begitu pun juga jika ternyata makanan yang mereka buat itu terlalu sedikit.
Memasak itu adalah hal yang susah susah gampang, seseorang akan merasakan jika memasak itu adalah hak gampang jika orang tersebut menikmatinya, namun akan terasa sulit jika orang memasak menekankan untuk memperoleh hasil yang sempurna, sama seperti Yudam saat ini yang terus saja mencicipi daging olahan nya itu dengan terus menaburkan bumbu, walaupun tidak seperti rendang yang memiliki banyak rempah dan bumbu, tapi Yudam terus saja menambah kan bumbunya.
" Ayo 30 menit lagi " ingat Pak Harun kepada ke 12 muridnya itu.
Di menit ke 30, Tim Dafka sudah menyelesaikan gado gado yang dibuat oleh Qey, Sarsaparila yang dibuat oleh Gaidan, sedangkan Tim Yudam telah menyelesaikan Salad, Desert dan drink, mereka hanya tinggal menunggu makanan utama mereka selesai, tapi Tim Dafka seperti nya akan mendapatkan kendala karena melihat bagaimana Sesil sekarang, tapi justru itu membuat Tim 6c senang, mereka menganggap jika Dafka itu bertindak bodoh dengan menukar Oca dengan orang seperti Sesil.
Merasa tak ada yang perlu di khawatirkan akan kalah, Tim Yudam kini menatap kearah para juri dengan penuh rasa percaya diri, bahkan mereka pun melambaikan tangan kearah kamer, sementara itu Gaidan yang sudah menyelesaikan tugasnya berlari kearah Sesil untuk mencoba membantunya.
" Mau buat apa ini ?" Tanya Gaidan kepada Sesil yang terlihat seperti akan menangis sekarang, disana Gaidan hanya melihat sepertinya Sesil berniat membuat pisang ijo, tapi ini sungguh berantakan tidak seperti pisang ijo pada umumnya.
" Gimana dong !" Ucap Sesil panik, dengan segala usahanya Gaidan berusaha memperbaiki pisang ijo milik Sesil yang tak berbentuk ini, pisangnya bahkan hancur lebur entah diapakan oleh Sesil hingga bisa sekacau ini. Sementara itu Teri yang baru saja menyelesaikan masakan nya pun ikut berlari kearah Sesil, dan kini ada tiga orang yang mengerjakan Dessert yang seharusnya bisa ditangani oleh Sesil sendiri.
" Kacau banget deh !" Hellen berbisik kepada Kean, dan Kean hanya menatap Sesil dengan tajam, dia masih ingat bagaimana Sesil membuatnya malu dan membuat rencana nya pun juga ikut berantakan, tapi melihat situasi saat ini Kean tak menyesal sama sekali, ternyata rencananya tak sepenuhnya gagal melihat semua kekacauan ini.
" 15 menit lagi " kini giliran Bu Amal yang memperingatkan, di menit ke 15 itu Rendag dan juga Tacos selesai dibuat dengan waktu yang bersamaan, kini yang tersisa hanya Dessert saja, memanfaatkan waktu yang tersisa, Teri Gaidan dan juga Sesil berusaha sekeras mungkin, meski mereka tak bisa menganti pisang yang hancur ini, karena tak ada waktu lagi dan juga, membuang bahan itu akan membuat nilai mereka di kurangi, jadi mau tidak mau mereka harus memperbaiki ini walaupun terlihat sanggat kacau.
Waktu terus berjalan, tapi dengan kerja sama akhirnya Dessert mereka selesai dengan waktu yang tepat, meski tak terlalu menarik penampilannya, tapi setidaknya itu sudah tercukupi karena sekarang sudah berjejer pisang ijo sebanyak 8 porsi.
" Waktunya habis !, Silahkan bagikan makanan kalian kepada juri "
Dan dengan santai semuanya membagikan hasil masakannya kepada 8 juri yang akan menilai mereka semua, setelah semua makanan nya tersaji di depan para juri, saatnya untuk mempresentasikan makanan dari masing masing, biasanya semua anggota akan di pilih oleh salah satu juri dan anggota yang terpilih harus siap maju ke depan.
" Untuk mempresentasikan Rendang, saya pilih Lili "
Deg
seorang mahasiswa berbicara dengan pelantang suara, dan sontak semua anggotanya kaget saat mengetahui jika hal yang paling di takutkan terjadi, bukannya meremehkan Lili ataupun takut Lili tak bisa melakukannya, semua anggotanya tahu jika Lili mampu mempresentasikan apa yang dia buat, hanya saja masalahnya semua orang tahu jika Lili ini gagap dalam berbicara.
Sesil menatap Lili dengan tatapan tak biasanya, bahkan anggota lainnya sekarang tak mampu melirik Lili, mereka takut melukai hati Lili, para juri inti bahkan tak bisa berbuat banyak, karena sepertinya mereka terlambat memberitahukan kondisi Lili kepada para mahasiswa itu
Dengan langkah kecil Lili maju beberapa langkah dari barisan Tim nya, dia berdiri tegak tanpa keraguan menatap para juri yang menantikan dia membuka suara, saat ini Lili berdiri dengan keyakinan jika dia dapat melakukannya, mengambil nafas sebanyak mungkin kini Lili mulai berbicara.
" Selamat Siang " sapa Lili membuat semua yang ada disana kaget mendengar suara lembut Lili menyapa tanpa terbata bata
" Nam..ma saya Lili dari Tim Kapulaga, Saya berdiri disini untuk mempresentasikan hasil dari Tim ka....mi " semua hanya menatap Lili
" Tim kami membuat tiga hidangan utama, satu penutup dengan dilengkapi minuman tradisional khas Jawa yaitu Sarsaparila, hidangan utama kami kali ini ada Rendang, petis udang dan juga gado gado, tak ada yang spesial dari makanan yang kami buat, semua resepnya sama seperti Rendang, petis udang dan gado gado pada umumnya, namun kami mencoba beberapa trik dalam memasak yang kami pelajari selama bersekolah di SMK Haida, mulai dari mengolah daging, menakar rempah yang kami pergunakan sebagai bumbu dan menyeimbangkan tingkat kematangan itu yang paling penting, semoga para juri bisa menikmati hidangan yang kami sajikan mungkin sekian dari Saya selaku perwakilan dari Tim Kapulaga, terimakasih atas waktunya " Lili undur diri setelah mengucapkan terimakasih, suara tepuk tangan terdengar, terutama dari anggota kelompok nya, mereka bangga karena Lili melawan rasa gugupnya.
Sebenarnya Lili ini tidak gagap, hanya saja mungkin trauma Lili menjadi takut berbicara dan seolah lidahnya ini mengalami Yips ( tidak senada nya otot dan otak ), tapi hari ini, demi Timnya Lili meyakinkan dirinya untuk tak lagi takut dalam berbicara.
Setelah Lili undur diri tiba tiba saja ada seorang mahasiswi mengangkat tangannya
" Maaf saya mau bertanya, mengapa kalian memilih makanan Tradisional untuk kalian pelajari ?, terimakasih " Tanya mahasiswa tersebut, dan mendengar itu Teri dan anggotanya tersenyum menjawab dengan penuh keyakinan.
" Kami memilih makanan Tradisional karena kami nyaman, bahkan rasanya tak bisa di ucapkan dengan kata kata alasan memutuskan untuk mempelajarinya, ini bisa di bilang insting kami yang membawa kami semua menuju SMK Haida dan mengambil jurusan Kuliner Tradisional Nusantara, karena tak ada undang undang yang menjelaskan jika seorang Chef peruntukan bagi mereka yang mempelajari makanan dari semua penjuru dunia, tapi makanan Tradisional Indonesia, yaitu rendang bahkan dikenal seluruh penjuru dunia, maka dari saya bangga memasak makanan yang mendunia, sekian dari saya "
Prok prok prok
Suara riuh tepuk tangan terdengar nyaring, bahkan para guru merinding mendengar Teri berbicara, apalagi Pak Harun yang merasa amat menyayangkan keputusan konyol kepala sekolah yang akan menutup jurusan dengan pola pikir luas seperti ini, mereka pandai memasak, pandai bergaul, pandai bicara, dan satu hal yang tak bisa murid PKM miliki adalah rendah hati, hampir semua murid di jurusan KTN rendah hati, meski terkadang mereka bersikap memberontak, tapi mereka anak anak yang berani mengakui kesalahannya dan tak enggan untuk meminta maaf, itulah yang selalu pak Harun banggakan dari jurusan KTN.
Para mahasiswa dibuat takjub oleh presentasi Lili dan Teri, membuat Tim Yudam hanya berdecih mendengar kata kata dari mulut Teri, mereka beranggapan jika Teri mengatakan itu hanya untuk mencari perhatian saja.
Seolah tak ada habisnya kini ada satu mahasiswa lain yang mengacungkan tangan untuk bertanya kepada Tim Teri
" Saya bertanya tanya, apa minuman ini termasuk minuman Tradisional ?" Mahasiswa itu menunjuk Sarsaparila yang dibuat oleh Gaidan, karena mahasiswa itu pikir minuman itu terlihat seperti Soda.
" Ya !" Kini Gaidan yang menjawab lantang.
" Itu minuman cola pertama di Indonesia, namanya Sarsaparila, terbuat dari sari pohon Sarsaparila, mungkin karena keberadaannya mulai jarang temui , oleh sebab itu nama Sarsaparila terdengar asing, sekian " semua mahasiswa mengangukan kepalanya mengerti.
Dan kini giliran kelompok Yudam yang akan mempresentasikan hasil dari olahannya
" Saya minta, Viola untuk mempresentasikan makanan dari Tim 6c " suara dari pelantang suara terdengar dan Viola pun melangkah.
" Selamat Siang, Saya Viola dari Tim 6c, kami di evaluasi kali ini membawakan makanan yang kami buat pada saat kompetisi di Singapura, bahkan para Chef yang menjadi juri pada saat itu memuji masakan kami, jadi kami kali ini dengan bangga membuat kembali, Fajita makanan khas meksiko, Tacos roti isi yang mendunia, Salad, Nachos kami sajikan sebagai Dessert dengan lelehan coklat dan buah, serta koktail yang akan menyempurnakan makanan kami yang seimbang, sekian dari Tim kami, terimakasih atas perhatiannya " Viola pun undur diri.
Prok prok prok
Wajah Viola berseri saat mendengarkan tepuk tangan yang di tujukan padanya.
" So banget ! " Ucap Sesil berbisik kepada Qey dengan mata melirik Viola sinis, sedangkan Gaidan tersenyum melihat Viola tersenyum senang sekarang.
Beberapa mahasiswa melakukan hal yang sama kepada Tim 6c, mereka mengajukan beberapa pertanyaan untuk mereka, dan mereka menjawab dengan penuh percaya diri tak ada satupun ke ragunan di setiap jawaban mereka, mungkin mereka sudah terbiasa dengan terus menerus mengikuti beberapa kompetisi.
Setelah acara tanya jawab selesai, kini para juri mulai menyantap hidangan mereka, semua peserta gugup menunggu hasil, tapi tidak untuk Viola dan Kean, mereka berpikir dengan kekacauan Dessert dari Tim Dafka membuat Tim 6c unggul dan mungkin saja akan menjadi pemenang nya.
10 menit mereka mencicipi makanan mereka, kemudian mulai berdiskusi membahas siapa yang terbaik, dari setiap evaluasi yang di lalui Teri, tidak pernah sekalipun dia setenang saat ini, tubuhnya berkeringat dingin dan jantung berdetak hebat, dia gugup takut tak akan pernah bisa mencapai mimpinya untuk tampil di demo tahunan, jika kalah di evaluasi saat ini.
Bersambung.......
Tak Salah Pilih Lagi
Menunggu waktu yang lumayan cukup lama, akhirnya para juri mengemukakan pendapat mereka tentang masakan yang dibuat oleh kedua Tim itu, mereka mengatakan jika makanan yang dibuat Tim Kapulaga ini memiliki tekstur luar biasa sempurna, dengan Petis udang yang sangat enak, gado gado mereka tak membuat eneg, tapi dari semua hidangan utama yang di puji para juri, justru Dessert mereka mendapat kritikan karena penampilan nya yang seolah itu hendak di berikan kepada bebek di kandang, mendengar semua komentar para juri, Sesil menangis karena merasa jika dialah pengacau di Tim Kapulaga.
Sementara itu semua komentar selalu mengunggulkan Tim 6c, karena hasil mereka rapih sempurna tak ada cacatnya seperti yang Tim Kapulaga lakukan, senyum senang terbit di bibir para anggota Tim 6c, membuat Teri dan yang lain sekarang sudah berkecil hati dan menguatkan satu sama lain nya.
" Maka dari itu untuk pemenang evaluasi ini adalah...." Pak Harun sengaja mengantung kalimatnya untuk membuat suasana seakan mendebarkan.
1
2
3
4
5
" Tim.....Kapulaga, dengan perolehan Nilai 83, untuk Tim Kapulaga selamat, kalian bisa kembali ke kelas nya masing masing setelah ini, karena ada Tim selanjutnya yang akan memasuki Ballroom ini "
Tak bisa di ucapkan dengan kata kata bagiamana senang nya mereka sekarang, sedangkan Tim Yudam melangkah meninggalkan Ballroom ini dengan kesal, mereka tak pernah menduga jika makanan kampungan bisa mengalahkan makanan mereka.
" Horeeeee , horeeeee horeeeee " Tim Dafka keluar dengan penuh semangat, mereka senang untuk pertama kalinya mereka bisa mengalahkan Yudam dan teman temannya.
Teri tiba tiba saja teringat sesuatu, dia berlari untuk mengambil kotak bekal di tas nya, hari ini tekad Teri sudah bulat, dia akan menyatakan perasaannya kepada Yudam sebab Teri sudah membuat janji sebelumnya, karena sesuai janji yang dia buat itu, jika dia menang dalam evaluasi maka Teri akan menyatakan perasaanya kepada Yudam, tak peduli itu akan berakhir baik atau tidak intinya Teri akan menyatakan perasaannya.
" Aku duluan, ada urusan " pamit Teri hendak pergi namun tangan nya di cekal keras oleh Gaidan, Gaidan tau apa yang akan Teri lakukan sekarang maka dari itu Gaidan tak akan pernah mengijinkan tindakan Teri itu sampai benar benar terjadi.
" Ngak! Kita langsung ke kelas aja !" Gaidan menyeret Teri, membuat Lili, Qey, Sesil dan Dafka heran melihat itu, mereka pikir apa Gaidan dan Teri bertengkar.
Di sepanjang perjalanan menuju kelas, Teri terus saja meronta mencoba melepaskan cekakan Gaidan, tapi tak menggubrisnya sebelum mereka benar benar sampai di kelas mereka.
" Gaidan sakit tau !" Gerutu Teri
Lantas mendengar Teri kesakitan, Gaidan melepaskannya dan mulai berbicara agar Teri membatalkan niat konyolnya itu, bagaimana pun juga Teri ini perempuan yang awam dengan kata cinta, bagi Gaidan Teri ini tak memiliki hal semacam itu kepada Yudam, ini semua hanya obsesi semata.
" Please ini urusan aku, jangan ikut campur, aku juga tau kamu udah nembak Viola, aku bahkan ngak larang kamu kaya gini " dengan marah Teri meningalkan Gaidan yang diam mematung mencerna perkataan Teri.
Sekarang Teri bergegas membawa kotak bekal di tasnya kemudian berjalan kearah luar dengan melewati Gaidan yang sekarang berdiri menatap nya
" Teri !!! " Panggil Gaidan yang sekarang sudah kehilangan akal untuk mencegah Teri.
Tapi tentu saja tak Teri hiaraukan, dia berjalan dengan cepat dengan satu tujuan, yaitu menuju gedung PKM untuk menemui Yudam, dia sudah memikirkan semuanya semalaman, Teri yakin dengan mengikuti kata hatinya, jika Teri hanya memberitahu Yudam tentang perasaan nya sebelum mereka berpisah dan Teri menyesal nantinya.
Teri bisa dengan mudah melewati gerbang dan penjaga pagar PKM, karena pada saat evaluasi semua murid mengenakan baju putih berlogo sekolah, oleh sebab itu Teri sekarang sudah berjalan menuju kelas Yudam yang berada di lantai tiga, kelas anak anak berprestasi dengan nilai ujian tinggi, kelas yang selalu di puja puja para guru, kelas orang orang berada.
XII PKM 1
Teri sekarang sudah berdiri di kelas yang dia tuju, dengan sepanjang lorong banyak sekali yang menatap kehadirannya itu heran, mungkin wajah Teri tampak asing bagi mereka tapi Teri sama sekali tak peduli sekarang.
" Yudam ada ?" Teri bertanya kepada gadis dengan rambut sepundak yang tengah berpoto di depan kelas XII KTN 1 gadis itu jauh dari kata ramah bahkan sekarang dia menatap Teri tak suka, tapi meski begitu dia tetap memanggil Yudam dengan lantang.
" Yudam dicariin !" Teriak gadis itu lalu dia masuk tanpa berkata sepatah katapun kepada Teri yang sekarang gugup menunggu kehadiran Yudam dengan cemas, tak berselang lama Yudam muncul di balik pintu menatap Teri yang entah ada keperluan apa dia menemuinya.
" Ngapain ?" Tanya Yudam ketus dia menatap sinis Teri yang sekarang berdiri di hadapannya, Yudam masih ingat wajah menyebalkan Teri saat diumumkan sebagai pemenang evaluasi bulan ini, dan itu masih mengema di telingga Yudam.
" Mau pamer ?" Tuduh Yudam lagi
Tapi bukannya menjawab Teri malah menyodorkan kotak nasi berwarna biru muda yang sedari tadi di genggamnya, di dalam nya terdapat Ayam Cincane yang dia buat khusus untuk Yudam, sebenarnya Teri sengaja membawakan Yudam makanan itu, karena tak akan ada yang bisa menolak ke tapi Yudam malah menatap nya heran
" Kita semua sama sama suka memasak, jadi ngak ada yang seharusnya merasa lebih unggul, karena kita semua sama, aku hanya harap kita bisa berhenti saling menjatuhkan, maka dari itu ini makanan yang selalu di remehkan itu, kamu coba karena rasanya tak serendah yang dipikirkan " ucap Teri dengan mata menunduk dalam
Yudam mengernyit kan dahinya, tanganya tak bergerak membuat Teri mendongak menatap Yudam yang kini kini tengah menatap dirinya dengan kesal
" To the point aja deh !" Kesal Yudam merasa jika Teri ini terlalu berbelit belit.
Beberapa orang mulai mengerubungi mereka berdua, banyak sekali yang merekam mereka, Teri dengan sangat gugup akhirnya mengakui perasaannya pada Yudam, membuat Yudam terkejut dan menyeringai, dengan sekali hentakan tanganya menepuk kotak nasi di tangan Teri hingga tergeletak begitu saja di lantai dengan isi yang berantakan.
Semua yang menonton disana menatap goreng ayam itu dengan jiji, seolah itu adalah mamalia berlendir yang menjijikan, Teri menunduk dalam tak bisa lagi mengangkat wajahnya
" Gue ngak selera makan makanan keruh kaya gitu, gue muak liatnya, dan kalo Lo mau jadi pacar gue, makan itu ayam, baru gue terima Lo " Yudam menunjuk ayam yang sudah tergeletak dengan bumbu yang sudah berhamburan, yang terdengar sekarang hanya gelak tawa orang orang disana, melihat keributan itu Viola yang baru saja tiba menerobos keramaian di depan kelasnya, dia melihat Teri yang berada di sana berhadapan dengan Yudam.
" Lo ngapain ?, Jangan terlalu berusaha kaya gitu, urusin aja jurusan Lo yang sebentar lagi ditutup " ucap Viola lantang, dia seolah ingin memberitahukan kepada semua yang ada disana jika KTN akan segera ditutup
Teri sontak menatap Viola, semua yang ada disana kaget mendengar perkataan Viola yang Teri anggap sembarangan
" Ngak usah ngaco !" Ucap Teri kesal, tapi Viola langsung menyangkalnya dan mengatakan jika dia mendengar ini dari kepala sekolahnya langsung dan tak berbohong sedikitpun, mendengar jawaban itu Teri merasakan lututnya melemas lalu menatap Yudam kesal, mungkin ini adalah kabar baik baginya, mungkin mereka semua akan merayakan ini.
Teri berlari dia tak peduli dengan apa yang para murid PKM katakan padanya, dia melewati gerbang PKM dan melangkah masuk ke gerbang KTN, banyak orang disana yang melihat Teri aneh karena berlari dengan wajah memerah seolah menahan amarahnya.
Teri berjalan untuk mencari Chef Rasya dan menanyakannya langsung tentang apa yang Viola ucapkan, hati Teri terasa berantakan saat ini, dihina orang yang dia sukai, disingkirkan dari apa yang tengah dia perjuangkan, Teri merasa jika semua keberuntungan tidak di perkenankan untuknya.
Sedangkan anggota Timnya yang lain kini tengah berada di ruangan Pak Harun untuk menanyakan tentang Demo tahun ini, mereka berharap dengan segala pencapaian yang mereka ukir bisa mengoyahkan hati kepala sekolah.
Di selimuti rasa empati dan juga bersalah Pak Harun tak bisa mengucapkan apa apa lagi sekarang, jika saja situasinya berbeda, mungkin saja Pak Harun akan menjadi orang paling depan yang mengajukan Jurusan KTN ikut serta dalam Demo tahun ini, tapi mengingat semua kebenaran Pak Harun tak bisa berbuat banyak, dia sadar akan posisinya yang hanya sebagai pendidik bukan seorang pengurus.
" Kalian tanya aja sama Pak Anton langsung " tak banyak yang Pak Harun sampaikan saat ini, dan Pak Harun pikir mereka seharusnya tau lebih awal tentang kabar buruk ini, agar mereka siap menghadapinya nanti.
" Pastinya pak, kita udah punya alasan sekarang untuk menemui pak Anton, kita sekarang banding dengan Tim unggulan sekolah ini, itu artinya kita juga pantas tampil di Demo tahun ini " dengan penuh percaya diri Dafka mengatakan hal tersebut dan mengiring semua anggota Tim nya untuk menemui Pak Anton, kecuali Teri yang sekarang kalang kabut mencari keberadaan Gaidan dan juga teman teman nya yang lain.
Sepeninggal anak didiknya Pak Harun hanya memijat pangkal hidungnya pelan, dia tak habis pikir dengan keadaan yang sekarang dia hadapi, selama 9 tahun mengabdi di sekolah ini Pak Harun tak pernah memikirkan jika hal seperti ini akan terjadi, Pak Harun Pikir SMK Haida itu di topang oleh dua jurusan yang mereka punya, tapi ternyata SMK Haida itu penopang satu jurusan yang mengangkat martabat nya dan meningalkan Jurusan yang tertinggal.
Pak Harun dan Chef Rasya memutuskan untuk berhenti dari SMK Haida tahun depan, dimana tahun depan awal dari penutupan jurusan KTN, dan itu artinya 3 tahun kemudian sekolah ini benar benar milik PKM yang meningalkan kisah dari para murid KTN yang akan tetap ada disini.
Bersambung........
Azka Kemiri Super
Tim Kapulaga berlarian kearah ruang kepala sekolah, mereka ingin bertanya langsung kepada kepala sekolah tentang rumor yang beredar dengan sangat cepat itu, rumor itu mengatakan jika Jurusan KTN akan ditutup dari tahun ajaran baru hingga selamanya, maka itu artinya SMK Haida menjadi sekolah khusus siswa yang berniat mempelajari Kuliner Modern dan Western.
Amarah Qey sudah sampai Ubun Ubun, seolah otaknya itu pun ikut mendidih dan tak bisa berpikir dengan jernih saat ini, dengan kedua terkepal kuat dia berlari paling depan dengan tergesa, rasanya Qey sekarang bahkan tak bisa mengontrol dirinya sendiri, saat tiba di depan pintu Qey membuka pintu ruangan kepala sekolah mengunakan kakinya, menendang dengan keras hingga pintu itu terbuka lebar menampakan kepala sekolah yang terperanjat kaget.
Pak Anton melotot marah menatap kedatang Qey yang bisa di bilang tidak punya sopan santun saat itu, bagaimana bisa seorang murid menendang pintu ruangan kepala sekolah dan masuk dengan tatapan menuduh seperti yang Qey lakukan sekarang
" Apa apaan !" Pak Anton berteriak kepada Qey tapi Qey hanya berdecih meremehkan, seketika mata Pak Anton melirik dasi yang dikenakan oleh Qey, itu dasi KTN membuat senyum nya muncul, mungkin kecoa ini datang kesini untuk menghalangi rencana nya.
" Ngak salah saya mau tutup jurusan KTN, karena selain ngak berprestasi para muridnya tak tau sopan santun " ucap Pak Anton kembali duduk kembali ke kursinya dengan santai mengabaikan Qey
Qey hendak menghampiri Pak Anton tapi tubuhnya segera di tarik oleh Gaidan dan yang lainnya yang tiba disaat yang tepat, sebelum Qey membuat keributan, Gaidan langsung menarik Qey mundur, dan rupanya Qey menurutinya kini Gaidan lah yang berdiri di barisan paling depan sekarang, disusul di belakangnya dengan Dafka, Sesil, Lili, dan Qey dan Teri.
Alasan mereka bisa berakhir di ruang kepala sekolah ini juga akibat Teri yang mengatakan jika jurusan mereka akan ditutup, awalnya mereka mendengar beberapa kabar dari adik kelasnya tebtabg hal itu tapi tak mereka hiraukan, mereka beranggapan jika itu hanya akal akan murid PKM lagi, hingga Teri mendatanginya sambil menangis, entah itu tangisan patah hati ataupun rasa kecewa nya, yang jelas Teri mendatangi mereka sambil menangis.
" Pak jelaskan pada kami, kabar itu ngak bener kan ?" Tanya Gaidan kepada Pak Anton yang sekarang hanya duduk santai, dia bahkan seperti tak menganggap ini masalah serius yang harus di khawatirkan.
" Ini akan segera di sah kan, jadi kenapa kalian ribut hah?, Kalian kan udah mau lulus " jawab Pak Anton santai, sungguh bukan jawaban yang mereka harapkan, mereka datang kemari bukan hanya untuk mendengar ucapan tak peduli Pak Anton, mereka datang kemari untuk mencari kejelasan dari kepala sekolah selaku pengurus di sekolah ini.
" Ini bahkan udah di setujui oleh perusahaan pusat, kalian berenam ngak bakalan bisa hentiin, saya juga ngak mau ikut campur, jadi tunggu apa lagi " jawab Pak Anton, setelah mengatakan itu Pak Anton menyuruh keenam murid yang lagi lagi patah hati.
Seolah tak ada lagi kesempatan mereka berjalan lesu keluar ruangan kepala sekolah, kecuali satu orang yang tetap tinggal, dia adalah Qey yang kembali menatap Pak Anton dengan penuh amarah, Qey tak sanggup melihat Teri tampak murung seperti sekarang, semua usaha yang Teri lakukan sudah menunjukan hasil yang baik, tapi apa ini?, Semua yang Teri perjuangkan bersama dirinya itu direnggut begitu saja hanya dengan satu tanda tangan.
" Kenapa ?" Tanya Pak Anton kepada Qey, bukanya menjawab Qey hanya tersenyum picik.
" Bapak tahu Abram Haidar ? " Tiba tiba saja Qey bertanya pertanyaan yang menurut Pak Anton tak ada sangkut pautnya dengan masalah ini, dan tentu saja dia tahu Abram Haidar, dia adalah Intelejen dan juga Detektif yang pandai dan terkenal culas.
" Dia ayah saya, sebagai anak satu satunya saya akan minta ayah saya itu untuk menyelidiki ini, karena dari penglihatan saya, ada yang tidak beres dengan semua ini " ucap Qey penuh penekanan
Mendengar itu mata Pak Anton bergerak kekiri dan kekanan, menandakan jika dia tengah gugup sekarang.
" Apa maksudnya?, Kamu berani ancam saya, dasar murid ngak tahu sopan santun"
Tapi tanpa mempedulikan perkataan pak Anton Qey berjalan melewati pintu yang terlihat tak berbentuk itu, dia keluar dengan rasa panas di Jepang dan hatinya, hingga tiba tiba saja Lili yang menunggu keluarnya Qey sedari tadi menarik lengan Qey
" Qey ak....ku mau bilang, kalau seb....ne.nernya papa aku pimpinan kantor pusat, dan aku yakin papa aku ngak mungkin setuju dengan ini, apalagi aku anaknya berada disini " ucap Lili mengakui kebenaran jika dia anak dari pimpinan pemilik perusahaan yang mendirikan sekolah ini, jadi itu artinya Lili secara tak langsung adalah pemilik sekolah ini.
Qey menjadi semakin yakin jika Pak Anton merencanakan kecurangan, karena selama dia menjabat menjadi kepala sekolah, KTN selalu tak pernah mendapat keadilan yang pantas, dia hanya memikirkan PKM saja tanpa mau melirik kepada Jurusan lainnya.
****
Baru saja tiba di kelasnya Gaidan dan Sesil di kagetkan dengan Teri yang tenggah menangis dan dikerumi oleh adik kelas mereka, Sesil yang paling cepat sadar jika mereka itu adik kelasnya karena melihat keberadaan Azka, sang YouTube KTN, jadi bagaimana mungkin Sesil tak mengetahui nya.
" AZKA!!" Teriak Sesil kepada bocah jangkung itu, sedangkan Azka hanya tersenyum menyapa Sesil ramah.
" Gaidan darimana aja!, Kembaran Lo gila dari tadi nangis mulu, berisik tau " gerutu Deri kesal, mengadukan bagaimana kesusahannya dia.
" Kenapa pada disini ?" Tanya Gaidan tanpa peduli kepada Deri, maksud Gaidan sekarang itu adalah dia bertanya kenapa adik kelas ada di dalam kelasnya, tapi beberapa murid perempuan malah menatap Gaidan Yang ganteng dengan takjub.
" Ini kak, kami dengar kalau jurusan KTN bakalan di stop yah " tanya Azka mewakili semua adik kelas ABG ada disana, kira kira jumlahnya ada lima orang tiga laki laki dan dua perempuan, meski begitu Gaidan tak terlalu menghapal nama mereka, yang Gaidan tahu itu hanya Azka dan Leo, karena mereka berdua sangat famous
Gaidan tak menjawab dan dia malah menyuruh semuanya berkumpul dan akhirnya dia menceritakan jika semua ini adalah keputusan kantor pusat, jadi mereka tak punya kuasa sedikitpun untuk ikut campur, mendengar itu rasanya hati Teri semakin hancur tak karuan, ditolak dan di hina oleh Yudam saja itu menyakitkan apalagi sekarang ditambah kabar ini, Teri rasanya ingin meledak.
" Tapi aku punya cara bagus buat cari dukungan " Azka tiba tiba saja menimpali, tapi Gaidan hanya diam karena dia pikir sekeras apapun pemberontakan yang mereka lakukan hasilnya akan tetap sama.
" Kakak ngak perlu ikut campur tangan, kali ini karena kami yang urus, kami kesini mau ucapin terimakasih karena sudah menang di evaluasi, itu menunjukan jika KTN dan makanan tradisional nya itu tidak lemah, kami semua menjadi termotivasi karena nya " ucap Azka lantang di setujui oleh semua adik kelas yang berada di sana.
Gaidan hanya tersenyum
" Lebayyyy !" Ledek Deri melihat adegan melow di depan nya dan langsung mendapat kan tatapan sinis dari semua yang ada disana, terutama Sesil yang sekarang sudah menginjak jari kaki Deri dengan sepatunya.
Mereka berbincang ringan, ini pertamakalinya Gaidan berbicara dengan Juniornya, dan rupanya pikiran Azka itu tak jauh beda dari otak otak licik Teri, Azka mengatakan jika dia akan membuat konten yang mengkritik Pak Anton akibat pembubaran jurusan.
" Tapi gimana kalau akun YouTube nya kena report " cemas Sesil karena di jaman sekarang, haters bisa rusak bisnis artis.
" Ngakpapa kak Sesil tenang aja " jawab Azka, dan Teri yang hanya diam membisu sedari tadi akhirnya tersenyum manis, dia terharu mendengar ucapan Azka yang seolah menegaskan jika dia rela berkorban demi jurusan kesayangan mereka semua, yaitu KTN.
Sementara yang lain sibuk, Qey dan Lili pun sibuk, mereka berdua merancang sesuatu dan pergi meninggalkan sekolah begitu saja, untuk mencari Abram dan juga ayah dari Lili, mereka ingin memastikan apa yang terjadi sebenarnya, intinya semua murid KTN semoga mencari sumber terpercaya untuk membenarkan rumor konyol yang beredar itu.
Semua anggota KTN tak bisa berhenti mencari tau dia saat PKM berpesta, mereka senang, kecuali Yudam dan Kean yang sekarang terlihat menatap lurus kearah depan tanpa objek, mereka berdua berujar yang tidak tidak , mereka mengatakan jika bermusuhan dengan KTN itu menyenangkan, seolah pengobatan Stress yang selalu mengangu pikiran mereka dari semua tekanan yang harus dialami mereka, menyombong dihadapan orang lain jika mereka punya Bae sebagai ibu kami.
Mereka berdua semakin merasakan keanehan, di lubuk hatinya mereka takut jika KTN benar benar pergi, mereka tak akan merasakan tantangan lagi, ricuh untuk mendebat makanan siapa yang terbaik, saling menyalahkan, meski mereka akan sama sama meningalkan sekolah, tapi tetap saja pembubaran jurusan itu bukanlah hal yang terbaik, diluar sana pasti ada yang menunggu akan masuk kesana, ada beberapa murid yang mengembangkan bakat nya disana dan masih banyak lagi.
Ada sedikit rasa bersalah yang Yudam rasakan saat ini, Yudam merasa salah karena mempermalukan, hal kepada para Teri disaat dia menolak cinta dari Teri, dan malah menghinanya, Yudam yakin jika sekarang Teri sanggat terkejut dengan keputusan konyol ini, tapi diam diam rupanya tak hanya Yudam dan Kean saja yang merasakan semua itu, bahkan Viola pun memikirkan Gaidan pada saat ini, dia merasa iba dengan mereka semua yang saat ini berada di jurusan KTN, meskipun penutupan tak akan mempengaruhi kelulusan mereka, tapi menjadi pengunjung itu tak enak sama sekali.
Dilema kali ini tak hanya dirasakan oleh anak anak yang menjunjung tinggi makanan khas daerah nya, yang sebentar lagi akan berhenti menambah generasi karena penutupan jurusan ini, tapi juga para murid yang di perjuangkan oleh sekolah merasa jika mungkin sebagian dari diri mereka akan hilang jika KTN benar benar tiada, karena bagaimana pun juga, seburuk apapun juga KTN itu adalah pelengkap yang keberadaanya selalu dikucilkan, hingga saat kepergian nya mereka baru menyadarinya.
Bersambung.....
Pemberontakan Primadona
Kegiatan evaluasi masih berlanjut selama satu pekan kedepan, itu artinya semua kelas XII di SMK Haida free class, dan itu dimanfaatkan oleh Qey dan Lili untuk menyelidiki kasus ini bersama dengan Abram ayah Gaidan, menuju ke kantor Ayah nya Lili, mereka bahkan membolos hanya untuk pergi ke kantor ayah Lili.
Setiba di kantor mereka langsung saja masuk tanpa banyak tanya, karena Lili merupakan anak dari bos di perusahaan besar ini.
" Non , bapa bilang langsung masuk saja " ucap seorang pria berjas biru tua itu kepada Lili, maka mereka bertiga melangkah menuju ruangan ayah Lili, Qey menatap takjub ruangan besar ini, rupanya selama ini Lili adalah anak dari pemilik sekolah, tapi dia yang ditindas oleh anak anak jurusan PKM yang tak ada apa apa nya jika di bandingkan dengan Lili.
" Ayah !" Lili menyapa pria dengan tuxedo hitam nya, pria itu adalah Husen Bos dari perusahaan besar yang menaungi SMK Haida.
Tak banyak basa basi Abram langsung merundingkan hal ini dengan Husen, jika di dengar dari cerita Husen, yang menyerahkan SMK Haida kepada pak Anton, Abram menjadi mengerti jika Pak Anton bersikap semena mena seperti sekarang, Lalu Abram menceritakan jika salah satu jurusan yang bahkan putri dari Husen sendiri pun termasuk salah satu murid nya akan di tutup.
Mendengar itu Husen mengerutkan dahinya heran, dan langsung saja memangil sekretarisnya.
" Apa ada berkas yang lolos tanpa tanda tangan saya ?" Tanya Husen kepada sekretarisnya, namun sekretaris itu menjawab jika jika semua dokumen baru keluar saat sudah di setujui oleh Husen, mendengar adanya kekeliruan, Abram selaku orang yang berpengalaman di bidang forensik meminta ijin untuk menyelidiki semua ini, dan dengan senang hati Husen mengijinkan nya.
Walaupun Husen ini adalah orang yang kaya raya, tapi dia rendah hati dan tidak bosy kepada para pegawai ataupun tamu nya, maka dari itu sikap Lili pun seperti Husen, Lili tak suka pamer dan bahkan menutupi identitasnya selaku anak konglomerat.
Qey dan Lili berusaha jika kasus ini harus terungkap bagaimanapun caranya, maka itu juga dilakukan oleh murid KTN lainnya, sekarang satu sekolah di gemparkan dengan Azka yang memposting video di kanal Youtubenya tentang makanan Tradisional berbahan dasar kulit sapi yaitu sate kikil, tapi yang membuat gempar itu bukanlah masakannya, tapi ending dari video itu Azka mengkritik dan membocorkan tentang penutupan jurusan Kuliner Tradisional di sekolahnya, bahkan Azka menambahkan jika dengan penutupan jurusan tersebut sama saja pihak sekolah membuang resep dan minat kuliner negara mereka, menutup akses bagi anak berpotensi di bidang ini yang mungkin saja diluar sana masih ada murid yang berniat sekolah disini.
" Si Azka agak berlebihan deh " ucap Sesil menatap ponselnya, dia tengah menonton video Azka yang tengah trending di sekolahnya, bahan video Azka sampai masuk acara Lambe turah dan beberapa artikel terlihat membahas video ini, dan tentunya banyak komentar yang mendukung Azka dan memaki Pak Anton selaku kepala sekolah.
Imbasnya karena ulah Azka, sekolah di repotkan dengan komentar komentar pedas netizen dan telepon sekolah yang terus saja berdering, itu semua adalah reporter yang tenggah mencari informasi, tenang rumor yang di sebarkan oleh seorang Youtuber muda yang putus asa.
Dari semua kejadian ini seakan membuat Teri rasanya hilang semangat, dari awal dia selalu ambisius jika KTN akan menjadi salah satu jurusan favorit suatu saat nanti, tapi seakan-akan itu memang tidak ditakdirkan terjadi, mungkin memang benar jika chef itu harus bisa mempelajari makanan modern saja.
Hatinya yang terluka karena Yudam, kini pikiran nya pun terbebani oleh kasus ini, ingin rasanya Teri mundur perlahan dari ketidakpastian.
"Panggilan kepada Azka Galih, ditunggu di ruang kepala sekolah, sekali lagi Panggilan kepada Azka Galih, ditunggu di ruang kepala sekolah, terimakasih "
Gaidan dan Sesil terperanjat mendengar suara dari pengeras suara itu, semua yang mereka takutkan akhirnya terjadi juga, mereka berdua cemas tapi Teri hanya diam tak bergeming.
" Ayo kita lihat !" Ajak Sesil kepada Teri dan Gaidan, Gaidan berdiri dari kursinya dan hendak mengikuti langkah Sesil, tapi langkahnya terhalang oleh Teri
" Ayo " ucap Sesil, namun Teri hanya berdiri memberi ruang kepada Gaidan tanpa berniat ikut serta, Sesil dan Gaidan saling tatap heran, tapi kemudian dia dan Gaidan berlari tanpa mempedulikan Teri, Setelah kepergian mereka berdua Teri kembali terduduk di kursinya dan diam merenung, hatinya sudah lelah ini saat nya untuk Teri berhenti dari segala obsesinya.
Sikap Teri bahkan tak hanya itu, sepulang sekolah Dafka menghampiri dirinya untuk menanyakan rencana mereka dan juga keadaan Azka, tapi Teri hanya berjalan sambil berkata singkat jika dirinya tak tahu, saat ini tujuan dia hanya satu, yaitu pulang kerumahnya, rasanya Teri muak berada di sekolah yang penuh kebusukan ini.
Saat melewati gerbang Teri tak sengaja melihat Azka yang berjalan dengan Gaidan dan Sesil di sampingnya, Azka terlihat tersenyum dengan membawa selembar amplop putih ditangannya, Teri langsung saja menghampiri ketiganya, Teri menatap Azka yang sekarang senyum senyum tak jelas.
" Dia di skors" ucap Sesil penuh penyesalan, tapi Azka malah tersenyum dan berkata jika dia tak apa, dan semua akan baik baik saja.
" Ini aku anggap liburan,hehehe " Azka coba meyakinkan ketiga kakak kelasnya itu agar tak mengkhawatirkan dirinya, tapi Teri malah membawa amplop itu dan membacanya, ternyata Azka di skors dengan surat teguran.
" Mulai sekarang ! Jangan urusin lagi masalah ini, yang penting kamu belajar dan kukus dengan baik, ngak usah lagi buang buang waktu untuk hal yang sia sia " setelah mengatakan itu Teri memberikan surat itu kembali kepada Azka dan pergi begitu saja, membuat ketiga manusia itu mengerutkan dahinya keheranan.
Teri pergi begitu saja memilih untuk pulang cepat hari ini, meski Semarang dia tengah berada di kamarnya seorang diri tapi pikirannya tak kunjung membaik sedikitpun, malah semakin terngiang di kepalanya jika semua ini karena ambisius nya yang memaksa mereka semua untuk ikut berjuang bersama Teri.
Semalam Teri berpikir, apakah tindakan Teri sudah tepat untuk mengakhiri semuanya dan berhenti untuk memasak dan mulai kehidupan biasanya kedepannya, tak lama lagi dia akan lulus jadi kenapa dia harus memikirkan sekolah yang akan dia tinggalkan, semua itu hanya akan menjadi beban pikiran yang tak membuahkan hasil.
" Teri... Makan !" Teriak Laras kepada Teri, mau tak mau Teri yang tenggah membaringkan tubuhnya di kasur empuk pun beranjak keluar, dia berjalan menghampiri ibunya dengan gontai.
" Katanya sekolah kamu mau ditutup ?" Tanya Laras menanyakan berita yang dia lihat di televisi langsung kepada narasumber nya
" Bukan sekolahnya, tapi jurusan Teri yang di tutup " jawab Teri acuh, bahkan Laras terbelalak melihat anaknya itu tampak biasa saja mendengar kabar buruk itu.
" Kenapa gitu?, Padahal kan masih ada peminat diluar sana, anak anak yang seperti kamu dan Gaidan, yang sejak kecil selalu ingin tahu apa itu rempah, untuk apa kegunaannya, makanan apa saja yang bisa di masakan pakai rempah, bahkan kalian berdua selalu mencuri rempah nenek Sum yang di jemur, buat main masak masakan " Laras mengatakan itu sembari tertawa renyah mengingat masalalu anaknya itu.
Pandangan Teri sekarang mengabur, matanya menatap Poto Poto masa kecilnya yang di pajang di dinding putih rumahnya, Teri masih ingat jika dia berkata kepada setiao orang yang dia kenal bahwa di masa depan Teri akan memasak makanan Indonesia di luar negri, dan pulang membuat orang orang bangga padanya.
" Teri kenyang " Teri berjalan begitu saja meninggalkan meja makan, meski makanan nya belum sepenuhnya habis, dia kembali ke dalam kamarnya, duduk diatasnya kasurnya dengan mata berkaca, tapi ini keputusan nya, jika dia tak akan ikut campur lagi, terlalu melelahkan rasanya.
****
Belum mendapatkan hasil yang baik, Qey dan Lili sekarang sudah berada di rumah Sesil, mereka berdua menceritakan semuanya kepada Sesil, jika Pak Anton itu main curang, dia memanfaatkan suara pemilik saham di perusahaan ayahnya Lili untuk mendukungnya dalam penutupan Jurusan KTN dengan iming iming hasil yang besar, usut punya usut ternyata Pak Anton itu adalah salah satu pemilik saham di perusahaan ayahnya Lili, jadi bagaimana pun juga mereka harus memiliki bukti untuk mengugat pak Anton, mau itu ayah Lili sendiri.
Sesil kaget dengan itu, dia berusaha menelpon Gaidan, Dafka dan Teri, namun dari ketiga orang itu, ponsel Teri lah yang tidak aktif, padahal Teri sengaja mematikan ponselnya.
Disisi lain Gaidan sudah bersiap pergi kerumah Sesil, meski hari sudah larut Gaidan tetap pergi dengan meminjam motor matic milik abangnya itu, dia berniat untuk menjemput Teri terlebih dahulu, untuk mengajaknya berangkat bersama.
" Teri!" Panggil Gaidan, saat tiba di depan rumah Teri, namun yang muncul malah ibunya Teri dan dia mengatakan jika sedari tadi Teri murung di kamarnya, mendengar itu Gaidan pun menawarkan diri untuk menemui Teri dan bertanya padanya.
Dengan santai Gaidan masuk kedalam kamar Teri yang kebetulan tidak terkunci, ada Teri disana tenggah duduk diam seorang diri, dan langsung saja Gaidan duduk disamping Teri.
" Kenapa? Karena Yudam ?" Tanya Gaidan karena melihat sikap Teri berubah akhir akhir ini
" Apaan !" Teri malah mengeyel dan membanting tubuhnya di atas kasur, membuat Gaidan menghela nafas kasar
" Kamu ngak bisa kaya gini, kita semua butuh kamu Ter, emang ditolak cinta itu ngak enak, tapi ngak harus hukum diri sendiri " jelas Gaidan kepada Teri.
Setelah menunggu beberapa saat tapi Teri tak menunjukan tanda tanda ingin menjawab, akhirnya Gaidan pamit karena Sesil yang terus saja menelpon Gaidan agar segera datang, tapi seperti nya Gaidan tak akan bisa bawa Teri yang seperti ini, akhirnya dia memilih pergi ke rumah Sesil sendirian.
Gaidan langsung saja mengendari motor matic milik kakaknya itu untuk menuju ke rumah Sesil dan tiba disangka 28 menit kemudian, dan betapa kagetnya Gaidan karena disana ada Viola dan juga Kean duduk bersama mereka semua.
Bersambung......
Inilah Awal dari Akhir
" tapi ini ngak mungkin!" Jawab Gaidan, rupanya Viola dan Kean datang dengan maksud tertentu, dia menawarkan diri untuk membantu KTN tampil di Demo tahun ini, mereka mengungkapkan jika mereka juga tak setuju dengan penutupan jurusan KTN, jadi mereka meminta ijin untuk ikut andil dalam protes besar yang dilakukan oleh jurusan KTN.
Meski mereka tak yakin dengan niatan Kean dan Viola, karena melihat bagaimana sikap mereka selama ini mustahil mereka menawarkan ini dengan suka rela tanpa maksud tersembunyi, namun Viola bahkan menegaskan jika dia tak peduli dengan para murid KTN, dia hanya tak mau sejarah SMK Haida berubah karena gugur nya satu jurusan.
" Tapi kita harus bicarakan ini dengan anggota kami" jawab Qey, tanpa banyak debat Viola dan Kean akhirnya menyetujui untuk menunggu keputusan dari mereka semua.
Dan malam itu mereka akhiri dengan makan malam bersama, Kean dan Viola pun ikut serta walaupun dengan cangung tapi mereka dapat menyelesaikan makan malamnya hingga benar benar selesai, setelah makan mereka mulai pulang satu persatu, termasuk juga Gaidan yang akan beranjak pergi sekarang.
Saat akan hendak menaiki motornya tiba tiba Viola menghampiri Gaidan yang sekarang terlihat tampan dengan jaket jeans nya, karena dimulai dari acara evaluasi, Anjani tak lagi membiarkan penampilan Gaidan berubah seperti sebelumnya, maka dari itu Gaidan tetaplah Gaidan yang ganteng.
" Boleh ngak gue minta anterin pulang " ucap Viola to the point, tapi Gaidan hanya diam tak bersuara, Gaidan bingung harus bereaksi seperti apa saat ini.
" Kean pergi disuruh bokapnya, masa Lo tega sih" bujuk Viola dengan segala akalnya dia meminta agar Gaidan mengantarnya pulang, mendengar itu Gaidan hanya mengangukan kepalanya dan Viola naik dengan senang, Gaidan menyerahkan helm yang dia punya satu satunya kepada Viola sedangkan dirinya tak memakai helm, Viola sempat kaget, tapi dia tetap memakai helm yang Gaidan berikan padanya.
Hanya keheningan yang menyelimuti perjalanan pulang keduanya, Gaidan hanya berbicara pada saat menanyakan alamat Viola, setelah itu mereka hanya diam dengan pikirannya masing masing, tak ada yang berani membuka mulutnya hi gga mereka sampai pun Gaidan masih diam.
Tanpa banyak bicara Gaidan pergi setelah mengantar Viola pulang, sedangkan Viola hanya menatap kepergian Gaidan tapi Gaidan terus menancap gas motornya, Gaidan tak peduli dengan hatinya lagi, Gaidan tak ingin memaksa kan kehendak lagi seperti saat itu, kali ini Gaidan hanya berharap agar kelak dia menyukai gadis yang bisa menghargai perasaannya, dan malam itu menjadi saksi keikhlasan Gaidan melepaskan Viola yang tak akan pernah bisa dia miliki.
****
3 Minggu berlalu, Azka sudah kembali bersekolah, acara evaluasi telah selesai protes dan demo sudah mulai lelah sendiri, isu dan pemberitaan sudah tak terlalu sering ditemukan dan komentar pedas sudah tak bertambah lagi, seolah ini semua hanya lelucon bagi pihak sekolah, bahkan tak ada penjelasan ataupun klarifikasi yang mendetail dari pihak sekolah, yang sekarang mereka tunggu hanya demo yang akan dilakukan oleh anak PKM.
Lapangan kini sudah disulap layaknya ballroom dengan kitchen set lengkap, beberapa tamu undagan sudah datang dan para kameraman sudah siap, bisa Teri lihat rombongan Viola memakai topi kebangaan setiap koki dengan celemek berlogo sekolah berjalan santai kearah lapangan.
Dafka yang sedari tadi mencari Teri mulai menarik lengan Teri dan membawanya ke green house, dan ternyata disana sudah ada beberapa anak PKM dan KTN yang berpakaian sama membuat Teri bingung.
" Kamu ngak bisa diajak ngobrol!, Jadi sekarang kita semua akan langsung aja, cepet kamu pakai celemek yang " ucap Qey memakaikan celemek ketubuh Teri, membuat Teri semakin bingung.
" Apa apaan?" Ucap Teri
Dan Gaidan pun menjelaskan jika hari ini mereka akan tampil di demo tahun ini mengantikan anak PKM, tapi bukanya percaya Teri malah tertawa keras dan melepaskan celemek yang dipakaikan oleh Qey ketubuh ya.
" Sadar!!! Ngak usah ngaco, kalian emang ngak bisa yah hidup normal aja!, Kenapa harus ngeributin masalah yang tak ada jalan keluarnya " ucap Teri kesal dan membanting celemek itu lalu pergi melangkah untuk meningalkan green house
" Kit bisa ada disini Karen kamu yang selalu bujuk kami, tapi disaat kami semua mau sama sama berjuang, kamu malah matahin semangat kita semua " ucap Dafka membuat Teri kembali berbalik.
" Maka dari itu, cukup ! Semua ini udah kelewatan " ucap Teri hingga akhirnya dia benar benar pergi.
Hari itu Tim kapulaga tak lagi utuh, tapi mereka tak akan menyerahkan, mereka akan tetap maju, karena sekarang mimpinya sudah di depan mata, mereka berlima bersiap untuk penampilan nya di demo kali ini, meskipun Dafka terus saja meneteskan air mata nya karena kejadian barusan dan juga semua angota terlihat cangung, tapi Viola yang dengan tegas berkata jangan lemah karena jurusan PKM berusaha keras untuk hari ini.
Para jurusan PKM mengelabui para guru mereka dan mengirim KTN keatas panggung sekarang, mereka sekarang sudah berdiri di depan panggung dengan para penonton yang merupakan tamu undangan yang di beri kesempatan untuk menonton demo ini secara langsung, biasanya para orang tua yang memiliki anak yang sekarang tenggah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Gaidan mengengam tangan Dafka, Dafka mengengam tangan Lili, Lili mengengam tangan Sesil dan Sesil mengengam tangan Qey, mereka memperkenalkan diri secara bersama sama.
Para guru kaget dengan kehadiran anak KTN diatas panggung, tapi mereka tak mungkin begitu saja menyuruh para murid KTN itu turun karena akan mencoreng nama baik sekolah jika sampai kejadia memalukan itu terjadi.
Ujung mata Qey menatap Teri yang menonton mereka dari kejauhan, tapi Qey langsung mengalihkan pandangannya dia kecewa kepada Teri yang bersikap seperti ini, Qey dengan susah payah berusaha menguak kasus Pak Anton meskipun belum mendapat hasil, tapi setidaknya Teri bisa menunggu bukanya melarikan diri seperti sekarang ini.
Dan Teri pun merasakan hal yang sama dia merasa kecewa kepada dirinya sendiri karena plin plan ini, meski bagaimanapun Teri sangat senang melihat teman teman nya itu dapat tampil di demo dengan begitu sempurna, semua orang mendengarkan penjelasan dan juga memperhatikan praktik mereka dengan seksama, Teri akui mereka tampil sangat memukau.
Bahkan ujung mata Teri menangkap Tim Yudam tersenyum kearah panggung menatap Gaidan dan teman temanya, terutama Kean yang tertawa lepas melihat Sesil gelapkan diatas panggung, seolah mereka tak peduli dengan masalah besar yang akan mereka hadapi setelah ini, karena Teri yakin Pak Anton tak akan tinggal diam.
Suara tepuk tangan dan beberapa pujian terdengar dari penonton, mereka mengatakan jika sangat disayangkan jurusan ini ditutup karena mengembangkan potensi anak bangsa untuk tetap mengenal dan memperkenalkan kuliner Indonesia kepada khalayak ramai maupun dunia.
Dan hari itu semua murid KTN menangis haru, mereka menganggap jika itu adalah penampilan terakhir dari jurusan KTN yang beberapa tahun kemudian hanya akan tingal kenangan. Suasana riuh dengan tepuk tangan karena pertunjukan mengagumkan berubah menjadi riuh ketakutan.
Tiba tiba saja empat buah mobil polisi dengan sirine yang dibunyikan memesuki sekolah dan membuat kegaduhan, terlihat Abram disana dan juga Ayah Lili, maka langsung saja kelima tim itu berlari menghampiri Abram dan Husen, mereka bahkan tak mempedulikan keeradaan Teri saat ini, mereka terus berjalan meski melewati Teri.
Setelah hari itu nama Anton mulai wara Wiri di berita karena dia mengelapkan uang fasilitas sekolah dan juga menjadi mata mata dari seorang koruptor di dalam sel, seketika karier Pak Anton hancur, tetapi tentang penutupan jurusan itu semua akan dibatalkan jika banyaknya peminat yang masuk di tahun ajaran baru ini, karena itulah stmyarat yang di berikan oleh para pemegang saham di perusahaan yang menaungi SMK Haida.
Maka dari itu para murid tak henti hentinya mencoba mempromosikan jurusan KTN kepada masyarakat, terutama Azka yang rajin menguoapload video tentang jurusan KTN dan masih banyak lagi.
Tapi sejak hari demo itu, Teri tak lagi berteman dengan Sesil dan yang lainnya bahkan Qey pun menjaga jarak dengan nya, bahkan Gaidan pun lebih sering menghabiskan waktunya dengan yang lainnya, maka dari itu Teri lebih banyak sendiri, tapi Teri tak bisa berbuat banyak ini semua terjadi juga karena ulahnya.
Hari hari terus berlalu sudah sampai di penghujung tahun, Teri sekarang sudah selesai mengikuti ujian kejuruan dan juga nasional, tak ada yang lebih Teri inginkan selain lulus dengan cepat sekarang.
" Lo ternyata lebih menyebalkan dari yang gue kira selama ini !" Suara Viola terdengar memekakan pendengaran Teri yang saat ini tengah duduk seorang diri di samping gerbang sekolah menunggu jemputan nya datang
Teri sangat malas menanggapi ocehan orang orang yang menyimpulkan sesuka hatinya, para murid KTN tak sedikit yang menjudge nya karena kejadian waktu itu, ditambah Yudam yang terang terangan membencinya. Semua ini bukanlah hal yang mudah untuk Teri lalui seorang diri, karena mereka sama sekali tak akan pernah mengerti bagaimana perasaan Teri saat ini.
Bersambung.....
Penabur Benci
Kedua telingga Gaidan tersumpal dua buah airpod putih yang mengeluarkan alunan melodi berat yang kini menemaninya di malam yang hening ini, sudah kesekian pekan Teri tak lagi mengunjungi rumahnya dan juga tak saling menyapa satu sama lainnya.
Berat bagi Gaidan untuk menghadapi ini semua, Gaidan sama sekali tak menaruh amarah apapun kepada Teri karena Gaidan mengerti bagaimana putus asa nya Teri saat itu hingga menempuh jalan yang salah dan terkesan egois, mereka berteman untuk waktu yang lama ditambah duduk dalam satu meja yang sama.
Berulang kali dia mencoba mencairkan suasana dengan Teri dan mencoba menarik Teri kembali untuk melupakan semua permasalahan yang telah lalu, tapi semua itu sia sia karena Teri yang seolah olah tak ingin kembali baik baik saja.
Drtt drrtt drrtt
Getaran ponsel Gaidan membuat lagu yang tengah asik dia dengarkan terhenti karena adanya telpon masuk dari Dafka, bergegas Gaidan bangun dari posisi nya yang tenggah berbaring santai dan mengangkat telpon nya dengan cepat .
" Halooo !"
"..........."
" Oh boleh "
"............"
" Iya "
Setelah percakapan itu berakhir kini Gaidan bergegas Menganti pakaian nya karena teman teman nya akan datang dalam waktu 10 menit, Gaidan Menganti boxer nya dengan celana panjang hitam dan kaos hitam kemudian keluar dari kamarnya melihat jam dinding. Waktu menunjukan pukul 19:22 itu artinya mereka akan datang sekitar 19:33, maka dari itu Gaidan berniat untuk memberitahu ibunya.
" Buuu!" Panggil Gaidan berjalan kearah ruang keluarga dimana dia tenggah asik menonton televisi bersama dengan nenek.
" Temen Gaidan mau kesini " ucap Gaidan akhirnya dan langsung dianguki oleh Ibunya itu sebagai tanda jika ibunya siap menyambut mereka.
-
4 remaja yang kini tengah mengelilingi minimarket dekat komplek rumah Gaidan untuk membeli cemilan untuk mereka nikmati selama berada di rumah Gaidan, berhubung ini sudah malam jadi mereka tak mau merepotkan orang rumah untuk menyiapkan mereka makanan.
" Keripik rumput laut, sama Nori udah " ucap Sesil kepada Qey yang saat ini bertanggung jawab memegang keranjang belanjaan mereka berempat.
" Rumput, rumput, kambing atau apa " ledek Qey kepada Sesil, karena Sesil bergitu menyukai semua hal yang berhubungan dengan rumput laut
" Ish " Sesil mendengus dan kemudian memeriksa barang belanjaan nya yang berada di tangan Qey, sedangkan Qey hanya berdiri menunggu Sesil selesai dengan urusan nya, saat kedua remaja itu berada di tempat aneka makanan ringan beda hal nya dengan kedua remaja lainnya, yaitu Dafka dan Lili yang sekarang tenggah berdiri di depan tempat es krim.
" Aku yang vanila coklat deh !" Ucap Lili kepada Dafka , Dafka mengangguk dan membawa 2 buah eskrim vanila, 3 es krim mathca dan satu es krim pisang.
Saat hendak memasukan eskrim nya itu kedalam keranjang yang di pegang oleh Lili tiba tiba saja Dafka terdiam, ada satu es krim pisang di tangan nya, itu adalah es krim kesukaan Teri, Nalurinya secara sadar mengingat Teri. Sadar akan hal itu Lili segera mengambil es krim pisang itu dari tangan Dafka dan menaruhnya kembali dengan raut wajah tak bisa di jelaskan.
" Itu kesukaan Teri " lirik Dafka menatap es krim yang disimpan kembali kedalam freezer dengan tatapan nanar, Lili tak menggubris Dafka dan langsung saja melenggang pergi untuk mencari keberadaan Qey dan juga Sesil.
Dafka tak punya pilihan lain dan mengikuti langkah Lili, mereka berempat membayar semua makanan nya dan bergegas memasuki mobil Qey untuk pergi kerumah Gaidan yang tinggal beberapa meter lagi.
Lampu mobil Qey menyala terang di jalan komplek rumah Gaidan karena keadaan yang sepi hening, mereka harus melewati rumah Teri terlebih dahulu sebelum akhirnya sampai di kediaman Gaidan karena jarak rumah mereka yang berdekatan.
Dan saat ini Teri tengah menatap mobil hitam yang terparkir di depan rumah Gaidan dengan perasaan campur aduk, melihat empat orang yang keluar dari dalam mobil itu membuat Teri merasa sedikit kecewa, yang Teri rasakan saat ini mereka berempat merebut satu satu nya teman sejatinya Gaidan, padahal mereka saling mengenal itu juga karena dirinya.
" Gaidan bener bener udah lupa sama temen lama " gerutu Teri yang saat ini menatap mereka saling bercanda di balkon rumah Gaidan.
Teri selalu bertanya kepada dirinya sendiri apakah pantas kesalahan Teri pada saat itu di balas begitu kejam seperti ini, bukan hanya mereka berlima yang membuang dirinya tapi hampir semua menghuni sekolah mengecam nya, Teri hampir tak bisa menampakan wajahnya disekolah karena kejadian itu.
Memang benar yang di ucapkan orang orang tentang seribu kebaikan akan lenyap oleh satu keburukan, mereka semua seolah lupa betapa gilanya pengorbanan Teri untuk jurusan nya , disaat tak seorang pun mendukung nya dan selalu menganggap usaha Teri akan berakhir kegagalan, Teri dengan gigihnya membentuk tim Kapulaga dengan susah payah berusaha menyatukan enam kepala dengan pemikiran yang berbeda.
Tapi kini Teri di buang dan malah selalu disudutkan.
Teri berdiri terlalu jelas untuk tidak dilihat oleh kelima remaja yang tengah bersenda gurau itu, buktinya Gaidan dan Sesil menyadari keberadaan Teri sedari tadi, hanya saja mereka tak berani membuka suara dan memilih untuk mengabaikannya. Sesil sesekali mencuri pandang pada Teri yang menatap mereka dengan diam.
Rupanya itu mengundang perhatian dari Lili dan Lili pun ikut melihat kemana arah pandang Sesil itu tertuju, Lili menolehkan kepalanya dan melihat Teri berdiri disana. Wajah Lili langsung saja terlihat tidak suka
"Kit..kita kedalam yukk" ajak Lili Sesil mengerti apa tujuan Lili berkata seperti itu, tapi Sesil tak bisa berbuat banyak lagi pula Dafka dan Qey menyetujui nya dan mereka pun berjalan bergegas masuk kedalam ruang Gaidan, Sesil tak hentinya menatap Teri hingga dirinya benar benar berada di dalam rumah Gaidan.
Teri yang melihat itu hanya tersenyum kecut dan menghela nafas berat, sebegitu jijiknya kah mereka?
Di dalam rumah Gaidan, Sesil terlihat cangung dan begitupun Gaidan, namun berbanding terbalik dengan Lili dia terlihat senang entah apa alasan nya, sejak hari itu Lili selalu bertindak dan memperlakukan Teri seperti seorang kriminal yang menakutkan untuk didekati
Padahal jika di pikirkan baik baik Lili sama sekali tak punya alasan untuk lebih terluka dari yang lainnya, tapi Lili lah satu satunya yang amat sensitif jika salah satu dari mereka membahas Teri, padahal dalam hati Sesil ingin sekali mengakhiri semua ini dan kembali seperti sebelumnya, karena mereka bukanlah anak anak yang menghadapi semuanya dengan emosi.
" Besok kita bicara sama Teri, gue ngak mau gini terus " tiba tiba Sesil mengatakan itu membuat Lili terkejut.
Bersambung......
YouTube Azka
Yudam berjalan santai setelah selesai memarkirkan mobilnya dan berjalan gontai kearah gerbang sekolah, dia diam sejenak saat sadar orang di depannya itu adalah Teri yang berjalan dengan wajah menunduk dalam. Yudam langsung saja mempercepat langkahnya dan mendahului Teri
Saat mereka berada di posisi bersampingan, Yudam melontarkan kata kata yang membuat Teri terkejut
" Gue nyesel simpati sama Lo !"
Teri terperanjat saat mendengar suara Yudam tepat disampingnya dan kini dia hanya bisa menatap punggung Yudam yang berjalan mendahului nya, ada benturan keras dihati Teri saat mendengar perkataan itu keluar dari mulut lelaki yang dia cintai, mungkin sudah tak ada lagi kesempatan atau pun harapan lagi untuk mencintai Yudam saja rasanya Teri tak berhak.
Teri benci situasi seperti saat ini .Dimana orang orang menatapnya intens
" Kak Teri !" Azka yang berpapasan dengan Teri menyapa Teri dengan riang, memang aneh bukan disaat orang lain memusuhinya karena cerita sepihak yang beredar luas, Azka lah satu satunya adik kelas yang selalu menyapa nya. Teri tersenyum kecil saat Azka menyapa nya
" Kak aku mau bicara sebentar boleh ?" Tanya Azka kepada Teri, entah apa yang akan Azka bicarakan tetapi Teri mengiyakan tawaran Azka itu. Maka dari itu keduanya kini berjalan kearah kursi di depan kelas Azka, Teri duduk bersampingan dengan Azka.
" Kak mau ngak jadi bintang tamu di YouTube aku " Tanya Azka tiba tiba, mendengar itu Teri malah tertawa renyah
" Kalau aku yang jadi bintang tamu, yang ada YouTube kamu banyak yang hujat " ucap Teri mengingat nama baiknya tercoreng akibat ulah anak anak PKM yang menyebar luaskan cerita Teri yang di besar besarkan padahal masalah itu adalah masalah antara Teri dan teman teman nya.
" Kenapa gitu? Justru kita ada dititik ini semua juga ada kerja keras dari kak Teri !" Ucap Azka menyangkal ucapan Terima barusan yang seolah merendahkan dirinya sendiri. Bagi Azka Teri ini adalah seorang perempuan gigih yang sangat menawan jika diperhatikan.
Teri hanya bisa tersenyum kecil saat Azka berkata seperti itu padanya
" Nanti pulang sekolah datang ke studio aku kak, nanti alamatnya aku search Lok sama kak Teri , oke " seolah tak ingin mendapatkan penolakan dari Teri, setelah mengatakan itu Azka bergegas pergi dan tak memberikan Teri kesempatan untuk menimbang tawaran Azka barusan apakah Teri akan menerima atau tidak, intinya yang Azka inginkan adalah Teri hadir tanpa banyak negosiasi.
Trap trap trap
Bunyi suara langkah kaki yang bukan hanya berasal dari sepasang saja, namun ada lima pasang kaki yang kini melewati Teri begitu saja tanpa menoleh sedikitpun, Sesil sempat berkelit untuk menatap Teri tapi tidak dengan yang lainnya mereka menganggap Teri seolah tak ada.
Bahkan belum sepenuhnya Teri menginjakan kaki di dalam sekolah namun semua hal yang menyakitkan menghantam nya bertubi tubi, inikah rasanya dicampakkan.
-
Bel sudah berbunyi sejak lama dan itu tanda yang mengharuskan semua murid berada di dalam kelasnya masing masing tak terkecuali untuk kelas 12 yang sudah tinggal menunggu hasil dari kerja keras mereka semua, namun tetap saja kehadiran mereka masih berlaku, dan disinilah Teri sekarang duduk di samping Gaidan.
Keduanya Diam dan tak ada yang membuka suara, semua murid dikelas nya ribut dan sibuk dengan pekerjaan mereka masing masing, karena setelah pengabsenan guru akan kembali ke kantor dan dari sanalah kericuhan berawal, tapi tidak untuk Teri dan Gaidan yang malah saling diam.
Sesil yang berada di belakang mereka juga turut serta dalam kecanggungan itu, namun rupanya ada hal yang telah Sesil dan Gaidan bicarakan sebelumnya, maka dari itu Sesil mencoba mengkode Gaidan untuk mengingatkan agar segera melakukan tugasnya dengan cara menendang bokong Gaidan
Gaidan yang merasa mendapatkan serangan dari Sesil kini menatap ke arah Sesil, tatapan mata Sesil menunjuk nunjuk punggung Teri yang dimana Sesil menyuruh Gaidan untuk berbicara dengan Teri sesegera mungkin. Gaidan diam saja sedari tadi bukan berarti dia lupa, Gaidan hanya bingung bagaimana akan memulainya karena Teri bagi Gaidan itu adalah sodara perempuan nya, kejadian sepele itu tak akan merubah apapun bagi pertemanan mereka berdua, tapi entah kenapa kejadian ini seolah di besar besarkan oleh orang orang.
" Teri !" Panggil Gaidan yang di jawab dengan lirikkan mata tajam miliki Teri
" Pulang sekolah ada waktu?" Kini Gaidan to the points setelah mendapat raut wajah seperti itu dari Teri
" Pulang sekolah aku ada janji sama Azka !!" Teri berkata sambil berkemas dan beranjak pergi dari dalam kelas.
Kaki Teri perlahan melangkah menjauh meninggalkan kelas dengan hati yang bergemuruh, antara senang dan kesal saat Gaidan mulai mengajak dirinya berbicara lagi, jika boleh memilih, Teri hanya ingin Gaidan yang dulu dan Teri sama sekali tak apa jika tak berteman dengan Dafka,Sesil, Lili dan Qey, asalkan dirinya bisa terus berteman dengan Gaidan.
Bicara tentang Gaidan, dia sekarang tenggah habis di marahi oleh Sesil karena tak bisa membujuk Teri, padahal Sesil sudah sangat lelah berada di situasi ini, dia tak mau ini terus berlanjut hingga mereka lulus nanti
" Gimana sih!, Kalau gini terus kita nggak bakalan pernah akur lagi " gerutu Sesil kepada Gaidan, Gaidan hanya diam merenungkan segala ucapan Sesil. Gaidan juga tak ingin terus terusan seperti ini, tapi apa boleh buat karena Teri sendiri yang membuat benteng diantara mereka
" Kalian kan temenan udah lama, bahkan kaya Upin Ipin, masa sih nggak ada rasa kehilangan " kini Sesil sudah bukan mengerutu lagi dia bahkan sudah marah sekarang, nada bicaranya sedikit lebih tinggi
" Aku juga nggak mau gini terus, Teri cukup penting bagi hidup Aku " ucap Gaidan yang sekarang menundukan kepalanya dalam.
Mendengar itu Lili yang hendak masuk kedalam kelas Gaidan dan Sesil tiba tiba menahan langkahnya, raut wajahnya yang semula ceria tampak kusut dengan kedua tangan yang terkepal kuat
" Teri...Teri...Teri aja di pikiran mereka !!" Ucap Lili sedikit terbata kepada dirinya sendiri, diantara mereka berlima Lili lah yang sangat bahagia dengan situasi ini, karena Lili ingin membuat Teri merasakan rasanya dikucilkan seperti dirinya, dan itupun masih satu dari begitu banyak alasan Lili ingin Teri dijauhi. Alasan paling kuatnya itu adalah Gaidan
Lili menaruh perasaan kepada Gaidan dan tak suka melihat Gaidan bersama Teri, karena Lili tak mau jika sampai persahabatan mereka berubah menjadi cinta, maka dari itu bagaimana pun alasan memang Teri lebih baik tidak usah bersama mereka lagi
Sekarang Lili merubah mimik wajahnya menjadi gadis yang lugu kembali dan menghampiri Sesil serta duduk di sampingnya.
" Teri kayaknya nggak peduli lagi sama kita, buktinya daripada bicara sama kita dia milih tampil di YouTube Azka " celetuk Lili yang membuat keduanya diam
" Emang yah kepopuleran lebih penting daripada temen !!" Tambah Lili lagi yang jelas jelas mencoba membuat jurang.
Bersambung.....
Soto Lamongan
"Emang yah kepopuleran lebih penting daripada temen !!" Tambah Lili lagi yang jelas jelas mencoba membuat jurang diantara mereka.
" Kita cuma telat! Azka ketemu Teri lebih dulu " jawab Sesil masih dengan posisi yang sama yaitu duduk diam dengan tatapan lurus ke depan
" Masih ada besok, kita coba bicara lagi besok " timpal Gaidan
" Lucu yah ! Yang Bu...buat salah siapa yang berjuang buat baikan siapa ?" Ucap Lili yang kini berdiri dari duduknya, dia kesal setelah mendengar pembelaan yang terus saja dilontarkan oleh Sesil dan juga Gaidan untuk Teri, seakan akan Teri itu tak bisa disalahkan meski dia bersalah.
Mood Lili hari ini benar benar hancur, yang bisa dia lakukan sekarang Hanya mengepalkan kedua tangannya untuk berusaha menahan semua emosi yang sekarang tengah bergemuruh di dalam dada nya. Kaki mungil itu kini berjalan dengan sesekali menghentak keras menuju kearah kamar mandi putri yang letaknya tinggal beberapa langkah lagi. Saat Lili sudah berada di dalam kamar mandi ternyata ada dua adik kelas yang juga berada di dalamnya.
" Ehh stt siapa itu cantik banget "
Dengan semu Lili mendengar ucapan adik kelasnya itu tentang dirinya, namun Lili tak mempedulikannya dia langsung saja masuk kedalam bilik kamar mandi sekedar untuk merenung sejenak.
" Cantik yah! Dibanding kak Viola dia lebih cute " ucap siswi yang sama lagi.
" Iya ! Dia itu salah satu tim Kapulaga, ituloh Tim evaluasi yang tampil gantiin jurusan PKM itu " kini giliran siswi dengan rambut panjang membalas ucapan temen nya
" Wah enaknya! , Berarti dia Deket sama kak Qey terus sama kak Gaidan juga ?" Pembicaraan kedua siswi itu terus berlanjut meski bisik bisik, ruapnya mereka berdua menunggu salah satu teman mereka yang sekarang berada di bilik samping Lili.
Bahkan Lili yang semula tak tertarik kini mendengarkan percakapan itu dengan seksama
" Kalau aja kak Gaidan nyatain cinta sama kak Viola udah glow up kaya sekarang pasti diterima "
Deg
Perkataan itu membuat Lili semakin penasaran dan kini memfokuskan dirinya untuk terus menguping pembicaraan adik kelasnya itu karena mereka berdua menyebut nama Gaidan dan juga Viola.
" Iya , waktu itu gue kasian sama kak Gaidan ditolak mentah mentah sama dia "
Gubrak.....
Temen yang sedari tadi mereka tunggu ternyata sudah selesai dengan kepentingannya dan kini menghampiri mereka berdua
" Gosip Mulu, sampe kedengaran ke toilet ujung" ucap teman yang sedari tadi mereka tunggu itu, dan mereka bertiga pun meningalkan Lili seorang diri dengan perasaan syok
Gaidan menyukai Viola ?
Bahkan dia pernah menyatakan cinta pada Viola?, Mood Lili sudah berada dititik terendah hari ini. Seumur hidupnya Lili belum pernah merasa sekacau ini, dengan kasar Lili membuka pintu toilet itu dengan kesal
Lili sekarang berjalan dengan cepat entah kemana arah tujuannya yang jelas Lili berjalan seolah olah tengah diikuti seorang penjahat yang mengincarnya, cepat dengan mata yang berhati hati, tapi kehati hatian Lili seperti nya tak ada gunanya karena Qey dan Dafka melihat dirinya lebih awal.
Qey dengan tas hijau army di pundaknya dan Dafka dengan tas hitam dipungungnya menatap Lili Heran dan sesekali mereka berdua saling pandang
" Mau kemana Lili ?" Tanya Qey kepada Dafka
" Mana aku tahu !!" Jawab Dafka
Tapi tak berhenti disitu yang mereka lihat, kini muncul Teri dan juga Azka yang berjalan beriringan kearah luar sekolah, wajah Qey langsung memerah melihat pemandangan itu giginya bahkan mengertak hebat membuat Dafka yang berada disampingnya merasa tak nyaman.
Dafka tahu saat ini Qey tengah cemburu, karena mana mungkin perasaan bisa hilang dalam waktu yang secepat itu, namun entah Qey yang kecewa atau Qey yang setia kawan hingga dia juga ikut menjauhi wanita yang dia sukai atau mungkin Qey yang terlalu gengsi, entahlah semua itu hanya Qey sendiri yang mengetahui nya.
-
Azka dan Teri yang saat ini tengah berada di dalam aula tempat biasa Azka melakukan syuting untuk channel YouTube nya, ada dua kameraman dan juga satu editor disini yang bekerja pada Azka, mereka menyambut hangat kedatangan Teri dan memperlakukan Teri dengan sangat baik.
" Hari ini kita mau buat soto Lamongan " ucap Azka kepada anggota Tim nya
Sebelum sampai disini Azka dan Teri sudah berunding terlebih dahulu dan juga membeli bahan yang tak Azka miliki untuk membuat soto lamongan, dibantu oleh kameraman Azka yang bernama Danny mereka membereskan bahan bahan untuk memulai syuting nya, Danny ini 4 tahun lebih tua dari Teri, dia juga seorang mahasiswa semester akhir yang berkerja sebagai kameraman Azka.
" Teri santai aja ! Kamu cuma masak aja kayak biasa masalah shoot itu urusan kita " ucap Danny kepada Teri
Teri mengangguk dan sekarang tengah bersiap mengenakan celemek berlogokan channel YouTube Azka, begitupun dengan Azka mereka berdua bersiap untuk memulai syutingnya dengan dibantu team Azka.
Dengan penuh hati hati Azka dan Teri mulai memasak dengan sesekali menjelaskan tentang bahan bahan apa saja yang mereka pakai, serta sejarah singkat makanan tradisional yang mereka masak itu dengan penuh percaya diri, mungkin bagi Azka ini hal biasa tapi tidak dengan Teri.
Meski tampak santai tak bisa di pungkiri dirinya sekarang tengah panas dingin saking gugupnya, Azka yang sadar akan hal itu memberikan kode kepada Teri dengan cara memegang tangan Teri dengan sengaja saat tengah mengiris cabai.
Hampir 3 jam mereka melakukan syuting dan juga bagian ending yang Teri yakini pasti Azka akan mendapatkan komentar kebencian karena hal itu, Teri sempat melarang Azka melakukan hal itu tapi Azka bersikukuh. Dan yang bisa Teri lakukan hanyalah pasrah sekarang.
" Kak ! Udah sore mau aku anterin pulang " Teri yang tengah membereskan barang barangnya sempat terhenti saat Azka menawarkan dirinya untuk mengantar Teri pulang
" Ngak usah ! Lagian udah mesen grab juga " tolak Teri, kali ini Teri berkata bukan hanya alasan tapi dia benar benar telah memesan grab untuk mengantar nya pulang.
" Yakin kak ?" Tanya Azka lagi dan Teri hanya mengangguk menjawab Azka dan kemudian pamit untuk pulang kerumahnya, Azka bilang video itu akan diupload dua hari kedepan.
Teri merasa senang karena dia ternyaa masih memiliki teman, sepanjang hari ini Azka tak luput menguatkan Teri dan selalu berkata jika semua bukan kesalahan Teri, dan Teri tak pantas untuk merasa bersalah, perjuangan Teri yang sekarang mengiring para calon siswa baru memberanikan diri mengekpresikan kegemaran mereka dengan cara membuat Tim Kapulaga yang sekarang cukup populer di kalangan Sekolah Kuliner termasuk juga para pecinta masakan tradisional.
Bersambung......
Obsession
Dua hari berlalu yang ditunggu tunggu akhirnya tiba juga, hari dimana video terbaru Azka kini diupload tepat pada pukul 15:00 yang artinya itu sudah 2 jam yang lalu, Azka beberapa kali mengirim kan pesan kepada Teri untuk memberitahu jika videonya sudah diupload, namun Teri tak berani membukanya hingga saat ini.
Sedangkan ada tiga sisi yang sekarang tengah menonton video Azka, satu diantara adalah Yudam, Yudam saat ini tengah bersama Kean dan juga Viola, mereka menyaksikan video Azka dan juga Teri dengan seksama, tak jarang Viola dan Kean mengomentari penampilan Teri dengan komentar pedas, sedangkan Yudam hanya fokus dengan mata yang terus tertuju kearah layar ponsel nya.
" Judulnya ' Masak bareng member dari tim Kapulaga ' norak banget !" Komentar Viola akan judul yang tertera di dalam video Azka
Kean yang duduk diantara Viola dan Yudam hanya tersenyum mendengar apa yang Viola katakan
" Itu namanya strategi pemasaran, secara kan tim Kapulaga itu bahkan populer dikalangan chef sekolah ini " ucap Kean yang disetujui oleh Yudam.
" Apa? Jangan jangan kalian nyesel ngak tampil waktu itu, dan malah ngasih panggung ke mereka " ucap Viola lagi dengan nada menyindir. Namun bukannya marah Yudam dan Kean malah tertawa renyah menertawakan ucapan Viola.
" Kita nyerahin panggung karena emang gue nggak mau tampil di panggung kecil kayak gitu " jawab Kean masih dengan sisa tawa nya, membuat Viola heran dengan kelakuan Yudam dan juga Kean.
" Lagian mereka populer itu udah dari waktu evaluasi " jawab Yudam
" Tapi lihat aja! Sampe kapan mereka bakalan bertahan disaat satu tim yang sama saling menjatuhkan " tambah Yudam lagi.
Kini tangan Yudam terulur untuk mengetik komentar positif , bahkan menyuruh Viola dan Kean untuk mengikutinya dengan mengunakan beberapa akun yang mereka miliki, entah apa tujuannya tapi Yudam seolah sengaja ingin memenuhi video Azka dengan komentar positif. Maka dari itu sekarang Viola dan Kean pun ikut memenuhi kolom komentar dengan berbagai jenis komentar yang positif.
Disisi kedua Lili yang menonton Teri dengan rasa iri, matanya tak fokus pada video melainkan pada kolom komentar, Lili merasa senang karena tak sedikit komentar negatif yang menyerang Teri, tangan Lili pun mulai tergerak untuk menulis salah satu komentar negatif untuk Teri.
" Hai guys kenalin ini dia yang membentuk tim Kapulaga yang banyak dibicarakan akhir akhir ini di dunia kuliner Tradisional, bahkan chef di sekolah kamipun mengakui kemampuan mereka........."
Lili melihat Azka dengan bangga memperkenalkan Teri sebagai salah satu bahkan pembentuk tim Kapulaga, bahkan Teri saja sudah bukan salah satu dari mereka, tapi dengan tidak tahu malu Teri mempromosikan diri sebagai tim Kapulaga, Lili terus meningalkan komentar jahat di video Azka dengan akun yang berbeda beda.
Tapi sebelum itu Lili membaca komentar positif yang mendukung Teri, tiba tiba datang bermunculan karena sebelumnya hampir 80% komentar berisikan cacian dan juga kritikan pedas, tapi itu bahkan sekarang hampir tenggelam dengan komentar komentar positif yang terus bermunculan
' Teri semangat !! '
' Teri adalah pahlawan yang dilupakan jasa jasanya '
' Teri memasak dengan baik '
' jika jurusan KTN di SMK Haida tidak jadi ditutup , itu semua berkat Teri '
Genggaman jari jemari Lili kian semakin mengencang hebat, Lili membanting kan benda pipih itu ke sofa yang ada di kamarnya karena muak dengan apa yang dia lihat.
" Teri bahkan nggak peduli waktu itu, dia malah balik badan dan pergi "
" Semua orang kenapa bela dia " teriak Lili dengan nada kesal nya.
Lili melemparkan bantal dan juga selimut yang ada di atas kasurnya dengan sembrono, kini dia menatap pantulan wajah cantiknya di depan meja rias miliknya. Wajah cantik dengan hidung mungil mancung itu tersenyum sinis
" Bahkan Adek kelas secara terang terangan bilang aku cantik " ada senyum angkuh yang kini terukir di wajah cantik yang semula tampak polos itu, namun kian detik senyum angkuh itu hadir dengan mata merah berkaca dan kian lama malah menjadi tangisan yang keluar dari bibir Lili.
Tangisan yang memilukan bagi siapa saja yang mendengar nya, namun terdengar menyeramkan saat tawa pun menjadi pengiring tangisan pilu itu, kedua orang tua Lili mendengar demgan jelas tangisan Lili kini mulai mengedor pintu kamar Lili
" Sayang buka, kamu kenapa ?" Tanya Ayah Lili yang disisi lain juga tengah menenangkan sang istri yang terlohat amat sangat khawatir disampingnya
" Lili buka pintu nya " ucap Ayah Lili lagi dengan nada cemas, Lili yang semula menangis kini kian mereda dan membukakan pintu untuk kedua orangtuanya karena Lili paling takut kepada kedua orangtuanya.
Setelah pintu terbuka munculah Lili dengan takut takut menampakan dirinya kepada kedua orangtuanya , Naomi ibu dari Lili lantas menghampiri Lili dengan raut wajah cemas
" Apa apaan? Kamu kenapa ?" Tanya ibu Lili melihat kekacauan dikamar Lili , merasa ada yang tidak beres dengan anaknya Naomi kini menatap suaminya mencoba mencari bantuan untuk menanyai putri mereka
" Ada apa ? Bicara sama kami !! " Bujuk Ayah Lili.
Mendengar itu Lili lantas memeluk Naomi dengan tangis yang kembali pecah, melihat itu kedua orangtuanya semakin bertanya tanya .
" Hiksss hikss aku mau jurusan KTN ditutup !" Secara tiba tiba Lili mengutarakan keinginan nya kepada kedua orangtuanya, karena Lili tahu ayahnya itu adalah orang yang berkuasa, maka dari itu Lili tak mau sampai jurusan itu tetap bertahan dan Teri menjadi pahlawan yang dikenang di SMK Haida. Sebelum itu terjadi Lili ingin menghilangkan semua jejak kebaikan Teri.
Fery ayah dari Lili terbelalak kaget, baru beberapa pekan kebelakang putrinya itu memprotes keras penutupan jurusan KTN, bahkan melibatkan Abram untuk membongkar kebusukan kepala sekolah dan mempertahankan Jurusan KTN, tapi sekarang dia meminta agar Fery menutupnya
Fery tahu putrinya ini naif dan mudah terbakar emosi, Fery mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala Lili di pelukan istrinyaaa
" Kenapa ? Bukanya kamu yang nolak jurusan kamu ditutup ?" Ucap Fery
Tapi tangan Fery ditepis oleh Lili
" Ngakpapa lagian Lili udah mau lulus, pokoknya Lili mau jurusan itu ditutup untuk selamanya " jawab Lili lagi yang justru membuat Fery memijat keningnya
" Tapi semua itu terserah para pemegang saham , lagian jurusan itu sekarang banyak peminat nya " jawab Fery mencoba memberikan pengertian kepada Lili jika dia tak bisa semena mena mengunakan kekuasaan nya.
Bukanya mengerti Lili malah melepas pelukan ibunya dengan kesal dan pergi meninggalkan kamarnya dan juga kedua orangtuanya, Lili marah karena baru kali ini keinginan nya ditolak oleh Fery. Bahkan sebelum pergi Lili mengatakan kepada kedua orangtuanya jika mereka berdua tak perduli kepada Lili.
Bersambung.....
Tiga Sudut Pandang
Kini giliran Qey yang duduk termenung di ranjang nya dengan benda pipih di tanganya menyala dengan volume sedang, rupanya Qey saat ini tengah menonton video dari channel YouTube Azka, Video dimana Teri menjadi bagian dari Video itu. Senyum kecil terbit dari bibir sexy Qey selama video itu berputar.
Manusia mana di belahan bumi ini yang bisa menghilangkan perasaan nya dalam hitungan hari, adakah manusia seperti itu. Karena yang Qey rasakan menahan perasaan seperti itu menyesakan, kita berpura pura tak peduli padahal dalam hati amat sangat merindukan nya.
Qey menonton video itu hingga selesai dan kemudian dia beralih melihat kolom komentar, Qey lega karena melihat ada begitu banyak dukungan untuk Teri, sepertinya Qey tak bisa menahan diri lagi untuk segera bicara dengan Teri, sebelum kelulusan tiba Qey berniat untuk mengungkapkan perasaan nya kepada Teri sebelum benar benar terlambat.
Tangan Qey kini beralih ke galeri ponselnya yang ternyata ada begitu banyak foto Teri yang dia ambil tanpa sepengetahuan Teri, Qey melihat kembali foto Teri dari awal hingga benar benar tak tersisa, Qey tak sanggup lagi menjaga jarak dengan Teri. Semua ini harus berakhir kesalahan Teri hanyalah di besar besarkan oleh orang orang yang memanfaatkan situasi saat ini.
Apapun yang terjadi Qey akan segera memperbaiki hubungan nya dengan Teri, biarlah yang lain tak setuju Qey berniat untuk menyelesaikan semua ini sendiri. Untuk kesekian detik Qey menghela nafas dan juga menaruh benda pipih itu disisinya sementara dia menatap langit langit kamarnya dengan tatapan sendu
Sekelebatan bayangan tentang dirinya yang menjauhi Teri, hingga termakan ucapan orang lain tentang Teri yang memicu rasa benci timbul di hati Qey, tapi saat melihat Teri bersama Azka rasanya ada batu besar yang menghantam hatinya hingga rasanya Qey telah menyia nyiakan perasaan nya dan berdusta pada diri sendiri.
" Sorry " ucap Qey pelan bergumam dengan nada pelan berbicara kepada dirinya sendiri.
Penyesalan itu tak hanya dirasakan oleh Qey saja karena rupanya Dafka pun merasakan hal yang sama, dan itu dia rasakan dari jauh jauh hari. Dafka sama sekali tak merasa jika Teri bersalah saat itu, kebaikan Teri padanya begitu banyak sehingga satu kesalahan saja tak bisa meruntuhkan pertemanan antara Dafka dan Teri.
Dafka menyimpan ponselnya setelah dirinya menonton Teri di Chanel YouTube Azka, ada rasa haru yang kini menyelimutinya saat Azka berkata Teri sebagai pendiri Tim Kapulaga, Dafka masih ingat bagaimana Teri meyakinkan dan berusaha untuk mengumpulkan orang orang dengan pikiran yang berbeda beda menjadi satu tujuan Hinga terbentuk Tim Kapulaga yang kini populer.
Sedangkan dua orang itu tengah berniat ternyata dua orang lainnya kini sudah bertindak, buktinya Gaidan dan juga Sesil sekarang sudah berada tepat di depan pintu rumah Teri dengan makanan ringan di tangan nya Gaidan mengetuk pintu, menunggu pemilik rumah membukakan pintunya Sesil menatap Gaidan khawatir, Sesil takut Teri akan mengusir mereka setelah apa yang terjadi beberapa pekan kebelakang.
Tuk tuk tuk
Untuk kedua kalinya Gaidan mengetuk pintu sebelum akhirnya Teri membukakan pintunya, Teri kaget begitupun dengan dua orang yang lain yaitu Gaidan dan Teri yang kini berdiri kaku di depan pintu rumah Teri yang sekarang sudah terbuka, ada rasa cangung diantar ketiganya sekarang.
Mereka hanya saling melihat satu sama lainnya hingga akhirnya Teri mempersilahkan mereka berdua masuk walau dengan perasaan kikuk mereka kini duduk berhadapan
" Sebentar aku ambil minum dulu " ucap Teri yang sekarang berniat untuk beranjak pergi, namun dengan sigap Sesil segera menahan lengan Teri.
" Ngak usah ! Kita ngobrol aja " ucap Sesil meyakinkan Teri , Teri pun kembali duduk dengan perasaan campur aduk, ada perasaan tak nyaman dan juga senang muncul secara bersamaan.
Gaidan menaruh semua makanan yang dia bawa diatas meja, Gaidan yang sore ini terlihat sangat tampan dengan kaos putih di balut jaket denim dan juga celana jeans hitam nya duduk di samping Sesil yang terlihat bahwa santai dengan jeans putih dan kemeja kotak kotak nya, Gaidan memulai percakapan dengan menayangkan kabar Teri dan dijawab oleh Teri dengan singkat.
Entah perasaan apa yang dia rasakan entah marah, kecewa, lega ataupun cangung semua itu tak dapat di tebak oleh Teri
" Lo boleh pukul gue ! " Sesil berkata dengan tiba tiba membuat Gaidan maupun Teri tersentak, Teri tak mengerti maksud dari ucapan Sesil barusan hanya mengerutkan dahinya.
" Gue salah , karena cuekin Lo Ter. Kita satu kelas dari dulu dan gue baru ngerasa deket sama Lo karena evaluasi. Dan sekarang gue merasa lo itu berharga bagi gue " Sesil menatap Teri dalam dengan tatapan tulusnya
Sedangkan Gaidan di samping Sesil hanya bisa diam, entah apa yang merasuki Teri saat ini hingga matanya berkaca kaca mendengar ucapan Sesil padanya.
" Gue bener bener pengecut ngak berani buka suara saat Lo di salahkan, gue bener bener minta maaf " kini Sesil mengeluarkan segala beban yang mengganjal di hatinya
" Kamu itu bukan hanya teman Ter, kamu saudari bagi aku. Jadi tolong kembali lah Ter " kini Gaidan yang membuka suara
Perkataan terakhir yang Gaidan kontrakan membuat tengorokan Teri tercekat sesak, hingga airmata nya turun begitu saja
" Aku yang minta maaf sama kalian, sempet berpikiran egois dan juga buat semangat kalian hilang " dengan airmata yang menetes Teri susah payah mengucapkan itu, Sesil langsung mendekat dan memeluk Teri
" Ngakpapa, yang penting usaha kita udah mulai membuahi hasil. Buktinya KTN sekarang banyak peminat nya " tangan Sesil mengelus punggung Teri yang bergetar.
Perasaan Teri tiba tiba menghangat dan dia memandang Gaidan sambil tersenyum di dalam pelukan Sesil, Gaidan pun ikut tersenyum melihat itu. Meski mungkin yang lain tak menerima nya Gaidan dan Sesil akan tetap teguh mempertahankan hubungan nya dengan Teri
" yang lain pasti nggak bakalan maafin aku " Teri melepas pelukannya dan mulai merasakan cemas, tapi Sesil malah tersenyum mendengar itu
" Kita berdua bakal terus ada disamping Lo, walau yang lain menolak kita bakalab tetap sama menjadi teman bagi Lo " entah apa yang merasuki Sesil yang semula kekanakan dan hanya mementingkan kebersihan kini berubah menjadi gadis dewasa yang penuh pertimbangan.
Dafka dan Qey berniat untuk mengakhiri semuanya sama hal nya seperti Gaidan dan juga Sesil tapi Lili justru semakin gencar mencari cara gara Teri menjauh dari Gaidan dan juga teman teman nya yang lain. Dalam pikiran Lili saat ini dia tak akan mau berbagi teman lagi dengan Teri, bagaiamana pun caranya Lili akan membuat Teri berada di titik terendah dalam masa remaja nya.
Karena tak adil bagi Lili jika seorang Teri selalu mendapat kan apa yang selalu Lili inginkan, teman dan orang orang yang menyayangi nya, karena Lili sudah memiliki itu sekarang maka tak akan Lili bagi lagi.
Bersambung.....
Duri Dalam Daging ( D3)
Entah sudah saat nya atau tidak bagi Teri kembali ceria lagi, karena hubungannya dengan Sesil yang kini kembali membaik dan kini Teri memulai hari nya dengan berangkat ke sekolah bersama dengan Gaidan lagi.
Gaidan yang sekarang tampak berbeda dari Gaidan yang dahulu dan semua itu berkat Sesil, tapi tak ada yang berubah sama sekali dari Teri meski Sesil sudah berusaha mengubah Teri, akan tetapi Teri nyaman dengan dirinya saat ini, Teri tetaplah Teri yang tak peduli akan penampilan dan fashion seperti yang Sesil sering katakan padanya.
" Duluan aja !" Teri memarkirkan sepeda nya disamping sepeda Gaidan, mendengar Teri menyuruhnya untuk memasuki sekolah lebih dulu Gaidan mengerutkan dahinya
" Kenapa ? " Tanya Gaidan yang merasa jika Teri masih belum memaafkan dirinya hingga berusaha untuk menjauh dari Gaidan
Tapi tentu saja itu tidak benar karena Teri bukan ingin menghindari Gaidan hanya saja Teri ingin menemui Azka sekarang untuk mengucapakan terimakasih untuk semuanya, entah itu karena apa tapi Teri amat berterimakasih karena sekarang Teri tahu masih banyak orang diluar sana yang tak menyalahkan Teri
" Duluan aja , nanti aku nyusul " setelah mengatakan itu Teri sembari berjalan dengan setengah berlari meninggalkan Gaidan seorang diri.
Krek!!
Saat Gaidan hendak memarkirkan Sepedanya tiba tiba saja rantai sepeda Gaidan terputus
" Ya ampun ! Kenapa harus sekarang " Gaidan berjongkok dan mencoba melepaskan rantai sepedanya dengan susah payah hingga suara halus dari mobil hitam milik Viola terdengar jelas disamping Gaidan, mobil hitam itu kini tepat berada di samping Gaidan
Gaidan tahu jika itu mobil Viola tapi Gaidan tak tertarik walaupun hanya untuk melirik nya, Viola yang melihat Gaidan sedari tadi kini diam sejenak di dalam mobilnya dan memperhatikan Gaidan yang tengah berjongkok seorang diri dengan tangan yang terus mengotak ngatik rantai sepeda nya
Melihat Gaidan yang semakin kesusahan Viola pun turun dari mobilnya, Gaidan sedikit merasa aneh saat mendengar Viola berjalan mendekat dan sekarang sudah benar benar berdiri di samping Gaidan , bisa Gaidan lihat kaki putih Viola tepat berada di samping pundaknya dan diapun mengalihkan pandangannya
Viola tak berbicara sedikitpun dia hanya diam melihat Gaidan yang sekarang terlihat fokus, senyum kecil terbit di bibir Viola dan diapun ikut berjongkok dan memperhatikan Gaidan, Gaidan kaget sekaligus risih tapi jantungnya berdegup kencang
" Kenapa ?" Tanya Viola tepat di depan telinga Gaidan, Gaidan yang merasakan getaran aneh saat mendengar suara Viola sedekat itu lantas berdiri dengan spontan
Gaidan kaget saat melihat wajah cantik Viola menghadap padanya, dengan gugup Gaidan membersihkan tanganya dengan cara menepuk nya lalu membungkuk kepada Viola dan perlahan melangkah kan kakinya meningalakan Viola meski pekerjaan nya belum selesai, berada di sekitaran Viola terasa menyesakan bagi Gaidan. Viola yang masih berjongkok hanya melihat kepergian Gaidan dengan bingung namun sedetik kemudian muka Viola memerah dan tersenyum dengan menopang dagu memandang sepeda Gaidan, itu terjadi cukup lama sampai Kean datang dan melihat Viola yang bertingkah aneh
" Waras ?" Kean tiba tiba berada di belakang Viola yang sekarang tengah memandang sepeda Gaidan, Kean bahkan bergidik ngeri melihat Viola bertingkah seperti itu
Saat sadar Kean ada di belakangnya Viola langsung saja bediri dan meningalkan Kean tanpa bicara, Viola merasa sangat malu dan merutuki tingkahnya itu
" Viola Lo gila , ahhh " Viola berjalan dengan sesekali memukul kepalanya sendiri karena bisa bisanya dia lepas kendali saat melihat Gaidan, Viola bahkan tak mengerti ada apa dengan dirinya hingga bertingkah seperti itu tanpa dia sadari.
Tapi Viola tak menafik jika Gaidan kini cukup mengangu pikiran nya, akhir akhir ini bahkan Gaidan selalu datang dalam mimpinya, kadang kadang Viola tak percaya jika dirinya menjadi seperti ini
" Lo gila , bener bener gila " Viola terus mengumpati dirinya sampai sampai banyak orang yang menatapnya aneh, tapi bahkan Viola tak peduli pada hal itu dan terus saja berjalan.
-
Setelah meningalkan Gaidan seorang diri Teri kini telah bersama Azka di lorong sekolah, mereka mengobrol dan juga saling berterima kasih satu sama lainya, Azka berterimakasih karena Teri sudah bersedia tampil di channel YouTube nya, sedangkan Teri berterimakasih karena sepanjang pembuatan video itu Teri tersasar jika selama ini dia butuh sosok teman temannya dan mulai menata pikirannya hingga dia dapat kembali seperti Teri yang dahulu.
" Ini kak !" Tiba tiba saja Azka menaruh amplop ditangan Teri dan membuat Teri terkejut
" Maksudnya " Teri mengacungkan amplop coklat itu kehadapan Azka, dan Azka hanya tersenyum simpul melihat Teri kebingungan seperti itu
" Bukan apa apa , sudah seharusnya kaya gini karena kak Teri itu bintang tamu "
Teri tak pernah membayangkan Azka akan memberikan nya upah untuk pembuatan video berdurasi 15 menit itu, Teri segera berusaha mengembalikan amplop itu kepada Azka tapi selalu Azka tepis
" Kalo kak Teri ngak mau nerima, aku bakalan merasa berhutang sama kak Teri selamanya "
" Karena kak Teri itu bintang tamu bukan sukarelawan, ini ngak mendadak dari awal ini emang udah aku siapin " Azka berusaha menyimpan amplop itu di tangan Teri dan segera berlari pergi agar Teri tak berusaha menolak nya
" Azka !" Panggil Teri tapi Azka terus saja berlari tak menghiraukan panggilan Teri
Tanpa mereka sadari sedari tadi ada sebuah ponsel yang teracung untuk memotret Azka yang tengah memberikan amplop kepada Teri, tapi Teri sama sekali tak menyadari nya dan sekarang malah berjalan kearah kelasnya dengan senyum terukir di wajahnya
Cessssss
Hawa dingin merambat di pipi kiri Teri yang membuat Teri terdiam dan perlahan menolehkan wajahnya kearah kiri dengan gerakan perlahan untuk mengetahui siapa pelaku yang bertingkah seperti ini
Perlahan Teri menoleh dan munculah wajah Dafka dengan senyuman khasnya dan benda dingin yang menempel di pipi Teri itu adalah ice cream pisang yang di beli oleh Dafka untuk Teri
" Kenapa tiba tiba " Teri tersenyum dan mengambil ice cream di tangan Dafka, rasanya aneh saat ini karena Teri tak merasa cangung padahal mereka tak saling bicara untuk waktu yang lumayan lama tapi bagi Teri itu tak berlaku untuk Dafka, Dafka tetaplah teman kesayangan Teri sampai saat ini.
Raut wajah Dafka berubah menjadi riang kemudian mereka berdua saling menatap untuk waktu yang lama kemudian tawa terbit dibibir keduanya, Dafka merasa lega sekarang karena Teri sudah mengerti jika ini adalah usahanya untuk meminta maaf
" Ow lihat kau sekarang, betapa gantengnya " ledek Teri akan penampilan Dafka yang sekarang tampak modis dan itu lagi lagi karena Sesil, Dafka tertawa malu mendengar bualan yang dilontarkan Teri padanya .
Teri membuka ice cream pemberian Dafka dan mereka pun saling tertawa satu sama lain sementara Lili menyaksikan itu di ujung lorong dengan mengepalkan kedua tangannya.
Bersambung.....
Heater
Lili berjalan dengan emosi mencoba mencari keberadaan Sesil untuk memberitahukan tentang Dafka yang kini telah berkhianat pada mereka, Lili berjalan dengan ketukan keras hingga menyebabkan rambutnya ikut terguncang dan itu malah menambah kecantikan dari seroang Lili
Hari kelulusan semakin dekat dan penerimaan siswa baru sudah semakin banyak, buktinya banyak sekali para calon orangtua siswa yang mendaftarkan anak mereka di SMK Haida ini, tak sedikit diantara nya yang memasuki jurusan KTN dan itu membuat Lili Was was karena yang Lili inginkan adalah jurusan KTN berakhir.
Tapi sebelum Lili bertemu dengan Sesil dia terlebih dahulu melihat Qey, langsung saja Lili menghampiri Qey yang kini berjalan dengan helm di tanganya
" Qey !" Sahut Lili, terapi yang dijalani Lili hari demi hari mulai menunjukan hasilnya karena Lili kini tak terlalu terbata dan mulai berbicara dengan lancar.
Qey yang mendengar Lili memangilnya lantas mendekati Lili dan bertanya ada apa Lili memangilnya
" Kamu tau, bisa bisanya Dafka minta maaf sama Teri" Lili berbicara dengan nada mengebu gebu
Qey yang mendengar itu lantas merasa jika Dafka mendahului dirinya untuk menjalin hubungan lagi dengan Teri
" Dimana Dafka sekarang ?" Tanya Qey kepada Lili
" Dia di kelas Teri "
Saat Lili menjawab Qey langsung melangkahkan kakinya dia ingin segera menemui Dafka dan bertanya bagaimana dia meminta maaf kepada Teri, tapi kepergian Qey dengan tergesa itu disalah artikan oleh Lili, sebab Lili mengira jika Qey marah kepada Dafka karena bermain main di belakangnya, walaupun sebenarnya Qey marah karena Dafka mendahuluinya.
Kini Lili berdiri dengan senyuman kemenangan karena dia menantikan Dafka yang menyesali perbuatannya setelah Qey menemuinya.
_
" Dia kayaknya naksir si cupu " Kean duduk di hadapan Yudam yang saat ini tengah berada di kantin sembari menunjuk Viola di samping nya, si cupu yang di maksud Kean adalah Gaidan karena insiden tadi pagi Kean tak henti meledek Viola yang menatap sepeda Gaidan
Viola hanya memutar bola matanya sementara Yudam asik dengan game di ponselnya
" Apaansih Lo nggak jelas " Viola berusaha mengelak semua tuduhan Kean kepadanya, meski benar adanyaa jika dia sempat berbuat hal konyol dengan menatap sepeda butut milik Gaidan
" Alah ngak usah ngelak! Ngapain coba kalo nggak suka deketin si Gaidan tanpa alasan, tadi pagi gue liat " ucap Kean yang membuat pipi Viola memerah
" Lo juga ! Suka sama Sesil kan ?" Viola berkata dengan nada berteriak kepada Kean sampai sampai menarik perhatian beberapa orang yang berada disana
" Standar kalian emang makin rendah, kenapa harus saling mengajatuhkan ?" Yudam merasa pusing dengan adu mulut antara Kean dan Viola yang terus saja dia dengar sedari pagi hingga sekarang
Merasa pengang telinganya Yudam kini Yudam memilih untuk meningalkan keduanya dia berdiri dari duduknya tanpa memperdulikan pertanyaan pertanyaan yang keluar dari mulut Viola dan juga Kean.
Yudam memilih meninggalkan kantin dan berniat untuk kembali ke kelasnya, di perjalanan para siswa menatap Yudam dengan tatapan memuja, karena selain wajah dinginnya yang tampan proporsi tubuh Yudam juga sangat bagus ditambah prestasi yang dia ukirkan.
Drt drt drt
Getaran ponsel disaku Hoodie putih Gaidan menghentikan langkah nya, dia merogoh saku nya dan melihat notifikasi apa yang datang padanya
Saat layar ponselnya menyala bisa Yudam lihat jika itu adalah pesan dari ayahnya, dengan malas Yudam membuka pesan itu.
Pulang sekolah papah tunggu di kantor
Genggaman tangan Yudam pada ponselnya mengetat, rahangnya mengeras, hingga akhirnya Yudam memadukan kembali ponselnya dan kini timbul pertanyaan di dalam pikirannya, ada apa ayahnya yang sibuk itu ingin menemui Yudam.
Ada dua kemungkinan yang timbul di pikiran Yudam, Yudam akan dihukum karena berusaha berontak dari ayahnya atau mungkin Yudam akan dimarahi karena namanya di dunia kuliner kian surut digantikan dengan Tim Kapulaga.
Karena merasa mood nya memburuk Yudam yang semula hendak pergi ke kelas kini berubah haluan, Yudam pergi kearah atap sekolah untuk menenangkan dirinya, satu pesan dari ayahnya itu mampu membuat mood nya hancur. Yudam merasa jika hidupnya bukanlah miliknya karena Yudam selalu dijadikan objek untuk menarik para investor oleh ayahnya dan satu lagi Yudam tidak boleh salah.
Saat hendak berjalan ke atap mata Yudam tak sengaja melihat Qey tengah berhadapan dengan Teri, seketika senyum meremehkan muncul di bibir Yudam
" Dasar Naif !" Setelah mengatakan itu Yudam melepaskan pandangan nya dari Teri dan juga Qey, Yudam kembali melanjutkan langkahnya tanpa peduli pada mereka berdua.
Sedangkan yang dimaksud oleh Yudam kini tengah berhadapan dengan suasana cangung, berbeda dengan Dafka kali ini Teri merasa cangung saat Qey meminta maaf padanya
" Ngakpapa aku yang harus minta maaf " jawab Teri atas permintaan maaf Qey padanya
Qey tersenyum senang saat mendengar jawaban Teri, hatinya serasa akan meledak saat itu juga
" Kalau gitu nanti pulang bareng boleh ? " Tanya Qey
" Tapi aku bawa sepeda " jawab Teri
Qey hanya mengangguk , mungkin dia terlalu buru buru untuk mendekati Teri lagi setelah apa yang terjadi kemarin, sekarang Qey hanya merutuki rasa mengebu nya itu karena pasti membuat Teri tak nyaman
" Em yaudah aku ke kelas duluan " setelah berada di keadaan yang sangat menegangkan akhirnya Teri terbebas dan kini dia kembali ke kelas nya, Teri berjalan santai tapi hatinya serasa bunga yang tengah mekar sekarang.
Teri menginjakan kakinya kedalam kelas dan suara berisik mulai terdengar di telinga Teri karena memang kelasnya ini berisik melebihi pasar tradisional, Sesil dan Gaidan beserta murid lainnya sekarang terlihat mengerubungi meja Teri
" Ada apa ?" Tanya Teri
Mendengar suara Teri membuat Sesil menghampiri Teri dengan semangat
" Liat !"
Sesil menunjukan meja nya yang penuh dengan coklat dan juga makanan ringan ditambah ada surat disetiap makanan itu
" Gaidan kita yang kucel sekarang banyak fans nya " ucap Sesil di selingi tawa geli, sekarang muka Gaidan Semerah tomat karena anak anak di kelas Teri kini mengoda Gaidan.
Teri hanya bisa tersenyum melihat itu semua, Gaidan yang dahulu selalu menempel padanya kini jadi idola karena wajah tampan nya yang kini terekspos nyata tidak tertutup kacamata tebal dan juga baju kedodoran
" Semua ini berkat gue ! Ayo bilang makasih " Sesil berbanga hati dan menyodorkan tangannya pada Gaidan
Tapi itu justru membuat semua isi kelas tergelak, melihat itu Teri merasa jika momen ini akan selalu terkenang dalam hidupnya saat melihat semua orang tertawa.
sementara Qey mulai terpikirkan akan Lili. Lili mungkin saja mengira dia akan memarahi Dafka karena telah berbaikan dengan Teri, Qey Seharusnya menjelaskan semuanya kepada Lili sekarang, tapi melihat begitu banyak kebencian Dimata Lili membuat Qey menarik kembali niatnya.
Bersambung...
Yudam Story
Bugh
satu pukulan keras kini menghantam perut Yudam yang membuatnya tersungkur, seolah tak puas bahkan satu tamparan keras kini ikut mendarat di pipi kiri Yudam, ayah Yudam itu kini membuka jas hitamnya dan menggulung kemeja nya keatas serta membuka kancing kerahnya
" Bangun !" Ucapnya dingin
Yudam yang kini merasakan keram di perutnya berusaha untuk menegakan dirinya dan kembali bangkit, sebenarnya bisa saja Yudam membalasnya lebih dari apa yang dia dapatkan. Hanya saja mengingat jika ayah nya ini merupakan orangtua tunggal yang membesarkan nya, kenyataan itulah yang selalu menghalangi Yudam
" Bagus! Saham kita anjlok, restoran dan hotel sepi gara gara pemberontakan bodoh ini " ayah Yudam kesal saat mengingat betapa cerobohnya Yudam yang sudah merelakan pertunjukan kecil yang menguntungkan kepada Tim Kapulaga.
Tapi rupanya itu disengaja oleh Yudam karena dia tau di acara itu banyak sekali investor di perusahaan ayahnya yang kini mulai berkurang, maka dari mereka tunggu Yudam sengaja memberikan pertunjukan itu kepada Tim Kapulaga sebagai pembalasan Yudam kepada ayah nya itu. Ayah Yudam terlihat sangat marah sekarang dengan dada yang naik turun menahan emosi nya.
Hari memang sudah sangat sore dan Yudam masih duduk dengan wajah tertunduk disertai lebam akibat pukulan keras ayah kandungnya itu, sementara Yudam yang masih terdiam kini Frans berbenah diri, dia memakan kembali jas serta kacamata nya dan meningalkan ruangan itu dengan marah meningalakan Yudam seorang diri.
Blammm
Suara pintu terbanting keras, setelah kepergian ayahnya kini Yudam bangkit dengan mata yang memerah dan juga rahang mengeras menandakan jika Yudam kesusahan mengontrol emosinya sekarang, dalam pikiran Yudam sekarang hidup nya seakan berakhir dirinya bahkan tak diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan atas dirinya sendiri, semuanya hanya tergantung pada satu orang yaitu Frans Awiryo .
Drtttt
Di tengah penampilan nya yang berantakan, kemeja mahal yang Yudam kenakan kini terkoyak serta kusut, wajah tampan nya penuh luka dan lebam, serta harga dirinya jatuh tak tertolong lagi ditambah satu pesan yang membuat Yudam semakin tertekan. Satu pesan yang tak lain dikirim kan oleh Frans padanya.
Kembalikan keadaan seperti semula!kamu harus buktikan ucapan Mu, jika kamu itu bukan pembawa sial.
Pesan singkat itu benar benar membuat amarah Yudam meletup Sampai ke ubun ubun, hidup 10 tahun dalam keadaan seperti ini, keadaan yang selalu menekan dan merugikan Yudam dalam segala sudut pandang.
Jika saja 10 tahun yang lalu ibunya tak mengakhiri hidupnya mungkin Yudam tak semenyedihkan ini, Yudam yang kehilangan ibunya sekaligus di salahkan karenanya oleh ayah nya kandung sendiri selama bertahun-tahun dan dicap pembawa sial itu bukanlah perkara kecil, karena buktinya hati Yudam menjadi dingin membeku dan mati rasa.
" Aaaarghh " Yudam meremas rambutnya dan berteriak sekencang yang dia bisa.
Sore itu saksi jika Yudam yang sempurna hanyalah sebuah topeng pertunjukan di dunia yang kejam ini, semua kesempurnaan itu adalah alur yang sudah diatur tanpa kehendak tubuhnya sendiri melainkan isi pikiran orang lain.
Yudam terduduk mengingat jika dirinya sedari kecil tak pernah sedikitpun merasa dicintai dengan tulus, semua orang hanya tersenyum di depannya lalu membuang muka jika tepat di belakang nya, tak ada yang menyapa nya menrangkulnya hanya sebagai seorang Yudam yang hatinya penuh dengan Luka bukan sebagai Yudam yang sempurna, Yudam tak berharap lukanya ini sembuh karena Frans pasti akan menorehkan luka yang baru di saat luka yang lainnya mengering.
Tapi kadang pula Yudam ingin lukanya ini berkurang, namun semua itu hanyalah keinginan semu karena Yudam yakin semua orang yang hidup merasakan luka meski dengan perkara yang berbeda.
Hampir 2 jam Yudam merenung di ruang kerja Frans hingga sebelum akhirnya dia membawa helm nya yang tergeletak dan mulai pergi meningalakan ruang kerja itu, para karyawan Frans menyapa Yudam dengan sopan meski sekarang Yudam memakai helm full face yang menutupi wajahnya.
" Bocah itu nggak sopan banget " bisik salah seorang karyawan kepada temannya
" Namanya juga anak bos "
Mereka mengomentari dan menggunjing Yudam karena tingkahnya, akan tetapi Yudam memakai Helm tak lain hanya ingin menutupi lukanya. Tapi seperti yang sudah Yudam tanamkan pada dirinya jika dunia ini sandiwara yang penuh kebohongan.
-
Kini motor sport hitam itu melaju dengan kencangnya meski tak punya arah tujuan, pengemudi di balik kaca hitam itu hanya terus menarik pedal gas nya tanpa rasa takut, dia tak gentar sedikitpun meski harus menubrukan dirinya sendiri.
Yudam si pengemudi yang dimaksud sekarang butuh untuk meluapkan emosinya Namun emosi itu semakin menjadi jadi saat kemacetan terlihat di depan matanya, mau tak mau Yudam kini menginjak remnya dengan keras hingga terdengar bunyi decitan.
" Sialan "
Yudam berhenti diantara padatnya mobil dan motor yang tak beraturan, meski hari sudah mulai gelap kendaraan kendaraan ini bukannya semakin berkurang tetapi semakin bertambah memenuhi jalanan kota.
Titttttt ttttttt
Suara klakson mobil di depan Yudam cukup mengagetkan beberapa pengendara yang lain termasuk Yudam, tiba tiba mobil putih itu membunyikan klakson nya nyaring. Yudam yang penasaran tetapi berusaha tak mencari tahu hanya berlagak tak peduli pada peristiwa ini, akan tetapi sepeda yang dilempar cukup memekakan penglihatan nya.
Ya itu memang benar , tapi bukan masalah sepedanya melainkan manusia yang mengendarai nya, Teri. Yudam melihat Teri sekarang sedang di caci maki oleh pria pengendara mobil putih itu , rupanya Teri menggores mobil itu dengan sepeda bututnya
" Dasar ndeso!, Ngapain pake sepeda butut kaya begini di tengah kemacetan " teriak pria yang berkisar berusia 20 tahunan itu.
Jalanan mulai bergerak laju dan Yudam hanya melewati Teri tanpa berniat untuk membantunya, bagi Yudam mereka tak sedekat itu untuk saling melindungi, jadi Yudam sama sekali tak peduli pada urusan Teri
Dan sekarang Teri tak henti-hentinya meminta maaf pada lelaki itu, lalu muncul dua orang lainnya dari dalam mobil putih itu menghampiri Teri, salah satu diantara nya adalah perempuan dan langsung menyerah Teri dengan cara melemparkan air pada tubuh Teri.
Bukan nya melarang kedua pria itu tertawa ringan dan tak merasa bersalah sedikitpun.
" Lo bisa ganti ?, Jika dilihat sih kaya nya ngak bakalan mungkin " ucap pria yang baru saja datang
" Kayaknya nggak ada jalan lain buat ganti rugi ini!" Wanita itu menunjukan jarinya kearah mobil yang tergores cukup panjang itu
"Lo harus jual diri deh kayaknya " sambungnya lalu semua tertawa kecuali Teri, dia tertunduk takut dan merasa bersalah. Mungkin bagi mereka ini hanya gertakan saja tapi bagi Teri itu sangat mengejutkan.
" Heh pada ngapain !" Seorang pengendara menegur mereka yang sedang berkumpul , mendengar seseorang menyapanya wanita itu langsung merangkul Teri
" Ngak pak ini temen saya sepedanya rusak "'ucap wanita itu, tanpa menelusuri lebih lanjut pengendara itu pun percaya dan pergi mencari tahu dan menigalkan Teri.
Tak berselang lama ketiganya berbisik satu sama lainnya dan menatap Teri
" Masuk !" Pria berjaket hitam itu membukakan pintu
" Mau ngapain " tanya Teri ragu, namun mereka tak menjawab dan malah mendorong Teri untuk masuk membuat Teri tak punya pilihan lain,
Gappp
Tangan Teri tiba tiba saja ditarik dan membuat semua yang berada disana terkejut karena kehadiran seseorang.
Bersambung.....
Harga Diri dan Iba
Gappp
tangan Teri dicekal oleh seseorang yang sekarang menatap mereka dengan tajam membuat ketiganya termasuk Teri kaget akibat dengan sentuhan tiba tiba itu, mulai pria berbaju putih itu memalingkan muka mencoba melihat siapa yang hadir ditengah tengah mereka saat ini, gadis yang mendorong Teri itu seketika menatap kedua teman prianya dan merasakan aura mencekam diantara tiga lelaki yang saat ini saling menatap sinis.
"Qey!" Cicit Teri pelan
Rupanya dia adalah Qey yang tidak sengaja melihat Teri dan menghampiri dengan cemas, dengan sekali hentakan Qey menarik tangan Teri sehingga tubuh Teri terhuyung menubruk dadanya, entah darimana Qey ini dia terlihat berantakan dengan Hoodie hijau tosca yang basah dengan keringat, gadis yang disamping Teri mundur saat mengetahui jika sepertinya akan terjadi baku hantam sebentar lagi, pria gondrong yang sekarang malah tertawa dan sempat sempatnya meludah di hadapan Qey saat melihat tingkah herois dari Qey yang hendak menyelamatkan Teri.
"Apa?" Tanya pria itu
"Sultan ayo cabut!" Gadis itu tampak was was dan coba menarik baju pria gondrong yang dia panggil dengan nama Sultan itu
Bugh
Sultan bukanya mundur saat teman nya itu menarik bajunya keras namun dia malah menghantam rahang tampan milik Qey, Teri kaget bukan main saat ini dan berusaha menopang tubuh Qey yang tersentak kebelakang akibat pukulan Sultan yang sangat keras, sekarang senyum meremehkan terbit dari wajah kedua lelaki itu namun tidak dengan gadis yang sekarang jantungnya berdetak hebat karena kaget.
"Ndree!!" Sultan mengisyaratkan kepada teman nya yang memakai baju putih itu untuk menjelaskan semuanya pada Qey setelah Qey diam tak berkutik saat ini dengan Teri disampingnya yang mulai mengigil ketakutan
"Lo liat! Gue cuma mau cewek norak ini ganti rugi" Andre menunjuk goresan di mobilnya dengan penuh penekanan dia berkata jika Teri tak akan pernah sanggup membayarnya dan terus melontarkan hinaan kepada Teri yang membuat Qey semakin geram
Dari ketiga lawan nya itu hanya ada satu orang yang merasa tak nyaman saat ini, yaitu gadis itu. Dia beranjak dan masuk kembali kedalam mobil saat kedua temannya itu berdebat hebat dengan Qey saat ini seolah keberanian nya yang semula merusak Teri itu lenyap tak tersisa
Andre dan Sultan semakin lama semakin menjadi jadi bahkan mereka mencaci Qey dan Teri dengan ucapan tak pantas bahkan para pengguna jalan memusatkan fokusnya pada mereka saat ini dan berlalu dengan mata tak lepas dari mereka semua
Qey diam membisu dengan amarah di kepalanya saat melihat Teri ketakutan dan menunduk dalam bersembunyi di balik punggungnya, saat ini Qey diam saja bukan karena takut untuk membalas perbuatan mereka padanya, jangan lupakan fakta jika Qey ini anak dari seorang Intel hebat dan jangan diragukan lagi seberapa mahirnya Qey dalam urusan bela diri, hanya saja mengingat ini adalah tempat umum Qey menahan diri karena opini publik lebih menakutkan daripada Sultan dan Andre
"Gara gara sepeda butut Lo, sekarang gue yang repot!" Sultan berteriak kepada Teri meluapkan kekesalannya
"Mobil Lo juga butut!" Tiba tiba Qey berbicara lancang pada Sultan namun dengan nada pelan berbeda dengan Sultan
"Lo juga kayaknya miskin, nggak mampu benerin tuh mobil sendiri" dengan gaya khasnya Qey yang selalu santai dia berbicara dengan sembrono membuat Teri dibelakangnya terkejut dan juga merasa khawatir
"Ahahahaha" Andre dan Sultan tertawa getir tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh seorang Qey pada mereka
"Lo !!" Tangan Andre sudah melayang di udara namun dia urungkan niatnya melihat sekarang mereka sudah menjadi tontonan dilampu merah, dengan peluang itu Qey mendekatkan bibirnya kearah telinga Sultan dan membisikan sesuatu kepadanya
"Gue tau Lo lagi mabok sekarang!" Bisik Qey
"Lo Taukan sanksi bagi pengendara mabok?" Tanya Qey yang membuat Sultan menggertakan giginya kesal.
Teri menarik Qey untuk menjauh dari Sultan karena dia merasa jika itu berbahaya, tapi anehnya Sultan menarik teman nya Andre untuk segera masuk kedalam mobil tanpa bicara apapun, sebelum pintu mobil itu benar benar tertutup Sultan terlebih dahulu melirik Qey dan melakukan mobilnya itu sekencang mungkin
Dari semua kejadian itu rupanya Yudam menyaksikan semuanya diatas motor sportnya itu, Yudam merutuki keputusannya yang berbalik arah untuk membantu Teri dan harus menyaksikan drama murahan mereka berdua, dan konyolnya itu Yudam saksikan hingga benar benar selesai
"Gila" ujar Yudam pada dirinya sendiri lalu kemudian menutup kembali kaca helm full face nya itu dan mulai kembali menyalakan mesin motornya dan melesat untuk menemui Kean dan anggota tim nya saat ini.
Yudam kacau tapi ada satu hal yang lebih kacau yaitu Tim nya, nama tim nya itu hampir tenggelam dan sebelum Yudam menaikan popularitas nya untuk membuat ayahnya itu senang maks Yudam terlebih dahulu harus menaiki posisi semula sebagai seorang bintang sekolah tak peduli apapun yang harus dia lewati akan Yudam jalani karena ini menyangkut harga dirinya yang selalu diinjak injak oleh Ayahnya
Maka dari itu Yudam mendatangi tempat ini, rumah mewah yang selalu mereka sebut markas ini adalah rumah Kean yang tinggal sendiri dengan delapan orang pembantu sebab Kean adalah seorang anak dari orangtua yang sibuk, ayahnya seorang pembinis pariwisata yang selalu berada diluar kota sedangkan ibunya seorang sosialita yang selalu pergi berlibur dengan teman teman nya
Yudam memarkirkan motornya dan membuka helmnya, sebelum dia turun Yudam mengusapkan tangan nya kebelakang rambutnya guna merapikan rambut yang semula berantakan karena helm nya itu dan Kean menyaksikan semua itu dan Kean mulai berpikir jika saja ada anak gadis disini mungkin sudah pingsan jejeritan melihat Yudam saat ini yang tampak keren dengan wajah babak belurnya itu.
"Woy" Kean berjalan menyapa Yudam dan Yudam pun memberikan helm yang semula dia pegang itu kepada Kean membuat Kean dengan reflek menerima nya sedangkan Yudam berjalan santai mendahului Kean masuk kedalam rumah nya
"Ada apa nyuruh kumpul tumben" tanya Kean mencoba mengejar Yudam
"Ada yang mau gue omongin"
"Ini tentang Tim kita" tungkas Yudam yang membuat Kean mengerutkan dahinya dan mulai merasakan jika Yudam yang dahulu mungkin sudah kembali, seseorang yang ambisius dan memiliki harga diri yang tinggi setalah beberapa akhir ini dia berubah menjadi pria bodo amat dan sangat toleran membuat dia terlihat lemah
Kean mendahului Yudam yang sedang berjalan dan menatap mata Yudam dengan seksama dengan helm hitam miliki Yudam di tangannya
"Tumben mikirin tim, bukan nya Lo bilang nggak peduli karena kita udah mau lulus" Kean mencoba merekap ucapan Yudam beberapa waktu yang lalu
"Gue bisa lulus dengan tenang jika Tim kita tetap nomor satu seperti sebelumnya"
"Dan itu artinya Tim Kapulaga harus punah" Yudam dengan amat serius mengatakan semu itu kepada Kean.
Bersambung.....
Team Yudam Kembali
Asparagus's Team back
Satu kalimat itulah yang sangat cocok dengan pembahasan enam orang remaja itu saat ini, dimana Yudam sebagai pemimpin menekankan agar Tim nya kembali bangkit setelah sekian lama tengelam karena popularitas Tim Kapulaga
"Lo kok tiba tiba berubah?" Tanya Franda yang merasa jika sikap Yudam terus saja berubah ubah, kemarin saat mereka semua bersemangat Yudam malah terkesan acuh tak acuh dan bahkan menyerahkan pertunjukan mereka kepada Tim Kapulaga, tapi sekarang seakan akan ada api dimatanya saat mengatakan tim ini harus kembali
"Kita sudah cukup melunak sama mereka"
Tringgggg
Suara dari ponsel Viola menghentikan fokus mereka semua yang kini berganti kearah Viola, dia segera mengecek pesan apa yang masuk dan dari siapa pengirimnya.
Viola membaca pesan itu yang ternyata dari ibunya, isi pesan itu mengatakan jika acara kompetisi memasak bergengsi akan mengundang SMK Haida untuk menjadi bintang tamu dan rencana nya pihak sekolah akan mengirimkan Tim terbaik yang akan mewakili sekolah
Mata Viola membelalak saat melihat semua isi pesan itu dan memberitahukan kepada teman teman nya tentang informasi besar yang dia dapat, semua orang yang ada disana terkejut sekaligus merasa tertantang untuk menjadi Tim terbaik yang akan di kirim ke acara itu
"Ini gila!, Kayaknya keberuntungan berpihak pada kita" dengan penuh percaya dirinya Kean merasa jika Tim merekalah yang dimaksud dengan Tim terbaik itu
Yudam diam seribu bahasa, mungkin ayahnya sudah mendengar kabar ini dan apapun yang terjadi Yudam harus tampil di acara itu karena jika tidak harga dirinya akan terluka lagi.
***
Qey membawa Teri menaiki motor matic yang saat ini tengah Qey kenakan, dengan helm kebesaran Teri duduk diam di kursi penumpang dengan pikiran gelisah memikirkan bagaimana nasib sepeda yang dia tinggalkan itu. Sementara Qey tak bisa menyembunyikan senyumnya dengan dada berdegup kencang saat ini, saking senang nya Qey bisa membonceng Teri kembali setelah sekian lama
Angin sore menerpa tubuh mereka berdua dengan lembut hanya kebisingan kota yang saat ini mereka dengarkan tak ada percakapan apapun diantara keduanya, dalam hati Teri bertanya akankah orang orang tadi menemuinya kembali untuk memberi perhitungan atas apa yang baru saja terjadi, jika itu benar maka kepada siapa Teri harus meminta pertolongan
"Kita kerumah Gaidan" Teri sedikit tersentak mendengar suara bariton Qey yang bertanya padanya secara tiba tiba. Sebenarnya tujuan Teri pun sama yaitu mengunjungi rumah Gaidan setelah membeli voucher internet namun nasib buruk mempertemukan Teri dengan tiga manusia itu
Sementara di sisi lain di kediaman Gaidan yang sudah seperti markas bagi Tim Kapulaga sudah ada Sesil, Gaidan, Dafka dan Lili yang menunggu mereka berdua. Lili duduk diam dengan senyum palsu yang sengaja dia paksakan. Dress selutut bermotif bunga yang sekarang Lili kenakan itu membuat dirinya tampak seperti putri kecil yang baik hati, maka dari itu penampilan Lili dapat menutupi kebusukan nya
Suara motor matic Qey kian terdengar mendekat dan langsung saja Gaidan dan Dafka berlari untuk melihatnya sementara Sesil kini duduk di samping Lili
"Teri kok belum kesini?" gumam Sesil kepada dirinya sendiri dengan mata menatap rumah Teri dari balik jendela rumah Gaidan yang terbuka, ucapan Sesil itu terlalu keras untuk tak di dengar oleh Lili yang tepat disampingnya dan langsung saja Lili berupa pura tak peduli meski dia sanggar kesal saat ini
"Eh"
Lili melirik saat Sesil yang tiba tiba memekik menatap pintu, rupanya itu Qey yang disusul Teri dibelakang nya, Lili mengerutkan dahinya merasa heran kenapa mereka bersama. Berusaha mengontrol ekspresinya Lili menyambut Teri seolah dirinya yang paling bahagia melihat Teri saat ini
Lili berlari menghambur kearah Teri dan memeluknya erat dengan gigi mengertak kesal, tapi berbeda dengan Teri yang merasa tersentuh dan terharu dengan sikap Lili bahkan teman teman mereka yang lain tersenyum senang melihatnya
"Kenapa meski balik lagi, semua udah nyaman tanpa kehadiran kamu Teri" kira kira seperti itulah yang sekarang ada dihati Lili.
"Teriiii"
Seruan Anjani melepaskan pelukan antara Lili dan Teri digantikan oleh Anjani yang memegang tangan Teri dengan kencang
"Kemana aja? Kamu berantem sama Gaidan?"
"Ibu nyariin kamu, kenapa jarang kesini?"
Anjani memberondong Teri dengan pernyataan yang tak ada habisnya, dan entah wajar atau tidak karena Lili sekarang merasa cemburu melihat Teri di perlakukan seperti itu oleh Anjani
"Kalian duduk dulu ayo, ibu bikinin minum"
Anjani pergi kembali dan Teri kini duduk disampingnya Sesil dan juga Lili yang duduk disampingnya, Dafka yang saat ini tengah menceritakan tentang bisnis ibunya yang kian melesat akibat kepopuleran dirinya bahkan Dafka tak henti hentinya memuji dirinya sendiri akan hal itu.
Teri tertawa lepas melihat tingkah Dafka, sudah lama rasanya hingga Dafka yang semula pemurung dan berpikiran kolot sekarang menjadi secerewet ini. Hati Teri menghangat berada di tengah tengah orang yang bisa membuat kita menjadi dirinya sendiri itu memanglah nyaman yang tak ada duanya
Anjani tiba tiba datang dengan nampan di tangannya, enam buah gelas cantik berisikan cairan coklat itu diletakkan dengan apik diatas meja
"Ini teh nya minum"
"Kecuali ini wedang spesial buat Teri, kebetulan ibu buat tadi tapi tinggal satu gelas, kalau ada yang mau ibu bakalan buat lagi" tawar Anjani setelah memberikan gelas dengan isi yang berbeda kepada Teri
"Nggak usah Bu, ini aja cukup"
Perkataan Sesil dibenarkan oleh semuanya kecuali Lili, dia meminum teh hangat itu seolah tak ada hari esok dengan mata yang getir. Lagi lagi ini terjadi hal yang membuat Lili merasa muak alam Teri
Orang biasa yang sama sekali tak menarik di mata Lili itu selalu saja dinomor satukan, mungkin untuk hal lain Lili tak peduli, tapi ini selalu berhubungan dengan Gaidan pria yang dia cintai, bagi Lili ini adalah kali pertama dia menaruh hati kepada seorang lelaki oleh karena itu tak lucu jika cinta pertama nya ini berakhir tragis karena gangguan Teri
Meskipun pada kenyataanya cinta pertama memang tak pernah berhasil, tapi obsesi Lili akan Gaidan itu sudah di level mengila bahkan seperti nya dia rela mempuh jalan apapun untuk mendapatkan Gaidan
"Lili"
Lili tersentak saat sadar semua orang memanggilnya keras, rupanya mereka merasa kaget melihat Lili meneguk Teh yang masih mengepul itu tanpa beban sama sekali, bahkan setelah dikagetkan lah bibir Lili terasa perih dan panas
"Kamu nggakpapa?" Semua orang kaget melihat Lili sekarang karena mereka yakin Lili saat ini tidak baik baik saja.
Bersambung....
Maksud Tersirat
Lili kemudian mencoba mengelak dengan berkata jika di baik baik saja, padahal hati dan bibirnya sekarang rasanya terbakar hangus melihat adegan di depan nya ini, semua orang mendekati dan mencoba menarik perhatian Teri seolah olah Teri ini adalah pahlawan yang baru saja pulang dari Medan perang dengan membawa kabar kemenangan
"Sepeda kamu dimana sekarang?"
Lili pun menatap sengit saat Gaidan menanyakan sepeda Lili dengan penuh rasa khawatir, Qey dan Teri menceritakan semua hal yang dia alami saat perjalan kerumah Gaidan, semua orang khawatir dan merasa cemas kecuali Lili yang tak hentinya mengulum senyum palsu
"Tapi untung ada Qey"
Sesil dan Dafka yang sedari tadi menempel kepada Teri membelakangi Lili seorang diri, yang Lili pikirkan saat ini adalah Teri merebut posisinya, biasanya yang berada di antara Dafka dan Sesil itu adalah dirinya, yang paling di perhatikan biasanya adalah Lili tapi dengan kembalinya Teri membuat Lili kembali sendirian, semua ke khawatiran Lili tentang kembalinya Teri itu benar benar terjadi
Tringgggg
Getaran ponsel Lili yang membuat Lili segera membuka pesan dari ayahnya itu dan membaca nya dengan seksama, tiba tiba rasa kesal Lili bertambah parah saat melihat apa yang Ayah nya itu kirimkan. Sebuah undangan untuk tampil sebagai bintang tamu di acara kompetisi masak bergengsi
Buru buru Lili menaruh dan menyembunyikan fakta itu dari teman teman nya, jangan sampai mereka tahu tentang ini, jangankan datang keacara itu bahkan sekarang rasanya Lili ingin menghancurkan jurusan KTN agar tak melihat senyum terbit kembalinya di wajah Teri
"Sesil besok jadi kerumah aku yah!"
"Hah?, Oke"
Lili berniat untuk segera pulang karena merasa tak ada gunanya tetap berada disini disaat semua orang hanya fokus kepada Teri seorang
"Hati hati" ucap semuanya
Mendengar itu Lili tersenyum kecut mengetahui reaksi mereka, tak ada yang bertanya ataupun menahan kepergian nya sama sekali, dengan mencoba berpura pura tersenyum Lili akhirnya bangkit dan melemgos malas. Meningalkan lima orang itu yang sekarang tengah asik mendengar kan kisah Teri dan Qey saat perjalan menuju rumah Gaidan
Lili berjalan keluar dan mencoba mencari supir yang dia bawa, seorang pria paruh baya yang siap sedia mengantar Lili kemanapun Lili pergi dan sekarang dia sama sekali tak terlihat batang hidungnya, Lili mencoba memeriksa dari kaca mobil Honda jazz berwarna putih miliknya untuk melihat apakah Mang Hendra ada di dalam mobil itu
Lili menempel kan mata indahnya itu kearah kaca mobil untuk melihat Mang Hendra yang ternyata tengah tertidur santai di jok penumpang, dengan sabar Lili mengetuk kaca mobilnya dengan pelan
"Mang..mang Lili mau pulang"
Baru satu sahutan itu mang Hendra yang berada di dalam mobil terbangun kelabakan dan berusaha membuka pintu mobilnya dengan perasaan campur aduk
"Non maaf pisan saya ketiduran"
Wajah mang Hendra menunduk dalam takut takut Lili marah dan mengadukan semua ini kepada Ayahnya, tapi semua itu berbanding terbalik Lili malah tersenyum dan menyuruh Mang Hendra untuk segera memarkirkan mobilnya.
Lili duduk di kursi penumpang sementara Mang Hendra menyetir dengan penuh hati hati, Lili merogoh ponselnya dan melihat pesan yang dikirim kan oleh ibunya. Naomi memberitahukan dengan penuh rasa bangga bahwa SMK Haida di undang menjadi juri di kompetisi memasak bergengsi yang saat ini tengah banyak di gandrungi para penonton di tanah air.
"Mang bisa cepet!" Pinta Lili lembut kepada Mang Hendra.
Mobil Itu melesat dengan kecepatan yang lebih tinggi, disepanjang perjalanan Lili tak tahan untuk segera meluapkan segala keluhan yang akan dia layangkan kepada orangtuanya, mereka benar benar tak mendengarkan apa yang Lili katakan saat itu, jika Lili tak mau lagi KTN tetap ada, Lili ingin membuat Teri merasa gagal dan hancur saat jurusan itu ditutup secara resmi.
Lili ingin melihat Teri merasakan rasa bersalah seperti dirinya dahulu karena bagi Lili tak adil jika Teri terus hidup bahagia dan dikelilingi oleh orang yang sayang padanya.
Lebih dari 20 menit akhirnya Lili sampai dirumahnya dan langsung saja menyerbu pintu dan menenayakan keberadaan Fery kepada para pelayan yang berlalu lalang
"Ada apa ?" Naomi turun saat mendengar putrinya itu seperti orang yang cemas
"Papah mana?" Tanya Lili kepada Naomi dan Naomi hanya menunjuk sebuah ruangan dengan pintu tertutup rapat, tanpa basa basi Lili langsung berlari kearah nya disusul oleh Naomi
"Pah!"
Lili membuka pintu yang membuat Fery yang tengah berkutat dengan komputer nya itu terperanjat kaget menatap Lili heran
"Aku udah bilang kan pah, kalau aku mau jurusan KTN ditutup!"
Fery memijat keningnya pening dan bertanya dalam hati kenapa putri nya ini belum juga melupakan keinginan nya itu, Fery pikir saat itu Lili mengatakan hal yang sama karena tengah bertengkar dengan teman nya dan akan membaik seiring berjalan nya waktu, tapi itu ternyata salah.
"Sayang kamu bikin papah bingung"
"Lili!" Naomi mengajak Lili untuk meningalkan tempat kerja Fery tapi Lili menolak
"Papa tau kan?, Mereka semua jahat sama aku, tapi papah malah dengan bangga daftarin Tim Kapulaga untuk ikut di acara itu" Lili mulai memanas dengan mata memerah
Fery yang merasa tak paham kini menatap Naomi dengan mata seolah mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi
"Aku baru aja pulih dari trauma aku, dan sekarang aku harus ngalamin trauma lagi karena semua yang mereka lakukan sama aku"
"Papah jangan menyesal kalau terjadi sesuatu yang buruk sama aku karena kalian nggak pernah denger apa yang aku takutkan"
Apapun yang bisa membuat ayah nya itu berubah pikiran akan Lili lakukan meski harus mengarang cerita seperti ini, toh itu tidak sepenuhnya salah jika Lili yang selalu tersakiti
Kedua orang tua yang tengah bimbang itu kini diam seribu bahasa, mereka senang karena Lili yang sekarang tak semenyedih kan dahulu, dia mulai berbicara dan juga bergaul maka dari itu mereka tak mau kehilangan semua itu dan akan berusaha untuk mempertahankan nya, tapi keinginan Lili kali ini sungguh tak masuk akal karena dia ingin menutup jurusan yang menaunginya dan coba dia selamatkan tappi sekarang dia ingin menghancurkan nya.
Lili menunggu respon orang tuanya yang hanya diam tak bersuara, dengan kesal Lili keluar dari ruang kerja Fery dengan membanting pintu keras keras dan membuat dua orang didalam nya kaget
Naomi merasa sedih melihat kepergian Lili dan menatap suaminya dengan khawatir, sementara Lili masuk kedalam kamarnya dan menjambak Jambak rambutnya hingga beberapa helai jatuh ke lantai marmer di kamarnya.
Bersambung...
Rangkaian Langkah
Fery menatap layar ponselnya bimbang dengan apa yang akan dia lakukan saat ini, haruskah dia mengadakan rapat saham dan membahas tentang penutupan jurusan KTN yang mulai mengudara saat ini. Sisi lain hati Fery berkata tidak tentang hal yang akan dia tempuh ini, tapi melihat putrinya mengurung diri perasaan Fery sebagai ayah tentu saja terluka.
Jika di pikirkan lagi mungkin ini permintaan pertama Lili setelah sekian lama menjadi anak pemurung dan selalu menutup diri, sekarang Lili kembali ke dirinya yang semula dan Fery jelas tak ingin kehilangan itu semua
Blammm
Naomi datang dengan wajah cemas menemui Fery di dalam kamar yang terlihat mewah serta luas itu, Naomi cemas karena Lili yang mengurung dirinya
"Gimana ini mas?" Sebagai seorang ibu perasaan Naomi sekarang terluka, dari semalam Naomi mengatakan kepada Fery untuk menuruti keinginan putri semata wayang nya itu tetapi Fery banyak menimbang dan membuat Lili merajuk
"Turutin aja deh mas, lagian kan jurusan KTN itu udah sepi peminatnya " Naomi kini duduk di samping Fery
"Nggak bisa gitu!, Tahun sekarang banyak murid baru yang ngambil jurusan itu, ditambah anak kita dan teman teman nya bernaung disana"
"Tapi liat anak kita mas!"
"Kita nggak bisa turutin kemauan dia begitu saja, mas yakin Lili sedang ada masalah dan kita biarin dia selesain sendiri dan nggak boleh biarin Lili gunain kekuasaan kayak gini"
Jawaban terakhir Fery membuat Naik sedikit kecewa karena Fery tak menuruti kemauan Lili, lagi pula bagi Naomi sekolah itu ditutup sekalipun tak akan membuat perusahaan nya bangkrut karena sekolah itu hanya secuil dari begitu banyak aset yang dia miliki.
Naomi sekarang menatap Fery kesal dan melengos untuk kembali membujuk putri nya
"Kamu!" Seru Fery pelan saat melihat kini Naomi pun ikut merajuk.
Naomi sekarang berdiri di depan pintu kamar Lili dan mengedor pintu jati itu dengan tangan nya yang halus, jarang disadari jika sebenarnya hati ini terluka parah saat melihat anaknya merajuk atau keinginan nya yang tak terpenuhi disitulah seorang ibu merasa gagal dan mulai menyalahkan dirinya sendiri.
"Sayang buka!, Kamu nggak barangkat sekolah?"
"Lili"
"Nak, kamu jangan bikin mamah sedih dong"
Sahutan demi sahutan yang dilayangkan oleh Naomi makin lama makin parau terdengar, airmata nya mulai mengenang di pelupuk mata dan kini tangis nya pun pecah. Lili yang saat ini tengah mengulung tubuhnya dengan selimut seketika berdiri saat mendengar suara isakan tepat di depan pintunya
Lili kaget tak menyangka ibunya itu akan menangis dan mulai berdiri serta berjalan menuju arah pintu, Lili membuka pintu itu pelan karena takut jika ibunya itu akan marah besar dan menangis kencang.
Tapi yang terjadi saat ini adalah Naomi yang berdiri dengan airmata mengalir menatap Lili dengan lega, segera Lili dipeluk erat oleh Naomi serta kecupan mendarat di wajah Lili dan kembali Naomi memeluknya. Lili sedikit tersentak saat ini karena tak menyangka ibunya akan bereaksi berlebihan seperti ini, padahal apa yang dia lakukan hanya untuk mengertak Fery agar mau menurutinya.
"Mah!, Papah nggak peduli sama aku kan?"
Naomi menggeleng dan membawa Lili untuk duduk kembali diatas ranjangnya, Naomi menanyakan alasan kenapa Lili sampai meminta bantuan Fery untuk melawan teman teman yang dia katakan selalu berbuat jahat padanya karena sebelumnya Lili tak pernah melakukan hal seperti ini.
"Aku capek mah, semua orang di KTN menonjol sedangkan aku tersisihkan dan kesepian karena semua orang membenci ku"
Lili mendramatisir keadaan dan membuat ibunya itu merasa jika tindakan yang Lili lakukan itu sudah benar, mereka harus tau siapa anak nya itu, Pewaris tunggal dari Fery Husodo.
***
"Lili nggak masuk?"
Gaidan bertanya kepada Dafka yang saat ini menghampiri nya dengan riang karena baru saja mendengar kabar menyenangkan yang datang dari guru olahraga kesayangan mereka tentang undangan untuk menjadi juri tamu di acara masak bergengsi
"Nggak kayaknya"
"Kenapa dia sakit?" Tanya Gaidang kepada Dafka, tapi karena Dafka dan Lili tidak berada di kelas yang sama maka Dafka pun tak mengetahuinya, Gaidan bingung kemana Lili sudah dua hari dia tidak masuk sekolah.
"Dan udah tau belum kalau kita direkomendasiin buat jadi juri tamu di Next Best Chef"
Next Best Chef adalah kompetisi memasak yang sudah tayang di televisi sebanyak Sembilang musim dan acara itu sangat populer belakangan ini, maka sebuah kehormatan bagi Tim Kapulaga dan Asparagus jika bisa sampai ikut serta dalam tayangan tersebut, tapi sayangnya dari dua Tim unggulan itu hanya satu saja yang bisa berpartisipasi di acara itu, maka dari itu mereka harus kembali berhadapan untuk memilih siapa yang terbaik diantara keduanya dan layak menjadi perwakilan SMK Haida.
Gaidan mengangguk tanda dia mengetahui kabar itu, Dafka dan Gaidan saat ini berdiri linglung di kantin dengan bingung karena Qey, Teri dan Sesil belum juga terlihat batang hidungnya
Semua orang yang ada di kantin mendadak riuh membuat Dafka dan Gaidan mencari sebab dari kericuhan yang terjadi itu, rupanya disana Viola berjalan dengan santai memasuki kantin KTN tanpa beban sedikitpun. Dafka menatap wajah Gaidan yang saat ini berubah menjadi murung dan menundukkan kepalanya dalam melihat kedatangan Viola.
"Ngapain dia kesini"
Dafka berbisik pelan kepada Gaidan, disaat semua orang ricuh dengan kedatangan Viola tapi Gaidan justru seolah tak peduli dengan itu dan entah apa yang Viola pikirkan saat ini karena dia menentang bahaya dengan memasuki wilayah anak anak KTN.
"Wow jalang PKM ngapain repot repot kesini" seru Ana teman sekelas Dafka yang terkenal tombol itu menghadang Viola yang sepertinya ingin menghampiri Gaidan.
"Awas nggak Lo!"
"Owww liat guys dia so berani padahal sendirian"
Ana mendorong pundak Viola berulang kali hingga Viola pun mundur beberapa langkah kebelakang karena dorongan Ana Yang lumayan keras bagi seorang perempuan berbadan kecil seperti nya, semua murid KTN mulai mengerubungi Viola dan juga Ana.
Sorakan terdengar semakin heboh dan Dafka kini merasa dalam situasi yang aneh karena Gaidan yang sepertinya merasa tidak nyaman saat ini, bisa dilihat dahinya yang mengerut dan juga tatapan yang gelisah
Semakin lama Viola akhirnya tersulut emosi dan berakhir dengan pertengkaran sengit khas perempuan yaitu saling menjambak satu sama lain
"Awas ngak Lo! Tangan Lo lancang banget" Viola teriak saat rambutnya kini berada di cengkraman Ana
Gaidan yang sedari tadi menahan diri akhirnya ikut turun tangan dan menghampiri Ana, jangan tanya seberapa populer nya Gaidan di jurusan KTN karena saat dia melangkah semua murid yang berkerumun menepi. Gaidan memegang lembut tangan Ana dan membebaskan rambut Viola dari cengkraman Ana.
Meskipun Ana adalah siswi yang tombol tapi pesona Gaidan dapat memasukan siapa saja, setelah Ana melepaskan dengan perasaan tak rela kini Gaidan mengapai tangan Viola dan membawanya keluar dari wilayah KTN, saat tangan kekar Gaidan mengapai tangan Viola, maka seketika amarah itu lenyap digantikan dengan senyuman kemenangan.
Bersambung......
Fery menatap layar ponselnya bimbang dengan apa yang akan dia lakukan saat ini, haruskah dia mengadakan rapat saham dan membahas tentang penutupan jurusan KTN yang mulai mengudara saat ini. Sisi lain hati Fery berkata tidak tentang hal yang akan dia tempuh ini, tapi melihat putrinya mengurung diri perasaan Fery sebagai ayah tentu saja terluka.
Jika di pikirkan lagi mungkin ini permintaan pertama Lili setelah sekian lama menjadi anak pemurung dan selalu menutup diri, sekarang Lili kembali ke dirinya yang semula dan Fery jelas tak ingin kehilangan itu semua
Blammm
Naomi datang dengan wajah cemas menemui Fery di dalam kamar yang terlihat mewah serta luas itu, Naomi cemas karena Lili yang mengurung dirinya
"Gimana ini mas?" Sebagai seorang ibu perasaan Naomi sekarang terluka, dari semalam Naomi mengatakan kepada Fery untuk menuruti keinginan putri semata wayang nya itu tetapi Fery banyak menimbang dan membuat Lili merajuk
"Turutin aja deh mas, lagian kan jurusan KTN itu udah sepi peminatnya " Naomi kini duduk di samping Fery
"Nggak bisa gitu!, Tahun sekarang banyak murid baru yang ngambil jurusan itu, ditambah anak kita dan teman teman nya bernaung disana"
"Tapi liat anak kita mas!"
"Kita nggak bisa turutin kemauan dia begitu saja, mas yakin Lili sedang ada masalah dan kita biarin dia selesain sendiri dan nggak boleh biarin Lili gunain kekuasaan kayak gini"
Jawaban terakhir Fery membuat Naik sedikit kecewa karena Fery tak menuruti kemauan Lili, lagi pula bagi Naomi sekolah itu ditutup sekalipun tak akan membuat perusahaan nya bangkrut karena sekolah itu hanya secuil dari begitu banyak aset yang dia miliki.
Naomi sekarang menatap Fery kesal dan melengos untuk kembali membujuk putri nya
"Kamu!" Seru Fery pelan saat melihat kini Naomi pun ikut merajuk.
Naomi sekarang berdiri di depan pintu kamar Lili dan mengedor pintu jati itu dengan tangan nya yang halus, jarang disadari jika sebenarnya hati ini terluka parah saat melihat anaknya merajuk atau keinginan nya yang tak terpenuhi disitulah seorang ibu merasa gagal dan mulai menyalahkan dirinya sendiri.
"Sayang buka!, Kamu nggak barangkat sekolah?"
"Lili"
"Nak, kamu jangan bikin mamah sedih dong"
Sahutan demi sahutan yang dilayangkan oleh Naomi makin lama makin parau terdengar, airmata nya mulai mengenang di pelupuk mata dan kini tangis nya pun pecah. Lili yang saat ini tengah mengulung tubuhnya dengan selimut seketika berdiri saat mendengar suara isakan tepat di depan pintunya
Lili kaget tak menyangka ibunya itu akan menangis dan mulai berdiri serta berjalan menuju arah pintu, Lili membuka pintu itu pelan karena takut jika ibunya itu akan marah besar dan menangis kencang.
Tapi yang terjadi saat ini adalah Naomi yang berdiri dengan airmata mengalir menatap Lili dengan lega, segera Lili dipeluk erat oleh Naomi serta kecupan mendarat di wajah Lili dan kembali Naomi memeluknya. Lili sedikit tersentak saat ini karena tak menyangka ibunya akan bereaksi berlebihan seperti ini, padahal apa yang dia lakukan hanya untuk mengertak Fery agar mau menurutinya.
"Mah!, Papah nggak peduli sama aku kan?"
Naomi menggeleng dan membawa Lili untuk duduk kembali diatas ranjangnya, Naomi menanyakan alasan kenapa Lili sampai meminta bantuan Fery untuk melawan teman teman yang dia katakan selalu berbuat jahat padanya karena sebelumnya Lili tak pernah melakukan hal seperti ini.
"Aku capek mah, semua orang di KTN menonjol sedangkan aku tersisihkan dan kesepian karena semua orang membenci ku"
Lili mendramatisir keadaan dan membuat ibunya itu merasa jika tindakan yang Lili lakukan itu sudah benar, mereka harus tau siapa anak nya itu, Pewaris tunggal dari Fery Husodo.
***
"Lili nggak masuk?"
Gaidan bertanya kepada Dafka yang saat ini menghampiri nya dengan riang karena baru saja mendengar kabar menyenangkan yang datang dari guru olahraga kesayangan mereka tentang undangan untuk menjadi juri tamu di acara masak bergengsi
"Nggak kayaknya"
"Kenapa dia sakit?" Tanya Gaidang kepada Dafka, tapi karena Dafka dan Lili tidak berada di kelas yang sama maka Dafka pun tak mengetahuinya, Gaidan bingung kemana Lili sudah dua hari dia tidak masuk sekolah.
"Dan udah tau belum kalau kita direkomendasiin buat jadi juri tamu di Next Best Chef"
Next Best Chef adalah kompetisi memasak yang sudah tayang di televisi sebanyak Sembilang musim dan acara itu sangat populer belakangan ini, maka sebuah kehormatan bagi Tim Kapulaga dan Asparagus jika bisa sampai ikut serta dalam tayangan tersebut, tapi sayangnya dari dua Tim unggulan itu hanya satu saja yang bisa berpartisipasi di acara itu, maka dari itu mereka harus kembali berhadapan untuk memilih siapa yang terbaik diantara keduanya dan layak menjadi perwakilan SMK Haida.
Gaidan mengangguk tanda dia mengetahui kabar itu, Dafka dan Gaidan saat ini berdiri linglung di kantin dengan bingung karena Qey, Teri dan Sesil belum juga terlihat batang hidungnya
Semua orang yang ada di kantin mendadak riuh membuat Dafka dan Gaidan mencari sebab dari kericuhan yang terjadi itu, rupanya disana Viola berjalan dengan santai memasuki kantin KTN tanpa beban sedikitpun. Dafka menatap wajah Gaidan yang saat ini berubah menjadi murung dan menundukkan kepalanya dalam melihat kedatangan Viola.
"Ngapain dia kesini"
Dafka berbisik pelan kepada Gaidan, disaat semua orang ricuh dengan kedatangan Viola tapi Gaidan justru seolah tak peduli dengan itu dan entah apa yang Viola pikirkan saat ini karena dia menentang bahaya dengan memasuki wilayah anak anak KTN.
"Wow jalang PKM ngapain repot repot kesini" seru Ana teman sekelas Dafka yang terkenal tombol itu menghadang Viola yang sepertinya ingin menghampiri Gaidan.
"Awas nggak Lo!"
"Owww liat guys dia so berani padahal sendirian"
Ana mendorong pundak Viola berulang kali hingga Viola pun mundur beberapa langkah kebelakang karena dorongan Ana Yang lumayan keras bagi seorang perempuan berbadan kecil seperti nya, semua murid KTN mulai mengerubungi Viola dan juga Ana.
Sorakan terdengar semakin heboh dan Dafka kini merasa dalam situasi yang aneh karena Gaidan yang sepertinya merasa tidak nyaman saat ini, bisa dilihat dahinya yang mengerut dan juga tatapan yang gelisah
Semakin lama Viola akhirnya tersulut emosi dan berakhir dengan pertengkaran sengit khas perempuan yaitu saling menjambak satu sama lain
"Awas ngak Lo! Tangan Lo lancang banget" Viola teriak saat rambutnya kini berada di cengkraman Ana
Gaidan yang sedari tadi menahan diri akhirnya ikut turun tangan dan menghampiri Ana, jangan tanya seberapa populer nya Gaidan di jurusan KTN karena saat dia melangkah semua murid yang berkerumun menepi. Gaidan memegang lembut tangan Ana dan membebaskan rambut Viola dari cengkraman Ana.
Meskipun Ana adalah siswi yang tombol tapi pesona Gaidan dapat memasukan siapa saja, setelah Ana melepaskan dengan perasaan tak rela kini Gaidan mengapai tangan Viola dan membawanya keluar dari wilayah KTN, saat tangan kekar Gaidan mengapai tangan Viola, maka seketika amarah itu lenyap digantikan dengan senyuman kemenangan.
Bersambung......
Aula 1 Angkatan
Gaidan melepaskan tangan Viola tepat di depan gerbang KTN dan menutupnya tanpa bicara sampai Viola menatap tak percaya dengan apa yang Gaidan lakukan. Kini dirinya dan Gaidan tersekat pagar besi yang menjulang tinggi, Viola menatap Gaidan dengan perasaan tak karuan ditambah rambut dan seragamnya yang kusut akibat ulah Ana.
"Pulang!"
Setelah mengatakan itu Gaidan melengos pergi meninggalkan Viola yang masih dilanda kebingungan, Viola sebenarnya sengaja ingin mengetes apakah Gaidan masih menyukainya atau tidak, dan dari apa yang dilakukan oleh Gaidan hari ini membuat Viola merasa menang dan menyimpulkan jika Gaidan memang masih menyimpan perasaan kepadanya.
Entah apa yang akan Viola lakukan selanjutnya bahkan dia tak malu sedikitpun untuk terang terangan mendekati Gaidan setelah dengan habis habisan menghina perasaan Gaidan kepada nya, mungkinkah ini karma yang didapat oleh Viola.
Sementara Gaidan diam dibalik tembok menatap kepergian Viola, bagi Gaidan yang dia rasakan sudah tak penting lagi, Gaidan harus fokus pada usahanya kali ini untuk lulus dengan terhormat di SMK Haida ini, masalah Wanita bukan lah yang utama meski kadang bayangan Viola masih terus berseliweran disekitar nya.
"Pengumuman untuk seluruh kelas 12 untuk segera menuju ke aula, sekali lagi untuk kelas 12 diharap menuju Aula!"
Semua murid kelas 12 serentak berjalan kearah Aula, mau itu KTN ataupun PKM mereka semua kompak memasuki Aula karena yang di panggil itu adalah kelas 12 keseluruhan tanpa embel embel nama belakang jurusan mereka, maka dari itu disinilah semua murid kelas 12 berkumpul.
Teri berlarian dengan Sesil yang mencoba menyusulnya sedangkan Dafka dan Qey mencoba mendekati Gaidan yang tampak berjalan seorang diri
"Lo ngakpapa, kata Dafka Lo berantem sama Viola" tanya Qey kepada Gaidan yang hanya di jawab gelengan kepala oleh Gaidan, Dafka rupanya menceritakan kejadian di Kantin kepada Qey tapi itu justru membuat Qey salah paham kepada Viola dan menuduhnya yang bukan bukan
"Hey sini!!"
Sesil tiba tiba menarik tangan Dafka untuk menyeret agar mereka bertiga ikut bergabung dengan Teri dan juga Sesil, mereka berlima duduk di bagian tengah barisan dari jurusan Anak KTN, sementara disamping mereka tepat sekali barisan Yudam dan teman teman nya termasuk juga Viola dan Kean.
Kedua Anggota kelompok dari jurusan yang berbeda itu saling mengacuhkan satu sama lain, termasuk juga Viola yang harus bisa mengontrol ekspresi di depan Yudam dan juga Kean. Riuh terdengar di aula tertutup dengan 300 siswa lebih ini kini diam tak bersuara saat segerombolan guru datang dengan dipimpin oleh wakil kepala sekolah.
"Ada apa ya?" Tanya Sesil kepada Teri tapi jangan kan menjawab karena Teri pun tak tahu apa yang akan mereka lakukan di aula ini
"Tes!"
Seluruh murid dipersilahkan untuk duduk dilantai dengan alas Kertas koran, sementara para guru berdiri di depan, Wakasek yang kini mengambil alih micropone dan mulai memimpin acara
"Selamat siang anak anak?"
"Siang"
"Tinggal beberapa langkah lagi kalian akan segera menjadi alumni dari SMK Haida ini, tapi sebelum itu benar benar terjadi Bapak ingin menyampaikan kabar gembira dan merupakan finalti bagi SMK Haida nantinya"
Semua murid diam mendengar Wakasek berbicara panjang lebar dengan maksud jika finalti yang dimaksud itu adalah mengirim perwakilan kelas 12 untuk menjadi juri tamu di The Next Chef. Dan ada yang berbeda dari yang sempat mereka pikirkan saat ini karena tiba tiba saja Asparagus Tim dan juga Kapulaga di panggil kedepannya oleh Wakasek .
Mendengar itu menimbulkan banyak pertanyaan yang kini memenuhi pikiran ke 300 murid yang ada disana, Gaidan dan yang lain mau tak mau berdiri dan berjalan kearah depan disusul oleh Asfargus Tim yang dipimpin oleh Yudam, suara riuh tepuk tangan memekakan telinga siapa saja yang mendengar nya
"Kita semua tahu perjuangan Tim Kapulaga dalam mempertahankan jurusan KTN hingga akhirnya menemukan titik terang dan dikenal lebih luas oleh masyarakat, dan kita semua juga tahu betapa mengudaranya Tim Asfargus selama menjadi siswa di SMK Haida, maka dari itu bapak mengumumkan jika perwakilan untuk hadir di The Next Dhef adalah kedua tim ini yang akan digabungkan menjadi satu Tim "
Ucapan Wakasek kali ini mengundang kontroversi antara murid KTN dan PKM karena sebagian mereka tidak setuju jika Kapulaga harus bersatu dengan Asfargus menjadi Tim yang sama, Wakasek juga menambahkan jika dari 12 orang yang berdiri di depan ini hanya akan berangkat 6 orang dan itu artinya kedua Tim harus merelakan anggotanya tersisih
Yudam menatap semua anggotanya yang tak merasa senang dengan keputusan Wakasek ini, tapi bukan hanya mereka sebab Yudam pun tak terima dengan semua ini. Karena harus nya Tim Asfargus lah yang berangkat karena Tim mereka yang lebih dahulu dikenal bukan nya Tim seumur jagung seperti Tim anak KTN.
Tiba tiba Wakasek mendekat kearah mereka dan berdiri diantara Yudam dan Gaidan
"Bubar dari sini kalian berdua menghadap bapak"
Kedua pemuda tampan itu mengangguk santun kearah Wakasek, saat Wakasek pergi pandangan mereka tak sengaja bertemu. Yudam yang seperti biasa mengunakan mata elang nya untuk mengintimidasi siapa saja yang dia anggap pengangu karena bagi Yudam Tim Kapulaga ini benar bebar menganggu.
Sesil dan Teri senang mengetahui itu, bagi mereka meski tak lengkap formasi mereka setidaknya bagian dari mereka bisa pergi dan juga keputusan ini semoga saja menjadi titik terang agar tak terjadi perselisihan lebih dalam antara KTN dan PKM, tahun baru akan segera dimulai dan murid baru di kedua jurusan itu sempat bisa membuat perubahan.
Mereka menyiapkan segalanya untuk tampil di acara The Next Chef dan juga seminar yang diberitakan oleh Chef terkenal yang diundang untuk menjadi pengisi acara berkumpulnya satu angkatan dengan dua jurusan yang bermusuhan itu. Chef Hidden, kedatangan nya yang tak diduga membuat para murid mengila pasalnya Chef muda dan tampan itu kini benar benar berdiri dihadapan mereka.
Semua murid kelas 12 SMK Haida merasa senang bukan main dengan kejutan pihak sekolah kepada mereka dengan menghadirkan Chef Hidden Maka kebahagian itu dirasakan juga oleh Lili sekarang, usaha nya tak dia dia karena buktinya Fery akan segera mengelar rapat pemegang saham untuk membahas penutupan Jurusan KTN, Fery yang sudah dekat dengan Tim Kapulaga itu benar benar merasa bersalah karena keputusan nya ini, entah apa yang merasuki putrinya hingga menjadi seorang pendendam seperti sekarang ini.
Tuk tuk tuk
"Pak rapat akan segera di mulai" Sekertaris Fery memberitahukan agar Fery bersiap untuk rapat pentingnya hari ini.
Bersambung......
Nainura
Fery berjalan dengan gagah memasuki ruang rapat yang terlihat disana para pemegang saham yang sudah menunggu lama, Fery berdiri disamping cahaya infokus yang menyala dan juga micropone yang tepat berada di depan bibirnya, sempat melirik Sekertaris nya yang sekarang memberikan sinyal agar Fery segera memulai rapatnya.
"Selamat Siang! Semua"
"Siang"
Dengan penuh kharisma Fery memulai pembicaraan mengenai penghapusan beberapa aset yang dianggap tidak menguntungkan dan pemborosan dana pemeliharaan, daripada itu terus berlanjut lebih baik aset itu dihentikan pengoperasian nya. Dengan santai Fery menjelaskan power points yang dia buat untuk mempresentasikan maksud dan tujuan dan dibentuknya rapat ini, Fery mulai membacakan apa saja usaha yang akan dia hentikan dan salah satu nya adalah Jurusan KTN di SMK Haida.
Saat nama SMK Haida di sebut tiba tiba seorang pemegang saham mengangkat tangannya, melihat itu Fery pun menghentikan aktivitasnya dan mempersilahkan laki laki yang masih terlihat remaja itu untuk bertanya
"Kenapa hanya satu jurusan, kenapa tidak satu sekolah saja kan itu bisa memotong banyak dana Pemeliharaan"
Fery tersenyum mendengar pertanyaan pemuda itu, dia sudah memperkirakan apa yang akan ditanyakan oleh para pemegang saham padanya dan salah satunya adalah pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Dengan santai Fery menjelaskan beberapa peluang yang bisa ditingkatkan pada jurusan PKM yang berbasis pendidikan ekternal.
Fery juga menambahkan jika peminat jurusan PKM membludak setiap tahun nya, dengan pembiayaan yang tidak sedikit dari banyak siswa tentu saja akan menaikan harga saham perusahaan yang dia pimpin, dengan lihai Fery berusaha mencari argumen untuk membuat para pemegang saham yakin akan keputusan nya.
Semua peserta rapat menganguk paham dengan apa yang di bicarakam oleh Fery, mereka berusaha membuat keputusan sebelum pengambilan voting dilakukan entah setuju atau tidak dengan keputusan Fery.
Untuk beberapa saat para pemegang saham berdiskusi dan menimbang bimbang apa yang akan mereka pilih, mereka semua tak bisa sembarangan mengambil tindakan karena iniemyangiit uang yang mereka investasi kan, bagiamana pun jangan sampai penutupan jurusan ini menjadi konflik yang membuat turunnya harga saham di perusahaan yang Fery pimpin
Satu persatu orang orang mulai berjalan kedepan dan memberikan suara mereka. Fery hanya bisa melihat semua itu dengan mencoba tersenyum ramah padahal dalam hati dia juga merasa sedih karena harus mengubur perjuangan Anak anak KTN yang sampai rela mendepak kepala sekolah nya sendiri hanya untuk keadilan.
Bahkan saat itu Fery ikut serta dalam demo KTN dan mencari tahu kebusukan kepala sekolah untuk menegakan keadilan bagi putrinya, dan sekarang dia meruntuhkan apa yang coba dia sangga dengan alasan yang sama yaitu putrinya. Putrinya Lili yang sekarang tumbuh cantik dan naif tengah meminta bantuan nya.
****
Ke sebelas murid unggulan itu kini digiring menuju ballroom meningalkan teman teman seangkatan nya yang masih tetap berada di Aula untuk mengikuti seminar persiapan masa depan yang diadakan oleh sekolah dengan mengundang Chef terkenal datang ke sekolahnya, kesebelas siswa ini diaping oleh empat guru untuk melakukan penyisihan kelayakan tampil di The Next Chef.
Maka disinilah mereka berada di dalam ballroom yang sudah tak asing lagi, Tim Kapulaga dan Tim Yudam Asfargus kini saling berhadapan. Chef Rasya turut hadir saat ini untuk memberikan pengarahan kepada kedua Tim ini
"Oke anak anak kumpul!" Chef Rasya mengisyaratkan agar kesebelas anak itu mendekat.
Chef Rasya mengatakan agar Kedua Tim bersiap untuk melakukan battle dan menyerahkan semua menu yang akan mereka buat berupa olahan ikan mentah, disaat Chef Rasya menjelaskan Teri memperhatikan sekelilingnya dan merasa tidak adil jika mereka berkompetisi tanpa kehadiran satu anggota Tim mereka yaitu Lili, maka dari itu Teri tiba tiba mengacungkan tangannya yang sontak membuat ucapan Chef Rasya terhenti dan semua perhatian tertuju padanya.
"Iya Teri ada pertanyaan?"
"Chef Anggota kami tidak lengkap saat ini bagaimana kita semua bisa battle tanpa Lili, Lili juga berhak kan tampil di The Next Chef karena dia bagian dari Tim Kapulaga"
Sesil, Dafka dan yang lain nya menyetujui perkataan Teri tetapi para anggota Tim Asfargus kini mengerutkan dahinya dan merasa jika Tim Kapulaga hanya mengulur waktu mereka untuk memperbaiki formasi mereka.
"Segitu pengen nya kalian pergi ke sana" Franda berkata sinis dengan menunjukan jika dirinya tergnagu dengan ketidakhadiran Lili.
Chef Rasya akhirnya menyadari ketidakhadiran Lili diantar Tim Kapulaga dan menanyakan keberadaan Lili kepada Teri, tapi jangankan Teri bahkan Sesil pun yang selalu bersama Lili tak mengetahui nya, setelah bertumbangan yang matang akhirnya Chef Rasya dan beberapa guru disana memutuskan memundurkan jadwal battle hari ini ke hari esok untuk menunggu Lili.
"Tapi gimana kalau Lili ngak hadir juga besok?" Tanya Viola.
"Kalau dia ngak hadir besok terpaksa kita mulai tanpa kehadiran Lili"
Semua menganguk paham dengan penjelasan Chef Rasya karena selain menunggu Lili Chef Rasya juga menegaskan untuk memberikan waktu mereka memilih menu apa yang akan mereka hidangkan, dari keputusan Chef Rasya hanya Tim Asfargus dan Yudam yang amat sangat keberatan dengan keputusan pemunduran ini karena saat mendengar kata ikan mentah ada begitu banyak hidangan yang terlintas di pikiran Yudam, bagi Yudam mungkin saja Tim Kapulaga kebingungan dengan menu yang akan mereka buat secara mereka hanya bisa mengunakan rempah dan kuah keruh untuk masakan mereka.
Setelah semua jelas Chef Rasya mempersilahkan kesebelas murid itu untuk kembali bergabung dengan murid lainnya di Aula. Kean yang saat ini berjalan dibelakang Sesil tiba tiba memunculkan sisi jailnya dengan menarik ikat rambut Sesil yang membuat rambut Sesil terurai berantakan
"Sialan!!"
Sesil berlari menerobos Franda dan juga Yudam untuk menangkap Kean yang kini berlari kencang keluar Aula, melihat itu Yudam dan Viola berdecih menertawakan Kean yang bertingkah bodoh untuk menarik perhatian Sesil padahal sebelumnya dia menyangkal dengan tegas jika dirinya menaruh perasaan kepada Sesil
"Ayolah kita liat Cheff terkenal itu" tiba tiba Qey menaruh tangan nya di bahu Teri yang hanya sedadanya itu tepat di hadapan Yudam. Meski begitu Yudam berlagak tidak peduli dan meneruskan langkahnya meski dia sedikit menertawakan dirinya yang tersentak dengan itu. Dan untuk Viola, sebelum dia bertindak Gaidan sudah terlebih dahulu berlari bersama Dafka.
Kini Gaidan dan Dafka bersama Sesil yang masih terlihat kesal dan menunggu Teri dan juga Qey untuk bergabung, mereka berlima berjalan beriringan
"Satu menu yang terlintas dari ikan mentah?" Tanya Qey kepada keempat teman nya itu
"NAINURA"
"PACOO"
mereka menjawab pertanyaan Qey bersamaan dan kemudian tertawa renyah di perjalanan mereka menuju Aula, mereka sebenarnya sedikit tersinggung dengan senyuman remeh Yudam pada saat Chef Rasya menyebutkan ikan mentah, mungkin dia kira Tim Kapulaga tak mempunyai menu andalan berbahan dasar ikan mentah tapi justru mereka salah besar jika mengira makanan tradisional Indonesia harus bersantan dan berbumbu seperti yang mereka kira.
Bersambung.....
2 Bidadari
Lili berdandan dengan riang pagi ini untuk berangkat ke sekolah nya suasana hatinya sedang baik hari ini mungkin itu karena kabar gembira yang dibawa oleh Fery untuknya, ternyata 56% pemegang saham menyetujui pembubaran jurusan KTN di sekolahnya dan keinginan Lili untuk membuat Teri merasakan kehampaan seperti dirinya saat ini tercapai sudah
Lili bahkan sekarang berjalan girang menuju meja makan untuk menemui kedua orangtuanya, Fery dan Naomi menyambut Lili dengan senyuman lega karena melihat Lili senang sebagai orangtua mereka juga ikut bahagia meski sedikit bagian hati Fery merasa bersalah kepada Qey dan teman teman nya tapi putrinya lah yang paling utama.
"Aku sarapan di sekolah ajah"
Lili mengambil lengan kedua orangtuanya lalu menciumnya sebagai tanda jika dia ingin segera berangkat ke sekolah, Naomi sempat mendebat Lili agar ikut sarapan dengan mereka hingga akhirnya Naomi mengalah dengan kekerasan kepalaan Lili dan membiarkan nya pergi
Lili menemui supir pribadinya Mang Hendra yang kini sudah bersiap dan mereka pun berangkat, Lili duduk diam di kursi penumpang dengan baju sekolah yang sangat pas dan cocok Lili kenakan, sebagai seorang anak dari konglomerat sebenarnya Lili tak terlalu menunjukkan identitas nya sebagai anak yang kaya raya karena selalu tampil sederhana tapi meski begitu Lili sungguh sangat tau jika uang itu berkuasa, Lili cukup menyesali kebodohan nya dahulu dengan merasa bersalah kepada Ira dan bertingkah konyol serta mengutuk diri, pa
"Ah benar!!"
Lili teringat akan Ira dan mulai merasa jika dirinya tak terima saat mengingat masa lalu dimana dirinya tunduk dan patuh pada Ira walaupun semua tau jika Ira adalah anak dari pembantunya, harusnya Ira yang malu pada Lili karena dengan baik hatinya Fery membiayai hidup Ira yang yatim piatu. Sekarang dalam hati Lili berpikir jika sampai saat ini Ira belum benar benar meminta maaf padanya atau haruskan Lili menyingkirkan Ira juga.
"Udah nyampe Neng!"
Lili tersentak dari lamunannya dan segera turun saat Mang Hendra membukakan pintu untuk nya, mereka berada di parkiran sekolah yang terlihat masih sedikit sepi Lili merapihkan seragam dan tas gendongnya sementara Mang Hendra kembali pulang setelah mengantar Lili, Lili sedikit mengerutkan dahinya saat melihat Gaidan tengah memarkirkan sepedanya
Senyum merekah dibibir Lili saat ini dia mulai merapihkan rambutnya dan berjalan untuk menghampiri Gaidan, tapi saat semakin dekat dengan Gaidan barulah Lili menyadari jika Gaidan tak sendirian melainkan bersama Teri dan juga Viola yang kini berada di hadapan nya, pemandangan itu membuat Lili diam dengan rasa cemburu yang mulai bergejolak
"Apa Gaidan masih suka Viola?"
Lili membatin saat melihat kedua wanita yang paling Lili benci bersama dengan Gaidan, apalagi melihat bagaimana cara Viola menatap Gaidan dengan penuh arti karena Lili juga seorang perempuan maka dia tahu jika Viola pasti menyukai Gaidan.
Sementara yang tengah di perhatikan yaitu Gaidan kini menatap Teri tak enak hati karena kemunculan tiba tiba Viola, meski ini termasuk di tempat umum Viola sama sekali tak malu sedikitpun menyapa Gaidan yang baru saja tiba bersama Teri
"Hai Gaidan?" Sapa Viola lagi karena Gaidan belum juga menjawab sapaan dari dirinya.
Viola berdiri di samping Teri yang sekarang menatap Gaidan penuh tanya tentang sikap Viola yang seperti ini padanya, Gaidan mengisyaratkan Teri untuk pergi lebih dulu sementara dia akan mengatasi Viola, tapi justru itu semakin mencurigakan bagi Teri.
"Duluan aja" ucap Gaidan lagi hingga akhirnya Teri dengan ragu meninggalkan Gaidan dan juga Viola berdua saja
Tinggallah Viola dan juga Gaidan yang sekarang saling berhadapan dengan canggung, meski terlihat santai Viola sebenarnya gugup saat ini karena Gaidan berbeda sekarang tidak seperti saat bagaimana dia mengejarnya
"Ada apa?"
Viola juga semakin gugup saat mendengar Gaidan yang to the point padanya tapi karena sudah terlanjur basah maka Viola memilih untuk nyebut saja
"Emmm boleh ngak nanti gue pulang bareng Lo?"
Gaidan mengerutkan dahinya bingung
"Itu mobil gue rusak dan nggak tau harus pulang bareng siapa"
"Emma emang sih gue bisa nebeng Kean, tapi gue pengen sekali aja pulang naik sepeda, gue pengen coba" jelas Viola berusaha meyakinkan Gaidan
Gaidan tampak bingung dengan suasana ini meski dia terkejut tapi juga hatinya menghangat sekarang melihat Viola saja Gaidan sudah tak karuan apalagi pulang bersama, meski Gaidan telah mengatakan untuk tak lagi menyingkap perasaan nya kepada Gaidan tapi tetap saja perasaan nya tak bisa hilang begitu saja
"Gimana?"
"Emmm"
"Gaidan" Lili yang lelah akan persembunyian nya kini memutuskan untuk menampakan dirinya di hadapan Gaidan daripada dia terus memendam rasa cemburu melihat Viola dan juga Gaidan berduaan sepeti tadi, Gaidan nampak tersenyum saat melihat Lili berlari kecil kearahanya.
Mata Viola yang jeli menangkap senyuman Gaidan kepada Lili membuat nya kesal, Lili tersenyum manis dan bertingkah lugu seperti biasanya dihadapan Gaidan
"Kamu kemana aja, sakit?"
Gaidan melayangkan pertanyaan sebagai seorang teman yang khawatir tapi seperti nya Lili menangkap maksud lain dari kekhawatiran Gaidan itu dan menagangap jika Gaidan sepetinya diam diam peduli pada Lili.
"Emm ada dehh" jawab Lili dengan riang
Viola mengigit bibir bawahnya dengan kesal melihat dirinya tak dihiraukan oleh Gaidan gara gara datangnya Lili yang Viola sebut sebagai gadis gagap meski semua orang tau jika Lili kini tak lagi gagap.
"Eh!"
Lili menunjuk Viola seolah kaget dengan kehadiran Viola dan itu justru membuat Viola amat tergangu dan pergi begitu saja dengan kesal tak lupa juga memberikan tatapan sinis pada Lili, kepergian Viola terus saja di tatapi oleh Gaidan dengan tatapan sendu nya melihat punggung Viola yang kian berlalu.
"Kamu masih suka sama Viola?" Lili bertanya dengan nada yang hati hati karena takut dengan jawaban yang akan Gaidan berikan, tapi jangankan menjawab Gaidan malah mengambil tasnya yang sebelumnya menggantung di sepeda dan memakai nya
"Udah siang yuk ke kelas!"
Gaidan berjalan mendahului Lili dan mengalihkan topik pembicaraan serta bertingkah seolah pertanyaan itu tak pernah terlontar dari bibir Lili, tapi meski begitu Lili menjadi takut jika Gaidan benar benar masih menyukai Viola dan meninggalkan Lili, meski Lili tak akan mmbiarkan itu terjadi tapi tetap saja hatinya gentar.
Lili kini berjalan di belakang Gaidan dengan mata yang tak pernah lepas sedari punggung Gaidan, Dimata Lili Gaidan laki laki sempurna yang tampan luar dalam serta lembut dan karena hal itu Lili tak mau dan tak akan pernah merelakan Gaidan kepada siapapun. Mungkin saat ini seluruh laki laki iri pada Gaidan yang disukai dua gadis tercantik di Sekolahnya.
Bersambung....
Hati dan Pikiran
Saat ini Teri dan Sesil berlarian menghampiri Lili yang baru saja tiba bersama Gaidan, Sesil langsung memeluk Lili dengan hangat dan juga memberondong Lili dengan macam macam pertanyaan yang membuat Lili hanya tertawa kecil melihat tingkah heboh Sesil
"Kamu kemana aja sih?" Tanya Teri kepada Lili dengan nada khawatir yang justru malah membuat Lili muak, meski begitu Lili hanya membalas Teri dengan senyum seadanya dan kembali bercengkrama dengan Sesil tanpa terlalu mempedulikan kehadiran Teri. Teri bahkan sampai terdiam dengan sikap dingin Lili padanya dalam hari Teri bertanya mungkinkah Lili belum memaafkan dirinya
"Oh iya! Kita bakal batle sama Tim Viola buat tampil di The Next Chef"
"O ya?"
Gaidan meningalkan ketiga gadis yang tengah melepas rindu itu untuk menemui Qey dan juga Dafka sementara Sesil dan Teri terus saja heboh memberikan informasi untuk Lili yang melewatkan banyak hal saat dirinya tak masuk ke sekolah
"Karena Lili sudah kembali kita harus siap siap untuk battle itu dan pergi ke The Next Chef dengan bangga"
Teri terus berusaha mendekatkan dirinya kembali dengan Lili meski Teri diacuhkan oleh Lili akan tetapi Teri terus saja bertingkah seolah tidak terjadi apapun diantara mereka sebelum nya, padahal dalam hati Lili sekarang ini dia tengah menertawakan antusias Teri tentang The Next Chef tanpa dia ketahui jika jurusan nya akan ditutup.
Lili tersenyum saat membayangkan tanggapan dan ekspresi terkejut Teri saat mendengar kabar tak mengenakan yang sebentar lagi menyebar luas
'berbanggalah Teri selagi masih ada kesempatan' ucap Lili dalam hatinya
Sesil mengajukan beberapa menu yang akan mereka sajikan dibatle besok, diantara kedua menu yaitu Nainuta dan Pacoo Lili lebih memilih Nainuta dan mereka terus saja membicarakan hal itu sampai sampai Lili lupa jika KTN akan dia bubarkan
Dari siapapun yang melihat mereka bertiga pasti akan sangat menyadari sikap Lili pada Teri, dari raut wajah nya saja terlihat Lili sama sekali tak menyukai keberadaan Teri. Lili memutuskan untuk tak terlalu menunjukkan rasa bencinya pada Teri tapi tubuhnya berkata lain dan seolah otomatis merespon Teri dengan alam bawah sadarnya.
Lili duduk ditengah tengah Sesil dan juga Teri tetapi dia hanya menghadap kearah Sesil dan membelakangi Teri, ternyata benar apa yang dikatakan orang orang jika berteman ganjil akan ada satu orang yang terluka meski tak bicara seseorang itu pasti selalu merasa tersisihkan sama seperti Teri saat ini. Hati Lili mengeras sekeras batu mungkin karena dia pernah terluka sebelumnya hingga sekarang dia menjadi orang yang serakang akan kebagian dirinya sendiri.
Di sisi lain kabar buruk yang Lili maksud itu rupanya menyebar lebih cepat dari yang dikira karena sekarang Gaidan tengah diam membisu saat mendengar kabar itu dari Qey yang diberitahukan langsung oleh Fery yang datang meminta maaf padanya semalam. Mungkin ini belum diresmikan tapi pembubaran KTN sudah di putuskan oleh pusat yang berarti sudah pasti.
"Kita jangan kasih tau yang lain dulu, simpen kabar ini untuk kita berdua dulu"
Gaidan memberi peringatan kepada Qey tentang masalah ini jangan sampai anak Tim nya sedih dan putus asa saat mendengar berita buruk yang mereka berdua ketahui
"Tapi anehnya om Fery tampak menyesal dan minta maaf sama gue"
"Harusnya kan dia sebagai orang nomor satu di perusahaan itu nggak usah setuju kalau dia menyesal"
Qey mengingat kembali saat Fery mendatanginya dan berkata penuh penyesalan dan teihat sedih
"Emang apa yang dia bilang" tanya Gaidan
FLASHBACK On
Qey berdiri di depan rumah nya menunggu kedatangan Fery yang bilang akan berkunjung beberapa menit yang lalu, saat ini Qey di rumah seorang diri karena Abram tengah bertugas di luar kota.
Qey tampak bingung saat tiba-tiba Fery bilang akan berkunjung, walaupun Qey sering ke rumah Lili hanya untuk bermain game dengan Fery tapi Fery tak pernah sengaja berkunjung kerumahnya seperti saat ini. Sekarang pukul 20:00 dan Qey masih berada diluar
Sorot lampu mobil yang memasuki pekarangan rumah Qey menyorot wajah Qey dengan sempurna, mobil, Fortuner hitam milik Fery kini terparkir dengan rapih. Qey menghampiri mobil itu dan keluarlah Fery dari sana dengan santai
"Om !"
"Eh iya Qey, maaf om ganggu malem malem"
Qey dan Fery kini berjalan dengan santai menuju kursi teras rumah Qey, sudah beberapa kali Qey menawarkan untuk bercengkrama di dalam rumah tapi Fery lebih nyaman duduk di kursi jati kesayangan Abram ini, melihat itu Qey hanya bisa menurut dan pamit kedalam sejenak untuk membuat kan minuman hangat
Fery menatap sekeliling rumah Qey yang tampak bersih, Qey anak yang tampan, baik hati, rajin dan bertanggung jawab. Dalam hati Fery terbesit keinginan kecil untuk menjodohkan Qey dan Lili, meski sudah membahasnya dengan Abram tapi Abram tak memberikan jawaban yang spesifik, dia hanya berkata jika Qey setuju jika tidak maka Abram tak akan memaksanya.
"Ini om teh nya!"
Qey menaruh gelas di meja kaca dengan hati hati dan diapun ikut duduk di samping Fery
"Maaf om ganggu!, Om kesini cuma mau kasih tau kamu Qey"
"Om bener bener minta maaf tentang ini, kalau kamu mendengar ini dari orang lain om takut kamu bakal kecewa"
"KTN harus ditutup"
Mata Qey membelalak mempertanyakan alasan yang membuat mereka menuntut untuk menutup jurusan KTN yang saat ini tengah berkembang itu, tapi melihat wajah Fery yang menyesal membuat Qey hanya diam mencoba menunggu penjelasan lebih lanjut dari Fery
"Ini benar benar diluar kendali, om sama sekali tidak kuasa jika di hadapkan dengan ini"
Yang Fery maksud adalah Lili putri nya, sengaja dia tak menyebut nama putrinya karena takut Lili akan dijauhi juga oleh teman teman baiknya jika sampai mereka mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, Fery berdiri berniat untuk pulang tapi sebelum itu dia menepuk pundak Qey dan berkata
"Semoga kamu tidak membenci om"
FLASHBACK Off
Mendengar hal itu rasanya Gaidan hampir gila, dia tak habis pikir dengan skenario aneh di hidupnya ini
"Apa Lili tau tentang in?" Tanya Gaidan
"Gue nggak yakin"
Mereka berdua bersandar di tembok depan kelas Qey menatap lurus lapangan dengan tatapan kosong, dua pemuda tampan ini menjadi santapan pagi bagi para siswi yang berlalu lalang disekitar sana tapi meski begitu mereka sana sekali tak peduli
"Jangan kasih tau Teri, kamu tau sendiri obsesinya dia akan hal ini"
Qey hanya mengangguk mengiyakan perintah Gaidan padanya, mereka sudah berusaha sekeras dan semampu mereka bisa dan jika hasilnya tetap sama mungkin saja ini takdir yang tak bisa di rubah meski dengan doa dan usaha.
Bersambung....
Lili dan Viola
Lili diam diam menelpon ibunya Naomi untuk memberikan kabar berita tentang pembully hayalan yang dia cerita kan kepada Naomi supaya Naomi percaya dan yakin jika itu memang benar benar terjadi
"Mah! Orang yang bully aku pasti bakal sedih banget saat tau jurusan KTN di tutup"
Lili tertawa riang tak kuasa menahan kegiranggan nya walau hanya membayangkan Teri yang tampak putus asa Lili sungguh senang
"......."
"Iya mah ini semua berkat papah"
" ...."
"Aku ngak bakalan diam kali ini mah, mereka jahat sama aku"
". ......"
"Tindakan aku bener kan mah buat tutup jurusan KTN ini"
"......"
"Iya mah aku seneng sekarang"
"....."
"Iya mah I love you too"
Lili menutup sambungan telpon nya dengan senyum cantik yang sayangnya sudah tak terlihat begitu menawan lagi karena Lili benar benar seperti virus yang bermutasi sama sekali tak bisa ditebak
Krekkkk
Suara bising terdengar oleh Lili saat ini pasalnya ini di dalam gudang sekolah siapa yang akan datang kemari di jam pelajaran, Lili mengedarkan pandangan nya untuk mencari tahu siapa orang yang lancang menguping pembicaraan nya
Mata Lili tertuju kepada lemari buku di pojok gudang dan pelan pelan menghampiri nya, Lili berhati hati untuk melihat penguping yang mendengar kebenaraan tentang rencana Lili ini, sedikit lebih sedikit dan sudah hampir sampai Lili mulai mencondongkan badannya untuk melihat siapa orang dibalik lemari itu dan....
Brakkk
Seorang siswi berlari kearah luar tetapi sudah lebih dahulu di cekal oleh Lili, dan orang itu adalah Viola yang kini menatap sinis Lili
"Dasar ular!" Maki Viola pada Lili
Lili marah mendengar hinaan Viola padanya, dendam Lili pada Viola kini menjadi dua kali lipat karena dia sudah berusaha mendekati Gaidan dan juga ikut campur urusan pribadinya. Entah keberanian yang datang dari mana tangan Lili yang berada di lengan Viola kini naik kearah rambut panjang Viola dan menjambak nya keras
"Auwww dasar gila lepasin sakit "
Viola mengaduh kesakitan karena tangan Lili yang mengelung ketat di rambut Viola, Lili seolah bukan dirinya yang Lili takutkan saat ini Viola membongkar semuanya pada Gaidan membencinya
"Enggak" teriak Lili membuat Viola kaget
Lili lantas mendorong Viola dan menindih perutnya dengan tubuhnya
"Kamu denger apa?"
Viola diam tak menjawab
"Kamu denger apa aja tadi"
"DENGER APA!" Lili seperti orang gila yang menjerit di atas tubuh Viola, saat ini Viola hanya diam dengan wajah merah penuh amarah
Viola lantas berdiri dan menyingkirkan tubuh Lili dari tubuhnya, Viola mendengar semua tentang Lili yang bilang jika dirinya korban bully, dan Lili dalang penutupan jurusan KTN dengan mengunakan kekuasaan ayahnya, semua Viola dengar dan akan Viola jadikan ancaman bagi Lili karena melihat kondisi Lili saat ini Viola takut jika Lili berniat nekat pada dirinya
"Lo bener bener nggak tau diuntung, Gaidan sama Teri mungut lo tapi lo coba coba ngehianatin mereka "
"Lo bener bener bikin gue merinding"
Amarah Lili saat ini bahkan mengambil alih tubuhnya, dengan sekali hempas balok kayu yang entah dia dapatkan dari mana menghantam punggung Viola
"Jangan sebut nama Gaidan dari bibir menjijikan itu" jerit Lili sesudah memukul Viola
Viola tersungkur dengan lebam yang di dapatkan juga di sudut bibirnya karena benturan, Viola menatap Lili seolah menatap monster menakutkan
"Kenapa Lo kaya gini" tanya Viola masih dengan posisi yang sama
"Jauhin Gaidan! Jangan kegatelan depan dia karena di ngak suka lagi sama kamu Viola, Gaidna cuma buat aku, aku yang pantes dapetin Gaidan" teriak Lili yang justru mendapatkan senyuman remeh dari Viola yang sekarang tengah bangkit
"Gue ngerti sekarang"
"Dasar psyhcopat sampah"
Plak
Lili menampar keras pipi Viola dan sekarang airmata keluar dari mata Viola yang cantik, wajah Lili memerah dan bibir bergetar akibat menahan emosinya, mata Lili pun tampak getir saat menyadari kondisi Viola yang mengenaskan, dengan perlahan berjalan mundur Lili meninggalkan Viola yang kesakitan seorang diri
Lili berlari keluar gudang dan merapihkan baju serta rambutnya, mengedarkan pandangan takut takut ada orang yang melihatnya. Setelah yakin Lili berjalan dengan gemetar
"Ini ngak salah , semua bakalan baik baik aja"
"Kamu nggak salah"
"Ini bukan kesalahan"
"Kamu cuma membela diri"
Lili terus saja menenangakna pikiran nya yang mulai panik jika sampai terjadi sesuatu pada Viola ataupun Viola yang membongkar rencana maka Lili tak akan mungkin bisa bersama Gaidan
"Ngak!!"
"Itu ngak boleh"
Lili tiba tiba berlari kembali kearah gudang untuk membuat perhitungan dengan Viola dan memastikan Viola tak akan membuka mulut kepada siapapun
Brakkk
Pintu gudang Lili buka dengan kasar dan ternyata Viola tmsidah tak berada disana, Lili mengacak rambutnya dan tubuhnya bergetar takut. Dalam pikiran Lili saat ini adalah jika sampai Gaidan mengetahui dan membencibya maka Lili lebih baik mati saja karena Gaidan adalah satu satunya matahari nya.
Lili berusaha menenangkan dirinya dan memikirkan cara untuk menahan Viola, dan dia teringat sesuatu dan langsung menampar dirinya sendiri berulang ulang, Lili berniat untuk menyebutkan nama Viola sebagai pembully kepada Naomi dan meminta pembelaan Gaidan lebih dahulu .
Lili menangis palsu dan berlari untuk mencari Gaidan atau siapapun yang dapat percaya padanya.
Sementara Viola saat ini di gendong oleh Qey yang tadi membawanya pergi dari gudang
"Bawa gue pulang"
"Tapi luka lo"
"Gue mau pulang"
Dengan terpaksa Qey membawa Viola keparkiran lewat belakang, Qey tak mengerti sedang apa Viola di gudang seorang diri tetapi melihat kondisi Viola yang lebam lebam Qey jadi tak banyak bicara.
Qey menaruh Viola di kursi penumpang mobil Viola karena mustahil membawa Viola dengan motornya, Qey hendak mengantarkan Viola tanpa memberitahu teman teman nya karena Viola melayat Qey untuk memberitahu Yudam ataupun Kean
Yang Viola inginkan sekarang adalah menemui Gaidan memberitahukan semuanya jika pembubaran jurusan adalah karena Lili yang terobsesi pada Gaidan dan melakukan ini untuk menyingkirkan perempuan yang dekat dengan Gaidan
Qey dan Viola hanya saling diam karena memang mereka tidak sedekat itu untuk saling mengobrol atau berbasa basi, bahkan mereka bisa di bilang musuh di sekolah, dalam hati Viola saat ini berharap agar Lili tak muat sandiwara lainnya meski itu sudah terjadi karena Lili sekarang tengah menangis dihadapan Gaidan dan juga Dafka.
Lili mengatakan jika dirinya di tampar oleh Viola karena berani bergabung di Tim Kapulaga dan mencoba mendekati Gaidan, Gaidan dan Dafka tentu saja percaya karena Lili belum pernah berbohong sebelum nya dan juga bukti yang ada yaitu pipi lebam Lili menjadi bukti yang kuat
"Tapi aku mohon Jangan kasih tau Teri dan Sesil aku nggak mau mereka khawatir" tambah Lili disela tangisnya.
Bersambung....
Tampak kepermukaan
Yudam berdiri dihadapan jendela kamarnya saat ini, dia tampak berpakaian santai dengan jeans selutut dan kaos berwarna hitam. Yudam tak peduli meski angin sore ini bertiup kencang menerpa wajah tampan nya dan membuat jambul indahnya berantakan karena angin.
Baru saja diberitahukan jika seluruh tim Asparagus's adalah kandidat satu satunya yang akan tampil di the next chef karena rumor yang menerpa jurusan KTN, sudah kedua kalinya hal yang sama terjadi kepada jurusan KTN tapi itu sama sekali tak membuat Yudam merasa lega dan juga senang meski saingan nya tengelam bergitu saja
Ada satu hal yang menjadi tanda tanya besar di pikiran Yudam saat ini, alasan KTN dibubarkan dan mengapa semua selalu terjadi disaat saat seperti ini. Pikiran Yudam hanya tertuju kepada satu orang yaitu Ayah kandungnya sendiri, mungkinkah dia repot repot menyingkirkan KTN agar Yudam menang dalam segala hal dan keluar dari SMK Haida sebagai kebanggaan yang otomatis membawa pengaruh terhadap nama baik ayahnya itu
Jika benar itu alasannya maka Yudam akan sangat marah karenya, bukan karena menyayangkan KTN tetapi harga dirinya yang lagi lagi terluka oleh tindakan Ayahnya yang terkesan meremehkan kemampuan Yudam, rasa curiga Yudam bukan tak beralasan karena kasus sebelumnya pun Ayahnya itu terlibat tetapi karena koneksi nama nya bersih dari tuduhan.
Suara mobil terdengar memasuki pekarangan rumahnya, Yudam bergegas turun untuk menemui Ayahnya itu, Frans yang saat ini baru saja tiba dengan rasa lelah yang dia rasakan turun dari mobil dan berbenah untuk masuk kedalam istana megah miliknya itu, tapi saat diambang pintu Frans melihat anak tampan nya itu berdiri dengan wajah yang seolah menangkap basah seorang tersangka
Frans hanya menghela nafas kasar dan membuang muka berusaha untuk menghindari Yudam saat ini.
"Kenapa harus lakuin ini!"
Frans menatap tajam Yudam yang seolah mengertak dirinya saat ini
"Papah ngak perlu ikut campur ! Aku bisa atasin semuanya sendiri, aku ngak selemah yang papah pikir" Yudam marah saat ini karena dia mengira jika Frans dalang dari semua ini
Yudam meninggal kan Frans dengan kesal sedangkan Frans hanya menatap Yudam tajam
"Dasar anak bodoh" lalu Frans menaiki tangga tanpa terpikirkan maksud dari ucapan Yudam barusan, di ruang tengah rumah megah itu kembali sunyi setelah percakapan singkat antara ayah dan anak itu berakhir, rumah yang dahulu hangat suara tawa anak anak kini hanya seperti bangunan Kosong.
***
Teri terus saja mencoba beberapa menu baru niat hati untuk perispan mengikuti batle yang akan dilakukan besok tanpa mengetahui kebenaran yang sudah pasti akan meruntuhkan segala semangatnya, kini dia berkutat di dapur mencoba membuat hidangan yang berbahan dasar ikan mentah, karena untuk memasak Nainura membutuhkan waktu yang banyak maka kini mereka berubah haluan membuat Pacco.
Meski Teri sekarang tak benar benar membuat Pacco tetapi saat ini Teri berusaha mempelajari menu baru itu, Teri sama sekali tak tahu menahu tentang masalah yang saat ini Gaidan coba rahasia kan dari Teri untuk sementara waktu maka dari itu sekarang Teri masih bisa antusias
Trap trap
Langkah kaki terdengar mendekat kearah Teri, rupanya itu Sesil dan Lili yang kini berkunjung ke rumah Teri dan langsung diarahkan oleh ibu Teri ke arah dapur
"Wangi nih!"
Teri terkejut saat mendengar seseorang berbicara secara tiba tiba padanya, Sesil dam Lili kini berdiri di samping Teri, Lili menatap semua hal yang tengah Teri kerjakan saat ini
"Bikin apa?" Tanya Lili mungkin hanya untuk berbasa basi
"Gaidan ngak ada di rumah, kemana yah!" Tanya Sesil yang tanganya mulai memainkan peralatan dapur Teri, sebenarnya mereka berdua awalnya inginenumui Gaidan hanya saja ibu Gaidan bilang jika Gaidan pergi beberapa jam yang lalu
Mendengar pertanyaan Sesil membuat Teri teringat sesuatu
"Tadi ada Viola kerumah Gaidan, terus mereka pergi deh berdua" Teri mengingat jika Gaidan tiba tiba saja mengajak Viola pergi saat sebelum orang rumahnya tahu jika Viola Atang kesana
Deg
Wajah Lili pucat pasi saat ini ulu hati nya pun ikut ngilu, matanya merah dan juga kesal yang semakin menanjak. LIili sebisa mungkin. Mengontrol ekspresi nya tapi tetap saja itu sangat kentara bagi Sesil dan Teri
"Li? Kamu kenapa?"
"Enggak kok , enggak"
Teri dan Sesil saling pandang saat medengar jawaban Lili yang terbata
"Mereka pergi kemana?" Tanya Lili tiba tiba dengan nada cepat
"Mereka siapa?"
"Gaidan dan Viola" jawab Lili tapi Teri hanya menggeleng karena dirinya benar benar tidak tahu dimana mereka berada
Kepala Lili seolah berputar dengan kedua sendi lututnya melemas dan gemetar ditambah wajah pucat pasi dia berjalan kearah luar, disusul oleh Teri dan juga Sesil yang sangat cemas saat ini
"Mau kemana?" Tanya Sesil
"Aku pulang dulu ngak enak badan" Lili saat ini menaiki mobil nya bersama dengan Mang Hendra
"Mang kita kelilingin komplek ini" perintah Lili kepada Mang Hendra, Lili berniat untuk mencari Viola dan juga Gaidan karena Lili benar benar takut jika Viola memberitahukan Gaidan tentang kejadian kemarin. Lili tak henti mengosokan tangan nya yang dingin saat ini, Lili benar benar gelisah saat ini.
****
Wajah Viola yang legam di beberapa bagian itu kini menatap wajah Gaidan yang sangat tak manusiawi tampan nya, dalam hatinya Viola menyesal karena menyia-nyiakan Gaidan saat itu, Viola bahkan sempat berpikir jika mungkin dirinya tertarik kepada Gaidan karena penampilan nya yang berubah tetapi seperti nya Viola jatuh hati karena segala perasaan nyaman dan hangat saat bersama Gaidan seperti saat ini.
"Ada apa?"
Gaidan membawa Viola ke taman komplek untuk menjauhkan Viola dari ibunya yang amat menyukai Viola pada saat kunjungan Viola yang pertamakali, tapi ada sedikit rasa canggung yang lebih terasa dari kebersamaan mereka sebelumnya dan semua itu karena insiden Lili, melihat apa yang Viola lakukan kepada Lili sama sekali tidak Gaidan sukai
"Kamu mau bicara apa?" Tanya Gaidan kepada Viola yang tak kunjung membuka mulutnya
"Gue cuma mau bilang kalau Lo harus hati hati buat percaya sama orang lain, kalau ngako bener bener bakalan dibodohin" Viola menyiratkan Lili di setiap kalimatnya tetapi tentu saja Gaidan tak menyadarinya sama sekali karena buktinya dia hanya mengangguk pelan .
Viola diam dengan pikiran berkecamuk nya haruskah dia memberitahukan Gaidan jika sebenarnya Lili ingin menghancurkan Tim nya tapi bagaimana nasib dirinya jika Lili sampai mengila.
Dilihat dari sudut manapun kedua remaja itu sangat cangung, Gaidan hanya diam mematung sedangkan Viola terus sibuk dengan pikiran nya sendiri
"Gaidan!"
Viola tersentak saat mendengar suara Lili, wajah Viola kesal sekarang saat melihat Lili tersenyum kearahnya, Viola berpikir untuk menunjukan sisi buruk Lili pada Gaidan maka dengan cepat Viola mengecup pipi Gaidan yang membuat Gaidan maupun Lili tersentak
Bersambung.....
Lili layu
Lili melotot melihat betapa lancangnya Viola mengecup pipi Gaidan, Gaidan itu hanya milik nya!. Lili berjalan kencang menuju Gaidan dan juga Viola
"Ka..akali..an?"
Lili tergagap mungkin dia kaget dan juga emosi tapi Viola justru merasa menang melihat mungkin saja Lili akan terpancing untuk bertindak gila seperti saat di gudang sekolah, maka dari itu Viola kini bergelayut di tangan Gaidan, sedangkan Gaidan hanya diam dan menatap tangan Viola sekilas tanpa memikirkan apa pendapat Lili karena mungkin saja Gaidan tak tahu jika Lili menyukainya
Lili menarik nafas mencoba mengontrol emosinya yang sekarang menanjak ditambah melihat senyuman meremehkan terbit di bibir Viola, Lili benci melihat senyuman itu ditujukan kepada dirinya, bibir Lili bahkan sekarang bergetar hebat
Gap
Tangan Lili langsung menyeret rambut Viola untuk melepaskan tangan menjijikkan nya itu dari Gaidan hingga Viola terseret kebelakang, Gaidan kaget dan langsung mencoba menahan Viola
"Aahhkk" Lili berteriak histeris yang membuat Gaidan menatap Lili heran
"Kenapa kamu nolongin dia?"
"Kamu kenapa Li?"
Setelah mengatakan itu Gaidan segera membawa Viola untuk berdiri
"Aku cinta sama kamu Gaidan"
Deg
Viola menatap Lili tajam dan melihat Gaidan yang sekarang membeku, mungkin dia terkejut karena melihat perlakuan aneh dari kedua gadis cantik ini. Lili meraih tangan Gaidan dan menatap Gaidan dengan mata yang berkaca-kaca
"Jawab! Kamu masih suka kan sama Viola?"
Gaidan mengerutkan dahinya tak mengerti dengan situasi ini
"Kamu kenapa Li?"
"Aku cinta sama kamu!"
"Itu nggak mungkin kita udah kaya sodara" Gaidan melepaskan tangan Lili dari tanganya tapi justru Lili malah duduk ditanah dan mencekal kaki Gaidan, Viola bahkan sampai terkejut melihat tindakan bodoh Lili yang sekarang bersujud di kaki Gaidan
"Ngak kamu ngakboleh kayak gini"
Gaidan berusaha membuat Lili berdiri tapi Lili malah menangis karena dirinya sangat takut untuk ditolak oleh Gaidan, Viola segera menepis tangan Gaidan yang saat ini berusaha membujuk Lili untuk berdiri
"Udahlah Lo bahkan ngak kenal siapa Lili sebenarnya" sindir Viola tepat diatas kepada Lili membuat Lili mengigil takut Viola akan memberitahu kan semuanya
"Apa maksudnya" tanya Gaidan
Viola hendak berbicara tetapi Lili berdiri mengambil sapu besi yang berada di taman lalu memukulkan nya ketengkuk Violal hingga Viola tak sadarkan diri, Lili sangat takut Viola membicarakan hal yang dia dengar di gudang sekolah
"LILI!" Bentak Gaidan saat Lili memukul leher Viola berniat untuk membuat Viola diam, mata Gaidan memerah karena marah dengan tindakan Lili
"Apa apaan kamu Lili!"
"Kamu mau jadi kriminal?" Teriak Gaidan yang segera mengangkat Viola, keterkejutan itu berlanjut saat tangan Gaidan berlumuran darah yang rupanya itu berasal dari kepala Viola
"Gaidan ak..ku cinta sama kamu!"
Lili sama sekali tak merasa bersalah dengan apa yang dia perbuat pada Viola dia masih tetap pada pikiran nya, tapi Gaidan sudah hilang simpati pada Lili saat ini, Gaidan hanya fokus kepada Viola dan kini Viola sudah berada di gendongan Gaidan. Lili histeris melihatnya dan langsung memukulkan sapu besi yang tadi di pakai untuk memukul Viola ke wajah tangan dan kakinya semabari menangis histeris
"Gaidan aku juga luka! Kamu hanya peduli sama Viola"
"Gaidan"
"Gaidan hiks aku cinta kamu"
Gaidan berjalan mengendong Viola dan tak mempedulikan Lili, dia benar benar terkejut melihat Lili yang selama ini dia kenal polos dan pendiam ternyata orang yang nekadsementara Gaidan membawa Viola kerumahnya
"Nek!" Panggil Gaidan menaruh tubuh Viola di sofa rumahnya, semua yang berada di rumah khawatir dengan kedatangan Gaidan dengan Viola di pangkuannya. Gadian sanggat marah kepada Lili saat ini Lili benar benar seperti monster.
"Ya ampun kamu apain anak orang!" Jerit Nenek Gaidan yang berlarian tanpa tujuan
"Ceritanya panjang, nenek tolong panggil dokter aku ada urusan" Gaidan berniat untuk menyusul Lili dan. Bertanya apa maksud dari semua insiden ini
Gaidan merogoh ponsel nya menelpon Qey untuk ikut dengannya, Gaidan harus meluruskan semua ini sebelum semuanya semakin runyam, Lili sampai berani berbuat nekat yang membahayakan dirinya sendiri pasti ada sesuatu hal besar terjadi. Gaidan menatap Viola sesaat sebelum dia pergi meninggalkan nya, Gaidan percayakan Viola kepada ibu dan neneknya
Gaidan meminjam sepeda motor milik kakaknya untuk pergi menemui Lili, meski marah Gaidan sebenarnya khawatir juga kepada Lili ditambah lagi dia meningalkan nya begitu saja.
"Ahkkkkk" Lili terus saja memukul tubuhnya hingga Mang Hendra berlari kearah Lili untuk menghentikan nya tapi Lili terus saja menangis.
"Aku mau mati aja" ucap Lili
Mang Hendra yang tak tega berusaha membawa Lili untuk pulang dan mencoba menenangkan nya hingga akhirnya Lili mau dan duduk di kursi penumpang dengan airmata yang terus saja mengalir, dia benci situasi ini semua gara gara Viola, Lili tak pernah sedikitpun mencoba menggangu Viola sebelumnya tapi Viola sudah cukup lancang dengan ikut campur urusan Lili.
Dalam hati Lili muncul pertanyaan besar, bagaimana bisa dia berniat untuk menyakiti Teri tetapi malah terjebak masalah dengan Viola, orang yang sama sekali tidak ada dalam skenarionya, saat mobil yang di bawa oleh Mang Hendra sampai di pekarangan rumah Lili langsung keluar dan masuk kedalam kamarnya dengan amarah yang memuncak.
Lili membanting pintu kamarnya keras dan menghancurkan benda apapun yang ditemuinya termasuk kaca meja rias yang amat besar itu kini hancur berkeping keping hingga menimbulkan suara yang cukup keras yang mampu mengagetkan seisi rumah
"AHHHK!!!!" Teriak Lili menjambak rambutnya, dia ngak jika Gaidan benar benar benci padanya, Lili saat ini hanya ingin Gaidan tak ada yang lain.
Naomi berlarian dengan khawatir saat medengar pecahan kaca itu dan berusaha masuk ke kamar Lili dengan tangisan histeris, entah apa lagi yang saat ini membuat Lili marah tapi yang jelas Naomi sangat khawatir.
Lili hilang akal sekarang pecahan kaca meja riasnya kini ada di genggaman Lili, Lili seolah hilang harapan karena jika sampai orang orang mempercayai apa yang Viola katakan nantinya satu persatu mereka hanya akan membencinya, teman nya, Gaidan lelaki yang dia sukai dan bahkan mungkin orangtuanya semua akan menyalahkan nya sama seperti dulu saat semua orang menyalahkan nya
Maka dari itu Lili pikir tak Ada gunannya lagi untuk hidup jika dia terus sendirian, Lili hanya ingin kehidupan seperti orang lain dan menjadi koki yang hebat tapi jalan kehidupan memang benar benar berliku, tanpa berpikir panjang Lili mengiris nadinya dengan kaca itu sembari tangis yang kian mengeras hingga perlahan darah kental keluar deras dari pergelangan tangannya
Telinga nya terus saja mendengar ucapan orang yang menyalahkan dan memandang Lili hanya anak lemah yang beruntung karena dilahirkan oleh Naomi yang merupakan keluarga kaya.
Bersambung......
Hospital
Dafka, Sesil dan Teri berlarian di lorong rumah sakit saat ini setelah mendengar kabar yang sangat mengejutkan yang datang dari Gaidan tentang Lili yang melukai pergelangan tangannya, dan dirumah sakit yang sama Yudam dan Kean berlarian menuju UGD untuk mencari Viola yang terluka.
Mereka semua sampai di resepsionis untuk menanyakan dimana teman mereka berada
"Viola"
"Lili"
Ucap Teri dan Yudam secara bersamaan yang membuat mereka saling menatap selama beberapa detik saja hingga akhirnya Yudam mengakhiri nya
"Viola Arsyila Van Meijer"
Yudam menyebutkan nama lengkap Viola hingga akhirnya suster memberitahukan dimana Viola ditangani dan Yudam serta Kean pergi lebih dahulu untuk menemui Viola, setelah kepergian mereka Sesil yang kini menanyakan ruangan Lili karena Teri benar benar hilang fokus
Gaidan dan Qey yang sudah berada disana terlebih dahulu kini berdiri lemas di hadapan pintu ruang operasi, Naomi tak henti hentinya menangis disamping Fery yang terlihat kacau dengan kemeja yang berlumuran darah sedangkan Qey tangan nya lah yang penuh darah karena menekan luka Lili disepanjang perjalanan.
Gaidan sama sekali tak percaya dengan apa yang dia alami saat ini, bagaimana mungkin Lili bertindak sejauh ini hanya untuk pertengkaran yang masih bisa di bicarakan baik baik, jika tau akan seperti ini Gaidan tak akan membiarkan Lili sendirian dan meningalkan nya tapi penyesalan memang selalu datang terlambat
Ingatan beberapa jam yang lalu terus terngiang di kepala nya saat melihat Naomi menangis histeris karena genangan darah yang keluar dari celah pintu kamar Lili, melihat Lili berlumuran darah dan itu benar benar membuat Gaidan merasa bersalah
Trap trap trap trap
Suara langkah kaki terdengar nyaring rupanya itu adalah suara langkah kaki Dafka,Sesil dan Teri yang saat ini tengah berlari kearah mereka, saat tiba Sesil langsung menghambur kepelukan Naomi membuat Naomi kembali menangis histeris
"Ini semua pasti gara gara pembully itu" ucap Naomi yang membuat Sesil melepas pelukannya
"Pembully?" Tanya Sesil menatap semua orang yang berada disana satu persatu
"Iya benar, siapa yang sering ganggu Lili disekolah?" Fery terlihat emosi saat ini mungkin
"Lili di bully? Tapi itu nggak mungkin, kami nggak bakalan biarin Lili di bully" kini Dafka yang mulai berbicara
"Tapi Lili selalu nangis dan bila g jika di di bully" Naomi tetap pada pendirian nya yang menegaskan jika Lili tidak pernah berbohong, sedangkan Qey yang tau semuanya hanya diam, dia tau dari Viola jika Lili mengarang cerita tentang pembullyan agar KTN ditutup dan menyalakan Teri.
"Taa.."
Clek
Ucapan Sesil terpotong karena tiba tiba dokter keluar dari ruang operasi
"Wali Lili?" Tanya dokter itu kepada Fery dan Fery membenarkan itu
"Bisa ikut saya sebentar" Fery menatap Naomi sesaat hingga akhirnya setuju untuk mengikuti dokter itu, dan kini tinggalah empat serangkai yang tersisa
Sesil langsung memberondong Qey dan Gaidan dengan banyak pertanyaan, Qey dan Gaidan hanya terdiam keduanya memiliki jawaban yang berbeda dan tak tahu ingin mengungkapkan mulai dari mana. Teri memegang tangan Dafka yang sekarang seperti nya syok berat saat mengetahui jika Lili melakukan percobaan bunuh diri
"Tapi kenapa Lili bilang dia di bully ?"
"Apa dia nggak seneng temenan sama kita?"
Dafka yang sedari tadi diam kini mulai membuka mulutnya, mungkin dia merasa jika keadaan Lili saat ini karena mereka semua
"Cuci tangan lo!" Sesil menyerahkan tisu basah kepada Qey yang sekarang berisi dengan tangan yang berlumuran darah, setelah Sesil ingatkan barulah Qey sadar jika tanaganya penuh dengan darah itu segera melengang kearah kamar mandi. Sementara Gaidna hanya menunduk menatap lantai dengan tatapan kosong membaut Teri merasa sedikit iba dan menepuk pelan pundak Gaidan.
-
Dokter tadi membawa Fery dan Naomi ke ruangan nya untuk membicarakan hal penting yang perlu untuk mereka berdua ketahui, Dokter tersebut mempersilahkan Fery dan Naomi untuk duduk, Maka Fery dan Naomi duduk berhadapan dengan Dokter
"Pak, Bu saya ingin bertanya"
"Apakah Saudari Lili dahulu pernah trauma berat?"
Fery dan Naomi saling pandang dan pikiran mereka tertuju pada kebakaran yang menewaskan orangtua Ira
"Karena dari pemeriksaan seperti nya Lili sedang mengalami depresi ambang pasca trauma, saya hanya menyarankan jika kondisi saudari Lili sudah pulih agar menemui pisikolog" tambah dokter itu
"Tapi anak saya nggakpapa kan dok?" Tanya Naomi
"Untuk saat ini pasien masih di tangani, hanya saja kami harus memberi banyak transfusi darah"
"Lakuin apapun yang terbaik dok, saya bayar berapa pun biayanya!"
Dokter hanya tersenyum mendengar ucapan Fery
"Kita serahkan semua pada yang diatas"
****
Yudam dan Kean berdiri di samping Viola yang saat ini tengah mengaduh kesakitan dengan kepala yang dibalut kasa putih, Kean terus saja meledek Viola karena Viola dirawat oleh ibu dan nenek Gaidan sebelum kedatangan Kean dan Yudam
"Gimana Lo bisa babak belur!" Tanya Kean kepada Viola
"Lili benar benar gila, apa lo tau setelah bertengkar sama lo bahkan dia coba bunuh diri?" Timpal Kean yang langsung dapat tatapan tajam dari Yudam
"Udahlah jangan urusin orang lain" ucap Yudam yang menyentuh luka Vp0pppiola dan untuk memastikan jika luka itu tak benar benar parah, Viola mengasuh saat tangan Yudam menekan lukanya
"Sakit?" Tanya Yudam
Viola malah memukul tangan Yudam
"Bisa bisa nya Lo deketin cowok yang dulu Lo hina" ledek Kean lagi yang seakan tak puas meledek Viola, tapi Viola hanya membuang mukanya tak suka
"Ngakpapa kalau Lo suka nggak ada salahnya!" Ucap Yudam tiba tiba membuat Kean melongo dengan ucapan Yudam, lantas Kean berjalan mendekati Yudam dan merangkulnya
"Kalo Lo?" Tanya Kean
"Maksudnya?"
"Teri!"
Yudam melepaskan tangan Kean dan mengerutkan dahi, apa urusan nya Yudam dan Teri kenapa Kean menanyakan itu, kini Yudam hanya menatap Kean aneh hingga nada dering ponselnya terdengar membuat fokus mereka teralihkan
Yudam berjalan keluar untuk mengangkat telpon nya dan meningalkan Kean serta Viola di dalam ruang rawat, Yudam berjalan menjauhinya kerumunan untuk mengangkat telepon dari ayahnya Frans
"Hallo"
"Kamu ingat besok, siap siap jangan sampai bikin malu"
"Tapi Viola lagi sakit!"
"Apa urusan nya?, Yang penting kamu tampil di The NextChef rekan mu bukan hanya Viola"
"Tapi Viola juga kan bagian dari tim"
"Saat Ngan mu sudah nggak ada! Jadi sadarlah Yudam"
Tutt
Sambungan terputus sementara benda pipih itu masih menempel di telinga Yudam, Yudam kini menatap layar ponselnya dan merasa jika Yudam zma sekali bukan manusia dirinya hanya Avatar yang dikendalikan oleh seseorang yang gila uang, bahkan saat teman nya terluka Frans sama sekali tak berempati yang dipikirkan nya hanyalah keuntungan.
Bersambung.....
The Last Ballroom
Kewajiban yang kembali menyeret mereka ketempat ini meskipun mereka tak mau tapi inilah tugasnya, kedua tim unggulan yang sudah di jadwalkan melakukan batle hari ini masing masing kehilangan satu anggotanya yaitu Lili dan Viola yang tengah berbaring di rumah sakit, meski Viola mungkin saja sanggup untuk mengikutinya tapi Viola memilih untuk melewati batle ini
Tak ada aura ceria dari kedua tim ini, kesepuluh murid ini hanya diam saling berhadapan, tapi ada yang janggal dari batle kali ini, karena hanya ada lima tempat yang tersedia mungkin bagi Qey dan Gaidan ini bukanlah hal yang mengejutkan karena faktanya mereka sudah mengetahuinya lebih Awal jika KTN akan benar benar menghilang .
Chef Rasya kini telah tiba dan berdiri di depan kesepuluh murid unggulan itu dengan wajah yang seolah olah menyesal, dia tak lagi ceria dan terus menunduk
"Anak anak!" Sahut Chef Rasya
"Chef tau kalian semua telah berjuang, tapi ada satu yang sanggat disayangkan karena KTN akan benar benar meninggalkan kita dua tahun kedepan"" ucap chef Rasya
Teri, Sesil dan Dafka yang mungkin belum mengetahui fakta ini melotot tak percaya dengan maksud ucapan Chef rasya ,
"Maka dari itu dengan amat menyesal kami pihak sekolah atas instruksi dari pimpinan untuk menghentikan kegiatan di KTN termasuk kegiatan yang satu ini"
"Maka dengan penuh penyesalan bapak mengeluarkan TiM Kapulaga dari kandidat juri tamu The Next Chef"
Deg
Hati Teri terasa mencelos saat mendengar itu semua, Dafka bahkan mencengkram bajunya untuk mengatasi rasa gugup yang tiba tiba hinggap, sedangkan Tim Asfargus hanya diam membisu menjadi pendengar yang baik.
"Untuk Tim Kapulaga kami pihak sekolah mengucapkan terimakasih untuk segala nya dan kami benar benar minta maaf"
"Untuk itu kalian dipersilahkan untuk kembali ke kelas masing masing"
Chef Rasya mengintruksikan untuk perginya Tim Kapulaga dari ballroom , tapi Teri hanya diam membeku dengan tatapan pedih, dia menertawakan kebodohan nya mempertahankan apa yang sudah seharusnya tidak ada, semua perjuangan nya benar benar hanya nol besar
"Ayo!" Qey menarik tangan Teri yang diam mematung, sementara Sesil terlihat menarik nafas berusaha untuk tidak memaki. Tim Asfargus menundukkan kepala sebagai penghormatan suportifitas kepada Tim Kapulaga.
Qey menyeret Teri dan juga yang lain mengikuti mereka dari belakang, langkah demi langkah kaki Tim Kapulaga mulai meningalkan Ballroom dengan hati yang terluka. Gaidan dan Qey tak banyak bicara mereka hanya berusaha mengendalikan emosinya yang mungkin akan sia dia.
Perjalanan berliku yang tidak mudah ini sama sekali tak menghasilkan apapun, Tim Kapulaga kini sudah benar benar meningalkan ballroom, mereka berlima menatap pintu masuk dengan tatapan penuh arti ada kesedihan, kecewa dan juga penyesalan di mata mereka saat ini.
"Kenapa mereka lakuin ini?" Lirih Teri yang sekarang berjongkok dan mulai menangis, mata Sesil memerah dan berkaca kaca.
"kak Gaidan!!"
Auorora dan Azka berlari kearah Tim Kapulaga yang saat ini tengah di selimuti kesedihan, Aurora dan Azka yang sekarang duduk di bangku kelas sebelas itupun kini tampak sama mereka khawatir dan was was dengan berita yang menyebar dengan cepat
"Apa bener KTN bakalan ditutup secara resmi?" Tanya Aurora kepada Qey
Tim Kapulaga yang terdiri dari lima orang itu kini hanya mengangguk, Aurora dan Azka benar benar tak bisa berkata kata dengan semua yang terjadi ini
"Tapi bagaimana dengan murid yang mendaftar di jurusan KTN yang jumlah nya ngak sedikit" Azka terus saja menanyakan hal yang mungkin tak mereka ketahui juga jawaban nya
"Ayo!" Ucap Qey mengajak kepada semua yang berada disana untuk berdiri dan kembali ke kelasnya
"Tegakan bahu kalian dan jangan berkecil hati, meskipun kita tak dihargai disini kita bisa membuat sendiri sekolah yang melambangkan harga diri dari kuliner Indonesia di masa depan" ucap Gaidan berusaha menghibur semua yang ada disana
Teri yang terus menitikan airmata kini berdiri dan Tim Kapulaga berjalan beriringan ditambah dengan Aurora dan juga Azka yang saat ikut bergabung dengan mereka, perlahan berjalan berdampingan meningkatkan ballroom yang mungkin tak akan bisa mereka pijaki lagi.
Sedangkan Tim Asfargus tanpa sepengetahuan mereka kini tengah menatap punggung Tim Kapulaga yang gugur dengan tatapan tak bisa di artikan, tangan Yudam menggenggam sesuatu entah apa itu.
Betapa lucunya Tim Kapulaga yang berusaha memerangi lawan diluar sana tapi di hancurkan oleh bagian dari mereka sendiri, meski hanya Qey yang tahu kebenaran tentang Lili tapi Yudam yakin perlahan semua akan tampak ke permukaan dan kebenaran akan terbongkar
"Semoga kita bisa bertemu kembali sebagai Tim di masa depan" lirik Kean menatap punggung Sesil.
"Cerialah ini sama sekali bukan akhir" lirik Yudam mungkin dia tujukan kepada Teri.
****
Berita sudah tersebar ke seluruh masyarakat jika KTN resmi ditutup, Tim Kapulaga yang sebentar lagi menerima kelulusan itu kini berkumpul di ruang tamu Gaidan tentu tanpa kehadiran Lili tentunya karena dia masuk belum sadarkan diri, kini meraka duduk sambil menyaksikan siaran langsung dari The Next Chef yang dimana timvAsfargus tampil disana saat ini dan Tim Kapulaga menonton nya bersama sama, penampilan Yudam, Topan, Franda dan Kean yang memukau. Meski mereka musuh tapi rasa bangga timbul begitu saja. Tim Kapulaga mungkin sudah bukan lagi Tim SMK Haida dan lambang dari KTN lagi tapi mereka tetaplah teman yang akan terus saling membutuhkan untuk waktu yang lama.
"Anak anak ini coba resep baru nenek!" Nenek Sum membawa nampan berisi cangkir dengan cairan keruh hitam yang dibawakan untuk kelima anak yang saat ini tengah menonton televisi
Mereka berlima saling berpandangan dan lari keluar rumah untuk menghindari Nenek Sum, karena mereka tahu jika mereka akan dijadikan bahan percobaan untuk mencicipi jamu baru nenek Sum yang amat sangat pahit
"Anak anak!"
"TIDAAAKKK"
Mereka berlima berlari sambil tertawa, setidaknya kecintaan mereka akan masakan tradisional tak akan sirna dan akan tetap ada hingga benar benar neraka tak bisa merasa kan nya lagi, pertanyaan nya sudahkah ini berakhir?, Akankah semua nya membaik, mereka hanya perlu dukungan dan kekuatan.
Tring
Satu pesan muncul di ponsel Gaidan
Terimakasih,
Viola.
Gaidan hanya tersenyum
Tamat.
Description: Kami berbeda !
Disaat peperangan mengunakan senjata dan menjatuhkan korban jiwa, kami mengunakan spatula dan berkutat di depan meja dengan kompor yang menyala, pertempuran yang melelahkan ini tak akan terjadi jika saja Sekolah Kuliner dengan dua jurusan yang saling bertentangan ini mulai berdamai.
Kami mungkin tak royal seperti mereka, kami hanya bisa mengandalkan rempah rempah alami yang ditanam sendiri untuk menghasilkan hidangan istimewa, tapi meski begitu keadilan tetap harus dijunjung tinggi di sekolah dengan dua jurusan berkonflik ini, bukan malah yang menguntungkan dinomor satukan dan yang lain di biarkan tenggelam. Itulah alasan kebencian jurusan Kuliner Tradisional kepada anak anak di jurusan Kuliner Modern yang menyebut mereka kampungan.
Karena alasan tersebut Teri dan Gaidan yang berjuang untuk mengubah pemikiran dangkal orang orang tentang jurusan nya dan mulai melangkah mengambil tindakan dengan membentuk tim Kapulaga yang berisikan enam remaja dengan bakat yang berbeda dan bersiap membuat perubahan baru bersama sama dan bersiap pula untuk melawan Tim unggulan dari jurusan sebelah, tapi siapa sangka perjuangan dan keringat mereka malah berbuah penutupan jurusan, mampukah mereka menyelamatkan nya?.
|
Title: Rindu
Category: Puisi
Text:
Rindu
Ditempat ini menjadikan aku bertumbuh
Dalam iman yang teguh
Di tempat ini aku beribadah
Untuk mengenal Tuhan yang kusembah
Hingga kini Aku rindu pada-Mu
Betapa kuingin bertemu
Meski hanya sebatas menatap
Engkau akan tinggal tetap
Dalam hati yang penuh kerapuhan
Tapi tak pernah Kau pandang hina
Aku Rindu pada-Mu tak dapat ku tahan
Tetesan air mata memenuhi pipi
Dalam diam kutelusuri relung hati
Ingin kusambut komuni
Dalam hosti tak beragi
Yang selalu memberi kekuatan
Semoga segera menyambut tubuh-Mu
Description: kerinduan akan sebuah kehadiran Tuhan disetiap hari minggu untuk merayakan sebuah ekaristi kudus.
|
Title: Rahasia Wanita Labil
Category: Adult Romance
Text:
01
Fitrah, remaja yang baru memasuki usia ±14tahun.
Fitrah hanya hidup berdua dengan ibu nya karena bapak nya telah meninggalkan mereka tanpa alasan sejak fitrah kelas 5 SD.
Ibu fitrah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di perumahan yg cukup jauh dari rumah, ibu fitrah menginap di rumah majikan & libur 1bulan 1x.
Fitrah tinggal sendiri di rumah karena fitrah adalah anak tunggal.
* * * *
Sedikit cerita tentang kehidupan keluarga fitrah.
Pokok nya di tunggu saran & kritik nya yaa ganks.
Dan jangan lupa vote nya.😊😊😊😊😊
02
Sore ini fitrah gak langsung pulang ke rumah, se-usai sekolah.
Fitrah langsung ke caffe Binam,, fitrah bekerja di sana sebagai penyanyi.
"Gue langsung cabut ya,fit. Mo nobar sama kak Polly" Ujar Neni, teman satu kelas nya.
"Ok, tanks yak dah nemenin gue." Sahut Saya
"Lo ntar balik nya?" Tanya Polly, kk kelas sekaligus teman baik saya.
"Ntar gue di anterin Edi, gue nunggu dia selesaiin gawean dulu"
"Jangan malem-malem balik nya"
"Iya, santuy."
"Langsung balik loh, gak pake mampir-mapir"
"Iya kak"
"Ok, kita cabut duluan",, " see you"
Setelah Kak Polly & Neni pergi, gak lama Edi menghampiri saya.
"Fit, sorry banget. Gue gak bisa anter lo balik. Gue di kasih tugas dadakan sama pak bos" Ujar Edi
"Aih, gimana sih lo. Tau gitu, gue bareng sama temen-temen gue tadi.!" Gerutu Saya
"Ya maaf, nama nya juga dadakan" Ujar Edi, lirih
Tetiba salah satu teman edi, mendekati meja saya.
Dia baru beberapa minggu bekerja di caffe ini.
"Kalau gak keberatan, gimana kalau aku yang anter kamu pulang fit?" Cowok itu menawarkan diri
Saya melirik ke arah edi, edi mengangguk.
"Rumah gue jauh loh, berlawanan arah dari kost-an lo" Sahut Saya
"Ya gak apa-apa"
"O_kay, klo gak ngerepotin lo"
"Sebentar, aku ambil kunci motor dulu di loker"
"Gue tunggu di depan, ntar lo langsung ke parkiran aja",, " Ya"
Cowok itu segera berjalan ke loker.
"Di_" Saya menggantung kata-kata
"Dia orang baik, lo aman sama dia. Percaya gue"
Saya mengangguk lalu segera berjalan keluar caffe.
* * *
Di Rumah.
"Makasih ya,mas udah anterin gue balik" Ucap Saya
"Sama-sama. Kalau gitu, aku langsung pamit ya fit." Sahut dia
"Ohya, gue belum tahu nama lo?"
"Toni"
"Gak mampir dulu?"
"Udah larut malam, gak enak sama tetangga kamu. Kamu tinggal sendirian kan?",, " Iya"
"Lain kali aku mampir"
"Oke. Sekali lagi, makasih ya."
03
Semakin hari, saya semakin dekat sama toni.
Toni baru di jakarta, dia kerja di caffe di ajak edi.
Kebetulan edi & toni satu kampung.
"Hai,fit" Sapa Edi
"Hai, mas ton mana?" Sahut Saya
"Wuidih, dateng-dateng yg di tanyain toni" Sindir Edi
"Hehehe,, napa?cemburu ya?" Ledek Saya
"Aih, kagak lah. Ohya, bukan e lo hari ini gak ada jadeal manggung ya?"
"Iya, gue kesini nyamperin toni. Kita dah janjian tadi di telpon, dia mo anterin gue balik."
"Napa doi gak jemput lo ke sekolah? Malah lo yg nyamperin kesini."
"Dia belum tau arah ke sekolah gue, beb"
"Hm, satu pesan dari gue. Lo tetap jaga diri lo bae-bae yaa fit."
"Iya,di. Lo tenang aja, lo percaya kan sama gue?"
Sekilas edi tersenyum.
Datang toni.
"Lama ya nunggu nya,fit?" Tanya Toni
"Kagak, gue baru datang kok" Jawab Saya
"Mo balik kapan?"
"Sekarang aja, soal nya gue capek. Tadi abis praktek volly",, " Oke"
"Di, gue balik duluan ya." Pamit Saya
"Hu.um,, Ati-ati di jalan" Sahut Edi
"Lo jangan capek-capek gawe nya, jangan lupa makan. Ntar langsung balik juga klo dah kelar gawe nya."
Iya bawal",, "Hehehe.."
"Ton, gue percaya sama elo." Ujar Edi
"Iya" Sahut Toni
* * *
Di Rumah.
"Mampir mas?",, " Boleh."
"Duduk,mas. Gue masuk dulu",, " Iya"
Saya segera masuk ke dalam rumah untuk ganti baju, setelah itu membikin minum ke dapur dan segera kembali ke teras rumah.
"Sorry, lama ya."
"Gak kok. Duh, pake repot-repot fit"
"Gak repot kok, cuma kopi sama sedikit cemilan aja"
Kami berdua ngobrol-ngobrol ringan, bahas tentang toni & tentang sekolah saya.
"Ng, fit. Sebenar nya ada yang mau aku omongin sama kamu."
"Ngomong aja,mas. Apaan?"
"Maaf sebelum nya kalo aku lancang, sebenar nya udah lama aku suka sama kamu, sayang sama kamu. Mau,gak kamu jadi pacar aku?"
Whats?? Toni nembak gue?? Gue harus jawab apa?? Gue suka sama dia but gue belum ada rasa sayang.
"Ng, jujur. Fit suka sama mas tapi fit belum ada rasa sayang buat mas." Jawan Saya
"Ya, gak apa-apa klo kamu nol.."
"Tapi fit mau kok jadi pacar mas. Siapa tau rasa sayang buat mas muncul seiring berjalan nya waktu" Ujar saya, memotong kata-kata toni
"Serius kamu nerima aku,fit??"
Saya mengangguk.
"Makasih ya,fit"
Saya tersenyum.
Suasana hening sejenak.
Tetiba datang Ros & Darul.
"Hai,fit" Sapa Ros
"Hai,ros. Ada apa? Tumben kesini." Sahut Saya
"Gue cuma mo ingetin lo, bulan depan rapat pemdadi di rumah lo."
"Iya, gue inget kok."
"Nih uang konsumsi nya."
Ros memberikan sebuah amplop pada saya.
"Tanks yak"
"Eh, siapa tuh? Cwo lo?"
"Oh, iya. Mas kenalin teman aku"
"Ros",, " Toni",, "Darul",, " Toni"
Toni bersalaman dengan ros & bergantian dengan darul.
"Pacare fitrah ya?" Tanya Ros, kepo
"Iya" Jawab Toni, jujur
"Wah, habis dari sini mending lo langsung cari kiyai deh bro. Gue yakin elo di pelet sama dia" Ujar Darul yang ngebuat gue emosi.
"Bacot lo.!! Gak ada yee dalam kamus gue main begonooan.!! Pergi sono.!! Jauh-jauh dari rumah gue.!!" Seru Saya, emosi
"Udah, fit. Sabar." Ujar Ros, menenangkan
"Sabar gimana?! Bacot nya tuh kya babi.!!"
"Sorry ya,Ton. Emang fitrah sama darul dari dulu gak pernah akur." Jelas Ros
"Ayo ros, kita cabut. Gue gak mo kena pelet juga kya toni." Ajak darul.
Ros & Darul segera pergi dari rumah saya.
"Maaf ya,mas. Jadi lihat perdebatan kecil"
"Gak apa-apa,dik"
"Dik??"
"Boleh kan aku panggil kamu,dik? Panggilan sayang aku buat kamu."
Saya mengangguk dan tersenyum malu.
04
Hari ini saya lelah sekali.
Sepulang sekol, saya di ajak neni,pita & kak polly nge-mall.
Mereka tuh ada aja alasan supaya saya gak pulang dulu.
Saya berjalan gontai menuju rumah.
Namun langkah saya berhenti saat melintas gedung aula dekat rumah.
Banyak kursi & meja tertata rapi di luar maupun dalam gedung.
Dan banyak makanan cattering berdatangan.
Seperti akan ada acara resmi di sana.
Tetiba bahu saya di tepuk seseorang dari belakang.
"Fitrah, kamu baru pulang?" Tanya Mama
"Loh, mama??" Saya Terkejut
"Iya, ini mama."
"Kapan mama pulang? Kok gak ngabari fit?? Bukan nya mama libur nya masih 2 minggu lagi ya??"
"Iya, mama ijin dadakan. Ayo pulang."
Saya & mama berjalan menuju rumah.
"Fit, kamu langsung mandi ya trus abis mandi pake gaun yang udah mama siapin di atas tempat tidur kamu"
"Gaun?? Emang nya mo ngapain pake gaun,ma?"
"Mama mau ajak kamu ke acara di gedung aula."
"Acara apaan,ma?"
"Kamu nanya terus. Udah mandi dulu sana, ntar juga kamu tau."
"Tapi,ma. Fit capek, mo rehat. Tadi pulang sekolah, fit di ajak keliling mall sama temen-temen" Keluh saya
"Ntar ikut sebentar aja kok, nanti trus pulang. Mama janji"
"Iya ma"
Saya segera mandi lalu memakai gaun yang sudah di siapkan mama.
Tok.. Tok.. Tok..
Terdengar suara pintu kamar saya di ketuk dari luar.
"Masuk,ma. Gak di kunci kok." Sahut saya
Saat saya menoleh ke arah pintu, ternyata yang masuk tante sinta, tetangga saya yang punya usaha salon di rumah nya.
Kaget donk saya.
"Loh?? Tante sinta?? Ada apa tan?" Tanya saya
"Tante ke sini mau merias kamu,fit" Jawab tante sinta
"Merias saya? Untuk apa tan?"
"Udah, kamu nurut aja. Nanti kamu juga tau."
"Ta_tapi tan.."
"Nurut aja,fit. Keburu malam nih"
"I_ya,tan"
Setelah selesai merias saya, tante sinta ijin keluar dari kamar saya.
Saya pun hendak keluar kamar.
Sebelum sempat keluar, tetiba pintu kamar di ketuk kembali dari luar.
"Masuk aja tan." Seru saya
Saya terkejut saat melihat bukan tante sinta yang muncul tetapi toni.
"Ma_mas ton??"
"Malam,fit." Sapa Toni
Toni terlihat begitu tampan memakai kemeja & jas putih.
Kya pangeran di cerita-cerita dongeng.
Sejenak saya tertegun, kagum melihat ketampanan nya.
Namun saya segera tersadar dari lamunan.
"Mas ngapain ke kamar aku??"
"Tenang fit."
"Tenang gimana?? Nanti kalo mama tau, gue bisa di marahi abis-abisan.!!"
"Aku udah minta izin, jadi mama gak akan marah."
Saya gugup ketika toni semakin mendekati saya.
"Fit, ada yang mau aku omongin sama kamu."
"Yaa, ngom_mong aja mas."
"Kamu inget,gak? Hari ini satu bulan nya kita"
"I_ya, emang kenapa mas?"
"Hari ini aku mau ngelamar kamu un.."
"Whats?? La_lamar?? Gila kamu,mas.!! Gak.!! Aku gak mau. Aku belum siap mas. Aku masih mau sekolah, kejar cita-cita aku, bahagiain mama, masih mo nongki sama tem.."
Toni memeluk saya, berusaha menenangkan saya.
"Fit, kamu dengerin aku dulu. Aku cuma mo lamar kamu jadi tunangan aku. Aku serius sama kamu dan aku siap nunggu kamu. Aku gak mau kamu nanti tergoda sama cwo lain."
"Tapi apa gak kelamaan mas?? Lagi pula aku masih SMP, mas_"
"Aku bakal nunggu kamu, berapa tahun pun itu."
Toni berusaha meyakinkan saya.
Acara pertunangan yang untuk saya terasa mendadak ini berjalan dengan lancar.
Beberapa tetangga dari beberapa RT/RW, beberapa teman dekat saya di sekolah hadir.
Dan acara lancar sampai selesai.
Entah berapa biaya yang udah di keluarkan keluarga toni untuk acara ini.
Acara nya sederhana namun aula nya di sulap menjadi sangat elegan dah kya gedung untuk resepsi pernikahan.
* * *
Pagi ini setelah subuhan, saya segera menuju dapur untuk membuat sarapan.
Saya membuat sarapan lebih banyak karena ada mas toni sekeluarga yang menginap di rumah saya juga beberapa teman kerja nya.
Sedangkan mama langsung balik ke tempat gawe, setelah acara selesai.
Entah kenapa mama setuju dengan acara semalam padahal belum lama mama kenal sama toni.
Setelah selesai masak, saya menyajikan makanan di meja makan lalu saya segera mandi.
Selesai mandi, ganti baju & sedikit berias, saya kembali ke ruang makan.
Saya menyiapkan minum di atas meja makan.
Gak lama keluarga mas toni & teman-teman nya menghampiri saya di ruang makan.
"Pagi Semua" Sapa Saya
"Pagi fit." Sahut Mereka
"Aduh, maafin ibu ya fit ndak bantu masak." Ujar ibu toni
"Gak apa-apa,bu. Lagian cuma masak nasi goreng doank kok." Sahut saya
"Ini semua lo yang masak,fit?" Tanya miko, teman gawe toni yang juga teman saya
"Iye lah, yuk sarapan."
"Mau lauk apa mas?" Tanya saya sambil mengambilkan nasi untuk toni
"Ayam aja." Jawab toni,, "Oke."
"Duh,, iri gue. Gak ada yang ladenin gue" Ujar edi dengan gaya sok sedih nya yang alay.
"Ibu ladenin pye,di?" Tanya ibu
"Aih, dewi ndak mau ackh punya bapak tiri elek kyo mas edi." Canda dewi, adik nya toni.
"Hahaha.." Kami semua tertawa.
"Udah-udah, gek sarapan sik."
"Masakn lo enak,fit" Puji kasin, teman gawe toni.
"Pinter masak juga lo" Imbuh yanto.
"Wah, pantes mas ton ndak sabar gelak pengen ngelamar mba fitrah." Goda dewi.
"Fitrah aja panggil nya,wi. Kita kan se-umuran" Kata saya.
"Yow saru nuw,mba. Kan mba fit calon e mas ku, jadi aku yow manggil e mba." Sahut dewi sambil tersenyum menggoda toni.
"Salut ibu sama kamu,fit. Jarang loh anak kota pinter masak. Biasane anak kota kan ndak suka masak opo meneh bersih-bersih rumah."
"Ibu bisa aja. Fit juga masih belajar masak kok. Belum bisa masak sayur yang neko-neko"
"Enak sih enak masakan nya tapi gak keasinan juga kali telur ceplok nya." Sindir edi.
"Masa sih asin?" Tanya saya
"Wah, ini tanda nya wis gak sabar njuk di rabi" Goda miko.
"Hahaha.."
* * *
Setelah sarapan, toni dan teman-teman nya ngobrol di ruang tengah, dewi & ibu membersihkan meja makan dan saya mencuci baju di sambi bersih-bersih ruangan.
* * *
Jam 09:00 Saya mengajak dewi ke pasar tradisional yang gak jauh dari rumah.
Sedangkan ibu, saya suruh rehat.
*
Selesai membeli sayur mayur untuk maksi, kami segera pulang.
Saat saya & dewi mau belok ke gang yang menuju rumah, saya bertabrak dengan darul.
Beberapa belanjaan saya jatuh berserakan.
"Woy, kalo jalan jangan cuma pake kaki. Mata juga liat kedepan. Gila lo.!!" Maki saya.
"Ma_maaf,maaf. Gu_gue gak sengaja" Ujar darul sambil membantu memunguti sayuran yang tercecer.
"Goblok di piara!!" Gerutu saya.
Setelah selesai membantu memunguti sayuran yang tercecer, darul segera jalan lagi tanpa balas makian saya.
Aneh tu anak, tumben gak bales makian gue?? Biasa nya dia ikutan emosi klo gue marah. Apa dia insyaf kali yak.
Ackh, sabodo teuing.
05
Malam ini rumah saya ketempatan untuk rapat bulanan pemdadi alias pemuda-mudi dari beberapa RT.
"Fit, gue perwakilan dari pemdadi mau ucapin selamat atas pertunangan lo sama toni. Semoga kalian langgeng sampai jenjang pernikahan,kelak." Ujar Troy, ketua pemdadi"Tanks ya bang but gue belum kepikiran married x, blum ada niat insyaf. Hehehe" Sahut saya"Ok, kumpulan bulan depan di basecamp ya. Ada yang pertanyaan or usulan?""Gak ada." Sahut kami, serempak."Acara saya tutup dengan membaca doa pada keyakinan masing-masing."Beberapa menit kemudian. "Berdoa selesai."Setelah selesai acara, sebagian ada yang pamit pulang, ada juga yg masih ngobrol-ngobrol.
Saya membersihkan beberapa kotak snack di bantu teman-teman & membersihkan lantai.
Selesai beres-beres, saya, ros & rahma ngobrol-ngobrol di ruang tengah.Tetiba nobu, cleo & darul mendekati saya.
"Tumben betah di rumah gue." Sindir saya ke darul.
Ros & rahma kode-kodean mata sama nobu & cleo.
"Woy, juling kapok lo pada.!!" Ujar saya, ketus"Ng, fi_t. Ng, dar_rul mo ngomong sama elo" Nobu menjelaskan dengan gugup."Mo ngemeng apa lagi?? Mo ngemeng apa nge-bully??""Rul, lo ngemeng lah." Ujar RahmaDarul masih membisu."Gini aja, kita tinggal kalian berdua. Ntar kita balik lagi.""Ta_tapi,ma. Gu_gue,, gue..""Gue jamin, darul gak bakal ngapa-ngapain lo. Bye.!"Ros dan yang lain nya segera keluar dari rumah saya, tinggal saya dan darul di ruang tengah. Berdua.
"Mo ngomong apa?" Tanya saya, acuh"Ng, gue.. gu_gue..ng.." Darul nampak gugup & terbata"To the point aja lah, gue gak suka basa-basi.""Gue.. gu_ee.. Ng,h.. Gue mo lo jadi pacar gue.!!"Whats?? Darul nembak gue?? Serius?? Gue gak lagi mimpi kan??
"Lelucon apaan tuh?? Sumvah,, garing!!""Gue serius,fit. Lo tau kan, dari SD gue suka sama elo, gue sayang sama elo.""Udah lah,rul. Jebakan lo tuh udah kebaca. Gak usah sok-sok drama dech depan gue.!!""Gue gak lagi drama,fit.! Gue beneran sayang sama elo. Lo mo bukti apa biar lo percaya??""Gue gak mo jadi bokin lo. Puas!!""Gue gak mo di tolak.!!""Urusan lo, gue gak perduli.!""Please, fit. Lo harus mau jadi cwe gue.!!""Gue udah tunangan dan lo tau itu.""Lo sayang sama dia?""Menurut lo?? Jelas gue sayang sama dia, klo gue gak sayang, gue nolak tunangan sama dia. Aneh lo.!""Gue juga sayang sama lo, lo tau kan?""Udah lah...""Gue juga yakin, lo sayang sama gue fit.""Percuma, gak usah dibahas lagi. Mending lo balik.""Gue gak bakal balik sebelum lo nerima gue""Rul, tolong hargai keputusan gue""Fit, kasih gue satu kesempatan. Satu aja.""Gue udah tu..""Baru tunangan, belum menikah. Lo masih bebas pilih,fit.""Klo gue nerima elo, sama aja gue mainin perasaan cwo. Kesan nya dah kya fuck girl tau,gk?! Gue gk mo ky gitu. Gue mau setia.""Gue gak keberatan lo duain dan gue yakin klo lo jodoh gue.!""Halu lo ketinggian,rul. Kita masih anak-anak labil, belim dewasa. Gak usah sok-sok ngomongin soal jodoh"
Tetiba terdengar suara hujan turun dengan angin kencang.
"Sepatu gue.!!"
Saya segera berlari ke arah dapur lalu menaiki anak tangga ke tempat jemuran.Darul mengikuti saya dari belakang.Saya mengambil sepatu yang hampir kebasahan karena hujan & darul hujan-hujanan.
"Woy, ayo turun. Pain lo malah ujan-ujanan, blegug sia.!" Seru Saya
"Gue gak mo turun sebelum lo nerima gue.!" Sahut Darul
"Sa'bodo teuing lah.!"
Saya segera turun dan meninggalkan darul.Beberapa menit kemudian, saya mulai gelisah karena darul gak turun-turun.Akhirnya saya kembali ke atas.
"Rul, ayo turun. Ntar lo sakit pya gue..""Iya, gue mau jadi cwe lo. Puas.!!""Apa fit??""Omongan gue gak bisa di ulang!!"Darul segera berlali & memeluk saya."Eh, apa-apaan lo?! Lo kan basah.""Tanks ya,fit." Bisik darulSaya & darul turun ke bawah."Bentar gue ambilin handuk sama baju ganti buat lo." "Emang lo punya baju cwo?""Ada celpen yg bisa buat cwe cwo, kaos seragam pemdadi jg ada satu lagi. Kebetulan gue beli 2 waktu itu. Bentar."
Saya segera mengambil handuk & pakaian ganti buat darul dikamar.Lalu segera saya kasih ke darul.
"Lo ganti di kamar mandi dekat dapur aja.""Tanks"
Setelah ganti baju, darul duduk di ruang tengah.Saya memndekati darul dengan membawa coklat hangat.
"Di minum,rul.""Tanks ya.""Cuma coklat hangat doank kok.""Bukan itu.",, " Trus?""Tanks udah mo nerima gue jadi cwo lo.""Terpaksa.""Tapi emang lo kan masih ada rasa ama gue.""Setrah lah.""Ya udah, mulai sekarang lo panggil gue nal dan gue panggil lo,fin. Jadi FiNAl. Oke""Final??" Saya bingung"Final singkatan dari Fitrah dan Jaenal. Kan nama gue Jaenal darul saputra""Ya, ya. Setrah lo dah."Tetiba dadul makin mendekati saya.
"Lo mo ngapain rul??""Kok rul lagi sih?! Nal.""Iya.!""Gue cuma mo nyium lo doank.""Gak, gak. Prinsip gue, gue mau cibi kelak klo gue udah nikah. Jadi gue mo cibi nya sama suami gue kelak.! Baru nembak dah mo grepek-grepek,gila lo.!!""Cuma nempel doangan kagak lebih, yaelah fit.""Ogah.!!""Sekali lah. Udah lo merem aja. Janji gue cuma nempel.""Tapi..""Lo dah berapa lama sih kenal gue? Masa gak percaya?!""Janji gak lebih.!!",, " Iya.""Ta_tapi.. Tapi.. Gak ah.! Gue belom pernah cibi. Takut gue.""Udah merem.""Janji sekali loh dan gk lebih.""Iya."
Saya mencoba memejamkan mata.Lalu darul mencium bibir saya.Terasa berdebar kencang jantung saya.This my first kiss.Bahkan sama toni pun belum pernah.Bukan nya toni gak mau cium bibir saya tapi saya selalu nolak dengan halus.Dan toni menghargai itu.
* * *
Saya terjaga saat hp saya berdering beberapa kali.Dan saya terkejut bahkan shock dengan melihat kondisi saya.Saya pun menangis histeris.Darul pun terjaga ketika mendengar tangisan saya.
"Fit..""Lo jahat,rul.!! Lo.. Gue.. Hiks.. Hiks..""Fit, lo tenang ya. Gue..""Jangan sentuh gue.!!" Ujar saya dengan ketus & penuh emosi.Saya segera memakai pakaian saya, darul pun."Lo kluar dari rumah gue, sekarang.!!""Tapi fit..""Gue benci elo,rul.!! Benci.!! Gue udah.. Gue.. Hiks.. Hiks.."Darul berusaha memeluk saya untuk menenangkan saya."Gak usah lo sentuh gue lagi.!!" Ujar saya dengan meronta."Gak nyangka gue,, ini kan tak tik lo buat ngelecehin gue atas nama cinta palsu lo itu!!""Fit!!" Seru darul, emosi"Gue serius sayang sama lo, gue gak bohong. Gue tulus.""Tai.!!""Gue tau, gue salah. Gue khilaf. Kita. Gak ada penolakan juga dari lo saat..""Kluar rul.!!" Teiak saya"Fit, gue janji. Gue bakal tanggung jawab seandainya lo hamil.""Gak.! Gue gak mau hamil. Apalagi punya anak dari lo. Enggak.!! Pokok nya lo pulang sono.!!"Saya mendorong darul untuk keluar dari rumah saya."Iya, iya. Gue pulang. Tapi kita masih jadian kan fi, gue gak mo putus dari lo.!!""Pergii.!!"
Darul mencium kening saya sebelum pergi.*Setelah darul pulang saya kembali duduk di ruang tengah,, menangis lagi. Menyesali dengan apa yang sudah terjadi.
* * *
06
Di tunggu saran & kritik nya yaa, ganks.
Jangan lupa di vote.
Nanti di lanjut lagi cerita nya.
😊 😊 😊 😊 😊
07
Pagi ini setelah mandi dan ganti baju, saya sarapan roti dan segelas susu putih hangat di ruang tengah sambil rebahan di sofa dan berselimut.
Saya sedikit demam.
Tetiba saya mendengar suara toni dari luar memanggil nama saya dan perlahan suara nya makin mendekat.
"Pagi sayang." Sapa Toni"Pagi mas." Sahut Saya"Loh udah mau siang kok masih selimutan?"Toni menempelkan tangan nya ke kening saya.
"Loh? Kamu sakit dik?"
"Cuma demam biasa kok,mas. Gpp. Di bawa tidur sebentar juga nanti sembuh.""Gak, gak. Kita harus ke dokter.!!" "Mas..""Gak ada penolakan.!!" "Cuma demam biasa kok,mas. Gpp. Di bawa tidur sebentar juga nanti sembuh.""Gak, gak. Kita harus ke dokter.!!" "Mas..""Gak ada penolakan.!!" "Cuma demam biasa kok,mas. Gpp. Di bawa tidur sebentar juga nanti sembuh.""Gak, gak. Kita harus ke dokter.!!" "Mas..""Gak ada penolakan.!!" Tegas toni"Ya ya, aku ambil jaket dulu di kamar."
Dengan lemas, saya berjalan ke kamar untuk mengambil jaket dan segera memakai nya.
Setelah itu saya kembali ke ruang tengah.
"Udah siap?" Tanya toni"Ya." Jawab saya, lemas.Dengan merangkul bahu saya, kami berjalan ke klinik yang tidak jauh dari rumah saya.
Kebetulan motor toni sedang di bengkel.
Di pertigaan gang depan, kami berpapasan dengan darul.
"Mau kemana?" Tanya DarulSejenak saya menoleh kebelakang."Lo ngomong sama gue?" Tanya saya, sinis"Mo kemana ton?" Tanya darul, kembali"Fitrah demam. Aku mo bawa ke klinik depan." Jawab toni."Lo demam?? Kalo gitu gue.. " Nada darul khawatir.
Saya melotot ke arah nya."Ng.. Kalo gitu gue ucapin semoga lekas sembuh." Lanjut darul, lirih.
* * * *
Description: Fitrah mulai mencoba mengubur rasa untuk darul & menerima pertunangan dengan toni.
namun setelah pertunangan, keperawanan fitrah direnggut oleh darul.
lantas apakah fitrah akan hamil?
apa yang harus fitrah lakukan?
yuk simak lengkap cerita nya.
jangan lupa vote ya.
di tunggu juga saran & kritik nya biar tambah semangat nulis nya.
|
Title: Rumah
Category: Cerita Pendek
Text:
Rumah
Baru saja aku menata rambutku yang berantakan, terdengar suara berisik dari dapur. Sekali lagi kutengok ranjangku yang masih berantakan dengan selimut menggantung di sisi ranjang. Barang kali merapikannya bisa menunggu. Aku lebih antusias ingin mengetahui siapa yang sedang sibuk menggali kulkas. Walaupun aku sendiri yakin siapa pelakunya.
Benar dugaanku. Tangannya sedang gatal sekali hingga semua makanan di dalam kulkas ia obrak-abrik sedemikian rupa.
“Ben?” panggilku pelan.
Ben memutar kepalanya. Wajahnya terlihat kusam dan kasar. Rambutnya yang terakhir kali terlihat rapi, kini seperti sarang burung.
“Dari mana saja kau? Sudah dua minggu kau tidak kemari.” Aku mengulangi pertanyaanku yang sudah kutanyakan sebanyak...mungkin lebih dari seribu kali.
Ben melengos dan melanjutkan aktifitasnya. Menemukan satu sandwich beku dan satu kaleng minuman soda, ia berputar dan duduk di bangku. Mulutnya sibuk mengunyah beberapa saat kemudian.
“Menyeberangi lautan selama satu minggu,” ucap Ben disela-sela kunyahan. “Minggu berikutnya, aku menaklukkan singa di hutan belantara.”
Mendengarnya berbicara hal-hal besar seperti itu, aku sudah terbiasa. Ben tidak pernah mau menjelaskan kepadaku tentang bagaimana lautan-lautan yang telah ia seberangi atau ia selami, atau gunung yang telah ia daki, atau hutan mana yang telah ia jelajahi. Tidak mau pula sekedar mengambil barang satu saja gambar abadi agar aku bisa meyakini apa yang ia lakukan. Ben memang seperti itu. Mencoba semisterius mungkin agar menjadi seperti apa yang ia katakan: “I’m invisible. I’m everywhere.” Mungkin drama serial dan film bertema pengembara yang ia saksikan sebulan sekali secara berulang-ulang turut andil menyumbangkan ide-ide gila di otaknya.
Kadang kala, Ben bisa lebih buruk dari sekarang. Tiga bulan lalu pakaiannya compang-camping, seolah ia benar-benar menghadapi singa paling liar di dunia. Saat itu yang dapat ia katakan adalah: “Aku kembali.” Setelah itu, Ben tidur selama tiga hari berturut-turut, hanya bangun untuk berdoa, makan, dan mandi. Jika aku mencoba untuk mengambil waktu bangunnya untuk satu menit saja mengobrol, Ben akan tertidur dengan sendirinya. Payahnya, aku harus mengangkat tubuhnya ke kamar. Hari keempat ia di rumah, yang bisa ia janjikan kepadaku adalah kepulangannya seminggu berikutnya. Ia bergegas lagi, mengejar alam atau apalah.
Saat-saat terberat adalah saat melepasnya. Ben terlalu bersenang-senang dengan alam, berlaku juga sebaliknya, sehingga Ben dan alam menciptakan sebuah teori bahwa keduanya tak bisa dipisahkan. Rasanya alam tak ingin membiarkan Ben berlama-lama denganku. Aku tak suka, namun aneh jika aku cemburu pada alam. Alam.Gunung, hutan, laut, dan sebagainya. Aku? Aku hanya seorang wanita.
“Ben,” ucapku sembari mendekatinya. Ben terus mengunyah tanpa melihatku. “Mungkin sudah waktunya merombak taman bunga di halaman belakang. Bisa kita lakukan besok?”
“Hmm...aku rasa tidak,” jawabnya dengan santai. “Aku harus pergi malam ini.”
“Secepat itu?” Suaraku terdengar parau. Entah karena rasa tidak nyaman yang terjun bebas dari dadaku, atau karena tekanan tidak terlihat yang mencekat tenggorokanku. Keduanya, mungkin. Namun aku lebih suka menyalahkan suaraku yang begitu adanya setelah bangun tidur karena terlalu lelah dengan alasan yang sama beribu-ribu kali. “Kali ini apa lagi yang memanggilmu?”
“Tebing Gibraltar.”
Suara jam dinding menggantikan suara seruan yang tadinya ingin kulemparkan tepat di depan wajah Ben. Kita hening. Ben memutar-mutar kaleng sodanya, membaca tulisan-tulisan di permukaan secara acak. Seolah tak mengerti apa yang kupikirkan, ia menenggak minuman sodanya perlahan-lahan dan menikmatinya seakan itu adalah minuman terakhirnya.
“Berapa lama?”
“Entahlah.”
“Bisakah aku ikut bersamamu?”
Ben mendongak, menatapku dengan matanya yang sayu dan lama-kelamaan menjadi tegas setelah menyadari dengan penuh permintaanku baru saja.
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena kau harus selalu berada di sini.”
“Aku tidak mengerti,” kataku, sudah terlanjur muak. Ben masih saja menatapku dengan tatapan tajamnya. Aku membalasnya dengan perlakuan yang sama. Percikan tegang yang terjadi di medan pandangan kami hampir dapat kulihat jika zat-zat aneh di udara tidak mengaburkannya. Sementara tak ada kata yang tertukar, waktu memperdengarkan kenyalangannya.
“Kau harus berada di sini, Mala.” Ben berdiri. Kini raut mukanya lebih jinak. “Sampai kapanpun, satu-satunya hal yang harus kau lakukan hanyalah tetap berada di tempatmu semula.”
“Kenapa aku harus tinggal dan kau harus pergi?”
Jujur, jika apa yang selama ini Ben katakan kepadaku setiap malam kami bersama memandang bintang tentang takdir kita yang saling memilin dan terikat adalah apa yang benar-benar ia katakan, maka logikanya tentang aku tinggal dan dia pergi adalah tidak masuk akal bagiku. Sama sekali tidak masuk akal.
Ben terlihat seperti ingin menguraikan jawabannya dari awal hingga akhir agar aku mengerti. Kedua alisnya bertautan dan kedua lengan ia angkat untuk diletakkan di kedua bahuku yang lebih rendah dari miliknya.
“Karena kau tidak akan pernah mengerti tentang konsep hidupku,” ucap Ben. “ Teorimu tentangku dan alam relatif benar. Tapi ada satu hal mutlak yang tak pernah bisa kuelakkan.”
Aku memperhatikan mulutnya yang bergerak mengucapkan setiap kata yang keluar.
“Kau adalah satu-satunya tempatku kembali.” Ben mengeratkan pegangannya pada kedua bahuku. “Oleh karena itu aku memintamu untuk tetap tinggal karena aku butuh satu tempat untuk kembali. Kau tidak bisa ikut denganku karena aku harus memastikan kau tidak pernah berpindah dan akan selalu menyambutku di sini, di tempat ini.”
Tiba-tiba saja dadaku menghangat.
“Alam mungkin bisa menjeratku dan menenggelamkanku dalam pesonanya, tapi aku bertaruh, Mala, kau tidak pernah tahu rasanya melihat rumah setelah berminggu-minggu tersesat. Itu adalah hal yang paling membahagiakan dan paling melegakan dari semua perasaan yang bisa kurasakan. Dan rumah itu adalah kau, Mala.” Ben menjajarkan pandangannya denganku. “Kau mengerti?” tanyanya lembut. “Aku akan selalu pergi, tapi aku juga akan selalu kembali. Kepadamu. Ke rumahku. Kau harus berada di sini.”
Bukan salah harga diriku jika aku mengangguk membalasnya beberapa detik kemudian, karena... hati siapa yang tidak meleleh dengan kejujuran Ben?
Sebuah senyuman yang sudah lama tidak kulihat mengembang di wajahnya. Keinginan untuk memeluknya begitu besar sehingga satu-satunya hal yang kulakukan kemudian hanyalah memeluknya, begitu erat hingga Ben tertawa dan mendorongku menjauh untuk bernafas.
“Aku akan menambah koleksi bungamu di taman belakang.” Ben mengacak pelan rambutku. “Akan kubawakan Silene tomentosa dari Gibraltar.”
Aku terkekeh. “Aku ingin bertaruh satu juta dolar. Kau tidak akan berhasil membawanya pulang.”
“Kita lihat saja nanti.”
Description: Rumah adalah tempatmu kembali kemanapun kau pergi.
|
Title: Rezeki dan Ujian Tak Akan Tertukar
Category: Opini
Text:
Yang paling bahagia
Apakah manusia mengira telah beriman sedangkan mereka belum diuji” (QS. al ankabut:2)
Jangan kan penyakit, musibah, atau bencana. Pun rezeki adalah ujian. Apakah kita bersyukur atau kufur atas rezeki itu.
Ada orang di usia muda, sudah menikah, sudah punya rumah, mobil tinggal pake, pekerjaan layak. Di sisi lain, ada orang di usia tua, masih sendiri, rumah ngontrak, kemana-mana jalan kaki, kerja nggak nentu.
Ada orang punya rumah besar, ada banyak kamar yang bisa diisi, belum punya anak. Di sisi lain, ada orang yang rumahnya tiga petak, kamar mandi, ruang tengah, sama ruang depan yang kalau siang jadi ruang tamu, kalau malam jadi ruang tidur, anaknya banyak.
Suatu cerita, ada orang kaya sedang mengendarai mobil yang melintas di sebuah pedesaan. Di tengah perjalanan, ia melihat seorang petani di bawah terik matahari yang sedang mencangkul lahannya dihampiri istrinya yang menggembol bakul membawa bekal untuk kemudian makan bersama di gubuk sawahnya.
“Duh enak ya orang itu, siang-siang panas gini dibawain bekal sama istri dan anaknya makan bareng” ujar si orang kaya itu.
Di sisi lain, si petani melihat mobil melintas seraya berkata, “enak sekali orang di mobil itu, di tengah terik siang di dalem mobil yg ada AC-nya, pasti sejuk.”
Lalu siapa orang paling berbahagia atas ujian yang dihadapinya?
Allah sudah kasih tahu kita jawabannya. Orang yang paling bahagia di atas muka bumi adalah orang yang lapang hatinya.
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” [QS. al insyirah: 1]
Kurang baik gimana Allah sama kita?
Sesungguhnya dibalik kesulitan itu ada kemudahan. Sungguh, balik kesulitan ada kemudahan. [QS. al insyirah: 5-6]
Allah punya berbagai cara untuk setiap hamba-Nya, agar kita selalu ingat pada-Nya. Agar kita selalu berharap kepada-Nya.
Apa iya kalau kita hidup lancar-lancar aja. Nggak punya masalah. Nggak punya penyakit. Bakal ingat sama Allah? Bakal berdoa minta ini, minta itu.
Kadang, kita lupa sama Allah kalau lagi seneng kalau lagi sehat kalau lagi banyak rezeki. Kadang kita lupa dari mana nikmat itu berasal.
“Dan ingatlah Allah banyak-banyak, supaya kamu beruntung.” [QS. Al jumuah: 10]
Mencari kehendak Tuhan
Innama amruhu idza aroda sayyan ayya qulalahu kun fayakun~~
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” [Yasin: 82]
Dari ayat di atas secara gamblang Allah menyampaikan kepada kita kalau Dia menghendaki sesuatu, tinggal bilang “jadi, ya jadi”. Gitu. Nggak ada yang susah bagi Allah dan janji Allah itu pasti. Tidak seperti kita yang suka ingkar.
Gampang dah yang belom punya rumah. Gampang dah yang belom punya pasangan.
Gampang dah yang belom punya momongan.
Gampang dah yang belom bisa berangkat ke tanah suci.
Gampang semua mah bagi Allah.
Yang punya keinginan pengen terkabul. Yang punya hajat pengen terwujud. Yang pertama kita datangin ya Allah. Karena innallaha ala kulli syai in qodir, sesungguhnya Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu [al baqara: 109]. Jelas kalau gitu tanpa kehendakNya, rencana tinggalah rencana.
Nah solusinya gimana sekarang?
Ya kalau kita punya keinginan mau terjadi, berati minta sama Yang Punya Kuasa sesuatu itu bisa terjadi, Allah. “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” Janji Allah begitu tuh dalam Al Mu’min ayat 60.
Cuma kadang, kita suka cari solusi jauh-jauh. Suka minta tolong sama yang jauh. Tapi sama yang paling deket, kita suka lupa. Allah tau emang sifat dan kelakuan kita, makanya ada ayat bilang gini, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” [Qaf: 16]. Yang bisik-bisik dalam hati aja Allah tahu, apalagi kalau diucapin, dipintain , Allah lebih seneng lagi.
Logika sederhananya gini, misal, ada orang minta sesuatu sama kita, yang kita kasih kira-kira yang orangnya gimana sama kita? Yang baik apa yang tengil? Yang kita suka apa yang kita benci?
Pasti kita udah tau jawabannya apa kan.
Ya kira-kita begitu juga lah Allah. Yang dikabulin doanya ya yang Allah suka yang Allah seneng yang Allah ridho.
“Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. [at taubah: 7].
Kita aja kalau suka sama orang. Seneng sama orang. Mau-nya apa juga diturutin, mau apa aja juga di-iya-in. Apalagi Allah yang lebih Maha Pengasih, yang lebih Maha Penyayang.
RS Gading Pluit, Jakarta.
Sabtu, 14 Juli 2018
Description: Sampaikan kebaikan setiap hari walau hanya satu ayat. Memaknai ayat dari perspektif kehidupan sehari-hari.
|
Title: Real Tale
Category: Dongeng
Text:
Tentang Dunia Harapan
Dunia Harapan adalah sebuah dunia yang indah penuh dengan kebahagiaan. Tempat dimana Cinderella menaruh harapannya untuk bertemu sang pangeran, tempat dimana Snow White terbangun dari apel beracun yang diberikan ibu tirinya, tempat Rapunzel membebaskan dirinya dari menara yang mengurungnya, tempat si putri duyung bermimpi menjadi manusia dan tempat ketika Aurora si putri tidur itu pertama kali membuka matanya setelah tidur panjangnya ratusan tahun. Itulah yang disebut Dunia Harapan. Dunia dimana tak ada kesedihan dan semua orang bebas memimpikan apa yang ingin dia impikan.
Di dunia itu juga tinggal ke-12 Zodiak yang terkenal di dunia manusia. Dimulai dari pemimpin mereka- Sagitarius yang bijaksana, dia memerintah Dunia Harapan selama berabad-abad dan posisinya sebagai penguasa adalah yang paling disegani diantara ke-12 Zodiak tersebut.
Capricorn yang gagah. Dia Ksatria Sagitarius yang sangat setia, pekerja keras, gigih dan dapat dipercaya. Capricorn adalah pujaan setiap mahkluk di dunia Harapan. Dia menjadi sebuah teladan dalam pencapaian keberhasilan mengingat bagaimana usaha Capricorn yang berjuang dari titik nol hingga akhirnya menjadi sukses.
Urutan ke-3 adalah Dewi Aquarius, istri dari Sagitarius yang bijak. Dengan kata lain dia adalah ratu yang mengendalikan dunia dibawah laut. Aquarius adalah sosok yang penyabar dan lembut namun juga dapat bersikap keras dan posesif jika dia merasa terancam.
Selanjutnya adalah Pangeran Pisces diposisi ke-4, putra dari Dewi aquarius dan Sagitarius yang bijaksana. Dia mewarisi rupa yang sempurna dari kedua orang tuanya, berhati lembut dan penyayang terhadap sesama. Sebagai pangeran Pisces merupakan pujaan semua wanita, dia menawan dan juga puitis namun satu hal yang menjadi kelemahannya adalah dia tidak sekuat Ksatria Capricorn.
Aries di tempat ke-5 adalah salah satu saudara kandung Capricorn. Tapi mereka sama sekali tidak pernah akur, bahkan keduanya terlibat dalam suatu persaingan dalam hal apapun.
Lain Aries lain pula Gemini, dia merupakan seorang penyihir hebat di Dunia Harapan. Sayangnya dia terkenal licik dan bermuka dua. Penyihir Gemini mempunyai pengikut setia yang tak lain adalah Leo, si singa raksasa yang sangat ditakuti di dunia Harapan. Selanjutnya urutan ke- 8, 9 hingga 12 adalah Virgo si putri cantik yang menjadi kekasih pangeran Pisces sejak kecil, Libra si penasehat Sagitarius yang penuh pertimbangan hingga Taurus sahabat Aries dan Capricorn yang selalu menjadi penengah, serta Scorpio yang paling misterius dari ke-12 lainnya. Entah dia berpihak pada kebenaran atau kejahatan, tidak ada yang dapat mengetahuinya.
Description: Pangeran Pisces yang menawan dan Ksatria Capricorn yang gagah,
itulah yang dibutuhkan Peri Cancer untuk menyelamatkan Dunia Harapan-nya dari sihir jahat yang bernama Realita.
Entah siapa yang datang sebagai takdirnya, yang pasti dia menunggu di Lembah Kesunyian.
|
Title: Rehat
Category: Novel
Text:
BINASA
Aku dan kau seperti lagu hening cipta
Sudah gugur dan hanya untuk dikenang
Kau dan dia seperti lagu hari merdeka
Sekali merdeka tetap merdeka
Aku tertegun menatap langi-langit kamar membayangkan kisah kita yang ternyata sudah usang. Lampu yang mulai redup menemani kesunyianku di tengah malam. Disambut hujan yang kian lama kian menderas diikuti petir yang kadang menyambar. Alunan lagu Luruh dari loudspeaker kecil yang terhubung dengan blutooth ponselku makin lama makin pekat menambah kegalauanku di malam ini.
Lagu ini cukup mewakilkan hatiku yang kacau balau perkara kehidupan yang tak kunjung usai. Salah satunya tentang kamu yang mengucap usai tanpa perasaan. Melebur sudah rasaku diayun lagu itu.
Air mata itu membuncah ketika alunan lagu itu tiba di lirik :
Didalam pusaranmu
Adakah ruang untuk
Kau dan aku pengaruh
Kau dan aku
Kau dan aku (Luruh)
Kau dan aku (Luruh)
Ke...tika
Ingin ku dan inginmu
Takme...takmenyatu
Adakah jalan
Tuk kita
Adakah terang
Di ujung kelam
Tenggelam dilautan
Pikiran dan amarahku
Tenggelam disamudra
Terhempas ku tak menentu
(luruh : Isyana & Rara Sekar)
Belum selesai lagu itu berada di titik akhirnya tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata pesan dari sahabatku Nadine Pradipta. Dia sahabatku sejak zaman kuliah hingga sekarang.
Entah kenapa pesan dari Nadine cukup membuat degup jantungku berdetak kencang. Aku bahkan tak pernah mengalami ini sebelumnya saat menerima pesan dari Nadine. Ku atur posisiku kembali dari yang tadi tidur ke posisi duduk.
Ku buka pesan dari Nadine, dan itu sepertinya sebuah screean shot sebuah foto. Cukup lama foto itu terbuka mungkin karena jaringan yang begitu lemah diakibatkan hujan deras. Alunan lagu luruh pun telah selesai diganti dengan lagu Judika.Sebelum pesan foto pertama terbuka dia mengirim pesan lagi.
"Dia bertunangan."
Itu cukup membuatku bertanya-tanya siapa yang dimaksud Nadine.
Akhirnya foto itu terbuka dan benar jantungku berdegup semakin kencang diikuti air mataku yang jatuh satu persatu. Tak ada ucap lagi yang bisa k tuah, tanganku lemas dan pertahananku runtuh.
Kulihat terpampang di layar ponselku wajah pria dan wanita sambil menunjukkan tangan mereka yang telah disematkan cincin permata yang indah bersama dengan senyuman saling memandang penuh cinta.
Petir tiba-tiba menyambar lagi, seketika membuat aku tersadar. Foto itu langsung kuhapus. Menyimpannya sama saja membuat dadaku semakin sesak.
Malam ini sepertinya semua hanyut dalam kesedihanku. Lampu semakin lama semakin meredup, hujan menampakkan keaagungannya, petir menunjukkan kekuatannya, alunan lagu semakin menyayat jiwa.
Jangan sampai hingga perpisahan tiba
Dan semua yang tersisa hanyalah air mata
Hanya air mata
Mungkin saja cinta kan menghilang selamanya
Dan semua yang tersisa hanyalah air mata
Hanya air mata cinta
(judika : jikalau kau cinta )
***
"Cha bangun nak sudah jam 06.00, shubuh hampir selesai " suara lirih Mama terdengar dari balik pintu.
"Iya ma." Jawabku.
Malam hingga terbit pagi mataku tak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda untuk tidur. Peristiwa tadi malam masih melekat di bayanganku. Ingatanku masih terpikat dengan foto yang dikirim oleh Nadine. Sesosok laki yang sangat kucintai. Raga Pribumi namanya. Lelaki yang kukenal pada masa perkuliahan. Raga kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV). Namun dia berbeda dengan mahasiswa lainnya. Dia mengemban tugas menjadi Asisiten Dosen (Asdos) yang membuatnya terlihat lebih pintar dibandingkan mahasiswa lainnya dan dia memiliki etos kerja yang sangat bagus. Segala tanggung jawab dapat dipenuhinya sehingga mampu membuatku luluh untuk menerima cinta darinya.
Setelah sekian lama aku tidak pernah menjalin hubungan dengan laki-laki, Raga satu-satunya lelaki yang kembali ku terima untuk menjadi kekasihku. Tapi, semenjak di terima di salah satu perusahaan waktunya semakin memadat. Pagi ke petang penuh dengan kesibukan. Malam waktunya untuk merebahkan dirinya sedang aku mengharapkan kehadirannya disetiap kegagalan-kegagalanku. Hingga hubungan itu semakin rumit dan tak terkendalikan.
Ternyata hari itu untuk terakhir kalinya aku mendengar suara Raga. Dia menelfonku dengan suara yang agak lemah. Percakapan itu terasa canggung. Hingga Raga kembali mengucapkan sebuah kalimat.
"Lebih baik kita putus."
Sungguh jantungku tidak karuan mendengar ucapan Raga untuk pertama kalinya dia mengucapkan kalimat seperti itu setelah 2 tahun kami menjalin hubungan.
"kenapa, salah aku apa?" tanyaku.
"aku bosan dan lelah dengan perkelahian kita, aku tidak mau menyakitimu" Jawabnya.
"apa kata bosan yang hanya bisa kamu utarakan setelah kita menjalin hubungan selama 2 tahun?" Tanyaku lagi.
Suaranya bergeming tak ada jawaban.
"kalau kamu tak mau menyakitiku, seharusnya kamu tidak memutuskanku Raga" Ucapku.
Dia masih tetap bergeming juga.
"kamu terlalu berbelit-belit Raga. Katakan yang sesungguhnya, jangan kamu membuat seolah-olah aku berada di situasi yang salah" Desakku.
Dia masih saja tetap diam tanpa sebuah kata.
"kata bosan bukan kata yang tepat memutuskan hubungan Raga. Kata lelah bukan kata tepat yang harus kau ucapkan dengan hubungan yang sudah terjalin 2 tahun. Amarah, sedih, kecewa, senang sudah kita dekap Raga" Ucapku lirih.
"apakah aku sekarang sudah menjadi pilihan?" tanyaku.
Tapi tetap saja dia masih membungkam mulutnya.
"apakah aku sekarang sudah menjadi pilihan?" tanyaku lagi.
Cukup lama dia menjawabnya.
"iya" Ucapnya dengan suara yang tegas.
Air mataku jatuh seketika, isak tangisku semakin merajalela. Tanpa kusadari dia sudah mematikan telefon itu seketika.
Suara ketukan pintu membuat buyar seluruh memori kenanganku.
"Cha..Cha bangun nak, shubuh hampir selesai " Ucap Mamaku lagi.
Ku buka pintu kamarku, kulihat Mama masih berada di depan pintu kamarku.
"kenapa, matamu kok sembab gitu" Ucap Mama penuh keheranan.
"Gak papa Ma" Ucapku sambil pergi ke kamar mandi untuk berwudhu.
MENYATAKAN
Semburat kebahagianmu begitu lega
Lapang tak berdosa
Aku tahu Tuhan mengatur segala
Tentang kita yang tak sama
Mungkin sabar yang kini ku kira
Atau nantinya berujung alhamdulillah
Mama sudah pergi sejak pagi tadi. Mama ku memiliki warung telur di pasar. Mama yang menjadi tulang punggung hidup kami setelah 5 tahun yang lalu di tinggal pergi Ayah. Dan kakakku juga membantu Mama untuk membiayai hidup kami. Mama memiliki dua anak . Kakakku Vira Sasmita saat ini berumur 27 tahun dan bekerja sebagai karyawan swasta. Aku Asia Chakira yang biasa dipanggil Chaca atau cha. Wanita yang biasa saja , berkulit putih dengan rambut yang setiap hari dikuncir tapi pecinta boneka elmo, pecinta k pop dan pecinta sepatu kets. Saat ini berumur 22 tahun dan bergelar sebagai pengacara, Lebih tepatnya Pengangguran Banyak Acara. Aku lulusan Administrasi Negara dan sudah 5 bulan menggangur. Sering melamar pekerjaan tapi selalu ditolak. Saat ini masih merasakan patah hati berkelanjutan.
Hari ini hari minggu tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Cahaya redup di wajahku masih membekas. Ku putuskan untuk membersihkan rumah agar sejenak lupa tentang Raga. Tapi masih saja terngiang namanya di sela-sela aku menyibukkan diri.
Ku rapikan rak buku yang mulai berantakan. Di sisi celah rak buku kuliat ada sebuah buku tabungan atas nama Vira Sasmita. Buku tabungan itu sepertinya milik kakakku. Kubuka buku tabungan, betapa terkejutnya aku melihat saldo uang di buku tabungan sekitar 60 juta rupiah. Bagaimana mungkin kakakku memiliki uang begitu banyak hanya sebagai karyawan swasta.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku beranjak mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur dan kuletakkan kembali buku tabungan itu ke celah rak buku. Sebuah nama yang sangat melekat tertera di ponselku yaitu Robi Kurniawan.
"kenapa Bi ?” tanyaku.
"aku di depan rumahmu, cha" Jawabnya.
Kulihat dari jendela Robi sudah berada tepat di depan rumahku. Aku, Nadine dan Robi sudah bersahabat sejak kami di perkuliahan. Robi tipe orang yang cuek dengan apapun. Robi tidak tahu menahu mengenai media sosial. Dia hanya butuh whatshap untuk berkomunikasi sedang Instagram, twitter,fb dan lainnya tidak ada satupun yang tertera di ponselnya. Sepertinya Nadine sudah bercerita perihal kesedihan yang sedang aku alami kepada Robi melalui whatshap atau dia mengirim foto itu juga kepada Robi.
Ku buka pintu kulihat dia masih dengan gayanya yang acak-acakan. Masih menggunakan kaus oblong, celana pendek selutut dan memakai sandal jepit yang hampir putus sambil menenteng plastik kecil.
"Cha ini ice cream" ucapnya sambil menyodorkan plastik kecil.
"terimakasih Bi, masuk yukk ! ajakku pada Robi.
" Ibu di rumah?" tanya Robi.
"enggak, Mama masih di pasar." Jawabku.
"yaudah kita diluar aja ."
Aku tahu Robi sangat menghargai wanita, dia tidak akan mau masuk ke rumahku kalau tidak ada Mama ataupun kakakku . Dia takut nanti akan jadi fitnah.
Aku dan dia duduk di kursi teras rumah.
"makanlah es krimnya Cha, entar keburu cair lagi."ucapnya.
Aku beranjak ke dapur mengambil sendok dan kembali ke teras.
" mau gak." Tanyaku padanya.
"makanlah." Jawabnya.
Diliatnya aku yang tetap semangat memakan ice cream walaupun dengan wajah murung. Tak ada sedikitpun percakapan di antara kami pada saat aku melahap ice cream. Aku beruntung memiliki sahabat seperti Robi. Robi selalu datang membawa ice cream ketika aku sedih. Sepertinya itu menjadi rutinitas Robi saat aku lagi bersedih.
Selesai diliatnya aku menghabiskan ice cream, Robi berpamitan untuk pulang.
" aku pulang ya , Cha."
Dan aku hanya mengganguk.
Dia kembali menuju vespa bututnya. Aku tidak tahu kenapa Robi begitu sederhana, padahal keluarganya memiliki segalanya. Tapi Robi memilih hidup biasa saja.Aku masih berdiri di teras rumah sambil memandang Robi. Robi menatap pandanganku kembali begitu lekat dari kejauhan. Dia kembali lagi ke teras rumah untuk menghampiriku.
"kenapa, ada yang tinggal ?" tanyaku.
"Cha hidup tak ada yang benar-benar menjadi milik kita. Raga, aku, Nadine, Mamamu, Kakakmu dan siapa pu itu. Semua itu bukan milik mu Cha. Semua dimuka bumi ini titipan. Jangan menjatuhkan perasaan yang dalam kepada sesuatu yang bukan milikmu. Kebahagiaan yang kau dapat dari Raga itu hanya kamuflase dunia. Sesungguhnya kesedihan yang kau alami sekarang adalah pelajaran hidup bagimu."
Entah kenapa Robi berbicara seperti itu, tapi itu cukup membuat dadaku sesak. Robi benar dan ucapannya sangat benar.
Robi kembali ke vespa bututnya dan berlalu pergi.
***
Pengangguran memang membuat aku uring-uringan di rumah. Rutinitas di rumah jadi makanan sehari-hari seperti membantu Mama di warung telur atau bersihin rumah. Pagi hingga malam rasanya hanya itu saja yang berulang-ulang terjadi.
Ku liat layar ponselku, Nadine mengirim pesan melalui via whatshapp .
"pigi yok" Ucap Nadine.
"males ahh" Balasku.
"yaelah, gak usah sedih mulu napa? Udah dong sedih-sedihnya. Wake up girl."
"seriusan males banget keluar." Balasku.
"pokoknya harus ikut" Paksa Nadine.
Aku tidak membalas lagi pesan Nadine. Ku putar alunan lagu melalui loudspeaker kecil kesukaanku yang dipasangkan melalui bloetooth ponselku. Ku putar lagu sambil membayangkan raut wajah tentang Raga. Aku belum mampu meninggalkan kenangan tapi Raga dengan mudahnya meninggalkan aku demi wanita lain. Semudah itu ternyata dia untuk melupakan kenangan bersamaku. Harapan-harapan itu sudah pupus seiring berjalannya waktu. Ku liat ke arah lemari masih saja banyak terpampang boneka-boneka pemberian Raga. aku beranjak dari kasur pergi ke arah lemari, ku liat satu-persatu boneka-boneka itu. Aku masih ingat kapan dia memberikan boneka-boneka itu. Aku masih ingat raut wajah kebahagiaan itu ketika aku menerima boneka pemberian dia. Tapi semua kenangan itu serasa lenyap ketika aku kembali mengingat foto tunangan Raga bersama wanita itu. Menetes kembali air mataku mengingat semuanya. Raga benar-benar sudah melupakan aku.
Aku terkejut ketika kak Vira tiba-tiba masuk ke kamar sambil membawa barang belanjaan.Ku usap air mataku sambil kembali ke kasur dan menggunakan ponselku.
"kenapa dek"ucap kk Vira.
" gak papa kak" Jawabku.
"kok kayak nangis gitu?" tanya kak Vira.
"gak nangis kok kak" Jawabku.
"emang kamu udah putus ya sama Raga, dia uda tunangan ya ?" Tanya kak Vira lagi.
"kok kak Vira tau?" tanyaku kembali.
"yaelah dek, zaman sekarang kan media sosial udah canggih. Dia kan upload foto di instagram. Kakak pasti tau dong" Jawab kak Vira.
Kak Vira benar, zaman sekarang kita tak perlu tau berita dari mulut orang. Media sosial semuanya terpampang nyata. Kesedihan, kebahagiaan semua rasa ditunjukkan melalui media sosial.
"iya kak" Jawabku kembali.
"kan Raga itu gak baik samaku kamu, kakak udah bilang dari dulu. Kamunya gak percaya sih." Jawab kak Vira.
Seandainya dari dulu aku mendengarkan kak Vira mungkin aku tidak pernah menjalin hubungan dengan Raga dan tidak merasakan kekecewaan sedalam ini, pikirku.
"beli baju mulu kak." Tanyaku kembali pada kak Vira.
Dia bergeming tak memberi jawaban sambil merapikan baju-baju yang dilemarinya.
"ouh iya kak, kemarin aku liat buku tabungan kakak di celah rak buku." Ucapku.
Tapi dia masih saja bergeming.
"uangnya 60 jutaan. Uang kakak banyak banget ya." Jawabku lagi.
Tapi dia masih saja bergeming.
"kak kenapa sih, kok pertanyaan ku gak ada yang dijawab." Jawabku jengkel.
" itu uang teman kakak. Dia nitip sama kakak."
" banyak ya? " tanyaku kembali.
Tapi kak Vira diam membisu kembali sambil merapikan bajunya kembali.
Aku tak tahu kalau alunan lagu dari louspeaker kecil itu sudah menghantarkan aku untuk tidur. Bahkan kak Vira pergi, aku tidak menyadarinya.Kuliat layar ponselku Nadine dan Robi menelfon ku sedari tadi. Hingga aku tersentak, pintu rumah kami serasa ada yang sedang membuka. Aku berjalan keluar kamar dengan berlahan, ternyata Mamaku sudah pulang dari warung diikuti dua orang yang sangat kukenal sambil masuk ke dalam rumah. Ku sambut Mama dengan senyuman dan dua orang yang menyelinap ke rumah kami.
" ah gila lo ya Cha, tidur lo ngeri banget. Kita capek ketuk-ketuk pintu rumah dan nelfonin lo. Untung ada Ibu kalau enggak udah gue dobrak pintu ni rumah." Ucap ketus Nadine.
Mama hanya tersenyum mendengar ocehan Nadine sambil berlalu masuk ke kamar sedang Robi terlihat santai dengan kecuekannya.
Aku hanya tersenyum dan meminta maaf.
"pigi sana, buruan mandi. Biar kita capp cuss.. " ketus Nadine.
"iya Ny.Judes, bakalan mandi cantik dong aku ini. Emang kemana kita sih?" tanyaku kembali.
"gak tau juga sih, Cha." Jawab Nadine.
"yaelah ngajakin keluar tapi pada gak tau entah kemana." Jawabku kesal.
"kemana kita Bi?"Tanya Nadine.
"tempat biasa aja lah" Jawab Robi santai.
"pengennya ke tempat lain,bosan kesitu mulu" Jawab manja Nadine.
Entah kenapa ucapan bosan yang keluar dari mulut Nadine terasa menyakitkan. Aku masih teringat dengan Raga yang dengan mudah mengucapkan kata bosan.
"ya kemana Nadine ku tersayang, aduhh ribet amat dah" Jawabku.
"ya..ya..ya. ke tempat biasa aja deh" Jawab Nadine.
Setelah mereka menungguku, kami pun langsung berpamitan kepada Mama dan pergi ke cafe tempat kami biasa berbagi cerita. Lebih tepatnya berbagi gosip yang fenomenal.
"bareng aku atau sama Robi, Cha?" Tanya Nadine.
"bareng kamu dong sayangku" Jawab manja aku sambil menaiki motor Nadine sambil memegang erat tubuh Nadine.
"manja banget dah, anak sebijik ini" Timpal Nadine.
"rindu aku tu sama kamu" Ucapku.
"yakin rindu sama aku. Bukannya sama yang dulu ya." Jawab Nadine sambil terkekeh.
'au ah bodo." Jawabku kesal.
Robi mengikuti kami dari belakang dengan vespa biru bututnya.
Selama perjalanan di bonceng Nadine. Semua isi pikiranku tentang Raga. Sekalipun Nadine dan Robi membawaku, masih saja terngiang jejak-jejak kebersamaan dengan Raga.Aku melihat jualan bakso langganan kami makan, aku teringat Raga. Aku melihat simpang jalanan waktu ban motor Raga kempes, aku teringat Raga. Aku melihat tempat pemberhentian kami saat terkena hujan, aku teringat Raga. Serasa semua jalanan menyimpan kenangannya masing-masing tentang Raga. Tak terasa aku sudah sampai ketujuan kami. Cafe "kopi jones". Aku tak mengerti entah kenapa Kak Devan menamai cafe ini dengan nama itu. Mungkin cafe ini untuk para jomblo-jomblo akut seperti Nadine dan Raga beserta dengan aku yang sudah mengemban gelar itu."
Devan adalah kakak dari Robi. Devan sangat berbeda dari Robi. Devan lebih terbuka dan lebih asyik diajak untuk mengobrol dibandingkan Robi yang sangat malas untuk berbicara.
"wow..udah lama ini bocah betiga gak ngumpul" Ucap Kak Devan.
"gimana cobak gak lama kak, si doi galaunya panjang banget ampe jamuran kita nunggu kegalauan dia" jawab Nadine sambil melirik aku.
Aku hanya menatap Nadine penuh kesal sambil mengikuti Raga untuk mengambil posisi duduk yang nyaman.
"mau minum apa ini, para jomblowers sejati" Tanya kak Devan.
"yaelah kak jahat bener dah bilang kita jomblowers. Kita lebih tepatnya para pecinta diri sendiri" Jawab Nadine.
"banyak alasan, yang penting namanya tetap jomblo" Jawab kak Devan sambil terkekeh.
"aku caffucino latte aja ya kak" Jawabku.
" aku juga kak" jawab Nadine juga.
"kamu minum apa Bi" tanyaku pada Robi.
"dia gak usah dikasih minum. Baca buku aja dia udah kenyang. Jawab kak Devan sambil pergi ke arah mesin pembuat kopi dan mengerjakan pesanan kami.
"baca mulu baca mulu, dimana-mana baca buku mulu" Ucap kesal Nadine.
Robi masih saja larut dalam imajinasi buku yang dibacanya tanpa sedikitpun berucap. Aku dan Nadine larut dalam pembicaraan mengenai comeback video lagu Blackpink Kill This love. Kami membahas mengenai satu persatu member di video tersebut sampai kami membahas mengenai outfit-outfit member Blackpink. Membahas hal yang tidak berguna seperti ini adalah hobi kami berdua. Kami sangat menyukai K-pop. Hal tersebut mungkin yang membuat kami begitu akrab karena sangat nyambung dalam membahas K-pop walaupun tanpa Robi yang masih sibuk selalu dengan buku-bukunya.
"tadaaa..ini dia caffucino latte untuk adik-adikku jomblowers” Ucap kak Devan sambil duduk di salah satu kursi yang masih kosong.
"makasih kak." Jawab kami berdua.
"galaunya masih panjang, Cha?" Tanya Kak Devan.
"aku gak galau lo kak" Jawabku dengan senyum.
"masa iya sih. Aku udah liat lo foto tunangan Raga bareng wanita itu." jawab Kak Devan.
"kok Kakak tau" Tanyaku.
" Tanya tu sahabat kamu yang disamping, tengah malam dia chat aku untuk ngegosipin kamu" Jawab kak Devan sambil melihat Nadine.
Aku melirik kesal Nadine. Yang dilihat hanya sibuk dengan ponselnya seolah tak mendengar apa-apa.
"iya kak. Dia udah tunangan." Jawabku lemah.
"yaudah gak papa. Cari Baru aja Cha, disini masih kosong lo." Ucap Kk Devan sambil tersenyum.
Nadine yang dari tadi menggunakan ponsel tiba-tiba matanya terarah ke Kak Devan. Robi yang sedari tadi membaca buku meletakkan bukunya seketika setelah mendengar ucapan Kak Devan yang ternyata telinganya dari tadi masih mendengar percakapan kami.
"hah.. maksud kakak ?" Tanyaku.
"ya,disini masih kosong lo Cha (sambil tangannya memegang dada). Manatau kamu berminat mengisinya." Jawab Kak Devan penuh semangat.
Aku hanya bergeming mendengar ucapan Kak Devan dan tidak tahu membalas apa-apa. Aku tahu Kak Devan suka mengobrol tapi baru kali ini dia menggodaku atau apalah itu namanya. Mungkin itu sebabnya Nadine dan Robi terkejut mendengar ucapan Kk Devan tanpa aba-aba apapun.
" gimana Cha?" Tanya Kak Devan yang matanya begitu lekat melihatku.
"gimana apaan sih kak?" Tanyaku kembali.
Aku benar-benar tidak mengerti arah dan tujuan pembahasan kami.
Nadine dan Robi masih menatap Kak Devan dengan keheranan sambil menunggu lanjutan kalimat yang keluar dari mulut Kak Devan.
"begini Cha. Kamu kan jomblo aku kan jomblo. Kamu mau gak bareng sama aku untuk saling melengkapi kekosongan hati kita?" tanya Kak Devan dengan penuh kepastian.
Akhirnya aku mengerti apa arah dan tujuan pembahasan kami ini. Sungguh aku terkejut dengan pernyataan dan pertanyaan dari mulut Kak Devan. Aku tidak tau mau berucap apa, apalagi disekitarku ada Nadine dan Robi.
Nadine dan Robi terbelalak mendengar kalimat yang diutarakan Kak Devan tanpa sedikitpun rasa canggung.
" what? Kakak nembak Chaca?” Tanya Nadine penuh keheranan.
Yang ditanya hanya senyum.
"wahh..wahh. canggih lo Kak, berani banget nembak Chaca dihadapan kita" Ucap Nadine.
Kak Devan masih saja senyum sedang aku merasa berada disituasi canggung, bingung mau menjawab apa. Yang pasti aku tidak akan semudah itu menerima seseorang kembali dalam kehidupanku. Perkara urusan hati dengan Raga saja belum mampu kuatasi , bagaimana mungkin bisa kuterima kembali hati yang baru. Kecanggungan diantara kami terhenti ketika dering telfon Nadine berbunyi.
Nadine harus kembali pulang dengan cepat karena Eyangnya baru sampai dari Bandung.Tinggallah kami bertiga dengan penuh kecanggungan.
Kak Devan masih menatapku berharap mendapat jawaban sesegara mungkin. Aku masih bingung dengan keadaan yang kualami ini.
"eh Cha, temani aku ke toko buku dulu Cha." Ucap Robi sambil menarik tanganku.
" kalian mau kemana?" Tanya Kak Devan kesal.
" aku nemani Robi ke toko buku dulu ya kak." Jawabku sambil mengikuti Robi.
Kami berlalu pergi menuju parkiran. Kak Devan masih terlihat kesal melihat kami dari kejauhan dan jantungku kembali normal kembali ke sedia kala setelah situasi rumit itu. Setelah 10 menit perjalanan menggunakan vespa butut biru, aku dan Robi telah sampai ke toko buku langganan Robi. Di dalam perjalanan hingga di toko buku tak ada satupun kalimat yang keluar dari mulut Robi dan Wajah pun masih terlihat datar tanpa beban. Matanya masih sibuk melihat satu persatu buku yang ingin dia beli. Begitu pula aku mengikuti jejaknya untuk membuka lembar perlembar sebuah buku yang sudah ada di genggaman ku. Setelah 15 menit di toko buku akhirnya dia menemukan buku-buku yang ingin dia beli dan pergi ke meja kasir mengeluarkan lembaran uang untuk membayar buku yang dibelinya. Aku masih saja tetap mengikuti dia dari belakang tanpa ada sebuah pembicaraan diantara kami. Hingga aku memberanikan diri berbicara ketika kami sudah sampai mengantarku di depan rumahku.
"Bi, makasih ya." Ucapku.
"untuk apa?" jawabnya.
"ya, makasih udah nolongin aku di Cafe." Jawabku.
"aku gak nolong kamu kok, memang aku mau ngajak kamu ke toko buku kok" Jawab nya cuek.
Sepertinya aku merasa kepedean mengucap kalimat itu. Robi benar dia hanya mengajak ku untuk menemani dia ke toko buku bukan menolong aku di kala situasi canggung tadi. Hanya sebuah kebetulan Robi mengajak aku tadi di kala aku mengalami situasi rumit pikirku.
" aku kepedean ya, mungkin kebetulan aja tadi ya?" Jawabku.
"emang kamu kenapa tadi?" Tanya nya kembali.
Sebuah pertanyaan yang aneh dia menanyakan seperti itu kepadaku. Sudah jelas-jelas dia tadi mendengar kalau Kak Devan sedang menyatakan perasaannya atau menyuruh aku untuk mengisi kekosongan hatinya pikirku lagi.
"mmm.. gak ada deh, gak papa sih." Jawabku kembali sambil tersenyum.
Satu hal yang paling kutahu setelah bertahun-tahun bersahabat dengan Robi masih ada saja rasa canggung berbicara dengan nya. Aku masih saja merasa kalau Robi menjadi pelengkap persahabatanku dengan Nadine. Mungkin karena kecuekan dan sifat dingin yang dimilikinya yang membuat aku mengikuti jejaknya ketika berdua dengannya. Berbeda dengan Nadine yang super heboh yang malah membuat aku mengikuti jejaknya juga menjadi heboh akut apalagi membahas K-pop kecuali kalau aku galau ya. Semua jagat raya pun pasti ikutan galau dah pikirku.
" Harusnya aku yang bilang makasih karena kamu mau menemani aku ke toko buku." Ucapnya kembali sambil menyodorkan sebuah buku.
"iya sama-sama, apaan ini?" jawabku sambil menerima buku itu.
"baca aja" Jawabnya kembali.
"untuk apa? “Tanyaku.
"gak untuk apa-apa" Jawabnya kembali.
Aku melihat sebuah novel ukuran kecil sekitaran 200 lembar yang berjudul "garis waktu" karya fiersa besari. Sebuah perjalanan menghapus luka tertera sebuah kalimat kecil di sampul depan buku itu. Ku lihat kembali ke sampul belakang novel itu dan membaca beberapa kalimat :
Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju
Akan ada saatnya kau bertemu dengan satu orang yang
Mengubah hidupmu untuk selamanya.
Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju
Akan ada saatnya terluka dan kehilangan
Pegangan.
Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju
Akan ada saatnya kau ingin melompat mundur pada
Titik-titik kenangan tertentu.
Maka, ikhlaskan saja kalau begitu.
Karena sesungguhnya, yang lebih menyakitkan dari
melepaskan adalah berpegangan pada sesuatu
yang menyakitimu secara perlahan.
Beberapa kalimat di sampul buku membuat aku kembali teringat kepada Raga. Melihat kalimat di sampul buku itu saja mulai ada rasa sesak di dadaku mengingat tentang Raga apalagi aku membaca satu persatu halaman di dalam buku itu pikirku.
" novelnya galau ya?" tanyaku.
Dia bergeming sambil menatap ku yang mulai melihat satu persatu lebaran halaman.
"nanti aja bacanya, pigi sana masuk" Ucapnya.
"iya . maksih ya novelnya. Untuk apa kasih aku novel kayak gini?" Tanyaku.
"ya aku udah punya novel itu Cuma tadi kebeli aja. Makanya aku kasih kamu aja daripada mubazzir ." jawabnya
Seketika aku kesal mendengar kata mubazzir. Segitunya rumit nya mengucapkan supaya kamu mengikhlaskan Raga atau supaya kamu melupaka Raga,Cha tanpa perkataan menyakitkan seperti itu pikirku.Aku masih saja diam dan kesal mendengar secuil kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.
"yaudah selamat membaca ya. Aku pulang ya." Jawabnya.
Aku hanya menggelengkan kepala tanpa mengatakan iya dan Robi pun berlalu dengan vespa biru bututnya itu.
"bilang aja selamat bergalau ria Cha. Nah aku kasih buku galau biar kamu tambah galau. Kayak gitu napa dia bilang. Biar bisa aku tu maki-maki dia kembali, ini malah ngasih novel trus jawabannya mubazzir. Jadi akutu pembuangan novel dia. Mungkin itu bocah kelamaan di kulkas ya gak pernah ngerasaain nikmat diluar freezer makanya sifatnya gitu ngeselin bangen Tuhan." Celotehku penuh dengan kekesalan.
KATA "MAAF"
jiwa yang menguati
jiwa yg selalu terbimbangi
perjalanan melupakan yg sedang ku emban sampai mati
Ku harap kokoh seorang diri
Mrs. Kepo ketulungan dari tadi malam terlalu sibuk menghubungiku melalui whatshapp. Siapa lagi kalau bukan sahabatku yang super duper kepo akut dengan masalah sesuatu kalau bukan Nadine Pradipta. Setiap hari dia tidak pernah absen perihal membahas aku yang selalu dengan kegalauan. Apalagi peristiwa tadi malam yang sempat tertunda karena dia telah pergi sebelum adegan selesai yang membuat dia harus memenuhi hasrat kekepoin nya dari tadi malam hingga penghujung pagi ini. Aku memang tidak memberi amunisi hasrat keingintahuannya tadi malam karena aku terlalu sibuk dengan buku pemberian Robi yang mengantarkan tidurku yang lelap.
Ku lihat handphone bukan hanya Nadine saja yang sibuk sedari tadi malam men chat aku. Ternyata ada satu nama yang tertera yaitu Kak Devan Kurniawan. Kakak Robi Kurniawan yang secara sengaja atau tidak sengaja mengutarakan perasaan nya kepadaku tadi malam. Kubuka pesan Kak Devan pertama kali sebelum membaca keseluruhan pesan Nadine.
Kak Devan :
"Cha lagi ngapain?
"sudah tidur?"
"maafin aku ya."
"aku bukan bermaksud membuat Nadine terkejut dengan ucapanku . Tapi rasa itu benaran adanya sejak Chacha sering ke café bersama Nadine, Robi ataupun Raga. Aku tidak berani mengutarakannya, karena pada saat itu chaca masih milik Raga, makanya tadi malam aku secara spontan mengucapkan agar chaca tahu diam-diam aku menyimpan rasa selama ini kepadamu. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa masuk ruang hatimu karena yang paling kutahu tentang kamu kalau kamu sangat mencintai Raga."
"harusnya aku mengutarakan ini secara langsung kepadamu bukan melalui via whatshapp. Tapi kutahu kamu belum bisa menerima ucapanku yang seserius ini. tapi tetaplah datang ke cafe seperti biasanya tanpa harus memikirkan jawaban atas pertanyaanku. Jadikan aku tetap menjadi kakakmu. sekali lagi maafkan aku, kuharap suatu saat nanti kamu bisa membuka hati kepada seorang laki-laki yang biasa ini.”
"selamat tidur Asia Chakira."
Aku cukup terkejut membaca chat dari Kak Devan dan bingung bagaimana nanti menghadapi Kak Devan. Kak Devan memang lelaki baik tapi aku belum bisa menerima dia secepat itu dan mungkin memang tak bisa menerima dia karena aku sudah mengganggap dia seperti kakakku sendiri.
Handphoneku kembali berdering lagi tapi bukan dari Nadine, Robi ataupun Kak Devan. Tapi sebuah nama yang masih melekat di ponselku dan hatiku. Siapa lagi kalau bukan Raga. Jantungku berdegup kencang dengan berbagai pertanyaan yang muncul seketika perihal ada apa dia menghubungiku setelah aku mendapatkan kabar bahwasanya dia telah memilih wanita lain dibandingkan aku. Beberapa kali dia masih saja menghubungiku tapi tanganku masih gemetar ingin menjawab atau membiarkan saja. Namun rasa penasaran ku lebih besar dan rasa rindu lebih mendalam setelah sekian lama tak pernah mendengar suara lembut Raga. Ku putuskan untuk menjawab telfonnya walaupun aku pasti tahu lebih besar rasa sakitku daripada rasa penasaran ketika menjawab telefon.
"assalamualaikum" ucapnya.
"waalaikum salam, ada apa ?" tanyaku sambil menahan air mata.
"gimana kabar Cha?" tanyanya kembali.
"Alhamdulillah sehat" jawabku kembali tanpa mengembalikan pertanyaan kabar tersebut padanya.
Sekitar semenit aku menunggu kalimat apa yang keluar dari mulutnya, menunggu ucapan selanjutnya dari dia. Tapi dia masih bergeming dan aku juga tetap dengan pendirian ku tetap diam sebelum dia memulainya percakapan walaupun dengan penuh kemegetaran.
"maafkan aku Cha". Ucapnya setelah bergeming.
Aku masih saja diam dengan menahan nangis. Setelah teganya ia meninggalkan aku dan mulai merajut kasih dengan wanita lain dan ia kembali datang mengucapkan maaf. Sungguh pria brengsek pikirku tapi kelu mulutku untuk mengumpat perihal perilaknya terhadapku. Tetap saja aku menahan emosi dan mengalahkan egoku untuk marah tentang semua ini.
"maafkan aku Cha". Ucapnya kembali lagi.
"aku belum bisa memafkanmu”Jawabku ketus.
"kenapa Cha?” Jawabnya
Sungguh pria ini brengsek sekali pikirku, dia masih bertanya kenapa. Sungguh sudah habis rasa malunya dihadapanku dengan mengucapkan seperti itu atau memang ia tidak pernah merasa bersalah kepadaku.
"kenapa jawabmu? aku tidak sebaik yang kamu pikirkan Raga. Aku punya hati dan hatiku berkata untuk tidak memaafkanmu. Sungguh jahat kau sebagai lelaki , besar harapanku kepadamu tapi kau hancurkan seluruhnya dengan bersama wanita lain. Terimakasih sudah memutuskan aku demi wanita lain. Saat ini belum bisa kubukakan pintu maaf untukmu. Berat dan besar rasa kecewa yang telah kau tuangkan. Aku semakin muak melihatmu dengan memintaa maaf seperti ini." jawabku sambil menahan marah dan air mata.
"maafkan aku Cha." Jawabnya kembali.
Aku tetap diam tak menjawab.
" aku punya alasan atas semua ini Cha. Sekali lagi aku meminta maaf. Kuharap kamu bisa buka pintu maaf kepada pria brengsek ini. insya allah minggu depan aku akan melangsungkan pernikahan. Aku tidak meminta mu untuk hadir Cha karena aku tahu kamu pasti bakalan tidak akan hadir dan memang aku tidak mengharapkan kehadiranmu Cha. Sungguh maafkanlah lelaki brengsek ini, bertemulah dengan lelaki baik. “
Aku tetap diam dan mulai mengeluarkan air mataku satu persatu. Dia juga masih diam tanpa mengucapkan kalimat lagi.Sungguh menusuk sekali ucapan Raga. Apa dia tak pernah berpikir aku memiliki hati. Aku tak sekuat itu untuk mendengarkan kalimat panjangnya. Nyatanya ia menelefonku hanya untuk mendapatkan jawaban bahwasanya aku sudah memafkan nya. Ingin ku tanya kembali apa alasan ia meninggalkanku tapi kelu masih mulutku untuk bertanya itu. Mendengar kabar pernikahan nya saja membuat aku serasa tak memiliki nyawa lagi. Terdiam, terduduk dan menangis.
Ku lihat layar ponselku ternyata dia telah pergi lagi meninggalkan telefonku. Sama seperti saat dia memutuskan aku. Dia telah mengucapkan apa yang diinginkan dan meninggalkan luka pada sang wanita lemah ini.
Bercucuran air mataku, sesak hatinya. Ingin kuhempaskan seluruh barang disekitarku tapi masih saja aku bisa menenangkan egoku tanpa merusak.
Tiba tiba Mama masuk dan melihat aku dalam keadaan berantakan dan bercucuran air mata seperti seorang yang kehilangan akal. Mama langsung memelukku dan mendekapku erat tanpa bertanya apa yang terjadi padaku. Ku peluk erat Mama dengan berderai air mata penuh kesakitan.
***
Setelah kejadian tadi pagi aku mulai merasa demam dan tidak berselera untuk makan. Tapi Mama berusaha membujukku sambil menyuapi makan. Mama memutuskan untuk tidak ke pasar dan memilih bersamaku karena melihat keadaanku. Mama masih tidak bertanya kenapa aku menjadi sperti ini atau Mama sudah tahu yang terjadi padaku.
"tadi Robi nelfon, katanya nomor Chaca gak aktif" jawab Mama.
"iya Ma, aku non aktifkan handphonenya” Jawabku.
" dia nanyak kabar kmu. Mama bilang aja sakit. Mungkin dia kesini."
"kok Mama kasih tahu sih?” Tanyaku
" yakan gak papa namanya dia teman kamu. Lagian Mama mau pergi dulu ke pasar tadi buk Ani nelfon, Mama lupa mengantar pesanan telur Buk Ani. Nanti kamu ditemani sama Robi aja dulu ya.”
"hmmm..iya Ma." Jawabku.
Robi sudah hadir dihadapanku sejak tadi dengan kaus putih tipis dipadu dengan celana pendek coklat. Wajah lelaki biasa ini selalu hadir walaupun sepatah dua kata saja yang dapat kutemukan dari bibirnya. Tapi tindakan nya selalu membuatku nyaman setiap berada disampingnya.
Kami saling memandang satu sama lain. Mungkin dia melihatku miris dengan keadaan seperti ini hanya karena seorang laki-laki. Tapi lagi lagi dia tidak menunjukkan kekesalan atau kebencian terhadap sikap ku menghadapi situasi saat ini. Disentuhnya jidatku untuk memastikan apakah tubuh badanku masih panas atau tidak. Lalu di ambilnya sebuah gelas yg berisi air hangat dan diberikannya padaku agar aku meminumnya. Dia masih saja bergeming dan akupun masih saja diam dengan tindakan yg diberikannya padaku. Sejak kehadiran Robi, Mama berpamitan untuk pergi sebentar. Jadilah aku dititipkan kepada Robi sebelum pulang. Kak Vira tak pernah terlihat batang hidungnya selama dua hari ini, dia berasalan sedang pergi ke luar kota menjalani tugas kerja.
Dia tetap menatapku penuh arti sambil ditariknya tangan kiriku lalu digengamnya. Aku hanya pasrah apa yang dilakukan Robi padaku tanpa berpikir apapun. Karena aku hanya menganggap dia sebagai sahabatku. Tapi tak terpungkiri ini kali pertama Robi menggenggam tangan ku penuh arti dan aku merasakan itu. Serasa ada energi yg mengalir dari tubuh dia menuju tubuhku. Tapi aku berusaha tetap santai dan tidak melepas genggaman itu. Kini tangan ku sudah digenggam oleh kedua tangannya. Aku tidak tahu apa maksud Robi, dia tetap menatapku sambil memegang tanganku. Dan aku tetap bergeming seribu bahasa seolah menerima atau menyukai genggaman itu. Ada sebuah rasa untuk tidak menolak saat dia menggenggam tanganku tapi ada sebuah kata langsung dalam benakku "sahabat". Langsung ku tarik berlahan tangan kiriku seakan kata sahabat itu kembali menyadarkan bahwa dia tak perlu berperilaku demikian denganku. Tapi mata itu masih tetap melekat melihat diriku walau tanganku sudah kurenggut kembali. Dia terlihat santai seperti sedia kala hingga aku membuyarkan pandangan itu dengan sebuah kalimat pembicaraan.
" dia menelfon. " ucapku sembari menahan tangis memberi pengaduan perihal kejadian tadi.
Tapi Robi tak merespon sedikitpun ucapanku, dia tetap menatapku penuh arti. Sedang aku menahan tangis antara mengingat kejadian tadi atau melihat mata Robi yang tetap melekat menatap ku sedari tadi.
Ditariknya kembali tangan kecil ku lalu diusapnya sambil bibirnya mendekati telingaku dan berucap.
"jangan sakit. "
Buncah air mataku menjadi jadi hanya dengan sebuah kalimat biasa yg sering diutarakan manusia. Tapi, ucapan Robi selalu meruntuhkan pertahananku seolah dia tahu apa yang terjadi padaku. Dia tak perlu mendengar ucap panjang dari mulutku tentang Raga tapi cukup melihat segalanya pada diriku serasa mengerti apa rasa yg disekujur tubuhku.
PERNIKAHANMU
Jejak ingat masih melekat
Jejak melupa masih saja terhambat
Aku harap rasa ini cepat berkarat
Agar aku tidak sekarat
"kakak darimana aja sih, kok gak pulang-pulang? " Tanyaku.
"kakak kerja lo dek, kakak lagi ada tugas ke luar kota. " jawabnya.
"yah, jarang banget dah nongol, kerja mulu.. Jodoh dong pikirkan." jawabku.
"yaelah, entar datang sendiri. Jodoh aku mah masih di orang yg salah. " jawabnya penuh semangat .
"sok tau lah kak. " ucapku ketus.
"yah.. Kayak kamu lah cha. Jagain jodoh orang mulu. Nah ketemu orang salah kan lo. " jawabnya penuh sindirin.
Aku terdiam seketika dan memandang kesal Kak Vira. Yang dipandang selalu sibuk dengan pakaian-pakaian yang lagi disetrika.
" baju kakak banyak banget sih. Dikit dikit beli baju, dikit dikit beli baju mulu. Apa gak sayang itu uang. " jawabku penuh penasaran.
"yaelah dek, lebih baik kakak habisin uang beliin baju mulu daripada kamu habisin waktu jagain jodoh orang. " jawabnya sambil cekikan.
Aku terdiam lagi semakin kesal mendengar jawaban kak Vira. Dia bertubi tubi menghujat aku.
Aku langsung pergi meninggalkan dia sendirian di ruang tamu dan pergi ke kamar sambil melakukan ritualku apalagi kalau bukan mendengar musik dari loudspeaker kecilku.
Aku masih ingat beberapa hari yang lalu di kamar ini Robi mengucapkan "jangan sakit. " kalimat yang sederhana tapi membuat aku merasa diperhatiin. Ada sebuah rasa yang berbeda yg tak tahu ini entah apa artinya. Tapi ku buang jauh jauh pikiran itu karena masih ada Raga dihatiku. Ada sebuah alasan yang belum dapat kutemukan dari bibir nya kenapa dia meninggalkan ku.
Suara ponselku berdering. Ternyata Nadine menelfonku.
"hmmm.. Kenapa? " langsung tanyaku.
"ya tuhan. Bad mood mulu kerjaan lo. Raga tadi ngundang aku ke pesta pernikahan dia hari minggu ini. Sebenarnya kesal sih liat tu bocah tapi gimana ya namanya teman terus yg bermasalahkan lo berdua. Jadi aku terima aja undangannya. Aku pengen nanyain kenapa dia ninggalin lo tapi aku segan soalnya calon istriya ikut. Dia ngundang aku, Robi sama Kak Devan. " ucap Nadine pelan-pelan.
Aku tetap hening mendengar celoteh Nadine, mulai ada rasa sesak lagi di dadaku. Dipenghujung hari dia akan sah menjadi suami. Dan tak ada lagi ruang sedikitpun untukku kembali dengan nya.
"iya Dine, aku tahu. " ucapku lirih.
" dapat info darimana?" tanya Nadine penasaran.
"dia nelfon kemaren." ucapku.
"trus.. " tanya Nadine.
"ya gitu deh" . Jawabku pasrah.
"ihhh.. Apa sih, kepo ni." ucap Nadine.
"ah udahlah, intinya dia bilang minta maaf terus dia gak ngarep aku datang. " jawabku.
"what?dia bilang gitu. Gila tu bocah ya, seenaknya jidatnya ngomong ya. Bakalan gk datang gue ke pernikahannya itu." jawab Nadine kesal.
"datang aja. Lagian dia ngundang lo. " jawabku.
"ah sudahlah, kesal gue dengar cakap dia sama lo gitu. " jawab Nadine.
"hmmm.. " .
"kamu bakalan datang gak?" tanya Nadine.
"belum tau. "
"berarti ada rencana mau datang? " tanya Nadine penasaran.
"kan belum tau".
"jangan bilang lo mau obrak-abrik pesta pernikahan Raga? " tanya Nadine penasaran lagi.
"kayaknya itu ide bagus."
"what, no no no. Please gue bukan nganjurin ya cuma nanyak lo cha. " jawab Nadine ketakutan.
" masih waras kali aku. " jawab Chaca sambil tertawa.
"syukur deh. "
" iya. "
"udah ya, nanti aku kabari lagi."
"oke. " jawabku.
Pupus memang sudah rasa Raga untukku. Sia sia sudah rasa cinta yg sudah dirajut selama ini. Kupikir hanya rehat sebentar kisah tentang kami tapi cerita kami sudah selesai. Iya cerita kami berakhir sad ending. Aku ditinggal menikah.
"dek.. minggu ini Raga married kan?" tanya kak Vira yg tiba tiba masuk ke kamar.
"kok kakak tau?".
Kak vira terdiam sejenak sedang memikirkan sesuatu.
"oh kakak dengar tadi Nadine nelfon ya?" jawabku langsung.
"ohh iya itu, kakak dengar." jawab Kak Vira terbata bata.
"hmm iya kak. " jawab ku lesu kembali.
"sabar ya dek. " jawab kak Vira lalu memelukku.
Dan pecah kembali tangisku hanya dengan pelukan kecil dari Kk Vira.
***
Hari yg ditunggu tunggu telah hadir. Tadi Nadine menelfon dan mengatakan kalau mereka akan hadir di pernikahan Raga. Bagaimanapun permasalahan ku dengan Raga takkan bisa disangkut pautkan dengan sahabatku. Karena pada dasarnya mereka juga berteman. Ada rasa ingin hadir untuk melihat Raga terakhir kali. Tapi kuurungkan niat, aku tak mau membuat hatiku semakin hancur.
"Cha, cha.." ucap Mama dari balik pintu.
"iya Ma. "
Seketika Mama memelukku. Buncah lagi air mataku. Entah perkara apa Mama memelukku, tapi satu yang kutahu orang tua pasti tau apa yang dirasakan anaknya.
"semua akan indah pada waktunya, semua orang memiliki cerita nya masing-masing. Berdaimalah dengan segalanya, perbaiki diri lebih baik."
Semakin membuncah air mataku lagi.
Tak ada lagi kalimat yang bisa kuutarakan ketika Mama telah berucap seperti itu.
"Ma, bolehkah aku melihat Raga terakhir kali?" ucapku dalam keadaan menangis terisak.
"silahkan nak, tapi satu yg harus kamu tahu nak. Segala sesuatunya tak harus menggunakan hati, kamu harus berpikir rasional dalam menghadapinya. Ikhlaskan bahwa dia bukan jodohmu. Tuhan tahu apa yang kamu inginkan tapi dia hanya memberi apa yang kamu butuhkan. Bersabarlah kuatkan hatimu, beranjak lah menjadi gadis yang kuat dalam menghadapinya.
Kubiarkan hatiku membawa diriku beranjak ke dirinya. Walaupun pertemuan ini akan terjadi atau malah hanya keinginan belaka. perjalanan ini apakah hanya ingin menambah keingintahuan atau hanya menambah luka. Tapi tak kuhiraukan tentang hatiku juga. Yang penting aku masih bisa melihat dia untuk terakhir kalinya , walaupun kehadiranku tak diterima.
Aku sudah tepat berada di acara pernikahan itu. Tadi aku menelfon Nadine utk bertanya alamat dimana mereka mengadakan pernikahan. Tapi Nadine tidak memberinya karena takut aku akan melakukan sesuatu pada acara itu. Tapi ku yakinkan bahwa tak ada sedikitpun niatku untuk menghancurkan kebahagiaan Raga dan Nadine mempercayai itu.
Aku sudah berada di dekat pesta pernikahan itu. Kulihat lamat lamat kebahagiaan mereka berdua. Ingin kakiku melangkah menyalami kebahagiaan lelaki yg kucintai tapi kakiku sdh kelu dan tak mampu beranjak dari tempatku ini. Masih ada rasa sesak yg belum bisa kupasrahkan pada sang Ilahi. Karena pada hakikatnya pemilik hati ini hanya Semesta.
Tampak betapa bahagianya Raga menerima satu persatu tamu yg menyalami mereka. Kulihat ada rasa cinta yg begitu besar dari mata Raga untuk wanita yg disampingnya. Air mataku buncah lagi namun kutahan satu persatu perih ini karena kulihat satu persatu org yg berlalu lalang menatapku penuh misteri. Tapi kakiku ingin beranjak dr tempat ini tapi kakiku tak sanggup melangkah. Setengah jam aku menahan sesak perih menatap mereka. Sia sia sudah rasa cinta yg pernah kuberi, ternyata aku hanya disinggahi tapi bukan disungguhi.
"Cha” ....." Kudengar suara yg familiar memanggil ku.
Langsung ku hapus air mataku.
"iya." jawabku sambil memandang darimana suara itu datang.
"ayok.. Pulang. " ucap Robi yg memanggilku.
"hai.. Robi. " ucapku sambil tersenyum.
Dia membalas senyumku. Akupun beranjak dari tempatku. Diulurkan nya tangannya untuk membantuku. Dan akhirnya aku beranjak dari tempat keramat itu. Kutatap wajahnya Robi yg begitu teduh,tenang. Untuk pertama kalinya badanku menyuruh untuk memeluk Robi dan itu terjadi. Kubiarkan diriku bertopang didada Robi untuk menahan siksa perih ini. Kutarik kembali sambil senyumku merekah kembali. Dan Robi membalas kembali. Lagi lagi dia tak mempertanyakan kehadiran ku disini atau dia tidak butuh tentang penjelasanku. Yang kutahu pasti dia selalu ada disaat hatiku ini perih walaupun bicaranya pun tak ku dapati.
***
Hampir satu jam aku dan Robi berada di vespa butut birunya. Berkeling keliling kota hanya melihat kesibukan kota di akhir pekan. Sepanjang jalan tak ada kata kata yang keluar dari mulut kami berdua. Sepi, lenggang seperti hatiku yg sekarang. Ramainya ibu kota tak berpengaruh pada hatiku yang malang.
"Cha, kamu maunya kemana?" ucap Robi tiba tiba.
"terserah Robi aja. "
"atau kamu mau pulang? "
" yaudah, aku pulang aja. "
" pengennya kemana?"
"gak pengen kemana mana. "
"mau nemani aku ke toko buku. "
"boleh. " jawabku.
Vespa butut biru itu melaju ke toko buku langganan Robi. Sejenak dengan buku buku seperti lebih nikmat dibandingkan di rumah dengan pikiran yg dipenuhi dgn kegalauan pikirku.
Robi sibuk memilih satu persatu buku yg ingin dibelinya sedang aku masih duduk terdiam di salah satu kursi dekat kasir. Cukup lama aku mengamati Robi yg sibuk dengan hobinya membaca buku hingga ia menghampiriku dan duduk disampingku.
"udah selesai?" tanyaku.
"masih mau disini, boleh gak? "
"yaudah, gak papa. " jawabku.
"kita pindah ke pojok sana aja sambil baca. " ajak Robi.
Disudut ruang toko buku ada beberapa kursi dan meja untuk tempat membaca dan Robi mengajak aku kesana. Kini kami sudah berada di sebuah meja dengan kedua kursi yg bersampingan.
"nih baca! " ucap Robi sambil memberi sebuah buku.
"buku apa? " ucapku.
"baca aja. " suruhnya sambil menaruh earphone ditelingaku.
"ini untuk apa? " tanyaku lagi.
"buku nya dibaca sambil dengar lagu." jawabnya sambil tersenyum.
Aku cukup linglung dengan senyuman yg tiba tiba diberikan Robi padaku namun langsung mataku kembali ke sebuah buku yg diberikannya.
Tertera sebuah buku yg cukup unik bagiku dengan sampul hardcopy dengan judul buku " Nanti Kita Cerita Hari Ini. "
Kubuka lembar perlembar buku itu dengan alunan lagu yg berupa hanya sebuah intrumen namun sangat cocok dengan situasi yg di dalam buku ini. Buku yg tidak perlu mendeskripsikan panjang lebar tentang hidup ini, namun hanya menyematkan beberapa kalimat tapi bisa membuat runtuh pertahanan. Air mataku kembali berhasil jatuh lagi. Rasanya semua bergejolak di dalam hati. Ada duka yg selalu dikuburi. Baca ini ingat itu, baca itu ingat ini. Rasanya buku ini benar benar bisa diberikan pada diriku yg mudah jatuh dengan setiap masalah. Apalagi masalah hati. Hingga aku berhenti pada lembaran buku yg membuat aku semakin sesak.
" dunia terlalu luas untuk kamu penuhi dahaganya. Pilih siapa yang mau kamu bahagiakan. "
Untaian kalimat itu benar benar membuat degup jantung ku semakin cepat. Selama ini aku terlalu sibuk mencari kebahagiaan di diri Raga hingga lupa bahwa kebahagiaan ku ada di depan mata. Ada Mama, kak Vira, Robi, Nadine. Mereka yg selalu ada untukku mereka yg harus kubahagiakan. Bukan hanya bergutat dengan namanya Raga yg jelas jelas sudah menghilangkan jejak bahagia itu pikirku.
Kubuka lagi lembar buku itu sambil mendengar seksama intrumen lagu itu. Bahkan aku tak ada sedikitpun berkedip untuk melihat Robi. Buku itu menarik dan membuat motivasi hidupku bangkit lagi. Hingga aku bertemu dengan kalimat yg menarik lagi.
"waktu gak nunggu siapapun, cuman dua pilihannya disampaikan atau diikhlaskan.” "
Kubuka lagi lembar perlembar buku itu untuk memahami makna yg terselip di setiap kalimat. Hingga aku, bertemu lagi dengan kalimat.
"kita sama sama tahu, saat ekspektasi ditaruh di raga lain, kecewa jadi sering teman bukan sekali, dua kali....
Mungkin kita lupa , atau terlalu keras kepala. "
Jlebbb.. Jantungku kian tidak karuan. Ini persis yg sedang aku alami saat ini. Akibat ekspektasi yg terlalu tinggi untuk Raga membuat aku kecewa setengah mati atau memang aku yg terlalu keras tetap mempertahankan rasa yg tidak bisa disatukan kembali. Ku usap air mata yg membasahi tadi serasa bangkit dari keterpurukan ini. 20 menit benar membuat aku meresapi kalimat di dalam buku ini. Tak perlu panjang lebar tapi membuat aku sadar diri perihal kehidupan yg saat ini ku emban. Ku buka earphone ditelingaku sambil di dalam hati berniat akan membawa buku ini.
Kuliat Robi disampingku sedang menatapku dengan seksama sambil tersenyum.
"kenapa? " tanyaku sambil wajah tersipu malu karena Robi memandang begitu lamat.
"gak ada. " jawabnya.
"terus kenapa senyum? " tanyaku sambil menutup buku itu.
"yah.. Mau senyum aja. "
aku diam tanpa ekspresi mendengar ucapan Robi.
"kita pulang yok?" ucapku.
"udah selesai baca bukunya? " tanya Robi.
"udah. Aku beli bukunya yah. "
"sukak bukunya? " tanya nya lagi.
"iya. " jawabku sambil tersenyum.
"cantik. " ucapnya tiba tiba.
"maksudnya? "
"hmmmm.. Itu maksudnya buku memang bagus."
"iya bagus banget malah. " jawabku semangat.
"yaudah sini bukunya. " pinta Robi.
"untuk apa? " tanyaku lagi.
"dibayar lah. " jawabnya.
"aku aja yg bayar. " jawabku.
"aku aja kan aku yg ngasih. " jawabnya sambil ditariknya buku itu ditanganku sambil berjalan menuju kasir.
"aku aja yg bayar Bi. " ucapku lagi sambil membututi dia dari belakang.
Tiba tiba dia membalikkan tubuhnya dan kami pun saling berhadapan. Dan dia menundukkan badannya yg tinggi ke hadapanku dan wajah kami pun kini mulai sejajar. Ada rasa berbeda ketika wajah kami saling berhadapan namun kukuatkan diriku saling berhadapan walaupun badanku gemetar. Matanya begitu tajam untuk menatapku seolah menyuruhku untuk tetap mengikuti katanya. Alhasil aku hanya diam dan mengikuti Robi.
Disepanjang perjalanan pulang kami hanya tetap diam . Mungkin jadi ritual Robi untuk tidak bicara pada saat mengemudi.
Kini aku sudah sampai di halaman rumahku. Kuliat Nadine dan Kak Devan sudah berada di teras rumah untuk menungguku. Ku ajak Robi ke rumah karena Nadine dan Kak Devan datang berkunjung ke rumahku.
"kok Nadine sama kak Devan disini? " tanyaku pada mereka.
"yah kita khawatir lo cha sama lo, apalagi tadi lo nanyak alamat pesta pernikahan Raga. Spot jantung dong gue. " jawab Nadine khawatir.
"yaudah, masuk yok." ajakku pada mereka.
Kuhidangkan 3 gelas teh hangat untuk mereka dan beberapa hidangan kue kecil.
"are you okay, Cha?" tanya Kka Devan langsung.
"i"m okay kak. " jawabku langsung sambil tersenyum.
"ehh iya, lo kok bisa barengan sama Chaca sih Bi? " tanya Nadine.
"yah gue kesinilah." jawab Robi.
"terus, lo datang ke pesta Raga?".
"enggak. "
"kok gak datang? "
"males aja ahh. Gue pikir gue gak seakrab itu untuk datang ke pesta dia." jawab Robi dengan santai.
"tipis Bro, pertemanan lo bro. " ucap ketus Nadine yg berada disampingnya.
"terus Chaca jadi datang ke pesta pernikahan Raga? " tanya Kak Devan Padaku.
"tapi gue culik dia bang supaya gak datang ke pesta itu. " potong Robi.
"tumben lo banyak bacot Bi. Biasanya lu berbisu. " jawab Nadine.
"berbisu? Berbisa kali. " jawab Robi.
"nah.. Nah tumben kan nanggep. Kesambet setan apa lo Bi sampe bicara panjang gini. " ketus Nadine.
"aihh.. Udah.. Udah. Jadi lo berdua kemana tadi? Tanya Kak devan.
" ke toko buku bg. " jawab Robi.
"jadi Chaca gk jadi ke pesta Raga ya, syukurlah begitu. Kita khawatir kenapa Chacha sendiri datang kesana dan ngelakuin hal hal yg aneh. " ucap Kak Devan.
"iya kak. Terimakasih kak. Ehh makan dong kue nya. "ucap ku.
Aku gak ngerti entah kenapa Robi berbohong perkara aku yg hadir ke pesta itu. Dia berusaha untuk menutupi kehadiran ku disana. Sudah jelas aku berada disana cukup lama dan dia juga berada disana menolongku tapi aku juga bersyukur kepada Robi karena dia menutupi nya karena aku takut Nadine dan Kak Devan khawatir. Tapi berkat Robi hatiku mulai membaik padahal dia tidak berbuat apa apa hanya saja menunjukkan sebuah buku yg sangat bagus.
Tak terasa hampir satu jam mereka bertamu dirumahku. Mereka berusaha menghiburku dan aku juga bersyukur, aku dan Kak Devan terlihat sperti sedia kala tanpa mengingat masalah kemaren. Dan syukurnya juga Mrs. kepo Nadine sudah lupa atau tidak mau mengungkit masalah itu pada saat ini. Tapi aku yakin suatu saat nanti jika ada pertemuan dan hatiku membaik pasti dia menggodaku perihal aku dan Kak Devan.
"cha, kita balek ya. Udah sore ni. " ucap Nadine.
"ohh gitu. Oke oke. " jawabku.
"yah, Kakak pulang ya Cha. " ucap Kak Devan sambil menghidupkan motornya.
"iya kak hati hati. "
Kak Devan membonceng Nadine dan mereka berlalu dan meninggalkan aku dan Robi.
"pulang yah. " ucap Robi.
"iya hati hati. "
"jangan nangis mulu." ucap Robi sambil menghidupkan vespanya.
Aku heran tumben Robi menggodaku seperti itu. Dan aku hanya manggut manggut gak jelas mendengarnya dan dia tersenyum dan berlalu pergi bersama vespa butut birunya.
VIRAL
Sebagai seorang yang masih ada selayaknya beri aku alasan perihal kalimat perpisahan,
Sebagai seorang yang masih ada selayakya beri aku penjelasan atas hubungan yang kau sebut bosan,
Sebagai seorang yg masih ada selayaknya beri aku pemahaman atas kenapa hubungan ini harus aku relakan,
Dan sebagai seorang yang masih ada selayaknya aku belum bisa melepaskan atas hubungan yang dengan mudah kau hempaskan.
Sejak kehadiran ku di pesta pernikahan Raga 3 hari yang lalu, aku sudah benar-benar menguatkan diriku untuk tidak mencampuri dan mengikuti kehidupan Raga lagi. Sejak saat itu foto-fotoku dan dia sudah kulenyapkan dengan cara menghapusnya. Barang-barang pemberian Raga juga sudah kusimpan di dalam gudang dan beberapa foto cetak kami sudah kubakar. Semua sudah lenyap kecuali boneka-boneka yang berceceran di dalam lemariku. Kubiarkan mereka tetap menjadi pajangan di dalam lemari bukan karena aku masih ingat Raga hanya saja terlalu sayang membiarkan boneka itu di gudang dan lagian keponakan ku juga tidak ada untuk menampung boneka.
Hari ini aku ada interview untuk penerimaan lamaran kerja, setidaknya ada yang membuat aku memliki rutinitas yang berbeda dari sebelumnya. Kusiapkan pakaian terbagus ku untuk menemui HRD di tempat aku melamar kerja. Segala persiapan sudah kusiapkan mental dan fisik untuk melawan segala ketakutan yang tiba-tiba muncul. Karena setelah sekian lama akhirnya ada juga yang memanggil aku untuk interview pekerjaan.
" kok pakai sepatu kets sih ?" ucap Mama tiba yang melihat aku keluar dari kamar.
"emang kenapa Ma ?"
"ya, kurang formal lah. Kamu mau interview jangan pakai sepatu kets lah, pakai sepatu heels dong. Biar keren."
"haruskah Ma?"
"gak harus sih, hanya saja penampilan kan perlu juga untuk menunjang kamu agar terlihat cantik dan bagus dihadapan HRD."
"tapi, aku gak pede Ma. Lagian aku juga gak kebiasa pake heels."
"ya coba dong dek, namanya juga agar terlihat cantik." Ucap Kak Vira dari bilik dapur.
"kan aku udah cantik Ma? Ngapain lagi pake heels."
"yaudah terserah kamu. Yang penting kamu udah Mama kasih tau." Ucap Mama ku sedikit kesal.
Dan aku tidak menghiraukan perihal perdebatan kami pagi ini. Dan pergi berpamitan dan meminta doa kepada Mama dan Kakakku agar dimudahkan dalam menjalani semuanya.
Entah kenapa sejak perjalanan tadi Robi, Nadine dan Kak Devan selalu menghubungiku. Namun aku sengaja tidak mengangkat telepon dan tidak membaca chat dan sms mereka dan malah menonaktifkan ponselku. Karena aku ingin memfokuskan diriku hari ini untuk menjalani interview dan mengabari mereka setelah tau keputusan aku diterima atau tidak dipekerjaan ini.
Aku sudah berada diperusahaan itu dan sudah bertemu dengan salah satu staf di perusahaan itu. Dan dia mengatakan agar aku menunggu sekitar 10 menit untuk interview karena Pak Santoso ( HRD) nya lagi ada tamu. Dan jadilah aku duduk sambil memandang area disekitar itu.
Beberapa mata memandang aku begitu aneh setelah kehadiranku di kantor itu. Aku merasa aneh dengan sikap mereka yang memandang aku. Mungkin karena aku pakai sepatu kets dan seharusnya aku mendengarkan apa kata Mama dan Kakakku, pikirku.
"permisi Mbak, Pak Santoso menunggu Mbak diruangannya." Ucap salah satu staf sambil mengajakku untuk ke salah satu ruangan.
"terima kasih Buk." Ucapku.
Aku sudah berada diruangan Hrd tersebut, betapa bagusnya ruangannya. Disegala sudut-sudut ruangannya terlihat ornamen-ornamen hijau yang menawan dan sedap dipandang mata.
"Silahkan duduk!" ucapnya.
" terima kasih Pak." Ucapku kembali.
Entah kenapa pria paruh baya dihadapanku juga memandang aku aneh sambil melontarkan senyuman. Aku merasa kebingungan.
"berarti kamu belum pernah bekerja ya?" tanyanya padaku sambil memutar-mutar kertas lamaranku dan cv nya.
"iya pak, belum pernah."
"jadi kerjaan kamu setelah lulus kemaren apa?" tanya nya kembali.
" saya membantu Ibu saya jualan telur di pasar Pak dan beberapa kali mengikuti pelatihan untuk mengasah skill saya lebih baik." Ucapku dengan polos.
"ditambah dengan galau ya ?" tanyanya tiba-tiba sambil tertawa.
"maksud Bapak?" tanyaku kembali
"iya galau. Kamukan lagi galau. Nangis-nangis." Jawabnya lagi sambil senyum-senyum.
Aku tau maksud dia galau, itu pasti perihal aku yang menangisi Raga. Hanya saja aku bingung darimana dia tau dan itu benar-benar membuat aku syok seketika.
"maaf sebelumnya Pak. galau gimana ya? Saya tidak mengerti dan saya pikir tidak ada hubungan dengan kerja yang saya akan terima dengan kegalauan.
Dia tetap saja tersenyum.
'Iya memang gak ada hanya saja kalau kamu galau saja bagaimana mungkin bisa menyelesaiakan pekerjaan dengan tepat dan benar jikalau saya menerima kamu disini." Ucapnya tegas.
Cukup menohok ucapan tegas dia kepadaku, hanya saja kenapa dia bisa berkata seperti itu seolah-olah tahu apa yang sedang terjadi denganku beberapa hari yang lalu. Cukup tersulut emosiku saat dia mengucapkan kalimat itu namun aku menahannya.
"maaf sebelumnya juga Pak. Saya sama sekali tidak mengerti arah galau bagian mana yang Bapak maksud sehingga Bapak bisa menyimpulkan kinerja saya terlihat buruk jika saya diterima di pekerjaan ini padahal Bapak tidak mengenal saya." Ucapku tegas kembali.
Dia masih saja tersenyum sambil menaruh kertas lamaranku di meja nya. Hingga seorang wanita masuk ke dalam ruangan sambil memberikan secangkir teh untuk Bapak tersebut dan duduk di sampingnya. Aku juga melihat wanita itu tersenyum melihat diriku dan memandangku begitu lekat seperti orang-orang yang berada di kantor ini.
" tadinya saya mau menerima kamu untuk bekerja makanya saya mau kamu interview tapi setelah melihat video itu , saya pikir kamu bukan orang yang tepat untuk menduduki posisi yang kami butuhkan." Ucapnya.
Sungguh jawaban yang aneh hingga membuat hatiku sesak. Dia menolakku secara langsung dengan andil sebuah video.
"maksud Bapak, video apa ya ?. saya pikir saya tidak pernah membuat video atau mengirim video apapun yang aneh-aneh kepada orang?" tanyaku dengan penasaran.
"kok kamu gak tau, padahal kamu lagi viral loh." Ucapnya sambil tersenyum ke arah wanita di sampingnya.
"viral?"
Sungguh ini bener-bener membuat aku semakin penasaran. Aku menjadi viral karena sebuah video yang tak pernah aku buat sama sekali.
"maaf Pak, video bagaimana ya?"
Hingga wanita yang berada di samping Pak Santoso beranjak dari duduknya dan memperlihatkan sebuah video.
Tertera lah di salah satu akun instagram videoku yang menangis segugukan sambil terduduk di acara pesta pernikahan Raga beberapa hari yang lalu. Terlihat caption di bawah video itu " ketika seorang wanita ditinggal menikah."
Seketika aku terdiam dan tercengang. Yang posisi dudukku tadi tegap kini mulai melemah melihat video yang baru aku saksikan. Air mataku ingin terjatuh tapi tetap kutahan karena pada saat itu aku sedang interview. Aku masih melihat jelas wajah wanita itu dan Pak Santoso yang merasa menyesal dengan memperlihatkan video itu.
"jadi kamu sama sekali tidak tahu video ini ?" tanya Pak Santoso.
"tidak Pak." jawabku lemah
Mereka hanya diam dan melihat raut wajahku yang mulai pucat. Namun, aku sesegara mungkin mengembalikan rautku sambil mulai mengakhiri interview yang sangat tidak jelas ini.
"baiklah Pak. dari kalimat Bapak tadi kalau saya berarti tidak diterima bekerja disini ya Pak? tanyaku.
"iya." Jawabnya sedikit menyesal.
"baiklah Pak. terima kasih Pak." sambil aku menyalami dia dan tersenyum.
Aku beranjak pergi dengan kekuatan dan tatapan wajah orang. Namun setelah keluar dari perusahaan itu betapa sesak yang kudapatkan. Siapa yang membuat video itu? Siapa yang melakukan itu ? kenapa hanya karena video itu aku tidak diterima ? kenapa aku bisa viral hanya karena itu ? kenapa orang begitu tega memvideo diriku pada saat mengalami frustasi itu ? apakah semua perasaan sakit hanya bisa jadi buat tertawaan ? kenapa dunia begitu kejam padaku ?
Beribu pertanyaan mulai menghasutku dan membuat aku menangis lagi. Aku mengambil masker yang berada di tas ku dan menutup sebagian mulutku agar orang tidak melihatku. Dan aku beranjak pergi entah kemana hingga aku tertuju pada sebuah taman yang sedikit orang berada disana.
Aku menangis puas lagi disana. Hingga aku merasa penasaran kembali dengan video itu. Aku mengaktifkan kembali ponselku dan melihat beberapa panggilan telefon. Dan aku yakin mereka sudah tau perihal ini makanya mereka menelfon sedari tadi. Tapi, aku tidak mengubrisnya sama sekali dan masih penasaran dengn video itu.
Aku memang jarang sekali membuka media sosial akhir-akhir ini. Itulah sebabnya aku terlambat mengetahui semuanya. Ku buka video itu lagi di salah satu akun dan dadaku semakin sesak. Tanganku mulai memencet pada sebuah kolom komentar dan itu membuat aku semakin muak dengan segalanya.
"lebay banget sih."
"segitunya gara-gara ditinggal nikah."
"alah..palingan cuman mau viral."
"kasian banget.. ya."
Aku melihat beribu komentar atas video itu. Dan kudapati semua kebanyakan dalam bentuk negatif. Isak tangisku semakin melihat komentar itu. Seketika aku frustasi dan ingin mengakhiri segalanya. Hingga Mama tiba-tiba menelfonku dan aku mengangkatnya.
" iya Ma?"
"lagi dimana ?"
Di taman Ma."
"kenapa belum pulang, Nak ?
"iya Ma, bentar lagi."
"Robi jemput ya ?"
"gak usah Ma.ngapain Robi disana Ma?"
"nunggu kamulah. Nadine juga disini."
"hmmm..iya Ma.bentar lagi aku pulang kok."
"iya. Hati-hati ya pulangnya."
Iya Ma."
Badanku belum ingin beranjak dari tempat ini. Masih ada ruang yang masih menyesakkan yang belum tersampaikan. Tapi mau bagaimanapun aku harus kuat dan menerima segala cobaan dan cemoohan orang terhadapku.
Warna hijau yang berada di taman ini setidaknya membuat pikiran ku sedikit segar. Setelah beberapa menit sejak Mama menelfonku, Robi hadir menampakkan wajahnya.
"Cha?"
Aku menoleh mendengar suara itu.
"iya, ehh Robi kok kesini ?" Jawabku.
"iya gak papa, jemput kamu aja." Ucapnya sambil duduk di sampingku.
"kan aku udah bilang gak usah dijemput."
"pulang yok..Ibuk khawatir liat kamu." Ucapnya sambil menarik tanganku.
Dan aku pun pasrah dengan tarikan dia untuk pergi pulang ke rumah.
Sesampai di rumah ku lihat Mama yang terus mondar-mandir seperti mengkhawatirkan sesuatu diikuti Nadine yang duduk di bangku tua rumahku.
"Ma" ucapku sambil tersenyum.
Mamaku langsung memelukku dan menangis sejadi-jadinya.
"kamu gak papa kan Nak?"
Iya , Ma."ucapku lirik dengan nada menahan tangis.
Mama tahu bahwa aku wanita yang sangat lemah untuk menghadapi segalanya. Oleh sebab itu dia selalu khawatir terhadap aku jika aku mengalami masalah dan selalu menguatkan aku.
"kita masuk aja Bu ke rumah." Ajak Nadine .
Kami berempat sudah duduk di ruang tamu. Mereka semua berharap aku untuk menceritakan segalanya tapi aku masih bungkam.
"Ma, aku mau istirahat dulu." Ucapku lemah.
"yaudah, bersih-bersih terus langsung tidur ya."
"Nadine Robi maksih banyak ya. Tapi , aku belum bisa bicara tentang semua ini." Kataku sambil menahan tangis.
"iya Cha. Gak papa . yang penting kamu udah disini. pergi sana istirahat." Usirnya dengan nada semangat .
Robi hanya menatapku dengan seksama tanpa berucap sedikit pun.
"iya. Kalian hati-hati ya pulangnya." Ucapku sambil pergi ke kamar.
Aku pergi ke kamar dan mengunci diri di kamar. Tapi, sayup-sayup aku masih mendengar masih ada suara Mama, Nadine dan Robi di ruang tamu.
" jadi Bi, Lo udah tau kan kalau Chaca pergi ke pesta itu ?" tanya Nadine kepada Robi.
"iya." Ucap Robi.
"terus kenapa lo gak cerita sama kita ?"
" iya aku gak mau lah Chaca malu."
" atau jangan-jangan lo yang ngantar dia kesana?"
"aku gak ada antar dia. aku kesana karena mau ngucapin selamat buat Raga tapi aku lihat Nadine disitu duduk di pojokan dekat pesta. Terus aku ajak lah dia pergi. Ya gitu aja sih."
"terus Robi tau sapa yang memvideo itu?" tanya Mama pada Robi.
'gak tau Buk."
"penasaran gue sapa yang memvideo itu. Awas aja kalau gue tahu. Emang gak ada otak yang memvideo dan memviralkan video itu." Ucap ketus Nadine.
"iya Ibuk juga heran. Kok tega banget memviralkan yang seperti itu." Ucap Mama.
"iya buk. Aku juga baca komentnya semua pada negatif. Aduhh sumpah geregetan banget Buk.' Ucap Nadine.
"entahlah Ibuk gk ngerti lagi mau gimana. Ibuk aja tadi gak tau karena pembeli langganan Ibuk yang bilang kalau Chaca lagi viral dan nunjukin video itu. Makanya Ibuk langsung pulang."
Ouh iya Buk, Chaca ada cerita tentang interview dia tadi?"
" enggak ada. Dia masih belum bicara."
"sama lo Bi, tadi Chaca ada cerita gak ?"
"gak ada."
"yakin lo ? entar lo boong lagi."
"gak ada Nadine."
"Bi, mending kita pulang aja. Besok kita kesini lihat Chaca lagi."
"yaudah. Ayok."
"buk.. kita pulang dulu ya." Ucap Nadine pada Mama.
"iya."
Tangisku semakin menjadi-jadi mendengar cerita Nadine, Robi dan Mama. Kuputuskan untuk pergi ke kamar mandi agar otakku sedikit fresh jika menyegarkan diri. Setelah itu aku merebahkan diriku di tempat tidur agar setidaknya ada sedikit ketenangan dalam benakku.
***
"dek makan yok." Panggil kakak Vira sambil mengetuk pintu
"iya kak."
Ku buka pintu sambil pergi beranjak ke dapur. Kutemui Kak Vira dan Mama yang sedang menunggu aku agar makan bersama.
"makan yo nak. Semua ini kesukaan kamu. Asam padeh ikan, sambal terong ungu."
"iya Ma."
"harus makan banyak ya dek. Biar tenaga kamu ada menjalani kehidupan ini." Ucap Kak Vira.
"hushh.. kok gitu si Kak. Jangan bilang gitu." Ucap Mama kepada Kak Vira.
"hmm iya Ma."
"gak papa Ma, kakak Cuma bercanda itu."
Yaudah yok..yok makan" ucap Mama.
Pada saat makan kami hanya bergeming. Aku pun tak terlalu berselera untuk makan walaupun pada saat itu dihidangkan makanan favoritku. Tapi sebisa mungkin aku memaksa diriku untuk melahapnya berlahan-lahan.
Mama mengajak aku dan Kak Vira untuk berbicara di ruang tamu.
" Mama sebenarnya gak ngerti kenapa bisa video seperti itu bisa tersebar. Tapi hanya saja Mama yakin seiring berjalannya waktu orang akan melupakan semua tentang video Chaca itu. Dan Mama anjurkan Chaca gak usah buka media sosial sedikit pun dulu."
Aku hanya mengangguk dan mendengar ucapan Mama.
"terus Mama mau tanya gimana interview kamu tadi berjalan lancar atau gimana ?" tanya Mama.
"ya gitu lah Mama. Aku gak diterima." Ucapku pasrah.
"iya alasannya apa ? kurangnya apa ? kenapa gk bisa diterima ?" tanya Mama kembali.
"iya kata HRD nya orang galau bagaimana mungkin bisa menyelesaiakan pekerjaan dengan tepat dan benar jikalau aku kerja disana."
"jadi alasan Cuma itu ?" tanya Mama.
"iya katanya dia mau nerima aku hanya saja setelah dia melihat video aku itu dia jadi membatalkan niatnya untuk menempatkan aku di posisi perusahaan itu."
" yaudah gak papa. Belum rezekinya kesana , cari kerja di tempat yang lain aja, jadi Hrd perusahaan itu yang nunjukin video itu ?." Ucap Mama penuh semangat.
"iya Ma.'
"hah. Jadi dia nunjukin video itu di depan kamu?"
'iya Ma."
" lagian kamu sih dek, lebay banget. Nangis-nangis gitu di acara pernikahan Raga. Move on dong. Kalau udah ditinggalin cari yang lain lah. Jadi kenak kan semuanya. Harusnya pekerjaan kamu diterima jadi gk diterima. Terus apa kata teman-teman Mama lihat kamu modelnya lemah gitu."ucap ketus Kak Vira.
"kok kamu gitu sih ngomongnya kak?" ucap Mama kesal kepada Kak Vira.
"iya kalau dia gak bertingkah gitu kan Ma. Dia pasti udah keterima kerja terus gak ada itu namanya viral-viralan." Ucap ketus Kak Vira lagi.
"semua ada hikmahnya kak. Kamu jangan malah marahin adek kamu lah. Harusnya kamu semangatin dia." Ucap Mama pelan.
Aku hanya bisa menahan tangisku. Semua ini memang salahku. Harusnya aku tak usah datang ke pesta itu. Semua jadi kacau karena tingkah ku. Sungguh aku tak tahu harus berbuat apa lagi.
"aku minta maaf Ma, Kak.' Ucapku lirih dengan menangis.
Mama langsung datang menghampiriku lalu memelukku.
"tidak apa-apa nak. Sudahlah lupakan saja semua nya. Kami disini untuk mu . gak usah dengar komentar negatif orang intinya. Mama disini, Kak Vira disini. Trus kamu juga punya sahabat yang baik Robi, Nadine. Itu sudah lebih cukup dari apapun. Jangan menyerah nak hidupmu masih panjang."
"iya Ma." Ucapku sambil menangis tersedu-sedu.
PINGSAN
kamu telah pulang
namun hatiku telah kau bawa melayang jauh tak terbayang
lalu ada hati kini yang datang
sigap sudah aku menghilang
agar hati yang datang tak bisa menggoyahkan hatiku sayang
karena hatiku masih untukmu yang telah pulang
Berangsur-angsur berita mengenai aku yang menangis di pernikahan mantan semakin lama semakin meredup. Aku mengikuti anjuran Mama untuk tidak menggunakan media sosial lagi dan aku juga lebih banyak di rumah. Nadine dan Robi tak kuperbolehkan dulu untuk datang ke rumah ataupun menelfon atau mengirimi aku pesan. Semua memang mulai sirna tetangga yang sibuk bertanya perihal apakah aku yang ada di video itu sudah mulai menghilang begitu juga media sosial aku instagram, fb , twitter sudah kunonaktifkan. Aku berusaha lenyap dari dunia maya walaupun semua itu terasa hampa. Hanya menyisakan WA yang masih tertera di layar ponselku.
Hari ini aku masih sama dengan beberapa hari yang lalu, masih di dalam rumah dengan rutinitas yang sama. Membersihkan rumah, menonton drama korea, musik korea ataupun membaca novel. Setidaknya semua itu membuat aku lebih nyaman tanpa hiruk pikuk omongan orang.
" dek .."
"iya kak."
"kakak pergi dulu ya?"
"kemana kak ?"
"jalan lah."
"bukannya kerja ya ?"
"yaelah dek, hari ini tanggal merah lo."
"iyakah kak ?" ucapku sambil melihat kalender
"iya lo dek. Makanya udahan di rumah mulu. Keluar lah lihat itu cahaya matahari makin bersinar , kamu malah makin redup."
"hmmmm.., jalan sama sapa ?"
"sama cowok aku lah."
"emang punya ?"
"ya punya dong."
"bawa dong kak kesini, kenalin sama Mama dan aku ?"
"emang harus ya ?"
"ya harus dong. Kakak aneh-aneh aja deh. Masak punya pacar gk dikenalin."
"nanti – nanti aja deh kalau aku nya udah siap."
"ngapain pakai acara udah siap. Tinggal langsung bawa aja ribet amat dah."
"hushhh... diam. Mending urus aja lah dek dirimu supaya cepat move on . jangan malah sibuk urus diri kakak."
"namanya juga kakak aku, harus tau dong seluk beluk cowok kakak."
"ya...ya..ya. udah ah.. kakka pergi dulu. Bye!" ucap Kk Vira sambil berlalu pergi.
Tinggallah aku sendiri di rumah. Mama masih di warung dan tak memperbolehkan aku untuk ikut kesana. Mama takut aku jadi bahan cerita orang-orang disekitar warung. Jadilah aku tetap saja stay disini.
Sebenarnya aku ingin sekali keluar tapi masih ada rasa takut merajalela untuk pergi keluar. Aku takut pandangan orang melihatku. Tapi aku ingin sekali keluar dan menghirup udara segar. mengajak Nadine dan Robi sungguh membuat aku sungkan dan karena selalu saja merepotkan mereka. Tapi aku tak punya pilihan lagi kecuali menghubungi mereka karena hanya merekalah sahabatku satu-satunya. Jadilah aku menghubungi sahabatku mereka melalui WA.
Ku aktifkan WA ku betapa terkejut nya sekitaran 2000 chat WA yang masuk baik itu chat personal maupun grup. Aku berusaha untuk menghapusnya satu persatu tapi rasa ingin tahu ku lebih kuat. Pertama aku buka grup waktu aku di perkuliahan dan kudapatilah teman-temanku membagikan video itu di dalam grup dan berkomentar berbagai macam-macam mengenaiku. Mulai dari mengejek, menertawakan bahkan kasian dan simpati terhadapku. Sesak kembali muncul dan ingin menangis . apakah ini benar teman-temanku ? tanyaku dalam hati.
Dengan sekuat tenaga dan tanpa peduli aku keluar dari grup tersebut. Dan aku yakin setelah aku keluar dari grup pasti aku kembali menjadi bahan cerita teman-teman perkuliahanku. Tapi apa boleh buat aku tak butuh orang-orang yang seperti itu pikirku.
Ku buka lagi chat grup WA alumni SMA aku zaman dahulu dan kudapati lagi hal yang sama. Dan tanpa pikir panjang aku langsung keluar dari grup tersebut. Aku pikir aku bukan orang yang kuat untuk membaca hal komentar yang seperti itu.
Ku buka lagi satu persatu chat personal teman-temanku yang bertanya apakah aku yang berada di video itu. Tapi langsung kulenyapkan saja pesan itu. Tanpa membaca sepenuhnya. Tapi ketika aku menghapus pesan personal satu persatu. Kudapati pesan yang sangat asing yaitu pesan dari Raga dan sebuah nomor yang tidak kuketahui.
*RAGA*
“Maafkan aku Cha”
“Aku tak pernah menyangka hal seperti ini bisa terjadi.”
“Aku tak pernah berniat membuat mu menjadi seperti itu Cha”
Air mataku kembali bercucuran ketika ku baca satu persatu pesan Raga. Pertahanan kembali runtuh. Aku benar-benar tak bisa menghapus tentang Raga saat ini. Ku blokir langsung nomor tersebut. Untuk apa lagi membalas pesan lelaki yang sudah menyakiti hatiku.
Ku seka air mataku,kubuka lagi satu pesan dengan nomor yang asing.
*0813546xxxxx*
“Ku mohon jangan lagi usik suamiku”
“Dan jangan ganggu hubungan kami dengan berlaku seolah-olah aku merebut Raga darimu”
“Aku tak pernah merebut Raga darimu, dia hanya memilih aku bukan memilihmu”
“Sekali lagi Kumohon jangan lagi ganggu dia”
Betapa terkejutnya aku mendapati pesan dari nomor asing ini. Aku yakin kalau ini pesan dari istri Raga. Bagaimana mungkin aku menerima segala prasangka buruk orang terhadapku. Bahkan aku tidak melakukan apa-apa sedikitpun. Sesak kembali merajai tubuhku . ku blokir nomor asing itu. Kuhempaskan ponsel yang sedari tadi di tanganku. Dan menangis sejadi-jadinya di dalam kamar sambil mengurung diri di balutan selimut.
Betapa tak sanggupnya aku Tuhan menerima semua ini.
***
"cha, cha, cha..." panggil Mama berulang kali.
"kenapa pintu kamarnya dikunci."
"cha, kamu kenapa nak?"
Cha.. cha.. cha." Sahut Mama cemas .
Terdengar suara langkah Mama memanggil Kakak Vira yang baru pulang.
"kak, chacha gak keluar daritadi kak." Ucap Mama pada Kak Vira
"emang dia kenapa, Ma? Tanya Vira.
"Mama juga gak tau kenapa dari tadi dia gak mau keluar."
"cha, bukak dek pintunya dek." Ucap Kak Vira sambil mengetuk pintu.
"dek..dek, kamu kenapa ? kamu gak khawatir liat Mama cemas. Jangan buat Mama jadi khawatir dek." Ucap Kak Vira.
Tapi aku sama sekali tidak menyahut dari kamar,aku terlalu lemah sedari tadi setelah membaca pesan yang membuat aku penasaran. Tanganku lemas, kakiku kaku, rambutku berantakan, hatiku hancur.
Semua benar-benar hancur, kamar yang terlihat indah yang diisi boneka-boneka dari Raga berhancuran. Kepala bahkan kaki boneka-boneka itu sudah terpisah. Busa-busa boneka itu berserakan. Rak buku yang tertata rapi sudah sembrautan tak jelas arah.
Aku bahkan tidak tahu apa yang telah kulakukan selama beberapa jam ini. Duduk di sudut kamar meratapi semua menjadi hal yang paling budiman. aku ingin semua kosong. Kosong dan kosong. Lelah iya benar lelah.
Aku masih dengar suara Mama yang begitu parau mengkhawatirkan aku. Takut perihal apa yang terjadi Pada diriku. Sayup-sayup kudengar suara beberapa laki-laki yang entah darimana sudah berada di depan kamar. Berusaha mendobrak pintu putih yang kokoh dan selalu tenang.
"byar......."
pintu itu akhirnya terbuka diikuti beberapa lelaki, Mama dan Kak Vira melihat seisi kamarku. Berantakan, hancur. Kepala-kepala boneka itu ada dimana-mana.
"cha...cha." ucap Mama sambil menangis dan berlari ke sudut kamar."
"ya Allah dek." Ucap Kak Vira mengikuti Mama dan diikuti beberapa laki-laki.
Aku masih meringkuk tak berdaya. Menangis tapi tak ada air mata.
"kamu kenapa , nak ? tanya Mama berusaha bertanya padaku.
"dek..dek." ucap Kak Vira untuk berkomunikasi sambil memegang jidatku.
"ya allah , Ma. Badannya panas banget Ma." Ucap Kak Vira.
"kamu kenapa nak?" sambil memegang jidatku juga.
"kita bawa ke Rumah sakit aja buk." Ucap salah satu lelaki itu.
"iya Ma, kita bawa aja ke Rs ." ucap Kak Vira.
"gak usah Kak." Ucapku pelan sambil berusaha berdiri.
Baru saja aku berdiri dan semua terasa kosong dan benar-benar hilang.
***
Mataku mulai terbuka sedikit –demi sedikit. Lampu-lampu itu tepat berada dihadapanku. Atap putih sudah berada dihamparan mataku. Mataku mulai mencari-cari. Kudapati satu-persatu orang yang kusayang sedang mengelilingiku.
Dirangkuh Mama tanganku sambil menangis.
"aku dimana Ma ? tanyaku pada Mama.
" di Rumah sakit, nak." Ucap Mama sambil mengelus rambutku.
"emang aku kenapa Ma?"
"kamu tadi pingsan nak."
"Ma, aku mau duduk."
Kak Vira mengatur tempat tidur itu sedikit naik agar ada tempatku untuk menopang. Diikuti oleh Mama yang memapah badanku agar mengatur posisi.
Aku mulai memutar-mutar kembali ingatanku. Iyah aku tadi di kamar dikelilingi Mama, Kak Vira dan beberapa lelaki yang mendobrak pintu kamarku lalu berusaha diri dan lupa semua seketika.
"maaf Ma." Ucap Mama sambil menangis lagi.
"kamu gak salah apa-apa, nak."
"aku selalu saja membuat Mama khawatir."
"sudahlah nak. Kamu tidur aja. Biar kamu cepat sembuh." Ucap Mama dengan senyum sambil memelukku.
"maaf Kak Vira selalu membuatmu repot." Ucapku lagi
"gak dek. Kamu gak buat kakak repot lo." Sambil memelukku juga.
"Nadine, Robi." Panggilku sambil tersenyum,
Mereka mendekatiku sambil berganti posisi dengan Mama dan Kak Vira.
"terima kasih." Ucapku lirik
"yaelah, terima kasih segala." Ucap Nadine.
"iya makasih kalian selalu ada."
"namanya juga Chaca sahabat kami. Ya harus selalu ada."
"maafin aku juga selalu merepotkan dengan berbagai kelakuanku." Ucapku sambil menangis.
"iya.iya Chaca. Kamu gak salah sama sekali." Ucap Nadine sambil memelukku.
Robi hanya terlihat diam saja memandangi ku tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Dan mulai mendekatiku.
"ehh..ehh. apaan lo Bi ? jangan dekat-dekat. Lo mau meluk Chaca." Ucap Nadine
Yang ditanya hanya bergeming. Hingga Nadine memperjelas pernyataan nya sambil menghadang Robi. Yang ditegur hanya diam dan berhenti pada tempatnya,
"kenapa Bi ? tanyaku
"gk papa Cha." Ucap Robi sambil kebingungan.
"emang lo kenapa sih dek sampai segitunya ? ucap Kak Vira yang memotong pembicaraan ku dengan Robi.
"heh..kok kamu nanyak gitu kak. Bukan saatnya untuk membahas itu." Ucap Mama tegas.
Aku hanya diam tanpa menjawab.
"Ma, aku lebih baik tidur aja deh Ma. Ucapku
"iya kamu lebih baik tidur aja."
"aku tidur ya Nadine Robi, gk papa kan ? tanyaku pada Nadine dan Robi.
"iya kamu lebih baik tidur aja. Kami juga mau pulang ini. Chaca cepat sembuh ya . besok kita kesini lagi liat kamu." Ucap Nadine.
"iya."
Nadine dan Robi berpamitan dengan Mama dan Kak Vira. Tinggal lah kami bertiga diruangan itu.
RUMAH SAKIT
Ini hari kedua ku setelah berada di rumah sakit. Badanku sudah mulai pulih dengan beristirahat walaupun setiap membuka mata banyak sekali pikiran-pikiran aneh yang bergelantungan. Pastinya itu masih semua tentang Raga, video itu, dan chat Raga dan istrinya.
Pagi ini hanya Mama yang masih setia menemaniku. Kak Vira sudah pulang sejak subuh tadi karena dia akan pergi bekerja pagi ini.
"makan dulu ya nak. " ucap Mama
"iya Ma. " kataku sambil mengatur posisi untuk duduk.
"makannya banyak biar cepat sembuhnya ya. "
"gak selera Ma. "
"masuk sedikit juga gak papa. " ucap Mama sambil memberi suapan pertama.
Aku tidak terlalu berselera makan apalagi menu yang disediakan dari rumah sakit.
"kalau aku udah siap makan, Mama pulang aja ya. "
"kok gitu, nanti teman Chaca gak ada disini lo. "
"iya gk papa lo Ma. Kan aku udah besar. Iya Mama mending dulu sarapan terus istirahat di rumah dulu."
"Mama disini aja nemanin kamu. Nanti Mama beli makanan diluar saja. "
"mending Mama pulang aja ya. Mama istirahat dulu aja. Nanti siang baru kesini lagi ya Ma. Aku gak papa disini sendirian Ma dan aku gak akan kemana-mana. "
"gak papa kamu sendiri? "
"Iya Ma, gak papa."
"yaudah, habis Mama suapin kamu, Mama pulang. Chaca mau apa, biar Mama masakin? " tanya Mama
" mmmm.. Apa ya? Terserah Mama aja deh. "
"entar kamu gak mau makan lagi. "
"ya ampun Ma. Sejak kapan aku gk pernah makan masakan Mama. Masakan Mama itu pokoknya the best deh. Apa aja yang Mama masak pasti aku selera. "
"hmm. .Iya lah. Entar Mama masakin makanan yang paling enak. "
"oke Ma. "
"gimana Mama telfon Nadine aja, supaya chaca ada teman disini? " tanya Mama.
"gak usah lah Ma. Ini masih pagi. Nadine punya kesibukannya apalgi nenek dia lagi di rumah. Pasti dia lagi sibuk. Gak usah direpotin lah Ma. "
"kalau enggak Robi aja? "
"ya ampun apalagi Robi, Ma. Segan lah. Minta tolong aja sama mereka. Aku gak papa disini. Tenang aja deh Ma. "
"iyalah. " ucap Mama.
Disela -sela aku berbicara dengan Mama tak terasa sarapan pagi ini kulahap habis dan Mama pun beranjak pergi.
Aku dirawat di ruang rawat inap yang memiliki fasilitas yang baik. Sehingga aku cukup merasa nyaman disini. Tv nya cukup bagus walaupun tidak ada acara yang bertema korea. Kecuali acara tv nasional yang semua terlihat tentang gosip.
Ingin memegang ponsel tapi kata Mama layar ponselku pecah dan Mama meminta tolong kepada Robi agar memperbaikinya ke konter.
Kudengar suara ketukan dan kulihat dua orang pria masuk secara bersamaan.
"assalamualaikum Cha. "
"waalaikumsalam. "
Terlihat lah Kak devan bersama adiknya Robi masuk ke dalam ruangan ku bersama dengan beberapa bawaan mereka.
"ehh Kak Devan, Robi ternyata. " ucapku sambil mengatur posisi untuk duduk dan mematikan tv yang sedari tadi hidup.
"iya Cha. Gimana keadaannya ? " tanya Kak Devan
"iya udah lumayan udah fit sih kak. "
"ouh iya ini kakak bawain beberapa buah-buahan biar kamu tambah sehat. " ucap Kak Devan sambil menaruhnya di meja.
"aduh kok repot-repot sih kak."
"gak papa. Sekali-kali kok. " ucap Kak Devan
"makasih banyak kak. " ucapku sambil tersenyum
"ibuk emang mana? "
" aku suruh pulang Kak. Soalnya biar Ibu istirahat dulu. "
"iya juga sih, lagian ibuk capek pasti nungguin Chaca. "
"iya kak. "
" pas banget dong kehadiran Kakak ini ya, bisa nemani Chaca sampai Ibu datang. " ucap Kak Devan
Aku hanya diam dan Robi juga hanya diam sedari tadi.
"gak usah repot-repot kak. Aku sendiri disini juga gak papa. " ucapku sambil tersenyum.
"gak papa, gak merepotkan kok. Malah kakak senang nemanin Chaca. "
"emang kakak gak buka Cafe? "
"buka. Kan itu bisa nanti-nanti aja. "
" ya ampun kak. Itu mah merepotkan namanya. Mending kakak buka cafe dulu."
"gak Cha, gak sama sekali. "
Entah kenapa disela-sela aku mencari jawaban untuk menolak tawaran Kak Devan. Robi sepertinya memotong pembicaraan kami lagi.
" ehh Cha, ponsel Chaca belum bisa dibawa. Palingan nanti sore aku jemput ke konter. " ucap Robi.
" emang ponsel Chaca, kenapa? Tanya Kak Devan
"ponsel Chaca retak layarnya kak. " jawab Robi kepada Kak Devan
"kok bisa? "
Aku hanya tetap diam dan tak menjawab sedikitpun. Sepertinya Kak Devan tidak tau sama sekali tentang keadaan ku kemarin.
" jatuh dari tempat tidur Kak. " ucap Robi spontan.
" ouh jatuh. Pantes lah retak ya. "
"iya kak. " ucap ku.
"kakak udah liat video kamu itu Cha. Sumpah kok kamu bisa sampe ke pernikahan Raga itu sambil nangis-nangis lagi. " ucap Kak Devan begitu saja sambil sedikit tertawa
Aku masih saja tetap diam karena tidak tahu akan berbicara apa. Aku cukup sedikit tersinggung dengan kalimat Kak Devan. Dia seperti tidak sedang memahami apa yang terjadi padaku.
"itu bukan lelucon Kak" ucap Robi kepada Kak Devan
"ehh ehh maaf maaf Cha. Kakak bukan bermaksud apa-apa. Kakak gak nyangka aja sebesar itu rasa kamu sama Raga. Pantesan belum bisa ada ruang untuk Kakak bersama kamu. "
Aku masih saja diam dan kaku. Bingung entah harus memberi respon dan jawaban apa dengan situasi seperti ini.
"Kak, Chaca belum sembuh. Jangan kasih kalimat-kalimat yang berat lah. " ucap Robi pada Kak Devan
"kamu perhatian banget ya sama Chaca. " ucap Spontan Kak Devan kepada Robi dengan sedikit nada kesal
Robi tak sedikit membalas sedikitpun pertanyaan dari Kak Devan
Dan tiba-tiba ponsel Kak Devan berdering dan dia permisi keluar untuk mengangkat telfon diluar. Jadi tinggallah aku berdua dengan Robi.
"Kok Kak Devan tau aku disini? " tanyaku
"siapa lagi kalau bukan Nadine. " ucap Robi
"ya ampun itu bocah. Terus Robi kenapa disini? "
"di ajak Kak Devan katanya dia gak tau dimana ruangan Chaca. "
"humm panteslah. "
"ehh dia gak tau ya kejadian aku kemarin? "
"kayaknya enggak sih."
" syukurlah. Jangan diceritain ya. Aku malu banget. Udah cukup deh video itu malu-maluin aku. "
"iya.. Iya. Tenang aja. "
Dan tiba-tiba Kak Devan masuk lagi.
"Cha, kakak kayaknya pulang dulu lah. "
"kok gitu kak? " tanyaku penuh semangat
"iya soalnya nanti malam ada yang booking cafe kakak untuk party. Kakak harus persiapin ruangnya juga dulu. "
"humm gitu ya kak. Ihh mantap lah. Lagi jaya - jaya ini cafe? "
"iya syukur Cha, lagi rezekinya. "
" alhamdulillah. " ucapku
"Robi disini aja ya. Temani Chaca sampai Ibuk datang. Kasian kan dia sendirian disini. " ucap Kak Devan
"iya kak. " ucap Robi
"kakak pergi dulu ya Cha. Cepat sembuh, besok kakak datang lagi kalau gak ada halangan. "
"iya kak. Makasih banyak kak. Hati-hati kakak ya. " ucapku
"iya. " jawabnya sambil berlalu pergi.
Tinggallah aku dan Robi berdua.
Sejak kepergian Kak Devan tadi, tak ada satupun kata yang keluar dari mulut Robi. Robi bersantai di sofa sambil membaca koran yang entah darimana ia dapat.
Aku mengatur posisiku untuk duduk lalu mengambil infus yang terkait di tiang penyanggah infus itu. Aku beranjak dan mulai berdiri sambil memegangi infus itu.
" mau kemana? " tanya Robi sambil berjalan ke arahku.
"ke kamar mandi. "
"sini kubantu" sambil mengambil infus yang berada di tangan kiriku.
"ihh masak iya ikut ke kamar mandi. " ucapku sambil mengelakkan tanganku
"di antar sampai depan kamar mandi aja. Yah gak mungkin dong aku masuk. "
"ihh gak usah aku bisa. " ucapku sambil mulai berjalan walaupun dengan gerakan lambat
Tapi Robi bersikeras mengambil botol infus di tangan kiriku. Dan aku pun tak bisa berbuat kecuali mengikuti keinginannya.
"ini knepernya (penjepelit selang infus) ini ditutup ke bawah kalau mau ke kamar mandi. "ucap Robi sambil menutup(menurunkan) kneper
"kok gitu? " tanyaku sebelum masuk ke kamar mandi.
"iya supaya darahnya gak naik ke atas kan soalnya chaca kan melakukan aktivitas yang melibatkan gerakan pada tangan. "
"ohh gitu. " ucapku sambil masuk ke kamar mandi.
Aku keluar dari kamar mandi, kulihat Robi masih berdiri di samping kamar mandi
"lah, kok masih disini? Nungguin aku ya? Tanyaku.
"iya. "
"gak ngintip kan? Tanyaku sinis
"ya tuhan. " ucapnya sambil geleng-geleng
Robi mulai memapahku sambil memegangi cairan infus dan memperbaiki kneper agar naik kembali. Menaruh botol infus di penyanggah infus. Mengatur posisiku agar tidur dengan nyaman.
"aku mau duduk aja Bi. "
Dan Robi pun mengatur tempat tidur agar nyaman untukku duduk.
"Bi, kok kamu tau mengenai infus ini tadi? "
"iya baca bukulah. "
"ihh iya juga ya, pintar ya. " ucapku
"itu gunanya baca buku untuk menambah ilmu. " jawab Robi sambil mencubit pipiku dengan geram dan berlalu kembali ke sofa
Betapa terkejutnya aku dengan tingkah dia mencubitku. Ini kali pertama Robi melakukan hal begitu. Ku buangkan kembali pikiran ku yang aneh-aneh sambil mencari remot untuk menghidupkan kembali tv. Tapi disaat aku ingin mengambil remot di meja sampingku, tanpa sengaja aku menyenggol gelas kaca dan jatuh berantakan seketika.
"kamu gak kenapa Cha? Ucap Robi sambil berlari mendekat ke tmpt tidurku.
"gak papa Bi. "
"kalo haus bilang samaku, kan gelasnya pecah karena kamu gak bisa ambil. "
"bukan Bi. Aku mau ambil itu remot taunya gelas kesenggol. Hati-hati Bi awas kakinya kena kaca. "
Robi pergi keluar dan mendapati sapu dan kain pel yang entah darimana. Di sapunya satu persatu kaca kaca yang pecah itu dan memasukkannya ke dalam plastik. Lalu mengepel dengan telaten lantai itu dengan bersih.
Aku benar-benar tertegun melihat sigapnya Robi. Cepat dan telaten. Kharismanya benar-benar keluar hanya dengan menyapu saja.
"Bi udah. Udah bersih kok. "
Robi masih saja memandangi lantai seperti takut masih ada serpihan kaca.
"udah Bi. " ucapku lagi
"entar kakimu kena."
"gak lo Bi, aku kan disini tiduran"
"iya kalo kamu ke kamar mandi taunya masih ada serpihan kaca kenak ke kamu kan. Gawat jadinya. "
Aku hanya bisa diam melihat dia yang benar-benar khawatir.
"Gak Bi. Buktinya kamu itu jalan-jalan kan gak ada kenak kaca. Udah lah Bi, sana lah ke sofa. " suruh ku lagi
"iya.. Iya. " ucapnya sambil masih melihat-lihat lantai.
"assalamualaikum." ucap seseorang dari bilik pintu.
"waalaikum salam., ehh Mama. "
"eh Robi udah disini aja ya. "
"Iya Ibuk. " ucap Robi sambil menyalami Mama
"kok dari tadi ngeliatin lantai. "
"ouh Chaca nyenggol gelas Ma, terus kacanya berantakan. Udah Chaca bilang gak ada lagi serpihan kacanya tapi dari tadi Robi gak dengar Chaca. " ucap Chaca dengan nada mengadu.
"iya Bi. Udah bersih kok Ibu lihat. Buktinya Ibu gak ada kena kaca ini. "
"iya Ibu "
"cepat banget Mama datang? " tanyaku
"ya Mama khawatir kalau lama datang. Eh taunya Robi udah disini aja. Kamu telfon ya? Tanya Mama
"telfon pake apa Ma. Tadi Kak Devan kesini sama Robi jeguk Chaca. Terus Kak Devan duluan pulang karena ada kerjaan terus Kak Devan nyuruh Robi disini sebelum Mama datang. "
"ouh iya Mama lupa ponsel kamu sama Robi ya. Gimana ponselnya Bi? " tanya Mama
"iya Ibuk. Nanti sore dijemput dan Robi antar langsung kesini Ibu. " ucap Robi
"makasih banyak ya Bi. Maaf, Merepotkan Robi. "
"gak papa Bu. " ucap Robi
"makan kita yok Cha? " tanya Mama penuh semangat
"hayukk.. "
"Robi pulang aja ya Bu. "
"ehh ehh sapa suruh Robi pulang? Disini yok kita makan bareng aja ."
"gak usah Bu. "
"gak usah malu-malu. " ucap Mama sambil menarik tangan Robi.
"iya Bi. Kita makan sama aja. "
"hmmm.. Boleh deh. " jawab Robi.
Mama mengeluarkan karpet kecil yang berada dibalik pintu sambil merebahkannya.
"Ma, aku mau makan sama Mama dibawah ya? "
"yaudah. Bi tolongin Chaca turun. "
Robi memapahku agar turun teratur dari tempat tidur sedang Mama mempersiapkan makanan yang akan kami santap.
Setelah selesai makan tadi Robi berpamitan untuk pulang, tinggallah aku dan Mama yang masih di rumah sakit.
"yaudah tidur lagi lah, nak. "
"hmmm..belum mau tidur Ma. "
"terus mau ngapain? "
"Ma, sini deh. Tidur disamping aku. "
"yaudah. "
Mama beranjak dari sofa dan langsung tidur disampingku sambil memelukku.
"Ma, aku mau cerita."
"cerita apa? "
"sebenarnya aku di chat Raga. "
"hah, terus? Jadi kamu kemaren bertingkah gara-gara itu. "
"iya Ma. Ada juga nomor asing yang menchat aku sepertinya itu istri Raga. Dia nyuruh aku jauhin Raga ."
"istrinya juga? "
"iya Ma. "
"kok bisa? "
"gak tau Ma. Mungkin perihal video yang viral itu. "
"Raga bilang apa sama kamu? "
"dia minta maaf Ma. Terus aku block nomor mereka. "
"iya bagus deh. Gak usah dipeduliin. Biarkan lah masa berlalu nak, kamu harus kuat. Masih banyak cerita yang harus kamu ukir tanpa harus ada raga. "
"iya Ma. " sambil memeluk semakin erat
"iya kamu harus sadar. Raga itu hanya sebuah ujian untuk menjadikan mu wanita lebih baik. Kamu gak perlu membenci. Ikhlaskan saja yang semua terjadi. Toh Mama masih disini untuk kamu kan?
"iya Ma. Makasih banyak selalu ada buat aku. "
"iya sayang. Ehh iya Mama udah buang boneka-boneka kamu . Gak papa kan? "
"Iya Ma. Gak papa. "
"lagian semua udah rusak. Ehh kamu pake tenaga super apa sampai bonekanya berhancuran,ponsel retak?" ucap Mama sambil menggoda
"heheh.. Gak tau Ma. Aku baru sadar aku jago banget ya Ma merusak. "
"hmmm.. gak boleh seperti itu. Kalau ada masalah diceritakan jangan dipendam sampai merusak barang. Itu jangan di biasakan ya nak?
"iya Ma. "
"janji. Kalau ada masalah langsung cerita sama Mama ya. "
"iya Ma. Janji. "
Tak terasa aku tertidur di pelukan Mama hingga sore.
KEBENARAN
Sejak adzan ashar tadi Mama membangunku agar menunaikan sholat walaupun dalam keadaan sakit.
Mama masih sibuk menonton acara gosip duduk manis di sofa sedang aku hanya menatap tv itu penuh kebosanan.
"chaca." panggil seorang wanita dari balik pintu
"ehhh Nadine."
"udah gimana kabarnya? " sambil memelukku
"alhamdulillah udah lumayan. "
"sore buk. "
"sore Ndine. " ucap Mama
"asyik banget nontonnya Buk? "
"heheh.. Iya lagi seru ni lihat artis pada pansos. "
"wahhh Buk, ngikutin gosip banget ya. ""
"iya biar ada ghibahan di warung Ndine. "
Nadine dan aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mama.
"ya ampun Buk, biar ada topik pembicaraan ya? "
"iya biar asyik aja daripada gibahin tetangga mending ghibahin artis kan. "
"iya juga sih Buk. " sambil tersenyum.
" bawa apaan itu? " tanyaku pada Nadine
"ini jeruk, ku buka ya jeruknya buat Chaca?"
"boleh."
"ehh tadi Robi nitip ponsel kamu "
"ouh iya. Kok enggak dia yang datang?"
"hmmm katanya ada yang mau diurusin." sambil menyuapkan satu persatu jeruknya.
"tumben banget. "ucapku
"iya gitu deh. " sambil memberi ponsel kepadaku.
Kulihat layar ponsel itu yang layarnya sudah mulus tanpa goresan.
"gimana manis kan jeruknya? "
"iya manis banget kayak kamu lah sayang. " ucapku gombal
"hadeuhhh lebay lebay. Kambuh dah.. Enggak nangis lagi hah? " tanyanya menggoda
" kan ihh.. Gak lo gak nangis lagi. Itu yang kemaren , sekarang udah semangat lagi. "
"kok bisa pingsan sih? "
"iya gitu lah. "
"jadi gak mau cerita? "
"dia chat aku."
"siapa? "
"Raga. "
"bilang apa dia? "
"minta maaf. "
"terus cuma itu? "
"ada juga nomor asing ngechat aku kayaknya nomor istri dia. "
"hah seriusan? "
"iya. "
"bilang apa dia? "
"intinya dia bilang jangan ganggu Raga. "
"lah siapa juga ganggu Raga? "
"entahlah Dine, aku juga gak ngerti. Memang kesalahan aku yang datang ke pesta Raga dan membuat onar. "
"no.. No. Siapa bilang kamu buat onar Cha? "
"yang buat onar itu yang memvideo terus memviralkan. Bahagia di atas penderitaan orang. "
"tapi kalau aku gak datang pasti gak bakalan terjadi seperti ini? "
"lo cuma datang Cha, diam terus nangis tapi tiba-tiba ada yg memvideo. Lah yg memvideo itu dong Cha yang salah. Lo gak ada ngelakuin apa-apa. "
"entahlah Dine. Aku bingung harus berbuat apa "
"lo gak usah berbuat apa-apa. Karena lo gak salah. Cukup diam dan semua berita lo akan berlalu. "
"iya Dine. "
"tapi, lo juga harus berusaha menata hati lo sekarang. Gue gak nyuruh lo melupakan Raga tapi lo cukup mengikhlaskan apa yang terjadi kemarin. "
"iya Dine. Makasih dine. " ucapku sambil memeluk Nadine.
" terus interview kemarin gimana? "
"gak lolos. "
"gara-gara? "
"video. "
"what video lo yg di pesta itu? "
"iya. "
"lah kok mereka tahu? "
"malah aku tau justru dari mereka. "
"ahh seriusan? " tanya Nadine sambil tercengang.
"iya serius. Aku heran kan kok pada liatin aku. Terus pas aku mau interview Hrd nya nyinggung masalah aku yang nangis. Heran dong aku. Kok bisa dia tahu. "
"hah, terus terus? "
"kata Hrd dia sebenarnya dia niat sih buat mempekerjakan aku hanya setelah melihat video itu di gak yakin sama kinerja ku nanti. "
"hah gara-gara itu doang. "
"iya. Aku tanyak dong. Video apa yang dia maksud. Asisten dia nunjukin video itu. Syok dong aku. Terus aku meyakinkan kembali Hrd nya apa memang aku gak layak di perusahaan dia dan dia bilang iya. Yaudah aku pulang aja. "
"astaga seriusan Cha. "
"serius lo Ndin. "
"ihh parah banget, sumpahh. Ahh lagian lo gak usah khawatir lah Cha, memang rezeki lo bukan di perusahaan itu. Jadi sabar aja, pasti semua ini ada hikmah nya. "
"iya Ndin, makasihh ya. Emang lo sahabat is the best banget dah. Love you love you noumu joahe. "
"ihh udah kambuh dah. terus kata dokter kapan lo bisa pulang ?"
"besok sih katanya."
"bagus deh, lebih cepat lebih baik. lo harus benar-benar melupakan Raga, Cha. lo gak bisa gini aja gara - gara dia."
" iya kamu benar Ndin"
"lo harus menata masa depan mulai sekarang tanpa Raga, dia udah punya kehidupan sendri tanpa lo."
"tapi Ndin sampai sekarang aku penasaran kenapa sih Raga ninggalin aku ?"
"lo gak usah cari tahu Cha. semesta bakalan menunjukkan segala sesuatu di muka bumi tanpa lo berusaha sendiri. cukup waktu saja yang berbicara baik itu lambat atau cepat semua bakalan ketahuan." sambil tersenyum.
"kenapa senyum ,emang ada lucu ?"
"terkadang tanpa gua sadari gua bijak banget ya menasehati lo." sambil tertawa.
"astaga dikira entah apa. memang ni bocah dah." ucap Chaca.
***
Sudah beberapa hari sejak kepulanganku ke rumah semua mulai tampak lebih baik dari sebelumnya. Cerita-cerita mengenai tentang aku mulai berlahan meredup. Sekalipun cerita itu mulai meredup, tapi tak ku pungkiri tentang hati mengenai Raga masih saja belum meredup. Bahkan semakin sakit, rindu mulai mendekapku dan pertanyaan itu masih saja terbayang di benakku.
Tapi, aku berusaha menutupi semua dihadapan orang yang kusayang. Mereka terlalu lelah mendengar keluhan ku perihal Raga melulu. Pada akhirnya hanya aku yang mampu meminimalisir perasaan ku mengenai Raga.
Hari ini aku berniat mengantar surat lamaran ke salah satu perusahaan. Diterima atau tidak diterima setidaknya aku mencoba.
Kupersiapkan segalanya terutama diriku yang harus siap menghadapi orang banyak. Semenjak kejadian yang lalu, ada rasa takut bagiku untuk berjalan di keramaian. Tapi, aku tidak bisa berlama-lama dengan semua ini. Aku harus bertekad untuk tetap berdiri tegar menjalaninya.
Ku ambil ponselku untuk menghubungi Mama.
"ma, aku pergi bentar dulu ya. "
"kemana, sama sapa? " sahut Mama cemas.
"aku mau antar lamaran lo Ma, bentar doang kok. "
"gak papa sendiri." ucap Mama
"iya gak papa Ma, chaca bisa kok. "
"kalau enggak telfon Robi atau Nadine supaya ada teman?" tanya Mama.
"aihh gak usah Ma, jangan merepotkan mereka melulu deh. "
"bukan gitu, kalau mereka ada waktu luang. Apa salahnya kan? . Mama khawatir liat kamu sendiri apalgi kamu baru aja sembuh. "
"Gak usah lah Ma. "
Tapi, hampir 5 menit percakapan itu belum juga berakhir. Dan akhirnya aku menyerah. Aku tahu Mama sngat khawatir tentang aku. Makanya Mama begitu gigih dengan keputusannya. Setelah selesai percakapan dengan Mama. Aku membuka WA dan beralih menelfon Robi.
"bi. Dimana? "
"di rumah, kenapa? "
"temani antar lamaran dong. "
"oke siap. Aku otw. "
Tak sampai satu menit percakapan itu selesai. Sederhana dan sangat meyakinkan.
Aku tahu Robi tak akan pernah menolak apa yang ku katakan dan itu kusadari setelah Nadine memberitahunya dan aku pun mulai menyadarinya. Oleh karena itu, jika masalah merepotkan untuk pergi. Robi jadi satu-satunya orang yang sering kurepotkan walaupun sedikit kalimat yang keluar dari mulutnya.
Setelah menunggu 10 menit, Robi sudah berada di halaman rumahku. Dengan gaya rapi dan tidak seperti biasanya.
"terlihat rapi. " ucapku sambil mengacungi jempol.
Dia hanya tersenyum.
"kok bisa lngsung otw sih? Tanyaku.
"tante duluan nelfon aku. "
"hah. Jadi Mama nelfon duluan sebelum aku? " tanyaku dengan penasaran.
"iya. "
"pantesan Robi langsung otw ya. "
"iya dong, kemana ni kita? Tanyanya.
" cuss lah, nanti ditunjukin jalannya. "
Setelah aku mengantar lamaran, aku mengajak Robi untuk jalan-jalan atau sekedar nongkrong di tempat biasa.
"bi, jalan yok? "
"kemana?"
"mmm.. Kemana ya. Tempat biasa aja lah.
"aih bosan."
"jadi kemana dong? "
"yaudah entah kemana aja deh, yg penting jangan kesana deh. "
"oke deh. Terserah robi aja. "
Entah kemana perjalanan ini akan berakhir. Terasa membosankan apalagi tanpa ada percakapan selama perjalanan.
"bi, kemana sih? Lama banget.
"sabar. Bakalan sampe ini.
"jangan aneh-aneh ya bi. "
"aneh apaan sih, dari tadi cuma bawa motor aja kok. Darimana cobak aneh-aneh nya. "
"bukan gitu lo. Jangan ke tempat aneh-aneh apalagi berlaku aneh-aneh. "
Robi melirikku ke belakang dengan tatapan sinis tanpa sepatah katapun.
Sekitaran setengah jam di perjalanan, barulah kami sampai ke sebuah tujuan. Ini salah satu wisata asri yg tak pernah ku kunjungi dan Robi membawaku ke tempat itu. Betapa senangnya hatiku.
Kami duduk berdua di rerumputan di area yg lebih teduh serta disambangi cahaya matahari yg mulai turun dari tingginya bumi.
"mkasih Bi. "
"untuk? "
"dibawa kesini. "
Robi hanya menatapku sambil tersenyum.
"Bi, "
"iya. "
"capek. "jawabku sambil menatapnya.
"kenapa? "
"entah. " jawabku tak jelas.
Tanpa ku sadari di dekatinya tubuhnya lalu merangkulku. Aku hanya bisa diam tanpa berkata apapun. Dan lagi air mataku jatuh seketika tanpa aba-aba. Entah apa yg dipikiranku saat itu aku mendekap kembali pelukan Robi dan menangis sejadi-jadinya. Setelah air mataku Luruh dan terlihat mulai berhenti. Robi mulai melepaskan dekapannya. Dia masih menatapku dengan seksama.
"jangan gtu natapnya. " ucapku.
"cantik. "
"siapa? Akuu? " jawabku sambil tersenyum.
"ehh kepedean katanya. " sambil berdiri.
"eh mo kemana, pulang ni ceritanya? "
"bentar, tunggu aja disini. "
"iya, kemana. "
"beli cemilan biar tenaga Chaca balik lagi. "
"aih, gk usah repotin. Tapi nyusahin gak papa. "tertawa sambil menghapus jejak-jejak air mata.
"sama aja. "senyum sambil berlalu pergi.
Aku menunggu Robi sambil memainkan ponsel. Kulihat ponsel Robi tertinggal dan aku pun berinisiatif membuka ponselnya. Toh lagian hal yg biasa mengotak-atik ponsel Robi. Dikala melihat ponsel Robi yg tampak sangat tidak menarik, aku melihat whatsaapp Robi. Entah keberanian apa yg membuat aku membuka privasi Robi. Tapi, betapa terkejutnya aku. Tuhan serasa kembali memberi aku petunjuk tentang apa yg ku alami selama ini. Air mataku kembali terjatuh dan pada saat itu Robi datang kembali sambil terlihat terkejut menatapku yang terlihat memegangi ponselnya.
"ayok, pulang. " jawabku ketus.
"kenapa? " jawab Robi yg mulai terlihat panik.
"ayok, pulang. " jawabku ketus lagi sambil mengembalikan ponselnya.
Robi hanya diam dan mengikuti perintahku dan kami berlalu pulang
Sampailah kami di rumahku dalam keadaan gemetar, aku masih tidak menyangka dengan apa yang kulihat beberapa waktu yang lalu. Sepertinya Robi bingung dengan keadaan ku yang secara mendadak. Setelah turun dari motornya, aku langsung pergi dan Robi langsung menarik tanganku agar berhadapan dengannya.
"kenapa Cha? "
Aku menatap nya penuh dengan kekecewaan.
"kenapa Cha, salah aku apa? "
"hah, kamu gak tahu salahmu? "
"iya, aku mana tahu kalo kamu gak bilang. "
"itu maksud di handphone kamu itu apa? "
"di handphone? "
"itu chattan kamu sama Kak Devan. Maksudnya apa? "
Robi terlihat gugup untuk menjawab balik.
"tega ya,Bi." sambil menitihkan air mata.
"bukan gitu, Cha. Sebenarnya aku mau cerita sama kamu tapi...
"tapi apa? Tapi karena Kak Devan itu kakak kamu kan? "
"cha, maafin aku Cha. "jawab Robi dengan memelas.
"tega ya Kak Devan buat aku dipermaluin dan kamu tega banget gak bilang samaku. Kalian sama aja ya. " jawab Chaca dengan amarah.
"Kak Devan gak tau Cha video kamu itu bakalan viral. Dia juga merasa bersalah. "
" viral gak viral, Kak Devan gak seharusnya memvideoin aku dalam keadaan gitu. Harusnya dia paham kenapa aku seperti itu, bukan malah sebaliknya mempermalukan aku. "
Robi hanya diam dengan hujatanku padanya.
"kamu juga cuma diam aja setelah kejadian ini. Kalau aku gak nemu chattan kamu dengan Kak Devan, aku gak bakalan tau siapa yang buat video itu, Bi. Tega ya kamu Bi. "
"maafin aku Cha. Maafin kak Devan juga Cha. Sebenarnya video itu cuma direkam kak Devan tapi gak tahu entah gimana teman Kak Devan memposting video itu di twitter."
"jadi aku harus salahin sapa? Teman Kak Devan? . Kalau saja Kak Devan gak memvideo itu, teman dia gak bakalan posting ke internet Bi.
Robi hanya diam dan merasa bersalah. Kulepaskan genggaman Robi dan berlalu pergi ke rumah.
***
Air mataku luruh lagi. Mungkin tak dapat lagi kupungkiri sudah berapa banyak air mata ku keluarkan tiap hari. Ku kunci ke kamarku lagi. Lagi-lagi orang terdekat seperti menghianatiku lagi. Tak ada yang benar dipercaya sekalipun itu sedekat nadi pikirku.
"Cha.... " panggil Mamaku yang baru saja datang.
"iya Ma. " ku seka air mataku sambil menghampiri Mama.
"gimana? Ehh kamu kenapa lagi nak?
"gak papa Ma. "
"kamu jangan bohong. Cepat bilang kenapa lagi? Jangan buat khawatir dong nak. "
"gak papa Mamaku, sayang."
"kamu gak percaya Mama ya, sampe gak Mau cerita. "
"bukan gitu,Ma."
" teruss? "
Ku ambil nafas panjang sambil mengajak Mama duduk.
"Aku gak sengaja buka WA Robi tadi waktu aku pigi dengan dia...
"hah, terus Wa dia kenapa?
Aku sebenarnya gugup untuk menceritakan hal seperti ini kepada Mama, apalagi Mama tahu orang-orang terdekatku. Aku mengambil nafas panjang lagi.
"jadi, aku liat chattan dia sama Kak Devan?
Terhenti sejenak lagi.
"kok kamu tengok nak, gak sopan dong?
"iya aku tahu Ma. Tapi entah kenapa rasa ingin tahu lebih besar pada saat itu.
"terus apa yang kamu liat? "
"iya, aku liat perdebatan Robi dan Kak Devan. Intinya Ma, yang memvideo aku waktu di pernikahan Raga itu Kak Devan. "
"hah. Yang benar? Ahh gak mungkinn..
"bener Ma. "
"kok dia lakuin itu? "tanya Mama dengan jengkel.
"aku juga gak tau Ma. "
"terus Robi bilang apa? "
"iya dia bilang memang Kak Devan memvideo aku tapi yang mengupload ke internet teman Kak Devan, Ma. Katanya Kak Devan gak tahu kalau temannya yang memviralkan Ma. "
"walaupun dia gak memviralkan, kan bukan seharusnya dia memvideo kamu dalam keadaan gitu. Mama kecewa bangett liat dia. "
"iya aku juga kesal banget Ma, kok tega bener Kak Devan. Robi juga gak ada cerita sama aku. "
"iya Robi gak bisa kamu salahin juga nak. Mama yakin Robi juga bingung dengan keadaannya di lain sisi itu Kakak dia di lain sisi lagi kamu sahabat dia. "
"iya aku tahu sih Ma. Tapi aku kesal banget liat Robi pokoknya. Jadi, menurut Mama apa dong yang harus aku lakuin? "
"iya kalian harus kumpul dong komunikasikan baik-baik. Toh udah terjadi kan, lagian ceritanya udah redup. "
"kok segampang gitu sih Ma? Aku gak terima pokoknya gak suka liat Kak Devan sama Robi. Kalau saja Kak Devan gak buat video itu, kejadian kemaren gak semakin memburuk Ma. Pasti aku juga diterima kerja di perusahaan kemaren. "
"jangan gitu nak. Semua pasti ada hikmahnya. Toh kita gak tahu entah apa dibalik ini. Kalau kamu benci Kak Devan dan Robi, gak ada untung nya kan. "
"aku pikir gak sesederhana itu mengenai perasaan Ma. "
"iya harus dipikirkan sesederhanakan mungkin dong nak ku, kalau kita buat ribet semua bakalan ribet. Toh kalau kita sederhanakan pasti lebih sederhana. "
"entahlah Ma. " ucapku jengkel.
"yaudah yaudah. Renungkan terdahulu Apa yang harus kamu lakukan untuk mereka berdua. Jangan gegabah. Memaafkan itu lebih menyenangkan, pikiranmu pasti melegakan. "
"hmm. Iya Ma. Iya. "
"dahh. Sana lah mandi. Biar otaknya agak dinginan. "
"iya Ma. Jawabku dengan cemberut.
"jangan cemberut dong. " ucap Mama sambil menggodaku.
Dan aku pun masuk ke kamar merebahkan diri sambil terpikir kenapa semua ini terjadi padaku.
RUMAH SAKIT 2
"Cha.. Cha. Chacaa..... " sahut seseorang dari balik pintu.
"Iya, sapa ya? "
"main yukk. "
"ehmmm.. Pasti Nadine " sambil buka pintu.
"datang akutu "
"ngapain? "
"hah, jadi aku gak boleh datang ?"
"boleh dong sayang, cintaku. Neomu neomu joahee ku. "
"hmmm.. " sambil duduk di kursi tamu.
"mau minum apa? "
"gak usah lah. Pigi yok? "
"kemana? "
"biasa nongki. "
"iya, kemana? "
"biasa, langganan. "
"Kak Devan? "
"iya, kemana lagi dong. "
"gak mau. "
"lah, kok gak mau? Ayoklah. "
"gak mau pokoknya " dengan tampang cemberut.
"ayoklah Cha, temani aku napa? Stresss ni. "
"sekali gak mau, ya gak mau pokoknya. "
"kok gitu sih Cha, ngomongnya? "
"ehh maaf Ndine. "
"assalamualaikum " ucap seseorang dari balik pintu.
"waalaikumsalam." jawab aku dan Nadine.
"ehh Robi Kak Devan. Masuk-masuk." ucap Nadine tanpa persetujuan Chaca sambil duduk kembali.
Cha." ucap Kak Devan.
Yang dipanggil hanya diam dengan memalingkan wajah.
"ehh cocok ni kita lagi ngumpul, nongki yok di tempat Kak Devan. " ucap Nadine tanpa tahu apa-apa.
"maaf ya Cha, Kakak minta maaf. " ucap Kak Devan dengan tampang menyesal.
"ada apa sih? Kok aku kek orang bego ya gak tahu apa. " celoteh Nadine.
Kak Devan mendekat ke bangkuku sambil memohon agar dimaafkan.
"semudah itukah? "
"iya, kakak tahu kakak salah. Gak seharusnya Kakak merekam kamu saat kamu nangis. Maafin kakak Cha.
"hah, tunggu-tunggu dulu? Rekam apaan sih? " celoteh Nadine.
" rekam video aku waktu nangis di pernikahan Raga. " ucap Chaca.
"hah ?? Gila lo ya Kak. Tega banget ya lo kak sama Chaca. "
"sumpah, kakak hilaf Cha. Kakak gak berniat buat ngerekam kamu lagian bukan kakak yang memviralkan, teman kakkak Chaca. "
"ya ampun kak, masih aja kakak bisa ngeles ya. Kalau kakak gk ngerekam gak mungkin teman kakka bisa memviralkan. Ya semuanya berawal dari kakak lah. " ucap Nadine yang mulai marah.
Robi hanya terlihat diam dan Kak Devan juga hanya meratapi kesalahannya.
"lo tau darimana Cha?
"Robi, chat Wa Robi dan Kak Devan. "
"kok bisa? "
"aku liat chat mereka. "
"jadi, kalo gak lo liat gak bakalan tau dong siapa pelakunya? "
"iya "
"wahh. Wahh lo juga Robi cuma diam-diam aja ya. Tega bener kalian ya. "
"jangan salahin Robi, Cha Ndine. Dia nyuruh kakak minta maaf tapi kakak ngeyel karena takut banget Chaca benci sama kakak. "
"dengan kakak ngomong gini dan ketahuan gini, Chaca benci sama kakak. " ucap Nadine ketus.
"kakak tau gak kenapa aku semakin kesal? " ucap Chaca.
"maaf Cha. "
" waktu di rumah sakit kakak juga ngeledek aku kan? Pura-pura bego gak tau apa-apa seolah kakak gak pernah ngerekam video itu. Setelah ketahuan gini baru deh kakak ngaku dan minta maaf. "
Kak Devan hanya diam dan gak bisa menjawab apa-apa.
"apa yang harus kakak lakuin Cha supaya kamu maafin kakak? "
"hah, kakak pikir segala sesuatu harus pake syarat ya. Memaafkan itu gak harus pake syarat kak, kalo aku memang mau maafin kakak pasti aku maafin kak. Tapi aku manusia biasa kak, gak segampang itu memaafkan hal yang seperti ini. Asal kakak tahu betapa malunya aku dengan semua ini. Ditambah lagi ternyata yang menyebabkan semua ini adalah Kak Devan. Emang Chaca punya salah ya kak, makanya kakak buat gitu?
"enggak Cha. Chaca gak punya salah. Kakak yang salah. Harusnya saat itu kakak nolongin kamu bukan malah mempermalukan kamu. "
" terus kenapa buat gitu? "
"iya Cha. Kakak akuin kebodohan kakak Cha. Kakak berniat video itu hanya untuk bercanda , tapi taunya teman kakak ambil video itu untuk konten twitter dia. " ucap Kak Devan dengan tampang menyesal.
"ihh kakak pikir itu jadi bahan candaan. kalau kakak udah liat Chaca dalam keadaan gitu harusnya kakak nolongin bukan malah divideoin. " ucap Ketus Nadine
Terlihat sekali aura penyesalan dari diri Kak Devan. Robi yang sedari tadi hanya diam tanpa berkata apa-apa.
"mendingan Kak Devan sama Robi pulang deh. Nadine aja kesal tau dengarnya apalagi Chaca yang ngalamin. Sumpah kok kecewa banget sama Kak Devan. Apa karena Chaca gak nerima cinta Kakak makanya kakak balas dendam ya? " tanya Nadine ketus.
"demi tuhan Cha Ndine. Gak pernah ada terlintas di dalam pikiran balas dendam atau apapun. Ini pure Kakak khilaf banget. Kakak gak berpikir panjang. Kakak minta maaf banget Cha. "
"iya lebih baik Kakak sama Robi pulang aja dulu. Chaca gak tau harus berbuat apa? Chaca masih kesal? Chaca masih ingat gimana orang mandang Chaca dengan video itu Kak? Sakit banget kak. "
"maafin Kakak, Cha. "
"yaudah lah kak, mending Kakak sama Robi pulang aja dulu. " jawab Nadine kasar.
"sekali lagi kakak minta maaf Cha dengan kesalahan kakak. Kakak harap kamu maafin kakak dan kita bisa kayak dulu lagi. " ucap Kak Devan sambil beranjak dari kursi.
Aku hanya diam tanpa membalas jawaban apapun. Kubiarkan mereka berdua pergi tanpa mengantar kepergian mereka.
Tinggallah kami berdua, aku dan Nadine.
"lo kok gak cerita sih Cha? "
"ini tadi mau cerita, keburu mereka datang. "
"lah terus kok bisa nemu Wa Kak Devan sama Robi? "
"kemaren Robi nemani aku antar lamaran terus kita nyantai-nyantai, ehh aku berinisiatif bukak hp Robi. Ehh nemu itu deh !"
"wah, memang ya mau kebusukan gimana pun memang Tuhan tunjukin yah. "
"iya, gitu deh. "
"tapi gak nyangka Kak Devan bisa gitu sama lo? "
"iya aku juga gak tau. Kenapa dia sampe sejauh itu. "
"mungkin dia memang khilaf banget Cha. Lo tau lah dia sukak becanda, mungkin video itu mau dia tunjukin untuk menggoda lo. Eh taunya cerita nya keluar dari jalur. Malah teman dia ambil video itu buat konten. "
"iya aku juga bingung sih. Gak nyangka Kak Devan gitu. "
"jadi, apa ini langkah yang harus lo lakuin? "
"aku juga bingung Ndine. "
"hati lo ngomong apa Cha? Dimaafin gak? "
"iya hatiku maafin Ndin. Cuma kalau masih liat mukak Kak Devan rada kesal gitu. "
"yaudah, mungkin butuh waktu untuk memulihkan ini semua Cha. Kalau aku sih berharap kita kayak dulu lagi. "
"mau nya sih. "
"iya, jadi pelajaran aja sih kita buat kejadian ini. "
"Mama juga bilang gitu. "
"iya tapi kalo hati lo berkata lain, ya gak papa Cha. Lo gak harus ikutin apa kata gue dan nyokap lo sih. "
"iya. Iya. Aku yakin kok apa yg Nadine bilang itu yg terbaik. "
"memang aku tu terbaik banget deh. " dengan tampang menyombongkan.
"dasar memang ya "
"terus rencana kita gimana? "
"gak tau dah. "
"yaudah ke tempat Kak Devan yok? " dengan tampang menggoda.
"ngadi-ngadi ya Ndine. Mau nambahin kekesalan juga ya Nadine." ketus Chaca dengan kesal.
"ehh ehh. Becanda lo. Yaudah disini aja deh. Gak usah kemana-mana. "
"nonton drakor yok? "
"lahh.. Lah. Boleh jugak tu. Udah lama banget kita gak cerita k-pop. Nonton apa? "
"itaewon Class? "
"oh drama baru itu ya. Kata orang-orang seru sih drama itu. Dapat darimana?
"aku download , gak bisa tidur tadi malam makanya kerjaan gitu. "
"wah kerjaan bagus sayang. "
"iya dong. "
Aku dan Nadine pun pergi ke kamar untuk melanjutkan ritual hobi kami.
Seberanjak kejadian beberapa hari lalu dengan Kak Devan dan Robi, kami sama sekali tak pernah bertemu atau bahkan berhubungan.
Rasa rindu menyelinap seketika ketika mengingat Robi, entah apa yang terjadi. Mungkin karena dia salah satu sahabatku apalagi ini untuk kali pertamanya kami berantem dan begitu kesal.
Sebenarnya aku tak begitu kesal melihat Robi apalagi dia juga yang menolong aku saat kejadian itu. Entahlah, mungkin sebab muasalnya karena dia tak jujur padaku. Rasa egoku lebih tinggi. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi dia pasti mau bercerita hanya saja dia berada diposisi membingungkan. Entah berkata padaku atau tetap menjaga rahasia Kak Devan.
Kuturunkan sedikit egoku, setidaknya untuk memperbaiki hubungan kami yang sedikit tidak baik. Aku langsung menuju Whatsapp untuk mengirim chat.
"Bi. "
Sekitaran 5 menit ku tunggu tak ada balasan. Kukirim lagi.
"Bi, apa kabar? "
Namun masih saja belum ada balasan.
"Bi, marah ya. "
Tapi sama saja.
Aku ingin menelefonnya tapi kuurungkan niatku, mungkin dia sibuk pikirku.
Benar-benar membingungkan dengan keadaan seperti ini. Sepi lebih senang menyelinap di kala tak ada yang menemani.
Kuputar alunan lagu dari loudspeaker kecilku, bukan lagu galau seperti biasanya kuputar. Kuputar lagu boyband korea kesukaan setidaknya agar lebih ramai kamar ini.
***
Setibanya handphone berdering, suara panggilan masuk. Terteralah disitu Kak Devan. Aku tahu maksud dia, pasti mau minta maaf lagi. Aku malas untuk mengangkatnya. Namun, dia tidak menyerah masih saja dia menelfon tanpa henti. Kuputuskan untuk menjawabnya.
"Cha, Cha. " dalam keadaan panik
"hmm. Iya kak. "
"Robi, Robi. "
"kenapa kak, Robi kenapa? " ucapku yg mulai semangat merespon.
"Robi sekarang masuk rumah sakit, Cha. "
"hah, dia kenapa kak? "
"kakak juga gak tau, kakak juga baru di telfon dari rumah. Dan ini lagi otw ke rumah sakit. "
"iya, iya aku kesana kak. Rumah sakit mana kak? Ucapku dengan semangat tanpa memikirkan apa yg sedang terjadi antara kami.
"rumah sakit Hanantai. "
"oke kak, aku kesana. "
Kumatikan handphoneku, aku bergegas mempersiapkan diri. Tapi kuingat Nadine, dia juga harus tahu toh dia sahabatku juga.
Kutelfon dia segera.
"halo. " ucapnya.
"Ndine. Dimana? "
"lagi di supermaket. "
"Robi, masuk rumah sakit. "
"hah, seriusan lo? "
"iya lo. "
"emang kenapa? "
"gak tau juga, ini mau otw. "
"oke, oke. Setelah antar belanjaan gw otw. "
"rumah sakit Hanantai ya. "
"oke. "
Kubuka salah satu aplikasi untuk mengantar aku ke rumah sakit itu. Dan aku langsung pergi.
Setelah sampai kesana, aku menelefon Kak Devan dimana sebenarnya ruangan Robi di rawat.
"dimana kak, ruangannya? "
"kakak lagi di depan ruangan operasi. "
Kumatikan handphone dan langsung bertanya kepada salah satu staf di rumah sakit, dimana ruangan operasi. Dia menunjukkan arah.
Betapa berdegup kencangnya hatiku, apa yang sebenarnya terjadi hingga dia harus dioperasi.
Kutatap di depan ruangan, terlihat Mama Robi dan Kak Devan.
"halo tante. " sapaku sambil menyalami Mama Robi.
"halo, Cha. " sambil tersenyum.
"apa yang terjadi sebenarnya kak? " tanyaku pada Kak Devan penuh khawatir.
"dia gak papa, Cha. "
"mana mungkin gak papa kalo sampe di operasi. "
"dia usus buntu. "
"kok bisa? "
Kak Devan menatap Mamanya untuk memintai penjelasan.
"iya, Cha. Tante sering banget liat dia sakit perut, mual muntah, nafsu makannya juga berkurang. Terus tante ajakin ke rumah sakit, supaya lebih tau dia itu kenapa.setelah beberapa pemeriksaan, ehh ternyata penyebabnya karena dia usus bantu. "
"ya ampun. "
"anjuran dokter supaya di operasi. Kamu tau lah gimana Robi, dia malas banget cerita tentang dirinya Dia gak mau di operasi katanya dia ada urusan lagi mau ketemu kamu. "
"hah, ketemu aku? "
Aku kembali teringat kejadian beberapa hari yg lalu pertemuan kami berempat di rumahku. Aku sama sekali tak menyadari kalau dia lagi kesakitan.
"hah, pantesan Robi megangi perutnya aja waktu itu. " celetoh Kak Devan.
"dasar ya, makanya kamu perhatiin dong adek kamu. Jangan sibuk terus diluar kesana kemari. " ucap Mama sambil menatap kesal melihat Kak Devan.
"maaf Ma. Salah Devan sih karena ngajakin Robi waktu itu ke rumah Chaca. "
"makanya tadi Cha, mungkin Robi udah kesakitan banget. Ehh akhirnya jatuh pingsan. Makanya tante langsung bawak ke rumah sakit dan dilakukan operasi. "
Betapa bersalahnya aku pada Robi. Tega-teganya aku memarahi Robi pada saat itu. Sungguh aku benar-benar sahabat yang gagal. Aku selalu ingin dimengerti, tapi aku bahkan sama sekali tidak pernah mengerti dengan keadaannya.
"Maafin chaca, tante. " ucapku sambil mengelurkan air mata.
"ehh, ehh gak papa sayang. Jangan nangis. Robi pasti sembuh. " jawab
Mama Robi sambil memelukku.
Sekitaran setengah jam, barulah dokter keluar.
"gimana dok? " ucap Mama Robi.
"alhamdulillah, berhasil. "
"alhamdulillah. " ucap kami
Beberapa menit kemudian, keluarlah Robi diantar beberapa perawat untuk dipindahkan ke ruang rawatan.
Handphoneku berdering.
Ternyata Nadine bertanya dimana ruang rawat Robi. Dan aku memberitahu.
Karena hanya dua orang yang boleh masuk ke ruang Robi. Kuputuskan tetap diluar sambil menunggu Nadine.
Sesampai di depan ruang rawatan, dengan segala kekepoannya Nadine bertanya. Kujelaskan semuanya perihal apa yang terjadi. Betapa menyesalnya juga Nadine karena dia juga salah satu yang memarahi Robi pada saat dia mengalami kesakitan dan tidak tahu menahu tentang apa yang di alami Robi pada saat itu.
Mama Robi dan Kak Devan sudah keluar dari ruangan. Mereka menganjurkan aku untuk melihat Robi . Nadine masih pergi menemani Mama Robi menyelesaikan administrasi. Seberes nanti Nadine juga akan mengunjungi Robi.
"Bi. " panggilku sambil mendekatinya.
"Cha. " ucapnya dengan senyuman.
"maaf. "
"buat apa cobak? "
"masalah kemarin. "
"gak papa. Sini. " sambil menyuruh aku mendekatinya.
Betapa terkejutnya aku tetiba dia memelukku begitu erat. Dan aku hanya diam saja tanpa melarang dia melakukan itu.
"cha, jangan marah lagi. " ucapnya sambil memeluknya semakin erat.
"maaf Bi. "
"aku gak tahan di diamin terus Cha. "
"maaf Bi. " ucapku lagi.
Tetiba ada seorang yang masuk tanpa aba-aba menyadarkan Robi betapa erat dia memelukku.
"ehmmm. "
Terlihat Nadine Mrs. kepo yang mengejutkan kami.
"kayak ada yang gak gue tau ini. " ucap Nadine.
"gak tau apa sih? " ucapku.
"hayooo.. Ada hubungan apa kalian? " tanyanya dengan merayu.
"gak ada apa-apa lo."
"hayoo.. Robi jawab. Tumbenan lo gue liat seagresif itu. Meluknya erat banget. " ucap Nadine lagi.
Yang ditanya hanya diam dan hanya menorehkan senyum. Dan aku masih terasa malu seperti baru ketahuan melakukan kesalahan. Padahal tidak ada apa-apa diantara kami. Robi hanya minta maaf doang dengan kesalahan. Selebihnya hanya apresiasi rasa sayangnya sebagai sahabat yang merasa bersalah.
"awas ya. Gue awasin lo berdua mulai sekarang. " ucap Nadine ketus.
"apa-apaan sih. Gak ada apa-apa lo. Kita cuma pelukan selayaknya antara aku dan kamu. " jawabku sambil memeluk Nadine.
"ehhm, ngelakkk terus. "
"gak lo sayangku. " ucapku.
"kalian gak marah lagi kan? " tanya Robi.
"marah gak ya, gimana Cha? " ucap Nadine sambil bertanya padaku
"udahlah, kita lupain aja. " ucapku.
Seberes itu kami membiarkan Robi untuk beristirahat pasca operasi agar ia bisa pulih kembali. Aku dan Nadine memutuskan pulang dan kembali besok lagi.
***
"Darimana aja Cha? " tanya Mama.
"ouh iya Ma. Maaf ya tadi Chaca lupa pamitan. Robi masuk rumah sakit Ma. "
"sakit apa, kok bisa? "
"dia kenak usus buntu. "
"oalah, terus gimana keadaan nya sekarang? "
"alhamdulillah,operasinya lancar Ma."
"alhamdulillah."
"Chaca, bersih-bersih dulu ya Ma. "
"iya. Jangan lupa makan. "
"oke Ma. Kak Vira dimana sih Ma, kok jarang banget di rumah? "
"nah itu Mama heran katanya dia lembur mulu. Mama khawatir dong takutnya dia kecapean kan, makanya Mama telfonin mulu selalu. Tapi, katanya gak papa. "
"lah kalo lembur Kak Vira pulang jam berapa Ma, soalnya Chaca gak pernah nyadar kalo Kak Vira pulang tengah malam. "
"iya gitu kadang pulang tengah malam, kadang gak pulang. "
"masak iya Sih Ma kantornya gitu?"
"Mama juga bingung, kamu taulah Mama kurang paham mengenai kantor-kantoran ini. "
"iya juga sih Ma. Yaudah de Chaca masuk dlu ya Ma. "
Percakapan mengenai Kak Vira begitulah selayaknya karena memang tidak ada yg dibahas dari seorang kakakku. Dia begitu tertutup bahkan aku saja adeknya tak mampu menerobos batas tinggi yang sudah ditanamkan kakakku pada dirinya. Begitu tertutup dan aku hanya bisa memahami itu dari dulu.
NADYA
hari ini aku dan Nadine akan pergi ke rumah sakit menjenguk Robi lagi. Itulah kenapa sejak pagi tadi aku menghubungi Kak Devan untuk memberitahu bahwa kami akan menuju rumah sakit. Entah kenapa sejak kuberitahu bahwa kami hari ini akan hadir dan dia menelfonku terus menerus untuk memastikan apakah kami jadi datang. Aku tidak tahu kenapa dia sangat bersemangat kali atas kehadiran kami.
Sejak pukul 11.00 Wib Nadine sudah berada di rumahku, hanya saja kami memutuskan untuk pergi selepas dzuhur.
"kok kak Devan nelfon mulu sih? " tanya Nadine.
"entah. Aku juga heran. Tumbenan banget dia ngebet gitu nanyak kedatangan kita. "
"iyah manatau dia masih merasa bersalah Cha atau dia mau minta maaf lagi. "
"gak tau juga sih. "
"terus lo gimana sama Kak Devan? "
"gimana apanya? "
"masih marah gak? "
"iya kalo marah enggak sih, hanya saja cuma masih kesal kadang. Tapi, yaudahlah ya lagian udah berlalu, dilupain aja. "
"ceilah, andai lo segampang itu ngelupain Raga. "
Aku tersentak kenapa Nadine mengungkit ke Raga lagi. Padahal sudah beberapa hari ini aku mulai mampu untuk tidak membahas topik itu di dunia nyata dan di dunia pikiranku.
Aku hanya melemparkan senyuman tipis pada Nadine sambil mengambil handuk untuk beranjak pergi mandi.
"ehh ehh sorry Cha, gue gak bermaksud ungkit dia. "
"yaelah Ndine, nyantai aja kali. "
"gimana mo nyantai ketika lo gak ada respon cuma senyum doang. Menakutkan tau. "
"hahah.. Iyakah? " tanyaku
"iya lo. "
"gak ah, biasa saja sih. Yaudah deh mandi dulu ni. "
"iya.. Iya. Buruan. "
"iya cinta. " ucapku manja.
Sekitar pukul 13.20 wib aku dan Nadine sudah sampai ke ruang rawatan Robi. Terlihatlah disitu Robi, Kak Devan dan seorang wanita yang entah siapa sedang bercanda. Sontak dengan kehadiran kami membuat mereka berhenti bercanda dan untuk pertama kalinya aku melihat Robi terlihat begitu bahagia ketika bercanda tawa bersama mereka dibandingkan dengan kami.
Ada sedikit rasa sesak ketika melihat Robi begitu sumringah menatap wanita itu tanpa beban dan pamrih.
"hei Bi" ucap Nadine.
"hai Ndine. Repot-repot kalian kesini lagi " ucap Robi.
"gak papa, namanya kita sahabat lo. " celetuk Nadine.
"oh iya Cha, Ndine ini Nadya." ucap Robi
"Hai, Cha. . " ucap wanita itu sambil memelukku secara tiba-tiba .
"kenapa ya? " ucapku yang merasa heran.
"maafin aku Cha, sebenarnya ini salah aku. Bukan salah Robi ataupun Kak Devan. "
"maksudnya? " ucapku yang semakin heran sambil melepaskan pelukan wanita itu.
"Cha, ini Nadya. Nadya ini tetangga kami dan kami sudah bersahabat sejak kecil. Jadi dia yang mengambil video kamu dr handphone aku lalu mempostingnya ke media sosial. " ucap Kak Devan
Aku diberikan syok terapi lagi. Aku dipertemukan dengan seseorang atau bisa kubilang tangan kanan Kak Devan untuk mempermalukan aku di dunia maya bahkan dunia nyata juga.
"seriusan aku masih bingung ini. " ucapku dengan heran.
"maafin aku Cha. Jadi kemaren itu aku maen ke rumah Kak Devan. Menggunakan handphone mereka hal yg biasa bagiku. Pada saat itu aku melihat video yang menarik, aku gak pernah berpikir kalau video di hp Kak Devan seorang yang mereka kenal. Karena kupikir itu hal yg lucu aku mempostingnya ke twitter. Alhasil ternyata video itu menyebar kemana-mana. Aku minta maaf Cha. " ucap wanita itu sambil menangis.
Aku hanya diam mendengar hal tersebut begitu juga dengan Nadine dan Robi.
" maafin kami Cha. Ini salah Kakak dan Nadya,Cha. Kami sama sekali gak bermaksud untuk melakukan itu Cha. Hal itu pure karena kebodohan kami Cha. " ucap Kak Devan dengan wajah minta maaf.
Aku hanya diam dan hanya menerima pelukan perempuan itu tanpa memberi respon apapun.
"kamu maafin aku kan Cha. " ucap Nadya.
"yaudah, lupain aja. " ucapku sambil menarik badan perempuan itu dari pelukanku.
Sungguh pada saat itu aku tidak tahu harus memberi respon apa hanya mengucapkan yaudah lupain aja. Bagaimana mungkin aku memberi respon marah disaat wanita itu menangis sesegukan meratapi kesalahannya yg entah disengaja ataupun tidak sengaja. Cukuplah kutahan walaupun rasa sakit hati itu masih melekat.
"seriusan Cha? Ucap wanita itu dengan semangat.
"iya, iya. Aku udah maafin. Kita lupain aja ya. "
"alhamdulillah, terimakasih Cha. Kamu memang wanita baik ya, pantass Robi... " celetuk wanita itu kemudian tiba-tiba terdiam.
"maksudnya? Ucapku dengan tampang penasaran.
"mmmmm. Itu. Itu. Pantas aja Robi mau bersahabatan sama kamu. Toh kamu memang orangnya baik banget. " ucap wanita itu seperti mengeles.
"uhmm. "
"kakak juga dimaafin Cha? " ucap Kak Devan tiba-tiba dengan pengharapan.
"maafin gak ya? Ucapku dengan nada meledek.
"maafin dong Cha. Masak Nadya dimaafin, Kakak gk dimaafin. " celetuk Kak Devan.
"iya, iya. Dimaafin Lo. "
"aihh, gitu dong. Makssih banget Cha. " ucap Kak Devan sambil melempar senyuman.
Aku sudah tahu sepertinya Nadine tidak menyukai situasi ini atau tidak menyukai Nadya. Sejak Nadya mengungkapkan apa perilakunya padaku, Nadine hanya diam saja tidak seperti biasanya. Hanya beberapa kata yg keluar dari mulutnya dan aku memahami itu.
Beberapa menit kami berbincang, Kak Devan pulang duluan karena masih ada tugas yang ia kerjakan. Tinggallah aku, Robi, Nadine dan Nadya.
Kami berbincang seperti biasanya sambil sesekali Nadya bertanya perihal aku tinggal dimana, pernah kuliah dimana, dll. Begitu juga sebaliknya. Nadine tetap saja diam sambil bermain game tanpa memedulikan kami.
" kamu punya Kakak ya Cha? " tanya Nadya.
"iya, kok tahu. "
"nebak aja. Eh enggak Robi pernah bilang. "
"uhmm gitu. Robi sering bicarain aku ya. " ucapku dengan pedenya.
"aduh, sering banget malah. "
Robi hanya diam sambil menatap tajam Nadya.
"ah, masak sih. Mungkin karena kita sahabatan wajar dong dia ceritain aku. " ucapku.
"gak juga deh. Emang aku pernah dia ceritain ke kamu padahal kan aku juga sahabat dia bahkan dari kecil. " ucap Nadya.
"enggak pernah sih. "
Robi tetiba mencubit Nadya agar lebih baik diam. Terlihat keakraban diantara mereka. Bahkan aku tak pernah merasa Robi bersikap sedekat itu padahal aku juga sahabatnya.
Disitulah terlihat nyata bahwa Nadya sahabat spesial Robi, dia tahu seluruhnya tentang Robi bahkan dia tahu siapa saja sahabat Robi selain dia.
"nah itu dia Cha, pasti ada something wrong Cha.... " ucap Nadya dengan tertahan.
Aku melihat Robi semakin memegang erat tangan wanita itu agar tak melanjutkan perkataannya. Sedang Nadya masih saja menggoda-goda Robi agar ia bisa melanjutkan ceritanya.
Ada sedikit kekesalan melihat berdua, entah rasa apa ini. Hanya saja aku tidak suka melihat kedekatan mereka berdua. Apalagi mereka saling melempar cadaan dan senyuman. Robi terlihat bebas dan bersemangat dihadapan Nadya tidak seperti biasa. Mungkin ada something wrong diantara mereka pikirku.
"Nadine.. " panggilku agar membuyarkan pikiranku yg tak menentu.
"iya. "
"pulang? "
"ayok. "
Aku tahu Nadine semakin tidak nyaman, itulah sebabnya aku langsung mengajaknya pulang.
"kita pulang duluan gak papa kan? " ucapku.
"kok cepat? " ucap Robi.
"ouh iya, mau nemanin Nadine lagi Bi beli sesuatu. " ucapku dengan berbohong.
"iya, aku mau beli titipan Mama. Takut keburu tokonya tutup ni. " ucap Nadine dengan meyakinkan.
"hmm.. Yaudah deh. " ucap Robi.
"cepat sembuh ya Robi. " ucap Nadine sambil menepuk bahu Robi.
"cepat sembuh Bi." ucapku juga sambil melempar senyuman.
Aku dan Nadine hanya diam sepanjang perjalanan. Ingin sekali aku mengetahui apa isi kepalanya tanpa harus bertanya. Namun, lagi dan lagi penasaranku lebih tinggi utk mempertanyakan semuanya. Sesampai dia mengantar aku, kuberanikan diri utk bertanya.
"masuk yok. " ajakku
"gak ah"
"ayoklah, bentar doang. Gak ada yg mau dikejarkan. "
"ada titipan Mama" celetuk Nadine dgn senyuman.
"yaelah, emang titipan emak lo apa? "
"itu jodoh katanya. "
"bisa aja jawabnya ya. "
Sembari bercanda kami kembali masuk ke rumahku dan bercengkarama di dalam kamarku.
"kenapa? " tanyaku
"kenapa apa? " jawabnya dgn bertanya kembali.
"itu lo. Kok diam aja dari tadi. Salahnya dimana? "
"gak salah dimana-mana. "
"Terus? " tanyaku lagi.
" iya kesel aja gitu. "
" udahlah, gak papa. Lupain aja. "
"dikit-dikit lupain, dikit-dikit lupain. Gak semudah itu tau melupain sesuatu. "
"yah, jadi menurut Nadine aku harus bilang apa. Marah gitu, memaki dia gitu."
"iya setidaknya lo ungkapin dong kalau lo gak suka dibuat jadi bahan becandaan apalagi tentang perasaan, lo cuma bilang lupain aja.
Gue yakin lupain itu cuman di mulut lo doang. " ucap Nadine dgn nada kesal.
Entah kenapa tersulut sedikit emosiku ketika Nadine menaikkan nada suaranya.
"pikir aja Nadine, dia tiba nangis sesugukan minta maaf. Masak iya aku marah maki dia. Iya itu doang yg bisa aku ucapkan. "
"berarti lo gak jujur sama perasaan lo Cha. "
"lah, mau gak jujur atau jujur. Itu hak aku dong. "
Sepertinya diantara kami mulai membara emosi yg entah darimana datang.
"iya gue tahu itu hak lo. Gue cuman nyuruh lo jujur sama hati lo. Gue ngomong gini karena gue peduli dan tahu banget apa yg lo rasakan Cha. "
" udah Ah Ndine, yg tahu perasaanku kan cuma aku. Jadi mau gimana pun yg aku lakuin pasti menurut aku udah benar. "
"okelah Cha. Terserah lo. Gue memang gak punya hak ngomong gini. Gue bersikap tadi karena memang gak suka dgn situasi dan perilaku wanita itu. "
Kami terdiam masing-masing dgn ego yg masih tersimpan.
"gue pulang aja. " ucap Nadine tetiba.
Aku hanya diam dan masih terduduk. Dan Nadine pergi berlalu tanpa aku melarang sedikitpun.
PERTENGKARAN
Sudah dua hari aku tidak mendapati kabar Nadine dan hari ini juga Robi sudah pulang. Aku sudah menghubungi Robi bahwa aku akan datang untuk mengantar ia pulang namun ia menolak. Dia berdalih sudah ada Kak Devan dan Nadya yang akan mengantarnya. Aku cukup kecewa dengan Robi tapi apa boleh buat aku tidak begitu penting baginya sehingga ada ataupun tidak ada aku sama saja.
Aku berencana akan mengunjungi Nadine, mau bagaimanapun Nadine benar. Dia sahabatku tidak sepatutnya aku bertengkar dengannya hanya karena perkara itu saja. Aku menyiapkan diri untuk pergi beranjak ke rumahnya menggunakan gojek.
"assalamualaikum. " ucapku sambil mengetuk pintu rumah Nadine.
Beberapa kali aku mengetuk pintu namun tak ada juga jawaban. Aku juga menelefon beberapa kali Nadine tapi tak diangkat jua.
Aku pergi ke rumah tetangga Nadine dan bertanya perihal apakah dia tahu dimana keluarga itu berada.
Terlihat seorang wanita tua sedang menyapu di teras rumahnya.
"permisi Bu. "
"iya, nak. "
"ibu tahu orang rumah itu kemana? " tanyaku sambil menunjuk rumah Nadine.
"mungkin mereka lagi di pasar. "
"ouh, ke pasar, Belanja ya buk. " ucapku.
"kayaknya jualan . "
"hah, jualan? "
"iya. "
"jualan apa buk?"
"setau buk jualan sembako di pasar Ngadi. "
"sejak kapan buk? "
"iya sekitaran sebulan ini lah nak. Dengar-dengar sih mereka bangkrut soalnya bapaknya ketangkep narkoba. "
Aku terdiam seketika. Sama sekali aku tidak mengetahui apa yang terjadi pada sahabatku. Aku terlalu sibuk mengurusi kisah percintaanku yang tak jelas hingga lupa juga kalau sahabatku lebih menderita daripada aku.
"Ibu tau gak pasar Ngadi itu dimana?"
"nanti tunggu aja angkot warna hijau no 123, itu tujuannya ke Pasar Ngadi."
"posisi jualan Nadine itu dimana ya buk? "
"kalau itu sih ibuk kurang tau ya nak, cobak cari aja nanti disana. "
"gitu ya buk, makasih ya buk. "
"iya nak. "
Aku beranjak menuju persimpangan dan menunggu angkot yang dikatakan ibu tadi. Sesampai disana aku melihat banyak sekali orang yg berjualan sembako. Bagaimana mungkin aku bisa mengetahui dimana keberadaan jualan Nadine dengan pasar yang sebesar ini. Namun aku tetap berusaha bagaimana pun aku harus menemui jualan Nadine.
Sekitaran setengah jam aku berputar-putar mengelilingi pasar itu untuk mencari keberadaan Nadine namun tak kutemukan juga. Aku sempat pasrah apa mungkin ibu tadi salah memberikan informasi atau malah berbohong.
Aku terduduk untuk beristirahat di lantai tangga-tangga pasar itu sambil menatap sekeliling apakah ada orang yang berbentuk seperti Nadine.
Sekitaran 10 menit aku beristirahat, mataku tertuju di parkiran seberang. Sepertinya aku melihat sesosok orang berbentuk Nadine yang sedang mengeluarkan motornya dari parkiran.
"Nadine. " panggilku dengan keras.
Namun ia tak menyahut.
Aku berlari menyebarangi jalan dan benarlah adanya, itu dia.
"Nadine." panggilku lagi sambil menepuk bahunya.
"Chaca. " ucapnya kaget.
Mataku berbinar seperti menemukan keajaiban.
"kenapa disini? " tanyanya dengan kaget
Tanpa basi-basi aku langsung memeluknya erat dan menangis sejadi-jadinya.
"kenapa Cha?"
"maafin aku Nadine. "
"tentang apa, tentang kemarin? "
Aku hanya diam sambil masih menangis sesegukan. Orang-orang menatap kami heran.
"udah-udah, kita bicarain di rumah gue aja. " ucap Nadine sambil melepas pelukanku.
Nadine kembali ke motornya dan mengajakku langsung pergi ke rumahnya.
Aku sudah duduk di ruang tamu rumah Nadine sedang Nadine lagi mempersiapkan minuman untukku.
"maafin aku Nadine. "
"iya iya, dimaafin lo. Aku juga maaf kemaren terlalu emosi. " ucapnya sambil meletakkan minuman dan duduk kembali.
"aku yg salah Nadine. "ucapku sambil menangis lagi.
"iya gue juga salah. Ihh jangan nangis mulu dah. "
"maafin aku karena menjadi sahabat yang buruk. "
"apaan sih Cha, kok lebay gitu. Ini bukan kali pertama lo kita bertengkar." ucapnya dengan tertawa.
"kenapa gak bilang? "
"bilang apaan Sih cha, gak jelas banget lo. " ucapnya kekeh.
"kenapa Nadine gk pernah bilang tentang keluarga Nadine. "
Dia seketika terdiam.
"tau darimana Cha? "
"tadi aku ke rumah tapi Nadine gak ada. Jadi aku tanya ke tetanggamu, dia bilang mungkin Nadine sedang jualan. Makanya aku bisa sampe ke pasar Ngadi karena mau mencarimu. "
Untuk pertama kalinya aku melihat Nadine menangis. Aku melihat betapa besar beban yang di tanggungnya dan aku sebagai sahabat lagi-lagi tidak mengetahui ini semua. Aku mendekatinya lalu mengelus punggungnya agar sedikit ia merasa tenang.
"papa gue, narkoba Cha. " ucapnya masih dengan nangis.
Aku masih aja mengelus tanpa berkata apa-apa. Aku tahu dia hanya butuh di dengar.
"ternyata selama ini dia jual aset-aset berharga kami buat narkoba, jual mobil, jual perhiasan Mama. Selama ini gue gak tahu kalau papa menggunakan narkoba yang gue tahu dia sibuk kerja dan kerja. Sampe ketika polisi datang Cha ke rumah gue untuk nangkap Papa dan disitulah kita baru tahu bahwa Papa menggunakan narkoba, Cha. "
"Nadine hrus kuat ya. "
Kubiarkan ia menangis sejadi-jadi. Jujur aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa menenangkannya.
Setidaknya sedikit lega ia rasakan ketika air mata itu luruh.
"kan jadi nangis. " ucapnya sambil tersenyum.
"gak papa. "
"kenapa gak cerita? "
"gue malu Cha. "
"kan aku sahabat Nadine. Setidaknya Nadine cerita supaya lega walaupun aku yakin itu semua tidak berarti. "
"gue segan Cha kalau cerita. Lo juga lagi bersedih, Robi juga sakit. Gak mungkin dong gue nyusahin lo pada. "
"yaelah Nadine masalah aku gak ada artinya dibading masalah Nadine. Pokoknya harus cerita ya, aku aja cerita semuanya sampe ke akar-akarnya. " ucapku tegas sambil tersenyum.
"iya iya neomu joaheku, siapp. " ucapnya sambil memelukku.
"terus di pasar itu warung sembako? "
"iya Cha. Gue sama Mama gak tahu harus berbuat. Untung aja rumah aman-aman aja,motor gue alhamdulillah aman juga dan gue punya tabungan selama ini. Alhasil gue buka warung sembako. "
"harusnya Nadine cerita sama aku, pasti udah aku bantuin. "
"gak papa sayangkuh. "
"iya aku mah jago masalah jual beli, kan aku sering tu jualan telur. "
"ehh iya yah, lo juga jualan telur ya. Lupa aing. "
"iya, kapan-kapan ajak aku kesana ya."
"gampang. "
"terus gimana udah mencoba ngelamar? "
"ngelamar sapa? ngelamar jodoh. Lah tugas gue kan cuma nunggu. "
"yaelah neng. Jodoh mulu dah. Ngelamar pekerjaan lo. "
"ouh itu, bilang dong jelas. Hmmmm.. Belum kepikiran Cha, gue mau bantuin dan ngembangin jualan ini aja dulu. "
"iyakah, gak ada niat gitu mau kerja dimana gitu? "
"gak ada. "
"seriusan? "
"lah lo tau Cha dari dulu mana ada minat gue mau kuliah apalagi kerja dibawah naungan orang. Gue kuliah juga kemaren kan atas permintaan Papa gue Cha. Gue maunya jadi bos walaupun cuma penjual sembako. "
"wawww."
"gak malu kan lo nanti kalo sahabat lo cuma penjual sembako? "
"yaelah, biasa aja kali. "
"iya mana tau kan ketika lo berhasil dan gue cuma masih remahan rengginang, lo gak mau bersahabat sama gue kali. "
"gak gitu juga dong konsepnya. "
"iya kan kita mana tau, segala sesuatunya bisa berubah. "
"insya allah, enggk. "
"aamiin , semoga.
***
Tetiba handphoneku berdering, nomor baru tertera. Aku cukup takut untuk mengangkatnya. Namun kuberanikan diri untuk mengangkatnya bisa jadi itu panggilan kerja. Dan benar ternyata aku ditelfon untuk interview kerja besok lusa. Betapa bahagianya aku setidaknya ada kesempatan untukku mendapat pekerjaan.
"ma... Ma. " panggilku dengan tergesa-gesa.
"kenapa sayang? " tanya Mama yang lagi sibuk di dapur.
"alhamdulillah Ma, aku dipanggil interview besok lusa. "
"alhamdulillah. Semoga ya nak."
"aamiin ya allah. "
"terus gimana, sama sapa? "
"maksud Mama? "
"iya nanti di antar sama sapa? "
"iya pergi sendiri dong Ma, kan sekarang gampang ada ojol dimana-mana. "
"ya Mama khawatir. Ajak Robi atau Nadine gitu nemenin kamu. "
"ya ampun Ma, gak usah direpotin. Robi juga baru sembuh, terus Nadine pasti sibuk di warung. "
"hah, Nadine di warung? Ngapain? "
Lalu kujelaskan keadaan Nadine secara singkat kepada Mama tentang apa yang terjadi kepada mereka.
"jadi Chaca pergi sendiri aja? "
"iya lo Mama sayang, jangan khawatir dong. Aku udah semangat banget ini Mama. Yang penting Mama doain aku terus semoga dilancarkan lusa. "
"aamiin ya allah. "
Setelah pembicaraan singkat itu, Mama pergi ke warung seperti biasanya. Seharusnya hari ini Mama mengajakku untuk membantunya namun hal itu langsung ditunda.
Mama mengatakan agar aku mempersiapkan diri dan segalanya untuk mengikuti interview besok lusa.
Selepas itu aku menelfon Nadine
"assalamualaikum. "
"waalaikumsalam. "
"lagi dimana? " tanyaku pada Nadine.
"biasa. Jagain warung. "
"gimana? Laris? "
"alhamdulillah lancar. "
"ibuk mana? "
"itu lagi hitung uang. "
"eh aku mau interview besok lusa." ucapku dengan semangat.
"seriusan? Dimana? Alhamdulillah. "
"itu di perusahaan adimalia. "
"bagian apa? "
"aku nyoba jadi admin sih. "
"ehh tunggu-tunggu, kek nya gw sering dengar nama perusahaan itu. "
"ya iyalah kalau masih di kota ini mah sering dengarlah. "
"bukan gitu sih, seingat gw ada orang yg gw kenal disitu. "
"siapa? "
"ehhh bukannya bokapnya Raga kerja disitu ya?"
"gak tau."
"ahh masa" Chaca gk tau, kan pernah pacaran sama Raga? "
"iya aku gk tau kerja dimana."
"yaelah. Seingat gue disitu soalnya gue pernah lewat bareng Raga dari perusahaan itu dan Raga bilang disitu bokap Raga kerja. "
"aku gak tau sih soalnya Raga jarang banget cerita tentang Papanya. "
"iya semoga deh Bokap Raga gak beneran disitu. "
"iya gak papa sih. "
"kok lo selempeng itu sih?"
"iya Papa Raga kan gak kenal aku. "
"hah, seriusann? Kok bisa? Emang Raga gak pernah ngenalin? "
"seriusan mulu dah pertanyaan nya. Papa Raga kayaknya gak kenal sama aku tapi aku kenal sih wajah Papa Raga soalnya pernah liat fotonya. Bukan gk pernah kenalin sih hanya saja setiap ke rumah Raga, aku cuma ketemu Mamanya doang sama Papanya gk pernah. "
"kok bisa ya? "
"mungkin sibuk. "
"sesibuk itukah sampai dia gk kenal Chaca? "
"hei andaa. Saya bukan siapa-siapa lagi lo. " ucapku sedikit judes.
"hehe, sorry becanda lo sayang. "
"iya mending doain aku aja ya semoga lancar interview nya. "
"aaminn. Tapi gue masih bingung kenapa lo gak pernah ketemu Papa Raga? "
"ya allah, beneran kepo. "
"bayangin dong hubungan lo 2 tahun tpi gk pernah dikenalin sama Papanya, gue jadi curiga dengan semua ini. "
"bayangin aja dong lagi Nadine Pradipta ngingetin Chaca tentang Raga lagi padahal Raga udah punya istri. Bisa gak kita gak usah bahas itu? " ucapku sedikit kesal.
"ya ampun. Maaf Chaca. Lupaaa lo. "
"ihh kok ngeselin sih? "
"hehe, maaf maaf. Janji gak bahas lagi. "
Aku hanya diam tanpa melanjutkan kalimatku.
"terus Chaca interview diantar siapa? "
"pergi sendiri kan ada kang ojol. "
"kuantar ya? "
"gak usah. "
"kenapa? "
"gak papa. "
"lo takut ya ngerepotin gue ya. "
"nah tau"
"lah gue udah biasa kan merepotkan diri utk sahabatku Chaca. "
"jangan gitu dong. "
Yaudah ku antar aja ya, lagian jam berapa? "
"jam 9"
"yaudah aku antar aja ya. "
"gak papa kah? "
"ihh lebay banget dah. Pokoknya jam tengah 9 gue udah otw ke rumah lo. "
"makasih sayang. "
"kalau keterima kita nongki ke tmpt biasa ya. "
"kemana? Kak Devan? "
"iya. "
"yaudah deh. "
"iya udh lama kita gk ngumpul. "
"iya deh. "
"gk trpaksakan? "
"enggak salah lagi. "
"ihh seriusan, kalo lo masih kesal sama Kakak Devan mending gk usah kesna sih. "
"iya kita kesana aja lagian udah lama gk kesna. "
"oke, gue lanjut kerja ya. "
"maksih Nadine. "
"sama2 syng. Assalamualaikum. "
"waalaikumsalam. "
PERTEMUAN TAK DISENGAJA
Aku cukup deg-degan untuk memulai pagi. Ini dikarenakan aku akan diinterview atau bisa jadi aku masih ingat sedikit rasa ketika dipermalukan saat interview yang lalu.
"kok mondar-mandir aja sih nak? " tanya Mamaku yang sedang duduk bersantai.
" gak papa Ma."
"takut, gugup? "
"sedikit Ma."
"yaudah, duduk biar tenang, fokuskan pikiran, baca bismillah. "
Aku mengikuti perintah Mama sambil menelfon Nadine yang belum juga datang hingga jam segini. Suara ketuk pintu dibarengi suara lelaki yang memberi salam mengejutkan secara tiba-tiba.
"siapa? "
"gak tau Ma tapi kayak suara Robi. "
"bukannya Nadine yang mau antar kamu?"
"iya Nadine Ma. "ucapku sambil membuka pintu.
"waalaikum salam, ehh Robi. Kenapa pagi-pagi kesini?? "
"disuruh Nadine. "
"hah maksudnya? "
Sebelum pertanyaanku di jawab, tiba Nadine menelfonku dan memberitahu aku bahwa dia tidak bisa mengantar aku karena tidak ada yang menjaga warung. Dia berkata Mamanya tiba-tiba sakit. Itulah kenapa dia menyuruh Robi agar mengantar aku.
Seharusnya Nadine bertanya padaku perihal apakah aku mau diantar Robi namun aku tahu Nadine berniat baik. Itulah sebabnya aku menyetujui saja walaupun aku sedikit merasa canggung.
"gak papa Bi, merepotkan? "
"iya gak papa. "
"udah sehat? "
"alhamdulillah. "
"syukur deh. "
"berangkat sekarang? "
"iya."
Aku dan Robi berpamitan kepada Mama dan menuju lokasi tempat aku interview.
Sesampai disana, rasa gugupku semakin merasuk dan merajalela.
"makasih ya Bi, undah antar aku. "
"sama-sama. "
"doain ya? "
"lebih dari itu aku selalu doain Kamu."
"nanti di jemput gak? "
"gak usah lah, pulang sendiri aja. "
"aku jemput aja ya lagian aku gak ada kerjaan. "
"gak usah lah. "
"hayolah, Chaca menghindar ya dariku. "
"gak Bi. "
"terus kenapa gak mau?"
"aku selalu ngerepotin. "
"gak ngerepotin, malah senang banget ketemu kamu selalu. "
"hah, kok gitu? " tanyaku yang begitu penasaran.
"ya senang aja."
"yaudah deh, nanti aku kabari kalau udah pulang. "
"yes... "
"segitu senangnya kah? "
"banget. "
Baiklah. Aku pergi ya. "
Lalu Robi menarik tanganku secara tiba-tiba hingga badanku yg tadi membelakanginya kini kembali beralih ke hadapannya.
"semangat. " ucapnya sambil tersenyum.
Aku hanya terdiam tanpa melakukan apa-apa. Lalu dia membuyarkan aku dengan kalimatnya dan mengangkat tanganku ke atas sambil menggoyang-goyangknnya.
"hayo... Hayooo. Semangat, semangat. "
"iya semangat. " ucapku kecil sambil tersenyum.
Selepas itu aku meninggalkan dia dengan perasaan dan jantung yang semakin berdegup kencang.
Aku memasuki kantor perusahaan itu dengan perasaan yang kini bercampur aduk.
Namun hal itu kembali dibuyarkan pada sesuatu yang tak ku pikirkan hari ini.
Aku memasuki lift untuk pergi ke ruangan tempat aku interview. Namun aku tak menyangka salah satu orang yang berada di dalam lift itu adalah sesosok yang baru kutemui namun kukenal wajahnya sudah sekian lama.
Dia adalah Papanya Raga. Ternyata prediksi atau perkiraan Nadine perihal Papa Raga yang bekerja disini benar adanya.
Jantungku berdegup semakin cepat seperti aku menemukan sesosok lelaki ditubuh yang sama.
Sunggu wajah itu versi tua dari lelaki yang kucintai.
"itu sapu tangannya jatuh. " ucapnya tiba-tiba membuyarkan isi kepalaku.
Aku menoleh ke bawah dan bener adanya sapu tanganku yang sedari tadi ku gengam terjatuh setelah melihat Papa Raga.
"makasih Pak. " ucapku sedikit takut.
"mau kemana? "
"mau interview Pak. "
Kami sudah sampai di lantai yang sama.
"tau ruangannya? " tanyanya dengan perhatian.
"enggak tau pak. " jawabku dengan suara kaku.
Lalu dia menunjuk arah ke sebelah kira dan menunjukkan tempat aku untuk bertemu Hrdnya.
"terima kasih banyak Pak. " ucapku.
"sama-sama. Semoga diterima. " ucapnya dengan tersenyum.
Betapa semakin berdegup jantungku, entah apa yang saat ini terjadi. Semua terasa bercampur di dalam benakku.
Sungguh sosok lelaki tua itu mengingatkanku pada Raga yaitu anaknya sendiri. Aku merindukannya kembali ketika melihat sesosok Papanya padahal sudah lama kutahan hingga kini.
Aku harus fokus . Aku harus menenangkan diriku untuk masuk ke ruangan ini. Jangan biarkan Raga merusak hariku. Aku harus semangat seperti kata Robi, pikirku.
Ku bukaaa pintu ruangannn itu.
Krekkkk........
***
"selamat kamu diterima di perusahaan ini." ucap pria yang dihadapanku sambil menyalamiku.
Betapa terkejut nya aku saat pria itu berucap yang bukan lain adalah Hrd di perusahaan ini. Sekujur tubuhku membara sudah lama aku menantikan ini agar diterima bekerja dan bisa menyibukkan diri seperti yang lainnya. Serangkaian interview yang cukup lama membuat aku akhirnya sedikit lega walaupun tidak seutuhnya tapi tak apa tak usahlah banyak dipikirkan.
"terima kasih banyak Pak."
"kamu sudah bisa mulai kerja hari senin saja, gak masalah kan ?"
"iya gak masalah,Pak"
ah untung pikirku setidaknya aku tidak terlalu buru-buru untuk memulai kehidupan alias perjalanan yang baru.
Kemudian iya menjelaskan peraturan bekerja di perusahaan itu beserta hal apa saja mengenai kantor.
"bagaimana kalau kamu saya tunjukkan langsung dimana ruangan tempat kamu kerja? " ucap Hrd itu.
"boleh Pak, gak merepotkan Pak?"
"gak papa, itu memang tugas saya."
lalu kami beranjak dari ruangan dia sambil pergi menaiki lift menuju ruanganku.
"ruangan kamu di lantai 3 ya."
"baik pak."
"nah kita udah sampe."
"halooo... semua." sapanya pada orang-orang di ruangan itu.
"haloo pak, siapa pak?" ucap salah seorang.
"ouh iya ini karyawan baru bagian administrasi ya. Mohon dibantu ya terutama kamu Rin."
"siap pak."
lalu Bapak itu mengajak dan menunjukkan tempat aku bekerja yang dimana menuju arah perempuan tadi.
"ini kursi kamu ya Asia, dekat Ririn. kalau kamu butuh atau minta ajarin apa-apa tanyak aja ke Ririn soalnya Ririn juga satu bagian dengan pekerjaan kamu."
"baik Pak."
lalu aku menyalami Ririn dan berkenalan dan berlalu pergi bersama Pak Hrd itu.
"hari senin ini kamu harus rapi dan tepat waktu ya datang nya ya,Asia."
"baik Pak. ouh iya satu lagi kepala di ruangan kamu itu namanya Bapak Sucipto tapi tadi dia tidak diruangan itu. hari senin saja saya kenalkan."
"baik Pak. jadi saya hari senin langsung ke ruangan saya atau bagaimana Pak ?"
"iya kamu langsung ke ruangan kamu saja nanti."
"baiklah Pak."
"semoga betah bekerja disini ya."
"iya pak. terima kasih banyak Pak."ucapku sambil menyalami dia.
***
selepas aku menjalani interview aku berlangsung menghubungi Robi dan dengan sigap ia menjemputku.
"gimana, gimana ?" tanya Robi dengan semangat.
"gimana apa sih Bi ?"
"diterima gak ?"
"iya gitu deh."
"gak diterima ya."
aku hanya diam saja tanpa memberi ekspresi apapun.
"ketempat Nadine yok ?"
"sekarang?"
"gak, 50 tahun lagi."
"kayak judul lagu." ucapnya sambil bernyanyi.
sekarang atau 50 tahun lagi kumasih tetap mencintaimu.
"apaan sih Bi ?"
"iya gak papa. terhibur enggak ?"
"ilfeel euw. trnyata Robi bisa segaring itu yah."
"iyah gak gitu. niatnya menghibur lo."
"aneh sumpah." ucapku sambil mengacungkan kedua jari.
"yaudah deh gak lagi." ucapnya
namun dalam hatiku betapa lucunya cara menghibur Robi dan betapa tidak tahunya dia bahwasanya aku sebenarnya diterima kerja.
"eh ke rumah Nadine ?"
"ke tempat jualan aja."
"jualan mana ?"
"di pasar."
"ngapain disitu ?"
"kerja dong."
"ehh dia kerja disitu."
"dia buka warung."
"seriusan, kenapa sih ?"
"yaudah dijalan diceritain."
"terus kemana ni tujuannya ?"
"Pasar Ngadi."
"dimana tu ?"
"cusss aja lh Bi, entar ditunjukin."
disepanjang perjalanan aku menceritakan apa yang dialami Nadine. Robi juga merasa menyesalkan dirinya juga seperti aku mendengar berita Nadine pertama kali.
"Nadine." panggilku dengan semangat.
'Iya. haiiii kalian datang." ucapnya juga dengan semangat selepas melayani pembeli.
"pasti diterima, kan ?"
aku hanya tersenyum saja.
"ya ampun. selamat cinta."
"sama-sama."
"eh, tunggu dulu. tadi kata Chaca gak lulus ?"
"mana, robi yang menyimpulkan."
"kan dari ekspresi Chaca tadi."
"makanya jangan mudah menyimpulkan." ucapku sambil tersenyum lebar.
"dasar ya Cha, ngerjain kamu ya."
"maaf Bi." ucapku
"Ibu sakit apa Ndine ?" tanya Robi kepada Nadine.
"gak enak badan, Bi. kecapekaan."
"terus Ibu sendiri di rumah? "
"iya Bi."
"apa ni yg bisa dibantuin? " celetuk Chaca
"masukin barang-barang yg di luar Bi. " ajak Nadine.
"hmmm. "
"aku ikut juga ahh. "
"gak usah Cha, diam disitu aja. " ucap Robi.
"ehemmmm. " ucap Nadine sambil senyum sendiri.
Aku dan Robi menatap Nadine bersamaan.
"yaudah Robi aja sana angkat semua barang yg diluar ya. Baik banget deh Robi. "
"ada maunya aja. "
"setelah ini kita pulang aja ya? " ucap Nadine.
"kok cepat? "
"khawatir sama Mama ini tiba-tiba. "
"yaudah deh, itu lebih bagus. "
Kami bertiga membereskan segala barangan sembako Nadine lalu beranjak pergi ke rumahnya.
"sorry ya rumah aku berantakan."
"yaelah Ndine udah biasa kali. "
Kami masuk beriringan sambil Nadine memanggil-manggil Mamanya yg tak kunjung ditemukan. Hingga akhirnya aku menemukan Mama Nadine tergeletak di dapur. Betapa histerisnya kami melihat Mama Nadine. Robi langsung membopong Mama Nadine dan kami langsung melarikannya ke Rumah sakit dengan bantuan beberapa tetangga.
MAMA NADINE
saat ini Mama Nadine sedang berada di IGD dan sedang ditangani dokter. betapa syok Nadine dengan hal yang terjadi dan dia menangis tak henti-hentinya.
"gimana dok Mama saya ?" tanya Nadine setelah pemeriksaan.
"kita lihat hasil pemeriksaan darahnya dulu ya tapi sejauh ini Mama kamu cuma pingsan saja sepertinya kecapekan, selama ini Mama kamu punya penyakit atau sakit apa gitu ?"
"sejauh ini Mama saya gak punya penyakit dok dan gak pernah ada sakit apa-apa."
"iya mudah-mudahan Mama kamu gak papa, kan sudah kita infus. mau makan kan ?"
"nah itu dok, akhir-akhir ini Mama malas banget makan. harus dipaksa selalu katanya selalu gak selera."
"iya makan harus tetap walaupun sedikit tapi sering."
"baik dok."
"kamu gak usah khawatir, bentar lagi Mama kamu bakalan sadar kok."
"mudah-mudahan dok, terima kasih banyak dok."
selepas itu dokter berlalu pergi dan kami menghampiri Mama Nadine, dan benarlah adanya Mama Nadine sudah sadar.
"Ma." ucap Nadine sambil menghapus sisa air matanya.
"eh sayang, udah pulang. eh tunggu dulu, Mama dimana ?"
"Mama di rumah sakit Ma."
"kok bisa ?"
"tadi Chaca nemuin Mama di dapur dalam keadaan pingsan."
"ya ampun, kenapa sampe dibawa ke rumah sakit sih. di rumah aja gak papa kan."
"lah Nadine khawatir Ma."
"maksih sayang. tadi kepala Mama pusing banget terus ke dapur mau ambil minum, yaudah gak ingat lagi.
"kan Nadine sering bilang makannya jangan malas, jangan kecapekan, jangan banyak pikiran Ma.
"iya sayang. terus dokter bilang apa?"
"sejauh ini gak papa Ma, hanya saja dokter masih menunggu hasil darah."
tetiba seorang perawat datang menghampiri kami.
"permisi."
"iya sus."
"keluarganya siapa ya kak ?"
"saya sus." ucap Nadine.
lalu suster itu menjelaskan kepada Nadine perihal berkas-berkas yang harus dipenuhi agar Mama bisa dipindahkan ke dalam ruangan. Namun, Nadine sama sekali tidak membawa sehelai apapun kertas atau baju Mamanya. Sehingga Nadine permisi untuk kembali ke rumah mengambil segala kebutuhan berkas maupun kebutuhan Mamanya.
"Ma, Nadine pergi dulu ya balik ke rumah ngambil segala keperluan."
"emang gak bisa Mama di rawat di rumah aja nak, Mama udah sehat kok."
"gak Ma. mama harus dirawat dulu sampe sembuh total pokoknya. "
Mama hanya diam saja tanpa menyahut kembali.
"cha, gak papa disini nemani Mama kan ?"
"nyantai aja Ndine."
"aku pinjam Robi dulu bentar ya?" ucap Nadine sambil senyum tak karuan.
"bawa aja Ndine, kantongi juga gak masalah." ucapku agak kesal.
"lah jangan ngambek dong."
"enggak dong, pigi aja jangan lupa apapun ya."
"iya gak lupa lo balikin Robi." ucapnya kekeh lagi.
"hhmmm Nadine, kamu jangan goda Chaca mulu ."
"enggak lo Ma, cuma bercanda, cuma mencairkan suasana yang tegang mulu dari tadi."
aku hanya diam saja sedang Robi hanya sibuk menatapku sambil senyum tipis tak jelas.
"pigi ya buk." ucap Robi dan Nadine berlalu pergi.
jadilah aku menunggui Mama Nadine yang sedang istirahat.
***
setelah menyelesaikan segala berkas, Mama Nadine langsung diantarkan keruangannya. kami bertiga pun ikut mengantarnya. sesampai disana Nadine menyiapkan segala keperluan Mama Nadine.
"Chaca pulang aja lah." ucap Robi tiba-tiba padahal sejak tadi tak ada bicara.
"enggak ah disini aja nemani Nadine."
"udah mau malam, Chaca harus istirahat."
"gak Bi, mau nemani Nadine."
"kan aku disini, bisa nemani Nadine."
"iya Cha, lo pulang aja kan lo udah capek seharian dari intrview kerja tadi." sahut Nadine tiba-tiba.
"gak capek lo, fit banget ni. mau nemani Nadine aja."
" iya kalo lo gak mau Cha, gue juga gak bolehin Robi dong disini nemani aku."
"lah kok gitu jadinya?"
"iya lebih baik lu berdua pulang aja, gue juga gak mau repotin kalian. udah banyak banget ngerepotin kalian."
"yah gak gitu Ndine, gak papa lo." ucap Chaca.
Robi hanya diam saja tak menyahut lagi.
"oke deh. aku pulang tapi Robi disini nemani kamu ya Ndine."
"nah gitu dong."
"ih jahat banget."
"bukan jahat lo sayang. lusa kan Chaca mau kerja badannya harus fit lo."
Chaca hanya diam aja.
"aku antar Chaca terus ke rumah bentar bersih-bersih terus balik kesini lagi, gimana Ndine ? tanya Robi.
"ide bagus Bi. jangan cemberut Cha ?"
"pengen nemani Nadine."
"gue paham Cha lo khawatir sama gue dan mau nemani gue. gue sangat berterima kasih tapi lo juga kan lusa mau kerja hari pertama. ini itu hal yang sdh lama lo idamkan jangan sampai kesehatan lo terganggu di hari pertama kerja. lagian Mama juga udah gak papa kok, Robi juga disini kok."
"iya Ndine."
"besok kan lo bisa juga kesini."
"iya. Robi beneran nemani Nadine kan ?"
"iya Cha. pastilah."ucap Robi.
"oke deh."
"yaudah sono lu pergi. hati-hati ya."
kami beranjak berdua pergi keluar dari ruangan. tiba-tiba Nadine memanggil namaku.
"kenapa Ndine ?" tanyaku padanya.
"pinjam Robi ya ?"
"ihh apa-apaan sih."
aku melanjutkan jalanku dengan kesal dan diikuti Robi yang senyum tak jelas melihatku. Nadine juga tertawa seperti melupakan beberapa jam sebelumnya.
Aku hanya diam saja sesampe rumah diantar Robi.
"kenapa diam aja? "
"gak papa. "
"marah karena Nadine atau gimana?gak papa artinya ada apa-apa. "
Aku hanya diam.
"jangan gitu, makin gemes liatnya. "
" apaan sih Bi? "
"gak gak. Yaudah sana masuk bersih-bersih, tidur. Nadine gak usah dipikirkan kan ada aku yg nemani. "
"beneran kan nemani, entar lupa lagi? "
"beneran Chaca. Yaudah nanti telfon aku manatau lupa kan. "
"kan kan, ih.. "
"iya beneran ingat. "
"pokoknya nanti aku vc beneran di rumah sakit. "
"cerewetnya. Gemes sumpah. "
"sehat kan Bi? " ucap Chaca sambil memegangi jidat Robi.
"sehat walafiat . Udah ah sana masuk."
"oke. Entar aku vc ya. "
"iya siap. "
Robi berlalu pergi dan Chaca pun masuk ke rumah.
PAPA RAGA
Untuk kali pertama,akhirnya aku bekerja juga pada hari ini dengan rasa penuh gembira dan rasa cemas untuk memulai sesuatu hal yang baru. Aku melihat Ririn sedang berjalan menuju.
"rin." Panggilku.
Lalu ia menatap ke belakang sambil berkata "hai. Kamu karyawan baru itukan. Asia kalau gak salah ya."
"iya aku asia. Kamu panggil aku chacha aja."
Sepanjang perjalanan ke ruangan aku dan ririn mulai saling kenal dan membahas satu sama lain. Dia juga mengajari pekerjaan yang tidak aku ketahui. Hingga siang pun aku dan dia pergi ke kantin bersama untuk makan siang.
"cha, udah ketemu sama kepala ruangan?" sambil ia mulai melahap nasi dan lauk yang dihadapannya.
"belum, rin"
"kamu hati-hati ya."
"maksud kamu ?"
"iya itu kepala ruangan namanya Pak Sucipto agak gatel."
"apa rin, gak paham aku ?"
"jadi Pak sucipto ini agak genit lo cha. Dia itu suka banget menggoda-goda perempuan apalagi kan chaca karyawan baru jadi harus hati-hati."
"kok gitu Pak Sucipto Rin ?"
"gak tau sih Cha. Emang dasar modelan makhluknya kayak gitu. Dengar-dengar sih di punya selingkuhan dan tau gak selingkuhannya itu msih muda." Celetoh Ririn dengan semangat.
"eh jangan gitu rin, kan kita gak tau kebenarannya."
"iyasih cha Cuma aku sih yakin kalau modelan makhluk aki-aki gitu pasti punya simpanan."
Aku hanya tertawa melihat betapa semangatnya Ririn membahas Pak Sucipto sepanjang makan siang.
Tiba-tiba aku dipanggil oleh Pak Sucipto ke ruangannya. Kata Ririn, dia ingin berkenalan denganku dan saat itu juga Ririn mengkode aku agar berhati-hati dengan tindakan Pak Sucipto.
"permisi." Sambil kuketuk pintu.
"silahkan masuk." Jawab dari dalam
Kutatap lamat-lamat ternyata laki-laki yang diceritakan Ririn tadi siang adalah Papa Raga. Betapa terkejutnya aku dan pikiranku langsung bercampur aduk dengan apa yang dikatakan Ririn tadi siang. Karena yang aku ketahui Raga bercerita bahwa Papanya adalah lelaki terhebat. Itulah sebabnya kenapa Raga selalu ingin seperti Papanya. Pikiranku terbuyarkan tiba-tiba dengan kalimatnya.
"silahkan duduk."ucapnya
"iiya pak." jawabku
"asia chakira."
"iya pak."
"nama yang indah untuk wanita cantik seperti kamu."
Aku hanya tersenyum tipis karena aku merasa risih karena ia tiba-tiba berbicara hal seperti itu
"umur kamu berapa ?"
"23 pak." jawabku singkat
"udah tau kan peraturan disini."
"Udak pak." jawabku lagi singkat
"bagi nomor wa kamu. Ucapnya tegas
Tentu itu hal yang sangat aneh bagiku karena ia langsung meminta nomor wa ku.
"maaf sebelumnya, buat apa ya pak ?"
"untuk menghubungi kamulah." Jawabnya santai.
aku bingung harus berkata apa namun seminimal mungkin aku untuk berpikir positif
"ouh untuk urusan pekerjaan ya pak." jawabku sendiri untuk menenangkan diri.
"iya itu terserah saya ."jawabnya juga
Lalu aku memberikan nomor wa ku tanpa bertanya-tanya lagi dan selepas itu ia menyuruhku untuk kembali melanjutkan pekerjaan.
"gimana, gimana ?" tanya Ririn mendekati mejaku.
"gitu deh, bingung." Jawabku
"pasti dia minta nomor wa kamu ? tanya Ririn
"eh kok tau ?" tanya ku kembali sambil menatap penasaran Ririn.
"iya tau dong. Udah paham banget dia bakal ngelakuin apa-apa."
"seriusan Rin? ihh kok ngeri sih."
"nyantai aja. Intinya Pak Sucipto chat chacdak berhubungan dengan kerjatgak usah terlalu balas dan jangan mau kalau diajak-ajaak."
"diajak ?"
"iya dia bakalan ajak chacha makan , beliin ini itu. pokoknya masuk perangkap dia."
"ngeri banget sih Rin. Takut aku."
"tenang aja. Selagi chacha biasa aja dan gak ngasih kode kalau sukak dia. Dia bakalan capek sendri."
"ih masih hari pertama . aku udah spot jantung . pokoknya entar kalau dia chat aku, kamu harus bantuin aku ya?"
'sipp bereeesss."
Disaat aku ingin bertanya lagi perihal Pak Sucipto ataupun Papa Raga kepada Ririn tiba-tiba Pak Sucipto keluar ruangan,alhasil ririn kembali ke meja kerjanya dan aku pun kembali menyelesaikan pekerjaanku.
Selepas pulang kerja aku singgah ke rumah Nadine dan melihat keadaan Mamanya yang sudah pulang dari rumah sakit.
"gimana ?" tanya Nadine
"iya lumayan ." jawabku singkat
"ih gak jelas."
"B aja Ndine."
"senang kah, sedih kah, capek kah ?"
"campur Ndine."
"aneh memang lu cha." Jawabnya kesal.
"eh iya . nadine benar lo."
'benar apaan ?"
"papa Raga beneran kerja disitu."
"kan bener gue. Trus gimana ? dia kenal lo gak." Tanya Nadine semangat
"dia gak kenal sih, Cuman aku aja yang kenal."
"syukur deh."
"dan Nadine tau, Papa Raga itu kepala ruanganku." Sambil aku menghela nafas.
"what ? aduh gimana dong ? lu jadi teringat Raga ya ?"
"bukan itu sih Ndine."
'' gak nyaman gitu rasanya ya ?" tanyanya kembali.
Lalu aku bercerita kepada Nadine terhadap apa yang aku alami hari ini dan apa-apa desas-desus yang aku dapat perihal Papa Raga. Namun Nadine menguatkan aku dan menyuruhku tidak usah ambil pusing selagi perihal Papa Raga selagi ia tidak bertindak hal yang aneh.
Hari ini hari weekend dan udah selama seminggu aku sebagai pekerja. Tidak ada terjadi apa-apa dan aku juga bekerja dalam keadaan lancar tanpa gangguan. Siang ini aku diajak Nadine untuk pergi ke Mall. Sudah lama kami tidak pergi untuk menyenangkan diri. Nadine juga merencanakan untuk menonton di bioskop. dia juga mengajak Robi untuk pergi bersama namun Robi berkata bahwa dia ada acara lain. Alhasil kami berdua saja yang pergi. Namun sebelum pergi aku memastikan pukul berapa Nadine menjemputku karena yang kutahu Nadine sering kali mengulur-ulur waktu. Sebelum kuchat dia namun tiba-tiba ada nomor yang tak kukenal menchat wa ku.
"selamat pagi, Asia."
"kamu lagi ngapain ?"
"kamu sibuk ?"
Namun aku bingung entah sapa yang sedang menchatku hingga aku membuka foto profilnya dan kudapati wajah Pak Sucipto sedang terpampang nyata di ponselku dengan gaya duduk di kursi tempat kerjanya.
"selamat pagi. Ini siapa ya ?" balasku pura-pura tidak tahu.
"saya Sucipto." Jawabnya
"kamu kenalkan ?" balasnya lagi.
Aku tertegun ketika dia membalas hal seperti itu, ia membalas pesan seperti merasa ia seusiaku.
"ouh maaf, pak sucipto ya ?" balasku berlagak polos.
"iya. Kamu gak usah panggil saya pak. cukup panggil sucipto saja."
"maaf pak, saya tak bisa. Saya merasa tak sopan untuk mengucapkan hal seperti itu."
"iya terserah kamu saja."
"kamu lagi sibuk ?" balasnya lagi.
Cukup lama aku membalasnya karena aku bingung akan membalas apa bahkan aku menelfon Ririn untuk menanyakan pendapat dia apa yang akan dibalas.
"maaf saya lagi liburan bersama keluarga Pak." jawabku dengan tegas.
"emang kamu lagi dimana, saya akan datang ." balasnya.
Jantungku kembali berdegup kencang dan linglung ingin membalas apa.aku kembali menelfon Ririn dan menanyakan pendapatnya kembali. Namun Ririn menganjurkan agar aku tak usah lagi membalas pesan pak sucipto karena itu tak menyangkut pekerjaan. Namun karena tak kunjung kubalas pesannya, ia terus-menerus menelfonku dan aku membiarkan saja tanpa mengangkat telfonnya hingga ia lelah sendiri.
***
Nadine telah sampai kerumahku dan kami pun berlalu pergi. Selama di mall kami menyempatkan waktu untuk menonton film. Kami menonton "kim ji-young, born 1982. Kami meneteskan air mata menontonnya terutama aku yang mudah sekali melow dengan hal apapun. Kami membahas betapa beratnya menjadi seorang anak, wanita dan menjadi seorang istri. Selepas menonton, kami masih membahas film sambil menatap kesana kemari untuk melihat tempat makan yang cocok disantap.
"eh eh, cha. Bukannya itu Papanya Raga ?" tanya Nadine.
"mana ? mana ?" tanyaku sambil melihat kesana kemari.
"itu." tunjuk Nadine.
Aku menatap ke arah tujuan yang ditunjuk Nadine dan berdalih memang itu Papa Raga.
"gilak sih. Berarti beneran dong yang dibilang teman kantor lo itu cha." Celetoh Nadine.
"ehh..ehh kan kita gak punya bukti. Jangan asal ngomong." Ucapku.
"iya juga sih. Kayaknya ceweknya masih muda ya. Kalau gitu kita agak kedepanan yok cha." Ajak Nadine.
"buat apa ?" tanyaku.
"iya supaya wajah ceweknya keliatan." Ucap Nadine.
"ih kepo deh." Jawabku.
Saat itu wanita itu sedang membelakangi kami sehingga hanya wajah papa Raga yang terlihat.
"gak papa lo, cha." Ucap Nadine.
"Ih, gimana ya Ndine. Aku itu takut dia lihat aku." Jawabku
"takut gimana ? dia ganggu lo?" tanya Nadine sigap.
Lalu aku membuka ponselku dan memperlihatkan isi chattanku dengan Papa Raga.
"gilak bener itu bapak-bapak ya." Jawab Nadine terkejut.
"nah makanya." Jawabku.
"oke kita mending gak usah deh lewat sini atau kita pulang aja deh. Kita cari makan di luar aja." Ajak Nadine.
"ide bagus." Ucapku.
Kami berlalu pergi dan masih membahas apa yang terjadi antara aku dan Papa Raga. Nadine juga memperingati agar aku harus waspada dengan Papa Raga dan mengatakan apa yang dikatakan teman sekantorku atau Ririn kemungkinan ada benarnya.
Kami menuju parkiran untuk mengambil motor Nadine.
"Robi.' Panggil Nadine tiba-tiba.
Aku melihat ke arah yang ditatap Nadine. Dan benar adanya Robi sedang disini dan kulihat ada seorang wanita yang tak asing kulihat. Mereka mendekat dan menghampiri kami.
"ou, jadi ini acara lo Bi. Pantas gak bisa diajak." Celetuk Nadine.
Robi hanya diam. Kemudian wanita disampinya tiba-tiba menyapa.
"hai." Ucap wanita itu.
Setelah dilihat lebih jelas, wanita itu Nadya tetangga Robi.
"hai juga." Jawab kami.
" nadya kan ?" tanyaku dengan memperjelas.
"iya. Masih ingatkan." Jawabnya.
"iya masih ." jawabku.
'nadya mana ? tanya Nadine tba-tiba.
"itu lo sahabat sekaligus tetangga Robi yang kemaren kita di rumah sakit." Jawabku.
"ouh.' Jawab Nadine singkat.
"ngapain kesni Bi ?" tanyaku pada Robi.
Dia terlihat bingung akan menjawab apa seperti tertangkap basah padahal Aku dan Nadine terlihat biasa saja.
" Nadya, minta ditemanin beli sesuatu." Jawabnya.
"uhm gitu.' Jawabku sambil mengannguk.
Nadine hanya diam saja sejak mengetahui bahwa wanita itu Nadya.
"okedeh. Lanjutlah Bi. Semoga ngedate nya berhasil ya." Jawab nya.
Wanita disampingnya hanya terlihat sempurna mendengar ucapan Nadine dan Nadine langsung menaiki motornya.
"yok Cha." Panggilnya.
"kami pergi ya Bi Nadya." Ucapku sambil melambaikan tangan.
"iya. Hati-hati." Jawab Robi terbata-bata.
Mereka pun masuk ke mall dan kami pun berlalu pergi dengan rasa yang campur aduk.
BERPURA
Ririn seperti nya tipikal yang hampir sama dengan Nadine yaitu super sibuk dengan sesuatu. Bahkan aku baru sampai ke kantor dan dia langsung membahas apa yang terjadi kemarin.
“gimanasih ceritanya , cha ?” tanya Ririn menghampiri mejaku.
“gitu deh. Membagongkan.” Celetukku.
“apa itu membagongkan ?” tanyanya dengan polos.
“seriusan gak tau ?” jawabku balik.
Iya, apaan ?”
“membingungkan maksudya.” Jawabku.
“iyah mulutmu kelilit iya cha,ampe kata gitu doang di plesetin.”
“ngikutin tren, rin.” Ucapku sambil tertawa.
“gak cocok beut deh.” Sambungnya membalas.
Kami pun tertawa bersama. Dan aku pun mengambil ponselku dan menunjukkan chattan aku dan pak sucipto.
“benar-benar iya ini aki-aki ya.” Celetuk Ririn.
“hushh..” ucapku melarang.
“eh eh sorry.” Celetuk Ririn sambil melirik kiri-kanan.
“jangan asal ngomong Rin, entar ada yang dengar.” Ucapku.
“oke cha. Eh tunggu aja bentar lagi dia bakalan panggil kamu ke ruangannya.” Balas Nadine sambil tersenyum.
“eh Rin, jangan becanda dong. Takut ni ?”
“seriusan dia bakalan panggil kamu.”
“buat apa ? “ tanyaku penasaran.
“iya kepo lah tentang chaca terus kenapa chatnya gak di balas.”
“oh my good. Trus aku hrus jawab apa dong Rin ?”
“pertama chaca harus tenang merasa gak terjadi apa-apa. Kedua chaca harus tegas menjawab apa yang ia tanyakan tanpa ada merasa takut atau rasa tertarik sama pak sucipto, ketiga kalau dia nanyak tentang tipikal pasanganmu dan nanyak apakah kamu punya pacar? Kamu harus jawab ada.”
“dia bakalan nanyak itu Rin.”
“iya pasti itu. percaya deh sama aku. Aku udah hapal banget dah alurnya.” Celetuk Ririn.
Selepas kami membahas itu dan melanjutkan pekerjaan masing – masing dan akhirnya yang disampaikan Ririn kesampaian juga. Fahrul yang baru saja keluar dari ruangan Pak Sucipto langsung memanggilku karena pak sucipto memanggilku.
“permisi pak.” ucapku sambil mengetuk pintu ruangannya.
“silahkan masuk.” Jawabnya.
“kenapa ya pak ?” ucapku langsung to the point.
“kamu sehat ?” tanyanya.
“alhamdulillah sehat pak.”
“duduk dulu.”
“iya pak.” jawabku sambil duduk dengan sedikit takut.
‘kenapa gak balas chat saya ?” tanyanya langsung.
“maaf pak sebelumnya saya tidak membalas chat bapak karena saya pikir tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya.” Jawabku tegas.
Sungguh sangat menakutkan sekali untuk menjawab itu karena pada saat itu aku hanya memikirkan bagaimana agar ia mendengar jawaban tegasku dibandingkan ia akan memecatku dgn mendengar perkataan itu.
Tiba-tiba ia tertawa dengan sangat lega seolah mendengar hal yang lucu tapi bagiku itu hal yang menakutkan dan menegangkan.
‘wow.. jawaban yang sangat tepat sekali ya.” Ucapnya sambil tertawa.
“kamu tahu kenapa saya menchat kamu kan ?”
Aku hanya diam.
“pastilah kamu tahu dan pasti kamu juga sudah mendengar dari karyawan lain.” Jawabnya sambil tersenyum.
Aku masih hanya diam.
“baiklah, saya langsung to the point aja sama kamu. Kamu sudah punya pacar ?” tanyanya lantang.
Aku terdiam dan pertanyaan itu langsung seolah menancap ke hatiku. Betapa menakutkannya Papa Raga ini pikirku.
“iya pak.” jawabku singkat.
“pekerjaannya apa ?” tanyanya lagi.
Sungguh sangat membingungkan menjawab pertanyaan ini karena aku sama sekali tidak memiliki pasangan seperti yang kuucap tadi.
“karyawan pak di perusahaan pak.”
Seketika otakku pada saat itu menampilkan seorang pacar seperti Raga. Sungguh pada saat itu aku menatap lelaki versi tua dari Raga dihadapanku. Sangat menyesakkan saat itu namun sekuat mungkin aku bersikap seolah kuat menghadapi apa yang kupikirkan saat itu.
“apa udah ada rencana untuk menikah ?” tanya lagi.
Lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan pertanyaan ini. Bagaimana mungkin aku bisa menjawabnya karena status dia saja sudah jadi suami. Aku tak memiliki hak lagi.
“maaf sekali lagi pak. apakah penting saya membahas perihal itu kepada bapak?” Ucapku lagi tegas.
Sungguh sangat menjengkelkan berhadapan dengannya dan menjawab pertanyaan yang tidak sama sekali berhubungan dengan pekerjaan.
“iya memang tidak penting hanya saja saya penasaran.” Ucapnya lagi dengan santai.
Aku hanya diam lagi tnpa membalas jawabannya.
“baiklah kamu boleh kembali bekerja.” Suruhnya seketika.
“terimakasih pak.” ucapku sambil mulai beranjak dari hadapannya.
“eh tunggu dulu ! “ suruhnya.
“iya pak.” sambil menoleh ke belakang.
“kalau kamu sudah putus atau kamu kesepian kamu hubungi saya saja.” Ucapnya sambil tersenyum genit.
Lagi-lagi aku semakin syok setiap perkataan yang keluar dari mulutnya namun aku tidak membalas atau bereaksi apa-apa kecuali berpamitan untuk keluar.
***
Sore ini aku, Nadine dan Robi berencana ke cafe Kak Devan sehingga aku tidak membawa motor hari ini karena Robi mengatakan ia akan menjemputku. Namun lagi-lagi aku seperti terkena kutukan bertemu dengan laki-laki itu lagi di lift menuju pulang.
“sore pak.” ucapku saat ia memasuki lift yang sama denganku.
“sore. Pulang naik apa ? tanyanya lagsung dengan senyuman nya.
“dijemput pak.”
“dijemput sapa ?”
“pacar pak.” jawabku spontan.
“jemput pake apa ?” tanyanya lagi.
“motor pak.” jawabku singkat.
“mending sama saya aja, lebih adem naik mobil.”
“enggak pak.” jawabku lagi sambil sumringah.
Akhirnya percakapan singkat itu terhentikan dengan sampainya kami ke lantai 1. Tak kusangka Robi sudah menunggku disitu.
“sayang.” Jawabku spontan sambil melambaikan tangan
Robi hanya terlihat bingung menatapku dari kejauhan karena aku memanggilnya seperti itu.
“saya duluan ya pak.” ucapku sopan.
Dia hanya mengangguk dan menatapku berlari menuju Robi. Kurangkul tangan Robi dan menopang kepalaku pada bahunya seolah sedang merindukan pacarnya. Robi hanya menatapku lagi dengan bingung .
“eh kenapa ?” tanyanya bingung.
“nanti aja.” Ucapku sambil berpura-pura mesra dengan Ro
***
Nadine sudah berada di cafe bersama kak Devan sehingga aku dan Robi langsung meluncur kesana.
"kenapa lu cha ? kok pucat gitu ?" tanya Nadine.
"gak papa Ndine." Jawabku.
"mau minum apa cha, Bi ?" ucap Kak Devan tiba-tiba.
"biasa aja lah kak, caffucino latte ." Sahutku.
"aku air putih ajalah kak." Sahut Robi juga.
" kalau lu memang Bi, beda dari yang lain dah." Ucap Kak Devan.
"dia itu takut lu rugi kak" celetoh Nadine sambil cengengesan.
"ampun dah, aneh banget punya adek ginian" sahut kembali Kak Devan sambil berlalu pergi.
"eh eh, kenapa sih lu cha ?" tanya Nadine lagi.
"taulah permasalahan di kantor kan."
Aki-aki itu lagi ?" celetuk Nadine.
"iyah."
"emang kenapa sih ? tanya Robi penasaran.
Robi yang sedari tadi hanya menatap bukunya tiba-tiba memperbaiki posisinya untuk mendengar penjelasanku.
"jelasin Ndine." Suruhku pada Nadine.
Panjang lebar Nadine Menjelaskan apa yang terjadi padaku kepada Robi dan Robi sangat terkejut mendengar cerita yang diutarakan Nadine.
"jadi kepala ruangan Chaca itu Papa Raga ?" ucap Robi dengan memperjelas.
"yaph." Celetuk Nadine.
"jadi Papa Raga yang ngobrol sama kamu tadi Cha ?" tanya Robi.
"iya Bi" jawabku.
"makanya kamu bertingkah seolah jadi pacar aku tadi ya? Tanyanya lagi.
"iya Bi." Jawabku.
"emang kenapa tadi ? tanya Nadine lagi.
"itu ketemu di lift terus pak sucipto ngajak pulang bareng, eh aku bilang pacar aku jemput. Kebetulan Robi di depan, yaudah aku pura-pura aja jadi pacar Robi." Ucapku.
"ciah-ciah." Goda Nadine.
Kenapa ?" tanyaku
"gak papa sih." Ucap Nadine sambil cengengesan menatap Robi.
"semoga." Celetuk Robi pelan .
Kak Devan pun datang.
"bahas apa sih ?" tanya Kak Devan sambil membawa pesanan kami.
Aku memandang Robi dan Nadine seperti memberi kode agar perlu memberitahu Kak Devan.
"gak papa kak, Cuma godain Robi aja." Ucap Nadine sambil memandangku.
Uhm..kira ada yang spesial gitu bahasannya, ternyata tentang si adek." Ucap Kak Devan.
"eh Bi, tumben lu jalan sama cewek kemaren ? sambar Nadine bertanya lagi pada Robi.
"siapa ?" tanya Kak Devan.
"itu sapa sih namanya Cha?" tanya Nadine padaku.
"nadya." Jawabku singkat.
"nah itu." ucap Nadine.
"nemanin dia doang beli sesuatu."jawab Robi.
"tumben lo dek mau diajakin nadya keluar, biasanya lu malas dah diajakin dia."
Robi hanya diam saja tanpa berkata apalagi.
"kalian pacaran ya ?" tanya Nadine.
"gak." Jawabnya singkat.
"atau lu suka sama dianya? Tanyanya lagi.
"ga." Jawabnya lagi.
"kenapa lu cemburu Ndin ?" celetuk Kak Devan sambil tertawa.
"sama Robi. Gilak lu Kak. Gak tipe gue banget dah Robi." Jawab Nadine kesal.
"emang beli apa dek ?" tanya Kak Devan.
"ada kebutuhan Nadya, kak."
"wah, udah beli kebutuhan Nadya aja ya." Ucap Kak Devan.
"bukan gitu."
"terus?"
"aih rumit deh jelasinnya."
"entar kalau hubungan sahabatan jadi pacar, kabari kakak ya" rayu Kak Devan.
Robi tidak menjawab lagi tanpa kesal sedang aku hanya diam saja mendengarkan mereka dan terasa sedikit kesal mendengar percakapan mereka.
"gimana kerja cha ?" tanya Kak Devan padaku.
"lancar kak."
"syukur deh."
"terus...eh gimana ya ?" tiba-tiba tanya Kak Devan sambil bingung.
"eh Kak Devan mau ulang tahun kan ?" ucap Nadine tiba-tiba.
Aku tahu saat itu Nadine sedang melerai pertanyaan Kak Devan kepadaku. Itu terlihat dari dia yang tiba-tiba bertanya kepada Kak Devan walaupun aku tidak tahu sama sekali apa yang dipertanyakan Kak Devan.
"kok tahu ?"
"5 hari lagi, kan ?"
"lah. Kok tahu sih ?" tanyanya lagi.
"mau dikasih surprise apa ?"
"mana ada surprise ditanyak woy" jawab kesal Kak Devan.
"hehe.. namanya juga beda dari yang lain kak."
"iya jam 12 gitu tiba-tiba datang ke kamar bawain kue, trus di story in juga, bawa kado juga. Boleh juga itu."
"Cuma gitu doang ?"
"gampang kan."
"yaelah niat banget dah aing itu kak."
"lah kan katanya mau ngasih surprise."
" itu mah surprise yang direncanakan."
"oke bakalan kita rayain gitu tapi gak usah jam 12 malam juga dong."
"kan memang ritualnya biasa gitu."
"mau dirayain apa kagak kak ?"
"lah kok ngotot."
"enggak lo kak."
"tadi ditanyak, sekarang direquest jawabnya gitu."
Aku hanya tertawa melihat mereka berdua bertengkar kecil perihal itu saja.
"hei.. hei udah udah." Leraiku.
"kalau enggak, kita makan berdua yok cha di hari ulang tahun kak." Ucap Kak Devan.
Aku hanya diam saja tak menjawab.
"lah aku dan Robi gak ikut gitu ?"
"iya kita berdua aja dong. Jangan ganggu."
"iyah gak seru dah. Pokoknya kita ikut. Titik."
"hak yang ulang tahun dong mau ngajak siapa aja."
"parah lu kak."
"adek lu juga gak diundang kak." Ucap Nadine lagi.
"lah dia mah kalau dibilang gak usah ikut, bakalan jawab iya. Gak ngotot kek lu Ndine."
"emang gitu Bi ?"tanya Nadine kepada Robi.
"gak."
"nah kan. Coba tanyak deh kak lagi ?" suruh Nadine ke Kak Devan.
"Bi gak ikut kan ?"
"ikut."
"eh kok gitu."
"aku mau ikut."
"nah dengar itu."
"pokoknya kami harus ikut jangan Cuma Chaca doang."
"ih gak seru."
"gimana pndapat lu Cha ?"
"iya baiknya kita berempat aja sih biar lebih seru dan ramai."
"nah dengar tu Kak."
"iya-iya deh. Kalah dah. "
Akhrnya kami berempat jadi merencanakan untuk makan bersama sambil memabahas hal-hal laiinya.
PERTEMUAN AKHIR
Siang ini aku, Ririn dan rekan lainnya pergi makan bersama di kantin. Aku mulai akrab dengan yang lainnya.
"udah gimana lu sama pak sucipto ?" tanya Arki.
"gak gimana-gimana." Jawabku.
"apa udah sampe tahap dia ngasih lu uang gitu, apa ?" tanyanya lagi.
"lah mulut lu dijaga dong." Kesal Ririn yang sedang disampingku.
"lah kok lo yang sewot ? Chaca aja nyantai aja itu." ucapku Arki dengan nada kesal juga.
"omongan lu lemes banget njirr." Celetuk Ririn.
"hei hei udah..udah. aku gak ada tahap-tahapan Arki sama Pak Sucipto." Jawabku pelan.
"bukannya lu pacaran ya sama dia?"
"lah kan lemes banget ni mulut laki dah. Darimana lu tau dia pacaran?" tanya Ririn lagi dengan nada kesal.
"dari orang-orang lah." Jawab Arki.
"gak Arki. Aku gak ada pcaran sama Pak Sucipto." Jawabku lagi.
"makanya mulut tu kurang-kurangi dah makan cabe supaya gak pedas gitu." Sahut Ririn.
"kan gue nanyak apa yang gue dengar dong, gak masalah dong gue nanyak kan Cha?"
"iya gak papa."
"memang ya kagak bisa berdebat sama lu. Pengen nampol bawaannya."
"diam lu. Gak selera gue jadi ngabisin makanan ini." Ucap Arki.
"lah lu kali yang dari awal yang bukak topik ini, lu pulak yang kesal. Aneh lu.."
"udah dong,habisin makanannya terus kita kembali ke kantor ." ucapku sambil menertawakan tingkah mereka.
Aku, Ririn dan rekan lainnya kembali ke kantor. Kami mendapati tiba-tiba karyawan lainnya menguping di luar ruangan pak Sucipto.
"ada apaan sih ?" tanya Ririn kepada Fahrul.
"itu anak Pak Sucipto datang marah-marah." Jawab Fahrul.
Moodku yang sedari tadi lumayan bagus tiba-tiba drop seketika. Mendengar anak Pak Sucipto, pikiranku langsung menuju Raga. Bagaimana tidak, dia satu-satunya anak di dalam keluarga tersebut.
"emang masalah apa ?" tanya Ririn kepada Fahrul.
""dari suara di dalam sih masalah keluarga,ribet sih gak paham banget." Ucap Fahrul pelan-pelan.
Tiba-tiba keluar sosok yang sangat kukenal sekali. Dengan wajah penuh amarah ia keluar dan para karyawan yang sedari tadi berkeliaran di depan ruangan itu langsung berhamburan kembali ke tempat masing-masing.
Hanya aku yang diam.
***
Mata kami saling bertatapan seperti banyak hal yang dirindukan. Sekuat mungkin aku membuat benteng pertahanan agar air mataku tidak keluar. Dia mendekatiku, kakiku langsung mundur seperti berkata jangan mendekat. Wajah amarah yang ia tampilkan tadi tiba-tiba berubah seketika. Ia ingin berbicara namun aku langsung bergegas menuju meja kerjaku. Ia menatapku lumayan lama lalu memutuskan untuk pergi.
“cha, kenal sama itu cowok ya ?” tanya Ririn.
“gak.” Jawabku.
“aku perhatiin kayak kenal lama banget lo kalian.” Ucapnya lagi.
“iya kalau kubilang enggak, berarti enggak Rin.” Jawabku kesal.
“maaf ya Cha, aku nyinggung ya.”ucap Ririn.
Seketika aku baru sadar bahwa ucapanku membentak Ririn.
“maaf Rin, harusnya aku gak marah ke kamu dan harusnya aku yang minta maaf.” Ucapku menyesal.
“emang kamu kenapa Cha ?” tanyanya lagi.
“gak papa Rin, aku lagi gak enak badan aja.”
“yaudah mending kamu pulang aja Cha.istirahat dulu.” Ucap Ririn.
“Gak papa-papa Rin, aku masih sanggup kok.”
“beneran ?” pertegas Ririn.
“bisa kok. Makasih banget ya Rin” ucapku.
“sama-sama.”
***
Lagi-lagi menjelang tidur aku selalu mengiringi telingaku dengan musik.
tak seharusnya aku kehilanganmu
Tak seharusnya aku merindu
Biarkan aku pergi melawan hati
Terpuruk dan hancur tanpamu
Tanpamu
Tanpamu
(melawan hati : fiersa besari )
Air mataku kembali jatuh. Entah hal gila apa yang kulakukan, aku benar-benar kalah menatap wajah lelaki itu. rinduku semakin memuncak setelah menatapnya tadi. Memikirkan ia malam ini benar-benar membuat aku runtuh lagi.
“galau terusss.” Ucap Kak Vira tiba-tiba masuk ke kamarku.
Kak Vira mematikan loudspeakerku.
“kenapa dimatikan kak ?”
“ribut. galau mulu lu dek, capek lihatnya.” Jawabnya kasar.
Aku hanya diam tanpa menanggapinya. Lalu kulihat ia bolak-balik mengambil koper dan memasukkan pakaiannya.
“kemana kak ?”
“pergilah.”
“kemana ?”
“ada urusan kerja.”
“urusan kerja apa kak sampe sering pulang malam apalagi bawa-bawa bareng banyak gitu.”
“iya kerja lah.”
“gak jelas banget sih kak. Mama udah dikasih tau, gak ?”
“adek aja bilang nanti, ya.”
“lah mana boleh gitu.”
“mama udah tidur.”
“bangunin.”
“gak usah. Adek aja bilang.”
“mana boleh gitu sih kak. Mama harus tau kakak kemana aja.”
Dia hanya diam saja sambil menyusun barang-barangnya.
“kak?”
“apasih dek? Banyak banget pertanyaannya.”
“kakak tinggal sama pacar kakak ya ?” tanyaku tiba-tiba.
Dia diam.
“berarti benar ya ?”
“iya.”
“kak, Kalau mama tau mama pasti syok. Kalau mau tinggal bareng mending kakak nikah. Mama pasti bolehin kak daripada kayak gini.”
“makanya jangan kasih tau biar Mama gak tau.”
“kakak kenapa sih kak? Berubah banyak banget setelah pacaran.”
Dia diam lagi.
“kak ?” desakku lagi.
“gak usah sibuk deh dek ngurusin kehidupan aku mending urus aja urusanmu.”jawabnya kesal.
Aku langsung terdiam tanpa bertanya lagi dan ia pergi membanting pintu kamar.
Setelah beberapa saat Mama datang ke kamar.
“chacha, kenapa pintu kamarnya dibanting kuat tadi nak ?”
“ehm gak papa Cuma khilaf doang tadi.” Ucapku sambil nyengir.
“kakakmu mana ?”
“eh gak tau Ma.” Ucapku tanpa memberitahu.
“kamu tahu kenapa kakak kamu gitu ? mama rasa dia berubah banyak banget beberapa bulan ini.”
“aku juga gak tahu Ma.”
“iya Mama sering lihat dia shoping, pulang kerja juga malam-malam banget bahkan dia sering banget gak pulang.”
“iya Ma,aku sadar kok tentang itu.”
“coba kamu telfon kakakmu, tanya dia dimana ?”
Kuambil ponselku untuk menelfon kakak walaupun aku tahu ia pergi tadi dengan kopernya.
“ kakak gak angakat telfonnya.”
“aduh gmana sih anak ini.”
“coba telfon lagi ?”
“gak di angkat juga Ma.”
Beberapa kali kutelfon Kak vira namun tak diangkat tapi aku berinisiatif untuk menchat kakak memberitahu kalau mama bertanya ia sedang berada dimana dan sebaiknya menelfon balik agar Mama tidak khawatir. Setelah kuberitahu, barulah ia menelfon sendiri. Ia memberitahu kepada Mama bahwa ada urusan mendadak keluar kota sehingga tidak mengabari Mama tadi karena takut membangunkan Mama pada saat tidur.
***
Selepas pulang kerja Ririn mengajak aku untuk pergi jalan-jalan. Ia sedang patah hati sehingga ia berkata bahwa ia ingin dihibur. Jadilah kami pergi berjalan-jalan di alun-alun kota sambil memilah-milih makanan yang ingin kami santap. Kami dapati sebuah tempat yang menyuguhkan segala berbagai makanan mie sehingga kami memutuskan makan disana.
“ putus kenapa ?” tanyaku untuk memulai percakapan.
“gara-gara like” Ucapnya.
“gak paham aku” ucapku bingung.
“ia dia suka banget like-like foto teman aku, terus selebgram-selebgram juga.” Jawabkunya kesal.
“gitu doang.” Jawabku heran.
“iya.”
“seriusan ?”
“iya chaca.”
“kamu cemburu gitu ?” tanyaku kembali sambil menahan tawa.
“iya kesal tau.”
“aku pikir masalahnya urgency banget.”
“Aku gak suka chaca, dia like-like foto cewek gitu. Genit banget.”
“kan tombol like itu memang gunanya gitu sih cha.”
“pokoknya aku gak suka.”
“terus kalau kamu ngelike foto cowok boleh gitu sedang dia gak boleh gitu ngelike foto cewek ?”
“iya boleh.” Jawabnya sambil nyengir karena merasa pertanyaanku ada benarnya.
“jangan gitu Ririn. Kalau masalah gitu doang kan bisa diomongin baik-baik. Gak harus putus.”
“iya juga sih”
“minta maaf kamu nak sama dianya.” Jawabku sambil kubelai rambutnya.
“iya iya nanti aku telfon dianya” jawabnya sambil malu-malu.
“gitu dong”
“kamu punya pacar cha ?”tanyanya tiba-tiba.
“gak Rin.”
“kok bisa?”
“iya bisa dong Rin.” Jawabku sambil tersenyum.
“terakhir pacaran kapan ?”
“beberapa bulan yang lalu, lupa.”
“gara-gara apa ?”
“ditinggal nikah.” Jawabku sambil senyum tipis.
“gilak-gilak. Maaf ya cha, aku ngungkit-ngungkit.”
“santai aja Rin.”
“ terus kamu sekarang gimana rasanya ?”
“iya campur aduk. Marah, rindu, kesal. Iya gitu deh.”
“sedih banget sih Cha. Bulan yang lalu juga aku lihat itu ada yang viral cha, cewek nangis-nangis di pernikahan mantannya.” Ucapnya tiba-tiba.
Aku seperti merasa itu diriku karena itu terjadi beberapa bulan yang lalu sebelum aku diterima kerja. aku berusaha tak menanggapi tapi Ririn mengambil ponselnya dan ingin memperlihatkan video itu padaku.
“eh tunggu dulu.” Jawabnya heran ketika melihat video itu kembali.
“wajahnya kok mirip kamu ya.”
Aku hanya diam.
“ini kamu gak sih cha ?” tanyanya.
Aku masih diam tanpa menampilkan ekspresi apa-apa.
“iya ini beneran lo ya cha ?”
Lalu aku mengannguk.
“hah ?” jawabnya terkejut.
Aku masih diam saja.
“cha , maaf aku gak tahu.”
Diliatnya lagi lamat-lamat video itu dan dilihatnya wajah pria yang yang meninggalkan wanita itu di slide berikutnya.
“bukannya ini cowok kemaren ya ?
tanyanya lagi.
“iya dia.”
“anak pak sucipto ?”
“iya.”
“hah. Omg aku belum bisa cerna ni. Jadi yang divideo viral ini kamu cha dan laki-laki yang ninggalin kamu itu anak pak sucipto.”
Aku hanya menggangguk sambil menahana air mata.
“cha maafin aku cha.” Jawabnya menyesal.
“iya gak papa, Rin.”
“aku gak habis pikir cha.”
“aku mohon sama kamu ya Rin, kamu gak usah sebarin ke teman-teman kantor. Aku juga gak pernah mau cerita tapi karena kamu yang tau sendiri , yaudah aku bisa apa.”
“aman cha, aku gak bakalan kasih tau.
“janji ya.”
“iya cha. Pantesan kamu kesal kemaren ya cha sama aku karena aku tanyai apa kamu kenal lelaki itu ”
“iya.”
“maaf sekali lagi ya. Aku benar-benar gak tahu cha.”
“iya gak papa lo. Santai aja.”
“jadi chacha tau kalau pak sucipto, papanya mantan pacarmu cha ?”
“iya.”
“wow.. tapi papanya gak tahu kalau kamu pernah pacaran sama anaknya ?”
“iya.”
“kok gak tau, gak dikenalin ke keluarga ?”
“dikenalin tapi papanya jarang banget di rumah.”
“pantesan. Dengar-dengar sih pak sucipto udah cerai ?”
“hah ?” jawabku terkejut.
“beberapa bulan aku dengar kabar itu, gak tahu benar apa enggak ya.”
“cerai karena apa ?”
“mamanya gak tahan sih. Pak sucipto kan punya simpanan. Kamu gak tahu ?”
“enggak.” Jawabku terkejut.
“emang dia gak pernah cerita ?”
“enggak.”
“aku pikir dia cerita.”
“gak ada sama sekali, mungkin dia gak mau cerita aja.”
“iya bisa jadi tapi kamu hebat Cha bisa sekuat ini sampai sekarang dengan masalah ditinggal nikah, video, ketemu papanya mantan kamu bahkan ketemu dia .’ jawabnya jujur.
Aku hanya senyum tipis sebab Ririn sama sekali tidak tahu apa yang kualami sebelumnya. Saat ini timbul kembali pertanyaan –pertanyan dahulu, kenapa dia meninggalkanku, kenapa dia tak pernah cerita tentang perceraian itu kepadaku . sama sekali aku sangat bingung dengan semuanya.
KEBENARAN YANG SEBENARNYA
Hari ini kami berencana merayakan ulang tahun Kak Devan sehingga kami memesan tempat untuk makan bersama. Namun sebelum itu aku dan Nadine sudah mempersiapkan kue dan kado untuk Kak Devan.
“kok mereka lama banget sih ?” tanya Nadine padaku.
“gak tahu. Coba kamu telfon lagi Ndine.” Jawabku,
Ternyata Kak Devan datang seorang diri tanpa Robi.
“Robi kemana kak ? gak ikut?” tanyaku.
“nunggu Nadya.”
“tunggu-tunggu dulu, kok dia ikut kan rencananya kita berempat?” tanya kesal Nadine.
“iya dia pengen ikut, lagian kan dia juga sahabat kita.”
“garis bawahi ya sahabat kalian, bukan kita.” Ucap Nadine.
“kan gak papa Ndine biar rame.”
“ih gak suka banget aku lihat nadya itu. mukanya ngeselin.”
“jangan gitu Ndine.” Jawabku.
“iya lo jangan lupa dong cha siapa yang tangannya gatal nyebarin video itu.”
“iya Ndine. Udah-udah.”
“lebih baik kita pulang aja deh Cha.” Ajak Nadine.
“eh jangan gitu dong Ndine.” Ucap Kk Devan.
“lah kalau tau dia ikut mah, aku gak bakalan ikut.”
Namun tiba-tiba orang yang dibahas sedari tadi muncul dengan Robi.
“hai.” Sapa Nadya.
“hai.” Jawabku.
Sedang Nadine menatap kearah lain tanpa membalas sapaan Nadya.
“kenapa ?” tanya Robi.
“kalau lu mau pacaran, gak usah dong bawa-bawa kesini.” Kesal Nadine pada Robi.
“pacar apa sih ?”
“ndine jangan gitu.” Ucapku menenangkannya.
“ada apa sih ?” jawab Robi penasaran.
Kami hanya diam tanpa menjawab apa-apa sedang nadya mulai terlihat tidak nyaman dengan nada bicara Nadine .
“mending kita pesan lagsung makanan nya ?” tanyaku.
“”nah ide bagus cha.” Jawab kak Devan.
Sungguh itu pertemuan yang sangat kaku sekali. Nadine yang biasa ribut tidak ada omongannya sama sekali begitu juga kak Devan merasa takut dan canggung untuk bicara kepada nadine. Aku sudah mengkode-kode nadine agar kami pergi keluar mengambil kue yang kami titipkan di toko sebelah karena toko itu punya sepupu nadine.namun tidak ada respon sama sekali. Akhinrya aku memutuskan untuk pergi ke toilet. Tak kusangka nadya mengikutiku hingga ke toilet.
“cha?” panggilnya saat aku sedang cuci tangan.
“iya.”
“aku suka Robi.” Ucapnya langsung.
Aku hanya diam dengan sedikit rasa sesak. Aku tidak tahu kenapa dan untuk apa dia memberitahuku.
“iya . bagus dong.” Jawabku sambil tersenyum.
“kamu suka Robi, cha ? tanyanya.”
“iya tentu. Suka sebagai sahabat.”
“suka karena dia seorang pria?”
“enggak.” Jawabku kembali.
“nadine?”
“enggak.”
“tapi kenapa dia kesal banget kayak nunjukin kalau sukak sama Robi.”
“dia gak suka . Aku paham banget kok tentang dia. Dia itu kesal karena ada masalah aja.”
“beneran ?”
“iya.”
“syukur deh. Aku agak lega.”
“kamu baik ya Cha ?”
“enggak ah. Biasa aja.”
“andaikan kamu tahu ?”
“tahu apa ?”
Hmmm.. itu ? andaikan kamu tahu kalau aku suka Robi ?” jawabnya dengan nada ragu-ragu.
“kan udah dikasih tahu barusan.” Jawabku dengan senyuman.
“ouh iya, lupa .”
Percakapan kami pun terhenti dan aku kembali ke meja makan. Namun sebelum sampai ke meja makan, aku melihat dua sosok orang yang sangat kukenal sedang bermesraan. Aku yang bisa mengendalikan amarah , tiba-tiba amarahku memuncak dan menghampiri mereka.
“ouh jadi ini pacar lo Kak?” tanyaku sambil berdiri dihadapan mereka.
Mereka berdua terkejut dan tiba-tiba berdiri.
“bukan gitu dek ?”
“lo tau kak , dia sapa ?” sambil kutunjuk pria dihadapannya.
“ chacha ?” panggil pria itu terkejut sambil menatapku.
“asal lo tau kak, dia itu kepala ruangan di tempat kerjaku.” Jawabku sambil menangis.
Dia hanya diam saja tanpa membalasku.
“tunggu dulu, ini adik kamu sayang?” tanya Pak Sucipto.
Dia masih diam sambil membujuk aku agar menenangkan diri dan tidak marah lagi.
“dan asal lo tau kak, dia juga papa Raga kak. Mantan aku.” Jawabku sambil menangis sesegukan.
Pak sucipto terkejut dengan apa yang barusan didengarnya. Teman-temanku yang sedari tadi duduk tiba-tiba berlari menghampiriku karena mendengar amarahku.
“lo Cuma diam kak ? “atau lo udah tau semuanya” ucapku sambil nangis dan tertawa.
Dia hanya diam juga sambil minta maaf.
“otakku gak bisa mencerna semuanya.” Jawabku sambil tertawa-tawa tak jelas.
“udah cha. Udah cha. Jangan gitu.” Lerai Nadine sambil menangis melihat aku menangis dan tertawa sekaligus.
“kita pergi aja sayang ?” ajak pak sucipto kepada Kak Vira yang menangis juga karena melihqt orang-orang yang memperhatikan kami.
Mereka pergi dan membiarkan aku menangis seperti orang gila dihadapan orang banyak sedang Robi pergi menghadang Kak Vira agar ia tetap disini bersama Chaca. Namun Kak Vira menolak dan berlanjut pergi dengan pak sucipto. Akhirnya kami pulang dan tak melanjutkan acara kami lagi karena melihat keadaanku.
***
Kami berempat sampai ke rumahku sedang nadya berkata dia mau pulang karena ada urusan mendadak. Nadine pergi ke dapur mengambil minuman untukku.
“minum dulu cha” ucap Nadine.
“chacha harus tenangin diri dulu”. Ucap Kak Devan.
“kak Devan, Nadine , Robi mending pulang aja dulu. Aku pengen sendiri.” Ucapku.
“jangan gitu cha, kita mau disini bareng lo” jawab Nadine.
“aku pengen sendiri dulu Ndine.”
“gak papa ?”
“iya gak papa.”
“kalau terjadi apa-apa kabari ya.”
“iya. Ouh iya aku mohon ya, ini gak usah diceritain sama siapapun.”
“iya cha.aku paham.” Jawab Ndine.
“iya cha.” Sahut Robi dan Kak Devan.
Mereka berlalu pergi sedang aku pergi ke kamar untuk menenangkan diri apa yang sedang terjadi. Kepalaku berlayar pada satu pertanyaan “kenapa kak Vira harus berpacaran dengan lelaki seperti itu ? “kenapa harus Papa Raga ? “apa Raga sudah tahu ?” apa karena ini alasannya meninggalkanku?”.semua bergelimang di kepalaku.
Namun ketika pertanyaan itu muncul aku mengingat satu peristiwa ketika aku menemukan buku tabungan kak Vira. Aku pergi ke rak buku-buku dan melihat apakah masih ada disana buku tabungan yang kuletakkan dengan nominal uang sekitaran 60 juta. Sama sekali aku tak menemukannya lagi. Sungguh Kak Vira sudah melewati batas, aku bingung apakah aku harus mengatakan ini kepada Mama. Sungguh aku takut Mama menjadi syok mendengar apa yang telah Kak Vira lakukan di belakang kami.
“cha, kamu ngapain nak ? kok ngelamun gitu di dekat rak buku ? cari apa ?” tanya Mama yang tiba-tiba menghampiriku.
“eh Mama. Udah pulang, kok gak kedengaran ya.” Jawabku sambil berdiri.
“mama ngucap salam dari tadi, gak ada nyahut. Pintunya kebuka lagi.”
“maaf Ma.aku lupa” jawabku sambil tersenyum.
“cari apa nak ?” tanya Mama lagi.
“ini Ma, nyari buku aja dari kemaren gak ketemu.” Ucapku spontan.
“coba ingat-ingat lagi.”
“iya Ma, aku udah ingat kok. Bukunya dipinjam Nadine.”
“nah itu makanya diingat dong sayang.” Jawab Mama lagi.
“Kakak kamu belum pulang juga ?”
sungguh sangat membingungkan aku harus jawab apa dan bagaimana.
“belum Ma.”
“mama khawatir terus lihat kakakmu, makin hari makin gak jelas waktunya pulang.”
“iya Ma.”
“yaudah deh. Mama telfon aja kakak kamu.”
“eh eh, aku aja Ma yang nelfon.” Jawabku pada Mama.
“yaudah kamu aja nelfon,nanti kabari ya kalau udah ditelfon.”
“sip Ma.” Jawabku.
Dia sama sekali tidak mengangkat telfonku. Lalu aku memutuskan menchat dia beberapa kali.
“pulang kak.”
“mama khawatir.”
“mending kakak pulang, kita bicara di rumah. Aku belum memberitahu Mama.”
“kakak pulang, kumohon. Jangan terus-terusan buat Mama khawatir.”
Akhirnya ia membaca pesanku dan menjawab singkat.
“iya. Besok kakak pulang.”
“kenapa gak hari ini ?”
Dia sama sekali tak membalas lagi.
Aku memutuskan berbohong dan memberitahu Mama kalau Kak Vira masih diluar kota dan baru bisa pulang keesokan harinya. Kecemasan Mama pun berkurang mendengar kabar Kak Vira baik-baik saja.
KEPUTUSAN
Aku memutuskan untuk tidak hadir hari ini dan untungnya Ririn mau membantuku memberi alasan kepada Pak Sucipto yang tahu Pak Sucipto juga tahu alasan kenapa aku tak datang kantor hari ini. Aku juga berkata kepada Mama kalau aku sedang tidak enak badan sehingga memutuskan untuk beristirahat dulu di rumah. Namun saat ini aku sedang menunggu Kak Vira. Tak berselang lama dia datang hanya dengan membawa tas tanpa membawa koper.ia masuk dalam ke rumah dalam keadaan tenang tanpa terjadi sesuatu. Kubiarkan ia mandi dan bersih-bersih dirinya tanpa membahas apapun, selepas itu.
“kak.. kita harus bicara.” Ucapku.
Aku menuju ruang tamu dan diikuti oleh dia. Kali ini aku mulai tenang tidak seperti kemaren lagi. Aku ingin tahu alasan dia kenapa ini bisa terjadi.
“ada yang mau kakak jelasin?” tanyaku.
“akuu udah nikah siri.” Jawabnya langsung.
Aku langsung syok dengan pernyataan langsung nya namun setenangmu aku bertanya kagi.
“sama pak sucipto ?” tanyaku.
“iya.”
“kenapa harus dia kak ?”
“aku mencintainya.”
Aku tertawa lepas sambil “apa itu masuk akal kak ?”
dia hanya diam.
“terus gimana kakak jelasin sama Mama ?”
“mas sucipto bakalan akan datang kesini.”
“gilak ya kak. Mama bakalan syok mendengar ini semua. “
Dia hanya diam lagi antara merasa bersalah atau mempertahankan semuanya.
“sejak kapan kakak berhubungan dengan dia?”
“1 tahun.”
“selama itu ? dan aku gak tau sama sekali.” Jawabku kesal.
Dia diam lagi tanpa menyahut.
“kakak tau kak, dia itu udah tua dan dia itu Papa Raga ?”
Dia masih diam.
“jadi selama ini kakak tahu dia Papa Raga ?” pertegas kulagi.
Dia masih diam.
“bodoh ya aku pantesan kakak nyuruh aku mulu putus sama dia karena ini alasannya.”
Dia masih tetap diam. Rasa sesakku semakin memuncak air mataku luruh akhirnya. Aku bingung apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Dia sisi dia kakakku tapi dengan perbuatannya ini sungguh mengecewakan kami.
“apa gak bisa kak, kakak putus hubungan dengan dia. Sungguh kak mohon pikirkan keadaan Mama.” Jawabku memelas kasihan.
Dia masih diam.
“jadi selama ini pakaian baru, bahkan buku rekening tabungan yang kulihat itu dari dia ?”
Dia masih diam seolah mengiyakan.
“kakak yakin mencintai dia, bukan uangnnya ?”
Dia masih diam.
“jawabku kak. Aku btuh jawaban kakak.” Jawabku sambil menangis.
Dia tetap diam sedang aku menangis dihadapannya.
“kakak tahu kan, dia satu kantor denganku. Kakak tahu dia pernah menggodaku.”
Yang sedari tadi dia diam kini ia menjawab.
“gak mungkin. Mas sucipto gak gitu dek. Kamu jangan fitnah-fitnah dia.”
Aku tertawa lagi sambil menangis.
“lihat kak, kakak bahkan lebih percaya sama lelaki tua bangka itu daripada adekmu yang sudah bersamamu sejak lahir.”
Dia diam lagi.
“kalau aku bisa membuktikannya, tinggalkan dia.”
“aku bisa pastikan mas sucipto gak gitu dek. Kakak bahagia sama dia.”
Aku tertawa lagi sambil kubuka ponsel yang sedari tadi di tanganku. Kutunjukkan padanya isi chattanku dengan pak sucipto.
“ini bukan mas sucipto dek” jawab kak Vira sambil mulai merasa sedih.
“lihat kontaknya, apa itu bukan dia ?”
Lalu kakak membuka kontak dan merasa tidak percaya.
“mas sucipto gak gini dek.”
Aku tertawa lagi.
“bahkan aku sudah menunjukan bukti, kakak masih membelanya.”
Ia masih diam dan beranjak pergi ke kamar sambil membawa tas. Ia pergi.
“kak panggil ku ?” sambil berlari mengejarnya.
Akhirnya aku mendapatinya tangannya.
“kakak, sadar? Kakak bisa setakut itu kehilangan dia ? mama kak , ingat mama.” Jawabku lagi agar ia mengingat pulang.
“kakak kenapa kak?” tanyaku sambil menangis.
“kumohon kembali kak. Ingat aku sama Mama kak.”
Namun ia melepaskan genggaman ku dan pergi. Sedang aku menangis sesegukan. Bingung, marah, benci, kesal bercampur aduk. Aku harus bagaimana Tuhan.
***
“kakak kamu udah pulang nak ?”
“sudah ma.”
“terus dianya dimana ?”
“pergi lagi.”
“kemana ?” kok gak ada dikabari Mama.”
Aku diam dan bingung harus memulai darimana. Apakah aku harus menceritakan kepada Mama atau membiarkan Kak Vira dan lelaki tuanya itu untuk datang dan memberitahu segalanya.
“mama, chaca mau cerita.”
“iya , apa sayang ?”
“aku bingung mulai darimana, Ma. Aku takut Mama kenapa-kenapa mendengar itu.”
“cerita aja sayang. Kamu gak perlu takut.”
“janji Mama jangan terkejut.”
“iya diliat dulu dong apa ceritanya atau kamu mau izin nikah ya ?” tanya Mama sambil tertawa.
“ih,Mama. Serius ini, bukan tentang aku tapi Kak Vira.”
“kenapa kakak kamu ?”
“ma, sebenarnya kak Vira sudah pacaran.”
“bagus dong. Apa kakak kamu yang mau nikah ?”
“bukan gitu Ma.”
“jadi ?”
“dia udah nikah siri.”
“maksud kamu nak, Mama gak ngerti.”
“kemaren aku bareng teman-teman makan. Terus aku lihat Kak Vira sama cowok dan cowok itu lelaki tua paruh baya. Setelah aku lihat ternyata Papa Raga dan Papa Raga itu juga kepala ruangan aku di kantor.” Ucapku dengan cemas sambil memegang tangan Mama.
“tunggu dlu Cha, Mama belum paham.” Jawab Mama dengan gelisah.
“Kak Vira udah nikah siri sama lelaki tua itu.”
“kamu jangan asal ngomong Chaca, itu kakak kamu.” Jawab Mama mulai marah.
“aku gak asal ngomong Ma, Kak Vira yang ceritain sama aku.”
“maksudnya Papa Raga itu suami kakak kamu dan Papa Raga itu juga adalah kepala ruangan kamu di kantor.” Perjelas Mama.
“iya Ma.”
Tiba-tiba badan Mama lemas.
“ma, aku minta maaf.” Jawabku sambil menangis melihat Mama yang mulai syok.
Mama tetap diam dan tiba-tiba mulai menangis.
“kakak kamu gak gitu cha. Kakak kamu gak gitu.”
“aku juga berusaha gak percaya Ma tapi Kak Vira sendiri yang cerita kepadaku Ma.”
“bawa Mama ke kamar, Cha.”
Aku membopong Mama ke kamar pelan-pelan dan berusaha menenangkan Mama. Namun, sebelum kubawa Mama datang ternyata orang yang kukhawatirkan sedari tadi datang dengan lebih cepat.
“assalamualaikum, Ma.” Ucap Kak Vira.
Lalu ia lelaki yang disebelah menyalami Mama dengan rasa tenang tanpa merasakan apa-apa.
“gilak ya kak.” Ucapku tiba-tiba dengan nada marah.
“udah nak, kamu harus tenang. Bawa Mama kesana.” Ucap Mama sambil menyuruhku menuntunnya ke ruang tamu.
Seperti biasa, Ibu menampilkan wajahnya yang kuat tanpa merasa marah walau aku tahu segala rasa itu sedang tertahan di benaknya.
“Ma. Maafin aku Ma.” Ucap Kak Vira.
Mama hanya diam sambil melihat lamat-lamat lelaki yang dihadapannya.
“ini dia suami kamu ?” tunjuk Mama dengan tegas.
“iya Ma.”
“sejak kapan ?”
“2 bulan lalu, Ma.”
“perkenalkan Bu, saya Sucipto suami Vira.”
“tega kamu ya. Apa maksud kamu buat anak saya gini ?”
“aku mencintai dia Ma.” Sanggah Vira secara langsung.
“cinta kamu bilang ? sama setua ini ? “
“ma, jangan bilang gitu dong Ma. Cinta itu gak mandang umur.”
Mamaku tertawa sedang Pak Sucipto hanya diam tanpa berkutik di depan mertuanya.
“terus kalian ngapain datang kesini ?”
“aku mau minta restu Mama.”
“kalau kamu mau minta restu Mama harusnya sejak awal sebelum kamu menikah.” Jawab kesal Mama dengan nada tinggi.
“aku mau pindah Ma, ke rumah Mas Sucipto.”
“terserah kamu. Bukannya sejak awal kamu tinggal disitu, terus ngapain sekarang baru bilang.”
Dia diam.
“vira, kamu anggap saya ini siapa ?”
“Mama.”
“kalau kamu nganggap saya, Mama kamu. Kamu gak pernah berbuat gini , nak. Hancur hati Mama,nak.” Ucap Mama sambil berurai air mata.
“maaf Ma.” Jawab Kak Vira sambil menangis juga.
“terserah kamu mau ngapaain. Mau pindah dari rumah ini silahkan. Sejak awal kan kamu lakuin sesuai keinginanmu. Walaupun Mama larang, kamu bakalan gak akan dengar.”
Dia hanya diam sedang Mama berdiri.
“antar Mama, nak ke kamar.” Suruh Mama padaku.
“Ma.” Panggil Kak Vira.
Namun Mama tak menyahut dan berlalu pergi bersamaku. Kubiarkan Mama sendiri untuk menenangkan diri. Kak Vira sedang menyusun barangnya sedang Pak Sucipto terlihat tenang tanpa terjadi apa-apa. Kuhampiri ke kamar menemuinya lagi.
“apa gak bisa dipikiri lagi kak?”
“gak dek. Keputusan kakak bulat. Kakak mau tinggal Mas Sucipto.”
“kakak gak kasian lihat Mama?”
Dia hanya diam dengan pertanyaan itu lagi.
“kakak, aku udah bilang Pak Sucipto itu gak baik. Kan udah kubilang dia itu ganggu aku juga. Aku juga tunjukin sama kakak buktinya.”
“dek, kamu jangan asal fitnah. Kata mas sucipto, kamu malah yang nunjukin gelagat di kantor kalau kamu suka dia.”
“kak. Aku adek kamu lo. Kakak lebih percaya dia dibandingkan aku.” Jawabku kesal dan tak merasa percaya.
“iya, kamu mau dekati Mas Sucipto kan supaya dekat lagi sama Raga.”
“kak, benar-benar keterlaluan ya. Tega kakak beranggapan gitu tentang aku.”
“kan manatahu.” Jawabnya santai.
“gilak lu ya kak. Hancurin keluarga orang sampe keluarga Mama dan Papa Raga cerai.”
“eh, aku gak ada hancurin rumah tangga mereka ya. Memang mereka aja udah hancur pernikahannya.”
“kalau bukan lu kak, sapa lagi.” Jawabku dengan marah.
“diam lu , dek. Mending pergi lo dari sini.” Ucapnya .
Aku pergi dengan rasa marah dan menemui Pak Sucipto yg sedang duduk dengan tenang. Kuambil minuman yang dihadapannya, kulemparkan padanya.
“apa-apaan kamu Chaca?” jawabnya marah.
“mending anda pergi dari sini. Anda benar-benar sudah menghancurkan kakak saya.”
“eh, kamu bisa saya pecat ya. Kamu gak ada kesopanannya.”
“eh saya gak peduli kalau anda pecat saya. Saya juga gak akan berminat ke kantor melihat wajah anda ya.”
Kakak vira dan Mama datang melihat keributan yang kulakukan.
“kamu, apa-apaan sih Cha. Gak sopan banget.”
“aku gak perlu kesopanan ngadapin lelaki kayak dia.” Tunjukku pada lelaki itu.
“mending kita pergi sayang.” Ucap Kak Vira.
‘jangan gitu , nak.” Ucap Mama padaku sambil menangis.
“pergi lo sana. Jangan datang-datang lagi kesini. Lo akan nyesal kak. Lihat aja kak, lo akan nyesal ninggalin kita demi laki-laki bejat gitu.” Tunjukku dengan nada marah sambil menahan tangis.
Mereka berlalu pergi dan Mama menenangkan aku. Kami berdua sambil berpelukan dan menangis bersama.
REHAT
Di pagi yang tak cerah sama sekali aku dihantam lagi pada kenyataan sesuatu yang pernah terjadi, sesuatu hal yang membuat aku muak semakin hari dengan dunia bahkan dengan orang-orang yang begitu senang mengkonsumsi permasalahan hidup dengan sebuah kamera ponsel mereka. Aku mendapati diri kukembali jadi bahan konsumsi media atas perkelahianku dan Kak Vira di restoran pada saat itu. bukan lagi air mata kutunjukkan saat itu, tapi amarah yang semakin membuatku ingin menghampiri seseorang. Pikiranku tertuju pada sosok Nadya sebelumnya yang pernah menggunakan ponselnya untuk mempublikasikan kehidupanku. Aku langsung pergi beranjak ke Rumah Robi untuk menemuinya atau lebih tepatnya menemui Nadya yang katanya rumah mereka saling berdekatan.
“Assalamualaikum... Bi.. Bi.”
“waalaikumsalam.” Jawab Kak Devan dari bilik pintu.
“kak rumah nadya, mana ?”
“kenapa cha ? ada masalah apa ?”
“iya dimana kak? Kakak bilang tetanggaan ?”
“itu.” sambill ia menunjuk ke seberang jalan.
“warna ungu itu ya ?”
“iya cha. Kenapa sih ?”
“oke kak.”
Aku langsung menghampiri rumah itu tanpa basa-basi sedang Kak Devan penasaran sehingga mengikutiku dari belakang. Kulihat Nadya keluar dari rumahnya dan aku pun langsung bergegas menghampirinya.
“maksudmu apa sih Nad ?” tanyaku ketus .
“chacha kenapa ?” tanyanya polos.
“gak usah belagak begok ya. kamu ada masalah apa sama saya.”
“saya gak paham , cha.”
Kuambil ponselku, kutunjukkan video itu.
“ini kerjaan lo kan ?”
“gak cha.”
“gak usah bhong ya kamu. Saya punya bukti kamu yang nyebarin video-video gini. Salah saya sama kamu apa.”
“chacha, tenang.” Ucap Kak Devan.
“kakak sama aja sama dia ya. Kalian bersekongkol kan jatuhin aku.”
“gak ada cha. Kakak gak ada lakuin itu.” ucap Kak Devan.
“iya kita gak ada lakuin itu , cha. Serius.”
“bisa kamu ya bohong dengan santai. Jujur Nad, saya punya salah apa sehingga kamu nyebar-nyebar video itu?”
“aku gak lakuin itu, Cha.”
“lihat ini, ini akun kamu kan. Aku udah dm akun yang nyebarin video ini dan katanya akun @aydann__ yang ngirim. Dan setelah saya stalking itu kamu. Mau mengelak apa lagi kamu.”
Dia terdiam seolah mengiyakan kebenaran yang aku ucapkan.
“kenapa kamu diam. Jawab mau mengelak apa lagi kamu.”
“maafin aku cha.”
“mau beribu maaf apalagi yang harus kamu ucapkan. Saya hanya mau tau motif kamu apaan?”
Kak Devan sedari tadi menenangkan aku, kini beranjak diam dan tak menyangka apa yang terjadi dihadapannya.
“aku disuruh Cha.”
“siapa yang nyuruh ?” ucapku penasaran.
“Nadine.”
“gilak kamu ya, sekarang kamu fitnah sahabat aku. “ tunjukku padanya hingga tanganku mulai mengepal karena kesal.
“ itu kenyataan Nya Cha.”
“kamu pikir saya percaya dengan omongan kamu. Saya sudah bersahabat dengan Nadine sudah lama dan saya mengenalnya.”
“chacha pikir dengan mengenal hanya beberapa tahun bisa memperlihatkan sifat seseorang.” Jawabnya dengan nada tertawa.
Sungguh pada saat itu aku dihantam pada sebuah kenyataan yang benar-benar tak bisa kucerna.
“kamu jangan memfitnah ya Nadya. Chaca dan Nadine udah bersahabt lama. Gak mungkin nadine berbuat seperti itu.” ucap Kak Devan membelaku.
“kalian benar-benar ditipu olehnya.” Jawabnya lagi.
“kasih saya penjelasan kenapa itu bisa terjadi.” Jawabku kesal.
“kamu tau cha. Nadine gak benar-benar menjadikan kamu sahabat. Dia iri lihat kamu cha. Kamu cantik Cha dan paling penting dia cemburu kalau kamu dekat dengan Robi.”
“saya gak percaya dengan omongan kamu. Mana mungkin dia cemburu, saya dan Robi hanya berteman dan dia mengetahui itu.”
“itu menurut kamu cha. Robi sedari dulu mencintai kamu dan Nadine sudah tahu sejak lama. Oleh sebab itu dia semakin membencimu.”
Lagi-lagi aku dihantam pada sebuah kenyataan yang selama ini aku tidak tahu sama sekali.
“kamu jangan asal ngomong ya Nad. Kamu jaga memfitnah Nadine dan Robi ya, kamu bisa kami penjarakan karena pencemaran nama baik.’
“aku gak asal ngomong Kak, memang itu kenyataanya.”
Aku hanya diam dan sulit mencerna sekaligus apa yang dikatakan Nadya.
“oke aku akan ceritain semuanya. Sebelum kalian memperkenalkan aku dan Nadine, aku sudah mengenalnya. Dia berteman dengan pacar aku sehingga sejak itu aku sering bertemu dengannya. dia seringkali bercerita tentang seseorang lelaki yang ia sukai namun lelaki itu tak menyukainya hingga pada saat itu aku memperlihatkan video seorang wanita yang ditinggal nikah yg kudapati dari Kak Devan dan saat itu juga barulah ia berkata bahwa wanita itu yang merebut lelaki yang ia sukai. Kami semakin akrab sejak saat itu, saat aku mengetahui bahwa lelaki yang ia sukai adalah Robi yaitu tetanggaku sendri. Oleh karena itu ia menyuruhku menyebari video itu dengan imbalan ia memberiku uang. Sungguh aku sama sekali aku tidak tahu bahwa kalian bertiga bersahabat kecuali yang aku tahu persahabatan antara Nadine dan Robi. Hingga pada saat itu Robi benar-benar memperkenalkan kalian dihadapanku. Aku ingin bercerita kepada kalian bahwasanya aku mengenal Nadine, namun ia melarang. Setelah itu, barulah ia mengakui bahwa Chaca juga adalah sahabatnya sendiri. Video kemarin ia juga yang menyuruhku untuk merekamnya, sungguh aku tidak berniat lagi melakukannya tapi aku butuh uang membayar utang-utangku Cha. Aku minta maaf Cha.
Dan akhirnya air mataku buncah mendengar itu semuaa, hal yang diluar nalar aku kembali terbonkgar. Aku tidak ingin mempercayai itu tapi kalimat yg keluar dari mulut Nadya seperti benar adanya.
“ aku minta maaf Cha.” Ucap Nadya sambil menangis mengakui kesalahannya.
“Nadine gak gitu ya. Saya gak percaya sama omongan kamu ya.”
Lalu aku berlari pergi meninggalkan mereka berdua sambil mencerna ketidangmungkinan yang dilakukan Nadine. Kak Devan mengejarku dan berkata akan mengantarku namun aku menolak dan ingin pulang sendiri dan ia membiarkanku.
***
Ibu menghampiriku dan berkata bahwa ada video lagi tentang aku yang beredar. Ibu menangis memandangiku karena terkena imbas apa yang kakak Vira lakukan. Namun saat itu yang bukan aku pikirkan tapi tentang Nadine yang berbuat sedemikian.
“ma .. aku mau nanyak ?”
“iya sayang.” Sambil Mama menghapus air mata.
“menurut Mama, Nadine giman ?”
“dia wanita baik, lucu lagi dan terkadang ngomongnya ceplas-ceplos. Iya menurut Mama dia bagus.”
“iyakah ?”
“kenapa sayang ?”
“mmm.. gak ada Ma. Pengen tau aja.”
“ada masalah apa ?”
“gak ada, Mama.”
“yakin ?”
“banget Mama.”
“kalau ada masalah sama dia, omongin baik-baik. Hubungi dia atau temui dia.”
“siap Ma. Eh iya Ma, jangan nangis dong. Biarin aja mah video itu, omongan orang mah gak akan habis-habis.”
“mama takut kamu, nak. Kamu mengalami hal-hal yang berat akhir-akhir ini.”
“tenang aja Ma. Aku udah mulai terbiasa kok dinyinyiran mulu. Entar juga ilang.”
“syukur deh. Nampaknya anak mama makin dewasa.”
“iya doain aja Ma. Chaca bisa lewatin ini semua. Kalau ada Mama semua insya allah lancar.”
“aaminn.”kita pindah yok, nak.” Ucap Mama tiba-tiba.
“pindah kenapa Ma?”
“mama pengen aja.”
“disini banyak kenangannya Ma.”
“mama tau tapi ...”
Kalimat itu terhenti tiba-tiba tanpa ada lanjutan.
“rindu Kka Vira ?”
“rindu pastilah. Tapi kakakmu memilih lelaki lain dibanding Mama.”
“aku yakin KaK Vira akan sadar Mama, kita harus kuat ya Ma.”
“iya sayang. Makasih ya nak. kamu gimana, masih mau kerja ?”
“gak Ma.”
“yaudah kalo kamu memang gk mau lagi gak papa, cari yang lain aja.”
Entah angin apa yang membuat Mama ingin pindah dari rumah lama kami padahal aku tau disini semua kenangan ke il kami tumbuh dan kenangan Papa tentunya masih sangat lekat di setiap sudut ruangan.
Selepas pembicaraan kami, aku beranjak untuk tidur namun aku mendapati ponselku penuh dengan chat salah satunya Robi. Aku tidak membukannya begitu juga dgn chat lainnya. Aku ingin tidur tanpa beban pikiran walaupun beribu pertanyaan kembali menghujaniku tentang Nadine sejak tadi.
***
Robi tepat dihadapanku, aku tahu kehadiran dia ingin memperjelasnya semua sebab aku yakin Kak Devan sudah bercerita semuanya.
“maaf Cha.”
“untuk apa ?”
“semuanya.”
“emang kamu salah apa ?”
“aku menyukaimu sudah lama, aku tahu ini semua salahku.”
“aku gak ada nyalahin siapapun baik itu kamu dan Nadine. Itu hakmu untuk menyukai siapapun dan mengenai Nadine, aku hanya butuh kejelasan dia saja agar semua selesai.”
“aku harap chaca tidak memusuhiku dan persahabatan kita tetap seperti sebelumnya.”
Membingungkan sekali rasanya melihat sahabat sendiiri menyukaiku, aku tidak tahu harus berbuat apa kecuali membiarkan ia menyukaiku karena itu hak dia. Aku ingin bertanya sejak kapan namun kuurungkan niat itu karena yang terpenting sekarang bagaimana agar bertemu dengan Nadine dan mempertanyakan kebenaran apa yang dikatakan Nadine.
“ada nelfon , Nadine ? dari kemaren aku telfonin dia gak ada angkat.”
“gak ada cha. Sejak kemarin aku juga menghubungi dia tapi gaka da jawaban.”
Melihat Nadine tak mengangkat telefon sama sekali membuat aku khawatir dengan kebenaran yang diucapkan Nadya.
“menurut kamu Nadine berbuat gitu Bi ?”
“gak. aku harap apa yang dikatakan Nadya hanya omongan belaka. Aku percaya dengan persahabatan kalian.”
“melihat Nadine tak ada kabar dari kemarin membuat aku khawatir Bi, apa mungkin dia berbuat gitu ? sungguh aku tidak tahu kalau dia menyukaimu.”
“maafkan aku Cha. Ini semua karena salahku. “
“Bi. udah”
Dia hanya diam
“ke rumah Nadine yok ?”
“yaudah yok.”
Kami langsung bergegas namun tak kami dapati siapapun di rumah tersebut. Kami memutuskan untuk pergi ke warung mereka dan ternyata Nadine tidak ada ditempat. Mamanya malah berpikir bahwa Nadine tidak pulang dari kemaren karena menginap ke rumahku. Karena kami datang bertanya dimana Nadine, mamanya kahawatir. Kami berkata kami akan mencari Nadine ke rumah teman-temannya yang kukenal.
Aku dan Robi pergi ke beberapa tempat yang pernah dikunjungi Nadine dan pergi juga ke rumah teman-teman Nadine yang kami kenal. Tapi tak ada satupun yang mengetahui keberadaan Nadine. Akhirnya Robi memutuskan menelfon Nadya dan bertanya dimana keberadaan Nadine.
Nadya tidak ada bertemu sama sekali dengan Nadya kecuali Nadya menghubungi Nadine dan mengakui semuanya bahwasanya ia sudah memberitahuku perihal kejadian sebelumnya.
Sungguh lemas kakiku melihat kenyataan bahwa Nadine menghindariku dan apa yang diucapkan Nadya adalah kebenaran adanaya.
“gimana dong Bi.”
“kita cari lagi ke beberapa tempat yah, kalau gak nemu lagi kita lapor polisi.”
Namun tiba-tiba ponsel Robi berdering ternyata Mama Nadine menghubungi Robi dan memberitahu bahwa Nadine sudah pulang dan Robi berkata akan datang. Tapi Mamanya bersikeras melarang kami untuk bertemu. Aku ingin sekali melangkah ke rumah Nadine dan bertanya semuanya namun melihat Mamanya begitu keras melarang kami, akhirnya Robi melarang aku kesana dan lebih baik kembali esok saja.
.
***
Seminggu lalu Mama menemukan sebuah surat di depan rumah dan memberikannya padaku. Pagi ini aku mengingatnya namun aku masih mengurung niatku untuk membaca karena sejak tadi perutku lapar tidak karuan sehingga kubiarkan surat masih tergeletak di meja ruang tamu.
“ini surat siapa nak ?”
“gak tau Ma.”
“kayak surat cinta, kamu dekat siapa sapa ? hayo.. ngaku.”
“yaelah Ma, emang zaman sekarang ada surat-suratan.”
“iya manatau dia gak bisa ngutarain nak , jadi dibuat surat.”
“kayaknya gak ada sih ,Ma?”
“Mama buka ya.”
“iya Ma.”
Kubiarkan Mama membuka surat itu dan kutatap Mama meneteskan air mata membaca itu.
“kenapa Ma?” tanyaku dari dapur.
Ia tak menjawab selain masih mengeluarkan air mata dan aku pun menghampirinya.
“kenapa nangis Ma, surat apa sih?”
Mama memberikan padaku dengan tatapan sedih. Kulihat kertas biasa saja dengan tulisan dari seseorang yang sangat kukenal.
Untuk Asia Chakira,
Wanita yang pernah melekat di dalam lubuk hatiku. Jikalau kamu sudah membaca ini berarti aku sudah sejauh-jauhnya dirimu. Aku tidak mempunyai kekuatan berhadapan denganmu dan memberi penjelasan perihal kenapa semua ini terjadi diantara kita.
Saat menulis surat ini, tak dapat kupungkiri bahwa berjuta gejolak perasaan yang kuemban selama ini karena membuatmu kecewa tapi sebaliknya melihatmu sama saja membuat emosiku membara. Saat aku memberanikan mengirim ini, sungguh kuharap kau sudah tahu apa kebenarannya.
Jikalau kau tanya apa perasaanku dahulu tulus ? sungguh sangat tulus, Cha. Aku pernah berharap kau adalah tujuan akhirku tapi sayang semua hanya mimpi ketika kutahu ternyata ayahku berselingkuh dengan kakakmu.
Ibuku menangis Cha, melihat ayah memilih wanita lain dibandingkan istri yang bersamanya puluhan tahun . kebencian itu tiba-tiba merajalela disekujur tubuh, aku ingin menghampirimu memakimu karena mendengar suaramu, melihat wajahmu membuat aku melihat sesosok kakakmu di dalam dirimu. Ibu melarang aku menemuimu, ibu takut kalau kamu tidak tahu sama sekali tentang ini dan menyakiti perasaanmu. Itulah sebabnya aku memutuskanmu Cha walaupun aku merasa bersalah setiap kali aku mendengar isak tangismu hingga aku memutuskan telfon kita secara sepihak.
Aku menikahi wanita yang tak kucintai Cha, bukan perkara mudah bagiku untuk memulai sesuatu yang tak pernah kurencanakan. Tapi alhamdulillah seiring berjalan waktu dan dengan kesabaran istriku, aku mulai mencintainya. Aku sudah pindah ke kalimantan Cha, kubawa Ibu dan istriku. Aku tidak mau lagi terkenang dengan ayah, kakakmu dan dirimu.
Maafkan atas segala ketidak tanggungjawabanku terhadap hubungan dan perasaan kita pada saat itu. kumohon relakanlah aku. Hiduplah dengan lelaki baru. Doaku selalu terbaik untukmu.
Raga Pribumi
Buncah air mataku selama membaca isi surat itu. selama ini aku menerka-nerka apa yang terjadi dengan hubungan kami dahulu. Saat ini kelegaan yang terjadi atau lebih tepatnya hatiku kembali hancur dengan semuanya. Mama memelukku dan kami berdua pun menangis hingga kalimat yang keluar dari mulutku “Ma, ayo pergi.”
Description: aku butuh rehat untuk melupakan atas kepergianmu sekalipun air mataku menjadi keluhan dan merelakanmu menjadi keberatan. aku hanya berusaha kekal dalam kebahagiaan tanpa kehadiranmu.
|
Title: Rengkuh Bintang
Category: Young Adult
Text:
New Life, New Friend
“Aku yakin, kamu pasti datang,” si lelaki berkemeja putih itu tersenyum ke arahku yang berdiri kaku menatapnya malu-malu. Sepersekian detik kemudian Ia sudah meraih jemariku, matanya berbinar dengan senyum mengembang, dan ia mengatakan “Aku sungguh-sungguh, maukah kamu menjadi pacarku?” suara itu terdengar jelas di telingaku, dan ya benar saja dadaku dibuat berdesir karena suara itu, lidahku kelu. “Ini mimpi,” batinku masih bisa berseloroh.Tapi, aku ingin lebih lama lagi, lebih lama menatap wajah tampan itu, please lebih lama lagi, dan .... gelap.
Benar saja hanya mimpi.
Leia menggerutu sendiri sembari mengucek matanya yang kering. Ia kesal karena mimpi indahnya harus berakhir begitu saja sebelum ia menjawab dengan jawaban, IYA, dan adegan selanjutnya paling tidak berpelukkan atau minimal saling menggenggam jemari masing-masing dan bertatap dengan tatapan berbinar. Membayangkan saja membuatnya dadanya sedikit hangat.
“Dasar jomlo akut!” selorohnya mengatai diri sendiri. Ia bergeleng sesaat, dan beranjak dari tempat tidurnya. Bukan saatnya bermalas-malasan, karena hari ini ia harus berberes dan siap untuk merantau menjadi anak kuliahan. Kehidupan baru.
***
“Ya pokoknya kalau Mama tidak mengizinkan aku nge-kost, aku nggak mau kuliah, beres!” ancam Oswin sembari menyomot potongan sandwich di meja makan. Mamanya Oswin hanya bergeleng, lalu menghela napas tipis. “Kamu ini aneh Win, kalau kamu kuliah keluar kota atau luar negeri, baru lah nge-kost. Lah ini masih di Surabaya kok nge-kost?!” Mamanya Oswin menatap anaknya yang cuek menikmati sandwich. Beliau, terdiam sejenak untuk mempertimbangkan keputusannya, dan demi mewujudkan harapan, permintaan Oswin dikabulkan.
Satu rencana Oswin berhasil, Mamanya kalah telak. Pertimbangan menjadi anak kost dipilihnya dengan harapan, Ia bisa lebih bebas menggeluti hobinya, menyalurkan passion-nya di dunia fotografi. Ia bosan dengan aturan Mamanya yang selalu memaksakan kehendak. Jika bagi sebagian orang menjadi anak satu-satunya adalah berkah, mungkin baginya adalah malapetaka. Orangtuanya menaruh harapan yang terlalu tinggi, dan terkesan sangat memaksakan kehendak, mengesampingkan kemauan Oswin, bahkan mendengarkan pun tidak, pilihan Oswin lebih seperti sebuah kesalahan, dan orangtuanya selalu merasa benar. Sampai-sampai, Ia berharap punya saudara kandung yang lebih bisa menuruti keinginan orangtuanya, dan ia bisa bebas memilih apa yang ia suka. Sayangnya hanya mimpi.
Penyebab si Mama sangat ingin Oswin menguasai dunia bisnis dan keuangan, adalah supaya bisa melanjutkan usaha yang sama sekali tidak menarik minat Oswin. Sebenarnya bukan sekali ini saja Oswin berani berontak dan mengancam, sebelumnya ia juga pernah protes soal pilihan orangtuanya agar kuliah di luar negeri, dan Oswin menolak mentah-mentah, bahkan saat ia masih duduk di bangku SMA, paksaan itu membuat Oswin kabur dari rumah, tidak pulang sampai seminggu, dan drama itu berakhir saat si Mama menangis dan menyerah dengan pilihan Oswin.
Untuk apa jauh-jauh keluar negeri kalau ia tidak akan sungguh-sungguh, jelas buang-buang duit, pikirnya. Walaupun kuliah di kota kelahirannya juga belum tentu ia rajin. Kalah minat.
***
Seorang Ibu berusia hampir 50 tahun sesekali mengusap air mata yang terjatuh dari kedua bola matanya. Tidak bisa ditahan, dadanya yang terasa sesak, tak sanggup lagi menahan timbunan air mata.
“Sudahlah Bu, Surabaya Malang itu dekat, aku akan sering-sering pulang. Kan bisa video call, teleponan juga, sekarang semuanya gampang,” ujar Leia berusaha menenangkan Ibunya.
Sebenarnya, jauh dari orangtua juga berat bagi Leia, tapi bayangan ingin mewujudkan cita-cita tergambar jelas di benaknya, sehingga membuatnya mampu menahan rasa sesak dan air mata yang memaksa terjatuh. Lelaki paruh baya yang tidak lain adalah Ayah Leia tidak menunjukkan ekspresi berarti. Ia hanya sesekali mengelus pundak Leia dan mengatakan hati-hati juga jaga diri.
Jauh berbeda dengan Ibu Leia yang mengucapkan kalimat kekuatiran berulang sembari terisak dan menciumi pipi anaknya tak terhitung. Sayangnya, durasi drama perpisahan sementara itu, tidak bisa lebih lama, kereta yang akan ditumpangi oleh Leia segera berangkat, dan mereka pun berpisah.
Sudah bisa ditebak, tangis si Ibu kia pecah, tapi Leia tidak bisa berbuat apa-apa selain segera masuk menuju ke kereta.
Perjalanan memakan sekitar 4 jam, Leia akhirnya sampai di stasiun Gubeng. Ia keluar dari stasiun Gubeng lama yang memang dikhususkan untuk penumpang kereta api ekonomi. Udara panas Surabaya mulai menyengat kulit, beruntung ia memakai bomber jacket parasut yang lumayan membuat kulitnya terlindungi. Tidak menunggu waktu lama, ia segera memesan kendaraan online lewat aplikasi ponsel menuju tempat kost. Dengan 1 koper dan tas punggung berat, ia memilih menggunakan mobil, untuk mengurangi rasa lelah dan ribet dalam perjalanan. Harganya masih tergolong murah, apalagi jika memakai promo.
Aplikasi kendaraan online ini memang sangat membantunya, disamping harga yang terjangkau, ia pun tidak perlu repot banyak bertanya atau mencari angkutan umum yang melewati kost-nya dan tentu rawan nyasar. Angkutan umum di Surabaya lebih banyak daripada di Malang, dan warnanya seragam, membayangkan saja membuat kepala Leia pusing.
“Maaf Mbak, bisa nyebrang lalu jalan ke dekat jempatan? Saya tunggu disana ya, mobil nya warna putih,” ujar driver yang menghubungi Leia beberapa saat setelah Leia memesan kendaraan online.
“Oh, oke Pak,” Leia tidak bisa menolak, karena ia paham, ketika memesan kendaraan online dengan alamat penjemputan seperti stasiun, terminal, bahkan mall, si driver tidak berani menjemput tepat di depan titik penjemputan yang termasuk zona merah, zona larangan mengambil penumpang di area tersebut. Alasannya? Banyak jawaban, salah satunya karena itu jatah dari kendaraan umum, atau ada preman di sekitar tempat tersebut yang doyan malak.
Hadirnya jasa angkutan online di Indonesia masih menjadi polemik, entah sampai kapan, padahal namanya perkembangan zaman memang tidak ada yang abadi, becak terusir oleh angkutan umum, dan angkutan umum tergeser oleh angkutan online, dan hampir bisa dipastikan angkutan online juga akan tergeser, oleh teknologi yang lebih canggih. Who knows?!
Dengan keringat berjatuhan dan tubuh yang lelah, masuk ke dalam mobil ber AC membuat Leia seolah menemukan oase di padang gurun.
“Maaf ya Mbak, saya minta jalan sampai sini, karena masuk zona merah,” ujar si driver parubaya berbadan tambun memberikan alasan.
“Iya Pak, tidak masalah,” balas Leia memberikan senyuman seramah mungkin meskipun ia sangat lelah, dan si driver langsung melajukan kendaraannya.
Perjalanan tidak memakan waktu terlalu lama, sekitar 20 menit, ia akhirnya sampai di tempat kost yang akan menjadi tempat tinggal sementara untuknya. Tempat kost yang sebelumnya sudah pernah ia datangi bersama orangtuanya.
Di tengah suasana kota Surabaya yang panas, mendapatkan tempat kost yang nyaman dan sejuk adalah yang terutama, dan Leia pun beruntung bisa mendapatkannya, meskipun dipastikan kesejukkan di dalam ruangannya jelas di dominan oleh AC tapi setidaknya ia masih bisa melihat pepohonan rindang di depan tempat kost dan sekitarnya.
Tempat kostnya terdiri dari dua lantai, dan Leia kebagian di lantai ke dua. Ibu kost menyambutnya dengan senyum ramah, dan menjelaskan aturan-aturan yang harus ditaati selama di kost.
***
Oswin terlihat girang, akhirnya selama 18 tahun usianya, ia bisa sedikit bernapas lega, menjauh dari bayang-bayang orangtua terutama mamanya yang sangat layak mendapat julukan overprotective mother.
Selama 18 tahun usianya, Oswin merasa ruang geraknya sangat sempit bahkan sesak, jangankan urusan sekolah, urusan memakai baju saja harus mamanya yang mengatur. Tidak jarang Oswin memberontak, tapi akhirnya ia lemah dengan aturan, maklum belum mandiri, uang masih mendapat jatah, kalaupun ia dapat penghasilan dari hobinya, tidak seberapa dibandingkan dengan jatah uang bulanan orangtuanya yang lumayan banyak karena tergolong kaya.
Maklum kedua orangtua Oswin adalah pengusaha snack yang produknya suka berseliweran di iklan tv, supermarket besar, bahkan di toko atau warung-warung kecil di perkampungan. Meskipun begitu, Oswin adalah pribadi yang sederhana, ia suka makan di warung, ia gemar memakai sandal jepit dan kaos oblong, tapi ya sudah bisa ditebak, nyolong-nyolong, tidak disaat bersama sang overprotective mother.
Kali ini, setelah ia merapikan kamar kost barunya, perutnya mulai terasa lapar, ia pun memilih berjalan keluar kost mencari tempat makan yang berjajar di pinggir jalan. Ia belum menentukan makanan apa yang akan ia makan, sambil jalan pikirnya.
***
Lapar yang mendera membuat Leia tidak pikir panjang untuk segera melahap sepiring nasi panas dengan lalapan bebek yang ada di hadapannya. Sudah lama ngidam, dan menurutnya di Surabaya lalapan bebeknya lebih enak dibandingkan di Malang, padahal jika dipikir lagi, makanan dan camilan di Malang lebih unggul, hampir semuanya enak, tapi kalau bebek Surabaya setingkat lebih enak.
“Lagi kalap ya?” tanya seorang lelaki sebaya yang membuat Leia spontan bengong dan menatap lelaki itu, lalu nyengir perlahan. Ia tidak sadar dengan beberapa butiran nasi yang menempel di luar bibir, juga minyak yang sudah kemana-mana, pipi, bahkan sedikit di dahinya. Sensasi makan dengan jemari tangan memang nikmat, dibandingkan dengan sendok, yang menurut Leia adalah cara makan sok cantik, apalagi jika menunya lalapan.
“Udah berapa lama nggak makan?” tanya Oswin. “Seharian mas,” balas Leia polos sembari tertawa kecil, garing! Tapi di telinga Oswin terdengar lucu, ia spontan tertawa bergeleng, dan seketika itu juga ia ingin berteman, tidak butuh waktu lama, ia bisa menebak kalau perempuan yang ada di hadapannya ini mampu menjadi teman yang sangat menyenangkan.
“Oswin,” tanpa babibu, Oswin mengulurkan tangannya. Leia tertawa kecil, senyumnya terlihat manis. Matanya bagus, spontan benak Oswin berkomentar.
“Maaf tanganku kotor, Mas,” balas Leia tanpa menyebutkan namanya. “Oh, oke,” Oswin menurunkan tangannya. “Jadi, nama kamu siapa?” lanjutnya.
“Leia, Mas. Oiya masnya pesan dulu, kesini mau makan kan? Bukan cuma ngajak kenalan?” goda Leia yang membuat Oswin tersipu dan segera memesan makanan, makanan yang sama dengan yang dipesan oleh Leia, ekspresi makan Leia membuat Oswin tergiur. Padahal, sudah tidak terhitung, berapa kali ia makan lalapan bebek dan yang ada di pikiran sebelumnya justru bakso atau soto.
Tidak butuh waktu lama untuk membuat Leia dan Oswin menjadi teman mengobrol yang akrab, Leia yang easy going, apa adanya dan tidak mengenal jaim, membuat Oswin merasa tidak sedang mengobrol dengan sosok perempuan atau teman yang baru dikenal, mengalir saja, tanpa dibuat-buat. Obrolan mereka baru berakhir ketika, langit sudah mulai gelap, dan memaksa mereka harus kembali ke kost masing-masing yang letaknya berdekatan, karena mereka memang akan menjadi teman 1 kampus dan 1 jurusan.
ADAPTASI
Dua hari satu malam, berada di lingkungan baru membuat Leia sesekali merindukan rumah, mungkin karena ini pengalaman pertama, jadi homesick mulai menampakkan wujudnya. Entah sudah berapa kali ia melakukan video call dengan orangtua, terutama si ibu, tapi tetap tidak membuatnya merasa benar-benar tenang. Keraguan menggelayut, apa ia sanggup menghadapinya dalam beberapa tahun kedepan?!
Leia sudah berusaha membaur dengan para penghuni kost lain, tapi hasilnya tidak sesuai harapan. Sebagian besar penghuni kost terlihat individual, seolah sengaja memberi batasan. Jangankan mengobrol panjang, kalaupun menyapa paling hanya senyum tipis, dan anggukan kepala tanpa suara. Bahkan, ada beberapa penghuni kost yang disapa oleh Leia, hanya membalas dengan tatapan datar tanpa senyuman. Leia semakin merasa asing.
Merasa bosan setelah ritual video call dengan sang Ibu berakhir, Leia memilih keluar kamar dan turun ke lantai dasar kost. Ada seseorang yang menyapa dan memintanya duduk di sebelahnya.
“Gimana betah disini?!” tanya seorang gadis yang usianya sekitar 2 tahun lebih tua. “Ya, harus dibetah-betahin, Mbak,” balas Leia. “Jangan panggil Mbak lah, panggil Reni, umur kita nggak beda jauh kok. Oh ya, kalau kamu bosan bisa ngumpul bareng-bareng disini jangan di dalam kamar terus, nggak bosen apa?!” ujar Reni sembari sesekali menatap layar ponselnya. Leia spontan mengangguk, rasa senang mulai mengintip merasa ada teman baru, syukurlah batinnya. Apalagi setelah ada Krista dan Eka, 2 penghuni kost lain. Leia menyadari bahwa tidak semua penghuni kost bersikap kaku kepadanya.
Sebenarnya, Leia bukanlah orang yang sulit bergaul, ia mudah membaur dan fleksibel berteman dengan siapapun. Orang yang easy going seperti Leia hampir dipastikan cepat beradaptasi, hanya saja, ia tetap punya batasan, siapa yang hanya jadi teman sekedarnya, teman dekat, bahkan sampai sahabat.
Beberapa menit setelah kedatangan dua sahabat Krista dan Eka, obrolan menjadi lebih panjang dan sedikit lebih seru karena kedua teman baru Leia tersebut sama-sama orang yang ekspresif. Sampai akhirnya mereka saling mengeluh satu sama lain.
“Nggak usah sok punya persoalan pelik deh kalian. Kris, bukannya yang selama ini kerjain tugas kamu si pacar?! Kenapa baru puyeng sekarang? Kamu juga Ka, bukannya selama ini memang cowok kamu super cuek ya?! Kalau kamu pingin dapat yang perhatian every time ya putus dan cari yang lain, beres kan?!” Reni berseloroh setelah mendengar curhatan dari kedua sahabatnya tersebut.
“Enak, banget kalau ngomong!” sewot Eka. “Ya iyalah, ngomong itu paling enak,” balas Reni tertawa kecil. Sesaat obrolan berganti dengan tawa satu sama lain, sampai akhirnya Reni kembali angkat bicara “Udahalah gengs, lupakan urusan pribadi, saatnya kita ber-go-sip.” Reni melirik ke arah Krista dan Eka yang kompak mengangguk, hanya Leia yang terlihat kebingungan. “Kamu pasti bingung ya, Ya?" Eka terlihat lebih peka.
"Jadi gini, kita memang doyan bergosip, jadi ya berhubung kamu sudah bergabung dengan kami, maka ku ucapkan selamat bergabung di geng magibah, geng mager tukang gibah,” balas Eka dengan senyum mengembang yang kemudian diukuti Krista yang tertawa kecil sembari mengulurkan tangan ke Leia seolah sebagai tanda kesepakatan, spontan Leia mengulurkan tangan, tanpa tahu maknanya.
Sebelumnya, Leia merasa nyaman ngobrol dengan mereka, apalagi saat menceritakan drama korea terbaru. Suasana jadi tidak menyenangkan setelah Eka memulai pembicaraan, menggosipkan seseorang. “Eh tahu nggak, semalam ibu kost dianterin brondong,” ujar Eka setengah berbisik dan celingak-celinguk, kelakuan khas seseorang yang sedang membicarakan hal negatif orang lain, takut ada yang menguping, tanpa menyadari, terkadang tembok pun bisa punya telinga.
“Ganteng nggak?” tanya Reni terlihat penasaran, wajahnya condong mendekat. “Ganteng banget, gila aku kalah, tapi ya biasa lah, cuma diambil ininya pasti,” balas Eka yang memperlihatkan jempol dan telunjuknya sebagai kode dari kata uang. “Wah, nasib nih, cantik nggak, kaya juga nggak, kalah deh aku sama bu kos, harapan punya cowok ganteng pupus,” balas Reni. “pasang pelet saja, katanya ampuh,” balas Krista ngikik. Reni langsung memonyongkan bibir, hampir saja melempar ponsel ke wajah Krista yang spontan menghindar.
Leia mulai merasa asing, sudah tidak sefrekuensi, karena diperbincangan selanjutnya tidak hanya ibu kost yang di perbincangkan tapi juga anggota kost yang lain. Merasa tidak nyambung, Leia memilih pamit ke kamar dengan alasan ingin menelepon.
Hari berikutnya, ritual kumpul-kumpul tidak bisa ditolak. Kali ini Eka yang meminta Leia bergabung, Reni langsung menyodorkan keripik rasa balado ke arah Leia. “Krista mana?” tanya Leia memulai pembicaraan, setelah menyadari hanya ada Eka dan Reni di hadapannya. “Biasa lagi kencan, dia mah kencannnya nggak hanya seminggu sekali, setiap hari, pacarnya tajir melintir, tapi, ya begitulah,” balas Eka menahan tawa, melirik ke arah Reni yang langsung tertawa lebih kencang. “Kalau aku sih jomlo bermartabat yes, mending jomlo daripada dapet pasangan nggak worth it.” Reni sesumbar, dan tidak butuh waktu lama bagi Eka untuk menjelek-jelekkan Krista di hadapan Reni, padahal sepengetahuan Leia, Krista dan Eka adalah dua sahabat yang terlihat sangat akrab, dan lebih ke sahabat karib. Tapi Leia tidak menyangka kalau semua itu hanya kepalsuan, ia merasa perlu mawas diri, pikiran negatif pun mulai mampir. Jika pertemanan ini semakin dekat, dapat dipastikan ia akan dijadikan bahan pergunjingan juga.
Alasan itulah yang membuat Leia setengah menghindar. Ketika mereka terlihat berkumpul di salah satu kamar atau ruang santai, Leia memilih berkumpul sejenak lalu pamit kembali ke kamar dengan banyak alasan. Leia tidak suka menghabiskan waktu bergunjing keburukan orang, apalagi teman sendiri, karena beranggapan tidak akan ada ketulusan dalam pertemanan yang hobinya suka menjelekkan satu sama lain. Dari pengalamannya selama ini, pertemanan yang didasari pergunjingan hanya seperti pertemanan yang saling memakai topeng, tidak ada yang bisa diharapkan selain kepalsuan. Ia lebih memilih berada di kamar menonton video di youtube, membaca novel, atau menonton serial drama korea secara random. Sesekali, bayangan Oswin terlintas di kepala, terselip sebuah harapan, ingin kembali bertemu.
***
Oswin mengulum senyum, ketika melihat beberapa foto yang dihasilkan olehnya. Sedikit bangga, kemampuannya dalam membidik objek dengan kamera kesayangannya mendekati sempurna. Tingkat exposure foto yang dihasilkan sudah tepat dengan komposisi warna yang akurat. Sudah sesuai imajinasi dan konsep yang diinginkannya. Mungkin ini akibat dari ketekunannya melatih kemampuan atau juga sudah bakat alam, sehingga Oswin belajar lebih cepat dibandingkan orang pada umumnya. Ia pun percaya diri jika fotonya sudah layak untuk di ikutkan lomba atau bahkan dijual dengan harga yang lebih mahal dari sebelumnya.
Detak jantungnya berdesir saat ia melihat foto Leia yang tertawa lepas, wajah bulat, hidung yang tidak terlalu mancung tapi sangat proposional dan bibir tipis dengan gigi kelinci yang mempermanis senyum Leia, sebuah komposisi wajah pas, tidak berlebihan. Mungkin karena Oswin sudah tertarik, sehingga semua hal yang ada dalam diri Leia adalah sebuah keistimewaan.
Oswin bukan orang yang percaya pada love at first sight, tapi sepertinya prinsipnya mulai goyah. Ia merasa menemukan energi yang berbeda, sangat kuat seperti magnet yang menariknya ingin mendekat saat bersama dengan Leia, ia sendiri bahkan tidak bisa menjelaskan apa namanya. Terlalu dini untuk menyimpulkan jika rasa itu adalah cinta, tapi ia merasa seperti ada yang menariknya untuk lebih dekat dengan Leia. Tapi, ia ragu, karena sudah dua hari pergi ke warung lalapan bebek tempat mereka bertemu, juga menelusuri jalan yang mereka lewati tetap, ia tidak bertemu dengan Leia. Ia bahkan menyalahkan diri sendiri karena lupa meminta kontak Leia, coba kalau dari awal ia langsung meminta kontak Leia, pasti ia tidak akan melakukan hal konyol sampai 2 hari. Lamunannya buyar saat ada orang yang menggedor pintunya dengan kuat, dan saat dibuka, ternyata penghuni kost lain yang salah kamar. Ingin rasanya Oswin mengumpat, tapi ia sadar, ia tidak ada di rumah mewahnya, ia ada di kost yang dihuni oleh banyak orang dengan berbagai macam karakter, jadi ia harus mulai membiasakan diri.
***
Hari berganti, kali ini Leia terlihat lebih bersemangat, karena masa orientasi study dan pengenalan kampus sudah dimulai. Sesaat, ia terperangah melihat gedung kampus tempatnya mengenyam pendidikan, masih seperti mimpi. Kalau tidak karena beasiswa, tentu ia tidak akan berada di tempat ini. Beasiswa yang ia dapatkan memberi pilihan beberapa perguruan tinggi swasta terbaik di beberapa ibukota, dan pilihannya jatuh di kota Surabaya. Universitas yang dipilihnya juga bukan sembarangan, karena merupakan perguruan tinggi kategori terbaik dari versi Kemenristekdikti.
“Leia!”suara seseorang yang tidak asing spontan membuat Leia menoleh. Mata Leia terbelalak, ia tidak percaya kalau orang yang dilihatnya adalah Oswin, mulutnya refleks melongo. “Kamu?!” Leia masih tidak percaya, Oswin dengan gaya sok cool-nya mengedikkan pundaknya sembari memainkan kedua alis. “Kalau jodoh nggak kemana ya,” ujar Oswin sembari menyembunyikan perasaan aneh yang mulai menjalar di dada. Leia tertawa keras. “Ah, lega rasanya, punya teman yang aku kenal.” Leia menghela napas, senang. Oswin dibuat tersipu. Kekuatiran dan ketakutan yang menghampiri berangsur hilang.
“Eh, ya bentar, no hp,” Oswin buru-buru merogoh ponsel yang ada di kantong samping celananya. Oswin terlihat sedikit kesulitan mengambil ponselnya. Setelah berhasil, Oswin langsung menyodorkan ponselnya, dan tidak ada alasan untuk Leia menolak. Sepersekian detik kemudian, beberapa senior dengan seragam almamater meminta untuk segera berkumpul di Aula.
Bayangan OSPEK yang serba sulit dan dihantui dengan kekejaman senior sepertinya tidak akan terjadi, hari pertama OSPEK yang Leia pikir sebagai hari perkenalan sekaligus awal kekejaman ternyata hanya berisi pengenalan kampus juga beberapa games seru untuk melepaskan kebosanan juga untuk meningkatkan keakraban. Tidak ada anjuran harus membuat dan membawa ini itu, atau bahkan memakai baju aneh-aneh. Leia saja sampai heran, padahal ia sudah menyiapkan mentalnya sekuat mungkin dan berusaha menghafalkan rute jalan dari tempat kostnya ke supermarket, pasar tradisional, maupun mall, sebagai persiapan kalau ia butuh harus membawa atau membeli ini itu, ia tidak bingung sendiri.
Tapi kenyataan memang tidak selalu sesuai ekspetasi, 3 hari berlalu terlewati dengan sangat menyenangkan. Tidak ada ceritanya OSPEK yang dimanfaatkan para senior sebagai ajang balas dendam. Sungguh, sama sekali tidak terlihat. OSPEK justru seolah menjadi ajang penyambutan keluarga baru, sangat berbeda sekali dibandingkan dengan pengalaman Leia saat awal masuk sekolah menengah atas, dimana ia harus membawa ini itu, pakai baju dan tas dari kantong plastik, dibentak-bentak kakak kelas, juga drama berantem dan saling fitnah, semua bayangan yang sempat membuatnya kuatir dan takut itu tidak terjadi. Awal yang baik, pikirnya. Ia sungguh optimis kalau kehidupan kuliahnya akan terasa lebih menyenangkan, disamping teman-teman yang baru, ada Oswin yang selalu membuatnya bisa tertawa lepas.
TRADISI ANAK KOST!
Terdengar ketukan pintu terburu di pintu kamar Leia yang spontan membuatnya membalikkan badan dari arah cermin. Dengan sisir yang masih di tangan, Leia segera menarik gagang pintu. “Ya, lagi sibuk nggak?” tanya Eka setengah berbisik. Belum sempat Leia menjawab pertanyaan, Eka langsung nyelonong masuk ke dalam kamar tanpa permisi. Leia sebenarnya kurang nyaman, tapi ia berusaha untuk memaklumi.
“Begini, kamu jangan bilang siapa-siapa ya? Aku boleh pinjam uang nggak?!” dengan santainya Eka mengungkapkan tujuannya setelah duduk diatas kasur. “Soalnya, aku belum dapat kiriman nih, dan lagi butuh banget nge-date sama cowok aku,” ucapnya. “Whats ngedate ngutang?!” batin Leia tidak mengerti.
“Pinjem ya, kamu kan baru masuk kuliah, pasti lagi banyak-banyaknya uang dari orangtua, tiga ratus ribu saja kok, nggak banyak,” Eka terdengar setengah memaksa. Leia tidak bisa langsung memutuskan, antara terkejut dan bingung. Pertama ia merasa Eka bukan tipe teman yang bisa dipercaya. Kedua, ia tidak bisa berbohong kalau mengatakan tidak punya uang. “Ehm ..., gimana ya Ka, aku saja masuk kuliah karena beasiswa jadi ya dipastikan nggak punya banyak uang, kalau 50 ribu ada. Tapi ..., lebih dari itu tidak ada,” balas Leia setelah mempertimbangkan dengan bijak. Paling tidak kalau uangnya tidak kembali, ia tidak rugi banyak. “Beneran?! Kalau seratus ribu saja nggak ada?” Eka masih berusaha, terdengar nada memaksa. Leia menggeleng. “Ayolah Ya, masak nggak percaya sih sama temen sendiri, kita kan tinggal satu atap, aku nggak kemana-mana kok. Beneran, pasti aku ganti, jangan kuatir.” Eka berusaha meyakinkan. “Jangan pelit-pelit lah jadi orang, ntar juga kalau kamu kesulitan, kita-kita pasti bantu, namanya satu kost kan satu keluarga, iya nggak sih?!”Eka pantang menyerah. Leia hanya menghela napas, ingin rasanya ia mengusir Eka. “Maaf Ka, cuma ada itu,” Leia memperjelas. Giliran Eka yang menghela napas.
“Ya sudah, kelihatan sih kalau kamu orang kesusahan juga, lima puluh ribu boleh deh, daripada nggak ada, tapi jangan ngomong yang lain ya, awas!” ancam Eka. “Kalau kamu cerita-cerita. Nggak akan aku balikin uangnya!” lanjutnya, ancaman kedua yang membuat Leia langsung mengerutkan alis keheranan. “Mana uangnya?!” Eka setengah membentak. Leia menghela napas panjang. Satu-satunya cara yang membuat Eka segera pergi dari kamar adalah mengambil uang satuan lima puluh ribuan di dompetnya dan memberikannya ke Eka supaya segera pergi. “Oke, makasih,” ucap Eka yang langsung nyelonong pergi setelah sebelumnya tanpa permisi memakai lotion yang tergeletak di meja rias. Leia hanya bisa menggeleng, heran mendapati teman yang tidak punya sopan-santun seperti itu. Ia pun mulai menyambungkan sikap teman se kost nya itu dengan sikap beberapa penghuni lain yang terlihat sangat individual.
***
“Penghuni kost baru kan?” tanya seorang lelaki bertubuh kurus, dengan kulit sawo matang, tinggi, dan berambut kribo. “Oh, ya salam kenal ya, mas,” balas Oswin dengan senyum ramah, walaupun lawan bicaranya sama sekali tidak menunjukkan sikap yang menyenangkan, bahkan si lelaki kribo itu tidak membalas uluran tangan Oswin. “Kamu tahu nggak, kalau masuk kost disini itu ada aturan tidak tertulis.” Tatapan mata si kribo terlihat licik, ia menyunggingkan senyum tipis. “Oh ya?” tanya Oswin dalam batin.
“Kamu harus traktir semua penghuni kost disini, itu keharusan. Tenang saja, nggak harus mahal, seikhlasnya kok, gorengan seribu perak juga boleh,” usulnya yang langsung membuat Oswin paham. Tanpa basa-basi Oswin meraih ponselnya menyentuh layarnya beberapa saat, dan menyodorkan ke arah si kribo. “Pesan saja sesukanya,” tuturnya.
Mata si Kribo terbelalak, ibarat mendapat durian runtuh, ia pun langsung semangat memesan makanan di aplikasi online. Beruntung, si Kribo tetap tahu batas, ia tidak memalak keterlaluan, dan bagi Oswin angka yang dikeluarkan untuk makanan tersebut tidak seberapa.
“Sudah?!” tanya Oswin, berharap ponselnya segera dikembalikan. “Oke, ini bro, baru kali ini ada penghuni kost yang loyal seperti ini, sering-sering ya bro, biar berkah bro.” Perangai si Kribo mendadak ramah sembari menepuk-nepuk pundak Oswin. Oswin hanya tersenyum tipis, dan segera pamit ke kamarnya.
***
Sekitar jam 7 malam, Leia memutuskan untuk mengiyakan ajakan Oswin yang ingin mencari sate. Ia pun menuju ke tangga untuk turun dari lantai dua setelah memesan ojek online. Langkahnya terhenti, saat samar-samar ia mendengar suara yang tidak asing.
“Kok cuma dapat lima puluh ribu sih? harusnya kamu bilang butuhnya tuh lima ratus ribu jadi minimal si anak baru itu ngasih seratus ribu,” sekalipun bisik-bisik, Leia dapat mendengar dengan jelas suara suara Eka dan Reni disana. Ia pun spontan menutup hidung dan mulutnya, tetap berusaha menguping semampu telinganya bisa mendengar. “Udahlah, yang penting kan dapet. Kasihan, dia anak orang miskin.” Eka beralasan. “Alah, sejak kapan kamu kasihan sama orang?!” Krista menyambar. “Udahlah, yang penting lumayan buat beli ayam geprek bertiga.” Eka membela diri lagi. “Trik selanjutnya tahu kan? Kalian berdua harus ngapain?!” lanjut Eka “Iya tahu, tapi lama-lama capek juga loh, tiap ada penghuni kost yang baru dikerjain gini, ntar kalau dilaporin ibu kost gimana?” ucap Krista yang hati nuraninya mulai sedikit terbuka. “Yaelah Kris, Ibu kost sibuk dengan mas brondong, mana mau ngurusin hal beginian, yang penting jatah bayar kost tiap bulan lancar. Lagian, kalau dapet uangnya kamu juga mau. Jangan mentang-mentang cowok kamu tajir ya!” Eka semacam ketua geng yang tidak boleh dibantah.
Tiba-tiba getaran ponsel Leia membuatnya harus meninggalkan prosesi menguping. Ketiga orang yang ada dalam kamar itu sepertinya tidak menyadari jika ada Leia di balik pintu. Leia segera menuju ke tangga untuk turun.
“Ya, kamu mau aku pesenin dulu apa gimana? Aku udah sampai nih,” ucap Oswin setelah Leia menjawab panggilan teleponnya. “Ehm, sorry-sorry dua puluh menitan lagi, aku sampai sana. Tunggu ya, jangan ditinggal.” Leia terdengar kebingungan, tidak enak hati membuat Oswin menunggu lama. Si Oswin justru tertawa, terdengar jelas di telinga Leia. “Siapa juga yang mau ninggalin, mau dua jam juga aku tungguin lah, Ya!” balas Oswin yang seketika membuat Leia tersenyum bergeleng.
“karena aku pengen banget ketemu sama kamu Leia,” lanjut batin Oswin.
Sekitar 20 menit kemudian Leia sudah sampai di sebuah depot sate yang sangat ramai pembeli, aroma khas bumbu kacang dan daging yang terbakar membuat perut ingin segera diisi. Terlihat Oswin yang melambaikan tangannya di posisi paling ujung, dan Leia segera menghampirinya. “Akhirnya kamu datang juga, naik apa kesini?!” tanya Oswin sepersekian detik setelah Leia duduk di hadapannya. “Ojek online, biasa,” balas Leia.
“Oh ya, aku udah pesenin sekalian sate ayam. Aku nggak yakin kalau cewek suka sate kambing,” ucap Oswin. Leia tertawa kecil dan mengiyakan. “terima kasih ya, jadi ngerepontin,” Leia tersenyum menatap Oswin dan membuat dada Oswin seketika berdesir. “Sate disini tuh enak banget,” Oswin promosi disela-sela rasa grogi berserta umpatan dalam hati. Leia hanya mengucapkan kata “Oh ...” dengan tangan yang sibuk mengaduk sambal pada bumbu sate. “Kamu doyan pedes banget ya? Awas loh sakit perut,” Oswin menatap heran, karena ia tidak terlalu suka makanan pedas. “Justru itu nikmatnya Win, makanan pedas itu pencipta semangat. Sama seperti hidup, terkadang hal-hal yang pedas Tuhan izinkan terjadi biar kita semangat!” Leia tertawa kecil “Itu aku sambungin sih,” lanjutnya menatap Oswin sejenak, dan langsung menyomot 1 tusuk sate.
“Kalau nggak suka pedas gimana?”tanya Oswin antara penasaran dan hanya ingin menyambung pembicaraan. “Ehm, ya berarti emang belum terbiasa. Orang itu nggak mungkin tiba-tiba suka pedas, kalau tidak dibiasakan sama orangtua atau keluarganya. Tidak sedikit hal-hal yang kita sukai berawal dari kebiasaan, ya nggak?” Leia langsung menatap Oswin yang mengangguk. “Dari kecil, aku sudah terbiasa dengan sambal, dan makanan yang pedas.” Leia sudah sampai di tusukan sate kedua. “Ehm bisa jadi karena makan dengan sambal itu lebih praktis dan murah. Tinggal tambah tempe, kerupuk, sayuran, sudah.” Leia menggigit potongan daging sate dan mengunyanya perlahan. Oswin memilih kembali menyendok potongan-potongan daging sate yang sudah dipisahkan dari tusukkan dan bercampur dengan bumbu. Siap dinikmati dengan sendok. Berbeda dengan Leia yang langsung menikmati sate langsung dari tusukan, tanpa merasa jaim bumbu satenya bisa menyasar ke pipi.
“Dan satu lagi, dengan lauk yang pedas, porsi nasi bisa lebih banyak, karena menggugah selera makan, dan akan membuat lebih kenyang, jadi nggak kepikiran buat jajan kalau nggak pengen banget. Tapi, ini pendapat pribadi sih,” Leia secara tidak langsung menceritakan kebiasaan keluarganya yang sederhana. Oswin dibuat semakin kagum, entah karena ketertarikan yang membuat semuanya terlihat indah, atau memang Leia adalah pribadi yang memang sangat menarik.
“Oh ya Win, kamu itu sebenarnya asalnya darimana sih?Sepertinya hapal banget sama Surabaya,” tanya Leia yang tidak lama kemudian menyeruput es jeruk yang ada di hadapan. “Ehm, aku lahir di Bogor, dan sampai SMP baru aku pindah sini,” balas Oswin. “Oh, pantes, jadi orangtua kamu di Bogor? Terus kamu ngekost dari SMP?” Leia makin penasaran, pupilnya membesar, wajahnya condong ke depan. Oswin spontan menghela napas panjang, lalu menggeleng. “Orangtuaku disini kok, tapi emang aku pengen ngekost saja,” balas Oswin. Leia mengangguk, ia tidak ingin melanjutkan pertanyaan lebih dalam. Takut menyinggung. Secara mereka baru kenal. Apalagi terlihat dengan jelas, wajah Oswin seketika berubah kaku saat mendengar pertanyaan Leia. Keduanya lantas terdiam beberapa saat. Terdengar bunyi kendaraan yang berlalu lalang juga suara pembeli lain yang saling mengobrol, bersenda gurau, bahkan suara anak kecil yang merengek minta sate yang bumbunya sudah diberi sambal.
“Oh, ya besok kamu aku jemput gimana?Daripada ngojek, lumayan kan uang ojek bisa buat beli makan,” Oswin kembali memulai pembicaraan. “Nggak perlu, nggak usah repot-repot jadi tukang ojek, deket ini,” balas Leia yang merasa lega, suasana kembali cair. "Udah santai aja pokoknya besok aku jemput, ngelewati kost kamu ini." Oswin tidak mau dibantah. Obrolan pun berlanjut soal pengalaman mereka saat OSPEK dan persiapan masuk kuliah. Oswin juga mulai menceritakan hobinya juga memamerkan hasil jepretannya yang tersimpan di ponsel. Sejam setelahnya, mereka baru meninggalkan depot sate pinggir jalan tersebut yang semakin malam semakin ramai pengunjung.
“Kamu mau langsung pulang atau jalan-jalan?” tawar Oswin. “Emang mau jalan-jalan kemana?Sudah malam juga, pulang aja ya, besok kan harus kuliah pagi,” tolak Leia secara halus. “Hm, baiklah lupa kalau aku sedang bersama si anak rajin penerima beasiswa.” Oswin tidak bisa memaksa. “Apaan sih, nggak usah lebay!” sambar Leia. “Iya, iya. Aku anterin sekalian ya, aku bawa 2 helm,” tawar Oswin yang tidak bisa ditolak.
Terlihat geng magibah yang sigap mengintip di balik jendela kamar, sesaat setelah mendengar bunyi motor berhenti tepat di depan gerbang kost. “Itu pacar Leia ya, ganteng juga sepertinya,” ujar Reni. “Wah, bisa jadi Leia memilih kuliah di Surabaya supaya bisa pacaran dengan bebas nih,” Eka berasumsi sendiri. “Kok Leia bisa beruntung banget ya dapet cowok bening gitu,” kali ini Krista yang berkomentar. Eka langsung tertawa kecil. “Kamu sih, kurang pintar kasih umpan, kalau bisa itu pilih yang begitu dong, yang bening.” Eka menunjuk ke arah Oswin dan Leia dengan nada menghina. “Ye, daripada kamu, dimanfaatin , ganteng sih tapi benalu terus. Masih mending aku, nggak pernah bayarin cowok kalau nge-date.” Krista merasa lebih unggul. Eka kalah telak. “Udah-udah, mending tuh aku, jomlo berkualitas, bener-bener milih,” giliran Reni yang sombong. Eka dan Krista kompak menyibir. “Ngomong aja kalau memang nggak ada cowok yang mau sama kamu.” Eka langsung menyeprot dengan fakta yang ada.
“Udah-udah diem, tuh kan, si Leia udah masuk. Ilang juga itu cowok gantengnya. Kalian sih!” Krista langsung melengos dan keluar dari kamar Eka. Reni ikut-ikutan keluar, tinggal Eka yang tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan kedua temannya itu pergi. Gengsi, jika meminta mereka berbalik apalagi meminta maaf.
Oh My God!
Hampir jam 7 pagi, dengan matahari yang mengintip di sisi timur, dan awan berarak bersorak menyambut hangatnya mentari, Oswin sudah berada di depan gerbang kost tempat tinggal Leia. Seirama dengan si awan, Oswin antusias menyambut datangnya Leia yang menghangatkan hati.
Tidak seperti biasanya, Oswin yang biasanya sedikit cuek soal penampilan, entah kenapa kali ini ia terlihat lebih rapih, bukan hanya karena peraturan wajib di kampus, tapi tentu ia ingin menarik simpati si Leia.
Rambut lurus tebalnya diolesi pomade, supaya terkesan klimis. Padahal biasanya, ia hanya pakai sisir, bahkan kalau keburu, ia memilih merapikan rambutnya dengan jemari.
Memiliki berat badan 80 kg dan tinggi 183, Oswin adalah golongan lelaki bertubuh proposional idaman perempuan seusianya atau bahkan yang lebih tua, apalagi jika diimbangi dengan wajah yang tampan. Tidak heran jika semasa SMA, Oswin jadi idola lawan jenis, dan tidak lama lagi ia pasti akan jadi idola para mahasiswi. Sedang di kostnya Leia, jangan tanya. Salah satu geng magibah, si Reni anggota yang paling jomlo sendiri, langsung beraksi.
“Hei, nunggu Leia ya?” tanya Reni dengan tatapan sok ramah, dan hanya disambut anggukan oleh Oswin, dan senyum basa basi.
“Reni,” ucap Reni langsung mengulurkan tangannya. Seketika Oswin mengerutkan alis, dan membalas uluran tangan Reni dengan jawaban “Oke,” tanpa menyebutkan nama.
“Hai, Oswin, sorry nunggu lama ya?” tanya Leia yang tiba-tiba keluar dari gerbang. Oswin langsung menghela napas lega. Ada rasa tidak nyaman saat Reni hadir. Ini bukan perkara Reni yang menyapanya dulu dan mengajak kenalan, itu tidak masalah. Tapi ada 1 yang dinamakan intuisi, ketulusan, Oswin tidak melihatnya di mata Reni.
“Ehm, barusan kok, yuk berangkat,” ajak Oswin yang langsung di sambut anggukan kepala oleh Leia, setelah sebelumnya ia menyapa Reni.
Reni terlihat salah tingkah dan tidak bisa berbuat apa-apa selain sedikit menjauh dari hadapan Oswin. Sekalipun berdebar, Oswin tetap berusaha senormal mungkin menyambut Leia l lalu memberinya sebuah helm. Leia selalu terlihat sangat cute, memakai rok span hitam, kemeja putih yang dipadukan dengan jas wajib seragam kampus,ditambah flat shoes simpel.
Tidak seperti perempuan seusianya yang ribet dengan penampilan yang akhirnya berujung lebay. Leia adalah golongan perempuan ‘yang penting nyaman’ tanpa harus ikutin trend dan terlihat keren. Kali ini rambut pendeknya dikuncir menyisahkan poni dan anak rambut yang menari-nari di sekitar telinga. Tidak ada polesan pensil alis, karena alisnya tergolong tebal, apalagi blush on, juga lipstik, hanya liptint warna natural yang membuat bibirnya terlihat segar.
“Itu tadi teman satu kost kamu?” tanya Oswin di tengah perjalanan. “Iya,” balas Leia singkat. “ Ya sekedar kenal saja,” lanjutnya menegaskan. “Oh, jangan terlalu dekat ya, sepertinya dia orang yang tidak terlalu baik,” spontan Oswin mengatakan itu, tanpa pikir panjang, namun ujungnya ia memaki dirinya sendiri, takut justru Leia yang menganggapnya orang negatif. “Oh ..., kok ngomong gitu? Emang kamu kenal?” Leia bukan tipe orang yang langsung menyimpulkan tanpa lihat bukti. “Nggak sih, baru tahu tadi, pas dia nyapa n ngajak kenalan, aku cuma lihat dia orangnya nggak tulus aja. Ya, kalau nggak percaya ngga apa-apa sih, ini intuisi aja,” Oswin berusaha menjelaskan. Leia hanya ber “oh...” dan percakapan terhenti disitu, sampai akhirnya mereka sampai di kampus.
Beberapa langkah dari parkiran. Langkah Oswin, terhenti saat ponselnya bergetar. “Kamu duluan aja deh gapapa, aku harus terima telepon nih,” ucap Oswin setelah melihat di layar ponsel ada nama Mamanya disana.
Leia langsung mengangguk paham dan meninggalkan Oswin. “Ada apa Ma? kan Oswin sudah bilang, jangan mama yang telepon duluan. Oswin saja yang ntar telepon, tiap malam. Janji.” Raut wajah Oswin berubah seketika. “Oswin ..., ini darurat, mama tidak mau menunggu sampai malam. Papa kamu pulang, dan pengen kamu tinggal di rumah beberapa hari. Jadi kalau bisa ntar malam, jangan pulang ke kost an, langsung ke rumah.” Terdengar sebuah perintah yang sepertinya tidak bisa ditolak oleh Oswin. Ia menghela napas sesaat, “Oke,” balasnya lesu, dan percakapan pun segera Ia akhiri.
Tidak hanya dengan si Mama, Oswin juga tidak terlalu nyaman dengan si Papa yang selalu menuntutnya jadi “the number one” . Seseorang yang sangat ambisius anaknya harus jadi seperti beliau. Oswin lelah dengan nasehat dan aturan yang dibuat oleh Papanya yang sangat tidak cocok dengannya, karena merasa punya aturan dan keinginan sendiri untuk dirinya.
Sekarang, Oswin berusaha mencari Leia yang entah kemana. Sebagai mahasiswa baru, ia belum hafal ruangan-ruangan yang ada di kampus. Sampai akhirnya, Oswin memilih untuk menghubungi Leia, tapi tidak ada jawaban.
Leia yang sibuk berjalan-jalan ke setiap sudut kampus, lupa jika ponselnya belum dinyalakan, sehingga tidak menyadari kalau Oswin sedang mencarinya. Sampai akhirnya langkahnya terhenti di sebuah perpustakaan yang membuat kakinya seolah terhipnotis untuk masuk. Ia perlu menyewa beberapa buku untuk dipelajari, setelah hampir sebulan ia tidak menjalankan ritual favoritnya membaca buku sembari belajar.
Beberapa buku akuntansi ia lihat dan dimbilnya apabila pas dan benar-benar dibutuhkannya. Mulai dari akuntansi dasar, akuntansi mamajemen, akuntansi terapan, bahkan akuntansi syariah. Tidak lupa juga ia melihat buku-buku psikologi dan menarik matanya dan bisnis marketing yang juga ingin di pelajarinya. Sampai tiba-tiba “Brak!” sebuah buku akuntansi manajemen yang tebal, jatuh dari rak dengan kencang, semua mata seketika melihat ke arah Leia dengan tatapan terkejut,dan tidak jarang juga dengan tatapan sinis. Leia segera mengambil buku tersebut dan mengucapkan kata maaf, lalu berjalan ke arah meja petugas perpustakaan untuk melanjutkan admistrasi buku yang dipinjamnya.“4 buku ya,” tanya petugas perpustakaan memastikan. Leia mengangguk. “Boleh pinjam kartu pengenal?” pintanya kemudian, setelah mengetahui jika Leia adalah mahasiswi baru. Leia segera meraih resleting tas punggungnya untuk mencari dompet.
“Tumben bukunya cuma sedikit?” tanya si petugas perpustakaan yang memilih melayani mahasiswa lain sembari menunggu Leia. Kartu identitas sudah ditangan, dan seketika Leia dibuat terkejut oleh lelaki yang ada di sampingnya, jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia spontan terperangah saat melihat ke samping. Lelaki berkemeja sky blue dengan lengan digulung, dan jam tangan cokelat klasik menghiasi lengan putih berbulu halusnya. Seorang lelaki berwajah lembut dengan hidung mancung, rambut lurus dengan potongan yang pas. “Terima kasih,” terdengar suara si petugas dan si lelaki di samping Leia yang hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lalu meraih tumpukkan buku yang disewanya. “Kartu identitasnya, sudah?” tanya petugas yang membuat Leia tersentak, lalu menyerahkannya dengan tangan gemetar.
Namanya Hozy Tarendra, mahasiswa semester 3 jurusan keuangan perbankan yang hobi menyendiri dan perpustakaan adalah tempat ternyamannya untuk memilih buku dan menghabiskan waktu luang di kampus. Banyak mahasiswi yang diam-diam suka kepadanya, tapi takut mendekat antara malu, bingung, dan takut karena si Hozy yang sepertinya memang membatasi diri untuk berinteraksi kecuali dengan orang-orang yang membuatnya nyaman.
“Astaga Leia, ternyata kamu disini, akhirnya ketemu juga nih anak,” Oswin setengah berlari menghampiri Leia yang mematung, tubuhnya gemetar. “Yaa ...? kamu kenapa?” tanya Oswin setelah melihat ada yang aneh. “Kamu laper? Belum sarapan?” tanya Oswin yang melihat Leia linglung dan segera membantu Leia membawa buku-bukunya, mencarikan bangku untuk Leia bisa duduk sejenak, lalu meletakkan buku bawaan Leia di sampingnya.
“Win, kamu percaya sama mimpi yang jadi nyata nggak sih?” tanya Leia yang membuat Oswin seketika mengerutkan alis.
“jadi bukan karena lapar nih anak?” batinnya.
“Ya, tentu! Selama kita kerja keras, pasti mimpi akan jadi nyata suatu saat nanti, seperti kata pepatah, usaha tidak mengkhianati hasil.” Oswin menatap Leia, masih berusaha mencari tahu apa yang terjadi.
“Bukan itu, Win,” balas Leia cepat. “Begini, saat kamu memimpikan seseorang, dan tiba-tiba kamu melihat orang itu nyata, ada di hadapan kamu, sa-ma persis banget se-ra-tus per-sen. Apa itu bisa terjadi, atau hanya halusinasi” Leia berusaha menjelaskan maksudnya, masih dengan tubuh gemetar, sekalipun sudah berangsur menghilang.
“Hm, kamu laper kali, Ya. Jadi ngelanjur, mending makan dulu yuk,” Oswin masih tidak paham dengan maksud Leia. Yang diomongin Leia tidak masuk di logikanya. “Win, aku serius,” Leia spontan menggenggam jemari Oswin, dan menatap dengan tatapan mata berkaca-kaca.
“Orang yang selama ini ada di mimpi aku,” Leia masih menatap Oswin. Seolah menyalurkan getaran dalam tubuhnya, kali ini Oswin yang hati dan tubuhnya seirama bergetar. “Aku baru saja melihatnya,” lanjut Leia.
Jantung Oswin seakan berhenti, ada rasa tidak terima disana, walaupun terdengar sangat tidak masuk akal dan keduanya bungkam beberapa saat. Sampai Oswin menghela napas setelah mampu mengendalikan perasaannya dan mengatakan, “Kita ke kelas aja yuk,” yang dibalas anggukan kepala Leia dengan nyawa masih setengah.
Berhubung masih awal kuliah, beberapa dosen mata kuliah yang masuk ke kelas hampir semuanya tidak langsung memberi materi melainkan memilih kegiatan sesi perkenalan yang diselingi tanya jawab, dan pembagian kelompok, sampai akhirnya semua mata kuliah terlewati.
Leia bersyukur, karena pikirannya saat ini sedang kacau, repot kalau kena materi. Hozy adalah pemicunya. Sekalipun jantungnya sudah berdetak normal, dan tubuhnya tidak lagi gemetar, tapi pikiran tentang Hozy memenuhi kepalanya.
Semua mimpi mimpi yang ia alami seperti sebuah potongan video klip yang tayang secara bergantian tanpa henti. Ajakan Oswin untuk menemaninya berburu foto ia tolak secara halus. Ia hanya ingin segera pulang ke kost-an dan mengistirahatkan pikirannya, supaya mampu menganalisa semua yang terjadi dalam dirinya. Ia tidak tahu harus bercerita kesiapa, karena beberapa orang akan menganggapnya mengada-ngada ataupun hanya kebetulan, dan Leia dipaksa untuk melupakan dan menganggap semua itu bukan hal yang penting.
Tapi, tentu tidak sesederhana itu di mata Leia. Ia percaya tidak ada yang kebetulan di dunia itu, semua selalu ada sebabnya, kalaupun memang mimpi itu adalah bunga tidur, tidak mungkin hampir setiap hari ia memimpikan orang yang sama, dengan jalan cerita yang berbeda-beda, dan lebih cocok disebut cerita bersambung. Leia bahkan sempat berpikir ada kelainan di kepalanya.
Tapi, kalaupun memang hanya halusinasi, mengapa ada orang nyata yang sama persis ada di hadapannya?! Itu yang selalu Leia tanyakan.
Sampai di kost, Leia segera menuju ke tangga, naik setengah berlari supaya segera bisa masuk ke dalam kamar. “Leia, tunggu,” Reni segera menarik lengan Leia yang membuat langkah Leia terhenti. “Aku mau tanya dong, cowok yang jemput kamu itu pacar kamu?” Reni penasaran.
“Bukan,” balas Leia cepat, supaya Reni segera melepaskan lengannya. “Kamu serius?" Mata Reni berbinar setengah melonjak.
"Jadi aku ada kesempatan dong, boleh minta no hpnya nggak? Please,” Reni merengek.
“Maaf Ren, aku sibuk, aku ke kamar dulu ya,” Leia langsung berjalan cepat menuju ke kamarnya, ia bukan tipe orang yang mudah memberikan kontak seseorang tanpa seizin yang punya, itu soal etika, prinsip yang dipegangnya sekalipun sepeleh. Ia harus meminta izin Oswin dan kalau Oswin mengiyakan, baru ia lakukan. Tapi proses itu ribet, sehingga ia memilih menyingkir. Ia tidak peduli dengan omongan Reni yang terdengar tidak terima dan sedikit memaki.
Sekarang ia tahu, mengapa orang-orang yang se kost dengannya itu, kebanyakan bersikap individual. Ia melihat sikap anti sosial yang diperlihatkan, hanya sebuah batasan, bukan benar-benar tidak mau bersosialisasi. Kehadiran beberapa orang yang selalu ingin tahu, dan ingin selalu dimengerti, tapi diri sendiri tidak mau mengerti terkadang memiliki kecenderungan tidak menghargai orang lain yang butuh privasi. Akibatnya, yang tidak nyaman merasa gerah dan perlu menjauh agar mendapat kesegaran atas sikap orang yang hanya menghabiskan waktu hanya untuk mengurusi orang lain, dan lupa dengan perbaikan diri sendiri.
SIAPA KAMU?
Leia segera mengunci pintu, sebelum ada orang yang tidak diinginkan nyelonong masuk dalam kamarnya. Beruntung, ia tinggal di kamar kost dengan kamar mandi dalam, aman, tidak perlu keluar masuk hanya untuk mandi. Ibunya yang terlalu kuatir anaknya telat kuliah, karena antri mandi, maka beliau memutuskan untuk memili memilih kost dengan kamar mandi dalam. Salah satu bukti perlindungannya jarak jauh. Apalagi beliau sangat tahu sekali kebiasaan anaknya yang doyan mandi, dan tidak betah gerah.
Leia langsung meletakkan tas dan beberapa bukunya di meja rias yang sekaligus berfungsi sebagai meja belajar. Tidak lama kemudian, ia memilih meraih handuk di jemuran yang terletak di pinggir balkon kamarnya. Setidaknya ia ingin menyegarkan diri, merenungkan apa yang sudah terjadi, sembari mengingat kembali peristiwa mengejutkan di perpustakaan juga di alam mimpinya selama ini. Ia ingin mencocokkan kembali, benarkah Hozy memang orang yang wajahnya ia lihat di mimpi-mimpinya.
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Oswin sudah ada di rumahnya sendiri, rumah dengan gaya modern tapi tidak meninggalkan unsur tradisional. Banyak ornamen kayu dan batu yang membuat rumahnya terlihat sangat cozy dan terasa sejuk. Rumah yang terletak di kawasan elit Surabaya ini bahkan mendapat julukan “The Singapore of Surabaya”. Tidak sembarang orang bisa membeli rumah di kawasan tersebut karena harganya kisaran miliaran sampai triliunan. Bisa dipastikan Oswin bukan anak pengusaha biasa.
“Akhirnya kamu pulang juga, Win,” ucap seorang pria berusia hampir 50 tahunan. Berbadan tinggi besar, berkulit putih, dan berkacamata. Rambut hitam lurusnya sudah dihiasi sedikit uban. Namanya Pak Andrew Berwyn, Papa kandungnya Oswin.
Oswin menghela napas, “Mama yang meminta ...,” balasnya. Oswin masih berdiri, enggan duduk. Hubungan dengan Papanya memang tidak terlalu baik, karena jarangnya komunikasi diantara keduanya. Pak Andrew yang sibuk, dan cenderng bersikap cuek membuat Oswin salah paham sejak kecil.
“Jadi kalau Mamamu tidak memintamu pulang, kamu tidak akan pulang, begitu?” tanya beliau sembari meletakkan buku yang sedari tadi di pangkuan.
“Mungkin,” balas Oswin. “Sini duduk Win, jangan berdiri disana, seolah kamu najis banget dekat dengan Papa,” Pak Andrew menepuk-nepuk sova berwarna abu-abu terang. Oswin pun menurut, meskipun langkahnya terasa berat.
“Waktu cepat sekali berlalu, tahu-tahu kamu sudah mulai kuliah, dan usia Papa menuju setengah abad." Pak Andrew menghela napas sembari merubah posisi duduk yang membuatnya nyaman.
"Dan ..., Papa menyadari 1 hal, ambisi memang tidak akan pernah habis sebelum ada kata cukup dari sang empunya, jadi Papa rasa sekarang sudah cukup. Papa hanya ingin melihat keluarga kita penuh kehangatan, Win." Oswin masih enggan menatap Pak Andrew yang tersenyum ke arahnya.
"Apa gunanya rumah sebesar ini tanpa kasih sayang di dalamnya, pasti akan terasa seperti bangunan kosong. Dingin." Pak Andrew menghela napas. Oswin masih mendengarkan dan menunggu apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Papanya sembari bertanya-tanya kemana Mamanya pergi. Janggal jika ia tidak disambut oleh Mamanya.
“Maafkan Papa ya Win, kalau Papa ...,” Pak Andrew terdiam beberapa saat, pelupuk matanya seolah penuh dengan air, dadanya sedikit sesak. Ia menghela napas perlahan, berusaha mengendalikan emosi yang mengikutinya. Sunyi untuk beberapa saat.
“Mungkin, kamu selalu mengira kalau Papa itu tidak sayang sama kamu, Papa tidak menganggapmu, Papa selalu acuh tak acuh terhadapmu. Itu salah Win, Papa hanya tidak bisa mengekspresikan rasa sayang. Papa yang salah, selalu memvisualisasikan cinta lewat uang, yang Papa pikir bahasa materi itu mampu mengetuk pintu hati, sayangnya tidak, yang terjadi justru sebaliknya. Harta yang tidak dikelolah dengan baik akan membuat sebuah keluarga menjadi jauh, dingin atau mungkin saling tamak. Papa takut jika itu terjadi. Kamu juga harus tahu, Papa memaksamu belajar bisnis, mengharapkanmu bersedia kuliah di luar negeri, belajar banyak ilmu, harus bisa ini, dan itu. Supaya apa? Supaya jika Papa pergi kamu bisa berdiri sendiri, kamu sanggup meneruskan usaha Papa, bahkan mungkin bisa lebih maju lagi.” Pak Andrew menatap Oswin yang memilih tertunduk.
Ia merasa bersalah karena selama ini, Ia sudah salah paham dengan Papanya sendiri. Tapi, seharusnya Pak Andrew bisa mengkomunikasikan dengan baik sehingga kesalahpahaman itu tidak berlarut, sayangnya semua sudah terjadi, dan masalah komunikasi adalah masalah di hampir semua keluarga, jika tidak saling memahami dan mengenyampingkan ego, persoalan yang datang dipastikan semakin pelik.
“Maafkan Papa, ya Win ...,” Pak Andrew menatap Oswin sembari memegang punggung tangan Oswin. Perlahan Oswin menatap Papanya, alasan gengsi membuatnya menahan habis-habisan air mata yang akan terjatuh.
“Apa kamu mau peluk papa sekarang?” tanya Pak Andrew yang melebarkan kedua lengannya, siap menyambut pelukan anaknya. Oswin tersenyum dan mengangguk, peristiwa haru terjadi beberapa saat, dan tidak lama kemudian Ibu Lita berjalan menghampiri keduanya. “Sudah drama-dramanya?” Ibu Lita menatap keduanya dengan senyum bahagia. Papa dan anak tersebut spontan saling melepaskan pelukan dan tersenyum.
“Win, Papa sama Mama itu sayang sama kamu, dan bukan berarti kami nggak mendukung keinginan kamu. Mungkin di mata Oswin Mama dan Papa egois. Padahal, kami hanya ingin memberi yang terbaik, juga berharap kamu bisa menjadi penerus usaha Papa. Siapa lagi kalau bukan kamu, Win? Ada banyak karyawan disana yang harus dipikirkan juga." Bu Lita menjelaskan tujuannya selama ini."Lagian, kalau Mama sama Papa nggak suka dengan hobi kamu, nggak mendukung cita-cita kamu, sudah Mama sita itu kamera.” Bu Lita melirik ke anaknya dengan senyuman yang dibalas tersipu dengan Oswin
“Sekarang, mau peluk Mama juga kan?” lanjut Ibu Lita yang langsung disambut pelukan hangat Oswin.
*** Ini adalah hari kedua datang ke kampus, setelah kegiatan OSPEK berakhir. Hari kedua juga, Leia bertemu dengan si Hozy. Bukan di perpustakaan, tapi di kantin. Leia lupa sarapan, sehingga memilih mampir di kantin untuk mengisi perutnya yang kosong sejak dari kemarin malam. Belum sempat memilih dan membeli makanan yang tersedia di kantin, Leia dikejutkan dengan sosok Hozy yang ada di salah satu bangku dengan meja bulat, sendirian. Hozy terlihat serius menatap ke layar laptopnya, kesepuluh jarinya terlihat fasih mengetik dengan cepat. Tanpa sadar Leia menghampiri si Hozy, lupa soal perutnya yang tidak terisi, lupa juga kalau beberapa penghuni kantin mulai memperhatikannya dengan tatapan penuh heran.
“Kamu nyata kan?” sebuah pertanyaan bodoh terlontar di mulutnya, setelah ia menyentuh pundak Hozy. Hozy seketika menoleh karena terkejut dan menatap Leia sembari mengerutkan alis. “Siapa ya?” tanyanya kebingungan.
“Eh, maaf-maaf. Aku bukan siapa-siapa, cuma kamu, ehm kamu,” Leia mulai panik, ia merasa sangat malu, wajahnya sudah memerah seperti memakai blash on seluruh wajah. “Ehm, sorry aku sepertinya salah orang!” Leia langsung berbalik dan berlajan cepat, secepat mungkin menjauhi kantin. Rasa laparnya benar-benar dikalahkan oleh rasa malu sekarang, dan ia memilih duduk di salah satu bangku permanen yang tersedia dengan napas terengah.
“Aduh bodoh-bodoh-bodoh!" Leia mengumpat sendiri. "Aku sudah nggak waras, bisa-bisanya ngomong nggak jelas. Aduh malunya.” Leia mengacak-ngacak rambutnya sendiri. “Hei, kenapa kamu?” Oswin menepuk pundak Leia yang spontan berteriak karena terkejut. “Os-win! Kaget!” Leia menghela napas.
“Kaget?!orang aku cuma nyapa biasa. Oh ya sorry ya aku nggak bisa jemput, karena aku ada urusan.” Oswin segera duduk di samping Leia yang mulai merapihkan rambut pendeknya. “gapapa santai, kamu kan bukan sopir aku,” Leia tersenyum melirik ke arah Oswin.
“Oh, ya ... sebagai permintaan maaf aku, aku bawa nasi goreng buatan Mama, enak banget. Aku juga sengaja minta bikinin yang pedes.” Oswin menyodorkan kotak makan berwarna biru mint ke Leia yang langsung disambut meriah oleh si perut yang refleks mengeluarkan parade musik kelaparan.
“Kamu tahu aja kalau aku laper, boleh aku makan sekarang nggak?” tanya Leia dengan senyum polosnya. Oswin mengangguk dengan tawa kecil. “Boleh lah,” " Itu kan memang spesial buat kamu, Ya..."
Tanpa aba-aba Leia segera membuka kotak makan tersebut, berdoa beberapa saat dan melahapnya dengan cepat. Saatnya ia melampiaskan rasa malu dan gilanya kepada makanan yang ada di hadapannya. Ia tidak memperhatikan detail makanan ala bento yang disiapkan oleh Oswin untuk dirinya. “dasar cewek nggak peka,” batin Oswin setengah mengumpat, setelah ia tahu hiasan makanan yang dibuatnya berjam-jam hancur dalam 1 sendokan.
Tapi, entah kenapa Oswin justru semakin tertarik dengan Leia. Senyum terus menghiasi wajahnya sembari memperhatikan si Leia yang tidak sadar, jika lelaki yang di hadapannya itu memperhatikan setiap detail wajahnya.
Leia juga tidak akan pernah menyangka, jika orang yang ada di hadapannya ini sudah terpikat kian dalam. Demi hiasan bento tersebut, Oswin susah payah googling dan menonton youtube, supaya bisa memberikan bekal makanan romantis dengan harapan akan disambut dengan super manis. Sayangnya, seperti kata pepatah, realita selalu tidak seindah harapan.
Kenyataan yang terjadi, tidak ada kata “So sweet,” terlontar dari bibir Leia.
Mulutnya sudah penuh dengan butiran nasi goreng sekarang, tidak ada ritual memotret makanan yang biasa dilakukan oleh perempuan lain. Leia semakin terlihat unik di depan Oswin.
Lamunan Oswin baru buyar, saat Leia tanpa sadar bersendawa, dan Ia segera menyodorkan botol minum.
Hari kedua kuliah, setelah OSPEK bisa dikatakan hari yang lebih sibuk dibandingkan sebelumnya, hampir semua mata kuliah diisi dengan diskusi dan pembagian kelompok, meskipun tidak sesibuk yang dibayangkan oleh Leia, tapi ia merasa lebih antusias dibandingkan hari pertama, meskipun sesekali pikiran membawanya pada ingatan memalukan di kantin dan spontan membuat konsentrasi Leia buyar.
***
“Oh, ya Win, ada sesuatu yang Papa ingin sampaikan sebelum Papa kembali melakukan perjalanan bisnis ke Jepang minggu depan,” ucap Pak Oswin yang langsung membuat Oswin menghentikan kegiatan menatap foto bento nasi goreng tadi pagi.
“Oke Pa, ada apa?” tanyanya. “Begini, ini sedikit serius Win, ikut Papa ke kamar.” Pak Andrew segera beranjak. Oswin yang tidak bisa menebak apa yang ingin diucapkan oleh Papanya itu memilih mengekor. Bu Lita yang sepertinya sudah paham memilih bungkam lalu meraih remote tv mencari acara yang menurutnya menarik.
Sampai di kamar, Pak Andrew langsung menuju ke laci yang terletak di ujung kiri ranjang tempat tidurnya yang sangat besar. Laci berwarna dasar putih dengan sentuhan warna gold itu tingginya sejajar dengan ranjang. Di alas laci tersebut terdapat lampu yang berbentuk unik. Oswin memilih duduk di sova panjang warna putih tulang, sembari melihat ke segala sisi bergantian. Sudah lama ia tidak masuk ke kamar tidur orangtuanya sendiri.
Kira-kira 3 menit, Pak Andrew berjalan menghampiri Oswin dengan membawa kotak kayu dan sebuah album foto kecil. Sampai disini Oswin, masih tidak tahu apa yang akan disampaikan oleh Papanya. Setelah duduk di samping anaknya, Pak Andrew langsung membuka kotak berisi dua gelang dari kulit sapi berwarna cokelat muda. Di tengah gelang tersebut, terdapat batu giok kecil berwarna hijau sebagai pemanis. “Ini adalah sahabat karib Papa, namanya Om Tirta. Papa dan Om Tirta bersahabat sejak masih SMP.” Pak Andrew membuka album foto kecil, dan memperlihatkan fotonya dengan Pak Tirta sewaktu masih muda.
“Ada salah satu usaha yang, juga kami bangun bersama dan sekarang syukurlah, mampu berkembang pesat." Pak Andrew menghela napas."Sampai akhirnya setelah Papa menikah dan perusahaan sedang mengalami kemajuan pesat. Om Tirta menghilang tanpa pesan dan hanya mengatakan ke Papa untuk jaga diri. Papa tidak tahu sampai sekarang Om Tirta dimana. Papa hanya mendengar dari teman lama Papa, kalau salah satu anak Om Tirta kuliah di universitas yang sama denganmu. Cari dia Win, nanti Papa kirim fotonya, bisa jadi wajahnya mirip dengan Om Tirta. Papa merasa perlu mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hak Om Tirta, supaya Papa tenang." Oswin mengangguk, meskipun ia merasa Papanya tidak menceritakan semuanya. Seperti ada yang di sembunyikan, dan ia pun penasaran siapa anak dari sahabat Papanya. Mungkin kah Leia? pikirnya. "Ngawur, Win!"
TIDAK ADA YANG KEBETULAN
Angin malam berembus kencang, tapi tidak mengurangi udara panas kota Surabaya. Jalanan besar tengah kota terlihat ramai oleh lalu lalang kendaraan, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan online, baik roda dua maupun roda empat. Sesekali masih terlihat becak yang lewat dengan penumpang maupun becak kosong tanpa penumpang dengan si pengemudi yang tidak lelah menawari setiap pelaku jalan kaki, atau yang sedang mematung berdiri. Suroboyo Bus juga lewat barang satu dua. Bus unik dan canggih yang pembayarannya tidak menggunakan uang tapi menggunakan botol bekas plastik air mineral.
Di tengah keramaian itu, Oswin memilih untuk duduk di salah satu bangku besi yang tersedia di trotoar jalan. Bangku-bangku yang tersedia di depan salah satu mall terbesar di Surabaya. Ia enggan kembali ke kost an setelah mengantarkan Bu Lita berbelanja yang sudah pulang dengan sopir pribadinya.
Bu Lita yang Oswin kira akan memberinya jawaban, justru menegaskan tidak tahu banyak hal. Beliau hanya mengatakan belum lama kenal dengan Pak Tirta sebelum Pak Tirta menghilang. Itupun karena dikenalkan oleh Pak Andrew, dan soal urusan bisnis suaminya, Bu Lita tidak mau ikut campur.
Tidak ada cara lain, meskipun masih penuh tanya. Oswin harus menemukan anak Pak Tirta dan mengantarkannya ke hadapan Pak Andrew , supaya Papanya itu mau menceritakan semuanya, sesuai janji. Oswin hanya tidak habis pikir, mengapa urusan yang harusnya sangat sederhana menjadi rumit, mengapa harus melibatkan dirinya, padahal jika memang benar Pak Andrew sudah mengetahui keberadaan keluarga Pak Tirta, seharusnya lebih mudah jika Pak Andrew langsung meminta temannya untuk mengatur pertemuan, sekali jalan, selesai.
Hampir satu jam berlalu, Oswin masih enggan berdiri, sesekali ia melihat ke jalanan setelah memandangi foto yang dikirim oleh Pak Andrew, foto seorang lelaki seusianya, tampan. Dugaannya terbukti salah, jika orang yang dicari Papanya adalah Leia. Pikiran Oswin memang sudah teracuni oleh Leia.
Di tempat berbeda, Leia sedang memandangi atap-atap langit kamarnya, dengan posisi tidur telentang dan sebuah buku akuntansi di dada yang di pinjamnya di perpustakaan kampus.
“Siapa sebenarnya cowok itu Tuhan? Kata orang, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Jadi, apakah benar pertemuanku dengan cowok itu juga bukan kebetulan?" Leia menghela napas dan memejamkan mata, seolah sedang berpikir.
“Apa mungkin, kita pernah bertemu? Dan alam bawah sadarku masih merekam wujudnya? Itu lebih masuk akal sih. Tapi, aku yakin tidak pernah bertemu dengannya.” Leia membuka matanya perlahan, sembari menghela napas panjang. “Oh ... God!” Leia langsung membangunkan diri dengan posisi duduk. “Aku bisa gila kalau terus kepikiran hal nggak penting ini, aku harus fokus! Please fokus otak, please!” Leia memegang kepalanya dengan kesepuluh jarinya. Ia menghela napas beberapa saat dalam kesunyian sampai ponselnya berbunyi dan membuatnya setengah tersentak.
“Ya Win, ada apa?” tanpa basa-basi Leia langsung mengajukan pertanyaan. “Lagi ngapain? bisa ketemu nggak?” balas Oswin, yang spontan membuat Leia menengok ke arah jam dinding. “Hm ..., sudah malam nih Win, penting banget ya? Nggak bisa besok gitu?” Leia mencoba memberi usulan. Terdengar Oswin menghela napas. “Ya, oke besok deh, sekalian aku jemput ya,” Oswin tidak bisa memaksa, ia harus sabar menunggu esok hari. Percakapan mereka pun berakhir karena Leia mengatakan sudah mengantuk. Merasa bosan, Oswin akhirnhya memilih untuk beranjak, menuju ke parkiran motor dan pulang ke kost an. Ya ... Oswin tetap tidak ingin tinggal di rumah mewahnya.
***
“Kenapa sih, Papa nggak menjelaskan saja ke Oswin semuanya?” tanya Bu Lita sembari membersihkan sisa make-up di wajah. Ritual rutinnya sebelum tidur. “Ya, biar Oswin belajar Ma, Papa yakin ia akan menemukan apa yang dicarinya.” Pak Andrew mengarahkan pandangannya ke arah istrinya yang sedang menuangkan toner ke tisu. “Papa ingin membuatnya mencintai perusahaan yang sudah Papa bangun, dan supaya anak kita satu-satunya itu sadar, kalau ini semua bukan semata-mata keegoisan orangtuanya.” Pak Andrew melanjutkan ucapannya dan dibalas oleh senyuman istrinya. “Hm ..., ya sudah kalau begitu, terserah Papa, apa yang Papa lakukan selama positif, Mama pasti dukung.” Senyum Bu Lita terlihat tulus. Ia sudah berbalik dari meja rias. “Terima kasih Ma,” ucap Pak Andrew yang menatap istrinya dengan mesra. “Sama-sama Pa, Mama cuci muka dulu, dan gosok gigi, biar nggak bau,” ujar Bu Lita mengerlingkan mata yang disambut tawa kecil suaminya.
***
Oswin sudah berada di depan kost-an Leia. Kali ini bukan Reni yang menghampirinya, tapi Eka, salah satu anggota dari geng magibah yang mempunyai kebiasaan meminjam uang tapi lupa bayar demi gaya hidup. Kepiawaiannya tersebut kadang membuatnya mampu menebak siapa yang berpotensi menjadi korban selanjutnya, salah satunya tentu Oswin yang sudah ada di depan mata.
“Hai ..., pacar Leia ya?” sapa Eka dengan senyum mengembang, berusaha akrab tapi terlihat sangat memaksakan. Oswin mengerutkan alis.
“Kebetulan banget kalau kamu pacarnya Leia. Tahu nggak sih, kemarin Leia itu pinjem uang aku, dua ratus ribu, uang buat beli buku, dan sekarang ini aku lagi butuh, bisa bayarin dulu nggak?” Eka tidak memberi kesempatan Oswin untuk menjawab pertanyaannya. Skenario busuknya sudah terangkai di otak, sehingga ia terlihat sangat piawai dalam merangkai kebohongan.
Ada rasa tidak percaya dalam benak Oswin, tapi masuk akal kalau Leia kekurangan uang. Jadi, tanpa mengeluarkan suara, Oswin langsung merogoh dompet di saku celana.
“Hai, Win, sorry lama, ada telepon dari Ibu,” Leia muncul dibalik pagar. Eka spontan salah tingkah, ia memilih pergi diikuti dengan tatapan Oswin dan Leia yang kebingungan.
“Ada apa?” Leia merasa ada yang tidak beres. “Ehm, kamu ada masalah dengan keuangan ya?” tanya Oswin hati-hati takut menyinggung. Ia segera mengembalikan dompet ke kantong.
“Maksudnya?!” Leia semakin tidak mengerti. “Ehm, tadi temen kamu bilang, kalau kamu punya utang.” Suara Oswin terdengar lirih, tapi Leia dapat mendengarnya dengan jelas.
“Utang? Nggak, aku nggak punya utang.” Leia menggeleng. “Justru dia yang ngutang uang aku, dan aku ikhlasin.” Spontan Leia mengungkapkan hal yang sebenarnya.
“Oh ... jangan-jangan dia mau ngutang sama kamu, ya? Kamu belum kasih kan? Please jangan kasih ya, karena dia nggak akan ngembaliin uang itu.” Leia terlihat panik, Oswin langsung tertawa. “Tenang aja, belum sempat ku kasih uang kok.”
Leia menghela napas, “Syukurlah,”
“Udah yuk berangkat. Oh, ya .. by the way, temen kost kamu aneh-aneh ya.” Oswin memberikan helm ke Leia. “Yang penting aku nggak aneh kan?” balas Leia dengan senyum yang membuat dada Oswin berdesir.
***
Hozy sengaja datang lebih pagi, padahal ia baru mulai kelas di siang hari. Seperti biasa, ia memilih mengisi waktunya di perpustakaan, sambil kembali mengatur strategi untuk membongkar kejahatan yang selama ini dilakukan oleh salah satu rektor di kampusnya. Ia tidak memiliki maksud jahat, ia hanya ingin mencari tahu tentang kebenaran, dan ya membongkar kejahatan seseorang. Seseorang yang membuat Papanya sempat dirawat intensif karena stroke.
Hozy memang tidak tahu secara detail, tapi ia dapat memastikan kalau Papanya mendapat ancaman. Ada banyak bukti yang ia simpan. Ia ingat sekali, bagaimana sejak kecil hidupnya selalu berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lainnya, dan memulai semuanya dari awal. Sampai akhirnya, Papanya kembali memilih Surabaya sebagai kota tujuan akhir karena beliau ingin menghabiskan waktunya di tanah kelahirannya, juga ingin bertemu dengan sahabatnya kembali, menceritakan semuanya.
Tapi, beberapa bulan semenjak pindah ke Surabaya, sebuah telepon membuat Papanya langsung jatuh tersungkur, dan dilarikan ke rumah sakit. Dari hasil CT scan, ada kerusakan di beberapa sel-sel otak, sehingga menyebabkan Papanya sulit berbicara dan menggerakkan setengah tubuhnya.
Sudah 2 tahun, Papanya mendapat perawatan juga terapi, dan sekarang keadaannya jauh lebih baik, meskipun masih sulit berbicara dan jalan kaki dengan alat bantu.
Tapi, di tengah keadaan Pak Tirta yang kurang baik secara fisik, Hozy tetap bisa hidup layak dari aset-aset yang dimiliki oleh orangtuanya, kehidupannya masih dalam jajaran keluarga sangat berada.
Sebagai anak yang paling besar setelah kakaknya meninggal saat usianya masih 5 tahun, Hozy merasa punya tanggung jawab untuk menjaga keluarganya, serta mencari tahu penyebab utama Papanya terkena stroke. Apalagi setelah ia menemukan beberapa chat ancaman kepada Papanya. Urusan keluarga inilah yang membuatnya nyaris tidak memikirkan kekasih, meskipun banyak gadis yang berusaha mendekati, ia tetap terkesan dingin dan antipati.
Usaha Hozy memang tidak sia-sia. Terbukti, satu tahun yang lalu ia sudah mampu membobol semua data pengajar dan staff di kampusnya, tapi mencari bukti-bukti kejahatan si rektor dan orang-orang yang terlibat di dalamnya bukanlah perkara mudah. Ia harus hati-hati, penuh strategi, atau ceroboh sedikit, ia bisa mati.
Di perpustakaan ini, tempat ternyamannya untuk berkonsentrasi mencari bukti, sesekali ia teringat dengan tatapan Leia yang terlihat natural, tidak dibuat-buat meskipun aneh dan konyol. Berulang kali ia mengusirnya, berulang kali juga bayangan tatapan Leia terus menghantui. Hanya Leia satu-satunya gadis yang membuat konsentrasinya terpecah. Hozy merasakan koneksi yang tidak biasa dengan Leia, meskipun ia terus berusaha menyangkalnya.
***
“Kamu mau ke perpustakaan lagi?” tanya Oswin ke Leia, setelah mereka berjalan beberapa meter dari parkiran. “Iya, mau ngembaliin buku, sama pinjem buku lagi.” Leia tidak membalas pandangan Oswin. “Siapa tahu ketemu Hozy. Ah nggak! please Leia, malu!!” batin Leia bergejolak sendiri.
“Ehm, padahal aku pengen minta anterin kamu ke ruang registrasi kemahasiswaan,” Oswin setengah menghela napas. “Buat apaan?” kali ini Leia menatap Oswin. “Buat cari orang,” balas Oswin spontan. “Cari orang, maksudnya?” Leia penasaran, ia memicingkan mata. “Ehm, kita ke kantin dulu yuk, harus dengan perut keisi ngejelasinnya,” Oswin merasa kantin adalah tempat yang tepat untuk bercerita.
“Tapi aku harus ke perpus,” Leia tetap pada tujuan pertama. “Iya, ke perpus dulu, tapi balikin buku aja ya, pinjemnya bisa nanti pas pulang, gimana? Kan bisa kapan-kapan,” usul Oswin yang langsung di iyakan oleh Leia.
Sampai di perpustakaan, antara bersyukur dan senang, Leia kembali melihat Hozy yang serius menatap layar laptopnya. Tampan, dalam balutan kemeja putih di sudut ruangan yang jauh. Leia bersyukur Hozy tidak sedang melihatnya, bahkan tidak menyadari kehadirannya, meskipun begitu tubuhnya tetap saja gemetar, dadanya tetap saja berdesir sehingga ia buru-buru meninggalkan perpustakaan, supaya tidak ada kekonyolan untuk yang kedua kali.
Langkah Leia mendadak terasa berat, ketika sudah sampai di dekat kantin, ia langsung teringat tingkah konyol yang ia lakukan ke Hozy. Berulang kali membuat dirinya sendiri rileks, tetap saja membuatnya merasa aneh, seolah semua mata penghuni kantin menatap ke arahnya, walaupun itu hanya prasangkanya saja. Sampai akhirnya, ia tidak tahan dan mengajak Oswin memilih kantin yang lain. Beruntung, ada beberapa kantin di kampus yang tersebar di beberapa sudut kampusnya yang luas. Dan ..., beruntungnya lagi Oswin menuruti ajakan Leia, tanpa banyak tanya.
Setelah memesan gado-gado dan memilih tempat duduk yang nyaman di salah satu sudut kantin, Oswin pun mulai menceritakan sedikit tentang keluarganya dan keinginan Papanya. Tidak lengkap, hanya garis besar. Oswin memang tidak suka bertele-teleh. “Aku boleh lihat fotonya nggak? Kali aku pernah melihat gitu,” ucap Leia bersamaan dengan datangnya jus buah naga pesanannya dan es kopi pesanan Oswin. Oswin langsung menyentuh layar ponselnya dan mencari ke galeri foto seseorang yang dikirim oleh Papanya. “Ini ...,” Oswin menyodorkan ponselnya. Leia meraih ponsel Oswin, dan seketika matanya terbelalak ketika menatap layar ponsel Oswin. Anggota tubuhnya pun kompak gemetar.
“Dia ...,” ujar Leia dengan jantung seakan berhenti berdetak.
MENEMUKANMU
Suasana kantin semakin ramai dengan beberapa mahasiswa maupun mahasiswi yang menjadikan sarapan di kantin kampus sebagai ritual wajib. Terlihat piring dan mangkok yang berisi makanan berat semacam bakso, mie dan nasi di masing-masing meja yang penuh dengan wajah-wajah kelaparan yang siap menyantap habis-habisan.
Sedang di sisi yang lain, beberapa penghuni kampus terlihat sedang sibuk mengobrol santai ditemani camilan, dan minuman dalam berbagai wujud.
Di suasana yang seramai dan sebising itu, Leia masih terpaku menatap foto yang ada di layar ponsel Oswin. “Kamu kenal?” tanya Oswin sembari memperhatikan Leia yang bibirnya masih melongo dengan kedua bola mata terbelalak.
“Leia?!kamu kenal?” beberapa menit kemudian Oswin kembali mengulang pertanyaan. “Ehm ...,” Leia terlihat kebingungan. Tangannya yang masih gemetar, langsung meletakkan ponsel Oswin di meja. “Ehm, aku pernah lihat sih, ehm, di perpus, ya di perpus. Semoga aku nggak salah orang.” Leia terlihat aneh dalam tatapan Oswin, seperti ada yang disembunyikan, ada ketakutan. Padahal, yang Leia rasakan adalah sensasi detak jantung tak beraturan dari hasil stimulasi adrenalin dan norepinephrin yang membuat tubuhnya bereaksi gugup dan muncul keringat.
“Kok, kamu jadi ketakutan gitu?” tanya Oswin penasaran. Leia semakin salah tingkah. “Eh, mungkin karena lapar, aku gemetar,” Leia mengeluarkan senyum kewajaran setelah menjawab asal sembari menyeruput si jus buah naga yang lumayan membuat gugupnya teralihkan. “Oh ...” Oswin langsung tersenyum lega. Ia merasa pikirannya terlalu berlebihan.
***
Di tempat yang berbeda, terlihat Eka yang sedang menepuk-nepuk kepalanya dengan bantal, teringat kebodohannya kurang strategi sehingga uang yang harusnya sudah ada di tangan tidak akan mungkin ia terima. “Kenapa sih kamu? Seperti orang gila aja, putus?” tanya Reni yang sibuk menatap layar ponselnya, melihat berita terbaru di salah satu akun gosip media sosial.
“Nyesel, salah perhitungan, harusnya aku udah dapet uang dari si pacarnya Leia itu,” Eka terlihat kesal, ia membanting bantalnya. “Kata Leia itu bukan pacarnya kali, aku udah tanya ke Leia.”
Reni teringat jawaban singkat Leia, waktu ia memastikan. “Oh ya?! Tapi, aku yakin lah si cowok itu menaruh hati, bentar lagi juga jadian. Ya whatever lah ya, pokoknya aku hampir saja dapet uang tapi gagal.” Kali ini Eka meremas boneka yang ada di hadpannya.
“Lah, kok bisa gagal? Bukannya kamu selalu berhasil ya? Atau tuh cowok aja yang sebenarnya nggak berduit?” Reni menoleh sesaat ke arah Eka, lalu kembali sibuk dengan ponselnya. “Ya, nggak mungkin lah dia nggak berduit, liat aja motornya, masa kamu nggak paham? itu motor mahal, nggak semua anak cowok kuliahan bisa pakai tuh motor, kalau bukan anak orang berada.Ya kecuali orang yang sok-sok an kaya, pinjem punya temennya. Tapi, feeling aku jarang salah, tuh cowok pasti anak orang kaya. Tadi aja udah mau diambilin uang dari dompet brandednya, eh si Leia muncul, gagal deh!” Eka menghela napas panjang. Reni langsung mengalihkan pandangan ke arah Eka. “Jadi tuh cowok kaya?" Kali ini Reni antusias, gosip yang ada di media sosial seolah kalah seru. Eka menatap aneh.
"Ganteng, kaya, mangsa bagus nih buat dijadiin pacar.” Reni melirik dengan senyum percaya diri.
“Halah...! jangan bilang kalau kamu mau sambet tuh cowok?! ga kapok apa ditolak banyak cowok?! Realistis lah Ren! Lagian cowok nggak suka sama cewek yang agresif macam kamu!” Eka melontarkan pendapatnya secara jujur. Reni spontan tersinggung. “Emang apa hak kamu ngelarang-ngelarang aku? Cowok-cowok yang nolak itu aja yang rugi nggak dapet aku. Aku udah punya strategi baru. Liat aja, kali ini aku pasti berhasil, aku akan mencari tahu semua hal tentang si temannya Leia itu, dan tunggu aja, aku pasti bisa jadian sama si cowok tajir yang ganteng itu. By the way makasih yah udah di infoin kalau tuh cowok tajir, padahal aku udah mau keluarin tuh cowok dari kandidat pacar.” Reni segera beranjak dan memilih keluar dari kamar Eka. Meninggalkan si Eka yang melongo melihat tingkah temannya itu. “Dasar cewek sakit, cantik sih, tapi lebay, aneh, mana cowok mau?!”
Dua anggota geng magibah ini memang terkenal bolos kuliah, dan lebih memilih malas-malasan di kamar. Lain cerita dengan si Krista yang hampir tidak pernah bolos, walaupun alasannya supaya bisa ketemu pacar, paling nggak dia selalu mengikuti kelas.
***
Kegiatan perkuliahan yang mulai padat akhirnya bisa terlewati dengan baik. Leia dapat berkonsentrasi penuh tanpa terpecah oleh pikiran tentang si lelaki dalam mimpi. Tapi, sebenarnya ia sengaja menutup semua akses pikiran menganggu yang muncul, dan memilih untuk fokus. Syukurlah berhasil, meskipun sesekali muncul dugaan kalau Oswin dan orang yang dicarinya itu bersaudara. Dari cerita Oswin yang tidak lengkap, ada sedikit keanehan kenapa bukan Papanya Oswin sendiri yang mencari tahu soal anak sahabatnya, dan Leia menduga pasti ada maksud lain mengapa Oswin yang diminta oleh Papanya.
Sepulang kuliah, Oswin berencana meminta Leia menemaninya ke mall, membeli buku komik favoritnya di toko buku, sekaligus membeli kebutuhannya sehari-hari. Salah satu siasat Oswin, supaya ia bisa lebih lama bersama Leia, padahal biasanya ia paling malas pergi ke mall kalau tidak diminta menemani mamanya atau ada acara workshop tentang dunia fotografi di dalam mall.
“Ehm, Win, aku jadi ikut penasaran, kenapa sih bukan papa kamu sendiri yang mencari tahu soal anak temennya itu, kenapa harus kamu?” Daripada penasaran, Leia memilih bertanya. “Ya, itu juga yang aku pikirkan, apalagi Papa tahu infonya dari temen Papa, harusnya tinggal minta ditemuin, beres, kan?!” Oswin mengangkat kedua bahunya. “Ehm ..., berarti ada sesuatu yang Papa kamu ingin kamu tahu sendiri.” Leia merasa dugaannya mendekati kebenaran. “Nah ... itu, aku juga ingin tahu. Oh ya kamu kan bilang kalau kamu pernah lihat itu cowok di perpus. Coba kita ke perpus sebentar yuk, siapa tahu ketemu.” Oswin lupa dengan rencananya di awal. Rasa penasaran akibat permintaan Papanya membuatnya merasa urusan mencari seseorang lebih penting. Jantung Leia berdebar, ada sedikit rasa sesak. Ia tidak yakin apa ia bisa mengendalikan tubuhnya jika kembali bertemu dengan lelaki yang ada di mimpinya itu, lelaki yang sampai sekarang ia tidak tahu siapa namanya. Leia memilih menurut saja, mengikuti langka Oswin sembari terus membiarkan jemarinya dipegang erat oleh Oswin.
Sampai di perpustakaan, benar saja, waktu sepertinya sedang berpihak kepada Oswin. Hozy terlihat sedang duduk di bangku favoritnya. Kali ini mata Oswin yang lebih cepat menangkap sosoknya. “Itu cowok yang kamu pernah lihat, kan?” tanya Oswin. Leia mengangguk. Tangannya tanpa sadar meremas jemari Oswin, lalu ia melepaskan dengan cepat. “Aku kebelet pipis,” Leia langsung membalikkan badannya dan berjalan cepat ke arah toilet sembari menghela napas panjang.
“Ehm, sorry ganggu, boleh tanya sebentar?” Oswin menghampiri lelaki berkemeja putih yang terlihat serius menatap layar laptopnya. “Ya, ada apa?” tanya Hozy dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Ehm, sorry aku cuma mau tanya, kamu anak Pak Tirta?” Oswin terlihat sangat berhati-hati mengeluarkan suara, tapi daripada bertele-tele ia ingin jelas tanpa membuang waktu. Hozy spontan mengerutkan alis. Merasa harus waspada, bisa jadi Oswin adalah musuh.
“Apa saya perlu menjawab?” Hozy membalikkan pertanyaan dengan tatapan tidak bersahabat. Oswin merasa pertanyaannya memang tidak sopan. Ia lalu menghela napas panjang. “Maaf, aku Oswin, aku anak dari Pak Andrew, sahabatnya Pak Tirta, kalau benar beliau Papa kamu.” Oswin memperbaiki ucapannya berserta memperkenalkan diri. Ia yakin lelaki yang ada di hadapannya adalah lelaki yang sama yang ada di foto ponselnya, hanya saja ia butuh kepastian dari mulut yang bersangkutan. Hozy langsung teringat cerita Papanya beberapa waktu lalu, soal Om Andrew orang yang sangat ingin ditemuinya saat kembali ke Surabaya. “Kalau aku memang benar anak Pak Tirta, ada urusan apa?” Hozy justru memberikan pertanyaan untuk memastikan bahwa Oswin bukan mata-mata dari orang yang selama ini menjadi musuhnya. “Bisa kita bicara di luar?” ajak Oswin yang langsung disetujui oleh Hozy. Leia yang berusaha untuk menjauh sekembalinya dari toilet, justru dipanggil oleh Oswin untuk menemani, dan ia tidak bisa berkutik selain tertunduk dengan wajah merah padam karena malu. Hozy terlihat memperhatikan Leia sesaat, lalu bergaya sok cool, supaya tidak terlihat gugup. Tanpa sadar sebenarnya keanehan sikap Leia sudah mencuri perhatiannya dan membuatnya sedikit salah tingkah.
Mereka bertiga akhirnya duduk di salah satu bangku kosong yang tersedia di sekitar taman kampus, tidak jauh dari perpustakaan. Langit terlihat jingga, duduk di taman dengan atap langit bukanlah pilihan yang buruk, karena panas matahari sudah berganti hangat, dan sesekali terasa sejuk saat angin menghampiri. “Oh ya kenalkan dulu, ini Leia, teman aku, kita sama-sama maba disini.” Oswin berusaha mencairkan suasana yang terlihat kaku. Leia pura-pura tidak terjadi apa-apa dan mengulurkan tangannya yang setengah gemetar. “Leia,” “Hozy” keduanya menyebutkan nama masing-masing Hozy tetap terlihat kaku, dan segera melepaskan jabatan jemari Leia yang dingin. Saat itulah Leia tahu, lelaki yang sempat membuatnya merasa tidak waras itu bernama Hozy.
“Oke, balik ke topik sebenarnya ada apa ini?” Hozy tidak mau waktunya terbuang. “Aku nggak bisa cerita panjang, karena aku juga nggak tahu banyak. Yang jelas, Papa cuma ingin ketemu anaknya Om Tirta dan mengembalikan apa yang menjadi hak dari Om Tirta. Sebentar,” Oswin merogoh ponselnya dan menunjukkan foto Papanya dan sahabatnya Om Tirta untuk meyakinkan Hozy. Saat itulah Hozy merasa yakin, Oswin bukan musuh.
“Oke, aku memang anaknya Pak Tirta, kapan aku bisa ketemu sama Papa kamu?” tanya Hozy. Oswin langsung tersenyum lega. “Tentu secepatnya, malam ini juga kalau Papa masih ada di rumah, kita bisa bertemu. Boleh minta kontaknya?” Oswin langsung menyodorkan ponselnya dan Hozy segera menyambut ponsel itu lalu menekan beberapa nomor yang terlihat di layar. Leia masih terlihat seperti penonton yang penuh kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa, sesekali ia hanya bisa mencuri pandang ke arah Hozy. Debaran jantungnya sudah bisa ia kendalikan, apalagi setelah melihat sikap Hozy yang cuek dan dingin. Leia langsung menyimpulkan Hozy bukanlah orang yang ada di mimpinya. Wajah boleh sama, tapi sikap, sepertinya jauh berbeda karena sosok yang ia temui di mimpinya adalah sosok yang hangat.
"Mungkinkah Hozy punya kembaran?" Batin Leia berandai-andai. "Pikiran ngaco, pikiran ngaco" Batin Leia berseloroh sendiri.
TEKA-TEKI
TEKA-TEKI
Oswin menghela napas kecewa ketika mendengar suara dari seberang telepon “Papa sudah pergi ke Singapore, Win. Kemungkinan seminggu disana bahkan bisa lebih. Mama tidak bisa memastikan,” suara Bu Lita terdengar begitu jelas dan membuat antusias Oswin merosot.
“Eh, tapi Papa nitip sesuatu buat kamu, Mama hampir saja lupa. Kata Papa ada di meja kerja, kalau kamu kesini suruh ambil sendiri. Kapan kamu bisa kesini, Win?” pertanyaan Bu Lita langsung membuat Oswin beranjak dari ranjangnya, dan semangatnya seolah kembali terisi. “Oswin kesana sekarang, Ma,” balasnya cepat, lalu mengakhiri sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Bu Lita, yang membuat beliau di seberang telepon mengelus dada.
Di tempat berbeda, sepulang dari mini market, Leia dikejutkan dengan kehadiran Reni yang sudah berdiri di depan pintu sembari bersedekap.
“Aku nggak mau basa-basi, boleh minta kontaknya temen cowok kamu yang biasanya jemput kamu nggak?!” terdengar nada paksaan dari mulut Reni yang membuat Leia spontan menyambar. “Nggak boleh, maaf bisa minggir?!” Leia merasa harus bersikap tegas supaya geng magibah tidak seenaknya sendiri dalam bersikap, toh itu juga yang dilakukan oleh penghuni kost yang lain supaya mereka tidak terganggu. Ada orang-orang yang harus pasang taring, supaya orang menyebalkan di sekitarnya tidak semena-mena. Itulah yang terjadi di lingkungan kost Leia. Berusaha untuk tidak sosialisasi hanya demi mengindari tingkah annoying geng magibah.
“Oh, jadi kamu takut kalau nanti tuh cowok lebih milih aku daripada kamu?” Reni dengan pedenya berspikulasi sendiri. Leia hanya menggeleng.
“Terserah, maaf, aku ingin masuk Ren ...,” Leia mencoba menahan emosinya. Ia selalu teringat nasehat orangtuanya untuk tidak mudah tersulut emosi dan memilih mengalah.
“Kamu boleh masuk, kalau kamu kasih kontak si cowok ganteng itu.” Reni makin mendekatkan tubuhnya di badan pintu. Leia spontan menghela napas panjang.
Leia tidak mampu lagi menahan emosinya. "Begini ...” Leia mengatur napasnya. “Jangan memaksakan sesuatu kepada seseorang, karena tidak semua orang sanggup memenuhi keinginan kamu, belajar lah menghargai orang, udah gede kan?” Leia mendorong tubuh Reni kesamping.“Sorry,” ucapnya kemudian sembari merogoh kunci dalam saku celana lalu membuka pintu kamar kosnya dan menutupnya dari dalam, meninggalkan Reni yang melongo dan merasa tertampar mendengar ucapan Leia.
***
Sepulang dari rumah orangtuanya, Oswin segera menghubungi Hozy untuk bertemu, tidak bisa ditunda lagi, harus malam ini. Ia bahkan melewatkan makan malam demi membayar rasa penasaran. Surat dari Papanya, juga asal-usul, seluk-beluk dari perusahaan yang dibangun beluau beserta Pak Tirta, membuatnya merasa semakin bersalah, dan persoalan ini harus segera menemukan pangkalnya.
Setelah menghubungi Hozy, Oswin meminta Hozy menemuinya di salah satu restoran mewah yang menyediakan ruang makan pribadi, supaya mereka bisa mengobrol dengan bebas, tanpa ada yang berisik ataupun menguping.
Restoran tersebut terletak di tengah kota Surabaya dengan menu makanan khas jepang, Oswin sudak duduk di salah satu kursi yang ia pesan sembari menunggu kedatangan Hozy. Ia langsung melihat ke arah menu dan memilih memesan air mineral karena kerongkongannya sudah terasa kering, lupa kapan terakhir kali ia minum. Tidak lupa ia memesan berapa menu andalan di restoran tersebut.
Makanan sudah tersedia di meja, barisan sushi yang seakan memanggil ingin dicoba, salad yang segar menggugah selera serta chiken teriyaki yang mampu menggoyang lidah sudah terhidang cantik diatas meja. Hampir satu jam, Hozy tak kunjung datang, perut Oswin sudah keroncongan dan makan akhirnya menjadi pilihan untuk mengisi kekosongan.
30 menit kemudian, Hozy akhirnya menampakkan batang hidungnya. Ia menyampaikan permintaan maafnya karena harus ke apotek dulu untuk menebus obat Pak Tirta dengan antrian yang panjang, dan perjalanannya juga masih di barengi dengan macet.
Oswin dapat memahaminya dan memilih Hozy segera memesan makanan. Obrolan pertama diisi dengan basa-basi sampai akhirnya. Oswin membuka tasnya dan,
“Itu titipan dari Papa, buat Papa kamu,” ujar Oswin sembari menyodorkan amplop putih berbentuk persegi panjang. Hozy meraih perlahan amplop itu dengan tatapan tanda tanya. Ia mencoba memastikan bahwa isi dari amplop itu bukan sebuah ancaman yang selama ini di terima Papanya.
“Maaf, kalau aku boleh tahu, apa Papa kamu pernah cerita tentang persahabatannya dengan Papa aku?” Oswin menatap Hozy yang masih terpaku dengan amplop yang diterimanya. Ia memutar-mutar amplop dengan jemari tangan kanannya. “Hoz?” Oswin berusaha memecahkan lamunan Hozy yang langsung tergugah dan seolah kembali berkonsentrasi. Hozy langsung menggeleng. “Aku hanya tahu soal ancaman, selebihnya aku tidak tahu,” Hozy menggeleng jujur. “Ancaman?” Oswin mengerutkan alis. Hozy mengangguk. “Ya ... Aku bisa memastikan kalau pesan-pesan itu adalah sebuah ancaman, untuk Papa.” tegasnya.
“Oh, aku paham sekarang, bisa jadi Papa kamu pergi meninggalkan perusahaan yang dibangun bersama itu, karena sebuah ancaman?” kedua bola mata Oswin beradu dengan kedua bola mata Hozy.
“Iya, dan aku belum bisa memastikan siapa yang mengancam, bisa jadi dari pihak keluarga kamu, atau kompetitor perusahaan.” Hozy menatap Oswin yang sedang menyambungkan kemungkinan-kemungkinan dalam benaknya.
“Kalau dari pihak keluarga orangtuaku, aku jamin tidak ada, karena orangtua Papa sangat mendukung usaha itu, dari pihak Mama apalagi, kakung uti aku orang yang sederhana, mereka tidak paham soal seluk-beluk perusahaan, dan Mama Papa bertemu saat usaha Papa sudah dibangun bersama. Aku yakin Mama bahkan keluarganya tidak punya keterkaitan soal itu.” Oswin berusaha meyakinkan Hozy jika keluarganya tidak terlibat.
“Hm, oke memang masuk akal kalau bukan dari pihak keluarga, karena tidak mungkin Papa kamu cari-cari Papa aku. Jadi, kemungkinan kedua adalah kompetitor, musuh dari orangtua kita. Apalagi perusahaan yang mereka bangun berhubungan dengan kesejahteraan banyak orang. Bisa jadi, ada pihak yang selama ini menjadi mafia atau memonopoli sebuah usaha, untuk memperkaya diri sendiri.” Oswin mengangguk setuju.
“Apa aku bisa ketemu Papa kamu?” Oswin tidak sabaran. Hozy mengangguk. “Bisa, tapi tidak sekarang. Aku takut Papa banyak pikiran dan itu jelas mempengaruhi kesehatannya. Dokter sudah mewanti-wanti tidak supaya tidak terjadi serangan lagi, karena akibatnya, Papa bisa lumpuh,” mata Hozy terlihat berkaca-kaca. Oswin beringsut dan mengurungkan niatnya. “Besok pasti akan aku kabari,” lanjut Hozy sembari menahan air matanya supaya tidak terjatuh.
***
“Jadi Oswin sudah ke rumah Ma?” tanya Pak Andrew dalam sebuah video call dengan Bu Lita. Bu Lita mengangguk tersenyum. “Anak kita sudah dewasa Pa, Mama terharu,” Bu Lita segera mengusap air mata yang terjatuh di pipi.
“Memangnya jagoan kita itu ngapain Ma?” senyum Pak Andrew terlihat hangat. “Tadi, Oswin peluk Mama, terus minta maaf, karena sudah keras kepala. Jadi Mama yang merasa bersalah, Pa. Selama ini, Mama merasa selalu memaksakan kehendak Mama, padahal Mama pengennya Oswin bahagia dengan pilihannya.” Bu Lita menghela napas.“Bukankah itu yang kita mau saat kita tahu Oswin akan hadir di hidup kita?” Bu Lita masih mengusap air mata yang tersisa.
“Ya ... Papa juga maunya begitu Ma, sayangnya kan, tidak semua harapan kita itu bisa terwujud, dan maksud kita juga tidak buruk ke Oswin. Oswin kita persiapkan untuk meneruskan apa yang sudah Papa kerjakan Ma, ini menyangkut kelangsungan hidup banyak orang. Oswin adalah anak yang peka, Papa yakin, setelah membaca surat Papa, Oswin paham, apa yang harus dilakukan, dan mengerti maksud perlakuan orangtuanya selama ini. Papa ikut senang mendengarnya Ma, lega.” Pak Andrew menatap istrinya penuh cinta.
“Kalau gitu Papa cepat pulang, jangan lama-lama disana. Hobi sekali tinggalin Mama,” Bu Lita merajuk. Pak Andrew tertawa kecill. “Bukannya Mama sudah terbiasa Papa tinggal?” Pak Andrew menatap menggoda di balik layar ponsel.
“Terbiasa bukan berarti suka ya Pa-pa...” Bu Lita mempertegas ucapannya. Pak Andrew spontan tertawa. “Tenang Ma, setelah semuanya selesai, Papa akan punya banyak waktu untuk Mama.” Pak Andrew mendekatkan wajahnya ke layar. “Awas bosan,” bisiknya yang membuat Bu Lita tersipu.
***
“Papa kamu dan Papanya Hozy itu berhati mulia ya, Win ... jujur mendengar cerita kamu aku terharu,” ucap Leia di balik telepon dengan dada berdebar saat mengucapkan nama Hozy. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Leia belum merasakan ngantuk sedikitpun.
“Iya, aku jadi paham, kenapa Papa ingin aku kuliah mengambil jurusan bisnis, bahkan menginginkan aku kuliah di luar negeri, supaya aku bisa meneruskan usaha Papa, supaya kehidupan para karyawan yang bergantung pada perusahaan tetap bisa hidup layak." Oswin terdiam beberapa saat.
"Entah kenapa aku berpikir, kalau seandainya aku tidak mau meneruskan usaha itu, Papa ingin Hozy yang melanjutkan, karena dia anak dari Om Tirta, meskipun kepemilikan perusahaan tetap atas nama Papa, tapi Om Tirta juga orang yang punya andil dalam membantu Papa mewujudkan mimpinya membantu banyak orang." Oswin menyelesaikan ucapannya.
“Jadi, kamu mau nurutin permintaan Papa kamu kuliah di luar negeri?” tanya Leia. Ada sedikit rasa tidak terima, ia tidak ingin Oswin jauh darinya.
Oswin menggeleng meskipun Leia tidak melihat. “Aku belum tahu, yang aku inginkan justru membantu Hozy menemukan orang yang sudah mengancam orangtuanya.”
Suara Oswin spontan membuat Leia setengah melotot. “Ortunya Hozy diancam?” dada Leia kembali berdebar saat menyebut nama Hozy.
“Iya,” Oswin mengangguk di balik telepon. “Jadi, Papanya Hozy tiba-tiba pergi karena diancam seseorang?” Leia memastikan. Suasana hening beberapa saat, terdengar Oswin menghela napas panjang.
“Ya dugaan kuatnya begitu, dan salah satu orang yang terlibat, ada di kampus kita. Hozy sudah menyelidikinya kurang lebih 1 tahun. Satu atau beberapa dari rektor atau staff di kampus kita.” Kali ini Oswin merasa Leia sebagai temannya bertukar pikiran dan yakin kalau Leia bisa menjaga rahasia, tidak akan membocorkan apapun persoalannya ke oranglain tanpa diminta.
“Kenapa kolerasinya jauh ya? Kalau memang ada orang yang tidak suka dengan usaha Papa kamu dan Papanya Hozy, kemungkinan adalah kompetitor. Ini, apa hubungannya sama rektor?” ujar Leia.
“Ehm, tapi, bisa jadi karyawan ya, karyawan, bukan perkara asing kalau seorang karyawan berkhianat karena dendam, atau sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan. Sehingga orang yang ia anggap sebagai penghalang ia pasti ingin hancurkan.” Leia mencoba menebak.
“Ah ..., benar juga ya, lagian Om Irwan pergi setelah perusahaan itu sedang berkembang.” Oswin kembali menghela napas. “Makasih ya Leia, saking kalutnya aku tidak terpikir soal kemungkinan —kemungkinan. Untung aku menghubungi kamu, jadi ada dugaan dan masukan baru yang ku terima. Nggak sabar menunggu besok, aku mau ketemu Papanya Hozy menanyakan semuanya. Jadi please anterin aku ya Leia,” Oswin terdengar merengek. Leia tidak bisa langsung mengiyakan, dadanya kembali berdebar, pikirannya berkecamuk. Ia tidak ingin terlibat terlalu jauh, karena ia tidak ada hubungannya dengan masalah Oswin maupun Hozy. Ia masih teringat jelas, bagaimana tatapan Hozy yang dingin juga tidak menyenangkan siang tadi, sungguh ia tidak ingin Hozy terlihat tidak nyaman lagi.
“Ehm, Oswin bukannya aku tidak mau, tapi aku rasa, aku tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Aku hanya orangluar yang tidak punya konstribusi apa-apa. Jadi aku nggak bisa,” Leia menolak dengan memberi alasan. Oswin menghela napas kecewa.
“Aku pikir kamu sudah terlibat, karena mendengar semua cerita ini Lei, tapi aku tidak bisa memaksa. Doakan besok beres ya,” beruntung, Oswin bukan tipe yang memaksakan kehendak.
“Iya, pasti. Udah curhatnya ya, kita tidur ya,” usul Leia. “Kita tidur?” Oswin tersipu. “Maksudnya udah waktunya tidur, di kamar masing-masing. Jangan mikir aneh-aneh!” sambar Leia yang langsung disambut tawa kecil cekikian Oswin sebelum percakapan keduanya berakhir.
Description: Leia mendapat beasiswa kuliah di Surabaya, bertemu dengan Oswin yang terpaksa masuk perguruan tinggi yang sama dengan jurusan yang tidak sesuai dengan keinginan karena paksaan orangtua.
Hubungan mereka seperti pertemanan mutualisme dimana Leia terhibur karena Oswin selalu ada, dan Oswin merasa dunia perkuliahannya tidak seburuk yang dibayangkan.
Sampai ada di titik, Leia jatuh hati pada Hozy Tarendra si kakak tingkat yang wajahnya mirip dengan lelaki yang selalu ada di mimpinya.
Oswin mendapat tugas mencari anak sahabat Papanya yang ternyata Hozy Tarendra.
Oswin dan Hozy saling terlibat untuk memecahkan persoalan orangtua, dan Leia seolah ditakdirkan ada diantara mereka.
Cinta segitiga! Dimana ketiganya berusaha merengkuh cinta, yang menjadi bintang di hati ketiganya.
Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #LifeinCampus 2019 yang diadakan oleh Storial dan Nulisbuku
|
Title: Return To You
Category: Adult Romance
Text:
Prolog
“Kadang, hidup itu lucu. Ketika harapan sudah berada dalam genggaman, waktu senantiasa kembali merenggutnya. Seperti caranya merenggutmu dariku.”***Dari tempatku mengistirahatkan lengan pada besi balkon, bulan terlihat sangat jelas di antara gelapnya langit malam, cahayanya cukup untuk menerangi dahan-dahan pohon yang tumbuh di bagian teratas. Aku senang menatap bulan seperti ini sambil menikmati semilir angin yang menggerakkan beberapa anak rambutku.Satu jam yang lalu, perayaan ulang tahunku yang ke tujuh belas tahun baru saja berakhir. Sudah jam 10 malam dan anak-anak di panti harus bergegas ke ranjang mereka masing-masing agar besok tidak terlambat sekolah. “Anginnya sedang banyak ya,” dari sebelah kananku, suara berat seseorang terdengar begitu dekat. Aku menoleh dan mendapati seorang laki-laki yang ku kenal berdiri di sampingku dan ikut mengistirahatkan lengannya di atas balkon, menatap pemandangan bulan yang sedang utuh.Aku hanya mengangguk, menanggapi ucapannya tadi. Setelah itu kami terjebak dalam keheningan selama beberapa menit. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk bersuara dan menanyakan hal yang selalu ingin ku tanyakan.“Apa besok, Kaka masih ada di sini?” tanyaku, tanpa menoleh ke arahnya, tetapi aku bisa menebak ia yang sekarang menoleh ke arahku dan menatap wajahku yang menyamping.“Pertanyaan macam apa itu?” ia malah balik bertanya. Aku tertawa miris. Memang jawaban dari pertanyaan itu tidak pernah pasti. Bisa jadi hanya Tuhan dan dirinya sendiri yang tahu. Sama sekali tidak berniat memberitahuku. “Jenis pertanyaan yang setiap hari aku tanyakan,” kataku. Sekarang giliran ia yang tertawa setelah mendengar perkataanku. Aku memutuskan untuk menoleh dan menatap wajahnya yang bisa membuatku berdebar kapan saja. Sadar aku menatapnya, ia terbungkam dan terpaku sehingga kami saling tatap.Diam lagi. Hanya sahutan jangkrik dan hewan malam yang terdengar di telingaku … Dan hembusan napasnya yang berat.Ia menatapku, tepat di mata dengan dalam. Jantungku mulai beraksi, berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Tidak ada jalan untuk lepas dari tatapan yang menjerat itu. Aku hanya bisa ikut tenggelam dalam sesi tatap menatap ini.Dalam detik ketiga yang baru saja aku hitung, ia memperpendek jarakku dengannya tanpa melepas tatapan intens ini sama sekali. Entah ia ingin berbuat apa, tetapi aku percaya ia tidak akan membunuhku.Meski sebenarnya ia sudah membuat jantungku seperti sedang sekarat.“Jadi, apa jawabannya?” tanyaku berupaya memecah fokusnya agar ia tidak terus menatap mataku.Tapi ternyata tidak berhasil, matanya malah semakin gelap dan ia tidak sedang menatap mataku, tetapi … bibirku.“Aku juga tidak tahu, Lin.” Ucapnya samar sebelum melakukan hal yang hampir membuatku runtuh, Di atas bibirku, aku dapat merasakan bibir manisnya menempel pada bibirku. Aku agak terkejut dan membeku dan kesadaranku seperti hilang ketika ia melumat bibirku yang masih terasa seperti kue tart. Aku tidak mengerti harus bagaimana, karena jujur aku tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Jadi aku hanya mengikuti ritme bibirnya yang begitu lembut. Ia memeluk pinggangku dan memperdalam ciuman kami, tetapi tangan kirinya tidak diam saja, tangan itu meraih tangan kananku dan meletakkan sesuatu yang rasanya seperti sebuah kotak. Berhasil meletakkan kotak itu di tanganku, ia menyudahi apa yang ia lakukan pada bibirku dan membuat wajahku terbakar.
Napasku masih terengah ketika ia berkata: “Selamat ulang tahun, Arleen. Untuk pertanyaanmu, aku tidak bisa menjawabnya, biarkan waktu saja yang menjawab. Bahagia selalu, jangan biarkan ada orang menyakitimu lagi.” Ucapnya, lantas meninggalkanku yang masih belum kembali ke daratan. Iya, ia meninggalkanku ketika aku masih di atas langit, menonton tayangan harapan yang ia tunjukkan kepadaku.
Benar-benar pergi, itu adalah jawaban dari pertanyaanku.
***
Description: Cinta pertama kadang tidak pasti. Entah ia akan selalu ada atau tidak, akan selalu tinggal atau pergi. Cinta pertama membuat segelintir orang pusing, ketika mereka kembali, hati ini rasanya seperti menarik diri dari yang lain, fokus pada mereka.
Cinta pertama yang kembali.
|
Title: Rahasia Wanita Tua Dalam Pasungan
Category: Novel
Text:
Kisah Bu Eza
“Aku bagaikan berjalan dilorong panjang yang gelap. Meraba-raba mencari cahaya pelita namun tak ada satupun yang kujumpa.Walaupun begitu aku tetap berjalan dengan pelan… Telah jauh…namun cahaya pelita itu belum nampak jua. Kini kakiku terlalu rapuh untuk perjalanan panjang itu, pikiranku terlalu lemah untuk mencari cara keluar dari situ. Aku frustasi, aku mencari pelindung diri.Tapi apa yang kudapat sekarang ini……??”
Wanita tua itu berhenti bercerita, tatapannya kosong seakan-akan tak ada lagi yang bisa diharapkan. Jani mematikan alat perekamnya. Jani tak ingin menambah kepiluan hati wanita di depannya. Jani berjalan agak menjauh dari tempat wanita tua berada. Dia tak tahan dengan bau tempat itu. Lembab, pesing, kecut ditambah kandang kambing dan kandang sapi yang tepat berada di sebelah kanan dan kiri.
Setelah menghirup udara segar dan melihat ketenangan kembali hadir di wajah Ibu Eza, nama wanita tua itu, Jani kembali masuk ke tempat kecil yang lembab dan bau, dimana wanita tua itu duduk tak berdaya dalam pasungan. Di ambil di nyalakan kembali alat perekamnya.
“ Kowe pengen aku cerito maneh yo?” ( kamu ingin aku cerita lagi ya ?) Tanya Bu Eza dengan logat jawanya. Jani mengangguk.
“ Punya anak cantik dan pintar itu sangat di dambakan orang tua. Makanya orang tua mengirimku ke kota untuk sekolah yang lebih tinggi. Jakarta.” Lanjutnya membuat Jani semakin tertarik mendengarnya.
“ Untuk sekolah di Jakarta aku dititipkan di rumah saudara. Disitulah aku bertemu dengan pangeranku yang tampan, pandai dan kaya. Mas Handoyo….lelaki keturunan ningrat berdarah biru dari tanah jawa. Dia pangeran yang di idam-idamkan banyak wanita. Pesonanya membuat semua jatuh cinta. Tapi cinta mas Handoyo jatuh padaku. Yang akhirnya kami menikah dan mempunyai seorang putri. Kehidupan kami semua serba ada….kebahagiaan kami rasakan tiada tara. Hidup penuh tawa dan canda. Mungkin bila bumi ditanya siapa keluarga bahagia di dunia, jawabannya pasti keluarga Eza…..” Wanita itu berhenti sesaat mengambil nafas panjang. “ Katanya kehidupan tanpa badai dan topan akan terasa hampa….jika keduanya menerjang maka terjadilah bencana. Dan bencana itu akhirnya menimpaku juga….” Bu Eza berhenti. Ia memandang lurus kedepan dengan tatapan kosong. Jani semakin tertarik dengan kisah hidup wanita itu, ia duduk lesehan disamping Bu Eza, tak peduli lagi dengan kotor dan bau yang menyengat.
“ Saat harta melimpah dan jaya kehidupan pasti bahagia…Tapi saat semuanya sirna, sirna jugalah semua. Kehidupan berjalan dan roda terus berputar. Yang diatas akan merasakan jatuh dan yang dibawah akan naik ke puncak. Aku termasuk yang diatas langsung jatuh ke bawah. Sakit ! Marah ! Kecewa ! Ekonomi semakin terpuruk, siapa kurang cepat, akan membusuk…melihat anakku semakin besar dan pasti akan butuh biaya besar, aku tak tinggal diam hanya menghandalkan suamiku yang pontang-panting cari makan. Kuputuskan kerja ikut kawan lama. Hilda yang bersuamikan orang Eropa….
Menjadi sekretaris Hilda, itulah jabatanku saat itu. Dulu aku seperti raja memperbudak uang seenaknya…sekarang menjadi kebalikannya. Hidupku hanya untuk terus mengejarnya. Uang….uang…dan uang….dan itulah tanda kehancuran menerpa.”
Jani mengerutkan kening. Bu Eza diam menatap kehadiran seseorang yang ternyata Mbok Kasih penjaga rumah sekaligus perawat setia bu Eza. Jani mematikan perekamnya lalu bangkit dari duduk. Dia keluar sambil terbatuk-batuk. Jam di tangannya menunjuk ke angka enam, berarti waktu maghrib tiba dan saat itulah Bu Eza harus istirahat. Lamat-lamat suara adzan terdengar. Jani menyudahi wawancaranya lalu berpamitan pulang.
Di sebuah rumah sederhana milik Pak Lurah Jani duduk mengetik menghadap laptopnya, sambil sesekali memperdengarkan suara Bu Eza dari alat perekam, Jani menghela nafas panjang. Tak disangka di desa terpencil yang letaknya ujung timur, Jawa Timur yang keadaan ekonomi dan pendidikan sangat minim ada anak desa situ yang waktu mudanya bisa mengenyam bangku kuliahan sampai kerja kantoran, tapi sekarang dia mengalami penderitaan dengan kaki dan tangan dalam pasungan. Jani sejenak terdiam saat Bu Eza menyebutkan nama Hilda. Sepertinya telinga Jani sangat akrab dengan nama itu. ‘ Hilda….Apa mungkin itu Hilda Wijaya ? Salah satu penguasa bisnis terbesar di negeri ini ?! Tapi mana mungkin Bu Eza yang gila berasal dari desa mengenal pebisnis ternama dan kaya raya itu ? Mungkin Hilda yang lain….nama Hilda kan banyak….’ Gumam Jani, lalu mulai meneruskan ketikannya. Tiba-tiba terdengar deringan ponsel dari dalam tasnya. Redaksi SNAP memanggil. Redaksi meminta bagian pertama cerita Jani segera dikirim untuk di edit dan diterbitkan esok hari. Setelah Jani menyanggupi telpon ditutup.
Kelar mengetik ceritanya, Jani mencari sinyal untuk mengakses internet. Tak ada sinyal dalam ruangan, akhirnya laptop dan ponsel dibawa keluar. Pindah sana, pindah sini cari sinyal dengan sabar. Berhasil…tulisan terkirim.
Pak Lurah yang sedang duduk di teras memperhatikan Jani yang bingung berpindah-pindah. Penasaran, Pak Lurah menghampiri Jani dengan tersenyum ramah.
“ Niku nopo nggeh mbak Jani ?” ( Itu apa ya mbak Jani ? ) Tanya Pak Lurah sambil menunjuk laptop.
Jani tersenyum. “ Ini laptop Pak, komputer yang bisa dibawa kemana-mana jadi lebih praktis…”
“ Tadi tak lihat mbak Jani pindah-pindah tempat…apa begitu cara pemakaiannya ?” Tanya Pak Lurah lagi.
“ Oo…tadi saya pindah-pindah cari sinyal Pak, untuk mengirim tulisan saya ke Jakarta.”
“ Sek to…sek to…( ntar dulu…ntar dulu…) ngirim tulisan ke Jakarta pakai alat itu, gimana caranya mbak ?” Tanya Pak Lurah antusias pengen tahu.
“ Laptop ini kalau disambung dengan ponsel bisa mengakses internet, dan lewat internet saya bisa kirim tulisan ke Jakarta.” Jelas Jani. Dilihatnya Pak Lurah diam sambil mengerutkan kening, belum paham. Akhirnya Jani menunjukkan cara kerjanya.
“ Besok saya mau usul ke Pak Camat untuk beli peralatan seperti itu biar kerjanya efisien….” Kata Pak Lurah setelah tahu tentang internet.
“ Benar Pak….selain bisa mengirim surat, internet juga bisa mencari alamat dan sesuatu yang belum kita tahu.” Jelas Jani membuat Pak Lurah kembali mengerutkan kening.
“ Maksude piye to mbak ?” ( Maksudnya gimana mbak ?)
Jani garuk-garuk kepala. “ Internet itu pinter Pak….bisa tahu apa saja….”
“ Tuhan dong…” Komentar Pak Lurah membuat Jani tertawa lalu mulai menjelaskan lebih detail tentang kecanggihan internet dan kegunaannya.
Bersambung
Selingkuh
Hembusan angin pagi menyejukkan hati sang perih….Hijau pohon melambai-lambai menambah warna warni sang pertiwi. Jani berdiri menatap hijau persawahan desa yang sungguh mempesona. Lalu melangkah menuju arah belakang rumah jawa kuno yang jarang dikunjungi orang. Tempat dimana seorang wanita tua duduk sendiri dengan kaki dan tangan diganjal kayu jati yang kuat dan kekar. Wanita itu menatap Jani dengan senyum samar.
“ Mau ngopo lagi ndok ?”( Mau apa lagi nak ?) Tanyanya.
“ Mau dengar ibu cerita lagi…” Kata Jani sambil menyiapkan alat perekam dan duduk lesehan disamping Bu Eza.
“ Setelah Ibu bekerja kehidupan Ibu pasti lebih baik…” Tebak Jani memancing wanita itu untuk melanjutkan ceritanya yang kemaren.
Wanita itu menggeleng sambil menggumam pelan. ‘ Malah bubrah…’ ( Malah rusak ) lalu memulai ceritanya.
“ Aku kerja, Mas Han kerja…anakku Rasya sekolah SMP kelas tiga. Semua sibuk sendiri-sendiri. Mas Han dapat tugas ke luar kota yang jauh kemana-mana, telponpun jarang-jarang bisa, membuat aku menderita….sebagai wanita aku merindukannya….dan aku tak bisa menahannya….hingga akhirnya datang Ano lelaki China menawarkan cinta.” Bu Eza berhenti sambil menggigit bibirnya.
“ Dan Ibu menerima cintanya ?” Tebak Jani.
“ Orang bodoh jika tak menerima cinta lelaki setampan Ano…apalagi hasrat jiwa sedang membuncah untuk bercinta…”
“ Ibu selingkuh dari Pak Handoyo ?” Tanya Jani hati-hati.
Bu Eza mengangguk, membenarkan.
“ Aku berdosa tapi aku tak salah… Seorang istri wajib melayani sang suami, tapi jika sang suami tak meminta apakah sang istri tahan untuk diam ? Pasti hasratnya akan meletup-letup seperti api siap membakar apa saja yang ada di dekatnya. Emosi, jiwa tak stabil dan akhirnya stress.” Kata Bu Eza sambil menghela nafas panjang.
“ Disaat itulah karma menerpa, seperti badai menghancurkan semua. Disana, diluar kota …Mas Han asyik bercinta dan disini aku juga asyik bermanja.” Lanjut wanita itu sambil kembali menggigit bibirnya.
“ Sejak saat itu rumah tanggaku terkoyak. Mas Han tak pernah pulang lagi. Dia bagai hilang ditelan bumi. ”
“ Apa ibu tak pernah bertanya pada teman kerjanya ?”
“ Segala usaha telah aku coba…bertanya, memarahi bosnya, sampai akhirnya aku menyusulnya kesana. Tapi hasilnya nihil…Mas Han sembunyi dari aku. Mungkin dia sudah terlalu malu untuk berhadapan denganku….”
Jani memandang wajah yang sebenarnya masih terlihat cantik itu.
“ Sudah tahu begitu, apa ibu masih mencintainya ?”
Wanita itu mengangguk. “ Aku terlalu mencintainya. Tapi aku tak tahu bagaimana cara, karena dia tak mau lagi bersua…”
“ Lalu bagaimana dengan Ano ?” Tanya Jani hati-hati.
Wanita itu hanya tersenyum sinis. “ Dua insan yang sama-sama kesepian, yang terpaksa menjalin asmara tanpa ikatan, yang akhirnya semua berubah seperti bumerang.”
“ Ibu tak menyesal berhubungan dengannya ?” Tanya Jani dengan duduk bersila.
Wanita itu tertawa lirih memperlihatkan giginya yang sudah mulai menguning. Lalu diam dan mulai mendendangkan sebuah langgam jawa yang Jani sendiri tak tahu artinya. Tapi mendengarnya membuat hati Jani nyaman dan tenang, seperti seorang ibu menina bobokkan putrinya. Jani mundur, mematikan alat rekamnya lalu menghirup udara segar sepuasnya. Wanita itu sebenarnya tidak gila. Dia hanya depresi dengan kehidupannya. Tapi kenapa warga sangat kejam menghakiminya dengan memasung tangan dan kakinya ? Jani memperhatikan tempat kotor itu. Sungguh tempat yang tak layak ditempati seorang wanita yang berkharismatik seperti dia. Lamat-lamat langgam jawa yang dinyanyikan wanita itu terdengar pelan. Mungkin Bu Eza sudah lelah. Jani memandang sesaat wanita tua itu, lalu beranjak pergi meninggalkannya. Dia berjalan ke arah pematang sawah disebelah.
Seorang Ibu yang sedang asyik memetik padi mendongak saat melihat kehadirannya. Senyum ramahnya menyapa membuat Jani menghampirinya.
“ Sudah waktu panen padi ya bu ?” Tanya Jani mencoba akrab.
Ibu itu hanya mengangguk. Jani tersenyum sambil beranjak pergi. Namun tiba-tiba ucapan ibu itu menghentikan langkahnya.
“Eza niku mboten edan, Eza namun dipekso romone supados keluorgo mboten isin.” ( Eza itu tidak gila, Eza hanya dipaksa ayahnya supaya keluarga tidak malu)
“ Ibu nggak takut sama Bu Eza ?” Ibu itu menggeleng. Jani semakin tertarik. Digandengnya Ibu itu untuk diajak ke tepi sawah dekat pohon rindang. Disitu Jani mulai menggali informasi.
“ Ibu tahu darimana Bu Eza tidak gila ?”
“ Kulo riyen pembantu griyone romo. Mboten sengojo kulo mireng romo uring-uringan kaleh jeng Eza, mboten ngertos nopo penyebabe. Mungkin Romo isin kaleh penduduk deso, gadah putri ayu mboten sukses. Terus jeng Eza dipekso romo ma’em suket Jaran ditonton penduduk katah. Kepekso jeng Eza ma’em niku suket, nggeh ngoten penduduk langsung percoyo jeng Eza niku edan.” ( Saya dulu pembantu rumah romo. Nggak sengaja saya dengar Romo marah-marah sama neng Eza nggak tahu apa penyebanya. Mungkin Romo malu sama penduduk desa, punya anak cantik nggak sukses. Terus neng Eza dipaksa Romo makan rumput sapi di tonton penduduk banyak. Neng Eza makan rumput itu, ya begitulah penduduk langsung percaya kalau neng Eza gila ) Jelas Ibu itu sambil mengelap keringat yang mengalir dijidat.
“ Kok dipasung ?” Tanya Jani.
“ Tenmriki wong edan musti dipasung…” ( Disini orang gila harus dipasung ) Jawab Ibu itu membuat Jani mengangguk-angguk.
“ Sudah berapa tahun Bu Eza dipasung bu ?”
“ Wolong tahun...” ( Delapan tahun ) Jelas Ibu itu lalu buru-buru berdiri karena melihat Mbok Kasih dari jauh. Delapan tahun dipasung, tidak ada yang bisa diajak bicara. Makan, kencing, berak disitu hanya diurus sama Mbok Kasih. Gimana Bu Eza tidak jadi gila beneran ? Tapi kalau secepatnya dia dipindah ke rumah sakit jiwa pasti dia akan kembali normal. Buktinya dia masih ingat dengan kisah masa lalunya, dia masih ingat dengan nama suami, anak dan teman-temannya. Jani berdiri lalu beranjak pergi ke rumah Pak Lurah.
Wajah Jani cerah melihat Pak Lurah masih ada di rumah. Buru-buru Jani menghampiri Pak Lurah yang sedang duduk santai menikmati rokok dan kopi. Melihat kedatangan Jani, Pak Lurah tersenyum ramah.
“ Tumben sudah pulang mbak ? Sudah kelar wawancaranya dengan Bu Eza ?”
Jani tersenyum sambil duduk disamping Pak Lurah. “ Sebenarnya Bu Eza itu tidak gila pak…” Kata Jani membuat Pak Lurah memelototkan mata lalu tertawa.
“ Tidak gila piye ? Lha wong Romonya sendiri yang bilang dia gila, buktinya dia makan rumput di depan warga.” Jelas Pak Lurah.
“ Sebenarnya Romo itu siapa sih Pak ?” Tanya Jani sangat ingin tahu.
Pak lurah menyeruput kopi, lalu menata duduknya supaya lebih nyaman. “ Romo itu orang yang sangat kaya di desa sini. Dia masih keturunan darah biru keraton tanah jawa, warga sangat hormat dan takut sama Romo. Setiap ucapan dan tindakkannya selalu menjadi contoh dan tuntunan. Yaa istilahnya dia sesepuh disini….” Jani manggut-manggut mendengar penjelasan itu.
“ Kalau boleh tahu putra-putrinya Romo ada berapa Pak ?”
“ Romo cuma punya putri satu, ya Bu Eza itu. Putri yang sangat dibanggakan kecantikan dan kepintarannya, makanya setelah SMP Romo langsung mengirim Bu Eza ke kota supaya berpendidikan tinggi. Tapi setelah lulus sekolah, Bu Eza ndak balik-balik kesini, malah dengar-dengar dia nikah sama anak kota kaya. Mbuh aku juga ndak ngerti…lha wong aku juga masih kecil.” Jelas Pak Lurah.
“ Memangnya Bu Eza nggak pernah ngajak suaminya kesini Pak ?” Pak Lurah menggelengkan kepala sambil menghisap rokoknya.
“ Bu Eza katanya dulu tinggal di kota kok sekarang bisa ada disini Pak ?” Tanya Jani lagi memancing informasi lebih dalam.
“ Waduh kalau itu permasalahannya bapak ndak tahu…tahu-tahu Bu Eza sudah ada disini, Romo uring-uringan, lalu malam-malam Romo ngundang warga kumpul di rumahnya dan menyatakan kalau anaknya gila. Awalnya warga ndak percaya, tapi setelah Bu Eza makan rumput, baru mereka percaya. Dan sesuai adat sini, orang gila harus di pasung biar ndak ganggu warga, makanya sekarang Bu Eza seperti itu.” Jelas Pak Lurah.
Tiba-tiba datang sekretaris Pak Lurah dengan sepeda tuanya memutuskan cerita. Pak Lurah meminta maaf, pamitan pada Jani untuk memulai tugasnya.
Jani mengambil catatannya, ada hal penting yang harus dicatat berkenaan informasi yang baru di dapat. Sangat menarik dan saling berhubungan.
Gelap Mata
Wanita itu diam memandang lurus ke depan, rambutnya terurai tak beraturan. Wajahnya kusam tak terawat, namun kecantikannya masih samar terlihat. Saat melihat Jani datang, wanita itu tersenyum. Jani bersila disampingnya sambil menyiapkan alat rekamnya, lalu mulailah wanita itu bercerita kembali seperti biasanya. “ Mas Han hilang begitu saja. Dia lupa aku dan Rasya. Hingga beberapa tahun lamanya sampai Rasya masuk SMA. Rasya butuh biaya besar sedang gajiku hanya standar. Aku tak berdaya, Aku butuh seseorang untuk bercerita... Ano, aku ingat dia. Pemuda tampan kaya raya yang membuatku jatuh cinta. Kuhubungi dia namun tak bisa. Kudatangi rumahnya namun tak ada. Pupus sudah harapan dan ara….Tanpa malu kudatangi Hilda untuk bertanya…Hingga aku tahu keberadaannya ….. penjara…Ano salah satu gembong narkoba yang telah lama dicari negara.” Jani menghela nafas, sungguh tragis kehidupan Bu Eza, disaat butuh seseorang tak satupun yang ada. “ Akhirnya kebodohanku hadir menyapa, aku gelap mata mengkhianati Hilda. Korupsi ratusan juta hanya untuk anakku Rasya.” Lanjutnya dengan mata sayu. “ Apa Hilda tahu korupsi yang dilakukan ibu ?”Wanita itu menggeleng. “ Denganku Hilda sangat percaya, itu yang membuatku leluasa. Aku cairkan uang seratus juta cash tanpa dosa. Aku silumankan pengeluaran perusahaan dengan sempurna dan tak ada satupun yang curiga.”Sekarang Jani menggeleng. Sungguh nekat ! “ Seratus juta kusimpan dalam lemari dengan pikiran tenang….tapi cobaan untukku kembali datang…Ternyata ada orang yang tahu dengan keberadaan sang uang…pembantu yang pura-pura setia bernama Endang…Endang mengambil uang dan juga menculik Rasyaku yang malang…Rasya anakku sayang…kemana kau gerangan ?” Ucap wanita itu dengan menangis pilu. Jani diam tak berkomentar, hatinya ikut pilu mendengar kisah derita si ibu. “ Hidupku hampa tak ada rasa…Semua kebahagiaan dan harapanku sirna…Rasya, hanya dialah harapanku…” Ucapnya lagi disela isak tangisnya.Jani mematikan alat rekamnya. Ia tak mau Bu Eza tertekan. Ia mundur kebelakang. Isak tangis Bu Eza masih terdengar. Isak tangis seorang Ibu yang memendam kerinduan. Tak terasa setitik air jatuh di pipi Jani. Terbayang dipelupuk mata seandainya itu dirinya yang mengalami duka…bagaimana jadinya ? Pasti otaknya juga akan gila. Jani menghirup udara segar sedalam-dalamnya berusaha menghilangkan kesedihan yang melanda. Muncul Mbok Kasih sambil membawa sepiring makanan. Pasti ini sudah jam enam sore... Gumam Jani hapal dengan jadwal makan Bu Eza. Maghrib berkumandang. Cepat-cepat Jani beranjak pulang untuk mempersiapkan kelanjutan tulisannya. Jani yakin sebentar lagi redaksi pasti menelponnya meminta tulisan untuk cepat di kirim.Dengan konsentrasi penuh Jani mengetik kelanjutan kisah nyata wanita dalam pasungan. Sesekali rekamannya di stel dan kata-kata Bu Eza dicerna. Menyedihkan…dan inilah yang perlu disebarkan untuk dijadikan pembelajaran menghadapi hidup yang penuh tantangan dan harapan. Bu Eza sangat tegar dan pintar, makanya kharismatik di wajahnya masih terpancar. Jani tersenyum. Salut dan bangga Bu Eza bisa cerita semuanya. Memang ada duka diwajahnya tapi dia sangat terbuka dan lapang dada.Ponsel berdering nyaring. Redaksi memanggil, Jani sudah tahu maksud panggilan itu. Dengan cepat Jani menyelesaikan tulisannya dan langsung memindahkan laptop dan ponselnya ke halaman untuk mencari sinyal. Pak Lurah yang sedang duduk di depan bersama sekretarisnya mengikuti Jani yang sedang kebingungan cari sinyal. Jani tahu Pak Lurah ingin memamerkan tekhnologi canggih ini pada orang kepercayaannya itu. Dan disaat dapat sinyal mata kedua orang itu tak berkedip melihat Jani menunjukkan cara mengirim email ke Jakarta. Terlihat mulut sekretaris Pak Lurah menganga takjub dengan kecanggihan alat jaman sekarang. “ Kapan desa kita punya alat seperti itu ya Pak ?” Tanya sang sekretaris membuat Pak Lurah menggeleng. “ Kalau penguasa negeri sudah tak ada yang korupsi.” Jawab Pak Lurah ironis membuat Jani meringis. “ Apa tulisan tadi sudah bisa langsung dibaca sama yang di Jakarta mbak ?” Tanya sekretaris itu masih sangsi. “ Langsung dibaca dan langsung dicetak Pak, di surat kabar untuk hari besok.” Jawab Jani. Semakin menambah kekaguman kedua perangkat desa itu. “ Maaf bapak-bapak sudah larut malam, saya mau tidur. Capek….” Lanjut Jani yang memang matanya sudah berat karena kantuk. Sadar sudah tengah malam sekretaris desapun pamitan.
Saat pagi kembali menyapa, seperti biasa Jani siap dengan kelengkapan peralatannya untuk wawancara. Dengan mantap Jani melangkah kebelakang rumah jawa kuno, dimana Bu Eza berada. Terdengar suara parau mendendangkan lagu cinta penuh kerinduan. Melihat kedatangan Jani wanita itu menghentikan nyanyiannya. Lalu tersenyum menunjukkan keramahannya. Mungkin dia sudah sangat hapal dengan Jani yang selalu datang setiap hari untuk mendengarkan kisahnya. “ Aku kehilangan uang dan anakku. Tapi aku tetap terus berjalan menapaki kehidupan yang kejam. Hidup tak peduli dengan nasib seseorang, lemah dia kalah, kuat dia akan bertahan.” “ Apa Ibu tidak membagi cerita itu dengan Hilda ?” Tanya Jani.Wanita itu menggeleng sambil tersenyum tipis. “ Aku sudah mulai kehilangan akal, kudatangi penjara mencari Ano yang dulu pernah kujadikan sandaran. Aku ingin cerita padanya, aku ingin membagi kesedihanku dengan orang yang kucinta. Namun sungguh aku datang sia-sia. Ternyata Ano sudah pindah penjara, hukumannya tak ringan seperti yang kukira, menurut berita… esok Ano akan ditembak mati bertemu api neraka…Berat…berat sekali menerima kenyataan ini…” Mata wanita itu sayu, beban yang dipikul dalam hidupnya sangatlah berat dan sekarang dia masih seperti merasakan beban itu. Jani memberanikan diri memegang pundak Bu Eza. Ditepuknya beberapa kali pundak itu. Senyum muncul dibibir Bu Eza, rasa nyaman seperti hadir dihatinya. “ Lama aku menanti kabar tentang Rasya, akhirnya si penculik menghubungi juga. Dia minta tebusan limaratus juta, atau nyawa Rasya taruhannya. Akupun menyanggupinya. Walau saat itu hatiku menjerit. Bagaimana cara aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu ?! Penculik memberiku waktu dua hari. Membuat hatiku semakin ngeri. Resah, gelisah, memikirkan uang dan nyawa anakku tersayang. Kulihat tabunganku hanya ada puluhan juta, kurang…muncul diotakku nama seseorang….Mas Han, satu-satunya tumpuan dan harapan…Tanpa pikir panjang akupun terbang mencarinya. Namun apa yang aku terima….Mas Han terbaring lemah tak berdaya, tak boleh ada seorangpun yang mendekatinya, karena penyakit yang ia derita. HIV Aids ! Penyakit ganas dan mematikan itu hinggap di tubuh Mas Hanku tercinta. Ternyata setiap dia tugas keluar kota setiap perempuan pula dia hinggapi, tak tahu ada penyakit ngeri yang siap menanti. Pilu dan ngilu melihat suami seperti itu. Aku seperti terhimpit bebatuan berat yang siap meremukkan seluruh badan. Kekuatanku untuk melawan sudah habis…aku lemah…tapi saat wajah Rasya muncul kekuatanku muncul. Tak apa aku kehilangan Mas Han, tapi kehilangan Rasya aku tak bisa. Kekuatan besar muncul dalam jiwa, aku terhenyak, beranjak kembali ke Jakarta seakan bersiap perang melawan derita.” Ibu Eza berhenti, mata yang sayu tadi berubah tajam. Jani tersenyum. Semangat Bu Eza seperti mengalir dalam dirinya, semangat untuk melawan cobaan hidup pemberian Yang Kuasa. “ Apa Ibu berhasil mendapatkan uang limaratus juta itu ?”Bu Eza tersenyum. “ Dulu aku pernah sukses maling di tempat Hilda, dan kesuksessan itu aku ulangi lagi. Aku membuat laporan pengeluaran siluman sebesar limaratus juta, Aku ragu tapi aku harus maju untuk putriku. Dan akhirnya aku kembali berhasil mengelabuhi Hilda. Aku mendapatkan uang itu.” “ Ibu tak takut dosa ?” Tanya Jani ngeri dengan yang dilakukan Bu Eza. “ Dosa bagiku sudah terbiasa, karena awalnya aku juga sudah dosa. Jadi buat apa dosa setengah-setengah ? Tuhan saja memberikan cobaan bukan setengah-setengah padaku ….” Jawabnya menyalahkan Tuhan. Kali ini Jani diam tak berkomentar takut emosi Bu Eza meluap.Bu Eza diam lalu mulai membuka suara mendendangkan langgam jawa. Jani mundur, ia tahu kalau sudah seperti itu Bu Eza susah untuk melanjutkan cerita, mungkin sekarang dia sudah terlalu lelah untuk berpikir. Jani melangkah pergi meninggalkan Bu Eza yang asyik dengan nyanyiannya. ‘ Cobaan wanita itu luar biasa….dan dosa yang diperbuatnya juga luar biasa….tapi kalau untuk menyelamatkan nyawa putrinya pasti siapapun akan melakukan hal yang sama. Walau dosanya segunung atau sebumi. Semua demi sang buah hati….’ Gumam Jani sambil sesekali memotret pemandangan sawah di depannya. Saat lelah menyapa ia duduk dibawah pohon kelapa merenungi hidup yang nyata. Tuhan itu maha Pengasih dan Penyayang tak mungkin Tuhan memberi cobaan pada hambanya melebihi batas kemampuan sang hamba, pasti Tuhan akan memberikan kebahagiaan setelah kesusahan. Tapi kebahagiaan apa yang akan diberikan Tuhan pada Bu Eza nantinya ?’ Jani menghela nafas panjang lalu menghembuskannya dengan pelan. Janji Tuhan pasti benar. Semilir angin memanjakan matanya. Jani terlena menutup rapat matanya. Tidur.Adzan berkumandang Jani terbangun. Ia terhenyak, ingat kisah Bu Eza yang belum kelar. Buru-buru ia bangkit menuju tempat Bu Eza. Ternyata wanita itu tertidur. Matanya terpejam rapat. Wajahnya terlihat begitu damai, tapi kerutan kesedihan masih nampak. Jani mengambil gambarnya. Lalu mundur dan duduk di luar menunggu terbangunnya sang tokoh utama. Muncul Mbok Kasih membawa kain dan seember air. Pasti Mbok Kasih yang setia itu akan membersihkan majikkannya. Dengan sabar Jani menunggu sampai Bu Eza kembali segar. Melihat Mbok Kasih keluar Janipun masuk. “ Pengen dengar kelanjutan ceritaku yo ?” Tanya Bu Eza dengan senyum. Jani mengangguk. “ Akhirnya…si pendosa tercium juga. Perusahaan mengalami devisit keuangan, dan aku mulai ketakutan. Sehingga tanpa pikir panjang akupun menghindar…menghilang dari pandangan dan sembunyi dari kenyataan. Aku masih berharap si penculik datang, mengambil uang dan membawa Rasyaku pulang. Menunggu dan menunggu…akhirnya pesan itu datang. Penculik menghubungiku untuk membawa uang ke tempat yang ditentukan. Dengan semangat dan harapan untuk bertemu dengan Rasya tersayang, aku berangkat sendirian. Tapi sungguh malang…. Penculik itu memang kejam ! Dia binatang ! Dia hewan !” Teriaknya tiba-tiba membuat Jani ketakutan dan langsung mundur keluar. Bu Eza menangis teriak-teriak, memaki dan mengeluarkan sumpah serapahnya untuk sang lawan. Mendengar teriakan itu Mbok Kasih dan suaminya Pak Samin lari tergopoh-gopoh berusaha menenangkan Bu Eza. Dan dengan kasar Mbok Kasih mengusir Jani yang dianggap telah mengganggu majikannya. Di kamar… Jani kembali menyetel rekaman tadi siang. Bu Eza sangat emosi saat bercerita tentang penculik itu. Kenapa ? Jani harus membuka semuanya. Ini belum tuntas. Ini harus dikupas. Kisah hidup Bu Eza harus terungkap ! Bu Eza tak boleh terus-terusan hidup dalam beban dan tak punya harapan. Jani yakin harapan Bu Eza untuk sembuh masih ada. Jani yakin Tuhan adil, memberi keseimbangan dalam setiap cobaan. Jani mulai membuka laptopnya lalu mulai mengetik sambungan kisah pilu kehidupan wanita dalam pasungan. Menyedihkan, tapi ada inspirasi disitu. Seorang wanita yang tegar dengan deraan kepedihan hidup yang kejam, seorang wanita yang berjalan sendirian berjuang melawan kenyataan, dan seorang ibu yang berjuang mati-matian untuk menyelamatkan sang anak….inilah yang patut dicontoh untuk wanita jaman sekarang. Jangan hanya merengek, mengeluh dan duduk diam dibawah ketiak suami, orang tua atau bahkan mertua. Tapi berjuanglah untuk melawannya. Karena hidup terus berjalan dan akan terus memberikan cobaan tanpa peduli dia mampu melawannya atau tidak.Jani mengetik dan terus mengetik. Sampai akhirnya deringan telpon dari redaksi menghentikan dan menyudahi ketikannya. Tepat jam sepuluh Jani keluar mencari sinyal untuk mengirim ceritanya ke redaksi SNAP di Jakarta.
Bersambung
Dia Tidak Gila Dia Hanya Depresi
Pagi hari seperti tak biasa, Mbok Kasih dan Pak Samin sudah berada di rumah Pak Lurah. Ternyata mereka mengadukan Jani dan menginginkan Jani menghentikan wawancaranya dengan Bu Eza. Jani dianggap telah mengganggu ketenangan hati dan jiwa Bu Eza. Sehingga Bu Eza kambuh dengan teriakkan dan ocehan ocehan yang tak jelas.Di balik pintu Jani mendengar aduan mbok Kasih. Ia menggeleng tak terima. Ceritanya sudah hampir selesai nggak mungkin di stop sampai disini. Takbir kisah kehidupan wanita dalam pasungan itu sudah hampir terkuak nggak mungkin dia berhenti. Dia harus tetap lanjut, tak peduli mereka marah. Bergegas dan cepat-cepat Jani pergi menuju tempat Bu Eza berada.Melihat kedatangan Jani yang masih pagi Bu Eza menyipitkan mata. “ Kenapa kemaren kamu pergi ?!” Tanyanya sedikit tak bersahabat. “ Karena Ibu teriak, jadi saya takut.” Jawab Jani masih berdiri didepan belum berani mendekat. “ Teriak ? Takut ?! Untuk apa hidup kalau takut ! Matilah kamu, biar tak ada rasa takut !” Teriaknya membuat Jani tak nyaman. “ Saya mau membantu Ibu….tapi tolong bantu saya….jangan teriak, nanti semua orang takut…” Kata Jani pelan.Wanita itu diam. Matanya kosong menatap ke depan. “ Semua orang takut denganku….semua orang takut dengan hidup.” “ Aku tidak takut.” Jawab Jani membuat wanita itu memandangnya tajam. “ Kalau tidak takut kenapa kemaren kamu pergi ?” Pertanyaan itu membuat Jani diam. Wanita itu menyeringai menakutkan. “ Apa Ibu masih mau bercerita lagi padaku ?” Gantian wanita itu yang terdiam. Lalu tiba-tiba terdengar teriakan seseorang yang memaki-maki Jani untuk pergi. Pak Samin. Ternyata dia sudah kembali dari rumah Pak Lurah. Jani bingung. Yang akhirnya dia buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.Jani sangat kesal dengan sikap Bu Eza. Kenapa wanita itu tak mau lagi cerita padanya…? Kenapa wanita itu mulai tertutup…? Kenapa dia mulai bungkam ?! Ditendang kaleng didepannya hingga terbang jauh entah kemana ? Di tengah pematang sawah Jani teriak sekencang-kencangnya. “ Aku tidak takut hidup !! Aku tegar !! Aku kuat !! Aku tidak cengeng !! Hhuuuaaaaaaaah !!” Teriakan Jani membuat orang-orang yang kerja disawah memandangnya. Jani menangis sepuas-puasnya.Lalu dia nekat kembali melangkahkan kaki menuju ke tempat Bu Eza lagi. Jani yakin Pak Samin sudah pergi, Jani juga yakin Bu Eza akan mau cerita lagi.Saat melihat Jani datang lagi bu Eza tersenyum. Kali ini senyumannya ramah tak seperti tadi pagi. “ Aku mau dengar kisah hidup ibu lagi, aku ingin belajar hidup dari ibu…itupun kalau ibu membolehkan…” Kata Jani sambil duduk bersila disamping wanita tua itu. Jani sudah tak takut lagi dengannya. Toh dia dipasung jadi takkan bisa berbuat apa-apa. “ Uang limaratus juta itu apa sudah ibu serahkan ke penculik Rasya ?”Wanita itu menggeleng. “ Uang itu raib…di tengah jalan aku dirampok…aku teriak tapi semua orang seperti patung bodoh, diam hanya melihat. Aku seperti anjing melolong minta tolong, tapi orang-orang hanya melompong memandangku dengan bengong. Aku marah !!” “ Apa penculik itu yang merampok uang ibu ?” Wanita itu mengangguk. “ Hanya mereka yang tahu aku membawa uang sebanyak itu.” “ Ibu tak melapor pada polisi ?” “ Apa aku akan menyerahkan diriku masuk ke dalam kandang Macan ?!” Jawab wanita itu membuat Jani mengerutkan kening. “ Maling harus lari sejauh mungkin dari polisi, maling harus pintar bersembunyi dan maling harus tetap diam jangan maling teriak maling….” Lanjutnya membuat Jani senyum. Wanita ini pintar membuat kiasan, wanita ini juga pintar menyusun kalimat dengan indah. Jani menjadi ragu dengan sebutan gila untuk wanita ini. Jani yakin kalau wanita yang disampingnya ini normal, hanya saja dia depresi, sehingga sedikit mengganggu otaknya. “ Lalu apa yang dilakukan ibu selanjutnya ?” “ Aku tak berani pulang, aku takut dengan kenangan. Aku ambil kos di sebuah kota kumuh. Disitulah aku tinggal seperti gelandangan. Karena aku sudah tak punya kerjaan…Dari sampah satu ke sampah lainnya aku mengkais mencari makan…hidupku seperti hampa tak bernyawa…aku hidup tapi aku mati. Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi…hingga akhirnya aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Nama dan fotoku terpampang dimana-mana. Aku seperti buronan. Karena memang aku seorang buronan yang harus dibantai keberadaannya.” Jawabnya sambil menitikkan airmata.Jani langsung mematikan alat rekamnya, saat lamat-lamat telinganya menangkap suara langkah kaki seseorang. Ada yang datang…pasti Mbok Kasih. Buru-buru Jani mundur keluar. Dia tak mau diusir seperti tadi pagi. Bergegas Jani menjauhi tempat itu.Sedikit ada rasa puas dihati karena telah mendapat sambungan cerita dari sang wanita tokoh utama. Sekarang kakinya dilangkahkan menuju rumah Pak Lurah. Rumah dimana tempat dia menginap sementara.Saat melangkah masuk halaman rumah, terlihat Pak Lurah menyambutnya dengan tatapan tak ramah. “ Darimana saja mbak ?” Tanya Pak Lurah dengan nada tak seperti biasanya. “ Lagi cari berita Pak.” Jawab Jani dengan senyum mengembang. “ Tadi Mbok Kasih dan Pak Samin kesini. Mereka mengadu ke saya kalau mbak Jani sudah mulai mengusik ketenangan Bu Eza…” Jelas Pak Lurah. “ Saya sebagai Lurah minta pada mbak Jani untuk menghentikan wawancara dengan Bu Eza. Karena itu akan membuat Bu Eza tambah gila dan tambah meresahkan masyarakat.” Lanjut Pak Lurah membuat Jani garuk-garuk kepala. “ Mbak Jani mirengaken kulo mboten ?” ( Mbak Jani mendengarkan saya nggak?) Tanya Pak Lurah mulai kesal dengan tingkah Jani. “ Saya dengar pak…tapi saya menolak.” Jawab Jani enteng.Pak lurah melotot ke arahnya. “ Asal bapak tahu, Bu Eza itu tidak gila. Bu Eza itu hanya depresi dan itu bisa disembuhkan kalau dibawa ke rumah sakit jiwa. Karena disana Bu Eza akan mendapat perawatan, bukan seperti disini dibiarkan terpasung dengan pikiran melantung berkawan dengan kambing dan sapi. Bu Eza itu manusia pak, jadi punya hak untuk diperlakukan seperti manusia !” Kata Jani sedikit emosi membuat Pak Lurah sedikit takut. “ Mbak Jani itu bukan penduduk sini, jadi nggak ngerti adat istiadat sini !” Jawab Pak Lurah dengan emosi juga. “ Kebiasaan yang baik itu memang perlu dilestarikan tapi kalau kebiasaan buruk seperti ini tak bisa didiamkan Pak ! Termasuk adat istiadat memasung orang yang masih normal !” Balas Jani.Pak lurah memelototkan mata, tangannya mengepal kesal. Jani memandang orang tua didepannya itu seolah-olah menantang untuk beradu argumentasi. “ Yo wes ! Saya sebagai Lurah disini berhak mengusir mbak Jani dari desa saya !” Lanjut Pak Lurah membuat Jani balik memelototkan mata. “ Baik….besok saya akan pergi !” Jawab Jani sambil pergi kekamarnya. Jani sudah tak tahan menghadapi orang tua yang kolot yang masih memegang adat istiadat yang tak benar. Segera dikemasinya barang-barang yang dipunya. Emosinya mulai naik. Namun saat melihat foto Bu Eza yang dipajang dekat laptop Jani duduk terdiam. Wajah Bu Eza di foto itu seperti minta tolong padanya untuk segera dibebaskan dari situ. Jani menghela nafas panjang. ‘ Kisah hidup Bu Eza belum kelar kubongkar !’ Jani duduk termenung mencari jalan keluar. Dilihat jam menunjuk ke angka enam pertanda maghrib tiba itu berarti Bu Eza sedang makan di suapin Mbok Kasih. ‘ Setengah jam lagi aku akan kesana, aku ingin Bu Eza menyelesaikan ceritanya hari ini juga ’ Gumam Jani sambil siap-siap jaket dan peralatan yang perlu dibawa.Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Ternyata Pak Lurah dan Bu Lurah. “ Bapak mau mengusir saya sekarang ….saya sudah siap kok.” Kata Jani membuka pembicaraan. “ Oh…ndak…ndak mbak….” Jawab Bu Lurah. “ Begini mbak….Bapak mau minta maaf atas kejadian tadi. Bapak terbawa emosi.” “ Tapi tadi bapak mengusir saya….” Jawab Jani. “ Ya karena saya emosi mbak…o ya kata mbak Jani Bu Eza tidak gila, apa mbak Jani bisa membuktikannya ?” Tanya Pak Lurah lunak.Jani diam sesaat lalu mengambil alat rekamnya. “ Saya ada buktinya disini.” “ Maksude piye yo mbak ?” Tanya Pak Lurah tak mengerti. “ Kalau orang gila, dia tidak akan ingat apa-apa. Nama suami, anak ataupun orang terdekat lainnya. Orang gila juga tidak akan ingat dengan kisah hidupnya. Orang gila juga tidak akan bisa menyusun kalimat dengan indah untuk bercerita. Tapi beda dengan orang depresi….dia memang seperti gila tapi dia waras karena dia hanya terbawa emosi. Dia akan teriak-teriak kalau dia ingat akan kisah masa lalunya yang kejam dan kelam. Dia akan tertawa kalau dia ingat akan kisah masa lalunya yang indah dan lucu. Dan bu Eza termasuk orang yang depresi, karena dia ingat akan semuanya dan disinilah buktinya ! Orang seperti ini bisa cepat disembuhkan kalau dalam perawatan yang bagus. Bukan dalam pasungan seperti adat istiadat yang bapak punyai.” Jelas Jani bersemangat membuat kedua orang di depannya saling berpandangan. “ Masalahnya untuk memasung itu adalah perintah Romo, dan kita tidak mau kualat.” Jawab Pak Lurah membuat Jani tersenyum. “ Memangnya Romo itu Tuhan Pak Lurah?” Jawab Jani.Pak Lurah dan Bu Lurah diam. “ Saya ndak bisa merubah semua itu mbak Jani, karena itu sudah menjadi kepercayaan masyarakat.” Jani menghela nafas. “ Ya sudah pak, kita ikuti arus saja…nanti pasti semuanya akan berubah.” “ Tapi mbak Jani nggak jadi pulang kan ?” Tanya Pak Lurah sedikit was-was. “ Nggak kalau Pak Lurah masih mengijinkan saya tinggal disini.” Jawab Jani sambil tersenyum tanda damai.
Tepat jam tujuh malam Jani keluar dengan membawa lampu senter menuju tempat Bu Eza. Gelap, bau dan sedikit mengerikan dengan rerimbunan pohon bambu di kanan kirinya. Tak ada satupun lampu yang menerangi tempat itu. Lamat-lamat terdengar Bu Eza mengalunkan langgam jawa, ternyata wanita itu belum tidur. Dengan pelan dan hati-hati Jani masuk ke dalam. Bu Eza menghentikan nyanyiannya. Dengan tatapan tajam dilihatnya siapa yang datang. Saat Jani menerangi wajahnya dengan senter terlihat wanita itu tersenyum. “ Nyapo ndok kamu datang malam-malam ?”(Kenapa nak kamu datang malam-malam?) “ Saya ingin mendengarkan cerita ibu lebih lanjut, karena besok saya sudah mau pulang.” Jawab Jani sambil duduk disamping Bu Eza. Wanita itu mengangguk. Rambutnya yang panjang terurai menambah kengerian hati jika tak mengenalnya. “ Apa yang Ibu lakukan di kosan kumuh itu ?” Tanya Jani. “ Aku sembunyi, karena aku buronan…. Tak tahan terkekang dalam ruangan kecil akhirnya aku melarikan diri dari situ. Aku menuju tanah kelahiranku, kampung tercintaku dimana orang tuaku berada. Aku berharap minta perlindungan pada mereka….tapi kenyataannya aku dijadikan gila oleh Romoku sendiri….” Bu Eza menangis. “ Romo gila hormat dengan masyarakat, dia malu punya anak yang gagal dalam hidup apalagi setelah kuceritakan kalau aku adalah buronan. Romo marah, dia merasa jijik dengan kehadiranku hingga ia tak mau menganggapku sebagai anaknya lagi….Harapan terakhirku untuk bahagia ternyata sirna. Keluarga yang sangat kuharapkan ternyata tak ada. Di dunia ini aku merasa sebatang kara. Dan sekarang aku bukan siapa-siapa…” Bu Eza berhenti sejenak memandang sayu ke depan lalu melanjutkan lagi ceritanya. “ Malam itu Romo memaksaku makan rumput didepan warga hingga membuat aku disini, duduk sendiri dengan tangan dan kaki dibelenggu kekarnya kayu jati. Kadang aku menangis mengenang kisah hidupku yang perih…cobaan pertama belum kelar, datang cobaan berikutnya, sampai akhirnya aku lelah untuk melangkah. Aku sudah tak sanggup memikul banyak beban, punggungku sudah terlalu rapuh. Aku pasrah tapi bukan berarti aku menyerah. Kamu tahu…aku hidup untuk apa ? Aku ingin melihat Rasya anakku. Aku ingin dia tahu kalau aku menyayanginya…aku merindukannya….aku ingin dia memelukku….aku ingin mendengar suaranya memanggilku….itulah kebahagiaan yang kutunggu….” Jelasnya membuat hati Jani merinding. Matanya perih mendengar kalimat itu terlontar dari orang yang dianggap gila. Karena wanita ini memang tidak gila. Dia hanya menanti anaknya untuk kembali di pangkuannya. Dia hanya ingin bahagia menghampirinya….Dia hanya ingin mendengar suara sang anak…. Sekarang dia mengakuinya kalau gila adalah paksaan dari ayahandanya….Jani menitikkan airmata. Dipeluknya wanita itu karena haru. Sekarang terbukalah takbir kelam wanita dalam pasungan. Karena paksaan dan menjaga kehormatan dia harus seperti itu. Sungguh wanita malang…..Delapan tahun waktu yang sangat lama untuk menanti. Sekarang dia butuh pertolongan…dia butuh hidup normal…bukan disini …di tempat gelap, bau dan pengap. Tapi diantara kehangatan keluarganya. Tapi siapa yang ia punya ? Hanya Rasya yang dia punya, dimana sekarang dia berada? Itulah kendalanya. Jani menghela nafas panjang.Jani mencoba menghibur Bu Eza, ia berusaha membuat wanita itu tersenyum dan tertawa. Jani yakin wanita ini kesepian dalam hidupnya. Delapan tahun dalam pasungan tanpa ada yang berani mengajak bicara padahal jiwanya sangat lara dan nestapa, ingin bercerita menumpahkan semua….mungkin baru inilah wanita ini bisa tersenyum dan tertawa…mungkin baru inilah wanita ini bisa bercerita…. dan mungkin baru inilah wanita ini bisa menumpahkan semua bebannya…. Tak terasa air mata jatuh di pipi Jani. Mungkin ini saat terakhir Jani bertatap muka dengan Bu Eza, karena esok pagi dia harus pulang. Esok pagi dia harus kembali bekerja mencari kisah nyata lainnya. Bu Eza menyender di bahu Jani. Matanya terpejam damai. Kali ini guratan kesedihan di wajahnya agak berkurang. Mungkin karena telah menceritakan semua beban hidupnya pada Jani membuat hatinya lega. Jani tersenyum, mengusap airmata lalu dengan pelan beranjak pergi meninggalkan wanita tua itu tanpa suara.Berjalan dikegelapan malam di sebuah desa terpencil dengan lampu hanya ada satu dua tiga membuat Jani sedikit ngeri. Entah kenapa desa ini seperti tidak ada perhatian dari sang penguasa negeri. Listrikpun hanya orang-orang tertentu yang punya.Yang lainnya hanya memakai ublek ( Lampu buatan sendiri dari botol yang diisi minyak tanah atasnya diberi sumbu untuk api.) Atau malah nggak ada penerangan sama sekali, gelap gulita. Jani berjalan sambil menghirup udara malam. Angin seperti mengajak rambutnya bercanda. Berkibar kesana kemari bebas tanpa ada ikatan. Ketegaran hati Bu Eza membuat Jani memuji. Wanita tua itu luar biasa. Dia menghadapi hidup dengan penuh keberanian. Dia berani mengambil resiko besar demi buah hatinya. Tak salah Jani memilih wanita ini menjadi objek tulisannya. Jani yakin ketegaran dan keberanian Bu Eza bisa dijadikan inspirasi oleh banyak wanita. Senyum mengembang sambil menatap bulan dan bintang. Kedua benda itu bersinar terang, memancarkan cahaya indah. Suara katak dan jangkrik bersahutan menemani langkah Jani. Besok dia sudah harus pergi dan kebisingan kota akan menggantikannya. Jani melihat jam ditangannya dengan senter, 21.00 tepat.Sampai di halaman rumah Pak Lurah terlihat Bapak sekretaris desa bersama beberapa rekan lainnya duduk di teras. Mungkin mereka sedang mengadakan rapat… Ada baiknya Jani bergabung dan menyuarakan maksud hatinya untuk membebaskan Bu Eza dari pasungan. Mungkin mereka mau mendengar….Melihat kedatangan Jani Pak sekretaris tersenyum ramah. Jani mengambil tempat duduk bergabung dengan Pak sekretaris dan rekan-rekannya. “ Mau membicarakan masalah apa sih Pak ?” Pancing Jani mencari informasi. “ Bangunan sekolah ambruk…ya maklumlah bangunan tua…makanya sekarang bingung mau cari dana kemana…” “ Itu bangunan untuk SD atau SMP Pak ?” Tanya Jani prihatin. “ Bangunan satu untuk semua mbak….ya SD ya SMP, tapi masuknya bergantian….lha wong muridnya juga sedikit.” Jelas Pak sekretaris. Jani mengerutkan kening bingung. “ Muridnya sedikit ? Bukannya anak-anak banyak disini ?”Pak sekretaris tersenyum. “ Mbak warga kampung sini miskin, sekolah butuh biaya besar, makanya para orang tua berpikir ‘ Ngapain ngeluarin duit buat sekolah…buat makan saja susah’Jani meringis mendengarnya. Diam tak berkomentar karena dia tahu bagaimana penduduk desa sini menyambung hidup. Kadang hati Jani trenyuh saat lewat melihat anak kecil makan dengan nasi aking. ( Nasi kemaren yang dikeringkan lalu dimasak lagi. ) Jani juga sering melihat banyak anak-anak tanpa baju membantu orang tuanya mencari kayu. Mereka seperti tak peduli dengan masa depannya. Yang ada dipikiran mereka hanyalah cari uang untuk makan besok.Pak Lurah keluar sambil membawa beberapa berkas dalam map. Melihat Jani, Pak Lurah tersenyum. “ Mbak Jani belum tidur ?”Jani menggeleng. “ Mau rapat ya pak ?” Pak Lurah mengangguk. Janipun beranjak pamitan menuju kamarnya. Diurungkan niatnya untuk bicara tentang bu Eza pada mereka, karena ternyata ada masalah yang lebih penting dari itu.Di kamar Jani termenung. Desa ini kapan majunya kalau semua generasi mudanya seperti itu ? Apa akan selamanya desa ini akan seperti ini ? Jauh dari kecanggihan technologi dan ilmu pengetahuan ? Dekat dengan kebodohan dan kemiskinan ? Jani menopang dagunya dengan tangan. Lalu menghela nafas panjang. ‘Aku bukan pahlawan, aku hanyalah seorang penulis yang bisa memberikan informasi pada negeri…Apa salahnya kalau aku menginformasikan kemiskinan desa ini biar penguasa negeri membuka mata dan berbaik hati.’ Jani tersenyum lalu membuka laptop dan mulai mengetik mengeluarkan semua ganjalan dan jeritan hati warga desa yang dilihat dan dirasakannya.Tak lupa sambungan kisah wanita dalam pasungan cerita utamanya.
Pagi hari setelah mandi Jani menyiapkan diri, keluar dengan membawa koper besar membuat Pak Lurah dan Bu Lurah saling pandang tak mengerti. “ Mbak Jani mau pergi ?” Tanya Bu Lurah menghampiri. “ Mbak Jani masih marah dengan bapak atas pengusiran kemaren ?” Tanya Pak Lurah was-was.Jani menggeleng. “ Tugas saya untuk menulis kisah hidup Bu Eza sudah selesai Pak…tulisan saya sudah tamat. Saya harus balik ke Jakarta untuk menjalankan tugas selanjutnya.”Bu Lurah dan Pak Lurah saling pandang. Jani tersenyum lalu meneruskan ucapannya. “ Selama saya disini pasti banyak kesalahan…Saya minta maaf…” Pak Lurah langsung menggeleng. “ Mbak Jani ndak ada kesalahan, mbak Jani malah memberikan kita pandangan hidup kedepan. Tapi cuma sayang bapak ndak bisa berbuat apa-apa untuk membantu mbak Jani…” Bu Lurah mengangguk membenarkan perkataan suaminya. “ Nggak apa-apa pak, saya malah yang harus ngucapin terimakasih karena telah di ijinkan tinggal dan meliput keadaan desa sini. Apalagi Pak Lurah banyak membantu dalam penulisan saya tentang kisah Bu Eza.”Selanjutnya Jani bersalaman dengan dua orang yang telah dianggap sebagai orang tuanya itu. Dilihatnya ke dua mata Bu Lurah dan Pak Lurah mengeluarkan air. Mereka menangis. Jani jadi terharu. Mereka sangat baik sekali. Mereka memang tidak mempunyai anak jadi maklum mereka sedih saat Jani harus pergi. Walaupun berat, Jani tetap harus pergi. Masih banyak kisah hidup diluar sana yang menanti kehadirannya untuk disibak dan dikupas layaknya membuka takbir gelap yang menaungi kehidupan alam. Tak lupa sebelum meninggalkan desa Jani mampir ke tempat Bu Eza. Wanita tua yang selama ini dekat dengannya dan menjadi inspirasi hidupnya. Wanita itu diam dengan mata kosong menatap kedepan. Wajahnya sayu, matanya sendu. Jani tak tahan melihatnya. Cerita kepiluan hati wanita itu masih terngiang di telinganya. Ia mundur mengurungkan niatnya untuk berpamitan. Ia takut akan menambah kesedihan hati dan kepiluan, karena Jani sadar, hanya kepadanyalah wanita itu mengeluarkan keluh kesahnya…hanya kepadanyalah wanita itu bisa tertawa dan bercerita. Jani menghela nafas panjang, setitik airmata jatuh kepipi. Lalu lamat-lamat terdengar wanita itu mendendangkan langgam jawa yang menambah kesedihan hati Jani. Jani menghentikan langkahnya, melihat sebentar tempat kecil nan kotor itu. Apakah akan selamanya dia akan ada disitu ? Hanya helaan nafas Jani yang terdengar. Lalu dengan buru-buru Jani pergi meninggalkan tempat itu.
Bersambung
Benang Merah
Jakarta….Dengan wajah segar dan bersinar Jani melangkah masuk ke kantor SNAP. Sebuah kantor media cetak yang memuat berita-berita cepat, akurat dan terpercaya. Satu bulan Jani pergi seperti satu tahun lamanya. Rasa kangen yang tak terhingga menyelinap di relung jiwanya. Kangen dengan meja kerjanya, kangen dengan layar komputernya, kangen dengan deringan telpon dan kangen teriakan teman serta bosnya. Saat memasuki ruang redaksi semua mata melihatnya, membuat Jani bingung dan salah tingkah. Sebuah tepukan keras di pundak mengagetkannya. Hesti sang pimpinan redaksi. “ Selamat …tulisanmu membantu kita dalam menaikkan oplah SNAP bulan ini.” Ucap Hesti sambil menjabat tangan Jani. Melihat sang pimpinan memberikan ucapan selamat semua teman-teman berkerumun dan bergantian menjabat tangan Jani. Bengong melompong, berdiri diam sambil membiarkan tangannya dijabat teman-temannya. “ Tulisan kamu, kisah nyata wanita dalam pasungan membuat gempar warga kota. Dalam sebulan oplah SNAP meningkat. Media elektronik terus memuat…tahu nggak kamu sekarang sedang dicari mereka. Mereka ingin tahu siapa sebenarnya nama wanita dalam pasungan itu ? Dan apa sih nama desa yang masih terbelakang itu hingga lurahnya tak tahu yang namanya laptop dan internet ? Hati-hati sekarang kamu jadi incaran, sekarang artis pamornya kalah sama kamu !” Jelas Hesti panjang lebar.Jani masih diam tak bergerak. Selama ini memang dia buta dengan berita karena memang di desa tak ada satupun warga yang punya televisi. “ Jan ini surat-surat yang masuk untukmu !” Seru Indra bagian Humas, membuat Jani semakin melompong. Mulutnya menganga. Setumpukan surat ada dimejanya. Mungkin perkataan Hesti benar kalau sekarang artis kalah pamor dengan tulisannya. “ Tahu nggak…mereka semua terharu dan terinspirasi dengan wanita yang kau tulis itu.” Ucap Indra. Jani tersenyum. Haru juga. Ternyata masyarakat kota banyak yang penasaran dengan tulisannya. Nggak nyangka kisah pilu itu membuat heboh kota !!Muncul Biyan sang menejer SNAP yang sangat disegani dan dihormati. Dengan teratur semua mundur kembali ke tempat kerja masing-masing. “ Jan, ke ruangan saya.”Jani mengangguk. Lalu mempersiapkan semua. Pasti si bos minta bukti-bukti yang ditulisnya untuk dipertanggung jawabkan. ‘ Sudah biasa….’ Gumamnya lalu melangkah menuju ruang menejer.Di situ Biyan menunggu dengan mukanya yang kaku. Jani duduk di depannya sambil menyerahkan alat perekam dan beberapa foto Bu Eza tokoh utama. Biyan mengambilnya. Lalu mulai membuka suara. “ Terus terang tulisan kamu hebat ! Selamat ! Dan dua alat ini akan menjadi bukti semuanya, karena ada salah satu penguasa negeri menanyakan kebenaran cerita yang kamu buat. Nanti beliau akan kesini dan ingin bertemu denganmu. Kalau ceritamu tidak mengandung kebenaran kamu akan dituntut olehnya.”Jani mengangguk sambil menelan ludah yang tiba-tiba nyangkut ditenggorokkan. “ Memang apa hubungannya tulisan saya dengan penguasa negeri pak ?”Biyan menghela nafas. “ Mungkin karena tulisan kamu menyinggung adanya kesejahteraan kurang merata yang diberikan penguasa negeri…”Jani garuk-garuk kepala. ‘ Memang kenyataannya begitu.’ Gumamnya pelan. “ Nanti kalau ditanya kamu jawab sebenar-benarnya, jangan ada yang kamu tutup-tutupi.” Kata Biyan. Tiba-tiba telpon berdering nyaring. Dari resepsionis memberitahukan kalau ada orang penting yang ingin bertemu.Jani bangkit dari duduknya dan kembali ke ruang redaksi. Baru saja dia duduk tiba-tiba Hesti teriak untuk memintanya kembali ke ruang menejer. “ Bapak memanggil saya ?” Tanya Jani saat sudah di ruangan Biyan.Terlihat dua orang yang sangat dihapal wajahnya oleh Jani. Wajah kedua orang itu biasanya dilihat Jani hanya di layar televisi atau sampul majalah ternama. Dua orang itu sangat disegani dan dihormati di negeri ini. Satu seorang penguasa bisnis negeri, satunya lagi seorang yang menjadi anggota dewan penguasa negeri. Mereka adalah ibu dan anak. Keluarga Wijaya. Mungkin inilah tadi yang diberitahukan Biyan pada Jani kalau akan ada penguasa negeri yang datang. Tubuh Jani lemah lunglai. Ia masih belum percaya kalau dirinya tengah berhadapan dengan orang hebat. Jantungnya berdetak hebat. Ke dua orang itu tersenyum padanya. Jani berusaha menguasai diri. Sesekali dicubit tangannya. Sakit. Ini berarti bukan mimpi. Dua orang ini benar-benar nyata ada di depannya. “ Anda yang bernama Jani ? Penulis kisah nyata wanita dalam pasungan ?” Tanya wanita muda terhormat dengan suara berwibawa. “ Benar.” Jawab Jani singkat. “ Boleh saya minta bukti nyata dari liputan anda ?” Dengan cepat Jani mengangguk lalu memandang menejernya. Buru-buru Biyan mengambil dua alat bukti yang tadi diambilnya dari Jani. Diserahkannya dua bukti itu. Awalnya foto-foto Bu Eza bergantian dilihat oleh mereka. Lalu rekaman kisah Bu Eza didengar mereka dengan seksama. Dapat setengah cerita, sang anak mematikannya. Matanya terlihat merah, beda dengan sang ibu yang terlihat sangat tenang. Mungkin sang anak terbawa emosi dengan kepiluan dan kesedihan cerita hidup Bu Eza. “ Kamu tahu siapa saja yang disebutkan wanita itu dalam kisahnya ?” Tanya sang ibu pada Jani. “ Yang saya tahu nama-nama yang disebutkan dalam kisah hidup wanita itu adalah orang-orang terdekatnya.” Jawab Jani.Ibu terhormat itu mengangguk. “ Hilda teman yang pernah dikhianati wanita itu adalah saya.” Mendengar pengakuan itu petir seperti menyambar Jani. Nafasnya serasa berhenti. Hilda Wijaya yang dulu pernah diragukan ada hubungan dengan cerita Bu Eza ternyata benar adanya. Ternyata Hilda sang kawan yang pernah dikhianati Bu Eza dengan menggelapkan uang berjuta-juta masih ada dan masih mencarinya. Jani terdiam. Apakah dendam di hati Bu Hilda masih ada ? Apakah Bu Hilda akan menambah penderitaan Bu Eza dengan melapor ke polisi ? Tuhan, masihkah kau tambah beban penderitaan wanita malang itu ? “ Saya ingin kamu mengantarkan saya ketempat wanita itu berada.” Kata Bu Hilda dengan wibawanya. Jani diam tak menjawab. Pikirannya kalut. Di satu sisi dia kasihan dengan Bu Eza, disisi lain Bu Hilda pasti akan melaporkannya ke polisi kalau tak mau memberitahukan keberadaan seorang buronan. Melihat Jani diam, Biyan sang menejer menyikutnya. Jani tergagap tapi masih bungkam. “ Tolong besok antarkan saya kesana, karena ada kisah masa lalunya yang belum terselesaikan…” Ucap Bu Hilda membuat hati Jani semakin miris. Kisah masa lalu yang belum terselesaikan. Pasti masalah korupsi itu…Melihat Jani tak bergeming dan tak bersuara Biyan langsung menyahut. “ Kami akan selalu siap membantu Ibu…”Setelahnya Bu Hilda dan sang anak pamitan. Saat keduanya melangkahkan kaki keluar Jani tiba-tiba membuka suaranya. “ Apa Ibu tidak merasa kasihan sedikitpun pada wanita malang itu ?!”Keduanya berhenti menatap Jani. Lalu terlihat Bu Hilda menggelengkan kepala lalu beranjak pergi.Jani menghempaskan nafas kesal. Biyan bingung melihat tingkah Jani. Tiba-tiba Jani beranjak dan lari keluar. Jani mengejar Bu Hilda di lobi. Jani ingin memohon ke Bu Hilda untuk memaafkan kesalahan Bu Eza.Saat Jani sampai di lobi dilihatnya wanita terhormat itu sedang bersiap-siap naik ke dalam mobil mewahnya. “ Bu Hilda !” Seru Jani, membuat wanita itu menengok ke arahnya.Dengan berdiri tegak dan sorotan mata tajam Janipun berucap. “ Sebagai kawan apakah Ibu tega menambah penderitaan Bu Eza ?!” “ Sebagai kawannya aku akan mentuntaskan semua dan menamatkan cerita kamu.” Jawab Bu Hilda tegas sambil masuk ke dalam mobil.Jani diam tak mengerti arti jawaban itu. Mobil mewah itu melaju meninggalkan Jani yang masih terpaku. Lalu muncul Biyan dengan nafas tersengal-sengal. “ Apa yang kamu lakukan disini ?!” Tanya Biyan sambil memandang Jani yang masih terdiam seperti patung. Jani menggeleng lalu dengan lemah meninggalkan Biyan yang berdiri disampingnya.Di meja kerjanya, Jani duduk gelisah. Pikirannya masih tertuju pada nasib Bu Eza besok kalau dipertemukan dengan Bu Hilda. ‘ Apa maksud kata-kata Bu Hilda tadi yang ingin mentuntaskan dan menamatkan ceritanya ?’ Jani menghela nafas panjang. Dia merasa tulisan itu belum tamat, masih akan ada lagi sambungannya. Dibuka laptop, dilihatinya foto pedesaan yang selama satu bulan ditempatinya. Subur dengan hijau dedaunan namun gersang dengan pendidikan. Lalu terlihat foto wanita malang dengan kaki dan tangan di palang. Rambutnya acak-acakan tak karuan, wajahnya sayu menyimpan beribu-ribu kesedihan. “ Jan dipanggil pak Biyan di ruangannya…” Kata Hesti membuyarkan lamunan. Jani mengangguk, menutup laptopnya lalu beranjak ke ruang menejer.Biyan tersenyum saat Jani muncul. “ Ada apa dengan kamu Jan, kok setelah kedatangan Bu Hilda kamu berubah murung ?”Jani duduk di depan Biyan. “ Bapak membaca tulisan saya nggak sih ?”Biyan mengangguk. “ Saya baca sampai tuntas. Ceritanya bagus. Makanya bisa menggemparkan …” “ Setelah membaca cerita itu ada rasa kasihan nggak dengan tokoh utamanya?” “ Jujur iya…” Jawab Biyan. “ Dari segi apa Bapak merasa kasihan ?” Tanya Jani membuat Biyan mengerutkan kening. “ Kisah masa lalunya yang sangat menyedihkan ditambah kisahnya sekarang yang dianggap gila dan terpasung….” Jawab Biyan. “ Setelah melihat kenyataan itu apa Bapak masih mau menambah beban deritanya ?” Pertanyaan Jani membuat Biyan menggelengkan kepala. “ Maksud kamu apa Jan ?” “ Bu Hilda masih menyimpan dendam dengan perbuatan Bu Eza yang menggelapkan uangnya berjuta-juta, dan besok dia akan menemuinya dan mentuntaskan semua, itu berarti Bu Hilda akan melaporkan perbuatan Bu Eza pada kepolisian. Dan beban derita Bu Eza akan bertambah…” Jelas Jani.Biyan mengangguk-angguk. “ Ya itu harus diterima oleh Bu Eza karena itu adalah resiko dari perbuatan buruknya dulu…” “ Tapi keadaan Bu Eza sekarang sudah beda ! Dia sudah sangat menderita ! Apa harus ditambah beban deritanya ? Padahal perbuatan buruknya adalah keterpaksaan untuk menyelamatkan anaknya ? Itulah naluri seorang ibu….” Penjelasan Jani membuat Biyan diam tak berkomentar. “ Apakah Bu Hilda tidak memiliki naluri keibuan seperti Bu Eza ?” Lanjut Jani. “ Yaa…kita sebagai wartawan hanya menyampaikan berita setelahnya terserah mereka mau berbuat apa, yang penting kita berani bertanggung jawab untuk kebenaran tulisan itu.” Kata Biyan bijak membuat Jani tersadar kalau dirinya hanyalah seorang wartawan. Walaupun hatinya perih dan ingin menjerit, tapi wartawan tetaplah wartawan….tak ada yang bisa diperbuat melainkan hanya bisa mengungkapkan sebuah kebenaran. Akhirnya tersungging senyum dibibir Jani membuat Biyan menghela nafas lega. “ Itulah resikonya wartawan Jan…selalu terbawa emosi dan suasana, walau kita tahu kita takkan bisa berbuat apa-apa melainkan hanya membuka dan menceritakannya dalam sebuah berita.” Pagi hari Jani sudah siap pergi bersama Biyan mengantarkan Bu Hilda. Jani sudah menyiapkan diri untuk menerima semua yang akan terjadi. Tepat jam sembilan rombongan itu sudah menapakkan kaki di sebuah desa kecil yang terlihat sepi. Jani mengajak rombongan menuju ke kediaman Pak Lurah untuk meminta ijin. Melihat kedatangan mobil mewah menuju rumah Pak Lurah, warga berbondong-bondong mengikutinya. Mereka ingin tahu siapa yang berada di dalam mobil itu. Warga memuji saat tahu yang keluar adalah Jani. Pak Lurah yang sedang mengadakan rapat bersama beberapa aparat bingung melihat Jani kembali. “ Mbak Jani datang kesini lagi ada apa ya ?” Tanya Pak Lurah setelah mempersilakan rombongan yang di bawa Jani masuk ke rumah. “ Saya mau minta ijin untuk bertemu Bu Eza Pak …” “ Ini semua siapa ya mbak ?”Tanya Pak Lurah masih bingung. “ Ini Bu Hilda beserta putrinya dan ini Pak Biyan pimpinan saya…” Jelas Jani.Pak lurah melemparkan senyum ramah pada mereka. “ Bapak pimpinan desa sini ?” Tanya wanita muda terhormat yang dijawab anggukkan Pak Lurah. “ Saya baca dari sebuah tulisan, desa ini sangat miskin dan minim pendidikan…benarkah itu Pak ?” “ Benar Bu…penduduk disini rata-rata hanya buruh tani, pendapatan mereka hanya bisa untuk makan sehari-hari. Masalah pendidikan tak ada yang patut dipuji…sekarang satu-satunya bangunan untuk belajar ambruk dan belum ada ganti…” Penjelasan Pak Lurah membuat wanita muda terhormat yang dikenal salah satu dewan penguasa negeri itu manggut-manggut. “ Berapa biaya yang dibutuhkan Pak ?” Tanya wanita muda terhormat itu memberi sebuah harapan.Sebelum Pak Lurah membuka suara Jani maju ke depan. “ Desa ini tidak membutuhkan biaya. Tapi desa ini membutuhkan perbaikan di segala bidang. Ekonomi, pendidikan, sosial dan budayanya. Kalau Ibu mau membantu, tolong perbaiki semuanya jangan hanya satu saja.” Kata-kata Jani membuat warga tersenyum dan bertepuk tangan, pertanda setuju dan mendukung. Wanita yang berwibawa itu tersenyum lalu menganggukkan kepala. “ Saya akan membantu semuanya.” Jawabnya tegas membuat semua warga riuh bertepuk tangan bahagia. Pak Lurah diam, matanya terlihat merah dengan air yang siap tumpah. “ Saya senang dan terharu…Kalau itu bukan hanya janji…” Ucapnya lirih disamping Jani. “ Itu bukan janji Pak…itu akan jadi nyata karena beliau adalah salah satu anggota dewan penguasa negeri kita.” Jelas Jani membuat mulut Pak Lurah menganga tak percaya. “ Beliau ingin bertemu dengan Bu Eza…” Kata Jani yang langsung diijinkan oleh Pak Lurah. Akhirnya dengan diantar seluruh warga Jani dan rombongan menuju ke tempat Bu Eza.Mendengar ramai-ramai suara warga Bu Eza teriak-teriak karena panik. Terpaksa Pak Lurah bersama beberapa aparat desa menenangkan warga yang sedang bahagia. Jani mengawali masuk ke tempat kecil yang bau dan kotor itu. Pemandangannya masih sama seperti satu bulan yang lalu saat dia sering datang kesitu. Seorang wanita dengan rambut terurai panjang tak beraturan duduk sendirian dalam pasungan. Saat melihat kedatangan Jani wajah wanita itu yang tadinya panik berubah sedikit ceria. Bibirnya yang kering mengembangkan senyum ramahnya. Jani mendekatinya dengan hati yang perih laksana tersilet ribuan pisau jika tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. “ Kamu datang maneh ndok ?” ( Kamu datang lagi nak ?) Ucapnya lirih yang dijawab anggukkan Jani. “ Bu…Jani minta maaf…” Bisik Jani lirih. Lalu muncul Bu Hilda disamping Jani, membuat raut wajah wanita tua itu berubah. Jani memandang Bu Hilda seakan memohon jangan menyakiti hati Bu Eza. Bu Hilda mendekat. Wajahnya yang tadinya tegas berwibawa berubah lembut dan penuh rasa sayang. “ Za…kamu ingat saya ? Saya Hilda Za…kawan yang pernah kamu khianati.” Katanya membuat mata Bu Eza langsung tajam menatap ke arahnya. “ Aku tahu kamu terpaksa melakukan itu padaku. Tapi yang kamu lakukan itu tidak benar…Itu merugikan aku Za…” Lanjut wanita terhormat itu yang masih dijawab tajam tatapan wanita malang di depannya. “ Seandainya dari awal kamu cerita semuanya ke aku, ini semua tidak akan terjadi….kamu tidak harus duduk disini !! Kamu tahu ini sangat menyedihkan untukku…” Lanjut wanita terhormat itu dengan meneteskan airmata. Kali ini wanita malang di depannya mengalihkan pandangan. Matanya berubah sayu, guratan kesedihan mulai muncul di wajahnya. Jani yang berdiri mematung tak tahan dengan perihnya mata. Air yang ditahannya akhirnya jatuh juga di pipi. “ Aku sahabatmu Za…aku siap membantumu...Kenapa kamu hanya diam membisu ? Bicara ! Kamu tidak gila kan ?!” Teriak Bu Hilda tiba-tiba membuat wanita malang itu tersentak dan mencoba untuk berontak dari kayu yang menahannya. Dia teriak dan menjerit. Pak Samin dan Mbok Kasih mencoba menenangkan. Sedang Jani membawa keluar Bu Hilda yang masih tersedu-sedu dengan tangisan. Dengan erat Bu Hilda memeluk putrinya yang ternyata juga sudah basah oleh airmata. Mendengar Bu Eza masih teriak-teriak Jani mencoba masuk. Tak ada rasa takut lagi di hatinya untuk mendekati wanita itu. Dengan rasa sayang ditepuknya pundak Bu Eza. Bu Eza menengok ke arahnya, memandangnya, seakan-akan menyalahkannya membawa Bu Hilda padanya. “ Jani minta maaf Bu…” Bisiknya lagi lirih tepat ditelinga Bu Eza. Wanita itu akhirnya diam. Matanya mengeluarkan air. Ia menangis. Lalu dengan pelan ia mendendangkan langgam jawa yang menyayat jiwa.Kemudian masuk anak Bu Hilda dengan mata yang basah, membuat wanita malang itu menghentikan nyanyiannya dan memandang wanita muda yang berdiri disampingnya. Sesaat wanita muda itu menangis tersedu membuat Jani yang duduk disamping Bu Eza bingung harus berbuat apa. Dan tiba-tiba saja wanita muda itu memeluk Bu Eza dengan menyebut satu kata yang bersahaja.“ Ibu….” Mendengar itu tangisan Jani semakin menggugu. Dia tak percaya wanita muda, anggun, smart dan salah satu anggota dewan penguasa negeri itu memanggil wanita malang dengan sebutan Ibu…Apa wanita muda terhormat ini adalah Rasya anak Bu Eza.Bu Eza diam tak bergerak. Jani melihat buliran air jatuh membasahi pipi wanita tua itu. Bibir kering yang sejak tadi terkatup rapat mulai terbuka sedikit. “ Ibu…aku Rasya anakmu…aku anakmu bu…” Ucap wanita muda itu disela tangisannya.Jani melihat tangan wanita tua itu bergerak-gerak ingin menyentuh sang anak namun tak bisa. Dengan cepat Jani keluar memanggil Pak Samin. Jani meminta Pak Samin membebaskan tangan Bu Eza. Awalnya Pak Samin menolak tapi setelah di beri pengertian oleh Pak Lurah, Pak Samin akhirnya membuka juga belenggu tangan Bu Eza.Dengan kaku Bu Eza menggerakkan tangannya, delapan tahun tangan itu tak bergerak, delapan tahun tangan itu seperti mati dan delapan tahun tangan itu ingin sekali membelai rambut sang anak. Perlahan Bu Eza mengangkat kedua tangannya. Jani tersenyum haru. Apalagi saat tangan itu mencoba menyentuh wajah yang selama ini ditunggu dan di rindu kehadirannya. Diraba wajah wanita muda terhormat yang basah oleh air mata. Diamatinya sosok itu dengan cermat. Keduanya saling bertatapan seakan meyakinkan diri masing-masing kalau masih ada ikatan darah diantara mereka. “ Ibu…aku Rasya…aku Rasya anakmu…” Ucap wanita muda itu lagi. Wanita tua itu hanya diam lalu menundukkan wajahnya. Dia memandang kedua tangannya yang telah bebas. Lalu menatap kosong kedepan seperti tak menghiraukan kehadiran sang buah hati didepannya. “ Anakku telah hilang…” Ucapnya lirih.Rasya sang wanita muda terhormat itu duduk lesehan didepan wanita tua yang diakui sebagai ibunya. Ia sudah tak menghiraukan kotor dan baunya tempat itu. Airmatanya terus mengalir tak tahan melihat penderitaan ibunya di depan mata. “ Waktu itu aku masih SMP kelas tiga, Ayah dan ibuku sibuk dengan kerja. Aku tinggal di rumah dengan pembantuku yang gila. Awalnya aku curiga dan tak suka dengan kehadirannya, namun ibu memaksa akhirnya setiap hari aku tinggal bersama dia. Tak beberapa lama ayah dapat tugas keluar kota, ayah tak pernah pulang seakan-akan lupa dengan keluarga. Sampai aku masuk SMA ayah tak kunjung jua. Sedih sebenarnya hati…tapi aku tak tahu harus mengadu ke siapa lagi ? Ayah seperti hilang ditelan bumi. Dan bagiku ayah telah mati.” Rasya berhenti mengusap airmatanya. “ Ekonomi semakin sulit, tanpa ayah kehidupan kamipun semakin sempit. Aku sadar hanya ibu yang cari uang, makanya aku hanya diam kala tagihan sekolah menyapa datang. Berbulan-bulan aku tak bayar, hingga akhirnya ibu dipanggil ke sekolahan. Marah dan cacian ibu hanya aku dengarkan, aku tak mau membela diri, karena aku tak ingin hati ibu tersakiti…” Rasya berhenti berusaha menghirup udara untuk mengisi kelonggaran jiwa. Sekejap Jani melihat wanita tua disampingnya memandang Rasya lalu kembali memalingkan muka. “ Dalam menghadapi segala hal ibuku sangat tegar, aku bangga punya ibu seperti dia. Namun aku juga kecewa…karena dibalik semua ketegarannya ada sebuah cerita yang tak dibuka. Cerita tentang perselingkuhan ayahku tercinta. Juga cerita tentang hitamnya sebuah jalinan asmara ibu dengan lelaki China.” Ucapan Rasya membuat Bu Eza langsung menatapnya. Rasya tersenyum sambil mengambil buku kecil berwarna hitam dari tasnya. “ Ibu menulis semuanya disini kan ?” Tanya Rasya dengan linangan airmata.Bu Eza merebut buku itu dari tangan Rasya. Lalu dipeluknya buku itu dengan erat seolah-olah tak boleh seorangpun membacanya. “ Karena belum membayar uang sekolah, aku malu dan pulang ke rumah. Saat itulah aku melihat Bu Endang dengan seorang lelaki masuk ke kamar ibu, mereka mencuri uang yang ibu simpan di lemari. Aku berontak marah, namun aku kalah. Karena aku memang manusia lemah….” Lanjutnya lagi dengan sesenggukkan. “ Aku dibawa mereka sebagai tawanan. Aku laksana seorang tahanan, aku tersiksa dengan perbuatan mereka yang keras dan kasar. Dipukul, ditendang dan digampar seperti seekor hewan….” Rasya menangis, airmatanya deras mengucur. Bu Eza mulai luluh hatinya. Dengan pelan tangannya diletakkan di kepala Rasya, lalu di senderkan kepala Rasya pada tubuhnya. “ Aku tersakiti disitu bu…aku terus memanggil ibu berharap ibu muncul menyelamatkanku….Tapi kenapa ibu tak muncul-muncul juga waktu itu…?” Lanjut Rasya. Bu Eza tersenyum samar lalu membelai lembut kepala Rasya. Jani yang sejak tadi mendengar cerita Rasya ikut menangis. Wajahnya basah oleh keringat dan airmata. “ Saat mereka lengah Rasya berusaha melarikan diri. Rasya lari dan lari tak tahu arah yang pasti. Rasya bingung mau cari perlindungan kemana…. Saat tangan Rasya merogoh saku seragam, ada kartu nama ibu disitu. Rasya ingat ada tugas sekolah untuk membawa contoh kartu nama. Rasya mengambil kartu nama ibu dan menaruhnya di saku.Rasya mau menghubungi ibu, tapi tak ada uang . Akhirnya Rasya jadi peminta-minta di pinggir jalan. Setelah dapat uang Rasya menelpon kantor ibu, tapi tak ada satupun yang menjawab. Rasya tak habis akal, dengan uang seadanya Rasya mendatangi kantor ibu. Tapi ibu tak ada, yang ada hanya tante Hilda. Melihat keadaan Rasya seperti orang gila tante Hilda kasihan dan mengajak Rasya ke rumahnya. Bersama tante Hilda Rasya mencari ibu kemana-mana. Rasya putus asa, sampai akhirnya tante Hilda mencari ibu melalui berbagai media. Namun telah beberapa lama tak ada hasil juga. Rasya benar-benar putus asa dan kecewa sama ibu. Rasya menganggap ibu sudah tak cinta sama Rasya. Ibu dan ayah sama saja, tak ada beda….saat itu Rasya seperti hidup sebatangkara bu….Rasya seperti sendiri….” Rasya diam mengusap airmatanya. Bu Eza masih membelai Rasya dengan lembut. Air matanya mengalir tapi mulutnya terkatup. Jani terharu melihat pemandangan itu. Sungguh diluar dugaan. Jani mengira Rasya adalah anak Bu Hilda ternyata bukan…Lalu Bu Hilda masuk, wajahnya terlihat sedih. Bu Eza memandangnya. Kali ini bukan dengan tatapan yang tajam melainkan tatapan sayu seakan mengisyaratkan permintaan maaf dan terimakasih. “ Rasya telah kuanggap sebagai anak sendiri…” Ucap Bu Hilda.Rasya mengangguk. “ Tante Hilda yang merawat dan mendidik Rasya sampai Rasya menjadi seperti ini…”Bu Eza diam tatapannya kosong ke depan. Lalu mulai terdengar suaranya mendendangkan langgam jawa yang menambah kesedihan jiwa. Rasya melihat sang ibu pilu. Jani yang sudah sangat hapal kebiasaan Bu Eza memberi isyarat pada Bu Hilda dan Rasya untuk keluar dari tempat itu. “ Kalau ibu sudah bernyanyi langgam jawa berarti ibu sudah lelah ingin istirahat…” Jelas Jani. Membuat Bu Hilda dan Rasya menurut.Di luar terlihat warga desa berdiri menunggu dan menanti apa yang telah terjadi. Mereka ingin tahu ada apa sebenarnya ? Siapakah dua wanita terhormat yang menangis saat berbicara dengan wanita gila ? Mengapa juga mereka menangis sampai tersedu-sedu seperti itu ? Saat melihat Bu Hilda dan Rasya keluar mereka mulai berkomentar. Suasana yang tadinya tenang kini mulai gaduh. Pak Lurah menghampiri Jani. “ Mbak Jani sebenarnya ini ada apa sih ?”Jani diam sesaat, diliriknya Bu Hilda dan Rasya. Mereka menggeleng memberi isyarat pada Jani untuk tak cerita. “ Bu Hilda dan putrinya ini terharu saat membaca tulisan saya di surat kabar. Makanya beliau ingin langsung bertemu dengan tokoh utama yang saya tulis. Dan saat sampai disini beliau tak bisa menahan tangis melihat keadaan Bu Eza.” “ Saya ingin membawa Bu Eza ke tempat yang lebih nyaman….” Sela Rasya. “ Kalau masalah itu saya belum bisa jawab.” Kata Pak Lurah sambil memandang warganya. “Apa di desa ini senang mempunyai warga gila ?” Tanya Bu Hilda berwibawa di depan banyak warga. Terlihat semua kepala menggeleng. “ Berarti semua setuju kalau saya membawa Bu Eza ke kota untuk disembuhkan ?” Tak ada respon dari warga dengan pertanyaan Bu Hilda.Jani maju kedepan lalu mulai berkomentar. “ Jika ada perbuatan buruk apakah harus didiamkan ?” Terlihat warga menggeleng. “ Kalian tahu, Bu Eza itu dipaksa oleh Romonya untuk menjadi gila !” Teriakan Jani membuat semua warga saling pandang dan saling berkomentar. “ Bu Eza tidak gila. Bu Eza hanya depresi karena beratnya beban kesedihan yang dia derita. Romonyalah yang membuat dia seperti itu. Memaksa makan rumput didepan warga karena tak ingin malu punya anak gagal dalam keluarga ! Satu lagi, gila bukan penyakit menular yang harus dikucilkan tapi harus dirawat dan disembuhkan. Pemasungan bukanlah hal bagus yang harus dilestarikan tapi harus ditiadakan !” Penjelasan Jani yang berapi-api membuat warga mengerti. Mereka mengangguk-angguk menyetujui. Pak Lurah tersenyum melihat warganya bereaksi. Jani tersenyum.Akhirnya Pak Lurah meminta Pak Samin melepaskan pasungan Bu Eza. Setelah merasa bebas Bu Eza menggerak-gerakkan ke dua kakinya. Tangannya melambai ke arah Jani membuat semua mata melihatnya. Jani tersenyum menghampiri. “ Ibu saniki sampun bebas…” ( Ibu sekarang sudah bebas ) Kata Jani lirih.Bu Eza mengangguk sambil tersenyum. Lalu matanya tertuju pada Rasya. Rasya mendekatinya. Kedua tangan Bu Eza terbuka Rasya memeluknya. “ Ibu Rasya rindu….” Ucap Rasya lirih.Kedua manusia yang telah terpisah beberapa tahun itu akhirnya menangis tersedu-sedu. Warga yang melihat itu tersyahdu dan terharu, beberapa dari mereka ada yang ikut mengeluarkan airmata pilu. Bu Hilda mendekat ikut memeluk Bu Eza sambil lirih terucap. “ Aku sudah memaafkanmu sahabatku…..aku ingin kau kembali seperti dulu.”Jani tersenyum lega. Ternyata tak ada dendam di hati Bu Hilda seperti yang dipikirkannya. Rasa persahabatan, keikhlasan dan kebaikan Bu Hilda membuat Jani berbalik memuji sosok itu. Tuhan pasti tidak menutup mata, dengan terus menerus memberikan cobaan pada hambanya karena Tuhan pernah berjanji, sesudah hambanya diberi cobaan Dia akan memberikan kebahagiaan. Dan janji itu telah terbukti sekarang. Bu Eza yang merasakannya. Kebahagiaan akhirnya menyapa setelah derita yang didera. Delapan tahun dia seperti terpenjara di tempat yang tak layak untuk manusia, akhirnya dia terbebas juga dari semua. Putri yang selalu dinanti telah datang menghampiri. Perlahan namun pasti jiwa Bu Eza sudah kembali. Satu demi satu jiwanya tertata rapi. Sang putri merawatnya dengan sepenuh hati. Dibantu sahabatnya Bu Hilda sang pahlawan sejati. Kini mereka bekerjasama dengan polisi mencari Bu Endang si penculik sadis yang telah lama dibenci.Jani tersenyum saat terngiang ditelinganya ucapan Bu Hilda dulu, yang ingin mentuntaskan semua dan menamatkan ceritanya. Mungkin inilah yang dimaksud. Bu Hilda tak mau cerita Jani mengambang tak ada ujung penyelesaian. Jani tersenyum, sekarang dia telah menulis akhir kisah itu. Tak lupa Jani menulis keadaan penduduk desa yang tengah gembira. Desa kecil yang terletak di ujung timur Jawa Timur itu telah berubah sejahtera. Dulu pendidikan bagi mereka hanyalah khayalan, tapi sekarang pendidikan menjadi kenyataan. Disana gedung-gedung sekolah telah banyak didirikan, juga telah banyak generasi muda yang berprestasi membanggakan.Jani menghela nafas panjang, ternyata semua kisah ada benang merah yang selalu berhubungan. Dan Jani yakin benang merah itu akan terus menyambung dan menyambung takkan pernah terputus.Tiba-tiba telepon dimeja kerjanya berdering nyaring. Dari sang mama. “ Jan, kamu sadar cerita apa yang kamu tulis ?” Tanya sang mama. “ Kenapa ma ?” “ Kamu tahu Bu Endang penculik sadis yang tengah mereka cari itu siapa ? Dia adalah aku. Mamamu !”Jawaban mamanya membuat Jani bengong. Ternyata benang merah itu masih ada.
Description: “Aku bagaikan berjalan dilorong panjang yang gelap. Meraba-raba mencari cahaya pelita namun tak ada satupun yang kujumpa.Walaupun begitu aku tetap berjalan dengan pelan… Telah jauh…namun cahaya pelita itu belum nampak jua. Kini kakiku terlalu rapuh untuk perjalanan panjang itu, pikiranku terlalu lemah untuk mencari cara keluar dari situ. Aku frustasi, aku mencari pelindung diri.Tapi apa yang kudapat sekarang ini……â€
Kisah memilukan seorang wanita dalam pasungan yang coba dibuka sampai tuntas oleh Jani seorang jurnalis media cetak SNAP. Jani mencoba menguak kisah hidup wanita tua yang ditemuinya disebuah desa terpencil. Ibu Eza, yang terpasung tanpa daya, memendam seribu cerita, yang dianggap gila oleh penduduk desa. Cinta, persahabatan, pengkhianatan, serta perselingkuhan menghiasi kisah hidupnya.
Cerita demi ceritanya tersambung dan saling berhubungan, hingga membawa seorang pebisnis kaya dan seorang anggota dewan penguasa negeri. Benang kusut delapan tahunpun tersambung membuka semua rahasia wanita tua
|
Title: Ruang Bawah Sadar
Category: Puisi
Text:
Permainan
Bisa mendengar tapi tak bisa mengertiBisa membaca tapi tak bisa memahamiBisa menerima tapi tak bisa menghargaiBisa melihat tapi tak bisa merasakanBisa melakukan tapi tak bisa memastikan
Bila senang tak ingat bosanBila pagi tak ingat malamBila marah tak ingat salahBila bertingkah tak ingat batas
Keseriusan dianggap candaPerasaan dianggap permainanTerlihat jelas dianggap tidak ada
Hallusinasi
Mungkin ini terdengar seperti halusinasiAku yakin seseorang yang akan mendampingi Tercipta dari tulang rusuk sebelah kiriBagian yang hilang dan mungkin akan kutemukan nanti
Namun sayangnya hidup tidaklah seperti kisah dongeng seorang putriSosok yang tak pernah tewujud hanya dalam sebatas ruang imajinasi
Tempat Wisata
Jangan meninggalkan yang pasti demi yang mungkin, Sebab semua kemungkinan belum tentu menjadi kepastian.
Jangan senang dulu ketika tanganmu digenggam, Sebab besok atau lusa kau akan dihempas begitu kejam.
Mungkin sekarang kau segalanya , Namun besok atau lusa dia akan lupa segalanya.
Mungkin sekarang dia selalu ada, Namun besok atau lusa kau hanyalah tempat wisata baginya.
Yang Terlewatkan
Sudah di depan mata namun masih tak terlihatKabut membuatnya tak bisa melihatSaat hujan turun langit pun berubah menjadi gelapDan ketika hujan reda, langit kembali cerah kabut pun menghilangPemandangan yang indah sudah terlewatkan
Perihal Sebuah Rasa
Jam menunjukkan pukul 2 dini hariDuduk termangu dalam hening yang begitu sepi Terdengar detak waktu yang tak kunjung hentiSemakin kencang rasanya semakin sepi
Detik demi detik pun terlewati, malam semakin menjadiMataku semakin perih suhu pun semakin dinginAku belum merebahkan diriMasih disini, dengan beribu pertanyaan yang tidak memuaskan hati
Tak ada yang paham perihal sebuah rasaBagaimana lagi aku harus menduga-duga, tentang sebuah asa yang tak kunjung ada jawabannya ?
Sekarat
Ini adalah cerita singkat Mencoba untuk tetap hidup dalam keadaan yang sekarat
Kau bilang ini bunuh diriAku katakan ini adalah perang Ketika aku kalah dalam pertarunganInikah yang kau sebut cinta ? Ini adalah perang yang tak bisa aku menangkan
Aku tidak apa-apa, aku baik-baik sajaTapi aku tak bisa memejamkan matakuIni bukan karna kau tak bersamakuIni karna kau tak pernah pergi
Apa Kabarmu?
Apa kabarmu? Sudah lama kita tak saling menyapaMungkin kamu akan bertanyaMengapa aku menulis ini semua? Mungkin kamu mengira aku ingin mencuri perhatianmu, tidak tidakUntuk apa? Mungkin kamu mengira aku ingin mendramatisi keadaan, sama sekali tidakUntuk apa? Aku menulis semua ini hanya karna sesuatuApa kamu tahu? Aku harap kamu tau itu
Apa kabarmu?Sudah lama kita tak jumpaSemoga harimu menyenangkanMungkin kamu telah menemukan Seseorang yang lebih keras memperjuangkanmuSeseorang yang lebih tabah memahami sifatmuMelebihi segala hal yang pernah kulakukan saat ituTapi pernahkah kamu mengerti? Tidak, mungkin nantiKamu akan mengerti Bahwa yang pernah mencintaimu ini memiliki arti
Apa kabarmu? Semoga kamu membaca puisi yang kutulis iniTolong pahami dengan baik puisi yg kutulis iniAku baik baik saja saat menyampaikan semua ini Sama sekali tidak ada rasa dendam ataupun sakit hatiAku hanya ingin mengatakan hal yang seharasnya kukatakan padamu Bahwa saat itu aku pernah memperjuangkanmu
Apa kabarmu? Apa kamu sudah membaca semua yang kutulis ini? Aku hanya berharap bila saat nanti Tiba tiba kamu mengingatku lagi Ingatlah... Bahwa saat itu bukan aku yang menyerahApalagi pergi lebih dulu dan mengaku kalahKarna selalu aku yang mengerti, saat kamu mengaku salahSelalu aku yang berjuang, saat kamu ingin melepaskanSelalu aku yang memahami, saat kamu bahkan enggan menjelaskanSelalu aku yang menunggu, saat kamu bilang tak akan kembali
Dan jika sekarang aku telah merelakan Itu bukanlah karna aku kelelahanTapi karna kamu sama sekali tidak pernah menunjukkan perubahanTolong... Ingatlah lagi saat itu bukan aku yang menyerahHanya saja aku tak ingin memaksa seseorang yang tidak pernah ingin tinggal
Aku Baik-baik Saja
Malam itu kita berjumpa dan kau menyapa "Apa kamu baik-baik saja ?"
Diriku menjawab sambil memejamkan mata "Iya aku baik-baik saja"
Aku anggap itu adalah jawaban terbaik,Meski kamu dengan sadarnya pula menghiraukanku, Aku (masih) baik-baik saja.
Description: Ruang bawah sadar yang tersalurkan dalam tulisan
|
Title: Rain Rani Dan Rainbow
Category: Novel
Text:
Hujan di Pipimu
Jarak yang cukup jauh, tapi aroma tubuhnya seakan ada dipundakku.
Terlihat rupawan, dengan mantel yang dikenakannya.
Semakin lama pandanganku tak jelas, kacamataku memburam.
Langkah kaki terdengar perlahan menuju mata angin tepat aku berdiri.
“Ahh apa dia yang Dateng? Aku ga bisa liat jelas, duh coba aja ada kacamata cadangan, ga sepenasaran ini!”.
Aku pergi berbalik, lalu langkahnya terdengar semakin mendekat,
kufikir menyapaku, ternyata berlalu lalang.
“Siapa dia sebenarnya? Kenapa setiap hujan dia selalu ada ditaman ini?”.
Kejadian ini tidak mungkin selalu kebetulan.
Dia selalu ada disana, tepat jam dan harinya.
Gimana aku ga tau, tempat inspirasiku kan disini,
siapapun yg datang, pasti bakal hapal,
dari wajah bahkan aroma tubuhnya.
Senja memanggil pulang. Perlahan aku melangkah,
dengan tatapan binar yang didalamnya penuh pertanyaan.
“kenapa aku sepenasaran ini?”.
Pertanyaan yang selalu berhasil mengelabuiku untuk lupa makan,
karena selalu ingat memikirkannya. Tidak pernah sepenasaran ini.
“aku harus tanya, ada apa denganku, biasanya aku selalu menari ketika hujan,
tapi kenapa? Kenapa pandanganku terpaku, tubuhku enggan bersyahdu?
Aku harus cari tau, sama yang ahlinya”.
Sesampai dirumah, Aku mengetuk pintu rumah dengan keras.
Belum tiga ketukan, kak Rena membuka pintu,
menyapaku dengan tatapan sinisnya.
“ Jam segini baru pulang, kemana aja kamu, basah semua”.
Wajah kak Rena seperti berasap-asap, matanya seakan ingin menerkam,
aku menunduk takut.
Dalam hati berkata “ kalau sampai kak Rena ngadu ke mama,
ga bisa mandi ujan lagi nih”.
Lalu kak Rena kembali memberi tatapan mengancam.
“ Pasti kamu tau apa yang kakak dfikirin”.
Aku ingin menebak, tapi takut salah. Apa aku tawarkan saja cilok pak Umar?
Pasti bakal damai.
“ oh iya kak, pak Umar masih jual cilok kan ya jam segini.. kakak mau?”.
Kak Rena menarik pandangan nya, menuju kearah penjual ayam geprek.
“nah itu baru harga kakak”.
Terkesan merampas, tapi mau tak mau aku harus membelikannya
“oke tapi damai ya?” mengulurkan tangan dengan kak rena. “Iya.. yaudah sana beli, sebelum kakak berubah fikiran”. Aku langsung tancap gas, pergi ke penjual geprek.
Selesai sudah menutup mulut kak Rena.
Aku menuju tempat tidur, yang aku sebut basecamp.
Dimana semua kegelisahan, senang, sedih semua dikamar ini.
gimana mau curhat, sekalinya curhat ke temen, pasti kebongkar.
Sekalinya nulis diary. Dibaca kakak, diledekin.
Melamun, kak Rena datang ngagetin.
“ heh. Jangan ngelamun, ntar kesambet!”.
Dengan kagetnya, aku langsung memukul kak Rena.
“plakkk!!!”. suara pukulan terdengar jelas
“Sakit! Kamu kira kakak samsak, ada apa ? Kenapa ngelamun?”.
Aku pengen sih cerita tapi.. ntar diledekin, tapi kak Rena kayanya pengalaman,
tanyaya aja deh.
“hmm.. jadi gini kak, tadi sore Rani main ditaman, sekalian cari inspirasi buat ngelukis. Singkatnya, hujan turun deras, disaat semua orang pengunjung taman pulang, seorang pria berbadan atletis, tinggi semampai, pipinya merona dengan mengenakan mantel. Ia selalu ada disaat hujan turun, dan ditaman, dimana setiap.kali hujan, dia selalu berdiri disitu”.
Kak Rena mengamati pembicaraanku
“ kamu kenal dia? “
Aku sedikit kebingungan dengan lontaran pertanyaan kak Rena, sebab aku sendiri saja tidak terlalu jelas melihat wajahnya.
“ ga pasti sih kak, tapi aku bukan sekali doang ketemunya “.
Kak Rena membalikkan diri, lalu berdiri.
“ Jodoh kamu tuh, kalau cakep, kirim ke kakak, jones nih, udah 1 jam gak pacaran”.
Dengan tatapan membosankan aku menjawab.
“ satu jam itu jones? Kakak sebut apa aku yang dari lahir ga pernah pacaran?”.
Aku mulai kesal dengan kak Rena yang sama sekali tidak membantu.
“ kalau dari lahir, mari kita sebut nasib”. Kak Rena pergi dari kamarku dengan tawa jahatnya.
Beginilah hidup, setiap kejadian itu pertanyaan,
untuk memecahkannya butuh kunci jawaban.
Ibarat penyebrang jalan, menoleh kiri dan kanan.
Padahal tujuannya didepan. sama halnya dengan kita,
menoleh saja, tapi ingat yang menjadi tujuan.
Aku punya tujuan, tapi semua itu mulai tersendat.
Ketika penasaran pada diriku, sebab getaran yang tak pernah kurasa.K
inii menjelma, Aku tak tau rasa apa itu, yang pastinya beda.
Setiap orang memiliki warna rasanya yang berbeda.
manis biasanya diawal, Kita harus terbiasa dalam situasi demikian.
demikian yang dimaksud adalah terbiasa dengan setiap keadaan.
Malam harinya, ketika selimut hampir buatku terlelap,
tiba-tiba-tiba dering telfon membangunkan.
“ Nomor yang ga dikenal, siapa ya malam-malam gini?”. Aku mengabaikan, mungkin saja orang yang iseng minta pulsa.
Dering telfon kembali lagi, kali ini dengan nomor yang berbeda.
Penasaran siapa. Tapi dengan sedikit keraguan dalam hati,
mencoba berfikir positif. Tapi tak berani memulai percakapan.
Aku mengangkat telfon nya, tak terdengar apapun dalam telfon itu.
Aku masih menunggu hembusan nafas yang seakan ingin menceritakan semuanya.
“Buka pintu, ambillah” suara telfon itu berbunyi demikian, ketika hendak kujawab, spontan mati.
Dengan penasaran, aku membuka pintu rumah, tak terlihat ada siapa-siapa, tapi aku bisa merasakan, ada bau tubuh pria.
Ketika hendak menutup pintu, pandangan mataku tersorot, ada yang mengganjal.
Kulihat dibawah ada semua kotak hitam yang dililitkan pita berbentuk hati.
“siapa yang menaruh nya Disni? Suara misterius ditelfon tadi? Ahh yaa!”. Aku langsung kembali kekamar, membuka isi kotak. “apa ya kira-kira” lalu aku membuka dengan tergesa.
“Hah? Kuas? Ahh iya kuas aku tadi ketinggalan” aku mulai berfikir, siapa yang mendapatkan kuas yg jatuh ditaman tadi. Andai aku tau, aku akan berterimakasih sekali, Tapi, kenapa dia harus misterius gini.
Mengapa Kau Bersembunyi
Pagi hari dengan kicauan burung, tiupan angin yang menghembus pipiku dengan manja. Sontak saja membuatku ingin tertidur lagi, tapi apa daya.
Hari ini, tanggal merah. Dan aku harus melancarkan misi rahasia yang sudah ku rancang semalam.
“Aku harus ketaman, siapa tau ada dia lagi”. Aku pergi menuju taman, bersiul dengan langkah penuh pertanyaan.
Tiba-tiba Genta mengagetkanku
“ woyy pagi-pagi buta udah ketaman aja, ini ga hujan”. Genta mendorong ku hingga tersungkur.
“Aduh jangan rese deh, sakit tau!”. Aku memasang tatapan kesel, biar Genta tau.
Aku gasuka dikagetkan, apalagi sampai jatuh.
Luka kaki kemarin aja belum sembuh saat mandi hujan ditaman, sore itu.
“iya maaf, sinis amat dah. Misi apaan sih? Gaya banget pake acara misi. Oh iya Genta tau.. pasti misi turunin hujan ya? “. Genta tertawa , seakan suaranya yang terbahak itu , membuatku menjadi malu.
“jadi gini Genta”
Genta mendengarkan dengan serius, mulai mendekatkan dirinya padaku, sejengkal dari bibirku. Tanpa aku sadari, cowok misterius itu, yang aku tunggu ditaman, ternyata melihat kami berdua.
“ ah Genta mundur dong, apaan sih dekat-dekat. Nafas lu bau”.
Aku mendorong Genta , agar cowok itu tidak salah paham.
Cowok yang kumaksud ini, masih dengan mantelnya, padahal ga hujan.
Cowok itu pergi, aku ingin mengikutinya.
Tapi Genta membuat misi ku semakin sulit.
“ santai dong, apanih? Cerita dong”.
Genta maju satu langkah, sambil menjulurkan kupingnya.
“Tapi janji ya, abis ini gausah kepoin lagi”. Kataku dengan tatap matanya.
“Iyaiya apa”
Genta mulai terus memaksaku cerita.
Dengan rambut panjangku, kufikir cukup membuatnya takut.
Langsung saja ku perintahkan Genta berbalik diri, niatku ingin menakutinya.
Gimana dia bisa lama disini, kalau liat aku udah berubah jadi kuntilanak, sosok yang ditakutinya sejak kami kecil.
Aku langsung mengubah rambutku kedepan, menyesuaikan seperti kuntilanak.
“Udah bisa balik”
Genta membalik tubuhnya, sontak saja tanpa fikir panjang, jeritan lama yang terakhir kudengar saat kami kecil, terdengar lagi.
“whuaaaaaaaaaaa se..setannnn!!”
Genta lari terbirit-birit, sebuah kotak kecil terlontar jatuh dari sakunya.
“Hahhaha yaelah masih aja penakut”
Aku menunduk kebawah, mengambil kotak kecil merah, yang dililitkan pita kuning yang merona.
“Apa nih? Kotak isi cincin?”
Isi kotak itu adalah cincin emas, berbentuk hati yang melilitnya.
Kufikir Genta sudah cukup dewasa, pasti ini untuk seseorang yang disukainya.
Aku akan mengembalikannya kalau aku ingat.
Eh enggak, kalau aku bertemu dengannya maksudku.
Mengingat tujuan aku datang ketempat ini, cowok tadi sudah pergi.
Sialnya, misi kali ini tidak sesuai rencana.
Aku harus pergi ke toko buku, membeli sebuah buku untuk kubaca,
di Minggu yang cukup membosankan.
Genta yang menggagalkan misi, cowok misterius yang pergi tanpa sempat aku selidiki.
Aku berjalan menuju toko buku, langgananku.
Yang sudah berhasil membuatku memakai kacamata.
Dengan langkah perlahan aku membuka pintu, Mas Adi si penjaga toko terlihat termenung.
Bisikan jagat datang, seakan menghasutku untuk mengagetkannya.
“Mas Adi kebakaran!”.
Mas Adi kaget, tubuhnya bergejolak, seakan terbakar mendengar perkataanku yang berkata kebakaran.
“Hahahahaa makanya jangan ngelamun, ngelamunin apasih? Emang jomblo kayak mas ini banyak pikiran juga ya “.
Aku meledek mas Adi yang terpental takut tadi.
“Ah kamu Ran buat mas kaget aja, kalau jantung mas copot gimana?”
Mas Adi dengan nada keselnya.
“ santai, selow , kalem Rani bantu masang jantungnya lagi”
Mas Adi terlihat kesel, menarik ujung alisnya.
“yakin berani megang jantung? Terakhir kali mas liat, kamu lari karena dipojok baca,
salah satu buku resep masakan jatuh.
Dan kamu lari, teriak keras, sampai para pengunjung tiarap seketika”.
Mas Adi dengan nada meledeknya.
Aku sedikit malu dengan kejadian itu, tapi aku harus sedikit protes
dengan cerita yang berlebihan Mas Adi.
“ mas , ga se-lebay itu okey? Gaada yang tiarap.
“Dan soal teriak, itu bukan karena buku jatuh. Tapi cerita dari buku yang aku baca, aku hanya terbawa suasana”.
Aku mencoba meyakinkan mas Adi, dia harus tau kalau aku ga penakut.
“terserah kamu atuh dek, mas mah yes yes aja mah”.
Aku pergi meninggalkan mas Adi .
Menuju pojok baca, ekor mataku sedikit mengganjal.
Melihat pengunjung yang berlalu-lalang.
Husssstttt suara hembusan dikuping ku.
Tiba-tiba jantung ku berdetak kencang, seakan ada makhluk halus yang lewat.
Dengan penasaran aku membuntuti suara itu.
“Siapa ya tadi? Kok kayak hantu aja”.
Aku dengan liar mata. “Husssstttt” suara itu terdengar dari sebelah kanan,
mulai ku ikuti.
Terlihat seorang pria dengan kemeja panjang, yang digulung sampai siku.
Memakai masker dengan bau tubuh persis , seperti yang aku hirup ditaman.
“Apakah ini cowok yang ada ditaman itu?”
Aku berfikir kritis, berencana meyakinkan dengan bertanya langsung.
Pria itu berada tepat di depanku, memilih buku yang hendak dibeli.
“Hmm, maaf boleh saya bertanya”
aku dengan suara gugup tak menentu.
“simpan aja pertanyaan itu, aku belum bisa memberi jawabannya”
cowok misterius menjawab dengan nada cueknya. Lalu meninggalkan aku.
Kesal karena merasa sedikit lagi memecahkan misi, tapi digagalkan dengan jawaban tak diharapkan.
Suasana hatiku berubah, tidak ingin membaca dan membeli.
Bahkan bersapa dengan mas Adi untuk kembali juga sudah tidak enak lagi.
“eh mau kemana, ga jadi beli buku?”
Aku langsung melewati mas Adi, seakan suaranya hanya hembusan angin.
Kau Masih Menjadi Alasan
Seperti yang kalian tau, aku suka menari dibawah dagu hujan.
Aku merasa damai seketika, ketika tetesannya menyapaku.
Membuatku menari dengan asyiknya.
Banyak yang menganggap tingkahku ini masih ke kanak-kanakan,
Tapi itu ga jadi masalah, fikirku.
Untuk apa merasa dewasa, jika perbuatan kita bahkan lebih rendah dari yang bisa disebut dewasa.
Dewasa itu proses, bukan umur, bagiku. Karena ketika perbuatan kita dan perkataan kita sepadan, baru disebut dewasa.
Banyak diluar sana umur yang tergolong dewasa, tapi mengambil tindakan konyol.
Banyak yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Ketika dianalisa penyebab kematian mereka, masalah percintaan menjadi tokoh utama dalam tindakan yang kusebut Konyol itu.
Kalian tau.. hidup tidak selalu tentang cinta, pacaran atau gebetan kata anak masa kini.
Jujur, aku ga ada pengalaman tentang cinta.
Bahkan tidak pernah kepikiran.
Aku ingat, damar.
Ya.. damar, pria yang berusaha menyakinkan aku,
bahwa dia pria yang tiada duanya.
Tapi, perkataan Damar salah besar.
“Aku tiada duanya Ran, gaada yang bisa buat kamu seistimewa selain denganku!”, perkataan itu selalu diulang nya ketika bertemu denganku dimana saja.
Ya, Damar memang pria elegan yang penuh percaya diri.
Perkataan nya salah, aku menemui banyak pria sepertinya.
Dan itu seperti tersambar petir, Liat kelakuan Damar seorang aja gakuat.
Apalagi ada yang banyak seperti dia, Sungguh diluar ekspektasi.
Setelah gagal dengan misi mencari tau sosok pria yang tak berhenti membuatku bertanya.
aku menemukan ide baru, yang sudah kurancang sepulang dari toko buku.
Tiba-tiba ingatanku mendadak memancar.
Ya! Kenapa ga kepikiran dari tadi.
misi akan terasa mudah, kalau ada Tata.
Si ahli fisika, tidak hanya mudah mengotak-atik rumus,
Tapi soal menganalisis gaya-gayaan ala pelacak, dia jagonya!
Terakhir kali kulihat dia bertengkar dengan temannya yang bisa disebut mantan, tapi dia tidak suka mengingat masalalu, dia lebih suka menyebutnya teman. Ga pakai koma, cukup tijagony
Menuju rumah tata, aku fikir dia tidak ada dirumah.
Karena udah 3 hari keterangan sakit dikelas.
Tanpa berfikir lika-liku aku tidak jadi menemui tata.
Kufikir kerumah Putri lebih tepat untuk saat ini, teman sekaligus penyemangat.
Yang selalu punya solusi dari permasalahanku.
Ya, walau kadang masalahnya juga dia butuh tempat di. Dr. Cinta
Siapa lagi kalau bukan Yuda .
Cowok dengan kumis tipis, tatapan manis dengan suaranya yang dapat menenangkan hati para wanita.
Tapi untuk tingkatan aku, lebih baik ke putri dulu.
Langkah menuju rumah putri, seperti langkah tegas yang penuh harap.
dihati bergema
“ putri semoga bisa bantu, dia tidak pernah meleset.
Terakhir kali, kami menyelesaikan masalah”
mencari tau siapa selingkuhan dari mantan tata,
dijalan, langkah ku percepat. Tanpa kendaraan, sekalian diet maksudku.
Terlihat jalan menuju rumah putri, kurasa semakin angker saja.
Sepi hanya ada dua ekor burung, yang saling bersiul menggoda.
Dari arah belakang putri mengagetkanku.
“huaaaa!!!” bahuku ditepuk.
“aduhhh” jeritku kesakitan.
“ada apa? Cariin aku ya? Mau curhat? Bentar-bentar ada sesuatu nih kayaknya”
putri dengan tatapan sok taunya.
Dalam hatiku berkata, kenapa putri tau? Apa tampang aku emang tampang tak bergairah?
“jadi gini put, gimana kita cari tempat yang bagus dulu buat cerita, berdiri gini kayak disetrap aja.
“okeoke, kita ketaman aja gimana?” Putri bertanya padaku.
“hmm oke,.emang ada sekalian sih yang harus aku ceritakan ditempat itu”
Kami pergi menuju taman.
Sesampai ditaman, suasana taman masih sepi.
hanya dua orang saja didekat ayunan, fikirku orang yang sedang berpacaran. Penglihatan ku tak asing, kulihat pria yang diayunan itu adalah pria yang misterius itu, tapi dia selalu terlihat menunduk.
“put..putriii..” aku mencolek putri.
“Iya apa, dengan siapa dimana?” putri menjawab dengan nada bercanda.
“Ahhh serius, liat tuh diayunan sudut sana, ada cowok yang ingin aku ceritakan”.
Aku sambil menunjuk kearah ayunan. Putri melihat dengan tatapan tajamnya.
“Ah.. itu mah si Rainbow”
Putri menjawab santai.
“kamu kenal?kok bisa? Dia siapa? Trus kok mukanya selalu ditutup?”
aku mengeluarkan banyak pertanyaan,Seolah amat penasaran.
“aku kasih tau, tapi ada syaratnya”.
“ apa? Jangan bilang pengen minta hospot”.
“ itu tau, jadi gini... Namanya itu Rainbow, aku kenal karena dia anak dari temen papaku, dia baru-baru ini kecelakaan, ingatan dia belum pulih total”.
“trus?” aku semakin penasaran.
“trus.. dia Cuma ingat beberapa hal, termasuk tempat ini”.
“kenapa dengan tempat ini?” tingkat penasaran ku sudah makin akut.
“ ya karena dia suka tempat ini, konon sih katanya dia tenang ditempat ini, apalagi saat hujan”.
“ hm...”
“Emangnya kenapa?”
“Engga.. jadi beberapa hari yang lalu, bahkan udah sering... Aku ketemu dia ditempat ini, diwaktu dan hari yang sama, apalagi aku kan suka main disini, dan yang kamu tau put”.
“mandi hujan?”
“Nah iya, trus dia ada disitu, aku Cuma penasaran aja.. trus dia ga pernah perlihatkan wajahnya”.
“itu karena dia terlalu tampan”.
“dia cogan?”
“Tampan Ran, ampir aja aku naksir, tapi ya dia gitu, cuek stadium empat”.
“hmm bagus dong”
“Kok bagus?”
Lalu pria yang sudah ku ketahui namanya itu, ya .. Rainbow. Dia melihat kearah kami, seakan tau kami sedang membicarakannya.
“Put cabut yuk, dia liatin “ aku menarik putri.
dalam hati, aku bergejolak. Tampan juga tu cowok, tapi kelihatannya judes.
“ yakin balik? Yaudah yuk.. sekalian aku pake hospot”.
Kami pun kembali,Kerumah masing-masing.
“put, aku isiin kuota aja ya, gabisa lama-lama ada urusan penting”.
“Demi apa? Oke siap”
Putri dengan tarikan bibir yang senang.
Disisi lain aku merasa rugi karena Putri sedikit memeras ku.
Tapi, dengan informasi yang kudapat, sedikit mengurangi beban fikiranku yang selalu kepo gak ketolongan.
Aku jadi semakin ingin tau banyak tentang Rainbow.
Pria menunduk dengan mantel kesayangannya.
Ketika kita merasa ingin tau, maka cari tau sendiri, bukan dengan omongan orang lain.
Mereka hanya tau sedikit dari potongan kukumu, tidak dengan proses tumbuhnya.
Hari itu, selain aku suka hujan.. aku jadi menantikan pelangi. Seperti apa yang terjadi, Ketika ada hujan, dan aku.
Pasti ada Rainbow.
Aku Percaya Padamu
Tidak hanya sore, yang menjadi penentu malam.
Seharusnya kamu sadar, ketika aku pergi dari pagi.
Aku menunggu diwaktu sepotong senja.
Aku juga tidak kufur akan nikmat siang yang menghangatkan penjemputan sore.
Dimana senja saat itu senja panik, apakah datangnya pagi seakan mengancam kepergiannya.
Aku menyusun perlengkapan piknik dengan teman-teman komunitas lukisan.
Aditya sangat sibuk, dia teman yang sangat pengertian. Urusan beres-beres dia bisa disebut Ibu kedua.
“selesai, ayo pergi” Aditya menggendong tas-tas kami.
“Adittttt karpet juga dong sekalian” tea berkata.
“ah lu lebah Amsterdam, ga liat barang bawaan Adit? Tangan Cuma dua bro” Adit menjawab.
Karena kasian ngeliat Aditya tersiksa dengan beban gendongannya,
dengan hati yang penuh rasa kebaikan dan juga berhati malaikat. Aku membantu Aditya.
“Ahhh kasian temenku , sini dit aku bantu” aku mengambil karpet itu.
“Gausah biar aku aja, ntar berat badan kamu turun lagi” tiba-tiba Genta datang seperti jailangkung.
“etdah sejak kapan kamu disini, kok bisa ikut?”
“Bang adittt, tolong jelaskan padanya”.
“lau siape?” Adit dengan ekspresi bodoamat.
“Yahh Abang” Adit merengut.
“ hahahaha kasiang ga diakuin” aku meledek.
“iyaiya adek gue tuh, selisih 7 menit doang” Adit menjawab.
“wah kuat juga” aku menambahkan.
“hah? Kuat apa?”
“hmm lupain aja” aku masuk ke mobil.
“semuanya masuk.kita gooo!!!” Genta teriak.
“puncak, i'am coming!” Tea penuh semangat.
Sampai ditempat tujuan, aku turun pertama kali nya,
tidak sabar untuk mengawali hari, dipuncak.
Ya tempat favorit aku , yang dulu aku fikir adalah istana.
Istana bukan semua tentang bangunan yang mewah.
Berlapis emas, atau setiap sudutnya terdapat pengawal yang menjaga,
Dengan liar matanya.
Istana itu, suatu tempat dengan keindahannya yang tanpa
Campur tangan manusia.
Sebab, apa yang Tuhan ciptakan, pada dasarnya semua indah.
Hanya saja, tangan manusia jahil yang merusaknya.
Aku memandang sekitar, dengan tatapan kagum.
“Ran, gercep banget kamu.. aku tau kamu suka tempat ini,
Tapi jangan norak juga dong” Genta berkata.
Aku adalah salah satu cewek yang paling anti dibilang norak,
Tapi sepertinya Genta ingin bermain-main denganku.
“sorry sir, can you repeat again?” aku mengasah kepalan tanganku.
“wisss sorry-sorry, canda aja.. oiya hujan ni”
“mana-mana gaada kok” aku melihat keatas, tanganku merasakan rintik-rintik.
“heheh 2-0”
Aku semakin panas, kutarik kuping Genta.
lalu berteriak gejolak “woyyyy ikan gabus ngajak ribut?”
Genta merasa sakit, memegang tanganku.
“Kalau kamu yang jewer aku betah kok” Genta menggoda.
Aku langsung melepaskan jari jemari ku dari kuping nakalnya.
Genta memandangiku, seakan ada sesuatu yang ingin disampaikan.
“Ta!Getah!” aku mencoba membuatnya fokus kembali dari tatapannya.
“Eh iya Ran.. ada apa?” Genta seperti kaget.
“Dua tiga, kucing berlari”
“cakep,trus?”
“yaudah kucingnya emang lari, mau diterusin gimana”
Genta langsung mendatar, mengira aku ingin berpantun.
“Udah.. kok malah nongkrong berdua disana, sini bantuin buatin tenda.. mendung nih” Aditya berkata.
“Hiya iya Mak tiri bawel” aku menjawab.
“lah dibilangin kok ngeyel” Aditya kesel.
Aku membantu Adit membangun tenda, setelah usai.
Aku teringat akan kotak yang terjatuh, milik Genta yang ditaman.
Aku berniat mengobrol berdua saja dengannya, sekalian kepoin maksudku.
“Genta sini deh, ada sesuatu”
Genta menoleh.
“ penting gak?”
“gak”
“Yaudah gausah”
Genta berbalik lagi
“ya penting dong kecoa Empang”
Genta menghampiri aku.
“yaudah apa, buruan”
“Ada merasa kehilangan sesuatu gak ?”
“Enggak” Genta memeriksa kantong nya
“bukan Hari ini, ingat gak yang kamu lari ketakutan ditaman , eh tapi nanti aja deh kita sambung, aku ada urusan bentar. Bye
Kamu Selalu Ada
Dimalam hari diperkemahan Rina dan teman-temannya, suasana sejuk ditemani api unggun yang menari.
Aditya bermain gitarnya, Tea menghangatkan diri bersamaku, kami mengusap telapak tangan untuk mendapatkan kehangatan.
“Tea kedinginan, mau gue hangatin? Tapi jangan Ge'er ya, gue Cuma kasian aja liat Lu kedinginan. Kan ga etis aja cowok biarin cewek kedinginan tanpa kehangatan”
Aditya mengulurkan tangannya
“Yaelah bang, jago bener lu modus” Genta berkata.
“Modus apaan cuy, jadi cowok itu harus bisa melindungi cewek. Nah elu, hangatin gih Rani” Aditya menjawab.
Genta melihat kearah ku, seperti tatap menawarkan untuk dihangatkan.
“Ran”
Aku langsung menyambar perkataan Genta.
“Gak mau, aku ga kedinginan, api unggun udah cukup membakar aku”
Aditya tertawa
“Hahaa kasian bener baru manggil udah ditolak mentah-mentah, yang sabar ini UTS”.
“Rese lu bang” Genta kesal.
Semua senyap, tiba-tiba saja terdengar langkah llari dari arah timur.
“ Gaes ada denger sesuatu gak?” Aku bertanya
Semua terlihat mendengarkan dengan cermat.
“iya aku dengar Ran” Aditya menjawab.
Kami melirik sekitar, untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
“Semuanya tetap tenang, dan waspada” Tes berkata.
Tiba-tiba lari seorang pria kearah kami, dengan membawa benda tajam ditangannya.
Kami semua melihat dengan tatapan panik, cucuran keringat dan lari dari tempat
Kami bersantai.
“Lariiiiiii” Genta teriak ketakutan.
Kami semua lari pontang-panting, tak tau arah , Aditya sebagai petunjuk kami.
“Semuanya ikutin aku, kita lari menuju arah selatan”.
Kami lari dengan sekencang mungkin, pria yang menuju kearah kami tadi,
Dengan senjata tajamnya, telah tak terlihat.
Lalu, kami berhenti sejenak, Tea terduduk nangis, Genta dengan detak jantungnya
Yang sangat berisik.
“Semuanya tenang, pria itu sudah tidak terlihat lagi, jangan panik. Kalau kita berisik
Begini, pasti bakal ketauan” aku mencoba menena temanku.
Dari arah selatan juga, terdengar ada seseorang yang menuju kearah kami, kali ini
Langkahnya perlahaj seperti menyeret.
“Lihat itu! Ada cahaya” Aditya menunjuk kearah semak-semak.
Aku mendekati cahaya itu
“Jangan kesana , bahaya!” Genta menarik bahuku.
Aku melepaskan tangan Genta
“Jangan suudzon, siapa tau cahaya itu petunjuk”
“petunjuk apa? Jangan aneh-aneh Ran, aku belum kawin”
“Dih belum kawin bilang ke aku, emangnya apa urusannya samaku?
Dan kawin, seharusnya nikah dulu baru kawin, kebelet banget kamu”
aku sambil Berjalan menuju cahaya.
Aku sedikit ragu, tapi rasa penasaran mengalahkanku.
Suara langkah semakin jelas terdengar, lalu keluarlah seorang pria,
Yang ternyata adalah Rainbow, Tubuhnya berbalut cakaran.
“Rainbow? Kamu kenapa”
Rainbow terjatuh di hadapanku
“waduh gawat” Adit mendekati Rainbow dan memegang nadinya.
“Kenapa dit?” aku mengguncang Adit.
“Kondisinya sangat lemah”
“bawa kerumah sakit dit, ayuk” aku panik.
“back to home? Sejauh ini pulang kerumah?” Genta menyambar.
“eh ketupat basi, mau disini yaudah.. ga lihat ni cowok? Parah gini! Ada yg berbahaya ditempat ini” Tea berkata.
Adit merangkul Rainbow, membawanya kembali ke mobil kami, menuju kerumah sakit.
Cepat Sembuh!
Terkadang kecenderungan membuat kita pesimis, hari begitu rumit tanpa pamit.
Segelas teh, roti yang manja menemani pada rintik-rintik yang kian membisu
Pernahkah kalian berfikir, apasih tujuan kita ada di dunia, kenapa sih selalu gerimis datang berunding?
Tak semua pepatah dapat menjawabnya, setidaknya ombak sudah membantu tawa, menelan sukar kita bersama.
Sepulang kegiatan yang menyebalkan, tanpa tersisa kesenangan.
Rainbow dirawat dirumah sakit, infus yang menetes membasuh nadinya..
“ Dok, gimana keadaan teman saya?”
“ Teman kamu mendapatkan luka serius, jika tidak di operasi dengan segera
Ingatannya akan mulai kelam, benturan terjadi dengan keras mengenai saraf pusat” dokter dengan raut khawatir.
Aku makin khawatir, bagaimana dengan keluarganya, aku harus menghubungi keluarga Rainbow, jika tidak mereka pasti akan sangat khawatir.
Disaat aku mencoba ingin menggapai handphone dari meja milik Rainbow, tiba-tiba ada yang menyentuh tanganku.
“ehh” aku sontak kaget.
Tangan Rainbow menggapaiku, seakan mengisyaratkan sesuatu.
“Rainbow ? Kamu udah sadar? “
“Air”
Aku langsung memberi minum padanya, wajahnya pucat tak karuan
“Aku baru aja mau telfon keluarga ka..” tiba-tiba Rainbow menyambar.
“Tidak... Jangan telfon, aku mohon.. mereka akan khawatir”
“ Baiklah.. tapi ada syaratnya”
“Apa?”
Karena aku sudah tau banyak tentang Rainbow, dia adalah seorang penulis puisi terkeren, karyanya yang tersohor walau dia tidak pernah menempatkan nama aslinya disetiap karyanya.
“Buatin aku puisi'
“Boleh.. tapi janji ga akan cerita apapun tentang yang menimpa aku?”
“ Janji “
“ Buka tas aku, disitu ada buku puisi ciptaan aku, kamu bisa lihat dan pake”
“aku mencari buku yang dimaksud, ternyata emang ada”
Berikut isi puisi yang ditulis oleh Rainbow.
Secawan Dekapan Tuhan
Aku kelam pada hari yang terbenam
Candu senyumku tak lagi pantas dipandang
Seakan asing pada ruang jelmaan
Kucoba sembunyi dipojok perapian
Semesta enggan menepis kalbu
Pahatan jiwa runtuh tertimbun embun Secawan Dekapan Tuhan
Aku kelam pada hari yang terbenam
Candu senyumku tak lagi pantas dipandang
Seakan asing pada ruang jelmaan
Kucoba sembunyi dipojok perapian
Semesta enggan menepis kalbu
Pahatan jiwa runtuh tertimbun embun
Bahkan bayi-bayi debu pun sungkan berangan
Aku sendiri berdiri dibarisan diksi
Sajak doa memintal tali dosa
Meniup mawar hingga keujung pelipis
Tertulis pekat ternyata tuhan terpikat
Berbalas sanjung engkau pemilik jiwa
Terdengar seruan gemetar dari penghantar
Secawan api melarutkan peluh
Disaut doa yang renta ini
Hampir lenyap.. tuhan datang erat mendekap
Keren Juga Puisi Lo!
Hamparan Mimpi
Hak dirampas campak bagai tak berantai
Tangis hanya tontonan yang berbayang
Disela-sela awan tangis..
Meringik ngemis menggedor jiwa nurani
Tapi... muslihat yang dikarung
Hamparan keadilan tak pernah lintas berbisik
Aku.. dia... semesta dirugi
Memenjarai kami.. merampas hak keluh
Karangan perihal mimpi ditandus
Tak kuasa... fosil-fosil janji menggugur
Tinggal cerita yang merajalela bak bumerang
Kembali terus terulang mengayun kata
Yang rambat mencabik-cabik
Ramuan Secangkir Purnama
Tutur katanya membanjiri benak
Diawang-awang sungai aku ditelan arus
Tenggelam dalam mesin waktu
Burung-burung menyisipkan seminggu pesan
Masih awal bulan..
Purnama jelita menonjolkan tawa bahak
Mahkota itu melompat girang berlabuh ditahta
Bersemayam abadi digeluti musim semi
Duri menancap gigil meratap busur
Secangkir susu menghangatkan pertemuan
Kutempuh garis akhir kematian gilir
Mengakhiri cerita dengan ramuan rahasia
Pria Penunggang Pepatah
Lilitan bermukim dilingkar leher
Berpahat kasih kesungguhan tiada bantah
Pria tinggi bermahkota kata menarik ujung bibir
Mengalungi rasa bermuatan setia..
Kuda ditunggang hingga pematang letih
Berhenti dengan sepasang mata berlalu lalang
Menggantung janji menghantar sehimpun rindu
Benar kata pepatah leluhur lama
Muatan tak mematikan rasa
Tetap utuh berlilit sungguh
Tak membentang jarak antara rindu dan syahdu
Jahitan Takdir Penyemat Akhir
Percikan air menyelimut kabut
Langkah wanita itu menyeret garis besar
Balita-balita molekul membekui tapak
Seperti arah angin sayatan kakinya gaduh bermuncul
Gerimis sinis melepuhkan rumput irama
Menghijau keriput tergeletak bagai situa renta
Merusak dataran dijahit dengan alis
Mahir ia dalam melukis takdir
Lautan tak bertumpu sejalan pada detik
Penghantar menyematkan seselip pertemuan
Masih berdiam wanita misteri itu
Mengisahkan syahdu dalam larutan susu
Catatan Asing
Catatan menulis nama ditepi
Merasa asing aku menghangati diri
Melunjak tak terima memanjati tebing
Teratas ingin hanyut rasa tak kembali
Cakra pikir mencoba sketsa hasil
Tetap ditepi.. terasingkan tak diharap
Seakan tak ada tempat penuh ambisi
Catatan masih ditepi.. penuh detak namaku
Ganggang tulang mematah cerah nama
Asing sepi ditepi merasuki setiap ruang
Tak dendam catatan terus bergendang
Sehimpun Pusaran Puisi
Detik nadi menggigil marah
Seakan sendiri dalam bundar keramaian
Terasa sengat menyucuk kepelantaram
Bocah tua mendendangkan lampion kronologis
Teraduk dalam pusaran ditelan penjuru
Pusat mata air mengalir didobrak arus
Dering harapan tak selaras dengan ikatan
Bersender bagai angin tak bertulang
Sempat terbayang membekas dalam jejak
Mengusap kering dengan baja beranda
Poros dunia melingkar bagai bola mata
Sehimpun puisi membuatnya melugu hilang sadar
Cahaya yang dirindukan
Cerita bermula aku buta
Tak kenal cahaya.. bahkan gelap aku bingung apa rupa
Gelap yang mereka teriaki membengkaki sekujur telinga
Tak tau warna bahkan aku siapa
Tak dianggap diriku dipenjarai fikir
Berharap malaikat meredupi gerangan tanya
Berharap aungan tak lenggok memergok
Cerita asal mula aku buta
Kini aku coba meraba
Cahaya kini aku rindu
Cahaya kini aku mendamba
Bermula dari cerita aku buta..
Penyelinap Molekul Ilmu
Muncul dengan membara
Menyelinap ditengah pemantik api
Kerak waktu disihir serpihan ilmu
Penjelang telah mampir
Penyelinap kau penjaraiku dengan rima gumam
Berdengung melekatkan cahaya tak berbayar
Terbawa khatulistiwa mimpi
Tertidur pintar lekas esok terulang
Tuntas langkah senada senja
Semut-semut menggulung lengan baju
Mengikat butir-butir tau
Menggeram kepematang
Hanya molekul ilmu.. meramah jamu menyambut pendatang
Potret Rindu Pada Tuhan
Percikan lukis indah tergambar
Lautan mekar matahari merintih
Langit bersiul berkedip manja pada semesta
Tuhan jatuh hati pada kekasih berambisi
Senandung manja membekas dirongga hati
Tangan menggelepar mencari ruang peristirahatan
Berlari terengah-engah mencampak resah dihasrat
Mengibarkan sajadah berbau rindu pada tuhan
Sungai mengalir menghanyuti tembok-tembok pikiran
Menghadap serong tatapan berlabuh pada kiblat
Malaikat jiwaku datang memberi potret
Meramu langkah melatih gelora
Bintang berkedip-kedip berisyarat sehasta harap
Dari kandungnya dilahirkan bait puisi
Melemah lantera meredup gelisah
Wasiat Puisi
Relung kalbu mewasiatkan tempat
Bersemayam kasih ingin lelap dalam hingga tenggelam
Jangan meragu pagi tak rela meredup cahaya
Malam bersenang hati memajang kapal rindu
Ingatkah pertigaan malam kau seduh kopi asmara
Masih membelukar.. hangat sedalam puisiku
Membekas candulah dikediaman sajak
Resapi gemetar sihir.. tidurlah
Semesta mengijinkan sungkan mengusik
Terbenamlah seakan tak terlahir kembali
Wanita Pengidap Waktu
Aku mengidap rindu berkepanjangan
Tak terobati.. obatnya sibuk meramu kalbu
Waktu mengintip.. malu candu merontok diri
Berdiam menunggu waktu berlanjut
Aku mengidap sewindu janji manis
Semut merangkaki tenggorokan mungil
Membangun ruang senyum rasuk
Mendobrak hayal melambung lalu pergi
Aku mengidap sedetik hidup
Merengek direlung ramai mentangisi diam sunyi
Sedetik lagi... aku memuntahi waktu
Masaku berakhir.. manis datang menjemput janji.
Tekad Tak Beriak
Kami lukis sebuah riwayat
Kenangan tabu dalam gemeruh syahdu
Beralaskan pinta yang masih dipeluk erat
Kami kandung bersama segenap jiwa dan raga
Tak ingin kucari tahta itu
Biarkan aku, dia, dan mereka yang berjuang
Ini tahtaku, ini negeri ku, kuharamkan jejak kaki yang serakah
Berebut mengemis ingin memilikinya
Darahku sudah kucecerkan bertabur-taburan
Hamparan warnanya pun sudah kelam tentram
Beronta-ronta tak terima kuinjak kakinya
Tak apa katanya, tetapi bodohlah aku jika berdiam
Aku memiliki hak digenggaman tangan kanan
Kukepal erat bagai manusia berdendam
Tekadku sudahlah bulat merekat tekad
Dadaku lapang terang bagaikan sungai yang tak beriak
Al-Husna
Ruang ini .. awal rinduku berlabuh
Langkah tapak berat bagai menenteng senja
Berselimut ramai serupa event dalam generic structure
Setan-setan nakal mencoba tembusi iman pangkal jati
Ruang ini.. kediaman abadi
Kehidupan mengalir seiring seruling damai
Tertidur leluhur yang tetap membangunkan leluhur lanjut
Ruang ini.. kisah awalku ditaman syurga
Awal perintisan langkah tuhan
Akhirku bersemedi dalam imaji semesta
Juga akhir dari partikel takdir
Tinta Remang Rindu
Kusam.. lembaran kembali terulang
Debu-debu menjadi saksi isi tinta
Menggores kenang memantik tinta cucuran
Langkah jari terdengar amat misteri
Suara menguras saluran remang rindu
Awan luntur membasahi tapak kening
Seperti biasanya jalur alir membuka halaman
Pipi memalu merah menyalakan kobaran rasa
Pelipis membengkaki sel-sel lembaran
Terulang terus sayu mengulang
Berharap renggang terulang asmara juang
Tunai Sang Malam
Malam.. adakah engkau menitip luka
Membekas.. setahun uap memejam
Gerimis merambat membatuki dada
Tega mengapa radang enyah berpulang
Malam, ingatkah dikala kau terpejam
Kubawa sehektar cahaya agar kau menggelitik mekar
Rupanya sudah koma, derai tawa kenangan memasam
Manis tertinggal mencoba egois menjadi pahit
Malam, begitu ganas engkau bertunai
Menumpahkan lalu membiarkan gelap tergenang
Kopi pahit kau sumbang bagai selimut balas
Selendang Tak Bertuan
Lembar awal wanita menari tak ingat diri
Menjunjung tangis genangan abad lalu
Terguling menyudut dibara asmara
Membara melepuhi ingatan
Tepat sedetik yang lalu jiwanya lari terengah-engah
Selendang memintal gulungan leher
Lemak-lemak alis mengikis fajar
Terbit terik menyeduh kopi diksiku
Asap menjulang memancing hembusan bangkit
Datang tergesah menarik sedotan perlahan
Lembar awal bertinta lalu
Selendang tetap beku terkukus
Memangku gemerlap terus mencondong terik
Puisi Khusus Lo!
Pejuang Persimpangan Bulan
Rindu menghasut jasmani keluh
Tumpah susu mengundang sewindu kenang
Semut awam menggerogoti rahang belukar
Dengan lidah banteng serpihan kata tanpa bata
Dia pejuang dalam pertempuran tanpa sudut
Merintis langkah syaraf berteguh penuh harakat
Lantunan nasihat bermuara bak drama
Bukit berliur melinangkan secangkir darah
Persimpangan malam... pesapa merenungkan bulan
Persimpangan malam... pesapa merindukan pagi
Persimpangan malam... kujamu paduan hari
Lupakan sunyi bercengkramalah tuan-tuan pelangi
Hanyutkan prediksi halilintar esok
Hangatkan lantai-lantai pemikiran bungkuk
Tuntun punggung bulan bersender
Resapi langkah hingga derai detik tak berhembus
Pedang Remang Pikir
Pantulan pedang menyayat gagasan
Pokok pikiran disulap dalam balut
Aku tak kecoh dengan takdir kalah
Tak kecoh diguncang pemacu
Sehelai pedang merontoki lapisan kulit
Membekas dalam sejarah prasasti
Perang mentajami pedang tangkai
Sudut memanas melelehkan kedip mata
Cekikan menggembok tak bermassa
Berat ringan hanya remang pikir
Tabu, melebur tak ada jawab
Semakin tajam tak bertumpu
Ada pondasi membata tujuan awal
Pantulan pedang kini menyayat mata
Tajam menusuk tak beraturan
Angin Penuntun Rakaat
Pagi ini cerah, matahari menyombongkan kilaunya
Berkelip rupa..rambut — rambut mengikat rintik harap
Dibalik jendela.. bersembunyi kurcaci kehidupan
Sepucuk gigi menancap mengarati lautan
Labirin sesatkan pendakian ini
Aduk pelangi tebarkan sepeninggalan cerita
Bawa aku tersesat jangan biarkan mendung menuntun
Didepan kutampak ruang benderang curam
Akhir bendungkan tujuan awal
Lepaskan waktu mencari sembunyi diri
Risalah makanan sewaktu-waktu
Aungan angin penuntun rakaat pendekat
Penebas Tidur Panjang
Pintu menyaring bernada ketuk
Bersembunyi mematah singgasana
kopi dituang menyeduh akal fikir
gudang... mengikat denyut dahi
abu menahan dada awan
mengelak petaka bercucur membasuh mendung
senantiasa duduk bersilang
tawa cekik mematikan suasana
kupegang gagang tak berpangkal
berakhir tak kunjung lengah
tertidur lelap dinegri sehasta cerita
penebas membangunkan tidur panjang
Bisik Cerobong Hati
Usang.. mengalir ditepi tembok kening
Membujuk dirinya menepis danau tangis
Aku masih mendengungkan dongeng tentang perasaanmu
Duduk disemak tanduk menaklukan medan cerobong
Malam mengundang bulan mampir bercengkrama tentang esok..
Ingat saja anak-anak halaman menuangkan puisi
Pondasi menangkap kupu-kupu liar
Selaras dengan tatap mencampuri remang resep
Tinta terperangkap meleburi rimba
Liku jalan bersahaja dalam langkah
Kelinci memerhatikan gerak-gerik akhir
Telunjuk menggagaskan letak hati
Pedamba Cakrawala
Guru... kau hanyutkan hayal tipu
Memancar lembar cahaya
Tak hanya harap.. kepastian dibuah jari
Sepenggal kata terbata menggetar bibir
Menjulur makna menggeram tok kosong
Rintikan kasih juga mengisi naluri
Guru.. bagai cakrawala pedamba melirik
Tak kuasa mata sayu terayu
Akal.. kupu-kupu yang hinggp
Bak bunglon yang berubah dengan ilmu
Yang tak kenal tabu...
Reinkarnasi Alur Seberang
Sunyi benar-benar angker pemukiman ini
Gulali yang kuseruput direbut semut pembenci
Jalan masih berliku sesuai kisah awal kita
Gemetar, berada tepat dinaungan sekitar
Alur, ingat terakhir kau menyebrang?
Disaat itu.. dengan kelopak mata menghentak
Suara yang curam memanjat atap-atap persinggahan
Kau dan aku bagai sepasang
Anak-anak yang memeluk tangan
Mengangkat belai sambilan bersorak
Tawa menggelitik kepusat tarikan bibir
Jelas tak berkabut rumit tanpa prediksi
Berharap reinkarnasi yang tak akan khianat
Hujan Berhektar Rasa
Namaku rani, langit biasa menyebutku rain bahkan hujan
Selalu saja akibat senda gurauku mereka singgah
Aku berdansa pada setiap helai rintikannya
Dengan suhu berhektar air
Sketsa menggambar dengan lilitan pena
Mengikat erat tak berternak dermaga
Hembusan menerbangkanku kesimpul jurang
Jatuh.. aku terbaring gugur
Masih rani.. rain atau apalah itu
Aku tak usik...
Sebab langkah lantang tak akan rentan
Lapuk... hanya omong belaka
Aku tetaplah kicauan hujan.. yang terus berdansa
Dengan rintiknya..
Pelatuk Antara Kau-Aku dan Fajar
Janji kukus aku dalam tubuh
Aliran dengan lantang semburan lilit kata
Hancurkan paragraf rindu bertumpukkan angan bertemu
Sepoi singgah melahirkan awan prediksi
Masih sama detiknya, kau sapa dengan alkohol tatap
Ketenangan menjauh mencoba sibuk tak perduli
Tak begitu terang setidaknya lilin rela tersakiti
Tak mengharap jasa...
Hei pujangga pengemis relung waktu
Jangan sok tak perduli sapaan fajar
Membangunkan tak bermakna mengkejamkan diri
Dia peka terhadap rangsang menuaikan dawai
Keheningan sendiriku...
Setangkai Bayang
Jantung berdentum-dentum membolak-balik firasat
Ekor mata tak lepas genggam
Bibir melontarkan baris madu
Tuhan melirik mengkode setuju
Setangkai teh menjamu pertemuan
Duduk membayang akan berkemas pulang
Mata memicing egois bila aku meneduh
Sedikit gelagapan... lengan memberontak
Perlahan nafas mengadu
Tak tega menyaksikan drama tipu
Dunia berputar menggoresi semesta
Tak puas.. tetap tegas tanpa bias
Membilas Memori Kelam
Hei landuni kemana kau sembunyikan petang
Merambat kekerongkonganku
Kupikir dia bersembunyi. “saat pria berheningkan tinta merah diayunan matanya”
Tak pergi merantau jauh..
Masih disekitar kicauan nadi
Kupas saja... berlarilah menuju tiang paling diam
Penuai berbiasa menempatkan ruh-ruh
Aliri busa-busa keikal tapak tuan
Biarkan basah menjamuri pikiran bermusim semi
Coba amati museum peristirahatan fir’aun
Pasir-pasir menyelimuti kenang
Membaca matamu... yang berlinang tulis
Aku.. kau.. dan mutiara lampau
Dialog Samudera
Ibu jari terkadang bermetamorfosa bagai kupu-kupu malam... yang hinggap dibenak petang
Menyelam.. mencari penduduk arti
Perut laut memuntahkan pelayaran
Seisinya berkicau menghitami siku-siku ombak
Sikecil dengan dasi kumbang mengingatkan akan sepi...
Merasa tentram dikawal angin
Sejuk berdialog menjiplak bedak dipeta tubuh
Rata disekujur pupil
Membekas bagai samudera kenangan
Pengabdi Ladang Ilmu
Guru.. ruang waktu perputaran bumi
Lisan jadi kesan para pedamba
Dengan benih ia menabur kami
Dengan logika sarang-sarang purba mengundurkan diri..
Menggandeng ember berlumur masa depan
Tangan mungil disulap jadi pedoman
Rahasia langit dibendung jadi karung ilmu
Menebar kadar ruang bermaksud tuk berjuang
Guru.. kau ladang dari segala pedang
Mengasah lalu menuntun arah
Tak kenal letih.. semangatmu jadi pengabdian
Abadi...
Sejarah Tepi Rindu
Aku tak butuh sayap tuk singgah dihatimu
Tak butuh senyap tuk mencari dasar hatimu
Aku hanya butu tempat
Tempat bertinggal tanpa harus pergi...
Surutkan pandang tarik ujung alismu
Ada tepi kisah yang berkarat
Ada tepi kisah yang berisikan sejarah
Ada rindu yang menetes tanpa jeda
Berkisar antara petang dan penjemput
Aku kaku dalam hembusan langit
Terpanah dengan sosok pelangi
Teringat sejarah yang mendarah daging.
"Wisata ini puisi yang Sejarah tepi rindu, buat gue ya ? Hahaha". Tertawa sambil membalik lembaran
" PD "
"Harus Dong, gue lanjut baca ya cuk!"
"Silahkan gaes"
Puisi Gue Dari Hati
Lanjutan puisi Rainbow.
Pangku Aku Ibu
Dia mukjizat tuhan yang benderang
Bertaruh nyawa tuk melahirkan cahaya
Seroja tak bernada aku terayu
Teraduk lisan yang kaya kesan
Memikal merapi letus ditangan
Tak mengeluh pondasi tertata dengan hati
Sejuk... angin pun ikut mengayunkan tiap
Dia satu diantara pulau
Sungai yang mengalirkan aku kepenghantar masa
Dia jiwaku.. aku redup tanpa pangkunya
Dia istana.. tempatku mengabdi tanpa habis
Wanita Berkalung Beban Latar
Wanita berkalung beban latar
Mengunci alur rapat... tak berketuk ruang kembali
Kosa kata merantai bocah-bocah tanya
Segenap jawaban menggantung beban
Beban... makanan buah pikir
Rantai juga mengalir disekujur
Menghantui tanpa mengulur jemari
Wanita berkalungkan beban latar
Jabatan tangan melukis pagi ini
Tunggangan terikat tak meronta gugur
Sepadan... kisah risalah berdindingkan latar
Kalimat Tak Berlekas
Jangan biarkan matahari menepis
Sedih gudang bumi juga berhimpun
Manusia tak mampu meminjam langit
Semua sujud pada tiang pangkal tertinggi
Senyum bertauhid pada sang pencipta
Ghaib murung membayangi petaka
Larilah jatuh pada jurang terentan
Tikaian kalimat membekas tak lekas
Tak lepas syaraf bertawakal
Akal bertuan mengikuti perintah
Tak kunjung lekas
Membekas terkubur dalam peti ingatan...
Hanyut Bersama Lelap
Langkah bersumber pada mata air
Kala gelap menggigit tubuh merinding
Nafas waktu terseduh-seduh menyambut penantian...
Linting-linting samudera mengupas sejarah
Penghulu malam mensahkan aku lelap dalam pangkunya...
Membacakan intuisi lara memesrakan kedua..
Aduhai... baru ingat jendela mencibir marah
Dibawah tergenang kenang sampai desa raga
Diulang melahirkan catatan baru
Selesai dipertengahan puisiku
Hanyut tepat dilengkungan dadamu...
Lembaran Lamunan
Aku lahir dikala sepi menipis
Jantung berronta bagai mercon tetangga
Rasanya bagai terasing.. bahkan suram
Tapi tenang percikan didahimu tak akan membangunkan malam...
Masih tetap sunyi bermakam abadi..
Penjagaan ketat burung diutara melawan arah
Setuju pada ujur bibing berlisankan kebenaran
Jangan bawa dalam genggam pikir
Tepat nanti sore lembaran berganti
Tulis baru keadaan yang berakhir
Dosa yang Bermetamorfosa
Aku didustai dengan tulisan mahirmu
Yang bermanis lidah tatkala mencibir
Tak berakhir dipersidangan kulanjuti lukisan gerimis..
Yang mengubah cuaca bak petir
Selintang dengan cercaanmu perihal abad kemarin..
Masih seuntai...
Lalu tersambung dengan jarak khatulistiwa
Merubah bentuk
Bersilang duduk...
Aku disorot dengan bidik tuhan
Tak meng-azab raga.. namun tertidur pulas..
Dibawah dagu Pohon
Dibawah dagu pohon
Ada ranting bergelantung mengantungin buah pikir..
Merumuskan kejadian kemarin..
Mengingatkan kita dihari yang syahdu
Aku masih melamuni dahan-dahan risalah
Lipatan jari yang terus melekat
Dirimu tak ada berubah.. masih dengan warna genggaman ... kelam..
Dibawah dagu pohon..
Tangisku dipoles sehelai daun
Digaduhi seperangkat rindu
Hanya ranting, tapi memabukkanku
Tak menyadarkan aku.. dengan alkohol puisimu...
Rel Puisi
Rel itu menyatukan pertemuan kita..
Rel yang menyambungkan jarak pelabuhan hati
Kereta lewat mencondongkan dada
Beda penumpangnya berhasrat bahtera
Lampion bergetar memijarkan tanpa pikir panjang
Masih diparagraf rel puisi
Terbentang empat mata pada samudera
Panggung menaikkan badan menahan renggang
Tak perlu gelisah..
Naga masih disketsa
Laut masih berayun bergandeng ombak
Selaras rahang belulang
Tangan selaras dengan tarikan
Lembaran nafas pistol melubangi sel darah
Rentan melemah menarik secangkir cengkeh
Mengait rahang-rahang belulang
Sanggulan dangkal menyelimuti jidat dengkul
Memadam membantingi jurusan keluar
Pertengahan cakap membengkaki pipi longsor
Tetap berpondasi layaknya prasasti
Susunan batu-batu agung
Besar menaikkan dada mengibas lipatan dahi
Sulit... lintingan belulang menarik tanah
Pelukis Masa Benderang
Aku lukis sebuah harap
Tintamu.. menggores jawab
Engkau kelip kalung bagai masa depan..
Guru... jiwamu emas kilau benderang..
Ruhku terikut dengan kemaya sejuk
Tutur menjadi bahas segenap hati berantai kasih
Guru... dihatimu seduhan tiap masukan
Bak penuh cairan kolam ilmu
Tentram jiwa tak menyayat kesyahduan
Guru kebiri lampu bersenter hati
Tak hanya kilau .. juga memancarkan aura
Terimakasih kunciku.. pembuka gembok diam
Pembuka pintu yang bingung entah berantah
Gelap tiada Akhir
Gelap tak sepandang dengan rahasia
Menggerutu mencabik goresan tinta
Tak terima dengan pendapat angin
Menoleh tanpa sudut merangkul sepi
Sunyi bisikan angin laut
Rantai mengikat hayalku dia mereka yang bermuara...
Genangan membasahi gembok khayal
Memaksa sungai menderas gemas
Tak ada letak.. perahu melayarkan sesuai jatah
Sesat mengawali kisah relung
Hanyut bertebar melingkari detak nadi
Darah setuju dialiri darah yang tiada henti
Bukti milik atau Tidak
Lebih menjaga bukti tak bermilik
Aku tak dianggap dengan gelagap
Lancip menusuk menikam fakta
Aku bingung dengan lereng dengung
Menyakitkan kuping tergores lisan tinta
Pohon membungkuk membusung tak berdaya
Daun jatuh digerbang persis diujung kelopak
Tak mahir.. bidikanku meleseti penjuru
Bumi berputar memusingi daya khayal
Lagi dan lagi... ah entahlah...
Seperti itu kah? Halah aku tiada daya
Kertas merobek hati.. jiwa penat terus dikhianat
Andai saja janji berujung.. niscaya kupenuhi bukti
Ikrar Mimpi
Mendayung kepersimpangan alis
Menggantungi perlak-perlik mimpi
Bersamanya banyak tata cara diikrar
Dia kuat menahan gunung
Kuat mengkosakata ikrar
Bermimpi tanpa takut curah tinggi menghantam
Tetap saja daun-daun merengek
Tak usah gentar.. aku dia saja yang sadar
Sadar tanpa ilusi belaka
Biar sama ikrar kita impikan
Biar aku ikut cakap tentang pagi esok
Agar aku tau.. apakah dusta ia menjemput senja
Langit Bersiul Ratap
Kresek menjejaki daya fikir
Lidah menungkik mengisyarat tata letak
Aku berdiri sejenak disampan puisi
Didayung dengan hembusan arah angin
Langit pernahkah engkau mentangisi diri
Dikala lelap tak setetes angis menghapus
Dikala cengen bagai tak bertuan
Engkau disinari kabur mentari...
Langit mampir saja kepelukku
Akan kucerita hal sama yang lebih berdiagram
Hanyut bersamaku dalam siulan ratap
Rindu tak Beraturan
Dipangku dengan belai banjir kasih
Kini tinggal bayang yang bergentayang
Menarik diriku kepojok rindu
Menuang cucuran air yang terteka
Telah tiada bayang aku bingung apa hanya bersembunyi...
Pada diriku yang teramat gila rindunya
Tak beraturan...
Tak berpedoman...
Selalu saja mengamuk perihal rindu
Karena bukan hanya tak dapat kupikul
Tapi juga bingung tempat untuk bertempat..
Lagi dan lagi...
Kini aku semakin rindu...
Heiii!!! Tanggung jawab!
Hidup atau Mati
Hidup dinegri sejuta laksana
Tetap saja.. masih berbondong pengemis waktu
Tak puas... tamak amat sangat !
Dibutakan gelimang dunia
Tak tahu diri! Bahkan lupa tujuan penciptaan
Merangkak tikus berdasi
Merajut janji dengan sejuta ambisi
Bercak tak meyakinkan... mencoba meyakinkan
Hidup masih berjalan dengan lancang
Tak sepadan dengan lamanya lalu lalang
Takut jujur pada relung.. takut diakhiri
Dasar pecundang bumi! Enyah lah dengan janji tak bertepat...
Dimensi Remaja
Aku dalam dimensi kaku
Menggigiti waktu yang mencoba lari
Terpejam namun tak tertidur
Dalam riak ombak bisik itu hadir
Raut petaka mengingkari senja
Tak ingin bersengkokol pada simalakama
Yang kutanya jiwa .. apakah ikhlas menahan penantian
Roman saja aku tak rasa
Bagaimana bisa merangkul rasa?
Jangan tanya soal setia... bahkan rindu saja aku tak kuasa
Jika tanah mengharumi jasadku
Barulah kau tau setia... setia hingga ajal menjemput...
Malam Senin Kemarin
Dia menggigil memancarkan duka
Aku tak kuasa hati terbekam
Aku tak tau denyut apa
Waktu pun hanya bersiul sapa
Direnggung jiwanya.. sehening lampau jadi saksi
Berharga.. bahkan menyamarkan harta pembajak
Jauh merampas lautan
Yang dalam dilantunan ayat kursi
Ruh-ruh sempat pergi
Kemudian tersesat ke raga entah siapa
Aku dengan tasbih memerdukan sukar
Tiada tanding... aku harap ruh nya kembali datang
Jangan Kaget!
Aku selalu tertawa mengingat makalah peristiwa
Makin membukit saja aku tak sadar
Terus ku aluri.. tak perduli entah sudah dihalaman keberapa..
Yang aku canggungkan bukan waktunya
Tapi hal- hal yang menaburi waktu
Andai saja tawaku terekam
Dikemas dalam tontonan..
Pasti sudah malu engkau menunduk
Tapi sudahlah.. biarkan jadi sejarah yang membuatku kaget hingga bertawakal...
Waktunya Telah Tiba
Setelah membaca semua puisi milik Rainbow, aku teriak kagum padanya.
“Waaaaaahhhhh keren gilaaaaaaa, ada bakat juga lu”
“Nyantai dong itu belum seberapa” Rainbow dengan raut sombongnya.
Tidak lama kemudian dokter datang.
“Dok gimana keadaan teman saya, baik-baik saja kan?”
“Baik, sudah bisa pulang “
“Pulang sekarang bisa dok?' Rainbow menyambar
Aku dengan spontan menepuk bahunya sembari mengatakan.
“Eh kecoa, baru aja sembuh langsung minta pulang”
“ gak betah.. sekalian gue ada yang mau dibilang”
Aku malah jadi penasaran dengan perkataan Rainbow barusan, apa yang hendak ia katakan..
Waktunya Telah Tiba
Selepas pulang dari rumah sakit, tentunya keadaan Rainbow makin membaik..
Sesuai janjinya, ia akan mengatakan sesuatu padaku..
Rainbow mengajakku ketaman tempat dimana aku selalu bertemu dengannya.
Saat itu hujan mengguyur kami dengan lembut
“Rani..”
“eh iya, saya?” aku menjawab lembut, sesuai suasana.
“Kamu seharusnya tau sejak lama aku ini siapa, mengapa aku selalu bersembunyi, dan selalu saja ada di manapun kamu”
“maksudnya?”
Aku semakin dibuat bingung dengan lontaran kata yang diberikan Rainbow, tak biasanya dia omong kosong seperti ini.
“ Aku Farhan “
Aku kaget dengan terpaku tatapan kosong.
“ Apaan sih rain lu ngaco “
Aku mulai merasa aneh dengan Rainbow, dia mengatakan bahwa dia Farhan..
Anehnya lagi, aku merasa itu benar Farhan, tapi aku hanya saja kurang percaya.. bagaimana bisa dia Farhan, sosok yang kucinta sejak duduk di bangku sekolah dasar.
“Tapi...”
Farhan langsung memegang tanganku.
“Aku sudah menunggu lama saat ini ran, akhirnya kita dipertemukan.. aku tau kamu Disini semenjak orangtua ku pindah dinas, aku ingat nama orangtua mu, mereka satu pekerjaan, bukan? Langsung saja aku mencoba meyakinkan diri, untuk terus mencari bukti bahwa itu kamu”.
Aku langsung menangis dan memeluk Rainbow ( Farhan ).
“aku ga tau mau ngomong apa lagi”
“Hanya jadi dirimu saat ini saja, diammu adalah jawaban.. aku mau hujan yang membasahi pipi kita, menjadi saksi”.
“Saksi?” aku bingung.
“ Aku sayang sama kamu, aku gak akan sejauh ini, kalau gak menjaga rasa”.
“Farhan?”
“Iya?”
“ini gak prank kan?”
“Cinta itu bukan mainan, tapi keseriusan”.
“truss?” aku tambah bingung.
Farhan menggapai tangan kananku.
“mau kah kamu?”
“mau”
“Kok cepat banget jawabannya, cieee haha”.
“Kamu yang jahat, ngasih harapan dari lama, baru sekarang bilangnya”
Rainbow menghadapkan wajahnya keatas lalu menjerit.
“Langit! Kau saksi dimana aku benar mengatakan cinta pada dirinya yang selama ini aku nanti balasan cintanya”.
Itu akhir dari aku menemukan cintaku yang lama hilang, sejauh apapun pergi pasti kembali. Itu dibuktikan oleh Farhan, Cinta rahasia dan sekarang bisa banyak orang lain ketahui.
Aku senang bertemu lagi dengannya, dengan bersatunya cinta kami.
Description: Nama lengkap : Cut Cotrunnada
Instagram : n_cutcute
WhatsApp : 082283041654
Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #NulisSukaSuka 2019
#CeritainAja
|
Title: Rumit
Category: Teenlit
Text:
Hai
Rembulan malam ini tampak malu malu menunjukkan sinarnya, mungkin ia tahu ada gadis yang sedari tadi duduk termangu menatapnya.
Namanya bintang. Cahaya Bintang Pradita. Siswi kelas X IPS 1 ,SMA NUSA BANGSA .
Dddddrrrrrtttttt
Bintang segera memeriksa ponselnya yang bergetar ,ada satu pesan masuk disanaSepertinya nomor baru
'Hai bi'
"Siapa nih " gumam bintang dalam hati
Sedetik kemudian
'Gue arka ,temennya bima hehe'
Bima anak X IPA 1 ,dia pacar Amel,salah satu sahabat bintang. dan Arka anak X IPA 2 ,dia striker team futsal bima.Bintang segera menyimpan nomornya arka
'Hai ka'
'Bi,besok kamu sekolah bareng siapa? '
'Sendiri,kenapa? '
'Oke,kalau gitu besok gue jemput jam setengah 7 ya dirumah lo '
'Ngapain mau jemput gue'
'Goodnight,bintang'
Bintang bingung dengan tingkah laku arkapasalnya ia baru sehari mengenalnya dan arka belum pernah kerumahnya
"Lah,dia gak nanya alamat rumah gue gitu? " gumam bintang dalam hati
----------Keesokkan harinya dirumah bintang
"Bintang turun,ditunggu temannya nih" teriak dita,mama bintang dari bawah
Lima menit kemudian bintang turun menenteng tas ransel hitam yang ia beli kembaran dengan mita sahabatnya,minggu lalu.
Bintang kaget, tak percaya dengan apa yang di lihatnyaArka sudah berada di ruang tamu nya
"Lo kok tau rumah gue" cerca bintang pada arka
Arka yang memainkan game di ponsel nya sontak kaget,ia langsung menoleh ke belakang
"Eh pagi bintang " sapa arka dengan senyum manisnya
Bintang tak menjawab,ia segera memasukkan kotak makan dan botolnya kedalam tas
"Ma,aku berangkat dulu ya" teriak bintang pada mamanya yang masih sibuk di dapur sama mbok darsi
"Iya hati hati nak,langsung aja tangan mama kotor lagi bersihin ikan " kata mama
"Yaudah yuk berangkat " kata bintang pada arka
"Tante ,saya berangkat dulu .assalammualaikum" arka sedikit membungkukkan badannya dari jauh pada mama bintang yang masih bisa dilihatnya
"Ya arka hati hati titip bintang ya, waalaikumsalam." sahut dita sembari mengangguk dan tersenyum
Mobil arka melaju dijalan yang lumayan sepi
"Lo tau darimana rumah gue" cetus bintang pada arka
"Gue tau semua tentang lo" jawab arka tak kalah cetus
"Oh ya? Lo admin lambe turah? " sahut bintang
Arka hanya tertawa didalam mobil ,sementara bintang diam saja memandang lurus kedepan
Tak lama kemudian mobil arka memasuki parkiran sekolahSetelah mendapat tempat parkir arka turun lebih dulu ,disusul bintangSontak membuat para siswi yang melihat kaget
"Eh siapa tuh cewek "
"itu pacarnya arka ? "
"Yah,potek hati dede bang"
Begitulah celotehan para siswi yang melihat bintang berjalan dibelakang arka
Namun tiba tiba ada cowok yang menghadang arka dan bintang
Eits sampai sini dulu ya bab satu nya, Mari berteman di instagram,follow me @dviaprliani See you soon! xoxo
Suka?
"Woy nyet ,siapa tuh kenalin kali ke temennya" Reno sudah didepan kelas bintang, bersandar ke pintu
"Eh bangke ,awas lo ! Ganggu aja, gak ada kenal kenalan" sahut arka
Tiba tiba reno menarik dan menjabat tangan bintang
"Hai,gue reno temen sebangkunya arka"
Bintang sedikit kaget tangannya ditarik,namun kemudian ia tersenyum tipis "Bintang" balasnya pada reno
"Udah jangan lama lama megangnya, tangan lo najis bau dugong " arka melepas tangan reno dari bintang
" Yaudah sana masuk,nanti pulang bareng ya" kata arka diambang pintu dan kembali berjalan menyeret kerah seragam reno tanpa menunggu balasan bintang
"Dah bintang" ucap reno dari jauh
------------Bintang masuk kelas menghampiri tiga gadis yang sedang menunggu nyaYa,itu mereka sahabat bintang
"Ya ampun manis banget sih arka, gemes deh" Ucap sasa yang masih menatap pintu kelas
"Cie yang berangkat bareng arka" Amel berdeham kecil
"Jan lupa siapin pajak jadian ye" sahut mita
Sementara bintang diam saja enggan menanggapi sahabatnya yang heboh itu
Lagi pula,bintang memang tak menyimpan perasaan pada arka Justru ia lebih tertarik pada sahabatnya,reno .
Reno anak futsal yang digandrungi cewek cewek disekolah karna body nya yang atletis dan terutama tampangnya ganteng ,dengan rambut model oppa oppa korea tentu jadi idaman kaum hawa terutama kpopers .
Sebenarnya arka tak kalah keren, ia anggota OSIS yang baru terpilih minggu lalu. Cowok cerdas,berkaca mata dan punya lesung pipi di sebelah kanan yang membuat semua gadis terpikat saat ia tersenyum.
---------Hari ini cukup melelahkan bagi bintang, karna tadi pagi ia tidak sempat piket akhirnya pulang sekolah ia harus membersihkan kelas.Bersama siti dan ani. Setelah kelas bersih mereka bersiap akan pulang
"Bi,kita pulang duluan ya ,takut kesorean gak dapet angkot" kata ani sembari mengenakan ranselnya
"Oh iya gapapa,hati hati ya kalian" bintang masih sibuk mengikat rambutnya
"Yaudah,bye bintang " sahut siti disusul lambaian tangan ani
Bintangpun membalas lambaian tangan mereka,ia tidak sadar ada yang memperhatikannya sedari tadi
----------Sementara di sebrang kelas bintang,ada cowok duduk di gazebo memperhatikan gadis idaman nya mengikat rambut
"Hm kenapa ya cewek kalo rambutnya diiket cantiknya bisa nambah" gumam reno dalam hati sambil senyum senyum tak jelasia kemudian mendekati kelas yang baru saja ada dua orang keluar dari sana
"Sore bi" sapanya mengagetkan bintang yang sedang mengenakan sweater nya
Bintang menoleh ke arah suara, "eh reno ,belom pulang lu?"
" kan aku nungguin kamu " ucap reno dengan senyum manisnya
"Hah ngapain nungguin,aku kan pulang bareng arka " sahut bintang sembari berjalan keluar kelas
"Arkanya lagi sibuk mau pelantikan OSIS kan besok,kamu gak di kasih tau? " reno berjalan beriringan dengan bintang menulusuri lorong sekolah
Bintang baru sadar besok ada pelantikan OSIS ,tadi ada pegumuman besok upacara, ia harus berangkat pagi pasti.
"Woy bi … bidadari ! malah ngelamun" ucap reno mengacak pucuk rambut bintang seenaknya
Bintangpun sadar dari pikirannya
"Ah enggak, yaudah yuk pulang" kata bintang
Merekapun sudah sampai parkiran , reno memberikan helm yang disimpan di jok motornya
"Lo setiap hari bawa helm dua?" tanya bintang sembari mengenakan helm
"iya ,tiap pagi gue nganterin adek sekolah" reno menyalakan motornya
Bintang hanya ber oh ria, ia segera naik ke motor reno dan keluar dari parkiran melewati gerombolan siswi didepan pagar
"Eh liat deh itu kan cewek yang tadi pagi bareng arka"
"Oh iya bener,kok sekarang dia pulang bareng reno sih?"
"Cewek gak bener tuh pasti"
Begitulah celotehan para siswi yang melihat bintang dan reno berboncengan
Terimakasih yang sudah baca?
Follow dviaprliani
See u soon guys!
Modus
Upacara pelantikan OSIS telah usai,para murid berhamburan ke kantin berburu minuman membuat suasana kantin riuh
"Panas beud gilak,rambut gue jadi lepek deh" ucap mita merapikan rambutnya yang lepek
"iya nih mana gue laper lagi belom sarapan ,untung aja gue gak pingsan tadi di lapangan" sahut sasa yang kini melahap nasi goreng
" yaelah,lo mah udah sarapan apa belom juga tetep makan tuh nasgor nya buyar" ceplos amel
Buyar memang panggilan bu yarni,entah siapa yang pertama memanggilnya seperti itu .ia hanya mengikuti sang suhu, kakak kakak kelas nya.
"Hehe iya sih,aroma wangi nasgornya ini tuh gabisa ditahan jadi laper gitu bawaannya" jelas sasa polos
Tiba tiba ada cowok nimbrung duduk disebelah mita ,mita sontak kaget lalu menggeser tubuhnya ke samping bintang
"Numpang ya,gue ga dapet kursi mau makan " kata cowok tersebut sambil melahap pop mie nya
Para gadis ini hanya diam heran melihat tingkah laku cowok ini ,namanya Briyan Adiputra Prakasa cowok kelas X paling populer disekolah. Doi punya geng badboy gitu namanya Loss,ada si bima pacarnya amel,edo,chris, dan briyan tentunya.Dan dia duduk disini mau modus kenalan sama mita,cewek cantik anggota cheers yang mencuri perhatiannya.
"Woy,menang banyak lo duduk disini " kata bima sembari menepuk punggung briyan
"Apaan sih lo ngikut aja,naksir lo sama gue?" sahut briyan
"Dih najis amat ,daripada sama lo mending gue sama buyar" ucap bima
"Yaudah aamiin deh " kata briyan
Sontak semua gadis tertawa mendengarnya,termasuk amel pacarnya bima.
"Eh btw kenalin gue briyan sekelas ama nih kebo" ucap langit menatap para gadis sembari menoyor kepala bima
"Yaelah nih anoa bego,mereka pasti udah tau lo lah.satu sekolah siapa yang gatau lo?" tegas bima menyentil ujung pelipis briyan
"Emang iya ? Kalian semua tau gue?" tanya briyan menatap para gadis
"Tau" sahut bima
"Diem anjir, gue capek ngomong sama lo mulu" umpat briyan
Bima hanya memutar bola matanya,kemudian meneguk es teh setelah ia melahap habis baksonya .
"Yaudah sayang yuk balik ke kelas" ajaak bima pada amel ,amel langsung berdiri diikuti sasa,bintang,kemudian mita .
Namun tangan mita ditarik briyan ,akhirnya ia duduk kembali.
"Eh lo disini dulu temenin gue makan ya,kasian gue gak ada temen hehe" ucap briyan pada mita
"Tuh mit temenin abang briyan kasian die butuh perhatian" kata bima
"yaudah kita duluan ya" kata amel pada briyan dan mita
Sebelum mita menjawab mereka sudah pergi, mita mengutuk sahabatnya dalam hati 'Awas ya lo semua'
"Lo gak makan?" tanya briyan pada mita
"Gak laper" jawab mita singkat
"Nih" langit menyodorkan hpnya pada mita , mita diam tak mengerti maksudnya briyan
" gue minta nomor hp lo" kata briyan sembari menatap mita
"Buat apa?" tanya mita
"Buat pak satpam katanya dia suka sama lo" celetuk briyan
"Hah?" mita kaget
"Yaudah mau ngasih nggak?" briyan sudah menghabiskan popmie dan teh pucuk nya
Akhirnya mita memberikan nomornya agar ia bisa cepat kembali ke kelas
"Nih udah" mita memberikan ponsel pada briyan,kemudian pergi meninggalkannya
"Eh mit,tunggu dulu" briyan mengejar mita kini mereka berjalan beriringan
"Apa lagi? minta nomor apa ? nomor rumah? nomor sepatu?" mita mulai kesal pada briyan
"Haha enggak,judes banget sih lo. Gue cuma mau bilang soal omongan gue yang tadi "
Mita menunggu ucapan briyan
"Bukan buat pak satpam tapi gue ,gue suka sama lo" briyan berjalan didepan kemudian menoleh kebelakang dan menggoyangkan ponsel ditangan kanannya
"makasih ya" ucapnya lagi sambil tersenyum pada mita ,lalu masuk ke kelasnya
Sementara mita masih diam ditempat,ia speechless dengan kalimat yang dilontarkan briyan barusan
'Gue gak salah denger?' Ucapnya dalam hati
Jantungnya berdebar tak karuan, kakinya lemas Namun sedetik kemudian senyumnya merekah,Ada apa dengannya? Apa ia juga menyukai briyan?
Cie yang ikutan senyum senyum jugaTunggu kelanjutan ceritanya ya readers Jangan lupa follow dviaprliani
Hukuman
'Gue briyan ,save nomor gue ya'
Mita senyum senyum sendiri membaca pesan dari briyan "Ceilah ngapa lo senyum senyum sendiri? kesambet lo? " ucap bintang menarik seragam olahraga mita,sontak membuatnya kaget"Chat dari siapa sih? sampe segitunya " sahut sasa yang duduk di bangku belakang bintang"Apaan sih kalian kepo deh" kata mita sembari memutar bola matanya dan memasukkan ponselnya kedalam tas ,setelah menyimpan nomor briyan tentunya .
"Guys pak budi udah nungguin kita di lapangan ,yuk buruan turun" kata tyas sang ketua kelas X IPS 1
Semua penghuni nya udah keluar,kecuali mita yang sibuk cari ikat rambutnya entah jatuh dimanaSetelah menemukannya,ia segera turun.
Mita tahu ini pelajaran olahraga, mapel yang paling dibenci karena keringat membuat rambutnya lepek.
Pak budi,guru killer yang kalo ngasih punishment gak tanggung tanggung. Apalagi kalau ada murid yang telat mengikuti pelajarannya .Dan mita telat kali ini, ia sudah tau bahwa dirinya akan dihukum. pasti itu .
"Hei kamu mbak yang baru datang kesini dulu" ucap pak budi membuyarkan konsentrasi semua murid yang sedang streching ,ia melambaikan tangan ke mita yang masuk ke tengah barisan.
'Kan apa gue bilang pasti ini mau dihukum' ucap mita dalam hati"Goodluck ya mit " bisik bintang pada mita"Paling disuruh jalan jongkok keliling lapangan " amel asal menebakMita dengan langkah yang berat,maju ke depan ,semua mata tertuju padanya.
"Sekarang kamu lari keliling sekolah tiga kali" ucap pak budi Mampus .ini sih lebih berat dari tebakan amel tadi ,"Sekarang pak? " mita menatap pak budi dengan tatapan polos"Nanti nunggu bedug maghrib, ...Ya sekarang lah" pak budi meninggikan nadanya ,mita ketakutan Tanpa ba-bi-bu lagi ia menancap gas segera berlari ,sebelum pak budi menambah hukumannya.
----------Kini sudah tiga putaran mita berlari,napasnya terseok seok jantungnya hampir copot ia berhenti sejenak duduk di gazebo depan kelas , mengatur napas nya yang menggebu gebu
"Nih minum dulu" sebuah botol mineral dingin mendarat di lengannya ,mita refleks menjingkat "briyan" mita kaget ada briyan disampingnya , ia menerima botol mineral dan langsung meminumnya seperti musafir yang berhari hari belum minum hingga airnya tersisa setengah botol Mita baru sadar ia duduk di gazebo depan kelas briyan .
Setiap kelas memang ada gazebo cukup besar didepannya , biasanya anak anak nongkrong di gazebo untuk sekedar ngobrol,mengerjakan tugas, numpang charge handphone/laptop mereka ,bahkan pacaran juga .
"Capek kan lo disuruh muter sekolah tiga kali" ucap briyan dengan senyuman mengejek"Tau darimana lo? " tanya mita sinis"Tadi di kantin gue ketemu bintang sama yang lain tapi lo ga ada, katanya lo dihukum pak budi,yaudah gue beli air mineral terus nyari lo eh ternyata depan kelas gue sendiri . emang ya,jodoh ga kemana " jelas briyan panjang lebar dengan senyum menggoda di akhir kalimatnya
Mita terdiam mendengarkan penjelasan briyan ,dan apa itu di akhir kalimatnya? Gombalan yang sungguh norak!Mita berusaha menyembunyikan senyumnya, Jantungnya berdetak tak karuan,semoga saja briyan tak mendengarnya Ah briyan benar benar norak ! Tapi mita menyukainya
Bel berbunyi
"Gue ke kelas dulu,udah bel" mita berdiri lalu berjalan meninggalkan briyan"Hei" teriak briyan ,mita menoleh ke belakang"Lo mau muter lagi? Kelas lo kan disana " kata briyan sembari menunjuk kelas mita,gadis itu salah arah
Shit . mita menundukkan kepalanya malu , kenapa ia salah tingkah sampai lupa arah jalan ke kelasnya sendiri.
Akhirnya ia berjalan mendekati briyan, "Makasih buat airnya " ucap mita didepan briyan ,lalu melanjutkan jalannya "Dan pengingat jalan tentunya" tambah briyan dari belakang agak berteriak
Mita diam saja , masih malu , namun kini senyumnya melebar ia sedikit berlari agar cepat menghilang dari pandangan briyan di belakang
Follow dviaprliani
Terimakasih telah menunggu 'Rumit' See u soon ?
Saingan
Sejak pelantikan OSIS arka semakin sibuk dengan kegiatan kepengurusan, berangkat pagi pulang maghrib sudah jadi rutinitasnya sekarang ,ia lelah namun ia menikmati jabatan nya .
Ini bukan kali pertamanya ,ia pernah menjadi ketua OSIS dulu di SMP nya . jadi,ia sudah terbiasa seperti ini .
Namun berbeda kali ini,ia susah berkonsentrasi ,ada saja yang mengganggu pikirannya
ia merindukan seseorang yang beberapa minggu ini memenuhi otak nya,ya dia bintang.
Mereka memang belum pacaran,tapi sejauh ini hubungan mereka dekat .
Tapi akhir akhir ini arka jarang bertemu dengan bintang ,lagi lagi karena kegiatan OSIS nya .
Mereka hanya berkomunikasi lewat whatsapp saja
----------
Diruang OSIS
"Gimana udah ketemu sama bintang?" ucap nindy kakak kelas arka ,anggota OSIS juga.
"Belum kak" kata arka ,ia masih menyusun lembaran proposal buku tahunan untuk tahun ajaran baru ,ya ini sudah hampir enam bulan sejak pelantikan jabatannya.
itu artinya ia akan menjadi kakak kelas .
"Gue denger gossip katanya bintang lagi deket sama reno , lo tau gak?" kata nindy dengan wajah serius
Arka hanya menggeleng ,sebenarnya ia tahu reno mendekati bintang
Bahkan reno meminta nomor telepon bintang padanya beberapa bulan lalu.
Tapi ia tidak tahu jika sahabatnya ini juga menyukai bintang .
Arka sangat menyesal karena beberapa kali ia sempat meminta reno mengantarkan bintang pulang,karena ia ada rapat OSIS mendesak.
'Pantas saja dia ga nolak gue suruh,orang dia suka ' ucap arka mengutuk reno dalam hati
"Jadi lo udah siap kehilangan bintang ?" tanya nindy memasang senyum jahat
"Gue gak akan kehilangan bintang,dia milik gue. Sampai kapanpun itu " ucap arka yakin
"Lo yakin? Ini tikungan udah didepan mata lo ! Meleng dikit nangis lo! " lagi lagi ucapan nindy membuat kuping arka panas
"Terus gue harus apa? " arka menyerah
"Cowok kan? Ya lo perjuangin lah,jangan kasih harapan buat cowok lain yang mau deketin dia! " nindy agak berteriak,mungkin karna dia jengkel melihat arka yang lempeng lempeng aja ini
----------
Sementara di lorong kantin
"Bi ..bidadari ! Tungguin aku! " teriak reno ia setengah berlari mengejar bintang
"Eh dipanggilin juga gak denger? " umpat reno yang kini sudah jalan beriringan dengan bintang
"Kamu manggil aku? Nama aku bintang bukan bidadari" ucap bintang polos
"Ya itukan panggilan kesayangan aku ke kamu hehe sweet kan aku" reno memasang senyum lebar
Bintang menganga mendengarnya ,ia hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum
Dalam hati nya berbunga , siapa yang tak senang jika diperlakukan seperti itu sama orang yang disukai?
"Udah ah senyumnya,kamu diliatin cowok cowok tuh ,aku gamau ya mereka naksir kamu" ucap reno
"Kenapa? " kata bintang
"Ya ntar makin banyak saingan dong , udah cukup arka aja,jangan ada saingan lagi" tutur reno memelas
"Haha eh arka itu sahabatmu ,masa saingan sama sahabat sendiri? dasarr! " bintang menyenggol bahu reno ,kini ia di ambang pintu kelasnya
"ih kamu mah ga ngerti sensasi nya saingan sama sahabat sendiri ,cobain deh" ucap reno tak berdosa, kemudian melanjutkan jalannya menuju kelas
Bintang lagi lagi menggelengkan kepalanya ,
Bintang tak mengerti dengan jalan pikiran reno yang terlihat sangat santai menanggapi persahabatannya dengan arka yang mulai retak , seolah olah persahabatan mereka tak berarti
Namun disisi lain ia juga ingin reno memenangkan persaingan ini,
Ya,memenangkan hati bintang maksudnya.
Hi teman , kasih komentar dong gimana 'Rumit' menurut kalian?
Follow dviaprliani ya
See u soon ?
see you
"Eh bi liat deh warna biru nya bagus ya" mita menunjukkan kebaya warna biru laut dengan aksen mutiara kecil di sekitar leher dan dada desain masa kini, sangat sesuai dengan pribadinya mita terlihat fashionable"iya lucu, aku juga milih warna biru nih liat" bintang memamerkan kebaya pilihannya,warna biru muda dengan desain kekinian terkesan classic namun pas untuk bintang,terlihat anggun
Sore ini mereka sedang mencari kebaya untuk perayaan hari kartini besok di sekolahSalon diah menjadi pilihan mereka untuk menyewa kebaya sekaligus dandan , Salon nya cukup dekat sekitar 400 m dari rumah bintang Mita terpaksa menginap di rumah bintang karna dia menjadi panitia kartini, maka ia harus berangkat lebih pagi menyiapkan kegiatan esok .
----------
Malam harinya mereka menonton drama korea 'encounter' di kamar bintang, ditemani beberapa snack yang mita beli di indomaret dan dua gelas es sirup marjan buatan bintang
Ddddrttttt
Ponsel mita bergetar ,ada satu pesan masuk Senyumnya langsung mengembang saat membaca isi pesan ituBintang meliriknya, "Dari siapa?" "Briyan" ucap mita diikuti tawa kecil Bintang hanya ber oh ria ,ia kembali fokus pada drakor yang diperankan oleh song hye-kyo dan park bo-gum itu
Setengah jam kemudian,
Ddddrrrttt
Kini giliran ponsel bintang yang bergetar Nama briyan ada di layar notifikasi'malem bi, mita ada dirumah kamu ya'Bintang melirik mita yang masih fokus menonton pada layar laptop nya"Lo bilang kalo nginep dirumah gue?" Mita menoleh, " udah, mamaku juga lagi di rumah nenek"Bintang memutar bola matanya, "Maksud gue briyan" "Dia ngechat lo juga? ", mita bangun dari tengkurap nya, duduk merapat ke sisi bintang"Dia masih sering nanyain tentang gue?",sambungnya Bintang hanya mengangguk pelan Mita senyum senyum sendiri, " Menurut lo briyan gimana? " Bintang sejenak terdiam, "ya, baik kok" Mita tertawa kecil, " Haha, iya dia perhatian banget tau sama gue""Eh masa tadi dia chat gini", Mita menunjukkan isi chat terakhir dari briyan'dandan yang cantik ya besok, see you tomorrow :) ' "Dih " Bintang menyipitkan matanya memasang muka acuh tak acuh"Yha haha, udah ah gue mau tidur. Besok subuh bangunin ya. Goodnight bi" Mita menutup tubuhnya dengan selimut, merubah posisi tidur nya membelakangi bintangSementara bintang mematikan laptopnya. ia juga sudah lelah, lagian sejak diajak mita mengobrol tadi bintang tak fokus mengikuti alur ceritan drama nya
Setelah mematikan lampu kamar, bintang meraih ponselnya untuk memasang alarmEh, ada lima pesan belum terbaca ,salah satunya dari briyan 'dandan yang cantik ya besok, see you tomorrow :) '
Bintang mengernyitkan dahi, 'ngapain dia ngirim pesan ini juga ke gue' gumamnya dalam hatiBintang memilih tak membalas pesan briyan
Sejak empat bulan lalu, briyan minta tolong padanya untuk dicomblangkan dengan mitaBriyan selalu tanya apapun tentang mita pada bintangDari kebiasan mita dikelasHal apa saja yang disukai nya? Siapa saja yang sedang mendekati mita?Bagaimana mita di hari itu?Apa saja yang di lakukan mita? Setiap hari ia menanyakan mita, mita, mita dan mitaSampai kadang bintang pun lelah menanggapi dan sering mengabaikan pesan briyan
Namun dia sedikit bingung dengan tingkah briyan sebulan terakhir ini, Dia tidak se intens itu menanyakan tentang mita, Justru briyan mulai perhatian padanya Dari sekedar tanya sedang apamengingatkan makanmemberi semangatmemberikan pujianmengirim pesan manisBintang merasa ada hal aneh pada briyan, Mungkinkah? Ah, tidak mungkin. Berkali kali bintang berusaha mencerna, apa maksud briyan memperlakukan nya sama dengan mitaBukan kah briyan mencintai mita?Tapi mengapa briyan juga bersikap manis padanya? Apa sekarang dia sudah tidak suka mita? Apa sekarang briyan menyukainya? Apa sebenarnya motif briyan? Pertanyaan pertanyaan itu mulai mengusik pikiran bintang, Dia tidak bisa menemukan jawaban dari pertanyaan nya sendiri'Ah bodoamat deh, pusing gue' bintang mengumpat lumayan keras, sampai mita terusik namun ia tak menggerakkan badannya. untung saja ia tidak terbangun Bintang kemudian menarik selimut dan mulai memejamkan matanya
Hai guys! Wah maaf baru sempat update yaTerimakasih telah menunggu Happy nice day! ?
double date?
Hari kartini berjalan dengan cukup meriah,
Bintang sedari pagi membantu mita untuk menyiapkan acara lomba fashion show karena anya,orang yang satu tim dengan mita tidak hadir hari ini
Setelah acara selesai bintang dan mita segera menghapus riasan mereka dan berganti pakaian kebaya dengan baju bebas yang di bawa mereka
Karena mereka sama sama tidak nyaman menggunakan kebaya dengan jarit yang membatasi lebar langkah kaki nya
"Bintang" teriak cowok dari lorong kelas
Bintang menoleh, ia tahu itu suara reno memanggilnya
"Main yuk ke mall " ucap reno
"Mau shopping?" tanya bintang
"Udah ikut aja" reno menggandeng tangan bintang menuju parkiran motornya
Tiba-tiba mita mengejar bintang dari belakang,"Hey bi,mau kemana? "
"Mau ke mall diajak reno nih"
"Wah gue juga diajak briyan ke mall, gimana kalau kita bareng aja? " Ajak mita
"Hah? " Bintang kaget mendengar ajakan mita
"Yaudah ayo" Balas reno santai
Sebenarnya bintang tidak masalah, namun entah mengapa tiba tiba ia merasa malas.
Akhirnya mereka berempat berangkat ke mall bareng,
Sesampainya di parkiran mereka pisah, Briyan-mita lebih dulu masuk mall
Reno-bintang menyusul, namun bintang mampir ke toilet sebentar
Reno menunggunya di depan gerai boneka
"Kita mau ngapain sih?" tanya bintang lagi saat sudah keluar dari lift lantai 3 mall
"Karaoke" ucap reno tersenyum, sembari melambaikan tangan ke depan ,bintang mengikuti arah tangannya
Di depan tempat karaoke ia melihat briyan dan mita disana
"Kita double date? " tanya bintang meremas tangan reno
"Astaga. Aku pikir kita cuma berangkat nya yang bareng,terus pisah pas di dalem mall.
Lah ini malah double date! " umpat bintang kesal
Reno hanya menyunggingkan senyumnya,mendekati briyan
"Ren ,gue udah pesen room 5 langsung masuk aja yuk" ujar briyan sembari menggandeng tangan mita masuk ruangan
"Yaudah yuk" reno mengikuti dari belakang bersama bintang
----------
Briyan menyantap french fries yang ia pesan ,sementara mita melantunkan lagu cassandra-cinta terbaik .
Ya itu lagu favorit nya mita
Briyan hanya mengangguk angguk pelan,berusaha menikmati lantunan lagu yang di nyanyikan gebetannya itu
Sementara Reno-bintang terlihat asik mengobrol
"Kamu mau nyanyi apa? " tanya reno
"Ngejek apa gimana? Suaraku kan cempreng" bintang cemberut
"Kalian gak ada yang mau nyanyi? " tanya mita disela sela perdebatan mereka
"Oh udah mit, nih si oppa mau nyanyi katanya" Bintang memukul pelan bahu reno
"Hahaha yaudah dengerin aku nyanyi aja " ucap reno ,ia berdiri memutar lagu the overtunes- sayap pelindungmu dan mulai menyanyi
Reno menarik tangan bintang untuk berdiri di sebelahnya
Sesekali ia melirik ke bintang,menggenggam tangannya seolah olah lagu itu ungkapan isi hatinya reno.
-Kapanpun mimpi terasa jauh
Oh ingatlah sesuatu
Ku akan selalu
Jadi sayap pelindungmu
Saat dunia mulai pudar
Dan kau merasa hilang
Ku akan selalu
Jadi sayap pelindungmu -
Bintang senyum senyum tersipu malu
Dan di akhir lagu itu ,reno mengungkapkan perasaannya pada bintang
"I love you bi "
Bintang hanya tersenyum tak menjawab, reno menarik tubuh bintang ke dalam pelukannya.
"I love you too ren" ,bintang membalas pelukan reno
Mereka berpelukan cukup lama
Mita yang melihat adegan itu ikut senyum senyum sendiri,
Berbanding terbalik dengan briyan yang seperti nya tak suka melihat mereka bermesraan
"Udah kali pelukannya" sahut briyan
Reno dan bintang melepas pelukan mereka,sejenak saling menatap kemudian tertawa bersama.
Diikuti oleh tawa mita
-----------------
Bintang pulang diantar reno setelah dua jam mereka karaoke
Hari ini ia senang sekali,senyumnya merekah saat memasuki rumah
"Assalammualaikum"
"Waalaikumsalam eh anak mama udah pulang, diantar reno ya"
"Iya ma,tadi dia langsung pulang soalnya mendung takut hujan nanti"
"Oh iya gapapa,yaudah yuk makan"
"Iya aku ganti baju dulu ma"
Dita sudah tau anaknya dekat dengan reno, bintang selalu cerita padanya.
Tapi bintang hanya cerita saat ia senang , saat sedih ia tak pernah mau cerita ,apapun itu.
Gadis itu hanya ingin berbagi kebahagiaannya, tapi tidak dengan kesedihannya.
Jangan lupa follow dviaprliani
bingung
"Jadi gimana bi? " tanya sasa menatap bintang lekat lekat"Gatau ,gue bingung" ucap bintang frustasi
Barusan ketiga sahabatnya ini mencerca bintang dengan seribu pertanyaan tentang arka dan reno ,sejauh mana hubungan bintang dengan mereka .Namun bintang hanya menjawab ala kadarnya saja
Justru kini reno kini berteman dengan briyan, setelah persahabatannya dengan arka renggang karena bintangYa, arka menyerah mendapatkan bintang setelah bulan lalu nembak bintang di depan ruang OSIS namun bintang menolaknya halusBintang jujur bahwa ia menyukai reno, apa lagi yang bisa arka lakukan selain mengikhlaskan?Sejak itu pula arka dan reno tak lagi dekat, mereka berbicara hanya kepentingan tugas itupun jika mereka berada dalam satu kelompok .
Kadang bintang tak enak hati telah merusak persahabatan reno dan arka , ia berkali kali mencoba mendamaikan mereka namun gagal.
" jadi lo milih arka apa reno nih? " tanya amel mengulangi pertanyaan sasa tadi" kalo menurut gue ya ,lo pilih arka aja. semua adek kelas nih idolain arka tau sejak MOS kemarin. bikin mereka iri aja bi" sahut mita bersemangat"Kalo gue sih mending reno , idaman banget sih udah ganteng, ca'em mirip oppa korea lagi .duh jadi sayang" ceplos sasa"Woy itu mah lo yang demen " kata amel sembari menyenggol bahu sasaAkhirnya mereka tertawa bersamaan
Sahabat bintang ini tidak tau kalau arka sudah tidak menghubunginya lagi, Entah mengapa sekarang hatinya gelisah, ia tak tau apa mau hatinya sendiriBintang pun sebenarnya bingung
Bahkan sampai sekarang di kelas XI pun bintang belum menentukan hatinya untuk siapaYa, kini seangkatan bintang sudah menjadi kakak kelas.Kelas XI, yang mana kata orang kelas dua adalah masa nakal nakal nya anak sekolahDimana mereka mencoba berbagai hal yang menarik, tidak takut menghadapi kakak kelas seperti kelas satu kemarin ,juga tidak pusing menghadapi soal ujian yang bertubi tubi seperti kelas tiga. Kelas dua adalah tingkatan untuk bernapas lega, dari segala hal yang memberatkan untuk anak sekolah. Ya begitulah sudut pandang bintang, menurutnya ia akan menemukan banyak bahagia di kelas dua ini. Memiliki pasangan, itu hal pertama yang akan membuat dia bahagia. Semoga saja dikabulkan Tuhan.
-----------
Dddddrttttt
Ponsel bintang bergetar, ada chat masuk dari briyan
"Bi, kemana mita? ""Ke kantin baru keluar dia, susul aja yan""Oh ok, lo gak ke kantin? ""Gak, lagi males""Makan bi! mau gue beliin apa? sebut aja""Gak makasih"
Akhir akhir ini bintang lebih sering membalas chat briyan Karna reno sibuk dengan tim basketnya yang akan tanding bulan depanSementara arka sudah tak pernah mengirim pesan kepada bintang, kabarnya ia sedang mendekati adik kelas.
Namun kini tingkah briyan semakin mengusik bintangBukan apa apa, tapi perhatian berlebih yang menurut bintang tidak seharusnya briyan tunjukkan padanyaBukankah hal yang di tuju briyan dari awal adalah mendapatkan hati mita. Itulah mengapa bintang mau menjadi makcomblang nya, karena bintang lah yang paling tau apa maunya mitaBintang lah yang mengerti bagaimana perasaan mitaHanya briyan orang yang di cintai mita Jadi bintang berusaha untuk membantu menyatukan mereka Tapi sekarang mengapa ia seperti terjebak di tengah hubungan briyan dengan mita
Terimakasih sudah baca! ?Follow instagram ku juga ya @dviaprliani
hah?
"Kamu mau kemana bi" tanya arka "Pulang,udah sore nih .tolong bilangin ke reno ya ,gue duluan" bintang menarik tas dan sweater disampingnya ."Lho, kamu gak nungguin reno latian? Mau aku anter pulang? " tanya arka lagi"Nggak deh,udah tiga jam gue disini,gak kelar kelar dia. Biarinlah,gue pulang sendiri aja." jelas bintang"Oh oke,hati hati bi" sahut arka
Bintang pergi meninggalkan sekolah,sudah tiga jam ia disana menunggu reno latian basket,ya bocah itu masuk tim basket saat kenaikan kelas sebelas ini .Sementara arka ,hubungannya sudah membaik dengan reno. Mereka kembali menjadi sahabat ,setelah reno menolongnya saat ia hampir kena begal di depan tikungan sekolah.
Namun hubungan reno dan bintang yang justru mulai renggang,karena keduanya sibuk masing masing .giliran bintang ada waktu,reno yang sibuk.begitupun sebaliknya ,ya seperti tadi contohnya.
Mereka memang belum resmi pacaran, reno sudah menyatakan cinta nya, tapi bintang merasa itu tidak cukup jika reno belum nembak dia, ya artinya mereka belum pacaran. Bintang masih menunggu reno memintanya untuk jadi pacar. Ya, dia akan menunggu. Entah sampai kapan itu..
Bintang mampir ke minimarket untuk membeli facial washnya yang habis , Saat keluar dari minimarket ,matanya bertemu sepasang mata yang ia kenal,itu reno.Dan ia membonceng perempuan cantik dibelakangnya ,Eh bentar .. Bukan kah itu mita? Hah? Betapa terkejutnya bintangJantungnya seakan berhenti berdetak, napasnya terasa begitu sesak. Bintang diam membeku saat reno melewatinya dan melajukan motorn vixion-nya dengan kencang, Bintang masih berdiri terpaku , rasanya ia ingin terjatuh namun ia berusaha kuat dan melanjutkan jalannya untuk pulang.
Sepanjang jalan ia menangis ,menundukkan kepala menyembunyikan air mata nya dibalik masker yang ia pakai.Hatinya hancur ,apa yang sedang terjadi? Ada apa antara reno dan mita?Pikirannya kacau tak karuan
Bukankah ini hari jumat ? Sekolah pulang jam 11 ,dan mita pulang awal tadi Lalu ini sudah hampir jam 3 sore ,tak mungkin reno menjemput mita ke rumahnya,karena jarak rumah mita ke sekolah di tempuh sekitar setengah jam an naik motor. Sedangkan bintang baru 10 menitan keluar dari sekolah, Jadi bagaimana bisa mereka berboncengan tadi?
Apa pandangan bintang sudah mulai buram?Apa benar tadi yang di lihatnya itu reno dan mita ?Bintang frustasi tak bisa memecahkan pertanyaan di otak nya sendiri
---------------
"Bi ada temenmu nih" teriak bang johan ,abangnya bintang yang baru pulang kuliah"Siapa bang?" ucap bintang malas "Si mita,udah cepat turun " teriak bang johan lagi
Mita . panas sekali rasanya telinga bintang mendengar nama itu,'Ngapain dia kesini ?' umpat bintang dalam hati"Suruh pulang aja bang" ucap bintang masih dari dalam kamarnya"Hei ga sopan kamu, ayo turun .disuruh papa nih" bang johan berteriak namun agak pelan,takut mita mendengarAhh sial. Ada papa di bawah ,maka ia harus menemui mita .
Bintang segera turun,ia menuruni anak tangga dengan kesal,sandalnya ia sengaja hentak hentakkan pada lantai .
"Ngapain lo kesini? " tanya bintang saat sudah di teras rumahMita segera menoleh ke arah bintang, "bi ,ini reno mau ngomong sesuatu" Bintang melirik reno malas , ia segera mengalihkan pandangan saat mata mereka bertemu . Perih sekali rasanya mata bintang, namun ia menahan agar air matanya tak jatuh .
"Ayo ngomong ren" ucap mita"Ngomong apa" tanya reno pelan"Udah kalian pulang aja udah sore nih" sahut bintang"Bi, reno mau ngomong bentar .dengerin dulu" ujar mita lalu memukul bahu reno , "ngomong sana ren,cepet" Reno diam saja menundukkan kepala "Udahlah mit, kalian pulang aja " ucap bintang"Ren,anterin mita pulang .gue masuk duluan ya .dah" tambah bintang ,kemudian ia masuk kedalam rumah melewati papa dan abangnya di meja makan yang sedang menyantap martabak
Pak Prakoso,ayah bintang tak mau ikut campur urusan pribadi anaknya, selain itu ia juga yakin bintang pasti bisa menangani masalah ini .Meskipun ia tidak tahu apa permasalahannya.Sementara bang jo ,dia tahu persis adiknya sangat sensitif ,bintang tipikal cewek yang pas sedih atau badmood jangan diganggu atau dia akan berubah menjadi monster mengerikan .Beri waktu untuk dia menenangkan pikiran,nanti juga naik lagi moodnya.
Terimakasih sudah membaca ?Follow dviaprliani ya!??
balas dendam
Bintang terdiam menatap layar ponselnya yang sedari tadi berdering, mita mengirim spam chat dan beberapa kali menelepon nyaNamun bintang enggan menanggapi nya , sakit hatinya luar biasa parahSahabat yang paling ia percaya,yang paling mengerti perasaannya karna mereka sama-sama kehilangan sosok ayah. Ya, prakoso bukan papa kandung bintang. Sementara mita,ayahnya sudah meninggal.itulah alasan mengapa mereka berdua begitu dekat dibanding dengan sahabat yang lain .Namun kini,persahabatan mereka diujung tanduk kehancuran hanya karena lelaki . Yang bahkan sekarang keberadaan lelaki itu tak tau dimanaReno tak menghubungi nya sama sekali sejak kejadian tadi soreBintang semakin bertanya tanya mengapa reno menghilang ?
Dddddrrrrttt
Satu pesan masuk, tapi bukan dari mita lagi
'Malem bi' ,pesan dari briyan
Bintang malas membalas pesan briyan, ia pasti akan modus menanyakan tentang mita Tapi bintang juga kasihan,briyan tak tau apa apa mengapa ia harus kesal padanya
'Malem iyan, ada apa?''Gapapa bi, eh tadi aku lihat kamu pulang sekolah jalan kaki ya''iya emang ke sekolah jalan kaki' ,memang jarak rumah bintang ke sekolah cukup dekat kalau jalan kaki lewat gang ,tapi kalau naik motor putar balik agak jauh .'Besok mau bareng aku gak?'
Bintang kaget membaca nya, setau dia briyan tak pernah mengajak mita berangkat bareng Kenapa sekarang malah dirinya yang di ajak bareng ?namun tanpa berpikir panjang ia membalas,'boleh,jemput jam setengah 7 ya ' Kemudian ia mengirim alamat rumahnya pada briyan
------------Tepat pukul setengah tujuh,briyan sampai di rumah bintang Bintang sudah menunggunya di teras pagar"Pagi bi" ,briyan melepas helmnya dan memasang senyum manisnyaBintang sejenak diam menatap briyan , apakah ia melakukan hal yang benar ? entahlah. Yang jelas ia hanya ingin mita merasakan apa yang kemarin ia rasakan ,Melihat orang yang disayang boncengan dengan sahabat sendirisakit nya , kecewa nya ,mita harus tau itu.
"Bi ,ayo berangkat ! Kok malah melamun sih"briyan melambaikan tangan di depan wajah bintang ,membuat gadis itu tersentak"Oh iya ayok" , bintang segera naik ke motor briyan
Sesampainya di parkiran sekolah ,bintang tau ia sedang menjadi tontonan warga sekolah Tahu kan briyan cowok populer di sekolah, tentu saja banyak yang menyukainya Lihat saja dm instagram nya penuh dari fans cewek cewek yang ingin mendekatinya Ya seperti sekarang banyak pasang mata yang menatap mereka sinis,namun bintang tidak peduli"Lah itu kan briyan pacar nya si mita, kok sekarang sama sahabatnya ""Dia bintang kan,pacar nya reno"
Satu sekolah tau kedekatan briyan dengan mita , begitupun dengan bintang dan reno .Meski sebenarnya mereka tak berpacaran,Asumsi orang ketika ada dua orang lawan jenis dekat bisa dikatakan mereka pacaran entah benar atau salahentah belum atau sudahYa biasa warga 62 kan gitu
Bintang meninggalkan briyan di parkiran, kemudian segera masuk kelas ia menatap bangku sebelah nya kosong,apa mita belum datang?
"Bi, kok lo bisa bareng sama briyan sih?" tanya amel"Lo gak ada apa apa kan sama dia?" cerca sasa "Ehm ehm ada yang mau nikung sahabatnya sendiri nih" cetus dinda ,ketua geng dari bangku pojok belakang"Awas hati hati tikungan tajam,dijaga pacar nya masing masing ya guys " timpal anya teman dinda di sertai tawa dari cs nya
Sementara bintang diam saja tak mengeluarkan sepatah kata pun .Bahkan ia tak menoleh ketika dinda membicarakan nya Bintang tak menghiraukan dinda saat menjadikannya sebagai bahan ghibah di kelasLagian ia juga bingung harus menjawab seperti apa , Mana mungkin ia menjelaskan tentang kejadian kemarin soreApa kata teman sekelasnya nanti?Bintang si tukang balas dendam begitu? Niatnya hanya ingin mita melihat dan merasakan posisi nya kemarin, setelah itu ia akan meminta penjelasan mita dan reno ,dan menyelesaikan masalah ini baik baik .
----------------Bel berbunyi
Bu rina masuk kelas dan mulai meng absen murid nya ,Sampai giliran nama mita akan dipanggil , bintang bersiap mengatakan mita tidak masuk hari ini"Mita agustina" bu rina agak berteriak dari meja nya" hadir bu " ,sontak bintang menoleh ke arah suara dan ternyata ada mita di bangku pojok belakang ,dia duduk di sebelah dinda . Bintang menatap mita lama,tapi gadis itu tak menoleh sedikit pun padanya ,malah dinda yang melirik sinis ke arahnya .Apa mita melihat ia dan briyan di parkiran tadi?Apa mita marah?Duh,bagaimana ini?
Hello readers! ?Maaf ya lama banget update nya huhu ?Mohon dimaklumi ya! Thankyou ;)
Follow dviaprliani
Description: Tentang cinta segilima yang rumit bagi para remaja SMA ini.
Dimana Arka tetap berusaha mendapatkan hati bintang, meskipun ia tahu bintang menyukai sahabat nya, Reno.
Disisi lain Bintang menjadi makcomblang antara Briyan dan Mita, sahabat dekat nya.
Namun persahabatan mereka goyah ketika Bintang dan Mita mencintai orang yang sama.
Mana kah yang akan di korbankan?
Persahabatan atau perasaan mereka?
Ikuti ceritanya dan temukan jawabannya!
Selamat membaca :)
|
Title: Ruang Sendu
Category: Puisi
Text:
PULANG
Kini ku tak punya lagi kata pulang
Dan ku tak punya lagi kata rumah
Karena saat ini ku tak punya rumah untuk pulang
Izinkanlah aku menjadi musafir yang mencari jalan pulang
Dan izinkanlah aku menjadikanmu rumah untuk pulang
Yogyakarta, 7 Januari 2020
Hampa
Ingin ku pecahkan gelas berisi kenangan pilu itu
Kenangan selalu saja membuatku menggerutu
Ingin ku hancurkan saja tembok raksasa itu
Tembok yang selama ini menutup rasa malu
Andai saja mereka tau jika aku perlu sekutu
Sekutu yang seharusnya dapat membantu
Bukan ada karena ingin sesuatu
Dan ini ku jauhi saja pintu itu
Pintu yang sewaktu-waktu akan terkunci untukku
Yogyakarta, 10 Januari 2020
Singgah
Kisah kita memang indahNamun itu semua tanpa arahKu rasa ini semua salahLantas haruskah rasa ini berubah?Tidak kah engkau merasakan itu semua?Waktu yang telah kita lalu bersamaSemua kenangan yang suatu saat akan sirnaLupakah engkau akan itu semua?Kau bagaikan gerhanaHanya datang sesaat lalu hilangHeiiiTak masalah bila hidupku hanya membuatmu bahagiaLantas apakah engkau melakukan sebaliknya?Kau hanya singgah di saat engkau terlukaLalu bagaimana jika aku yang terluka?
Yogyakarta, 15 Januari 2020
KITA
Hembusan angin masuk lewat jendela matamu
Sehabis mengemas duka lara yang saling bertemu
Yang disertai tetesan air mata yang semu
Dimana tanpa adanya sebuah titik temu
Yang ku tau rasamu kini mulai kelabu
Membuat duniaku menjadi abu-abu
Dan kini ku tau
Aku hanya aku
Kamu hanya kamu
Tanpa adanya kata "KITA"
Ku rasa semuanya tak kn lagi menyatu
Yogyakarta, 1 Februari 2020
Sirna
Meski langit masih berwarna biru
Semesta selalu menghasilkan sesuatu yang baru
Dan perang terkadang identik dengan peluru
Kini ku sadar bahwa aku telah keliru
Hidupku terlalu banyak berseteru
Dan keputusanku selalu terburu-buru
Kamu tak kan lagi ku temui walau ku cari di segala penjuru
Yogyakarta, 7 Februari 2020
Description: sayangnya puisiku tak seindah kamu
|
Title: Ram
Category: Novel
Text:
Ra..
Kamu bukan alasanku berjalan sejauh ini Ra, bukan alasanku untuk meraih semua impianku, mengubah mimpi-mimpiku menjadi nyata. Kamu bukan alasan, karena sejak awal mengenalmu aku sudah kehilangan alasan mengapa bisa mencintaimu. Justru kamu adalah impian itu Ra, satu-satunya mimpi yang membuat hatiku merasakan percikan gerimis dari senja yang menjingga kala duduk bersamamu. Adalah kamu, nama yang kudekap dalam setiap perjalanan meraih impianku.
Aku rindu duduk di sampingmu, bertukar cerita sambil melihat-lihat isi kameramu. Atau menebak karakter orang-orang yang berlalu lalang lewat di depan kita. Aku rindu menemanimu di toko buku meski kakiku kebas karena berjam-jam berdiri menunggumu sementara kamu asyik dengan buku-buku. Sejujurnya aku benci mengakui ini.
Melintasi Garis Waktu
Tak ada pemandangan yang menarik di jalanan Jakarta ketika jam pulang kantor tiba selain kemacetan dimana-mana. Situasi yang amat sangat dibenci banyak orang, para pekerja sudah seperti kawanan laron yang keluar dari lubang tanah ketika hujan reda. Bergegas menuju rumah untuk mengistirahatkan badan setelah seharian lelah bekerja. Halte busway selalu penuh dengan orang-orang yang hendak pulang atau justru baru akan mulai bekerja, stasiun commuterline juga tak ada bedanya, penuh sesak dengan manusia yang sibuk. Jakarta sudah seperti mesin uang, magnetnya para perantau untuk mendapatkan masa depan yang dikira akan lebih baik jika dibanding bekerja di tanah kelahiran.
Asap kendaraan membuat langit pekat, senja sudah mulai datang dengan cahaya jingganya. Di balik gedung-gedung tinggi yang menjulang, aku menyaksikan matahari kembali ke peraduannya. Suara klakson bersahut-sahutan, sepertinya Jakarta tak mengenal sepi kecuali ditinggal mudik oleh sebagian besar penghuninya. Aku jadi ingat kata seseorang tiga tahun lalu yang membenci Ibu Kota ini.
“Ram, gue nggak suka tinggal di Jakarta.”
“Kenapa?”
“Panas, macet, bising, polusi, individualis, dan yang paling menyebalkannya lagi langitnya tidak pernah biru!”
“Hmm..., tapi mungkin suatu saat kamu akan rindu dengan suasana Jakarta, Ra.”
Tidak banyak yang berubah dari Jakarta yang kukenal tiga tahun yang lalu. Tiba-tiba aku jadi ingat dia, percakapan di suatu siang yang terik bersama Rara tiga tahun yang lalu. Ra, apa kabar? Hari ini aku kembali menyapa Jakarta.
Masih sama seperti tiga tahun yang lalu, Halte Harmoni selalu penuh dengan orang-orang yang hilir-mudik. Aku menunggu bus transjakarta jurusan blok M- Jakarta Kota, jika dulu aku berdiri di dekat pintu kedatangan bus dengan diselingi obrolan bersama Rara, bedanya saat ini aku sendiri tanpa Rara. Sepuluh menit menunggu, akhirnya bus pun datang. Bus penuh hingga banyak orang yang terpaksa berdiri karena tak kebagian tempat duduk.
Sore ini aku menuju Grand Indonesia karena ada janji dengan salah satu sahabatku yang kebetulan juga sedang di Jakarta. Aku sengaja menggunakan transjakarta dibandingkan dengan transportasi umum lainnya karena dengan ini, kenangan-kenangan dulu semasa tinggal di Jakarta akan kembali mengisi pikiranku, dan benar aku memang sedikit rindu.
Aku turun di Halte Bundaran HI, lalu berjalan kaki menuju Grand Indonesia. Faiz sahabatku sudah menunggu di salah satu cafe di Grand Indonesia.
Faiz juga masih sama seperti dulu, aku langsung mengenalinya meski sekarang dandanannya lebih necis ditambah dengan kacamata full frame yang dipakainya. Siapa menduga masa depan membawa Faiz menjadi salah satu pejabat di kota asalnya, Semarang.
“Brother... how are you?” Faiz memelukku.
“Baik Bro, gimana kabar lo? Lama banget nggak ketemu.” Aku membalas pelukannya.
“Seperti yang lo lihat sekarang, silahkan duduk.”
“Tumben lo ngajak ketemu di tempat beginian, mentang-mentang udah jadi pejabat.”
“Wah bukan gitu, Ndra. Sebenarnya sudah mau ke tukang nasi goreng yang ada di pinggir jalan, tapi langsung ingat kalau lo dari Australia. Masa iya lo jauh-jauh makannya di pinggir jalan.” Faiz terkekeh.
“Justru gue kangen nasgor pinggir jalan, kangen makan di angkringan, kangen ngumpul bareng kalian...”
“Kangen Rara juga nggak?” Faiz memotong kalimatku.
Aku tersentak mendengar nama Rara disebut oleh Faiz, terakhir aku mendengar kabarnya dua tahun yang lalu sebelum aku pergi ke Australia. Entah bagaimana kabarnya sekarang, mungkin dia sudah menikah, atau bahkan sekarang dia sudah bahagia menjadi ibu, sama seperti cita-citanya dulu. Aku langsung menunduk, Faiz menepuk pundakku.
“Lo tahu kabarnya Rara, kan?” Faiz masih penasaran dengan jawabanku.
“Sama sekali tidak. Gimana dia sekarang?”
“Ya ampun Ndra... lo beneran nggak tahu kabarnya Rara?” Faiz keheranan.
Aku menggeleng meyakinkannya. Aku sudah tak pernah berkomunikasi dengan Rara semenjak melanjutkan studiku di Australia. Tepatnya Rara yang memintaku untuk tidak menghubunginya. Ada kesalahpahaman diantara aku dengannya yang baginya sudah selesai, tapi tidak bagiku. Penyesalan selalu datang terlambat, dan kali ini aku datang kembali untuk menebusnya.
Description: Sebagian pergi tak mengenal pamit. Sebagian pulang lupa untuk kembali mengetuk. Aku di sini ada untuk menggenapi sebagian yang kurang dari pergi dan pulangmu. Aku kembali ke Kotamu, kembali menujumu.
|
Title: Rumah angker prisma
Category: Horor
Text:
Kiriman
Awal kisah aku bekerja di sebuah perumahan di jakarta, sekitar awal Februari 2017, bberapa bulan kemudian, tepatnya october 2017 bos aku menikah, dan aku ikut dia tinggal bersama suaminya,.
Bos: "akhir bulan aku pulang, sebelum aku sampe jakarta, kmu sma rosi harus udh di rumah suamiku. Aku: baik kak Kebetulan aku panggil bosku itu kakak, ngikutin dulu pas msih blom nikah,
Pertama menginjakan kaki di rumah itu aku dan temenku (ros) kita di sambut sma ama (nenek suami bosku) dan di kasih tau apa aja yg harus di kerjakan, cara mengatur lampu dan di tunjukan semua ruangan di rumah itu, kebetulan bosku lg bulan madu dan mertua bosku lg keluar negri, jdi di rumah cuma ada ama,.
Ros :"ini rumahnya"? Aku:"iya lah, hawanya beda yah?!"Ros:"kok serem yah?!"Aku:"bismillah aja"
di tunjukanlah kamar tidur kita, di lantai dua, bukn sperti kamar, lebih tepatnya loteng, hanya saja kosong, bnyak box barang, lemari dua besar, dan ada ruangan kecil di sudut ruangan, ada juga pintu ada mesin cuci dan tangga menuju ke atas, ruangan itu sangat lebar, jendelanya pun berbentuk setengah lingkaran, dan panjangnya sama sejajar dengan ruangan itu,.
Ama :"kalian tidur di atas, kasur ada,kipas angin juga ada. Aku :"iya ama, makasih". Ama :"kalian langsung istirahat aja, sudah malam". Malam pertama kita tidur di situ tidak nyaman, sperti ada yg memperhatikan,. Tpi kita tidak bisa melihat apa itu, aku cuma bisa merasakan klau mereka itu Ada.
Seminggu kemudian mba baru datang, dari jawa timur, awal dia datang udh keliatan sifatnya, teelihat songong, sombong, dan barang"nya minta kita yg bawain,. Kita ga suka sma dia, tpi kita sadar , klo cuma kita berdua psti capek ngerjain rumah sebesar ini,.
Mba:"eh mba bantuin bawa barangku ke atas dong". Ros :"sok bnget tuh orang, memang kita pembantu dia, tasnya berat lg". (Ngomong pelanlAku :"biarin welas, capek kali dia". Mba ini udh berkepala 4, dan bnyak permasalahan di keluarganya, cara menyelesaikannya dia pakai ilmu (hitam) kebetulan sodara dia orang pinter (dukun) setiap kali ada yg bikin sakit hatinya dia ga bakal main" pakai cara yg udh jelas di larang agama.
hari terus berlalu, mba baru kerjanya enak, cuma bersihin bagian dapur,. Kamar 4 lantai satu dua aku sma ros yg pegang,sholat nya dia pun aneh, ga seperti umumnya orang muslim,.
pernh suatu ketika dia mecahin barang ibu, dan di marahin abis"an, ibu bwa" namaku, belaian aku, ktanya aku yg paling bener kerjanya, mungkin dia sakit hati dan memutuskan buat pulang, dengan alasan nyelesain masalah keluarganya,.
beberapa hari kepulangan dia, aku ngrasa ada yg ngikutin, punggung berat, kepala sperti di tusuk" dan ga bisa tidur setiap malam.
Aku :"ga bisa tidur aku, sakit bngt kepala". Ros :"loh knpa? ". Aku :"ga tau, sakitnya beda loh ini". Ros :"sholat aja yuk".
Setiap hari aku merasakan sakit, dan mulai terasa di jam" kerja dan waktunya sholat,. Jam 8 malam aku harus tidur, krna jam 11 psti aku bangun, krna mulai sakit,. dengan posisi sperti orang tidur, badan kaku ga bisa gerak dan mata melek, aku ngrasa banyak yg ngeliatin aku,. Temenku setiap kali bangun psti liat aku tidur, pdhal aku sama sekali ga tidur, melek smpe adzan subuh,.
Aku memutuskan untuk berobat ke dokter, pertama aku cuma di ksih obat tidur, krna semuanya normal, hanya kurang tidur,.
Kedua kalinya kedokter, aku di ksih obat tidur sma vitamin, serta surat rujukan ronsen dan cek darah,.
ketiga kalinya cek ke rumah sakit, kaget bukan main karna semuanya oke, ga ada sakit, gula kolestrol dan segala macem normal, aku bingung dan bertanya", ada apa ini?!
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pulang bberapa hari,.
Singkat cerita, malam senin aku pulang, di perjalanan aku di ikutin sosok cwe pake dress putih dan mukanya tu pucet, dia ikut dduk di trevel belakang aku persis,
Smpe di rumah lngsung di cek sma ustad, dan apa kata dia?
U :"ada yg ga beres". Aku :"hah? Maksudnya?". U :"iya kmu dpet kiriman". (semacam ilmu hitam) Aku :"hah? Dari Sypa? U :"temen lamamu".
selama 40 hari aku di ikutin sosok kakek kakek bertubuh kecil nempel di pundak aku dan kukunya nancep semua di kepala aku,. sbenrnya hari itu juga aku pngen lngsung di obatin, tpi berhubung keyakinan orang tua ktanya harinya lg ga bagus makannya di undur malem rabu,.
tpi pas malem selasa aku di obatin pake ayat ruqiAh dan besok paginya aku suruh mandi air bekas cucian beras, dan niat membersihkan badan dari kotoran apapun,. Saat air itu aku bacakan niat seketika itu juga kepala aku terasa perih, panas, sakit luat biasa, sperti luka bakar di siram air, aku nangis disitu.
Malam rabu tiba, dan hari itu aku bersiap berangkat lg ke jkarta, sambil menunggu Ustad dateng, bapa aku udh siapin kelapa ijo.
Datanglah dia, aku di obati sekali lg, dan minum air kelapa ijo, setelah di minum kelapanya suruh di buang /dilarutkan tpi dengan syarat jngan di pecah,.
Malam itu juga aku lngsung tanya,.
Aku :"aku boleh tanya?". U :"iya". Aku :"yg ngirimin sypa?". U :"kalau saya kasih tau takutnya kmu dendam atau benci sma orang dan terjadi hal yg lebih dati kejadian ini". Aku :"ga ppa, aku ikhlas kok, aku udh maavin". U :"temen kerja lamamu, dia dari Jawa timur, dia juga iri sma posisi kmu di kerjaan". Kaget, bingung, ga nyangka, campur aduk rasanya
dan sampailah aku di jakarta, bukannya temen atau bos yang menyambut, tpi mereka(tidak terlihat) aku merasakan energi yang sangat kuat, dan lama kelamaan aku mulai terbiasa dengan hal gaib, apa lg yg ada di rumah itu, mreka sllu berinteraksi, mulai dari suara ketawa, nangis, berantem, macem" pkoknya, dan itu terjadi setiap malam.
Oh ia ternyata selama 40 hari itu bukan hanya makhluk kiriman itu yg sllu ikut aku, ternyata msih bnyak yg ngikutin aku dari rumah prisma itu,.
Anak kecil cwo, cwe (remaja) dan ada bberapa yg lain.
Di BAB selanjutnya, aku akan melanjutkan pengalaman kerjaku di rumah prisma,.
Tidur di temenin anak kecil, setiap malam denger tangisan, dan msih bnyak kisah yg akan aku ceritakan.
Terimakasih sudah menghargai karya orang lain dengan membacanya?sehat sllu dan semoga di mudahkan urusannya.
khayalan
Bekerja di rumah biasa mungkin sudah umum, tpi klo bekerja di rumah angker itu jarang, dan menjadi tantangan tersendiri buat aku.
Jangankan malam, siang pun kita ga berani jalan atau beres" sendirian,.
Ros bertugas beresin kamar kosong di lantai dua, kebetulan hari itu lg ada tukang, jdi aku temenin tukang di kmar sebelahnya,.
Ros beresin kamar sperti biasanya, dan ga ada hal" aneh,. seketika aku keluar kamar dan nyamperin dia di kmar sebelah, ga tau itu halu atau mimpi aku liat di lantai 2 kamar ada yg duduk (jdi kamarnya tingkat 2)
Aku :"Astaghfirullah" Ros :"loh knpa?" Aku :"kmu liat ga?" Ros :"apaan? Jngan ngaco deh" Aku :"serius itu kmu ga liat?"
Jdi bentuknya kya bayangan, tpi itu jelas wujud, reflek aku liat itu lngsung balik ke kmar sebelahnya, aku ga cerita ke ros apa yg aku liat.
Setelah itu pak tukang pulang, krna kerjaan udh slesai, nah pas keluar kamar kn mau turun, otomatis dia nglewatin kamar kosong yg ada di sebelahnya trus dia iseng nengok lah ke kmar itu, dan bener dia juga ngeliat, tpi wujud nya lebih jelas, kakek" rambut putih lg duduk di lantai Atlas.
T :"waduh ko sendirian di atas"Aku :"sypa?" T :"itu tdi opah'y sendirian"
Aku kaget dan sebisa mungkin aku cuek aja,. Sampai bawah (di garasi) dia tanya_tanya tuh.
T :"itu yg kakek" rambutnya putih suaminya ama?" Aku :"ngaco, mna ada, suaminya ama udh ga ada" T :"lah itu tdi sypa?" Aku :" di mana? Liat juga?" T :"iya lah"
Kaget aku di situ, dan aku msih blom bilang klo di rumah itu ga ada kakek",. Aku ambil foto suaminya amah dan ksih liat ke pak tukang
Aku :"ini bukan orangnya?" T :"bukan, tdi tua, tpi agak muda" Aku :"hah? Serius?"
Aku msih blom bilang apa", dan akhirnya aku ksih liat foto mertuanya bosku (alm) di situ aku ga omong klo dia juga udh ga ada (meninggal)
Aku :"ini bukan?" T :"oh ia ini, tpi rambutnya tdi udh putih"
Perasaan bingung mo ngomong apa, takut juga,aku mencoba mastiin lg klo dia tdi juga liat.
T :"loh knapa? " Aku :"serius tdi liat dia?" T :"ya serius lah" Aku :"mereka udh ga ada (meninggal) T :"hah? Lah trus tdi sypa?" Aku :"entah, aku juga tdi liat duluan"T :"knpa ga bilang pas di atas?" Aku :"aku sengaja diem biar ga pda takut"
songaji juga pak tukang mau pulang, cuma dia sedikit cerita ke kita,
T :"kalian di sini ati", klo mau apa" bismillah dullu, atau permisi" Aku :"iya kita ngerti, kita sllu berdua ko" T :"di sini banyak yg nempatin, yg ga keliatan, terumata di bawah ini (basement bawah garasi)" Aku :"memang ada apa?" T :"intinya ada, dan banyak, klo malem kalian denger suara atau apa diem aja, dan baca sebisa kalian, syukur" ngaji atau sholawatan". Aku :"iya Ros :"ga ganggu kn?!" T :"klo kita ga usik, mreka ga akan ganggu".
Sedikit lega tpi msih agak takut, soalnya kita di rumah cuma bertiga, aku, ros, dan amah, dengan rumahnya yg besar itu.
kita bertiga sengaja makan malam di percepat jam 5 sore, biar kita pas di dapur ga ketemu malem,. Adzan Maghrib tiba, kita matiin lampu" dan naik ke kamar buat sholat, kita gantian aku duluan sholat ros jaga, begitu sebaliknya,.
Kita di atas blom bisa tidur cpet, jdi kita kdang make up"an atau kita foto" gt biar suasananya ga tegang" amat,.
Selesai sholat isya kita lngsung tiduran, lampu udh kita matiin, dan kita msih mainan hp,. Tiba" dari bawah kedengeran suara air dari kamar mandi nyala, kaget lah kita berdua, dan beraniin diri buat cek,. Lampu semua kita nyalain, dan pintu kamar kita buka (pintu kawat nyamuk) , setelah kita turun suaranya berhenti, dan lampu kmar mandi mati biasanya kita sllu nyalain,.
Kita nyalain lg lah tuh lampu, dan ngecek kran, kurang kenceng atau eror, dan ga ada msalh apa",. Kita naik lg ke kmar, dan baru sampai pintu kamar kedengaran lg suaranya, tpi agak kenceng,. Di situ kita tatap"na
Ros :"apa lg sh ya allah" Aku :"sabar sabar ga ppa, kita ga ganggu jdi jngan kepancing mereka" Ros :"trus gimna?" Aku :"kita baca alqur'an aja yu"
Ros yang ketakutan mencoba tenang di situasi itu dan kita baru bisa tidur sekitar jam 11 malam,.
Jam 2 aku kebangun kebelet, aku bangun ros buat nemenin ke bawah
Aku :"oy bangun, temenin ke bawah" Ros :"sendirian aja lah, takut aku" Aku :"klo aku sendirian ke bawah, kmu juga sendirian di sini, mending kita bareng" aja". Ros :"iya juga, yaudh lah ayo" Kita berdua turun sambil bwa hp flash kita nyalain, pdahal lampu juga nyala, ya krna kita berdua sama" takut,.
Aku :"pintunya ga aku ttup, kmu duduk di situ jagain"Ros:"jiji bngt sh" Aku :" nnti klo ada apa" kmu mau tanggung jwab?" Ros :"yaudh ia ah, bawell" Aku :"kmu ga ketoilet?" T :"engga, udh ayo buruan ngantuk ini"
Selesai kita lngsung naik, dan saat kita lg naik udh di tangga tiba_tiba......
#tunggu kisah selanjutnya?msih bnyak hal mistis yg perlu aku ceritain ke kalian,. Se you BaB selanjutnya.....
Ajak Aku Main
Tiba_tiba ada tlvon masuk ke hp ros..
Deras air mata saat ros menerima kabar, kalau sodara dia meninggal, sore_sore dia pulang dan kali ini aku sendirian,.
Pertama kali kerja di rumah ini sendirian, dengan rumah sebesar itu,.
Aku tidur dengan amah, satu kamar dan aku memilih tidur di kasur bawah, sementara amah di kasur atas,. Setiap jam amah slalu bangun buat ke toilet, dan aku pun psti sllu terbangun juga, sambil ngeliatin dia ke toilet, takutnya jatuh,.
Ohh ia, amah ini umurnya 95 tahun, dia msih kuat jalan walaupun di bantu pake tongkat,.
Malam pertama ga ada apa" dan aku bangun jam 5 buat sholat subuh,. Keluar kamar amah aku lngsung nyalain lampu semua, krna udh kebiasaan klo lg sendiri harus semua terang,.
Aku bersih" dan wudhu, selesai aku naik ke kmar aku buat sholat,. posisi aku sholat mbelakangi lampu, jdi pas sholat bayanganku di depan sejajar sma sajadah.
Rakaat pertama ga ada apa", disaat rakaat kedua pas baca doa QUNUT itu bayangan ku ga gerak, harusnya kn tangan ku posisi berdoa, itu engga, diem aja berdiri, aku mencoba tenang dan fokus lnjutin sholat,. Alhamdulillah selesai dan aku msih bingung sma bayanganku sendiri,. Jam msih menunjukan 5.25 pagi, belum terang banget dan masih agak gelap gt,.
Aku tiduran sbentr main hp, sambil nungguin jam 6, Biasanya jam 6 ibu udh turun, siap" buat lari pagi, jdi aku beres_beres juga udah agak terang,.
Belum genap jam 6, kdengeran ibu buka jendela ruang tengah, yg menuju ke taman belakang, sebenarnya itu pintu, cuma kaca semua gt, jdi klo malem_malem kita lewat situ psti serem, ky ada yang merhatiin gt,.
Spontan aku lngsung turun, dan siap buat beres_beres,. Aku cari kok ibu ngga ada, tpi pintu nya udah kebuka, aku juga sempet panggil.
Aku :"bu.... Bu... Ibu udh bangun? Bu... "Berkali_kali aku panggil ga ada suara, tiba_tiba
Ibu :"iya kenapa? Ibu baru selesai mandi, mau berangkat kantor cepet. Aku :"loh tdi bukannya ibu udh turun?" Ibu :"ini ibu baru keluar" Aku :"serius bu, tdi aku dnger, ini pintu aja udh kebuka kok" Ibu :"amah mungkin yang buka"
Aku cek kamar amah, ehh dia msih tidur, dan posisi sendal juga msih seperti semalam, ngga mungkin klo dia keluar, psti sendalnya udh berantakan.
Aku udh ngrasa aneh banget, dan ngga aku hirauin soal pintu jendela itu
pas beres_beres di bawah tangga di situ kn bnyak mainan, kya masak_masakan gt satu trolli, aku beresin bagian situ, slesai aku pindah bersihin lantai atas, pas baru naik tangga ada suara kenceng banget.
Aku :"astagfirullah apa itu?" Aku cek kebawah ternyata itu mainan udah tumpah dan berantakan, perasaan tdi udh aku rapiin , di situ aku cuma ngeliatin dan ngga berani deketin,. Tiba_tiba itu mainan gerak_gerak sendiri dong, aku kaget spontan langsung baca ayat kursi,.
Aku :"ya allah masih pagi loh ini"
Aku lanjutin beresin lantai atas, aku fikir slesai beresin atas baru lanjut beresin mainan yang udh berantakan itu,.
Selesai aku lngsung turun ke bawah tangga, syok bukan main lg, itu mainan udah rapi seperti semula,.
Aku :"ya allah siapa sh? Jngan gni dong caranya, kn ngga lucu".
Antara pngen nangis sma ketawa, krna aku udh bener" capek pagi itu.
Selesai aku siapin sarapan ibu,. Jam 6.45 ibu turun.
Aku :'tumben bu berangkat cpet?"Ibu :"iya ada meeting di luar" Aku :"ohh gt, nnti malam makan di rumah ngga?" Ibu :"engga, nnti jam 7 malam ada meeting juga, kayaknya pulang malem, nnti klo udh slesai semua kmu lngsung tmenin amah tidur. Aku :"baik bu"
ibu berangkat dan aku nunggu bosku sma suaminya turun, buat sarapan dan berangkat ke kantor juga, kebetulan amah udah bangun, dia lngsung sembahyang ke tiga tempat di sudut rumahnya, setiap pagi rutinitas amah memang slalu begitu.
Bosku pun turun, udah rapi buat ke kantor.
Kak :"nnti malem aku ngga makan di rumah yah" Aku :"oh ia kak" Koko :"temenin amah yah, klo ada apa_apa tlvon aku" Aku :"baik ko" Kak :"nnti malem kunci cabut aja, aku ada bawa kunci lain.
Selesai sarapan mereka berangkat, dan hanya ada aku dan amah yg ada di rumah, aku lnjut beresin kmaar ibu dllu, kebiasaan klo beresin kamar ibu aku sllu putar ayat ruqiAh di hp, biar ga sepi dan adem aja,.
Pas beresin bagian kamar mandi, di situ kan ada pintu yang langsung keluar ketempat jemuran, trus kya ada yang manggil sambil ketok pintu, aku ngga jawab, cuma aku samperin dan dengerin lebih deket, sampe telinga aku tuh nempel di pintu, tpi kok ngga ada suara apa_apa, kaya ilang gt dan suasananya jadi sunyi, hp aku matiin dan aku lanjut beresin kamar bosku di sebrangnya.
Waktu jalan mo ke kamar bosku kan ada kamar satunya tuh, kamar kosong, di Bab ke2 udah aku bahas tentang kamar kosong itu,.
Biasa aja sh ngga ada apa_apa dan ngga ada gangguan apa_apa, cuma msih agak merinding klo nglewatin tuh kamar,.
Slesai beresin semua aku lnjut beresin kamar mandi, minimalis cuma agak serem, pas banget aku mau keluar kamar mandi krna udah slelesai di tangga kamar tuh kya ada yang bolak balik gt, naik turun tangga, kedengaran jelas, yang pasti bukan kaki orang dewasa, kedengaran kya telapak anak kecil yg lagi main_main,.
Aku beraniin diri disitu,.
Aku :"klo mau main monggo, asal jngan ganggu dan jangan berantakin." Sbenernya takut, Tpi klo gedein rasa takut kita, yang ada mereka pda kesenangan, Jdi sebisa mungkin harus berani dan tegas.
Jam 12 aku turun buat nemenin amah makan siang,. Jdi selama aku beres" amah istirahat di kamarnya, nnton tv atau tiduran,. Slesai makan aku nnton tv di kamarnya dan smpe ketiduran,.
Amah bangunin pas jam 5 sore dan kita siap buat makan malem, aku nyuruh amah buat ke dapur dluan, smentara aku mau nyalain lampu,.
Aku :"Astaghfirullah apa lg itu"
Seklibat ada bayangan melintas di tangga atas, menuju kamar kosong, aku beraniin diri buat nutup tuh pintu kamar, satu demi satu anak tangga aku naikin sambil baca ayat kursi, mencoba tenang dan jngan takut, aku nyalain lampunya dan ttup pintunya kdengeran dari dlam kamar kya suara langkah kaki naik (tangga kamar), aku buru" turun ke dapur,. Takut? Ya pastilah.
Amah :"selesai makan amah bantuin kmu beres_beres" Aku :"ngga usah, amah duduk aja liatin" Amah :"mana bisa amah ngga bantu" Aku :"udah duduk aja, sambil ngobrol kita"
Aku suka becanda dan suka ngobrol sma amah, berbagi cerita dan kadang dia ngasih masukan buat kehidupanku kedepannya.
Malam datang, susana sepi, di rumah prisma yang luas aku sma amah msuk kamar,. Aku klo udh di kmar mah rasanya tenang, dan adem.
Kita nnton dan becanda_becanda, sampai akhirnya kita udh kecapean dan memutuskan buat tidur,.
Sperti biasanya, amah sllu bangun buat ke toilet, kali ini beda, dia bangun tapi ngliatin ke kolong kasurnya, kya lg ngusir sesuatu gt,.
Aku diem aja, dan pura_pura tidur, aku liatin amah jalan ke toilet tangannya sambil kya dorong sesuatu gt, tapi dia ga ada bawa apa_apa, dan dia sendirian,
Aku ngrasa dia ky lg ngobrol di toilet, trus dia ambil ember kecil sma botol bekas sampo, ditaro lah di depan westafell kmar mandi, dan sepanjang malam itu aku ga bisa tidur, krna itu ember bunyi semaleman kya di mainin gt,. Tpi amah udah balik ketempat tidurnya, dan udh lelap lg,.
Aku slalu baca doa dan surat_surat lainnya, dan aku baru bisa tidur di jam 3 pagi, itupun tidur ayam, melek merem ngga jelas, mikirin tuh ember,.
Pagi tiba dan ibu ternyata udah bangun, dan bersiap buat lari pagi,. Pas aku mau ke kamar mandi buat beres_beres, di depan kamar mandi terlihat jelas sosok.....
Kita lanjutin di Bab berikutnya?
"Percaya boleh asal jangan sampai terpengaruh"
Se you byebye??
Semakin terlihat
Ada sosok hitam besar, berwujud asap yg sangat tebal, dan mempunyai mata merah menyala, turun ke basement,. Mungkin dia ngga liat aku, tapi aku liat jelas, aku buru" beresin rumah, dengan badan yg msih gmeteran.
Hari itu aku berfikir mungkin hal terburuk buat ku, tapi ternyata lebih buruk lagi hari_hari berikutnya,.
Aku menerima tlvon dari ros
Ros :"assalamualaikum "Aku :"Wa'alaikumsalam, knpa ros?" Ros :" maav aku ngga bisa balik ke jakarta, aku ngga lagi kerja di situ, sementara aku di rumah dllu ngurus yg di sini" Aku :"owhh yaudh ngga ppa, nnti aku minta koko buat cari yg baru"Ros :"selama sendirian kmu ati" dan jngan suka ngelamun" Aku :"yahh, aku bisa jaga diri"
Benar_benar hari yang melelahkan, setelah 2minggu baru ada ganti mba baru, jdi selama 2minggu aku sllu di ikutin anak kecil itu, kemanapun.
Aku :"hai mba baru yh?! Semoga betah kerja disini"Mba :"iyaa, insya allah"Aku :"oh ia namanya sypa?" Mba :"aku tika" Aku :"ow ok ok, klo ada apa" bilang aja yh"Diapun menganggu kan kepala, aku faham dia orang yg ngga peka, saat aku bwa dia ke atas (kamar kita) dia biasa aja, pdahal aku ngrasa di situ ada banyak yg ngeliatin.
Sore datang aku ajak dia turun buat nyalain lampu sekalian ajarin dia, aku udh ada firasat di kamar kosong atas, dalam hati "psti ada" satu persatu kita nyalain lampu, slesai waktunya nyalain lampu kamar kosong, aku sengaja suruh dia yg nyalain, aju nunggu di pintu, persis di bawah tangga (kamar), tiba" kedengaran suara benda jatoh dari atas
Tika :"apa itu mba"Aku :"ngga ada apa_apa paling kardus jatoh, soalnya di atas bnyak kardus kosong"Tika :'kita cek ke atas yu"Aku :"mending ngga ush, besok siang aja"
Stelah slesai kita mau tutup pintu kmar, otomatis mata kita msih fokus ke dalem kmar dong,
Aku :"Inalilahi ya allah apa lg ini"Tika :"apa mba?"Aku :"ngga ada apa_apa jdi tuh aku ngeliat dua mata merah, badannya babi, ekornya panjang bngt ky ular, yg bikin kaget kepalanya manusia rambutnya panjang bngt, sosok itu menuju atas tpi jalannya ngambang,. Lngsung aku turun pelan_pelan seolah_olah ngga ada apa_apa,.
Makan malam pun slesai, aku ngajak tika buat matiin lampu, jdi aku di ajarin klo malem di dalem ngga boleh terang, minimal ada dua lampu yg nyala, jdi dari luar orang ngga bisa liat ke dalem, secara itu rumah kaca,.
Aku sma tika lnjut matiin lampu terkahir, yaitu lampu taman, posisi saklarnya di samping lukisan almarhum papanya koko (mertua bosku), pas banget aku pencet tuh saklar, mata lukisannya ngelirik, tika liat di situ, spontan aku lngsung narik tangannya lari ke belakang, dia kaget, syok dan ketakutan,.
Aku :"istigfar mba, baca ayat kursi, baca doa_doa sebisanya" Tika :"ya allah apa itu"Aku :"udh ngga ppa, ada aku ini. Aku :"selesai beres" lngsung makan, trus istirahat yh, besok baru mulai kerja".
Disitu aku sempet ajak dia nnton tv di ruang tamu, di bawah tangga juga, kita asik tuh nnton smpe jam 7.30 , aku liat ke arah kaca, di luar rumah, ada banyak banget sosok_sosok yang lewat,. Orang item tinggi besar, anak kecil, kuntilanak, kepala terbang, manusia setengah hewan, dan msih ada bberapa yg lain, itu semua lewat bersamaan, kaget lah aku tika ngga liat sma sekali, aku ajak dia buat istirahat, dan aku buru_buru naik ke kamar
aku ngga cerita tdi di atas ada apa, ngga cerita juga soal anak kecil yg suka ngikutin, dan tdi tentang lukisan aku ngga mau bahas lg, takut dia ngga betah,.
Malam itu aku blom bisa tidur krna suara tangisan dari basement, suara langkah kaki di atas, aku yakin tika ngga denger, dia juga sibuk sma pacarnya, kira_kira jam 11 aku baru bisa tidur,
dan seperti biasa jam 2 aku sllu bangun buat sholat, tpi malam itu mataku ngga mau melek, maunya merem terus, aku sllu istighfar baca ayat kursi, tpi ttep ngga bisa melek, pelan_pelan aku buka mata, dan apa yg aku liat?!?!?!
Berwujud pocong tpi hitam tinggi gede bngt, aku jelas liat sosok itu di ujung pintu deket mesin cuci,. Spontan aku lngsung ttup selimut dan nyalain ayat ruqiAh di hp,
Aku coba pelan_pelan buka selimut dan mastiin sosok itu msih ada ngga, ternyata udah ngga ada,. Aku ngga bisa tidur lg dan ngga berani kebawah buat ambil air wudhu, sampai jam 3 aku baru bisa tidur.
Jam 5 aku bangun aku ajak tika buat turun beres_beres, saat lewatin pintu kaca taman belakang, aku ngrasa ada yg ngeliatin, posisi msih gelap, aku coba cuek, tpi penasaran, aku tengok dan bener aja, ada kepala merah penuh darah di pohon taman belakang, cuma kepala itu ngga ada badan,
Sengaja aku ngga ksih tau tika, aku takut dia lari atau syok lg,.
Jalan terus kita ke arah bawah tangga yg banyak mainan buat buka horden, belom sempet buka tika nengok lahh ke atas, ke arah depan kmarnya ibu,
Tika :"itu sypa mba yg pake baju merah"Aku :"astagfirullah, bukn sypa_sypa kok, kita lnjut lg" Dia fikir itu salah satu anggota keluarga, aku tau itu bukan manusia, aku ngga bilang klo itu makhluk selain kita.
Wujudnya cwe kya kuntilanak gt, tpi merah semua, cuma rambutnya yg item. Perlahan dia ngilang sperti asap,
Siang sperti biasa kita beres", ngerjain ini itu.
Singkat cerita pas kita beresin kamar mandi bosku, tika liat ada cwe item semua di bath tube, duduk dia,
Tika :"mba mba itu sypa (sambil lari ke arah aku) Aku :"istighfar mba" Tika :"ya allah apa tadi, serem banget mukanya" Aku :"kita turun aja yuk, kita tinggal"
Di bawah tika cerita, ternyata waktu malem" aku liat pocong, dia ngeliat juga, dia diem dan pura_pura tidur,.
Bberapa hari aku sllu di liatin sosok_sosok aneh, tika juga kadang suka dnger langkah kaki di atas,
Sampai dia mutusin mau keluar dari rumah itu, dia ngga betah dengan posisi yg sllu di gangguin.
Aju coba nguatin dia,
Aku :"tahan mba, baru juga msih, ada aku ini" Tika :"aku ngga betah banget" Aku :"nnti kita cerita ke ibu yah" Siang itu slesai makan kita cuma diem di kamar, sibuk sma hp masing_masing, dia bilang ke pacarnya soal kejadian di rumah ini,.
oh ia waktu malem_malem aku liat sosok banyak banget itu ternyata pas banget itu malam satu Suro, jdi bulannya lg cantik, full banget,.aku liat di artikel klo malam itu malamnya mereka buat cari kekuatan, atau semacamnya lah, aku juga kurang faham.
Tiap hari aku sllu nguatin tika biar di ngga keluar, nnti klo dia keluar aku sendiriang di rumah itu, dan bner aja dia mutusin buat keluar,.
Aku lanjutin kisah akhir ku di rumah prisma di Bab 5,..... Di situ aku udh nyerah dan mutusin buat keluar,..... Ikuti kisahnya...
Puncak horor
sekitar akhir taun 2018 tika memutuskan buat keluar, Aku bekerja di rumah tersebut sudah setaun lebih,. Selama setaun aku sering kerja sendirian dengan rumah yg cukup besar,
rumah itu berbentuk prisma, dan kebanyakan jarang ada yg betah kerja di situ, aku sh nyaman" aj, krna aku mkir wong niat kerja dan tidk ada hal" aneh selama setaun itu.
Tika Temen aku mau keluar tpi tunggu mba baru datang,
dan kebetulan bos aku baru aja lahiran anak pertamanya, dan posisi msih di rumah sakit,. Selang bberapa hari feb datang (mba baru) , pas sore ujan angin petir, aku buru" bwa dia ke dalem rumah, krna posisi kmar kita di atas garasi jdi otomatis kita lewat pintu garasi,.
Feb ini dia punya kelebihan bisa melihat (mreka), Stelah msuk garasi, muka dia lngsung kaget dan ternyata dia liat, dan buru" minta di anter ke kmar, tnpa ada kata apapun.
Stelah itu malam datang, kita bertiga ada di suatu kamar, ruangan yg lebar dan besar, lebih tepatnya seperti loteng, jdi di fungsikan buat kmar pembantu,. Di sudut ruangan ada gudang kecil, sngat gelap, dan tertutup, ada dua lemari besar dan bberapa box,. dan di ujung ruangan ada pintu untuk keluar keatas, ada mesin cuci dan tangga(tangga muter)
Kita tidur di kasur lantai, depan lemari di samping jendela, (jdi tuh jendela kayu, stengah lingkaran gt, dan panjangnya sepanjang ruangan itu).
Awalnya kita tidur biasa aja, ga ada keanehan apa", posisi aku di tengah, tika di samping jendela dan feb deket pintu keluar keatas yg ada mesin cuci, posisi kita agak jauhan.
Jam 10 malam feb bangun, dia gelisah dan trus"an baca ayat" alqur'an, sampai jam 10.30 dia berdiri bwa kasur ke samping tika, jdi dia lewatin aku, aku heran dlam hati (kok ini anak pindah, ada apa)
. Stelah itu kita tidur lg, sekitar jam 11 aku kebangun, suasana sangat dingin, tpi badan aku keringetan, lngsung aku nyalain hp (ayat ruqiAh) disitu aku bener" ga nyaman,. Krna suara hp aku terlalu kencang feb dan tika bangun. Feb:"hp sypa yg bunyi? "Tika:"iya ini, yg jelas bukn punyaku!"Aku:"punya aku itu" Sambil duduk dan melihat mreka bangun, feb lalu bilangFeb:"tenang mba, ga ppa, tidurnya ngadep ke kita aja, jngan ke pintu",
aku lngsung kaget dan pindah di tengah antara feb dan tika. Disitu aku dan tika mencoba tenang dan bertanya ke feb
Aku:"memang ada apa?" Feb:"ga ppa, cuma tdi aku ga bisa tidur, ada 4 kaki muterin kasur aku(dua pasang) , yg satu besar yg satu kecil ky anak", tpi ga ppa ko, tidur aja" Malam itu juga jam 11 lebih aku sma tika ga tidur, jam 1 malem aku tlvon mama (di kmpung) kbetulan mama aku baru mau tidur, dan aku suruh tlvon bulek(adik mama) krna biasanya jam sgini dia blom tidur, nnton film horor di tv,. Aku tlvon tpi ga di angkat", dan aku inisiatif tlvon mama lg, dan dia bilang Mama: "jngan takut, baca sebisa kmu, dan tenang, mama bantu doa dari sini" Stelah mendengar ucapan mama , sekitar jam 3 aku tertidur,. dan ternyata sampai pagi tika ga bisa tidur, krna kepikiran sma cerita feb semalem.
Bberapa hari berlalu dan setiap malam kita ga berani tidur jauh"an, psti nempel". dan waktunya tika keluar kerjaan, ros(suster baru) datang malam", sbenrnya dia udh dateng dri kmren, cuma lngsung ke rumah sakit, buat nemuin baby sma bosku,.
Malam itu juga kita tidur bertiga feb di samping jendela, aku di tengah dan ros di samping kanan aku,. posisi msih dempet"an. Jam 9 aku udh tidur, smentara feb sma ros msih ngobrol,. lg seru"nya ngobrol Feby tiba" mtong pembicaraan, Feb:"sus, liat deh ke arah tangga, ada cwe pake baju putih lg turun, rambutnya panjang bngt, dan kakinya ga keliatan (ngambang)". Spontan sus ros lngsung kaget dan pindah ke tengah, aku kebangun dan bingung krna bantal sus udh di muka aku, kepala dia di dada aku dan kakinya di perut si feb, lngsung aku tanya Aku:"loh knpa? Ko jdi gni? Sakit , bangun lahh, berat. Di situ sus nangis dan ga mau pindah ke tempat semula, feb cuma senyum" dan heran sma tingkah laku sus, secara sus umurnya jauh lebih tua dari kita, tpi smpe segitu ketakutan, pdahal dia ga liat apa yg feb bilang,. Di situ aku ga bisa tidur, kaki smpe kesemutan, dan selimut nyelimutin seluruh badan kita bertiga,dengan sus posisinya msih sma,. Feb cerita ke aku tentang apa yg baru aja terjadi, aku kaget dan lngsung diem, suasana sepi dan sus msih nangis di situ, aku:"udh sus diem, jngan nangis trus, istigfar, baca sebisa nya sus". ngga lama sus berhenti nangis,. Dia sedikit lebih tenang, saat itu juga aku nyalain hp(ayat ruqiAh) dan selang bberapa detik, terdengar suara tangisan dari basement (di bwah garasi) aku:"feb kmu denger ga?" Feb:iya mba, mba baca ayat kursi, aku baca surat" yg lain". Dan kita bareng" baca lah itu ayat" kenceng bngt, smpe mulut aku gemeteran, suasana makin beda, dan aku ngajak mreka turun, tidur di kmar bawah (jdi ada kmar baby, baru jdi, di ruang tengah, tpi jauh dri kmar kita) aku:"mending kita tidur di kmar bawah yuk"Feb:"disini aja mba, ini kmar jngan di Kosongin"Aku:"lah kasian sus, ga nyaman dia, aku juga capek ini di tindihin sus, sakit",. Dan akhirnya mreka mau pindah ke bawah,.aku bawa selimut, feb bantal dan sus bwa guling,.
Saat kita mau turun, sus bilang Sus:"bentr, aku mo ambil cesan dllu(cesan ada di meja samping pintu yg ada tangga ke atas dan di bawahnya ada kipas angin lantai yg ckup besar, nyala juga)"Aku:"ga ush lah, ces besok aja" Sus:"feb temnin aku" Dan feb nmenin dia ambil cesan,. Saat cesan itu ke pegang belom sempet di angkat, kipas angin nya mati, dan kedengeran suara ketawa, kita bertiga lngsung lari turun menuju kmar bwah, . sus nangis kenceng, dan saat kita mau buka pintu menuju ruang tengah tiba" keras, ga bisa di buka, sperti di kunci, pdahal ga pernh di kunci, aku dobrag pake bahu, feb terus buka grendel pintunya, sementara sus nangis makin kencang,.
Smpe ada 2menitan baru bisa kebuka dan lngsung kita lari sekenceng"nya ke kmar itu,. Di situ kita ttup semua horden, dan kita dduk bertiga, bingung sma apa yg sedang terjadi saat itu, nangis, capek, ngantuk, semua campur aduk,. Dan aku baru sadar ternyata tangan aku lebam, biru, kyaknya pas dobrag pintu, dan jari" feb berdarah krna trus"an berusaha buka grendel pintu. kita lngsung tidur, sambil trus"an baca ayat kursi,dan ga ada kejadian apa" lg. Keesokan paginya kita cek ke kmar atas, ternyata itu kipas muter ke off, pdahal kita nyalain sampai angka 3, masa ia bisa muter dua kali smpe ke off, kita cek juga ga ada yg kendor, krna udh pagi, kita ketawa" aja dan semenjak itu kemanapun kita melangkah hrus ada temen yg nemenin,.
dan awal tahun 2019 aku memutuskan keluar dari situ, krna aku harus pulang buat ngrawat bpa aku yg di rawat di rumah sakit,.
Oh ia, saat pertama kali feb dateng ke rumah itu, ternyata dia ngliat anak kecil di garasi main sepeda motor, dan sepeda mtor itu Sbenernya ada di lantai atas, di atas ruang tengah, tpi knpa Feb liatnya di garasi,.
Sbenrnya msih bnyak kejadian" menyeramkan di rumah itu, tpi ngga bisa aku ceritain detailnya. End......
Belum Usai
Setelah aku keluar dari rumah itu, kejadian kejadian aneh mulai aku rasakan.
Setiap seminggu sekali aku di obati, pergi kesana kesini, jauh jauh ke luar kota ttep tidak ada hasilnya,.
Sampai aku memutuskan untuk pergi merantau ke jakarta lagi, dengan harapan bisa sembuh kalau di bawa kerja, tapi tidak lagi di tempat kerja yang dulu.
Beberapa hari kemudian aku berangkat ke Tangerang di ajak kakak aku, kita bekerja satu rumah dia bagian ngurus anak anak dan aku bagian beres beres dan lainnya.
Sakit mulai agak reda, tapi sesekali terasa, dan itu sering mengganggu waktu kerjaku.
Jarang aku mengalami kejadian mistis di rumah ini, hanya kadang sekali kali tercium wangi melati, bau kencur yang sangat menyengat dan seperti ada beberapa sosok yang sering memperhatikan,.
Malam senin
Aku dan kakak ku berniat besok untuk puasa sunnah, jadi kita berdua memutuskan tidur di bagian paling depan rumah, kita sebut garasi tpi hanya untuk tempat barang barang yang udah ga di pakai dan lemari panjang coklat tempat parabotan rumah tangga.
Sperti biasa sebelum tidur kita main hp, dia tlvon an sma cwonya, dan aku lebih sibuk nonton youtube.
Ga lama aku ketiduran dengan posisi hp masih nyala, kakak ku belum tidur, dia Msih main hp nya,.
Jam 11 malem aku ke bangun denger suara gesek gesek kasur
Ternyata itu kakak aku yang gelisah ga bisa tidur aku coba tanya ke dia dan dia hanya jawab "ngga ppa, belom ngantuk aja".
Aku kembali tidur dan posisi kita beda, posisi kaki aku menghadap ke gerbang garasi, sementara kakak aku belakangin gerbang garasi, jadi kita tidur membentuk huruf T.
aku terbangun lagi setelah bunyi alarm, itu artinya sudah waktunya sahur, aku coba nengok ke kakak aku dan dia seperti ga tidur, dia main hp sambil tidur miring,.muka dia kya yang ketakutan dan pucet,. di situ aku hanya diem dan mengajak dia untuk makan sahur.
Selesai makan kita beres beres lalu istirahat sebentar sambil nunggu sholat subuh.
Selesai subuhan kita lanjut beres beres seperti biasa, di sela sela waktu kita kerja kakak ku baru bilang kalo Semaleman dia ga bisa tidur.
Setiap kali matanya terpejam seperti banyak yang memperhatikannya, begitu sebaliknya ketika dia buka mata ga ada apa apa,.
Terlintas di fikiran dia apa ia yang ngikutin adik aku ikut kesini?!
Dia ga berani bangunin aku karna ga tega liat aku udah tidur pules.
Dan mulai hari itu kita ga berani tidur di garasi lagi.
Selang beberapa hari kakak ku udah mulai ga nyaman, dan dia bilang ke aku suruh cari ustad dan pergi merukiah aku, mungkin ini jalan yang tepat.
Aku nyari" grup di sosmed tentang rukiah dan ada beberapa yang udh aku temuin, sesekali aku mencari info soal rukiah kejadian kejadian aneh terjadi dan seperti di halang.
Mulai batrei hp tiba tiba lowbet padahal terisi penuh, wi'fi slalu eror dan bos yang terus terusan ngoceh ngoceh ga jelas.
Sekitar satu minggu aku menemukan satu ustad di daerah Bekasi, dan halangan pun terjadi lagi, kakak ku ga bisa nemenin ke Bekasi karam waktu itu momongannya ada acara wisata, dan aku di cancel krna acara rukiah itu di adakan si sebuah masjid di kota Bekasi.
Aku di kasih no tlvon temen ustad itu dan ternyata masih satu grup,rumah beliau ada di daerah lenteng agung.
Aku coba hubungi dan ia tersambung, aku dan kakak ku nentuin hari tanggal jam ktemunya,.
Keesokannya aku kakak ku dan cwo kakak ku berangkat dari stasiun jakarta kota dan turun di stasiun univ pancasila,. Di perjalanan kereta sempat mogok dan jalan kembali, terus terusan seperti itu sampe kita telat satu jam.
Di fikiran aku cuna bisa bilang " ya allah cobaan apa lagi ini".
Sesampai nya di stasiun univ pancasila tiba tiba ustad itu tlvon memberitahukan kalau jangan ada orang lain kecuali sodaramu.
Kita bingung karna kita ngajak cwo kakak ku.
Lama kita di pinggir jalan nemuin cara yang tepat, dan aku memutuskan untuk jujur kalau ada orang lain yang ikut.
Aku coba tlvon beliau dan aku mengatakan semuanya, awalnya aku ragu dengan jawabannya nanti, pasti dilarang,.
Ternyata dugaan ku salah, beliau mengizinkan cwo kakak ku masuk dan dengan syarat jangan menyentuh aku dan kakak ku, karna kita berdua sudah berwudhu,.
Setelah proses yang panjang kita selesai dan beliau membakar barang barang yang aku bawa dari orang pintar di kampung,.
Setelah di rukiah aku merasa lebih dekat dengan ALLAH SWT,.
anehnya aku bisa mendengar dan mengerti kalau ada orang yang sedang gibah soal aku ataupun keluargaku, seperti otomatis ada yang bisikin dan aku bisa mendengar obrolan mereka walau jauh.
Description: Bercerita tentang rumah berbentuk prisma yang menyimpan banyak energi gaib, mereka muncul saat kita merasa takut, dan tertekan, banyak kejadian baik dari luar atau dari dalam rumah, dan ini kisah nyataku
|
Title: Rumah Kenangan
Category: Cerita Pendek
Text:
Kenangan Masa Kecil
Dua anak perempuan yang berseragam putih merah, berlarian saat melihat sosok laki-laki yang menunggunya di depan gerbang sekolah. Mereka langsung mengamit tangan laki-laki itu, kemudian mengajak membeli mainan yang digelar para abang penjual di sekitar sekolahan.
"Yang ini boleh ya, Yah!"
Laki-laki itu mengangguk, membiarkan kedua anak perempuannya memilih dengan sesukanya. Menungguinya dengan sabar, hingga mereka selesai membeli mainan dan jajanan.
"Terima kasih, Yah!"
Dipeluknya tubuh laki-laki itu dengan erat. Kedua anak perempuan itu saling melontarkan kata-kata manja dan candaan. Sang ayah membalas pelukan itu, dengan ciuman di kedua pipi putri kesayangannya. Melihat kebersamaan mereka, bikin dadaku terasa nyesek. Ingin merasakan hal yang sama. Bagaimana dipeluk, dimanja dan dijemput saat pulang sekolah.
Begitu beruntungnya anak-anak yang memiliki kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya. Mereka punya kenangan indah di masa kecilnya. Aku hanya bisa menghela napas panjang, mengumpulkan kepingan semangat sebelum melanjutkan perjalanan yang sebentar lagi singgah.
****
“Dasar perempuan sial, tak berguna.”
“Kau yang sial, lelaki tak bertanggungjawab. Pergi dari siniii!"
"Tak tahu diuntung, perempuan laknat."
"Laknat katamu, kau yang biadab!"
Suara teriakan itu masih terekam kuat di ingatanku. Dinding-dinding rumah jadi saksi bisu kejadian puluhan tahun lalu. Setiap singgah di sini, dadaku bergemuruh hebat. Putaran kejadian paling menyakitkan terulang lagi.
Pekik jeritan ibu menggema, membuatku lari dan bersembunyi di bawah kursi. Ketakutan yang teramat sangat, kurasakan. Tanganku terus gemetar saat menyaksikan dua orang dewasa beradu otot, saling memukul dan berakhir tangis di wajah ibu.
Saat itu, aku masih berusia tujuh tahun. Tak mengerti perihal masalah orang dewasa. Yang kuingat, setiap ibu menanyakan perihal uang. Muka ayah merah padam dan tak lama terjadi pertengkaran hebat. Tak ada yang mau mengalah, barang-barang yang ada di dapur jadi sasaran alat tempur.
Tak tahu mana yang harus kubela, hanya bersembunyi itu yang kulakukan. Bukan hanya sekali, berulang kali aku menyaksikan adegan yang menguras emosi disertai dengan kekerasan fisik.
Rumah yang katanya jadi tempat berteduh paling nyaman bersama keluarga tak pernah kurasakan. Di saat anak-anak lainnya dimanja, disayang, aku kehilangan semuanya. Sejak pertengkaran itu, ibu gampang marah. Sementara ayah menghilang entah ke mana. Kalaupun pulang ke rumah, hanya dua sampai tiga kali dalam sebulan. Itupun selalu berakhir ricuh. Tak ada kata mengalah, saling mempertahankan ego masing-masing.
Aku sudah bosan dengan suguhan rumah penuh teriakan. Tak ada ketenangan hanya berisik, membuatku ingin pergi sejauh-jauhnya, meninggalkan rumah yang ibarat neraka bagiku. Tetapi, mau pergi ke mana? Aku tak punya tempat berlindung. Hubungan kekerabatanku dengan keluarga ayah dan ibu saja tak begitu dekat. Mereka jarang mengajakku berkunjung ke sana. Entahlah mengapa seperti itu, seolah sengaja menjauh dari keluarga masing-masing. Tak ada lagi pilihan, hanya bertahan dan menerima semuanya.
Jika tak menemukan titik temu, mengapa mereka memilih tetap bersama? Tinggal seatap dengan konflik berkepanjangan yang tak tahu kapan endingnya. Sungguh sanggat membingungkan apa yang dilakukan dua orang yang sudah dewasa. Sebentar bertengkar, sebentar lagi rukun begitu seterusnya. Persis seperti diriku yang sedang berebut mainan bersama kakakku, tak pernah ada yang mau mengalah.
***
“Rosi, cepat belikan minyak goreng!”
“Baik, Bu!”
Cepat-cepat aku bergegas memenuhi perintah ibu, pergi ke toko mbak Lastri. Membawa jerigen kosong yang muat menampung minyak seberat lima liter. Tubuhku yang kurus, sedikit terhuyung saat membawanya. Sesekali berhenti untuk mengistirahatkan tangan yang mulai memerah dan panas. Saat berhasil sampai di rumah, barulah aku bisa bernapas lega. Duduk santai menikmati tayangan kartun candy-candy kesukaanku.
“Apa ini, Rosi?”
Tiba-tiba ibu membentakku. Baru saja aku duduk, teriakan ibu membuatku berjingkat. Di jewernya telingaku dengan kasar tanpa ampun.
“Sakiiit, Bu!”
Matanya memerah, napasnya naik turun membuatku ketakutan.
“Sudah kubilang kan, beli MINYAK TANAH bukan MIYAK GORENG. Di mana kau taruh telingamu? Gini aja teledor!”
Waktu aku kecil, belum ada pemakaian elpiji. Kompor bersumbu dengan pemantik minyak tanah itu yang jadi hits. Jika sumbunya sudah pendek harus bersiap menariknya ke atas, agar kompor bisa digunakan.
“Ampun, Bu!”
Berulang kali kuucapkan kata itu dengan nada memelas, berharap ibu menghentikan aksi kekerasannya kepadaku. Sia-sia, emosinya sudah memuncak menguasai pikirannya, dengan membabi buta dipukulinya tubuhku yang kurus dengan sapu lidi, dicubit hingga membiru dan memar di bagian paha, lengan dan perut.
Ibu membuang semua minyak goreng dari dalam jerigen ke dalam saluran air, bau minyak tanah yang menyengat membuat minyak goreng tak bisa digunakan lagi.
Setelahnya ibu kembali memukulku, aku menangis kesakitan, menjerit-jerit, tapi ibu tak mau menghentikan amarahnya. Tiada ampun baginya, kesalahan sedikit harus mendapat balasan. Aku semakin ketakutan saat ibu membawa sebilah pisau tajam dari dapur.
“Jangan, Bu!"
Ibu terlanjur kalap, dipegangnya kedua kakiku dengan kuat dan mengancamku akan menggoreskan pisau itu ke tubuhku. Aku berontak ketakutan. Melihat ujung mata pisau yang tajam, aku menjerit-jerit ketakutan, meminta tolong dengan suara keras. Tetapi sayang, tenagaku tak kuat untuk melawan cengkeram tangannya. Nyawaku benar-benar dalam bahaya kala itu.
Tuhan, aku tak mau mati dengan cara seperti ini.
"Hentikan, Bu!"
Untunglah, mbak Mayang—kakakku datang menolongku. Ia menarik tangan ibu dan membuang pisau digenggaman tangannya. Ibu langsung masuk ke kamar dan menangis tersedu-sedu. Sementara aku berlari ke luar rumah menenangkan diri. Mengutuk kejahatan ibu dan berjanji dalam hati tak pernah mau memaafkan.
.
.
“Rosi, kamu ngapain?”
Melihatku duduk sendirian, Pak Amin tetanggaku yang kebetulan lewat segera menghampiri. Aku tak bisa menyembunyikan tangis, mata sembab dan suara serakku jelas terlihat.
“Kau dimarahi ibumu? Ayo kuantar pulang!”
Aku menggeleng, masih trauma dengan bentakan dan tindakan kasar ibu. Tanganku terus gemetar saking takutnya.
“Gak usah takut, ibumu gak akan marah.” Tanganku dipegang Pak Amin, tapi aku menariknya dengan cepat.
"Ya sudah, ayo ikut ke rumahku."
Aku langsung mengangguk, berjalan mengikutinya. Melihatku datang, istri pak Amin menyambut dengan baik. Membuatku tenang dan nyaman. Seandainya punya orang tua seperti mereka rasanya sangat menyenangkan.
“Rosi … ayo pulang! Bikin repot pak Amin saja.”
Suara ibu yang menggelegar, membuatku ketakutan lagi. Melihat ibu datang, pak Amin langsung berbincang dengan ibu. Dari kejauhan kulihat ibu hanya manggut-manggut dan mengusap wajahnya dengan telapak tangannya. Setelah selesai, barulah pak Amin menghampiriku.
"Rosi, pulanglah, Nak! Jangan khawatir, ibumu sudah berjanji tidak akan marah dan memukulmu."
Aku menggeleng, masih trauma dengan kejadian tadi. Pak Amin terus merayuku hingga berhasil meyakinkanku untuk pulang. Sesampainya di rumah, ibu sudah menyiapkan makanan kesukaanku. Wajahnya yang berapi-api berangsur hilang.
“Cepat, makanlah!" ujarnya lembut.
Selera makanku mendadak hilang, aku tak mau menyentuh makanan itu. Memilih bertahan dengan perut keroncongan. Buat apa, ibu susah payah memberiku makan, biakan saja aku mati daripada diperlakukan kasar setiap hari.
Melihat makanan yang masih tergeletak di meja makan, ibu sedih. Ia kembali menangis dan menyesali perbuatannya. Mengurung diri di kamar seharian. Aku sudah hapal kebiasaan ibu, selalu merasa bersalah, setelah amarahnya terlampiaskan.
Aksi kekerasan terus beranjut, tubuhku sudah terbiasa “disiksa”. Jika pulang tak sesuai dengan jam yang ditentukan atau terlambat sedikit. Ibu langsung mengunci pintu dan membiarkanku tidur di teras sendirian. Meskipun aku menangis dan memohon, ibu takkan luluh.
Sejak itu, aku jadi takut dengan suara keras, bentakan dan ancaman. Bahkan pernah sampai terbawa di mimpiku, pukulan-pukulan itu mengiris batinku. Jika tidak menurut, ibu tak segan mengancamku dengan pisau dapur, mengikat tangan dan kakiku Aku dihajarnya habis-habisan dengan sapu lidi hingga punggungku memerah.
Aku dianggap sebagai anak pembangkang, tak tahu aturan, beda dengan kakakku yang penurut, tak pernah keluar rumah. Padahal di dalam kamar, mbak Mayang mengkoleksi bacaan porno, suka nonton film-film barat yang banyak adegan dewasanya.
Sejak usia tiga belas tahun, barulah amarah ibu yang meledak-ledak perlahan mereda dengan sendirinya. Ibu menjadi perempuan yang sangat baik kepadaku. Tetapi luka di hatiku belum menghilang, masih perih dan belum hilang. Tak banyak komunikasi antara ibu dan aku. Jika tidak penting, aku tak berbicara.
Sekolah menjadi tempat paling mengasyikkan, bercanda bersama teman-teman, melepas beban masalah di rumah dan menukarnya dengan sedikit bahagia. Sesakit apapun, aku selalu berangkat sekolah. Selama enam tahun, bisa dihitung dengan jari berapa jumlah ketidakhadiranku. Semua kegiatan ekstra kurikuler kuikuti. Aku menjadi anak yang periang di sekolah. Sangat jauh berbeda dengan di rumah. Masalah terus berdatangan, menghampiriku tanpa ampun. Tak hanya kekerasan ibu, aku juga memergoki ayahku berduaan bersama perempuan lain di rumah kontrakannya, kejadian itu membuatku syok untuk yang kedua kalinya.
Tragedi Memalukan
Tiga hari pasca aku memergoki ayah berselingkuh, perempuan bermata sipit itu datang ke rumah membawa anak perempuannya. Ia tak malu, mencari ayahku. Ibu yang melihatnya, langsung menyerangnya dengan kata-kata kasar.
"Perempuan tak tahu malu, berani kau datang ke sini."
Bukannya takut, perempuan berwajah oriental itu malah menantang ibu. Mereka berdua terlibat adu mulut, membuat para tetangga ikut masuk ke rumah berusaha meredam amarah ibu. Suasana makin panas, banyak orang yang terlibat dalam masalah keluargaku. Aku hanya bisa mengintip dari balik kelambu, memperhatikan ibu yang tak berhenti menangis. Sementara ayah bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
Anak perempuan itu masih duduk di sana, di samping mamanya. Melihatnya membuatku semakin benci. Dia dan ibunya menumpang hidup dari ayahku. Mengapa tak mencari pria kaya saja? Yang jelas punya uang banyak, dibandingkan ayahku yang hanya seorang supir angkot.
Lengkap sudah bebanku, di usia yang terbilang masih kecil mengalami gelombang masalah yang luar biasa. Sudah tak memberi kasih sayang, ayah menambah berlipat-lipat duka. Pernah suatu hari membawa anak laki-laki ke rumah. Entah anak siapa itu, ayah sangat menyayanginya. Keinginannya memiliki anak laki-laki tiba-tiba muncul. Hingga anak tetangga menjadi pelampiasan kasih sayangnya.
Ibu berusaha mewujudkannya. Susah payah mengandung, berletih-letih sendirian tanpa kehadiran Ayah. Ia jarang pulang, memilih menghabiskan waktunya bersama temannya di jalanan. Saat mengetahui ibu melahirkan anak perempuan kembar, ayah malah menghilang.
Tubuh ibu langsung kurus kering, harus merawat anak kembarnya sendirian. Menyelesaikan pekerjaan rumah yang seabrek. Belum lagi, setiap malam adik kembaku selalu menangis, membuatku dan mbak Mayang selalu terjaga.
Pikiranku makin kacau, karena kurang tidur. Setelah empat bulan, baru ibu sedikit santai. Si kembar gak rewel, bisa tidur dengan nyenyak. Sedangkan aku memilih melampiaskan waktuku dengan berlama-lama di kios buku. Menghabiskan uang saku untuk menyewa buku detektif Conan, Goosebumps dan menuliskan kisahku dalam buku diary.
Aku berusaha menutupi semua cacat yang ada dalam keluargaku. Di sekolah aku dikenal sebagai anak yang supel, periang, tak pernah menunjukkan kesedihan. Berpura-pura baik-baik saja.
Tetapi ...
Sepintar apapun menyimpan rahasia, pada akhirnya terbongkar juga. Kejadian itu terjadi saat aku duduk di bangku SMP, teman-teman tak sengaja berkunjung ke rumah. Pas kebetulan ayahku lagi marah besar. Menyebut anjing dan memaki ibuku dengan kasar. Terbiasa dengan lingkungan para supir di terminal, membuat ayah tak bisa mengontrol ucapannya.
Bagaimana malunya diriku, seperti ditelanjangi di hadapan teman-teman. Suara ayah yang keras dan kasar membuat teman-temanku ketakutan.
“Ayo, semuanya pulang!”
Kuusir mereka dari rumahku. Aku tak mempedulikan pemikiran mereka terhadapku. Setelahnya aku menangis di kamar, amarah bercampur kekesalan membuatku tak bisa memaafkan ayah. Sekarang tak ada lagi rahasia, semua orang tahu bagaimana keluargaku.
Keesokan harinya, benar dugaanku. Berita itu menyebar, semua teman-teman ramai memperbincangkan perihal ayahku. Aku cuek saja, seolah tak terjadi apa-apa, tetap tersenyum dan menyapa mereka.
“Rosi, apa benar ayahmu sekasar itu?”
Aku mengangguk, membenarkan semua berita itu.
“Lalu kenapa kalau ayahku kasar, apa aku tak boleh sekolah di sini? Aku punya cita-cita yang harus kuraih.”
Mendengar jawabanku, mereka terdiam. Aku tak peduli lagi, jika mereka menjauhiku. Menjadi cuek adalah cara yang paling ampuh untuk berdamai dengan masalah.
Di masa-masa remaja, tak hanya aku yang punya masalah. Banyak teman-teman yang senasib denganku. Ada yang kedua orang tuanya cerai, besar di lingkungan miskin, minder masalah fisik, dibully teman dan masih banyak lainnya. Sedikit yang bisa keluar dari jerat masalah, rata-rata mereka menjadi anak nakal, sering bolos sekolah, merokok, masuk dunia narkoba dan ada yang menjadi simpanan om-om.
Dimas salah satunya, sering kupergoki di belakang kamar mandi menyendiri. Ternyata dia memakai obat.
“Bodoh kamu, merusak dirimu sendiri.”
“Aku tak sanggup menjalani hidupku, Ros. Orangtuaku selalu bertengkar.”
“Tapi apa harus gini, caramu menyelesaikan masalah. Kenapa gak sekalian kamu bunuh diri saja.”
Mendengar jawabanku, Dimas marah, membentakku karena ikut campur masalah pribadinya. Tetapi, satu bulan setelahnya, ada perubahan dari Dimas. Ia jadi anak yang baik. Semangat sekolah dan berprestasi.
Lain lagi dengan Kartika, anak laki-laki yang sering murung dan menyendiri di kelas. Kami sering bertemu di ruang UKS. Dulu saat bosan dan jenuh mendengarkan pelajaran, aku sering alasan sakit dan memilih tidur di sana. Ternyata yang berpikiran seperti itu bukan hanya aku saja. Ada Soni, Bram,Yuli dan Kartika. Hanya Yuli yang murni sakit, sementara yang lainnya berpura-pura.
“Matamu merah, ada masalah?” tanyaku pada Kartika.
“Masalah dia banyak, Ros,” Soni menimpali.
“Emang dia aja yang punya masalah. Kita ngumpul di sini juga bermasalah,” tawaku sambil cekikikan.
“Aku stres dihajar ayahku.” Kartika membuka suara.
“Halah, palingan kamunya yang nakal. Mana ada seorang ayah main hajar,” jawabku asal, padahal aku juga sering kena pukulan ibuku. Bukan karena nakal, perkara sepele yang membesar.
“Sejak ibuku pergi meninggalkanku, aku bosan di rumah. Kuhabiskan waktuku bermain bersama teman dan pulang larut malam.” Kartika menutupi wajahnya, ada perasaan sedih yang sengaja ia tutupi.
“Nasib kita sama, Kartika. Tidak beruntung dalam urusan keluarga.” Aku berusaha menguatkan.
“Tapi dia bahagia sekarang, Ros.” Bram ikutan bicara.
“Wah, asyik tuh. Bahagia gimana, Bram. Boleh dong, kasih tahu. Biar aku juga bahagia.”
Bram dan Sony mengulum tersenyum. Tangannya menyikut lengan Kartika, “Ayo bicaralah, Rosi ingin tahu tuh.”
Sampai pelajaran ketiga berakhir, Kartika tak kunjung bicara. Aku menghormati keputusannya. Diam-diam Sony memberitahuku perihal bahagia yang dirasakan Kartika.
“Ah, yang benar kamu, Sony.” Aku tercekat mendengar pengakuannya.
“Sumpah, Ros. Aku tak berbohong. Kalau kau ragu tanya Bram saja.”
Aku hanya geleng-geleng. Kartika sudah terjerumus sangat dalam, bagaimana mungkin anak berusia empat belas tahun ketagihan esek-esek di lokalisasi. Kepalaku mendadak pusing, mendengar perkataan Sony dan Bram yang sering diajak Kartika. Meskipun meereka hanya menunggui Kartika di depan rumah lokalisasi, tetap saja membuatku syok. Dengan tarif anak sekolah, Kartika bisa merasakan kebahagiaan semu bersama perempuan penghibur yang berusia senja. Hanya merekalah yang mau melayani dan menerima uang recehan dari anak sekolah, karena sudah tak laku melayani laki-laki dewasa berduit.
Dulu di Surabaya sangat terkenal lokalisasi di gang Dolly, sekarang sudah ditutup.
Berteman dengan anak-anak bermasalah mengajarkanku banyak hal, setidaknya aku tidak sendirian.
Lamaran Danu
Berusaha sekuat mungkin tegar, tak terpengaruh masalah. Tak membuktikan aku benar-benar kuat. Dengan mudahnya aku memberikan semangat pada mereka, tetapi aku sendiri sebenarnya rapuh. Hanya tampak luarnya saja yang garang. Kebencianku kepada ayah masih terus kusimpan hingga memasuki usia dewasa.
"Lebih baik kau mundur saja, Mas. Aku bukan perempuan yang cocok untuk kau nikahi."
Selalu jawaban itu yang kuberikan, saat ada laki-laki yang mau serius denganku. Aku tak punya hasrat untuk menikah. Bagiku, semua laki-laki itu sama. Manis di awalnya saja. Ketakutan akan dikecewakan, sakit hati, dikhianati begitu besar. Jika teman sebayaku sudah jatuh cinta berkali-kali, aku belum merasakan rasa itu.
Hanya bersyukur hubunganku dengan ibu perlahan membaik, seiring usiaku yang bertambah dewasa. Menyesal pernah membenci ibu, karena melakukan kekerasan kepadaku. Padahal, ibu korban dari ayah. Menyaksikan perjuangannya mendapatkan rupiah dari ayah, tidaklah mudah. Ibu harus kebal dihina, diperlakukan kasar. Tapi, ibu tak menyerah.
Hampir setiap malam, ibu ikut bekerja sebagai kernet. Menunggunya berjam-jam di terminal, harus tahan mendapatkan godaan dari para supir. Baru pulang sekitar jam dua belas malam. Sementara aku dan mbak Mayang bergantian menjaga si kembar yang usianya masih satu tahunan.
Ayah semakin menjadi pola tingkahnya. Uangnya habis buat berjudi dan main perempuan. Ayah juga tega, menyuruh ibu melayani nafsu teman supirnya. Aku hanya diam, saat ibu bercerita dan menangis di hadapanku. Apa yang bisa dilakukan anak SMP sepertiku. Tak punya kekuatan untuk melawan ayah.
***
"Apa benar masih ada laki-laki baik di dunia ini? Bagaimana jika kelak aku menikah, suamiku berubah, Sya?"
Pikiran-pikiran itu terus menghantuiku.
"Bahagia itu tergantung pemikiranmu, syok saat mendapat ujian iya, berontak, tak terima itu wajar. Setelahnya, kau harus berjuang dan berdamai dengan keadaan. Tak ada cara elegan selain memeluk luka dan memaafkan orang-orang yang telah menorehkan luka. Semua butuh waktu."
Mendengar jawaban Tasya, aku tak yakin bisa melakukannya. Terlalu banyak luka di hatiku. Yang jika diingat, membuatku semakin stress.
"Kau tak pernah merasakan, apa yang kurasakan, Sya. Mudah bagimu, berkata seperti itu."
"Siapa bilang, hidupku baik baik saja. Kau saja yang tak tahu kisah hidupku. Sengaja aku tak menceritakan kepadamu," ujarnya dengan kesal.
Malam itu aku lebih banyak diam dan mendengar cerita dari Tasya, sahabatku. Bagaimana ia berjuang melawan penyakit ganas yang menggerogoti rahimnya. Di usia muda, ia harus merelakan rahimnya diangkat. Tak sanggup aku mendengar ceritanya. Di tengah keberlimpahan materi yang dimiliki, Tasya juga menyimpan luka. Aku hanya bisa menguatkannya, berada di posisinya sungguh tak mudah.
***
Ponselku terus berdering, puluhan chat whattapps masuk secara bergantian. Semingguan ini nama Danu, menjadi teror bagiku. Aku sudah kehabisan akal untuk menyuruhnya mundur.
[Aku bersedia menerima kekuranganmu, Rosi. Izinkan aku, menjadi pendampingmu]
[Aku tahu kau punya trauma kepada laki-laki. Masa lalumu begitu pelik, percayalah aku siap menjadi cahayamu]
[Tak semua laki-laki di dunia ini seperti ayahmu. Jangan takut, Rosi. Aku berbeda]
Sudah kuceritakan rahasia besarku, sifat-sifat jelekku, tetapi mas Danu tetap maju melangkah. Terus meyakinkanku dan membantu menghilangkan trauma masa lalu.
Aku masih tak percaya ada laki-laki sebaik dirinya yang tulus mencintaiku dan ingin membangun keluarga sakinah mawadah warahmah denganku. Berkali-kali datang, tak pernah kutemui. Ia sabar menungguku.
"Sampai kapan kau seperti ini? Danu lelaki yang baik. Pulanglah ke rumahmu, lepaskan semua luka satu per satu. Belajarlah memaafkan, agar hatimu tenang."
Kata-kata Tasya yang membuatku kembali datang ke rumah ini. Sebuah kenangan getir kurasakan lagi, menusuk hingga ke relung dada. Kupandangi foto jadul yang terpampang di dinding, wajah masa kecilku bersama mbak Mayang masih ada. Dulu banyak tanah lapang di kanan kiri rumahku. Bebas bermain dan berlari ke sana ke mari, tidak seperti sekarang yang sudah padat dengan perumahan.
Aku lama terduduk di kursi rotan, sembari membuka album foto kenangan yang ada di bawah meja. Foto rekreasi saat aku SMP hingga SMU, bersama teman-teman. Riang gembira penuh canda tawa. Sudah lama aku memakai topeng kebahagiaan semu, dan menangis di saat tak ada siapa-siapa. Aku lelah dengan semuanya. Aku benci ayah, aku benci dibesarkan di keluarga tak sehat.
"Kau sudah pulang, Rosi?"
Suara lembut ibu, mengalun lirih di telingaku. Kerut di wajahnya tak menyurutkan semangatnya untuk menyambut kedatanganku.
"Makanlah dulu, kemudian istirahatlah sebentar sebelum kau kembali pergi. Danu laki-laki yang baik, ia bisa membimbingmu dan menjadi imam dalam keluarga."
Ibuuu …
Suara-suara itu terus menggema di telinga. Seolah semuanya nyata, ibu hadir dan memberikan wejangan seperti biasanya. Membuatku kembali mengenang masa-masa kebersamaan dengan ibu hingga detik terakhir.
Kubuka pintu kamar ibu, semua masih sama, tak ada yang berubah. Sprei merah motif bunga, kesukaan ibu masih dipasang di ranjang. Aku berbaring di atasnya, memeluk guling dan bantal yang biasa ibu pakai. Mengambil beberapa baju yang masih ada wangi aroma tubuh ibu. Melepas air mata kerinduan.
***
Setelah melepas masa lalu yang berat, aku kembali menjalani kehidupan normal. Masih tak percaya dengan keputusanku menerima lamaran mas Danu. Ragu dan bingung mengaduk-aduk perasaanku.
"Bismillah, kita mulai langkah dari awal. Aku berjanji menjadi nahkoda terbaik bagimu."
"Terima kasih, Mas. Sudah hadir di kehidupanku. Mengubah semua ketakutan dan traumaku di masa lalu."
Mas Danu tersenyum kepadaku, menepuk bahuku untuk menguatkan dan meyakinkanku, selalu ada pelangi selepas hujan. Tak ada ujian yang tak sanggup dilalui seorang hamba.
Description: Kisah tentang kehidupan Rossi, gadis dengan trauma di masa lalu. Bertahun-tahun memendamnya, membuat Rosi membenci sosok laki-laki. Kedatangan Danu, mengubah segalanya.
Satu-satunya cara agar ia lepas dari trauma itu adalah kembali ke rumah masa kecilnya. Rosi harus berdamai dan belajar memaafkan, agar luka yang pernah tergores di hatinya kembali sembuh.
Nama Pena: Yusnawati
IG : Yusnawati02
"Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #KamuTidakSendiri"
|
Title: Rasa di Penghujung Senja
Category: Novel
Text:
Awalan adalah Bagian dari Perkenalan
Entah mengapa aku semakin merasa suasana disekitarku semakin terang, padahal kedua mataku masih terpejam. Nggak berhenti disitu, aura didekatku juga semakin hangat (cenderung panas). Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku membuka kedua mataku atau tetap membiarkan mataku terpejam untuk beberapa saat kemudian?
" Shhaaasaaaaaa.... sudaaahhh jam beraapaa ini? Anak perempuan itu harus tetap bangun pagi meskipun ini hari Minggu..", suara menggelegar itu cukup menjawab pertanyaan yang baru saja terlintas di otakku.
Haaaii... Namaku Shasa, lengkapnya Aeleasha Qaila yang artinya perempuan yang jujur dan pandai berbicara. Seperti yang kita pahami selama ini bahwa nama pemberian dari kedua orang tua adalah doa. Aku pikir kedua orang tuaku juga demikian. Nanti kalian bisa mengerti apa analogi itu mitos atau memang begitu adanya.
Aku dibesarkan dari keluarga kecil dan sederhana. Kecil? Yaa.. Keluarga kecil karena aku adalah anak tunggal. Rumah yang menjadi tempatku berteduh bersama kedua orang tuaku tergolong sederhana tapi penuh kenyamanan dan kehangatan.
Usiaku sekarang menginjak 25 tahun. Pekerjaan yang kumiliki cukup bergengsi mengingat aku hanya lulusan D1, sebagai markunting. Apa itu Markunting? Marketing - Accounting. Jenis pekerjaan yang jarang sekali ada. Dimana-mana marketing dan accounting adalah 2 jenis pekerjaan yang berbeda dan bertolak belakang. Tapi itu adalah jenis pekerjaan yang aku geluti hampir 6 tahun terakhir. Nggak hanya mampu mengolah data (dengan gaya seorang admin yang kaku dan membosankan), namun juga bisa mengambil keputusan untuk menguasai pasar dengan omzet yang memenuhi target dengan kerja cerdas.
Jangan tanya kesukaanku apa..
Karena hal yang membuatku bahagia dan bisa melepas penat hanyalah dengan menulis. Ada satu lagi sebenarnya yang membuatku selalu jatuh cinta yaitu SENJA..
Senja Hari Ini
"Oke.. siap.. tahaann.. one .. two .. action.. "
Cekreek..
"Ulangi lagi ya.. Kalian lebih dekat lagi.." Tanganku memberi kode agar pasangan didepanku mengikuti arah gerakan tangan seperti yang aku maksud. "Hhhmm.. Mbak, tatapannya coba ke arah jam 10. Oke, good!"
Cekrek.. cekreek.
" Yon, lighting nya tolong dijauhkan sedikit ya.."
...
" Stop.. pas disitu.." Kuacungkan jempolku ke arah Yona yang membantuku mensukseskan pemotretan hari ini.
Cekrek.. cekreek.. cekreekkkk..
"Done!! Nanti file nya aku kirim email atau WA ya.. Biar di edit dulu, mungkin maksimal 2 minggu file nya aku kirim. Thank you buat kerja samanya hari ini."
Setelah ber jabat tangan, kurapikan kamera Canon 80D kesayanganku yang sudah menemani hobi dan pekerjaanku. Namaku Rama. Aku bukan seorang fotografer terkenal, tapi optimis akan menjadi fotografer handal. Sejak aku memasuki usia 12 tahun, aku sangat tertarik dengan dunia fotografi. Banyak yang sudah menjadi obyek fotografiku. Sudah pasti aku memilih obyek yang indah menurutku. Bunga, pantai, pegunungan, obyek vintage, yang paling indah adalah senja dan senyuman teduh miliknya.
****************
Semburat sinarnya memenuhi ruangan dimana aku duduk menikmati segelas coklat hangat. Mataku masih saja mengagumi sinar merah keunguan yang dimilikinya meskipun sudah bertahun-tahun aku memandangnya di tempat ini.
Jika aku ada di rumah saat sore hari, aku selalu saja menghabiskan waktuku di loteng rumah yang sudah di sulap menjadi mini sun room. Hanya berisikan karpet bewarna hijau tua, dan beberapa boneka, tempat ini adalah salah satu tempat favorit selain kamar tidur.
Sun room yang kumiliki ini adalah ide yang aku punya dan diwujudkan oleh papa. Ruangan kecil di loteng yang setiap sisi nya terbuat dari kaca pas untuk menikmati senja dan nggak jarang untuk memandang kumpulan bintang saat malam.
Layar handphone ku menyala, tertulis notifikasi kalender ketika keputusan di buat agar tidak saling menyakiti hati.
"Ternyata hari ini..," gumamku sambil tersenyum kecil.
****************
Sore ini cukup cerah, seharusnya cocok digunakan untuk menikmati senja. Berbeda dengan jalanan yang aku lalui karena cukup lengang dibandingkan biasanya. Senja mulai memerah, entah perasaanku atau memang sinarnya lebih menyilaukan.
Kutepikan jazz hitamku di pinggir jalan, lalu aku keluar dari balik kemudi. Hamparan daun dan pepohonan hijau tampak jelas dari sini karena jalur ini termasuk seperti jalur 'puncak'. Sinar kemerahannya seakan menyapa lama tak berjumpa. Sesaat aku tertegun..
"Damn! Kenapa aku disini ya?" gerutuku pelan. Segera aku membalikkan badan.
dddrrrtt...
Handphone ku bergetar. Irama detak jantungku sedikit lebih cepat setelah melihat layar yang menyala itu.
Di Balik Kejutan dan Profesionalisme
"Ngelamun mulu... Mikirin apa Neng?" Suara cempreng yang ku kenal ini membuyarkan lamunanku.
"Apaan sihh? Dateng-dateng ngagetin aja.." gerutuku. "Lagian janjian jam berapa, datangnya jam berapa. Dasar tukang ngaret!"
"Aaammpuuunnnn..!!! Jalanan macet, Nonnaaa.. Ini aja aku sampe keringetan gara-gara kelamaan di jalan.." Perempuan di depanku ini sudah memajukan bibirnya menandakan dirinya merasa kesal.
Aku balas dengan tawa cekikikan. Terlihat wajahnya memerah karena hawa panas di luar. Dia adalah Patricia. Seorang perempuan yang usianya beda setahun lebih muda dari aku dan kemampuan biacaranya luar biasa hebohnya (terlebih tentang gosip terbaru).
Hubungan pertemananku dengan Patricia belum lama terjalin. Dia adalah pemilik kedai kopi yang saat ini aku kunjungi. Berawal dari ke-jatuh cinta-anku pada kedai ini karena atap lantai 2 nya memiliki desain 'jendela atap'. What is it? Jendela terbuat dari kaca biasanya di dinding, tapi kedai ini memiliki jendela kaca di atap. Kalau aku bosan dengan sun room ku, ini adalah tempat keduaku menikmati senja dan menulis. Karena aku sering mengunjungi tempat ini, maka aku dan Patricia saling berkenalan, berlanjut sampai hari ini. Sifatnya yang periang dan apa adanya membuatku 'klik' berteman dengannya. Selain itu kesederhanaannya mengajarkanku untuk tetap bersyukur dalam segala keadaan.
"Ini Ice Chocolate Mint less sugar minuman favorit Tuan Putri sudah tersedia." Patricia menyodorkan gelas berisi minuman favoritku.
"Terima kasih Patricia ku sayaangg.. Makin cintaaaa deehh.."
"Iiihh, apaan sih.. Geli dengernya! Nanti di kira kita pasangan lesbi lho!!" sewotnya sambil membelalakkan matanya.
"Ohh, bukannya iya ya?"
"Ssshhaasaaaa... Nih anak kehabisan obat kali ya.."
Aku terkekeh melihat tingkahnya sampai air mataku keluar. "hhuufftt.. hhuuffttt... oke.. okkee.. sttoopp.. sampe sakit ini perutku liat ekspresimu, Syyaa.. (panggilan Patricia)"
"Lagian kamu siihh usil banget jadi orang.. Udah tau juga kalo aku tuh geli banget kalo kamu ngomong kayak gitu."
"Iyyaaaa baweell... Hmm.. ada apaan sih nyuruh aku datang ke kedai? Emang gak bisa ngomong di telpon gitu?"
Segera Patricia mencari dan mengeluarkan sesuatu dari ransel kecilnya. Aku memicingkan mata nggak mengerti kertas apa yang dia keluarkan. Sedangkan dia menyunggingkan senyum misteriusnya. " Minggu depan siap-siap packing ya karena aku akan bawa kamu ke Bbbbaaalliiiii..." teriak Patricia kemudian.
"Serius Syaa? Itu dapat darimana?" tunjukku ke arah tiket pesawat yang ada ditangannya.
"Rahasiaa.."
**********
"Ramaa, udah baca itinerary yang udah aku letakkan dimejamu?
"Udah.. Terus?"
"Kamu maunya kita berangkat kapan? Perlu aku survey lokasinya"
"Hmmm H-2 aja, Yon. Sekalian aku survey sendiri. Kalau kamu ikutan ya ayo sekalian jalan."
"Tapi.."
"Tapi apa lagi? Kamu gak mau ikut? Ya udah nggak apa-apa. Aku survey sendiri aja."
"Beneran udah baca itinerary nya?"
"Udaahh.. Emang aku harus jawab berapa kali sih?" jawabku mulai sewot.
"Hmm.. anuu.. apa.. hhmm... Emang kamu nggak apa-apa dengan permintaan client kita?" Aku terdiam. sambil melihat layar Macbook di depanku. " Sunset and beach.."
"Emang kenapa? ... Udaahh sana mending cek email, banyak email masuk tuh.. Lama-lama bawel juga ya kamu.."
Aku melanjutkan menatap layar. Kali ini dengan pikiran menerawang. Sunset.. dan pantai...
********
Jika nanti pada akhirnya kita berpisah,
Maka ijinkan aku untuk tetap mengenangmu dalam mimpiku..
Jika kita hidup dalam langkah masing-masing,
Biarkan angin menyampaikan rindu yang masih menjadi milikmu..
Apabila kamu menutup mata dan melihat senja,
Itulah yang dinamakan RASA..
********
Rasa ini
".. Halo Maju Mapan selamat siang.. Baik, saya catat pesanannya ya.."
"......"
"Pengiriman maksimal 2x24 jam hari kerja."
"...."
"Maaf, di dalam program kami menyatakan bahwa ada tagihan yang sudah jatuh tempo. Bisa minta tolong di bantu pembayarannya? Sehingga pesanan bisa kami proses lebih lanjut.."
"......:
"Baik, terima kasih ya.."
Telpon ku tutup setelah menerima pesanan. Pekerjaanku sehari - hari selain berkutat dengan angka juga berhadapan dengan customer lewat telepon. Ada berbagai macam type customer, ada yang baik, ada yang kasar. Ada yang super cerewet ada yang minta ini minta itu harus seperti ini harus seperti itu. Sebagai telemarketing, meskipun merasa ingin marah atau lawan bicara menyebalkan harus tetap sabar dan tersenyum..
+628116759876 calling
"Halo selamat siang.."
"...."
"Haaloo, maaf dengan siapa.."
"..."
klik
Telepon di tutup dari sana. Nomor yang tidak ku kenal dan tanpa suara. Bukan kali pertama aku mendapat telepon dari nomor tak di kenal dan dari ujung sana tak bersuara. Lantas kenapa nggak ganti nomor saja? Nomor yang aku pakai saat ini sudah aku gunakan sejak SMA. Jadi kira-kira 12 tahun aku menggunakan nomor ini. Itulah mengapa aku malas ganti nomor hanya karena ada yang iseng 'telpon tanpa suara'.
Bukan Shasa namanya kalau nggak bersikap cuek dengan 'telpon tanpa suara'. Karena bagiku itu adalah hal yang nggak perlu dibesar-besarkan atau harus bersikap heboh.
********
Hei apa kabarmu jauh di sana
Tiba-tiba teringat cerita yang pernah kita upayakan
Ku pikir aku berhasil melupakanmu
Berani-beraninya kenangan itu datang tersenyum
Meskipun jalan kita tak bertemu
Tapi tetap indah bagiku, semoga juga bagimu
Kau tahu aku merelakanmu
Aku cuma rindu, aku cuma rindu
Takkan mencoba tuk merebutmu
Aku cuma rindu, itu saja
~ The Rain - Gagal Bersembunyi ~
Suara petikan gitar dan sayup-sayup suara ini mengudara. Aku berharap angin menyampaikan lagu ini padanya. Tapi aku malu jika pada akhirnya memang tersampaikan. Karena aku terlalu malu mengakuinya. Mungkin saja dia yang aku pikirkan sudah bahagia dengan jalannya. Aku saja yang tak tahu malu, yang sering mengharapkan kehadiran senyumnya di mimpiku.
********
..Pernah aku bertanya pada senja, apakah aku akan tetap mencintainya dengan perasaan yang sama? Atau kah aku harus berjalan ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi?
Setelah sekian lama, aku memilih untuk diam..
Ku tutup buku kecil warna hijau muda yang menjadi teman dimanapun aku berada. Entah ada apa dengan hari ini, aku merasa ada sesuatu yang salah dengan perasaanku. Ada sesuatu yang hilang, ada ruang yang kosong. Bahkan sekarang aku tidak antusias seperti biasanya untuk menikmati senja. Sepertinya aku hampir tidak pernah merasa ada kekosongan di tengah perasaan ini selain saat itu.
********
Description: Nama Lengkap : Agnes Putri Eka Lisa
Media Sosial : IG ( nezputriekalisa & penulisartikelcantik )
Novel ini di tulis dalam rangka mengikuti kompetisi #NulisSukaSuka 2019
|
Title: Romansa sang Penyair
Category: Cerita Pendek
Text:
Romansa sang Penyair
Cuaca terik
tidak berkompromi hari ini. Peluh membasahi wajahku saat menaiki anak tangga
menuju lantai tiga kampus. Aku sengaja naik-turun tangga agar kembali fit
setelah sakit beberapa hari. Hitung-hitung, olahraga gratis dan murah meriah.
“Bening,
selamat, ya! Puisi-puisinya bagus banget. Gue suka!” teriak Anggara dari ujung
tangga lantai dua.
“Oi, makasih,
ya. Gue buru-buru dulu, nih. Telat masuk kelas,” jawabku.
Dari mana
datangnya cowok kumel yang tiba-tiba bikin kaget itu? Ah, nanti saja aku tanya setelah
kelas selesai.
Aku mengetuk
pintu kelas dan terdengar suara bas Pak Gideon. Sumpah! Dosen killer
yang satu ini enggak ada habis-habisnya bikin aku nyungsep jungkir balik
ambil nilai. Kelas dia sudah dua kali pengulangan.
“Masuk! Sudah
telat berapa menit ini? Kamu kebiasaan sekali, Bening. Mau saya suruh ngulang
sampai empat semester?” katanya setengah melotot.
Ya Rabb, apa
salah hamba-Mu ini? Sampai-sampai harus berhadapan dengan dosen kelas puisi
berkali-kali. Aku mengangguk pasrah dan mendapat bangku paling depan.
Setelah jam pelajaran usai, aku langsung
menghubungi Anggara. Ternyata, ia sudah menunggu di kantin kampus, tepatnya di
bangku pojok, tempat kami selalu diskusi segala hal.
“Fiuh ...
akhirnya selesai juga kelasnya,” tandasku sambil duduk di depan Anggara.
“Lagian, elu
gimana ceritanya bisa ngulang kelas puisi. Lagi tidur pas ujian kemarin, Bu?”
ledek lelaki berambut gondrong kriwil itu.
“Entah nasib
baik atau buruk, ya? Kenapa pas bagian gue suka puisi, eh malah dapet jelek.
Bisa jadi karma karena sering ngeledek Bapak Dosen yang terhormat,” jawabku
asal.
Kami pun
terbahak-bahak membahas hal itu. Kampus Biru Sastra, julukan fakultas kami, jadi
awal pertemuanku dan Anggara. Kami memilih kelas penjurusan yang sama. Di
antara puluhan murid wanita, hanya aku yang berminat mengambil sastra. Sementara
yang lain memilih mengambil linguistik.
“Eh, dosen-dosen
sudah dikasih tahu buku puisi best seller ini? Jangan sampai,
mereka tidak sadar ada mahasiswi anehnya yang juara banget!” tanya Anggara
sambil mengepalkan tinju.
Cowok agak
tengil di depanku ini memang superajaib. Datang ke kampus cuma nongkrong karena
kami memang sudah masuk semester akhir. Ia tengah merampungkan proposal
skripsinya, sedangkan aku masih asyik mengulang mata kuliah.
“Belum, sih.
Biarin ajalah. Toh, mahasiswa mereka banyak yang keren-keren. Apalah gue ini
yang hanya remahan opak-opak,” jawabku sambil menyeruput cokelat hangat.
Seperti biasa,
Anggara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lalu, ia memberikan kabar yang
agak mengejutkan.
“Bening, gue
barusan udah selesai ACC proposal dan jadwal seminar masih lama. Sebulan lagi
kayaknya. Nah, selama sebulan itu, gue mau ngilang dulu, ya. Boleh?” tanyanya.
Aku menatap
wajah tirus bermata bulat itu setengah melongo. Jadi apa duniaku kalau Anggara
pergi? Cuma dia satu-satunya teman yang tahu baik dan buruk aku. Bahkan, sampai
jadwal menstruasi aku pun dia tahu.
“What?!
Hei, enggak bisa gitu, dong. Elu kan janji mau temenin gue selesaikan semester
ini. Dih, ya enggak asyik, ah!” ujarku sambil manyun.
“Bukan gitu, ada sesuatu yang penting dan
harus gue selesaikan,” elaknya.
Aku pun pasrah
dengan keputusan Anggara. Kami diam tanpa saling bicara. Aku menghabiskan
cokelatku, sedangkan ia menikmati kopi hitamnya. Kalau Anggara benar-benar
menghilang, aku pasti akan kesepian.
*********
Aku semakin
sibuk dengan tugas akhir dan proposal skripsi hingga lupa kalau Anggara menghilang
lebih lama. Bahkan, saat ujian seminar pun, ia tidak memberi tahu. Kalaupun
tahu, aku juga tidak bisa menghadirinya. Hari itu bertepatan dengan jadwalku
mengisi acara bedah buku.
“Bro, akhirnya
loe enggak dateng lagi ke kampus setelah seminar, kan?” tanyaku dalam sambungan
telepon.
Anggara meminta
maaf dan akan datang saat aku ujian nanti. Ia berjanji tidak akan melewatkan
momen bahagia juga kalau kami wisuda bersamaan.
Janji itu kupegang
selalu hingga akhirnya Anggara benar-benar lenyap dari duniaku. Kami tidak
pernah wisuda bersama dan ia pun mengganti nomor ponselnya. Bahkan, ia menutup
semua akun medsos.
Aku berusaha
melupakan kisah kami. Kisah yang bermula karena hobi dan segala hal remeh-temeh.
Ini tahun kedua setelah Anggara tidak lagi mengisi hariku.
Tahun ini pula,
aku menerbitkan kembali buku puisi naratif, yang kembali laris manis. Entah
bagaimana perasaan Anggara saat tahu buku keduaku mendapat keajaiban kembali.
“Kok, kangen ya
sama si tengil? Pengin ketemu udah lama banget. Tapi, mau dicari ke mana?”
gumamku.
Saat gencar
promosi ke luar daerah, tiba-tiba di akun medsosku muncul seseorang bernama Banyu.
Ia menyampaikan kisah dalam puisi yang kutulis sama persis dengan kehidupannya.
Apakah ini takdir kami bertemu dalam halaman-halaman buku?
Banyu mulai
berinteraksi intens denganku hingga kisahnya yang lain mencuri perhatian. Aku
tidak pernah menyangka puisi-puisi yang kutulis mengambil kisah orang lain yang
baru kukenal.
Aku tidak ingin
pertemuan kali ini berakhir perpisahan seperti kisah Banyu Bening, dalam buku
puisi naratif, tentang Anggara yang pergi.
“Jadi, kamu
menyangka pertemuan kita itu kebetulan atau memang sudah tercatat oleh Sang
Pencipta?” tanya Banyu, dalam pesan pendeknya.
“Entahlah. Mana mungkin
ada dua orang sama yang punya kisah sama persis dengan yang kutulis.
Puisi-puisi yang bicara tentang aku yang kehilangan sahabat baik,” jawabku.
Ponselku
berkedip kembali dan Banyu menjawab dengan hal menakjubkan, yang aku sendiri
tidak tahu maksudnya.
“Bisa jadi, kita
sebenarnya berjodoh, tetapi belum saatnya dipertemukan. Ayo ... jangan
mesem-mesem bacanya,” katanya dengan emotikon tawa meledak-ledak.
Banyu
benar-benar membuat hangat hatiku, yang sempat membeku. Musim berganti dengan
cepat dan meninggalkan pedih, saat seharusnya Anggara menikmati kisahnya yang
populer.
“Apa kabar orang
yang kautulis dalam buku itu?” tanya Banyu.
Aku ragu mengetik
jawaban untuknya. Bahkan, jemariku kaku dan mataku mulai berembun. Aku sangat
merindukannya, kataku. Namun, aku urung menulis kalimat itu.
“Entah,”
jawabku.
Hanya itu yang
bisa kutulis karena hatiku kembali teriris. Dua tahun, belum cukup rasanya
melupakan Anggara. Kami bertumbuh dalam lingkungan yang sama dan menyenangkan.
Bahkan, beberapa orang mengira kami sepasang kekasih.
Anggara selalu
tampil apa adanya. Ia tidak peduli dengan gayanya yang berantakan. Ia termasuk
cowok popular di kampus, terutama untuk mahasiswi baru.
“Hei, malah
bengong. Someday, kamu akan bertemu lagi dengannya, Bening,” tegas
Banyu.
“Aku mau ketemu
kamu aja, boleh?” kataku dan kuberi emotikon mengedip.
Banyu membalas
dengan banyak emotikon, lalu kami larut bercerita tentang segala hal. Kami
bagaikan kawan lama yang berjumpa kembali. Ya Rabb, apakah Banyu jawaban atas
doa-doaku?
*********
Pagi, sebelum
pergi ke Bandung, aku mengabarkan kepada Banyu perihal bedah buku. Aku juga
meminta doanya agar semua berjalan lancar. Tak lupa, aku mengirim lokasi acara
beserta jamnya. Aku berharap tiba-tiba ia hadir dan memberi kejutan kecil. Toh,
kami sudah melewati semusim pertemanan. Musim hujan akan datang, tetapi hatiku
masih tetap hangat.
“Aku doakan
lancar semua, ya. Amin.” Ponselku bergetar saat kereta mulai melaju.
“Terima kasih,
Banyu. Amin.” Aku tidak lagi mengharapkan kehadirannya. Ia pasti tengah asyik memandang
kapal-kapal besar yang bersandar di pelabuhan, seperti biasa. Selama ini, ia
sering mengirimkan gambar kapal-kapal besar itu dan para pemanggul bongkar muat
di pelabuhan.
“Pekerjaanku
seperti ini, Bening. Jangan malu punya teman pekerja kasar, ya?” katanya suatu
ketika.
Ia mengirim barang-barang
yang siap diangkat dari atas kapal besar. Sesekali, ia mengirimkan tangan
kekarnya yang memegang secangkir kopi hitam. Lain waktu, ia mengirimkan
lembaran-lembaran upahnya hari itu.
Setiap kali ia
mengirim gambar yang berbeda, aku akan menyimpannya. Juga merekam semua
ceritanya. Banyu mengatakan kalau aku harus menulis lanjutan kisah Banyu
Bening, dengan cerita baru dari sang tokoh.
Aku menepis
sekelebat ingatan itu, kemudian menuliskan kembali poin-poin yang akan
kusampaikan dalam bedah buku nanti. Setelah dirasa cukup, aku meneruskan
membaca buku Meskipun Hujan Turun, Shabrina WS. Akankah
kisah yang kutulis nanti seperti Senggani?
“Aku sudah
sampai di lokasi acara. Kok, deg-degan ya? Padahal, ini sudah sering kulakukan.”
Aku mengirim pesan sebelum acara dimulai, lalu kumatikan ponsel.
Di antara
pengunjung bedah buku, aku merasa diperhatikan seseorang. Aku menoleh ke arah
sebelah kanan panggung. Tampak seorang lelaki berjaket hitam dan bertopi
membalikkan badannya. Aku menghela napas dan menyimak moderator yang mulai
membacakan pertanyaan pengunjung.
Acara ditutup
dengan foto bersama dan pembubuhan tanda tangan dalam buku yang mereka beli.
Sambil terus menunggu, aku mencari sesosok pria tadi. Ia tidak kutemukan di
antara antrean panjang.
“Kok, aku kayak
kenal sama lelaki tadi, ya?” gumamku.
Setelah selesai,
panitia mengajakku makan siang di sebuah restoran ternama. Aku kembali melihat
lelaki itu yang wajahnya tampak jelas. Ia tampak menatapku dari balik jendela
restoran, kemudian pergi setelah terpergok.
“Anggara? Ah,
mana mungkin,” batinku.
Aku memohon izin
kepada panitia sebentar, kemudian mencoba mengejar lelaki itu. Sayang, ia sudah
tidak tampak di hadapanku.
“Anggara, tolong
katakan kalau itu kamu.” Aku tidak sanggup lagi menahan air mata yang
berdesakan sejak tadi. Ternyata, aku benar-benar merindukan Anggara.
Ponsel di
tanganku bergetar. Panitia menanyakan keberadaanku karena makanan sudah datang.
Aku mengusap sisa air yang mengembang di pelupuk mata. Bagiku, hari ini
benar-benar berat. Saat memikul rindu dan mencari kepastian yang takkunjung
usai, sama saja mengabaikan rasa yang menyelusup di hati.
Usai makan, aku
kembali ke penginapan yang disediakan panitia. Keretaku berangkat esok malam.
Jadi, seharian nanti, aku bisa berkeliling Kota Bandung.
Aku teringat
Banyu yang seharian ini tidak berkabar. Mungkin, ia tahu kalau aku akan sibuk.
Aku mulai mengetik pesan untuknya. Di layar, centang dua dan belum terbaca.
Sambil menunggu
Magrib, aku meneruskan halaman buku yang tadi sempat kubaca. Tak lama, layar
berkedip dan pesan dari Banyu masuk.
“Aku lagi di
Bandung, nih,” jawabnya.
Deg! Jawaban
yang membuat jantungku serasa copot itu membuat penasaran dan kukirim kembali
balasan.
“Di Bandung?
Tapi, kok, kamu enggak datang ke acaraku?” tanyaku.
“Siapa bilang?
Aku datang, kok. Bahkan, saat kamu mengejar lelaki berjaket hitam itu, aku
tahu.”
Aku mengatupkan
tangan ke mulut dan merasa Banyu tengah mempermainkanku. Kupencet nomor
teleponnya dan tersambung.
Kami bicara
banyak dan ia memang benar-benar hadir dalam acara itu. Ia menceritakan dari
awal hingga akhir susunan acara. Begitu pula ketika aku terlihat gugup melihat
lelaki yang aku kenal. Pembicaraan kami berakhir dengan kesepakatan bahwa ia
akan menemaniku berkeliling Kota Bandung.
********
Aku masih duduk
di bangku panjang, depan Alun-Alun Kota Bandung. Hampir setengah jam berlalu,
Banyu belum datang juga. Aku tidak menyadari saat sesosok lelaki berjaket hitam
mengambil tempat duduk di sampingku. Kami terpisah oleh ransel dan bungkusan
bekal makan siang.
“Elu rindu gue
atau enggak, sih?” ujar lelaki di sampingku.
Suara yang akrab
di telinga sejak bertahun-tahun silam itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh
dan mendapati Anggara tersenyum. Penampilannya jauh berbeda. Ia seperti sosok
dalam potongan-potongan foto yang aku terima dari Banyu.
“Elu?! Loh, bagaimana
bisa? Enggak mungkin. Gue mimpi, kan? Coba cubit gue,” tanyaku yang masih
takpercaya.
Anggara
mencubitku keras sekali hingga aku setengah berteriak. Lalu lalang orang di
depan kami tidak lagi kami pedulikan. Lelaki itu tampak jauh lebih manis dengan
penampilannya sekarang.
“Selamat buat
buku keduanya, ya. Seharusnya, elu kasih gue royalti juga karena menulis kisah
kita,” kata Anggara.
Aku tidak bisa
berkata apa-apa karena masih syok dengan kemunculan Anggara. Lalu, bagaimana ia
bisa tahu kalau aku akan ada acara bedah buku?
“Bening, elu
percaya kebetulan?” Pertanyaan yang sama saat Banyu melontarkan hal itu
sekarang malah diucapkan oleh Anggara.
“Enggak. Gue
yakin Allah sudah mengatur pertemuan kita. Juga pertemuan gue dan Banyu,” jawabku,
tapi urung kuucapkan.
“Entahlah.”
Akhirnya hanya
itu yang bisa keluar dan Anggara tertunduk. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu
menelepon seseorang. Ponselku berbunyi dan tertera nama Banyu. Aku menatap lekat-lekat
Anggara. Bunyi telepon yang sudah diangkat olehku terdengar di kuping
sebelahku.
Aku terperangah
dan mataku berembun. Anggara menyodorkan tangannya dan mengenalkan namanya
sebagai Banyu.
Apakah Allah
tengah bercanda denganku? Atau, memang kami sudah dipertemukan sejak tercatat
dalam takdir kami. (*)
Description: Bening memiliki sahabat bernama Anggara yang tiba-tiba pergi. Saat Bening menerbitkan sebuah buku puisi naratif berkisah tentang Anggara, datanglah Banyu. Lelaki itu mengaku tokoh yang sama persis dengan yang Bening tulis. Pada akhirnya, mereka bertemu dan Bening terkejut saat tahu siapa Banyu sebenarnya.
|
Title: Rumah Yang Tak Lagi Ramah
Category: Cerita Pendek
Text:
Rumah Yang Tak Lagi Ramah
Hari ini telah tiba! Ah, akhirnya. Perasaan senang dan ingin tahu menyeruak, sama seperti aku yang baru saja menyeruak dari cangkang rumahku. Aku dan saudara-saudariku berlomba menuju suara itu. Suara tempat berpulang sekaligus bertualang.
Dengan semangat membara, kami terus mendekat ke suara tersebut. Namun... Penghalang ini terlalu tinggi untuk kami yang mungil ini lewati. Naluriku terus menggerakkanku untuk ke sana. Suara itu tak hentinya memanggil, seakan membunyikan, “Akulah rumah, ayo pulang ke dekapanku.”
Hal itu membuatku merasa bahwa kami tak seharusnya di sini. Penghalang ini tak seharusnya berdiri mengitari kami. Sama seperti saudara-saudariku lainnya, aku mencoba memanjat si dinding penghalang. Namun, syuuut, sebanyak kami memanjat, sebanyak itu pula kami tergelincir!
Meski aku merasa ini bukan tempat tinggalku sesungguhnya, aku tidak pernah merasa terancam. Sesekali, badanku diangkat oleh makhluk-makhluk yang jauh lebih tinggi dariku. Kalau tidak salah, jenis mereka disebut ‘manusia’. Namun firasatku mengatakan mereka tidak berbahaya. Buktinya, setelah beberapa kali tubuhku diangkat, aku masih hidup sampai sekarang dan tak pernah merasa lapar. Begitu pula dengan saudaraku lainnya.
Setelah entah berapa lama, akhirnya hari yang kami semua tunggu pun tiba! Kami dibebaskan dari tempat itu dan langsung berhambur keluar, menuju alunan suara yang selama ini belum bisa kuraih. Namun hal itu akan berubah sebentar lagi. Hai Laut, kami akan tiba di dekapanmu sebentar lagi!
Para manusia itu menyaksikan kami yang melaju cepat di atas pasir. Pasir yang tekstur, sifat, dan aromanya dengan cepat membekas begitu dalam di pikiranku. Pasir yang tampaknya takkan bisa kulupakan meski setelah 10 tahun lagi.
“Hei penyu kecil yang memiliki totol di siripnya!” Ujar suara itu.
“Emm.. Pasir? Kaukah itu?” Aku berhenti, merasa terpanggil oleh hal yang sedang kupijak.
“Ya. Tampaknya kau terlalu bersemangat! Lihat, lajumu paling cepat dibanding yang lain. Hahaha.”
“Hehe, tentu saja, dong! Bagaimana tidak? Sumber suara yang dari kemarin hanya bisa kudengar, sekarang wujudnya ada di depan mata! Rumahku! Rumah kami sesungguhnya!” Aku menoleh ke laut. “Aahh, ia terlihat seperti tempat bermain! Wuhuuu Laut, aku datang!”
“Aku suka semangatmu, penyu kecil. Tapi ingat untuk selalu berhati-hati, ya. Di sana juga banyak pemangsa yang dengan senang hati menjadikan kalian makan siangnya.”
“Hng...” jawabku, sedikit was-was. Diberi tahu bahwa kau adalah santapan saat hari pertamamu ke luar sana bukanlah hal menyenangkan.
Tapi, tak apalah. Setidaknya aku bisa lebih hati-hati. Aku pun membalas,
“Baik, akan kuingat itu. Makasih sudah mengingatkan.”
“Ingat, jadi, jika ada pemangsa yang mendekat kau harus...?”
“Kabur secepat mungkin!” jawabku.
“Betul! Baiklah, kalau begitu hati-hati dan selamat jalan, penyu kecil! Semoga semesta melindungimu.” Detik itu, Pasir pun melepasku pergi.
Aku membalas dengan senyum kepada Si Pasir, kemudian melaju lebih kencang ke arah rumahku. Tempat berpulang sekaligus bertualang. Ombak semakin dekat ke hadapanku, dan... Wuushh. Laut berlari lebih cepat mendekat dan menarikku bersamanya. Dalam sekejap, aku sudah tak menapak pada pasir lagi! Yey! Aku berenang! Aku pulang!
Beberapa hari pertama, makananku yaitu rumput laut, cacing, beberapa jenis tanaman, dan ikan kecil! Ya ampun, aku beri tahu ya, mereka sangat lezaaat! Makanan ini membantuku semakin cepat tumbuh dan pastinya membuat perutku kenyang! Hehe.
Terkadang, suhu air laut bisa terasa dingin bagi kami para bayi-bayi penyu yang lucu. Jadi untuk menghangatkan diri, kami suka mendekat ke rerumputan laut yang mengapung di permukaan. Salah satu makanan favoritku ini seperti mengunci hangatnya sinar matahari. Bisa menghangatkan seperti selimut, kalau di dunia manusia.
“Dom, liat!” abangku menunjuk ke atas. Wah, rupanya ada rumput laut sedang mengapung di atas sana. Dan jumlahnya banyak. Sangat banyak!
“Bentar, satu lagi!” kataku, tengah berburu cacing yang bersembunyi di tanah. Sluuurp, ahh enak! Aku pun berenang ke atas, menyusul abang yang tengah berenang lebih dulu. Ya, abang. Entahlah, aku memanggilnya abang karena ia pernah berkata bahwa ia menetas duluan. Ia juga yang menyuruhku memanggilnya ‘abang’.
Setiba di atas, abang langsung melahap rerumputan laut itu. Ia juga menyelundupkan dirinya ke tengah-tengah kumpulan rumput laut, kemudian memanggilku. “Buruan, Dom! Angeeet!” Mendengar itu, ayunan siripku semakin cepat. Saking tergodanya, rasa rumput laut pun sudah mulai bisa kurasakan di lidah, bahkan sebelum aku menyentuhnya.
Aku membenamkan diriku di tengah rumput laut, kemudian melahapnya satu-satu. Nikmat. Di hadapanku, terdapat pemandangan abang yang tampaknya sudah kenyang. Ia pun memunculkan kepalanya beberapa saat ke permukaan air untuk mengambil oksigen, kemudian masuk lagi dan menengokku. “Eh sinar mataharinya lebih hang-“ PLAP! Pemandangan abang di hadapanku berganti menjadi paruh burung untuk sesaat, melenyapkan abang dalam sekejap.
Pemandangan seperti ini lama-lama menjadi bagian dari makananku sehari-hari. Aku melihat saudara-saudariku pergi satu persatu. Ada yang masih kecil namun badannya mengapung tak bergerak lagi, ada yang dilahap oleh makhluk bersayap saat baru beberapa detik memunculkan kepalanya di atas air (seperti abang), lebih banyak lagi yang tak selamat karena digigit dan ditelan makhluk bertaring.
Seringkali, aku harus berenang menjauh dengan sekuat tenaga ketika dikejar para makhluk berbahaya itu. Seolah-olah mereka belum makan seminggu dan aku adalah makanan satu-satunya. Beranjak dewasa, aku semakin besar dan tempurungku pun semakin keras sehingga mereka yang berhasil menangkapku sering kesulitan ketika ingin menggigitku. Bahkan, gigi seekor anak hiu sampai ada yang peok. Ia menangis. Alhasil, aku dapat lebih mudah pula kabur dari ancaman seperti mereka.
Semakin lama, banyak trik-trik yang kukuasai untuk membuat mereka melepaskanku. Makananku pun juga berubah. Sekarang, ubur-ubur menggeser tempat rumput laut dan menduduki peringkat pertama makanan favoritku. Ia terasa sangat lembut di mulut dan perutku! Aku juga jadi tahu beberapa titik lemah para pemangsa dan daerah mana mereka biasa bersembunyi. Hal ini mengharuskanku untuk terus bergerak, menyusuri lautan luas yang tak pernah bisa habis dijelajah.
Meski hidupku selalu dikelilingi para pemangsa, setidaknya hanya itu satu-satunya hal yang mengancam. Ada yang memangsa, ada yang dimangsa. Aku juga memaklumi, karena memang begitulah dunia bekerja. Setidaknya di duniaku. Tapi... Itu dulu. Ketika predator masih menjadi ancaman satu-satunya. Ketika rumahku menjadi sebagaimana seharusnya. Ketika yang kurasakan hanya sehat, bahagia, dan sesekali was-was. Ya, itu dulu, bertahun-tahun sebelum semua benda asing ini datang.
Badanku sudah berkali lipat lebih besar dibanding waktu pertama kali aku menyentuh laut. Namun entah apa yang terjadi, seiring waktu, aku justru semakin merasakan hal-hal yang tidak seharusnya terjadi. Laut menjadi semakin ramai oleh benda-benda aneh yang tampak seperti makanan. Sangat sulit untuk membedakannya. Hampir setiap bergerak, aku selalu tak sengaja menyentuh benda-benda tersebut.
Bahkan pernah suatu hari, ketika sebuah kapal lewat, kepalaku yang tengah ingin muncul ke atas permukaan laut terbentur oleh benda lonjong bertuliskan 'frestea' yang dilempar dari kapal tersebut. Benturannya lumayan keras hingga aku refleks memejamkan mata karena pusing.
Kejadian lain, sebuah benda yang kubilang sangat mirip ubur-ubur pernah tersangkut di siripku hingga setiap gerakanku tak lagi nyaman. Namun sekelompok manusia melepaskanku dari benda tersebut dan membebaskanku ke laut, sehingga aku merasa sedikit lebih baik. Sedikit. Masih ada bagian yang terasa sangat tak nyaman: dalam tubuhku.
Aku rindu rumahku yang sempurna dulu. Sekarang, entah pengelihatanku yang semakin rusak atau warna laut yang semakin mengganggu. Entah mengapa, ubur-ubur yang dulu lezat kini tak memiliki rasa. Ubur-ubur sekarang ini juga... lebih susah dirobek, sehingga aku harus langsung menelannya secara utuh. Ia juga tak terasa bersahabat ketika tiba di perutku. Entah itu ubur-ubur atau bukan, yang jelas jika bukan, aku tak dapat membedakannya.
Sungguh, sekarang makanan yang tersedia di laut membuatku merasa tak nyaman. Namun jika aku tak makan, perutku akan terasa lapar. Ulah siapakah ini? Siapa yang membuat rumahku tak terasa bersahabat lagi? Aku tak tahu, dan mungkin tak akan pernah tahu. Yang aku tahu hanyalah aku hidup, tapi hidup tersiksa.
Sampai suatu hari, ketika aku dan dua penyu lain tengah di perjalanan menuju ke perairan yang lebih bersih, sesuatu yang cukup gila terjadi. Apa pun di laut yang awalnya masih bisa terlihat dari jauh, tiba-tiba hanya bisa dilihat dari jarak dekat. Hal ini disebabkan karena hal gila itu. Benda gelap yang memenuhi lautan dengan cepat. Benda, atau lebih tepatnya cairan, yang kami kira adalah makanan dan telah kami telan dalam kuantitas yang banyak.
Lama-lama, kemanapun mataku tertuju, aku hanya dapat melihat cairan gelap itu bergerak-gerak di air, seakan memblokade penglihatanku untuk memandang lebih jauh. Cairan itu juga membuat mataku terasa risih. Aku pun mencoba memunculkan kepala ke atas permukaan air. Tau apa yang kulihat? Dua penyu yang bersamaku tadi sudah mengapung tak bergerak, terombang-ambing mengikuti arus ombak. Dan apa yang mengelilingi kami... bukan lagi laut biru yang dulu kukenal. Hanyalah cairan asing yang membuat kepala pusing.
Kali ini mata kananku sepenuhnya buta. Entah apa yang cairan gelap itu lakukan padaku, kurasa aku akan berakhir seperti dua penyu tadi. Jangan tanya apa yang lambung dan kepalaku rasakan. Di dalam tubuhku seakan sedang terjadi kiamat.
Entah salah apa yang pernah kuperbuat hingga harus merasakan sakit sedahsyat ini, tetapi setelah ini, kuharap tidak ada lagi yang merasakan apa yang kurasakan. Termasuk siapapun yang menyebabkan rumahku hancur. Termasuk siapapun yang menyebabkan semua ini terjadi.
Air mata keluar dari kedua mataku. Hanya itu yang bisa kulakukan saat tubuhku sudah tak mampu menahan semuanya. Namun, tentu saja kau takkan bisa melihat air mataku. Selain karena aku berada di bawah air, cairan gelap ini juga membuat semuanya susah terlihat.
Perlahan, tak hanya pandangan mata kananku yang gelap, namun begitu pula dengan mata kiri. Detik itu, kesadaranku perlahan muram, menjadikan semuanya hitam. Kemudian kedua mataku memejam. Untuk selamanya.
Description: Kisah seekor penyu Paloh yang terinspirasi dari kejadian nyata.
|
Title: Retweet
Category: Cerita Pendek
Text:
1
Aku sedikit kecewa mendapati bahwa mataku masih terbuka dan langit-langit kamar masih berada di tempatnya. Begitu juga dengan boneka beruang di pelukan, meja belajar, kursi, lemari dan sepasang baju serta rok yang tergantung rapi dengan hanger di dinding. Aku melirik jam weker yang membentuk garis tegak lurus. Pukul enam dan saatnya aku mandi untuk pergi ke sekolah.
“Mandinya jangan lama-lama. Pakai sabun yang ibu beli, keramas dua kali terus sama jangan lupa pakai pelembab. Ibu lihat kulit siku kamu kering banget.” adalah rapalan wajib ibu setiap hari, setiap pagi. Sambil bolak-balik di ruang sempit dapur, ibu terus mengarahkan kegiatanku tanpa melirik sedikitpun. Seperti sudah terbiasa.
Aku akan melaksanakan perintah ibu dengan malas-malasan. Selain karena masih pagi, perintah ibu terkadang datang berturut-turut tanpa menungguku untuk selesai. Pernah saat aku masih mandi, ibu membuka pintu kamar mandi hanya untuk memberitahu bahwa aku harus menggunakan sepatu yang satu lagi karena sepatu yang biasa kugunakan terlalu jomplang jika dipakai dengan seragamku hari itu yang bewarna cerah.
“Kontras banget warnanya, Ra, nanti keliatan jelek.”
Kemudian ibu menutup pintu kamar mandi tanpa rasa bersalah.
Setiap yang ibu jadwalkan, otomatis merupakan jadwalku. Tidak peduli aku telat beberapa menit dengan alasan yang tidak bisa kukontrol, ibu tetap tidak mau tahu. Satu detik terlambat berarti satu detik aku dianggap melawan perintah ibu.
“Sarapan hari ini agak ibu kurangi, ya. Ibu lihat kamu agak gendutan,” ujar ibu ketika aku memasuki ruang makan. “Jangan jajan di sekolah, makan bekal dari ibu aja. Sudah ibu sesuaikan kalorinya.” Aku mengangguk melihat ibu memasukkan kotak-kotak bekal itu ke dalam tasnya.
Sarapan hari ini adalah roti gandum panggang dengan selai kacang, serta susu low fat coklat. Sambil menguyah sisinya yang garing, kulihat ibu duduk di seberangku dan memperhatikanku.
“Kalau makan jangan berantakan,” komentar ibu melirik remah-remah roti yang turun dan tersangkut di bajuku. “Kamu udah besar, makannya jangan kayak anak kecil.”
Aku mengangguk, membersihkan bagian bajuku yang terkena remah-remah roti. Ibu masih memperhatikanku, dan mau tidak mau aku harus makan dengan hati-hati demi tidak dikomentari lagi. Ini membuatku menjadi lambat, dan tanpa sadar jarum jam sudah mendekati waktu seharusnya aku berangkat.
“Aduh, telat nggak ya?” gumamku.
“Kalo tadi makannya rapi, pasti nggak bakal telat,” sahut ibu, menangkap basah gumamku. “Kan sudah ibu bilang, nurut sama ibu.”
Aku mengangguk, menyalami tangan ibu dan buru-buru naik ke atas motor yang akan mengantarku ke sekolah. Aku dibonceng oleh Pak Rahmat yang merupakan ojek sewa langganan keluargaku. Sambil menyesuaikan dudukku di atas motor, lagi-lagi ibu komentar.
“Yang bener duduknya, jangan sembarangan,” ujar ibu. “Pak, hati-hati ya. Jangan ngebut.”
Aku dan Pak Rahmat serentak mengangguk. Persis seperti hiasan boneka dashboard yang mobilku punya.
***
“Nanti sore nonton, yuk! Refreshing.”
Yana menatap kami satu persatu, meminta jawaban atas ajakannya. Aku, Ella dan Dea saling berpandangan. Ella dan Dea lantas mengangguk dan berseru “Yuk!” sedangkan aku masih diam belum memberi jawaban.
“Lo ikut nggak, Ra?” tanya Yana.
Aku mengingat-ngingat jadwalku hari ini. Mengingat perkataan ibu tadi pagi.
“Pulang sekolah kamu ada les Bahasa Inggris, terus malamnya guru Matematika bakal ke rumah. Abis sekolah langsung pulang. Inget.”
Bahuku lantas merosot.
“Gue nggak bisa, nih,” kataku. “Ada les. Nyokap bisa marah.”
“Lo nggak pernah ikut kita, tau, Ra. Kapan lagi?” bujuk Dea.
Aku tahu. Jangankan mengikuti keinginan mereka, keinginanku sendiri pun sudah terlalu lama rasanya tidak kuikuti. Sejak kapan aku bisa melakukan sesuatu di luar jadwal yang ibu tetapkan?
“Ya… Nyokap gue, De,” kataku lagi, tidak tahu harus menolak bagaimana.
“Yaudah deh,” Ella menghembuskan napas. “Lain kali coba bujuk nyokap lo deh, Ra.”
Aku mengangguk, tersenyum kecil. Yana, Ella dan Dea lantas berjalan meninggalkanku di gerbang sekolah. Menaiki angkutan umum menuju mall tempat mereka biasa menonton. Mereka karena aku tidak pernah ikut, jadi aku tidak bisa menyebut itu kami. Aku menunggu Pak Rahmat.
Sambil menunggu, aku merogoh handphone dari dalam saku. Membuka aplikasi bewarna biru dan berlambang burung, lalu menuliskan sesuatu.
@raraaaa_: I’m not sure, if I’m living my own life or someone else’s life.
2
Gue mengedipkan mata beberapa kali, mencoba memaksimalkan pengelihatan ke layar handphone. Beberapa kali gue melempar pandang, kemudian kembali lagi menatap layar yang menuliskan sederet tulisan. Nama seseorang. Plus dengan label ‘Juara 1 Dance Cover’ super besar di atasnya.
Aledrea Kirana.
Nama orang yang gue kenal.
Nama gue.
“Wi, gue menang, Wi!” kata gue heboh sambil menyodorkan handphone pada cewek di samping gue yang lagi makan bakso kuah merahnya. Dengan mulut huh hah dia membaca layar benda pipih itu kemudian melirikku.
“Buset, elu menang Le!” katanya nggak kalah heboh. Gue dan dia lantas saling memegang dan meremas tangan sambil senyum super lebar. Gue beneran nggak pernah nyangka bisa menang kontes semacam ini.
“Duitnya banyak, Wi. Gila. Gue mendadak kaya, nih,” ujar gue kembali mengecek layar handphone. Menghitung jumlah nol yang ada di belakang angka dua. Ada enam angka. Rekening gue bakal kemasukan duit enam nominal!
“Gue nggak maksa lo buat traktir ya Le,” ujar Dewi. “Tapi kalo lo maksa mau traktir, gue dengan berat hati akan terima.”
Gue memutar bola mata menanggapi Dewi. Banyak yang akan gue lakukan dengan uang ini. Mentraktir Dewi, membeli beberapa keperluan sehari-hari yang penting namun tidak pernah kesempatan dibeli karena minimnya pemasukan, serta beberapa baju kuliah karena gue hanya punya tujuh stel baju untuk kuliah sehari-hari. Orangtua gue memang ngasih gue jatah jajan, tetapi untuk ukuran berkuliah ke luar kota, uang tersebut hanya mampu menutupi keperluan makan dan domestik. Sulit sekali untuk menabung, jadi gue selalu mencoba mencari tambahan lain dengan mengikuti kontes. Dari banyaknya kontes yang gue ikuti, ini adalah kali kedua gue meraih posisi menang. Kontes sebelumnya, gue memang nggak dapat posisi tinggi dan uang yang banyak. Gue inget, waktu itu uang yang gue dapat dipakai untuk membeli sepatu adik gue yang tiba-tiba robek.
“Tenang aja. Begitu gue dapet duitnya, kita langsung makan enak.”
Dewi menyeruput kuah baksonya. “Gue harus inget-inget rasa bakso ini biar nggak lupa pas kita makan enak…”
Gue pun tertawa.
***
Gue mendorong pintu kos dicat putih yang sudah menguning itu dengan pelan. Di depan pintu gue menanggalkan sepatu, kaus kaki lalu kemudian menentengnya ke rak sepatu di dekat meja belajar.
Sudah hampir malam, gue baru sampai di kosan. Dari tempat makan tadi, gue perlu menempuh perjalanan dengan angkot dan singgah ke warung terlebih dahulu sebelum akhirnya pulang. Gue merogoh saku, melihat handphone. Ada tiga panggilan tidak terjawab dari mama.
Ada apa? Gue pun menekan tombol telepon hijau.
“Halo?”
“Kemana aja kok baru aktif?” sambar mama langsung.
“Tadi abis pergi sama Dewi. Jadi nggak pegang HP,” jawabku jujur.
Terdengar helaan napas mama dari seberang. “Oh… Uang jajan kamu? Sudah habis?” tanyanya. “Masih ada untuk besok, kan?” cecarnya.
Gue nggak langsung menjawab, karena gue inget kalau minggu ini mama hanya memberi uang sebanyak seratus ribu untuk jangka waktu nggak ditentukan. Diluar biasanya yang dua ratus ribu. Mendengar pertanyaan itu, gue langsung bisa menangkap sinyal yang ada. Krisis uang.
“Masih ada kok,” jawab gue, bohong. Uang gue sisa dua puluh ribu karena tadi makan bakso dan ongkos angkutan umum.
“Oh… Yang hemat. Sampai minggu depan masih bisa, kan?”
Gue melebarkan mata. Tentu saja tidak. Dua puluh ribu hanya cukup untuk paling lama tiga hari kalau gue bisa bener-bener hemat.
Gue mendudukan diri di atas tempat tidur, menghela napas panjang. Suasana tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Tadi gue dan Dewi ketawa nggak bisa berhenti, sekarang rasanya gue udah lupa gimana rasanya ketawa.
“Mama lagi nggak ada uang, Le,” kata Mama kemudian, dengan suara yang sendu. “Padahal besok tagihan sekolah adek harus dibayar, belum lagi uang harian untuk makan. Gaji mama udah dibayar untuk utang bulan ini. Sisa tadi untuk beli tahu dan tempe.”
Gue menahan napas.
“Papa juga nggak punya penghasilan. Nggak tau lusa masih ada uang apa nggak...”
Gue masih belum bersuara. Tiba-tiba gue inget uang hasil kontes tadi. Dengan nyeri di dada, gue membuang pikiran itu jauh-jauh. Nggak. Gue udah menanti momen ini dari jauh hari. Lagipula, bukan salah gue kalau mama nggak punya duit, kan? Gue masih kuliah dan belum menghasilkan duit. Tanggung jawab gue masih seputar pendidikan. Tanggung jawab sebesar ini harusnya belum gue dapatkan.
“Kalo misalnya… Misalnya aja, Le… Kamu punya uang, Mama boleh pinjam dulu nggak? Uang sekolah semester adek harus dibayar, koperasi juga udah minta-minta pinjaman bulan ini. Belum lagi jajan adik-adikmu dan makan sehari-hari…” gue bisa mendengar suara mama mulai sumbang di seberang sana. “Ada nggak teman kamu yang bisa dimintai tolong pinjam uang? Nanti bulan baru mama ganti...”
“Nggak ada, ma.” Gue lantas menolak. Gue nggak pernah akan mau meminjam uang dengan nominal besar ke orang lain, apalagi atas nama orang lain. Terlalu beresiko. Gue nggak mau mengikuti kebiasaan mama.
“Beneran udah bingung mama, Le…”
Gue memejamkan mata. Menghirup napas dalam-dalam. Ingin rasanya gue memberitahu mama soal kontes yang gue menangkan. Berpikir bisa menghibur beliau sedikit. Tetapi gue sadar, ada yang lebih akan menghibur mama dibanding juara satu yang gue dapat. Uang. Mama lebih butuh uang daripada prestasi gue. Tapi di sisi lain gue juga enggan. Gue tahu, hanya gue harapan mama satu-satunya. Tapi apa harus sekarang? Gue bahkan sudah menulis daftar barang yang akan gue beli.
Bahu tiba-tiba rasanya berat. Banyak yang ditaruh di sana. Gue perlu menguranginya, meski kecewa jadi balasnya.
Dengan hati yang sangat amat berat, dengan suara yang gue paksakan bulat, dengan seluruh rasa ikhlas, lantas gue menutup seluruh keluh kesah mama tadi dengan satu kalimat. “Ale baru-baru ini menang kontes dance. Dapet uang. Mama bisa pakai uangnya dulu.”
Mama terkesiap di seberang sana. “Beneran Le? Kamu menang? Dapat berapa?”
“Dua juta, ma.”
“Alhamdulillah… Sebenarnya masih kurang, tapi nggak apa-apa. Kapan bisa kamu transfer?”
Tanpa terasa, air mata gue tiba-tiba menumpuk di ujung mata. Lama-lama nggak tertahan dan jadilah satu jalur air mata di pipi.
“Mungkin lusa, atau semoga besok udah bisa.”
Mama menghembuskan napas lega dengan pelan. “Mama tunggu ya Le.”
Telepon pun diakhiri. Begitu pula dengan seluruh rencana-rencana gue. Membaringkan tubuh di atas kasur, gue termenung menatap langit-langit kamar. Gue kemudian memencet sebuah ikon aplikasi yang selalu gue akses di handphone. Aplikasi biru dan berlambang burung. Tempat biasa gue ngomel-ngomel dan cari hiburan. Gue melihat sebuah tweet lewat di timeline dan menekan opsi retweet.
You Retweeted
@raraaaa_: I’m not sure, if I’m living my own life or someone else’s life.
Benar, gue setuju dengannya. Lantas kemudian mengetikkan sesuatu dan menekan tombol tweet.
@aledreakirana: When you wish things would be a little easier because you have money, but then you realized that you’re the first born and had to support your family. J
Gue menaruh handphone di atas meja belajar, kemudian masuk ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Sambil mengguyur air, gue pun menangis.
3
Minta aku untuk mendeskripsikan tampilanku, maka aku akan senang hati menjelaskannya. Mulai dari wajahku yang tiap malam selalu kurawat dengan mengoleskan berlapis-lapis cairan encer maupun kental untuk mencegah tonjolan-tonjolan berisi cairan putih yang selalu dimusuhi kedatangannya. Tidak hanya itu, wajahku juga kuoleskan liur hasil bicara perkataan-perkataan sekelompok orang yang mengatakan “Muka kamu kok jerawatan sih? Rawat dong!” kepadaku tiap aku melewati mereka.
Kemudian tubuhku. Aku beri makan secukupnya dan pilih-pilih. Kebanyakan yang kumasukan adalah makanan yang katanya harus dikonsumsi agar bisa mencapai tubuh ideal. Sayur, buah, apapun itu yang bisa menurunkan berat badan.
“Kamu tuh gendut banget, lho, Ti. Diet lah! Cewek kok gendut toh…”
Tiap hari aku membumbui makananku dengan ucapan mereka. Tidak enak memang, tapi itu yang terus membuatku makan makanan tidak berasa itu. Begitu juga olahraga. Tentu aku juga melakukannya sebagai syarat untuk bisa mendapat tubuh yang ideal. Semua olahraga sudah kulakukan. Mulai dari lari, berenang, zumba, kardio, latihan otot. Namun yang paling manjur untukku sejauh ini adalah dengan menenteng beban bahwa cewek harus kurus agar cantik dari mereka di bahu dan punggungku. Sejauh ini, hal itu membantuku untuk mencapai setidaknya separuh dari target.
“Ti, pake baju kok begitu? Kamu nggak takut, toh, ada yang iseng?”
Aku gemar memakai baju kaus lengan pendek dan celana jeans ketat kemana-mana. Selain simple, juga tampak bagus di tubuhku. Tetapi lagi-lagi aku mesti menggunakan baju yang mereka inginkan. Maka aku membungkus diri dengan peringatan-peringatan mereka soal pelecehan seksual yang mudah menyenggol cewek-cewek berpakaian tertentu. Aku menggunakan baju dan celana longgar tiap hari. Berkebalikan dengan hatiku yang sempit setiap memikirkan keberadaan mereka.
“Nah, kan, bagus toh kalo begitu. Kurus, bersih, sopan lagi. Itu baru yang namanya cewek, Ti.”
Mereka mengacungkan jempol dan tersenyum. Menyaksikan mahakarya mereka pada diriku. Seluruh yang mereka inginkan akhirnya terwujud di diriku. Mereka membentukku. Walau diam-diam aku meringis dan memohon untuk keluar dari tubuh ini.
@titatitadidinding: Gue ini sebenernya manusia apa boneka?
Tita Retweeted
@raraaaa_: I’m not sure, if I’m living my own life or someone else’s life.
4
“Pa, aku pengin handphone baru.”
Aku lihat papa tiba-tiba berhenti mengelap motornya. Mendongak melihatku baru pulang dan masih lengkap dengan pakaian sekolah. “Kok baru pulang?” tanyanya alih-alih merespon permintaanku.
“Tadi abis ngumpul sama temen-temen.”
Papa kemudian diam, mencelupkan kain di tangannya ke dalam ember kemudian meremasnya dan mengelap motor kembali.
“Pa,” panggilku lagi.
“Hm?”
“Beliin handphone baru.”
Barulah papa terlihat terpaksa meresponku. “Handphone yang sekarang memangnya kenapa?”
“Nggak kenapa-kenapa sih…” balasku ragu, tapi buru-buru menambahkan. “Tapi aku mau handphone baru, pa.”
“Loh kok mau yang baru kalau yang lama masih bagus?” tanya papa dengan dahi berkerut. Aku sudah menebak respon yang seperti ini, tetapi aku tidak mau menyerah.
“Modenya udah ketinggalan jaman. Teman-temanku udah pada ganti ke versi yang baru semua.”
Papa bangkit dari jongkoknya, memindahkan motornya ke tempat yang kering karena takut roda motor yang sudah dicuci kotor kembali. “Pa,” panggilku lagi.
“Jangan sekarang ya nak, ojek lagi sepi.”
Aku sudah tahu juga jawaban yang seperti ini.
“Tapi teman-temanku…”
Papa menatapku tepat di mata. “Kalau teman-temanmu pakai, lalu kamu juga harus pakai?” Aku menggeleng. Memang tidak, tapi mereka selalu menyarankanku untuk mengganti handphone. Terlebih Aini. Dia setiap hari akan mengatakan padaku bahwa handphone-ku tidak akan bisa apa-apa karena versinya sudah terlalu lama. Dia kemudian akan pamer handphone barunya, memperlihatkan padaku foto-foto hasil tangkapan kamera yang kualitasnya sepuluh kali lebih jernih dari milikku. Mereka memang tidak memaksaku mengganti handphone secara langsung, tetapi justru dengan memamerkan seperti itu membuatku entah kenapa merasa kesal dan berpikir untuk mendapatkan handphone baru agar mereka diam. Dan agar mereka tetap mau berteman denganku.
“Ya, enggak. Tapi aku nggak mau beda sendiri, pa.”
“Loh, memang kenapa kalau beda?”
Aku mendesah kecewa. Sepertinya ini tidak akan berhasil. “Aku masuk dulu.” Lantas cepat menyingkir dari hadapan papa, takut jika terus-terusan merengek akan membuat papa marah. Jarang sekali papa marah, tetapi jika sudah marah, aku tidak sanggup melihatnya.
Aku duduk di ruang tamu dengan masih mengenakan seragam lengkap. Dari saku tas sekolah, aku mengeluarkan benda persegi pipih yang sudah tergores sana-sini. Sudah buram layarnya. Walaupun begitu, aku masih bisa menggunakan beberapa aplikasi. Salah satunya yang biru dengan simbol burung. Tempat aku bisa mengeluh sepuasnya tanpa ada yang mendengar.
@kiaraputri:
“Emang kenapa kalau beda?” ya jadi keliatan aneh, lah. Dianggap norak. Jaman sekarang jadi beda kalo ga jadi terlihat, ya jadi terlupakan. Miris.
5
“Yo, gue baru beli eyeshadow baru. Gila, warnanya cakep banget!”
Mendengar itu, gue buru-buru menoleh ke meja belakang. Ada Agnes dan plastik di balik buku cetak PKN-nya. Dia menaruh jarinya di bibir, menyuruh gue jangan berisik. Gue melirik kanan-kiri. Aman. Pak Harto lagi sibuk main HP. Mungkin lagi WhatsApp istrinya.
Ami yang ada di sebelahnya pun juga ikut tertarik. Kami diam-diam menunggu Agnes untuk menyingkap plastik itu, dan ketika dia melakukannya, kita bertiga nggak bisa buat nggak berkata “Anjir!” dengan cukup nyaring.
“Itu ada apa di sana?” tergur Pak Harto ketika mendengar kami yang berisik. Gue kemudian membalik badan ke posisi semula lagi, pura-pura menulis sesuatu di atas buku. Pak Harto kemudian kembali fokus ke layar HP-nya, dan gue kembali menoleh ke belakang.
“Gila, cakep banget, Nes,” komentar gue bener-bener kagum. Agnes tersenyum songong. Bangga dengan pujian gue.
“Emang, gue ikut pre-order sampe harus mantengin HP sampe nggak tidur,” jelasnya. “Nanti kita coba ya abis bubaran.” Gue dan Ami mengangguk semangat.
Gue, Agnes dan Ami memang menggemari make-up sedemikian gilanya. Setiap saat yang kami diskusiin ya model-model make-up terbaru sama produk-produknya. Ngincer produk lokal adalah kegemaran kami. Selain sesuai kantong siswa, kami juga suka mengeksplor sesuatu yang jarang untuk kemudian direview. Kami bahkan punya akun instagram sendiri untuk itu.
“Apaan tuh?” tiba-tiba Wildan nanya ketika gue udah balik ke posisi awal. Teman sebangku gue ini emang agak kepoan. Tapi gue tau, dia keponya kurang baik. Kepo cuma buat cari bahan bekal diomongin sama temen-temennya.
“Enggak,” kilah gue. “Bisnis.”
Wildan tampak nggak puas. “Bisnis apaan?” tanyanya.
“Ada lah. Lo nggak paham.” Gue mencoba menghentikan obrolan. Walaupun gue dan dia sebangku, tapi gue nggak terlalu merasa dekat dengannya. Bukan cuma dia juga sih, hampir seluruh anak cowok di kelas agak menjaga jarak dengan gue. Tapi ya terserah. Gue juga lebih suka temenan sama cewek.
“Apa tuh yang nggak gue paham?” tanya Wildan lagi, masih belum puas. “Lah kita kan sama-sama cowo, Yo, apa sih yang nggak gue paham?”
“Ya, ada lah.” Gue tetep kekeuh menyudahi obrolan.
“Kecuali kalo hal-hal yang kecewek-cewekan. Nah, baru gue kaga paham tuh.” Dan gue bisa lihat, Wildan mulai nyengir. “Bener nggak gue?”
“Bener apanya?” balas gue nggak minat.
“Aelah,” kata Wildan mulai kesel. “Nggak usah lo tutup-tutupin juga udah pada tau kali, Yo. Lo demennya sama yang cewek-cewek demen. Pake ngeles segala.”
Mendengar itu, rasanya dada gue memanas. Emang nggak jarang gue diginiin orang, tapi ini pertama kali Wildan ngomong begini. Padahal sebelumnya gue mikir kalau Wildan beda dari yang lain. Setidaknya dia nggak ngomongin hal-hal itu di depan gue langsung. Tapi ternyata sama aja.
“Ya terus kenapa?” tanya gue, menantang. “Nggak boleh cowok demen make-up?”
Wildan mendadak bergidik ngeri, mengabaikan gue dengan kembali fokus ke HP-nya. Tapi gue masih bisa denger gumamannya. “Bencong.” Dia bahkan menggeser kursinya sedikit menjauh dari gue.
@makeupbyrio Retweeted
@kiaraputri: “Emang kenapa kalau beda?” ya jadi keliatan aneh, lah. Dianggap norak. Jaman sekarang jadi beda kalo ga jadi terlihat, ya jadi terlupakan. Miris.
@makeupbyrio replied:
Kalo nggak ya digibahin di belakang, ato paling parah di depan muka langsung.
6
Katanya sosial media itu nggak baik. Aku setuju, makanya nggak heran meningkatnya gangguan mental terkait sosial media. Banyak narasi-narasi yang mendeklarasikan pengaruh negatif sosial media yang mengkhawatirkan banyak orangtua dan membuat anak muda terlihat sebagai tersangka karena nggak bisa hidup tanpa teknologi.
Tapi, di lain sisi, sosial media membantu banyak orang untuk terhubung. Merasa nggak sendiri. Aku pun sangat merasakan ini. Di sosial media kita bisa menemukan banyak hal, mulai dari yang menghibur untuk membantu melupakan permasalahan hidup, atau sekedar keluhan-keluhan yang rasanya semua orang juga merasakannya.
Sosial media menyatukan banyak orang yang jauh namun merasakan hal yang sama. Di tengah kehidupan nyata yang sepi pengertian, sosial media menyediakan banyak orang yang mendeklarasikan kesialan hidup yang relevan. Ibarat TPA, sosial media banyak menampung sampah hidup berupa keluh kesah dunia tetangganya, dunia nyata.
Aku walaupun tidak terlalu sering menyuarakan kegelisahanku, tetapi setiap hari aku selalu menonton orang-orang mengeluhkan hidup. Menyuarakan ketidaksetujuan dan kesedihan karena hidup tidak jarang membuat kecewa. Aku melihatnya setiap hari di lini masa.
Terkadang hal tersebut membuatku ikut sedih, kesal, senang dan marah, padahal secara personal aku tidak merasakannya. Tapi entah kenapa rasanya aku paham dan mengerti. Mungkin itu yang dicari orang-orang lewat sosial media. Mereka bersuara untuk minta dimengerti. Sehingga lewat rasa dimengerti tersebut mereka jadi merasa tidak sendiri.
Description: You Retweeted
@manusiabiasa:
Ketika banyak yang terjadi dan tidak ada tempat lain untuk menuangkannya. Ruang biru dengan lambang unggas itupun jadi tempat membuang sampah-sampah gelisah. Senangnya, banyak yang sama.
Nama: Isna Meiriska
Twitter: @kura2manja
Instagram: @ay.sna
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #KamuTidakSendiri
|
Title: Renjana Tertulis
Category: Puisi
Text:
Cinta Dekap Sahabat
Tertulis kisah jalinan erat pertemanan
Menjelajahi indah pada masa ke masa
Gelak tawa lepas hingga tak terasa pikul beban berat
Bersama merangkul dalam cobaan nestapa
Meringkus kegetiran melalui genggaman pekat
Menyatu suka duka keceriaan pengalaman
Lama terlalu lama merasa nyaman
Cinta
Dekap
Sahabat
Sudut hati telah sembunyikan perasaan
Tak kuduga sangat deras mengalir
Berjalan mempertemukan diri setiap hari
Gelora hampir meledak
Sesungguhnya tak pernah aku hiraukan
Aku telantarkan
Aku acuhkan
Namun kembali mencakar cakar batin
Sorot mata isyaratkan
Kutahan semakin dalam semakin besar
Bisakah pahami?
Bukankah kita telah bersatu sebagai sahabat
Rasa ini terus berteriak dalam lorong jiwa
Aku tak mau menodai persahabatan
Telah lama terjalin
Perih iringi rasa
Rindu menyayat raga
Tak ingin menjadi pengkhianat
Karena jika terucap sirna jalinan sahabat
Ku ingin ada pelangi yang dapat mengganti
Bukan pada tempatnya
Cinta
Dekap
Sahabat
Aku akan menjaga rindu
Menjaga tangis
Menjaga sakit
Jauh dari lubuk benak ini
***
Khilaf Menerka
Berawal dari hasrat berkenalan
Delegasi karib hampiri sapa malu-malu
Tak tahu menahu jati diri sebenarnya
Asing
Gelisah resah yang akan terjadi
Gentar tatkala akan dekati
Tangan menghadang
Antipasi derita
Tajam rambutnya papak hitam
Sipit matanya dalam menerjang
Legam kulitnya kilat pesona
Tinggi semampai postur perkasa
Lelaki penduduk kursi panjang
Semenjak dikejauhan memusatkan pandangan
Menjadikan tindak harus berada sikap sempurna
Tatapan berbeda isyaratkan sebuah makna
Imajinasi terbang angkasa salami lembah samudera
Pikiran kacau semburat tak karuan
Gelombang rasa luar biasa
Akibat lemparan senyum melalui bibir manisnya
Sukma mustahil ku setir terkagum pancaran aura
Anugerah kasih mengalir begitu saja
Menebarkan benih pada insan kesepian
Kini perasaan nyata terpaut hatinya
Rinai gerimis basahi jemari
Mengendap curi secercah perhatian
Berlari mengejar seribu cara
Terjebak lingkaran membius dorongan jiwa
Pertikaian batin menghasilkan jalan kesadaran
Penantian harap pupus merangkak pergi
Pandangan serta tatapan kembali asli
Terkenang cerita tak miliki awal dan akhir
Kusudahi cinta menerka-nerka
***
Takku Sebut Namaku
Sendirian dalam lorong kegelapan
Membuncah rasa takut cengkeram
Sunyi hanya tersisa di sana
Aku ingin lari namun tak bisa
Hingga engkau datang tiba-tiba
Hadir dengan cara ajaib kukira
Rasa sepi tak lagi ada
Karena telah datang penghibur lara
Tak kukenal siapa dia
Tapi kita berlabuh dalam percakapan
Menyisakan rasa nyaman
Kupandangi sesosok senyum indah
Merekah dari bibir di hadapan
Lama kita bertukar pikiran
Bercerita pengalaman
Kurasa sangat menakjubkan
Di sela percakapan terselip semangat perjuangan
Aku termotivasi
Oleh kisah super fantasi
Akupun mengagumi
Kuisyaratkan dari sorot mata ini
Waktu sudah berlalu
Izinkan aku pergi terlebih dahulu
Sesuatu telah menunggu
Dari kejahuan terlitas pertanyaan
Kutoleh ke taman perbincangan
Dan terlupa bertanya namanya
Juga tak kusebut namaku
Dia menghilang
Aku kehilangan
***
Satu Senyuman
Berdebar rasa membayangkan
Terang siang menuju petang malam memimpikan
Usaha dan harap mendapatkan
Semua sebab dari satu senyuman
Satu senyuman dilemparkan secara tiba-tiba
Satu senyuman membuatku seperti layang-layang
Satu senyuman membungkam kaku lisan
Satu senyuman tidak terlupa dalam ingatan
Rasa ini tidak mungkin terbendung
Mengalir menyusuri alur
Membuat tingkah yang salah saat berjumpa
Senyumannya itukah tanda?
Senyumannya itukah rasa?
Senyumannya itukah suka?
Senyumannya itukah cinta?
Kerinduan setia mendatangi
Engkau yang kuanggap sebagai pengganti
Kuterima hanya satu senyuman
Tidak lebih hanya sebuah impian
Percaya diri kuajukan terlebih dulu
Sedih hinggap menyerah bagiku
Berharap engkau miliki rasa sama denganku
***
Kepada Pendamping
Menghindar bukan alasan menyakiti setiap yang menghampiri
Diriku belum siap akan kehadiran seseorang yang kukira kurang tepat
Beribu maaf terlontarkan
Betapa kasihan tetap mencoba bertahan padahal kusudahi dari awal
Tidak sedikitpun memberi harapan lebih
Nampaknya menjadi bukti atas alasan berulang kali
Kujalani hari-hari dengan perenungan
Betapa gelisah kadang kala memikirkan
Di saat yang lain berbahagia
Di saat juga sudah mendapatkan apa yang diminta
Mengusik ketenangan
Dari pembicaraan orang-orang yang tidak tahu keadaan
Senantiasa menunggu akan datangnya sebuah waktu
Menebak dengan siapa jadinya
Memimpikan sesempurna perkiraan
Terbaik dari sebuah pilihan
Tugas sepanjang tercapai kebimbangan
Satu kelemahan dalam diriku, aku malu
Memberi tanda bahwa aku sangat menginginkan harapan
Bersanding dalam dunia dan akhir setelahnya
Tanpa salah tanpa sedikit kecewa
Kepada pendamping
Aku di sini masih juga belajar tentang kehidupan
Memantaskan dan bagaimana caranya mengerti
Membuang keburukan yang tidak lepas dari jiwa seorang insan
Menapaki satu persatu perwujudan wanita terbaik
Terbuai dalam balutan sendu yang kelabu
Di puncak do’a kepada Pencipta
Semoga akan indah lukisan cerita pertemuan
***
Embun Pertama
Waktu membentang hingga menyapa kesan ingatan
Masa kanak-kanak telah mengukir indah kenangan
Pertemuan di sebuah taman diikuti derap langkah bersamaan
Kaki miliknya melaju ke kanan
Sedang aku menghambat ke kiri berhadapan
Berganti posisi langkah tetap saja melaju menghambat hadapan
Memandang wajah ke arah mata menjengkelkan
Kita terkunci pada pola kerumitan
Embun pertama
Menitik di malam yang dingin membaur canda tawa teman-teman
Bermain bersuka cita
Berlarian memutari gelak perayaan
Masa kanak-kanak telah mengukir jalinan kisah
Dan lagi pertemuan di tengah lapang diikuti derap langkah bersamaan
Kaki miliknya melaju ke kanan
Sedang aku menghambat ke kiri berhadapan
Berganti posisi langkah tetap saja melaju menghambat hadapan
Suram senyap di bawah cahaya rembulan
Kita terkunci pada pola kerumitan
Musim sekolah mempertemukan kepada dirinya yang hadir tiba-tiba
Berjalan beriringan
Sejalur rumah kepulangan
Dia menjengkelkan
Merebut sepeda milikku dan meminta berboncengan
Setiap kali setiap hari
Di waktu yang sama menuju kepulangan
Dia hadir kembali
Cepat-cepat untuk ku tinggal
Dia tetap menjengkelkan
Merebut sepeda milikku dan meminta berboncengan
Suatu waktu dalam hari-hari berlalu
Tersadar pada sebuah perasaan
Bagaimana bisa aku mengungkapkan
Hanya bisa aku rasa terpendam
Aku rindu saat-saat turunnya embun pertama
***
Dia Adalah Impiku
Mengulang rasa gundah
Merasuki kembali hati yang sedang menunggu
Dia menjadikanku penasaran
Sejak tersapa hanya sebatas perkenalan
Senyuman manis terngiang
Rasa canggung juga keberanian untuk memulai
Tidak percaya aku bisa menemukan kembali
Dalam pencarian beserta keragu-raguan
Satu langkah mengambil keputusan memalukan
Menyalahkan diri sendiri
Namun, akhirnya dia sanggupi
Seribu alasan kurangkai agar berjalan kesempatan
Bercakap-cakap penuh dengan kegembiraan
Hatiku terlalu mudah terkesan
Sehingga tak kusadari dia berhenti pada akhir ucapan
Aku cemas
Aku berharap
Menjelajah lebih jauh lagi pengalaman-pengalaman
Bercerita, bertukar pikiran
Karena sejak awal dia berhasil menempati ruang
Sedih duka merana dari perhentian
Menggugah percaya akan sebuah balasan
Secercah harapan aku harapkan
Hingga aku benar-benar merelakan dengan penuh kedukaan
...
Malam itu
Malam kelam itu
Hati berdegub kencang ketika dia kembali mengetuk pintu
Pergi hanya sebentar
Memohon tetaplah berbincang
Jangan pernah akhiri
Jangan ulangi pergi
Aku mengharap sekali
Dia adalah impiku
Impianku
***
Tentang Aku Menyukainya
Rekah senyum hadir menyapa di hadapan
Sejenak dunia terhenti mematung terkesan
Terbungkam hingga perlahan hilang kehadiran
Pikiranku terbawa akan mencoba lebih jauh melangkah
Namun keraguan suruhku menjadi perempuan pemulai
Tidak terdapat kuasa
Hanya berlaku rutin berdo’a
Belabuh pada tirai hubungan
Dia tanggapi pada banyaknya perbincangan
Caranya yang berbeda
Mengagetkan ketika dia sodorkan sebuah tawaran
Kini dia yang akan memulai
Suatu waktu di dalam kereta kencan
Aku gugup mempersiapkan perasaan
Ketika dia benar-benar berada di seberang
Sama sekali tidak berani aku menatap wajahnya
Sepertinya kakiku tidak menyentuh bumi lagi
Tangan dan kening berpeluh
Bola mata memutar-mutar tidak bisa diam
Alih-alih selalu aku membuang pandangan
Payah...
Aku tidak bisa berkata-kata
Bersama-sama menjalani pengalaman dengan menyenangkan
Tanpa bertatap dan sedikit berbicara
Hanya itu, terindah yang pernah kualami
Dan tibalah pada sapa terakhir
Ada hal besar yang kubawa dan akan kusampaikan
Kali ini aku harus berani
Namun pada kenyataan, semesta telah lebih dulu berhenti bekerja
Tidak lagi bisa berbuat apa-apa
Hanya terdiam tersipu malu bertanya-tanya
Aku sangat menyesalinya
Dia pergi, tanpa kalimat perpisahan
Tanpa lambaian tangan
Kala itu padahal ingin aku katakan
Tentang aku menyukainya
***
Intuisi
Sekilas wajah kujumpai di atas tanah lapang
Potret berkehendak berdiam dalam ingatan
Muncul seketika tanpa paksa kemauan
Getaran rasa mengarah satu kepercayaan
Hati telah yakin untukmu
Hati telah lama merindukanmu
Intuisi..
Bersikeras menunjukkan pelita
Tidak pernah bersantai
Tidak pula tinggal diam
Meski harap menyelimuti
Kita yang tak saling mengerti
Hingga kita salah temu lagi
Sang petualang, lanjutkanlah laku tujuan
Meski tampak berlelah jalan
Menempuh jarak dan rintang
Percayailah aku telah menantikan
Untuk menangkap dandelion-dandelion yang hampir tertiup kencang
Sebagai tanda kasih erat bersemayam
Semoga hatimu tidak runtuh
Dari perjalanan tak tentu nan jauh
Tersandung jatuh
Sampai pada takdir sekali lagi untuk kita saling bertemu
***
Merayakan Sebuah Perpisahan
Semesta telah bekerja giat
Dari setiap perjalanan beberapa kali pertemukan
Diapun tersipu mencuri-curi senyuman
Namun aku terbungkam terdiam
Hati begitu lepas terpana
Memikul rasa teramat suka
Lambat laun
Hingga lelap sampai terbangun
Pengharapan yang tak kunjung bersambang
Berkali-kali menantikan
Nampaknya sama sekali bukan
Hingga teriring sia-sia
Dia menghilang ditelan kehilangan
Haruslah berputar arah kenyataan
Segenap cara menyembuhkan
Kegilaan menyimpan namanya di alam pikiran
Tertatih hingga letih
Agar benar-benar teralih
Berat tersiksa
Tangis menderu dera
Tindak tatanan baru termimpikan
Pengandaian benar-benar hilangkan
Mencoba hapus seluruh berkaitan
Derai deras hujan hadir meluruhkan
Atas segala macam kenangan
Hingga..
Waktu berlalu
Hari-hari berlalu
Tanpa permisi dia hadir lagi
Meminta mohon untuk kembali
Perjuangan telah sampai mengantar perasaan
Pada segala bersisa hambar
Marilah kita rayakan saja sebuah perpisahan
Sorak sorai pernah kita dipertemukan
Rekah itu sudah tak harum lagi
Dan sebentar lagi akan mati
***
Sebagai Perempuan Menunggu
Teralih akibat lara itu
Sejauh harap terbayangkan
Bermula pada kebosanan derita
Hanya penjagaan hati supaya terjaga
Alih-alih sekedar menyapa sang pujaan
Ternyata berakhir membingungkan
Dia tidak membalaskan
Mungkin merasa aku sebagai pengusik
Atau sekedar seorang gila
Yang tiba-tiba hadir tanpa perkenalan yang andil
Bagaimana lagi?
Inilah caraku
Sebagai perempuan menunggu
Berikhtiar do’a-do’a dari pengalaman lugu
Menerka seseorang yang tepat dan mampir
Tidak semudah dijalani
Menimbulkan hati bergejolak
Hingga hampir meledak
Kelam ini
Aku menyerah pada keberanianku lagi
Membenci
Pada tindakku yang semena-mena ingin melebihi
Terkuburlah harapku
Terbungah risauku
Akhiri dan berhenti
Tak akan ulangi kembali
***
Cinta Semu
Terpikir mengapa aku memulai segalanya
Berawal dari sapa senyuman
Hingga membuatku lunglai terpana
Memberanikan diri
Menjadi sebuah pertemuan
Menjelma rasa jatuh cinta
Sedalam-dalamnya
Dan pengharapan
Berlabuh pada pengandaian
Rasaku hanya bisa kuutarakan diam
Tersimpan rapi dalam hati perempuan
Bersemangat jika dia melangkah datang
Berguncang hati saat berpapasan
Berulang
Hingga aku lelah
Sangat lelah dari ukiran bayang angan
Begitu menyakitkan
Sakit yang kunikmati sendiri
Kekacauan akibat tak sesuai hati nurani
Pergi menjauh
Sangat jauh
Meninggalkan apapun kenangan
Menghilangkan setiap apa yang dulu pernah terkenang
Cinta semu
Hanya berupa abu-abu
Tidak jelas adanya
Tidak tahu kepulangannya
***
Description: Kompilasi perasaan hati tersenandungkan dalam cipta jemari.
|
Title: Real Husband
Category: Adult Romance
Text:
Tukang Sampah & Gadis Superior
Di atas gedung yang menjulang tinggi, di bawah langit biru yang gemilau, sesosok gadis berdiri dengan tatapan jauh. Seolah-olah, hari ini dia melihat takdirnya yang begitu buruk. Orang-orang di kota yang sibuk ini mulai berkumpul dan beramai-ramai menyaksikan wajah sendu nan pucat pasi sang gadis. Tak satu pun orang mengetahui apa yang sebenarnya gadis ini akan lakukan. Namun, yang jelas kesedihan yang begitu dalam terpancar dan seolah-olah begitu jelas oleh pantulan fatamorgana.
Tak jarang orang berpikir bahwa si gadis akan melompat dari ketinggian untuk menghabisi hidupnya yang terpancar begitu kelam dari bibirnya yang berkilauan terbalut lipstik merah muda.
Bahkan, untuk ukuran pemuda seperti Sebastian yang kesehariannya mengumpulkan sampah di tiap-tiap gedung pencakar langit kota ini. Lelaki bertubuh tegap yang juga memiliki pandangan setajam elang ini berdiri di antara kerumunan yang riuh. Melihat gadis itu dan memikirkan bahwa dia akan bunuh diri saja membuat Sebastian beruntung memiliki hidup yang masih dia cintai. Meskipun terkadang dia sendiri berpikir hidup ini tak adil.
Setidaknya, pemikiran Sebastian mulai terbuka. Ada begitu banyak orang di dunia ini yang tidak bisa mengatasi masalahnya, lantas memutuskan mengakhiri kehidupannya. Betapa memilukan. Sungguh ironis. Sebastian mengembuskan napas panjang sambil tersenyum miring.
"Emangnya apa yang mau dia lakuin di atas gedung?" tanya Sebastian dalam hati.
Setidaknya, menurut Sebastian, tak satu pun manusia berpikir untuk melakukan tamasya di atas sebuah gedung dengan cuaca panas yang menyengat. Pemikiran itu tiba pada sebuah kesimpulan: memang benar si gadis akan melakukan bunuh diri.
Sebetulnya, Sebastian bukan tipikal orang yang begitu peduli urusan orang lain. Sayangnya, dia juga tidak dapat mengabaikan si gadis yang baginya begitu menyedihkan. Kehidupan ini sangat indah. Paling tidak, itu yang Sebastian yakini. Dia selalu memegang teguh keyakinan ini. Bahkan sampai-sampai membuatnya menjadi lebih bersemangat menjalani hari dalam kehidupannya yang serba kekurangan.
"Mana mungkin aku ngebiarin perempuan yang mau bunuh diri."
Dan seperti yang kita ketahui. Manusia tidak selalu punya sisi buruk. Bahkan meski manusia itu adalah Sebastian yang tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan orang lain. Paling tidak, dia masih punya belas kasihan. Dan yang lebih mengejutkan, lelaki bertubuh tinggi ini sebenarnya tidak bisa mengabaikan kesedihan orang lain.
Meskipun gadis itu berada di atas gedung berlantai 50, Sebastian bisa menyaksikan sendu dan kekecewaan pada wajah si gadis. Manusia itu sangat lemah. Namun, mereka yang lemah kadang mengabaikan orang-orang yang membutuhkan uluran tangan. Dan mereka yang lemah biasanya lari dari sebuah kenyataan. Sebastian, dalam sepuluh tahun terakhir, dia sudah berjanji untuk tidak berlari dari kenyataan.
Dan mungkin di sinilah dia akan membuktikan semuanya: dengan menyelamatkan si gadis dari kekecewaan yang begitu dalam. Maka, tak ada lagi yang perlu dipertimbangkan. Sebastian berlari sekencang mungkin setelah mengembuskan napas panjang. Ini akan terdengar sedikit memaksa, tapi lelaki berhidung lancip ini punya jiwa pahlawan yang luar biasa. Apalagi saat melihat seorang gadis menderita, jiwanya selalu berkobar laksana matahari yang tak pernah padam.
Satu-satunya yang Sebastian miliki saat ini hanyalah ideologi. Meskipun tidak bisa mewujudkan mimpinya untuk menjadi polisi, tapi jiwanya adalah seorang penyelamat yang sejati.
Tubuh Sebastian meliuk-liuk menaiki satu per satu tangga di masing-masing lantai gedung perusahaan properti ini. Pakaian yang basah karena keringat baginya sudah biasa. Toh, profesinya sebagai tukang sampah cukup berguna. Tukang sampah tak pernah takut kotor. Dan dia bekerja keras bercucur keringat setiap hari. Itu sudah lebih dari cukup untuk tidak takut pada bau busuk dan keringat yang bisa membuat bau badannya menguar di udara.
Beberapa menit melewati puluhan tangga, Sebastian tiba di atap gedung.
"Tunggu!"
Sebastian berteriak pada saat si gadis akan mengangkat langkahnya. Sudah tidak ada jalan di depannya. Gadis ini juga bukan manusia sakti yang punya kekuatan untuk berjalan di udara. Maka, dapat dipastikan: dia benar-benar ingin menghabisi dirinya sendiri di hari yang begitu terang oleh mentari ini.
"Apa yang kamu lakuin di sini?"
Sebastian bertanya, meskipun sebenarnya dia sangat tahu jawabannya. Ah, ini hanya basa-basi untuk memulai percakapan dengan gadis yang sedang merasa frustrasi. Sering kali, ini juga menjadi salah satu alternatif untuk masuk ke dalam urusan orang lain. Sebastian tahu betul apa yang harus dia katakan. Sayangnya, dia tidak pandai berurusan dengan seorang gadis. Kehidupannya yang membosankan ini pun telah dia lalui tanpa kehadiran perempuan.
"Ini bukan urusanmu!" ujar gadis ini dengan suara yang tertahan.
Sebastian diam seolah-olah suaranya tidak bisa keluar dari tenggorokannya. Gadis ini benar-benar menutup jalur untuk masuk ke dalam urusannya. Keheningan menyelimuti Sebastian dan si gadis dalam beberapa menit terakhir.
Meskipun gadis ini tidak berbalik badan, Sebastian sangat yakin gadis ini punya aura yang kelam. Setidaknya, itulah yang Sebastian bisa rasakan untuk saat ini.
Sementara itu, matahari semakin menyengat. Cahayanya terpantul oleh gaun terusan berwarna putih yang si gadis kenakan. Sebastian mengepakkan tangannya di depan wajahnya, menepis cahaya menyilaukan ini.
"Aku tahu ini bukan urusanku. Tapi, aku hanya ingin kamu berpikir sedikit lebih dewasa. Mengakhiri hidupmu nggak akan menyelesaikan masalah."
Meskipun pada akhirnya Sebastian ragu untuk bisa meyakinkan si gadis, dia tidak berniat untuk menyerah. Bagaimanapun juga, nyawa manusia itu sangat penting. Jauh lebih penting ketimbang waktu istirahatnya yang sudah habis dan sekarang sudah memasuki jam kerja lagi. Ya, Sebastian tidak peduli akan hal itu.
"Ayolah. Pasti ada solusi yang bisa menyelesaikan masalahmu."
Berkali-kali, Sebastian meyakinkan si gadis. Namun, tampaknya gadis ini sangat keras kepala. Sebastian tidak ingin berpikir bahwa gadis ini punya pemikiran yang dangkal. Karena bagaimanapun juga, dia pasti punya alasan kenapa ingin menghabisi nyawanya sendiri. Bahkan masalah satu orang dengan orang lainnya tidak bisa dibanding-bandingkan. Lihat saja dari penampilan gadis ini yang super mewah dan amat jelita. Dia pasti dari keluarga terpandang. Sedangkan, Sebastian bukan dari kalangan superior. Itu hanya perbandingan yang Sebastian tidak ingin katakan.
Setiap orang punya proses yang berbeda-beda.
"Nggak ada yang bisa menjamin masalahku bisa selesai meskipun aku mengurungkan niat bunuh diri. Emangnya kamu siapa? Kamu nggak tahu apa-apa tentang hidupku!"
Si gadis hampir menangis. Terdengar jelas dari nada suaranya yang kadang keras, kadang pun pelan. Ya, Sebastian juga menyadari hal itu. Paling tidak, di sinilah terbukti bahwa manusia itu rapuh, tetapi juga kuat dalam arti yang berbeda.
"Aku emang bukan siapa-siapa. Seenggaknya, kamu bisa hidup lebih lama kalau nggak bunuh diri."
Sialan!
Sebastian mengumpat karena kata-katanya yang terdengar sangat konyol. Padahal sebetulnya hidup singkat itu yang diinginkan seseorang yang berniat bunuh diri. Namun, Sebastian mengatakannya seolah-olah gadis ini sangat bodoh.
Meskipun begitu, tidak ada yang akan menyangka bahwa kalimat konyol seperti yang Sebastian lontarkan justru berhasil membuat si gadis berbalik dan menatapnya. Apalagi, gadis ini terlihat berpikir. Entah, apakah dia memikirkan kata-kata Sebastian barusan atau ada hal lain yang membuka tabir logika di kepalanya.
Sebastian tersihir oleh paras si gadis yang seolah-olah tidak punya belas kasihan membekap mulutnya agar tidak bicara lebih banyak lagi. Hidung mungil lancip, bibir tipis yang ranum, serta mata bulat yang kecokelatan ini menusuk jiwa Sebastian berkali-kali tanpa henti.
"Kenapa? Kenapa ... kamu sangat peduli sama orang yang nggak kamu kenal?"
Gadis ini bertanya dengan heran. Kerutan di keningnya perlahan-lahan berubah karena dia tidak lagi khawatir dan kecewa. Namun, dia kini jauh lebih heran karena dari sekian banyak orang di bawah gedung, tetapi hanya Sebastian yang berusaha menyelamatkannya.
"Aku nggak tahu kenapa. Yang jelas, menghabisi hidupmu sendiri justru akan menambah masalah. Orang-orang akan berkabung atas kematianmu. Kehilangan itu sesuatu yang sangat menyedihkan dan menakutkan."
Kata-kata Sebastian justru kini jauh lebih menusuk dari masalah yang si gadis ini hadapi. Si gadis mengangkat wajahnya dengan mata terbelalak, seolah-olah baru saja mendapat jackpot dengan hadiah yang besar.
"Kamu ... maukah kamu nikah sama aku?"
-II-
Namanya Issabel
Bukan karena salah bicara. Menilik dari tatapannya, gadis ini berkata jujur pada dirinya sendiri. Dan Sebastian pun tidak melihat adanya ketidakseriusan dari nada bicara si gadis. Namun, ini tetap saja sulit dipercaya. Sebastian jadi berpikir, apakah dunia menjadi aneh ketika dia berusaha menyelamatkan nyawa seorang gadis? Sungguh tidak pernah terlintas di pikiran Sebastian, bahkan semua orang pun tidak akan memikirkan hal yang begitu tiba-tiba, seorang gadis melamar lelaki yang berusaha menyelamatkannya.
"Eh?"
Tentu saja, reaksi yang begitu wajar saat Sebastian kebingungan dengan maksud dari perkataan gadis ini. Seperti yang dia lihat, gadis ini terlihat superior dan punya martabat tinggi. Sedangkan, Sebastian hanya seorang tukang sampah yang pekerjaannya mengumpulkan uang dari sisa-sisa para manusia perkotaan.
"N-n-nikah?!"
Sebastian pun sadar bahwa kata-kata yang barusan dia dengar bukan dari resonansi deru angin yang memantul di kaca-kaca jendela gedung pencakar langit. Dan ternyata, itu juga bukan dari bisikan makhluk dunia lain. Mana ada hantu gentayangan di siang bolong begini.
Gadis ini mengangguk seraya tersenyum pasrah.
"Iya. Kamu mau, kan, nikah sama aku?" Untuk kesekian kalinya, si gadis menawarkan diri sebagai usaha meyakinkan Sebastian kalau dia tidak salah dengar atau bukan sekadar ilusinya semata.
Tidak ada yang tahu jawaban seperti apa yang akan diberikan Sebastian. Sebetulnya, bukan karena sulit menerima ataupun menolak. Hanya saja, Sebastian tidak tahu harus bersikap atau berkata apa. Ini menyebabkan mulutnya terkunci rapat. Semua kalimat yang sudah dia persiapkan seolah-olah hilang dibawa arus ombak tawaran pernikahan dari si gadis.
Pesona yang begitu indah dan menakjubkan. Siapa yang bisa menolak jika gadis anggun dan terlihat polos ini menawarkan diri untuk dinikahi? Sesungguhnya, ini impian semua laki-laki. Kini, mimpi itu nyata adanya dan Sebastian orang yang terpilih menghadapinya.
Beberapa kali si gadis mengembuskan napas panjang, dia lantas berjalan mendekati Sebastian. Bisa dikatakan, niat bunuh diri gadis ini bagaikan lenyap tanpa sisa. Yang ada sekarang hanya keinginan agar pertanyaannya dijawab oleh lelaki asing di depannya.
Si gadis berhenti tepat di depan Sebastian yang kedua kakinya sedang terpaku dengan lekat.
"Jadi, gimana? Kamu mau, kan, nikah sama aku? Kalau kamu mau menyelamatkanku, nikahi aku. Hanya dengan menikah, aku akan terselamatkan."
Sebastian berniat tertawa terbahak-bahak atas logika konyol yang dia hadapi saat ini. Sayangnya, setiap tawa itu tidak bisa keluar dan hanya bersemayam dalam keinginan belaka. Lagi pula, ini bukan saatnya tertawa, tapi ini saatnya dia menentukan pilihan.
"K-kenapa kamu ...."
Memang sebetulnya tidak ada yang bisa ditanyakan. Sebastian bahkan tahu kalau gadis ini sudah bicara tentang pernikahan sebanyak tiga kali. Bukankah itu sudah cukup jelas karena tidak ada kata ambigu yang terkandung dalam kalimat itu.
"Bukannya tadi kamu mau bunuh diri? Tapi, kenapa tiba-tiba sekarang menawarkan diri untuk dinikahi orang asing sepertiku? Maksudku, kamu nggak mengenalku. Kamu akan kecewa setelah tahu aku siapa."
Setidaknya, Sebastian sudah berusaha menjelaskan. Dia sebisa mungkin menghindari kata-kata yang dapat mengecewakan si gadis. Sebab, kekecewaan itu pasti adalah sesuatu yang menyakitkan baginya. Sebastian pun berpikir dengan sangat hati-hati. Setiap perkataan yang keluar dari mulutnya berusaha dirancang untuk tidak menyakiti.
"Aku suka sama kata-katamu."
Mata Sebastian membelalak karena mendengar alasan yang begitu sederhana dan bahkan terdengar seperti lelucon. Menikah itu perihal yang serius. Oleh sebab itu, bagi Sebastian, tidak ada manusia idiot di dunia ini yang ingin menikah hanya karena alasan sekonyol itu.
Di detik ini, lagi-lagi angin mengembus sehingga mengibaskan rambut panjang si gadis yang menjuntai hingga punggungnya. Sebastian tidak ingin membohongi diri sendiri. Maka, dia mengaku dari lubuk hatinya yang terdalam, bahwa dia telah terpesona oleh paras gadis yang sampai sekarang tak dia ketahui namanya ini.
Sementara itu, si gadis merapikan poninya yang baru saja diacak oleh angin. Senyuman tipisnya seolah-olah mengandung harapan yang sangat besar. Tentu saja, harapan itu adalah keinginannya untuk mendengar jawaban dari Sebastian.
"Siapa namamu?" tanya si gadis sambil mengulurkan tangannya di depan Sebastian.
Mata Sebastian turun perlahan-lahan, menatap telapak tangan kecil yang dibalut kulit putih bersih ini. Dia agak ragu menyambut tangan si gadis hanya karena merasa sangat tidak pantas menyentuhnya. Bukan karena dia tukang sampah. Walau pada kenyataannya Sebastian bekerja sebagai orang yang mengumpulkan sampah, dia menjaga betul kebersihannya. Apalagi, sama sekali tidak ada kotoran di tangannya sekarang. Tidak ada bedanya karena dia juga punya kulit yang putih meskipun tidak bisa menyamai putihnya kulit si gadis.
Namun, semua alasan keraguan itu segera Sebastian usir dari pikirannya. Karenanya, dia menyambut tangan si gadis dengan senang hati dan menjawab, "Sebastian Prakarsa."
Tidak ada sesuatu yang lebih indah dari sebuah senyuman di dunia ini. Doktrin ini baru saja tertanam di kepala Sebastian. Bahkan baginya, sudah lama ia tidak melihat sesuatu yang luar biasa indahnya. Apalagi, Sebastian sendiri senang berkunjung ke tempat-tempat wisata menakjubkan. Hanya saja, dia tidak pernah menemukan keindahan sejati yang sekali saja dilihat dapat menenangkan hatinya.
"Issabel Allison."
Pada saat si gadis menyebut namanya, dunia di mata Sebastian kini jauh lebih menyenangkan. Tak begitu membosankan seperti biasanya. Walau demikian, dia sudah menduga bahwa semua ini hanya berasal dari pemikirannya sendiri yang baru pertama kalinya setelah 5 tahun terakhir tidak berurusan dengan gadis mana pun. Ya, Sebastian menanggalkan semua keinginannya. Dia juga menanggalkan harapannya yang baginya sendiri sudah sirna ditelan kekecewaan. Itulah kenapa Sebastian sangat mengetahui rasanya jika kekecewaan itu bersemayan di dalam jiwa manusia.
Bermenit-menit tangan Issabel dan Sebastian bertautan, tak satu pun dari mereka ingin mengakhirinya. Sesuatu yang indah jangan biarkan berakhir begitu singkat. Begitulah kata hati Sebastian. Dia pikir sudah sangat mengenal dunia ini. Nyatanya, masih banyak hal yang tak begitu dia pahami. Ya, Sebastian memang cerdas dan bahkan pernah berkuliah di sebuah universitas ternama di kota besar ini. Namun, kecerdasan bukan segalanya dan Sebastian lebih memilih bekerja sebagai tukang sampah daripada menerima tawaran S2 dari universitasnya dulu.
"Kamu ... nggak bosen salaman?"
Akhirnya, Sebastian angkat bicara sambil memiringkan kepalanya dan mengangkat sebelah alisnya. Sebab memang sudah semestinya acara jabat tangan ini diakhiri. Jika salah satu dari mereka tak ingin mengalah, sampai dunia kiamat pun tidak akan pernah berakhir.
"Oh, maaf."
Si gadis spontan melepaskan tangan Sebastian, lalu mengalihkan pandangannya. Dia menunduk. Dan kali ini, keindahan lain Sebastian saksikan di wajah Issabel yang berubah kemerahan. Tak berselang lama, mata bulat kecokelatan Issabel berkaca-kaca. Sebastian seolah-olah melihat bintang-bintang berjatuhan di siang yang terik. Tentu saja, bintang-bintang itu hanya terdapat di bola mata Issabel.
"Ada apa?" tanya Sebastian sambil mengerutkan keningnya.
"Jadi, apa kamu mau nikah sama aku?"
Pertanyaan memang seharusnya memiliki jawaban. Dan sebetulnya, Sebastian tidak bisa melupakan pertanyaan Issabel yang mengejutkan ini. Namun, kali ini Sebastian tak menjawab apa pun selain hanya menghela dan mengembuskan napas.
"Aku ... hamil dan orang yang menghamiliku meninggal karena kecelakaan."
Alasan Issabel adalah satu-satunya tamparan keras yang pernah dirasakan Sebastian.
-II-
Siapa Issabel Allison Sebenarnya
Kebanyakan orang mungkin akan berpikir tentang siapa pelaku di balik tragedi kelam yang dialami Issabel. Entah, karena rasa penasaran atau ada hal lain yang mendorong seseorang untuk mencari tahu. Yang jelas, tidak dengan Sebastian. Dia justru berusaha untuk bisa memahami kondisi dan perasaan Issabel. Siapa yang telah menghamili Issabel tidak begitu penting karena, toh, pada akhirnya dia tidak mengenal pria itu. Yang cukup jelas terpancar dari bola mata Sebastian juga ialah perasaan yang sesak karena melihat kesedihan sangat dalam di mata Issabel.
"Itulah kenapa aku nggak bisa lagi ngelanjutin hidup ini. Aku mungkin terlihat lemah sekarang di matamu. Tapi, aku juga nggak bisa berpura-pura kuat. Hatiku hancur. Hidupku hancur. Bahkan mungkin, rasa sakit yang sekarang aku rasain jauh lebih sakit dari kehilangan nyawa."
Penjelasan yang amat sangat memilukan. Kehilangan sekaligus derita karena menanggung semuanya sendirian ibarat palu yang memukul telak di saat Sebastian berusaha memahami posisi Issabel. Dan kini, anggapannya bahwa hidup ini sangat indah seolah-olah sirna dalam sekejap mata. Ada banyak orang yang tidak bisa menerima kenyataan. Seseorang yang lain tak bisa memaksakan pendapatnya pada yang lainnya. Sebastian merasa begitu bodoh karena tidak bisa memahami semua itu.
"Maaf, aku jadi cerita yang aneh-aneh, ya."
Issabel menundukkan kepalanya. Dia menelan kenyataan yang sangat pahit ini dengan tetap menahan air mata untuk tidak keluar dari maniknya. Sebastian memahami hal itu. Kini, Sebastian justru beranggapan bahwa manusia yang kuat itu adalah gadis seperti Issabel.
"Kamu sangat kuat, ya."
Sebastian angkat bicara setelah bermenit-menit lamanya disekap dalam keheningan. Pikirannya sekarang bertambah rumit. Penuturan Issabel menciptakan cabang-cabang di syaraf otak Sebastian. Mana mungkin dia bisa mengabaikannya begitu saja. Seorang gadis tengah menderita di hadapannya. Dan seperti yang beberapa orang ketahui, Sebastian punya jiwa kepahlawanan yang tinggi. Oleh sebabnya, yang ada sekarang di hatinya ialah perasaan ingin menyelamatkan Issabel dari kehidupan yang kelam ini.
"Kamu sama sekali nggak lemah. Justru, kamu sangat kuat karena berhasil menerima kenyataan pahit yang kamu alami. Aku tahu, kamu mungkin nggak akan semudah itu lompat dari gedung ini. Kalau kamu berniat bunuh diri, pasti kamu udah ngelakuin itu sebelum orang-orang mulai berkumpul di bawah gedung."
Sungguh kini bola mata Issabel jadi berbinar-binar. Dia seolah mendapatkan berlian di dalam lumpur. Setidaknya, Issabel beranggapan seperti itu pada saat perasaannya sudah jauh lebih baik. Dan semua itu berkat Sebastian yang sekarang sedang berusaha menggagalkan aksi bunuh dirinya. Sebetulnya, Issabel hanya membutuhkan perhatian dari seseorang. Bahkan sejak hari kehancurannya dimulai, tak satu pun orang peduli dengan masa depannya. Orang tua? Jangan tanya itu karena Issabel sudah cukup lama tidak bertemu orang tuanya.
Pada sedikit harapan yang tersisa ini, orang yang memberikan perhatian dan sangat peduli terhadapnya justru Sebastian. Ya, lelaki yang tidak dia ketahui latar belakangnya. Persetan dengan latar belakang. Yang jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana seseorang menunjukkan ketulusannya dan memberikan sedikit kepedulian untuk orang yang membutuhkan.
"Kamu orang yang langka, ya."
Issabel tertawa pelan sembari berbalik. Matanya menatap jauh ke gedung-gedung pencakar langit dan keramaian yang ada di bawah sana. Tampaknya, tak ada lagi orang yang peduli. Semua orang yang tadinya berkerumun di bawah gedung, kini lenyap tanpa sisa. Pada akhirnya, yang menunjukkan dirinya adalah manusia kuat hanya Sebastian seorang.
"Orang yang langka?" tanya Sebastian sambil mengerutkan kening.
"Ya. Aku pernah sekali ketemu sama orang seperti kamu. Tapi, aku lupa di mana. Orang seperti kamu yang mengorbankan jam kerjanya hanya untuk menghentikan aksi bunuh diri seorang perempuan itu sangat sedikit jumlahnya."
Pada akhirnya, tidak ada yang bisa Sebastian katakan lagi. Yang jelas, dia sudah sangat senang karena Issabel mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
"Jadi, soal tawaranku, apa jawabanmu?"
Issabel berbalik, lalu menatap Sebastian dengan serius. Sesekali, senyumannya mengembang. Sebaliknya, yang Sebastian lihat dari senyuman itu adalah kepasrahan yang tidak terbatas. Issabel mungkin sudah menggantungkan harapannya pada jawaban yang dia tunggu untuk diucapkan Sebastian.
"Aku cuma tukang sampah dan latar belakangku nggak jelas. Gimana mungkin aku nikahi perempuan seperti kamu yang kelihatannya dari keluarga terpandang. Lagian, nggak ada yang bisa diharapkan dari orang sepertiku," jelas Sebastian, balik menatap Issabel dengan serius.
Sungguh, Sebastian kali ini tidak mau mengalihkan pandangannya dari gadis ini. Sudah semestinya dia menjadi lelaki sejati yang yakin dengan keputusannya sendiri. Baik dan buruk keputusan itu tergantung dari bagaimana seseorang memikirkannya. Issabel saat ini memang menderita. Namun, tidak ada yang menjamin dia akan bahagia setelah menikah dengan Sebastian. Ya, inilah rangkaian pemikiran Sebastian yang pada akhirnya tidak ingin merusak keindahan dunia yang tersembunyi: senyuman Issabel.
"Emangnya siapa yang peduli sama latar belakang? Dan aku tahu kamu tukang sampah yang sering ngambil sampah di kota ini."
Wajar saja Issabel mengetahuinya karena Sebastian hampir sudah masuk di semua instansi kota ini. Mungkin Issabel pernah melihatnya di sebuah gedung atau tempat lainnya. Sungguh itu tak penting bagi Sebastian. Yang mendominasi pikirannya sekarang hanya keputusan yang harus dia ambil. Dia tidak bisa terus-menerus berada di atas gedung ini, mengetahui cuaca hari ini sangat panas meskipun sesekali angin berembus.
Kali ini, Sebastian tersenyum konyol sambil menggeleng-geleng. Sekali lagi, dia berkata dalam hatinya bahwa dia tidak pernah bertemu perempuan seperti Issabel sebelumnya. Meskipun ini sangat menarik dan tawaran dari si gadis bagai permata yang harganya tidak terhingga, Sebastian tetap memilih menjaga keindahan dunia untuk tidak ia hancurkan. Tidak ada yang menjamin Issabel akan bahagia meskipun bersama Sebastian. Lagi pula, pernikahan yang Issabel bicarakan mungkin hanya sebuah cara untuk menutup perasaan malunya di hadapan publik.
"Maaf—"
"Aku nggak mau nerima penolakan!" potong Issabel, cepat.
Sebastian tersentak kaget dan keningnya semakin berkerut. Dia kini melihat Issabel menggeleng-geleng tanpa senyuman seperti sebelumnya. Lagi-lagi, Sebastian terheran-heran. Mungkin ini takdir yang sudah dipersiapkan Tuhan untuknya. Akan tetapi, seperti yang dia katakan pada Issabel, Sebastian tidak memiliki latar belakang yang jelas. Sehingga itulah satu-satunya alasan kenapa dia tak bisa menerima tawaran si gadis. Sebaliknya, Issabel tidak melihat itu sebagai sebuah alasan, tetapi melihatnya sebagai kambing hitam.
Sebastian tidak ingin melihat raut wajah menyedihkan Issabel lagi. Pada akhirnya, dia melebarkan senyuman. Mirip seperti bunga yang merekah di pagi hari dengan embun-embun yang membasahinya. Dan Issabel merasakan kesejukan itu langsung menyerap ke dalam hatinya.
"Jadi, aku nggak bisa nolak, ya."
"Aku nggak mau nerima penolakan. Aku harap kamu penyelamat yang selama ini aku mimpikan dalam sepekan terakhir."
Sebastian mengangguk pelan, lalu menjawab, "Aku mau nikah sama kamu."
Meskipun tidak berada di puncak kebahagiaan, setidaknya Sebastian dan Issabel kini saling berbalas senyuman. Ini momen yang sebenarnya patut diukir di kedalaman hati mereka masing-masing. Untuk kesekian kalinya, angin berembus. Lagi-lagi, poni Issabel berantakan.
"Kalau gitu, besok kamu harus datang ke gedung IA Corp. Temui aku di sana, ya."
Issabel berjalan mengambil tasnya yang tergeletak, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Secarik kertas persegi diberikannya pada Sebastian.
"Aku tunggu kamu, Sebastian."
Tubuh mungil dengan rambut menjuntai hingga punggung ini berjalan pergi melewati Sebastian. Wangi sampo dan parfum yang bercampur menjadi satu ketika rambut itu disingkap dan secara kebetulan tercium oleh hidung Sebastian. Tak lama kemudian, Sebastian membaca kartu nama yang telah Issabel berikan.
"Pemilik IA Corp? Issabel Allison? Jadi, dia pemilik perusahaan itu?"
Inilah dia kenyataannya: tak ada yang dapat menduga sebelumnya kalau IA sendiri adalah singkatan dari Issabel Allison. Gadis bergaun terusan itu ialah pemilik perusahaan terbesar kota ini.
-II-
Sebastian Bukan Pahlawan
Kita sudah membicarakannya berkali-kali dan apa yang dialami Sebastian hari ini bukanlah imajinasi ataupun mimpi belaka. Ini kenyataan yang benar-benar harus dia hadapi dengan seluruh keberanian. Memangnya gadis bodoh mana yang mau melamar pria yang hanya bekerja sebagai tukang sampah? Pertanyaan itu sekarang punya jawaban, yaitu Issabel Allison. Satu lagi, Issabel tidak bodoh. Justru karena dia cerdas, maka IA Corp sangat maju dan berkembang di bawah kepemimpinannya.
Mari kita kembali kepada Sebastian. Laki-laki berseragam biru tua ini berjalan sambil menunduk. Orang-orang yang berpapasan dengannya di tepi jalan terpaksa harus mengambil jalur yang berbeda karena sebenarnya Sebastian seolah-olah menganggap jalan ini miliknya pribadi. Dia berjalan terlalu tengah dan tentu ini mengganggu pejalan kaki lainnya.
“Aku masih nggak percaya kalau semua ini kenyataan. Apa perempuan itu waras? Tapi, nggak mungkin juga dia gila karena kelihatannya emang normal-normal aja.”
Tampaknya, Sebastian belum bisa mengenyampingkan perihal kejadian hari ini. Hal yang begitu wajar mengetahui lelaki ini selama 5 tahun benar-benar tidak pernah berhubungan dengan perempuan mana pun. Walau demikian, ini bukan berarti Sebastian terganggu dengan semua pemikiran tentang Issabel. Justru, dia sangat senang mengenalnya. Karena dengan begitu, dia bisa menyaksikan surga tersembunyi di dunia ini.
“Entahlah. Aku mau balik kerja aja dulu.”
Setelah memutuskan untuk kembali ke tempat kerjanya dan dia tiba dalam waktu sekitar 10 menit, Sebastian saling menatap dengan seorang pria paruh baya. Suasana di antara keduanya cukup canggung dan kelam. Selang beberapa saat, Sebastian menunduk seolah-olah menghindari tatapan si pria paruh baya.
“Ke mana aja kamu, jam segini baru balik?!” tanya pria paruh baya ini, tegas.
Sebastian punya firasat buruk tentang ini. Sebetulnya, dia sudah beberapa kali bermasalah dengan orang ini. Dan seperti yang dia tebak, apalagi dengan melihat ujung kedua alis si pria paruh baya yang terangkat, sudah jelas ini menandakan dia sangat marah.
“Maaf, Pak. Tadi … saya ada halangan. Jadi, saya baru bisa balik,” jawab Sebastian akhirnya.
Suaranya yang amat rendah, kepala yang tertunduk, dan kedua tangan yang disatukan di depan, Sebastian terlihat seolah-olah sangat segan dengan orang di depannya ini.
“Halangan? Halangan apa?”
Memang, Sebastian sudah menebak dari awal kalau dirinya tidak akan bisa menghindar dari pertanyaan beruntun pria paruh baya ini. Bukan karena bisa meramalkan masa depan, tetapi karena Sebastian sudah hafal betul dengan situasi seperti yang tengah dia alami sekarang. Orang di depannya ini adalah atasannya. Sebuah alasan harus terdengar logis di telinganya dan Sebastian berusaha mencari alasan agar dia tidak mengatakan halangan apa sebenarnya yang membuatnya bisa sampai terlambat datang ke tempat kerja.
“Anu, Pak. Saya ….”
“Sudahlah! Saya tidak mau dengar alasanmu, Sebastian! Sudah berapa kali kamu terlambat dalam seminggu ini?!”
Nada suara yang begitu tinggi atau kita katakan saja orang ini membentak Sebastian hingga tersentak kaget. Betul-betul lelaki yang polos, bahkan untuk beralasan saja, Sebastian harus memikirkan berkali-kali kebohongan apa yang akan dibuatnya. Bukan berarti dia tidak ingin mengatakan alasan yang sebenarnya. Sebastian hanya ingin menghindari cacian yang sering kali dia dapatkan dari atasannya ini. Sebab, dia sudah berkali-kali menyatakan alasan seperti: menolong orang di jalan, membantu nenek-nenek menyeberang, membantu orang kecelakaan, dan berbagai tindakan kepahlawanan lainnya.
Sesungguhnya, pria paruh baya ini pun sudah mengetahui alasan apa yang Sebastian ingin katakan. Terlampau sering. Lagi pula, Sebastian tidak pandai berbohong.
“Kamu pasti membantu orang lagi. Kenapa, sih, kamu harus peduli sama orang lain?! Kenapa kamu tidak ingat kalau sedang kerja?! Kenapa kamu harus peduli sama orang lain?! Kamu bukan pahlawan, Sebastian! Kamu pikir kamu pahlawan seperti di film-film?!”
Tidak dimungkiri, setiap kali atasannya ini menyalahkan tindakan kepahlawanannya, Sebastian selalu kesal. Apalagi sekarang dia justru mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Sebastian sangat tidak suka jika harus diatur-atur. Dan jika sudah menyangkut ideologi yang dia anut, kerap kali Sebastian mengumpat di dalam hati. Dia mungkin memiliki tatapan yang tajam, tetapi sebenarnya Sebastian tipikal lelaki yang mudah tersulut emosi. Jangan sekali-sekali menghina ideologinya!
“Maaf, Pak. Saya nggak bisa ngelakuin itu. Saya emang bukan pahlawan, tapi saya manusia biasa yang juga punya perasaan. Gimanapun juga, banyak orang yang nggak beruntung di dunia ini. Selain kita, siapa lagi yang bakalan ngebantu mereka?”
Sebastian berani buka suara kali ini setelah sebelum-sebelumnya hanya terpaku diam sambil mendengarkan ceramah si pria paruh baya berkumis tebal.
“Alah! Persetan dengan membantu orang lain!”
Naik pitam, kedua mata Sebastian membelalak. Baru saja dia akan bergerak untuk mengempaskan tubuh orang di depannya ini, sebuah suara mengurungkan niatnya.
“Tunggu!”
Lugas, Sebastian dan si pria paruh baya menoleh ke kanan. Seorang pria bersetelan hitam tampak berjalan menghampiri mereka. Terlihat bahwa pria ini bukan orang sembarangan. Setidaknya, itu yang Sebastian pikirkan setelah melihat betapa mulusnya mobil si pria bersetelan yang terparkir di tepi jalan.
“Maaf, mengganggu waktu kalian,” ucap pria ini sembari tersenyum hormat pada Sebastian.
Yang terjadi, Sebastian justru mengerutkan keningnya. Dia tidak tahu siapa pria bersetelan ini. Dari yang Sebastian rasakan, pria ini sangat tunduk dan hormat padanya. Atau mungkin hanya perasannya saja?
“Pak, bisa kita bicara sebentar?” tanya pria bersetelan pada atasan Sebastian.
“Oh, bisa, bisa. Mari, masuk.”
Sebelum berjalan masuk ke bangunan kecil tempat kerja Sebastian, pria bersetelan kembali tersenyum ramah padanya. Sebastian mulai berpikir. Hanya saja, dia tetap tidak menemukan satu pun data di kepalanya mengenai si pria.
Sebastian, di sela-sela pikiran tentang pria tadi, dia merogoh saku celananya, mengambil kartu nama milik Issabel Allison. Ternyata, ada banyak hal yang tidak dapat dijelaskan. Sebastian memahami itu dari beberapa kejadian hari ini. Ada banyak orang yang tidak akan mengerti pemahaman yang lainnya.
Sebastian, saat mengingat dirinya hampir saja memukul atasannya, dia merasa begitu buruk. Dengan tangan kanannya, Sebastian mengusap-usap wajahnya.
“Apa yang aku lakuin? Astaga, aku hampir aja mukul atasanku sendiri,” gumam Sebastian sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang.
Tiba-tiba saja, sebuah bayangan muncul di kepala Sebastian yang akhirnya membuat kepalanya sakit seolah-olah tertusuk ribuan paku yang jatuh dari langit. Tak jelas bentuknya bayangan itu. Kepala Sebastian hampir meledak, tetapi setelah sebuah senyuman terlihat jelas di pikirannya, Sebastian membelalak.
“Siapa perempuan itu?” tanya Sebastian dalam hatinya.
Tak lama setelah rasa sakit di kepalanya sirna, Sebastian memasukkan kembali kartu nama ke saku celananya. Pria bersetelan keluar dari bangunan kecil dan berdiri di depan Sebastian. Tidak ada yang pria ini katakan selain hanya memberikan senyuman tipis, lalu berjalan menuju mobil hitam mengilapnya.
“Aneh banget.”
Sebastian berjalan masuk setelah mobil pria bersetelan melaju kencang. Sementara itu, pria paruh baya yang tengah duduk, terlihat menghela napas dalam. Sebastian sebenarnya tidak ingin mengganggu atasannya ini dan berniat kembali bekerja. Namun, pria paruh baya inilah yang langsung menghentikan Sebastian.
“Tunggu, Sebastian.”
Sebastian langsung berbalik dan menatap atasannya dengan canggung. Entah, makna apa yang tersirat dari raut wajah si atasan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Yang jelas, Sebastian merasakan firasat buruk tentang hal ini.
“Sebastian, maaf.”
“Eh?”
Benar-benar konyol. Baru kali ini Sebastian mendengar atasannya ini meminta maaf padanya. Padahal, semestinya dialah yang meminta maaf karena sudah terlambat kembali ke kantor. Sepertinya ada yang tidak beres. Wajah Sebastian menunjukkan keheranan ini dan dia ingat kalau atasannya baru saja bertemu pria bersetelan. Namun, belum pasti gelagat lemas atasannya ini disebabkan oleh si pria bersetelan.
“Kenapa, Pak? Seharusnya saya yang minta maaf. Saya yang salah,” ucap Sebastian.
Pria paruh baya menepuk bahu Sebastian. Senyumannya pasrah. Tatapannya sungguh berbeda dari sebelumnya.
“Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik. Maaf, kalau saya selalu menghina semua tindakanmu yang sering membantu orang lain. Kamu tidak salah.”
Tak pernah terpikirkan di benak Sebastian, atasannya yang selalu membenci tindakan kepahlawanannya ini akan mengakuinya telah bekerja dengan baik. Dan yang jelas, semua ini nyata adanya. Entah karena pengaruh apa. Lantas, mulut Sebastian terkunci rapat. Memangnya, apa lagi yang harus dia katakan? Mungkin masih ada yang harus dia tanyakan. Hanya saja, Sebastian tidak ingin membuat atasannya ini menganggapnya terlalu banyak bicara.
“Mulai hari ini, kamu dipecat, Sebastian. Terima kasih karena sudah bekerja dengan baik. Nasib baik sudah menunggumu. Maafkan semua kesalahan saya.”
Bukan sekadar tamparan keras, tetapi lebih seperti sengatan petir bertegangan tinggi. Sebastian menggeming. Ada banyak hal dari kata-kata atasannya yang tidak dia mengerti.
-II-
Description: Sebastian Prakarsa, lelaki yang gagal menjadi polisi dan menjalani hidupnya sebagai tukang sampah, pada suatu hari melihat seorang gadis di atas gedung sedang mencoba bunuh diri. Karena memiliki jiwa pahlawan yang tinggi, Sebastian berencana menggagalkan aksi si gadis. Namun, yang terjadi: Sebastian diajak menikah oleh gadis yang ternyata seorang Presdir perusahaan ternama.
|
Title: Ramadhan Bersama Anakku
Category: Non Fiksi
Text:
Ramadhan Bersama Anakku
Setiap tahun, Ramadhan selalu menjadi bulan paling berkesan bagiku. Setiap Ramadhan berlalu pun aku selalu merindukannya. Akan tetapi, kesan yang ditinggalkan oleh Ramadhan tahun ini sangatlah istimewa. Ya, pada bulan Ramadhan 1437 Hijriyah ini, aku sedang mengandung seorang anak. Alhamdulillaah, pada saat bulan suci datang, usia kandunganku sudah mencapai tujuh bulan. Bila banyak ibu hamil khawatir tidak dapat menjalankan puasa di bulan Ramadhan atau sudah mempersiapkan fidyah karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan untuk puasa, aku termasuk ibu hamil yang beruntung. Usia kandungan yang sudah memasuki trimester ketiga pada bulan Ramadhan membuatku cukup kuat untuk menjalankan puasa dibandingkan ibu-ibu yang baru memasuki trimester kedua atau bahkan trimester pertama kehamilan.
Beberapa bulan sebelum Ramadhan datang, ketika aku baru saja mengetahui keberadaan janin dalam perutku, aku sudah berdo’a pada Allah azza wajalla agar tetap diberikan kesempatan berpuasa di bulan Ramadhan. Aku tahu bahwa kondisi ibu hamil yang lebih lemah daripada kondisi wanita normal potensial untuk menghambatnya melakukan berbagai ibadah di bulan Ramadhan. Oleh karena itu, jauh sebelum Ramadhan tahun ini datang, aku sudah memohon pada Sang Maha Pemberi untuk melancarkan berbagai ibadahku di bulan Ramadhan dan agar kondisi tubuhku yang pasti melemah sebagai ibu hamil (wahnan ‘alaa wahnin bila merujuk ke Surah Luqman) tidak menghalangi puasa, tarawih, dan tadarusku di bulan Ramadhan.
Menjelang Ramadhan tahun ini, tepatnya sekitar bulan Rajab dan Sya’ban, tanpa disangka aku mendapatkan pekerjaan penerjemahan dan penyuntingan yang lumayan menyita waktu. Awalnya, aku sudah khawatir bahwa proyek yang satu ini akan mengambil waktu luangku, bahkan sampai bulan Ramadhan tiba. Namun, aku tetap berusaha mengerjakan proyek tersebut karena aku menyadari bahwa tanggung jawab pada sesama manusia pun harus tetap dikerjakan sebaik-baiknya seperti halnya tanggung jawab terhadap Allah azza wajalla. Hablumminannallaah dan Hablumminannaas tetaplah harus seimbang. Maka, kulanjutkan mengerjakan proyek ini dan benar saja, tiga hari pertama pada awal Ramadhan, ibadahku tidak dapat maksimal karena masih harus menyunting hasil terjemahan orang lain. Bahkan pada awal bulan ini, aku tidak dapat menyamai target baca Qur’an-ku pada Ramadhan tahun lalu. Aku sadar betul ini suatu kemunduran, karena seharusnya tiap tahun target ibadah Ramadhan kita seharusnya bertambah baik.
Namun, aku tidak menyerah sampai di situ. Aku putuskan untuk menyelesaikan bacaan satu juz tiap hari untuk mengejar ketertinggalanku. Tentunya, target satu juzku ini tidak semudah tahun sebelumnya, karena pada saat kondisi fisikku sedang melemah karena hamil, aku juga tetap harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebagai seorang istri dan tetap harus melaksanakan kewajibanku mengajar di kampus dan membimbing skripsi mahasiswa. Kadang satu juz pun tidak tercapai dalam sehari karena kesibukan duniawiku ini. Bahkan ada satu hari yang kulalui terasa begitu berat, yang menyebabkan aku berbuka puasa juga karena khawatir mengganggu kesehatanku dan bayiku.
Meskipun demikian, secara umum, aku tidak dapat menyalahkan kehamilan ini. Aku malah sangat bersyukur karena anak dalam kandunganku ini tidak rewel. Bila kudengar cerita-cerita dari ibu-ibu lain tentang masa hamil mereka di bulan Ramadhan, sebagian besar dari mereka pasti menceritakan lemahnya ketahanan fisik mereka dalam menjalankan ibadah puasa. Banyak dari mereka merasa “tidak tega” pada si bayi dalam perut untuk melanjutkan puasa. Sebagian dari mereka ada yang membayar qodho puasa. Sebagian lagi bahkan ada yang tak sanggup membayar qodho puasa karena banyaknya jumlah hari yang terlewat di bulan Ramadhan, sementara pada tahun berikutnya mereka harus menyusui.
Alhamdulillaah, anakku sangat dapat diajak kompromi dalam hal puasa Ramadhan. Dia anak yang cukup kuat menahan puasa. Memang rasa laparku selama puasa jadi bertambah dibandingkan ketika aku tidak berbadan dua, tapi sebagian besar hari di bulan Ramadhan ini kulalui dengan lancar (terlepas dari satu hari ketika aku terpaksa berbuka yang sudah kuceritakan sebelumnya). Alhasil, hutang puasa Ramadhanku tahun ini hanyalah satu hari. Sungguh ini adalah hikmah yang luar biasa atas kehamilanku di bulan Ramadhan ini. Sebagai seorang wanita, sejak mulai baligh hingga sekarang, baru kali ini puasa Ramadhanku hanya bolong sehari. Sungguh, keberadaan anak ini dalam rahimku benar-benar memudahkan pembayaran qodho puasa Ramadhanku tahun ini. Maasyaa Allaah. Tabarakallaah. Aku bersyukur karena anugerah ini.
Sebagai balas budi kepada anakku yang sudah bersikap sangat kooperatif selama bulan Ramadhan ini, aku akan terus menerus mendo’akan kebaikannya di dunia dan akhirat. Semoga anak ini dapat lahir dengan sehat dan selamat dan tumbuh menjadi anak yang soleh. Khususnya pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan kemarin, aku memperkuat do’a-do’a yang kupanjatkan pada Allah azza wajalla untuk calon putraku ini. Aku berharap dia akan menjadi seorang yang ahli puasa, ahli membaca dan menghafal Qur’an, ahli solat tarawih, ahli menahan lisan dari perkataan buruk, dan ahli berbagai ibadah lainnya yang biasa dilakukan manusia di bulan Ramadhan. Aku juga mendo’akan agar aku dan ibu-ibu Muslimah lain dipermudah dalam melaksanakan berbagai ibadah di bulan Ramadhan untuk Ramadhan-Ramadhan seterusnya, bahkan pada saat kita sedang hamil. Aku pun berharap semoga akan semakin banyak anak-anak Muslim yang rajin dan kuat melaksanakan berbagai ibadah di bulan Ramadhan. Aku berharap, semoga ibadah-ibadahku dan kaum Muslimin di bulan Ramadhan diterima dan diikuti dengan perbaikan-perbaikan ibadah di bulan-bulan selanjutnya sepanjang tahun hingga bertemu Ramadhan lagi.
Begitulah, kehamilanku menjadi hikmah Ramadhan yang sangat berharga tahun ini. Aku sangat bersyukur bahwa Allah azza wajalla memberikan anak ini pada waktu yang sangat tepat. Seandainya waktu awal hamilku lebih awal dari November tahun lalu, mungkin pada bulan Ramadhan aku masih mengalami nifas atau tidak kuat berpuasa karena proses menyusui lebih berat daripada proses hamil (menurut ibu-ibu yang pernah merasakannya). Bila waktu awal hamilku melewati November tahun lalu, mungkin usia kandunganku belum mencapai trimester ketiga pada bulan Ramadhan tahun ini dan aku semakin tidak sanggup untuk melaksanakan puasa Ramadhan. Namun, Allah memberikanku waktu kehamilan yang tepat. Dia telah menjawab do’aku pada masa awal kehamilan agar tetap dapat berpuasa Ramadhan, bahkan sebelum aku memintanya. Alhamdulillaahilladzii bini’matihii tatiimusshoolihaat.
Description: Sebuah kisah nyata mengenai pengalamanku menjalankan puasa di bulan Ramadhan ketika hamil.
|
Title: Rinai Rindu dari Langit
Category: Novel
Text:
Prolog
Sore itu Luna tampak sangat manis dalam balutan mini dress bermotif polkadot. Seperti biasa, setelah tidur siang sepulang sekolah, waktunya bermain. Luna menyeret Bara ke belakang rumah. Di sana ada rumah pohon yang kemarin baru selesai dibuatkan Papa. Ia minta tolong kepada Bara untuk menaikkan beberapa peralatan masak-memasak yang selama ini memang sering dimainkannya. Juga sebotol minyak tanah yang diselundupkannya dari dapur. Tentu saja tanpa sepengetahuan Mama. Katanya, untuk meresmikan rumah pohon itu, ia akan memasak sesuatu untuk Bara. Tentu saja Bara tahu itu hanya lelucon. Mana bisa Luna masak? Selama ini yang disebutnya masakan hanya kumpulan daun-daun yang dipetik sembarangan, kemudian direbus hingga mendidih. Sama sekali tidak bisa dimakan. Kendati demikian, Bara tampak antusias. Sebab apa-apa yang dikerjakan bersama teman sedari lahirnya itu, memang selalu menyenangkan.
Berkat kerjasama yang baik, seluruh peralatan berhasil mereka naikkan ke rumah pohon berdinding tripleks yang tingginya sekitar dua meter itu. Luna mengatur perabotannya. Bara menurut ketika disuruh ambil ini-itu. Setelah dianggap rapi, Luna bersiap untuk memasak. Berbekal setumpuk kertas bekas, ia membuat api dalam tungku yang terbuat dari kaleng bekas. Setelah api berkobar, ia meletakkan panci yang sudah diisi air di atasnya. Sambil menunggu mendidih, ia menyiapkan bahan-bahan berupa aneka macam daun. Bara ikut mengiris daun-daun itu hingga berubah bentuk menjadi bagian-bagian kecil menyerupai mi. Setelah selesai, Luna cekatan memindahkannya ke dalam air yang mulai mendidih. Saat itulah bencana bermula. Tangan Luna tidak sengaja menyenggol botol minyak tanah yang berada tepat di samping tungku. Isinya tumpah dan menyebar di permukaan lantai papan. Dalam sekejap api di dalam tungku langsung berpindah ke lantai, menjilat apa saja yang ada di sekitarnya.
***
Mimpi Buruk
"Begitu banyak hal menarik di dunia ini yang bisa dinikmati cuma-cuma, senyum pemuda ini salah satunya."
---
Api merambat dengan cepat, menjilati apa saja yang ada di depannya. Kobarannya serupa amukan iblis yang berhasil memporak-porandakan keimanan seseorang. Tak butuh waktu lama, rumah pohon berdinding tripleks itu sudah berada dalam lumatan si jago merah. Nahas, seorang gadis kecil terjebak di dalamnya. Ia meraung katakutan, lalu perlahan-lahan suaranya menghilang ketika api mulai menjalar hingga ke jantungnya.
"TIDAAAK!" Jeritan menggema memenuhi sebuah unit kosan di kawasan BTP, mengusik sepi pukul satu dini hari. Disusul pula dengan suara pantulan beling yang kemudian pecah dan berserak di lantai.
Ketika teriak tadi, Bara tersentak dari tidurnya, terangkat dari mimpi buruk yang belakangan terlalu sering menghinggapi tidurnya. Tangannya menyenggol gelas berisi setengah air putih yang tadinya terletak di sudut meja. Sekilas ia menunduk, menatap posisi jatuhnya gelas tadi. Nanti saja membersihkan serakan beling dan genangan air itu, sebab pola napasnya saja belum normal.
Pemuda berambut lurus agak kecokelatan itu mengalihkan pandangan ke arah jam dinding yang menempel di sisi kanan kamarnya. Ia mengusap wajah, menenangkan diri dari mimpi yang membuat detak jantungnya menggila. Bahkan dadanya masih naik turun dengan cepat, letupan di dalamnya belum usai. Ia meluruskan kaki dan merapatkan punggung. Lehernya dilemaskan hingga kepalanya terkulai dan mendarat di pucuk sandaran kursi plastik berwarna putih yang didudukinya. Tatapannya meresap ke langit-langit kamar, menembus plafon bercat kusam.
Tok tok tok ....
Seseorang di luar sana mengetuk pelan pintu unitnya, membuat Bara tersadar dari lamunan, juga mimpi buruk tadi, yang diam-diam kembali terputar di kepalanya.
Bara menghela napas panjang, kemudian lekas beranjak membuka pintu. Ia mendapati Rana berdiri di ambang pintu. Gadis itu mengenakan mukena. Sepertinya baru selesai shalat tahajud, ibadah malam yang memang tidak pernah ditinggalkannya.
"Kamu mimpi buruk lagi?" tanya Rana. Kecemasan membaluri tatapannya.
Bara mengangguk pelan.
"Pasti karena tidur sembarangan. Kamu nggak baca doa sebelum tidur, kan?"
Bara hanya tersenyum miring, senyum khas yang mengandung pembenaran, rasa bersalah, dan sedikit niat untuk berubah.
Rana menggeleng samar. Kemudian ia memiringkan kepala. Dari balik punggung Bara, ia memindai sesuatu di dalam. Benar saja, laptop kesayangan tetangga unitnya itu masih dalam kondisi terbuka di atas meja.
"Astaga, kamu nulis sampai ketiduran lagi?" tanya Rana yang lebih bernada tebakan.
Lagi, Bara hanya tersenyum miring, kemudian kembali mengenyakkan diri di kursi tadi. "Waktunya semakin mepet, Ran. Aku harus ikut lomba itu. Aku sangat penasaran ingin menguji kemampuanku di sana. Kalau bukan sekarang, artinya harus nunggu dua tahun lagi. Dua tahun itu lama, loh."
"Tuhan mencintai hamba-Nya yang pekerja keras, mau berjuang sungguh-sungguh untuk mewujudkan impiannya. Tapi tidak juga sampai dipaksakan begini. Kalau kamu sakit, gimana?"
Lama-lama Bara mendengar ocehan Rana persis seperti ocehan ibunya di kampung. Entah sejak kapan pemilik bulu mata lentik itu merasa punya hak untuk mengurusi hidup Bara, mencampuri apa-apa yang lelaki itu lakukan. Tapi Bara tidak pernah sekali pun merasa terganggu. Ia malah senang. Lebih tepatnya, Bara merasa terbantu dengan kehadiran Rana. Rana bahkan lebih tepat waktu dibanding alarm untuk membangunkan Bara saat pemuda itu ada kuliah pagi. Memori Rana lebih kuat dibanding memo digital untuk mengingatkan hal-hal penting kepada Bara. Di beberapa kasus, Rana tidak keberatan ketika Bara menitip pakaiannya untuk disetrika, dengan alasan ia buru-buru dan harus segera mandi. Rana juga sering berbagi makanan. Namun yang lebih penting, Rana pendengar yang baik, dan selalu ada buat Bara. Mungkin kedengarannya berlebihan, tapi seperti itulah kehadiran Rana dalam hidup Bara.
Rana bermaksud kembali ke unitnya, ketika matanya tertuju pada pecahan beling yang masih dibiarkan berserak di lantai.
"Astaga!" Rana merangsek masuk. "Kenapa ini malah dibiarin?" Ia langsung meraih sapu dan pengki yang teronggok di sudut kamar. "Kalau kena kaki bahaya, loh. Bisa terluka, infeksi, lama-lama diamputasi." Rana cekatan membersihkan beling-beling itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Kalau sudah seperti itu, Bara hanya bisa menggeleng samar sambil tersenyum geli. Ia sudah terbiasa menghadapi kekhawatiran Rana yang memang suka over. Tapi sekali lagi, Bara suka.
"Luna datang lagi," ucap Bara tiba-tiba.
Gerakan Rana yang sedang mengembalikan sapu dan pengki ke tempat semula, mendadak memelan. Seharusnya reaksinya tidak perlu seperti ini lagi saat mendengar nama itu meluncur dari mulut Bara. Tapi sekarang ia tidak bisa menghindar dari perasaan aneh yang mendadak membuatnya tidak sesemangat tadi. Hatinya seperti baru saja terbentur sesuatu. Entah, nama itu selalu mampu membuat Rana melemah seperti ini. Semoga ada kata yang pas merangkum semua ini selain cemburu, karena ini terlalu pelik untuk disebut cemburu.
"Bukannya memang selalu datang?" balas Rana dengan posisi masih membelakangi Bara.
"Lebih sering akhir-akhir ini."
Rana hanya menghela napas panjang.
"Apa karena ia tidak setuju aku menulis tentangnya?" Bara menegakkan punggung, tatapannya beralih ke laptop di atas meja. Ia menekan tombol power. Monitor yang menyala kemudian menampilkan penggalan draft novel yang ditinggalnya tidur tadi. Di naskah yang rencananya akan ia ikutkan dalam lomba novel dwi tahunan bergengsi tingkat nasional itu, ia memang bercerita tentang Luna, gadis kecil dari masa lalunya.
Bagi Bara, menulis kisah tentang Luna adalah upaya untuk menantang diri sendiri. Kali ini ia mencoba keluar dari zona nyaman, menulis kisah yang agak melenceng dari genre romance yang digelutinya selama ini. Ia bercerita tentang persahabatan dari sudut pandang anak berusia delapan tahun, juga upaya penerimaan takdir seorang pemuda yang mendapati hidupnya jalan di tempat.
"Harusnya kamu yang lebih tahu." Rana bersandar di bingkai pintu, merespons seadanya.
"Semoga Luna tidak keberatan. Aku ingin mempersembahkan kisah persahabatan kami kepada dunia, keseruan yang hanya pernah jadi milik kami berdua." Secepat itu semangat Bara kembali terkumpul. Senyumnya mengembang sedemikian lebar.
"Bahkan ketika biru berpaling dari langit, kami tetap bisa menjadikan hari itu istimewa. Dengan tawa-tawa kami, dan sesuatu yang tidak dimiliki oleh siapa pun di dunia ini. Hanya milik kami!" Demikian Bara membacakan penggalan paragraf di monitor laptopnya dengan suara lantang. "Keren, kan?" tanyanya kemudian.
Rana hanya mengangguk sambil tersenyum lemah saat Bara menoleh ke arahnya. Ya, apa-apa tentang Luna memang sangat menarik dari sudut pandang Bara. Kisah tentang gadis kecil itu seolah tak pernah habis di kepala Bara. Bahkan semakin tumbuh dari hari ke hari, seolah mereka masih sering bertemu dan bermain seperti dulu. Semesta hidup Bara seolah telanjur dipenuhi gadis kecil itu.
Jujur, Rana iri, dan kadang lelah pura-pura turut bahagia. Tapi perasaan sumbang itu lekas lenyap, ketika Rana menyadari satu hal, jika Luna satu-satunya orang yang bisa membahagiakan Bara, maka Bara adalah satu-satunya orang yang bisa membahagiakannya. Entah bahagia seperti apa. Yang jelas, Rana bahagia melihat Bara bahagia. Meskipun kebahagiaan Bara semu belaka, karena hanya berangkat dari masa lalu, dari seseorang yang sudah lama tiada.
Rana kembali tesenyum lemah memperhatikan ekspresi Bara saat membaca ulang kalimat per kalimat yang sudah ditulisnya, jembatan-jembatan kecil yang membawanya kembali ke masa itu, dunianya bersama Luna. Lihatlah, Bara seakan lupa masih ada Rana di sana. Rana sudah terbiasa dengan Bara yang seolah punya kepribadian ganda saat bersinggungan dengan masa lalu tentang Luna. Bara yang super gokil, bawel, rada gila, bisa mendadak kalem saat mengenang gadis dari masa kecilnya itu. Entah kapan Rana merasa bahagia hanya dengan berada di dekat lelaki itu. Tahu-tahu ia sedemikian sering menyebut namanya di akhir sujud, menjadikannya serbuk sari yang akan membuahi putik di pohon harapannya.
Ngomong-ngomong soal Bara, Rana mengenalnya sejak lelaki itu tiba-tiba mengetuk pintu unitnya sekitar jam sepuluh malam waktu itu, hanya untuk pinjam setrika. Katanya, besok hari pertama OSPEK, dan ia akan dihukum kalau kemeja putihnya kusut. Tambahan, setrikanya ketinggalan di kampung, dan ia belum sempat beli. Tentu saja Rana tidak keberatan meminjamkannya. Bahkan dikasih semprot pelicin juga. Dan selama lebih tiga tahun, Bara merasa tidak pernah ada waktu untuk beli setrika. Ia telanjur nyaman berbagi setrika dengan Rana, salah satu alasannya merecoki gadis yang tampak lebih dewasa dari umurnya itu setiap saat. Mungkin karena setiap kali datang meminjam setrika, ia bisa sekalian nyolong camilan dari kamar Rana.
"Ya udah, aku balik ke kamar, ya. Lebih baik sekarang kamu tidur. Nanti kuliah pagi, kan?"
"Ibu Peri juga shift pagi, kan?" Bara malah balik bertanya.
Rana mengangguk.
"Sip. Berangkat bareng, ya." Bara menaikturunkan alisnya sambil tersenyum kocak, ekspresi yang selalu menyadarkan Rana, begitu banyak hal menarik di dunia ini yang bisa dinikmatinya secara cuma-cuma. Senyum pemuda ini salah satunya.
Rana kembali mengangguk sebelum berlalu sambil menarik pintu.
Ibu Peri ....
Rana tersenyum geli sambil melangkah memasuki unitnya. Rana ingat betul, kapan pertama kali Bara memanggilnya "Ibu Peri". Pagi itu, saat Bara mengembalikan setrika. Kata Bara, Rana seperti ibu peri yang sudah menyelamatkannya di saat kepepet. Tingkahnya sukses menghibur pagi Rana. Berawal dari lelucon, selanjutnya panggilan ajaib itu malah melekat. Rana sama sekali tidak mempermasalahkannya. Ia malah menganggap panggilan itu sebagai penegas kedekatannya dengan Bara. Meskipun di saat-saat tertentu panggilan itu akan menyadarkan seperti apa posisinya di sisi Bara, sebatas penolong. Tapi sekali lagi, selama Bara senang, bahagia, ia pun sama.

***
[Bersambung]
Saya butuh pendapat Readers untuk part pertama ini. ðŸ˜
Follow Ig penulis (@ansar_siri)
Makasih.
Salam santun.
Seseorang Berjiwa Penolong
"Rana mungkin memang belum bisa disebut muslimah sejati, tapi setidaknya ia menutup auratnya dengan baik."
---
"Selamat pagi, Ibu Peri."
Sapaan yang sengaja dimanis-maniskan itu menyambut Rana saat baru keluar dari unitnya. Kesibukan Rana mencari kunci di dalam tasnya terjeda. Gadis bekerudung biru itu mengangkat pandangan, menatap Bara yang sudah siap di atas motor matic-nya. Seperti biasa, ia hanya membalas dengan senyuman, lalu beralih menutup pintu unitnya dan menguncinya dengan baik.
"Kamu tidur, kan?" tanya Rana sambil melangkah mendekat.
"Ya iyalah. Aku bukan perangkat elektronik yang bisa beroperasi menggunakan tenaga surya."
"Yakin?"
"Soal tidur atau perangkat elektronik?" Bara pura-pura berlagak bego.
Rana hanya berdecak sambil geleng-geleng. Kemudian ia menarik tengkuk Bara, mendekatkannya ke kaca spion.
"Tuh, mata panda."
"Oh, ini salah satu ciri cogan yang dipatenkan belum lama ini."
"Di?"
"Di ..." Bara memutar bola mata sambil berpikir. "Di dunia kami. Duniaku bersama Luna."
Sepagi ini Rana sudah mendengar nama itu lagi, membuat semangat beraktivitas yang tadinya sudah terhimpun, terurai perlahan-lahan.
"Oh, terima kasih. Berkat Ibu Peri, aku punya ide cemerlang untuk novelku."
Rana mengernyit tidak paham.
"Aku akan menambahkan hal-hal ajaib yang hanya ada di dunia kami," imbuh Bara penuh semangat.
"Kamu nulis cerita fantasi, ya?"
"Bukan! Ini bukan cerita fantasi, tapi tentang aku dan Luna."
"Asal kamu bahagia, deh." Ekspresi di balik senyum Rana saat ini antara jengkel dan geli, membuat wajahnya sesaat tampak aneh. "Intinya sekarang, kita lagi ada di dunia nyata. Artinya, kita harus segera berangkat kalau nggak mau terlambat."
"Siap!" Bara sigap menstarter matic-nya.
***
Sudah terlampau sering Rana melalui momen seperti ini bersama Bara. Pertama kali Bara memberinya tumpangan, katanya sebagai bayaran karena sudah dipinjami setrika plus semprotan pelicin. Awalnya Rana menolak. Tapi karena kampus Bara dan toko bunga tempatnya bekerja kebetulan searah, sepertinya sama sekali tidak merepotkan. Rana nebeng atau tidak, Bara tetap akan melewati toko bunga itu. Rana bersyukur, berkat Bara sering memberikan tumpangan saat berangkat kerja–begitu pun saat pulang kalau kebetulan jamnya cocok–ia bisa lebih hemat. Jatah ongkos angkot ia tambahkan ke uang bulanan yang rutin ia kirim ke ibunya setiap bulan untuk keperluan sekolah adik-adiknya di kampung, juga untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
Rana mungkin memang belum bisa disebut muslimah sejati, tapi setidaknya ia menutup auratnya dengan baik. Rana memang tidak menolak menjalin pertemanan dengan lawan jenis hingga sedemikian akrab, tapi ia sudah memasang garis tegas yang haram untuk dilanggar. Meski tidak bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, wawasan Rana sangat terbuka untuk menerima hal-hal baru tanpa melupakan norma-norma agama yang dipelajarinya sejak kecil. Mungkin hal itu yang membuat Bara–yang rada gila–betah bersahabat dengannya.
Bara menghentikan laju motornya di pelataran Toko Sakura, toko bunga tempat Rana bekerja.
"Nanti sore kalau mau balik, kabari, ya! Siapa tahu aku masih di luar."
Rana hanya mengangguk, meski sebenarnya ia enggan melakukannya. Karena seperti yang pernah terjadi beberapa kali, Bara tetap datang menjemputnya meskipun tadinya penyuka warna putih itu sudah istirahat di kos. Kalau demikian namanya bukan lagi nebeng, tapi merepotkan.
Berselang beberapa detik, sebuah sedan hitam juga tiba. Bian muncul dari balik pintu kemudi. Lelaki berusia 27 tahun itu selalu tampil rapi dengan kemeja tiga perempat yang dijodohkan dengan celana bahan slim fit dan pantofel berbahan kulit kualitas premium. Sebagai pemilik toko, tidak ada yang mengharuskannya datang sepagi ini. Terlebih sudah ada Rana selaku supervisor yang akan memastikan operasional toko berjalan sesuai SOP. Tapi bukan Bian namanya kalau ia hanya tinggal diam tunggu laporan. Ia senang terlibat langsung. Terlebih di pagi hari seperti sekarang. Ia selalu mengawasi bagaimana cara kerja pegawainya di pagi hari, terutama saat menyiapkan bunga-bunga di pajangan. Meskipun sudah sering mencontohkan langsung, terkadang Bian masih ragu pegawainya tahu cara memperlakukan bunga yang masih segar dan sudah berumur. Ya, kedengarannya memang sangat perfeksionis, tapi Bian demikian orangnya.
"Selamat pagi, Om," sapa Bara dengan tingkah khasnya, sama saja saat ia menyapa Rana dengan sebutan "Ibu Peri", tanpa beban.
Merasa tidak enak, Rana langsung menyikut pinggang Bara. Padahal Rana sudah sering mengingatkan sahabatnya ini, tidak sopan menyapa bosnya dengan sebutan "om". Terlebih sambil cengar-cengir sok akrab seperti sekarang. Bara tidak mungkin lupa, tapi Rana akan memperingatkannya lagi nanti.
"Pagi!" balas Bian sambil menutup pintu mobilnya. Ekspresinya datar dan kaku. Jangankan tersenyum, mulutnya bahkan tidak benar-benar terbuka saat melontarkan satu kata tadi.
"Saya duluan, ya, Om. Bye!" Bara melambaikan tangan sebelum menstarter matic-nya.
Rana menggerutu dalam hati. Anak itu benar-benar membuatnya salah tingkah di depan Bian. "Maaf, ya, Pak. Teman saya itu emang rada gila."
Sudah sering Bian mendengar permintaan maaf seperti itu dari Rana. Padahal menurutnya tidak perlu. Setiap kali tidak sengaja bertemu saat mengantar atau menjemput Rana, Bara memang selalu menyapanya dengan sebutan "om". Awalnya Bian memang kaget, tapi lama-lama sudah terbiasa. Toh, Bara bukan pegawainya yang harus bersikap formal dengan panggilan "pak". Bian sudah terlampau sibuk memikirkan strategi untuk mengembangkan usahanya, ketimbang mengurusi hal-hal sepele.
***
"Sial!" Bara merutuki kecerobohannya ketika motornya mendadak berhenti di ruas Jalan Pettarani. Demi tidak menganggu pengendara lain, Bara lekas turun dan mendorong motornya ke pinggir. Setelah merapat di trotoar, ia melirik jarum indikator bensin yang terkulai lemas.
Bara menghela napas pasrah bercampur jengkel. Padahal di jalan tadi ia melewati dua SPBU. Hal-hal sepele macam ini yang belum berhasil Bara benahi dalam hidupnya sejak dulu.
Sadar mengeluh tidak akan memperbaiki keadaan, Bara memutuskan untuk mendorong motornya hingga menemukan penjual bensin eceran. SPBU berikutnya lumayan jauh dari sini.
Matahari pukul delapan kurang lima belas menit sejatinya masih sehat untuk digunakan membakar kalori. Namun jangan salah, di tepi jalan besar berkendaraan padat seperti ini sengatnya hampir menyamai tengah hari. Berkali-kali Bara menyeka keringat di keningnya, juga di leher yang bahkan sudah membasahi kerah kemeja dongkernya.
"Kenapa?" Suara itu sebenarnya tidak tertangkap jelas di telinga Bara. Maklum, hadirnya tiba-tiba. Di tengah riuh suara kendaraan pula.
Bara menoleh, mendapati sosok berjaket kulit di atas ninja merah yang tiba-tiba berhenti di sampingnya. Meski sudah mendengar suara sopran barusan, Bara tidak yakin wajah di balik helm full face itu benar-benar wajah perempuan.
"Motormu kenapa?" tanya perempuan itu lebih jelas setelah membuka kaca helmnya.
Bara terkesiap. Meski matanya sama sekali tidak dihias apa-apa, Bara cukup tahu itu mata perempuan.
"Kehabisan bensin, Mbak," jawab Bara. Punggung tangannya sekali lagi menyeka peluh di kening.
Sedetik kemudian perempuan itu langsung menarik gas motornya dan melesat begitu saja tanpa berkata apa-apa, membuat Bara terbengong sesaat. Ia memang tidak berani mengharapkan bantuan dari seorang perempuan, tapi juga tidak menyangka cara singgah dan perginya perempuan tadi segaib itu.
Bara menggeleng tak habis pikir, lalu kembali mendorong motornya. Ia tetap awas, mengedarkan pandangan di kedua sisi jalan. Yang tampak hanya toko-toko besar dan beberapa warung makan. Sama sekali tidak ada penjual bensin eceran.
Bara kembali berhenti saat menyadari di depan sana ada pengendara motor yang nekat melawan arah. Orang itu tidak memedulikan suara klakson yang bersahutan. Sudah salah pakai kencang pula. Bara lebih merapat ke sisi trotoar, bersiap memberi jalan ke pengendara itu. Tapi, pengendara itu malah berhenti di depan Bara. Ninja merah, jaket kulit, helm full face .... Astaga! Bara baru sadar, orang ini perempuan yang tadi. Ia mau apa lagi? Setelah cuma bertanya lalu pergi begitu saja, sekarang mau menunjukkan keberaniannya melawan arah, gitu? Bara benar-benar tidak habis pikir.
"Nih!" perempuan itu menyodorkan kantong plastik berisi sebotol bensin. Bara yakin itu bensin, aromanya langsung tercium.
Seketika asumsi-asumsi negatif dalam benak Bara langsung runtuh.
"Buruan!" Perempuan itu tak habis pikir, lelaki di depannya masih diam saat disodori sesuatu yang sangat dibutuhkannya saat ini.
Bara terkesiap. Entahlah, jiwa-jiwa penulisnya sedang terusik, membayangkan tokoh perempuan yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran, atau agen khusus yang sedang pura-pura menolong lelaki lugu. Ah, lupakan! Saat ini ia benar-benar butuh bensin itu.
Kernyitan Bara berganti senyum, lalu menerima pemberian perempuan itu. Ia lekas membuka sadel motornya dan menuang hingga tandas bensin itu ke dalam tangki.
"Berapa?" tanya Bara sambil mengeluarkan dompet dari saku belakang jinsnya.
"Aku nggak lagi jualan bensin, loh."
"Tapi bukan berarti bensin orang kamu bawa kabur gitu aja, kan? Kamu pasti bayar, kan? Nah, aku mau gantiin uang kamu."
"Ah, nggak usah." Perempuan itu mengibaskan tangan sambil tertawa ringan. "Cukup balikin botolnya aja."
"Serius, nih?" Bara memasang tampang tidak enak.
Perempuan itu mengangguk, lalu mengambil alih botol kosong yang sudah dimasukkan kembali ke kantong plastik dari tangan Bara. "Ya udah, aku duluan, ya!"
Bara hanya mengangguk, masih tidak habis pikir bagaimana Tuhan mengatur pertemuannya dengan perempuan ini. Berhenti dan menegur tiba-tiba, pergi begitu saja, datang melawan arah, lalu memberikan sebotol bensin gratis. Serius, kejadian pagi ini bisa dikembangkannya jadi kerangka novel.
"Lain kali ingat, tuh, bensin. Jangan cuma anak orang yang diingat mulu," seloroh perempuan itu sambil memutar motornya, lalu kembali melesat seperti tadi.
Bara butuh waktu beberapa detik untuk benar-benar yakin, dirinya tidak sedang berada dalam scene sebuah film. Ini nyata. Sudah lama ia tidak bertemu sosok berjiwa penolong seperti perempuan tadi. Sosok yang kemudian mengingatkannya pada Luna.
***
[Bersambung]
Ketemu Luna?
"Ternyata setidakmenyenangkan ini bersaing dengan seseorang yang sudah tiada."
---
Selain bunga potong, Toko Sakura juga menyediakan bunga plastik atau kain yang tentu saja jauh lebih awet. Kendati demikian, bunga potong jauh lebih diminati. Kata mereka, bunga potong malambangkan kesungguhan. Memang, sih, yang asli tidak akan pernah kalah dengan yang palsu.
Selain bebungaan, di toko yang terletak di Jalan Urip Sumiharjo itu juga menyediakan aneka suvenir dan benda-benda lucu yang cocok dijadikan kado untuk orang spesial. Toko yang beroperasi dari pukul delapan pagi hingga pukul sepuluh malam itu pengunjungnya terbilang statis. Hanya sesekali agak ramai di waktu sore.
Sejak kecil Rana suka dengan bunga. Di kampung, ia punya kebun bunga di samping rumah. Sudut-sudut teras rumahnya pun dihiasi bunga-bunga dalam pot beragam ukuran. Ada juga yang digantung dengan jarak beraturan. Sayang, ditinggal Rana, mereka tak sesubur dulu. Ibunya sudah cukup kewalahan mengurusi ketiga adiknya. Beliau tidak ada waktu mengurusi bunga-bunga itu. Karena itu, bisa bekerja di Toko Sakura membuat Rana seperti memasuki surga setiap hari. Rasa bersalahnya karena terpaksa menelantarkan tanaman-tanamannya di kampung, Rana bayar tuntas di sini. Ia memperlakukan bunga-bunga di toko itu penuh kasih sayang, setulus hati. Hal itulah yang tampak di mata Bian, yang kemudian memutuskan untuk mengangkat Rana menjadi supervisor di tahun kedua masa kerjanya.
Merasa terlalu cepat, Rana sempat menolak waktu itu. Terlebih ada yang lebih senior darinya. Ia merasa belum pantas dan agak tidak enak. Ia takut tidak lagi merasakan suasana kerja senyaman dulu jika menerima tawaran itu. Tapi Bian terus meyakinkan, hanya Rana yang pantas mendapatkan jabatan itu. Meskipun sejak awal Bian menaruh rasa terhadap Rana, tapi ia cukup objektif. Pengusaha muda itu sudah cukup dewasa untuk tidak mencampuradukkan urusan pekerjaan dengan urusan hati. Ia memilih Rana murni karena kinerjanya, bukan karena faktor X. Pada akhirnya Rana bersedia. Lagipula teman-temannya mendukung, sama sekali tidak ada yang iri. Dengan jabatan baru itu, uang bulanan untuk keluarganya di kampung bisa sedikit bertambah. Alhamdulillah. Rana sangat bersyukur atas kepercayaan yang didapatkannya.
Pukul tiga sore, Rana siap-siap untuk pulang. Shift dua sudah datang sejam sebelumnya. Sekarang ia sedang sibuk serah terima tugas dengan Helen, gadis nasrani yang belum cukup setahun bergabung di toko itu. Kendati terbilang baru, hasil kerjanya tidak pernah mengecewakan. Karena itu, peran supervisor diambil alih olehnya di luar shift Rana.
Helen pribadi yang menyenangkan. Selain sering bawa makanan, ia juga paling gampang diajak kompromi soal bertukar shift. Di toko, Helen paling kocak. Sehari saja tidak masuk, orang-orang akan mencarinya. Tapi di balik sikap cerianya, Rana selalu bisa menemukan kesedihan yang mengalun sama-samar di sorot mata gadis berambut ikal itu. Ia seperti menyembunyikan sesuatu, yang belum bisa ia bagi ke teman-temannya.
Pernah sekali Helen mengejutkan Rana, saat tiba-tiba ia mengajukan keinginannya untuk berhijab. Kalau saja Helen muslim, tentu saja Rana langsung mengucapkan hamdalah dan menyambut hangat keinginan temannya itu. Tapi ... keinginan itu datang dari seorang nasrani. Rana benar-benar bingung menanggapinya. Kemudian Rana anggap Helen hanya bercanda waktu itu. Lagi pula ia tidak pernah mengulanginya lagi.
"Assalamuaikum, calon penghuni-penghuni Surga," sapa Bara yang entah sejak kapan tiba di toko itu dan langsung merecoki kesibukan Rana dan Helen.
"Walaikumsalam, calon imamnya orang." Helen yang menjawab, dengan nada yang tak kalah dibuat-buat.
Rana hanya menggeleng geli. Sama-sama rada gila membuat Bara dan Helen langsung nyambung di hari pertama mereka kenalan.
"Ibu Peri, aku ketemu Luna." Sekarang Bara fokus ke Rana.
Mendengar pengakuan barusan, kesibukan Rana yang sedang menyalin ulang daftar pemesan buket bunga yang akan diantarkan nanti malam, terhenti. Tatapan Rana beralih dari buku catatan ke wajah Bara. Ia paham, sahabat yang diam-diam menghuni hatinya itu memang hobi bercanda, tapi kali ini sama sekali tidak lucu.
"Aku ketemu Luna." Bara mengulang saat mendapati Rana mengernyit.
"Bar, aku masih kerja. Kalau mau bercanda, waktunya lagi nggak cocok." Rana mengabaikan pengakuan barusan. Ia kembali ke kesibukan semula.
"Tapi udah mau pulang, kan? Kita pulang bareng, ya."
Rana hanya mengangguk, lalu menunjuk ke arah pintu. Tentu saja Bara sangat paham maksudnya.
"Iya, iya, Bu Supervisor." Bara memanyunkan bibir sebelum memutar badan ke arah pintu.
Sesaat Helen terkekeh dibuatnya, lalu kembali terdiam setelah Rana memintanya lebih serius.
Di depan pintu, Bara berpapasan dengan Bian yang sepertinya baru pulang dari suatu tempat.
"Selamat sore, Om." Seperti biasa, Bara menyapa seakrab itu.
Bian hanya membalas dengan gumaman sambil lalu. Ia langsung menghampiri Rana dan Helen yang masih berkutat dengan proses serah terima tugas di samping meja kasir.
"Kok, belum pulang, Ran?" tanya Bian sambil melepas kancing atas kemejanya. Ia tampak lelah.
"Bentar lagi, Pak." Demi bersikap hormat, Rana menghentikan sejenak aktivitasnya, membalas sepenuhnya tatapan sang bos.
"Pulang bareng Bara lagi?"
"Begitulah, Pak." Rana nyaris tercekat. Entahlah, mengingat sikap selengean Bara, ia selalu tidak nyaman tiap kali Bian melibatkan tetangga unitnya itu di obrolan mereka.
Bian hanya ber-o sambil mengangguk samar. Ia lantas berlalu ke ruangannya, masuk melalui pintu khusus staf di pojok ruangan.
"Duh, enak banget, ya jadi kamu," ujar Helen setelah Bian sempurna menghilang di balik pintu.
"Kenapa?" Rana menoleh sambil mengernyit.
"Diperhatiin dua cowok yang super kece. Satunya mahasiswa kocak calon penulis terkenal, satunya lagi big boss. Kalau aku jadi kamu, pasti bingung pilih salah satunya.
"Kenapa juga harus dipilih? Aku senang bersahabat dengan Bara, dan aku menghargai Pak Bian sebagai atasan. Mereka ke aku biasa aja, kok. Kamunya aja yang lebay."
"Bara itu dengan senang hati ngantar jemput kamu, plus sudah punya panggilan sayang. Demi apa, coba?"
Helen malah menganggap sebutan "Ibu Peri" sebagai panggilan sayang. Rana terkekeh geli dibuatnya.
"Nah, kalau Pak Bian ..." Helen berdecak sebentar, seolah kesulitan merangkai kata selanjutnya. "Pegawainya di toko ini ada enam orang, loh, tapi perhatiannya seperti tadi ke kamu aja. Aku kalau telat pulang, nggak pernah ditegur, tuh."
"Oh, jadi ceritanya kamu iri?"
"Bukan gitu!" sanggah Helen buru-buru, disertai gerakan tangan seperti sedang melap kaca. "Masa kamu nggak ngerasa, sih? Dari dulu Pak Bian suka sama kamu. Di matanya selalu ada pelangi tiap ngobrol sama kamu. Kayak tadi."
"Emang ada?"
"Ada, Ran. Makanya, jadi cewek pekaan dikit."
"Ngaco, deh. Mana ada pelangi di mata? Korban lagu, nih."
Helen hanya mendesah pasrah, lalu mulai fokus meneliti catatan yang baru saja disodorkan Rana.
Sementara Helen memeriksa catatannya, Rana malah termenung. Bukannya ia tidak bisa memaknai setiap perhatian Bian, tapi hatinya telanjur diposisikan menunggu seseorang yang tidak pasti, seseorang yang masih berusaha bertahan dalam bayang-bayang masa kecilnya. Semoga saja sebutan "Ibu Peri" benar-benar panggilan sayang Bara, yang mengindikasikan sebuah rasa yang akan mekar pada waktunya. Tak peduli selama apa waktu yang dibutuhkan. Rana akan menunggu seperti yang telah dilakukannya tiga tahun ini.
Ternyata setidakmenyenangkan ini bersaing dengan seseorang yang sudah tiada. Rana benar-benar bingung harus berbuat apa. Kalau saja Luna masih hidup, Rana bisa saja merelakan Bara untuknya. Kemudian ia bisa mengubur perasaannya perlahan-lahan. Tapi ini kasusnya beda. Ia tidak mungkin merelakan Bara untuk tetap hidup di masa lalu. Karena itu ia berjuang keras untuk memenangkan hati Bara, memberinya masa depan yang tidak kalah indah dengan masa lalunya. Rana sadar, ia tidak mungkin menggantikan posisi Luna. Ia hanya ingin seberuntung gadis kecil itu, yang bisa sedemikian berarti dalam hidup Bara.
Ngomong-ngomong soal Bara .... Tiba-tiba Rana tersentak. Dia bilang apa tadi? Ketemu Luna?
"Ada yang kurang? Ada yang mau ditanyakan?" Rana lekas memastikan tidak ada lagi sesuatu yang mengharuskannya tinggal lebih lama. Ia harus segera menemui Bara di luar sana, memastikan tadi ia hanya salah dengar. Kalau tidak, sepertinya tetangga unitnya itu harus segera dipertemukan dengan psikiater.
Helen menggeleng seraya tersenyum.
"Oke. Aku pulang," ujar Rana sambil bangkit dari duduknya. Ia bermaksud ke dalam untuk mengambil tas. Sekilas tatapannya mengarah ke luar, menembus dinding depan toko yang terdiri dari kaca-kaca besar, jatuh tepat pada sosok Bara yang tengah duduk manis–ala dia–di atas motornya.
Spontan Bara melambai girang saat menyadari tatapan gadis penuh petuah itu mengarah padanya.
Melihatnya, Rana hanya menggeleng geli. Anak itu, entah sejak kapan Rana malah suka dengan semua kekonyolannya.
***
Aku tak mudah mencintai
Tak mudah bilang cinta
Tapi mengapa kini denganmu
Aku jatuh cinta
"Berisik. Suaramu nggak banget," teriak Rana, berusaha mengalahkan lengkingan suara Bara yang berbaur dengan deru angin.
Langit sore Makassar sedang bersahabat. Memang agak mendung, tapi justru itu yang menetralisir keruwetan akibat jalanan yang semakin sesak di jam pulang kantor seperti sekarang. Mungkin hal itu pula yang membuat Bara terus bersenandung dari tadi, tak peduli suaranya malah mengganggu pengendara lain yang kebetulan bersisian dengannya.
Tuhan tolong dengarkanku
Beri aku dia
Tapi jika belum jodoh–
Bara merasakan tepukan di pundaknya, membuatnya terkekeh. Lirik yang belum usai buyar begitu saja.
"Aku lagi bahagia, Ibu Peri. Aku ketemu Luna."
Padahal Rana sudah memutuskan untuk tidak menindaklanjuti hal ini. Sejak Bara menyodorkan helm sambil tersenyum manis tadi, Rana bermaksud melupakan pengakuan absurd itu. Dibonceng Bara sepulang kerja salah satu mood booster bagi Rana. ia tidak ingin merusaknya dengan hal-hal tidak penting. Terlebih aneh bin ngawur. Tapi, Bara mengatakannya lagi.
***
[Bersambung]
Tentang Hati yang Tak Mampu Berdusta
"Tolak ukur sebuah kesuksesan tidak melulu soal hasil, tapi lebih kepada rasa bahagia yang menghuni hati secara permanen."
---
Sepanjang sisa perjalanan, Rana disibukkan oleh monolog dalam kepalanya. Tentang pengakuan Bara yang tidak masuk akal, tentang ekspresi bahagianya kini. Sesekali Bara masih menyanyikan lagu Menyimpan Rasa yang dipopulerkan oleh Devano Narendra, dengan nada yang semakin kacau. Kali ini Rana sama sekali tidak berminat menegurnya.
Setibanya di kos, Rana langsung turun dari motor dan berjalan ke arah pintu unitnya. Sama sekali tidak ada basa-basi atau sekadar ucapan terima kasih seperti biasanya.
"Kamu kebelet, ya?" Pertanyaan Bara sukses menghentikan langkah Rana. "Buru-buru amat."
Rana menoleh sambil tersenyum lemah. Ia menyandarkan punggungnya di daun pintu yang belum sempat dibukanya. Entah, kenapa juga ia harus terkesan menghindar seperti ini? Kenapa baru sekarang? Padahal selama ini nama Luna memang selalu ada hampir di semua ucapan Bara. Mungkin karena Rana merasa Bara sudah keterlaluan. Antara cemburu dan khawatir sahabatnya itu mengalami gangguan kejiwaan bercampur jadi satu.
"Kamu nggak penasaran aku ketemu Luna di mana?"
Nah, itu yang membuat Rana mendadak pendiam sore ini. Mendengar nama itu lagi, Rana hanya bisa mendesah pasrah. Tapi kali ini ia tidak tahan untuk tidak berkomentar.
"Maksudnya, kamu ketiduran di kampus, terus mimpiin Luna lagi, kan?"
Merasa perlu lebih serius menjabarkan maksudnya, Bara menurunkan standar samping motornya, lalu merapat ke sisi Rana.
"Nggak akan ada sejarah seorang Bara ketiduran di kampus. Aku ini mahasiswa teladan, meskipun nilainya selalu pas-pasan."
"Terserah, deh!" Rana mengibaskan tangan. "Terus?" lanjutnya dengan kedua alis terangkat.
"Tadi pagi aku kehabisan bensin, terus--"
"Astaga!" Rana langsung memotong ucapan Bara. "Kok, bisa seceroboh itu? Kan--"
"Sssttt ..." Bara menempelkan telunjuk di depan bibir. "Ini bukan waktunya ceramah," katanya. Dan Rana mau-mau saja menurut dengan langsung menelan kembali sisa kalimatnya, mempersilakan lelaki di depannya melanjutkan ceritanya.
"Intinya, cewek yang nolongin aku mirip banget sama Luna."
Rana mengernyit. "Emang kamu masih ingat persis wajah Luna?"
Bara mengangguk mantap. Tapi detik selanjutnya ia malah mengangkat tangan dengan posisi telapak menghadap ke Rana, isyarat akan mengklarifikasi sesuatu.
"Maksudku bukan ke fisik, sih. Tapi lebih kepada ..." Bara tampak berpikir. Bola matanya berputar sejenak. "... sikap melindungi yang juga saya rasakan saat bersama Luna dulu."
"Luna juga sering ngasih kamu bensin?" Selain pura-pura bego, Rana tidak tahu harus merespons seperti apa.
Bara menghela napas sambil memegang kedua pundak Rana, memastikan tatapan mereka bertemu.
"Banyak orang di jalan itu, mereka lihat aku, tapi tidak ada yang peduli. Hanya cewek itu yang tergerak untuk menegur, lalu mau repot-repot mencarikan bensin sampai nekat lawan arah segala."
Rana bingung, kenapa rasanya harus setidakmenyenangkan ini? Kesungguhan yang diperdengarkan Bara menghantarkan ketidakrelaan yang memantul secara brutal dalam hatinya. Kenapa harus cewek itu? Apakah yang dilakukan Rana selama ini sama sekali tidak ada artinya dibanding sebotol bensin?
"Lalu kalian kenalan? Atau jangan-jangan sudah tukaran nomor WA?" tebak Rana, alih-alih menginginkan obrolan itu cepat berakhir. Ia ingin segera masuk ke unitnya, lalu menikmati rasa sakit yang kembali menyepuh hatinya perlahan-lahan.
Bara melepas pundak Rana saat menyadari satu hal. "Astaga!" Ia tepuk jidat. "Aku lupa tanya namanya. Lebih tepatnya tidak sempat. Ia tampak buru-buru."
Rana hanya geleng-geleng sambil memaksakan tersenyum. "Nggak usah terlalu dipikirin. Kalau memang menurut Tuhan cewek itu yang paling pantas menggantikan posisi Luna, kalian pasti akan dipertemukan kembali." Rana menepuk pelan pundak Bara. "Aku masuk, ya," pamitnya kemudian.
Bara mengangguk.
***
Bian mendapati mamanya tampak serius mengerjakan sesuatu di ruang tengah.
"Lagi apa, Ma?" tanyanya sambil ikut mengenyakkan diri di sofa panjang yang diduduki Darma, mamanya.
"Ini, lagi mengecek ulang daftar panti asuhan yang akan Mama undang di acara syukuran ulang tahun pernikahan kami minggu depan. Kalau sampai makanannya kurang, kan, malu."
Bian hanya ber-o tanpa suara.
"Tokomu gimana?" Darma menyudahi kesibukannya, memutar badan sedikit meghadap putranya.
"Alhamdulillah, lancar. Sejauh ini nggak ada masalah yang terlalu menghambat."
"Syukurlah. Mama lega sekaligus bangga. Kamu bisa membuktikan, bahwa pilihanmu tidak salah."
Bukan tanpa alasan Darma berkata seperti itu. Pasalnya, sebagai pewaris tunggal perusahaan keluarga, Bian tinggal pilih mau mengisi posisi apa untuk terlibat mengembangkan bisnis dealer sekaligus bengkel resmi yang berada di bawah naungan salah satu produsen otomotif ternama dari Jepang milik papanya. Tapi setelah kuliahnya selesai, Bian malah memilih jalur lain. Ia tidak ingin disebut numpang kaya sama orangtua. Ia ingin mandiri, merintis kesuksesannya sendiri benar-benar dari bawah.
Saat Bian menyampaikan keinginannya untuk membuka toko bunga, kedua orangtuanya sempat sangsi. Siapa yang menyangka putra tunggal mereka memiliki ketertarikan pada sesuatu yang sangat identik dengan kaum hawa? Hal ini pula yang mendasari mereka tidak langsung menyetujui. Mereka khawatir Bian akan menuai cibiran terkait pilihannya. Selaku orangtua, mereka hanya ingin yang terbaik.
Tekad Bian bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba, terlebih latah karena sedang musimnya. Idenya muncul sejak ia masih kuliah. Berawal dari ketidakpuasaan saat ia belanja buket bunga untuk dosennya yang sedang sakit waktu itu di sebuah toko bunga. Dari situ ia kepikiran, suatu saat akan membuka toko bunga yang tidak hanya mengutamakan kualitas produk, tapi juga pelayanan. Zaman sekarang acara yang butuh bunga semakin beragam, sementara toko bunga di Makassar masih sangat terbatas. Belum lagi beberapa tampak lesu dan sama sekali tidak berniat melakukan terobosan agar dilirik calon pelanggan. Dari sini Bian melihat peluang.
Di sela kesibukan kuliah, diam-diam Bian mulai merancang konsep toko bunga impiannya. Ia meluangkan waktu khusus untuk melakukan riset dan pelan-pelan mulai cari lokasi. Sakura yang telah beroperasi selama empat tahun memang masih jauh dari konsep outdoor yang diimpikan Bian, tapi itu yang terbaik untuk saat ini. Suatu saat nanti ia pasti bisa buka cabang yang jauh lebih besar serta lokasi yang lebih strategis. Satu hal yang patut Bian syukuri, di tahun kedua ia sudah bisa mengembalikan modal yang dipinjamkan papanya. Sungguh pencapaian yang membuat Bian semakin yakin untuk tetap berada di jalan ini.
"Selama direstui, saya akan berjuang keras untuk membuktikan ke Papa-Mama."
"Pembuktianmu sudah lebih dari cukup. Bagi Mama, tolak ukur kesuksesan bukan dari hasil, tapi dari sini." Darma meletakkan telunjuk di dada putranya. "Jika hatimu tenang, bahagia, merasa cukup, berarti kamu sedang memeluk kesuksesan itu."
Bian meraih tangan yang tadi menunjuk dadanya, lalu menggenggamnya lembut. "Makasih, Ma ..." lirihnya.
Senyum keibuan Darma mengudara, menghangatkan, menenangkan.
"Tapi ... boleh, dong, Mama minta hal lain dari kamu?"
Bian mengernyit. Rasa-rasanya ia tahu akan mengarah ke mana maksud terselubung mamanya.
"Kapan kamu bawa calon menantu untuk Mama?"
Bian menghela napas panjang. Dugaannya benar. "Untuk urusan yang satu ini tentu saja tak semudah buka toko, Ma. Karena segala persiapannya dari sini." Giliran Bian yang meletakkan telunjuk di dadanya.
"Padahal anak teman-teman Mama banyak yang cantik, terpelajar, karier bagus, kurang apa lagi coba? Kamu tinggal pilih mau yang mana, nanti Mama kenalin."
Bian kembali meraih tangan mamanya, menggenggamnya seperti tadi. "Ma, perempuan yang akan menjadi menantu Mama, adalah perempuan yang akan mendampingi hidup saya di saat suka maupun duka. Jadi tidak cukup kalau baru Mama aja yang suka."
"Ya terus, kapan ada perempuan yang kamu suka terus dikenalin ke Mama?"
"Ada, kok."
"Sungguh?" Senyum antusias seketika merekah di wajah Darma. "Siapa?" desaknya. "Pegawaimu itu?"
Bian mengangguk pelan sambil tersenyum malu-malu.
"Pas Mama mampir ke toko dan kebetulan kamu sedang keluar waktu itu, dia nemenin Mama ngobrol. Anaknya sopan. Mama juga suka, kok."
"Berarti Mama nggak keberatan, kan?"
"Kenapa kamu berpikir Mama akan keberatan? Karena dia cuma pegawaimu?"
Bian tampak ragu menjawab.
"Justru Mama suka perempuan pekerja keras seperti dia."
Seketika kelegaan terpancar dari sorot mata Bian.
"Mama tidak akan mempermasalahkan siapa pun perempuan yang kamu pilih. Yang penting seagama dan siap menerima kamu apa adanya, serta mendampingimu berjuang di jalan Allah."
Keharuan menyeruak di hati Bian. Selaput bening melapisi bola matanya. Ia sangat bersyukur memiliki ibu seperti Darma, yang selalu memberikan dukungan penuh dalam bentuk apa pun.
"Kalau kamu sudah yakin, ayo bergerak cepat. Temui keluarganya. Jangan sampai kamu keduluan sama orang lain."
Raut wajah Bian berubah drastis.
"Kenapa? Dia sudah punya calon?" tebak Darma seolah mampu membaca pikiran putranya.
Bian bingung menjawab pertanyaan mamanya. Bara dan Rana memang hanya bersahabat, tapi siapa pun yang melihat interaksi mereka, pasti akan mengira mereka pacaran. Hal ini yang membuat Bian ragu hingga belum berani mengambil langkah lebih jauh dari sebatas mengagumi diam-diam dan melafalkan nama Rana dalam doa.
"Menurut Mama, saya ganteng, nggak?"
Pertanyaan itu sukses membuat Darma terkekeh. "Kenapa, kamu nggak pede?"
"Jawab aja, Ma," desak Bian.
"Ibu mana yang tega bilang anaknya jelek?"
"Kalau gitu Mama jawab sebagai perempuan, jangan sebagai ibu."
Darma menangkup wajah putranya. "Ganteng banget. Jauh lebih ganteng dibanding papamu waktu muda dulu."
Dipuji seperti itu, Bian tersenyum lebar. Ia lantas memeluk mamanya.
"Secepatnya kamu harus bawa dia ke rumah ini, kenalin sama Mama sebagai calonmu, bukan sebagai pegawaimu." Darma menepuk pelan punggung putranya.
"Siap."
***
[Bersambung]
Srikandi Yudha Brama Jaya
"Cantik itu milik semua perempuan, tapi kalau keren, hanya dimiliki oleh perempuan yang berani terjun ke dunia yang didominasi laki-laki."
---
Malam ini Rana terdiam di teras unitnya. Ia baru saja terima telepon dari ibunya di kampung. Adik pertamanya masuk rumah sakit karena demam berdarah. Beberapa hari ini anak itu memang demam. Ibunya pikir cuma demam biasa yang akan sembuh setelah meminum pil penurun panas yang dibelinya di warung. Nyatanya tidak. Ibunya memang tidak menyinggung soal uang, tapi Rana paham betul, saat ini beliau pasti butuh pegangan untuk berjaga-jaga. Mengingat tidak semua biaya rumah sakit akan ditanggung oleh pihak penyedia layanan jaminan kesehatan masyarakat. Inilah yang membuat Rana murung. Sisa saldo di rekeningnya hanya cukup untuk makan, dan gajian masih seminggu lagi.
"Woi." Teguran itu bersamaan dengan jatuhnya tepukan di pundak Rana. "Tumben ngelamun di sini." Bara mengambil posisi bersisian.
Rana bahkan tidak menoleh, meski tadinya ia agak tersentak.
"Kenapa?" tanya Bara lagi setelah menemukan ketidakberesan di wajah Rana, yang malam ini dibingkai jilbab berwarna biru muda.
"Adikku masuk rumah sakit."
Mendengar jawaban itu, muka jail Bara berganti prihatin.
"Ibumu minta dikirimi uang, ya?" tanya Bara hati-hati.
Rana menggeleng, lalu menengadah sambil menghela napas panjang. Ia berusaha menepis pikiran buruk dalam kepalanya. "Ibu tahu kondisiku di sini. Meski sangat butuh, ia pasti sangat berat mengatakannya."
"Kalau gitu, kamu pakai uangku aja dulu."
"Eh, nggak usah, Bar. Lagian seminggu lagi gajian, kok."
"Tapi ibumu pasti butuh sekarang."
"Terus, kamu sendiri?"
"Uang bulanan dari orangtua ditambah honor tulisan-tulisan yang dimuat bulan lalu, untuk pengeluaran rutin sudah aku sisihkan. Alhamdulillah masih ada sisa."
"Serius, nggak apa-apa?"
"Udah, nggak usah terlalu dipikirkan. Untuk saat ini kesembuhan adikmu jauh lebih penting." Bara tersenyum menyemangati.
"Makasih, Bar ...," ucap Rana setulusnya.
"Sama-sama, Ibu Peri."
"Sekarang kamu perinya. Kan, kamu yang nolongin," celetuk Rana. Kesedihan di wajahnya perlahan-lahan berkurang.
Keduanya terkekeh.
"Kita transfer di ATM depan aja, ya."
Rana mengangguk setuju.
"Ya udah, tunggu bentar, aku ambil jaket sama dompet dulu."
Rana kembali mengangguk.
***
Assalamualaikum, Bar ....
Tadi subuh ibuku nelpon, beliau sangat berterima kasih atas kiriman uangnya.
Makasih, ya, Bar ....
Aku beruntung banget punya sahabat sebaik kamu.
Ohya, tadi aku bikin pisang goreng. Kalau kamu mau, silakan ambil sendiri di kamar. Kunci cadangan di tempat biasa.
--Rana
Usai membaca ulang, Rana menyelipkan kertas memonya di celah bawah pintu unit Bara. Berhubung Bara kuliah siang, hari ini ia berangkat sendiri naik angkot.
***
Rutinitas pagi setelah buka toko seperti memastikan kebersihan area sales, kaca depan, halaman, hingga mengecek kondisi produk yang terpajang di rak-rak kini sedang menyibukkan Rana bersama seorang rekannya. Biasanya mereka mengerjakan semua itu bertiga, tapi berhubung Helen belum datang, mereka terpaksa mengerjakannya berdua. Prosesnya tentu saja jadi lebih lama.
Di tengah kesibukannya, berkali-kali Rana mengecek posisi jarum jam di pergelangan tangan kirinya. Ia jadi khawatir. Tidak biasanya Helen terlambat seperti ini.
Untungnya Bian tipe atasan yang membumi, tidak keberatan terjun langsung mengerjakan semua hal yang berkaitan dengan kelancaran operational toko. Terlebih untuk situasi tak terduga seperti sekarang. Meskipun dengan wajah ditekuk, Bian mengambil alih pekerjaan Rana yang sedang menyapu halaman, lalu meminta gadis itu menyiapkan beberapa buket bunga pesanan tadi malam yang akan diambil pagi ini. Bian bukan kesal karena harus menyapu halaman, tapi karena ada pegawainya yang tidak disiplin.
***
Setelah kesibukan khas pagi hari berakhir, Helen baru datang. Rana tercengang melihat penampilannya yang masih berantakan. Wajah polos, sama sekali tidak mengenakan make up. Rambutnya juga belum disisir rapi. Ia terlihat gugup dan ketakutan. Rana semakin yakin, ada yang tidak beres dengan rekan kerjanya itu. Sebagai supervisor yang merasa ikut bertanggung jawab atas kedisiplinan seluruh pegawai di toko itu, Rana harus mencari tahu. Tapi tidak sekarang, karena Bian langsung meminta Helen masuk ke ruangannya.
Sekitar lima menit kemudian, Helen baru keluar dari ruangan Bian. Ia tampak menyesal atas kejadian hari ini. Ia lekas merapikan diri, mematut diri di depan cermin seukuran setengah badan yang tergantung di salah satu dinding ruang istirahat. Setelah dirasa cukup, Helen keluar dan langsung menghampiri Rana yang baru saja selesai melayani pelanggan di balik komputer kasir.
"Maaf, aku merepotkan kalian." Helen memperdengarkan penyesalan. Ia sudah siap kalau Rana pun akan memarahinya. Meskipun Rana tidak pernah memosisikan diri sebagai atasan sesuai jabatannya, tapi Helen cukup paham, rekan kerjanya itu diberi tanggung jawab lebih untuk mengontrol semua personel dalam toko itu.
Rana mendesah sebentar. "Yang masalah bukan repotnya, tapi tanggung jawab kamu," tanggapnya kemudian dengan nada ringan.
"Aku janji tidak akan mengulanginya lagi."
"Lagian kenapa, sih? Kok, tumben kamu telat?"
"Aku kesiangan."
"Kesiangan? Emang semalam begadang? Ngapain?"
Helen tampak kesulitan menjawab. Rana semakin yakin, rekan kerjanya ini menyembunyikan sesuatu.
"Terus, Pak Bian ngomong apa?"
Bahu Helen merosot perlahan. "Aku di-SP."
Rana tampak prihatin. "Ya sudah. Sana, mulai kerja, sebelum Pak Bian keluar dan melihat kita malah ngobrol."
Helen lekas meninggalkan area kasir.
***
Hari ini Bara hanya ada dua mata kuliah. Berhubung salah satu dosen berhalangan masuk, sebenarnya ia bisa pulang lebih awal. Tapi Riko–teman sejurusan–malah menyeretnya ke aula. Katanya ada sosialisasi dari Dinas Pemadam Kebakaran setempat terkait beberapa hal penting yang harus dilakukan saat terjadi kebakaran. Kali ini perwakilan mereka didominasi oleh personel perempuan, yang dalam istilah mereka disebut Srikandi Yudha Brama Jaya.
Sumpah, Bara malas banget ikut sosialisasi seperti ini. Kalau ia pulang dan melanjutkan tulisannya, bisa dapat minimal sepuluh halaman.
"Ini penting banget, Bar. Menyangkut hidup dan mati."
Bara paham. Tapi, kalau boleh jujur, ia sangat tidak nyaman berada di sini. Bahasan mereka pasti tidak jauh-jauh dari api, sesuatu yang paling Bara hindari. Bahkan sekadar mengeja kata ke-ba-ka-ran, mampu membuat bulu kuduk Bara meremang.
Riko masih terus menarik tangan Bara, memastikannya tidak kabur. Mereka berjalan di antara dua kelompok kursi yang tertata rapi dan sebagian besar sudah terisi.
"Yang namanya musibah, kita nggak pernah tahu kapan datangnya. Kan, enak, kalau kita udah punya pengetahuan dasar. Jadinya nggak panik," cerocos Riko sambil celingukan kiri-kanan. Ia harus menemukan tempat duduk ideal, agar bisa menyimak dengan baik.
Riko seperti seorang ayah yang mendapati anaknya kelamaan main di sungai, lalu ditarik paksa untuk pulang. Dan Bara baru sadar, sedari tadi mereka jadi tontonan beberapa orang. Bara refleks mengentakkan tangannya agar terbebas dari cengkeraman Riko.
"Nah, kita duduk di sana." Riko menunjuk dua kursi kosong di baris ketiga.
"Nggak mau. Terlalu di depan. Demi apa coba?" Bara mengenyakkan diri di kursi kosong yang kebetulan ada di sampingnya. "Di sini aja!" katanya.
"Kalau di sini kejauhan. Nanti kita nggak paham apa yang mereka bilang. Kan, namanya buang-buang waktu." Riko kembali mencengkeram pergelangan tangan Bara, memaksanya berdiri, lalu kembali diseret ke posisi tempat duduk yang diinginkannya.
Daripada menimbulkan keributan, Bara memilih pasrah.
"Nah, gini, kan, enak." Riko tampak puas. Untung Bara melunak, sebelum kursi incarannya ditempati orang lain.
Bara masa bodo. Baginya, untuk sosialisasi semacam ini, duduk di depan atau di belakang sama-sama membosankan. Malah mungkin jadi sedikit mengerikan kalau nantinya mereka terlalu sering menyebut kata "api". Semoga mereka tidak melibatkan proyektor dan mempertontonkan simulasi pemadaman api. Karena jika itu terjadi, bisa dipastikan Bara akan menutup mata rapat-rapat.
Mengabaikan Riko yang tampak semakin antusias dan tidak sabaran, Bara mengeluarkan ponsel. Ia login ke Facebook, mengecek beberapa halaman koran lokal maupun nasional. Tentu saja ia berharap ada seseorang yang menandainya di laporan pemuatan karya. Sayangnya belum ada. Alhasil, Bara hanya memberikan ucapan selamat kepada nama-nama yang muncul. Percayalah, ucapan selamat sesederhana ini adalah bentuk dukungan dari sesama pejuang litearsi yang menyenangkan. Bara tahu persis rasanya seperti apa, terlebih saat cerpennya dimuat untuk pertama kalinya. Sejak saat itu Bara selalu menyempatkan membubuhkan komen, memberi ucapan selamat walau hanya dua atau tiga kata.
"Eh, udah mau mulai."
Tepukan Riko di pahanya berhasil mengangkat pandangan Bara dari layar ponsel ke atas panggung. Tampak dua personel DAMKAR berbadan kekar sedang mengatur kursi dan mengecek mikrofon. Beberapa personel perempuan kemudian bergabung ke tengah panggung.
"Eh, keren, ya?" Riko menyikut Bara.
"O ... jadi mereka yang bikin kamu seantusias ini?" Melihat barisan perempuan berseragam biru mencolok di atas sana, Bara jadi paham. Sejak dulu Riko memang terobsesi ingin memacari perempuan "gagah", begitu dia menyebut perempuan yang terjun ke dunia yang didominasi laki-laki. Para Srikandi Yudha Brama Jaya di atas sana contohnya.
"Sumpah, mereka keren banget!"
Nah, kan? Padahal mereka cuma berdiri di atas panggung. Tidak berbuat sesuatu yang bisa mengundang decak kagum. Oh ya, Riko tidak pernah menggunakan kata "cantik" untuk memuji mereka, selalu seperti tadi, "keren".
"Selamat sore, semuanya ...."
Hampir seisi ruangan menjawab serentak salam pembuka dari personel DAMKAR yang tengah berdiri di tepi panggung sambil menabur senyum dan berusaha menarik perhatian. Setelah beberapa kalimat pembuka yang sudah teramat lazim untuk acara seperti ini, lelaki berotot itu memperkenalkan anggota timnya dengan menyebutkan nama. Yang namanya disebut kemudian berdiri untuk sekadar melambai sambil mempersembahkan senyum bersahabat.
Bara memicing, lalu tanpa sadar menegakkan punggung saat merasa mengenali salah seorang di antara mereka.
"Luna ...?"
***
[Bersambung]
Pada Doa-Doa yang Dilangitkan
"Terus, kalau nanti masing-masing kita sudah punya pasangan, apa masih bisa sedekat ini?"
---
Adalah Dira, srikandi yang menurut Bara mirip dengan Luna. Lebih tepatnya mirip dengan perempuan yang membawakannya sebotol bensin kemarin. Atau memang dia? Atau karena Bara sedang menuliskan kisah Luna, yang membuatnya tiba-tiba merasakan banyak kemiripan teman masa kecilnya itu di diri orang lain?
Bara mencoba mempertajam ingatannya. Ini kebetulan yang terlalu kebetulan. Tapi sepasang mata milik perempuan berjaket kulit kemarin, sama dengan mata Dira.
"Nah, terciduk. Kamu kagum juga, kan, sama mereka?" Riko meginterupsi lamunan Bara.
"Ko, kamu punya kenalan di antara mereka?"
Riko menggeleng. "Tapi bisa diatur. Setelah acara ini selesai, kita kenalan sama mereka."
Perihal kecakapan Riko mendekati lawan jenis memang tidak perlu diragukan. Tapi dengan perempuan-perempuan "gagah" itu, entah jurus seperti apa yang akan dilancarkan.
***
Kalau bukan karena ingin memastikan Dira adalah penolongnya atau bukan, Bara malas menemami Riko berdiri di parkiran seperti ini. Standby di dekat mobil tim DAMKAR, mereka seperti agen rahasia yang sedang merencanakan penculikan. Sampai detik ini Bara masih belum tahu apa yang akan dilakukan Riko kalau mereka datang.
"Mana, ya?" Riko mulai resah.
"Lagian kenapa harus nunggu di sini, sih? Kenapa kita nggak negur di dalam aja?" protes Bara.
"Biar memorable. Kalau kita negur di dalam, kesannya biasa banget. Tapi kalau di sini, seakan-akan kita sudah menunggu lama demi bisa ngobrol langsung sama mereka."
Bara memutar bola mata malas.
Beberapa saat kemudian, pasukan berseragam biru mencolok yang ditunggu-tunggu pun tiba. Mereka baru saja turun dari koridor, membelah pelataran beton menuju area parkir.
"Nah, mereka datang." Riko menepuk punggung Bara yang sibuk memainkan ponsel.
Tatapan Bara langsung tertuju pada Dira. Jarak mereka masih sekitar sepuluh meter, saat tiba-tiba Dira belok kanan, memisahkan diri dari teman-temannya. Ia ke area parkir khusus kendaraan roda dua. Ternyata di sana terparkir sebuah ninja merah. Bara teramat yakin sekarang. Tidak salah lagi, Dira adalah penolongnya.
Tak ingin kehilangan kesempatan lagi untuk berkenalan, Bara berlari-lari kecil menghampirinya. Ia sama sekali tidak menghiraukan panggilan Riko.
"Hei ...," tegur Bara tanpa ragu setibanya di samping Dira.
Dira yang hendak mengenakan helm, urung. Ia langsung menoleh ke sumber suara. Sesaat kemudian senyumnya mengembang karena merasa kenal dengan mahasiswa yang menegurnya.
"Kamu cowok yang kemarin, kan?" tebaknya.
Bara mengangguk. "Syukurlah kalau masih ingat."
"Baru juga kemarin, masa langsung lupa?" Senyum Dira semakin lebar. "Lagian kamu masih pakai kemeja ini."
Bara spontan mengamati kemeja yang melekat di tubuhnya. Astaga! Tadi ia memang malas menyetrika, ujung-ujungnya pakai kemeja yang kemarin. Ini benar-benar memalukan. Bara berjanji tidak akan lagi mengenakan kemeja yang sama dua hari berturut-turut setelah ini.
Sekarang Bara hanya bisa cengar-cengir tidak jelas dan mendadak kehabisan kata gara-gara kemeja.
"Jadi kamu kuliah di sini?"
Bara mengangguk tegas.
"Ya udah, aku duluan, ya." Dira memasang helm, lalu menaiki motornya.
Bara buru-buru mengulurkan tangan sambil menyebutkan nama.
Di balik helm full face yang kacanya masih dibiarkan terbuka, senyum Dira kembali mengembang. Ia menjabat tangan Bara, juga sambil menyebutkan nama.
Dira menstarter motornya, lalu pamit sekali lagi sebelum mulai menarik gas dan berlalu dari hadapan Bara.
Bara terus memandangi punggung Dira hingga benar-benar tidak terlihat setelah melewati pintu gerbang. Bara sangat menyanyangkan obrolan sesingkat itu. Padahal ia sangat ingin menanyakan kenapa Dira lebih memilih bawa motor sendiri daripada gabung sama teman-temannya. Bara juga belum sempat berterima kasih atas kejadian kemarin.
***
Bian mengundur jam pulangnya, hanya karena Rana masih ada di sudut teras tokoh. Bertemankan paper cup berisi cokelat hangat, gadis berhijab merah itu tampak sedang menunggu seseorang. Siapa lagi kalau bukan Bara? Bian yakin seribu persen.
Bian pura-pura sibuk di area sales, mengecek kondisi bunga-bunga yang dikirim supplier tadi pagi. Tentu saja itu percuma, karena bunga-bunga itu bahkan sudah melalui tiga kali tahap pengecekan sebelum tiba di rak pajangan. Dari balik dinding kaca, diam-diam ia mengamati Rana. Sambil mondar-mandir, ia memikirkan akan menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang atau tidak usah.
Bian sudah mengitari area sales sebanyak tiga kali, dan ia merasa mulai bertingkah semakin bego. Akhirnya ia memutuskan menghampiri Rana.
"Belum pulang?" Bian mengisi kursi kosong di depan Rana, diantarai meja bundar kecil berwarna putih.
"Bentar lagi, Pak. Lagi nunggu Bara."
Bian mendesah pelan. Entah kenapa ia bosan menerima jawaban yang sudah bisa ia tebak sebelumnya.
"Bapak mau cokelat panas? Kalau mau, saya bisa beliin di minimarket sebelah."
"Oh, nggak usah. Aku udah mau pulang, sih." Sekilas Bian melirik jam tangannya. "Mau sekalian ikut, nggak? Ini udah sore banget dan kayaknya sebentar lagi hujan."
Rana mengangkat sedikit pandangannya. Cuaca memang sedang mendung. Bahkan kalau diperhatikan secara seksama, butir-butir halus air langit mulai turun.
"Makasih, Pak. Tapi Bara janji mau jemput, katanya ada hal penting yang mau diomongin."
Jawaban itu membuat Bian menghela napas panjang, lalu menahannya sepersekian detik. Padahal unit Bara dan Rana bahkan berbagi dinding, mereka punya banyak waktu untuk mengobrol. Bian tidak habis pikir, sepenting apa hal yang dimaksud.
"Ya udah, kalau gitu, aku duluan, ya," pamit Bian sambil bangkit dari duduknya.
Rana mengangguk mempersilakan sambil tersenyum santun.
Tepat saat Bian meraih handle pintu mobilnya, Bara datang. Rana langsung berdiri dan menghampirinya. Bian sadar betul, senyum Rana ke Bara selalu berbeda dengan senyum yang ia terima.
"Namanya Dira," ungkap Bara tanpa basa-basi saat Rana tiba di depannya.
"Siapa Dira?" Rana mengernyit. Tentu saja ia bingung.
"Titisan Luna, cewek penolongku."
Rana melongo. "Jadi, kamu kehabisan bensin lagi? Terus, ditolongin dia lagi?"
"Takdir Tuhan tidak sereceh itu, Ibu Peri." Sebelum menjelaskan, Bara mengambil alih paper cup di tangan Rana, lalu menyedot isinya hingga tandas.
Lihatlah, mereka bahkan tidak canggung berbagi minuman dari gelas yang sama. Diam-diam Bian masih mengamati mereka dari balik kaca gelap mobil. Dan pemandangan barusan membikin hatinya ngilu.
"Ternyata dia personel DAMKAR, dan kebetulan tadi ngadain sosialisasi di kampus."
Sekarang Rana benar-benar bingung harus merespons seperti apa. Ternyata ia menunggu hanya untuk mendengarkan kabar ini.
***
Di sepertiga malam, Rana kembali menyulam nama Bara dalam lembar-lembar doa yang tanpa bosan ia langitkan. Tak perlu malu pada Tuhan, ia bersungguh-sungguh memohon lelaki itu. Tapi jika memang bukan jodoh, ia berharap diberi petunjuk secepatnya, agar tak lebih lama berada di ruang tunggu bertemankan harapan-harapan kosong. Namun jika seandainya akhir cerita ini memang tidak sesuai isi doa-doanya selama ini, semoga rasa sakit itu masih punya sedikit belas kasihan, agar tidak melumatnya hingga benar-benar tandas tak berbekas.
Untuk beberapa saat Rana masih betah bersimpuh, mengendapkan segala gundah di atas sajadah. Ia kembali teringat ekspresi riang Bara saat bercerita soal Dira, gadis yang tanpa ragu disebutnya sebagai titisan Luna. Hati Rana kembali sesak. Rana memang tidak pernah benar-benar tahu seperti apa sosok Luna, seberapa sering pun Bara bercerita tentang gadis kecil itu. Tapi jika akhirnya ada yang sampai paham sedemikian detail masa lalu Bara dengan Luna, seharusnya orang itu adalah Rana, sebagai satu-satunya tempat curhat Bara.
Seiring berjalannya waktu, Rana iri pada Luna, yang mampu menempati ruang khusus di hati Bara dan sepertinya tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun. Sampai kapan pun. Rana tidak mungkin menjelma menjadi Luna, meskipun sebenarnya sangat ingin. Ia hanya bisa berupaya menjadi berarti di setiap detik yang bergulir di hidup Bara. Namun, usahanya selama beberapa tahun ini seakan sia-sia sejak kemunculan Dira. Betapa pun sakitnya, Rana percaya, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Jika Dira memang jawaban dari doa-doanya selama ini, Rana akan menyiapkan hati selapang-lapangnya.
***
Sepagi ini Bara terbangun karena seseorang mengetuk pintu unitnya. Dari ritmenya, Bara bisa menebak, itu Rana. Benar saja, saat Bara membuka pintu, gadis itu langsung tersenyum lebar khas semangat pagi. Senyumnya langsung menular ke Bara, meski masih sambil mengucek-ngucek mata.
"Masuk pagi lagi?" tanya Bara sambil memindai penampilan Rana yang sudah rapi. Wajah gadis itu tampak segar dalam balutan jilbab merah muda.
Rana mengangguk sambil menyodorkan sepiring nasi goreng udang.
"Wah, jadi ngerepotin, nih," ujar Bara sambil menerimanya.
"Sikap sok nggak enakmu itu, loh. Kayak baru pertama aja." Rana terkekeh.
Bara ikut cengengesan.
"Aku sengaja anterin langsung, biar dimakan. Mumpung masih hangat juga. Kemarin pisang gorengnya nggak kamu makan, kan?"
"Mm ... lupa." Bara mengacungkan jari tengah dan telunjuk kanannya membentuk huruf V.
Rana hanya berdecak sambil geleng-geleng.
"Ngomong-ngomong, makasih, ya, Ran. Selama ini kamu baik banget sama aku."
"Mulai, deh. Santai aja, kali." Rana mengibaskan tangan.
"Tapi ... apa kamu nggak bosan?" Bara tampak ragu dengan kalimat yang baru dilontarkannya.
"Emang kamu bosan?" Rana mengernyit tajam.
"Enggak. Maksudnya, selama ini kamu doang yang selalu baik, tapi aku nggak pernah balas apa-apa."
"Terus, kamu sering anterin dan jemput aku, selalu jadi pendengar dan pemberi solusi tiap kali aku ada masalah, uang yang kamu pinjamkan kemarin, itu artinya apa?"
Sanggahan Rana yang diucapkan sedemikian cepat membuat Bara bungkam sesaat.
"Terus, kalau nanti masing-masing kita sudah punya pasangan, apa masih bisa sedekat ini?" Kali ini Bara berucap tanpa menatap mata Rana. Ia malah melabuhkan pandangan di permukaan nasi goreng yang sedari tadi menguarkan aroma sedap.
"Ngomong apa, sih?" Rana mengibaskan tangan. "Udah, ah. Aku berangkat dulu." Rana lekas berlalu sebelum pertanyaan Bara tadi benar-benar membuatnya salah tingkah.
***
[Bersambung]
Ajari Aku Cara Menyembah Tuhanmu
Menabung itu memang perlu, tapi jangan semuanya. Ingat untuk selalu memberikan hadiah kepada diri sendiri atas perjuangan yang telah dilalui.
---
Helen nyaris terlambat lagi. Ketika rekannya mulai sibuk bekerja, ia masih membenahi riasan wajahnya. Pasalnya, Bian juga paling tidak suka kalau pegawainya masuk shift dalam kondisi tidak fresh.
Helen mematut diri di depan cermin lebih lama dari biasanya. Make up tebalnya membuat Rana curiga. Saat Helen datang dengan tergesa-gesa tadi, sekilas Rana melihat lebam di keningnya. Benar saja, ia berusaha menutupi lebam itu, meski masih terlihat samar-samar. Rana semakin yakin ada yang tidak beres. Tapi Rana memilih menyimpan rasa penasarannya sampai jam istirahat nanti. Selama masih jam kerja, ia harus profesional, sebisa mungkin menghindari obrolan yang sama sekali tudak ada kaitannya dengan pekerjaan.
Di jam istirahat, Rana sengaja meminta satu rekannya stanby di area sales, sementara ia dan Helen makan duluan di belakang. Bian sedang keluar. Tadi ia tampak buru-buru setelah menerima telepon. Tidak adanya Bian bukan berarti Rana bebas berbuat semaunya, tapi minimal suasananya jadi lebih nyaman dan kondusif untuk mencari tahu apa yang disembunyikan Helen.
"Emm ... aromanya enak banget," puji Helen saat membuka tutup nasi kotaknya. "Beli di tempat biasa, ya?" tanyanya kemudian.
Rana hanya mengangguk saat Helen menoleh minta jawaban. Rana paham, Helen berusaha bersikap ceria seperti biasanya. Kendati demikian, gerak-geriknya masih saja terlihat janggal.
Rana memilih mengendapkan beberapa pertanyaan yang sedari tadi mencak-mencak dalam kepalanya. Ia menunggu sampai mereka selesai makan. Mengobrolkan hal terlalu serius sambil makan tidak baik, sementara mereka butuh asupan gizi yang cukup untuk menjalani sisa jam kerja.
"Keningmu kenapa?" tanya Rana akhirnya setelah Helen selesai makan dan baru saja menenggak hingga setengah isi botol air mineral di depannya.
Raut wajah Helen mendadak kaku. Ia juga tampak kesulitan memfokuskan pandangan ke satu titik. Kentara sekali ia ingin menghindar.
"Aku duluan, ya. Ranti juga pasti udah lapar banget." Helen bangkit dari duduknya.
Namun sebelum sempat beranjak, Rana mencengkeram pergelangan tangannya.
"Hari ini Ranti puasa nazar. Tidak masalah kita lebih lama di sini. Nanti waktu istirahatnya hanya untuk shalat dan membaca Al-Quran beberapa ayat."
"Tapi--"
"Kita perlu bicara. Kamu tidak bisa kayak gini terus. Belakangan kamu berubah."
Mendengar kalimat tidak terduga itu, Helen kembali merosotkan tubuhnya.
"Kamu pasti menyembunyikan sesuatu. Padahal kamu yang selalu bilang, masalah apa pun akan terasa lebih ringan jika kita berkenan membanginya dengan orang lain."
Helen hanya terus menunduk, sama sekali tidak punya kekuatan untuk membalas tatapan Rana.
"Kita masih teman, kan?"
Detik itu juga pertahanan Helen roboh. Air matanya meruah begitu saja, punggungnya terguncang sedemikian hebat.
Rana lekas menariknya ke dalam pelukan. Untuk beberapa saat Rana tidak bertanya apa-apa lagi. Ia membiarkan Helen menangis seperti itu saja dalam pelukannya, sampai sesak di dadanya reda.
"Aku ingin berhijab, Ran," ujar Helen kemudian dengan suara bergetar.
Rana langsung melepas pelukannya, menatap tepat di manik mata Helen. Meihat kondisi Helen, pengakuan barusan tidak bisa lagi Rana anggap sebagai angin lalu seperti yang sudah-sudah.
"Kenapa?" Pembahasan emosional ini membuat Rana turut meneteskan air mata. Jemarinya bahkan sampai bergetar. Dadanya disesaki perasaan-perasaan ajaib yang belum pernah terpatri selama ini.
"Aku butuh perlindungan. Aku ingin belajar menjaga diri seperti kamu menjaga diri selama ini."
Kening Rana berkerut, pertanda masih belum paham.
"Ayah memaksaku jadi lady escort sebagai bayaran atas utang-utang yang sudah menggunung gara-gara judi."
Rana tersentak, pupil matanya membesar. "Jadi karena itu, kamu jadi aneh beberapa hari ini?"
Helen mengangguk sambil menyeka air matanya. "Bahkan mereka tidak segan menyentuh, meraba tubuhku sesukanya." Helen kembali terisak. "Dan kalau mereka kalah, aku jadi pelampiasan kekesalan, dianggap pembawa sial."
"Jadi memar di keningmu itu ...?"
Helen mengangguk samar.
Rana mengusap lembut pundak Helen. Ia sungguh prihatin.
"Tolong ajari aku cara menyembah Tuhanmu." Kali ini Helen membalas tatapan Rana penuh kesungguhan.
"Ada apa dengan Tuhanmu?"
Helen tidak menjawab.
"Jujur, aku sangat bahagia menyambut keinginanmu ini. Rasanya sungguh luar biasa. Tapi jika sebatas karena ingin melindungi diri, mulai sekarang kamu bisa belajar mengenakan pakaian tertutup tanpa harus menanggalkan keyakinan yang kamu peluk sejak lahir."
Selama ini cara berpakaian Helen memang agak terbuka. Tipe tampilan yang bisa membuat para lelaki sulit berkonsentrasi. Selaku rekan kerja sekaligus sahabat, Rana pernah beberapa kali menegurnya pelan-pelan.
"Tuhan cuma ada satu, kan? Berarti Tuhanku dan Tuhanmu sama. Mungkin hanya cara kita menyembahnya yang berbeda. Untuk hari-hari esok, aku ingin menyembah-Nya seperti caramu."
Air mata Rana kembali menetes. Ia bisa melihat kesungguhan itu di mata Helen. Sesaat ia tidak bisa berkata apa-apa.
"Tapi berganti keyakinan tidak semudah yang kamu kira. Bagaimana dengan respons keluarga besarmu?"
Helen berasal dari Toraja, yang penduduknya mayoritas non muslim.
"Aku yang akan menjalannya, bukan mereka."
"Ayahmu?"
Rana tahu persis seperti apa ayah tiri Helen. Lelaki pemimpi yang malas bekerja. Gaji-gaji Helen habis sama dia. Ia tidak pernah memanusiakan Helen, terlebih setelah ibunya meninggal.
"Aku tidak peduli!" tegas Helen. "Dia juga tidak pernah peduli sama aku."
Rana meraih tangan Helen, menggenggamnya. "Jujur, aku sangat bahagia. Bahkan, ada perasaan ajaib yang sulit kujabarkan." Rana jeda sejenak untuk menyeka air matanya. "Tapi di sini aku juga mencoba berperan sebagai sahabat yang siap menawarkan beberapa solusi. Hari-hari selanjutnya akan sangat berat, kalau keinginanmu ini hanya didasari emosi sesaat. Hanya karena sedang terlilit masalah serius." Rana berucap pelan. Jangan sampai Helen salah pengertian.
"Ini bukan emosi sesaat, Ran." Helen menghela napas panjang. "Setiap kali dengar kamu ngaji, aku tenang. Aku juga suka tiba-tiba mematung saat adzan mengalun."
Rana tentu masih ingat, sebelum ini Helen pernah melontarkan pengakuan serupa. Tapi mengingat Helen memang gadis ekspresif, Rana hanya berucap hamdalah tanpa respons berlebih. Tapi kali ini situasinya beda. Sesuatu telah menyentuh nurani sahabatnya ini.
"Bantu aku, Ran."
Sebelum tangis Helen kembali pecah, Rana menariknya ke dalam pelukannya.
***
Selepas jam makan siang, pengunjung Sakura lumayan ramai. Sebagian besar dari mereka sedang berburu benda-benda unik dalam rangka memberikan kejutan manis untuk orang terdekat. Tidak melulu untuk pacar, karena beberapa mengaku ingin memberikannya ke orangtua mereka. Mereka datang ke tempat yang tepat, karena Sakura memang menyediakan benda-benda lucu yang cocok untuk kado di luar perayaan hari khusus.
Rana sedang sibuk di balik komputer kasir ketika Bara tiba-tiba muncul di antara pengunjung yang sedang melihat-lihat barang di rak pajangan. Lelaki itu langsung tersenyum lebar sambil mengambil langkah-langkah panjang demi lekas tiba di depan Rana.
"Ibu Peri."
"Mm ...."
Rana memang paling tidak bisa diganggu kalau sedang sibuk melayani pelanggan. Menyadari hal itu, Bara mencoba untuk tidak mengganggu lagi. Ia menunggu sampai transaksi yang sedang dilakukan Rana selesai.
"Senyumnya lebar amat. Ada apa?" Sekarang Rana yang memulai, setelah tidak ada lagi pelanggan yang mengantre di depan meja kasirnya.
"Nih." Dengan senyum semakin lebar, Bara menyodorkan sebuah surat kabar.
Tanpa perlu dijelaskan, Rana paham, tulisan Bara pasti dimuat di sini. Namun yang membuat Rana heboh kemudian, surat kabar yang dipegangnya sekarang adalah surat kabar nasional, yang kata Bara honor pemuatannya paling tinggi.
"Wah ...." Tatapan Rana berpindah-pindah dari halaman koran berisi cerpen ke wajah penulisnya.
"Akhirnya tembus juga. Hebat, kan?" Seperti biasa, Bara selalu punya gaya khas saat memuji diri sendiri, yang ampuh membuat Rana terkekeh.
Rana mengacungkan jempol kanannya penuh semangat. "Hasil memang tidak akan berkhianat. Selamat, ya." Rana tahu pasti, sudah lama Bara mengincar koran ini. Katanya, penulis yang berhasil menjejalkan karyanya di sini langsung disegani di komunitas-komunitas online yang diikutinya. Kendati demikian, menjadi populer bukan tujuan utama Bara dalam menulis, terlebih hanya untuk menuai puji-pujian yang bersifat fana. Selain karena honornya memang menggiurkan, ia sedang menantang diri sendiri.
"Pokonya nanti malam aku traktir kamu makan, nonton, dan--"
"Nggak usah, Bar." Rana menyela.
"Loh, kenapa? Kita harus merayakannya."
"Memangnya kamu tidak mau jadi orang, ya?"
"Jadi selama ini menurutmu aku bukan orang?!" Bara pura-pura kaget sambil terbelalak.
Rana tersenyum geli. "Maksudnya, dari sekarang kamu harus menata masa depanmu. Dan kamu perlu menabung untuk itu."
"Aku sudah menatanya dengan amat sangat baik, Ibu Peri," ujar Bara penuh penekanan. "Aku tinggal kuliah dengan rajin, lulus tepat waktu dengan nilai memuaskan, lalu daftar CPNS, jadi guru, dan terus menulis di luar jam kerja. Jadi, Bara di masa mendatang adalah guru sekaligus penulis buku-buku best seller." Gerakan tangan Bara sepanjang kalimat tadi sedramatis intonasi suaranya.
"Amin. Karena itu, mending uangnya kamu tabung untuk keperluan-keperluan tidak terduga nantinya."
"Kalau itu pasti. Tapi tidak semuanya. Lagipula aku harus memberikan hadiah untuk diriku sendiri yang tidak pernah lelah berjuang."
Itu kalimat paling ampuh yang sama sekali tidak bisa dibantah Rana. Maka gadis itu hanya bisa tersenyum, merasa beruntung memiliki sahabat yang selalu bersikap optimis. "Jadi, ke mana kita nanti malam?" tanyanya kemudian.
"Nipa Mall."
Rana sudah menduganya. Selain karena masih baru, konsep asri yang ditawarkan mal milik wakil presiden Indonesia itu, Pak Jusuf Kalla, berhasil menyedot perhatian warga Makassar. Satu-satunya mal di Makassar yang punya air terjun buatan. Banyak pengunjung yang betah berlama-lama hanya untuk menyaksikan pemandangan air jatuh dari lantai tiga, diiringi suara cipratan yang terkadang membuat kita lupa sedang berada di dalam mal. Juga satu-satunya mal di Makassar yang menyulap rooftop menjadi taman dan membangun sebuah masjid di sana. Kehadiran masjid itu yang membuat Rana jatuh cinta di kunjungan pertamanya. Sensasi yang didapatkan saat berada di Nipa Mall memang cukup timpang dengan mal-mal yang sudah ada sebelumnya.
"Ran, nanti malam kamu ada acara?" Tiba-tiba suara Bian menginterupsi.
Sesaat Rana tampak kesulitan untuk menjawab.
***
[Bersambung]
Sebuah Kejutan di Nipa Mal
Bertetangga sekaligus diam-diam menyukai lelaki yang bercita-cita menjadi penulis profesional seperti Bara, tanpa sengaja menumbuhkan minat Rana pada dunia literasi. Meskipun ia baru bisa jadi pembaca, sama sekali belum tergerak untuk mencoba menulis.
---
"Barusan Bara ngajakin saya jalan, Pak. Katanya sebagai perayaan karena cerpennya berhasil menembus media bergengsi," jawab Rana akhirnya, dengan berat hati.
"Oh, gitu." Bian berusaha untuk tidak terlihat kecewa.
"Kalau Om ada waktu, boleh ikutan, kok," tawar Bara santai.
Rana langsung menyentil siku Bara yang bertumpu di sudut meja. Entah kapan anak ini bisa sedikit menghargai Bian sebagai atasan Rana.
"Nggak usah. Kalian aja."
"Tapi kalau memang ada yang penting, bisa ditunda, kok, Pak," kata Rana buru-buru saat Bian memutar badan hendak beranjak.
Bian menoleh. "Nggak, kok, nggak penting. Lanjutin aja rencana kalian." Setelah berkata sekenanya, Bian kembali hendak beranjak.
"Om!" Kali ini Bara yang mencegat langkahnya.
Bian kembali menoleh dengan kedua alis terangkat.
Bara sigap merebut koran dari tangan Rana, lalu memberikannya ke Bian. "Di situ ada cerpen saya. Kalau ada waktu luang, Om baca, ya," terang Bara sebelum Bian sempat bertanya.
"Oke. Kebetulan sudah lama aku tidak baca cerpen. Awas kalau tidak bagus." Bian menyunggingkan senyum tipis kemudian benar-benar berlalu kali ini. Ia berjalan santai menuju pintu khusus di sudut area sales untuk kembali ke ruangannya.
Setibanya di ruangannya, Bian mengeluarkan ponsel untuk menghubungi mamanya, sekadar ingin menyampaikan bahwa rencana untuk mengenalkan Rana nanti malam, batal.
***
Suasana Nipa Mall tidak beda jauh waktu terakhir kali Rana mengunjunginya sekitar seminggu yang lalu. Pengunjung masih didominasi orang-orang yang sebatas penasaran dengan interior bangunan yang memang sedang jadi buah bibir ini. Banyaknya spot berfoto yang bagus memuaskan hasrat mereka yang ingin mengabadikan momen bersama pasangan ataupun keluarga. Hanya seglintir yang berniat untuk belanja, sebab memang baru beberapa toko yang sudah beroperasi. Sebagian besar masih dalam proses persiapan.
Karena tidak ingin pulang kemalaman, Rana dan Bara langsung menuju bioskop yang berada di lantai tiga.
"Kita jadi nonton Suzzanna, kan?" tanya Bara saat sedang mengantre untuk membeli tiket.
Rana mengangguk, meskipun sebenarnya ia tidak suka nonton film horor karena akan lebih sering menutup mata daripada menikmati filmnya. Tapi kali ini tidak masalah. Lagipula ia tahu, sejak trailer-nya rilis, Bara sudah sangat antusias menunggu film remake dari ratu horor Indonesia itu.
Kalau boleh memilih, sejujurnya Rana pengin nonton film drama percintaan remaja yang diangkat dari salah satu novel jebolan Wattpad, yang kebetulan sudah ia baca hingga tuntas selama di-publish secara berkala. Ya, bertetangga sekaligus diam-diam menyukai lelaki yang bercita-cita menjadi penulis profesional seperti Bara, tanpa sengaja menumbuhkan minat Rana pada dunia literasi. Meskipun ia baru bisa jadi pembaca, sama sekali belum tergerak untuk mencoba menulis.
Sesuai dugaan, sepanjang film, Rana lebih sering menutup mata. Bahkan beberapa kali sampai menjerit saking kagetnya. Bukannya prihatin, Bara malah menertawakannya. Rana hanya membalas dengan menoyor pundak lelaki itu.
Bahkan setelah berada di luar bioskop pun, Rana masih sesekali bergidik ngeri terbayang adegan-adegan menegangkan yang baru saja menjejali kepalanya.
"Filmnya keren banget, ya?"
Rana kembali bergidik sebagai jawaban, membuat Bara terkekeh.
"Nanti kalau takut tidur sendiri, tinggal ketuk pintu aja, ya."
"Enak aja." Rana kembali menoyor pundak Bara.
Mereka sudah tiba di lantai satu, berjalan menuju sebuah restoran cepat saji.
"Papa!" Panggilan itu bersamaan dengan hadirnya sepasang lengan mungil memeluk kaki kanan Bara. Tangan kanan anak itu memegang miniatur Batman.
Tentu saja Bara kaget dan langsung menghentikan langkahnya. Ia menunduk dan melihat bocah lelaki berumur sekitar tiga tahunan yang kini mentapnya dengan mata berbinar dan senyum merekah sempurna.
"Kamu kenal?" tanya Rana heran.
Bara menggeleng tegas. Kemudian ia jongkok untuk menyeimbangi tinggi anak itu.
"Nama kamu siapa?"
"Kevin," jawab anak itu sambil tersenyum ceria.
"Lucu banget, ya?" Bara mendongak, meminta persetujuan Rana.
Rana mengangguk. Kemudian ia ikut jongkok untuk melihat anak itu lebih dekat.
"Mama kamu mana?" Kali ini Rana yang bertanya.
Kevin menggeleng.
"Kita cari mama kamu, ya," usul Bara.
Kevin kembali menggeleng. Kemudian tangan kanannya yang masih memegang miniatur Batman menunjuk ke restoran cepat saji yang tadi hendak dituju Bara dan Rana.
"Ooo, kamu lapar?"
Kevin mengangguk antusias.
"Ya udah, kita makan dulu. Tapi habis itu kita cari mama kamu, ya."
Kevin kembali mengangguk. Kali ini sambil lompat-lompat karena sudah tidak sabaran pengin segera makan.
"Bar, yakin nggak apa-apa?" Rana tampak khawatir.
"Loh, kita, kan, nggak mau nyakitin dia, malah pengin dikasih makan."
"Tapi orangtuanya pasti lagi panik nyariin."
"Nanti, kan, kita bantu cariin orangtuanya. Tapi sekarang makan dulu, anak ini udah lapar." Tanpa menunggu persetujuan Rana, Bara menggendong Kevin, kemudian melanjutkan langkahnya ke restoran cepat saji tadi.
Saat Bara menyodorkan buku menu, Kevin langsung menunjuk gambar burger, juga segelas minuman berwarna kuning. Ia tidak tahu kalau itu namanya jus jeruk. Yang penting warnanya sangat mencolok dan sangat menarik perhatiannya.
"Anak ini pasti anak orang kaya," tebak Bara sambil menoleh ke arah Rana yang berada di sebelah Kevin.
Rana mengangguk setuju. "Tampak pengalaman makan di restoran."
Bara dan Rana terkekeh. Kevin juga ikut-ikutan, tanpa tahu dia yang jadi topik pembicaraan.
Begitu pesanan mereka datang, Kevin langsung sibuk dengan burgernya. Miniatur Batman yang sedari tadi dimainkannya diletakkan begitu saja. Ia bahkan terkesan cuek pada Bara yang sesekali menggodanya. Kevin tampak lahap. Sesekali Rana membantunya memotong bagian-bagian tertentu untuk menghindari risiko tersedak.
"Punya anak rasanya kayak gini, kali, ya?" celetuk Bara.
"Kenapa, udah pengen?"
"Pengen, sih. Tapi gimana, ya, ibunya aja belum ada." Bara tertawa garing.
Rana yang sedang membantu Kevin minum hanya tersenyum sambil menggeleng geli.
Burger berukuran sedang tidak tersisa lagi di piring Kevin, begitupun segelas jus jeruknya. Anak itu tampak kekenyangan dan benar-benar puas.
"Udah kenyang?" goda Bara.
Kevin mengangguk malu-malu.
"Mau nambah?"
Kevin menggeleng sambil menepuk perutnya. Tingkah anak itu sukses menghibur Bara.
"Bar, mending buruan bayar, deh. Terus kita cari orangtua anak ini. Kalau perlu kita lapor ke satpam, sebelum kita dituduh penculik."
Mungkin karena telanjur suka dengan tingkah-tingkah lucu Kevin, Bara sama sekali tidak kepikiran kemungkinan buruk itu. Bara lekas berdiri, sementara Rana membantu Kevin turun dari kursi.
"Kevin?!" Saat itulah terdengar seorang perempuan memanggil nama Kevin dengan cukup keras, membuat beberapa pengunjung menoleh ke titik yang sama. Begitu pun dengan Bara dan Rana.
"Mama!" Kevin langsung melepas pegangannya di tangan Rana dan berlari ke arah perempuan itu.
Perempuan itu berjongkok sambil merentangkan tangan dan langsung menyambut Kevin dalam pelukannya. Kemudian ia menghujani anak itu dengan ciuman. Setelah merasa benar-benar lega, perempuan itu bangkit sambil menggendong kevin. Ia menghampiri Bara dan Rana.
Sedari tadi Bara tercengang bukan karena adegan dramatis pertemuan ibu dan anak yang sering ada di film-film, kini terjadi di depan mata. Ada hal lain.
"Dira?" tebak Bara setengah yakin setelah perempuan itu tiba di depannya.
***
[Bersambung]
Be Your Self
Tertawa itu gratis, jadi jangan sungkan. Pesona seseorang akan bertambah jika sering-sering tertawa.
---
"Kamu?" Berbeda dengan Bara, Dira malah langsung yakin, lelaki di depannya ini adalah orang yang pernah ditolongnya, yang sampai di perjumpaan ketiga ini masih belum ia tahu namanya.
Bara tersenyum kaku. Ia sedang shock. Di tempat umum seperti ini memang sangat memungkinkan siapa bertemu siapa, hanya saja Bara tidak menyangka akan bertemu Dira bersama seorang bocah yang memanggilnya "mama".
"Ini kebetulan ketiga, dan aku bahkan belum tahu namamu."
"Kurasa tidak ada kebetulan yang sampai tiga kali." Kemudian Bara mengulurkan tangan sambil menyebutkan nama.
Dira menyambutnya.
"Oh ya, Dir, kenalin, sahabatku, Rana."
Rana dan Dira lekas berjabat tangan dan bergantian menyebutkan nama.
"Ngomong-ngomong, makasih, ya, udah jagain Kevin. Aku benar-benar panik nyariin dia. Pasti kalian direpotin."
"Ah, nggak, kok. Kami malah senang banget bisa makan bareng anak selucu dia." Rana mengelus pucuk kepala Kevin yang tampak sangat nyaman rebahan di pundak Dira.
"Kok, bisa kepikiran dia ada di sini?" tanya Bara, yang masih belum berhasil mencerna sepenuhnya pemandangan yang ada.
"Sebenarnya aku udah keliling nyariin dia. Udah lapor satpam juga. Terus aku ingat, dari tadi dia merengek pengen makan burger. Tapi aku bilang nanti, karena kebetulan lagi ada urusan sama teman-teman kerja. Eh, tahu-tahu malah kabur."
"Lain kali lebih diperhatikan lagi, Mbak," ujar Rana sambil tersenyum ramah.
"Iya. Aku sangat menyesal dengan kejadian ini." Dira terus mengelus punggung Kevin, membuat mata anak itu semakin sayu. Sepertinya sebentar lagi akan tertidur.
"Oh ya, biar aku yang bayar, ya." Dira hendak beranjak ke meja kasir.
"Eh, nggak usah." Bara mencegahnya.
"Tapi--"
"Serius, nggak apa-apa!"
"Beneran?"
Bara mengangguk mantap. "Anggap aja udah dibayar dengan sebotol bensin," celetuknya kemudian.
Tawa kecil Dira mengudara sesaat. "Ya udah, kalau gitu aku duluan, ya. Kebetulan masih ada urusan. Sekali lagi terima kasih." Dira agak merundukkan kepala sebelum berbalik dan keluar dari restoran itu.
Bara mematung. Tatapannya menembus dinding kaca restoran, membuntuti Dira bersama Kevin hingga keduanya benar-benar tidak terjangkau lagi.
"Kamu baik-baik saja?" Rana membuyarkan lamunan Bara.
"Memangnya kenapa?"
"Dia yang kamu maksud titisan Luna, kan?"
Seketika bahu Bara merosot. Lelaki itu kemudian mengangguk lemah.
Rana menepuk pelan pundak Bara. "Pulang, yuk!" ajaknya kemudian.
Bara berbalik untuk mengambil ponselnya di atas meja. Gerakan tangannya terhenti saat melihat miniatur Batman tergeletak di samping ponselnya. Itu milik Kevin, tapi tidak mungkin mengejarnya sekarang. Bara memilih mengantongi benda mungil itu bersama ponselnya. Ia bisa mengembalikannya kapan-kapan.
***
Tadinya Bara pikir Bian mengerjainya, tiba-tiba muncul di WA dan mengajak ketemuan. Siang-siang begini? Tapi setelah kelasnya bubar, Bara bergegas ke parkiran dan benar-benar menemukan mobil Bian terparkir di sana. Bara langsung menghampiri dan mengetuk kaca depan setibanya.
"Ada apa, Om?" tanya Bara tanpa basa-basi setelah Bian menurunkan kaca.
"Aku perlu ngomong sama kamu."
"Soal?"
"Kita nggak mungkin ngobrol di sini, kan?"
"Jadi?"
"Kamu masih ada kelas?"
Bara melihat jam tangannya. "Aku punya waktu kosong kurang lebih sejam."
"Cukup. Ayo naik, kita cari tempat nyaman untuk ngobrol."
"Aku nggak akan diculik, kan?" celetuk Bara.
"Buat apa?" Tanya Bian datar. Padahal lebih pas kalau ia tersenyum, atau mungkin malah tertawa. Dasar memang lelaki tembok. Kaku.
Bara berdecak pelan sambil memutari bagian depan mobil untuk mengisi jok di samping kemudi.
Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di sebuah kafe yang tidak terlalu jauh dari kampus Bara. Mereka memesan snack dan soft drink untuk teman mengobrol.
"Aku udah baca cerpenmu."
Bara yang sedang menyedot minuman, nyaris tersedak. Ia tidak menyangka Bian akan membuka obrolan ini dengan kalimat itu." Bagus, nggak?" tanyanya antusias.
"Ya ... lumayan. Aku nggak nyangka, di balik tingkah kekanak-kanakan kamu punya pemikiran sekritis itu."
Bara merengut. "Saya lebih suka yang pasti, Om. Bagus, ya bagus. Jelek, ya jelek. Jangan lumayan."
Menerima protes, Bian malah terkekeh. "Iya, bagus," akunya kemudian.
"Nah, kan!" Bara menepuk tangannya sekali, saking senangnya dapat pujian langsung. "Sumpah, hari ini salah satu hari terindah dalam hidupku. Kapan lagi dapat pujian langsung dari orang kayak Om? Ditraktir pula."
"Bentar, orang kayak aku?" Bian mengernyit. "Emangnya aku kenapa?"
Bara menyedot minumannya beberapa kali untuk sekadar melegakan tenggorokan sebelum menjawab. "Maaf-maaf aja, ya, Om itu agak kaku." Bara menutup kalimatnya dengan cengiran lebar, berharap Bian tidak akan tersinggung.
Bian mencebik.
"Buktinya, sejak kenal, baru tadi aku lihat Om tertawa. Gara-gara habis baca cerpenku, kan?"
Bian hanya tersenyum geli sambil geleng-geleng. Mungkin semua tingkah meledak-ledak Bara yang justru membuat Rana betah bersahabat dengannya. Atau mungkin sampai mencintainya. Sejak dulu Bian sangat sulit memercayai kalau Rana hanya menganggap Bara sebatas sahabat.
"Kalau Om emang butuh, aku bisa nunjukin tulisan-tuisanku yang lain," tawar Bara penuh percaya diri.
"Nggak perlu." Bian mengibaskan tangan. "Lagian tadi itu hanya pembuka, biar kamu senang aja."
Kerutan halus muncul di kening Bara.
"Sebenarnya aku butuh bantuan kamu."
Kerutan tadi semakin dalam.
"Tapi sebelum kita lanjut, saya mau tanya satu hal sama kamu, dan tolong dijawab dengan serius."
Bara mulai bingung, akan mengarah ke mana pembicaraan ini?
"Kamu dan Rana benar-benar hanya bersahabat?"
"Iya, benar."
"Syukurlah." Bian bernapas lega.
"Kenapa?"
"Aku suka sama Rana. Tapi berhubung aku atasannya, selama ini aku bingung bagaimana harus mendekati dia. Dan jujur, aku iri sama kedekatan kalian."
"Om terlalu kaku, sih," timpal Bara.
"Karena itu, aku butuh bantuan kamu. Aku pengen bisa lebih dekat dengan Rana di luar hubungan kerja. Minimal bisa bikin dia nyaman."
"Mm ...." Bara tampak berpikir sejenak. "Dibayar, nggak, nih?" celetuknya kemudian.
Bian tersenyum geli sambil memijit keningnya. Benar-benar harus sabar berhadapan dengan Bara, padahal tadi ia sudah teramat serius.
"Santai, Om." Bara berdeham. "Jadi, aku bisa bantu apa?"
"Apa aja, yang menurutmu bisa membuat aku lebih mudah mendekati Rana. Kalau bisa bikin dia senyaman saat sama kamu."
"Wah, berat juga, ya!" Bara mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagunya, pura-pura memasang tampang sedang berpikir keras.
Bian menunggu tidak sabaran.
"Mungkin masalah terbesarnya karena Om kebetulan atasannya dia--"
"Tunggu." Bian menginterupsi. "Bisa tidak usah panggil om?"
"Oh, oke. Kita ulang." Bara pura-pura berdeham. "Mungkin masalah terbesarnya karena kamu kebetulan atasan dia. Kita coba benahi dari sisi ini dulu."
Bian memasang perhatian penuh.
"Coba kamu berdiri."
Bian mengernyit bingung, tapi pada akhirnya menurut.
"Nah, lihat penampilanmu."
Bian memandangi tubuhnya. "Kenapa?" tanyanya bingung.
"Ketuaan." Bara terbahak sambil memegangi perutnya.
Bian merengut sambil kembali duduk. "Sialan!" Ia melipat tangan di depan dada sambil memasang tampang kesal.
"Sori." Bara berusaha meredam sisa tawanya. "Kan, kamu sendiri yang minta bantuan. Boleh, dong aku jujur." Sisa-sisa tawa Bara masih mengudara sesaat. "Jadi jangan heran kalau selama ini aku lebih suka panggil kamu 'om'."
Bian kembali memijit keningnya. Minta bantuan Bara entah keputusan tepat atau tidak.
"Seorang atasan tidak harus pakai celana bahan plus kemeja dimasukin, kan?"
Memang tidak harus begitu, tapi Bian memilih tidak menjawab.
"Apalagi untuk ukuran toko bunga yang butuh suasana santai, fresh, dan ringan. Apa salahnya berpakaian lebih santai? Sesuai umur, Bro."
Bro? Bian tidak mempermasalahkan panggilan baru itu. Setidaknya jauh lebih baik daripada om.
"Jadi menurut kamu cara berpakaianku aneh?"
"Bukan aneh, tapi perlu dibikin lebih soft. Karena secara tidak langsung, penampilan formal seperti ini semakin menegaskan posisi kamu sebagai atasan, membikin kaku saat kamu mencoba berinteraksi dengan bawahan. Sesekali mengenakan jins dan sepatu kets, nggak masalah, kan?"
Bian tampak merenung, ia mulai membenarkan omongan Bara.
"Pokoknya mulai dari situ dulu, deh. Karena aku juga bukan pakar yang punya segudang trik untuk mendekati seseorang." Bara meraih gelas minumannya, menyedotnya beberapa kali. "Kalau mau deketin Rana, atau cewek mana pun di luar sana, kuncinya cuma satu, be your self. Jadi kamu nggak harus jadi aku untuk bisa dekat sama Rana. Karena aslinya aku emang seperti ini. Terlepas Rana suka atau nggak, aku akan tetap seperti ini. Kamu juga pasti punya sisi yang bisa bikin orang lain nyaman."
"Nah, kalau dewasa gini aku baru yakin, cerpen itu beneran tulisan kamu."
"Dasar! Jadi sebelumnya nggak percaya?"
Bian terkekeh.
"Satu lagi, sering-sering tertawa seperti itu. Gratis, kan? Pesona seseorang bertambah kalau sering-sering tertawa, loh."
"Sotoy!" timpal Bian.
"Nggak percaya? Coba aja ngaca sambil tertawa. Asal jangan keseringan, ntar disangka gini." Bara menbentuk garis miring dengan telunjuk di kening.
Sekali lagi Bian sukses dibikin terbahak. Sampai di sini Bian bisa menarik satu kesimpulan, Bara memang pribadi yang menyenangkan. Sekarang ia punya jawaban atas pertanyaannya selama ini, kenapa Rana sedemikian nyaman sama dia.
"Bentar, kamu serius suka sama Rana, kan?"
Bian mengangguk mantap.
"Benar-benar sayang?"
"Lebih dari apa pun," tegas Bian.
"Dia itu sahabatku, loh. Kalau kamu berani macam-macam, urusannya sama aku."
"Siap!" Bian mengacungkan jempol kanannya.
***
[Bersambung]
Kehilangan Memang Sakit
Kehilangan memang sakit. Terlebih untuk sesuatu yang tidak akan tergantikan oleh apa pun.
---
Hari ini Rana shift dua. Baru juga tiba di toko, ia sudah menerima laporan bahwa Helen tidak masuk. Padahal seharusnya ia shift pagi. Rana mendesah pelan. Ia sudah tahu masalah yang sedang dihadapi rekan kerjanya itu, tapi bingung bagaimana cara menolongnya. Rana takut salah bertindak yang ujung-ujungnya akan membahayakan dirinya sendiri.
Rana ke belakang untuk bersiap-siap dan mencoba menghubungi Helen. Gadis berhijab biru langit itu menunggu dengan sabar, tapi teleponnya tidak diangkat. Rana meletakkan ponselnya, lalu merapikan penampilannya di depan cermin. Mengingat Helen tidak masuk, beberapa pekerjaan pasti terbengkalai. Ia harus segera mengambil alih sebelum semakin menumpuk dan bikin pusing.
Sebelum keluar, Rana ingin mencoba menghubungi Helen sekali lagi. Tapi saat akan mengetuk nomor Helen di layar, panggilan Helen malah masuk menggetarkan ponselnya. Rana buru-buru mengangkatnya.
"Halo, Hel ...."
Helen langsung terisak di seberang sana. Sekadar membalas sapaan Rana pun tidak sanggup. Selama sekian detik begitu saja. Rana sabar menunggu sampai Helen tenang.
"Aku kabur, Ran." Usai mengucapkan kalimat itu dengan susah payah, Helen kembali terisak.
"Kabur?" Rana jadi sangat khawatir.
"Sekarang aku udah di jalan menuju Toraja. Ayah semakin menjadi-jadi, ia nyaris memperkosaku, Ran."
"Astagfirullah ...." Rana membekap mulutnya. Air matanya menetes begitu saja.
"Tolong sampaikan permintaan maafku ke Pak Bian, aku keluar dengan cara seperti ini. Padahal beliau sudah berbaik hati mempekerjakanku selama ini."
"Nanti pasti aku sampaikan. Kamu tidak usah khawatir soal itu, Pak Bian pasti ngerti."
"Aku juga mau minta maaf sama kamu, selama ini sering ngerepotin."
"Nggak, kok. Aku senang bisa kenal sama kamu. Lebih baik sekarang kamu tenangin diri dan fokus sama apa yang akan kamu jalani selanjutnya. Soal keputusanmu meninggalkan ayah tirimu itu, udah tepat banget, kok. Masih bangus nggak dilaporin ke polisi," gerutu Rana saking jengkelnya.
"Ya udah, nanti aku kabari lagi. Makasih, ya, Ran."
"Iya, sama-sama."
Sambungan telepon terputus. Beberapa jenak Rana masih mematung di posisi semula. Ia sangat prihatin dengan kemalangan Helen.
"Kok, mukanya tegang gitu, ada apa?" Suara Bian membuyarkan lamunan Rana.
"Eh, Bapak." Rana bangkit dari duduknya.
"Ada apa?" tanya Bian sekali lagi sambil memperhatikan mimik wajah Rana yang tampak aneh.
"Barusan Helen nelpon, Pak. Dia kabur dari ayah tirinya. Sekarang dia sedang di jalan menuju Toraja. Artinya, mulai hari ini dia tidak bisa lagi kerja di sini. Tadi dia nitip permintaan maaf ke Bapak."
Bian langsung memijit pelipisnya. Artinya, ia harus segera merekrut pegawai baru agar operasional toko tetap berjalan lancar seperti biasanya. Masalahnya, menemukan orang yang tepat bukan perkara mudah.
Rana melirik paper bag yang ditenteng Bian di tangan kanan. Di salah satu sisinya terdapat logo brand pakaian pria ternama. Sepertinya Pak Bos akan ada acara penting, dan ia baru saja belanja pakaian, begitu pemikiran Rana. Detik selanjutnya Rana menggeleng samar. Demi apa sampai ia mengira-ngira segala?
"Memangnya dia ada masalah apa?" tanya Bian setelah menghela napas panjang.
Maka mengalirlah cerita Rana sejak ia curiga Helen menyembunyikan sesuatu, juga soal keinginan sahabatnya itu mengenakan hijab.
Bian shock, tidak menyangka sepelik itu masalah yang dihadapi Helen. "Ya sudah, aku akan segera menemukan penggantinya," katanya sambil tampak menimbang-nimbang sesuatu. "Untuk sementara tolong kamu urus semuanya. Nanti aku kasih bonus di akhir bulan."
"Baik, Pak."
Teringat sesuatu yang ditentengnya, Bian segera masuk ke ruangannya. Ia masih tidak habis pikir benar-benar akan mengubah penampilannya sesuai saran Bara. Entah seperti apa respons pegawainya nanti.
***
Bara sedang menyendiri di taman kampus. Di pangkuannya laptop menyala sedari tadi. Kalau sudah luang, dan terkadang malas langsung pulang, ia memang senang menyepi di sini. Tempat ini cukup nyaman untuk menulis. Tapi kali ini ia malah sibuk dengan miniatur Batman di tangannya. Sedari tadi benda mungil itu dipandanginya larut-larut. Sesekali dibolak-balik.
"Sejak kapan kamu jadi kolektor miniatur superhero?" Riko menginterupsi lamunan Bara. Lelaki berambut kriwil itu langsung mengambil alih bangku kosong di samping Bara.
Bara hanya menghela napas gusar, malas menanggapi.
"Tapi kayaknya itu murahan, deh. Kelihatan banget dari bahannya." Tanpa permisi, Riko merebut miniatur itu, bermaksud melihatnya lebih dekat. "Hobi itu jangan tanggung-tanggung, Sob. Kalau kamu mau, aku bisa nunjukin pusat miniatur kulaitas pro harga kaki lima. Mau yang online juga ada."
"Berisik, ah!" sambar Bara akhirnya. Ia merebut kembali miniatur Batman itu. "Siapa juga yang mau ngoleksi ginian? Mending uangnya buat beli kuota."
"Terus?"
"Ini punya Kevin."
"Siapa Kevin?"
Sesaat Bara bingung menjawab. Entah bagaimana harus mengatakannya. "Anaknya Dira," sahutnya pura-pura enteng kemudian.
"Dira? Siapa Dira?" Riko menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
Bara hanya mendesah pasrah. Tapi sebelum ia kepikiran untuk menjelaskannya lebih lanjut, tiba-tiba Riko heboh setelah merasa familiar dengan nama Dira.
"Dira personel DAMKAR yang waktu itu?" pekik Riko.
Bara hanya mengangguk lemah.
"Yang cantik itu?"
Bara kembali mengangguk dengan gaya yang sama.
"Dia udah punya anak?" Riko melotot sempurna. "Astaga!" Kali ini sampai tepuk jidat.
"Lebay, deh." Bara menutup laptopnya, lalu memasukkannya ke ransel. "Udah, ah, aku mau balik." Lelaki berkemeja hitam itu bangkit dari duduknya, lalu beranjak tanpa berucap apa-apa lagi. Dari luar responsnya perihal status Dira memang tidak seheboh Riko, tapi nyatanya sejak tadi malam ia tidak bisa konsentrasi dalam segala hal karena terus kepikiran. Dira memang bukan siapa-siapanya. Tapi perasaan aneh ini tumbuh secara alami, menjalar sedemikian cepat.
***
Meski tidak yakin sesore ini kantor DAMKAR masih buka, Bara tetap nekat ke sana. Selain ingin mengembalikan miniatur Kevin, sesuatu seolah memanggil-manggil. Bara merasa perlu mengobrol sekali lagi dengan Dira, sampai ia benar-benar bisa berdamai dengan kenyataan, bahwa tidak ada yang patut diperjuangkan. Bayangan Luna yang seolah hadir dalam diri Dira biarlah menjadi kisahnya sendiri.
Sekitar 15 menit kemudian, Bara sudah tiba di kantor DAMKAR Kota Makassar yang berlokasi di Jl. dr. Ratulangi. Puluhan personel DAMKAR sedang berbaris rapi di halaman kantor. Sepertinya sedang apel. Tak ingin mengganggu, Bara memarkir motornya di tepi jalan, lalu merapat ke pos yang berada di samping gerbang. Di depan pos itu ada tempat duduk berupa pipa-pipa besi yang ditanam langsung di lantai beton. Di sanalah Bara duduk mengamati suasana.
Tak butuh waktu lama, Bara langsung bisa mengenali Dira di antara belasan Srikandi yang berkumpul di barisan paling kiri. Baret hitam berlencana logam yang melekat di kepala perempuan itu membuat Bara kagum. Terlebih saat membayangkannya beraksi di lapangan. Bara yakin, secuil pun ia tidak memiliki keberanian seperti Dira.
"Papa ...." Bukan hanya suara itu yang membuat Bara terkesiap, tapi juga hadirnya kepala mungil yang tiba-tiba sandar di lengannya.
"Kevin?" Bara setengah memekik saat mendapati anak itu di sampingnya. Entah kapan dan dari mana datangnya.
Pekikan Bara tadi nyaris bersamaan setelah apel dibubarkan. Mendengar nama Kevin, Dira langsung menoleh ke sumber suara. Senyumnya mengembang, senang sekaligus heran melihat Kevin bersama Bara di sana.
"Kamu, kok, bisa ada di sini?" tanya Dira begitu tiba di depan mereka. Bara tampak sedang menggoda Kevin.
Bara berhenti mencolek pinggang Kevin, mengangkat kepala dan melabuhkan tatapannya tepat di manik mata perempuan yang baru saja bersuara.
"Cuma 15 menit dari kampus. Tidak perlu seheran itu," celetuk Bara sambil tersenyum lebar.
Dira melepas baretnya, lalu merapikan selipan rambutnya di balik telinga. "Maksudnya, kamu ngapain ke sini? Ada perlu yang berkaitan tugas kulaihkah, atau ... apa?"
Bara sengaja bergeser sedikit, alih-alih mempersilakan Dira duduk. "Nggak, sih." Bara mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. "Aku cuma mau balikin ini," katanya sambil megacungkan miniatur Batman, yang sontak menarik perhatian Kevin. Anak itu bahkan langsung menyambarnya.
"Eh, Kevin nggak sopan, ah," tegur Dira.
"Nggak apa-apa, namanya juga anak-anak." Bara mengelus pucuk kepala Kevin.
"Tadi malam dia nggak bisa tidur gara-gara nyariin itu. Aku tawarin beli baru aja, dia malah nangis."
"Kehilangan memang sakit. Terlebih untuk sesuatu yang tidak akan tergantikan oleh apa pun." Bara lagi-lagi teringat Luna. Kenapa juga rasa sesak itu mampir setiba-tiba ini?
Dira bisa merasakan, kalimat Bara barusan keluar bersama aliran emosi yang sedemikian kuat. Kerutan halus tercetak di kening perempuan itu. Lelaki di sampingnya ini seolah sedang ancang-ancang untuk berbagi sesuatu, sesuatu yang mungkin benar-benar bisa mereka urai bersama suatu hari nanti.
***
[Bersambung]
Tameng
Mencintai diam-diam ternyata bisa menyenangkan sekaligus menyiksa.
---
Bara tersadar setelah hening menggantung beberapa detik. Ia mengerjap beberapa kali. "Eh, berarti untung banget, ya, aku balikin sekarang," ujarnya agak salting.
"Iya. Makasih, ya."
Bara mengangguk sembari tersenyum.
Dira memiringkan kepala untuk bicara sama Kevin. "Kevin, ayo bilang makasih sama Om."
"Makasih, Papa," kata Kevin tanpa menoleh. Ia sibuk melepas kangen dengan si Batman.
Lagi-lagi papa, membuat Bara tertawa geli.
"Duh, maaf, ya. Dia emang gitu, siapa aja dipanggil papa. Personel laki-laki di sini juga dipanggil papa semua."
"Oh gitu." Bara manggut-manggut. "Jujur, waktu di mal lumayan kaget, tapi sekarang nggak lagi. Itung-itung pembiasaan sebelum benar-benar jadi papa."
Mereka tertawa.
"Maaa, ester ...," rengek Kevin kemudian.
"Yah, dia ingat, deh. Kirain udah lupa setelah ketemu Batman." Tawa kecil Dira mengudara.
"Ester?" Bara mengernyit.
"Maksudnya es teler."
Bara ber-o tanpa suara, lalu cengengesan sambil geleng-geleng ke arah Kevin.
"Dia suka banget makan es teler di sana." Dira menunjuk sebuah kedai bercat hijau di seberang jalan.
Bara menegakkan punggung dan mengikuti arah telunjuk Dira.
"Mau cobain?"
Bara tercekat. Semangkuk es teler panas-panas begini tentu sangat nikmat. Tapi ... Bara merasa akan ada yang salah jika ia mengikuti ajakan Dira.
"Yuk!" Dira sudah bangkit dari duduknya. "Aku traktir. Itung-itung ucapan terima kasih karena kamu bela-belain ke sini cuma buat balikin si Batman."
Andai Dira tahu, bukan cuma itu.
Meski masih kesulitan berkata-kata, pada akhirnya Bara berdiri dan mulai berjalan berdampingan dengan Dira dan juga Kevin yang tampak tidak sabaran.
***
Mungkin sudah ratusan kali di pukul tujuh lewat lima belas menit seperti sekarang Rana melaluinya bersama Bara. Dibonceng lelaki itu menuju tempat kerja rasanya masih semendebarkan saat pertama kali. Rana memang bertekad untuk memperbaiki akhlak, menjadi sosok muslimah seutuhnya. Namun untuk menolak bersentuhan langsung dengan lelaki yang bukan mahram, ia belum tiba di titik itu. Bahkan, ia teramat payah untuk menolak menyesapi aroma khas tubuh Bara yang menguar dari punggung, juga dari gerakan-gerakan kecil saat lelaki itu menoleh kiri-kanan memperhatikan sesuatu di tepi jalan. Mencintai diam-diam ternyata bisa menyenangkan sekaligus semenyiksa ini.
Biasanya Bara akan berceloteh apa saja. Tentang tulisan-tulisannya, tentang usahanya menembus media tertentu, tentang perasaannya saat menerima email penolakan, tentang kegiatannya di kampus, hingga karakter teman-temannya. Ya, sampai ke tahap sereceh itu. Tapi tidak dengan pagi ini. Ia tampak lesu dan mendadak jadi pendiam. Sebenarnya Rana tahu penyebabnya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Biarkan saja dulu, sampai Bara menemukan alasan kuat, kenapa harus sepatah hati ini untuk seseorang yang baru dikenalnya. Karena perempuan itu mengingatkannya pada Luna? Jika iya, apa hanya karena sebotol bensin? Lalu, tidak adakah secuil pun perhatian Rana selama ini yang juga mengingatkannya pada Luna? Ah, seperti apa sebenarnya sosok gadis kecil itu? Rana sungguh ingin jadi duplikatnya.
Bara tentu saja tidak ingin seperti ini. Ini sungguh salah. Terlebih saat teringat momen kemarin sore. Dira benar, es teler di depan kantornya memang enak banget. Namun bukan itu yang membuat Bara terus terbayang. Tapi karena ia menikmatinya bersama perempuan yang sudah berstatus ibu. Memang tidak salah, mereka cuma teman, kan? Tapi perasaan tak semestinya terlalu cepat menjangkit seluruh sel hati Bara. Sekarang ia harus berjuang keras menanggalkannya.
***
Seperti biasa, Rana tiba hampir bersamaan dengan Bian. Kali ini Bian lebih cepat sekian detik. Ia sudah turun dari mobil saat suara khas matic Bara mengisi lembaran pagi di pelataran Toko Sakura.
Rana turun dari motor sambil mengernyit, mempertajam penglihatannya. Ia mendekat beberapa langkah demi memastikan, lelaki yang kini masih berdiri di samping mobilnya benar-benar Bian.
Sementara Bara hanya tersenyum sambil mengacungkan jempol saat Bian menatap ke arahnya. Ia tidak menyangka lelaki itu secepat ini mengikuti sarannya. Satu hal yang dapat Bara baca di situasi ini, niat Bian untuk mendekati Rana tidak main-main.
"Pagi, Bro!" sapa Bara sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Bro? Rasa heran Rana yang tadinya masih setengah, sekarang benar-benar memuncak. Terlebih saat Bian membalas, juga sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi. Tunggu, bahkan ia juga tersenyum sedemikian lebar. Wajah kakunya ia titipkan di mana pagi ini? Atau jangan-jangan Rana salah lihat?
"Hari ini Bapak nggak mau stay di toko?" Rana kembali mengamati penampilan Bian yang sangat timpang dibanding sebelum-sebelumnya. Tshirt Polo merah yang dijodohkan dengan jins slim fit biru pudar membuat lelaki itu lebih fresh. Sepatu kets putih mempertegas perubahan penampilannya.
"Stay, kok. Malah mau terjun langsung bantuin kamu. Kan, kita belum dapat penggantinya Helen. Jadi, hari ini tidak ada atasan, kita partner. Oke?" Kedua alis Bian terangkat.
Rana mengerjap heran. Bahkan gesture Bian saat bicara juga terasa beda, membuat Rana malah semakin bingung harus merespons seperti apa. Tadinya Rana pikir, dengan berpenampilan seperti itu, Bian ada acara di luar, atau sekadar meliburkan diri dari kesibukan di toko.
"Ran, ayo buka tokonya."
Rana terkesiap dari lamunan entah. Ia segera merogoh tasnya untuk menemukan anak kunci.
"Bro, duluan, ya!" pamit Bara.
"Hati-hati!"
Sejak kapan mereka seakrab itu? Rana kian melongo.
***
Suasana Toko Sakura di shift pagi hari ini benar-benar terasa berbeda. Semua itu karena Bian yang tiba-tiba berubah, seperti punya kepribadian ganda. Selama ini Bian memang bukan tipe atasan yang kalau muncul membuat bawahannya tiba-tiba diam, atau pura-pura sibuk. Dia tidak pernah marah-marah tidak jelas, selalu menegur sesuai porsi. Tapi untuk benar-benar berbaur dan tertawa bersama seperti hari ini, malah sesekali ia yang mengangkat topik, sungguh belum pernah sebelumnya. Semua perubahan itu semakin kental karena ia terpaksa turun tangan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan receh karena sedang kekurangan pegawai. Sedari pagi senyumnya terus bermekaran, mengalahkan seluruh jenis bunga yang ada di Toko Sakura.
Seolah melengkapi rasa heran bawahannya, hari ini Bian sengaja tidak makan di luar. Ia ikut memesan nasi kotak saat Rana izin pergi beli makanan. Sekarang ia sedang melahap menu makan siangnya bersama Rana. Tadinya Rana ingin membiarkan Bian makan sendiri, biar dia istirahat belakangan. Tapi Bian minta ditemani. Ini pengalaman pertama Rana istirahat dan makan bareng bos, wajar bila kaku. Makanan jadi terasa hambar semua.
"Bara nggak punya pacar, ya?"
Pertanyaan tiba-tiba Bian membuat Rana nyaris tersedak. Rana perlu minum dulu sebelum menjawab. "Setahu saya, sih, nggak punya. Emangnya kenapa, Pak?"
"Oh, nggak apa-apa." Bian lekas menimpali, takut Rana salah tanggap. "Karena selama ini semua waktunya seolah cuma buat kamu."
Rana tersenyum simpul. Entah, hanya karena ada yang menilai seperti itu membuatnya bahagia.
"Yakin, kalian cuma sahabatan?"
Kali ini Rana kesulitan menjawab. Sejenak ia berhenti mengunyah.
"Bara itu ... unik, Pak. Ia memang ceroboh, tapi mampu menangani beberapa pekerjaan di satu waktu. Ia memang pelupa, tapi mampu menepati target yang telah ditetapkan. Meskipun ia cukup optimis dan meledak-ledak dengan sejuta mimpi dalam genggamannya, tapi ia masih terlalu labil untuk menjalani sebuah komitmen. Sifat kekanak-kanakannya terkadang bikin saya gemas."
Tanpa sadar Rana sungguh menghayati kata per kata yang keluar dari mulutnya, hingga tiba di telinga Bian dengan penafsiran yang berbeda. Tidak salah lagi, Rana mencintai Bara. Yakin Bian dalam hati.
"Kalau aku?" tanya Bian lagi setelah memasukkan sesendok makanan ke mulutnya.
"Bapak kenapa?" Rana sungguh tidak paham.
"Katamu, kan, Bara itu unik, nah, kalau aku gimana?"
Pertanyaan itu membuat Rana terkekeh. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Bapak itu tipe lelaki idaman semua perempuan." Rana menekankan kalimatnya.
"Termasuk kamu, dong?" todong Bian.
"Apa, sih, Pak?" Rana kembali terkekeh. "Yuk, makan lagi," katanya menghindar.
Sampai makanan mereka habis, tidak ada lagi percakapan. Tapi saat Rana hendak berdiri untuk membuang kotak bekas makanannya, Bian kembali bersuara.
"Mm ... Ran, nanti malam orangtuaku ngadain acara syukuran hari ulang tahun pernikahan mereka. Kamu bisa datang, nggak?"
Rana mengernyit.
"Kalau nggak ada acara, sih." Bian sudah bersiap menerima penolakan.
"Kok, saya, Pak?"
Bian menghela napas panjang sambil meremas jemarinya. "Nanti malam pasti banyak banget teman-teman mama-papa yang datang. Biasanya mereka bawa putri mereka untuk dikenalin sama aku. Kalau ada kamu, setidaknya aku aman dari ritual itu."
"Jadi, saya mau dijadiin tameng?" Menurut Rana, ini menggelikan.
"Kalau nggak keberatan, sih." Bian menyuguhkan cengiran salting.
Rana tertawa. Bosnya ini ada-ada saja. "Boleh, deh, Pak. Nanti malam saya nggak ada acara apa-apa, kok."
"Serius?" Lingkar mata Bian membesar.
Rana mengangguk. "Itung-itung makan gratis. Atau kalau mau dimasukin jadi tambahan bonus akhir bulan, saya juga nggak nolak, Pak."
Kali ini Bian yang tergelak. Bisa ngobrol seakrab ini saja sudah cukup membuatnya bahagia.
"Kalau gitu, jam tujuh aku jemput, ya."
Rana mengangguk mengiyakan.
***
[Bersambung]
Fase Krusial
Apa pun tidak akan bertahan lama kalau datangnya bukan dari hati.
---
Rumah Bian tampak ramai. Keluarga dan teman-teman dekat orangtuanya mulai berdatangan. Mulai dari halaman depan hingga ruang tengah, orang-orang berlalu-lalang. Mereka bertegur sapa, berbagi cerita, dan sesekali tertawa bersama. Bian dan Rana baru saja tiba. Setelah Bian memastikan parkiran mobilnya tidak mengganggu pengguna jalan, mereka berjalan berdampingan. Kalau di acara-acara keluarga sebelumnya Bian lebih sering memisahkan diri, sekarang ia tampak sangat antusias menyapa orang-orang yang dilaluinya. Kehadiran perempuan cantik bergamis hijau tosca yang dipadukan dengan jilbab berwarna senada, menumbuhkan kepercayaan diri lelaki itu. Bian bermaksud langsung ke dalam untuk menemui kedua orangtuanya. Ia sudah tidak sabar ingin mengenalkan Rana, meski hanya ingin dikenalkan sebagai pegawai.
"Ma, Pa ...."
Pasangan suami istri yang tadinya sedang menyapa tamu, kini mengalihkan perhatian ke sumber suara.
"Bi, kamu lama, loh. Katanya cuma sebentar," protes Darma.
"Macet, Ma."
"Ini siapa?" Perhatian Darma dan Santo beralih ke perempuan anggun di sebelah Bian.
"Oh ya, kenalin, ini Rana."
Rana langsung meraih tangan Darma dan menyentuhkan ke keningnya. Setelahnya, ia beralih ke Santo dan melakukan hal yang sama.
"Ooo ... jadi ini yang sering kamu ceritain ke Mama?" goda Darma, yang sukses membuat Bian salah tingkah.
"Apa, sih, Ma?"
"Pak Bian cerita soal saya ke Tante?" Rana mendadak canggung. Jika benar, demi apa seorang atasan menceritakan bawahannya ke orangtuanya?
Darma mengangguk sambil tersenyum. Perempuan berusia 47 tahun itu langsung jatuh cinta dengan pembawaan Rana. Tipikal menantu idamannya seolah terangkum sempurna dalam diri Rana.
"Banyak. Hampir tiap hari ia ngomongin kamu," ungkap Darma tanpa ragu, mengabaikan peringatan berupa kedipan mata dari Bian yang berlangsung sejak tadi.
"Ma!" Bian benar-benar tidak enak sama Rana. Ia lupa mengantisipasi sikap mamanya yang memang suka keluar jalur.
"Selama ini sikap Bian ke kamu gimana?" Darma benar-benar tidak bisa dihentikan.
Rana lumayan bingung untuk menjawab. "Gimana apanya, Tante?"
"Galak, nggak?"
"Enggak. Justru Pak Bian baik banget."
"Dia nggak pernah bilang suka sama kamu?"
Rana menggeleng malu-malu.
"Ma!" Kalau saja tidak takut dosa, pasti sedari tadi Bian sudah membekap mulut mamanya.
"Sebenarnya dia suka sama kamu, tapi anak saya ini memang payah dalam dunia percintaan."
Sebagai perempuan dewasa, tentu saja Rana bisa membaca makna tersirat di balik perhatian-perhatian kecil yang selama ini Bian tunjukkan di balik kekakuannya. Mungkin karena itu, mendengar pernyataan Darma, terlepas benar atau tidak, ia tidak terlalu kaget.
"Percaya nggak percaya, di usia sematang ini, dia belum pernah pacaran."
Entah kenapa, Rana malah takjub mendengarnya.
"Benar-benar payah. Padahal dulu Papa nembak mamamu di pertemuan kedua, loh." Santo menambahkan, membuat Bian tepuk jidat.
Pasangan suami istri itu tertawa, seolah benar-benar puas 'menelanjangi' putra mereka di depan gadis yang dicintainya.
Rana menanggapinya dengan senyum kikuk.
"Ran, kita ke taman, yuk. Di sini rada panas." Tanpa perlu menunggu persetujuan, Bian segera berbalik dan menagmbil langkah panjang-panjang.
Rana segera menyusul setelah pamit kepada Darma dan Santo.
***
Di ulang tahun pernikahan kali ini, meskipun terbilang sederhana, orangtua Bian mengusung konsep ala-ala outdoor. Halaman yang cukup luas didekor sedemikian rupa. Tenda-tenda kerucut menghiasi beberapa sudut. Di bawahnya terdapat meja bundar yang dikelilingi tujuh kursi. Selain itu ada pula bangku yang diatur rapi di kedua sisi jalan yang membelah taman dari ujung gerbang hingga ke depan teras. Sisi kiri-kanan teras disulap menjadi stan aneka makanan dan minuman. Dijaga oleh beberapa orang dari pihak catering, yang sangat cekatan ketika persediaan mulai menipis. Kendati suasana di luar cukup hangat, beberapa tamu ternyata lebih nyaman berkumpul di dalam. Darma dan Santo terpaksa harus mondar-mandir untuk menyapa semuanya.
Sementara Bian dan Rana kini sedang berada di balkon, memperhatikan orang-orang itu mengobrolkan banyak hal dari atas. Keduanya sambil menikmati pudding cup di tangan masing-masing.
"Kamu nggak ngajakin Bara?" Bian bermaksud memecah hening, meski memilih topik jadi sangat sulit setelah mamanya blak-blakan tadi.
"Diajakin, tapi lagi sibuk." Rana jadi teringat ekspresi Bara saat mendatangi unitnya selepas magrib tadi. Lelaki itu termenung di meja. Akunya sedang menulis, tapi monitor laptop di depannya masih menampilkan halaman word kosong. Rana tahu persis Bara kenapa, tapi ia sama sekali belum menemukan padanan kata yang pas untuk sekadar menyampaikan, bahwa reaksinya itu tidak semestinya.
"Oh ya, yang tadi itu nggak benar, kan?" Rana sedang tidak ingin membahas Bara, tapi pengalihan topiknya sungguh buruk. Kalau bisa, ia sangat ingin menarik ucapannya, membuat Bian tidak pernah mendengarnya.
Bian tahu persis apa yang dimaksud Rana. Lelaki ber-blazer navy itu meletakkan pudding cup-nya, lalu mencengkeram tepi railing sambil mengatur pola napasnya.
"Kalau ternyata benar, kenapa?" Bian merasa seperti baru saja memuntahkan bongkahan besi yang selama ini mengganjal di tenggorokannya. Lega luar biasa. Meski diiringi pula rasa takut sikap Rana akan berubah setelah ini.
Detak jantung Rana mendadak tidak normal. Tanpa sadar, ia menggenggam pudding cup-nya lebih kuat, membuat isinya menyembul hingga nyaris tumpah.
"Maaf, Pak, saya mau ambil minum dulu. Bapak mau sekalian diambilin?" Rana bahkan sudah putar badan, meski tatapannya masih melekat di wajah Bian.
"Nggak usah. Aku juga mau turun. Kita gabung aja sama yang lain." Untuk menghabiskan sisa waktu yang ada, sebaiknya memang jangan berdua. Meskipun berawal dari blak-blakan mamanya, setidaknya Bian sudah berhasil membuat Rana tahu isi hatinya, sesuatu yang membuatnya gundah beberapa tahun ini.
***
Bara sedang bermain gitar di teras unitnya, lebih tepatnya melamun sambil memangku gitar saat Rana muncul dari balik pintu mobil yang baru saja dibukakan Bian. Saking khusyuk lamunannya, sampai-sampai ia tidak mendengar suara mobil. Tahu-tahu sedan hitam itu sudah terparkir di pinggir jalan depan kosan. Kemunculannya seolah-olah menggunakan mantra pemanggil.
Bara meletakkan gitarnya, lalu merapat ke sisi jalan.
"Cieee ... udah kayak pangeran dan putri dari negeri dongeng aja," goda Bara. "Sayang, naiknya mobil, bukan kereta kencana," imbuhnya, lalu terkekeh.
"Namanya juga generasi milenial." Bian tersenyum lebar.
Lagi-lagi Rana merasa aneh melihat interaksi keduanya. Tapi ... sudahlah. Ada hal yang jauh lebih penting yang harus Rana pikirkan sekarang.
"Terima kasih untuk malam ini, Pak. Senang banget bisa kenal dengan keluarga Bapak."
"Jadi ada yang habis dikenalin ke keluarga, nih? Wow!" timpal Bara sok heboh.
Rana refleks menyikut pinggang tetangga unitnya itu.
Bian hanya tersenyum geli sambil geleng-geleng. "Sama-sama, Ran. Malah aku yang harus berterimakasih."
"Bentar, kalau kalian butuh privasi, aku bisa masuk, kok," sela Bara.
Kali ini Rana mencubit perutnya. Bara pura-pura meringis.
"Ya udah, aku pulang, ya." Bian pamit.
Rana hanya mengangguk.
"Hati-hati, Bro!" Bara mengangkat jempol kanannya setinggi dada.
Sepeninggal Bian, Bara pikir Rana akan bercerita sesuatu. Nyatanya tidak. Gadis itu langsung masuk ke unitnya dan menutup pintu rapat-rapat. Bara membiarkannya. Ia kembali memangku gitarnya dan mulai menciptakan melodi entah sambil bersenandung lirih.
***
"Selamat pagi, Tuan Putri," sapa Bara begitu Rana muncul dari balik pintu.
Rana senang melihat lelaki beralis tebal itu tak lagi selesu kemarin. Tapi ... kenapa jadi tuan putri?
"Kok, tuan putri?" protes Rana sambil melangkah mendekat.
"Kan, udah ketemu pangeran." Bara menaik-turunkan alisnya.
"Jangan ngaco, deh!"
"Bian kurang apa lagi, sih, Ran?"
Rana mengernyit, cukup kaget mendapati Bara seolah tahu lebih jauh.
"Nggak perlu pakai peramal, siapa pun bisa menebak kalau Bian itu suka sama kamu." Bara menjawab pertanyaan yang tersirat di mata Rana.
Rana hanya menghela napas panjang.
"Masa depanmu akan terjamin sama dia."
"Tahu dari mana?" timpal Rana.
"Dia pekerja keras, mandiri, berpikiran jauh ke depan, sudah punya usaha, pokoknya sama dia kamu akan baik-baik saja."
"Kamu lupa satu hal, hati. Apa pun nggak akan bertahan lama kalau datangnya bukan dari sini." Rana menunjuk dadanya.
"Kamu lagi dapet, ya? Kok, baperan amat?" Bara merasa aneh dengan sikap Rana pagi ini.
"Nggak usah sok dewasa kalau sampai sekarang kamu belum bisa lupain Luna."
"Kok, jadi belok ke Luna?" Bara tidak habis pikir.
"Udah, ah, aku naik angkot aja." Rana melangkah panjang-panjang ke arah jalan poros.
"Lah, kita nggak jadi barengan?" Bara segera menstarter motornya dan menyusul Rana.
***
[Bersambung]
Kabar Duka
Entah seperti apa pola pikir orang-orang yang selalu beranggapan bahwa cinta itu mudah. Karena apa-apa yang berkaitan dengan sesuatu tak kasat mata nyatanya lebih rumit dari semua jenis rumus perhitungan yang ada di muka bumi.
---
Pagi ini dibuka dengan kecanggungan. Satu hal yang disyukuri Bian, sikap Rana terhadapnya tidak berubah. Meski memang agak kaku. Itu sangat wajar. Seiring menit bergulir, kecanggungan itu perlahan-lahan larut ditelan kesibukan. Lalu diam-diam Bian bertanya dalam hati, apa yang akan terjadi selanjutnya? Setelah berhasil melewati fase paling krusial, apakah tinggal menunggu dalam senyap? Atau terang-terangan meminta jawaban? Atau malah membiarkan waktu menguapkannya tanpa jejak? Bian benar-benar tidak habis pikir bagaimana pola pikir mereka itu yang selalu bilang cinta itu mudah.
***
Rana selalu berusaha bersikap profesional dalam menjalani pekerjaannya. Karena itu, ia tidak sembarang menerima telepon di jam kerja. Tapi karena panggilan ibunya kembali menggetarkan ponselnya untuk kali kedua, Rana segera meminta izin kepada Bian untuk mengangkatnya.
Setelah diizinkan, Rana berlari-lari kecil ke belakang sambil menjawab telepon ibunya, sebelum waktu tunggunya habis. Rana yang sudah tiba di depan ruang istirahat mendadak lemas saat mendengar tangis ibunya. Pasti ada yang tidak beres, pikirnya. Kemudian dadanya seperti dihantam palu saat mendengar kabar duka yang keluar bersamaan raungan tangis ibunya. Rana terhuyung. Ia hampir terjatuh kalau saja tangan kirinya tidak sigap bertopang di dinding. Kini air mata Rana juga sudah membanjir.
"Rana akan pulang, Bu," katanya susah payah, lalu mematikan sambungan telepon.
Rana yang merasa lemas membiarkan tubuhnya merosot hingga terduduk di lantai. Ia berusaha meredam tangisnya sebelum ada yang melihat. Ia tidak ingin mengganggu suasana kerja. Tapi terlambat. Bian yang masuk untuk mengisi botol semprotannya dengan cairan khusus anti bakteri, sudah melihatnya.
"Kamu kenapa, Ra?" Bian langsung jongkok di samping Rana.
"Adik saya meninggal, Pak." Bahu Rana kembali terguncang keras.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un ...," desis Bara, lalu tertegun.
"Aku boleh izin pulang sekarang, Pak?" Rana menyusut air matanya.
"Oh, tentu!" jawab Bian secepat kilat. "Mau pulang kampung?" imbuhnya.
Rana mengangguk.
"Aku antar, ya."
"Nggak usah, Bone itu jauh, Pak."
"Iya, tahu. Karena jauhnya itu, sebaiknya aku anterin. Kamu pasti pengen segera tiba, kan?"
Rana memang ingin segera tiba di kampung halaman untuk berbagi kesedihan dengan ibunya. Tapi rasanya sangat memberatkan kalau ia harus menerima tawaran Bian.
"Kalau naik mobil sewa pakai nunggu lagi, loh. Belum tentu ada yang mau berangkat jam segini."
Bian benar.
"Atau mau minta dianterin Bara?" Bian curiga.
Rana menggeleng. Meski sempat berpikir begitu, tapi sebaiknya jangan. Selain sibuk mengerjakan tulisan, Bara harus kuliah.
"Ya udah, berarti sama aku aja." Bian berdiri. "Ambil tasmu, sekalian aku anterin ke kos dulu buat berkemas. Dari kosanmu kita ke rumahku sebentar, aku harus pamit sama mama, sekalian ambil pakaian ganti." Usai berkata demikian, tanpa perlu menunggu persetujuan Rana, Bian masuk ke ruangannya. Ia harus memastikan beberapa hal sebelum meninggalkan toko.
***
Enam jam bukan waktu yang singkat untuk sebuah perjalanan. Dan akan terasa lebih lama karena Rana melaluinya bersama Bian, bos yang sudah terang-terangan mengakui perasaan spesial di hatinya. Ditambah duka yang sedang membalut hatinya. Tiba-tiba Rana merasa bersalah karena tidak menyempatkan waktu untuk pulang menjenguk adiknya. Ah, tidak ada gunanaya menyesal. Rana hanya ingin segera tiba di rumah.
Sesekali Bian melirik Rana yang terus-terusan meneteskan air mata. Hatinya sungguh pilu menyaksikan hal itu. Tapi Bian tidak bisa berbuat apa-apa. Air mata itu sangat wajar untuk seseorang yang sedang kehilangan.
Rumah keluarga Rana berada di Kelurahan Bajoe, bersebelahan dengan laut. Suasana di sepanjang tanggul yang dilewati mobil Bian tampak sangat nyaman untuk bersantai sekadar menikmati angin laut. Tapi tentu saja bukan sekarang.
Rumah mungil itu sudah disesaki pelayat. Beberapa orang membentuk kelompok-kelompok kecil di depan rumah. Empat bapak-bapak tampak sibuk menyiapkan keranda.
Begitu mobil Bian berhenti, Rana langsung turun. Meski tergesa-gesa, Rana menyempatkan diri menyalami para kerabat dan tetangga yang kebetulan melihat kedatangannya.
Setibanya di ruang tengah tempat jasad adiknya terbujur, pertama-tama Rana langsung melabuhkan diri dalam pelukan Sakka, ibunya. Tangis mereka seketika bersahutan. Kedua adik Rana lainnya ikut merapat, saling merangkul, berbagi kekuatan. Rana menyingkap kain penutup jasad adiknya di bagian atas. Ia mengelus kedua pipinya, lalu mengecup keningnya. Rana sungguh tidak mampu menarik diri dari kubangan rasa bersalah. Seharusnya ia langsung pulang saat mendapat kabar adiknya masuk rumah sakit. Sakka telaten mengelus punggung Rana, mencoba meredakan gemuruh apa pun yang sedang menguasai putri sulungnya itu.
Bian mampir di teras, bergabung bersama bapak-bapak yang larut dalam beragam obrolan. Bian menyalami mereka satu per satu, memperkenalkan diri sebagai temannya Rana. Setelahnya, Bian lebih banyak diam, karena bapak-bapak di sekelilingnya serius mengobrol dalam bahasa Bugis. Bian tidak paham.
Pemakaman berlangsung sekitar jam lima sore. Bian ikut mengantar. Rana, ibu, dan kedua adiknya, juga tiga orang kerabat ikut di mobilnya. Sekali lagi Rana tampak sangat terpukul. Ini memang sudah jadi ketentuan Yang Maha Kuasa, tapi tetap saja ada rasa bersalah yang mendiami relung hati Rana. Sebagai seorang Kakak sekaligus tulang punggung keluarga, minimal ia bisa mengupayakan pengobatan yang lebih baik.
"Nak Bian sebaiknya nginap aja, ya. besok baru pulang." Suara serak Sakka memulai obrolan di dalam mobil sepulang dari pemakaman.
"Iya, Bapak pasti masih capek, kan? Lagipula nyetir sendirian malam-malam kurang aman. Bukannya apa, takut Bapak ngantuk karena nggak ada teman ngobrol." Rana menambahkan. Sisa air mata masih membekas di pipi gadis itu.
"Baik, Bu," ujar Bian, lalu mengangguk juga sambil tersenyum ke arah Rana. Mengemudi sendirian di malam hari tentu tidak masalah bagi Bian, tapi ia memang berniat untuk tinggal sampai besok. Ia ingin menemani Rana melewati ini semua.
***
Malam hari, lantunan ayat-ayat suci Al-Quran memenuhi rumah duka. Menjalar hingga ke sudut-sudut kampung. Bian ikut mengaji bersama pemuka-pemuka agama dan beberapa anak remaja masjid yang datang sejak bakda magrib tadi. Sementara Rana dan beberapa sepupu perempuannya sibuk di dalam, menyiapkan makanan dan minuman ala kadarnya untuk mereka.
Pengajian untuk malam ini berlangsung sampai pukul sembilan, tapi ada juga yang tetap tinggal hingga sejam setelahnya. Bian sedang menyendiri di teras, menatap ke arah laut yang gelap sempurna. Hanya lampu-lampu di pelabuhan yang menjadi penerangnya, juga beberapa titik cahaya kecil yang berasal dari kapal-kapal nelayan.
"Bapak nggak istirahat?" Rana datang menyela keasyikan Bian menyesap aroma laut.
"Sebentar lagi."
"Nanti Bapak tidur di kamar depan, ya. Saya biar gabung sama ibu dan adik-adik di dalam."
Bian hanya mengangguk. Sebenarnya ia tidak masalah kalau harus tidur di lantai.
"Saya izin tinggal beberapa hari lagi, ya, Pak. Saya masih belum sanggup ninggalin Ibu."
"Iya, nggak apa-apa."
Rana tersenyum datar. "Saya masuk dulu, Pak, mau nemenin Ibu."
Bian mengangguk mempersilakan, lalu mengembalikan tatapannya ke fokus semula.
Sebelum ke dalam, Rana mampir sebentar membereskan kamar depan yang akan ditempati Bian malam ini. Biasanya kalau pulang, ia tidur di situ. Saat merapikan seprai, Rana menemukan ponselnya tergeletak begitu saja di sisi bantal. Rana kaget melihat puluhan panggilan tidak terjawab dari Bara. Astaga, Rana baru ingat, ia belum mengabari lelaki itu. Di WA, pesan Bara juga masuk secara beruntun. Lelaki itu protes karena Rana pulang tidak bilang-bilang.
Rana_: Maaf, Bar, aku benar-benar kalut tadi, sampai-sampai lupa ngabarin.
Bara_: Ditelpon nggak diangkat, dichat nggak direspons. Aku khawatir, tahu.
Rana_: Tadi sama sekali nggak sempat pegang hp.
Bara_: Aku kaget banget waktu dapat kabar adikmu dari orang toko. Terus mereka juga bilang, kamu pulang diantar Bian.
Rana_: Sekali lagi maaf, aku benar-benar lupa ngabarin.
Bara_: Iya, nggak apa-apa. Turut berduka, ya, Ran.
Rana_: Makasih, Bar.
Bara_: Kamu kapan balik ke sini?
Rana_: Mungkin lusa. Aku udah izin sama Pak Bian.
Bara_: Kalau gitu tunggu, ya, besok sore sepulang kuliah aku ke situ. Lusanya kita barengan pulangnya.
Seketika sudut bibir Rana tertarik membentuk lengkungan tipis.
Rana_: Bar, aku minta maaf, ya. Sikapku tadi pagi nggak banget.
Bara_: Udah, lupain aja. Aku yang salah karena udah sok-sokan menilai lelaki yang pantas buat kamu.
Rana_: Sampai jumpa besok.
Bara membalas dengan emotion senyum. Rana ikut tersenyum, tapi tidak ikut mengirimkan emotion. Ia mengantongi ponselnya dan lanjut merapikan kamar itu.
***
[Bersambung]
Lagi, Kabar Duka
Rana belum pernah menerima sinyal apa pun berupa kemungkinan Bara juga akan merasakan hal yang sama. Ia murni mencintai sepihak. Dan ajaibnya, ia cukup bahagia dengan status sahabat yang menaungi mereka selama ini.
---
Pukul tujuh, Bian sudah bersiap untuk pulang. Ditemani Sakka dan Rana, ia sedang menikmati secangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng. Bian tampak gelisah, ia mengetuk-ngetuk pinggiran meja dengan jari telunjuk. Sejak tadi malam ia kesulitan tidur karena memikirkan hal ini. Ia sudah merancang beberapa kalimat dengan cukup baik, sampai-sampai rasanya sudah menggantung di ujung lidah. Bila tidak dikatakan, sepanjang perjalanan pulang ia tidak akan tenang, atau malah menyesal selama berminggu-minggu ke depan.
Bian berdeham, lalu kembali melegakan tenggorokannya dengan isi cangkir di depannya yang tersisa setengah. Bian menegakkan punggung, lalu meremas jemari tangannya sambil mengisi paru-parunya dengan oksigen secukupnya.
"Bu, sekali lagi saya turut berduka. Semoga Ibu, Rana, dan segenap keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan." Sebagai pembuka, kalimat barusan penuh kehati-hatian.
"Makasih, Nak Bian. Makasih juga karena sudah mengantar Rana pulang." Sakka tersenyum hangat. Matanya masih sembab.
"Bu, saya tahu ini bukan waktu yang tepat. Tapi ... saya tidak akan tenang jika tidak mengatakannya sebelum pulang."
Sakka mengernyit, terlebih Rana. Mereka menebak-nebak arah omongan lelaki jangkung berkulit putih di depan mereka.
"Saya mencintai Rana, Bu." Bian nyaris tercekat. Ia buru-buru menelan ludah dan berusaha kembali menguasai diri.
Deg!
Rana melongo dan merasakan udara di sekitarnya tiba-tiba memanas.
Sementara Sakka, pengakuan Bian serupa angin sejuk, serta-merta mengaliri hatinya yang masih berkabung. Sejak Bian mengenalkan diri kemarin, Sakka langsung menyukai pembawaan lelaki itu. Tidak buruk, bahkan dianggapnya sangat pantas untuk mendampingi Rana.
"Saya menginginkan Rana menjadi pendamping hidup saya."
Rana menunduk kian dalam.
"Jika Ibu tidak keberatan, saya akan membawa kedua orangtua saya ke sini untuk melamar Rana sesuai adat yang berlaku."
Secepat itu? Perasaan Rana semakin tidak keruan.
"Ibu bahagia sekali mendengarnya. Tapi, segala keputusannya Ibu serahkan ke Rana." Sakka menoleh ke arah putrinya sambil tersenyum.
Rana masih belum bisa mengangkat pandangannya.
"Gimana, Ran?" tanya Bian hati-hati.
Rana tidak bersuara.
"Nak ...." Sakka menyentuh pundah Rana.
Rana mendesah pelan, lalu menegakkan kepala dan melabuhkan tatapannya di manik mata lelaki yang sedang menunggu jawaban.
"Saya nggak harus jawab sekarang, kan, Pak? Saya butuh waktu."
Meski agak kecewa, pada akhirnya Bian tersenyum tidak mempermasalahkan.
"Baiklah, kalau begitu saya pamit, Bu, Ran." Bian bangkit dari duduknya. Ia meraih tangan Sakka dan menyentuhkan ke keningnya.
"Hati-hati!" pesan Sakka.
Kepada Rana, Bian hanya tersenyum sekali lagi. "Sampai jumpa di Makassar," katanya.
Rana membalas dengan senyum kaku.
***
Sepeninggal Bian, Rana mencoba menyibukkan diri dengan membantu ibunya membereskan seisi rumah, juga menyambut kerabat jauh yang baru sempat datang hari ini. Sorenya, Rana sibuk di dapur menyiapkan kudapan untuk pengajian nanti malam.
Semakin sore, kesibukan perlahan-lahan mulai surut. Pikiran Rana kembali dipenuhi oleh pernyataan Bian tadi pagi. Rana baru yakin, Bian benar-benar mencintainya. Sampai detik ini ia masih belum tahu harus memutuskan apa. Rana tahu persis, ibunya sangat menyukai Bian. Meski tidak diucapkan, perempuan berumur 54 tahun itu tentu sangat berharap Rana membalas perasaan Bian.
Tiba-tiba Rana teringat Bara. Lelaki itu janji akan menyusulnya sepulang kuliah. Jam segini biasanya kuliah Bara sudah selesai. Apakah ia sedang bersiap untuk berangkat? Atau malah sudah berangkat? Rana ke kamar ibunya untuk mengambil ponsel. Ia ingin menghubungi Bara. Bahkan setelah ada lelaki yang jelas-jelas serius mencintainya, perasaan Rana terhadap Bara belum bergeser sedikit pun. Tapi sampai kapan Rana harus berharap pada sesuatu yang tidak pasti? Ia bahkan belum pernah menerima sinyal apa pun berupa kemungkinan Bara juga akan merasakan hal yang sama. Ia murni mencintai sepihak. Dan ajaibnya, ia cukup bahagia dengan status sahabat yang menaungi mereka selama ini.
Rana duduk di tepi ranjang sambil mengecek ponselnya. Diabaikan setengah hari, banyak sekali panggilan tidak terjawab. Tapi anehnya, ada beberapa nomor tidak dikenal. Rana beralih ke WA, lagi-lagi menemukan belasan panggilan tidak terjawab dari Bian sekitar sejam yang lalu, serta sebaris pesan yang seketika membuat tangannya gemetar.
Bian_: Kosmu kebakaran dini hari tadi.
Rana langsung teringat Bara. Ia sangat mengkhawatirkannya. Tanpa menunda-nunda, Rana langsung menelepon Bara. Sambungan pertama tidak diangkat. Sambungan kedua sama saja. Rana bangkit dari duduknya, mondar-mandir di depan ranjang sambil memegangi kepalanya. Rana mulai frustrasi. Air matanya merembes begitu saja.
Tak ingin menyerah, Rana mencoba sekali lagi.
"Halo ...." Kali ini langsung diangkat di detik ketiga. Tapi suara perempuan, membuat Rana mengernyit.
"Siapa ini?"
"Saya Dira. Ini Rana, kan?"
Rana tidak menjawab. Kenapa ponsel Bara malah sama Dira?
"Kita pernah ketemu di mal waktu itu."
"Iya, aku ingat, kok. Kamu lagi di mana? Kok, bisa sama Bara?"
"Ini lagi di rumah sakit."
"Rumah sakit?" pekik Rana. "Bara mana?"
"Bara lagi tidur, habis dikasih obat penenang. Maaf, terpaksa aku yang angkat telepon kamu. Kamu pasti khawatir banget, kan?"
"Lalu ...?" Rana tercekat. Banyak sekali pertanyaan di kepalanya yang seolah berdesakan hendak keluar menuntut penjelasan. Bagaimana Bara sekarang? Apakah ia terkena api? Apakah ia terluka?
"Tim kami tiba di lokasi setelah beberapa unit sudah berada dalam lingkaran api. Api yang bersumber dari ledakan gas elpiji bergerak sangat cepat. Untungnya tidak ada korban jiwa. Hanya penghuni unit tempat api berasal yang menderita luka bakar ringan. Unitmu bahkan tidak tersentuh api. Sementara unit Bara, api baru menjalar di plafon teras dan pintu. Anehnya, bukannya lari, dia malah beringsut di pojokan."
"Bara pyrophobia," timpal Rana. "Ia bahkan tidak berani menyalakan korek," tambahnya dengan suara bergetar.
Di seberang sana, Dira manggut-manggut seakan mulai paham.
Rana sungguh kalut membayangkan perasaan Bara dalam kesendirian sementara api menjilati pintu unitnya. Tanpa sadar air mata Rana menderas. Sungguh, ia ingin segera balik ke Makassar untuk memastikan kondisi Bara.
"Jadi karena itu, dia jadi bertingkah aneh tadi? Bahkan sesekali tampak ingin berontak."
Ya, Tuhan. Rana sangat ingin berada di sisi Bara saat ini.
"Tapi kamu tenang aja. Kata dokter, dia cuma shock. Semoga saat bangun nanti dia udah nggak ketakutan lagi."
"Kalau dia bangun, tolong bilangin, aku segara datang."
"Baik."
"Makasih, Dir. Assalamualaikum." Rana menutup sambungan telepon setelah Dira membalas salamnya.
***
Bara terjaga menjelang isya. Ia menemukan Bian di sisi ranjang saat berusaha mengenali tempatnya berada.
"Bagaimana keadanmu, Bro?"
Bara tersenyum lemah.
"Rana sedang di jalan. Dia langsung pesan mobil begitu tahu kabar ini. Tadi dia minta tolong sama aku untuk bawain kamu ini." Bian meraih kotak berisi mi goreng di atas nakas. "Katanya kamu suka banget sama mi goreng Mas Paijo di seberang kosan kalian." Bian membuka tutupnya. Aromanya langsung menguar. "Bangun, yuk, makan dulu."
Bara bangun pelan-pelan, hingga duduk di tepi ranjang dengan kedua kaki menjuntai. Ia menerima kotak mi goreng yang disodorkan Bian.
"Atau mau aku suapin?" Bian sengaja memancing tawa Bara. Mukanya terlalu kusut soalnya.
"Ada-ada aja." Bara terkekeh ringan.
Sambil mengunyah suapan pertama, Bara teringat kosannya.
"Jadi kosannya hancur, gitu?"
"Aku belum sempat ke sana. Tapi katanya beberapa unit memang ludes. Beruntung, unitmu baru disambar bagian depan. Sementara unit Rana bahkan tidak tersentuh api sama sekali."
Bara sangat lega mendengarnya. Padahal tadinya ia sudah ikhlas kehilangan laptop dan semua proyek tulisan di dalamnya.
"Sebaiknya kalian pindah saja dari sana. Pengelolanya juga pasti butuh waktu untuk membangunnya kembali."
Bara memang berpikiran demikian. Tapi mencari kosan yang nyaman, murah, dan aman gampang-gampang susah.
"Nanti aku bantu cariin. Aku gabung di komunitas Pengusaha Muda Makassar, beberapa membernya pengelola kos-kosan. Kebetulan kami lumayan akrab."
Bara menanggapinya dengan senyum, lalu kembali menyantap mi gorengnya.
"Ya udah, aku balik dulu, ya. Masih ada urusan di toko. Pekerjaan Rana terpaksa aku yang handle dulu."
"Makasih, Bro."
"Habiskan makananmu, lalu istirahat lagi. Kamu harus pulih selincah dulu. Kamu jelek kalau duduk di ranjang rumah sakit seperti ini."
"Dasar!" Bara tertawa.
Bian menepuk pelan pundak Bara sebelum keluar dari bangsal itu.
***
[Bersambung]
Ketika Sesuatu Harus Diputuskan
Aku ingin menantang api yang telah merenggut nyawa kedua orangtuaku. Aku tidak ingin korban kebakaran merasakan kehilangan seperti yang kurasakan. Aku ingin menjadi pahlawan bagi mereka.
---
Hampir pukul sepuluh. Riko dan beberapa teman kampus yang lain baru saja pulang. Bara kembali rebahan, tapi sama sekali tidak berniat untuk tidur. Ia menunggu Rana. Berkali-kali ia mengecek ponselnya, mana tahu ada pesan dari Rana. Nyatanya tidak ada. Pasti masih di jalan. Bara juga sengaja tidak menghubunginya. Ia tahu, Rana kalau naik mobil paling anti main hape, katanya gampang mabuk.
“Tadinya aku pikir kamu sudah tidur.” Seseorang datang. Bara berharap itu Rana, tapi bukan.
Dira meletakkan kantong plastik berisi buah di atas nakas, lalu mengisi kursi kosong yang tersedia di samping ranjang Bara.
“Pake bawa buah segala. Kayak aku lagi sakit aja,” sambut Bara sambil tertawa ringan. Ia bangun dan duduk bertelekan di tepi ranjang.
“Lah, emang lagi sakit, kan?”
“Aku udah nggak apa-apa. Malah tadi udah mau pulang. Tapi kata dokter besok pagi aja.”
Sejenak hening.
“Aku baru tahu kamu pyrophobia.” Dira memulai topik yang memang cukup menyita rasa penasarannya sejak Rana mengatakannya di telepon tadi.
“Daripada phobia, aku lebih suka menyebutnya trauma. Emang sama aja, sih, tapi phobia terdengar lebih mengerikan. Aku berharap suatu saat bisa sembuh, dan menganggap api bukan lagi sesuatu yang menakutkan.” Bulu-bulu Bara berdiri saat menyebut kata “api”. Ya, separah itu.
“Trauma? Ada pengalaman buruk?”
Bara mengangguk. Ingatannya kembali ke masa kecilnya bersama Luna, di suatu sore yang tragis.
***
Sore itu Luna tampak sangat manis dalam balutan mini dress bermotif polkadot. Seperti biasa, setelah tidur siang sepulang sekolah, waktunya bermain. Luna menyeret Bara ke belakang rumah. Di sana ada rumah pohon yang kemarin baru selesai dibuatkan ayahnya. Ia minta tolong kepada Bara untuk menaikkan beberapa peralatan masak-memasak yang selama ini memang sering dimainkannya. Juga sebotol minyak tanah yang diselundupkannya dari dapur. Katanya, untuk meresmikan rumah pohon itu, ia akan memasak sesuatu untuk Bara. Tentu saja Bara tahu itu hanya lelucon. Mana bisa Luna masak? Selama ini yang disebutnya masakan hanya kumpulan daun-daun yang dipetik sembarangan, kemudian direbus hingga mendidih. Sama sekali tidak bisa dimakan. Kendati demikian, Bara tampak antusias. Sebab apa-apa yang dikerjakan bersama teman sedari lahirnya itu, memang selalu menyenangkan.
Berkat kerjasama yang baik, seluruh peralatan berhasil mereka naikkan ke rumah pohon berdinding tripleks yang tingginya tak lebih dari dua meter itu. Luna mengatur perabotannya. Bara menurut ketika disuruh ambil ini-itu. Setelah dianggap rapi, Luna bersiap untuk memasak. Berbekal setumpuk kertas, ia membuat api dalam tungku yang terbuat dari kaleng bekas. Setelah api berkobar, ia meletakkan panci yang sudah diisi air di atasnya. Sambil menunggu mendidih, ia menyiapkan bahan-bahan berupa aneka macam daun. Bara ikut mengiris daun-daun itu hingga berubah bentuk menjadi bagian-bagian kecil menyerupai mi. Setelah selesai, Luna cekatan memindahkannya ke dalam air yang mulai mendidih. Saat itulah bencana terjadi. Tangan Luna tidak sengaja menyenggol botol minyak tanah yang berada tepat di samping tungku. Isinya tumpah dan menyebar di permukaan lantai. Dalam sekejap api di dalam tungku langsung berpindah ke lantai, menjilat apa saja yang ada di sekitarnya.
Kedua bocah itu panik. Mereka merapat ke sisi kanan yang belum dijangkau api. Kepulan asap mulai memenuhi ruangan sempit itu. Mereka terbatuk-batuk. Luna bahkan sudah menangis sejak tadi. Bara menarik tangan Luna, mengajaknya untuk melompat ketika api semakin membesar dan panasnya mulai menjalar ke kulit mereka. Tapi Luna mengentakkan tangannya. Ia tidak berani lompat dari tempat setinggi itu. Maka, tanpa sempat membujuk lagi, Bara segera melompat menyelamatkan diri. Pendaratannya kurang mulus. Setelah membentur tanah cukup keras, tubuhnya berguling beberapa kali. Seketika ia merasakan punggungnya sakit. lututnya malah sudah berdarah. Pipinya juga tergores. Tapi Bara tidak memedulikan semua itu. Ia lekas berdiri dan mencoba meneriaki Luna untuk memintanya segera melompat.
Bentuk rumah pohon itu mulai tidak terlihat, nyaris ditelan api seutuhnya. Suara Bara mulai habis, tapi Luna belum juga melompat turun. Semakin panik, Bara akhirnya berlari pulang sambil teriak memanggil mama-papanya, juga mama-papa Luna. Atau siapa pun yang bisa menolong Luna keluar dari sana.
***
“Sayang sekali, kami terlambat.” Bara tertunduk pilu mengakhiri ceritanya. Matanya berkaca-kaca.
Dira ikut terenyuh, tidak menyangka kejadiannya setragis itu. Wajar jika sampai saat ini Bara masih trauma. Lelaki ini pasti menyimpan rasa bersalah yang teramat dalam karena merasa telah gagal menyelamatkan sahabatnya. Atau kalau saja ia tidak nekat melompat, setidaknya Luna tidak sendirian menemui ajal.
Sesaat hening. Dira seolah sengaja memberi waktu kepada Bara untuk menenangkan diri.
“Semua sudah ada yang mengatur. Setidaknya kamu tidak langsung meninggalkannya begitu saja. Kamu sudah berusaha menarik tangannya, kan?”
Bara tidak merespons.
Dira mendesah pelan. “Saat menemukanmu beringsut di pojokan, kamu persis anak kecil yang takut disuntik.”
Tatapan Bara langsung bergeser ke wajah Dira.
“Kamu mendekap kedua lututmu erat-erat, lalu membenamkan wajah sedalam-dalamnya. Kamu sama sekali tidak peduli dengan teriakan petugas pemadam yang menanyakan di dalam ada orang atau tidak.”
“Jadi … kamu?”
“Bukan aku yang mendobrak pintunya. Aku nggak mungkin sekuat itu. Tapi aku yang langsung menyelinap ke dalam untuk mengeluarkanmu dari sana.”
Mau tidak mau saat-saat mengerikan itu kembali terputar di benak Bara. Bara ingat, seseorang memaksanya berdiri, lalu memapahnya untuk kemudian diseret keluar dari ruangan yang mulai dipenuhi asap yang muncul dari sela-sela plafon. Sebelum sempat tiba di luar, Bara pingsan, terkulai dalam rangkulan orang itu. Ia tidak ingat apa-apa lagi.
Bara cukup takjub setelah tahu, sang penyelamatnya adalah Dira.
“Pake acara pingsan segala lagi. Kamu kerempeng-kerempeng gitu tapi ternyata berat juga, ya?” Dira tertawa.
Sejenak mengabaikan rasa takjubnya, Bara ikut tertawa. “Thanks, ya!” ucapnya kemudian.
“Santai aja, itu memang tugasku.” Dira tersenyum. “Ternyata cara orang menghadapi kejadian buruk, beda-beda, ya?” lanjutnya.
“Maksudnya?”
Dira menghela napas panjang sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga yang tadinya menjuntai di pipinya. “Aku terjun ke dunia yang identik dengan laki-laki ini bukan tanpa sebab.”
Bara menggeser sedikit posisinya menghadap sepenuhnya ke Dira, seolah menyamankan diri untuk menyimak apa-apa yang akan dikatakan perempuan berjaket kulit itu selanjutnya.
“Tiga tahun yang lalu kedua orangtuaku meninggal dalam peristiwa kebakaran.”
Bara tersentak.
“Menurutku mereka masih bisa diselamatkan, kalau saja cara kerja para petugas pemadam yang terjun waktu itu lebih cekatan. Kelihatan sekali mereka tidak kompak, akhirnya berujung pada keputusan-keputusan yang tidak efisien.” Meski intonasi suaranya masih tegas, sepasang mata Dira sudah berkaca-kaca. “Mereka gagal menyelamatkan orangtuaku. Papa sempat meloloskan diri dari lingkaran api dan berhasil membawa Kevin keluar. Kemudian ia kembali ke dalam untuk menyelamatkan Mama. Nahas, Papa tidak keluar lagi.” Alih-alih meneteskan air mata, Dira malah tersenyum. Meski Bara tidak bisa menebak makna senyuman itu.
“Sejak saat itu aku bercita-cita menjadi petugas pemadam kebakaran. Aku ingin menantang api yang telah merenggut kedua orangtuaku. Aku tidak ingin korban kebakaran merasakan kehilangan seperti yang kurasakan. Aku ingin menjadi pahlawan bagi mereka.”
“Dan kamu benar-benar berhasil menjadi pahlawanku,” sela Bara.
Dira tersenyum datar.
“Kamu benar-benar mirip Luna. Dia juga sering menolongku, meski pada akhirnya aku tidak bisa menolongnya.” Rasa bersalah itu kembali mencak-mencak dalam diri Bara. Entah kapan ia bisa meredakan sepenuhnya.
“Kamu jangan terus-terusan merasa bersalah, ya, Bar. Itu tidak akan mengubah apa-apa, selain membuat kondisimu semakin buruk.”
Bara mengangguk samar. “Terus, ayah Kevin, ke mana saat kejadian itu?” Sebenarnya Bara segan menanyakan hal ini, takut dianggap terlalu ingin tahu. Tapi mumpung Dira sendiri yang memulai berbagi, semoga tidak apa-apa.
“Maksudnya?” Dira sungguh tidak paham. “Ayah Kevin, ya, Papa jugalah.”
Mata Bara membola. “Lah, kok?”
“Tunggu!” Dira mengangkat tangan dan menghadapkan telapaknya ke Bara. “Sepertinya selama ini kamu salah paham.”
Ekspresi Bara masih aneh, sempurna menginginkan penjelasan.
“Wajar kalau kamu menganggap Kevin adalah anakku, karena dia memang memanggilku mama. Semua yang baru kenal aku anggapannya juga sama, kok.” Tawa kecil Dira mengudara sesaat. Ini memang lucu, dan ia sudah sering mengalaminya. “Serius, Kevin itu adikku,” tegasnya kemudian.
Ajaib. Hanya dengan mendengar pengakuan itu, Rasa pegal dan perasaan tidak enak lainnya yang masih tertinggal di tubuh Bara, menguap entah ke mana. Ia seolah menemukan alasan baru untuk lebih giat dalam mengejar cita-cita. Seketika ia melihat pantulan masa depan di bening mata Dira.
“Kasihan Kevin, ia hanya punya aku, sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang orangtua yang sesungguhnya. Karena itu, aku tidak mempermasalahkan saat ia malah menganggapku mamanya. Toh, memang aku yang mengambil peran ibu untuknya selama ini. Semakin besar, ia mulai menanyakan kehadiran seorang papa. Ia sering melihat anak-anak lain digendong papanya, dan ia juga ingin merasakannya. Maka, atas inisiatif sendiri, ia memanggil papa ke siapa saja. Termasuk ke kamu, kan?” Dira kembali tertawa ringan.
Bara tersenyum lebar, kembali mengingat tingkah lucu Kevin waktu itu.
“Makanya, dia senang banget, tuh, kalau berhasil dapat perhatian seperti saat kamu ngajakin makan waktu itu.”
“Aku kaget, tau. Tiba-tiba ada anak kecil yang manggil papa.”
Kali ini tawa keduanya berbarengan.
“Dia memang tidak boleh seperti itu terus. Tunggu sampai ia bisa diajak bicara, aku harus menegaskan, bahwa aku ini kakaknya.
“Makanya, buruan cariin papa yang paten, biar nggak semua orang dipanggil papa,” seloroh Bara.
“Kamu pikir cari pasangan hidup semudah ngisi kuota?” Dira terkekeh lagi.
“Kalau kamu tidak keberatan, aku siap jadi papanya.” Bara tidak bermaksud melucu kali ini, terbukti dari ekspresi yang ditunjukkannya.
Seketika Dira meredam tawanya. “Apa, sih, Bar?” ujarnya sambil mengibaskan tangan dan mengalihkan pandangan ke tempat lain.
Tanpa keduanya sadari, sedari tadi Rana berdiri di depan jendela. Gadis itu sudah mendengar banyak hal, juga melihat interaksi mereka yang sedemikian akrab. Rana berbalik untuk pergi. Ia merasa tidak perlu lagi menampakkan diri. Toh, Bara sudah baik-baik saja berkat Dira.
Rana menyeka air mata yang tiba-tiba menghiasi kedua pipinya. Ia merogoh tas untuk mengambil ponsel. Ia ingin meghubungi Bian untuk minta tolong dijemput.
***
[Bersambung]
Karena Setiap Hati Punya Kiblatnya Masing-Masing
Lelaki religius itu punya cara elegan dalam menjunjung ajaran agamanya.
---
Setelah terhalang lampu merah sekitar semenit di pertigaan BTP, Bian kembali tancap gas agar lekas tiba di RSUD Daya. Sejak dari rumah senyumnya tercetak dengan sempurna. Padahal, tadi ia sudah bersiap untuk tidur ketika tiba-tiba Rana meneleponnya. Pasalnya, ini kali pertama Rana minta tolong. Ini pasti terdengar berlebihan, tapi Bian belum pernah merasa seberarti ini.
"Kamu, kok, nunggu di sini?" tanya Bian setengah teriak sambil menepikan mobilnya. Tadinya ia tidak yakin, gadis yang berdiri di trotoar depan rumah sakit itu benar-benar Rana.
Rana bergegas menghampiri mobil Bara. Boro-boro menjawab pertanyaan Bian, ia malah langsung masuk sebelum benar-benar dipersilakan.
"Kamu nggak apa-apa?" Bian mengernyit. Rana kelihatan berbeda malam ini.
Rana hanya menggeleng.
"Kenapa nggak nunggu di dalam aja?" Bian mengulang maksud pertanyaannya dalam susunan kalimat yang berbeda.
"Biar cepet, Pak. Ini udah larut."
Bian yakin, Rana menyembunyikan sesuatu. Belum pernah gadis itu bicara dengannya dengan tatapan lalu-lalang tidak jelas.
"Gimana keadaan Bara?" Bian kembali membuka obrolan setelah mobil melaju perlahan.
Rana tidak menjawab. Lebih tepatnya kurang menyimak ucapan Bian. Ia sibuk mengamati apa-apa yang ada di pinggir jalan, sambil berusaha menepis perih yang membekuk tenggorokannya sedari tadi.
"Ran ...."
Rana terkesiap. "Eh, Bara, ya? B-baik, Pak." Ia menoleh sekilas, lalu kembali membuang pandangan ke luar sana. Membentur bangunan-bangunan pertokoan, papan-papan reklame, tiang-tiang lampu jalan, juga bayangan Bara sedang tertawa lepas bersama Dira tadi.
***
Setelah mendapati Bara mulai menyukai gadis lain yang nyata, tidak melulu soal Luna yang hanya hidup dalam imajinasinya, seharusnya Rana senang. Bukankah itu yang ia upayakan selama ini sebagai seorang sahabat? Nyatanya tidak. Rana bahkan tidak menyangka akan sekacau ini jadinya. Tadi, ia bahkan membiarkan Bian menyetir tanpa menyebutkan tujuan terlebih dahulu. Untung jalan ke rumah Ranti belum lewat saat Bian memutuskan untuk bertanya dengan sangat hati-hati. Selain butuh teman malam ini, Rana tidak mungkin tidur di kosnya. Pasti sedang ada pengerjaan ini-itu pasca kebakaran kemarin. Kondisinya belum kondusif.
Mereka sudah tiba di rumah Ranti yang berada di kawasan Antang. Kawasan itu terkenal rawan tindakan kriminal. Bian ikut turun, bermaksud menunggu sampai Rana benar-benar masuk. Tadi sebelum tiba, Rana sudah menelepon Ranti, tapi tidak diangkat. Ia baru akan meneleponnya lagi. Melihat lampu ruang tengah rumah itu sudah dipadamkan, Rana mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu.
"Terima kasih, Pak. Maaf sudah merepotkan selarut ini."
"Ah, nggak, kok."
"Tadinya Bapak sudah mau tidur, kan?"
Bian buru-buru menggeleng. "Aku masih kerja ...." Tersadar, lelaki berkulit putih itu menunduk menatap piama yang melekat di tubuhnya. "Kalo di rumah aku emang lebih nyaman pakai piama, sih," terangnya tanpa dipinta. Ia kembali menatap Rana dengan cengiran ala-ala abege yang salting di depan gebetan.
"Besok langsung masuk?" Bian kembali bersuara, setelah sekitar sepuluh detak jantung ia hanya terdiam memandangi ujung sandalnya. Padahal dalam kepalanya, kalimat untuk meminta jawaban Rana berputar-putar sedari tadi. Sayang, Bian masih teramat kaku untuk menyuarakannya.
"Masuk, kok, Pak."
"Maksudnya, kalau kamu belum siap istirahat aja dulu."
"Saya sudah tidak apa-apa, Pak. Insya Allah, siap. Lagian kita belum nemu pengganti Helen, kan? Pasti agak keteteran."
"Nah, soal pengganti Helen, saya sudah sebar informasi ke pelanggan-pelanggan kita. Siapa tahu mereka punya keluarga atau teman yang butuh kerjaan. Semoga secepatnya ada pelamar yang datang."
"Semoga, Pak."
"Saya telepon Ranti dulu, ya, Pak."
Bian mempersilakan.
Kali ini telepon Rana langsung diangkat.
"Halo, Ran," sapa Ranti dengan suara khas orang yang belum sepenuhnya sadar.
"Aduh, maaf banget, nih, ganggu malam-malam begini. Aku ada di depan rumahmu."
"Hah?" Ranti tersentak. Ia langsung bangun dan turun dari tempat tidur. "Oke. Tunggu bentar, ya."
Rana mematikan teleponnya dan kembali menatap Bian. "Ranti baru mau buka pintu," terangnya, seolah paham betul maksud mimik Bian dengan kedua alis setengah terangkat.
Beberapa detik kemudian pintu utama rumah bercat krem itu berderit terbuka. Ranti muncul sambil merapikan kuciran rambutnya. "Astaga, Rana." Ia bergegas mendekat. "Pak." Ranti merunduk ke arah Bian setibanya di depan mereka.
"Aku boleh numpang untuk malam ini, nggak?"
"Kamu ini ada-ada aja, deh. Ya tentu bolehlah." Ranti merangkul pinggang teman kerjanya itu. Sebenarnya Ranti masih heran kenapa Rana tiba-tiba minta tumpangan selarut ini. Tapi ia memilih tidak menanyakannya di depan bos mereka. Di kamar nanti mereka bisa ngobrol dengan leluasa.
"Ya udah, sebaiknya kalian masuk sekarang. Aku pamit."
"Sekali lagi makasih, Pak."
Bian melebarkan senyum 'sama-sama'.
***
Nek Tira sudah menutup kiosnya sekitar sejam yang lalu. Ia baru selesai mendata barang-barang yang stoknya mulai berkurang, ketika suara motor Dira terdengar dari arah garasi. Perempuan bertubuh mungil dengan rambut yang sebagian besar sudah berwarna kelabu itu lekas keluar lewat pintu belakang, belok kanan langsung bertemu Dira di ruang tamu. Kios yang menyediakan barang-barang kebutuhan sehari-hari itu memang menyatu dengan rumah. Dulunya bekas kamar tamu.
"Kok, baru pulang? Ada kebakaran lagi?" Dira sudah hafal mati raut kecemasan yang memancar dari wajah neneknya setiap kali pulang selarut ini. Dira paham, neneknya tidak begitu suka dengan profesinya, yang katanya terlalu dekat dengan bahaya.
"Nggak, kok, Nek. Tadi cuma ada kegiatan di luar, terus pulangnya mampir dulu jenguk teman di rumah sakit."
"Siapa temanmu yang masuk rumah sakit?" Nek Tira memang begini, harus tahu siapa-siapa yang berteman dengan cucunya.
Dira tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. Ia tidak yakin hubungannya dengan Bara sudah bisa disebut pertemanan. "Baru kenal, sih, Nek."
"Cowok?" Ketimbang bertanya, satu kata dari Nek Tira barusan lebih bernada harapan. Semoga teman baru cucunya ini memang cowok.
Dira mengangguk ringan.
"Alhamdulillah ...."
"Apa, sih, Nek?" Dira melanjutkan langkah yang tadinya terhenti sedepa dari pintu, alih-alih menghindari topik yang sudah bisa ditebak akan mengarah ke mana.
"Jangan terlalu larut dalam kerjaan. Ingat, kamu itu sudah di usia ideal untuk menikah." Nek Tira mengekori Dira.
Dira hanya terkekeh pelan.
"Nenek nggak akan tenang sebelum kamu menemukan jodohmu."
Dira berbalik menghadap neneknya sebelum masuk ke kamarnya. "Dira masih muda, Nek, belum kepikiran mau nikah. Lagian kalau soal jodoh, Insya Allah akan datang di waktu yang tepat."
Jika Dira sudah melontarkan kalimat ampuh itu, Nek Tira tidak bisa lagi berkutik.
"Ya udah, Dira masuk kamar dulu, ya." Dira mengecup kedua pipi neneknya, hal sederhana yang mampu menghangatkan dada perempuan yang telah menjanda sekitar enam tahun itu.
Di dalam kamar, Dira langsung menjatuhkan diri di tempat tidur. Bukan sekali tadi Nenek menyinggung soal pendamping hidup. Dan setelahnya Dira akan kepikiran seperti sekarang. Ia mendesah pelan, gagal mencegah ingatannya kembali ke masa itu, ketika pusat dunianya masih ada di sekitarnya, masih bisa ia pantau, meski tidak pernah benar-benar sanggup ia jangkau.
Malik ....
Bahkan sekadar melafalkan namanya dalam hati, mampu membuat kedua sudut bibir Dira bergeser perlahan membentuk lengkungan.
Dira mengeluarkan ponsel dari saku jinsnya. Ia login ke Instagram dan langsung meluncur ke akun Malik. Tidak ada satu pun foto diri di akun itu. Postingannya hanya berupa potongan sudut-sudut kota tempatnya kini berada, disertai caption yang selalu berhasil menyejukkan hati. Kendati tidak akan menemui wajah lelaki pujaannya di akun itu, Dira tetap betah berlama-lama, mengklik satu per satu postingannya tanpa berani membubuhkan like. Bagi Dira, cukup merasakan bahwa lelaki itu baik-baik saja di kejauhan sana.
Merasa cukup, Dira beralih ke galeri dan langsung men-scroll cepat hingga menemukan satu-satunya foto dirinya bersama Malik. Foto itu diambil saat mereka tidak sengaja bertemu di sebuah pameran lukisan. Meski sudah ribuan kali memperhatikan foto itu, Dira selalu terkesan dengan sikap Malik yang jaga jarak dengannya tanpa terkesan sombong. Lelaki religius itu punya cara elegan dalam menjunjung ajaran agamanya.
Pertama kali Dira melihat Malik, saat lelaki itu mengadakan sosialisasi dalam rangka mempromosikan kampusnya di sekolah Dira. Padahal waktu itu Malik hanya mengucapkan salam, lalu menyodorkan selebaran sambil tersenyum ramah. Dira yang notabenenya tomboy, cuek dengan basa-basi cinta, tergolong sulit untuk takluk dengan pesona lelaki, terlebih yang baru dikenalnya. Tapi kala itu, lengkungan manis di bibir Malik, serta pancaran teduh dari sepasang iris cokelatnya membuat Dira mematung beberapa jenak. Saat itu Dira belum sadar bahwa ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Yang ia tahu, ia ingin berlama-lama menikmati senyum Malik, sambil berusaha menormalkan detak jantungnya yang seolah ingin merontokkan tulang-tulang rusuknya.
Meski menolak dirinya telah jatuh cinta pada pandangan pertama, dari hari ke hari Dira semakin tertarik mengumpulkan informasi seputar Malik. Dira tidak butuh waktu lama untuk menyimpulkan, Malik sosok yang religius. Pribadinya sungguh berbeda dengan kebanyakan makhluk berjakun yang ada di sekitar Dira. Kekaguman Dira kian menebal setelah tahu bahwa Malik pernah menjuarai MTQ tingkat nasional.
Semakin mengenal Malik membuat Dira tidak berani berharap banyak. Malik berbeda dengan lelaki kebanyakan, konsep pacaran tidak ada dalam kamus hidupnya. Karena itu, Dira hanya punya segelintir kenangan bersama lelaki berambut lurus itu. Sebagian besar mungkin semacam pertemuan tidak sengaja di sisi Malik, namun sebenarnya sudah diatur sedemikian rupa oleh Dira. Dira berjuang mati-matian memancarkan sinyal perasaannya, meski paham betul Malik tidak mungkin merespons seperti yang diharapkannya.
Malik terbang ke Mesir untuk melanjutkan S2-nya sebelum kebakaran yang serupa kiamat kecil di hidup Dira terjadi. Dengan kata lain, Malik tidak tahu Dira sudah meninggalkan Bandung. Malik alasan utama Dira pernah menolak ajakan Nek Tira untuk tinggal di Makassar. Ia ingin menunggu kepulangan lelaki itu, lebih tepatnya menunggu kesiapannya untuk menentukan pasangan hidup. Tapi kemudian Dira sadar, bila memang jodoh, Malik pasti akan menemukannya.
Terakhir kali mereka berkomunikasi saat Malik mengabarkan ia diterima di universitas paling bergengsi di Mesir. Ya, meski sangat mendambakan Malik, Dira berpikir dua kali untuk merecokinya dengan chat-chat tidak penting. Ia takut dianggap pengganggu dan membuat lelaki itu jadi ilfeel. Saat itu mereka masih menggunakan BBM, sementara sekarang orang beramai-ramai berpaling dari aplikasi itu. Dira kehilangan kontak Malik.
Dira sudah memutuskan, ia tidak akan menikah sebelum mendapat kabar pernikahan Malik terlebih dahulu. Selama lelaki itu belum menentukan pilihan, ia masih punya alasan untuk menunggu.
Dira menghela napas panjang, mencoba meloloskan diri dari kubangan kenangan abu-abu tentang Malik. Ia mengetuk ikon back, keluar dari folder yang menampung foto Malik. Kemudian ia beralih ke foto Bara yang diambilnya secara tidak sengaja. Niat awal hanya ingin memotret Kevin yang tampak semringah disuapi es krim oleh Bara, tapi wajah si penyuap malah ikut tertangkap kamera. Dira hanya belum sadar, sekarang ada lelaki selain Malik yang mampu membuatnya senyum-senyum sendiri.
***
[Bersambung]
Perubahan yang Memengaruhi Suasana Hati
Mengabaikan uluran tangan di belakang kita dan memilih untuk berjuang sendiri, itu sama halnya kurang bersyukur.
---
Untuk pertama kalinya Rana tidak semangat kerja. Selain masih berkabung atas kematian adiknya, bayangan kebersamaan Bara dan Dira terus memperburuk keadaannya. Dibantu Ranti, tadi pagi ia ke kos untuk mengemasi barang-barangnya. Ia sudah memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.
Rana sempat mengamati unit Bara. Sepertinya sudah kosong. Entah kapan Bara mengemasi barang-barangnya. Atau barangkali ia minta bantuan Riko. Hati Rana mencelus melihat kerusakan pintu unit itu. Ia yakin, petugas DAMKAR mendobrak pintu itu untuk mengeluarkan Bara. Rana tidak bisa membayangkan bagaimana takutnya Bara saat itu.
Sejak pagi tadi, total ada sembilan pelamar yang datang. Atas permintaan Bian, Rana sedang menghubungi mereka satu per satu, diminta datang besok pagi untuk wawancara.
"Hei ...." Sapaan itu terdengar saat Rana hendak menghubungi nomor kelima. Tatapannya langsung bergeser dari layar ponsel ke manik mata Bara yang sudah berdiri di seberang meja kasir.
"Hei." Rana menjawab datar, sangat timpang dengan biasanya.
"Kamu kapan tiba dari Bone?"
"Tadi malam."
"Katamu mau langsung ke rumah sakit." Bara mengernyit.
"Sudah terlalu larut. Takut nggak dibolehin lagi sama satpam."
"Kamu baik-baik aja?" Bukan hanya intonasi suara, tapi semua gerak-gerik Rana hari ini terasa asing bagi Bara.
"Harusnya aku yang bertanya begitu."
Sejenak hening. Rana bermaksud melanjutkan menghubungi pelamar selanjutnya, tapi fokusnya telanjur pecah. Ia terus-terusan salah memasukkan nomor. Sebenarnya Bara ingin berbagi kebahagiaan, setelah mengetahui status Dira yang masih single. Tapi sepertinya timing-nya tidak pas.
"Aku turut berduka atas kepergian adikmu." Suara Bara lebih pelan dari sebelumnya. "Maaf, karena musibah itu, aku tidak jadi menyusulmu."
Rana tersenyum datar, berusaha memvisualisasikan rasa terima kasih dan pemakluman secara bersamaan.
"Ran, udah kamu hubungi semua?" Bian hadir menengahi mereka.
"Sementara, Pak." Rana megembalikan fokusnya ke data pelamar yang terpampang di depannya.
"Hei, Bro. Gimana, udah waras?" Bian sengaja menepuk agak keras pundak Bara.
Bara merespons dengan gerakan menekuk lengan, sok memamerkan tonjolan ototnya yang tidak seberapa. Bian terkekeh dibuatnya.
"Kalian mau aku cariin kosan yang berdempetan lagi? Atau minimal satu lokasi, gitu?"
"Nggak usah, Pak." Rana buru-buru menimpali. "Dekat rumah Ranti ada kosan, saya mau di situ aja."
Sungguh respons yang tidak terduga oleh Bara. "Kita nggak akan sama-sama lagi?" Ia mengernyit.
"Kita emang nggak harus selalu sama-sama, kan?"
Mendadak Bian merasa salah posisi. Untung ada customer yang tiba-tiba bertanya sesuatu padanya, jadi ia bisa langsung beranjak dari obrolan itu.
"Aku punya salah?" Suara Bara semakin pelan. Wajah kekanak-kanakannya sama sekali tidak tampak kali ini.
Rana menggeleng. "Maaf, aku lagi kerja, Bar!"
Bara mendesah pelan. Hari ini Rana benar-benar bukan ibu peri yang dikenalnya selama ini. Ada apa?
***
Bara meletakkan kembali ponselnya di atas nakas setelah mengakhiri percakapan singkatnya dengan Dira. Bara memang tidak jago berbasa-basi. Daripada garing, ia menyudahinya.
"Udah, gitu aja?" Riko mengalihkan sejenak fokusnya dari tugas kuliah yang dikerjakannya.
"Maumu gimana?"
"Astaga, kamu nggak kreatif banget, sih!" Riko menggeser sedikit posisinya menghadap ke Bara. "Besok Sabtu. Dia pasti cuma dinas setengah hari. Kamu nggak sekalian ajakin malam mingguan gitu?" Saking gemasnya, ucapan Riko penuh penekanan. Soal ekspresi jangan ditanya, ia emang selalu lebay.
Bara mengangguk samar, ucapan Riko terproses di otaknya. Kenapa ia tidak kepikiran sampai ke situ, ya?
"Tapi, serius kamu suka sama mbak-mbak pemadam itu?" Riko sangsi. Pasalnya, baru pertama kali ia melihat Bara seperti ini. Sebelumnya, di kepalanya hanya ada ide-ide tulisan dan masa lalu tentang Luna.
"Mbak-mbak apaan?!" protes Bara. "Paling ia cuma tuaan setahun dua tahun."
"Inti pertanyaannya, kamu beneran suka?"
Bara mengangguk.
"Pengen serius, gitu?"
Bara kembali mengangguk. Kali ini sambil tersenyum.
Riko menarik kursinya mendekat ke sisi tempat tidur. Sedari tadi lawan bicaranya memang sambil sandaran di kepala tempat tidur. "Terus, Rana gimana?"
Bara mengernyit. Pertanyaan macam apa itu? "Kok, jadi Rana?"
"Astaga ...." Riko berdecak sebal. "Kamu itu ngakunya penulis, tapi hal kek gini aja lemotnya minta ampun." Riko bangkit dari kursinya, bergabung di atas tempat tidur. "Gini, ya, persahabatan antara lawan jenis itu nggak ada yang benar-benar murni. Cepat atau lambat, akan ada salah satu yang diam-diam tersiksa. Karena tidak bisa dipungkiri, cinta dengan mudah bisa tumbuh pada intensitas pertemuan yang tinggi."
"Sotoy. Buktinya, sejauh ini aku nyaman-nyaman aja, kok, sahabatan sama Rana."
"Nah, itu yang bahaya." Riko langsung menyambar omongan Bara. "Kamu hanya akan mengaku nyaman, karena memang sampai di situ batas rasa yang wajar terhadap seorang sahabat."
Bara terdiam penuh tanda tanya.
"Tapi, coba ditelaah lebih dalam lagi. Bisa jadi rasa nyaman itu malah cinta yang tidak menemukan ruang untuk berpijak."
Bara mengangkat sedikit punggungnya yang semakin merosot. Ia tampak bingung.
"Gini, deh, udah berapa lama kamu kenal Rana?"
"Tiga tahun lebih."
"Dira?"
"Belum cukup dua minggu."
"Apa yang bikin kamu nyaman sama Rana?"
Bara tampak berpikir sejenak. "Meskipun rada cerewet, dia teman ngobrol yang asyik. Selain itu dia juga baik, pengertian, perhatian, suka bantuin ini-itu, enak diajak jalan, pokoknya seru."
"Kalau sama Dira?"
Bara terdiam.
"Karena apa kamu udah yakin benar-benar cinta sama dia?"
Satu-satunya yang terlintas di benak Bara saat ini, karena menurutnya Dira memiliki beberapa kemiripan dengan Luna. Tapi ia tidak mungkin menjawab demikian, kan?
"Please, Bar, bahkan kamu nggak berani bilang kalau dia itu cantik." Riko terkekeh pelan. "Coba tanya ke sini sekali lagi, apa yang benar-benar ia butuhkan." Riko menempelkan ujung telunjuknya di dada Bara.
Bara larut dalam diam, pikirannya jadi rumit.
"Nggak ada perempuan lain yang bisa ngertiin kamu kayak Rana. Bisa jadi saat ini ia sedang terluka melihat kedekatanmu dengan Dira. Kita nggak pernah tahu, kan?"
Bara teringat perubahan sikap Rana tadi sore. Sungguh ia terluka? Lalu, Bara harus bagaimana?
***
"Lalu, apa lagi yang bikin kamu ragu untuk nerima lamaran Pak Bian?" tanya Ranti setengah memekik, setelah Rana memaparkan apa yang membuatnya kurang bersemangat hari ini.
Karena di rumahnya tidak ada lagi kamar kosong, Ranti berbagi tempat tidur dengan Rana. Sebenarnya Rana tidak enak menumpang lebih dari sehari, tapi menemukan kosan baru dengan harga bersahabat, aman dan nyaman tidak mudah.
"Entahlah ...." Rana mendesah pelan.
"Padahal Pak Bian itu tipe calon suami idaman banget, loh."
"Aku tahu. Tapi ...."
"Bara?" todong Ranti.
Rana diam saja, yang kemudian diartikan sebagai pembenaran oleh Ranti.
"Apa yang kamu rasakan sama Bara, tidak menutup kemungkinan bisa kamu rasakan juga sama Pak Bian. Kamu hanya butuh sedikit keberanian untuk memulainya. Ingat, kamu dan Bara berawal dari dua orang asing yang nggak saling kenal, kan? Lalu karena kebetulan kalian tetangga kosan, setiap hari ketemu, akhirnya tumbuh perasaan yang membuatmu bimbang saat ini. Sah-sah saja kalau kamu ingin memperjuangkannya, itu hak kamu. Tapi, bagaimana jika nyatanya Bara cuma butuh kamu sebatas sahabat?"
Hati Rana mencelus mendengar kalimat terakhir Ranti.
"Ingat, mengabaikan uluran tangan di belakang kita dan memilih untuk berjuang sendiri, itu sama halnya kurang bersyukur."
Rana menghela napas panjang. Bayangan Bian saat mengutarakan perasaannya di depan Ibu, bayangan tingkah-tingkah kocak Bara, berhamburan di kepalanya.
***
[Bersambung]
Galau
Agama mengajarkan kita agar tidak menolak maksud baik seseorang yang juga sudah jelas kebaikannya.
---
Bara memutuskan untuk jogging pagi ini. Kegiatan itu memang jarang dilakukannya, tapi kali ini ia merasa butuh lebih banyak asupan udara segar untuk menjernihkan pikirannya. Di setiap ayunan kakinya, ucapan Riko tadi malam kembali terngiang. Bayangan kebersamaannya dengan Rana selama ini pun berdesakan, sesekali timbul tenggelam dengan bayangan saat Dira menyelamatkannya dari peristiwa kebakaran itu. Seiring keringat yang mulai bercucuran, berkali-kali Bara menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya ada hal yang memberatkan kepalanya di luar urusan kuliah dan perkara menemukan ide untuk proyek menulis.
Karena kawasan di sekitar kosan Riko sebenarnya kurang ideal untuk jogging, Bara hanya menghabiskan waktu 30 menit untuk berkeliling. Bara menggeleng sambil berdecak pelan saat menemukan Riko masih bergelung di balik selimut. Bara meraih handuk kecil yang tergantung di samping jendela, kemudian mengelap sisa keringat yang masih menempel di lehernya.
Sambil menunggu keringatnya kering sebelum mandi, Bara duduk melantai di depan meja pendek. Ia membuka laptop untuk mengamati sudah sejauh mana naskah novel yang sedang dipersiapkannya untuk sayembara dwi tahunan itu. Meski jatuhnya agak dipaksa, hari ini ia harus melanjutkannya, mengingat deadline semakin dekat. Mumpung hari ini juga tidak ada jadwal kuliah.
Bara membaca ulang beberapa paragraf terakhir untuk menemukan kembali feel-nya, tapi perubahan sikap Rana masih lebih mendominasi pikirannya. Akhirnya ia menyingkirkan laptopnya, menggantinya dengan ponsel. Ia harus menghubungi Rana.
Jempol Bara mondar-mandir di permukaan gawainya, keluar masuk room chat dan menu panggilan. Cukup lama begitu saja. Selama ini jarang banget Bara berinteraksi dengan Rana via ponsel. Setiap ada apa-apa ia lebih nyaman menyampaikannya secara langsung. Makanya, sekarang ia bingung harus mengetik apa untuk memulai obrolan. Kalau ditelepon, apa yang harus diomongin?
Kenapa jadi sekaku ini? Bara meletakkan asal ponselnya, kemudian mengacak frustrasi rambutnya. Ia menghela napas berat sebelum beranjak untuk mandi. Mungkin pikirannya jadi lebih jernih kalau kulitnya tidak lagi lengket akibat bekas keringat.
***
"Bagaimana dengan lamaran Bian? Kamu sudah memikirkan jawabannya?"
Gerakan tangan Rana terhenti ketika mendengar pertanyaan ibunya di seberang sana. Gadis itu tengah menyusun lembaran baju ke dalam lemari di kosan baru yang akan dia tempati. Ia tercenung cukup lama, hingga Ibunya memanggil beberapa kali.
"Rana ... belum tahu, Bu," jawabnya jujur.
Bagi Rana pernikahan adalah pintu gerbang menuju kehidupan baru, yang lebih serius, dan tentu saja lebih banyak ujiannya. Ia tidak mau salah ambil keputusan yang bisa berakibat fatal. Gagal di tengah jalan karena cinta yang tidak bisa dihadirkan, misalnya. Yah, sebutlah Rana korban kisah-kisah romance yang mengagungkan cinta sedemikian tinggi. Ia hanya berusaha berpikir logis. Bukankah untuk hidup bersama dengan orang lain kita setidaknya harus merasa nyaman dulu?
Sedangkan ia dan Bian .... Rana bahkan belum menemukan kata yang pas untuk menggambarkan seperti apa hubungan mereka. Tidak bisa disebut teman karena nyatanya Rana tidak bisa cerewet di depan bosnya itu, tidak bisa menampilkan sikap paling songong seorang Rana seperti ketika bersama Bara. Rana mengerang dalam hati, lagi-lagi nama itu yang ia sebut.
"Ibu bukannya mau ikut campur," ucap Sakka hati-hati. "Tapi bukankah dalam agama kita diajarkan agar tidak menolak maksud baik seseorang yang juga sudah jelas kebaikannya?"
Ibunya benar. Bian, tidak ada satu hal negatif pun yang pernah Rana jumpai pada diri lelaki itu. Tingkah lakunya, perkataannya, nyaris tanpa cela. Seolah Bian memang diciptakan sesempurna itu. Namun, justru hal itulah yang mengganggu Rana. Bian terlalu baik untuk dia yang baru belajar menjadi baik.
"Nanti Rana pikirkan lagi, Bu," jawab Rana sekenanya.
"Mungkin adik-adikmu bisa jadi pertimbangan, Rana."
Dahi Rana dipenuhi kerutan. Kenapa ibunya mendadak membahas adik?
Terdengar tarikan napas sebelum Sakka kembali berujar, "Mungkin ini akan terdengar materialistis, tapi Ibu juga kasihan denganmu yang harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami."
Sekarang Rana mengerti ke mana arah pembicaraan ibunya. Masalah ekonomi memang terkadang menyesakkan.
"Menikah dengan Bian, insya Allah kamu tidak perlu terlalu memikirkan itu lagi. Iya, kan?"
Rana tahu, ibunya bukan tipe orangtua yang akan menjual anaknya hanya demi kesenangan sepihak. Dia sangat maklum jika Sakka berpendapat seperti itu. Lagi pula, wanita mana yang tidak ingin menikah dengan lelaki mapan?
"Insya Allah, akan Rana pertimbangkan lagi, Bu."
Sambungan diakhiri setelah sedikit obrolan tentang tempat tinggal Rana yang baru. Pun tak lupa mengingatkannya agar sholat dan jaga diri.
"Ibu kamu?" Ranti yang hari ini membantu Rana pindahan duduk di depan gadis itu beralas lantai keramik. Kosan baru Rana tidak jauh beda dengan yang dulu. Berisi tiga petak ruang yang terdiri dari satu ruang luas sebagai kamar tidur merangkap ruang serba guna. Dapur kecil dan satu kamar mandi.
Rana mengangguk, kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Melipat baju dan memasukkan ke lemari plastik bergambar Doraemon.
"Nanyain lamaran Pak Bian?" Ranti menebak, yang lagi-lagi dijawab anggukan oleh Rana.
"Ya udah sih, terima aja!" usul Ranti.
Rana berdecak. "Gak semudah itu." Bagi Ranti yang memang sudah ngefans dengan Bian dari pertama bertemu tentu saja lamaran itu terdengar menyenangkan. Seperti mimpi yang serta-merta terwujud. Tapi tidak bagi Rana.
"Kenapa? Soal Bara lagi?" Gadis itu melipat tangan di dada. Ia gemas sendiri dengan sikap Rana yang lembek. Padahal urusan pekerjaan Rana lebih gesit dari kucing yang ketahuan nyolong ikan. "Gini aja, dari pada galau, mending kamu nanya langsung, deh, ke Bara!" saran Ranti.
"Maksud kamu?" Rana kembali menunda kegiatan. Fokus Rana sepenuhnya tertuju pada lawan bicaranya itu. Sebuah pemikiran yang sempat mengotori otaknya, ia buang jauh. Namun, ketika Ranti menggerakkan mulutnya, ia tahu jika usul Ranti memang bisa segila itu.
"Ya tanyain ke tuh anak, suka gak sama kamu?"
"Kamu gila?" Serta-merta Rana membalasnya dengan sewot. Baju yang semula sudah dilipat diacak-acak lagi. Mau ditaruh di mana muka Rana jika harus menyatakan perasaan pada Bara. Demi apa pun, Rana tidak akan bertindak senekat itu. Jika pada akhirnya Bara memang bukan takdirnya, Rana akan tetap merahasiakan perasaan itu.
"Lah, dari pada galau?"
Rana sudah membuka mulut, bersiap memerangi ucapan teman sejawat yang minta disambelin itu ketika ponselnya bergetar. Lantas nama yang tertera di layar sukses membuat jantung Rana terjun ke dasar perut.
Hingga nada dering berakhir, Rana hanya memandangi benda pipih itu. Ia bukannya tidak mau menerima panggilan Bara, hanya saja dia masih terlalu syok. Akan sangat canggung jika ia tiba-tiba harus berbicara dengan orang yang baru saja ia obrolkan dengan Ranti.
"Kok gak diangkat?" Pertanyaan Ranti bertepatan dengan nada dering panggilan yang kembali terdengar.
Rana segera menyembunyikan ponselnya di dada ketika gadis itu menjulurkan kepala. "Ini mau diangkat, kok." Rana berdehem, lantas berjalan keluar menjauhi Ranti.
"Assalamualaikum, Bar." Entah sebab apa jantung Rana harus bertalu sekencang ini.
"Waalaikumussalam, Ran. Bisa kita ketemu?"
***
[Bersambung]
Pengakuan
Ia membiarkan hatinya berdarah demi membuat lelaki itu tersenyum bahagia.
---
Rana tidak pernah tahu jika pertemuan dengan seseorang akan membuat hatinya sepenuh ini. Seolah sudah lama sekali mereka tidak berjumpa. Seperti ia yang kehausan dan akhirnya menemukan telaga.
Iya, Rana tahu kemarin mereka bertemu. Hanya saja kondisi hatinya yang sedang buruk membuat pertemuan itu sedikit berbeda. Bisa dibilang aneh. Bagaimana bisa ia menjadi kekanakan seperti itu, mengabaikan Bara hanya karena cemburu yang tidak pada tempatnya?
Kalau boleh jujur, Rana rindu dengan kebersamaan mereka. Ia rindu duduk di belakang Bara, merekam punggungnya yang lebar sepuas hati. Ia rindu saat-saat menjadi pendengar setia Bara. Tentang ide-ide tulisannya, pun tentang Luna.
"Aku dengar hari ini kamu pindah?" Dan suara itu, Rana juga rindu. Suara Bara bukan jenis super bass, yang menonjolkan kemaskulinan. Hanya saja Rana akan langsung bisa menebak sekalipun ia belum melihat jika Bara yang berbicara.
"Iya, kebetulan di belakang rumah Ranti ada kosan kosong."
Mereka berada di sebuah kafe dengan konsep Jawa tempo doeloe. Konon pemiliknya yang bule itu jatuh cinta pada budaya Jawa dan memilih mengabadikan dalam interior kafe dan segala perlengkapannya. Irama gending menjadi latar obrolan para pengunjung yang lumayan banyak siang ini. Meja dan kursi terbuat dari kayu berukir. Peralatan makan pun terbuat dari rotan dan batok kelapa.
"Nyaman nggak?"
Pertanyaan selanjutnya mengusik hati gadis berhijab merah muda itu. Nyaman? Nyaman seperti apa yang Bara maksud? Jika nyaman sama dengan bertemu tetangga unit yang usil seperti Bara, maka Rana tidak menemukannya. Jika nyaman adalah ia yang bersemangat memasak demi berbagi dengan tetangga sebelah, maka Rana belum merasakannya. "Aku, kan, belum sehari Bar, masih butuh adaptasilah," jawab Rana, berharap terdengar logis.
Bara mengangguk. "Iya, juga, sih." Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Sejenak hening menjeda, membiarkan musik khas Jawa berkuasa.
"Kamu, ngajakin ke sini ada yang mau diomongin?" Rana menyeruput es dawet ayu yang dia pesan.
Bara berdeham, samar kerutan menghiasi kening. "Dira ... maksudku bagaimana pendapatmu tentang Dira?"
Alis Rana berjengit. Perasaan penuh di hatinya karena bahagia mendadak berkurang, seperti potongan keju yang perlahan meleleh. Lantas kilas kejadian tempo hari di ruang rawat rumah sakit terputar, tentang Bara yang menyatakan perasaan pada Dira. "Maksudnya?" Rana lebih memilih pura-pura bego, kalau bisa biarkan Bara mengurungkan niat untuk membahas perempuan itu.
"Ya ...." Bara mengusap belakang kepala. "Kamu sudah pernah ketemu dia, kan? Gimana pendapatmu? Dia baik, kan?"
Namun, sepertinya lelaki beralis tebal itu masih keukeh membahas Dira. Mau tak mau Rana harus berpendapat jika tidak ingin Bara curiga. "Baik," jawab Rana mantap. "Dia yang nolongin kamu waktu kehabisan bensin, kan?" Dan juga mengingatkanmu tentang Luna. Kalimat terakhirnya hanya mampu ia eja dalam kalbu.
Bara mengangguk. "Iya, kamu masih ingat?"
Tersenyum, Rana mencibir dalam hati. Tentu saja ia ingat. "Iya, ia baik, ia juga pemberani kayak Luna." Rana menekankan kata terakhirnya, berharap Bara sadar bahwa bisa saja dia tertipu oleh hatinya sendiri.
Senyum Bara terkembang. Dia tidak tahu jika respons Rana akan sebagus ini. Itu artinya apa yang disampaikan Riko tempo hari tidak benar. Antara ia dan Rana murni persahabatan. "Menurutmu bagaimana kalau aku serius dengan Dira?"
Lelaki jahat mana yang tega menyakiti hati perempuan yang menyukainya secara terang-terangan? Sayangnya lelaki itu kini ada di hadapan Rana. Lelaki yang ia sukai, lelaki yang ia sebut dalam doa justru tengah membahas perempuan lain di depannya. Jika tadi hati Rana hanya bolong sedikit, maka sekarang lubang itu kian lebar.
"Bagus. Lebih baik langsung serius dari pada main-main, kan?"
Sebutlah Rana munafik. Mengatakan apa yang jelas berbeda dengan isi hati. Dia membiarkan hatinya berdarah demi membuat lelaki itu tersenyum bahagia.
"Jadi, kamu setuju?" Bara mencondongkan tubuh antusias, ia sampai lupa dengan es doger yang kian mencair.
Rana mengangguk berulang. Memaksakan senyum yang entah serupa apa. Sejujurnya ia ingin secepatnya hengkang, menumpahkan air mata yang sudah menggenang.
"Terima kasih, Ibu Peri," ucap Bara tulus. "Pendapat Ibu Peri sangat berarti buat aku."
Satu tetes cairan bening luruh begitu saja dari mata Rana. Gadis itu segera menyeka dan mengklarifikasi bahwa itu adalah air mata haru. Lantas mereka tertawa.
Bara mulai bisa menikmati es dogernya dengan santai. Sementara Rana mendadak kehilangan selera. Es dawet ayunya berubah pahit, sepahit perasaannya.
"O iya, Ibu Peri, bagaimana dengan Bian?"
"Bian?" Rana membeo, merasa janggal dengan sapaan Bara untuk bos Sakura.
"Iya, dia udah bilang suka ke kamu?" tanya Bara, seolah tahu segalanya.
"Dari mana kamu tahu?"
Bara menggeser wadah, mengelap bekas basah dengan tisu, lantas menumpukan tangan di sana. "Dia tuh suka banget sama kamu," beber Bara. "Dia sampai nanya ke aku gimana supaya kamu nyaman sama dia. Biar bisa deket kayak kita."
"Terus?"
"Yah, aku saranin supaya Bian sedikit mengubah penampilan. Makanya sekarang dia tampil lebih fresh. Iya, kan?" Bara menaik-turunkan alisnya.
Rana ber-o tanpa suara. Kepalanya terangguk dua kali. Perasaannya kini campur aduk antara sedih dan ingin marah. Bara bukan hanya tidak menyukainya, ia bahkan mendukung Bian mendekatinya. Kenapa semua orang begitu antusias menjodohkannya dengan Bian? Tanpa mancari tahu lebih dulu apa mau hati Rana sebenarnya.
"Jadi, gimana, dia sudah mengatakan sesuatu sama kamu?" Kembali Bara bertanya. Tak ada kilat cemburu sedikit pun dari ekspresi Bara yang Rana lihat. Gadis itu mendesah dalam hati, mengasihi diri sendiri. Selamanya, Rana hanya akan menjadi sekadar sosok penolong. Ibu Peri yang tidak akan mungkin disukai oleh Bara.
Namun, bisa jadi ini juga merupakan petunjuk dari Tuhan. Agar Rana membuka mata, agar ia sadar jika tidak ada gunanya mengharapkan Bara. Agar Rana melihat ke arah Bian.
"Dia sudah melamarku."
Bara terbatuk hebat ketika mendengar ucapan Rana barusan, tersedak ludah sendiri. Muka dan daun telinganya sampai memerah. Rana segera menyodorkan air mineral yang memang disediakan di meja. "Kamu gak papa?"
Bara menggeleng setelah meneguk air itu. Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara berkala, mengembalikan kestabilan tubuh. Tenggorokannya sedikit perih karena batuk yang tiba-tiba itu. "Kamu ngagetin, sih," ucapnya kemudian.
"Sori, Bar."
"Gercep juga si Bian, langsung lamar."
Rana hanya menanggapi dengan senyum dan kedikan bahu.
"Terus, udah kamu terima?"
"Menurutmu gimana?" Bukan tanpa alasan Rana menanyakan itu. Dia ingin tahu seperti apa saran dari Bara, meski sebagian hatinya mencibir, mengejek Rana yang sebenarnya mengharapkan hal lain. Seperti berharap Bara menyuruhnya menolak, tapi itu hal yang mustahil.
"Terima aja. Toh, Bian baik."
Nah, benar, kan?
***
"Hayo! Ngeliatin apa?"
Rana terkesiap, jantungnya serasa copot ketika Ranti menepuk bahunya. "Ranti ... gagetin aja!" sungutnya.
Ranti mencebik. "Lagian ngeliatin calon suami sampai segitunya. Inget, belum halal."
"Apaan, sih. Tabok nih!" Rana mengangkat tangan, bersiap memukul gadis hitam manis itu. Ranti buru-buru mengambil langkah seribu.
Apa yang dituduhkan Ranti benar. Rana memang sedang memperhatikan Bian yang tengah mengobrol dengan seseorang di pojok dekat rak suvenir. Ia leluasa mencuri lihat karena tubuh Rana yang mungil tersamar oleh rak bunga yang dibuat melingkar itu. Agak kurang sopan memang, tapi Rana butuh melakukan itu. Dia harus mencari tahu seperti apa respons hatinya saat melihat Bian.
"Rana."
"Astaghfirullahal'adzim!"
Rana merutuk dalam hati. Kenapa hari ini orang-orang sangat suka mengagetkannya? Dia berbalik, lantas bertemu pandang dengan iris gelap Bian. "Iya, Pak, ada apa?"
"Maaf kalau saya ngagetin kamu tadi."
"Gak papa kok, Pak."
Tangan Bian yang semula berada di saku celana terangkat, mengusap leher bagian belakang. "Besok kamu shift pagi, kan?"
"Iya, Pak."
"Ngg ... Gimana kalau sorenya kita jalan-jalan?"
Kedua alis Rana bertaut. "Jalan-jalan?"
"Aku pengin makan pisang epe," ujar Bian cepat, lantas menunduk, enggan berbagi tatap dengan Rana.
Rana mengulum senyum, merasa lucu. Pasti sangat sulit bagi seorang Bian untuk mengucapkan kalimat seperti itu. Tapi tunggu! Ada hal lain yang mengusik gadis berhijab itu. Bagaimana Bian bisa tiba-tiba ada di sini? Apa pengintaiannya ketahuan?
***
[Bersambung]
Keputusan
Sejatinya, waktu tak bisa menunggu. Pada akhirnya masing-masing hati harus mampu mengambil keputusan dan menetapkan arah selanjutnya untuk merentang kisah.
---
"Terima kasih atas kunjungannya, selamat datang kembali."
Rana memberi senyum terbaik pada pelanggan yang baru saja meninggalkan Sakura. Pelanggan istimewa yang dia kenal dua tahun belakangan. Namanya Hadi, lelaki berumur yang sudah memiliki empat cucu. Setiap tanggal 12 dia akan mengunjungi Toko Sakura, mencari bunga matahari terbaik.
"Buat siapa, Pak?" tanya Rana pada pertemuan pertama mereka.
"Istri saya," jawab lelaki yang sebagian rambutnya sudah berubah warna menjadi keperakan itu.
"Wah, Bapak romantis sekali."
Lelaki itu tersenyum. "Untuk orang yang sudah mendedikasikan hidupnya untuk saya, tidak ada kata romantis, yang ada adalah wujud terima kasih saya padanya."
Mulut Rana ternganga, takjub akan penjelasan Kakek Hadi. Rana bisa merasakan ketulusan cinta dalam sosok lelaki yang tidak muda lagi itu. "Saya jadi penasaran dengan beliau."
"Sayangnya, saya tidak mungkin membawanya ke sini."
"Loh, kenapa?"
Hal selanjutnya yang Rana tahu adalah istri lelaki itu telah tiada. Tanggal 12 adalah tanggal kematiannya. Itulah sebabnya ia selalu membeli bunga matahari setiap tanggal itu.
Rana masih memandangi mobil sedan hitam itu hingga tak lagi terlihat. Dia lantas mendesah, akankah kisah cintanya kelak berjalan seperti keluarga Kakek Hadi? Setelah maut memisahkan, tak lantas membuat luntur cinta mereka.
"Permisi, Mbak?" Seorang gadis manis berkucir kuda tersenyum ke arah Rana.
"Iya, ada yang bisa dibantu?" Melihat penampilan gadis itu yang bersetelan rapi, Rana sepertinya tahu maksud kedatangannya.
"Perkenalkan, saya Lisa, yang kemarin dihubungi untuk melakukan interview."
Rana mengangguk, lantas membawa Lisa bertemu bos Sakura. Bian sedang berkutat dengan laptop ketika Rana mengetuk pintu ruangannya yang sedikit terbuka. Setelah memberitahukan tentang si pelamar, ia undur diri.
Sejenak ekor mata Rana memperhatikan Bian, ajakan lelaki itu kemarin telah ia setujui. Rana yakin, Bian tidak hanya ingin makan pisang epe seperti yang ia utarakan. Mungkin, Bian akan menanyakan jawaban atas lamarannya. Gadis berhijab itu mendesah, semalam ia telah berpikir keras, menimbang segala kemungkinan. Dan semoga keputusannya nanti akan membawa Rana bersama sosok seperti Kakek Hadi.
***
Matahari mulai tergelincir ke ufuk barat ketika Bian dan Rana turun di tempat penjual pisang epe. Bukan jenis tempat makan mewah dengan pelayanan wah. Tempat yang mereka datangi sederhana, tapi pengunjungnya lumayan membludak.
Aroma khas dari pisang kepok yang dibakar menyambut kedatangan Bian dan Rana. Pun dengung obrolan para pengunjung yang nyaris menempati setiap sisi ruangan. Mereka mendapat tempat di sudut, dekat jendela yang berhadapan langsung dengan jalan hitam.
"Bagaimana kontrakan barunya?" Bian mengawali percakapan setelah hening beberapa saat.
"Lumayan nyaman," jawab Rana diselingi senyuman. Meski ia belum terlalu akrab dengan tetangga kos, tapi sejauh ini Rana merasa tenang tinggal di sana.
"Syukurlah. Bagaimana dengan Bara?"
Alis Rana berjengit, mendengar nama itu membuatnya ingat percakapan dengan Bara tempo hari, tentang lelaki di depannya ini. Tentang Bian yang meminta pendapat Bara demi bisa dekat dengan Rana. Begitu besar usaha lelaki itu, Rana juga tidak mungkin lupa dengan Bian yang merelakan waktunya untuk mengantar pulang ketika adiknya meninggal. Lantas setega itukah Rana untuk menyakiti Bian dengan menolak lamarannya?
"Dia masih di tempat Riko, temannya," jawab Rana. "Oh iya, Bapak ngajakin saya ke sini nggak cuma mau makan pisang epe, kan?"
"Apa?" respons Bian sedikit kaget, tidak menduga jika Rana akan langsung menembaknya dengan pertanyaan seperti itu. "Oh, itu ...." Kalimat Bian terjeda karena pelayan yang membawakan pesanan mereka.
Dua porsi pisang epe yang masih mengepul dengan aroma khas tersaji di meja. Tapi, Bian mendadak kehilangan selera. Apa yang dikatakan Rana barusan benar adanya. Ia sengaja mengajak Rana ke sini karena ingin tahu jawaban tentang lamaran itu. Sebutlah Bian tidak sabaran, ia hanya ingin secepatnya mengetahui isi hati Rana. Beberapa hari ini, ia nyaris tidak bisa tidur. Bayangan gadis berhijab itu menari-nari di dunia khayalnya. Mengetahui Rana yang harus menghidupi ibu serta dua adiknya membuat Bian simpati. Dia ingin membantu, setidaknya menjadi tempat bersandar kala lelah. Dan yang paling mengusik Bian adalah Rana yang harus hidup sendiri. Ketika kontrakan Rana yang dulu terbakar, sebuah pemikiran buruk sempat mengotori otaknya, bagaimana jika saat itu Rana ada di sana? Bian tidak bisa membayangkan jika harus kehilangan Rana.
"Kita makan dulu, setelah itu baru bicara, ya?" pinta Bian, yang diamini oleh Rana.
Sebenarnya Bian hanya sedang mengulur waktu. Ia tahu akan ada dua kemungkinan nanti, diterima atau ditolak. Dan memikirkan kemungkinan ke dua membuatnya memilih menikmati waktu yang tersisa. Meski untuk menelan pisang kepok bakar itu tidak semulus biasanya.
"Bagaimana kabar keluargamu?" tanya Bian setelah beberapa kali suapan. Keheningan yang sempat meraja karena aktivitas mereka membuat Bian justru semakin cemas. Terlebih bukankah ia sedang berusaha menjadi seseorang yang nyaman untuk Rana? Jadi ia harus lebih cerewet, kan?
"Alhamdulillah, mereka baik, Pak." Jeda sejenak, setelah Bian mengangguk. "Orangtua Bapak gimana?" Rana menggigit bibir, masih belum terbiasa terlibat obrolan seintim ini. Saling menanyakan keluarga seolah mereka punya hubungan khusus.
"Mama sama Papa sehat, alhamdulillah. Dan romantis seperti biasa." Perkataan terakhir Bian membuat keduanya tersenyum.
Bian berdeham, tangan yang berada di atas paha terkepal erat. Jantungnya serasa sedang adu balap entah dengan apa. Meminta jawaban dari Rana sensasinya lebih dahsyat ketimbang saat menyatakan perasaan dulu. "Rana ...."
"Pak ...."
Mereka terkekeh karena bersuara nyaris berbarengan. Untuk sesaat keduanya saling melempar siapa yang lebih dulu bicara. Rana meminta Bian lebih dulu, sementara Bian sebaliknya.
"Baiklah," Bian mengalah, dia kembali berdeham sebelum berujar, "Soal lamaran itu," ia menelan ludah, "kamu sudah ...."
"Saya menerimanya."
Bian belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Rana justru memberikan jawaban yang di luar ekspektasi. Bian perlu waktu beberapa saat demi mencerna ucapan gadis yang hari ini mengenakan blus salem dan rok hitam itu. "Apa Rana?" Ia bahkan perlu mengonfirmasi sekali lagi.
"Saya menerima lamaran Pak Bian," ujar Rana lebih lengkap, dibumbui senyum malu di akhir pernyataan itu.
Bian ternganga, masih tidak percaya dengan pendengarannya. Mimpi apa ia semalam sampai mendapat kenyataan seindah ini? Sudut-sudut bibirnya tertarik maksimal, saking bahagianya ia nyaris menggenggam tangan Rana, tapi ketika sadar bahwa mereka belum halal, ia buru-buru minta maaf.
"Terima kasih Rana, terima kasih," ucap Bian tulus. Ia rasa ia akan tidur nyenyak nanti malam, atau mungkin justru tidak bisa tidur karena kenyataan yang sedang dia hadapi sekarang lebih indah dari mimpi.
***
"Iya, Ma. Pokoknya kosongin jadwal Papa sama Mama akhir bulan ini." Bian tidak mampu membendung kebahagiannya. Pasca lamarannya diterima oleh Rana, senyuman tak henti menghiasi bibir. Rasanya tersenyum terus pun Bian rela. Ya, ia se-lebay itu karena Rana. Menyebut nama gadis itu benar-benar membuat dadanya bergetar. Tinggal satu langkah lagi dan ia akan menjadi imam bagi Rana. Satu langkah lagi Bian dan Rana akan berada di bawah atap yang sama.
Bian belum pernah merasakan sesemangat ini. Dulu ketika mengawali berdirinya Sakura, semangatnya berkobar tapi tidak seintens sekarang. Saking excited, Bian berharap bisa menggulung waktu untuk segera bertemu keluarga Rana dan melakukan lamaran secara resmi, termasuk menentukan tanggal pernikahan mereka.
"Iya, Sayang. Semua akan Mama atur. Kamu tinggal terima beres aja."
Apa lagi yang Bian harapkan? Calon istri idaman di depan mata, orangtua yang full suport, sepertinya Tuhan benar-benar sedang menyayangi Bian saat ini. Segalanya terasa begitu mulus.
***
[Bersambung]
Tantangan
Kamu nggak akan ngerti gimana rasanya berada di dalam kungkungan api.
---
"Dia udah ngelamar aku."
"Aargh ...."
Bara mengacak rambut frustrasi, layar laptop yang menyala terang di depannya masih menampilkan halaman kosong. Kursor yang berkedip-kedip itu seolah mengejek Bara yang belum juga menuliskan aksara untuk bab terbaru dari proyek novelnya. Entahlah, semua yang ditulis Bara terasa salah. Setiap barisan kata yang coba ia tuangkan seperti tidak bernyawa. Hingga berakhir di tombol delete. Alhasil belum ada apa pun yang Bara tuang di file word-nya selama hampir satu jam ini.
Biasanya jika Bara kehilangan mood menulis, ia akan menyambangi tetangga unitnya. Mengetuk pintu asal, hingga si empunya keluar dengan tampang garang. Lantas Bara memamerkan cengiran tanpa dosa.
"Apaan sih, Bar? Ketok pintu kayak ada kebakaran aja!" sewot Rana.
"Emang ada kebakaran Ibu Peri, kamu gak tahu?" balas Bara sok serius.
"Hah? Di mana? Terus kamu nggak papa? Kamu liat apinya?" Ekpresi kepanikan dari wajah Rana adalah hiburan tersendiri bagi Bara. Hampir saja ia tertawa jika tidak ingat tengah bersandiwara.
"Aku ketakutan, Ibu Peri." Bara memeluk tubuh sendiri, berperilaku seolah benar-benar takut.
"Ya Allah ...." Mata Rana berkaca-kaca. "Terus gimana, kamu butuh sesuatu sekarang?"
Bara mengangguk dua kali. "Aku butuh tongkat ajaibmu Ibu Peri."
Setelah itu bisa dipastikan Rana akan mengambil sapu atau apa saja yang terjangkau tangan dan mengejar Bara untuk mendapat hukuman.
Bara tersenyum sendiri ketika momen bersama Rana terputar. Jail, begitulah Bara jika bersama Rana. Tapi menjaili gadis itu ampuh untuk mengembalikan mood menulisnya. Seperti obat yang dulu sering ia konsumsi jika ketakutan akan musibah kebakaran itu menghantui.
"Dia udah ngelamar aku."
Dan potongan pernyataan Rana tempo hari sukses menggerus garis senyum di bibir Bara. Hal itu pula yang menyebabkan lelaki beralis tebal itu gagal menulis hari ini. Bara tidak tahu kenapa ucapan Rana begitu melekat di dalam kepala. Seperti playlist musik yang disetel berulang, terputar lagi dan lagi.
"Memangnya kenapa kalau Rana dilamar. Itu bagus, kan?" Bara bermonolog di depan laptop.
"Iya tahu, kalau Rana udah nikah sama Bian itu artinya aku dan dia gak bisa sama-sama lagi."
"Kamu kenapa Bar, lagi ngapalin dialog?" Tiba-tiba suara Riko menginterupsi, dahi lelaki yang baru pulang itu berkerut dalam.
"Eh, enggak ... ini ...." Bara menggaruk tengkuk, salah tingkah. "Iya. Aku lagi mencoba ngapalin dialog di naskah aku biar kerasa feel-nya." Ia cengengesan.
Riko berdecak, lantas ia menilik penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangan kiri. "Kamu nggak jadi jalan?" Ia menatap Bara yang masih santai dengan kaus oblong dan celana pendek.
Alis Bara bertaut sambil membeo ucapan temannya. "Jalan?"
"Kamu bukannya ada janji sama Dira?"
Detik selanjutnya Bara kalang kabut sendiri. Kursi yang ia duduki sampai terjengkang karena gerakan yang membabi buta. Jika Riko tidak mengingatkan, bisa dipastikan ia melupakan janji temunya dengan Dira Sabtu sore ini.
"Katanya naksir, tapi lupa sama janji sendiri," ejek Riko ketika Bara baru saja menutup pintu kamar mandi.
***
Meskipun Bara sudah melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata, tetap saja ia terlambat. Dira sudah menunggu di tempat mereka janjian.
"Sori lumayan macet tadi," Bara beralasan. Klasik. "Udah nunggu lama, ya?"
"Sepuluh menit," jawab Dira singkat sembari mengulas senyum yang tidak bisa Bara artikan apa maknanya.
"Papa gimana, sih, masa telat?" protes Kevin yang duduk di sebelah Dira. Mulutnya belepotan coklat dari biskuit stik yang dia pegang.
Bara meringis, sekali lagi minta maaf pada bocah lelaki itu. Ia berulang kali merutuki diri. Lelaki mana yang membuat perempuan menunggu? Ia mengingatkan diri sendiri agar memasang reminder jika ada janji temu lagi.
Bara berdeham, sebelum duduk di bangku tunggu di samping eskalator yang ada di pusat perbelanjaan itu. "Terus, gimana nih acara kita?" Ia menoleh ke arah Kevin. "Jagoan mau nonton atau mau main?"
"Kevin mau main," jawab Kevin antusias.
"Main apa, Ganteng?"
"Main api," jawab Kevin tangkas diakhiri yel-yel seru. Sementara dahi Bara mengernyit bingung.
"Kevin mau main jadi damkar. Kebetulan di lantai bawah ada spotnya." Dira menjelaskan.
"Ap-apa?!"
***
Bara berulangkali melakukan inhale, exhale. Berharap aktivitas menarik napas dalam dan membuangnya lewat mulut itu bisa sedikit mengurangi gugup. Tangan pemuda itu berkeringat. Meskipun tempat yang akan mereka datangi adalah wahana edukasi anak-anak, tetap saja segala sarana yang digunakan nyata. Termasuk apinya.
"Nanti kamu yang temenin Kevin ya, Bar." Ucapan Dira semakin membuat jalan napas Bara menyempit.
"Dira, bukannya aku gak mau, tapi kamu tahu, kan, aku ...." Bara tidak mampu menyebutkan kata terakhirnya.
Saat ini ia merasa seperti pecundang yang kalah sebelum berperang. Tangannya mengepal erat di samping tubuh. Sungguh Bara ingin menemani Kevin menjadi petugas damkar di wahana Penakluk Api itu. Namun, penyakit tak kasat mata yang ia derita memaksanya mundur. Bagaimana ia akan maju, jika menyalakan korek api saja tidak sanggup? Ia tidak mungkin nekat, karena bisa dipastikan Bara akan pingsan ketika melihat simulasi kebakaran itu.
Dira berdiri menghadap Bara sepenuhnya. "Bar, ketakutan itu harus dihadapi, kamu gak mungkin terus sembunyi. Apalagi api ada dalam kehidupan sehari-hari—"
"Aku tahu, Dir, aku tahu. "Bara memotong ucapan perempuan itu. "Kamu bisa mengucapkan semua itu karena kamu tidak berada di dalam kebakaran." Bara menekankan kalimat terakhir, dadanya naik turun signifikan, simbol emosi yang tertahan. "Kamu nggak ngerti gimana rasanya berada dalam kungkungan api. Kamu juga nggak akan ngerti gimana menyaksikan orang yang kamu sayangi mati karena kita yang egois." Suaranya yang naik satu oktaf, membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka.
Dira mengulas senyum, santai menanggapi Bara. "Dan selamanya kamu mau jadi pengecut?"
Telak. Perkataan Dira benar-benar menjatuhkan harga diri Bara. Sayangnya semua itu benar, dan Bara tidak bisa menyanggah. Kepalan tangannya semakin erat, membuat buku-buku jari memutih.
"Papa, ayo!" Sentuhan Kevin di lengan kemeja panjang Bara membuat emosinya sedikit mengikis. Pancaran dari kelereng Kevin yang sarat permohonan itu membuat Bara terenyuh.
Pemuda itu berjongkok, menyamakan tinggi dengan si bocah. Lantas mengelus surainya lembut. "Gimana kalau kita main yang lain aja? Bombom car, itu juga seru lho?" bujuknya pada Kevin. Berharap tetap bisa menyenangkan bocah itu tanpa membuat kecewa.
"Gak mau!" balas Kevin tegas. "Kevin, kan, mau jadi penakluk api kayak Mama. Iya, kan, Ma?" Kevin mendengak, menatap Dira yang juga tengah menatapnya.
"Iya, Sayang," ujar Dira sebelum berganti menatap Bara. "Ini nggak seburuk yang kamu bayangkan Bar, cuma simulasi. Dan jarak kalian dengan api juga sudah diamankan." Dira mencoba meyakinkan Bara.
Bara mendesah, mengacak rambutnya frustrasi. "Aku nggak bisa, Dir, maaf."
Sepertinya hari ini adalah hari buruk bagi Bara. Setelah datang tidak tepat waktu, dia juga mengecewakan untuk kedua kalinya orang yang sama. Pada akhirnya Dira tidak mau lagi memaksa, memasuki wahana tanpa Bara. Sedangkan lelaki itu seperti ucapannya beberapa saat lalu, menjadi si pecundang yang memilih menunggu di luar.
Sebenarnya, trauma Bara sudah lebih baik dari bertahun lalu. Setidaknya sekarang ia tidak histeris saat melihat api kompor di gerobak penjual pinggir jalan. Dulu ia bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di dapur rumah keluarga. Tapi untuk menghadapi api itu sendiri, Bara belum bisa. Ia tidak bisa menyalakan korek api, apa lagi kompor. Itulah sebab di kosannya dulu ruangan dapur hanya berisi peralatan makan, tanpa perlengkapan memasak. Dan untuk menghadapi kebakaran, sekalipun itu simulasi, ia belum bisa.
Entahlah, setiap kali melihat api bayangan musibah itu menyeruak begitu saja. Ia seolah bisa mendengar bunyi papan kayu yang mulai terbakar. Ia juga bisa merasakan panas si jago merah yang membakar kulit. Senyata itu, seolah kebakaran sedang ia alami.
"Kirain kamu sudah pulang, Bar."
Bara tidak tahu berapa lama ia merenung. Tapi ketika suara Dira menyapa telinga, ia tahu waktu telah berjalan panjang.
Bara berdiri, mendekati keduanya. Kevin terlihat sangat bahagia. Sayang, ia tidak turut mencipta kebahagiaan itu. "Nggaklah. Masa udah datang telat, pulangnya malah duluan," tukas Bara. Canggung masih mendominasi.
Dira terkekeh. "Sekarang kami lapar. Ayo makan!"
Terbiasa menghadapi anak kecil dan kebakaran yang membutuhkan kesabaran extra mungkin juga berpengaruh bagi sikap Dira. Perempuan itu memang sedewasa itu. Jadi, tidak salah, kan, Bara memilihnya?
***
[Bersambung]
Terapi
Terkadang tanpa sadar seseorang menciptakan sendiri ketakutannya, kemudian merawatnya dengan cara terus memikirkannya berlebihan.
---
"Aku punya sesuatu buat kamu."
Bara berkedip dua kali, seingatnya ia telah membuat kesalahan. Mengecewakan Dira dan Kevin. Bukankah lebih pantas jika dirinya menerima hukuman ketimbang hadiah? "Sesuatu apa?"
Mereka sudah berada di tempat parkir. Bara sengaja mengantar Dira dan Kevin lebih dulu. Memastikan mereka pulang, baru setelahnya ia akan menuju motornya yang berbeda tempat.
"Ngg ... hadiah spesial." Dira tersenyum misterius yang membuat Bara terkekeh.
Perempuan itu merogoh saku jaket kulit, mengeluarkan sesuatu, lantas mengangsurkannya pada Bara.
"Dira—"
"Jangan ditolak! Dan jangan protes!" Dira lebih dulu mencegat ucapan Bara.
"Tapi aku—"
"Aku tahu." Lagi, ucapan Bara dipotongnya. "Kamu nggak bisa nyalain korek itu, kan?" tebaknya telak.
Bara memandangi korek api gas di tangan. Sebenarnya tidak sulit menyalakan itu. Hanya perlu menekan agak kencang dan api keluar. Tapi tetap saja bagi Bara itu mengerikan. Membayangkan api di tangan sendiri sudah membuatnya merinding. "Terus, ngapain kamu ngasih ini?"
Bukannya menjawab Dira justru menunduk, menatap Kevin yang tampak kekenyangan. "Sayang, coba nyalain korek itu," pintanya.
Dengan patuh Kevin mengambil korek di tangan Bara, lantas menyulut api.
"See. Gak susah, kan?" Dira kembali menaruh korek itu dalam genggaman Bara.
Lelaki itu menyugar rambut. Sedikit frustrasi memikirkan cara menjelaskan kepada Dira bahwa ini tidak sesederhana itu. Bahwa Bara dengan api adalah dua hal yang selayaknya musuh.
"Gini deh, Bar," ujar Dira sebelum Bara memuntahkan protes kembali. "Kamu emang mau selamanya seperti ini? Yakin mau ngebiarin istri kamu ntar masak sendiri di dapur? Yakin bakalan tega ngeliat orang-orang yang kamu cintai mengasihani kamu selamanya? Kamu nggak malu nanti anak-anak kamu ngebully bapaknya yang takut api?" Rentetan kalimat itu Dira keluarkan nyaris tanpa jeda.
Bara mematung dengan pundak yang seolah baru saja digantungi beban berton-ton.
"Aku kayak gini karena aku peduli sama kamu," pungkas Dira sebelum pergi.
***
Detak jarum jam di dinding menjadi musik latar di kamar kos yang Bara tempati. Angka sebelas yang ditunjuk jarum pendek nyatanya tidak berpengaruh bagi indra penglihatan Bara. Lelaki itu justru tengah bersaing dengan detiknya, menghitung dalam hati satu sampai enam puluh, lalu mengulangnya lagi. Posisinya berbaring, berbantal lengan kiri. Entah sudah berapa hitungan yang ia ikuti, yang jelas netra beriris cokelat gelap itu tak jua menunjukkan tanda-tanda letih. Bisa jadi pengaruh otak yang riuh di luar kendali.
Pemuda itu menoleh ke arah nakas, sebelah tangannya terulur, mengambil benda hitam dengan huruf A merah di mukanya. Bara mengamati korek itu. Sejak Dira memberinya tadi sebelum berpisah, ia belum berani menyalakan. Pupilnya awas memindai benda itu. Seolah berbagi kata yang Bara harap hanya dengan hubungan batin, korek itu akan menyala. Tapi kemudian ia bergidik, kalau ada api lantas siapa yang akan memadamkannya tengah malam begini?
Sedikit kasar, Bara menaruh kembali benda itu. Mengubah posisi tidur menjadi menyamping, memunggungi nakas. Ia mencoba menutup mata, berharap alam bawah sadar segera menariknya.
"Kamu emang mau selamanya seperti ini? Yakin mau ngebiarin istri kamu ntar masak sendiri di dapur? Yakin bakalan tega ngeliat orang-orang yang kamu cintai mengasihani kamu selamanya? Kamu nggak malu nanti anak-anak kamu ngebully bapaknya yang takut api?"
"Aarghh ...." Bara mengacak rambut frustrasi. Bagaimana ia akan tidur jika suara Dira selalu mengganggu seperti ini?
Ia bangkit, menekuk lutut, dan membenamkan kepala di sana. Apa yang diucapkan Dira benar-benar merusak konsentrasi. Bara jadi tidak enak makan, tidak nyaman tidur, apa pun aktivitasnya jadi serba salah.
Lalu entah ide dari mana, tangannya meraih ponsel. Begitu saja ia men-dial nomor Rana. Sambungan terhubung pada dering kedua.
"Assalamualaikum ...."
Seakan baru tersadar, Bara melebarkan mata ketika mendengar suara perempuan itu. Ia menelan ludah, kalau sudah begini tidak mungkin, kan, Bara mematikan telepon?
"Waalaikumsalam, Ran, kamu belum tidur?"
"Aku shift dua, baru beres bersih-bersih."
"Sudah makan?" Kalimat tanya itu terlontar spontan dari bibir Bara.
"Aku sudah makan tadi waktu istirahat di toko," jawab Rana setelah jeda beberapa detik.
Dahi Bara berkerut. "Biasanya kamu makan lagi kalau pulang kerja?" Ia menyuarakan keheranannya. Dulu tak jarang mereka makan bersama tengah malam di teras kosan. Tetangga unit mereka yang seorang asisten rumah tangga memang lebih sering tidur di rumah majikan. Jadi, Bara dan Rana seperti hanya tinggal berdua.
"Ngg ... aku diet sekarang," balas Rana diakhiri kekehan.
Bara mencibir. "Badan segitu apanya yang mau didietin? Mau jadi lidi?"
"Enak aja, kamu tuh tiang listrik!" sewot Rana cepat. Bara bisa membayangkan bibirnya yang manyun, membuat pemuda itu tertawa. Ia tidak pernah tahu jika berbicara lewat sambungan telepon dengan Rana seperti ini akan sangat menyenangkan. Otot lehernya yang sempat tegang beberapa saat lalu, perlahan mengendur.
"Rana," panggil Bara serius setelah cukup lama saling melempar ejekan. Ia melanjutkan ucapan setelah mendapat balasan dari perempuan di seberang sana. "Menurutmu suami yang bisa bantu istri di dapur itu keren nggak?"
***
"Menurutmu suami yang bisa bantu istri di dapur itu keren nggak?"
Rana tidak langsung menjawab pertanyaan Bara di ujung sambungan selluler itu. Pertanyaan lain justru kini tengah bercokol di kepalanya, kenapa tiba-tiba Bara menanyakan itu? Apa itu artinya Bara sudah sedemikian serius dengan Dira?
Ayolah, Ran, kamu lupa sudah menerima lamaran Pak Bian? Bisikan itu membawa kesadaran Rana kembali. Ia beristighfar dalam hati, merutuki diri yang masih saja cemburu pada Dira. Bukankah ia sudah mengambil langkah tegas?
"Jadi nilai plus, sih, kalau menurutku," jawab Rana akhirnya.
"Berarti harus bisa nyalain kompor dong?"
"Ya, iyalah Bar. Namanya di dapur ya nyalain kom—" Netra Rana melebar, ia baru saja teringat bahwa Bara dan api adalah dua hal yang cukup mustahil. "Kamu udah bisa ...." Ia tidak menyebutkan kata terakhirnya, karena ia yakin Bara tahu maksudnya.
Terdengar helaan napas lumayan panjang sebelum suara berat itu kembali menyambangi telinga. "Kata Dira aku harus bisa ngalahin rasa takut aku. Katanya aku cemen kalau sampai gak bisa nyalain korek di depan istri dan anak aku kelak." Bara tertawa di akhir kalimatnya.
"Oh ...." Meski Rana sudah berulang kali mengingatkan diri sendiri tentang status dan posisi mereka, tetap saja rasa sakit itu menyentil hati, mencipta ngilu yang hanya Rana rasakan seorang diri. Sudah sedemikian jauh pembahasan mereka tentang masa depan. Tentang menjadi istri dan suami yang baik, bahkan sudah melibatkan anak. Rana tersenyum miris.
"Ibu Peri? Ibu Peri ... Rana ... kamu tidur?"
"Eh," Rana gelagapan. "Nggak Bar, aku masih melek, kok."
"Kirain aku ditinggal."
"Sori. Terus gimana, udah bisa sekarang?"
"Ya belomlah," balas Bara lirih.
Lagi, jeda meraja. Rana sedang berpikir, mencoba mencari solusi untuk persoalan Bara. Ia mungkin tidak bisa merasakan ketakutan macam apa yang Bara rasakan, tapi ia sedikit mengerti bahwa kadang sebuah peristiwa bisa mencipta trauma mendalam. "Kamu coba aja sambil ngebayangin kata-kata Dira," usul Rana.
"Maksudnya?"
"Jadikan itu semacam motivasi. Seperti kata Dira coba lakuin itu untuk orang yang kamu sayangi. Emang kamu nggak malu anak-anak kamu hilang respek karena ayahnya nggak bisa pegang korek?"
"Ibu Peri, kok, jadi ngebully aku, sih?"
Rana tergelak. Kapan lagi ia bisa memperlakukan Bara seperti ini.
***
[Bersambung]
Arti Mencintai
Orang yang ia harap jadi imam sudah lebih dulu mengikrarkan diri untuk menjadi imam orang lain. Jadi, izinkan ia belajar memulai yang baru sekarang.
---
Bian: Sudah sampai rumah?
Rana: Sudah, Pak. Alhamdulillah.
Bian: Bagaimana kabar Ibu dan adik-adik?
Rana: Alhamdulillah sehat.
Bian: Syukurlah. Insya Allah kami berangkat besok pagi.
Senyum Bian tak henti merekah seharian ini. Ah, tidak, bahkan dari berhari-hari sebelumnya. Hari yang ia tunggu akhirnya tiba. Besok ia dan kedua orangtuanya akan melamar Rana secara resmi, menentukan tanggal pernikahan yang semoga disegerakan.
Jika tidak ingat umur, ingin rasanya Bian melompat-lompat mengekspresikan kebahagiaan. Apa yang menjadi doa dalam sujud panjangnya akhirnya terkabul. Meski masih ada satu hal yang mengganjal di hati, panggilan Rana untuknya. Ia merasa seperti bapak-bapak yang akan menikahi anak kecil. Padahal perbedaan umur mereka tidak sampai sepuluh tahun. Tapi itu bisa ia pikirkan nanti.
Yang terpenting bagi Bian sekarang adalah penerimaan Rana. Ia sudah sangat bersyukur gadis itu pada akhirnya mau menerima. Soal cinta ia akan berusaha menghadirkannya perlahan. Seiring kebersamaan mereka, Bian yakin tidak akan sulit membuat Rana jatuh cinta. Lagi pula Rana yang menerima Bian sebagai calon suami juga bisa disebut usaha untuk mencintai Bian, kan?
Bian kembali berkutat dengan perlengkapan yang akan dibawa. Ia memastikan sekali lagi kemeja yang akan dikenakan besok tidak kusut, juga telah wangi. Tadi siang ia bahkan sudah ke barber shop langganan, meminta rambutnya dirapikan. Ia juga bersyukur telah menemukan pengganti Helen, dan menambahkan karyawan satu lagi. Bian butuh tambahan tenaga kerja sekarang ini.
"Yang mau lamaran, senyum terus sampai gak denger Mama ketuk pintu dari tadi."
Bian menoleh ke belakang, mamanya tengah bersandar pada kusen pintu kamar. "Mama? Kapan Mama ketuk pintu?"
Wanita itu berdecak. "Nah, kan, kamu bahkan gak tahu. Ngelamunin apa, sih?" Ia mendekat, menepuk pundak anak yang sudah jauh lebih tinggi darinya itu.
Bian terkekeh malu. "Oh iya, Mama kok belum tidur? Besok kita berangkat pagi lho."
"Iya, iya, Mama tahu, kok. Ini juga mau tidur, tapi si calon pengantin sendiri malah masih melek jam segini," ledeknya.
Lagi, Bian tertawa. Ia lantas memeluk tubuh wanita yang paling dicintainya itu erat. Sekali lagi mengucap terima kasih dan memohon doa untuk acaranya besok.
***
Bian: Syukurlah. Insya Allah kami berangkat besok pagi.
Rana memandangi gawai yang menampilkan laman chat-nya dengan Bian. Kalimat yang dikirim lelaki itu seolah menyadarkan Rana bahwa tinggal hitungan jam nasibnya akan ditentukan. Setelah besok mungkin tidak akan ada lagi kesempatan baginya untuk melarikan diri atau sekadar membatalkan acara pernikahan mereka.
Rana menghela napas panjang. Ia berjalan menghampiri jendela, menyibak tirai hijau lumut itu. Gelap yang tertangkap retina. Cahaya lampu dari sudut rumah tidak cukup menerangi bagian samping bangunan sederhana itu. Ia menengadah, memandang langit yang dihiasi kelip-kelip kecil.
Selintas tanggapan Ibu dan adik-adiknya beberapa saat lalu ketika ia menginjakkan kaki di rumah menggelitik kuping.
"Alhamdulillah. Ibu pikir kamu tidak akan menerima lamaran Bian, Rana," ucap Sakka dengan mata dihiasi selaput bening.
"Horee! Kakak mau nikah sama orang kaya," teriak dua adiknya yang masih SD.
Rana tersenyum mengingat kegembiraan dua adiknya. Bagi mereka mungkin menikah dengan orang berada itu menyenangkan, seolah apa pun keinginan mereka akan terpenuhi. Andai sesederhana itu Rana tentu akan berkata iya di hari ketika Bian mengungkapkan perasaannya.
Ia kembali menarik napas panjang. Lantas menggerakkan jemari di jendela kaca itu, menyentuh titik-titik cahaya yang sebenarnya amat jauh. Cita-cita Rana dari dulu adalah membahagiakan keluarga. Apa pun akan ia lakukan demi senyum mereka. Ia berharap bisa menjadi bintang yang berpendar menerangi sekitar.
Jika pernikahannya dengan Bian bisa membuat keluarga bahagia, maka akan ia lakukan. Toh, cinta yang seharusnya ia perjuangkan sudah kandas. Orang yang ia harap jadi imam sudah lebih dulu mengikrarkan diri untuk menjadi imam orang lain. Jadi, izinkan ia belajar memulai yang baru sekarang.
***
Jari-jari panjang itu lincah menari di atas papan ketik, memvisualisasikan ide si penulis ke dalam laman word. Sudah sekitar 1500 kata yang Bara tulis selama satu jam ini.
Lelaki itu meregangkan otot-otot tubuh ketika bab 28 baru saja ia rampungkan. Bagian terbaru dalam kisahnya bersama Luna. Ia tersenyum semringah. Menulis selalu membawa pengaruh positif bagi pikiran dan hati. Kerinduannya pada Luna seolah terobati. Ia merasa berinteraksi dengan gadis kecil itu secara nyata. Terlebih dalam cerita yang ia tulis, ia telah menemukan gadis itu. Gadis kecil yang ia cari nyaris sepanjang hidup. Cinta masa kecil yang terus tumbuh seiring tubuh yang juga kian dewasa. Mungkin kisah yang ia tulis bisa disebut cinta sejati. Cinta yang tidak pernah mati meski jarak membentang dan waktu mengubah segalanya. Cinta yang meyakini bahwa apa yang ia tunggu pada akhirnya datang. Bahwa keajaiban cinta selalu ada.
Bara tersenyum kian lebar. Tak sabar untuk lekas merampungkan karya dan mengirim ke panitia penyelenggara event bergengsi itu. Jika ia berhasil memenangkannya, Bara akan mempersembahkan untuk Luna.
Berbicara tentang Luna, otomatis membawa satu nama yang beberapa hari ini cukup sering menghubunginya via ponsel, Dira. Gadis itu rutin menanyakan perkembangan hubungannya dengan si korek gas. Terdengar tidak penting bagi sebagian orang mungkin, tapi bagi Bara itu spesial. Dira membantunya mengatasi rasa takut dan trauma. Meskipun sampai detik ini Bara belum mampu menyalakan benda itu. Bara yakin, seiring berjalannya waktu ia akan bisa. Apa lagi dengan bantuan Dira, si penakluk api.
Faktanya skenario Tuhan memang unik. Bara yang notabene tidak bisa berinteraksi dengan api justru dipertemukan dengan orang yang bersahabat dengan zat panas itu. Barangkali Tuhan menginginkannya sembuh lewat Dira.
Bara mengambil korek yang tergeletak di samping laptop. Menimang seperti biasa. "Demi kamu aku akan terus berusaha."
***
"Gelap tak selamanya menakutkan, kadang di dalam kegelapan justru tersimpan keajaiban. Seperti keajaiban sepertiga malam yang akhir, di mana doa layaknya anak panah yang tepat sasaran."
Dira tersenyum membaca kutipan status dari akun Instagram @maliq_ itu. Segala apa yang menghiasi time line-nya berisi kebaikan. Kalimat-kalimat yang tidak menggurui, tapi berhasil memengaruhi alam bawah sadar si pembaca untuk bersikap lebih baik.
Tak jarang update statusnya dipenuhi komentar para gadis yang terang-terangan memuja. Seperti beberapa komen yang sempat Dira baca malam ini.
@akhwat.bercadar: Masya Allah, terima kasih akhi sudah diingatkan.
@gadis_pemalu: Terima kasih akhi. Insya Allah belajar istiqomah untuk sholat malam.
@desi.bukan.ratnasari: Yang kayak gini nih, cocok jadi calon imam.
Dan sederet kalimat-kaliamt lain yang tidak sempat Dira baca.
Hal yang membuat Dira kian kagum dengan lelaki yang dikenalnya bertahun silam, Malik sama sekali tidak menggubris komentar mereka. Seperti yang Dira tahu, Malik akan tetap menjadi Malik, pemuda taat agama yang mungkin menomorsekiankan urusan dunia, apa lagi hanya persoalan cinta.
Namun, kenyataan itu tak lantas membuat Dira patah arang. Kekagumannya pada pemuda itu masih sebesar dulu, bahkan lebih. Keinginan Dira untuk bisa bersanding dengan Malik akan tetap menjadi cita-cita abadi hingga pemuda itu telah menambatkan hati pada gadis lain.
Dira percaya akan selalu ada jalan menuju bahagia. Seperti musibah yang dulu menimpa keluarganya. Awalnya Dira pikir, hidupnya tidak akan seberarti dulu. Tidak akan lengkap. Tapi, justru itu menjadi titik balik. Sekarang ia menjadi penyambung kebahagiaan bagi keluarga lain. Mereka yang berhasil Dira dan tim selamatkan dari kebakaran.
Netra Dira melebar ketika akun Instagram yang tengah ia satroni menampilkan story baru. Jantungnya mendadak bertalu cepat, dibarengi rasa aneh yang merambati dada. Foto masjid itu tidak mungkin salah Dira kenali. Ia ingat betul, masjid dengan kubah emas dan pilar hijau itu ada di kota mereka dulu. Masjid yang sering Malik sambangi untuk memanggil orang-orang sholat.
Hal yang lebih mendebarkan adalah kalimat di bawah foto itu. "Rindu adzan di sana."
Apa itu artinya Malik akan pulang ke Indonesia?
***
[Bersambung]
Patah Hati
Sepintas rasa kagum memang mirip cinta, meski keduanya punya ruang sendiri-sendiri.
---
Melihat saldo rekening yang bertambah adalah kebahagiaan tersendiri. Apa lagi jika itu didapat oleh mahasiswa seperti Bara. Matanya berbinar ketika membaca email dari redaktur surat kabar yang memberitahukan bahwa honor sudah dikirim. Ketika ia mengecek di aplikasi M-Banking-nya, ternyata benar. Jumlah uangnya bertambah. Meski tidak bisa disebut besar, tapi tidak ada salahnya berbangga, bukan?
Bara sudah merencanakan sebuah ide. Ia akan mentraktir Dira dan Rana. Berbagi kebahagiaan dengan mereka.
Netra beriris cokelat gelap itu berbinar ketika orang yang sedang ia pikirkan justru lebih dulu mengirim pesan padanya.
Dira: Bar, aku ganggu gak? Kevin merajuk pengen ketemu kamu.
Dan senyum Bara makin lebar saat membaca isi pesan. Ia dan Kevin memang sudah sedekat itu, jadi wajar kalau bocah lelaki itu kangen padanya sekarang.
Bara: Kebetulan banget, aku juga lagi pengen ketemu dia.
Dan kamu, batin Bara dalam hati. Lantas ia menggeleng menyadari kekonyolan itu.
Dira: Kebetulan banget. Kapan bisa ketemu?
Bara: Mumpung libur, ayo ketemuan sekarang.
Bara segera mengantongi ponsel dan bersiap pergi setelah menyetujui tempat janjian dengan Dira. Rana bisa ia ajak nanti malam, pikirnya.
***
Warung coto Makassar yang memang tersohor itu penuh sesak siang ini. Kendati cuaca panas, itu tidak berpengaruh bagi lidah mereka yang mendamba makanan khas Makassar itu. Termasuk Bara dan Dira. Beruntung mereka masih kebagian tempat di area out door.
"Kok, pakai bawa hadiah segala, sih?" ujar Dira ketika Kevin menerima prototipe bumblebee dari Bara.
"Sekali-kali," balas Bara. Ia senang melihat Kevin yang khusyuk memainkan mobil kuning itu.
"Horee, Kevin bisa!" seru bocah itu. Mainannya telah berubah menjadi robot. Bara dan Dira ikut tepuk tangan.
"Seneng banget, ya?" tanya Dira, mengelus lembut kepala Kevin. Dijawab anggukan mantap.
Bara memperhatikan keduanya, rasanya tidak sulit menjaga Dira dan Kevin. Apa lagi mereka sudah dekat satu sama lain.
Ia bukan jenis lelaki yang akan menawarkan sebuah hubungan coba-coba pada lawan jenisnya. Meminta pendekatan fisik dan batin, lalu ketika ditemukan keburukan maka ia akan membuangnya begitu saja. Tidak, Bara bukan lelaki seperti itu. Ia akan serius jika memang hati berkata inilah orangnya, dan akan lebih serius jika orang yang dimaksud menerima. Bukankah seperti itu yang diajarkan agama?
Lelaki itu berdeham. "Bagaimana dengan tawaranku tempo hari?"
Alis Dira berjengit. "Tawaran apa? Yang mana?" Seingatnya mereka tidak pernah melakukan tawaran apa pun.
"Tentang menjadi papa sesungguhnya bagi Kevin." Kalimat itu terlontar mantap dan tegas dari bibir Bara. Kevin sempat menoleh sesaat ketika namanya disebut, tapi setelah itu berkutat kembali dengan bumblebee-nya.
"Kamu ngomong apa sih, Bar?"
"Aku serius, Dir. Sama seriusnya dengan yang aku ucapin sewaktu di rumah sakit dulu."
"Tunggu!" Dira mengangkat tangan kanan sejajar kepala. "Kenapa aku? Memangnya apa yang membuatmu menyukaiku?"
Bara mengatupkan bibirnya kembali yang sudah siap menjawab pertanyaan Dira ketika pelayan datang. Ia membiarkan seluruh pelayanan selesai sebelum kembali bersuara, "Karena kamu adalah Dira penyelamat. Aku respek sama cewek-cewek mandiri dan pemberani kayak kamu."
Senyum yang semula dipertontonkan Bara perlahan pudar ketika Dira justru terkekeh geli. Seolah apa yang barusan Bara ucapkan adalah stand up comedy.
"Bar, kamu yakin beneran suka sama aku?" tanya Dira serius. "Bukan karena menyukai sosok Luna yang secara kebetulan ada di diri aku?"
Kening Bara berkerut dalam, menelaah maksud perkataan Dira. Iya, mereka memang mirip dari segi sifat. Tapi, fisiknya berbeda. Bara tidak mungkin salah akan perasaannya, kan?
"Nggak!" Bara menggeleng tegas. "Aku nggak salah. Kamu dan Luna beda."
"Aku ngerti itu, Bara." Dira jeda, sekadar menghela napas. "Sekarang gini deh, kamu penulis, kan? Pernah nggak ngebayangin aku sebagai salah satu tokoh dalam ceritamu? Ada nggak?" tanya Dira. "Atau justru yang ada hanya Luna atau malah perempuan lain?"
Bara tidak langsung menjawab. Ia justru sedang mengingat seperti apa sosok perempuan yang ia gambarkan dalam novelnya. Ia kembali beradu pandang dengan Dira. Ia penulis, ia cukup sering memberi penjelasan gamblang tentang tanda-tanda jatuh hati.
Ia mencoba mencari tanda itu. Di mana detakan yang berbeda itu? Di mana getar aneh yang harusnya memenuhi dada? Dan ketika sadar bahwa semua itu tidak ada, netranya melebar.
Dira mendengkus, lantas terkekeh geli. "Bar, aku yakin seratus persen bukan aku yang kamu sukai. Kamu mungkin sebatas kagum." Bahunya terkedik. Ia lantas memilih mendekatkan mangkuk, memulai aktivitas makan siang mereka yang sempat tertunda.
"Tapi, Dir ...." Ucapan Bara untuk kembali memberi sanggahan terhenti karena isyarat tangan dari perempuan di depannya.
Kembali meletakkan sendok, Dira memandang Bara lekat. "Bar, kalau toh kamu beneran suka sama aku, aku nggak bisa." Kepalanya tergerak ke kanan dan kiri. "Ada orang lain yang udah lebih dulu menempati ruang di sini." Ia menunjuk dada. Mungkin terdengar sadis, mengatakan menyukai orang lain di saat ada yang baru saja menyatakan perasaan padanya. Tapi seperti yang dikatakan Dira barusan, Bara salah menerjemahkan bahasa hati. Ia hanya membantu Bara, menyadarkan tentang perasaannya sendiri.
***
Bara membelokkan motor ke tempat parkir Sakura. Mematikan mesin, ia tidak langsung turun. Lelaki itu menjulurkan kepala, menajamkan pandangan ke dalam, mencari sosok yang sudah ia hafal posturnya. Seperti rencana awal pagi tadi, ia akan mengajak Rana makan malam. Ia sengaja tidak memberi tahu Rana perihal kedatangannya. Kejutan, itu yang ia rencanakan.
Tapi, ketika ia tidak menemukan sosok yang dicari, Bara memilih memastikan sendiri dengan masuk ke toko bunga itu. Tidak masalah jika Rana sudah pulang, ia akan menyambangi kontrakannya. Pun ia akan suka hati menunggu jika Rana ternyata shift malam.
Kaki jenjang berbalut jeans hitam itu melangkah mantap ke dalam toko. Mendekati salah satu karyawati di salah satu sisi ruangan yang tengah menata aneka mawar.
"Permisi," ucapnya sopan. "Ranti, kan?" menunjuk gadis berkucir kuda dengan poni menyamping itu.
"Bara?" Mereka memang tidak pernah terlibat obrolan serius berdua saja, tapi secara tidak langsung mereka saling mengenal lewat Rana. "Ada apa?"
"Rana masuk apa ya, hari ini?"
"Dia, kan, cuti. Kamu nggak dikabarin?"
Detik selanjutnya netra keduanya melebar untuk sebab yang berbeda. Ranti terkejut karena Rana tidak memberitahu Bara, tapi ketika ia memikirkan kembali perasaan gadis itu, ia maklum. Sementara Bara terkejut karena tidak tahu Rana cuti. Seingatnya ketika terakhir kali mereka berbagi kabar lewat ponsel, Rana sama sekali tidak menyinggung soal rencana pulang kampung. Dan membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi membuat Bara khawatir.
"Cuti pulang? Kenapa? Adiknya sakit?" Pertanyaan beruntun itu sarat kecemasan.
Ranti menggigit bibir bawah, bingung harus menjawab bagaimana. "Itu ... Rana ...." Gadis itu berdeham, bagaimanapun ini berita baik, kan? Ia kembali berdeham, lantas menatap Bara. "Hari ini keluarga Pak Bian melamar Rana secara resmi."
Pemuda itu tertegun. Seingat Bara sudah sedari tadi pagi Dira menolak dan menyatakan mencintai orang lain, tapi kenapa baru sekarang hatinya sakit?
***
[Bersambung]
Menerjemahkan Bahasa Kalbu
Gimana kalau rasa suka itu terlambat kamu sadari?
---
"Aku ngerti itu, Bara."
"Sekarang gini deh, kamu penulis, kan? Pernah nggak ngebayangin aku sebagai salah satu tokoh dalam ceritamu? Ada nggak?"
"Atau justru yang ada hanya Luna atau malah perempuan lain?"
Adakah yang lebih mengganggu selain otak yang riuh serupa pasar pagi?
Bara mengalami itu beberapa hari ini. Sekarang intensitasnya justru semakin menjadi. Jika diibaratkan pasar, maka otak Bara adalah kios yang sedang mengadakan diskon besar-besaran. Terbayang berapa kepala yang ramai saling mengeluarkan suara.
Pupil matanya menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Seperti sedang mencoba menjelajah barisan aksara yang dirangkai sendiri. Ada puluhan cerpen bertema cinta yang sudah ia tulis. Ada lebih dari sepuluh draf naskah novel bernapas sama. Tentang cinta; mencintai dan dicintai. Ia hafal betul bagaimana menggambarkan baik tersirat maupun tersurat tingkah orang yang jatuh cinta.
Ia ingat, seseorang yang membaca ceritanya di salah satu platform menulis pernah berkomentar, jika apa yang ditulis Bara sangat sesuai dengan yang orang itu rasakan. Harusnya ia sudah lulus, kan, dalam memaknai isyarat hati?
Tapi hari ini, Bara dibuat kelimpungan sendiri. Faktanya, ia telah gagal menerjemahkan bahasa kalbu. Entah karena ia sendiri yang belum pernah benar-benar jatuh cinta atau memang hatinya terdoktrin untuk hanya menyatakan cinta pada orang seperti Luna.
Bara menyugar rambut, lantas menengadah. Kembali, perkataan Dira terngiang di samping telinga.
"Bar, kamu yakin beneran suka sama aku? Bukan karena menyukai sosok Luna yang secara kebetulan ada di diri aku?"
Lantas ia mengingat kembali pertemuan perdana dengan Dira. Perempuan pemberani, berjiwa penyelamat yang sukarela menolong Bara. Dira yang kemudian Bara sebut titisan Luna.
Bara tertawa hambar. Faktanya, dari awal ia memang sudah menganggap Dira adalah transformasi dari gadis kecil di masa lalunya. Luna versi dewasa.
Jika benar demikian, rasanya sangat pantas jika Dira menolaknya. Tapi perihal rasa suka Bara, apa benar ada seseorang yang justru telah mencuri hatinya tanpa disadari? Satu pertanyaan itu yang paling mengganggu Bara.
Ia membenarkan posisi duduk, menegakkan punggung, lantas jemarinya lincah menggeser kursor. Ia ingin membuktikan satu kali lagi ucapan Dira, tentang tokoh dalam ceritanya yang bisa jadi terinspirasi dari orang di sekitarnya.
Bara mengeklik salah satu cerpen bertema cinta pertama. Dalam cerita itu ia mengisahkan tentang gadis periang yang menjadi tulang punggung keluarga. Mengingat latar belakang tokohnya saja membuat Bara menelan ludah. Menggeleng, Bara berasumsi jika itu pasti hanya kebetulan.
Tingginya hanya sebatas bahuku. Netra cokelat terang itu selalu memancar hangat, membuat siapa pun betah berlama-lama berbagi tatap dengannya.
Kutipan dalam tulisan kedua yang dipilih Bara secara random. Membaca itu mampu membuat bayangan wajah seseorang tergambar jelas di kepalanya. Lagi, Bara menggeleng, tak cukup sekali. Ia juga berusaha mengusir bayang wajah itu. Mungkin karena mereka dekat, yakin Bara sekali lagi.
Hingga tangannya kemudian berhenti pada tulisan yang sedang ia garap. Kisahnya dengan Luna. Cinta abadi yang tak lekang tergerus waktu. Tokoh lelaki yang ia gambarkan percaya jika kekasih masa kecilnya belum tiada. Tokoh yang membawa cinta masa kecil itu hingga dewasa. Sampai kemudian penantian itu berbuah manis. Si tokoh lelaki menemukan seorang gadis yang begitu mirip dengan gadis yang selama ini ia tunggu.
"Iyalah, cintaku, kan, emang cuma untuk Luna." Bara bermonolog, lantas tersenyum lega karena apa yang tadi sempat menyelinap ke otaknya ternyata tidak benar. Pasti hanya kebetulan.
Bara mengambil korek pemberian Dira di samping laptop. "Kamu salah, Dira, tidak ada gadis lain," ujarnya sembari memandangi benda itu seolah berhadapan dengan Dira.
Namun, ketika netranya tertumbuk pada deretan kalimat berisi ciri fisik gadis di dalam novel, Bara kesusahan menelan ludah sendiri. Seakan ada penghalang amat besar di tenggorokan.
"Hari ini keluarga Pak Bian melamar Rana secara resmi."
Bara kembali merasakan sesuatu asing di dada. Seperti ada tangan tak kasat mata yang merenggut hati, menimbulkan kekosongan yang Bara sendiri tidak mengerti. Kenapa ia harus merasa sehampa ini? Kenapa ia seperti kehilangan separuh hati?
Kembali ia baca deretan aksara di layar.
Gadis bermata bulat itu menatapnya. Mendadak ada desir halus yang mengisi hati. Lalu ketika gadis berhijab itu tersenyum, ia yakin telah menemukan yang selama ini ia cari.
"Rana."
Satu kata itu lolos begitu saja dari mulut Bara. Siapa lagi gadis periang yang menjadi tulang punggung keluarga selain karyawati Sakura? Siapa lagi gadis beriris cokelat yang tingginya hanya sebatas bahu Bara selain mantan tetangga kos? Siapa lagi pemilik mata bulat dan berhijab, pemilik senyum hangat selain Rana?
"Mustahil!"
Menggeleng berulang, Bara berusaha mengenyahkan semua kemungkinan gila itu. Tidak masuk akal jika ia menyukai sahabatnya sendiri. Ini pasti salah, bisik hatinya.
"Bar, kamu udah bisa nyalain korek?" Riko muncul di ambang pintu. Kedua bola matanya membulat sempurna, menatap Bara takjub.
"Apa?" Bara tidak begitu mendengar ucapan temannya itu.
"Itu?" Dagu Riko tergedik ke arah tangan Bara. "Kamu udah nggak phobia?"
Bara mengikuti arah kedikan dagu lelaki berambut keriting itu. Detik berikutnya netranya melebar, nyaris keluar, dengan gerakan kilat Bara melempar korek yang tengah menyala itu. Benda itu jatuh ke lantai keramik, diikuti pandangan tak percaya dari orang yang baru saja melihat api dari lubang kecil di permukaannya. Rupanya secara tidak sadar Bara telah menekan tuas untuk menyalakan korek itu.
"Bar, kamu nggak papa?" Riko menyentuh pundak Bara yang tampak tidak baik-baik saja. Napas Bara memburu seperti pelari maraton.
Menoleh dengan gerakan serupa robot, Bara menelan ludah kelat. "Itu ... tadi ... api?" igaunya. "Di tanganku?"
Riko menarik napas panjang. Lantas membimbing Bara untuk melakukan hal yang sama dan membuangnya perlahan. Setelah kondisinya stabil, Riko mulai angkat bicara. "Kamu kenapa, sih, Bar? Ada masalah?"
Untuk beberapa detik Bara hanya menatap lelaki itu. Ia berdeham. "Kamu pernah jatuh cinta?" tanya itu terlontar, yang otomatis membuat Riko menahan tawa.
"Ya pernahlah. Aku bukan batu."
Bara tidak menggubris candaan Riko. Ia kembali mengajukan pertanyaan lain. "Pernah patah hati?"
Kali ini alis Riko berjengit. Sadar bahwa Bara sedang tidak main-main. "Pernah juga."
"Gimana nyembuhin patah hati?"
Dan kerutan di dahi Riko kian dalam. "Kamu patah hati? Karena siapa? Dira? Kamu udah nyatain perasaan? Terus ditolak?"
Bara berdecak. Teman satu kampusnya itu memang berjenis lelaki, tapi tingkat kekepoannya kadang melebihi akun gosip Instagram. "Jawab dulu pertanyaanku!"
Riko yang duduk di tepi ranjang, melipat tangan di dada. "Biasanya kalau ditolak cewek aku nyari lagi yang lain. Kan, populasi cewek lebih banyak. Ditolak satu masih ada seribu." Riko menaikturunkan alis. Detik berikutnya ia mengaduh karena lemparan pulpen dari Bara.
"Sok ganteng," cibir Bara. Tawa Riko pecah.
"Gimana kalau rasa suka itu terlambat kamu sadari?" Bara masih belum kapok mengajukan pertanyaan setelah tawa Riko reda. "Dan ketika sadar, dia sudah memilih orang lain?" Netra Bara menerawang, ia merasakan itu, lagi. Semacam rasa sakit yang membuat sesuatu di rongga dada ngilu.
"Kamu ngomongin siapa, sih, Bar?" Riko semakin penasaran. Ia memutar otak, menebak perempuan mana yang telah mematahkan hati Bara.
Tunggu! Netra Riko melebar ketika satu clue menjadi kunci jawaban. Gimana kalau rasa suka itu terlambat kamu sadari?
"Bar, cewek itu Rana?"
Pertanyaan itu terlontar seiring bunyi mesin motor yang dinyalakan. Bara sudah tidak ada di tempat semula. Lelaki itu tergesa keluar. "Bar, kamu suka Rana? ... Woiii!!!"
***
[Bersambung]
Ketika Semuanya Sudah Terlambat
Ketika masih bebas bertemu, begitu dekat, kenapa justru terlena dengan hubungan bertajuk persahabatan?
---
Bangunan itu masih seperti yang dulu. Berisi tiga petak ruangan yang nyaris serupa dari keempatnya. Dua unit paling kanan masih proses perbaikan. Unit nomor tiga sudah memiliki pintu baru. Yang paling menarik tentu saja yang paling ujung.
Sepuluh menit lalu Bara memacu motor tak tentu arah. Ia hanya berbelok saat ada tikungan, berhenti sebentar saat lampu lalu lintas menyala merah. Dan ketika sadar, ia sudah berada di tempat ini. Mantan tempat kos-nya.
Pemuda itu masih berada di jok motor. Memandang lekat unit paling ujung. Dulu Bara suka mengetuk pintu itu meski tanpa alasan yang jelas. Kadang ia sengaja mengetuk sembarangan, menimbulkan bunyi serampangan. Kemudian wajah itu akan muncul, berusaha terlihat galak meski sebenarnya tidak.
Bara masih bisa mencium aroma masakannya di pagi hari. Bara ingat senyuman itu ketika mereka saling menyapa setelah seharian beraktivitas. Bara hafal kebiasaan gadis itu yang bangun malam dan gemericik air yang terdengar. Bahkan ia juga merekam jelas cara penghuni kos paling ujung itu mengunci pintu.
"Bodoh!" maki Bara untuk diri sendiri.
Entah apa yang menyebabkan ia terlambat menyadari rasa itu. Entah karena apa Bara setolol itu.
Ketika mereka masih bebas bertemu, ketika mereka begitu dekat, ia justru terlampau terlena dengan hubungan bertajuk persahabatan. Bodohnya, ia justru susah payah mencari sosok lain. Sosok yang ia kira telah mencuri hati, tapi ternyata hanya ilusi. Bara tertipu oleh perasaannya sendiri.
Lelaki itu menyugar rambut, menelan ludah kelat. "Lalu sekarang apa?" lirihnya.
Ia merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel dengan casing hitam. Jempolnya secara otomatis mencari kontak mantan pemilik kos paling ujung itu.
Ibu Peri
Menyentuh foto kontak itu lama. Gambar bunga lily yang ia sukai.
Lantas netra Bara menemukan status baru dari gadis itu. Unggahan foto yang membuat dadanya kian sesak.
Bismillah, semoga dilancarkan sampai hari H.
Tulisan itu menghiasi foto jari manis yang dihiasi cincin permata.
***
Rana menatap cincin emas berhias permata berbentuk hati di jari manisnya. Dua jam lalu benda berbentuk lingkaran itu disematkan oleh Bian. Nyaris semua yang hadir di ruang tamu rumahnya gembira, memamerkan senyum lebar. Sakka bahkan sempat menitikkan air mata. Air mata bahagia.
Rana tersenyum tentu saja. Ia berusaha menarik sudut-sudut bibir seluwes mungkin. Apalagi ketika kemudian para orang tua memutuskan bahwa pernikahan mereka akan dilangsungkan tiga bulan dari sekarang. Binar cerah menghiasi mata Bian, calon suaminya kelak. Orang yang harus ia cintai sepenuh hati nanti.
Hingga keluarga Bian meninggalkan rumah ini sepuluh menit lalu, senyum di bibirnya masih tersungging. Tak lupa mengatakan hati-hati di jalan sembari melambaikan tangan hingga mobil ditelan tikungan.
Itu sepuluh menit lalu. Ketika semua mata tertuju padanya. Ketika Rana dikelilingi banyak kepala.
Namun, kini ia sendiri. Berteman sepi di dalam kamar pribadi. Senyum itu memudar berganti sendu yang perlahan menjalar. Harusnya hatinya berbunga menatap cincin itu. Tapi Rana tidak. Perasaan bersalah meraja. Ia merasa seperti penipu yang mengelabui begitu banyak orang.
Rana menghela napas berat. Bukankah ia telah memikirkan itu ratusan kali? Kenapa masih tetap sesesak ini?
"Ikhlas, Rana! Ikhlas!" bisiknya pada diri sendiri.
"Rana?" Panggilan dari luar menyentak Rana. Ia mengusap wajah, lantas bergegas menuju pintu.
Sakka didapati di depan kamar. "Ini ponsel kamu bunyi dari tadi." Perempuan yang wajahnya sudah dikepung keriput itu mengangsurkan gawai putih yang mengeluarkan dering panjang. Nama Bian tertera di layar.
"Oh iya, Bu, makasih ya. Ini dari Pak Bian." Rana menunjuk ponsel. "Aku terima dulu, ya." Lantas menutup pintu kamarnya kembali.
"Assalamualaikum," sapa Rana setelah lebih dulu menarik napas panjang.
"Waalaikumussalam, Ran," jawab si penelepon. Bian berdeham sebelum melanjutkan, "Besok ... kamu jadi berangkat besok?"
"Iya, Pak. Insya Allah besok pagi, karena saya cuti tiga hari."
"Oh ...."
Rana masih menunggu Bian melanjutkan ucapannya, tapi ketika dua menit berlalu dan lelaki itu tak kunjung bersuara, Rana menjauhkan ponsel, menatap layar, memastikan panggilan masih tersambung.
"Rana?"
Ia buru-buru menempelkan benda pipih itu saat Bian memanggilnya. "Iya, Pak?"
"Besok ...." Bian berdeham. "Kita ... berangkat bareng, ya."
Netra Rana melebar, membayangkan satu mobil dengan lelaki yang baru saja dinyatakan sebagai tunangan, membuat Rana mulas. Mungkin tidak masalah jika mereka dekat sebelumnya, tapi ia dan Bian .... Rana bahkan bingung menjabarkannya. "Lho, terus orangtua Bapak gimana?"
"Mereka pulang hari ini, diantar sopir."
Rana meringis, jika sudah begini alasan apa yang akan ia lontarkan? "Emang Bapak nggak capek bolak-balik hotel ke sini?" Gadis itu menggigit bibir bawah, berharap Bian mengurungkan niatnya.
"Nggak masalah, kok," jawab Bian cepat.
Rana menelan ludah kelat. "Ya ... udah, Pak. Terima kasih sebelumnya," balasnya kaku.
Rana sudah akan menutup telepon saat lagi-lagi Bian bersuara. "Kamu sedang apa?"
"Saya sedang ...." Rana menggaruk kepala, tidak mungkin, kan, kalau ia menjawab sedang meratapi pertunangan mereka? Ketika netranya menangkap tas ransel di sudut kamar, ia menemukan jawaban itu. "Beresin baju, Pak."
"Oh ...."
Lagi, hening menjeda. Rana gatal mengakhiri obrolan, tapi si penelepon entah kenapa masih belum memutus sambungan.
"Ran ...."
"Iya."
"Saya boleh meminta sesuatu?"
Jantung Rana mendadak berdetak dua kali lebih cepat. Perkataan Bian seolah permintaan horor di telinga Rana. "Ap-pa, Pak?"
Terdengar tarikan napas lumayan panjang, sebelum Bian melontarkan kalimat yang membuat perut Rana kian melilit. "Jangan panggil saya 'pak', bisa?"
"Itu ...."
"Tidak harus serta-merta." Bian buru-buru memberi klarifikasi. "Sedikit demi sedikit saja, misal saat kita hanya berbicara berdua seperti ini."
"Aah ... iya, insya Allah, diusahakan Pak, eh anu, D-Daeng*." Lidah Rana kaku. Perutnya mulas, dadanya berdebar tak keruan. Rasanya aneh.
"Terima kasih, Rana. Lagi pula bukankah akan lucu jika kita sudah menikah dan kamu masih memanggil saya dengan sebutan itu. Iya, kan?"
Kenapa Rana merasa atasannya itu sedikit lebih banyak bicara hari ini? Apakah kebahagiaan penyebabnya?
"Ran?"
"Eh, iya, Pak, eh."
Bian terkekeh. "Ya sudah, sampai bertemu besok pagi, calon istriku."
***
"Ya sudah, sampai bertemu besok pagi, calon istriku."
Bian masih memandangi layar gawai meski sambungan sudah terputus satu menit lalu. Cengiran lebar menghiasi wajah. Ia menggeleng, merasa seperti orang kurang waras yang tersenyum di depan benda mati.
Apa yang ia rasakan sekarang benar-benar tidak bisa dijabarkan lewat kata. Bian seolah menjelma menjadi manusia baru. Ia sendiri nyaris tidak memercayai pada apa yang baru saja ia lakukan, memanggil Rana dengan sebutan calon istri.
Bian terkekeh. Sepertinya ia tertular sifat nyeleneh Bara. Menyebut lelaki itu Bian jadi teringat bahwa ia belum memberitahu mengenai acara hari ini. Ia menyalakan lagi ponselnya, mengetuk ikon kontak telepon dan mencari nama Bara. Bagaimanapun teman Rana itu turut andil dalam proses pendekatannya.
Bian mengurungkan niat mengirim pesan teks pada Bara, ia kemudian memilih melakukan panggilan selluler. Tapi hingga dua kali nada dering, tak kunjung ada jawaban. Ia nyaris memupus keinginan menghubungi Bara hingga di panggilan ketika suara lelaki itu terdengar.
"Sibuk, Bro?" tanya Bian setelah mendapat salam dari Bara.
"Lumayan."
"Aku ganggu dong?"
"Nggak juga, sih."
Bian mengerutkan kening, merasa aneh dengan gaya bicara Bara yang serba singkat itu. Ia berdeham lantas mengungkapkan bahwa ia dan Rana sudah resmi bertunangan. Senyum yang menghiasi wajah setelah mengucapkan itu perlahan memudar karena respons Bara yang di luar dugaan.
"Oh itu. Iya, udah tahu, kok."
"Kamu lagi sakit, Bar?" tanya Bian penasaran.
Terdengar dehaman sebelum Bara menjawab, "Sori, kayaknya kebawa suasana dalam cerita yang lagi aku garap." Bara kembali berdeham. "Btw selamat ya untuk pertunangan kalian."
Bian mengembuskan napas lega. "Kirain kenapa Bro? Thanks ya, berkat bantuanmu juga ini."
***
C
atatan kaki:
*Sapaan dari perempuan Makassar untuk kakak laki-laki atau pasangannya.
[Bersambung]
Sakit Tak Berdarah
Pada akhirnya ia hanya mampu memaksakan senyum pahit. Merasakan sakit tak berdarah yang menggerogoti hati.
---
"Terlambat kusadari kau teramat berarti. Terlambat tuk kembali, dan tuk menanti kesempatan kedu—aww!" Riko mengusap lengan atasnya yang nyeri karena geplakan buku dari Bara. Nyanyiannya terpotong paksa. "Sakit, Bos," keluhnya.
"Berisik!" maki Bara.
Riko mencebik. "Bilang aja kalau kesindir."
Bara memutar bola mata. "Suaramu tuh ancur kayak kaleng rombeng. Yang ada seluruh kampus sakit telinga."
Riko memperhatikan sekitar, saat ini mereka dalam perjalanan menuju perpustakaan. Sepanjang koridor yang mereka lewati, tidak ada tanda-tanda mahasiswa mengeluh atau menutup kuping seperti yang Bara ucapkan barusan. "Kamu kali yang sakit telinga atau sakit hat—adoh!" Riko kembali mendapat geplakan. "Kamu bisa aku laporin tau nggak, Bar, tindakan penganiayaan," ancam Riko.
"Bodo amat! Dasar tukang ngaduh, kayak cewek!"
"Isshh, kamu sensi banget, sih. Nih ya, kalau patah hat—" Riko menghentikan ucapannya karena gerakan Bara yang kembali mengangkat buku, bersiap menyerangnya lagi. Ia lantas melakukan gerakan menutup mulut dengan jari.
Bara kembali memusatkan pandangan ke depan. Kendati perasaan bersalah bergelayut. Siapa sangka patah hati membuat ia berkelakuan ganjil. Seperti kemarin, ia memperlakukan Bian dengan tidak biasa. Jutek. Dan sekarang korbannya sahabat sendiri.
***
Entah apa yang menyebabkan Bara ada di tempat ini, menyampaikan rindu atau justru menyiksa hati kian dalam. Karena faktanya apa yang dilihat di depan sana lebih dari sekadar menyakiti mata.
Mereka terlihat asyik mengobrol. Entah membicarakan apa, yang jelas mereka saling melempar senyum sebelum berpisah. Bian tampak terburu-buru. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran Bara di tempat parkir Sakura. Lelaki itu memasuki mobil dan pergi.
Bara belum beranjak. Irisnya masih setia menatap objek di dalam sana. Meski terhalang kaca, tapi Bara masih bisa menikmati bagaimana gadis itu berbicara dan tersenyum pada orang di depannya. Karyawati baru, duga Bara karena belum familiar dengan wajahnya.
Cukup lama Bara menikmati momen itu. Hingga akhirnya Rana menyadari keberadaan Bara.
***
"Ya udah, aku pulang dulu ya. Udah ngerti, kan, yang tadi?" Rana sekali lagi memastikan pada Suci, anak baru yang bertugas sebagai kasir. Jam kerjanya sudah habis lima menit lalu, tapi ia perlu memastikan semuanya aman terkendali.
Ia baru akan mengambil tas di ruang istirahat ketika maniknya menangkap sosok di balik jendela kaca. Untuk beberapa saat mereka hanya saling pandang, hingga orang yang duduk di jok motor itu melambaikan tangan.
"Bara?" bisiknya.
Rana tidak pernah segrogi ini sebelumnya ketika harus berdekatan dengan mantan tetangga kosnya. Tapi, hari ini entah kenapa bahkan untuk melangkah mendekati Bara saja terasa berat. Berulang kali gadis itu menarik napas perlahan demi bisa sampai di tempat parkir Sakura.
"Hai?" Bara menyapa duluan. Ia berdiri di depan Rana dengan kedua tangan di dalam saku celana.
"H-hai." Rana berusaha menarik sudut bibir. Tersenyum, yang semoga terlihat wajar.
"Lama tidak bertemu."
Kapan terakhir mereka bertemu? Rana lupa, yang jelas memang seperti sudah lama. Ia mengusap sisi kepala. "Iya, sudah lama ya?" Jeda menggantung. "Kamu nggak kuliah?" Demi Tuhan, Rana masih hafal jadwal kuliah Bara. Ia hanya mencoba sedikit berbasa-basi.
Bara menaikkan alis. "Udah selesai. Kamu lupa?"
"Hm?" respons Rana, lalu mengangguk kaku. Mengaku bahwa ia sedikit tidak ingat. "Kita, kan, udah nggak tetanggan lagi, Bar. Jadi aku agak lupa."
"Oh."
Hening. Mereka sama-sama diam, membiarkan suara kendaraan yang berlalu lalang mengambil alih suasana.
Rana memegang tali tas selempang erat. Tak pernah terbayang jika akan secanggung ini dengan Bara. Harusnya ia bisa, kan, bersikap seperti biasa? Ayo Rana, jangan kayak patung gini! Sebagian dirinya menyemangati. Ia lantas menarik napas, kemudian mendengak demi bisa menatap Bara. "Kamu ada perlu ke sini?"
"Ayo jalan-jalan!"
***
Jalan-jalan yang dimaksud Bara adalah sepenuhnya jalan menggunakan sepasang kaki. Tanpa mesin kendaraan. Mereka menyusuri trotoar di depan kios-kios penjual beraneka ragam dagangan. Masih tidak ada perbincangan, dua insan itu melangkah bersisian dalam diam.
Rana berulang kali melirik Bara. Otaknya berpikir keras demi menemukan bahan obrolan. "Tulisan kamu gimana?"
Bara tidak langsung menjawab. Lelaki itu justru berhenti, menyebabkan Rana melakukan hal yang sama. Rana terkesiap ketika tangan Bara menyentuh puncak kepala yang otomatis membuat jantungnya menggedor tak biasa. Detik berikutnya ia mengembuskan napas lega karena ternyata Bara hanya mengambil daun kering yang mungkin terjatuh di kepala ketika mereka berjalan di bawah pohon mahoni.
Rana meringis. "Makasih, ya."
Ia sudah akan kembali berjalan ketika suara Bara membelai telinga, mengucapkan sesuatu yang tidak ia duga. "Dua hari lalu aku ke Sakura."
Netra Rana membulat. "K-kamu nyari aku?" tanyanya terbata.
Bara mengangguk, lalu melanjutkan langkah. "Ranti bilang kalian tunangan hari itu. Kamu emang nggak niat ngasih tahu aku?"
"Aku pikir nggak perlu. Toh, kamu udah tahu, kan, kalau Pak Bian ngelamar aku?" Rana kesusahan menyejajari langkah Bara yang mendadak lebih cepat. Ia tertinggal satu langkah.
"Tapi setidaknya aku nggak harus tahu dari orang lain," sangkal Bara masih berjalan cepat.
"Lah, kamu juga, kan, yang nyuruh aku supaya nerima dia?" ucap Rana sedikit keras, karena selain jarak, kendaraan juga lumayan banyak.
"Astaghfirullah!" Rana nyaris saja menubruk punggung Bara karena berhenti tiba-tiba. Lelaki itu membalikkan badan, membuat jarak mereka begitu dekat. Rana menelan ludah saat Bara menunduk, menyejajarkan pandangan.
"Jika aku nggak nyuruh kamu untuk nerima dia, apa kamu akan menolak lamarannya?"
"Apa?" Rana perlu meyakinkan sekali lagi tentang yang barusan Bara ucapkan. Ia takut alam bawah sadarnya yang menginginkan Bara mendadak berhalusinasi. Padahal sudah jelas cintanya bertepuk sebelah tangan.
"Jika aku menyuruhmu untuk tidak menerima Bian, apa kamu akan melakukannya?"
Netra Rana melebar. Tenggorokannya tiba-tiba kering. Apa yang baru saja Bara katakan? Apa maksudnya? Dan kenapa hari ini Bara terus memanggilnya Rana, bukan Ibu Peri seperti biasa? Ia bahkan kesulitan menyuarakan isi kepalanya.
Namun, detik selanjutnya tawa Bara pecah. Ia sampai membungkukkan badan memegangi perut.
"Bara! Ih, nggak lucu tau!" Rana menggunakan tas untuk memukul Bara yang tak kunjung diam.
"Sumpah, mukamu lucu banget, Ibu Peri," ujar Bara di sela tawa.
"Bodo!" Gadis itu sengaja menyenggol tubuh Bara, berjalan terlebih dahulu dengan mengentak kaki. Ia benar-benar merasa malu sekaligus tertipu. Harusnya ia bisa menebak ketika sikap Bara tidak seperti biasa berarti ada sesuatu. Rencana mengerjainya seperti ini misal.
Tapi pada akhirnya Rana pun tersenyum. Selain karena merasa konyol, ia juga lega, hubungan mereka masih seperti sedia kala.
"Eh," Rana otomatis berhenti ketika satu cone es krim terjulur di depan muka. Menoleh, didapatinya Bara dengan cengiran lebar. "Dasar! Maki Rana meski tetap menerima es krim coklat itu.
Mereka duduk di bangku besi menghadap taman kota. Sekeliling mereka ramai oleh gerobak penjual jajanan dan pengunjung. Sore hari memang waktu yang pas untuk bersantai seperti ini.
"Bagaimana dengan Dira?" Rana tidak bisa mencegah tanya itu keluar. Meski tahu ia akan sakit hati, tapi rasa penasaran lebih dominan.
"Dia menyukai orang lain," jawab Bara tanpa beban. Hal yang membuat Rana kaget tentu saja.
"Kok? Terus kamu?" Ucapan Rana sarat keprihatinan.
Bara menoleh. "Gimana kalau sama kamu aja?"
Secepat ucapan itu keluar, secepat itu pula tinju Rana bersarang di bahu Bara. "Bercanda mulu! Aku timpuk, nih, pakai es krim!" Rana mengangkat sebelah tangan yang memegang es krim.
***
Aku tidak bercanda, Rana.
Jawaban itu tertahan di tenggorokan, berganti tawa yang Bara paksakan. Lagi.
Demi Tuhan sebagian diri Bara berhasrat untuk menyatakan perasaan sebenarnya pada Rana. Sisi terjahatnya menginginkan untuk merebut Rana. Tapi, ia juga masih punya nurani.
Pada akhirnya ia hanya mampu memaksakan senyum pahit. Merasakan sakit tak berdarah yang menggerogoti hati. Termasuk ketika ponsel Rana berdering dan nama Bian tertangkap ekor mata.
"Assalamualaikum, Pak. Eh, anu, Daeng."
Bara mereguk ludah kelat, bahkan panggilan untuk lelaki itu sudah berubah.
***
[Bersambung]
Membiasakan Diri
Sekian lama rasa itu tak pernah padam. Aku yakin ada sesuatu di balik besarnya perasaan ini.
---
Pada akhirnya semua akan kembali. Seperti jodoh yang telah digariskan. Ia boleh membawa hatinya lari dan bersembunyi. Toh, pada akhirnya ia pun kembali. Layaknya patahan koin yang tidak mungkin digantikan yang lain.
Itu adalah penggalan paragraf di part terakhir cerita Bara. Dua minggu ini pemuda itu memforsir tenaga dan pikirannya untuk merampungkan tulisan. Bukan tanpa alasan memang. Karena selain deadline, pun karena ia sengaja mengajak hati dan otaknya sibuk.
Menulis membuatnya harus memikirkan ide, menentukan adegan dan tentu saja pesan moral yang ingin disampaikan. Dengan begitu tak ada ruang bagi otaknya untuk memikirkan yang lain. Menulis juga turut menyalurkan emosi yang tak bisa ia ungkapkan. Biarlah aksara yang akan menjadi saksi, tentang si hati yang merana sendiri, tentang rasa yang gagal ia pahami.
Jika suatu hari ada yang menyadari, Bara harap hatinya telah sepenuhnya pulih. Tentang rasa yang ternyata tak bisa bersambut baik, biarlah Bara menyimpannya. Menempatkan dalam kotak khusus yang dikunci rapat dan disembunyikan.
Setelah memastikan tulisannya beres, Bara mengirimkan ke email panitia penyelenggara, sembari berdoa yang terbaik untuk karya dan dirinya sendiri.
Bunyi notifikasi dari ponsel di atas kasur membuat Bara menoleh. Akhir-akhir ini ia tidak begitu akrab dengan benda pipih untuk komunikasi itu. Ia lebih sering menaruh benda itu di atas kasur jika sedang di kos. Dan meletakkan di ransel ketika berada di kampus. Kadang beberapa teman sampai protes karena Bara yang sulit dihubungi.
Tentu saja Bara melakukan itu karena sebuah alasan. Satu kontak dengan foto profil bunga lily adalah penyebabnya. Tangannya seolah tergoda untuk menghubungi nomor itu setiap kali bersentuhan dengan gawai. Sedangkan situasi dan kondisi tidak mengizinkan semua itu.
Satu pesan masuk dari Dira. Foto Bandara Husein Sastranegara terpampang, diikuti caption, Alhamdulillah selamat sampai tujuan. Bara segera mengetikkan balasan.
Bara: Alhamdulillah. Bagaimana keadaanmu?
Dira: Sedikit pusing, tapi juga berdebar bahagia.
Pesan itu diakhiri dengan emot senyum penuh cinta. Bara ikut tersenyum.
Bara: Kabari kalau kamu sudah bertemu dengannya.
Dira: Ship. Kamu juga selamat berjuang.
Kali ini Bara mendengkus, lantas tertawa kecil. Berjuang itu berusaha mendapatkan apa yang diinginkan. Berjuang adalah melakukan apa pun demi meraih yang dicita-citakan. Lalu, melupakan seseorang apa bisa disebut berjuang? Membunuh rasa cinta yang belum sempat dinyatakan apa juga bisa disebut berjuang?
Bara menggeleng. Ia teringat kembali pertemuan dengan Dira tiga hari lalu.
"Aku akan pergi ke Bandung." Kalimat itu mengalir mulus dari mulut Dira.
Bara sudah menduga, ajakan gadis di hadapannya ini pasti punya maksud dan tujuan. Tapi ucapan Dira membuat kening Bara berkerut. "Ngapain?"
Sekilas Bara bisa melihat kilat bahagia di mata Dira sebelum berucap, "Dia sudah kembali."
Tanpa perlu bertanya siapa yang Dira maksud, Bara sudah tahu. Tentu saja si lelaki tambatan hati. Orang yang katanya menempuh pendidikan di Mesir itu.
Bara mengangguk. "Dia tahu kamu akan datang?"
Gelengan Dira berikan, hal yang membuat Bara cukup kaget. "Aku akan langsung menemuainya," ucap Dira mantap.
"Lalu?"
Dira mengedikkan bahu. "Lalu menyatakan perasaanku tentu saja. Apa lagi?"
Alis Bara berjengit. Tidak menyangka Dira akan senekat itu. "Kamu, kan, cewek?"
"Emangnya kenapa? Bukannya Khadijah juga menyatakan perasaannya lebih dulu kepada Baginda Nabi?"
Bara meringis, ia paham itu. "Bagaimana kalau ditolak?"
Dira melipat bibir, berpikir sejenak sebelum menjawab, "Jodoh tidak akan tertukar. Aku hanya mengikuti kata hati. Sekian lama Bara," netra mereka beradu, "sekian lama rasa itu tak pernah padam. Aku yakin ada sesuatu di balik besarnya perasaan ini." Ia menunjuk dada.
Kali ini Bara tersenyum. Faktanya Dira memang sepemberani itu. Ia mencibir diri sendiri yang tidak bisa seperti Dira.
"Dan kamu Bara," ucap Dira kemudian. "Kamu juga harus berjuang. Aku yakin sebenarnya ada seseorang yang kamu cintai tanpa kamu sadari."
"Bagaimana kamu bisa menebak seperti itu?" Netra Bara memicing.
"Karena kamu sudah dewasa. Jadi sangat mungkin untuk jatuh cinta. Ayolah, jangan menoleh ke belakang terus! Luna pasti ikhlas, kok."
Tawa Bara pecah. Yang Dira tidak tahu adalah Bara sudah menemukan siapa yang ia jatuh cintai. Yang Dira tidak tahu adalah ia juga telah patah hati di waktu yang bersamaan.
***
"Bagaimana kalau yang ini?" Bian menunjuk gambar dekorasi resepsi pernikahan dengan nuansa putih. Kursi pengantin putih, bunga mawar putih, serba putih yang terlihat begitu sakral. "Atau bunganya bisa kita ganti lily kesukaan kamu."
Rana mengamati gambar rekomendasi calon suaminya. Saat ini mereka sedang berada di kantor wedding organizer. Rencananya resepsi pernikahan akan diadakan di rumah Bian, sementara akad di kediaman Rana. Katalog di meja rendah itu adalah contoh dekorasi yang harus mereka pilih.
Rana sempat kagum dengan apa yang dilihat mata, apalagi jika membayangkan bunga lily putih di sana. Tapi matanya melebar sempurna ketika melihat nominal harga yang berkisar delapan digit angka itu. Ia membalik katalog, lantas bergumam paham. Apa yang sedang mereka lihat adalah contoh dekorasi super spesial dengan harga istimewa tentu saja.
"Lebih bagus juga yang di sini, Daeng." Rana mengganti dengan katalog lain berkelas standar.
Dahi Bian berkerut. "Kata Mbaknya tadi yang paling bagus ini, Ran."
Rana mendesah. "Iya, tapi melihat harganya saya langsung pusing."
Bian terkekeh. "Kalau pusing nanti saya gendong."
"Apaan, sih, Daeng?." Pipi Rana memanas. Akhir-akhir ini Bian memang mulai sering menggoda. Meski tidak pernah benar-benar merealisasikan, tapi tetap saja hal itu membuat Rana malu.
"Saya sudah bilang, kan, soal biaya itu urusan saya," kata Bian serius. "Kalau kamu juga suka kita pakai yang itu."
"Gak, gak." Gadis berhijab itu menggeleng tegas. "Daripada untuk resepsi yang cuma beberapa jam mending uangnya buat yang lain."
"Misalnya?"
"Ya, yang lebih bermanfaat. Misal untuk pendidikan anak kita nanti."
Melihat ekspresi Bian yang mengulum senyum penuh arti, Rana sadar jika ia telah melakukan kesalahan. Apa yang ia ucapkan berpotensi membuatnya lebih malu lagi.
"Memangnya kita mau punya anak berapa?" Penekanan pada kata kita sudah cukup menjadikan pipi Rana kian terbakar.
Gadis itu berdeham, tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal. "Ngg ... saya ke kamar mandi dulu, ya," pamitnya terburu tanpa menoleh.
Di kamar mandi Rana mengipas-kipas wajah yang sudah serupa udang rebus itu. Ia merutuki Bian yang semakin pintar menggoda, entah belajar dari mana.
Menatap cermin di depan wastafel, Rana tersenyum. Tidak menyangka jika hubungan mereka akan secair ini. Mungkin karena intensitas pertemuan dan obrolan mereka yang kian sering juga turut berpengaruh.
Lalu, bagaimana dengan si hati?
Rana tidak tahu. Ia hanya mencoba membiasakan diri dengan kehadiran Bian. Menikmati setiap perlakuan manis calon suaminya itu. Meski tak bisa dipungkiri kadang rindu menyelinap mencuri sedikit waktu Rana dengan bayang wajah Bara.
***
[Bersambung]
Tentang Rindu
Bara bertekad akan menyampaikan rindunya lewat aksara, hingga ia tak lagi merasakan bagaimana rindu itu merongrong jiwa.
---
Waktu seolah berlari, hari berganti bak kedipan mata, tanggal menggulung serupa ombak di laut. Rana tidak menduga jika masa itu akan segera tiba. Tadi pagi Sakka menelepon, memberitahu bahwa mulai minggu ini masa pingitan akan dilakukan.
Hal itu memang sudah menjadi kesepakatan antar dua keluarga. Lima belas hari sebelum akad, Rana dan Bian dilarang bertemu. Bahkan komunikasi lewat telepon sekalipun.
"Biar nanti kerasa kangennya," seloroh Mama Bian waktu itu.
Masalahnya Rana dan Bian berada dalam satu lingkungan kerja. Hal yang mustahil jika mereka tidak saling melihat satu sama lain tiap harinya. Jadi satu-satunya jalan adalah Rana berhenti dari Sakura untuk sementara.
"Jadi, mulai besok kamu tidak datang ke sini?" Bian menanyakan hal yang sudah jelas disepakati. Toko baru saja tutup, menyisakan Bian dan Rana. Lelaki itu baru saja mengunci pintu.
"Iya, Daeng."
Mereka berjalan beriringan menuju mobil Bian. Semilir angin malam membelai kulit.
"Rana?" Bian urung membukakan pintu untuk Rana. Ia kembali menghadap gadis yang mengerutkan kening itu. "Tidakkah dua minggu terlalu lama? Bagaimana kalau minta dispensasi, seminggu aja."
Rana melipat bibir, mencegah tawa pecah. Ia pikir Bian akan menyampaikan sesuatu yang lebih penting. "Pak, bunga di toko Bapak saja tidak bisa ditawar, apalagi ini?" Rana sengaja mempermainkan Bian, termasuk memanggil dengan sebutan bapak. Ia berjalan melewati samping tubuh lelaki itu, lantas membuka sendiri pintu mobil.
Bian meremas rambut belakang. Demi apa pun ia tidak pernah sefrustrasi ini. Membayangkan akan kehilangan Rana selama dua minggu membuat kepalanya pening. Belum apa-apa ia sudah merasa rindu.
Bian mengela napas berat. Ia membalik badan, menatap sesosok gadis berhijab di balik pintu mobil. Meski tidak terlihat, Bian bisa mengukir di dalam kepala siluet gadis itu.
"Daeng, ayo!" Hingga tanpa Bian sadari, Rana sudah menurunkan kaca jendela.
Bian mengitari bagian depan mobil, lantas mendudukkan diri di kursi kemudi. "Rana?" Ia tidak langsung menyalakan mesin. "Apa kamu akan merindukan aku?"
Rana mengerjap. Rindu itu tercipta ketika dua insan tidak saling bertemu untuk beberapa waktu, kan? Seperti Rana yang kerap merindukan ibu dan adik-adiknya di kampung. Berharap jarak terguling dalam satu kedipan, sehingga mereka bisa bersua. Tapi dengan Bian, Rana belum pernah merasakan itu. Nyaris setiap hari mereka bertemu, jadi belum ada kesempatan bagi rasa itu menunjukkan eksistensinya.
"Bisa jadi," jawab Rana sekenanya.
Kening Bian berkerut. "Bisa jadi?" Ia tahu persentase Rana menyukainya masih sangat kecil. Mereka memang akrab sekarang ini. Tapi hanya sebatas itu.
"Bisa jadi saya akan rindu, tapi bisa juga tidak kalau saya sibuk banget. Kan, belum dijalanin."
Bian ber-o tanpa suara sembari mengangguk paham. Lantas menyalakan mobil dan melajukannya menjauhi Sakura.
"Jika rindu, apa yang akan kamu lakukan?" Bian menanyakan itu di sela perjalanan mereka.
Rana menelengkan kepala. Ia memang harus sangat bersyukur akan memiliki suami yang sepertinya sangat mencintainya itu. "Daeng sendiri? Apa yang akan dilakukan?"
Bian menoleh sebentar sebelum kembali fokus ke jalan hitam. "Kamu tahu alasan aku menjadikan bunga sebagai bisnis?"
Alis Rana berjengit, selain karena kalimat Bian yang tidak nyambung dengan apa yang dibahas sebelumnya, pun karena tidak tahu. "Kenapa?"
"Karena aku ingin menjadi bagian dari setiap kisah cinta. Menjembatani mereka untuk mengungkapkan rasa." Bian kembali menoleh ketika mobil berhenti karena lampu merah. "Jadi seperti orang-orang itu, aku akan mengirimi kamu lily putih setiap hari sebagai tanda rindu dan cinta."
Perkataan Bian tak ayal membuat pipi Rana bersemu. Beberapa hari ini Bian memang lumayan sering menggoda, tapi baru kali ini perkataannya terdengar begitu romantis. Siapa yang tidak akan berbunga mendengar penuturan barusan?
Gadis itu berdeham. "Dan Daeng tahu kenapa aku suka lily putih?"
"Karena cantik?" Mobil kembali bergerak, membelah jalanan berselimut pekat.
Rana terkekeh. "Iya, tapi gak cuma itu. Lily putih adalah lambang kesucian. Cinta yang murni. Jadi mari sama-sama kita jaga kemurnian itu sampai saatnya tiba."
Bian memelankan laju mobil, menoleh dengan kening berkerut. "Maksudnya ... saya tidak boleh mengirimi kamu bunga?"
Rana mengangguk. "Lagi pula yang ada nanti rumah saya jadi toko bunga kalau tiap hari dapat kiriman dari Daeng."
"Iya juga, sih."
Mereka tertawa berbarengan. Menikmati detik-detik terakhir kebersamaan.
"Ada cara lain untuk mengungkapkan rindu ...." Rana menjeda kalimatnya, tersenyum, ia berucap, "lewat doa."
Tentu saja. Itu juga, kan, yang Bian lakukan selama ini. Mendoakan Rana nyaris di setiap pertemuannya dengan Pencipta.
***
Krakk!
Itu bunyi hati Bara yang patah. Seperti kaca yang dijatuhi beban, retakannya menjalar dari pusat hingga ke sisi paling ujung, membuatnya jadi kepingan tak berbentuk.
Kertas tebal dengan dominasi warna putih bunga-bunga adalah penyebabnya. Tertulis nama Bian dan Rana yang akan melangsungkan pernikahan. Dan ia diundang. Kurang kejam apa Rana pada Bara, menginginkan lelaki itu menjadi saksi bersatunya dua hati. Hati yang ia cintai.
Sadar, Bro! Kamu gak nyatain apa-apa ke Rana.
Bisikan itu menampar Bara, mencipta sakit yang kian kentara. Menyadarkan bahwa Rana bukan takdirnya. Cinta tak sampai, mungkin itulah judul yang tepat.
Bara menarik napas panjang, berharap rasa sesak di dada berkurang. Ia meletakkan undangan itu di atas meja. Melirik ponsel yang tergeletak di sebelahnya. Satu ide muncul, mengucapkan selamat tak ada salahnya, kan?
Bara: Congratulation, Rana. Semoga lancar sampai hari H.
Ia mengirim pesan disertai foto undangan itu. Tak sampai lima menit balasan datang.
Rana: Terima kasih, Bara. Jangan lupa dateng, ya!
Bara: Tentu!
Sebut saja Bara munafik mengirim pesan terakhir dengan tambahan emot gembira. Meski nyatanya nyeri itu kian terasa.
Bara: Jadi, kamu sedang menjalani masa pingitan?
Rana: Iya.
Bara: Bagaimana sensasinya? Kamu udah mulai dilanda rindu yang menggebu pada lelaki itu?
Rana membalas dengan emot tertawa setengah lusin.
Rana: Dasar penulis! Gak selebay itu kali.
Bara: Apa kamu juga merindukanku?
Cukup lama Bara memandangi layar 5 inci itu. Senyum yang sempat terkembang karena ia berhasil menggoda Rana perlahan memudar.
Tentu saja sudah tidak ada ruang untuk ia merindukanmu, Bara!
Bara tersenyum kecut.
Ia baru saja akan menaruh ponselnya ke nakas ketika bunyi notifikasi menginterupsi. Email yang masuk membuat senyum kecut Bara berubah semanis gulali. Rupanya benar, kesedihan selalu bersisian dengan kebahagiaan.
Email dari penyelenggara event dwi tahunan itu memberitahukan bahwa naskah Bara lolos sebagai juara pertama. Hal yang sangat membanggakan sekaligus membahagiakan tentu saja. Karena naskah Bara otomatis dikontrak penerbit mayor. Dan hanya tinggal menunggu waktu tulisan Bara akan dinikmati banyak orang.
Ia masih memandangi layar ponsel, memastikan sekali lagi bahwa email itu nyata, bukan khayal semata. Ia tersenyum simpul. Biarlah kisahnya abadi di dalam buku. Biarkan semua orang tahu tentangnya yang memendam rasa pada ia yang jauh di sana. Pada ia yang tak mampu Bara sebut. Pada ia yang tak kuasa Bara nyatakan rasa cintanya.
Bara berjanji akan terus menulis tentang Rana hingga ia lupa mengeja namanya. Bara bertekad akan menyampaikan rindunya lewat aksara hingga ia tak lagi merasakan bagaimana rindu itu merongrong jiwa.
Pertanyaannya adalah, mampukah Bara melupakan Rana?
***
[Bersambung]
Firasat
Kamu boleh menghukumku karena ini. Tapi percayalah, rasa ini tetap murni untuk kamu, Rana.
-Bian-
---
"Hati-hati bawanya, ya! Saya tidak mau satu tangkai pun lecet."
Untuk kesekian kali Bian mengingatkan lelaki berseragam jasa pengiriman barang itu. Sebuah buket bunga lily putih ukuran jumbo ia serahkan. Buket yang ia rangkai sendiri dengan sepenuh hati dan tentu saja dengan segenap rasa yang merongrong jiwa.
Iya, Bian melanggar larangan Rana untuk tidak mengirimi bunga. Faktanya rindu itu membuncah, semakin berkembang tiap menit dan detik. Jika bukan karena kewarasan yang masih tersisa, Bian nyaris berlari memotong jarak demi bisa menemui Rana.
Rindu itu memang berat. Bian sangat setuju dengan kalimat itu. Sehingga membuat Bian rela melakukan apa saja. Ia sendiri yang memesan lily terbaik dari suplier. Datang lebih awal dari biasanya demi berkutat dengan tangkai-tangkai hijau itu. Beberapa kali ia bahkan merombak buket saat merasa kurang pas.
Dan kini, ia harus merelakan buket buatannya dibawa kurir agar bisa sampai kepada ia yang dituju.
***
Bian baru saja selesai menginput data administrasi bulan ini ketika suara gaduh menginterupsi. Menilik arloji, sudah terlalu malam untuk Sakura ramai karena pembeli. Sebentar lagi bahkan sudah waktunya tutup. Penasaran, Bian melimbai menuju pintu keluar ruangan.
"Brengsek! Jangan bohong!"
Dan apa yang tertangkap retina, membuat Bian melebarkan indra penglihatan. Tiga orang lelaki berbadan serupa binaragawan dengan tato nyaris menutupi tiap inci kulit menyentak Danu, karyawan baru. Sementara gadis-gadis lain yang berjumlah empat orang bersembunyi di balik meja sembari menunduk takut.
"Ada apa ini?" Bian menghampiri, mencoba tetap tenang meski takut menghinggapi karena salah satu dari mereka bersenjata api.
Lelaki berkumis tebal dan berjambang lebat menoleh. Memindai tubuh Bian dari atas ke bawah. "Kamu bosnya?" hardiknya dengan volume suara ekstra keras. Aroma alkohol menguar menusuk indra penciuman Bian. Tonjolan otot-ototnya tidak bisa disembunyikan dari kaus hitam yang ia kenakan.
"Iya, saya bos mereka. Ada apa ini? Jika ada masalah tolong dibicarakan baik-baik." Seumur hidup Bian tidak pernah berurusan dengan preman atau orang-orang berkelakuan minus lainnya. Sifat Bian yang cenderung baik, membuat orang-orang segan. Belum pernah ada yang sampai mendatanginya seperti ini.
Seketika lelaki itu tertawa pongah, diikuti dua pengikutnya. "Baik-baik dia bilang," ucapnya disela tawa. Ia menggeleng lantas menggebrak meja, membuat semua karyawan berjengit. "Cepat tunjukkan di mana Helen sekarang!"
Baik Bian maupun karyawan Sakura yang lain melebarkan mata. Kini mereka mulai paham untuk apa gerombolan lelaki kuat itu mengusik ketenangan Sakura.
"Maaf, kalau boleh tahu Anda siapa?" tanya Bian, masih mencoba bersahabat.
Lelaki itu berdecak. "Ribet amat kau! Kasih tau aja! Cepetan!"
"Udah Bos, habisi aja!" Lelaki paling kecil di antara ketiganya bersuara. Pandangan mata yang tidak fokus, dan sedikit sempoyongan itu menandakan bahwa ia mabuk berat.
"Yoi, Bos. Kalau perlu kita rampok sekalian," timpal yang lain.
Tangan Bian terkepal erat. Tamu tidak diundang itu memang tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Kalau terus seperti itu kesabarannya habis juga. "Pak, asal Anda tahu, Helen sudah lama tidak bekerja di sini. Jadi saya tidak—"
Brakk!
Ucapan Bian terhenti karena lelaki itu membanting vas bunga terdekat. "Nggak usah bertele-tele! Kalau kamu masih nggak mau ngasih tahu, tokomu hancur!"
Rahang Bian mengetat, mimpi apa ia semalam sampai harus berhadapan dengan orang seperti ini? Dan dalam hitungan detik suara-suara pecahan itu memenuhi Sakura. Bunga bercecer, vas hancur berkeping, air menggenang di mana-mana. Dua orang lelaki itu memperlakukan bunga-bunga itu selayaknya barang tidak berharga.
"Hentikan!" hardik Bian dengan suara meninggi, membuat dua orang yang sedang melancarkan aksi itu berhenti. "Anda!" tunjuknya pada lelaki di depannya yang Bian asumsikan sebagai ayah Helen. "Saya tidak tahu di mana Helen. Jadi tinggalkan tempat ini sekarang juga!" ucap Bian dengan penekanan di setiap kata. Badannya boleh kalah besar, tapi keberanian Bian tidak bisa dianggap sebelah mata. Ia tidak mungkin membiarkan toko hancur dan para karyawannya ketakutan seperti sekarang.
Lelaki berjambang lebat memicingkan mata. Masih tidak percaya dengan ucapan Bian. Alih-alih retinanya menangkap sebuah ruangan tempat Bian keluar. Tanpa mengindahkan Bian, ia melangkah menuju ruangan di sudut itu.
Bian berdecak, orang di bawah pengaruh alkohol memang keras kepala. "Anda mau apa? Di sana tidak ada Helen."
Lelaki itu menoleh cepat. Memperingatkan Bian lewat sorot mata tajam bahwa ia tidak mau diinterupsi.
"Anda tidak boleh masuk!" Bian mempercepat langkah, nyaris menyentuh pundak lelaki itu sebelum tangan bertato tengkorak itu teracung, mempertontonkan moncong pistol yang siap menembuskan peluru ke kepala Bian.
Kesiap dan jerit kaget terdengar dari para karyawati di balik meja. Danu yang sedianya akan maju menolong Bian tiba-tiba dihadang oleh lelaki paling kecil. Sementara tanpa sepengetahuan para penjahat itu, Ranti menekan nomor polisi.
Bian menelan ludah, lantas mengangkat kedua tangan sejajar bahu. "Saya tidak bohong. Tidak ada—"
Dorr!
***
Prang!
"Astaghfirullahaladzim." Rana terkesiap ketika vas berisi lily putih itu terjatuh ke lantai keramik.
Ia berjongkok demi bisa memungut tangkai-tangkai yang baru beberapa jam lalu sampai di rumah.
"Ada apa, Rana?" Sakka memasuki kamar Rana tanpa mengetuk. Netranya melebar ketika melihat pecahan beling memenuhi lantai dengan genangan air. "Astaghfirullah, Nak, kok, bisa sampai pecah begitu?"
"Rana nggak tahu, Bu. Tadi nggak sengaja—aww!" Karena terlalu fokus bercerita pada Sakka, telunjuk Rana terkena pecahan. Darah segar seketika keluar.
"Ya Allah, Rana. Sini, ayo diobatin dulu." Sakka mengajak Rana berdiri.
"Tapi bunganya, Bu ...."
Sakka berdecak. "Itu bisa nanti, jarimu kalau nggak segera diobati nanti infeksi. Masa pengantin jarinya luka?"
Rana menurut, mengikuti ibunya keluar kamar. Ia membersihkan jari di bawah kucuran air. Entah kenapa Rana tidak merasakan perih. Perhatiannya justru tertuju pada dadanya yang tiba-tiba dirambati rasa tidak nyaman.
"Ran!" Panggilan dari belakang tubuh membawa Rana kembali ke bumi. Ia menghampiri Sakka yang sudah membawa obat merah dan plester.
"Kamu kenapa, sih?" tanya Sakka.
"Rana ... Rana nggak tau, Bu." Gadis itu menggeleng. "Hanya tiba-tiba perasaan Rana nggak enak."
"Paling cuma kaget." Wanita itu mengelus lengan atas putrinya. "Abis ini ganti aja vasnya dengan yang baru. Lagian kamu, bunga sebanyak itu vasnya kecil banget. Kan, gak seimbang, jadi jatuh."
Rana tersenyum kaku. Ia berusaha menyugesti diri bahwa semua baik-baik saja.
Setelah mengobati luka, Rana kembali ke kamar dengan vas baru yang telah diisi air. Beberapa tangkai lily yang sudah sempat ia selamatkan tadi, dimasukkan ke vas bening itu. Rana tersenyum, selain karena masih banyak bunga yang bisa ia pajang kembali, pun karena teringat bagaimana lily-lily itu sampai ke tangannya.
Sementara sisanya yang tidak terselamatkan, Rana masukkan ke wadah plastik untuk dibuang. Saat itulah maniknya tertumbuk pada benda pipih berbahan kertas berwarna keperakan. Rana menelan ludah, menyentuh kartu ucapan itu yang sudah setengah basah. Tulisan tangan yang dibubuhkan sendiri oleh si pengirim memudar. Luntur. Menyisakan aksara yang tidak lagi terbaca tapi masih Rana ingat dengan jelas.
Kamu boleh menghukumku karena ini. Tapi percayalah, rasa ini tetap murni untuk kamu, Rana.
Bian
Dering panjang dari ponsel yang beberapa hari ini mati suri karena tidak ada yang menghubungi membuat Rana bangkit. Meraih benda pipih di atas kasur yang menampilkan kontak Ranti. Menggeser tanda penerima panggilan, Rana menempelkan ponsel di telinga kanan.
"Assalamualaikum, Ranti?" Dahinya berkerut dalam ketika suara sirine mendominasi dari sambungan itu. "Ranti?"
"Ran ...." Mendengar nada suara temannya yang serak semakin membuat Rana bingung. "Pak Bian tertembak."
***
[Bersambung]
Memaknai Kehilangan
Cinta Bian terlalu murni untuk ia yang masih setengah hati
---
Terik surya membakar jalan hitam, mencipta fatamorgana di kejauhan sana. Langit bersih tanpa awan, membuat matahari leluasa menunjukkan eksistensinya. Suara-suara kernet angkot saling bersahut, merayu calon penumpang. Bunyi klakson dari kendaraan bermesin menambah gerah suasana. Setiap pengendara seolah tak mau kalah, ingin menjadi yang paling depan.
Seorang gadis berbaju hitam dengan hijab senada turun dari sebuah taksi online. Sebuah buket lily putih tergenggam di tangan. Ia melangkah menyusuri jalan berpaving. Suara bising perlahan menghilang seiring gerak kaki yang kian jauh.
Ia memasuki sebuah tempat dengan papan bertulis Tempat Pemakaman Umum. Melalui jalan setapak yang disediakan, ia melangkah ke sisi kiri. Sempat menyapa penjaga makam yang kebetulan ditemui.
Gadis berhijab itu berhenti di samping makam dengan tanaman kamboja menaungi. Berjongkok, ia mengelus nisan di bagian ukiran nama sebentar, kemudian meletakkan bunga di atasnya. "Assalamualaikum, Daeng," ucap Rana serak.
Kendati sudah setahun kepergian Bian, tetap saja rasa sesak itu menggelayut tiap kali Rana datang ke sini. Seolah baru kemarin Ranti menelepon, memberi kabar tragedi berdarah itu.
Rana berlari terseok di sepanjang koridor rumah sakit. Waktu panjang yang diperlukan untuk sampai ke Makasar nyatanya tidak membuat air mata Rana habis. Nyaris sepanjang perjalanan ia menangis.
Telepon dari Ranti yang mengatakan bahwa Bian tertembak hampir membuat Rana hilang kesadaran. Beruntung Sakka masuk kamar setelah lagi-lagi mendengar bunyi benda jatuh. Ponsel Rana tergeletak di lantai. Sementara si empunya terduduk lemas di sebelahnya.
Sakka segera mengambil ponsel yang masih tersambung itu. Menempelkan ke telinga dan mendengar penjelasan si penelepon. Kabar yang sama mengejutkan bagi wanita itu.
Mereka berharap, mendoakan yang terbaik. Semoga Bian dapat diselamatkan.
Namun, saat kaki Rana menjejak lantai depan ruang UGD, pemandangan yang tertangkap mata sudah cukup mewakilkan keadaan. Mama Bian meraung-raung di pelukan suaminya yang juga tidak baik-baik saja. Ranti dan karyawan Sakura lainnya menutup wajah dengan telapak tangan. Bahu mereka tergerak konstan.
Pelan, Rana mendekati calon mertua. Memandang mereka dengan netra berkaca. Mama Bian menoleh, lantas menubruk Rana, menangis tersedu di pundaknya. "Bian, Rana! Bian ...."
Rana menengadah mencegah air mata tumpah. Ia mungkin belum mencintai Bian, tapi kehilangan dengan cara seperti itu tetap saja menyakitkan.
Awalnya Rana sempat mempertanyakan keadilan Tuhan. Kenapa hidupnya begini? Di saat ia ingin belajar menerima Bian, Tuhan justru memisahkan mereka.
Tapi kemudian ia sadar. Cinta Bian terlalu murni untuk ia yang masih setengah hati. Barangkali bidadari Surgalah yang pantas untuk lelaki sebaik itu.
Rana menarik napas panjang. Iya lalu menengadahkan tangan, mendoakan yang terbaik untuk sosok di bawah sana.
***
Tempat itu sudah berubah. Catnya mengelupas di sana-sini. Kaca jendela kotor. Nyaris di setiap sudut dihuni laba-laba berbagai jenis. Pita kuning hitam bertulis police line masih mengelilingi. Sakura semenyeramkan itu sekarang.
Orangtua Bian sengaja menutup tempat itu. Terlalu mengerikan kata mereka, mengingatkan kembali akan tragedi kematian Bian yang terlalu keji. Meski ayah Helen—si pembunuh sudah berhasil ditangkap dan mendapat hukuman setimpal, mereka tetap tidak bisa serta-merta menganggap semuanya usai.
Sebagai ganti Sakura, mahar dari Bian digunakan untuk mendirikan toko bunga baru di Bone. Rana menjadi pemilik tunggal. Sementara orangtua Bian memilih pindah ke luar negeri.
***
Gemuruh tepuk tangan membahana di aula sebuah fakultas negeri. Sambutan yang sangat meriah untuk seseorang di atas podium sana. Lelaki yang memakai blazer dengan dalaman kaus. Penulis paling fenomenal tahun ini.
"Bang Bara, dari mana inspirasi menulis novel Secret Love ini?" Salah satu pertanyaan yang terlontar setelah sesi tanya jawab dimulai.
Bara tersenyum. Di dalam layar di belakang tubuhnya tertulis tajuk acara hari ini, Meet and Greet Bara, dan Bedah Buku Secret Love, buku kedua Bara yang akan segera difilmkan. "Dari seseorang yang pernah mengisi hari-hariku." Jawaban itu sontak membuat aula bergemuruh.
Setelah mendapat predikat juara di kompetisi novel dwi tahunan itu, nama Bara kian melejit. Follower di setiap akun media sosialnya naik drastis. Rata-rata bahkan mengeluh kenapa baru menemukan penulis sekeren Bara yang tulisannya menghipnotis.
"Jadi Lily dalam cerita ini nyata?" tanya seorang gadis yang duduk di bangku nomor tiga.
Bara mengangguk. "Iya, dia nyata dan masih ada."
Lagi, gemuruh peserta seminar memenuhi aula. "Dia siapa? Kekasih?" celetuk yang lain. Para mahasiswi yang menjadi penggemar Bara mendadak was-was. Mengidolakan seseorang memang terkadang seaneh itu, tidak rela jika sang idola memiliki tambatan hati.
Bara tidak langsung menjawab, membiarkan mereka berasumsi sendiri. Kekasih impian, bisiknya dalam hati. "Itu ... rahasia," jawab Bara disertai senyum penuh makna.
Ada yang kecewa, ada yang tertawa menanggapinya.
"Oh iya, jadwal meet and greet padat ya, Bang? Dari akun Ig, besok Bang Bara ke Bone. Apa itu benar?"
Bara tertawa kecil. Dulu ia bukan siapa-siapa. Orang mana yang akan peduli ia mau ke mana, tapi sekarang apa yang Bara lakukan setiap hari seolah sangat penting untuk dibagi. Faktanya jalan cerita Tuhan memang yang paling segalanya. Penulis terbaik adalah Sang Pencipta. "Iya, Insya Allah besok saya ke Bone."
"Dari begitu banyak tawaran, kenapa memilih Bone yang lumayan jauh dari sini?" Pertanyaan itu datang dari moderator acara. Siska, orang yang sudah mengenal Bara, bahkan sempat menyatakan cinta. Agaknya perempuan itu pun penasaran.
Bara masih ingat, waktu itu Siska ngotot ingin menjadi pacar Bara. Alasan yang Bara ungkapkan bahwa ia sudah memiliki tambatan hati tidak digubris.
"Itu cuma alasan, kan? Kamu hanya nggak mau kehilangan fans fanatik," ucap perempuan berambut sebahu itu, yang tentu saja membuat Bara tertawa. Ia tidak pernah tebar pesona, gadis-gadis itu yang terlalu memuja.
"Aku nggak akan percaya sampai kamu tunjukin orangnya!" tantang Siska.
Bara menelengkan kepala, menatap perempuan berhidung bangir yang Bara akui cerdas. Editor buku-buku Bara itu menantangnya lewat tatap.
"Karena ada yang spesial di sana."
***
"Bara, tunggu!" Siska berlari mengejar pemuda yang hampir mencapai tempat parkir motor itu. "Bara!" teriaknya, membuat semua orang di sekitar menoleh.
Bara memejamkan mata, menarik napas panjang demi menambah jatah kesabaran. Ia menghentikan langkah di depan motor sport merah.
"Bara, kamu bohong, kan, yang tadi?"
Bolehkah Bara mengumpat sekarang? Siska benar-benar .... Ia bahkan tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menggambarkan betapa menjengkelkannya gadis itu. Lelaki itu membalik badan, sedikit menunduk untuk menatap Siska. Gadis ini cantik, cerdas, pun tubuh proporsional. Tidak akan sulit baginya membuat tertarik lawan jenis, tapi ia tetap sengotot itu pada Bara.
"Aku nggak bohong, Sis. Kamu pikir untuk apa aku memilih Bone jika jelas-jelas masih ada yang lebih dekat dan lebih banyak pesertanya?"
Untuk sesaat netra mereka saling beradu. "Kalau begitu besok aku ikut."
Netra Bara membola, tidak menyangka jika Siska akan mengajukan pernyataan sefrontal itu. "Untuk apa? Sudah ada panitia di sana."
"Aku ingin melihat gadis seperti apa yang berhasil merebut hati seorang Bara," jeda sejenak sebelum Siska kembali melanjutkan, "Bisa jadi kamu bohong, karena selama ini kamu tidak terlihat berhubungan dengan siapa pun."
Bara membuka mulut, detik selanjutnya menutup kembali. Hanya akan menghabiskan tenaga dan waktu jika berhadapan dengan Siska. "Terserah kamu."
Ia menaiki motor, memakai helm, lantas melaju pergi.
Sejujurnya saat ini hati Bara dipenuhi kecemasan. Debar-debar aneh memenuhi dada. Beginikah rasanya akan berjumpa dengan orang yang sudah dua tahun tidak bersua?
***
[Bersambung]
Pertemuan
Karena beberapa perpisahan memang ditakdirkan untuk kembali melahirkan temu.
---
"Iya, Pak, tolong besok ditambah ya untuk mawar putihnya!"
...
"Baik. Terima kasih."
Rana meletakkan gagang telepon ke tempat semula. Ia lantas menjalankan jemarinya di keyboard komputer.
Ketukan di pintu ruangan menginterupsi kegiatan pemilik Toko Bunga Sakura itu. Setelah mendapat izin dari Rana, orang di balik pintu memasuki ruangan. "Maaf, Mbak, ada yang ingin bertemu dengan Mbak Rana," ucap karyawannya itu. Rana memang menyuruh para pegawai agar memanggil dengan sebutan mbak, karena ibu terdengar terlalu terhormat untuknya.
Alis Rana bertaut, seingatnya ia tidak memiliki janji temu dengan siapa pun hari ini. "Siapa?"
"Laki-laki, Mbak, mukanya, sih, kayak familiar tapi saya juga nggak tahu. Dia bilang ingin bertemu owner Sakura," jelas gadis di depan Rana panjang lebar.
"Oke." Rana mengangguk, berpikir bahwa mungkin klien yang ingin memesan bunga secara khusus. "Di mana orangnya?"
"Dia sedang melihat-lihat toko."
Sekali lagi Rana mengangguk, lantas memberitahu bahwa ia akan ke sana sebentar lagi.
Sakura yang sekarang tidak seluas Sakura milik Bian dulu. Bunga-bunga di tata di rak yang menempel sepanjang dinding kanan dan kiri. Bagian tengah berupa meja rendah yang diisi berbagai jenis lily. Meja kasir jadi satu dengan tempat untuk merangkai bunga di bagian belakang.
Ketika Rana keluar ruangan ada beberapa pengunjung. Lewat isyarat tubuh yang ditunjukan karyawannya tadi, Rana menghampiri lelaki dengan blazer hitam yang berdiri membelakangi Rana.
Postur tubuh lelaki itu mengusik batin Rana, mengingatkan akan seseorang. Tapi ketika sadar bahwa hal itu mustahil, Rana menggeleng, menepis kemungkinan yang serupa khayalan itu.
"Maaf, Anda yang mencari saya?"
Detik ketika lelaki itu menoleh, Rana tahu bahwa terkadang khayalan bisa menjadi kenyataan.
"Bara?"
***
Ruangan itu didominasi warna putih. Bahkan bunga di atas meja di depan jendela juga putih. Lily putih, kesukaan si empunya. Hanya bagian tengah ruangan yang terdiri dari meja dan kursi yang memberi warna lain.
"Apa kabar?"
Suara gadis di depannya membelai telinga Bara. Suara yang ia rindukan nyaris dua tahun ke belakang. Suara yang hanya mampu ia andaikan di setiap malam-malam panjang. "Baik. Kamu?"
"Aku, sehat." Rana tersenyum simpul. Senyum yang juga Bara rindukan.
"Syukurlah." Hanya Tuhan dan Bara yang tahu betapa untuk mencapai tempat ini dibutuhkan perjuangan. Bara harus bermain kucing-kucingan dengan Siska yang serupa bayangan, menempeli setiap gerak lelaki itu. Dan kini ketika ia akhirnya bertemu dengan Rana, Bara justru kehabisan kata. Bara seperti bertemu dengan orang baru yang saling membisu.
Hening mengambil alih. Mengejek dua insan yang serupa patung selamat datang. Hanya saling terpaku, dan tersenyum malu.
Rana berdeham. "Mau minum apa?" Ia bersiap bangkit.
"Nggak usah, Rana." Ucapan Bara membuatnya kembali menempati kursi. "Aku hanya ingin mendengar ceritamu."
"Cerita apa? Harusnya aku yang mendengar pengalaman hidup dari penulis terkenal."
Netra Bara melebar. "Kamu ... tahu tentang aku?"
Rana mengusap sisi kepala. "Siapa yang tidak tahu penulis yang buku-bukunya difilmkan?"
Bara memicing. "Kamu stalking sosmedku?" tuduhnya.
Rana terkekeh. "Banyak yang share, Bara."
Mencebikkan bibir, Bara lantas bertanya apakah Rana juga membaca bukunya atau tidak.
"Tentu saja, aku sudah mengkhatamkan semuanya," jawab Rana mantap.
Senyum Bara terkembang sempurna. Bukan tanpa alasan Bara menemui Rana hari ini setelah dua tahun berselang. Ia ingin tahu sudah sesiap apa Rana untuk menerima hati yang baru.
Dua tahun lalu ketika mereka terakhir bertemu di pemakaman Bian, Rana terlihat sangat terpukul. Menangisi calon suami yang lebih dulu menghadap Ilahi. Hal itu yang akhirnya membuat Bara memutuskan untuk memberi ruang pada Rana. Membiarkan hati Rana pulih dari kehilangan.
Bara tidak mungkin tiba-tiba datang menawarkan sebuah hubungan ketika Rana masih berkabung. Selain itu ia juga ingin fokus membangun karier, sehingga saat menemui Rana nanti sudah mumpuni dijadikan suami.
Bara bertekad akan mengungkapkan perasaannya sekarang, meski masih ada satu hal yang mengganjal, tempat yang mereka pijak saat ini. "Bagaimana denganmu? Tempat ini ...." Bara mengedarkan pandangan. "Sakura, seperti nama toko Bian dulu. Kamu masih mengingatnya?" Hati-hati Bara menanyakan itu.
"Dibilang ingat, tentu saja masih ingat, kita tidak bisa begitu saja melupakan seseorang, kan?"
Bara berdeham, ada sesak yang merambati dada. Mengetahui Rana masih belum melupakan Bian entah kenapa membuat hatinya ciut. Apa itu berarti Rana masih belum melupakan Bian? Atau, haruskah Bara mundur? Kembali memberi waktu bagi Rana sampai gadis itu mampu menerima cinta baru?
Tidak. Bara tidak akan menyerah. Pengalaman dua tahun ini mengajarkan ia bahwa perasaannya pada Rana terus tumbuh meski tak ada temu. Kata hatinya kuat mengatakan bahwa Rana orangnya. Gadis yang akan ia perjuangkan sampai takdir Tuhan berkata bukan.
Jadi, jika saat ini Rana belum siap, jika Bara harus kembali menunggu, maka Bara akan melakukan itu. Seperti ia yang juga memerlukan waktu tak sebentar untuk melupakan Luna. Ia akan bersabar.
"Iya, kamu benar, Rana," jawab Bara lirih." Apa itu artinya ... kamu belum siap menerima cinta baru?"
Alis Rana berjengit, sejenak mereka hanya saling tatap. "Maksud kamu?"
"Yah, misal ada yang mencintai kamu, apa kamu akan menolak karena Bian?"
Rana terkekeh. "Aku bukan kamu yang gak bisa move on dari masa lalu, Bara."
Meringis, Bara mengusap tengkuk salah tingkah. Iya, Bara semenyedihkan itu dulu. Ia lantas menegakkan tubuh, kembali menatap gadis berhijab merah muda itu. "Tapi sekarang aku sudah sepenuhnya move on," belanya.
***
"Karena Dira?" Kalimat tanya itu terlontar begitu saja dari bibir Rana.
Dalam hati ia merutuk kenapa pembahasan tentang Bara dan perempuan-perempuan dalam hidupnya masih sesensitif ini. Jarak dan waktu yang membentang, menjeda pertemuan mereka, nyatanya tidak berpengaruh banyak bagi Rana. Orang-orang mungkin mengira ia adalah pencinta sejati, yang mencintai Bian sedemikian tulus, hingga belum bisa berpaling dari masa lalu. Padahal sebenarnya, cinta Rana pada pemuda di seberang meja inilah penyebabnya.
Iya, Rana semenyedihkan itu. Ia pun tidak tahu kenapa bayangan Bara terus mengikuti ke mana pun ia pergi. Ia sudah lebih dari berusaha untuk melupakan Bara, sampai ia sendiri lelah melakukannya. Dan kini ketika lelaki itu muncul di hadapannya, bolehkah Rana memupuk harapan baru?
"Bukan," jawab Bara cepat dan tegas. "Karena gadis yang aku temui hari ini."
Netra Rana melebar. Apa ia tadi salah dengar? Keinginan yang terlalu besar barangkali membuat otaknya berhalusinasi, menganggap si tambatan hati menyatakan perasaannya hari ini.
Belum habis keterkejutan Rana ketika Bara kembali berucap dengan menatapnya lekat. "Ayo hidup berdampingan lagi, Rana ... di bawah atap yang sama."
***
[Bersambung]
Epilog
Aroma semerbak lily menguar di udara membelai indra penciuman setiap insan yang menginjakkan kaki di aula sebuah gedung. Ratusan tangkai lily putih menghiasi panggung dengan dekorasi menawan. Satu per satu tamu menyalami kedua mempelai yang memamerkan senyum semanis madu.
"Selamat ya, Bro." Riko menjabat Bara dengan mantap. Turut senang untuk kisah cinta sahabatnya yang berakhir indah.
"Tengkyu, Ko," jawab Bara dengan senyum kian lebar.
Bara menoleh ke samping, memastikan bahwa gadis dengan gaun pengantin putih gading itu memang nyata. Gadis yang pagi tadi baru saja ia ikat dengan janji suci. Janji kepada Tuhan untuk menjaganya sampai mati. Dan tentu saja mencintainya sepenuh hati.
"Kenapa, sih, Bar?" Rana yang merasa risi ditatap seintens itu bertanya.
"Mengagumi ciptaan Tuhan," jawab Bara.
Rana memutar bola mata, meski tak bisa dipungkiri dadanya dipenuhi letupan kebahagiaan. Jika bukan karena bedak yang menutupi, Rana yakin wajahnya sudah semerah tomat.
"Selamat, ya, Bar." Rana terpana pada sesosok perempuan rupawan yang berdiri di hadapan.
"Makasih, Siska. Sekarang kamu percaya, kan?"
Siska hanya menanggapi pertanyaan Bara dengan deheman. Ia lantas menatap Rana dari atas ke bawah. "Di luar ekspektasi, sih," ujarnya sebelum melenggang pergi.
Rana mengerutkan kening. "Itu siapa? Temen kamu?"
Bara mengedikkan bahu. "Fans," jawabnya enteng. Detik selanjutnya ia tertawa karena Rana mencebikkan bibir seolah tak percaya. "Menjadi istri Bara adalah kebanggaan karena berhasil mengalahkan fans seperti dia," ujar Bara jumawa sembari menaikturunkan alis.
Rana melengos, memilih melihat orang-orang di depan sana. Keluarga Rana yang bahagia, keluarga Bara yang juga tersenyum sukacita, dan keluarga Bian. Orangtua Bian sudah menganggap Rana seperti anak sendiri. Benar-benar anak, bukan calon menantu atau mantan calon menantu. Jadi, ketika mengetahui Rana akan menikah, mereka turut berbahagia dan lega tentunya.
Ribuan syukur Rana panjatkan untuk kebaikan Sang Maha Kuasa. Faktanya jalan cerita dari-Nya memang selalu tak terduga. Ia yang mengira lelaki di sebelahnya ini hanya akan menjadi cinta dalam hati, nyatanya kini bersanding di sisi.
Netra Rana melebar tatkala melihat seseorang yang menghampiri. Bukan pada Ranti yang kini berhijab, tapi pada orang di sebelahnya yang sangat Rana kenali. Orang yang dulu pernah berbagi cerita dengan Rana. Orang yang dulu sempat mengungkapkan keinginan untuk memeluk agama yang sama dengannya.
"Helen, kamu ...." Rana tidak mampu mengatakan bagaimana takjubnya ia dengan penampilan Helen yang baru. Perempuan itu sekarang menutup kepala seperti Rana.
Helen bercerita singkat, bahwa pelariannya waktu itu rupanya menjadi jalan menuju hidayah. Ia bertemu dengan lelaki saleh yang kebetulan berdampingan duduk di bus, lelaki yang terlihat sangat cemas kalau sampai sisi tubuh mereka bersentuhan, lelaki yang menawarinya tisu saat menangis diam-diam. Siapa sangka, di hari lain Tuhan merancang pertemuan mereka lagi sedemikian rupa. Hingga akhirnya Helen sadar, lelaki itu utusan Tuhan untuk menuntunnya ke jalan yang selama ini ia rindukan. Pada akhirnya Helen memantapkan hati untuk memeluk Islam dan berpakaian syar'i seperti sekarang.
"Jadi, ini suamimu?" Dengan tolehan ringan Rana menunjuk lelaki berjambang tipis yang sedari tadi mengekori Helen.
Seseorang yang dimaksud tersenyum, kemudian lekas menunduk, tak berani menatap langsung mata perempuan lain lebih dari satu detik.
"Iya, dia imamku," ucap Helen dengan pipi bersemu.
Rana tersenyum. "Aku turut bahagia dengan hidupmu sekarang, Helen," ucap Rana tulus, menggenggam tangan Helen erat.
Helen menubruk tubuh si pengantin, memeluk erat. "Ini berkat doamu juga, Rana."
"Dan diikuti niat baikmu," balas Rana.
Masih dalam pelukan itu, Helen kembali berucap dengan suara yang mendadak serak. "Sekali lagi aku turut menyesal dan minta maaf atas kelakuan ayahku." Helen nyaris tidak sanggup menggenapkan kalimatnya.
Pelan, Rana mengangkat Helen dari pelukannya, menatap tepat di matanya. "Seburuk apa pun itu, semua sudah menjadi ketentuan Tuhan. Aku sudah ikhlas. Lebih baik sekarang kita sama-sama menikmati hari-hari bahagia yang dianugerahkan Tuhan. Mungkin semua ini balasan atas masa-masa sulit itu. Aku akan memaafkanmu hanya jika kamu tidak terus-terusan ikut merasa bersalah."
Helen mengangguk samar dengan sepasang mata berkaca-kaca. Ia memeluk Rana sekali lagi.
***
Bara sedang merapikan ruangan yang akan digunakan sebagai tempat kerja di rumah baru. Rumah bergaya minimalis yang baru saja ia dan Rana tempati hari ini. Ia menata buku-buku milik Rana di atas rak ukuran sedang yang sengaja ditaruh di tengah ruangan, menjadi sekat antara meja kerja dan tempat sholat.
Lelaki beralis tebal itu tersenyum ketika memindahkan buku-buku Rana. Bara tidak tahu jika nyaris semua bukunya dimiliki oleh perempuan yang kini menjadi istrinya itu. Bahkan buku perdana Bara juga ada. Buku bersampul ungu muda berjudul My Real Girlfriend yang diterbitkan secara indie sekitar lima tahun silam.
Ia masih ingat, buku itu menceritakan tentang seorang gadis bernama Senja yang memendam cinta pada sahabatnya sejak SMA. Berpura-pura sebatas teman agar persahabatan mereka tidak ambyar. Hingga kemudian gadis itu berani menyatakan perasaan setelah mereka sama-sama dewasa.
Bara menumpukan badan di tepian meja. Membuka lembar buku yang ujung-ujung kertasnya sudah menguning itu. Ia rindu dengan tulisannya dulu. Sudut bibirnya tertarik membentuk lengkungan ketika membaca deret kata yang belum seluwes sekarang. Rupanya benar, proses selalu dibutuhkan untuk menjadi lebih baik. Termasuk menulis.
Ia nyaris meletakkan buku itu kembali ketika ekor matanya menangkap coretan tangan di halaman terakhir. Penasaran, Bara membuka lembar epilog itu. Tulisan dengan pulpen hitam itu sedikit mengabur, tapi masih bisa dibaca dengan jelas. Tulisan yang kemudian membuat tanda tanya besar dalam kepalanya.
"Daeng, makanannya sudah siap." Kepala Rana menyembul dari balik pintu. Ia baru saja selesai berkutat dengan peralatan dapur.
Kening Rana berkerut ketika tak ada respons dari suaminya. Lelaki itu justru menatap Rana lekat dengan pandangan yang tidak bisa Rana artikan. "Kamu kenapa?" tanyanya setelah berada di depan Bara.
Netra Bara menyorot kelereng Rana lekat, seolah berusaha menembus lingkaran cokelat itu, mencari tahu rahasia di dalamnya. "Sejak kapan?" ujarnya.
Alis Rana kian bertaut. "Apa?"
"Menyukaiku."
Rana sempat terkejut, tapi ketika ia melihat buku bersampul ungu di samping Bara, ia paham. Gadis itu menghela napas sambil menyelipkan rambut ke telinga, lalu berdeham sesaat. "Kamu udah baca itu?" Pandangannya terarah ke sembarang, tidak berani menatap Bara.
Namun, usaha untuk menghindari manik Bara gagal karena jemari lelaki itu kini meraih dagunya, dan memerangkapnya. Jantung Rana bertalu hebat. Meski sudah menjadi pasangan halal, berdekatan dengan Bara seperti ini tetap membuatnya panas dingin.
Rana kembali berdeham sebelum berujar dengan suara lirih. "Yang jelas, jauh sebelum kamu menyukaiku, Daeng."
Jika bisa, aku ingin seperti kamu, Senja, menjadi si pemberani yang mengungkapkan perasaan pada penulis buku ini. Sayang, keberanianku tidak sebesar itu. Nyaliku terlalu ciut untuk sekadar mengatakan suka pada Bara. Tapi aku percaya, kiriman ungkapan cintaku setiap melantunkan doa akan sampai padanya, dengan cara-Nya.
***
TAMAT
Assalamualaikum, pembaca yang budiman.
Setiap kali berhasil menyelesaikan tulisan, saya selalu takjub. Tiap cerita punya tantangan tersendiri. Untuk cerita ini terbilang pelik. Saya tahu, masih banyak banget kekurangannya. Karena itu, makasih banget udah berkenan baca sampai tamat.
Nah, saya mau tahu, dong, gimana perasaan kalian setelah baca cerita ini. Kasih masukan juga boleh. Komen, ya.
Salam santun ??
Description: Kebakaran yang merenggut nyawa Luna, sahabat semasa kecilnya, menyisakan trauma dalam diri Bara. Kemudian ia tumbuh dalam kenangan memilukan itu dan rasa bersalah yang menyertainya. Bertahun-tahun Bara tidak bisa melupakan kejadian itu, malah sering kali menjelma jadi mimpi buruk.
Terlepas dari rasa prihatin akan trauma yang dialaminya, diam-diam Rana mencintai Bara. Tapi selama ini Rana belum pernah menerima sinyal apa pun berupa kemungkinan Bara juga merasakan hal yang sama. Ia murni mencintai sepihak. Dan ajaibnya, gadis itu cukup nyaman dengan status sahabat yang menaungi mereka selama ini.
Namun kenyamanan itu mulai terusik sejak Bara bertemu Dira, personel pemadam kebakaran yang mengingatkannya pada Luna.
Kisah pelik bermula, ketika tiap-tiap hati harus berjuang menerima dan mengikhlaskan.
|
Title: rumit
Category: Cerita Pendek
Text:
entah
tepatnya ini hanya kebetulan, seorang laki laki bertemu perempuan manis yang tidak ia kenal.
perempuan manis itu tersenyum ke arahku, kuperhatikan dengan mata yang benar benar menyoroti senyumannya.
kemudian pertanyaan muncul di kepalaku..
"kenapa saya jatuh lagi setelah sudah jauh berlari dari resah yang selama ini mengganggu malamku?."
masih penuh tanda tanya, senyuman dan cara matanya menatapku. jelas, saya tidak mau lagi ceroboh dalam hal rasa.
pada hari hari berikutnya, perempuan itu menghilang. diam diam saya mencari tahu kemana perempuan itu berlalu.
satu hari, keberuntungan datang. perempuan itu terlihat lagi, kesempatan ini harus kurebut.
di sela sela dia menatap kosong kuperhatikan matanya, namun dia enggan sadar. ada satu kesempatan saya bisa mengenalnya lebih intim.
sial, ternyata dia masih dalam pelukan laki laki tua yang selalu dia ceritakan.
dia pernah bertanya.
"siapa perempuanmu?"
dengan spontan saja kujawab.
"ada seorang perempuan yang baru kutemui."
responnya biasa saja, yaahh.. memang harusnya begitu.
tetapi dia tidak pernah ingin tahu kejadian sebenarnya, selalu dia menikamku lebih dulu dengan cerita laki laki tua yang mengabaikannya.
resah
maaf kutumpahkan resahku dalam tulisan ini..
saya tidak berani jatuh lagi,
setelah payah menunggu seorang
perempuan yang berjanji pulang.
lama.. lama saya menunggu,
lama.. lama saya genggam kepercayaan.
dua tahun lebih atau kurang,
tepatnya saya juga tidak tahu.
perempuan lain itu lelap tidur
dengan laki laki pilihannya.
setelah itu saya coba melarikan diri,
dari perasaanku sendiri.
beberapa kali saya coba singgah,
tapi tak kutemukan tempat yang tenang.
saya mencari jalan pulang,
semakin mencari semakin jauh saya tersesat.
kulihat ada titik pulang di matamu.
saya mencari tahu..
semakin saya mencari,
semakin saya jatuh.
lalu, kuhabiskan waktu menulismu diam diam.
beberapa kali saya berani memberikanmu puisi.
puisi
kukira kau puisi yang selama ini saya tulis.
nyatanya tidak, kau hanya sebuah kata yang tak nyata.
kata yang membuatku tak ingin berhenti menjelaskanmu dalam tulisan tulisanku.
terserah kau mau simpulkan apa maksud puisi ini.
mau lebay, gila, atau apapun itu.. saya tidak perduli.
saya sudah jauh lebih dulu mencarimu sebelum kau berencana untuk menjauh..
saya jatuh sebelum kau terjatuh.
dan saya jatuh tepat saat kau menutup hatimu.
seolah saya datang memaksanya untuk terbuka.
sama sekali tidak.
sudah berkali kali kuketuk pintu hatimu,
saya tahu kau sadar itu.
seperti seorang tuan pos yang menunggu puan rumah untuk membukakan pintu.
yang kudengar hanya suara dari dalam hatimu.
"pergi kau yang jauh!."
saya memilih tak pernah pergi.
lama setelah itu, saya tetap disitu.
rasa
tiba tiba kau membuka pintu hatimu, mengira saya sudah menjauh, dengan terpaksa kau persilahkan saya masuk.
"masuk katamu?"
"bagaimana mungkin saya masuk dengan celah sekecil itu!? yang mataku saja tak mampu melihat apa yang ada di dalam ruang hatimu."
kembali kau mengusirku, menutup pintu dengan keras bersamaan dengan nada suaramu yang tak kalah keras dari pintu yang kau tutup itu.
"maaf, kemarin aku khilaf." katamu singkat.
sialan, kalau kau hanya penasaran jangan permainkan perasaan dengan menuduhku hanya penasaran dan tak benar benar punya perasaan.
atau mungkin begini..
benar apa yang kau bilang,
saya hanya penasaran.
penasaran, apa kita saling
memendam perasaan.
dan tak ada yang ingin
lebih dulu mengungkapkan.
ataukah kita hanya saling
memainkan peran
dalam sebuah permainan,
untuk ego kita menangkan.
ego
tentang suaramu yang terus menjerit di telingaku atas lukamu di masa lalu. dari perspektif orang pertama.
saya tahu waktu itu bukan waktu yang tepat untuk jatuh padamu. sebab kau sedang bermasalah dengan laki laki tua yang selalu kau ceritakan dalam setiap chatmu.
awal awal saya masih menerima itu, karena kukira saya mampu menjadi telinga yang baik untuk suaramu.
tidak lama setelah itu, telingaku resah mendengar racauan suaramu tentang masa lalumu itu. yah, masa lalumu atau kusebut saja laki laki tua yang berani mengganggumu.
awal perkenalan kita, saya memilih untuk diam menunggumu sembuh.
bukan saya tidak mau membantumu. saya hanya tak ingin datang memanfaatkan waktu sedihmu untuk mendapatkan senyummu.
bukankah brengsek jika seorang laki laki mengambil hati seorang perempuan yang baru saja dilukai?
saya menunggu lukamu mengering dulu, agar tidak membuatmu merasa nyeri jika harus membantumu menutup luka yang masih basah. bukankah akan lebih lama sembuhnya?
ini mungkin bisa sedikit menjelaskan..
kadang saya mencoba untuk menjelaskan, tapi apa yang kudapat? adalah sikapmu yang seolah mengusirku.
kuakui saya terlalu payah untuk mendekatimu dibandingkan dengan laki laki lain yang mendekatimu.
"kau pernah menuduhku dengan kejam menggunakan kalimat itu bukan? apa kau lupa?"
biar kutanya, kalau saya mendekatimu dengan cara yang sama seperti laki laki lain yang mendekatimu, apa mereka berhasil? tidak kan!
lalu apa salahnya jika saya memilih cara lain untuk mencintaimu?
kemudian kau jatuhi saya lagi dengan tuduhan yang lebih kejam, katamu saya pecundang yang hanya bisa diam.
ah sial, saat itu juga saya ingin menemuimu dan berkata.
"selama ini siapa yang dingin? hah! siapa yang batu? hah!"
tapi saya menahannya untuk beberapa waktu, sampai satu malam, resah sudah di ujung jariku.. membalas chatmu dengan kebohongan besar.
"bodo amat, risih saya chat denganmu."
kau pasti sangat membenciku saat itu juga.
tapi apa kau tahu resah yang sudah lama kusimpan menghadapi sikap yang amat dinginmu itu?
ah kau memang tak pernah ingin tahu, egomu saja yang kau gunakan.
memang, beruntung jika menemukan seseorang yang bisa mengerti sikapmu. tapi bukankah lebih beruntung jika kau mampu memahami seseorang yang memahamimu pula.
apa kau mengerti? saya rasa tidak.
kau terlalu dewasa untuk meruntuhkan egomu.
Description: kita usai, kita belum usai.
|
Title: Rahim Berbeda
Category: True Story
Text:
Gesekan Telepon
Tokoh :
1. Bu acin selaku ibu angkat Grace
2. Pak agus (supir mobil angkutan semen buk acin)
Pijaran sinar mulai terbit di kala itu, menyilaukan, membuat kelopak mata untuk berusaha perlaha-lahan membuka.
Kring.... kringg....
"Ahh sekarang sudah jam berapa? Apakah alarm ini sudah tidak berfungsi lagi? Sehingga suara itu yang harus membangunkan aku? Oke oke sabar aku akan kesana" (menuju sumber suara).
Lantai mendadak bergetar menghentakkan telapak kaki yang jauh dari kesunyian. Suara itu terbirit-birit mengikuti alunan dering yang timbul dari sebuah ruangan.
Lentikan jari itu langsung terikat pada gagang telepon yang berdering dan tidak sabar untuk dilekatkan dan membisikan sesuatu pada sebuah rongga pendengaran.
Sambil bergumam, "ternyata masih jam 6.30 pagi. Tumben ada yang mendadak nelpon di jam segini"
Terdengar sebuah kalimat-kalimat menimbulkan suara yang tidak asing lagi.
"Hallo buk" ucap pak agus (supir angkutan semen buk acin).
"Iya pak. Ada apa ya pak? Tumben di jam segini nelpon? Apa bapak ingin bertanya tempat buangan semen? Ucap buk acin.
Lidah itu menjawab dengan tergesa-gesa tidak sabar untuk mengucap sesuatu kepada buk acin. "Ada yang ingin saya sampaikan buk. Ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan buk" ucap pak agus
Buk acin pun menjawab semakin penasaran. "Oh begitu ya pak. Kalo saya boleh tau perihal apa yang ingin bapak sampaikan kepada saya??"
Dengan tenang pak agus mulai menjelaskan dengan sangat detail. Menjelaskan satu persatu perihal atas kejadian yang ingin ia sampaikan. Jawabnya "begini buk. Saya ada teman (supir juga), dia bercerita kepada saya bahwa ada seseorang yang sangat perlu bantuan. Tapi saya tidak bisa membantu buk. Saya hanya bisa bantu dengan saya memberitahukan perihal ini hanya kepada ibuk saja karna saya yakin bahwa ibuk pasti bisa sangat membantu orang tersebut"
Jawab bu acin "Baiklah pak. Tolong jelaskan secara detail" (dengan nada suara yang terbata-bata tidak tahan mendengarkan bisikan sendu itu).
Bersambung....
Description: Didapat dan dipertemukan oleh Tuhan menjadi suatu anugrah baginya. Dimana ia dapat merasakan arti dari sebuah pelukan, cinta, dan kasih sayang yang berbeda dari orang lain. Grace Margareth Abigail adalah sebuah nama indah yang akan dibawa sampai mati atas kecintaan sebuah keluarga baru. Kehadirannya yang membawa keharmonisan sebuah hubungan tanpa ada unsur pertalian darah itu sangat hangat sekali. Semua bingung bahkan tak menduga kehadirannya yang tiba-tiba muncul dihadapan semua orang. Pertanyaan sana-sini bahkan risih jika itu terniang di telinga mengapa ada sesosok yang tak dikenal bahkan baru menginjak muka bumi ini sudah tiba di kediaman keluarga itu.
|
Title: Ravindra
Category: Teenlit
Text:
Ravindra
Ravindra duduk, mengepulkan asap rokok yang dihisapnya. Saat ini Ravindra duduk di warung Teteh Mila. Warung sederhana dari anyaman bambu. Meski sederhana tapi mempunyai kesan setiap siswa yang pernah bersekolah di SMA Jatinegara. Warung yang menjadi pelarian siswa nakal di sekolah itu. Warungnya yang dindingnya menjadi menjadi satu dengan SMA Jatinegara. Maksudnya warung ini itu warung yang numpang berdiri di area luar sekolah.
Ravindra kembali mengepulkan asap rokoknya. Inilah kebiasaan Ravindra setiap hari menghabiskan satu batang rokok, hanya satu batang rokok untuk mengalihkan semua pikirannya sejenak. Ravindra disini bukan karena bolos atau semacamnya. Ini sudah waktu jam pulang, jadi wajar Ravindra ingin menenangkan pikirannya dengan merokok disini.
Ravindra itu bukan tipe siswa pembuat onar atau tukang bolos. Ravindra itu tipe siswa dengan segudang prestasi akademik.
“Ndra, lo dari mana?” Suara itu seketika membuat Ravindra terdiam sebentar, melempar pelan putung rokoknya ke asbak di sampingnya, kemudian menyedot es the yang harganya seribu rupiah sambil menatap Kevin. Kevin Nugraha–sahabatnya. “Gue udah cari lo kemana aja,” keluh Kevin lagi, sambil mengambil duduk di samping Ravindra.
“Iya,” Ravindra baru membuka mulutnya setelah beberapa detik hening. Ravindra masih tenang menatap Kevin yang mengusap keringat di dahinya, mungkin dia selesai bermain basket di lapangan sekolah tadi. mengingat karena jam pelajaran terakhir kosong.
“Lo bawa motor gue ke rumah.. Gue ada perlu sama Rena.” Kevin tidak menatap Ravindra, laki - laki itu masih sibuk menatap layar ponselnya dengan jemari yang menari diatas benda pipih itu. Sedangkan Ravindra mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ia kesal jika diperintah seenaknya seperti ini.
“Gue ada shif sore ini, Vin. Gue gak bisa bawa motor lo kerumah,” jawab Ravindra dengan wajah tenangnya. Kali ini Ravindra menolak permintaan Kevin untuk kedua kalinya. Dengan tenang, tanpa emosi, meski Ravindra benci diperintah —perintah seperti ini.
“Yaudah, lo bawa aja motor gue kerja. Bereskan?” Kevin mengeluarkan kunci motor ninja merahnya yang harganya tidak bisa dibilang murah. Orang tua Kevin memang kaya raya, Kevin anak pertama, dan manja sekali. Semua dipenuhi oleh Pak Firman Nugraha–pemilik yayasan SMA Jatinegara. Sedangkan Ravindra? Dia anak miskin, yang hanya kebetulan saja bisa menjadi teman dekat Kevin.
“Tolong, ya, Ndra.” Setelah menyerahkan kunci motornya, Kevin beranjak pergi dari warung Teteh Mila. Katanya sih ada urusan yang sangat penting.
Dan Ravindra mengangguk. Sudah biasa Kevin meminta tolong seperti ini pada Ravindra.
Ravindra mengeluh huh. Kemudian bangkit, menuju parkiran. Bersiap kerja. Karena ia juga butuh uang untuk makan dan membeli obat untuk ibunya. Yang sekarang ini sering cepat lelah dan membutuhkan vitamin agar tetap sehat. Agar ibunya bisa melihat dirinya sukses beberapa tahun ke depan.
***
Sekilas memang Ravindra Bagaswara terlihat tampan, bajunya selalu rapi. Bahkan terlihat anak orang kaya karena baju pemberian dari Kevin. Perempuan mana yang harus berpaling dari seorang Ravindra Bagaswara?
Ravindra akui Kevin begitu murah hati padanya, baik padanya, tapi Ravindra tidak suka Kevin dengan sikap arogan dan semena mena. Apalagi sekarang dia seperti orang kalap, suka ganti — ganti perempuan semenjak putusnya dengan Nadine Kaila Direjo–perempuan asal Jogjakarta. Sama — sama teman sekelanya di kelas 10 dulu.
Ini pukul 04.00 sore. Ravindra waktu nya bekerja. Setelah memarkir motor Kevin yang dibawanya sekarang, Ravindra segera memasuki café dengan desain kekinian. Ngomong — ngomong Ravindra mengendarai motor Kevin, membuatnya semakin terlihat tampan. Sampai — sampai pengunjung café tempatnya bekerja, langsung memuperhatian lewat kaca besar café, menatap Ravindra yang baru saja turun dari motor gedhe.
Disini Ravindra bekerja menjadi barista sejak 6 bulan yang lalu. Dulu, dia hanya pelayan. Tapi kemudian setelah pegawai disini tau kelihaian Ravindra meracik kopi, ia pun di angkat menjadi barista disini.
Ravindra memaksakan senyum tipis begitu pelanggan menatapnya. “Rav,” panggil seseorang yang ternyata manager disini. Dengan cepat Ravindra pun mendekat, sambil menyimpulkan tali celemek berwarna coklat ke belakang, seperti biasa.
“Kamu gantiin Nino bekerja sampai café tutup, soalnya dia tadi ijin pulang dulu, ada kepentingan katanya,” ucap manager café itu. “Tapi tenang aja, ada tambahan bonus untuk kamu.”
Ravindra hanya mengangguk, sedikit memaksakan senyumnya agar terlihat sopan. Kemudian pamit, berkerja.
Pukul 10.00 malam. Ravindra secepatnya beres — beres, waktu kerja Ravindra sudah selesai. Hari ini Ravindra tidak sempat mencuri — curi untuk membaca buku pelajaran seperti biasanya, karena café malam ini sangat ramai sekali. Banyak rombongan berdatangan. Mungkin nanti setelah di rumah Ravindra akan menyempatkan membaca untuk pelajaran besok, dan mengerjakan tugas.
Setelah mengantarkan motor Kevin ke rumahnya, ia pun berjalan santai. Rumah Kevin tidak jauh dari rumahnya, membuat Ravindra memutuskan untuk berjalan saja. Kira — kira sekitar hanya 2 KM, Ravindra menyumpal telinganya dengan earphone. Lagu Ed Sheran — photograf terdengar. Ravindra sesekali memejamkan mata, mengikuti irama sambil berjalan. Mengingat bab apa yang besok akan di ajarkan oleh Pak Halim.
***
Tak akan bisa
Ravindra dan Kevin kali ini duduk di meja kantin. Mereka berbincang topik ringan, sambil Kevin memakan nasi goreng pesanannya, dan Ravindra duduk di depannya. Sesekali memperhatikan sekitar kantin yang ramai. Ada Nadine di kedai jus dan ada sesuatu yang menarik perhatian Ravindra disini yaitu Rehan–kakak kelasnya dan teman — temannya lagi memperhatikannya dari tadi. Seperti sedang merencanakan sesuatu.
Beralih ke Kevin, laki — laki itu segera beranjak dari meja ketika matanya menemukan sosok perempuan yang tidak asing lagi dengannya. Perempuan itu bernama Nadine, pacarnya 1 bulan yang lalu.
Langkah Kevin pun terhenti ketika Rehan menghalangi langkahnya, dengan tatapan menantang.
“He!” ucap Rehan, mendorong pelan dada Kevin dengan jari telunjuknya. Kakak kelas yang suka cari masalah dengan Kevin dari 1 tahun yang lalu. Anggap saja musuh lama Kevin.
Tidak terima, Kevin menepis tangan itu kasar. Wajahnya sudah memerah menahan amarah. “Santuy, santuy..” ucap Rehan sok akrab.
“Lo ngapain ganggu gue? Lo gak usah sok akrab juga sama gue!”
“Kenapa lo? Gak terima?” tanya Rehan meninggi mengangkat dagunya, ikut terpancing emosi.
Seketika perdebatan antara Kevin dan Rehan–siswa kelas 12 mencuri semua perhatian penghuni kantin. Mereka rela meninggalkan aktivitasnya untuk melihat perdebatan yang semakin seru itu.
“Iya, gue gak terima lo jadi sok penguasa disini!! Seharusnya gue yang jadi penguasa disini, bukan lo. Minggir!” bentak Kevin, tidak terima. Kevin sempat membalas mendorong dada Rehan dengan kasar sebagai balasan sebelum ia memilih pergi.
“Eitss.. mau kemana? Pengecut lo!” cegah Rehan, kembali menghadang langkah Kevin untuk menjauh darinya.
“Lo yang pengecut!!” sarkas Kevin, matanya masih tidak lepas dari objek seorang perempuan bernama Nadine Kalia Direjo. “Kalo lo berani, terima tantangan gue untuk adu tinju!”
Rehan masih diam, matanya ikut bergerak memandang arah pandangan Kevin yang mengarah pada Nadine. Sedangkan Ravindra sudah berdiri di belakang Kevin. Siap siaga.
“Boleh juga cewek lo, ya!” Rehan menyunggingkan senyumnya, menatap Nadine yang juga menatap Rehan dan Kevin. Alis Nadine terlihat mengerut bingung dengan situasi ini. Karena dia menjadi pusat perhatian kedua laki — laki tukang buat onar itu.
Mendengar perkataan Rehan, wajah Kevin semakin memerah. Kevin marah, tidak terima Nadine akan dijadikan sasaran oleh Kevin. “Lo jangan macem — macem sama Nadine!” ancam Kevin dengan suara berat dan besarnya, menatap tajam Rehan. Telunjuknya mengerat di depan wajah Rehan. Urat — urat lehernya mengukir.
“Kalo lo menang tantangan itu, gue gak akan macem — macem sama Nadine.” Enteng sekali Rehan berbicara seperti itu, dengan gayanya yang santai.
Ravindra memegang bahu Kevin. Mencegahnya untuk mengambil keputusan yang tiba — tiba. Bisa — bisa dia akan menghancurkan dirinya sendiri, dan Ravindra tidak mau itu terjadi pada sahabatnya. “Vin, jangan dengerin dia.”
“Kalo gue menang, gue yang akan jadi penguasa disini. Lo dan antek —antek lo itu harus nurut sama gue. Kalo gue yang kalah, gue siap jadi anak buah lo.” Nafas Kevin sudah memburu sejak tadi.
“Gak asik. Gue pingin Nadine jadi cewek gue.” Senyum Rehan mengembang tipis, dan tangannya mengibas di depan Kevin. Membuat Kevin semakin geram.
“Kalo lo emang laki - laki, jangan sangkutin Nadine jadi objek taruhan, bangsat!!” Kevin yang sudah tak tahan lagi, kepalan tangannya yang penuh tenaga itu mendarat di pipi Rehan. Dan kemudian, Rehan membalas Kevin, mereka saling adu pukulan. Tidak menghiraukan lingkungan sekitar. Anak buah Rehan juga ikut mengeroyok Kevin dan Ravindra juga ikut turun tangan untuk membantu Kevin.
Tidak mau kalah, Ravindra yang tidak terima sahabatnya dikeroyok, ia pun ikut adil dalam pertengkaran itu. Ravindra dengan tangkas menjadi tameng untuk Kevin. Menjadi alat untuk memukuli Rehan Cs. Ravindra sempat menonjok perut Rehan, dan memukuli 3 anak buah Rehan.
Harus diakui, Ravindra memang pandai berkelahi, karena latar belakangnya ketika kecil, Ravindra dituntut untuk menjadi kuat agar tidak ditindas. Dan semenjak berteman dengan Kevin, Ravindra juga jadi sering mengembangkan bakat bela dirinya dengan Kevin.
Tidak mau kalah, Kevin juga ikut jual beli tinju disini. Mereka saling mengcover, memback up, dan saling melindungi, layaknya saudara.
Suasana kantin menjadi kacau, siswa yang memperhatikan sekarang memilih menjauh dari pada kena sasaran. Karena jika ada pertengkaran, mereka itu pasti jadi sasaran, tidak bisa membedakan mana musuh dan penonton.
Detik kemudian, setelah ada jarak antara Rehan CS dan Kevin. Ravindra langsung menarik Kevin pergi dari kantin. Menghindar sebelum ada guru datang menegur.
Setelah dirasa sudah jauh dari kantin, dari keributan itu. Ravindra berhenti, memisahkan diri dari Kevin.
“Lo apa — apaan sih, Ndra? Gue belum puas hajar mereka!” Ravindra diam. Menatap datar Kevin. Kevin tidak repot — repot menunggu jawaban dari Ravindra. Karena Kevin sudah mengenal Ravindra lama, dan Kevin tau Ravindra tidak akan membalas pertanyaannya jika amarahnya memuncak seperti ini.
Kemudian Kevin berlalu pergi menuju kelasnya yang beda dengan Ravindra. Kelas Kevin, XI IPS 5 berada ujung sebelah selatan, dan kelas Ravindra XI IPS 1 berada di ujung utara.
Ravindra diam, ikut menahan kekesalannya pada Kevin sambil tidak melepaskan sahabatnya dari penglihatannya.
“Ngapain lo liat — liat, hah?!” bentak Kevin pada murid yang ketahuan memperhatikannya dari tadi. Jika saja laki — laki itu tidak melihat Nadine lewat tepat di depannya, mungkin dia sudah memukul murid itu untuk menyalurkan kekesalan di hatinya saat ini.
***
Ravindra kembali ke kelas, untuk mengikuti pelajaran terakhir yang akan diajar Pak Halim. Wajahnya masih lebam — lebam terkena pukulan yang tidak bisa ia hindari tadi. Meski sekuat tenaga ia berusaha menghindar, yang namanya 1 : 10 pasti akan kalah.
“Rav,” Ravindra yang baru saja duduk di bangkunya menoleh ke belakang. Menatap Jesica datar, beberapa dari perempuan di kelasnya yang berani mendekatinya terang — terangan dan konsisten. “Biar aku obati ya, luka lebam kamu,” tawar Jesica lembut, menatap Ravindra memohon agar diberi kesempatan merawat lukanya itu. Tangannya membawa obat P3K.
“Gue bisa sendiri,” jawab Ravindra.Tanpa meminta Ravindra langsung mengambil kotak obat P3K dari Jesica. Jesica mau tidak mau membiarkan Ravindra mengambil kotak itu darinya. Karena kotak miliknya diambil Ravindra saja sudah punya kesenangan sendiri di hatinya.
Jesica juga sudah biasa dengan sikap Ravindra yang dingin, dan terkadang seenaknya sendiri. Jesica hanya bisa melihat Ravindra yang sedang mengobati lebamnya. Sesekali perempuan itu meringis dan menatap Ravindra penuh ke khawatiran.
5 menit kemudian, belum selesai Ravindra merapikan kembali kotak P3K itu, Pak Halim sudah datang, memberi salam. Membuat Ravindra dengan segera memasukkan P3K itu ke dalam laci meja, kemudian mengeluarkan buku paket ekonomi. Pelajaran yang Ravindra kuasai, dan sukai.
Ravindra berkonsentrasi penuh ketika Pak Halim menerangkan. Karena Ravindra sadar, ia hanya murid yang miskin, yang tidak punya apa — apa. Dia harus mengandalkan otak dan nilainya, untuk bisa melanjutkan sekolahnya, hingga sampai bangku kuliah.
Namun sebuah getaran dari sakunya, Ravindra segera mengalihkan pandangannya, karena Pak Halim menyudahi menjelaskan materi siang ini. Ada SMS dari Kevin.
Entar lo liburkan? Gue tunggu di warung Teteh Mila.
***
Description: Dan bagaimana jika Kevin mengetahui alasan dibalik Ravindra mendekati adiknya-Kalena?
Ravindra, anak miskin yang beruntung bisa berteman dengan Kevin anak ketua yayasan sekolah terkenal di kotanya, membuatnya ia tidak perlu repot repot mencari uang lebih banyak lagi, karena Kevin membantunya mendapatkan beasiswa itu. Namun bukan persahabatan yang dirasakannya, melainkan dia terkadang diperlakukan seenaknya. Namun, ia tidak bisa melawannya.
|
Title: Renai Renjana
Category: Cerita Pendek
Text:
Kamuflase
“Jangan bersedih lagi,”kataku sambil melempar senyum padanya. Dia hanya melirikku sekilas.
“Sudah sejauh ini, dan aku tak mendapat apapun. Apa menurutmu aku harus jingkrak-jingkrak kesenangan? Gila kamu,”
“Aku tak menyarankan itu padamu, hei. Sudahlah, bagaimanapun kamu sudah berjuang. Masih banyak kesempatan lain, kan? Mungkin ini salah satu momentummu,”
“Lanjutkan, dan aku muak mendengar kamu berbusa seperti motivator sialan itu,”
Dia kemudian membuka botol minuman bersoda, untuk kedua kalinya. Aku diam saja. Percuma melarangnya yang sedang stress. Setidaknya, dia tak nekat menelan pil jahat atau minuman keras seperti teman-temannya yang lain.
Malam baru saja menurunkan tirai hitamnya. Menampilkan gemerlap bintang bersama orchestra para jangkrik. Aku baru saja menemuinya, duduk di atas atap dengan minuman dingin. Menemaninya yang berbicara apa saja. Hampir setiap malam, dan aku sama sekali tak keberatan.
“Hm… By the way, tadi aku heran di kantor. Kamu tumben sms dulu kalau mau cerita. Biasanya juga kita ketemu di atas atap rumahmu begini, kan, ” aku membuka ponsel yang tadi sempat kumatikan.
“Aku stress, Ning. Makanya tadi aku sudah nggak sanggup lagi nahan semuanya sendirian. Dan aku cuma ingat nomor ponselmu,”
Hening. Begitu mendadaknya hening itu hingga aku berkecamuk dengan fikiranku sendiri. Ya kah? Dia hanya mengingat nomor ponselku? Itulah kenapa dia meneleponku dan mengabarkan “kegagalan”-nya dengan suara yang lelah? Aku tahu seberapa panjang dan berat yang sudah dia lakukan selama ini. Makanya, hei, apa lagi yang bisa kamu katakan kepada seseorang yang sejak dulu kamu anggap paling hebat dengan semua ide dan perbuatannya ketika dia tetiba berkata ‘lelah’?
“Mungkin memang semua ini sia-sia, Ning.”
“Bagaimana mungkin, Rom? Kamu sendiri yang sudah mengajariku banyak hal tentang perjuangan. Kamu sendiri yang sudah berkali-kali mengingatkan aku kalau semua hal di dunia ini tak ada yang sia-sia. Bagaimana mungkin, Rom?”
“Aku cuma pura-pura,”
Jawaban singkatnya buatku kaget tak kepalang. Pura-pura? Semua yang dia lakukan? Semua yang dia katakan? Hanya pura-pura?
Matilah semua yang kamu tahu.
Mataku terpejam. Mengingat bertahun aku mengenalnya. Ternyata tak sedalam yang aku rasa. Romy, bagiku dialah motivator sialan itu. Membuatku terus bergerak menyambung hidup dan nyawaku. Karena dialah aku tak henti melangkahkan kaki. Walau aku sadar sekarang, dia kutinggalkan jauh di belakang. Aku melesat duluan, tak sopan. Dan dia, masih berjuang dengan semua senyuman dan semangat yang dia punya.
Dan sekarang dia lelah.
“Untuk apa, Rom? Kamu bisa cerita semua ke aku kan, kalau kamu lelah? Nggak perlu nunggu selama ini untuk bilang kamu sudah lelah,”
“Aku butuh kamuflase, Ning. Setidaknya, aku punya harapan. Aku sama sekali tidak ada masalah denganmu. Aku hanya mencoba menguatkan diriku sendiri, Ning. Berkali-kali gagal dalam penelitian akhir, awalnya tak masalah buatku. Tapi ini keterlaluan, Ning. Aku nggak akan bisa selesai!”
“Kamu akan berhasil,” kukatakan pelan hal itu. Walau aku tahu itu percuma, setidaknya aku bicara fakta. Dia tak pernah gagal melakukan yang dia mau.
“Kapan?!”
“Jangan jadi pengecut, Rom! Kamu ajarkan itu ke aku!” kataku sambil merebut botol di tangannya dan melemparkannya ke kebun.
Dia terdiam.
Aku juga.
Setidaknya kami sudah sama-sama tahu. Kami akan saling menguatkan.
-end-
Membuat Cerita (Tanpamu)
“Aku sejujurnya nggak suka kamu pergi seperti ini,”
Aku menghentikan kegiatanku mengepak tas dan koper di samping kursi. Bandara sangat ramai sore ini. Entah karena akhir pekan atau banyaknya turis yang datang. Sambil menunggu waktuku untuk check-in, aku memutuskan mampir di salah satu gerai roti bersamamu.
“Kenapa begitu?”
Kamu menghela nafas, lalu menatap cangkir kopi yang tinggal separuh isinya. Jika saja aku bisa melihat hal gaib, mungkin aku akan melihat kata-kata keluar dari kepalamu. Kemarahan, kekesalan, kekecewaan, semua akan terlihat bergulat melesak keluar ingin menusukku.
“Aku seperti kamu paksa berjalan sendirian.”
“Aku tidak- “
“Ya, kamu melakukannya.”
Keheningan sempurna tercipta diantara kita. Hanya ada suara-suara yang lalu lalang melintasi pikiran kita berdua. Aku? Aku tidak pernah melakukan itu. Memaksamu berjalan menggapai mimpimu sendirian? Segila apa aku?
“Dengar, aku hanya ingin kita punya cerita,” kataku perlahan.
“Kamu tidak harus pergi untuk membuat cerita, kan? Kita bisa membuat cerita bersama di sini. Kenapa kamu memilih pergi ke Paris tanpa aku?”
“Apa mimpimu sebenarnya?”
“Kamu sudah tau, kenapa masih bertanya?”
“Apa mimpimu sebenarnya?” ulangku. Kamu mengangkat wajah lelahmu.
“Script-writer untuk film mu. Dengan kamu sebagai sutradaranya, tentu saja. Itu impian kita berdua sejak masih kanak-kanak. ” Jawabmu putus asa.
“Dengarkan aku, sebentar saja.” Kamu diam, tidak lagi memotong dan menentang. Aku pelan mengambil nafas.
“Aku masih sahabatmu. Aku tidak mungkin mengejar mimpiku sendiri dan meninggalkanmu. Aku juga tidak akan bisa seperti itu, kamu tahu itu. Aku hanya ingin nanti kita punya cerita yang bisa kita bagi. Tidakkah kamu merasa kita terus bersama hingga tak ada lagi cerita tersisa? Belasan tahun, kita berdua hidup dalam dunia yang sama. Sekolah yang sama, kelas yang sama, asrama yang sama, kamar yang sama, klub sinema yang sama.”
“Kamu bosan dengan persahabatan kita?”
“Tidak. Aku tidak akan pernah bosan jika itu bersamamu. Sudah kubilang kan, kita tetap mengejar mimpi kita. Kamu menjadi penulis, dan aku sutradaranya. Kita memang harus terus belajar untuk menggapai mimpi kita. Pun, ketika kamu ingin pergi jauh untuk belajar bagaimana menjadi penulis handal, ke Inggris misal, aku tak akan menahanmu. Persahabatan bukan berarti kita harus terus bersama, bukan? Persahabatan yang aku maknai bersamamu, adalah saling mendukung dan menguatkan. Saling mendoakan yang terbaik untuk yang lainnya, bahkan jangan sampai aku tahu apa yang kamu doakan begitu juga sebaliknya. Aku ingin ketika suatu hari aku pulang ke sini lagi, kita punya banyak sekali cerita yang akan kita bagi dari pagi hingga pagi. Selama aku pergi meraih mimpiku, aku hanya meminta padamu semoga kamu tidak berhenti mengejar mimpimu. Biarpun itu tanpa aku. Kamu mengerti, kan?”
Kamu menatapku tanpa kedip. Samar ku melihat senyum tipismu, tanda kamu memahami apa yang ku katakan. Aku melihat jam tanganku.
“Sudah waktunya aku check-in.”
Kamu mengangguk.
Ketika aku melangkahkan kaki ke ruang lobi bandara, aku melihatmu sekali lagi.
“Aku ikhlas. Jangan kembali kalau kamu belum meraih mimpimu.”
Aku tertawa.
Kamu tertawa.
Detik kemudian air mata kita jatuh.
-end-
14102015~11:18pm
Latte Lima Sore
Kira-kira sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak dikenal menghubungiku.
Dia bilang dia mau bertemu. Aku tak risau sama sekali. Kuiyakan saja tanpa banyak basa basi. Aku katakan padanya aku bisa ditemui pukul 5 sore di tempat ini. Kafe milik Kavita, sahabatku sejak masuk kuliah. Siapa dia? Kurasa aku akan segera mengetahuinya. Aku tak mau mengira-ira, apa yang dia inginkan dari pertemuan ini. Memangnya apa yang aku punya?
Latte di depanku masih panas. Kavita baru saja menyeduhkan cangkir kedua untuk sore yang dingin. Dia berkata dengan bercanda, jangan-jangan wanita di telepon itu sebagian dari masa laluku. Aku nyengir pahit. Tidak mungkin, aku tak pernah dekat dengan wanita manapun, apalagi pacar. Kavita justru yang aneh, dia bisa memahami laki-laki error sepertiku ini. Kesukaan kami sama, secangkir kopi dan setumpuk buku di sore yang indah.
Pintu kafe berderik halus. Aku melihat sesosok berkaus hitam-putih panjang dan celana jins yang tidak terlalu ketat. Here she is, desisku. Kavita menyambutnya ramah, lalu mengerling padaku. Wanita berambut sebahu itu menghampiri tempat dudukku. Aku membenarkan posisi dudukku dan tersenyum canggung.
“Halo, saya Rena,” sambutnya sambil mengulurkan tangan.
“Aldo,” jawabku. Kami berjabat tangan. Dia tersenyum sekilas.
“Kau mau pesan? Semua jenis kopi di kafe ini enak, asli kopi premium, Kavita sendiri yang menggilingnya,” tawarku sedikit promosi. Dia tertawa kecil.
“Apa saja boleh, saya nggak terlalu paham dan suka kopi,”
“Kav, cappuccino satu ya!” dari meja bar, Kavita mengacungkan jempolnya.
Aku menatap perempuan itu. Dia menunduk, sesekali menghela nafas. Aku hanya menunggu. Menunggu satu kalimat yang mungkin akan menjadi deretan cerita setebal novel Harry Potter seri terakhir yang tak pernah aku selesaikan itu. Detik-detik berlalu dan dia tetap diam. Apa apaan ini? Aku disuruhnya membaca pikiran? Memangnya aku cenayang?
Sampai cappuccino miliknya datang, dia masih diam menunduk. Kavita menelengkan kepala padaku. Aku hanya mengangkat bahu. Mana kutau dia ngapain?
Kalau wanita ini mencari pembaca pikiran, dia datang pada orang yang salah. Maka detik selanjutnya aku memaksa pita suaraku bertanya,”Ada apa kamu mencariku?”
“Kamu kenal orang ini?” dia menyodorkan selembar foto.
Aku menyelidik foto itu. Kurasa aku pernah melihatnya, tapi dimana? Dahiku berkerut. Foto itu menampilkan seorang laki-laki perlente berlatar jalan raya. Berkemeja biru dongker dan bercelana hitam. Senyum tipisnya menggurat di wajah yang terlihat masih sepantaran kakakku. Kutaksir umurnya masih sekitar 30 tahunan.
“Aku sedang berusaha mengingatnya, banyak orang bertemu denganku setiap hari. Aku tak mengenal mereka satu persatu, Rena.” Jawabku jujur.
Rena menghela nafas. Aku jadi tidak tega melihat raut wajah penuh harapnya.
“Dia siapa kamu?” tanyaku singkat. Tak kusangka pertanyaan ini akan panjang jawabannya. Dia menyeruput cappuccino-nya sedikit lalu menatapku. Tatapan itu penuh; luka, kecewa, kasihan.
“Namanya Eka Pandu. Dia suami kakak saya,” Rena menatapku, seperti meminta persetujuan apakah dia boleh bercerita lebih banyak. Aku mengangguk, menyuruhnya meneruskan cerita.
“Kakak saya namanya Reni, usianya 28 tahun sekarang. Mas Pandu dan Mbak Reni menikah 4 tahun silam dengan beda umur 4 tahun lebih tua Mas Pandu. Walaupun begitu mereka serasi sekali. Mbak Reni sangat mencintai Mas Pandu, sebagai istri yang baik dia menuruti apapun keinginan dan perintah Mas Pandu. Saya dekat dengan Mbak Reni, jadi saya tau seberapa cintanya dia.”
Rena diam sejenak. Matanya mengawang, seperti sedang mengingat wajah bahagia Mbak Reni-nya. Mungkin Reni saking cintanya sampai harus melepas semua mimpinya demi bersama laki-laki bernama Pandu itu. Atau Reni keluar dari pekerjaannya sebagai manajer sebuah perusahaan migas demi ikut tugas suaminya yang pindah wilayah. Hei, kenapa aku jadi ikutan mengkhayal? Bukannya tadi aku berjanji tak mau mengira-ira? Aku mendengus. Tapi sepertinya Rena tidak sadar.
“Tiga tahun berlalu, mereka belum dikaruniai seorang anak. Mbak Reni sering bercerita pada saya bagaimana Mas Pandu yang mulai sering uring-uringan. Wajar bagi saya, karena memang begitu adanya seorang lelaki, bukan? Hingga terakhir Mbak Reni ke dokter dan saya menemaninya untuk periksa. Mas Pandu sedang ada rapat seharian jadi tak mungkin menemaninya. Dan…kami terkejut untuk kali pertama, mengetahui apa yang terjadi dengan Mbak Reni,”
Aku mulai tertarik, “Kenapa dia?”
Rena menghela nafas lalu meneruskan,”Mbak Reni sakit. Kanker rahim stadium 2,”
“Bagaimana bisa dia tidak menyadari?” tanyaku keheranan.
“Mbak Reni sangat aktif. Walaupun tidak bekerja kantoran, dia ikut mengelola yayasan anak di kota kami. Dia beberapa kali mengeluh sakit perut, tapi dia pikir itu biasa saja. Hingga yah, tes dokter mengatakan semuanya. Mbak Reni menyuruh saya merahasiakan ini dari Mas Pandu. Tapi apalah, seorang suami mempunyai insting yang kuat bukan kepada istrinya? Terbongkarlah semuanya. Mas Pandu mengunci diri di kamar yang lain seharian. Dan saya yang bertugas menemani Mbak Reni selama itu. Orang tua kami belum tau, dan saya rasa sebentar lagi mereka tau.”
“Mas Pandu keluar dari kamar hari berikutnya. Dia berkata pada saya, dia akan membantu biaya pengobatan Mbak Reni. Saya lega awalnya, saya pikir dia suami yang bertanggungjawab. Tapi saya salah,” Reni mulai berlinangan air mata.
“Dia menceraikan kakakmu?” tebakku.
“Tidak. Dia memang memberi sejumlah uang untuk penyembuhan Mbak Reni. Sepekan kemudian dia menghilang. Kami mencoba mengontak semua nomornya, bahkan ke kantornya. Tapi dia seperti lenyap dari bumi. Mbak Reni menangis terus, dan penyakitnya tambah parah. Kamu tau, kesembuhan seseorang kadang ditentukan dengan seberapa semangatnya untuk bertahan hidup. Dan Mbak Reni kehilangan itu. Dia terus menyalahkan dirinya dan berkata dia tidak bisa hidup tanpa Mas Pandu. Kondisinya terus memburuk, kankernya bahkan mencapai stadium empat dalam beberapa bulan ini. ada satu hal yang membuatnya terus bertahan….”
“Apa itu?” tanyaku penasaran.
“Dia percaya, dia tidak akan mati sebelum dia menemukan Mas Pandu.”
Aku mengusap wajah. Apa-apaan ini, kupikir cerita seperti ini hanya ada dalam novel dan sinetron picisan yang suka ditonton ibuku di rumah. Ternyata benar ada, dan seorang Rena menceritakan semuanya di depanku. Seorang gadis yang baru saja kukenal –bahkan aku tidak tau nama lengkapnya dan berapa umurnya- menceritakan semua problema hidup kakaknya. Jangan-jangan aku dibodohi? Tapi dari wajahnya sepertinya dia jujur.
“Bagaimana bisa kamu menemukanku?”
“Saya hanya ingat dimana Mas Pandu dulu kuliah. Lalu saya melihatmu di selebaran seminar, lulusan universitas yang sama dengan Mas Pandu. Dari sanalah saya mendapat nomormu,”
Oke, manusia bernama Eka Pandu ini sealmamater denganku? Bahkan aku tidak tau dia angkatan berapa dan jurusan apa. Apa gadis ini berpikir satu kampus seperti satu sekolah jaman SD?
“Bisakah kamu membantu saya menemukan Mas Pandu? Saya tidak tau berapa lama lagi Mbak Reni bertahan. Tapi saya ingin mewujudkan keyakinannya,”
“Kenapa kamu mau melakukan ini?”
“Karena saya sangat mencintai Mbak Reni. Lebih dari diri saya sendiri. Saya tau saya berlebihan. Tapi, dialah kakak, teman, sekaligus guru hidup yang sudah mengajarkan saya banyak hal. Saya hanya ingin membuatnya bahagia di akhir hidupnya,”
Cinta, ya? Kudengar cinta memang dahsyat, tapi aku baru menemukan cinta yang hebat dari adik ke kakaknya ada dalam diri Reni dan Rena. Apa ini memang terjadi pada banyak orang, ataukah aku yang tidak merasakan dan memperdulikannya? Baiklah, hubunganku dengan Zaqi memang tak semesra Rena dan Reni.
“Kalau aku belum bisa menemukannya?”
Rena terseyum, pahit.
“Saya berusaha mencari Mas Pandu, dengan cara apapun. Tidak dengan kamu pun, saya akan mencarinya sampai ketemu,”
“Kalau Pandu ketemu, kamu mau apa?”
“Memintanya menengok Mbak Reni, sekali saja. Bagi saya itu cukup, dan bagi Mbak Reni juga,”
Aku menghela nafas lagi. Jadi PR-mu sekarang Aldo, mencari manusia bernama Eka Pandu demi Reni yang penasaran.
“Baiklah, kalau aku tau infonya nanti kukabari. Nomor tadi pagi milikmu, kan?”
Rena mengangguk, matanya berbinar,”Terimakasih!”
Dia menghabiskan cappuccinonya dan bersiap pergi. Aku masih ingin di sini. Menghabiskan Latte yang mulai dingin sambil mengecek agendaku besok.
Handphone Rena berdering, dia sedikit terperanjat.
“Halo, Laras. Ya, ada apa?”
Aku tak bisa mendengar suara di ujung telepon, tapi aku kira berita buruk karena kemudian wajah Rena tampak terkejut dan panik.
“Astaga, oke, aku segera pulang. Satu jam lagi aku sampai, Ras. Oke makasih, Ras.”
“Ada apa?” tanyaku begitu dia menutup telepon.
“Kondisi Mbak Reni kritis, saya harus segera kembali ke rumah sakit.”
“Oke, hati-hati, semoga Reni baik-baik saja,”
“Terimakasih, saya duluan.”
Begitu dia keluar kafe, aku termenung. Panggilan Kavita tak kuhiraukan. Segera aku membuka buku agendaku. Oke ini zaman gadget, tapi aku lebih suka menuliskannya di buku agenda. Hmm… besok hari Rabu, ya…
* Meeting klien 09.00
* Isi seminar leadership dengan Eka Pandu 13.00
Wait… Oh, Tuhan! Aku ingat sekarang. Eka Pandu adalah seorang enterpeneur di kota ini dan besok dia seminar bersamaku!
Segera aku menelepon Wasta, panitia seminar mahasiswa yang menjadi LO ku untuk meminta nomor Eka Pandu. Sedikit tergesa aku kembali menelepon Rena. Berkali-kali tidak diangkat. Mungkin dia sedang dalam perjalanan.
Tiba-tiba aku ingat perkataan Rena barusan.
“Ada satu hal yang membuatnya terus bertahan. Ia percaya, dia tidak akan mati sebelum dia menemukan Mas Pandu.”
------------------------------------the End -----------------------------------
Sepotong Pagi di Jerman
16 Agustus 2015 pukul 13.00 Waktu Erfurt, Jerman
Aku mengunyah pie apel pelan-pelan. Rasa asam manis getirnya membuat mataku yang sedang memelototi timeline Twitter sedikit mengerjap. Layar 6 inchi di tanganku memperlihatkan foto-foto suasana perayaan kemerdekaan di negara asalku, Indonesia. Aku merindui tanah itu, seketika. Di detik berikutnya, aku merasa tidak pantas merindukan apapun tentang Indonesia.
“Hey Mila,” panggil Jenny rendah. Dia baru saja memasuki kafetaria.
“Sudah selesai?” tanyaku begitu dia duduk di sofa seberangku.
“Ha?”
“Ujianmu,”
“Ooh… iya,“ Jenny menghembuskan nafas pelan. Dia mengedikkan bahu dan memesan caffe latte yang langsung disambut anggukan oleh Ibra, barista kafe.
“Kok ngopi, Jen? Nggak takut maag-mu kambuh?” Jenny nyengir, menampilkan deretan putih giginya.
“Kopiku nggak sepekat kamu, Mila. Aku nggak bakalan ambruk hanya dengan caffe latte.” Aku tertawa, lalu menyeruput kopi Toraja di depanku.
“Ngapain, La?” Tanya Jenny penasaran, berusaha mencuri lihat smartphoneku.
Aku menyodorkan ponsel pintar buatan Korea itu. Di layarnya masih menampilkan laman media sosial berlambang burung biru. Jenny menggumamkan sesuatu sembari menggeser jemarinya ke atas dan ke bawah. Rambut hitam legam sebahunya menutupi sebagian wajah khas Jawa-nya.
Aku dan Jenny bertemu di Universiteit of Erfurt, sebuah kampus kecil di Thuringia, negara bagian Jerman, empat bulan lalu. Jenny sudah di semester 3 saat itu dan aku baru semester awal. Kami bertemu di perpustakaan universitas yang menjadi peringkat ke-6 di seluruh dunia itu. Pertemuan yang biasa saja. Aku berniat meminjam beberapa referensi dan dia melihatku sebagai orang asing, lalu kami berkenalan. Dari perkenalan itu aku mengetahui bahwa Jenny sekolah di sini mendapat beasiswa penuh dari salah satu perusahaan swasta di Indonesia. Orang tuanya hanya pegawai kelurahan di sebuah kota. Jenny mengambil jurusan ekonomi sedangkan aku yang juga mendapat beasiswa dari alumni sebuah universitas swasta, kuliah di jurusan sejarah. Kami tinggal di studentenwohnheim, sebuah flat sharing yang menjadi andalan tempat tinggal mahasiswa asing karena harganya yang terjangkau. Sebelum di studentenwohnheim yang ditempati sekarang, Jenny sempat tinggal di sebuah flat di kota Weimar yang jaraknya 30 km dari kampus.
“Nggak nyangka udah 70 tahun Indonesia merdeka,” gumam Jenny pendek memutus lamunanku tentangnya.
Jenny mendongak menatapku.
“Kamu kangen sama rumah, La?” Aku hanya mengangkat bahu. Jenny tersenyum samar.
“Aku selalu pengen balik ke Indonesia demi…yah, mengabdi. Selalu kangen dengan suasana tujuh belasan di sana. Lomba makan kerupuk, balap karung, balap kelereng, dan panjat pinang! Uh seru banget kalau panjat pinang di desaku! Ada jathilan dulu sebelum mulai lomba, kamu tau? Semacam tari-tarian dengan topeng dan diiringi tabuhan gendang. Hahaha, bapak jago banget tuh nabuh gendangnya.”
“Bitte kaffee, Jenny.” ujar Ibra meletakkan caffee latte pesanan Jenny di meja kami.
“Danke, Ibra.” jawab Jenny sambil tersenyum manis. Aku tergelak. Bukan rahasia lagi di lingkungan flat kami kalau Ibra naksir Jenny. Lihat saja pola yang digambar Ibra, bentuk hati yang manis sekali. Jenny menepuk lenganku saat Ibra kembali ke balik meja barista.
“Kamu tau Jenny, aku bahkan merasa aku nggak pantas merindukan Indonesia.” Ucapanku membuat Jenny menatapku tajam.
“Nggak bagus bilang seperti itu, Mila. Kamu lahir dan besar di Indonesia. Kamu dibayari kuliah dan hidup di sini oleh orang Indonesia.”
Aku tertawa masam.
“Indonesia sekarat, Jen. Rupiah terus melemah, sudah tiga belas ribu sekian. Kalau tahun 1998 ini sudah rusuh! PHK besar-besaran di pertambangan minyak sejak penurunan harga minyak sebesar US$ 41 per barel, pekerja Tiongkok masuk seperti air bah. Ekonomi Indonesia carut-marut, Jen! Kamu yang anak ekonomi harusnya lebih tau, kan? Dan kita di sini nggak ngerasain semua itu, Jen!” ujarku gemas.
Jenny melongo sejenak, kemudian tertawa.
“Ya ampun, Milaaaa. Ahahaha… Santai, Mila, santai… Iya aku tau kok apa yang semua kamu katakan tadi. Benar memang begitu keadaannya. Dan kita, yah masih bisa ngopi aja di siang bolong seperti ini. Di negara yang sangat jauh dari Indonesia, pula. Tapi kan di sini kita nggak foya-foya, La. Kita di sini belajar, kan?”
“Aku sakit hati, Jen.”
“Ha?”
“Aku membaca beberapa artikel, opini, dan apalah itu. Isinya mendeskritkan sekali kita yang kuliah di luar negeri dan nggak pulang-pulang untuk membangun negara asal. Dibilang nasionalisme kita sudah luntur lah, patuh dengan asing lah, de el el. Aku benar-benar kesal, Jen.” Kataku sembari mengacungkan ponselku.
“Memangnya kamu bakal seperti itu? Tinggal di Jerman setelah kuliah selesai?” Aku mengangkat bahu menjawab pertanyaan Jenny.
Jenny berdehem lalu menyeruput caffee latte miliknya. Kurasa Jenny paham apa maksudku. Kembali ke Indonesia pun belum tentu kami bisa langsung membangun Indonesia, seperti yang orang-orang selalu harapkan. Tidak semudah membalik telapak tangan. Dengan kondisi Indonesia yang sangat kompleks rasanya aku mau pindah warga negara saja. Kerja, nikah, dan tua di Jerman yang penuh kedamaian ini.
“Kamu tau kan La, kenapa para pendahulu kita berjuang demi kemerdekaan Indonesia?”
“Oh ayolah, Jenny. Aku anak sejarah, sudah tentu aku tahu hal-hal seperti itu, Jen. Lagian apa hubungannya dengan obrolan kita siang ini?” Jawabku sedikit merajuk.
“Ya jelas berhubungan, Mila sayang… Kita ada di sini sekarang, di sebuah negara yang dahulunya terbagi menjadi dua, sekolah di universitas termuda di Jerman, bahkan merasakan bagaimana rasanya jauh dari negeri asal, itu semua berhubungan dengan tujuan proklamator kita! Kita ini harapan mereka, Mila.”
“Tapi lihat, Jen! Bahkan kita tidak bisa melakukan apapun untuk negeri kita sendiri! Mereka juga sudah mencap kita sebagai kacang lupa kulitnya. Mereka seenaknya saja bilang kita sudah tak memiliki rasa nasionalisme.” Terangku.
“Ya ya, kamu benar. Mungkin mereka yang tidak merasakan perjuangan kita dan orang-orang yang demi menghidupi dirinya sendiri harus ke luar negeri, akan berbicara seperti itu. Lihat La, di Jerman ini banyak sekali orang Indonesia! Baik itu mahasiswa, maupun pekerja. Ada juga bahkan yang bekerja jadi asisten rumah tangga, kasir minimarket, bahkan cleaning service. Tapi mereka nggak pernah mengeluh, apalagi merasa tidak memiliki rasa nasionalisme seperti yang kamu lakukan tadi, La. Dan itu semua mereka lakukan demi anak istri mereka, atau bahkan keluarga besar mereka di Indonesia.”
“Setidaknya kita lebih beruntung, La. Bersyukurlah. Kita di sini bukan untuk bekerja keras seperti mereka. Kita di sini untuk belajar, lalu bagaimana nanti kita aplikasikan ilmu yang sudah kita dapat untuk pembangunan Indonesia. Untuk menyejahterakan rakyat Indonesia, karena itulah tujuan kenapa pahlawan ingin negara kita merdeka. Dan kamu tahu, siapa yang sebenarnya yang tidak memiliki rasa nasionalisme? Mereka orang-orang yang tega merampas kekayaan alam Indonesia, membodohi kepala suku, menipu jutaan rakyat di daerah, demi uang yang akan mereka dapatkan dari perusahaan asing. Bagiku mereka sampah busuk!”
Aku terdiam mencerna kalimat panjang Jenny. Hatiku mulai disusupi perasaan hangat. Aku yang sejak kemarin harus menahan kesal dan kecewa, ternyata Jenny lebih lihai menjelaskan ini dengan logika yang dapat aku pahami. Aku teringat dengan tanah kelahiranku, sebuah kota kecil di pesisir pantai utara. Ayahku mengelola pariwisata di satu pulau kecil di Kepulauan Seribu. Suatu pekerjaan yang sangat aku banggakan. Sekarang aku menjadi malu, dengan pemikiran pendekku tentang tinggal di luar negeri. Ayahku saja bisa membantu perekonomian sebagian kecil dari warga, kenapa aku tidak?
Jenny mengutak-atik ponselnya. “Besok pagi ikutlah denganku ke Wisma Indonesia di Berlin. Kita setiap tahun mengadakan upacara 17 Agustus di sana. Yang datang tidak hanya pejabat atau konsulat, tetapi banyak WNI dan mahasiswa yang juga datang. Buatku itu semacam terapi agar terus terjaga nasionalisme kita. Bagaimana, Mila?”
Aku mengangguk dengan semangat. “Tentu saja!”
17 Agustus 2015 pukul 09.20 Waktu Berlin, Jerman
Aku dan Jenny sudah sampai di Wisma Indonesia setengah jam yang lalu. Kami menggunakan kereta untuk mencapai 3 jam perjalanan dari Erfurt menuju Berlin. Di sini aku bertemu warga Indonesia yang tinggal di penjuru Jerman. Ada yang kuliah di Ilemanu, kerja sebagai teknisi di Leipzig, dan masih banyak lagi. Aku terharu melihat wajah-wajah yang sangat bersahaja. Bahkan aku berkenalan dengan Mas Hartono Sugih, ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman. Beliau sangat senang bertemu satu lagi anak bangsa yang mencari ilmu hingga ke ujung dunia.
“Kau ingatlah, Mila. Mencari ilmu itu sejauh apapun jarak, selama kita hidup di dunia. Setelah itu, kembalilah ke Indonesia, membangun yang sudah diawali pendahulu kita. Karena itulah tugas kita sebagai penerus kemerdekaan.” Ujarnya tadi sambil tersenyum kepadaku.
09.30 Waktu Berlin
Sewaktu menyanyikan lagu Indonesia Raya dan memberi hormat kepada Sang Saka Merah Putih, aku tidak bisa menahan air mata yang menjebol sudut-sudut mataku. Di sinilah aku, generasi penerus kemerdekaan yang berjuang di bagian bumi yang lain dari Indonesia. Untuk kemudian kembali ke Indonesia, meneruskan perjuangan pahlawan yang pasti enggan melihat kesengsaraan rakyat Indonesia saat ini. Bukan itu tujuan mereka berperang meraih kemerdekaan. Mereka pasti kecewa jika aku, atau generasi yang lain justru sibuk dengan urusan sendiri dan tidak peduli dengan kondisi negeri yang dulu mati-matian mereka perjuangkan.
Hatiku basah.
Jenny menggenggam jemari kiriku. Aku menatapnya, kulihat matanya juga basah.
“Terimakasih,” ucapku lewat isyarat mata. Jenny mengangguk.
Kami menangis dan tertawa tanpa suara.
-selesai-
Bintang Malam
“Boleh aku duduk di sini?”
Tanpa menunggu aku menjawab, kamu menjeplak di sebelah kananku, berbaring telentang bertelekan lengan. Aku tersenyum samar. Katanya tadi minta duduk aja, batinku geli.
“Bintangnya nggak keliatan ya, Ran. Aku rasanya pengen pulang kampung aja, kalau di rumah tuh bintangnya banyaaak banget dan kita kayak deket sama langit. Heeemm kereeen…”
Kamu bercerita lirih, seakan takut menggangguku. Tapi nada suaramu, ceria. Aku melirik dengan ekor mata, senyummu tak ada habisnya. Hey, aku terpesona lagi? Ah ya, aku terpikat padamu setiap detik, menit, jam, hari, bahkan tahun. Tapi toh kamu tak akan pernah tau. Aku yang cemen, belum siap kalau harus menjadikanmu kekasih. Hah, hidupku saja masih berantakan, beraninya aku mengambil tanggung jawab anak orang.
“Ran, ngelamun apa, sih? Diem aja dari tadi,” Kamu bangkit dan mencolek lengan ku.
“Emang aku mau ngelamun, Lin. Kamu tibatiba dateng, ngeganggu aja,” jawabku asal sambil memeletkan lidah. Kamu merengut. Aku tau kamu pura-pura.
Aku tertawa dan ikut bangkit. Menghadapmu yang sedang tersenyum lucu. Halo, binar di matamu kenapa begitu jelas?
“Seneng banget, habis dapet gaji tambahan?”
Kamu tertawa,”Bukaan, hehehee…”
“Terus?”
Bola matamu berputar-putar. Masih dengan senyum jenaka yang bahagia.
Kamu mengisyaratkan padaku untuk mendekat. Kudekatkan corong kuping ke mulutmu. Kamu membisikkan sesuatu, seakan hanya aku yang boleh tau. Kata-kata itu begitu jelas, sejelas bintang di rumahmu yang kamu sebut tadi.
“Selamat ya,” Aku tersenyum manis sekali, cuma untukmu.
Kamu saking bahagianya mengangguk kencang lalu kembali berbaring telentang. Aku masih duduk bersila, menatap langit malam minggu yang cuma ada rembulan sabitnya.
“Arga melamarku jadi istrinya,” bisikmu tadi.
Aku ikut bahagia.
Tapi sedikit luka.
Lensa
"Bagaimana kalau.. kamu bukan takdirku?"
Matahari masih mengaku kalah pada awan, membuatnya terlihat menyedihkan sesiang ini. Kamu menurunkan lensa, bergerak mengikuti arah suaraku. Aku masih saja membidik sejumlah obyek termasuk beberapa teman yang melambai dari kejauhan.
"Aku pikir kita sudah benar-benar saling melepaskan." Kamera DSLR menggantung di depan perutmu, sedangkan aku terdiam menatap pasir, berhenti mengambil objek.
"Aku cuma bertanya," tetap saja, gelombang itu muncul di jantungku.
"Kamu mau aku menjawab?"
Silakan, tapi aku seperti biasa kelu mengatakannya. Seperti yang pernah kita lakukan, bukan? Selalu kelu, selalu bisu, jika kita bicara soal rasa.
Bicaralah padaku, apa saja. Tapi jangan kau tanyakan tentang rasa.
"Aku akan memastikan dia menjagamu selamanya."
Klik! Aku mengerjap, menyadari bahwa lensamu mengahadapku. Aku menutupi canggung dengan kamera yang ku bawa.
"Lakukan kalau kamu siap. Aku tidak akan memaksa, menekan, atau menghadang. Kita sama-sama sudah dewasa. Tidak ada waktu bermain-main soal hati."
Aku beku. Pertanyaan tidak substansial tadi semakin meneguhkan hatiku.
Gerimis tetiba memayungi, secepat itu pula air mataku mengalir. Takkan ada yang menyadari, hujan atau air mataku-kah yang tengah jatuh dibalik lensa.
Lensa yang berhadapan, hati yang melangkah berseberangan. Jika kamu memilih mengejar mimpi, lalu aku takkan memilih menanti.
Description: Renai; rinai, rintik, senandung.
Renjana; kasih sayang, cinta.
Renai Renjana merupakan kumpulan cerita pendek yang saya tulis entah kapan dan hanya mengendap di memori pc. Semoga suka! :)
|
Title: Rakana Kembaranku
Category: Slice of Life
Text:
Teropong Rakana
"Nggak bisa, Raka."
"Bisa!"
Oke, aku yakin ada tanda seru pada saat Raka menyanggah ucapanku. Heran, kenapa dia ngotot sekali melakukan tindakan yang kalau ketahuan bisa dijerat hukum. Mungkin pula bisa membuat kami bertemu Bang Hotman Paris.
"Gue nggak mau ikutan ah."
"Harus!"
Lagi-lagi tanda seru itu seolah menjambak rambutku untuk tetap diam, menyeimbangkan posisi tripod yang dipaksa untuk menyangga teropong miliknya.
Pegal, ya Lord.
Aku tidak perlu bertanya mengapa aku harus berada pada kegiatan konyol yang ia buat. Penjelasannya pasti sama, karena dulu kami berbagi rahim, berbagi puting, dan berbagi tempat tidur sampai kami mengenal botol susu. Hal itulah yang membuat dia (kadang aku juga sih) beranggapan bahwa saling membantu adalah hal yang wajib. Meskipun yang dilakukan adalah hal absurd seperti sekarang.
"Nah!"
"Apa? Aw." Kenapa aku harus nggak sadar sih dengan teropong yang ada tepat di atas kepala. Sekarang bukan cuma sakit yang aku rasakan, lirikan tajam Raka pun terlihat sangat kesal. "Sowry."
"It'sOK. Lagian, kita udah dapet fakta kok," ujarnya berseri. Air mukanya berubah drastis dalam hitungan 5 detik saja sejak lirikan tadi.
"Serius dapet?" Dia pasti tahu kok kalau aku pura-pura excited.
"Yoi." Nampak jelas jawabannya ini sungguh tidak peduli dengan kepura-puraanku.
"Sekarang apa?" tanyaku setelah merebahkan tubuh di atas kursi bantal berwarna merah. Empuk sekali. Sepertinya aku harus punya 1 untuk kamarku juga.
"Lapor ke ketua rukun tetangga." Ia menghisap rokok elektriknya. Seketika aroma vanilla menguar dan membuatku teringat akan cake buatan bunda di dalam kulkas.
"Mau ke mana?" tanyanya saat kakiku baru melangkah 3 langkah saja.
"Makan cake bunda." Aku menjawab sembari melanjutkan membuka pintu kamarnya. Lihat saja, dalam hitungan detik, dia pasti memberi komando lagi.
"Gue ma–"
"Asal lo nggak ngerokok di hadapan gue," tukasku. Dia terbahak. Aku hanya bisa mengerucutkan bibir.
Kenapa sih dia yang dijadikan kakak? Usia aku dengannya hanya berbeda 5 menit saja. Posisi kami sama-sama kepala berada di bawah sehingga bunda sukses melahirkan per-vaginal. Dia keluar terlebih dahulu, yang menurut prediksiku, kakinya pasti menendang bagian tubuhku. Huft, bahkan saat di dalam rahim saja dia sudah menindasku.
Oke, kembali ke pertanyaan tadi, kenapa dia yang dijadikan kakak? Bukannya kakak adalah seseorang yang melindungi. Aku sudah melindunginya dengan mempersilakan dia keluar lebih dahulu. Aku tidak meninggalkannya. Harusnya aku kan yang jadi kakak?
Ah, sudahlah. Bukannya jadi adik juga nggak buruk, kan?
Sebuah buah piring ceper aku jadikan tempat untuk menyimpan potongan cake vanilla bunda. Setelahnya, 2 sendok kecil aku masukkan ke dalam saku celana. Sendok itu nggak akan muat bila disimpan di samping piring. Dua porsi cake membuat piring ceper itu terlihat lebih kecil dari luas alas cake yang aku potong.
Sendok bertuliskan Rakana, aku berikan kepadanya setelah susah payah merogoh saku celana yang ternyata cukup dalam. Satu hal yang tidak ingin aku bagi dengannya adalah sendok dan garpu. Sejak kami berdua mengenal mpasi, sendok dan garpu memiliki name tag seperti seragam sekolah. Rakana dan Raina. Tulisan warna biru untuk Rakana, warna merah muda untukku, Raina. Kebiasaan itu masih berlanjut sampai sekarang. Dan kami tidak ada yang berkhianat. Kami setia pada tulisan di semua sendok dan garpu tersebut.
"Serius lo mau laporin ke ketua RT?" Pertanyaanku membuat ia berhenti menyendokkan cake ke dalam mulutnya.
"Iya. Sebagai warga masyarakat yang baik dan berbudi luhur, kita harus bisa menegakkan kebenaran." Jawabannya seperti calon anggota legislatif di atas mobil konvoi.
"Kapan?" tanyaku lagi. Dan untuk kedua kalinya, ia gagal menyentuhkan lidahnya pada kenikmatan cake vanilla dingin tersebut.
"Sore ini. Kalau siang panas. Nanti kita bisa menghitam."
"Pakai sunblock," tukasku. Ia menggeleng. Kali ini ia tidak melanjutkan berbicara. Ia sepertinya takut malah aku yang lebih banyak menghabiskan cake yang ada di hadapan kami berdua.
Hmmm, sore ini ya? Aku harus pakai baju apa sebagai partner penegak kebenaran?
***
Libur semester tanpa adanya semester pendek adalah berkah kehidupan. Setelah bergulung dengan tumpukan tugas dan presentasi, free day adalah waktu yang tepat untuk dinikmati bersama onggokan bantal dan guling. Harap maklum, ketika kuliah, kasur bagaikan pelarian untuk ONS saja. Short term. Tidak pernah lebih dari 2 jam. Luar biasa stamina aku ini. Kini semuanya harus dibayar tuntas. Bahkan bertemu lagi dengan tidur siang, rasanya seperti menemukan oasis di padang pasir.
"Ra!"
Mataku terbelalak saat suara itu muncul dengan hentakan pada pintu. Sh*t, aku lupa nggak mengunci pintu kamar.
"Ayok!"
Lagi-lagi tanda seru itu. Kalau saja kata 'ayok' yang diujarkannya bertujuan mengajakku untuk pergi ke Dubai, menaiki lift Burj Khalifa, mungkin aku tidak akan menahan untuk nggak melempar bantal ke arah mukanya yang mirip denganku.
"Masih siang." Aku kembali menenggelamkan wajah ke atas bantal. Tapi ternyata dia menghampiri dan menggoyang-goyangkan kasur pegasku.
"Mumpung mendung. Kalau sore takut hujan."
"Tinggal pake payung," sergahku.
"Males becek."
"Astaga! Elo itu Raka atau Cinta Laura, sih?" Beginilah kami, meski berlabel kakak adik beda 5 menit, aku tidak memanggilnya dengan sapaan kakak. Bahkan, bila kesal teramat sangat, aku juga tidak segan untuk membentaknya.
"Sorenya kita nonton film Tom Holland."
Aku mengerjapkan mata. Boleh tuh. Ah, lemah sekali aku ini.
Setelah merapikan rambut lalu mengikatnya agak tinggi supaya bisa terselip pada topi, aku meraih blazer sepaha yang saat dipakai membuatku terlihat seperti tidak memakai celana.
Ia pun ternyata sama-sama mengenakan celana denim pendek. Naluri anak kembar yang selalu tidak bisa disangkal. Ini bukan kali pertama kami memakai pakaian seragam tanpa sengaja. Sangat sering sampai-sampai banyak orang mengira kami sengaja terlihat kembar. Orang sepintas terkadang mengira kami sepasang kekasih.
"Semua bukti udah dicetak?" tanyaku. Memastikan kerapihan kinerjanya adalah penting. Berbeda denganku, ia sedikit teledor meski memiliki detail oriented yang setingkat lebih kompleks ketimbang aku.
"Siap. Udah plus tanggal diambilnya gambar." Ia terkekeh sambil menepuk tas pinggang yang dibawanya.
"Kalau muncul tuduhan menguntit, paparazzi, how?" Jujur aku cukup ragu dengan apa yang telah kami kerjakan. Karena secara sudut pandang orang apatis, hal ini sangatlah tidak berfaedah bahkan membahayakan diri sendiri. Alih-alih berjasa, malah jadi kita yang masuk penjara.
"Aman. Kan bisa sewa Bang Hotman Paris."
"Serah lo, deh." Malas aku kalau dia sudah mulai berkilah tidak jelas. Aku pikir semuanya sudah aman. Misal, dia sudah mempelajari tata cara untuk mendapat perlindungan hukum. Atau, dia sudah paham tentang delik aduan dan bagaimana proses selanjutnya. Kini yang bisa aku lakukan hanya berdoa. Ada 2 doa. Yang pertama, semoga tertuduh tidak melek hukum. Kedua, semoga rencana kami gagal.
Aku yakin andaikan ia tahu doa yang kedua, pasti ia akan memecatku sebagai partner penegak kebenaran. Selama aku bukan superhero, aku tidak banyak peduli.
Tepat di persimpangan jalan menuju rumah Pak RT, ia berhenti tiba-tiba dan membuat aku yang berjalan di belakangannya, terantuk kaki berukuran 42 tersebut.
"Kok rame?"
Suara orang bertengkar baru aku sadari ketika maju beberapa langkah menuju depan rumah Pak RT.
"Dasar laki-laki nggak tahu diri! Heh, jalang! Jadi perempuan murah sekali."
Aku mengernyit ketika melihat dua wanita saling menjambak. Aku tebak, yang satu menjambak karena kesal, yang satunya lagi karena ingin melawan atau ingin membuktikan bahwa ia bisa menjambak lebih kuat dari si penjambak.
"Ma, udah. Maaf, papa khilaf." Laki-laki yang terlihat kebingungan belum berani mendekat pada pergumulan dua wanita itu. Pak RT selaku tuan rumah hanya bisa menonton dan membiarkan terasnya menjadi arena ring tinju. Aku masih mengintip di balik tubuh Raka yang setelah aku sadari tidak ada gunanya bersembunyi.
"Khilaf tapi berkali-kali. Sampai semua tetangga tahu kalau kamu bawa kekasih gelap masuk ke rumah kita." Wanita itu berhenti menjambak. Kini lengannya menampar pipi si laki-laki.
Refleks Raka menyentuh pipinya. Aku hanya bisa menahan tawa. Mengapa juga ia harus berimajinasi seolah dirinya yang ditampar.
"Sudah!" Pak RT mulai bersuara. Meski tidak menggelegar, tapi berhasil membuat mereka berhenti. "Pak, Bu, duduk dulu. Kita bicarakan dengan kepala dingin. Kita masih bisa bicara tanpa emosi. Malu jadi tontonan. Tuh lihat, sampai ditonton anak kecil."
Ketika Pak RT menunjuk ke arah kami, sontak kami menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari anak kecil.
Nggak ada anak kecil, wahai Pak RT. Apakah kami masih sekecil itu di matamu, Pak RT yang bijaksana?
"Maaf, Pak. Kami nggak sengaja lewat. Kami cuma mau ke warung." Tiba-tiba saja Raka berkata penuh dusta. Rupanya ia melupakan foto-foto yang didapat dari hasil meneropong di kamarnya.
Pak RT dan pasangan suami istri yang berseteru, kompak menyunggingkan senyum kepada kami berdua. Raka langsung menarik lenganku untuk bergegas pergi dari depan rumah Pak RT.
"Warung mana?" tanyaku. Ia mengangkat bahu. Aku tetap mengikutinya karena dia tidak melepas genggaman tangannya. Hingga dia sadar, tidak ada warung yang ditemukan sejauh kami melangkah.
Jadi, begitulah cerita di salah satu libur semester ini. Raka, saudara kembarku sekaligus partner dalam melakukan hal-hal random, menemukan gerak-gerik mencurigakan dari tetangga depan rumah. Setelah diteropong, ternyata sang kepala keluarga mengajak wanita lain masuk ke dalam rumahnya. Karena rasa penasaran yang tinggi, Raka meneropong sampai ke dalam rumah. Tirai yang tipis dan pagar yang rendah, membuat hasil peneropongan terlihat jelas. Bahkan adegan 21+ pun sempat dilihat olehnya.
Raka berencana melaporkan hal tersebut setelah mengumpulkan barang bukti berupa foto. Dia memang senang menjadi orang baik dan muncul di publik. Sedangkan aku, aku malah khawatir dengan tindakannya kali ini. Kejadian di rumah Pak RT tadi membuatku bisa bernapas lega.
Kulirik Raka yang tengah memasang ekspresi datar. Aku menepuk pundaknya. Dia tidak menoleh. Baru setelah aku tarik sedikit rambut belakangnya, ia menyikutku pelan.
"Iya, doa lo terkabul," ujarnya tiba-tiba.
"Eh, doa apa?" Seketika aku gugup.
"Doa semoga rencana pelaporan ini gagal," jawabnya masih tetap datar seperti jalanan komplek tanpa polisi tidur.
Well, kenapa ikatan batin anak kembar bisa sebegitu kentara ya?
Description: Rakana, kakakku yang mau nggak mau harus selalu bersama di setiap hariku. Kisah ini mungkin nggak menarik, tapi kamu harus tahu, aku dan dia nggak saling benci meski sering saling bentak. Aku dan dia nggak saling jatuh cinta layaknya pasangan meski tetap saling berkata sayang. Aku dan dia entah mengapa selalu menjalani hidup dengan berbagai kejadian yang absurd. Meski begitu, aku dan dia selalu ada di poros yang sama, terhubung dengan hati tanpa harus banyak berkata.
Ini kisahku dengan dia, Raka.
|
Title: Rinai
Category: Slice of Life
Text:
Rinai di teras rumahku
Pagi ini seperti biasa.
Ia berangkat kerja tanpa suara.
Tanpa kecupan hangat di dahi. Melenggang lalu dalam sepi.
Aku ini siapa?
Berjuta kali pertanyaan itu bergelayut di otakku.
Apakah setiap pasangan pasti melalui masa masa ini? Masa hambar tanpa rasa. Yang kutau hanya membunuh waktu dan menjalani hari. Tak tau arah akan kemana perjalanan ini berlabuh.
Ya Allah, aku lelah.
Air mata menggenang di pelupuk mataku. Segera kuseka sebelum Arya, anak semata wayangku bangun dan meminta susu. Ku paksa diriku bangun walaupun rasanya ingin kuhabiskan waktu di atas ranjang. Menghabiskan hari menonton drama korea atau melakukan hal hal yang tak bermanfaat sekali saja.
Aku lelah berusaha keras. Desahku.
Ku seret badanku ke teras rumah. Mengambil sapu dan mulai melakukan rutinitas ku yang selalu sama.
"Rama udah berangkat, Al?"
Sapa tetangga sebelahku, Mbak Ayu.
"Sudah mbak"
"Pagi banget ya berangkatnya, matahari baru terbit loh ini, udah jalan aja" lanjutnya sembari bergelayut di pagar rumahku yang pendek.
"Iya mbak" jawabku seadanya. Aku sedang malas meladeni mbak Ayu dengan segala keriwehannya.
"Eh Al, tau gak, masa si.."
"Mbak Ayu, aku masuk ke dalam rumah dulu ya. Lagi kurang sehat" jawabku menyela sebelum mbak Ayu memulai hobinya, menggibahi orang se komplek.
Sebenarnya aku agak malas bergaul dengan mbak Ayu. Selain riweh, hobinya membicarakan orang lain membuatku tidak nyaman. Tapi mau bagaimana lagi, dialah satu satunya temanku di sini. Tidak ada lagi. Dan lewat dia lah aku tau kabar berita lingkungan rumahku.
Aku langsung masuk dan menutup pintu. Aku yakin mbak Ayu pasti sangat kesal dan menjadikan aku sebagai bahan ghibahannya.
Aku tak peduli.
Tidak ada lagi yang kupedulikan di dunia ini selain anakku. Bahkan terhadap diriku sendiri, aku sudah tak mau tau. Alasanku bertahan adalah karena Arya masih membutuhkanku.
Kurebahkan badanku di atas sofa. Memijit mijit pelipis mataku yang pening bukan kepalang. Arya masih tertidur pulas di kamarnya. Semalaman ia menangis karena sedang tumbuh gigi. Semalaman pula aku menggendongnya ke sana kemari. Rama memilih tidur di ruang tamu agar bisa tidur dengan nyaman, tanpa mendengar tangisan Arya.
"Dasar laki laki gak peka! Bukannya bantuin istrinya, malah kabur tidur di luar!" Hatiku dongkol sekali dibuatnya.
Makin ke sini, makin banyak hal hal yang membuatku ilfeel dengan Rama, suamiku. Ah hambar hambar hambar hambar!! Keluhku.
Lagi lagi air mata menggenang di pelupuk mataku. Tak kusangka, langit pun ikut merasakan hal yang sama. Mendung sedari tadi akhirnya meluapkan tetesan hujan yang membasahi bumi. Langit ikut menangis bersamaku dengan derasnya.
Tangis Arya memecah kesyahduan pagiku yang kelabu. Rupanya ia sudah bangun dan meminta susu. Segera kuberikan susu formula yang sudah kusiapkan sedari tadi. Sejak Arya kecil, ia selalu minum susu formula, karena asiku tak seberapa banyak.
"Brak brak brak! ALYA! BUKA PINTUNYA CEPAT!"
Pintu rumahku digedor dengan kasar oleh seseorang yang suaranya begitu ku hafal. Ia Rama, suamiku. Tapi kenapa sudah pulang? Padahal masih pukul 8 pagi.
"ALYA CEPAT!!BUKA PINTUNYA"
Aku berlari ke ruang tamu sambil menggendong Arya. Segera kubuka pintu rumahku.
"Astaghfirullah, mas Rama kamu kenapa?!"
Kulihat Rama basah kuyup. Tangan nya bersimbah darah. Begitu pula bajunya penuh dengan darah. Matanya linglung, tubuhnya terkulai.
"Mas jawab..ini darah siapa?!"
Rama masih tertunduk. Diam laksana patung. Wajahnya bingung. Aku jauh lebih bingung. Tak tau harus bagaimana menghadapi Rama yang diam seribu bahasa.
"Ya Allah.. apa yang telah dilakukan suamiku"
Semua prasangka kini bergelayutan dalam kepala.
Description: Alya adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang kehilangan jati dirinya. Ia merasa kehidupannya setelah menjadi seorang Ibu begitu hambar. Banyak hal hal di luar kendalinya yang membuat ia kecewa. Mulai dari pasangan, anak, keluarga besar. Hingga akhirnya takdir membawanya berkelana jauh, mencari arti kehidupan yang sesungguhnya.
|
Title: RALIN
Category: Novel
Text:
part 1
Happy reading✌
"Bwahahaha " tawa dua anak manusia pecah ketika memasuki kelas
Mereka berbaring bersamaan di depan papan tulis
Teman2 mereka yang melihat heran
'Apa merela gila' begitulah yang ada di pikiran mereka.
"Kalian habis ngapain" tanya salah seorang teman mereka penasaran
Mereka berdua duduk bersamaan dengan kaki bersila badan ditegakkan pandangan ke depan.
"Ekhemm tunggu aja" kata cewek salah satu dari dua orang yang tertawa tadi
"1 " dua orang tersebut mulai memghitung sambil meminta temannya yang lain mengikuti untuk menghitung
2" ucap yang lain mengikuti
3 "ucap mereka bersamaan
"Panggilan kepada ralin dan raka dari kelas xll ipa 1 untuk menghadap ke ruang bk sekarang"
Mereka berdua berdiri sembari membersihkan dan merapikan baju.
"Teman temanku mohon doa dan restunya semoga kami berdua kembali dengan keadaan sehat walafiat" kata mereka berdua kompak dengan bahasa formal
"Mohon doa dan restunya" teriak cewek lalu berjalan beriringan dengan partnernya santai.
Di koridor mereka berdua menjadi pusat perhatian, karena mereka berdua emang seterkenal itu. ?
"Assalamualaikum" ucap mereka berdua kompak saat tiba di salah satu ruangan yang merupakan 'ruang bk'.
Orang2 yang ada di dalam ruangan tersebut mengalihkan pandangan pada si pengucap salam.
"Masuk" ucap tegas seorang pria
Mereka berdua masuk dengan santai dan dengan santainya lagi langsung duduk tanpa di persilahkan.
Padahal yang lain malah berdiri kecuali kepsek dia duduk di kursi khusus untuk dirinya sendiri.
Di ruangan tersebut terdapat 5 orang tambah mereka berdua jadi 7.
"Kalian ini memang tidak mempunyai sopan santun" geram kepala sekolah
Mereka berdua hanya acuh
"Ada urusan apa yahh bapak memanggil kami" tanya ralin sambil tersenyum manis
"Ckk gak usah sok gak tau yaa" tanya seorang pria yang usianya 18 tahun kita tebak saja dia ketos.
Ralin masih memasang senyum manisnya
"Ralin raka apa benar kalian yang menaruh jebakan di ruang osis " tanya guru perempuan lembut
"Iya bu" jawab ralin dan raka serempak dengan tampang gak berdosa ?
Tiga anak osis yang berada di ruangan tersebut langsung melemparkan tatapan permusuhan terhadap mereka berdua.
"Kenapa kalian melakukan itu" tanya kepala sekolah
"Hmmm" ralin berpikir
"Kenapa yaa rakk" tanya ralin pada raka
"Cuma iseng " kata raka santai
"Ckk kalian ini pintar tapi kelakuan kalian sama sekali tidak bermoral"geram kepsek
"Lohh pak justru ituu, kita mencoba mencari kesenangan selain dari belajar" semangat ralin
"Nakal boleh bego jangan" kata mereka berdua serempak lalu bertos ria
"Kalian bapak hukum bersihkan lapangan semuanya" titah kepsek. Sudah lelah menghadapi tingkah dua muridnya yang pintar tapi kelakuan ajaib.
"Siappp " jawab mereka berdua serempak sambil memberi hormat
"Ya sudah semuanya bubar dan kalian bertiga awasi mereka" putus kepsek
'Ralin dan raka bisa saja di keluarkan karena terlalu banyak membuat ulah, tapi prestasi yang mereka berikan untuk sekolah juga tidak bisa di hitung jari'
Untuk part 1 segini dulu yahh?
Thank you for reading?
See you next part✌
?
Description: menceritakan kisah seorang gadis yang sangat tangguh, saat semua orang menyakitinya dia balas dengan tersenyum.
|
Title: REMEDY
Category: Young Adult
Text:
Prolog
Sungai berair bening itu berubah merah. Nun jauh disana matahari kian melahapnya. Tidak ada burung-burung gejera, tidak ada angin yang menyapa lembut pucuk-pucuk daun pohon, tidak ada tanda-tanda alam sedang berjalan, bahkan waktu mungkin sedang malas berdetak.
Sepasang kaki itu sedang menyusuri rumput-rumput gersang, kerikil-kerikil menusuk telapak kakinya, di kanan dan kiri tampak betapa lepasnya mata memandang, hanya merah di barat sana dan genangan saga di hamparan sungai, langkahnya yang kecil-kecil dan satu-dua satu dua tidak memiliki alasan yang kuat mengapa mereka berjalan, hanya berjalan, hanya itu yang ia tahu.
Lalu sekelebat angin kecil menyentuh anak rambutnya, langkahnya berhenti, tidak ada angin sebelum ini, rasanya bahkan tidak ada sama sekali sampai detik ini. Sore yang merah semakin merah tidak mengenal ampun. Tiba-tiba udara berhenti, dadanya sesak, bibirnya mati rasa, dadanya megap-megap mencari udara, semakin sesak dan semakin sesak, matanya panas, tangannya meraba-raba rerumputan kemudian ia tersungkur. Kini dadanya dicengkram dengan kuat, ingin sekali merasakan indahnya detak yang dihasilkan, mencoba mencari kehidupan, mencari kekuatan di sana. Semakin lama merah menyelimutinya bersama sungai yang kemudian bernyanyi, lagu entah milik siapa, cukup familiar. Mengapa aku bisa mendengar? Nada yang berantakan, pikirnya. Sempat pula aku berpikir? Tapi aku mengenalnya!
Udara benar-benar berhenti. Ia sudah tidak bernapas lagi, mungkin. Tapi ia masih mendengar, mendengar nyanyian sungai yang memerah. Semua menghitam, semua gelap, yang ada hanya nada berantakan suara sungai...dan kegelapan yang melahap dirinya sekelam yang tak terbayangkan.
Deja Vu
Geragapan Kalila terbangun. Langit senja kemerahan yang ia lihat lama-lama menjadi langit-langit kamar kosnya. Napasnya yang sesak berangsur pulih karena udara dari kipas angin di kamarnya. Seperti yang biasa ia lakukan setiap bangun pagi atau bagun dari tidur kapan pun ia mengecek ponselnya, membaca pesan-pesan yang masuk, dan memeriksa siapa saja yang menelponnya. Namun Kalila hanya menemukan beberapa pesan dari grup kantor dan grup angkatan kuliahnya. Tidak ada panggilan dari siapa pun bahkan ibunya sekali pun.
"Kal!!! Lo tadi dicariin temen, Lo, rambutnya pendek!!!" tiba-tiba Tari berteriak di balik pintu kamar kos Kalila.
Terdengar suara motor dan pintu gerbang koss yang terbuka. Tari selalu yang nomor satu dalam urusan itu, membuka gerbang kos dan keluar kos di pagi hari.
Kalila melihat petunjuk angka jam di ponselnya. Plak! Ia menepuk dahinya sendiri sambil menjawab Tari yang sudah jauh dari kos.
"Iya!!! Tau!!! Namanya Pokcoy, Ri!!! Mana ada selain dia yang ke kos gue jam tiga pagi?! Mana ada selain Elo yang bukain dia pintu?!!!"
Ponselnya dilempar begitu saja. Kalila segera ke kamar mandi dan melanjutkan untuk melakukan kewajibannya.
“Mana ada yang keluar kos jam empat pagi selain Elo, Ri?!!!”
Kalila melanjutkan omelannya pada Tari yang sudah berjarak cukup jauh dari kosnya.
***
Jari-jemarinya merasai rerumputan yang kini resmi kering. Pendar cahaya jingga berubah merah. Sore telah bertemu pujaannya. Saga kembali jadi penguasa semesta. Kini sepenuhnya ia dan merah adalah satu. Tapi ia merasai rerumputan masih menusuk-nusuk, padahal sepertinya ia ikut mati, seperti padang itu, seperti sungai itu. Tidak ada angin, tidak ada yang hidup kecuali mata yang sama berpendarnya dengan bagaskara merah di sana, kecuali tangan yang bertemu udara hampa, kecuali jemari dan telapak kaki yang bercumbu dengan rumput, kecuali sepasang mata lebar yang sedang menatap sungai di depannya, membakar habis seluruh bola matanya sekaligus rindunya, entah pada siapa. Mata yang sama dengan pendarnya saga pun ingin menatap hal yang sama dengan mata yang telah dibakar habis itu, dan...
“Rudi!!! Ibu Lo telpon terus! Bangun woylah!!!”
Rudi terbangun mendengar teriakan teman sekamarnya, Budi. Napasnya masih naik-turun, ia hampir lupa cara bernapas. Untung saja suara sember kawannya begitu membantunya.
“Ada apa, Ma?” ia menerima telpon itu.
“Kau baru bangun? Mama kangen, segera pulang ya, Rud. Jangan lama-lama,”
“Baru dua hari lalu Rudi ke Bangli. Ada apa lagi?”
“Itu, kan, kamu ada kerja. Kamu mampir cuma mau ambil kopi aja di rumah. Mama mau kenalkan kamu sama anaknya Pak Catur, Rud. Cantik, penari dia, pasti suka kamu,”
“Saya masih 28 tahun, Ma,” suara Rudi menggantung di sana. Entah kenapa ia memang tidak betul-betul mengatakan itu sebagai alasan.
“Sudah cukuplah itu, Rud! Mama sudah bosan melihat tetangga yang bilang, ‘kapan punya cucu, Bu Sekar?’
“Jawab saja, kapan-kapan, begitu, Ma,”
“Kalau Mama di Jakarta, pasti nggak ada yang cerewet, Rud. Di sini, semuanya diukur dari kesejahteraan dan kenormalan, oke? Oh, ya, mimpi buruk lagi, kamu?”
“Pindah saja ke Jakarta, Ma. Tapi, Papa pasti nolak hahaha. Kali ini sedikit lebih tenang, Ma. Tidak sesakit sebelumnya.”
“Makanya, kamu ikutlah sama Mama, siapa tahu Romo bisa sembuhkan kamu. Ngomong-ngomong, kawin juga bisa menyembuhkan kamu,”
“Memangnya saya ini sakit? Sudah ya, Ma, nanti pulsanya habis, lho. Jaga kesehatan, ya Ma.”
Klik.
“Buset dah, bokap Lo pagi-pagi bener nelpon Elo, Rud?”
“Ya gitu lah! Masih jam lima pagi, ya, ini? Udah salat subuh, Bud?”
“Gue habis jamaah di musala. Katanya Lo mau ke pameran pagi-pagi?”
“Kalau kamu bangun buat salat jamaah, bangunkan saya sekaliyan, dong, Bud, seharusnya.” Suara Rudi berubah lebih ringan daripada saat sedang ditelpon Sekar.
“Mau salat jamaah lo, Rud?” Tampak tawa Budi yang tertahan mendengar permintaan rudi.
“Saya mau ikut mandi di kamar mandi musala. Soalnya air kamar mandi mandek dan sisa semalam habis buat kamu doang!”
Budi terkejut dan berhenti tertawa, merasa bersalah. Bukan karena airnya benar-benar dihabiskan oleh Budi semalam, tapi karena pompa air yang rusak belum diperbaiki. Budi dan Rudi setiap pagi dan sore akan mengiri bak dari air sumur di belakang musala. Penyebabnya adalah uang iuran yang belum bisa Budi kembalikan. Tapi, Rudi sama sekali tidak membuatnya sakit hati dengan kalimat itu.
***
“Pokcoy!”
“Kangkung!!!” perempuan berambut pendek yang dipanggil Pokcoy oleh Kalilah itu lebih mengeluarkan tenaganya saat meneriaki Kalila dengan kangkung.
“Lo ketemu tari lagi, Coy?”
“Emang mau siapa lagi?”
“Gila, Lo! Gue nggak akan telat ke sini, ngapain Lo ke kos Gue jam tiga pagi?”
“Lo kapan berhenti kepo kenapa Gue ke kos Lo jam tiga pagi? Sejak kita masih semester tiga juga Gue begitu, kan?”
“Iya, sih. Maksud Gue gila aja Lo masih nggak berubah sampai sekarang,”
“Gue udah beliin Lo bubur ayam, makan dulu, sana, Gue mau ngurus finishing touch! Bye, Kangkung sayang!”
“Kalau Lo cowok udah Gue kawinin, Lo, Coy!”
Bubur ayam di meja kantor utama sudah terlihat oleh Kalila. Aromanya sudah menelusup sedikit ke rongga hidungnya. Ia sudah menebak isi di dalam kotak sterofoam itu, jelas bubur; suwiran kulit ayam; kacang goreng; bawang goreng; kuah; dan juga daun bawang yang penuh sampai tumpah-tumpah. Di atas kotak putih itu juga tampak tulisan manis dari sahabatnya itu.
Jangan lupa nanti ambil foto Gue yang cantik, ya, Kung! Love you! – From Seniman Berbakat Chwelita yang Cantik.
Tok! Tok!
“Pokc...ah, Bu Lita sedang di galeri, ada yang bisa saya bantu?” Kalila terbangun dari rasa kebahagiaannya membaca pesan manis dari Pokcoy, atau Chwelita, atau Lita, atau sahabat dekatnya.
“Saya cuma mau tanya, bubur ayam itu beli di mana, ya? Saya barusan mengantar lukisan hadiah dari Prof Agus, pas lewat, saya mencium aroma bubur ayam enak banget,”
“Hah?”
Kalila yang tadi belum sepenuhnya membalikkan badan dari laki-laki di depan pintu kantor utama itu tiba-tiba berbalik dengan wajah geli.
“Bubur ayam ini? Beli di mana? Mas, kayaknya...”
Waktu seolah berhenti. Kalila ikut berhenti. Napasnya normal dan beruntung tidak berhenti seperti saat ia berada di dalam mimpinya setiap malam. Matanya menatap lurus pada seseorang itu, pada bingkai yang menjadikannya sebuah lukisan yang hanya bisa dilihat Kalila sendiri, pada waktu yang seolah sedang berhenti.
“Hmm, jadi, beli di mana? Bubur ayamnya?” laki-laki di depan pintu itu kembali bertanya pada Kalila yang terhenti begitu saja dengan napas dari hidung yang masih bisa dilihat.
“Hah? Oh, ah, apa aku pernah mimpi tentang masa depan, ya?”
Laki-laki itu berdeham.
“Ah, di belakang gedung ini, ada beberapa lapak, pilih yang punya stiker Y-O-L-O besar di gerobaknya.”
“Y-O-L-O? Oke, terima kasih.”
Kalila tidak mengikuti langkah laki-laki itu pergi. Matanya masih terbius bingkai lukisan yang hanya ia yang bisa melihatnya. Sekali lagi ia bertanya pada dirinya apakah ia pernah bermimpi tentang masa depan?
Rahasia
Kalila berjalan-jalan mengelilingi pameran milik sahabatnya sambil sesekali memotret untuk keperluan tulisannya nanti dan keperluan pemuas jiwanya sendiri. Terlalu banyak yang bisa ia potret malah. Bahkan suasana yang khas dengan pameran lukisan dan acara lelang ini mengantarkan Kalila ke lorong terakhir dengan sub judul yang tertera di flye “Rahasia”. Kalila makin bersemangat menemukan karya-karya Lita yang kini hanya memunculkan satu sampai dua objek saja sebagai fokus tapi benar-benar memiliki vibes misterius yang cocok sekali dengan judulnya, rahasia.
Kakinya kini sampai di lukisan-lukisan terakhir yang melalui keterangan adalah hadiah dari kolega Lita. Lita sendiri yang mengatakan bahwa ia juga ingin lukisan koleksinya yang berharga ikut ditunjukkan. Salah satunya lukisan dari kekasih Lita sendiri tentu saja. Lukisan lainnya hanya sebagai kawan pendamping lukisan kekasihnya agar tidak terlihat sangat memnopoli pamerannya. Lukisan penutup di ujung lorong tampak sederhana. Kalila memutuskan sedikit istirahat di ujung sana. Namun tidak seperti biasanya, lukisan terakhir itu tidak ada inisial apa-apa, bahkan juga tidak ada deskripsi di samping lukisan itu.
Guratan luka dari sungai menganga lebar, garis-garis yang ada sangat rapi dan detil, tapi goresan warna yang disapukan acak hampir tidak teratur membuat garis yang rapi dan detil sebelumnya adalah sampah sia-sia. Emosi yang ada adalah ingatan akan kondisi sungai yang memang serupa dengan apa yang ada di jalan Barka sana, jalan paling ujung di kota ini. Barangkali ini pun adalah hasil representasinya. Garis yang rapi dan detil memicu Kala menajamkan matanya, melebarkan kelopak matanya, langit gelap serta bulan diatas sungai menimpa merah di sudut kanan dari bagaskara yang sore, “kegelapan sang juara”, begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan. Lalu pada sebuah padang terbentang di pinggir sungai mengingatkannya pada sesuatu hal yang sengaja ia ingat-ingat untuk melupakannya, sebuah padang rumput hampir gersang dengan banyak sekali debu-debu menguasai udara. Waktu berhenti, segala kehidupan berhenti, tapi Kalila lagi-lagi telah lebih dulu berhenti. Dadanya sesak, ia susah sekali bernapas, kemudian ia mendengar rangkaian nada sangat rumit dan berantakan, apakah suara itu dari dalam sungai pada lukisan?
Kalila tidak kuasa menahan udara yang menekannya, tersungkur lututnya, tidak ada rerumputan yang bisa ia cengkram atau raba, ia semakin sesak, semakin mati, tapi ia mendengar, selalu mendengar meski pandangannya berubah-ubah dari buram ke gelap, dari gelap ke sangat gelap. Tiba-tiba ada yang mencengkram lengan Kalila dengan kuat, mengangkatnya sampai berdiri meski Kalila tetap saja tidak bisa bernapas. Dengan sangat berusaha Kalila membuka mata dan sepasang mata tiba-tiba merasuk begitu saja ke sepasang matanya.
“Hei, kamu kenapa?!”
Selanjutnya adalah gelap dan sangat gelap.
***
“What the hell?!”
Sedikit terdengar Kalila mengumpat melihat terbenamnya matahari dan sungai yang memantulkan cahaya kemerahan di hadapannya. Tidak ada angin di sana, seperti biasa. Juga tidak ada udara yang bisa dihirup, seperti biasa. Kalila menekan dadanya yang sedikit lagi menyerahkan diri dari tidak adanya oksigen yang cukup.
Terdengar nyanyian itu, seperti biasa.
“Shit!”
Kalila menyempatkan diri mengumpat sekali lagi sebelum ia terjatuh ke tanah yang gersang. Tangannya menggapai-gapai udara yang tidak pernah ada selama ia mampir di alam itu. Lalu tiba-tiba...ia mendengar suara yang sangat lambat mengatakan kepadanya tentang sesuatu...tentang lari...tentang...
***
Persis seperti tadi pagi, ia geragapan bangun. Kini ia ada di atas sofa.
“Hei! Kamu baik-baik saja?”
Seorang laki-laki menggenggam tangan Kalila kuat sambil mengatakan banyak hal yang hanya bisa Kalila tangkap beberapa kata saja: Bu Lita, siuman, lari.
“Ssst! Tolong jangan bilang...”
Laki-laki itu terkejut dengan Kalila yang berbicara padanya dengan lurus dan mengintimidasi.
“Jangan bilang...apa?”
“Jangan bilang siapa-siapa. Ini r a h a s i a.”
Genggaman Kalila terlepas dari laki-laki itu dan pingsan lagi. Sambil berusaha memanggil Lita yang sedang menjemput dokter di lantai dasar, laki-laki itu mencari-cari rahasia apa yang harus ia jaga untuk Kalila.
Ah!
Laki-laki itu kemudian mengikat kedua tangan Kalila dengan kain yang ia temukan di kantor Lita sambil mengawasi Kalila siapa tahu ia akan mencekik lehernya sendiri seperti yang ia lihat saat perempuan itu pingsan selama hampir tiga puluh menit.
Lukisan Sungai
“Kung! Bangun! Kangkung! Jangan bikin gue takut dong! Kalilaaaa bangun plissss...”
Perlahan sekali mata Kalila membuka dan langsung mendapati wajah Pokcoy yang sangat panik dan lebih menyeramkan ketimbang saat ia marah.
“Kal? Lo bangun? Syukur syukur... gue kira Lo kena step.”
“Chwe...”
“Jangan manggil nama asli Gue pake nada gitu, dong, Gue takut, Kung. Gimana? Lo butuh apa? Minum? Lo laper? Apa Lo butuh pelukan pacar? Hehehe.”
“Gue mau...Elo diem.”
“Alhamdulillah! Kung, Lo udah nggak apa-apa, Gue yakin udah!”
“Tunggu, lo nggak panggil dokter, kan?”
Ketukan pintu terdengar lalu sebentar masuklah dua orang dari luar.
“Bu Lita, ini dokter sudah datang. Pak dokter, saya permisi dulu.” Sekretaris Pokcoy, Rio, sudah pergi buru-buru setelah mengantar dokter untuk segera menangani para pengunjung pameran karena perhatian atasannya sudah sepenuhnya terpusat pada Kalila yang mendadak pingsan.
Kala menghela napasnya keras-keras, apa daya, sahabatnya itu selalu mengambil keputusannya, tidak bisa tidak.
“Lo di sini aja, dokter udah dateng, okay? Jangan kabur, Gue nggak akan minta resep obat ke dokternya, tenang aja. Semua udah sesuai kriteria Lo kalau Lo dirawat karena sakit, understand?”
Pokcoy, atau lebih pantas dipanggil Bu Lita dalam situasi seperti itu pun pergi entah kemana sementara sang dokter mulai memeriksa tekanan darah serta menanyai Kalila perihal apa yang ia rasakan sebelum dan sesudah pingsan tiga puluh menit yang lalu.
Jawaban yang diberikan seadanya saja, bahkan ia sama sekali tidak bisa mengatakan bahwa ia pingsan karena mimpi menyakitkan dalam malam-malamnya muncul saat ia tidak sedang tidur. Tentu saja Kalila tidak mengatakan ada udara yang berhenti, dada yang sesak akibat tak bisa bernapas, serta perasaan yang yang ia rasakan di dalam mimpi, dan suasana di depan lukisan sungai tersebut.
Dokter pun memberi pernyataan bahwa memang Kalila mengalami tekanan darah rendah dan kelebihan kerja. Sang dokter yang masih muda, pipinya kemerah-merahan secara alami, dan matanya yang tampak tidak terlalu fokus pada apa yang dilihatnya menunjukkan keahliannya yang lain.
“Sebaiknya, kamu jangan memaksa bedagang, Mbak Kalila. Kalau ngantuk, ya tidur. Seperti kalau kita lapar, ya makan. Misalnya lagi kalau takut, ya teriak, entah minta tolong, entah teriak tidak jelas biar nggak takut lagi. Lalu kalau capek, pulang, ke rumah masa kecil, biasanya di sana itu tempat healing paling ampuh. Saya permisi.”
Analisis yang tepat sang dokter menepuk batin Kalila. Selama ini Kalila memang sengaja untuk tidak tidur, meski tetap saja rasa kantuknya tidak bisa ia lawan setiap saat. Serta melawan rasa takutnya terhadap sesuatu yang tidak jelas bentuknya. Ditambah lagi, menolak pulang untuk sekian lama.
Pokcoy kembali dengan rujak pedas level satu dan es teh untuk Kalila. Sembari Kalila makan, Pokcoy hanya menatapnya tanpa berpindah, bertanya-tanya pada dirinya sendiri, orang yang bahkan bisa kuat cuma minum kopi saja tanpa makan selama tiga hari bisa-bisanya pingsan hanya tekanan darah rendah?
“Nggak usah heran liat Gue,”
“Lo emang manusia paling mesti dilestarikan, Kung. Oh, ya, cowok yang nolongin Lo masih di sini, mau ketemu?”
Seseorang menolongnya? Cowok?
“Kenapa hidup Gue tiba-tiba jadi kayak fanfiction gini?”
“Muke Lo kepedean! Tapi emang cowok yang nolongin Lo ganteng, sih,”
Cepat Kalila menandaskan rujaknya. Sambil membawa es teh dalam plastik ia mencari sosok laki-laki yang samar ia ingat sebelum gelap menguasai Kalila dan pingsan tadi. Dan entah kenapa, perasaan yang sama hadir kembali meski udara yang ada tidaklah berhenti. Ragu ia mendekat, tapi kakinya tetap melangkah.
“Hai! Sudah baikan? Kenapa bisa pingsan?”
Bahkan Kalila belum menyapanya.
“Halo? Eh, lho, kok,” Kalila merasa tidak asing dengan laki-laki di hadapannya.
“Panggil aja Rudi. Saya yang tadi tanya bubur ayam, hehe,”
Tidak seperti penampilannya yang rapi, laki-laki bernama Rudi itu tersenyum seperti anak kecil yang ketahuan ibunya membeli mainan alih-alih makanan dengan uang sakunya.
“Gue Kalila,”
“Iya,”
“Apa lo bilang? ‘iya’? Lo kayak udah kenal Gue aja,”
“Eh, bukan gitu. Saya, hmm, maksud saya, oke, Kalila. Maaf, Saya tadi gendong kamu begitu aja,”
“Kenapa minta maaf? Gue mau bilang makasih, kok. Makasih ya udah nolong Gue tadi.”
“Nggak masalah. Kamu udah baikan?”
“Lumayan.”
Entah apa lagi yang ingin dikatakan, ia benar-benar bingung. Sementara sosok di depannya ini begitu asing meski seolah sangat akrab di ruang dan waktu yang berbeda entah di mana dan kapan. Begitu kira-kira intuisi Kalila bilang.
“Kala, rumah kamu di mana?”
“Kala? nama saya Kalila, panggil Kal aja,
“Ah, saya tidak terbiasa memanggil nama seseorang dengan tiga huruf kecuali untuk Budi,”
“Budi? Rudi? Wow! Bisa gitu, ya?”
Kalila kini yang menunjukkan tawanya. Terdengar sedikit ditahan tapi ia memang benar-benar geli. Siapa pun mungkin tidak bisa membaca tawa Kalila atau sedih Kalila.
Rudi mengetik sesuatu di ponselnya. Kalila yang berjalan-jalan di samping Rudi menjadi diam karena takut menganggu kegiatan Rudi.
“Oh, ya, tadi kamu nganter lukisan? Lukisan yang mana?”
“Lukisan terakhir yang di pojok sana,” Rudi berkata enteng masih dengan fokus matanya di layar ponsel serta jarinya mengetik sesuatu.
Deg!
Lukisan sungai itu?
Kalila terdiam.
“Kal, pusing lagi? Mau pingsan lagi?”
Rudi mengalihkan fokusnya secepat kilat dari layar ponsel ke Kalila.
“Lukisan di sana itu?”
“Bener. Di tempat kamu pingsan tadi,”
***
Seorang laki-laki tinggi dan berpakaian rapi itu tampak mencolok di antara pelanggan bubur ayam Mang Sadam. Ia memakan bubur ayam yang tidak pedas sesuai pesanannya itu sambil berkeringat banyak. Namun tidak ada yang tahu laki-laki itu berkeringat karena suara aliran sungai di samping warung Mang Sadam. Suara itu terdengar begitu jelas di telinganya dan mengalahkan ramainya warung bubur ayam.
“Berapa, Mang?”
“Totalnya jadi lima belas ribu, Mas. Mas, alergi sesuatu, ya? bubur yang dipesan tadi nggak pedes, kok masnya keringetan gitu?”
“Saya alergi panas, Mang. Enak banget saya suka buburnya!”
Laki-laki itu pergi meninggalkan uang dua puluh ribu pada Mang Sadam. Kakinya melangkah ke gedung pameran langsung menuju ujung gedung tempat di mana lukisannya berada dan menemukan seorang perempuan tergeletak sedang meronta-ronta sambil memegangi lehernya di sana. Anehnya, mata perempuan itu tertutup dan bergerak sangat cepat.
Description: Namaku Nailus Salsabila, media sosial yang aktif @nailusalsabila (twitter dan instagram).
Novela ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #Pulang 2020
|
Title: Romanticismo
Category: Cerita Pendek
Text:
Mr. Architect and miss secretary
"Jangan sampai orang-orang tahu dulu tentang kita ya?”
“Memangnya kenapa? Kamu malu pacaran sama aku? apa masih mengharap sama anak marketing itu?”
“Kok jadi bawa-bawa Bima sih?” tanya Nadia yang tak habis Satria berpikir sejauh itu dengan melibatkan Bima. "Aku sama dia emang deket, tapi itu dulu."
“Kan aku enggak tahu hubungan kalian sedekat apa dulu, sebelum ada aku.” Satria mengusap mulutnya yang mulai kering karena sejak kemarin ia berjanji tidak akan merokok saat mereka bersama.
"Ya karena memang kami nggak ada hubungan apa-apa, kami memang dekat. Tapi aku nggak pernah punya hubungan lebih dari teman."
"Masa?" tanya Satria dengan penasaran
“Kamu ya, kita baru jadian dua hari terus mau aku pamer ke orang-orang karena aku pacaran sama The most wanted architect yang baru?” Nadia berkata sarkastik, apa salahnya sih menyembunyikan hubungan baru mereka untuk sementara? Toh tidak akan lama lagi orang kantor akan tahu tentang hubungan mereka.
Satria meletakkan kacamata, dia kira dia bisa melanjutkan pekerjaan di apartemennya dengan ditemani Nadia, tanpa menyangka bahwa ini akan menjadi perdebatan pertama mereka.
“Sekarang alasan kamu kenapa? Kalau alasannya memang masuk akal ya aku oke.” Satria mencoba menengahi.
“Alasannya? Jelas karena kamu orang baru. Kamu digilai banyak perempuan genit dan aku nggak mau dianggap mengambil idola mereka. Jelas?” ujar Nadia dengan sedikit tertawa, “aku cuma belum siap untuk cerita ke orang kantor, karena dari dulu aku selalu menghindar jika membahas pasangan.”
“Kamu mau sampai kapan?”
Nadia menggeleng, ia berpikir sembari meminum cola-nya “Dua atau tiga bulan?
“Itu lama banget Nad, kita kapan pacarannya kalau gitu?”
Nadia tertawa “Memangnya ini bukan pacaran? Ini rapat? Kok ya aku minum cola bukan kopi kaya biasanya ya?”
“Kamu jangan kebanyakan kopi.”
“Kok jadi bahas kopi? Sakit kepala nanti kalau aku nggak minum kopi barang secangkir.”
“Kan aku udah mengurangi rokok, kamu kurangin kopi ya?” pinta Satria.
Nadia mengangkat bahunya, ia tahu mungkin berlebihan jika ia sudah meminta lelaki itu untuk berhenti merokok bahkan diawal hubungan mereka. Tetapi minum kopi? Apa ia bisa? Ia sudah pernah namun gagal. “Nggak janji ya?”
Satria tersenyum kemudian mengangguk, menyadari bahwa sekretaris bosnya itu sudah memikat hatinya bahkan sejak mereka pertama kali bertemu empat bulan yang lalu saat ia baru diterima bekerja di kantor.
“Cuma disenyumin? Enggak dikasih apa kek?”
“Kamu mau apa? Mau nikah?”
“Nikah? Ngaco! Terus aku harus resign dari kantor? Sorry, itu cicilan mobil belum lunas pak.”
Satria tertawa. “Terus cicilaannya kurang berapa bulan?”
“Kurang sembilan bulan kayanya.” kata Nadia setelah menghitung dengan jarinya.
“Pas berarti.”
“Pas apanya?”
“Pas, enam bulan lagi kita lamaran dan tiga bulan berikutnya menikah.”
“Enak aja! Tunggu aku jadi bos kamu ya!” ujar Nadia bercanda, justru ia yakin Satria lah yang suatu saat akan menjadi bos di kantor, mengingat perkembangan pria itu.
“Bos aku di kantor? Mana bisa Nad.” ujar Satria sambil memeluk Nadia, “kalau bos di rumah tangga aku sih boleh, asal jangan kerja aja kamu.” lanjutnya sambil mengecup dahi kekasihnya.
"Siap nafkahin ini berarti? Nanti deh ya." Nadia tersenyum Satria memang orang baru dalam hidupnya, tapi ia juga tidak bisa menyangkal perasaannya yang menghangat ketika bersama pria itu. “Tapi bilang ke anak kantor waktu mau nikah aja ya? Biar kaget mereka.” kemudian mereka berdua tertawa bersama.
Best (love) friend
“Kita nggak akan mengerti apa itu cinta sebelum merasakan sakit karenanya. Kalau kau sakit hati sama dia berarti kau memang mencintai dia."
"Jadi?" wanita itu menutup buku yang sedang dibacanya, memilih menatap laki-laki yang sudah dua belas tahun menjadi sahabatnya.
"Nggak usah bohong lah, aku ini tahu kau luar dalam. Ngerti lah aku kalau kau patah hati." ujar lelaki berkacamata yang duduk di depan sang wanita itu dengan yakin.
"Sok tahu kamu. Mana pernah aku cerita soal dia”
"Nggak sok tahu. Memang aku tahu." Kata si pria lagi.
"Buktinya?"
"Tahu nggak, ada kebohongan yang sengaja diucap hanya untuk membuat orang lain bahagia? Macam yang kau katakan."
Kalina tertawa "Aku nggak bohong Dan. Aku nggak kenapa-kenapa."
"Kita udah bersahabat dua belas tahun. Dan selama itu tahu aku kebiasaan kau yang selalu bersikap bahagia."
"Ya memang aku bahagia. Gimana nggak bahagia kalau aku dikelilingi orang yang sayang sama aku."
Ardan mengangguk, "macam aku kan?"
"Ya kau termasuk sih."
"Iyalah. Mana ada yang mau jadi teman orang aneh yang suka cium-cium buku baru macam kau? Cuma aku yang betah." kemudian mereka berdua tertawa.
***
"Cantik nggak?"
"Cantik? Uh, hmm iya cantik deh kayanya."
"Ih, nggak ikhlas kan bilangnya?" gerutu Kalina, seharusnya ia tahu, Ardana tidak akan pernah memujinya cantik sekalipun ia melakukan operasi plastik.
Ardana tersenyum menang. Ia serius mengatakan bahwa Kalina-nya terlihat cantik. Bahkan setiap hari saat mereka bersama. Saat tidak ada orang lain yang akan menganggu waktu mereka seperti saat gadis itu sedang jatuh cinta terhadap pria lain.
"Mau debat soal cantik apa berangkat sekarang ini?" tanya Ardana, ia ingin lebih lama bersama Kalina-nya malam ini.
Kalina mengangguk antusias, memilih melupakan perdebatan mereka dan mulai mengikuti Ardana yang sudah berjalan lebih dulu menuju mobil lelaki itu.
***
"Jadi, ada angin apa kita makan malem di restoran begini?" tanya Kalina saat mereka sedang menunggu pesanan. Kali ini Ardana membawanya ke sebuah restoran mewah.
"Nggak ada apa-apa."
"Terus?"
"Ya udah, kau tak usah banyak omong Kal, cantik-cantik banyak omong ya buat apa?" goda Ardana lalu tertawa.
"Ih, nyebelin."
"Baru tahu? Kemana aja dikau dua belas tahun ini?"
Kalina mengerucutkan bibirnya, sementara Ardana tertawa melihat gadis yang juga sudah dua belas tahun juga ia cintai. Ya, ia Ardana mencintai Kalina, bahkan tanpa gadis itu menyadarinya.
Mungkin semua orang di dunia ini bisa mengetahui bagaimana ia mencintai Kalina, selalu berusaha menjadi apapun yang dibutuhkan gadis itu- dari supir hingga tukang cuci piring hanya karena gadis suka memasak saat mereka bersama.
Jika ada kebohongan paling indah di dunia ini maka kebohongan itu adalah perasaannya sendiri, perasaan yang mungkin akan ia simpan hingga gadis itu berhenti mencari orang lain untuk berhenti lalu melihatnya, melihat dirinya sebagai seorang pria yang mencintai dengan sepenuh hati untuknya.
Kebebasan
Kebebasan.
Sebuah kata yang mampu membuat seseorang menutup mata dan berpikir sejenak.
Sudah bebaskah dia?
Bagiku, kebebasan bukan hanya sekedar kata yang banyak terdengar kala negara ini merayakan hari kemerdekaannya, bukan juga sebuah pengakuan bahwa dalam hidup ini, kita harus bisa merasakan kebebasan berpikir, berpendapat atau bebas ketika memilih jalan mana yang akan kita pilih untuk masa depan.
***
Aku ingat pertemuan pertama kita; 17 agustus 2011, ketika aku yang masih merintis karir sebagai jurnalis salah satu harian terbesar Ibukota ditugaskan untuk membuat laporan jalannya upacara peringatan kemerdekaan di Istana Merdeka- istana yang menjadi saksi bisu dari kegagahan negeri ini.
"Yas, itu orang merhatiin lo banget dari tadi kaya nggak pernah lihat jurnalis." gerutu Dinar, rekan kerja satu timku.
"Mungkin emang baru lihat ada jurnalis cewek yang pakai kebaya secantik gue kali ya." candaku.
"Serius ih, becanda mulu. Kok lo bisa gitu ya lolos dari tes kantor yang susahnya berasa tes jadi amtenar."
Aku tertawa lirih saat itu, memilih melihat rangkaian acara pengibaran bendera ketimbang melihat kamu yang masih menatapku.
***
Aku tahu, ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kebebasan. Harga yang mungkin akan kamu sesali nanti saat tahu bahwa pilihanmu ternyata salah.
Kamu ingat? Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam saat kita bertemu untuk ketiga puluh kalinya, ketika kamu dengan matap memintaku untuk bekerja sama denganmu dalam sebuah ikatan yang bukan hanya tercatat di kantor urusan agama, namun juga tercatat di tangan Tuhan. Dua puluh bulan sejak peringatan kemerdekaan negeri ini yang ke 66 saat akhirnya aku memtuskan untuk melepas kebebasanku untuk menikah denganmu.
"Jadi?" ia menyerahkan cincin emas sederhana dengan satu permata berukuran kecil sebagai hiasannya.
"Yes, I do." jawabku.
"Kamu nggak minder kan dengan status keluargaku?"
Aku mengangkat bahu singkat "Jadi menantu seorang anggota dewan dan keluarga yang bergelut di partai politik itu susah nggak? Tapi untung sekarang aku pindah ke bagian kebudayaan. Bukan politik." kataku, mengingat dia adalah anak dari seorang anggota parlemen seeta partai politik negeri ini.
"Mungkin berat awalnya, tapi aku percaya kamu akan terbiasa dengan suasana politik di keluargaku."
Lalu aku mengangguk, memilih percaya padamu dan segala yang kamu katakan dan anggukan yang sama aku juga mempercayakan masa depanku padamu.
***
Jika saat itu aku memilihmu dan menukar kebebasanku dengan hidup bersamamu, maka kini aku yang harus memintamu untuk memilih; aku atau kebebasanmu.
"Kenapa?"
"Aku rasa dulu kita terlalu cepat memutuskan untuk menikah." katamu. "Mungkin aku yang terlalu naif saat meminta kamu untuk menjadi istriku."
"Lalu? Sekarang kamu baru sadar kalau kamu salah memilihku untuk menjadi istri selama tiga puluh bulan ini?" tanyaku.
"Bukan begitu." ujarnya cepat. "Aku hanya merasa kalau cinta kita tidak seperti dulu."
"Memang cinta punya tanggal kedaluwarsa?" tanyaku skeptis.
"Bukan. Aku cuma.."
"Cuma sudah jatuh cinta sama orang lain?"
"Yasmin.."
"Kamu jatuh cinta lagi kan? Jatuh cinta sama Dian, sekretaris baru ayah?"
"Yasmin, aku.."
"Aku tahu, bahkan sejak kita bertiga pertama kali bertemu di rumah orang tua kamu. Aku tahu pandangan kamu berbeda kepadanya." Aku mengungkapkan semua yang menjadi pikiranku delapan bulan belakangan.
Kami berdua terdiam, sementara di seberang kamar kami ada sosok mungil yang tumbuh dan hidup dari ungkapan cinta kami sedang terlelap sambil memeluk boneka panda kesayangannya.
Jika dulu kami mempertaruhkan kebebasan dan masa muda untuk berjanji bahwa kami akan menjalani hidup bersama, akankah kini kami menukarnya kembali hanya demi kebebasan?
Kebebasan yang mungkin akan kami sesali.
Nasi Padang
“Enak ya ternayata nikah itu.”
Aku menggumam, hampir terlelap di pahanya.
“Coba kamu nggak nunda nikahan kita.”
“Siapa yang nunda?” tanyaku balik.
“Kamu lah, pakai alasan masih patah hati segala.”
“Ya kamu aja orang baru putus udah dilamar.”
“Ya kan kenal udah lama, terus mumpung kamu baru putus sama si monyet ya langsung aja aku lamar.”
“Monyet? Kurang ajar, mantan aku ganteng begitu dibilang monyet.” kataku galak.
“Oh, dia ganteng ya?”
Aku mengangguk, mencoba menggoda laki-laki yang belum genap satu hari menjadi suamiku. “Ganteng banget kek Indra Brugman.”
Tiba-tiba dia mencium bibirku cepat “Tapi untung aku yang berhasil bilang ijab qabul ke ayah.”
Aku tertawa, “iya deh iya yang habis ijab qabul.”. “Thank you.”
“Buat?”
“Ya karena udah nikahin aku.” jawabku, "nggak nyesel kan?"
Dia mengangguk sambil tersenyum. “Iya. Asal dikasih anak laki tiga biji aja.”
“3 biji? Dikiranya punya anak gampang apa.” Kataku “Lagian kita sepakat nggak menunda atau program langsung kan. Masih banyak yang harus kita sepakati.”
Dia mengangguk lagi, "iya, sedikasihnya aja. Anak itu titipan. Kita cuma bisa usaha sambil berdoa."
Aku setuju. Tidak ada yang bisa menandingi kuasa Tuhan di dunia ini. Begitu juga dengan saat ini, tidak ada yang lebih indah dibanding melihat matahari terbenam bersama pasangan. Aku percaya bahwa cinta bisa membuat dunia lebih indah, walaupun tetap dengan cinta kita tidak bisa membeli nasi padang lauk daging rendang ditambah sambal hijau yang tidak ada tandingannya.
“Laper?” tanyanya kemudian.
Aku terkekeh, tidak sadar bahwa perutku bergetar selagi membayangkan nasi padang. “Lagi mikir enak kali ya liat matahari terbenam sambil makan nasi padang.”
“Untung aku orang Padang.” Ujarnya.
“Apa hubungannya?”
Dia tersenyum, membuat senja hari ini semakin indah. “Ngerti lah aku cara masak daging rendang itu biar empuk.”
“Kan harus lama banget itu masaknya. Lagian mana sempet aku dulu pilih lelaki dari Padang atau bukan. Kebetulan kamu laki Padang yang jatuh cinta setengah mati ke aku.”
Alis tebalnya menyatu, melangkapi tawa khasnya yang lebar. “Kali aja dulu kamu pakai santet biar aku ngejar–ngejar kamu.”
“Ih, enggak ya situ aja yang minta nikah cepet." ujarku lalu bangkit “Phuket ramai ya, untuk kita dapet hotel bagus.”
“Iya lah, kan lagi musim kawin.”
“Musim liburan sayang. Jangan musim kawin, berasa jadi Markonah aku.” Kataku, menyebut nama kucing perliharaan di rumah –Markonah. “Cari warung padang ada enggak ya?”
“Buat apa aku ngajak jauh-jauh bulan madu ke Phuket kalau kau masih minta makan di warung Padang? Dikira ini di Jakarta apa yang warung padang ada dimana-mana.” katanya heran. “Kan banyak tempat makan di sini, nanti malam kita cari makan.” katanya masih tak mau beranjak dari tempat kami saat ini; Promthep Cape.
“Nanti malam?”
Dia mengangguk antusias.
“Nunggu matahari terbenam?”
“Enggak.”
“Terus?”
“Nunggu aku makan kamu dulu.”
Luna
Ada sesuatu yang harus dibayar untuk sebuah pengakuan. Setiap manusia pada dasarnya membutuhkan pengakuan agar dirinya bisa diterima oleh orang lain, meskipun itu artinya mereka mengorbankan jati diri mereka sendiri.
Rivandar Mahardika, seorang pria yang terbiasa membungkam dirinya sendiri agar bisa diterima dalam semua hal yang ingin diraihnya yaitu menjadi seorang aktor. Semua gagasan yang pernah terlintas, semua mimpi yang hadir, dan semua cinta yang tumbuh harus ia bunuh demi satu tujuan–Sukses.
“Nggak bisa begitu dong, lo kalau mau ijin minimal seminggu sebelumnya. Bisa-bisa dipecat lo jadi aktor utamanya.” Seseorang berkata dengan nada tergesa pada Rivan.
“Gue capek.”
“Lo ga boleh capek sebelum gue bilang lo harus istirahat.”
Rivan menghela napas panjang, manajernya satu ini memang terkenal galak agar ia tetap menjadi bintang pujaan masyarakat Indonesia. Desta selalu menilai Rivan adalah satu-satunya artis yang dia percaya bisa membuat perubahan di dunia entertain Negara ini. Dunia yang tanpa ampun menjungkir-balikkan hidup siapapun.
“Mau gue cariin cewek?”
“Hah?”
Desta tertawa, “Seorang Rivandar Mahardika yang terkenal selalu menapaki jalan lurus nggak ngerti juga ya soal beginian?”
“Enggak ngerti. Gue capek, bosen, bukan butuh cewek dan belaian.” Ujarnya cepat.
“Bodoh, padahal banyak cewek di luar sana yang mau dan rela berbuat apapun demi dapetin elo.” Desta bergumam.
“Gue denger yang elo bilang.” Rivan menggerutu.
“Bagus kalau lo denger. Berarti elo masih waras dan nggak gila karena banyak cewek yang ngantr buat jadi pacar lo.”
“So?” Rivan menaikkan alisnya, mencoba membuat jengkel manajer sekaligus temannya itu, namun Desta hanya berdecak dan mengalihkan pandangannya ke sinetron yang ia bintangi.
“Lo kayanya harus bikin brewok deh biar makin gagah.”
“Masalah brewok mau lo atur juga? Ogah ya.”
“Biar makin digilai cewek lo. Cewek sekarang lebih suka yang berewokan daripada plontos.”
“Ogah.” Rivan bersikeras, memilih berdiri dan berjalan meninggalkan Desta menuju kamarnya. Ia tahu Desta tidak akan mengganggu masalah kumis dan jenggot dalam beberapa waktu kedepan.
Rivan lelah. Ia sangat lelah.
***
Rivan melangkah cepat, menyusuri lorong panjang yang terbentang di gedung pertunjukan, mengingat dimana ia harus berhenti. Rivan sudah terlambat, semuanya gara-gara manajer gila yang membuatnya harus mengulur waktu dan terlambat untuk pertunjukan ini.
“Maaf, aku terlambat.” ujar Rivan saat memasuki ruang pertunjukan di lantai tiga, ia melihat gadisnya sudah menggerakkan kursi rodanya untuk turun dari panggung. Segera Rivan berlari untuk membantunya.
“Kamu terlambat lagi.” kata sang gadis tersenyum kecil. Jelas ada kekecewaan di wajahnya.
“Maaf, tadi ada adegan tambahan yang harus diambil malam ini.”
“Pertunjukannya sudah selesai. Aku capek, mau pulang. Kamu balik aja.”
“Maaf.”
Sang gadis-Luna tersenyum, “Aku kecewa, tapi nggak pa-pa, banyak yang bantuin aku buat nyiapin pertunjukan ini.”
“Maaf.”
“Sudah. Ayo pulang.”
Reflek Rivan memeluk gadis berkursi roda itu, menyandarkan badannya yang tegap pada gadis rapuh yang hampir bisa dipastikan tidak akan bisa berjalan seperti orang normal lain. Luna menderika sakit sejak kecil dan menyebabkan kakinya tidak bisa digerakkan dengan normal. Luna adalah orang yang paling berjasa untuk karirnya. Luna yang membuatnya tidak berhenti menjadi aktor, Luna yang selalu bisa membuatnya menjadi anak kecil yang haus akan pelukan.
Luna seorang sutradara berbagai pertunjukan seni, kebanyakan karyanya adalah film pendek dan video musik, namun kali ini Luna mencoba membuat sebuah pertunjukan drama musikal yang seluruhnya dibintangi oleh kaum difabel-kaumnya.
“Capek?” tanya Rivan saat mereka berdua sudah berada di mobil Rivan. Ia bersikeras bahwa ia akan mengantarnya pulang sebagai anti telah terlambat ke pertujukan gadis itu.
“Sedikit, tapi aku nggak cappek lari tadi.” jawab Luna sambil terkekeh.
“Aku takut kamu marah.”
“Memangnya aku pernah marah? Rugi Bandar kalau aku marah sama artis terkenal. Nggak ada yang anter pulang sekalian temenin makan bebek goreng nanti.”
“Mau?”
“Boleh?” tanya Luna.
Rivan tertawa. Baginya membuat Luna bahagia adalah hal yang membuatnya bahagia pula. Langsung ia membawa mobilnya menuju warung nasi bebek favorit mereka. Malam tak pernah kelam ketika ia bersama Luna- rembulannya.
Description: Karena beragam cinta selalu punya cerita..
Pilihan editor 1 agustus 2017
Bisa dibaca secara acak, karena setiap bab akan berbeda cerita.
Kumpulan tulisan untuk diikutkan dalam #NulisKilat
|
Title: Rekomendasi aplikasi penambah saldo jajan
Category: Bisnis
Text:
Rekomendasi aplikasi penambah saldo jajan
1.WHAFF
WHAFF adalah aplikasi yang memberikan lo bayaran dengan tugas meng-install dan memainkan aplikasi. Persaingan yang ketat di antara developer aplikasi Andoid memunculkan aplikasi-aplikasi jasa seperti WHAFF. Mereka membutuhkan kerja lo buat naikin rating dan jumlah instalasi aplikasi mereka. Bedanya dari aplikasi sejenis, WHAFF bakal ngasih bayaran yang terus-terusan ngalir selama beberapa hari selama aplikasinya enggak lo uninstall. Soalnya, aplikasi ini ngasih lo reward per hari atas aplikasi yang udah lo install,
Lo mesti ngikutin rules agar dana yang lo terima bisa dicairkan. Salah satunya, satu handphone hanya untuk satu akun WHAFF. Pembayaran yang lo terima bisa ditarik melalui PayPal dengan minimal saldo 11 dolar. Selain dari tugas, kalau lo bisa ngajak teman lo buat install dan menggunakan WHAFF, lo juga akan dapat bayaran. Namun, jangan lupa, teman lo harus masukin unique code punya lo agar terdeteksi.
Langkah pertama, lo cukup log inmenggunakan akun Facebook. Setelah terdaftar dan memiliki akun WHAFF, lo langsung dapat 0,3 dolar. Bayaran di WHAFF terbilang paling besar di antara kompetitornya. Di bagian total rank, lo bisa lihat orang-orang yang mendapatkan bayaran puluhan sampai ratusan juta. Kalau lo ragu dan takut ini scam, lo bisa cek di Playstore bahwa aplikasi ini udah di-installoleh 5 juta lebih pengguna.
2. Make Money
Cuma nonton video dapat bayaran? Siapa, sih, yang enggak mau? Di Make Money, lo bisa dapatin penghasilan cuma dari nonton video iklan dan install aplikasi. Poin per aplikasi bisa berbeda-beda, mulai dari yang 100 poin hingga 1.000 poin. Tinggal pintar-pintarnya lo memilih aplikasi dengan poin terbesar.
Aplikasi ini adalah buatan Free International Calls App Ltd. London yang bergerak di dua bidang sekaligus, yaitu aktivitas telekomunikasi nirkabel dan agensi periklanan. Aplikasi ini sebenarnya adalah aplikasi periklanan yang bertujuan mempromosikan aplikasi dari berbagai pengembang. Lo bisa narik bayaran ke PayPal ketika saldo lo udah mencapai minimal 5 dolar.
3. Foap
Apakah lo orang yang suka dengan dunia fotografi? Atau, lo masih fotografer amatiran yang biasa ngunggah karya di media sosial? sekarang lo bisa cari duit dari karya-karya lo melalui Foap.
Unggah foto di media sosial sangat rentan dengan pencurian foto. Hal itu terjadi karena karya lo enggak dilindungi hak cipta. Selain enggak aman, lo juga enggak mendapatkan penghasilan dari pengembang aplikasi media sosial. Nah, lain cerita kalau lo ngunggah karya foto lo ke Foap. Setelah disetujui, lo akan dapat bayaran paling kecil 5 dolar untuk satu foto. Semakin berkualitas dan bagus karya lo, semakin tinggi juga bayaran yang lo dapat dari Foap.
4. MintCoin
Aplikasi ini memberikan bayaran yang berbeda-beda sesuai dengan tugas yang harus lo kerjakan. Tugasnya enggak susah, lo cuma harus nonton sebuah video yang udah disediakan. Tugas lain yang biasa diberikan MintCoins adalah meng-installaplikasi tertentu. Terkadang, ada juga tugas yang butuh waktu dan butuh sedikit mikir seperti ngisi survei.
Bayaran yang lo terima setelah mengerjakan tugas bisa lo tarik dengan PayPal. Minimal payout-nya cuma 1 dolar, loh. Jadi, kalau lagi kepepet banget tapi saldo lo belum banyak-banyak amat, lo bisa aja langsung tarik ke rekening.
5. AppTrailers
Suka nontonin cuplikan film di YouTube? Ternyata, ada aplikasi yang mau ngebayar lo buat melakukan hobi lo. AppTrailers adalah aplikasi yang bakal membayar lo buat nontonin video-video dengan durasi yang singkat.
Besaran bayaran yang lo dapat bergantung pada lama durasi video yang lo tonton. Semakin lama durasinya, semakin besar juga bayaran yang lo dapat. Apa lagi, sih, yang lebih di dunia ini dibandingin hobi yang dibayar?
6. Iconzoomer
Iconzoomer memberikan lo reward berupa bayaran uang untuk tugas yang berbeda-beda. Contohnya adalah dengan mengunggah foto serta memberikan penilaian dan saran terhadap produk-produk yang telah ditetapkan.
Upah yang lo terima untuk unggahan foto yang lolos kriteria Iconzoomer adalah sebesar 0,5 euro. Sedangkan, untuk reviewproduk, lo bisa dapat lebih dari nominal tersebut. Pembayaran yang lo terima bisa ditarik melalui PayPal.
***♥️♥️
Aplikasi-aplikasi di atas nyajiin berbagai macam pilihan tugas. Ada yang meminta lo buat nonton video, ngisi survei, dan lain-lain. Namun, rata-rata aplikasi penghasil uang yang udah disebut membutuhkan akun PayPal. Nah, dari enam aplikasi Android di atas, lo mau coba cari uang jajan di aplikasi yang mana?
??
Description: aplikasi jajan
|
Title: Reylan Di dan Tongkat Nigrum
Category: Fantasi
Text:
Prolog
Kejadian-kejadian aneh sering terjadi di seluruh dunia; kapal-kapal dan pesawat yang hilang di lautan, keajaiban alam di luar sains, kota besar yang tiba-tiba saja lenyap dalam satu malam, dan masih banyak lagi.
Banyak yang menghubungkannya dengan hal-hal gaib karena tak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Tapi bagaimana jika sebenarnya ada seseorang atau kelompok yang menyebabkan hal tersebut?
Ini adalah rahasia dunia yang tak pernah seorang pun tahu. Bahwa sebenarnya ada dunia lain yang terhubung dengan dunia kita, dunia yang indah dan menakjubkan.
Dua Saudara Yang Ditinggalkan
Nyonya Wendy tinggal di distrik perumahan, tidak jauh dari sana, Sungai Brantas mengalir. Lingkungannya tenang sehingga cocok untuknya yang seorang pensiunan guru.
Sudah lama suaminya meninggal dan anak-anaknya hidup terpisah di kota lain. Nyonya Wendy di kenal ramah di lingkungannya dan ditambah dengan wajah oval serta mata bersahabat, tak ada seorang pun yang membencinya.
Tinggal sendirian sebagai pensiunan, hidup Nyonya Wendy cukuplah sederhana. Dia selalu melakukan rutinitas yang sama setiap kali. Bahkan ia sempat mengeluh pada anaknya bahwa hidupnya membosankan.
Tapi memang begitulah, ia pun juga menyadari, di usianya yang menginjak kepala enam, semua kegiatan yang menantang tidak lagi bisa dilakukan sesuka hati. Contohnya mendaki gunung. Nyonya Wendy selain menjadi guru, dia juga seorang aktivis lingkungan yang sering naik turun dan menaklukkan setiap gunung di pulau Jawa—itu sebelum seseorang benar-benar membuatnya sadar bahwa staminanya tidak lagi seperti dulu.
Lalu di sinilah dia sekarang, duduk bersantai menghadap Sungai Brantas yang mengalir deras. Di seberang sungai, Taman Brantas yang belum lama ini dibuka penuh dengan kerumunan orang. Ah, ada juga sepasang kekasih di sana!
Dia benar-benar menginginkan masa mudanya kembali.
Nyonya Wendy sedang membawa dua kantong sampah saat ia melihat dua orang berpakaian aneh berlarian di jalan. Mereka memakai jaket kulit dan jubah hijau, membawa busur panah serta pedang di pinggang masing-masing. Apakah mereka terlambat datang ke parade? Tapi, seingat Nyonya Wendy, tidak ada parade yang di adakan hari ini di Kota Kediri. "Apakah aku melupakan sesuatu yang penting?"
Nyonya Wendy hendak bertanya ketika ia melihat mereka berpaling ke arahnya dengan tergesa-gesa. Oh, dua orang ini benar-benar....! Nyonya Wendy tak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya, dia terkagum dengan pria dan wanita di depannya. Yang satu tampan luar biasa, dan yang lainnya cantik memesona.
Setelah memperhatikan dengan seksama, ternyata dua orang itu masing-masing mendekap seorang bayi dibalut kain tebal yang tertidur lelap. Mereka mendekat ke arahnya, Nyonya Wendy bisa mendengar si pria menggumamkan sesuatu. "Aiz Westluning," sembari ia menyerahkan bayi di dekapannya dengan perlahan dan penuh keengganan pada Nyonya Wendy.
Bahasa yang tidak diketahui dari mana asalnya itu membuat Nyonya Wendy bingung. Itu masih belum seberapa, yang paling membingungkan adalah kenapa si laki-laki menyerahkan bayi yang didekapnya. Nyonya Wendy hampir melontarkan pertanyaan, tetapi sebelum dia melakukannya si laki-laki kembali bicara, "Tolong, rawatlah anak-anak kami. Dan jaga mereka sampai mereka cukup umur untuk kembali—kami tau Anda adalah orang yang baik."
Nyonya Wendy masing linglung ketika ia secara tidak sadar menerima bayi itu dan mendekapnya. Dia mengintip wajah bayi yang sedang tertidur lelap dan terkagum, "Betapa anak yang tampan."
Pandangan Nyonya Wendy beralih dan dia kembali menatap pasangan itu. Kali ini giliran si wanita yang menyerahkan bayi di dekapannya—air matanya terjatuh. Nyonya Wendy, yang mungkin masih belum sadar, menyesuaikan diri dan menerima bayi yang satu lagi—ia dalam kesulitan karena usianya yang tak lagi muda, semakin sulit untuk melakukan hal-hal bahkan hanya untuk menggendong dua bayi.
Saat itulah Nyonya Wendy mendengar teriakan nyaring dari kejauhan, "Seir! Da seirne!" Ada orang-orang yang berpakaian sama anehnya dengan dua di depan Nyonya Wendy. Mereka menunjuk ke arah Nyonya Wendy seolah melihat pencuri. Orang-orang itu berlarian dan menhunuskan pedang—untunglah di sini sepi, tetangganya yang sama-sama pensiunan sedang berkunjung ke rumah anak mereka, jika tidak maka keributan mungkin terjadi. Tunggu, itu pedang asli! Nyonya Wendy menyadarinya saat ia mendengar gesekan besi.
Kerutan yang ada di wajah tuanya semakin dalam saat ia mulai cemas. Hal yang sama juga terjadi dengan dua orang di depannya. Mereka melirik ke arah dua bayi di dekapan Nyonya Wendy sekali lagi sebelum benar-benar berlari menjauh dengan sangat cepat—hampir seperti melayang.
Nyonya Wendy terbelalak saat dia melihat dengan matanya sendiri pasangan itu menghilang ke dalam Pohon Beringin. Tangan tua Nyonya Wendy gemetar tak terkendali, hampir menjatuhkan dua bayi di dekapannya, tetapi ia berusaha tetap tenang agar tidak menarik perhatian kerumunan orang yang berlari semakin dekat ke arahnya.
Kerumunan yang menghunuskan pedang itu melirik Nyonya Wendy sebentar sebelum mereka akhirnya hanya lewat, tak melakukan apa-apa pada Nyonya Wendy.
Dengan kakinya yang hampir lemas, dan tenaga yang tersisa, Nyonya Wendy berjalan ke dalam rumahnya. Dia melirik Pohon Beringin besar di pinggir jalan, satu-persatu orang-orang aneh itu juga menghilang ke dalam pohon.
***
Nyonya Wendy meletakkan dua bayi itu di keranjang bayi. Kebetulan, dia memiliki dua cucu yang juga masih bayi. Dia dengan hati-hati melepas balutan kain agar tidak membangunkan bayinya. Lalu dia mendapati bahwa di masing-masing kain itu terdapat tulisan yang di sulam dari benang emas.
Kain milik bayi laki-laki bertuliskan Reylan Di, sedangkan kain milik bayi perempuan bertuliskan Sherisa Di. Nyonya Wendy baru menyadari kalau ternyata kain yang membungkus bayi-bayi itu sangat lembut dan hangat, tetapi yang aneh dia tidak menyadari bahan dari kain itu. Itu jelas bukan sutra, meski lembut tapi sutra tidak bisa dijahit hingga sangat tebal. Bahan kain juga bukan benang wool, karena sangat lembut.
Terlepas dari apa pun dan siapa sebenarnya dua orang yang menyerahkan bayi-bayi itu, Nyonya Wendy akan tetap merawat dan membesarkan bayi titipan mereka hingga dewasa—tidak, hingga cukup umur untuk 'kembali'.
Description: Reylan hidup bersama adiknya di rumah keluarga mereka. Rumah itu adalah warisan, karena sebenarnya mereka bahkan tidak mengetahui wajah orangtua mereka. Wali mereka adalah wanita paruh baya yang mendekati akhir hidupnya, dia adalah perempuan yang lembut. Tak berselang lama sebelum nyonya Wendy juga meninggalkan mereka.
Di tengah kesedihan dua saudara, sebuah kotak tiba-tiba datang pada mereka. Kotak itu berisi tongkat hitam, yang akan membawa Reylan dan adiknya ke dunia yang sama sekali baru.
Rahasia-rahasia akan terungkap dan pertanyaan Reylan selama ini akan terjawab. Petualangan di dunia baru menunggunya..... jika ia dapat bertahan.
|
Title: RAINA
Category: True Story
Text:
Prolog
Selamat Membaca
***
Tahun 2005
Ting ting ting!
Bunyi bel kembali berdering dan menggema ke segala penjuru sekolah. Itu adalah bunyi terakhir dari bel sekolah yang menandakan jika waktu pulang telah datang. Salah satu bunyi bel yang paling disukai dan ditunggu-tunggu oleh anak-anak satu sekolah.
Seorang gadis kecil dengan rambut panjang yang dikuncir satu, tampak berlarian mengikuti anak-anak lainnya untuk sampai ke gerbang sekolah.
Setibanya di sisi gerbang sekolah, gadis kecil itu langsung disambut dengan pelukan hangat oleh seorang wanita parubaya. Wanita yang telah menua dengan keriput yang menghiasi wajahnya.
“Bagaimana sekolahnya hari ini, Raina,” tanya wanita itu dengan lembut.
“Hari ini Raina belajar menghitung dan membaca. Raina seneng banget.” Raina menimpali dengan mata yang berbinar-binar riang.
Terasa perih hati Ida mendengar suara mungil anaknya yang belum mengerti banyak hal. Kebahagiaan yang Raina dapatkan saat ini. Apakah akan terus berlanjut sampai ia tamat sekolah nanti? Entahlah. Jangankan untuk biaya sekolah. Untuk makan sehari-hari saja rasanya sangat sulit.
Namun, demi Raina. Apa pun akan mereka lakukan agar anaknya bisa bersekolah dan merasakan pendidikan sekolah itu sendiri. Dengan begitu, mereka harus berbesar hati kerja keras banting tulang untuk memenuhi keinginan dan mimpi kecil dari putrinya.
“Emak Ida.” Terdengar sebuah suara yang memanggil namanya. Ida yang saat itu sedang termenung memikirkan nasib sang bungsu. Akhirnya lamuan itu menjadi buyar juga. Lantas, ia pun mendongkak ke atas dan mendapati sosok wanita tengah berdiri di hadapannya.
“Eh, Ibu Sofia,” ucap Ida seraya bangkit dari posisi jongkoknya.
“Lagi jemput Raina, ya?”
“Iya,” jawab Ida sembari menggenggam jemari kecil putrinya dengan erat. “Oh, ya Bu. Bagaimana dengan Raina saat di sekolah?” sambungnya.
“Emak tenang saja. Raina adalah anak yang sangat pintar dan penurut,” jawab Sofia seraya memandang wajah Raina dengan mengulum senyum di bibirnya.
“Syukurlah.” Ida tampak lega mendengar karakter Raina yang baik di mata Sofia, wali kelas sekaligus tetangga samping rumah mereka.
“Oh, ya, Mak. Ada yang ingin saya bicarakan pada Emak dan Bapak. Saya harap kalian bisa ke rumah saya nanti siang.”
“Kira-kira ada apa, ya, Bu?” tanya Ida ingin tahu.
“Ada hal penting yang ingin saya bicarakan pada Emak dan Bapak mengenai Raina. Untuk lebih jelasnya, kalian bisa datang ke rumah saya. Saya ingin menyampaikannya secara langsung pada kalian berdua selaku orang tua Raina.”
“Baiklah, kami akan datang, Bu.”
“Kalau begitu, saya tunggu di rumah, ya, Mak. Assalamu’alaikum,” pungkas Sofia dengan memberikan salam sebagai tanda perpisahan mereka.
“Wa’alaikumussalaam,” balas Ida yang kemudian langsung melenggang pergi membawa putri kecilnya pulang ke rumah mereka.
Tentang hal penting apa yang ingin dibicarakan oleh Sofia pada Ida? Apakah Raina bisa meneruskan pendidikannya dalam keterbatasan ekonomi yang menghimpit keluarganya?
***
Dont forget for vote and comment
1. Orang Tua Angkat
*Selamat Membaca*
***
Raina Syafeera Amanina, sebuah nama yang begitu berarti bagi Ida dan suaminya, Yusuf Ammar. Penyambung jiwa dan penyalur kasih sayang bagi mereka. Di usia keduanya yang nyaris menjelang senja.
Suaminya hanyalah seorang pedagang kaki lima yang menjajakan kolak dan bubur kacang hijau di pinggir jalan. Sementara dirinya seorang Ibu rumah tangga yang juga ikut mencari upah menjadi buruh, membantu tetangga, memotong sayuran yang akan dijual menjadi nasi pecel.
Meskipun begitu, Mereka tak pernah peduli walau harus bekerja keras siang dan malam hanya untuk menyekolahkan anak bungsunya yang masih berusia enam tahun tersebut.
“Silahkan duduk dulu,” ucap Sofia mengajak ketiga tamunya untuk duduk.
Dengan rendah hati Yusuf beserta istri dan anaknya pun duduk di atas sofa. Sebagai seorang tuan rumah yang baik. Tak lupa pula bagi Sofia untuk menjamu tamunya dengan menyiapkan makanan dan minuman ringan.
“Sebelum berbincang lebih jauh. Saya ingin memperkenalkan mereka pada Emak dan Bapak. Begitu juga sebaliknya. Supaya komunikasi yang terjalin di antara kita bisa nyambung,” kata Sofia yang langsung disambut seulas senyum oleh sepasang anak muda itu. Mereka tengah duduk di sofa yang berseberangan dengan tempat duduk Raina dan orang tuanya.
“Perkenalkan mereka adalah Akram Hidayatullah dan Laura Emilia.” Sofia menunjuk pada kedua sepasang anak muda itu secara bergantian. “Kalian bisa menyampaikan apa yang menjadi keinginan kalian pada orang tua Raina,” sambung Sofia mempersilahkan kedua tamunya untuk memberikan alasan di balik pertemuan mereka hari ini.
“Saya memiliki nazar. Jika saya diterima di sebuah perusahaan yang saya tuju. Maka, saya akan mengadopsi dan menyekolahkan anak yatim piatu yang tidak mampu di sekolah sampai, tempat Bu Sofia mengajar. Saya akan membiayai sekolahnya sampai lulus kuliah. Dan, Ibu Sofia sudah menyarankan saya untuk mengadopsi Raina saja. Apakah Bapak dan Emak bersedia agar Raina, kami diadopsi?” pungkas Akram langsung pada titik permasalahan.
Kedua orang tua Raina tampak saling memandang satu sama lain. Ada sinar harapan yang terlihat jelas dalam manik mata kedua baya itu. Jujur saja, mereka sangat senang, saat mengetahui ada orang yang berbaik hati ingin menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang sarjana. Kesempatan bagus yang tak mungkin untuk disia-sakan.
“Bagaimana kami bisa menolaknya? Jujur saja, kami sangat senang, jika ada seseorang yang baik hati membantu kami untuk menyekolahkan Raina sampai ke jenjang yang lebih tinggi lagi,” ucap Yusuf seraya mengelus rambut Raina yang panjang.
Hening sejenak di antara mereka.
Sebelumnya, mereka sempat meraa putus asa untuk Raina. Jika mereka tak bisa menyekolahkan anaknya karena terkendala biaya. Karena penghasilan menjadi pedagang kaki lima dan buruh memotong sayur itu tidaklah seberapa. Sementara kebutuhan untuk sekolah itu sungguh banyak dan begitu besar.
“Jika kalian setuju agar Raina diadopsi dan disekolahkan. Sebagai tanda keseriusan kami pada Raina. Saya akan membawanya ke pasar untuk membeli semua peralatan sekolahnya dengan yang baru,” tandas Akram kemudian.
“Terima kasih, Nak Akram, Nak Laura dan Bu Sofia. Entah bagaimana kami bisa membalas semua kebaikan kalian kepada kami? Dia adalah tumpuan dan harapan terakhir kami. Semoga saja, kelak dia akan menjadi anak yang sukses,” ujar Yusuf penuh harap.
“Aamiin,” ucap semua orang bersama-sama.
“Saya tidak mengharapkan balasan apa-apa. Karena niat saya memang ingin membantu Bapak dan Emak agar mengurangi beban kalian dalam menyekolahkan Raina. Saya pun percaya dengan Raina. Karena setiap anak itu memiliki potensi untuk menjadi anak yang sukses,” kata Sofia. Setelah itu, ia pun meminta tamunya untuk menyantap makanan dan minuman ringan yang telah ia siapkan.
Raina yang masih kecil hanya memilih untuk berdiam diri saja. Memilih untuk diam bukanlah berarti dia tak tahu apa-apa. Bahkan sejauh yang Raina tahu, kalau Allah telah mengabulkan do’anya dan mengirimkan malaikat yang baik hati untuknya.
***
“Raina, bisa panggil kami Ibu dan Ayah?” tanya Lia sembari menggenggam pundak mungil milik Raina.
Raina bergeming sesaat. Tak berapa lama kemudian, ia pun mulai mengangkat suaranya yang kecil dan memanggil Lia sebagai ibu, sementara Akram sebagai ayahnya.
Lia dan Akram sama-sama tersenyum senang. Mereka memberikan seluruh perhatian dan kasih sayang pada Raina. Bahkan, Raina mereka manjakan seperti anak sendiri.
“Hati-hati, ya, sayang. Ingat! Harus nurut dengan Ayah dan Ibumu. Jadilah anak baik dan jangan menyusahkan mereka,” nasihat Ida pada Raina. Adab harus selalu dijunjung, di mana pun dan dengan siapa kita bersama.
Dengan cepat Raina pun mengangguk. Menandakan jika ia sudah mengerti dengan apa yang diintruksikan oleh emaknya itu. Setelah itu, mereka pun melesat pergi dengan menggunakan motor matic milik kedua orang tua angkatnya.
Setibanya di pasar. Raina diperbolehkan memilih apa pun yang dia suka. Mulai dari peralatan sekolah seperti tas, buku, pensil, penghapus, mistar dan lain-lain. Semuanya baru dan sesuai keinginan Raina sendiri.
“Bagaimana Raina? Apa Raina masih mau membeli sesuatu lagi?” tanya seorang wanita muda yang tak pernah melepaskan pegangan tangannya.
“Iya, Ibu. Ini semua udah cukup kok untuk Raina,” jawab Raina diiringi dengan senyum mungilnya.
“Kalau begitu. Waktunya kita jalan-jalan!” seru wanita itu sambil mengangkat salah satu tangannya ke atas.
Raina terkikih geli, melihat tingkah ibu angkatnya yang begitu antusias untuk jalan-jalan. Setelah itu, mereka pun segera berjalan ke tempat parkir, dimana Akram sedang menunggu di sana.
***
Hari semakin sore. Ketika ufuk senja mulai menampakkan panoramanya yang dibalut gaun jingga keemasan. Pun mentari yang nyaris bersembunyi malu-malu di balik gedung yang menjulang di cakra langit semesta. Meski dengan berat hati, mereka harus mengantar Raina pulang ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang.
Saat mendengar suara klakson dan deru motor dari luar rumahnya. Ida segera berlari keluar untuk menyambut kedatangan Raina dan orang tua angkatnya.
Dengan hati-hati Lia membantu Raina untuk turun dari motor. Tangan mungil Raina masih digengamnya dengan erat dan penuh kasih sayang.
“Maaf, ya, Mak. Kami ngajak Raina jalan-jalan dulu tadi. Jadi, kelamaan ngantar pulangnya,” ucap Lia memberitahu.
“Tidak masalah. Lagi pula, kalian sudah meminta izin sebelum membawa Raina pergi.” Ida tersenyum sambil memandang wajah Raina yang penuh dengan kebahagiaan. Sesuatu yang tak pernah bisa diberikan oleh dia dan suaminya pada Raina.
“Kami pulang dulu, ya, Mak. Soalnya keburu mau maghrib,” kata Akram. Setelah pria itu menegok ke dalam arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Iya. Hati-hati di jalan, ya,” timpal Ida.
“Iya, Mak.”
Sebagai penghormatan untuk orang yang lebih tua. Lantas, mereka mengecup punggung tangan Ida secara bergantian.
“Kapan-kapan. Kita pergi ke pasar malam, ya,” ajak Lia yang sudah seperti sebuah janji bagi Raina.
Raina mengangguk setuju. Lalu, Akram segera naik ke atas motor dengan dibonceng oleh Lia yang duduk menyamping di belakangnya. Selang beberapa saat kemudian, motor itu pun melesat pergi, semakin menjauh dari pandangan dan menghilang di balik persimpangan.
“Raina tadi di ajak ke mana sama Ibu dan Ayah, sayang?” tanya Ida.
Raina pun mendongkakkan kepala.
Senyum yang tak pernah terlihat memudar dari wajah itu. Wajah yang selalu membuat Raina merasa teduh dan bahagia.
“Tadi Raina diajak jalan-jalan ke tempat yang belum pernah kita datangi. Raina sangat senang sekali,” ceritanya pada Ida, “Emak, Raina pengen pergi ke sana lagi sama Emak dan Bapak.”
“Nanti kalau Bapak sama Emak ada uang lebih. Kita pergi ke tempat yang Raina datangi sama Ibu dan Ayah angkat Raina, ya. In syaa Allah,” kata Emak sembari membelai rambut panjang anaknya dengan lembut.
Senyum Raina tampak mengembang. Gadis itu mulai mengikat janji pada dirinya sendiri. Jika suatu saat nanti, Raina akan menjadi orang sukses dan mereka akan pergi ke semua tempat yang belum mereka kunjungi secara bersama-sama.
***
Hanya sedikit yang Raina tak bisa mengerti dari kata diadopsi atau diangkat sebagai anak. Karena menurut nalarnya jika orang tua angkatnya begitu menyayangi Raina dan sudah menganggapnya seperti anak kandung mereka sendiri.
Awalnya Raina berpikir, jika orang tua angkatnya berasal dari keluarga yang cukup berada dan memiliki segalanya. Mereka pasti mempunyai mobil mewah, rumah mewah bagai istana seperti di film-film.
Namun, saat Akram membawa Raina ke rumahnya. Gadis kecil itu tampak sangat terkejut dan terpaku sejenak. Karena ternyata, rumah ayah angkatnya tampak begitu sederhana. Tidak seperti dugaan dan bayangannya selama ini. Tetapi, tetap saja rumah Akram jauh lebih bagus daripada rumahnya yang reot dan sudah tua itu.
“Raina. Ini adalah rumah Ayah. Sejak kecil Ayah tinggal dan dibesarkan di rumah ini. Anggap saja rumah ini sebagai rumahmu sendiri, ya, sayang,” kata Akram dengan lembut.
Raina mengangguk dengan cepat.
“Anak pintar. Sekarang, kita masuk ke dalam, yuk.” Akram masih mengandeng tangan Raina dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Saat itu, Raina benar-benar diliputi dengan perasaan gembira. Ia tampak mengedarkan padangan ke segala penjuru rumah. Rumahnya memang cukup sederhana jika harus dikatakan sebagai sebuah istana.
Namun, ada satu sudut rumah yang membuat Raina terkagum-kagum. Karena banyaknya piala dan piagam penghargaan yang terpajang rapi dalam satu lemari besar. Sepertinya lemari itu memang dikhususkan untuk menyimpan semua penghargaan itu di dalam sana.
Ada satu pemandangan lainnya yang membuat Raina cukup terkejut. Sebuah potret yang terpajang di atas dinding berwarna kuning keemasan. Potret itu menggambarkan seluruh keluarga ayah angkatnya yang masih lengkap. Ada Akram, orang tuanya dan seorang gadis yang tak asing bagi Raina sendiri.
“Itu foto keluarga Ayah, ya?” tanya Raina penasaran.
“Iya. Itu keluarga Ayah. Ini orang tua Ayah, dan ini adik Ayah. Namanya Anggita,” jawab Akram seraya memperkenalkan seluruh keluarganya yang ada di dalam potret besar itu.
Entah dunia ini yang terlalu sempit atau pikiran Raina yang terlalu besar. Karena adik Akram yang bernama Anggita itu, tak lain adalah guru ngajinya sendiri. Raina suka sekali melihat kecantikan yang dimiliki oleh Anggita. Tetapi sayang, guru ngajinya itu terlalu judes dan menakutkan bagi Raina.
“Assalamu’alaikum,” ucap Akram dan Lia secara bergantian.
“Wa’alaikumussalaam,” sahut seorang wanita parubaya. Kemudian, wanita itu keluar dari dalam dapur dan segera menghampiri Raina dan orang tua angkatnya. Saat pandangannya tertuju pada Raina. Ia pun bertanya, “Ini siapa?”
“Dia Raina, Ma. Anak yang Akram dan Lia adopsi,” jawab Akram seraya membelai pucuk kepala Raina dengan lembut.
Mata wanita parubaya itu tampak menyipit. Pertanda jika ia sedang tersenyum saat itu.
“Halo Raina. Aku Anita, Mamanya Akram,” ujar Ani seraya memperkenalkan dirinya pada Raina.
“Kalau dia mamanya Ayah. Berarti dia adalah nenekku,” kata Raina dengan polosnya.
“Ayo duduk dulu. Nenek punya cemilan untukmu.” Anita pergi ke dapur untuk mengambil cemilan yang ia simpan di dalam lemari es.
Lia yang masih menggenggam tangan mungil Raina, mengajak gadis kecil itu untuk duduk di sampingnya. Sementara Akram duduk di sisi Raina yang lain. Jika digambarkan, saat ini Raina duduk tepat di antara Akram dan Lia.
Tiba-tiba papanya Akram juga muncul dan langsung duduk di sofa yang khusus untuk tempat duduk satu orang saja. Sekali lagi, Raina bangkit dan mencium punggung tangan lelaki parubaya itu. Setelah itu, ia pun kembali duduk ke tempatnya semula.
“Kamu udah kenal siapa saya?” tanya lelaki itu dengan ramah.
Raina mengangguk dengan cepat. “Raina tahu. Pasti Kakek adala Papanya Ayah,” jawabnya dengan antusias.
“Kakek?”
“Iya, Kakek. Sama seperti nenek, aku akan memanggilmu Kakek.”
“Dia anak yang ceria dan sedikit cerewet,” gurau Doni mengundang yang lainnya untuk tertawa. “Oh, ya, Raina. Nanti kalau kamu ada pr di sekolah. Kamu bisa datang kemari. Biar nanti diajarin sama Ayahmu, atau Bibimu Anggi, ya.”
Tak lama kemudian, Ani pun datang dengan membawa baki yang berisi cemilan ringan di atasnya.
Sejujurnya, Raina benar-benar merasa begitu banyak mendapatkan limpahan kasih sayang dari keluarga angkatnya ini. Mereka telah menerima kehadiran Raina dengan ramah. Tetapi, tanpa Raina pernah tahu, jika ada sesuatu yang besar sedang menantinya. Sebuah ikatan yang akan ia sesali di kemudian hari.
***
Bersambung
NB : Belum direvisi.
2. Impian Kecil
*Selamat Membaca*
***
Hari demi hari telah berlalu. Seperti yang dikatakan oleh keluarga angkatnya itu, jika Raina memiliki PR dari sekolah. Dia bisa membawanya ke rumah.
Karena alasan itulah, hari ini Raina datang ke rumah Akram untuk mengerjakan PR-nya di sana.
“Assalamu’alaikum,” ucap Raina dengan antusias.
Setelah beberapa menit kemudian, salam Raina baru dibalas, “Wa’alaikumussalaam.”
“Nenek aku ada PR dari Bu guru,” kata Raina yang langsung menghampiri Ani yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
“PR apa?” Ani terlihat acuh. Tanpa melihat pada Raina yang masih berdiri di sampingnya.
“Ibu guru ngasih PR gambar. Nenek bisa ajarin aku menggambar?” tanya Raina.
“Raina, PR menggambar itu sama sekali nggak penting, karena kamu bisa membuatnya sendiri. Buatlah sesuatu yang bisa kamu buat dengan imajinasimu sendiri, kecuali PR matematika. Dan, jangan mengusik Mamaku. Sejak pagi tadi, dia sudah mengerjakan banyak hal. Sebaiknya kamu pulang saja sekarang. Biarkan Mama istirahat,” cetus Anggi dengan tatapan tajam yang selalu membuat Raina takut padanya.
Raina hanya menunduk diam. Dia tak tahu, jika kedatangannya membuat orang lain terusik seperti ini.
“Apa yang dikatakan oleh Anggi benar. Sebaiknya, kamu pulang saja dan mintalah bantuan orang tuamu untuk mengerjakan PR-mu itu. Kami tak punya waktu untuk meladeni-mu.” Perkataan Ani semakin membuat hati Raina sakit.
“Baiklah. Aku akan pulang,” kata Raina dengan lesu.
Akhirnya, Raina pun pulang dengan perasaan sedih hari ini. Padahal, sebelum datang kemari, ia datang dengan harapan yang besar.
***
“Emak!” panggil Raina pada Ida yang masih belum jauh dari rumah keluarga angkatnya.
Saat ini, Akram masih bekerja siang hari. Makanya, Ida-lah yang akan mengantar Raina ke rumah ayah angkatnya itu.
Tetapi, entah apa yang terjadi pada putrinya itu sekarang? Baru saja ia melangkahkan kaki -meninggalkan rumah Akram- mendadak Raina keluar dari rumah keluarga angkatnya itu.
Ida beringsut dan berjongkok di hadapan anaknya. “Raina, kenapa kamu sudah keluar sayang?”
“Emak, Raina mau pulang,” ajak Raina dengan air mata yang berlinangan di tepian netranya.
“Kenapa Raina malah nangis?” Ida menghapus air mata Raina yang mulai meleleh ke area bawah pelipis.
“Raina mau bikin PR menggambar. Emak bisa bantu Raina, kan? Soalnya, mereka nggak bisa menggambar.”
“Oh, jadi anak Emak ini sedih karena mereka nggak bisa membantu Raina mengerjakan PR menggambar? Kenapa Raina harus sedih? Kan, masih ada Emak. Raina tenang saja. Emak akan ajari Raina, bagaimana cara menggambar yang bagus itu,” ujar Ida seraya menyunggingkan senyum di bibirnya.
Raina menahan air matanya untuk jatuh. Kemudian, ia pun menarik kedua sudut bibirnya ke atas, hingga membentuk seulas senyum di sana. Pancaran matanya pun ikut berubah bersama dengan suasan hatinya yang kini membaik.
“Nanti Raina mau menggambar rumah yang bagus untuk Emak."
“Baiklah. Sekarang kita pulang. Emak nggak sabar pengen lihat rumah masa depan Emak!”
Ida kembali bangkit dari posisi jongkokny. Lalu, ia pun menggandeng jemari mungil milik anaknya dengan erat. Setelah itu, Raina pun pulang dan melupakan apa yang baru saja terjadi padanya.
Raina masih terlalu kecil untuk menerima penolakan secara tidak langsung dari keluarga angkatnya itu. Tetapi, berkat Emak. Kesedihan itu telah berganti menjadi sebongkah kebahagiaan yang tak ternilai harganya.
***
Setibanya di rumah, Raina langsung mengeluarkan buku menggambar dan peralatan menggambarnya dari dalam tas. Dengan penuh semangat, ia pun mulai menggores tiap senti dalam buku menggambar itu. Tentu saja, ada Ida yang membantu Raina untuk menyelesaikan tugasnya kali ini.
“Lihat Mak! Rumah Raina sudah selesai,” kata Raina sambil menunjukkan ukiran tangannya dalam buku menggambar itu.
Lukisannya memang tak bisa dikatakan bagus, sebagus lukisan seorang arsitek. Tetapi, bagi Ida, lukisan itu jauh lebih bagus dan menyentuh dari gambar mana pun juga.
“Bagus sekali gambarnya? Anak Emak memang berbakat, ya,” ucap Ida yang sengaja memuji putri kecilnya.
“Iya dong. Raina pengen buatin Emak sama Bapak rumah yang bagus kayak di tv. Rumah dua tingkat, punya kolam renang, ada mobil megah dan semua perelengkapan rumah tangga yang mewah. Do’ain Raina, ya, Mak.”
“Iya sayang. Emak akan selalu mendo’akan Raina. Kalau boleh Mak tahu. Nanti besar Raina mau jadi apa?” tanya Ida penasaran.
“Raina ingin jadi seperti Emak. Menjadi seorang guru yang baik dan lembut seperti Emak.”
“Kok Emak? Seharusnya, kan, Ibu Sofia. Karena Ibu Sofia itu, gurunya Raina di sekolah.”
“Ibu Sofia memang gurunya Raina di sekolah. Tapi, bagi Raina, Emaklah guru Raina di rumah. Raina sayang Emak,” tutur Raina seraya memeluk Ida secara tiba-tiba.
Berdetak hati Ida setelah mendengar penuturan anak bungsungnya ini. Sungguh, tak ada hal yang lebih membanggakan memiliki seorang putri yang teramat mencintainya.
Cita-cita dan tekad yang dimiliki oleh Raina sungguh besar. Dia yakin, Raina akan menjadi wanita yang sukses dan kuat di masa depannya.
“Raina!” Tiba-tiba sebuah suara teriakan terdengar dari luar rumah Raina. Lantas, ia pun melepaskan pelukannya dan segera berlari ke arah pintu depan.
“Halo Raina,” sapa salah seorang gadis yang umurnya sebaya dengan Raina.
“Kalian sudah datang,” kata Raina terlihat sumringah, menyambut kedatangan ketiga sahabatnya yang datang ke rumah.
“Kita jadi main, kan?” tanya Dila.
“Tentu saja dong. Aku mau membereskan peralatan sekolahku dulu. Setelah itu, kita baru main.”
“Oke. Kami akan menunggumu di sini,” kata Fatin, seorang gadis bertubuh gemuk.
Raina pun masuk ke dalam rumahnya kembali. Tanpa menutup pintu dan membiarkan teman-temannya untuk menunggu di luar pintu saja.
“Emak, Raina ijin mau main dulu, ya.” Raina meminta izin pada Ida setelah membereskan buku menggambar dan pensil berwarnanya ke dalam tas.
“Tapi, ingat! Pulangnya jangan terlalu sore, ya.”
“Iya, Mak. Raina main dulu, ya. Assalamu’alaikum,” ucap Raina sambil menyalimi tangan Ida dengan khusyuk.
“Wa’alaikumussalam.”
Raina segera menemui ketiga temannya yang masih menunggu di luar rumah. Setelah itu, tanpa membuang-buang banyak waktu lagi, mereka pun segera melenggang pergi untuk bermain.
Biasanya mereka akan pulang sebelum waktu ashar tiba. Karena ba’da ashar, Raina harus mengaji rutin di musholah dekat rumahnya.
***
Beberapa bulan kemudian,
Raina dan keluarganya mendapatkan undangan untuk menghadiri pernikahan Akram dan Lia yang akan diadakan dalam beberapa hari lagi. Tentu saja, Raina sangat senang. Karena pada akhirnya, orang tuanya akan menikah juga, dan akan menjadi sepasang suami istri yang sebenarnya.
Dengan mengenakan pakaian terbaik yang Raina miliki. Akhirnya, malam itu, mereka pergi ke pesta pernikahan Akram dan Lia dengan menggunakan mobil milik Ibu Sofia.
“Emak, aku mau ketemu sama Ibu dan Ayah. Aku mau menyapa mereka,” ajak Raina seraya menarik tangan Emak untuk mengantarnya menemui orang tua angkatnya.
“Iya, Raina. Mari kita ke sana.” Emak pun menuntun Raina untuk naik ke atas pelaminan.
Sekarang, Raina tengah berdiri di hadapan orang tua angkatnya. Tak lupa gadis kecil itu menyapa mereka dengan senyuman yang selalu mengembang di bibirnya. Matanya terus saja berbinar-binar bahagia. Seakan melihat sepasang Raja dan Ratu bersanding di atas singgasana.
“Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan wa rahmah,” ucap Emak, mendo’akan sepasang pengantin baru itu.
“Terima kasih, Mak,” balas keduanya secara bersamaan.
Setelah memberikan ucapan selamat pada mereka. Emak mengajak anak bungsungya untuk turun dari pelaminan. Padahal, Raina ingin sekali duduk berdampingan bersama orang tua angkatnya.
Seperti Lia, gadis kecil itu ingin memakai gaun indah yang bertaburan Kristal dan mutiara. Yang mana akan berkelap-kelip cantik dipandang mata. Tetapi, Emak malah mengajaknya untuk duduk di bawah.
Sementara itu, keluarga angkatnya terlihat memandang dengan tajam dan menunjukkan ketidak-sukaan mereka pada Raina. Kecuali Akram dan Lia. Mereka tampak tersenyum simpul melihat tingkah laku dari anak angkat mereka.
Kata Emak, “jangan berdiri di sana. Di atas sangat ramai. Nanti mereka merasa terganggu.”
Raina mengangguk paham dan memilih diam. Ia menikmati suara sang biduan yang kembali berdendang di tengah acara yang sedang berlangsung.
***
“Hari ini, Ibu terlihat sangat cantik,” puji Raina setelah acara resepsi pernikahan itu selesai, sebelum pukul sepuluh malam.
“Terima kasih. Raina juga sangat imut,” ucap Lia seraya mencubit pipi Raina dengan gemas.
Raina hanya tersengih, dengan rona wajah yang memerah karena malu.
“Kamu belum juga pulang?”
Raina dan Lia sama-sama menoleh ke arah datangnya suara tersebut. Mendadak wajah ceria Raina berubah saat melihat Ani yang masih lengkap dengan kebaya kuningnya.
Lia segera berdiri dengan cepat. Sementara, tangannya masih menggenggam jemari mungil milik Raina dengan erat. “Mama lihat, hari ini Raina terlihat sangat imut, bukan?” katanya kemudian.
“Pakaiannya terlalu sederhana. Seharusnya, kalau kamu tak punya pakaian datanglah kemari. Kami akan membelikan yang baru untukmu,” ujar Ani.
Selembut apa pun perkataan yang dilontarkan oleh Ani. Tetap saja, terdengar sedikit ketus di telinga Raina. Dan, itu cukup membuat Raina tertunduk diam, menahan rasa sesak. Dia selalu merasa serba salah di hadapan nenek angkatnya ini.
Lia hendak menyahut. Namun, dia kalah cepat.
“Raina, ayo kita pulang sayang. Ibu Sofia dan yang lain udah menunggu di mobil,” ajak Ida yang langsung mengambil alih Raina dari tangan ibu angkatnya. “Kami pulang dulu, ya, Nak,” sambungnya kemudian.
“Hati-hati, ya, Mak.”
“Assalamu’alaikum."
“Wa’alaikumussalam,” balas Ani dan Lia secara bersamaan.
Setelah itu, Emak dan anak itu pun melenggang pergi, menuju ke pelataran parkir, dimana semua orang sedang menunggu mereka, di dalam mobil milik Sofia.
***
Bersambung
Writing : Senin, 7 Oktober 2019
Editing : -
Description: Update : Tergantung Mood
(90% berdasarkan dari sebuah kisah nyata)
Warning!
Siapkan tisu karena akan ada kejutan tak terduga. Menguras air mata dan emosi bagi siapa saja yang membacanya.
****
Hidup dalam keluarga yang penuh keterbatasan sejak kecil. Membuat seorang gadis bernama Raina Syafeera Amanina bermimpi untuk menjadi putri di istana yang megah. Namun, tidak semudah yang dibayangkan. Karena jalan yang harus ditempuh oleh Raina, adalah jalan yang terjal dan penuh liku.
Impiannya hampir terwujud. Kala sebuah keluarga kecil yang cukup berada datang dan mengadopsi Raina untuk mereka sekolahkan hingga ke jenjang sarjana. Malang menimpa gadis itu. Harapan yang awalnya bagai bintang jatuh. Justru berubah menjadi kecewa yang menyakitkan. Sebab keluarga itu tak sanggup memenuhi janji mereka pada Raina.
Tidak sampai di situ saja. Seiring usianya yang beranjak dewasa. Masalah demi masalah datang menghampiri bak rintik hujan menimpa bumi. Bahkan, Raina harus merasakan, bagaimana rasanya kehilangan kedua orang tua di tengah masalah yang terus berdatangan dengan bertubi-tubi.
Air mata, penderitaan, kecewa, amarah dan rasa sakit, menjadi hal yang selalu setia menemani perjalanan hidup seorang Raina.
Apakah mimpi Raina akan terwujud dengan mudah? Atau kebahagiaan, pada akhirnya akan datang dan memberi angin segar bagi hati Raina yang gersang? Dapatkah Raina kembali mendapatkan kasih sayang yang telah hilang dari kedua orang tuanya?
Revisi setelah cerita selesai
|
Title: RUMIYAH (Senja Turun di Kota Samarkand)
Category: Novel
Text:
PROLOG
Hentakan masa mengguncang dunia
Mata kami memandang ke arah Timur
Bau darah dan kematian mulai bergerak
Memberangus setiap sudut tanah
Tak tersisa
Dari satu kekacauan kepada kekacauan yang lain
Menyisakan rasa terkejut dan sedih yang tak berkesudahan
Kami sudah ditaklukkan
***
Sekelompok lelaki menderap kudanya melintasi padang rumput. Di belakang mereka seakan ada badai pasir yang membumbung memenuhi langit. Badai itu berasal dari ribuan pasukan berkuda yang mengikut di belakang pemimpinnya. Lelaki yang berwajah merah, bermata sipit di bawah poni dan topi bulunya. Mereka bergerak menuju Xi Xia untuk menaklukkan suku Tangut.
Di balik penghinaan, kemiskinan, dan kesulitan ada sebuah pelajaran. Itu semua adalah batu asah kehidupan. Sulit belum tentu tak dapat diselesaikan. Dia yakin selama langit masih membentang dan bumi masih dihamparkan, maka Langit Biru (Tengri) akan memberikan kekuasaan pada dirinya. Sang Putra Langit untuk menguasai segalanya dan mencari jalan bagi segala permasalahan yang dihadapi. Berpijak dari hal inilah sang Pemimpin membangun sebuah impian serta idealisme bagi kaumnya.
Pada musim semi, 1206 Masehi. Di sebuah forum Kurultai, mereka sepakat mengangkat lelaki yang bernama Temujin sebagai pemimpin mereka. Mereka bersama berusaha lepas dari kesulitan hidup, berjuang bersama dalam sebuah janji sumpah setia dengan taruhan nyawa dan anak keturunan.
Sosok lelaki yang berumur sekitar tiga puluh tahunan, dalam balutan baju wol kombinasi satin dan bulu binatang, sedang duduk dalam sebuah ritual pengangkatan sebagai pemimpin dari suku-suku yang terserak di daratan Mongolia.
Di tangan Temujin kesetiaan mereka bak emas, jarang, sulit didapatkan, dan mudah hilang. Oleh karena itu, dia meminta setiap anak-anak Mongolia dari para kepala suku ikut bergabung bersamanya, sehingga jika mereka berkhianat, maka anak-anak mereka sebagai tawanannya.
Di Pegunungan Khenti, di puncak tertingginya Burkhan Khaldun, disaksikan oleh sang Tengri, hamparan daratan tanah Mongolia di bawahnya, para shaman, para sanak keluarganya, para pengikutnya, Danau Biru, padang rumput yang menghijau dan segala penghuni stepa, Temujin bersumpah akan menjadikan setiap sudut di bawah langit biru sebagai daerah kekuasaannya. Dia diberi julukan Jenghiz Khan yang berarti Raja dari segala raja.
Dia "berhutang nyawa" pada Burkhan Khaldun, karena telah menjadi tempat persembunyiannya selama tiga hari dari kejaran suku Merkit, dan dia selamat. Suku Merkit hendak membunuhnya karena dendam masa lalu yang pernah dilakukan ayahnya, Yesugei yang telah mengambil paksa ibunya, Hoelun, dari suku Merkit.
Semua gunung dianggapnya keramat, tapi Burkhan Khaldun yang paling dihormatinya.
"Benih dari benihku akan meneladani ini," ucapnya setiap pagi sambil menghadap matahari yang tengah naik, ia mengalungkan ikat pinggangnya di sekeliling leher, membuka topinya, memukuli dadanya, bersujud ke arah matahari sebanyak sembilan kali, lalu berlutut untuk mengolesi tanah dengan lemak binatang dan airag (susu fermentasi beralkohol).
Di Khaldun keramat
Aku adalah seekor kutu
Tapi aku berhasil lolos
Dan nyawaku terselamatkan
Dengan satu kuda
Mengikuti jejak rusa
Membuat tenda dari kulit kayu
Aku mendaki Khaldun
Di Khaldun keramat
Aku adalah seekor burung layang-layang
Tapi aku dilindungi
Temujin memerintah dari ger-nya di Avraga, menata ulang masyarakatnya yang selama ini tenggelam dalam peperangan antar suku. Memimpin mereka melalui jalan untuk lepas dari kehidupan "miskin" yang dihadapi saat bencana kekeringan melanda.
Dia membangun kejayaan bangsa Mongol agar setara dengan negeri-negeri di seberang gurun Gobi dan dibalik pegunungan. Temujin mencari solusi bagi rakyatnya yang buta baca dan tulis dengan mengadopsi tulisan dari suku Naiman yang berdarah Uighur di Qara Khitai.
Dia membuka peluang perdagangan dengan bangsa-bangsa yang lain, walau selama ini selalu dihina sebagai bangsa barbar. Temujin menahan rasa sakit hinaan itu, dan menyusun siasat untuk membalas sang Penghina dengan perang psikologis, mata-mata, ekspedisi pasukan dan penaklukkan. Sasaran pertama mereka adalah suku Tangut, Dinasti Xi Xia di Selatan.
"Panggil para jenderal perang. Persiapkan para prajurit dengan latihan yang intensif. Latih anak-anak mereka untuk siap-siap bergabung dengan pasukan dan menjadi mata-mata. Perjalanan bangsa kita akan sangat berat dan panjang. Kita mulai taklukkan mereka!" titah Sang Jenghiz Khan pada Teb Tengri, sang Shaman kepercayaannya untuk memulai penaklukkannya.
***
Sebelum itu, tahun 1200 Masehi, Al Ad Din Muhammad II putra Tekish, Shah Khawarizm naik tahta. Di dadanya hanya ada sebuah ambisi untuk menegakkan kebijakan ekspansi kepada dinasti-dinasti yang ada di sekeliling Khawarizm. Dinasti Khawarizm didirikan oleh Anush Tigin Garchai, budak bekas Sultan Seljuk yang dijadikan Gubernur di Provinsi Khawarizm. Khawarizm dikuasai oleh Qara Khitai dan bisa disingkirkan sejak Tekish naik menjadi penguasa. Hubungan antara Qara Khitai dan Khawarizm dalam masa-masa kritis. Khawarizm juga memiliki hubungan yang tegang dengan Ghurid.
Dunia Islam yang dikuasai Kekhilafahan Abbasiyyah memiliki pengaruh yang lemah, bahkan Khalifah Al Nashir di Baghdad hanya sebagai simbol formalitas kekuasaan Islam saja. Para dinasti lokal menggila dan saling serang, semakin melemahkan kesatuan, sedangkan di Timur jauh sebuah imperium baru lahir sebagai sang Penakluk. Mereka terlena dalam lautan ambisi dan kesombongan, cikal bakal sebuah keruntuhan imperium yang memiliki keunggulan pada masanya.
Peperangan dimana-mana, masa stabil seakan sebuah kerinduan yang tak kan pernah berbalas. Rakyat kecil yang akan dikorbankan. Di antara cerita pedih itu ada sebuah romansa keindahan menyela di antara penderitaan yang terlukis oleh zaman.
BAB 1 JATUHNYA SAMARKAND
Tahun 1207. Senja turun di kota Samarkand. Tak ada yang sanggup menghalangi sebuah takdir Ilahi atas suatu kaum. Tak ada yang sanggup untuk menghindar jika kalam telah dituliskan dan ketetapan sudah diturunkan. Masa para raja-raja menggigit, yang berarti masa itu para penguasa bak seorang pendaki gunung yang terjal dan berusaha mengigit Al Quran dan As Sunnah dengan gigi-gigi mereka agar tak jatuh dan terabaikan.
Kehidupan yang penuh dengan fitnah, tak sedikit yang tergoda dengan fitnah kekuasaan. Tak sedikit melanggar apa yang digariskan dalam aturan yang telah mereka "gigit" dengan geraham mereka, karena kedua tangannya sibuk berpegangan pada tali dunia untuk mencapai kemahsyuran dan kekuasaan yang fana. Syariat Ilahi banyak yang sudah terabaikan, sedangkan mereka sibuk mengejar dunia dan saling serang.
Sebuah rasa sesak dan sedih menghujam kalbu sosok berjubah putih dengan sorban di atas kepalanya. Dahinya berkerut, alisnya bertaut. Dia berjalan dengan sebilah tongkat di tangannya, sebuah buntalan kain di pundaknya, sepatunya yang berdebu menunjukkan dia melakukan perjalanan yang jauh. Lelaki berjenggot panjang yang sudah beruban itu berwajah teduh.
Si Jubah Putih tak sendiri, ada seorang lelaki yang lebih muda menemani perjalanannya. Dia memakai topi kerucut dan sorban yang dililit di atas kepalanya. Baju gamis mereka berkibar tertiup angin padang rumput. Suasana menjelma menjadi warna tembaga karena sinar matahari yang perlahan masuk ke peraduan. Angin senja membawa bau amis darah yang dari kota Samarkand.
Kedua lelaki itu berjalan menuju sebuah bukit, lalu berdiri mematung di atas tumpukan batu yang membuat jarak pandangnya leluasa ke arah lembah. Di depan matanya sebuah peperangan yang usai, menyisakan puing-puing reruntuhan kota Samarkand. Asap membumbung dari api-api yang masih berkobar. Para prajurit terluka dan mayat-mayat bergelimpangan diangkut satu persatu untuk dikuburkan. Bayangan mereka terlihat bak titik-titik hitam jika dilihat dari arah bukit. Sang Lelaki Tua menghela napas sambil menatap ke langit.
"Katakanlah, "Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".
Setelah mengucapkan sebuah ayat tentang kekuasaan di tangan Allah, lelaki itu menatap nanar ke arah lembah.
"Tuan, apakah kita akan lanjutkan perjalanan menuju kota? Samarkand sudah ditaklukkan, tak mudah jika kita masuk kota malam ini," tanya lelaki yang lebih muda.
"Kita tunggu sampai keadaan lebih kondusif baru kita masuk kota. Sebaiknya kita menginap di hutan lagi malam ini. Syukur-syukur bisa bertemu dengan para pengungsi. Kita bisa bergabung dengan mereka. Sang Shah bukan orang yang tak berbelas kasih. Aku yakin mereka akan mengizinkan para pengungsi untuk kembali ke dalam kota. Saat itu kita bantu mereka. Obati yang sakit, beri makan yang lapar, dan membuka kembali madrasah kita," terang lelaki yang lebih tua.
"Baiklah kalau begitu," jawab lelaki yang lebih muda dengan penuh hormat.
Mereka beranjak dari bukit lalu menuju ke hutan untuk mencari tempat yang aman untuk bermalam.
***
Sebulan sebelum lelaki tua bersorban datang ke Samarkand. Hujan badai salju melanda di lembah Pegunungan Tian Shan. Sepuluh orang berbaju dan bertopi bulu tebal mengendarai kuda-kuda mereka yang sudah terlihat kepayahan menembus salju yang turun dengan lebat. Dua buah gerobak kayu penuh muatan ditarik oleh yak berjalan perlahan di belakang. Mereka menemukan sebuah cekungan gua untuk berlindung dari badai. Salah satu dari mereka terlihat masih sangat muda. Umurnya sekitar sepuluh tahunan.
Mereka menemukan ranting-ranting kayu di dalam gua untuk menyalakan api unggun, lalu duduk berdempetan untuk menghindari dingin yang menggigit. Tak seorang pun dari mereka yang tertidur. Udara dingin di lembah gunung saat salju turun bisa mendatangkan kematian karena hipotermia.
"Jika cuaca membaik siang ini, kita akan teruskan perjalanan. Dalam beberapa hari akan sampai di Khawarizm," terang seseorang yang lebih tua dari mereka kepada lelaki yang berhidung melengkung bak elang, "Jalur yang kita lalui adalah jalur baru, tapi merupakan jalur yang tercepat dibanding melalui gerbang daratan Dzungaria. Apalagi Qara Khitai juga sedang berperang dengan Khawarizm sungguh tidak aman," terang lelaki yang memiliki kumis panjang terpilin.
Orang yang lebih tua dan berkumis itu sebagai penunjuk jalan. Mereka mencarikan jalur alternatif agar cepat sampai ke Khawarizm. Lelaki dewasa yang berhidung elang adalah pemimpin rombongan.
"Terima kasih atas kesedian Anda mengantar kami," ujar sang Pemimpin rombongan.
"Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar perang antara Khawarizm dan Qara Khitai akan meletus. Kalian hati-hati dalam perjalanan. Bisa jadi akan ada para pengungsi yang kehilangan akalnya lalu melakukan perampokan terhadap para pedagang seperti kalian," nasihat sang Penunjuk Jalan Tua.
"Baik," jawab si Pemimpin Rombongan lalu memandang si Anak Kecil, "Makanlah, kau pasti lapar. Sejak pagi aku lihat kau tak makan," lanjut si Hidung Elang.
Si Anak Kecil menggeleng, tapi hanya diam tak bersuara. Wajahnya masih terlihat murung.
"Kau merindukan ibumu?" tanya si Hidung Elang.
Si Anak Kecil mengangguk. Si Hidung Elang tersenyum. Pandangannya lembut menatap anak kecil di sebelahnya.
"Kau harus kuat mulai sekarang. Kau lelaki satu-satunya dalam keluargamu yang terpilih. Makanlah, agar kau tak pingsan di jalan. Jika sampai terjadi apa-apa aku akan membuangmu di jalanan sebagai makanan serigala," tegas si Hidung Elang tersenyum tipis sambil menyodorkan sepotong daging kering.
Si Anak Lelaki langsung mengambil daging itu, lalu dimakan dengan lahap. Dia hanya bisa bergantung pada dirinya sendiri mulai sekarang. Sejak bergabung dengan si Hidung Elang dia bukan lagi anak ibunya. Bahkan nyawanya bukan lagi miliknya, hidup matinya dipegang oleh sang Pemimpin rombongan.
Dia ingat beberapa bulan sebelum mereka berangkat ke Khawarizm, dia dijemput paksa oleh prajurit Mongol dari ger-nya. Setiap anak yang berumur sepuluh tahun semuanya wajib untuk pelatihan sebagai prajurit. Dia menangis sejadi-jadinya saat dipisahkan dari ibunya. Sang Ibu tak berdaya menahan anak lelakinya saat dijemput paksa.
Di kamp pelatihan dia dilatih bak prajurit dengan intensif walau semua dasar memanah, berkuda, mencari jejak dan berburu sudah diajari oleh ayahnya yang sudah tak terdengar lagi kabarnya sejak berangkat berperang ke Selatan melawan Xi Xia. Tak mudah baginya untuk bertahan. Namun, seakan menjadi takdirnya harus ikut melakukan ekspedisi bersama si Hidung Elang ke Barat karena ada sebuah misi rahasia.
Menjelang sore badai salju berhenti total. Si Hidung Elang keluar dari gua, lalu memandang ke langit. Seekor burung elang terbang berputar-putar di langit, lalu turun menukik ke arah si Hidung Elang. Burung predator itu pun mendarat mulus di lengan si Hidung Elang. Dia melihat sebuah bambu kecil terikat tali, lalu diambilnya secarik kulit yang tersimpan di dalam tabung bambu.
[Perang usai. Al Ad Din menang. Sultan sedang dalam perjalanan menuju Samarkand. Rencana sudah kami persiapkan]
Lembaran kulit berisi pesan itu dikirim oleh seseorang yang memata-matai Khawarizm. Si Hidung Elang mengangguk lalu tersenyum. Semua sesuai rencana.
***
Kota Samarkand mulai tenang. Para penduduk yang mengungsi diperkenankan masuk ke kota, walau tak sedikit dari mereka yang kehilangan sanak saudaranya. Tak sedikit juga rumah-rumah mereka hancur berantakan. Peperangan yang kejam telah menorehkan kepedihan yang akan selalu dikenang. Setelah selama ini dikuasai oleh Qara Khitai, mereka memiliki seorang pemimpin baru, Shah Al Ad Din Muhammad II, penguasa Khawarizm.
Satu persatu para pengungsi digiring masuk ke dalam kota dan diperiksa. Seorang perempuan berkerudung compang-camping, dengan sepatu kulit yang robek ujungnya berjalan bersama seorang gadis kecil bermata biru jernih.
Gadis kecil itu memakai kerudung katun pendek yang diikatkan di bawah dagunya. Gamis sepanjang lututnya kumal, bahkan celananya robek di bagian lutut. Raut mukanya tegang dan terlihat khawatir jika sesuatu menimpa mereka saat masuk ke dalam kota. Dia berbaur bersama para pengungsi dengan wajah-wajah kuyu penuh debu mengantri berdiri mengular bergantian masuk ke kota.
Kelompok pengungsi itu tak sendirian masuk ke kota, seorang lelaki tua bersorban putih dengan tongkat di tangannya mengantar mereka, beserta beberapa prajurit Khawarizm yang ditugaskan mengumpulkan kembali para penduduk Samarkand yang lari mengungsi keluar kota.
Seorang penjaga gerbang kota menatap si Lelaki Tua bersorban, lalu sedikit membungkukkan badan memberi hormat.
"Tuan Syeifiddin. Saya mendengar kabar bahwa Anda sudah dua hari yang lalu datang dari Urgench ke Samarkand untuk membantu para korban perang. Saya sangat senang dan merasa terhormat bisa bertemu dengan Anda," sambut sang Pemimpin prajurit.
Lelaki yang dipanggil Tuan Syeifiddin itu pun tertawa kecil.
"Kami datang untuk membantu. Izinkan kami segera masuk, karena para korban perang sudah menunggu pertolongan" ucap Tuan Syeifiddin sambil memberi tangannya menunjuk ke arah para pengungsi yang ada di belakangnya.
"Baik Tuan. Silakan," jawab sang Pemimpin Prajurit lalu mempersilakan rombongan pengungsi yang datang bersama Tuan Syeifiddin masuk ke dalam kota.
Perempuan kumal berkerudung compang camping berjalan cepat-cepat menuju ke tengah kota bersama gadis kecil bermata biru. Kondisi dalam kota tak separah yang diperkirakan, tapi di pinggiran kota kehancuran tak terelakkan. Kota terlihat lengang karena hampir separuh penduduk mati di medan perang yang tertinggal hanya perempuan, anak-anak dan orang tua.
Prajurit Khawarizm lalu lalang, menata kembali kota dan berpatroli. Si Perempuan merasa khawatir jika terjadi sesuatu dengan diri mereka, mengingat mereka hanya seorang perempuan dan seorang anak kecil. Dia khawatir jika para prajurit-prajurit Khawarizm itu akan berlaku kurang ajar pada mereka.
"Ibu, apa kita akan kembali ke rumah?" tanya si Gadis kecil bermata biru sambil berjalan di samping ibunya.
Tangan mereka tak pernah lepas saling bergandeng tangan.
"Ibu saja yang pulang ke rumah. Kau ikut Tuan Syeifiddin ke tempat penampungan pengungsi sementara waktu," jawab ibunya.
"Tapi Bu ...," ucap si Gadis Kecil tak ingin terpisah dari ibunya.
"Ibu akan baik-baik saja," ucap ibu si Gadis Kecil meyakinkan anaknya.
Wajah si Gadis Kecil terlihat tak rela, lalu berhenti berjalan. Tuan Syeifiddin mendengar percakapan mereka, lalu ikut berhenti. Lelaki itu menatap si Gadis bermata biru yang sedang merajuk dengan tatapan penuh tanya.
"Shafiyya, lebih baik kalian langsung ke Madrasah Al Ilm. Biar nanti muridku yang akan memeriksa rumah kalian," sela Tuan Syeifiddin.
"Baiklah jika begitu Tuan. Terima kasih," ucap ibu si Gadis yang bernama Shafiyya dengan wajah cerah.
Si Gadis Kecil pun tersenyum. Lalu menggandeng tangan ibunya lagi menuju ke Madrasah milik Tuan Barka yang saat ini dialihfungsikan sebagai tempat penampungan korban perang dan pengungsi yang sudah tak memiliki sanak saudara.
"Terima kasih Tuan," bisik si Gadis bermata biru pada Tuan Syeifiddin sambil tersenyum manis. Tuan Syeifiddin membalas dengan senyuman, lalu melanjutkan langkahnya.
Si Gadis kecil teringat pada saat malam hari dia dibangunkan ibunya untuk segera keluar dari kota. Para prajurit Qara Khitai membantu para warga mengungsi keluar dan menuju tempat aman. Selama dua hari mereka tinggal di hutan-hutan menggunakan tenda dari kulit kayu dan selimut wol. Sebagian yang beruntung bisa tinggal dalam gua. Hampir semua pengungsi adalah wanita, anak-anak dan orang tua. Bahkan sebagian dari mereka orang-orang yang sakit dan cacat. Tak terbayangkan betapa menyedihkannya keadaan mereka. Sebagian prajurit yang membantu membuat gubuk-gubuk kayu dan dapur umum. Mereka kewalahan dan kelelahan.
Di saat kritis Tuan Syeifiddin bersama rombongan murid-muridnya datang dengan unta-unta yang penuh muatan. Itulah pertemuan pertama kali dengan Tuan Syeifiddin yang datang dari Urgench untuk membantu para korban perang. Lelaki tua itu langsung mencari kantung-kantung pengungsi di lembah gunung dan memberikan bantuan berupa makanan, obat-obatan dan selimut. Para pengungsi pada awalnya menolak bantuan Tuan Syeifiddin karena lelaki tua itu berasal dari wilayah musuh.
"Untuk apa kami menerima bantuan dari musuh. Lebih baik kami mati daripada menerima bantuan dari kalian," teriak seorang tua pada rombongan Tuan Syeifiddin.
Tombak dan pedang para prajurit sudah terhunus ke arah mereka. Tapi Tuan Syeifiddin tak gentar.
"Kami datang karena ingin menolong. Tak ada niat apa pun di balik bantuan yang kami bawa. Kalian semua adalah saudara saya. Tuan Barka pemilik madrasah Al Ilm masih saudara saya. Jadi, tolong terima uluran tangan kami!" seru Tuan Syeifiddin.
Mendengar nama Tuan Barka disebut, para pengungsi mulai berubah pandangan. Salah seorang dari mereka meminta prajurit penjaga menurunkan senjatanya. Akhirnya rombongan Tuan Syeifiddin pun diterima dengan tangan terbuka.
Udara dingin menggigit menambah penderitaan para pengungsi yang bak anak ayam kehilangan induknya. Dua hari mereka berdiam diri di dalam hutan, di lembah gunung atau di perbukitan batu. Si Gadis Kecil bahkan hampir mati kedinginan dan kelaparan. Satu persatu pengungsi tumbang karena sakit. Tuan Syeifiddin dan murid-muridnya kewalahan menangani orang-orang yang sakit. Shafiyya dan beberapa perempuan pengungsi yang pintar mengobati ikut turun tangan membantu.
Sampai akhirnya kabar kota Samarkand benar-benar jatuh ke tangan musuh dibawa oleh seorang lelaki yang berlarian menuju ke arah mereka sampai jatuh terguling-guling ketika mendaki bukit. Mereka menunggu beberapa hari sampai akhirnya pasukan Khawarizm datang menawan mereka. Pada akhirnya datang kabar sang Sultan mengampuni mereka dan meminta para pengungsi kembali ke kota.
BAB 2 PERTEMUAN PERTAMA
Masa tenang seusai perang. Penduduk Samarkand mulai bergeliat membangun kotanya bersama para prajurit Khawarizm. Orang-orang yang tersisa mulai kembali ke rumahnya, tak sedikit masih bertahan di Madrasah Al Ilm milik Tuan Barka.
Hampir setiap hari Tuan Syeifiddin bersama para muridnya membantu orang yang sakit dan memberi makanan bagi pengungsi. Sebuah masalah selalu muncul setelah perang. Ketersediaan bahan makanan dan obat-obatan mulai menipis. Sang Sultan mulai membuka peluang bagi pengusaha di seluruh kesultanan Khawarizm untuk memberikan bantuan ke Samarkand dan Bukhara yang baru saja di taklukkan.
Bantuan seringkali terlambat datang, karena jalur menuju Samarkand tak aman. Beredar kabar tentang perampok-perampok yang menyerang para kafilah yang membawa bahan makanan, obat-obatan dan yang lainnya. Hal ini sungguh meresahkan masyarakat.
Tuan Syeifiddin sedang mengobati seorang prajurit yang luka di ruang madrasah yang sudah dialihfungsikan sebagai rumah sakit. Dalam ruangan itu berjajar dipan-dipan yang berisi para pasien korban perang. Datang seorang muridnya mendekat kepadanya.
"Tuan, obat-obatan di gudang sudah semakin menipis. Takkan cukup untuk sebulan ke depan jika pasokan dari luar tak segera datang, saya khawatir ... ," lapor sang Murid tak menyelesaikan kalimatnya lalu menunduk dengan wajah cemas.
Tuan Syeifiddin menoleh lalu tercenung. Lelaki tua itu menghela napas.
"Baiklah, persiapkan perjalanan ke luar kota. Kerahkan beberapa orang yang tahu tentang tanaman herbal. Bawa serta penduduk setempat yang tahu jalan. Di luar sekarang tak kondusif, aku khawatir jika terjadi sesuatu," perintah Tuan Syeifiddin.
"Baik Tuan," jawab sang Murid lalu pergi.
"Oh ya, bawa serta gadis kecil bermata biru itu," seru Tuan Syeifiddin pada sang Murid.
Tuan Syeifiddin tahu jika si Gadis Kecil anak Shafiyya itu tahu seluk beluk gunung dan hutan. Dia teringat saat mengurusi pengungsi, gadis kecil itu membantu ibunya mencari makanan di hutan. Tuan Syeifiddin benar-benar terkesan dengan sosok gadis kecil itu.
"Siapa namamu, Nak?" tanya Tuan Syeifiddin ramah suatu kali, saat si Gadis Kecil membagikan umbi-umbian yang sudah dimasak pada para pengungsi.
"Rumiyah, anak Shafiyya," jawab si Gadis Kecil dengan senyum manis.
"Nama yang indah, anak yang baik," puji Tuan Syeifiddin sambil tersenyum, lalu membiarkan Rumiyah membagikan makanan untuk yang lain.
***
Tuan Syeifiddin bersama beberapa muridnya mulai menjelajahi gunung dan hutan dikawal beberapa penduduk setempat. Di antara mereka ada Rumiyah yang ikut serta membonceng kuda pada salah seorang penduduk lokal. Dia memakai baju seperti anak lelaki dengan sorban kumal di atas kepalanya. Baju dan rompinya lusuh, dan hanya memakai sepatu dari jerami. Dia paling paham daerah hutan dan gunung karena sering diajak ibunya mencari tanaman herbal.
Mereka menyusuri jalanan setapak, menaiki bukit dan mengorek tanah di beberapa tempat. Mereka berpencar menjadi dua kelompok. Rumiyah berjalan bersama Tuan Syeifiddin, dan dua orang muridnya. Dipunggung mereka tergantung keranjang rotan untuk menaruh hasil apa pun yang di dapat dari hutan. Rumiyah berjalan kesana kemari dengan riangnya. Baginya hutan sudah seperti lahan bermain. Tuan Syeifiddin tersenyum memandang Rumiyah yang berkeliaran tanpa rasa takut bak seekor kelinci yang lompat kesana kemari.
Rumiyah berjongkok dekat serumpun tanaman berdaun panjang seperti daun bawang. Dia mengeluarkan sebuah pisau bergagang merah dengan hiasan bebatuan yang indah. Tuan Syeifiddin tertarik dengan pisau yang dipakai Rumiyah untuk mengorek tanah. Lelaki itu mendekat lalu berjongkok dekat Rumiyah.
"Pisau yang bagus," ucap Tuan Syeifiddin mengomentari pisau milik Rumiyah.
Rumiyah menoleh lalu tersenyum.
"Ini peninggalan ayahku," jawab Rumiyah.
"Siapa ayahmu?" tanya Tuan Syeifiddin.
"Aku tak tahu. Aku hanya tinggal bersama ibuku sejak kecil. Ibuku tak pernah bercerita tentang ayah," jawab Rumiyah.
Tuan Syeifiddin manggut-manggut. Dia masih menatap pisau yang dipegang Rumiyah. Dia merasa pernah melihat pisau itu, tapi dia tak ingat dimana dan milik siapa. Rumiyah menyentak lamunanannya saat mengangkat sesuatu di depan wajahnya. Tuan Syeifiddin menaikkan alisnya.
"Apa itu?" tanya Tuan Syeifiddin.
Rumiyah tersenyum lebar, lalu dengan jemarinya dia memotong daun dan mengupas kulit tanaman yang seperti bawang. Di dalamnya terdapat semacam umbi-umbian kecil berwarna putih, lalu Rumiyah memakannya sambil tertawa kecil.
"Ini, mau coba?" tawar Rumiyah pada Tuan Syeifiddin.
Tanpa menunggu jawaban, Rumiyah langsung mengupas sebuah lalu disodorkan pada si Lelaki Tua. Tuan Syeifiddin menerimanya dengan senang hati lalu memakannya.
"Mmm ... rasanya tawar. Seperti kentang," komentar Tuan Syeifiddin, "Masyaallah ... bahkan di bukit batu seperti ini, Allah memberi alam kelimpahan bahan makanan," lanjut Tuan Syeifiddin.
Rumiyah mencabut beberapa tanaman yang ada di bawah kakinya lalu memasukkan ke dalam keranjang rotan yang ada di sampingnya. Tuan Syeifiddin tersenyum lebar. Dia melihat Rumiyah sosok yang istimewa.
"Kita ke arah sana, biasanya di sana banyak berry liar," ajak Rumiyah pada Tuan Syeifiddin.
Si Lelaki Tua mengangguk lalu berjalan mengikuti Rumiyah menuju arah tebing.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara keras berdebum ke tanah tak jauh dari tebing. Tuan Syeifiddin dan Rumiyah langsung berlari menuju ke arah sumber suara. Dia melihat seekor kuda jatuh tergeletak tewas di tanah, dan seorang anak lelaki tergeletak tak jauh dari kuda yang terluka.
"Yaa Allah!" seru Tuan Syeifiddin terkejut melihat hal yang terjadi di depan matanya.
Tuan Syeifiddin dan Rumiyah bergegas mendekat lalu berjongkok untuk memeriksa kondisi si Anak Lelaki yang memakai baju bulu-bulu yang bagus. Hilang rasa khawatir Tuan Syeifiddin. Anak lelaki itu masih hidup. Lelaki tua itu mengangkat, lalu menggendong si Anak Kecil yang pingsan.
"Kita kembali ke Madrasah," ajak Tuan Syeifiddin pada Rumiyah lalu menuju ke pinggir hutan untuk membawa si Anak Malang kembali ke kota untuk mendapat pertolongan.
Rumiyah mengangguk lalu membawakan keranjang rotan milik Tuan Syeifiddin. Dia menatap si Anak Malang dalam diam. Pipi anak itu merah, tembem, matanya sipit dan rambutnya tebal hitam di anyam. Rumiyah pikir si Anak malang itu bukan orang Khawarizm maupun Qara Khitai. Apakah dia datang dari Negeri Timur? batin Rumiyah.
***
Sebulan perjalanan dari lembah pegunungan Tian Shan menuju ke Samarkand. Rombongan si Hidung Elang akhirnya hampir sampai di luar kota. Dari atas bukit, mereka bisa melihat kota Samarkand yang baru saja ditaklukkan. Jika tak meleset sehari semalam akan sampai setelah melewati hutan, dan stepa untuk sampai ke kota.
Saat senja, tetiba sekelompok orang membawa senjata tajam dan batang kayu menghadang rombongan si Hidung Elang. Tanpa rasa takut gerombolan perampok dengan berani menutup jalan.
Si Hidung Elang menghentikan laju rombongan lalu menatap dengan waspada.
"Izinkan kami lewat Tuan-Tuan!" seru si Hidung Elang.
"Serahkan apa yang kalian miliki terlebih dahulu baru boleh kalian lewat," ucap salah seorang perampok yang berbadan besar dengan jenggot kemerahan.
Si Hidung Elang sudah menduga pasti perjalanan mereka takkan semulus yang diperkirakan.
"Kami hanya pedagang yang ingin mencari hidup, sama dengan kalian. Janganlah kita saling menyusahkan," jawab si Hidung Elang.
"Jika tak memberikan apa yang kami inginkan. Lebih baik kalian semua mati," ancam pemimpin gerombolan yang berbadan besar, berhidung mancung, di tangannya sebilah pedang berujung melengkung.
"Serang!" teriak si Pemimpin Perampok memberi komando untuk bergerak merampas barang yang dibawa oleh kelompok si Hidung Elang.
Perkelahian tak terelakkan. Suara denting pedang dan suara pekik kemarahan terdengar mengerikan. Seorang berkulit hitam dan berambut keriting tersenyum menyeringai ke arah si Anak Kecil. Tak kalah gesit si Anak Kecil mengendalikan kudanya membuat kaki kudanya menendang keras dada si Rambut Keriting hingga jatuh terjerembab ke belakang.
"Awaaas!' teriak si Hidung Elang kepada si Anak Kecil yang lengah saat sebuah tombak diarahkan kepadanya. Si Anak Kecil membungkukkan badannya, tombak meleset lalu melukai punggung kuda. Kuda itu meringkik kesakitan, lalu berlari ketakutan membawa serta si Anak Kecil menjauh dari arena perkelahian.
Sambil berkelahi menghadapi perampok, si Hidung Elang menatap khawatir terhadap si Anak Kecil yang sudah menghilang dari pandangan. Tak lama kemudian, para perampok sudah berhasil dikalahkan. Mereka semua terkapar. Si Hidung Elang melihat anak buahnya tiga orang meninggal dan si Anak Kecil menghilang.
"Kamu, urusi mereka dulu. Aku cari si Helan Oktai, aku yakin kudanya takkan jauh berlari. Ayo cepat, kamu ikut aku!" ajak si Hidung Elang dengan wajah khawatir pada salah satu anak buahnya.
Si Hidung Elang memacu kudanya bersama seorang dari anggota rombongannya. Mereka melihat jejak kuda menuju ke dalam hutan. Tak jauh dari sebuah jurang si Hidung Elang melihat kuda milik Helan Oktai tergeletak mati di dalam jurang, bersimbah darah.
"Itu kudanya. Ayo cepat periksa ke bawah," ajak si Hidung Elang lalu turun dari kuda dan berjalan ke bawah menuruni lereng jurang.
Si Hidung Elang merasa heran, dia tak menemukan tubuh Helan Oktai di sekitaran kuda yang jatuh ke jurang. Dia menduga Helan Oktai, si Anak Kecil itu masih hidup. Si Hidung Elang langsung beranjak pergi meninggalkan tempat kuda itu tergeletak, dia tak punya waktu untuk mencari si Anak Kecil. Ada sebuah misi mendesak yang harus segera dilakukan.
BAB 3 BADSHAH
Shafiyya berjalan cepat-cepat menuju ke bagian ruang guru madrasah Al Ilm. Tuan Syeifiddin memanggilnya. Dia memperbaiki kerudung katun bersulamnya ketika hendak masuk ke ruangan. Setelah memberi salam, lelaki tua itu mempersilakan Shafiyya masuk. Di dalam ada seorang tamu yang sedang berbincang dengan Tuan Syeifiddin.
Seorang laki-laki tampan berumur empat puluhan dengan jenggot tebal dan alis yang bertaut. Dilihat dari bajunya, dia seorang prajurit Khawarizm walau Shafiyya tak tahu dia berpangkat apa. Shafiyya masih berdiri di dekat pintu malu-malu. Tatapan mata Ja'far langsung membuat hatinya berdebar.
"Masuklah," ucap Tuan Syeifiddin, "Ini Tuan Ja'far mengantar surat padaku meminta bantuan untuk mencari orang sebagai pelayan di rumah baru Tuan Nashruddin. Kupikir kau lebih tahu siapa saja yang cocok untuk bekerja di tempat itu," jelas Tuan Syeifiddin.
Shafiyya berjalan mendekat, langsung memutar otak memikirkan siapa saja yang cocok untuk bekerja pada Tuan Nashruddin.
"Berapa orang dibutuhkan Tuan?" tanya Shafiyya.
"Sekitar sepuluh orang perempuan," jawab Tuan Syeifiddin.
"Beri saya waktu dua hari. Selain saya dan Rumiyah, saya akan mencarikan sisa delapan orang yang lain," terang Shafiyya.
Tuan Ja'far tersenyum, lalu menoleh pada Tuan Syeifiddin.
"Baiklah kalau begitu Tuan. Hal ini sudah bisa diselesaikan. Dua hari lagi saya datang menjemput mereka. Saya pamit," ucap Tuan Ja'far lalu berdiri.
"Baik ... Baik ... titip salamku buat Tuan Nashruddin," ucap Tuan Syeifiddin juga sambil berdiri dari duduk lalu mengantar Tuan Ja'far keluar ruangan. Shafiyya mundur memberi jalan sambil menundukkan pandangan. Tuan Ja'far menatap lembut pada Shafiyya. Kiranya hati sang Tuan Ja'far mulai tertarik pada Shafiyya.
***
Sebuah iring-iringan empat kereta berkuda dikawal puluhan prajurit Khawarizm masuk ke dalam gerbang kota Samarkand. Itu rombongan keluarga Tuan Nashruddin yang akan tinggal di kota yang berudara bening, yang terletak di antara dua sungai, Syr Darya dan Amu Darya*. Keluarga ini pindah dari Balkh ke Samarkand untuk mengikuti Tuan Nashruddin yang mulai bertugas menjaga perbatasan di Utara.
Rombongan keluarga Tuan Nashruddin menyibak jalanan kota yang sudah mulai normal kembali. Beberapa bulan setelah peperangan, aktivitas ekonomi mulai bergeliat, pendatang dari luar kota juga sudah mulai berani masuk ke Samarkand. Iring-iringan itu menarik perhatian orang-orang, termasuk dua orang yang sedang duduk-duduk di sebuah kedai di pinggir jalan. Dua orang itu si Hidung Elang dan seorang anak buahnya. Mereka sedang duduk-duduk di sambil memakan camilan memperhatikan sekeliling.
"Siapa mereka?" tanya si Hidung Elang.
"Mereka keluarga Tuan Nashruddin baru pindah dari Balkh. Tuan Nashruddin saat ini yang menjaga perbatasan Utara, orang kepercayaan Ibu Suri di Urgench," terang anak buahnya.
"Otrar juga jatuh, dan Inalchug sepupu Sultan, orang kepercayaan Ibu Suri juga dijadikan gubernur di sana. Sepertinya Ibu Suri ini memiliki pengaruh yang besar terhadap keputusan sang Sultan," gumam si Hidung Elang lalu tersenyum sinis.
Di otaknya memikirkan suatu rencana untuk memperkeruh suasana
***
Rombongan keluarga Tuan Nashruddin sampai di depan halaman rumah mereka yang baru. Sebuah istana luas dan besar dihiasi batu pualam putih. Tamannya indah dengan macam-macam bunga dan pepohonan. Di belakang rumah masih terdapat lahan yang luas tempat para pelayan tinggal, kandang kuda dan sebuah lembah luas yang indah.
Rumiyah melihat rombongan keluarga Tuan Nashruddin dari jauh. Di balik pohon di halaman rumah. Ibunya dan beberapa pelayan serta Tuan Ja'far berbaris menyambut kedatangan mereka. Seorang laki-laki yang lebih tua dengan kumis tebal, berbaju rompi satin bersulam dan bersorban turun dari kudanya. Itu Tuan Nashruddin, seorang jenderal Turkic dari Balkh yang setia terhadap Shah Khawarizm. Sejak Samarkand jatuh ke tangan Khawarizm, sang Shah menaruh semua pionnya di daerah-daerah taklukkan, termasuk Tuan Nashruddin.
Seorang lelaki yang lebih muda bertubuh tegap dan tampan berbaju berwarna biru dengan kaftan putih juga ikut turun dari kuda lalu membantu seorang perempuan berbaju sulam emas dan merah dengan kerudung yang menutupi separuh wajahnya untuk turun dari kereta kuda. Seorang gadis kecil kurus dalam balutan baju berwarna merah muda bersulam perak dan memakai rok putih muncul juga dari dalam kereta kuda.
Rumiyah belum tahu siapa mereka, tapi dia menduga itu pasti anak-anak Tuan Nashruddin. Tak lama kemudian muncul juga dari dalam kereta kuda yang kedua, seorang perempuan tua berhidung mancung, dengan wajah garis yang tegas. Tubuhnya tinggi dan terlihat angker di mata Rumiyah. Gadis itu bergidik, seakan lebih baik tak berurusan dengan perempuan tua itu.
Rumiyah mengendap pergi lalu keluar dari kediaman Tuan Nashruddin dari pintu gerbang samping. Shafiyya mengedarkan pandangannya mencari Rumiyah. Di saat penyambutan, si Gadis Kecilnya tak muncul membuat Shafiyya khawatir.
***
Rumiyah berjalan masuk ke dalam madrasah Al Ilm. Dia menuju tempat anak lelaki misterius yang mereka temukan di gunung. Anak lelaki itu sedang manjalani perawatan di sebuah bangunan di dekat dapur umum. Rumiyah menyibak tirai yang menutupi pintu. Di dalam sepi, hanya ada si Anak Misterius sedang tertidur belum sadarkan diri selama dua hari. Rumiyah menarik sebuah kursi kayu lalu di dekatkan ke arah tempat tidur. Rumiyah memadang wajah pucat anak lelaki itu dengan pandangan simpati.
"Siapa kamu?" tanya Rumiyah, "Bangunlah. Kau sudah dua hari ini tak sadarkan diri," ucap Rumiyah bermonolog.
Si Anak Lelaki masih bergeming. Napasnya teratur seperti orang yang tidur. Rumiyah hanya memandang si Anak Lelaki dalam diam. Dia menoleh ke arah tumpukan baju milik si Anak Lelaki di atas lemari dekat ranjang. Rumiyah mengambil baju itu dan memeriksanya. Siapa tahu ada tanda pengenal yang tersimpan dalam baju kulit dan bulu binatang itu.
Rumiyah mengerutkan dahi saat tangannya menyentuh sesuatu yang aneh di keliman tepi baju. Sesuatu yang keras teraba jelas. Rumiyah mengambil pisau yang terselip dipinggangnya lalu membuka jahitan tepi baju. Setelah terbuka, Rumiyah mengeluarkan sebuah token batu giok kecil bertuliskan huruf yang tak dipahaminya. Rumiyah mengerutkan dahi, seakan berpikir, mengingat-ingat, dimana dia pernah melihat huruf yang ada di token itu. Tiba-tiba saja sebuah tangan merebut token itu dengan cepat.
"Lancang sekali kau mengambil barang milik orang lain," ucap si Anak Lelaki yang tanpa disadari oleh Rumiyah sudah bangun dan merebut token giok itu.
Rumiyah bengong lalu menaikkan alisnya. Dia tak paham apa yang dibicarakan oleh si Anak Lelaki. Dia hanya tahu kalau si Anak Lelaki merasa keberatan jika batu giok itu dipegang orang lain.
"Kau ... ah syukurlah kau sudah sadarkan diri. Kau membuatku cemas. Kami menemukanmu di jurang bersama kudamu yang terluka. Syukurlah kau baik-baik saja," terang Rumiyah dengan wajah ceria seakan wajah merengut dan dingin yang ada dihadapannya tak mempengaruhi emosinya sama sekali.
"Maafkan aku ... aku tak bermaksud mengambil barangmu," terang Rumiyah sambil tersenyum, "Kau orang dari Timur? Siapa namamu?" lanjut Rumiyah lagi.
Anak lelaki yang berambut panjang dan berkuncir itu hanya diam memasang wajah dingin. Tiba-tiba sebuah bunyi perut keroncongan terdengar jelas di telinga mereka. Rumiyah menaikkan alisnya menduga-duga itu suara perut siapa? Rumiyah tertawa terbahak.
"Aku akan memanggil tabib dan mengambilkan makanan untukmu. Tunggu ya," ucap Rumiyah lalu beranjak pergi keluar dari ruangan.
Si Anak Lelaki hanya memandang Rumiyah pergi dengan wajah dingin tanpa senyuman, lalu menatap token giok yang ada di tangannya.
Rumiyah kembali dengan membawa semangkok bubur yang masih panas. Di ruang itu tabib masih memeriksa si Anak Lelaki didampingi Tuan Barka.
"Apakah dia baik-baik saja Tuan?" tanya Rumiyah penasaran setelah menaruh mangkuk bubur di atas meja.
"Dia baik-baik saja. Benturan di kepalanya sangat keras mungkin membutuhkan waktu beberapa bulan untuk sembuh dari pusing," jawab Tabib.
"Dia berbicara bahasa asing tadi, saya tak paham apa yang dibicarakannya," terang Rumiyah.
Tuan Barka menoleh ke arah Rumiyah lalu duduk di tepi ranjang.
"Kau berasal dari mana?" tanya Tuan Barka, lelaki tua seumuran Tuan Syeifiddin dengan garis wajah lebih ke arab-araban di banding Tuan Syeifiddin yang lebih mirip orang Turki.
Anak Lelaki itu hanya diam memandang Tuan Barka seakan tak paham apa yang ditanyakan lawan bicaranya. Tuan Barka hanya memandang tak paham dengan sikap diam si Anak Lelaki, lalu berdiri.
"Tuan Tabib, saya tinggal dulu saja. Periksa kondisinya secara berkala. Sepertinya dia memang tak paham bahasa kita. Kupikir dia orang Timur. Aku akan bertanya pada kepolisian kota untuk menanyakan informasi anak hilang, siapa tahu dari situ kita tahu dia anak siapa," terang Tuan Barka lalu pamit keluar ruangan.
Setelah sang Tabib keluar untuk membuat obat, Rumiyah mendekati si Anak Lelaki sambil membawa semangkuk bubur.
"Makanlah ... agar kau cepat sembuh. Jangan khawatir, Tuan Barka akan mencari orang tuamu. Kau sungguh beruntung masih hidup dan bertemu kami," ucap Rumiyah sambil menyodorkan semangkuk bubur ke hadapan si Anak Lelaki.
Si Anak Lelaki diam memandang Rumiyah, lalu perlahan tangannya mengambil mangkuk bubur yang ada di tangan Rumiyah, lalu memakan bubur dengan lahap. Gadis kecil itu tersenyum.
"Hati-hati masih panas. Oh ya, karena kau tak menyebutkan namamu, bagaimana kalau aku memberimu sebuah nama," ucap Rumiyah dengan ekspresi berpikir serius mencari nama, "Bagaimana kalau Badshah ... ya Badshah. Kupikir itu cocok denganmu," lanjut Rumiyah.
Si Anak Lelaki berhenti menyuap bubur, lalu tersenyum.
"Badshah ... baiklah," ucap si Anak Lelaki dalam bahasa Mongol yang tak dipahami Rumiyah.
Rumiyah mencoba untuk memahami ucapan si Anak Lelaki, lalu tersenyum, karena si Anak Lelaki mau bicara padanya.
*Sungai Jihun dan Sungai Seyhoun
BAB 4 MUAZZAM DAN LAILA
"Haaah ... di sini terlihat begitu membosankan. Kalian tahu, aku ingin sekali tetap tinggal di Balkh. Di sini terlalu sepi, dan rumah ini, kamar ini ... huuuh sempit sekali. Aku tidak suka. Aku bosan ... aku bosan ... aku bosan," keluh seorang anak perempuan kurus berpipi kemerahan mengomel-omel sambil berguling-guling dia atas ranjangnya yang empuk. Para pelayan yang sibuk merapikan barang-barang dan baju-baju milik gadis kecil itu hanya tersenyum geli melihat tingkah majikan kecilnya.
Seorang lelaki yang berkulit kecokelatan dan berhidung mancung masuk ke dalam kamar si Gadis Kecil. Lelaki itu berumur sekitar tujuh belas tahunan. Para pelayan yang melihat kehadiran sang Pemuda langsung memberi hormat, tapi dia memberi tanda diam dengan jari di depan bibir agar tidak ketahuan. Si Pemuda mendekat ke arah si Gadis Kecil yang sedang tidur tengkurap.
Sebuah pukulan di pantat mengejutkan si Gadis Kecil yang langsung menjerit. Dia berbalik melihat siapa yang sudah menepuk pantatnya.
"Kakaaaak!" protes si Gadis Kecil, "Aku sudah besar, aku gadis dewasa, jangan sembarangan pukul pantat seorang gadis," omel si Gadis Kecil yang masih berumur tujuh tahun. Si Pemuda langsung tertawa terbahak begitu juga para pelayan yang mendengarkan omelan si Pipi Kemerahan.
"Kenapa? Bosan? Ikut aku," ajak si Pemuda.
"Kemana? Jangan bilang ada gadis cantik yang kau temukan di pinggir jalan saat kemari," oceh si Gadis Kecil.
"Di belakang ada pohon jeruk manis. Kau suka jeruk kan?" tanya si Kakak
"Ayo ... ayo ... aku mau," ucap si Adik antusias.
"Baiklah, ayo kugendong," ajak si Kakak langsung berjongkok membelakangi si Gadis Kecil.
Badannya yang kecil dan kurus langsung naik ke punggung kakaknya. Si Pemuda menggendongnya di belakang, lalu berjalan keluar ke kebun belakang rumah.
***
Rumiyah berusaha naik ke atas pohon jeruk yang ada di belakang rumah Tuan Nashruddin. Pohonnya sedang berbuah lebat, dia mengambil jeruk atas perintah Bibi Khanum, pengasuh majikannya.
Si Pemuda berjalan bersama adiknya menuju ke bawah pohon. Melihat ada sesuatu yang mencurigakan di atas pohon, seketika si Pipi Kemerahan langsung melototkan mata.
"Woooi pencuri!" teriak si Pipi Kemerahan.
Rumiyah terkejut membuat kakinya terpeleset dan hilang keseimbangan.
Si Pemuda langsung melihat ke arah pohon jeruk, dia melihat seorang gadis kecil yang sedang memetik buah jeruk lalu meluncur jatuh ke bawah. Beruntung Rumiyah berhasil di tangkap oleh si Pemuda.
"Siapa kau?" tanya si Pipi Kemerahan.
Merasa masih digendong si Pemuda, Rumiyah menatap penuh tanya.
"Oh, Maaf," ucap si Pemuda, lalu menurunkan Rumiyah dari gendongan.
Rumiyah memberi hormat dengan sedikit membungkukkan badan.
"Saya Rumiyah, saya pelayan di sini, anak Shafiyya. Bibi Khanum memintaku mengambilkan jeruk untuk persediaan di dapur, makanya ...," jawab Rumiyah tanpa berani memandang para majikannya.
"Sudahlah ... sudahlah ... kau baik-baik saja?" sela si Pemuda.
Rumiyah mengangguk.
"Kau tahu siapa kami?" tanya si Pipi Kemerahan ketus.
"Saya tahu. Anda Nona Laila dan Tuan Muda Muazzam, majikan kami," jawab Rumiyah sedikit khawatir jika masih akan terus dimarahi.
"Sudahlah Laila," sela Muazzam lalu beralih ke Rumiyah,"Kau juga suka jeruk?" tanya Muazzam sambil berjongkok di depan Rumiyah.
Gadis yang memakai sorban dan berbaju seperti laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum. Muazzam tersenyum, sambil mengelus pipi Rumiyah.
"Bantu kami memanennya. Kau bisa melakukannya?" tanya Muazzam dengan wajah ramah.
Rumiyah mengangguk lagi.
"Baiklah. Laila kau bawa keranjangnya, kami yang akan memetikkannya untukmu," perintah Muazzam pada adiknya.
Laila masih merengut, tapi kemudian senyum terbit di bibirnya menyetujui saran kakaknya. Muazzam menatap Rumiyah sambil tersenyum ramah.
"Mata birumu indah," gumam Muazzam sambil menepuk kepala Rumiyah, berdiri, lalu berjalan menuju pohon.
Wajah Rumiyah memerah karena malu dipuji Muazzam. Dia langsung bergerak menuju pohon, lalu dengan gesit naik ke atas memetik jeruk yang berbuah lebat. Muazzam kagum dengan kegesitan Rumiyah. Dia menduga Rumiyah sudah terbiasa dengan kehidupan bebas di luar sana.
Hari itu penuh kebahagiaan bagi Laila, karena dia bisa makan banyak buah jeruk kesukaannya. Mereka memanen sekeranjang penuh, Muazzam mengambil sebuah, lalu diberikan pada Rumiyah.
"Untukmu," ucap Muazzam.
Rumiyah hanya diam menatap membuat Muazzam bertanya-tanya.
"Kurang?" tanya Muazzam.
"Mmm ... jika Tuan mengizinkan saya meminta satu lagi untuk teman saya. Dia sedang sakit," pinta Rumiyah.
Muazzam mengangguk paham, lalu diambilnya empat buah lagi untuk Rumiyah.
"Ini ... cukup?"tanya Muazzam.
Rumiyah mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Terima kasih ... terima kasih," jawab Rumiyah, lalu melepas rompi katun usangnya untuk membungkus jeruk yang diberikan Muazzam.
"Pergilah. Semoga temanmu cepat sembuh," ucap Muazzam.
Rumiyah mengangguk, lalu membungkukkan badan memberi hormat. Dia meninggalkan Muazzam dan Laila yang sedang sibuk makan jeruk di bawah pohon dengan hati yang bahagia.
***
Rumiyah berlari di antara orang-orang yang sedang ramai lalu lalang di jalanan. Debu terhambur di jalanan karena derap kuda dan roda kereta yang berderak membelah jalan. Ditingkah suara orang yang sedang mengobrol dan berjualan di pinggir jalan.
Kaki mungilnya dengan cepat berlari menuju Madrasah Al Ilm. Dia melihat sekilas ke arah Tuan Syeifiddin yang sedang mengadakan majelis di bawah pohon bersama beberapa muridnya. Rumiyah berlari lagi menuju ke bagian belakang madrasah tempat Badshah berada.
Rumiyah melihat Badshah duduk di teras sambil menganyam tali berwarna merah. Badshah tersenyum saat melihat Rumiyah datang menghampirinya. Rumiyah berhenti, lalu berdiri di hadapan temannya.
"Jeruk, kau mau?" tanya Rumiyah sambil membuka bungkusannya.
Badshah langsung mengangguk saat melihat jeruk berwarna jingga yang berbau harum.
"Kau suka? Kukupaskan untukmu," ucap Rumiyah, lalu duduk di samping Badshah yang masih diam sibuk dengan talinya.
"Bagus sekali anyaman talimu. Buat apa?" tanya Rumiyah sambil membersihkan jeruk.
Badshah menoleh pada Rumiyah. Anak lelaki itu masih diam sambil tersenyum. Dia menunjukkan anyaman tali yang sudah berbentuk gelang pada Rumiyah.
"Untukmu," ucap Badshah dalam bahasa Mongol.
Rumiyah mencoba memahami.
"Untukku?" tanya Rumiyah.
Badshah mengangguk lalu mengambil tangan Rumiyah. Anak lelaki itu memasangkan gelang anyaman merah pada tangan Rumiyah. Badshah menepuk punggung tangan Rumiyah.
"Jangan sampai hilang atau lepas," ucap Badshah.
Rumiyah tersenyum walau tak paham apa yang dibicarakan Badshah.
"Terima kasih," ucap Rumiyah, "Oh ya, ini jerukmu. Makanlah," lanjut Rumiyah.
Badshah menerima jeruk yang diangsurkan Rumiyah. Mereka memakan jeruk itu bersama-sama di teras madrasah di saksikan matahari siang yang hangat dan burung Skylark serta Perkutut yang bernyanyi merdu sambil melompat dari satu pohon ke pohon yang lain.
BAB 5 LAILA SAKIT
Kota Samarkand, namanya berasal dari kata samar yang berarti, dan kand yang berarti . Sebuah kota di daratan Transoxania yang luas. Tempat dimana jika seseorang mendaki beberapa dataran tinggi, dia akan melihat kehijauan dan tempat yang menyenangkan. Di sana tidak terdapat pepohonan atau padang rumput yang berdebu.
Samarkand tempat dimana tanaman hijau dan kebun yang tak terputus. Tanaman hijau pepohonan dan tanah yang ditabur membentang di sepanjang kedua sisi sungai. Tempat para hewan gembalaan berlarian di padang rumput berkelompok-kelompok. Setiap kota dan pemukiman memiliki benteng. Kota yang paling subur dari bagian bumi milik . Di dalamnya ada pohon, dan buah terbaik, di setiap rumah ada kebun, waduk dan air mengalir.
Samarkand tempat para pencari cinta Tuhan dan pemuas dahaga ilmu. Kota tempat para ahli ilmu menyibak segala rahasia alam yang terhampar di depan matanya. Disediakan oleh sang Pencipta, sang Pemilik ilmu, agar manusia lebih dekat kepadaNya. Bangunan-bangunannya tinggi dengan bata kekuningan ciri khas Arab dipadu dengan gaya Persia bertabur batu berwarna biru lapis lazuli.
Derak-derak noriya* yang menyuplai air memutar memberikan kepastian sumber air sangat mudah di Samarkand. Bangunan roda noriya digerakkan oleh hewan dan aliran air berukuran raksasa dibangun di sudut kota oleh para ilmuwan teknik demi kesejahteraan sesama manusia.
Suara azan menggema di seluruh kota dari menara-menara masjid. Lantunan kalam Ilahi dan hadits nabi terdengar dari madrasah-madrasah para penuntut ilmu yang dimuliakan Allah.
Langit jernih berwarna biru dan padang rumput luas terbentang memantul sempurna pada sepasang mata jernih berwarna kebiruan. Sepasang mata yang memandang bahwa kota Samarkand tempat kelahiran dan tempat bermain untuknya. Samarkand pada mata polosnya merupakan sebuah surga.
Sepasang mata seorang gadis kecil berkulit putih mengerjap, lalu sekuntum senyum pun merekah menghiasi wajahnya. Dalam balutan baju sutera kualitas rendah bercampur katun yang sudah terlihat berdebu, gadis kecil bersorban itu tertawa girang berlari melintasi padang rumput mengejar kupu-kupu.
"Ruuumiyaaaah!"
Seorang gadis kecil kurus dengan baju sutera mahal muncul dari balik bukit hijau dengan napas yang tersengal-sengal. Gadis kecil berpipi kemerahan sebaya dengan gadis bermata kebiruan yang bernama Rumiyah.
"Tunggu aku!" teriak gadis berkerudung merah. Anak rambutnya tersembul di keningnya bergoyang tertiup angin padang rumput.
Rumiyah berhenti, lalu membalik badannya menghadap si Gadis berkerudung merah.
"Ayo Nona, kupu-kupu itu akan kabur jika kau berlari seperti siput," ajak Rumiyah.
"Kau ... awas kau menyebutku siput. Takkan kuajari kau menulis jika kau berani padaku," ucap si Gadis berkerudung merah malah diam berdiri merajuk dengan lengan bersedekap di dadanya. Di sebelah tangannya sebuah jala penangkap kupu-kupu menjulang panjang ke atas.
Rumiyah akhirnya berlari mendekat, lalu berdiri di depan si Gadis Kerudung Merah.
"Baiklah Nona Laila, mau kugendong sampai gerbang kota?" tanya Rumiyah.
Gadis yang bernama Laila itu menoleh dengan kerlingan mata jenaka, senyumnya mulai merekah.
"Baiklah, anggap saja itu sebagai hukuman kau sudah kurang ajar padaku dengan menyebutku siput," ucap Laila dengan nada merajuk.
Rumiyah tersenyum, lalu membalik badan dan berjongkok di depan Laila. Serta merta Laila langsung menclok di punggung Rumiyah. Badan mereka tak sama besar walau seumur. Rumiyah tak merasa keberatan menggendong Laila. Angin mulai berdesir kencang. Laila langsung terbatuk-batuk. Rumiyah langsung mengerutkan dahinya.
"Rapatkan kerudung dan jubahmu, Nona, sebentar lagi kita akan sampai ke gerbang kota," ucap Rumiyah menenangkan Laila
Sebelum petualangan mencari kupu-kupu dimulai. Seperti biasa Rumiyah menemani majikan kecilnya, Laila bermain dan membaca buku di kamar. Laila senang bisa memiliki teman yang sebaya, apalagi sesama perempuan. Sehabis bermain saling menghias diri, lanjut membaca buku. Rumiyah buta aksara, Laila mengajarinya mengenal huruf arab dan menulis.
"Sini, kuajari kau menulis namamu," ajak Laila sambil mengambil alih pena di tangan Rumiyah, lalu mengambil selembar kertas, "Perhatikan," lanjutnya.
Rumiyah mengamati cara penulisan nama Rumiyah dalam tulisan arab yang sangat mudah. Rumiyah termasuk orang yang cepat belajar banyak hal, sehingga tak sulit bagi Laila untuk mengajarinya.
"Ayo, coba. Kau sekarang tulis namamu di sini,"pinta Laila.
Rumiyah mencoba meniru tulisan Laila. Sempurna. Rumiyah bisa menulis sedemikian mirip dengan tulisan Laila.
"Rumiyah, kau tahu aku benar-benar bosan di rumah terus. Apa kau mau menemani aku jalan-jalan melihat dunia luar. Aku suka melihat pemandangan, tapi kau tahu kesehatanku sangat buruk. Seandainya ibuku masih ada, aku ingin dia mengajakku kemana saja," keluh Laila.
Rumiyah berhenti menulis, lalu menatap Laila dengan simpati.
"Aku tahu tempat yang indah. Ada sebuah bukit dekat sungai, tapi di luar benteng kota. Di sana ada sebuah taman bunga dan banyak sekali kupu-kupu. Nona mau menangkap kupu-kupu?" tawar Rumiyah.
Wajah Laila seketika cerah.
"Ayo ... ayo ... Sssst ... kita keluar secara diam-diam ya, jangan sampai Bibi Khanum tahu," jawab Laila senang.
"Baiklah," ujar Rumiyah. "Aku ambilkan jala penangkap kupu-kupu," lanjut Rumiyah.
"Aku siap-siap dulu. Jangan lupa bawa air minum," pinta Laila.
Mereka berangkat ke luar kota secara diam-diam melalui pintu gerbang samping, lalu berlari menuju jalan raya. Rumiyah menghentikan sebuah gerobak pengangkut barang, dan mengajak Laila menumpang gerobak sampai keluar kota. Rumiyah senang melihat majikan kecilnya begitu bahagia sampai akhirnya mereka lupa waktu. Menjelang senja sakit Laila kambuh. Gadis kurus berpipi kemerahan itu mulai sesak napas dan batuk-batuk membuat Rumiyah khawatir.
Rumiyah menggendong Laila sampai di depan gerbang kota Samarkand. Sebuah kota yang menyambut mereka dengan riuh rendah orang yang keluar masuk kota. Tempat para kafilah dagang singgah di sepanjang rute jalur sutera, di sebuah peradaban yang disebut Khawarizm.
*Kincir air
BAB 6 MUAZZAM YANG BAIK
"Awan di langit hitam bergulung. Bukan karena awan hujan, tapi kepulan asap mesiu dan bom yang menutupi langit hingga menghitam. Suara derap kuda meringkik panik dan ketakutan. Jerit manusia yang menghadapi ajalnya ditingkah suara kemarahan menggaung seantero perbatasan antara Dinasti Jin dan Dinasti Song. Sebuah peperangan meletus di antara kedua kerajaan,"
"Di tengah peperangan itu ada sosok yang tinggi besar gagah dalam balutan baju besi. Pedangnya tajam dan lebar, bergagang panjang, menebas leher para prajurit dari Song. Wajahnya keras seperti perisai besi dengan jenggot yang panjang, berwarna merah bak jenggot naga. Matanya berkilat dengan bara api yang memancar menggetarkan musuh. Dia adalah sang Jenderal dari negeri Jin yang akan memukul mundur para prajurit dari Song. Untuk memukul mundur prajurit yang mengepungnya, dia mengeluarkan kekuatan tenaga dalamnya..."
Braaaak!
Suara pintu kayu terbuka.
Rumiyah terkejut. Fantasinya tentang peperangan di sebuah negeri di Timur langsung buyar. Sosok laki-laki tua bermata sipit dan berjenggot panjang penuh dengan uban juga langsung berhenti mendongeng. Mereka terkesiap melihat sosok yang berdiri di depan pintu.
Rumiyah sedang duduk dihadapan seorang penjual buku yang senang mendongeng tentang negeri asalnya. Lelaki tua itu tinggal di sebuah rumah kayu di tengah kota. Rumahnya penuh dengan buku-buku yang di susun di rak-rak dan bertumpuk-tumpuk di meja. Sebuah jendela berkaca terbentang lebar menghadap jalanan kota yang ramai lalu lalang orang, kereta berkuda dan pedagang jalanan. Terlihat wajah Rumiyah langsung kecewa karena dongeng si Lelaki Tua terinterupsi.
"Ruumiyaah, ayo cepat. Nona Laila sudah menunggu obatnya, jangan dengarkan ocehan tukang dongeng itu!" cetus seorang perempuan yang menggunakan kerudung katun panjang menutupi hampir seluruh tubuhnya.
Rumiyah menghela napas kesal pada perempuan tua yang membawa keranjang rotan di tangannya.
"Haah, Bibi Khanum. Anda tahu ... cerita Baba baru saja masuk babak yang seru," keluh Rumiyah.
"Ayo cepat," ajak perempuan yang bernama Bibi Khanum dengan nada tegas.
Rumiyah turun dari kursi kayunya, lalu memperbaiki sorban penutup kepalanya.
"Rumiyah cepat pulang ... ayo cepat. Nanti lain kali kita sambung lagi ceritanya," ucap Baba Tua sang Pendongeng.
"Baiklah ... dua buku ini kubawa ya. Nona Laila pasti akan senang membacanya," ucap Rumiyah sambil tersenyum, lalu mengambil dua buah buku dari atas meja.
"Baiklah ... baiklah ... hati-hati di jalan ya. Semoga Nona Laila segera sembuh. Aaah, jangan lupa ini," ucap Baba Tua sambil tersenyum ramah, tangannya mengambil sesuatu dari rak, lalu mengangsurkan sebuah kantung kain penuh dengan permen.
Rumiyah tersenyum.
"Terima kasih," ucapnya.
Rumiyah beranjak berjalan menuju pintu keluar, lalu mengikuti Bibi Khanum yang berjalan cepat di depannya.
"Kau ini, tunggu saja sampai ibumu pulang," ancam Bibi Khanum sambil menepuk kepala Rumiyah. Rumiyah hanya nyengir, lalu tersenyum.
Rumiyah harus berlarian mengejar langkah Bibi Khanum. Kakinya yang mungil tak sepadan dengan langkah si Perempuan Tua yang berkaki panjang. Perempuan itu baru saja dari toko obat untuk membelikan obat untuk nonanya.
***
Rumiyah berjalan terpincang-picang mengikuti Bibi Khanum masuk ke sebuah rumah yang megah di tengah kota Samarkand. Sebuah rumah bertembok tinggi dengan penjagaan prajurit yang ketat. Para prajuritnya berwajah sangar, menggunakan baju besi dengan baldrik * sebagai tempat menggantungkan pedang. Di kepala mereka menggunakan helm besi perunggu berbentuk lancip yang disebut turikah dan aventail besi yang melindungi leher dan wajah. Rumah itu milik seorang panglima perang pasukan Rasyidin, orang-orang mengenalnya dengan panggilan Tuan Nashruddin, ayah Laila. Di rumah yang berhalaman luas dan memiliki bangunan rumah yang megah berlapis pualam itulah keluarga Rumiyah berkhadimat.
"Bibi, apakah aku boleh ke kamar Nona Laila?" tanya Rumiyah saat kaki mereka menginjak halaman dapur di bangunan paling belakang komplek rumah.
"Tak boleh, biar Nona istirahat dulu. Sebaiknya kau bantu Tuan Ja'far mengurusi kandang kuda," perintah Bibi Khanum.
"Baiklah," Rumiyah mengalah, lalu keluar dari dapur menuju ke belakang rumah tempat para pelayan tinggal.
Rumiyah langsung merengut. Dia ingin protes tapi ditahannya. Dia tak ingin mendapatkan murka yang lebih kejam lagi selain diomeli Bibi Khanum. Rumiyah menghela napas sambil memandang buku-buku dan sekantong permen yang ada di tangannya. Dia merasa kesepian tanpa Nonanya.
Salah Rumiyah membuat Laila sakit. Sejak bayi Laila memiliki tubuh yang lemah dan mudah sakit. Dia hanya berada di dalam rumah dan jarang keluar. Laila suka membaca buku, terutama buku-buku dongeng dan ensiklopedi yang menceritakan dunia luar. Oleh karena itu, dia sering meminta Rumiyah membeli buku untuknya dengan balasan mengajari Rumiyah membaca, menulis, dan saling menyimak hafalan Al Quran yang diajarkan oleh Guru Syeifiddin.
Rumiyah suka berpetualang. Ada banyak hal baru yang ia temukan, terutama sebuah bukit hijau yang penuh dengan bunga dan kupu-kupu. Laila iri dan akhirnya meminta Rumiyah untuk mengajaknya jalan-jalan secara sembunyi-sembunyi keluar dari rumah. Mereka bermain di bukit sampai lupa waktu. Mereka sampai gerbang kota saat senja. Sesampainya di rumah Laila pun jatuh sakit, demam tinggi. Semua panik dan Rumiyah hanya bisa menangis karena merasa bersalah.
Bibi Khanum pengasuh Nona Laila marah besar karena Rumiyah berani mengajak Laila keluar rumah, apalagi sampai keluar benteng. Bibi Khanum menghukum Rumiyah dengan pukulan rotan di kaki. Rumiyah menangis, menjerit sejadi-jadinya. Omelan dan sumpah serapah Bibi Khanum menggema di halaman dapur. Rumiyah masih beruntung, datang sosok penolong baginya. Nona Maryam, kakak Laila memerintahkan Bibi Khanum berhenti menghukum Rumiyah.
Sejak saat itu, Rumiyah lebih memilih untuk tidak membuat masalah terhadap Bibi Khanum. Sosoknya yang tinggi besar, berhidung runcing dengan garis wajah yang tegas, jarang tersenyum jika menghadapi para pelayan. Tapi Rumiyah yakin, di sudut hati Bibi Khanum ada kelembutan seorang ibu, dia pengasuh Nona Laila. Sikapnya yang demikian protektif karena melindungi Nona Laila yang memang lemah sejak kecil.
***
Kaki mungil Rumiyah berlarian menuju ke istal kuda. Ada sebuah bangunan batu besar di sudut lembah sebagai tempat kandang kuda. Lembahnya landai dan berpagar kayu tinggi. Sekawanan kuda berlarian ke sana kemari. Kuda-kuda itu baru datang dari Ferghana milik Tuan Nashruddin. Dari kejauhan Rumiyah melihat para penjaga kuda mencoba menjinakkan kuda-kuda yang besar dan gagah.
Rumiyah mencoba masuk ke area kandang kuda, tapi badannya yang pendek tak bisa menjangkau pengait pintu.
"Huuuh, tinggi sekali," batin Rumiyah lalu diam berpikir. Wajahnya merengut.
Tak kehilangan akal Rumiyah akhirnya dia naik ke kayu pagar untuk naik, tapi tiba-tiba tubuhnya melayang begitu saja. Ada seseorang yang mengangkat badannya dengan mudah, lalu menggendongnya di atas pundak. Rumiyah menoleh.
"Tuan muda," sapa Rumiyah sambil tertawa kecil kegirangan.
"Rumiyah, kita terbaaaaaang!" teriak lelaki itu.
Rumiyah berteriak kegirangan. Dia merasa terbang ketika duduk di pundak Tuan Muda Muazzam, kakak tertua keluarga Tuan Nashruddin. Rumiyah bisa mencium bau harum tuan mudanya. Bau harum yang manis bercampur bau madu. Lelaki itu selalu menjadi idolanya. Dia baik hati, sama halnya dengan Tuan Nashruddin. Para pelayan dianggap seperti keluarga sendiri.
Wajah Muazzam tampan, matanya tidak terlalu lebar, hidungnya mancung, alisnya tebal, bibirnya tipis dengan garis wajah yang tegas. Saat usia lima belas tahun, dia selalu mengikuti ayahnya melakukan tugas keprajuritan. Sosoknya tidak tinggi, tapi berbadan tegap, ahli pedang dan panah.
Rumiyah beruntung hari ini bisa bertemu dengan Muazzam, lelaki itu pasti akan mengajaknya berlatih berkuda, walau ibunya selalu melarangnya untuk mengajari Rumiyah, karena Rumiyah masih kecil dan seorang perempuan. Muazzam selalu saja menolak argumentasi Shafiyya Dia melihat Rumiyah memliki potensi yang bagus. Dia memiliki darah ksatria dan berjiwa bebas, hal itu harus diasah. Muazzam berpendapat, Rumiyah cocok menjadi seorang prajurit wanita.
"Rumiyah, pernahkah kau mendengar nama Khaulah binti Azur?" tanya Muazzam suatu saat mengajari Rumiyah berkuda di lembah. Mereka duduk beristirahat di padang rumput dekat kandang kuda.
"Siapa dia?" tanya dengan semangat.
Rumiyah yang suka dengan cerita langsung duduk dengan penuh antusias, matanya yang kebiruan langsung berbinar.
"Khaulah ini seorang ksatria wanita yang ikut berperang bersama Rasulullah dan bersama para sahabat. Dia gemar bermain pedang dan tombak sejak kecil. Dalam suatu riwayat, dia ikut berperang bersama sahabat nabi Khalid bin Walid menghadapi Romawi. Sosok yang luar biasa ini, sangat memukau dan mendongkrak semangat para prajurit yang lainnya. Ada juga sosok Nusaibah binti Ka'ab. Dia perempuan bermental baja dan berjiwa ksatria. Ketiga anaknya dan suaminya gugur di medan perang. Dia juga ikut berperang. Dia yang melindungi Rasulullah saat perang Uhud. Bahkan saat perang Yamamah bersama Khalid bin Walid, dia kehilangan satu tangannya," cerita Muazzam lalu memandang Rumiyah yang duduk dengan serius menatapnya.
"Apa kau tak ingin seperti mereka?" tanya Muazzam dengan serius.
Raut Rumiyah berubah kecewa, lalu menghela napas.
"Eh kenapa kau seperti itu? Apakah kau tak ingin seperti mereka?" tanya Muazzam lagi.
Rumiyah menatap tuan mudanya.
"Aku kecewa karena gaya berceritamu buruk sekali. Berbeda dengan Baba. Dia pintar sekali mendongeng, tidak sepertimu," jelas Rumiyah.
Muazzam diam, lalu tertawa kecil.
"Kau gadis kecil. Mungkin pikiranmu belum sampai ke sana," gumam Muazzam mengomentari Rumiyah. Dia langsung berdiri dari duduknya, lalu mengulurkan tangannya ke arah Rumiyah.
"Ayo kita latihan lagi, kalau kau mahir berkuda, akan kuhadiahi kau seekor kuda putih yang cantik," ajak Muazzam.
Rumiyah tersenyum lebar, wajahnya cerah.
"Janji?" tanya Rumiyah.
Muazzam mengangguk sambil tersenyum manis.
Tanpa menunggu lama Rumiyah langsung berdiri. Dia berlari ke arah dua kuda cokelat yang dibiarkan makan rumput di dekat mereka. Dia mengabaikan tangan Muazzam yang masih terulur ke arahnya. Muazzam memandang Rumiyah. Dia senang Rumiyah begitu semangat belajar.
Rumiyah langsung naik ke atas kuda. Muazzam menemaninya dengan menunggangi kuda yang lainnya.
Rumiyah memandang lurus ke depan. Dia juga ingin seperti para ksatria wanita yang diceritakan tuan mudanya. Dengan senyum yang merekah dia mencoba menghentak kudanya agar melaju dengan cepat. Menyongsong langit biru dan hijaunya lembah gunung Samarkand.
*Ikat pinggang
BAB 7 HUMAYUN
Sebuah pedang akan tajam jika diasah. Sebuah besi akan menjadi berguna jika ditempa dan dibentuk. Dibakar dalam kesengsaraan, dikepung api yang membarakan kesabaran. Rumiyah berjalan di bawah terik matahari menuju ke kandang kuda. Di tangannya sebuah sekop dan keranjang yang akan digunakan untuk membersihkan kandang kuda.
Tangan mungilnya sudah terbiasa bekerja keras sejak kecil. Tak mudah menjadi anak seorang pelayan, hidupnya penuh kerja keras. Tak pelak di umurnya yang masih tujuh tahun, tangan dan kakinya sudah penuh kapalan, karena pekerjaan kasar yang digelutinya. Tak pernah sekalipun dia menggunakan baju sutera dan kerudung indah seperti para bangsawan. Yang dia pakai hanya dari bahan katun kasar dan sepatu kulit yang terkelupas. Celana, gamis dan rompinya kumal dan hanya memiliki dua pasang baju saja.
Walau dari keluarga pelayan rendahan, dia tak kurang kasih sayang dari ibunya. Shafiyya, ibunya perempuan yang tegas, tapi sabar. Ada saat dia diomeli karena sebuah kesalahan, tapi Rumiyah menganggap itu bentuk kasih sayang ibu padanya. Rumiyah tahu ibunya memiliki hati yang lembut di balik ketegasannya.
Rumiyah ingat setelah dipukuli Bibi Khanum, Maryam, kakak Laila mengantarnya pulang sambil tertatih-tatih. Ibunya langsung memukul pantatnya begitu tahu duduk permasalahannya. Walau setelah itu ibunya memandangnya dengan rasa kasihan, lalu memeluknya. Disingkapnya celana Rumiyah, dan diperiksanya bilur-bilur merah bekas pukulan rotan di betisnya. Shafiyya menghela napas.
"Baru saja kutinggal sehari kau sudah membuat masalah. Rumiyah, sudah kubilang jangan ajak Nona Laila melakukan hal yang aneh-aneh. Lihat hasil dari kelakuanmu. Tengkurap di situ, ibu akan mengambilkan obat untukmu," ucap Shafiyya.
Rumiyah hanya diam saja tak mendebat, dia memandang ibunya. Perempuan yang baik itu menghilang dari balik tirai, lalu masuk ke dalam kamar lagi membawa obat oles dalam botol keramik.
"Tahan, jangan merengek," ucap ibunya.
Rumiyah mengangguk. Menahan sakit sambil nyengir kesakitan. Tak ada keluh mengaduh dari bibirnya. Air matanya mengembun, memerahkan matanya, tapi dia harus tahan semua kepedihan yang dia terima.
"Maafkan ibu. Ibu sudah memukulmu. Kau tahu Nona Laila lemah. Jika terjadi apa-apa dengan Nona Laila, keluarga kita juga takkan lepas dari hukuman. Ibu juga akan kehilangan pekerjaan. Tuan Nashruddin sangat menyayangi Nona Muda. Ada baiknya kau tahu diri. Ada baiknya kau dipukul Bibi Khanum, sebagai pelajaran agar kau tahu batasan," omel Shafiyya dengan suara yang rendah.
"Nona Laila ingin tahu dunia luar ibu. Aku tak sampai hati menolak keinginannya. Aku tahu dia sering sakit-sakitan. Mana bisa aku menolak keinginannya untuk melihat dunia di luar benteng," ucap Rumiyah mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.
"Kau harus tahu batasan. Paham!" cetus Shafiyya.
"Ya, aku tahu aku salah," ucap Rumiyah.
"Bagus kalau kau tahu," ujar Shafiyya, "Jangan diulangi lagi," lanjut Shafiyya.
Rumiyah mengangguk, sambil masih nyengir menahan pedih di betisnya. Setelah diobati, Rumiyah duduk dihadapan ibunya. Shafiyya menatap Rumiyah lalu memeluknya.
Setiap hari Rumiyah bangun sebelum subuh, membantu ibunya menyalakan tungku lalu sholat. Setelah sarapan roti gandum kasar, ibunya akan memandikannya dengan air hangat, lalu memasangkan baju, dan menyisir rambutnya yang berwarna hitam panjang. Menganyam lalu mengikatnya.
***
Siang itu, seperti biasa, setelah membantu keperluan Nona Laila, Rumiyah membersihkan kandang kuda. Dia masuk ke dalam kandang. Diedarkannya pandangannya ke arah kandang-kandang kuda yang kosong, karena semua dibawa keluar oleh para pelatih. Ada sepuluh sekat ruang yang harus dibersihkannya di bangunan batu yang kokoh itu.
Bau air kencing dan kotoran kuda menguar ke udara. Rumiyah menutup wajahnya dengan ujung kain kerudungnya sambil menghela napas. Dia menaruh sekop dan keranjang di sudut ruang, lalu mengambil ember kayu yang akan dipakai mengambil air di sumur yang tak jauh dari gudang rumput makanan kuda.
Rumiyah membawa ember kayu menuju sumur yang ada di belakang kandang. Dia mengambil air secukupnya, lalu membawanya kembali ke kandang kuda.
Tiba-tiba Rumiyah mendengar sebuah suara mencurigakan dari arah ruangan penyimpanan rumput makanan kuda. Rumiyah mengerutkan dahi, curiga. Siapa tahu itu suara hewan liar yang sering tersesat ke kandang kuda. Rumiyah mengendap-endap menuju asal suara sambil membawa ember kayu berisi air.
Kroosaaak!
Rumiyah mendengar suara lagi, lalu...
Byuuurrr!
Rumiyah menyiramkan air seember yang dibawanya ke arah sumber suara di balik tumpukan jerami kering.
"Whoooaaaa!"
Sebuah suara teriakan histeris terdengar nyaring dari balik tumpukan jerami.
"Siapa yang telah kurang ajar menyiramku!" ucap suara protes dengan nada marah.
Rumiyah terkesiap. Dia membelalakan matanya karena terkejut, tak disangkanya yang ada di balik tumpukan jerami adalah manusia. Rumiyah berjalan mendekat perlahan menuju balik tumpukan jerami. Raut wajahnya penasaran bercampur ketakutan. Dia melihat seorang anak laki-laki gendut basah kuyup dengan sebuah ayam goreng madu sebesar paha anak kecil di tangannya. Di sekeliling kakinya juga berbagai macam buah-buahan dan kue-kue.
"Siapa kamu?" tanya Rumiyah sedikit khawatir.
Melihat dari penampilan si Anak Gendut, dia seorang bangsawan. Bajunya bagus, kaftannya bersulam indah dengan sorban berwarna keemasan.
"Kau," hardik si Anak gendut dengan wajah kesal, "Apa kau tidak melihat siapa yang kau siram?" lanjut anak laki-laki beralis tebal berhidung mancung.
Mata si Gendut berwarna cokelat terang jernih, bulu matanya lentik, pipinya tembem kemerahan, tapi tubuhnya yang gendut sungguh membuatnya terlihat buruk dimata Rumiyah. Jemarinya gemuk-gemuk dengan beberapa cincin besi bermata indah.
"Maafkan saya Tuan. Saya tak tahu. Saya kira hewan liar yang sering menyusup dalam kandang kuda. Maafkan saya," ucap Rumiyah dengan mimik ketakutan.
Anak gendut itu masih memasang wajah kesal.
"Lihat semua makananku. Semuanya basah kuyup gara-gara kamu," hardik si Gendut.
"Sungguh saya minta maaf. Saya tak tahu jika Tuan ada di situ," ucap Rumiyah lagi.
Tiba-tiba telinga Rumiyah mendengar suara teriakan yang tak asing. Dari kejauhan terdengar suara Bibi Khanum sedang berteriak-teriak.
"Kemana semua makanan di meja?" teriak perempuan itu, "Ada pencuri ... ada pencuri!" teriak Bibi Khanum lagi histeris.
Rumiyah langsung menoleh, menatap si Gendut dengan wajah melongo lalu berubah kesal.
"Kau yang mencuri makanan di dapur?" tanya Rumiyah curiga pada si Gendut.
Si Gendut yang merasa ketahuan langsung gemetaran. Ayam di tangannya langsung jatuh.
"Aduh ... aduh ... ketahuan ... ketahuan," ucap si Gendut panik.
"Kau ... dasar pencuri," hardik Rumiyah balik.
Dia tak menyangka seorang bangsawan bisa mencuri makanan.
"Tolong aku. Bibi Khanum pasti akan marah besar," mohon si Gendut sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya memohon pada Rumiyah.
Rumiyah tak bisa berkata-kata. Dia hanya mengarahkan telunjuknya ke arah si Gendut.
"Kau," ucap Rumiyah kesal.
Terdengar suara langkah kaki mendekat ke gudang rumput.
"Cepat sembunyi," ucap Rumiyah sambil menutupi makanan yang ada di lantai dengan jerami.
Si Gendut pun duduk berjongkok ketakutan di balik tumpukan jerami. Rumiyah menurunkan jerami, lalu ditutupkan ke atas tubuh si Gendut.
"Rumiyah," suara seorang pelayan menyapa Rumiyah.
Rumiyah menoleh.
"Apa kau melihat seseorang yang mencurigakan lewat sini?" tanya pelayan itu
Rumiyah menggeleng.
"Tak ada orang lewat sini," jawab Rumiyah berbohong demi menutupi kelakuan si Gendut.
Si Pelayan mengangguk.
"Baiklah, jika ada yang mencurigakan cepat melapor. Makanan untuk tamu dari Urgench tetiba hilang. Kau tahu betapa murkanya Bibi Khanum," terang si Pelayan.
"Baik," jawab Rumiyah.
Si Gendut badannya panas dingin ketakutan di bawah tumpukan jerami. Setelah pelayan itu pergi, Rumiyah menuju tempat persembunyian si Gendut.
"Keluarlah!" perintah Rumiyah.
Tumpukan jerami pun bergerak, lalu kepala si Gendut pun muncul.
"Sudah aman," ucap Rumiyah.
Si Gendut menganggukkan kepala. Rumiyah melepas rompinya lalu mengambili makanan yang tertumpuk oleh jerami.
"Tak kusangka kau seorang bangsawan bisa mencuri makanan. Apakah kau kelaparan?" tanya Rumiyah sambil masih sibuk membersihkan bekas makanan si Gendut.
"Aku ... aku ... lapar," ucap si Gendut terbata sambil masih duduk di samping Rumiyah.
Rumiyah menoleh heran.
"Berapa ruang perutmu? Pantas badanmu gemuk seperti itu. Makanmu banyak sekali," sindir Rumiyah.
Dia menatap makanan enak yang ada di tangannya. Ayam goreng madu yang sia-sia, kue-kue dan buah-buahan yang basah kuyup. Rumiyah merasa sayang jika makanan itu dibuang. Dia sendiri tak pernah kenyang makan dengan selembar roti gandum. Rasanya ingin menangis sambil meneguk liur melihat makanan itu.
"Aku disuruh diet oleh ayahku. Selama dua hari ini dalam perjalanan dari Urgench ke Samarkand aku tak diizinkan makan selain bubur," ucap si Gendut yang berumur sekitar dua tahun lebih tua dari Rumiyah.
"Pantas," gumam Rumiyah, lalu berdiri sambil membungkus makanan bekas si Gendut.
"Akan kau bawa kemana makanan itu?" tanya si Gendut.
"Aku akan membuangnya. Semua ini akan memberatkanku nanti. Siapa tahu mereka akan menuduhku mencuri makanan jika masih ada di sini," terang Rumiyah.
Wajah si Gendut terlihat murung, tak rela. Rumiyah heran.
"Kau masih mau makan ini?" tanya Rumiyah.
Si Gendut langsung tersenyum lebar. Rumiyah melongo.
"Baiklah. Ini ... sayang juga jika dibuang," ucap Rumiyah sambil menyodorkan rompinya yang berisi makanan.
Si Gendut dengan wajah cerah langsung mengambilnya, lalu duduk di pojokan. Dia membuka buntalan rompi, lalu memakan dengan lahap.
"Whoaaa ... rakus sekali," batin Rumiyah melihat si Gendut makan dengan lahapnya.
Melihat Rumiyah hanya berdiri menatapnya, si Gendut pun berhenti makan.
"Kau mau?" tanya si Gendut menawarkan makanan.
"Tuan Barka mengajarkan tidak boleh memakan makanan yang haram," tegas Rumiyah.
"Tapi kenapa kau tadi berbohong?" tanya si Gendut.
Rumiyah langsung kesal.
"Kau dasar tak tahu terima kasih sudah ditolong," hardik Rumiyah, "Kau tak tahu betapa kejamnya Bibi Khanum. Pantatmu bisa terbelah empat dipukulnya jika ketahuan," terang Rumiyah melebih-lebihkan.
Si Gendut langsung mengkerut memegang pantatnya. Rumiyah tersenyum.
"Hah anak laki-laki pengecut," gumam Rumiyah pelan, "Aku pergi dulu. Kau makan yang tenang di sini," ucap Rumiyah hendak pergi.
"Kau temani aku di sini. Kumohon," ucap si Gendut.
Rumiyah berhenti melangkah, lalu berbalik. Dia menghela napas menahan kesal.
"Kau ckckckck ... benar-benar," jawab Rumiyah kesal, tapi kakinya melangkah mendekat si Gendut.
"Duduk di sini. Temani aku makan sampai selesai," pinta si Gendut.
"Baiklah, cepat. Jika kau bukan tamu Tuan Nashruddin mana mau aku menemanimu di sini," terang Rumiyah.
"Siapa namamu?" tanya si Gendut sambil makan kue bolu.
Rumiyah menatap jemari si Gendut yang menyuapkan kue itu dengan lahapnya ke mulut.
"Rumiyah,"
"Aku, Humayun, anak Jenderal Mustafa dari Urgench. Terima kasih sudah menolongku. Aku berhutang kebaikan kepadamu, suatu saat aku akan membalas kebaikanmu," ucap si Gendut sambil mengunyah makanan.
Rumiyah tersenyum geli melihat selera makan si Gendut. Wajah si Gendut sampai kemerahan dan berkeringat.
"Aku akan tinggal lama di Samarkand. Ayahku akan memasukkanku ke madrasah Tuan Syeifiddin dan belajar kemiliteran. Kita akan sering bertemu," cerita Si Gendut.
Humayun terus saja nyerocos bercerita tentang dirinya, rumahnya, orang tuanya, kota Urgench sambil mengunyah makanan. Rumiyah mendengar semua cerita Humayun dengan setia. Suara serangga musim panas terdengar indah, ditingkah suara Humayun yang dengan semangat bercerita tentang dunianya di kota Urgench, ibu kota negeri Khawarizm.
BAB 8 MENUNTUT ILMU DI MADRASAH AL ILM
Cericit burung-burung Skylark di padang rumput memeriahkan pagi. Rumiyah baru saja dimandikan ibunya. Dia berdiri di atas ranjang tidurnya memakai selembar kain membalut tubuhnya yang kurus. Dia memandang langit di luar rumah melalui jendela dengan dua mata birunya yang bening. Hari ini cerah secerah hati Rumiyah. Hatinya gembira karena Maryam akan mengajaknya ke madrasah Tuan Syeifiddin untuk belajar agama.
“Rumiyah, pakai ini,” ucap Shafiyya muncul dari balik tirai sambil membawa baju sutera indah merah kombinasi biru tua bersulam emas.
Rumiyah menoleh, lalu turun dari ranjang. Dia melompat begitu saja dengan semangatnya.
“Ini baju dari Nona Laila. Pakailah!” pinta ibunya.
Rumiyah tersenyum, lalu memasang baju dan celananya.
Ibunya mengambil minyak rambut yang berbau harum mawar dan sisir.
Setelah Rumiyah memasang baju, dia duduk di dekat ibunya di tepi ranjang yang terbuat dari kayu dan selimut tipis sebagai pengganti kasur.
Belajar yang rajin. Dengarkan nasehat Tuan Syeifiddin. Jangan jauh-jauh dari Nona Maryam,” nasehat ibunya sambil meminyaki rambut Rumiyah.
“Ya, aku akan selalu di dekat Nona Maryam,” janji Rumiyah.
“Akan ada banyak pengunjung hari ini di madrasah, jaga sikapmu. Ya, sudah selesai. Jangan lupa pena dan bukumu. Catat yang baik,” nasehat Shafiyya tanpa lelah pada anak gadisnya. Shafiyya telah selesai mengikat rambut anaknya. Dipandanginya wajah Rumiyah. Tiba-tiba sekelebat rasa sedih menelusup di dalam hatinya. Shafiyya teringat masa lalunya saat memandang gadis kecil bermata biru yang ada di hadapannya.
“Berangkatlah,” ucap Shafiyya.
Rumiyah mengangguk. Dia mengambil selembar kerudung sutera merah, lalu memakainya sebagai penutup kepala. Ujung kerudungnya diikatkan di bawah dagu. Ibunya membantu memasang sepatu kulit. Rumiyah tersenyum memandang sang ibu lalu memeluknya.
Shafiyya begitu bangga pada Rumiyah. Hari ini pertama kali Rumiyah memakai baju sutera, walau pemberian orang lain. Hari ini juga pertama kali Rumiyah diizinkan untuk ikut ke madrasah agama bersama nona-nona majikannya. Rumiyah berlari keluar rumah dengan gembira. Langkah mungilnya menderap dengan semangat ingin menuntut ilmu.
Shafiyya memandang kepergian Rumiyah dengan air mata yang berembun di pelupuk matanya. Dia menghela napas, lalu masuk ke dalam rumah. Dia menuju kamarnya, lalu berjalan menuju sebuah lemari kayu yang sudah usang. Dia membuka laci, lalu mengambil sebuah bungkusan kain. Shafiyya membuka kain itu yang ternyata sebuah baju bayi yang dipakai untuk membungkus sebuah belati bergagang merah dengan hiasan batu mulia yang indah.
“Rumiyah, tak terasa sudah tujuh tahun,” gumam Shafiyya sambil mengelus belati itu, “Maafkan saya … maafkan saya,” lanjut Shafiyya mulai menangis, lalu membungkus kembali belati itu ke dalam baju bayi dan menyimpannya ke dalam laci. Shafiyya menyeka air matanya lalu keluar dari kamar.
***
Rumiyah menyusuri lorong rumah Tuan Nashruddin menuju kamar Laila sambil sesekali melompat-lompat kegirangan. Langkahnya berhenti saat mendengar suara dengan nada tinggi dari dalam kamar.
“Aku tak mau pakai yang itu. Aku mau pakai yang ini!” teriak seseorang dari dalam ruang berpintu kayu berukir indah di depan Rumiyah.
“Pasti cerewet lagi pas pakai baju,” batin Rumiyah mengomentari Laila yang begitu cerewet dalam masalah penampilan.
Rumiyah mendorong pintu, lalu masuk begitu saja. Laila memandang ke arah Rumiyah yang sudah cantik berdandan. Mata Laila berbinar mengagumi Rumiyah yang terlihat berbeda dari biasanya.
“Whoooaaa kau cantik sekali hari ini. Baju itu cocok denganmu. Bibi … bibi … aku mau pakai baju yang warnanya sama dengan Rumiyah. Baju yang kuning ini sungguh tak cocok dengan warna kulitku yang seputih salju,” cerocos Laila sambil membuang baju dan kerudung kuning bersulam emas ke atas ranjang empuk miliknya.
Pelayan rumah hanya mengangguk, lalu mengambil kembali baju yang dilempar Laila. Sang pelayan kembali sambil membawakan baju berwarna merah dengan kerudung biru tua senada dengan baju milik Rumiyah.
“Kenapa kau begitu cerewet, Nona,” keluh Rumiyah.
Laila menoleh ke arah Rumiyah.
“Kau tak tahu hari ini akan ada banyak orang datang ke majelis, tentu saja aku akan berdandan sebaik mungkin,” terang Laila sambil mematut-matut diri di depan cermin yang lebar.
Rumiyah berjalan mendekat pada Laila, lalu ikut juga bercermin mematut diri.
“Terima kasih bajunya. Ini cantik sekali,” ucap Rumiyah sambil mengembangkan ujung roknya lalu berputar.
Laila tersenyum lebar.
“Kalau kau mau, nanti biar kusortirkan baju-bajuku untuk kau pakai. Kau tak pernah memakai baju perempuan. Jika kau terbiasa seperti itu, kapan kau akan bertingkah layaknya perempuan,” nasihat Laila.
“Terima kasih Nona,” ujar Rumiyah sambil membantu memasangkan kerudung untuk Laila.
Seorang pelayan mengetuk pintu.
“Nona Maryam sudah menunggu Anda di halaman depan,”
“Baiklah,” ajak Laila
“Ayo,” jawab Rumiyah yang berjalan di samping Laila keluar dari kamar.
Laila mengendus-endus ke udara, lalu hidungnya mengendus ke arah Rumiyah.
“Bau harum apa ini? Kau memakai minyak wangi?” tanya Laila sambil masih mengendus-endus ke arah Rumiyah.
“Ih apa sih?” ucap Rumiyah tertawa geli melihat tingkah Laila, “Ini bau minyak rambut buatan ibuku. Jika Nona berkenan biar nanti kuminta ibuku membuatkan untukmu,” tawar Rumiyah.
Laila tersenyum gembira.
“Boleh … boleh … aku ingin minyak yang memiliki harum bunga Gardenia,” terang Laila.
“Baiklah, nanti sepulang majelis, akan kucarikan bunga gardenia yang banyak di bukit dekat sungai,” janji Rumiyah.
“Ayo cepat, nanti kita tak dapat tempat yang di depan,” ajak Laila sambil menggandeng tangan Rumiyah menyusuri lorong rumah yang indah berornamen abstrak berlapis marmer dengan tanaman sulur dan bunga-bunga menghiasi tiang-tiang.
***
Jalanan kota sangat ramai orang berlalu lalang. Kereta-kereta kuda juga ikut memenuhi badan jalan. Gerobak-gerobak yang ditarik sapi juga membuat lalu lintas berjalan merayap. Kereta berkuda yang ditumpangi Maryam, Laila dan Rumiyah tak bisa melaju dengan kencang. Muazzam naik kuda mendahului di depan kereta, memberi jalan agar kereta bisa lewat tanpa halangan.
Rumiyah memandang keluar melihat keramaian. Anak matanya menangkap sosok yang berkuda di simpangan jalan menuju ke arah yang sama dengan kereta yang mereka tumpangi.
“Eh itu Tuan Ozturk, beliau kembali dari Utara, pasti yang ada dalam kereta itu Nona Hamida,” ucap Rumiyah.
“Ah ya benar. Apakah mereka juga akan ke majelis Tuan Syeifiddin?” tanya Laila.
“Bisa jadi. Lihat … lihat telinga Kak Muazzam langsung memerah,” ucap Maryam sambil sedikit menyibak tirai kereta memandang ke arah kakaknya yang berkuda di depan.
Muazzam langsung menoleh ke arah belakang mendengar komentar Maryam yang tertangkap telinga. Terdengar suara tawa nyaring adik-adiknya. Muazzam tahu, mereka sedang menertawakan dirinya karena wajahnya memerah jika nama Hamida di sebut.
Muazzam dan Hamida akan melangsungkan pernikahan sebulan lagi. Tuan Nashruddin menjodohkan Muazzam dengan Hamida putri Tuan Ozturk, seorang panglima militer pasukan Zafer, yang menjaga perbatasan Khawarizm dengan Qara Khitai di Utara. Rumiyah hanya diam tanpa senyum melihat kereta Nona Hamida dari dalam kereta. Tiba-tiba hati Rumiyah terasa hampa, seakan ada rasa tak rela kehilangan Muazzam yang akan berangkat ke Otrar setelah menikah dengan Hamida.
***
Kereta yang ditumpangi Maryam dan yang lainnya berhenti di depan sebuah bangunan luas berdinding tinggi dengan dua gerbang lebar. Rumiyah turun lebih dahulu, lalu membantu Maryam dan Laila turun dari kereta. Muazzam sudah menghilang ke bagian lain bangunan untuk mengikat kuda. Pintu untuk laki-laki dan perempuan memang terpisah.
Kereta yang ditumpangi Hamida juga berhenti. Sosok perempuan pelayan turun dari kereta membantu seorang perempuan yang memakai baju tertutup sampai mata kaki. Kerudungnya tebal bersulam benang merah dan manik-manik menutupi kepala dan sebagian wajahnya.
“Assalamua’alaikum. Aku senang kalian juga hadir,” ucap Hamida menyapa ramah Maryam dan yang lainnya. Orang-orang yang hendak ikut majelis Tuan Syeifiddin sudah mulai berdatangan.
“Wa’alaikumsalam. Ayo cepat masuk, agar dapat duduk yang paling depan,” ajak Laila langsung menggandeng tangan Hamida.
Perempuan yang berumur sebaya dengan Maryam itu tersenyum lebar. Dia bersyukur adik-adik calon suaminya begitu baik dan ramah padanya.
“Ayo!” jawab Hamida sambil menggeganggam erat tangan mungil Laila.
Mereka berjalan bersama menyusuri halaman yang tertata indah. Pohon-pohon akasia dan pinus tumbuh menggerombol di latar bangunan yang tinggi bertiang besar-besar. Bangunan yang bercat merah bata dan krem itu madrasah milik Tuan Barka, saudara Tuan Syeifiddin yang pernah belajar langsung pada murid Abu Laits As Samarkandiy di Balkh. Khusus hari Kamis pagi Tuan Syeifiddin memang mengadakan majelis umum, tapi hampir tiap hari beliau bertanggung jawab bersama guru-guru yang lainnya mengajar secara klasikal.
Madrasah milik Tuan Barka memiliki kelas yang banyak, tersedia asrama, dan perpustakaan bagi para penuntut ilmu. Walau kondisi negeri sedang mengalami perang saudara dan perang menghadapi Qara Kithai di Utara, pendidikan dan aktivitas menuntut ilmu masih berjalan dengan lancar, walau kadang rasa was-was akan datang mendera jika suatu saat musuh datang menyerbu ke dalam kota.
***
Rumiyah duduk di atas sebuah pohon ceri yang ada di bukit dekat sungai. Angin semilir menggoyang anak rambutnya. Kerudungnya sudah tak karuan hanya dilingkarkan di leher dan dipundaknya. Dia membuka tas kulitnya, memeriksa bunga Gardenia yang baru saja dipetiknya. Bunga itu tumbuh liar dan subur di bukit dekat sungai.
Sepulang dari majelis, Rumiyah meminta izin turun dari kereta untuk mencari bunga. Rumiyah langsung melompat dari kereta dan berlari membaur di jalanan kota. Dia senang saat Maryam mengizinkan, dengan syarat segera pulang setelah memetik bunga.
Rumiyah benar-benar terkesan dengan majelis Tuan Syeifiddin. Sosok tua, berjenggot panjang dengan uban yang mendominasi, wajahnya teduh, dan menjelaskan setiap detail ilmu dengan lemah lembut. Rumiyah membuka buku yang tersimpan dalam tasnya. Dia sudah mencatat apa-apa yang disampaikan oleh Tuan Syeifiddin. Lelaki tua itu menjelaskan tafsir Al Qur’an surat Muhammad ayat 19, dan Rumiyah mencatat semua hadist yang disebutkan ketika membahas tentang Ilmu sebelum Amal.
“Maka ketahuilah, bahwa Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan memohonlah ampunan untukmu dan orang-orang beriman laki dan perempuan”
Ayat tersebut memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wasallam untuk berilmu terlebih dahulu dengan firman-Nya “Maka ketahuilah (berilmulah) …” sebelum berucap dan berbuat yaitu memohon ampunan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.
Rumiyah membaca dan menghafalnya kembali berulang-ulang. Tiba-tiba telinganya mendengar suara ribut di tengah hutan yang tak jauh dari tempatnya duduk. Rumiyah menoleh, lalu memasukkan kembali bukunya ke dalam tas. Dengan gesit Rumiyah turun dari pohon, lalu berjalan cepat menuju suara gaduh.
Rumiyah melihat Humayun sedang dikeroyok tiga anak yang sebayanya. Mereka mengejek Humayun dengan sebutan si gendut sambil mendorongnya sampai jatuh. Humayun dipukuli dan ditendangi. Rumiyah mendelik marah melihat kelakuan yang tak pantas itu. Rumiyah mengambil ketapel dalam tasnya, lalu mengambil beberapa batu di tanah. Batu-batu itu melesat mengenai kepala para pengganggu. Mereka mengaduh kesakitan, lalu menoleh. Mereka mulai ketakutan melihat siapa yang sudah menimpuk dengan batu.
“Itu Rumiyah … itu Rumiyah. Lebih baik kita pergi … ayo … ayo!” ajak salah seorang dari mereka yang ketakutan melihat Rumiyah berjalan mendekat.
Gerombolan pengganggu itu lari tunggang langgang. Rumiyah berjalan mendekati Humayun yang sedang meringis kesakitan. Tubuhnya kotor dan berdebu. Rumiyah merasa kasihan melihatnya. Rumiyah mengulurkan tangannya ke arah Humayun.
“Kau tak apa-apa?” tanya Rumiyah.
“Aku baik-baik saja,” jawab Humayun sambil berdiri berpegangan pada tangan Rumiyah.
“Mengapa mereka sampai mengganggumu? Mana pengawalmu?” tanya Rumiyah heran.
“Aku ke bukit ini sendirian. Ayah tak meninggalkan seorang pengawalpun untukku saat meninggalkan kota ini,” jawab Humayun sedih.
Terbit rasa simpati di hati Rumiyah, sepertinya Humayun dibuang ayahnya begitu saja di kota Samarkand.
“Bukankah kau tinggal di asrama Tuan Barka? Kenapa kau bisa sampai di sini?”
“Aku tersesat,” jawab Humayun sambil tersenyum lebar karena malu, “Aku tak tahu dimana barak militer. Sekarang jadwalku latihan, tapi di jalan aku malah bertemu dengan para pengganggu itu,” lanjutnya.
Rumiyah menghela napas karena kasihan.
“Ayo kuantar kau ke barak militer,” ajak Rumiyah.
“Ah, benarkah. Kau baik hati sekali,” puji Humayun.
Rumiyah hanya tersenyum tipis, sebenarnya dengan sedikit meremehkan, karena baru kali ini dia bertemu anak lelaki yang penakut seperti Humayun.
“Apakah kau mau menjadi pengawalku?” tawar Humayun pada Rumiyah.
Rumiyah hanya diam sambil tersenyum tipis lagi.
“Akan kubayar mahal. Bagaimana?” tanya Humayun lagi sambil menyejajari langkah Rumiyah.
Humayun terangah-engah mengikuti langkah Rumiyah yang cepat.
“Aduuh, jangan cepat-cepat kau berjalan, aku hampir kehabisan napas,” keluh Humayun berhenti melangkah sambil membungkukkan tubuhnya karena kelelahan.
Rumiyah berhenti, lalu berbalik ke belakang.
“Hei, berhentilah bicara omong kosong. Aku tak ingin menjadi pengawal siapa pun. Berusahalah menjadi lelaki sejati. Sepertinya, ayahmu sengaja meninggalkanmu di sini sendiri agar kau tumbuh menjadi lelaki mandiri dan kuat. Jadi, jangan kecewakan ayahmu. Tunjukkan bahwa kau anak seorang panglima militer yang sejati, dan kembali ke Urgench dengan penuh kebanggaan,” nasihat Rumiyah.
Humayun langsung berdiri tegak mendengar ucapan Rumiyah. Gadis kecil itu mendengkus kesal.
“Ayo, barak militer tak jauh dari sini,” ajak Rumiyah, lalu berjalan mendahului Humayun.
“Baik … baiklah … ucapanmu memang benar,” gumam Humayun mulai terbakar semangatnya, “Heii tunggu akuu!” teriak Humayun sambil berjalan agak cepat mengejar Rumiyah.
“Ayolah Rumiyah, maukah kau menjadi pengawalku? Aku akan memberimu apa saja,” ucap Humayun sambil masih mengejar langkah Rumiyah.
“Berisik. Baru kali ini aku tahu anak laki-laki yang berisik seperti kau,” cetus Rumiyah sambil mempercepat langkahnya, dengan sengaja agar Humayun berhenti bicara.
“Hei Rumiyah!” teriak Humayun yang sudah ngos-ngosan mengejar Rumiyah.
Description: Rumiyah hidup dan besar di Samarkand yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm, negara vassal kekhilafahan Abbasiyyah. Dia bersahabat dengan teman-teman masa kecilnya yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Sebuah konspirasi, peperangan, pemberontakan membuat mereka tercerai berai. Berjibaku dengan nasib saat Mongol menguasai Samarqand. Bagaimana perjuangan dan nasib Rumiyah selanjutnya? Bisa dibaca di setiap lembar cerita novel ini.
|
Title: Ruin My Self To Fix You
Category: Puisi
Text:
Langkah Paling Menyakitkan
Setelah ku ubah semua aturan hidup ku.
Ku ubah pemikiran ku tentang mu.
Ku ubah jalan menuju masa depan ku.
Ku rasakan kau mulai nyaman.
Kau mulai terbiasa.
Kau mulai membaik.
Ku rasakan juga rahasia itu semakin rapat.
Sandiwara mu semakin hebat.
Kebohongan mu semakin meningkat.
Saat itu juga,
Pintu hati ku terbuka lebar,
Perasaan ku terbakar,
Saat itu juga,
Ku jatuh cinta.
Stupid Me
Terbuai akan kata-kata mu, wahai pengkhianat.
Tersanjung akan pujian mu, wahai pembual.
Terpana akan tatapan mata mu, wahai muka dua.
Tersipu akan sentuhan mu,
Tertatih mengejar mu, hingga jatuh.
Terbangun, dan memikirkan mu.
Terbangun, dan membalas pesan mu.
Terbangun, dan menunggu mu.
Terbangun, dan menyadari,
Sudah tidak ada lagi.
Aku bisa menerima jika kau tidak mau lagi.
Aku bisa menerima jika kau bosan.
Aku bisa menerima jika kau marah.
Aku bisa menerima jika kau tak peduli.
Yang tidak bisa aku terima adalah,
Sakit ini datang lagi.
I Believe That You Lied
Jawaban dari semua rasa penasaran ku memang sudah terjawab.
Sayang nya, bukan dari mulutmu.
Yang keluar dari mulutmu tetap dia.
Kau hina dia,
Kau katakan dia perempuan jalang.
Kau katakan dia perempuan gila.
Kau keluarkan semua kata-kata kasarmu, untuknya.
Sesakit itukah perasaanmu terhadapnya?
Memang apa yang dia lakukan kepadamu?
Memang apa yang kalian lakukan?
Kau bilang hubungan mu sudah berakhir.
Ku percaya,
Percaya dengan hatiku.
Bahwa kau bohong.
Semua yang kau katakan itu bohong.
Kecuali satu,
Yang aku yakin aku percaya.
Bahwa kau, mencintai ku.
Aku yakin aku percaya,
Rasa itu sudah terlanjur ada.
Untukku, kan?
Kebaikan Tuhan
Dari awal ku sudah menyesal.
Mengapa ku berikan semua pada mu,
Seluruh perasaan ku.
Mengapa ku buka lebar-lebar hatiku,
Untukmu.
Ku hancurkan hidupku,
Ku hancurkan perasaanku,
Ku hancurkan seluruh aturan hidupku,
Untukmu.
Seharusnya ku tahu,
Bila kau tak sepadan dengan apa yang sudah ku perjuangkan.
Seharusnya aku sadar,
Bila kau tidak layak ku perjuangkan.
Air mata ini terbuang untukmu.
Peluh ini mengalir untukmu.
Sakit ini karenamu.
Waktuku habis olehmu.
Diakhir perjalananku,
Penyesalan ini memudar.
Tidak perlu menyesal, ku rasa.
Tuhan sudah baik mengembalikan mu padaku.
Untuk sekedar menyembuhkan luka ku, juga luka mu.
Diakhir perjalananku,
Ku ingin temui mu.
Ku berikan semua maafku,
Asal kau bahagia dengan hidupmu.
We Walk Through Hell With You
Perempuan itu lebih menderita dariku.
Dia lebih sakit,
Sakit nya lebih perih,
Obatnya lebih mahal.
Padahal aku tahu,
Obatnya itu kamu.
Sama seperti ku,
Aku juga butuh kamu.
Tapi dia hampir mati,
Aku sudah mati.
Dia mempertahankan mu,
Aku melepasmu.
Dia menderita di dunia,
Aku bahagia di surga.
Dia punya surga di dunia,
Aku bersebelahan dengan neraka di surga.
Dia punya malaikat,
Aku terikat.
Dia punya hidup baru,
Aku tenggelam dalam lukaku.
Ini semua karena kamu.
Aku dan dia,
Kita hancur karenamu.
Aku dan dia,
Kita bertahan untukmu.
Lalu kamu?
Kemana perginya kamu?
Kamu ingat kita?
Harusnya ingat dia saja.
Karena aku, rela.
Bahagiamu, Deritaku.
Tak apa kau sakiti ku lagi.
Tak apa kau hancurkan hati ini lagi.
Tak apa.
Aku terbiasa dengan semuanya.
Sifatmu,
Watakmu,
Perlakuanmu.
Perlu kau tahu,
Ku jatuh cinta dengan itu.
Sifatmu,
Watakmu,
Perlakuanmu.
Karena itu,
Ku ubah jalan pikiranku.
Karena itu,
Ku biarkan kepingan luka ini membelenggu.
Karena kamu,
Demi kamu.
Ku selipkan doa,
Tetap untukmu.
Ku sebut namamu,
Dalam hatiku.
Setiap malam,
Mimpi ini,
Masih tentangmu.
Semuanya tak apa,
Asal kau bahagia.
Description: Tidak masalah, jika untukmu.
|
Title: Rise & Shine
Category: Young Adult
Text:
Prolog
Sebelum aku mulai dengan kisahku, aku ingin bertanya menurut kalian apa itu cita-cita? Kalau menurutku cita-cita adalah impian atau harapan seseorang untuk masa depannya. Dari dulu aku ingin menjadi superhero yang bisa membela kebenaran dan keadilan. Tetapi, orang tuaku selalu berkata menjadi superhero tidak harus memiliki kekuatan super ataupun memakai kostum ala superhero yang keren.
Melainkan, superhero yang sebenarnya adalah ketika kita bisa menjadi orang yang berguna bagi masyarakat atau orang-orang disekitar kita. Awalnya aku tidak setuju dengan kata-kata itu. Hingga waktu menunjukkan kalau semua yang orang tuaku katakan itu benar.
Hari itu aku mengikuti ibu ke tempat kerjanya. Kebetulan ibuku bekerja sebagai hakim di sebuah pengadilan negeri. Aku duduk dengan santai di dalam ruangan persidangan untuk melihat proses persidangan sembari menunggu ibuku selesai dengan pekerjaannya. Pada saat itu pikiranku hanya terfokuskan dengan kehebatanan ibuku dalam memimpin persidangan itu dari awal sampai selesai.
Aku masih ingat apa yang kukatakan setelah persidangan itu usai. " Suatu saat nanti Archie mau jadi hakim kayak mama," kataku pada ibu.
Sejak saat itu aku berusaha keras untuk belajar dengan giat. Jika saat SD dan SMP banyak siswa-siswa yang masih bermain ria, sedangkan aku hanya belajar dan terus belajar. Lalu masa SMA yang bagi orang-orang adalah masa dimana kita mulai merasakan yang namanya cinta, tetap aku lalui dengan biasa saja tanpa rasa apapun.
Karena aku hanya ingin fokus dengan pendidikanku sampai aku bisa menjadi seorang hakim yang handal seperti ibu. Tanpa terasa tiga tahun masa SMA pun aku lalui hingga tiba saatnya aku untuk kuliah. Untuk kuliah aku memilih negara Singapura. Bukan karena aku tidak mencintai Indonesia, hanya saja aku ingin mencari pengalaman baru di negara lain.
Bahasa Inggrisku memang pas-pasan tapi, itu bukan hambatanku untuk kuliah di luar negeri. Aku pun belajar lebih giat lagi dengan bolak-balik kamus, begadang, dan lain-lainnya. Dan nilaiku pada ujian SAT pun bisa dibilang lumayan memuaskan. Ingatlah kata-kataku ini jika kamu terus giat untuk mencoba maka hasilnya tidak akan mengkhianatimu.
***
Langkah kakiku kini mulai berjalan di Singapore Changi Airport dengan membawa sebuah koper biru ditangan kananku sambil menggendong sebuah tas ransel. Perjuanganku selama ini tidak sia-sia, rasanya saat sudah sampai disana aku hampir menitihkan air mataku. Banyak orang berlalu-lalang melewatimu yang sedang berdiri kaku.
Tanpa berlama-lama lagi aku pun berjalan keluar airport untuk mencari taksi karena kepalaku sangat pusing diakibatkan oleh jetlag. Lalu sampailah aku di University of Lion City. Universitas yang bergengsi di negara ini. Aku berjalan masuk ke asramanya dengan rasa bangga. Bagaimana tidak? Yang bisa masuk ke universitas itu hanya anak-anak pintar ataupun kaya.
Beberapa hari kemudian Ospek pun dimulai. Berbeda dengan Indonesia, disini kami hanya liburan bersama dengan murid satu jurusan. Katanya kegiatan ini bertujuan agar bisa saling berkenalan dengan sesama mahasiswa dan sebagai refreshing sebelum memulai padatnya jadwal saat kuliah. Tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan itu. Melalui kegiatan itu sekarang aku memiliki seorang teman yang Nakamura Miko. Dari namanya saja sudah pasti kalian tahu darimana dia berasal. Miko adalah mahasiswa asal Jepang , jurusan hukum yang sama denganku.
Selain itu aku juga memiliki teman sekamar yang bernama Isabella Liu, seorang mahasiswa kedokteran tahun kedua. Tanpa kusadari masa Ospek sudah selesai. Lalu dimulailah masa kuliahku yang sangat suram. Jujur kuliah itu gak enak. Jadwalnya yang padat banget dan hampir setiap hari aku begadang. Boro-boro mau keliling Singapura, bisa tidur aja udah syukur banget. Hingga tibalah suatu keadaan yang membuat hidupku berubah 360°
Description: Perjalanan seorang perempuan untuk meraih mimpinya. Ditengah perjalanan hidupnya takdir mempertemukannya dengan seorang laki-laki yang akan melengkapi hidupnya.
|
Title: Rapunzel
Category: Novel
Text:
Rapunzel
Alina tidak ingat sudah berapa lama ia tidak keluar dari rumah. Mungkin sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu. Gadis itu tidak dikutuk seperti yang dilakukan penyihir kepada Rapunzel, dia hanya merasa begitu nyaman dan bahagia di rumah, terlebih kamarnya.
Suara ketukan pintu terdengar ketika Alina sedang sibuk memindahkan playlist lagu kesukaannya di spotify lewat komputer miliknya. Dia melihat jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi, ini masih terlalu pagi untuk bertamu, bukan?
Dia melangkah ke depan, pelan-pelan, kemudian mengintip dari balik jendela. Dia melihat seorang lelaki memakai topi pet berwarna biru lengkap dengan jaket levis biru yang sedikit kumal di depan pintu rumahnya. Lelaki itu membawa koper besar yang artinya dia akan pindah ke sebelah rumahnya.
Memang rumahnya dijadikan kost oleh tante Kinanti karena kosong dan lumayan besar. Di rumah itu ada 3 pintu lainnya yang tak berpenghuni. Ya, Alina adalah penghuni satu-satunya di sini. Dia sebenarnya tidak suka ada orang lain selain dirinya, di rumah ini meskipun berbeda pintu.
Alina tidak memiliki keinginan untuk membuka pintu, dia tidak mau saja. Lelaki itu kembali mengetuk, kali ini ditambah sahutan memanggil “Permisi, ada orangnya enggak?” Alina memutuskan kembali masuk ke kamarnya dengan berjinjit, berharap si tamu tidak tahu dia ada di dalam.
Alina duduk, mengambil ponsel nokia jadul miliknya, mencari nomor kontak dan menelepon seseorang, tante Kinanti.
“Iya, kenapa, Lin?” Tante Kinanti menyahut di seberang sana.
“Tante, ada tamu di luar.”
Kinanti tersenyum lembut setiap kali Alina meneleponnya dan resah saat ada orang lain di luar rumahnya, “Memang kenapa? Tinggal bukakan pintu. Ucapkan selamat datang...”
“Tapi dia itu siapa? Anak kost yang baru? Kok tante enggak bilang?”
“Oh iya tante lupa, itu pasti Kenzo.”
“Kenzo?” Alina bertanya-tanya, namanya seperti orang Jepang, tetapi dari wajahnya sekilas seperti orang jawa yang sering dilihat di televisi.
“Iya, dia anak teman tante, rencananya mau kost di sebelah berdua sama temannya.”
“Dia datang sendiri, Tan.”
“Ya coba kamu tanya langsung sama orangnya.”
“Nggak mau.”
“Alin, cobalah sesekali ke luar dan interaksi sama orang lain. Mau sampai kapan kamu seperti ini?” Tante Kinanti menghirup napas panjang, “Yasudahlah, sekarang kamu kasih saja kunci rumahnya. Tante agak sibuk hari ini,” jawab Tante Kinanti kemudian menutup ponselnya.
Alina mengambil kunci rumah dengan gantungan kunci berbentuk menara eiffel di laci meja kerja miliknya. Dia tidak lagi mendengar suara ketukan jadi dia yakin kalau lelaki yang katanya bernama Kenzo itu telah pergi. Baguslah, pikirnya. Namun, ia tetap penasaran dan melihat dari balik jendela berukuran 150x70cm yang terdapat tirai berwarna biru dongker dengan motif bulan sabit dan bintang.
Lelaki itu sudah pergi rupanya.
***
Kenzo pikir barangkali rumah yang Dia datangi tidak berpenghuni. Namun, ketika dia bertanya kepada tetangga depan rumah, dia mendapati jawaban yang tidak masuk akal. Entah ibu itu bergurau atau tidak, tetapi dari mimik wajahnya terpancar keseriusan.
“Di sana selalu ada orangnya kok, Mas. Masih gadis tetapi enggak pernah keluar rumah. Saya malah lupa gimana mukanya,” ujar ibu berperawakan agak besar itu sembari menunjuk ke rumah Alina.
“Tapi dia benar yang punya kost bu? Kost Alina, kan?”
“Iya benar, dia tinggal sendirian. Agak aneh memang orangnya. Makanya ndak ada yang betah tinggal di sana. Hawanya horor gitu, Mas.”
“Ah yang benar saja bu.”
“Benar lho, mas-nya ini nggak percaya.”
“Saya tidak percaya hal seperti itu, Bu. Cuma saya heran aja soalnya ibu kostnya tidak mau bukakan pintu,” Kenzo berpikir mungkin ia akan kembali lagi sore ini, bersama teman sekamarnya, Fajar yang sedang sibuk bimbingan skripsi.
“Ndak apa-apa kalau ndak percaya, nanti juga mas-nya tahu sendiri kok. Jangan harap deh mas bisa lihat wajah yang punya kost. Sebelum mas masuk, ada juga orang yang kost sudah dua tahun tinggal ndak pernah sekalipun tahu wajah pemiliknya.”
“Waduh ibu nih, mana ada orang yang tahan tinggal di rumah bertahun-tahun. Bisa-bisa mati bu.”
“Nah, itu dia yang jadi pertanyaan. Jangan-jangan pemiliknya memang sudah...”
“Sttt... Jangan ngomong sembarangan bu.”
“Hehehe maaf mas, saya kebawa suasana.”
Percakapannya barusan membuat Kenzo berpikir ulang untuk kost di sana. Memangnya ada orang yang bertahun-tahun tinggal di rumah? Memangnya dia Rapunzel yang dikutuk oleh penyihir? Dunia ini memang dipenuhi orang-orang aneh.
Rapunzel (2)
Alina bangkit dari tempat tidurnya. Sekarang sudah pukul dua siang di hari Kamis yang cerah ini. Sesuai jadwal, ini adalah waktunya untuk mencuci pakaian yang sudah seminggu menumpuk. Dia melihat detergennya hanya sisa sedikit, barangkali hanya bisa dua kali menggiling saja. Alina langsung menulis di buku catatan daftar belanja yang akan dibeli dan kembali fokus dengan pakaian kotor dan mesin cucinya.
Setelahnya, Alina duduk di ruang kerjanya. Dia melihat layar komputer yang hampir selalu menyala setiap hari, dia membuka tab baru melalui google chrome dan mengetik toko online langganannya. Memilih dan mencari kebutuhan sehari-harinya yang hampir habis. Menyenangkan bisa berbelanja tanpa harus keluar rumah. Bagi Alina, rumah adalah surga.
Ketika menekan tombol ‘bayar’, Alina terdistraksi. Dia ingat harus memberikan kunci untuk Kenzo yang hingga siang ini belum juga kembali. Akhirnya Alina mengambil selembar kertas memo yang ketebalannya sudah mulai menipis dan berpikir akan membeli memo yang baru setelah ini. Alina menulis sesuatu di atas kertas memo tersebut.
Dear: Kenzo
Kunci rumahmu ada kotak yang aku taruh di atas meja. Tidak perlu mengetuk pintu.
Semoga betah.
Alina
Tidak lupa Alina menempelkan kertas memo itu di depan pintu rumahnya dan menaruh kotak berisi kunci setelah ia yakin tidak ada orang yang melihatnya dari luar pagar rumah. Setidaknya gangguan telah terselesaikan dengan baik. Saatnya fokus pada pekerjaannya sebagai editor di sebuah penerbitan yang tidak lain milik tante Kinanti. Tanpa pekerjaan ini, hidupnya mungkin hampa. Alina melihat di surelnya sudah ada beberapa kiriman naskah dari penulis yang harus diselesaikan.
***
“Gue takut gila, gara-gara dengar cerita lo itu. Lo yakin, kan kita enggak salah masuk ke sarang penyamun?” tanya Fajar yang sepanjang jalan mengoceh terus tentang rumah kost yang akan ditempatinya. Kenzo menyesal telah bercerita pada Fajar tentang percakapannya dengan ibu di depan kost. Dia lupa kalau Fajar sudah mengoceh, dia bahkan bisa mengalahkan wanita.
“Tenang aja, feeling gue enggak pernah salah,” jawab Kenzo sekenanya.
“Emang feeling lo apa?”
“Gak akan terjadi apa-apa, yakin deh.”
"Pokoknya kalau ada yang aneh-aneh, mending kita pindah aja."
Hari sudah menjelang sore ketika Kenzo dan Fajar tiba di depan indekos Alina yang sepi dan jauh dari keramaian. Setelah menelepon tante Kinanti dia akhirnya kembali lagi ke tempat ini. Indekost yang letaknya ada di sebuah komplek, tetapi jauh dari keramaian. Jarang sekali orang berlalu lalang, sebab jauh dari jalan raya. Tentu saja tidak akan ada suara-suara motor atau mobil bersahut-sahutan. Ini pula yang diinginkan Kenzo, suasana yang tenteram.
Kenzo membuka pagar berwarna hitam metalik yang tampaknya tidak pernah terkunci itu dan memarkir motornya di dalam. Baru saja ia ingin mengetuk pintu rumah Alina dan melihat sebuah memo yang bertuliskan untuk dirinya di depan pintu. Seingatnya ini adalah memo pertama yang pernah dia terima selama hidupnya. Agak unik memang tetapi Kenzo entah mengapa, dia merasa senang tanpa alasan.
“Eh itu apaan?”
“Ini memo dari pemiliknya, kasih kita kunci rumah,” ujar Kenzo mengambil kotak kecil di atas meja.
“Kasih kita kunci pakai surat? sumpah jadul banget!” Jawab Fajar ceplas ceplos.
“Yang penting itu artinya malam ini kita udah bisa tidur di sini. Gue capek luntang lantung seharian nunggu lo.”
“Tapi, kita enggak kenalan dulu sama ibu kostnya yang aneh itu?”
“Udahlah, jangan ganggu. Masuk aja ayo,” ajak Kenzo yang tidak menyadari kalau perbicangannya dengan Fajar terdengar cukup jelas dari ruang kerja Alina. Alina menggerutu dengan wajah masam. 'Kalian bisanya bicara dari belakang'
Kost yang ditempatinya cukup luas. Ada satu ruang tamu lengkap dengan sofa berwarna biru tua, satu kamar yang isinya dua tempat tidur berukuran single, dan dua lemari baju yang minimalis. Dan yang paling penting adalah ada dapur, lengkap dengan peralatan masaknya. Bagi seorang yang suka masak seperti Kenzo, ini sangat membahagiakan.
Kenzo bertanya-tanya, sejak kapan kost ini dibersihkan jika pemiliknya tidak pernah keluar rumah? Tampaknya, rumah ini sudah sangat bersih, seperti baru saja dibersihkan, apalagi ada aroma jeruk nipis yang lembut di ruangan ini, enak.
Fajar malah langsung tidur-tiduran di atas kasurnya yang empuk. Tak lama ia kembali mengoceh lagi.
“Ken, coba deh lo bayangin. Pemilik kost ini masih gadis kan?"
"Katanya sih gitu."
"Jangan-jangan dia udah perawan tua makanya dia enggak berani tunjukkin mukanya ke kita. Ya kan?”
“Heh jangan sembarangan kalau ngomong," jawab Kenzo sambil membuka kopernya dan rencananya dia akan mandi setelah ini. "Kita kan enggak kenal orangnya."
"Tapi kenapa ?"
"Mungkin dia punya alasannya sendiri," jawab Kenzo masih memindahkan pakaian ke lemarinya.
"Lo enggak penasaran, Ken?" Ah, pertanyaan ini juga mengganggu Kenzo sejak pertama dia di sini. Penasaran tentu saja, tetapi dia tidak punya hak untuk ikut campur urusan orang lain.
"KENZO!"
"Kenapa sih? Berisik. Lebih baik beresin barang-barang lo sana.”
"Woles, Bro."
***
Alina terjaga sepanjang malam. Sudah menjadi kebiasaannya ketika malam tiba dia akan membuka jendela kamarnya lebar-lebar setelah iya yakin tak ada orang yang tiba-tiba muncul dari seberang jalan komplek rumahnya. Udara dingin menempa wajah ovalnya, rambut sebahunya dibiarkan tergerai meliuk-liuk terkena hembusan angin yang lembut. Ini adalah malam yang indah, Alina bisa melihat bulan setengah purnama di ujung langit sana.
Meskipun hidup sendiri Alina sudah terbiasa menggunakan waktunya dengan baik. Dia punya jadwal harian yang disusun sedemikan rupa. Mulai dari menu makanan apa yang akan di makan hari ini hingga 30 hari ke depan, kapan jadwal mencuci baju, menulis, bekerja, membaca buku, belanja bulanan, bahkan jadwal membuang sampah. Semua lengkap ditulis. Kecuali jadwal tidurnya yang sangat berantakan.
Malam itu seharusnya Alina membaca buku yang baru dibelinya minggu lalu lewat online, tetapi dia tidak membacanya. Dia malah menikmati malam yang semakin dingin menembus kulit sambil bernyanyi. Alina tahu menyenandungkan lagu di tengah malam seperti ini adalah ide konyol. Paling tidak suara musik yang didengarnya tidak membuatnya benar-benar merasa sendirian. Alina mulai bersenandung, sesekali dia juga menggoyangkan kepalanya.
As sly as a fox, as strong as an ox
As fast as a hare, as brave as a bear
As free as a bird, as neat as a word
As quiet as a mouse, as big as a house
All I wanna be, all I wanna be, oh
All I wanna be is everything
(Lenka- Everything At Once)
Betapa nyaman hidup di zona nyaman tanpa gangguan, pikir Alina. Dia sudah tidak memiliki keinginan untuk keluar, bersosialisasi, melihat matahari terbenam atau tempat-tempat yang indah. Dia bisa melakukannya di rumah. Dia juga bisa melakukannya melalui layar monitor komputernya. Setidaknya itu jauh lebih baik daripada harus keluar.
Alina sungguh menikmati kesendiriannya.
Alina menikmati malam-malam panjang sunyinya.
Alina menyukai udara malam yang dingin, tanpa hiruk pikuk kota yang riuh.
Alina ingin selamanya di sini.
***
Harum masakan merebak di dalam kost Kenzo, dia memasak lebih banyak pagi ini karena rencananya dia akan membawakan nasi goreng itu juga untuk Alina. Paling tidak sebagai ucapan perkenalan sekaligus terima kasih telah mengizinkannya tinggal di indekos dengan harga yang cukup terjangkau. Sejujurnya itu karena ia ingin mengenal Alina lebih dekat.
Kenzo mencicipi sedikit rasa nasi goreng buatannya dan menambahkan sedikit garam dan kecap manis. Setelah siap, dia juga memberikan hiasan yang berisi tomat, selada, dan mentimun. Ini tidak terlalu berlebihan kan untuk diberikan pada tetangga seperti Alina? Kenzo jadi ragu, takut Alina terganggu, bagaimana kalau Alina malah jadi ilfeel dengannya.
Sebelum berangkat kerja, akhirnya Kenzo mengantarkan juga nasi goreng yang sudah disimpan di tempat makan berbentuk kotak tersebut ke atas meja depan rumah Alina. Dia tidak memberinya secara langsung, dia hanya menuliskan sebuah surat, mengetuk pintu rumah Alina yang katanya tidak pernah terbuka, dan kemudian pergi membawa motornya. Dia berharap ketika pulang nanti, Alina mengambil dan memakan nasi goreng buatannya.
Sebenarnya Alina mengetahui kalau seseorang mengetuk pintu rumahnya pagi ini, tetapi dia malas beranjak toh dia juga tidak akan keluar. Dia masih sangat mengantuk, jam tidurnya berantakan sekali. Meskipun begitu kakinya tetap mengantarkannya ke depan karena penasaran melihat apa yang sedang terjadi dari balik jendela. Ada sebuah kotak makan di atas meja. Perlahan Alina mengambil kotak makan tersebut dengan hati-hati sambil melihat kanan-kiri, ada sebuah tulisan di sana.
‘Ini ada nasi goreng. Aku buat sendiri. Semoga suka. — Kenzo — ’
Isi tulisan itu membuat Alina tersenyum. Untuk pertama kalinya ada orang yang memasak makanan untuknya selain tante Kinanti dan ayahnya.
Hanya saja Alina masih terlalu mengantuk dan seharusnya dia masih punya waktu 2 jam lagi untuk tidur. Jadi ia meninggalkan nasi gorengnya di meja depan ruang tamu dan kembali ke kamar untuk tidur. Rasa kantuk mengalahkan rasa laparnya.
Aku akan makan kamu nanti, sekarang aku butuh tidur. Ok!
Elang
Tujuh tahun berlalu tetapi sosok perempuan bernama Alina masih begitu penuh memenuhi ruang pikirannya. Elang yakin, kalau sekarang Alina ada di depannya dia pasti bilang kalau keputusan Elang sudah benar. Alina pasti ingin Elang bisa menentukan hidupnya sendiri tanpa terkungkung paksaan orangtuanya, dia sadar harus keluar.
Elang tahu, orangtuanya punya cukup uang untuk memasukkannya ke fakultas kedokteran. Tetapi untuk pertama kalinya dalam hidup Elang memberontak. Ini sudah keterlaluan, Elang tidak ada minat sedikitpun menjadi dokter. Dia hanya suka memotret, itu saja. Melukis dengan cahaya. Semenjak itu suasana di rumah menjadi berbeda, maka Elang memutuskan untuk pergi melihat dunia dengan lebih luas. Menyenangkan. Setidaknya, alam mengajarkannya banyak hal, alam telah menghiburnya, meskipun dia tahu bahwa tempat pulang yang sesungguhnya adalah rumah.
Dia lupa sudah berapa kali tamparan dari tangan Papanya mengenai wajahnya, memaki-maki tidak ada habisnya, bilang kalau Elang anak yang kurang ajar, tetapi sekarang sudah lain cerita. Papanya lebih memilih diam. Ketika di rumah menjadi begitu asing seperti orang lain yang tidak pernah saling mengenal, tidak saling peduli. Dia tidak pernah membayangkan kalau rumahnya bisa menjadi sedingin ini. Tetapi itu jauh lebih baik jika mengingat kelakuan Papanya dulu seperti Srigala pemangsa. Itu pula yang membuat Elang takut dan selalu menurut. Sekarang dia tidak menyesal telah melawan.
Saat ini prioritas Elang adalah menemukan Alina yang telah membuka matanya. Tapi, di mana Alina sekarang? Apakah seumur hidup Elang hanya dipakai untuk 'Mencari Alina' yang tak tahu rimbanya?
Lin, katamu. Perjalanan itu bisa membuat kita menjadi diri sendiri. Aku sudah mencobanya dan ingin suatu saat kamu melihat aku yang sekarang sudah tidak seperti dulu lagi. Please, Lin. Kamu di mana sih?
Elang keluar rumah, duduk di teras dengan pemandangan taman yang indah. Dia memakai sandal gunung berwarna hitam yang telah menemani melangkah setahun belakangan ini. Ketika bersiap untuk pergi, mamanya tiba-tiba muncul dari dalam. Setelah divonis memiliki penyakit jantung, mamanya memutuskan untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja lagi.
“Kamu mau ke mana lagi, Lang?” tanya Mamanya resah, ia baru melihat Elang kurang dari dua puluh empat jam, setelah satu minggu menghilang dan sekarang dia ingin pergi lagi.
"Ada pekerjaan, Ma."
"Apa kerjaanmu? setiap hari jalan-jalan saja. Memang tidak capek?” tanya mamanya yang tampak lelah menasihati Elang yang susah sekali mendengar perkataan orangtua.
“Jalan-jalan ini memang pekerjaan Elang, Ma.”
“Cari pekerjaan itu yang benar, Lang. Pekerjaan yang menghasilkan uang.”
“Menurut mama, Elang enggak menghasilkan?”
“Mama maunya tuh kamu kerja seperti teman-temanmu yang lain. Minimal kerja kantoranlah, bukannya keluyuran.”
"Mama lupa ya, dulu mama sama papa juga enggak pernah ada di rumah karena kerja kantoran. Memang pernah mikir anaknya nunggu di rumah?" Ah, Elang tahu, kalimatnya barusan sangat menyakitkan.
"Kamu keterlaluan, Lang. Ini pasti gara-gara kamu bergaul sama orang enggak benar."
"Ma, coba lihat diri sendiri dulu baru lihat orang lain. Udah ya, Elang berangkat. Enggak ada habisnya berdebat sama Mama."
Elang mengangkat tas ransel yang berisi pakaian dan alat-alat kamera kesayangannya. Hari ini Dia akan berangkat ke Banten, mengunjungi Suku Baduy untuk ke delapan kalinya dengan harapan bisa bertemu dengan Alina. Elang tidak pernah bisa melupakan perjalanan pertamanya sekaligus seseorang yang menemani perjalanan itu, Alina. Ingatannya semakin menderas seperti deras hujan yang turun pagi tadi.
***
Stasiun tanah abang selalu padat merayap. Itu pula alasan Elang tidak mau bepergian di akhir pekan karena terlalu banyak orang berlalu lalang. Namun, di hari kerja seperti ini pun tak ada bedanya. Masih saja banyak manusia-manusia yang berjejalan mengantre tiket meskipun sudah ada mesin otomatis di sana, beberapa bahkan tidak paham bagaimana cara menggunakannya.
Elang bergabung dengan manusia-manusia lainnya, menunggu KRL yang akan tiba beberapa menit lagi. Dia berdiri di pinggir sudah tidak ada bangku kosong saking banyaknya orang di peron itu.
Elang melihat sekitar dan kemudian menyempatkan diri untuk membuat instastory di media sosial menggunakan kamera ponsel pintarnya. Dia mengambil potret kereta api yang baru saja tiba, mengeditnya sebentar, dan menuliskan sesuatu: Tunggu Abang, Neng. Abang pasti akan datang.
Ketika Elang naik ke dalam gerbong, elang kembali mengecek ponselnya. Sudah muncul puluhan hingga ratusan direct message yang menggetarkan ponselnya. Dasar netizen, cepat sekali responsnya. Elang tersenyum ketika membaca pesan dari followernya dan mengisi perjalanannya di dalam gerbong kereta dengan membaca pesan yang isinya sekadar bertanya, sekadar menyapa.
Bang lo ngapain di tanah abang? Mau ke mana lo?
Ditunggu cerita-cerita serunya... Fotonya juga.
Inget pulang cuy. Untung lo belum nikah jadi gak perlu inget anak bini.
Semoga ketemu sama si Eneng yang sudah melelehkan hati Abang.
Dan masih banyak lainnya. Terkadang ini adalah hiburan bagi Elang. Dia sadar kalau dia sekarang seorang influencer yang mulai dikenal gara-gara akun media sosialnya yang isinya tentang perjalanan dan fotografi. Elang suka memotret dan kadang menulis caption panjang di sana. Bercerita tentang apa yang ada di balik foto itu dengan gayanya yang jenaka, gaul, anak muda.
Keretanya berhenti di Stasiun Serpong bersamaan dengan pesan singkat masuk yang masuk. Dia melihat nama Nadine di sana.
“Kamu mau ke mana, Lang?”
“Biasa, cari angin segar. Gimana udah ketemu?”
“Siapa? Alina?”
“Perlu aku jawab?”
"Kamu masih cari Alina, Lang?"
"Iya, seperti yang kamu lihat sekarang."
“Tapi, ini sudah tujuh tahun, Lang.”
“Aku enggak peduli.”
“Mau sampai kapan?”
“Sampai aku menemukan Alina. Kamu juga merindukan Alina, kan?”
Tidak ada balasan lagi setelahnya. Nadine hampir putus asa menghadapi Elang. Selama tujuh tahun kepergian Alina tidak juga membuat Elang berpaling atau sekadar melihatnya. Kenapa Elang harus mencari seseorang yang tidak mungkin ditemui? Sementara tidak melihat orang yang ada di depan matanya. Gadis yang selalu berbinar matanya jika bertemu Elang, sejak dulu. Nadine.
***
Selama kurang lebih 3 jam perjalanan, akhirnya Elang sampai di Stasiun Rangkas Bitung sekaligus akhir dari perjalanan kereta ini. Tidak ada bedanya keramaian di Tanah Abang atau di sini, sama-sama riuh. Matanya terpaku pada seorang lelaki paruh baya yang melambaikan tangan padanya. Elang tersenyum dan menghampirinya. Dia adalah Mang Nata, seorang penduduk asli Baduy Luar yang berprofesi sebagai guide sekaligus penjual madu. Kali ini dia akan mengantar Elang ke rumahnya dan berkeliling Baduy.
"Apa kabar, sehat Mang?" tanya Elang sambil memberikan salam.
Lelaki tiga puluh tahunan itu menjawab, "Alhamdulillah, Kang, Cageur."
Elang dijemput dengan mobil pick up yang dibawa Mang Nata. Sejak pertama kali ke sini dia sudah kenal dengan Mang Nata, tentu saja karena dikenalkan Alina dan ayahnya. Saat itulah Elang menjadi sangat tertarik dengan Suku Baduy dan budaya di dalamnya.
"Saya rencananya mau bawa orang ke Baduy Dalam Mang, sekitar 30 orang."
"Wah bisnis mulus, Kang."
"Alhamdulillah, sedikit-sedikit merintis."
"Sok diatur aja kang, nanti saya mantuan ti dieu." Jawab Mang Nata masih dengan logat sundanya.
"Mang, teman saya yang dulu pernah ke sini, apa pernah datang lagi?"
"Saha atuh?"
"Alina, Mang. Masa lupa, kan saya sering cerita."
"Oh Alina anaknya Kang Wahyu? ayeuna eta pernah datang deui," jawab Mang Nata yang kembali membuat pupus harapan Elang. Alina benar-benar tidak pernah datang tampaknya.
"Yaudah deh mang, nanti tolong langsung kabari saya ya kalau suatu saat dia datang. Malam ini saya menginap di rumah Mang Nata ya, sambil bicarakan konsepnya,"
"Siap, Kang!"
Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata. Elang menarik napas, melihat ke jendela. Beberapa kali ia tertidur di mobil pick up tersebut. Ia benar-benar lelah hari ini, hingga sebuah sms menarik perhatiannya.
"Selamat siang Mas Elang. Saya Lina, seorang editor di penerbit buku GK. Saya menghubungi Mas Elang ingin menawarkan untuk membuat buku tentang perjalanan. Apakah Mas Elang berminat?"
Elang membaca ulang pesan teks tersebut. Dia tidak ingat sudah berapa lama tidak menggunakan fitur sms semenjak ada aplikasi chatting yang lebih memudahkan. Biasanya dia hanya penerima pesan dari operator atau pemberitahuan yang tidak terlalu penting.
Uniknya, pesan ini isinya tidak lain meminta Elang untuk menulis buku? Apa tidak salah? Sejak kapan Elang bisa menulis, kecuali caption di instagramnya? Becanda ini orang.
Short Message
Saat mendengar nama Elang dari tante Kinanti, Alina bergeming. Memutar ingatannya, dulu dia cukup banyak memiliki teman. Seingatnya Dia pernah ada di kelas yang sama. Duduk di meja yang sama. Enggak mungkin Elang yang itu, kan? lagian nama Elang itu kan, banyak.
Alina protes kepada tante Kinanti, ternyata memulai percakapan dengan orang yang tidak dikenal itu sulit.
"Tan, biasanya aku hanya menerima naskah. Kenapa sekarang harus berhubungan dengan penulis juga?" tanya Alina saat tante Kinanti menelepon siang itu. Ini adalah pengalaman pertama bagi Alina, rasanya aneh dan tidak nyaman."Itu kan salah satu tugas editor juga.""Iya memang, tapi biasanya kan aku cuma cek EYD dan bahasa aja, Tan.""Tante lagi pusing, Lin. Editor utamanya berhenti tiba-tiba. Jadi sementara sebelum ada penggantinya tolong kamu urus yang satu ini ya. Minta dia menulis dan kamu arahkan. Kamu bisa cari informasinya lewat internet dulu ya.""Bagaimana kalau aku menolak?" Alina masih ragu."Dicoba dulu, Lin. Tante bergantung sama kamu nih. Akhir pekan tante mampir bawain kebutuhanmu, Oke!"Telepon terputus sebelum Alina menjawab. Tante Kinanti tersenyum dan bisa dipastikan kalau dia sengaja berbohong saat itu. Ya, kalaupun Alina tidak mau keluar rumah, setidaknya dia punya teman bicara. Pandangan tante Kinanti berfokus pada sebuah pigura foto di atas meja kerjanya, Dia menatap foto almarhum kakaknya yang sedang menggendong Alina. Kemudian tersenyum lagi melihat tingkah Alina yang memamerkan dereten giginya seperti iklan pepsodent sebelum semuanya berubah seperti sekarang. Dia tahu pasti berat bagi Alina menghadapi semuanya sendirian.
Beberapa kali dia meminta Alina untuk keluar, untuk bergaul dengan teman-teman. Ternyata tidak semudah itu. Alina pernah bilang.
"Aku bukan tidak mau tante, tapi aku tidak bisa. Tante tahu sendiri kan? Tante jangan khawatir, aku tidak pernah bosan di rumah. Aku punya banyak kegiatan. Aku juga keluar rumah kok, ambil pesanan di depan, terus buang sampah juga," tante Kinanti hanya menanggapi Alina dengan senyuman yang getir. Bukan keluar yang seperti itu maksudnya.Dia jadi ingat Amanda, anaknya yang lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah atau di luar rumah, sering pergi bersama teman, nonton film, nonton konser atau makan di luar. Tante Kinanti ingin Alina juga berusaha keluar dan berjuang lagi. Itu pula yang membuat tante Kinanti membuat kost di rumah Alina, agar dia tidak benar-benar sendirian.
***
Halo, kok pesan saya enggak dibalas. Alina mengirimkan kembali pesan singkat tersebut untuk Elang usai berbincang dengan tante Kinanti. Ya, paling tidak dia sudah mencoba.
Sejak dua hari yang lalu Elang mematikan ponselnya, karena memang dia ada di daerah yang dilarang menggunakan ponsel. Namun, pesan dari editor ini membuat Elang mengerut kening dan dengan sigap mengetik nomor telepon.
Alina tidak menyangka kalau pesan singkatnya malah dibalas dengan telepon dari Elang. Ponselnya berdering, tetapi Alina belum siap. Dia masih memikirkan apa yang harus dibicarakan dengan Elang nanti? Bagaimana kalau dia salah bicara? Alina mengecilkan volume telepon genggamnya dan menutup dengan buku Novel setebal 300 halaman di depannya, dia sudah memutuskan untuk tidak mengangkatnya. Dia tidak percaya diri.
Setelah tiga kali panggilan masuk yang tidak dijawab Alina. Dia memutuskan untuk kembali mengirim pesan teks pada Elang.
"Maaf saya sedang sibuk, tidak bisa angkat telepon.""Oke, tapi mbak benar dari penerbit GK? Nawarin saya buat nulis buku, serius?" Elang membalas pesan Alina dengan pertanyaan yang dari awal dia tidak yakin."Iya benar Mas Elang. Detailnya akan saya kirim sms ya Mas.""Okelah kalau begitu. Nanti bisa chat saya saja mbak. Jangan sms, saya agak lama kalau balas sms.""Chat?""Iya, bisa lewat WA, Line, atau DM Instagram saja mbak." "Tapi saya tidak punya media sosial, Mas."Elang kembali bertanya-tanya dan meyakini kalau seseorang pasti sedang mengerjainya. Hidup di dunia zaman teknologi begini masa tidak punya media sosial? Memangnya dia hidup di zaman purba.
"Mbak ngaku aja deh ini penipuan kan?"Alina kaget dan membaca ulang jawaban pesan dari Elang. Untuk pertama kalinya ada orang yang menyebutnya penipu. Berani sekali.
"Jangan sembarangan mas, saya bukan penipu.""Aneh aja Mbak. Mbak kan editor masa gak punya aplikasi chatting. Lalu mbak kenal saya dari mana?"Alina bergeming, berpikir, tidak mungkin dia bilang mengenal Elang lewat tante Kinanti kan? Bagaimana kalau Elang tidak mengenal tantenya? Dia benar-benar pusing saat itu.
"Saya punya kok aplikasi chating di yahoo mesengger.""Buset mbak itu dari jaman kapan? Udah ngaku aja ini siapa yang ngerjain gue. Woy ngaku!"Elang tidak sabar dan kembali menelepon Alina yang pastinya tetap pada pendirian untuk tidak mengangkatnya. Manusia satu ini sulit diajak bekerja sama rupanya. Pesan terakhir dari Elang juga tidak dibalas lagi setelahnya. Alina meletakkan ponselnya di atas meja, dia lelah meladeni Elang. Kenapa sih dia tidak bisa bekerja normal seperti dulu saja? Padahal dulu dia baik-baik saja. Tapi, entah mengapa sekarang Alina merasa gelisah.
***
Beberapa saat kemudian ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan di sana, kiranya Elang masih belum puas juga mengatakan Alina penipu. Tapi ternyata pesan tersebut datang dari seorang kurir yang mengirim paket untuknya. Alina mengambil napas panjang, untunglah ini bukan dari Elang. Tanpa ragu Alina langsung memencet tombol telepon di ponselnya.
"Halo, mas sudah di depan pagar ya? Ikuti petunjuk saya ya. Sekarang Mas masuk saja ke dalam gerbang hitam, enggak dikunci kok. Sudah masuk? Nah, di sana ada empat pintu. Pintu rumah saya yang paling kiri. Mas taruh saja paket saya di atas meja ya. Oh iya, sebelumnya mas bisa cek di bawah taplak meja ada uang tips buat mas. Langsung diambil saja ya. Sudah mas? Oke, terima kasih.Terlihat dari raut wajahnya, kurir itu masih bingung. Barangkali ini pertama kalinya dia mengantar barang dengan cara seperti ini.
Beberapa saat kemudian Alina keluar setelah kembali melihat dari jendela. Sepi. Syukurlah. Dia membuka pintu dan mengambil pesanannya di dalam kardus persegi panjang itu dengan secepat kilat. Mengambil dan langsung menutup kembali pintu rumahnya.
***
Dari balik jendela, Fajar melihatnya. Saat melihat kurir itu masuk gerbang dengan kebingungan Fajar tertarik untuk melihatnya. Jadi begini cara Alina belanja? lewat online? Dia menunggu dari balik jendela kostnya. Paling tidak dia penasaran sekali dengan rupa Si Pemilik kost yang tidak mau menampakkan wajahnya itu. Dia tidak mau mati penasaran. Setelah sepuluh menit menunggu Alina akhirnya keluarnya.
Ternyata Alina tidak seperti bayangannya, dia bahkan jauh lebih baik daripada ekspektasinya. Alina tidak semenyeramkan bayangannya. Dia seorang gadis yang masih muda dan manis meskipun hanya melihat sekilas. Hanya saja Fajar tidak bisa menggambarkan terlalu banyak. Dia hanya meyakini kalau Alina itu cantik.
***
Ketika Kenzo sampai di kost, Fajar akan pamer kepada temannya itu kalau hari ini akhirnya dia bisa melihat Alina.
"Ken, ternyata dia cantik."
"Siapa?"
"Ibu kost kita."
"Ngaco."
"Serius, tadi gue lihat dia keluar."
"Keluar kemana? Dia kan gak pernah keluar rumah."
"Tadi tuh keluar, cuma ambil paketnya sih. Jadi cuma lihat sekilas."
"Trus lo lihat darimana?"
"Dari balik jendela lah. Gak mungkin tiba-tiba gue nampakkin muka ganteng gue ini. Yang ada dia jatuh cinta nanti." Jawab Fajar bangga. Melihat wajah Alina adalah kebanggaan tersendiri buat Fajar.
Entah sudah berapa kali dia terus mengoceh.
"Ini tuh sebuah prestasi, Ken."
"Kelarin dulu skripsi lo, itu baru prestasi."
"Ye, bilang aja lo sirik mau liat juga kan?"
Kenzo merebahkan diri di atas kasur.
Tersenyum sekaligus menyadari kalau dia memang iri dengan Fajar. Anak itu memang sering hoki.
Description: Alina mencintai rumahnya lebih dari apa pun. Hampir tujuh tahun dia tidak keluar dari sana. Alina tidak dikutuk seperti yang dilakukan penyihir kepada Rapunzel. Hanya saja, rumah itu begitu nyaman dan membahagiakan. Ketika lelaki dari masa lalunya kembali. Alina dipaksa untuk keluar dan melihat dunia.
"Ini dunia kita Alina, bukan dunia semu yang kamu ciptakan di rumahmu."
***
Novela/Cerita ini dibuat untuk mengikuti project #WriteTheFest yang diadakan oleh Storial dan Nulisbuku
|
Title: Rahasia Ruwi
Category: Novel
Text:
Bad Day
Bad Day
Parking Lot lantai 5A, Plaza Semanggi, terlihat lengang. Beberapa petugas terlihat berjaga-jaga sembari mengobrol satu sama lain. Beberapa mobil terparkir tak jauh dari pintu masuk plaza. Tak lama kemudian, seorang perempuan keluar dari pintu tersebut. Rambut sebahunya acak-acakan, poni panjangnya menutupi mata indah itu. Dengan mengenakan blazer biru tua, dia terlihat bergegas menuju Honda City-nya.
Ada rona kecewa terpancar dari wajahnya. Sepertinya sesuatu yang buruk baru saja terjadi. Persis ketika ia sudah berada di dalam mobil, saku kanannya bergetar.
“Oh, God! Cepet banget sih nih berita nyebar.” Ternyata panggilan dari Renita, atasan perempuan itu di Resonansi Vision. Resonansi Vision adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa periklanan. Diapun menutup pintu mobilnya.
“Hallo, Mbak.” ucapnya datar.
“Wi! Kok bisa kita kehilangan nih proyek! Kamu tahu sendirikan, masa depan Resonansi terletak di proyek ini!” Suara Renita menambah kerumitan hari ini.
“Maaf, Mbak. Aku udah usahain semua cara. Tapi ternyata pihak United tiba-tiba mundur. Apapun penjelasan dan semua ide yang bisa kami sarankan, tak satupun yang mereka terima.” Jelasnya hati-hati. “Aku sudah meyakinkan mereka, dan...”
“RUWI ANANTA, ITU ARTINYA KAMU BELUM MAKSIMAL! MBAK UDAH PERINGATKAN DARI AWAL! JANGAN SAMPAI GAGAL!”
“Maaf…, Mbak.” Ruwi semakin lirih. Hanya terdengar suara helaan nafas dari Renita.
“Mbak harap ini yang terakhir kita kehilangan Big Project seperti ini.” Suara Renita mulai menurun.
“Sekali lagi…, aku mewakili tim minta maaf Mbak.”
“…”
“Mbak?”
“Besok kita harus rapat mengenai kegagalan hari ini! Besok mbak minta laporan evaluasi dari tim!”
“Iya, Mbak.”
“Besok, Kamu dan tim yang lain mbak tunggu jam 9 di Meeting Room.” Tut... tut. Renita memutus pembicaraan.
Ruwi menghela nafas panjang, kemudian mengarahkan jemarinya ke menu sms.
To : Farhan; Okta; Dewi; Narty; Denis
Kita semua di tunggu Mbak Reni besok jam 9 di Meeting Room,untuk ngebahas KEGAGALAN hari ini.
Ruwi menaruh telepon genggamnya di dashboard, menyalakan radio dan beberapa saat kemudian mobil itupun melaju keluar dari parkiran.
Bagi Ruwi semua benar-benar kacau hari ini. Proyek iklan yang ia dan tim siapkan selama ini ditolak, padahal ini adalah proyek terbesar yang pernah mereka ikuti. Susah payah mereka mencari ide dan menghasilkan konsep, bahkan seminggu ini tim benar-benar kerja keras. Menurut Renita, jika proyek ini berhasil mereka dapatkan, maka ke depannya akan mudah bagi Resonansi. Kegagalan ini membuat Ruwi harus menerima kemarahan atasannya yang dikenal sangat lemah lembut itu.
Sesayup terdengar lagu Bad Day - Daniel Powter mengudara dari radio kesayangan Ruwi, mengisi keheningan dihatinya.
“My bad day…,” gumamnya.
BRUUK!!! Ruwi kaget setengah mati, kakinya refleks menginjak rem. Hentakan keras membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Rasanya, sesuatu baru saja menabrak mobilnya dari belakang.
“Ya, Tuhan! Apa lagi ini?” Masalah satu belum terselesaikan, kini masalah baru di depan mata.
Ruwi menepikan mobilnya, dan dia dapat melihat jelas dari kaca spion sebuah mobil Jaguar keluaran terbaru ikut menepi.
“PASTI TUH MOBIL YANG BARU NABRAK GUE!” Dan Emosi itu sudah tak terbendung lagi.
Ruwi keluar dari mobil dengan wajah yang penuh amarah. Bagi orang-orang yang mengenal Ruwi, pasti udah kabur duluan. Karena wajahnya tidak pernah terlihat semarah ini. Saat berada di belakang mobilnya, Ruwi menyadari kondisi bemper belakang mobilnya sudah tidak berbentuk, sementara mobil hitam itu hanya lecet sedikit.
Seorang pria yang lagi memegang telepon genggam keluar dari mobil itu. Seorang pria berperawakan tinggi putih dengan tubuh atletis dan rambut gondrong sebahu, terlihat ada sedikit janggut di dagunya. Pria itu mengenakan kemeja biru yang bila dilihat dari motif dan bahan, kemeja tersebut pasti tidak dapat dibeli di sebarang tempat. Sunglass Levi’s bertengger manis di telinganya.
“Sayang, nanti aku telepon lagi ya. Ada masalah dikit nih di jalan.” Ucapnya pada seseorang yang sepertinya kekasihnya. “Bye…, Honey.” Tutupnya mesra, dan kemudian diapun mengalihkan pandangannya pada Ruwi yang sudah memasang wajah ‘lapar’nya dari tadi.
“BYE HONEY! BYE HONEY! LIHAT MOBIL GUE TUH!” Semprot Ruwi. “KALAU NELPON TUH JANGAN SAMBIL BAWA MOBIL DONK! AKIBATNYA KAN ORANG LAIN GINI YANG RUGI!!”
“Maaf Mbak, saya nggak sengaja.”
“MAAF! MAAF! LO PIKIR NIH JALAN PUNYA NENEK MOYANG LO APA!”
Pria itu memeriksa mobil Ruwi, lalu kemudian mobilnya. “Syukur gak parah,” gumamnya lirih. Celakanya, kalimat itu terdengar oleh Ruwi.
“EH! GUE TAHU BANGET MOBIL LO TU JAUH LEBIH MAHAL DARI MOBIL GUE! BAHKAN MUNGKIN LEBIH MAHAL DARI RUMAH GUE! JADI GAK USAH SOK PAMER DEH, KALO MOBIL LO TUH ‘CUMA’ KEGORES DOANK DI BANDING MOBIL GUE YANG UDAH NGGAK KEBENTUK GINI!”, tunjuk Ruwi. “DASAR ORANG KAYA!”
Pria itu merapikan kacamatanya, dan berusaha sabar menghadapi Ruwi yang lagi emosi.
“GUE MINTA GANTI RUGI!”
“Sekali lagi saya minta maaf, Mbak. Saya tahu saya salah. Karena itu saya akan bertanggung jawab sepenuhnya. Ok?”
“OKE!!!”
“Boleh saya minta alamat Mbak, nanti saya akan meminta seseorang menyelesaikan masalah ini. Kartu nama mungkin?” pintanya dan Ruwi hanya mengangguk angkuh.
Masih dengan wajah marahnya, Ruwi mengambil dompet dari tasnya, lalu mengeluarkan kartu nama dan menyerahkan pada pria itu.
“Saya Andra.” Andrapun mengulurkan tangannya. Ruwi terpaksa menyambut uluran itu karena dia masih akan berurusan dengan si Andra ini. Karena tidak ada tanda-tanda pria itu akan melepas tangannya, Ruwi menarik tangannya.
“Maaf, saya…. Saya harus pergi. Nanti akan ada yang membantu Kamu ngurusin ini semua.” Andrapun masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin mobil, perlahan maju. Namun ia berhenti sesaat di depan Ruwi yang masih berdiri angkuh.
“Bye, sampai ketemu lagi,” dan Andrapun berlalu. Kemudian Ruwi kembali ke dalam mobilnya.
“Damn!” Dan… Ruwi menyadari sesuatu. “Kenapa gue nggak minta alamat atau nomor teleponnya ya?” Sesaat kemudian dia hanya menghela nafas. “Sudahlah! Toh, hari ini memang hari terburuk buat gue.” Ruwi berusaha pasrah.
Sementara itu Andra, menghubungi seseorang.
“Jhon, ini Andra. Lo lagi di Show Room?”
“Iya Mas Andra, saya masih di Show Room. Ada apa?”
“Gue butuh bantuan Lo, tunggu gue disana.”
Jaguar itupun melaju, membawa pria bernama Diandra Santoso.
Dasar orang GILA!!
Dasar orang GILA!!
TEETTT! TEEEETTTT!!!
Terlihat Mang Urip berlari menuju pagar dan membukanya. Perlahan Ruwi memasukkan mobilnya yang ‘sekarat’ itu. Akhirnya Ruwi sampai juga ke rumah. Dengan wajah yang sangat kusut, Ruwi keluar dari mobil.
“Non, mobilnya kenapa?” Tanya Mang Urip.
“Tadi, ada sedikit kecelakaan mang.”
“Tapi Non nggak apa-apa kan?” terlihat sekali kekhawatiran Mang Urip.
“Nggak mang, Wi baik-baik aja. Mang nggak usah khawatir. Cuma nih mobil bemper belakangnya kena. Jadi kayaknya harus dibawa ke bengkel deh.”
“Yang penting Non nggak apa-apa,” Mang Urip lega mendengar penjelasan nonanya. Sebenarnya ia ingin bertanya banyak, tapi melihat wajah Non Ruwi-nya yang tidak seperti ‘biasa’, niat itu urung dilaksanakan.
“Wira dah balik Mang?” Tanya Ruwi tentang keberadaan adik kesayangannya.
“Den Wira udah dari jam 11 tadi Non baliknya. Tadi sih mamang lihat dia lagi main PS di ruang TV.”
“Ya, udah. Wi masuk dulu ya Mang.”
Ruwipun masuk ke dalam rumahnya. Seperti yang dikatakan Mang Urip, Wira sedang asik bermain PS sendirian. Wira hanya mengenakan kaos dalam dan celana jeans gambrong 3/4. Ruwi meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk di sofa yang letaknya persis di belakang Wira, beristirahat sejenak.
“Kok cepat pulang?” Tanya Wira yang tanpa menolehpun menyadari kedatangan kakak perempuan semata wayangnya itu.
“….”
“Gimana proyeknya, Ru?”
‘Ru’ adalah panggilan kesayangan Wira buat kakaknya. Walaupun orang-orang lebih senang menyebut ‘Wi’ buat Ruwi, Wira tetap memanggilnya ‘Ru’. katanya agar terdengar lebih akrab dan tidak beda jauh dengan sapaan terhadap dirinya ‘Ra’. Sementara Ruwi, walau beda umur 5 tahun, ia tidak membiasakan Wira menggunakan embel-embel ‘mbak’ atau ‘kak’ saat berbicara dengannya. Menurut Ruwi, tanpa disadari ‘kata’ itu akan memberi jarak hubungan kakak adik yang hanya berdua itu.
“…,” Ruwi menarik nafas.
“Ngebahasnya nanti aja, ya.” Pinta Ruwi. Melihat gelagat kakaknya yang terlihat kusut, Wira dapat menyimpulkan sendiri kalau proyek ini tidak berhasil Ruwi dapatkan. Lalu ia kembali asyik dengan permainannya.
“Ra, Lo nggak kemana-mana kan?” Tanya Ruwi, memecah keheningan kakak adik yang berlangsung 10 menit.
“Emang kenapa Ru-ku yang cantik! Seksi! Aww!” goda Wira, sembari mem-pause permainan gamenya. Memasang wajah sok imut pada kakaknya. Niatnya ingin menghibur Ruwi.
“Apa sih! Gue lagi nggak pengen becanda ni!” Ternyata niat baik Wira tak ditanggapi Ruwi.
“…,” Wira hanya memandang lugu kakaknya, berharap trik ini berhasil lagi, memasang wajah innocent nya.
Satu menit… Dua menit… Tiga menit… Dan kalimat-kalimat pun keluar dari mulut Ruwi.
“Waktu Mbak Reni meminta tim gue untuk ngebuat proposal ini, gue seneng banget Ra! Ini adalah langkah bagus buat karir gue di Resonansi. Perusahaan sebesar United memberikan kontrak promosi produknya hanya pada satu production?! Rasanya hanya sebuah mimpi proyek itu di tangan gue. Dan... ternyata... memang hanya sebuah mimpi.” Semua mengalir dari hati seorang Ruwi. Mata indah itu mulai berkaca-kaca.
Wira tersenyum, triknya berhasil lagi. Trik yang selalu dia gunakan beberapa tahun terakhir ini. Setidaknya Ruwi tidak memendam kekecewaannya yang mendalam dihati, pikir Wira. Menjadi tempat berbagi kakaknya adalah hal yang selalu Wira jaga. Wira merubah posisinya, duduk di sisi kakaknya.
“Proyek ini mati-matian gue kerjain! Satu bulan ini gue sama tim berusaha cari yang terbaik! Waktu! Energi! Semua sudah gue korbanin! Dan hari ini…?!” Ruwi sudah tidak bisa membendung kesedihannya. Wira memeluk Ruwi yang mulai menitikkan air mata.
“Sabar, Ru.” Hanya kalimat itu yang keluar dari Wira. Sedangkan Ruwi, walau tanpa isak Wira dapat merasakan tangisannya. Wira mempererat pelukannya.
Beberapa menit kemudian Ruwi melepaskan rangkulannya. Wira dapat melihat jelas mata Ruwi yang memerah.
“Dah enakan?” Tanya Wira kemudian.
“Tau nih, Ra. Pusing banget gue. Kayaknya hari ni hari terburuk buat gue.” Dia menghela nafas panjang. “Belum lagi masalah mobil.” Ruwi mulai bisa mengendalikan emosinya.
“Mobil?”
“Ntar anterin ke bengkel ya,” pinta Ruwi.
“Loh! Bukannya baru kemaren gue tune-up?!” Wira heran.
“Gimana nih hari gue nggak bad mood! Proyek gagal, eh pulangnya gue ditabrak. Lo lihat aja sendiri di depan. Bemper belakangnya ancur.” Jelas Ruwi.
“Tapi Ru nggak apa-apa kan?” canda Wira sambil memeriksa kondisi Ruwi. Ruwi hanya tersenyum melihat gelagat adiknya. Suasana hati Ruwi mulai normal.
“Iya, gue nggak apa-apa. Kalo gue kenapa-kenapa. Pasti yang empunya Jaguar yang nabrak gue tadi yang telpon Lo!”
“Serius, Ru! Tadi mobil Lo ditabrak Jaguar!!! Wah, kalo nyampe ke Buser ato Sergap, seru juga tuh. Jarang-jarangkan Jaguar nabrak Honda City!” Wira mulai berimajinasi.
“Nih anak masih aja becanda. Sana gih lihat sendiri.” Ruwi mengambil beberapa lembar uang seratus ribu dari dompetnya. “Sekalian lo beli Pizza.”
“He..he…Terima kasih Nyonya besar!”
“Lo jangan lupa beliin Mang Urip sama Bi Iyah Ayam Bakar Fatmawati!”
“Beres Boss! Gue ganti baju dulu ya.” Wirapun langsung melaju kekamarnya yang terletak di lantai dua. Tidak lama kemudian, Ruwi beranjak ke lantai yang sama, menuju kamarnya yang terletak persis di sebelah kamar Wira, Ruwi ingin sekali merebahkan tubuhnya di kasur kesayangannya, istirahat sejenak.
Setelah nona dan aden nya ke kamar, terlihat Bi Iyah keluar dari dapur. Iapun merapikan susunan CD PS3 Wira, keadaan TV yang masih menyala tidak dia matikan.
“Wah Bi Iyah udah tambah pinter dech! Mainan Wira nggak di matiin!” goda Wira yang tlah mengganti baju dengan kaos oblong buatan distro terkenal di Bandung.
“Emangnya Bi Iyah seperti Mang Urip, yang make mainan Aden!” Bi Iyah menjatuhkan Mang Urip depan tuannya.
“Bi Iyah!! Mang Urip mah mainin mainan Aden kalau Den Wira yang ngajak.” Ternyata Mang Urip mendengarkan kata-kata Bi Iyah.
“Aduh si Akang mah sok tau!” Bi Iyah menimpali.
“Udah, nggak usah dibahas.” Lerai Wira.
“Sebenarnya Mang Urip nggak mau bahas Den, tapi hati mamang tersinggung dengan kata-kata si Iyah. Niat Mang Urip mau manggil Non Ruwi. Eh, malah denger kata-kata si Iyah!” Iyah hanya buang muka.
“Emang ada apa Mang?” Tanya Wira.
“Ada yang nyariin. Katanya dari… apa ya tadi?” Mang Urip mencoba berpikir. “Sow..? Sow apa ya..? Pokoknya ada Sow-sow gitu deh den.”
“Mbak Ruwi ada di kamarnya tapi dia lagi tidur. Biar Wira aja yang ke depan. Sekalian pengen ngeliat kondisi mobil.” Wira keluar meninggalkan 2 orang yang masih bersitegang.
Di depan rumah berdiri seorang pria setengah baya mengenakan jas hitam sedang melihat mobil Ruwi yang terparkir di halaman. Sebuah mobil box dan Soluna hitam terparkir di depan.
“Maaf, saya Jhonatan dari Show Room Dwipangga. Benar ini kediaman Ibu Ruwi Ananta?” pria itu mengulurkan tangannya.
***
Alarm menghentak kamar Ruwi seketika. Ruwi yang sudah tertidur sejak beberapa jam lalupun terbangun. Masih diserang rasa kantuk, tangan Ruwi meraih jam alarm yang berada di dekat lampu duduk, lalu mematikannya. Ruwi bangkit dari tempat tidur, menjepit rambutnya ke atas, berjalan gontai ke kamar mandi yang berada di depan kamarnya. Setelah mencuci muka, Ruwi mengganti bajunya dengan kaos oblong longgar abu-abu dan celana jeans selutut. Ruwi kemudian turun ke lantai satu rumahnya.
Di bawah, dia menemukan pertandingan F1 antara Wira vs Mang Urip, sementara Bi Iyah sibuk menjadi supporter Wira. Di sisi mereka terdapat dua kotak Pizza yang tinggal beberapa pieces saja, satu dozen J.Co yang sudah tinggal kotak saja dan dua botol cola yang tentunya sudah hampir habis juga. 4 gelas berisi cola tergeletak disamping mereka.
“Loh! Wira nggak ke bengkel?” Ruwi terhenti di anak tangga terakhir.
Sesaat kemudian Bi Iyah menyadari nona mudanya sudah bangun.
“Eh non, ikutan makan Pijja! Enak banget non, katanya Den Wira ini rasa terbaru. Bibi nggak tau cara nyebutnya.” Tawar Bi Iyah sambil mengacungkan Pizza yang sudah ada bekas gigitannya.
“Ye! Iyah, kan tadi udah dikasih tau Den Wira, namanya Pitsa!” Mang Urip berusaha meralat, namun salah juga. “Yah! Den Wira curang! Nyalip pas Mamang lagi ngomong!” Mang Urip menyadari kekalahannya.
“Siapa yang nyuruh Mamang ngomong. Kalau udah kalah jangan ngebela diri gitu dong!” dan mobil Wira berhasil masuk finish duluan.
“Hidup Den Wira!!!!” Bi Iyah berseru sendiri.
“Udah!!! Ribut banget sih! Berantakan gini lagi! Abis pesta makan ya! Truss Lo nggak ke bengkel Ra?!” Ruwi duduk di sofa. Mendengar omelan Ruwi, Bi Iyah dan Mang Urip buru-buru merapikan sisa-sisa pestanya, lalu berlalu pergi ke dapur meninggalkan Aden dan Nona rumahnya.
“Tenang Ru!” Wira mengambil satu slide Pizza. “Pizza khusus buat Lo udah gue taruh di atas meja makan.” Tunjuknya ke arah meja.
“Siapa yang nanyain Pizza, gue nanyain mobil!”
“Kalau masalah mobil, Lo lebih tenang lagi Ru. Tadi udah ada yang ngambil. Lagian, Lo sekarang pake rahasia-rahasiaan sama adek sendiri.”
“…?”
“Nggak usah belagak pilon dech. Orang Show Room udah nganterin ‘pesenan’ Lo, dan ngebawa si Siti ke bengkel mereka.”
“Nggak ngerti?” Ruwi bingung.
“Begini Ru,” Wira merubah posisi tubuhnya berhadapan persis di depan kakaknya. “Tadi, waktu gue mau ke bengkel, ada yang datang ngambil tuh mobil. Namanya Jhonatan dari Show Room Dwipangga. Ya…, gue kasih aja.”
“Gila Lo, Ra! Tuh mobil Lo kasih begitu aja! Kita pasti kena tipu! Lagian gue nggak pernah berhubungan dengan yang namanya Show Room!” Ruwi panik bukan main. Kok bisa-bisanya Wira mempercayakan mobil mereka pada orang asing.
“Nggak mungkin kita kena tipu,” Wira benar-benar santai.
“Awas Lo ya! Kalo tuh mobil ampe ilang!”
“Kemungkinan sih enggak bakalan ilang Ru. Lagi pula, kalo sampe ilang udah mereka ganti dengan yang di depan.”
“Ihh! Makin bikin stres nih anak!”
“Justru gue yang stres ama sikap Lo, Ru. Gagal proyek, malah beli mobil baru. Sekarang malah nggak ngaku.”
“Gue…? Beli mobil baru?” Wajah Ruwi benar-benar memberikan ekspresi ‘bingung’ yang luar biasa. Masalah mobil siapa yang ambil beralih ke cerita dia membeli mobil baru.
“Kalau bukan Lo, yang namanya Ruwi Ananta yang tinggal di rumah ini, siapa lagi?”
“Gue?” Ruwi menunjuk ke arah dirinya sendiri.
“Iya, Elo.”
“…”
“Sini!” Wira menarik Ruwi yang masih bingung ke depan rumah. Di sana telah terparkir mobil Toyota Yaris berwarna biru.
“Ra.., ini..?”
“Ini mobil yang gue maksud.” Ruwi mematung.
“Tapi…,bener Ra! Gue nggak pernah beli nih mobil. Gue mau bayar pake apa?!”
“Nah ini dia yang bikin gue bingung lagi!” Ruwi masih memasang wajah ‘penasaran’.
“Sebentar,” Wira masuk ke rumah dan kembali dengan amplop coklat di tangannya. “Kalo Lo bingung mau bayar pake apa, Lo bakalan tambah bingung karena di dalam amplop ini ada kuintasi pembelian mobil Toyota Yaris atas nama Lo, cash!” Wira benar-benar menekankan kata ‘cash’.
“CASH!?”
“Yup, dan semua tertulis atas nama Ruwi Ananta.” Wira mengeluarkan berkas-berkas mobil itu. Menunjukkan satu persatu nama Ruwi yang tercantum diatasnya. “Yakin, Lo nggak ada hubungannya dengan semua ini?”
Ruwi hanya mengangguk pelan.
“Kuis mungkin??”
“Perasaan gue nggak pernah ikutan kuis, Ra.” Ruwi masih belum memahami situasi.
“Tapi ada yang aneh sih sama berkas-berkas yang ada di sini. Ada amplop biru yang ditujukan buat Lo.” Wira menyerahkan amplop tersebut.
Ruwi langsung membukanya, berharap menemukan jawaban dari misteri mobil itu. Terdapat secarik kertas senada dengan amplopnya, berwarna biru, warna Ruwi.
To : Ruwi
See! Akhirnya saya bertanggung jawab atas kerusakan mobil kamu. Have a nice drive with your Yaris now. Semoga aku nggak salah pilih warna. Bye…
Andra
Nb: Bila masih butuh sesuatu please call 0815-diandras
Dan Ruwi benar-benar mengerti apa yang terjadi sekarang. Mobil yang terparkir di depan rumahnya adalah solusi ‘tanggung jawab’ seseorang bernama Andra, pemilik Jaguar yang menabraknya tadi siang.
“Dasar orang gila!” gerutunya. “Belagu banget sih nih orang! Mentang-mentang anak orang kaya! Nyerempet orang malah ganti ama mobil baru. Dia pikir duit gampang dicari apa!”
“Ru? Ada apa?”
“Handphone Lo, mana?”
“Nih!” Wira mengeluarkan Blackberry dari sakunya. “Ada apa sih??!!” sekarang giliran Wira yang bingung.
“Ntar gue ceritain. ” Ruwi lalu menekan nomor yang tertera di kertas biru itu.
Nada sapa I-Ring lantunan Jason Mraz mengalun di telinga Ruwi. Tak lama kemudian terdengar suara seorang pria diseberang sana.
“Hallo? Siapa ya?” Tanyanya.
“Belagu banget sih jadi orang kaya! Gue nggak perlu Yaris Lo! Balikin mobil gue sekarang!”
Andra kaget mendapat telepon dengan nada yang tidak enak.
“Wait..,” Andra mencoba berpikir. “Ruwi ya?’ Akhirnya dia menemukan siapa wanita yang sedang marah padanya. ”Gimana mobil barunya?”
“Tadi gue dah bilang, ambil tuh Yaris! Gue nggak butuh!”
“Butuh nggak butuh, Kamu harus tetep menerima mobil itu. Semua udah di siapkan atas nama Kamu. Jadi…, bila Kamu tidak berminat, itu hak Kamu. Mau dijual atau dibakar sekalipun bukan urusan saya.” Penjelasan Andra malah membuat Ruwi naik pitam.
“Kalau semua terserah gue! Tunggu aja rongsokan nih mobil nyampe di rumah Lo!” Ruwi langsung memutus pembicaraan. “Orang Gila!” Ruwi menyerahkan smartphone Wira dan berlalu ke dalam rumah.
”Tuh orang maunya apa sih?! Gue rongsokin beneran tuh mobil!” Gerutunya.
“Ru, terus terang gue nggak ngerti apa yang kalian omongin. Tapi kalo yang gue denger itu bener, jangan sampai diancurin itu mobil. Sayang, Ru. Mending buat gue ke kampus.” Iba Wira, sembari mengikuti jejak langkah kakaknya.
Wira terus mengikuti Ruwi, terus memberi alasan yang tepat agar mobil Yaris yang ada di depan rumah mereka tidak jadi ronsokan. Ruwi hanya diam saja mendengarnya. Dia terus berjalan menuju meja makan.
“Mobil itu adalah ganti rugi si Jaguar buat gue.” Akhirnya Ruwi mengucapkan satu kalimat pada Wira, setelah menelan gigitan Pizza pertamanya.
“Wow! Hari gini, Ru!”
Ruwipun mulai menceritakan cerita sesungguhnya walau tanpa detail yang benar, karena diapun masih belum memahami siapa Andra atau dimana Si Siti sekarang berada.
Di sebuah rumah mewah dibilangan Bintaro…
Seorang pria sedang bersantai dengan kedua orang tuanya di ruang keluarga.
“Papa jadi ke London besok?” Tanya pria itu.
“Jadi, Al. Pertemuan dengan Mr. Dave tidak bisa ditunda. Mungkin papa sekalian ke Roma, mengunjungi Mas Edward di sana. Sudah lama papa nggak bertemu dia, Chelsea dan anak-anak mereka.”
“Mama ikut?” tanyanya pada ibunya.
“Tadinya mama mau ikut. Tapi, mama khawatir dengan adik Kamu. Lebih baik mama di Jakarta aja. Setidaknya mama bisa mengawasi Andra.”
“Mama jangan terlalu keras sama Andra. Mungkin selama ini, Ali sebagai kakak kurang memperhatikan Andra.”
“Selama ini Mama sudah mencoba sabar menghadapi dia, Al.” Dia menghela nafas, lalu mengalihkan pandangan ke suaminya. “Mama minta maaf, Pa. Sampai sekarang Andra belum bisa mama kontrol.”
“Ini juga salah Papa, Ma.”
Mereka bertiga hening sesaat.
“Mungkin sebaiknya Ali pergi dulu, Pa. Nanti malam ada dinner dengan klien kita yang dari Jepang.”
“Arya nemenin Kamu?”
“Nggak, Ma. Arya lagi ke Malaysia, ngurusin proyek yang lain. Mama tenang Aja. Ali pasti bisa handle sendiri.” Dia tersenyum, garis wajahnya sangat mirip dengan Andra.
“Yang penting, Kamu tau persis keinginan klien Kamu.”
“Beres, Pa. Ali pergi dulu, Pa, Ma.”
Ali beranjak pergi.
“Pa, mama tuh makin nggak ngerti jalan pikiran Andra.” Keresahan hati Vinara Santoso akhirnya dicurahkan juga pada suaminya.
“Mama aja yang ngelahirin bingung, apa lagi Papa.” Sepertinya mereka sudah benar-benar lelah menghadapi Andra.
“Entahlah, Pa. Melihat dia pulang ke rumah dalam keadaan sehat rasanya sudah cukup buat mama.”
“Mama…, masih meminta Roy mengawasi Andra?”
“Masih Pa. Justru itu yang bikin mama tambah bingung. Tadi siang Roy telepon mama, Andra ngeluarin mobil dari Show Room atas nama seorang perempuan.”
“Anak itu benar-benar tidak menghargai sedikitpun setiap tetes keringat orangtuanya mencari uang!”
“Belum penggunaan kartu kreditnya, Pa. Mama sudah mengancam akan memblokirnya, tapi dia balik ngancam ninggalin rumah.”
“Pokoknya Mama kasih perintah Roy untuk mencari tau siapa aja yang bergaul dengan Andra di luar sana, terutama wanita yang dia beri mobil itu!”
”Itu dia yang mama mau ceritakan pada Papa. Wanita itu...” Belum sempat Vina menyelesaikan kalimatnya, Andra sudah berdiri di depan mereka.
“Lagi pada kumpul nih! Tumben?” Ucap Andra, ketus.
“Andra, Kamu dah pulang Nak. Mama dan papa khawatir sama Kamu. Kamu kemana aja?” Vina langsung berdiri menghampiri anaknya.
“Andra mau di rumah atau dimana saja, Mama dan Papa nggak perlu tau!”
Vina berusaha bersabar menghadapi anak bungsunya.
“Andra! Papa ingin bicara serius sama kamu!” kini Edwin yang buka suara.
“Untuk apa, Pa? Untuk memarahi Andra! UNTUK MEMBANDING-BANDINGKAN ANDRA DENGAN ALI, LAGI!!!”
“ANDRA! KAMU JANGAN KURANG AJAR SAMA PAPA KAMU!” Vina hampir saja menampar Andra, namun Edwin berhasil menghalangi.
“Ma, sabar…. Sabar…,Ma.”
“Mama udah nggak tahan, Pa.” Vina mulai terisak.
Andra kemudian meninggalkan kedua orang tuanya yang mulai putus asa menghadapi sikapnya.
Musuh Vs Teman
Musuh Vs Teman
Sekitar 100 meter lagi mobil yang dikendarai Ruwi sampai ke Menara Saidah. Walau masih setengah hati, Ruwi akhirnya melajukan mobil ‘baru’nya ke jalan raya, melewati kemacetan yang selalu dapat dinikmati di Jakarta. Pagi ini Ruwi mengenakan kemeja pink dengan bawahan celana panjang putih. Di lehernya menggantung kalung batu yang juga berwarna pink. Rambutnya yang panjang di biarkan terurai, hanya ada dua jepit rambut yang menghalangi poninya.
Tadinya dia tidak berminat sama sekali menyentuh mobil itu. Namun, setelah berpikir berkali-kali dan disertai ‘dukungan’ orang rumah, akhinya Ruwi luluh juga. Wira berpendapat mobilnya asyik, sementara Bi Iyah menyimpulkan AC-nya lebih dingin dari kamarnya Den Wira. Menurut Mang Urip lain lagi, jok mobilnya lebih empuk dan lebih nyaman dibanding sofa ruang TV. Akan tetapi, meeting dengan Mbak Renita yang menguatkan dirinya mengendarai mobil itu. Dia tidak boleh terlambat, apalagi pra-meeting dengan tim adalah awal yang baik pagi ini.
Ruwi sudah memasuki parkiring lot gedung kerjanya. Pak Kondin yang selalu membantunya memarkir mobil selama ini, sempat melarang mobil Yaris itu parkir di tempat si Siti parkir. Namun setelah melihat Ruwi yang ada di dalamnya, diapun mengizinkan.
“Mobil baru, Bu?” Tanyanya pada Ruwi yang sedang memeriksa pintu mobil.
“Bisa dibilang… begitu, Pak Din.” Ragu Ruwi menjawabnya.
“Belinya kapan, Bu? Kemarin masih si Siti yang diajak.”
“Pak Din bisa aja. Ini memang baru, tapi bukan saya yang beli. Anggap saja, saya pinjam. si Siti lagi sakit.” canda Ruwi.
“Bu Ruwi bisa aja,” pria setengah baya itu terkekeh. “Trus, yang ini dikasih nama apa?” Pertanyaan Pak Din memaksa Ruwi sedikit berpikir. Setiap benda yang dia selalu gunakan akan diberi nama spesial. Alasannya sederhana, biar dia tidak merasa sendiri. Mungkin Yaris itu bukan miliknya, tapi akan menemaninya selama si Siti masuk ‘RS’. Tiba-tiba dia teringat sebuah DVD yang pernah dia tonton bersama Radya dan Donna beberapa minggu yang lalu.
“Kalau Baby Blue bagus nggak, Pak?”
“Wah, bagus Bu! Bebi Blu…, akan saya ingat-ingat.”
Ruwi meninggalkan Pak Din yang sedang manghapalkan nama Baby Blue dengan sebutan Bebi Blu.
Di pintu lift naik Ruwi menelepon seseorang.
“Ty, yang lain udah datang?” Ruwi menghubungi Narty, menanyakan keberadaan anggota tim yang lain.
“Tinggal Denis yang masih di jalan, Mbak. Udah di UKI sih, tadi dia telpon Narty datangnya agak telat. Waktu nyampe pintu tol Bogor, dia baru sadar kalau kelupaan bawa CD presentasi awal.”
“Ya, udah nggak apa-apa. Aku juga masih di lift. Mbak Reni udah datang?”
“Belum, Mbak. Aku belum liat dari tadi.”
“Ya udah, sampai ketemu diatas.” Ruwi mengakhiri pembicaraannya.
Ruwi berusaha menyiapkan mental untuk pertemuan dengan Mbak Reni, menyiapkan diri untuk hal terburuk sekalipun.
***
Semua anggota tim sudah berkumpul di ruang pertemuan. Mereka tinggal menunggu Renita Wijaya, General Manager Resonansi Vision. Ruwi masih belum tenang, walaupun dia dan tim sudah menyiapkan alasan yang tepat untuk Reni.
Tak lama kemudian Renita masuk ke ruang pertemuan. Ekspresi wajahnya jauh dari bayangan Ruwi, tak ada pancaran emosi dari matanya. Ruwi sedikit lega karenanya, setidaknya pertemuan hari tidak akan penuh tekanan karena kehilangan proyek United.
Tapi, yang Ruwi bingungkan, Renita tidak sendirian, dia masuk ke ruang pertemuan bersama Donna, Manager Tim C, sahabatnya. ’Untuk apa Donna hadir di pertemuan ini?’ Pikirnya. Donna memilih duduk di samping Renita. Ruwi berusaha tersenyum pada Donna, tapi tidak sebaliknya.
“Baiklah, semua yang saya ingin hadir disini, sudah ada di ruangan ini.” Renita membuka percakapan. ”Saya mendapatkan kabar baru dari United tadi pagi, mereka akhirnya menyetujui ide yang kita tawarkan.”
Ekspresi wajah ketegangan mencair seketika. Ruwi dan anggota Tim A saling berpelukan. Usaha mereka selama ini ada hasilnya.
”Tapi akan ada perubahan susunan Tim.” Kalimat Renita itu merampas kebahagian yang baru saja mereka miliki.
“Maksud nya Mbak?” Narty menekankan rasa penasarannya.
“Pihak United, menginginkan Donna yang memegang proyek ini.”
”WHATT!!!” Refleks Denis berteriak. “Mbak, nggak salah!” Narty protes diikuti anggota tim yang lain, sedang Ruwi hanya bisa diam tanpa ekspresi mendengar keputusan itu.
“Sorry, Ren. Selama ini ide dan semua konsep Ruwi yang leader, mengapa sekarang harus Donna?” Okta mencoba meminta penjelasan.
“Iya, gue ngerti maksud lo Ta. Ruwi yang selama ini bersusah payah mencari ide awalnya. Tapi, Donna lah yang mau bersusah payah ’meyakinkan’ pihak United!” Jelasnya.
’Donna yang meyakinkan pihak United? Maksudnya?’ Tanya Ruwi dalam hati, mencoba mencari jawaban apa yang sedang terjadi.
”Setelah saya mendapat kabar kita kehilangan United, saya bergegas menemui mereka di United Tower. Saya beruntung, pagi ini Pak Pradipta akhirnya menerima usulan kita dengan sedikit perubahan pada.. ” Donna menjelaskan detail perubahan yang pihak United inginkan.
’Ide itu.. ide...’ Flashback satu demi satu adegan masa lalu tiba-tiba berkelebat dikepalanya.
***
...
”Nah itu tiga plan untuk proyek United yang akan gue share ke tim, Don. As rekan kerja dan sahabat gue. Menurut lo bagus yang mana?”
”Hemm, gue rasa option pertama nggak usah di-share deh.” Jawab Donna.
”Loh, kok nggak? Malah menurut gue idenya orisinil banget.”
”Justru itu, menurut gue........................”
...
’Donna, mereka ragu dengan konsep awal yang gue present. Apa ide yang gue pending kemaren aja yang gue jadiin opsi?’ Curhat ku pada Donna melalui sms. ’Nggak usah’, hanya itu balasan yang ku terima dari Donna.
...
”Don, I lost the project.” Ucap ku sedih melalui telepon, sesaat setelah aku berpisah dengan Pak Pradipta dan Bu Anne.
”Lo pulang aja dulu, liat besok apa yang bisa lo buat.”
...
***
’Dan nasehat sahabat ku itu, membuat aku berakhir seperti ini’. Ruwi menahan dirinya, untuk tak menjatuhkan air mata. ’Mengapa Don?’
“Mulai hari ini Donna akan take over pekerjaan Ruwi.” yang lain walau masih kaget menerima kebijakan Renita. “Donna, kamu ingin berkata sesuatu mungkin?” Donna pun berdiri.
“Saya siap menjalankan tugas saya di Tim A. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk memuaskan United dengan kerjasama kita semua. Terima kasih.” Donna memberikan senyum kemenangannya.
“Oke. Saya kira pertemuan hari ini bisa kita akhiri.” Ucap Renita kemudian, lalu meninggalkan ruang pertemuan disusul Okta, Dennis dan lainnya.
Ruwi berjalan gontai ke arah Donna.
PLAKKK!! Tamparan keras melayang ke pipi Donna. Entah setan apa yang merasuk, yang jelas saat ini Ruwi terluka, dihianati dan ditikam disaat bersamaan. Donna mengelus pipinya yang kesakitan.
”Me... nga... pa.., Don...?” Ruwi bahkan tak sanggup berkata-kata lagi.
Donna hanya tertawa kecil.
“Ide itu... kegagalan gue! Semua lo atur buat gue... ja.. tuh?” rasanya seperti dicekik, Ruwi masih shock.
“Kalau iya, kenapa!”
“Lo tega Don! Gue percaya banget sama Lo! Sejak kita temenan, sejak masih kuliah, Don!” suara Ruwi mulai serak. “Gue…,” Ruwi menarik nafas panjang, berusaha menguasai dirinya. “Apa.. salah gue, Don?”
“Salah kata Lo! Banyak!” Ruwi kaget mendengar suara Donna yang meninggi. “Lo nggak pernah mikir apa, selama ini gue selalu ngalah buat Lo. Sejak kita masih kuliah gue selalu ngalah sama Lo! Gue turutin semua keinginan Lo! SEMUA! Lo masih ingat posisi di BEM! Gue pengen banget jadi bendahara tapi ternyata mereka lebih memilih Lo, dan gue terdampar di sekret. Belum lagi masalah Kak Tio, Lo jadian sama dia tanpa Lo perhatikan perasaan gue. Waktu kita memulai banyak hal bersama-sama, mereka selalu memilih Lo! Dan nggak seorangpun yang mau mikirin perasaan gue… APALAGI ELO!!!” emosi Donna meledak seketika. Semua ketidak-adilan yang dia rasa keluar seketika. Ruwi tidak menyangka setiap detail itu keluar dari mulut Donna, sahabatnya, yang kini entah siapa baginya.
“Kalau semua ini terjadi karena itu, gue minta maaf! Tapi kenapa sekarang Don? Kenapa baru sekarang Lo ceritain semua? Lo nggak pernah cerita ke gue tentang perasaan Lo ke Kak Tio, tentang keinginan Lo jadi bendahara, tentang semua keinginan Lo. Nggak pernah, Don!”
“Karena Lo nggak pernah berusaha ngerti perasaan gue!!!!” Donna mengalihkan pandangannya.
“Gue…Gue pikir apa yang kita alami selama ini…, seperti apa yang Lo mau … Bila memang nggak…., bagaimana gue ngerti…? Kalau Lo nggak pernah cerita.”
“Gue nggak butuh pembelaan Lo!” Donna kembali ke pintu, namun dia terhenti. Lalu kembali membalikkan tubuhnya, berjalan ke arah Ruwi. Kini Ruwi persis di depannya, jarak mereka tinggal beberapa senti saja.
“Kenapa sekarang, Wi!? Karena hanya sekarang alasan paling kuat buat gue milih ‘Elo’ atau ‘GUE’!” Donna keluar dari ruangan meninggalkan Ruwi yang sudah tak bisa menahan sesak dan sedih ia rasa.
***
“Udahlah Wi, sabar…” Radya berusaha menghibur Ruwi.
Ruwi masih terdiam, di depannya secangkir kopi dingin terletak di meja. Sudah dua jam ini Ruwi sibuk dengan pikirannya. Dia masih tidak bisa berpikir jernih akan sikap Donna barusan. Persahabatan yang dia jalin enam tahun terakhir berakhir sudah. Untuk sesaat dia kembali mengulang kenangan-kenangan bersama Donna.
“Nggak apa-apa Dya, gue bakal baik-baik aja.” Akhirnya dia membuka mulut. “Gue cuma butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.” Ruwi menarik nafas panjang.
”Trus, gimana? Lo tetap ikut proyek United?” Hati-hati Radya bertanya.
”Gue dah ketemu Mbak Renita, gue minta dimutasi ke tim lo. Tapi mulai besok yah. Otak gue masih nggak bisa fokus.”
”Tenang aja, nanti gue minta Sam ngirimin semua detail calon klien Tim B ke elo. Jadi mulai besok lo bisa mulai ngikutin perkembangan Tim B.” antusias Radya.
“Eh.., Lo bukannya ada meeting klien?”
“Iya sih. Tapi gue nggak tega ninggalin Lo di sini.”
“Gak apa-apa. I’ll be OK. Janji.” Sebuah senyum melingkar di bibirnya.
“Karena Lo dah senyum, gue rela deh ninggalin Lo.”
“Ngaco!” Ruwi memaksa tertawa.
“Gue pergi dulu. Doain gue ya.”
“Of course.”
Setelah mencium pipi Ruwi, Radya pun pergi. Ruwi ingin meneguk sesuatu. Rasanya tidak bergairah meminum kopi dinginnya, tapi dia juga males berdiri dan memesan minuman yang baru. Akhirnya dia meraih cangkir itu.
“Eith! Jangan minum! Lebih baik yang ini, lebih hangat.” Tiba-tiba seorang pria mengambil cangkir kopi dari tangan Ruwi dan menggantikannya dengan secangkir kopi yang lebih hangat.
“Apaan sih!”
“Pikiran lagi kacau begitu, enaknya minum yang lebih hangat.” Jelasnya yang kini sudah duduk di samping Ruwi.
“Lo siapa? Sok tau banget tentang gue!”
“Kita berkenalan kemarin, sudah lupa?” Ruwi memperhatikan wajah pria itu, rasanya tidak asing.
“Mobil gue??!! Elo! Andra! Ngapain Lo kemari!? Eh balikin mobil gue nggak??” Ruwi baru saja tenang dengan kasus Donna, kini dia harus bertemu lagi orang paling menyebalkan sedunia versinya.
Andra tertawa renyah.
Kali ini Andra mengikat kuda rambut sebahunya, mengenakan kemeja tangan panjang yang lengannya di gulung sesikut dengan celana jeans abu-abu.
“Kopinya diminum dulu.”
Ruwipun meneguk kopi hangat tersebut.
“Lo belum jawab pertanyaan gue. Lo ngapain kemari? Mau nambah kekacauan dalam hidup gue?”
“Sorry, bila saya datang di waktu yang tidak tepat.”
“…”
“Saya kemari hanya ingin memastikan, Anda ke kantor membawa mobil yang ‘utuh’, bukan rongsokan.” Candanya.
“Tentu saja gue pake tuh mobil! Si Siti kan masih di bengkel Lo, yang gue sendiri nggak tau dimana!”
“Si Siti? Maksud Anda, mobil Anda yang saya tabrak? Kok di kasih nama si Siti?” Andra kembali tertawa. “Jangan bilang Anda udah ngasih nama juga buat … Yaris?”
Mimik wajah Ruwi mengiyakan, tapi malu mengatakannya. Melihat reaksi Ruwi, Andra tertawa.
“Kamu kasih nama apa?” masih terkekeh.
“…,”
“…?” Andra menanti jawaban.
“Baby.. Blue..”
“HUAHA HAHAHA!!!” Andra terbahak-bahak, seketika mereka menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di café itu.
“Ssst…, apaan sih Lo!”
Andra masih tertawa, walau dengan volume yang lebih kecil.
“Diem nggak!”
“Iya…, saya diam.”
“Lo dah liat kan gue ke kantor bawa Baby Blue! Jadi ngapain lagi Lo disini!” Ruwi masih aja ketus.
“Mmh…, anggap saja saya sedang nemenin Anda yang lagi nggak mood.” Goda Andra.
“Sok tau banget gue lagi nggak mood.”
“Kurang lebih satu jam saya duduk di meja sebelah, pemandangannya hanya wajah seorang Ruwi dengan pandangan kosong. Kalau bukan moody, apa dong namanya. Putus asa?”
“Udah dech, gue lagi males berdebat!”
Andra terdiam, Ruwi kembali meneguk kopinya.
“Sudah cukup gue kehilangan sahabat hari ini…, jadi gue nggak mau nambah daftar musuh dalam hidup gue.” Ada keteduhan di mata Ruwi, dan Andra bisa melihat jelas itu.
“Bagaimana kalau…, saya menawarkan pertemanan?” Andra mengulurkan tangannya.
“…,” Ruwi mematung. Seorang asing yang menambah kekacauan hidupnya kemarin, menawarkan sebuah pertemanan. Rasanya berat.
“Saya nggak bisa beri janji… tapi saya akan berusaha menjadi temen yang baik buat Anda.”
“…,”
“C’mon! Nggak ada salahnya Anda nambah teman seperti saya?”
“….”
“…?” Andra masih mengulurkan tangannya.
“Gue baru saja ngerasa ‘kehilangan’ seseorang yang berarti buat gue… . Rasanya… terlalu awal….” Ruwi menatap kosong cangkir kopinya. “Gue nggak tahu siapa lo… Nggak ada yang jamin suatu saat lo nggak nyakitin gue.”
Andra menurunkan tangannya, baru kali ini ada yang menolak tawaran seorang Diandra Santoso, walau itu hanya sebuah pertemanan. Kedua anak Adam itu membisu, melayang bersama pikiran mereka masing-masing. Selintas Ruwi menyadari dia baru saja menyinggung perasaan Andra.
“Oke… gue akan pertimbangkan permintaan Lo, dengan satu syarat!” Ruwi mencoba memperbaiki keadaan.
“Boleh….” Andra tersenyum.
“Masalah mobil, anggap saja… gue pinjem. Kalau si Siti udah keluar dari bengkel. Gue bakal balikin, dan Lo harus nerima.”
“Hanya itu?”
Ruwi menanggapinya dengan anggukan.
“OK!” Andra kembali mengulurkan tangannya.
“Deal!” Ruwi akhirnya menerima uluran tangan Andra.
“Deal!”
Mereka kemudian tertawa kecil, Ruwi berusaha menerima kehilangan Donna.
“Masih bad mood? Gimana kalau gue ajak Lo ke suatu tempat buat nenangin pikiran?” Tawar Andra.
“ ‘Gue’? Sejak kapan lo pakai ‘gue’? Dari tadikan ‘saya-anda’.” Ruwi bingung dibuatnya.
Andra tersenyum. ”‘Saya-anda’ gue pakai untuk orang yang belum punya hubungan dengan gue, orang asing lah. ‘Gue-elo’ ya… seperti kita sekarang.”
“ ‘Aku-kamu’?”
”Untuk yang satu itu, sepertinya nggak butuh penjelasan.”
Mereka tertawa, namun beberapa saat kemudian Ruwi kembali terdiam, menerawang, ternyata dia masih menikmati kesedihannya.
“Sepertinya Lo memang harus ke ‘Puncak Rahasia’ gue. Sini!” Andra menarik tangan Ruwi.
“Lo mau bawa gue kemana!” Ruwi berusaha meraih hand-bag-nya. Suara Ruwi yang lantang membuatnya menjadi perhatian semua orang.
“Gue janji, Lo bakalan suka.” Ruwi kini berada dibawah kekuasaan Andra. Tanpa Ruwi sadari, dia sudah mengawali hubungan pertemanannya dengan Andra hari ini.
Description: Ruwi ananta. Semua tidak mudah bagi Ruwi, persahabatan yang berakhir tragis justru mengantarnya pada benih cinta. Satu persatu rahasia terangkat ke permukaan, meyakinkan Ruwi pilihan yang dia ambil adalah keputusan terbaik untuk semua orang. Andra atau siapapun itu tidak berhak ia cintai. Tapi mampukah ia menahan diri untuk tidak mencintai?
Andra Santoso. Menemukan Ruwi bagi Andra seperti menemukan intan. Ruwi mewujudkan apa yang selama ini Andra inginkan, perhatian yang tulus tanpa embel-embel nama santso. Andra juga bisa merasakan sebuah kehangatan keluarga yang selama ini ia rindukan. Tapi apakah semua masih sama? Ketika ternyata Ruwi justru menyeretnya kembali ke masa lalu?
|
Title: RIMANAO
Category: Novel
Text:
PRASANGKA
Rimanao begitu bimbang ketika dia merasakan getar aneh saat matanya memandang Benny.
“Konyol sungguh konyol memang. Benny??? ohh yang benar saja!,” gumamnya dalam hati. Saat ini Rimanao sedang mengalami konflik batin yang sangat hebat. Bagaimana bisa cowok dengan tampilan khas bujang desa itu memesona dirinya. Aneh memang, Rimanao yang akrab dipanggil Rima ini adalah anak dengan segudang kelebihan dan kepopuleran. Dan kini ia mulai kelabakan ketika disadarinya sebuah fakta bahwa Ia lebih senang berlama-lama melihat wajah Benny.
“Oh CUKUP,”perintahnya mengajak otaknya untuk membangunkan logika yang sedang hibernasi.
“No Rimanao, Please...!! Dia itu Benny. Benny anak dengan rambut lepek dan kacamata bulatnya. Benny si anak udik, anak yang selalu jadi bahan olokan teman-teman se gengnya.” Pikir Rimanao yang ingin segera tersadar dari kekonyolan ini.
Itu semua berawal dari seleksi ketua BES tahun lalu. Rimanao adalah kandidat yang paling difavoritkan termasuk di sana adalah Benny. Salah satu syarat terpilihnya ketua BES adalah mereka menyerahkan sebuah esay dengan ide briliant terkait pengembangan sekolah. Rimanao bukan tidak mampu membuat esay yang baik, hanya saja ia cukup yakin dalam hal ini Benny lah pemenangnya.
Konflik batin yang dialami Rimanao saat ini bermula dari keadaan sore hari yang mencekam. Ya sore itu Rimanao diselimuti kegusaran, Ia resah, Ia gelisah. Sore itu ia berada di ruang kepala sekolah bersama Benny.
“Rima, Kenapa bapak mendapati esaymu ini sama seperti tulisan salah satu tugas Benny di kelas saya? ,”tanya Pak Dirga kepala sekolah dengan pandangan penuh selidik.
“Apakah benar kamu yang mengerjakannya sendiri?” tanyanya lagi.
“Benar Pak, Saya mengerjakannya sendiri,” jawab Rimanao ragu.
“Jadi maksudmu Benny lah yang menjiplak tulisanmu ini dalam tugasnya?,”Pak Dirga mempertegas pernyataan Rimanao.
“I..iya Pak!” jawab Rimanao gugup sambil menatap nanar Benny seakan meminta pertolongan dari Benny.
“Benny,” panggil Pak Dirga sambil menatap tajam ke arah Benny.
“Benar kamu yang menjiplak?”
“Benar Pak,”jawab Benny lirih namun pasti.
“Kamu tahu konsekwensi dari perbuatanmu ini?”
“Tahu Pak” jawab Benny.
Entah apa yang saat itu ada dibenak Benny yang pasti jawaban itu mengeluarkan Rimanao dari sore yang mencekam itu.
***
Hari setelah pemanggilan kepala sekolah merupakan hari yang berat bagi Rimanao. Ia kini memang menjadi ketua BES. Namun ada beban dalam batinnya, hatinya gundah setiap kali bertemu muka dengan Benny. Hingga sepulang sekolah ia memberanikan diri untuk menemui Benny. Tentunya setelah memastikam tidak ada yang melihat dan mendengar percakapan mereka berdua.
“Benny!” panggil Rimanao lirih hampir seperti berbisik ke arah Benny.
“Terimakasih telah menolongku.” Rimanao memulai kalimatnya dengan bergumam dan menunduk malu seperti tersangka kasus korupsi yang tertangkap kamera pers.
“Dan juga maafkan aku karena telah....” kalimatnya terhenti karena dia bingung harus memulai kalimat selanjutannya dari mana.
“Ooh itu!” memandang Rimanao yang sedari tadi menunduk tanda menyesal. dan menyadari bahwa Rimanao tak cukup tinggi seperti kelihatannya.
“Aku berharap kamu tetap merahasiakannya, aku takut teman-teman akan menjauhiku mendengar kebenaran ini.” lanjut Rimanao.
"sudahlah Rima, sudah lama aku melupakan itu, Kamu gak usah kuatir, temen-temenmu gak bakalan ada yang tau kok" ujarnya. ada sedikit nada kesal di sana. mengetahui kenyataan bahwa Rima lebih mengkhawatirkan teman-temannya daripada perasaan bersalah pada dirinya.
"mmm..Rima, aku duluan ya. sudah dijemput nih" Pamitnya yang terkesan cuek dan tidak tertarik dengan obrolan mereka.
Memang ada sopir Benny dengan mobil mazda tipe terbaru di gerbang sekolah sedang menunggu. Darah ningrat mengalir di diri Benny karenanya walau terkesan udik teman-temannya jarang ada yang mengganggunya. Ia hanya jadi bahan bisik-bisik karena penampilan yang kampungan. Terlepas dari itu ia sangat pintar dan kaya.
Sikap cuek yang diperlihatkan Benny itu membuat Rima cemberut dan sedikit tersinggung. Pasalnya jarang ada cowok atau temannya yang tidak mempedulikan dirinya. Kata-kata atau pendapatnya selalu didengar dan dipertimbankan. Ia sudah terbiasa di perhatikan. Ia terbiasa dipuja. Kini ia sedih dengan sikap Benny terhadap dirinya.
***
Hari demi hari berlalu tanpa melupakan insiden pemanggilan dirinya oleh kepala sekolah meskipun dia tahu bahwa Benny tak lagi mempermasalahkanny, Tapi Rimanao tidak bisa membohongi hati nuraninya. Rimanao jadi tidak seceria hari-hari sebelumnya. Dan itu disadari oleh teman-teman se gengnya.
“Rima ada apa sih, kok kamu gak se hiperaktif dulu?” goda Neny salah satu sahabatnya.
“Atau ada masalah? cerita dong sama kita" ujar Neny
Belum sempat menjawab, si April, salah satu anggota yang paling up to date dengan segala rumor gosip menyela.
“Eh kalian tau nggak. Arnetta anak 8E nembak Benny.”
Entah karena shock dengan berita itu teman-temannya tidak menanggapi dengan sempurna sesuai yang di harapkan April. "Helloooo Benny si Udik friends" jelasnya
"Whats?" Sahut Neny kaget, jelas perhatiannya telah teralihkan. "Arnetta si Paris itu?, Wow... thats great. Its gonna be a Royal Couple" ucapnya takjub.
Arnetta adalah gadis blesteran indo-paris yang juga populer di sekolah itu. Ia kaya terlampau kaya malah. Sama seperti Benny, ayahnya adalah pemilik hotel-hotel berbintang di daerah Jakarta dan Bali. Hanya saja benny tak terlalu memperlihatkan keagungan uangnya disekolah. Walau penampilan Benny terkesan simple namun pakaian dan barang-barang yang digunakannya adalah barang-barang impor dan bermerek.
Sependapat dengan Neny, meraka memang pasangan yang serasi. Arnetta adalah cewek modis nan rupawan. Walaupun tidak begitu pintar namun ia tidak jelek. Banyak kakak kelas yang tertarik padanya.
"Oke, that great !, si paris dan si udik. Satu fashionable namun bloon, satunya udik tapi pintar. Cocok kok. mereka akan saling mengisi satu sama lain". Pendapat Rima. Ada nada jengah dari ucapannya. Ada nada cemburu.
Neny menambahkan bahwa penampilan kampungan Benny dapat di make over oleh Arnetta. Ia juga menambahkan bahwa sepertinya Benny tidak terlalu buruk juga bagi Arnetta, mereka sama-sama kaya. Wajah benny juga lumayan tampan. Hanya penampilannya sajalah yang tidak tertolong. Kelewat kampungan. Mungkin saja dengan mereka jadian Arnetta dapat mengubahnya.
April hanya manggut-manggut saja dengan pernyataan itu.
Neny benar, lambat laun ada perubahan dari penampilan Benny. Rambutnya jd tidak lembek lagi. Modelnya berubah menjadi lebih rapi dan kekinian. Dengan rambut lebat dibagian depan saja yang dioles tipis dengan pomade menghasilkan tatanan rambut rapi bak seorang personel boyband Inggris yang terkenal. Kacamata bulat yang digunakannya dulu juga berubah frame, dan warnanya terlihat lebih modern. Itu semua membuat Rimanao jadi lebih sering memperhatikannya. Dan ia benci itu.
***
Hari demi hari berlalu. Penduduk sekolah sudah terbiasa dengan kedekatan Arnetta dan Benny yang selalu berdua. Sudah tidak ada lagi Benny si udik. Orang-orang malah sudah lupa bagaimana Benny si ayam kampung berubah menjadi Benny si ayam Bantam. Ia berusaha keras untuk tidak berpapasan dengan Benny. Tentu saja hasilnya gagal total. Pasalnya tempat-tempat yang ia gemari, merupakan tempat biasa Benny berada. Di perpustakaan, di taman, di atap dan juga ruang BES. ditempat itu pula Benny masih sering nongkrong disana, dan kini ditambah pula Arnetta, si Paris yang kemana-mana selalu nempel Benny, layaknya ikan remura yang enggan lepas dari inangnya.
Dari sinilah telah dimulai hari-hari Rimanao yang menyedihkan.
Kesengsaraannya tidak hanya itu, Akhir Minggu ini ia menerima fakta bahwa Romi kakak kelas 9A menyatakan cinta padanya. di tengah kelas pula. ohhh sempurna pikirnya dalam hati.
walaupun tampang kak Romi tidak terlalu buruk, tapi kesan playboy selalu melekat pada dirinya. dan lagi dia bukan tipe Rimanao.
Karena tidak ingin menolaknya secara terang-terangan di depan kelas, Alih-alih Rimanao meminta waktu untuk memberikan jawaban.
Karena kejadian-kejadian itu Rimanao tanpa sadar Rimanao jadi sering uring-uringan. emosinya naik turun. Setelah pada akhirnya ia sadar akan perasaanya terhadap Benny, bahwa ia menyukai Benny.
Namun apa daya Benny sudah bersama gadis lain. Rimanao hanya bisa memendam perasaannya seorang diri, terutama dari teman-teman se gengnya. Dan itu membuat Rimanao semakin merana.
Ia pun bertekat untuk melupakan perasaanya terhadap Benny. Jika teman-temannya sedang mengobrolkan Arnetta dan Benny, ia akan memberikan komemtar seadanya selebihnya ia akan berdiam diri. Ia jadi lebih giat belajar, lebih rajin dari biasanya, segala upaya dilakukannya untuk menyibukkan diri. Sebuah upaya untuk melupakan..
Hingga suatu sore berpenghujan. Akhirnya Benny menyapanya, setelah waktu yang tidak bisa ia ingat kapan terakhir kali mengobrol dengan Benny. Rimanao yang masih bersetia dengan tugasnya di ruang BES kaget mendapati Benny yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Hai Rima!" Sapa Benny wajar, tak kentara ada rasa kikuk di sana.
mungkin Rimanao masih begitu enggan dan sebal terhadap Benny sehingga sapaan balasan yang keluar untuk Benny tidak bisa keluar secara wajar.
"Hai!" sapanya balik, ada semburat kesal di sana, dan Benny menyadari hal itu.
itulah sapaan singkat yang mendebarkan. Rimanao menanti apa yang ingin dikatakan Benny selanjutnya. Namun tidak ada tanda-tanda bagi Benny untuk mengajaknya ngobrol berlama-lama. Benny hanya masuk ruang BES untuk mengambil beberapa barang, setelahnya ia keluar meninggalkan dirinya. Dan hal itu cukup untuk membuat Rimanao sedih.
Rimanao pun memutuskan untuk pulang, setelah yakin tidak ada hal lain yang bisa dikerjakannya dengan perasaan galau akibat kemunculan Benny yang tiba-tiba. Ketika ia akan keluar gedung sekolah, Ia mendapati Arnetta di pintu gerbang. mungkin sedang menunggu Benny pikirnya dongkol.
"Rim!" sapanya ceria
"Hai!"balas Rimanao seramah mungkin.
"Tadi ketemu Benny ya." nadanya lebih berupa pernyataan dan bukan pertanyaan.
"mmmm iya barusan, Kenapa?" jawab Rimanao sedikit jengah karena dari nada bicara Arnetta seolah-olah dia adalah belahan jiwa Benny dan bukannya pacar.
"Lalu jawabanmu?" tanya Arnetta spontan
"Jawaban apa?" tanya Rimanao balik, kini ia bingung dengan arah pembicaraan mereka.
"Loh, bukannya Benny nemuin kamu untuk nembak kamu!" jelas Arnetta.
kata-kata Arnetta yang terkahir sungguh membuat Rimanao bingung. Dia sama sekali tidak faham dengan apa yang dibicarakan Arnetta.
"Jadi dia belum nembak kamu?" lanjutnya. "Hello Rimanao, Benny itu sejak dulu suka kamu, dia bahkan minta ajarin aku jadi cowok keren, minta aku temani ini, itu. dia bahkan minta aku anterin belanja supaya bisa jadi cowok keren. Hah hasilnya memuaskan kan?" cerocosnya lebih dengan dirinya sendiri karena Rimanao masih tidak dapat berkata apa-apa. Ia bahkan lupa bahwa Arnetta si Paris adalah tipe gadis yang blak-blakan dan kelewat to the poin.
“Loh, bukannya kamu lagi jalan sama Benny?” tanyanya polos setelah memahami situasi.“Ndak lah, aku deket saja sama keluarganya” ujarnya biasa, “ooh, jadi kamu belumditembak, dasar Benny penakut.” Gerutunya.
Walau sedikit bingung, Rimanao senang mendengar kabar itu dari Arnetta. PadaArnetta Ia berhasil menyembunyika rona bahagiannya. Padahal dibalik sikapnya yang nampak biasa-biasa saja, sebenarnya hatinya mengembang penuh dendang mendengar kenyataanya bahwa Benny mencintainya. Kini ia menyesali sikapnya terhadap Arnetta dan Benny karena pernah penuh prasangka terhadap mereka berdua.Walaupun Benny belum menyatakan cintanya, ia cukup senang setidaknya Benny belum punya pacar. Rimanao pun tersenyum nyaris tertawa ketika berjalan pulang. Jika sebelumnya hatinya penuh semak belukar kini hati itu ditumbuhi kuncup bunga penuh suka cita.Dan ia hanya tinggal menunggu waktu kapan sekiranya Benny akan menembaknya. Yang jelas Rimanao bukan tipe cewek yang menyatakan perasaannya terlebih dahulu.
Description: Rimanao adalah gadis sma yang aktif, pintar dan energik. Tiba2 ia gundah mengetahui dirinya senang berlama-lama memandangi cowok culun benny. ingin tahu kelanjutannya yuk baca dan ikuti...
|
Title: Rain to You
Category: Young Adult
Text:
KELAS SATU: Awal dan Permulaan
Hari pertama masuk sekolah.
Shila kelihatan gugup saat masuk di SMA favorit di kotanya itu. Teman karibnya di SMP dulu nggak keterima di sini. Jadilah dia merasa sendirian. Di pandanginya spanduk di pintu gerbang sekolah.
"Selamat Datang Siswa Baru Tahun pelajaran 1996/1997 SMA Harapan Bangsa"
Tiba-tiba perutnya terasa mulas. Dipandanginya muka-muka yang tersenyum dan tertawa bahagia di sekelilingnya itu. Duh ... tak satu pun yang dia kenal. Teman satu kelas nya dulu di SMP hanya 3 orang yang diterima disini. Yang lainnya memilih sekolah ke luar kota atau diterima di SMA lain. Ada 3 SMA negeri di kotanya, satu SMA swasta milik yayasan Muhammadiyah dan satu lagi, SMA swasta milik yayasan BUMN terbesar di Kota Cilacap . Lumayan banyak pilihan memang. Dan Papa memilih memasukkan Shila ke Harapan Bangsa, supaya Shila lebih disiplin. Ditambah lagi, ini adalah tahun ketiga SMA Harapan Bangsa berjalan. Masih ada diskon dari perusahaan tempat Papa bekerja, jika anaknya masuk sekolah di HB. Hhh, Papa tidak membiarkannya memilih. Masuk HB atau sekolah ke tempat nenek di Ciamis. Iyuwhh! Tempat nenek itu masih kampung dan tidak ada kamar mandi di dalam rumah. Shila mengalah, dia memilih masuk HB. Nggak masalah, toh seragamnya bagus!
Shila berjalan memasuki aula sekolah. Tepatnya bukan aula. Hanya beberapa ruang kelas yang di buka sekat pembatas antar ruangnya sehingga menjadi satu ruangan yang luas yang biasa di pakai untuk melaksanakan acara penerimaan siswa baru atau penataran P4. Dia berkeliling ruangan mencari-cari bangku yang bertulisan nomor absennya.
"Kelas 1-3," gumamnya, "Ahh itu dia."
Dicarinya kursi no 7. Lalu dia mengempaskan diri di kursi kayu itu. Shila memandang berkeliling. Dilihatnya beberapa wajah yang dia kenal. Ada teman SMP yang beda kelas, ada tetangganya satu komplek ada juga teman SD nya dulu. Hhmm ..., banyak juga teman yang kukenal, pikirnya. Semoga salah satunya ada yang sekelas denganku.
Menjelang pukul 7, ruangan aula mulai penuh. Bangku-bangku kosong mulai terisi. Shila duduk paling tepi di dekat gang. Satu deret berisi 3 bangku. Dua bangku di sebelah kanannya cewek dan dia sudah berkenalan juga mengobrol dengan keduanya. Bangku di belakangnya tiga orang cowok. Tepat di depannya juga cowok dan dua bangku di sebelah cowok tersebut perempuan. Shila belum berkenalan dengan mereka semua. Masih banyak waktu, pikirnya. Toh, mereka akan satu kelas nantinya.
Tepat jam 7 acara di mulai. Sambutan demi sambutan mengalir dengan membosankan dan di akhiri dengan test tentang UUD 45. Ketika sedang asyik mengerjakan soal, cowok di depannya menoleh ke belakang.
"Pssttt, ada penghapus ?" tanyanya. Hanya sebagian wajahnya yang terlihat. Shila pun memberikan penghapus miliknya. Tetapi sampai bel istirahat berbunyi, cowok itu belum mengembalikan penghapusnya. Ketika para guru mengumpulkan lembar jawaban dan murid dipersilakan keluar ruangan untuk istirahat cowok di depannya membalikkan badan dan mengembalikan penghapusnya.
"Makasih, ya," katanya sopan. Shila memandangnya dan tertegun sejenak. Cowok itu ganteng banget! Mirip aktor Adjie Massaid dengan gaya rambut belah tengah!
"Eh, ya, sama-sama," jawab Shila gugup.
"O,ya kita belum kenalan. Aku Adhit, " katanya mengulurkan tangan.
"Shila," jawabnya sambil menjabat tangan Adhit cepat-cepat. Duh, bakal nggak cuci tangan, nih di pegang cowok ganteng, pikir Shila.
"Shila? Kok, huruf S duduknya di sini?" tanya Adhit.
"Namaku Asyifa Deshila. Biasa dipanggil Shila."
"Ohh ..., ok. Salam kenal Shila. Aku istirahat dulu, ya?" jawab Adhit sambil berlalu. Shila pun mengangguk.
"Cieee ...yang disalamin cowok ganteng," ledek Atik teman di sebelahnya. Shila hanya nyengir. Yang jelas mulai sekarang penataran P4 bakalan nggak membosankan lagi. Dan sekolah pun jadi lebih bersemangat.
Adhit ..., Adhit ..., berulang-ulang Shila meneriakkan nama itu di kepalanya.
***
Seminggu penataran P4, seminggu itu pula Shila selalu berharap agar Adhit lebih sering membalikkan badan ke belakang atau sekedar basa-basi dengannya. Tapi sia-sia. Shila hanya bisa memandang punggung Adhit dengan kecewa. Adhit tidak pernah menoleh ke belakang lagi dan dia terlalu gengsi untuk menegur Adhit duluan. Gimana nggak gengsi? Adhit terlalu cepat popular. Belum sehari sekolah saja, penggemarnya sudah banyak.
Nggak percaya? Lihat saja cewek-cewek yang berbisik-bisik sambil menatap genit ketika jam istirahat atau tatapan bodoh dan terpesona cewek-cewek itu ketika Adhit menjawab pertanyaan guru. Shila bukan salah satu dari mereka, jadi dia gengsi menyapa Adhit. Nanti dipikir Adhit, Shila sama genitnya dengan cewek-cewek centil itu.
Setelah seminggu penataran P4 dan MOS pada sore harinya, tibalah waktu sekolah yang sesungguhnya. Seminggu kemarin sangat melelahkan. Istirahat seharian pada Hari Minggu tidak cukup untuk mengembalikan energi hingga full lagi. Dan hari Senin ini, harus masuk sekolah untuk belajar. Oh my ... Rasanya Shila kepengen mules mendadak sehingga bisa berbaring seharian di tempat tidur.
"Shila! Mau tidur sampai jam berapa? Udah setengah tujuh!" Suara menggelegar Mama mengalahkan jam weker paling berisik di dunia.
Setengah tujuh? Tidak! Kurang dari setengah jam waktunya buat siap-siap dan sarapan.
"Mama, Shila izin sakit aja, deh. Nggak akan keburu buat siap-siap pasti ntar telat, nih!"
"Salah siapa dibangunin susah. Pokoknya kamu harus sekolah. Selama masih bisa jalan kamu nggak boleh izin!" Mama menarik selimut yang menutupi seluruh badan Shila.
"Shila nggak bisa jalan, Mah. Sakit perut!" Shila menarik selimut dari tangan Mama dan menutupkan ke tubuhnya lagi.
"Makin lambat kamu bangun, waktu terus jalan. Kamu makin telat! Kalau nggak bisa jalan kamu ngesot aja sampe sekolah. Udah sana cepetan mandi!" Mama menarik selimut lagi dan kali ini menyembunyikannya di punggung. Diputarnya kenop kipas angin hingga maksimal. Membuat Shila kedinginan dan harus bangun untuk merebut selimut dari Mama.
"Bangun cepat atau Mama seret kamu ke sekolah!" kata Mama sambil mendelik. Baiklah, Shila kalah. Dia menyeret langkah ke kamar mandi dan melakukan ritual mandi pas photo. Cukup kumur-kumur, gosok gigi, cuci muka. Dahhh ... siaappp ...
***
Shila tiba di sekolah jam tujuh kurang lima menit. Setelah melakukan rayuan maut sama Papa, akhirnya Papa mau mengantar juga. Hanya saja Papa itu tipe karyawan yang suka masuk kantor di last minutes. Mepet-mepet. Jadilah Shila hampir terlambat diantar ke sekolah.
Hampir, tapi cukup terlambat untuk memilih bangku yang strategis dan teman semeja yang baik. Benar saja, ketika masuk kelas hampir semua posisi enak sudah di tempati. Shila suka tempat duduk dekat jendela. Dia suka melamun sambil memandang keluar jendela. Apalagi ketika hujan, Shila suka melihat air hujan yang turun. Bagaikan membentuk tirai transparan yang indah.
Tapi kelihatannya posisi dekat jendela sudah di tempati semua orang.
"Shila, sini!" Dilihatnya seseorang memanggilnya dari bangku kedua dari belakang. Atik! Temannya sewaktu penataran P4. Shila pun menghampiri Atik dan meletakkan tasnya di meja di sebelah Atik.
"Makasih, Tik, dah sisain tempat buatku," kata Shila sambil tersenyum. Syukurlah ..., bukan di tepi jendela sekali tapi masih lumayan, lah.
"Belakang siapa, Tik?" tanya Shila sambil menunjuk bangku dibelakangnya.
"Masih kosong," jawab Atik sambil lalu dan kemudian dia mengalihkan pembicaraan ke hal lain yang lebih seru.
Shila yang kocak dan pembawaannya yang ceria mampu menarik perhatian teman-temannya yang lain. Meja tempat Atik dan Shila duduk pun ramai dikerubungi teman-teman mereka. Sesekali tawa lepas Shila terdengar di antara mereka. Obrolan terhenti ketika bel tanda masuk kelas berbunyi. Semua kembali ke tempat duduk masing-masing.
Bangku di belakang Shila masih kosong. Sepertinya jumlah bangkunya memang berlebih di kelas Shila. Sambil menunggu wali kelas masuk, Shila memandang berkeliling mempelajari teman-teman satu kelasnya. Sebagian besar dia kenal karena teman satu SMP, hanya saja beda kelas. Ternyata Doni, teman sekelas waktu SMP juga sekelas dengannya.
Tapi ..., rasanya ada yang kurang? Dia tidak melihat sosok Adhit di antara mereka. Seharusnya Adhit menjadi bagian dari kelas 1-3. Atau jangan-jangan Adhit memutuskan batal sekolah di HB? Cowok secerdas Adhit, terlihat selama penataran Adhit selalu berhasil menjawab soal kuiz dengan gemilang, tidak seharusnya sekolah di HB. Dia seharusnya masuk SMA unggulan atau sekolah di Yogya. Membayangkan kemungkinan itu, tanpa sadar ada rasa kecewa di hati Shila. Dia mendesah cukup kuat, sehingga membuat Atik yang sedang memandangi pantulan wajahnya di cermin mungil menoleh pada Shila.
Belum sempat Atik bertanya, tiba-tiba ada suara orang berlari di koridor. Sepertinya dia terburu-buru dan hanya rambut hitamnya yang tertangkap oleh mata Shila. Jendela kelas letaknya agak tinggi sehingga ketika dalam posisi duduk hanya terlihat kepala seseorang saja di luar. Seseorang itu pun berhenti dan membuka pintu kelas 1-3. Otomatis seluruh perhatian kelas terarah kepadanya. Dan ketika seseorang tersebut terlihat utuh dan jelas, tanpa sadar Shila menahan napasnya.
Dengan santainya Adhit memasuki kelas sambil menebar senyum kepada siapa-siapa yang bertemu pandang dengannya. Dia pun berjalan ke arah bangku kosong di belakang Shila.
"Hai," sapanya sambil tersenyum ketika melewati bangku Shila. Shila pun membalas senyuman Adhit dengan senyum yang pasti aneh bentuknya karena gugup.
Shila menarik napas, mencoba menguasai diri. Punggungnya terasa panas ketika tahu Adhit duduk tepat di belakangnya.
Setahun!
Jika tempat duduk mereka tidak berubah, Adhit akan berada di belakang Shila selama setahun! Membayangkannya saja sudah membuat muka Shila merah dan tubuhnya menegang. Gila, setahun! Rezeki nomplok!
Sentuhan lembut di bahu membuat Shila terlonjak kaget.
"Eh ..., sori. Kaget, ya?" sapa Adhit. Shila membalikkan badan. Dia sudah bisa menguasai diri sekarang.
"Iya kaget. Lagi ngelamun soalnya," jawab Shila sambil tertawa. Tanpa sadar Adhit tertegun memandang wajah Shila yang tertawa. Matanya berbinar-binar indah. Seperti ribuan kunang-kunang terperangkap di bola matanya yang hitam sempurna.
"Eh, kok gantian kamu yang bengong? Terpesona, ya sama aku?" goda Shila. Adhit nyengir dan menggaruk belakang kepalanya yang pura-pura gatal.
"Kamu Shila, kan?" tanya Adhit sambil mengacungkan jari telunjuk.
"Kamu Adhit, kan?" tanya Shila balik. Dia melakukan hal yang sama. Mengacungkan jari telunjuk juga. Lalu tawa mereka pun berderai. Suasana mencair.
Tampaknya semua akan baik-baik saja, pikir Shila. Mungkin kita bisa menjadi teman baik selama setahun ini. Atau mungkin lebih. Entahlah. Apa yang akan terjadi esok hari saja tidak ada yang bisa memperkirakan dengan sangat tepat. Apa lagi satu tahun? ©
KELAS SATU: SEMAKIN DEKAT
Adhit menjadi lebih dekat dengan Shila di banding dengan teman cewek satu kelasnya yang lain. Jika teman cewek yang lain mendekati Adhit karena ingin mendapat perhatian Adhit, tidak begitu dengan Shila. Ketika jam istirahat, Adhit yang baik dan sabar sudah dikerubutin teman ceweknya yang minta diajari ini itu. Adhit sangat cerdas. Setiap soal yang di berikan guru selalu bisa di jawabnya. Cerdas, baik, ganteng, tidak perlu waktu lama untuk membuat Adhit jadi idola baru dari kelas satu.
"Kamu dulunya SMP mana, sih, Dhit? Rasanya nggak ada, deh model kayak kamu di sini?" tanya Shila pada satu kesempatan. Adhit tertawa.
"Emang aku kayak gimana, Shil?"
"Aku dulu SMP-nya udah yang paling ngetop di sini. Tapi kamu nggak ada di sekolah kami. Dan nggak mungkin juga kamu sekolah di SMP lain. Karena nama kamu juga nggak pernah muncul di kompetisi pelajar teladan. Kamu pindahan dari luar kota, ya?" Adhit tertawa mendengar penjelasan Shila.
"Aku pindahan dari Jakarta, Shil. Ayahku di tugaskan di Pertamina sini. Dan karena aku anak tunggal jadi mereka nggak mau ninggalin aku di Jakarta. Aku, sih ngikut ajalah apa kata ortu."
"Ada juga, ya anak Jakarta kayak kamu. Nggak belagu dan loe gue gitu ngomongnya," kata Shila sambil tertawa.
"Ceritanya kamu memuji aku, nih? Kamu terpesona sama aku, kan, Shil? Ayo ngaku aja. Masa kalah ama Leni, dia dah nyatain ma aku, loh," Adhit menggoda Shila. Dan Shila pun mencibir.
"Ogah naksir kamu, Dhit. Takut aku di guna-guna sama para penggemarmu itu yang bisik-bisik genit tiap lewat depan kelas kita," kata Shila begidik sambil meninggalkan Adhit sendirian. Adhit memandang tajam ke arah Shila sampai dia menghilang ke luar kelas.
***
Sekalipun Shila dekat dengan Adhit, tak ada cewek yang cemburu dengan kedekatan mereka berdua. Mereka pikir, cowok seperti Adhit tidak akan tertarik dengan cewek seperti Shila.
Shila gadis biasa. Tidak cantik. Tidak langsing. Tidak bergaya. Biasa saja. Rambutnya ikal dan selalu diikat satu. Untuk cewek seumurannya, tubuh Shila termasuk berisi tapi tidak gemuk. Yang menarik darinya adalah lesung pipit yang selalu keluar setiap kali dia tertawa. Dan ..., matanya. Matanya yang bulat besar bersinar.
Shila manis. Jika dia mau sedikit lebih modis dia akan tampak lebih menarik. Tapi Shila tomboy dan cuek. Dia bisa bercanda bebas dengan siapa saja tanpa sungkan. Dia mudah mengulurkan tangan untuk siapa saja termasuk kepada teman-temannya yang selalu menitipkan salam atau surat cinta untuk Adhit.
Kesukaan mereka pun berbeda. Adhit mulai masuk dan aktif di kepengurusan OSIS, sedangkan Shila lebih tertarik dengan kegiatan drama dan tanam-menanam. Selain saat di kelas, mereka hampir tidak pernah bersama di luar jam belajar. Tapi setiap ada kegiatan kelompok Adhit selalu memasukkan Shila di kelompoknya, walaupun terkadang Shila menjadi satu-satunya perempuan di kelompoknya itu. Tapi siapa yang bisa menolak keinginan Adhit? Sang ketua kelas dan juga murid paling cerdas di kelasnya. Atau mungkin satu sekolah. Bisa jadi.
***
Pagi itu Shila datang terlalu pagi. Kelas masih kosong. Ada PR matematika yang tidak bisa dia kerjakan sendiri jadi dia bermaksud mencontek dari Adhit. Biasanya Adhit selalu datang paling awal. Sampai Shila pernah memanggilnya 'juru kunci'.
Naas bagi Shila, dian tersandung di depan sekolah ketika berlari terburu-buru dan kini lututya berdarah. Shila duduk meringis menahan sakit di bangkunya dan meniup-niup lukanya agar tidak perih. Dia tidak menyadari kehadiran Adhit yang langsung berjongkok di depan lukanya. Shila hanya memandang Adhit ketika Adhit mengoleskan obat luka di kakinya.
"Sakit, Dhit," kata Shila terisak.
"Masa cewek kuat kayak kamu nangis cuma gara-gara luka kayak gini?" ledek Adhit.
"Aku nggak tahan sakit, Dhit. Aku juga takut lihat darah." Shila menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai basah. Adhit memandang mata Shila yang berkaca-kaca. Shila tidak bercanda rupanya.
"Aku takut di suntik. Karena sakit," kata Shila. Adhit paham. Dia pun cepat-cepat menutup luka Shila dengan kain kassa.
"Kok, kamu bisa tahu kalau aku terluka?" tanya Shila setelah Adhit selesai.
"Aku tepat di belakangmu ketika kamu jatuh."
"Dan kamu nggak nolongin aku? "
"Karena kupikir kamu nggak papa. Kamu, kan, udah sering jatuh."
Kok, Adhit bisa tahu kalau aku sering jatuh, ya? pikir Shila.
"Aku ikutin kamu buat mastiin kamu nggak parah. Kirain kamu bakal ke UKS tapi kamu nggak pergi ke sana malah langsung ke kelas. Jadi tadi aku mampir UKS pinjam P3K dulu."
"Ngomong-ngomong kenapa kamu datang pagi? Biasanya 5 menit sebelum bel baru kamu datang."
"Aku belum ngerjain PR matematika. Nggak semua, sih. No 7 & 10."
"Trus kamu mau nyontek aku? Tumben? Biasanya gengsi." Shila cuma nyengir.
"Nih, ambil di tas aku. Aku mau ke UKS dulu ngembaliin ini," kata Adhit sambil menunjukan kotak P3K.
"Kalau sudah selesai masukin tas lagi, ya. Trus hapus ingusmu. Malu sama temen-temen." Shila pun mencibir. Buru-buru dihapusnya sisa air mata yang mengembun.
Duh ..., dia menangis di depan Adhit. Seharusnya dia malu tapi dia merasa biasa saja. Bahkan lebih nyaman dan tenang ketika ada Adhit. Dipandanginya perban di lututnya. Adhit yang ngobatin! Tiba-tiba Shila merasa dia istimewa. Membayangkan dia istimewa membuat Shila tersenyum sendiri.
***
"Dah selesai?" tanya Adhit sambil meletakkan botol aqua di meja Shila.
"Satu lagi. Trs ini buat apa?" tunjuk Shila pada botol aqua.
"Buat kamu minumlah," kata Adhit sambil duduk di belakang Shila. "Buat mengganti air matamu yang tadi keluar," bisik Adhit di telinga Shila. Shila membalikkan badan sambil melotot. Adhit tersenyum dan menggerakkan tangan di depan bibir tanda mulutnya terkunci. Shila pun bergegas menyelesaikan menyalin pe-er Adhit.
"Nih, dah selesai!" katanya sambil mengembalikan buku Adhit.
"Kok, nggak ada surat cintanya, Shil? Biasanya yang pinjem buku aku pasti pas ngembaliin ada suratnya," goda Adhit sambil membolak-balik buku pe-er nya.
"Ngarep aja terus sampai lebaran gajah," kata Shila sambil mencibir dan membalikkan badan ke depan.
"Aku serius, Shil. Aku minta surat cinta dari kamu." Tiba-tiba Adhit sudah berbisik di telinga Shila lagi. Membuat bulu tengkuk Shila merinding. Ahh ..., Adhit pasti bercanda. Dia, kan suka gitu. Tapi tetap saja Shila tidak berani menghadap belakang membalas godaan Adhit. Sebagai gantinya, Shila mengacungkan tinju. Dia mendengar Adhit terkekeh.
***
"Kantin?" tanya Adhit pas jam istirahat tiba. Shila menggeleng.
"Masih sakit?" tanya Adhit sambil menunjuk pada luka di lutut Shila.
"Sedikit," jawab Shila. Meringis.
"Ntar pulangnya aku antar, ya?"
"Nggak usah. Bikin malu aja. Aku masih bisa jalan, kok."
"Ya sudah. Yakin nggak mau ke kantin?" tawar Adhit sekali lagi.
"Enggakkk! Lagian kalau mau aku bisa sendiri, Dhit."
"Ya sudah kalau begitu. Aku keluar dulu, ya," kata Adhit. Shila pun mengangguk. Kenapa juga musti izin coba?
Selepas Adhit keluar kelas, Shila mencoba berdiri. Lututnya terasa kaku dan sakit bila digerakkan. Dia mencoba jalan. Rasanya perih dan berdenyut. Arrrghhh! Shila marah pada diri sendiri karen begitu ceroboh. Baru sembuh kaki kiri sekarang kaki kanan. Begitu seringnya dia jatuh. Kata orang itu karena kaki dia panjang sebelah. Masa, sih? Menurutnya, sih karena dia selalu terburu-buru. Sering ada barang yang tercecer atau ketinggalan.
Shila memegangi perutnya. Tadi pagi dia belum sarapan karena mau berangkat cepat. Dan sekarang baru terasa laparnya. Kantin sekolah lumayan jauh dari kelasnya. Masa iya dia harus terpincang-pincang berjalan sampai kantin? Dan rasanya, Shila nggak kuat menahan sakit. Duh, tahu gitu tadi nitip camilan sama Atik.
Kelas kosong. Semua temannya pergi ke kantin atau mengobrol di luar kelas. Kesempatan bagi mereka buat nongkrong sambil ngecengin kakak kelas bagi yang cewek dan tebar pesona bagi yang cowok. Biasanya kalau istirahat pertama Shila mengunjungi kebun klub menanam yang ada di belakang perpustakaan. Melihat apakah semaiannya berhasil tumbuh atau hanya sekadar menyiram tanaman yang kering.
Jarang ada yang berminat ikut ekstra kurikuler berkebun. Padahal menurut Shila itu sangat mengasyikan. Melihat bagaimana tanaman bisa tumbuh dari sebutir biji atau merasakan sensasi ketika biji yang kita semai berhasil berkecambah.
Adhit pernah bertanya, kenapa dia memilih ikut ekskul botani daripada ekskul keren lainnya. Atau masuk OSIS seperti dia.
"Aku suka mengamati hujan, Dhit. Melihat airnya turun dari langit dan menyentuh daun. Apalagi jika hujan deras, dia seperti tirai transparan yang bergerak-gerak ditiup angin. Aku suka melihat tanaman sehabis hujan turun. Bulir-bulir airnya tertinggal di daun. Seperti bola kristal yang ingin menceritakan sesuatu. Aku suka menyiram tanaman, menciptakan hujan pribadi. Dan tentu saja ..., aku suka berada di antara tanaman. Itu dapat membantumu menjernihkan pikiran dan melepas lelah sejenak."
Bunyi-bunyian di perut membuyarkan lamunannya. Shila kembali ke kursinya. Dia meneguk habis aqua yang tadi di berikan Adhit.
"Istirahat kedua nanti aku harus nitip jajan ke Atik. Kalau nggak, bisa nggak konsen ngikutin jam pelajaran terakhir," tekad Shila. Ketika Shila selesai membuang sampah botol aquanya, dilihatnya Adhit memasuki kelas dan membawa satu plastik makanan.
"Kamu pasti laper, kan? Nih, kue kesukaan kamu. Ada tahu isi dan putu mayang. Kalau belinya istirahat kedua pasti dah habis," katanya sambil meletakkan plastik tersebut di meja Shila. "Ayo makan. Bunyi perutmu itu kedengeran sampai kantin, tau," kata Adhit sambil tertawa.
"Jahattt!!!" teriak Shila sambil mencoba memukul pundak Adhit. Adit mengelak dan menangkap tangan Shila.
"Mulai sekarang kamu harus janji, ya? Mencoba jangan jatuh terus. Masa cewek kulitnya banyak tatonya. Nggak mulus," kata Adhit sambil tersenyum memandang Shila
Shila melepaskan pegangan Adhit dan membuka plastik kue yang tadi dibawanya. Shila memandang kue dan Adhit bergantian. Dari mana Adhit tahu kue kesukaan dia? Padahal mereka nggak pernah ke kantin barengan.
"Makan aja, Shil. Ntar keburu abis jam istirahatnya," kata Adhit sambil berlalu. Shila pun menikmati kue itu sampai bel berbunyi.
"Eh, Shil kamu beli kue nitip sama sapa?" tanya Atik ketika melihat bungkusan kosong yang di buang Shila.
"Adhit yang beliin," jawab Shila pendek. Atik melebarkan mata, membuat matanya yang mengenakan eye liner terlihat menyeramkan.
"Shil, Adhit, tu perhatian banget sama kamu, ya? Jangan-jangan dia naksir kamu!"
"Ya enggaklahhh! Adhit cuma baik sama semua orang. Tuh, lihat dia sekarang lagi ngajarin Lena. Pake nempel-nempel segala lagi duduknya," jawab Shila sambil menunjuk Adhit yang sedang duduk di sebelah Lena. Sepertinya mengajari Lena sesuatu, kelihatan sekali Lenanya kesenengan diajari Adhit. Sesekali dia mencubit lengan Adhit sambil tertawa-tawa genit.
"Atau jangan-jangan dia mau bikin kamu cemburu, Shil." Atik memanas-manasi.
"Jangan ngaco, Tik. Lena yang begitu cantiknya saja di tolak samaAdhit, mana mungkin dia mau sama aku? Aku sama Adhit itu cuma temenan. Titik. "
"Yakin kamu juga nggak suka sama Adhit? Dia ganteng, kaya, pinter lagi?"
"Kamu sendiri? Emang kamu suka sama Adhit?"
"Ya jelas, dong. Siapa, sih yang enggak? Aku masih normal, kok. Jadi kalau kamu nggak suka, kamu harus cek ke dokter kelamin."
"Ihhhh..jahatttt!!! Kok dokter kelamin, sih?" kata Shila sambil mencubit pinggang Atik sampai dia mengaduh.
"Kamu tahu Deira? Anak kelas 1-8? Dia kelihatannya juga suka sama Adhit. Beberapa kali aku lihat dia tebar pesona gitu di kantin sama Adhit."
Shila memandangi mata Atik yang menatapnya sungguh-sungguh. Deira? Deira yang idola satu sekolah itu? Mendengar Deira mendekati Adhit membuat wajah Shila sedikit kecut.
Obrolan terhenti ketika Bu Nunung, guru Bahasa Inggris sekaligus wali kelas, memasuki kelas. Adhit pun kembali ke bangku di belakang Shila. Mata mereka bertemu. Shila menatap Adhit galak.
"Kenapa? Kamu cemburu, ya?" bisik Adhit dari belakang. Shila mengepalkan tinjunya ke belakang tanpa menoleh. Dia mendengar Adhit terkekeh geli. ©
KELAS SATU: KAMU, KOK NGGAK PEKA, SIH?
"Aku antar, ya?" tawar Adhit ketika bel pulang berbunyi.
"Nggak usah! Aku bisa jalan sendiri. Lagian rumahku dekat, kok."
"Pokoknya aku antar!"
Adhit memegang pergelangan tangan Shila yang buru-buru dilepaskan Shila. Atik memperhatikan mereka berdua sambil tersenyum.
"Kamu bikin Atik mikir yang enggak-enggak, deh," kata Shila sambil terpincang-pincang keluar dari kelas.
"Emang Atik mikir apa?" tanya Adhit menjajari langkah Shila.
"Dia pikir kamu suka sama aku karena perhatian kamu yang berlebihan banget sama aku."
"Trus kamu bilang apa sama Atik?"
"Ya kubilang nggak mungkin lah! Eh ..., dia malah suruh aku periksa ke dokter kelamin. Ngecek jangan-jangan aku nggak normal karena kubilang nggak mungkin Adhit suka ma aku. Dan aku juga nggak mungkin suka ma cowok kayak kamu."
"Emang aku kenapa?" tanya Adhit sedih. Shila jadi merasa bersalah. Apa ucapannya barusan keterlaluan?
"Maksudnya, kamu, tuh bisa milih cewek cantik yang manapun di sekolah kita. Dan mereka pasti bilang 'ya'! Jadi nggak mungkinlah cewek biasa kayak aku, nih bisa bersaing sama mereka. Apalagi Deira yang wow banget itu!"
"Gitu, ya?"
"Menurut kamu? Emang nggak gitu?"
"Seharusnya, sih begitu," jawab Adhit datar.
"Yakin kamu nggak mau kuantar?" tanya Adhit sekali lagi. Shila menggeleng.
"Kalau aku memaksa?"
"Kalau aku tetap menolak, kamu mau apa?"
"Bagaimana kalau aku menggendongmu sampai ke mobil?"
"Kamu nggak akan kuat. Badanku, kan besar."
"Kuminta Pak Amir bantu gendong kamu," katanya sambil menunjuk sopir yang sudah stand by di samping mobil.
"Kalau aku meronta?"
"Aku akan tetap maksa kamu masuk ke mobil. Toh, kamu juga yang bakal malu. Aku, sih biasa aja."
Iya juga, pikir Shila. Kalau dia meronta pasti teman-teman memperhatikan mereka terus besok-besok dia bakal malu karena jadi pesohor dadakan. Dan kelihatannya, Adhit tidak main-main dengan ancamannya.
Sialan kamu, Dhit!
"Baiklah, aku mau kamu antar. Tapi sekali ini saja, ya?" Adhit mengangguk tanda setuju. Dibukakannya pintu mobil untuk Shila. Dan dia sendiri duduk di sebelah Shila.
Dari balik kaca mobil, Shila melihat Leni yang cemberut karena sudah berkali-kali merayu Adhit minta di antar tapi selalu gagal. Shila juga melihat Atik mengacungkn jempolnya sambil tersenyum. Ada rasa bangga dalam diri Shila. Juga rasa bahagia yang aneh. Dada Shila menjadi hangat dan berdebar-debar.
"Lomanis dulu, Pak. Antar ke rumah Shila," kata Adhit ke Pak Amir, sopir keluarga Adhit. Pak Amir pun mengangguk.
"Makasih, ya, Dhit," kata Shila sambil memandang ke arah Adhit. Adhit hanya mengangguk dan tersenyum.
Sepanjang perjalanan Adhit hanya diam, tidak seperti biasanya. Cerewet dan jahil. Shila jadi bertanya-tanya apa ada omongan dia yang salah, ya? Ahh, mungkin Adhit hanya jaim di depan Pak Amir. Jangan-jangan Adhit cuma jahil kalau di sekolah sedangkan di rumah dia anak mami. Who knows, ya, kan?
"Besok pagi jam setengah tujuh aku jemput, ya," kata Adhit sewaktu menurunkan Shila di depan rumah.
"Nggak usah, Dhit. Nanti aku minta Papa anter aku."
"Ini bukan tawaran, Shil. Ini perintah. Jam setengah tujuh aku jemput!" katanya sebelum menutup pintu mobil. Mukanya serius tapi sedih. Shila nggak sanggup menolaknya. Dia jadi merasa bersalah pada sesuatu yang nggak tahu itu apa.
Mama Shila merasa heran ketika melihat anaknya diantar mobil bagus.
"Kamu di tabrak mobil, Shil?" tanya Mamanya.
"Enggak, lah, Mah. Shila jatuh trus lututnya berdarah. Adhit kasian, jadi dia mau anterin Shila pulang," kata Shila sambil melepas sepatu dan tasnya.
"Kamu pacaran sama Adhit?"
"Enggak, Mah. Adhit temen baik Shila. Dia anak Manajer Kilang, Mah," jelas Shila sambil masuk kamar.
"Manajer Kilang?" tanya Mamanya sambil tiba-tiba membuka pintu kamar Shila.
"Mama, ihh! Ngagetin, tau! Iya! Anak tunggal Manajer Kilang. Dah jelas, Mah?" tanya Shila sambil menuju meja makan.
"Shila lapar mau makan. Tadi pagi nggak sarapan."
"O, ya, Mah, besok pagi jam setengah tujuh Adhit jemput Shila. Jadi Shila mau sarapan lebih awal, ya, Mah," kata Shila sambil melambaikan tahu di depan muka mamanya.
"Hah!! Kamu dijemput anak Manager Kilang? Bisa heboh, nih tetangga!" kata Mama syok.
"Biasa aja kali, Mah. Nggak perlu juga bikin konferensi pers. Awas aja kalau sampai bikin nasi tumpeng segala," jawab Shila sambil menikmati makan siangnya.
"Hebat juga kamu, ya. Bisa dapetin anak Manajer Kilang. Duh, nggak sabar pengen ketemu calbes. Calon besan."
Shila langsung batuk-batuk mendengar ucapan mamanya. Dia keselek cabe rawit yang warnanya merah merona.
***
Jam setengah tujuh teng!
Mobil Adhit sudah berada di depan rumah Shila. Dengan terpincang-pincang, Shila buru-buru pamit dan menuju mobil Adhit. Tidak memberi kesempatan Adhit turun dan berbasa-basi dengan kedua orangtuanya. Adhit membukakan pintu untuk Shila dan berpamitan pada kedua orangtua Shila.
Tunggu, ada yang salah. Dua? Loh, bukannya tadi si Papa sudah di atas motornya lewat jalan belakang? Cepet amat sudah sampai di depan rumah lagi? Dasar, nih orang tua, pikir Shila.
"Mari Tante, Om, kami pamit dulu." Adhit menghampiri mereka dan menyalami keduanya.
"Ya, ya, hati-hati di jalan, ya, Nak Adhit. Belajar yang rajin!" kata Mama. Papa hanya tersenyum dan Shila melambai pada kedua orang tuanya dari kaca mobil yang terbuka.
"Anak Manajer Kilang, Pah!" Shila masih sempat mendengar bisikan Mama sebelum mobil berjalan.
Ughhh!!!
Shila sebel banget dengan perlakuan seperti ini. Terlalu berlebihan, pikirnya. Adhit hanya tersenyum memandangi bibir Shila yang mencong sana mencong sini saking sebalnya. Dan Adhit, masih terdiam sepanjang perjalanan, sama seperti kemarin. Adhit kenapa, sih? Masa iya dia habis mabok jamur?
Sesampainya di sekolah, Shila buru-buru membuka pintu mobil dan berjalan cepat-cepat ke ruang kelasnya sambil menunduk. Dia risih dengan pandangan bertanya teman-temannya. Adhit hanya berjalan mengikutinya dari belakang, masih sambil senyam-senyum. Dia masih sempat menyapa beberapa orang yang ditemuinya. Adhit sangat menikmati saat-saat membuat Shila terlihat istimewa.
Sesampainya di kelas, Atik sudah menunggunya dengan pandangan minta penjelasan.
"Tumben datang pagi?" tanya Shila
"Jadi?"
"Jadi apa? Prok! Prok! Prok! Jadi kodok?" tanya Shila balik sambil tertawa lebar.
"Jadi ..., apa ceritanya sampai kamu dianter pulang sama Adhit?"
"Heboh banget kayaknya, ya? Emang spesial banget, gitu?" tanya Shila balik.
"Shil, kamu nggak lihat gimana Leni ngeliatin kalian dengan pandangan yang menusuk jealous? Kalau bisa, mungkin kamu bakal dicakar-cakar sama dia?"
"Segitunya," jawab Shila cuek.
"Trus hari ini kamu pulang bareng Adhit lagi?"
"Belum tahu. Tadi berangkatnya, sih aku di jemput."
"Whattt??!! Berangkat bareng Adhit?" seru Atik. Shila hampir saja melonjak dari kursinya karena terkejut. Sebagian teman-teman yang sudah datang menoleh ke arah mereka. Mencoba mencuri dengar obrolan Shila dan Atik.
"Sssttt!! Jangan heboh gitu, ah. Kamu persis mamahku, deh ekspresinya. Nggak ada yang spesial, kok," sahut Shila mulai risih.
"Kamu emang nggak peka jadi orang, Shil. Bukan hanya kelamin kamu yang harus di cek ulang tapi kamu juga harus ke dokter syaraf!" kata Atik kesal
"Emang aku gila apa?"
"Bukan gila tapi syaraf yang nyambung ke perasaan kamu, tuh dah tersumbat!" sahut Atik ketus.
"Kamu benar, Tik. Shila emang nggak peka!" kata Adhit yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Shila memandang sebal pada Adhit dan Atik.
Apa, sih maksud mereka? pikir Shila.
Semalam dia sudah bercermin baik-baik. Tidak ada sisi menarik darinya. Dia ceroboh. Lebih sering menyusahkan Adhit. Walaupun Adhit sering membantunya, bukan berarti Adhit lebih perhatian sama dia. Karena dengan teman yang lain, kan Adhit begitu juga. Masa hanya karena dia di antar jemput Adhit sekali saja langsung jadi ge-er?
Nggak! aku nggak boleh ge-er ! Kalau Adhit suka, kan dia bisa bilang, nggak usah pake isyarat-isyaratan. Titik!
"Pulangnya aku anter!" kata Adhit saat istirahat kedua. Atik mencuri dengar.
"Kakiku udah sembuh, kok. Aku bisa jalan."
"Aku nggak mau lihat kamu jatuh-jatuh lagi."
"Tapi, Dhit ...."
"Aku nggak mau di bantah, Shil. Mulai sekarang, kamu pergi dan pulang sekolahnya sama aku." Adhit berkata serius sambil menatap tajam mata Shila.
Entah kenapa Shila jadi menurut dan sedikit takut jika Adhit sudah bersikap lebih posesif seperti itu.
"Apa?!" tanya Shila kepada Atik yang memandang sebal padanya setelah Adhit keluar kelas.
"Dasar Nona Nggak Peka!"
"Terus, aku mesti gimana? Masa aku mesti nembak duluan. Gengsi, lah! Atau aku harus tanya, Dhit perasaan kamu sama aku sebenernya gimana, sih? Kalau dia beneran suka, kan dia bisa bilang. Nggak usah pake kode-kodean. Emang anak pramuka apa?"
"Setidaknya kamu bisa balas perhatian Adhit, Shila. Kamu, tu punya kesempatan lebih besar dari cewek manapun buat ngedapetin Adhit."
"Bales perhatian gimana? Aku nggak bisa kalau harus genit-genit dan manja-manja kayak cewek-cewek yang ngedeketin Adhit itu."
"Duh, bego apa oon, sih kamu, Shil?" tanya Atik gemas.
"Anggap aja aku lugu."
"Kebagusan kalau lugu," kata Atik sambil keluar kelas.
"Ikut, nggak? Atau mau nungguin Adhit bawain kue lagi buat kamu?"
"Enggak! Nggak mau! Aku ikut ke kantin aja."
Dan sepanjang jalan pergi ke kantin, Shila merasa panas menerpa bagian-bagian tubuhnya. Dia merasa ditusuk-tusuk oleh pandangan beberapa orang. Beberapa? Kayaknya terlalu sedikit, deh? Hampir semua cewek yang bergerombol menghentikan obrolan mereka hanya untuk memandang Shila sekilas. Sepertinya mereka ingin tahu cewek seperti apa yang bisa mencuri hati Adhit. Rupanya satu sekolah sudah tahu kalau dia kemarin pulang diantar Adhit dan hari ini berangkat juga bareng Adhit.
Prok! Prok! Prok!
"Kamu nggak nyangka, kan Adhit begitu populer?" bisik Atik. Shila pun meringis.
Gerombolan cewek-cewek mulai berbisik lagi ketika dia berlalu. Ada seseorang bersuara agak keras, pagar makan tanaman! Shila pun memalingkan muka ke arah suara itu. Dia ingat, cewek itu pernah menitip surat padanya untuk disampaikan ke Adhit.
Hish! Kambing kalik makan tanaman.
Sesampainya di kantin, Shila melihat Adhit sedang mengobrol dengan beberapa temannya yang pengurus OSIS. Adhit memandang Shila sesaat dan dengan cepat memalingkan muka. Ada rasa tidak suka ketika Adhit memperlakukannya begitu.
Tidak biasanya, pikir Shila.
Tapi, ya sudahlah mungkin dia sibuk membicarakan sesuatu. Dia, kan aktivis OSIS. Lagi pula apa yang Shila harapkan bakal dilakukan Adhit? Berlari ke arahnya sambil membentangkan tangan?
Duh, membayangkannya saja, kok bikin mual gini, ya? ©
KELAS SATU : TERNYATA AKU SUKA KAMU
Semakin hari, Shila merasa Adhit semakin menjauh. Walaupun pergi dan pulang sekolah masih dalam satu mobil, tapi mereka hampir tidak pernah bercakap- cakap. Adhit tampak lebih diam dibanding ketika di kelas. Dia lebih suka memandang lurus ke depan atau memalingkan wajah ke jendela. Pernah Shila mencoba membuka percakapan tapi hanya di jawab dengan 'ya', 'tidak', 'mungkin', dan 'nggak tahu'.
Shila kapok dan tidak pernah memulai percakapan lagi.
Shila tidak bisa menghindar setiap Adhit akan mengantar pulang. Adhit selalu menunggu di samping meja. Bahkan jika dia beralasan ada ekskul setelah jam sekolah, Adhit akan menunggunya hingga selesai. Jika Adhit ada rapat OSIS sepulang sekolah, disuruhnya Pak Amir mengantar Shila pulang duluan. Dan mobil akan terasa jauh lebih sunyi ketika Adhit tidak ada.
Ahhh ..., Shila merasa kesepian. Padahal ketika Adhit ada pun mereka berdua sama-sama terdiam. Tapi mobil tanpa Adhit sepinya menyakitkan.
Ada apa dengan hatiku?
Suatu pagi, Shila mencoba menghindar di jemput Adhit dengan alasan dia piket. Dan Mamah menghadiahinya dengan jeweran di kuping sampai merah. Kata Mamah, kalau lagi marahan sama Adhit cepat diselesaikan! Bukan malah menghindar. Tapi nggak harus di jewer juga kali, Mah!
Menjelang UAS Adhit memutuskan pindah tempat duduk. Jauh lebih ke depan. Kebetulan ada bangku yang kosong karena setelah terima raport semester pertama, ada seorang teman sekelas mereka yang pindah sekolah ke luar kota. Bangku belakang Shila pun kosong. Selama ini Adhit duduk sendirian. Dan Shila merasa sangat kehilangan sekali.
Setelah pembicaraan tentang dirinya yang tidak peka, Adhit perlahan menjauh dari Shila. Jarang mengobrol jika di kelas, apalagi bercanda dan jahil. Kebersamaan mereka hanyalah ketika diam-diam dalam mobil. Baguslah, pikir Shila. Dengan Adhit menjauh, dia bisa konsen untuk ujian akhir dan sekaligus membuktikan bahwa Adhit memang tidak punya perasaan khusus kepadanya.
Seharusnya dia bahagia, kan? Tidak disiriki cewek manapun termasuk Leni. Rumor pun beredar, selama ini Adhit hanya merasa kasihan karena dia harus berjalan kaki pulang pergi ke sekolah. Ada lagi yang bilang, kedua orang tua mereka sahabat baik. Jadi Mama Adhitlah yang menyuruh Adhit menjemput dan mengantar Shila.
Wihhh ..., biarpun Papa Shila dan Papa Adhit mungkin saling mengenal, Mama Shila dan Mama Adhit jelas beda kasta. Mama Shila kasta pegawai biasa, Mama Adhit kasta manajer. Tidak mungkin mereka berdua saling mengenal.
***
Setelah UAS selesai, satu kelas merencanakan pesta perpisahan. Di sepakati mereka akan mengadakan pesta perpisahan di rumah Adhit. Shila kebagian tugas jadi seksi acara sekaligus MC. Seharusnya dia lebih banyak berkoordinasi dengan Adhit sebagai tuan rumah untuk merencanakan acara apa saja yang bisa dan tidak bisa diadakan di rumahnya. Kenyataannya? Adhit hampir tidak peduli pada urusannya.
"Atur saja, Shil. Terserah kamu. Kalau kamu mau ke rumah minta Pak Amir saja buat anter sepulang sekolah. Aku masih sibuk ngurusin OSIS, nih." Selalu begitu jawaban Adhit.
Seperti siang itu. Teman-teman mengajak Shila melihat rumah Adhit untuk menentukan dekorasi. Perpisahan kelas disepakati hari Sabtu malam setelah paginya mereka terima raport. Dan Seninnya mereka semua bisa menikmati liburan panjang tanpa gangguan.
"Shil, bilang Adhit, dong kalo kita mau ke rumahnya pulang sekolah. Mau lihat lokasi buat nentuin dekorasi, " kata Iman ketua panitia perpisahan.
"Bilang sendiri aja, Man, dia paling lagi di ruangan OSIS."
"Aku minta tolong kamu maksudnya, karena aku juga mau nyari temen yang lain. Pleaseee ...."
"Iyalah! Iyalah! Aku cari Adhit. Ketemu di mana?"
"Di depan sekolah saja, deh. Ntar naek angkot bareng." Shila mengangguk, dia pun menuju ruang OSIS yang letaknya di belakang sekolah. Dekat lapangan basket.
Bagian belakang sekolah tampak sepi. Semua siswa lagi asyik di halaman tengah sekolah menyaksikan pertandingan final volly antar kelas. Pertandingan final basket sudah berlangsung tadi pagi jadi tidak ada lagi siswa yang beraktivitas di bagian belakang sekolah. Sebagian siswa pasti juga sudah pulang, karena seminggu ini hanya ada class meeting saja. Tidak ada kegiatan belajar mengajar. Pagi-pagi wali kelas masih datang mengabsen siswanya. Setelah itu siswa diperbolehkan melakukan aktivitas bebas selama masih di lingkungan sekolah. Pintu gerbang di tutup sampai jam 11. Setelah jam itu siswa diperbolehkan pulang atau keluar dari sekolah.
Jika tidak ada kegiatan lagi, biasanya Adhit langsung mengajak Shila pulang. Tapi jika ada rapat OSIS, Adhit menyuruh Shila pulang terlebih dahulu. Kadang-kadang Shila menurut. Kadang-kadang dia menunggu Adhit selesai rapat sampai ketiduran di mobil. Pernah Shila merasa kesal karena diabaikan terus-terusan dan pulang sendiri lalu main dulu dengan temannya. Keesokan paginya Adhit menjemputnya dengan raut muka marah bahkan tidak turun dari mobil untuk membukakan pintu seperti biasanya. Adhit memalingkan muka ke jendela sampai tiba di sekolah.
Ketika hampir tiba di sekolah, disuruhnya Pak Amir mencari tempat parkir yang enak dan dia meminta Pak Amir menunggu di luar.
"Shila ... Aku harus bagaimana denganmu? Sudah kubilang aku tidak bisa melihat kamu selalu terluka. Aku akan antar jemput kamu setiap hari. Kalau perlu kamu bisa minta tolong Pak Amir untuk mengantarmu ke manapun jika kamu bosan sepulang sekolah. Tapi jangan pernah pulang sendiri, please ...," pinta Adhit dengan raut memelas.
Apa mungkin khawatir? Entahlah.
"Kenapa Aku harus menuruti kemauan kamu, Dhit? Toh, aku bukan siapa-siapa kamu. Di sekolah pun kamu hampir nggak pernah negur aku. Jadi kenapa kamu seolah-olah bertanggung jawab akan keselamatanku?" tanya Shila kesal.
Adhit tampak terkejut, tak percaya dengan jawaban Shila. Perlahan-lahan raut mukanya berubah menjadi kelabu. Mendung bergelayut sangat berat dan dalam. Shila mendadak menyesal telah berkata seperti itu.
"Maaf, Shil kalau kamu ternyata nggak nyaman selama ini. Kalau begitu, aku tidak lagi mengharuskan kamu ikut denganku setiap pergi dan pulang sekolah. Maaf, Shil," kata Adhit sendu sambil keluar dari mobil.
Shila benar-benar menyesal telah membuat Adhit sedih. Hati Shila sakit! Rasa sakitnya tidak menyenangkan dan membuatnya tidak nyaman seharian.
Hari itu juga sepulang sekolah Shila menunggu Adhit di depan pintu kelas.
"Adhit!" panggil Shila. Adhit menoleh. Menunggu teman terakhir keluar ruangan baru Shila berani bicara.
"Aku minta maaf. Tadi pagi ucapanku keterlaluan. Aku menyesal, Dhit. Maafin aku, ya," kata Shila sambil menunduk, tidak berani menatap wajah Adhit.
"Mau kuantar pulang?" Shila mengangkat wajahnya dan melihat senyum di wajah Adhit. Senyum yang sudah lama tidak dia lihat dari wajah itu. Shila pun mengangguk.
Adhit mengulurkan tangannya. Sekolah sudah sepi, apa salahnya menyambut uluran tangan Adhit, pikir Shila. Mereka pun berjalan keluar sekolah sambil bergandengan tangan.
"Jika kamu tidak mau pulang denganku, setidaknya kamu bilang dulu sama aku mau kemana," kata Adhit sebelum masuk mobil.
"Aku mau, kok pulang sama kamu. Kalau perlu aku tunggu kamu sampai selesai rapat OSIS," kata Shila tulus. Adhit tertawa.
Tuhan, betapa Shila merindukan tawa itu. Betapa Shila bahagia melihat tawa itu. Setelah ini, semua akan baik-baik saja. Akan kembali seperti dulu, kan?
Ternyata Shila salah. Adhit masih dingin kalau di sekolah. Bicara juga seperlunya.
"Kalian marahan, ya?" tanya Atik sewaktu Adhit pindah tempat duduk dari bangku belakang mereka.
"Perasaan, sih enggak, Tik. Tiba-tiba Adhit menjauh gitu aja."
"Dia bosen, tuh. Cape ama kelakuan kamu."
"Emang aku kenapa?"
"Shil, kamu, ni bukan cuma nggak peka tapi juga tega! Nggak punya hati! Adhit, tu cape ngasih perhatian mulu sama kamu tapi kamu cuekin!"
"Kan, aku juga nggak minta, Tik. Lagian masa gara-gara dia suka aku, terus aku nggak boleh bercanda sama cowok laen. Ihh ..., nggak asyik banget!"
"Ya, nggak harus gitu juga. Minimal kamu ngerti dikitlah sama perasaan Adhit. Kalau kamu lagi ngobrol sama Adhit jangan tiba-tiba bercanda sama orang lain. Kamu, kan selalu gitu. Kalau Adhit lagi ngajak kamu ngobrol kamu suka tiba-tiba ngobrol ma Iman, lah. Ngelempar Ega pake kapur, lah atau tiba-tiba ninggalin Adhit gitu aja trus kamu ngobrol sama Tulus. Inget, nggak?" Shila mengangguk.
"Jadi kalau sekarang Adhit menjauh, jangan heran. Adhit, tu masih sabar sama kamu makanya masih anter jemput kamu. Kalau udah bosen, cape, Adhit bakal nyuruh kamu pulang jalan kaki. Dan kalau itu terjadi nggak ada lagi kesempatan kamu buat dapetin Adhit!" ujar Atik berapi-api.
Shila memandang gadis yang doyan dandan di hadapannya itu. Atik benar. Jika Adhit sudah bosan, bisa saja dia membuang Shila begitu saja. Tapi Shila masih belum yakin jika Adhit benar-benar suka padanya. Dan dia masih ogah membalas perhatian Adhit dengan bermanja-manja atau sok-sok perhatian kalau mereka sedang berdua.
"Kamu, tuh sebenernya suka sama Adhit, cuma kamu belum sadar, Shil. Atau kamu terlalu gengsi buat ngakuin? Jangan sampai kamu terlambat menyadari, Shil. Nanti kamu menyesal!" Kata-kata Atik terngiang selalu di kepala Shila.
Yah, mungkin Atik benar. Shila suka sama Adhit. Tapi dia takut patah hati. Bagaimana kalau ternyata Atik salah, dia salah. Adhit nggak betul-betul suka padanya. Dan dia jadi patah hati.
Duh, Shila takut rasanya akan menyakitkan.
***
Akhirnya sampai juga Shila di depan pintu ruangan OSIS. Dari luar Shila mendengar suara cewek dan cowok mengobrol. Sesekali diiringi suara tawa. Suara cowoknya seperti suara Adhit! Tapi siapa cewek yang membuat Adhit tertawa begitu riang? Tiba-tiba jantung Shila berdetak kencang.
Tawa berderai kembali. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Shila mengetuk pintu.
"Masuk!" suara Adhit menjawab. Shila membuka pintu itu.
Dilihatnya Adhit dan Tris anak kelas satu yang jadi pengurus OSIS juga sedang duduk berhadapan. Sangat dekat! Tiba-tiba hati Shila sangat sakit. Dan rasanya Shila ingin menangis.
"Shila?" Agak terkejut Adhit melihat siapa di balik pintu. Terburu-buru dia mendekati Shila.
"Ada apa, Shil?"
"Teman-teman mau ke rumah kamu. Mau lihat lokasi buat dekor ruangan," kata Shila tidak berani menatap Adhit. Dia merasa matanya lembap.
Kenapa aku harus kesal melihat Adhit dengan Tris?
Hati Shila begitu sakit! Rasanya seluruh air mata berkumpul di tenggorokannya.
"Oh, ayoklah kita ke rumahku. Tris aku pulang dulu, ya," pamit Adhit. Tris mengangguk.
"Kamu duluan, Dhit. Temen-temen menunggu di pintu gerbang. Aku pengen ke belakang sebentar," Shila masih belum berani menatap Adhit langsung. Air matanya hampir tumpah.
Shila berlari ke kebun Klub Menanam di belakang perpustakaan. Hampir tidak ada orang yang datang kesitu. Sesampainya disana Shila menangis sejadi-jadinya. Sesak di dadanya tumpah ruah tak terkendali. Tiba-tiba dia merasa angin kencang menerpanya. Langit tiba-tiba mendung dan hujan pun turun.
Hujan....Selalu mengerti hatiku. Aku memang bodoh. Berusaha membodohi diri sendiri, berusaha menyangkal kalau aku suka sama Adhit. Atik benar. Semua akan terlambat jika Adhit sudah memilih yang lain.
Shila membuka telapak tangannya, menampung air hujan yang jatuh dari atap. Percikannya menerpa wajah. Shila memejamkan mata.
Biar hujan menyembunyikan dukaku.
Biar hujan menghapus air mataku.
Biar hujan menyimpan perasaanku padamu Adhitya.
Melihat wajahmu tersenyum kembali, ternyata membahagiakanku.
Meskipun senyum itu bukan bersamaku. Bukan untukku.
Aku mencintaimu Adhitya. Aku tidak mau bohong lagi ...
Hujan ... Simpan perasaanku. Simpan dalam tetesanmu. Dan jatuhlah pada tanah yang tepat.
Agar dia tahu seperti apa sukaku padanya. ©
KELAS SATU: U R SO AMAZING!
"Kamu darimana aja, sih? Lama banget!" Adhit yang menunggu di pintu gerbang terlihat gusar melihat Shila baru datang. Hujan sudah reda.
"Belakang. Kamar mandi," jawab Shila pendek, "yang lain mana?"
"Udah di mobil! Nih, tasmu ketinggalan di kelas," kata Adhit sambil memberikan tas Shila.
"Astagaaa ... aku lupa!"
Shila mengambil tas dari tangan Adhit. Mereka bertemu pandang. Cepat-cepat Shila membuang muka.
"Mata kamu sembap? Kamu abis nangis, ya?" Adhit berusaha memandang wajah Shila.
"Nggak, tadi aku kehujanan." Shila menghindari tatapan Adhit sambil berjalan ke arah mobil.
Adhit mengulurkan tangan, berusaha memalingkan wajah Shila. Namun Shila menepisnya dengan cepat dan bergegas menuju mobil.
"Kamu abis nangis." Adhit berkata pelan menyimpulkan. Dia mengejar langkah Shila, dan tersenyum sepanjang jalan.
"Wooiii!!! Kalian cepatlah! Dah siang, nih. Pacaran aja!" teriak Iman dari dalam mobil.
Adhit tertawa-tawa dan berlari mendahului Shila menuju mobil. Adhit membukakan pintu untuk Shila.
"Aku di depan, ya?"
Tidak seperti Adhit yang biasanya murung. Kali ini wajahnya terlihat bahagia sekali. Shila memandang heran padanya. Biasanya juga Adhit di depan dan dia di belakang, kenapa sekarang harus minta ijin? Aneh banget.
"Tenang, Dhit, Shila aman, kok di belakang. Yah, kalau boncel-boncel dikit maklumlah," kata Tulus di sambut tawa yang lain. Shila langsung melemparkan tasnya ke arah Tulus. Adhit mengamati dari kaca mobil sambil tertawa-tawa.
***
Rumah Adhit terletak di perumahan Pertamina khusus pimpinan. Besar kecilnya tipe rumah tergantung golongan kerja masing-masing karyawan. Orang tua Shila juga tinggal di perumahan Pertamina. Tapi khusus staff biasa. Rumah Adhit mungkin 3 kali lebih besar dari rumah Shila. Di rumah sebesar itu hanya ada Adhit dan kedua orangtuanya. Satu pembantu tinggal dirumah satu lagi pulang hari. Satu tukang kebun datang setiap minggu. Pak Amir, sopir pribadi keluarga Adhit, khusus menyetir untuk Adhit dan mamanya karena Mama Adhit tidak bisa nyetir sendiri. Sedangkan sopir Papa Adhit khusus disediakan oleh perusahaan.
Bukan hanya rumah Adhit yang luas. Halaman depan, belakang dan sampingnya juga luas. Mama Adhit tidak terlalu suka berkebun, jadi tidak banyak koleksi bunga di rumah itu. Hanya ada pohon mangga dan jambu, sisanya rumput dan tanaman perdu.
"Ini rumahku. Kita bisa bikin acara di dalam atau di halaman belakang," kata Adhit sambil membuka pintu kaca menuju halaman belakang.
Posisi rumah lebih tinggi dari halamannya. Pagar hidupnya sudah tinggi sehingga isi halaman tidak tampak ke jalan. Konsep rumah di sini memang tanpa pagar permanen. Hanya pagar kawat berduri dengan pintu gerbang besi. Semua pintu dan jendela pun tanpa teralis. Karena keamanan terjamin 100%. Security patroli setiap saat. Akses pintu masuk tidak bisa dilalui sembarangan. Jika sudah malam, setiap tamu selalu diminta meninggalkan KTP. Tidak ada penjual keliling yang bisa masuk ke perumahan. Tembok tinggi mengelilingi area perumahan dengan lilitan kawat berduri di atasnya.
"Kayaknya enakan di belakang, deh, Dhit," kata Iman.
"Kita juga bisa lewat halaman samping, kan buat keluar masuk? Jadi keluargamu di dalam tidak terganggu." Teman-teman yang lain mengiyakan.
"Kalau hujan, gimana?" tanya Atik.
"Asal jangan bikin Shila nangis dijamin nggak bakal turun hujan!" sahut Rio.
Sebagian tertawa, sebagian teman yang lain sedikit heran.
"Serius ini. Waktu SMP, kalau Shila tiba-tiba nangis pasti hujan tiba-tiba turun. Aneh, sih. Tapi kalau kita ada acara trus pengen gagal pasti kita bikin Shila nangis. Feri, tu yang sering bikin Shila nangis," jelas Rio.
Teman-teman yang lain mulai ribut ngeledekin Shila. Sebagian ada yang percaya, sebagian lagi hanya menganggap gurauan. Adhit memperhatikan Shila dengan serius.
"Dhit, kok temannya nggak kamu kenalin sama Mama?" Mama Adhit muncul dari dalam rumah sambil membawa nampan berisi bolu kukus. Perempuan berbaju terusan bunga-bunga biru muda itu meletakkan nampan di atas meja bulat di teras belakang rumah.
"Eh, iya, Mah. Maaf. Ini teman-teman satu kelas Adhit. Kita mau bikin acara perpisahan kelas hari Sabtu ini. Yang kemarin Adhit ceritain itu lho, Mah. Boleh, kan?" tanya Adhit. Mama Adhit pun mengangguk. Satu persatu teman Adhit menyalami Mama Adhit.
Giliran Shila, tanpa di komando teman-teman Adhit kompak bilang, "Calon mantu, Tanteee!" Semua pun tertawa termasuk Adhit dan Mamanya. Shila hanya tersenyum janggal menahan malu.
"Yuk, makan dulu. Kalian pasti belum makan, kan? Udah Tante siapin, tuh. Yuk, Dhit diajak masuk temannya." Perempuan berparas elok dengan rambut model bob pendek itu membuka pintu belakang yang terbuat dari kaca dan mengajak teman-teman Adhit masuk.
Dari wajahnya terlihat jika perempuan berpostur tinggi dan langsing itu berdarah India atau Pakistan. Jelas sudah terjawab, dari mana Adhit mewarisi wajah gantengnya.
"Duduknya terserah mau dimana saja, ya," kata Mama Adhit sambil membuka penutup hidangan di meja makan.
"Ayo jangan malu-malu, makan seadanya saja, ya. Adhit nggak bilang mau ajak temannya ke rumah. Jadi Mama nggak sempat siapin apa-apa," kata Mama Adhit.
"Ini bukan seadanya tapi luar biasa, Tante," kata Tulus sambil memandang menu di atas meja. Mama Adhit tertawa riang.
"Kami jarang kedatangan tamu serame ini, sering-seringlah kalian ke mari. Rumah Tante jadi rame, nggak sepi lagi." Sebagian teman-teman Adhit ada yang mengangguk sebagian lagi mengiyakan.
"Jadi bener, kalau kamu nangis, terus turun hujan?" tanya Adhit sewaktu dia dan Shila punya kesempatan ngobrol berdua selepas makan siang. Teman-teman yang lain sibuk mengukur dan menentukan dekorasi apa yang bagus dan sesuai kas kelas.
"Itu cuma kebetulan, Dhit? Pas aku nangis, eh hujan turun. Tapi nggak selalu, sih. Hanya kalau aku merasa terlalu sakit hati, sedih, atau marah. Seperti ingin menyembunyikan perasaanku dalam hujan, gitu," Shila menjelaskan.
Dia suka karena Adhit bersikap lebih ramah hari ini. Mungkin karena mereka sedang di rumahnya atau Adhit merasa tak enak setelah Shila memergokinya berdua dengan Tris. Ah, kenapa juga Shila harus cemburu? Dia dan Adhit, kan bukan sepasang kekasih. Tapi dadanya masih nyeri jika teringat tawa bahagia Adhit bersama Tris. Jangan-jangan dialah yang membuat Adhit betah rapat OSIS. Jangan-jangan Adhit sengaja berlama-lama rapat supaya bisa bersama Tris dan mengabaikan Shila.
Kalau benar, kenapa Adhit masih mau mengantar jemput Shila? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala Shila.
Mendengar penuturan Shila tentang hujan dan kebiasaannya menangis, Adhit mengangguk-angguk mencoba memahami. Bagi dirinya yang berotak cair, hal seperti itu tentu sulit untuk dipahami. Tidak bisa diterima secara logika, begitu Adhit akan menyangkalnya. Tapi jika memang benar, anugerah yang dimiliki Shila itu menjelaskan banyak hal. Dan perasaan Adhit mengembang hangat karenanya.
"Feri itu ..., siapa?"
"Temen sekelas waktu SMP. Aku, Rio, Feri anak 1-8 & Febi 1-6 dulu kami sekelas selama 3 tahun di SMP. Feri anak basket, Dhit. Kalau nggak salah dia masuk OSIS juga seksi olahraga. Jadi kalau ada tanding basket dan dia lagi nggak siap turun, Feri selalu bikin ulah yang bikin aku kesel sampai nangis. Trus hujan turun, deh."
"Kok bisa mereka ngamatin keanehan kamu ini terus mengambil kesimpulan?"
"Gara-gara Feri. Dia suka banget ngejahilin aku sampai nangis. Dan tiap kali aku nangis, hujan turun. Jadi sejak itu Feri menyimpulkan kalau aku nangis, hujan pasti bakal turun. Tapi seperti kubilang itu cuma kebetulan, kok. Tidak selalu terjadi. Jadi jangan samakan aku kayak pawang hujan, ya!" Shila mencoba berkelakar untuk menyudahi percakapan yang sedikit mengkhawatirkan ke mana arahnya. Adhit cowok cerdas, Shila takut dia akan menghubung-hubungkan kejadian hujan yang tiba-tiba turun tadi dengan perasaannya.
"Ternyata kamu cengeng, ya?" goda Adhit tiba-tiba. Mendengar ejekan itu, Shila melotot galak. Adhit menanggapinya dengan terbahak.
"Apa mungkin Feri suka sama kamu, ya? Jadi dia sering ngejahilin kamu?" tanya Adhit lagi. Shila sedikit heran dengan pertanyaan itu. Dia memandang Adhit tak mengerti. Adhit membalas dengan senyuman ringan dan mengedikkan bahu.
"Hujan yang tadi gimana? Kamu nangisin apa?" Adhit tak menunggu jawaban Shila malah memberinya pertanyaan baru.
Matanya menembus ke dalam mata Shila, berusaha mencari pembenaran dari dugaannya. Shila menghindari tatapan Adhit yang menusuk. Tepat seperti yang dikhawatirkannya, Adhit tahu!
"Aku nggak nangisin apa-apa. Hujan tadi nggak ada hubungannya sama aku," jawab Shila ketus sambil meninggalkan Adhit menuju Atik dan teman-teman yang lain.
Adhit memandangi Shila sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Ternyata kamu memang istimewa," gumamnya.
***
Hari terima rapor pun tiba. Karena ini rapor kenaikan kelas sekaligus penjurusan, maka wali murid diminta hadir untuk mengambil rapor dan diberi pengarahan. Sebelumnya murid-murid sudah di beri angket untuk memilih jurusan apa yang mereka minati. Fisika, Biologi atau Sosial.
Shila memilih Sosial sebagai pilihan pertamanya dan Biologi pilihan kedua. Dia nggak mau masuk Fisika karena pasti akan bertemu dengan rumus-rumus dan hitungan yang membuat kepalanya pusing. Dia tidak suka Matematika apalagi Fisika. Jika dia bisa mengikuti kedua pelajaran yang menyeramkan itu, karena selama ini dia ikut les dan belajar lebih keras dibanding yang lain. Dan ada Adhit yang membantu.
Adhit sudah pasti memilih Fisika. Dia cerdas. Nilai-nilainya pun hampir sempurna. Cuma gempa bumi dan tsunami saja yang bisa menghalangi dia meraih juara kelas, sama seperti semester sebelumnya. Dan dia juga yang menyandang juara 1 pararel untuk kelas satu.
Setelah selesai terima raport, hampir seisi kelas 1-3 pergi ke rumah Adhit. Masih mengenakan seragam, mereka sibuk mempersiapkan perpisahan kelas untuk nanti malam. Seksi konsumsi sibuk mengatur meja untuk hidangan. Seksi perlengkapan sibuk mengatur kursi yang sudah dipinjamkan oleh Ayah Adhit ke bagian perso. Untuk mengantisipasi hujan, Ayah Adhit pun mendirikan tenda di belakang rumah mereka. Lampu yang lebih terang pun dipasang di tenda tersebut.
Beberapa teman Adhit sibuk meniup balon dan membentangkan kertas krep. Beberapa sibuk membuat tulisan untuk background. Semua terlihat sibuk sampai menjelang sore.
"Udah jam 4, nih. Ayo kita pulang. Mandi, trus dandan yang cakep," kata Iman memberi instruksi.
"Beresin sampahnya dulu, Man! Dah bersih, rapi, baru kita pulang," sahut Rio. Iman pun memberi tanda dua jempol untuk Rio.
Acara sebenarnya di mulai jam 7 malam. Tapi agak sedikit ngaret karena wali kelas mereka, Bu Nunung, terlambat datang.
Semua anak terlihat berbeda malam itu. Disepakati, dress code bagi cowok adalah kemeja dan gaun bagi yang cewek. Shila tampil manis sekali. Gaun terusan selutut warna biru dan sepatu modis ceper.
Rambut ikalnya yang biasa diikat satu, kini dibiarkan tergerai dan diberi bando mungil sewarna gaunnya. Diam-diam Adhit mengagumi penampilan Shila malam ini.
Shila mengenakan riasan tipis di wajahnya. Membuat wajahnya lebih segar berseri, tidak kucel seperti biasanya.
Acara demi acara berlangsung lancar. Jam setengah 10 acara pun selesai. Mereka semua bersalaman karena belum tentu mereka akan sekelas lagi di kelas dua nanti. Selesai acara, panitia sibuk membereskan peralatan. Ada yang mencuci piring gelas, membereskan kursi atau membuang sampah. Jam 11 lewat sedikit rumah Adhit sudah rapi kembali seperti semula. Satu persatu panitia mulai berpamitan pulang.
"Dhit, pulang dulu, ya. Sampai ketemu di kelas dua. Makasih udah bersedia direpotin tempatnya," kata Iman sambil menyalami Adhit.
"Oke, sip. Sama-sama. Hati-hati kalian di jalan, ya. Jangan ngebut!" kata Adhit. Satu persatu teman Adhit menyalami Adhit dan berpamitan pada kedua orang tuanya.
"Eh, eh ..., tunggu! Kamu mau ke mana?" tanya Adhit sambil menggamit lengan Shila.
"Pulang, lah. Aku nebeng Rio dan yang laen."
"Nggak! Kamu biar aku yang antar."
"Tapi ...."
"Kalian duluan aja! Shila biar aku yang antar!" seru Adhit. Rio mengangguk paham.
"Kamu tunggu disini aku ambil kunci mobil dulu." Adhit masuk ke dalam rumah dan membiarkan Shila berdiri sendirian di teras.
"Shila? Belum pulang?" sapa Mamah Adhit mengagetkan.
"Eh, Tante. Tunggu Adhit, katanya dia yang mau antar," jawab Shila gugup. Mama Adhit mengucap 'oohh' pelan.
"Kamu cantik sekali malam ini."
"Makasih, Tante."
"Adhit sering bercerita tentang kamu. Tapi Adhit keterlaluan menggambarkan dirimu. Dia bilang, Shila itu gendut, item, keriting. Dalam pikiran Tante, kamu itu seperti orang Flores gendut," kata Mama Adhit sambil tertawa. Shila pun ikut tertawa. Awas kamu, ya, Dhit!
"Ternyata Adhit bohong. Kamu manis dan menyenangkan. Pantes Adhit begitu terpesona denganmu. Sekarang Tante bisa merasakan yang Adhit rasakan."
"Maksud, Tante? Adhit suka sama Shila?"
"Loh, kalian pacaran, kan?" Shila menggeleng. Mama Adhit menutup mulutnya.
"Kamu tanya sama Adhit aja, ya, Sayang," Mama Adhit buru-buru masuk rumah sambil tersenyum mencurigakan.
"Sorry lama, aku ganti baju dulu. Aku kurang suka pake kemeja." Adhit muncul dari dalam rumah. Dia sudah berganti kostum yang lebih santai. Celana pendek selutut warna biru muda dan t-shirt putih. Sangat memesona!
"Mah, Adhit anter Shila dulu, ya!"
"Iya, Sayang. Hati-hati! Jangan ngebut!" sahut Mamanya dari dalam.
"Kamu nyetir sendiri, Dhit? Emang, boleh?" tanya Shila ketika mereka di dalam mobil.
"Ini, kan malam. Kalau siang aku nggak berani, lah."
"O, ya, jadi aku ini gendut, item dan keriting, ya?" tanya Shila yang dijawab oleh tawa Adhit.
"Aku bercanda, Shil. Ngerjain Mamah. Kamu cantik, kok malam ini," puji Adhit sambil mengerling jahil kepada Shila. Shila merasa pipinya memerah. Untung gelap.
Mobil pun meluncur membelah kegelapan malam. Jalan-jalan sudah sangat sepi. Hampir selama separuh perjalanan Adhit hanya diam membisu. Apa Adhit kembali dingin? Padahal sebelumnya Adhit sudah ceria lagi.
"Aku dengar kamu memilih jurusan Sosial? Kenapa?" tanya Adhit memecah hening.
"Dari mana kamu tahu?"
"Atik yang cerita. Bu Nunung manggil kamu untuk memastikan apa benar kamu ngambil Sosial."
"Ya, aku emang milih Sosial sebagai pilihan pertama. Kan, kamu tahu aku nggak suka Matematika dan Fisika."
"Tapi nilai kamu bagus. Kamu peringkat 3 di kelas."
"Itu karena aku lagi beruntung saja, Dhit. Aku ikut les dan ada kamu yang bisa aku tanya-tanya kalau kepepet."
"Aku bakal ngajarin kamu, kok ntar di kelas dua," kata Adhit.
"Ya kalau kita sekelas," jawab Shila sambil tertawa.
Tawanya terdengar seperti keresak ranting kering. Membayangkan mereka akan pisah kelas membuat hati Shila sedikit berdesir. Bisa jadi ini adalah saat-saat terakhir kebersamaannya dengan Adhit. Dan mereka masih seperti ini? Haruskah Shila mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu? Gimana kalau Adhit menolaknya? Sakitkah rasanya? Atau akan lebih sakit jika rasa ini tak terungkap?
"Kalau kita beda kelas pun, aku akan datang ke kelasmu tiap jam istirahat ..., kalau kamu mau."
"Kamu berlebihan, deh, Dhit. Kayak punya waktu saja. Terus kegiatan OSIS-mu gimana?" Shila tertawa getir.
"Shila ...." Adhit menggenggam tangan Shila dengan tangan kirinya, "kumohon pertimbangkan lagi untuk pindah jurusan. Kalau kamu masuk sosial aku akan susah mengawasi kamu."
"Kamu, kan, nggak harus ngawasin aku, Dhit." Shila melepaskan genggaman Adhit. Memandang lurus ke jalanan yang sepi.
"Kamu, nggak ngerti, ya, Shil? Aku tidak harus mengawasi kamu tapi aku ingin kamu selalu dalam jangkauan pandanganku. Dan kelas Sosial itu jauh dari kelas Fisika. Masih belum paham juga?" Sekilas Adhit menoleh ke arah Shila. Shila memandang Adhit. Paham apaan?
"Aku berusaha paham, Dhit. Tapi semakin aku berusaha memahami, semakin rasanya nggak mungkin. Aku takut kalau yang aku harapkan tidak sesuai kenyataan. Aku takut kecewa dan sakit. Kamu tahu aku tidak suka rasa sakit. Sangat tidak menyenangkan rasanya."
"Ternyata begitu. Kamu menolak membuka hatimu, ya? Apa seseorang pernah menyakitimu dulu?"
"Nggak ada. Aku hanya menolak melibatkan perasaan terlalu dalam. Seperti kubilang aku nggak mau sakit."
"Yang terjadi malah kamu sakit sendiri, kan? Kamu terluka melihat aku sama Tris. Iya, kan?" Shila tak menjawab. Dia ingat kejadian itu.
"Pernah terpikir olehku untuk berhenti antar jemput kamu, tapi aku takut akan ada cowok lain yang melakukan itu untukmu. Membayangkan kemungkinan itu aku jadi sangat kesal, jadi aku memutuskan untuk membuatmu terikat padaku. Hhh, caraku salah, ya?"
"Kamu nggak pernah berkata-kata di dalam mobil. Kamu bikin aku bingung."
"Aku juga nggak tahu, Shil. Kenapa aku bisa jadi bodoh jika sudah menyangkut kamu."
Shila memandangi Adhit yang masih menatap lurus ke depan.
"Adhit ...."
"Aku sayang kamu, Shila. Seharusnya kamu menyadarinya." Adhit balas memandang Shila sesaat sebelum kembali fokus mengemudi.
"Adhit. Maaf ... aku ... aku ...."
"Kamu punya perasaan yang sama, kan?"
Perasaan bercampur aduk di dada Shila. Antara bahagia, lega, dan tak percaya. Ada gerimis kecil turun di hatinya. Titik-titik hujan mulai menyapa kaca depan mobil. Adhit menghentikan mobil beberapa blok dari rumah Shila.
"Shila, kenapa kamu menangis?"
"Entahlah, Dhit. Mungkin aku bahagia. Atau bingung dengan perasaanku. Aku nggak yakin, Dhit. Kamu tahu, kamu itu dikagumi banyak orang. Rasanya nggak percaya kalau kamu malah suka sama aku." Adhit tertawa pelan mendengar jawaban Shila. Digenggamnya tangan Shila, di gesernya duduknya. Dia mengecup kening Shila perlahan.
"Apa ini kurang meyakinkan?" tanyanya. Shila mencoba tersenyum. Air mata menggenang di matanya.
"Bagaimana jika ini?" Adhit menyapu lembut bibir Shila dengan bibirnya.
Shila terkejut. Ini ciuman pertamanya! Dia pun terisak bahagia.
Hujan mulai mericis. Adhit memandang kaca depan yang mulai mengabur.
"Kamu mengagumkan, Shila," katanya sambil mencium Shila sekali lagi. Lembut dan dalam.
Hujan ...
Ini bukan rintihan kesedihan.
Ini nyanyian bahagia.
Hujan ...
Sembunyikan cintaku.
Perangkap dia dalam derasmu.
Jangan biarkan dia lari menghilang.
Bekukan dia dalam dinginmu.
Agar dia selalu disini.
Bersamaku
©elopurs - 2019
KELAS DUA - Back to School
A D H I T
"Melihatnya membuatku bahagia. Tawa lepasnya membuat siapapun memalingkan muka. Ingin tahu, mengapa dia begitu bahagia? Dia ceroboh! Tapi, itu membuatku selalu ingin berada di sekitarnya. Menolongnya. Walau kuyakin dia menolak itu. Matanya ..., aku paling suka matanya. Selalu berbinar ceria. Seperti ribuan kunang-kunang terperangkap di dalamnya. Dan ketika dia memandang kepadaku, rasanya kegelisahan dan kesedihanku hilang."
Aku melihatnya. Berdiri mengamati papan pengumuman di dekat gerbang depan. Berdesakan dengan anak kelas dua lainnya.
"Kita sekelas, kan ?" tanyaku mengejutkannya. Shila menoleh. Dia tersenyum dan mengangguk. Senyum termanis yang kunantikan selama sebulan ini.
"Yuk!" ajakku sambil merangkul bahunya. Dia memandangku risih.
"Kenapa? Kita dah resmi pacaran, kan? Atau ciuman sehabis perpisahan kelas kurang meyakinkan buatmu?" godaku. Shila menyikut pinggang, membuatku mengaduh.
"Kamu potong rambut?" tanya Shila sambil melepaskan tanganku dari pundaknya.
"Iya. Tambah keren, kan ?" Shila tertawa lagi. Matanya berbinar. Aku selalu suka memandang ke matanya. Seolah tidak ada kesedihan di sana. Memandangnya seolah aku bisa melalui hari dengan sempurna. Seperti baterai energizer yang selalu memberi energi dan semangat di saat yang lain kelelahan. Rasanya semua kesulitan dan kesedihanku menguap begitu saja.
Sekali, mata itu pernah terluka. Sinarnya redup dan dingin. Pandangannya menyakitkanku. Mata itu sedih. Dan kesedihannya membuatku takut dan kesepian. Aku tidak suka mata Shila yang seperti itu. Mata ketika dia menatapku berdua dengan Tris!
"Kok, kita lewat sini, Shil? " tanyaku ketika kami berjalan ke arah kelas satu.
"Kamu lupa, ya? Kelas kita, kan di pake kelas satu buat penataran P4. Jadi kita pake kelas satu dulu selama seminggu."
"Kelas yang lama?"
"Bukan. Kita pake kelas 1-1. Kan kita fisik satu," jelas Shila.
"Kamu nggak jemput aku hari ini?" tanya Shila.
"Jemput, kok. Tapi kamu dah pergi. Lagian aku agak kesiangan. Sedikit berdebat dengan Papah tadi pagi," kataku sambil mendahului Shila berjalan masuk ke kelas untuk mencari bangku kosong. Tidak banyak bangku tersisa. Hanya beberapa deretan belakang yang masih kosong. Aku berjalan ke bangku paling belakang dekat jendela.
"Paling belakang?" tanya Shila.
"Apa boleh buat? Kecuali kamu mau duduk dengan teman yang lain ..., sepertinya masih ada beberapa yang duduk sendirian," kataku sambil menunjuk dengan mata ke beberapa bangku kosong di tengah.
"Aku disini saja. Cuma seminggu, kan?" tanyanya sambil melempar tas ke kursi paling pojok. Aku mengangkat bahu.
"Mau cerita? Kenapa berdebat sama Papa?" tanyanya.
"Nanti pulang sekolah kamu pasti tahu. Aku mau ngobrol sebentar sama Rio, ya?" Aku menepuk bahunya dan bergegas mengejar Rio temen sekelas kami di kelas satu yang kulihat melewati depan kelas kami.
***
"Kok, kita lewat belakang, Dhit?" tanya Shila ketika aku mengajaknya ke parkiran motor di belakang sekolah. Aku menghampiri motor balap berwarna merah putih yang tampak berkilat. Dua helm tergantung di spionnya. Hitam dan biru. Aku menaikinya, memakai helm dan menyodorkan helm biru kepada Shila yang masih nyengar-nyengir tak percaya.
"Sempurna, lah aku di sirikin cewek satu sekolah," katanya sambil mengambil helm dari tanganku.
"Nggak ada warna lain yang lebih mencolok, Dhit?"
"Kamu harusnya bangga, dong," kataku sambil mengarahkan motor ke pintu gerbang belakang sekolah.
"Yakin gak papa kalo aku bonceng, nih. Ntar kempes lagi!"
"Makanya sengaja aku minta beliin motor ini biar kuat nahan beban kamu yang berat." Shila mencubit pinggangku.
"Jadi ini yang bikin kamu berdebat sama Papa?" tanyanya setelah duduk manis di belakangku.
Kami melewati gerombolan anak-anak yang sedang menunggu angkot. Aku sadar pandangan mereka tampak iri melihat Shila yang kubonceng. Dan aku cukup sebal karena Shila duduk kaku di belakang. Dikiranya dia lagi di bonceng tukang ojek kali. Aku mengerem mendadak di depan tukang mi ayam depan sekolah kami. Bahu Shila menyentuh punggungku.
"Kenapa, Dhit. Bocor ban? Kalo mau mogok jangan di sini. Malu diliatin orang! Lagian kamu salah arah. Rumahku arah kebalikan," kata Shila sambil menunjuk ke arah belakang kami.
"Kamu duduknya yang bener dong, Shil. Emang aku tukang ojek apa?" omelku.
"Ya ini juga dah bener, kan?'
"Pegang pinggangku, kek! Masa duduk tegak gitu? Berasa lagi boncengin bibik-bibik tau!"
Kudengar Shila tertawa dan menggeser duduknya agar bisa melingkarkan tangannya di pinggangku. Sekali lagi aku rasakan pandangan-pandangan iri memandang ke arah kami. Diam-diam aku tersenyum. Aku suka membuat Shila tampak istimewa. Karena dia memang istimewa bagiku. Aku suka ketika Shila membatalkan niatnya masuk sosial. Lebih mudah bagiku untuk mengawasinya. Dengan sedikit bantuan Papa aku bisa menempatkan Shila sekelas denganku. Tentu saja tanpa sepengetahuan dia, karena dia pasti akan marah besar jika tahu. Aku mungkin protektif tapi tidak posesif. Aku hanya tidak ingin Shila menghilang dari pandanganku. Belum pernah rasanya aku menyayangi seseorang seperti rasa sayangku pada Shila.
"Kita kemana, Dhit?" tanya Shila ketika motor melaju semakin jauh meninggalkan sekolah dan juga semakin jauh dari arah pulang.
"Muter-muter sebentar, Shil. Kan belum waktunya pulang juga," kataku.
Hari ini kami pulang lebih awal. Sebenarnya aku ada rapat OSIS tapi aku sudah minta tolong Rio untuk membuatkan satu alasan untukku. Hari ini aku ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Shila. Sebulan lamanya aku tidak bertemu dia karena Mama mengajak liburan ke Jakarta. Ke rumah Oma. Dan aku tidak bisa meminta Mama untuk mempercepat liburan kami. Mama anak tunggal, sama denganku. Berkumpul bersama keluarga besarnya di Jakarta pastilah hal yang sangat dia nantikan. Sama seperti aku, yang juga sangat kesepian menjadi anak tunggal.
"Kamu belum cerita kenapa kamu berdebat dengan Papa tadi pagi?" tanya Shila ketika kami tiba di sebuah tempat nongkrong dan memesan es campur untuk menghilangkan dahaga. Anak rambutnya menyentuh bulu mata dan dia menghalau lembut dengan telunjuknya.
Shila menolak ketika kuajak ke pantai Teluk Penyu. Dari dulu selalu begitu. Dia bilang dia trauma melihat pantai. Tapi dia tidak pernah bersedia memberi tahu alasannya. Aku pun tidak ingin memaksa. Jika dia tidak suka maka tidak akan aku lanjutkan. Aku tidak suka melihat wajahnya yang murung. Itu menyedihkan. Apalagi jika melihat dia menangis. Yang berarti hujan akan turun. Itu sangat-sangat menyedihkan!
"Papa nggak setuju aku bawa motor. Menurutnya terlalu berbahaya. Bahkan dia lebih suka aku bawa mobil, biar dia bikinkan SIM tembak untukku."
"Dan kenapa akhirnya Papa ngijinin? Atau jangan-jangan kamu kabur begitu aja,ya?"
"Ya, enggaklah! Aku jelasin baik-baik kalo aku akan hati-hati. Lagian aku akan lebih sering boncengin kamu. Jadi nggak mungkin aku bawa motor ugal-ugalan dan membahayakan kamu. Akhirnya Papa kasih izin," kataku sambil tersenyum pada Shila.
"Minum dulu es campurnya, kamu haus, kan? Mau pesan yang lain? Lapar tidak?"
Dia menggeleng dan mulai mengaduk-aduk es campur di hadapannya. Kupandangi lengannya. Sedikit merah terbakar matahari. Aku lupa membelikannya jaket. Matahari di sini terik dan kering.
***
"Dhit, aku duduk sama Febi, ya ? Nggak papa, kan? Kalau duduk sama kamu aku jadi nggak konsen belajar," kata Shila ketika kami sudah menempati kelas kami di 2 A1-1.
Kulihat dia duduk sebangku dengan Febi, teman SMP-nya dulu. Di bangku depannya ada Siska dan Dewi. Di belakangnya ada Siti dan Anin. Okelah, nggak apa. Geng cewek semua. Lagian, aku nggak mungkin memaksanya untuk terus di dekatku. Dia juga harus bergaul dengan teman yang lain. Kulihat bangku di sekitar dia sudah penuh terisi. Aku bosan duduk di bangku belakang. Kulihat Eko duduk sendirian di depan meja guru. Aku pun memutuskan untuk duduk dengannya. Agak jauh dari Shila, sih. Terhalang dua deret meja di sebelah kiriku. Shila duduk di bangku kedua dari depan. Agak susah memerhatikannya dari posisiku yang baru. Aku agak kesal, tapi sudahlah. Kelihatannya Shila bahagia. Itu yang terpenting.
"Aku ada rapat OSIS, Shil. Kamu mau kuanter pulang duluan atau mau nunggu?" tanyaku. Biasanya dia akan meminta kuantar pulang. Tapi aku sering berharap dia akan menungguku. Jadi selalu kuajukan pertanyaan yang sama setiap aku mau rapat, berharap jawabannya berubah.
"Aku tunggu, deh. Sekali-sekali." Yesss! Jawaban yang kuinginkan.
"Beneran? Nggak cape? Nggak akan bosen?" tanyaku girang.
"Seneng banget, sih, Dhit?" tanyanya sambil tertawa lepas. Dia banyak tertawa hari ini. Aku senang. "Pengen tau aja, kamu dikit-dikit rapat, dikit-dikit rapat. Rapat mulu! Ngomongin apa, sih? Kok, nggak beres-beres? Atau jangan-jangan alesan kamu aja biar bisa anterin cewek lain pulang?" tanyanya lagi.
Shila cemburu? Masa, sih? Kok, aku seneng, ya di cemburuin dia. Aku tertawa tergelak-gelak.
"Kamu cemburu?" godaku sambil mencolek hidungnya.
"Ishh!" Dia menepis tanganku. Aku semakin terbahak.
"Aku cuma rapat terus pulang. Nggak usah khawatir aku nganterin cewek lain pulang. Kalau iya pun, pasti kamu dah denger beritanya. Apa, sih yang bisa ditutupi di sekolah ini soal aku?" tanyaku menyombongkan diri
"Ihhh ... Ge-er banget, sih!" kata Shila. Aku merasa dia sedikit melamun seperti memikirkan sesuatu.
"Kenapa, Shil? Ada yang kamu pikirin? Aku nggak ngapa-ngapain, kok," kataku sambil mengangkat dua jari, telunjuk dan tengah.
"Percaya, Dhit! Percaya. Lagian sebentar lagi pemilihan Ketua OSIS, kan? Kamu pasti lagi siap-siap, kan?" tanyanya sambil tersenyum. Aku mengangguk.
"Tuh, temen-temenmu dah pada datang. Aku pergi dulu, ya. Kamu tahu dimana harus cari aku, kan?"
Shila membalikkan badan berjalan ke arah kebun klub menanam. Seseorang menepuk bahuku dan mengajakku masuk ke ruang OSIS. Saat ini aku menjabat wakil ketua 2 di kepengurusan OSIS. Rencananya tahun ini aku akan ikut pemilihan Ketua OSIS baru bersaing dengan wakil ketua 1. Jika aku terpilih sebagai Ketua OSIS pasti aku akan semakin sibuk. Waktuku dengan Shila juga berkurang. Tapi Shila pasti mengerti dan dia juga bukan orang yang sepi dari kesibukan. Sebaiknya aku cepat-cepat selesaikan rapat ini supaya aku juga bisa cepat mengantar Shila pulang. Kasihan, pasti dia lelah.
***
Aku melihatnya. Berlarian di lapangan basket. Bermain berdua dengan Feri, Ketua Seksi Olahraga di OSIS. Pantes tadi dia nggak ikut rapat. Rupanya dia asyik main basket. Setahuku Feri juga dulu sekelas dengan Shila di SMP. Yang tidak kutahu, dia begitu mahir bermain basket. Rambut ikalnya yang di kucir satu berkibar ketika dia mendrible bola dan memasukan bola ke dalam keranjang. Dia begitu lincah dan bisa mengimbangi Feri yang masuk tim inti basket sekolah. Wajahnya berkeringat dan merah terbakar matahari. Tapi raut wajahnya terlihat begitu bebas dan bahagia. Tiba-tiba aku merasa tidak mengenal Shila yang ini. Itu membuatku takut dan sedikit menganggap Feri sebagai ancaman. Kulihat Feri menangkap bola yang di masukkan Shila ke keranjang dan menunjuk ke arahku. Permainan mereka terhenti.
"Dah selesai?" tanya Shila sambil menghampiriku. Napasnya cepat terengah-engah. Aku mengangguk.
"Makan mi ayam dulu, yuk!" ajakku.
"On me, ya?" pinta Shila. Aku terkekeh.
"Aku nggak bisa terus-terusan kamu traktir. Meskipun kamu banyak duit tetep saja itu, kan duit ortumu."
"Kalau aku bisa menghasilkan uang sendiri bukan dari ortu, kamu mau aku bayarin tiap hari?"
Shila tertawa. Seperti tidak percaya aku bisa menghasilkan uang sendiri.
"Kamu mau kerja? Kerja apa? Orang tuamu juga nggak akan ngijinin, " kata Shila meledekku.
"Liat saja nanti! Tapi kamu harus janji mau kubayarin tiap hari!" tuntutku. Shila mengangguk sambil tertawa. Dia masih belum percaya. Apa, sih yang nggak bisa kulakukan buat kamu, Shil?
"Aku nggak tahu kalau kamu jago maen basket."
"Bisa bukan berarti jago, Dhit."
"Kamu bisa mengimbangi permainan dia," tunjukku dengan dagu pada Feri yang sedang mengambil motor di parkiran. Aku melambai sopan padanya ketika Feri melewati kami.
"Dia yang mengalah. Bukan aku yang jago. Ngapain, sih detail gitu nanyanya? Kamu cemburu, Dhit ?"
Aku agak terkejut ketika mendengar dia bertanya begitu. Apakah nadaku terdengar menyelidik? Tapi, ya, aku agak waspada dengan Feri. Aku ingat dia sering membuat Shila menangis.
"Sudahlah. Yuk, kita pulang," kataku sambil memberi isyarat supaya dia naik ke atas motor.
"Nggak jadi makan mi ayam?" tanyanya dari belakangku.
"Nanti saja kalau aku sudah punya duit sendiri," jawabku sambil memutar gas. Mengantar Shila pulang. ©
KELAS DUA : RINAI HUJAN
- ADHIT -
Menjelang pemilihan ketua OSIS aku semakin disibukkan dengan bermacam rapat koordinasi. Awal Agustus aku akan kampanye di depan seluruh siswa tentang program2 yang akan kulakukan jika terpilih sebagai ketua OSIS. Belum lagi rencanaku untuk membuat bazar pembangunan dalam rangka menyambut 17 Agustus. Setiap jam istirahat aku selalu menyempatkan diri menyelinap ke ruangan OSIS. Pulang sekolah kadang aku berkoordinasi dengan teman-teman dulu sebelum pulang. Kulihat Shila kelelahan mengikuti aktivitasku. Terkadang kulihat dia bermain basket berdua dengan Feri ketika menungguku. Kadang dia juga meminta izin untuk pulang lebih dulu dengan teman yang lain. Kadang kami bertemu sore hari, itu pun tidak lama karena dia sibuk dengan ekskul dramanya.
Shila pernah bertanya, kenapa aku terlihat begitu aktif di organisasi bahkan ngotot ikut pemilihan Ketua OSIS. Kubilang, itu caraku untuk belajar mengenal dan menghadapi banyak orang. Dia bilang, kalau hanya untuk itu, aku udah lebih dari terkenal dan pasti cukup kewalahan menghadapi mereka yang dia bilang, penggemarku.
"Ya, sih. Tapi bukan cuma itu. Kita juga belajar berdiplomasi, menyusun rencana-rencana kerja, atau belajar cari duit untuk kelangsungan organisasi. Suatu hari nanti aku berencana punya sebuah usaha yang mempekerjakan banyak orang. Pasti akan ada strategi, rencana, dan hal lain yang harus dilakukan supaya usahaku berkembang." Shila manggut-manggut mendengar penjelasanku. Menurutnya, pikiranku terlalu tua dan membosankan.
Kamu benar, Shil. Dan aku membutuhkan orang sepertimu sebagai penyeimbang. Supaya hidupku lebih santai dan bahagia.
"Shil, sabar, ya. Setelah 17 Agustus waktuku akan lebih longgar," kataku suatu ketika. Shila hanya tersenyum. "Nanti kuajak kamu jalan-jalan ke satu tempat. Terserah mau ke mana. Kamu yang nentuin. Atau kita keluar kota aja. Baturaden. Gimana?"
"Nyantei aja, Dhit, kita masih lama, kan sekolah di sini. Kecuali kamu ada rencana mau pindah sekolah, baru, deh aku larang kamu sibuk ini itu," jawabnya. Aku hanya tersenyum sambil mengucek poninya. Dia menatapku sekilas. Tatapannya sendu dan sarat beban. Seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya dan berusaha dia sembunyikan dariku. Tapi apa yang harus disembunyikan? Kami sudah berjanji untuk saling terbuka dan tidak main rahasia-rahasia lagi.
Kuakui, sih akhir-akhir ini dia jarang tersenyum, sering melamun, dan tatapan matanya kadang sangat jauh. Tapi aku pikir itu karena dia kesal selalu aku tinggal terus-terusan. Dia bukan tipe cewek yang suka ngeluh. Kalau masih bisa ditahan dia nggak akan bilang ada apa. Jadi kalau dia tidak cerita, itu artinya dia tidak apa-apa. Aku juga nggak mau dibilang pacar yang posesif. Aku ingin dia merasa nyaman denganku.
Sabtu pertama di bulan Agustus, aku harus kampanye untuk menyampaikan program-program yang akan aku lakukan jika terpilih menjadi Ketua OSIS. Atas usul Shila, aku memasukkan darmawisata ke Bali dalam salah satu programku. Menurut Shila, kita butuh refreshing sebelum menghadapi EBTANAS. Dan Bali terlihat lebih mengasyikan ketimbang Jakarta. Sudah biasa, itu alasan Shila ketika kubilang kenapa bukan Yogya atau Solo yang lebih dekat. Menurut Shila, sewaktu SD dia sudah darmawisata ke Yogya dan Solo. SMP ke Jakarta. Kalau SMA ke tempat itu-itu lagi, lebih baik nggak usah ada darmawisata karena pasti peminatnya sedikit. Baiklah. Bali oke, Jakarta atau Yogya tidak masalah buatku. Membayangkan menghabiskan hari-hari bersama Shila sudah membuatku bahagia.
Aku dan dua kandidat yang lain sudah bersiap di tepi lapangan tengah. Pandanganku menyapu bersih seluruh lapangan dan koridor kelas. Ke mana Shila? Seharusnya dia berdiri paling depan untuk menyemangatiku.
Kulihat Febi berdiri di bawah pohon ketapang bersama teman satu kelas kami yang lain. Kuberikan isyarat padanya, bertanya di mana Shila? Febi menggeleng. Raut mukanya bilang tak tahu. Aku sedikit khawatir. Tapi mungkin dia sedang ke kamar mandi. Pasti dia merasa gelisah melihat aku harus tampil di podium hari ini.
Aku mendapat nomor urut tiga. Nomor terakhir. Kandidat satu sudah memaparkan programnya. Teriakan 'huuu!' dan tepuk tangan terdengar bergantian di sela-sela paparan programnya. Aku mulai risau, Shila belum juga terlihat. Sementara kandidat kedua mulai maju ke arah podium. Sambutan yang diperoleh kandidat kedua tidak seriuh kandidat pertama. Maklum, dia bukan anak yang terlalu populer meski katanya dia sangat berbakat di bidang matematika. Dia pernah membawa nama baik sekolah hingga tingkat nasional dan menyandang juara dua pada olimpiade matematika yang disponsori sebuah BUMN. Namun memiliki otak yang cerdas tidak lantas membuat seseorang bisa berdiri di hadapan banyak orang. Dia terlihat agak gugup ketika menyampaikan program-programnya. Aku bahkan sedikit kasihan ketika dia selesai berpidato dan hanya segelintir anak yang bertepuk tangan selain guru-guru. Entah alasan apa yang membuatnya kepikiran untuk mencalonkan diri.
Kulayangkan pandanganku berkeliling sekali lagi. Belum juga sosok atau bahkan bayangan Shila terlihat. Aku semakin cemas, mataku mencari-cari ke arah deretan kelas tiga dan kelas dua. Nihil.
Tidak. Aku tidak kesal atau marah karena dia tidak ada di sini. Aku cemas. Dia ceroboh. Kadang dia terjatuh tanpa sebab. Aku takut. Takut sesuatu menimpanya. Aku mencoba menenangkan diri. Mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Kutatap Febi sekali lagi. Febi memandangku sedih dan menggeleng. Aku menarik napas sekali lagi, giliranku segera tiba. Kupejamkan mata dan membayangkan senyum Shila. Rasa khawatir dan gugup sedikit berkurang. Tapi belum sepenuhnya hilang sebelum bisa kulihat dengan mataku sendiri sosok Shila secara utuh. Saat ini aku hampir yakin jika sesuatu yang tak diharapkan menimpa dirinya. Kukepalkan jari-jariku agar pikiranku tetap awas dan jernih.
Di mana kamu, Shil? Jangan bikin aku khawatir, dong!
Aku sudah hampir bisa menguasai diri saat namaku di sebut. Dengan santai aku naik ke podium kecil yang berada di tengah lapangan. Kupegang mic dan mulailah aku berpidato untuk menyampaikan programku. Tepukan demi tepukan riuh terdengar setiap aku selesai menyampaikan satu program. Aku merasa bisa menguasai keadaan. Tiba-tiba mataku menangkap sosok terhuyung di lorong perbatasan kelas 3 Bio dan 3 Sos.
Shila!
Dia memandangku sesaat dan hilang di balik perpustakaan. Aku mencoba mempercepat uraian programku. Pikiranku tak karuan. Segera aku turun dari podium dan bergabung dengan dua kandidat yang lain, mendengar kata penutup dari Wakepsek dan bersalaman dengan orang-orang yang mengelilingiku. Hatiku mulai risau, rasanya ingin cepat berlari ke kebun klub menanam. Aku lihat langit mulai mendung. Rasanya aku tahu apa yang terjadi. Hujan mulai turun, Wakepsek menyampaikan salam penutup dan kami pun mulai berlarian menyelamatkan diri dari basahnya hujan.
"Dhit, maaf, sudah kucari kemana-mana tapi aku nggak tahu di mana Shila," kata Febi mendekatiku. Aku menyambut uluran tangannya yang mengucapkan selamat dan membalasnya dengan ucapan terima kasih.
"Nggak papa, Feb. Rasanya aku tahu di mana dia. Aku cari dulu, ya," sahutku sambil berlari menghindari hujan.
***
Shila duduk di bangku kayu di samping perpustakaan. Wajahnya tertunduk menatap air hujan yang turun. Bahunya bergerak-gerak. Dia menangis. Aku duduk di sebelahnya. Kugenggam tangan kanannya, mencoba menenangkan dan memberi rasa damai. Dia semakin terisak. Kusandarkan kepalanya di bahuku. Kubiarkan dia menghabiskan tangisnya di sana. Entah apa yang membuatnya sesedih ini. Ketika tangisnya mereda, aku mencoba memalingkan wajahnya padaku. Dia menolak. Kuusap pipinya, dia mengaduh. Dengan heran kupaksa wajahnya menghadap ke arahku. Bekas tapak jari tergambar jelas di pipinya. Ujung bibirnya bengkak dan berdarah.
Seseorang menamparnya!
Tiba-tiba aku merasa marah kepada siapa pun yang melakukan ini. Tapi jika kupaksa Shila mengatakan siapa, dia pasti menolak memberi tahu.
"Sakit?" tanyaku lembut.
"Sakit, Dhit," rintihnya. Kuusap lembut pipinya, kuhapus sisa air di ujung matanya.
Kukecup keningnya.
Kening ...
Simpanlah hanya kenangan indah. Tidak duka. Jangan sedih.
Kukecup matanya.
Mata ...
ketika menutup, temukan bayangku di kegelapan. Ketika membuka, lihatlah hanya aku yang memandangmu.
Kukecup pipinya.
Pipi ...
Bersemulah. Pancarkan hanya rona merah kebahagiaan.
Kukecup bibirnya.
Bibir...
Katakanlah itu cinta. Bersuaralah memanggilku. Karena hanya lekuk namaku yang terucap disana.
Shila mengaduh ketika ciumanku mengenai bibirnya yang sakit. Aku cepat-cepat melepasnya.
"Aw! Sakit, Dhit," rintihnya.
"Sakit karena kucium atau karena luka?" godaku. Shila mencoba tersenyum dan mencubit perutku. Lalu kami tertawa bersamaan. Hujan sudah berhenti. Matahari kembali bersinar. Butir hujan di daun memantulkan cahaya menyilaukan.
Aku mencium bibir Shila lebih lembut. Merasakan noda darahnya di lidahku. Menutup luka-luka yang membuka. Kudekap tubuhnya semakin dekat. Perlahan kurasakan hujan kembali mericis. Dia menangis. Tapi bukan sakit. Dia bahagia, karena hujan kali ini tidak mendung. Matahari bersinar di antara tirai-tirai gerimis.
Tuhan ...
Hentikanlah waktu seperti ini.
Sebentar saja ... sebentar lagi ...
Biar kami menghilang dalam waktu yang ini.
Bersembunyi ...
Jangan ditemukan. ©
KELAS DUA : A GIFT FOR YOU
- S H I L A -
"Sulit mengungkapkan sosok Adhit dalam satu kalimat. Terlalu banyak kelebihan dan kebaikan pada dirinya. Dia adalah sosok yang kuinginkan dan juga yang kubutuhkan. Dia seperti jawaban atas doa-doaku. Dia selalu berada di tempat dan waktu yang tepat. Adhit adalah cahaya. Tanpanya aku buta."
Duh ..., telattt!
Aku berlari-lari sepanjang koridor kelas 3, kemudian menyeberangi lapangan menuju kelasku. Belum ada guru, syukurlah. Untung saja aku datang tepat waktu, sebelum pintu gerbang di tutup. Jika terlambat sedikit lagi, aku sudah masuk ruang BP dan mengisi buku hitam.
Kelas masih riuh. Teman-teman masih asyik mengobrol dan bercanda. Kulihat Adhit sedikit kesal melihat aku nongol di depan pintu. Aku tersenyum cepat padanya dan buru-buru melangkah ke bangku di sebelah Febi.
"Dah baikan? Kok, dah masuk?" tanya Febi.
"Bosen di rumah terus, lagian pipiku dah nggak bengkak lagi, kan? Tinggal luka di sudut bibir aja. Itu pun dah mengecil," jelasku.
"Adhit kayaknya kesal, deh," kata Febi menunjuk ke arah Adhit yang sedang memperhatikanku. Aku menoleh dan tersenyum padanya. Dia hendak berdiri tapi dilihatnya Bu Beth memasuki kelas. Pelajaran seni musik akan segera dimulai.
~o0o~
"Aku baik-baik saja, Dhit. Udah nggak bengkak. Yang di bibir juga udah nggak terlalu kelihatan, kan?" Aku menjelaskan padanya, ketika Adhit bertanya kenapa aku sudah masuk sekolah.
"Aku cape terus-terusan di rumah."
Sebenarnya surat izin sakitku masih sehari lagi. Baru besok aku masuk sekolah. Adhit pasti kesal karena aku berangkat sendirian. Kadang-kadang pacarku ini terlalu berlebihan kasih perhatian. Aku yang biasanya mandiri sekarang jadi tergantung padanya.
"Kantin?" tanya Adhit melembut.
Kelihatannya dia sudah tidak terlalu kesal lagi. Seharusnya dia senang aku sudah masuk sekolah. Karena aku juga gitu, aku senang bisa masuk dan ketemu dia lagi. Punya pacar kayak Adhit benar-benar anugerah buatku. Pinter, cakep, baik lagi. Kalau orangtuanya kaya, itu, sih bonus. Toh, aku nggak suka manfaatin kekayaan ortunya. Sebisa mungkin kalau jajan atau makan di luar aku lebih suka bayar sendiri. Kami juga nggak pernah malam mingguan. Menurut Adhit malam Minggu dan hari Minggu adalah waktu buat kumpul sama keluarga. Meskipun anak tunggal, Adhit sangat dewasa. Kadang aku mikir kalau kami ini nggak seumuran. Padahal umurku hanya beda setahun di bawah Adhit.
"Mau beli apa?" tanya Adhit ketika tiba di kantin.
"Aku bisa beli sendiri. Aku juga bisa milih sendiri," sahutku.
"Aku tunggu di bangku sana, ya," kata Adhit sambil menunjuk bangku kosong di kantin. Aku mengangguk.
Setelah memilih dan membayar, kuhampiri Adhit. Aku tahu, banyak yang memperhatikan kami. Biasanya mereka memperhatikan aku karena ingin tahu, cewek seperti apa, sih yang disukai adhit? Kalau mereka memperhatikan Adhit sudah bisa di tebak, mereka semua mengagumi sosok Adhit sekaligus kasian karena harus pacaran dengan cewek seperti aku.
Ishh ..., emang aku cewek seperti apa, sih?
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Adhit heran.
"Nggak. Lagi inget sesuatu yang lucu aja," jawabku sok misterius.
"Kamu mulai main rahasia-rahasiaan, ya sama aku?" tanya Adhit ketus. Matanya menatap bibirku. Masa, sih dia pengen kita ciuman? Di sini? Yang bener aja!
"Masih belum mau cerita siapa yang bikin kamu babak belur?" tanyanya. Hhh, ternyata aku kege-eran.
Aku menggeleng. "Udah lewat. Nggak perlu di bahas," jawabku sambil memsukkan risoles ke dalam mulut.
"Lagian kalau aku cerita pun, kamu mau apa?" tanyaku dengan mulut penuh. Adhit menyodorkan tisu. Remahan risoles pasti belepotan di sekitar mulut.
"Bikin perhitungan, lah sama mereka," katanya sewot. Mataku mendelik. Sepotong risoles meluncur begitu saja ke tenggorokan tanpa dikunyah.
Aku menggeleng. "Nggak usah. Nggak ada gunanya." Aku menyesap teh es manis hingga tandas setengah gelas.
"Kenapa, sih kamu melindungi banget orang itu? Apa ada sesuatu yang aku nggak tahu?" Adhit sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Sudahlah, Dhit. Aku nggak mau bahas itu. Mending kita bikin rencana lain, yuk!" ajakku untuk mengalihkan perhatiannya. Buru-buru kuhabiskan teh es manis punyaku. Tubuh Adhit melunglai. Dia lebih relaks sekarang.
"Rencana apa?"
"Rencana untuk merayakan terpilihnya kamu sebagai Ketua OSIS. Selamat, ya!" kataku sambil mengulurkan tangan.
"Kamu itu pacarku, tapi paling akhir bilang selamat!" katanya sambil menyambut uluran tanganku. Aku tertawa dan mencoba menarik tanganku kembali tapi ternyata dia menggenggam tanganku erat-erat.
"Cuma ucapan selamat?" tanyanya.
"Kan tadi dah kubilang kita bikin rencana, yuk! Gimana kalau kita jalan-jalan sepulang sekolah. Kencan, kencan. Sudah lama kita nggak pernah kencan." Adhit melepaskan tanganku tiba-tiba. Raut mukanya sedikit muram.
"Ahh! Kamu pasti ada rapat lagi, kan? Iya, kan?" tanyaku sedikit kesal. Lama-lama aku curiga, jangan-jangan anggota OSIS yang lain itu cuma cari alasan rapat supaya bisa dekat-dekat sama Adhit. Buktinya, Feri aja bisa bolos rapat. Sering malah.
"Rapat terakhir sebelum bazar sekolah, Shil. Aku janji nggak akan lama. Setelah rapat, I am yours! Gimana?" tanyanya sambil tersenyum. Senyum yang sanggup meluluh-lantakkan hatiku. Aku balas senyum dan mengangguk. Lama pun nggak apa Dhit, aku tetap akan menunggumu.
~o0o~
Aku sudah kebal dengan tatapan orang-orang ketika aku berjalan bersama Adhit. Seperti saat ini, ketika kami kembali ke kelas. Dulu mungkin aku risi tapi sekarang, aku sedikit tidak peduli. Aku menikmati ngobrol dan bercanda dengan Adhit. Sesekali aku menyapa beberapa orang yang kukenal. Pamor Adhit makin naik, dia Ketua OSIS sekarang. Dari kelas satu, kelas dua, bahkan kelas tiga pun banyak yang nge-fans sama dia. Tamparan di pipiku ini pun hadiah dari salah satu penggemar Adhit. Mereka tidak suka aku pacaran sama Adhit. Aku dianggap kurang layak menurut mereka. Dan mereka minta aku putus sama Adhit.
Putusksn saja kami, dengan cara apa pun yang kau bisa. Akan ada usaha darinya atau dariku untuk kembali bersatu. Hanya dia, dia yang bisa memintaku menjauh. Bukan kau, kau, atau kau sekalipun!
Adhit tidak boleh tahu siapa yang menamparku. Dia pasti akan mendatangi mereka dan marah-marah kepada mereka. Aku tidak bisa membayangkan dia marah. Karena belum pernah terjadi padaku Adhit berteriak-teriak marah bahkan memaki. Marah gaya Adhit hanyalah diam. Dan aku mati gaya di buatnya. Aku bisa memohon-mohon agar dia keluar dari zona diamnya karena aku lebih suka dia marah, teriak, memaki, jadi aku tahu di mana salahku dan apa yang harus kulakukan. Ini tidak, Adhit lebih suka mendiamkanku sampai marahnya reda.
"Aku tidak bisa menyakitimu dengan kata-kata. Kalau aku diam hanya aku yang akan tersakiti," katanya ketika kuprotes.
"Kamu salah, Dhit. Ketika kamu diam, kamu menghukumku. Aku sangat kesepian jika kamu diam begitu."
"Baguslah. Jadi kamu kapok, kan nggak bikin aku marah lagi?"
Ugh! Gemas rasanya aku dengan jawaban dia itu. Tapi dia benar, aku jadi kapok bikin dia marah. Rasanya nggak enak ketika didiamkan. Aku begidik ketika membayangkan rasa sepi yang muncul saat kami marahan.
~o0o~
Aku bosannn !!! Adhit lama. Katanya sebentar. Sudah satu jam aku nungguin dia rapat. Kebun klub menanam sudah bersih kucabuti rumputnya. Tanaman juga sudah segar aku sirami. Kucek drum komposter, sudah aku bolak-balik isinya supaya mengkompos sempurna. Dan Adhit masih juga bersuara di ruang OSIS. Sepertinya dugaanku benar, anggota OSIS yang cewek sengaja menahan dia supaya mereka bisa berlama-lama bersama Adhit.
Aku berjalan menuju lapangan basket. Kulihat ada satu bola tertinggal. Sudah gundul, sih. Tapi kalau untuk sekadar main-main saja masih bisa. Aku mulai mendrible bola, dan ... shoot! Masuk ke keranjang. Ketagihan. Mulai lagi dari sudut yang berbeda. Yakkk! Masuk lagi! Lagi! Dan lagi! Aku mulai tertawa. Ternyata aku masih mahir memainkan bola ini.
"Oper, Shil!" kata sebuah suara.
Feri! Aku pun melempar bola padanya. Kami pun jadi asyik bermain berdua. Aku lupa betapa bosannya aku tadi.
"Kenapa berhenti basket, Shil?" tanya Feri tiba-tiba.
"Bukan urusanmu," jawabku ketus sambil memasukkan bola ke ring basket. Meleset! Feri mengambil bola dan mendriblenya. Aku mencoba merebutnya.
"Dia membatasi gerakmu, ya? Kulihat pengawalmu itu selalu siap menahanmu jika kamu tersandung. Protektif banget!" ejek Feri sambil terkekeh.
Feri menyebalkan. Dia sangat pandai mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Kadang sampai menangis aku dibuatnya.
"Aku nggak mau komentar," sahutku ketus dan mencuri bola darinya. Lalu memasukkan lagi ke keranjang.
"Shil!" Feri memegang lenganku, "maafkan aku jika pernah menyakitimu. Tapi aku lebih suka melihatmu berlarian di lapangan basket daripada berlarian di sekitar dia."
Aku tahu siapa yang dimaksud Feri dengan 'dia'. Aku mengibaskan tanganku.
"Aku udahan," kataku sambil berjalan ke bawah ring mengambil tasku.
Aku pun berjalan meninggalkan Feri dan kulihat ..., Adhit ada disana. Berdiri di dekat parkir motor memandang datar ke arah kami. Sejak kapan dia berdiri di sana? Apa tadi dia melihat Feri memegang tanganku? Tiba-tiba aku merasa khawatir. Aku menoleh ke belakang, ke arah Feri. Dia nyengir menyebalkan. Feri sengaja! Aku berjalan cepat ke arah Adhit ..., aku harus menjelaskan padanya kalau itu bukan apa-apa.
"Sori. Kamu lama nunggu, ya?" tanyanya sambil tersenyum. Raut mukanya sudah kembali ramah.
"Dhit ..., tadi..."
"Kamu lapar? Makan mi ayam, yuk!" potong Adhit sebelum aku selesai bicara. Dia sengaja. Adhit sengaja tidak mau mendengar penjelasanku. Sudahlah. Memang bukan hal yang perlu dikhawatirkan, kok. Dan aku mengizinkan Adhit membayariku mi ayam kali ini. Dalam kondisi normal, aku akan menolak dibayari. Tapi hari ini aku tidak mau berdebat dengannya.
Setelah makan mi ayam, dia mengantarku pulang. Sudah terlalu siang untuk jalan-jalan dulu. Adhit tidak mau membuatku dimarahi Mama karena pulang kelewat telat. Dia berjanji akan mengganti waktu kencan kami hari ini. Aku memeluk erat pinggang Adhit di atas motor.
Maafkan aku, Dhit jika membuat kamu kesal.
~o0o~
15 Agustus. Bazar pembangunan di sekolah kami.
Tiap-tiap kelas membuat stand khusus di depan kelas masing-masing. Kelas A3-2 mendesain kelasnya menjadi rumah hantu. Lumayan kreatif dan seram. Aku dan Febi mencobanya. Cukup bikin takut ketika ada pocong muncul tiba-tiba dari kegelapan. Kami sempat mengutuk rumah hantu itu sebelum akhirnya tertawa-tawa karena sadar semua itu cuma tipuan.
Kelas kami menjual beraneka macam produk. Aku dan Febi berjualan mawar hidup yang kupotongi dari halaman rumahku. Kubungkus plastik, di beri pita dan kartu ucapan. Siapa saja yang membeli kami persilakan menulis nama dan kelas si penerima mawar. Lalu kami akan mengantarkan mawar-mawar itu ke tujuannya. Segerombolan anak kelas satu berhenti di depan kelas kami dan berbisik-bisik sambil memandang ke arahku. Ada apa, sih dengan mereka ini?
"Shil, tolong antar mawar yang di keranjang itu, dong!" tunjuk Febi pada keranjang di bawah meja.
"Cuma dua, Feb. Ntar saja tunggu banyak."
"Udah nggak papa, anter saja. Biar aku jaga di sini." Febi aneh, deh. Sepertinya pengen ngusir aku cepat-cepat.
"Shil, kelas tiga ada yang jual es kopyor. Titip beli, ya!" Agung memberikan uang padaku.
"Beli tiga, ya, Shil!" tambahnya lagi.
Kok, malah aku disuruh beli es. Emang aku kurir? Tapi ... nggak papa, deh. Itung-itung amal. Lagian, kan enak bisa sekalian liat-liat.
Kuambil dua tangkai mawar di kolong meja, lalu kulirik lagi anak kelas satu yang tadi berbisik-bisik. Mereka kini sibuk memilih-milih bunga. Lama banget milihnya, padahal bunganya sama semua.
Sambil berjalan ke arah kelas tiga, mataku mencari-cari di mana Adhit. Aku belum melihatnya sejak dia menyampaikan sambutan sebagai ketua panitia. Ahh, sudahlah! Pasti dia sibuk. Bergegas aku mengantarkan pesanan bunga dan membeli es kopyor lalu kembali ke kelasku.
"Cepat juga mawarnya habis, Feb," kataku ketika kulihat tinggal bunga aster dan krisan di meja kami.
"Banyak anak kelas satu yang beli pas kamu pergi tadi," kata Febi.
"Oh, ya? Mana bunganya? Sini biar kuantar!" kataku sambil memberikan pesanan es ke Agung.
"Sudah kuantar. Tenang aja," kata Agung. "Besok-besok kalau ada acara jualan gini lagi, kamu gundulin saja bunga di rumahmu biar kita untung gede, Shil."
"Nanam bunga juga pake modal kali, Gung," kataku sambil tertawa.
"Shil, bisa tolong ambilin notes di mejaku? Tadi kutinggal disana," kata Adhit yang tiba-tiba muncul dari depan meja jualan. Aku mengangguk, sekilas kulihat Agung dan Febi saling berpandangan. Aku bergegas masuk ke kelas menuju meja Adhit yang terletak tepat di depan meja guru. Kulihat tumpukan yang kukenal di meja itu. Makin kudekati aku makin mengenal gundukan itu. Ini, kan bunga mawar yang kujual di depan kelas. Hhmm, pasti anak-anak kelas satu tadi yang beli. Makanya Febi nyuruh aku pergi. Tapi kenapa ada kotak kado segala, ya? Siapa yang ulang tahun? Penasaran kubaca kartu-kartu di mawar itu. Siapa tahu aku menemukan petunjuk.
"Shil ...." Tiba-tiba Adhit sudah muncul di depan pintu. Di belakangnya ada Febi. Muka mereka kelihatan cemas. Mungkin dipikirnya aku akan histeris dan menangis. Atau pingsan tiba-tiba.
"Kamu ulang tahun?" tanyaku kepada Adhit.
"Kalau dilihat dari akte kelahiran, sih, iya," jawab Adhit pelan pelan.
Tenang, Dhit. Aku nggak bakal ngamuk, kok. Nggak perlu hati-hati gitu ngomongnya.
"Kamu nggak bilang kalau hari ini kamu ulang tahun," kataku datar.
"Kamu nggak pernah nanya."
"Jadi? Aku terlambat lagi, ya kasih ucapan?"
"Sudahlah. Aku nggak apa-apa, kok. Aku nggak pernah ngerayain ulang tahun. Jadi nggak ada yang istimewa."
Aku memandang Adhit tajam. Mana bisa tidak istimewa? Ini, kan ulang tahunnya yang ke-17. Emang berapa kali dalam hidupnya dia bakal berumur 17?
"Kita bahas nanti, ya. Ada yang harus aku selesaikan dulu," kata Adhit sambil mengambil notes dari mejanya. Aku masih memandangi tumpukan bunga dan kado di meja Adhit. Kira-kira apa, ya isinya? Aku tidak boleh kalah. Aku juga harus kasih sesuatu untuk Adhit!
"Shil? Kamu nggak papa?" tanya Febi.
"Feb, temenin aku cari kado buat Adhit, yuk!"
"Sekarang?"
"Tahun depan! Ya, iyalah sekarang! Kamu bawa motor, kan? Kalau kita ngilang sebentar, nggak apa-apa, kan? Minta tolong saja anak lain untuk jagain meja."
"Ayoklah!"
"Tapi pulang ke rumahku dulu, ya. Ambil duit."
"Astaga. Ada-ada aja, sih!"
"Yah, mana aku tahu kalau harus bawa uang lebih untuk beli kado? Nanti aku traktir mi ayam, deh. Apa baso. Plisss, plisss, Febi yang cantik, berbudi bawa laksana."
"Iyalah, iya! Ayo cepat! Ntar keburu siang. Keburu ketahuan sama Adhit kalau kamu ngilang. Bisa disewotin Adhit aku nanti."
Aku tertawa geli membayangkan Adhit marah-marah sama Febi.
"Nggak akan mungkin Adhit marahin kamu. Tenang saja," kataku sambil mengenakan helm yang disodorkan Febi. ©
KELAS DUA : ADHIT'S LOVER FAN CLUB
.S H I L A.
Aku dan Febi pergi ke satu-satunya pusat perbelanjaan di kota kami. Tak banyak pilihan di situ, tapi kalau sudah terdesak seperti ini mau tidak mau harus beli di situ.
"Apa nggak sebaiknya ditunda saja kasih kadonya, Shil?" tanya Febi ketika dilihatnya aku hanya berputar-putar saja. Aku menggeleng.
"Aku nggak mau kalah sama fansnya Adhit?"
"Kalian, kan nggak sedang berlomba dapetin Adhit. Satu sekolah juga, dah tahu kalau kamu ceweknya."
Aku memandang sebal sama Febi. Kalau aku nggak ngasih kado, bisa dikira kurang perhatian sama Adhit. Trus kalau Adhit dapet perhatian dari yang lain terus-terusan, bisa jadi Adhit kepikiran buat berpaling. Memikirkan kemungkinan itu membuat hatiku kesemutan.
"Mas, lihat liontin yang itu, dong!" tunjukku pada sebuah liontin yang di pajang di etalase perhiasan perak.
"Bagus, nggak, Feb?" tanyaku minta pendapat Febi. Liontin tersebut berbentuk bulat dengan motif ukiran sulur-sulur dan banyak daun-daun kecil di batangnya. Kelihatan kuno dan antik. Yang menarik adalah ternyata liontin itu bisa dibuka dan ada tempat kosong di baliknya untuk menaruh foto kita dan pasangan. Fotoku dan Adhit. Aku tersenyum membayangkan itu.
"Buat Adhit?" tanya Febi. Aku mengangguk.
"Masa liontin? Yang enggak-enggak aja, deh kamu."
"Aku modifikasi dikit ntar, Feb. Jadi bukan liontin lagi," kataku sambil tersenyum memandangi liontin itu.
"Bungkus pake kotak, Mas, " pintaku pada penjualnya. Liontin pun diletakkan pada kotak kecil polos berwarna biru dengan pita kecil biru muda. Pas. Sesuai dengan warna kesukaanku.
~o0o~
Sekolah masih ramai ketika kami kembali tiba di sana. Selain bazar ada juga pentas seni di lapangan tengah. Ada band antar kelas dan juga pertunjukan teater.
Seharusnya aku ikut serta dalam pertunjukan itu. Tapi aku malas jadi pusat perhatian lagi. Kebayang seandainya aku ikut, pasti ramai yang menonton hanya untuk menilai penampilan ceweknya Adhit.
Kalo aktingku bagus mungkin mereka akan bilang, "Bolehlah aktingnya Shila setidaknya nggak bikin malu Adhit."
Kalo aktingku buruk, "Kasian Adhit, punya cewek kepedean. Apa bagusnya, sih Shila itu?" Dan akan lebih banyak lagi komentar buruk lainnya jika penampilanku jelek dibanding komentar baik jika penampilanku baik.
Hari ini sekolah kami terbuka untuk umum. Bazar berlangsung sampai sore. Siswa sekolah lain pun boleh datang bila mau asal tidak rusuh. Dan sepertinya mereka mulai berdatangan. Kulihat beberapa seragam yang berbeda dengan seragam kami terlihat berkeliaran di sekolah.
"Dari mana aja, sih kamu ?" tanya Adhit gusar, tiba-tiba dia menghampiri kami dan menarik lenganku.
"Eh, aku, ke ..., sama ..., Febi...." jawabku kaget bercampur bingung.
"Ayo ikut aku!" katanya sambil setengah menyeretku. Aku memandang Febi seolah minta maaf dan terima kasih. Febi balas memandang dengan senyum penuh pengertian. Aku hutang semangkok mi ayam kepadanya. Atau mungkin dua. Ahhh ..., suka-suka dialah mau makan berapa.
"Mau kemana kita, Dhit?" tanyaku ketika duduk di motor Adhit.
"Kencan," jawab Adhit pendek.
"Ke mana?" tanyaku ingin tahu.
"Pegangan saja yang kuat! Ntar kalau dah sampe kamu juga tahu," jawab Adhit sambil memacu motornya.
~o0o~
Aku memandang Adhit, ketika kita sudah sampai di tempat tujuan. Sering dengar, sih tempat ini dari teman-temaku. Kafe keren, makanannya juga enak. Tapi belum pernah aku masuk ke sini. Mau pergi sama siapa? Rata-rata yang datang ke sini berpasangan. Nggak mungkin aku ke sini ngajak Febi. Dia pernah kesini sama seseorang yang dia rahasiakan namanya. Aku belum berhasil menebaknya. Dan Adhit, aku nggak berharap dia mau kesini. Dia kurang suka ke kafe.
"Ayo masuk!" ajak Adhit sambil mendorongku pelan.
Aku membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Agak temaram dan sepi. Aku agak risih. Adhit berjalan mendahuluiku. Aku pun mengikutinya. Dia membuka pintu keluar di ujung satunya. Ngapain, sih Adhit, masuk kafe tapi keluar lagi. Walau heran aku ikuti juga dia keluar ruangan.
"Febi belum cerita kalo kafe ini punya tempat makan outdoor yang bagus?" tanyanya sambil senyum. Rupanya Adhit sering nguping obrolan kami. Kebiasaan jelek untuk ukuran cowok. Besok-besok aku harus lebih berhati-hati kalau ngerumpi sama Febi.
Mataku menyapu halaman belakang kafe. Ada lima pondok kecil yang mengelilingi sebuah kolam di halaman belakang. Pondok itu terbuat dari bambu dengan beberapa bantal kecil untuk duduk dan ada meja pendek di tengah pondoknya.
Beberapa pohon besar dan juga pohon kelapa menambah sejuk dan teduh halaman itu. Rumput gajah dan bunga-bunga di tata apik di sekitar pondok dan kolam. Di salah satu sisi halaman yang bermandikan matahari penuh, ada satu rak kayu bertingkat yang diisi oleh moss rose dalam pot-pot kecil. Dan bunganya sedang kompak mekar bersamaan. Membuat pemandangan di halaman itu menjadi luar biasa berbunga.
Adhit benar-benar mengerti seleraku. Dan ya, Febi nggak pernah cerita tentang ini. Mungkin dia juga belum pernah ke bagian ini. Kalau malam, pemandangan seperti ini tidak akan ditemui. Karena para moss rose akan tertidur ketika matahari tenggelam sehingga mereka tidak menarik untuk dilihat.
Adhit membawaku ke salah satu pondok dimana kami bisa menikmati keindahan moss rose lebih dekat. Hari ini termasuk sepi, hanya ada satu pondok yang terisi. Dari seragamnya sepertinya anak sekolah kami juga. Sepertinya Deira dan pacarnya, Banyu. Tapi aku tidak terlalu memedulikan mereka. Aku lebih peduli pada seseorang yang sedang senyum-senyum dan mempelajari ekspresi kekagumanku.
"Suka ?" tanya Adhit. Aku mengangguk senang. Adhit memanggil pelayan.
"Aku mau menikmati hari ulang tahunku cuma sama kamu," katanya.
"Anggap saja aku yang traktir karena aku ulang tahun. Oke?" tanya Adhit begitu dilihatnya mukaku berkerut karena tak suka dia traktir lagi.
Baiklah, baiklah. Aku mau dibayari karena dia ulang tahun. Lagian aku bokek. Duitku sudah habis terpakai untuk beli kado.
"Mau pesan apa? Ada batagor dan siomay kesukaanmu, lho."
"Batagor siomay di campur, boleh, nggak?" tanyaku ke pelayan. Dan dia mengangguk.
"Bikin 2," kata Adhit, "minumnya?"
"Es teler kayakna seger," kataku.
"Es teler dua, Mas," kata Adhit lagi kepada pelayan. Pelayan itu pun pergi mengambil pesanan kami.
"Dari mana kamu tahu tempat ini? Pernah ke sini? Sama siapa?" berondongku dengan nada curiga. Adhit tertawa.
"Kenapa? Cemburu?"
"Hanya waspada."
"Aku survey sendirian ke sini. Emang, dah niat ngajak kamu ke sini hari ini. Nggak peduli kamu ingat atau tidak kalau hari ini aku ulang tahun."
"Maaf, ya, Dhit. Aku nggak tahu tanggal lahir kamu. Aku memang payah! Padahal hari ini kamu tepat 17 tahun, kan?" tanyaku. Adhit mengangguk
"Selamat ulang tahun, ya, Dhit," kataku sambil menyerahkan kado kecil dariku. Adhit menerimanya dengan heran.
"Kapan kamu beli?" tanyanya sambil membuka kado dariku. "Liontin?"
"Tadi aku belinya buru-buru. Niatnya mau sedikit kumodifikasi supaya bisa kamu pakai," kataku sambil mengambil liontin dari tangan Adhit. Kulepas gantungan bulu-bulu pada dompetku, kucopot bulunya dan kuganti dengan liontin Adhit. Berubahlah liontin tadi menjadi gantungan kunci. Lalu kuberikan pada Adhit.
"Itu bisa dibuka, Dhit," kataku menjelaskan. Adhit membuka liontin itu dan berseri ketika melihat di dalamnya ada ruangan untuk meletakkan foto. Dia menggeser duduknya ke sebelahku. Mencium keningku lamaaa sekali.
"Terima kasih, ya," katanya sambil menimang-nimang gantungan itu. Kemudian menciumku lagi.
"Akan kucari foto yang tepat untuk kutaruh di dalam sini," katanya sambil mengaitkan gantungan dariku ke kunci motornya. Dan kemudian dia menggenggam tanganku sambil memandangiku mesra banget. Aku nggak tahu efek kadoku akan sedahsyat ini. Aku berharap pelayan jangan datang mengantarkan pesanan kami. Tapi dia harus datang karena kami sudah pesan. Duh ...
~o0o~
"Jadiii?? Ke mana kalian menghilang kemarin? " tanya Febi ketika kami bertemu lagi hari Senin.
"Ada, deh," jawabku.
"Nggak ke hotel, kan?"
"Ihhh, apa, sih? Amit-amit, deh," sahutku marah.
"Sori, sori, cuma bercanda, Shil. Trus liontinnya kamu apain?"
"Dijadiin gantungan kunci. Tuh, dipake buat gantungan kunci motornya," tunjukku pada kunci motor Adhit yang masih tergeletak di mejanya. Sekilas kulirik meja guru di depan Adhit. Bunga pemberian fans Adhit sudah mulai layu dan ada yang rontok sebagian. Kuambil bunga-bunga itu dan kubuang ke tempat sampah. Kubuang air dalam vasnya dan kuisi lagi vasnya dengan bunga plastik yang sempat tergeletak di lemari kelas karena tergusur posisinya oleh bunga segar. Aku letakkan kembali vas itu di meja guru.
Aku tidak tahu kabar kado-kado yang lain. Adhit memasukkannya ke tas dan membawanya pulang.
"Kita harus menghargai pemberian orang meskipun kita tidak suka. Jadi aku tidak bisa membiarkan kado-kado ini dibiarkan di sini atau diberikan kepada teman teman di sini. Aku takut orang yang memberinya akan tahu dan dia akan terluka," jelasnya ketika kutanya akan diapakan kado-kado itu.
"Aku beri tahu satu rahasia, kalau itu bisa menenangkanmu," katanya lagi ketika dilihatnya aku masih gusar.
"Biasanya, aku berikan kado-kado ini sama pembantuku tanpa melihat isi atau pengirimnya."
Hhh, aku memang sedikit lega. Tapi tunggu, biasanya? Berarti bukan hanya sekali, dong? Astaga!
Resiko yang paling besar punya pacar seleb sekolah itu adalah menghadapi fans fanatiknya! Apalagi ketika aku dinilai tidak sesuai bagi Adhit, menurut kacamata mereka. Bahkan mereka dengan seenaknya memberikan kandidat cewek mana yang sesuai untuk Adhit. Seperti siang itu di kantin, aku melihat anak kelas satu sedang diperkenalkan kepada Adhit oleh klub penggemar Adhit, ADL. Adhit Lovers. Aku tidak tahu benar atau tidaknya bahwa klub itu ada. Yang jelas, salah seorang anak yang menamparku ada diantara mereka. Anak kelas tiga sosial! Gila emang pamor Adhit, anak kelas 3 juga ikut ngefans!
Aku beradu pandang dengan anak kelas tiga itu. Sekadar memberi peringatan padanya bahwa aku tidak takut dengan ancamannya. Bahwa sia-sia saja dia melakukan aksinya itu. Adhit tidak akan berpaling dariku! Anak kelas tiga itu tersenyum sinis dan melanjutkan obrolannya dengan Adhit. Seperti merasa diperhatikan, Adhit menoleh ke arahku. Aku melambai dan tersenyum. Adhit membalas lambaianku, berbicara sebentar dengan mereka kemudian berjalan ke arahku.
Sepertinya dia menyuruh mereka menunggu, karena mereka terdiam di tempat. Adhit menggandeng tanganku dan menghampiri mereka lagi.
"Kalian kenal kakak ini? " tanya Adhit kepada anak kelas satu itu.
"Namanya Shila dan dia satu kelas dengan saya. Dia pintar fisika juga, lho. Jadi kalau kalian ke kelas dan tidak ketemu saya kalian bisa temui dia. Kalau dia tidak bisa, suruh kakak ini tanyakan kepada saya, nanti saya jelaskan kepada Kak Shila dan Kak Shila akan menjelaskan kembali kepada kalian. Nggak apa-apa, kan?" tanya Adhit memandang mereka dan aku bergantian. Aku melotot kepadanya. Fisika ? Aku juga masih terseret-seret ngikutinnya ini malah disuruh ngajarin?
"Kakak permisi dulu, ya, Dek," pamit Adhit sambil menggandeng tanganku. Genderang perang baru saja ditabuh!
Masalah fans berat belum selesai. Pulang sekolah aku digiring lagi ke pojokan sekolah. Sial, harusnya aku nebeng Febi tadi. Nggak usah nungguin Adhit rapat.
"Kalian ini nggak tahu kapan harus berhenti, ya?" tanyaku ketus.
"Kamu masih belum juga putus sama Adhit? Punya kaca nggak, sih di rumah?" dorong kakak kelas ke tembok.
"Punya. Sampai retak kaca di rumahku karena kupakai ngaca terus," jawabku dingin.
"Kamu liat, dong! Kalau kamu itu nggak pantes pacaran sama Adhit!" tunjuk kakak kelas ke keningku. Mukanya tepat di depanku. Bau napasnya berebut masuk ke lubang hidung dan aku merasa mual. Abis makan apa, sih dia? Bau banget!
"Bukannya putus sama Adhit, malah pamer kemesraan ke seluruh sekolah!"
"Ya nggak usah di lihat kalau nggak suka. Kalian, kan bisa tutup mata atau buang muka kalau perlu. Eh, aku lupa. Kalian, kan udah nggak punya muka. Udah jelas Adhit milih aku masih juga nyodor-nyodorin calon lain. Aku bilang sama kalian, sia-sia saja usaha kalian itu. Walau Adhit aku putusin, aku suruh dia pergi sekalipun, Adhit nggak akan ninggalin aku!" kataku tajam kepada mereka.
Kakak kelas tiga terlihat kesal padaku. Dia mengambil ancang-ancang akan menamparku. Kupejamkan mata. Berharap itu bisa mengurangi sakitnya.
"Hei! Kalian ngapain di situ?" teriak seseorang.
Seperti suara Feri! Aku membuka mata dan melihat seseorang berdiri di ujung lorong. Aku bergegas melepaskan pegangan mereka yang mengendor di tanganku dan berlari ke arah Feri.
"Awas kalian!" ancam Feri ketika aku sampai di dekatnya. Mereka pun terbirit-birit membubarkan diri.
"Siapa mereka, Shil?" tanya Feri menyelidik.
"Bukan urusanmu!"
Aku terlalu kesal untuk menjawab pertanyaan dia. Feri mencengkeram lengan atasku.
"Setidaknya berterima kasihlah karena aku sudah menyelamatkanmu di sana," kata Feri marah. Aku terkejut dengan kata-katanya. Dia benar. Aku tidak sepantasnya bersikap ketus setelah dia menyelamatkan aku.
"Maafkan aku. Te-terima kasih, Fer," kataku melunak.
"Siapa mereka? Para penggemar Adhit, kan?" tanya Feri geram. Aku mengangguk.
"Kamu harus bilang Adhit!" Aku menggeleng.
"Kalau gitu aku yang bilang!" kata Feri hendak pergi meninggalkanku. Aku memegang tangannya.
"Jangan, Fer!" kataku.
"Dia harus tau, Shil. Supaya dia bisa ambil tindakan untuk melindungimu. Kamu nggak pengen ditampar lagi kayak waktu itu, kan?" tanyanya tajam.
"Ka-kamu tau?" tanyaku menyelidik. Belum sempat Feri mengatakan sesuatu, suara Adhit memanggilku. Aku menoleh dan melepaskan dengan gugup tanganku yang memegang Feri. Aku cemas membayangkan yang mungkin dipikirkan Adhit. Aku berjalan cepat menghampiri Adhit.
"Sebaiknya kamu lindungi baik-baik cewek kamu itu, Dhit. Karena popularitasmu dia jadi incaran!" Aku melotot memandangi Feri.
"Kenapa, Shil? Dia harus tahu kalau kamu baru di pojokkan oleh sekelompok penggemarnya. Dan kalau aku tidak datang mungkin mukamu bakal lebih parah dari yang kemarin!" kata Feri ketus. Aku memandang Adhit. Raut mukanya sedingin es.
"Dhit?" seruku lirih.
"Terima kasih, Fer, sudah menyelamatkan Shila. Akan kujaga dia lebih baik lagi," katanya dingin. Feri sialan! Dia nggak tau Adhit. Tanpa ada kejadian apa-apa saja dia sudah sedemikian protektif padaku, apalagi sekarang? Itulah alasan keenggananku menceritakan hal ini kepada siapapun.
"O ya, Dhit, mending kamu tanya sama Shila apa anak tadi adalah anak yang sama yang menamparnya tempo hari? Jangan-jangan ada lebih dari satu kelompok seperti itu di sekolah ini. Itu tugas kamu sebagai Ketus OSIS juga, kan? Untuk mencegah tidak ada siswa yang dikerjain di sekolah ini."
"Kamu benar, Fer. Kamu benar. Terima kasih atas sarannya," kata Adhit masih datar, masih dengan muka dingin. Feri melambai kepada Adhit dan pergi meninggalkan kami. Kulihat Adhit menggerakkan dagunya, kemudian dia memandangiku tajam. Sepertinya dia marah. Belum pernah ekspresi Adhit seperti ini.
"Mau cerita?" tanyanya sambil mengajakku masuk kelas. Kupikir tak ada lagi yang bisa kututupi. Percuma.
***
"Dhit?" Kusentuh lengannya. Adhit memandangi lantai. Dia tidak mengangkat mukanya selama aku bercerita. Entah apa yang dipikirkannya.
"Dhit?" Aku mulai risau dengan gelagatnya. Sikap diam adhit membuatku tidak nyaman.
"Berada di dekatku justru membuatmu tidak aman, ya, Shil?" tanyanya tiba tiba.
Apa maksud pertanyaannya? Apa dia akan menyuruhku menjauh? Membayangkannya sudah membuat lututku lemas.
"Mungkin lebih baik kita begitu. Berjauhan sementara waktu," kata Adhit tegas sambil menatap tajam ke arahku. Apa??! Aku benar benar lemas sekarang. Aku panik. Mataku panas. Tidak! Aku tidak mau berjauhan dengan Adhit!
"Kita tidak putus, Shil. Hanya menjaga jarak. Kamu pikir aku mau putus denganmu?" kata Adhit ketika dilihatnya air mata mulai menggenang di sudut mataku.
Jadi apa maksudnya dengan menjauh tapi tidak putus? Setetes air mata mulai jatuh. Hujan mulai mericis di luar.
"Kamu tidak apa-apa, kan kalau tidak kuantar dan kujemput lagi?" tanyanya sambil menghapus air mataku yang berjatuhan tak terbendung.
"Hanya menjaga jarak sampai aku bisa menyelesaikan masalah geng yang ngerjain kamu itu," kata Adhit meyakinkanku, "hanya sementara. Hanya sebentar. Aku janji tidak akan lama," katanya sambil memegang tanganku. Aku mulai terisak. Telapak tanganku dingin. Adhit memelukku.
"Aku lebih tidak kuat jika harus berjauhan denganmu, Shila. Tapi aku tidak bisa membiarkan kamu dikerjain mereka terus. Beri aku waktu. Akan kuselesaikan masalah ini," bisik Adhit di telingaku. Kulepaskan pelukan Adhit.
"Tapi tidak harus dengan berjauhan, Dhit. Aku, aku tidak mau. Aku tidak bisa, Dhit!"
"Aku tidak benar-benar menjauhi kamu, Shila. Aku akan tetap mengawasimu. Jadi kamu juga tidak bisa berbuat macam-macam."
"Aku tidak mau. Aku tidak bisa! Tidak." Aku menggeleng kuat-kuat. Hujan semakin deras di luar sana.
"Sstt. Sudahlah. Sudahlah." Adhit memelukku kuat-kuat. Aku menangis sejadinya di sana. Aku tidak peduli jika harus menerima tamparan berkali-kali. Aku tidak akan merasakan sakitnya. Akan lebih terasa sakit jika Adhit meninggalkanku.
"Begini saja. Beri aku waktu untuk menyelesaikan masalah klub penggemar itu. Ya?" Adhit melepaskan pelukannya dan mengangkat daguku.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi dia benar, masalah ini tidak boleh dibiarkan. Seperti kata Feri, jangan-jangan ada klub penggemar lain dan ada orang lain yang seperti aku.
Aku pun mengangguk, setuju untuk memberi waktu bagi Adhit menyelesaikan masalah ini. Dia mendekatkan bibirnya padaku dan menciumku lembut.
Ah, dia sungguh bisa mengerti diriku. Ciumannya, pelukannya, bisa membasuh luka apapun yang tadi timbul. Semua hilang bersama air hujan yang meruap ke angkasa. Air mataku mengering. Hujan pun pergi. Aku hanya tidak menyadari, bahwa ciuman ini pun akan segera pergi bersama pemilik hatiku.
Pergi untuk memberi jarak. ©
KELAS DUA : ANOTHER CHANCE
-S.H.I.L.A-
Adhit menjaga jarak sejak saat itu. Dia tidak pernah antar jemput aku lagi. Kami jarang sekali terlihat bersama di depan orang banyak. Adhit hanya menyapaku seperlunya jika di kelas. Terkadang dia mengunjungiku ketika di kebun klub menanam. Itu pun jika tidak ada orang. Dari pandangan matanya aku tahu dia sangat merindukan kebersamaan kami. Karena aku juga begitu. Adhit belum bisa memberi jawaban sampai kapan kami begini. Gosip mulai beredar bahwa aku putus dengan Adhit. Tepat seperti yang Adhit perkirakan. Aku yakin semua cewek di sekolah Adhit bersyukur jika kami putus. Terkecuali Febi tentunya. Dia tahu cerita yang sebenarnya. Aku butuh tempat curhat dan Adhit juga pasti tidak keberatan jika aku curhat sama Febi. Dia pasti tidak mau aku jadi stres, kan?
Aku tidak terlalu peduli dengan gosip yang beredar. Aku lebih peduli dengan waktu yang semakin tipis diantara kami. Ahhh ..., Adhit aku sangat kesepian tanpamu. Sampai kapan ini berlangsung?
Siang ini pikiranku benar-benar suntuk. Sebentar lagi ujian semester. Aku merasa nilai-nilaiku tidak memuaskan. Kemarin-kemarin masih ada Adhit yang membantuku belajar. Sekarang aku harus berjuang sendiri.
Hari ini aku malas pulang cepat. Sedangkan Adhit pasti sudah pulang. Andaikan ada pun, aku bisa apa? Tapi aku penasaran, jika dia masih ada di sekolah, aku ingin menemuinya diam-diam dan mengajaknya pergi ke suatu tempat di mana tak ada orang yang tahu. Sungguh! Aku begitu rindu dia. Hingga rasanya aku sanggup memeluknya di tengah keramaian dan memohon dengan berurai air mata agar dia tidak pergi.
Sebegitu tipisnyakah harga diriku? Demi rindu. Semua demi rindu yang harus segera di bayar tunai!
Kulihat motor Adhit tidak ada di parkiran. Tentu saja aku hapal motornya. Jangankan motor, di tengah keramaian sekali pun, aku pasti bisa menemukan sosok Adhit dengan cepat. Seperti Nabi Musa yang membelah gelombang, ketika memejamkan mata, lautan orang-orang seolah menyingkir dan hanya dirinya yang akan terlihat.
Aku kesal. Entah untuk apa. Rinduku juga tak akan tuntas. Aku juga sedang tidak mood ngurusin kebun. Aku juga sudah keluar dari ekskul teater. Tapi aku butuh satu kegiatan untuk menghilangkan rasa jenuhku ini.
Bola gundul itu tergeletak begitu saja di tepi lapangan basket. Kulihat sekeliling, tidak ada siapapun. Syukurlah. Aku bisa mencari keringat dan melampiaskan jenuhku pada si bola ini.
Aku sebenarnya sangat suka bermain basket. Berlari membawa bola dan melayang di udara ketika memasukkan bola. Rasanya seperti pecah satu bisul ketika bola berhasil masuk. Lega dan bahagia.
Bola basket mulai kupantul-pantulkan. Berlari setengah lapangan dan memindahkan bola ke tangan kanan dan kiri bergantian. Keringatku mulai bercucuran. Dan semakin banyak keringat keluar semakin berkurang jenuhku. Aku mulai tersenyum.
Kuayun kakiku lebih cepat. Mengukur sudut yang tepat untuk menembak dan ... shoot! Bola membentur ring dan jatuh ke bawah. Sial! Wajar saja, aku sudah lama tidak latihan.
Penasaran, kuulangi lagi tembakan. Kali ini tak perlu sambil lari, aku harus berlatih lagi mengira-ngira, di titik mana dan dengan kekuatan dorong seberapa supaya bola bisa tepat masuk ke ring.
Shooottt!!!
Ahhh, gagal lagi. Benar-benar sudah tumpul kemampuanku.
Kupantulkan lagi bola gundul ke lantai. Kufokuskan titik tembak. Kali ini harus berhasil. Aku membuat target pada diri sendiri, sebelum masuk satu gol, aku belum mau pulang.
"Pake bola ini, Shil biar lebih mantap!" seru seseorang dari pinggir lapangan.
Aku menoleh dan kulihat Feri sedang berdiri di sana sambil bersiap melemparkan bola yang lebih bagus ke arahku. Aku menangkapnya dengan sigap. Kupantulkan beberapa kali, memang lebih pas pantulannya. Kembali kufokuskan titik tembak. Dannn ... Yakkk! Masuk!
Aku pun berseru girang dan tertawa-tawa. Feri mengejar bola yang memantul di lantai lalu dia mulai memainkannya.
"Mau main?" tanyaku.
"Sapa takut?" sahut Feri sambil berlari membawa bola. Otomatis aku berusaha merebutnya.
Kami pun bermain sambil tertawa-tawa. Sesekali Feri bercanda menggodaku. Lalu kami pun tertawa lepas bersama. Jenuhku benar benar hilang kini. Bahagia rasanya bisa tertawa lepas seperti ini. Aku tidak ingat kapan terakhir kalinya aku tertawa seperti ini. Aku benar-benar bahagia. Kebahagiaan lain yang berbeda dibanding kebahagiaan ketika bersama dengan Adhit. Aku merasa bebas!
"Cukup, Fer ..., aku ..., aku capek. Aku nggak pernah latihan lagi jadi napasku nggak kuat!" kataku sambil memegang perut dan terengah-engah. Feri tertawa mengejek.
"Yuk, kutraktir minum di depan sekolah," ajaknya. Aku memandangnya ragu.
Bagaimana jika Adhit tahu? Aku tidak ingin dia berpikiran buruk. Tapi, dia yang menyuruh kita sedikit berjauhan sementara waktu. Justru bagus, kan kalau aku terlihat bersama orang lain? Tapi tiba-tiba aku teringat kata katanya,
"Aku akan mengawasimu lebih ketat. Terutama ketika bersama Feri."
Hhh, mengawasiku. Bahkan kamu saat ini tidak ada ketika aku kesepian dan merindukanmu. Ahh, sudahlah lebih bagus kalau dia memang betul mengawasiku. Jadi aku nggak perlu repot-repot lagi menjelaskan segala hal sama dia. Betul, kan?
"Shila ..., boleh nanya, nggak?" tanya Feri sambil nyeruput teh botol di depan mini market depan sekolah.
"Tanya apa, Fer?" tanyaku balik sambil menuntaskan dahaga dengan teh botol dingin.
"Jangan marah, ya. Kamu putus, ya sama Adhit?" Dia menatapku was-was.
Kubalas tatapannya, "Keliatannya gimana?"
"Kalian nggak mesra kayak dulu lagi. Kamu juga sering pulang sendiri. Tapi ...."
"Tapi apa?"
"Aku pernah liat kalian berdua di belakang gedung perpustakaan. Dan nggak kayak orang putus. Mesra aja kayak biasanya."
"Ihhh ..., kmu suka ngintip, ya?" tanyaku curiga.
"Enggaklah ..., nggak sengaja, kok. Sama seperti waktu aku lihat kamu nangis abis di tampar itu. Tadinya aku mau nyamperin kamu di kebun, ehhh keburu Adhit dateng."
"Trus kamu ngapain di belakang perpus?" tanyaku masih curiga.
"Tapi jangan marah, ya." Feri sedikit terdiam seperti ragu mengatakan sesuatu.
"Apa?" Mataku menyipit.
"Kencing."
Aku tersedak. "Apa??!! Pantesan kebunku bau pesing rupanya kamu sering pipis disitu, ya?" tanyaku sambil melempar sedotan ke arahnya. Feri menghindar sambil tertawa.
"Kan pupuk, Shil. Makanya tanamanmu subur-subur." Kami pun tertawa bersama. Aku benar-benar merasa berbeda ketika bersama Feri. Merasa bebas.
"Pulang, yuk. Kuantar. Eh, itu kalau kamu mau, sih."
"Ayoklah, aku juga dah terlalu capek jalan kaki."
"Nggak ada yang marah, kan?"
"Kalau ada pun biar aja, lah," kataku sambil tertawa. Feri tersenyum.
"Besok main lagi, yuk! Sepulang sekolah," ajak Feri. Aku mengangguk mengiyakan. Kenapa tidak?
Maaf, Dhit. Tapi aku benar-benar senang hari ini. Boleh, kan aku merasa bahagia? Kan itu yang selalu kamu inginkan terjadi padaku.
***
Bukan hanya sekolah yang heboh aku dianter pulang sama Feri. Mamah pun ikut nyinyir. Dia bilang, aku bodoh karena putus dengan Adhit. Duh, mamah, kan dah kujelasin kalo aku nggak putus sama Adhit. Kubilang sama Mamah, Adhit, tu lagi sibuk dengan kegiatan OSISnya. Tapi Mamah nggak percaya. Apalagi melihat aku pulang dianter Feri, wuihhh langsung, deh Mamah makin yakin kalau aku sudah benar-benar putus dengan Adhit.
Hari di mana Feri mengantarku pulang, hari itu kupingku sakit dengan ocehan dan sindiran Mamah terus-menerus. Duh, Dhit kamu ternyata sudah memikat hati Mamah juga.
Adhit seperti pura-pura tidak peduli dengan kedekatanku dan Feri. Dia masih bersikap biasa. Sangat biasa. Dari ekspresinya, tidak terlihat kalau dia cemburu atau marah kepadaku.
"Kalau memang kalian tidak putus, Adhit layak dapet piala oscar atas aktingnya." Begitu kata Febi menanggapi sikap Adhit.
Aku jadi berpikir, jangan-jangan Febi benar. Adhit menganggap kita putus betulan!
Kapan coba kita terlihat bersama? Dia juga tidak pernah lagi mengunjungiku di kebun klub menanam. Dan aku juga tidak mau terlalu peduli pada ketidakpeduliannya. UAS sudah di depan mata dan aku perlu berkonsentrasi. Aku mencoba mengistirahatkan pikiranku darinya.
Kuakui, bersama Feri aku merasa lebih santai dan lebih hidup. Tidak terlalu tertekan dan harus menjaga imej agar dinilai lebih pantas. Aku bisa menjadi diriku sendiri. Dan aku bahagia, hanya saja ..., hanya saja ..., aku merasa sedikit kesepian. Entahlah. Aku sendiri heran dengan perasaanku.
***
Hari pertama UAS, hujan turun deras sekali.
Bukan karena aku! Aku tidak sedang menangis apalagi terluka. Tapi memang sudah musimnya. Hari ini aku tidak datang terlalu pagi, tapi karena hujan banyak siswa yang datang terlambat. Ruang ujianku sama dengan Adhit, sedang Febi berada di ruang sebelah kami.
Sebelum bel berbunyi, peserta tidak boleh masuk ruangan. Jadi aku menghabiskan waktu dengan membuka-buka buku di depan kelas.
"Hai!" sapa Adhit sambil berdiri di sebelahku. Aku tersenyum dan memandangnya sekilas. Lalu kembali menekuni buku tebal penuh teori di hadapanku.
"Masih sepi, ya?" tanyanya.
"Mungkin karena hujan," jawabku singkat.
Ada apa dengan kita, Dhit? Mengapa jadi kaku begini?
"Kamu terlihat tidak semangat hari ini? Tidak seperti biasanya."
Seperti biasa yang mana? Apa kamu sering memperhatikan aku dan Feri?
"Aku gugup, Dhit. Semalam aku belajar sampai larut jadi kurang tidur juga."
Aku memandangnya dan merasakan perasaan rindu yang mengalir pada setiap nadiku. Matanya, sentuhannya, sikap protektifnya, hari-hari di mana hanya ada aku dan dia. Aku merasa mataku mulai panas. Aku merasa tubuhku seperti tak terkendali dan ingin memeluknya. Aku merasa ..., aku merasa ..., ingin menenggelamkan diriku dan lebur bersama dirinya. Aku sungguh-sungguh merindukannya.
"Aku punya sesuatu untuk membuatmu lebih bersemangat. Kesinikan tanganmu," kata Adhit.
Aku pun memberikan tangan kananku padanya. Adhit melingkarkan sebuah gelang perak di pergelangan tanganku. Gelang rantai dengan hiasan huruf kecil-kecil tersebar di beberapa mata rantai. Kucoba membaca huruf yang tersusun. C-i-l-a?
"Apa artinya? Cila?"
"Cinta itu Shila," jawab Adhit berbisik di telingaku. Tangannya menyelipkan selembar kertas ke genggamanku.
"Happy Birthday, Cila," kata Adhit sambil berlalu karena bel tanda masuk sudah berbunyi.
Banyaknya kejadian beberapa minggu ini membuat aku lupa jika hari ini aku ulang tahun.
Kubuka kertas dari Adhit dan kubaca isinya.
"Kamu lihat air hujan berlompatan di jalan? Mereka turut bahagia karena hari ini kamu ulang tahun.
I love you Cila."
Tanpa sadar kupandangi hujan. Adhit ingat ulang tahunku? Rasanya aku ingin menangis bersama hujan. Menangis, sekaligus menari, dan bernyanyi. Berteriak-teriak meningkahi derasnya suara hujan. Tertawa-tawa dan membiarkan hujan masuk ke mulutku. Ada perasaan yang ingin membual dalam diriku. Perasaan yang juga membakar semangat dan menghapus kemurunganku.
Gelang dari Adhit benar-benar menceriakan hariku. Kupandangi berkali-kali gelang itu ketika mengerjakan ujian. "I love you Cila" kata itu terngiang terus di telingaku. Rasanya seperti kemarau tersiram hujan seharian. Seperti bertemu oase di padang pasir. Ahhh, Adhit aku kangen. Kumohon kembalilah jadi Adhit yang dulu!
"Kapan kita bisa kencan? Untuk merayakan ulang tahunmu." Adhit menghampiriku seusai ujian.
"Apa itu artinya kita baikan?"
Adhit menatapku sedih. "Kamu masih harus bersabar kalau untuk itu." Dia memandangku seolah-olah minta maaf.
Tiba-tiba aku merasa kesal dan pergi meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab ajakannya. Adhit tidak mencegahku pergi. Tidak juga menyusulku. Aku bingung dengannya. Sebentar manis sebentar cuek. Permainan apa, sih yang sedang dia mainkan? Lama-lama aku tidak tahan begini terus.
"Woiii!!! Shilaaa ..., maen yuk!!" teriak Feri ketika aku melintas dekat lapangan basket.
Kenapa aku malah jalan kesini? Padahal niat awalku, kan mau pulang. Seharusnya aku ke gerbang depan bukan gerbang belakang. Kan aku pulang sendiri, bukan diantar Adhit. Ya sudahlah, sudah sampai sini apa salahnya aku main basket sebentar untuk melepas kesalku.
Feri tidak sendirian. Mereka berlima. Jadilah kami main 3 on 3.
***
Aku tidak bertegur sapa dengan Adhit sejak siang itu. Bahkan setelah UAS selesai pun Adhit masih menghindariku. Entah apa yang sedang direncanakannya. Aku merasa tidak ada yang bisa di perbaiki di antara kami. Dan itu membuatku sedih sekali. Adhit tidak bilang putus, berarti kami masih jadian, kan? Tapi kenapa jauhan gini, sih?
Untuk membunuh perasaan kesalku, aku lebih sering terlihat bersama Feri. Bermain dengan teman-teman basketnya. Bahkan kami sering juga pergi beramai-ramai sepulang sekolah. Saat itu aku merasa benar-benar sangat bebas. Bisa tertawa sepuasnya, bisa menjadi diri sendiri seenaknya. Tidak ada lagi Shilanya Adhit. Aku memutuskan menikmati perasaan ini selama Adhit berhenti menyapaku.
Jangan tanya tentang gosip yang beredar di sekolah.
Aku putus dengan Adhit dan jadian dengan Feri!
Seolah aku ini pesohor yang dinantikan gosipnya. Mengalahkan pamor Deira, gadis tercantik di sekolah yang malah terlihat langgeng dengan Banyu Arya. Bahkan mengalahkan berita tentang keisengan geng Wijat yang tak henti-hentinya menjahili Hastuti.
Kasihan gadis itu. Dia sempat bergabung dengan Klub Menanam tapi diasingkan oleh anggota yang lain, sehingga dia keluar dari klub. Padahal dia termasuk anggota yang rajin membantuku membuat kompos. Pekerjaan yang paling dihindari karena katanya jorok dan bau.
Tapi kini, aku sungguh tak peduli dengan gosip yang beredar. Toh, Adhit juga tidak peduli. Kenapa aku harus khawatir?
Benarkah aku sungguh-sungguh tidak khawatir tentang anggapan Adhit padaku? Sesungguhnya, di dalam hatiku, harapan semua akan kembali membaik masih sangat besar. Aku masih sangat merindukan Adhit.
"Shila," panggil Feri membuyarkan lamunanku. Aku memandang Feri dan memandang ke sekelilingku. Aku ternyata ada di kantin.
"Ngapain kamu sendirian di sini?" tanyanya heran.
Iya, aku juga heran. Ngapain aku di kantin sendirian? Hari ini hari terakhir UAS, kantin sudah sangat sepi karena siswa memilih merayakan kebebasan di luar sekolah.
"Nungguin Febi. Kami janjian mau jalan abis UAS. Refreshing," kataku akhirnya sambil senyum.
"Yakin? Aku liat tadi Febi pergi sama seseorang. Aku lupa siapa. Anak basket juga kayaknya."
"Masa, sih?" tanyaku heran.
Febi sialan! Amnesianya kambuh! Dia lupa kalau hari ini kami janjian. Dan dia pergi sama seseorang? Cowok? Kok, aku nggak pernah tahu kalau Febi punya cowok?
"Mmm, ikut aku aja, yuk? Jalan sama anak basket. Atau mau kuantar pulang?"
Aku merenung sejenak. Pergi bersama mereka pasti sangat menyenangkan. Tapi, aku ingin sendiri hari ini. Entah kenapa hatiku tiba-tiba kelu. Dan aku sangat ingin menyembunyikan wajah di balik bantal dan menangis. Apa mungkin aku sedang PMS? Entahlah.
"Aku pulang sendiri aja, lah. Lagi pengen sendirian," kataku sambil berdiri dan menyandang tasku.
Tanpa sengaja aku menjatuhkan buku-buku perpustakaan yang kutaruh di meja. Buku yang baru kupinjam untuk menghabiskan waktu sehabis UAS. Itu rencanaku. Feri membungkuk dan membantuku memungut buku-buku yang terjatuh lalu memberikannya kepadaku.
"Makasih, ya, Dhit," kataku tanpa memandang wajahnya.
"Shila ...."
"Hmm?" Aku menoleh memandang wajahnya. Feri? Tapi tadi, ta--tadi sesaat aku merasa Adhit yang sedang bersamaku.
"Aku bukan Adhit, Shil. Aku Feri," kata Feri dingin.
Aku memandangnya sambil menutup mulutku yang menganga. Segaris air mata menuruni pipiku. Hujan turun tiba-tiba. Dan aku menghilang dalam derasnya.
©elopurs - 2019
KELAS DUA: PECANDU DAN HEROIN
"Maaf ..., maaf, Fer. Aku nggak bermaksud, aduhhh ... nggak tau kenapa aku jadi gini. Maaf, ya, Fer," kataku memohon maaf. Aku tidak bisa menemukan alasan yang pas untuk menjelaskan kenapa aku bisa salah sebut nama.
"Shila, kamu masih suka, ya sama Adhit?" tanya Feri sambil memandangku. Tatapannya begitu sepi. Aku serba salah dibuatnya.
'Aku selalu suka dia, Fer. Selalu! Hanya saja, aku tidak bisa mengerti kenapa ada jarak di antara kami saat ini.'
"Aku pikir, sejak kamu sering main basket denganku, kamu sudah belajar melupakan Adhit."
'Melupakan Adhit? Tidak terpikir sedikit pun olehku. Kami tidak putus, Fer. Tidak!'
"Coba lihat dirimu sekarang. Lebih kurus di banding sebelumnya. Walau kuakui, sih itu membuat kamu jauh lebih menarik. Bukannya tidak menarik sebelumnya, Shil. Bukan itu maksudku. Kamu selalu menarik buatku sejak SMP dulu."
'Apa, sih yang Feri bicarakan?'
"Kamu pikir kenapa aku sengaja menyakitimu jika ingin hujan turun? Itu karena aku suka melihat air matamu yang turun bersama hujan. Nampak berkilau dan sewarna dengan air hujan. Aku suka hujan, Shil. Membuatku damai melihat airnya turun. Suaranya merdu seperti lagu nina bobo yang menidurkan."
'Orang aneh! Bikin orang nangis cuma untuk bikin dia bahagia.'
"Maaf, Shil kalau dulu aku sering nyakitin kamu. Tapi jika kamu beri kesempatan, aku akan memperbaikinya."
'Apa maksud omongannya, sih? Nggak ada yang terjadi di antara kita, kok. Dan nggak ada yang perlu di perbaiki!'
"Shila, berhentilah menjadi Shilanya Adhit! Jadilah diri kamu sendiri. Coba kamu lihat, kamu lebih nyaman tertawa denganku, kan? Sedang bersama Adhit kamu seolah mencoba menjadi cewek yang pantas bagi dia. Sadarlah, Shil! Denganku kamu nggak perlu jadi siapa-siapa. Kamu tau itu. Aku nggak punya penggemar yang setiap saat menilaimu atau ingin menyakitimu. Aku memang tidak seperti Tuan Sempurna Adhitya, tapi aku janji kamu akan lebih nyaman dan bahagia bersamaku."
'Bagaimana kamu tau aku akan lebih bahagia denganmu? Tidak taukah kamu, aku sudah mengikat diriku begitu kuat pada Adhit. Tidak taukah kamu, hanya Adhit yang bisa menyuruhku pergi dari sisinya. Dan dia tidak pernah mengatakan itu. Kami akan baik baik saja. Seharusnya kami baik baik saja.'
"Shila, kamu nggak harus jawab sekarang. Pikirkanlah dulu. Aku tau kamu perlu waktu. "
'Aku tidak perlu waktu untuk merubah keputusanku.'
Kupandangi gelang ditanganku.
' Adhit tidak memintaku pergi. Tidak! Aku tidak mau menyerah dengan Adhit. Hubungan kami pasti bisa di perbaiki.'
"Maaf, Fer. Untuk saat ini aku tidak bisa," kataku tanpa berani menatap Feri.
"Aku mohon pikirkanlah dulu. Kamu tidak bisa menyiksa diri terus-menerus." Feri memegang bahuku seolah memintaku menatapnya. Aku menolak.
'Begitukah yang terlihat? Aku tersiksa? Jika Feri bisa melihat itu kenapa Adhit tidak? Ada apa denganmu, Dhit?'
"Aku mau pulang, Fer. Aku mau sendirian dulu," kataku sambil akhirnya memandang wajah Feri. Dia mengangguk dan membiarkanku pergi dari hadapannya.
***
_A.D.H.I.T_
Kamu tidak tau betapa aku sangat cemburu, Cila. Tapi aku hanya mematung melipat dada melihatmu di lapangan. Setiap angka yang kamu ciptakan, kamu menoleh padanya. Tertawa. Dan dia membalas dengan tawa yang sama atau memberikan dua jempolnya padamu. Kamu tak tau betapa aku ingin tawa itu kembali padaku. Rasanya ingin aku tarik tanganmu dari lapangan itu dan membawamu ke tempat dimana hanya ada kita. Tapi aku takut membuatmu terluka. Menghilangkan binar di matamu. Aku tak sanggup melihat sedih dimatamu itu.
Seharusnya aku menolongmu ketika kamu terjatuh. Aku tau pasti sakit lututmu tapi kamu menahannya dan memasukkan angka kemenanganmu. Apa kamu sudah belajar menahan rasa sakit, Cila? Atau sudah tergantikankah aku di hatimu sehingga rasa sakit itu tak ada.
Seharusnya aku disana menyalamimu ketika kelas kita menang. Bukan dia.
Atau mungkin kamu lebih suka dia yang memberikan selamat? Bukan aku.
Dan aku hanya berdiam mematung di sini. Mengawasimu. Seperti yang biasa aku lakukan.
***
_S.H.I.L.A_
Aku memperkuat tim basket putri kelasku dalam class meeting setelah UAS. Aku harus menghibur diriku dari semua kejadian satu semester ini. Kupikir juara basket walau antar kelas bisa jadi sedikit penghilang dukaku. Pertandingan demi pertandingan kami lewati. Kadang mendapat lawan yang mudah kadang mendapat lawan yang berat. Tapi akhirnya kelasku bisa masuk final, melawan kelas Feri! Aku tdak berharap menang jika melawan kelasnya. Kelas Feri ceweknya terkenal jago bermain basketnya. Butuh keberuntungan untuk menang melawan mereka, bukan skill!
"Sakit?" tanya Adhit tiba-tiba di depan pintu UKS. Kakiku terluka ketika final basket tadi. Kuminta tolong Febi untuk mengantarku ke UKS. Tapi UKS kosong jadi Febi mencari petugas UKS dulu. Berani taruhan! Febi dan petugas UKS nggak akan datang jika tahu Adhit di sini.
"Luka yang sama di tempat yang sama," katanya sambil menyodorkan air mineral kepadaku. Ini pernah terjadi padaku. Dulu. Di kelas satu.
"Mungkin harus begitu, Cil. Harus terluka untuk mengobati luka," kata Adhit sambil mengolesi lukaku dengan betadin.
Aku masih terdiam. Belum satu patah kata pun keluar dari mulutku. Dadaku berdebar-debar. Sudah lama kami tidak pernah sedekat ini. Dan aku masih menebak-nebak apa yang akan dilakukan dan diucapkannya.
"Kamu sepertinya bersenang-senang di lapangan sana, ya?" tanya Adhit sambil memperban lukaku. Aku masih meraba maksud perkataannya.
"Mukamu lebih hitam karena sering basket. Dan kamu sekarang kurusan. Aku suka kamu yang sekarang. Kamu bahagia?" Pertanyaan menjebak. Dicela, di puji, lalu di jebak.
"Tergantung. Bahagia terhadap apa? Yah, aku bahagia kelas kita menang. Aku bahagia bisa main basket lagi. Berlari, menangkap, dan memasukkan bola," kataku sambil berusaha tersenyum.
"Kamu bahagia bersama Feri?" tanya Adhit menatapku tajam. Dia sudah duduk di pinggir ranjang di depan kursiku. Aku balas menatap tak mengerti.
"Cila, aku melihatmu lebih banyak tertawa ketika bersama Feri dari pada ketika bersamaku." Pandangannya berubah sendu.
"Awalnya aku sangat marah memperhatikan kedekatan kalian. Lalu kusadari, aku sangat bahagia melihatmu tertawa lepas, bercanda, dan berlari kesana kemari. Rasanya sudah lama aku tidak melihat dirimu seperti itu. Kamu adalah dirimu sendiri saat itu. " Adhit menatap lembut padaku.
"Aku merasa aku sudah mengubahmu. Menjadi tertekan dan lebih murung. Aku tidak bisa melihat binar di matamu menghilang, Cil. Karena itu yang aku suka darimu."
"Kamu menyuruhku pergi, Dhit?" suaraku tercekat. Aku mencoba tidak menangis.
"Kamu tau aku tidak sanggup melakukan itu."
"Tapi kamu baru saja melakukannya, Dhit. Kamu menyuruhku pergi. Kita putus?" tanyaku dengan pandangan tak percaya.
"Tidak, Cil! Kamu salah. Aku memintamu untuk bahagia. Dan kulihat kamu bahagia dengan Feri."
"Apa lagi yang kamu lihat? Apa kamu juga lihat ketika aku sedang sendirian? Atau ketika aku sedang mengigau malam-malam memanggil namamu? Dan terbangun dengan perasaan sedih?" berondongku dengan pertanyaan yang tak bisa di jawab Adhit.
"Kamu hanya melihat yang kamu ingin lihat. Kamu menutup matamu ketika kamu tidak bisa menghiburku atau tidak ada untukku," kataku sedih. Adhit hanya terdiam.
"Kamu pikir karena apa aku bertahan selama kamu abaikan? Karena kamu berjanji ini sementara, hanya sebentar. Dan aku terus berharap waktu berlalu dengan cepat dan kita akan berbaikan lagi." Aku mulai tidak tahan.
Mendung di luar. Aku tidak ingin menangis. Aku tidak boleh menangis. Tidak! Aku juga tidak boleh menyerah. Aku lelah dengan semua kepura-puraan ini. Aku berhak untuk bahagia! Aku ingin bahagia! Denganmu, Dhit ...
"Dan sekarang kamu menyuruhku pergi? Rasanya sakit, Dhit!" Aku mencoba tidak terisak.
Tenggorokanku tercekik.
Seperti kau lapar tapi sakit itu turun ke perut dan membuat lambungmu kenyang.
Seperti kau haus, tapi sakit itu naik ke tenggorokan dan menahan dahagamu.
Seperti kau mengantuk tapi sakit itu menusuk membuatmu terjaga semalaman.
Dan sakit itu menghajar sendimu membuat tulangmu tak sanggup menopang badanmu.
Dan semua sakit itu akan hilang ketika kau memelukku dan kembali padaku.
"Maafkan aku, Cil. Aku juga nggak ingin kita putus. Tapi aku tidak ingin kamu terluka. Apalagi karenaku," kata Adhit sambil memegang bahuku.
Aku menunduk. Mencoba menahan air mata agar tidak turun. Tapi air mata itu turun juga. Bersama hujan yang rapat-rapat dan dingin yang menyergap.
"Jangan menangis, Cila. Jangan menangis karena aku. Sudahlah. Jika kamu minta, aku akan tetap bersamamu. Aku janji. Tapi jangan menangis. Jangan pernah menangis karenaku," katanya sambil berdiri dan memeluk kepalaku.
"Tetaplah bersamaku, Dhit. Jangan pergi! Aku nggak mau kalau kamu nggak ada," kataku lirih sambil balas memeluk pinggangnya.
"Aku janji. Baiklah, aku janji nggak akan pergi," tegas Adhit di telingaku. Adhit memegang kepalaku dan menghadapkan wajahku kepadanya.
"Kita baikan?" tanyanya sambil tersenyum. Senyum yang menyejukkan.
Aku mengangguk. "Kita baikan." Kuketatkan pelukanku padanya.
"Dan kita akan baik-baik saja, kan, Dhit?" tanyaku sambil menengadahkan wajah. Ada ragu di sana sebelum akhirnya dia mengangguk.
"Ya. Kita akan baik-baik saja," janjinya.
Hujan berhenti turun. Mendung perlahan menghilang. Matahari terik kembali bersinar. Aku lebih kuat sekarang. Aku harus berhenti jadi gadis yang cengeng. Karena aku kini adalah gadis yang bahagia.
***
"Kamu balikan sama dia?" tanya Feri sambil memantul-mantulkan bola basket. Aku berkesempatan ngobrol dengannya sehabis final basket putra.
"Kami tidak pernah benar benar putus. Adhit pikir kami harus menjaga jarak sementara waktu," jelasku. Feri tersenyum sinis.
"Kadang aku nggak ngerti dengan perasaan kalian berdua. Kalian suka sekali saling menyakiti." Aku tercekat mendengar kata-kata Feri.
"Kalian pasangan yang aneh. Kamu Shila, selalu berusaha menyenangkan Adhit. Hingga kamu sendiri lupa caranya tertawa. Dan Adhit sendiri, kadang berlebihan. Aku tidak tau kenapa dia begitu ketakutan kehilangan kamu. Berusaha membuat kamu bahagia tapi mengekangmu? Aneh, kan?" tanya Feri sambil memandangku.
"Kita bisa bahagia tanpa Adhit, Shil. Jangan munafik, kamu sebenernya suka, kan berada di dekatku ?" tanya Feri menyelidik.
Aku salah tingkah ditanya langsung seperti itu. Feri dan Adhit. Bagai dua sisi mata uang. Berbeda tapi melengkapi. Aku seperti sedang memeluk Adhit dan menggandeng Feri pada saat yang bersamaan.
"Aku lebih suka bersama Adhit, Fer," kataku akhirnya.
"Kamu benar, aku selalu berusaha menjadi Shila yang pantas berjalan di sisi Adhit. Sampai aku lupa menikmati hubunganku dengan Adhit. Aku terlalu sibuk menjadi Shilanya Adhit. Dan, ketika bersamamu, aku seperti menemukan kembali diriku yang sebenarnya. Aku juga suka bersamamu, Fer," kataku sambil menatap Feri.
"Tapi aku telah mengikatkan diri pada Adhit. Ketika bersamamu aku tertawa, ketika tidak bersamamu aku menangis. Dan aku menghabiskan lebih banyak waktuku menangisi Adhit."
"Shila ...."
"Maafkan aku, Fer. Aku lebih memilih menjadi Shilanya Adhit dari pada Shilanya Feri. Maafkan jika jawabanku tidak seperti yang kamu harapkan."
"Hhh! Aku sudah menduga, Shila. Kalian seperti pecandu dan heroin. Satu ketagihan dan hanya bisa dipuaskan dengan yang satunya lagi." Feri tertawa getir.
"Pergilah. Dia sudah menunggumu, kan?" katanya sambil tersenyum.
"Feri, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu," kataku serba salah.
"Sudahlah, Shila. Aku kecewa? Ya. Tapi aku bisa pulih lebih cepat. Haha!" Feri memandang padaku. "Pergilah."
"Anggap kita impas karena dulu aku sering membuatmu menangis." Aku balas memandangnya.
"Tunggu apa lagi? Jangan biarkan dia menunggu terlalu lama. Atau kamu tiba-tiba berubah pikiran?" Senyumnya kali ini tulus. Aku balas tersenyum dan membalikkan badan.
"Shila! " panggil Feri. Aku menoleh. "Kalau kamu rindu padaku, kamu masih ingat jalan ke sini, kan?" tanyanya. Aku tertawa dan mengangguk. Rasanya kini kita bisa berteman.
"Makasih, Fer. Makasih untuk semuanya," kataku sambil melambai lalu berbalik arah dan berjalan menjauhinya.
Adhit sudah menungguku di atas motornya. Duduk, sambil memainkan gantungan kunci dariku. Membuka dan menutup tempat fotonya. Menyadari aku datang dia mengangkat mukanya, berdiri, dan tersenyum menyambutku.
Tuhan, kebahagiaan apalagi yang kuharapkan. Sirnalah segala dukaku. Hilang lelahku. Lepas dahagaku. Usai laparku. Aku sedang berjalan ke arah pemandangan indah yang bisa kunikmati juga kumiliki. Tak henti hentinya aku tersenyum memandangnya. Dia mengulurkan tangan dan aku menyambutnya.
"Jadi? Apa yang akan kita lakukan sekarang ?" tanyanya sambil menggenggam tanganku.
"Begini saja. Bisa?" tanyaku balik sambil mempererat genggamanku.
Adhit tertawa bahagia, aku memandangnya takjub. Ternyata selama ini kami tertekan. Berjauhan itu tidak sehat. Apa gunanya memperdulikan kata orang jika hati kita sendiri tidak bahagia. Dan aku tidak mau lagi mendengar kata orang tentang kami. Aku adalah aku ketika bersama Adhit. Dan dia bisa menjadi dirinya ketika bersamaku. Bukankah suatu hubungan akan lebih baik jika berjalan dengan kejujuran? Tidak ada lagi kebohongan di antara kami. Tidak ada kepura-puraan , tidak ada yang harus di tutupi. Kami mungkin pasangan aneh tapi kami berhak untuk bahagia, kan?
"Kita punya janji kencan yang tertunda, kan?" tanya Adhit ketika aku sudah di atas motornya.
"Apa?"
"Kita harus merayakan ulang tahunmu yang terlewat."
"Ada lagi yang lebih penting untuk di rayakan!" seruku dari belakang.
"Apa itu?"
"Ini!" kataku sambil mempererat pelukanku di pinggang Adhit. Kudengar Adhit terkekeh senang.
"Ternyata selama ini kamu menahan diri terhadapku, ya?" tanyanya sambil mengelus tanganku dengan tangan kirinya. Satu tangan masih memegang motornya. Kucium punggungnya.
"Aku sayang kamu, Adhit," kataku sambil menempelkan pipi kananku di punggungnya. Adhit meremas tanganku.
"Kamu tau, Cil? Sudah lama aku tidak mendengar kata sayang darimu. Terima kasih, ya, Cila," katanya sambil melepas pegangannya.
"Pake helmmu. Aku nggak mau kita ketangkap polisi hari ini," katanya.
Aku mengenakan helm yang sedari tadi kupangku. Mengencangkan peganganku pada pinggangnya dan menyanyikan lagu riang di hatiku.
Tuhan...
Biarkanlah jalan tak berujung hari ini.
Atau Kau hentikanlah waktu untuk saat ini.
Tidak! Aku tidak ingin dia hilang lagi.
Tanpanya aku tiada.
Tanpaku dia merana.
Berhentilah waktu! Berhentilah
Tangkap saat ini dalam pusaran mu yang abadi.
©elopurs - 2019
KELAS TIGA : AWAL YANG BAHAGIA
"Ketika hujan turun, semua sibuk berteduh. Orang lalu lalang berjalan cepat mencari perlindungan dari hujan. Sebagian berlari, berkejaran dengan hujan. Ketika tapaknya menyentuh genangan, air nya berlompatan menyentuh hujan. Sungai-sungai kering, lahan pertanian, tumbuhan yang tak tersiram, menyambut riang hujan yang datang. Tapi suasana hujan selalu murung, dingin dan basah. Air ... air ... basah di mana-mana. Sebagian bisa disembunyikan dalam hujan, air mata dan isakan. Sebagian pergi bersama hujan, menghilang dalam derasnya tirai hujan. Sebagian lagi terpaku diam dalam hujan, berharap hujan yang dingin membekukannya dan tidak pernah membuatnya tersadar."
SMA Harapan Bangsa salah satu SMA favorit di kota Shila. Standar nilai untuk masuk ke sana cukup tinggi. Fasilitas pendidikan yang dimiliki termasuk yang terbaik. SMA itu juga sering dijadikan contoh penerapan program-program baru dari Dinas Pendidikan. Terletak di pinggir jalan raya yang dinaungi pohon-pohon cemara yang besar menambah kesan teduh dan bersahabat siapa pun yang masuk. SMA itu tidak memiliki tempat parkir mobil yang memadai sehingga jika ada acara di sekolah atau penerimaan rapor, jalan depan sekolah akan sangat macet karena banyak mobil yang parkir di kedua bahu jalan.
Bangunan utama sekolah itu memanjang dari kanan ke kiri dengan pintu masuk ke lobby terdapat di tengah. Biasanya tamu dan guru-guru yang lebih sering menggunakan pintu itu. Di bangunan itu ada ruang kepala sekolah, ruang guru dan ruang UKS. Sementara di kanan dan kiri gedung terdapat pintu gerbang yang hanya di buka sebelum sekolah dimulai, jam istirahat dan jam pulang. Selain waktu tersebut pintu akan di kunci penjaga sekolah. Pintu akan di buka lebih lama jika ada event-event khusus di sekolah tersebut. Pintu gerbang sebelah kanan lebih besar dari gerbang sebelah kiri.
Melalui pintu itu guru-guru yang membawa motor dapat membawa kendaraannya dan langsung parkir di depan UKS. Sementara siswa yang membawa sepeda atau motor bisa lewat gerbang belakang dan memarkir kendaraannya di tempat parkir khusus siswa dekat lapangan sepak bola dan lapangan basket.
Lobby sekolah mengarah langsung ke lapangan tengah yang biasa di pakai untuk upacara, pertandingan volley atau pentas seni. Di sebelah kanan lapangan berderet ruangan kelas 3 IPA. Di seberang lapangan berderet kelas 3 IPS, 2 IPA dan kantor guru BP. Sementara di sebelah kiri lapangan berderet kelas 2 IPA sampai 2 IPS. Kelas satu tersebar di belakang kelas dua dan di belakang kelas 3 IPS.
***
Suasana pagi di depan kelas 3 IPA satu mendadak riuh. Hari ini hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang usai. Tidak ada pengacakan siswa dari kelas 2 ke kelas 3. Otomatis siswa kelas 2 IPA 1 akan menjadi siswa kelas 3 IPA 1.
Suitan dan teriakan beberapa siswa cowok terdengar bersautan dari depan kelas. Sepertinya mereka sedang menggoda seseorang. Adhit hanya mengangkat muka sejenak. Dia tidak tertarik untuk ikut ambil bagian dalam acara goda-menggoda itu. Hari ini dia enggan bergabung dengan teman cowoknya. Pagi ini Shila menolak dijemput.
"Aku mau berangkat sama Fadhil. Ini hari pertamanya di sekolah," begitu alasan Shila di telepon. Fadhil, adik Shila diterima sebagai siswa baru di sekolah mereka. Wajar jika Shila ingin memberikan bimbingan dan menunjukkan senioritasnya sedikit.
"Kok, Shila belum nongol, sih, Feb?" tanya Adhit sambil menggeser duduknya ke belakang Febi. Febi menghentikan sejenak obrolannya dengan Cindy.
"Kamu belum puas, ya menghabiskan liburan panjang bareng Shila?" tanya Febi. Adhit nyengir.
Liburan kemarin keluarga Adhit mengajak Shila berlibur seminggu ke Bali. Perjalanan yang menyenangkan bagi Adhit.
"Dia cerita, ya? Cerita apa aja?" selidik Adhit.
"Girls talk, Dhit. Cowok nggak boleh tahu," jawab Febi berkilah, dia hendak melanjutkan obrolannya lagi dengan Cindy.
"Ayolah cerita sedikit. Dia ngomongin aku, kan? Apa katanya?" desak Adhit.
"Ihh, kamu mau tahu aja, sih, Dhit. Lagian udah pasti Shila tu termehek-mehek ma kamu. Gak perlu mencari pembenaran lagi, deh," jawab Febi. Adhit hanya senyum-senyum.
"Kalau kamu mau tahu kita ngobrolin apa aja, tuh orangnya dah datang. Tanya langsung aja sendiri," sahut Febi sambil menunjuk cewek yang baru memasuki ruang kelas sambil tertawa-tawa. Cowok-cowok di depan kelas masih bersuara riuh. Rupanya sedari tadi mereka menggoda Shila.
Shila berjalan santai ke bangku di sebelah Febi. Dia sengaja mengabaikan mata Adhit yang tidak lepas menatapnya sejak dia memasuki ruang kelas.
"What? Ada yang salah denganku pagi ini?" tanya Shila akhirnya. Adhit masih memandanginya.
"Dia terpesona sama rambut barumu, Shil," sahut Febi sambil tergelak. Shila tertawa riang. Tawa paling menyenangkan yang selalu dirindukan Adhit.
"Cocok, nggak?" tanya Shila sambil mengibaskan rambutnya yang kini lurus berpotongan bob pendek.
"Kamu apain? Kok, bisa jadi lurus?" tanya Adhit akhirnya.
"Keriting papan. Lagi musim. Bagus nggak?" tanyanya nggak sabar dengan reaksi Adhit.
"Kamu nggak liat ekspresi Adhit, Shil. Jelas-jelas dia terpesona sampai speechless gitu. Nggak cuma suka, Adhit sukaaa banget!" goda Febi. Lagi-lagi Shila tertawa riang. Adhit hanya senyum.
Bagi Adhit, Shila sangat istimewa. Dia tahu Shila menarik. Tapi pagi ini, satu sekolah tahu kalau Shila sangat menarik. Rambut ikal Shila yang biasanya di kucir kuda kini berubah menjadi lurus dan pendek. Shila menambah manis penampilannya dengan bando mungil di kepalanya. Shila benar-benar cocok dengan rambut model barunya. Wajahnya terlihat lebih segar dan sangat manis. Pantas saja tadi para cowok itu ramai menggoda Shila. Tiba-tiba ada rasa cemburu di dada Adhit. Dan sikap protektifnya mulai muncul. Padahal dia sudah berjanji sewaktu liburan panjang kemarin, bahwa dia akan mengurangi sikap protektifnya itu.
"Kenapa kamu mengubah model rambutmu? Yang lama udah bagus, kok," kata Adhit sewaktu mereka berdua di kantin.
"Kamu nggak suka?" tanya Shila menyelidik.
"Suka, kok. Hanya saja kamu terlihat ..., gimana, ya?" Adhit tidak menemukan kata-kata yang tepat. Dia mulai risih dengan para cowok yang mencuri pandang ke arah Shila.
"Terlihat gimana, Dhit?" tanya Shila mulai khawatir.
Semalaman dia mematut di depan cermin agar penampilannya tidak terlalu norak hari ini. Dia sadar potongan rambut lurus mengubah banyak hal pada dirinya. Shila merasa menjadi pribadi yang berbeda. Lebih menarik. Membuat dia lebih percaya diri untuk berada di samping Adhit yang sempurna.
"Terlihat gimana, Dhit?" Shila mengulang pertanyaannya.
"Sudahlah, nggak perlu di bahas. Pulang sekolah sama aku, kan? Atau sama Fadhil?" tanya Adhit mengalihkan percakapan. Shila sedikit merengut. Reaksi Adhit tidak seperti yang dia harapkan.
"Sama kamu aja," jawab Shila pendek.
***
"Kamu nggak suka, ya dengan rambut baruku?" tanya Shila di parkiran ketika mereka hendak pulang. Adhit memberikan helm kepadanya. Shila menggeleng, "Nanti rambutku rusak."
"Mau rambutmu brekele sekalipun nggak ngaruh buat aku, Shil," jawab Adhit sambil menyalakan starter motor.
"Tapi kamu belum berkomentar sejak tadi," kata Shila menolak untuk membonceng. Merajuk. Adhit terkekeh.
"Penting, ya?" tanya Adhit sambil mematikan motor. Shila mengangguk. Adhit menatap lekat mata Shila. Memaksa Shila fokus pada ucapannya.
"Kamu cantik dengan rambut seperti ini. Lebih cantik. Sangat cantik malah dari biasanya," kata Adhit sambil tersenyum. Shila merasa wajahnya sedikit hangat. Tapi dia belum tersenyum.
"Kamu tulus ngomong gitu?"
"Masa aku bohong?"
"Jadi kenapa kamu terlihat risih bersamaku seharian ini?"
"Karena kamu menjadi berbeda sekarang, Shila. Kamu sangat menarik. Wajar, dong kalau aku risih. Karena para cowok itu memandangimu dengan kagum. Seolah mereka baru sadar kemana saja mereka selama ini? Dan aku nggak suka dengan tatapan mereka."
"Kamu cemburu?" tanya Shila. Senyum mulai mengembang di wajahnya.
"Kamu kayakna bahagia banget kalau aku cemburu?" selidik Adhit. Shila cuma nyengir-nyengir kesenengan.
"Mau pulang, nggak? Atau mau berdiri terus sambil nyengir di sini?" tanya Adhit sambil menyalakan motor. Lagi.
Shila bergegas naik di belakang Adhit dan melingkarkan tangannya di pinggang Adhit. Senyum masih mengembang di wajahnya. Sepertinya dia bisa melalui kelas tiga ini dengan bahagia. Walaupun tadi sempat stress juga ketika tahu wali kelas mereka adalah Pak Akram. Guru matematika paling killer di sekolah mereka. Melihat sosoknya di depan kelas saja sudah membuat Shila kebelet pipis, apalagi harus melewati satu tahun dalam bimbingannya?
Seperti merasakan kegelisahan Shila sewaktu Pak Akram memperkenalkan diri, Adhit yang duduk di belakangnya, menyentuh punggung Shila yang tegang dan seketika itu juga dia merasa lebih relaks.
"Aku akan bantu kamu belajar, Shil. Nggak usah khawatir," katanya ketika bel berbunyi yang menandakan Pak Akram harus berlalu meninggalkan kelas.
"Kamu, kan tahu aku lemah di matematika dan fisika," kata Shila.
"Sama seperti kelas 2, aku pasti ajarin kamu sampai ngerti."
Mudah bagi Adhit ngomong begitu. Dia memiliki otak yang sangat encer. Rangking 1 sekaligus juara pararel di sekolah mereka. Walaupun Shila masih masuk 10 besar, tapi perjuangannya untuk mendapatkan peringkat itu luar biasa ngos-ngosan.
Semua dia lakukan supaya nggak bikin malu Adhit.
©elopurs - 2019
KELAS TIGA : 1000 TAHUN LAMANYA
"Siapa dia?" tanya Shila ketika seorang gadis pergi meninggalkan Adhit malu-malu.
Nampak jelas jika gadis berwajah imut dengan potongan tubuh yang mungil itu sangat mengagumi Adhit. Matanya berbinar bahagia selama Adhit berbicara padanya. Dia pasti salah satu penggemar Adhit. Kemungkinannya adik kelas, karena Shila baru melihatnya kali ini.
"Donna? Dia tetanggaku. Anak kelas dua."
"Oh, ya? Kok aku baru kali ini ngeliat dia, ya? Kamu juga nggak pernah cerita punya tetangga seimut Shirley Temple." Suara Shila sedikit ketus, membuat Adhit mengerutkan kening karena heran.
Seharusnya Shila tidak perlu cemburu lagi. Adhit sudah membuktikan banyak hal untuk membuat Shila tetap di sisinya.
"Masa, sih kamu cemburu, Cil? Atau jangan-jangan kepercayaan dirimu mulai luntur?"
Pertanyaan Adhit cukup beralasan. Seminggu setelah penampilan Shila yang dramatis dan fantastis dengan rambut barunya yang membuat dia telihat makin eksotis dan manis, dia kehujanan hingga seluruh tubuhnya basah kuyup seperti rendaman cucian sebelum diperas. Mirisnya, rambut fenomenal Shila kembali ke bentuk awal, ikal dan kali ini sedikit mengembang karena rupanya proses keriting papan telah menghilangkan sebagian besar kelembapan rambutnya. Shila masih Shila yang manis, tapi tidak fantastis lagi. Adhit masih tetap cinta dan perhatian pada Shila. Tapi di dasar hatinya yang seperti palung, Shila kecewa. Perlahan rasa tidak percaya dirinya mulai menyembul ke permukaan.
"Nggak, kok. Ngapain cemburu," jawab Shila sambil berlalu meninggalkan Adhit.
Sebentar lagi jam istirahat kedua habis. Tapi hatinya lumayan kesal gara-gara cewek bernama Donna yang memandangi Adhit dengan begitu terpesona. Seharusnya itu hal yang biasa, tapi lonceng di kepalanya memberi peringatan. Cewek ini bukan cewek biasa. Ada sesuatu pada dirinya yang membuat Shila merasa tidak enak hati.
Langkah kakinya membawa Shila ke kebun di belakang perpustakaan. Kebun milik Klub Menanam. Dia sering merasa ini adalah kebun pribadi miliknya. Berada di tengah-tengah tanaman membuat perasaannya cepat membaik. Melihat warna-warni bunga dan hijaunya dedaunan adalah terapi yang paling manjur untuk mengatasi kekesalan hatinya. Tapi lain cerita, jika di kebun yang seharusnya sepi, ada seseorang yang sedang berbuat nakal.
"Hei! Kamu! Ngapain di situ!" Shila meneriaki seseorang yang sedang mencoba memetik mawar floribunda yang dia tanam.
Cowok bertubuh gempal itu menoleh. Shila mengenalinya. Dia Ervan, anak basket saingan Feri. Baru-baru ini dia terpilih menjadi ketua tim basket cowok menggantikan Feri. Padahal sekarang dia sudah kelas tiga, seharusnya sudah terlepas dari semua kegiatan ekstra kurikuler. Sama seperti Adhit yang sebentar lagi harus meletakkan jabatannya sebagai Ketua OSIS. Pada pertandingan basket se-Kabupaten, yang diikuti sekolah umum, swasta dan juga klub-klub basket, Ervan menjadi pahlawan bagi SMA Harapan Bangsa. Dia menjadi penyumbang skor terbanyak bagi sekolah mereka.
"Ervan? Kamu kenapa metikin bunga di sini? Kan udah ada tulisannya. 'Dilarang memetik dan merusak tanaman!' Nggak bisa baca apa?" tanya Shila ketus sambil menyodorkan sapu tangan handuk bergambar Hello Kitty miliknya. Jari Ervan berdarah tertusuk duri mawar.
"Kamu ngagetin aja, Sil. Jadi ketusuk, kan jariku."
"Sana pergi ke UKS biar dikasih hansaplast lukanya. Lagian iseng banget metikin bunga. Buat apaan, sih?"
"Yaelah, Sil. Dari pada layu dan jadi sampah mending dipetik terus dikasihin cewek cakep. Kayak kamu misalnya," jawabnya sambil berusaha mencolek dagu Shila.
Shila memandang jijik pada Ervan. Baginya, cowok gempal berkulit putih dengan bokong montok ini sangat menyebalkan. Peduli amat dengan prestasinya di basket. Popularitasnya yang nggak seberapa itu dia pakai untuk merayu cewek-cewek culun di sekolahnya. Dan bunga mawar yang dia tanam dengan susah payah jadi sarana untuk mendapatkan cewek-cewek itu.
"Najis. Mending dirayu kebo dari pada dirayu kamu, Van. Lagian bunga yang layu nggak bakal jadi sampah. Asal kamu tau, anggota klub ngumpulin sampah buat dijadikan kompos dan bisa dijual. Pergi sana! Sebelum aku tusuk lagi tanganmu pake duri mawar," ujar Shila ketus. Wajahnya tak ada senyum sama sekali dan matanya melotot galak.
"Mending ditusuk pake bibirmu aja, Shil." Ervan melangkah mendekati Shila, dengan sebal Shila mengepalkan tinjunya. Dia memasang wajah menggertak.
"Oke! Oke! Aku pergi. Lagian, bodyguard kamu udah datang, tuh!"
Shila menyadari siapa yang dimaksud 'bodyguard' oleh Ervan. Adhit pasti menyusulnya.
"Balikin dulu sapu tanganku!" pinta Shila dengan kegalakan yang statis.
"Loh, bukannya buat kenang-kenangan aku, ya? Atau jangan-jangan mau kamu simpen, biar bisa selalu nyiumin aromaku kalau kangen?" Mendengar ocehannya, rasa muak pada diri Shila langsung mencapai tingkat maksimum. Dia menunjukkan ekspresi pengen muntah.
"Mau aku bakar. Kalau aku kasih ke kamu takut ntar disalahgunakan. Bisa-bisa aku kena pelet," jawabnya masih ketus sambil merebut sapu tangannya dari tangan Ervan.
Dia memperhatikan Ervan yang berjalan melewatinya sambil tertawa mengejek dan mendengar Ervan menegur Adhit di belakangnya. Lalu Shila melangkah menuju komposter yang terdapat di kebun botani bagian belakang. Dia tahu Adhit mengikutinya.
"Ervan kenapa? Gangguin kamu?"
"Enggak, kok. Dia kepergok metikin mawar trus jarinya ketusuk duri. Aku minjemin sapu tangan buat ngehapus darahnya," jawab Shila sambil melempar saputangannya ke dalam tong pembakaran di samping komposter.
Shila tidak bisa membuang saputangannya langsung ke dalam komposter. Akan diperlukan waktu yang sangat lama untuk membuatnya jadi kompos. Dia memilih membakarnya hingga menjadi abu. Tidak ada niat dalam hatinya untuk mencuci dan menyimpan sapu tangan itu setelah dipergunakan Ervan. Sama seperti kepada Donna, lonceng peringatan di kepalanya berbunyi jika menyangkut soal Ervan.
"Cil, jangan merajuk terus, dong." Adhit berjalan mengikuti Shila yang masih uring-uringan ke sana ke mari. "Gini aja, mmm ..., gimana kalau akhir bulan aku traktir kamu ke salon terus bikin rambut kamu jadi lurus lagi. Biar kece lagi kayak kemarin." Adhit tersenyum tanpa dosa membujuk Shila.
Shila membalikkan badan dan memandang Adhit dengan mata disipitkan dan bibir dikerucutkan. Seolah dengan matanya saja cukup untuk mengatakan, 'kamu ngeledek aku, ya, Dhit? Emangnya ngelurusin rambut sama kayak beli mendoan atau tahu brontak? Trus, aku jelek ya karena rambut aku nggak lurus lagi?'
Melihat mode perang yang dipasang Shila, Adhit jadi salah tingkah sendiri. "Duh, salah lagi," pikirnya.
Buru-buru dia meralat, "Jangan salah paham, Cil. Bagi aku kamu tetep cantik, kok dengan tampilan kayak apa juga. Tapi kalau dengan meluruskan rambut membuat perasaan kamu jadi lebih baik, ya ayo kita lakukan! Lagipula, aku sudah punya gaji akhir bulan nanti."
Wajah Shila langsung berubah mendengar penjelasan Adhit. Matanya membulat ingin tahu, bibirnya tertarik setengah senti ke kiri dan ke kanan. Adhit kerja apa sampai punya gaji segala?
Seolah bisa menjawab pikiran Shila, Adhit memberi penjelasan, "Kan, kamu nggak mau terus-menerus aku bayarin atau aku belikan hadiah pake uang Papa dan Mama. Jadi mulai awal bulan ini aku memberikan les privat sama adek kelas dan itu berbayar. Jadi dengan uang itu aku bebas buat nraktirin kamu," kat Adhit senang karena sebentar lagi nggak ada alasan Shila buat nolak dia manjain. Namun ekspresi wajah Shila belum berubah. Masih pasang mode perang.
"Cil, udah, dong ngambeknya ...." Adhit melorotkan bahu. Nggak ngerti lagi harus ngebujuk pake jurus apa. Masa harus dicium? Adhit, sih mau aja, tapi melihat Shila yang galaknya kayak singa betina baru lahiran, bikin dia takut bibirnya bakal terluka.
"Salah satu murid privatnya, Donna, ya, Dhit?" tanya Shila akhirnya. Nadanya sedingin es. Bikin Adhit menggigil dan terpaksa mengangguk.
Sebenarnya dia nggak kepengen Shila tahu siapa saja yang jadi muridnya. Karena semua muridnya itu perempuan dan selama mengajar les, dia harus bersabar karena mereka semua berusaha menggodanya terus.
Shila membuang muka. Rasa sebalnya kini berlipat-lipat. Tidak seharusnya dia kesal, tapi dia kesal juga. Hak Adhit apabila dia ingin membagi ilmunya dengan siapa saja. Lagian, Adhit mencari uang juga karena dia yang mengajukan syarat itu.
Awalnya, dia hanya tidak ingin Adhit terus-menerus mentraktir dan membelikannya ini itu. Dia tidak enak menerima terlalu banyak dari Adhit sementara dia memberi terlalu sedikit. Uang sakunya tidak sebesar uang saku Adhit. Apalagi setelah tahu dia dan Adhit pacaran, Mama Adhit malah memberi jatah ekstra untuk malam mingguan. Walaupun prakteknya, mereka hampir tidak pernah malam mingguan sama sekali. Bagi Adhit, week end adalah waktu untuk keluarga. Kecuali jika malam minggu ada teman yang berulang tahun baru mereka akan pergi berdua.
Uang malam minggu dari Mama Adhit biasanya dipakai untuk membayari Shila makan, tapi Shila lebih sering menolak kecuali jika dia berbuat kesalahan yang bikin Adhit kesal. Hukumannya, Shila harus mau ditraktir Adhit dan dibelikan hadiah.
"Mmm ...., Cil, aku mau ngasih kamu sesuatu yang bisa bikin mood kamu baik lagi. Tapi janji jangan marah, ya?" Adhit menyentuh dagu Shila dan memintanya menghadap dia.
"Apa?" tanya Shila masih sebal. Dia sedikit tidak suka momen mengejutkan seperti ini.
Adhit menggamit tangan Shila dan menariknya mendekat. Terkejut karena ditarik tiba-tiba, Shila menarik napas hingga mulutnya membuka. Adhit tak menyia-nyiakan momen ini. Dia langsung membawa Shila melayang hingga rasanya semua kesalnya meruap begitu saja.
Adhit terlalu memahami dirinya. Dia tahu bagaimana cara membuat suasana hatinya kembali tenang. Dia mengerti bagaimana menumbuhkan rasa percaya dirinya kembali. Bahwa Adhit hanya menginginkannya. Untuk dirinya. Tidak ada yang lain. Cemburu hanya alasan yang dicari-cari untuk meyakinkan perasaannya bahwa dia hidup di alam nyata. Bukan mimpi, imajinasi atau kamuflase.
"Apakah lebih baik?" bisik Adhit setelah bibirnya terlepas dari bibir Shila. Bibirnya mengecupi pipi Shila.
"Emm ..., entahlah. Masih ada yang mengganjal," sahut Shila sambil berjengit kegelian ketika Adhit meniup telinganya.
Lalu Adhit kembali menciumnya lagi. Kali ini hingga Shila kehabisan napas.
"Lagi?" tanya Adhit ketika Shila mendorongnya dan dia sedikit terengah. "Aku nggak keberatan ngasih lagi jika masih kurang."
"Kamu nakal!" Shila memukul dada Adhit pelan. Tawa kecil mencerahi wajahnya.
"Kamu nggak boleh cemburu lagi, Cil. Pada apapun. Pada siapapun. Kamu seharusnya paham bahwa tidak ada yang bisa menggantikan kamu di hati aku. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu meski kamu menyuruh aku pergi," bisik Adhit di telinga Shila.
"Aku juga nggak akan ninggalin kamu, Dhit. Kecuali kamu yang minta aku ninggalin kamu." Shila melingkarkan tangannya di pinggang Adhit. Dia merebahkan kepalanya di dada Adhit.
"Kamu tahu di mana tempat bahagia aku?"
"Mmm. Coba kupikir sebentar ..., di sini? Di belakang perpustakaan? Tempat kamu bisa minta cium sepuasnya?" Goda Adhit yang berhadiah cubitan di pinggang.
"Tempat bahagia aku itu di sisimu, Adhitya," kata Shila sambil melepaskan pelukannya dan menatap Adhit dalam-dalam.
"I love you, Cila." Adhit mengecup sayang ujung kepala Shila.
"I love you, Dhit."
Di bawah tubuh mereka, jari-jemari keduanya saling bertaut. Ada perasaan meluap yang begitu besar di dada mereka. Perasaan meluap yang membawa aura bahagia dan senyum yang selalu terkembang sepanjang perjalanan kembali ke kelas. Lonceng di kepala Shila terus berdentang mengabarkan kedukaan yang perlahan mendekat bersamaan dengan datangnya awan-awan mendung. Tapi saat ini, hati Shila terlalu hangat bermandikan cahaya matahari.
Biar saja awan mendung itu datang. Biar saja hujan deras itu mengguyur. Seperti kata Adhit, tak ada yang akan bisa memisahkan mereka berdua. Selama cinta keduanya begitu besar, tak ada batas kemustahilan yang tak bisa dilewati. Meski harus melampaui waktu dan menunggu 1000 tahun lamanya, cinta tak akan pernah salah. Dia tak akan mau kalah, apalagi menyerah.
©elopurs - 2019
KELAS TIGA : NGGAK CEMBURU, KOK
Masalah Donna ternyata tidak bisa diabaikan semudah membuang ingus. Cewek satu ini memang berbeda dibanding penggemar Adhit yang lain. Ketika di kantin, dia tidak sungkan-sungkan memonopoli Adhit. Jika Adhit tak terlihat di kantin, Donna selalu bisa mendeteksi keberadaan Adhit dan dia akan muncul tiba-tiba untuk sekadar menyapa atau bercerita hal-hal remeh lainnya.
Kadang-kadang Donna mengingatkan Adhit bahwa mereka punya janji belajar dan diajar. Donna memberi tahu dengan suara yang sengaja dikeraskan. Seolah dia ingin mengirim pesan kepada Shila bahwa ada saat di mana Adhit tidak benar-benar menjadi milik Shila. Ini membuat Shila sebal dan semakin sering mengerucutkan bibir. Jika sudah begini, Adhit harus membujuknya dengan satu dua ciuman.
"Kalau minta dicium, nggak usah pake aksi merajuk, deh. Bilang aja langsung, pasti aku kasih, kok. Bibir aku, kan cuma buat kamu, Cil."
Mau tidak mau, Shila tersenyum juga jika mendengar kata-kata norak keluar dari mulut Adhit. Sudah beberapa waktu, Adhit terlihat lebih santai dan penuh canda jika sedang bersama Shila. Tidak sekaku dan sesendu saat awal bertemu.
"Adhit benar-benar bernyawa selama bersama kamu, Shil. Bahkan berat badan dia bertambah. Coba kamu perhatikan, tubuhnya lebih tegap dan kulitnya tidak sepucat dulu lagi. Dan wajahnya, berseri-seri. Semua itu karena kamu! Entah dengan cara apa Tante harus berterima kasih padamu."
Ucapan Mama Adhit terlalu didramatisir. Tidak mungkin seorang Shila bisa membuat perubahan demikian besar pada diri Adhit. Tanpa Shila, Adhit bisa menjadi bahagia. Dia, kan banyak pemujanya.
"Kamu belum juga paham, ya? Kamu itu berarti banget buat Adhit. Adhit bisa terlihat seperti sekarang ini, itu semua berkat kamu, Shil. Tante nggak bisa cerita apa-apa. Tapi percayalah, suatu hari nanti kamu akan paham, Shil."
Misterius. Apa masih ada rahasia pribadi yang belum diceritakan Adhit? Setahu Shila, Adhit tidak akan menyembunyikan apapun darinya. Kecuali jika hal itu bisa membuatnya menjauhi Adhit. Tapi dia terlalu takut untuk menjauhi Adhit. Yang seharusnya terjadi adalah, Donna dijauhkan dari Adhit!
Seperti sore ini, Adhit menjemputnya dan membawanya ke rumah hanya untuk menyaksikan tingkah Donna yang seperti anak kucing cari perhatian. Sebentar-sebentar, tangannya bergelayut di tangan Adhit. Sedikit-sedikit tubuhnya menggeser makin dekat ke tubuh Adhit. Sebenarnya, Donna memperhatikan penjelasan Adhit apa tidak, sih? Dan Adhit juga, kenapa masih penuh senyum dan sabar gitu? Beda banget dengan saat Adhit mengajari Shila matematika atau fisika. Sabar juga, sih tapi ekspresinya tidak ramah. Tanpa senyum. Itulah mungkin perbedaan antara privat berbayar pake duit dan berbayar pake cinta. Huh, kesel!!
"Kamu jangan khawatir. Mereka hanya akrab seperti kakak-adik. Tidak ada rasa apa pun pada diri Adhit untuk Donna. Bagi Adhit, Donna hanya tetangga yang sudah dia anggap seperti adik. Kamu perhatikan saja pandangan Adhit saat menatap Donna dan saat menatapmu. Semua orang, termasuk Donna, akan merasakan bedanya. Tatapan padamu tidak hanya sekadar cinta dan sayang, tapi lebih dari itu. Seperti pemujaan."
Jadi untuk itulah Adhit membawanya kemari? Bukan untuk melihat tingkah laku Donna yang menyebalkan, tapi untuk mendapat pengertian dari Mama Adhit. Jika orang tua Adhit saja sudah memberi jalan baginya, apa lagi yang dia khawatirkan?
Cemburu pada Donna memang tidak diperlukan dan hanya buang-buang energi.
Bagi Adhit, Donna hanya adik kecil menggemaskan. Bukan cewek mendebarkan yang bisa dipacari. Itu saja.
Dan setelah acara les privat yang dramatis berakhir, perasaan Shila jauh lebih ringan dan lebih luas. Dia menatap Adhit dengan pengertian yang teramat dalam.
Seandainya tidak ada Mama Adhit dan Donna yang sibuk cari perhatian di ruangan itu, sudah pasti tubuh keduanya akan saling menempel erat. Mungkin dengan pose yang sedikit memalukan. Dimata Adhit, Shila adalah wanita dewasa yang bisa menimbulkan gairahnya. Sedang Donna, hanya adik kecil yang baru belajar mengeja kata.
"Jadi, masih berpikiran kalau Donna itu ancaman?" tanya Adhit saat di dalam mobil. Dia akan mengantarkan Shila pulang.
Sebelumnya Donna memaksa ikut mereka berdua dan dengan gaya anak manis dan manja, dia minta izin pada Shila untuk ikut bermobil dengan mereka. Dengan besar hati dan memang sudah memaklumi kelakuan Donna, Shila membolehkan Donna ikut. Sayangnya Adhit tidak setuju. Dia dan Donna memang punya hubungan baik, tapi dia juga punya privacy yang tidak bisa dimasuki Donna.
"Mas dan Kak Shila mau pacaran dulu dan nggak ingin diganggu. Oke?" Dengan tegas Adhit menyatakan status Shila dimata Donna. Meski senang, Shila merasa sedikit tak enak hati pada Donna.
"Seharusnya nggak perlu ngomong segamblang itu tadi, Dhit. Aku takut Donna tersinggung.
"Loh, kenapa harus tersinggung? Kamu, kan emang pacar aku. Dia tau itu, kok. Dan kita lebih suka menghabiskan waktu hanya berdua. Apa aku salah?"
"Enggak, sih. Tapi aku kasian liat muka kecewa dia tadi. Kayaknya dia cinta banget ama kamu, deh, Dhit."
"Jadi sekarang kamu sudah mulai mau membagi aku sama yang lain, nih?"
"Apa? Eh, enggak! Enak aja! Teori dari mana itu?"
"Tadi, kan kamu merasa nggak enak sama Donna."
"Iya tapi bukan berarti kamu bisa macarin dia juga. Atau jangan-jangan ..., kamu yang punya rencana buat ngelaba sama dia, ya?"
"Hahaha! Ya enggaklah, Cil. Kamu tahu banget kalau aku nggak punya niat begitu. Sudahlah, kita hentikan omongan soal Donna. Masih ada waktu sedikit sebelum magrib, nongkrong dulu, yuk!"
"Ke mana?"
"Kamu maunya ke mana?"
"Aku pengen makan siomay. Dan kamu yang traktir karena udah bikin perasaan aku nggak enak!" Shila mengerucutka bibirnya. Pura-pura merajuk.
Adhit tersenyum bahagia dan mengarahkan mobilnya ke depan kolam renang di perumahan Shila. Di sana ada tukang siomay kegemaran Shila yang juga digemari oleh anak muda seperti mereka. Pada jam-jam seperti ini, pasti banyak anak komplek yang sedang nongkrong sendirian atau dengan gebetan. Termasuk teman-teman mereka. Dan itu benar. Setibanya mereka di sana, ada beberapa wajah yang sangat mereka kenal. Ada Ervan, Dayu, dan Abas.
Melihat kedatangan Adhit dengan Shila di mobilnya, Ervan berseru menegur. Tanpa sepengetahuan Adhit, Ervan mengedipkan matanya pada Shila. Shila langsung mual dan membuang muka. Dia merasa keputusannya untuk makan siomay berdua dengan Adhit, salah. Sore ini, bukan salah satu hari dalam 10 hari terbaiknya dengan Adhit. Sial!
***
"Kamu yakin nggak apa-apa?"
"Maksudmu?"
"Itu! Donna sama Adhit. Agresif banget, tu cewek. Setiap jam istirahat pasti nempel sama Adhit," tunjuk Febi pada Adhit yang sedang dikerumuni cewek kelas dua, salah satunya Donna.
Shila mengikuti arah pandang Febi. Dia melihat Adhit sedikit gelisah. Merasa diperhatikan, Adhit menoleh. Pandangannya seolah minta tolong. Shila hanya menjulurkan lidah dan kembali menikmati batagor di hadapannya.
"Biar aja. Toh, kalau pulang sekolah Adhit masih sama aku. Nggak mungkin, kan dia mau nebeng motornya Adhit. Untung aja Adhit nggak bawa mobil. Coba kalau Adhit bawa mobil, pasti bakal nebeng terus pergi pulang."
"Emang Adhit supirnya apa?"
"Rumah mereka, kan sebelahan, Feb. Ya pasti alesannya karena searah."
"Apa?! Sebelahan? Dan kamu biarin tu cewek nempel gitu sama Adhit? Kalau mereka di rumah, kamu bisa jamin apa mereka nggak melakukan hal-hal yang aneh?"
"Seperti ngasih les privat sama dia, Feb?"
"Astaga, Shil! Kamu sama kayak ngasih makan ayam hidup ke harimau lapar tau, nggak?"
"Gitu amat perumpamaannya, Feb?!"
"Kamu nggak takut apa kalau tiba-tiba Adhit jatuh cinta ama tu cewek. Liat, deh tampilannya. Imut, manis, manja, cewek banget, lah! Beda ama kamu!"
"Adhit nggak ngeliat fisik, kok, Feb!"
"Sorry, Shil. Jangan cemberut gitu, dong. Aku cuma ngasih realitanya aja sama kamu. Donna emang memikat banget. Dan liat, deh, kasak-kusuk udah mulai lagi. Kamu tahan?"
"Aku dan Adhit punya kesepakatan dan aku jamin Adhit setia. Dia cuma nganggap Donna adiknya. Mamanya juga bilang gitu, kok."
"Adik ketemu gede!" Febi menyahut ketus.
"Udahlah. Aku sama Adhit baik-baik aja, kok. Kita udah kebal sama hal beginian."
Shila menepuk pungguk tangan sahabatnya. "Eh, Feb, aku mau cerita sesuatu sama kamu. Kamu inget sama Ervan, nggak? Dulu waktu SMP kita pernah sekelas." Shila meletakkan garpunya dan menghentikan sejenak menyantap batagor kesukaannya.
"Monde? Inget. Kenapa dia?" tanya Febi curiga.
"Mukamu biasa aja, sih, Feb. Aku tau Ervan emang nyebelin, tapi nggak usah sok jijik gitu mukanya." Shila menoyor Febi dan dibalas dengan sentuhan lembut di pipi.
"Baru-baru ini, aku mergokin dia mau metikin bunga di kebun Klub Menanam. Menurutmu, buat siapa, ya bunganya? Dia, kan suka tebar pesona gitu. Tapi, kan nggak modal banget pake bunga gratisan."
Wajah Febi berubah menjadi suram. Seolah seluruh cahaya bumi tenggelam ke dalam lubang besar yang gelap. Di atas kepala Febi, Shila seolah melihat batu besar siap menghantam tengkoraknya dan menghancurkannya. Kemuraman Febi menakutkan.
"Feb, kamu kenapa tiba-tiba pucet? Sakit?" Shila menyentuh bahu Febi khawatir.
Febi tergeragap. Batu besar itu menghilang. Tapi wajahnya masih tampak suram. Sepertinya ada duka yang melanda Febi tiba-tiba. Tidak mungkin karena Ervan. Shila tahu betul lelaki seperti apa Ervan itu. Mereka pernah satu kelas dengan Ervan selama tiga tahun di SMP. Dan kelakuannya sungguh menyebalkan.
Dengan modal tampang yang pas-pas an dan senyum menggoda yang dibuat-buat, dia merayu siapa saja yang berkelamin perempuan. Mungkin jika kebo dibedakin dan dikasih gincu, bakal dirayu juga sama Ervan. Shila dan 3 orang teman segengnya pernah dirayu Ervan. Bergantian. Tapi tidak ada satu pun rayuannya yang berhasil.
"Asam lambungku tiba-tiba naik, Shil. Aku lupa bawa obat lagi. Aku ke UKS sebentar, ya!" Febi langsung berlari sambil memegangi perutnya.
Kasian. Padahal Febi baru saja menyantap gado-gado satu piring, kenapa maagnya bisa kumat, ya? Mungkin bumbu kacangnya terlalu pedas, pikir Shila.
"Ah, akhirnya bisa lepas juga dari Donna!" Adhit mengempaskan diri di kursi sebelah Shila. Tanpa basa-basi, dia langsung menyeruput jus mangga dari hadapan Shila.
"E-eh, kamu, kan bisa pesan sendiri, Dhit. Itu bekas aku!"
"Emang kenapa? Kayak kita nggak pernah tukeran saliva aja," sahutnya cuek sambil memegang tangan Shila yang sedang menusuk batagor dan memasukkan potongan tersebut ke mulutnya.
"Ya, ampun, Dhit, kalo laper jangan norak gini, dong. Malu tau!" omel Shila dengan suata rendah. Dia melirik kira kanan, takut ada yang memperhatikan aksi Adhit tadi.
"Kenapa harus malu? Satu sekolah, kan udah tau siapa kita."
Shila memandangi Adhit yang menggeser piring batagor ke hadapannya dan menandaskan isinya yang tinggal separuh. Rasanya pengaruh dia ke dalam diri Adhit sudah over dosis. Dia merindukan Adhit yang cool seperti dulu.
Eh, tapi, hanya saat bersamanya saja Adhit seperti ini. Apa adanya, bebas, bisa melakukan apa saja, kadang bahkan sedikit gila. Tidak perlu jaga imej atau pura-pura baik. Berbeda jika sedang bersama yang lain, termasuk Donna. Jika tau Adhit bisa bertingkah senorak ini, apa mungkin Donna masih suka?
"Kenapa senyum-senyum sendiri? Apanya yang lucu?" tanya Adhit melihat Shila senyum-senyum memperhatikannya.
"Ada kuah kacang di bibir kamu," jawab Shila sambil menyusut bibir Adhit dengan tisu.
"Lebih asyik kalau di lap pake yang lain, deh, Shil." Adhit memegang tangan Shila dan mengecup telapaknya. Membuat Shila sedikit tersipu.
"Kamu beneran norak, deh, Dhit!"
"Tapi kamu suka, kan?" goda Adhit. Shila mencibir kepadanya lalu berdiri hendak pergi meninggalkan Adhit.
Jam istirahat sudah berakhir dan dia harus bersiap diri untuk menghadapi Pak Akram di jam pelajaran terakhir. Shila menoleh pada Adhit, menunggunya selesai menyeruput jus mangga. Rasa sayangnya pada pemuda itu berlipat-lipat. Dan dia berharap perasaan seperti ini tetap terjaga sampai waktu yang tidak terbatas.
©elopurs - 2019
KELAS TIGA : DILAMAR
"Mas Adhit, anterin Donna pulang, dong! Kita, kan searah."
Tiba-tiba saja Donna sudah berada di samping motor Adhit. Kayak jaelangkung aja, deh. Tiba-tiba nongol bawa petaka. Shila hampir saja menjatuhkan helm yang diberikan Adhit padanya.
"Emm, jemputan kamu ke mana?" tanya Adhit sambil pasang wajah tak ramah.
"Nggak tau. Ditungguin nggak datang-datang," jawabnya manja sambil merengut.
Dusta! Pikir Shila. Pasti Donna sengaja menyuruh supirnya tidak datang menjemput. Atau jangan-jangan Donna sudah meracuni supirnya sehingga saat ini mayatnya sedang menunggu untuk ditemukan. Pikiran-pikiran buruk berkelebat di kepala Shila. Tapi pikiran buruk yang paling menyenangkan saat itu adalah mengikat Donna di tiang bendera dan membiarkannya mengering kepanasan. Seperti celana dalam Hastuti yang di jemur geng Wijat di tiang bendera sekolah. Ah, Hastuti yang malang. Kenapa harus dia yang selalu jadi korban pelecehan geng Wijat? Kenapa bukan Donna saja?
Ah, tentu saja, itu karena Hastuti amat jelek dan menyebalkan sedangkan Donna teramat cantik dan menggemaskan.
"Mas sudah janji mau pulang bareng Kak Shila. Jadi nggak bisa anterin kamu. Kamu pulang naek angkot aja, ya. Atau tunggu saja dulu nanti kalau sudah sampai rumah, Mas kasih kabar ke mamamu kalau kamu minta dijemput. Gimana?" Adhit berusaha sabar. Gimana-gimana juga, Donna itu tetangganya.
"Yah, Mas, kita, kan tetangga. Mamah dan Tante pasti heran, kenapa Mas Adhit nggak ngajak Donna pulang bareng malah pulang duluan." Donna bergelayut manja di lengan Adhit, bikin Shila muak dan pengen muntah. "Lagian rumah Kak Shila itu dekat, nggak searah juga sama kita. Dia pasti nggak keberatan kalau pulang jalan kaki. Iya, kan, Kak?" Donna memandang Shila dengan senyum yang dimanis-maniskan.
Shila benar-benar tidak menyangka kalau Donna berani menyuruhnya seperti itu. Diam-diam dia kagum dengan rasa percaya diri Donna. Sayangnya dia bukan tipe orang yang suka berdebat untuk hal-hal konyol dan dia juga tidak suka membuat Adhit bimbang. Baginya, menghadapi kekeraskepalaan Donna hanya membuang waktu. Dia tak akan menyerah begitu saja sampai Adhit menjadi miliknya.
"Kalau Adhit menyuruh aku pulang jalan kaki, aku akan jalan kaki. Tapi kalau dia tetap mau mengantar aku, ya, nggak kutolak," jawab Shila berusaha tenang, "Terserah kamu, Dhit."
"Aku tetap antar kamu, Cil. Seperti biasa." Adhit berkata tegas dan Shila merasa ada kekesalan dalam nada suaranya.
"Maaf, ya, Donna, setiap pulang sekolah, Mas jadi milik Kak Shila. Sampai ketemu nanti sore saat les, ya, Donna." Adhit buru-buru menstater motornya dan menepis tangan Donna hingga lepas.
Belum sempat Shila naik di jok belakang motor Adhit, Donna mendorong tubuh Shila menjauh dari motor dan menggantikan tempatnya. Dia langsung melingkarkan tangannya ke pinggang Adhit. Shila terhuyung ke belakang, tubuhnya membentur tiang atap parkir. Adhit terkejut melihat perlakuan Donna. Wajahnya tak lagi ramah.
"Apa-apaan, sih, Don?" tanyanya sambil turun dari motor dan bergegas menghampiri Shila.
"Sudah kubilang, Kak Shila nggak keberatan." Donna masih duduk di motor Adhit.
"Dia nggak keberatan, tapi aku yang keberatan. Turun!"
"Nggak mau."
"Turun nggak?"
"Aku bilang nggak mau!" Donna bersikeras.
"Oke kalau begitu." Adhit mengunci motor dan mencabut anak kunci lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Dia lalu menggandeng tangan Shila dan menariknya menuju gerbang sekolah.
"Dhit? Kita mau ngapain?" tanya Shila berlari-lari kecil karena ditarik Adhit yang berjalan cepat.
"Pulang ke rumahmu. Kita jalan kaki aja. Kamu nggak apa-apa, kan jalan kaki? Nanti minta tolong adekmu buat jemput motorku, ya," jawab Adhit tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.
Rumah Shila sebenarnya tidak terlalu jauh dari sekolah. Tapi matahari Cilacap sedang luar biasa bahagia hari ini. Panasnya menyenangkan. Menyengat dan menusuki kulit seperti semut merah sedang menancapkan sungutnya. Berjalan kaki dengan perut keroncongan pada jam satu siang lumayan menyebalkan.
"Kita mampir warung Pak Jono dulu, ya, siapa tau ada Fadhil disitu. Jadi aku bisa nebeng pulang dan kamu juga bisa pulang bareng Donna." Shila sedikit terengah dan menarik lepas tangannya dari pegangan Adhit. Dia memegangi perutnya yang sedikit nyeri.
"Cil, nggak perlu berbesar hati kayak gitu, ya. Aku nggak mau pulang sama Donna. Sudah cukup jam istirahatku diambil dia. Sore hari nanti masih harus ngelesin dia. Sekarang harus nganter dia pulang juga? Kalau dituruti, besok pagi dia pasti nongol dirumahku minta nebeng sampai sekolah." Adhit betul-betul marah. Kini mereka berdua sudah cukup jauh meninggalkan sekolah dan sepertinya Donna tidak mengikuti.
"Abis harus gimana? Dia nggak gampang nyerah gitu aja. Dia bakal terus ngejar kamu sampai dapet."
"Terus kamu ngebiarin aku diambil Donna gitu aja?"
"Ya enggaklah!" Shila cukup terkejut dengan pertanyaan Adhit.
"Sebenernya kamu sayang ma aku apa enggak, sih, Cil?" tanya Adhit sedikit putus asa.
"Ya sayang, dong. Perlu bukti apa lagi?"
"Kalau gitu pertahanin aku, dong. Perjuangkan aku gitu! Jangan cuek aja kalau cowoknya mau diambil cewek lain."
Shila mencoba mencerna omongan Adhit barusan. Lalu tawanya meledak-ledak dan dia berjalan melewati Adhit sambil memegangi perutnya.
"Apanya yang lucu?" tanya Adhit sambil mengejar Shila.
"Kamu. Kamu yang lucu. Kamu, tuh kayak perawan minta dinikahi sama pacarnya gara-gara baru dicium sekali. Ketakutan karena dipikirnya ciuman bisa bikin perut kembung. Sumpah! Kamu juga kayak nenek-nenek gagal menopause." Shila masih terus tertawa terbahak sambil terus berjalan. Panasnya matahari tak terasa lagi.
"Lucunya di mana? Aku nggak ngerasa pernyataanku ada yang salah!"
"Emang nggak salah dengan pernyataannya. Yang salah itu, karena keluar dari mulutmu. Kamu kayak bukan Adhit, deh. Helowww, Dhit, kamu sembunyi di mana?" Shila berhenti dan mengetuk-ketuk kepala Adhit lalu berteriak di telinganya.
"Apa-apaan, sih, Cil? Sakit kupingku tau!" Adhit merengut sambil menutup telinganya.
"Minum es kelapa, yuk! Kamu boleh traktir aku, deh biar hati kamu lebih enakan," ajak Shila sambil menggandeng lengan Adhit mendekati penjual es kelapa muda yang mangkal di sisi pos ronda. Di bawah sebatang pohon randu yang rindang.
"Kamu banyak berubah semenjak jalan ma aku, Dhit." Shila memulai percakapan sambil menyesap sirup gula bercampur potongan kelapa tipis.
"Berubah seperti apa?" tanya Adhit sambil memandangi Shila lekat-lekat.
Bola mata bulat yang berpijar itu balas memandangnya. Pijarnya menghujami dada Adhit dengan ribuan jarum yang membara. Panas, menusuk tapi tidak menyakitkan. Lubang-lubang yang ditinggalkan tusukan jarum, menyisakan rasa sakit yang dirindukan. Sakit yang hanya bisa hilang dengan sentuhan. Adhit menggenggam jemari Shila di atas meja.
"Kamu tidak setenang dan sekaku dulu."
"Apa itu buruk? Kamu nggak suka?"
"Entahlah. Kadang aku kangen sama kamu yang dulu. Suka ngelarang ini itu, ngikutin ke mana-mana, trus suka ngambil keputusan ekstrim hanya untuk nyelametin aku."
"Kamu mau diperlakukan kayak gitu lagi? Aku nggak keberatan, kok. Aku lebih suka malah." Adhit menyandarkan tubuhnya di kursi, melipat tangan di atas perut dan memandang Shila dengan tatapan yang bisa meruntuhkan tembok Cina.
Dada Shila berdentum-dentum tak karuan. Udara terhisap semua ke angkasa dan seluruh benda di sekitarnya berterbangan. Termasuk kursinya dan kursi Adhit. Dia melihat gelas kelapa muda mereka jungkir balik di udara. Butiran airnya tidak tertarik gravitasi yang tiba-tiba menghilang. Dalam gerakan lambat ... butiran bening itu berserakan di udara. Indah. Menakjubkan. Di seberang, Adhit dengan sosoknya yang mempesona, masih menatap Shila menunggu jawaban.
"Aku lebih suka seperti sekarang." Suasana kembali normal.
"Yakin?"
"Tentu saja. Walau kadang kamu norak, aku tetep suka keadaan yang sekarang. Hanya saja .... "
"Hanya apa?"
"Hanya saja ...," Shila menatap Adhit khawatir, "aku masih tetap tidak enak hati tentang Donna. Aku takut suatu saat nanti kamu atau aku akan menyerah kepadanya."
"Aku tidak akan menyerah, Cil. Apa yang terjadi di antara kita sudah benar. Semua akan baik-baik saja. Jadi, jangan menyerah padaku. Oke?" Adhit menggenggam tangan Shila erat-erat. Rasa hangat mengalir melalui jarinya dan mengarah ke hati. Seketika rasa damai menyebar di sana. Tapi ada sudut gelap dan dingin yang tetap membeku. Tak mencair meski hangat itu lama-lama menjadi panas.
"Entahlah, Dhit." Shila mengerutkan kening.
"Astaga! Kalau nggak di tempat terbuka seperti ini, udah kucium kamu, Cil."
Dengan cepat Shila menepiskan tangan Adhit. Dia menyeruput es kelapanya hingga tandas dan bersiap hendak pergi.
"Yuk, ah pulang. Aku dah laper dan cape banget. Pengen buru-buru baring."
"Sorry, ya, Cil. Gara-gara aku, kamu harus jalan kaki," kata Adhit sambil menggandeng tangan Shila.
"Nyantai aja, Dhit. Dulu juga aku sering pulang sendirian jalan kaki. Waktu kamu cuekin. Jadi udah biasa. Dulu aku jalan kadang sambil nangis. Tapi sekarang, ada kamu. Aku seneng. Tiap hari begini juga nggak apa-apa." Diraihnya tangan Adhit dan digenggamnya erat. Mereka berjalan sambil mengobrol dan bergandengan tangan.
"Kamu suka menghabiskan waktu dengan aku?"
"Suka dong."
"Mau nggak, kalau aku tawarin menghabiskan waktu lebih banyak sama aku?"
"Mau, dong! Kamu mau ngajak liburan lagi? Tapi liburan semester masih lama."
"Bukan liburan, Sayang." Adhit mencolek ujung hidung Shila.
"Jadi?"
"Jadi istri aku. Kita nikah muda."
"Apa?!" Shila melepaskan genggamannya. Tapi Adhit buru-buru menggenggam lagi.
"Kenapa, Cil? Aku yakin keluarga kita pasti setuju. Nggak harus nunggu sampai aku selesai kuliah. Kita nikah, kuliah bareng, tapi masih tetap kayak pacaran gini. Nggak perlu punya anak dulu."
"Aduhhh, ini ..., ini aneh banget, deh. Kamu ..., kamu ngelamar aku, Dhit?" Shila memegangi pelipisnya dengan tangan satunya lagi.
"Iya. Tapi tanpa cincin. Kalau kamu setuju, nanti kita bisa pilih cincinnya sesuai yang kamu suka."
"I-ini bukan sesuatu yang bisa diomongin sambil jalan kepanasan. Aku nggak bisa jawab sekarang, Dhit." Shila melepas tangannya dari genggaman Adhit dan memandangnya sebentar. Tanpa sadar langkah mereka sudah sampai di depan rumah Shila.
"Kita dah sampai. Yuk masuk! Terus minta Fadhil buat jemput motor kamu," ajak Shila mengalihkan topik pembicaraan.
Mama Shila tampak terkejut melihat kedatangan mereka berdua dengan jalan kaki. Shila menjelaskan apa adanya. Dia tidak merahasiakan apapun pada Mama. Setelah membangunkan Fadhil dari tidur ayamnya, Mama menyiapkan makan siang untuk Adhit dan Shila.
"Makan saja dulu di sini, Dhit. Terlalu lama kalau menunggu sampai rumah. Nanti kamu kena sakit maag. Telpon saja dulu mamamu, bilang kalau kamu diundang makan di rumah Shila. Tapi lauknya apa adanya aja, ya."
Dengan ditemani tetangga sebelah, Fadhil menjemput motor Adhit. Adhit pun menelepon Mamanya dan menjelaskan keadaan sebenarnya. Setelah itu dia makan siang dengan ditemani Shila. Papa Shila sudah duluan makanan ditemani Mama dan sekarang sudah kembali ke kantor. Sementara Fadhil sudah langsung makan begitu pulang sekolah. Sewaktu Adhit dan Shila masih menikmati makan siang, Fadhil muncul di pintu sambil memainkan kunci motor Adhit.
"Wowww ... motor Mas keren banget. Cocok emang buat bawa cewek!" kelakarnya sambil melirik Shila yang langsung melotot galak.
"Kamu nggak ngeliat ada orang lain di parkiran?" tanya Shila.
"Maksudnya Mbak Donna? Nggak ada, tuh. Parkiran sepi! Mas, kapan-kapan boleh, dong pinjem motornya."
"Fadhil!!" teriak Mama dan Shila bebarengan.
"Nggak papa, Cil, Tante. Adhit emang berencana mau ninggalin motor ini di sini sementara waktu. Itu juga kalau Fadhil mau nganterin aku pulang."
"Dhit?" Shila memandang Adhit. Berharap pendengarannya salah.
"Cil, aku harus nyelesein urusan Donna dulu. Besok pagi, dia pasti bakal cari cara supaya bisa nebeng aku ke sekolah. Sambil aku mikirin cara ngehindarin Donna, untuk sementara aku bakal ikut Papa dan Pak Amir tiap pagi. Kamu bisa pergi bareng Fadhil pake motor aku kalau mau. Terus pulangnya kita jalan kaki lagi. Gimana?"
"Kan nggak harus ninggalin motor kamu di sini, Dhit. Aku nggak keberatan, kok kalau kamu berangkat bareng Donna. Biar aku nebeng Fadhil aja."
Ucapan Shila benar-benar tulus. Bukan menyindir atau sekadar cari perhatian Adhit. Tapi sepertinya Adhit tidak suka dengan yang dia dengar. Matanya menatap Shila dingin dan tajam, membuat Shila menyesali perkataannya barusan.
"Adhit sudah selesai makan, Tante. Makasih, masakannya enak sekali," kata Adhit sambil menggeser piring kotor dan tersenyum pada Mama Shila yang menuang air ke gelasnya.
Shila mengambil piring kotor dari hadapan Adhit dan membawanya ke belakang. Dia memilih menyingkir dulu untuk menghindari tatapan Adhit yang tidak bersahabat gara-gara ucapannya.
Mama Adhit memberikan sepiring kecil buah potong pada Adhit. Setelah mengucapkan terima kasih, dia membawa piring itu ke halaman belakang. Menemani Fadhil yang sedang mengutak-atik motor miliknya yang diparkir Fadhil di halaman belakang. Sedangkan Shila membantu Mama mencuci piring.
"Kamu sore ini harus ngelesin Donna, kan?" tanya Shila sambil duduk di sisi Adhit. Penampilannya kini lebih santai dengan kaos oblong dan celana boxer.
"Iya. Kamu mau nungguin aku?"
"Ih, males banget. Enggak, deh."
"Kalau mau nungguin Mas Adhit, harus dipastikan jangan sampai ada pecah belah atau benda-benda tajam di dekat Mba Shila. Bisa habis ntar Mbak Donna." Fadhil menyahut tiba-tiba, membuat Shila kesal dan melemparnya dengan potongan buah. Adhit tergelak melihat keakraban mereka.
"Jam berapa bisa antar aku pulang, Dhil?"
"Terserah, Mas. Sekarang juga boleh atau kapan aja Mas merasa bosan sama Mbak Shila," katanya sambil buru-buru kabur sebelum Shila mengejar dan menghujaninya dengan cakaran.
"Aku pulang, ya. Nggak papa, kan?" tanya Adhit setelah suasana sedikit tenang. Shila mengangguk walau dalam hati dia berharap bisa lebih lama bersama Adhit. Jarang-jarang Adhit main ke rumahnya.
Setelah pamitan sama Mama Shila, Adhit mengambil tasnya dan menghampiri Shila yang sedang menunggunya di sisi Fadhil.
"Aku janji akan menyelesaikan masalah Donna ini secepatnya," kata Adhit. Shila tersenyum dan mengangguk. Dia percaya sepenuhnya pada pacarnya itu.
"Sementara itu, pikirkan soal lamaranku, ya," bisik Adhit di telinga Shila lalu mencium pipinya cepat-cepat.
Shila masih termangu memandangi kepergian Adhit sambil memegangi pipi kirinya.
Apa katanya tadi? Lamaran?
Muka Shila terasa hangat. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri.
©elopurs - 2019
KELAS TIGA : SERANGAN LAGI
Seperti perkiraan sebelumnya, Donna memang bukan tipe cewek yang mudah menyerah. Pagi-pagi sekali sebelum Adhit berangkat ke sekolah, Donna sudah duduk di teras depan dan menunggu Adhit selesai sarapan. Dia berkata ramah kepada Mama Adhit bahwa hari ini ingin menumpang ke sekolah bersama Adhit. Dengan sopan Mama bilang kalau motor Adhit sedang ada di bengkel dan hari ini Adhit pergi diantar ayahnya dan supir. Donna tidak keberatan. Selama berangkat bersama Adhit jika naik kuda tanpa pelana sekalipun akan dia lakukan.
Tapi Mama yang sudah tahu cerita detailnya, berusaha mencegah usaha Donna dengan caranya. Dengan sopan dia menasihati Donna agar tidak perlu pergi dengan Adhit. Berbagai alasan dia kemukakan. Tapi rupanya Donna sangat keras kepala. Mamanya sendiri pernah bilang pada Mama Adhit, jika sudah punya keinginan maka sulit untuk berkata 'tidak' padanya. Sifat keras kepala ini rupanya diturunkan dari papanya dan didukung oleh papanya. Apapun yang Donna inginkan, selalu diwujudkan papanya. Berbeda dengan dua saudara Donna yang lain, Papa harus menimbang sana-sini dulu sebelum mengabulkan keinginan mereka.
Akhirnya, Adhit maupun Mamanya menyerah pada keinginan Donna. Tapi Adhit menolak duduk di bangku belakang dengan Donna. Dia memilih duduk di bangku depan sebelah Pak Amir. Sementara Papa duduk dengan Donna.
Sedikit banyak Papa juga tahu masalah kedua anak muda ini. Yang satu mengejar-ngejar tanpa lelah, satunya lagi berusaha menghindar karena sudah punya kekasih. Tapi Papa tetaplah Papa Adhit yang juga menyayangi putra semata wayangnya dan tidak ingin putranya terjatuh lagi seperti dulu. Kedatangan Shila dalam hidup Adhit seperti cahaya yang dirindukan penghuni bawah tanah. Jika Shila bisa membuat Adhit memiliki semangat hidup lagi, kenapa harus susah payah menggantinya dengan gadis lain? Maka Papa pun membiarkan Adhit sibuk dengan pikirannya di kursi depan, sementara dia menyibukkan pikiran Donna agar tidak terus-menerus mencari perhatian Adhit.
Sesampainya di sekolah, Adhit bergegas turun dan berlari ke kelasnya. Sebelumnya dia sudah berpamitan pada Papa di dalam mobil. Dia mengacuhkan Donna yang berteriak-teriak memanggilnya, menimbulkan kecurigaan dan kasak-kusuk mereka yang melihat. Adhit datang terlalu pagi, kelas masih sepi. Hanya ada tiga murid yang sedang piket di dalam kelas. Pada saat seperti ini, dia merutuki kebiasaan Shila yang suka datang mepet dengan bel masuk. Karena kelas sedang dibersihkan, Adhit pun keluar lagi setelah meletakkan tasnya di atas meja.
"Mas! Mas kenapa buru-buru amat, sih?" tanya Donna yang datang setegah berlari kepadanya. Napasnya terengah-engah.
"Emang kenapa kamu ngikutin aku terus, Don?" tanya Adhit gusar.
"Mas Adhit nggak bisa ngehindari aku terus-terusan. Ingat perjanjian kita, Mas! Perlakukan aku lebih baik atau Kak Shila celaka!"
"Perjanjiannya aku bakal meluangkan waktu untuk mengajari kamu dan itu sudah kulakukan. Apalagi? Kamu nggak bisa memaksa aku untuk mengubah kebiasaan aku sama Shila."
"Seperti kubilang, Kak Shila nggak keberatan!"
"Kalau kamu bertanya sama dia, dia nggak akan keberatan sama yang aku lakukan, selama aku suka. Tapi aku nggak suka menjauh dari dia. Oke!"
"Oh, jadi begitu. Baiklah. Kalau begitu akan aku cari cara supaya Mas dengan senang hati menyuruh Kak Shila menjauh!"
"Jangan macam-macam Donna!"
"Mas yang bikin aku membuat keputusan begini," kata Donna dengan suara rendah setelah perbincangan mereka menimbulkan rasa ingin tahu beberapa orang yang melintas.
Tanpa ada kata lagi, Donna meninggalkan Adhit yang mencoba mencerna semua kata-kata Donna yang bernada ancaman. Sambil terduduk di bangku depan kelas, Adhit memikirkan berbagai rencana dan kemungkinan ancaman-ancaman Donna. Yang terpikir saat ini adalah, dia ingin melarikan Shila ke tempat yang sangat jauh dan hanya hidup bersamanya tanpa memikirkan apa-apa atau siapa-siapa. Di sekolahnya dulu di Jakarta, kejadian seperti ini tidak pernah dia alami. Banyak yang menyukai dan menjadikannya idola. Tapi dia tidak pernah berkencan dengan salah seorang dari mereka. Saat itu, ada sosok lain yang menyita perhatian dan waktunya. Sosok sebaik Shila. Bermata seindah Shila. Seceria Shila dengan senyum yang sama mencerahkan. Sayangnya, sosok itu menghilang begitu cepat karena ketidakmampuan dia melindunginya. Dan Shila mengingatkan dia pada sosok itu. Kali ini, dia tidak boleh gagal melindungi Shila. Atau dirinya akan terperosok dalam lubang gelap sekali lagi dan dia takut kali ini tak akan bisa kembali.
"Hai, serius amat ngelamunnya. Udah lama datang?" Shila menepuk bahu Adhit dan menggeser duduk Rio agar menjauh dari Adhit dan memberi ruang baginya untuk duduk.
Tanpa Adhit sadari, suasana sekolah sudah semakin ramai. Teman-temannya sudah banyak yang duduk di sampingnya. Rupanya lamunan dia kelewat dalam sehingga tidak menyadari perubahan di sekelilingnya.
"Gimana? Ada berita baru?" tanya Shila lagi karena dilihatnya Adhit belum mau meninggalkan lamunannya.
Adhit menoleh dan tersenyum lega melihat kehadiran gadis pujaannya. Memandangi wajah Shila, membuat dada Adhit menghangat. Merasakan bahu Shila menyentuh bahunya, cukup membuat awan-awan mendung menghilang dari pikirannya.
"Nggak ada berita apa-apa. O, ya nanti siang ada rencana, nggak, kita mau ke mana?" tanya Adhit mengalihkan pikiran Shila. Dia nggak mau kebersamaan mereka ternoda sama hal-hal buruk.
Shila mengangkat bahu menjawab pertanyaan kekasihnya. Selama ini, Adhit yang selalu memberi kejutan kepadanya, membawa dia ke tempat-tempat spesial yang mungkin tidak akan dia datangi jika bukan karena Adhit.
"Kamu tahu, tidak? Fadhil membawa motormu ke sekolah. Dan aku merasa nggak nyaman membonceng di belakangnya," kata Shila sedikit mengeluh.
"Kenapa? Karena kamu nggak bisa meluk Fadhil kayak meluk aku, ya?" canda Adhit yang dibalas cubitan di pinggangnya.
"Itu salah satunya. Salah duanya, dia mengoceh bahwa seharusnya bukan aku yang duduk di belakangnya. Bahwa sekali-sekali dia harus naik motor itu sendirian untuk menarik perhatian gadis-gadis. Kamu harus segera menghentikan kondisi ini, Dhit," kata Shila sungguh-sungguh.
"Nanti aku marahi Fadhil kalau berani nurunin kamu di tengah jalan. Motor itu dibeli, kan cuma buat nganterin kamu. Jadi nggak boleh ada cewek lain duduk di belakangnya," sahut Adhit tak kalah serius.
"Bukan cuma soal itu aja. Aku nggak mau masalah Donna ini berlarut-larut."
"Berarti kamu udah memikirkan jawaban untuk permintaanku?"
"Yang mana?"
Adhit menunjukkan jari manisnya, membuat Shila langsung tersipu.
"Jawaban kamu itu pemecah masalah paling jitu, Cil. Jadi segeralah bilang 'iya'."
Ketidaknyamanan Shila atas pertanyaan Adhit terselamatkan oleh bel tanda masuk kelas. Sekilas, Adhit sempat memandang ke seberang lapangan di depan kelasnya. Ke arah deretan kelas dua. Kelas tempat Donna sedang berdiri memandang mereka berdua dengan tatapan menusuk yang paling tajam. Adhit memalingkan wajah cepat-cepat ketika pandangan mereka bertemu. Seumur hidup dia tidak pernah membenci orang. Dia selalu menghindari konfrontasi dengan siapapun dan jika harus terjadi, dia akan berusaha mengatasinya dengan kepala dingin dan hati yang lapang.
Tapi pada Donna, kebenciannya berlipat-lipat. Tidak saja karena dia telah berusaha melukai Shila, tapi karena dia juga memaksakan keinginannya pada mereka berdua. Apa dia tidak mau mencari kebahagiaan sendiri? Apapun yang terjadi, Adhit bertekad tidak mau menyerah pada Donna.
Dan langit mencatat hari ini sebagai hari yang akan membelokkan tekadnya kelak.
***
"Mas Adhit pulang bareng aku, yuk! Jemputanku sudah datang." Donna tiba-tiba saja sudah menunggunya di depan kelas. Dan Shila? Ke mana dia? Rasa-rasanya tadi ada di sebelahnya ketika keluar kelas.
"Nyari siapa, Mas? Kan, aku ada di sini!" Donna bersikap sangat manis. Jika saja tingkahnya tidak menyebalkan, Donna bisa menjadi adik manis yang akan Adhit sayangi.
"Kamu duluan aja, Don. Mas, mau pulang sama Kak Shila," kata Adhit sambil berlalu meninggalkan Donna. Adhit masih berusaha ramah kepada Donna karena mereka bertetangga.
"Kak Shilanya juga nggak ada. Mungkin dia sudah pulang duluan. Lagian mendung, Mas. Sebentar lagi hujan. Mending Mas pulang bareng aku, deh."
Mendung?
Adhit menatap langit yang berubah kelabu dengan cepat dan angin dingin pun mulai berhembus. Sudah lama awan mendung dan dingin seperti ini tidak terlihat. Shila selalu tersenyum. Dia bahagia. Apa yang menyebabkan kesedihannya begitu dalam sehingga awan dan gerimis ini tiba-tiba datang? Adhit sangat gusar. Dia berlari menuju satu-satunya tempat yang mungkin didatangi Shila jika suasana hatinya sedang keruh.
"Mas, Mas mau ke mana?" Donna berlari mengikutinya di belakang.
Sekolah sudah mulai kosong. Di kebun Klub Menanam, tidak ada seorang pun yang kelihatan. Adhit mulai risau. Hujan mulai turun. Dia berlari hingga parkiran motor di belakang sekolah. Dilihatnya Fadhil sedang menunggu hujan reda di samping motornya.
"Dhil, liat kakakmu, nggak?"
Fadhil menggeleng. Adhit kembali berlari menuju lab biologi yang terletak di sebelah selatan parkiran motor. Donna sudah tidak mengikutinya lagi. Mungkin dia tak mau seragamnya basah terkena percikan hujan. Karena sesekali, siraman hujan tak bisa dihindari. Firasat Adhit tidak enak. Setahun yang lalu, dia mengetahui telah terjadi sesuatu pada Shila di belakang lab biologi.
Dugaannya benar.
Di ujung parkiran, terhalang tirai hujan yang turun dari atap seng, Adhit melihat Feri memandangnya. Dia berdiri di bawah atap teras lab biologi. Di sebelahnya, Shila memalingkan wajah dari Adhit. Air mata terus turun tanpa suara dari kedua bola matanya. Sama deras seperti hujan yang tercurah dari langit.
Setelah merasa cukup mengirim pesan dengan matanya, Feri meninggalkan Adhit dan Shila yang masih berdiri berhadapan di bawah dua atap yang berbeda. Adhit merasa Shila tak mau memandang dan mengangkat wajahnya. Dan sepertinya dia tahu apa sebabnya.
Setelah menerobos hujan yang turun di antara dua atap, Adhit berdiri di samping Shila dan memandanginya. Diulurkannya tangannya ke wajah Shila. Dipaksanya wajah yang masih menangis itu menghadap padanya.
"Sakit?"
Shila terdiam. Matanya tak mau menatap mata Adhit. Pipinya merah bekas tamparan, tapi tidak bengkak. Rambut dan bajunya berantakan. Seperti tahun kemarin, beberapa orang mengeroyoknya lagi. Dan itu semua gara-gara Adhit.
"Kita pulang?" tanya Adhit sambil berusaha merengkuh bahu gadisnya.
Shila menggeleng. Matanya masih belum mau menatap Adhit.
"Jangan sedih. Nanti akan aku bereskan masalah ini," katanya lembut.
"Kamu akan menjauh lagi, kan?" tuduh Shila. Suaranya bergetar.
"Cil ...,"
Shila menatap mata Adhit. Bukan kesedihan yang tergambar di sana. Tapi kemarahan. Kemarahan yang begitu besar seolah sanggup menguapkan semua air hujan yang turun.
"Aku menangis bukan karena sakit. Atau sedih. Aku marah. Teramat marah!" Shila menatap Adhit dengan amarah yang tertahan. Bibirnya bergetar, mencoba mengatur kata yang terucap agar Adhit bisa menangkap maksudnya.
"Aku benci mereka! Jika mereka menyakitiku, menyuruh menjauhimu, bukan aku yang akan pergi. Tapi kamu. Iya, kan, Adhitya?"
Hanya ada dua kondisi yang membuat Shila menyebut nama Adhit secara lengkap. Ketika marah dan ketika dia begitu cinta. Dan kali ini, dia memanggil nama lengkap Adhit bukan karena sedang berbunga-bunga.
"Cila, kamu tahu aku tidak mau melakukan itu."
"Kamu tahu, Dhit? Seharusnya kamu tadi bertanya pada Feri apa yang terjadi. Aku melawan mereka, Dhit!" Shila melihat mata Adhit sedikit membesar karena terkejut.
"Ya, aku melawan mereka. Feri datang dan mencegah aku menghajar mereka. Kamu nggak kepikiran kalau aku mampu melawan, kan?" Mata itu berapi-api. Adhit tidak sedang melihat Shila yang rapuh seperti setahun yang lalu.
"Aku akan melawan jika disudutkan. Aku lemah karena kamu membuatku tergantung padamu. Tapi kita sudah sepakat, Dhit. Dan aku nggak mau kamu ninggalin aku! Seharusnya tadi Feri membiarkan aku menghajar mereka!" Shila begitu emosional. Dia menendang pot bunga di depan lab biologi hingga pot tersebut terjungkal. Adhit buru-buru menenangkan Shila dan memeluknya erat.
"Sshhh! Sudahlah. Sudah. Aku janji nggak akan ninggalin kamu. Sumpah demi apapun, aku nggak akan memintamu menjauh. Aku janji. Aku janji." Adhit mengecup ujung kepala Shila dan membiarkannya menangis di dadanya.
"Jika kamu sudah tenang, kita pulang, ya?" bisik Adhit membujuk.
"Aku nggak mau pulang ke rumah," katanya di dada Adhit.
"Terserah kamu. Kita pergi ke tempat di mana kamu merasa nyaman."
"Tempat paling nyaman buatku ada di sini. Di pelukanmu. Di sampingmu. Bersamamu," bisik Shila lirih di sela tangisnya.
"Aku tahu. Aku tahu," jawab Adhit sambil menempelkan bibirnya di kepala Shila.
"Jangan tinggalkan aku, Dhit. Jangan pergi lagi."
"Tidak akan. Aku tidak akan ke mana-mana. Aku janji."
Pelukannya semakin erat. Hujan pun turun semakin lebat.
©elopurs - 2019
KELAS TIGA : AFTER THE RAIN
Di tengah hujan yang terus mengguyur, Adhit melarikan motornya dengan Shila membonceng di belakangnya. Dia tadi sudah minta agar Fadhil pulang jalan kaki dan memberi tahu Mama Shila bahwa Adhit akan membawa Shila jalan-jalan dulu. Fadhil sedikit kecewa karena tidak bisa gaya-gayaan lagi dengan motor Adhit. Tapi Adhit memberinya sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih karena sudah menjaga motornya dengan baik. Melihat jumlah uang di tangannya, rasa kecewa Fadhil meruap begitu saja.
Hujan terus turun. Shila masih menangis. Tangannya melingkar erat di pinggang Adhit. Kepalanya rebah di punggung Adhit. Hujan yang dingin terasa hangat. Perlahan-lahan perasaan Shila mulai membaik. Bersamaan dengan redanya kesal dan amarah di hati Shila, tetesan-tetesan hujan pun mulai meninggalkan bumi. Adhit mengelus tangan Shila yang melingkar dipinggangnya. Desahan panjang membalas elusan itu.
Awalnya Adhit memacu motornya tanpa arah tujuan. Namun ketika dia merasakan tangan Shila mulai dingin, dia pun mengarahkan motornya ke perumahan tempat dia tinggal.
"Kenapa kita ke rumahmu?" tanya Shila begitu motor Adhit memasuki garasi rumahnya.
"Bajumu basah. Kalau kita terus motoran dengan baju basah, aku khawatir kamu masuk angin." Dia mengajak Shila masuk ke dalam rumah.
"Tapi mamamu? Aku malu ketemu mamamu dengan kondisi seperti ini."
"Hari ini Mama tidak di rumah sampai sore. Dia ada kegiatan bakti sosial di Kampung Laut."
Shila menggangguk-angguk tanda mengerti. Kedua tangannya memeluk tubuhnya yang mulai menggigil.
"Tunggu di kamarku, ya. Aku akan cari handuk kering dulu untukmu."
Adhit membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan Shila masuk. Meskipun sudah sering berkunjung ke rumah Adhit, tapi baru kali ini dia memasuki kamar pacarnya itu. Aroma dan kehangatan Adhit langsung menyergapnya begitu dia melangkahkan kaki ke dalam kamar.
Untuk ukuran cowok, kamar Adhit sangat rapi. Semua teratur pada tempatnya. Tempat tidur ukuran Queen terletak menyudut di satu sisi. Meja kecil dengan tumpukan buku-buku dan lampu baca terletak di sampingnya. Ada lemari dinding yang besar berseberangan dengan tempat tidur. Pasti itu berisi pakaiannya. Cermin panjang seukuran tubuh terletak di sebelah lemari. Ada lemari dinding kecil di sisi cermin tempat segala peralatan perang Adhit diletakkan. Dan terakhir, meja tulis besar dengan rak buku di atasnya.
Shila mengambil salah satu bingkai kecil berisi fotonya di meja tulis itu. Masih ada beberapa bingkai dengan berbagai ukuran di meja itu. Semuanya berisi foto Shila.
"Tidak ada foto kita berdua, ya, Dhit?" tanyanya ketika Adhit memasuki kamar dan memberikan handuk kering padanya.
"Mmhhh. Ya. Kita memang tidak pernah foto berdua."
"Kita harus punya satu, Dhit. Kapan-kapan kita buat, ya."
"Sekarang juga bisa, kameraku ada filmnya, kok."
"Aku mengeringkan badan dulu. Kamar mandi di mana?"
"Di sini," tunjuk Adhit pada pintu kecil di depan kamarnya.
"Kamu pakai saja shampo atau sabun cair yang ada di sana kalau mau. Aku juga mau mengeringkan badan dulu. O, ya, untuk sementara, kamu pakai kaos dan celana boxer aku aja, ya. Agak kebesaran pasti, tapi daripada pake baju basah? Aku nanti taro bajunya di atas kasur, ya." Adhit memberikan instruksi-instruksi. Shila menggangguk dan menghilang di balik pintu kamar mandi.
Setelah membersihkan diri seperlunya, Shila memasuki kamar Adhit. Dingin. Adhit telah menyalakan pendingin ruangan dan menutup tirainya. Ruangan lebih temaram. Shila mengeringkan tubuhnya dengan handuk lalu membungkukkan badan di dekat tempat tidur untuk mengeringkan rambut. Untungnya celana dalamnya tidak basah karena dia mengenakan celana pendek di balik roknya. Sayangnya bra-nya basah kuyup dan dia harus melepasnya agar tidak masuk angin.
Ketika Shila sudah melilitkan lagi handuk di tubuhnya dan bersiap mengenakan t-shirt Adhit, pintu kamar membuka. Dia lupa menguncinya tadi. Dan tubuh Adhit menyembul di bingkai pintu membuat Shila menahan napas memandangi tubuh Adhit yang terlilit handuk hanya sebatas pinggang.
Dada putih bidang tampak memesona dengan otot-otot lelaki yang menonjol di beberapa tempat . Titik-titik air berkilauan di ujung rambutnya, menunggu waktu yang tepat untuk menetes jatuh. Shila merasakan debaran jantungnya menjadi tak menentu dan tubuhnya kaku.
"Sorry, aku lupa bajuku," kata Adhit sambil melangkah menuju lemari pakaiannya. Shila tak berkata-kata. Dia hanya memandangi setiap gerak-gerik Adhit dan merasa waktu berjalan terlalu lambat.
Tubuhnya panas. Hasratnya membuncah. Dia merasa ada ledakan dalam dirinya yang memohon untuk dilepaskan. Shila bersumpah, jika Adhit tidak juga keluar kamar, dia tidak menjamin masih bisa menahan kakinya untuk tidak berlari dan menubruk tubuh Adhit.
Sedangkan lelaki yang dicintainya itu malah terlihat santai mengambil beberapa helai pakaian dari lemari. Sebelum tangan Adhit menyentuh handle pintu, dia melirik sekilas pada Shila yang berdiri mematung sambil menahan napas. Adhit bisa melihat muka gadisnya yang memerah dan tangannya yang terlalu erat memegang ujung handuk. Kulit tubuhnya yang kuning langsat terlihat menggoda untuk disentuh. Rambutnya yang basah dan ikal, jatuh sempurna di wajah manisnya. Shila terlihat sungguh seksi seperti perempuan dewasa yang matang. Adhit tidak ingin cepat-cepat melewatkan pemandangan indah ini. Dia berhenti di depan pintu untuk melirik ke arah pacarnya.
Pandangan mereka bertemu. Dan pijar-pijar api membakar ranting-ranting yang meranggas. Mereka berdua kehausan dan hanya ada satu cara untuk melepas dahaga. Pikiran jernih Adhit terblokir. Buru-buru diraihnya handle pintu dan menguncinya. Lalu dia berjalan cepat mendekati Shila, melempar pakaiannya ke atas kasur dan menangkupkan kedua tangannya ke wajah Shila. Napasnya memburu. Setengah memaksa, bibirnya membuka bibir Shila dan membiarkan lidahnya menjelajahi mulut Shila.
Apa yang harus terjadi, terjadilah. Shila melingkarkan tangannya ke tubuh Adhit yang telanjang. Dia mengusap-usap punggungnya dan mendengar Adhit mendesah nikmat. Ciumannya semakin liar. Kini Adhit menjelajahi leher Shila dan membuat gadis itu mengerang-erang. Dada Shila naik turun dengan cepat. Tubuhnya lunglai. Bagai sumbat botol yang dilepas, Adhit semakin menggebu menghujani kulit Shila yang terbuka dengan ciuman-ciuman tak berkesudahan.
Dengan tubuhnya, Adhit mengarahkan tubuh Shila ke kasur dan membaringkannya lalu menindihnya. Bibirnya tak pernah berhenti bergerilya di kulit Shila yang dingin. Tangan Adhit mulai bergerak melepas ikatan handuk Shila, membuat napas gadis itu semakin memburu. Kulit tubuh keduanya kini bersentuhan. Tak ada sehelai benang pun yang menghalangi tubuh mereka. Adhit merasakan dada Shila yang pejal mengeras dan dua bukit kembarnya seolah memanggil minta disentuh.
Shila memejamkan mata ketika tangan Adhit bergerilya di tubuhnya. Dia menikmati cumbuan Adhit dengan perasaan bersalah yang nikmat. Pikiran dan nuraninya berusaha memengaruhi dari dua sisi yang berlawanan seolah mencari pembenaran.
Kan Adhit sudah melamarku? Apa lagi yang ditakutkan? Hanya soal waktu sebelum akhirnya aku kehilangan keperawanan di tangan Adhit. Tubuh dan hatiku cuma buat Adhit. Dan aku ikhlas jika Adhit memintanya sekarang.
Ya, aku ikhlas. Bukankah akan lebih baik jika kami melakukannya sekarang? Ada jaminan tak terlihat bagiku dan bagi Adhit. Kami tak bisa dipisahkan. Tapi bagaimana jika nanti aku hamil? Ah, justru lebih baik bukan? Jaminanku akan semakin kuat dan kami benar-benar tak akan terpisahkan.
Shila menempelkan kulitnya pada kulit Adhit. Rasanya aliran listrik mengalirinya sedemikian rupa dan beberapa bagian tubuhnya berdenyut mengharapkan lebih. Dia pun membuka kedua kakinya, memberikan tempat yang lebih leluasa bagi tubuh Adhit untuk masuk. Hanya handuk yang terlilit di pinggang Adhit menjadi pembatas mereka sekarang. Sebentar lagi handuk itu pun akan terlepas dan semua batasan akan menghilang. Mereka akan menyatu seolah sudah dituliskan tangan takdir jika waktu ini akan tiba.
Adhit mengecup lembut bibir Shila dan mengangkat tubuhnya sedikit. Memberi ruang di antara tubuh mereka untuk saling merindukan. Dan bibir Adhit pun meninggalkan bibir Shila, menbuat gadis itu membuka matanya. Di atas tubuhnya, dia melihat Adhit sedang menatapnya dengan pandangan menggoda sambil tersenyum.
"Menikahlah denganku," pintanya ketika pandangan Shila sudah fokus pada wajah tampannya.
"Dhit, i-ini bukan waktu yang tepat."
"Ini waktu yang tepat. Jika kamu bilang 'ya' maka semua yang terjadi saat ini akan segera terwujud. Tak perlu menunggu lama."
"Maksudmu?"
"Kita tidak akan melakukannya hari ini, Cila," katanya sambil merebahkan diri di samping Shila. Buru-buru Shila menutupi dadanya dengan handuk.
"Kamu membuatku terlihat memalukan," kata Shila sambil duduk dan meraih kaos Adhit.
"Kenapa? Karena aku sudah melihat hampir seluruh tubuhmu?" tanya Adhit sambil duduk juga di samping Shila. Matanya memandangi tubuh gadisnya yang hampir telanjang.
"Itu salah satunya. Tidak adil! Kamu jahat!"
"Jadi kamu ingin melihat tubuh telanjangku juga? Nggak masalah," tanyanya sambil bangkit dan berdiri di hadapan Shila. Bersiap untuk melepas handuknya.
"E-eh, jangan! Aku nggak mau liat!"
"Tapi tadi bilangnya mau lihat ...,"
"Nggak jadi," kata Shila ketus sambil mengenakan kaos milik Adhit tanpa sungkan-sungkan. Membiarkan dadanya leluasa untuk dipandangi Adhit. Untuk apa malu? Toh Adhit juga sudah melihatnya dari tadi.
Adhit melakukan hal yang sama. Mengenakan bajunya di hadapan Shila tanpa malu-malu.
Setelah mereka selesai berpakaian, Adhit mendekati Shila yang masih merajuk. Disentuhnya pipi gadis itu.
"Maaf, ya jika aku sudah melakukan perbuatan tadi. Jangan berpikiran aku sengaja membuatmu malu. Tidak. Sama sekali tidak. Aku tadi menginginkannya. Sangat menginginkannya. Aku masih laki-laki normal, kok. Aku tadi ingin kita melakukan segala perbuatan yang biasa dilakukan suami istri." Adhit mengusap bibir Shila dengan jemarinya.
"Aku mencintaimu, Cila," kata Adhit sambil memeluk gadis bermata bulat di hadapannya.
"Tapi aku sadar kita harus melakukan semuanya dengan benar. Jangan sampai membuat malu keluarga. Karena itu ..., menikahlah denganku Cila. Please ..., katakan 'ya'," bisik Adhit lembut di telinga Shila, membuat bulu kuduk gadis itu bergidik. Bibirnya menciumi cuping telinga Shila.
"Ya, aku mau, Dhit. Aku mau menikah muda denganmu," bisik Shila akhirnya di telinga Adhit.
Untuk jawaban yang telah lama dinantikan, Adhit menghadiahi Shila sebuah ciuman panjang dan lama. Kali ini tak terburu-buru, tapi perlahan dan sangat dalam.
***
Febi mengikuti gerak-gerik Shila dengan matanya. Pagi ini, Shila datang ke sekolah dengan wajah semringah dan selalu tersenyum. Sayangnya, tidak ada kesempatan baginya untuk bertanya banyak hal. Hingga bel tanda masuk berbunyi, tangan Adhit dan Shila terus berpegangan. Sesuatu pasti telah terjadi kemarin. Sesuatu yang cepat menyebar seperti kutu rambut. Sesuatu yang membuat atmosfer sekolah mereka dipenuhi berita kasak-kusuk tentang kisah cinta segitiga Donna-Adhit-Shila.
Hari ini tidak ada kegiatan belajar mengajar pada jam pertama hingga istirahat pertama. Hari ini, para calon Ketua OSIS akan berorasi untuk menyampaikan program-programnya. Yang artinya, kepemimpinan Adhit sudah berakhir dan dia akan segera meletakkan jabatannya.
Sebagai Ketua OSIS yang akan dilengserkan, Adhit akan mendampingi para kandidat untuk berorasi dan menyampaikan harapan-harapannya pada calon ketua baru. Dia tidak memerlukan dukungan Shila untuk melakukan itu. Jadi ketika seluruh siswa berkerumun mengelilingi lapangan tengah, Febi memaksa Shila tetap duduk di bangkunya untuk diinterogasi.
"Apa yang sudah terjadi kemarin?" tanyanya mengawali pembicaraan.
"Apa?"
"Jangan pura-pura bego, deh, Shil. Berita cepat menyebar di sekolah ini. Setelah kejadian dengan Donna di parkiran sampai kalian pulang jalan kaki, ada apa lagi? Beneran kamu dihajar lagi sama ADL?"
"Emang, ya, gosip cepet banget menyebar."
"Jadi bener?"
"Yang mana?"
"Duh, ni anak bikin esmosi, deh. Semuanyalah!"
Shila tergelak memandangi Febi.
"Donna bikin ulah. Dia mencoba memonopoli Adhit. Tapi Adhit cukup tegas, sih sama dia. Kemarin, ketika pulang sekolah, aku sesak pipis banget. Tanpa izin sama Adhit, aku langsung ke kamar mandi. Keluar dari kamar mandi aku ditarik ke belakang lab bio sama ADL. Sama seperti yang udah-udah, mereka meminta aku menjauhi Adhit dan ngasih kesempatan sama Donna. Di sini aku mulai curiga. Kok, mereka mendukung Donna dan pas banget momennya sama tingkah Donna yang menyebalkan akhir-akhir ini. Kebetulankah atau sengaja, aku nggak tau. Yang aku tau, salah seorang dari mereka nampar pipi aku keras banget. Aku kaget dan marah. Langsung aku balas cakar dan jambak mereka semua. Hahaha!"
"Kok, kamu malah kesenengan gitu?"
"Ternyata berantem itu asyik, lho, Feb. Seandainya nggak ada Feri, aku pasti sudah menang ngelawan mereka. Eh, tapi kenapa Feri tiba-tiba muncul, ya? Dia lagi ngapain di belakang lab bio?" Shila mengerutkan kening seolah baru menyadari sesuatu.
"Terus, terus, abis itu apa lagi? Masa cuma gitu doang?"
"Abis itu Adhit nemuin aku dan kita berdua hujan-hujanan sampai rumah dia."
"Ke rumah dia? Jauh amat. Kenapa nggak langsung pulang ke rumahmu aja."
"Karena aku nggak mau pulang ke rumah dalam kondisi babak belur."
"Terus di rumah Adhit ngapain aja?" desak Febi.
Shila tidak segera menjawab pertanyaan sahabatnya. Mukanya menghangat, dia memalingkan wajah dan memandang keluar jendela mengingat kejadian memalukan sekaligus menyenangkan yang hampir terjadi kemarin. Jari-jari tangannya memainkan cincin emas bermata merah delima yang melingkar di jari manis tangan kirinya.
"Shil?" Febi menyentuh bahu Shila. "Apa yang terjadi di rumah Adhit?" Dia memandang sahabatnya yang asik senyum-senyum sendiri dari pada menjawab pertanyaannya. Membuat Febi semakin curiga dan penuh rasa ingin tahu.
©elopurs - 2019
KELAS TIGA : MARRY ME?
Tahun pelajaran yang tersisa hampir berjalan normal. Donna, terkadang masih bersikap menyebalkan. Tapi Adhit punya cara untuk mengatasinya. Lama-lama gangguan Donna menjadi semacam bumbu penyedap yang dirindukan bila tidak ditambahkan ke dalam masakan.
ADL sudah tidak berani lagi mengganggu Shila. Bukan karena Adhit membuat perjanjian dengan mereka tapi karena Shila sekarang sudah berubah menjadi singa hamil yang merasa terancam jika teritorialnya diganggu. Menyeramkan! Dan Adhit tidak perlu cemas lagi tentang hal ini. Kadang sambil bercanda, Adhit justru mengatakan, jika dia yang harus waspada sekarang. Karena siapa tahu Shila khilaf dan berniat menyakitinya. Biasanya Shila langsung menghujaninya dengan cubitan dan pukulan sayang.
Tentang lamaran Adhit ..., ada satu cerita khusus untuk ini. Jadi ketika Adhit dan Shila gagal bercinta sore itu, Mama Adhit memberi Shila sesuatu. Cerita lengkapnya begini ...
Sore itu setelah mereka berpakaian rapi, mereka keluar dari kamar Adhit dan menyantap hidangan di meja makan. Ada satu aturan di rumah besar Adhit, jika tidak dipanggil atau ada urusan yang sangat penting, para bibik tidak boleh memasuki rumah bagian dalam. Jadi Adhit juga tidak perlu khawatir ada yang melaporkan perbuatan yang hampir saja terjadi di antara mereka.
Ketika mereka sudah selesai makan, Mama Adhit datang. Karena tidak ada rahasia di antara Adhit dan mamanya, Adhit pun menceritakan kejadian yang menimpa Shila. Mama Adhit mengelus pipi Shila lembut.
"Maaf, ya, Shil, karena mencintai Adhit kamu jadi begini. Tapi Tante harap kamu nggak kapok buat jatuh cinta sama Adhit, ya?" ujar perempuan cantik itu.
Shila mengangguk. "Adhit sudah menceritakan tentang rencananya kepada Tante. Dia ingin segera menikah denganmu begitu lulus SMA. Tante, sih tidak keberatan. Tapi kita, kan harus minta persetujuan orang tua kamu juga. Karena menikah bukan untuk main-main apalagi jika hanya untuk mensahkan napsu semata. Kalau Adhit, Tante tahu dia seperti apa. Dia sangat dewasa melebihi umurnya. Dia juga sangat bertanggung jawab. Dia pasti bisa menjadi suami yang baik untukmu dan tidak merepotkan kami atau orang tuamu nantinya. Tapi tetap saja, keputusan ini bukan hanya dari pihak kami, orang tua Adhit. Tapi juga dari pihak orang tuamu. Jika mereka tidak ada masalah, kita bisa mulai menyusun rencana," kata Mama Adhit panjang lebar. Dia memandang Shila dan Adhit yang duduk di depannya bergantian.
"Untuk sementara, sebagai pengikat kalian berdua, Tante ingin memberi sesuatu padamu, Shila." Mama Adhit berjalan menuju kamarnya dan membiarkan Shila dan Adhit berpandangan tak mengerti.
Tak berapa lama Mama Adhit keluar dari kamar dan membawa sebuah kotak beludru kecil di tangannya. Dia duduk rapat di sebelah Shila dan mengeluarkan sebentuk cincin dari kotak itu. Diraihnya jemari Shila dan dimasukkannya cincin emas dengan batu merah delima ke jari manisnya. Shila berusaha menarik kembali jarinya tapi Mama Adhit lebih kuat menahan.
"Tante ..., i-ini ...."
"Cincin ini peninggalan turun temurun keluarga Tante. Diberikan kepada anak perempuan atau menantu perempuan pilihan. Kamu telah membuat hidup Adhit lebih bahagia dan bermakna. Kamu sangat tepat mengenakannya. Pakailah jika kamu masih mencintai Adhit. Jika tidak mencintainya lagi, kamu boleh mengembalikannya."
Kini ganti Shila yang memandangi Mama Adhit dan Adhit bergantian. Setelah puas memandangi mereka, dia memandangi cincin di jarinya. Lama. Cukup lama. Sangat lama untuk membuat mereka yang ada di ruang keluarga terkejut dengan suara seseorang.
"Kalian semua sedang apa berkumpul di sini? Mas Adhit, hari ini ada les, kan? Aku bawa beberapa teman yang mau les dengan Mas juga."
"Donna! Kamu seharusnya bisa lebih sopan. Mengetuk pintu atau mengucap salam ketika masuk ke rumah orang. Jangan asal nyelonong begitu saja!" hardik Mama Adhit.
Donna tidak menjawab. Pandangannya tajam mengamati Shila yang duduk rapat di samping Mama Adhit dan mengenakan baju dan celana Adhit yang terlihat kebesaran di tubuhnya. Rambut Shila yang masih basah dan acak-acakan sangat mencurigakan di mata Donna. Apalagi sikap Shila yang sedikit gugup dan seperti berusaha menyembunyikan sesuatu di tangannya.
"Siapa teman-teman yang kamu maksud, Don?" tanya Adhit mencairkan suasana kurang nyaman yang timbul karena kehadiran Donna. Donna pun melangkah keluar rumah untuk memanggil teman-temannya.
"Sepertinya kita harus memasang kunci ekstra untuk mempersulit Donna masuk rumah, Mah," kata Adhit dengan suara rendah. Mama tersenyum geli mendengar usulan Adhit. Dia yang kurang suka dengan perangai Donna, memilih pergi ke kamarnya.
"Aku mau pulang saja, deh, Dhit. Rasanya aku bakalan kena stroke kalau berdekatan dengan Donna. Dia luar biasa mengerikan!" Shila pun berjalan ke kamar Adhit untuk mengambil barang-barangnya.
Ketika dia kembali ke ruang keluarga, Shila dikejutkan dengan penampakan wajah-wajah yang sangat dikenalnya. Mereka memandangi Shila dan Shila juga memandangi mereka bergantian.
"Cil, kenalin ini teman-teman Donna yang juga mau les sama aku. Mereka semua anak kelas dua."
"Ya. Aku sudah kenal dengan mereka semua. Semoga kali ini mereka bisa menggunakan mulut dan tangannya untuk hal-hal yang lebih baik," kata Shila dingin. Adhit sedikit terkejut mendengar suara Shila. Tapi dari perubahan pada wajah-wajah mereka, Adhit sudah bisa menarik benang merah dari ucapan Shila.
"Aku mau pulang sekarang. Aku pulang naek angkot aja, ya, Dhit?"
"Aku antar!" sahut Adhit tegas. Dia menoleh pada Donna dan teman-temannya. "Kalian belajar sendiri saja dulu. Mas mau antar Kak Shila pulang."
Tidak ada yang berani membantah ucapan Adhit, termasuk Donna, apa lagi setelah ketahuan jika mereka adalah pelaku penganiayaan terhadap Shila. Setelah pamitan pada Mamanya, Adhit mengantar Shila pulang. Sesampainya di depan rumah Shila, sebelum Adhit beranjak pergi, dia mengatakan sesuatu yang membuat Shila tersipu.
"Nanti malam, kamu boleh bermimpi meneruskan kejadian tadi. Sampai ketemu besok pagi, Sayang. I love you. Eh, satu lagi, kita sudah resmi bertunangan jadi jangan mencoba berbuat macam-macam, ya!" ucapnya sambil mengecup pipi Shila lembut.
***
"Jadi kalian udah tunangan, dong?" tanya Febi dengan suara pelan. Hampir serupa bisikan.
"Menurut Adhit begitu." Shila memainkan cincin yang masih terlihat longgar di jari manis tangan kirinya. Nanti dia akan meminta Mama melakukan sesuatu dengan cincin itu supaya tidak longgar lagi. Mama pasti tahu caranya.
Dipandanginya Febi yang bertopang dagu memandanginya dengan khusyuk. Pikirannya menembusi tengkorak Shila seolah ingin mengorek segala hal yang terjadi padanya. Shila memalingkan wajah, dia tak ingin Febi tahu jika dia menyembunyika kejadian memalukan yang hampir terjadi antara dirinya dengan Adhit. Membayangkannya saja sudah membuat dia tersipu. Entah apa yang dipikirkan dirinya dan Adhit waktu itu. Terutama dirinya. Adhit sudah melihat tubuhnya. Oh, Tuhan!
"Terus kapan kalian menikah?" Febi masih terus mengorek cerita dari Shila.
Di saat seperti ini, Shila berharap bel berbunyi dan mereka mulai belajar lagi. Tapi gempita di lapangan tengah menyurutkan harapannya. Entah sudah kandidat ke berapa yang berorasi. Setelah orasi, seluruh murid akan masuk ke kelas masing-masing dan mereka akan diminta untuk melakukan voting. Begitu yang biasa terjadi pada saat pemilihan Ketua OSIS baru.
"Belum tahu, Feb. Orang tuaku aja belum tahu kalau Adhit berniat melamar."
Mendadak ujung jari Shila terasa dingin. Membayangkan memberi tahu kepada Papa dan Mama bahwa mereka ingin segera menikah, itu sama saja menjatuhkan Shila ke dalam bara api yang membara. Masalahnya dia bukan pemain kuda lumping atau memiliki ilmu kebal seperti pemain debus, dia cuma Shila yang tergila-gila sama Adhit dan pasti terbakar habis jika dijatuhkan ke dalam bara. Ugh!
Jantung Shila berdetak terlalu kencang. Lebih kencang dari saat Adhit berada di atas tubuhnya. Ah, ingatan itu lagi. Dia harus segera memodifikasi ingatannya segera agar jangan part itu yang selalu muncul.
Tiba-tiba teman-temannya berdesakan masuk ke dalam kelas. Sepertinya orasi sudah selesai dan voting akan segera dimulai. Astaga, mereka berdua bahkan tidak tahu nama-nama para kandidat. Shila mencari wajah Adhit di antara wajah-wajah yang masuk. Adhit pasti tahu siapa yang lebih layak dipilih sebagai ketua baru.
Dan wajah itu terlihat. Tersenyum menawan dan berjalan mendekatinya. Entah sudah berapa kali Shila jatuh cinta padanya. Rasanya, meski telah bertemu berjuta-juta kali dengan Adhit, tetap saja dia merasa jatuh cinta padanya seperti saat pertama kali bertemu.
"Kok, nggak keluar kelas?" tanya Adhit saat sudah duduk di bangku belakang Shila. Dan jika Adhit sudah bertemu Shila, dunia menjadi milik mereka berdua. Febi pun mengajak teman lain mengobrol soal para calon ketua OSIS baru.
"Biasa. Febi ngajak ngegosip. Eh, siapa calon yang bagus? Aku nggak tahu nama-namanya."
"Makanya, keluar biar bisa tahu program-program mereka."
"Aku ngikut kamu ajah. Siapa?"
"Mana bisa begitu? Nggak punya pendirian itu namanya."
"Ih, kan kita udah tunangan. Jadi pilihanmu pilihanku juga." Shila mengerling jahil menggoda Adhit.
"Sukanya ngikut-ngikut. Kalau aku terjun ke jurang? Kamu ikut?"
Shila mengangguk.
"Kalau aku terbakar api, kamu ikut juga?"
Shila mengangguk.
"Kalau aku tiba-tiba gila?"
Shila mengang .... eh, menggeleng.
"Aku tetap waras untuk membuat ingatanmu balik lagi." Senyumnya mengembang pada Adhit.
"Kalau aku menyuruhmu pergi?"
Air muka Shila berubah muram.
"Aku pura-pura nggak dengar. Kamu sudah berjanji nggak akan pergi," katanya sambil membalikkan badan dan pura-pura sibuk mencari sesuatu di kotak pensilnya. Adhit menyentuh bahu Shila, gadis itu menelengkan kepalanya sedikit.
"Iwan. Nama calon yang bagus itu Iwan. Dan ..., maafin omonganku tadi, ya. Aku nggak akan ngomong seperti itu lagi," ujarnya lirih.
Benarkah? Lalu mengapa perasaan tidak enak di hatinya belum juga reda? Seperti ada yang mengganjal di hati dan pikirannya. Namun kedatangan panitia pemilihan yang membawa kotak kardus dan meminta siswa kelas 3 IPA 1 melakukan voting, mengalihkan lamunannya.
***
Ini menyeramkan! pikir Shila.
Bagaimana caranya memberitahu Mama dan Papa kalau mereka berniat menikah muda? Kemarin-kemarin, pikirannya tidak fokus pada masalah ini karena mau UAS. Tapi setelah pembagian rapor, Adhit memaksa mau bilang sama Mama dan Papa secepatnya.
"Lebih cepat lebih baik," katanya.
Apa coba yang bakal dipikirin Papa dan Mama? Kalau Mama, pasti sudah melotot jahat pada Shila. Mungkin Mama akan berpikiran kalau dia hamil. Apalagi setelah kejadian kehujanan itu, Mama sering bertanya padanya apa Shila sudah kedatangan tamu bulanan? Ya, Mama pasti curiga jika mereka sudah melakukan 'itu'.
Sedangkan Papa? Shila nggak bisa ngebayangin apa yang bakal diucapkan beliau. Papa nggak banyak bicara. Dia lebih sering menuruti apa kata Mama. Bisa jadi untuk masalah ini, Papa akan menyerahkan segala keputusannya pada Mama.
Sebenarnya tidak ada hal yang memalukan jika nanti dia dan Adhit menikah muda. Dilihat dari sudut manapun, menikah dengan Adhit itu anugerah. Yang bikin orang mengerutkan kening adalah umur mereka yang kelewat kecil, meski sudah dibolehkan secara hukum.
Apa kata orang nanti, ketika tahu mereka menikah pada umur yang baru 18 tahun sedangkan Adhit 19 tahun?
"Karena cinta," jawab Adhit enteng.
Hahhh .... mana ada yang percaya?
Orang-orang itu akan bergosip. Bila perlu membicarakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Mereka akan bilang perut Shila yang aslinya rata, seolah-olah terlihat sedikit gembung dan tubuhnya juga lebih gemuk. Apa Adhit pernah memikirkan apa pengaruhnya bagi nama baik orangtuanya? Mereka akan dicap sebagai orangtua yang tidak sanggup mendidik anak atau membekali anak dengan ilmu agama yang baik, sehingga anak semata wayang mereka menghamili anak gadis orang.
"Mama sama Papa tidak perduli pada hal-hal seperti itu. Mereka bisa menjelaskan alasannya jika ada yang bertanya. Kenapa kamu risau banget, sih? Kan kita memang tidak melakukan apa-apa," ujarnya, "mmm, belum, sih. Tapi akan!" Godanya sambil mengerling jahil.
See?! Dia bisa begitu tenang menghadapi permasalahan seperti ini. Gimana bisa, coba dia bersikap setenang itu? Seolah permasalahan mengajak menikah ini seperti mengajak kencan malam minggu saja.
"Cil, berhentilah memainkan cincinmu itu. Pakai betul-betul. Dan hentikan juga gerakan kakimu. Coba atur napas dan fokus pada hal yang akan kita bicarakan."
Sempat-sempatnya Adhit memperhatikan gerakan-gerakan pengalih gugup yang sedang dilakukan Shila. Dan bagaimana dia bisa setenang itu mengobrol dengan Fadhil sambil menunggu Papa selesai makan?
"Kok, kamu bisa bersikap tenang banget, sih?" bisik Shila.
"Aku juga gugup. Dan juga takut. Kalau mereka menolak, bisa-bisa kita malah disuruh saling menjauh."
Adhit benar. Kalau malam ini Papa dan Mama menolak lamaran Adhit, bisa-bisa mereka malah menyuruh Shila menjauh dari Adhit. Dan itu bisa berarti akhir dunia buat Shila.
"Maaf, ya, jadi lama menunggu," kata Mama sambil membawa secangkir kopi milik Papa. Itu artinya Papa sudah selesai makan.
"Om kalau makan malam sukanya belakangan. Dia nunggu waktu Isya dulu. Sedangkan kami yang sudah kelaparan makan duluan. Jadinya Si Om makan sendirian, deh. Paling Tante cuma nemenin ambil ini itu sambil cerita ini itu." Tanpa ditanya, Mama sudah bercerita panjang lebar.
"Wah, maaf, nih jadi pada nunggu Papa makan, ya? Apa kabar Bapak sama Ibu Mas Adhit?" Papa muncul dari balik tembok pembatas ruang tamu dan duduk di hadapan Shila. Adhit menyenggol kakinya ketika tanpa sadar tangan Shila melepas dan memakai cincin pemberian Mama Adhit berulang kali. Shila gugup.
"Mereka sehat, Om," jawab Adhit pendek sambil tersenyum. Shila pikir, Adhit mungkin punya bakat psikopat. Dalam momen segugup ini dia bersikap biasa saja. Seolah sedang berbincang dengan teman akrab.
"Jadi ada masalah apa, nih? Kalian mau minta izin untuk pergi liburan lagi?" tanya Papa sambil menyesap kopinya.
Merasa pembicaraam sudah mengarah pada hal yang lebih spesifik dan tidak seharusnya dia ikut nimbrung, Fadhil pun menyingkir meninggalkan kami. Suasana sedikit hening. Suara bibir Papa yang menyentuh panasnya kopi membuat Shila makin gugup. Kehangatan meninggalkan ujung jari-jari kaki dan tangannya. Dia memejamkan mata dan mengatur napas. Mencoba meredakan rasa gugup dan takut yang bercampur aduk.
Apa pun keputusan Papa dan Mama malam ini, Shila tidak boleh salah dalam bersikap. Terutama, jangan sampai dia dan Adhit salah dalam menyampaikan berita ini.
"Adhit mau minta izin dari Om dan Tante untuk menikahi Shila. Lebih cepat lebih baik. Kalau bisa, ketika kuliah, kami sudah resmi menjadi suami istri. Om dan Tante tidak perlu khawatir soal biaya hidup. Adhit sanggup menafkahi Shila. Membayari kuliahnya juga sanggup. Jangan khawatir soal anak. Shila belum hamil dan kami tidak berencana punya anak dalam waktu dekat."
Seluruh perkataan Adhit mengalir lancar dan tenang. Justru Shila yang bolak-balik menahan napas karena khawatir dengan reaksi Papa dan Mama. Seperti sudah diduga sebelumnya, Papa dan Mama cukup terkejut dengan kata-kata Adhit. Papa tersedak kopi panas dan menumpahkan sebagian isinya. Dan Mama ..., walau sikapnya tenang, air mukanya jelas menunjukkan kegusaran hatinya.
"Ini bukan lamaran resmi, Om, Tante. Kalau Om dan Tante sudah setuju, orangtua Adhit nanti akan datang," lanjut Adhit tanpa menghiraukan reaksi orang tua Shila.
Dan kini, kedua orangtua Shila memberikan perhatian penuh pada dua remaja yang mencoba menjadi dewasa lebih cepat. ©
- o0o -
MALAM
Aku benci malam mengganti pagi
Karena ia akan membawamu pergi
Bersama dengan terbangunnya hari
Batas dari kenyataan dan mimpi-mimpi
KELAS TIGA : SYARAT DARI PAPA
Jawaban Papa dan Mama Shila sungguh di luar dugaan. Alih-alih melarang dan tidak memberi restu pada mereka berdua, Papa dan Mama malah menyambut bahagia niatan Adhit untuk menikahi Shila setelah lulus SMA.
"Mama justru cemas seandainya kalian pergi kuliah ke kota lain dan lepas dari pengawasan orangtua. Bukannya Mama tidak percaya pada kalian berdua, tapi apa pun bisa terjadi jika sudah terlalu sering berduaan. Khilaf itu tidak butuh waktu lama. Jika kesempatannya ada dan tak ada yang mengawasi, Mama dan Papa mau bilang apa kalau sudah terlanjur terjadi. Banyak contohnya di sekitar kita, Shil." Mama memandang Shila dengan sorot keibuannya.
"Mama nggak takut sama anggapan orang-orang kalau nanti Shila dikira hamil duluan?" tanyanya.
"Selama ini, kan kamu dalam pengawasan Mama dan Papa. Waktu akan membuktikan kalau kamu memang tidak hamil. Asal sungguh-sungguh kalian berjanji untuk menunda kehamilan sampai lulus kuliah dan Adhit sudah bekerja permanen," jawab Mama.
"Dan satu hal dari Papa, kalian berdua harus masuk Perguruan Tinggi Negeri. Terutama kamu Shila. Setelah masuk, baru kita bicara soal pernikahan," ujar Papa mengakhiri pembicaraan malam itu.
Di lain waktu, ketika hanya ada Shila dan Mama, sebagai seorang ibu, Mama mengungkapkan uneg-unegnya.
"Tidak ada dalam pikiran Mama untuk melepas kamu secepat ini, Shil. Tapi sejak melihat Adhit, melihat cara pandang dan sikapnya padamu, Mama yakin bahwa kamu memang akan menikah muda dengannya. Siapapun bisa melihat bagaimana cara dia menjagamu. Kadang terlalu over. Kadang Mama melihat, dia jauh lebih tua dari umurnya. Padahal kalian hanya berbeda beberapa bulan saja. Cara bicara dan pemikirannya membuat Mama menggigil, seolah dia terlahir di tahun yang sama dengan Mama. Adhit sangat mencintai dan menjagamu, itu yang bisa Mama simpulkan. Seribu tahun kamu hidup, belum tentu akan ada lelaki seperti dia yang mencintaimu. Mama percaya sama Adhit." Shila melihat mata Mama berkaca-kaca ketika mengatakan semua itu. Dan ada satu butiran bening di sudut matanya.
"Ma ...." Shila memeluk Mama dan menciumi pipinya.
"Kamu pasti bahagia dengannya. Dia anak baik. Tapi sebelum itu, kamu harus ingat syarat yang diajukan Papa. Setelah kalian berdua masuk di Perguruan Tinggi Negeri, baru boleh Adhit dan keluarganya datang ke rumah kita." Mama mengecup kening Shila.
"Ingat Shila, jangan buru-buru jadikan Mama nenek. Mama belum mau terlihat setua itu!" pesan Mama kemudian. Mereka berdua tergelak mendengar kelakar Mama.
Apalagi yang dikhawatirkan sekarang? Semua berjalan sebagaimana seharusnya. Menjelang Ebtanas, Adhit menghentikan kegiatannya memberi les private pada Donna dan teman-temannya. Dia akan fokus mengajari Shila agar nilai ujiannya bagus dan bisa masuk PTN seperti yang disyaratkan Papa.
Dihentikan sepihak seperti itu membuat Donna sangat kesal. Dia mulai bikin ulah. Sebagai ganti waktu lesnya yang hilang, setiap ada kesempatan dan waktu luang, dia pasti menyambangi Adhit di rumahnya. Sayangnya, Adhit kini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Shila.
Mama Adhit yang menyadari perjuangan yang sedang dilakukan Adhit dan Shila, harus merelakan waktu dan kesabarannya untuk menghadapi Donna. Gadis itu tidak bisa ditolak baik-baik dan hanya Tuhan yang tahu apa rencana-rencananya untuk memikat Adhit.
Pernah pada waktu tengah malam, dia membangunkan seisi rumah Adhit karena katanya dihantui mimpi buruk. Orangtua Donna sudah membujuk agar Donna mau pulang ke rumahnya dan tidur di kamarnya. Tapi Donna menolak. Dia menangis dan memaksa tidur di rumah Adhit. Karena tidak mau menimbulkan kehebohan dan memancing kedatangan security yang sering patroli, Mama Adhit pun mengizinkan Donna menginap. Dengan satu syarat, Donna tidur di kamar tamu dan harus pulang pagi-pagi sekali. Malam itu, Adhit mengunci pintu kamarnya. Suatu hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Dia juga menyumbat telinganya dengan kapas berlapis-lapis setelah didengarnya ketukan-ketukan halus di pintu dan handle yang bergerak naik-turun.
Sejak itu, Donna sering memaksa menginap. Dan jika keluarga Adhit tak bisa menolak, Mama memilih begadang hingga pagi untuk mengawasi Donna agar tidak keluar kamar diam-diam. Lama-lama Donna bosan dan dia sudah tidak melakukan muslihat itu lagi.
Di sekolah pun sama saja. Dia sering memaksa Adhit mengantarnya pulang atau memaksa Adhit menemaninya selama jam istirahat. Tapi untuk niatnya itu, Donna harus berhadapan langsung dengan Shila. Tanpa sungkan atau perasaan tak enak, Shila langsung mengambil tindakan jika Donna sudah memaksa diantar pulang oleh Adhit.
"Maaf, ya, Donna, setiap pulang sekolah, Mas Adhit pulang sama Kakak. Jadi silahkan cari Mas-mas lain yang nganggur untuk mengantarmu pulang. Dan Kakak tegaskan, jangan lagi-lagi memaksa Mas Adhit untuk menemanimu. Kalau dia bilang tidak mau itu artinya tidak mau. Kalau dia sudah tidak suka, jangan dipaksa. Nggak baik suka maksa laki-laki, kamu jadi cewek harus punya harga diri, dong!" kata Shila sambil menarik tangan Adhit menjauh dari Donna. Dia mengajak Adhit duduk di bangku kantin yang kosong.
Adhit memandangi Shila dengan kagum ketika mereka duduk berhadapan.
"Apa?" tanya Shila sedikit judes ketika Adhit masih tersenyum memandanginya.
"Aku tersanjung dipertahankan seperti itu. Rasanya seperti benar-benar dimiliki sama kamu."
"Jadi selama ini, kamu ngerasa aku nggak sungguh-sungguh sayang sama kamu?"
"Bu-bukan begitu. Hanya saja, selama ini aku ngerasa kamu pasif, terlalu menurut pada apa yang aku bilang."
"Mmm. Mungkin karena sekarang aku lebih yakin. Karena kita sudah tunangan!" Shila menunjukkan cincin pemberian Mama Adhit di jari manisnya.
"Eh, sudah nggak longgar lagi? Jangan-jangan kamu makin gendut, ya?"
"Enak saja! Mama menggulung benang di sisi bagian dalam. Jadi terlihat pas di jariku." Ditunjukkannya sisi bagian dalam yang berlapis gulungan benang.
Sejak itu, Donna tidak pernah lagi memaksa minta di antar pulang oleh Adhit. Apa dia menyerah? Untuk sementara mungkin ya. Tapi tidak pernah ada yang tahu apa yang direncanakannya. Dia masih sering bertandang ke rumah Adhit diam-diam. Dan pada kedatangannya yang terakhir-terakhir, Donna sudah mulai mengubah perangainya. Dia jauh lebih sopan, lebih manis, dan lebih tulus.
Sepertinya dia sudah mulai bisa menerima kenyataan bahwa tidak ada gunanya memaksakan pgerasaannya pada Adhit. Dan karena Donna sudah bersikap sangat manis, Adhit pun melunakkan hatinya. Sesekali dia mau juga menemui Donna dan berbincang dengannya. Kadan-kadang Adhit merasa seperti menemukan kembali adik yang telah lama menghilang.
***
Hasil Ebtanas sudah keluar dan sudah diumumkan. Sesuai prediksi, Adhit menjadi juara umum. Selain itu dia juga mendapat PMDK dari Kedokteran UGM. Sedangkan Shila, hasil ujiannya tidak terlalu memuaskan tapi juga tidak terlalu buruk. Perjuangannya masih panjang untuk masuk PTN, seperti yang disyaratkan oleh Papa. Dia ingin kuliah di kampus yang sama dengan Adhit, tapi tentu saja untuk masuk ke sana bukan hal yang mudah meski juga tidak mustahil.
"Kamu pasti bisa, Cil. Aku akan mengajarimu siang malam. Lagian kamu juga mau ikut bimbel, kan di Jogja? Kita cari fakultas yang sesuai dengan kemampuanmu. Kamu harus rajin ikut try-out supaya terbiasa dengan soal-soal UMPTN. Demi masa depan cinta kita, Cil."
Adhit selalu menyemangatinya. Mudah baginya bicara seperti itu. Otaknya seencer air putih. Dan dia sudah lulus dari persyaratan Papa. Shila bisa melihat kebanggaan di wajah Papa dan Mama saat tahu calon menantunya adalah calon mahasiswa kedokteran. Sedangkan dia, belum ada bayangan akan kuliah di mana.
Seluruh rencana pernikahan ini ada di tangannya. Bisa segera terlaksana jika dia resmi menjadi calon mahasiswa baru sebuah PTN atau ditunda setahun menunggu kesempatan tahun depan.
"Shila mau daftar bimbel di Jogja!" ujarnya bersikeras.
"Ya, tunggulah Papa dapat cuti baru bisa Papa antar ke Jogja," kata Mama.
"Nggak perlu Papa antar. Shila mau ikut rombongan Febi naik bis. Kita berangkat sehabis perpisahan sekolah."
"Sama Adhit?"
"Adhit mungkin nggak ikut, Mah. Dia, kan udah lulus PTN. Paling dia ke Jogja cuma buat registrasi aja. Tapi belum tau kapan."
"Terus di Jogja kamu mau ke mana? Kita nggak punya sodara di sana, lho."
"Kita mau nginap di rumah neneknya Febi semalam atau dua malam. Sambil mencari kosan yang dekat dengan bimbel."
"Nantilah Mama pikir-pikir dulu. Kalau sama Adhit Mama masih tenang tapi kalau nggak sama Adhit Mama masih ragu ngelepas kamu."
Dan negosiasi dengan Mama sangat alot. Sealot daging rendang setengah matang yang di makan nenek-nenek nggak punya gigi. Baru setelah Adhit bilang akan mengawal Shila ke Jogja, Mama memberi lampu hijau.
"Buat apa kamu ke Jogja? Kan udah dapet PMDK. Nggak perlu bimbel lagi." Dia sebenarnya keberatan kalau Adhit ikut. Takut konsentrasinya terpecah.
"Aku, kan harus memastikan calon isteri aku baik-baik saja dan nggak berbuat macam-macam. Selain itu, aku juga bermaksud mencari rumah sewa untuk sarang cinta kita nantinya. Sebelum Papa dan Mama membelikan kita rumah sebagai hadiah pernikahan," jawabnya santai.
Apa katanya tadi? Sarang cinta. Ugh!
Tiba-tiba Shila ingat pada hari itu. Hari di mana dia dan Adhit hampir melakukan sesuatu yang belum saatnya. ©
HUJAN DI TERMINAL KOTA
Hari keberangkatan tiba. Mama dan Papa mengantar Shila sampai terminal dan meninggalkan dia bersama teman-temannya. Ada belasan anak yang akan pergi. Rasanya seperti akan study tour saja. Ramai, penuh canda, dan bahagia.
Mereka sudah resmi menanggalkan seragam putih abu-abu. Pesta perpisahan sudah dilaksanakan kemarin. Banyak teman mereka yang memilih tidak hadir pada acara perpisahan dan langsung pergi ke kota tujuan untuk langsung mendaftar bimbel. Membayangkan akan melanjutkan studi di kota berbeda, tanpa seragam, teman dan lingkungan berbeda membuat mereka sangat bergairah sekali.
"Shil, mana Adhit? Bis kita sudah mau pergi, lho." Rio yang mendeklarasikan diri sebagai ketua rombongan membagi-bagikan karcis kepada teman-temannya.
"Nggak tau, nih. Dia seharusnya udah datang. Nggak biasanya telat," jawab Shila khawatir. Dia dan Adhit janjian mau ketemu langsung di terminal.
"Jadi gimana, nih. Karcis udah terlanjur dibeli, lho."
"Kalian duluan aja, deh. Biar aku yang tunggu dia. Nanti aku naik bus terakhir aja," jawab Shila lagi sambil memberikan sejumlah uang kepada Rio.
"Bener, ya, nggak apa-apa? Nggak enak, nih kamu jadi sendirian."
"Beneran! Nggak papa, kok. Paling sebentar lagi dia datang. Kalian duluan aja." Shila mencium kedua pipi Febi dan melambai padanya ketika mereka menaiki bus.
Satu jam
Dua jam
Tiga jam
Sudah tiga jam Shila duduk di terminal dan Adhit belum juga kelihatan. Apa yang terjadi padanya? Tidak biasanya dia ingkar atau lupa pada janji-janjinya. Shila mulai gelisah dan berjalan mondar-mandir di dekat kursi tunggu. Matahari merangkak naik, udara makin panas.
Apa yang harus dia lakukan sekarang? Mendatangi rumah Adhit? Bagaimana jika mereka selisih jalan? Dia ke rumahnya dan Adhit sedang dalam perjalanan ke mari? Shila pun memutuskan untuk menunggu.
Satu jam
Dua jam
Tiga jam
Teman-temannya pasti sudah sampai di Jogja saat ini dan dia masih di sini tanpa kepastian. Apakah harus tetap menunggu? Atau memilih pulang dan menghubungi rumah Adhit? Shila mulai khawatir. Telepon koin di terminal tidak berfungsi dan tidak ada wartel di sekitar sini. Dia kesal, lelah, dan tubuhnya mulai gemetar karena khawatir.
Apa yang terjadi dengan Adhit? Ini di luar kebiasaannya. Adhit tidak akan membiarkannya menunggu tanpa kepastian. Pasti telah terjadi sesuatu pada Adhit. Sesuatu yang buruk!
Air mata mulai mengalir di pipinya. Titik-titik hujan mulai turun. Shila duduk di salah satu bangku tunggu dan menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Dia tidak ingin menangis tapi air matanya meleleh. Dia kesal. Kesal dan khawatir. Apa yang sesungguhnya terjadi? Semakin lama waktu berjalan, perasaannya semakin tidak menentu. Dia semakin yakin jika telah terjadi sesuatu pada Adhit. Pasti! Tapi apa? Bagaimana? Berdiam diri tanpa kepastian seperti ini tak ada gunanya.
Aku harus ke rumah Adhit untuk mencari tahu!
Baru saja dia mengangkat wajah, pandangannya menangkap sosok yang sejak tadi ditunggunya. Dia mengembus napas lega. Namun Adhit yang sedang berdiri di seberang jalan dan memandanginya dengan mata lelah, tidak terlihat seperti Adhit yang biasa. Tak ada gairah dan kebahagiaan di matanya. Bahunya melorot dan raut wajahnya seolah mengatakan permohonan maaf yang sangat dalam.
Perlahan dan dengan langkah lunglai, dia berjalan ke arah Shila. Tetesan hujan bagai berlian berjatuhan di kepalanya. Setelah dia duduk di samping Shila, pandangannya tertunduk. Menekuri lantai cor yang telah coak di sana sini.
"Kamu masih tetap menunggu? Kupikir kamu sudah pergi."
"Aku akan menunggumu. Aku sudah janji."
"Seharusnya jangan," katanya sedih, membuat Shila terkesiap.
"Apa maksudmu, Dhit. Kita sudah sepakat. Kamu suruh aku menunggu dan aku menunggu."
"Hhh. Cila, Cila. Tidak seharusnya kamu menuruti semua kata-kataku. Bagaimana jika ternyata aku tidak sebaik yang kau kira? Bahwa ternyata, aku cuma seorang berengsek yang tidak bisa menjagamu apa lagi membahagiakanmu."
"Kamu ngomong apa, sih, Dhit? Kamu aneh banget, deh. Ada kejadian apa, sih?" tanya Shila mulai khawatir.
"Cila ..., kamu tahu tidak? Bahwa ternyata kita tidak boleh membuat keputusan tanpa persetujuan dari langit. Seperti hujan yang kamu turunkan hari ini, misalnya. Saat kamu menurunkannya, sudahkah kamu minta izin pada langit? Kamu menarik awan hujan tanpa sepengetahuan langit. Kamu memaksakan takdir. Pikirkan Cila! Seandainya langit marah, apa yang akan dilakukannya padamu?"
"Dhit, kamu bikin aku takut. Ada apa sebenarnya?"
"Cila, dengar baik-baik kata-kataku ini. Karena aku tidak akan mengulanginya untuk kedua kali."
Adhit menatap wajah Shila. Ada rindu di sana. Juga kesedihan dan penyesalan. Jika saja ada remote untuk mengatur waktu, Adhit ingin menekan tombol berhenti. Biar saja waktu mati pada saat dia dan Shila seperti ini. Tidak perlu bertambah satu detik, karena pada lompatan hari sekalipun, tidak ada kebahagiaan untuk mereka.
Walaupun harus menatap wajah penuh air mata itu selamanya, Adhit ikhlas. Yang penting hanya wajah Shila yang dia temukan saat matanya menutup dan membuka.
Selarik air mata jatuh di pipi Adhit. Nestapa apa yang terjadi sehingga telaga bening itu menumpahkan isinya? Telaga yang kini serupa pusaran air bergejolak yang ingin menenggelamkan apa saja. Sesuatu yang menyedihkan dan menyakitkan telah terjadi ketika Shila dan Adhit tak bersama. Dan sesuatu itu telah melesakkan pedihnya di tenggorokan Shila, sehingga dia hanya bisa berurai air mata menatapi butiran bening kedua jatuh di pipi Adhit.
"Cila..., sekalipun aku tidak lagi bersamamu, kamu harus tahu bahwa cintaku tetap milikmu. Hatiku telah kuserahkan padamu. Aku akan hidup jika kamu tetap hidup. Jadi jangan pernah melakukan hal-hal bodoh untuk menyakiti diri sendiri. Karena jika kamu mati, aku pun tak ingin hidup lagi. Cila ..., jangan pernah mencariku lagi setelah ini. Dan jangan mencoba bertanya mengapa aku melakukan semua ini. Itu akan mendatangkan rasa sakit yang tidak akan kamu sukai. Lupakan aku, Cila. Anggaplah aku tidak pernah ada. Dan ..., Berbahagialah."
Adhit memeluk tubuh Shila yang gemetar lalu mencium ujung kepalanya dengan sangat lama dan mendalam. Dengan berat hati, dia meninggalkan Shila yang menggigil dan masih berusaha mencerna kata-katanya. Adhit tak memberinya kesempatan untuk bicara.
Apa katanya tadi? Cinta? Bahagia? Jika memang cinta, mengapa harus pergi? Jika memang cinta, mengapa tak bisa dipertahankan? Apa yang tidak bisa diperjuangkan? Mereka telah melewati banyak hal dan beberapa kali lulus ujian. Kali ini, mengapa berbeda? Mengapa dia tak boleh mencari sebab dan alasannya?
Tiba-tiba ribuan jarum menusuki dada Shila. Sakitnya bukan kepalang. Dia pun menekuk tubuh, tapi rasa sakit itu tak kunjung pergi. Rasanya dia ingin melompat-lompat hingga isi dadanya rontok. Agar rasa sakitnya berjatuhan dan menghilang. Rasanya dia juga ingin berteriak sekuat-kuatnya dan memaksa hujan membawa Adhit kembali padanya. Tapi yang terjadi, Shila hanya memandangi derasnya hujan yang turun semakin rapat. Hujan yang telah membawa pergi kekasihnya dan mengikis kepercayaan dirinya hingga habis.
Hujan deras telah membawamu pergi selamanya.
Dalam pusaran waktu yang sebentar lagi abadi.
Hujan juga telah menyembunyikan kenanganku. Mimpi-mimpi. Harapan-harapan.
Jika bisa berkendara dengan hujan, akan kubawa kau pergi selamanya.
Pada tempat hujan bermuara. Dan kita adalah tetesannya.
Tapi hujan yang gigil telah memakuku dalam beku.
Karna kata yang serupa doa orang-orang suci, telah memintaku untuk menepati janji.
Apa yang salah pada hujan yang turun hari ini?
Dia hanya berupa tetesan yang minta diberkati. Memberi tanpa mengharap kembali.
©
JANJI TERAKHIR
Perempuan paruh baya itu terlihat lelah sepulangnya dari bepergian. Dia membaringkan tubuhnya di sofa. Berkelebat potongan-potongan gambar seorang gadis lemah yang berbaring memunggunginya. Seolah seluruh kehidupan akan terhisap dari tubuh itu.
Cairan infus mengalir melalui selang kecil yang tergantung di tepi tempat tidur. Tanpa bantuan infus, mungkin sudah lama gadis itu tersendat-sendat napasnya. Hujan di luar turun deras sekali. Air mulai tergenang di mana-mana. Bahkan dapur keluarga Shila sudah penuh air berhari-hari. Entah apa yang telah terjadi di atas langit. Apa mereka tahu kedukaan yang dialami gadis itu?
Dua hari yang lalu, Mama Shila datang ke rumah Adhit. Dengan berurai air mata, Mama Shila menceritakan semua kejadian yang dialami putrinya. Bagaimana dia pulang ke rumah dalam hujan deras dengan berjalan kaki. Tubuhnya langsung ambruk setelah Papa Shila membukakan pintu. Sejak itu tatapannya kosong, pikirannya kosong, telinganya tak bisa mendengar apa pun dan mulutnya mengunci. Satu-satunya yang tampak hidup dari dirinya adalah air mata. Air mata yang terus mengalir dari kedua bola matanya tanpa henti meski tak ada makanan dan minuman masuk ke dalam tubuhnya.
Makin hari, tubuh Shila makin lemah. Matanya terus menutup dan tubuhnya mulai demam. Mama dan Papa tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada Shila. Febi yang menelepon dari Jogja juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Terakhir kali dia meninggalkan Shila di terminal, Shila sedang menunggu Adhit. Dengan ditemani Papa, Mama akhirnya memberanikan diri menemui keluarga Adhit untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Dia seperti tidak memiliki gairah hidup lagi. Tidak mau makan. Tidak mau minum. Bahkan sekarang, telinganya tidak bisa mendengar suara. Mulutnya pun tidak mau berbicara. Tiap kali dia mencoba mengucapkan sesuatu, yang keluar adalah tangisan. Tangisan yang tak mau berhenti. Dokter bilang dia syok berat. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Dan kenapa Adhit tidak pernah datang menemuinya?"
Mama Adhit tidak lekas menjawab pertanyaan Mama Shila. Dia menggenggam tangan suaminya dan menangis di dadanya. Apa yang harus dia katakan? Mulai dari mana? Keadaan anaknya tidak lebih baik dari Shila. Adhit masih bisa makan. Masih mau minum. Dia juga bisa berjalan ke sana ke mari. Tapi tiap malam ..., tiap malam Mama mendengar isak tangis dari kamarnya. Adhit mungkin masih hidup tapi sesungguhnya dia telah mati.
Apa rasanya menjadi seorang ibu yang melihat putra satu-satunya sedang menghancurkan diri pelan-pelan? Bahkan saat ini, ketika Mama Shila datang dan menceritakan keadaan Shila, dia pasti sedang menangis diam-diam dari balik pintu. Tapi apa yang bisa Adhit lakukan? Pilihan-pilihan mana yang harus dia ambil? Yang manapun pilihannya, tetap akan ada hati yang tersakiti. Dan dia memilih menyakiti dirinya dan Shila. Mereka tidak boleh bahagia. Tidak bisa bahagia. Jika kebahagiaan itu dibangun di atas penderitaan gadis lain. Adhit percaya, Shila pasti mengerti segala keputusannya.
Setelah Mama Adhit menceritakan semua yang terjadi pada Adhit, kedua perempuan yang harus melihat anak-anaknya saling menyakiti hanya bisa berpelukan sambil menangis. Mama Adhit berjanji akan menjenguk Shila jika waktunya tepat.
"Bagaimana keadaannya, Mah?" Suara Adhit membangunkan Mama dari lamunannya. Dia membuka mata dan menatap sosok Adhit yang semakin ceking dan cekung. Oh, Tuhan berikan dia jalan dan kekuatan untuk menghadapi masalah ini.
"Sama menyedihkannya dengan dirimu. Sepertinya Shila tidak berniat hidup lagi. Hanya dia dan Tuhan yang tahu apa yang ada di pikirannya," ucap Mama sendu.
"Mama sudah mengatakan semua yang Adhit minta?" Adhit menatap Mama penuh harap.
"Sudah. Tapi apa gunanya? Telinganya tidak mendengar apa pun. Saat Mama menyentuh kulitnya, tubuhnya sangat panas. Dan matanya tidak mau membuka. Tapi matanya terus mengeluarkan air mata. Mama rasa ..., Mama merasa dia tidak akan bertahan," isak tangis keluar dari mulut Mama. Masih terasa di kulitnya jari-jari Shila yang panas ketika dia melingkarkan cincin merah delima.
"Tidak! Shila tidak boleh mati, Mah! Shila harus tetap hidup! Jika Shila mati maka Adhit juga mati! Mamah harus berbuat sesuatu padanya!" Adhit mengucek kepala dan mulai berteriak histeris.
"Kenapa tidak kamu katakan sendiri padanya? Semua ini bisa berakhir kalau kamu ketemu Shila! Dengar, Dhit!" Mama memegang kedua tangan Adhit dan menyuruhnya duduk di sisinya.
"Mama akan berikan semua yang Mama punya. Bawalah Shila pergi jauh dari sini, Dhit. Pergilah kalian berdua ke tempat baru untuk memulai hidup baru. Kamu tidak harus mengambil tanggung jawab seperti ini, Dhit. Umurmu masih muda. Dan ini bukan salahmu! Tidak ada yang bisa menyalahkan kamu! Kamu juga berhak untuk bahagia. Pergilah, Dhit! Pergilah dengan Shila!"
Adhit menepiskan tangan Mamanya. Mengacak rambut lagi dan memegangi kepala dengan kedua tangannya.
"Adhit tidak bisa, Mah. Tidak bisa! Bayangan kematian Dhita begitu lekat saat melihat tubuh Donna berlumuran darah. Adhit tidak bisa menyaksikan satu kematian lagi karena Adhit. Bayangkan! Coba Mama bayangkan seandainya Donna sadar dan melihat tubuhnya yang cacat. Bagaimana perasaannya nanti, Mah? Dan semua itu karena Adhit!"
"Kamu sudah membayangkan bagaimana perasaan Shila? Apa yang membuatmu merasa benar dengan mengorbankan perasaan Shila?" Mama menatap mata Adhit yang tanpa cahaya. Hanya luka dan kesakitan yang terbias di sana.
"Entahlah, Mah. Adhit tidak tahu. Hanya saja Adhit yakin jika Shila bisa melewati semua ini dan bertahan hidup. Dia gadis yang kuat," ujarnya lirih.
Adhit memandangi hujan yang masih terus turun berhari-hari. Dia tahu hujan itu sedang membujuknya untuk kembali. Hujan mengetuk pintu dan juga jendela-jendela untuk menjemputnya dan membawanya pergi. Jika hanya ada hatinya dan hati Shila di dunia ini, dengan senang hati Adhit akan memberikan tubuhnya untuk dibawa hujan. Ke tempat di mana kesedihan dan kedukaan tak bisa menyentuh mereka berdua. Tapi saat ini, dia hanya bisa merasai air mata dan kesedihan Shila pada setiap tetesan yang turun ke tanah dan memercik di kaca jendela. Saat dia memejamkan mata, dia bisa mendengar tangisan Shila yang menyatu dengan nyanyian hujan. Disapu angin sayup-sayup dan berputar-putar di gendang telinganya.
Adhit membuka pintu dan berjalan tanpa alas kaki ke halaman. Dia membentangkan tangannya dan membiarkan titik hujan menusuki kulitnya. Mulai saat ini, hujan adalah kehidupannya. Hujan adalah nyawanya, kebahagiaannya. Hujan adalah Shila. Jika hujan turun, dia akan merasakan keberadaan Shila.
"I love you, Cila," bisiknya pada tetesan hujan yang menyentuh lembut bibirnya.
"Tetaplah hidup dan aku akan terus mencintaimu. Selalu."
~o0o~
Di kegelapan dan keheningan, Shila mendengar suara dan melihat cahaya.
Apakah aku sudah mati?
Kamu belum mati. Pakailah selalu cincin itu jika kamu mencintai Adhit. Berbahagialah.
Cincin bermata merah masih tetap melingkar di jari Shila. Cincin yang sudah dia lepas dan berikan pada Mama sebelum kesadarannya hilang. Dia sempat minta agar Mama mengembalikannya pada Mama Adhit. Tapi kini cincin itu melingkar lagi di jarinya. Sepertinya cincin ini tahu jika cintanya pada Adhit masih kelewat besar.
Shila mendengar suara-suara. Bukan suara manusia berbicara. Tapi desiran halus yang mengalun bagai anak-anak nada yang berbaris. Dengan susah payah Shila berusaha mencabut jarum infus di jarinya dan dengan susah payah pula dia berusaha mengumpulkan tenaga yang tersisa. Langkahnya begitu gontai dan lemah saat berjalan ke luar rumah. Hujan masih turun deras sekali. Sederas matanya yang selalu basah.
Tubuhnya yang panas terasa sejuk saat air hujan menyiraminya merata-rata. Angin kecil berputar di atas kepalanya dan menyentuh lembut pipinya. Shila mengusap kehangatan yang tertinggal di pipinya. Membawa kehangatan itu di jarinya dan menciumnya seperti mencium bibir seorang kekasih.
"I love you too, Adhit. Aku janji akan tetap hidup supaya bisa merasakan kehangatanmu yang dibawa air hujan. Tak peduli meski kamu menyuruhku pergi, aku akan tetap mencintaimu sampai mati."
Shila membiarkan hujan melingkupi tubuhnya. Rasa dingin menggigiti kulitnya, namun hatinya terasa hangat. Dan dia merasa bisa bertahan dan hidup lebih lama dengan perasaan ini.
~o0o~
MENUNGGU HUJAN
Aku masih menunggu hujan turun
Menunggu butirannya membentuk siluet tubuhmu
Ada nyanyian juga rintihan tersembunyi dalam teriakan hujan
Meronta menjerit ingin ungkapkan ketakberdayaan
Aku masih berharap pada hujan yang turun di gurun pasir
Sejuknya memberi gairah pada tanah-tanah gersang tak bertuan
Beningnya membuat silau mata pada kecantikan yang ingin direguknya
Aku masih berharap selalu turun hujan
Membuatku sadar, ada dunia yang masih aku tunggu untuk kutinggali
Memberi tahu, ada milyaran mulut yang tak bisa bernapas tanpa hujan.
Desember telah membawa hujanku pergi.
Ia singgah di Januari dan tak ingin kembali
©
Perjumpaan Baru
Dia melihat cowok itu ketika sedang mengantre di wartel. Bagi anak kosan, sebelum jam enam pagi adalah waktu terbaik untuk menelepon karena diskon interlokal yang sangat murah. Jadi bisa dipastikan kalau anak kuliahan yang antri di wartel ketika embun masih penuh di daun pasti anak rantau yang harus laporan kepada orang tuanya. Termasuk dirinya.
Dengan mata masih mengantuk dan belum gosok gigi, Shila menunggu dengan sabar cowok itu selesai menelepon. Hari ini, penjaga wartel hanya membuka satu bilik telepon karena yang mengantre tidak terlalu ramai. Diam-diam Shila mengagumi rambut gondrong milik cowok itu. Dari belakang, yang ada di kamar telepon itu terlihat seperti cewek. Tapi ini belum jam enam dan suasana sangat hening, sehingga tawa yang pelan pun terdengar cukup nyaring. Perempuan, mana ada yang suara tawanya ngebass?
Rambut gondrongnya terlihat lurus dan tebal. Berulang kali dia mengibaskan rambut layaknya bintang iklan shampo. Sebagai perempuan berambut ikal syemrawut, tentu saja Shila iri melihat cowok yang rambutnya setaraf bintang iklan internasional. Dalam hati Shila bertanya-tanya, cowok kayak apa, sih yang punya rambut gondrong tapi terawat?
Harapannya terkabul. Cowok itu berdiri di depannya. Jaketnya lusuh, celana jeansnya sobek-sobek, kulitnya terbakar matahari, tapi aroma tubuhnya sungguh menyegarkan. Perpaduan aroma kayu-kayuan dengan spearmint. Dan ketika dia mengibaskan rambutnya di depan Shila, aroma hair tonic yang biasa dipake di salon menyeruak masuk ke hidung Shila.
Biasanya cowok dekil identik dengan bau badan dan jarang mandi. Namun cowok yang sekarang sedang berdiri di depan kasir itu, membuat seorang Shila merasa nyaman dan ditenangkan. Perasaan hangat yang sudah lama hilang, muncul kembali.
"Teh, jadi nelpon apa enggak?" tegur Ade, penjaga wartel yang baru lulus SMA.
"Eh, oh, iya, ja-jadi, De." Shila bergegas masuk ke bilik telepon lalu memutar nomor telepon rumahnya. Hari ini hari Minggu. Karena di kosan Shila tidak ada telepon maka dia yang selalu memberi kabar ke rumah setiap Minggu pagi.
Sebenarnya Papa sudah menawari untuk membeli ponsel. Namun karena harganya lumayan mahal, Shila menolak dibelikan. Lagi pula dia tidak terlalu membutuhkan alat komunikasi modern itu. Tidak untuk saat ini.
Saat ini Shila lebih membutuhkan dana segar, karena dia ingin segera mengajukan skripsi. Dan untuk menambah pengalaman, dia ingin melakukan penelitian di luar Bandung. Shila sudah menghubungi beberapa perusahaan dan ada satu perusahaan yang sesuai dengan kriterianya. Tempatnya di Bogor. Proposalnya sudah disetujui jurusan, dia tinggal mengambil data ke Bogor.
"Hallo? Ma? Sehat? Shila agak masuk angin karena semalam begadang. Ma ..., Shila mau skripsi ke Bogor. Boleh?"
Hampir tiga tahun Shila kuliah di Bandung. Dia tidak sempat ikut UMPTN sehingga Papa mendaftarkannya ke FE Unpad program Diploma III, jurusan akuntansi yang berkampus di sekitaran Dipati Ukur. Selama di Bandung, Shila menghabiskan waktu hanya untuk belajar agar cepat lulus. Jika dulu dia tidak suka belajar, kini dia menjadikan buku-buku sebagai pelariannya.
"Mama tenang aja. Shila berdua sama teman ke Bogornya. Dia memang asal sana jadi nanti nginap di rumahnya."
Selama kuliah, Shila membatasi pergaulan. Bukan saja karena dia takut terjerumus ke dalam lingkungan pergaulan bebas yang seolah melekat pada siswa jurusannya, tapi dia takut terluka lagi. Sedangkan luka lama yang dia derita masih sering mengeluarkan nanah dan terasa nyeri.
Tiga tahun sudah dia menutup diri. Menghilang dan tak ingin dilacak. Bahkan kedua orang tuanya mengajukan mutasi ke Bontang tidak lama setelah dia menjadi mahasiswa baru. Tiga tahun juga air matanya kering, hatinya membatu, dan senyumannya dingin. Pijar-pijar di bola matanya padam. Shila seperti mati. Kini dia sadar, mencintai itu tidak boleh berlebihan. Karena sakit saat kehilangan rasanya bisa berlipat-lipat.
"Tahun depan Shila harus wisuda lalu lanjut ambil ekstension. Abis tu baru cari kerja. Papa kapan pindah ke Jawa lagi?"
Selama hampir tiga tahun Shila di Bandung, dia hanya ketemu keluarganya setahun sekali sewaktu libur lebaran. Tiket PP ke Bontang tidak bisa dibilang murah. Di luar waktu itu, dia berdiam diri di Bandung. Cari kerja sambilan atau ambil kuliah semester pendek. Tidak sedikit pun dia menginjakkan kaki atau berniat mengunjungi Cilacap. Baginya, dia sudah selesai dengan kota itu.
Namun dia merasa, jika keluarganya rindu pulang ke Jawa. Apa lagi menurut Mama, ada posisi kosong di Cilacap yang sesuai untuk Papa. Artinya, ada peluang bagi Papa untuk mendapatkan promosi. Ini sangat berarti sekali bagi karir Papa. Namun pulang ke Cilacap sama seperti merobek luka lama. Di kota itu kenangannya masih tertinggal. Di kota itu, sebagian hatinya telah terkubur. Sekadar mengingat saja membuat sayap-sayap kelelawar menggelepar di dada Shila.
"Shila baik-baik aja, Ma. Jangan karena Shila, Papa batal dapat promosi. Shila nggak serapuh dulu. Shila kuat, kok!" Shila berusaha meyakinkan Mama jika dirinya tidak apa-apa.
Mama dan Papa telah berkorban banyak untuknya. Sampai harus pindah segala agar Shila bisa membuka lembaran baru kehidupannya dan tidak dibayang-bayangi kota yang telah menorehkan rasa sakit di hatinya.
"Shila pasti pulanglah, Ma. Cuma Shila nggak akan keluar rumah. Cilacap kota kecil, Shila nggak mau ambil resiko."
Selama tiga tahun, dia atau pun keluarganya tidak pernah mengungkit peristiwa itu dan juga nama itu. Mama juga paham, jika Shila berkeliaran di Cilacap, ada kemungkinan dia akan bertemu dengan orang itu. Dan Shila tidak akan pernah siap untuk saat itu.
"Dia pasti masih di Cilacap, Ma. Shila yakin."
Sekalipun dia dan seseorang itu tidak saling mencari, tapi Shila yakin jika mereka berdua saling menunggu. Entah siapa yang akan meruntuhkan hatinya dan mengalah terlebih dahulu. Namun sejak dulu dia hanya seorang pengikut yang menurut pada setiap perkataan Alfanya.
"Nanti Shila kasih tau kapan mau ke Bogornya. Papa kirim aja dulu uang perjalanannya. Yang pasti Shila ngejar wisuda tahun depan. Kalo bisa, sih pas Shila wisuda Papa udah pindah ke Jawa. Yaa, biar nggak berat di ongkos," katanya sambil menghela napas perlahan. Dia harus memberi kesan jika dirinya baik-baik saja.
Shila sudah pernah merasakan sakit yang teramat sangat, sakit stadium paling tinggi. Sakit seperti apa lagi yang bisa membuatnya terpuruk? Shila merasa hatinya sudah kebas. Bahkan air matanya sudah dibawa pergi hujan dan entah disembunyikan di mana.
"Sudah dulu, ya, Ma. Shila mau ke Gasibu. Mau cari sarapan. Dahh, Mama. Salam buat Papa dan Fadhil."
Shila mengakhiri telepon interlokalnya. Suara printer dot matriks memecah keheningan pagi. Diliriknya arloji di pergelangan tangan, masih banyak waktu untuk refreshing ke gasibu. Dia pun bergegas keluar dari bilik telepon.
Di luar bilik, matanya bertemu pandang dengan seseorang. Jeda beberapa detik, sebelum akhirnya seseorang itu berdiri dari duduknya dan tersenyum lebar padanya.
"Hai!" sapa seseorang itu.
©elopurs - 2019
__________________
IG celopurs
???
Kilasan
Cowok itu tersenyum kikuk memandang Shila yang juga sama kikuknya.
"Punten, ah. Notes saya ketinggalan di dalam," katanya sopan.
"Oh, eh, iya, silakan," kata Shila lalu menggeser tubuhnya dari depan bilik telepon. Dia sedikit malu karena tadi sempat ge-er. Sambil senyum sendiri, dia melangkah menuju kasir dan membayar biaya percakapan dengan Mama tadi.
Sewaktu menunggu kembalian, dia mendengar pintu bilik telepon berderit. Sebenarnya dia ingin menoleh, ingin tahu ke arah mana cowok gondrong dan wangi tadi pergi. Tapi dia gengsi. Jadi yang dilakukannya hanya berdiri tegak dan pura-pura melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 lewat sepuluh. Masih ada waktu untuk ke Gasibu.
"Ini, Teh, kembaliannya. Nuhun, ya! Punten lama nungguin," kata Ade, penunggu wartel.
"Nggak papa, De. Nggak buru-buru, kok. Udah sarapan belum, De?" tanya Shila.
"Mana sempat atuh, Teh. Tadi aja buka wartel karena digedor si Ipank. Kalau enggak, Mah, nggak bakal buka da masih molor." Ade bersungut-sungut sambil menguap. Aroma pagi belum gosok gigi membuat Shila mengibaskan tangannya di depan hidung.
"Gosok gigi dulu, gih! Aku mau ke Gasibu, nanti aku beliin bubur ayam. Mau, nggak?"
"Ya mau atuh. Masa rezeki ditolak. Eh, pake sate ati, ya, Teh." Ade cengar-cengir menyebutkan permintaannya.
Shila termasuk salah satu anak kosan yang sering membangunkan Ade subuh-subuh. Jadi sesekali dia membalas kebaikan pemuda itu dengan membelikannya makanan.
"Dasar! Udah gratis masih nawar. Ya, udah aku berangkat dulu, ya!" Shila melambaikan tangan pada Ade dan berlari kecil ke pinggir jalan Jalaprang. Menunggu angkot yang akan membawanya mendekati Gasibu.
***
Suasana Minggu pagi di Gasibu luar biasa padatnya. Sopir angkot banyak yang malas melintas di kemacetan dan memilih mencari jalur alternatif yang lebih lengang. Shila diturunkan sebelum Telkom dan dia harus berjalan kaki menuju keramaian di Gasibu. Bergabung dengan ratusan atau mungkin ribuan pejalan kaki yang memenuhi lapangan Gasibu dan seputaran gedung Telkom.
Tujuan mereka bermacam-macam. Dari mulai sekadar cuci mata, belanja, kulineran, ikut senam pagi atau bahkan jualan. Banyak anak mahasiswa yang buka lapak di sini. Ada yang jualan makanan, minuman, hasil kerajian, buku dan kaset bekas, atau menjual jasa.
Selain mencari sarapan yang unik dan enak, biasanya Shila ke Gasibu untuk berburu komik atau novel bekas. Dia suka sekali membaca Donal Bebek. Dan Minggu pagi menjadi agenda tetapnya untuk berburu majalah Donal Bebek bekas. Namun kali ini, Shila hanya ingin jajan cilok dan membelikan bubur ayam untuk Ade. Dia sedang tidak punya uang lebih untuk membeli majalah.
"Cila! Tunggu!"
Reflek, kepalanya menoleh mendengar panggilan itu. Langkahnya juga terhenti.
"Mau ke mana Neng Cila, teh? Jangan cepet-cepet jalannya atuh!" Seorang ayah muda terlihat sedang membuntuti gadis kecil usia balita yang berlari girang ke arah penjual mainan.
Shila mendesah. Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia harapkan? Setelah sekian lama, apa yang dia rasakan? Tidak mungkin masa lalunya mengikuti dia sampai ke Bandung. Lagi pula, dia mendengar kabar jika masa lalunya itu sudah menikah dan pasti sudah lupa padanya.
Tempat bahagianya pun sudah berubah.
Shila memainkan cincin bermata merah delima di jari manisnya. Tak sekalipun dia pernah melepas cincin itu. Sebenarnya pernah sekali dia meminta Mama mengembalikan cincin tunangannya, tapi pemilik asli cincin menolak untuk menerima kembali.
"Pertunangannya mungkin batal. Tapi saya percaya, perasaan keduanya tidak berubah. Cincin itu sudah di jari yang tepat." Mama pulang dengan membawa kembali cincin itu.
Cincin pertunangannya dengan Adhitya. Selamanya, dia akan menempatkan diri menjadi tunangan Adhit. Selama cincin itu melingkar di jarinya, selama itu pula perasaannya akan tetap terjaga.
Shila mengembuskan napas. Romantisnya Kota Bandung belum bisa menghapus jejak perasaannya pada Adhit. Tidak ada cinta baru yang bisa menggantikan cinta yang lama. Dia tidak mencari, cinta juga tidak menghampiri.
"Mang, ciloknya lima ribu," pesan Shila pada penjual cilok yang pertama ditemui. Mamang cilok mengangguk dan mulai meracik, sementara Shila meluaskan pandangannya kepada pejalan kaki yang lalu lalang.
***
Dia tahu gadis itu tinggal di kota ini. Meskipun dia tidak ingin peduli, tapi berita dan cerita tentangnya selalu saja didapat tanpa sengaja. Seolah pertanda bahwa dia tidak boleh melupakan gadis itu.
"Oi, ngalamun aja! Inget istri di rumah, jangan tergoda mojang priangan!" sepupunya yang kuliah di ITB menepuk pundaknya. Dia tersenyum getir mendengar kata 'istri'.
"Rame banget, ya? Apa tiap pagi begini?" tanyanya pada sepupunya yang asik menikmati sepiring kupat tahu. Dia sendiri mengaduk-aduk piring isi batagornya. Makanan yang selalu mengingatkan dia pada gadis itu.
"Cuma tiap Minggu pagi aja. Ini udah masuk waktu liburan jadi banyak wisatawan dadakan kayak kamu yang menuh-menuhin Bandung," kata sepupunya menjelaskan.
"Oh, gitu. Eh, tadi sempet kulihat ada yang jualan mawar. Itu mahal, nggak?"
"Ya bedalah sama harga di kebunnya langsung. Kalau kamu suka beli aja daripada penasaran," jawab sepupunya sambil menyerahkan piring kosong kepada mamang kupat tahu.
"Enggak usah. Ntar aja di Lembang biar puas."
"Emang mau buat apa, sih kamu nyari bunga banyak-banyak, Dhit? Istri kamu mau bisnis bunga hias?"
Adhit tersedak. Sudah setahun lebih dia menyandang status suami. Tapi rasanya masih janggal mendengar kata 'istri' di telinganya.
Sepupunya menyodorkan gelas mineral padanya. "Enak kamu, mah. Masih kuliah tapi udah dibolehin nikah. Segitu cintanya sama istrimu, ya? E, tapi istrimu cantik banget, sih. Jadi wajar kalau kamu takut kehilangan."
Perutnya mendadak terasa seperti diaduk-aduk, seolah ada topan di lambungnya yang sedang mengamuk. Setiap orang yang dia temui, rata-rata berkomentar sama. Dia begitu sayang dan cinta pada istrinya sehingga belum lulus kuliah pun dia sudah menikahi istrinya itu. Padahal tidak begitu kenyataannya. Sayangnya tidak semua orang tahu cerita sebenarnya.
"Udah, yuk! Jalan lagi. Kamu, kan tour guidenya, abis ini kita ke mana?" tanya Adhit sambil meletakkan piring yang masih banyak isinya di kolong kursi.
"Keliling Gasibu sebentar, yuk. Siapa tahu ada barang unik yang bisa dibeli."
Sepupunya menyerahkan sejumlah uang kepada mamang jualan untuk membayar makanan mereka.
"Eh, nyobain cilok, yuk! Kamu pasti belum pernah makan, kan?"
"Kamu belum kenyang juga? Tadi barusan ngabisin sepiring kupat tahu."
"Masa pertumbuhan, Brother! Kamu seharusnya makan banyak, badanmu kurus banget."
Mereka berdua mendekati penjual cilok. Seorang gadis dengan jaket denim panjang dengan rambut dipotong sangat pendek baru saja meninggalkan mamang cilok. Adhit memandangi punggungnya yang menjauh dan berbaur di keramaian. Sosok belakang gadis itu yang terlihat sepi, mengingatkannya pada sosok Shila sewaktu kelas dua, ketika dia memutuskan agar mereka berdua saling menjauh untuk sementara. Adhit suka diam-diam memandang punggung Shila yang terlihat rapuh seolah akan terjatuh.
Tapi gadis itu tidak mungkin Shila. Pemilik hatinya itu tak mungkin memotong rambut ikalnya yang akan terlihat semakin ikal dan mengembang jika dipotong terlalu pendek. Adhit tersenyum ketika ingat kejadian sewaktu kelas tiga. Ketika rambut Shila yang belum lama di papan kembali ikal karena kehujanan.
"Heh, ngapain senyum sendiri. Udah dibilang inget istri di rumah. Gini, nih kalo suami ganteng liburan nggak bawa istri. Rawan digoda dan tergoda."
"Ah, bisa aja, kamu. Udah belum jajannya? Pulang, yuk! Aku pengen ke Lembang secepatnya biar bisa cepet pulang."
"Udah kangen istri, ya?" goda sepupunya sambil meninju pelan bahu Adhit.
"Kangen Mama," jawab Adhit sambil senyum. Sepupunya menunjukkan ekspresi tak percaya.
Setelah membayar mamang cilok, mereka berdua berjalan kaki menjauh dari Telkom untuk menunggu angkot yang mengarah ke Cicaheum.
"Apa nama jalan rumahmu itu, Ki?" tanya Adhit pada sepupunya, Zaki, ketika mereka sudah di dalam angkot. Dia mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu.
"Jalaprang," jawab sepupunya pendek. ©
________________________
Buat yang kangen Bandung. Seputaran Jalaprang, Gasibu, dan Sukaluyu.
Semoga kangennya terobati. ?
Description: Shila, cewek yang kalo nangis bisa nurunin hujan. Yang kalo ketawa matanya bersinar-sinar. Ketika Adhit, cowok popular satu sekolah yang ganteng dan tajir mlintir, nunjukin tanda kalo suka padanya, Shila berusaha menyangkal.
Nggak mungkin seorang Adhit yang bisa dapetin cewek mana aja buat jadi pacarnya, malah suka ama dia. Cewe biasa yang juga nggak suka rasa sakit.
Dan ketika akhirnya mereka pacaran, terbukti kalau berhubungan sama idola sekolah emang nggak mudah.
__________________________________
#meninlockuniverse
|
Title: Romantic Nights In Amethyst Island
Category: Fantasi
Text:
| Amethyst Island |
~
Setelah melakukan perjalanan jauh yang memakan waktu lebih dari tujuh jam perjalanan kini mereka sampai di El-PeeDa Airport salah satu Bandara terbesar di pulau ini ( Amethyst Island). Matanya masih terpaku pada Jam digital yang menunjukan pukul 22.00 malam waktu setempat, dua pemuda dan satu orang gadis itu tak henti-hentinya berdecak kagum selepas dari Terminal kedatangan Bandara itu, Interior nya yang kuno nampak cantik diikuti dengan pemilihan atap Bandara yang nampak seolah nyata pada abad ke dua puluhan, merasa sudah puas berlama-lama memandangi ruangan itu sudah saatnya mereka segera bergegas keluar dan segera mencari tempat penginapan terdekat. Nyatanya malam ini prediksi cuaca menunjukan situasi yang ekstrim, Badai angin kencang diperkirakan akan melanda kota ini. Mau tak mau mereka harus cepat menemukan penginapan itu.
Satu langkah dari pintu keluar Bandara salah satu mobil klasik berhenti tepat di depan mereka berdiri, sang supir membuka kaca jendelanya menatap mereka dengan mimik wajah sinis. Matanya tak lepas dari pakaian yang tiga orang itu kenakan, sembari mematikan cerutu yang diapit nya lelaki itu membuka Pintu mobilnya berjalan mendekati ketiganya dengan santai masih pada tatapan penuh intimidasi.
"Apakah Kalian membutuhkan tumpangan?" Tanya lelaki itu dengan kedua tangan yang bertaut satu sama lain, "Dari Negara mana Kalian? Apakah Jauh dari sebrang sana?" Timpalnya lagi masih menatap ketiganya penuh menyelidik. Jemarinya dagu seolah tengah mengamati orang-orang di depannya.
"Terimakasih tawaran nya, Kami berasal dari salah satu Negara di Barat Daya. Apakah Anda tahu dimana letak Penginapan paling dekat dari sini?" Tutur salah satu pemuda berambut coklat ikal menatap lelaki itu, hingga sekian detik dia mengangguk kan kepala ya. Pricilla gadis disampingnya yang sebelumnya diam kini mendekat kearahnya mencengkram lengan pemuda di sampingnya dan menarik nya menjauh dari lelaki itu, kini hanya tersisa Lee yang masih diam sesekali berbincang dengan lelaki di depannya.
"Kau tak seharusnya mengiyakan tawaran lelaki itu, Aku tak yakin Dia orang-orang Baik, bahkan pelaku Kriminalitas" lirihnya sesekali menoleh ke Ujung sana. Pemuda itu menghempaskan napas berat sembari menyugar rambut nya yang sedikit berantakan.
Satu yang harus mereka ingat bahwa selamanya kita baik ke orang lain belum tentu mereka akan membalas nya dengan tak kalah baik pula, namun hidup itu keras. Sebaik apapun dan seaman apapun suatu Negara pasti memiliki tingkat kriminalitas yang berbeda.
"Jika kita tidak menerima ajakannya, apakah Kau yakin kita akan bertahan disini menunggu Kendaraan yang melintas dengan Kondisi Cuaca seperti ini" tuturnya pelan gadis itu terdiam sejenak sembari memilin jemari lentiknya, "Jika kau menolak ajakannya. Maka aku akan pergi sendiri Kau urusi saja hidup Mu sendiri"tutupnya meninggalkan gadis itu yang masih diam dan termenung.
Selang beberapa menit mereka berdua tiba menghampiri dua lelaki berbeda generasi, obrolannya nampak menyenangkan begitu gelak tawa terdengar dari bibir Lee. Lelaki itu menatap Arsean dengan dahi yang bertaut.
"Bagaimana? Kalian mau menerima Tawaran ku, Ayolah anak Muda aku ini orang baik-baik dan dengan senang hati mengantarkan kalian kesalahsatu penginapan terdekat dari sini" ujarnya.
"Ya! Terimakasih Tuan"
"Masuklah. Aku akan membantu mu membawa barang-barang itu kedalam bagasi" titahnya membawa beberapa ransel dan koper berukuran sedang.
Pricilla hanya diam mengamati pergerakan lelaki tua didepannya, di dalam mobil antik ini semua orang diam dan membisu, hanya sesekali Lee menjawab dan menimpali Ucapan lelaki itu Kursi kemudi, keduanya memang dekat selain Lee yang mudah bergaul dan lelaki itu mudah beradaptasi dengan rekan bicaranya, jika dilihat sekilas lelaki itu usianya memang tak muda berkisaran 50 tahunan namun wajah Latin Asianya nampak membuat nya lebih muda dua tahun dari usia sebenarnya. Disampingnya ada Arsean tengah mengamati ponselnya sudah lima belas menit perjalanan meninggalkan Bandara sinyal yang dirinya butuhkan semakin hilang, jaringan nirkabel itu sudah tak berfungsi sebagaimana mestinya. Hingga menuju tikungan area penginapan tidak ada tanda-tanda sinyal kembali pulih.
"Kalian sudah sampai, ini salah satu Homestay terdekat dari Bandara. Selain harganya yang terjangkau Setidaknya kalian bisa tidur lebih nyenyak dari Cuaca ekstrem malam ini" tuturnya.
"Berapa Argo yang harus kami bayarkan Tuan?" Kini Lee bertanya. Matanya meneliti kesalahan satu Dompet kulit luxury miliknya.
"Apa Kau bercanda? Aku membantu Kalian bukan karena Uang. Simpan Uang mu! Anggap saja aku tengah melayani Tamu Jauh ku" kilahnya tersenyum masam. Lee diam menatap dua temannya dengan Alis terangkat satu.
"Apa Kau yakin Tuan?" Lee mencoba bernegosiasi. Lelaki itu membalikan badan dan mengangkat tangan kanannya.
"Aku Yakin, sudah Istirahat lah.. selamat menikmati liburan Mu, selamat Malam" tuturnya menutup pintu mobilnya.
"Terimakasih Tuan" ujar mereka melambaikan tangan. Lelaki itu hanya tersenyum dan menekan klakson mobilnya tidak berselang lama mobil itu pergi meninggalkan pelataran Homestay yang nampak sayup luarnya.
"Dimanakah meja Resepsionis? Kita akan memesan berapa Kamar?" Titah Pricilla menggeret koper miliknya. Arsean sempat mengabaikannya hingga mau tak mau Lee yang menjawab pertanyaan gadis itu.
"Dua kamar, Aku dan Arsean akan berbagi Kamar, kau bisa menempati satu kamar lainnya" tutup Lee mengikuti langkah kaki Arsean.
"Apa kau sedang berhemat Tuan Muda!" Lirih Pricilla menepuk bahu Lee kasar. Pemuda itu mengeluh dan mengabaikan Pricilla yang mengekor dibelakang nya.
~
"Tidak ada Air hangat disini" gumamnya setelah membersihkan diri. Pricilla gadis itu tengah membuka soda kalengnya mengambil satu potong roti Gandum dan memakannya perlahan. Lee menatap gadis itu sebelum menghabiskan soda miliknya.
"Besok kita mau kemana lagi Sean, apakah ada tempat yang indah menurutmu?" Tanyanya. Arsean diam masih sibuk mengotak Atik ponsel miliknya, pemuda itu masih sibuk berjalan kesana kemari.
"Aku tak tahu, apakah ponselmu memiliki sinyal yang penuh. Aku tak yakin Ponsel ini akan berguna semestinya" pemuda itu bergumam menyerah dengan menghempaskan ponsel itu di Sofa sebelahnya.
"Jangankan Kamu, bahkan sejak kedatangan kita di Bandara pun aku sudah tak menemukan jejak sinyal di ponselku" Lee tersenyum masam.
"Apakah Kita perlu bertanya pada Resepsionis depan, kurasa mereka akan lebih tahu tempat terbaik disini" Priscillia berujar dengan mulut yang penuh makanan.
"Baiklah Ide yang bagus.." ujarnya mereka sibuk berceloteh ringan hingga lupa jam selalu bergerak bagaikan roda yang terus berputar.
Bersambung...
Pyrus Malus Village
~Seperti apa yang resepsionis hotel itu katakan mereka bertiga mengunjungi beberapa tempat indah di Amethyst Island, tak jauh dari pusat kota hanya berjarak dua jam dari Homestay desa ini berhasil di kunjungi, Arsean mengenakan setelan baju kemeja dan celana Jeans-nya suasana musim semi nampak pas untuk mengenakan pakaian itu.Taksi yang sebelumnya dipesan dari Homestay kini tiba disalah satu tempat tujuan, mereka bertiga keluar dan melangkah memasuki bagian tiket masuk.
Pyrus Malus Village merupakan salah satu Desa penghasil Apel terbesar dan terbaik untuk kali pertamanya Arsean lihat, pemuda itu melangkah lebih dulu memesan tiga tiket masuk dan membayar nya secara tunai. Dari dekat hijau nan rimbunnya perkebunan seolah menyejukkan mata, kanan dan kiri dikelilingi Buah apel dengan kualitas terbaik. Untuk menikmati buah apel secara langsung dari tempat nya tak membuat kalian rugi harus mengeluarkan uang lebih.
"Apakah Disana ada pertunjukan?" Lee berujar matanya masih terpaku kerumunan orang di depannya.
"Sepertinya.. apakah kita akan kesana?" Tanya Pricilla.
"Tentu, Aku masih tertarik untuk mengulik lebih dalam tempat ini" titah Arsean melangkah.
Dari dekat mereka berdua bisa melihat dengan jelas Acara pertunjukan yang di tampilkan di depannya, beberapa anak kecil dengan luwesnya menari diikuti dengan musik tradisional Amethyst Island. Musiknya bergema dengan alunan syahdu membuat mata ingin terpejam, Pricilla gadis itu menepuk bahu Arsean hingga pemuda itu menoleh cepat.
"Kenapa?"
"Lee meminta kita untuk kesana? Katanya Banyak Buah-buahan yang akan di Panen" jelasnya. Mereka berdua berjalan beriringan, "Kau tak merasa janggal di pulau ini Sean?" Tanya nya meneliti kesana kemari.
Banyak orang yang sibuk hilir mudik menikmati sajian Apel dengan beberapa toping menarik, salah satunya Lee pemuda itu sudah duduk bersandar karena saking banyaknya dia Makan.
"Aku juga merasakannya, tapi kurasa itu hal yang Biasa Pricilla" Arsean bergumam.
"Yah ku harap Itu hal Biasa"
"Selamat Datang, silahkan dinikmati" titah salah satu wanita itu menyuguhkan beberapa basket Apel berukuran besar, buahnya merah mengkilat dengan ukuran yang tak biasa. Arsean mendekat dan memilahnya satu persatu.
"Besar sekali, Apa rahasia Apel ini bisa berbuah seperti ini? Ku rasa jika dimasukan ke Komoditas Ekspor Buah ini akan Laku di Pasaran" Arsean berujar.
"Yah ukuranya lebih besar dari Apel biasanya. Namun, Kami tidak bisa memberikan Rahasia buah Apel itu kepadamu. Mengingat komoditas Ekspor, ku rasa terlalu mahal untuk Kami mengurus biaya perijinannya" wanita itu tersenyum masam.
"Kau mau mencobanya, ambillah Rasanya tak mengecewakan" tawarnya.
"Terimakasih.. sebenarnya aku tidak menyukai Buah-buahan. Karena mu aku akan mencobanya. Bisakah berikan Apel berwarna hijau itu" Arsean menatap buah apel berwarna Hijau berukuran sedang, kali pertamanya ia akan mencoba memakan Buah-buahan jika sedari kecil pemuda itu membencinya.
"Bagaimana Rasanya?" Tanya wanita itu.
"Enak.. Manis namun sedikit Asam, tapi Aku menyukainya" Arsean mencoba menghabiskan nya.
"Apakah mereka berdua teman Mu?" Wanita itu kembali bersuara. Arsean yang masih mengunyah buahnya hanya menganggukkan kepala Ya, wanita itu menghembuskan napas berat, " Dia makan buah itu dengan Porsi yang berlebihan, Kurasa dia akan berjalan sempoyongan setelahnya" perempuan itu menatap keduanya dengan senyum dipaksakan.
"Bukankah itu hanya Apel, kurasa itu hanya membuat mereka sedikit sakit perut" Arsean mengamati.
"Apel disini terasa seperti Bir jika kau makan yang sebesar ini Kau akan Mabuk. Tidak apa-apa mereka akan pulih dengan sendirinya" wanita itu berujar dengan sendirinya sedangkan tangan nya memilih menutup basket bambu itu dengan plastik, "Tempat mana kah Yang akan Kau kunjungi? Aku memiliki daftar List tempat terbaik di desa ini, tak Jauh dan kau pasti suka" timpalnya.
"Terimakasih, siapa Nama Mu Nyonya?" Ujar Arsean menatap wanita itu.
"Panggil saja Anne, senang bertemu dengan Mu" ujarnya berlalu Arsean mengamati kertas kecil di tangannya. Wanita itu sebelum nya meminta Arsean untuk menunggu hingga daftar list beberapa tempat berhasil wanita itu tulis.
Langkah kaki Arsean mendekati Dua orang temannya yang sudah merancau tak henti-henti, Pemuda itu malu hanya saja masyarakat lokal tidak terlalu memperdulikan mereka bertiga. Jika hal ini terjadi di negara mereka Arsean yakin mereka bertiga sudah dipanggil kepolisian karena melanggar ketentuan perundang-undangan, merasa jengkel lantaran Lee tak kunjung membuka mata dengan insiatif sendiri Arsean bangkit mengambil air botolnya dan menyiramkannya kewajah pemuda itu dengan kasar. Kucuran air itu perlahan membuat Lee setengah sadar, pemuda itu bangkit dengan kedua mata yang masih menyesuaikan kondisi nya.
"Apakah aku Mabuk, bukankah sedari tadi aku tak minum" lirihnya menekan pangkal hidung nya.
"Kau terlalu banyak memakan Apel merah itu, Kau urusi Pricilla Karena Kau gadis itu sama Mabuknya dengan Mu" ujar Arsean menatap Pricilla yang masih terpejam sesekali gadis itu merancau walau tak separah Lee.
Di ujung jalan Arsean mengamati jalanan yang sepi didepannya hari semakin sore kabut akan segera turun dan malam akan menyapa, siluet senja yang indah kini memantulkan bayangan mereka bertiga setelah berjalan hampir dua jam dengan kondisi yang lelah mereka bertiga tak mendapatkan kendaraan untuk kembali ke Homestay, Pricilla gadis itu menghentakan kakinya di belakang nya masih ada Arsean dan Lee yang kembali berjalan menuju arah matahari senja.
"Apakah kita harus berjalan lagi? Kaki ku sudah tak mau menopang tubuhku. Rasanya lebih sulit daripada aku harus berjalan di panggung Catwalk dengan high heels belasan centimeter" Pricilla mengeluh. Gadis itu memang mantan Model ternama, bahkan sudah menjadi Brand Ambassador sejak usia balita.
"Kau lelah Istirahatlah. Sembari duduk siapa tahu kita akan mendapatkan tumpangan" ujar Arsean duduk dengan satu botol air mineral di tangannya. Mata pemuda itu menelusuri ke salah satu persimpangan jalan, hanya ada hutan belantara dengan pepohonan yang menunjukan musim semi.
"Aku tak yakin ada kendaraan melintasi Jalanan Ini" lee menyerah merebahkan tubuhnya disisi jalanan. Matanya terpejam menikmati hembusan angin yang semakin dingin.
"Apa disini ada penginapan? mandi dengan air hangat, minum secangkir Kopi dan kue kering sembari menikmati pemandangan dari balkon penginapan enak sekali menghilangkan penat dan rasa lelahku" Pricilla bergumam lirih, membayangkan jika ia berhasil mendapatkan penginapan disini.
pukulan kecil mengenai kepalanya khayalan nya kini terhenti . Gadis itu menoleh kesamping dengan tatapan sinis,
" Hentikan Mark Lee, Aku hanya membayangkan. Singkirkan tangan kotor mu itu dari Rambut Ku" ujarnya kasar. Lee hanya tersenyum masam dan kembali merebahkan tubuhnya.
Lama mereka berbincang Di ujung jalan sana mata Arsean melihat gadis bertudung Coklat tengah mengambil beberapa buah Apel liar disekitarnya, memasukan buah itu ke keranjang yang dirinya Pegang. Dari pakaiannya nampak Kuno dan tidak semodern miliknya. Arsean mencoba mendekat
"Hey Sean, Mau kemana Kau!" Lee berteriak begitu Arsean bangkit dari duduknya. Merasa penasaran Lee menarik tangan Pricilla untuk berlari mengejar langkah Arsean yang mulai menjauh.
satu meter dirinya berdiri masih sama memperhatikan gadis itu yang sibuk melakukan aktivitas nya tanpa Dirinya ketahui ada tiga orang yang memperhatikan nya.
Bersambung...
| Beautiful Eyes |
satu meter dirinya berdiri masih sama memperhatikan gadis itu yang sibuk melakukan aktivitas nya tanpa Dirinya ketahui ada tiga orang yang memperhatikan nya.
~
Gadis itu menoleh ke belakang memegang kepalanya begitu merasakan tudung yang ia kenakan tertiup angin, rambutnya yang ikal kini terlihat dengan jelas nampak berkilau seiring dengan pantulan senja yang mulai meredup ke peraduan, Apel yang tadi dirinya petik semakin menumpuk hingga memenuhi keranjang yang dirinya bawa. Satu buah Apel jatuh menggelinding ke tanah, gadis itu menatap pergerakan nya hingga Apel miliknya berhenti tepat di ujung sepatu seseorang di depannya. Memberanikan diri dia menatap sosok tinggi menjulang tak terlalu tinggi hanya dua jengkal dari tinggi nya, warna mata pemuda itu hazel indah dan sendu.
Arsean menunduk mengambil Apel itu dengan cepat menyerahkan nya ke pemiliknya, mata gadis itu nampak indah warnanya perpaduan violet dan biru dan mungkin jarang dimiliki populasi orang di dunia ini. Dan ini untuk kali pertamanya Arsean menatapnya sedekat ini.
"Terimakasih" ujarnya. Meletakan kembali Apel nya kedalam ranjang.
"Apakah kau bisa menunjukan tempat penginapan terdekat?" Arsean bertanya.
"Aku tidak tahu" ujarnya menunduk matanya bergerak dengan cepat.
"Bukankah Kau penduduk asli?" Terang Lee yang masih kebingungan. Gadis itu yang mendengar ucapan Lee segera berlari memasuki hutan yang semakin dalam, Arsean mengejar langkah kakinya tak peduli ranting yang sesekali menggores kulitnya. Lee mengikuti langkah nya sedangkan tangannya menggenggam erat jemari gadis itu, sedari tadi wajah Pricilla nampak pucat dari sebelumnya.
"Apakah kau yakin gadis itu berjalan kearah sana Sean?" Tanya Lee.
"Ya aku melihatnya kesana" jawab Arsean sedangkan matanya menatap gadis disamping Lee yang sudah tak berdaya, wajahnya yang pucat semakin membuatnya seperti zombi. "Apakah Pricilla baik-baik saja?" Lee menggeleng tangannya sibuk menepuk pipi gadis itu pelan agar terjaga.
"Bawa Ransel Ku, aku akan membawa Pricilla" titah Arsean menggendong tubuh Pricilla di punggung nya. Setidaknya walau menyebalkan Arsean masih memikirkan Kondisi Sahabat bermulut banyaknya.
"Apakah Kau tak keberatan Sean, Jika iya. Berganti lah dengan ku" tawar Lee yang masih sama lelahnya.
"Tenaga Mu sudah cukup terkuras Lee, Kau sudah menggendongnya ketika Dia Mabuk. Biarkan Aku saja" Arsean masih mengamati jalan di depannya mengikuti Lee membuka jalan dengan menyingkirkan belukar-belukar yang rimbun.
"Siapa gadis tadi menurut Mu, matanya Indah pakaiannya seperti orang-orang abad dua puluhan" keluh Lee disela sela perjalanan nya.
"Aku tak yakin jika berasal dari abad 20 an. mungkin saja Dia memang menyukai hal berbau Klasik?" Ujarnya berpikir positif.
"Di depan sana sudah ada Cahaya aku yakin itu jalan keluar nya" Lee berujar dengan semangat semakin mempercepat langkahnya, wajahnya kini lebih tenang daripada sebelumnya.
Mereka berhenti menatap sekeliling nya, dengan dahi yang bertaut satu sama lain. Jika tadi ada cahaya yang dilihatnya kini seolah cahaya itu lenyap, bukan cahaya matahari senja hanya saja sudah berganti cahaya obor di sepanjang jalan. Di ujung sana ada pemukiman yang letaknya cukup dekat dari tempat mereka berpijak, hanya membutuhkan sepuluh menit berjalan maka mereka akan sampai di sana.
Pricilla masih diam menutup mata, Arsean menghempaskan napas kasar. Benar apa ya ng Mark Lee katakan bahwa gadis itu berat jauh terbalik dari tubuhnya yang mungil.
"Kau mendengar sesuatu?" Tanyanya. Lee menganggukkan kepala mengamati sekitarnya.
"Bersembunyi... Aku tak yakin Dia orang baik di malam-malam seperti ini" Ujarnya berlindung dari patung berukuran besar di belakang nya, sembari menunggu suara itu melintasi nya.
" Aku dengar Yang Mulia akan mengadakan Pesta Raya di Kerajaan" ujar suara itu.
"Yah Kau benar. Mengingat betapa gagalnya panen musim ini, apalagi musim kemarau akan datang" titah salah satu temannya.
"Tak sia-sia Raja menjabat lama Tahta nya!".
"Ku dengar dia memiliki Puteri Cantik, sayangnya dia Angkuh dan suka memaksakan kehendak nya"
"Diam lah... Jika Raja tahu, kepala Mu sudah di penggal"
Suara kereta kuda terdengar nyaring dan bunyinya cukup jelas membelah malam, nekat memberanikan diri Arsean menatap kepergian dua orang itu dari balik cela patung di depannya. Dua lelaki itu seperti prajurit dari jaman dahulu, lengkap dengan baju besi dan kudanya tidak lupa terdapat simbol yang membuat Arsean terheran-heran.
"Aku tak yakin Lee kita masih berada di Zaman kita" tuturnya menatap Lee yang masih bersandar menjadikan bahunya sebagai sandaran Pricilla.
"Kau Bercanda! Tidak Lucu Sean" elaknya melotot.
"Aku barusan melihat jelas, suara kuda itu milik prajurit kerajaan semoga saja ini halusinasi ku" lirihnya dan mendapatkan pukulan lemah di kepalanya.
~
"Rumahnya Bangunan Lama, indah namun apakah kita akan aman jika bertamu malam-malam Sean" tanya Lee.
"Aku tak yakin!"
"Siapa itu, apakah Kau orang Asing?" Tanya suara dari sebrang sana. Aarsean menatap Lee satu sama lain menenggak ludahnya serat.
Langkah kaki prajurit itu semakin mendekat, Lee mengamati Pricilla yang masih pulas di punggung Arsean. Ujung sepatu asing itu sudah terlihat dari tembok yang memisahkan ketiganya.
Brak
Bunyi pintu terbuka cukup keras, suara perempuan terdengar membuat ketiga orang itu bernapas lega. Selang lima menit perempuan itu datang menghampirinya, hal ini begitu terdengar bunyi sepatu milikinya yang mendekat, gadis yang sore itu ditemuinya kini menatapnya dengan mata Violetnya. Tersenyum teduh dan memintanya untuk mengikuti langkah kakinya.
"Masuklah" ujarnya mempersilahkan masuk ketiganya. Arsean mengamati dalamnya melepas sepatu miliknya dan meletakan Pricilla di karpet berukuran besar yang terbuat dari bulu domba, "Minumlah" ujarnya menyerahkan dua cangkir teh madu.
"Terimakasih" Lee menjawab sedangkan Arsean masih menatap mata gadis itu, Lee menyenggol bahunya hingga membuat Arsean gelagapan. Beruntung pemuda itu pandai menyembunyikan nya.
"Siapa Nama kalian? Dari mana kalian berasal" tanya.
" Saya Lee, Dia teman saya Arsean dan ini Pricilla dan Kami berasal dari Oceana. Siapa Nama mu? "
"Saya Asiana, Maaf sudah membawamu kesini" titahnya menunduk.
"Maksud Mu?"
"Kalian tidak bisa kembali lagi ke Zaman Kalian, Maaf"
"Persetan dengan semua itu, Bagaimana kami bisa kembali" tanyanya.
"Tenang Lee" Arsean mengusap punggung pemuda itu.
"Setelah Bulan Purnama tiba lagi, dan kemarin malam adalah terkahir Bulan purnama aku tak yakin akan tiba dalam waktu dekat" sesalnya.
"Jadi kami akan berada disini, bagaimana dengan keselamatan Kami?" Tanya. Arsean memanjang mimik wajah masam.
"Tinggal lah sementara waktu disini, aku akan membantu kalian kembali" ujar gadis itu menyakinkan mereka bertiga.
"Kami akan mengingat janji Mu" tutur Lee bangkit begitu Asiana sudah lebih dulu pergi membuka satu kamar di dalamnya.
"Kalian bisa membawa Gadis itu Kedalam, beristirahatlah" tuturnya meninggalkan Lee yang sudah membawa Pricilla dalam gendongan.
"Terimakasih sudah membantu Kami" Arsean bangkit membawa tiga sepasang sepatu itu kedalam, jemari Asiana memungut cangkir teh itu.
"Sudah kewajiban Ku" lirihnya tersenyum cantik.
Bersambung...
Description: Arsean Nicholas salah satu pemuda yang gemar traveling ke penjuru dunia, kegemaran nya ini berlangsung sedari sekolah menengah Akhir. Bersama kedua temannya Pricilla dan Lee Mereka berniat mengunjungi salah satu pulau terpencil di pinggiran Samudera Atlantis. Petualangan mereka berlanjut begitu ditengah hutan belantara dirinya bertemu dengan gadis Cantik, mata Indah dengan kulit eksotis nya.
|
Title: Rikka & Leo: Pembunuhan di Villa Emas
Category: Misteri
Text:
Bab 1
1
Barman Tanzuni Nimran meminum tehnya dengan tenang. Mata tajamnya memandang jam dinding berbentuk bulat yang menunjukkan pukul 15 lewat 40 menit. Dia kemudian memandang sekretarisnya, Fani, kemudian mengelus dagunya perlahan.
“Hmm…mungkin begitu saja, Fani.”
“Baik Pak Barman.”
“Jangan sampai salah kirim. Ingat, kirim ke email Irina, Mario, Niko, Vina dan Antony. Aku tak ingin mereka tidak datang dengan alasan tidak menerima email.”
“Siap pak.”
Barman menganggukkan kepalanya. Mata setengah tertutup kemudian terbuka lagi.
“Ah tehku…” katanya lalu meminum seteguk teh tersebut dari cangkirnya.
“Anda ingin tidur di kamar pak?” tanya Fani. Barman mengangguk pelan. Fani membimbing pria tua tesebut ke kamarnya, membantunya berbaring di ranjang kemudian mendengarkan beberapa pesan dari Barman.
Saat pintu tertutup, Barman tua menyeringai tipis. Di hari ulang tahunnya yang ke-80, dia ingin melihat wajah anak-anaknya. Anak-anaknya yang tersayang…yang memasang wajah sok baik di depannya tetapi dia tahu topeng busuk di balik wajah itu.
Persetan mereka! Mereka pasti ingin aku mati dan mendapatkan harta warisan. Tapi sayang, Tuhan masih mau aku tetap bernapas di dunia ini…
Dia terkekeh pelan lalu memejamkan matanya dengan tenang.
2
Irina Nimran mendengus pelan mendengar anak keduanya, Doni, membacakan email dari Barman Tanzuni Nimran. Dia kembali memandang berita di TV ketika Doni selesai membaca pesan dari email tersebut.
“Dasar kakek…padahal kan bisa menyuruh sekretarisnya untuk kirim pesan lewat SMS. Apalagi tahun ini ada HP yang bisa disentuh layarnya, keluaran Apple. Untung saja di Kota Bandung sinyal internetnya bagus.”
“Itulah bodohnya kakekmu,” kata Irina menanggapi ucapan anaknya “Tiap tahun selalu merayakan ulang tahunnya di villa-nya yang berada di daerah Gunung Rinjani. Kenapa tidak merayakannya di Mataram saja sih?”
“Mungkin kakek senang dengan alam bu, seperti gunung dan udara bersih.”
“Mataram juga udaranya bersih.”
“Tetapi lebih bersih di Villa Emas. Udaranya lebih segar dari Kota Mataram.”
“Villa Emas…” Irina menyerungut ketika menyebutkan nama tempat tersebut “Villa besar yang menyebalkan. Bagaimana jika si tua itu meninggal di sana karena kehabisan oksigen. Kau tahu kan soal oksigen tipis di daerah pegunungan…?”
“Jangan bilang begitu bu.” Kata Doni dengan wajah muram “Walaupun kakek sering buat kesal, dia adalah orang yang hebat.”
3
Mario Nimran membaca surel dari ayahnya dengan wajah mengernyit. Sejak umur 70 tahun, ayahnya sering mengundang mereka ke Villa Emas di daerah Gunung Rinjani untuk merayakan ulang tahun. Mario tidak bisa menampik kalau ayahnya selalu terlihat puas saat memandang anak-anaknya datang ke sana dengan wajah muram. Barman tua itu menganggap anak-anaknya seperti mainan, yang siap dipermainkan hingga mainan itu rusak. Bahkan Mario sempat berpikir apakah Barman itu benar-benar ayah kandungnya?
Tentu saja. Mata tajam yang licik itu terwaris ke Irina, kakaknya. Dan dia yakin sifat kekanak-kanakan Barman terwaris ke adiknya Vina.
Mario memandang laporan penelitiannya yang dibiayai oleh LIPI. Dia senang karena telah menyelesaikan penelitian tersebut dan menyelesaikan salah satu kewajiban sebagai dosen. Tetapi dia murung karena ada beberapa masalah di penelitian tersebut. Dia harus menyelesaikannya. Ya…dia harus.
Aku benci sesuatu yang janggal dan tidak tepat. Seperti undangan ulang tahun ayah. Janggal dan tidak tepat. Tetapi…
Mario mematikan laptopnya dan mengemasi buku-bukunya. Dia ada jam kuliah siang ini. Menepis segala urusan yang menyebalkan, Mario memfokuskan pada materi yang akan ia ajarkan kepada mahasiswa-mahasiswi Biologi di Universitas Garuda Muda.
4
Niko Nimran baru selesai rapat dengan para pemegang saham di perusahaannya ketika surel dari sang ayah masuk. Dia tertawa kecil ketika membaca surat undangan tersebut.
“Dasar ayah,” katanya “Sejak memasuki umur 70-an senang melakukan hal-hal jahil. Aih, kepalaku gatal.”
Niko melepas topinya lalu menggaruk kepalanya yang botak “Mungkin ulang tahun yang ke-80 akan kubawa Monika dan Revio. Apalagi Monika, dia selalu penasaran dengan Villa Emas milik ayah.”
Niko memandang catatan-catatan keuntungan perusahaan batu baranya di papan tulis putih. Wajah ramahnya berubah muram. Laba perusahaan semakin menurun dan para investor mulai protes dengan keadaan tersebut. Mau bagaimana lagi, saat ini batu bara sebagai bahan bakar semakin sedikit digunakan. Jika saja ayahnya percaya kepadanya untuk mengurusi perusahaan minyak di Kaltim, keadaannya saat ini tidak seperti sekarang.
Niko memasang topinya kembali dan berjalan keluar dari ruang rapat. Perutnya yang buncit itu berbunyi menandakan ingin diisi makanan.
5
Vina Nimran meloncat dari kursi malam itu saat membaca surel dari sang ayah. Suaminya, Mezi, sampai berhenti membaca buku dan memandang sang istri kebingungan.
“Ada apa sayang?”
“Ayah mengundang lagi ke Villa Emas.”
“Acara ulang tahun lagi?”
“Ya.” Vina berbaring di samping suaminya dan tersenyum nakal “Kau mau datang ke sana, Mez?”
Mezi mengelus kepala istrinya “Tentu saja. Hmm, saat kita pacaran dulu kan kau pernah membawa aku ke sana. Itu, itu..dua tahun yang lalu kan?”
“Tepat. Saat ayah berumur 78.”
Vina semakin mendekati wajah Mezi. Tatapan penuh cintanya benar-benar sayang untuk dilewatkan.
“Bukannya aku senang bergosip-“
“Ini kau mulai bergosip.”
“Jangan potong omonganku, Mez.” Vina memasang wajah cemberut yang dibuat-buat “Dengar Mez, setelah berumur 70 ayah selalu mengundang kami untuk merayakan ulang tahunnya di Villa Emas.”
“Aku tahu itu…”
“Sudah kubilang jangan potong kata-kataku.”
“Siap manis.”
“Lalu…” Vina menyeringai. Tapi seringaian itu manis “Aku memandang wajah Kak Irina, Bang Mario dan Bang Niko, mereka semua muram. Bahkan adikku Antony juga muram. Padahal dia masih kecil, tetapi Antony sepertinya paham situasi di sana…”
“Situasi?” Mezi menaikkan alisnya. Karena cerita gosip ala Vina membuatnya sedikit tertarik, Mezi meletakkan buku di samping kepala.
“Ya. Kami semua tahu kalau ayah mengundang kami untuk melihat wajah muram kami. Dan dia benar-benar puas jika kami tidak terlihat nyaman di sana.”
“Alasannya?”
Vina melompat dari ranjang dan berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar dan tangan terentang ke atas. Mezi sempat terpikir kalau istrinya kerasukan.
“Tentu saja pak tua itu puas karena menunjukkan dia masih hidup dan sehat. Aku tidak munafik. Aku dan saudara-saudariku ingin ayah meninggal dan mewariskan hartanya yang banyak kepada kami. Harta itu bisa menolong kami semua, Mez. Termasuk kau dan aku…”
“Hm, benar juga.” Tanggap Mezi. Tetapi dia setengah serius menanggapi ocehan istrinya.
“Jika kita mendapatkan warisan, kau bisa membuka toko besar di Lampung, Mez. Aku juga akan membuka toko kue yang kuidam-idamkan.” Vina berputar dua kali. Dia tertawa “Hahaha, senangnya menjadi anak dari orang kaya!”
Mezi terkekeh “Jika orang tua itu masih bertahan hidup sampai umur 100 tahun bagaimana, Vin?”
Vina tiba-tiba melompat ke ranjang dan duduk di atas tubuh suaminya. Wajah cantiknya menyeringai dan mendekati wajah Mezi yang terlihat kaget.
“Kita bisa membunuhnya.”
Mezi menaikkan alisnya. Kadang-kadang wanita yang baru 2 bulan dinikahinya ini bisa membuatnya takut.
6
Antony membaca surel itu saat di kampus. Dia mendengus pelan memandang pesan sang ayah di HP-nya. Membayangkan Villa Emas saja membuatnya muak. Dia menghabiskan cepat mi rebusnya lalu menyeruput teh esnya hingga berbunyi.
“Santai makan cuk. Kau pasti mau pergi kan? Ke mana? Ke mana heh?”
“Ke perpus dulu. Nih.” Dia meletakkan uang 100 ribu kepada temannya Riksu. Riksu tertawa bersama Aziz dan Nino.
“Begitu dong orang kaya. Traktirlah kawanmu sekali-kali.”
“Bodoh kau ya. Aku dah berkali-kali mentraktirmu.”
“Siap bos. Aku bodoh!” kata Riksu sambil memasang gaya hormat. Aziz dan Nino tertawa terbahak-bahak.
“Aku pergi dulu…”
“Yo i bro!”
Antony berjalan cepat keluar dari kantin sambil membenarkan tali tasnya. Dia memandang tajam mahasiswa-mahasiswi lama yang memandangnya dengan tatapan sengit.
Senior bodoh…kau pikir aku takut.
Antony tidak peduli dengan senioritas dan ospek. Dia memiliki segalanya. Dia bisa bertindak sesukanya. Dia akan menghajar siapa saja yang berani menghinanya.
Di depan pintu perpus, gadis manis berambut ikal sebahu itu menunggunya. Kulit gadis itu sawo matang namun wajahnya benar-benar menggemaskan. Antony berhenti di depan perpus dan menyapanya dengan kikuk. Wajah yang penuh intensitas itu berubah lembut dan kaku.
“K-kau sudah lama Airi?”
Gadis bernama Airi itu mengangguk pelan “Bagaimana kalau kita bicara di dalam perpus, Mas Tony. Tem..tempat yang sepi.”
Antony mengangguk pelan. Dia berjalan cepat mendahului Airi. Matanya tertuju ke arah meja di pojokan perpus yang berada di samping rak buku-buku sejarah.
“Ada apa Airi?” tanya Antony ketika keduanya duduk. Tas ia letakkan di bawah meja. Antony memandang Airi yang tampak gelisah dan ragu untuk mengatakan maksudnya.
“Bicara saja Ai…”
“A-aku…” Airi menggelengkan kepala. Kemudian terdiam sebentar, menarik napas lalu mengatakannya dengan sekali napas.
“Aku hamil mas.”
Darah Antony serasa mengalir cepat ke ubun-ubun. Tubuhnya panas seketika dan jantungnya serasa mau meledak. Saat dia mengucapkan pertanyaan yang sudah tahu jawabannya, suaranya serak.
“Ha-hamil?”
Airi mengangguk. Kepala Airi semakin tertunduk dalam. Antony langsung terbayang wajah bapak Airi yang garang. Pak Setijo adalah Kepala Dinas Perikanan Kota Malang. Tegas dan sangat menjaga anaknya. Bahkan saat penerimaan mahasiswa baru, Pak Setijo memandang murka kepada laki-laki yang melihat anaknya lebih dari 10 detik.
Airi memang manis. Selain itu memiliki tubuh yang bagus. Sejak masuk kuliah sudah banyak diincar para senior kampus, namun Antony adalah lelaki yang berhasil menjadikannya pacar.
“Kamu tidak membicarakan hal ini kepada bapakmu kan, Ai?” tanya Antony hati-hati.
“Maaf Mas Tony, A-Airi sudah mengatakannya kepada Bapak ka-karena…” Airi berhenti lalu menutup wajahnya. Mulai terisak “Maafkan aku mas.”
Antony tersenyum kecut. Mau bagaimana lagi, Airi adalah tipe gadis yang bergantung kepada ayahnya yang berkarakter kuat. Dia menenangkan pacarnya agar tidak menarik perhatian mahasiswa lain.
“Maafkan aku mas.”
“Tidak apa-apa Ai. Lalu…apa kata bapakmu?”
“Ba-bapak ingin mas cepat-cepat menikahiku. Kalau tidak dalam waktu sebulan mas datang melamar, Bapak akan melaporkan hal ini ke polisi.”
Dasar pak tua sialan! Antony mengatupkan rahangnya sangat kuat. Dia menahan amarah.
Antony memang mencintai Airi, tetapi dia belum siap menikah. Bukan masalah hati, tetapi finansialnya tidak mengizinkan. Uang kuliah dan uang sehari-harinya masih ditanggung ayahnya. Ada peraturan khusus di keluarga Nimran kalau mereka sudah menikah maka Barman tidak akan menanggung biaya hidup lagi. Menikah artinya siap membangun rumah tangga sendiri. Menikah artinya mandiri.
Apa yang kuberikan untuk Airi jika menikah tanpa biaya. Untuk anak dalam kandungannya juga?!
Sesaat pikiran gelap terlintas di kepala Antony yang mudah marah.
Bagaimana jika dia secepatnya mendapatkan warisan?
Bab 2
1
Namaku Leonardo. Seorang mahasiswa biasa dari Jurusan Biologi Lingkungan di Universitas Garuda Muda. Nilai Akademikku biasa saja. Begitu pula kemampuan organisasiku. Aku hanya seorang anggota biasa dari Himpunan Mahasiswa Biologi Lingkungan Universitas Garuda Muda. Kehidupanku santai-santai saja, dan aku menikmatinya.
Hanya saja hobi yang tak akan pernah kutinggalkan adalah membaca novel-novel misteri. Aku sangat menyukai cerita dengan unsur thriller maupun detektif. Kenikmatan membaca buku misteri adalah saat di akhir cerita ketika penulis mengungkapkan misteri atau pelakunya. Jantung kita akan berdebar dan berharap ending yang disajikan akan luar biasa. Terlebih buku dengan tema detektif. Aku senang menebak-nebak siapa pelakunya saat kejahatan disajikan oleh sang penulis. Aku berharap tebakanku benar, namun ada kalanya kuberharap pelakunya adalah orang yang tak disangka-sangka.
Aku membayangkan…hm, bagaimana pola pikir seorang detektif ya? Aku tidak bisa membayangkannya karena aku hanyalah penikmat cerita yang mengikuti arus, bukan detektif yang mencari celah lewat arus tersebut sehingga menyingkap kebenaran.
Aku pernah berharap bisa terlibat dalam suatu kasus. Bahkan kasus kecil pun bisa menyenangkan bagiku. Aku membayangkan diriku sebagai Sherlock Holmes dan dapat menemukan jawaban dari debu-debu aneh yang menempel di topi seseorang.
Sayangnya, kenyataan itu terjadi dan aku terlibat dalam suatu kasus kecil di kampus. Namun bukan sebagai Sherlock, bahkan Watson. Aku adalah salah satu suspect atau orang yang dicurigai.
Karton yang berisi tulisan dari anak-anak UKM Pers kampus untuk ditempel di mading BEM Universitas Garuda Muda dirusak seseorang. Karton itu diletakkan di sekretariat BEM kemarin siang, tepatnya pukul 1, oleh seorang anggota UKM Pers bernama Andika. Keesokan paginya, Menteri Sekretariat BEM Universitas Garuda Muda bernama Ratih dan dua anggotanya, Hendrik dan Ningsih, mendapati karton tersebut sudah terkoyak-koyak. Apalagi saat mereka ingin memasuki ruang sekretariat, ternyata pintu ruangan tidak dikunci.
Aku duduk menghadap Presma Universitas Garuda Muda, Narma, bersama dua suspect lainnya. Di belakang kami berdiri Ratih, Andika serta Wapresma Universita GM yang bernama Mina. Kami bertiga berada di sini karena tadi pagi Narma langsung memberi pesan kepada semua himpunan untuk bertanya kepada mahasiswa jurusannya, siapa-siapa yang kemarin sore setelah pukul 3 lewat 45 berada di dekat ruang sekretariat atau masuk ke dalam. Aku yang tidak tahu akan dicurigai pun berkata jujur bahwa kemarin sore ada di sekitar ruang sekretariat.
“Jadi kupersingkat kepada kalian bertiga kronologinya. Ratih menerima karton tersebut dari Andika di ruang sekretariat, kemudian diletakkan di atas meja samping lemari piala pada pukul 1 siang. Setelah selesai bersih-bersih, Ratih bersama 2 anak BEM yakni Gina dan Santika meninggalkan ruangan pada pukul 3 lewat 45 sore. Keesokan harinya, pada pukul 7 pagi, Ratih bersama Hendrik dan Ningsih menemukan karton itu sudah terkoyak-koyak di meja yang sama.”
“Lalu kenapa mecurigai kami?” tanya Wanto. Dia adalah mahasiswa Jurusan Teknik Sipil. Rambut gondrongnya yang ikal diikat ke belakang. Aku dapat menangkap nada marah dari pertanyaannya.
“Pukul 4 lewat kau masuk ke sini kan?”
“Ya karena aku mencarimu, Narma. Lagipula saat aku masuk, pintunya tidak dikunci.”
“Hm…itu sudah dibenarkan Ratih. Dia bilang sepertinya lupa mengunci pintu sekretariat karena terburu-buru. Benar kan, Tih?”
Ratih, gadis cantik dengan rambut lurus sepunggung menganggukkan kepala “Karena di-sms bibiku untuk cepat pulang, aku jadi lupa mengunci pintu sekretariat. Cerobohnya…”
“Tak apa-apa, Tih?”
Narma memang baik, pikirku. Dia cocok menjadi Presma karena memancarkan aura wibawa. Aku yakin 100 persen banyak gadis di kampus pasti berharap menjadi pacarnya.
“Kenapa kau mencariku saat itu, To?”
“Aku ingin berdiskusi kepadamu soal acara ulang tahun Fakultas Teknik. Dekan kami bilang sebaiknya berkoordinasi dulu dengan BEM univ. Aku baru selesai kuliah dan malas untuk mengirim sms-“
“Sepertinya kau lagi berhemat pulsa,” celetuk Bejo, salah satu suspect. Wanto mendecih pelan.
“Diam kau anak Hukum. Pokoknya Nar, saat aku masuk tidak ada siapa-siapa dan aku langsung pergi meninggalkan ruangan.”
“Pintu tidak kau tutup?”
“Untuk apa, aku kira kalian anak BEM belum pulang karena pintunya tidak terkunci.”
“Kau melihat kartonnya?”
“Tidak,” kata Wanto menggelengkan kepala “Saat melihat ruangannya kosong, aku langsung pergi.”
Narma menghela napasnya “Bukan salahmu sih membiarkan pintunya terbuka. Kita berasumsi berdasarkan sudut pandang kita, kan?”
Wanto terkekeh “Kadang aku berpikir bahasamu yang terlalu tinggi adalah alasan utama yang mengantarkanmu jadi Presma.”
Aku dapat melihat Narma tersenyum tipis. Dia beralih kepada Bejo dari Hukum.
“Bejo ya…kau anak UKM seni juga kan?”
“Yo i…” Bejo mengangkat bahunya “Aku mau mengantarkan laporan dari kegiatan kami sebulan yang lalu. Karena tidak ada orang di ruangan, aku pun pergi.”
“Saat kau datang pukul berapa itu?”
“Aku tidak tahu pastinya, sekitar pukul 5.”
“Ada melihat karton di meja dekat lemari piala?”
Bejo menggelengkan kepala “Sama seperti teman kita dari Teknik, saat aku melihat tidak ada orang di ruangan, aku keluar.”
“Saat kau datang, pintunya terbuka atau tertutup?”
“Terbuka.”
“Dan saat kau pergi, kau biarkan terbuka?”
“Tentu saja Presma,” Bejo tertawa, yang aku yakini membuat Wanto agak kesal “Untuk apa aku menutup pintu yang terbuka milik BEM univ. Kurang kerjaan sekali.”
“Heh, untuk ini aku setuju denganmu anak Hukum.” Wanto mengibaskan tangannya “Dia benar Narma, untuk apa menutup pintu sekretariat yang terbuka milik BEM. Jika kami menutupnya maka kami seolah-olah melarang BEM masuk ke ruangan.”
“Sayangnya teman kita dari Biologi mendapati pintu itu tertutup pukul 5 lewat 15 sore.”
Semuanya memandang ke arahku setelah mendengar perkataan Narma. Sial. Aku tak suka ditatap sebagai calon tersangka. Seharusnya mereka yang kutatap untuk mendapatkan clue atau petunjuk.
“Namamu adalah Leonardo ya. Anak Hima Biologi Lingkungan.”
Aku menganggukkan kepala. Tentu saja aku tak terlalu dikenal karena aku adalah mahasiwa biasa.
“Biar kuperjelas, kau datang ke sini pukul 5 lewat 15 sore tepatkah atau hanya perkiraanmu saja?”
“Saat berjalan di lorong dekat ruang sekretariat BEM, aku sempat melihat jam tanganku. Dan…emm, sebenarnya bukan untuk ke ruangan sih, tetapi aku hanya lewat.”
“Hanya lewat?”
Aku menganggukkan kepala. Kuperjelas keteranganku “Ruang sekretariat BEM ini kan berada di depan ruang sekretariat UKM kampus lainnya. Jadi aku mau bertemu temanku di UKM Mapala untuk membicarakan sesuatu. Saat berjalan melewati lorong, pintu sekretariat BEM memang tertutup.”
“Kau tidak memeriksa kalau pintunya dikunci atau tidak?”
“Untuk apa?” tanyaku balik. Kali ini aku setuju dengan pola pikir si Bejo dari Hukum. Hanya kurang kerjaan.
“Haaah…kau benar. Untuk apa?” Narma menyenderkan punggungnya ke kursi. Terdengar decitan dari kaki kursi tersebut. Wanto tiba-tiba menunjukku.
“Tapi bung, bisa saja keteranganmu bohong!”
“Apa maksudmu?!” aku kaget mendengar perkataannya. Wanto tertawa kecil.
“Bisa saja kau membuka pintu itu saat lewat karena melihat ada celah sedikit terbuka di pintu. Mungkin di antara waktu Bejo dan dirimu, pintunya tertutup karena terkena angin, jadi…”
“Goblok.” Kata Bejo cepat. “Pintunya ditutup dari dalam, bukan luar. Mustahil angin bisa menggerakkan pintu tersebut. Lagipula bahan pintunya adalah Kayu Merbau yang cukup berat. Satu lagi…” Bejo menggoyangkan jari telunjuknya. Apa maksudnya itu?!
“Motifnya apa bung? Tidak penting sekali kita merobek karton yang akan ditempel di mading BEM. Memangnya isi artikel di karton itu menjelekkan kita? Kita saja bukan anggota BEM!”
Bejo tepat sekali. Separah-parahnya aku dalam menarik kesimpulan, ternyata ada orang yang lebih parah. Ya, si Wanto ini…aku bahkan bingung kenapa dia menuduhku. Apa karena dia pelaku sebenarnya dan ingin mengalihkan perhatian?!
Tidak. Imajinasiku terlalu liar. Kupandang Bejo yang sedang terlihat berpikir. Tiba-tiba terlintas pertanyaan itu dari mulutku.
“Omong-omong, emm kalau boleh tahu…apa isi artikel di karton tersebut?”
Andika yang berdiri di belakang kami menjawabnya. Otomatis kami semua memandangnya.
“Isinya tentang kinerja BEM setengah tahun pada periode ini. Semua kementerian dan Presma-Wapresma kami tulis kinerjanya beserta pendapat para mahasiswa di semua Fakultas.Yah…ada beberapa kementerian yang penuh kritikan, tetapi lebih banyak yang mengapresiasi kinerja BEM periode ini kok.”
“Kuharap aku bisa membacanya.” Kata Narma. Kupandang sang Presma. Dia mengangkat dagunya ke atas dan memandang langit-langit ruangan. Apa dia sedang membayangkan kalau tulisan-tulisan artikel itu penuh pujian atau…kritikan?
“Hmm, mungkin-“
“Maaf Narma, ada seseorang yang menguping pembicaraan kalian dari balik pintu!”
Perkataan Ratih dipotong oleh Hendrik. Dia berdiri dengan wajah penuh curiga. Kami semua memandangnya. Hendrik sedikit menggeser tubuhnya ke kiri dan memperlihatkan seorang gadis yang berdiri dengan wajah serius.
2
Saat pertama melihat gadis itu, hatiku langsung berucap Dia gadis yang manis. Gaya rambutnya bob pendek sebahu yang lurus, mata bulat besar yang cemerlang dengan kulit putih bersih. Poni rambutnya yang datar menutupi keningnya dan terlihat cocok dengan wajahnya yang bulat.
Tetapi yang lebih nyentrik adalah caranya berpakaian. Dia memakai Victorian blouse berwarna merah dan rok cotton panjang berwarna biru gelap. Gadis itu juga memakai pita berbentuk bunga di kepalanya. Aku seperti melihat seorang perempuan dari zaman classic yang tiba-tiba datang ke tahun 2007.
“Nama saya Rikka, K nya double. Nama panjang saya Rikka Setyawati.”
Dia langsung memperkenalkan diri tanpa dipersilahkan. Apalagi menjelaskan soal tulisan namanya.
Hmm…manisnyaaaa!
Rikka mengacungkan jari telunjuk kanannya ke atas dan berjalan tegap mendekati kami dengan wajah serius “Saya ke sini untuk memecahkan misteri ini.”
“Kau menguping.” Kata Hendrik sambil memutar bola matanya.
“Menguping adalah salah satu tindakan penyelidikan.”
Penyelidikan? Jantungku sedikit berdebar mendengar kata itu. Kutatap gadis serius dengan wajah menggemaskan itu. Tidak ada senyuman dari Rikka.
Dia benar-benar serius saat mengucapkannya!
Narma menghela napas. Dia menegakkan duduknya dan memandang Rikka penuh perhatian. Narma baik sekali. Walau Rikka terlihat seperti mengolok-olok, Narma tetap menganggap hal tersebut dengan serius “Jadi Mbak Rikka, kau sudah tahu siapa yang merobek karton berisi-“
“Panggil Rikka saja.”
Aku menutup mulut. Kok kamu menggemaskaaaan! Sial. Jika cewek lain memotong pembicaraan seperti tadi pasti dianggap menyebalkan, tetapi Rikka membuatnya seperti anak kecil serius yang tidak mau dipanggil mbak. Benar-benar imut.
“Baik Rikka, kau sudah tahu siapa pelakunya?” tanya Narman dengan nada tenang.
Rikka menganggukkan kepala. Dia tiba-tiba menepuk bahuku sehingga membuatku terlonjak kebingungan.
“Eh?”
“Eh?”
Kami berdua saling berkata Eh.
“Kenapa kamu kaget?”
“Kenapa kau menepuk bahuku?!” aku bertanya balik.
“Ah ya. Maaf soal itu,” Rikka menganggukkan kepala dua kali sebelum memandang kami semua dengan mata besarnya yang indah.
“Saya langsung menyadari ketika Leonardo menanyakan soal isi artikel dari karton tersebut. Lalu saya berpikir apa motifnya merobek karton tersebut. Saya memilah satu persatu keterangan dari ketiga suspect yang,” dia berhenti sejenak. Dia menunjuk telinganya “Saya dengar.”
“Kau menguping.” Celoteh Hendrik lagi.
“Psst.” Kata Rikka sambil menempelkan telunjuknya ke bibir. Aku menutup mulutku lagi. Manisnyaaaaa!
“Lalu saya bisa menyimpulkan kasus ini dengan cara menghubungkannya dengan karakter Presma Narma.”
“Menghubungkannya denganku? Apa maksudnya itu?”
Kutatap Narma yang tampak kebingungan. Entah kenapa tiba-tiba instingku berteriak kalau Narma-lah pelakunya. Karena di cerita-cerita detektif, pelaku kejahatan adalah sosok yang paling tidak mungkin melakukan kejahatan.
“Presma Narma adalah sosok laki-laki yang dikagumi semua orang. Baik, wibawa, penyabar…apalagi oleh para mahasiswi di kampus kita. Presma Narma adalah laki-laki paling populer yang diinginkan semua cewek dari semua fakultas. Ahem...mungkin saya terlalu berlebihan. Yang pastinya, banyak cewek yang menyukai anda, Presma.”
Rikka menunjukku dengan cepat. Aku langsung terlonjak kaget lagi.
“Eh?”
“Eh?”
Kami mengucapkan Eh lagi, hampir bersamaan!
“Kenapa kamu kaget?”
“Ke-kenapa kau menunjukku?”
“Ah maaf,” Rikka menganggukkan kepalanya dua kali “Saya ingin memperjelas bahwa saat Leonardo melihat pintu ruang sekretariat telah tertutup, maka karton tersebut telah dirobek.”
Semuanya saling berpandangan. Entah kenapa jantungku mulai berdebar kencang.
“Jadi perobekan terjadi antara waktu Bejo melihat pintu itu terbuka dan waktu si Leonardo ini melihat pintu telah tertutup. Sekitar pukul 5 sampai 5 lewat 15 menit?” tanya Wanto berusaha memperjelas. Rikka menganggukkan kepala.
“Nah, bagaimana jika pelaku menunggu sampai benar-benar sore untuk melakukan perobekan. Dia tidak mau melakukannya sekitar jam 3 atau 4 sore karena tahu mahasiswa masih berlalu lalang di sekitar lorong.”
“Berarti pelakunya si Leonardo ini!” tiba-tiba Wanto kembali menuduhku dengan suara puasnya. Bejo terkekeh.
“Dasar bodoh. Coba kau dengar perkataan cewek ini. Motif. Apa motifnya?”
Bejo benar. Aku tak habis pikir si goblok Wanto ini tidak menangkap penjelasan awal Rikka.
“Lalu siapa yang melakukannya?” tanya Andika. Sepertinya jiwa pers Andika tertarik mendengar analisis Rikka. Aku membayangkan Andika akan menulis artikel misteri setelah kasus ini terungkap.
“Kenapa kalian tidak menyadarinya. Pelaku adalah orang yang dirugikan jika artikel tersebut ditempel di mading BEM kita.”
“Motifnya adalah…dia tidak mau kredibilitasnya turun di mata mahasiswa lainnya, de-dengan kata lain pelakunya adalah anak BEM?!” tanyaku. Ada berharap asumsi itu benar.
“Hampir tepat LeoWatson.”
Tiba-tiba saja Rikka mengubah namaku. Aku tidak bisa marah karena yang mengatakannya adalah Rikka. Kau tidak akan bisa kesal mendengar wanita cantik menggemaskan tiba-tiba mengubah namamu dengan wajah dan nada serius.
“Andika, kamu masih ingat kementerian apa saja yang mendapat banyak kritikan di artikel tersebut?”
Andika mengingat-ingatnya “Ada 4 kementerian. Kementerian Kesekretariatan, Kementerian Hubungan Masyarakat, Kementerian Olahraga dan Kementerian Advokasi Kesejahteraan Mahasiswa. Sisanya mendapat penilaian bagus berdasarkan kinerjanya setengah periode.”
“Be-berarti pelakunya adalah Presma Narma dong!” tiba-tiba Wanto menuduh lagi. Kini giliran Narma “Dia tidak mau kredibilitasnya turun di mahasiswa lainnya karena ada beberapa kementerian mendapatkan kritikan?!”
Aku kini membenarkan ucapan Wanto dalam hati. Motif atau alasan paling logis adalah Narma, tetapi Rikka menyanggahnya dengan cepat.
“Pelakunya Narma jika terjadi dua kondisi. Pertama, jika dia ada di ruang sekretariat atau sekitarnya. Kedua, jika dia melihat isinya pada hari itu. Sayangnya Presma kita sedang ada kesibukan di tempat lain. Apakah aku benar?”
Narma menganggukkan kepala “Aku sedang bertemu dengan Ketua BEM dari Universitas Panca Sadya sore itu di Kafe Mas Mulyo. Kami selesai berbicara pada pukul 5 lewat 30 sore karena saat pulang dari kafe, aku sempat melihat jam.”
Rikka menganggukkan kepala, kemudian melanjutkan ucapannya “Motif pelaku bukan karena takut kredibiltasnya turun di hadapan mahasiswa lainnya. Tetapi sang pelaku tidak mau kinerja buruknya dilihat oleh cowok yang ia kagumi.”
“A-apa maksudmu Rikka?” tanyaku harap-harap cemas.
“Pelaku adalah anggota BEM. Tepatnya anggota dari kementerian yang dikritik. Pelaku adalah orang yang melihat isi artikel pada hari itu juga. Pelaku adalah seorag cewek yang menyukai Presma Narma dan tidak mau mengecewakan sang Presma. Pelakunya adalah orang yang memiliki kunci ruang sekretariat tetapi sengaja tidak menguncinya untuk membuat kasus perobekan ini mengarah kepada orang luar yang bisa masuk dengan mudah ke ruangan dan menjauhinya dari tuduhan.”
Otomatis kepalaku berputar ke arah si pelaku. Aku langsung paham siapa yang melakukannya.
“Ra-Ratih…Menteri Kesekretariatan. K-kau pelakunya?”
Rikka menganggukkan kepala. Kulihat wajah Ratih berubah pucat dan tegang.
“A-aku hanya…”
“Kamu hanya merobek karton itu kan? Kamu telah menyukai Narma sejak lama dan mungkin masuk BEM karena ingin selalu dekat dengannya. Kamu tahu Narma sangat populer di antara para mahasiswi. Kamu berharap dengan masuk BEM dan menunjukkan kinerja yang baik, maka Narma akan menyukaimu. Sayangnya…kamu masuk BEM bukan karena ingin memajukan BEM. Kamu masuk BEM karena ingin mendapat perhatian seseorang sehingga kinerjamu tidak maksimal. Saat kamu membaca artikel dari Andika yang memasukkan Kementerian Kesekretariatan sebagai salah satu kementerian yang dikritik, kamu tidak terima. Karena ada anggota BEM saat itu, kamu tidak langsung merobeknya. Kamu memikirkan cara untuk merobek artikel itu tanpa diketahui serta menjauhimu dari kecurigaan. Kamu menunggu di taman yang berada di depan kesekretariatan dan melihat Wanto serta Bejo memasuki ruangan yang sengaja tidak dikunci. Setelah yakin hampir semua mahasiswa pulang dan keadaan mulai sepi, kamu masuk ke ruangan lalu merobek artikel tersebut, menutup pintu ruangan dan sengaja meninggalkannya tanpa terkunci sehingga pagi hari saat kamu menemukan karton tersebut bersama anggota BEM yang lain, maka muncul lah asumsi bahwa pelakunya orang luar.”
Ratih menggelengkan kepala. Dia memandang sedih ke arah Narma.
“Narma, bukan aku. Untuk apa aku merobek sebuah karton berisikan kritikan hanya untuk mendapatkan…mendapatkan,” Ratih menggeram “Kau pasti berangan-angan. Lihat saja cara berpakaianmu. Memangnya kita lagi di Eropa?! Kau pasti orang yang senang membaca novel misteri sehingga imajinasimu menjadi liar!”
Aku juga senang membaca novel misteri. Tetapi imajinasiku bahkan tidak bisa berpikir sejauh logikaku. Dengan kata lain, perkataan Ratih salah.
“Untuk membuktikannya, kita bisa memerika HP Ratih. Saya yakin setelah mengetahui isi artikel tersebut, Ratih meminta bantuan temannya yang ada di UKM Pers untuk sedikit mengubah isi artikel. Kamu yakin merobek artikel pada hari itu hanya menundanya saja, kamu yakin UKM Pers akan membuatnya lagi karena itu kewajiban mereka, maka kamu melakukan tindakan pencegahan. Rencanamu sudah cukup bagus, sayangnya kamu tidak membuang karton itu atau membawanya pulang ke rumah lalu membakarnya tanpa sisa. Kamu malah merobeknya. Mungkin kamu takut jika membawa karton itu ke dalam tasmu membuat persentase ketahuan semakin besar, maka kamu memilih merobeknya di ruangan. Kalau kamu ingin bukti, hmm…bisa cek HP-mu?”
“Narma aku…” bibir Ratih terlihat bergetar. Narma berdiri dari kursinya. Kukira dia akan memarahi Ratih, tetapi dielusnya pelan kepala Ratih dan tersenyum.
“Tidak apa-apa Ratih. Aku mempercayaimu. Engg, kita anggap saja orang jahil masuk ke ruangan sekretariat yang tidak terkunci dan merobek karton tersebut,” Narma memandang Rikka. Tatapannya tulus berterima kasih “Terima kasih Rikka. Kau hebat.”
Rikka tiba-tiba menepuk bahuku dan membuatku kembali kaget.
“Ke-kenapa?” tanyaku bingung.
“Ini semua berkatmu yang menanyakan isi artikel tersebut, LeoWatson. Yap…kau mencerahkan pikiranku saat aku mendengar kasus ini dari balik pintu.”
“Kau menguping.” Kata Hendrik lagi.
Rikka memajukan sedikit bibirnya, terlihat sedikit cemberut dan menurutku 100 persen sangat amat menggemaskan.
“Itu adalah salah satu tugas detektif!”
3
Aku tidak terlalu mendengar kelanjutan dari kejadian perobekan karton tersebut. Yah…itu hanya masalah biasa. Tapi berdasarkan desas-desus dari mahasiswi di jurusanku, Narma berpacaran dengan Ratih. Wow, aku sangat terkejut. Entah apa yang terjadi, kuharap Narma benar-benar menjaga Ratih. Kuharap dia memacari Ratih bukan karena ingin menghapus rasa bersalah Ratih, tetapi memang ingin menjaganya hingga pelaminan. Narma memang laki-laki yang baik dan pengertian, tetapi kuharap dia bisa menggunakannya pada situasi yang benar.
Shit! Kenapa aku malah tenggelam dalam romantisme abal-abal yang sedikit lebay. Daripada memikirkan Narma yang pastinya mudah mendapatkan pacar, lebih baik aku memikirkan nasibku.
Seorang mahasiswa biasa yang kehidupannya biasa-biasa saja. Mungkin satu-satunya hal unik yang kumiliki adalah aku senang membaca cerita misteri.
Kusantap nasi goreng di kantin kampus yang terasa sangat enak. Bumbunya sangat terasa. Salah satu makanan favoritku di kampus. Kusedot es teh Bu Marsinah yang terkenal akan keseimbangan Yin dan Yang-nya.
Bercanda. Aku hanya bercanda. Es teh Bu Marsinah enak. Hanya enak dan segar.
Saat melihat suapan terakhir di piring, aku teringat gadis itu. Gadis berambut bob lurus sebahu dengan mata besar indah dan gaya berpakaian yang unik.
“Nama saya Rikka, K nya double. Nama panjang saya Rikka Setyawati.”
Tak sadar aku tersenyum mengingat caranya berkenalan. Dan aku baru menyadari dia berbicara dengan sopan. Menggunakan kata saya dan kamu. Agak jarang mendengar orang berbicara seperti itu sekarang.
“Heh…” Entah kenapa aku tiba-tiba mengucapkan Heh…tanpa arti.
“Kamu sudah selesai?”
“Ehhh?!”
Aku terlonjak kaget. Begitu pula si gadis yang menegurku.
“Eh?”
“Eh?”
Untuk beberapa saat kami terdiam. Kupandang wajah manisnya yang tampak kebingungan. Bibir tipisnya sedikit maju ke depan dan membuatnya semakin menggemaskan.
“Kenapa kamu kaget? Kamu memang mudah kaget, LeoWatson.”
“Ri-Rika? Rika Se-“
“Rikka, K nya double.”
“Tunggu. Bagaimana kau bisa mengoreksi ucapan?”
Rikkan meletakkan piringnya di meja. Aku meliriknya sekilas. Mi goreng dengan telur mata sapi yang lezat.
“Cara pengucapannya beda. Rik-ka. Beda dengan Ri-ka.”
Anjirr, bahkan dia mengajariku tentang hal tidak penting pun membuatku merasakan keimutannya. Aku pun mengangguk patuh dan terlihat wajah manis itu tersenyum puas.
Benar-benar seperti anak kecil. Aku bertanya dalam hati, bagaimana jika aku tidak setuju ya?
“Emm, Rik-Rikka. Rikkkkka.” Kutekankan saat pengucapan K double itu “Ada perlu apa ya?”
Rikka yang sedang menggulung mi gorengnya di garpu menoleh ke arahku dengan cepat.
“Mau bergabung bersamaku untuk membuat UKM detektif, LeoWatson?”
“Hee?”
Bab 3
1
Tak kusangka gadis yang baru kukenal langsung menarikku ke ruang sekretariat BEM dan duduk di hadapan Presiden Mahasiswa Narma. Sang Presma yang sedang membaca beberapa proposal meletakannya perlahan dan tersenyum.
“Wah wah wah, kalian berpacaran?”
“Ten-“
“Tentu saja tidak.”
Rikka menjawab pertanyaan absurd Narma lebih cepat. Dia duduk tegak dengan wajah seriusnya yang lucu dan mengatakan “Saya ingin mengajukan UKM detektif.”
“Hm…” Narma sedikit kaget, tetapi dia mampu menguasai dirinya “UKM detektif ya. Baru dengar. Ah, ada…ada proposalnya?”
“Tidak ada.” Jawab Rikka tegas. Dan ketegasannya itu membuatnya tidak bersalah.
“Jika Rikka ingin membuat UKM baru di universitas kita, buat dulu proposalnya. Setelah itu serahkan kepadaku. Aku akan mempertimbangkannya untuk dibawa kepada rektor.”
“Oh begitu,” Rikka langsung berdiri dan menarik tanganku “Ayo LeoWatson. Terima kasih Presma Narma atas informasinya.”
“Eh tunggu Rikka, aku belum mengerti apa maksudnya ini?!”
Narma menganggukkan kepala. Dia tersenyum kepadaku dan seolah-olah mengatakan “Semoga kau bisa mengatasinya kawan.”
Yaaah, tidak buruk juga digandeng perempuan cantik seperti Rikka.
2
Aku sangat terkejut ketika Rikka membawaku ke Perpustakaan Kota Bandung. Aku sering datang ke sini ketika tidak ada tugas dosen atau kegiatan mahasiswa. Aku senang membaca koleksi buku-buku misteri milik perpustakaan kota. Kadang-kadang aku meminjam 1 atau 2 buah buku yang menarik dan membacanya di rumah. Hobi membaca cerita misteri satu-satunya sebuah “keunikan” yang bisa aku banggakan. Tapi sayangnya teman-temanku tidak ada yang menyukai cerita misteri. Jika ada yang hobi membaca, mereka lebih suka membaca novel romantis atau buku-buku sejarah.
“Kau…sering ke sini?” tanyaku ketika kami berdua duduk di salah satu meja dekat dinding perpustakaan. Aku dapat menghirup aroma buku yang sangat khas.
Rikka menganggukkan kepala “Ya. Saya juga sering melihatmu ke sini.”
“Kenapa aku tidak pernah melihatmu?”
“Mungkin kamu terlalu fokus dengan bacaanmu.” Kata Rikka sambil tersenyum. Kutemukan senyuman tulus dari wajah cantik itu yang membuatku senang.
“Kamu sudah baca ini?” tanya Rikka sambil mengeluarkan sebuah buku dari tas-nya. Buku bersampul kuning dengan gambar pistol berwarna merah. Kubaca judul yang tertulis di bagian gambar pistol. The Big Sleep karya Raymond Chandler. Wah, buku misteri yang keren. Tentu saja aku sudah membacanya.
“Sudah.”
Mata Rikka terlihat berbinar. Irisnya yang kuning kecoklatan bergerak senang seperti anak kucing yang menemukan makanan. Dia menganggukkan kepalanya berkali-kali lalu menaruh buku itu kembali ke dalam tas.
“Kamu memang penyuka misteri, LeoWatson. Saya baru saja membacanya, baru halaman 30.”
“Aaa…ya.” Aku tidak tahu harus bagaimana menjawab ucapannya. Kemudian dia berbicara lagi.
“Saat pertama kali melihatmu di kampus, saya terkejut. Ternyata kamu adalah mahasiswa Universitas Garuda Muda. Terlebih kamu ternyata dari Jurusan Biologi Lingkungan.”
“Kau…dari jurusan mana, Rikka?”
Dia menggerakkan jari-jari di kedua tangannya membentuk huruf Z.
“Zoologi.” Katanya. Tentu saja dengan wajah serius sehingga membuatnya sangat menggemaskan.
Zoologi adalah salah satu cabang ilmu biologi yang khusus mempelajari hewan.
“Waaah, jadi kita berasal dari ilmu dasar yang sama.”
“Saya semester 4. Sama sepertimu.”
Tanpa ditanya, Rikka langsung membeberkan tentang semesternya. Aku tertawa kecil. Rikka memiringkan kepalanya dan dengan wajahnya yang serius itu dia bertanya.
“Apa yang lucu, LeoWatson?”
“Tidak. Hanya saja…maaf, memang begini?”
“Hm…” Rikka memegang dagunya. Entah kenapa pertanyaan sederhanaku membuat Rikka terlihat berpikir keras
“Bisa jadi.” Jawab Rikka. Tetap dengan mimik seriusnya.
“Biasanya aku kenal dengan anak-anak Biologi yang semesternya sama. Walaupun kehidupanku biasa-biasa saja, aku adalah mahasiswa yang rajin ikut organisasi ataupun acara kampus. Teman-temanku juga ada di UKM kampus. Tetapi kau baru kali ini kulihat. Mungkin kau jarang ikut kegiatan organisasi atau semacamnya ya?”
“Tepat sekali.”
Dia langsung menjawabnya dengan tegas.
“Makanya saya ingin membuat sesuatu yang saya sukai. Yaitu UKM detektif. Kita akan menyelidiki dan memecahkan misteri.”
Aku tidak tahu, apakah Rikka benar-benar buta tentang seluk beluk membentuk suatu UKM di kampus. Kujelaskan garis besar prosedur pembuatan UKM, kurang lebih seperti yang Narma katakan, tetapi lebih rinci. Dia mengangguk-angguk serius dan tampak mengerti.
“Jadi, tidak sembarangan untuk-“
“LeoWatson, karena kamu adalah asisten saya maka tolong buatkan proposalnya.”
Aku terdiam beberapa saat untuk mencerna perkataannya. Asisten? Sejak kapan? Belum sempat aku mengatakan kebingungan yang muncul mendadak di kepalaku, Rikka berdiri dari kursi, mengangkat kedua tangannya yang terkepal setinggi dada dan tetap berwajah serius.
“Hm…saya akan mencari anggota dan kamu yang membuat proposal. Sempurna. Kita akan menjadi anak biologi pertama yang mendirikan UKM detektif!”
Aku memandang sekitar. Memastikan ucapan Rikka yang sedikit keras tidak menganggu pengunjung perpustakaan lainnya. Pikiranku salah. Semua orang yang duduk di dekat kami memandang dengan wajah bingung. Seorang ibu berkerudung dengan wajah tirus menempelkan telunjuknya di bibir. “Pssss…”. Itu tandanya jangan berisik.
“Ri-Rikka, please duduk kembali. Suaramu. Suaramu kebesaran.”
Rikka yang kaget karena dirinya menganggu ketenangan perpus langsung mengucapkan maaf sambil menunduk-nundukkan kepala malu. Wajah seriusnya sedikit memerah. Entah kenapa wajah malu yang serius itu malah semakin membuatku ingin mencubit pipinya. Ah…tahan imajinasimu LeoWatson. Aih, maksudku Leonardo.
“Rikka, coba pikirkan lagi untuk membuat UKM itu.” Kataku setelah keadaan mulai tenang “Proposalnya bukan seperti proposal kegiatan, tetapi juga harus ada draft AD/ART, draft progja dan tujuannya. Itu, itu tidak bisa dibuat secara terburu-buru.”
“Tenang saja LeoWatson. Kita tidak terburu-buru untuk mendirikan UKM detektif. Kita hanya butuh waktu satu bulan.”
“Satu bulan itu terlalu cepat!” pekikku. Semua orang kembali menatap kami dan aku langsung berdiri lalu meminta maaf. Rikka tidak tertawa. Wajahnya tetap serius dan mengikuti setiap gerakan yang kubuat.
“Dua bulan?”
“Tidak Rikka, itu-“
“Tiga bulan?”
“Rikka, kita sudah masuk semester 4 dan tugas serta praktikum kita semakin banyak.”
“Hmm…” Rikka menutup matanya. Entah kenapa dia tidak terlihat kecewa karena aku seolah-olah menolak permintaannya. Dapat kulihat mimik muka cantik itu sedang berpikir serius. Apakah dia sedang mencari solusi untuk masalah ini?
Waktu berlalu satu menit saat Rikka menutup matanya sambil memegang dagu. Aku berharap dia tidak tertidur. Saat itulah sebuah suara memanggil kami dari samping.
“Hei, kalian anak Biologi kan?”
Aku langsung menoleh ke samping kanan. Sebelum aku menjawab “Ya.”, Rikka sudah duluan menjawabnya.
“Ya.”
3
“Ah…” kata orang itu. Aku kenal pria berumur 50-an dengan rambut tebal yang disisir rapi ke samping dan beruban itu. Dia adalah Pak Mario Nimran, dosen yang mengajar di 4 jurusan Biologi. Beliau mengajar mata kuliah Biologi Umum di semester 1. Orangnya ramah, namun senang memberi tugas. Aku ingat teman-temanku saat awal kuliah menjulukinya “Dosen Killer berhati lembut” saking banyaknya tugas yang beliau berikan.
“Bapak ingat kamu,” kata Pak Mario sambil menunjuk Rikka “Kamu mahasiswi yang suka duduk di kursi belakang dan tidak tertawa saat teman-temanmu tertawa. Tapi bapak mengingat kamu karena kamu menjawab semua tugas bapak dengan benar dan nilai UTS-UAS mu sempurna. Namamu kalau tak salah, hm…Rikka ya?”
Aku menelan ludah. Kutatap wajah cantik Rikka. Dia menganggukkan kepala dengan serius. Aku kagum karena tidak ada terlihat rasa bangga di sana. Atau Rikka dapat menutup emosi di wajahnya dengan sempurna? Entahlah…
Satu hal yang pasti, Rikka adalah perempuan yang pintar.
“Kalau kamu…” Pak Mario memiringkan sedikit kepalanya. Senyumannya berubah menjadi senyuman bingung.
He he he. Tentu saja pak. Anda pasti tidak mengenal saya. Saya adalah mahasiswa biasa-biasa. Leonardo si ordinary man.
“Saya Leonardo pak. Dari jurusan Biologi Lingkungan.”
“Ah ya. Ya…” Pak Mario menganggukkan kepala dan mengibaskan tangannya “Maafkan bapak. Bapak rasa banyak wajah mirip sepertimu, Nak Leo.”
Banyak wajah mirip sepertimu. Apakah aku harus membuat codet X di pipi kiri sehingga wajahku bisa beda dengan orang lain?
“Tidak apa-apa pak.”
“Ya. Ya…” Pak Mario tiba-tiba duduk di sampingku. Aku tentu saja kaget. Saat kulihat Rikka, dia juga terlihat kaget.
“Bapak mendengar pembicaraan kalian tadi. Ya, karena suara kalian agak keras maka terdengar cukup jelas. Saat bapak mendengar tentang biologi, bapak pun menoleh ke arah kalian dan mengenali Nak Rikka.” Pak Mario meluruskan kedua tangannya dan menyatukan jari-jari tersebut membentuk kepalan.
“Kalian ingin membuat UKM ya?”
Aku memandang Rikka. Melihat bagaimana tanggapannya. Rikka langsung berkata “Ya” tanpa keraguan.
Yaahh, reaksi Rikka pasti seperti itu…
“Bapak mungkin bisa bantu-“
“Terima kasih pak.” Kata Rikka sambil berdiri dan membungkukkan badannya. Aku terlonjak kaget dan menggerakkan kedua tanganku dengan kaku.
“Eh? Eh? Langsung dijawab Rikka? Pak Mario belum selesai berbicara.”
“Ah ya, maaf.” Rikka duduk dengan tenang. Aku meminta maaf kepada Pak Mario dan ditanggapi beliau dengan santai.
“Hm…bapak mungkin bisa bantu kalian untuk mendirikan UKM tersebut. kalau tidak salah, jika suatu UKM yang akan dibentuk mendapat persetujuan lebih dari 3 dosen maka tanpa persetujuan BEM, UKM tersebut bisa terbentuk.”
Aku yang mengerti maksud Pak Mario bertanya dengan hati-hati “Ada…maaf ya pak, ada syaratnya kah?”
Pak Mario menganggukkan kepala.
“Bapak sedang melakukan penelitian tentang jenis-jenis tumbuhan di Gunung Rinjani untuk penelitian wajib dosen setiap satu tahun. Jika kalian mau membantu bapak saat mengumpulkan data di sana, maka bapak bisa meyakinkan dosen-dosen lainnya untuk menyetujui UKM kalian. Bagaimana?”
Aku memikirkan tawaran itu. Menurutku cukup bagus. Walaupun kami belum pernah praktik lapangan, terutama mengumpulkan tumbuhan langsung dari lokasi penelitian, aku yakin kami bisa melakukannya sekaligus belajar lebih awal. Kupandang Rikka sedang terlihat menimbang tawaran tersebut. Terlintas dalam pikiranku soal waktu dan absen kuliah kami.
“Pak, soal lamanya pengambilan data itu berapa hari ya? Dan jika lama, bagaimana kuliah kami?”
Rikka menjetikkan jarinya. Otomatis aku menoleh ke arahnya, mungkin juga Pak Mario ikut memandangnya.
“Itu dia. Bagus LeoWatson. Pertanyaanmu sangat tepat. Berapa waktu pengambilan datanya pak?”
Aku tersenyum. Pujian sederhana Rikka membuatku senang.
“Seminggu. Untuk kuliah kalian, bapak bisa memberi izin. Kalian berikan saja nama-nama dosen yang mengajar kalian pada jam kuliah, nanti bapak akan memberitahu mereka.”
Aku menoleh ke arah Rikka “Bagaimana?” tanyaku dengan nada penuh harap. Daripada membuat proposal dan tetek bengek-nya, lebih baik mengikuti rencana Pak Mario yang menurutku tidak membosankan.
“Saya setuju.” Kata Rikka “Bagaimana denganmu, LeoWatson?”
“Tentu saja aku setuju. Membuat proposal itu sangat mere-ahem maksudku agak merepotkan. Nah pak, bagaimana kelanjutannya?”
Pak Mario menghela napas lega. Dia mengetukkan jari telunjuk kanannya ke meja dengan antusias “Bapak minta nomor kalian. Kalian siapkan pakaian saja untuk waktu seminggu. Bapak yang akan siapkan alat-alat pengambilan data. Kita akan berangkat dua hari lagi.”
“Dua hari lagi?” tanyaku tidak percaya.
“Ya.”
Aku terkekeh pelan. ini menyenangkan. Selain libur kuliah seminggu, hwehehehe, aku juga akan liburan ke Gunung Rinjani di Pulau Lombok. Kupandang wajah serius Rikka. Dia mengangguk-angguk mendengar arahan Pak Mario. Imut sekali.
Yes! Tentu saja bonusnya aku liburan bersama Rikka. Entah kenapa cewek yang kukenal lewat pertemuan aneh di kasus sederhana kampus menjadi teman perjalananku ke Pulau Lombok. Aku senang karena bisa sering melihat ekspresi serius yang lucu itu.
“Tenang saja. Bapak punya tempat menginap di Gunung Rinjani. Lagipula pengambilan datanya di dekat tempat penginapan tersebut.”
“Wah, enak sekali pak.” Kataku menanggapinya dengan rasa syukur. Apalagi nikmat Tuhan yang tak kau syukuri, Leonardo. Kau harus benar-benar bersyukur.
“Bapak hebat bisa ada tempat menginap di Gunung Rinjani. Apakah itu sebuah rumah, pak?” tanya Rikka.
Pak Mario menggelengkan kepalanya “Bukan rumah. Lebih tepatnya villa. Namanya Villa Emas.”
Aku penasaran ketika mendengar nama villa tersebut. Villa Emas. Entah kenapa terdengar seperti sebuah villa megah yang akan membuatmu takjub dan kagum.
Bab 4
1
Aku menenteng koper yang berisi segala macam kebutuhan saat menginap di Gunung Rinjani. Pakaian untuk waktu seminggu, charger HP, laptop dan chargernya. Aku juga membawa uang secukupnya di dalam dompet yang kumasukkan ke tas kecil. Sebenarnya aku ingin membawa kamera untuk mendokumentasikan kenangan di sana, tetapi Pak Mario memberitahu kami bahwa dia sudah membawa 3 buah kamera yang akan digunakan saat peneltian. Beliau juga bilang kamera tersebut bisa digunakan untuk dokumentasi hal lainnya. Aku sangat senang karena Pak Mario benar-benar memfasilitasi kegiatan di sana.
“Leo pamit dulu, pak.” Kucium tangan bapakku yang duduk di ruang tamu. Dia menganggukkan kepala. Bapakku berasal dari Bengkulu. Sejak muda beliau sudah kerja di Bandung sebagai guru di salah satu SMA. Saat ini beliau bekerja di Dinas Pendidikan Kota Bandung. Sifat bapakku tenang dan kalem, berbanding terbalik dengan ibuku yang orangnya penuh rasa khawatir.
“Kade di jalan, nak.” Kata ibuku saat aku mencium tangannya.
“Iya bu.”
“Uangnya cukup segitu? Teu kunanaon?”
“Cukup bu,” aku tertawa kecil mendengar kekhawatiran ibu yang begitu besar “Lebih malah.”
Bang Maman, ojek langganan ibuku yang sering mengantarkan beliau ke pasar sudah membunyikan klakson tanda siap pergi. Aku mengucapkan salam dan pergi meninggalkan rumah. Rumahku berada di Kelurahan Pasteur, Kecamatan Sukajadi. Lama perjalanan menuju Bandar Udara Husein Sastranegara sekitar 11 menit lewat Jalan Pajajaran.
Saat berada di motor, aku membayangkan Rikka. Bagaimana gadis itu pergi ke bandara? Naik apa? Dan aku pun mulai bertanya-tanya, di mana rumahnya?
2
Saat sampai di pintu bandara, kulihat gadis berambut bob sebahu itu berdiri seperti menunggu seseorang. Dia memakai jaket coat panjang berwarna krem dan rok cotton sebetis berwarna biru muda. Sepertinya dia memakai blouse berwarna putih di balik jaketnya. Aku dapat melihat pergelangan kakinya yang memakai gelang berwarna perak mengkilap. Dia memakai sepatu hak yang tidak terlalu tinggi. Penampilannya semakin manis karena memakai topi baret berwarna sama dengan jaket tersebut. Koper miliknya berdiri tegak di samping.
Setelah membayar dan berterima kasih dengan Bang Maman, aku berjalan cepat mendekati Rikka. Saat Rikka melihatku, dia menunjukku dengan wajah serius.
“Itu dia.”
“Ya, ini aku.”
“Kamu telat.”
Aku berhenti berjalan. Kemudian mengangkat kedua bahuku tanda bingung. Aku berjalan mendekatinya untuk mempertanyakan hal tersebut.
“Telat dalam hal apa, Rikka? Pesawat kita take off satu jam lagi.”
“Kita kan diminta Pak Mario untuk datang pukul 7 pagi.”
“Ya ini…” kulihat jam tanganku. Pukul 7 lewat 10 menit “Hm, lewat 10 menit. Berarti aku-“
“Kamu telat. Kasihan Pak Mario.”
“Beliau saja belum datang!” kataku kesal. Tetapi kekesalan itu sirna ketika Rikka menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan dan membuat kode No No No…ah, imutnya.
“Kita tunggu di Waiting Room yuk. Capek kalau berdiri.”
Rikka menganggukkan kepala menyetujui ajakanku. Saat kami berjalan memasuki bandara, aku berhenti sejenak dan menoleh ke arahnya.
“Kau datang ke sini jam berapa?”
“Pukul 6 lewat 30.”
“Jangan bilang kau berdiri setengah jam di tempat tadi.”
“Ya.” Jawabnya tanpa dosa. Aku menggelengkan kepala. Cewek ini memang unik!
Cara berpakaian Rikka yang mencolok tentu saja menarik perhatian penumpang lainnya, tetapi tampaknya Rikka tidak peduli. 10 menit kemudian, Pak Mario Nimran datang dengan langkah cepat. Dia meminta maaf agak telat dengan waktu yang ditentukannya lewat SMS karena mempersiapkan peralatan untuk penelitian. Beliau pun memberi kami masing-masing kamera saku Canon Powershot A650IS. Aku kaget karena kamera saku ini salah satu kamera favorit tahun 2007. Kami mengucapkan terima kasih kepada Pak Mario dan obrolan-obrolan biasa pun terjadi hingga kami menaiki pesawat.
3
Kami duduk satu deretan di bagian tengah pesawat. Rikka langsung memilih duduk di dekat jendela dengan alasan ingin melihat pemandangan dari atas. Aku akhirnya duduk di antara Rikka dan Pak Mario. Selama perjalanan, aku dan Pak Mario berbincang-bincang tentang segala hal yang berhubungan dengan Biologi. Aku pun mengutarakan pendapat tentang beberapa mata kuliah yang kuanggap sulit. Pak Mario menanggapinya dengan bijak dan memberikan beberapa nasihat. Sesekali kulirik Rikka, gadis itu telah tertidur dengan kepala agak tertunduk sehingga rambut bob-nya menutupi sebagian wajahnya.
“Kamu mengenal Rikka sejak kapan, Nak Leo?”
“Aaah…” aku agak bingung menjawab pertanyaan Pak Mario yang tiba-tiba mengarah ke sana “Belum lama ini pak.”
“Hooh, tapi kalian terlihat akrab ya. Saat di perpustakaan kota, bapak malah melihat kalian seperti sepasang kekasih.”
“Ah, yang benar pak?” aku menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. Senang juga rasanya. “Bisa aja bapak. Tidak pak, kami belum lama berteman.”
Pak Mario tersenyum.
“Tapi bapak kok bisa ada di perpus kota saat itu?” aku menanyakan hal tersebut karena tiba-tiba terlintas di kepala.
“Bapak sedang mencari referensi tentang penelitian bapak. Bukunya pernah bapak lihat di perpustakaan kota beberapa waktu yang lalu. Kalau bapak memesan buku yang bapak mau, sepertinya akan memakan waktu lama.”
“Oh begitu.” Tanggapku sekedarnya “Berarti penelitian bapak untuk tahun ini belum dimulai ya?”
Pak Mario menggelengkan kepala. Dia tersenyum, namun senyuman itu sedikit memperlihatkan kekecewaan.
“Bapak sudah melakukannya, tetapi hasil penelitian bapak ditolak. Jadinya yaah, bapak harus melakukan penelitian ulang. Agak merepotkan.”
“Hm, walaupun saya belum memasuki dunia penelitian, tetapi saya dapat merasakannya pak. Kekesalan dan kekecewaan ya?”
Pak Mario memegang dagunya, tampak berpikir “Mungkin bapak lebih ke arah kecewa, Nak Leo.”
Aku pun menanggapi perkataan Pak Mario dengan perkataan pendek namun tetap sopan. Perhatianku teralihkan saat mendengar suara benturan di samping. Aku menoleh ke arah sumber suara dan melihat Rikka sedang menggosok kepalanya menggunakan tangan kanan.
“Kau kenapa, Ka?”
“Kepala saya terbentur jendela.”
Pak Mario tertawa kecil. Aku ingin tertawa, tetapi tak tega karena melihat gadis imut itu menggosok kepalanya seperti anak kecil.
“Kepalamu tak apa-apa kan?”
Tiba-tiba Rikka ingin berdiri dan langsung kutahan dengan memegang erat kedua bahunya.
“Kau mau apa?” tanyaku sengit.
“Mau bilang kepala saya tetap aman. Kenapa memangnya LeoWatson?”
“Tidak usah pakai acara berdiri-berdiri segala!”
4
Setelah sampai di Bandara Selaparang, Kota Mataram, kami dijemput oleh seorang pria paruh baya yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dan celana kain hitam. Rambutnya pendek keriting dan terlihat memakai kalung dari balik kemejanya. Dia adalah Pak Tanu, sopir pribadi keluarga Pak Mario. Setelah selesai menyapa dan saling kenal, kami menaiki mobil sedan jenis Avanza dan melaju menuju Kabupaten Lombok Barat, tepatnya Desa Senaru yang berada tepat di kaki Gunung Rinjani. Pak Mario menjelaskan dengan singkat bahwa Villa Emas milik keluarganya berada beberapa kilometer dari Desa Senaru.
“Yang lainnya sudah datang?” tanya Pak Mario kepada Pak Tanu. Pak Mario duduk di depan, di samping Pak Tanu yang menyupir. Kami berdua di belakang.
“Sudah pak. Kemarin saya menjemput Bu Irina dengan kedua anaknya. Mereka datang di bandara jam 8 malam.”
“Wah, ternyata dia membawa kedua anaknya lagi. Kalau Niko, dia sendirian lagi?”
“Tidak Pak. Pak Niko membawa anak dan istrinya. Yaah, untuk pertama kalinya sejak Tuan Barman mengadakan ulang tahunnya di Villa Emas 10 tahun yang lalu.”
“Vina pasti bersama Mezi. Kalau Antony pastinya sendiri.”
Pak Tanu menganggukkan kepala. Aku dapat melihat senyuman aneh miliknya dari kaca spion tengah mobil. “Tuan Barman terlihat sangat puas saat Bu Irina datang semalam. Saat makan malam, dia berkata kepuasannya akan semakin besar ketika Pak Mario datang.”
“Orang tua itu semakin menjadi-jadi.”
“Saya juga terkejut karena Tuan Barman mengatakan kepuasannya bukan karena rasa syukur, tetapi…”
“Lebih ke arah memainkan perasaan kan?”
Aku mengernyitkan dahi. Mulai berpikir. Apakah perasaanku mulai bergejolak dan berbisik bahwa cerita antara Pak Mario dan Pak Tanu mulai aneh. Kulirik Rikka yang duduk di sampingku. Aku mengkhayal kalau Rikka akan duduk tegak sambil mendengar percakapan dengan wajah seriusnya. Ternyata cewek manis itu tertidur dengan kepala sedikit tertunduk sehingga rambutnya menutupi sebagian wajah.
5
Tiga jam lebih lama perjalanan yang kami lalui untuk sampai di Desa Senaru. Aku tidak bisa tidur karena takjub melihat pemandangan selama di perjalanan. Semakin kami mendekati Desa Senaru, semakin terasa bahwa kami berada di daerah pegunungan yang masih alami. Bahkan saat waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat 38 siang, udaranya tetap sejuk dan segar bahkan lebih baik dibandingkan Bandung. Hamparan hijau dari pepohonan di samping jalan serta beberapa bukit savana membuat mataku tak lelah untuk menggagumi indahnya ciptaan Tuhan.
“Sayang sekali kau tidur, Ka. Kau tidak melihat indahnya pegunungan di Pulau Lombok saat perjalanan.” Kataku setelah Rikka terbangun karena jalan yang kami lalui menuju Desa Senaru adalah jalan tanah kuning berbatu. Jalan tersebut membuat mobil berguncang.
“Saya juga melihatnya.” Kata Rikka sambil menggerakkan lehernya dan berbunyi suara derakan pelan.
“Oh, benarkah?”
“Ya.”
“Bagaimana?”
“Di dalam mimpi.”
Sebenarnya tidak lucu. Garing, sumpah. Tetapi karena dia mengatakannya dengan wajah yang sangat serius, aku tidak bisa menahan tawa. Pak Mario menoleh ke arah kami dan bertanya kenapa aku tertawa.
“Tidak pak.” Kataku singkat karena tidak mau memperpanjang percakapan sepele ini.
Mobil kami pun sampai di sebuah gerbang yang terbuat dari bambu. “Ini adalah gerbang Desa Senaru. Kita sampai di desa yang terdekat dengan Gunung Rinjani.” Jelas Pak Mario yang sepertinya mengetahui rasa penasaranku. Beberapa menit setelah kami melewati gerbang, kami sampai di pusat desa yang terlihat asri dan tradisional. Rumah-rumah warganya masih beratap alang-alang dan bambu. Dindingnya pun terbuat dari bambu yang dianyam. Di belakang rumah-rumah tersebut, menjulang tinggi dengan gagah Gunung Rinjani yang diselimuti awan.
“Ini namanya Bale, atau pondok.” Kata Pak Mario “Desa Senaru bisa dibilang desa adat yang masih mempertahankan tradisinya. Lihatlah. Semua rumah warga berbentuk sama karena mereka memegang teguh tradisi.”
“Tapi ada kekontrasan di sini, pak.” Tiba-tiba Rikka berbicara. Aku menoleh ke arahnya.
“Maksudnya, Nak Rikka?”
“Lihat.” Kata Rikka sambil menunjuk lewat jendela kaca mobil. Aku mengikuti arah telunjuknya. Hampir semua orang keluar dari rumah dan melihat mobil yang melewati mereka dengan pandangan tidak suka. Aku bahkan yakin 100 persen bahwa warga Desa Senaru terlihat tidak suka karena beberapa di antara mereka terlihat berbisik-bisik dan berteriak dengan bahasa yang tak kumengerti.
“Tentu saja mereka tidak menyukai sebuah kendaraan yang melewati desa adat dan merusak sisi tradisional tersebut.” kata Pak Tanu. Aku memandang pria itu penuh minat “Tetapi alasan kuatnya adalah…”Pak Tanu berhenti berucap, seperti menunggu sesuatu.
“Ya,” sambung Pak Mario “Ayahku, Barman Tanzuni Nimran, membangun sebuah villa di daerah Gunung Rinjani yang merupakan tanah adat warga desa ini. Ayah bisa membeli tanah tersebut karena memiliki banyak uang. Dia bahkan langsung membelinya dari pemerintah.”
“Maksudnya, me-menyuap?” tanyaku dengan nada ragu. Pak Mario terlihat mengangguk di hadapanku.
“Sejak villa itu berdiri 17 tahun yang lalu, terus terjadi peneroran yang dilakukan warga Desa Senaru agar ayah merobohkan villa-nya dan mengembalikannya kepada warga desa. Tetapi ayah tidak mau. Sering terjadi perusakan pagar villa bahkan beberapa penjaga villa melihat sekelompok orang ingin membakar villa tersebut. Namun, ayah dengan kekuatan uang dan kekuasaannya berhasil menjaga villa tersebut dari warga desa. Kalian tahu kan bahwa Gunung Rinjani termasuk kawasan Taman Nasional pada tahun 1990?”
“Iya pak.” Kataku sambil menganggukkan kepala.
“Ayah bahkan dapat membuat villa dan tanah adat yang dibelinya tidak masuk kawasan Taman Nasional dan menjadikannya milik pribadi. Dia adalah orang kaya yang mengerikan.”
Aku dapat mendengar nada getir dari perkataan Pak Mario. Entah kenapa jantungku sedikit berdebar ketika mengetahui sosok ayah Pak Mario. Bayangan-bayangan dan pertanyaan-pertanyaan muncul di kepalaku. Bagaimana rupanya Barman Tanzuni Nimran? Apakah sikap Barman Tanzuni Nimran saat aku bertemu langsung dengannya sama dengan kelicikan dan kekuasaan seperti yang diceritakan Pak Mario?
“Apakah ayah Pak Mario dulunya pejabat seperti gubernur atau anggota DPR?” tanya Rikka. Benar. Aku juga ingin menanyakan hal tersebut. Uang dan manipulasi kekuasaan bisa didapatkan dengan mudah jika duduk di pemerintahan atau kursi panas DPR.
“Beliau mantan anggota DPR RI dan juga seorang pengusaha minyak yang sukses. 80 persen minyak yang diolah oleh Pertamina berasal dari perusahaan ayah.”
Benar-benar sosok yang mengerikan dalam artian kekuasaan dan uang. Tentu saja keinginan Barman bisa tercapai dengan mudah karena dia memiliki keduanya.
“Pak Mario, soal villa yang bapak bicarakan tadi, apakah villa tersebut yang nanti menjadi tempat kita menginap?”
Pak Mario menganggukkan kepalanya lagi.
“Ya, Villa Emas.” Jawabnya dengan nada yang terdengar berat.
Kupandang Rikka. Wajahnya tidak bergeming. Tetap dengan ekspresi serius yang sulit diterka. Aku pun terpikir sesuatu. Sesuatu soal pembicaraan Pak Mario dan Pak Tanu. Ya, tentu saja…
Jika kedatangan kami ke Villa Emas untuk menginap karena kegiatan penelitian, kenapa Pak Mario membicarakan soal jam kedatangan keluarganya dan dengan siapa mereka datang? Ada udang di balik batu kah?
Bab 5
1
Mobil kami melewati sebuah Bale atau pondok yang lebih besar dari pondok-pondok lainnya di Desa Senaru. Pak Mario menjelaskan pondok itu disebut Kaang Bajo. Kaang Bajo adalah rumah adat yang ditempati para pemangku adat dan tetua masyarakan Desa Senaru yang disebut Toak Lokak. Aku melihat seorang pria tua duduk di teras pondok tersebut sambil menganyam bambu. Rambutnya tipis dan berwarna putih karena uban. Janggutnya cukup tebal dan berwarna putih juga. Tangannya dengan cekatan membuat anyaman dan matanya menatap mobil kami dengan tajam.
“Itu Pak Mansur, salah satu tetua masyarakat. Beliau adalah orang yang paling aktif memprotes pembangunan villa sejak 17 tahun yang lalu.” Kata Pak Tanu menjelaskan.
“Sampai sekarang?” tanyaku tidak percaya.
“Ya.”
Aku berusaha memandang sosok Pak Mansur, tetapi mobil kami sudah jauh melewatinya. Memprotes sesuatu dalam kurun waktu yang lama dan tetap konsisten adalah hal yang luar biasa. Menurut pendapatku. Mungkin aku juga harus mulai konsisten dalam pembelajaran saat masuk semester 4.
“Kamu sedang memikirkan apa?”
Aku kaget ketika wajah Rikka tiba-tiba muncul di hadapanku. Kepalaku sedikit mundur ke belakang karena wajahnya tadi begitu dekat. Aku bahkan bisa mencium wangi rambutnya yang menyegarkan.
“Tidak. Tidak ada Rikka.”
“Hmm…” Rikka mengalihkan tatapannya ke bawah dan mengangguk-angguk pelan “Saya berpikir soal salah satu fabel yang bercerita tentang Serigala Licik dan Domba Kecil.”
“Ha?” aku kebingungan ketika Rikka tiba-tiba mengangkat topik tersebut.
“Saat itu sang serigala kelaparan di dekat sungai dan dia melihat seekor domba kecil sedang minum di sungai tersebut. Karena terlalu lemah menyebrangi sungai, sang serigala mencelupkan kaki kiri depannya ke dalam air dan berkata Wahai domba kecil, tolonglah saya. Kaki saya terluka karena jatuh di bebatuan. Bisa kamu bawakan saya dedaunan di dekatmu untuk menutupi luka saya?”
Aku tertawa pelan. Rikka mengubah suaranya menjadi serak untuk mempresentasikan suara serigala yang berbicara. Bahkan saat dia membuat ekspresi kesakitan serigala, wajahnya sangat kaku sehingga terlihat lucu.
“Ternyata, domba kecil itu pintar.” Suara Rikka berubah normal saat dia menjadi narator “Dia melihat ke arah kaki kiri serigala yang tercelup air. Air sungai yang jernih membuatnya dapat melihat kaki itu. Kaki serigala terlihat baik-baik saja. Ternyata serigala tidak memperhitungkan betapa jernihnya air sungai bahkan dasar sungai pun bisa terlihat.”
Rikka berdehem sebentar, lalu mengubah suaranya “Kamu telah menipu saya! Kamu pasti akan memakan saya. Kamu memang licik, tetapi kelicikan yang bodoh membuat saya bisa mengetahui tipu muslihatmu!” suara Rikka menjadi lebih tinggi seperti anak kecil. Pak Mario dan Pak Tanu bahkan tertawa ketika mendengar cerita tersebut. Tentu saja letak kelucuannya bukan di cerita, tetapi suara Rikka yang bisa berubah-ubah.
“Akhirnya,” kembali ke suara narator “Domba kecil meninggalkan serigala dan membuat sang serigala marah. Serigala berkata,” suaranya berubah serak “Air sialan. Jikalau saja ada manusia, maka saya bisa mengelabui domba tersebut!”
Rikka membungkukkan tubuhnya “Selesai…”
Entah kenapa kami yang ada di mobil tepuk tangan, termasuk Pak Tanu yang menepuk pahanya dengan tangan kanan karena sedang menyetir.
“Bapak tahu maksud dari fabel tersebut.” kata Pak Mario.
“Apa pak?” tanya Rikka.
“Jika ada manusia maka air sungai itu kotor sehingga saat serigala mencelupkan kakinya ke air sungai maka domba kecil itu tidak bisa melihatnya. Dengan kata lain hikmahnya adalah,” Pak Mario tertawa lagi “Manusia cenderung merusak alam.”
“80 untuk bapak.” Kata Rikka. Kulihat wajahnya. Tetap serius walaupun terdengar memuji Pak Mario.
“Lho, kenapa tidak 100. Berarti 20-nya ada jawaban lain kah?”
“Ya.”
“Apa itu?” tanya Pak Tanu yang mengikuti pembicaraan.
“Cari sendiri.” Jawab Rikka seenaknya. Pak Mario dan Pak Tanu saling berpandangan, kemudian tertawa. Aku menggelengkan kepala sambil memegang kepala.
“Kenapa bisa nyambung ke fabel ya?” gumamku pelan, sepertinya Rikka mendengar dan dia menepuk bahuku dengan pelan. Aku menoleh ke arahnya.
“Kamu akan mengetahuinya, LeoWatson.”
Jujur saja, aku masih belum mengerti pola berpikir Rikka yang sulit tertebak
2
Beberapa menit setelah melewati Kaang Bajo, kami berada di jalan berbatu yang berkelok-kelok dengan tepi jalan yang dihiasi oleh hutan. Tidak ada lagi rumah penduduk. Pak Mario mengatakan bahwa sebentar lagi kami akan keluar dari Desa Senaru. Setelah melewati tiga tanjakan dan satu belokan, maka kami akan sampai di gerbang desa yang mengarah ke Gunung Rinjani.
“Gerbang itu adalah tanda keluar desa. Setelah itu kita masuk ke kawasan Taman Nasional.” Kata Pak Mario menjelaskan.
Waktu menunjukkan pukul 2 lewat 26 menit sore. Pak Tanu pun memberhentikan mobiilnya di tanjakan ketiga dan menepikannya. Kami membuka bekal makanan yang dibeli Pak Mario saat berada di Kota Mataram. Aku, Pak Mario dan Pak Tanu memakan nasi bungkus lengkap, sedangkan Rikka memakan mie tiaw goreng. Salah satu rasa penasaranku juga adalah tentang jenis makanan kesukaan Rikka. Ingin kubertanya apakah dia menyukai mie? Tetapi menurutku belum tepat saat ini untuk bertanya soal itu.
Kami menghabiskan makanan dan berbicara tentang cuaca di Pulau Lombok yang sejuk selama 15 menit. Setelah itu Pak Tanu menghidupkan mesin mobilnya dan siap memasukkan gigi mobil ketika sebuah hentakan suara mengagetkan kami berempat.
Aku menoleh ke belakang. Terlihat dua orang pemuda berdiri di belakang mobil kami sambil menenteng pancingan di tangan kanan. Tangan kiri mereka menggenggam kerikil batu yang cukup besar. Salah seorangnya berteriak dengan bahasa yang tak kumengerti dan melempar kerikil batu itu ke mobil. Pak Tanu mendecih pelan lalu menekan gas mobil setelah memasukkan gigi.
“Orang dari desa. Mereka pasti habis memancing dan tak sengaja berpapasan dengan kita.” Kata Pak Tanu. Kulihat dari spion tengah wajahnya tampak muram.
“Apa katanya tadi pak?” tanyaku penasaran. Teriakan lelaki tadi cukup keras “Dia mengatakan babinjat. Apa artinya itu?”
“Babinjat artinya bajingan. Kita dinyumpa’. Itu adalah Bahasa Sasak.” Kata Pak Mario menjawab pertanyaanku.
Mobil kami pun melaju dalam diam. Kami berempat tidak berbicara. Aku dapat merasakan suasana menjadi tegang karena kejadian tadi. Kulirik Rikka. Dia memandang ke arah luar dengan sikap tubuh yang tegak. Matanya terlihat menerawang.
Kami pun melewati gerbang dan keluar dari desa. Jalan yang kami lalui semakin menanjak. Sekitar 1 jam, kami sampai di sebuah bangunan seperti gudang dengan pintu berjenis folding gate. Folding gate merupakan pintu yang biasa terdapat di ruko dan dibuka dengan cara digeser. Pak Tanu memberhentikan mobilnya di depan gudang tersebut dan turun dari mobil.
“Ini…villanya pak?” tanyaku ragu.
“Tentu saja bukan. Ini adalah gudang penyimpanan mobil milik ayah.”
“Gudang penyimpanan mobil?” aku mengulangi perkataan Pak Mario karena takjub “Berarti di sini sudah masuk tanah pribadi ayahnya bapak?”
“Ya,” Pak Mario membenarkan perkataanku “Karena sejak ayah berumur 70 tahun dan sering merayakan ulang tahunnya di Villa Emas, beliau membangun sebuah gudang untuk menyimpan mobil penjemput. Jalan yang akan kita lalui setelah gudang ini cukup sulit dan tidak cocok untuk mobil seperti avanza dan sejenisnya. Nah…”
Aku mengikuti arah telunjuk Pak Mario, Pak Tanu telah membuka gudang dengan sebuah kunci lalu mengeluarkan mobil offroad yang tidak kukenal.
“Itu adalah Ford Bronco. Salah satu mobil lawas yang diproduksi tahun 1966 lho. Ayo keluar.”
Aku menganggukkan kepala. Karena bukan pecinta mobil, informasi tadi hanya sebatas lewat saja. Yang dapat kupastikan adalah mobil tersebut pasti mahal.
Aku keluar dengan cepat dari sisi kiri mobil, lalu berjalan cepat memutari mobil untuk sampai di sisi kanan. Saat Rikka membuka kunci pintu, aku membuka pintu mobil itu sambil menampilkan senyuman terbaik.
“Kamu baik sekali, LeoWatson.” Rikka tersenyum tipis lalu berdiri dengan cepat. Aku menahan bahunya dan menunjuk ke atas kepala.
“Hati-hati terjedot Ka. Aku cepat-cepat ke sisimu karena takut kau membenturkan kepalamu.”
“Kenapa kamu bisa tahu?”
“Entahlah. Aku rasa gayamu memang seperti ini.”
Rikka keluar dari mobil perlahan dan menganggukkan kepala dua kali. Wajah seriusnya menatap lurus ke arahku.
“Hm,” katanya dengan tegas “Terima kasih.”
“Sa-sama-sama…” jawabku dengan kebingungan yang melanda di kepala. Tetapi aku senang sepertinya Rikka tidak tersinggung dengan kelakukanku tadi. Ah…senangnya jika punya cewek yang pengertian dan tidak bawa perasaan.
Sadar Leo! Apa yang kau pikirkan?!
Setelah menyimpan mobil avanza di gudang dan mengunci gudang tersebut, Pak Tanu pun masuk ke mobil Ford Bronco.
Mobil Ford Bronco yang kami naiki melaju menuju jalan yang mulai mendaki. Jalannya tetap tanah kuning berbatu, pinggirannya didominasi pepohonan yang berukuran besar. Sekitar satu jam, kami sampai di jalan berbatu kerikil dengan tanah pasir. Jalan itu lurus, namun berada di punggung bukit dengan tepi padang rumput yang menakjubkan. Beberapa rumput bergoyang-goyang pelan ditiup angin.
Karena sudah sore, cahaya matahari mulai berwarna jingga. Aku tiba-tiba terbayang keluarga Pak Mario yang bernama Irina. Seperti yang diceritakan Pak Tanu, Irina datang ke Mataram jam 8 malam. Tak kubayangkan bagaimana dia melewati jalan berbukit ini tanpa ditemani sinar mentari.
“Ini bagian susahnya.” Kata Pak Mario ketika kami sampai di sebuah belokan yang menurun. Pak Tanu terlihat ahli mengendalikan mobil. Sekitar 7 menit menuruni jalan bukit, kami sepertinya masuk ke sebuah hutan yang sedikit dibuka untuk membuat jalan. Aku dapat merasakan gundukan akar ketika ban mobil itu melewatinya. Kami pun sampai di sebuah jalan tanah kuning berbatu kembali, namun kini sedikit berbeda.
“Oooh, ini ya.” Kata Rikka dengan suara tenang. Aku memandang ke arah jendela kiri. Tanpa sadar aku menelan air ludah karena gugup melihat pemandangan di bawah.
Mobil Ford Bronco itu melewati jalan yang sebelah kanannya adalah tebing tinggi berbatu dengan beberapa pohon yang bentuk batangnya melengkung ke atas. Di sebelah kiri adalah jurang. Hanya terlihat pucuk pohon-pohon tinggi di bawahnya. Jika kami jatuh ke kiri, hampir bisa dipastikan perjalanan ini menjadi tragedi.
“Pak, Pak Tanu bisa kan? Tidak sebaiknya kita jalan kaki saja?”
“Tenang nak. Saya sudah 10 tahun melewati jalan ini.”
“Tapi nasib tidak ada yang tahu pak.”
Pak Mario menoleh ke arahku dan tersenyum “Percayakan kepada Pak Tanu, Nak Leo.”
“Saya lebih percaya kepada Tuhan, Pak Mario…”
Pak Mario menepuk keningnya “Percaya kepada Tuhan adalah kewajiban. Percayalah kepada beliau. Bahkan Pak Tanu mengantar kakak bapak malam-malam melewati jalan ini. Tuh lihat Rikka, dia duduk santai sambil memejamkan matanya.”
Aku memandang perlahan ke arah Rikka. Gadis itu duduk bersandar sambil memejamkan mata dengan tidak nyaman. Kupandang kedua tangannya terkepal di atas paha. Gayanya pun nampak tegang.
Dia juga sedang panik pak! Cewek yang bapak bilang memejamkan mata dengan santai itu sedang berusaha menenangkan kepanikannya!
“Mengapa kamu begitu takut, LeoWatson?” tiba-tiba Rikka bersuara.
Aku ingin membalas ucapannya karena tahu dia sedang takut juga, tetapi Rikka melanjutkan ucapannya.
“Sandarkan tubuhmu di kursi dan pejamkan mata. Kamu akan rileks dan menjadi tenang.”
Aku paham. Rikka memberitahuku cara untuk menenangkan diri. Aku tak bisa menahan senyuman. Gadis yang baik dan perhatian. Kupandang ke sisi kiri, membuatku kembali bergidik. Aku memutuskan untuk fokus memandang ke depan saja. Menurutku membuka mata tetap waspada lebih baik daripada memejamkan mata.
Setelah 15 menit mobil kami menanjaki jalan tersebut dengan lambat, kami pun sampai di depan villa yang dituju. Seorang pemuda dengan kulit coklat gelap dan rambut yang dipotong cepak berlari dari halaman villa dan membuka pagar. Aku tidak berkedip selama beberapa detik karena takjub dengan villa besar yang berdiri kokoh di antara peopohonan.
Villa itu dicat sesuai namanya, Villa Emas, serta berbentuk seperti kastil di Eropa abad pertengahan. Hanya saja dinding dan tiangnya disemen dan bukan tumpukan bata. Mobil memasuki halaman yang luas setelah Pak Tanu menyapa pemuda tadi. Pak Mario memanggilnya Joni. Mobil kami melewati jalan halaman yang diaspal dan cukup besar sehingga muat untuk 1 mobil. Banyak sekali bunga berkelopak kuning seperti Alamanda dan Calendula. Aku tidak tahu jenis yang lainnya. Di tengah halaman yang seperti taman itu terdapat kolam mancur dengan patung anak kecil bersayap yang memegang kendi dan menuangkan air ke bawah. Patung itu juga dicat emas. Saat Pak Tanu memarkirkan mobilnya di parkiran villa, lampu di villa satu-persatu hidup karena hari sudah memasuki senja.
Cahaya lampu temaram jingga membuatnya menjadi lebih mewah karena kombinasi warna emas. Lampu-lampu di halaman pun hidup, menambah suasana bahwa villa tersebut menunjukkan milik seseorang yang kaya dan berkuasa. Walaupun terasa kemewahan di mana-mana, aku dapat merasakan aura tekanan yang tak dapat kujelaskan. Aku memandang Rikka, berharap dia merasakan hal yang sama seperti diriku, tetapi gadis itu asyik memandang air dari kendi patung emas yang jatuh kembali ke kolam.
Aaah, apakah aku terlalu terbawa perasaan tentang villa ini…
Pak Mario berjalan paling depan dan berhenti di tengah tangga teras. Dia menoleh ke belakang “Ayo masuk ke dalam, akan bapak jelaskan beberapa hal juga kepada kalian setelah makan malam.”
“Baik pak.” Jawabku dan Rikka hampir bersamaan.
3
Kami memasuki ruang tamu villa yang sangat besar. Tampaknya ruangan tamu dibagi menjadi dua. Daerah bagian kiri terdapat sofa berwarna merah dan meja panjang berwarna jingga. Di pojok terdapat akuarium yang berisi ikan arwana. Daerah bagian kanan agak rendah dengan sofa berbahan beludru berwarna cokelat. Sofa tidak saling menghadap seperti di bagian kiri, tetapi semua sofa menghadap sebuah TV LCD keluaran terbaru tahun 2007. Di samping LCD juga terdapat satu akuarium berisi ikan arwana yang cukup besar.
“Akhirnya kau datang, Mario.”
Suara itu halus dan tenang, tetapi aku menemukan kekejaman di sana. Kupandang sosok wanita tua yang memanggil nama Pak Mario. Matanya sipit dan tajam. Rambutnya beruban dan disanggul dengan baik. Dia memakai gaun beludru berwarna merah.
“Ah, Kak Irina.” Pak Mario melangkah cepat dan ingin mencium tangan kakaknya, tetapi yang bersangkutan menarik tangannya dengan cepat.
“Jangan kau pikir bisa berbasa-basi di tempat busuk ini, Mario. Kita semua tahu maksud ayah yang sebenarnya dan kita tahu harapan kita yang sebenarnya.”
Aku bergidik mendengar wanita itu berbicara. Bahkan gayanya saat berbicara saja terlihat sangat angkuh dan dipenuhi amarah. Pak Mario berdiri tegak dan menggosokkan kedua tangannya di paha. Apa beliau gugup?
“Ahem, ehem. Ngg, ini kak, mereka berdua ini mahasiswa saya. Namanya Rikka dan Leonardo. Saya juga berencana melakukan penelitian di sekitar villa dan mereka berdua akan membantu saya.”
Rikka tiba-tiba membungkukkan badan. Aku reflek ikut membungkukkan badan.
“Ka, ngapain?”
Dia menoleh ke arahku “Memperkenalkan diri.” Bisik Rikka.
“Hooh mahasiswamu…begitu ya. Heh.”
Aku mendengar helaan tidak peduli tersebut. Kutegakkan tubuh dan kupandang sosok Irina Nimran.
Irina berbalik dengan gaya yang elegan dan berjalan menjauhi kami “Bu Tituk akan mengantarkan kalian ke kamar,” dia berhenti sebentar “Kau mau melihat ayah, Mario? Kalau sekarang mungkin dia tidak bisa karena sedang sibuk dengan cucu-cucunya.”
“Dia bersama Rani dan Doni, dan juga…Revio?” tanya Pak Mario.
“Dia hanya bersama Rani dan Doni. Revio mungkin bersama Monika di kamarnya. Baiklah, aku akan ke kamarku dulu. Kalian siap-siap untuk makan malam.”
Pak Mario menganggukkan kepala dengan kaku. Dia menoleh ke arah kami sambil memamerkan senyuman yang kaku.
“Begitulah kakak bapak. Irina Nimran.”
“Dia menyeramkan pak.” Jawab Rikka tanpa basa-basi. Aku terlambat membuat tanda diam dengan jari telunjuk. Kugelengkan kepala karena mendengar ucapan tanpa filter dari Rikka.
Pak Mario tertawa pelan.
“Tidak apa-apa. Kamu memang selalu jujur, Rikka. Tetapi percayalah, setiap saudara bapak punya kepribadiannya masing-masing.”
Aku pun berpikir sejenak. Mungkinkah itu turunan dari ayah mereka. Saat aku sedang tenggelam dalam lamunan, Bu Tatik, salah satu pengurus villa, datang mendekati kami dan mengatakan akan mengantarkan kami ke kamar masing-masing.
Bab 6
1
Bu Tatik adalah seorang perempuan berumur 40-an yang kurus dengan wajah tirus dan mata seperti orang mengantuk. Tubuhnya sedikit bongkok dan terlihat rapuh sehingga saat dia meminta izin untuk membawa koper kami, aku langsung menolaknya.
“Biar saya saja yang bawa kopernya…” kulirik koper Rikka “Bu.” Kataku sambil mengulurkan tangan kepada Rikka untuk memberikan kopernya. Rikka memasang ekspresi bingung yang lucu.
“Kamu yakin?”
“Kopermu berat atau tidak?”
“Tidak.”
Oke, aku percaya. Kami berjalan menuju sebuah lorong dan sampai di persimpangan ruangan. Satu menuju ke kiri yang ujungnya adalah sebuah pintu, satu menuju ke kanan yang ujungnya adalah sebuah tangga besar melingkar. Di belakang tangga melingkar itu tampak sebuah pintu. Persimpangan ruangan ini juga besar dan banyak sekali hiasan serta foto. Bu Tatik menyebutnya Ruangan Pertemuan.
“Kita akan ke lantai dua.” Kata Bu Tatik singkat sambil berjalan cepat. Kami mengikutinya ke lantai dua. Tepat di depan tangga, kuambil pegangan koper Rikka dan dengan yakin melangkahkan kaki ke tangga sambil menjinjing dua koper di kedua tangan. Koperku tidak terlalu berat. Tentu saja koper Rikka tidak berat karena…
Saat kuangkat kopernya di tangan kiriku, rasanya ototku tertarik ke bawah.
“Rikka, ini berat!” bisikku di dekat wajahnya.
“Tidak kok. Saya yakin ringan. Kalau LeoWatson tidak mampu, saya yang-“
Harga diri lelakiku berteriak dan wajahku berubah sok kuat.
“Haha, aku cuman bercanda.”
Rikka menatapku tajam. Tetapi itu membuatnya menjadi semakin imut. Kupalingkan wajah ke depan dan kuangkat koper itu ke anak tangga pertama sambil memaksakan untuk bersiul. Berat sekali…apa isi di dalam koper cewek ini?!
“Kamu ketahuan LeoWatson.” Rikka menarik pegangan kopernya lalu mengangkatnya dengan santai. Aku bahkan ternganga ketika dia membawanya dengan mudah.
Jangan-jangan Rikka punya kemampuan fisik yang kuat juga?! Atau tadi hanya adegan lelucon saja?!
“Ayo cepat.” Kata Bu Tatik yang sudah di setengah tangga. Tampaknya dia memperhatikan pembicaraan dan kelakuan kami di depan tangga.
“Iya maaf bu.” Kataku gugup. Kami pun sampai di lantai dua. Terdapat sebuah ruang duduk di sana. Sangat besar. Ada 3 sofa berwarna putih yang mengelilingi meja kaca besar. Ada 2 buah buku yang tertumpuk tidak rapi di atas meja dan sebuah vas berisi bunga peace lily. Sebuah asbak klasik berwarna cokelat dan berisi sedikit abu terdapat di samping vas. Aku dapat melihat 5 pintu yang mengelilingi dinding ruang duduk tersebut. Di bagian belakang sofa tengah, terdapat tangga melingkat besar menuju lantai 3. Di bagian depan meja, terdapat sebuah pintu kaca besar berdaun dua yang menuju teras lantai dua. Dari situ terlihat dua punggung lelaki sedang mengobrol sambil menghisap rokok di teras. Satunya bertubuh gemuk dan berkepala botak, satunya berambut gondrong sebahu dengan tubuh tegap.
Lelaki yang berambut gondrong sebahu melihat kami dan menghembuskan rokoknya dengan santai. Dia berjalan memasuki ruang duduk. Bu Tatik berhenti berjalan dan menyapa lelaki itu dengan ramah.
“Tuan Antony,” lelaki yang gemuk ikut memasuki ruang duduk “Tuan Niko…”
“Oh, jadi ini mahasiswa Abang Mario. Selamat datang, selamat datang di Villa Emas.” Lelaki botak itu melebarkan kedua tangannya dengan ramah. Senyumannya enak dilihat sehingga aku pun tanpa sadar tersenyum membalasnya.
“Teri-“
“Terima kasih.” Rikka kembali mendahuluiku berbicara. Kupandang wajahnya. Tampak serius dan itu membuatnya menjadi sangat menggemaskan. Ah, lagi-lagi kata menggemaskan muncul di kepala…
“Nama saya Niko Nimran. Kalian boleh memanggil saya apa saja. Pak Niko, Mas Niko, Bang Niko, Bro Niko. Bahkan kawan-kawan dekat saya memanggil saya Mas Gendut hahaha…lelucon yang bagus kan?”
“Kalau begitu saya panggil anda Mas Gendut.”
“Rikka?!”
Aku tak habis pikir cewek ini memanggil orang yang baru dikenalnya dengan panggilan yang diberikan oleh teman-teman dekat Pak Niko. Entah apakah dia mengejek atau benar-benar serius…aku tidak tahu! Wajahnya saja menunjukkan keseriusan sehingga membuatku tidak bisa marah.
“Hahaha, anda gadis yang unik, Mbak…”
“Panggil saja saya Rikka. K nya double. Jadi penyebutannya bukan Rika.”
Kutatap Pak Niko. Aku ingin tahu reaksinya saat baru berbicara dengan Rikka. Apa dia bingung, terkejut, merasa aneh atau…mataku menyipit.
Pak Niko tertawa besar. Tampak begitu hangat. Dia menepuk bahu lelaki berambut gondrong sebahu di sampingnya.
“Kau gadis yang unik, Nak Rikka. Seharusnya kau bisa seasyik ini, Antony. Ah…ini adik saya Antony Nimran. Dia mungkin lebih muda dari kalian.”
Antony Nimran terlihat tidak terlalu suka dengan cara perkenalan abangnya. Dia meletakkan rokoknya yang sisa setengah ke asbak dan menyalami tanganku dengan santai.
“Antony.”
Aku sedikit kaget dengan perkenalan singkatnya “Eh, Leonardo.” Jawabku singkat juga. Antony menganggukkan kepala lalu menyalami Rikka.
“Antony.”
“Rikka. Emm, apa Antony itu akhirannya pakai i atau y?”
Pak Niko langsung tertawa mendengar pertanyaan Rikka. Kupandang wajah Antony. Dia tidak bergeming. Tampaknya pertanyaan polos Rikka dengan wajah serius tidak berpengaruh kepadanya
“Pakai y.” Antony melepaskan salamannya “Dan n-nya satu, tidak double.”
“Hahaha, saya tidak tahu kau senang dengan literasi nama, Nak Rikka. Dan Nak Leo, maaf karena tidak menyapamu duluan. Rasanya keberadaanmu itu tidak terlalu kuat. Ahahahaha!”
Eeeh, selain ramah, ternyata Pak Niko ini agak kurang peka. Apa mungkin keramahannya yang terlalu besar itu membuat rasa sensitifitasnya menjadi berkurang. Aku pun mengerti kenapa Antony nampak tidak nyaman dengan perkenalan yang dilakukan abangnya tadi.
“Hehehe.” aku pun membalas tawanya dengan bodoh. Entah kenapa Pak Niko itu adalah sosok yang harus kita balas tawanya. Pada dasarnya dia adalah lelaki yang mudah diterima dalam pergaulan.
“Antarkan mereka ke kamar, Bu Tatik. Sudah hampir waktu makan malam.” Kata Antony sambil melihat jam tangannya “Kak Irina paling tidak suka dengan ketidakdisiplinan.”
“Kau terlalu berlebihan menanggapi Kak Irina, Antony…”
“Ayolah bang. Kak Irina selalu badmood jika berada dekat dengan ayah. Apalagi ditambah waktu makan malam yang terlambat. Keadaan akan semakin runyam.”
Keduanya berbicara tentang kakak mereka sambil melangkah menuju teras lagi. Saat melihat keduanya, aku seperti melihat urutan abang-adik yang terbalik. Antony terlihat lebih dewasa daripada Pak Niko. Akan tetapi…
“Kamu juga melihatnya, LeoWatson.” Rikka berbisik di dekat telingaku sehingga aku bisa mencium aroma rambutya yang harum.
“Rik-Rikka?” kataku pelan.
“Kamu juga melihat amarah di mata Antony Nimran?”
Perkataan Rikka membuatku otomatis menganggukkan kepala. Ya, itu yang kulihat. Tatapan amarah dari Antony Nimran.
2
Dari 5 pintu di ruang duduk lantai 2, kami memasuki pintu paling kanan. Bisa dibilang urutan pintunya adalah pintu paling kiri atau pertama, kemudian pintu kedua, tangga menuju lantai ketiga, pintu ketiga, pintu keempat dan pintu paling kanan atau pintu kelima yang kami masuki. Pintu itu menuju lorong dengan beberapa lukisan di dinding dan berujung ke ruangan dengan tiga pintu berwarna coklat keemasan.
“Silahkan pilih yang mana.” Kata Bu Tatik dengan nada bosan. Aku dan Rikka saling berpandangan. Aku pun memilih kamar paling kiri sedangkan Rikka paling kanan. Kamar tengah kosong. Sebelum kami memasuki kamar masing-masing untuk mandi dan berganti baju, Bu Tatik berpesan untuk turun ke lantai 1 sebelum jam 8 malam.
“Bu Irina tidak suka keterlambatan. Ingat, jam 8 adalah waktunya makan malam.”
Aku pun menganggukkan kepala. Tampaknya wajah mengantuk Bu Tatik sedikit menjadi tegas saat mengingatkan hal tersebut. Aku bisa membayangkan kalau dia tidak mau dimarahi Irina Nimran yang menakutkan. Aaah, aku juga tidak mau diomeli wanita tua menyeramkan tersebut…
Bu Tatik pun mengucapkan permisi dan berjalan meninggalkan kami. Kupandang Rikka yang masih berdiri di pintu. Dia balas memandangku dan menganggukkan kepala dengan wajah seriusnya.
“Saya permisi dulu, Leo Watson. Ayo turun sama-sama ke lantai 1 setelah kita selesai mengemasi diri.”
“Ya.” Jawabku dengan perasaan sedikit senang. Kekakuan Rikka membuatku ingin tertawa tetapi kutahan. Rikka menutup pintunya dan aku pun segera menutup pintu kamarku.
Kamar itu mewah dengan lampu jingga yang elegan. Warna dinding kamar yang keemasan terlihat serasi dengan pencahayaan. Ranjangnya berwarna putih bersih dengan beberapa line emas di tepinya. Kalau dilihat-lihat sih…ini bisa dikategorikan kamar hotel bintang lima.
Setelah selesai mandi dan memakai pakaian sopan, aku keluar dari kamar. Aku memakai kaos berkerah berwarna biru muda dan jeans longgar berwarna biru tua. Rambut kusisir rapi. Hm…aku sudah berkaca dan memastikan penampilanku tidak memalukan saat perjamuan makan malam nanti. Tentu saja saat keluargaku makan malam, pakaianku tidak seformal ini. Cara makan malam orang kaya ternyata berbeda dengan orang biasa…bahkan di Indonesia sekalipun.
Kupandang pintu kamar Rikka. Ternyata cewek itu belum selesai berkemas. Aku tak kuasa menahan senyum sambil membayangkan, pakaian seperti apa yang akan dipakainya? Aaah, aku yakin. Apapun itu, Rikka pasti tetap imut.
Rikka keluar dari dalam kamar dengan victorian blouse berwarna kuning muda dan rok cotton berwarna sama. Kini dia memakai bando berwarna hitam yang tampak cocok dengan rambut bob-nya. Walaupun gaya pakaiannya sama, tetapi tidak mengurangi ketertarikanku akan keimutan Rikka. Ah…inikah yang disebut keimutan abadi?
“Maaf membuatmu menunggu.” Ucapan Rikka mengagetkanku.
“Ti-tidak apa-apa.”
“Ayo turun.” Ucap Rikka dengan wajah serius. Aku menganggukkan kepala.
Saat kami keluar dari pintu yang menghubungkan ruang duduk lantai dua, pintu di samping kami atau pintu keempat terbuka. Saat itu keluar seorang wanita cantik dengan rambut dikuncir sedang berbicara penuh semangat dengan pria di sampingnya. Pria itu terlihat senang mendengarkan. Dia sesekali menganggukkan kepala dan wanita cantik itu semakin bersemangat bercerita.
“Kupikir kue bolu itu cocok dengan,” wanita itu berhenti berbicara ketika melihat sang pria tampaknya memandang ke arah kami. Dia menoleh ke arah kami dan langsung menampilkan wajah kekanak-kanakan.
“Aaaahh, kalian adalah mahasiswanya Bang Mario ya. Ahahaha,” wanita itu berputar mengelilingi kami satu kali. Aah, aneh sekali…
“Namaku Vina Nimran,” dia menunjuk pria yang menemaninya “Dan itu adalah suamiku, Mezi.”
“Salam kenal.” Kata Pak Mezi sambil melambaikan tangannya sedikit.
“Nama saya Leonardo dan ini,
“Nama saya Rikka. K-nya double.” Aha, Rikka pasti tidak mau diperkenalkan tanpa memperjelas ejaan namanya.
“Waaah, pemuda-pemudi yang menarik. Tak kusangka Bang Mario membawa mahasiswanya untuk ikut berjamu dalam ulang tahun ayahanda kami yang luar biasaaa!” Vina berhenti di depan Rikka “Ini pasti menarik kan?”
“Emm,” Rikka menempelkan telunjuknya ke bawah bibir dan sedikit mengernyitkan dahi. Ekspresi itu cukup menggelitikku.
“Mungkin? Tapi bisa jadi tidak.” Jawab Rikka.
“Aku tahu itu…aku tahu.” Vina berjalan dengan langkah lebar mendekati suaminya “Ayo kita turun, ini sudah hampir jam 8.”
“Kau tidak mau membuat Kak Irina marah ya, sayang?” tanya Pak Mezi. Vina mengangguk dan membuat wajah manja yang menurutku terlalu dibuat-buat.
“Mata sipitnya itu akan semakin menajam kalau marah.”
Entah itu lelucon atau ejekan, tetapi Pak Mezi menanggapinya dengan bijaksana.
“Jangan begitu Vin. Ayo Leo, Rikka. Kita sama-sama turun.” Ajak lelaki yang berwajah lugu tersebut. Aku menganggukkan kepala. Keduanya berjalan mendahului kami. Rikka mendekatiku dan berbisik.
“Bagaimana pendapatmu, LeoWatson?”
“Pendapat apa Ka?”
“Tentang pasangan Vina dan Mezi.”
Aku berpikir sejenak. Kemudian mengutarakan pendapat setelah melihat jarak antara kami dan Vina-Mezi sedikit jauh.
“Aneh. Padahal menurutku wajah Pak Mezi lebih lugu daripada Bu Vina. Tetapi…aku berpikir lebih sopan memanggil Mezi dengan awalan pak dan Vina tidak apa-apa dipanggil Vina saja. Kau…kau mengerti maksudku?”
“Ya,” kata Rikka membenarkan perkataanku, mungkin “Vina sebenarnya sangat cantik dan akan lebih elegan jika dia bertindak dewasa. Tetapi dia sangat kekanak-kanakan. Kamu pasti berpikir kalau Niko Nimran juga terlihat kekanak-kanakan, tetapi saat melihat tingkah Vina Nimran, persepsimu akan berubah.”
Aku mengerti maksud Rikka. Dibanding Vina, sikap Pak Niko adalah ramah dan mudah bergaul. Mungkin itu penyebabnya kenapa aku masih memikirkan menambah awalan pak di depan nama Niko untuk menghormatinya.
Kami sampai di lantai 1, tepatnya di Ruang Pertemuan dan mendapati Pak Niko sedang menggendong seorang anak kecil yang tubuhnya menggemaskan. Dalam artian anak itu sangat sehat dan gemuk. Di sampingnya berdiri wanita cantik berambut ikal panjang namun bertubuh kurus dan terlihat letih. Sangat kontras dengan tubuh Niko yang buncit.
“Ah, kalian sudah siap dengan makan malam, anak-anak?” kata Pak Niko ketika melihat kami turun.
“Iya pak.” Jawabku. Pak Niko melirik wanita di sampingnya dan memperkenalkannya.
“Ini adalah istriku, Monika. Dan anak manis ini adalah anakku, Revio.”
Aku dan Rikka mendekati mereka untuk menunjukkan sopan santun. Aku kaget karena Rikka menyalami tangan anak itu dan merubah suaranya seperti saat dia memerankan suara domba kecil.
“Anak manis imut-imut cekali…”
Aku menahan tawaku, namun tidak kuat. Terdengar dengusan yang keluar dari mulutku. Pak Niko sih langsung tertawa terbahak-bahak. Aku tidak sempat melihat ekspresi Bu Monika, tetapi aku yakin dia pasti tertawa.
Tentu saja siapa yang tidak tertawa melihat seorang gadis membuat suara yang lucu dengan wajah serius. Ayolah Rikka, setidaknya buatlah ekspresi seperti domba kecil.
“Umurnya berapa?” tanya Rikka. Pak Niko mengusap kepala anaknya dengan lembut “Tiga tahun. Tetapi dia terlihat seperti anak berusa lima tahun kan?”
“Itu menunjukkan anda berdua sangat baik merawatnya.” Kata Rikka. Pak Niko dan Bu Monika saling berpandangan, lalu tersenyum.
“Terima kasih Rikka.” Kata Bu Monika. Suaranya lemah lembut. Namun aku dapat menangkap logat batak dari suaranya tersebut.
“Anda berdua sedang memandang foto itu?” tanyaku yang membuat topik baru. Tentu saja hal itu yang kutanyakan karena tadi mereka berdua tampak berbicara mengenai foto di depan mereka.
“Ah iya…ini adalah foto lama ayah bersama ibu.” Kata Pak Niko “Mungkin ini diambil tahun 60-an, atau…70-an. Ah aku lupa. Tetapi lihatlah, ini foto saat bisnis minyak ayah sangat pesat berkembang.”
Kupandang foto buram dengan khas warna vintage tersebut. Seorang pria berusia sekitar 30-an atau 40-an dengan kumis cukup tebal dan gaya rambut disisir rapi ke kanan memakai jas model lama bersama seorang wanita bersanggul manis dengan kebaya. Keduanya terlihat serasi. Walaupun terlihat ada perbedaan karakter di sana, tetap keduanya saling melengkapi.
“Setelah berhasil dengan bisnis minyaknya, ayah melebarkan bisnisnya di berbagai sektor. Salah satunya batu bara. Saat ini saya yang menjalankan perusahaan itu di Kalimantan Selatan. Tapi masih banyak lagi perusahaan-perusahaan yang ayah miliki, dan semuanya dikelola oleh orang-orang yang berbeda.”
“Anda pasti sangat senang karena dipercayakan ayah anda untuk mengelola salah satu perusahaannya.” Kata Rikka. Pujiannya terdengar tulus.
“Ah, tidak juga,” Pak Niko tertawa “Malahan terasa beban. Tetapi dengan semangat dan ketekunan, saya yakin bisa melebarkan perusahaan tersebut lebih baik!”
“Anda memang penuh semangat, Pak Niko.” Kataku memuji. Pak Niko tertawa kembali. Revio yang melihat ayahnya tertawa ikut tertawa juga sehingga kami semua tertawa. Setelah puas mengeluarkan tawa, kulirik Rikka. Gadis itu hanya tersenyum. Namun tidak kulewatkan pandangannya yang penuh antusias.
3
“Paman Niko selalu ceria ya.”
Kami semua menoleh ke arah tangga. Baru turun dari lantai 2 seorang gadis cantik berambut pirang lurus dengan panjang sepunggung. Gadis itu memakai midi dress berwarna abu-abu. Di belakangnya berjalan Antony Nimran yang tampak acuh tak acuh.
“Ah, Rani ya. Paman kira kau masih asyik mengobrol bersama kakekmu.” Kata Pak Niko membalas sahutan gadis itu. Jadi namanya Rani ya…
“Cih, siapa juga yang mau ngobrol lama-lama sama si tua bangka itu.”
“Rani, jaga omonganmu nak.” Kata Bu Monika dengan logat bataknya yang lemah lembut.
“Paman dan Tante mungkin hanya pura-pura senang kan? Ah, mungkin hanya Tante Monika yang senang karena baru pertama kali datang ke villa ini, tetapi paman? Sama seperti Ibu, Paman Mario, Tante Vina dan,” Rani menoleh ke arah Antony “Paman Antony yang seumuran denganku ini…”
“Apa maksudmu, Rani?” Nada Antony terdengar bergetar. Kulirik sekilas Rikka. Dia memandang tajam ke depan. Memandang suasana yang tiba-tiba memanas.
“Rani keponakanku, kenapa kau berbicara seperti ibumu?” Vina tiba-tiba datang dengan langkah cepat memasuki Ruang Pertemuan dan berdiri di depan Rani. Pak Mezi berjalan di belakangnya dengan santai. “Apa Kak Irina yang mengajarimu untuk menjadi seorang gadis sinises?”
“Sinises?” aku mengucapkan kata ambigu itu penuh kebingungan. Apa itu sinises?!
“Tidak Tante Vina, hanya saja aku muak dengan kemunafikan tiap tahun ini.”
“Sepertinya dia cepat paham.” Kata Pak Mezi sambil terkikik pelan. Vina menoleh ke arah suaminya. Aku sekilas melihat kemarahan di ekspresi Vina.
“Daripada memperdebatkan sesuatu yang tidak penting, lebih baik kita ke meja makan. Kak Irina sudah menunggu dengan wajah gusar.” Pak Mario tiba-tiba datang ke Ruang Pertemuan dengan wajah memelas “Ayolah, apalagi ada mahasiswaku di sini. Tidak enak-“
“Abang yang membawanya,” potong Antony cepat “Padahal abang tahu bagaimana keluarga kita saat bertemu di villa ini.”
Kupandang wajah Pak Mario. Kasihan sekali beliau karena terlihat bingung dan bersalah.
“Ahahaha, ayolah…seharusnya kita tidak membicarakan ini kan?” kata Pak Niko “C’mon…” katanya dengan mengeluarkan kata ajakan bahasa inggris.
“Kakek sudah siaaap!”
Teriakan seorang remaja lelaki dari arah lorong sebelah kiri di Ruang Pertemuan mengalihkan fokus semua orang. Keluar seorang remaja lelaki yang memiliki wajah mirip dengan Irina Nimran sambil melangkah santai. Tidak berapa lama, keluar seorang pria tua bersama seorang gadis dengan model hair combs, yakni model rambut yang ada jepitan berbentuk sisir di bagian samping.
Aku bahkan menahan napas saat melihat lelaki tua itu berjalan tertatih-tatih mendekati kami. Kepalanya sudah hampir botak, hanya ada beberapa helai rambut putih tipis yang mengelilingi samping kepalanya. Walaupun berjalan dengan tongkat dan bantuan gadis di sampingnya, lelak tua itu terlihat dominan.
Dominan dan diktator…
“Kenapa masih di sini, anak dan cucuku? Bukankah sudah waktunya perjamuan makan malam?”
Aku kaget, lelaki tua itu tersenyum ramah.
“Jangan biarkan orang tua sepertiku mendengar ucapan-ucapan tak enak dari mulut kalian…”
Dan senyuman ramah itu terlihat menjadi kejam. Kini aku mengerti bagaimana kengerian berputar di tengah Barman Tanzuni Nimran.
Description: Villa Emas. Begitulah nama villa megah yang terletak di daerah Gunung Rinjani. Besar dan penuh kemewahan milik Barman Tanzuni Nimran yang kaya dan licik. Merayakan ulang tahunnya yang ke-80 di Villa Emas, terjadi sesuatu yang luar biasa di sana. Pembunuhan. Ketika darah mulai bergelinang, Jalan menuju keluar villa tertutup dan acara ulang tahun tersebut berubah mencekam.
|
Title: Rindu
Category: Surat
Text:
Pulang
Sudah berulang kali aku katakan kepada hati yang masih saja tidak bisa menyimpan perasaannya.
"Bahagia itu kamu yang ciptain, bukan orang lain".
namun, seringkali kudapati orang lain membuatku bahagia dan dalam sekejap rasa itu hilang ketika
orang itu pergi.
Ku bisikan pada angin pada malam itu. aku merindukannya.
seperti bulan yang merindukan sang bintangnya.
ku peluk wajahmu di foto itu dalam dekapku,
seraya ku berbisik lirih "hey, aku merindukanmu. apakah kamu juga merasakannya?"
Ku nikmati proses detik demi detik yang membuatku terbiasa dengan keadaan ini.
namun aku tak dapat membohongi hati yang merindukan rumahnya.
hati dimana tersimpan harapan dimasa depan
hati dimana yang masih selalu setia menuggu kekasihnya pulang.
Apakah aku dapat mengulangi kebahagiaan yang telah hilang itu?
dapatkah aku menemukan kembali jalan pulang menuju dirinya yang ntah dimana dia berada.
apakah dia selalu mendo'akanku, mendo'akan kita dan kisah kita agar seperti dahulu?
akankah dia kembali pulang ke dala hati yang selalu setia menunggunya pulang?
akankah ini akan menjadi mimpi yang belum usai?
Jalan Menuju rumah
Ku relakan detik demi detik yang menghujani pikiranku untuk berhenti memikirkanmu walau
hanya sejenak.
namun, aku tau hal itu akan sia-sia.
Pada akhirnya semua tak lagi sama.
Hati tak dapat dibohongi sekuat apapun badai
sekuat apapun jalannya akan harus kita jalani, akan selalu kita nikmati.
kehilangan, kesendirian dan kesedihan akan menjadi milik kita.
Namun, satu yang harus selalu kamu ketahui.
bila hati telah memilih jalan untuk pulang
maka akan kutemukan jalan untuk kembali pulang.
jika rumah itu telah kosong, tak berpenghuni.
biar arus sungai yang membawaku pergi.
Namun , sekuat tenaga aku akan tetap disini,
menunggumu pulang
Description: Perasaan yang Tidak Tersampaikan
|
Title: RUMAH HANTU TANGERANG
Category: Horor
Text:
HUNTING RUMAH
Tangerang, 1982. Pukul 01:00 dini hari, hujan deras melanda dengan gemuruh petir bersahutan di langit. Sebuah mobil truk tahanan milik polisi berhenti di tepi jalan sepi di antara lahan kosong berupa rawa dan semak belukar. Beberapa anggota polisi bersenjata dengan pakaian sipil keluar dari truk tersebut dan diikuti oleh 15 orang bertato yang hanya mengenakan celana dalam dengan kondisi tangan diikat. Mereka dibariskan di tepian jalan menghadap ke arah lahan kosong yang dipenuhi semak belukar.
“Saya hitung sampai lima, selama saya menghitung kalian boleh lari menyelamatkan diri kalian ke arah sana. Satu...!”, perintah seorang komandan polisi berkumis tipis sambil mengisi amunisi pistolnya, anggota polisi yang lain mengarahkan senjata api masing-masing yang beberapa di antaranya berupa senapan mesin ke orang-orang bertato itu. Sontak para pria bertato itu lari tunggang langgang ke arah semak-semak.
“Dua!”, belum begitu jauh mereka berlarian, senjata api ditembakkan. Tubuh mereka terjungkal jatuh tertembak. “Periksa mereka! Pastikan mati semua!”, perintah komandan yang memimpin eksekusi. Satu per satu tubuh pria bertato ini didekati dan dari jarak sangat dekat kepala mereka ditembak. Mayat mereka kemudian diseret lebih dalam ke semak-semak dan ditinggalkan, yang lainnya di tenggelamkan ke rawa-rawa tidak jauh dari situ. Setelah beres mengeksekusi, regu polisi ini bergegas pergi. Keesokan paginya, warga yang hendak memancing dikejutkan dengan penemuan mayat mengambang di rawa, diikuti dengan penemuan mayat-mayat lainnya di sekitar tempat itu. Semua mayat memiliki tato di tubuhnya. Peristiwa serupa terjadi juga di beberapa daerah lain hampir bersamaan, dan dikenal sebagai Petrus (Penembakan Misterius). Petrus diduga merupakan sebuah operasi rahasia aparat pemerintah untuk menanggulangi tingkat kriminalitas yang begitu tinggi. Sasaran Petrus adalah preman atau pelaku kriminal yang identik dengan tubuh bertato, namun pada praktiknya semua korban operasi ini tidak pandang bulu, siapapun yang memiliki tato dan terciduk petugas, esoknya dipastikan akan menjadi mayat di lokasi antah berantah.
*
“Sudah tiga perumahan yang kita datangi. Masih mau cari lagi?”, tanyaku pada Bapak dan Ibu.
“Memangnya masih ada lagi?”, tanya Bapak.
“Ada sih satu perumahan lagi di deket Kampung Cimaung, tapi kondisinya tidak seperti perumahan lain yang sudah kita datangi tadi.” Jawabku menjelaskan.
“Maksud kamu gimana?”, tanya Ibu.
“Gimana ya? Hmm.. ya sudah kita ke sana saja sekalian pulang. Nanti Bapak sama ibu lihat sendiri saja.” Kami segera meluncur ke perumahan terakhir untuk kami survei dengan mengendarai sepeda motor. Ibu yang dibonceng oleh sepeda motor Bapak mengikuti sepeda motorku di depan. Besar harapanku di perumahan ini kami menemukan rumah kontrakan yang harganya cocok untuk kami sewa.
Perumahan yang kami datangi sangat berbeda dari perumahan-perumahan sebelumnya. Dari gerbang gapura masuknya saja sudah memberikan kesan yang tidak elok dipandang mata. Jalan masuknya rusak, di sisi kanan jalan terdapat beberapa rumah tinggal yang sudah beralih fungsi menjadi tempat usaha konveksi dan gudang penyimpanan. Sementara di sisi lainnya, terdapat pemandangan yang kontras sekali yaitu lahan kosong berupa lapangan, kebun pisang dan rumput-rumput ilalang. Kesan perumahan sudah sirna begitu memasuki komplek perumahan ini. Kami bertiga berkeliling menjelajah blok demi blok yang tidak banyak di komplek ini. Rupanya kondisi jalan yang hancur bukan hanya di akses masuk, tetapi di seluruh blok juga kondisinya setali tiga uang. Sampailah kami di blok C yang berada di jalur perlintasan warga Kampung Cimaung sebelah kompleks untuk menuju jalan utama. Kami belum mendapati rumah yang sedang disewakan di blok ini, lalu kami memutuskan untuk pulang karena hari sudah menjelang sore.
Saat melintas di sebuah rumah bercat biru laut, pandangku terhenti dan tertarik pada sebuah tulisan kecil tergantung di atap carport rumah itu : “DISEWAKAN Hubungi 0818xxxx666”. Kuhentikan laju sepeda motorku lalu mengambil gambar rumah tersebut dan mencatat nomor telepon yang tertera. Kemudian kami melanjutkan perjalanan pulang. Malam harinya kuhubungi satu per satu rumah-rumah yang telah kami survei. Dari semua rumah, hanya satu rumah yang biaya sewanya paling terjangkau bagi kami yaitu rumah bercat biru di komplek perumahan terakhir yang kami datangi sore tadi. Kami pun membuat janji bertemu dengan si pemilik rumah minggu depan untuk melihat kondisi dalam rumahnya secara langsung.
Rumah ini memiliki 1 ruang tamu, ruang tengah plus dapur, 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 kamar berukuran kecil dan teras yang cukup luas dengan sebatang pohon sirsak tertanam di dekat tembok pagar. Kondisi saat kami datang cukup banyak kerusakan yang harus direnovasi, karena rumah ini sudah lama tidak dihuni sekitar satu tahun lamanya. Bahkan di dalam salah satu kamar, lantai keramiknya agak menggembung. Biasanya hal seperti ini disebabkan oleh adanya rongga di bawahnya yang tercipta akibat penurunan kontur tanah. Singkat cerita, pada 1 Juni 2019 aku, Ibu dan Bapak mulai menempati rumah ini. Minggu-minggu pertama kami di sini sangatlah menyenangkan. Karena ini adalah pertama kalinya kami menghuni rumah yang agak besar. Semua tampak baik-baik saja sampai tibalah rangkaian teror yang tidak dapat dinalar logika menghantui hari-hari kami berikutnya.
PERINGATAN DINI
Menjelang satu bulan menghuni rumah ini, aku dan Ibu sering diperlihatkan pada sosok-sosok bayangan hitam yang berkelebatan di area ruang tengah dan kamar tidur. Pada suatu sore yang masih terang benderang, Ibuku sedang menurunkan jemuran pakaian di teras rumah. Saat itu ia melihat seseorang berjalan dari ruang tengah masuk ke kamarnya. Tapi Ibu tidak mengenali sosok itu, karena gerakannya yang cepat ia hanya melihat sepintas dan berpikir bahwa itu diriku. Didorong oleh rasa penasaran, Ibu memeriksa ke kamar. Kondisi kamar memang sangat gelap, ia menyalakan lampu dan tidak ada siapa-siapa di sana. Ibu mengecek ke kamarku, didapatinya aku sedang bekerja dengan laptopku.
“Kamu tadi ke kamar Ibu?”, tanya Ibu.
“Nggak. Kenapa?”
“Oh.. Nggak. Nggak apa-apa.” Ibu kembali melanjutan pekerjaannya.
Pada hari berikutnya aku sering merasa sedang diawasi oleh seseorang ketika sedang bekerja dengan laptopku di kamar. Sungguh perasaan yang aneh karena tidak ada orang lain selain diriku di kamar. Dari posisi tempat aku duduk bekerja, aku bisa melihat langsung ke arah dapur bila pintu kamar dibuka. Siang itu aku sendirian di rumah, dan lagi-lagi aku merasa seperti sedang diawasi. Aku menoleh perlahan ke arah pintu, kulihat sesosok hitam duduk di kursi meja makan dekat dapur. Bulu kudukku berdiri, kualihkan pandangku kembali pada layar monitor laptop. Dalam hati kurapalkan doa-doa untuk memberanikan diri. Dari arah belakang terdengar suara langkah kaki yang berat dan mendekat ke arahku. Butiran keringat mulai membasahi tubuh meski udara kamar saat itu cukup sejuk. Aku berdiri, kuberanikan diri untuk menutup pintu dengan berjalan mundur. Kupejamkan mataku, aku tak punya nyali untuk melihat. DAB! DAB! DAB! DAB! Suara langkah itu semakin cepat mendekat, kubalikkan badan dan segera menutup pintu. Suasana hening, kuatur nafasku. Setelah kejadian itu kutelepon Bapak agar secepatnya pulang.
Awalnya ketika pindah ke rumah ini, aku mudah sekali untuk bisa tidur lebih awal. Karena suasana di komplek perumahan ini sangat sepi sehingga sangat baik untuk beristirahat. Khususnya bagi Ibuku yang kesehatannya tampak semakin membaik setelah pindah ke rumah ini. Beliau memang sering jatuh sakit sewaktu kami masih tinggal di rumah lama kami. Karena di sana lingkungannya tidak tenang dan selalu ramai selama nyaris 24 jam. Namun memasuki bulan Juli, kebiasaan lamaku tidur larut malam muncul kembali. Biasanya aku mengedit video, menonton film, atau sekedar menonton video-video Youtube dan baru mengantuk sekitar pukul satu atau dua dini hari. Suatu malam, setelah mataku mulai terpejam, kudengar bunyi-bunyian dari ruang tamu yang tepat berada di sebelah kamarku. Kami tidak menggunakan sofa di ruang tamu, melainkan kursi-kursi yang terbuat dari bambu hitam. Dan bunyi-bunyian tersebut seperti suara kursi bambu yang sedang diduduki. Aku terbangun, lalu kulihat jam di ponselku, pukul 01:30 malam. Saat kuperiksa di ruang tamu tidak ada siapapun. Kejadian ini terus berulang setiap hari selama dua minggu di waktu yang sama. Namun berikutnya aku tidak menggubris karena sudah terbiasa.
ANAK SETAN
“Hoekkhh..!! Bau apa ini??”, hampir saja aku muntah mencium bau tak sedap dari kamar mandi.
“Bau apaan?”, tanya Bapak.
“Ini kamar mandinya bau busuk!”, ujarku seraya keluar menutup hidung.
“Iya bau. Dari tadi pagi juga sudah tercium.” Ibu menimpali.
Menjelang akhir bulan Juli sebuah keanehan baru muncul kembali. Kali ini berasal dari bau busuk seperti aroma darah dan bangkai tikus yang sangat menyengat dari salah satu sudut kamar mandi. Meski sudah dibersihkan dan disikat berkali-kali dengan sabun lantai, baunya masih tetap tercium selama dua hari sebelum akhirnya hilang dengan sendirinya. Suatu petang menjelang malam, ketika hendak mandi semilir-semilir aku mencium bau busuk tersebut tapi tak kupedulikan dan kulanjutkan mandi. Seperti biasanya, sebelum membasahi badan dengan air, aku menyikat gigi dahulu. Ketika sedang berkumur kurasakan ada sesuatu yang menyangkut di dalam rongga mulutku. Kumuntahkan airnya, sejumput rambut keluar dari mulutku. Sebagian ikut terbuang bersama air, sebagian lagi masih berada di dalam mulut. Kukeluarkan cepat-cepat dengan jariku. Kuamati betapa panjangnya rambut-rambut ini, seperti rambut perempuan. Aku bergidik ngeri, tidak aku lanjutkan mandiku sore itu.
Jumat, 19 Juli 2019. Aku baru saja selesai menghadiri undangan sebuah stasiun radio di Jakarta Barat bersama rekan-rekan dari komunitas zombie di mana aku tergabung sebagai anggota. Aku memang penggemar apapun yang berhubungan dengan zombie. Itu sebabnya malam ini aku bersama mereka sebagai perwakilan komunitas untuk berbicara membahas seputar komunitas kami. Wawancara selesai sekitar pukul 19:30 malam. Kami mengisi perut dahulu di sebuah restoran siap saji sebelum pulang. Malam itu seharusnya aku menemani Bapak untuk menemui Pak RT di rumahnya. Kami hendak lapor diri sebagai warga baru di sana. Namun karena aku sudah memiliki jadwal untuk memenuhi undangan stasiun radio, maka Bapak seorang dirilah yang pergi ke rumah Pak RT dan ternyata rumahnya tidak begitu jauh dari rumah kami.
“Jadi, Bapak hanya bertiga bersama istri dan anak Bapak?”, tanya Pak RT sembari memeriksa dokumen-dokumen yang sudah diserahkan Bapak berupa fotokopi Kartu Keluarga dan KTP.
“Betul, Pak.” Jawab Bapak.
“Baik, Pak. Sudah saya periksa semua dokumennya lengkap, tidak ada masalah. Semoga betah ya tinggal di sini.” Ujar Pak RT yang berwajah teduh dengan kerutan menghiasi sudut-sudut matanya serta kumis tipis putih senada dengan warna rambutnya.
“Terima kasih, Pak RT. Oh iya, Pak. Kalau boleh tahu, perumahan ini kok beda ya sama perumahan-perumahan lain di sekitarnya?”, tanya Bapak.
“Beda bagaimana maksudnya, Pak?”
“Anu, Pak RT. Di perumahan ini saya lihat jalanannya banyak yang rusak dan masih banyak lahan kosong. Kenapa tidak dibangun saja?”, tanya Bapak penasaran.
“Oh, soal itu. Jadi begini, Pak. Perumahan ini dibangun sejak tahun 1992 dan diresmikan tiga tahun setelahnya meski pembangunan belum seluruhnya selesai. Namun sayangnya saat pembangunan sudah mencapai tujuh puluh persen, terpaksa dihentikan.”
“Kenapa dihentikan?”
“Karena terkendala oleh sebagian warga yang menolak pembebasan lahan.”
“Oh, jadi itu sebabnya masih banyak lahan kosong. Lalu, kenapa akses jalannya tidak diperbaiki?”, Bapak masih penasaran. Beliau memang bercita-cita menjadi jurnalis namun tak pernah kesampaian.
“Itu lain soal lagi. Pasca terkendala oleh pembebasan lahan, pihak pengembang perumahan enggan melanjutkan pembangunan perumahan ini.” Jelas Pak RT.
“Jadi Bapak jangan heran kalau melihat di blok A masih banyak kebun dan bahkan ada empang.” Lanjutnya.
“Oh begitu. Terima kasih informasinya, Pak RT. Kalau begitu saya pamit dulu ya?”
“Lho, buru-buru sekali? Nggak ngopi-ngopi dulu?”, ajak Pak RT.
“Terima kasih, Pak. Mungkin lain kali saja. Sudah malam, takut anak saya pulang. Soalnya kunci gerbang rumah saya yang bawa. Saya pulang dulu ya, Pak RT. Assalamualaikum!”, Bapak pun pamit meninggalkan rumah Pak RT.
“Wa’alaikumsalam..”, Pak RT mengamati Bapak yang berjalan menjauh dari rumahnya. “Semoga tidak terjadi apa-apa dengan keuarga itu.” Gumamnya.
Sekitar pukul 22:30 malam aku bersama pengemudi ojek online yang kutumpangi berbelok masuk ke perumahan tempat kutinggal. Malam itu tak seperti biasanya, lampu penerang jalan mati sehingga kondisi jalan sangat gelap dan hanya mengandalkan cahaya lampu sorot sepeda motor sebagai penerang jalan. Sebelum berbelok ke blok C di mana rumahku berada, kami harus melintas di samping kebun pisang. Pada saat melewati kebun pisang tersebut, dari kejauhan pandanganku tertarik pada satu sosok kecil di antara pepohonan pisang. Semakin mendekat semakin jelas yang kulihat adalah sosok anak laki-laki berusia kira-kira delapan tahun sedang menatapku sambil tersenyum. Rasanya sangat ganjil ada seorang anak bermain di waktu yang selarut ini di tempat yang gelap dan menyeramkan pula. Langsung kusimpulkan sosok yang sedang kulihat adalah anak setan. Kualihkan pandangku ke arah lain.
Sesampainya di rumah, Bapak dan Ibu masih terjaga. Ternyata mereka menungguku pulang karena aku memang tidak membawa kunci gerbang rumah. Tiga puluh menit kemudian mereka tidur, aku masih mandi. Aku tak akan bisa tidur bila badan lengket dengan keringat. Ketika selesai mandi dan masih mengeringkan tubuhku dengan sehelai handuk, tiba-tiba ada yang menggedor pintu kamar mandi keras sekali.
“Tunggu... Masih handukkan.” Kataku.
Pintu digedor kembali. Langsung saja kubuka dan tidak ada siapa-siapa di depan pintu. Aku ke kamar Bapak dan Ibu, mereka sudah tertidur. Barulah kusadari mungkin ini ulah anak setan yang kulihat tadi.
EXORCIST
Jumat, 16 Agustus 2019 pukul 03:00 dini hari. Seperti biasanya, rutinitas Bapak diawali dengan bangun lebih awal untuk bersiap-siap berjualan di sebuah pasar tradisional yang jaraknya sekitar 8 kilometer dari rumah kami. Bapak hendak mandi ketika ia dikejutkan dengan kotoran manusia berserakkan di lantai kamar mandi dan hampir saja diinjaknya. Setelah diperhatikan, ternyata kotoran manusia ini tidak hanya terdapat di kamar mandi tetapi juga berserakan di ruang tamu hingga ke teras depan rumah.
“Apa ini si Tony, Bu?”, Bapak menduga-duga setelah membangunkan Ibu yang kemudian bersama-sama menyaksikan pemandangan menjijikan ini.
“Nggak mungkin, Pak. Anakmu sudah dewasa mana mungkin buang air sembarangan?”, Jawab Ibu. Kemudian mereka berdua mencuci keset yang terkena kotoran dan mengepel lantai di hari yang sesubuh itu.
Aku memang sempat mendengar suara kedua orangtuaku ribut-ribut di teras depan. Tapi aku enggan mencari tahu dan lebih menuruti rasa kantukku.
“Tolong... tolong... tolong saya...”, seorang lelaki muda bertelanjang dada dengan tato memenuhi badannya mendatangiku. Matanya merah seperti orang yang sakit mata.
“To... tolong apa?”, tanyaku memberanikan diri.
“Bawa Rudi ke sini...”, setelah mengatakan itu, darah segar mengalir deras dari kepalanya. Membuat seluruh wajahnya merah tertutup darah. KRIIIIIIIIING!! KRIIIIIIIING!! Aku terbangun oleh bunyi alarm. Nafasku tersengal dan keringat bercururan. Oh syukurlah aku hanya bermimpi.
Hari ini adalah hari libur nasional memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Pamanku datang berkunjung bersama istri dan anak-anaknya. Pamanku adalah suami dari adik kandung Ibuku. Mereka memiliki empat orang anak dan yang paling bungsu masih berusia dua tahun. Seperti halnya Ibuku, keluarga Paman sudah cukup lama menetap di derah berbahasa Ngapak yaitu Purbalingga, Jawa Tengah. Baru di tahun ini saja mereka sekeluarga pindah dan menetap di Sukabumi. Seperti lazimnya silaturahmi keluarga, suasana hangat begitu terasa. Karena biasanya rumah ini selalu sepi. Aku tercetus sebuah ide untuk membuat konten Youtube bersama sepupu-sepupuku ini. Rasanya akan menarik bila aku membuat konten membahas bahasa daerah leluhur kami bersama mereka, yaitu bahasa Ngapak. Aku bergegas menyiapkan peralatan syuting di ruangan gudang belakang, dekat kamar Ibu. Selagi menyiapkan peralatan, suara adzan maghrib berkumandang. Kupersilahkan sepupu-sepupuku menunaikan ibadah sholatnya terlebih dahulu di kamar Ibu. Keluargaku dan keluarga Paman memang berbeda keyakinan. Mereka Islam dan kami Kristen. Bapak dan Ibu dahulu beragama Islam lalu menjadi Kristen setelah merantau ke Jakarta. Dan aku terlahir Kristen. Namun perbedaan keyakinan bukanlah suatu hal yang menjadi perdebatan di keluarga besar kami, keluarga kami bukan keluarga konservatif. Kami cukup moderat dan saling menghargai.
Syuting video berjalan lancar dan menyenangkan. Penuh canda dan tawa. Pukul 20:00 malam mereka pamit pulang ke Sukabumi. Kulihat si Bungsu sempat melambaikan tangan dan tertawa ke arah pohon sirsak, tapi tak ada yang menghiraukan. Saat mobil Paman sudah menjauh dan lenyap di kegelapan malam, terdengar suara pecahan kaca dari dalam rumah. Aku dan Ibu segera masuk ke dalam rumah, sementara Bapak mengunci gerbang depan. Kami dapati pecahan gelas keramik pecah berserakkan di lantai dapur.
“Kok bisa jatuh sih?”, Ibu heran lalu mengambil sapu.
“Ada yang menaruh gelas ini terlalu di tepian meja sepertinya.” Aku coba menerka.
“Mungkin.” Balas Ibu sambil lmenyapu pecahan gelas.
Aku kembali ke gudang untuk membereskan peralatan syutingku. Ponselku berbunyi, sebuah pesan WhatsApp dari Abangku masuk. Bunyinya :
“Ton, waspada! Ada setan di rumah. Abang dan Ceu Odah sedang on the way ke sana.”
Aku tidak mengerti maksud Abangku. Saat aku hendak meninggalkan gudang aku terkejut dengan sebuah jejak kaki di atas tembok dinding gudang. Letaknya cukup tinggi sekitar dua meter. Sebelumnya dinding ini bersih tidak ada noda. Bulu kudukku berdiri, aku segera mempercepat langkahku meninggalkan gudang. Waktu menunjukkan pukul 21:00 malam, Abangku dan Ceu Odah belum juga datang. Kusampaikan perihal pesan WhatsApp dari Abang kepada Ibu dan Bapak. Kami pun mengaitkannya dengan kejadian-kejadian ganjil di rumah ini yang pernah kami alami sendiri. Barangkali semua peristiwa itu terjadi bukanlah suatu kebetulan.
Ibuku masuk ke dalam kamar mandi untuk buang air kecil. Aku dan Bapak sedang di ruang tamu menonton televisi. Tiba-tiba Ibu berteriak minta tolong dari dalam kamar mandi. Aku dan Bapak segera mendobrak pintu.
“Kakiku! Kakiku!”, Ibu berteriak histeris sambil memegangi kakinya.
“Kenapa? Kenapa kaki Ibu??”, tanyaku panik.
“Kakiku nggak bisa bergerak. Tolong!”, Ibu merintih kesakitan.
Aku dan Bapak membopongnya menuju kamarku karena posisi pintunya lebih dekat dengan kamar mandi. Saat dibopong, berat badan Ibu terasa bertambah berkali-kali lipat rasanya. Berat sekali. Kami merebahkannya di atas kasur.
“Aduh sakit! Ya Tuhan! Kakiku...!”, Ibu terus berteriak kesakitan.
Aku segera mengerti bahwa ini bukan sakit biasa, pasti ada hubungannya dengan rumah ini. Aku ambil segelas air dan kubacakan doa menurut keyakinanku. Lalu kubalurkan air itu ke bagian tubuhnya yang sakit.
“DALAM NAMA YESUS, ROH JAHAT PERGI!”, kuucapkan kalimat itu untuk mengusir kuasa roh iblis yang menggangu Ibuku.
“DALAM NAMA YESUS, KUPERINTAHKAN PERGI!”, Ibuku terdiam, suasana hening sejenak. Bapak terus memijat kaki Ibu.
“Bagaiman, Bu? Masih sakit?”, Ibu tidak bergeming. Matanya melotot dengan tatapan tajam tak menghiraukanku.
“Pak, Bapak di sini saja jagain Mama. Aku mau bersihin rumah ini dulu.” Kubawa gelas berisi air yang sudah kudoakan tadi. Langkahku segera tertuju ke ruangan gudang di mana terdapat jejak kaki misterius.
“DALAM NAMA YESUS, KUPERINTAHKAN KAMU PERGI DARI RUMAH INI!!”, perintah yang sama yang kuucapkan saat menyembuhkan Ibu tadi kuucapkan lagi berulang kali sambil memercikkan air yang sudah kudoakan ke seluruh sudut ruangan hingga ke teras rumah.
Jantungku berdegup kencang. Baru saja kuatur nafasku, Bapak berteriak minta tolong dari dalam kamar. Aku berlari ke dalam, belum sempat masuk ke kamar tubuhku terjungkal diterjang oleh Ibu yang merangkak cepat dalam posisi tidak lazim seperti kayang namun gerakannya cepat sekali menuju ke kamarnya. Aku dan Bapak menyergapnya dan ia terus berontak hingga akhirnya dapat kami kendalikan hingga kembali tenang. Dalam hati aku berpikir, mengapa doa-doaku tadi tidak berefek pada Ibu. Kudengar suara klakson sepeda motor Abangku di luar, Bapak bergegas membuka gerbang.
Ibuku kembali tersadar. Ia terus merintih kesakitan. Ia merasa seperti dicengkeram kedua kakinya. Aku menceritakan kembali peristiwa barusan kepada Ceu Odah. Beliau adalah seorang paranormal tetangga rumah Abangku. Ia sangat terkenal di daerahnya dan sering diminta bantuannya untuk mengatasi permasalahan akibat gangguan ilmu hitam dan roh jahat. Sejak jauh hari ia sudah menerawang akan keberadaan roh jahat yang hendak menganggu keluargaku.
“Tadi ada yang sholat ya di rumah ini?”, Ceu Odah bertanya.
“Iya, Ceu. Sepupu saya. Kenapa, Ceu?”, tanyaku.
“Dia terusik.” Jawab Ceu Odah singkat.
“Tanah ini terkutuk. Rumah ini dihuni oleh dua roh jahat. Satu berwujud anak kecil dan satu lagi berwujud hitam besar.” Lanjutnya.
“Bahaya tidak?”, tanya Bapak.
“Yang kecil adalah jin penghuni kebun pisang di dekat sini dan belakangan sering singgah ke rumah ini. Dia senang karena rumah ini sering dikunjungi anak-anak.” mendengar pernyataan Ceu Odah aku teringat jika memang hampir setiap akhir pekan rumah kami selalu dikunjungi keponakanku yang masih batita.
“Dia juga senang bermain di atas pohon sirsak itu, tapi keberadaannya tidak begitu membahayakan.” Tambah Ceu Odah. Tidak heran bila tadi sepupuku si Bungsu sempat melambai-lambai ke arah pohon sirsak itu.
“Lalu bagaimana dengan yang satu lagi, Ceu?”
“Saya harus melakukan ritual pembersihan. Dia adalah roh jahat dengan energi negatif yang sangat kuat. Saya merasakan ada amarah yang amat sangat darinya. Kemarahan, dendam, dan kebencian di masa lalu. Semua itu belum selesai baginya.” Jelas Ceu Odah, aku mengangguk meski belum mengerti.
“Intinya, dia menuntut darah. Tumbal.” Tambahnya lagi.
“Jadi, apa yang harus kami lakukan?” tanyaku.
“Siapkan segenggam beras dan botol kosong.” Perintah Ceu Odah.
Aku segera menyiapkan apa yang dimintanya. Ceu Odah mulai memanjatkan doa entah kepada siapa, merapal mantera lalu melakukan gerakan-gerakan khusus yang aku tidak mengerti. Aku merekam ritual ini dengan kamera ponselku. Ketika hendak masuk ke kamar Ibu, Ceu Odah terpental ke belakang. Seketika itu juga Ceu Odah kesurupan dan bertingkah seperti seekor Harimau. Kemudian ia berguling dan menggelepar di lantai lalu kembali ke posisi duduk bersila. Ceu Odah terbatuk-batuk hingga mengeluarkan darah. Aku dan Abang memapahnya berdiri kembali.
“Dia melawan.” Kata Ceu Odah.
“Siapkan beras dan botol, taruh di lantai.” Perintah Ceu Odah kepadaku.
Beliau melakukan gerakan seperti sedang menghalau suatu kekuatan yang tak kasat mata. Ia mengarahkannya ke botol kosong yang sudah kupersiapkan. Saat itu kondisi sudah malam dan pintu jendela terkunci. Namun aneh, hembusan angin cukup besar berhembus di dalam ruangan.
“Tony! Jabat tangan saya!”, Sambil memejamkan mata Ceu Odah mengulurkan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegangi botol. Segera kujabat tangannya sambil tetap merekam.
“Kamu berdoa sesuai agamamu, minta pertolongan Tuhan untuk mengusir roh jahat ini. Mengerti?”, perintah Ceu Odah.
“Mengerti!”, kuucapkan doa dan perintah kepada si iblis agar segera pergi sesuai keyakinanku. Kemudian Ceu Odah memindahkan roh jahat yang sudah digenggamnya ke dalam genggaman tanganku.
“Masukkan ke botol! Cepat!”, kata Ceu Odah.
Setelah ritual yang berlangsung sekitar lima belas menit itu, hembusan angin reda dengan sendirinya. Ceu Odah membacakan mantera pada beras yang sudah tersedia, kemudian memasukkannya ke dalam plastik.
“Gantung bungkusan beras ini di atas kusen pintu kamar. Biarkan selama dua puluh hari. Di hari ke dua puluh, kamu harus buang ke sungai yang mengalir sebelum jam dua belas siang.” Ceu Odah menyerahkan bungkusan plastik berisi beras itu kepadaku.
“Baik Ceu. Boleh bertanya, Ceu?”
“Silahkan.”
“Itu di gudang belakang ada jejak kaki, apakah itu juga dari mereka?”
“Benar. Ketika tadi sore ada sepupumu yang sholat di kamar Ibu, roh jahat tidak senang. Ia marah dan mencoba menunjukkan eksistensinya di rumah ini dengan cara menjejakkan kakinya di dinding.” Jelas Ceu Odah.
“Lalu, sakit pada kaki Ibu?”
“Sama. Menurut penglihatan mata batin saya, Ibumu dicengkeram oleh si roh jahat sehingga sulit berjalan. Saya curiga, ia ingin menyampaikan sesuatu. Tapi roh jahat itu tidak mau mengatakannya kepada saya.” Kata Ceu Odah lagi.
PASAR MALAM
Minggu, 18 Agustus 2019. Pukul 20:20 malam, aku sedang menunggu kedatangan Samuel, seorang Pendeta muda di gerejaku. Sehari sebelumnya aku memintanya datang malam ini untuk memimpin ibadah syukur atas rumah yang sudah kami tempati hampir tiga bulan ini. Aku juga baru ingat, sejak kami pindah belum pernah sekalipun kami melakukan ibadah syukur sebagaimana tradisi pada umumnya agar rumah ini diberkati Tuhan dan dihindarkan dari marabahaya. Di samping itu, aku merasa membutuhkan lebih banyak doa-doa dari orang-orang yang kuat imannya untuk melawan kuasa iblis di sini. Apalagi sudah terbukti, doa dan caraku mengusir iblis tempo hari tidak memberikan efek apapun. Aku sadar bahwa aku memang sedang jauh dari Tuhan. Aku jarang beribadah, masih sering berbuat dosa. Mungkin itu sebabnya iblis semakin kuat dan perlawananku sia-sia.
“Halo? Sudah sampai mana, Pak?”, tanyaku pada Pak Pendeta melalui sambungan telepon.
“Ini sudah dekat kok. Kami masih di pintu perlintasan rel kereta, sedang menunggu kereta melintas.” Jawab Pak Pendeta.
“Oh, begitu. Sama siapa saja, Pak?”
“Kami hanya berempat. Saya dan tiga anak pemuda. Ada Dimas, Cipto dan Alex. Memangnya kenapa, Ton?”
“Oh... nggak apa-apa, Pak. Saya mau siapkan makan malam. Kebetulan Ibu tidak masak hari ini.”
“Ah, tidak usah repot-repot.”
“Nggak apa-apa kok, Pak. Santai saja. Ya sudah, hati-hati di jalan, Pak. Sampai bertemu!”
Sepuluh menit kemudian mereka tiba. Kami sekeluarga menceritakan perihal kejadian-kejadian yang sudah terjadi sampai hari ini kepada Pak Pendeta dan rombongan. Tanpa berlama-lama, ibadah syukur pun dilaksanakan dan semua berjalan lancar. Selepas ibadah syukur dan makan malam, Pak Pendeta meminta izin untuk melihat-lihat ruangan demi ruangan. Aku menemaninya sementara Bapak dan Ibu menemani teman-temanku di ruang tamu. Begitu sampai di kamar Ibu, Pak Pendeta meletakkan tangannya ke dinding kamar.
“Aduh! Masih ada, Ton!”, Pak Pendeta segera menjauhkan tangannya dari dinding kamar. Ia merasa seperti tersengat aliran listrik.
“Sebetulnya, sebagai orang beriman kita tidak boleh mempercayai benda-benda seperti jimat dan penangkal roh jahat seperti ini.” Ia menunjuk pada bungkusan beras dari Ceu Odah yang kuletakkan di kusen pintu kamar.
“Kalau begitu, dibawa saja Pak. Dibuang sekalian, tidak usah menunggu dua puluh hari.” Aku mengambil bungkusan beras tersebut dan menyerahkannya pada Pak Pendeta.
Pak Pendeta dan rombongan pamit pulang sekitar pukul 23:30 malam. Mereka menggunakan mobil operasional gereja. Jalan raya sudah sangat sepi malam itu. Di dalam mobil, Pak Pendeta tampak serius mengirimkan pesan via WhatsApp kepada seseorang.
“Jadi ada apa sebenarnya di rumah itu, Pak?”, tanya Alex yang sedang menyetir.
“Nggak apa-apa. Yang terpenting kita sudah doakan keselamatan mereka.” Jawab Pak Pendeta sambil tetap mengetik di layar ponselnya.
Dari kejauhan tampak keramaian di tengah jalan. Banyak sekali orang dan cahaya lampu. Laju kendaraan terpaksa dikurangi. Semakin mendekat semakin jelas ada pasar malam di depan. Mobil rombongan Pak Pendeta melintas menembus kerumunan dan terjebak kemacetan di riuhnya pasar malam yang memenuhi badan jalan.
“Lex, kamu yakin tadi kita lewat sini?”, tanya Dimas.
“Yakin, benar kok ini.” Kata Alex.
“Benar sih, aku cek dengan GPS juga sama. Ini rute yang tadi kita lewati. Eh, kok hilang sinyalnya?”, Sinyal telepon di ponsel milik Cipto mendadak hilang.
“Tapi tadi bukannya tidak ada pasar malam, ya?”, Pak Pendeta heran.
Tiba-tiba kaca jendela supir di gedor-gedor oleh seorang bapak. Semua yang di dalam mobil terkejut. Bapak itu terus menggedor dan seperti mengatakan sesuatu, tetapi mereka tidak dapat mendengar ucapannya.
“Buka jendelanya!”, kata Dimas.
“Jangan! Jangan! Nanti kalau dia begal bagaimana?”, Cipto melarang Alex yang hendak membuka kaca jendela.
Bapak itu kemudian berlari menjauhi mobil dan hilang di balik kerumunan orang. Dari sisi kiri mobil muncul cahaya putih bersinar semakin terang menembus kaca-kaca jendela. Semua menoleh ke arah sana. Cahaya itu mengeluarkan suara keras dan akhirnya... BRAAAAAAAKKKKK!!!!
MISTERI PAK RT
Senin, 19 Agustus malam hari, Pak RT baru saja mengisi kuota internet untuk ponselnya di sebuah counter handphone dekat komplek. Beberapa pesan masuk ke aplikasi WhatsApp miliknya. Pesan itu datang dari Samuel. Pak RT terkejut dan bergegas pergi terburu-buru.
“Pak! Pak RT! Pak RT! Belum bayar, Pak!”, pegawai counter handphone memanggilnya tapi Pak RT sudah terlalu jauh.
“Assalamualaikum!”
“Wa’alaikumsalam! Eh, Pak RT. Tumben nih, Pak. Silahkan masuk!”, sambutku.
“Sendirian saja? Bapak sama Ibu ke mana?”, tanya Pak RT.
“Sedang ke Serpong, Pak. Menginap di rumah saudara. Silahkan duduk, Pak.”
“Oh iya, terima kasih. Lagi nonton apa, Ton?”
“Ini Pak, berita kecelakaan tadi malam di pintu perlintasan kereta dekat sini.”
Kubesarkan volume televisi. Saat itu tayangan berita sedang menayangkan berita sebuah kecelakaan mobil yang tertabrak kereta tadi malam. Empat orang penumpang mobil tewas di tempat.
“Permirsa, saat ini saya bersama Pak Darmono, seorang petugas penjaga palang pintu perlintasan kereta yang menjadi saksi peristiwa kecelakaan tadi malam. Pak, bisa diceritakan kronologisnya?", tanya reporter berita.
“Semalam sekitar pukul setengah dua belas, ada kereta akan melintas. Saya sudah bunyikan alarm peringatan tapi mobil korban terus melaju hingga pintu perlintasan sudah menutup. Dan mereka ini bukannya terus melaju menghindar tapi malah berhenti di tengah-tengah rel kereta.” Ujar Pak Darmono.
“Lalu apa tindakan Bapak?”, tanya reporter.
“Saya langsung dekati mobilnya, saya gedor-gedor kaca jendelanya. Warga sekitar juga sudah berteriak-teriak agar mereka keluar dari mobil. Tapi mereka diam saja, tidak ada yang membuka jendela, tidak ada yang mau keluar dari dalam mobil. Saya sudah peringatkan ada kereta! Ada kereta! Minggir! Minggir! Tapi mereka diam saja, sampai kereta mendekat dan saya lari menyelamatkan diri. Sesudah itu tertabraklah mereka.” Jelas Pak Darmono.
Televisi kumatikan. Sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh Pak RT. Tangannya menggenggam ponsel dan jika aku tidak salah lihat, tangannya gemetaran.
“Pak RT sakit?”, tanyaku.
“Kamu punya pacul? Linggis atau sejenisnya?”, tanya Pak RT dan jujur membuatku bingung atas pertanyaanya.
“Eh... anu, ada linggis sih, Pak. Sebentar saya ambilkan.” Mungkin Pak RT mau pinjam untuk perbaiki sesuatu di rumahnya, pikirku.
Kuberikan kepadanya sebuah linggis besar dari gudang, belum sempat kubertanya untuk apa linggis itu, Pak RT merangsek masuk ke kamar Ibu. Kasur Springbed yang berada di lantai dan biasa untuk tidur Ibu diperintahkannya untuk disingkirkan. Aku menurutinya tanpa banyak bertanya. Dari langit terdengar gelegar petir yang disusul dengan turunnya hujan. Pak RT meletakkan ponselnya di dekat pintu, kemudian ia mengetuk-ngetuk lantai keramik yang menggembung dan mendapati beberapa petak yang bunyinya berbeda.
“Oh itu sepertinya tanah di bawahnya berongga, Pak. Saya belum sempat panggil tukang untuk perbaiki.”
“Biar saya bereskan.” Kata Pak RT singkat.
Tanpa memikirkan apakah si peghuni rumah mengizinkan lantai keramiknya dihancurkan, Pak RT langsung memecahkan lantai dengan linggis. Tamatlah riwayatku bila Bapak dan Ibuku pulang nanti melihat kondisi lantai kamarnya hancur. Setelah pecahan keramik disingkirkan, nampak tanah berlumpur di bawahnya. Dengan tangan kosong Pak RT memasukkan tangannya ke dalam kubangan lumpur seperti sedang mencari sesuatu. Tidak berapa lama, ia mengeluarkan sebatang tulang manusia dari dalam lumpur.
“Tolong pegang!”, perintah Pak RT sambil menyodorkan tulang itu kepadaku.
“Ah, maaf Pak! Ngeri saya!”, kutolak permintaannya.
Di tengah percakapan kami, dua buah tangan berlumuran lumpur mencuat dari dalam kubangan lumpur dan mencengkeram kepala Pak RT. Kedua tangan itu berusaha menariknya masuk ke dalam lumpur. Aku refleks meraih kaki Pak RT dan menariknya ke arah berlawanan. Tapi tidak ada gunanya, tubuh Pak RT semakin masuk ke dalam dengan cepat hingga akupun ikut tertarik dan tersedot masuk ke dalam lumpur. Aku dan Pak RT masuk semakin dalam. Aku tak dapat melihat karena pekatnya lumpur. Semua terlihat gelap dan bernafas pun sulit. Beberapa saat kemudian aku mencoba membuka mataku. Aku seperti sedang berada dalam sebuah kendaraan. Kedua tanganku terikat, aku tak mengenakan pakaian. Bersama denganku ada belasan orang dalam kondisi yang sama, tubuh mereka bertato. Kendaraan berhenti, pintu dibuka. Aku dan yang lainnya diminta turun oleh dua orang bersenjata api. Kami berada di tepi jalan sepi dengan lahan kosong penuh semak belukar di hadapan kami. Pria-pria besenjata sudah menanti kami. Hujan sangat deras dan gemuruh petir bersahutan di langit. Seorang pria berseragam seperti polisi jaman dahulu mendekat sambil mengisi amunisi pistol yang digenggamnya. Wajahnya sangat familiar bagiku. Di seragamnya tertulis nama : RUDI.
“Saya hitung sampai lima, selama saya menghitung kalian boleh lari menyelamatkan diri kalian ke arah sana. Satu...!”, perintahnya kepada kami.
Pria bersenjata lainnya mengarahkan senjata api masing-masing yang beberapa di antaranya berupa senapan mesin ke arah kami. Tanpa dikomando, aku dan yang lain berlarian ke arah semak-semak. Belum jauh aku berlari terdengar suara beberapa letusan senapan hampir bersamaan. Aku tersungkur di antara semak belukar. Timah panas menembus punggungku. Aku berusaha menjauh dengan merangkak. Kudengar langkah kaki mendekat. Kubalikkan badanku dan mengangkat tangan yang masih terikat tanda aku menyerah.
“Tolong jangan bunuh saya...”, aku memelas kepadanya.
Pria bernama Rudi itu mendekat dan mengarahkan pistolnya ke kepalaku. DORR! Semuanya menjadi gelap.
PANGGILAN DARI NERAKA
Aku terbangun dalam kondisi tertelungkup di atas kasur Springbed Ibuku. Kulihat hari sudah siang dan sinar matahari memasuki ruang tengah melalui ventilasi udara. Apakah aku baru saja bermimpi buruk? Aku tidak tahu. Rasanya seluruh badan pegal sekali. Kondisi kamar Ibu masih rapih seperti sedia kala. Kasur kuangkat untuk melihat lantai keramik di bawahnya. Tidak ada yang rusak, semua seperti biasanya. Sampai kemudian mataku tertuju pada sebuah benda di dekat pintu kamar : Ponsel Pak RT. Aku raih ponsel tersebut, terdapat sebuah pesan WhatsApp yang belum terbaca dari... SAMUEL. Kubuka pesan tersebut, aku periksa nomor pengirimnya dan benar dugaanku, Samuel si pengirim pesan adalah Pak Pendeta. Bagaimana bisa Pak Pendeta kenal dengan Pak RT? Ah, mungkin saja. Mungkin mereka memang sudah kenal lama. Namun aku tercengang dengan pesan yang dikirimkan Pak Pendeta, bunyinya :
“Malam Pak Rudi. Tolong Pak, saya baru saja mampir dari bekas rumah kakak saya di blok C yang sekarang dihuni oleh warga Pak Rudi. Tolong diceritakan yang sebenarnya Pak tentang rumah itu. Agar mereka sekeluarga bisa secepatnya untuk pindah. Saya tidak mau mereka mengalami nasib tragis yang pernah menimpa kakak saya. Tolong ya Pak Rudi. Bahaya ini, Pak! Bahaya!”
Pak Rudi? Jadi nama Pak RT adalah Rudi? Astaga! Dalam mimpi semalam juga pria yang menembakku bernama Rudi. Dan wajahnya sangat mirip dengan Pak RT, hanya saja jauh lebih muda. Dari luar terdengar samar suara orang-orang. Kudatangi kerumunan warga di depan rumah Pak RT.
“Ada apa, Mas?”, tanyaku pada seorang warga.
“Pak RT meninggal. Serangan jantung.” Jawabnya.
Apa?? Aku tidak percaya. Kuterobos kerumunan massa di depan rumah Pak RT dan masuk ke dalam rumahnya. Ini kali pertama aku masuk ke rumah Pak RT. Ruang tamunya sederhana. Banyak foto-foto beliau dan almarhum istrinya terpajang di dinding ruang tamu. Aku pernah mendengar dari tetangga kalau Pak RT tidak dikaruniai anak. Istrinya sudah meninggal dua puluh tahun yang lalu. Pak RT hidup sebatang kara. Dalam salah satu foto, kudapati foto hitam putih Pak RT sewaktu muda dengan seragam polisi dan di seragamnya tertulis pangkat dan nama AIPTU RUDI. Jantungku kembali berdegub kencang. Aku berharap ini hanyalah mimpi. Kulanjutkan langkahku menuju kamar mandi, lokasi tempat jenazah Pak RT ditemukan. Warga tidak ada yang berani mendekat sebelum polisi tiba. Aku beranikan diri untuk melihat. Tampak tubuh Pak RT yang sudah membiru dalam posisi setengah badan dari perut ke kepala tenggelam di dalam bak penampungan air. Aku tak sanggup melihatnya. Sebelum keluar rumah Pak RT, aku hendak mengembalikan ponsel miliknya. Namun niat itu kuurungkan. Siang harinya aku buang ponsel milik Pak RT di sebuah sungai yang letaknya cukup jauh dari perumahan kami. Aku khawatir sidik jariku di ponsel ini akan menyeret-nyeret diriku dalam kasus kematian Pak RT.
Setelah kematian Pak RT, tidak ada lagi kejadian aneh ataupun teror iblis di rumahku. Pada peringatan empat puluh hari kematiannya, aku datang sebagaimana layaknya tetangga. Setelah acara selesai, aku berbincang dengan salah satu kerabat alamarhum. Pak Roy namanya, dia adalah adik kandung Pak RT.
“Rudi adalah anak tertua di keluarga kami. Ia pensiunan polisi. Karirnya cukup cemerlang sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pensiun dini dan fokus pada pengobatan istrinya yang mengidap kanker payudara stadium empat. Dia sangat menyayangi istrinya.” Pak Roy menjelaskan dengan mata berkaca-kaca.
“Saya turut berduka, Pak. Hmm.. kalau boleh tahu, sejak kapan almarhum tinggal di perumahan ini, Pak?”, aku coba mencari tahu lebih dalam.
“Sejak perumahan ini dibangun. Rudi bersahabat baik dengan pak Yohan, developer perumahan ini. Ia juga yang menyarankan lahan di daerah sini untuk dijadikan pemukiman. Pada tahun 1995 perumahan ini diresmikan meski pembangunannya masih berjalan. Sebagai bentuk terima kasihnya, Pak Yohan menghadiahi satu unit rumah kepada Rudi. Inilah rumahnya.” Kata Pak Roy menunjuk rumah tempat kami berada.
“Jadi, sebelumnya ini lahan terbengkalai ya, Pak?”
“Begitulah.” Jawab Pak Roy singkat.
Aku sebetulnya ingin menggali lagi lebih dalam mengenai sejarah lahan yang dipakai untuk membangun perumahan ini. Termasuk hal-hal mistis yang pernah menghiasi cerita-cerita soal perumahan ini. Namun rasanya kurang tepat bila kutanyakan sekarang dalam momen berduka. Aku tidak jadi bertanya. Sepulangnya dari acara empat puluh harian almarhum Pak RT, aku mencari tahu sejarah lahan yang dipakai oleh pengembang perumahan melalui internet. Aku tidak terkejut saat kutemukan sebuah artikel berita tentang peristiwa penembakan misterius yang terjadi pada tahun 1980-an. Dalam artikel itu dikatakan bahwa jenazah para korban penembakan banyak yang dibuang di titik-titik tertentu sebagai shock therapy bagi para pelaku kriminal saat itu guna mengatasi tindak kenjahatan yang semakin marak di masyarakat. Lokasi pembuangan mayat biasanya di pinggir jalan, depan rumah warga, lahan kosong dan rawa-rawa. Dalam artikel itu juga disebutkan beberapa lokasi yang pernah menjadi tempat pembuangan jenazah korban penembakan misterius dan salah satunya adalah lahan terbengkalai di kawasan Kampung Cimaung, Tangerang. Dugaanku, lokasi pembuangan mayat di Kampung Cimaung adalah lokasi yang sama yang saat ini sudah menjadi komplek perumahan kami.
Waktu di jam laptopku sudah menunjukkan pukul 23:00 malam. Kumatikan laptop dan merebahkan diri di kasur. Sudah empat puluh hari rumah ini aman tanpa gangguan. Mungkinkah arwah para korban penembakan misterius sudah tenang setelah berhasil menuntut balas mengambil jiwa para pembunuhnya? Aku tak mau lagi memikirkannya. Yang terpenting adalah keluargaku sudah tidak lagi diganggu oleh roh jahat, dan hidup kami harus terus berlanjut. Kupejamkan mata lalu tertidur. Pukul 02:00 dini hari aku terbangun karena suara dering telepon. Namun suara nada deringnya bukan dari ponselku juga bukan dari ponsel Bapak atau Ibu, karena aku hafal bunyinya. Aku bangun dan mencari sumber bunyinya yang ternyata dari dalam lemari pakaian. Kubuka lemariku, pemandangan berikutnya membuatku merinding dan jantung berpacu cepat. Sebuah ponsel milik Pak RT yang sudah kubuang di sungai empat puluh hari lalu kini berada di antara pakaianku. Agak ragu kuambil ponsel yang masih berdering itu. Kubaca tulisan di layar LCD-nya :
“RUDI IS CALLING....”
Description: Cerita dalam buku ini diinspirasi oleh kejadian nyata yang dialami oleh penulis setelah menghuni sebuah rumah kontrakan yang ternyata berhantu. Nama tokoh dan lokasi kejadian sengaja disamarkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam penulisannya tentu saja ada bumbu fiksi agar lebih seru dan menghibur pembaca.
Dengerin cerita aslinya di sini :
Listen to Podcast #04 - RUMAH HANTU TANGERANG (THE REAL STORY) by bungtonce on #SoundCloud
https://soundcloud.com/bungtonce/podcast-04-rumah-hantu-tangerang-the-real-story
Jangan baca sendirian. Selamat membaca.
|
Title: ROS
Category: Novel
Text:
Perjalanan dan Rumah Baru
Wanayasa, 1995
"Ros ..."
Tangan Ros terhenti di udara. Kaus warna ungu pupus yang tadi hendak ia lipat, teronggok di depannya. Kedua matanya masih memanas.
Ia tahu Ibunya mematung di sana. Ragu untuk sekadar mencolek punggungnya.
Ia diam.
Selalu begitu.
Sekian detik berlalu, akhirnya;
"Aya surat ..."
Tangan keriput Ibunya maju dari arah samping kirinya, mengangsurkan sehelai amplop putih bergaris merah biru di pinggiran. Amplop seharga 50 perak di warung Ceu Tarsih.
Ia mengangguk.
"Ti Deden ..."
Ia mengangguk lagi.
Tanpa informasi itupun, ia sudah paham. Siapa lagi selain Deden, yang akan mengiriminya surat di hari terakhir ia menghuni rumah ini.
"Ros ..."
Suara Ibunya tersendat.
"Tos atuh tong nangis wae. Jangan menangis terus."
Sebutir airmata jatuh ke pipinya.
Bagaimana bisa?
Ringan sekali bagi Ibunya untuk berkata begitu.
Bukan Ibunya yang harus pergi dari sini dan menjadi pembantu di rumah orang.
Melainkan ia, yang baru saja naik ke kelas 2 SMA.
"Nanti di rumah Juragan Hendrik, kan kamu bisa tetep sekolah. Ibu juragan sudah bilang ke Emak."
Sebutir lagi air mata jatuh.
"Kita tidak ada pilihan lagi, Ros. Pikirkan adik-adikmu."
Iya, selalu begitu.
Selalu adik-adiknya yang dua orang itu yang harus ia pikirkan.
Bukan ia tak mau, sungguh.
Sebagai anak perempuan tertua (kakak lelakinya sudah menikah dan pisah rumah), ia memang berkewajiban menyumbangkan tenaga demi kelangsungan hidup keluarga ini.
Dulu, Ayahnya yang bekerja. Sekarang Ayah sudah tak ada, setelah menyerah mati pada penyakit TBC, yang ia idap bertahun-tahun sehingga harus diistirahatkan dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik.
Ia sangat tahu.
Tapi ... tapi ini sungguh berat.
Bagaimana mungkin ia akan bisa tinggal di rumah orang asing, yang hanya ia kenal lewat sepotong nama?
Bulir-bulir airmata kini berdesakan jatuh ke kedua pipinya seperti sungai yang meluap, menjadi banjir.
Ia tergugu di atas baju-baju yang selesai dilipat, yang kini sebagian menjadi lembab karena ditumpahi air matanya.
"Ros ..."
(...)
Lipatan kertas bergaris yang jelas disobek dari buku tulis itu, ia buka.
Assalamualaikum.
Ros,
Aa baru tau kalo kamu mau pergi ke Bandung besok. Jika saja Yuyun tak main ke WS, pasti Aa tak pernah tahu. Kenapa kamu tak bilang?
Ros, meskipun Bandung itu dekat, kamu pasti kangen sama kampung kita. Bilanglah sama Ibumu, kamu tetap di sini. Nanti Aa yang tanggung SPP kamu. Aa sudah bisa menyisihkan uang dari WS, sedikit demi sedikit. Kamu mau sambil kerja di sini juga boleh.
Bilang Ibumu ya Ros.
Aa … ingin kamu tetap di sini.
Telepon Aa ya (0264) 662 6791 (kamu kan bisa ke telepon umum yang di Kantor Pajak itu).
Jangan lupa, Ros.
Ia tercenung.
Siapapun di lingkaran pertemanan ia dan Deden, tahu persis bahwa Deden suka padanya. Yuyun sudah membisikinya, saat dulu ia pertama bertemu Deden di acara Idul Adha di Masjid kampung. Pun ketika ia tahu bahwa Deden mengelola Taman Bacaan “WS” di ujung jalan kampung.
Kampungnya yang terletak di jalan utama, namun tak pernah menikmati gemerlapnya. Sebab jalan utama dipenuhi toko matrial, toko besi, toko keramik, dan kantor pemerintahan. Rumah-rumah penduduk ada di belakang bangunan-bangunan megah tersebut, tersembunyi di belakang gang-gang kecil yang saling sambung menyambung.
Deden sering sekali memaksanya meminjam banyak buku dari WS, sebab ia tahu betapa Ros suka membaca. Setumpuk buku yang bahkan sering diantarkan Deden ke rumahnya, lebih dari sekadar isyarat bahwa Deden memang menganggapnya sebagai orang spesial.
Ros menarik napas.
Juragan Hendrik adalah Bos Bapak waktu masih kerja di pabrik. Orang Cina yang baik, kata Emak. Sepeninggal Bapak, juragan Hendrik menawarkan pekerjaan pada Emak. Sebab di pabrik alat berat, tak ada pekerjaan yang cocok untuk Ibunya (yang sudah sering rematik karena keseringan mencuci pakaian), maka diambillah jalan tengah. Ros, sebagai anak tertua sekarang, diterima bekerja, tidak di pabrik, namun di rumah Juragan Hendrik, di Bandung. Imbalannya tentu gaji, dan dijanjikan meneruskan sekolah di sana.
Tawaran Deden memang lebih menggiurkan.
Ros ingin sekali tetap tinggal di Wanayasa, kampungnya. Ia tak ingin tinggal di kota besar seperti Bandung, tak peduli bahwa menurut orang, jaraknya dekat.
“Cuma dua jam da kalo pake bus mah,” kata Yuyun, sahabatnya, yang memang sering jalan-jalan ke Bandung menggunakan Bus.
Ros sebetulnya tak mau. Ia sudah menawarkan pada Ibunya, untuk mengambil alih profesi Ibunya sebagai buruh cuci. Paling tidak, ia punya tenaga. Tapi Ibunya menolak dengan keras. Mengatakan bahwa gaji Ros nantinya, bisa untuk bantu-bantu bayar SPP Lia dan Jaya, dua adiknya yang masih di SD. Tawaran meneruskan sekolah dari juragan Hendrik juga menggiurkan. Ibunya tahu Ros senang membaca dan belajar.
“Bapak dulu pesan sama Emak, si Ros mah kudu sakola luhur, harus sekolah tinggi.” Kata Ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Ros memasukkan kembali lembaran kertas bergaris tadi ke dalam amplopnya.
Maaf ya, A Deden.
(..)
Rumah besar berwarna putih itu membuatnya takut. Ros mencengkeram tas kain butut berisi pakaiannya. Masih duduk di jok belakang mobil Juragan Hendrik, yang tadi menjemputnya ke kampung. Dadanya masih bergemuruh, akibat menahan perasaan, setelah berpisah dengan Lia dan Jaya. Kedua anak itu menangis tersedu-sedu, melepasnya pergi. Berbeda dengan Ibunya, yang hanya berdiri mematung di pagar kayu depan rumah, sambil sesekali menyeka ujung matanya.
Rumah besar putih itu akan menjadi rumah barunya, entah sampai kapan.
Suara lelaki berdehem, membuatnya terlonjak.
“Ros … hayu atuh turun.”
Pak Amin, sopir keluarga Hendrik, membukakan pintu mobil baginya sambil tersenyum. Ros menyukainya. Pak Amin mengingatkan Ros pada Ayahnya sendiri.
Perlahan, Ros keluar dari dalam mobil. Tangannya masing mencengkeram erat tas.
“Mau Bapak bawakan?” tangan Pak Amin menunjuk tas di pelukannya.
Ros menggeleng. Rasanya tak pantas meminta sopir membawakan tasnya. Ia bukan majikan, melainkan calon pembantu.
“Hayu atuh.” Pak Amin memimpin jalan di depannya.
Pekarangan depan rumah itu luas sekali. Setengahnya dipenuhi pelbagai tanaman yang indah. Ros mengenali bunga mawar, sedap malam serta bougenville. Tepat di tengahnya ada sebuah bangku taman berwarna cokelat. Asri sekali.
Di sebelah pintu depan, ada garasi besar. Terlihat ada dua mobil yang terparkir. Ditambah mobil yang tadi mengantarkannya ke sini, sebetulnya ada berapa buah mobil yang Juragan Hendrik punya ya?
Pak Amin memimpin jalannya menuju garasi. Di belakang dua mobil yang terparkir, ada pintu yang terbuka lebar.
“Assalamualaikum!” Pak Amin menanggalkan sendalnya dan menyimpannya dengan rapi di sebuah rak sepatu di sebelah pintu masuk. Ros, mencontohnya. Sandal jepitnya yang berwarna biru, ia letakkan bersisian dengan sandal Pak Amin. Aduh, buruk sekali sandalnya itu!
“Wa alaikumsalam!”
Seorang perempuan paruh baya bertubuh lebar menyambut mereka. Wajahnya berseri-seri. Jenis orang yang senang tertawa.
“Eeh … hayu hayu masuk …” Ia tersenyum menatap Ros.
“Ibuna aya pan? Tacan angkat? Ibu masih ada, kan? Belum berangkat?” tanya Pak Amin.
“Ayaaaa … pan nuju ngantosan si Neng ieu … saha namina? Ada dong, kan nunggu Neng ini, siapa namanya?” lengan gemuk perempuan itu menunjuk Ros.
“Ros.” Suaranya lirih menjawab.
Pak Amin bergegas mengambil kembali sandalnya yang tadi ia simpan di rak sepatu.
“Nya tos atuh, abdi ka kantor deui weh. Bilih Bapak peryogi. Ya sudah, saya ke kantor lagi ya. Takut Bapak butuh.”
Selesai memakai sandalnya lagi, Pak Amin menoleh ke Ros.
“Tos di dieu we sareng Bi Ida nya. Nanti ketemu Ibu. Assalamualaikum!”
Belum sempat Ros menjawab, ia sudah melangkah pergi menuju halaman depan.
Pandangan Ros menunduk ke tanah.
“Hayu Ros … Ibu sudah nunggu.” Bik Ida menggamitnya masuk.
Ros memasuki pintu rumah besar bercat putih itu dengan perasaan campur aduk.
Bekerja Sambil Bersekolah
Dentang bel disambut suka cita seisi kelas. Semua siswa bergegas memasukkan buku-buku dan peralatan sekolah mereka ke dalam tas.
“Ayo KM, pimpin doa dulu!”
Bu Etty, guru Ekonomi yang barusan menyuruh mereka membuat rangkuman Bab 1 dari buku, menepuk bahu Arief, KM di kelas 2-1.
Setelah berdoa dan mengucapkan salam kepada guru, seisi kelas berhamburan keluar. Hari ini hari Sabtu, besok libur. Beberapa anak lelaki malah langsung membuka baju seragam mereka dan menyimpannya di dalam kelas.
Di balik baju seragam, mereka sudah mengenakan kaus. Mereka adalah para penggila bola basket, yang selalu harus mendribble bola saat pulang sekolah.
Ros merogoh-rogoh laci di bawah mejanya, khawatir ada peralatan sekolahnya yang tertinggal.
“Ros.” Bahunya ditepuk orang.
Ros menoleh dan tersenyum.
“Langsung pulang?” Reni, teman sebangkunya yang berambut panjang dan berkulit putih itu menatapnya.
“Iya.”
“Jalan dulu yuk, ke BIP. Kan besok libur.”
“Wah, ga bisa.”
Reni cemberut.
“Ga bisa wae … kenapa sih Ros, pengen cepet pulang terus.”
“Mmh … bantu Ibu di rumah.”
“Aduh kamu mah, udah di sekolah pinter, di rumah rajin bantu-bantu. Baik pisan kamu teh, Ros.”
Ros tertawa kecil.
Reni tak tahu bahwa “Ibu” yang ia maksud adalah majikan di rumah, dan posisinya sebagai pembantu tak memungkinkannya untuk pergi jalan-jalan sepulang sekolah.
“Ya udah atuh, aku pergi sama anak-anak ya …”
“Iyaa …”
Reni dadah-dadah, sambil bergegas menghampiri teman-teman perempuan mereka lainnya.
Ros juga ikut berjalan. Tas punggungnya mengayun perlahan di belakang.
Di kiri kanannya, puluhan anak SMA lain, berjalan bersisian, sendiri-sendiri, maupun bergerombol. Hari Sabtu selalu menyenangkan. Meskipun waktu pulang masih sama, dengan hari-hari lainnya, namun entah kenapa selalu terasa lebih cepat. Mungkin karena keesokkan harinya, semua anak tak harus memikirkan harus buru-buru datang ke sekolah supaya tidak kesiangan. Atau tak harus pusing memikirkan tumpukan PR.
Di seberang gerbang sekolah, beberapa angkot berwarna hijau sudah siap menunggu. Teman-teman Ros yang memang naik angkot untuk pulang, kemudian ramai-ramai menyeberang jalan. Ros sendiri berbelok ke kanan, terus berjalan lurus.
Di pertigaan, ia berbelok lagi ke kanan. Berhati-hati sebab ia harus menyeberangi jalan di depan Rumah Sakit Advent. Meski tak banyak kendaraan lalu lalang, ia tetap ingin berhati-hati.
Udara Bandung yang sejuk dan rindangnya jalan karena pepohonan besar yang memayunginya, membuat langkah Ros mantap mengayun.
Pulang ke rumah Bapak Hendrik (istrinya melarang ia memanggil “juragan”), sebetulnya Ros bisa memakai angkot, hanya jalannya agak memutar saja. Ongkos angkotpun sudah diberikan oleh Ibu Lina, istri juragan, eh, Pak Hendrik. Namun, Ros lebih memilih untuk berjalan kaki. Selain karena sehat, juga ia bisa menyimpan uang ongkos tadi. Siapa tahu suatu hari ia membutuhkannya.
Tak terasa sudah sebulan ia tinggal di kota Bandung, di rumah putih besar yang dulu membuatnya jeri. Semakin lama, ia semakin betah, meski sesekali masih merindukan Ibu dan kedua adiknya di Rancabelut. Hingga hari ini, ia belum berani minta ijin pulang. Sebab, pelajarannya di sekolahpun cukup menyita kesibukannya.
Ya, juragan Hendrik (ah, gara-gara Bapak dan Ibu, panggilan itu begitu melekatnya) menepati janjinya pada Ibu. Ros disekolahkan di salah satu SMA negeri di Bandung. Setelah canggung karena sempat menjadi murid baru, sekarang Ros sudah merasa kerasan menjadi bagian dari sekolah tersebut.
Banyak kejutan di rumah keluarga Hendrik yang sebelumnya tak pernah Ros duga. Seperti misalnya, Bu Lina ternyata juga orang Sunda. Tadinya Ros menyangka akan berhadapan dengan Enci-enci paruh baya yang sering ia lihat di toko besi di dekat rumahnya di kampung. Tak dinyana, Bu Lina, perempuan Sunda asal Sukabumi, menemukan jodohnya dalam sosok Juragan Hendrik, seorang Tionghoa yang lahir dan besar di Bandung.
Bu Lina juga sangat ramah. Ia mengajak Ros berkeliling rumahnya yang luas, sambil menunjukkan apa saja yang menjadi tugas dan tanggungjawab Ros.
Memasak dan mencuci (memakai mesin) dan menjaga kebersihan lantai satu (dapur, ruang tamu, ruang tengah dan kamar utama) itu tugasnya Bik Ida. Ros kebagian menyapu, mengepel dan membereskan kamar-kamar di lantai dua, yang semuanya dihuni oleh anak-anak Juragan Hendrik dan Ibu Lina. Setiap tiga hari sekali, mereka juga kedatangan Teh Lilis, tenaga tambahan untuk bagian menyetrika pakaian.
“Kalo semuanya dikerjain sama kamu atau Bik Ida mah repot, di sini baju yang mesti dicuci sama dilicin banyak pisan.” Kata Bu Lina.
Ros hanya mengangguk.
Di lantai dua, ada empat kamar yang semuanya besar-besar. Anak-anak majikan ada empat, dan baru tiga yang sudah bertemu dengan Ros. Ada Mutiara, anak terkecil yang masih di SD, anak yang ceria dan senang bernyanyi.
Lisa, anak ketiga bersekolah di SMP. Dibanding saudara-saudaranya, Lisa lebih pendiam. Tak banyak omong, di rumahpun kerjanya hanya duduk di sofa untuk membaca atau menonton TV.
Kemudian ada juga Sandy, yang kebetulan seusia dengan Ros, dan sama-sama bersekolah di tempat yang sama.
Alangkah sungkannya Ros, ketika berpapasan dengan Sandy di lorong sekolah atau lapangan saat upacara hari Senin. Meski Sandy selalu melemparkan senyum manis kepadanya. Sebab seperti Ayah dan Ibu mereka, anak-anak majikannya ini juga ramah dan baik hati.
Saat pertamakali Sandy tersenyum padanya di sekolah, Reni yang centil langsung menginterogasinya di kelas.
“Siapa tadi? Dia anak 2-6 kan?”
“Eh, Iya.”
“Namanya siapa? Kok kamu kenal? Pacar kamu ya?” berondong Reni.
“Bu … bukaan. Kenal aja kok. Namanya Sandy.”
“Iih … ganteng ya. Orang Cina dia teh? Mirip Aaron Kwok ya.” Reni memilin-milih rambut panjangnya yang hari itu dikepang dua.
Ros mengangguk. Sandy memang ganteng. Paduan darah Tionghoa dan kecantikan Bu Lina yang orang Sunda, memberinya wajah yang tampan. Plus Sandy baik sekali. Di rumah, jika ia kebetulan lewat ketika Ros sedang beberes, Sandy selalu menyapanya.
Itulah ketiga anak majikan yang sudah bertemu dengan Ros. Sedangkan, anak sulung mereka, yang hanya Ros pernah lihat dari foto besar yang terpampang di ruang tamu, katanya berkuliah di Jakarta.
Tidiiit … tidit …
Suara klakson mengejutkan Ros.
Sebuah motor besar berhenti di sebelahnya.
“Ros, hayu! Bareng.” Wajah Sandy menyembul di balik helm full-facenya.
“Eh, ga usah. Saya jalan aja.”
“Ih, cepetan … lumayan kan ga cape.” Sandy malah menarik tangan Ros.
Ros yang gelagapan akhirnya tak punya pilihan lain, selain kemudian naik dan duduk membonceng di belakang Sandy.
Motor GL Pro itu meluncur menuju arah Jalan Cipaganti.
“Ros! Nanti suruh Bik Ida nganterin makan saya ke kamar ya!” Suara Sandy kencang, berusaha bersaing dengan deru motornya sendiri.
“Iya.”
Pertemuan Pertama
Ros
Hari Minggu pagi, jalanan Bandung sepi. Ros mengepel halaman depan rumah sambil memandang jauh ke balik pagar. Sesekali, ia melihat orang-orang yang lalu lalanng, lari pagi di udara dingin. Kendaraan belum banyak lewat. Siang sedikit, jalanan depan rumah sudah disemuti oleh banyak kendaraan. Maklum, rumah itu terletak di jalan utama.
Beres mengepel dan menyimpan semua peralatan yang barusan ia pakai (di lemari dekat garasi), Ros bergegas menyalakan air keran di taman depan. Dengan selang air di tangan, ia menyiram semua tanaman yang Bu Lina miliki di sana.
Bougenville, anggrek, mawar, sedap malam, kuping gajah dan banyak lagi tanaman yang ia tidak hapal semua nama-namanya.
Favoritnya tentu bunga Mawar, sesuai bunyi namanya dalam bahasa Inggris. Namanya sendiri tak ada kaitannya sama sekali dengan bunga itu. Ayah dan Ibu menamainya Rosmala, entah darimana.
Bunga Mawar putih di sudut taman itu, kesukaannya. Juga kesukaan Bu Lina, yang telaten merawatnya sendiri, meski Kang Asep, tukang kebun dan reparasi, datang setidaknya setiap sebulan sekali, untuk merawat taman. Selain itu, Kang Asep juga akan memerika semua peralatan elektronik yang ada di dalam rumah, hingga ke sekering listrik dan shower di semua kamar mandi. Dengan peralatan di tangannya, Kang Asep kemudian menjelma menjadi pahlawan yang bisa memperbaiki alat apapun.
Fajar mulai menyingsing. Agaknya sudah masuk jam enam atau setengah tujuh pagi. Ros tak tahu persis. Untuk melihat waktu, ia biasanya melihat jam dinding yang tergantung di tembok dapur. Atau, ketika kebetulan sedang bebersih di dalam, jam dinding sangat besar yang tergantung di ruang tengah.
Genap enam bulan sudah sekarang, Ros menjadi penghuni rumah besar bercat putih yang terletak di salah satu jalan utama kota Bandung itu. Setiap hari, ia akan bangun pukul empat pagi, menyapu dan mengepel seluruh ruangan, kemudian bersiap sekolah. Pulang sekolah, cucian piring dan kamar-kamar yang belum sempat tergarap Bik Ida akan menunggunya.
Jika sedang ada Teh Lilis, ia akan membantu mendistribusikan tumpukan pakaian ke kamar-kamar para penghuni. Terkadang, ia harus siap membantu Bik Ida mengupas bawang, berbagi membersihkan semua kamar mandi, dan tugas-tugas lainnya. Semuanya ia jalani dengan senang hati, sebab semua orang bersikap baik padanya.
Anak-anak Bu Lina juga sudah mulai akrab dengannya. Muti si kecil, senang memintai tolongnya untuk mengerjakan PR atau sekadar minta rambutnya dikepang dua.
Lisa, walau tak banyak bicara, selalu menawarinya makanan yang ia bawa entah darimana. Pizza, burger dan banyak lagi, makanan ‘aneh’ yang baru Ros rasai. Sementara Sandy, dengan gayanya yang cengengesan dan suka bercanda, selalu berhasil membuatnya tertawa.
Meski jatah pulangnya baru akan ia peroleh akhir bulan ini, Ros merasa rindunya terhadap keluarga tergantikan oleh sikap baik keluarga Hendrik.
“Ros!”
Ros menoleh.
Bik Ida melambaikan tangan dari arah garasi.
“Bentar!”
Ros mematikan semprotan selang di tangannya, kemudian menggulung selang yang panjang tersebut dan menumpuknya di sudut taman, bagian yang terlindung Pohon Mangga. Tak lupa ia matikan pula keran yang terhubung ke selang tersebut.
Setelah mencuci kaki dan tangannya di air keran dekat garasi (untuk mencuci mobil), Ros mendatangi Bik Ida di dapur.
“Ya, Bik?”
Bik Ida menunjuk nampan kayu di atas meja dapur. Di atasnya tertata piring dengan nasi goreng yang masih mengepul, tanda baru diangkat dari penggorengan, segelas air putih dan secangkir kopi panas.
“Cing tanya aja nanti, mau dibawain teh juga ga, soalnya kadang Koko minum teh.” Tangan Bik Ida yang cekatan, mengaduk adonan baru di dalam baskom. Entah makanan apa lagi yang ia akan buat pagi ini.
“Koko?” Kening Ros mengerenyit.
“Eh Iya, kamu mah udah tidur ya tadi malem. Ituuu … anaknya Ibu yang paling besar, pulang. Trus pesen sama Bibik, pengen sarapan di kamar aja ceunah, nasi goreng.”
Ros mengeringkan kedua tangannya memakai tisu yang selalu tersedia di sebelah tempat cuci piring.
“Koko Chandra mah paling suka nasi goreng Bibik, ga ada yang ngalahin, katanya!” senyum Bik Ida terkembang begitu lebar.
“Euh … namanya teh, Koko, atau Chandra?”
“Koko teh, kalo di kita mah “Aa”. Kan anak paling gede.”
“Ooh.”
“Hati-hati bawanya ya. Kopinya panas.”
“Muhun, Bik.”
(…)
Di hadapan pintu kamar Koko Chandra (sekarang Ros jadi tahu namanya), ia tertegun. Meski setiap hari ia bolak balik menyapu dan mengepel setiap sudutnya, ia belum pernah bertemu dengan pemiliknya.
Nampan berat itu ia letakkan di meja kecil dekat pintu. Khawatir tumpah, kalo dia nanti mengetuk pintu.
Tok! Tok!
Tak ada jawaban.
Ini masih pukul 7 pagi. Seisi rumah sebetulnya masih belum terjaga. Bahkan Bu Lina, yang biasanya sudah inspeksi ke dapur sejak pukul 5 pun nampaknya memanfaatkan hari libur dengan bangun lebih terlambat dari biasanya.
Tangan Ros terangkat kembali.
Tok! Tok!
Masih sunyi.
Antara ragu mau mengetuk pintu lagi, atau kembali ke dapur, Ros berjongkok untuk mengambil nampan di atas meja.
Saat itulah, sebuah suara setengah berteriak menjawab ketukan pintunya dari dalam.
“Masuk aja Bik! Ga dikunci!”
Ros urung mengangkat nampan. Ia memutar kenop pintu sampai ada celah untuk tubuhnya masuk, baru mengangkat nampan.
Kamar itu agak temaram, sebab tak ada lampu yang dinyalakan. Seprai yang biasanya rapi terpasang, kini acak-acakan, tanda habis ditiduri semalam.
“Bik! Taro di meja!” teriakan lagi. Kali ini dari kamar mandi. Di rumah ini, setiap kamar memang dilengkapi dengan kamar mandi.
Ros mengangkat nampan menuju meja kerja yang berada di sebelah jendela besar.
Ia memeriksa nasi goreng yang di atasnya diberi ayam goreng dan telur ceplok. Pinggiran cangkir kopi yang agak kotor karena ada air kopi yang meleleh, ia lap memakai tisu.
Bik Ida mengajarinya, untuk selalu menghidangkan makanan yang tak hanya enak dimakan, namun juga sedap dilihat.
Sebelum keluar kamar, ia memutuskan untuk membuka tirai jendela. Lagipula, jika pemilik kamar sudah bangun, tentu ia takkan keberatan dengan melimpahnya cahaya pagi dari luar.
Seketika kamar menjadi terang. Ros sekarang bisa melihat sebuah koper besar teronggok di sudut, dan barang-barang yang nampaknya terburai acak-acakan dari sebuah tas ransel yang ada di atas sofa kecil dekat tempat tidur.
Ros memutuskan untuk membereskan semuanya saat si pemilik kamar sudah tak ada di sana. Ia lebih suka bekerja sendiri tanpa diawasi. Lebih nyaman dan tenang.
Cekrek.
Pintu kamar mandi terbuka, sebelum Ros mencapai pintu kamar untuk keluar. Karena posisinya yang tepat di sebelah kanan sebelum pintu, dari posisinya sekarang, sudah terlambat bagi Ros untuk berjingkat dan berlari ke luar.
Seorang lelaki bercelana pendek dan berkaus putih keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Kulitnya putih, seperti semua orang di rumah ini.
Ia mengangkat wajah dan bertatapan dengan Ros yang langsung menunduk malu.
Koko Chandra.
Ternyata mirip dengan Sandy, hanya kulitnya yang putih terlihat lebih sering terpapar matahari, menjadikannya nampak sehat dan tidak pucat. Tulang pipinya agak tinggi. Kedua matanya tak sesipit Sandy, agaknya diturunkan dari Bu Lina. Sisanya, sama. Meski bukan Aaron Kwok kesan yang Ros dapatkan. Melainkan karakter yang lebih dewasa.
“Bik Ida, mana?”
Ros tergagap sebelum menjawab, “Di dapur. Saya cuma disuruh nganter itu.” Jempol kanannya menujuk meja tempat makanan ditaruh.
Ia kemudian menggangguk, dan berjalan menuju pintu kamar. Bisa ia rasakan tatapan kakak sulung Sandy itu mengamatinya.
Di depan pintu ia berhenti.
“Eh, kata bibik, Koko mau dibuatkan teh panas juga?”
Sudut bibir lelaki itu tersenyum.
“Boleh. Anterin ke sini ya.”
Ros mengangguk. Ia membuka pintu dan bergegas ke luar. Takut keburu pingsan kalau masih ada di sana.
Sesampainya di dapur, wajahnya masih terasa memanas.
Mengapa rasanya kok malu sekali bertemu dengan lelaki tadi?
Ros memegang dadanya. Degupnya kencang.
(...)
Chandra
Semalam ia mengantuk sekali, sehingga setelah menyapa Papi dan Maminya (yang sedang menonton TV berdua, how romantic), dan berpesan minta dibawakan sarapan keesokkan harinya (nasi goreng spesial Bibik), ia langsung naik ke kamarnya di lantai dua.
Baru saja beberapa menit kepalanya mencium bantal, pagernya berbunyi.
Tidit … tidiit.
Susah payah Chandra berusaha membuka mata, dan mencari-cari ranselnya yang entah dimana ia letakkan. Ah itu dia. Tangannya merogoh-rogoh, mencari benda seukuran lebih kecil sedikit dari kotak rokok itu.
Beberapa barang yang tadinya menghuni ransel, ikut terburai dan berserakan di sofa dan lantai. Chandra mengucek-ngucek matanya.
Chan, paper beres?
Sebaris kalimat di layar kecil pagernya, melambai-lambai memohon perhatian. Sambil memaki perlahan, ia beranjak menuju telepon di atas meja, dekat jendela. Tangannya memijit nomor operator. Ia kemudian menyampaikan pesan pada Bowo, temannya yang barusan mejer, bahwa ya, papernya sudah beres dan sudah dikumpulkan.
Setelahnya, dengan penuh rasa syukur, ia menjatuhkan diri ke atas kasur, tanpa sempat berganti pakaian.
Lelap.
(…)
Tok!
Dalam mimpinya ia memaki Bowo yang terus menerus membuat pagernya berbunyi.
Tok! Tok!
Kemudian ia terbangun dan baru tersadar bahwa itu bukan pagernya, melainkan suara ketukan di pintu.
Oahem … jam berapa sih ini?
Matanya terbuka, memandang langit kamar dan menikmati aroma rumah yang membuat tenang.
Kemeja dan celana jins yang semalam tak sempat ia lepas, membuatnya tak nyaman. Ia menegakkan tubuh dan beringsut ke lemari pakaian. Mengambil celana pendek, celana dalam, dan kaus bersih.
“Masuk aja Bik! Ga dikunci!” ia berteriak ke arah pintu. Teringat pesanan sarapan spesialnya tadi malam.
Masuk ke kamar mandi, ia menatap bayangan wajahnya di cermin. Kedua matanya nampak lelah. Ia membuka kemeja dan melemparkannya ke keranjang baju kotor di sudut.
Ia mendengar pintu kamarnya membuka. Pasti Bik Ida.
“Bik! Taro di meja!” ia berteriak kembali.
Bergegas ia menggosok gigi. Cuci muka, ganti baju, dan sedikit membasahi rambutnya.
Segaaaar …
Setelahnya ia agak menggigil. Udara Bandung yang padahal kota kelahirannya, sering membuatnya kaget, akibat migrasi ke Jakarta yang lembab dan panas selama tiga tahun terakhir.
Selesai buang air, ia mengganti celana jins kucelnya dengan sehelai celana pendek selutut yang nyaman dikenakan di dalam rumah.
Merasa lebih enak dan bersih, ia kemudian memutar badan dan membuka pintu kamar mandi.
Saat itulah ia melihat gadis itu.
Tubuhnya langsing dan agak tinggi. Mungkin sepantaran Sandy, namun tidak lebih tinggi darinya. Tetap tinggi untuk ukuran perempuan.
Pandangan mereka bersitatap. Lalu perempuan itu menunduk, kedua pipinya memerah. Meski hanya sekian detik, ia bisa merekam kedua bola matanya yang jernih dan membulat, hidungnya yang mancung dan mulutnya yang setengah terperangah. Kulitnya tak seputih kulitnya (tentu saja), namun bersih. Seperti warna kulit Maminya.
“Bik Ida, mana?”
Perempuan itu mengangkat wajahnya lagi, ekspresinya seperti terperangkap setelah melakukan sesuatu yang memalukan. Lucu sekaligus menggemaskan.
“Di dapur. Saya cuma disuruh nganter itu.” Jempol kanannya menujuk meja di dekat jendela. Ah, ia bisa melihat kepulan kopi panas dan menangkap aroma nasi goreng spesialnya.
Pandangannya kembali ke wajah si perempuan (yang kemudian menunduk lagi). Siapa dia?
Gadis itu mengangguk padanya, kemudian berjalan menuju pintu.
Oh, wait.
Seperti mendengar kata hatinya, di depan pintu ia berhenti. Memutar tubuh ke arahnya, si gadis bertanya,
“Eh, kata bibik, Koko mau dibuatkan teh panas juga?”
Chandra serta merta tersenyum. Ah, ia sudah tahu nama panggilannya di sini. Berarti ia tinggal di sini jugakah?
Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia menjawab,
“Boleh. Anterin ke sini ya.”
Gadis asing itu mengangguk dan membuka pintu kamar. Kemudian berlalu.
Chandra masih berdiri di depan pintu kamar mandinya sambil tersenyum.
Pagi-pagi disuguhi pemandangan cewek cantik, setelah semalam menyetir selama empat jam itu betul-betul sebuah anugerah.
Sambil bersiul, ia menuju kopi panas dan sarapannya di atas meja.
Nasi goreng Bibik Ida itu the best of the best lah. Sambil mengunyah, Chandra membayangkan hidangan apa lagi yang akan ia pesan untuk dimasak Bibik Ida. Setiap kali pulang ke Bandung, ia selalu memanfaatkan status istimewanya sebagai anak kesayangan Bibik.
Ia menyendok acar yang ditaruh di sudut piring.
Papi dan Mami boleh jadi punya empat anak, namun ia selalu menjadi yang paling istimewa untuk Bik ida, pembantu rumah tangga yang sudah ikut mereka sejak ia masih di perut Mami.
Bik Ida juga yang dulu mengantarnya ke sekolah, membalut luka di lututnya akibat jatuh dari pohon dan membuatkannya es jeruk saat udara panas. Mami masih sibuk ikut mengurusi perusahaan Papi, yang baru saja mereka rintis.
Tok! Tok!
Eits, si gadis manis datang lagi.
Buru-buru ia minum kemudian melap mulut. “Masuuuk.”
Pintu terbuka.
“Kokoooo … udah dimakan belum?” sosok Bibik Ida yang tambun muncul di hadapannya. Wait, where is she?
Chandra menunjuk piringnya yang sudah setengah licin.
Bik Ida menaruh teh panas (tanpa gula) di hadapannya, kemudian memeluk bahunya. Buat Chandra, ini bukanlah gesture tak sopan pembantu kepada majikan, melainkan ungkapan kasih sayang Bik Ida padanya.
Bik Ida melepas pelukannya, kemudian memandangi seisi kamar.
“Karek oge pulang, geus pabalatak deui Ko … baru pulang udah berantakan lagi.”
Chandra tertawa.
“Bibik lebih suka aku ga pulang?”
Bibik Ida cemberut.
“Ya engga atuh, bukan gitu …” matanya mencari-cari.
“Itu di koper, mana baju kotor?” kata-katanya seperti komando yang harus dipatuhi.
“Iya, ntar aku bongkar dulu.” Chandra menyuapkan sesendok nasi terakhir.
Nyam!
“Ya udah atuh nanti Bibik suruh si Eros yang beresin ya.”
“Ros?”
“Ituu … anaknya pegawai Bapak. Baru kerja di sini enam bulan. Baik anaknya, ga banyak omong.”
“Yang tadi nganter makanan?”
“Tah nu eta. Betul yang itu.”
Ros.
Sekarang ia tahu namanya.
Tangan Chandra meraih teh panasnya.
Syuuuurp.
Ada Dia Di Rumah
Chandra berjalan menuruni tangga. Ketiga pintu kamar adik-adiknya masih menutup. Hari Minggu biasanya memang semua orang bersantai.
Semua ruangan terlihat lengang dan sunyi. Satu-satunya sumber suara yang ia dengar, adalah dari dapur dan samping rumah. Biasanya hari Minggu jadwalnya Pak Amin mencuci mobil.
Ke dapurlah kakinya melangkah.
Ibu Lina Wijaya, yang masih segar dan cantik di usianya yang menjelang kepala 5 sedang sibuk membongkar kantong-kantong plastik di atas konter dapur (serupa meja batu panjang, tempat Maminya atau Bik Ida meracik bumbu dan menyiapkan bahan).
Bibik Ida sedang memeriksa sesuatu di dalam oven. Suara orang mencuci piring menuntun matanya menatap punggung si gadis asing yang tadi berkunjung ke kamarnya.
Ros.
“Pagi, Mam.” Ia mengambil tempat di depan Maminya, duduk di salah satu kursi di sana. Dari posisinya ini, ia masih bisa melihat Ros, meski hanya punggungnya saja.
“Pagi, anak Mami paling gede. Enak sarapannya?” tangan Bu Lina masih gesit menguar satu persatu bahan makanan di atas konter.
“Enak dong. Kan buatan Bibik.”
Bik Ida terkekeh. Tangannya kemudian mengeluarkan Loyang dari dalam oven. Harum kue yang baru selesai dipanggang menguar ke udara.
“Apa tuh?”
Bibik dan Maminya kompak tergelak.
“Sarapannya bukannya udah banyak, tadi?”
Chandra ikut terkekeh, sambil mengusap-usap perutnya.
“Kue buatan Bibik mah pantang ditolak!”
Bik Ida mencari-cari.
“Ros, ambilkan pisin buat kuenya Koko Chan.”
Chandra menyaksikan Ros, yang masih menunduk, kemudian mengeringkan tangannya dan beranjak menuju lemari dapur. Wajahnya masih belum jelas terlihat. Rambutnya, yang tak sempat ia amati saat di kamar, sekarang terlihat. Panjang menyentuh punggung nampaknya, hanya sekarang sedang diikat.
“Itu Ros.” Mami memberi isyarat dengan bahu ke arah Ros. “Sudah kerja di sini 6 bulan. Sekolah bareng Sandy di Cihampelas.”
Oh seusia Sandy. Berapa sih umur adiknya itu? 15? 16?
Glegh.
Bik Ida memotongkan kue dan menaruhnya di pisin yang dibawa Ros. Gadis itu kemudian membawanya ke hadapan Chandra.
“Makasih.”
Ros mengangguk. Chandra bisa melihat semburat merah jambu yang lagi-lagi muncul di kedua sisi wajahnya.
“Wah Bik … ai daun sama santannya ga kebeli,” suara Mami mengalihkan pandangan Chandra dari si gadis manis.
“Duh hilap, Bu. Lupa saya.”
“Ka pasar deui ieu mah. Ke pasar lagi ah. Nu kanggo pudding oge belum nya Bik. Trus, sekalian beli jajanan pasar.”
“Ayeuna, Bu? Sekarang?”
“Iya, Bibik ikut saya weh. Keun beberes mah kan ada Ros.”
“Oh, iya Bu. Abdi gentos acuk heula. Ganti baju dulu saya ya.”
Bik Ida keluar dari dapur.
“Ada acara apa, Mam? Masak banyak?”
Mami mengeluarkan dompet dari salah satu tas belanja.
“Papi pengen makan nasi kuning komplit. Mumpung kamu ada di rumah.”
“Mau aku anter?”
“Ga usah, sama Pak Amin aja. Kan kamu baru pulang. Mami mau belanja buat minggu depan juga. Biar sekalian.”
“Ooh.”
Mami keluar dari dapur.
Ros masih berkutat dengan tumpukan pecah belah yang ia masuk-masukkan ke dalam lemari.
“Eh, Ros?”
Lengan Ros berhenti bergerak.
Chandra menunggu hingga gadis itu menoleh padanya.
“Sendoknya, dong.” Telunjuknya mengarah ke potongan kue di atas pisin.
Muka gadis itu memerah lagi.
Ah, sering-seringlah begini. Pemandangan yang indah.
“Iya, Ko. Maaf ya. Sebentar.”
Kedua mata Chandra mengamati gerak-geriknya, membuka sebuah laci dan mengeluarkan sendok kecil. Setelah dilapnya dengan tisu, baru ia berikan kepada Chandra.
Chandra menikmati semburat kemerahan terakhir setelah ia memberikan senyum pada gadis itu.
(...)
Sejak pertemuan pertama di kamar atas dengan Chandra, anak sulung keluarga Hendrik Wijaya, hidup Ros berubah.
Sekarang, ia tak bisa lagi bekerja dengan tenang, sebab ekor matanya selalu menangkap bayangan Koko Chan (begitulah di rumah ia dipanggil), yang seakan mengekorinya kemana-mana.
Saat ia sibuk di dapur membantu Bibik Ida, Koko Chan akan sering ke dapur, meminta pelbagai makanan, atau hanya sekadar menggoda Bik Ida. Nampaknya memang ia juga disayang oleh Bik Ida, sehingga Bik Ida memerlakukannya lebih istimewa ketimbang anak-anak Bu Lina yang lain.
Saat ia menyapu halaman depan dan menyiram tanaman, Chandra akan seperti sengaja nongkrong di balkon kamarnya yang memang menghadap ke jalan. Jika Ros kebetulan menoleh, ia akan tersenyum dan menatapnya. Betul-betul membuatnya jengah.
Apalagi saat ia membereskan kamar demi kamar. Entah kenapa Chandra sepertinya ada dimana-mana. Kabarnya ia sedang libur kuliah, selama dua bulan. Dua bulan! Lama sekali.
Teeeeet …!
Ros tersentak dari lamunannya. Melihat sekitar, teman-teman sekelasnya sudah sibuk membereskan tas. Bu Elly, walikelasnya, yang juga guru Bahasa Indonesia, sudah berdiri di depan kelas, bersiap menyuruh KM memimpin doa.
“Ros.” Reni menyenggolnya. Doa dan salam sudah selesai, para siswa berhamburan ke luar kelas.
“Apa?”
“Kamu pulangnya bareng Sandy, lagi?”
“Ga tau. Gimana dia aja.” Ros menyampirkan tas punggungnya di bahu.
“Kamu teh bener sodaraan sama dia? Bukan pacaran?” Reni dengan tatap penuh selidik mencegahnya pergi.
Ini sebetulnya siasat Sandy, yang mengatakan pada semua anak yang bertanya, bahwa ‘Ros itu sodara saya’. Akhirnya Rospun ikut dalam ‘permainan’ itu. Cukup efektif untuk menangkal pertanyaan banyak orang.
“Ya engga atuh. Kan kamu yang ngeceng dia mah.”
Reni langsung tersipu-sipu.
“Iih, kamu maaah. Dia suka dengerin Oz atau Ardan, ga yaa?”
“Kenapa gitu? Mau kirim lagu ya? Ah meni riweuh. Ntar aja aku salamin.”
“Ih, Ros malu ah.”
“Tumben, malu.” Ros tergelak.
Reni pura-pura cemberut.
Berdua mereka berjalan ke luar kelas bersama para siswa lainnya.
“Kamu mah, mending belajar buat sumatif minggu depan.”
Reni membelalak.
“Belajaaar mah kamuuu. Masa muda itu mesti dinikmati, Ros.”
“Nya kuma kamu weh. Gimana kamu aja.”
Sumatif adalah pekan ulangan yang akan mereka laksanakan minggu berikutnya. Setelahnya remedial dan porseni antar kelas, kemudian bagi rapor. Ros sudah tak sabar menunggu waktu itu tiba. Sebab ia bisa mendapat libur dan pulang ke Rancabelut. Rindu sekali ia pada keluarga, terutama pada Lia dan Jaya, dua adiknya.
“Ros!”
Sosok Sandy yang putih bersih dan berlesung pipit tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Tak heran Reni naksir, sebab ia memang tampan. Wajahnya yang oriental sering tersenyum dan melontarkan banyolan. Pantesan penggemarnya banyak.
Reni meremas tangan Ros. Geregetan.
“Halo.” Sandy tersenyum ke Reni.
“Hai.” Kemudian Reni terdiam. Menyadari bahwa sahabatnya yang biasanya cerewet jadi irit kata, membuat Ros ingin tertawa.
“San, ini namanya Reni. Teman sebangkuku.”
Sandy mengangguk.
“Iya, udah tau.”
Reni sekali lagi meremas tangan Ros.
“Reni pulangnya kemana?” Sandy menjejeri langkah mereka berdua.
“Err … Lembang.”
“Wah jauh ya.”
“Iya, lumayan.”
Ros tersenyum geli.
“Anterin dong, kali-kali pake motor kamu.”
Sandy cengengesan, “Iyalah, boleh. Sekalian beli jagung bakar di Lembang.”
Reni tersipu malu-malu.
Di pintu gerbang mereka berpisah. Reni menyeberang jalan bersama anak-anak lain yang hendak naik angkot.
Ros celingukan.
“Motor kamu mana?”
Sandy malah menariknya, mendekat ke tukang Bakpau pinggir jalan yang mangkal tak jauh dari sekolah.
“Mang, dua dibungkus! Isi kacang hejo! Ros, kamu mau?”
Ros menggeleng.
“Motor aku dipinjam si Koko. Mau ke rumah temennya ceunah. Ga mau pake mobil, males.”
“Ooh.”
“Kita jalan kakilah nya.”
“Yuk.”
Mamang penjual bakpao memberikan plastik kresek hitam ke tangan Sandy, yang ia tukar dengan lembaran uang.
“Nuhun, Mang!”
Mereka berjalan bersisian menuju pertigaan dekat Rumah Sakit Advent.
“Ros, ntar malem mau ikut ke Aquarius? Si Koko mau nyari kaset.”
“Aquarius teh apa?”
“Ituuu … toko kaset, di Dago.”
Ros menggeleng. “Ga bisa atuh, kan aku banyak kerjaan.”
“Ah, bentar aja. Mami juga ga akan apa-apa. Ntar aku yang ijin, lah.”
“Jangan. Kasian Bik Ida, ga ada yang bantuin.”
“Ah, kamu mah.”
Di pertigaan mereka menyeberang. Sandy meraih tangan Ros. Sudah beberapa kali Sandy sering begitu, dan Ros hanya menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa saja. semacam ketika ia memegang tangan Jaya, adiknya di rumah.
“San.”
“Mmh?”
“Kamu suka denger radio Oz?”
“Suka. Kenapa?”
Ros tersenyum.
“Ga papa. Nanti ada yang bakal kirim lagu ke kamu.”
“Cewek, cowok?”
Ros tertawa.
“Kalo cewek, aku mau. Kalo cowok, geleuh ah. Hahaha.”
“Cowok kalo gitu mah.”
“Ih, geuleuh. Jijik.”
“Cewek?”
“Wow, suka kayaknya ke aku ya?”
“Geer pisan.”
“Bae ah, biarin daripada minder.”
Berjalan berdua sambil tergelak, Ros amat bersyukur dengan sifat Sandy yang begitu hangat dan terbuka.
(…)
“Assalamualaikum! Mam, aku pulaaaang.” Sandy berteriak di depan pintu.
Kebiasaan.
“Mami ga ada. Lagi pergi.” Chandra menyambut mereka di pintu.
Langkah Ros tertahan.
Ia memutar menuju ke samping, pintu garasi yang tembus ke dapur.
Masih bisa ia dengar suara obrolan kakak beradik, Chandra dan Sandy.
Juga masih bisa ia rasakan tatapan di belakang punggungnya.
Duh.
(;;;)
“Nah, baru yang itu dikurangin.” Ros menunjuk buku LKS matematika kepunyaan Muti.
“Oh pantesan salah terus.” Muti meraih penghapus dari dalam tempat pensilnya.
“Mutinya ga teliti. Jangan cepet-cepet ngerjainnya.”
Muti mengangguk-angguk. Kemudian ia menguap. Dengan gaya dramatis, anak perempuan kelas empat SD itu menjatuhkan tubuhnya ke atas karpet. Pura-pura pingsan.
“Hayoo … tiga soal lagi.” Tangan Ros menggelitik tubuh Muti. Anak itu tergelak-gelak kegelian.
“Hey, lagi pada ngapain?”
Degh.
“Koko Chaaan …” Muti tersenyum menyambut kakaknya.
Chandra berdiri di ambang pintu.
“Belajar apa main gulat sih?”
“Hahaha” Muti tertawa. Mata sipitnya menghilang.
Chandra ikut-ikutan duduk di atas karpet. Mencolek pipi Muti.
Ros membereskan buku-buku Muti yang ia tumpuk di satu sisi, dekat tempat tidur. Kemudian ia berdiri.
“Teteh, mau kemana? Periksain dulu.”
Ros tertegun. Posisinya sudah setengah berdiri. Terpaksa ia duduk lagi.
“Ya sok atuh, kerjain dulu.”
“Siap Bos!”
Chandra sekarang duduk selonjoran di seberangnya. Jarak yang sedemikian dekat, membuat jantung Ros berdegup kencang. Ia menyibukkan diri membereskan tempat pensil Muti, yang sebetulnya tak perlu dibereskan.
“Ros?”
Ros mengangkat wajah. Di hadapannya, Chandra mengangsurkan sebuah kantong plastik. Ia tak ingat kapan Chandra membawanya.
Tangan Chandra masih di udara.
Ragu-ragu, Ros menerima ulurannya. Sekian detik, kulitnya bersentuhan dengan kulit tangan Chandra. Sekejap saja.
“Itu buat kamu.”
Ros membuka isinya. Sebuah kaset dengan cover warna merah-jingga, dengan foto 8 orang pemuda di depannya.
“Kamu suka Kahitna.”
Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Darimana Chandra tahu kalau Ros suka mendengarkan Kahitna.
“Makasih.”
“Tadinya mau ajak kamu ke Aquarius, biar milih sendiri.”
“Iya … tadi siang Sandy bilang.”
“Kamu suka?” Chandra memberi isyarat pada kaset yang masih Ros pegang.
“Iya.”
“Aku juga.” Chandra menatapnya lekat.
Maksudnya?
“Bereesss!” pekikan Muti membuat Ros terlonjak. Tangannya menerima sodoran LKS dari Muti, yang kemudian ia periksa.
Chandra masih saja duduk di sana. Membuatnya ingin menjerit kesenangan sekaligus menangis.
Perasaan ini begitu membingungkan.
Keseleo
Ros mengurut kaki Bik Ida yang agak membengkak. Bik Ida meringis kesakitan. Saat menjemur pakaian barusan, kaki Bik Ida keseleo.
“Aduuh … duh … duh … pelan-pelan.”
Bik Ida masih meringis.
“Punten nya Bik. Tahan ya Bik.”
Ros meraih lotion yang kemudian ia balurkan ke bagian kaki Bik Ida yang bengkak. Ia mengurut dengan gerakan memutar. Dulu, Bapak sering mengajarinya mengurut kaki atau lengan Bapak. Maklum, sebagai buruh pabrik yang sering mengerjakan pelbagai pekerjaan sampingan lainnya, keseleo adalah hal yang biasa.
Bik Ida terus menerus mengaduh.
“Aduh, karunya teuing Bibik. Kasihan sekali.” Entah kapan datangnya, Bu Lina sudah ikutan jongkok di depan bale-bale di halaman belakang. Di bale-bale itulah Bik Ida duduk sambil meringis kesakitan.
“Bik, manggil tukang urut yang beneran atuh ya.” Wajah Bu Lina tampak khawatir.
“Ga usah Bu … nanti weh, kalo ga sembuh aja tah baru … duuuh.” Bik Ida menjawab di sela ringisannya.
“Oh ya udah atuh. Ros, kamu geuningan bisa mijit.”
“Dikit Bu. Dulu suka mijit Bapak di rumah.”
“Kapan-kapan saya mau da dipijit, Ros.”
“Mangga, Bu.”
Ros menyudahi pijitannya.
Wajah Bik Ida tampak lelah.
“Bu, ke pasarnya sama Ros aja ya.”
Bu Lina mengangguk. “Iya, gapapa. Udah bisa kan Ros, sendiri?”
“Bisa, bu.”
“Asal catatannya weh lengkap, Bik. Bentar atuh. Ambil uangnya, sekalian kasih tau Pak Amin, biar anter kamu.”
Bu Lina beranjak pergi.
Ros tersenyum menatap Bik Ida.
“Bibik duduk aja, nanti yang masak sama beberes, aku aja. Nanti kan ada Teh Lilis juga.
“Iya Ros. Cuman Bibik teh ga enak sama Ibu. Nanti sore ada arisan keluarga di sini, kan mesti banyak yang disiapin.”
“Udah, tenang aja. Nanti Bibik kasih tau mesti ngapain, aku yang ngerjain. Bibik komandonya aja.”
Bik Ida tertawa.
“Siga tangtara (tentara) wae nya, pake komando.”
(...)
Chandra sedang menonton adik-adiknya yang menonton Doraemon di TV. Muti dan Lisa kompak tertawa-tawa. Muti sih, mending. Nah, Lisa kenapa masih suka Doraemon ya? Kan udah gede.
“Pak Amiin …” suara Ibunya mendahului sosoknya yang melintasi ruang tengah menuju garasi samping.
Terdengar suara Ibunya bercakap-cakap dengan Pak Amin, sopir keluarga mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja untuk mereka.
“Ngapain Mam, nyari Pak Amin?” tanyanya saat Ibunya kembali dari garasi.
“Ituu … nyuruh anterin Ros ke Pasar. Bik Ida kakinya keseleo ga bisa jalan.”
Eh?
Chandra sontak berdiri,
“Mam, aku aja yang anterin. Sekalian mau beli batu batre.”
Bu Lina menghentikan langkahnya.
“Emang kamu tau ke pasar mana?”
“Sederhana? Eh? Ciroyom?”
“Jauh-jauh teuing. Jauh amat.”
“Mana atuh?”
“Cibogo.”
“Dimana tuh?”
Bu Lina tertawa, “Sarijadi.”
“Oh oke Mam, gampang.”
“Nya sok atuh, pokoknya Mami dapet belanjaanlah.”
“Ok.”
“Eta ada surabi depan pasar. Beliin buat Papi. Uang belanja udah di Ros.”
“Iya, Juragan.”
Bu Lina tertawa lagi.
(…)
Sambil bersiul, Chandra berjalan menuju garasi. Ia mengacungkan kunci mobil ke arah Pak Amin yang sedang menikmati kopi di kursinya, dekat pintu dapur.
“Pak, aku yang anter ke pasar!”
“Oh iya? Ya atuh.”
Ros yang baru muncul di pintu dapur, terlihat bingung.
Chandra hampir ingin terbahak. Penasaran bagaimana rasanya bisa duduk berdua di dalam mobil bersama Ros yang irit kata dan pemalu.
Ia mengeluarkan mobil dari garasi, setelah sebelumnya membuka gerbang depan. Dari kaca spion, ia melihat Ros masih bercakap-cakap dengan Pak Amin. Kemudian Ros berjalan ke arah mobil.
Ah, ini kesempatan berdua saja dengan kamu, Ros.
Di depan pintu mobil, Ros sepertinya meragu.
Oh tolong jangan sampe dia duduk di belakang. Emang gue supir taksi!
Pintu di sampingnya terbuka. Chandra tersenyum.
Ros duduk di sebelahnya. Hanya sedikit saja jarak antara mereka.
“Siap?”
Ros mengangguk.
“Safety belt-nya dong.” Tangannya menunjuk.
Ros memasangnya.
Mobil meluncur membelah jalanan kota Bandung di hari Minggu pagi yang masih sepi.
Sekian menit berlalu tanpa satupun dari mereka bersuara.
Beneran nih cewek pendiem!
“Ros, udah pernah ke pasarnya?” Chandra mencoba memecah kesunyian.
“Udah, sama Bibik dan Ibu.”
“Oh, kalo aku belum pernah.”
Sejurus kemudian Chandra ingin menabrakkan mobilnya ke pohon. Jawaban macam apa itu. Norak banget!
“Eh, pasarnya bagus? Maksudnya, lengkap?”
Damn, apa sih.
“Mmh … ga tau soalnya selalu ke pasar itu, jadi ga tau kalo pasar lain, lebih lengkap atau engga.”
Kalimat terpanjang yang pernah Ros katakan padanya sejauh ini.
Chandra mengangguk-angguk. Sesekali ia melirik Ros yang duduk dengan canggung.
“Ros, kamu asalnya darimana?”
Tak siap dengan pertanyaan itu, Ros sempat gelagapan.
“Err … Wanayasa.”
“Dimana tuh?”
“Purwakarta.”
“Ooh. Panas ya di sana?”
Ros menoleh. “Koko tau?”
“Tau. Ada temen kuliah yang dari sana juga. Tapi bukan Wanayasa. Dia tinggal di komplek, apa ya namanya. Pokoknya di Jalan Veteran. Pernah nginep di sana.”
Tak terasa mobil sudah memasuki daerah Sarijadi. Melewati jejeran rumah susun, Chandra mengemudikan mobil hingga ke ujung. Matanya mencari-cari lahan parkir.
Untunglah, hari masih pagi, sehingga lahan parkir masih banyak. Pasar Cibogo Sarijadi, sebetulnya kecil saja, dengan lahan parkir tak begitu luas. Bu Lina, anehnya selalu suka berbelanja ke sini. Meskipun pasar ini cukup jauh dari rumah mereka.
Chandra memarkir mobil dengan sukses. Ia mematikan mesin. Ros, setelah mencopot safety belt, kemudian membuka pintu.
“Ros, tunggu dong.”
“Eh? Koko ikut?”
“Iyalah. Nanti yang bawa belanjaan siapa?”
Ros merasakan mukanya memerah.
Demikianlah, mereka berdua menembus lautan para pengunjung pasar lainnya. Nyempil-nyempil diantara para ibu-ibu yang menawar harga ayam dan telur.
Selama itu pula, Ros merasa Chandra selalu membayangi langkahnya. Ikut berdiri bersamanya saat memilih daging sapi, membawakan kantong-kantong kresek belanjaan yang semakin lama semakin banyak. Sesekali kedua tangan mereka bertemu saat proses pemindahan kantong-kantong kresek. Ros berusaha mengabaikan degup jantungnya yang terus menerus gaduh. Ia berusaha fokus dengan catatan belanjaan yang dibekali Bibik Ida.
Chandra sendiri, belum pernah menyadari bahwa pasar ternyata tempat yang menyenangkan. Diantara seliweran orang-orang yang berbelanja dan pelbagai aroma dagangan, ia merasa sedang menjadi pengawal, membayang-bayangi Ros. Pengawalnya Ros.
“Udah Ko.”
“Yakin?”
“Surabi buat Papi?”
“Udah.”
“Kue basah?”
“Udah.”
“Sip.”
Mereka berjalan bersama menuju parkiran.
Setelah menyimpan semua belanjaan di bagasi, keduanya kemudian menaiki mobil.
Chandra menyodorkan sebuah botol minuman.
“Minum dulu, pasti haus.”
Ros menerimanya.
Setelah membayar petugas parkir, mobil kembali melaju.
Chandra baru sadar bahwa sejak perjalanan pergi, mobilnya sunyi. Pertamakali dalam hidupnya, ia tak menyetel radio di dalam mobil. Wow.
“Ros, sudah didengar kasetnya?”
Ros menunduk.
“Belum.”
“Loh, kenapa? Katanya suka.”
Ros meneguk ludah.
“Di kamarku, cuma ada radio …”
Chandra menarik napas. Tentu saja. Mengapa ia bisa begitu tak peka. Beberapa kali ia mendengar alunan lagu dari kamar Ros dekat garasi, yang ia sangka dari tape recorder.
“Di kamarku, kayaknya ada Walkman. Kamu bisa pake.”
“Makasih Koko.”
“Dengerin ya Ros.”
“Ya.”
Kemudian sunyi kembali menyelimuti mereka.
Kenapa?
“Sandy telepon aku kemarin.”
Wajah Reni berbinar-binar. Ros tertawa.
“Iya, tau.”
“Hah?? Dia cerita??”
“Iyalah.”
“Apa katanya Ros? Apa? Aku perlu tahu dari sudut pandang dia. Ayo cerita, yang lengkap, ga mau tau.”
Ros tertawa lagi. Ia berjalan ditemani celotehannya Reni.
Hari ini terakhir sekolah. Barusan rapor sudah dibagikan. Ros merasa senang, tak hanya karena rapornya tidak mengecewakan, tapi juga karena besok ia akan pulang ke Wanayasa.
“Iih, ganteeeng …” kata Reni.
“Iya, kan udah berapa kali ngomong. Sandy ganteng.”
“Bukaaaan. Ituuu …”
Ros mengikuti arah pandangan Reni.
Di dekat gerbang sekolah, seorang lelaki berdiri acuh tak acuh. Kedua tangannya masuk ke saku celana jins yang ia kenakan. Tubuhnya tinggi menjulang, wajahnya yang memang terlihat lebih matang dibanding puluhan anak-anak SMA yang hilir mudik, menjadi demikian kentara.
Koko Chandra.
Perut Ros mendadak mulas.
“Ros.” Bahunya ditepuk orang.
Ros menoleh. Bukan Reni, melainkan Sandy.
“Kamu pulangnya sama Koko Chan ya. Aku mau maen sama barudak.”
Sandy melirik Reni, “Aku telpon ntar malem ya.”
Reni tersipu, namun jempol tangannya teracung.
“Eh, San …”
Ros berusaha mengejar Sandy. Apa daya ia sudah berlari menuju gerombolan teman-teman cowoknya.
“Koko Chan itu siapa, Ros?”
“Kakaknya Sandy.”
“Hah? Kok ga sipit?”
Ros terlalu gugup untuk bisa tertawa.
“Ya udah aku duluan ya Ros. Ga usah disalamin sama si Koko yang matanya bolotot mah (bolotot = melotot).”
Setelahnya Reni berlalu.
Lutut Ros menjadi lemas. Karena posisinya sudah menuju gerbang, pasti akan sangat aneh jika Chandra melihatnya berbalik arah.
Ia memaksakan senyum ketika sudah berhadapan dengan Chandra.
“Ros.” Chandra tersenyum. Entah kenapa caranya mengucapkan nama Ros terdengar beda dari yang lain. Mengayun lembut di telinga.
“Koko.”
“Pulang langsung?”
“Eh, Iya.” Memangnya ia mau kemana lagi?
Chandra menggigit bibirnya, ragu.
“Kamu … mau temani aku makan siang?”
Ma … maksudnya di luar? Tidak di rumah? Ros belum pernah tidak makan siang di rumah.
“Ga bisa … ada banyak …”
“Kerjaan? Udah aku bilang ke Bik Ida kok.”
“Tapi nanti …”
“Mami marah? Ga kayaknya. Lagian Maminya juga lagi pergi.”
Ros memandang Chandra, yang balik menatapnya. Kehilangan alasan.
“Ayolah …” tiba-tiba lengannya diraih begitu saja. Digandeng menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan, tak jauh dari gerbang sekolah.
Dipegang tangan oleh Chandra berbeda rasanya dengan Sandy, meski mereka kakak beradik, dan tinggal serumah. Ros harus menahan napas, merasakan jantungnya yang serasa jatuh hingga ke kaki.
“Mau makan dimana, kita?”
Ros yang baru memasang seat belt-nya, tak menjawab. Bingung. Pengalamannya “makan di luar” hanyalah di warung sate yang banyak bertebaran di Wanayasa, kampung halamannya. Sisanya, ia mesti puas dengan apapun yang Emak masak.
“Ros?”
“Terserah Koko aja.”
Chandra mengangkat bahu. Baiklah.
Mobil menyusuri jalan Cihampelas yang kiri kanan jalannya dipenuhi toko-toko dengan aneka patung. Ros melihat ke jendela, untuk menyembunyikan rasa panas di pipinya.
“Kamu kalo pake seragam beda ya.”
Ros menoleh. Pandangan Chandra lurus ke depan.
Ros menatap baju seragam yang ia kenakan. Siapa tahu ada tumpahan minyak atau sisa saus sambal. Tapi Ros jarang ke kantin sih, jadi ia cukup yakin, seragamnya bersih.
“Beda?”
“Iya … lebih … cantik.”
Jantung Ros kini rasanya sudah bukan di kaki, namun melesak ke bawah jok mobil, kemudian terbang dibawa angin.
“Kelas berapa sih? Sama kayak Sandy?”
“Ke .. kelas 2. Iya, sama kayak Sandy.”
“Ooh … ga sekelas tapi?”
“Ga.”
“Euuh … Ros, di kelas ada pacar?”
Ya ampun.
Ros menggeleng.
“Mmh … kalo di luar kelas?”
“Ga.”
Ros menggigit bibir bawahnya. Chandra mungkin tak sadar bahwa sebelum dan sepulang sekolah, ia punya banyak pekerjaan. Tak ada waktu untuk pacaran. Ada waktupun, rasanya Ros belum berpikir ke sana.
Ros melamun sehingga tak sadar bahwa mobil sudah berhenti.
“Yuk.”
Chandra membuka pintu.
(…)
Ros menatap sisa makan siangnya yang masih banyak. Makan sambil duduk berhadapan dengan lelaki yang akhir-akhir ini sering muncul dalam lamunannya, sungguh merupakan hal yang sulit.
“Kok, ga diabisin?”
“Mmh … porsinya kebanyakan.”
Chandra menatap sisa makananya sendiri, satu porsi lebih banyak dari Ros. Ia tersenyum.
Tipikal perempuan!.
“Mau dibungkus aja? Sekalian aku mau bungkus buat orang rumah?”
Ros mengangkat kepala.
“Bisa?”
“Bisa dong.”
Kemudian Chandra membawa nampan Ros, masuk ke restoran cepat saji dengan huruf “M” besar di atasnya. Restoran yang hanya Ros kenal dari iklan di majalah remaja yang suka dibaca Lisa di rumah. Restoran cepat saji yang disukai anak muda.
Ros melihat ke sekitarnya. Ia duduk di salah satu meja yang diletakkan di luar restoran, menghadap ke jalan raya. Banyak anak muda, beberapa diantaranya berseragam seperti dirinya. Agaknya semua sama-sama merayakan libur panjang yang esok hari akan dimulai. Ros tiba-tiba teringat Lia dan Jaya di rumah. Semoga rapor mereka berdua juga bagus, supaya Emak senang.
Ah tak sabar rasanya bertemu mereka besok.
“Ros?”
Chandra berdiri di depannya, menenteng kantong plastik. Ros segera berdiri.
Mereka berjalan bersisian menuju ke …
“Mau kemana, Ko?”
“Nyebrang yuk.”
Chandra kembali meraih tangan Ros dan menuntunnya menyeberang. Ros merasa jalan yang mereka lintasi sangat panjang dan lebar, padahal mungkin perasaannya saja, karena langkah kaki Chandra cukup cepat.
“Ke situ tuh.”
Di hadapan mereka sekarang menjulang bangunan cukup tinggi. Ros tahu bangunan apa itu. Toko buku terbesar di Bandung. Reni pernah beberapa kali mengajaknya ke sana.
Usai menitipkan kantong makanan di penitipan barang di lantai dasar (juga tas sekolah Ros), Chandra kembali menggamit Ros menuju tangga. Perlahan Ros melepaskan tangannya. Agak aneh juga, berpegangan tangan saat tidak menyeberang jalan.
Lantai dua berisi pelbagai alat tulis dan aksesoris. Saat tiba di lantai tiga, Ros terperangah.
“Aku tau kamu suka buku.”
Ros menatap Chandra.
“Kamu suka banget mojok di deket lemari isi novel-novel lamanya Mami.”
Ros mengingat novel-novel Bu Lina yang diam-diam ia baca saat pekerjaannya sudah selesai. Mira W, S.Mara Gd, Marga T, hingga majalah Femina dan Kartini. Kadang ia pun senang meminjam majalah cerpen yang dimiliki Lisa. Membacanya sampai larut malam.
“Kamu lihat-lihat dulu ya. Mungkin ada yang kamu suka. Novel Mami kan jadul semua.”
“Koko mau kemana?”
“Aku muter-muter bentar, nanti ke sini lagi.” Chandra menyenggol bahunya pelan.
Ros mengangguk.
Diantara lautan buku di lantai tiga siang itu, Ros menemukan surganya sendiri.
(…)
“Ros?”
Ros mendongak dari buku yang sedang ia baca. Ia meletakkan buku tersebut dan berdiri.
“Udah bacanya?”
Ros mengangguk.
“Beli ga?”
“Ga.”
“Kenapa? Beli aja. Biar bisa baca di rumah.”
Ros membuka mulut, kemudian menutupnya kembali. Chandra menatapnya geli.
Mereka kemudian berjalan keluar dari gedung besar itu dengan menenteng kantong plastik baru. Dua Sidney Sheldon, satu S.Mara Gd, tiga Fear Street (beliin satu buat Lisa! Kata Chandra) dan dua novel pilihan Chandra yang dijejalkannya ke tangan Ros.
“Ini bagus loh!”
Ros melihat kedua judulnya; Congo dan Kiss The Girls.
(…)
“Koko?”
Chandra suka cara Ros memanggilnya. Mengayun lembut di telinga.
“Mmh?”
“Kenapa Koko baik sama aku?”
“Kenapa ya?”
Ros menelan ludah. Takut sekaligus penasaran dengan jawaban Chandra.
“Nih.”
Chandra menyerahkan satu lagi tas belanja ke pangkuan Ros.
Ros membukanya.
“Tadinya aku mau pinjemin Walkman di kamar, tapi aku nanti bengong ga bisa denger musik. Kamu pake itu aja ya.”
Ros memegang kardus kecil berwarna hitam. Tulisannya “Sony”. Sebuah Walkman baru, lengkap dengan earphonenya.
Matanya memanas. Mengapa lelaki ini begitu baik?
“Ros? Hey …”
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa Koko baik sekali sama aku?”
Chandra tertawa.
Karena aku sudah jatuh cinta padamu, mawarku.
Chandra tak berkata apa-apa. Tangannya sebelah kiri sekejap meremas tangan Ros yang masih memegang plastik Walkman.
Ros kembali mengalihkan pandangannya ke jendela.
Rasanya aku tahu jawabanmu, tapi aku takut.
Mobil membawa mereka menuju rumah.
Berpisah Dua Minggu
“Teteeeeh …”
Begitu tiba di pagar depan rumahnya, kedua tangan Ros terentang lebar menyambut Lia dan Jaya ke dalam pelukannya.
“Teteh meni lama perginya.” Mata Lia, yang kelas empat SD berkaca-kaca.
“Teteh kan kerja. Baru dapet libur.” Ros merasakan matanya ikut-ikutan memanas. Sebelah tangannya mengusap-usap kepala Jaya, si bungsu yang baru masuk SD.
“Tetehnya suruh masuk dulu atuh, karunya. Capek.” Emak muncul di pintu.
Ros bergegas mencium tangan Emak yang kasar, akibat keseringan mencuci dan menggosok pakaian, memakai setrikaan arang.
“Sehat?”
“Alhamdulillah, Mak. Sehat.”
“Pake apa dari sana? Udah berani pulang sendiri.”
“Gampang kok Mak, pake bis sekali, trus angkot sekali.”
Berempat mereka masuk ke dalam rumah.
(…)
Ros tersenyum melihat kedua adiknya tidur pulas di atas kasur. Lia dan Jaya senang dengan makanan yang Ros bawakan dari Bandung. Bu Lina juga memberinya setumpuk pakaian bekas Lisa dan Muti, yang masih bisa dipakai oleh Lia. Hanya Jaya yang manyun, karena tidak mendapat jatah. Ros merayunya dengan mengatakan, nanti ia akan ke pasar, membeli beberapa helai kaus dan celana baru untuk Jaya.
“Yeeee … bener ya teh?”
Ros mengangguk.
“Lia juga ya, Teh?”
“Eeh … nya henteu atuh. Teh Lia udah dapet banyak!” Jaya menunjuk tumpukan baju dengan muka sebal.
Ros tertawa.
Lia menjulurkan lidahnya. Tangannya mengelus baju berwarna pink bergambar princess.
Perlahan Ros mengeluarkan Walkman hitam dari tas ransel yang biasa ia pakai ke sekolah. Tak ingin ia menunjukkannya pada kedua adiknya, khawatir dipinjam kemudian rusak.
Walkman itu baru ia pakai sekali, kemarin malam setelah siangnya jalan-jalan dengan Chandra. Hingga larut ia melamun sambil mendengarkan suara vocal Hedy Yunus, Ronny Waluya dan Carlo Saba.
Sedang apa Chandra sekarang?
Paling-paling sibuk di dapur, memasak mie rebus bersama Sandy. Keduanya selalu lapar, anehnya tak satupun dari mereka bertubuh gemuk, padahal jatah makannya lebih banyak dari Lisa dan Muti dan dirinya dijadikan satu.
Ros memasang earphone ke telinganya.
Andaikan ia punya pesawat telepon di rumah, pasti ia sudah menelepon untuk berkirim lagu di radio Oz atau Ardan. Eh, tapi ini Wanayasa. Mungkin frekuensi siarannya juga ga akan ketangkep.
Jemari Ros menekan tombol “Play”.
Cantik …
Ingin rasa hati berbisik.
Untuk melepas keresahan … dirimu.
“Kamu beda ya, kalo pake seragam. Lebih cantik.”
Ros tersenyum.
O wow Cantik …
Bukan kuingin mengganggumu, tapi apa arti merindu, selalu …
Ros menarik napas.
Koko, aku rindu …
(...)
Chandra mendribble bola, maju tiga langkah, dan menembak ke dalam keranjang.
Bola itu memantul sebentar, kemudian jatuh ke samping.
Sandy tertawa terbahak-bahak.
“Ko, tumben ga ada yang masuk bolanya …”
Chandra menatapnya sebal.
“Gini dong Ko. Watch and learn.“
Sandy mengambil bola, mendribble beberapa kali, lalu dengan gaya berlebihan, ia meliuk dan menembak.
Duk!
Bola masuk ke keranjang dengan mulusnya.
Chandra menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Udahan ah!”
Ia berlalu ke samping garasi. Tak dihiraukannya panggilan Sandy yang masih ingin bermain.
Masuk ke garasi, sepi. Bik Ida sedang ke pasar bersama maminya.Papinya sedang keluar kota. Lisa dan Muti sedang anteng nonton TV.
Melewati dapur, sudut matanya menangkap pintu tertutup. Pintu kamar Ros.
Chandra tertegun.
Membalikkan badan, ia kembali ke area dapur. Membuka pintu kulkas, tangannya meraih sebuah botol berisi air putih. Duduk di depan konter dapur, ia meneguk isi botol itu.
Tempo hari ia bangun dengan semangat, mandi lebih pagi dan turun ke lantai bawah sambil bersiul. Tak sabar ingin menemukan Ros, yang biasanya selalu sibuk di dapur. Entah merajang bawang, memotong-motong sayuran atau mencuci piring.
Di dapur, hanya Bik Ida yang ia temui, dengan Teh Lilis, yang bantu-bantu menyeterika.
Celingukan, ia bertanya.
“Ros mana, Bik?”
“Ga ada Ko. Tadi subuh udah pulang.”
“Pulang … kampung?”
“Iya, pulang dulu. Kan udah libur sekolah.”
“Sampai kapan, Bik?”
“Dua minggu asana mah. Sampe tahun baru.”
Hatinya mencelos.
Ia meneguk botolnya lagi.
Dua minggu.
Lama sekali.
“Ko?”
Sandy tiba-tiba sudah duduk di hadapannya. Wajahnya masih berkeringat setelah main basket dari tadi pagi.
“Mmh?”
“Udaaah … ga usah dipikirin. Ntar juga pulang lagi ke sini.”
Chandra mendelik.
“Apa sih.”
Sandy tergelak.
“Nanti juga Ros pulang lagi, Koko. Meni kudu dijelaskeun.”1
Sandy beranjak menuju kulkas.
Chandra menelan ludah.
“Kalo mau mah, susul we ke Purwakarta.”
Sandy memegang sebutir apel di hadapannya.
“Kamu tau gitu alamatnya?”
“Engga.” Pipi Sandy menggembung, mengunyah. “Haamin hang hauu.”
“Apa?”
Sandy menyudahi kunyahannya.
“Pak Amin yang tau.”
“Pak Amin, mana?”
“Pan ikut Papi ke Surabaya.”
“Arrgh …”
Chandra meletakkan botol minumnya di atas konter. Ia beranjak pergi.
“Mau kemana Ko?”
“Aquarius.”
“Beli kaset apa lagi?”
“Kahitna!”
Sandy masih duduk menikmati apelnya.
Ih si Koko kawas awewe, ngadengekeun Kahitna!2
(…)
Dear Rose,
Kemana sih, kamu Ros?
Pulang kampung kok ga bilang.
Kan aku bisa anter kamu, kalo tau.
Ros,
Aku kangen tau.
Chandra melipat kertas itu menjadi dua. Ia menuliskan kata “Rose” di salah satu sisinya. Ia menutup pulpennya, ketika ingat sesuatu.
Di samping kata “Rose” tadi, ia tuliskan angka 1.
Dua minggu itu lama, Ros. Kalo aku tulis surat tiap hari, kamu harus tau yang mana yang mesti dibaca duluan.
Chanda kemudian memasukkan kertas tipis tadi ke celah sempit pintu kamar Ros.
Ia menarik napas.
1. Sampe harus dijelasin.
2. Ih si Koko kayak cewek aja, dengerin Kahitna.
Merindu
Ros kembali ke rutinitas hariannya di rumah, sebelum pindah ke Bandung. Pagi-pagi mencuci pakaian, kemudian menjemur, sementara Emak menjerang air dan membuat sarapan. Setelahnya, Ros akan menyapu dan mengepel semua sudut rumah kecil mereka. Terakhir, ia akan mandi pagi, dan setelahnya langsung merasa gerah.
“Tos jadi urang Bandung kamu teh1.” Kata Emak.
Kemudian ia akan duduk di kursi dapur, ikut membantu Emak membuat beragam kue, yang kemudian mereka titipkan ke warung Ceu Tarsih. Jika tidak libur sekolah, Emak juga ikut menitipkan kue di kantin sekolahnya Lia dan Jaya, yang hanya berjarak 500 meter saja dari mulut gang rumah mereka.
Semenjak Ros bekerja di Bandung dan rutin mengirimi Emak wesel2 setiap bulan, Emak sudah tak menjadi buruh cuci lagi. Selain membuat kue, Emak juga terima jahitan kecil-kecilan. Mesinnya dibeli secara mencicil dari tukang kredit keliling yang setiap hari datang berkeliling ke kampung mereka.
“Mau kemana hari ini?” Emak bertanya, sambil tangannya cekatan menggulung-gulung nasi ketan isi abon ke dalam bungkus daun pisang. Mereka sedang membuat lemper.
“Ga kemana-mana.” Jawaban Ros selalu sama dari sejak hari pertama ia tiba.
“Lilis waktu itu nanyain, kapan kamu pulang.”
Ros tak memberikan tanggapan.
“Waktu itu Deden ke sini.”
Ros mengangkat wajah.
“Naroskeun3, di Bandung, ada nomer telepon kamu ga. Tapi Emak ga tau.” Tangan Emak meletakkan lemper-lemper yang sudah terbungkus rapi ke dalam baskom besar, bersisian dengan kue-kue lain yang sudah siap dibawa.
“Deden mah bageur4 nya. Mawa5 sate buat Jaya dan Lia.”
“Iya, dia baik.”
Ros mengangkat semua peralatan dan baskom kecil yang kotor ke tempat cuci piring di sudut. Di sana sudah menumpuk peralatan pecah belah lainnya, yang harus dicuci. Berbeda dengan di Bandung, di sini cuci piringnya harus sambil berjongkok. Ros mengambil sebuah jojodog6 dan duduk di atasnya.
“Di Bandung, mereka baik sama kamu?”
“Alhamdulillah, Mak. Baik semuanya.”
“Sukur atuh Ros, sing gede rejeki7.”
“Iya, Mak. Aamin.”
1. Udah jadi orang Bandung kamu ya.
2. Wesel adalah kiriman uang yang bisa diambil di kantor pos.
3. Nanyain.
4. Baik.
5. Bawa.
6. Bangku kecil/dingklik
(...)
Bowo membuka dan melempar kaos kakinya ke sudut kamar Chandra.
“Jorok lu!”
“Haha.”
“Kota lu enak ya, dingin, sejuk. Ceweknya cantik-cantik.”
Chandra merebahkan tubuhnya ke atas Kasur. Baru saja mereka pulang dari berjalan-jalan ke semua tempat wisata yang ingin dilihat Bowo. Setidaknya tempat-tempat yang bisa dijangkau dalam waktu seharian saja.
“Adik lu cantik juga tuh ...”
Buk!
Sebuah bantal melayang menimpa wajah Bowo, yang terkekeh.
“… sayang masih kecil-kecil. Gitu maksud gue. Makanya dengerin dulu.”
“Monyet lu!”
“Hahaha.”
Bowo sekarang mencari-cari rokok di saku bajunya.
“Hey, lu kalo mau ngeroko, sono di halaman belakang.”
“Njiir … keluarga lu mah tertib semua yee … sekalian taro noh tulisan di pintu depan.”
“Ga butuh sih, soalnya tamu yang ga sopan, cuman elu doang.”
Bowo yang berambut ikal dan berkulit gelap itu terbahak lagi. Cowok asli Jawa namun besar di tanah Betawi itu kemudian urung mengambil rokok, yang ia letakkan di atas meja.
Chandra memejamkan matanya.
Ros, kamu lagi ngapain sekarang?
“Ros itu sape, Chan?”
“Hah?”
“Ros … yang barusan elu sebut.”
Did I say that out loud?
“Ooh … ngigau gue.”
“Lagak lu ngigo. Orang ga tidur jugaa … Sape sih? Cewek?”
“Banci!”
“Setdaaah … baru libur dua minggu, kompas lo langsung belok?”
“Berisik, ah. Gue mau tidur.”
“Chan?”
“Mmh …”
“Cantik ga?”
Cantik. Sekali.
“Chan?”
“Mmh …”
“Tipe pemalu apa agresip?”
Malu-malu yang membuat darahnya berdesir setiap pipi Ros memerah.
“Chan?”
“Paan sih …”
“Rambutnya panjang apa pendek?”
Panjang sampai hampir menyentuh pinggang. Ia tahu saat suatu pagi melihat Ros menjemur pakaian dengan rambut terurai yang masih basah.
“Chan?”
“Sekali lagi nanya, lo tidur di luar deh.”
“hot engga?”
Bugh!
Sebuah bantal kembali nemplok di muka Bowo.
“Hahahaha.”
“Bangke lu!”
(…)
Dear Rose.
Ros, setiap kali melintasi dapur, aku bosen liat Bik Ida terus. Setiap Mami ngajak aku ke Pasar Cibogo, aku keingetan waktu sama kamu ke sana. Kenapa sih kita ga duduk dulu waktu itu? Minum cendol dulu gitu.
Ros, kapan pulang?
Lipatan kertas putih yang ditandai dengan angka “2” itu ia selipkan lagi di celah pintu.
Home is Where Your Heart is
Malam tahun baru, menjelang 1996.
Rumah besar putih itu terlihat sepi saat Ros tiba.
Ia disambut Bibik Ida yang memeluknya di depan pintu.
Demi melihat Ros celingukan, Bik Ida berkata,
“Semua pada pergi, Ros. Pesta tahun baru di keluarga besarnya Bapak.”
Ros mengangguk.
“Sudah makan, Ros?
“Masih kenyang, Bik.”
Ros mengeluarkan satu kantong besar. “Kue buatan aku sama Emak, oleh-oleh dari kampung.”
Bibik Ida membuka kantong itu.
Lemper, nagasari, risoles, semar mendem, dan banyak lagi.
“Waaah Ibu pasti seneng inii.”
Ros terkekeh.
(…)
Kamarnya gelap.
Ia membuka pintu lebar-lebar dan menyeret kopernya ke dalam. Sekarang ia punya koper cukup besar, yang diberikan Bu Lina sebelum pulang kampung tempo hari.
Udara sejuk rumah ini, setelah tadi berkeringat di dalam bus, membuatnya senang.
Setelah berpamitan pada Emak, dan kedua adiknya, Ros bergegas pergi setelah Maghrib.
Beruntung masih mendapat kursi dalam bis. Bu Lina sudah wanti-wanti agar Ros paling lambat datang kembali saat tahun baru.
“Ada rencana pergi, biar bibik ada yang bantu.”
“Ya, Bu.”
Ros menjangkau sakelar lampu. Kamarnya seketika terang benderang. Ia menutup pintu. Bik Ida tadi menyuruhnya beristirahat saja. Lagipula tak ada siapapun yang akan meminta dibikinkan ini dan itu.
Semua masih tetap pada tempatnya, bersih dan rapi. Bau apak pun malah tak ada. Nampaknya Bik Ida juga masuk ke kamarnya dan beberes.
Ros melepas tas ransel yang sedari tadi menggayuti punggungnya di atas meja belajar kecil sebelah kanan pintu.
Matanya tertumbuk pada tumpukan kertas putih yang bertuliskan “Rose” di atasnya. Ia meraih salah satunya, berangka “5”. Di bawahnya ada angka 4,3,2,1 … dengan judul yang sama.
Ros membawa semua kertas itu bersamanya ke atas kasur.
Ia membuka kertas bertuliskan “1” dan mulai membaca.
(…)
Dear Rose.
Akhir-akhir ini jalanan Bandung mulai kurang bersahabat. Aku capek karena harus macet-macetan dengan mobil-mobil lain. Masalahnya, Mami seneng banget ajak aku kemana-mana. Belanja terus, pusing aku muter-muter.
Meskipun Papi udah jadi mualaf waktu nikahin Mami, tapi keluarganya masih banyak yang merayakan Natal, Ros. Itulah mengapa Mami belanja terus.
Tapi serba salah sih. Di rumah juga aku ga banyak ngapa-ngapain. Sandy pergi-pergi terus ke Lembang. Punya temen baru kayaknya.
Palingan aku diajak main monopoli sama Muti, hiks.
Ros, semoga kamu sehat.
Kamu sudah tau belum?
Ada yang kangen.
Ros menutup kertas bertuliskan angka “3” itu. Jantungnya berdentam keras. Sudah tiga surat Chandra yang ia baca, dan semuanya mengirimkan sinyal yang sama. Gelenyar menyenangkan yang membuat hatinya hangat.
Ia meraih surat keempat.
Dear Rose,
Sahabatku Bowo ikut nginap di rumah. Untunglah, aku jadi punya alasan buat menolak ajakan Mami belanja.
Bowo orangnya lucu, meski kadang ngeselin. Pas kamu pulang nanti, kayaknya dia masih ada.
Eh, jangan deh, Ros. Ga usah kenal aja. Ga rugi kok.
Bowo suka gombalin perempuan soalnya. Kamu pasti kena juga.
Aku ga rela.
Yang gombalin kamu, biar aku aja.
Ros tertawa.
.
Membayangkan Chandra, yang harus belajar ngegombal dulu. Haha.
Berbeda dengan Sandy yang memang ceria, attraktif dan percaya diri dalam mendekati perempuan, Chandra sebaliknya. Meski tatapannya sering membuat Rose sesak napas, namun ia tahu kalau Chandra sendiri sering gelagapan saat bersamanya.
Aku ga rela.
Ros menarik napas.
Seorang lelaki lain mengatakan kalimat yang persis sama padanya, beberapa hari lalu.
“Teh, aya1 tamu.” Lia mencolek bahunya.
Ros, yang sedang mengangkati jemuran, menoleh.
“Suruh tunggu ya.”
…
Wajah Deden yang sumringah menyambutnya di pintu depan.
“Ros.” Tangannya menenteng kantung plastik.
Ros menyilakannya masuk. Bisa dipastikan, Yuyun, temannya, menyampaikan kabar kepulangannya pada Deden.
“Buat di sini.” Deden menyodorkan tas plastik yang dibawanya. Harum sate memenuhi udara.
“Hatur nuhun2, A.”
“Eh, pada kemana? Sepi.”
“Emak lagi pengajian. Jaya sama Lia main di luar.”
“Ooh.”
“Mau minum apa?”
“Apa aja, Ros. Jangan repot-repot.”
Ros beranjak ke dalam, untuk mengambil minum. Ia bingung bagaimana ia akan mengobrol dengan Deden. Mengenai apa?
Ros menyuguhkan air putih, dan kue nagasari yang tadi pagi ia buat bersama Emak.
Deden langsung meminum airnya. Nampak haus.
“Mau tambah?” Ros menawarkan, demi melihat gelas yang langsung kosong.
“Eh, ga usah. Ga usah.”
Ros terdiam.
“Udah lama pulang, Ros?”
“Udah 5 hari-an.”
“Kok ga ngabarin?”
“Err … ga sempet A.” Ros bingung mengapa Deden merasa wajib dikabari. Hanya karena surat yang ia kirim tempo hari? Atau karena sering datang sambil membawa makanan?
“Ya bisi3 kamu pengen ditemenin kemana gitu, makan di sate Anwar misalnya …”
“Ga mau kemana-mana sih, A. Ingin istirahat aja di rumah.”
“Kalau gitu, kan Aa bisa main ke sini.”
Ros meneguk ludah.
Kemudian Deden mengajaknya mengobrol ngalor-ngidul, membahas pelbagai hal yang sesungguhnya hanya didengarkan Ros setengah hati saja. Pikirannya malah melayang kemana-mana.
Matanya menatap piring kecil tempat ia menyuguhkan nagasari.
Ros, sendoknya dong. Chandra menunjuk piring kuenya yang belum diberi sendok.
Tatapannya berpindah ke pintu yang terpentang lebar, ke arah pagar rumahnya yang terbuat dari bambu. Ada rumpun bunga sedap malam yang ditanam Emak di sana.
“Tah, kalo bunga sedap malem mah Koh, harumnya kan malem. Selain geulis kabina-bina4, ieu khasiatnya teh bikin tenang ke hati, ceunah.” Kang Ade menunjuk bunga sedap malam, sambil merapikan rumput liar yang sudah mulai tumbuh.
Chandra mengangguk-angguk, sambil sesekali melirik Ros, yang kebetulan sedang membawakan minuman dingin untuk Kang Ade.
“Emang Kang, udah geulis teh bikin tenang.”
“Tah bener Koh, kitu5. Cari istri kayak sedep malem yah. Nya geulis, nya bikin tenang.”
Kang Ade mengacungkan jempolnya.
“Ngomong-ngomong, udah ada calonnya, koh?”
“Mudah-mudahan, Kang.”
Ros mengangsurkan minuman Kang Ade di atas bangku taman.
“Mudah-mudahan mau, ya koh?”
“Tah eta6.”
Kang Ade dan Chandra tertawa-tawa.
“Ku Akang mah didoakeun7.”
“Nuhun Kang. Ros, doain juga ya?”
Chandra mengedipkan sebelah matanya. Ros ingin lari saja, saking malunya.
(…)
“Ros? Ros?”
Deden melambaikan tangan di depan wajahnya.
“Eh. Gimana, A?”
“Melamun ya. Ngelamunin, siapa?”
“Eh, engga.”
Ros menunduk, tak ingin melihat kekecewaan di wajah Deden.
“Ya udah atuh, Aa pulang dulu ya. Kalo nanti ke Bandung, kabari. Biar Aa anter, paling tidak sampe ke terminal. Main atuh ke WS, udah lama.”
Ros hanya mengangguk, kemudian berdiri.
Deden melangkah ke pintu. Sejurus kemudian, ia berbalik.
“Kamu baik-baik aja kan, di Bandung?”
“Baik.”
“Aa ga rela, kalo kamu kenapa-napa di Bandung.”
Ros hanya berdiri mematung. Tak yakin harus berkata apa.
Duaaaar !
Bunyi petasan di luar membuat Ros tersentak.
Ia masih memegang surat dari Chandra, bernomor 4.
Ada satu surat lagi.
Ros mengambil dan membuka lipatannya.
Dear Rose,
Home is where your heart is. Katanya begitu.
Masalahnya Ros, hatiku tak di rumah ini lagi. Baru akan kembali, katanya nanti pas tahun baru …
Ros,
Inget waktu kamu tanya, kenapa aku baik sama kamu?
Aku belum jawab, ya Ros.
Itu karena … aku ingin jadi orang yang selalu ada untuk kamu, Ros.
Bukan cuma buat anterin kamu ke Cibogo, trus bawain belanjaan, atau geserin meja, waktu kamu nyapu.
Aku mau ada di sana, untuk kamu.
Untuk semuanya.
Ros memejamkan matanya.
Koko Chan …
footnote:
1. Ada
2. Terima kasih.
3. Kalau-kalau.
4. Cantik jelita.
5. Betul itu.
6. Itu dia!
7. Sama Akang didoain, deh.
Tahun Baru
1 Januari 1996.
“Pagiiii …”
Bowo mengambil tempat di sebelah Chandra.
“Pagi banget lu bangun …” Bowo celingukan. “Pembantu lu, mana?”
Chandra menyesap kopi hitamnya.
“Tuh, kopi.” Tangannya menunjuk ke arah coffee maker.
Bowo beranjak ke arah yang ditujunya.
“Pagii Ko, pagi Bang …” Sandy masuk ke dapur sambil bersenandung.
“Ceilaaah … yang semalem taon baruan di Rembang …” Bowo menuang kopi sambil tersenyum.
“Lembaaang …” Chandra mengoreksi.
“Maap deh, beda dikit kan.”
Sandy masih berseri-seri, sambil menuangkan susu ke dalam gelas. Mulutnya mengunyah sesuatu.
“Makan apaan sih? Bagi dong …”
Sandy menyodorkan sepiring besar makanan dari dekat lemari piring.
“Dari tadi juga ada di sini …”
Chandra melirik.
Lemper, nagasari, sesuatu yang dibungkus daun, kue lumpur, sesuatu lagi …
Bowo duduk lagi di samping Chandra, ikutan mengunyah. Sandy ikut-ikutan duduk.
“Wah, wah … 3 cowok ganteng pada ngelamun pagi-pagi.”
Bu Lina masuk ke dapur, sudah berpakaian rapi.
“Pagi Tante …” Bowo tersenyum cengengesan. Senang juga ia disebut “ganteng”.
“Pagi, Mam.” Sahut Sandy dan Chandra hampir berbarengan.
“Pagi … sementara sarapannya yang ada dulu ya. Bibik Ida kayaknya bentar lagi pulang dari pasar.”
“Iya, Tante … hehehe.”
Bu Lina menoleh ke arah ruang tengah.
“Lisaaa … suruh Muti cepet …. Papi udah manasin mobil tuh.”
Chandra mencomot satu lemper.
Nyam. Nyam. Enak.
“Jadi, Mami,Papi, sama Muti dan Lisa pergi dulu. Acara family gatheringnya tiga hari. Baik-baik kalian di sini. Jangan terlalu merepotkan Bik Ida dan Ros …”
Uhuk! Uhuk!
Potongan lemper yang masih besar, masuk ke tenggorokan Chandra.
Bowo menepuk-nepuk bahunya. “Pelan-pelan bos …”
Sandy menyodorkan segelas air putih.
“Uhuk … emang Ros udah pulang Mi?” Chandra agak terengah-engah.
“Udah … tadi malem. Itu, lemper yang kamu makan, bikinan dia loh.” Mami menunjuk.
Glup … uhuk … uhuk …
Sebagian air yang sedang diminum Chandra tersembur mengotori konter dapur.
“Chan … pelan-pelan dong …. Ckckckck” Bu Lina menggeleng-geleng.
Sandy dan Bowo tertawa terbahak-bahak.
(…)
Sebelum Pak Amin menghentikan mobilnya di garasi, Ros sudah melihat sosok ketiganya di depan garasi. Sandy, yang ia kenali dari kulitnya yang paling terang, mendribble bola, kemudian meliuk-liuk menghindari kejaran dua orang lagi. Yang satu ia tak kenali, sementara orang terakhir adalah yang sekarang membuatnya berkeringat panas dingin.
Mobil berhenti.
Ketiga lelaki yang sedang bermain basket itu menoleh ke arah mereka.
Ros berusaha menenangkan hatinya.
Turun dari mobil, Pak Amin menggamit lengannya.
“Tos weh, belanjaannya sama Bapak.”
Bik Ida mengangsurkan bungkusan padanya.
“Pindahin ini ke piring aja, Ros. Kupat tahu buat sarapan.”
Ros menerimanya, kemudian cepat-cepat berjalan menuju dapur lewat pintu garasi.
Dag dig dug, ia mencari-cari piring.
Ekor matanya menangkap Sandy, kemudian si lelaki asing, terakhir Chandra, berbondong-bondong masuk ke dapur sambil menenteng belanjaan.
“Pada duduk ya, nanti sarapannya kupat tahu. Bibik ga sempet bikin apa-apa.”
“Siaaap.” Si lelaki asing menjawab, matanya menatap Ros, nampak tertarik sekaligus geli.
“Ros, Bibik ngecek cucian ya.” Bik Ida langsung melesat ke ruang cuci dekat halaman belakang.
Ros selesai memindahkan kupat tahu ke dalam tiga piring di atas nampan. Ia berbalik dan menemukan sosok Chandra yang berdiri dekat konter memandanginya.
Ia menyuguhkan piring-piring itu ke depan Sandy dan si lelaki asing.
“Ooh … ini toh yang namanya ‘Ros’ …“ kata si lelaki, disambut gelak tawa Sandy.
Ros mendongak.
Lelaki itu berambut kriwil dan berkulit agak gelap.
“Kenalkan, nama Abang, Harry Wibowo,” katanya sambil mengulurkan tangan. Sandy tertawa lagi.
Ros menyambutnya, “Ros.” Katanya.
“Ah, bener lu Chan, cantik. Secantik namanya.” Tangan Ros yang terulur, Bowo dekatkan ke bibirnya. Ia memonyongkan mulut hendak mengecup tangan Ros.
“Hey! Apaan sih …” Chandra menepis tangan Bowo.
Ros menarik tangannya, jengah.
“Apanya yang apaan? Di banyak kebudayaan, mencium tangan perempuan itu wajar dilakukan, tandanya menghargai, lu banyak baca dong.”
“Lagu lu tuh ya …”
Sandy mulai menyuap kupat tahu sambil tersenyum-senyum melihat pemandangan di depannya.
“Ros.”
Ros mendongak, mendapati kedua mata Chandra menatapnya, lekat.
“Koko.” Ucapnya lirih.
Bowo menyenggol sikut Sandy. Keduanya cekikikan.
Chandra merasakan wajahnya memanas.
Ros, karena merasa Chandra takkan mengucapkan apapun lagi, lalu berbalik. Ia membawa nampan bekas piring ke bak cuci piring.
“Eh, Ros?”
Ia menoleh.
“Err … lempernya enak.”
Ros tersenyum. Hati Chandra serasa meleleh menjadi butiran air.
“Makasih.”
Bowo dan Sandy meledak dalam tawa.
“Duileeh … lempeeer ….”
(…)
Stay With Me
Chandra.
Ada Ros di rumah, berarti banyak hal untuk Chandra.
Pagi harinya, ia akan bangun sambil bersiul-siul, kemudian turun ke bawah untuk sarapan. Duduk di konter dapur sambil menikmati apapun yang disuguhkan Bik Ida atau Ros, atau keduanya.
Sore hari berarti nongkrong di balkon sambil melihat Ros menyiram bunga di taman depan, atau berpura-pura mencari sesuatu yang sebetulnya tak ia butuhkan, hanya demi melihat Ros sibuk mencarikannya untuknya.
Malam-malamnya, ia akan nongkrong di taman belakang, sesekali menggodai Ros yang sedang beberes. Sekali dua kali, bahkan ia sanggup membujuk Ros untuk ikut duduk bersamanya, membahas banyak hal.
Ros suka membaca. Chandra suka mengamatinya membaca. Terkadang Ros akan terpaku lama di sebuah halaman, sehingga tak sadar Chandra sudah memerhatikannya begitu lama.
Ros ternyata suka bersenandung sambil menyapu. Chandra suka mendengarkan gumaman entah-lagu-apa-itu yang Ros keluarkan dari mulutnya, sambil menyapu lantai rumah.
Sebagian rambut Ros terkadang jatuh menjuntai ke depan, terlepas dari ikatannya. Chandra harus menahan diri, untuk tidak mendatanginya, kemudian menyelipkan helaian yang lepas itu ke belakang telinga Ros. Betapapun Chandra sangat ingin melakukannya. Tak hanya karena rambut itu akan menghalangi pandangan mata Ros, namun juga rasa penasarannya untuk menyentuhnya di sana.
Ros keibuan dan penyayang. Muti menempel kepadanya seperti perangko kepada amplop. Selain membantu Muti mengerjakan PR, Ros juga sabar menemaninya bermain boneka atau apapun itu, permainan anak perempuan.
Lisa yang pendiampun juga juga akrab dengan Ros. Mereka berdua sering duduk berbincang mengenai buku yang sama-sama mereka sukai. Cekikikan sebentar, mengobrolkan sesuatu (mungkin tokoh cowok favorit di buku).
Chandra suka mengamati Ros, saat Ros tak sadar sedang diamati. Meski Chandra menikmati semburat merah jambu di pipi Ros yang muncul saat ia menyadari tatapannya, namun mengamati Ros yang tak sadar sedang diamati, memberikannya kepuasan tersendiri. Semacam memerhatikan anak kucing lucu yang bermain sendirian.
Chandra tahu ia sudah kehilangan sesuatu.
Hatinya.
Ros.
Ada Chandra di rumah, berarti banyak hal untuk Ros.
Setiap pagi, ia akan menantikan bunyi langkah kakinya menuruni tangga, untuk kemudian menuju ke dapur. Kemudian Ros harus menenangkan detak jantungnya sendiri, sebab Chandra akan duduk di konter dapur, dekat sekali dengan tempatnya mencuci piring atau memberesi peralatan dapur.
Menyiram tanaman di taman depan, tak lagi sesederhana itu. Sebab Ros tahu, Chandra ada di sana, berdiri di balkon kamarnya sambil memandanginya. Sekali lagi, detak jantungnya berantakan.
Ketika malam datang, ia tahu Chandra akan menungguinya selesai beberes makan malam. Laki-laki yang sering muncul dalam mimpinya itu akan duduk di taman belakang. Sesekali sambil memetik gitar kesayangannya.
“Ros?”
“Ya?” Ia mendongak.
“Beberesnya, udah?”
“Udah.”
“Sini dong.” Chandra menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya.
Ros terpaku.
Chandra menatapnya. Senyumnya berkembang.
“Sini …”
Ros merasa, jarak dari dapur ke kursi taman belakang itu jauh sekali. Lututnya lemas.
Begitu ia duduk, Chandra meletakkan gitar yang tadi ia mainkan, menyandarkannya ke tembok.
“Ngobrol yuk …”
“Eh, iya.”
Chandra menggaruk-garuk kepalanya.
“Mmh … Ros?”
“Iya, Koko.”
“Bulan depan aku sudah ke Jakarta lagi. Trus kita gimana?”
Ros termangu.
Maksudnya?
“Maksudnya, aku ingin, sebelum ke Jakarta, aku ingin lega.”
“Lega?”
“Iya, lega kalau ada yang bersedia menunggu di sini.”
Perlahan tangan Chandra menyentuh tangan Ros.
“Kamu … mau nunggu ga?”
Chandra kini menggenggam sebelah tangan Ros.
Ros merasa lidahnya kelu.
“Ros?”
“Koko …”
“Masih akan lama sih … kamu masih setahun lagi sebelum lulus. Mungkin nanti kuliah. Aku, masih ada dua tahun lagi …”
Chandra meneguk ludahnya sendiri.
“Kemudian mungkin ada beberapa tahun sebelum … eh itu. Masih lama sih, Ros. Tapi, kamu mau nunggu ga?”
Chandra merasa keringat dingin mulai bermunculan di dahi dan belakang lehernya.
Mampus lo, Chan.
Berani-beraninya kau sama anak orang.
“Iya …” Ros menjawab lirih.
“Eh?”
Chandra menatap Ros.
Ros mengangkat kepalanya, memandang Chandra. Semburat merah menjalar di kedua pipinya.
“Iya, aku mau nunggu.”
Chandra tesenyum. Ros tersenyum.
Beberapa helai rambut Ros terjatuh ke depan, lepas dari ikatannya. Chandra, tak tahan lagi, menyentuhnya, mengembalikan helaian rambut itu ke belakang telinga Ros. Sesaat, ujung jarinya menyentuh wajah Ros.
Detak jantungnya berantakan.
Genggaman tangannya belum ia lepas.
Saat Chandra menggenggam tangannya, yang Chandra tak tahu, bukan hanya tangan Ros yang ia genggam, melainkan juga hatinya.
Liburan
“Ros! Ros!”
Ros yang sedang merajang bawang untuk bumbu nasi goreng sore ini, mendongak.
Sandy muncul di pintu dapur.
“Ros, tuh liat ada siapaa …”
Kepala seorang gadis berambut panjang menyeruak dari balik punggung Sandy.
“Ros!”
Ros serta merta meletakkan pisaunya.
“Reniii …”
Keduanya tertawa-tawa dan berpelukan. Untuk sesaat Ros lupa, bahwa seharusnya ia malu dengan kehadiran Reni. Bahwa mungkin Reni tak tahu statusnya di rumah itu.
Ros melepaskan pelukannya.
Reni masih tertawa-tawa.
“Ren, aku …” lidah Ros kelu.
Reni memeluknya lagi.
“Ros, aku udah tau kok semua ceritanya. Rahasia kamu aman.” Bisik Reni di telinga Ros.
Gadis manja itu tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.
Ros tersenyum. Kedua matanya menghangat.
“Ya ampun, kangen pisaaaan aku sama kamuuu … tau gitu dari awal liburan deh aku sering ke sini.”
Sandy merangkul Reni dari samping.
“Lah, kan aku dah ngajak dari kapaan, kamunya mesti jaga warung terus …”
“Wa … warung?” Ros mengerenyit.
Sandy tertawa.
“Babehnya Reni kan punya restoran susu murni di Lembang, Ros. Duh, kemana aja.”
“Ya kan si Ros mah kerjaannya belajar terus. Mana pernah mau aku ajakin ke rumah.” Reni pura-pura cemberut.
“Bener juga sih, kalo kita kan ga suka belajar …” Sandy mengangguk-angguk.
Ros tertawa.
“Masak apa, Ros?”
Chandra tiba-tiba sudah muncul di sisinya.
Sandy terbatuk.
“Ren, kita di ruang tengah aja yuk. Takut ganggu …”
“Ga ah! Aku mau di sini aja,” Reni malah duduk di konter dapur.
“Hai Ko Chan …” Reni dadah-dadah.
“Hai, Ren. Sehat?” Chandra balik melambai.
Sandy menarik tangan Reni.
“Hayoo … kasian Ros, ntar masaknya ga jadi. Terlalu banyak gangguan.
“Iih … aku mau liat mereka, gemees …”
“Liat aku aja, lebih gemes …”
“Iiih …”
Sandy setengah menyeret Reni menuju ruang tengah.
Ros dan Chandra tertawa.
“Mau bikin apa sih?”
“Mmh … nasi goreng. Soalnya nasi tadi pagi belum habis. Sebelum masak yang baru, mending digoreng aja.”
“Ooh … aku bantuin ya.”
“Ga usah, Koko duduk aja.”
“Kenapa ga boleh bantu? Ga percaya ya?”
“Iya, hehe.”
“Dasar.”
Chandra membuka pintu kulkas, dan mengambil sebotol minuman dingin.
“Ko, jangan kebanyakan minum soft drink, air putih aja.”
Tangan Chandra terhenti di udara.
Ia masukkan kembali botol minuman itu.
“Siap, Ibu.”
Ros, yang sedang memanaskan minyak di wajan terkekeh.
Chandra berjalan menuju dispenser sambil membawa sebuah gelas.
“Ada lagi ga Bu?”
“Kalo abis mandi, handuknya jangan suka dilempar ke kasur dong, kan basah.” Ros mengaduk bumbu bersama telur di atas wajan. Wajahnya agak berkeringat. Chandra suka sekali melihatnya.,
“Baik, Bu Chan.”
“Bu Chan?”
Chandra meneguk gelas air minumnya.
“Kan sudah setuju untuk menunggu, Bu Chandra.”
Ros menunduk menatap wajan di depannya.
“Hati-hati gosong, Bu …”
Tukang Koran
Menjelang akhir Juli 1997.
Pukul 05.50.
“Tukang koran mana siiih?” Sandy celingukan di depan pintu rumah yang terpentang lebar.
Ros duduk di sofa ruang tamu. Kakinya gemetaran.
“Mi … jam berapa tukang koran datangnya?” Sandy setengah berteriak.
Bu Lina menyahut dari dapur.
“Jam enam!”
Sandy menggaruk-garuk kepalanya.
“Lila pisaaaan …”1
Bu Lina muncul dari dapur, sambil menenteng nampan.
“Udaaah, ditunggu aja. Nih minum yang anget dulu, biar tenang.”
Bu Lina meletakkan nampan berisi dua gelas teh yang Nampak masih hangat, dan sepiring pisang goreng.
“Ros, sok diminum dulu, biar tenang.” Bu Lina menunjuk ke gelas minuman.
“I … iya, Bu.”
Pukul 06.00.
Sandy sekarang berdiri tegak di depan pintu.
Ros mencoba menghirup teh hangatnya. Lututnya masih gemetaran.
Bu Lina terkekeh.
“Ningali2 kalian teh, meni lucu pisan. Sampe ga sabar nunggu gitu.”
Sandy bolak-balik sambil mencengkeram rambutnya.
Pukul 06.10.
“Miii … mana tukang korannya?”
Bu Lina makin terkekeh.
“Atuuh si Mami malah ketawaaaa …” Sandy cemberut.
“Ada apa ini, kumpul di sini semua?” Bapak Hendrik Wijaya, tiba-tiba muncul dan bergabung duduk di sebelah istrinya.
Ros tiba-tiba merasa tak enak, sebab ia sama-sama duduk bersama mereka.
“Pengumumannya hari ini, Pih …”
“Ooh …” Pak Hendrik mencomot sepotong pisang.
Ros beranjak berdiri.
“Ros, udah duduk situ. Jangan bikin tambah pusing kayak si Sandy, ah!” Bu Lina menunjuk kursi yang diduduki Ros.
Rospun terduduk kembali. Hendrik Wijaya terkekeh.
Melihatnya seperti ini, Ros terkenang Chandra. Dalam banyak hal, Chandra memang lebih mirip Papinya ini. Lebih tenang, tak banyak bicara. Ros bisa membayangkan, tentu Pak Hendrik waktu masih muda, sama tampannya, seperti Chandra. Meski mata Chandra tak sesipit itu.
Tiba-tiba Sandy berteriak keras, membuat semua orang terlonjak.
“Kaang …! Kaaang …!”
Sandy berlari ke arah pagar depan.
Kang Soleh, loper koran langganan mereka, terpaku menatap Sandy yang tiba-tiba berlari ke arahnya.
Hendrik Wijaya dan istrinya tergelak-gelak.
Sandy kemudian berlari kembali ke dalam rumah dengan sehelai koran dalam kempitan ketiaknya.
“Ros!” sorot matanya panik sekarang.
Ros berdiri.
Sandy menggamitnya ke lantai.
Berdua mereka bentangkan lembaran-lembaran koran tersebut.
Terbaca judulnya “Pengumuman Kelulusan Peserta UMPTN 1997”.
Untuk sesaat, suara yang terdengar, hanya dengus nafas Sandy, yang sesekali menggumam.
“Ros!”
Tangannya menunjuk ke sebuah titik di atas kertas koran.
“Adaaa!! Ros, aku ada!!”
Sandy memeluk Ros, mengguncang-guncang tubuhnya.
“Mam, Pap …” Sandy merangkak kea rah Ayah Ibunya yang duduk menunggu.
Bu Lina tersenyum. Lengannya meraih kepala anaknya ke dalam pelukan.
Pak Hendrik mengangguk-angguk,
“Ros, gimana? Ada ga?”
Ros masih menunduk.
Sandy melepaskan pelukan Ibunya.
“Ros?”
Tes! Setetes airmata jatuh ke kertas koran.
Sandy meneguk ludah. Bodohnya ia, sampai melupakan Ros.
“Ros?”
Ros menangkat kepalanya. Kedua matanya basah.
“Aku … juga ada.”
Sandy memekik kegirangan.
Lembang
“Pergi aja, Ros. Gapapa. Sekali-sekali.” Bu Lina tersenyum.
Lidah Ros kelu.
“Kan perginya sama Sandy. Reni katanya lulus UMPTN juga, pasti kalian ingin merayakan. Di rumah ada Bik Ida kok.”
Ros mengangguk.
“Ma … makasih ya, Bu.”
Bu Lina menghampirinya. Dielusnya perlahan kepala Ros. Tak dipungkiri, Ia menyukai gadis ini, gadis rajin yang menjadi tulang punggung keluarganya ini.
“Chandra juga pasti senang. Nanti telepon ya.”
Ros tersentak.
Bu Lina tersenyum.
“Udah sana, pergi aja.”
Bu Lina berlalu.
“Ros!” Sandy memanggil dari arah pintu samping. “Hayu!”
Sandy bersiul-siul di belakang kemudi.
“Mau kemana kita?” tanya Ros.
“Ke rumahnya Reni, kan tadi dah bilang.”
“Oh, iya.”
“Ciee … lewat kampus kamu tuh.”
“Iya, ya? Hehe.”
Ros tersenyum.
“Udah nelepon si Koko, belum?” Sandy meliriknya.
“Eh, belum. Nanti malem aja, biar murah.”
“Hadeuh, gapapa padahal.”
Chandra sedang apa ya sekarang? Seharusnya sih sebentar lagi ia pulang. Mahasiswa kan seharusnya sudah libur.
Mobil melambat di depan sebuah gerbang besar. Lalu Lalang banyak orang membuat semua kendaraan terpaksa melambat. Ros memandang gerbang tersebut. Kampusnya, dua bulan lagi. Ros tersenyum.
“Ciee … ntar aku jemput Reni ke sini dong …” Sandy bersiul-siul lagi.
“Reni aja?”
“Iyalah, Reni aja. Kamu mah tanggungjawabnya si Koko.” Sandy memonyongkan bibir.
Ros tertawa.
Tanggungjawab.
Mendadak mengingat kata-kata. “Iya, Bu Chandra.”
Melewati Pasar Lembang, mobil melaju ke arah Masjid besar Lembang. Udara menjadi jauh lebih dingin.
Di hadapan papan spanduk besar “Susu Murni Jaya Lembang”, mobil berbelok masuk. Diarahkan oleh seorang tukang parkir, Sandy kemudian memarkir mobilnya.
Sandy menggamit tangan Ros, setelah keduanya turun dari mobil.
Ros berusaha menepisnya.
“Aduuh … cuman aku kok, ga akan ada yang cemburu juga. Si Koko mah aman.”
“Bukan gitu, males aja, kayak anak kecil.”
“Haha.”
“Ros!”
Reni berlari-lari menyambut mereka.
Sandy mengerenyit. Sebab sebentar lagi, bisa dipastikan telinganya akan dipenuhi pekikan dan jeritan.
“Aaaaah !!! Ros! Kita lulus!” Reni jejingkrakan.
Tuuh kan.
Ros ikut melompat-lompat.
“Ren, duduk dulu dong … masak di tempat parkir.”
“Siap, bos!”
Ros berdiri bertelekan ke dinding bambu. Ia memandang ke saung-saung yang tersebar di seluruh tempat makan tersebut. Saung-saung tersebut membentuk lingkaran, tepat di tengahnya, ada sebidang tanah yang diperuntukkan untuk tempat bermain anak. Ada ayunan, perosotan, jungkat-jungkit dan sebagainya.
“Ros! Pilih menunya dong …” Reni mengacungkan lembaran kertas tebal yang di-laminating.
“Pesenin aja deh, yang penting ga mau pesen susu, hueek.” Ros pura-pura muntah.
“Huuu … datang ke warung susu murni, tapi ga minum susu. Kumaha sih.” Reni mencibirkan bibirnya.
“Hihi. Sandy kemana?”
“Tauk. Toilet mungkin.”
Ros kembali berdiri bertelekan pada dinding bambu, menikmati semilir angina Lembang yang luar biasa menyejukkan. Bersyukur ia membawa sweater hari itu, sebab sebentar lagi, pasti udara bakal jauh lebih dingin.
Seseorang menyentuh lengannya dari belakang.
“Apa aja, Ren. Belum laper kok.” Katanya tanpa menoleh.
“Ehem.”
Ros tersentak.
Membalikkan tubuh, ia berhadapan dengan Chandra.
“Kapan dong, lapernya? Masih seneng karena lolos tesnya ya?” Chandra tersenyum geli.
Ros membuka mulutnya, namun tak satupun kata mampu ia ucapkan.
“Selamat ya … kamu hebat deh!” Tangan Chandra mengelus pipi Ros perlahan.
“Koko …” airmata Ros mengembang di pelupuk matanya.
“Eh, kok mau nangis? Aku sengajain pulang hari ini biar bisa lihat pengumuman kamu. Seneng ga?”
Ros mengangguk.
Dadanya membuncah bahagia.
“Koko … “
“Ya?”
Butiran airmata akhirnya jatuh juga.
Chandra tersenyum.
“Jangan sering-sering nangis di depan cowok, Ros. Kamu tuh cantik banget kalo lagi nangis. Aku nanti cemburu.”
Tangis Ros sekarang pecah.
Chandra menariknya ke dalam pelukan. Sebelah tangan lainnya mengusap kepala Ros perlahan.
“Aku juga, Ros.”
Ros menarik tubuhnya menjauh. Ia mengusap sisa airmata di pipinya.
“Maksudnya?”
“Kamu pasti rindu aku ya? Itu jawabannya.”
Ros tiba-tiba membutuhkan sweater itu sekarang.
Situ Wanayasa
“Hmm enaaak …” Chandra menyuap sate ke mulutnya.
Ros tersenyum.
“Ini satenya aneh … cuman pake tomat sama cabe doang bisa enak begini sih, ga ngerti.”
“Ini Namanya Sate Maranggi, Koko.”
“Iya, kan tadi udah bilang.”
Mereka berdua sedang duduk di dalam saung penjual sate menghadap Situ Wanayasa yang dikenal sebagai tempat wisata di Kabupaten Purwakarta.
Ros mendapat libur pulang kampung sebelum kerja kembali dan persiapan kuliah nanti. Chandra memaksa untuk mengantarkannya pulang ke Wanayasa, sekaligus bertemu dengan Ibu dan adik-adik Ros.
Ros menyuap satenya.
Gesekan dari tusuk sate meninggalkan goresan bumbu di atas bibirnya. Chandra tertawa melihatnya.
Ros menatapnya bingung.
“Ituu … “ tangan Chandra yang asalnya menunjuk, tiba-tiba bergeser menyentuh ujung atas bibir Ros, menghapus noda barusan.
Pipi Ros memanas. Chandra memalingkan wajah. Sesaat keduanya terdiam.
Chandra meraih gelas berisi teh hangatnya, meneguknya, berharap rasa malunya hilang.
“Jadi, udah bilang sama Ibu kamu, soal kuliah?” tanya, berusaha mengalihkan perhatian.
“Belum.”
“Kenapa?”
“Pasti Emak bingung, soal biayanya.”
“Lah, kan dibantu Papi Mami, bilang aja begitu.”
Ros menarik napas.
“Sebetulnya aku malu juga sama Papi Maminya Koko, ngerepotin. Sandy juga kan kuliah.”
Chandra tertawa.
“Ga lah. Ga ngerepotin. Tenang aja Ros, Papi Mami baik kok orangnya. Ga segan bantu orang.”
“Iya, aku tahu. Buktinya Koko juga baik, sama dengan Papi Mami.”
Chandra mengacak rambutnya sendiri sambil tertawa.
“Kenapa?”
“Bingung aja jawabnya. Ternyata dipuji sama yang cantik itu menyenangkan.”
Ros tersipu.
“Doain aja aku cepet lulus. Kalo sudah bisa cari uang sendiri, pasti aku yang biayain kamu, Ros.”
Ros memandangi Chandra, yang balik menatapnya lekat.
Keduanya tersenyum.
“Kamu bakal berapa lama di sini, Ros?”
“Seminggu.”
“Duh lama. Aku libur, kamu malah ke sini.”
“Kan nanti bakal masih lama lagi aku pulangnya. Keburu kepotong kuliah, jadi mending sekarang.”
Chandra menusuk-nusuk tomat yang sudah hancur menggunakan tusuk sate.
“Ada wartel ga di sini?”
“Ada, cuman agak jauh aja sih dari rumah.”
“Telepon dong ke rumah.”
“Iya.”
“Kapan?”
“Kapan ya?”
Chandra menarik napas.
“Kaan … ga bisa janji.”
Ros tertawa.
“Aku tiap hari ke sini deh.”
“Eh, ngapain?”
“Ya main ke sinilah. Ketemu kamu. Sorenya pulang ke Bandung. Sukur-sukur boleh nginep.”
“Jangaaan …”
Tomat hancur itu sudah tak berbentuk lagi.
“Kenapa jangan?”
“Ya aku kan banyak kerjaan, bantu Emak bikin kue, ke sana ke sini. Nanti Koko bosen dicuekin.”
“Aku ikut bikin kuelah.”
“Ah, goreng telor aja gosong.”
Chandra terbahak.
“Trus kalo aku kangen, gimana?”
“Tulis surat aja, selipin di kamar lagi, …” Ros menatap Chandra lembut.
Kedua mata Chandra membeliak. Lucu sekali. Dan ganteng, batin Ros.
“Kamu suka itu? Surat-surat itu?”
“Aku masih simpen sampe sekarang.”
“Waduh, tapi ga usah bilang-bilang Sandy ya, apalagi si Bowo. Haduh.”
Ros terbahak.
“Beneran kamu suka?”
Ros mengangguk.
“Baik Bu Chan, aku akan tulis setiap hari ya. Tiga surat setiap hari, cukup?”
“Banyak amat.”
“Ya soalnya rindunya juga banyak.”
“Tulis satu aja tapi panjang.”
“Tiga, smuanya panjang.”
“Maless bacanya …”
“Oh ya udah, aku tulis surat buat orang lain aja.”
“Eh?”
“Iya, aku tulis surat buat cewek lain aja.”
“Koko gitu …”
“Biarin.”
“Jangan atuh …”
“Aku mau tulis buat 4 cewek sekaligus.”
Ros cemberut.
“Buat Mami satu, buat Muti, buat Lisa, buat Bik Ida …” Chandra menghitung dengan tangannya.
Ros tertawa.
“Oh ya, Teh Lilis juga deh. Kasian kalo ga kebagian, nanti jeles.”
“Kang Ade?”
“Hiyy .. ga ah … ga tahan ama kumis baplangnya.”
Ros terbahak-bahak.
Chandra ikut tertawa.
Tangannya mencubit pipi Ros gemas.
“Ga ada cewek lain, Ros. Aku ga laku.”
“Diobral dong, biar laku.”
“Ga ada, Ros.”
Tawa Ros berhenti.
Chandra masih menatapnya.
“Aku ga bisa lihat cewek lain. Kamu menutupi semuanya.”
Udara Wanayasa mendadak jadi sejuk.
Rival
Mobil berhenti di jalan depan. Dari sini, Chandra dan Ros harus turun untuk kemudian berjalan menuju gang rumah Ros. Malam sudah menjelang, banyak lampu sudah dinyalakan.
“Bener ya aku jemput ke sini lagi, nanti. Jangan naik bis.”
“Ya.”
“Jangan pulang malem, loh. Awas.”
“Iya.”
“Jangan lupa cari wartel, telepon aku.”
“Ya, Bapak Chan.”
Chandra meraih tangan Ros dan mengayunnya sambil berjalan.
Ros bersyukur di perkampungan seperti ini, rata-rata orang sudah berada di rumah mereka masing-masing. Ros tak mau jadi tontonan, digandeng lelaki asing yang bukan warga di situ.
Dari kejauhan, mereka melihat silhuet seseorang duduk di teras rumah Ros yang mungil.
“Ada tamu, Ros?”
Ros menyipitkan matanya. Siapa ya?
Semakin dekat, silhuet tersebut semakin jelas.
Ros mendadak merasa tak enak.
Deden duduk menunggu di kursi teras. Memandanginya yang sedang berjalan berdua dengan Chandra.
Chandra, yang melihat perubahan air muka Ros, malah semakin mempererat genggaman tangannya.
“A, udah lama?”
Deden melihat tangan Chandra yang menggenggam tangan Ros.
“Lumayan.” Jawabnya pendek.
Ros melepaskan tangannya perlahan. “Koko duduk dulu ya. Aku buatkan minum. A Deden mau juga?”
Deden menunjuk cangkir di meja sampingnya. “Udah dibuatin tadi sama Ibu.”
“Oh, bentar ya.” Ros menghilang ke dalam.
Chandra masih berdiri, canggung.
Ia berdehem dan mengulurkan tangannya.
“Chandra.”
Deden menyambutnya dengan agak segan. “Deden.”
Chandra mengangguk. Ia duduk di tembok di sebelah tiang penyangga rumah.
“Temennya Ros?” tanyanya lagi, demi membunuh kecanggungan diantara mereka.
“Hmm, berharapnya sih bukan sekadar teman.” Deden membetulkan sikap duduknya, menjadi lebih tegak.
Chandra mengangguk. Ia menarik napas. Ah …
“Temennya Ros?” Deden balik bertanya.
“Hmm … sayangnya, udah lebih dari itu sih.”
Deden serasa ingin melesak ke dasar jurang terdalam.
Ros kembali sambil menenteng nampan. Meletakkan cangkir yang sama dengan cangkir Deden.
“Ko, itu minumnya.”
“Iya, makasih.”
Ros duduk di kursi sebelah tembok, yang artinya ia duduk pas di tengah-tengah kedua pemuda tersebut. Ini lucu sebenarnya, sekaligus agak canggung.
“A Deden kok tau aku lagi libur?”
“Eh, iya. Kemaren sore Lia mampir ke WS sama temen-temannya.”
WS? Apa itu? Semacam kode rahasia? Chandra melirik keduanya dengan sebal.
“Ros, aku mau pamit ke Ibu deh.” Ia berdiri. Tanpa menunggu jawaban Ros, Chandra masuk ke dalam.
Ros merasa serba salah.
“Ros, itu pacar kamu?”
Sebelum Ros sempat menjawab, Chandra sudah muncul kembali.
“Aku pulang ya … udah malem ini ke Bandungnya.” Chandra mengangguk ke arah Deden, kemudian berlalu.
“Eh, Ko?”
Ros kebingungan.
Deden menarik napas.
Ga nyangka, ia harus saingan sama Cina! Hih!
“Kokooo …”
Ros berhasil menjangkau pintu mobil, sebelum Chandra sempat membukanya.
Chandra menoleh. Ros mencengkeram lengannya.
“Kok gitu sih, Koko?”
“Kasian tuh, temennya nunggu. Kayaknya udah dari tadi.”
“Biarin aja. Koko jangan pergi dulu.” Sorot mata Ros panik.
“Katanya ga boleh ke sini tiap hari.”
Ros mengatur napasnya. Berlari dari rumah menyusuri gang sampai ke mobilnya Chandra dalam kondisi panik, lumayan membuatnya ngos-ngosan.
“Koko …” Ia menarik kedua tangan Chandra sekarang. Menautkan jari jemarinya ke sana. Sesaat Chandra merasa detak jantungnya menghilang.
“Kok kamu ga pernah bilang di sini ada yang nunggu?”
“Engga … engga … bukan begitu.”
“Dia suka kamu, Ros, jelas itu.”
Chandra menarik napas. “Bodoh juga sih nyangka kamu ga ada siapa-siapa. Kamu secantik ini, pasti banyak sekali yang suka.”
Ros menggeleng-gelengkan kepalanya. Tenggorokannya tercekat menahan tangis.
Chandra menatapnya.
“Jangan nangis, Ros. Jangan sekarang. Aku ga mau dia lihat kamu abis nangis. Kan sudah kubilang, jangan nangis di depan laki-laki lain. Aku cemburu.”
Ros menggigit bibirnya.
Ia memberanikan diri memajukan tubuhnya, mencari perlindungan di dada Chandra. Tenggelam di sana.
Chandra kaget ketika tiba-tiba Ros menjatuhkan diri ke pelukannya. Bisa ia rasakan Ros tergugu di sana.
Tangan Chandra terangkat mengelus kepala Ros.
“Maaf, Ros.”
Ros menarik kepalanya dari dada Chandra. Susah payah ia mengusap butiran airmata yang masih meleleh di wajahnya.
Ia menarik napas, berusaha lebih tenang.
“A Deden itu cuma teman.”
Chandra meneguk ludah. Masih akan seminggu Ros ada di sini, dan membayangkan lelaki bernama Deden itu akan datang setiap hari sungguh sangat menyebalkan.
“Kalaupun dia suka aku, itu mungkin dia aja. Aku engga.”
Chandra masih diam.
“Koko tau ga, aku tuh sudah ga lengkap lagi.”
Chandra mengerenyit.
“Hati aku udah ga ada. Ada yang bawa. Jadi aku ga bisa kasih ke orang lain.”
Senyum terkembang lebar di wajah Chandra.
“Dibawa sama siapa hatinya, Ros?”
“Tauk. Orang mana ga tau.”
“Loh kok ga tau?”
“Ga jelas. Kerjanya ngomel mulu. Banyak aturan. Ga boleh ini itu, nangis aja ga boleh. Udah gitu, banyak mintanya. Bikinin nasi goreng, bawain minum, temenin ke sana ke sini.”
Ros cemberut. Matanya sembab.
Chandra tertawa.
“Ngeselin pokoknya.”
“Udah jangan nangis lagi. Cepet masuk, dah malem.”
“Tuh udah ngomel lagi. Males.”
Chandra menarik kepala Ros kembali ke pelukannya.
“I love you too, Ros.”
“Ngomelnya udahan!”
“Haha.”
“Kesel!”
“Iya, aku juga bakal rindu.”
“Ngomel lagi, aku tinggalin.”
“Ih jangan, nanti aku sedih.”
“Bodo amat.”
“Kalau aku sedih, nanti aku nangis juga, sampe sipit mataku.”
“Bukannya koko matanya udah sipit? Emang pernah ngebuka?”
“Heh, kamu ya …”
“Hihi.”
Description: Ros, gadis kampung berusia 17 tahun yang terpaksa menjalani hidup berbeda. Kematian Ayah, dan kebutuhan menghidupi keluarga, membuatnya merantau ke Bandung, menjadi asisten rumah tangga di sebuah rumah orang berada.
Siapa sangka, jalan hidupnya amat berbeda dari yang pernah ia bayangkan. Diantara keramahan kota Bandung di era tahun 90-an dan hari-hari barunya di sana, Ros bertemu dengan seseorang yang akan mengubah jalan hidupnya, selamanya.
|
Title: Rumah Tua Di Bukit Hantu
Category: Horor
Text:
#1
SEBUAH rumah berdinding kayu dan beratap seng terlihat sayup-sayum dari jalan, nun jauh di tengah hutan bukit hantu. Bila cuaca cerah dan ada sinar matahari, kadang-kadang tampak pantulan sinar matahasi dari atap seng yang sudah tidak begitu mengkilap lagi. Letaknya yang di lereng bukit membuat rumah tua itu mudah terlihat dari ketinggian jalan perbatasan Desa.
Penghuninya seorang pria tua. Berjenggot tebal dan berrambut panjang kusut tak terurus. Orang memanggilnya Pak Udin. Ia jarang bersosialisasi dengan masyarakat. Entah karena memiliki keterbelakangan mental, atau punya ilmu hitam sehingga Pak Udin lebih banyak mengurung diri di tengah hutan Bukit Hantu.
Yang unik dari bangunan rumah itu adalah pintu masuk rumah yang terletak di bagian atap. Tak ada jendela dan pintu utama. Sinar matahari dapat menyinari bagian dalam rumah lewat celah dinding papan yang sengaja dikasih jarak sekitar setengah sentimeter setiap lembarnya.
Mungkin maksud Pak Udin membangun rumah seperti itu untuk melindungi dirinya dari ancaman binatang buas. Hebatnya lagi, tiang-tiang pondasi rumahnya didirikan di tengah kolam berlumpur yang dipenuhi ikan-ikan konsumsi seperti mujair, nila, bawal, dan ikan mas.
Pekerjaan sehari-hari Pak Udin adalah mencari kayu bakar di sekitar tempatnya bermukim. Hanya sekali sepekan ia keluar dari hutan, dengan membawa seikat kayu bakar dan menjualnya kepada warga Desa yang memasak memakai tungku batu.
Bila kayu bakar yang dibawanya sudah terjual, biasanya Pak Udin singgah di sebuah kedai kopi di ujung jalan sebelum masuk pasar. Ia selalu duduk di pojok dekat etalase jajanan pagi seperti pisang goreng dan ketan yang berada dalam jangkauannya. Biasanya ia hanya memesan secangkir kopi pahit dan mengudap dua potong pisang gorang.
Sepanjang ia minum kopi di warung itu, tak ada percakapan dengan pengunjung warung lainnya. Ia tampak menyendiri, dan sekali-sekali ia menyapu pandang ke seisi warung dengan tatap penuh curiga. Entah kenapa pula, tidak ada yang berani menatapnya. Pak Udin bagi masyarakat sekitar dikenal sebagai sosok pria penuh misteri.
Begitu juga berkomunikasi dengan ibu-ibu rumah tangga yang membeli kayu bakar yang dibawanya dari hutan juga tidak begitu lancar. Eloknya ia tak pernah mematok harga. Berapa pun dibayar orang, dia terima. Tinggal bagaimana si pembeli pandai-pandai mengukur jasa Pak Udin yang membawa kayu jauh dari hutan.
Jarak antara Pasar dan hutan Bukit Hantu tempat Pak Udin bermukim ada sekitar tiga kilometer. Namun demikian, tubuh tuanya masih mampu memanggul seikat besar kayu bakar untuk dijual kepada warga Desa yang membutuhkan.
Dengan pertimbangan jarak tempuh membawa kayu bakar itu pula, ibu-ibu rumah tangga tidak mau membayarnya terlalu murah. Bahkan dengan dalih kasihan, harga kayu kadang-kadang dibayar lebih mahal dari harga sepantasnya.
“Kopi buah, pisang goreng,” kata Pak Udin kepada pemilik warung ketika ia hendak membayar sarapanannya. Ia menyebut kopi buah dengan menonjolkan telunjuk pertanda satu cangkir, sementara ia menyebut pisang goreng seraya menonjolkan telunjuk dengan jari tengahnya pertanda ia makan dua.
Kopi buah dalam bahasa lokal Desa setempat berarti kopi pahit. Dan itu merupakan kesukaan Pak Udin setiap ia minum kopi di warung yang sama bila ke pasar di dekat Balai Desa. Setelah membayar dan mengambil uang kembalian, Pak Udin pergi tanpa pamit.
Sebelum balik ke hutan Bukit Hantu biasanya Pak Udin membeli beberapa gulung daun nipah kering dan tembakau sebagai pengganti rokok. Daun nipah kering itu jadi wadah tempat tembakau lalu menggulungnya sebelum disulut menjadi sebatang rokok.
Di kalangan masyarakat setempat, nama Pak Udin memang sudah tidak asing lagi. Ia selalu muncul dengan ciri khasnya dengan pakaian hitam-hitam bak seorang pendekar. Ia tidak bisu, tapi bukan pula orang yang mudah diajak bicara.
#2
LIMA belas tahun berlalu, nama Pak Udin sudah hilang dari perbincangan masyarakat. Entah kapan meninggalnya, yang jelas tak ada masyarakat sekitar Desa yang tahu. Sosok lelaki tua itu menjadi misteri karena tidak ada juga orang yang berani mencoba masuk ke rumah tua yang sudah tidak berpenghuni di Bukit Hantu.
Bukit Hantu dikenal sebagai arena berburu babi hutan oleh warga setempat dan warga di luar Desa tersebut. Pada waktu-waktu tertentu ada acara berburu besar yang menghadirkan para pemburu babi hutan dari luar provinsi. Banyak cerita mistis yang beredar di masyarakat tentang keangkeran hutan tersebut, sehingga entah kapan awal mulanya orang-orang menyebut hutan tersebut dengan Bukit Hantu.
Konon katanya, di Bukit Hantu tidak boleh bicara sembarangan. Bila salah ucap, bisa celaka akibatnya. Sering pemburu tersesat di dalam hutan setelah bicara sembarangan. Bila melihat sesuatu yang aneh, biarkan saja. Tak usah berkomentar kepada teman yang lain. Itu biasanya penampakan.
Suatu ketika ada rombongan pemburu dari daerah lain yang secara tidak sengaja melewati rumah tua itu. Ada sekitar tujuh orang berjalan mendekati lokasi rumah Pak Udin yang oleh masyarakat dianggap sebagai rumah angker. Selama Pak Udin tidak pernah lagi minum kopi buah di warung langganannya, tak ada juga yang berniat mencarinya ke hutan tempat tinggalnya.
Betapa tidak. Semasa hidupnya saja Pak Udin sudah dianggap sebagai sosok misteri yang agak menakutkan, apalagi kalau sudah meninggal. Masyarakat sekitar semakin tidak berani mendekat ke rumahnya di tengah hutan Bukit Hantu. Uniknya, meski rumah itu sudah ditinggal cukup lama oleh pemiliknya toh masih kelihatan berdiri kokoh.
Tujuh orang pemburu yang bukan berasal dari kampung atau desa terdekat itu, semakin bergegas mengikuti jalan setapak menuju rumah tua itu. Alangkah senangnya mereka, begitu melihat di bawah rumah panggung itu banyak sekali ikan berukuran cukup besar.
Beberapa orang di antaranya sempat heran dan mengelilingi rumah yang tidak berpintu dan tanpa jendela. Tapi ia melihat di belakang ada sebuah tangga yang sudah agak lapuk dimakan usia. Tangga itu terbuat dari kayu dan beberapa anak tangganya terlihat masih kuat.
Salah seorang di antaranya, Permana, coba berteriak memanggil-manggil. Ia pikir, jangan-jangan ada orang di rumah tua tersebut.
“Halo, assalamualaikum!” teriak Permana.
Tak ada sahutan dari dalam.
Dari luar mereka pun tidak melihat tanda-tanda kehidupan di dalam rumah tersebut. Yang ada hanya gelap, dan dari beberapa celah dinding rumah ada tanaman merambat yang menandakan bahwa rumah itu tidak berpenghuni.
Namun yang membuat mereka bingung adalah banyak ikan di dalam kolam. Pikirnya, pasti ada yang merawat ikan-ikan itu dengan memberinya makan setiap hari. Sehingga ikan-ikan tersebut tampak sehat dan beberapa di antaranya sudah sangat besar.
“Sepertinya rumah ini sudah tidak berpenghuni. Semak sudah masuk ke liang-liang angin,” lanjut Permana meyakinkan teman-temannya.
“Iya, sepertinya memang begitu. Bagaimana kalau kita istirahat di sini sebentar,” usul Sanusi.
Yang lainnya mengangguk setuju.
Firman, Panji, Guntur, Untung, dan Anwar mencoba mengelilingi rumah tua tersebut. Kening mereka sama-sama berkerut melihat struktur bangunan rumah yang tidak berpintu itu.
Dari langit gerimis mulai jatuh satu-satu. Sapuan angin berbisik dengan dedaunan yang bergoyang. Sekali-sekali mereka mendengar daun pintu di atap rumah terkuak dan tertutup lagi ditiup angin. Guntur yang melihat ada celah lobang di atap langsung berkomentar. Katanya:
“Hey, ternyata pintu rumah ini ada di atap.”
Yang lain coba mengamati. Setiap pintu di atap itu terkuak oleh angin, mereka hanya melihat kegelapan dari dalam rumah. Tak ada cahaya lampu atau sinar apa pun dari dalam, kecuali hanya hitam kelam belaka.
“Mungkin tangga itu dapat digunakan untuk mengintip ke dalam. Siapa yang mau naik,” kata Permana kepada teman-temannya.
Yang lain saling pandang. Tapi sebelum ditunjuk, Panji sudah mengajukan diri.
“Biar saya, kalau Guntur yang naik nanti tangganya patah,” Panji menyindir Guntur yang berbadan lebih gemuk dibanding dengan rekan-rekannya yang lain.
“Hati-hati, tangganya lapuk,” seru Sanusi.
“Baik,” sahut Panji.
Ia menyandarkan tangga ke talang rumah dan naik pelan-pelan. Lapat-lapat, ia naiki anak tangga satu persatu sambil meringankan pijakannya pada anak tangga yang dinilainya agak rapuh. Dengan tubuh yang sedikit kurus, Panji berhasil mencapai pintu di atap rumah.
Dikuaknya daun pintu itu ke atas. Pelan-pelan, Panji mendekatkan wajahnya ke lobang pintu. Panji tidak melihat apa-apa di dalam rumah tersebut. Juga tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Dari sela-sela dinding ia melihat sedikit cahaya yang masuk. Setelah agak lama memperhatikan suasana di dalam, ia melihat ada tangga lain yang bersandar di tuang utama untuk turun ke bawah.
“Kosong,” kata Panji.
“Tapi ada tangga untuk turun ke dalam,” lanjutnya kemudian.
“Kalau berani masuk, turun aja,” seru Guntur.
“Baik, saya akan turun,” jawab Panji.
“Hati-hati. Periksa tangganya dulu, apa masih baik atau sudah lapuk,” saran Sanusi.
“Oke,” sahut Panji seraya melangkahkan kaki kanannya ke dalam sebelah. Setelah menginjak anak tangga pertama paling atas, ia masukkan kaki kirinya selanjutnya turun ke bawah.
“Sementara Panji masuk, bagaimana kalau kita tangkap ikan untuk dibakar. Perut sudah terasa lapar nih,” kata Firman kepada teman-temannya yang lain.
“Boleh juga. Mana Anwar, dia kan bawa tombak. Tangkap ikan dengan tombak aja,” kata Firman menimpali.
Di tengah gerimis tipis yang turun satu-satu, Guntur dan Untung mencari kayu-kayu yang berserakan di sekitar rumah. Tidak sulit bagi mereka untuk mendapatkan kayu, karena di sekeliling rumah banyak pohon mati atau ranting kayu kecil yang sudah kering.
Dalam beberapa menit, Anwar yang ahli menombak babi hutan sudah mendapatkan beberapa ekor ikan besar untuk dibakar. Guntur dan Untung akhirnya dibantu Firman, Sanusi, dan Permana membuat api unggun.
Beberapa ekor ikan itu akhirnya sudah siap dibakar sementara Panji yang masuk ke dalam rumah sudah tidak kedengaran suaranya.
#3
Tiga
Sore mulai menjelang. Dalam rumah Panji menelusuri setiap jengkal rumah dengan sangat hati-hati. Setiap kakinya melangkah, selalu diawali dengan injakan kecil. Ketika ia yakin lantai yang terbuat dari papan itu kuat, baru Panji menekankan berat badannya untuk melangkah lebih dalam lagi.
Sementara rekan-rekannya di luar berpesta makan ikan bakar, Panji masih asyik di dalam rumah. Ia mengamati setiap sudut ruangan. Pada satu tiang, samar-samar ia melihat sebuah cermin yang sudah lusuh. Bagian bawahnya sedikit berkarat sehingga tidak lagi memantulkan bayangan.
Berkat sedikit cahaya yang masuk dari sela-sela dinding kayu rumah, ia melihat dalam kaca. Ada bayangan dirinya terlihat jelas. Tapi tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Di belakang bayangan dirinya ada bayangan lain. Sesosok makhluk yang menyerupai manusia. Berbaju hitam dengan rambut panjang yang hampir menyatu dengan jenggotnya.
Panji membalik badannya. Kosong. Ia tidak melihat apa-apa. Sejenak ia terdiam. Di benaknya, terpikir apakah dirinya berhalusinasi melihat bayangan dalam kaca. Penasaran, ia ulang melihat pada kaca. Dan bayangan makhluk itu muncul lagi. Lebih menyeramkan ketimbang yang ia lihat sebelumnya. Mata sosok di belakangnya merah saga.
Panji hendak berteriak sekencangnya. Namun lehernya seperti tercekik dan tidak dapat mengeluarkan suara. Panji mundur dua tidak menjauhi cermin. Setelah menyapu pandang, ia tidak melihat apa-apa.
“Bedebah!” dia mengumpat, tapi hanya suara parau yang keluar dari mulutnya dan nyaris tidak terdengar.
Panji dihantui ketahutan yang amat sangat. Tubuhnya bergetar dan bulu kuduknya merinding. Hati-hati ia merapat ke dinding rumah. Lututnya lemas, dan perlahan ia terduduk tak berdaya.
Lalu di sampingnya, Panji mendengar suara dengusan. Sangat dekat di telenganya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu menempel di pundaknya. Dingin. Kemudian perlahan rasa dingin itu hilang, berganti dengan bulu-bulu tangan yang kasar.
Panji hendak meraba tangan itu tapi ketakutannya semakin memuncak. Ia tak sanggup menoleh ke samping kirinya. Yang ia cium kemudian adalah bau busuk. Teramat busuk seperti bau mayat. Panji gemetaran. Ingin berteriak tapi lagi-lagi suaranya tidak bisa keluar dari mulut.
“Enyahlah! Enyah dari dari rumahku,” suara itu terdengar jelas di telinganya. Lutut Panji bergetar hebat. Tapi apa yang dapat dia lakukan dalam ketakutan seperti itu?
Lantas seperti sebuah hantaman bersarang di dadanya. Ia terlempar ke luar rumah. Mematahkan dua helai papan lapuk dinding rumah. Seperti sebuah tangan besar mendorongnya ke luar membuat dirinya tidak sadarkan diri terjerembab di rumput yang basah.
Mendengar suara papan patah dan ada sesuatu yang jatuh, dari arah berlawanan rekan-rekan Panji yang sedang pesta makan ikan terkejut. Mereka saling pandang. Heran.
“Eh, kalian dengar? Sepertinya Panji menendang papan dinding rumah,” kata Sanusi.
“Ya, aku dengar. Tapi kenapa Panji tak ada suaranya. Ayo kita lihat ke sana,” ajak Guntur. Dan tanpa pikir panjang ia sudah berjalan ke bagian rumah sebelah timur yang berseberangan arah dengan tempat mereka membakar ikan.
Untung yang tidak makan ikan lantaran ia seorang vegetarian, bergesas mendampingi Guntur menuju suara itu berasal. Benar saja, Mereka melihat Panji tergeletak di rumput tak sadarkan diri. Mereka menduga, Panji mendobrak dinding kayu untuk keluar dari dalam rumah, kemudian sesuatu membentur kepalanya membuat Panji jatuh pingsan.
Tak lama kemudian Permana, Sanusi, Firman, dan Anwar ikut bergabung melihat kondisi Panji yang tidak sadarkan diri. Mereka saling tanya, apa yang terjadi. Tapi tidak ada yang bisa menjawab.
Guntur mencoba menggoyang-goyangkan badan Panji berkali-kali, tetapi dia tidak siuman juga. Namun nafasnya masih terasa. Panji tidak mati.
Permana menguak teman-temannya dan coba menepuk wajah Panji beberapa kali, sambil menyebut nama Panji. Tapi juga tak ada reaksi dari Panji.
“Bagaimana kalau kita angkat Panji masuk rumah lewat dinding yang bolong itu,” saran Permana.
Tanpa berfikir panjang Guntur mengangguk setuju. Begitu juga Anwar, Sanusi, Firman dan Untung. Mereka akhirnya membopong tubuh kurus Panji kembali masuk rumah berlantai papan. Membaringkannya dengan kepala mengarah ke luar dari Lorong dinding yang terbuka agar Panji menghirup udara segar.
Di luar senja mulai menjemput malam. Rumah tua yang di sekelilingnya tumbuh pohon besar membuat gelap terasa lebih cepat dari pada cahaya di langit. Sejurus dengan gerimis yang tadinya jatuh satu-satu kini sudah berganti dengan titik hujan. Tapi belum begitu lebat.
“Bagaimana kalau kita pulang saja, sebelum malam tiba,” kata Untung tiba-tiba.
“Sebentar, biar Panji sadar dulu,” sahut Guntur.
“Kalau sampai gelap, kita tidak bisa pulang,” Firman menimpali.
“Sebaiknya sebelum gelap kita tinggalkan tempat ini,” kata Untung melanjutkan.
“Kalau kita pulang sekarang bagaimana dengan Panji?” tanya Sanusi.
“Kita gotong bergantian,” sahut Anwar.
“Bagaimana Permana?” kata Guntur kepada Permana yang dianggap paling senior di antara mereka.
“Kita tungga beberapa saat. Sambil menunggu Panji siuman.
Ketika Panji mulai siuman, sorot matanya liar, seperti ada yang tidak beres dengannya.
“Kamu kenapa, Panji?” tanya Guntur.
“Hantu…hantu, mana hantunya?” Panji menceracau. Ia duduk tanpa menghiraukan pertanyaan Guntur.
“Hantu apa?” desak Firman ingin tahu.
“Hantu yang melempar aku keluar. Lelaki tua berambut panjang,” kata Panji terbata-bata.
“Hantu?” Permana, Sanusi, Firman, Guntur, Untung dan Anwar saling pandang.
“Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini secepatnya. Panji sudah siuman. Semakin lama di sini kita terjebak dalam kegelapan,” kata Guntur.
Semuanya sepakat.
Mereka akhirnya meninggalkan rumah tua dengan perasaan galau. Gelap sudah mengintai. Hanya cahaya dari langit yang masuk di sela-sela dedaunan yang menerangkan jalan mereka hingga beberapa meter dari tempat itu. Selebihnya, mereka sudah terperangkap ke dalam gelapnya malam.
***
#4
Empat
Rombongan pemburu ini sudah berjalan satu jam lebih. Tapi anehnya mereka tidak menemukan jalan pulang dari arah mereka datang. Setelah berputar-putar di tengah gelapnya hutan, mereka sampai di rumah tua itu lagi.
Permana yang berjalan paling depan merasa ada yang aneh dengan mereka. Pasalnya, mereka sudah mengikuti jalan setapak yang tempat mereka datang, tetapi kenapa kembali ke tempat itu lagi. Permana merasa ada yang tidak beres.
“Teman-teman, kita sudah terjebak di hutan ini. Dalam gelap dan hujan tidak mungkin kita melanjutkan perjalanan. Sudah berapa kali kita berputar-putar, sampainya di rumah ini lagi. Di antara kalian ada yang bisa membaca arah?” tanya Permana.
“Kalau ada bulan sebenarnya bisa jadi petunjuk. Tapi di langit mendung dan hujan turun satu-satu sehingga tidak terlihat cahaya bulan,” ujar Firman.
“Tapi jangan masuk rumah itu lagi. Bahaya. Ada hantunya,” sahut Panji.
“Barangkali kamu mengigau, Panji,” Guntur coba membangkitkan keberanian teman-temannya.
“Tidak. Saya tidak mengigau. Ini nyata, Gun. Kamu lihat saya dilempar keluar rumah sampai dinding rumahnya hancur berantakan,” kata Panji meyakinkan.
“Bukankah kamu sendiri yang menerjang dinding rumah itu untuk mencari jalan ke luar karena rumah itu tidak berpintu di bawah?” Guntur balik bertanya.
“Tidak, Gun. Kamu keliru. Kita sudah terjebak di rumah tua ini. Kamu lihat sekarang. Kita sudah berjalan begitu jauh, buktinya kita sampai di tempat ini lagi. Kamu harus mengerti bahwa kita sudah terjebak,” ulang Panji lagi.
“Panji benar. Kita sudah terjebak. Akal sehat kita sudah dipengaruhi sesuatu yang tidak normal. Mata dan pikiran kita sudah ditutup untuk keluar dari tempat ini. Di antara kita tidak yang tahu jalan pulang. Kita sudah melakukan kesalahan. Pertama, Panji masuk rumah tanpa izin pemiliknya kendati kita tidak tahu siapa pemiliknya. Kedua kita sudah mengambil ikan, yang kita tidak tahu pemiliknya,” kata Untung.
“Lantas bagaimana?” kata Firman bingung.
Anwar coba menyapu pandang ke sekililing rumah tua itu. Tapi yang ia lihat hanya seonggok bangunan tua dalam temaram cahaya dari langit.
“Kalau begini, kita akan menjalani malam yang panjang di tempat ini. Tak ada jalan lain kecuali kita kembali masuk rumah tua itu untuk berteduh. Tidak mungkin kita berdiri di luar di tengah hujan begitu,” kata Sanusi memberi usulan.
“Tidak,” sambar Panji cepat.
“Sekali lagi saya katakan sebaiknya kita tidak masuk rumah tua itu,” lanjutnya.
Panji mengerti betul suasana dalam rumah karena ia baru saja mengalami kejadian yang aneh. Siang hari saja sudah begitu angker, apalag kalau malam hari.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Artinya Maghrib sudah lewat dan sebentar lagi sudah masuk waktu Isa. Semua belum beranjak dari tempat itu, salah satu sudut rumah tua di tepi kolam.
Tiba-tiba terdengar gonggongan anjing. Dari jarak jauh. Seperti suara gonggongan anjing berburu. Suara itu kemudian semakin mendekat. Semakin dekat suara itu bukan lagi terdengar seperti gonggongan. Tapi seperti lolongan. Lolongan anjing melihat hantu kata orang.
Firman mendekat kepada Permana. Perlahan ia berbisik. Pelan:
“Tidak ada jalan lain. Kita harus masuk rumah dan menyalakan api untuk menghangatkan badan. Di luar sini tidak aman. Kita pun tidak tahu suara lolongan anjing itu dari mana. Anjing benaran atau tidak. Karena di bukit ini tidak ada rumah penduduk yang kita temukan sejak tadi siang.”
Permana mengangguk pelan.
Sebagai orang yang paling senior di antara mereka Permana mendekat pada Panji. Ia harus membujuk Panji agar mau masuk rumah tua itu bersama-sama. Karena tidak mungkin berdiri di tengah hujan sepanjang malam.
Panji sendiri sudah serba salah. Di rumah itu ia takut, di luar pun tidak aman. Mendengar suara lolongan anjing tadi bulu kuduknya bergidik.
“Sebaiknya kita tidak berpencar di dalam rumah. Kemana-mana tidak boleh sendirian,” usul Panji.
“Ayolah!” ajak Permana.
Kini mereka bertujuh bergerak masuk rumah dengan merebahkan selembar papan yang patah saat Panji terlempar ke luar rumah itu tadi siang sebagai jembatan.
Hanya sejenak gerimis berhenti turun. Detik berikutnya sudah berubah menjadi hujan lebat. Gelap mengurung seluruh bangunan rumah. Tak ada cahaya dari langit, yang memantulkan sinar sedikit pun. Yang terdengar kemudian adalah suara binatang malam seperti jangkrik dan suara kodok dari sekeliling kolam tempat bangunan rumah itu berdiri.
Entah karena lelah, satu persatu di antara mereka terlelap seiring berjalannya waktu. Malam pun semakin larut. Kini tinggal Anwar dan Panji yang masih terjaga. Ketika hujan sedikit mereda, Panji mendengar suara perempuan menangis. Suara itu datang dari tempat rekan-rekannya membakar ikan tadi siang.
Panji memandang kepada Anwar yang berada di sisinya. Dalam gelap, ia berbisik:
“Kamu mendengar suara orang menangis, Anwar?”
“Ya,” sahut Anwar pelan.
“Bangunkan yang lain,” usul Panji.
“Jangan. Biarkan saja. Kalau berani, ayo kita lihat ke belakang, suara apa itu.”
“Aku takut. Dan lagi masih gerimis,” kata Panji.
“Tidak apa-apa. Gerimis tipis, sekalian kita cari kayu bakar untuk membuat api unggun kalau hujan teduh. Kamu di belakang aku saja,” kata Anwar.
Anwar bangkit dari duduknya dan berjalan perlahan. Panji mengikuti dari belakang pelan-pelan. Tak ada senter yang dapat menerangi jalan, kecuali korek api yang ada di tangan Anwar. Dengan cahaya dari korek api, sampailah mereka di tempat membakar ikan tadi siang.
Tak ada siapa-siapa di sana. Dan suara perempuan menangis yang mereka dengar berdua sudah tak terdengar lagi. Panji yang berjalan di belakang Anwar memegangi tangan kiri Anwar.
Sebenarnya Panji bukan seorang pengecut. Itu sebabnya dia yang disuruh masuk rumah tua itu saat mereka datang. Tapi setelah mengalami peristiwa tadi siang, yang membuatnya tidak sadarkan diri setelah tubuhnya dihantam ke luar rumah oleh sesosok makhluk aneh, ia kini selalu dihantui ketakutan.
Sampai di tempat membakar ikan, Anwar dan Panji masih melihat sisa-sisa ikan bakar yang belum habis dimakan. Panji sebenarnya kelaparan. Tapi ia tidak berminat untuk menyantap ikan bakar yang ada di atas tumpukan kayu bakar.
Tiba-tiba, sekelebat Panji mencium bau busuk. Sama seperti yang diciumnya di dalam rumah tadi siang. Alangkah terkejutnya panji, dalam temaram cahaya dari langit ia melihat sesosok tubuh berdiri di belakang Anwar. Berpakaian hitam-hitam berambut putih dan berjenggot panjang.
Panji terdiam. Tidak ada yang dapat keluar dari mulutnya. Tubuhnya gemetar dan jantungnya berdebar hebat. Ia ingin berucap kepada Anwar, tetapi lidahnya kelu. Ia jatuh terduduk. Lemas.
Sosok makhluk itu kemudian mencengkeram Anwar. Panji melihat kuku-kuku panjang menancap di leher Anwar. Anwar meronta namun tidak bisa mengeluarkan suara. Di depan Panji, Makhluk itu mencekik Anwar lalu membuang tubuh Anwar ke kolam bawah rumah.
Begitu tubuh Anwar jatuh di air, terdengar keciprak air yang sangat keras. Seperti ikan-ikan lapar diberi makan. Panji sempat melihat tubuh Anwar dicabik-cabik ikan lewat bantuan cahaya dari langit yang mulai sedikit terang.
Kini makhluk itu menatap kepada Panji.
Panji menggigil ketakutan. Dalam duduknya, ia beringsut ke belakang dua kali menyeret pantat. Tapi sosok makhluk itu semakin mendekat kepadanya.
“Setiap yang hidup di rumah ini adalah bagian dari nyawaku. Enyahlah kalian. Nyawa yang hilang harus dibayar dengan nyawa,” ucap makhluk aneh itu.
Panji gemetaran, kemudian pingsan lagi.
***
#5
Lima
Mendengar ribut suara keciprak air di bawah rumah, Firman terbangun. Disusul kemudian Permana. Sementara Sanusi, Untung, dan Guntur masih terlelap dalam tidurnya. Firman mencolek Permana dan bertanya:
“Suara apa dalam kolam bawah rumah?”
“Entahlah. Mungkin ikan berebut makan.”
“Mana Panji dan Anwar? Firman bertanya lagi.
Permana memandangi rekannya satu persatu. Ia tidak melihat Panji dan Firman.
“Apakah mereka telah meninggalkan kita?” kata Permana balik bertanya.
“Tidak mungkin. Mereka kan tidak mengerti jalan keluar dari tempat ini. Berkali-kali kita mencari jalan keluar, kembalinya ke sini-sini lagi,” jelas Firman.
“Atau mungkin Firman mengajak Panji makan ikan. Tadi sisa ikan bakar masih banyak,” kata Permana menduga.
“Bagaimana kalau kita susul mereka,” seru Firman.
Permana sepakat. Tanpa membangunkan tiga rekannya yang lagi tertidur pulas, Permana dan Firman keluar rumah itu pelan-pelan. Mereka melangkah pelan-pelan agar tidak mengusik rekannya yang lain, Sanusi, Guntur, dan Untung.
Hujan telah berhenti. Permana memandang ke langit. Dilihatnya bulan bergayut sepertiga. Dari samar-samar sinar bulan, Permana dan Firman dapat melihat jalan menuju tempat membakar ikan.
Alangkah terkejutnya Permana dan Firman, ketika mendapatkan Panji sedang tergeletak di pinggir tumpukan api ungun. Tidak sadarkan diri. Ini kali kedua Panji tidak sadarkan diri di rumah tua tersebut.
Permana menggoyang-goyangkan tubuh Panji seraya memanggil-manggil namanya. Tak lama kemudian Panji terbangun. Ia terkejut. Lalu memandang ke kolam. Seperti mencari sesuatu.
“Anwar,” katanya.
“Kenapa Anwar?” Permana menggoyang badan Panji agar kesadarannya cepat kembali.
“Anwar mati. Dicekik hantu dan membuangnya ke kolam itu jadi makanan ikan,” ucap Panji masih dalam kondisi ketakutan.
“Ngaco kamu, Panji,” kata Firman.
“Percayalah. Tempat ini rumah hantu. Kalian tidak melihat apa yang terjadi menimpa saya tadi siang, sekarang Anwar sudah mati. Aku melihatnya. Sesosok makhluk yang melempar aku dari dalam rumah tadi siang muncul lagi. Itu penghuni tempat ini, ayo kita cepar pergi,” lanjut Panji meyakinkan Permana dan Firman.
Permana dan Firman saling pandang. Setengah tak percaya, mereka mempertegas ucapan Panji.
“Kamu serius, Panji?” tanya Permana.
“Serius. Ayo cepat kita tinggalkan tempat ini,” sahut Panji.
“Bagaimana dengan yang lain?” Permana setengah berbisik.
“Bangunkan saja,” ucap Firman.
Tapi belum selesai ucapan Firman, Panji sudah terbelalak melihat sosok makhluk yang ditakutinya itu sudah berdiri di belakang Firman.
Dengan sangat ketakutan, Panji beringsut menyeret pantatnya. Permana yang melihat raut wajah ketakutan dari Panji, menoleh ke belakang. Ia pun amat terkejut melihat sesosok makhluk aneh berdiri di belakang Firman. Tapi ia tidak dapat berkata apa-apa.
“Ayo, Panji. Kita lari,” kata Permana dengan raut wajah pucat dan ketakutan.
Tiba-tiba saja makhluk misterius itu sudah melingkarkan tangannya ke leher Firman. Firman yang merasakan ada semacam tusukan kuku di lehernya mencoba meronta. Tapi cengkeraman itu semakin kuat dan kemudian menusuk ke dadanya.
Belum sempat Firman berteriak, dadanya sudah terloyak oleh kuku-kuku tajam makhluk aneh itu. Lalu Firman terlempar ke kolam. Sama kejadiannya seperti yang dialami Anwar sebelumnya, yang membuat Panji pingsan karenanya.
Panji dan Permana lari terbirit-birit menjauhi rumah tua tersebut. Mereka berdua masuk ke hutan menembus kegelapan. Tak tentu arah entah kemana, yang penting mereka menjauh dari sosok makhluk yang sudah mengoyak tubuh Firman dan melemparnya ke kolam di bawah rumah.
Kemudian ribut suara di kolam bawah rumah seperti ikan berebut makan membuat Sanusi, Guntur, dan Untung yang sedang tertidur pulas ikut terbangun. Guntur yang paling dulu mendengar suara itu langsung menatap curiga kepada Sanusi dan Untung.
“Mana teman-teman yang lain?” tanya Sanusi.
“Ngga tahu, apa mereka meninggalkan kita?” Untung balik bertanya.
Guntur menyapu pandang ke seliling ruangan yang samar-samar masih bisa terlihat berkat bantuan rembulan. Taka da siapa-siapa di sana. Setengah mengumpat, Guntur memperbaiki duduknya dan berdiri menghadap ke luar rumah.
“Sialan! Mereka pergi meninggalkan kita,” katanya sejurus kemudian.
Lalu Guntur, Sanusi, dan Untung keluar dari rumah tua. Mereka bertiga berjalan ke arah tempat pembakaran ikan. Tapi tidak ada teman-temannya di sana. Permana, Panji, Anwar, dan Firman sudah menghilang. Dalam heningnya malam mereka coba berteriak memanggil-manggil nama temannya. Tapi tidak ada sahutan.
Detak waktu menuju ujung malam.
Tak lama lagi akan berganti hari. Tapi mereka bingung harus berbuat apa. Serba salah, mereka saling pandang di depan bekas perapian.
“Kemana mereka ya?” tanya Untung.
“Yang jelas mereka sudah meninggalkan kita saat kita tertidur. Kurang ajar,” Sanusi mengumpat.
Guntur dan Untung sama-sama bingung. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba untung merasa mau buang air kecil. Ia ingin kencing. Tidak ingin buang air kecil di depan kedua temannya, Untung bergeser ke sudut bangunan tua sambil membelakangi Sanusi dan Guntur.
Belum selesai buang air sepenuhnya, Untung melihat sesuatu di depannya. Berjarak sekitar lima meter di depannya, berjongkok seonggok tubuh manusia, eh, bukan manusia tetapi berwujut menyerupai manusia yang sedang memandangi ikan-ikan di kolam bawah rumah.
Bergegas Untung membereskan celananya kendati kencingnya belum benar-benar tuntas. Sebelum ia bergerak kembali menuju Guntur dan Sanusi, sosok di depannya menoleh kepadanya. Dengan sorot mata tajam dan sangat menakutkan. Untung ketakutan. Setengah berlari ia berbalik dengan bulu kuduk merinding.
“Ayo cepat pergi!” katanya kepada Guntur dan Sanusi.
Sanusi yang tidak mengerti dengan apa yang dilihat Untung, mengikuti dengan penuh tanya.
“Ada apa?” tanya Sanusi setelah mendekat kepada Untung.
“Sudah, tinggalkan tempat ini sejauh mungkin. Jangan banyak tanya, nanti saya ceritakan,” lanjut Untung.
Ketiganya bergegas masuk hutan. Entah kemana tujuannya yang jelas mereka harus menjauh dari rumah tua. Sudah beberapa lama mereka berjalan, akhirnya sampailah mereka pada sebuah sungai. Entah karena sudah merasa aman atau karena lelah, Untung mengajak kedua temannya istirahat pada sebuah batu besar di tepi sungai.
Karena penasaran dengan sikap Untung yang seperti orang ketakutan, Guntur bertanya lagi:
“Ada apa kok kamu lari seperti orang ketakutan begitu?”
“Saat buang air kecil tadi saya melihat sesosok makhluk yang sangat menakutkan. Seperti manusia berbaju hitam-hitam dan rambut panjang serta berjenggot tebal. Benar kata Panji, rumah itu ada hantunya sehingga mereka meninggalkan kita,” jelas Untung.
“Hantu?” kata Sanusi dan Guntur hampir bersamaan.
“Ya, saya rasa itu penunggu rumah tua. Kita harus menjauhi rumah itu secepat mungkin. Kita juga tidak tahu teman-teman yang lain entah dimana,” kata Untung.
“Sekarang kita dimana? Sebelumnya kita tidak pernah bertemu sungai. Berarti kita sudah berjalan di jalur yang belum pernah kita tempuh. Sebaiknya kita istirahat di sini dulu, sambil menunggu pagi. Mungkin besok pagi ada petunjuk jalan dengan mengikuti aliran sungai ini,” usul Sanusi.
Untung dan Guntur tidak mengangguk, menggeleng pun bukan. Sejurus kemudian mereka menghela nafas panjang dan menyandarkan badannya di batu besar pinggir sungai.
“Baiklah,” kata Untung kemudian. Guntur mengamini jawaban Untung. ***
#6
Enam
Panji dan Permana merasa sudah berlari sangat jauh dari rumah tua. Mereka sudah menempuh semak-semak belukar dan jalan yang belum pernah ditempuh orang. Di tangan kanan dan kiri mereka ada luka-luka kecil bekas kena daun-daun berduri atau tersayat ilalang.
Karena kelelahan, mereka pun berhenti di suatu tempat. Di bawah pohon besar yang rindang. Ranting-rantingnya sangat panjang, bahkan ketika ditiup angin ada yang menyentuh tanah basah.
Panji dan Permana duduk bersandar di bawahnya. Sambil menghela napas panjang, Panji berkata kepada Permana:
“Apa rencana kita?”
“Kita istirahat di sini dulu. Malam semakin larut, sementara kita tidak mengerti harus kemana. Teman-teman yang lain pasti mencari kita,” kata Permana.
“Ya, di depan mata saya sudah dua orang teman kita yang mati. Mereka menjadi umpan ikan. Mengerikan. Apakah kita juga akan mati juga?” ucap Panji dalam kebingungannya.
“Kita juga tidak mengerti nasib Sanusi, Untung, dan Guntur. Apakah mereka jadi korban juga dikoyak hantu rumah tua,” Panji melanjutkan.
Dalam diam Permana mencoba mengangkat wajah.
Tengadah. Ditatapnya dahan-dahan pohon besar dengan daun yang sangat rimbun. Sehingga tak sedikitpun cahaya bulan yang dapat menembus sela-sela dedaunan. Suasana alam di sekitarnya jadi berubah-ubah. Kadang-kadang hening, kadang-kadang berisik oleh suara binatang malam. Seperti suara jangkrik dan suara serangga lainnya.
“Panji!” katanya kemudian.
Panji yang masih tersengal-senggal tak langsung menjawab. Setelah menoleh kepada Permana, ia bertanya.
“Kenapa?”
“Sepertinya kita terperangkap dalam sebuah permainan. Kita sudah melakukan kesalahan. Memasuki rumah tua tanpa izin, dan memakan ikan yang kita tidak tahu siapa pemiliknya,” ucap Permana.
“Ya, aku juga berpikir demikian. Malam ini akan semakin panjang bagi kita. Setiap denyut waktu terasa begitu lama. Sementara kita dihantui ketakutan demi ketakutan. Kita pun tidak tahu bagaimana nasib teman yang lain, Guntur, Untung, dan Sanusi yang sedang tertidur nyenyak saat kita tinggalkan,” kata Panji.
“Apakah mereka masih tidur di rumah tua?” kata Permana penasaran.
“Entahlah!” keluh Panji, “Tapi aku tidak akan kembali ke rumah tua. Kita bisa jadi korban berikutnya menjadi makanan ikan di kolam bawah rumah,” lanjutnya.
“Apa rencanamu sekarang?” tanya Permana.
“Tetap di sini menunggu pagi. Kalau hari sudah siang mungkin kita bisa keluar dari hutan ini,” sahut Panji.
“Setuju, kalau itu pilihanmu,” kata Permana.
Tapi tiba-tiba hujan turun lagi. Kali ini lebih lebat dan berangin, sehingga dengan mudah air menembus celah-celah daun dan membasahi tubuh mereka berdua. Panji dan Permana tidak melihat celah yang dapat melindungi diri mereka dari kucuran air hujan.
Berkali-kali petir menyambar dan diiringi kilatan yang dapat menyinasi lingkungan sekitarnya meski itu hanya sekejap. Kemudian lapat-lapat, berkat bantuan cahaya kilat Permana melihat sesuatu menuju ke arahnya. Sesosok makhluk hitam menyerupai lelaki tua. Berambut panjang dan berjenggot, seperti makhluk yang mengoyak tubuh Firman di rumah tua.
Tanpa suara, Permana mencoleh tubuh Panji. Mendekatkan wajahnya ke ketelinga Panji, lalu ia berbisik:
“Perhatikan di depan, ada sesuatu yang menuju ke arah kita. Seperti makhluk yang telah membunuh Anwar dan Firman.”
“Mana?” tanya Panji penasaran.
“Tunggu kalau ada cahaya kilat akan kelihatan.”
Begitu ada cahaya kilat, benar saja sosok itu kelihatan. Yang membuat keduanya terkejut makhluk itu sudah sangat dekat dengan mereka. Hanya berjarak sekirat dua meter di depannya. Reflek, Panji bangkit dan langsung lari ketakutan. Ia tidak memperhatikan Permana apakah mengikutinya atau berlari ke arah yang lain.
Sampai akhirnya ia terjerambab dan jatuh di daerah yang sedikit lebih terang. Seperti padang ilalang dengan semak-semak yang tumbuh lebih rendah dari pohon-pohon di hutan liar.
Cahaya kilat tak henti-hentinya saling berganti menerangi hutan Bukit Hantu. Dari kejauhan, Panji memandang ke arah belakang, tempat ia dan Permana berteduh di bawah pohon rindang. Di tengah kilatan cahaya, Panji melihat sesosok tubuh tua itu berjalan ke arah berlawanan dengan tempat dirinya terjerambab. Yang membuat dirinya terkejut, tubuh berwujud manusia itu memanggul sesuatu.
Sekali kilatan dari langit muncul, Panji dapat memastikan yang dipanggul makhluk itu adalah Permana. Entah kenapa, rasa takut Panji mulai hilang dan berganti penasaran. Dengan menjaga jarak, Panji mengikuti makhluk yang memikul Permana itu dari belakang.
Alangkah kagetnya Panji, ketika tiba-tiba ia kembali sampai di rumah tua tempat kedua rekannya sudah menjadi korban keberingasan makhluk aneh itu. Kini giliran Permana yang jadi korban. Begitu hujan sedikit mereda dan cahaya bulan kembali menerangi bumi meski samar-samar, Panji melihat makhluk aneh itu melemparkan tubuh Permana ke kolam. Menjadi makanan ikan-ikan ganas di kolam bawah rumah tua. ***
#7
Tujuh
Waktu menunjukkan pukul 00.30. Setelah melewati hujan lebat di tengah hutan tanpa makanan, Sanusi, Guntur, dan Untung merasakan perutnya keroncongan. Lebih-lebih Untung, yang sama sekali belum mengisi perutnya sejak kemarin siang. Ketika rekan-rekannya menyantap ikan bakar, ia tidak ikut menikmatinya lantaran dirinya seorang fegitarian.
“Mumpung ada cahaya bulan meski samar-samar, alangkah baiknya kita berjalan mengikuti aliran sungai. Saya yakin sungai ini melewati pemukiman warga di hilirnya,” kata Sanusi.
“Boleh juga. Daripada kita berdiam diri di sini lebih baik kita berjalan pelan-pelan mengikuti aliran sungai ini. Sekalian menghangatkan badan kalau kita bergerak,” timpal Guntur.
Guntur hanya mengikuti saja apa kata rekan-rekannya, Sanusi dan Untung. Sayangnya baru berjalan beberapa puluh meter, mereka mendengar deru air terjun jatuh ke lubuk. Kendati demikian, karena penasaran Sanusi, Guntur, dan Untung tetap melanjutkan perjalanannya.
Semakin dekat, semakin keras suara air terjun mereka dengar. Sampai di mulut air terjun tersebut, Sanusi melihat jurang yang begitu dalam. Ada sekitat 50 meter ke bawah, yang membuat nyali mereka ciut kalau terjun mengikuti aliran sungai.
“Wah, kita terjebak. Tak ada jalan lain menuju ke bawah, kecuali kalau kita melompat ke lubuk air terjun ini,” kata Sanusi.
“Tidak mungkin kita terjun dengan kedalaman yang begitu jauh. Kita juga tidak mengerti apa yang ada di bawahnya, apakah batu atau kayu-kayu besar yang terbawa hanyut oleh air,” sela Untung.
“Ya, mau tidak mau kita cari jalan lain. Balik lagi menyusuri ulu sungai atau mencari jalan lain,” usul Guntur.
Di tengah kegelapan dengan sedikit bantuan cahaya rembulan, Guntur, Sanusi dan Untung menyisiri kiri jalan untuk menghindari air terjun yang dalam. Kini jalan yang mereka tempuh agak mendaki, sehingga membuat tubuh mereka yang tadinya kedinginan ditimpa hujan mulai sedikit berkeringat.
Tanpa banyak bicara mereka terus berjalan di antara pohon-pohon besar yang di bawahnya banyak pohon lapuk. Karena jalan sedikit mendaki mereka pun terengah-engah.
“Tung, apa benar yang kamu lihat itu hantu atau kamu hanya sekadar berhalusinasi,” kata Sanusi sembari duduk sejenak di akar pohon besar yang agak tinggi dari tanah.
Untung yang berjalan di belakang Sanusi menghentikan langkahnya. Sebelum menjawab pertanyaan Sanusi ia menghela nafas panjang.
“Benar, untuk apa saya bohong,” seru Untung.
“Kamu percaya, Gun?” Sanusi mengalihkan pertanyaannya kepada Guntur.
“Percaya tidak percaya. Tapi yang menjadi pertanyaan saya sekarang kemana teman-teman kita yang lain. Apa mungkin mereka meninggalkan kita karena melihat hantu?” ucap Guntur balik bertanya.
“Saya rasa begitu!” timpal Untung.
“Maksudnya?” kata Sanusi heran.
“Mungkin saja mereka terkejut melihat hantu terus lari tunggang langgang ketakutan. Mereka tak sempat lagi mengajak kita karena mereka ketakutan,” jelas Guntur.
“Hantu seperti apa yang kamu lihat, Tung?” tanya Sanusi penasaran.
“Ah, tidak usah dijelasin lagi, Tung. Ayo kita lanjutkan perjalanan. Di hutan lembab seperti ini banyak pacet. Nanti pada menempel di badan dan menyedot darah kita,” kata Guntur.
Mereka bertiga kembali berjalan dalam hutan yang basah. Untung berjalan paling depan, di belakangnya Guntur lalu Sanusi paling belakang. Tak ada petunjuk arah yang benar dalam hutan tersebut. Pasalnya, bulan bergantung tegak lurus persis di atas kepala mereka.
Dalam hening, nafas mereka seperti terdengar tersengal-sengal. Sanusi yang berjalan paling belakang, tiba-tiba mendengar seperti ada suara orang menyeret langkah di belakangnya. Ia menoleh, tapi tidak ada apa-apa.
Bulu kuduk Sanusi tiba-tiba merinding.
Agak mempercepat langkah, ia melewati Guntur yang ada di di depannya. Kini Sanusi berjalan di tengah. Untung tetap tenang melangkah di antara akar-akar kayu besar.
“Kenapa kamu, Sanusi?” tanya Guntur kepada Sanusi yang melewatinya.
“Tidak ada apa-apa,” sahutnya.
“Kok jalannya pindah ke tengah.”
“Iseng,” katanya singkat.
#8
Merasa tidak senang disalip oleh Sanusi, Guntur kembali mengambil posisinya berjalan di tengah dengan melewati Sanusi. Sementara Untung tetap santai seperti telah hapal betul dengan lingkungan di sekitarnya.
Anehnya, semakin jauh mereka berjalan semakin rendah pohon-pohon di hutan itu. Pada akhirnya, mereka sampai pada sebuah padang ilalang. Untung seperti menemukan jalan setapak dengan rumput-rumput yang mati terinjak apa saja yang lewat. Apakah itu jalan orang atau jalan babi hutan atau makhluk hutan lainnya.
Di ujung padang ilalang, Guntur sayup-sayup seperti melihat puncak rumah. Di benaknya, mereka sudah sampai pada sebuah perkampungan.
“Hei, lihat. Itu rumah penduduk,” kata Guntur.
“Oh, iya. Ayo kita menuju ke sana,” kata Sanusi.
“Ayo, paling tidak kita sudah sampai di pemukiman penduduk. Tinggal menunggu pagi untuk keluar dari tempat ini.
Tapi semakin dekat mereka ke rumah tersebut, semakin jelas pula bentuk bangunan yang mereka temukan. Itu tak lain rumah tua tempat mereka membakar ikan.
Tiba-tiba Untung menghentikan langkahnya. Begitu juga Sanusi dan Guntur. Mereka saling pandang di tengah remang-remang cahaya rembulan.
“Kalian merasa ada yang aneh?” tanya Untung.
“Ya, sepertinya kita kembali lagi ke rumah tua tempat kita tadi. Akal sehat kita sudah dikendalikan oleh sesuatu yang tidak kita sadari. Dari kemarin kita berjalan jauh, kembali ke rumah ini lagi. Apa yang salah dari kita,” ujar Guntur.
“Ya, mungkin salah kita telah memakan ikan dan memasuki rumah tua itu. Ini rumah hantu. Kita tidak usah ke sana lagi, nanti akan ada korban lain,” kata Untung.
“Terus, apa rencana kita?” tanya Sanusi.
“Kembali saja ke hutan, sambil menunggu pagi. Tapi jangan jauh-jauh dari tempat ini,” usul Untung.
Sudah hampir satu jam berlalu, Untung, Guntur dan Sanusi hanya berputar-putar di sekitar rumah tua meski pun mereka sudah merasa berjalan cukup jauh.
Akhirnya mereka bertiga sepakat menepi ke pinggir hutan menjauhi rumah tua. Hujan sudah berhenti turun. Di batas hutan dan padang ilalang seluas dua kali lapangan bulutangkis, mereka duduk menunggu pagi.
Kini jarum jam menunjukkan pukul 01.30. Kian larut malam kian dingin udara menusuk tubuh mereka. Sebenarnya Guntur, Untung, dan Sanusi sudah mengantuk dan lelah. Namun tidak ada di antara mereka yang mau tidur.
Dalam heningnya malam, Guntur mencium bau lembab dedaunan lapuk. Tapi lama kelamaan mau itu kian menusuk, seperti bau bangkai. Busuk. Sehingga hampir membuat Guntur muntah karenanya.
“Kalian mencium bau busuk?” Guntur bertanya kepada Untung dan Sanusi.
“Iya, saya menciumnya,” sahut Sanusi sembari menutup hidungnya.
Untung sebenarnya mencium aroma yang sama. Tapi ia tidak menutup hidungnya seperti yang dilakukan Sanusi dan Guntur. Ia pernah diberi tahu oleh tetua, bila mencium atau melihat sesuatu yang aneh di dalam hutan tidak boleh bereaksi berlebihan.
Hal itu diyakini betul oleh Untung.
Sebenarnya ia ingin memberi tahu kepada dua rekannya agar tidak bereaksi terhadap apa yang dialaminya. Tapi mereka yang lebih dulu mencium bau busuk langsung bereaksi.
“Bau apa ini ya? Apa ada bangkai di sekitar sini?” tanya Sanusi.
“Sebaiknya kita Pindah lokasi,” kata Untung datar.
“Ayo!” timpal Guntur.
Untung dan Guntur sudah bangkit dari duduknya dan berjalan dua langkah. Guntur yang hendak bangkit, tiba-tiba dihadang oleh sebuah bayang hitam. Matanya terbelalak. Tidak sempat ia menjerit, di lehernya sudah mencekeram tangan berbulu dan dingin.
Hanya dalam satu helaan nafas, Guntur menghilang seperti diseret dari tempat duduknya. Untung dan Sanusi yang telah berjalan beberapa langkah di depan, berhenti dan menoleh ke belakang. Tapi ia tidak melihat Guntur di sana. Merasa aneh, mereka kembali ke tempat itu lagi.
Tak ada Guntur, juga tidak ada bau busuk. Yang mereka cium hanya bau lembab daun-daun lapuk. Beberapa kali Untung dan Sanusi memanggil-manggil nama Guntur dalam heningnya malam, tapi tidak ada sahutan.
Untung menatap Sanusi sejurus. Detik berikutnya ia menyeret Sanusi ke tengah padang ilalang.
“Sepertinya kita semua akan mati di sini. Di tengah-tengah kita, Guntur bisa hilang secara misterius. Lebih baik kita pergi lebih jauh meninggalkan rumah tua ini,” kata Sanusi.
“Sanusi, apa kamu tidak sadar? Sudah berapa jauh kita berjalan dari tadi malam, hingga kini sudah hampir pagi. Kita hanya berputar-putar di sini saja. Dari sisi satu ke sisi lain rumah tua. Kita sudah terjebak dalam sebuah permainan,” jelas Untung.
Sanusi mengangguk dalam diam.
“Ya, sepertinya mata hati kita sudah tertutup untuk keluar dari tempat ini. Kita tidak mengerti jalan pulang,” aku Sanusi.
“Kalau sudah begini, apa yang harus kita lakukan?” katanya kemudian.
“Kita berdoa saja, semoga menjelang waktu subuh kita bisa aman di sini,” sahut Untung.
Kini Untung tinggal berdua dengan Sanusi. Di benaknya, terbayang sosok yang dilihatnya saat ia buang air kecil di samping rumah tua. Sesosok makhluk menyeramkan dengan sorot mata tajam dan bengis.
Nalarnya mulai meraba-raba. Apakah makhluk membalas dendam karena ikan-ikan miliknya di kolam ditombak Firman, lalu memakannya bersama-sama. Karena di depan matanya, Guntur menghilang seperti ditiup angin.
Ia tidak tahu bagaimana nasib Permana, Panji, Anwar, dan Firman yang telah lebih dahulu meninggalkannya. Mungkin saja mereka sudah menjadi korban dan menjadi umpan ikan-ikan lapar di kolam bawah rumah tua. ***
#9
Delapan
Merasa ada sesuatu yang menggigit kakinya, Panji tersentak. Ia menarik kaki kanannya dan merasakan sesuatu yang lembut menempel di mata kakinya.
“Aduh,” katanya sambil mencabut seekor pacet yang sudah gemuk lantaran menyedot banyak darah dari kakinya.
Mungkin karena lelah, Panji tertidur di atas rumput yang basah. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, jarum jam menunjukkan pukul 03.00 pagi.
Bulan di langit kian condong ke barat. Ia perhatikan ke sekeliling lokasi tempat dirinya berada, Panji melihat rumah tua dengan bantuan cahaya rembulan. Sendirian, tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Ia pasrah. Jarak antara dirinya kini dengan rumah tua sekitar 100 meter. Di sudut lain dari bangunan itu, Panji melihat padang ilalang yang terbentang bermandikan cahaya rembulan. Namun ia tidak berani beranjak dari tempatnya.
Panji merasa waktu berjalan begitu lambat. Dipikirnya menjelang pagi ia bisa saja mati dicekik hantu rumah tua. Ia juga tidak merani bangkit dari tempatnya berada kini. Berlindung di balik sebuah pohon besar.
Kemudian Panji mengusap matanya. Berkali-kali. Seakan tidak percaya ia melihat dalam keremangan cahaya rembulan, sesosok makhluk hitam memanggul seseorang. Sama seperti makhluk yang memanggul Permana beberapa jam sebelumnya.
Detak jantungnya berdegup begitu kencang. Tapi yang membuatnya heran, Permana sudah dilempar ke kolam dan dimakan ikan. Lalu siapa lagi?
Yang jelas itu bukan Permana, pikirnya.
Panji mengamati sosok yang dipanggul makhluk itu lapat-lapat. Semakin dekat, dilihatnya semakin jelas itu temannya sendiri. Sanusi. Makin tak menentu perasaannya saat itu. Dan dengan jelas pula, Panji melihat makhluk itu melempar Sanusi ke kolam bawah rumah tua.
Setelah melempar tubuh Sanusi ke kolam ikan bawah rumah tua, makhluk itu menoleh ke arah Panji. Seakan makhluk itu mengerti Panji bersembunyi di balik sebuah pohon, makhluk itu seperti mendekat kepadanya.
Tanpa berpikir panjang Panji melompat dan berlari ke belakang. Malang baginya, lantaran ketakutan ia membuat langkah seribu untuk berlari. Tapi tiba-tiba kepalanya membentur pohon besar yang keras. Ia terjatuh tidak sadarkan diri. Pingsan. ***
Untung mengusap matanya.
Ia terbangun dari sebuah tidur yang singkat. Rupanya lantaran terlalu mengantuk bersama Sanusi mereka tertidur. I araba ke sebelah tempat Sanusi berbaring sebelumnya, ia tidak merasakan sesuatu. Sontak Untung terduduk. Dilihatnya Sanusi memang sudah tidak ada di sisinya.
Ia coba menyapu pandang ke sekitarnya. Juga tidak ada siapa-saipa.
“Sanusi?” katanya memanggil.
Tak ada jawaban. Bulu kuduk Untung mulai berdiri berada sendirian di tengah hutan, dimana satu persatu rekannya sudah hilang. Dicekik hantu rumah tua.
“Ya, Tuhan. Berilah aku keselamatan menjelang pagi. Hanya pertolongan Mu yang dapat mengeleluarkan aku dari tempat ini,” Untung berdoa.
Kemudian Untung kembali mencoba memanggil-manggil nama Sanusi. Setahunya Sanusi lebih dulu tertidur ketimbang dirinya saat mereka memilih tempat istirahat di tengah padang ilalang. Ia coba berdiri dan berteriak ke segala arah.
“Sanusi….Sanusi…!” serunya dengan suara yang lebih kencang.
Mendengar suara orang memanggil-manggil, Panji tersadar dari pingsannya. Sambil memegang kepala, Panji duduk dan mendengar suara kembali menyebut-nyebut nama Sanusi. Ia berpaling ke arah suara itu datang. Dan melihat sesosok pria berdiri di padang ilalang di bawah bantuan cahaya bulan. Berjarak sekitar 100 meter darinya.
Panji coba memastikan apakah itu benar sosok manusia atau bukan. Tapi begitu mendengar suara panggilan lagi, ia dapat memastikan itu suara Untung. Bergegas, Panji mendekat pada tepi padang ilalang.
“Untung,” katanya balik berteriak.
“Sanusi,” kata Untung.
“Saya Panji, bukan Sanusi.”
“Ah, mana Sanusi? Tanya Untung seakan tidak percaya Panji masih hidup.
Tanpa menjawab Panji langsung berlari ke arah Untung berdiri. Ia tidak peduli daun ilalang dapat melukai tangan dan wajahnya kalau tersayat karenanya.
#10
10
Sampai di depan Untung, Panji langsung menjatuhkan dirinya duduk di tumpukan ilalang yang basah.
“Dari mana saja kamu, Panji?” tanya Untung.
“Aduh, aku sudah pingsan berkali-kali.”
“Kenapa?”
“Melihat teman-teman kita dikoyak hantu rumah tua,” kata Panji.
“Kamu menyaksikan sendiri?”
“Ya, satu persatu teman kita dicekik dan dikoyak hantu untuk makan ikan di kolam bawah rumah tua.”
“Lantas, kamu melihat Sanusi?”
“Sanusi juga telah mati. Aku melihat hantu itu memanggul Sanusi dari tempat kamu berada ini tadi dan membuangnya ke kolam. Habis membuang Sanusi makhluk itu berjalan kepadaku. Karena takut aku lari dan kepalaku terbentur pohon membuat aku pingsan.”
Untung mengusap matanya. Dirasakannya anak sungai mengalir dari kedua belah matanya. Untung menangis tanpa suara.
“Mana Guntur?” tanya Panji kemudian.
“Seperti ceritamu, satu persatu teman kita telah hilang dan jadi umpan ikan,” kata Untung.
“Guntur hilang seperti terbawa angin setelah kami mencium bau busuk. Tapi aku curiga dia telah dibunuh oleh makhluk yang sempat kulihat di belakang rumah tua itu,” aku Untung.
Kedua mengusap wajah dalam diam.
Namun sejenak kemudian Panji dan Untung mendengar sayup-sayup suara adzan. Jauh entah dimana, namun karena sunyinya malam itu suara adzan berkilo-kilo meter terdengar mendayu.
Panji melisik jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. Hari telah menunjukkan pukul 04.30.
“Kamu mendengar suara adzan Panji?” suara Untung memecah keheningan.
“Ya, tapi apakah kita akan selamat keluar dari tempat ini?”
“Kita berdoa kepada Tuhan. Mudah-mudahan kita bisa selamat.
“Kamu Yakin?”
“Sekarang aku bertanya kepadamu, Panji. Apakah kamu makan ikan bakar?”
Sambil menggeleng Panji menyahut dengan pasti:
“Tidak.”
“Mungkin itu yang membuatmu selamat. Kalau kamu ikut makan ikan kamu akan lebih dulu mati. Makhluk itu dendam karena ikan-ikan peliharaanya ditombak, dibakar, dan dimakan.”
Panji merenung. Agak lama, kemudian ia teringat bisikan makhluk itu di dalam rumah tua sebelum melemparnya ke luar rumah.
“Ya, aku jadi mengerti,” kata Panji, “Aku pernah mendengar bisikan dari makhluk aneh di rumah tua itu bahwa setiam makhluk yang ada di sekitar rumah tua bagian dari nyawanya.”
“Inilah yang menyelamatkan kita. Kini kita menunggu pagi, agar kita bisa pulang,” kata Untung.
“Ya,” Panji mengangguk dengan suara pelan. Nyaris tak terdengar.
***
Sembilan
Menjelang fajar, Untung dan Panji lebih banyak berdoa dalam hati masing-masing. Detak waktu dirasakannya begitu lambat sehingga ada rasa was-was kalau makhluk itu datang lagi. Mereka berdua sama-sama saling mengawasi suasana di sekitar.
Begitu fajar mulai naik di ufuk timur, Untung dan Panji sudah melihat dengan jelas jalan menuju pulang. Lokasinya harus melewati rumah tua itu, tetapi mereka tidak berani mendekat. Sedikit agak memutar ke dalam hutan, Untung dan Panji akhirnya menemukan jalan setapak yang mereka tempuh saat datang ke tempat itu kemarin.
Setelah berjalan sekitar tiga kilometer dari rumah tua di Bukit Hantu, Untung dan Fajar menemui warga yang sibuk menyambut pagi. Ada yang masih pakai sarung pulang dari Masjid, ada pula beberapa di antaranya sudah duduk di warung kopi.
Untung dan Panji pun singgah pada sebuah warung kopi di penggir jalan. Setelah memesan dua gelas kopi, mereka mencokok beberapa pisang goreng dan mengangkatnya ke piring kecil dengan sebungkus ketan.
Saking laparnya keduanya, Untung dan Panji sampai menghabiskan empat buah pisang goreng dan dua bungkus ketan.
#11 selesai
Setelah agak lama di warung tersebut, ada satu orang yang memperhatikan sejak tadi meluncurkan pertanyaan:
“Kalau boleh kami tahu, siapa gerangan sanak berdua ini. Yang jelas bukan warga sini ya? Hendak kemana tujuan sanak pagi-pagi begini?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Untung dan Panji saling pandang. Ia tidak menyangka akan ada pertanyaan seperti itu muncul di warung kopi, karena mereka tidak saling mengenal.
“Kalau boleh kami berterus terang, kami ini adalah para pemburu Sanak. Kemarin kami terjebak di hutan dan tidak mengerti jalan pulang,” sahut Untung gugup.
“Lantas?” kata orang yang bertanya tadi seraya menggeser duduk lebih mendekat kepada Untung dan Panji. Tamu warung lainnya sempat menghentikan kedapannya dalam mulut begitu mendengar pengakuan Untung.
“Kami sebenarnya bukan berdua. Tapi tujuh orang,” sela Panji kemudian.
“Tapi……” Panji menghentikan kata-katanya.
“Jadi, bapak-bapak ini baru keluar dari Bukit Hantu?” tanya seseorang yang lebih muda.
“Iya,” sahut Untung dan Panji sambil menganggukkan kepalanya.
“Kami terjebak pada sebuah rumah tua tak berpenghuni. Tapi banyak sekali ikan di kolam bawah rumah tersebut,” aku Panji kemudian.
“Kalian menangkap ikan?” si penanya pertama semakin penarasan.
“Benar. Tapi kami berdua tidak ikut makan ikan. Lima rekan kami lainnya yang makan ikan seperti hilang satu persatu. Banyak kejadian aneh sepanjang malam. Sepertinya teman-teman kami itu sudah mati. Aku menyaksikan ada semacam makhluk yang mencekik rekan kami lalu melemparnya ke kolam,” jawab Panji lagi.
“Pak Udin…” tanpa sadar seuntai kata keluar dari mulut si penanya kedua.
Tanpa banyak bicara si penanya kedua langsung beranjak dari duduknya. Ia keluar warung, sambil dan mengoceh kepada tamu warung lainnya.
“Pak Udin makan korban lagi,” katanya.
Lama kelamaan pengunjung warung makin ramai. Semua bicara tentang lima orang yang hilang di rumah Pak Udin. Peristiwa ini akhirnya sampai ke kantor polisi dan perangkat desa. Penduduk Desa heboh dengan hilangnya lima pemburu di Bukit Hantu.
Tak menunggu lama orang-orang Desa berkumpul bersama polisi dan perangkat Desa. Mereka berkumpul untuk mendatangi rumah tua milik Pak Udin di Bukit Hantu. Ada yang pergi mengendarai sepeda motor, ada pula yang naik mobil hingga ke perbatasan Desa. Setelah itu mereka berjalan kaki menuju rumah tua milik Pak Udin.
Banyaknya warga Desa yang penasaran dengan hilangnya lima pemburu di Bukit Hantu, membuat suasana jalan menuju rumah tua milik Pak Udin seperti iringan pesta. Jalan setapak menuju area hutan tempat Pak Udin membangun rumah memang membuat orang tidak leluasa bergerak.
Di sisi kiri dan kanan jalan tumbuh pohon liar dan rumput ilalang yang menjulai ke tengah jalan. Bahkan beberapa kali mereka harus menyeberangi anak sungai yang di atasnya membentang pohon kelapa sebagai jembatan.
Begitu sampai di rumah tua, benar saja. Ada lima mayat bergelimpangan di dalam kolam. Rata-rata mengalami luka cukup besar di bagian dada. Seluruh tubuh masih kelihatan utuh, kecuali organ dalam korban yang sudah habis dimakan ikan.
Panji dan Untung yang ikut bersama rombongan warga Desa ke tempat itu, tak dapat menahan sedih. Lima rekannya, Permana, Sanusi, Guntur, Firman, dan Anwar sudah menjadi korban akibat ulahnya sendiri. Memakan ikan di kolam milik Pak Udin, yang menurut warga Desa disebut-sebut sebagai ikan setan.
Peristiwa matinya lima orang pemburu di rumah tua Bukit Hantu santer kemana-mana. Tidak hanya di sekitar Desa terdekat, tetapi sudah meluas ke provinsi lain yang tersiar dari mulut ke mulut para pemburu. ***
TAMAT
Description: Tujuh orang pemburu terjebak pada sebuah rumah tua di Bukit Hantu. Lantaran melakukan hal-hal yang dilarang oleh masyarakat setempat, mereka terjebak pada sebuah kejadian berantai yang mengerikan. Satu persatu anggota kelompok pemburu hilang setelah melihat sosok misterius di rumah tua yang tidak berpenghuni.
|
Subsets and Splits